Anda di halaman 1dari 56

BETON PRATEGANG 2018

Perkembangan Teknologi Prategang

Perkembangan material struktur dapat dideskripsikan sebagai berikut :

Bagan alir di atas terdiri dari tiga, dimana pembagiannya berdasarkan :


1. Kemampuan menahan tekan
2. Kemampuan menahan tarik
3. Kemampuan menahan tarik dan tekan

Material yang baik dalam memikul tekan seperti batu alam, bata dan diikuti dengan pengunaan
beton dan juga beton mutu tinggi. Selanjutnya diikuti dengan material yang baik dalam memikul
tarik, seperti bambo, tali, batangan besi, kawat baja hingga baja dengan mutu tinggi. Yang
ketiga adalah kemampuan material struktur dalam memikul beban tekan dan juga tarik seperti
kayu, baja struktural, beton bertulang dan perkembangan beton prategang.
Contoh dari pada konsep prategang dapat dilihat pada Gambar 1, dimana sebuah tong kayu
yang digunakan untuk mengisi air dan diikat dengan sabuk besi dimana prategang dapat terjadi
secara pasif maupun aktif.
Prategang pasif apabila, sabuk besi yang diikat tidak dikencangkan pada awalnya. Untuk
kasus ini, apabila tong kayu dalam kondisi kosong, penggunaan sabuk besi tidak ada
manfaatnya. Namun setelah tong kayu diisi air, tekanan hidrostatik air akan mendorong tong
kayu kesegala arah dimana akibat dorongan tersebut sabuk besi akan mengalami gaya
kekangan sedemikian sehingga terjadi keseimbangan antara gaya kekangan dan gaya
hidrostatik air. Sabuk besi harus tentu saja harus mampu memikul gaya kekangan tersebut.
Apabila sabuk besi tidak mampu memikul gaya kekangan yang terjadi, tong kayu tidak akan
mampu memikul gaya hidrorostatik dan terlepas satu sama lain sehingga terjadi kebocoran.

Prategang aktif apabila sabuk besi yang diikat sudah dikencangkan pada awalnya. Untuk
kasus ini, sebelum air diisi, gaya kekangan sudah bekerja pada tong kayu sehingga kayu yang
sayu akan memberikan gaya tekan pada kayu-kayu disebelahnya yang membuat tong kayu
menjadi lebih rapat dibandingkan dengan kasus pretegang pasif sebelumnya.

Gambar 1 – Tong kayu yang diisi air


Prinsip prategang aktif yang ini digunakan oleh P.H Jackson (USA, 1886) dan C.E.W Doehring
(Jerman, 1888) untuk mematenkan struktur lantai busur dari blok-blok batu dan beton yang
diikat dengan kawat baja yang diberi gaya prategang awal seperti diperlihatkan pada Gambar 2.

Gambar 2 – Lantai blok batu/beton yang dikikat dengan kawat baja

Pada prakteknya, lantai-lantai busur dari blok batu/beton ini mengalami kegagalan dikarenakan
gaya prategang yang diberikan diawal akan hilang dengan berjalannya waktu. Sehingga gaya
gesekan antar blok-blok tersebut akan hilang dan tidak mampu lagi memikul berat sendirinya.
G.R Steiner (USA, 1908) menyadari terjadinya kehilangan gaya prategang ini dan menyarankan
sistem pengencangan ulang yang dipatenkan olehnya dengan menggunkan turn-buckle untuk
tangki silider yang terbuat dari beton seperti diperlihatkan pada Gambar 3.

Gambar 3 – Sistem turn-buckle untuk pengencangan kawat baja pada tangki air

Walaupun cukup sukses secara komersil, paten dari G. R Steiner ini tidak mampu memberikan
penyelesaian yang lebih sederhana akibat kehilangan gaya prategang yang terjadi. Metoda
pengencangan ulang pada dasarnya membutuhkan pekerjaan perawatan dan pengamatan dan
tidak aplikatif untuk struktur-struktur yang lain.
R.E Dill (USA, 1925) yang pertama menyadari kehilangan gaya prategang akibat pengaruh
susut dan rangkak. Beliau yang mengusulkan penggunaan baja mutu tinggi untuk
mengkompensasi kehilangan prategang yang terjadi dengan berjalannya waktu. Dengan
penggunaan baja mutu tinggi ini, maka proses pengencangan kembali pada dasarnya tidak
diperlukan.
E. Freyssinet (Perancis, 1926) adalah yang pertama melakukan terobosan terhadap
penggunaan baja mutu tinggi dimana salah satu paten yang dibuat adalah kawat baja dengan
mutu mencapai 1725 MPa. Freysinnet juga yang mematenkan teknologi wedge anchor yang
digunakan secara luas sampai sekarang. Proyek pionir jembatan beton prategang yang dibuat
oleh Freysinnet adalah Jembatan Marne dengan panjang 55 m (1941) yang ditunjukkan pada
Gambar 4.

Gambar 4 – Eugene Freyssinet dan jembatan prategang pionirnya Jambatan Marne

Kemajuan teknologi beton pada era ini memungkinkan jembatan beton prategang untuk
memiliki panjang bentang yang beberapa kali lebih panjang dibanding jembatan yang dibangun
pada era Freyssinet. Jembatan beton prategang dengan bentang terpanjang saat ini adalah
Jembatan Stolma di Norwegia dengan panjang bentang yaitu 301 m seperti diperlihatkan pada
Gambar 5. Pada perencanan jembatan ini, beton ringan mutu tinggi (lightweight high strength
concrete) digunakan dengan kombinasi prategang.
Gambar 5 – Jembatan Stolma pada saat konstruksi

Beton Prategang di Indonesia

Konstruksi struktur beton dengan memanfaat teknologi prategang bukan hal yang baru di
Indonesia. Teknologi prategang sudah digunakan pada konstruksi Jembatan Rantau Berangin
untuk menyebrangi Sungai Batanghari, Propinsi Riau ditahun 1974. Jembatan Rantau Berangin
ini merupakan jembatan beton menerus dengan metoda konstruksi tipe segmental free
cantilever, lihat Gambar 6. Panjang bentang total adalah 201 m dengan bentang tengah yaitu
121 m dan dua bentang samping yaitu 40 m. Sebagai perencana adalah NV IBIS dari Belanda
dengan kontraktor pelaksana yaitu Waskita Karya dengan Prof. Dr. Ir. Roosseno
Soerjohadikoesoemo sebagai penasehat.

Gambar 6 – Jembatan Rantau Berangin. Riau (1974)


Transfer teknologi dilakukan oleh ahli-ahli Belanda kepada insinyur-insinyur Indonesia untuk
jenis konstruksi jembatan jenis ini untuk kemudian diaplikasikan pada jembatan-jembatan
lainnya antara lain adalah Jembatan Raja Mandala untuk menyebrangi Sungai Citarum, Jawa
Barat ditahun 1979, lihat Gambar 7 dan Jembatan Arakundo yang melalui saluran irigasi
disekitar Sungai Jambo Aye, Aceh ditahun 1990 lihat Gambar 8 serta jalan tol layang Cawang-
Tanjung Priok, Jakarta pada antara tahun 1987-1990. Aplikasi beton prategang memungkinkan
perancangan dan pelaksanaan dari jembatan-jembatan beton tersebut diatas untuk diwujudkan.

Gambar 7 – Jembatan Raja Mandala, Jawa Barat (1979)

Gambar 8 – Jembatan Arakundo, Aceh (1979)


Untuk konstruksi gedung, salah satu gedung bertingkat teritinggi di Jakarta yang dibangun pada
dekade 1980an adalah Gedung Wisma Dahrmala (sekarang : Intiland Tower) yang ditunjukkan
pada Gambar 9. Pada proyek ini, gaya prategang dimanfaatkan untuk menyeimbangkan gaya
pada kolom struktur yang berada pada eksterior dan interior gedung. Hal ini dilakukan untuk
menghilangkan pengaruh perbedaan penurunan pada balok penghubung sehingga gaya dalam
yang dipikul oleh balok menjadi lebih kecil.

