Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia dan lingkungan merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Setiap aspek
kehidupan yang dijalaninya manusia selalu berada pada sebuah lingkungan tertentu.
Lingkungan memiliki peran penting dalam mendukung pola perilaku hingga karakter
manusia. Lingkungan juga menjadi sarana manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam
prosesnya, akan terlihat pola perilaku yang berbeda – beda.
Barker seorang tokoh psikologi ekologi yang mengembangkan penelitian perilaku
individual di lapangan,bukan di laboratorium seperti pada umumnya perilaku psikologi
tradisional, menelusuri bahwa pola perilaku manusia berkaitan dengan tatanan lingkungan
fisiknya, dan melahirkan konsep ‘tatar perilaku’ (behavior setting).
Behavior setting terjadi pada pertemuan antara individu dan lingkungannya. Seorang
arsitek melalui pengamatan behavior setting dalam perencanaan proyek tertentu dapat
membantu untuk mengenal sistem sosial dari dalam setting, dalam arti melihat pola-pola
perilaku sistematis yang ditunjukkan oleh penghuni lingkungan tertentu. Dengan demikian,
hasil pengamatan ini dapat memperluas wawasan pengetahuan arsitek tentang manusia dari
perspektif yang berbeda bukan dari teori semata.

1.2 Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini adalah :
1. Apa yang dimaksud dengan setting perilaku?
2. Apa yang dimaksud dengan sistem setting?
3. Apa yang dimaksud dengan sistem aktivitas?
4. Bagaimana hubungan antara setting dan perilaku manusia?
5. Apa pengaruh setting perilaku terhadap desain ?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penugasan ini adalah agar para mahasiswa sebagai calon perencana
mampu memahami konsep setting perilaku (behavioral setting), sistem setting, sistem
aktivitas, serta bagaimana hubungan antara setting dan perilaku manusia. Dimana setting
perilaku akan mempengaruhi desain yang akan dihasilkan oleh perencana.

1.4 Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari tugas ini adalah mahasiswa memiliki wawasan tentang setting
perilaku yang ada dalam hal merancang bangunan. Sehingga dengan mengetahui hubungan
antara setting perilaku dan desain yang akan dirancang. Sedangkan tim pengajar dengan
tugas ini akan mengetahui sejauh mana efektifitas sistem SCL ( Student Center Learning )
pada mahasiswa, dan mengetahui arah tugas yang diberikan apakah sudah tepat sasaran atau
malah sebaliknya.

1
BAB II
URAIAN TOPIK
2.1 Pengertian Setting Perilaku
Ruang aktivitas digunakan sebagai istilah untuk menggambarkan suatu unit hubungan
antara perilaku dan lingkungan bagi perancangan arsitektur. Konsep ruang aktivitas dan tatar
perilaku ini dapat dikatakan sama, menurut David Haviland (1967)
Behavior setting terjadi pada pertemuan antara individu dan lingkungannya. Apabila
bangunan atau lingkungan binaan sudah dipakai dan ternyata digunakan dengan cara yang tidak
terantisipasi sebelumnya oleh perancang, ataupun terdapat perubahan perilaku pengguna secara
tiba-tiba dan tidak terduga ketika memasuki lingkungan tertentu, pengamatan behavior setting ini
akan menjadi data masukan yang sangat menarik bagi arsitek ataupun perancang lingkungan,
baik untuk perancangan fasilitas sejenis maupun untuk penataan ulang fasilitas yang
bersangkutan.
Tampaknya, lebih mudah bagi arsitek untuk memakai kriteria non-perilaku untuk evaluasi
penggunaan lingkungan. Demikian pula bagi para psikolog yang lebih memilih penggunaan
metode statistic maupun eksperimental untuk mengendalikan varian kesalahan.
Namun, melalui pengamatan behavior setting ini arsitek dapat mengenal sistem sosial dari
dalam setting, dalam arti melihat pola-pola perilaku sistematis yang ditunjukkan oleh penghuni
lingkungan tertentu. Bagi para psikolog, pengamatan ini memberi pandangan tentang manusia
yang mengalami tekanan situasional, yang seringkali berpengaruh terhadap perilaku seseorang.
Dengan demikian, hasil pengamatan ini dapat memperluas wawasan pengetahuan arsitek dan
perencana lingkungan tentang manusia dari perspektif yang berbeda, bukan hanya teoretis
semata.

