Anda di halaman 1dari 149

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wata’ala, karena


berkat rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan makalah ekologi laut. Makalah ini
diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Ekologi Laut.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun
sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini
memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan
wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Jakarta, November 2014

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... 1


DAFTAR ISI .......................................................................................................... 2
BIOLUMINESCENCE PADA BIOTA LAUT Luthfia Masykuroh
(3425111417), Sunani (3425110161) ..................................................................... 4
Acanthaster plancii Hilma Dianti Marham (3425110175), Nur Saidatuzzahroh
(3425110107) ........................................................................................................ 14
EKOSISTEM LAUT DALAM Achmad Alifianto (3425092337), Yudi Saputra
(3425110109) ........................................................................................................ 28
ASPEK GEOLOGIS DAN EKOLOGI LAUT MATI SERTA
MIKROORGANISME YANG HIDUP DI DALAMNYA Fitri Prihantini
(3425110323), Rani Fitri Andriani (3425111413) ................................................ 38
KIMA (Tridacna gigas) Aditya Ahkami 3524111416, Meirina Orchidanti S.
(3425111422) ........................................................................................................ 49
POTENSI MIKROALGA SEBAGAI BAHAN BIOFUEL DAN PROTEIN
SEL TUNGGAL Asyrof Zamzami (3425111407), M. Faris Indratmo
(3425111409) ........................................................................................................ 58
ZONA INTERTIDAL Anugerah Eka F. (3425110236), Putri Octaviani
(3425111421) ........................................................................................................ 69
RED TIDE - HARMFULL M-ALGA BLOOMS (HAB) Amaliya Ruhama Putri
(3425111400); Rina Trihandayani Putri (3425111424)........................................ 76
TAMAN NASIONAL TELUK CENDRAWASIH SEBAGAI HABITAT HIU
PAUS (Rhincodon typus) Rega Alfi Rosalini (3425111405), Dita Ervianti
(3425111411) ........................................................................................................ 88
TRANSPLANTASI KARANG Sheilla Angelina (3425111408), Mega Ginarsih
(3425111425) ........................................................................................................ 96
KARAKTERISTIK TUBUH DAN PERKEMBANGBIAKAN KUDA LAUT
(Hippocampus spp.) Kunto Wibisono (3425111414), Rizal Yoga Saputra
(3425111420) ...................................................................................................... 111
SELF PURIFICATION Sity Maida (3425111412), Siwi Arthapati Mandiri
(3425111426) ...................................................................................................... 120

2
UNDERWATER CROP CYCLE Aurora Hadiluhung (3425 111 433), Resti
Rahma Dianti (3425 111 401) ............................................................................. 125
BIOREMEDIASI BAKAU YANG DISEBABKAN OLEH MINYAK BUMI
Meilina Andriani (3425111430), Nita Listiyani (3425111402)
............................................................................................................................. 132

3
BIOLUMINESCENCE PADA BIOTA LAUT
Luthfia Masykuroh (3425111417), Sunani (3425110161)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bioluminescens atau biasa dikenal dengan bioluminesensi sudah
dikenalkan 500 SM oleh Aristoteles dalam bukunya yang berjudul "Tentang
Warna". Aristoteles menyebutkan bahwa ada sesuatu yang secara alami seperti
bagian kepala ikan dan tinta dari sotong yang dapat menghasilkan cahaya atau
pendaran.
Pada tahun 1887, Raphael Dubois berhasil mengisolasi lusiferin (substrat
untuk reaksi Bioluminesensi) dan enzim lusiferase (ketalis) dari piddock,
sejenis remis laut. Temuan tersebut dipopulerkan dan dilanjutkan oleh
Edmund Newton Harvey yang menyatakan bahwa senyawa lusiferin dan
lusiferase yang ditemukan pada berbagai spesies makhluk hidup tidak dapat
ditukar.
Pada tahun 1967, Robert Boyle, seorang ilmuwan dari Inggris
mempublikasikan penelitiannya tentangreaksi Bioluminesensi pada fungi yang
memerlukan udara. Laporan berikutnya menyebutkan bahwa oksigen
merupakan komponen udara yang berperan dalam reaksi tersebut.
Penelitian tentang Bioluminesensi berkembang pesat setelah Osamu
Shimomura, seorang ahli biologi kelautan dan kimia organik, berhasil meneliti
tentang protein yang bertanggungjawab dalam menghasilkan luminesensi pada
spesies ubur-ubur Aequorea victoria yang disebut dengan aequorin. Protein
tersebut akan berikatan dengan ion kalsium dan menghasilkan cahaya biru
yang diserap oleh protein berpendar hijau ubur-ubur. Pada tahun 1985,
aequorin berhasil dikloning ke dalam makhluk hidup lainnya dan sejak itu
aplikasi Bioluminesensi mulai banyak diteliti.

4
BAB II
ISI

A. Pengertian Bioluminescence
Adaptasi merupakan salah satu ciri
makhluk hidup. Adaptasi adalah cara
organisme mengatasi tekanan lingkungan
sekitarnya untuk bertahan hidup. Adapatasi
dapat berupa perubahan bentuk diri, jenis
makanan maupun perubahan warna. Adaptasi
biasa dilakukan untuk melindungi diri dari
pemangsa, menarik perhatian lawan jenis atau Gambar 1.Loligo spp.

menarik perhatian makhluk yang akan dimangsa.


Pada hewan laut, adaptasi yang mereka lakukan adalah dengan
mengubah warna diri untuk menghindari pemangsa serta menarik perhatian
dari hewan kecil disekitar untuk dimangsa. Perubahan warna diri dilakukan
dengan cara memendarkan cahaya dari tubuh hewan tersebut. Gen yang
mengendalikan pendar cahaya ini adalah Bioluminescence. Bioluminescence
adalah emisi cahaya yang dihasilkan oleh makhluk hidup disebabkan adanya
reaksi kimia tertentu. Hingga saat ini, Bioluminescence telah ditemukan secara
alami pada berbagai macam makhluk hidup seperti jamur, bakteri, dan
organisme di perairan, namun tidak ditemukan pada tanaman berbunga, hewan
vertebrata terestrial, amfibi, dan mamalia. Contoh hewan laut yang
memendarkan cahaya adalah cumi-cumi, ubur-ubur, gurita, plankton dan lain-
lain.
B. Fungsi Bioluminescence
Secara umum, fungsi bioluminescence menjadi 3 kelompok, yaitu :
1. Pertahanan
Kelompok dinoflagellata, menggunakan emisi cahaya dari enzim
green flourecent protein-nya untuk mempertahankan diri dari serangan
predator. Beberapa jenis dekapoda, sefalopoda dan ikan menggunakan
pendaran cahaya ini sebagai kamuflase untuk sembunyi dari predatornya.

5
Mekanisme pertahanan ini membuat mereka tersamarkan diantara sinar lain
di perairan. Pada beberapa hewan darat yang juga mengeluarkan cahaya
berpendar ini mekanisme pertahanan dengan menggunakan emisi cahaya
disebut aposematisme. Penyamaran menggunakan aposematisme tersebut
membuat hewan-hewan tersebut seakan-akan beracun untuk dimakan atau
tidak enak untuk dimakan sehingga predator akan menghindarinya.
Kunang-kunang adalah salah satu hewan yang mengeluarkan cahaya
berpendar sebagai aposematisme sehingga predator mengganggap bahwa
kunang-kunang tersebut beracun.
Beberapa hewan laut nampak ‘enggan’ untuk memakan zooplankton
karena zooplankton mengeluarkan bioluminescence. Zooplankton tersebut
akan mengeluarkan cahaya saat berada di perut predator, sehingga predator
tersebut mudah ditemukan oleh predator lain yang lebih tinggi
tingkatannya. Fenomena ini tampak pada udang misid yang
memakan dinoflagellata sehingga tubuhnya akan berpendar dan mudah
dikenali oleh pemangsa yang lebih tinggi tingkatannya, yaitu Porichthys
notatus.

Gambar 2. Koloni Dinoflagellata

6
2. Predasi
Selain sebagai pertahanan, bioluminescence juga digunakan para predator
untuk menarik mangsanya. Predator yang menggunakan emisi cahaya sebagai
predasi adalah ikan angel Pterophyllum scalare dan hiu Isistius brasiliensis.
Hiu Isistius brasilensis menggunakan bagian
bawah rahangnya untuk menarik mangsanya.
Cumi-cumi dan ikan-ikan kecil akan
mendekat pada cahaya tersebut karena
mengira siluet tersebut adanya penyamaran
dari mangsa - mangsa mereka. Setelah mangsa
- mangsa tersebut mendekat pada rahang paus
tersebut, itu akan lebih mudah bagi paus untuk
menangkap mangsanya. Selain pada paus
Gambar 3. Angelfish Isistius brasiliensis, Ikan paus sperma
(Pterophyllum scalare)
atau Physeter macrocephalus juga melakukan
hal yang sama dalam melakukan predasi. Ikan ini secara itensif melakukan
predasi dalam keadaan gelap.
3. Sinyal Kawin
Berbeda dari beberapa hewan yang mempunyai kemampuan
bioluminescence yang menggunakan
emisi cahayanya sebagai pertahanan dan
predasi, kunang-kunang menggunakan
emisi cahaya ini sebagai sinyal kawin.
Pada perairan laut
fungsi bioluminescence sebagai sinyal
kawin dilakukan oleh kelompok cacing di
daerah Bermuda yang Gambar 4.Odontosyllis enopla
disebut Odontosyllis enopla. Cacing
betina akan mengeluarkan emisi cahaya yang akan menarik cacing jantannya.
Ketika cacing jantan datang, cacing betina akan mengerluarkan telur dan
cacing jantannya akan mengeluarkan sperma untuk melakukan fertilisasi.
C. Reaksi Gen Bioluminescence

7
Reaksi bioluminescence pada setiap organisme berbeda-beda, bergantung
pada organisme itu sendiri dan enzim yang dikandung dalam
reaksi bioluminescence tersebut. Namun secara umum, reaksi
bioluminescence melibatkan enzim luciferase dan substrat luciferin yag
strukturnya dapat berbeda-beda antara satu organisme dengan organisme
lainnya. Berikut dipaparkan reaksi bioluminescence pada beberapa organisme:
1. Bakteri
Reaksi bioluminescence pada bakteri yang menyebabkan bakteri
tersebut berpendar adalah sebagai berikut :
FMNH2 + RCHO + O 2 à FMN + RCOOH + H2 O + hv
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik dan merupakan oksidasi dari
senyawa Riboflafin Fosfat(luciferin bakteri) serta rantai panjang
aldehida lemak sehingga menghasilkan emisi cahaya hijau-biru yang
dikatalis oleh enzim luciferase.

Gambar 5. Bakteri penghasil


bioluminescence

Namun selain luciferase, masih ada enzim-enzim lain yang


bekerja pada reaksi ini. Enzim-enzim tersebut diatur oleh sebuah
operon yang disebut operon lux. Contoh bakteri penghasil
bioluinescence yang telah diteliti adalah genus Vibrio (V. harveyi, V.
fischeri, V. cholera), Photobacterium (P. phosphoreum, P. leiognathi),
Xenorhabdus (X.luminescens), Alteromonas (A.haneda),dan Shewanell
a. Sementara itu, hanya sedikit cendawan yang diketahui dapat
menghasilkan bioluminescence, di antaranya adalah Armillaria
mellea, Panellus Stipticus, Omphalotus nidiformis, dan Mycena sp.

8
2. Dinoflagellata
Pada Dinoflagelata, substrat luciferin yang bekerja untuk
menghasilkan emisi cahaya ini sangat mirip dengan klorofil pada
tumbuhan hanya berbeda pada ion metalnya.

Gambar 6.Noctiluca scintillans Gambar 7. Euphausia pacifica

Struktur luciferin ini juga ditemukan pada sejenis udang yang


bergenus euphausiid. Pada pH ± 8, molekul luciferinnya akan
berikatan dan dilindungi oleh protein pengikat luciferin. Namun, jika
pada pH ±6, enzim luciferin ini akan berubah konformasinya,
kemudian sisi aktifnya bebas dan kemudian dihasilkanlah
cahaya bioluminescence.
3. Ostracod
Enzim yang dihasilkan pada Ostracod atau sejenis udang-
udangan ini bergantung pada makanannya. Beberapa ikan dapat
berhenti berpendar jika ia kekurangan makanannya. Sejauh ini substrat
luciferin pada sejenis Ostracod ini adalah dari
keluarga Cypridina,Vargula, dan beberapa jenis ikan.
Biota laut keluarga Vargula ini biasa disebut sebagai kunang –
kunang laut, Kunang-kunang laut menghasilkan cahaya yang terdapat
pada bagian tubuhnya. Cahaya ini digunakan sebagai daya tarik untuk
menarik lawan jenisnya dan mendorong perkawinan.Kunang-kunang
menggunakan enzim D-Luciferin untuk menghasilkan cahaya
berpendar.

9
Gambar 8. Vargula hilgendorfii

Enzim ini akan mengalami dekarboksilasi oksidatif dengan


bantuan ATP sehingga dihasikan cahaya. Kunang-kunang laut juga
memiliki enzim khusus yang dapat meregenerasi oksilusiferin menjadi
D-lusiferin yang dapat digunakan kembali sebagai substrat. Selain D-
lusiferin, senyawa L-lusiferin diketahui juga dapat menjadi substrat
bagi kunang-kunang untuk menghasilkan pendaran.
Sistem produksi cahaya ini sangat khas dan efisien, karena sekitar
95% energi yang diepas ketika luciferin dioksidasi menjadi oksi-
luciferin dalam bentuk berkas cahaya. Sebaliknya, matahari
menghasilkan 35% (daeri energinya) dalam bentuk cahaya, dan bola
lampu listrik hanya 10% daeri energi yang diserap berwujud cahaya.
D. Aplikasi Bioluminescens
Adanya penemuan tentang bioluminescence telah dimanfaatkan manusia
di dalam berbagai bidang, salah satunya adalah bidang medis. Di bidang
tersebut bioluminescence dimanfaatkan untuk mendeteksi keberadaan sel
kanker dalam tubuh secara lebih cepat melalui suatu teknologi baru yang
disebut bioluminescence imaging (BLI). Dengan BLI, ukuran dan lokasi sel
kanker dalam tubuh dapat diketahui sehingga tindakan perawatan yang tepat
dapat ditentukan. Temuan ini juga dapat mempermudah riset mengenai
perawatan atau obat kanker yang efektif dapat mengatasi penyakit tersebut
karena perkembangan sel tumor dapat dipantau dengan lebih mudah.
Selain itu, bioluminescence juga telah dimanfaatkan sebagai gen pelapor
untuk melihat perkembangan atau ploriferasi sel punca manusia. Penggunaan

10
bioluminescence sebagai gen pelapor juga telah diaplikasikan pada tanaman
transgenik hasil rekayasa genetika. Salah satu penelitian yang telah dilakukan
adalah penggunaan gen dari kunang-kunang pada tanaman tembakau
transgenik yang diinfeksi dengan Agrobacterium tumefaciens untuk mengamati
ekspresi dari gen yang dimasukkan ke tanaman tembakau tersebut.
Dalam bidang ekologi, mikroorganisme penghasil luminesensi juga dapat
digunakan untuk pembuatan biosensor untuk mendeteksi keberadaan polutan
atau kontaminan tertentu di lingkungan. Salah satu contoh yang telah
diaplikasikan adalah pembuatan biosensor untuk deteksi senyawa ekotoksik
organotin. Dalam industri makanan, bioluminescence yang memanfaakan
penggunaan ATP juga telah dimanfaatkan untuk mendeteksi mikroba patogen
yang terkandung di dalam makanan.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan dan Saran


Bioluminescence adalah emisi cahaya yang dihasilkan oleh makhluk
hidup disebabkan adanya reaksi kimia tertentu. Bioluminescence telah
ditemukan secara alami pada berbagai macam makhluk hidup seperti jamur,
bakteri, dan organisme di perairan, namun tidak ditemukan pada tanaman
berbunga, hewan vertebrata terestrial, amfibi, dan mamalia. Contoh hewan
laut yang memendarkan cahaya adalah cumi-cumi, ubur-ubur, gurita,
plankton. Fungsi Bioluminescence aterbagi menjadi 3 kelompok yaitu untuk
pertahanan, predasi dan sinyal kawin. Reaksi bioluminescence pada setiap
organisme berbeda-beda, bergantung pada organisme itu sendiri dan enzim
yang dikandung dalam reaksi bioluminescence tersebut.
Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi penulis serta
pembacan bahwa ada banyak potensi besar yang bisa didapatkan dari biota
laut, sehingga dapat menyadarkan masyarakat untuk menjaga kelestarian biota
laut dan lingkungannya. Selain itu, dengan adanya makalah ini diharapkan

11
juga akan ada banyak lagi penelitian mengenai bioluminescence yang
memberikan banyak manfaat bagi kehidupan manusia.

Daftar Pustaka

David F. Gruber (2006). Aglow in the Dark: The Revolutionary Science of


Biofluorescence.Belknap Press. ISBN 978-0-674-01921-8.Hal. 11-21
David W. Ow, Jeffrey R. De Wet, Donald R. Helinsky, Stephen H. Howell, Keith
V. Wood, Marlene Deluca (November 1986). "Transient and Stable
Expression of the Firefly Luciferase Gene in Plant Cells and Transgenic
Plants". Science. 234. no. 4778, pp. 856 – 859 : 856
859. doi:10.1126/science.234.4778.856.
Dikmen, Z. G. Gellert, G. Dogan, P. Mason, R. Antich, P. Richer, E. Wright, W.
E. Shay, J. W. (2005). "A New Diagnostic System in Cancer
Research: Bioluminescent Imaging (BLI)". Turk J Med Sci 35: 65–70.
Edward A. Meighen (Maret 1991). "Molecular Biology of Bacterial
Bioluminescence". Microbiological review 55 (1): 123–142.
Frank TM, Widder EA, Latz MI, Case JF. (1984). "Dietary maintenance of
bioluminescence in deep-sea mysid". J. Exp. Biol 109: 385–389.
G. Bundy, J.L. Wardell, C.D. Campbell, K. Killham, G.I. Paton
(1997)."Application of bioluminescence-based microbial biosensors
to the ecotoxicity assessment of organotins". Letters in Applied
Microbiology 25: 353–358.
John G. Burr (1985). Chemi- and bioluminescence.CRC Press. ISBN 978-0-8247-
7277- 2.Hal.321-323;331-332
James B. Wood, Kim Zeeh. Marine Animal Bioluminescence: A host of simple
and complex marine animals light up their world and ours with
bioluminescence.Vincent Pieribone, Keiko Gomi, Naoki Kajiyama‡ (Juli
2001). "Oxyluciferin, a Luminescence Product of Firefly Luciferase, Is
Enzymatically Regenerated into Luciferin". Journal of Biological
Chemistry 276: 36508–36513. doi:10.1074/jbc.M105528200.

12
M. W. Griffiths (1993). "Applications of Bioluminescence in the Dairy
Industry". J Dairy Sci 76: 3118–3125.
Nicolas LEMBERT (1996). "Firefly luciferase can use L-luciferin to produce
light". Biochem. J. 317: 273–277.
Osamu Shimomura (2006). Bioluminescence: Chemical Principles And Methods.
World Scientific Publishing Company. ISBN 978-981-256-801-4.
Raphael De Cock, Erik Matthysen (November 1999). "Aposematism and
Bioluminescence: Experimental evidence from Glow-worm
Larvae(Coleoptera: Lampyridae)". Evolutionary Ecology 13: 619–
639. doi:10.1023/A:1011090017949.
Steven H.D. Haddock, Mark A. Moline, James F. Case (Januari 2010).
"Bioluminescence in the Sea". Annual Review of Marine Science 2:
443–467. doi:10.1146/annurev- marine- 120308-081028.
Todd J. Underwood, Douglas W. Tallamy, John D. Pesek (Mei 1997).
"Bioluminescence in firefly larvae: A test of the aposematic display
hypothesis (Coleoptera: Lampyridae)". Journal of Insect
Behavior 10: 365–370.doi:10.1007/BF02765604.
Widder EA (1998). "A predatory use of counterillumniation by the squaloid shark,
Isistius brasiliensis". Environmental Biology of Fishes 53 53: 267–273.
Wilson K., Yu J., Lee A., Wu J.C. (2008). In vitro and in vivo Bioluminescence
Reporter Gene Imaging of Human Embryonic Stem Cells.
JoVE.14.http://www.jove.com/index/Details.stp?ID=740,doi:10.3791/740.

13
Acanthaster plancii
Hilma Dianti Marham (3425110175), Nur Saidatuzzahroh (3425110107)

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Bintang laut Acanthaster planci merupakan salah satu masalah besar yang
potensial dihadapi di dalam pengelolaan terumbu karang. Di antara pemangsa
karang yang ada, A. planci adalah pemangsa karang yang paling berbahaya
ketika terjadi peledakan populasi (outbreak), sehingga hampir seluruh karang
hidup dimangsa oleh A. planci. Kerusakan terumbu karang akibat A. planci
telah dilaporkan di seluruh dunia, misalnya Jepang, Australia, Palau, Guam,
Vanuatu, Papua, Vietnam dan Indonesia. Walaupun peledakan populasi A.
planci di Indonesia telah banyak dilaporkan secara lisan, publikasi tentang
masalah ini masih sangat sedikit. Publikasi tentang A.planci yang tersedia
banyak berasal dari Jepang dan Australia.
Di the Great Barrier Reefs (GBR), Australia, berdasarkan sisa-sisa duri
dan kerangka di dalam sedimen diperkirakan bintang laut A. planci telah
muncul di terumbu sekitar 3350 tahun yang lalu, walaupun tidak ada bukti
kuat bahwa telah terjadi peledakan populasi yang menghabisi karang di
terumbu sebelum tahun 1960-an (Moran et al. 1986). Peledakan populasi A.
planci pertama kali dilaporkan pada tahun 1962 di Green Island, GBR.
Peledakan populasi di Jepang pertama kali dilaporkan pada tahun 1969.
Bintang laut A. planci diperkirakan mulai memasuki perairan Jepang pada
tahun 1957-58 dan melakukan pemangsaan karang yang serius sejak awal
tahun 1970-an.
Kerusakan terumbu karang yang dapat ditimbulkan oleh A. planci sangat
besar sehingga pengelolaannya membutuhkan dana yang besar pula. Di
Rukyu Islands, Jepang, kehadiran A. planci telah menelan biaya JPY 600 juta
untuk memusnahkan 13 juta bintang laut antara tahun 1970-1983 (Yamaguchi
1986). Di perairan sekitar Cairns-Whitsunday, GBR, peledakan populasi A.

14
planci telah menelan biaya AUD 3 juta untuk pengendalian populasi selama
setahun pada tahun 2001 (CRC 2003). Disamping itu, jutaan dollar dana juga
telah dihabiskan untuk penelitian A. planci selama 17 tahun di GBR.
Di Indonesia, kehadiran A. planci telah dilaporkan sejak tahun 1970-an
oleh para peneliti LIPI, misalnya di sekitar Ambon (Soegiarto) dan
Kepulauan Seribu (Aziz and Soekarno) (Lane, 1996). Kedua laporan tersebut
menunjukkan adanya A. planci dalam jumlah kecil atau dalam kondisi masih
kecil (belum dewasa). Peneliti LIPI lainnya, Darsono dan Sukarno, telah
mengamati adanya populasi A. planci di Kepulauan Seribu dari tahun 1991-
1993 dan dilaporkan tidak ada peledakan populasi (Tomascik et al, 1997).
Peledakan populasi baru terjadi pada tahun 1995, yang dilaporkan di dalam
suatu seminar, tetapi tidak dalam suatu publikasi. Publikasi ilmiah tentang
kerusakan terumbu karang Indonesia akibat A. planci baru dilakukan pada
saat terjadi peledakan populasi di Kepulauan Banggai oleh Lane (1996). Pada
tahun 1996 juga dijumpai adanya pemangsaan karang oleh A. planci yang
menghabiskan hampir seluruh karang di Pulau Menjangan, Taman Nasional
Bali Barat, dan Pantai Bama, Taman Nasional Baluran (Bachtiar, unpublished
data). Pada tahun 2005, peledakan populasi (outbreak) bintang-laut A. planci
dilaporkan terjadi di Pulau Kapoposang, Sulawesi Selatan (Yusuf 2008).
Makalah ini dimaksudkan untuk menghimpun informasi yang tersebar di
dalam jurnal dan buku tentang biologi dan ekologi bintang laut A. planci dan
mencari solusi pengelolaannya. Rendahnya jumlah tulisan tentang A. planci
menyebabkan rendahnya kepedulian dan antisipasi ancaman A. planci di
dalam rencana pengelolaan terumbu karang. Ketika terjadi peledakan
populasi di suatu terumbu karang, sebagian pemerintah dan masyarakat tidak
tahu bagaimana cara penangannya.

15
BAB II
ISI

A. MORFOLOGI
Acanthaster planci atau Crown-of-thorns starfish merupakan salah satu jenis
bintang laut raksasa dengan jumlah duri yang banyak sekali, sehingga di
Indonesia lebih dikenal dengan nama Bulu Seribu. Penulis sendiri tidak tahu
mengapa tidak disebut duri seribu padahal hampir seluruh tubuh bagian atas
binatang ini ditutupi duri dan tidak ada satupun bulu dapat ditemukan disana.
Bulu Seribu pertama kali dicatat oleh George Rumphius tahun 1705 dan
kemudian diberi nama Acanthaster planci oleh LINNAEUS tahun 1758.
Bulu seribu mempunyai warna bermacam-macam tergantung pada lokasi di
mana mereka tinggal misalnya bulu seribu yang ditemukan di Thailand
mempunyai warna merah dan abu-abu. Warna yang sama juga banyak ditemukan
di Great Barrier Reef. Sedangkan di Hawaii bulu seribu berwarna hijau dan
merah. Di Indonesia bulu seribu umumnya berwarna abu-abu, ungu, hijau dan
biru.

Lengan bulu seribu berjumlah antara 8-21 buah. Madreporit terdiri dari 3-
16 buah dengan anus bervariasi antara 1—6 buah, sedangkan kulitnya
mengandung ba-han magnesium calcite. Walaupun bulu seribu mempunyai

16
variasi dalam warna, jumlah lengan, madre-porit dan anus, marga Acanthaster
hanya mempunyai satu jenis yaitu Acanthaster planci.
B. DURI Acanthaster planci
Duri pada Acanthaster planci mempunyai arti yang sangat penting untuk
mem-pertahankan diri dari hewan pemangsa. Duri ditutupi oleh selapis kulit tipis
dan dibawah kulit duri terdapat racun yang ber-sifat anti predator. Komposisi
racun ini seperti protein dan disebut saponin. Jika manusia tertusuk duri akan
berakibat gatal-gatal, melepuh biasa sangat sakit atau bah-kan dapat muntah-
muntah. Panjang duri sangat bervariasi dan dapat mencapai panjang 4 - 5 cm
dengan kecepatan tumbuh rata-rata 1,3 mm per bulan. Duri tumbuh secara
komplit pada waktu bulu seribu berumur 12 - 18 bulan. Pertumbuhannya meman-
jang, dan yang bertambah panjang adalah pangkalnya. Pertambahan panjang
diikuti dengan penimbunan pigment yang berwarna hitam. Penimbunan pigment
ini terjadi pada konsentrasi yang berbeda, sehingga terlihat adanya lapisan gelap
dan terang sepanjang duri tersebut. Adanya perbedaan gelap dan terang dapat
dimanfaatkan untuk mengetahui umur bulu seribu.
Para pakar terdahulu menggunakan rasio jumlah total duri untuk mengetahui
umur seekor bulu seribu atau yang lebili dikenal sebagai indek pertumbuhan.
Pengu-kuran indek pertumbuhan ini sangat dipe-ngaruhi oleh kondisi lingkungan.
Seperti misalnya individu yang mempunyai pertum-buhan cepat akan mempunyai
indek yang kecil. Perkiraan umur menggunakan tanda penimbunan pigment tadi,
tampaknya tidak terlalu banyak dipengaruhi oleh nutrisi lingkungan. Akan tetapi
belum diketahui apakah penimbunan pigment ini tidak dipengaruhi oleh musim
dan letak geografi. Penelitian lebih lanjut masih perlu dilakukan untuk dapat
menggunakan timbunan pigment sebagai tanda untuk menentukan umur bulu
seribu.
C. SIKLUS HIDUP
Acanthaster planci pada prinsipnya sama persis dengan pola siklus hidup
hewan Asteroidea (bintang laut) yang lainnya. Zigot yang terjadi pada saat
pemijahan berkembang melalui proses-proses blastulasi dan gastrulasi yang
kemudian memasuki tahapan dua fase larva secara berurutan, yaitu bipinnaria dan
brachiolaria. Kedua larva tersebut hidup sebagai plankton sehingga pergerakannya

17
mengikuti arah arus. Larva brachiolaria yang matang mempunyai daya apung
negatif sehingga turun ke dasar laut yang biasanya di kawasan terumbu karang.
Diduga larva brachiolaria menggunakan ‘aroma’ alga berkapur sebagai tanda-
tanda untuk turun menempel pada terumbu karang. Setelah menempel di dasar
terumbu, dimulailah kehidupan sebagai bentos bagi Acanthaster planci.
Penempelan larva Acanthaster planci kemungkinan terjadi di tempat yang dalam
karena pemangsaan karang oleh Acanthaster planci biasanya dimulai dari karang
di tempat yang dalam.
Periode planktonis dari Acanthaster planci berlangsung sekitar dua atau tiga
minggu. Makanan larva planktonis Acanthaster planci terdiri dari fitoplanton
(khususnya pikoplankton), bakteri dan bahan organik terlarut. Periode planktonis
larva brachiolaria diakhiri dengan berkembangnya lima lengan melalui
metamofosis dan menempel di dasar terumbu. Metamorfosis tersebut terjadi
setelah hari ke-12. Ukuran diameter Acanthaster planci pada saat terjadi
penempelan sekitar 0,5-1 mm atau 500-1000 mikron. Anakan Acanthaster planci
yang sudah menempel di terumbu mendapatkan makanan dari alga berkapur. Pada
umur sekitar 4-6 bulan, ketika ukuran tubuhnya mencapai 10 mm, Acanthaster
planci merubah makanannya menjadi pemangsa karang dan mampu tumbuh jauh
lebih cepat. Laju mortalitas Acanthaster planci sangat tinggi, sebagaimana
invertebrata laut lainnya. Laju mortalitas akan berkurang dengan bertambahnya
ukuran tubuh Acanthaster planci. Pada kotak percobaan di lapangan, laju
mortalitas anakan Acanthaster planci pada ukuran 1,1 cm atau umur satu bulan
adalah 6,49% per hari. Laju mortalitas tersebut menurun pada hewan yang lebih
besar menjadi 1,24% per hari pada ukuran 2,7 mm (4 bulan) dan menjadi 0,45%
per hari pada ukuran 5,5 mm (7 bulan). Di dalam kajian Moran (1990) disebutkan
bahwa laju mortalitas Acanthaster planci pada umur 7-23 bulan adalah 99,3%,
atau sekitar 1,08 % per hari, sedangkan laju mortalitas Acanthaster planci antara
umur 22-34 bulan adalah 75%, atau sekitar 0,39% per hari. Ketiga penelitian
tersebut dilakukan pada saat terjadi peledakan populasi, sehingga faktor kepadatan
populasi dapat berpengaruh.