Gambar 9.1 – Wisma Dharmala, Jakarta (1990)

Gambar 9.2 Posisi tendon dan tulangan pada beton prategang (model)
Gambar 9.3 Girder jembatan prategang dengan metoda pre-tension

Gambar 9.4 Un-bonded slab post-tensioning.


Konsep Dasar Beton Prategang

Konsep dasar pada beton prategang dibagi menjadi tiga (3) rumusan sebagai berikut:

1. Beton prategang dapat dianggap sebagai material yang linier-elastik


Untuk material yang linier-elastik, analisis tegangan sederhana pada penampang dapat
dilakukan dengan prinsip-prinsip dasar mekanika bahan untuk material yang linier-
elastik.

2. Beton prategang merupakan salah satu tipe beton bertulang


Baik beton prategang maupun beton bertulang memenuhi tiga prinsip dasar pada
mekanika bahan yaitu:
i) Persamaan Keseimbangan
ii) Kompatibilitas Regangan
- Kompatibilitas regangan pada teori lentur menyatakan bahwa penampang
yang datar sebelum lentur akan tetap datar sesudah lentur
- Dengan asumsi ada ikatan yang sempurna (tidak ada slip) antara beton dan
tulangan, maka besarnya regangan pada tulangan adalah sama dengan
regangan pada beton di serat yang sama
iii) Hubungan Tegangan Regangan
- Untuk material yang linier-elastik maka hubungan-tegangan regangan akan
memenuhi hukum Hooke

3. Gaya prategang bekerja sebagai beban penyeimbang (Load Balancing) dari beban
luar yang bekerja
Gaya prategang bertujuan untuk memberikan tegangan tekan awal pada bagian beton
bertulang yang akan mengalami tarik nantinya. Dengan demikian gaya prategang
bekerja untuk melawan beban luar yang bekerja. Tabel 1 menunjukkan persamaan
beban penyeimbang dari gaya prategang dengan beberapa bentuk profil tendon

Tabel 1 – Beban penyeimbang dari beberapa profil tendon


Profil Tendon Beban Penyeimbang

R 0

4 P cos e
R
L
8 P cos e
R
L2

e1 e 2 cos 1 e3 e 2 cos 2
R P
L1 L2

e1 e 2 cos 1 e3 e 2 cos 2
R P 2 2
L1 L2

Kelebihan dan Kekurangan Beton Prategang

Kelebihan dari beton prategang apabila dibandingkan dengan beton bertulang dirangkum pada
Tabel 2

Tabel 2 – Kelebihan beton prategang dibanding beton bertulang


Beton Prategang Beton Bertulang
1 Penampang tidak mengalami retak pada Penampang retak jauh sebelum beban
kondisi layan: maksimum bekerja pada kondisi layan
- kekakuan lebih baik dari beton
bertulang
- kemampuan layan yang lebih baik
- mengurangi kemungkinan korosi pada
tulangan

2 Memiliki rasio panjang bentang terhadap Memiliki rasio panjang bentang terhadap
tinggi penampang yang lebih besar : tinggi penampang yang lebih kecil
- ekonomis untuk bentang panjang - tidak ekonomis untuk bentang panjang
karena dapat mengurangi berat sendiri
- penampang bisa dibuat lebih ramping
sehingga terlihat lebih estetik

3 Cocok untuk digunakan dengan teknologi Dapat digunakan untuk teknologi


pracetak pracetak namun terbatas penggunaanya
- QC yang baik dimana umumnya untuk architectural
- Tepat untuk digunakan pada konstruksi concrete misal: fasade pracetak
yang repetitif sehingga mengurangi
penggunaan bekisting misal: tiang
pancang, girder jembatan, sleeper rel,
HCS, dll.

Kekurangan dari beton prategang apabila dibandingkan dengan beton bertulang dirangkum
pada Tabel 3.

Tabel 3 – Kekurangan beton prategang dibanding beton bertulang


Beton Prategang Beton Bertulang
1 Teknologi yang membutuhkan keahlian Tidak membutuhkan keahlian dan
dan peralatan khusus peralatan khusus
2 Penggunaan material mutu tinggi cukup Umumnya tidak membutuhkan material
mahal sehingga dapat menambah biaya dengan mutu yang tinggi
3 Memerlukan inspeksi dan kontrol kualitas Memerlukan inspeksi dan kontrol
yang khusus saat proses pelaksanaan kualitas yang umum
penarikan tendon
Metoda Pelaksanaan dan Mekanisme Transmisi Gaya Prategang

Mekanisme transmisi gaya prategang setelah penarikan tendon pada dasarnya bergantung
pada metoda pelaksanaan yang diipilih. Metoda pelaksanaan dalam pekerjaan beton prategang
umumnya dibagi menjadi dua (2) cara yaitu :

a. Pre Tension

(a)

(b)

(c)
Gambar 10 – Metoda pelaksanaan pre tension
Keterangan:
(a) Tendon yang disiapkan, diangkur ke abutment kemudian ditarik
(b) Beton dicor kebekisting yang sudah disiapkan,
(c) Setelah beton mencapai umur ang diinginkan, tendon dipotong sedemikian sehingga
terjadi transmisi gaya prategang terjadi dari tendon ke beton

Dari Gambar 10 terlihat bahwa pada Pre Tension, tendon sudah ditarik sebelum beton
dicor. Dengan demikian saat beton dicor, strand baja dalam tendon sudah mengalami
pengurangan ukuran diameternya akibat pengaruh angka poisson dari gaya tarik yang
diberikan pada strand. Dengan asumsi terjadi ikatan antara strand dan beton, maka saat
tendon diputus dari abutment maka akibat pengaruh dari angka poisson, strand akan
mengembalikan ukuran diameternya seperti sebelum terjadi penarikan. Namun akibat
kekangan dari beton yang menyelimutinya, terjadi transfer gaya prategang dari strand ke
beton seperti diperlihatkan pada Gambar 11.
Gambar 11 – Transmisi gaya prategang pada pre tension

Dengan kekangan beton tersebut strand yang mengerucut (wedging) untuk mencegah
slip dengan beton disekitarnya yang disebut Hoyer’s effect. Panjang dimana pengaruh
Hoyer ini bekerja disebut panjang transmisi dimana pada ujung tendon tegangan yang
terjadi adalah nol dan mencapai maksimum pada akhir panjang transmisi seperti
diperlihatkan pada Gambar 12.

Gambar 12 – Panjang transmisi akibat efek Hoyer pada pre tension


b. Post Tension

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)
Gambar 13 – Metoda pelaksanaan Post Tension
Keterangan:
(a) Tendon diposisikan dalam duct setelah itu beton dicor. Pada post tension, tendon belum
ditarik sampai pada saat beton yang dicor mencapai umur beton yang diinginkan.
(b) Kepala angkur dan wedge diposisikan dilokasi pengangkuran hidup yang diinginkan
(c) Anchor jack diposisikan didepan kepala angkur
(d) Tendon ditarik oleh anchor jack sehingga mengalami perpanjangan sampai pada
tegangan jacking yang diinginkan
(e) Setelah mencapai tegangan jacking yang diinginkan, wedge didorong kedalam kepala
angkur sampai mengunci strand (seating) lalu jack dilepas

Dari Gambar 13 terlihat bahwa pada post tension, tendon belum ditarik sampai beton yang
dicor sudah mencapai umur rencana yang diinginkan. Transmisi gaya prategang pada post
tension pada dasarnya mengandalkan prinsip yang sama dengan pre tension dimana
kebanyakan sistem post tension yang ada mengandalkan “wedge action” yang mengunci
strand sedemikian sehingga terjadi transmisi gaya prategang. Pada pre tension, transmisi
terjadi akibat friction antara tendon dengan beton disekitarnya sedangkan pada post tension
transfer gaya prategang terjadi dengan bearing reaction dimana strand akan menarik kepala
angkur kedalam sedemikian sehingga terjadi reaksi bearing antara bearing plate dengan
beton seperti ditunjukkan pada Gambar 14.