Definisi Behavior Setting


Roger Barker dan Herbert Wright memakai istilah behavior setting untuk menjelaskan
tentang kombinasi perilaku dan milieu tertentu, Salah satu contoh, ketika seorang dosen
menyiapkan suatu perkuliahan, atau seorang direktur menyusun agenda rapat tim direksinya,
maka setiap orang bertindak untuk memastikan akan keberadaan suatu behavior setting. Pada
setiap kasus tersebut, direncanakan adanya serangkaian aktivitas bersama orang lain ketika
terdapat sejumlah pola perilaku tertentu yang dikombinasikan dengan objek tertentu dalam
batasan ruang dan waktu tertentu. Behavior setting didefinisikan sebagai suatu kombinasi yang
stabil antara aktivitas, tempat, dan kriteria sebagai berikut:
a. Terdapat suatu aktivitas yang berulang, berupa suatu pola perilaku (standing pattern of
behavior). Dapat terdiri satu atau lebih pola perilaku ekstra individual.
b. Dengan tata lingkungan tertentu (circumjacent milieu),milieu ini berkaitan dengan pola
perilaku
c. Membentuk suatu hubungan yang sama antara keduanya (synomorphy).
d. Dilakukan pada periode waktu tertentu
Istilah ekstra individual menunjukkan fakta operasional bahwa sebuah setting tidak
bergantung hanya pada seorang manusia atau objek. Dalam setting bisa jadi dibentuk oleh
pengganti karena dalam hal ini tidak ada objek atau lokasi yang sedemikian pentingnya sehingga
tidak tergantikan. Yang penting adalah konfigurasi secara keseluruhan, bagian per bagian.
Istilah circumjacent milieu merujuk pada batas fisik dan temporal dari sebuah setting. Setiap
behavior setting berbeda dari setting lainnya menurut ruang dan waktu, atau suatu behavior

2
setting memiliki struktur internalnya sendiri. Sementara itu, istilah synomorphic berarti ‘struktur
yang sama’ menunjukkan adanya hubungan antara milieu dan perilaku.

Setting perilaku terdiri dari 2 jenis yaitu :


a) System of setting ( sistem tempat atau ruang ), sebagai rangkaian unsur – unsur fisik atau
spasial yang mempunyai hubungan tertentu dan terkait hingga dapat dipakai untuk suatu
kegiatan tertentu.
b) System of activity ( sistem kegiatan ), sebagai suatu rangkaian perilaku yang secara
sengaja dilakukan oleh satu atau beberapa orang.
Dari pengertian tersebut dapat ditegaskan bahwa unsur ruang atau beberapa kegiatan,
terdapat suatu struktur atau rangkaian yang menjadikan suatu kegiatan dan pelakunya
mempunyai makna.Pada berbagai pendapat dikatakan bahwa desain Behavior setting yang
baik dan tepat adalah yang sesuai dengan struktur perilaku penggunanya. Dalam desain
arsitektur hal tersebut disebut sebagai sebuah proses argumentatif yang dilontarkan dalam
membuat desain yang dapat diadaptasikan, Fleksibel atau terbuka terhadap pengguna
berdasarkan pola perilakunya. Edward Hall ( dalam Laurens, 2004 ) mengidentifikasi tiga
tipe dasar dalam pola ruang :
1. Ruang Berbatas Tetap (Fixed-Feature Space),ruang berbatas tetap dilingkupi oleh
pembatas yang relatif tetap dan tidak mudah digeser, seperti dinding masif, jendela,
pintu atau lantai.
2. Ruang Berbatas Semi Tetap ( SemiFixed- Feature Space),ruang yang pembatasnya bisa
berpindah, seperti ruang-ruang pameran yang dibatasi oleh partisi yang dapat
dipindahkan ketika dibutuhkan menurut setting perilaku yang berbeda.
3. Ruang Informal,ruang yang terbentuk hanya untuk waktu singkat, seperti ruang yang
terbentuk kedua orang atau lebih berkumpul. Ruang ini tidak tetap dan terjadi diluar
kesadaran.
Desain behavior setting tidak selalu perlu dibentuk ruang-ruang tetap, baik yang ber
pembatas maupun semi tetap terlebih lagi dalam desain ruang publik yang di dalamnya
terdapat banyak pola perilaku yang beraneka ragam.

