Material yang baik dalam memikul tekan seperti batu alam, bata dan diikuti dengan pengunaan
beton dan juga beton mutu tinggi. Selanjutnya diikuti dengan material yang baik dalam memikul
tarik, seperti bambo, tali, batangan besi, kawat baja hingga baja dengan mutu tinggi. Yang
ketiga adalah kemampuan material struktur dalam memikul beban tekan dan juga tarik seperti
kayu, baja struktural, beton bertulang dan perkembangan beton prategang.
Contoh dari pada konsep prategang dapat dilihat pada Gambar 1, dimana sebuah tong kayu
yang digunakan untuk mengisi air dan diikat dengan sabuk besi dimana prategang dapat terjadi
secara pasif maupun aktif.
Prategang pasif apabila, sabuk besi yang diikat tidak dikencangkan pada awalnya. Untuk
kasus ini, apabila tong kayu dalam kondisi kosong, penggunaan sabuk besi tidak ada
manfaatnya. Namun setelah tong kayu diisi air, tekanan hidrostatik air akan mendorong tong
kayu kesegala arah dimana akibat dorongan tersebut sabuk besi akan mengalami gaya
kekangan sedemikian sehingga terjadi keseimbangan antara gaya kekangan dan gaya
hidrostatik air. Sabuk besi harus tentu saja harus mampu memikul gaya kekangan tersebut.
Apabila sabuk besi tidak mampu memikul gaya kekangan yang terjadi, tong kayu tidak akan
mampu memikul gaya hidrorostatik dan terlepas satu sama lain sehingga terjadi kebocoran.
Prategang aktif apabila sabuk besi yang diikat sudah dikencangkan pada awalnya. Untuk
kasus ini, sebelum air diisi, gaya kekangan sudah bekerja pada tong kayu sehingga kayu yang
sayu akan memberikan gaya tekan pada kayu-kayu disebelahnya yang membuat tong kayu
menjadi lebih rapat dibandingkan dengan kasus pretegang pasif sebelumnya.
Pada prakteknya, lantai-lantai busur dari blok batu/beton ini mengalami kegagalan dikarenakan
gaya prategang yang diberikan diawal akan hilang dengan berjalannya waktu. Sehingga gaya
gesekan antar blok-blok tersebut akan hilang dan tidak mampu lagi memikul berat sendirinya.
G.R Steiner (USA, 1908) menyadari terjadinya kehilangan gaya prategang ini dan menyarankan
sistem pengencangan ulang yang dipatenkan olehnya dengan menggunkan turn-buckle untuk
tangki silider yang terbuat dari beton seperti diperlihatkan pada Gambar 3.
Gambar 3 – Sistem turn-buckle untuk pengencangan kawat baja pada tangki air
Walaupun cukup sukses secara komersil, paten dari G. R Steiner ini tidak mampu memberikan
penyelesaian yang lebih sederhana akibat kehilangan gaya prategang yang terjadi. Metoda
pengencangan ulang pada dasarnya membutuhkan pekerjaan perawatan dan pengamatan dan
tidak aplikatif untuk struktur-struktur yang lain.
R.E Dill (USA, 1925) yang pertama menyadari kehilangan gaya prategang akibat pengaruh
susut dan rangkak. Beliau yang mengusulkan penggunaan baja mutu tinggi untuk
mengkompensasi kehilangan prategang yang terjadi dengan berjalannya waktu. Dengan
penggunaan baja mutu tinggi ini, maka proses pengencangan kembali pada dasarnya tidak
diperlukan.
E. Freyssinet (Perancis, 1926) adalah yang pertama melakukan terobosan terhadap
penggunaan baja mutu tinggi dimana salah satu paten yang dibuat adalah kawat baja dengan
mutu mencapai 1725 MPa. Freysinnet juga yang mematenkan teknologi wedge anchor yang
digunakan secara luas sampai sekarang. Proyek pionir jembatan beton prategang yang dibuat
oleh Freysinnet adalah Jembatan Marne dengan panjang 55 m (1941) yang ditunjukkan pada
Gambar 4.
Kemajuan teknologi beton pada era ini memungkinkan jembatan beton prategang untuk
memiliki panjang bentang yang beberapa kali lebih panjang dibanding jembatan yang dibangun
pada era Freyssinet. Jembatan beton prategang dengan bentang terpanjang saat ini adalah
Jembatan Stolma di Norwegia dengan panjang bentang yaitu 301 m seperti diperlihatkan pada
Gambar 5. Pada perencanan jembatan ini, beton ringan mutu tinggi (lightweight high strength
concrete) digunakan dengan kombinasi prategang.