18
Bulu seribu dibedakan menjadi hewan jantan dan betina sehingga tidak
dikenal adanya bulu seribu yang bersidat hermapro-dit. Fertilisasi secara external
dengan ratio 1 : 1 untuk garnet jantan dan garnet betina. Bulu seribu dewasa
dengan ukuran 0,5 - 4 kg dapat menghasilkan telur sebanyak 4 - 65 juta. Pada saat
pemijahan, terjadi pelepas-an secara serentak antara sperma dan telur. Waktu
pemijahan tergantung pada letak geografi di mana hewan ini hidup. Di belahan
bumi selatan terjadi pada bulan November - Januari sedang untuk belahan bumi
utara terjadi pada bulan Mei - Juli. Pemijahan bulu seribu di daerah khatulistiwa
seperti di Indonesia belum ada yang mengamati. Lamanya pelepasan telur atau
sperma adalah 30 menit dengan ukuran telur rata-rata 0,2 mm dan sperma 0,5 mm.
Mekanisme yang menyebab-kan pelepasan gonad secara serentak antara hewan
jantan dan hewan betina
Penelitian menunjukkan bahwa pada saat pemijahan, Bulu seribu melepaskan
sejenis hormon yang disebut pheromone. Pheromone ini merang-sang bulu serbiu
yang berdekatan untuk melepaskan gonadnya. Sampai seberapa jauh pengaruh
pheromone ini dapat efektif untuk menghasilkan suatu fertilisasi secara sukses
antara dua individu jantan dan betina belum diketahui. Setelah telur dan sperma

19
bertemu bulu seribu akan mengalami dua fase dalam hidupnya yaitu fase plankton
dan fase pasca metamorfosa.
Fase planktonik di bedakan menjadi fase di mana garnet akan berubah
menjadi blastula yang selanjutnya menjadi gastrula, bipinaria dan yang terakhir
menjadi brachiolaria. Bipinaria biasanya mempunyai umur 4-5 hari sedangkan
pada umur 6 - 12 hari bipinaria berubah menjadi brachiola-ria. Pada hari ke 12
dan 16 brachiolaria akan mulai melekat pada suatu substrat dan mengalami
metamorfosa. Brachiolaria akan megalamai metamorfosa menjadi bulu seribu
muda. Pada masa pasca metamorfosa ini bulu seribu dibagi lagi mfenjadi
beberapa tingkatan tergantung dari jenis makanannya. Sesudah mengalami
metamprfosa Bulu Seri-bu memakan berbagai jenis algae yang kemu-dian
memakan karang. Pada perkembangan berikutnya akan menjadi bulu serbiu
dewasa. Pada umur dua tahun bulu seribu akan men-jadi induk muda walaupun
tingkat fekun-ditasnya masih rendah.
D. PERTUMBUHAN
Temperatur optimal untuk pertum-buhan bulu seribu berkisar antara 26 - 28
°C. Batas toleransi suhu maximum dan mi-nimum adalah 33 °C dan 14 °C. Di
atas suhu 33 °C bulu seribu akan mati begitu juga di bawah suhu 14 °C.
Kecepatan tum-buh pada kondisi normal adalah 26 mm per-bulan untuk individu
muda yang memakan algae. Individu muda pemakan karang mem-punyai
pertumbuhan yang sangat cepat yaitu 16.7 mm per bulan sedangkan setelah
mencapai dewasa pertumbuhan berkisar an-tara 4.5 mm per bulan. Sedangkan
ukuran diamter tubuh berdasarkan umur adalah seperti yang terlihat pada tabel
berikut.

20
E. HABITAT, DAN TINGKAH LAKU
Bulu beribu menyukai daerah terumbu karang yang padat dengan persentase
tutupan yang tinggi. Pada umumnya mereka menyukai karang yang bercabang
dengan bentuk pertumbuhan seperti meja. Anakan bulu seribu menyukai tempat
yang terlindung misalnya dibawah bongkah-bongkah karang atau dibawah
pecahan karang. Bulu seribu dewasa tidak menyukai tempat yang terbuka seperti
daerah dangkal yang dipenga-ruhi ombak atau arus yang kuat.

Gambar 3. Habitat Acanthaster planci


Di Pulau-pulau Seribu individu dewasa pada umum-nya banyak dijumpai
pada kedalaman 3 - 5 meter. Sebaran vertikal bulu seribu di Great Barrier Reef
dapat mencapai kedalaman 65 meter. Kecepatan bergerak pada anakan hingga
individu muda adalah antara 0.6-4 meter per jam. Sedangkan bulu sebiru dewasa
dapat bergerak dengan kecepatan 20 meter per jam. Bulu Seribu mem-punyai
daya regenerasi yang tinggi sekali. Jika kita hilangkan sepertiga dari tubuhnya
maka dengan cepat akan pulih seperti semu-la. Bulu seribu juga dapat
menanggalkan lengannya jika diperlukan. Pangkal lengan yang ditanggalkan akan
tumbuh kembali dengan kecepatan 25 mm per bulan.
Kebutuhan oksigen bertambah dengan bertambahnya berat tubuh. Energi
yang di-butuhkan untuk reproduksi mencapai 45 %. Energi yang besar ini
dibutuhkan terutama pada saat pemasakan gonad. Energi diperoleh dari polip
karang yang dimakan yang dilakukan pada siang hari.

21
F. CARA MAKAN DAN PREDATOR
Makanan bulu seribu berbeda-beda, tergantung dari tingkat kedewasaaannya.
Tingkah laku makanpun berhubungan de-ngan ukuran tubuh. Bulu seribu dewasa
makan pada siang maupun malam hari, sedangkan yang muda makan dilakukan
pada malam hari. Individu muda makan pada malam hari untuk menghindarkan
diri dari predator. Pada tingkat larva makanan utamanya adalah phytoplankton
terutama dari jenis diatom dan dinoflagelata. Pada tingkat berikutnya yaitu
sesudah bulu seribu berubah menjadi juvenil makanan utama-nya berupa
"Coralline algae" dari jenis Lithothamnion sp. dan Porolithon sp. In-dividu muda
maupun dewasa umumnya makan polip karang batu, tetapi pada waktu karang
batu sulit ditemukan mereka mema-kan karang lunak, algae, gorgonian atau
bahkan bulu seribu yang lain. Pada saat kritis tanpa makanan Bulu Seribu dapat
tahan berpuasa selama 6 - 9 bulan.
Cara makan bulu seribu cukup unik. Isi perut dikeluarkan melalui mulut
kemudi-an ususnya akan menutupi permukaan kolo-ni karang sehingga
pencernaan terjadi di-luar tubuh bulu seribu. Pada saat mencerna makanan bulu
seribu mengeluarkan suatu enzim dari "pyloric caeca" yang berfungsi sebagai
pemecah lemak. Proses pencernaan ini membutuhkan waktu antara 4 - 6 jam.
Pada saat makan diduga bulu seribu juga mengeluarkan suatu zat tertentu yang
dapat merangsang bulu seribu yang lain untuk berkumpul dan makan secara
beramai-ramai. Bulu seribu dewasa lebih menyukai jenis karang batu yang
tumbuh cepat dan mempu-nyai bentuk pertumbuhan yang lebar dan mendatar.
Jenis karang yang disukai adalah dari marga Acropora dan Montipora.
Bulu seribu yang mempunyai bentuk tubuh yang kokoh dengan seluruh
tubuh dilindungi duri-duri yang beracun tampaknya tidak mungkin ada pemangsa
yang mau memakannya, akan tetapi sejak dari mulai bentuk telur hingga individu
dewasa bulu seribu tidak luput dari incaran pemangsa. Pada stadium larva bulu
seribu merupakan makanan karang batu dan ikan-ikan karang seperti Chromis
dimideatus. Pada stadium juvenil bulu seribu merupakan santapan empuk bagi
ikan-ikan karang, udang (Hyme noceva picta), lobster Panulirus penicillatus.
Pada waktu bulu seribu menjadi dewasa diburu oleh sejenis cacing dari jenis
Pherecardia Striata, ikan karang dari jenis Arothron hispidus dan jenis moluska

22
dari jenis Charonia tritonis. Kematian bulu seribu yang disebabkan oleh predator
diperkirakan an-tara 5 - 6 %. Sebagian besar kematian bulu seribu terjadi dalam
tingkat juvenil yaitu mencapai 99 % dan penyebab utamanya adalah penyakit.
Pada waktu bulu seribu telah menjadi dewasa jarang sekali diserang oleh
penyakit. Kematian individu yang di-sebabkan oleh penyakit ditandai dengan
rontoknya duri-duri dan luka yang berupa lubang di dinding tubuhnya. Larva bulu
seribu dapat menyebar pada jarak yang cu-kup jauh. Pada perkembangan
berikutnya mereka membutuhkan substrat untuk mele-kat yang biasanya berupa
film bakteri atau sejenis algae tertentu (Lithotamnion sp.).
G. LEDAKAN POPULASI
Sebaran bulu seribu hanya di daerah Indo-Pacifik dan beberapa lokasi yang
lain seperti Red Sea, Mauritius, Maldives, Teluk Panama. Kepadatan normal
artinya jumlah yang belum dianggap berbahaya untuk dapat merusak komunitas
karang adalah berkisar antara 10 - 20 individu/km. Pada saat terjadi ledakan
populasi bulu seri-bu dapat mencapai 20/m . Pada tahun 1980 di Kepulauan Green
dilaporkan populasi Bulu Seribu mencapai 3 juta dan di Pulau Ryu-kyus berhasil
dibunuh sebanyak 13 juta. Ledakan populasi bulu seribu telah beberapa kali
terjadi dan yang terakhir dilaporkan terjadi di Great Barrier Reef pada kurun
waktu 1981 - 1989. Di malaysia juga dilaporkan telah terjadi ledakan populasi di
tahun 1987 - 1989. Dari data Geologi menunjuk-kan kemungkinan pernah terjadi
ledakan populasi bulu seribu di Great Barrier Reef pada 7000 tahun yang silam.
Pa da akhir tahun 1950 terjadi ledakan populasi di Jepang dan pada tahun 1960
terjadi di Great Barrier Reef, Micronesia, Ryukyus dan Samoa. Ledakan populasi
bulu seribu dapat berlangsung selama bertahun-tahun tergantung dari luas daerah
terumbu karang. Di daerah terumbu karang yang sangat luas seperti di Great
Barrier Reef ledakan populasi berlangsung selama 10-15 tahun, sedang-kan di
daerah pulau karang yang terisolir da-pat berlangsung selama 3-4 tahun. Penye-
bab terjadinya ledakan populasi sampai seka-rang belum diketahui secara pasti.
Beberapa hipotesa menduga bahwa ledakan populasi sangat erat hubungannya
dengan predator dan nutrisi yang dibawa oleh banjir. Beberapa ahli
menyinipulkan adanya interaksi yang saling terkait antara beberapa faktor.

23
Gambar 4. Ledakan Acantasther plancii
Akibat ledakan populasi, 60 % dari karang di Great Barrier Reef hancur.
Kematian karang dapat bervariasi antara 2 - 78 % dalam waktu 6 bulan. Kematian
karang ti-dak merata tergantung dari lokasi dan ke-dalaman. Kecepatan makan
bulu seribu dewasa adalah antara 5 - 6 m /tahun. Terumbu karang yang rusak
akibat bulu seribu memerlukan waktu antara 12-15 tahun untuk pulih seperti
semula, jika populasi karang yang rusak terdiri dari jenis ka-rang yang
mempunyai pertumbuhan cepat seperti Acropora dan Montipora. Pada komunitas
karang yang sebagian besar terdiri dari karang masif, jika terjadi ledakan popu-
lasi bulu seribu maka untuk dapat pulih kembali seperti semula memerlukan
waktu 50 tahun dengan asumsi tidak ada gangguan yang lain.
H. UPAYA PENGENDALIAN DAN KENDALANYA
Dalam usaha untuk mengontrol ledakan populasi Acanthaster planci berbagai
cara dan usaha telah dilakukan akan tetapi hasilnya belum memuaskan atau kalau
tidak, boleh dikatakan gagal. Berbagai cara telah dilakukan untuk membunuh
Acanthaster planci antara lain membunuh hewan ini di tempat yaitu dengan jalan
membagi atau memenggal tubuhnya menjadi paling sedikit 4 bagian. Hal ini perlu
dilakukan karena jika tubuhnya dibagi menjadi 2 bagian maka masing-masing
bagian akan dapat berrege-nerasi kembali menjadi individu baru yang utuh.
Cara kedua yaitu dengan mengumpulkan Acanthaster planci kemudian
mengang-kat dari laut dan dikubur di pasir. Cara ini sangat baik akan tetapi

24
memakan banyak tenaga dan biaya. Cara ketiga adalah dengan cara menyuntik
Acanthaster planci dengan Cupri sulfat pekat dengan dosis antara 5 -10 ml/ekor.
Cara suntik ini pernah dilakukan di Australia dan cukup efektif untuk
membunuhnya akan tetapi biayanya cu-kup mahal. Setelah dihitung ternyata un-
tuk membunuh setiap ekor diperlukan Rp. 70.000,-. Dengan biaya sebesar itu
pengendalian populasi Acanthaster planci hanya efektif jika daerah yang
dikendalikan relatif sempit. Untuk daerah yang luas cara pengendalian dengan
suntikan sulit untuk dipertanggungjawabkan. Hal ini disebabkan karena kecepatan
reproduksi dan kecepatan bergerak yang tidak seimbang jika dibandingkan
dengan kecepatan untuk membunuh Acanthaster planci jika hal ini dilakukan di
daerah yang sangat luas. Seperti telah disebutkan sebelumnya, sebaran vertikal
Acanthaster planci adalah dari kedalaman 0-30 m. Sebaran horizontal dapat
bersifat merata, bergerombol atau solider sehingga membu-tuhkan penyelam yang
banyak sekali untuk dapat membunuh dengan baik.
Program pengendalian Acanthaster planci pernah dilakukan di pulau Ryukyu
dan di Great Barrier Reef namun kedua proyek tersebut kurang berhasil walaupun
telah menelan banyak tenaga dan biaya. Biaya yang besar terutama dikeluarkan
untuk logistik meliputi jumalh waktu pemakaian kapal. Biaya untuk penyelaman
sangat besar, hal ini disebabkan keterbatasan waktu selam bagi seorang penyelam.
Biaya pengamatan sebelum dan sesudah program pengendalian yang harus
dilakukan. Program pengendalian Acanthaster planci tidak dapat dilakukan dalam
waktu singkat oleh karena sifat alaminya yang bersifat "cryptic" dan mempunyai
kemampuan ber-gerak yang cepat. Untuk program pengen-dalian juga harus perlu
data topografi secara detail dari lokasi dan pola arus.
I. PENELITIAN Acanthaster planci DI INDONESIA
Pengamatan Acanthaster planci di Indonesia pernah dilakukan oleh AZIZ dan
SUKARNO (1977) di Pulau Tikus, Pulau-pulau Seribu. Pengamatan yang
dilakukan meliputi besarnya populasi ukuran individu dan kecepatan gerak serta
jenis-jenis karang yang dimakan oleh Acanthaster planci. Pada tahun 1983
(DARSONO 1988)menga-mati fluktuasi jumlah Acanthaster planci di Pulau Pari,
Pulau Genteng dan Pulau Kelapa, menemukan bahwa populasinya relatif rendah
yaitu berkisar antara 1-13 individu per lokasi pengamatan. Kemudian sejak tahun

25
1989 Puslitbang Oseanologi - LIPI bekerja sama dengan Australia yang lebih
dikenal dengan Program ASEAN-Australia, melakukan penelitian terumbu
karang. Salah satu programnya mengamati dan memantau dis-tribusi dan
dinamika populasi (Acanthaster planci di Pulau-pulau Seribu. Hasil pengamatan
sementara menunjukkan bahwa populasi Acanthaster planci di Pulau-pulau Seribu
masih dalam kondisi yang normal atau be-lum dalam tingkat yang
membahayakan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pemangsaan karang oleh A. planci dapat menjadi masalah yang sangat serius
pada terumbu karang di Indonesia. Perubahan iklim global yang diyakini
meningkatkan frekuensi pemutihan karang dan penyakit karang membuat
pengelolaan terumbu karang harus dilakukan dengan lebih cermat dan selalu di-
‘update’ dengan informasi terkini tentang ekologi terumbu karang.
B. Saran
Penelitian tentang biologi dan ekologi A. planci masih sangat dibutuhkan
untuk memahami faktor-faktor penyebab dan pemicu peledakan populasi, serta
keterkaitan antar terumbu, dan mencari cara-cara yang lebih murah untuk
mengatasi peledakan populasi yang sedang terjadi. Upaya-upaya rehabilitasi dan
restorasi yang lebih murah juga perlu dikembangkan untuk mengantisipasi
tantangan kerusakan terumbu karang di era pemanasan global.

DAFTAR PUSTAKA

AZIZ. A. 1977. Bulu Seribu dari P. Pari.Oseana lV. 1 :7-13.


AZIZ. A and SUKARNO 1977. Preliminary observation on living habits of
Acanthaster planci (Linnaeus) at Pulau Tikus, Seribu Islands, Mar.
Res, Indonesia. 17 : 121-132.

26
CRC (2003) Crown-of-thorns starfish in the Great Barrier Reefs: Current State of
Knowledge. Cooperative Research Centers (CRC) Reef Research Center.
Townsville, Australia
DARSONO. P. 1988. Pengamatan terhadap kehadiran bintang laut pemangsa
karang, Acanthaster planci (L). di Pulau Seribu (dalam Teluk Jakarta,
M.K. Moosa, D.P.Praseno dan Sukarno, eds). Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseano-logi –
LIPI: 48 - 54.
Lane DJW (1996) A crown-of-thorns outbreak in the eastern Indonesian
Archipelago, February 1996. Coral Reefs 15:209-210
MORAN. P.J. 1986. The Acanthaster phe-nomenon. Oceanogr. Mar. Biol Ann.
Rev. 24: 379-480.
MORAN. P.J. 1990. Acanthaster planci (L) : Biographical data Coral Reefs 9 :
95-96. REICHELT R.E., R.H. BRADBURY and PJ. MORAN, 1990.
Distribution of Acanthaster planci ourbreaks on the Great Barrier Reef
between 1966 and 1989. Coral Reefs
9 : 97 - 103.
Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK (1997) The Ecology of Indonesian
Seas. Part Two. Periplus Editions (HK) Ltd., Singapore
Yamaguchi M (1986) planci infestations of reefs and coral assemblages in Japan:
a retrospective analysis of control efforts. Coral Reefs 5:23-30
Yusuf S (2008) Fenomena Ledakan Populasi Acantahster planci dan Pola
Pemangsaan Pada Karang Keras di Pulau Kapoposang, Sulawesi Selatan.
Simposium Terumbu Karang Nasional, Jakarta18-20 N
ZANN. L., J. BRODY, C. BERRYMAN and M. NAQASIMA 1987.
Recruitment, ecology, growth and behavior of juvenile Acanthaster planci
(L) (Echinodermata : Astreoidea). Bull. Mar. Set 41 : 561 -575.

27
EKOSISTEM LAUT DALAM
Achmad Alifianto (3425092337), Yudi Saputra (3425110109)

BAB I
PENDAHULUAN

Lebih dari 60% planet bumi ini merupakan lautan dengan kedalaman lebih
dari 1 mil. Laut dalam merupakan habitat terbesar yang ada di bumi dan tempat
yang paling tidak terekplorasi. Lebih banyak orang yang melakukan eksplorasi
keluar angkasa dibandingkan ke zona laut dalam. Laut dalam merupakan semua
zona laut yang terletak pada zona aphotic (zona tanpa cahaya) (Nontji, 2002).
Zona afotik umumnya memiliki kedalaman lebih dari 300 meter. Zona laut dalam
mencakup zona batipelagis, abisal, dan hadal (Yancey, 2011). Zona laut terdalam
merupakan zona hadal atau bisa juga disebut abisopelagik. Zona hadal memiliki
kedalaman hingga lebih dari 11.000 meter dibawah permukaan laut.
Zona hadal umumnya berada pada kawasan palung. Palung laut memiliki
kedalaman yang berbeda-beda. Palung laut terdalam berada pada samudera
Pasifik yaitu palung Mariana yang memiliki kedalaman 11.033 meter. Pada
kedalaman tersebut dibutuhkan peralatan khusus agar dapat mencapainya.
Penyelaman dengan menggunakan kapal selam berawak baru dapat dilakukan
pada tahun 2012 (Hardy dkk, 2012). Pada penyelaman ini ditemukan beberapa
jenis organisme baru. Selain itu diketahui pada amfipoda yang ditemukan tersebut
berpotensi memiliki senyawa yang dapat digunakan untuk mengobati penyakit
alzheimer.
Organisme yang hidup pada laut dalam umumnya memiliki adaptasi
khusus agar dapat hidup. Kondisi lingkungan pada laut dalam yang tidak terkena
sinar matahari menyebabkan suhu air lebih dingin. Serta tidak adanya organisme
yang mampu melakukan fotosintesis sehingga kandungan oksigen pada laut dalam
sangat minim. Pada kedalaman lebih dari 300 meter tekanan air sangat tinggi ini
menyebabkan organisme yang hidup pada kawasan laut dalam memiliki
kekhususan agar dapat hidup (Beliaev & Brueggeman, 1989).

28
Pada laut dalam organisme yang ada sangat beragam mulai dari organisme
uniseluler hingga multiseluler. Fauna seperti udang juga dapat ditemukan pada
kawasan laut dalam. Ikan yang ditemukan pada laut dalam juga memiliki
keunikan yang dapat menghasilkan sumber cahaya dan memiliki bentuk yang
sangat berbeda dengan ikan pada kawasan afotik. Hingga saat ini masih banyak
yang belum diketahui mengenai kehidupan yang ada pada laut dalam (Beliaev &
Brueggeman, 1989)
Kondisi lingkungan laut dalam yang sangat berbeda menyebabkan tidak
adanya gangguan dari luar pada laut dalam. Perbedaan kondisi yang sangat besar
ini juga menyebabkan kondisi laut dalam masih kurang tereksplorasi. Sehingga
masih banyak informasi mengenai kondisi biotik maupun abiotik yang belum
diketahui. Kondisi laut dalam yang sangat berbeda ini memiliki potensi
menyimpan sumber daya yang dapat berguna bagi kelangsungan hidup serta
kemajuan di berbagai bidang ilmu.

BAB II
ISI

A. Definisi Laut Dalam


Laut dalam merupakan semua zona laut yang terletak pada zona aphotic
(zona tanpa cahaya) (Nontji, 2002). Zona afotik umumnya memiliki kedalaman
lebih dari 300 meter. Sehingga pada zona ini suhu sangat rendah, tekanan air
semakin besar, serta pada zona tidak dimungkinkan dilakukan penyelaman.Secara
umum zonasi laut di bagi menjadi dua yaitu zona pelagik dana zona benthik. Zona
pelagik merupakan daerah perairan. Sedangkan zona benthik merupakan dasar
laut. Zona benthik pada laut dalam mencakup zona batisal (bathyal zone), abisal
(abyssal zone), dan hadal (palung laut) (Yancey, 2011). Zona laut terdalam
merupakan zona hadal atau bisa juga disebut abisopelagik. Zona hadal memiliki
kedalaman hingga lebih dari 11.000 meter dibawah permukaan laut.

29
Gambar 1. Zonasi vertikal dan horizontal laut
Zona perairan pada laut dalam terdiri dari zona meso-pelagik (meso-
pelagic zone), zona batipelagik (bathypelagic zone), zona abiso-pelagik
(abyssopelagic zone). Bagian teratas dari perairan laut dalam merupakan Zona
meso-pelagik memilki kedalaman antara 300 hingga 1000 meter dibawah
permukaan laut. Kemudian Zona batipelagik (bathypelagic zone) berada pada
kedalaman 1000 meter hingga 4000 meter. Daerah perairan laut terdalam
merupakan Zona abiso-pelagik (abyssopelagic zone) memiliki kedalaman lebih
dari 4000 meter di bawah permukaan laut.
Kawasan terdalam pada laut umumnya beruapa palung laut atau bisa
disebut juga jurang laut. Palung laut terdalam berada pada kawasan samudera
Pasifik. Rekor palung laut terdalam dimiliki palung laut Mariana yang memiliki
kedalaman lebih dari 11.000 meter. Pada tahun 2012 pertama kalinya dilakukan
eksplorasi pada palung laut mariana dengan kapal selam berawak. Penyelaman
dilakukan untuk mengambil sampel biotik dan abiotik yang ada pada daerah
benthic di palung mariana. Kondisi laut dalam yang sangat berbeda ini

30
menyebabkan banyaknya ditemukan jenis biota yg baru ditemukan (Hardy dkk,
2012).
Kedalaman laut yang ada sangat beragam, umumnya memiliki kedalaman
6000 hingga 7000 meter. Pada beberapa kawasan ditemukan laut yang memiliki
kedalaman lebih dari 7000 meter. Sembilan laut yang memiliki kedalaman lebih
dari 7000 meter berada di Samudera Pasifik. Laut-laut tersebut berada pada
sebelah barat Samudera Pasifik. Beberapa palung laut tersebut merupakan bagian
dari lapisan litosfer (Beliaev, 1989).
Selain palung Mariana terdapat beberapa palung laut lainnya. Di Samudera
Atlantik terdapat palung Puerto Rico dengan kedalaman laut rata-rata 8.605 meter.
Palung Cayman yang terdapat di laut Karibia memiliki kedalaman 7.258 meter. Di
Indonesia juga terdapat palung laut yang cukup dalam yaitu terdapat pada laut
Banda.
B. Kondisi Lingkungan Laut Dalam
Karakteristik fisik laut dalam yang sangat berbeda menyebabkan kondisi
biotik dan abiotik sangat khas. Kondisi abiotik seperti cahaya, tekanan, salinitas,
temperatur, oksigen, nutrisi, dan senyawa kimia lainnya memiliki kadar yang
sangat berbeda dengan zona epipelagik atau fotik. Begitu juga dengan kondisi
biotik di laut dalam, organisme yang berada disana memiliki adaptasi khusu untuk
bertahan dengan kondisi lingkungan yang sangat berbeda.
Pada kedalaman lebih dari 200 meter dibawah permukaan laut cahaya
matahari sudah tidak mampu menembus. Sehingga tidak ada organisme yang
melakukan proses fotosintesis. Fauna yang berada pada kedalaman lebih dari
1000 meter umumnya memiliki kemampuan untuk menghasilkan cahaya.
Kemampuan ini disebut juga sebagai bioluminesen. Para peneliti berpendapat
bahwa kemampuan bioluminesen memiliki enam fungsi yang berbeda (Yancey,
2011).
Fungsi dari bioluminesen pada organisme laut dalam adalah sebagai berikut:
1. Sebagai penerang, penghasil cahaya agar ikan laut dalam mampu melihat
dalam kegelapan.
2. Sebagai alat untuk interaksi sosial dan menarik perhatian lawan jenis.
3. Sebagai umpan untuk menarik perhatian mangsanya agar mendekat.

31
4. Pada ikan yang berada pada mesopelagi bagian perut menghasilkan warna
biru. Hal ini bertujuan agar ikan pada kedalaman dibawahnya tidak
melihatnya atau bisa disebut sebagai kamuflase.
5. Sebagai pengalih perhatian bagi pemangsanya, dengan menghasilkan
warna terang dan menghindari pemagsa.
6. Untuk menghindari ikan pemangsa yang lebih besar saat berburu.
Banyaknya volume air pada kedalaman lautan menyebabkan tekanan yang
ada semakin tinggi. Tekanan didalam air akan bertambah 1 atm tiap pertambahan
kedalaman sebesar 10 meter. Sehingga pada zona laut dalam tekanan mulai dari
20 atm hingga 1.100 atm. Tekanan terbesar terdapat di palung Mariana, dimana
kondisi disana mencapai 11.1000 meter dibawah permukaan laut. Tekanan yang
tinggi pada laut dalam dapat memecahkan kantung udara, sehingga ikan pada laut
dalam mempunyai membran khusus agar dapat beradaptasi (Beliaev, 1989).
Membran pada ikan laut dalam terlindung dengan lapisan protein yang
mampu melindunginya dari tekanan yang besar. Hingga saat ini belum diketahui
dengan jelas bagaimana cara kerja hingga memiliki kemampuan bertahan pada
tekanan yang besar di laut dalam. Saat ini baru diketahui beberapa senyawa yang
berada pada organisme laut dalam antara lain trimethylamine oxide, dan
grenadiers. Kedua senyawa tersebut diketahui menyebabkan ikan pada laut dalam
berbau lebih amis. Untuk bertahan pada tekanan air yang besar ikan pada laut
dalam sebagian tidak memiliki kantung udara. Beberapa ikan laut dalam yang
memiliki kantung udara memiliki struktur yang berbeda dengan ikan pada zona
pelagik (Yancey, 2011).
Kondisi temperatur laut pada kedalaman 6.000 meter umunya stabil.
Berdasarkan data yang ada temperatur pada kedalaman 6.000 hingga 11.000
antara 4,490 hingga -0,270 C. Secara umum suhu pada zona abisopelagik dibawah
50 C. Pada kawasan palung yang terdapat di laut Banda dan Cayman merupakan
palung dengan suhu tertinggi ini dikarenakan kedua palung laut tersebut berada
pada daerah tropis. Sedangkan palung laut terdingin berada di sebelah selatan
Antartika (Beliaev, 1989).
Kadar oksigen terlarut dalam air pada kedalaman 6.000 hingga 10.000
mengalami perubahan yang sangat berbeda. Pada daerah palung laut perubahan

32
kadar oksigen bergantung pada musim atau berdasarkan bagian dari palung.
Kadar oksigen terbesar pada palung laut terdapat pada kawasan sub-antartika
(Beliaev, 1989). Dengan kondisi oksigen yang terlarut berbeda-beda ini
menyebabkan organisme yang ada pada laut memiliki adaptasi khusu untuk
bertahan pada kondisi seperti ini.
Sedikitnya kadar oksigen terlarut pada laut dalam disebabkan kondisi laut
dalam yang dingin. Pada kondisi dingin menyababkan oksigen tidak dapat
terlarut. Umunya pada kawasan ini keberadaan oksigen dikarenakan terbawa oleh
arus laut. Dalam kondisi minim oksigen organisme laut dalam harus mampu
bertahan pada kondisi dimana kadar oksigen terlarut hingga 0%. Pada beberapa
ekspedisi yang pernah dilakukan ditemukan bahwa terdapat organisme laut dalam
yang mampu bertahan pada kadar oksigen 0% (Yancey, 2011).
Dari beberapa ekspedisi yang telah dilakukan diketahui kadar salinitas
pada laut dalam berbeda-beda. Kadar salinitas pada kedalaman 6.000-11.000
meter tidak sama dengan kondisi laut normal. Umumnya kadar salinitas pada
palung laut 34,7 hingga 34,81 per-mil. Kondisi salinitas terendah terdapat pada
laut Banda. Sedangkan laut dalam dengan salinitas tertinggi berada pada laut
Cayman. Perubahan kadar salinitas terjadi pada laut dalam. Semakin dalam laut
kadar salinitas terus bertambah (Beliaev, 1989).
C. Organisme Laut Dalam
Keanekaragaman hayati laut dalam tidak bisa dibilang sedikit. Pada zona
laut dalam ditemukan organisme dari bakteri hingga chordata. Hingga kini
organisme laut dalam yang ditemukan tidak jauh berbeda dengan yang ada pada
lautan pada umumnya. Organisme seperti bakteri, virus juga ditemukan pada
kedalaman laut antara 1.000 hingga 11.000 meter dibawah permukaan laut. Selain
itu hewan seperti dari golongan Crustacae seperti udang juga masih dapat
ditemukan.Organisme yang hidup pada laut dalam terdapat pada sedimen dan
perairan.
Organisme uniseluler dan multiseluler yang hidup pada laut dalam
memiliki adaptasi khusus untuk dapat hidup pada kondisi laut dalam. Adaptasi itu
bisa berupa adaptasi morfologi, fisiologis, maupun perilaku. Fauna pada laut
dalam sering ditemui berwarna transparan. Ini merupakan salah satu cara untuk

33
menghindari predator. Dikarenakan gelapnya laut dalam maka hal ini dapat
membuat fauan yang ada dilaut dalam terhindar dari predator. Pada ikan yang
berada pada zona mesopelagik umumnya berwarna abu-abu. Kondisi zona
mesopelagik yang terkadang tertembus cahaya matahari menyebabkan warna abu-
abu pada ikan di zona ini menjadi mirip dengan sinar matahari yang masuk
(Yancey, 2011).
Berdasarkan ZoBell dalam Beliaev (1989) bakteri ditemukan pada di
palung Kermadec yang memiliki kedalaman 6.790-9.820 meter dibawah
permukaan laut. Selain di palung Kermadec, bakteri juga ditemukan di palung
Banda dan Palung Yavan yang memiliki kedalaman 7.250 dan 7.020 di bawah
permukaan laut. Bakteri yang ditemukan diketahui mampu hidup pada suhu yang
rendah antara 30 -50 Celcius. Pada kedalaman palung laut bakteri-bakteri yang
ditemukan mampu bertahan pada tekanan yang sangat besar. Dalam kondisi
seperti ini jumlah bakteri yang ditemukan pada kedalaman 10.000 meter dibawah
permukaan termasuk cukup tinggi. Pada palung Filipina jumlah bakteri yang
ditemukan pada 1 ml air laut sebanyak 104 -106 .
Organisme protozoa juga banyak ditemukan pada kedalaman lebih dari
6.000 meter. Keanekaragaman protozoa pada laut dalam juga tidak seikit.
Organisme dari golongan Metazoa juga diketahui terdapat dua kelas Spongia yaitu
Hyalispongia dan Demospongia. Spongia ditemukan di 17 palung laut yang
terdapat di Samudera Pasifik. Dari ke 17 lokasi yang ditemukan diketahui terdapat
31 jenis spongia yang hidup pada laut dalam. Delapan belas jenis itu terdiri empat
genus yang berasal dari ordo Hyalspongia. Tiga belas jenis lainnya berasal dari
lima genus berbeda pada ordo Demospongia (Beliaev, 1989).
Pada kedalaman lebih dari 6.000 meter organisme Coelenterata juga masih
dapat ditemukan. Coelenterata dalam bentuk polip bahkan ditemukan
dikedalaman lebih dari 8.300 meter. Ditemukannya Coelentarata dari golongan
hydroid diketahui dari tiga jenis yang berbeda di palung Kermadec. Ketiga jenis
itu berasal dari satu genus yang sama. Dari kelas Anthozoa juga pernah ditemukan
pada kedalaman lebih dari 6.000 meter di Samudera Pasifik. Data mengenai jenis
organisme pada laut dalam cukup sulit untuk ditemukan karena diperlukan alat
yang tetap mampu digunakan pada kondisi laut dalam (Beliaev, 1989).