2.2 Sistem Setting


Rapoport (1997) dalam Haryadi dan B Setiawan, setting merupakan suatu interaksi antara
manusia dan lingkungannya. Setting mencakup lingkungan tempat komunitas ( manusia ) berada
(tanah, air, ruangan, udara, hawa, pemandangan), dan makhluk hidup yang ada (hewan,
tumbuhan, manusia). Setting harus didesain sesuai dengan kebutuhan manusia dalam melakukan
aktivitasnya.
Sistem setting sebagai suatu organisasi dari seting-seting ke dalam suatu sistem yang berkaitan
dengan sistem kegiatan manusia. Ini didasari dengan adanya kenyataan bahwa seseorang tidak
mungkin dapat memahami apa yang terjadi disuatu setting tanpa mengetahui apa yang terjadi di
setting-setting lain. Dengan kata lain apa yang terjadi pada suatu seting tertentu sangat
dipengaruhi oleh penggunaan setting - setting lainnya. Berdasarkan elemen pembentuknya
Rapoport (1997) dalam Haryadi dan B Setiawan, setting dapat dibedakan yaitu:
1. Unsur fix ( fixed element ), yaitu elemen yang pada dasarnya tetap atau
perubahannya jarang dan lambat. Secara spasial elemen – elemen ini dapat
diorganisasikan ke dalam ukuran, lokasi, urutan, dan susunan. Tetapi dalam suatu

3
kasus fenomena, elemen – elemen ini bisa dilengkapi oleh elemen – elemen yang
lain. Seperti lantai, dinding pembatas, dan langit – langit.
2. Unsur semi fix ( semi fixed element ), yaitu elemen-elemen yang tidak tetap, dapat
terjadi perubahan cukup cepat dan mudah. Biasanya berkisar dari susunan dan tipe
elemen, contohnya seperti tempat tidur, almari, dan meja.
3. Unsur non fix, yaitu elemen-elemen yang berhubungan dengan tingkah laku atau
perilaku manusia yang ditujukan oleh manusia itu sendiri yang selalu tidak tetap,
seperti posisi tubuh dan postur tubuh serta gerak anggota tubuh dalam menggunakan
ruang. Contoh, pejalan kaki.
Setting terkait langsung dengan aktivitas manusia sehingga dengan mengidentifikasi
sistem aktivitas atau perilaku yang terjadi dalam suatu ruang akan teridentifikasi pula sistem
settingnya yang terkait dengan keberadaan elemen dalam ruang.

Gambar 1 Tingkatan atau Skala Sistem Ruang ( Sistem Setting )

4
2.3 Sistem Aktivitas
Aktivitas manusia sebagai wujud dari perilaku yang ditunjukkan mempengaruhi dan
dipengaruhi olah tatanan (setting) fisik yang terdapat dalam ruang yang menjadi wadahnya,
sehingga untuk memenuhi hal tersebut dibutuhkan adanya:
1. Kenyamanan, menyangkut keadaan lingkungan yang memberikan rasa sesuai
dengan panca indera.
2. Aksesibilitas, menyangkut kemudahan bergerak melalui dan menggunakan
lingkungan sehingga sirkulasi menjadi lancar dan tidak menyulitkan pemakai.
3. Legibilitas, menyangkut kemudahan bagi pemakai untuk dapat mengenal dan
memahami elemen-elemen dan hubungannya dalam suatu lingkungan yang
menyebabkan orang tersebut arah atau jalan.
4. Kontrol, menyangkut kondisi suatu lingkungan untuk mewujudkan personalitas,
menciptakan teori dan membatasi suatu ruang.
5. Teritorialitas, menyangkut suatu pola tingkah laku yang ada hubungannya dengan
kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang atas suatu tempat.
6. Keamanan, menyangkut rasa aman terhadap berbagai gangguan baik dari dalam
maupun dari luar.
Hal ini membawa J.B. Watson (1878-1958) memandang psikologi sebagai ilmu yang mempelaja
ri tentang perilaku karena perilaku dianggap lebih mudah diamati, dicatat, dan diukur. Perilaku m
encakup perilaku yang kasatmata seperti makan, menangis, memasak, melihat, bekerja, dan Peril
aku yang tidak kasatmata, seperti fantasi, motivasi, dan proses yang terjadi pada waktu seseorang
diam atau secara fisik tidak bergerak.Sebagai objek studi empiris, perilaku mempunyai ciri-ciri s
ebagai berikut :
a.Perilaku itu sendiri kasat mata, tetapi penyebab terjadinya perilaku secara langsung mungkin ti
dak dapat diamati.
b.Perilaku mengenal berbagai tingkatan, yaitu perilaku sederhana dan stereotip, perilaku komple
ks seperti perilaku sosial manusia, perilaku sederhana seperti refleks, tetapi ada juga yang mel
ibatkan proses mental biologis yang lebih tinggi.
c.Perilaku bervariasi klasifikasi : kognitif, afektif dan psikomotorik yang menunjuk pada sifat ra
sional, emosional dan gerakan fisik dalam berperilaku.
d.Perilaku bisa disadari dan juga tidak di sadari.
Sistem aktivitas dalam sebuah lingkungan terbentuk dari rangkaian sejumlah behavior set
ting. Sistem aktivitas seseorang menggambarkan motivasi, sikap, dan pengetahuannya tentang du
nia dengan batasan penghasila, kompetensi, dan nilai-nilai budaya yang bersangkutan (Chapin d
an Brail,1969;Porteus,1977).
Sistem aktivitas dalam sebuah lingkungan terbentuk dari rangkaian sejumlah behavior
setting.Sistem aktivitas seseorang menggambarkan motivasi, sikap, dan pengetahuannya tentang
dunia dengan batasan penghasila, kompetensi, dan nilai-nilai budaya yang bersangkutan (Chapin
dan Brail,1969;Porteus,1977).
Dalam pengamatan behavior setting,dapat dilakukan analisis melalui beberapa cara antara lain
sebagai berikut:
a. Menggunakan time budget
Time budget memungkinkan orang mengurai/ mendekomposisikan suatu aktivitas sehari-hari,
aktivitas mingguan,atau musiman, kedalam seperangkatbehavior setting yang melliputi hari kerja
mereka atau gaya hidup mereka (Michelson dan Reed,1975). Fungsi dari time budget adalah