Gambar 14 – Reaksi bearing pada post tension


Material Beton

Beton merupakan material komposit yang terdiri dari agregat halus, agregat kasar dan pasta
semen dengan tambahan admixture untuk memodifikasi sifat dari material beton baik saat
kondisi segar (fresh concrete) dan kondisi keras (hardened concrete). Gambar 1 menunjukkan
potongan pada penampang beton keras.

Gambar 15 – Potongan penampang beton keras

1. Semen
Semen yang umum digunakan pada konstruksi adalah semen hidrolik. Yang dimaksud
dengan semen hidrolik adalah senyawa kimia pada semen yang dapat bereaksi dengan air
dengan mengeluarkan panas (hydration) dimana produk yang dihasilkan akan menjadi
tahan air (water resistant). Contoh dari semen hidrolik adalah Semen Portland (ASTM
C150).
Secara garis besar produksi Semen Portland proses kering dibagi dalam tiga (3) tahap
yaitu:
Pencampuran bahan mentah (Rawmix)
Pada tahap pencampuran, mineral mentah dari batu kapur dan lempung diaduk dalam
sebuah roller mill untuk kemudian ditampung sementara dalam blend silo sebelum
masuk dalam proses pemanasan awal.
Pemanasan (Heating)
Setelah itu dilakukan pemanasan hingga mencapai suhu > 1450 oC dalam rotary kiln
yang kadang disebut oven industri. Hasil dari proses pemanasan ini adalah bahan dasar
semen yang disebut clinker seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 16 – Clinker
Penggilingan (Grinding)
Clinker yang dihasilkan kemudian ditampung sementara pada clinker silo sebelum
masuk dalah proses penggilingan sehingga menjadi bentuk bubuk semen dan
ditampung sementara pada cement silo untuk kemudian dibungkus dan dikirim ke lokasi
konstruksi.

Sifat Mekanis Beton

Dalam perencanaan beton prategang, sifat mekanis dari beton adalah beton pada kondisi
sudah mengeras (hardened concrete). Beberapa sifat mekanis yang perlu dipahami adalah
kuat tekan, modulus elastisitas modulus retak dan poisson ratio.

1. Kuat tekan
Kuat tekan beton ditentukan dari pengujian material. Pengujian yang umum dilakukan
adalah dengan uji silider ukuran 150x300 dan uji kubus ukuran 150x150x150 (ASTM C31 &
C39). Kuat tekan untuk perencanaan umumnya diambil adalah kuat tekan pada umur 28
hari. Kuat tekan pada umur dibawah 28 hari juga diperlukan yaitu waktu saat gaya
prategang akan ditransfer. Hasil pengujian tekan akan memberikan kurva tegangan-
regangan tipikal seperti diperlihatkan pada Gambar 17.
Gambar 17 – Kurva tegangan-regangan beton tipikal hasil uji tekan

Dari hasil eksperimen dapat diamati bahwa kuat tekan beton akan meningkat dengan
berjalannya waktu. Berhubungan dengan pengaruh susut dan rangkak (time dependent
effect) maka perlu diketahui kuat tekan beton pada umur t baik sebelum maupun sesudah
umur 28 hari.
ACI 209
ACI 209 memberikan persamaan kuat tekan sebagai fungsi dari waktu sebagai berikut:
- untuk Semen Portland Tipe I
t
f c' t f c' 28 (1)
4.0 0.85t
- untuk Semen Portland Tipe III
t
f c' t f c' 28 (2)
2.3 0.92t
dimana:
t = waktu dimana kuat tekan ingin diperoleh

f ci28 f c' = spesifikasi kuat tekan beton pada umur 28 hari

Dalam pelaksanaan konstruksi pada umumnya variasi kuat tekan beton akan terjadi
sedemikian sehingga analisis riwayat waktu akibat susut dan rangkak harus harus dilakukan
berdasarkan nilai rata-rata (average/mean compressive strength). ACI 318 memberikan
persamaan kuat tekan rata-rata sesuai Tabel 4 atau Tabel 5 sebagai berikut:
Tabel 4 – Kuat tekan rata-rata apabila data pengujian tersedia sesuai ACI 318
Spesifikasi Kuat Tekan (MPa) Kuat Tekan Rata-Rata (MPa)
Terbesar dari (3) dan (4)
fc ’ 35 MPa f cr' f c' 1.34 s s (3)

f cr' f c' 2.33s s 3.5 (4)

Terbesar dari (3) dan (5)


fc’ > 35 MPa f cr' f c' 1.34 s s (3)

f cr' 0.9 f c' 2.33s s (5)

Tabel 5 – Kuat tekan rata-rata apabila data pengujian tersedia sesuai ACI 318
Spesifikasi Kuat Tekan (MPa) Kuat Tekan Rata-Rata (MPa)
fc’ < 21 MPa f cr' f c' 7 (6)

21 MPa fc’ 35 MPa f cr' f c' 8. 3 (7)

fc’ > 35 MPa f cr' 1.1 f c' 5. 0 (8)

Secara statistik, ss diberikan oleh persamaan:


2 0.5
xi x
ss (9)
n 1

dimana:
s s = standar deviasi dari sampel uji kuat tekan beton

xi = kuat tekan individu

x = rata-rata dari kuat tekan individu


n = jumlah sampel

Untuk keperluan desain, kurva tegangan-regangan yang diberikan pada Gambar 17 juga
dapat direpresentasikan dalam fungsi matematika. Persamaan tegangan-regangan yang
diadopsi pada peraturan beton Indonesia SNI-2847-2013 adalah sama dengan ACI 318
yaitu berdasarkan “Modified Hognestad” (1955) seperti ditunjukkan pada Gambar 18.
Note: f c " 0.9 f c'

Gambar 18 – Model kurva tegangan-regangan “Modified Hognestad”

Model kurva tegangan-regangan ini dapat digunakan untuk penentuan kapasitas momen
nominal penampang beton bertulang maupun beton prategang seperti ditunjukkan pada
Gambar 19.

(a) Penampang (b) Distribusi regangan (c) Distribusi tegangan (d) Gaya dalam

Gambar 19 – Distribusi tegangan/regangan dan gaya dalam pada penampang


beton bertulang akibat lentur

Model “Modified Hognestad” sendiri dapat disederhanakan berdasarkan ACI 318 menjadi
model kurva tegangan-regangan “Rectangular Whitney” seperti ditujukan oleh Gambar 9.
Distribusi tegangan Whitney hanya sesuai digunakan untuk kuat tekan fc’ 55 MPa. Untuk
beton mutu tinggi fc’ > 55 MPa, ACI ITG 4 merekomendasikan penggunaan faktor intensitas
tegangan 1 untuk menggantikan konstanta 0.85.
1

(a) Beton dengan fc’ 55 MPa (b) Beton dengan fc’ > 55 MPa
Gambar 20 – Distribusi tegangan Whitney

Koefisien 1 ditentukan sebagai berikut:


- Untuk fc’ 28 MPa

1 0.85 (13a)
- Untuk 28 MPa < fc’ 56 MPa

f c' 28
1 0.85 0.05 (13b)
7
- Untuk fc’ > 56 MPa

1 0.65 (13c)

Koefisien 1 ditentukan sebagai berikut:


- Untuk fc’ 55 MPa

1 0.85 (14a)
- Untuk fc’ > 55 MPa

1 0.85 0.004 f c' 55 (14b)

2. Modulus Elastisitas
Modulus elastisitas beton yang diadopsi peraturan beton Indonesia (SNI) adalah kemiringan
berdasarkan secant modulus pada saat tegangan mencapai 0.45fc’ (ASTM C469) seperti
ditunjukkan pada Gambar 10.
fc’

0.45fc’

Gambar 21 – Secant modulus

Untuk keperluan perencanaan, persamaan matematika untuk modulus elastisitas dapat


menggunakan rumusan ACI 318 maupun CEB90 sebagai berikut:

ACI 318 & ACI 363


- untuk beton dengan spesifikasi kuat tekan f c’ 42 MPa

Ec w1c .5 0.043 f c' (15a)

dimana:
wc = berat jenis beton (kg/m3) = 2200-2320 kg/m3 beton normal

= 1440-1920 kg/m3 beton ringan


2560 kg/m3 beton berat
Khusus beton normal, modulus elastisitas dapat dihitung sebagai berikut:

Ec 4700 f c' (15b)

- untuk beton dengan spesifikasi kuat tekan f c’ > 42 MPa


1.5
' wc
Ec 3320 f c 6900 (15c)
2320
Khusus beton normal, modulus elastisitas dapat dihitung sebagai berikut:

Ec 3320 f c' 6900 (15d)

Karena kuat tekan beton bertambah dengan berjalannya waktu maka modulus elastisitas
juga berubah dengan berjalannya waktu yang diberikan oleh persamaan sebagai berikut:
Ec t E c f c' t (16)
3. Modulus retak
Nilai modulus retak yang digunakan pada ACI 318 maupun SNI 2847 adalah sebagai
berikut:
- untuk beton dengan kuat tekan fc’ 42 MPa

fr 0.62 f c'
dimana:
adalah konstanta yang bergantung kepada berat jenis beton. = 1.0 untuk beton
normal dan = 0.75 – 0.85 untuk beton ringan
- untuk beton dengan kuat tekan fc’ > 42 MPa

fr f c'

4. Poisson ratio
SNI 2847 ataupun ACI318 mengijinkan nilai poisson ratio = 0 untuk keperluan desain
namun untuk analisis nilai poisson ratio yang direkomendasikan adalah = 0.2.

Material Tulangan Biasa

Produksi besi tulangan biasa adalah melalui proses hot-rolling. Tiap-tiap negara pada dasarnya
memiliki standar acuan tersendiri untuk baja tulangan biasa. Indonesia sendiri mempunyai
standar sendiri yaitu SNI 07-2052-2002 yang akan menjadi acuan dalam perkuliahan ini.
Bentuk tulangan bersirip/berulir SNI diberikan pada Gambar 11 dan ukuran beserta properti
tulangan SNI diberikan pada Tabel 6.
Jarak sirip max = 70 x d
b
Tinggi sirip min = 0.05 x db
Tinggi sirip max = 0.1 x db
3
Berat jenis = 7850 kg/m
2
Luas = 0.25 db
db = diameter nominal

Gambar 22 – Bentuk tulangan standar SNI


Tabel 6 – Ukuran dan properti tulangan SNI

Sesuai SNI, baja tulangan yang diproduksi harus ditandai dengan aturan sebagai berikut :

Note:
BJTS kadang ditulis BJTD
S atau D = sirip / deformed
P = polos

Material Tulangan Prategang

Dengan terjadinya kehilangan prategang maka dibutuhkan mutu yang lebih tinggi dari tulangan
biasa. Untuk itu proses pembuatan tulangan prategang pada dasarnya sedikit berbeda dari
tulangan biasa baik dari komposisi kimiawinya dan proses pembuatannya. Secara garis besar,
tulangan prategang yang umum dipakai dalam dunia konstruksi dibagi menjadi tiga (3) jenis
yaitu:
Uncoated steel wire (stress relieved & low relaxation) – ASTM A421
Uncoated steel strand (stress relieved & low relaxation) – ASTM A416
Uncoated high strength steel bar – ASTM A722
Untuk mendapatkan kehilangan prategang yang lebih kecil akibat pengaruh relaksasi maka
pada proses produksi, kawat/strand harus dipanaskan pada suhu yang tinggi sehingga tidak
terjadi tegangan sisa akibat proses pembuatan kawat/strand, proses ini disebut sebagai stress
relieving, sehingga kawat/strand yang dihasilkan adalah jenis kawat/strand stress relieved.
Apaila selama proses pemanasan kawat/strand ditarik maka proses yang terjadi disebut strain-
tempering, kawat yang dihasilkan adalah jenis kawat low relaxation.

Gambar 23 – Proses pembuatan kawat/strand stress relieved dan low relaxation

Steel Wire
Properti kawat baja prategang sesuai dengan ASTM A421 adalah sebagai berikut:

Tabel 7a – Persyaratan kuat tarik


Tabel 7b – Persyaratan kuat leleh

- Tegangan leleh (Fpy) yang diukur dari hasil pengujian tarik adalah tegangan pada
offset regangan 1% namun tidak lebih kecil dari 0.85 x tegangan tarik minimum (Fpu).
- Kawat tipe BA untuk digunakan pada angkur jenis Button dan kawat tipe WA untuk
digunakan pada angkur jenis Wedge.

High Strength Steel Bar


Properti tulangan baja prategang mutu tinggi sesuai dengan ASTM A722 adalah sebagai
berikut:

Tabel 8a – Dimensi buat Tipe I (Polos)

Tabel 8b – Dimensi buat Tipe II (Ulir)


- Tegangan tarik minimum Fpu = 1035 MPa
- Tegangan leleh minimum Fpy dapat diambil 85% Fpu untuk Tipe I dan 80% Fpu untuk
Tipe II atau dengan 0.75% metoda extension atau 0.2% metoda offset

Steel Strand
Properti strand prategang sesuai dengan ASTM A416 adalah sebagai berikut:

Tabel 9a – Persyaratan kuat tarik

Tabel 9b – Persyaratan kuat leleh

- Mutu strand Gr250 Fpu = 1725 MPa dan Gr270 Fpu = 1860 MPa
- Tegangan leleh diukur pada 1% extension namun tidak boleh lebih kecil dari
tegangan leleh minimum sebagai berikut:
Fpy = 90% Fpu untuk low relaxation
Fpy = 85% Fpu untuk stress relieved
Hubungan Tegangan Regangan Tulangan Prategang

Kurva tegangan-regangan tulangan prategang tipikal untuk strand Gr250, strand Gr270 dan
tulangan baja prategang mutu tinggi diberikan pada Gambar 16. Nilai modulus elastisitas untuk
masing-masing jenis tulangan prategang dapat diambil sebagai berikut:
- Strand Eps = 197000 MPa
- Wire Eps = 200000 MPa
- Steel Bar Eps = 185000 MPa

Gambar 24 – Kurva tegangan-regangan strand Gr250, strand Gr270 dan tulangan Gr160

Model matematik kurva tegangan-regangan yang akan diberikan disini adalah untuk strand
Gr250 dan Gr270. Kurva tegangan-regangan strand umumnya dibagi menjadi dua area yaitu
area elastis dan area plastis seperti ditunjukkan pada Gambar 25.
Gambar 25 – Model matematik kurva tegangan-regangan strand prategang

Gr250
Untuk py

f E ps

Untuk py u

1.725
f 1725

Nilai regangan leleh py dapat ditentukan melalui persamaan:


2
E ps py 1725 py 1.725 0

Untuk keperluan perencanaan nilai regangan ultimit u dapat diambil sebesar 0.03

Gr270
Untuk py

f E ps

Untuk py u

0.276
f 1860
0.007
Nilai regangan leleh y dapat ditentukan melalui persamaan:
2
E ps py 1860 0.007 E ps py 13.31 0