34
Hingga tahun 1950 Nematoda hanya ditemukan pada kedalaman 4.570
meter. Namun pada ekspedisi di tahun-tahun selanjutnya diketahui Nematoda
dapat hidup hingga kedalaman lebih dari 10.000 meter. Hingga saat ini Nematoda
ditemukan pada 18 palung di 3 samudera yang ada. Populasi Nematoda pada laut
dalam cukup banyak. Berdasarka penelitian di Samudera Hindia ditemukan 57
hingga 199 spesimen Nematoda pada 25 cm2 dasar laut. Ini menandakan
Nematoda menjada fauna bentik yang cukup mendominasi pada laut (Beliaev,
1989).
Berikut merupakan amfipoda yang berada pada kedalaman 4.000 – 5.000
meter dan pada kedalaman 6.000-10.000 meter. Warna udang pada kedalaman
lebih dari 6.000 meter lebih transparan. Mata pada amfipoda yang berada pada
kedalaman lebih dari 6.000 meter juga hampir tidak ditemukan. Begitu juga pada
ikan yang ditemukan pada kedalaman lebih dari 6.000 meter. Pada kedalaman ini
ikan yang ditemukan berwarna lebih transparan. Sedangkan ikan pada kedalaman
kuran dari 6.000 meter berwarna kelabu yang berfungsi sebagai kamuflase dari
ikan predator. Indera pengelihatan pada organisme yang hidup dikedalaman lebih
dari 6.000 meter mulai menghilang. Sedangkan yang hidup pada kedalaman
kurang dari 6.000 meter memiliki indera pengelihatan yang lebih besar.

a b
Gambar 2. Amfipoda pada laut dalam, a. Allicea gigantea merupakan amfipoda
yang ditemukan pada kedalaman 6.000 hingga 10.000 meter dibawah
permukaan laut. b. amfipoda yang ditemukan pada kedalaman 1.500
dibawah permukaan laut.

35
a b
Gambar 3. Ikan pada laut dalam, a. Diastobranchus sp. ditemukan pada
kedalaman 1.500 meter. b. Notoliparis kermadecensis ditemukan
pada kedalaman 6.500 hingga 7.500 meter (Yancey, 2012).
Peluang reproduksi organisme laut dalam akan sangat sulit. Dengan
kondisi gelap menyebabkan kesulitan bagi tiap individu organisme tersebut
menemukan pasangannya. Untuk itu organisme laut dalam memiliki beberapa
cara untuk menemukan pasangan kawinnya. Beberapa organisme mengeluarkan
senyawa yang dapat dikenali oleh lawan jenisnya. Pada ikan laut dalam juga
diketahui dapat menghasilkan cahaya yang digunakan juga untuk mencari
pasangannya. Ukuran ikan jantan pada laut dalam umumnya lebih kecil dari pada
ukuran betina (Yancey, 2012).
Ukuran organisme laut dalam umunya lebih besar untuk beradapatasi pada
kondisi laut dalam. Organisme yang berukuran besar ini ditemukan di kawasan
palung Kermadec yang berada di sekitar Selandia Baru. Dimana ditemukan
amfipoda, serta isopoda dengan ukuran yang besar dibandingkan dengan
amfipoda dan isopoda poada perairan biasa. Selain ukuran organisme laut dalam
juga memiliki waktu hidup yang lebih lama untuk beradaptasi (Yancey, 2012).

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kondisi biotik dan abiotik laut dalam sangat berbeda dengan kondisi laut
pada zona fotik.

36
2. Kondisi lingkungan seperti temperatur, salinitas, dan oksigen terlarut pada
laut dalam stabil atau jarang mengalami perubahan.
3. Organisme yang ada pada laut dalam memiliki adaptasi khusus untuk
dapat bertahan pada kondisi lingkungan laut dalam.
4. Kondisi lingkungan laut dalam masih tidak terkena dampak dari
kehidupan manusia
B. Saran
1. Kurangnya eksplorasi mengenai laut dalam menyebabkan masih banyak
yang belum diketahui mengenai kondisi laut dalam. Diperlukan eksplorasi
yang berkelanjutan pada ekosistem laut dalam.
2. Diperlukan teknologi yang memadai untuk melakukan penelitian atau
eksplorasi di laut dalam sehingga dapat diketahui organisme apa saja yang
hidup di laut dalam.

Daftar Pustaka

Beliaev, G.M., 1989. Deep-Sea Ocean Trenches and Their Fauna. Moscow.
USSR Academy of Sciences & P.P Shirshov Institute of Oceanography.
Hardy, Kevin., Tim, Bulman., Cameron, James., Pauch, Stefen., & Herbal, Lary.,
Hadal Landers: the DEEPSE CHALLENGE Ocean Trench Free Vehicles.
California
Nontji, A. 2002. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Yancey, H. Paul., 2012. The Deep Sea Page. http://marinebio.org/oceans/deep/.
Diunduh 15 November 2014.
Yancey, H. Paul., 2014. Deep Sea Page : Bathya, Abyssal, Hadal Fishes.
http://people.whitman.edu/~yancey/fish.html. Diunduh 15 November
2014.

37
ASPEK GEOLOGIS DAN EKOLOGI LAUT MATI SERTA
MIKROORGANISME YANG HIDUP DI DALAMNYA
Fitri Prihantini (3425110323), Rani Fitri Andriani (3425111413)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bumi tempat tinggal kita ini merupakan salah satu planet dalam sistem tata
surya yang sebagian besar permukaannya tertutup oleh air. Hampir tiga perempat
permukaan bumi tertutup oleh air, baik air yang ada di darat maupun yang ada di
laut.Sebagian besar wilayah permukaan bumi (70%) terdiri atas lautan dan lebih
dari 90% kehidupan biomasa di bumi, hidup di laut (Dahuri, 2001). Laut adalah
kumpulan air asin dalam jumlah yang banyak dan luas yang menggenangi dan
membagi daratan atas benua atau pulau. Laut adalah merupakan air yang
menutupi permukaan tanah yang sangat luas dan umumnya mengandung garam
dan asin.
Air laut secara alami merupakan air saline dengan kandungan garam
sekitar 3,5%. Walaupun kebanyakan air laut di dunia memiliki kadar garam
sekitar 3,5 %, air laut juga berbeda-beda kandungan garamnya.Namun terdapat
beberapa tempat yang mengandung garam dengan kandungan garam yang lebih
tinggi dari air laut pada umummya. Beberapa danau garam di daratan dan
beberapa lautan memiliki kadar garam lebih tinggi dari air laut. Sebagai contoh,
Laut Mati memiliki kadar garam sekitar 30%atau 8,6 kali lebih banyak dari
kandungan garam di laut biasa, sehingga setiap benda yang dimasukkan kedalam
sana akan terapung karena kandungan garamnya yang tinggi.
Makalah ini dibuat untuk mengetahui bagaimana sejarah geologis dari
Laut Mati, ekologi pada Laut Mati dan apakah Laut Mati tersebut merupakan laut
yang terpisah karena factor alam sehingga memiliki kadar garam yang lebih tinggi
dari air laut biasanya.

38
B. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk:
1. Membahas seluk beluk Laut Mati dari aspek geologisnya
2. Menjelaskan beberapa jenis mikroorganisme yang mampu bertahan
hidup dengan kadar garam tinggi di Laut Mati

BAB II
ISI

Laut Mati adalah danau hypersaline yang merupakan bagian dari


perbatasan antara Yordania dari Israel, dan yang tidak memiliki outlet dan hanya
satu sumber utama, Sungai Yordan. Ini adalah hypersaline danau terdalam di
dunia, dan juga titik terendah dalam elevasi mutlak di Bumi. Cekungan yang
dalam dibentuk dari rifting benua yang disebabkan oleh pemisahan lempeng pada
batas dari Lempeng Arab memutuskan dari benua Afrika.
Meskipun tidak ada ikan atau bentuk kehidupan yang lebih tinggi lain
yang ditemukan di Laut Mati, sejumlah spesies bakteri halofilik terjadi di sini
serta organisme jamur mikroskopis; lonjakan biomassa terjadi di tahun-tahun
yang jarang curah hujan yang sangat tinggi di dalam cekungan; biomassa ini
adalah sekelompok Dunaliella, yang mendukung halobacteria karotenoid (spesies
berpigmen merah).
Sejak zaman kuno keliling Laut Mati telah digunakan oleh tokoh-tokoh
seperti Raja Daud dan Herodes I sebagai resor kesehatan, karena air mineral yang
unik dan juga perlindungan ultraviolet tambahan diberikan kepada para
sunbathers pada ketinggian yang sangat rendah, karena kedalaman sempurna dari
atmosfer untuk badan air di ketinggian minus 423 meter di bawah permukaan laut.
Meskipun perairan Laut Mati tidak ramah untuk bentuk kehidupan yang
lebih tinggi, dan margin terestrial kering dan kasar, ada berbagai flora dan fauna
di sekitar Laut Mati, khususnya di Lembah Sungai Yor dan di utara dan dekat
Levantine Pegunungan.
Terletak di sepanjang zona Great Rift yang membentang dari Zambezike
Turki. Laut Mati merupakan bagian dari perbatasan antara Yordania dari Israel. Di

39
417,5 m di bawah permukaan laut, yang merupakan titik terendah di permukaan
bumi dengan luas sekitar 810 km2 . Memiliki sumber air yang berasal dari Sungai
Yordan.
A. Geologi
Tepi danau dari Laut Mati memegang persediaan garam yang besar,
sebagai contoh di daerah Israel di sisi barat daya ada sebuah bukit garam besar
yang disebut Kashum Usdum mencapai ketinggian hampir 50 meter, dengan
panjang sekitar 8 kilometer, terus bergerak keatas , lahan ini ditutupi dengan
lapisan-lapisan kapur di beberapa tempat.
Pemikiran awal menyatakan bahwa cekungan adalah suatu retakan
morfotektonik di sepanjang zona rift Laut Mati, perpanjangan dari rift Laut
Merah. Bagaimanapun lempeng benua di sini telah dikonsolidasikan di Akhir
Zaman Proterozoikum. Cekungan ini adalah intracontinental lempeng muda yang
terbuat di akhir Cenozoikum dari pecahnya contintent Arabo-Afrika. Cekungan
Laut Mati adalah yang terbesar dari beberapa cekungan di sepanjang retakan ini,
dengan panjang sekitar 150 km dan lebar sekitar 16 km. Laut Mati penuh dengan
sedimen sedalam 10 km sejak dari zaman Neogen hingga endapan baru-baru ini.
Kinematika dari pemisahan lempeng dapat dipahami dengan memeriksa
offset lateral dalam formasi geologis di sisi timur dan barat dari Laut Mati, dengan
jumlah gerakan paralel dengan sumbu zona keretakan kira-kira 105 kilometer,
sekitar 40% dari yang terjadi di lima juta tahun terakhir.
Sekitar tiga juta tahun yang lalu, dataran Sungai Yordan, Laut Mati, dan
Wadi Araba berulang kali tergenang air dari Laut Levantin, bagian timur Laut
Mediterania. Air terbentuk di tempat yang sempit dan berliku ke Teluk yang
melekat pada Laut Levantine melalui celah yang saat ini disebut Lembah Yizreel.
Dalam jangka waktu satu hingga tiga juta tahun sebelum sekarang, proses tektonik
membuat tanah Israel meninggi, menimbulkan pemisahan topografi antara Laut
Mati dan Laut Levantine tersebut. Danau yang menduduki retakan Laut Mati,
kadang-kadang disebut wilayah Alkitab Sodom dan Gomora.

40
Gambar 1. Panorama Laut Mati dari sisi Israel

Danau prasejarah asli merupakan air tawar atau danau payau yang
diperpanjang setidaknya 80km sebelah selatan, dari ujung selatan Laut Mati saat
ini dan 100 km sebelah utara, terletak di atas lembah Hula. Karena iklim menjadi
lebih kering, danau kuno menyusut dan menjadi lebih asin.Laut Mati kadang-
kadang disebut Danau Lisan.
Pada zaman prasejarah, sejumlah besar sedimen dikumpulkan di dasar
Laut Mati. Sedimen itu lebih berat daripada deposito garam dan menekan deposito
garam ke atas ke Semenanjung Lisan dan Gunung Sodom (di sisi barat daya
danau), sehingga kumpulan garam berkumpul di salah satu sisi Laut Mati. Ketika
dasar Laut Mati turun lebih lanjut karena gaya tektonik, gunung garam Lisan dan
Gunung Sodom menjadi sebuah tebing yang lebih tinggi.

Gambar 2. Panorama Laut Mati dari pegunungan Sodom

Dari 70.000 menjadi 12.000 tahun sebelum sekarang, permukaan danau


adalah 100 m sampai 250 m lebih tinggi dari tingkat yang sekarang. Danau ini,
yang disebut Danau Lisan, berfluktuasi secara dramatis, naik ke level tertinggi
sekitar 26.000 tahun yang lalu, menunjukkan iklim yang sangat basah di Timur
Tengah menjelang bagian penutupan zaman es besar terakhir, tingkat danau
menurun secara substansial, mungkin levelnya bahkan lebih rendah dari hari ini.

41
Selama beberapa ribu tahun terakhir, Laut Mati telah berfluktuasi sekitar 400 m.
Teori mengenai penyebab penurunan dramatis saat ini tidak sesuai dengan
vulkanisme, tetapi mungkin perubahan terjadi karena dorongan seismik.
B. Hidrologi dan Kimia Air
Danau hypersaline ini merupakan danau terdalam di dunia mencapai
kedalaman maksimum 330 meter. Dengan luas permukaan 40.650 kilometer
persegi, Laut Mati adalah danau endapan terbesar ketiga di Asia, setelah Laut
Kaspia Rusia dan Laut Naujan di Filipina.
Susunan utama garam di Laut Mati adalah magnesium dan anion kalium
dipasangkan dengan kation klorida, pada 52dan 37% dari total salinitas masing-
masing. Sodium terdapat pada tingkat yang cukup rendah. Kation bromida juga
terdapat dalam garam.
Potash adalah substansi pertama yang diproduksi secara komersial dari
Laut Mati, dengan pabrik pertama pada awal abad kedua puluh di dekat lokasi
kota Bibel Sodom, menurut Mizrahi. Mineral lainnya dipanen termasuk natrium
klorida dan karnalit.
Selama 70.000 tahun kedalaman Laut Mati berfluktuasi secara dramatis
sebanyak beberapa ratus meter. Selain itu, dalam beberapa ribu tahun terakhir
tingkat permukaan Laut Mati juga telah menurun, karena iklim kering di periode
ini dan berkurangnya aliran dari sungai Yordan melalui rawa-rawa Hula dan
Danau Kinesset.
Selama periode 1960-2007 tingkat air Laut Mati telah menurun secara
substansial karena pengalihan air dan ekstraksi di lembah Sungai Yordan.
Beberapa orang menganggap penyusutan ini dampak ekologis ke Laut Mati.
Namun, kerusakan ekologis utama adalah di Lembah Sungai Jordan, di mana
lebih banyak keanekaragaman hayati yang telah ada, daripada di Laut Mati. Level
curah hujan diera ini umumnya dalam kisaran kurang dari 25 milimeter per tahun.
C. Ekosistem Akuatik
Di dalam Laut Mati tidak ada spesies ikan atau tanaman air tingkat tinggi
atau hewan yang ditemukan di Laut Mati karena lingkungan hypersaline, namun
bakteri tertentu dan jamur mikroba terdapat di sana, organisme ini berkembang

42
terutama ditahun-tahun langka di mana curah hujan yang melimpah terjadi di
lembah.
Volcani, pada tahun 1944 mengisolasi bakteri pleomorfik merah berbentuk
cangkir Halobacterium marismortui. Selanjutnyat akson lain yang berbentuk
cangkir dengan warna merah, yaitu Halobacterium volcanii, diisolasi. Pada tahun
1983 Oren menemukan bakteribaru di Laut Mati berbentuk batang merah yang
diberi nama Halobacterium sodomense. Takson ini, pertama kali diisolasi delapan
kilometer sebelah timur Ein Gedi, membutuhkan tanah mineral lempung seperti
bentonit dengan ketegangan oksigen rendah.
Yordania dan Israel keduanya telah ditunjuk sebagai batas perairan dan
daerah Laut Mati sebagai cagar alam.
D. Ekosistem Terestrial
Sebagian besar batas Laut Mati dilingkari oleh hutan konifer berdaun lebar
di bagian Timur, yang meluas kedataran Yordania, barat ke Israel dan pantai laut
Levantine Lebanon. Sejak 3000 SM suhu tinggi, kelembaban atmosfer yang
rendah, dan kondisi tanah yang buruk telah menghambat kehidupan tanaman dari
proses pemulihan diri setelah gangguan manusia. Salah satu komunitas yang
paling luas dan penting dari wilayah ekologi ini adalah komunitas Kermes oak
(Quercus coccifera). Toleransi ekologi yang tinggi dan kemampuan untuk pulih
diri di dalam hutan brutia Pinus yang terdegradasi membuatnya menjadi salah satu
jenis vegetasi yang paling dominan.
Dataran pesisirdi hulu Lembah Yordan didominasi oleh padang rumput
Hyparrheniabirta, dengan semak berduri dan pohon kecil yang tersebar di
sekitarnya seperti Paliurus spina-christii, Rhamnus palaestinus, Rhustri partita,
dan Anagyris foetida.
Bagian timur dari wilayah Laut Mati lebih miskin dari segi vegetasi
berkayu karena hanya menerima 400-500 mm dari curah hujan tahunan. Diketahui
hanya terdapat komunitas semak Olea europea dan komunitas semaklain yang
kering.
Euphratica populus dan Salix triandra membuat komunitas pohon lain
yang membentuk hutan lain di sepanjang pinggir sungai Yordan. Amygdalus
arabika, Cerasus microcarpa, C.mahalep, Cercis siliquastrum, Ficus carica,

43
Acermon spessulanum, Crateagus Aronica, Pyrussyriaca, Celtistourne fortii,
Pistacia kinjuk, dan P.ver aadalah spesies utama membentuk komunitas semak di
lembah Sungai Yordan.
Pinggiran pegunungan Laut Mati juga menawarkan habitat bagi sejumlah
mamalia seperti unta, kambing hutan, rubah dan macan tutul Arab. Area Laut
Mati juga dijadikan daerah peristirahatan kunci untuk migrasi burung yang
terbang di atas Bosphorus.
E. Kandungan Kimia dan Manfaatnya
Kandungan mineral dari Laut Mati sangat berbeda dari air laut. Komposisi
yang tepat dari air Laut Mati bervariasi terutama dengan musim, kedalaman dan
suhu. Pada awal 1980-an konsentrasi spesies ion (dalam g / kg) dari permukaan
air Laut Mati adalah Cl-(181,4), Br-(4.2), SO42-(0,4), HCO3-(0,2), Ca2 + (14.1),
Na + (32,5), K + (6.2) dan Mg2 + (35,2). Jadi total salinitas adalah 276 g / kg.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa w / w% komposisi garam, seperti klorida
anhidrat, adalah kalsium klorida (CaCl2) 14,4%, kalium klorida (KCl) 4,4%,
magnesium klorida (MgCl2 ) 50,8% dan natrium klorida (garam dapur, NaCl)
30,4%. Sebagai perbandingan, garam dalam air dari sebagian besar lautan dan laut
adalah sekitar 97% natrium klorida. Konsentrasi ion sulfat (SO42-) sangat rendah,
dan konsentrasi ion bromida (Br-) adalah yang tertinggi dari semua perairan di
Bumi.
Laut Mati memiliki kandungan garam yang tinggi sehingga bisa membuat
orang tidak tenggelam dan tetap terapung. Beberapa kandungan mineral dalam
lumpur laut mati seperti:
1. Sodium yang dapat meningkatkan permeabilitas yang sangat cocok untuk kulit
kering.
2. Magnesium yang terdapat di laut mati konsentrasinya 15 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan laut lainnya, magnesium juga membantu penyembuhan
kulit dan menyediakan jaringan permukaan kulit dengan anti alergi dan
penting untuk metabolisme sel.
3. Potassium yang dapat meningkatkan oksidasi dan mengatur proses electrical
otot dan sistem saraf serta membantu mengatur kelembaban di kulit.

44
4. Bromida – konsentrasi bromida adalah 50 kali lebih tinggi dari garam biasa.
Ini menyebabkan efek yang sangat santai, dan membantu secara alami
perbaikan sel kulit.
5. Bitumen yang ditemukan dalam jumlah sedikit dan dapat bertindak sebagai zat
anti-inflammatory.
6. Iodin yang berperan penting pada pembentukan hormon tiroksin, dan juga
penting untuk energi dan metabolisme sel.
7. Kalsium penting sebagai pertahanan membran sel dan pembersihan pori-pori,
yang dibutuhkan juga untuk perbaikan jaringan dibawah kulit.
8. Zink yang memainkan peranan dalam regulasi enzim.
Sejumlah penelitian telah membuktikan bahwa lumpur dan garam yang
terkandung didalam laut mati memiliki manfaat untuk mengobati beberapa
penyakit seperti psoriasis karena bisa memperbaiki kondisi dan mengurangi
kekambuhannya. Membantu kulit kering dengan mengganti elektrolit yang hilang,
bisa mengobati beberapa masalah dermatologi seperti eksim, jerawat, rematik,
sakit sendi, dan masalah sirkulasi dan saraf. Selain itu, garam Laut Mati juga bisa
bertindak sebagai desinfektan yang bisa mengeluarkan zat berbahaya dari kulit.
Kandungan garam Laut Mati merupakan cara terbaik untuk menjaga kelembaban
dan mineral kulit dan ini merupakan pertahanan alami untuk melawan penuaan
kulit, dan keriput pada kulit.
F. Mikroorganisme
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Laut Mati memiliki kadar garam
tinggi atau hypersalinitas. Oleh karena keadaan yang ekstrim tersebut, maka di
Laut Mati tidak dapat ditemukan organisme yang mampu bertahan hidup seperti
ikan atau tumbuhan laut lainnya. Namun, setelah munculnya penemuan bahwa
terdapat kehidupan di Laut Mati oleh Wilkansky pada tahun 1936, Laut Mati kini
diketahui dapat menjadi habitat bagi beberapa jenis mikroorganisme.
Mikroorganisme-mikroorganisme tersebut termasuk prokaryota arkaea maupun
eubakteria, alga hijau uniseluler (Dunaliella parva Lerche), dan mungkin
protozoa (Elazari-Volcani 1940; Volcani 1944). Salah satu bakteri yang dapat
hidup di Laut Mati yaitu Bacillus marismortui.

45
Gambar 3. Penampang mikrograf Bacillus marismortui dengan tangkai
spora
Selain itu terdapat pula beberaoa jenis fungi yang diidentifikasi dari
permukaan Laut Mati, satu termasuk ke dalam Ascomycota dan dua spesies
termasuk ke dalam Deuteromycota. Fungi yang tergolong Ascomycota merupakan
jenis baru yang ditemukan yaitu dari marga Gymnascella dari suku
Gymnoascaceae dengan nama jenis Gymnascella marismortui sp. nov. Sementara
dari Deuteromycota teridentifikasi sebagai Ulocladium chlamydosporum Mouch.
(Hyphomycetes) dan Penicillium westlingii Zaleski (Anamorphic
Trichocomaceae).

A B

46
C D

Gambar 4. Gymnascella marismortui (A) Ascomata;


(B) Asci yang dikelilingi hifa peridial; (C) dan (D)
Asci dan ascospore; (E) Ascospore

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Laut Mati memiliki keunikan yaitu lingkungannya yang hypersaline atau
dengan kadar garam tinggi karena proses geologis yang menyebabkan kumpulan
garam menumpuk di Laut Mati. Kandungan mineral yang menjadikan Laut Mati
menjadi asin karena komposisi garam seperti klorida anhidrat, kalsium klorida
(CaCl2) 14,4%, kalium klorida (KCl) 4,4%, magnesium klorida (MgCl2 ) 50,8%
dan natrium klorida (garam dapur, NaCl) 30,4%.
Oleh karena lingkungan yang sangat asin maka tidak dapat ditemukan
organisme tingkat tinggi yang mampu hidup dalam lingkungan ekstrim tersebut
melainkan mikroorganisme yaitu prokaryota arkaea maupun eubakteria, alga hijau
uniseluler (Dunaliella parva Lerche), dan protozoa. Selain itu terdapat ekosistem
terrestrial yang berada di sekitaran Laut Mati yang didominasi oleh Kermes oak
(Quercus coccifera) karena tingkat toleransi ekologinya yang tinggi tdan
kemampuan untuk pulih diri di dalam hutan brutia Pinus yang terdegradasi
membuatnya menjadi salah satu jenis vegetasi yang paling dominan.

47
B. Saran
Diperlukan pencarian dan pengumpulan informasi yang lebih dalam
mengenai Laut Mati karena kondisi lingkungannya yang terbilang tidak biasa
dengan kadar garam melebihi laut pada umumnya. Selain itu karena kondisi
tersebut potensi Laut Mati perlu digali lebih dalam lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Aharon Oren. 1983. Halobacterium sodomense sp. novum, a Dead Sea


Halobacterium with an Extremely High Magnesium Requirement.
International Journal of Systematic Bacteriology. Apr. '83, pp 381-86
B.E.Volcani. 1944. The micro-organisms of the Dead Sea. In Papers collected to
commemorate the 70th anniversary of Dr. Chaim Weizmann. Collective
volume. Daniel Sieff Research Institute, Rehovoth, Israel pp 71-81
Dahuri, R. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu.
Penerbit Pradnya Paramita. Jakarta.
Hogan, C. 2013. Dead Sea. Diunduh dari
http://www.eoearth.org/view/article/151663 tanggal 18 November 2014
pukul 10.30.
Tina M.Niemi, Zvi Ben-Avraham & Joel Gat. 1997. The Dead Sea: the lake and
its setting. Oxford University Press. 286 pages
Volcani, B. 1944 The microorganisms of the Dead Sea. In Papers collected to
commemorate the 70th anniversary of Dr ChaimWeizmann, pp. 71^85.
Rehovoth: Daniel Sie¡ Research Institute.
Wilkansky, B. 1936. Life in the Dead Sea. Nature 138, 467.

48
KIMA (Tridacna gigas)
Aditya Ahkami 3524111416, Meirina Orchidanti S. (3425111422)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kima (Tridacnidae) termasuk kerang-kerangan (Bivalvia) yang berukuran
sangat besar dan sering dikenal dengan sebutan karang raksasa (Giant clam).
Kima dapat tumbuh menjadi sangat besar di lingkungan terumbu karang. Di
antara 7 jenis kima yang tersebar di perairan terumbu karang Indo Pasifik,
Tridacna gigas merupakan jenis terbesar yang dapat mencapai panjang cangkang
sampai 1,5 m dengan berat badan lebih dari 300 kg.
Kima mempunyai rahasia kehidupan yang amat menarik Kima merupakan
ciri khas kerang-kerangan terumbu karang yang sudah berevolusi dan hidup
menyesuaikan diri dengan lingkungan terumbu karang yang tidak subur dan
miskin akan nutrient dan fitoplankton (YONGE, 1975).
Berbeda dengan bivalvia pada umumnya, kima hidup tertambat di atas
pasir atau karang mati dalam posisi "terbalik", yaitu pada posisi engsel (umbo) di
bawah. Kima selalu membuka cangkangnya pada waktu siang hari, sehingga
jaringan sifonal yang membesar dan diwarnai oleh pigmentasi dari zooxanthella,
selalu mendapat radiasi yang cukup. Jaringan sifonal kima telah mendapat fungsi
tambahan, yaitu sebagai kebun bagi zooxanthella yang ber-peranan sangat besar
bagi nutrisi kima. YONGE (1975 & 1980) menyatakan bahwa kima resen (recent)
telah berhasil mempertahankan jenisnya, menyesuaikan diri dengan kehidupan di
perairan terumbu karang tropis yang dangkal dan miskin akan fitoplankton dan
berevolusi menjadi bentuknya yang sekarang.
B. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan tentang siklus hidup kima, peran
ekologi kima dan keberadaannya di lingkungan saat ini.

49
BAB II
ISI

A. Sekilas Tentang Bivalvia


Kelas bivalvia yang termasuk dalam filum moluska selalu mempunyai
cangkang yang setangkup. Keadaan yang setangkup tersebut sudah mulai nampak
pada stadium burayak (larva), walaupun masih merupakan jaringan lunak yang
disebut mantel. Mantel kemudian mengeluarkan sekret dari kapur yang
membentuk cangkang. Kedua cangkang dihubungkan oleh suatu sendi pengikat
yang elastis disebut umbo (engsel). Kedua cangkang dapat ditutup dan dibuka
dengan ban-tuan kontraksi dan relaksasi jaringan otot yang disebut otot aduktor.
Dengan demikian hewan yang berada di dalam cangkang dapat berhubungan
dengan perairan di sekitarnya pada waktu cangkang dibuka.
Mulut bivalvia tidak dapat berhubung-an langsung dengan lingkungan
luar. Oksigen dan makanan yang dibutuhkan oleh hewan ini disaring melalui
insang yang membesar dan mengalami modifikasi menjadi penyaring makanan
yang amat penting bagi bivalvia. Insang yang berbentuk sisir (ktenos) berfungsi
sebagai penyaring makanan dan merupakan karakteristik bivalvia yang bersifat
"filter feeder".
Insang bivalvia yang paling sederhana terdiri dari aksis utama dengan
lembaran-lembaran lateral pada sisi-sisinya. Lembaran-lembaran insang
dilengkapi pula dengan deretan silia-silia (bulu-bulu getar). Gerakan silia-silia
tertentu menimbulkan aliran air yang kuat dan membawa partikel-partikel
makanan dan sedimen yang terbawa arus air. Sebagian silia-silia memindahkan
campuran partikel-partikel makanan dan sedimen, sementara silia-silia yang lain
mengumpulkan dan mendorong sedimen-sedimen untuk dikeluarkan.
Insang bivalvia terletak pada rongga pernapasan di dalam mantel. Air
masuk kedalam rongga melalui lubang masuk pernapasan (inhalant opening) dan
keluar melalui lubang keluar pernapasan (exhalant opening). Kedua lubang
pernapasan terletak di bagian posterior tubuhnya dan dapat mengalami modifikasi
menjadi bentuk corong (siphon) yang dapat dijulurkan keluar dan ditarik kedalam
seperti pada kerang yang membenamkan diri di pasir. Pada bivalvia yang

50
menempel pada permukaan seperti remis (scallop) dan tiram (oyster), ujung
lubang masuk pernapasan tidak menyempit, tetapi melebar.