5
untuk memperlihatkan bagaimana seorang individu mengkonsumsi atau menggunakan
waktunya.
Informasi ini meliputi hal-hal sebagai berikut:
 Jumlah waktu yang dialokasikan untuk kegiatan tertentu dengan variasi waktu dalam
sehari,seminggu, atau semusim.
 Frekuensi dari aktivitas dan jenis aktivitas yang dilakukan
 Pola tipikal dari aktivitas yang dilakukan
Melalui informasi ini, selain dapat diketahui fasilitas apa saja yang paling diminati, layanan yang
diperlukan, khususnya di area transportasi, area rekreasi, atau perencanaan tata guna lahan, juga
dapat dianalisis bentuk organisasi yang ada.
b. Melakukan sensus
Sensus adalah istilah yang dikemukakan para ahli psikologi lingkungan untuk menggambarkan
proses pembelajaran semua aktivitas seorang individu dalam waktu tertentu dengan metode
pengamatan. Seperti yang dilakukan Barker dan Wright dengan mengamati perilaku seorang
anak sepanjang hari. Cara ini dipakai dengan tujuan mendapatkan pengertian mengenai,misalnya
bagaimana para pekerja menggunakan sebuah bangunan.\
Hal yang dapat mewakili data pengamatan behavior setting meliputi:
 Manusia (siapa yang dating,kemana dan mengapa, siapa yang mengendalikan setting?)
 Karakteristik ukuran (berapa banyak orang per jam ada di dalam setting, bagaimana
ukuran settingsecara fisik, berapa sering dan berapa lamasetting itu ada?)
 Objek (ada berapa banyak objek, dan apa jenis objek yang dipakai
dalam setting,kemungkinan apa saja yang ada bagi stimulasi, respon, dan adaptasi?)
 Pola aksi (aktivitas dan apa yang terjadi disana, seberapa sering terjadi pengulangan yang
dilakukan orang?)

c. Studi Asal dan Tujuan


Studi asal dan tujuan adalah suatu studi yang mengamati, mengidentifikasi awal dan akhir pola-
pola pergerakan. Studi semacam ini menggambarkan pola perilaku yang sesungguhnya terjadi,
bukan hanya seperti yang dibayangkan oleh arsitek, melainkan yang membentuk kehidupan
seseorang atau sekelompok orang.Studi asal dan tujuan merupakan pendekatan makro yang dapat
diterapkan pada skala urban atau skala bangunan.
Rancangan yang dibuat semata-mata berdasarkan imajinasi arsitek yang sering kali menjadi
rancangan yang ideal bagi arsitek, tetapi mungkin miskin akan affordances dan peluang-peluang
bagi seorang pengguna untuk memenuhi kebutuhannya.
Ada hubungan timbale balik antara individu dan system perilaku yakni karena manusia adalah
bagian dari behavior setting yang memberi kontribusi pada behavior setting. Akan tetapi ia juga
didukung oleh behavior setting dalam berperilaku.

2.4 Hubungan Antara Setting dan Perilaku Manusia


Konsep Perilaku pada Ruang Publik
Manusia mempunyai keunikan tersendiri, keunikan yang dimiliki setiap individu akan me
mpengaruhi lingkungan sekitarnya. Sebaliknya, keunikan lingkungan juga mempengaruhi perilak
unya. Karena lingkungan bukan hanya menjadi wadah bagi manusia untuk beraktivitas, tetapi jug
a menjadi bagian integral dari pola perilaku manusia.

