Anda di halaman 1dari 4

BIOLUMINISENSI PADA KUNANG-KUNANG (Pteroptyx tener)

RJun

Banyak organisme di alam yang mempunyai kemampuan memancarkan cahaya, seperti:


bakteri, fungi, kunang-kunang dan ikan. Fenomena pancaran cahaya tersebut sebagai hasil dari
reaksi kimia disebut kemiluminesensi. Ketika hal tersebut terjadi pada makhluk hidup maka
itu yang dinamakan bioluminisensi. Bioluminisensi adalah sebuah proses yang menarik pada
makhluk hidup yang merubah energi kimia menjadi energi cahaya. Organisme bioluminisensi
mampu memancarkan cahaya sendiri karena disebabkan oleh enzim luciferase yang
mengkatalis senyawa luciferin (Sari, 2012: 113).

Reaksi kimia pada bioluminisensi melibatkan tiga komponen utama,


yakni luciferin (substrat), lucifcerase (enzim) dan molekul oksigen. Luciferin merupakan
substrat yang melawan suhu panas dan menghasilkan cahaya dan luciferase merupakan sebuah
enzim yang mengkatalis dan oksigen sebagai bahan bakar (Gajendra-Kannan, 2002 dalam Sari,
2012: 113). Dari reaksi tersebut luciferase mengalami eksitasi dan kembali ke keadaan dasar
sambil memancarkan cahaya. Keadaan ini merupakan proses fisika yang terjadi dalam
organisme yang melibatkan transport elektron dimana elektron pindah dari keadaan dasar ke
tingkat energi yang lebih tinggi dan kemudian kembali kekeadaan dasar yang disertai pancaran
cahaya. Pancaran cahaya yang dihasilkan oleh organisme bioluminisensi ini merupakan energi
dingin, karena hampir 90% energi yang dihasilkan dari reaksi luminisensi diubah menjadi
energi cahaya (Maden, 2001 dalam Sari, 2012: 113).
Bioluminisensi dari kunang-kunang banyak dimanfaatkan dalam teknologi , salah
satunya dibidang elektronik seperti: OLED (Organic Light–Emitting Device) yang telah
didesain dan digunakan untuk meningkatkan kualitas gambar. Aplikasi lain sebagai biosensor
seperti memonitor radiasi pada tubuh manusia (Li, 1999 dalam Sari, 2012: 114). Pada bidang
medis, luciferin dan luciferase pada kunang-kunang digunakan untuk membedakan sel yang
normal dengan sel yang terkena kanker (Gajendra-Kannan, 2002 dalam Sari, 2012: 114).

Beberapa jenis organisme yang memiliki kemampuan bioluminisensi banyak terdapat


pada serangga dan yang paling terkenal adalah pada kunang-kunang (Gajendra-Kannan, 2002
dalam Sari, 2012: 113). Kunang-kunang merupakan serangga yang unik, karena
kemampuannya untuk menghasilkan cahaya yang berwarna-warni tergantung habitatnya. Di
Indonesia ditemukan dua jenis kunang- kunang. Salah satu dari spesies tersebut
termasuk Genus Pteroptyx sedangkan yang lainnya belum teridentifikasi (Resti, 2007 dalam
Sari, 2012: 114).

Spesies kunang-kunang termasuk dalam keluarga Lampyridae yang merupakan bagian


dari kumbang (Celeoptera). Seperti pada spesies kumbang pada umumnya, kunang-kunang
memiliki tiga bagian utama, yaitu kepala (caput), dada (torax) dan perut (abdomen). Dalam
bahasa Inggris kunang-kunang disebut dengan istilah Firefly atau Lightning
bug atau Glowworms. Di seluruh dunia, terdapat lebih dari 2.000 spesies kunang-kunang.
Kunang-kunang adalah hewan nokturnal yang melakukan aktivitasnya di malam hari. Pada
siang hari kunang-kunang tidur pada kulit kayu kering (Tristia, 2016: 3).

Kunang-kunang dapat mengeluarkan cahaya melalui suatu proses yang dikenal


dengan bioluminescence. Fenomena bioluminisensi ini sangat menarik untuk diteliti, karena
setiap organisme tersebut memancarkan cahaya dengan warna yang beraneka ragam. Pada
proses ini, zat luciferin di dalam perut (abdomen) bereaksi dengan enzim luciferase dan
oksigen. Reaksi kimia ini mampu menghasilkan cahaya atau panas yang lemah yang kemudian
dikenal dengan istilah cahaya dingin (cold light). Udara yang masuk ke dalam perut kunang-
kunang mampu menciptakan pola denyut yang kemudian menciptakan cahaya berkedip dari
kunang-kunang tersebut (Tristia, 2016: 4).
Kunang-kunang menghasilkan cahaya melalui serangkaian proses. Adenosin tripospat
merupakan sumber bahan bakar bagi energi cahaya bioluminescent. Luciferin menjadi aktif
oleh adanya enzim luciferase (Mattthysen, 2003 dalam Rahayu, 2007: 2). Luciferin yang aktif
ini kemudian bereaksi dengan oksigen. Hasil reaksi ini adalah energi dalam bentuk cahaya
kunang-kunang. Keseluruhan reaksi berlangsung di dalam sel fotosit (Burger, 2005 dalam
Rahayu, 2007: 2). Menurut Trimmer (2001) dalam Rahayu (2007: 2) bahwa proses kimia pada
mekanisme kedap-kedip cahaya kunang-kunang kuncinya adalah pada molekul sederhana gas
nitrogen monooksida (NO) yang berfungsi sebagai pengantar sinyal flash. Gas NO mampu
berdifusi melalui membran sel karena ukurannya yang sangat kecil, bahkan mampu berfungsi
untuk menghantarkan sinyal biokimia.