Gambar 1. Perbandingan anatomi kima (b) dan kerang (a) (Sumber :


YONGE 1975).
Larva yang merupakan kehidupan awal dari bivalvia, mula-mula berenang
bebas di perairan, kemudian dilanjutkan dengan kehidupan dalam bentuk dewasa.
Bivalvia dewasa dapat tetap bergerak aktif atau menetap pada suatu substrat dan
dapat pula menetap pada waktu muda dan bergerak kemudian. Peranan kaki
dalam hal ini sangat besar bagi bivalvia umumnya. Misalnya, kerang yang tidak
menempel pada suatu substrat mempunyai kaki dengan otot-otot yang kuat

51
berbentuk seperti lidah untuk mendorong badannya dengan cepat, kadang-kadang
dengan gerakan seperti melompat, menghindari serangan predator. Bivalvia yang
menetap (sedentary bivalves) seperti kerang hijau (Mitykis) mengeluarkan massa
seperti benang (byssus) dari kelenjar di kakinya untuk menambatkan diri.
B. Daur Hidup
Kima dapat hidup selama puluhan sampai ratusan tahun hingga mencapai
ukuran yang sangat besar. Setelah mencapai kedewasaan pada umur sekitar 5
tahun (HESLINGA & FITT 1987) atau setelah mencapai ukuran lebih dari 20 cm
(LA BARBERA 1975) kima siap untuk menghasilkan keturunan dan
berreproduksi. Kima bersifat "protandrous hermaphrodite" (WADA 1954).
Artinya, setiap individu kima dilengkapi oleh sel-sel telur dan sperma namun
pemijahannya selalu didahului oleh pengeluaran sperma, kemudian baru diikuti
oleh pelepasan telur-telur. Telur-telur kemudian menyebar terbawa arus dan dapat
merangsang induk-induk kima yang lain untuk memijah secara serempak atau
simultan. Menurut WADA (1954), telur kima masak yang dipijahkan
mengandung zat yang dapat merangsang pemijahan kima lain dari jenis yang
sama. Mekanisme ini dapat menghindari keadaan yang tidak diinginkan, yaitu
fertilisasi atau pembuahan sendiri (self-fertilization). Kalau terjadi pembuahan
sendiri, maka akan dihasilkan keturunan yang inferior dibandingkan dengan
"keturunan campuran". Di lingkungan terumbu yang masih perawan atau yang
belum terjamah, kima yang sejenis biasanya hidup membentuk kelompok-
kelompok sehingga memungkinkan terjadinya pembuahan secara optimal.
C. Hubungan Kima dengan Zooxanthela
Lingkungan terumbu karang yang kurang produktif alias miskin memaksa
kima dan hewan-hewan pembangun terumbu yang lain seperti karang batu, karang
lunak dan Iain-lain untuk menambat sejenis mikroalga dari jenis Symbiodinium
microadiaticum (zooxanthella) di dalam jaringan tubuhnya (YONGE, 1975).
Kedua jenis mahluk hidup tersebut dapat hidup dengan damai sejahtera sebagai
suatu kesatuan yang sangat intim dan permanen.
Dibandingkan dengan kehidupan sendiri-sendiri, kedua simbion dapat
menciptakan ekosistem kecil di mana ada daur makanan yang seimbang dan
efisien antara kedua jenjang trofik: kima dan zooxanthella. Kima dan zooxanthella

52
masing-masing mempunyai kemampuan mengekstrak makanan esensial yang
dibutuhkan pihak lawannya. Zooxanthella. berfotosintesa, yaitu memproduksi
makanannya sendiri dari energi matahari dan sumber nitrogen dan karbon dari
hasil katabolisme dan respirasi kima. Sebalik-nya kima memperoleh makanan dari
produk fotosintesis secara langsung dari zooxanthella.

Gambar 2. Kima (Tridacna gigas) (Sumber:


http://static.panoramio.com/photos/large/55461090.jpg).
D. Fisiologis pada Kima
Karena zooxanthella yang menyediakan sumber energi untuk inangnya
tinggal "di dalam", maka proses fisiologis kima dalam mengolah energi dari
zooxanthella masih belum diketahui dengan jelas. Ada dua pendapat yang
bertentangan: transfer energi dikerjakan oleh sel-sel amoebocyte kima yang
membawa zooxanthella ke dalam sistem pencernaan melalui aliran darah atau
langsung oleh zooxanthella sendiri yang membagi sebagian hasil fotosintesanya
kedalam jaringan inangnya. Mekanisme pertama diusulkan oleh YONGE (1936)
atas dasar pengamatan histologis pada jaringan sifonal dan alat pencernaan kima.
YONGE (1936) menemukan sel-sel yang mengkerut (pycnotic cells) beradadi

53
dalam sel-sel yang diduga sebagai sel-sel fagocyt. Hasil pengamatan YONGE
(1936) tersebut bertentangan dengan hasil pengamatan MANSOUR (1964a, b, c),
KAWAGUTI (1966), FANK-BONER (1971) dan TRENCH et al (1981); di mana
mereka tidak pernah menjumpai sel-sel fagocyt di dalam sinus-sinus darah di
jaringan sifonal kima.
TRENCH et al (1981) tidak mendapatkan bukti bahwa zooxanthella
dicerna oleh kima. Pengamatan histologis ter hadap zooxanthella yang diberi label
C menunjukkan bahwa zooxanthella pada faeces (kotoran) kima yang masih utuh
tetap aktif membelah diri di dalam media kultur (RICHARD & SALVAT, 1977).
Dengan demikian teori tentang mekanisme pencernaan terhadap zooxanthella
tidak dapat sepenuhnya diterima. Menurut TRENCH et al (1981) sel-sel keriput
(pycnotic cell) di saluran pencernaan yang semula dianggap sebagai akibat dari
proses pencernaan oleh kima (YONGE, 1936) adalah sebenarnya identik dengan
sel-sel ganggang tua di jaringan sifonal yang sudah mengalami autodegenerasi.
Transfer langsung hasil fotosintesa oleh zooxanthella ke jaringan inangnya
dibuktikan dari hasil pengamatan terhadap daur carbon (C) baik secara in vitro
pada lingkungan zooxanthella yang diinkubasikan ke dalam jaringan inangnya
(GOREAU et al. 1973; MUSCATINE, 1967; TRENCH et al, 1981) maupun
secara in vivo langsung pada kima hidup setelah beberapa waktu diinkubasikan ke
dalam air yang mengandung karbon radioaktif (GRIFFITHS & STREAMER,
14
1988). Terbukti bahwa C yang diikat zooxanthella selama proses fotosintesa
sebagian dilepas kembali ke dalam jaringan inangnya. Produk fotosintesa yang
ditransfer zooxanthella ke jaringan inangnya terdiri dari glukosa, oligo sakarida,
glutamat, alanin, asam aspartat, serin dan suksinat (GRIFFITH & STREAMER,
14
1988). Jumlah C yang mewakili produk fotosin-tesis yang dilepaskan ke jaringan
kima cukup besar, yaitu berkisar antara 30 — 97 % (MUSCATINE, 1967;
TRENCH et al, 1981; GRIFFITHS & STREAMER, 1988).
E. Peremajaan Kima
Beberapa pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa peremajaan alami
dari kima muda di terumbu karang dalam keadaan "normal" sangat tidak
sebanding dengan fekunditas telur yang sangat tinggi (PEARSON 1977). Kima

54
muda amat jarang ditemukan di beberapa tempat di terumbu karang. Kima terkecil
dari jenis T. gigas yang pernah dijumpai di terumbu karang berukuran 2,5 cm.
Dalam keadaan "normal", peremajaan kima muda sudah sangat lambat,
apalagi keadaan yang "rusak" sebagai akibat dari pembabatan massal. Populasi
kima yang tertinggal hanya terdiri dari hewan-hewan muda yang belum siap untuk
berkembang biak, selanjutnya kima yang sempat tumbuh menjadi dewasa sudah
sangat jarang sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya pembuahan pada
musim pemijahan. Disamping itu keragaman genetik dari sisa populasi kima
sudah menurun dan tidak menjamin "fitness" dari populasi kima.
Untuk mempertahankan kelestarian kima atau kelangsungan jenisnya,
MUNRO (1989) menganjurkan cara penangkapan kima pada ukuran tertentu
secara berselang seling. Disamping itu MUNRO (1989) juga menganjurkan untuk
mengelompokkan kembali populasi kima yang sudah jarang dari berbagai tempat
ke suatu kawasan konservasi supaya dapat berfungsi kembali sebagai stok induk
(broodstock). Usaha yang terakhir dapat dikembangkan lagi dengan
mengumpulkan stok induk untuk produksi bibit kima secara budidaya di
"hatchery" dan selanjutnya meremajakan kembali terumbu karang yang sudah
terancam punah.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kima merupakan salah satu kelompok Bivalvia yang dapat bersimbiosis
dengan zooxanthella. Dalam keadaan "normal", peremajaan kima muda sudah
sangat lambat, apalagi keadaan yang "rusak" sebagai akibat dari pembabatan
massal. Populasi kima yang tertinggal hanya terdiri dari hewan-hewan muda yang
belum siap untuk berkembang biak, selanjutnya kima yang sempat tumbuh
menjadi dewasa sudah sangat jarang sehingga memperkecil kemungkinan
terjadinya pembuahan pada musim pemijahan.

55
B. Saran
Perlu ditinjau lebih jauh mengenai keberadaan populasi kima dan
peremajaan kima. Dari tinjauan tersebut dapat dicari cara budidaya atau
konservasi kima sehingga keberadaannya di alam tidak berkurang atau punah.

DAFTAR PUSTAKA

GOREAU, T.F.; N.I. GOREAU and CM. YONGE 1973. On the utilization of
pho-tosynthetic products from zooxanthella and of a dissolved amino acid
in Tridacna maxima f. elongata (Mollusca : Bivalvia). J. Zool. (London)
169:417- 454.
GRIFFITHS, DJ. and M. STREAMER. 1988. Contribution of zooxanthella to
their giant clam host. In "Giant clams in Asia and the Pacific" (1W.
COPLAND and J.S. LUCAS eds) ACIAR. 151 — 154.
HESLINGA, G.A. and W.K. FITT 1987. The domestication of reef-dwelling
clams. Bioscience 37 (5) ; 332 - 339.
LA BARBERA, M. 1975. Larval and post-larval development of the giant clams,
Tridacna maxima and Tridacna squamosa (Bivalvia : Tridacnidae).
Malacobgia 15 ; 69 - 79.
MUNRO, J.L. 1989. Fisheries for giant clams (Tridacnidae : Bivalvia) and pros-
pects for stock enhancement. In : Marine Invertebrate Fisheries : Their
Assessment and Management (J.F. CADDY ed.). John Wiley & Sons, Inc.
pp 541 - 558.
MUSCATINE, L. 1967. Glycerol excretion by symbiotic algae from corals and
Tri-dacna and its control by the host. Science. 156: 516 - 519.
PEARSON, R.G. 1977. Impact of foreign vessels poaching giant clams. Aust.
Fish. J. 36(7): 8- 11.
RICHARD, M. and R. SALVAT 1977. Faeces of Tridacna maxima (MoUusca :
Bivalvia), composition and coral reef importance. Proc. Third Coral Reef
Symp. 495 – 501.

56
TRENCH, R.K.; D.S. WETHEY and J.W. PORTER 1981. Some observation on
the symbioses with zooxanthellae among tri-dacnidae (Mollusca : Bivalvia). Biol
Bull 161:180 - 198.
WADA, S.K. 1954. Spawning in the tri-dacnid clams. Jep. J. Zool. 11 : 273 -285.
YONGE, CM. 1936. Mode of life, feeding, digestion and symbiosis with zooxan-
thella in the Tridacnidae. Sci. Rep. Great Barrier Reef Exped. 1: 283 - 321.
YONGE, CM. 1975. Giant clams. Sci Am. 232: 96 - 105.
YONGE, CM. 1980. Functional morpho-logy and evolution in the Tridacnidae
(Mollusca : Bivalvia : Cardiacea). Records Australian Museum 33 (17) : 735 -
777.

57
POTENSI MIKROALGA SEBAGAI BAHAN BIOFUEL DAN PROTEIN
SEL TUNGGAL
Asyrof Zamzami (3425111407), M. Faris Indratmo (3425111409)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Laut merupakan bagian wilayah terluas yang melingkupi bumi. Di
Indonesia khususnya 2/3 wilayahnya merupakan lautan, sehingga potensi yang
ada pun besar, namun luasnya bagian ini tidak akan menghasilkan nilai apapun
jika tidak dimanfaatkan secara maksimal. Salah satunya mikroalga. Mikroalga
adalah kelompok tumbuhan berukuran renik, diameternya antara 3-30 μm berupa
tanaman thalus serta memiliki klorofil sehingga sangat efisien dalam menangkap
dan memanfaatkan energi matahari dan CO2 untuk keperluan fotosintesis.
Mikroalga terdiri dari banyak spesies yang hampir semuanya adalah organisme
akuatik (Sasmita et al, 2004).
Peningkatan populasi penduduk dunia telah mencapaitingkat yang
mengkhawatirkan, begitu juga denganpeningkatan kebutuhan bahan bakar cair.
Saat ini,80% kebutuhan energi global dihasilkan dari bahanbakar fosil, namun
penggunaan bahan bakar fosilyang terlampau luas telah menyebabkan
perubahaniklim global, pencemaran lingkungan, dan masalahkesehatan [1].
Prediksi mengenai tidak mencukupi-nya pasokan protein telah menambah
kekhawatiranmengenai ketersediaan bahan pangan untuk masadepan. Dengan
demikian, banyak negara yang me-ngalihkan perhatian mereka terhadap
pengembangansumber energi baru, bersih, dan berkelanjutan. Biomassa mikroalga
muncul sebagai salah satu kandidatkuat untuk tujuan tersebut.Penelitian mengenai
mikroalga dan aplikasinya untuk dapat digunakan dalam berbagai macam proses
atauproduk ekonomis dan bernilai tinggi telah dikembangkan secara ekstensif
selama 50 tahun terakhir. Jepang telah memulai budidaya
mikroalgaChlorellaskala besar pada awal 1960-an oleh Nihon Chlorella[2].
Aplikasi mikroalga sebagai sumber energi terbarukan semakin meningkat selama

58
krisis energi padatahun 1970-an [2,3].Pada tahun 1980, terdapat 46 pabrik skala
besar yangberhasil memproduksi lebih dari 1000 kg mikroalga per bulan
(terutamaChlorella) di Asia [2]. Budidaya komersialDunaliella salina, sebagai
sumberβ-karoten, merupakan industri mikroalga ketiga terbesar yang didirikan
oleh Western Biotechnology (HuttLagoon, Australia) dan Betatene (Whyalla,
Australia) (sekarang Cognis Nutrition and Health) pada tahun1986 [2].
Industri bioteknologi mikroalga telah tumbuh dan sangat berkembang
dalam waktu singkat sekitar 30 tahun. Saat ini, pasar biomassa
mikroalgamenghasilkan sekitar 5000 ton bahan kering dan menghasilkan omzet
sekitar US $ 1,25 × 109 / tahun (tidak termasuk produk dari mikroalga)
[2,4].Ekplorasi mikroalga selain digunakan sebagai usahadiversifikasi pangan,
juga dimaksudkan untuk memberdayakan lahan pertanian yang tidak layak.
Indonesia sebagai Negara tropis memiliki temperatur dankomposisi kadar garam
tinggi sehingga sangat sesuaiuntuk pertumbuhan mikroalga. Makalah
inimembahas secara umum mengenai mikroalga serta potensinya sebagai bahan
baku biofuel dan Protein Sel Tunggal (PST).

BAB II
ISI

A. Karakteristik Mikroalga
Mikroalga adalah alga berukuran mikro yang biasa dijumpai di air tawar
maupun air laut. Mikroalga merupakan spesies uniseluler yang dapat hidup soliter
maupun berkoloni. Berdasarkan spesiesnya, ada berbagai macam bentuk dan
ukuran mikroalga. Tidak seperti tanaman tingkat tinggi, mikroalga tidak
mempunyai akar, batang dan daun. Mikroalga merupakan mikroorganisme
fotosintetik yang memiliki kemampuan untuk menggunakan sinar matahari dan
karbondioksida untuk menghasilkan biomassa serta menghasilkan sekitar 50%
oksigen yang ada di atmosfer. Keanekaragaman mikroalga sangat
tinggi.Diperkirakan ada sekitar 200.000 – 800.000 spesies mikroalga ada di bumi,
dimana baru sekitar 35.000 spesies saja yang telah diidentifikasi (Assadad
et.al,2012).

59
Mikroalga memiliki 4 komponen zat utama, yaitu karbohidrat, protein,
asam nukleat, dan lipid. Persentase keempat komponen tersebut bervariasi
tergantung jenis mikroalganya (Manullang et al., 2012). Kandungan lipid
mikroalga tergantung dari jenis mikroalga, rata-rata pertumbuhan dan kondisi
kultur mikroalga (Chisti, 2007).
Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), menyatakan bahwa terdapat empat
kelompok mikroalga Antara lain : diatom (Bacillariophyceae), alga hijau
(Chlorophyceae), alga emas (Chrysophyceae) dan alga biru (Cyanophyceae).
Penyebaran habitat mikroalga biasanya di air tawar (limpoplankton) dan air laut
(haloplankton), sedangkan sebaran berdasarkan distribusi vertikal di perairan
meliputi : plankton yang hidup di zona euphotik (ephiplankton), hidup di zona
disphotik (mesoplankton), hidup di zona aphotik (bathyplankton) dan yang hidup
di dasar perairan / bentik (hypoplankton) (Eryanto et.al, 2003).
Pertumbuhan mikroalga secara umum dapat dibagi menjadi lima fase yang
meliputi fase lag (adaptasi atau istirahat), fase eksponensial, fase penurunan
kecepatan pertumbuhan (deklinasi), fase stasioner dan fase kematian. Pada fase
lag penambahan jumlah densitas mikroalga sangat rendah atau bahkan dapat
dikatakan belum ada penambahan densitas. Hal tersebut disebabkan karena sel-sel
mikroalga masih dalam proses adaptasi secara fisiologis terhadap media tumbuh
sehingga metabolisme untuk tumbuh manjadi lamban. Pada fase eksponensial
terjadi penambahan kepadatan sel mikroalga (N) dalam waktu (t) dengan
kecepatan tumbuh (μ) sesuai dengan rumus eksponensial. Pada fase penurunan
kecepatan tumbuh pembelahan sel mulai melambat karena kondisi fisik dan kimia
kultur mulai membatasi pertumbuhan. Pada fase stasioner, faktor pembatas dan
kecepatan pertumbuhan bersifat setimbang karena jumlah sel yang membelah dan
yang mati sama. Pada fase kematian, kualitas fisik dan kimia kultur berada pada
titik dimana sel tidak mampu lagi mengalami pembelahan (Fogg dan Thake, 1987
dalam Edhy et al., 2003).
B. Mikroalga Sebagai Bahan Biofuel
Mikroalga merupakan salah satu organisme yang dapat dinilai ideal dan
potensial untuk dijadikan sebagai bahan baku produksi biofuel (Li, et al., 2008 ;
Raja, et al., 2008 ; Gouveia and Oliveira, 2009). Kandungan lipid dalam biomassa

60
mikroalga kering spesies tertentu dapat mencapai di atas 50% dengan
pertumbuhan yang sangat cepat (Hossain, et al, 2008 ; Hu, et al, 2008 ;
Massinggil, 2009). Proses pembiakan mikroalga hanya membutuhkan waktu 10
hari untuk siap dipanen sehingga secara matematis produktivitasnya mencapai
(120.000 kg biodiesel/Ha tahun) lebih dari 20 kali lipat produktivitas minyak
sawit (5.800 kg biodiesel/Ha tahun) dan 80 kali lipat dibandingkan minyak jarak
(1.500 kg/biodiesel/Ha tahun) (Teresa, et al, 2010). Kadar karbohidrat mikroalga
juga tinggi (29-31% berat kering untuk spesies clorella) lebih tinggi dari pada ubi
singkong (23% berat kering) dan dengan memperhitungkan masa panen, secara
matematis produktivitas bioetanolnya mencapai lebih dari 100 kali lipat ubi
singkong (Ansyori, 2008).
Dalam biomassa mikroalga terkandung bahan-bahan penting yang sangat
bermanfaat, misalnya protein, karbohidrat, lemak dan asam nukleat. Persentase
keempat komponen tersebut bervariasi tergantung jenis alga. Sebagai contoh,
mikroalga Chlorella vulgaris memiliki kandungan protein sebesar 51 – 58%,
karbohidrat 12 - 17%, lemak 14 – 22% dan asam nukleat 4 – 5%.
Spirulinaplatensis memiliki kandungan protein sebesar 46 – 43%, karbohidrat 8 –
14%, lemak 4 – 9%, dan asam nukleat 2 – 5% (Becker, 1994). Mikroalga lainnya
seperti, Botryococcus braunii, Dunaliella salina, Monalanthus salina mempunyai
kandungan lemak berkisar 40 - 85% (Borowitzka, 1998). Kandungan lemak
mikroalga tergantung dari jenis mikroalga, rata-rata pertumbuhan dan kondisi
kultur mikroalga (Chisti, 2007).

Gambar 1. Contoh mikroalga berpotensi sebagai biodiesel: Botryococcus


brauni

61
Lemak mikroalga pada umumnya terdiri dari asam lemak tidak jenuh,
seperti linoleat, eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic acid ( DHA)
(Skjak-Braek, 1992). Mikroalga mengandung lemak dalam jumlah yang besar
terutama asam arachidonat (AA, 20:4ω6) (yang mencapai 36% dari total asam
lemak) dan sejumlah asam eikosapentaenoat (EPA, 20:5ω3) (Fuentes, et al.,2000).
Selain itu, lemak mikroalga juga kaya akan asam lemak politidakjenuh (PUFA)
dengan 4 atau lebih ikatan rangkap. Sebagai contoh, yang sering dijumpai yaitu
eicosapentaenoic acid (EPA, C20:5) dan docosahexaenoic acid (DHA,C22:6)
(Chisti, 2007). Biomassa mikroalga adalah sumber yang kaya akan beberapa
nutrien, seperti asam lemak ω3 dan ω6, asam amino esensial (leusin, isoleusin,
valin, dan lain-lain) serta karoten (Becker, 1994). Beberapa mikroalga menyajikan
spektrum asam lemak yang lebih besar, ketika dibandingkan dengan tanaman
yang mengandung minyak, selain itu juga mengandung struktur molekul dengan
lebih dari 18 atom karbon (Belarbi et al., 2000).

Gambar 2. Reaksi Pembentukan senyawa akil ester (biodiesel)

62
Tabel 1. Perbandingan potensi beberapa bahan baku biodiesel (Chisti, 2007 ;
Abou-Sanab, et al., 2009 ; Teresa, et al., 2010)
Kandungan lipid Kandungan lipid
Spesies mikroalga Spesies mikroalga
(% biomassa) (% biomassa)
Chlorella emersonii 25-63 Nanochloris sp. 20-56
Chlorella minotissima 57 Nanochloropsis sp 12-53
Chlorella sp. 10-48 Schizochytrum sp. 50-77
Chlorella vulgaris 5-58 Skelotonema costatum 13-51
Dunaleilla salina 6-25 Pavtova salina 30
Dunaleilla primolicta 23 Pyrrosia Leavis 69
Dunaleilla sp. 17-67 Zitzschia sp. 45-47
Euglena gracilis 14-20 Dunaleilla lutheri 6-25
Tabel 2. Kandungan Lipid beberapa spesies mikroalga (Chisti, 2007 ; Li, et al.,
2008 ; Teresa, et al., 2010)
Keunggulan pengembangan mikroalga sebagai sumber bahan bakar fosil ini
adalah
 Mengandung minyak (lipid) hingga 70%.
 Efisiensi fotosintesis yang tinggi.
 Menghasilkan biomassa yang lebih banyak.
 Pertumbuhan yang lebih cepat.
 Tidak berkompetisi dengan produksi pangan.
 Dapat menggunakan air hasil daur ulang sehingga mampu menghemat
sumber daya air (water recycling).
 Mengurangi emisi gas rumah kaca (CO2 recycling).
 Dapat mempergunakan limbah tertentu sebagai sumber nutrisi (N, P, Si).
 Mempunyai komponen sampingan lain selain lipid (misalnya protein dan
pigmen yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi).
 Dapat mengubah CO2 menjadi biomassa melalui proses fotosintesis.
 Dapat bertahan di dalam salinitas tinggi sesuai dengan iklim Indonesia.
Mikroalga dapat dijadikan sebagai bahan baku berbagai produk renewable
energy seperti biodiesel, etanol, gas metana, hidrogen dan produk lain. Biodiesel

63
dari mikroalga tidak mengandung sulfur, dan rendah emisi partikulat, CO x ,
hidrokarbon dan SO x . Akan tetapi tinggi dalam hal emisi NO x.
C. Spirulina Sebagai Sumber Protein Sel Tunggal (PST)
Karakteristik
Spirulina merupakan mikroalga yang mengandung protein tinggi sekitar
55-70% dan sumber mikronutrien(Phang, et al., 2000). Pada tahun 1976,
Spirulinaplatensis sengaja dipilih sebagai sumber makanan masa depan oleh
International Association of Applied Microbiology.
Beberapa sumber bahan pangan seperti jamur dan bakteri mikroorganisme
mempunyai kadar protein yang sangat tinggi sehingga disebut sebagai protein sel
tunggal (PST).
Spirulina adalah jenis cyanobacteria atau bakteri yang mengandung
klorofil dan dapat bertindak sebagai organisme yang bisa melakukan fotosintesis
untuk membuat makanan sendiri. Bentuknya spiral, mengandung fikosianin tinggi
sehingga warna cenderung hijau biru. Spirulina dapat tumbuh dengan baik di
danau,Air tawar, air laut, dan media tanah. Spirulina juga memiliki kemampuan
untuk tumbuh di media yang mempunyai alkalinitas tinggi, (pH 8,5–11), Dimana
mikroorganisme lainnya tidak bisa tumbuh dengan baik dalam kondisi ini
(Kebede dan Ahlgren, 1996). Suhu terendah untuk Spirulinaplatensis untuk hidup
adalah 15°C, dan pertumbuhan yang optimal adalah 35‐40°C.

Gambar 3. Spirulina dilihat dari Mikroskop Jenis--‐jenis Spirulina.


Spirulina atau juga disebut sebagai Arthospira, memiliki berbagai banyak
jenis.Terdapat lebih dari 58 spesies Spirulina telah tercatat, tetapi hanya beberapa
jenis yang telah digunakan untuk sumber makanan. Dua jenis Spirulina yang
terkenal di pasaran adalah Spirulinaplatensis dan Spirulinamaxima. Dua jenis
Spirulina ini berbeda dalam bentuk serta ukurannya. Spirulina maxima

64
memilikiukuranyanglebihbesar,meskipun bentuknyatidakterlaluspiralseperti
Spirulina platensis.
Kandungan Nutrisi
Spirulina memiliki beberapa karakteristik serta kandungan nutrisi yang
cocok sebagai makanan fungsional.Protein, asam lemak esensial, vitamin,
mineral, dan klorofil serta fikosianin adalah komponen yang terkandung di dalam
Spirulina. Diyakini juga bahwa Spirulina bisa bertindak sebagai produk makanan
penyembuh atau obat.

Gambar 4. Tablet yang berasal dari ekstrak Spirulina


Mineral
Jumlah mineral esensial yang terkandung dalam spirulina hampir sekitar
3--‐7%. Mineral--‐mineral ini terakumulasi di dalam mikroalga dan berasal dari
mineral yang terkandung dalam media pertumbuhan dan juga dipengaruhi oleh
suhu, salinitas dan pH. Sharma dan Azees (1988) menyatakan bahwa
bioakumulasi kobalt dan seng dipengaruhi oleh suhu media yang
berbeda.Sementara itu Gabbay, Tel dan Gresshoff (1993) mencatat bahwa
Spirulina dalam air laut terakumulasi natrium dan klorida dalam jumlah tinggi.
Protein
Spirulina mengandung protein tinggi sekitar 55--‐70%. Protein ini
merupakan suatu senyawa Kompleks yang kaya akan asam amino esensial,
metionin (1,3--‐2,75%), sistin (0,5--‐0,7%), triptofan (1--‐1,95%), dan lisin (2,6--
‐4,63%).Kadar asam amino yang tinggi baik untuk kesehatan karena merupakan
salah satu bahan pembuat protein.

65
Asam Amino Esensial
Poly Unsaturated fatty Acid (PUFA)dalamSpirulinasekitar1,3--
‐15%darilemaktotal(6--‐6,5%).JeniskandunganlemaktertinggidariSpirulinaadalah
Gamma Linoleic Acid (GLA)sekitar 25--‐60%daritotal Lemak
(Borowitzka,1994;LidanQi,1997).Senyawa‐senyawa lain yang terdapat di dalam
lemak adalah asam palmik (44,6--‐54,1%), asam oleat (1--‐ 15,5%) dan asam
linoleat (10,8--‐30,7%). Spirulina mengandung kolesterol sekitar 32,5 mg/100 g.
Netralisasi Mineral Beracun
Spirulina memiliki kemampuan unik yaitu dapat menetralisir mineral
beracun (Maeda dan Sakaguchi, 1990; Okamura dan Aoyama, 1994).Spirulina
dapat digunakan sebagai agen penetral arsenik untuk air atau air limbah, dan
bahan beracun serta Logam berat lainnya (Liu, etal., 1991).
Betakarotein dan Vitamin
Spirulina mengandung karotenoid yang tinggi. Karotenoid tertinggi yang
ditemukan di Spirulina adalah betakarotein yang bisa dikonversi menjadi vitamin
A, dan vitamin B.Dengan demikian, 4 mg kandungan gizi pada Spirulina sama
dengan kandungan gizi yang terdapat pada 100 g sayuran segar.