Gambar 5 – Jembatan Stolma pada saat konstruksi
Konstruksi struktur beton dengan memanfaat teknologi prategang bukan hal yang baru di
Indonesia. Teknologi prategang sudah digunakan pada konstruksi Jembatan Rantau Berangin
untuk menyebrangi Sungai Batanghari, Propinsi Riau ditahun 1974. Jembatan Rantau Berangin
ini merupakan jembatan beton menerus dengan metoda konstruksi tipe segmental free
cantilever, lihat Gambar 6. Panjang bentang total adalah 201 m dengan bentang tengah yaitu
121 m dan dua bentang samping yaitu 40 m. Sebagai perencana adalah NV IBIS dari Belanda
dengan kontraktor pelaksana yaitu Waskita Karya dengan Prof. Dr. Ir. Roosseno
Soerjohadikoesoemo sebagai penasehat.
Gambar 9.2 Posisi tendon dan tulangan pada beton prategang (model)
Gambar 9.3 Girder jembatan prategang dengan metoda pre-tension
Konsep dasar pada beton prategang dibagi menjadi tiga (3) rumusan sebagai berikut:
3. Gaya prategang bekerja sebagai beban penyeimbang (Load Balancing) dari beban
luar yang bekerja
Gaya prategang bertujuan untuk memberikan tegangan tekan awal pada bagian beton
bertulang yang akan mengalami tarik nantinya. Dengan demikian gaya prategang
bekerja untuk melawan beban luar yang bekerja. Tabel 1 menunjukkan persamaan
beban penyeimbang dari gaya prategang dengan beberapa bentuk profil tendon
R 0
4 P cos e
R
L
8 P cos e
R
L2
e1 e 2 cos 1 e3 e 2 cos 2
R P
L1 L2
e1 e 2 cos 1 e3 e 2 cos 2
R P 2 2
L1 L2
Kelebihan dari beton prategang apabila dibandingkan dengan beton bertulang dirangkum pada
Tabel 2
2 Memiliki rasio panjang bentang terhadap Memiliki rasio panjang bentang terhadap
tinggi penampang yang lebih besar : tinggi penampang yang lebih kecil
- ekonomis untuk bentang panjang - tidak ekonomis untuk bentang panjang
karena dapat mengurangi berat sendiri
- penampang bisa dibuat lebih ramping
sehingga terlihat lebih estetik
Kekurangan dari beton prategang apabila dibandingkan dengan beton bertulang dirangkum
pada Tabel 3.
Mekanisme transmisi gaya prategang setelah penarikan tendon pada dasarnya bergantung
pada metoda pelaksanaan yang diipilih. Metoda pelaksanaan dalam pekerjaan beton prategang
umumnya dibagi menjadi dua (2) cara yaitu :
a. Pre Tension
(a)
(b)
(c)
Gambar 10 – Metoda pelaksanaan pre tension
Keterangan:
(a) Tendon yang disiapkan, diangkur ke abutment kemudian ditarik
(b) Beton dicor kebekisting yang sudah disiapkan,
(c) Setelah beton mencapai umur ang diinginkan, tendon dipotong sedemikian sehingga
terjadi transmisi gaya prategang terjadi dari tendon ke beton
Dari Gambar 10 terlihat bahwa pada Pre Tension, tendon sudah ditarik sebelum beton
dicor. Dengan demikian saat beton dicor, strand baja dalam tendon sudah mengalami
pengurangan ukuran diameternya akibat pengaruh angka poisson dari gaya tarik yang
diberikan pada strand. Dengan asumsi terjadi ikatan antara strand dan beton, maka saat
tendon diputus dari abutment maka akibat pengaruh dari angka poisson, strand akan
mengembalikan ukuran diameternya seperti sebelum terjadi penarikan. Namun akibat
kekangan dari beton yang menyelimutinya, terjadi transfer gaya prategang dari strand ke
beton seperti diperlihatkan pada Gambar 11.
Gambar 11 – Transmisi gaya prategang pada pre tension
Dengan kekangan beton tersebut strand yang mengerucut (wedging) untuk mencegah
slip dengan beton disekitarnya yang disebut Hoyer’s effect. Panjang dimana pengaruh
Hoyer ini bekerja disebut panjang transmisi dimana pada ujung tendon tegangan yang
terjadi adalah nol dan mencapai maksimum pada akhir panjang transmisi seperti
diperlihatkan pada Gambar 12.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
Gambar 13 – Metoda pelaksanaan Post Tension
Keterangan:
(a) Tendon diposisikan dalam duct setelah itu beton dicor. Pada post tension, tendon belum
ditarik sampai pada saat beton yang dicor mencapai umur beton yang diinginkan.