Untuk keperluan perencanaan nilai regangan ultimit u dapat diambil sebesar 0.03
Penampang Beton Non Komposit dan Komposit

Penampang beton dapat dikategorikan menjadi dua (2) jenis yaitu:


a) Non komposit
b) Komposit
Gambar 18 menunjukkan beberapa bentuk penampang yang umum dipakai dalam desain.
Penampang (a) umumnya digunakan dalam konstruksi gedung dimana beton dicor ditempat.
Penampang (b) merupakan balok T yang merupakan penampang balok persegi dengan lebar
pelat efektif pada konstruksi pelat dua arah. Penampang (c) merupakan pelat pracetak dengan
lubang yang disebut Hollow Core Slab (HCS) dan umum digunakan juga pada konstruksi
gedung maupun jembatan. Penampang (d) merupakan penampang I yang umumnya digunakan
sebagai girder pracetak pada konstruksi jembatan begtu juga dengan penampang (e) yang
merupakan penampang box yang umum digunakan pada konstruksi jembatan. Baik
penampang (d) dan (3) umumnya dikombinasikan dengan pelat lantai tambahan yang dicor di
tempat sehingga menjadi penampangyang komposit.

(a) Penampang persegi (b) Penampang T (c) Penampang HCS

(d) Penampang I Girder (e) Penampang Box Girder

Gambar 26 – Bentuk penampang yang umum digunakan pada konstruksi

Gambar 27. menunjukkan kombinasi dari beberapa elemen struktur sehingga menjadi
penampang yang komposit yang juga dapat memiliki mutu yang berbeda. Pada konstruksi
jembatan yang umum, girder jembatan terbuat dari beton pracetak dan pelat dek jembatan
terbuat dari beton cor ditempat (cast in situ) yang dibuat dari mutu yang berbeda. Namun dapat
juga pelat dek terbuat dari struktur pracetak ataupun semi pracetak.
(a) Balok I Girder Komposit (b) Balok Super-T Girder Komposit
Gambar 27 – Bentuk penampang komposit

Untuk keperluan analisis tegangan pada penampang maka properti geometrik dari penampang
harus diketahui antara lain adalah sebagai berikut:
1. Pusat Gravitasi Penampang (C.G)
2. Luas Penampang (A)
3. Momen Inersia (I)
4. Modulus Penampang (S)
5.

Properti Penampang Beton Non Komposit

Perhitungan property penampang non komposit diberikan pada tabel berikut ini:

Penampang Luas Area Momen Inersia & Radius Girasi


2
IX I oXi Ai Yi Y
A Ai 2
i IY I oYi Ai X i X

rX IX A rY IY A

Centroid Modulus Penampang

Ai X i
i
X CG X IX IX
Ai S X ,b S X ,t
i yb yt
Ai Yi IY IY
i S Y ,l S Y ,r
YCG Y xl xr
Ai
i

dimana:
I oX dan I oY adalah momen inersia dari penampang-penampang standar antara lain adalah:
Bentuk Penampang Momen Inersia

I oX I oY r4
4

bh 3
I oX
12
hb 3
I oY
12
bh 3
I oX
36
hb 3
I oY
36

Properti Penampang Beton Komposit

Pada struktur yang nyata umumnya penampang disusun berdasarkan gabungan dari beberapa
penampang yang dapat memiliki mutu yang berbeda. Untuk kasus tersebut perhitungan
penampang harus dilakukan dalam bentuk transformasi. Untuk mempermudah memahami
perhitungan penampang beton komposit, diambil contoh penampang jembatan yang terdiri dari
girder pracetak dan pelat dek yang memiliki mutu yang berbeda. Langkah-langkah yang harus
dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Penentuan lebar pelat dek (flens penampang komposit) efektif


2. Tentukan lebar transformasi pelat dek efektif

b Ec , g
btr dengan n
n Ec ,d
dimana:
b adalah lebar pelat dek efektif yang dihitung berdasarkan langkah 1
btr adalah lebar transformasi pelat dek efektif

n adalah rasio modular dari komponen penampang komposit yang ditinjau


E c, g adalah modulus elastisitas girder pracetak (MPa)

E c, d adalah modulus elastisitas pelat dek (MPa)

3. Hitung penampang komposit


Setelah melakukan transformasi pada lebar pelat dek maka perhitungan penampang
komposit ditentukan seperti halnya penampang non komposit. Sebagai catatan saja,
umumnya apabila tegangan yang terjadi pada serat teratas pelat melebihi modulus retak f r
maka dalam perhitungan properti penampang komposit, pelat dek dapat diabaikan (beton
tidak efektif) namun tulangan pada pelat dek dapat dianggap berkontribusi kecuali pelat juga
diberi gaya prategang

(i) Beton pelat dek efektif


Komponen A yb A × yb yb - Ycb A × (yb - Ycb)2 Io
Girder
Pelat Dek

Jumlah Ai (Ai × ybi) Ai ×(ybi × Ybi)2 Ioi


(ii) Beton pelat dek tidak efektif
Komponen A yb A × yb yb - Ycb A × (yb - Ycb)2 Io
Girder
Tulangan
As’/n Io/n
Atas Dek
Tulangan
As/n Io/n
Bawh Dek

Jumlah Ai (Ai × ybi) Ai ×(ybi × Ybi)2 Ioi

Luas area penampang komposit dihitung sebagai:


Ac Ai
i

Jarak titik berat penampang komposit dari serat terbawah girder


Ai y bi
i
Yb
Ai
i

Jarak titik berat penampang komposit dari serat teratas girder


Yt h Yb
Jarak titik berat penampang komposit dari serat teratas pelat dek
Yts h Yb t
Momen inersia penampang komposit
2
Ic I oi Ai y i Ybi
Radius girasi penampang komposit

rc I c Ac
Modulus penampang komposit terhadap serat terbawah girder
Ic
S cb
Yb
Modulus penampang komposit terhadap serat teratas girder
Ic
S ct
Yt
Modulus penampang komposit terhadap serat teratas pelat dek
Ic
S cst
Yts
Gaya Prategang Efektif

Gaya prategang yang terjadi akibat kehilangan prategang disebut Gaya Pretegang Efektif.
Gaya prategang efektif yang umum ditinjau dalam perencanaan adalah gaya prategang efektif
awal dan gaya prategang efektif final dimana yang pertama adalah akibat kehilangan prategang
seketika dan yang kedua adalah akibat kehilangan prategang total yaitu penjumlahan dari
kehilangan prategang seketika dan kehilangan prategang jangka panjang. Dengan demikian
gaya prategang efektif diberikan oleh:

Pi f pi A ps (1)

Pe f pe A ps (2)

dimana:
Pi adalah gaya pategang efektif awal setelah kehilangan prategang seketika

Pe adalah gaya pategang efektif final setelah kehilangan prategang total

f pi adalah tegangan pada tendon setelah kehilangan prategang seketika

f pe adalah tegangan pada tendon setelah kehilangan prategang total

A ps adalah luas tendon

Tegangan pada tendon setelah kehilangan prategang seketika diberikan oleh:


f pi f pj f pST (3)

dan tegangan pada tendon setelah kehilangan prategang total diberikan oleh:
f pe f pj f pT (4)

dengan
f pT f pST f pLT (5)

Dengan substitusi persamaan (3) dan (5) ke persamaan (4), tegangan pada tendon setelah
kehilangan prategang total dapat ditulis menjadi:
f pe f pi f pLT (6)

dimana:
f pj adalah tegangan jacking yang diberikan 0.75 f pu

f pT adalah kehilangan prategang total

f pST adalah kehilangan prategang jangka pendek

f pLT adalah kehilangan prategang jangka panjang


Kehilangan Prategang

Seperti sudah disebutkan di atas, kehilangan prategang total terdiri dari kehilangan prategang
jangka pendek dan kehilangan prategang jangka panjang. Tipe kehilangan prategang tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Kehilangan prategang jangka pendek
Perpendekan Elastik (Elastic Shortening) f pES

Friksi (Friction) f pF

Pergeseran Dudukan Angkur (Anchorage Seating) f pA


2. Kehilangan prategang jangka panjang
Relaksasi Tendon (Relaxation of Tendon) f pR

Susut (Shrinkage) f pSH

Rangkak (Creep) f pCR

Kehilangan prategang yang terjadi pada suatu beton prategang bergantung kepada metoda
pelaksanaannya. Tabel 1 menunjukkan tipe kehilangan prategang terjadi pada metoda Pre
Tension dan Post Tension.