66
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
- Mikroalga adalah alga berukuran mikro yang biasa dijumpai di air tawar
maupun air laut. Mikroalga merupakan spesies uniseluler yang dapat hidup
soliter maupun berkoloni
- Mikroalga memiliki 4 komponen zat utama, yaitu karbohidrat, protein,
asam nukleat, dan lipid
- Kandungan lipid dalam biomassa mikroalga kering spesies tertentu dapat
mencapai di atas 50% dengan pertumbuhan yang sangat cepat
- Spirulina merupakan mikroalga yang mengandung protein tinggi sekitar
55-70% dan sumber mikronutrien

DAFTAR PUSTAKA
Abou-Shanab, R., Hun-Joen, B., Song H., Kim Y., Hwang, J., 2009, Alga-Biofuel
; Potential Use as Sustainable Alternative green Energy, Power and
Energy Engineering : 1 (1) : 4-6
Ansyori, 2004, Etanol sebagai Bahan Bakar Alternatif, Erlangga, Jakarta
Borowitzka, M.A. 1994. Products from Algae. In S. M. Phang, L. Y. Kun, M. A.
Borowitzka, and B. A. Whitton eds. In. Proc. 1st Asia--‐Pacific
Conference on Algal Biotechnology. Kuala Lumpur, Malaysia. University
of Malaya.
Chisty, Y., 2007, Biodiesel from Microalgae, Biotechnology Advances : 25 : 293-
306
Gabbay, A. R., O. E. Tel, P. M. Gresshoff. 1993. Mechanisms of Salt Tolerance in
Cyanobacteria. Plant Sources to the Environment. Current Topics in Plant
Molecular Biology, 123--‐132.
Hossain ABMS, Salleh A, Boyce AN, Chowdhury P, and Naqiuddin M., 2008,
Biodiesel Fuel Production From Algae As Renewable Energy. American
Journal of Biochemistry and Biotechnology ; 4 (3) : 250–254.

67
Kabede, E and Ahlgren, G. 1996. Optimum Growth Conditions and Light
Utilization Efficiency of Spirulina platensis (Arthospira fusiformis) from
Lake Chitu, Ethiopia. Hydrobiol., 332: 99--‐109.
Li Y, Horsman M, Wu N, Lan C.Q, and Dubois-Calero N., 2008, Biofuels From
Microalgae. Biotechnology Progress ; 24 (4) : 815–820.
Liu, L.C., Guo, B.J., and Ruan, J.S. 1991. Antitumour Activity of Polysaccharides
Extracted from Spirulina. Oceanogr., 5: 33--‐37 (In
Maeda, S and T. Sakaguchi. 1990. Accumulation and Detoxification of Toxic
Metal Elements by Algae. Introduction to Appl. Phycol., 109--‐136.
Massinggil, M. J., 2009, 15 Years of Experience Producing microalgae Feedstock
and Resulting Co-Products, Kent Bioenergy Corporation, San Diego.
Phang, S.M., M. S. Miah, W. L. Chu, and M. Hashim. 2000. Spirulina Culture in
Digested Sago Starch Factory Waste Water. J.Appl.Phycol., 12:395-
-‐400.
Sharma, R. M and P. A. Azeez. 1988. Accumulation of Cooper and Cobalt by
Blue--‐Green Algae at Different Temperature. Inter. J. Environ. Anal.
Chem., 32:87--‐95.
Teresa M. M., Antonio A. M. dan Caetano, N.S. 2010, Microalgae for Biodiesel
Production and Other Applications: A Review, Renewable and
Sustainable Energy, 14 217-232.

68
ZONA INTERTIDAL
Anugerah Eka F. (3425110236), Putri Octaviani (3425111421)

BAB I
PENDAHULUAN

Ekosistem pesisir dan lautan merupakan sistem akuatik yang terbesar di


planet bumi. Ukuran dan kerumitannya menyulitkan kita untuk dapat
membicarakannya secara utuh sebagai suatu kesatuan. Akibatnya dirasa lebih
mudah jika membaginya menjadi sub-bagian yang dapat dikelola, selanjutnya
masing-masing dapat dibicarakan berdasarkan prinsip-prinsip ekologi yang
menentukkan kemampuan adaptasi organisme dari suatu komunitas. Tidak ada
suatu cara pembagian laut yang telah diajukan yang dapat diterima secara
universal. Cara pembagiannya telah banyak dipakai oleh para ilmuwan dan pakar
kelautan di seluruh dunia.
Salah satu bagian dari pembagian ekosistem di kawasan pesisir dan laut
adalah kawasan intertidal (intertidal zone). Wilayah pesisir atau coastal adalah
salah satu sistim lingkungan yang ada, dimana zona intertidal atau lebih dikenal
dengan zona pasang surut adalah merupakan daerah yang terkecil dari semua
daerah yang terdapat di samudra dunia, merupakan pinggiran yang sempit sekali,
hanya beberapa meter luasnya dan terletak di antara air tinggi (high water) dan air
rendah (low water). Zona ini merupakan bagian laut yang paling dikenal dan
paling dekat dengan kegiatan kita apalagi dalam melakukan berbagai macam
aktivitas, hanya di daerah inilah penelitian dapat langsung kita laksanakan secara
langsung selama periode air surut, tanpa memerlukan peralatan khusus.
Letak zona intertidal yang dekat dengan berbagai macam aktifitas
manusia, dan memiliki lingkungan dengan dinamika yang tinggi menjadikan
kawasan ini sangat rentan terhadap gangguan. Kondisi ini tentu saja akan
berpengaruh terhadap segenap kehidupan di dalamnya. Pengaruh tersebut salah
satunya dapat berupa cara beradaptasi. Adaptasi ini diperlukan untuk
mempertahankan hidup pada lingkungan di zona intertidal. Keberhasilan
beradaptasi akan menentukan keberlangsungan organisme di zona intertidal.

69
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Zona intertidal


Zona intertidal adalah zona littoral yang secara reguler terkena pasang
surut air laut, tingginya adalah dari pasang tertinggi hingga pasang terendah.
Didalam wilayah intertidal terbentuk banyak tebing-tebing, cerukan, dan gua,
yang merupakan habitat yang sangat mengakomodasi organisme sedimenter.
Morfologi di zona intertidal ini mencakup tebing berbatu, pantai pasir, dan tanah
basah / wetlands.
Zona intertidal (pasang-surut) merupakan daerah terkecil dari semua
daerah yang terdapat di samudera dunia. Merupakan pinggiran yang sempit sekali
hanya beberapa meter luasnya. Terletak di antara air tinggi dan air rendah. Zona
ini merupakan bagian laut yang mungkin paling banyak dikenal dan dipelajari
karena sangat mudah dicapai manusia. Hanya di daerah inilah penelitian terhadap
organisme perairan dapat dilaksanakan secara langsung selama periode air surut,
tanpa memerlukan peralatan khusus. Zona intertidal telah diamati dan
dimanfaatkan oleh manusia sejak prasejarah (Nybakken, 1988).
B. Keragaman di Zona Intertidal
Keragaman faktor lingkungannya dapat dilihat dari perbedaan (gradient)
dari faktor lingkungan secara fisik mempengaruhi terbentuknya tipe atau
karakteristik komunitas biota serta habitatnya. Sejumlah besar gradien ekologi
dapat terlihat pada wilayah intertidal yang dapat berupa daerah pantai berpasir,
berbatu maupun estuari dengan substrat berlumpur. Perbedaan pada seluruh tipe
pantai ini dapat dipahami melalui parameter fisika dan biologi lingkungan yang
dipusatkan pada perubahan utamanya serta hubungan antara komponen biotik
(parameter fisika - kimia lingkungan) dan komponen abiotik (seluruh komponen
makhluk atau organisme) yang berasosiasi di dalamnya.
Biota pada ekosistem pantai berbatu adalah salah satu daerah ekologi yang
paling familiar, habitat dan interaksinya sudah diketahui oleh ilmuan, penelitian
diadakan di pulau Cruger yang pantai utaranya merupakan ( freshwater ) air tawar
dan berbatu. Fauna pada pantai berbatu pulau cruger berkarakteristik dominan

70
pada binatang air tawar. Sebagian besar berupa Dipterans, Nematodes,
Microannelida, Gastropoda, Bivalves dan Flatworms secara keseluruhan,
macroinvertebrate yang ada di pantai ini berasal dari golongan Tubellaria,
Nematoda, Oligochaeta, Gastropoda, Dreissna, Acari, Amphipoda,
Ephemeroptera, Trichoptera, coteoptera, Ceratopogonidae, Chironomidae. Sama
seperti lingkungan air tawar, serangga menjadi hal umum di pulau cruger .
Serangga yang terdapat adalah Epheraroptera, Trichoptera, coleoptera dan diptera
( Prajitno, 2009)
Dilingkungan laut khususnya di intertidal. Spesies yang berumur panjang
cenderung terdiri dari berbagai hewan inverbrata. hewan-hewan intertidal
dominan yang menguasai ruang selain Mytilus californianus yang terdapat dalam
jumlah banyak di pesisir pasifik adalah teritip Balanus Cariogus dan Balanus
glandula. Dua spesies tersebut terdapat melimpah di wilayah intertidal walaupun
kenyataannya mereka bersaing dengan M.californianus hal ini menyebabkan
pertumbuhan teritip dapat berlangsung dengan baik. Pisaster Ochraceus
merupakan predator kerang yang rakus sehingga secara efektif mencegah kerang
menempati seluruh ruang (Nybakken, 1988).
Pantai yang terdiri dari batu-batuan (rocky shore) merupakan tempat yang
sangat baik bagi hewan-hewan atau tumbuhan-tumbuhan yang dapat
menempelkan diri pada lapisan ini. Golongan ini termasuk banyak jenis
gastropoda, moluska dan tumbuh-tumbuhan yang berukuran besar. Dua spesies
Uttorina undulata dan tectarius malaccensis, tinggal dan hidup di bagian batas atas
dari pantai di bawahnya berturut-turut ditempati oleh jenis spesies lain monodonta
labio dan Nerita undata. Kemudian oleh cerithium morus dan Turbo intercostalis.
Akhirnya pada batas yang paling bawah terdapat lambis-lambis dan Trochus
gibberula (Hutabarat, 2008).

71
Tabel 1. Jenis-jenis biota yang hidup di Zona Intertidal :
Pantai berbatu Pantai berpasir Pantai berlumpur
Upper zone Alga yang menjalar Scylla olivacea, Scylla Nematoda dan
Cyanobacteria(bakteri serrata dan Scylla oligochaetes
hijau biru) cacing kecil, paramamosain
periwinkles,kepiting, dimanaScylla olivacea
rajungan
Middle Bernakel, Kerang Scaphopoda (keong Harpacticoid copepoda,
zone terkadang tiram, bintang gading), Crustacea, mystacocarid,
laut, mussels, kepiting, Cacing policaeta, nematoda, oligochaetes
bernacles, isopods, Mata bivalva, Donax sp. dan turbelaria
Kebo (Turbo brunnes), Mytilus edulis,
Cephalopoda (cumi-cumi,
gurita dan notilus),
Bivalvia (kijing, tiram
dan kepah), Crustacea,
nekton
Lower alga merah, organisme ikan badut, ikan lepu, 40-70%, nematoda dan
zone penghasil kapur, ikan barakuda, ikan crustacea,nekton
kebanyakan berbentuk baronang, botana,
menjalar, terkadang kelp Kepe strip delapan,
yang lebat (alga coklat) Kepe coklat,kepe
tunicata (sea squirt), monyong zebra,
Chiton, lely laut, Asterias kambingan, Platak
asterina, sun star, Brittle asli, Brown Kelly,
star (Ophiura), bulu Brajanata, keling
babi(stongylocentrotus, kalong, Kenari biasa,
nekton Kerapu layar, Dokter
ular bibir merah,
Dokter neon, Zebra
ekor hitam, Bluester
Biasa, Betok , Enhalus

72
acoroides, Halophila
ovalis, Halophila
minor, Thalassia
hemprichii,
Cymodocea serrulata,
Syringodium
isoetifolium.

C. Bentuk Adaptasi Biota di Zona Intertidal


Bentuk adaptasi adalah mengcakup adaptasi struktural, adaptasi fisiologi,
dan adaptasi tingkah laku. Adaptasi struktural merupakan cara hidup untuk
menyesuaikan dirinya dengan mengembangkan struktur tubuh atau alat-alat tubuh
ke arah yang lebih sesuai dengan keadaan lingkungan dan keperluan hidup.
Adaptasi fisiologi adalah cara makhluk hidup untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan dengan cara penyesuian proses-proses fisiologis dalam
tubuhnya. Adaptasi tingkah laku adalah respons-respon hewan terhadap kondisi
lingkungan dalam bentuk perubahan tingkah laku.Organisme intertidal memilki
kemampuan untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang dapat berubah
secara signifikan, pola tersebut meliputi,
a). Daya Tahan terhadap Kehilangan air
Organisme laut berpindah dari air ke udara terbuka, mereka mulai
kehilangan air. Mekanisme yang sederhana untuk menghindari kehilangan air
terlihat pada hewan-hewan yang bergerak seperti kepiting dan anemon.
b). Pemeliharaan Keseimbangan Panas
Organisme intertidal juga mengalami keterbukaan terhadap suhu panas
dan dingin yang ekstrim dan memperlihatkan adaptasi tingkah laku dan struktur
tubuh untuk menjaga keseimbangan panas internal.
c). Tekanan mekanik
Gerakan ombak mempunyai pengaruh yang berbeda, pada pantai berbatu
dan pada pantai berpasir. Untuk mempertahankan posisi menghadapi gerakan
ombak, organisme intertidal telah membentuk beberapa adaptasi.
d). Pernapasan

73
Diantara hewan intertidal terdapat kecenderungan organ pernapasan yang
mempunyai tonjolan kedalam rongga perlindungan untuk mencegah kekeringan.
Hal ini dapat terlihat jelas pada berbagai moluska dimana insang terdapat pada
rongga mantel yang dilindungi cangkang
e). Cara Makan
Pada waktu makan, seluruh hewan intertidal harus mengeluarkan bagian-
bagian berdaging dari tubuhnya. Karena itu seluruh hewan intertidal hanya aktif
jika pasang naik dan tubuhnya terendam air. Hal ini berlaku bagi seluruh hewan
baik pemakan tumbuhan, pemakan bahan-bahan tersaring, pemakan detritus
maupun predator.
f ).Tekanan Salinitas
Zona intertidal juga mendapat limpahan air tawar yang dapat
menimbulkan masalah tekanan osmotik bagi organisme intertidal yang hanya
dapat menyesuaikan diri dengan air laut. Kebanyakan tidak mempunyai
mekanisme untuk mengontrol kadar garam cairan tubuhnya dan disebut
osmokonformer. Adaptasi satu-satunya sama dengan adaptasi untuk melindungi
dari kekeringan
g).Reproduksi
Kebanyakan organisme intertidal hidup menetap atau bahkan melekat,
sehingga dalam penyebarannya mereka menghasilkan telur atau larva yang
terapung bebas sebagai plankton. Hampir semua organisme mempunyai daur
perkembangbiakan yang seirama dengan munculnya arus pasang surut tertentu,
seperti misalnya pada waktu pasang purnama.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Zona intertidal adalah zona littoral yang secara reguler terkena pasang
surut air laut, tingginya adalah dari pasang tertinggi hingga pasang terendah.
Didalam wilayah intertidal terbentuk banyak tebing-tebing, cerukan, dan gua,
yang merupakan habitat yang sangat mengakomodasi organisme sedimenter.

74
Morfologi di zona intertidal ini mencakup tebing berbatu, pantai pasir, dan tanah
basah / wetlands.
Keragaman faktor lingkungannya dapat dilihat dari perbedaan (gradient)
dari faktor lingkungan secara fisik mempengaruhi terbentuknya tipe atau
karakteristik komunitas biota serta habitatnya. Sejumlah besar gradien ekologi
dapat terlihat pada wilayah intertidal yang dapat berupa daerah pantai berpasir,
berbatu maupun estuari dengan substrat berlumpur.
Bentuk adaptasi adalah mengcakup adaptasi struktural, adaptasi fisiologi,
dan adaptasi tingkah laku. Adaptasi struktural merupakan cara hidup untuk
menyesuaikan dirinya dengan mengembangkan struktur tubuh atau alat-alat tubuh
ke arah yang lebih sesuai dengan keadaan lingkungan dan keperluan hidup.
B. Kritik dan Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini sangat jauh dari
kesempuranaan maka ktitik dan saran sangat membantu dalam kesempurnaan
makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Syahid, S. 2012. Makalah Oseonografi tentang Keseragaman dan Adaptasi Biota


Intertidal. Universitas Hasanuddin, Makassar.
Abivaley. 2012. Adaptasi Biota Zona Intertidal. Universitas Trunojoyo, Madura
Hutabarat,s dan Steward,M.E.2008. Pengantar oseanografi. Universitas Indonesia.
Jakarta.
Nurfitriana. 2012. Faktor-faktor penyebab Distribusi Organisme dan
Keanekaragaman Popolasi Di Daerah Intertidal. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan Universitas Riau Pekanbaru, Riau.
Nybakken, J.W. 1998. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta, Indonesia.
Prajitno, A. 2009. Biologi Laut. Universitas Brawijaya. Malang.

75
RED TIDE - HARMFULL M-ALGA BLOOMS (HAB)
Amaliya Ruhama Putri (3425111400); Rina Trihandayani Putri
(3425111424)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan fitoplankton di suatu perairan memberikan kontribusi
terbesar terhadap produktivitas primer di satu perairan. Menurut Steeman-
Nielsen (1952), kurang lebih 95% produktivitas primer di laut
disumbangkan oleh fitoplankton. Namun ternyata tidak selamanya
populasi fitoplankton yang padat dapat memberikan dampak positif pada
kesuburan perairan. Pada beberapa kasus, ledakan populasi fitoplankton
justru menjadi bencana bagi kehidupan biota lainnya. Hal inilah yang
kemudian disebut blooming atau ledakan populasi.
Pada umumnya, fenomena blooming ditandai dengan berubahnya
warna air lautyang dikenal dengan sebutan red tideatau pasang
merah. Namun pada perkembangannya, istilah ini sering menyesatkan
karena ledakan fitoplankton ternyata tidak selalu dicirikan dengan warna
merah (red). Red tidemerupakan suatu fenomena alam yang terjadi akibat
pertumbuhan populasi spesies fitoplankton yang begitu cepat (bloom)
melampaui pertumbuhan spesies lainnya.Blooming ini dapat
mengakibatkan perubahan warna perairan menjadi merah, merah –
kecoklatan, atau kehijauan.Perubahan warna yang terjadi tergantung dari
spesies penyebab terjadinya red tide.Blooming fitoplankton juga dapat
menyebabkan air laut berubah warna dari biru-hijau menjadi merah
kecoklatan, hijau, atau kuning-hijau, bergantung pada pigmen yang
dikandungnya (Nontji, 2006). Bahkan dalam beberapa kasus, ledakan
fitoplankton tidak menimbulkan warna apa-apa di permukaan
laut.Fenomena ini ada yang menghasilkan racun (harmful algal bloom)
dan ada yang tidak menghasilkan racun (anaxious spesies).Biasanya
keracunan terjadi melalui ikan atau kerang-kerangan perantara.

76
B. Tujuan Penulisan
Tujuan dilakukannya penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan red tide,
2. Memahami penyebab dari red tide,
3. Mengetahui dampak yang disebabkan oleh red tide terhadap manusia
dan perikanan,
4. Mengetahui upaya untuk mencegah dan menanggulangi red tide dan
5. Memenuhi tugas Ekologi Laut
C. Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat kita peroleh dari penulisan makalah tentang red
tide ini diharapkan dapat digunakan dan membantu pembaca dalam
menyelesaikan tugas, memudahkan pembaca dalam memahami red tide,
penyebab dari red tide,dampak yang disebabkan oleh red tide terhadap
manusia dan perikanansecara jelas.

BAB II
ISI

A. Pengertian Red Tide


Red tideadalah suatu keadaan di mana air, terutama air laut mengalami
perubahan warna akibat dari ledakan populasi (blooming) dari
fitoplankton.Perubahan warna yang terjadi dapat berupa warna merah, coklat,
ungu, kuning, hijau dan lain-lainnya.Istilah red tidesaat ini populer dikenal
dengan istilah Harmfull m-Alga Blooms (HAB), karena tidak semua alga yang
blooming menyebabkan kematian dan tidak semunya berwarna merah.Saat ini
jumlah fitopalnkton yang dapat menyebabkan HAB ada sekitar 50 jenis dan
hampi semuanya dari kelompok dinoflagelata. Kelompok lain hanya terdiri
atas marga diatom sebanyak tiga jenis dari marga Pseudonistzchia (Sidabutar,
1996).
Pada sisi lain, HAB merupakan fenomena yang terjadi akibat ledakan
perkembangan (blooming) yang begitu cepat dari sejenis fitoplankton,
misalnya Ptychodiscus brevis, Prorocentrum,Gymnodiniumbreve,

77
Alexandrium catenella dan Noctiluca Scintillans dari kelompok Dinoflagellata
(Pyrrophyta) yang dapat menyebabkan perubahan warna dan konsentrasi air
secara drastis, kematian massal biota laut, perubahan struktur komunitas
ekosistem perairan, bahkan keracunan dan kematian pada manusia. Hal ini
disebabkan oleh setidaknya empat factor, yaitu pengayaan unsur hara dalam
dasar laut atau eutrofikasi, perubahan hidro-meteorologi dalam sekala besar,
adanya gejala upwelling yaitu pengangkatan massa air yang kaya akan unsur
hara ke permukaan, dan akibat hujan dan masuknya air tawar ke laut dalam
jumlah besar.
Keempat faktor itu, menurutnya, merupakan faktor penyebab
terjadinya red tidespesies fitoplankton pyrrophyta berwarna merah. Spesies ini
akan hilang dengan sendirinya, bila ekosistem dalam air kembali seimbang,
yaitu kembali pada kondisi normalnya. HAB biasanya terjadi pada air pesisir
pantai dan muara, jumlah fitoplankton berlebih di sebuah perairan berpotensi
membunuh berbagai jenis biota laut secara massal.Pasalnya, keberadaan
fitoplankton mengurangi jumlah oksigen terlarut.Kemungkinan lain, insang-
insang ikan penuh dengan fitoplankton. Akibatnya, lendir pembersihnya
menggumpal karena fitoplanktonnya berlebih dan ikan pun sulit bernapas.
B. Fenomena Red Tide
Fenomena pasang merah (red tide) merupakan peristiwa alam yang
umumnya terjadi.Namun demikian red tidetidak selalu berwarna merah, ada
kemungkinan berwarna kuning atau coklat tergantung jenis fitoplankton yang
meyebabkan terjadinya red tidetersebut.Pyrrophyta atau lebih dikenal sebagai
Dinophyceae atau Dinoflagellatamerupakan protista yang hidup di laut atau
air tawar. Pyrrophyta dinamakan pula sebagai Dinoflagellata karena
mempunyai sepasang flagella yang tidak sama panjang.
Dinoflagellata dalam jumlah yang kecil sebagai penyusun komunitas
plankton laut, tetapi lebih melimpah di perairan tawar.Fenonema menarik
yang dihasilkan oleh Pyrrophyta adalah kemampuan bioluminescence (emisi
cahaya oleh organisme), seperti yang dihasilkan oleh Noctiluca, Gonyaulax,
Pyrrocystis, Pyrodinium dan Peridinium sehingga menyebabkan laut tampak
bercahaya pada malam hari.

78
Fenomena lainnya adalah pasang merah (red tide) yaitu terjadinya
blooming Pyrrophyta dengan 1- 20 juta sel per liter.Red tidedapat
menyebabkan Kematian ikan dan invertebrata, jika yang blooming adalah
Ptychodiscus brevis, Prorocentrum dan Gymnodiniumbreve.Kematian
invertebrata jika yang blooming adalah Gonyaulax, Ceratium dan
Cochlodinium.Kematian organisme laut, yang lebih dikenal sebagai paralytic
shellfish poisoning, jika yang blooming adalah Gonyaulax dan Alexandrium
catenella.
Di beberapa Negara, seperti Jepang, Australia, Selandia Baru, Fiji,
Papua Nugini, Hongkong, India, Brunei Darussalam, Filipina, Thailand, dan
beberapa Negara lainnya melaporkan bahwa masalah yang ditimbulkan
Harmfull m-Alga Blooms (HAB) merupakan masalah serius. Beberapa pusat
budidaya ikan, udang, dan kerang hacur akibat HAB, bahkan kasus keracunan
dan kematian manusia akibat memakan ikan atau kerang yang terkonatminasi
HAB sudah sering dilaporkan.
Di Indonesia pernah terjadi peristiwa kematian massal ikan beserta
kasus keracunan dan kematian manusia akibat HAB pertama kali dialporkan
terjadi di flores pada tahun 1983. Selain itu juga pernah terjad di Ujung
Pandang pada bulan Agustus 1987 dan di Kalimantan Timur pada bulan
Januari 1988.Kasus keracunan ini diduga kuat disebabkan oleh fitoplankton
jenis Pyrodinium bahamense.Jenis ini dapat menghasilkan racun saxitosin
yang dapat menyebabkan penyakit Paralytic Shellfish Poisoning (PSP) pada
manusia dan hewan (Adnan, 1991).
Di Jakarta pertama kali dilaporkan terjadi peristiwa HAB pada tanggal
31 Juli 1986. Kejadian ini tampak pada beberapa ikan yang mati mengapung
di atas air laut yang pada mulanya banyak beranggapan hal ini disebabkan
oleh pembuangan bahan kimia dan limbah ke laut. Kemungkinan perairan di
teluk Jakarta sudah mengalami eutrofikasi yang menjadi faktot utama
terjadinya HAB (Sutomo, 1993).
C. Penyebab Red Tide
Red tideumumnya terjadi di perairan yang mengalami penyuburan
(eutrophic) sangat tinggi.Penyuburan dapat berasal dari limbah daratan atau

79
karena perubahan musim.Pengaruh daratan biasanya cukup besar di perairan
dengan struktur geografis agak tertutup, dimana merupakan tempat yang
sering mengalami red tide.Misalnya Prince Edward Island dan Teluk St.
Lawrence, Kanada; Teluk Monterey, Puget Sound dan Teluk Meksiko di
Amerika dan Iain-lain.Laut Jepang; Vicinity Seto yang hampir tertutup dan di
batasi oleh tiga pulau besar dan dua selat, penyuburannya sangat tinggi dan
paling sering mengalami red tide.
Di negara subtropis penyuburan terjadi pada musim panas.Kenaikan
suhu air laut, mengakibatkan naiknya nutrien dari dasar perairan dan
selanjutnya terjadi pengadukan.Di negara tropis perubahan suhu tidak terlalu
nyata.Penyuburan mungkin terjadi pada musim hujan.Laporan hasil penelitian
di daerah subtropis (Anderson, 1980; Imai & Itoh, 1987; Yentsch et al.,1980)
menyatakan bahwa di daerah subtropis, sesudah ledakan populasi dan
melewati masa optimal dari pertumbuhan vegetatifnya, penyebab red tideyang
termasuk dinoflagellata akan segera membentuk kista.Kista mengalami fase
istirahat yang panjang (dormancy) dan mengendap diatas dasar lumpur. Kista
akan megalami pemasakan dalam masa “pertapaan” selama berbulan-bulan
pada suhu rendah.
Di perairanJepang kista dari Chattonella bertapa selama 6 bulan pada
suhu sekitar 10°C di dasar perairan. Kista Chattonellaakan berkecambah lagi
pada waktu musim semi bila suhu di dasar perairan berkisar antara 15 - 27°C.
Pada suhu yang sama dimusim gugur kista Chattonella tidak dapat
berkecambah karena belum cukup masak (diperlukan waktu selama 6 bulan
pada suhu dingin). Suhu optimum untuk perkecambahan kista Chattonella
berkisar antara 20 - 22°C dan berlangsung antara 2-10 hari pada suhu
optimum. Sel-sel Chattonella kemudian'akan membelah secara vegetatif pada
suhu optimal antara 20 - 25 °C Faktor penyebab bagi pertumbuhan sel-sel
vegetatif tersebut selain N dan P yang membedakan Chattonnella dengan
diatomae adalah cahaya matahari. Ketika kista Chattonella berkecambah
dalam gelap, sel-sel vegetatifnya justru mengalami ledakan populasi pada
waktu paling terik di musim panas dan biasanya pada saat diatomae sangat
sedikit di perairan .Sebaliknya waktu diatomae tumbuh subur, alga beracun

80
tidak tumbuh.Pada waktu musim semi, jarang dijumpai sel-sel vegetatif
Chattonella, Chattonella umumnya dalam bentuk kista masak yang siap
berkecambah. Dinoflagelatta yang lain sepeti Gonyaulax digitalis (Wall &
Dale 1968) dan Peridinium cunningtonii (Kadota et al 1984) juga mempunyai
siklus perkecambahan yang sama dengan Chattonella, yaitu pada musim semi,
untuk G. tamarensss agak berbeda, perkecambahan terjadi dua kali dalam
setahun yaitu pada musim semi dan musim gugur (Anderson 1980).
Mempelajari siklus hidup, mekanisme pertumbuhan dari kista yang
tidak beracun dan sel-sel vegetatif yang mengeluakan racun, faktor-faktor
pembatas pertumbuhannya serta pemantauan terhadap perubahan-perubahan
dari faktor -faktor tersebut di tempat-tempat dimana ditemukan kista dapat
membantu predikasi dan sekaligus mungkin penanggulangan terhadap
kejadian red tide.Cara predikasi yang sudah diterapkan di Jepang yaitu dengan
menggunakan indek pembelahan sel pada waktu munculnya kista masak dari
Chattonella.Model simulasi red tidejuga telah dibuat untuk Chattonella
berdasarkan perhitungan dengan zephyr indeks, pola isopleth untuk salinitas
pada lapisan 20 m, stabilitas vertikal dari 'water mass' dan suhu di dekat dasar
perairan.Adapun kista Chattonella telah dapat diidentifikasi oleh Imai & Itoh
(1987).Furuki & Kobayashi (1991) menemukan bakteri penghambat
pertumbuhan C. antiqua dan menganjurkan untuk menggunakan bakteri
tersebut sebagai agen pencegah red tide.
Setelah dilaporkan adanya keracunan oleh diatomae belakangan ini,
maka beberapa penelitian telah dilakukan terhadap Pseudonitzschia pungens,
dimana termasuk studi di laboratorium. Hasil studi terhadap ekofisiologi dan
morfologi sel P. pungens (Bates & Douglas 1993) menyatakan bahwa
diatomae tersebut mempunyai dua 'morfotype' ; forma multiseries sebagai
produser DA dan forma pungens yang tidak beracun. Perbedaan keduanya
hanya dapat dilihat dengan elektron mikroskop.Perbedaannya terletak pada
morfologi 'frustule' dari diatomae tersebut.Ternyata pada waktu pembelahan
mitosis, P. pungens tidak mengeluarkan racun. Setelah mencapai fase
stasioner dimana kadar silikat dalam media sangat terbatas, DA mulai
diproduksi. Dalam pembentukan racun tersebut Nitrogen sangat diperlukan,

81
dalam hal ini sudah jelas seperti diketahui bahwa DA adalah asam amino yang
mengandung N. Seperti halnya pada dinoflagellata, faktor cahaya juga
memegang peranan sangat penting dalam pembentukan DA. Dalam hal ini P.
pungens agak berbeda dengan dinoflagellata; pada cahaya yang kurang intens,
rnereka juga tumbuh subur namun tidak mengeluarkan racun. Faktor lain yang
tidak kalah pentingnya dalam memacu pertumbuhan sel dan produksi DA
pada P. pungens adalah simbiose dengan bakteri. Hasil penelitian yang lain
juga membuktikan bahwa bakteri merupakan faktor pembatas bagi C. antiqua
(Furuki & Kobayashi 1991).
D. Dampak yang Ditimbulkan Red Tide Pada Manusia dan Perikanan.
Fitoplankton yang menyebakan red tidetergantung pada jenis
fitoplankton yang mengalami ledakan populasi, dampak yang ditimbulkan
oleh red tideberbeda-beda. Laporan tentang musibah keracunan dan hasil-hasil
penelitian tentang penyebab keracunan adalah sebagai berikut :
1. Keracunan oleh Paralytic Shellfish Poisoning (PSP) yang fatal
terhadap seorangawak kapal 'Captain George Vancouver' dilaporkan
pertama kali pada tahun 1793 di British Columbia. Di kemudian hari
semakin sering dilaporkan orang mati keracunan kerang dari beberapa
lokasi sepanjang pantai Barat Laut dan Timur Laut Amerika serta
Alaska dan perairan Jepang. Racun PSP sering disebut juga sebagai
Saxitoxin (diekstrak dari kerang marga Saxidomus) atau mytilitoxin
(diekstra dari marga Mytilus). Ternyata PSP tersebut berasal dari
fitoplankton penyebab red tide: Ptrotogonyaulax dan Gymnodinium.
Populasi Protogonyaulax pada waktu musim panas dapat mencapai
50.000 sel/ml. Pada waktu kepadatan mencapai 20.000 sel/ml, warna
air laut sudah berubah menjadi merah atau kecoklatan karena adanya
pigmen xanthophyl peridinin. Kerang Saxidomus dan Mytilus yang
menyaring plankton pada waktu terjadinya ledakan tersebut tidak
mengalami keracunan, tetapi menjadi makanan beracun yang sangat
fatal bagi manusia. Daya racun PSP sangat tinggi. Dari 3000 sel
Protogonyaulax dengan berat basah 100 mg atau 15 mg berat kering
dapat diekstrak 1 mg racun PSP murni (Quayle, 1988). Gejala-gejala