(b) Kepala angkur dan wedge diposisikan dilokasi pengangkuran hidup yang diinginkan
(c) Anchor jack diposisikan didepan kepala angkur
(d) Tendon ditarik oleh anchor jack sehingga mengalami perpanjangan sampai pada
tegangan jacking yang diinginkan
(e) Setelah mencapai tegangan jacking yang diinginkan, wedge didorong kedalam kepala
angkur sampai mengunci strand (seating) lalu jack dilepas
Dari Gambar 13 terlihat bahwa pada post tension, tendon belum ditarik sampai beton yang
dicor sudah mencapai umur rencana yang diinginkan. Transmisi gaya prategang pada post
tension pada dasarnya mengandalkan prinsip yang sama dengan pre tension dimana
kebanyakan sistem post tension yang ada mengandalkan “wedge action” yang mengunci
strand sedemikian sehingga terjadi transmisi gaya prategang. Pada pre tension, transmisi
terjadi akibat friction antara tendon dengan beton disekitarnya sedangkan pada post tension
transfer gaya prategang terjadi dengan bearing reaction dimana strand akan menarik kepala
angkur kedalam sedemikian sehingga terjadi reaksi bearing antara bearing plate dengan
beton seperti ditunjukkan pada Gambar 14.
Beton merupakan material komposit yang terdiri dari agregat halus, agregat kasar dan pasta
semen dengan tambahan admixture untuk memodifikasi sifat dari material beton baik saat
kondisi segar (fresh concrete) dan kondisi keras (hardened concrete). Gambar 1 menunjukkan
potongan pada penampang beton keras.
1. Semen
Semen yang umum digunakan pada konstruksi adalah semen hidrolik. Yang dimaksud
dengan semen hidrolik adalah senyawa kimia pada semen yang dapat bereaksi dengan air
dengan mengeluarkan panas (hydration) dimana produk yang dihasilkan akan menjadi
tahan air (water resistant). Contoh dari semen hidrolik adalah Semen Portland (ASTM
C150).
Secara garis besar produksi Semen Portland proses kering dibagi dalam tiga (3) tahap
yaitu:
Pencampuran bahan mentah (Rawmix)
Pada tahap pencampuran, mineral mentah dari batu kapur dan lempung diaduk dalam
sebuah roller mill untuk kemudian ditampung sementara dalam blend silo sebelum
masuk dalam proses pemanasan awal.
Pemanasan (Heating)
Setelah itu dilakukan pemanasan hingga mencapai suhu > 1450 oC dalam rotary kiln
yang kadang disebut oven industri. Hasil dari proses pemanasan ini adalah bahan dasar
semen yang disebut clinker seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 16 – Clinker
Penggilingan (Grinding)
Clinker yang dihasilkan kemudian ditampung sementara pada clinker silo sebelum
masuk dalah proses penggilingan sehingga menjadi bentuk bubuk semen dan
ditampung sementara pada cement silo untuk kemudian dibungkus dan dikirim ke lokasi
konstruksi.
Dalam perencanaan beton prategang, sifat mekanis dari beton adalah beton pada kondisi
sudah mengeras (hardened concrete). Beberapa sifat mekanis yang perlu dipahami adalah
kuat tekan, modulus elastisitas modulus retak dan poisson ratio.
1. Kuat tekan
Kuat tekan beton ditentukan dari pengujian material. Pengujian yang umum dilakukan
adalah dengan uji silider ukuran 150x300 dan uji kubus ukuran 150x150x150 (ASTM C31 &
C39). Kuat tekan untuk perencanaan umumnya diambil adalah kuat tekan pada umur 28
hari. Kuat tekan pada umur dibawah 28 hari juga diperlukan yaitu waktu saat gaya
prategang akan ditransfer. Hasil pengujian tekan akan memberikan kurva tegangan-
regangan tipikal seperti diperlihatkan pada Gambar 17.
Gambar 17 – Kurva tegangan-regangan beton tipikal hasil uji tekan
Dari hasil eksperimen dapat diamati bahwa kuat tekan beton akan meningkat dengan
berjalannya waktu. Berhubungan dengan pengaruh susut dan rangkak (time dependent
effect) maka perlu diketahui kuat tekan beton pada umur t baik sebelum maupun sesudah
umur 28 hari.