6
Proses dan pola perilaku manusia di kelompokkan menjadi dua bagian, yaitu : Proses Individual
dan Proses Sosial
1. Proses Individual
Dalam hal ini proses psikologis manusia tidak terlepas dari proses tersebut.
Pada proses individu meliputi beberapa hal :
a. Persepsi Lingkungan, yaitu proses bagaimana manusia menerima informasi mengenai lin
gkungan sekitarnya dan bagaimana informasi mengenai ruang fisik tersebut di organisasi
kan kedalam pikiran manusia.
b. Kognisi Spasial, yaitu keragaman proses berpikir selanjutnya, mengorganisasikan, menyi
mpan dan mengingat kembali informasi mengenai lokasi, jarak dan tatanannya.
c. Perilaku Spasial, menunjukan hasil yang termanifestasikan dalam tindakan respon seseora
ng, termasuk deskripsi dan preferensi personal, respon emosional, ataupun evaluasi kecen
derungan perilaku yang muncul dalam interaksi manusia dengan lingkungan fisiknya.
Proses Individual mengacu pada skema pendekatan perilaku yang menggambarkan hubungan ant
ara lingkungan dan perilaku individu
Skema : Proses Perilaku Individual
1) Perilaku Manusia dan Lingkungan
Perilaku manusia akan mempengaruhi dan membentuk setting fisik lingkungannya Rapop
ort, A, 1986, Pengaruh lingkungan terhadap tingkah laku dapat dikelompokkan menjadi 3
yaitu :
a. Environmemntal Determinism, menyatakan bahwa lingkungan menentukan tingkah l
aku masyarakat di tempat tersebut.
b. Enviromental Posibilism, menyatakan bahwa lingkungan fisik dapat memberikan kes
empatan atau hambatan terhadap tingkah laku masyarakat.
c. Enviromental probabilism, menyatakan bahwa lingkungan memberikan pilihan-pilih
an yang berbeda bagi tingkah laku masyarakat.

2.Proses Sosial
Manusia mempunyai kepribadian individual, tetapi manusia juga merupakan makhluk sosial hidu
p dalam masyarakat dalam suatu kolektivitas. Pada proses sosial, perilaku interpersonal manusia
meliputi hal-hal sebagai berikut :
a.Ruang Personal ( Personal Space ) berupa domain kecil sejauh jangkauan manusia.
b.Teritorialitas yaitu kecenderungan untuk menguasai daerah yang lebih luas bagi seseorang.
c.Kesesakan dan Kepadatan yaitu keadaan apabila ruang fisik yang tersedia terbatas.
d.Privasi sebagai usaha optimal pemenuhan kebutuhan sosial manusia.
Dalam proses sosial, perilaku interpersonal yang sangat berpengaruh pada perubahan ruang publi
k adalah teritorialitas. Konsep teritori dalam studi arsitektur lingkungan dan perilaku yaitu adany
a tuntutan manusia atas suatu area untuk memenuhi kebutuhan fisik, emosional dan kultural. Ber
kaitan dengan kebutuhan emosional ini maka konsep teritori berkaitan dengan ruang privat dan r
uang publik. Ruang privat ( personal space) dapat menimbulkan crowding ( kesesakkan ) apabila
seseorang atau kelompok sudah tidak mampu mempertahankan personal spacenya.
Suatu behavior setting mempunyai struktur internal sendiri. Setiap orang atau kelompok
berperilaku berbeda karena masing-masing mempunyai peran yang berbeda-beda. Misalnya,
didalam sebuah kelas, guru mempunyai peran sebagai pengajar, ia menempati posisi tertentu di