Kunang-kunang menghasilkan cahaya dengan beberapa alasan, diantaranya yaitu untuk


mencari pasangannya/kawin, sebagai tanda untuk memperingatkan ada bahaya kepada yang
lain dan melindungi diri dari predator (Bongiovanni, 2001 dalam Rahayu, 2007: 3). Masing-
masing spesies kunang-kunang memiliki cahaya yang berbeda, yang membedakan mereka
berkomunikasi dengan yang lainnya. Warna yang dihasilkan kehijauan, kuning atau oranye
tergantung spesies (Rahayu, 2007: 3).

Secara fisika, pancaran cahaya pada kunang-kunang terbang disebabkan kerena adanya
molekul pada keadaan dasar mengalami eksitasi kemudian molekul tersebut kembali lagi
kekeadaan dasar, energi yang dimiliki molekul pada saat eksitasi digunakan untuk
mengeluarkan cahaya pada keadaan dasar. maka ia akan memancarkan cahaya pada panjang
gelombang emisi 540. Pada saat foton masuk bertumbukan langsung dengan atom-atom
material dan menyerahkan energinya pada elektron atom maka terjadi peristiwa Absorbansi.
Foton mengalami perlambatan dan akhirnya berhenti, sehingga pancaran sinar yang keluar dari
material berkurang dibanding saat masuk ke material. Asorbansi dari energi cahaya dapat
menyebabkan elektron tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi apabila energi yang
diabsorbsi tersebut lebih besar dari tingkat energi elektron tersebut. Absorbansi merupakan
logaritma kebalikan dari transmitansi (intensitas relatif). Secara fisika, pancaran cahaya pada
kunang-kunang terbang disebabkan kerena adanya molekul pada keadaan dasar mengalami
eksitasi kemudian molekul tersebut kembali lagi kekeadaan dasar, energi yang dimiliki
molekul pada saat eksitasi digunakan untuk mengeluarkan cahaya pada keadaan dasar. (Sari,
2012: 117).
Cahaya yang dikeluarkan kunang-kunang memiliki beberapa fungsi (Tristia, 2016: 5)
sebagai berikut:
1. Menarik lawan jenis
Kunang-kunang jantan akan terbang sambil mengerlipkan cahaya dengan ritme tertentu
untuk menarik lawan jenisnya. Kunang-kunang betina yang merasa tertarik dengan kerlipan
kunang-kunang jantan akan merespon dengan kerlipan yang sama, sampai akhirnya kunang-
kunang jantan mendekati kunang-kunang betina dan melakukakn perkawinan.
2. Mempertahankan diri
Zat luciferin yang dimiliki kunang-kunang memiliki rasa yang tidak enak dan pahit.
Kerlipan tersebut merupakan sinyal bagi pemangsa serangga bahwa tubuh kunang-kunang
tidak enak (pahit). Beberapa predator yang telah memakan kunang-kunang akan menyisakan
bagian abdomen kunang-kunang.
3. Kegiatan perburuan
Pada spesies tertentu (Photuris betina), cahaya digunakan untuk kegiatan perburuan
dengan cara memanipulasi cahaya menyerupai betina yang lain sehingga pejantan yang
memiliki ritme kerlipan serupa akan berpikir bahwa itu adalah betinanya. Setelah pejantan
tersebut mendekat maka pejantan tersebut akan dimangsanya.

DAFTAR PUSTAKA

Rahayu, Resti. 2007. Mengenal Kunang-Kunang melalui Habitat dan Ciri-ciri Morfologi. Artikel
Ilmiah Dosen Muda 2007. Dipublikasi. Universitas Andalas.
Sari, Melfita dan Ratnawulan dan Gusnedi. 2012. Karakteristik Fisis Pemancaran Cahaya Kunang -
Kunang Terbang (Pteroptyx tener). PILLAR OF PHYSICS, Vol. 1. April 2014, 113-120.
Dipublikasi. Universitas Negeri Padang.
Tristia, Apni Umiarti dan Made Sukana. 2016. KUNANG KUNANG (FIREFLY) : Serangga
Bercahaya, Petualangan Eksotis Malam Hari. Bali.

Anda mungkin juga menyukai