ACI 209
ACI 209 memberikan persamaan kuat tekan sebagai fungsi dari waktu sebagai berikut:
- untuk Semen Portland Tipe I
t
f c' t f c' 28 (1)
4.0 0.85t
- untuk Semen Portland Tipe III
t
f c' t f c' 28 (2)
2.3 0.92t
dimana:
t = waktu dimana kuat tekan ingin diperoleh
Dalam pelaksanaan konstruksi pada umumnya variasi kuat tekan beton akan terjadi
sedemikian sehingga analisis riwayat waktu akibat susut dan rangkak harus harus dilakukan
berdasarkan nilai rata-rata (average/mean compressive strength). ACI 318 memberikan
persamaan kuat tekan rata-rata sesuai Tabel 4 atau Tabel 5 sebagai berikut:
Tabel 4 – Kuat tekan rata-rata apabila data pengujian tersedia sesuai ACI 318
Spesifikasi Kuat Tekan (MPa) Kuat Tekan Rata-Rata (MPa)
Terbesar dari (3) dan (4)
fc ’ 35 MPa f cr' f c' 1.34 s s (3)
Tabel 5 – Kuat tekan rata-rata apabila data pengujian tersedia sesuai ACI 318
Spesifikasi Kuat Tekan (MPa) Kuat Tekan Rata-Rata (MPa)
fc’ < 21 MPa f cr' f c' 7 (6)
dimana:
s s = standar deviasi dari sampel uji kuat tekan beton
Untuk keperluan desain, kurva tegangan-regangan yang diberikan pada Gambar 17 juga
dapat direpresentasikan dalam fungsi matematika. Persamaan tegangan-regangan yang
diadopsi pada peraturan beton Indonesia SNI-2847-2013 adalah sama dengan ACI 318
yaitu berdasarkan “Modified Hognestad” (1955) seperti ditunjukkan pada Gambar 18.
Note: f c " 0.9 f c'
Model kurva tegangan-regangan ini dapat digunakan untuk penentuan kapasitas momen
nominal penampang beton bertulang maupun beton prategang seperti ditunjukkan pada
Gambar 19.
(a) Penampang (b) Distribusi regangan (c) Distribusi tegangan (d) Gaya dalam
Model “Modified Hognestad” sendiri dapat disederhanakan berdasarkan ACI 318 menjadi
model kurva tegangan-regangan “Rectangular Whitney” seperti ditujukan oleh Gambar 9.
Distribusi tegangan Whitney hanya sesuai digunakan untuk kuat tekan fc’ 55 MPa. Untuk
beton mutu tinggi fc’ > 55 MPa, ACI ITG 4 merekomendasikan penggunaan faktor intensitas
tegangan 1 untuk menggantikan konstanta 0.85.
1
(a) Beton dengan fc’ 55 MPa (b) Beton dengan fc’ > 55 MPa
Gambar 20 – Distribusi tegangan Whitney
1 0.85 (13a)
- Untuk 28 MPa < fc’ 56 MPa
f c' 28
1 0.85 0.05 (13b)
7
- Untuk fc’ > 56 MPa
1 0.65 (13c)
1 0.85 (14a)
- Untuk fc’ > 55 MPa
2. Modulus Elastisitas
Modulus elastisitas beton yang diadopsi peraturan beton Indonesia (SNI) adalah kemiringan
berdasarkan secant modulus pada saat tegangan mencapai 0.45fc’ (ASTM C469) seperti
ditunjukkan pada Gambar 10.
fc’
0.45fc’
dimana:
wc = berat jenis beton (kg/m3) = 2200-2320 kg/m3 beton normal
Karena kuat tekan beton bertambah dengan berjalannya waktu maka modulus elastisitas
juga berubah dengan berjalannya waktu yang diberikan oleh persamaan sebagai berikut:
Ec t E c f c' t (16)
3. Modulus retak
Nilai modulus retak yang digunakan pada ACI 318 maupun SNI 2847 adalah sebagai
berikut:
- untuk beton dengan kuat tekan fc’ 42 MPa
fr 0.62 f c'
dimana:
adalah konstanta yang bergantung kepada berat jenis beton. = 1.0 untuk beton
normal dan = 0.75 – 0.85 untuk beton ringan
- untuk beton dengan kuat tekan fc’ > 42 MPa
fr f c'
4. Poisson ratio
SNI 2847 ataupun ACI318 mengijinkan nilai poisson ratio = 0 untuk keperluan desain
namun untuk analisis nilai poisson ratio yang direkomendasikan adalah = 0.2.
Produksi besi tulangan biasa adalah melalui proses hot-rolling. Tiap-tiap negara pada dasarnya
memiliki standar acuan tersendiri untuk baja tulangan biasa. Indonesia sendiri mempunyai
standar sendiri yaitu SNI 07-2052-2002 yang akan menjadi acuan dalam perkuliahan ini.
Bentuk tulangan bersirip/berulir SNI diberikan pada Gambar 11 dan ukuran beserta properti
tulangan SNI diberikan pada Tabel 6.