Tabel 10 – Kehilangan prategang pada pretension dan posttension

Berdasarkan Tabel 10 di atas maka kehilangan prategang total pada pretension adalah
f pT f pES f pR f pSH f pCR (7)

dan kehilangan prategang total pada posttension adalah


f pT f pA f pF f pES f pR f pSH f pCR (8)
Kehilangan prategang baik jangka pendek maupun jangka panjang dapat ditentukan dengan
dua (2) cara yaitu:
Lump Sump atau Aproksimasi
Cara Eksak (Semi Empirik)
Cara lump sum ataupun aproksimasi umumnya hanya dapat digunakan apabila memenuhi
persyaratan tertentu karena metoda ini diturunkan berdasarkan pengalaman dan dirumuskan
pada peraturan maupun standar yang berlaku dengan tujuan untuk dapat digunakan pada
perencanaan awal sehingga jumlah maupun profil tendon dapat ditentukan secara kasar
sebelum dianalisis dengan cara eksak untuk mendapatkan hasil perencanaanyang optimum.

Kehilangan Prategang Jangka Pendek

1. Kehilangan prategang akibat perpendekan elastik


a) Pretension
Sesuai prosedur pelaksanaan, pada pretension, kehilangan prategang akibat
perpendekan elastik terjadi pada seluruh strand karena proses penarikan tendon sudah
dilakukan secara simultan sebelum pengecoran beton dilakukan dan diasumsikan
pemotongan strand dari abutment juga dilakukan secara simultan. Dengan demikian
seluruh strand akan mengalami kehilangan prategang yang sama akibat perpendekan
elastik.
Perpendekan elastik pada suatu batang yang diberi gaya tekan uniaksial ditunjukkan
Gambar 28.

Gambar 28 – Perpendekan elastik aibat gaya prategang

Regangan elastik yang terjadi pada batang tersebut diberikan sebagai:

ES
ES
L
Dari mekanika bahan diketahui:
fc Pi
ES
Ec AEc
Kehilangan prategang akibat perpendekan elastik diberikan sebagai:
E ps Pi E ps
f pES E ps ES fc (9)
AEc Ec

fc adalah tegangan tekan yang terjadi pada beton akibat gaya prategang

Untuk tendon dengan eksentrisitas maka tegangan tekan yang terjadi pada beton pada
level tendon akibat gaya prategang dan berat sendiri adalah

Pi e2 M De
f cs 1 (10)
A r2 I

f cs adalah tegangan tekan yang terjadi pada beton pada level tendon akibat gaya

prategang dan berat sendiri.

b) Posttension
Pada posttension, perpendekan elastik yang terjadi bergantung kepada tahapan
penarikan dimana tendon atau grup tendon yang ditarik paling pertama akan
mengalami kehilangan tegangan paling besar sedangkan yang ditarik paling terakhir
tidak akan mengalami kehilangan prategang. Secara matematis kehilangan prategang
akibat perpendekan elastik pada posttension diberikan sebagai:

1 N 1
N i E ps
f pES f cs (11)
N i 1 N 1 Ec
dimana:
N adalah jumlah tendon atau pasangan tendon yang ditarik bersama

2. Kehilangan prategang akibat friksi


Kehilangan prategang akibat friksi yang diberikan disini adalah untuk bonded internal
posttension yang merupakan jumlah dari kehilangan prategang akibat pengaruh kurvatur
(curvature effect) dan pengaruh duct yang tidak stabil diposisinya (wobble effect). Untuk
external posttension dapat mengacu kepada AASHTO LRFD Bridge Design.
Gambar 29 – Kehilangan prategang akibat friksi (a) alinyemen tendon (b) Gaya pada
elemen infinitesimal (c) Poligon gaya yang bekerja pada elemen infinitesimal

Berdasarkan pologon gaya pada Gambar 2(c) maka dapat diturunkan persamaan
kehilangan prategang akibat friksi sebagai berikut:

Pengaruh kurvatur
Dari persamaan keseimbangan
F1 F2 Pf 0 (12a)

dengan
F2 F1 dF1 (12b)
Sehingga diperoleh
dF1 Pf (12c)

dimana
Pf F1d (12d)

Substitusi persamaan (12d) ke (12c) diperoleh


dF1 F1 d (12e)

dF1
d (12f)
F1
Integralkan kedua suku pada persamaan (12f) dengan batasan sudut 0 sampai
Fx
dF1
d (12g)
Fo
F1 0

diperoleh
Fx
log e F1 F0
(12h)

atau
Fx
ln (12i)
Fo
Persamaan (12i) dapat ditulis menjadi
Fxc Fo e (12j)

Pengaruh wobble
Dari persamaan keseimbangan
dx
F1 F2 KPf 0 (12k)
d
dengan
F2 F1 dF1 (12l)
Sehingga diperoleh
dx
dF1 KPf (12m)
d
dimana
Pf F1d (12n)

Substitusi persamaan (12n) ke (12m) diperoleh


dF1 KF1dx (12o)

dF1
Kdx (12p)
F1
Integralkan kedua suku pada persamaan (12p) dengan batasan jarak 0 sampai x
Fx x
dF1
Kdx (12q)
Fo
F1 0

diperoleh
Fx
log e F1 F0
Kdx (12r)

atau
Fx
ln Kx (12s)
Fo
Persamaan (12s) dapat ditulis menjadi
Fxw Fo e Kx
(12t)

Kehilangan prategang akibat friksi adalah total dari kehilangan prategang akibat friksi
ditentukan sebagai
Fo Fxc Fxw
f pF (13a)
Aps
Substitusi persamaan (12j) dan (12t) ke persamaan (13a) diperoleh
Kx
Fo Fo e Fo Kx
f pF 1 e (13b)
Aps A ps
dan
Fo Pj f pj A ps (13c)

substitusi persamaan (13c) ke persamaan (13b) diperoleh


Kx
f pF f pj 1 e (14)

dimana:
adalah koefisien kurvatur

K adalah koefisien wobble


x adalah jarak dari titik pengangkuran dimana kehilangan prategang ingin diperoleh
adalah sudut tangensial dari tendon terhadap sumbu memanjang horizontal dari tendon

Koefisien kurvatur dan koefisien wobble bergantung kepada tipe duct yang digunakan dan
harus ditentukan berdasarkan pengujian namun utnuk keperluan perencanaan,
rekomendasi nilai koefisien berikut dapat digunakan:

- American Concrete Institute (ACI) dan Post Tensioning Institutte (PTI)


- American Association of State Highway and Transportation Official (AASHTO)

3. Kehilangan prategang akibat pergeseran dudukan angkur


Pada saat proses penarikan tendon, wedge akan mengalami slip sebelum terkunci didalam
kepala angkur. Dengan demikian terdapat kehilangan prategang akibat perpendekan yang
terjadi pada tendon oleh karena angkur yang mengalami slip tersebut.