82
keracunan PSP adalah kesemutan pada muka dan bibir, sulit bicara,
kesemutan pada jari-jari tangan dan kaki, pusing, kesemutan sampai
pada lengan dan tungkai, sulit bernapas, berdiri atau duduk, sakit perut,
sakit kepala, kemudian menjalar ke punggung dan pada akhirnya
mengalami kematian.
2. Keracunan semacam PSP pada masyarakat sesudah makan kerang
hijau Perna viridis dan kerang darah Anadara spp. dilaporkan di
Filipina dan negara-negara ASEAN lainnya. Racun yang masih
termasuk golongan Saxitoxin tersebut ternyata berasal dari
fitoplankton jenis Pyrodinium bahamense var. Compressa.
3. Keracunan Clupeoid Fish Poisoning (CFP) pada orang-orang yang
makan ikan pemakan plankton seperti Sardinella spp. dan
Rastrelingger spp. dilaporkan dari negara- negara ASEAN.
Penyebabnya adalah ledakan populasi Pyrodinium.
4. Keracunan Diarrheic Shellfish Poisonig (DSP) pada daerah tropis
dilaporkan karena ledakan dari Dynophysis. Racun yang dikeluarkan
disebut Okadaic acid (OKA). Racun ini tidak mematikan tetapi
merupakan racun penyebab tumor.
5. Kejadian yang fatal terhadap tambak udang, perikanan budidaya dan
terumbu karang dilaporkan oleh karena ledakan Trichodesmiwn spp.
(Oscilatoria) di Indonesia (Thoha, 1991). Kerugian pada perikanan di
Thailand dan Taiwan juga dilaporkan disebabkan karena ledakan
populasi dari Trichodesmium dan Alexandrium. Ledakan dari marga
Chattonella adalah yang paling sering terjadi hampir di seluruh
perairan Jepang dan menghancurkan perikanan budidaya di sana
(Furuki, 1992). Di Singapura jenis lain lagi yang mengganggu
perikanan yaitu Chochlodinium catenatum.
6. Penemuan baru telah dilaporkan tentang keracunan yang tidak
biasanya terjadi, yaitu Domoic Acid (DA). Keracunan pada burung
laut dan kerang pisau cukur (razor clam) dilaporkan dari British
Columbia, Amerika dan bahkan sampai Teluk Meksiko yang beriklim
tropis (Garisson & Walz 1993; Martin 1993; Smith 1993; Taylor

83
1993). Racun DA berasal dari diatomae (penyebab red tidebiasanya
termasuk golongan dynoflagellata) dari jenis Pseudinitzschia pungens
f. multiseries dan Pseudonitzchia australis. DA disebut juga amnesic
shellfish poisoning (ASP), menyebabkan kerusakan pada hippocampus
dan amygdala pada otak dan akhirnya membawa kematian pasien.
E. Upaya Pencegahan Dan PenanggulanganRed Tide

Belajar dari pengalaman buruk di daerah subtropis, yaitu musibah


keracunan makanan laut sebagai akibat dari red tide, maka di tempat-tempat
yang sering mengalami kejadian red tide dilakukan pemantauan dan usaha-
usaha perlindungan terhadap masyarakat. Pemantauan dilakukan terhadap
fitoplankton, keadaan lingkungan serta kadar racun dari biota setempat
(biasanya kerang). Apabila didapati kadar yang membahayakan manusia maka
daerah perikanan tersebut ditutup terhadap penangkapan. Di Kanada
ditetapkan kadar PSP pada kerang tidak melebihi 20 mikrogram/gr kerang.
Data tentang keracunan makanan laut di Indonesia memang ada,
kecuali adanya ledakan Trichodesmium erythraeum di Lampung dan
kepulauan Seribu (Adnan 1991a; Thoha 1991), ledakan dari jenis fitoplankton
yang lain belum diketahui dengan pasti. ledakanTrichodesimium tersebut
mengakibatkan kematian masal udang di tambak-tambak. Adanya keracunan
setelah makan ikan dan fatal terhadap 4 orang pasien dilaporkan pertama kali
dari Lewotobi, Flores, pada tahun 1983.Peristiwa selanjutnya adalah kematian
sesudah makan kerang kapak Meritrix meritrix dari Ujung Pandang (Juli,
1987) dan Pulau Sebatik, Kalimantan Timur (Januari, 1988).Dugaan Adnan
(1991b) sangat kuat bahwa penyebab peristiwa-peristiwa tersebut adalah
Pyrodinium bahamense var. compressa walaupun data plankton tidak
mendukung.Apakah ada kejadian red tide yang luput dari pengamatan dan
tidak dilaporkan mengingat luasnya perairan Indonesia dan tingkat pendidikan
nelayan yang belum memadai, maka menjadi tugas para peneliti dibidang
kelautan untuk memberikan data yang akurat. Adapun penelitian red tide di
Indonesia masih dalam tahap pemula yaitu bekerja sama dengan Kanada.

84
Diperlukan langkah yang panjang untuk merumuskan kejadian red tide di
Indonesia serta penanggulanggannya.
Beberapa manajemen yang diperlukan dalam menghadapi red tideadalah :
 Pengendalian faktor-faktor potensial yang dapat menyebabkan red
tide seperti misalnya penerapan strategi manajemen nutrisi untuk
mengurangi masuknya kelebihan nutrien ke badan perairan.
 Pengendalian untuk mengontrol dan mengeliminasi red tide saat fenomena
ini terjadi misalnya dengan melakukan penelitian mengenai teknologi yang
dapat mengeliminasi terjadinya red tide dan dampak yang ditimbulkan
 Pengendalian untuk mengurangi dampak dari terjadinya red
tide (mitigasi). Hal ini dapat dilakukan dengan adanya program
untuk monitoring, forecasting dan deteksi terjadinya red tide, pengayaan
pengetahuan dan persepsi publik mengenai red tide serta pengukuran
aktivitas ekonomi, dan rencana pemulihan (recovery).
Dengan manajemen yang baik, diharapkan petani keramba ikan tidak
perlu lagi merugi hingga milyaran seperti sebelumnya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Red tide atau blooming plankton merupakan fenomena yang terjadi
akibat ledakan perkembangan (blooming) yang begitu cepat dari sejenis
fitoplankton, misalnya Ptychodiscus brevis, Prorocentrum, Gymnodinium
breve, Alexandrium catenella dan Noctiluca scintillans dari kelompok
dinoflagelata (Phyrropyta). Istilah red tide saat ini populer dikenal dengan
istilah Harmfull m-Alga Blooms (HAB), karena tidak semua alga yang
blooming menyebabkan kematian dan tidak semunya berwarna merah.Red
tide dapat menyebabkan perubahan warna dan konsentrasi air secara drastis,
kematian massal biota laut, perubahan struktur komunitas ekosistem perairan,
bahkan keracunan dan kematian pada manusia. Perlu dilakukan pemantauan
terhadap fitoplankton, keadaan lingkungan serta kadar racun dari

85
biotasetempat (biasanya kerang) untuk mencegah dan menanggulangi
terjadinya red tide.
B. Saran
Saran kami yaitu red tide bukan hanya berdampak positif bagi populasi
dinoflagellata tersebut tetapi berdampak negatif juga bagi manusia dan
organisme lain di laut. Oleh karena itu kita harus mengetahui dan lebih
memahami lagi tentang red tide ini.Selain itu diperlukan adanya penelitian
untuk mengupayakan pencegahan dan penanggulangan red tide.

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, Q. 1991a. Red tide due to Tricho-desmium erythraeum Ehrenberg in the


East Coast of Lampung, South Sumatra, West Indonesia, May to
nd
September 1991. Paper presented on The 2 Westpac Symposium,
Penang, Malaysia, 2-6 December 1991 : 12 pp.
Adnan, Q. 1991b. Masalah red-tide di Indonesia, makalah diseminarkan pada
Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional, Jakarta, 3-7 September 1991, 11
pp.
Anderson, D.M. 1980. Effects of tem-perature conditioning on development and
germination of Gonyaulax tamarensis (Dynophyceae) hypno-zygotes. H.
Phycol. 16: 166 - 172. Bates, S.S and D.J. Douglas 1993. Laboratory
studies of domoic acid production by Pseudonitzschia pungens.IOC
Newsletter on toxic algae and algal blooms.6: 6 - 7.
Furuki, M. and M. Kobayashi 1991. Interaction between Chattonella and bacteria
and prevention of this red tide. Mar, Poll Bull. 23: 189 - 193.
Garisson, D. and P. Walz. 1993. North Pacific coast of USA: Toxic diatom
blooms and domoic acid. IOC Newsletter on toxic algae and algal
blooms 6:5.
Imai, I. and K. Itoh 1987. Annual life cycle of Chattonella spp., causative
flagellates of noxious red tides in the Inland Sea of Japan. Mar. Biol. 94:
287 - 292.

86
Kadota, H., Y. Ishida, Y. Sako and Hata 1984. Growth, encystment and
excystment oiPeridinium cunningtonii. Mem. Coll. Agric, Kyoto Univ.
123: 27 - 34.
Martin, J. 1993. In the Bay of Fundy, eastern Canada.IOC Newsletter on toxic
algae and algal bloom6:7.
Nontji, A. 2006.Tiada Kehidupan di Bumi Tanpa Keberadaan Plankton.Jakarta :
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Quayle, D. B. 1988. Pacific
Oyster Culture in Birtish Columbia.Pycan. Bull. Fish, and Aquatic Sci.
281 : 215.
Smith, J. C. 1993. Toxicity and Pseudonitzschia pungens in Prince Edward Island,
1987 - 1992. IOC Newsletter on toxic algae and algal blooms 6:1,8.
Steeman-Nielsen, E. 1952.The Use of Radioactive Carbon (C-14) for Measuring
OrganicProduction in The Sea. 117 – 140p.
Sibadutar .T, N.N. Wiadnyana, dkk.1996.Kasus “RED TIDE” di Perairan
Indonesia Bagian Timur.Poka : Puslitbang Oseanologi-LIPI.
Taylor, F. J. R. British Columbia: Implication of the North American west coast
experience. IOC Newsletter on toxic algae and algal blooms 6:2-3.
Thoha, H. 1991 Ledakan Populasi Trichodesmium erythraewn. Oseana XVI (3):
9-15.
Wall, D. and B. Dale 1968.Modern dinoflagellate cysts and evolution of the
Peridinales. Micropaleontology 14: 265 - 304.
Yenttsch, C. M., C. M. Lewis and C. S. Yentsch 1980. Biological resting in the
dinoflagellate Gonyaulax excavata. Bioscience 30: 251 - 254.

87
TAMAN NASIONAL TELUK CENDRAWASIH SEBAGAI HABITAT HIU
PAUS (Rhincodon typus)
Rega Alfi Rosalini (3425111405), Dita Ervianti (3425111411)

BAB I
PENDAHULUAN

Teluk Cendrawasih termasuk dalam kawasan Taman Nasional Teluk


Cendrawasih yang terletak di Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat dan
Kabupaten Nabire Provinsi Papua. Taman nasional ini memiliki topografi pantai
berbukit dan begunung dengan sisi curam. Teluk Cendrawasih merupakan taman
nasional perairan laut terluas di Indonesia yang terdiri dari daratan dan pesisir
pantai (0.9%), daratan pulau-pulau (3.8%), terumbu karang (5.5%), dan perairan
lautan (89.8%) (Balai Taman Nasional Teluk Cenderawasih, 2009). Kawasan ini
ditetapkan Menteri Kehutanan sesuai SK No. 8009/Kpts-II/2002, berada pada
geografis 1°43’ - 3°22’ LS dan 134°06’ - 135°10’ BT dengan luas1.453.500
hektar. (BTNTC – Wold Wildlife Fund, 2009). Teluk cendrawasih selain terkenal
dengan sumber daya perairannya terkenal pula sebagai tempat hidup hiu paus.
Hiu paus, Rhincodon typus merupakan salah satu mahluk hidup dari
kingdom animalia terbesar di dunia. Ukuran hiu paus dapat menjapai 18 meter
bahkan lebih dengan ukuran dewasa jantan rata-rata diperkirakan 7.05-10.26
meter dan betina 10.6 meter (Compagno, 2002). Hiu paus memiliki habitat
diperairan tropis hingga subtropis yang bersuhu hangat dan memakan plankton,
krill, karang dan telur ikan (Heyman et al., 2001). Hiu paus merupakan hewan
target tangkapan nelayan termasuk di Indonesia. Namun sekarang megafauna
tersebut telah berstatus daftar merah untuk spesies terancam dalam IUCN
(International Union for Conversation of Nature). Pada tahun 2002, hiu paus telah
ditempatkan dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora ) Appendix II.
Pertumbuhkembangan hiu paus yang lambat dengan tingkat dewasa yang
cukup lama membuat hewan ini rawan terhadap perburuan dan perusakan habitat
(Schmidt et al., 2009). Beberapa metode seperti survei udara, penandaan dan

88
identifikasi foto telah dilakukan hingga saat ini sehingga diketahui migrasi dan
kelimpahan hiu paus pada suatu wilayah. Data tersebut menjadi dasar perecanaan
tindakan-tindakan konservasi. Meskipun teknologi penelitian terus berkembang,
kehidupan hiu paus masih menjadi teka teki.

BAB II
ISI

A. Hiu Paus (Rhincodon typus)


1. Klasifikasi dan Morfologi
Hiu Paus (Rhincodon typus) adalah jenis ikan terbesar di lautan,
dengan panjang mencapai 18 meter. Klasifikasi satu-satunya anggota genus
Rhincodon sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chod arta
Kelas : Chindrichtyes
Ordo : Orectolobiformes
Famili : Rhincodontidae
Genus : Rhincodon
Species : Rhincodon typus
Nama international : Whale Shark
Nama lokal : Hiu Paus, Hiu Bodoh, Hiu Geger
Lintang, Hiu Totol, Hiu Bintang, dan Hiu Bingkoh.

Seperti namanya, hiu ini memeiliki penampilan seperti paus,


bertubuh besar dengan ukuran dewasa mencapai panjang 20 meter. Kulitnya
tebal dan berwarna keabuan, dengan totol-totol dan garis berwarna putih.
Kepala hiu paus berbentuk hampir datar, dengan posisi mulut terminal. Hiu
paus (Rhincodon typus) memiliki mata kecil dan lima celah insang, dua sirip
punggung dan dua sirip dada. Biasanya cuping sirip ekor bagian atas lebih
besar dari cuping sirip ekor bagian bawah.

89
Gambar.1 Hiu Paus (Rhincodon typus).
Sumber: www.citelighter.com

Gambar. 2.Clasper di sirip anal pada hiu jantan.


Sumber: www.private-scuba.com

Hiu betina umumnya berukuran lebih besar dibandingkan dengan


hiu jantan. Selain itu, hiu jantan memiliki dua buah clasper di bagian sirip
anal. Hiu betina umumnya akan menghasilkan 300 embrio dan melahirkan
12 anakan.
Meningkatnya perburuan hiu, termasuk jenis ini untuk dikonsumsi
menjadikan jenis ini dilindungi sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 18/Kepmen-KP/2013 tentang
Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Hiu Paus (Rhincodon typus).

90
2. Habitat dan Ekologi
Hiu paus hidup di laut hangat/tropis, serta memiliki kemampuan
bermigrasi dan menetap musiman. Mereka biasa memakan plankton dan ikan-
ikan kecil untuk dapat bertahan hidup, dalam ekosistem hiu paus berperan
sebagai feederfilter. Karena itulah, di kawasan Kwatisore, Teluk Cendrawasih
untuk melihat hiu ini dari dekat, digunakan umpan ikan teri kecil dalam jaring
yang ditaruh di bagan nelayan.
Hiu Paus (Rhincodon typus) hidup di bentang geografis antara 35
derajat di utara hingga selatan. Tapi, belum diketahui apakah ada kondisi
yang cukup cocok untuk Hiu Paus (Rhincodon typus) untuk menyeberangi
Samudera Hindia ke Samudera Atlantik. Hasil model global penelitian
menunjukkan bahwa habitat yang cocok di daerah tersebut memang ada
(setidaknya selama musim panas) sehingga mendukung hipotesis yang
dibangun mengenai konektivitas global. Berdasarkan data penelitian, kawasan
yang paling sesuai untuk Hiu Paus (Rhincodon typus) adalah Samudera
Atlantik, diikuti dengan Samudera Hindia dan kawasan barat Samudera
Pasifik. Seperti sudah disebutkan di paragraph sebelumnya,
bahwa salah satu lokasi yang dapat digunakan untuk melihat hiu ramah ini
adalah Taman Nasional Teluk Cendrawasih, Indonesia.
B. Taman Nasional Teluk Cendrawasih
Perairan Teluk Cenderawasih berada pada lintang 1°43’ - 3°22’ LS
dan bujur 134°06’ - 135°10’ BT yang termasuk dalam iklim tropis memiliki
kisaran suhu permukaan antara 28° – 32° C. Suhu terendah pada kisaran
pukul 2.00 WIT pagi dan tertinggi pada kisaran pukul 14.00 WIT siang.
Taman Nasional Teluk Cendrawasih berada di tepi Samudera
Pasifik dan merupakan daerah lempengan benua sehingga menjadikan
kawasan ini sangat kaya flora dan fauna. Taman nasional ini mempunyai 14
jenis flora yang dilindungi dan sebagian besar didominasi jenis pohon
kasuarina. Kawasan Teluk Cendrawasih meliputi luas lautan kira-kira 89,8%
dengan terumbu karangnya kurang-lebih 5,5%, daratan pulau-pulaunya
kurang-lebih 3,8%, serta daratan dan pesisir pantainya hanya sekitar 0,9%.

91
Kawasan TNTC tepatnya di Pulau Purup dan Selat Numamurem,
terdapat ± 220 spp/Ha merupakan biodeversity tertinggi di Indo-Pasifik
(Survey kerjasama WWF, CI, TNC, UNIPA tahun 2006). Persentase
penutupan karang berbeda untuk setiap lokasi dan dipengarui antara lain
tingkat interaksi masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya alam.
Ekosistem terumbu karang di kawasan TNTC pada umumnya tersebar dalam
dua zona yaitu zona rataan terumbu karang (reef flat) dan zona lereng
terumbu karang (reef slope). Pada zona rataan terumbu pada sisi yang dekat
garis pantai (daerah intertidal) hanya didominasi oleh substrat pasir dan
lamun, setelah bagian ini beberapa jenis karang mulai terlihat dari marga
Porites, Acropora, Poccilopora, dan Favites.
Pada beberapa pulau, zona rataan terumbu mempunyai ciri khas
tersendiri, antara lain dijumpai adanya koloni Blue coral (Heliopora
coenelea), karang lunak (soft coral) dari jenis Sacroplyton sp., Gorgonians
(Anthipathes sp.). Ada dua tipe reef slope di kawasan TNTC yaitu reef
slope yang landai danreef slope yang berbentuk tubir (drop off). Jenis-jenis
karang dapat dijumpai pada zona reef slope antara lain
: Leptoseris spp., Montipora spp.,Oxypora spp., Pacyseris spp. dan Hicedium
clepantatus serta Hicedium poritesrus. Sedangkan untuk ikan hingga saat ini
sudah tercatat sebanyak 836 spesies ikan dari 80 family yang berhasil
teridentifikasi, dan diprediksikan terdapat 1.118 spesies ikan dalam kawasan
TNTC. Dalam hal ini, kawasan TN Teluk Cendrawasih
Dari hasil survey kerjasama antara CI, WWF, BTNTC dan UNIPA
(Tahun 2006) diperoleh data bahwa dalam kawasan TNTC ditemukan ± 460
spesies karang keras, antara lain 30 jenis karang baru dan 11 jenis karang
yang belum teridentifikasi. Berdasarkan evaluasi UNEP (2001) kondisi
terumbu karang di pulau Nutabari, Rumberpon, Roswar, Kepulauan Auri, dan
Yoop 45-50% tergolong katagori baik.
Berdasarkan hasil survey di atas, dengan keanekaragaman flora
laut yang ada, sangat besar kemungkinan mendukung pakan bagi hiu paus
(Rhincodon typus), misalnya ikan teri putih yang bagi nelayan setempat juga
dijadikan komoditas pencaharian mereka. Hal ini jugalah yang mungkin

92
menyebabkan hiu paus (Rhincodon typus) dapat ditemui setiap saat di
perairan Teluk Cendrawasih, walaupun jenis ini senang bermigrasi. Hingga
saat ini, masih diadakan penelitian untuk mengetahui pola migrasi jenis ini di
perairan di seluruh dunia untuk mengetahui populasi nya, karena
kekhawatiran akan suhu perairan yang akan meningkat pada tahun-tahun
berikutnya dan berakibat hilang nya habitat bagi hiu jinak ini.

Gambar 3. Peta lokasi TN Teluk Cendrawasih

Gambar 4. Pemberian umpan ikan teri kecil untuk memancing hiu paus ke
permukaan.
Sumber: rajaampat.lodges.com

93
Gambar 5. Keadaan terumbu karang dan ikan karang di TNTC
Sumber: www.backpackgo.net

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kawasan yang paling sesuai sebagai habitat Hiu Paus (Rhincodon typus)
yaitu Samudera Atlantik, diikuti dengan Samudera Hindia dan kawasan barat
Samudera Pasifik. Salah satunya terdapat di Indonesia yakni Teluk Cendrawasih.
Hal ini karena Teluk Cendrawasih memiliki sumber pakan yang cukup seperti
ikan teri putih dll. Hiu paus yang saat ini memiliki status teramcam punah, maka
dengan menjaga habitat dan tidak melakukan penangkapan ilegal, hiu paus akan
terjaga pula populasinya.
B.SARAN
Masih diperlukan pengamatan secara mendetail mengenai habitat Hiu paus baik di
Teluk Cendrawasih maupun di tempat lainnya, selain itu perlu diketahui faktor-
faktor ekologi yang dipilih hiu paus menjadi habitatnya.

94
DAFTAR PUSTAKA

Balai Taman Nasional Teluk Cenderawasih. 2009. Rencana Pengelolaan Taman


Nasional Teluk Cenderawasih. BTNTC: Papua.
Balai Taman Nasional Teluk Cenderawasih, WWF- Indonesia. 2009. Zonasi
Taman Nasional Teluk Cenderawasi. Penerbit Andi : Yogyakarta.
Compagno L. 2002. Sharks of the world: an annotated and illustrated
catalogue of shark species known to date. Bullhead, mackerel and carpet
sharks (Heterodontiformes, Lamniformes, and Orectolobiformes), Vol 2.
Food and Agriculture Organization of the United Nations: Rome
Heyman WD, Graham RT, Kjerfve B, Johannes RE.2001. Whale sharks
Rhincodon typus aggregate to feed on fish spawn in Belize. Mar Ecol
Prog Ser 215:275–282
Schmidt JV, Schmidt CL, Ozer F, Ernst RE, Feldheim KA, AshleyMV, Levine
M.2009. Low genetic differentiation across three major ocean populations of
the whale shark, Rhincodon typus. PLoS ONE 4:e4988
http://www.antaranews.com/berita/450965/hiu-paus-bisa-
ditemukan sepanjang-tahun-di-papua
http://m.bisnis.com/quick-news/read/20140903/78/254873/habitat-
hiu-paus-terancam-punah
http://www.indonesia.travel/id/destination/423/taman-nasional-
teluk-cendrawasih
http://www.mobgenic.com/2012/10/15/taman-nasional-teluk-
cendrawasih-rumah-bagi- ikan-hiu-paus/
http://www.mongabay.co.id/2013/08/28/penelitian-para-pakar-
berhasil-petakan-sebaran-hiu-paus-di-dunia/
http://richocean.wordpress.com/ikan- laut/hiu-paus/
http://savesharksindonesia.org/great-white-shark/
http://telukcenderawasih-nationalpark.org/ikan-dan-terumbu-
karang/
http://www.wwf.or.id/program/wilayah_kerja_kami/papua/taman_
nasional_teluk_cendrawasih___manokwari___papua_barat/cendrawasih/

95
TRANSPLANTASI KARANG
Sheilla Angelina (3425111408), Mega Ginarsih (3425111425)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Terumbu karang merupakan ekosistem khas perairan Indonesia dan
merupakan habitat berbagai biota laut untuk tumbuh dan berkembang biak dalam
kehidupan yang seimbang. Sifat yang menonjol dari terumbu karang adalah
produktifitas dan keaneka ragaman yang tinggi,jumlah spesies yang banyak,serta
bentuk morfologi yang sangat bervariasi dan biomassa yang besar.
Fungsi utama ekosistem terumbu karang yang penting adalah menyiptakan
kesinambungan antara daratan dan lautan.tarumbu karang merupakan suatu
ekosistem khas laut tropis yang memiliki pungsi penting baik fisik,biologi
maupun kimia. Fungsi pisik ekosistem trumbu karang adalah sebagai pelindung
garis pantai,hal ini sesuai dengan sifat trumbu karang yang dapat menahan
terumbu gelombang.pungsi biologi ekosistem terumbu karang adalah sebagai
penyedia kehidupan berbagai organisme laut antara lain sebagai daerah
pemijahan,pembesaran,dan tempat menycari makan sedangkan pungsi
kimiaekosistem terumbu karang adalah bahan parmakologi dan obat-obatan serta
sebagai penyerap karbon di alam.Dan upaya menanggulangi masalah kerusakan
ekosistem terumbu karang di Indonesia dan sekaligus dalam upaya pengelolaan
perikanan karang yang berkelanjutan,maka perlu di lakukan upaya pengelolaan
konservasi dan rehabilitasi terumbu karang.Selama ini upaya-upaya yang telah di
tempuh adalah melalui pengembangan karang buatan dan hasilnya telah cukup
memuaskan.selain itu sejak tahun 1999 sudah di kembangkan melalui teknik
transplantasi karang melalui teknik transplantasi karang ini diharapkan dapat
mengurangi kerusakan terumbu karang di indonesia.

96
BAB II
ISI

A. Pengenalan Karang
1. Biologi karang
Menurut nybakken (1988),koloni karang adalah kumpulan dari berjuta-juta
polip penghasil bahan kapur (CaCO3) yang memiliki kerangka luar yang di sebut
koralit. Pada koralit terdapat septum-septum yang berbentuk sekat-sekat yang
dijadikan acuan dalam penentuan jenis karang.
Polip karang mempunyai mulut yang terletak di bagian atas dan juga
berpungsi sebagai dubur, tentakel-tentakel yang digunakan unuk menangkap
mangsanya, serta tumbuh polip. Tumbuh polip karang terdiri dari tiga lapisan,dari
luar ke dalam tersusun sebagai berikut:ektoterm,mesoglea dan andoderm. Dalam
lapisan endoderm,hidup simbion alga bersel satu yang di sebut Zooxantellae,yang
dapat menghasilkan zat organik yang melalui proses fotosistesis yang kemudian
disekrsikan sebagai ke dlam jaringan polip karang sebagai pangan. Makanan yang
masuk di cerna oleh filamen khusus mesenteri dan sisa makanan di keluarkan
melalui mulut.
Polip karang bersimbiosis ini karang berperan sebagai produsen sekaligus
sebagai konsumen. Hal tersebut di sebabkan karena karang bersimbiosis dengan
zooxanthellae yang menghasilkan bahan organik,di samping itu karang juga
memakan plankton untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

2. Reproduksi KarangGambar 1. Terumbu Karang


Proses reproduksi karang dapat di lakukan dalam 2 (dua) cara yaitu dengan
cara seksual dan aseksual.proses reproduksi karang secara seksual menghasilkan

97
larva planula karang yang memiliki silia yang berguna dalam pergerakan dalam
air.
Proses reproduksi karang secara seksual di mulai saat spermatogenium dan
oogenium berkembang menjadi gamet. Selanjutnya gamet yang telah masak di
lepas di dalam air,terjadi pembuahan internal atau external menjadi zigot. Zigot
berkembang menjadi blastula kemudian glastrula dan setelah itu menjadi planula.
Planula yang di selubungi oleh silium akan berenang bebes. Apabila menemukan
tempat yang cocok, planula akan menempel dan menetap dengan posisi bagian
mulut berada di sebelah atas,sedangkan bagian pangkalnya meluarkan zat unuk
memperkuat penempelannya,setelah karang melekat pada substrat maka ia akan
mengalami perubahan struktur dan histologi.
Proses reproduksi karang secara aseksual di lakukan dengan cara membentuk
tunas baru seperti halnya pada tanaman. Tunas baru biasanya tumbuh di
permukaan bagian bawah atau pinggir.Tunas baru tersebut akan melekat sampai
ukuran tertentu, kemudian melepaskan diri dan tumbuh sebagai individu
baru.Ketika polip dewasa dan membentuk koralit, maka ia mulai melakukan
reproduksi secara aseksual untuk membesar koloni. Reproduksi akseksual pada
karang dapat terjadi intratentacular budding maupun extratentacular budding.
Intratentacular budding adalah tumbuhnya individu baru dari individu yang lama
dan hasilnya terdapat dua individu yang indektik. Extratentacular budding adalah
tumbuhnya individu baru di antara individu yang lama.
Polip karang mempunyai sistem saraf yang tidak terpusat, jaringan saraf yang
tidak terpusat terdapat di ektoderm dan endorm yang di atur oleh sel khusus
sejenis sel saraf yang berpungsi memberi respon mekanik dan kimiawi.
Polip karang memiliki jaringan otot,berpungsi untuk menggerakan polip.pada
rongga perut terdapat filamien mesentri yang menghasilkan enzim sebagai
pencerna makanan, dan pada bagian luar filamen terdapat silia halus yang
berpungsi untuk menangkap partikel maknan. Pencrnaan terjadi secara intra seluar
sederhana dan extra seluler.Polip karang memiliki organ reproduksi, terdapat di
antara filamen mesentri dan septum.proses reproduksi karang dapat terjadi secara
vegetatif dan generatif.