7
muka kelas, misalnya berupa panggung untuk memungkinkan ia melihat seluruh kelas dan
mengendalikan pola perilaku yang terjadi. Dari contoh di atas, dapat kita katakan bahwa
struktur behavior setting dibedakan berdasarkan siapa yang memegang kendali aktivitas.
Pendekatan perilaku menekankan keterkaitan antara ruang dengan manusia dan
masyarakat yang memanfaatkan atau menghuni ruang tersebut. Menurut Hariadi dalam buku
Arsitektur Lingkungan dan Perilaku, secara konseptual, pendekatan perilaku menekankan
manusia merupakan makhluk berpikir yang mempunyai persepsi dan keputusan dalam
interaksinya dengan lingkungan.
Stokols (1977) dalam Haryadi dan B. Setiawan (2010), terdapat tiga tingkatan yang dapat
dipakai untuk mengkaji atau menganalisis arsitektur lingkungan dan kegiatan yang terjadi di
dalamnya yakni pada tingkat mikro, menengah dan makro. Tingkatan mikro digunakan apabila
kita berhadapan dengan perilaku individu-individu dalam suatu setting tertentu. Tingkatan
menengah dipakai apabila kita akan menganalisis perilaku kelompok-kelompok kecil dalam
suatu setting tertentu. Tingkatan makro berkaitan dengan analisis perilaku masyarakat banyak
dalam setting luas.
Kegiatan manusia menekankan latar belakang manusia seperti pandangan hidup,
kepercayaan yang dianut, nilai-nilai dan norma-norma yang dipegang akan menentukan perilaku
seseorang yang tercermin dalam cara hidup yang dipilihnya di masyarakat. Sistem kegiatan akan
menentukan macam dan wadah bagi setiap kegiatan, yang mana wadah adalah ruang-ruang yang
saling berhubungan dalam satu sistem tata ruang dan berfungsi sebagai tempat berlangsungnya
kegiatan.
Perilaku manusia dalam hubungannya terhadap suatu setting fisik berlangsung dan konsis
ten sesuai waktu dan situasi. Karenanya pola perilaku yang khas untuk setting fisik tersebut dapa
t diidentifikasikan.
Suatu pola perilaku biasa terdiri dari atas beberapa perilaku secara bersamaan, antara lain
sebagai berikut:
a. Perilaku emosional, merupakan sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan
dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan/atau genetika.
b. Aktivitas motorik, gerakan yang dilakukan oleh tubuh manusia. Gerakan refleks, Gerakan
terprogram. Gerakan motorik halus : menulis, merangkai, melukis, berjinjit .Gerakan
motorik kasar : berjalan, merangkak, memukul, mengayunkan tangan
c. Interaksi social merupakan hubungan-hubungan sosial yang menyangkut hubungan
antarindividu, individu (seseorang) dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok.
Kombinasi dari perilaku tersebut di atas membentuk suatu pola perilaku, terjadi pada lingkungan
fisik tertentu atau pada milieunya.

2.5 Hubungan Antara Setting dan Perilaku dengan desain

Walaupun ada hubungan timbal balik antara setting dan perilaku manusia, dalam menganalisa
skala setting namun terdapat juga pengaruh setting terhadap perilaku manusia seperti ruang,
warna, ukuran dan bentuk, penataan sebuah ruang, suara, temperatur dan sebagainya. Ruang
adalah sitem lingkungan binaan terkecil yang sangat penting. Ada dua ruang yang

8
mempengaruhi perilaku manusia. Pertama, ruang yang dirancang untuk memenuhi suatu fungsi
dan tujuan tertentu, kedua adalah ruang yang dirancang untuk memenuhi fungsi fleksibel.
Masing-masing perancangan fisik
46 ruang tersebut mempunyai variabel independen yang berpengaruh terhadap perilaku
pemakainya. Variabel tersebut adalah ukuran dan bentuk, warna serta unsur lingkungan ruang
seperti suara, tenperatur, dan pencahayaan. Warna memainkan peranan penting dalam
mewujudkan suasana setting ruang tertentu dan mendukung terwujudnya perilaku-perilaku
tertentu. Pengaruh warna terhadap perilaku pada setting ruang tertentu tidak selalu sama bagi
setiap orang. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, latar belakang budaya
atau kondisi mental. Warna tidak hanya menimbulkan suasana panas atau dingin, tetapi warna
juga dapat mempengaruhi kualitas setting ruang tertentu. Misalnya warna akan membuat kesan
ruang menjadi lebih luas, sempit, semrawut, dan sebagainya. Ukuran dan bentuk merupakan
variabel tetap (fixed) atau fleksibel sebagai pembentuk setting. Dianggap sebagai variabel yang
pasti apabila ukuran dan bentuk setting yang ada tidak dapat dirubah lagi.ukuran dan bntuk
setting tertentu juga akan mempengaruhi faktor psikologis dan tingkah laku pemakainya. Suara,
temperatur dan pencahayaan merupakan elemen lingkungan yang mempunyai andil dalam
mempengaruhi kondisi setting dan perilaku pemakainya. Suara yang diukur dalam desibel , akan
berpengaruh buruk apabila terlalu keras, suara kendaraan yang bising akan mempengaruhi
perasaan pengguna sebuah tempat atau ruang. Temperatur berkaitan dengan kenyamanan
pemakai suatu tempat. Jika temperatur terlalu panas atau terlalu dingin, maka akan
mempengaruh perasaan pada ruang atau tempat diaman manusia melakukan kegiatan.
Barker menamakan daerah yang ditempati oleh pengendali atau pemegang control
sebagai performance zone. Namun, tidak semua tatanan mempunyai performance zone, atau
tidak semua performance zone dibedakan desainnya secara arsitektural. Misalnya, ruang diskusi
atau ruang rapat. Tatanan fisik bagi pimpinan rapat sama dengan peserta rapat lainnya.
Contoh lain :

Gambar 2.4.1
Interaksi berdasarkan pola prilaku

9
Gambar diatas merupakan salah satu contoh interaksi yang terjadi berdasarkan pola perilaku.
Dalam toko terdapat serangkaian kejadian yang berurutan, sebuah program yang meliputi
perilaku membeli dan menjual. Perilaku ini membentuk pola perilaku yang berulang-ulang, tidak
hanya bagi seorang pembeli, tetapi juga suatu program yang berlaku bagi setiap pembeli dan
penjual pada toko tersebut.