Jarak sirip max = 70 x d
b
Tinggi sirip min = 0.05 x db
Tinggi sirip max = 0.1 x db
3
Berat jenis = 7850 kg/m
2
Luas = 0.25 db
db = diameter nominal
Sesuai SNI, baja tulangan yang diproduksi harus ditandai dengan aturan sebagai berikut :
Note:
BJTS kadang ditulis BJTD
S atau D = sirip / deformed
P = polos
Dengan terjadinya kehilangan prategang maka dibutuhkan mutu yang lebih tinggi dari tulangan
biasa. Untuk itu proses pembuatan tulangan prategang pada dasarnya sedikit berbeda dari
tulangan biasa baik dari komposisi kimiawinya dan proses pembuatannya. Secara garis besar,
tulangan prategang yang umum dipakai dalam dunia konstruksi dibagi menjadi tiga (3) jenis
yaitu:
Uncoated steel wire (stress relieved & low relaxation) – ASTM A421
Uncoated steel strand (stress relieved & low relaxation) – ASTM A416
Uncoated high strength steel bar – ASTM A722
Untuk mendapatkan kehilangan prategang yang lebih kecil akibat pengaruh relaksasi maka
pada proses produksi, kawat/strand harus dipanaskan pada suhu yang tinggi sehingga tidak
terjadi tegangan sisa akibat proses pembuatan kawat/strand, proses ini disebut sebagai stress
relieving, sehingga kawat/strand yang dihasilkan adalah jenis kawat/strand stress relieved.
Apaila selama proses pemanasan kawat/strand ditarik maka proses yang terjadi disebut strain-
tempering, kawat yang dihasilkan adalah jenis kawat low relaxation.
Steel Wire
Properti kawat baja prategang sesuai dengan ASTM A421 adalah sebagai berikut:
- Tegangan leleh (Fpy) yang diukur dari hasil pengujian tarik adalah tegangan pada
offset regangan 1% namun tidak lebih kecil dari 0.85 x tegangan tarik minimum (Fpu).
- Kawat tipe BA untuk digunakan pada angkur jenis Button dan kawat tipe WA untuk
digunakan pada angkur jenis Wedge.
Steel Strand
Properti strand prategang sesuai dengan ASTM A416 adalah sebagai berikut:
- Mutu strand Gr250 Fpu = 1725 MPa dan Gr270 Fpu = 1860 MPa
- Tegangan leleh diukur pada 1% extension namun tidak boleh lebih kecil dari
tegangan leleh minimum sebagai berikut:
Fpy = 90% Fpu untuk low relaxation
Fpy = 85% Fpu untuk stress relieved
Hubungan Tegangan Regangan Tulangan Prategang
Kurva tegangan-regangan tulangan prategang tipikal untuk strand Gr250, strand Gr270 dan
tulangan baja prategang mutu tinggi diberikan pada Gambar 16. Nilai modulus elastisitas untuk
masing-masing jenis tulangan prategang dapat diambil sebagai berikut:
- Strand Eps = 197000 MPa
- Wire Eps = 200000 MPa
- Steel Bar Eps = 185000 MPa
Gambar 24 – Kurva tegangan-regangan strand Gr250, strand Gr270 dan tulangan Gr160
Model matematik kurva tegangan-regangan yang akan diberikan disini adalah untuk strand
Gr250 dan Gr270. Kurva tegangan-regangan strand umumnya dibagi menjadi dua area yaitu
area elastis dan area plastis seperti ditunjukkan pada Gambar 25.
Gambar 25 – Model matematik kurva tegangan-regangan strand prategang
Gr250
Untuk py
f E ps
Untuk py u
1.725
f 1725
Untuk keperluan perencanaan nilai regangan ultimit u dapat diambil sebesar 0.03
Gr270
Untuk py
f E ps
Untuk py u
0.276
f 1860
0.007
Nilai regangan leleh y dapat ditentukan melalui persamaan:
2
E ps py 1860 0.007 E ps py 13.31 0
Untuk keperluan perencanaan nilai regangan ultimit u dapat diambil sebesar 0.03
Penampang Beton Non Komposit dan Komposit
Gambar 27. menunjukkan kombinasi dari beberapa elemen struktur sehingga menjadi
penampang yang komposit yang juga dapat memiliki mutu yang berbeda. Pada konstruksi
jembatan yang umum, girder jembatan terbuat dari beton pracetak dan pelat dek jembatan
terbuat dari beton cor ditempat (cast in situ) yang dibuat dari mutu yang berbeda. Namun dapat
juga pelat dek terbuat dari struktur pracetak ataupun semi pracetak.
(a) Balok I Girder Komposit (b) Balok Super-T Girder Komposit
Gambar 27 – Bentuk penampang komposit
Untuk keperluan analisis tegangan pada penampang maka properti geometrik dari penampang
harus diketahui antara lain adalah sebagai berikut:
1. Pusat Gravitasi Penampang (C.G)
2. Luas Penampang (A)
3. Momen Inersia (I)
4. Modulus Penampang (S)
5.