98
B. Sejarah Transplantasi Karang
Mahasiswa peneliti transplantasi karang di indonesia dirintis oleh B.sadarun
(1998),kemudian diikuti oleh O. Johan dan A. Haris (1999), Budi Chayadi, Yudi
Herdianan, Kartika Yasmanti, Muh.Syahri, Beginer Subchan, Jacky Pratama, Arip
M. Aziz, Dina, M. Imron. Kemudian pada tahun-tahun selanjutnya di lakukan
oleh peneliti-peneliti lainnya yang berlokasi di selatan gugusan pulau
pari,kepulauan seribu.
Instansi yang berperan dalam merintis transplantasi karang di indonesia adalah
P2O LIPI,IPB,AKKI, Departemen kelautan dan perikanan, Departemen
kehutanan dan beberapa perguruan tinggi negara maupun swasta. Pengembangan
transplantasi karang untuk kegiatan rehabilitasi terumbu karang pertama kali di
perkenalkan di indonesia oleh depertemen kelautan dan perikanan,khususnya
direktorat konserpasi dan taman nasional laut-direktorat jenderal kelautan, pesisir
dan pulau-pulau kecil pada tahun 2001 yang berlokasi di perairan tanjung
sire,mataram,NTB. Rehabilitasi terumbu karang adalah sesuatu yang sangat
penting dan mendesak (urgent) untuk di lakukan terutama di KKLD. Tanpa upaya
rehabilitasi,mungkin hanya sebagian kecil saja terumbu karang yang rusak dapat
pulih kembali.
Hingga saat ini terdapat metode rehabiltasi terumbu karang,namun yang
mengalami perkembangan pesat di indonesia adalah dengan teknik transplantasi
karang atau kombinasi dengan teknik transplantasi.Upaya rehabilitasi terumbu
karang bukanlah hal baru selain itu dapat dilakukan dengan beberapa teknik dan
metode. Di dalam ekosistem terumbu karang, komponen yang paling penting
adalah karang batu (Sderactinia), yaitu karang yang menghasilkan kerangka
kapur. Peranan karang batu di dalam ekosistem terumbu karang bisa dianalogikan
dengan peranan pohon di dalam hutan, bahkan lebih penting dari pada itu. Maka,
rehabilitasi terumbu karang pada dasamnya adalah upaya untuk mengembalikan
karang batu agar dapat tumbuh kembali di habitat tersebut.
Selain itu teknik transplantasi ini merupakan alternatif dalam pemanfaatan
terumbu karang secara lestori mulai di pelajari dan di kembangkan. Karang
memiliki kemampuan untuk melakukan reproduksi aseksual dengan cara
fragmentasi yang berpotensi untuk di kembangkan dalam usaha perbaikan koloni.

99
“Sea farming” adalah cara yang digunakan untuk memper banyak karang
dengan dengan membuat fragmen-fragmen buatan dari stock induk pada karang
dan menempekkan nya pada substrat dasar baru, kemudian di biyarkan tumbuh
dilaguna atau pantai yang masi di genangi air. Berdasarkan hal tersebut adalah
sangat mungkin untuk membuat koloni-koloni karang baru tanpa melakukan
pengrusakan secara berlebihan pada terumbu karang. Untuk itu perlu di adakan
upaya perbanyakan karang dengan fragmen buatan, yakni cabang dari karang di
potong dan di tempelkan pada substrat dasar yang baru. Hal ini adalah sebagai
salah satu upaya untuk merehabilitasi terumbu karang dan pemanpaatan karang
secara lestari.
C. Transplantasi Karang
Transplantasi karang merupakan upaya pencangkokan atau pemotongan
karang hidup untuk ditanam ditempat lain atau ditempat yang karangnya telah
rusak, sebagai upaya rehabilitasi. Saat ini transplantasi karang juga telah
dikembangkan lebih jauh untuk mendukung pemanfaatan yang berkelanjutan.
Bentuk pemanfaatan transplantasi karang antara lain untuk mengembalikan fungsi
ekosistem karang yang rusak sehingga dapat mendukung ketersediaan jumlah
populasi ikan karang di alam. Transplantasi karang juga dimanfaatkan untuk
membuat lokasi penyelaman (dive spot) menjadi lebih indah dan menarik
sehingga dapat mendorong kenaikan jumlah wisatawan. Selain itu transplantasi
karang juga dimanfaatkan untuk memperbanyak jumlah indukan dan anakan
karang yang laku dipasarkan sehingga dapat mendukung perdagangan karang,
sesuai peraturan yang berlaku.
Transplantasi merupakan suatu cara efektif untuk menumbuhkan terumbu
karang, meski butuh waktu yang lama. Pertumbuhan karang hasil transplantasi
berkisar antara 6-24 cm/bulan. Pemilihan lokasi, jenis karang yang ditransplantasi,
kesiapan masyarakat pengelola dan kualitas perairan, merupakan kunci
keberhasilan transplantasi karang.

100
Gambar 2. Tahapan yang dilakukan dalam transplantasi karang
1. Metode Transplantasi Karang
Metode transplantasi karang atau coral ada dua yaitu, metode substrat dasar
dan metode akresi mineral yang memberikan tingkat keberhasilan berbeda dalam
rehabilitasi terumbu karang. Keberhasilan kedua metode ini perlu dikaji guna
mencari alternatif metode yang tepat untuk rehabilitasi ekosistem terumbu karang.
Teknik transplantasi karang yang pertama kali diujicobakan di Indonesia ialah
teknik transplantasi dengan metode substrat dasar. Metode ini merupakan metode
transplantasi karang dengan pembuatan substrat dari bahan-bahan yang
disesuaikan dengan dasar perairan di habitat karang alami. Hal ini dimaksudkan
agar karang yang ditransplantasikan mudah melekat pada substrat
tersebut.Beberapa bahan substrat yang telah dicoba adalah beton, semen, keramik,
dan gerabah. Karang yang akan ditransplantasikan diambil dengan cara memotong
fragmen karang donor kurang lebih sepanjang 5 cm. Karang yang telah dipotong
diikatkan pada substrat dengan menggunakan cable ties.Substrat yang telah
diikatkan pada karang diletakkan di atas kerangka besi yang dilapisi jaring untuk
memudahkan pengikatan substrat, dan untuk mencegah agar substrat tidak lepas.
Rangkaian substrat, karang dan kerangka besi diletakkan di dasar laut pada
kedalaman 5 m, ditempatkan sepanjang tali nilon yang telah dipancangkan.

101
Metode akresi mineral pertama kali dikembangkan oleh W. Hilbertz pada
tahun 1977. Metode ini merupakan teknik transplantasi karang dengan
pembentukan substrat dari pengendapan mineral Kalsium (Ca) dan Magnesium
(Mg) yang terdapat pada air laut pada struktur baja melalui proses elektrolisis.
Proses ini diawali saat arus listrik yang dialirkan melalui sumber listrik
mengakibatkan mineral kalsium dan magnesium mengendap dengan cepat pada
katoda, sedangkan gas khlor dan oksigen meningkat di sekitar anoda. Material
yang terbentuk terdiri dari sebagian substrat kalsium karbonat dan bahan kimia
lainnya menyerupai substrat ataupun endapan yang dihasilkan karang.
Bahan yang digunakan sebagai katoda adalah baja dan struktur baja tersebut
dapat dibuat dalam berbagai bentuk dan ukuran disesuaikan dengan kondisi
perairan setempat. Bentuk kubah merupakan uji coba metode akresi mineral yang
dilakukan di Bali. Sedangkan bahan yang dapat digunakan sebagai anoda adalah
plat baja, karbon, grafit dan titanium.Dalam metode ini, arus listrik dengan
tegangan rendah (3,5 volt dan 2 Amp/m2) dialirkan melalui struktur baja tempat
karang transplan diletakkan. Listrik yang mengalir pada katoda dan anoda akan
bereaksi dengan air laut dalam kondisi dan tipe reaksi yang berbeda. Artikel
mengenai cara pemulihan terumbu karang dengan transplantasi ini semogadapat
menjadi man faat badi kita semua, jangan lupa untuk membaca tentang
keunikan hard coral / karang keras.
2. Tahapan yang dilakukan dalam Transplantasi Karang
a. Pembuatan Substrat
Substrat yang digunakan untuk transplantasi karang cukup beragam,terdiri
dari beberapa alternatif sebagai berikut:
 Keramik,ukuran 10 cm x 10 cm,bagian tengahnya di lubang untuk tempat
melekatkan patok. Di bagian ujung-ujung keramik di beri lubang untuk
tempat mengikat substrat ke media penempelan.
 Gerabah, bisa berbentuk bulat atau bujur sangkar.ukuran substrat bujur
sangkar sama dengan substrat keramik,sedangkan yang berbentuk
bulat dibuat dengan ukuran diameter 10 cm dan tebal 3cm. Bagian tengah
substral berlubang sebagai tempat meletakan paralon,serta empat lubang

102
lainnya di bagian tepi substrat sebagai tempat mengikatpada media
penempelan.
 Konkret blok,dibuat dari semen cor berbentuk bulat ukuran diamater 10
cm dan tebal 3 cm.pada bagian tengahnya dibuat patok tiang setinggi 10
cm,pada bagian tepinya diberi 4 lubang di arah yang berbeda,untuk tempat
mengikat substrat pada media penempelan.

Gambar 3. Berbagai substrat yang digunakan untuk transplantasi karang


b. Pembuatan Meja Transplantasi
Meja transplantasi ini terbuat dari rangka besi yang dicat anti karat dan di
atasnya ditutupi dengan jaring yang di ikat secara kuat dan rapih.Rangka yang
ideal berukuran 110 x 100 cm berbentuk segi empat dan pada bagian ujung-
ujung/sudut segi empat tersebut terdapat kaki-kaki tegak lurus masing-masing
sepanjang 50cm. Dibagian atasnya di tutupi dengan jaring tempat mengikat
substrat karang yang berjumlah kurang lebih 12 buah,pada setiap substrat diikat
bibit karang,dimana jarak masing- masing bibit kurang lebih25 cm.

103
Gambar 4. Meja transplantasi karang
c. Penyiapan Bibit
Dalam rangka menjaga kelestarian ekosisitem terumbu karang di alam,maka
untuk kegiatan transplantasi karang pengambilan bibit di alam direkomendasikan
satu kali saja dan selanjutnya bibit dapat dibuatkan kebun induk khusus untuk
bibit transplantasi.Penyiapan bibit transplantasi karang dapat dilakukan dengan
memotong bagian cabang dari induk koloni karang dari jenis bercabang,tetapi bisa
juga pembibitan ini dilakukan dengan pemotongan pada induk karang jenis karang
masif.
Induk koloni karang yang baik untuk mendapat bibit transplantasi adalah dari
jenis karang bercabang,khususnya dari pamili acroporidae (tidak menutup
kemungkinan dari pamili karang lainnya).Penyediaan bibit karang yang baik
adalah setelah lokasi atau konstruksi untuk transplantasi karang telah siap
terpasang.
Pengambilan bibit karang yang akan di transplantasi di ambil dari lokasi
tempat lain atau yang berdekatan dengan lokasi tempat penempatan media
transplantasi,serta mempunyai kedalaman yang sama dari tempat yang di
transplantasi.bibit koloni karang yang dipilih dari karang keras yang bercabang
dan karang lunak dengan memotong induk koloni karang dengan menggunakan
alat memotong karang.sedangkan bibit karang masif menggunakan pahat,bibit
karang minimal berukuran kurang lebih 4 cm,dikumpulkan pada suatu wadah
untuk di angkat ke lokasi pelaksanaan transplantasi. Hal yang perlu di perhatikan
dalam pengambilan bibit antara lain:Maksimal 1/8 bagian dari koloni induk,

104
pemotongan tidak merusak koloni karang, sesuai dengan MSY (potensi) di
alam/lokasi.

Gambar 5. Bibit karang yang digunakan untuk transplantasi karang


d. Pengikatan bibit karang pada substrat transplantasi
Pengikatan dilakukan dengan menempelkaan terumbu karang di bagian pipa
atau kaleng bekas dengan mengikat menggunakan kabel tip berwarna putih. Jenis
karang lain yang digunakan dalam kegiatan transplantasi, yaitu jenis karang yang
hidup dan tersedia di masing-masing lokasi kegiatan. Berdasarkan data
inventarisasi DKP (2002) beberapa alternatif jenis karang tersebut antara lain
: Acrophora tenuis; A. formosa; A. hyancinthus; A, difaricata; A. nasuta; A.
yongei; A. digitifera; dan A.glauca.

Gambar 6. Proses pengikatan bibit karang pada substrat/media transplantasi


Setelah semua media transplantasi telah diikat dengan terumbu karang yang
ingin ditumbuhkan, maka media transplantasi tersebut dibiarkan dalam perairan
laut selama lebih kurang 3-6 bulan agar terumbu karang anakan tersebut dapat
tumbuh. Setelah beberapa bulan, terumbu karang yang ditransplantasi akan
tumbuh dan ikan-ikan serta hewan laut lain dapat menjadikan daerah sekitar
media transplantasi sebagai habitatnya yang baru.

105
Gambar 7. Terumbu karang hasil transplantasi mulai tumbuh
Jika terumbu karang sudah tumbuh dengan baik dan mulai dewasa, ikan-ikan
laut yang termasuk kategori ikan hias akan semakin banyak muncul dan terlihat
sangat senang bermain di daerah terumbu karang hasil transplantasi tersebut. Jika
terumbu karang sudah sangat dewasa dan tumbuh serta berkembang dengan
sangat baik, maka ikan-ikan akan semakin banyak muncul dan jenis ikan yang
muncul akan semakin beraneka ragam.

Gambar 8. Ikan-ikan menjadikan daerah terumbu karang hasil


transplantas sebagai hasil baru
e. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring kegiatan transplantasi karang di lakukan untuk 3 (tiga) tujuan
utama:untuk mengetahui kondisi karang yang ditransplantasi dan kondisi di alam
bekas pengambilan bibit, untuk mengetahui harapan hidup karang yang
ditransplantasi., untuk mengetahui laju pertumbuhan karang yang ditransplantasi.

106
Monitoring kondisi karang yang di transplantasi di amati sejak hari pertama
pencangkokan. Pengamatan karang yang di transplantasi mencakup lama
pengeluaran lendir dan waktu penyembuhan. Pengamatan waktu pengeluaran
lendir di maksudkan untuk mengetahui sampai berapa lama bekas pemotongan
pada karang yang ditransplantasi masih mengeluarkan lendir.
Pengamatan waktu penyembuhan dimaksudkan untuk mengetahui waktu yang
di butuhkan dalam peroses penyembuhan luka akibat pemotongan. Indikator
penyembuhannya adalah bekas pemotongan atau patahan pada karang yang
ditransplantasi sudah tidak terlihat lagi. Dalam hal ini, bekas pemotongan tersebut
telah berubah wujud menjadi tunas baru.
Monitoring harapan hidup karang yang ditransplantasi diamati sejak hari
pertama hingga selama 3 (tiga) bulan dengan periode seminggu sekali.
Pengamatan karang yang di transplantasi mencakup jumlah karang yang di
transplantasi yang mati, umur karang transplantasi yang mati dan faktor-faktor
penyebab kematian.
Monitoring laju pertumbuhan karang yang ditransplantasi di amati sejak
minggu pertama sejak 12 bulan dengan priode dua bulan sekali. Pengamatan
karang yang ditransplantasi menycakup ukuran panjang secara vertikal, ukuran
panjang secara horisontal, lebar diameter koloni, dan jumlah tunas.
Untuk menunjangkelancaran tugas pemantauan maka di perlukan
kelengkapan peralatan. Pencatatan data dilakukan dengan menggunakan alat tulis
bawah air dan untuk mendokumentasikan pertumbuhan karang yang
ditransplantasi digunakan kamera
Pengukuran pertumbuhan dilakukan dengan ketelitian 0,1 cm dengan
menggunakan alat pengukur seperti keliper (jangka sorong) selain itu dalam
pemantauan juga dapat di data jenis-jenis ikan maupun populasi ikan setelah ada
kegiatan transplantasi karang.
Evaluasi hasil kegiatan transplantasi karang di lakukan setahun sekali dalam
rangka menemukan permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kegiatan
transplantasi karang yang dijumpai pada saat pemantauan,dan peluang-peluang
yang bisa dikembangkan.Hal ini sangat penting karena merupakan masukan bagi

107
pelaksanaan dan langkah-langkah untuk mengambil kebijaksanaan pengembangan
kegiatan transplantasi karang pada program-program berikutnya.
3. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan transplantasi karang
Penyediaan bibit karang dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan
beberapa hal sebagai berikut:
 Sistem perwakilan plot koloni diambil tidak lebih 1/8 bagian dari plot
koloni; tidak merusak koloni, sesuai dengan MSY (potensi) di alam/lokasi
 Pengangkutan bibit dilakukan di dalam air dan dilaksanakan secara hati-
hati, diambil dari lokasi yang berdekatan dengan lokasi penempatan media
pembibitan, mempunyai kedalaman perairan yang sama dengan kedalaman
penempatan media pembibitan, dipilih dari jenis karang yang sehat dan
mempunyai pertumbuhan cepat.
Sedangkan cara pemotongan bibit karang dilakukan dengan memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
 Bibit karang dipotong dari induk yang besar, sehat dan mempunyai
pertumbuhan yang cepat;
 Bibit dipotong dengan panjang lebih kurang 7 cm dengan menggunakan
alat pemotong karang yang sesuai;
 Bibit diambil pada bagian tunas atau bagian termuda dari induk; volume
pengambilan bibit dari induk tidak boleh melebihi 1/8 bagian dari bagian
induk sehingga tidak mengganggu pertumbuhan induk.
Pada pengikatan bibit pada substrat, perlu diperhatikan :
 Pengikatan bibit dilakukan didalam air, dengan harapan karang yang
ditransplantasi tidak/sedikit mengalami 108tress).
 Pada pengikatan, bibit diikat seerat mungkin dengan menggunakan tali
pancing atau klem plastic
 Bagian bawah bibit menempel pada substrat dengan posisi tegak terikat
erat dengan patok substrat.
Batu karang bisa terkena stress juga karena dia termasuk hewan. Untuk
mengurangi stress, karang yang akan ditransplantasi dilepaskan secara hati-hati
dan ditempatkan dalam wadah plastik berlubang serta proses pengangkutan
dilakukan di dalam air. Sebaiknya operasi ini hanya menghabiskan waktu kurang

108
lebih 30 menit setiap tumpukan karang yang akan dipindahkan. Beberapa teknik
untuk melekatkan karang yang ditransplantasi adalah semen, lem plastik, penjepit
baja, dan kabel listrik plastik.

BAB III
PENUTUP

Terumbu karang merupakan ekosisitem yang sangat penting. Apabila terunbu


karang rusak, maka populasi ikan dan biota lainnya akan terancam
punah.Transplantasi karang merupakan salah satu cara untuk mengurangi
kerusakan karang yang terjadi di Indonesia. Dari berbagai uraian teknis di
atas,makalah ini diharapkan dapat menjadi pedomandalam pelaksanaan
transplantasi karang serta dapat menjadi bahan informasi yang cukupakomodatif
bagi semua pihak dalam melakukan upaya pengembangan transplantasi karang.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat konservasi dan taman nasional laut,2004,Pedoman identifikasi jenis-


jenis karang di kawasan konservasi laut.Departemen Kelautan dan
Perikanan.52 p.
Direktorat konservasi dan taman nasional laut,2003,Pengenalan jenis-jenis
karang di kawasan konservasi laut.Departemen Kelautan dan
Perikanan.51 p.
Direktorat konservasi dan taman nasional laut,2002,Panduan Rehabilitas Karang
Melalui Teknik Transplanntasi karang.Departemen kelautan dan
Perikanan.28 p.
Direktorat konservasi dan taman nasional laut,2002,Petunjuk dan pelaksanaan
transplantasi karang.Departemen Kelautan dan Perikanan.44 p.
Sadarun,1999.Transplantasi karang batu.(stony coral)dikepulauan seribu teluk
jakarta.Tesis Program Pasca Sarjana IPB.
Harriot,V.J.,Fisk,D.A.,1998 coral transplantation as reef managemen aption
book.6th int.Coral Reef Symp.2:375-379 p.

109
Suharsono,1996.jenis-jenis karang yang umum di jumpai di perairan
indonesia.P2O-LIPI.Jakarta.103 p.
Ditjen Perikanan,1995.Buku panduan jenis-jenis karang yang dapat
diperdagangkan.Jakarta.
Veron,J.E.N.,J.D.Terence,1979.Coral and Coral Communities of lord Howe
island Part 30 Australian Institute Of marine Science.Townsville.203-
236.

110
KARAKTERISTIK TUBUH DAN PERKEMBANGBIAKAN KUDA LAUT
(Hippocampus spp)
Kunto Wibisono (3425111414), Rizal Yoga Saputra (3425111420)

BAB I
PENDAHULUAN

Osteichthyes atau disebut juga ikan bertulang sejati adalah kelas dari
anggota hewan bertulang belakang merupakan subfilum dari Pisces.Osteichthyes
berasal dari bahasa Yunani, yaitu osteon berati tulang, ichthyes berarti ikan.Di
antara semua kelas vertebrata, ikan bertulang keras (Kelas Osteichthyes) adalah
yang paling banyak jumlahnya, baik dalam hal jumlah individu maupun dalam
jumlah spesies (sekitar 30.000).Berukuran antara 1 cm hingga lebih dari 6 m, ikan
bertulang keras sangat melimpah di laut dan di hampir setiap habitat air
tawar.Semua jenis ikan termasuk dalam kelas Osteichthyes memiliki sebagian
tulang keras, mulut dan lubang hidungnya ventral, celah-celah pharyngeal tertutup
(tidak terlihat dari luar), jantungnya hanya memiliki satu ventrikel.Jantung
beruang dua, darah berwarna pucat, mengandung eritrosit berinti dan leukosit.
Ikan kelas Osteichthyes juga mempunyai sistem limfa serta sistem porta renalis.
Mempunyai hati berkantong empedu.Lambung dipisahkan dari usus oleh sebuah
katup, mempunyai kloaka, tetapi tidak jelas adanya pankreas.Terdapat gelembung
renang. Mempunyai gurat sisi, indra mata, telinga dalam dengan tiga saluran
semisirkuler. Memiliki otolit untuk keseimbangan.Bernapas dengan insang yang
memiliki tutup insang (operkulum).
Kuda Laut dengan nama latin Hippocampus spp yang merupakan kelas
Osteichthyessubfilum Piscestermasuk dalam famili Syngnathidae. Bentuknya
yang unik, tubuh agak pipih, melengkung, permukaan kasar, seluruh tubuh
terbungkus lempengan-lempengan tulang atau cincin-cincin, kepala menyerupai
kuda bermahkota, mata kecil sepasang yang sama lebar, sirip punggung cukup
besar dan tidak mempunyai sirip ekor. Distribusi kuda lautterbentang di daerah
tropis Indo-Pasifik dari sub continental India barat sampai di pulau-pulau Pasifik
timur (LOURIE et al. 1999). Kuda laut cukup komersial dan unik karena

111
mempunyai morfologi yang berbeda dengan ikan-ikan yang lain. Kuda laut
memiliki daya tarik tersendiri yaitu, bentuk kepala kuda laut yang menyerupai
kepala kuda dan faktanya bahwa kuda laut jantan mempunyai kantong
pengeraman yang tidak dijumpai pada jenis ikan yang lain menjadi daya tarik
tersendiri.
Jenis kelamin kuda laut dapat dibedakan dari dua hal, yaitu ukuran tubuh
dan kantung telur. Ukuran kuda laut jantan lebih besar daripada betina.Menurut
Prein dan Vincent (1995) Hanya kuda laut .jantan yang mengalami kehamilan dan
memelihara anak-anaknya dalam kantong perutnya hingga menetas, sementara
kuda laut betina hanya melepas telur-telurnya ke kantong pengeraman jantan.Di
alamreproduksikuda laut terjadi sepanjang tahun, tetapi induk kuda laut betina
memiliki siklus reproduksi yang lebih pendek dibandingkan dengan induk
jantan.Kuda laut jantan hanya dapat menerima telur-telur betina setiap
pengeraman, tanpa dapat mempercepat masa pengeraman (Schultz & Stren,
1981).Perilaku perkawinan kuda laut yang sangat atraktif terssebut menyebabkan
banyaknya penelitian yang dilakukan terhadap kuda laut sehingga menarik
perhatian para peneliti untuk mengamati.

BAB II
ISI

A. KLASIFIKASI DAN MORFOLOGI


Taksonomi kuda laut menurut Burton dan Maurice (1983) adalah sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Pisces
Subclass : Teleostei
Order : Gasterosteiformes
Family : Syngnathidae
Genus :Hippocampus
Species :H. barbouri(Jordan dan Richardson, 1908)

112
Meski tubuh kuda laut menyimpang dari bentuk ikan pada umumnya,
organ-organ yang identik dengan organ tetap dapat ditemukan, seperti insang
sebagai organ respirasi, sirip punggung yang digunakan untuk bergerak dan tulang
punggung yang menjadi penopang tubuhnya (Thayib, 1977).
Seluruh tubuh kuda laut terbungkus oleh semacam baju baja yang terdiri
atas lempengan-lempengan tulang atau cincin.Kepala kuda laut mempunyai
mahkota (coronet), terdapat mata yang kecil, dan memiliki mulut yang panjang
seperti pipa.Tubuh kuda laut agak pipih dan melengkung, permukaan perut kasar,
memiliki sirip dada yang pendek dan lebar serta sirip punggung yang cukup
besar.Kuda laut memiliki ekor yang dapat dililitkan (prehensil) dan tidak
mempunyai sirip ekor. Kuda laut jantan memiliki kantong pengeraman (Broud
pouch) yang terletak di bawah perut sedangkan betina tidak memliki kantong
pengeraman.

Gambar 1. Morfologi Kuda Laut (Burton dan Maurice, 1983)

113
Populasi kuda laut terbesar terdapat di perairan Indo-Pasifik. Kuda laut
umumnya hidup di perairan dangkal hingga kedalaman 20 meter, beberapa spesies
ditemukan pada kedalaman lebih dari 50 meter (Lourie, et al 1993). H.whitei, H.
borbouniensis, H. erectus, H. guttulatus, dan H. zosterae hidup di perairan hangat
dan daerah tropis diantara hamparan padang lamun atau rumput laut. Kuda laut
juga hidup di dasar laut yang ditumbuhi bunga karang lunak (H. subelong)
dijumpai pula diantara karang di daerah tropis (H. comes).
B. KARAKTERISTIK DAN TINGKAH LAKU
Al Qodri, et al (1999) menyatakan bahwa kuda laut adalah hewan diurnal
yaitu hewan yang aktif pada siang hari atau selama ada penyinaran cahaya
matahari. Pemijahan berlangsung baik pada pagi, siang atau sore hari. Pada siang
hari kuda laut melakukan semua aktivitas kehidupannya secara aktif.
Kuda laut terkenal dengan kemampuan kamuflasenya sangat hebat, yaitu
dengan cara mengubah corak tubuhnya sesuai dengan lingkungan sekitarnya atau
menumbuhkan filamen-filamen di sekujur tubuhnya sehingga tampak menyerupai
tumbuhan laut. Kamuflase dilakukan dalam rangka menghindari predator,
mengelabui mangsa selama aktivitas perkawinan.
Sebagain besar kuda laut mempunyai warna kecoklat-coklatan alami,
warna campuran abu-abu dan coklat atau bahkan warna hitam agar sesuai dengan
lingkungannya.Ada juga beberapa jenis dapat membuat diri mereka menjadi
oranye berpendar hingga ungu pekat (Hidayat dan Silfester, 1998).Walaupun
memiliki banyak warna, namun beberapa spesiesnya berwarna sebagian
transparan, sehingga tidak mudah dilihat.Perbedaan jensi-jenis kuda laut paling
menonjol adalah terdapatnya duri-duri atau tulang yang muncul pada setiap cincin
(ring) di tubuh serta mahkotanya, perbedaan lainnya adalah bentuk badannya ada
yang langsing dan lebih panjang, ada juga yang lebih gemuk.
Dalam memperoleh makanan, kuda laut menggunakan matanya untuk
mencari mangsa, karena kuda laut mempunyai pandangan ganda (binocular
vision). Jika kuda laut tidak mampu berpindah dengan cepat untuk memburu
mangsanya, maka kuda laut akan menggunakan moncong mulutnya yang
menyerupai pipa kecil. Dengan sekali hentakan kepala, organisme seperti larva,
plankton atau makhluk hidup lain yang ukurannya cukup untuk masuk ke dalam

114
mulut akan dihisap. Namum dalampercobaan di laboratorium, Hippocampus
ingens telah terbukti menjadi pemakan yang suka memilih makanan (Mann,
1998).Kuda laut tidak mempunyai gigi sehingga mangsa ditelan langsung.
Kemampuan daya cerna kuda laut sangat cepat, meskipun kuda laut mempunyai
saluran pencernaan bergulung-gulung.
Selain cara makan yang unik, ada fakta unik lainnya yaitu pada umumnya
kuda laut adalah monogami, Di alam, sifat monogami dan kesetiaan pasangan
pada kuda laut memberikan peran dalam keberhasilan reproduksi kuda laut,
karena kuda laut yang kehilangan pasangannya tidak dapat bereproduksi lagi
sampai menemukan kembali pasangan baru (Lourie et al , 1999).
Walaupun kuda laut monogami ternyata kuda laut dapat dipasangkan
dengan yang bukan pasangannya. Hal ini dibuktikan oleh Masonjones & Lewis
(2000) dalam Syafiuddin (2010), bahwa kuda laut jenis Hippocampus zosterae
betina dapat melakukan percumbuan berulang-ulang (2-3 hari) untuk
mengevaluasi folikel yang matang yang dapat ditransfer ke dalam kantong
pengeraman jantan. Kuda laut betina secara fisiologis dapat melakukan
percumbuan atau perkawinan dengan seketika setelah bertemu dengan seekor
jantan yang mau menerima dan dapat melakukan perkawinan ulang sebelum akhir
dari rata-rata siklus kehamilan jantan (Masonjones & Lewis 2000; Vincent &
Sadler 1995 dalam Syafiuddin 2010).Salah satu faktor yang memengaruhi
pematangan gonad untuk melakukan reproduksi adalah suhu.Suhu air yang rendah
atau tinggi di dalam wadah pemeliharaan dapat memengaruhi waktu mencapai
matang gonad.Suhu 28ºC optimal untuk perkembangan dan pematangan gonad
kuda laut H. barbouri (Syafiuddin, 2010).
Kuda laut jantan dalam melakukan pemijihan menggunakan ekornya untuk
menggapai pasangannya. Proses pemijahan diawali dengan masuknya sirip dubur
kuda laut betina ke dalam kantong kuda laut jantan. Selanjutnya sel telur kuda laut
betina disemprotkan ke dalam kantong telur kuda laut jantan untuk selanjutnya
dibuahi.Saat telur-telur menetas, larva dan anaknya diasuh dalamkantong induk
jantan sampai dianggap kuat dan dikeluarkan dari kantong (Hidayat dan Silfester,
1998).Kuda laut jantan mengerami telur selama 10-14 hari dalam kantong
pengeraman yang dilengkapi semacam placenta untuk suplai oksigen.Anakan

115
dilepaskan ke perairan sebagai juwana dengan bentuk seperti kuda laut dewasa.
Setelah berumur kurang lebih 30 hari, juwana akan berkembang menjadi benih
kuda laut dan ekornya mulai dapat dililitkan. Pada umur 90 hari, organ
reproduksinya mulai berkembang dan kuda laut sudah memasuki fase
dewasa.Sebagian besar kuda laut menghasilkan telur antara 100-200 butir bahkan
ada yang mencapai 600 butir.Pengeraman larva sepenuhnya dilakukan oleh kuda
laut jantan (Mann, 1998).
C. PERKEMBANGAN EMBRIO
Menurut Sumantadinata (1983), pembuahan adalah penggabungan antara
inti sel telur dengan inti sperma sehingga membentuk zigot yang menjadi awal
perkembangan embrio. Perkembangan dari embrio sampai juvenil bervariasi dari
satu jenis ikan ke jenis ikan lain, dari ukuran tubuh sampai perubahan
morfologisecara detail (Blaxter, 1988). Faktor-faktor yang mempengaruhi
diversitas perkembangan fase larva, antara lain :
1. Masa keberadaan kuning telur, yang bergantung pada jenis ikan, ukuran
telur dan temperatur
2. Lama periode larva, berkisar dari beberapa hari sampai beberapa bulan
bergantung pada batas toleransi temperatur setiap jenis ikan.
Pada masa embrio terdapat dua fase stadia larva yaitu pralarva dan
postlarva.Pralarva adalah larva yang masih mempunyai kuning telur, sedangkan
postlarva adalah larva yang telah kehabisan kuning telur sampai terbentuk
organbaru. Pada masa akhir dari postlarva, secara morfologis telah mempunyai
bentuk yang sama dengan induknya yang biasanya disebut juvenil (Effendie,
1985). Periode pralarva kuda laut, diawali saat embrio berumur 5 hari (±120 jam)
yaitu sejak telur menetas hingga umur 10 hari (±240 jam). Pada umur 120 jam
atau hari kelima, embrio yang baru menetas masih transparan. Terdapat bintik-
bintik pigmen yang menyebar diseluruh tubuh.Bakal vertebra (tulang belakang)
nampak berwarna putih sehingga segmen-segmen tubuh terlihat seperti garis yang
hampir membentuk ruas-ruas vertebra hingga ke ujung ekor namun garis tersebut
belum menyatu (Latuconsina, 2006).
Menurut Al Qodri (1998) bahwa ciri embrio Hippocampus kuda sebelum
dilahirkan telah memiliki saluran pencernaan yang sudah lengkap, mulut sudah

116
sempurna dan bentuk tubuh sudah sempurna.Pigmen tubuh makin nyata, tonjolan
pada cincin tubuh dan cincin ekor makin berkembang meskipun masih terlihat
kuning telur dengan butiran-butiran pada bagian perut.
D. PERTUMBUHAN
Pertumbuhan adalah resultan dari pertambahan panjang dan berat individu
dalam suatu waktu tertentu (Effendie, 1979).Pertumbuhan terjadi bila jumlah
energi makanan yang dicerna melebihi jumlah energi makanan yang diperlukan
untuk mempertahankan hidup (Sastrawidjaja, 1992).
Proses pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni faktor internal
dan eksternal. Faktor internal dapat berupa : keturunan, umur, ketahanan terhadap
serangan penyakit dan kemampuan untuk memanfaatkan pakan. Faktor eksternal
adalah salinitas, suhu, kuantitas pakan, kadar oksigen terlarut, pH serta ruang
gerak kuda laut (Lockyear, 1998).