Gambar 2.4.2
Interaksi berdasarkan pola prilaku

Hubungan kesetaraan (synomorphy) yang terjadi pada gambar diatas cukup rumit. Andil pembeli
terhadap pola perilaku yang terjadi di toko meliputi mencari dan memilih barang. Lemari-lemari
panjang memamerkan sejumlah makanan untuk proses mencari dan memilih tersebut. Disisi lain,
pedagang yang menata dagangannya harus mempunyai akses langsung dengan barang
dagangannya.

Gambar 2.4.2
Interaksi berdasarkan pola prilaku
Akan tetapi, milieu yang ada juga harus memungkinkan terjadinya interaksi antara pembeli dan
pedagang, bukan didesain untuk kepentingan pembeli dan pedagang saja. Artinya lemari panjang
itu memungkinkan terjadinya interaksi antara pedagang dan pembeli.

10
Contoh diatas menggambarkan betapa kompleksnya perilaku manusia yang harus diwadahi oleh
suatu tatanan fisik dan terlihat bahwa setiap behavior setting terdiri atas beberapa sub perilaku
yang lebih sederhana.
Untuk mengetahui sejauh mana hubungan antara setting dan prilaku dapat dilakukan pengujian
yang ditinjau dari berbagai dimensi, meliputi:
a. Aktivitas
b. Penghuni
c. Kepemimpinan
Dengan mengetahui posisi fungsional penghuni , dapat diketahui peran sosial yang ada dalam
komunitas tersebut. Di banyak setting, posisi pemimpin dapat dipisahkan agar dapat dikenali
kekuatan-kekuatan lain yang ada yang ikut mengambil bagian dalam setting tersebut.
d. Populasi
Sebuah setting dapat mempunyai sedikit atau banyak partisipan. Komunitas dianggap lebih baik
apabila memiliki banyak setting.
e. Ruang
Ruang tempat terjadinya setting tentu sangat beragam, bisa di ruang terbuka atau ruang tertutup
f. Waktu
Kelangsungan sebuah setting dapat terjadi secara rutin atau sewaktu-waktu saja. Misalnya, apel
pagi tentara yang dilakukan setiap pagi atau sebuah perayaan upacara tujuh belas Agustus.
Durasi pada setting yang sama dapat berlangsung sesaat atau terus menerus sepanjang tahun,
misalnya pertokoan.
g. Objek
h. Mekanisme perilaku
Barker menguraikan sebelas pola aksi dalam setting, yang dapat segera diamati atau dicatat, ada
ataupun tidak ada dalam setting tersebut, yaitu berkaitan dengan Estetika, Bisnis, Pendidikan,
Pemerintahan, Nutrisi, Aksi social, Penampilan personal, Kesehatan masyarakat, Professional,
Rekreasi ,Religious.
Dari data yang didapat pada riset perilaku tidak dimaksudkan bahwa asumsi itu hanya sebagian b
enar, tapi yang lebih penting adalah keyakinan bahwa hal tersebut menyederhanakan pengertian
hubungan antara perilaku manusia dan setting fisiknya. Kita dapat menyaksikan bahwa kamar tid
ur itu secara tetap digunakan untuk bersosial dan makan selain hanya untuk tidur. Ruang makan t
idak hanya untuk makan tapi juga untuk membentuk pola berinteraksi sosial.

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Behavior setting didefinisikan sebagai suatu kombinasi yang stabil antara aktivitas,
tempat, dan kriteria. Setting perilaku terdiri dari 2 jenis yaitu System of setting (sistem tempat
atau ruang), sebagai rangkaian unsur – unsur fisik atau spasial yang mempunyai hubungan
tertentu dan terkait hingga dapat dipakai untuk suatu kegiatan tertentu. Dan System of activity
(sistem kegiatan), sebagai suatu rangkaian perilaku yang secara sengaja dilakukan oleh satu atau
beberapa orang.
Keterkaitan antara ruang dengan manusia dan masyarakat yang memanfaatkan atau menghuni
ruang tersebut dapat diinterpretasikan secara sederhana melalui proses mental tempat orang
mendapatkan, mengorganisasikan, dan menggunakan pengetahuannya untuk memberi arti dan
makna terhadap ruang yang digunakannya. Perilaku manusia dalam hubungannya terhadap suatu
setting fisik berlangsung dan konsisten sesuai waktu dan situasi. Karenanya pola perilaku yang
khas untuk setting fisik tersebut dapat diidentifikasikan.