Gambar 30 – Variasi gaya tendon sebelum dan sesudah slip angkur

Kehilangan prategang akibat slip angkur diberikan sebagai:

A
f pA E ps (15)
Lset
dimana:

A adalah slip yang terjadi pada angkur

Lset adalah panjang pengaruh dari slip angkur

Besarnya nilai slip ini dapat berbeda-beda bergantung kepada sistem prategang yang
digunakan. Rentang nilai slip yang umum adalah antara 1.5 mm – 9.5 mm. Untuk angkur
tipe wedge umumnya berada antara 4 mm – 9.5 mm. Namun untuk perencanaan awal nilai
6.25 mm dapat digunakan kecuali ditentukan .
Dari Gambar 3 dapat ditentukan nilai Lset dimana pada saat x = Lset maka

Fx Fx' (16a)

dengan
Fx Fxc Fxw (16b)

Subtitusi persamaan (12j) dan (12t) diperoleh


Kx
Fx Pj e (16c)

Diasumsikan pada say x = Lset. Akibat slip angkur gaya jacking berkurang menjadi yaitu
menjadi
f pA Aps
Pj PpA Pj (16d)
2
Sepanjang Lset , gaya prategang pada tendon yang terjadi adalah pengaruh dari kurvatur

dan wobble untuk negatif dari kurvatur dan wobble pada perhitungan untuk friksi jadi
Fx' Pj PpA e Kx
(16e)

Substitusi persamaan (16c) dan (16e) ke persamaan (16a)


KLset KL set
Pj e Pj PpA e (16f)

Dengan penyederhanaan maka dapat diperoleh


KLset
e
Pj KLset
Pj PpA
e
2 KLset
Pj e Pj PpA (16g)

Dari Gambar 3 pada x = Lset


0.5 PpA f pA A ps

PpA 2 f pA A ps (16h)

Subtitusi persamaan (15) ke persamaan (16h) diperoleh


2 A Aps E ps
PpA (16i)
Lset
Subtitusi persamaan (16i) ke persamaan (16g) diperoleh

2 KLset
2 A A ps E ps
Pj e Pj
Lset

2 KL set
2 A Aps E ps
Pj e 1 0 (16j)
Lset

Jika diketahui e x 1 x maka persamaan (16j) dapat ditulis menjadi


2 A Aps E ps
2 Pj KLset 0
Lset
2 Pj KLset PpA (16g)

Subtitusi persamaan (16i) ke persamaan (16g) diperoleh


2 A Aps E ps
2 Pj KLset
Lset

2 A Aps E ps
KLset Lset 0 (16h)
Pj
Panjang Lset dapat ditentukan dari persamaan (16j) namun solusi lebih sederhana dapat
dilakukan untuk persamaan (16h) dengan menggunakan persamaan abc. Solusi iteratif
untuk mendapatkan nilai Lset adalah sebagai berikut:
1) Asumsikan nilai awal = dy/dx saat x = 0
2) Hitung Lset dari persamaan (16h) dengan menggunakan persamaan abc yaitu

b b2 4ac
Lset dimana
2a
a K
b

A Aps E ps
c
Pj
3) Setelah Lset dari langkah ke-2 diperoleh hitung kembali = dy/dx saat x = Lset
4) Dengan nilai yang baru hitung kembali nilai Lset sesuai langkah 2)
5) Iterasi langkah 2) sampai 4) dilakukan sampai nilai Lset konvergen

Sudut dapat ditentukan sebagai berikut:


Draped Tendon

0 x L1 L1 x L2

1 e1 e2 e1 e2 1 e3 e2 e3 e2
1 sin 2 sin
L1 180 L1 L2 180 L2
Tendon Parabolic

0 x L
yx ax 2 bx c
d
yx 2ax b
dx
2e1 4e 2 2e 3
a
L2
3e1 4e 2 e3
b
L
c e1
Nilai e1 , e2 dan e3 positif kalau ada dibawah C.G.C dan negatif kalau ada dibawah C.G.C
Kehilangan Prategang (Prestress Loss)

Kehilangan Prategang Jangka Panjang

1. Kehilangan prategang akibat relaksasi tendon


Dengan berjalannya waktu, tendon yang mengencang akan mengalami pengenduran atau
relaksasi. Besarnya kehilangan prategang akibat tendon yang mengendur ini bergantung
kepada rasio tegangan awal terhadap tegangan leleh tendon.
Penentuan besarnya kehilangan prategang akibat relaksasi tendon umumnya mengacu
kepada studi dari Magura et al(1962). Beberapa metoda semi empirik dapat juga digunakan
untuk mengestimasi besarnya kehilangan prategang akibat relaksasi tendon antara lain
adalah berdasarkan metoda dari Joint ACI-ASCE Committee 323.
Metoda Magura et al
Dari hasil studi Magura et al untuk stress relieve strand diperoleh persamaan berikut
untuk menentukan besarnya kehilangan prategang.

f pR log t 2 log t1 f pi
1 0.55 (17)
f pi 10 f py

dimana:
f pR adalah tegangan yang terjadi pada tendon sesudah kehilangan prategang akibat
relaksasi
f pi adalah tegangan yang terjadi pada tendon sesudah kehilangan prategang seketika

t1 dan t 2 adalah kurun waktu dimana relaksasi akan ditinjau (dalam satuan jam)
Dengan demikian kehilangan prategang akibat relaksasi tendon adalah
f pR f pi f pR (18a)

log t 2 log t1 f pi
f pR f pi 0.55 (18b)
10 f py

Kehilangan prategang akibat relaksasi dapat juga dihitung setelah kehilangan prategang
akibat susut dan rangkak terjadi sehingga persamaan (18b) dapat ditulis menjadi

' log t 2 log t1 f pe'


f pR f pe 0.55 (18c)
10 f py

dimana:
f pe' adalah tegangan yang terjadi pada tendon sesudah kehilangan prategang

seketika dan kehilangan prategang akibat susut dan rangkak


Untuk low relaxation strand kehilangan prategang akibat relaksasi diberikan dengan
mengganti angka 10 dengan angka 45 pada persamaan (18c) sehingga diperoleh
persamaan :

' log t 2 log t1 f pe'


f pR f pe 0.55 (18d)
45 f py

Metoda Joint ACI-ASCE Committee 323


Berdasarkan hasil studi ACI-ASCE Committee 323 diberikan rekomendasi persamaan
kehilangan prategang akibat relaksasi dengan memperhitungkan pengaruh susut dan
rangkak dan perpendekan elastic sebagai berikut:
f pR C K re J f pES f pCR f pSH (19)

Nilai Kre, J ditentukan berdasarkan tabel berikut

Nilai C ditentukan berdasarkan tabel berikut


2. Kehilangan prategang akibat susut
Susut merupakan perilaku material yang mengalami pengurangan volume dengan
beriringnya waktu pada temperatur tetap (constant temperature). Komponen susut yang
utama adalah susut kering (drying shrinkage). Untuk keperluan kehilangan prategang dan
lendutan perlu diketahui berapa besar regangan susut ( sh) yang terjadi. Ada beberapa
model matematik yang banyak digunakan dalam penentuan regangan susut yaitu:
- ACI 209
- CEB Model Code 1990-1999
- Bazant-Bajewa B3
- GL 2000
Dari beberapa model di atas untuk memprediksi regangan susut. CEB Model Code 1990-
1999 paling banyak digunakan dalam dunia konstruksi khususnya konstruksi jembatan.
Namun berdasarkan hasil studi dari RILEM (International Union of Laboratories and
Experts In Construction Materials, Systems and Structures), model Bazant-Bajewa B3 dan
GL 2000 menunjukkan prediksi yang terbaik sedangkan untuk regangan rangkak, model
Bazant-Bajewa B3, GL 2000 dan CEB Model Code 1990-1999 memberikan prediksi yang
sama-sama akurat. Khusus untuk ACI 209 tidak direkomendasikan untuk digunakan dalam
perhitungan susut dan rangkak.
CEB Model Code 1990-1999 dengan modifikasi terhadap perhitungan regangan susutnya
yang akan diberikan pada kuliah ini. Untuk model yang lain dapat dibaca pada ACI 209.2R-
08 “Guide for Modeling and Calculating Shrinkage and Creep in Hardened Concrete”
atau referensi lain yang relevan.