Perhitungan property penampang non komposit diberikan pada tabel berikut ini:
rX IX A rY IY A
Ai X i
i
X CG X IX IX
Ai S X ,b S X ,t
i yb yt
Ai Yi IY IY
i S Y ,l S Y ,r
YCG Y xl xr
Ai
i
dimana:
I oX dan I oY adalah momen inersia dari penampang-penampang standar antara lain adalah:
Bentuk Penampang Momen Inersia
I oX I oY r4
4
bh 3
I oX
12
hb 3
I oY
12
bh 3
I oX
36
hb 3
I oY
36
Pada struktur yang nyata umumnya penampang disusun berdasarkan gabungan dari beberapa
penampang yang dapat memiliki mutu yang berbeda. Untuk kasus tersebut perhitungan
penampang harus dilakukan dalam bentuk transformasi. Untuk mempermudah memahami
perhitungan penampang beton komposit, diambil contoh penampang jembatan yang terdiri dari
girder pracetak dan pelat dek yang memiliki mutu yang berbeda. Langkah-langkah yang harus
dilakukan adalah sebagai berikut:
b Ec , g
btr dengan n
n Ec ,d
dimana:
b adalah lebar pelat dek efektif yang dihitung berdasarkan langkah 1
btr adalah lebar transformasi pelat dek efektif
rc I c Ac
Modulus penampang komposit terhadap serat terbawah girder
Ic
S cb
Yb
Modulus penampang komposit terhadap serat teratas girder
Ic
S ct
Yt
Modulus penampang komposit terhadap serat teratas pelat dek
Ic
S cst
Yts
Gaya Prategang Efektif
Gaya prategang yang terjadi akibat kehilangan prategang disebut Gaya Pretegang Efektif.
Gaya prategang efektif yang umum ditinjau dalam perencanaan adalah gaya prategang efektif
awal dan gaya prategang efektif final dimana yang pertama adalah akibat kehilangan prategang
seketika dan yang kedua adalah akibat kehilangan prategang total yaitu penjumlahan dari
kehilangan prategang seketika dan kehilangan prategang jangka panjang. Dengan demikian
gaya prategang efektif diberikan oleh:
Pi f pi A ps (1)
Pe f pe A ps (2)
dimana:
Pi adalah gaya pategang efektif awal setelah kehilangan prategang seketika
dan tegangan pada tendon setelah kehilangan prategang total diberikan oleh:
f pe f pj f pT (4)
dengan
f pT f pST f pLT (5)
Dengan substitusi persamaan (3) dan (5) ke persamaan (4), tegangan pada tendon setelah
kehilangan prategang total dapat ditulis menjadi:
f pe f pi f pLT (6)
dimana:
f pj adalah tegangan jacking yang diberikan 0.75 f pu
Seperti sudah disebutkan di atas, kehilangan prategang total terdiri dari kehilangan prategang
jangka pendek dan kehilangan prategang jangka panjang. Tipe kehilangan prategang tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Kehilangan prategang jangka pendek
Perpendekan Elastik (Elastic Shortening) f pES
Friksi (Friction) f pF
Kehilangan prategang yang terjadi pada suatu beton prategang bergantung kepada metoda
pelaksanaannya. Tabel 1 menunjukkan tipe kehilangan prategang terjadi pada metoda Pre
Tension dan Post Tension.
Berdasarkan Tabel 10 di atas maka kehilangan prategang total pada pretension adalah
f pT f pES f pR f pSH f pCR (7)
ES
ES
L
Dari mekanika bahan diketahui:
fc Pi
ES
Ec AEc
Kehilangan prategang akibat perpendekan elastik diberikan sebagai:
E ps Pi E ps
f pES E ps ES fc (9)
AEc Ec
fc adalah tegangan tekan yang terjadi pada beton akibat gaya prategang
Untuk tendon dengan eksentrisitas maka tegangan tekan yang terjadi pada beton pada
level tendon akibat gaya prategang dan berat sendiri adalah
Pi e2 M De
f cs 1 (10)
A r2 I
f cs adalah tegangan tekan yang terjadi pada beton pada level tendon akibat gaya
b) Posttension
Pada posttension, perpendekan elastik yang terjadi bergantung kepada tahapan
penarikan dimana tendon atau grup tendon yang ditarik paling pertama akan
mengalami kehilangan tegangan paling besar sedangkan yang ditarik paling terakhir