3.2 Saran

Sistem setting dan hubungannya terhadap prilaku ini, seringkali dilupakan oleh para peneliti,
arsitek, dan perencana kota, sehingga hasil pemahaman dan rancangan mereka seringkali
menghasilkan suatu lingkungan buatan yang berdiri sendiri dan tidak mmpunyai konteks atau
kaitan dengan sistem seting di sekitarnya. Untuk itu diperlukan pemahaman sistem setting agar
semua pihak yang terkait dalam bidang konstruksi khususnya arsitek sebagai perancang dapat
menghasilkan karya yang dihasilkan dari hubungan antara setting dan prilaku manusia yang
menggunakan atau beraktivitas dalam setting itu sendiri.

12
DAFTAR PUSTAKA

http://istiqamahsyawal.blogspot.co.id/2012/04/pola-perilaku-dan-lingkungan-behavioral.html
http://arsitadulako.blogspot.co.id/2007/05/pengaruh-timbal-balik-dan-ruang.html
http://www.oumahku.com/2013/02/setting-and-behaviour-setting-brief-note.html
http://istiqamahsyawal.blogspot.co.id/2012/04/pola-perilaku-dan-lingkungan-behavioral.html
http://arsitadulako.blogspot.co.id/2007/05/pengaruh-timbal-balik-dan-ruang.html
http://www.oumahku.com/2013/02/setting-and-behaviour-setting-brief-note.html
http://affifmaulizar.blogspot.co.id/2013/04/pendekatan-prilaku-dalam-arsitektur.html
http://dewituembun.blogspot.co.id/2009/08/arsitektur-perilaku.html
https://books.google.co.id/books?id=Ltvj89G2AP4C&pg=PA184&lpg=PA184&dq=sistem+akti
vitas+dalam+arsitektur+perilaku&source=bl&ots=_wzVkUCf_r&sig=F6_8_W7rcbFmMoP_n-
dGP0rTyhU&hl=id&sa=X&ved=0CFQQ6AEwB2oVChMIoNHT6KPzxwIVAlKOCh1Uagzx#v
=onepage&q=sistem%20aktivitas%20dalam%20arsitektur%20perilaku&f=false
Laurens, Jonce Marchella.2005.Arsitektur dan Perilaku Manusia.Grasindo : Jakarta.
Haryadi & Bakti Setiawan. 1995. Arsitektur Lingkungan dan Perilaku. Dirjen Dikti Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan ; Jakarta.
Budiharjo, Eko, 1997, Tata Ruang Perkotaan, Penerbit Alumni Bandung, Bandung.
Budiharjo, Eko, 1997, Arsitektur Pembangunan dan Konservasi, Penerbit Djambatan, Jakarta.
Carr. Stephen, 1973, City Sign and Light, A Policy Study,MIT Press.
Carr. Stephen, 1992, Public Space, Cambridge University Press.
Darmawan, Edy, 2003, Teori dan Kajian Ruang Publik Kota, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang.
Hakim, Rustam, 1987, Unsur Perancangan dalam Arsitektur Lansekap, Bina Aksara, Jakarta.
Krier, Rob, 1984, Urban Space, Academy Edition, London.
Lynch, Kevin, 1981, Good City Form, The MIT Press, Massachusetts, EEUU.
Marlina, Endy, 2009, Panduan Perancangan Bangunan Komersial, Penerbit Andi Yogyakarta.
Mahendra. I Made Agus, 2010, Pengaruh Setting Fisik Terhadap Setting Aktivitas Pada
"Kehidupan" Fungsi Kawasan, Tesis DKB UGM, Yogyakarta.
Rapoport, A, 1982, The Architecture of the City, MIT Press, Cambridge.
Rapoport, A, 1982, The Meaning of the Built Environment, Sage Publication, London.
Rubeinstein, H, M, 1992, Pedestrian Malls, Streetscapes and Urban Space, John Wiley & Sons
Inc, Canada.
Shirvani, Hamid, 1985, The Urban Design Process, Van Nostrand Reinhold, New York.
Trancik, Roger, 1986, Finding Lost Space, Van Nostrand Reinhold, New York.

13

Anda mungkin juga menyukai