Kehilangan prategang akibat susut diberikan oleh persamaan sebagai berikut:


f pSH sh t E ps (20)

Berdasarkan CEB 90, regangan susut sebagai fungsi waktu diberikan oleh persamaan:

sh t cso s t, d (21)

dimana:

cso adalah regangan susut dasar

d adalah waktu dimana susut dimulai

s t, d adalah koefisien pengembangan susut antar rentang waktu d sampai dengan t

Regangan susut dasar diberikan oleh persamaan:

cso s f cm 28 RH h (22)

dengan
f cm 28 6
s f cm 28 160 10 sc 9 10 (23)
f cmo

dan
3
h
RH h 1.55 1 untuk 0.4 h 0.99 (24a)
ho

RH h 0.25 untuk h 0.99 (24b)

dimana:
adalah konstan yang bergantung pada jenis beton dimana untuk wilayah Indonesia
direkomendasikan untuk menggunakan nilai 1.2

sc adalah konstan yang bergantung pada tipe semen yang digunakan seperti diperlihatkan

pada tabel berikut

Semen tipe N & R dapat dianggap ekivalen dengan tipe semen I & III dari ASTM yang
menjadi acuan di Indonesia.
Persamaan untuk koefisien pengembangan susut diberikan sebagai
0.5
t d t1
s t, d 2
(25)
350 V S V S o t d t1

dimana:
f cmo = 10 MPa

f cm 28 diberikan sebagai minimum (1.2 fc28’ atau fc28’ + 8)

ho adalah humiditas relatif dasar dan diambil sebesar 100%


h adalah humiditas relatif (%)
V S o = 50

V S adalah rasio volume terhadap luas penampang yang terekspos


t1 = 1 hari
Rasio volume terhadap luas dapat dihitung sebagai berikut:
2 Ac
V S (26)
u
dimana:
Ac adalah luas penampang beton
u adalah keliling penampang beton yang terekspos dengan udara luar

Persamaan-persamaan di atas adalah valid untuk temperatur diantara 5-30o C dengan


humiditas relatif yang berkisar antara 40-100% dan kuat tekan silinder beton 20-90 MPa.

3. Kehilangan prategang akibat rangkak


Kehilangan prategang akibat rangkak diberikan oleh:
f pCR cr t E ps (27)

Regangan rangkak terjadi akibat tegangan yang terjadi pada beton sehingga regangan
rangkak berhubungan dengan regangan elastik dari beton itu sendiri.
Berdasarkan CEB 90, regangan rangkak diberikan oleh

c
cr t 28 t, (28)
E cm 28
dimana:

28 t, adalah koefisien rangkak yaitu rasio antara regangan rangkak sejak waktu

pembebanan terhadap regangan elastik akibat beban konstan pada waktu umur beton
adalah 28 hari
adalah waktu dimana pembebanan dimulai (hari)
t adalah waktu dimana regangan rangkak ingin ditinjau (hari)

s t, d adalah koefisien pengembangan rangkak antar rentang waktu sampai dengan t

Koefisien rangkak diberikan oleh persamaan:

28 t, o c t, (29)

dengan

o RH h f cm 28 (30)

1 h ho
RH h 1 1 2 (31)
3 0. 1 V S V S o

0.7
3.5 f cmo
1 (32)
f cm 28
0.2
3.5 f cmo
2 (33)
f cm 28

5.3
f cm 28 (34)
f cm 28 f cmo

1
(35)
0.1 t1
0.3
t t1
c t, (36)
H t t1
18
H 150 1 1.2 h ho V S V S o 250 3 1500 3

0.5
3.5 f cmo
1
f cm 28

Persamaan-persamaan di atas adalah valid untuk tegangan tekan yang terjadi tidak lebih
dari 0.6 fc’.

Kehilangan Prategang Metoda Pendekatan dan Lump Sum

Untuk keperluan perencanaan awal metoda yang pendekatan diperlukan agar dapat mengetahu
beraoa kehilangan prategang yang terjadi pada tendon. Metoda-metoda ini umumnya diberikan
pada peraturan ataupun standar-standar perencanaan yang berlaku.

1. Metoda pendekatan AASHTO LRFD Specification 1999


Metoda pendekatan yang pertama kali diberikan pada spesifikasi jembatan adalah
berdasarkan AASHTO LRFD 1999. Perhitungan kehilangan prategang ini ditentukan sesuai
tabel di bawah ini dimana kehilangan prategang bergantung kepada tipe penampang
balok/girder dan jenis tulangan prategang yang digunakan.
Note: satuan US

Persamaan kehilangan prategang juga memasukan pengaruh parsial tulangan biasa yang
diberikah oleh factor PPR yaitu sebagai berikut:
Aps f py
PPR (37)
A ps f py As f y
dimana:
Aps = luas tendon
As = luas tulangan biasa
fpy = tegangan leleh strand
fy = tegangan leleh tulangan biasa
1 ksi = 6.89476 MPa

2. Metoda lump sum AASHTO Standard Specification 2005


Untuk jembatan pada umumnya dimana menggunakan beton mutu normal dan tidak
dikerjakan secara segmental AASHTO Standard Specification 2005 memberikan nilai
kehilangan prategang lump sum sebagai berikut:

Note: untuk post tensioning, lump sum loss tidak termasuk kehilangan prategang akibat
friksi
3. Metoda lump sum PTI
Untuk prategang dengan cara post tension, Post Tensioning Institute (PTI) juga
merekomendasikan kehilangan prategang lump sum sebagai berikut

Note: lump sum loss tidak termasuk kehilangan prategang akibat friksi

4. Metoda pendekatan AASHTO LRFD Bridge Design Specification 2012


Untuk jembatan PC Girder, AASHTO LRFD Bridge Design Specification 2012
menggunakan persamaan pendekatan sebagai berikut untuk kehilangan prategang yang
bergantung waktu.
10 f pj Aps
f pLT h st 82.75 h st 16.55 untuk low relaxation strand
Ac
10 f pj Aps
f pLT h st 82.75 h st 68.95 untuk stress relieved strand
Ac

h 1.7 0.01h
34.5
st
6.895 f ci '
dimana:
fpj = tegangan jacking (MPa)
h = humiditas relatif rata-rata (%)
h = faktor koreksi untuk humiditas relatif
st = faktor koreksi untukkuat tekan beton saat transfer
Aps = luas tendon total (mm2)
Ac = luas penampang beton (mm2)

5. Metoda lump sum untuk analisis awal dari TY Lin


Untuk kebutuhan praktis terutama saat preliminary design, TY Lin memberikan estimasi
kehilangan prategang dalam bentuk prosentase dari jacking stress (fpj) untuk low relaxation
strand dan tegangan beton akibat prategang Pj/Ac yang normal yaitu antara (1.7 MPa – 6.9
MPa) yaitu sebagai berikut:

LOSSES PRETENSIONING, % POSTTENSIONING,%

Elastic Shortening 4 1

Creep 6 5

Shrinkage 7 6

Relaxation 8 8

Total 25 20

Pj/Ac < 1.7 MPa 18 15

Pj/Ac > 6.9 MPa 30 25

Note: u/ posttensioning, lump sum loss tidak termasuk kehilangan prategang akibat friksi

6. Metoda lump sum ACI-ASCE


Untuk desain praktis dari struktur-struktur sederhana ACI-ASCE merekomendasi batasan
maksimum kehilangan prategang

Anda mungkin juga menyukai