tidak akan mengalami kehilangan prategang. Secara matematis kehilangan prategang
akibat perpendekan elastik pada posttension diberikan sebagai:
1 N 1
N i E ps
f pES f cs (11)
N i 1 N 1 Ec
dimana:
N adalah jumlah tendon atau pasangan tendon yang ditarik bersama
Berdasarkan pologon gaya pada Gambar 2(c) maka dapat diturunkan persamaan
kehilangan prategang akibat friksi sebagai berikut:
Pengaruh kurvatur
Dari persamaan keseimbangan
F1 F2 Pf 0 (12a)
dengan
F2 F1 dF1 (12b)
Sehingga diperoleh
dF1 Pf (12c)
dimana
Pf F1d (12d)
dF1
d (12f)
F1
Integralkan kedua suku pada persamaan (12f) dengan batasan sudut 0 sampai
Fx
dF1
d (12g)
Fo
F1 0
diperoleh
Fx
log e F1 F0
(12h)
atau
Fx
ln (12i)
Fo
Persamaan (12i) dapat ditulis menjadi
Fxc Fo e (12j)
Pengaruh wobble
Dari persamaan keseimbangan
dx
F1 F2 KPf 0 (12k)
d
dengan
F2 F1 dF1 (12l)
Sehingga diperoleh
dx
dF1 KPf (12m)
d
dimana
Pf F1d (12n)
dF1
Kdx (12p)
F1
Integralkan kedua suku pada persamaan (12p) dengan batasan jarak 0 sampai x
Fx x
dF1
Kdx (12q)
Fo
F1 0
diperoleh
Fx
log e F1 F0
Kdx (12r)
atau
Fx
ln Kx (12s)
Fo
Persamaan (12s) dapat ditulis menjadi
Fxw Fo e Kx
(12t)
Kehilangan prategang akibat friksi adalah total dari kehilangan prategang akibat friksi
ditentukan sebagai
Fo Fxc Fxw
f pF (13a)
Aps
Substitusi persamaan (12j) dan (12t) ke persamaan (13a) diperoleh
Kx
Fo Fo e Fo Kx
f pF 1 e (13b)
Aps A ps
dan
Fo Pj f pj A ps (13c)
dimana:
adalah koefisien kurvatur
Koefisien kurvatur dan koefisien wobble bergantung kepada tipe duct yang digunakan dan
harus ditentukan berdasarkan pengujian namun utnuk keperluan perencanaan,
rekomendasi nilai koefisien berikut dapat digunakan:
A
f pA E ps (15)
Lset
dimana:
Besarnya nilai slip ini dapat berbeda-beda bergantung kepada sistem prategang yang
digunakan. Rentang nilai slip yang umum adalah antara 1.5 mm – 9.5 mm. Untuk angkur
tipe wedge umumnya berada antara 4 mm – 9.5 mm. Namun untuk perencanaan awal nilai
6.25 mm dapat digunakan kecuali ditentukan .
Dari Gambar 3 dapat ditentukan nilai Lset dimana pada saat x = Lset maka
Fx Fx' (16a)
dengan
Fx Fxc Fxw (16b)
Diasumsikan pada say x = Lset. Akibat slip angkur gaya jacking berkurang menjadi yaitu
menjadi
f pA Aps
Pj PpA Pj (16d)
2
Sepanjang Lset , gaya prategang pada tendon yang terjadi adalah pengaruh dari kurvatur
dan wobble untuk negatif dari kurvatur dan wobble pada perhitungan untuk friksi jadi
Fx' Pj PpA e Kx
(16e)
PpA 2 f pA A ps (16h)
2 KLset
2 A A ps E ps
Pj e Pj
Lset
2 KL set
2 A Aps E ps
Pj e 1 0 (16j)
Lset
2 A Aps E ps
KLset Lset 0 (16h)
Pj
Panjang Lset dapat ditentukan dari persamaan (16j) namun solusi lebih sederhana dapat
dilakukan untuk persamaan (16h) dengan menggunakan persamaan abc. Solusi iteratif
untuk mendapatkan nilai Lset adalah sebagai berikut:
1) Asumsikan nilai awal = dy/dx saat x = 0
2) Hitung Lset dari persamaan (16h) dengan menggunakan persamaan abc yaitu
b b2 4ac
Lset dimana
2a
a K
b
A Aps E ps
c
Pj
3) Setelah Lset dari langkah ke-2 diperoleh hitung kembali = dy/dx saat x = Lset
4) Dengan nilai yang baru hitung kembali nilai Lset sesuai langkah 2)
5) Iterasi langkah 2) sampai 4) dilakukan sampai nilai Lset konvergen
0 x L1 L1 x L2
1 e1 e2 e1 e2 1 e3 e2 e3 e2
1 sin 2 sin
L1 180 L1 L2 180 L2
Tendon Parabolic
0 x L
yx ax 2 bx c
d
yx 2ax b
dx
2e1 4e 2 2e 3
a
L2
3e1 4e 2 e3
b
L
c e1
Nilai e1 , e2 dan e3 positif kalau ada dibawah C.G.C dan negatif kalau ada dibawah C.G.C
Kehilangan Prategang (Prestress Loss)
f pR log t 2 log t1 f pi
1 0.55 (17)
f pi 10 f py
dimana:
f pR adalah tegangan yang terjadi pada tendon sesudah kehilangan prategang akibat
relaksasi
f pi adalah tegangan yang terjadi pada tendon sesudah kehilangan prategang seketika
t1 dan t 2 adalah kurun waktu dimana relaksasi akan ditinjau (dalam satuan jam)
Dengan demikian kehilangan prategang akibat relaksasi tendon adalah
f pR f pi f pR (18a)
log t 2 log t1 f pi
f pR f pi 0.55 (18b)
10 f py
Kehilangan prategang akibat relaksasi dapat juga dihitung setelah kehilangan prategang
akibat susut dan rangkak terjadi sehingga persamaan (18b) dapat ditulis menjadi
dimana:
f pe' adalah tegangan yang terjadi pada tendon sesudah kehilangan prategang
Berdasarkan CEB 90, regangan susut sebagai fungsi waktu diberikan oleh persamaan:
sh t cso s t, d (21)
dimana:
cso s f cm 28 RH h (22)
dengan
f cm 28 6
s f cm 28 160 10 sc 9 10 (23)
f cmo
dan
3
h
RH h 1.55 1 untuk 0.4 h 0.99 (24a)
ho
dimana:
adalah konstan yang bergantung pada jenis beton dimana untuk wilayah Indonesia
direkomendasikan untuk menggunakan nilai 1.2
sc adalah konstan yang bergantung pada tipe semen yang digunakan seperti diperlihatkan
Semen tipe N & R dapat dianggap ekivalen dengan tipe semen I & III dari ASTM yang
menjadi acuan di Indonesia.
Persamaan untuk koefisien pengembangan susut diberikan sebagai
0.5
t d t1
s t, d 2
(25)
350 V S V S o t d t1
dimana:
f cmo = 10 MPa
Regangan rangkak terjadi akibat tegangan yang terjadi pada beton sehingga regangan
rangkak berhubungan dengan regangan elastik dari beton itu sendiri.
Berdasarkan CEB 90, regangan rangkak diberikan oleh
c
cr t 28 t, (28)
E cm 28
dimana:
28 t, adalah koefisien rangkak yaitu rasio antara regangan rangkak sejak waktu
pembebanan terhadap regangan elastik akibat beban konstan pada waktu umur beton
adalah 28 hari
adalah waktu dimana pembebanan dimulai (hari)
t adalah waktu dimana regangan rangkak ingin ditinjau (hari)
28 t, o c t, (29)
dengan
o RH h f cm 28 (30)
1 h ho
RH h 1 1 2 (31)
3 0. 1 V S V S o
0.7
3.5 f cmo
1 (32)
f cm 28
0.2
3.5 f cmo
2 (33)
f cm 28
5.3
f cm 28 (34)
f cm 28 f cmo
1
(35)
0.1 t1
0.3
t t1
c t, (36)
H t t1
18
H 150 1 1.2 h ho V S V S o 250 3 1500 3
0.5
3.5 f cmo
1
f cm 28
Persamaan-persamaan di atas adalah valid untuk tegangan tekan yang terjadi tidak lebih
dari 0.6 fc’.
Untuk keperluan perencanaan awal metoda yang pendekatan diperlukan agar dapat mengetahu
beraoa kehilangan prategang yang terjadi pada tendon. Metoda-metoda ini umumnya diberikan
pada peraturan ataupun standar-standar perencanaan yang berlaku.
Persamaan kehilangan prategang juga memasukan pengaruh parsial tulangan biasa yang
diberikah oleh factor PPR yaitu sebagai berikut:
Aps f py
PPR (37)
A ps f py As f y
dimana:
Aps = luas tendon
As = luas tulangan biasa
fpy = tegangan leleh strand
fy = tegangan leleh tulangan biasa
1 ksi = 6.89476 MPa
Note: untuk post tensioning, lump sum loss tidak termasuk kehilangan prategang akibat
friksi
3. Metoda lump sum PTI
Untuk prategang dengan cara post tension, Post Tensioning Institute (PTI) juga
merekomendasikan kehilangan prategang lump sum sebagai berikut
Note: lump sum loss tidak termasuk kehilangan prategang akibat friksi
h 1.7 0.01h
34.5
st
6.895 f ci '
dimana:
fpj = tegangan jacking (MPa)
h = humiditas relatif rata-rata (%)
h = faktor koreksi untuk humiditas relatif
st = faktor koreksi untukkuat tekan beton saat transfer
Aps = luas tendon total (mm2)
Ac = luas penampang beton (mm2)
Elastic Shortening 4 1
Creep 6 5
Shrinkage 7 6
Relaxation 8 8
Total 25 20
Note: u/ posttensioning, lump sum loss tidak termasuk kehilangan prategang akibat friksi