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kuda Laut dengan nama latin Hippocampus spp yang merupakan kelas
Osteichthyessubfilum Piscestermasuk dalam famili Syngnathidae. Kuda laut
memiliki daya tarik tersendiri yaitu, bentuk kepala kuda laut yang menyerupai
kepala kuda dan mempunyai kantong pengeraman yang tidak dijumpai pada jenis
ikan yang lain. Seluruh tubuh kuda laut terbungkus oleh semacam baju baja yang
terdiri atas lempengan-lempengan tulang atau cincin.Kepala kuda laut mempunyai
mahkota (coronet), terdapat mata yang kecil, dan memiliki mulut yang panjang
seperti pipa.kuda laut adalah hewan diurnal yaitu hewan yang aktif pada siang
hari atau selama ada penyinaran cahaya matahari.Dalam memperoleh makanan,
kuda laut menggunakan matanya untuk mencari mangsa, karena kuda laut
mempunyai pandangan ganda (binocular vision).Kuda laut merupakan monogami
ternyata kuda laut dapat dipasangkan dengan yang bukan pasangannya.
Perkembangan dari embrio sampai juvenil bervariasi dari satu jenis ikan ke
jenis ikan lain, dari ukuran tubuh sampai perubahan morfologisecara detail. ciri

117
embrio Hippocampus kuda sebelum dilahirkan telah memiliki saluran pencernaan
yang sudah lengkap, mulut sudah sempurna dan bentuk tubuh sudah lengkap.
Proses pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni faktor internal dan
eksternal. Faktor internal dapat berupa : keturunan, umur, ketahanan terhadap
serangan penyakit dan kemampuan untuk memanfaatkan pakan.
B. Saran
Diperlukan kajian lanjutan untuk karakteristik tubuh dan perkembangbiakan
kuda laut (Hippocampus spp) untuk mendapatkan gambaran yang maksimal.

DAFTAR PUSTAKA
Al Qodri, A.H., Sudjiharno dan P.Hartono, 1999. Rekayasa Teknologi
Pembenihan Kuda Laut (Hippocampus, spp). Ditjen Balai Budidaya
Laut.Lampung.
Burton, R. dan Maurice. 1983. Sea Horse. Departemen of Icthyology. American
Museum of Natural History American.
Blaxter, J.H.S. 1988. Pattern and Variety in Development.In Physiology W.S.
Hoar and Randall. Vol.XI: The Phisiology of Developing Fish. Academic
Pres. New York. P:3-49.
Effendie, M.I. 1985. Biologi Perikanan, Bagian I: Studi Natural History. Fakultas
Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Hal: 43-102
Effendie, M.I., 1979. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor
Hidayat dan Silfester., 1998. Biologi Kuda Laut. Pembenihan Kuda Laut
(Hippocampus spp). Direktorat Jenderal Perikanan. Balai Budidaya Laut.
Lampung.
Latuconsina, R.S. 2006.Studi Pendahuluan Perkembangan Embrio Kuda Laut (H.
barbouri).Skripsi Jurusan Budidaya Perairan. Universitas Hasanuddin.
Makassar
Lockyear, J, 1998. Studi Pendahuluan Pemijahan di Bak Terkontrol dan
Pembesaran Kuda Laut KNYSNA (Hippocampus copensis). Department of
Ichthyology and Fisheries Science Rhodes University. Graham Stown.
South Africa.

118
Lourie, S. A., A. C. J Vincent., H. J Hall., 1999. Seahorses An Identification
Guide To The Words Species And Their Conservation. Project Seahorse.
London. UK.
Mann, R. H. 1998. Guiding Giant Seahorse. California Wild – Here At The
Academy. http: // www. Calacademy. org/calwild archives/ seahorse. htm
(diakses 20Novembr 2014).
Mncent, A. 1995b.Seahorse Father Makes A Good
Mother.DepartmenBiology.Mc. GrawHillUniversity. Canada. P.34-39.
Schnlttz,LD& Stern,E.M.1981. Males The lncubate,The Ways oJ Fishes. D. Van
Nostrad Comp. Inc PrincetonNewYork. p. 110-113.
Sastrawidjaja, T.M.F., 1992. Pengaruh Pemberian Ransum Uji Dengan Kadar
Protein. Aneka Ilmu, Semarang.
Sumantadinata, K. 1983. Pengembangbiakan Ikan-Ikan Peliharaan di Indonesia.
PT Sastra Hudaya. Jakarta.
Syafiuddin. 2010. Studi Aspek Fisiologi Reproduksi Perkembangan Ovari dan
Pemijahan Kuda Laut (H. barbouri) dalam Wadah Budidaya. Disertasi
Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Thayib, S.S, 1977. Beberapa Catatan Menarik Mengenai Tangkur Kuda
(Hippocampus ,spp). Warta Oseana G. Hal 1-5.

119
SELF PURIFICATION
Sity Maida (3425111412), Siwi Arthapati Mandiri (3425111426)

BAB I
PENDAHULUAN

Perairan menjadi lahan terluas bila dibandingkan dengan daratan. Tidak


kalah saing bahwa perairan juga memiliki sumberdaya alam yang sangat kaya bila
dibandingkan dengan daratan. Seiring dengan bertambahnya populasi manusia,
meningkatkan aktivitas manusia demi memenuhi kebutuhan hidupnya, salah satu
contohnya adalah adanya kegiatan industri. Limbah dari industri tersebut
terkadang dibuang begitu saja ke perairan atau udara tanpa melalui tahapan
pembuangan limbah yang seharusnya (diatur dalam Undang-undang Lingkungan
Hidup). Adanya beberapa gangguan pada perairan baik secara langsung ataupun
tidak langsung dapat merusak ekosistem perairan.
Secara alamiah sistem perairan mampu melakukan proses pulih diri,
namun apabila kandungan senyawa organik sudah melampaui batas kemampuan
pulih diri, rnaka akumulasi bahan organik dan pembentukan senyawa-senyawa
toksik di perairan tidak dapat dikendalikan, sehingga menyebabkan menurunnya
kondisi kualitas air (Garno, 2004). Senyawa amonia dan nitrit bersifat toksik bila
konsentrasinya sudah melebihi ambang batas. Senyawa amonia atau amonium dan
nitrit dalam batas-batas konsentrasi tertentu dapat menimbulkan dampak negatif.
Tingginya akumulasi bahan organik menimbulkan beberapa dampak yang
merugikan yaitu,1) Memacu pertumbuhan mikroorganisme heterotrof dan bakteri
patogen, 2) Eutrofikasi, 3) Terbentuknya senyawa toksik (amonia dan nitrit), dan
4) Menurunnya konsentrasi oksigen terlarut (Devaraja, 2002).
Vollenweideer (1968) meneliti fakta dari masuknya fosfat, amonia dan
nitrat oleh macrophyta yang berada di air, dan mengatakan bahwa Callitriche
dapat menghilangkan secara efisien fosfat dari pembuangan air. Dalam studi lain,
Ostroumov (2006) menyatakan bahwa organisme yang melakukan pulih diri
untuk perairan tidaklah hanya pada mikroorganisme, namun invertebrata juga

120
turut andil dalam proses pemulihan ini, salah satu contohnya yaitu moluska
bivalvia (Lorenz, et.al, 2012).
BAB II
ISI

Organisme akuatik berpartisipasi dalam berbagai proses yang mengarah ke


pulih diri. Tidak hanya mikroorganisme, tetapi juga invertebrata dan banyak
kelompok lain dari organisme yang terlibat. Pulih diri air berarti suatu sistem atau
proses alami yang mengakibatkan peningkatan kualitas air sebagai akibat dari
interaksi faktor alam tanpa upaya buatan manusia untuk mengobati atau
memurnikan air.
Tabel 1. Beberapa proses dan faktor yang berperan dalam pemurnian, remediasi
dan meningkatkan kualitas air laut dan ekosistem estuaria.
Tipe Proses dan Faktor
1. Pencairan
2. Adsorpsi
Fisika 3. Sedimentasi
4. Evaporasi
5. Adveksi dan pencampuran
1. Hidrolisis
2. Reaksi fotokimia dan fotolisis
Kimia 3. Oksidasi dan reduksi
4. Perusakan radikal bebas
5. Kompleksasi dan mengikat pada molekul lain
1. Oksidasi mikroorganisme, reduksi dan biotransformasi
lainnya
2. Transformasi yang dilakukan oleh ekskresi zat kimia dan
enzim
Biologi
3. Akumulasi oleh organisme
4. Penyaringan air oleh organisme pemakan suspensi
5. Ekskresi molekul yang berperan dalam meningkatkan laju
beberapa proses kimia degradasi polutan

121
6. Memproduksi oksigen yang terlibat dalam oksidasi kimia
polutan
7. Trasnpirasi
8. Regulasi dari proses biologi pulih diri air oleh organisme lain

A. Proses Utama pulih diri Air di Ekosistem Perairan


Banyak proses fisika, kimia, dan biologi yang merupakan penentu penting
dari kualitas air dan pulih diri air di ekosistem perairan. Banyak dari proses fisika
dan kimia yang dikendalikan atau dipengaruhi untuk tingkat tertentu oleh faktor
biologi. Sebagai contoh, tingkat serapan polutan dengan cara menempatkan
suspensi partikel tergantung pada konsentrasi sel fitoplankton. Selain itu,
dekomposisi zat foto-kimia hanya mungkin dalam air yang transparan, dan
transparansi yang dijamin oleh aktivitas penyaringan invertebrata air. Dengan
demikian, proses biologi penting bagi sebagian besar proses pulih diri air.
B. Fungsi Utama pulih diri Air di Ekosistem Perairan
Proses dominan dari pemurnian diri dari ekosistem perairan adalah: (1)
aktivitas filtrasi atau "filter" oleh seluruh invertebrata filter feeder, tumbuhan dan
bentos yang mengambil nutrisi berupa nitrogen dan fosfat serta mikroorganisme;
(2) mekanisme transfer atau memompa zat kimia antara kompartemen ekologis
(dari satu media ke yang lain); dan (3) degradasi molekul polutan.
C. Sumber Energi dari Mekanisme Biologi Pulih Diri Ekosistem Perairan
Ekosistem menerima energi untuk proses pulih diri secara biologi dari
fotosintesis, oksidasi senyawa organik asli, dan reaksi redoks lainnya. Dengan
demikian, hampir semua sumber energi yang tersedia dapat terlibat.
Beberapa energi diperoleh dari oksidasi komponen (bahan organik terlarut
dan tersuspensi) yang harus dihapus dari ekosistem. Dengan kata lain, tingkat
energi dari pulih diri menyerupai teknologi hemat energi yang diciptakan oleh
manusia.
Dalam kondisi anaerobik, energetika bakteri didorong dengan
menggunakan akseptor elektron selain oksigen. Aktivitas anaerobik bakteri di
sedimen merupakan bagian penting dari penghapusan beberapa jumlah
kontaminan termasuk nutrisi. Dalam kondisi anaerobik, nitrat digunakan oleh

122
banyak bakteri anaerob fakultatif, terutama dari genus Pseudomonas,
Achromobacter, Bacillus, Micrococcus, dan Escherichia sebagai eksogen terminal
akseptor elektron dalam oksidasi substansi organik. Peran bakteri anaerob
diilustrasikan oleh laju denitrifikasi dalam sedimen. Tingkat denitrifikasi sedimen
adalah 2 sampai 4 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan air di atasnya. Peran
bakteri anaerob dalam metabolisme anaerobik xenobiotik, termasuk deklorinasi.
D. Peran dari Taxa Utama dalam Pulih Diri Air
Mikroorganisme, fitoplankton, tumbuhan tingkat tinggi, invertebrata, dan
ikan yang terlibat dalam pulih diri ekosistem perairan dan pembentukan kualitas
air. Kelompok-kelompok ini sama-sama diperlukan untuk pemurnian diri normal.
Bahkan organisme yang tidak terlibat langsung dalam proses peningkatan kualitas
air, sering membantu dalam proses pemurnian air.
Sebagai contoh, banyak organisme fitofag memotong struktur besar
tanaman menjadi potongan-potongan kecil atau substrat yang lebih tepat untuk
protozoa, bakteri, dan jamur yang mendegradasi materi tersebut. Organisme
tingkat trofik yang lebih tinggi adalah instrumental dalam mengatur jumlah
organisme tingkat rendah yang merupakan komponen langsung pemurnian air.
E. Regulasi Pulih Diri
Hampir semua organisme yang terlibat dalam kegiatan pulih diri berada di
bawah kendali ganda rantai makanan. Berbagai sinyal, termasuk pembawa
informasi kimia, terlibat dalam mekanisme pengaturan ekosistem. Zat kimia
tersebut disebut chemoregulators ekologi dan kemomediator ekologi.

123
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Laut dapat melakukan pulih diri secara alami melalui poses fisika, kimia
dan biologi tanpa campur tangan manusia.
Saran
Kita harus berusaha agar tidak menambah cemaran ke laut walaupun laut
bisa melakukan pulih diri. Pasti terdapat batas tertentu suatu perairan atau laut
dapat melakukan pulih diri, hal tersebut bisa dipelajari lebih lanjut untuk
mengetahui ambang batasnya.

Daftar Pustaka

Devaraja TN, F.M. Wsoff and M. Sharif. 2002. “Changes in bacterial population
and shrimp production in pond treated with commercial microbial
products”. Aquaculture. 206:245-256.
Garno SY. 2004. “Biomanipulasi. Paradigma Baru dalum Pengendalian Limbah
Organik pada Budidaya Perikanan di Waduk dun Tambak”. Orasi
Ilmiah Ahli Peneliti Utama. Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi, Jakarta. 58 hal.
Lorenz, Stefan et.al. 2012. “Modelling the effects of recreational boating on self-
purification activity provided by bivalve mollusks in a lowland river”.
Freshwater Science.32(1):82-93
Ostroumov SA. 2006. “Biomachinery for maintaining water quality and natural
water self-purification in marine and estuarine systems: elements of a
qualitative theory”. International Journal of Oceans and
Oceanography. 1:111-118.

124
UNDERWATER CROP CYCLE
Aurora Hadiluhung (3425 111 433), Resti Rahma Dianti (3425 111 401)

BAB I
PENDAHULUAN

Torquigener albomaculosus sp. nov. atau ikan buntal merupakan ikan


yang hidup di dasar pasir pada kedalaman 15 – 18 m sepanjang pesisir selatan
pulau Amami-oshima di kepulauan the Ryukyu.

Spesies baru ini ditemukan dari semua spesies Torquigener berdasarkan


kombinasi keunikannya, yaitu sirip dorsal 9 (10), sirp anal 6, sirp pektoral 16,
tulang vertebrae 8 + 11 = 19, tidak kuat, gelap, terdapat belang longitudinal
maupun garis bintik hitam longitudinal pada tengah sisi tubuh dari sirip pectoral
belakang sampai sirip dasar caudal. Selain itu tidak memiliki tanda vertikal pada
pipi. Setengah dari kepala dan tubuh bagian dorsal ditutupi oleh corak jala warna
coklat dan banyak bintik putih. Setengah dari kepala dan tubuh bagian ventral
ditutupi oleh banyak bintik putih mulai dari dagu sampai bagian sirip anal.

125
Torquigener albomaculosus jantan membangun lingkaran unik sebagai
sarang tempat ikan bertelur. Sarang ini bisa mencapai diameter 2 meter di dasar
pasirpada kedalaman 10-30 meter. Sarang ini relatih besar dan berkarakteristik
memiliki dua tepi dan menyebar seperti jari-jari.

BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

Underwater crop cycle merupakan sebuah struktur geometris melingkar


berukuran diameter kurang lebih 2 meter yang pertama kali ditemukan pada tahun
1995 di dasar laut dekat selatan Pulau Amami Oshima daerah subtropis Jepang
oleh seorang fotografer bernama Yoji Ookata yang memperoleh izin scuba nya
pada usia 21 dan menghabiskan 50 tahun terakhir menjelajahi dan
mendokumentasikan penemuannya di lepas pantai Jepang. Lingkaran yang

126
memiliki keliling lebih dari enam kaki ini biasanya selalu dihiasi oleh kerang-
kerang atau barang-barang unik yang di temukan di dasar laut.
Underwater crop cycle ternyata dibentuk oleh Puffer Fish atau Ikan Buntal
(Torquigener albomaculosus sp.) yang diketahui sangat beracun namun populer di
Jepang sebagai santapan yang sangat lezat.

Torquigener albomaculosus sp. jantan sedang membuat lembah-bukit


menggunakan sirip pektoral, anal dan kaudal.

Pembuatan underwater crop cycle dilakukan oleh ikan pejantan sebagai


salah satu bentuk rangkaian dalam bereproduksi yaitu untuk menarik perhatian
ikan betina. Ikan pejantan menggunakan sirip-siripnya untuk membentuk lembah-
bukit dan berenang dengan berbagai variasi arah dari luar ke dalam lingkaran
untuk membentuk sirkuler.
Pola bukit-lembah dibuat oleh jantan dengan desain bukit oleh komponen
pecahan atau fragmen cangkang dan karang. Desain lembah memiliki komponen
pasir halus sehingga pola renang jantan membentuk pola lingkaran dan akan
mendorong pasangannya ke tengah lingkaran, yang merupakan sarang yang
sebenarnya.

127
Ikan yang memiliki panjang kurang lebih 120 mm ini akan berenang
sepanjang tujuh sampai sembilan hari membangun pola-pola lingkaran unik
dengan berulang kali berenang di dan keluar dari lingkaran, dengan menggunakan
sirip mereka untuk menggali lembah di dasar berpasir. Setelah bertelur, pasangan
ikan akan meletakkan telur mereka tepat ditengah lingkaran dan ternyata pola ini
cukup efektif untuk menahan arus air laut yang cukup deras sehingga telur-telur
mereka tidak terbawa.

Melalui pengamatan ditemukan bahwa lingkaran yang terbentuk


menyajikan berbagai fungsi ekologis penting, yang paling penting adalah untuk
menarik pasangan. Betina yang tertarik akan mendekati pola yang menyerupai
sarang itu dan kemudian akan terjadi perkawinan dengan perilaku ikan betina
akan melintasi lingkaran dengan hati-hati untuk menemukan ikan jantan dan
keduanya akhirnya bertelur di pusat lingkaran, dan pola bukit-lembah akan
bertindak sebagai penyangga alami untuk melindungi telur-telur dari arus laut.
Para ilmuwan juga belajar bahwa semakin banyak dan tinggi pola yang terbentuk
dalam lingkaran tersebut akan mengakibatkan peluang untuk mendapatkan
pasangan jauh lebih besar.

128
Underwater crop cycle tersebut hanya digunakan sekali. Setelah mereka
selesai kawin, jantan berhenti melakukan pemeliharaan lingkaran yang berfungsi
sebagai sarang tersebut. Dan ketika telur sudah menetas, jantan meninggalkan
sarang tersebut. Menurut para ahli, hal itu dilakukan karena lembah tidak
mungkin mengandung partikel pasir halus yang cukup untuk beberapa siklus
reproduksi.

129
Gambar diatas menjelaskan bahwa partikel penyusun underwater crop
cycle berbeda bentuknya saat sebelum dan sesudah penetasan. Hal itu yang
menyebabkan sarang hanya digunakan sekali saja.

Underwater crop cycle ini memiliki ketahanan terhadap arus air di dasar
air. Fluiditas dari partikel pasir yang akan meningkat dengan adanya air antara
partikel yang akan mengurangi gesekan. Selain itu dinamika fluida menunjukan
bahwa air mengalir dari dalam arah pusat di lembah mencapai arus air. Dengan
demikian air yang mengalir ke arah pusat lembah ialah setengah dari arus. Dengan
cara ini partikel pasir cair berkumpul di zona tengah lembah oleh kebiasaan si
penjantan. Namun karena partikel pasir yang terkumpul di tengah di sarang
adalah berupa cairan, mereka menghilang tanpa menggunakan sarang itu lagi.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Ikan buntal jantan atau Torquigener albomaculosus sp. nov .
membangun lingkaran geometrik unik sebagai alat untuk menarik
perhatian betina. Nantinya lingkaran geomterik ini akan dijadikan sebagai
sarang mereka untuk bertelur. Sarang ini hanya bisa digunakan sekali
setelah dipakai untuk bertelur. Lingkaran geomterik ini tahan terhadap
arus air dibawah sehingga bisa mempertahankan bentuknya yang unik
seperti jari – jari.

130
B. SARAN
Observasi lebih dalam diperlukan untuk meneliti lingkaran geometrik unik
ini.

Daftar Pustaka
Kawase1, Hiroshi, Yoji Okata, dan Kimiaki Ito. (2013). Role of Huge Geometric
Circular
Structures in the Reproduction of a Marine Pufferfish. SCIENTIFIC REPORTS, 3
: 2106
Matsuura, Keiichi. (2014). A new pufferfish of the genus Torquigener that builds
‘‘mystery circles’’ on sandy bottoms in the Ryukyu Islands, Japan
(Actinopterygii: Tetraodontiformes: Tetraodontidae). Ichthyol Res
http://themaniax.blogspot.com/2012/09/ternyata-inilah-makhluk-yang-
membuat.html
http://blogs.discovermagazine.com/d-brief/2013/08/15/underwater-crop-circles-
mystery-solved/#.VGtnOWfKZph

131
BIOREMEDIASI BAKAU YANG DISEBABKAN OLEH MINYAK BUMI
Meilina Andriani (3425111430), Nita Listiyani (3425111402)

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Mayoritas minyak di laut merupakan kumpulan dari tumpahan minyak di
ekosistem pesisir, contohnya pada bakau. Mikroorganisme secara langsung
dilibatkan dalam siklus biogeokimia sebagai kunci degradasi banyak sumber
karbon, termasuk hidrokarbon minyak bumi. Mikroorganisme memiliki peranan
yang luas dalam ekosistem, contohnya biodegradasi. Penelitian sebelumnya telah
diadakan dengan menekankan kepada perkembangan dan strategi seleksi
bioremediasi pada bakau. Banyak faktor yang bisa berpengaruh terhadap
kesuksesan bioremediasi minyak pada bakau, termasuk keberadaan dan aktivitas
mikroorganisme pendegradasi minyak pada sedimen, ketersediaan dan
konsentrasi minyak dan nutrisi, salinitas, temperatur, dan toksisitas minyak.
Tantangan selanjutnya untuk bioremediasi bakau adalah menggambarkan tingkat
polusi dan mengukur penyembuhan bakau. Biasanya, parameter kimia pada
tingkat polusi, seperti policyclic aromatic hydrocarbons (PAHs), digunakan tetapi
sangat bervariasi pengukurannya di lapangan. Oleh karena itu, strategi
pemantauan bakau harus dikembangkan. Ulasan ini akan menyajikan kondisi
bioremediasi minyak pada bakau yang terkontaminasi, data baru tentang
penggunaan mikrokosmos bakau yang berbeda dengan dan tanpa simulasi, faktor
utama yang mempengaruhi keberhasilan bioremediasi di hutan bakau dan prospek
baru untuk penggunaan alat-alat molekuler untuk memantau proses bioremediasi.
Kami percaya bahwa dalam beberapa lingkungan, seperti bakau, bioremediasi
mungkin proses pembersihan yang paling tepat. Karena keanehan dan
heterogenitas lingkungan yang menghambat penggunaan analisis fisik dan kimia
lainnya, kami sarankan bahwa pengukuran penyembuhan tanaman harus
dipertimbangkan dengan pengurangan policyclic aromatic hydrocarbons (PAHs),
untuk melestarikan, melindungi dan memulihkan lingkungan ini.

132
BAB II
ISI

1. Bakau (Mangrove)
Bakau atau mangrove merupakan organisme transisi ekosisetem pesisir,
antara lingkungan laut dan terestrial, hidup di daerah tropis dan subtropis. Di
beberapa daerah, sekitar 75% garis pantai dan hampir 18 juta hektar dihuni oleh
hutan bakau (Khatiresan & Qasim, 2005). Ada lebih dari 14.5 juta hektar hutan
bakau di Indo-Pasifik (6.9 juta), Afrika (3.5 juta), dan Amerika (4.1 juta). Brazil,
Indonesia, dan Australia adalah negara dengan kelimpahan bakau terbesar
(Aksornkoae et al., 1984; Holguin & Bashan, 2001).
Ekosistem pesisir menyediakan berbagai fungsi alam dari kepentingan
ekologi dan ekonomi. Beberapa fungsi tersebut termasuk menjadi tempat penting
pembiakan untuk ikan, Crustacea, Moluska, Reptil, Mamalia, sarang burung,
bagian akumulasi karbon dan nutrisi, lokasi renovasi biomassa laut, dan
menawarkan perlindungan erosi laut (Alongi, 2002).
Meskipun penting secara ekologi dan ekonomi, bakau adalah salah satu
habitat yang terancam oleh tindakan manusia. Mereka biasanya terletak dekat
lokasi industri (Burns et al., 1993; Li et al., 2007), yang dianggap oleh beberapa
penulis sebagai lingkungan dengan risiko hilangnya dari Bumi (Lee et al., 2006;
Duke et al., 2007). Ancaman ini menunjukkan kebutuhan besar untuk
mengembangkan metode konservasi baru, perlindungan dan pemulihan untuk
lingkungan ini (Duke et al., 2007; Barbier et al., 2008).
2. Mikroorganisme pada bakau
Bakau kaya keanekaragaman mikroba, dan mikroba merupakan dasar untuk
pemeliharaan produktivitas, konservasi dan pemulihan ekosistem bakau. Beberapa
penulis telah dijelaskan bahwa Bakteri, Archaea, dan Jamur merupakan sekitar
91% dari biomassa mikroba, sedangkan mikroalga dan protozoa hanya mewakili
7% dan 2%, masing-masing (Alongi, 2002). Mikroorganisme ini terlibat langsung
dalam transformasi nutrisi, fotosintesis, fiksasi nitrogen, metanogenesis, kelarutan
fosfat, reduksi sulfat dan produksi metabolit, seperti sebagai antibiotik dan enzim
(misalnya arylsulphatase, L-glutamin, kitinase, L-asparagin, selulase, protease dan

133
alkali) (Holguin & Basan 2001; Das et al., 2006). Mereka juga sebagai dasar
produk dari bioteknologi (misalnya bakteri yang menghasilkan bioemulsifiers)
(Aniszewski et al. 2010).
Meskipun bakau kaya bahan organik, pada umumnya kekurangan nutrisi,
terutama nitrogen dan fosfat (Vazquez et al., 2000; Holguin & Basan, 2001).
Meskipun terbatas, bakau sangat produktif. Sistem daur ulang nutrisi yang sangat
efisien, di mana kekurangan nutrisi penting dipertahankan, dan nutrisi baru
dihasilkan oleh dekomposisi bahan organik (Holguin & Basan 2001).
Mikroorganisme juga berperan untuk sebagian besar aliran karbon di sedimen
bakau, yang bertindak sebagai penyedia karbon (Holguin & Basan 2001). Semua
bahan organik di bakau yang tidak diekspor, tetap di sedimen dan terdegradasi
atau dimodifikasi secara kimia oleh mikroorganisme (Kristensen et al., 2008).
Sedangkan kelompok mikroba aerobik mengkonsumsi hancuran karbon yang
diendapkan pada permukaan sedimen, mikroorganisme anaerobik mengkonsumsi
hancuran karbon yang mengendap oleh kelompok meiofauna dan makrofauna,
berdasarkan biomassa yang dihasilkan oleh akar mati di bawah tanah dan ekskresi
karbon organik terlarut (Alongi 2002; Kristensen & Alongi, 2006; Kristensen et
al., 2008). Mikroorganisme aerobik memiliki enzim untuk mengoksidasi karbon
organik menjadi CO 2 , tetapi proses degradasi anaerobik yang terjadi melibatkan
kompetisi di antara prokariota.
Degradasi aerobik bahan tidak stabil dekat permukaan sedimen bakau
umumnya begitu cepat, karena O 2 jarang menembus lebih dari 2 mm ke dalam
sedimen (Kristensen et al., 1994; Kristensen et al., 2008). Dengan demikian,
sebagian besar sedimen anoxic, kecuali untuk jaringan akar dan sarang kepiting
yang memungkinkan masuknya oksigen (Kristensen et al., 2008). Dalam kondisi
anoxic, molekul organik pertama kali dipecah menjadi senyawa sederhana dengan
mikroba fermentasi. Molekul-molekul kecil kemudian dioksidasi menjadi CO 2
oleh berbagai macam mikroorganisme anaerobik (Kristensen et al., 2008).
Respirasi aerobik dan anaerobik dalam pengurangan sulfat umumnya dianggap
proses respirasi paling penting di hutan bakau (Alongi, 2002; Kristensen et al.,
2008).

134
3. Kontaminasi bakau oleh hidrokarbon minyak bumi
Antropogenitis seperti pengolahan industri, tumpahan minyak dan
pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar fosil telah menyebabkan akumulasi
PAH di lingkungan (Chang et al., 2008). Kontaminasi PAH merupakan
keprihatinan lingkungan yang berkelanjutan, dan peningkatan konsentrasi yang
biasa ditemukan di sedimen laut dan pesisir dekat perkotaan dan daerah industri
(Yun et al., 2008).
Bakau merupakan ekosistem pesisir, yang termasuk lokasi dimana tumpahan
minyak berkumpul. Berbeda dengan pantai berbatu, dimana gelombang
membantu dalam mengatasi kontaminasi, bakau berfungsi sebagai penyimpanan
minyak karena sistem sirkulasi akar udara dan sedimen (Zhu et al., 2001).
Lingkungan ini juga dengan indeks terbesar dari sensitivitas lingkungan untuk
tumpahan minyak (Mansingh & Jurawan, 1999).
Dampak minyak terhadap bakau, serta pada ekosistem lainnya, berkaitan
dengan jenis polutan, jumlah tumpahan, toksisitas, pola deposisi, dan waktu
retensi. Semua faktor ini menyebabkan kerusakan vegetasi, yang akibatnya
ditransfer ke elemen lainnya yang membentuk ekosistem, yang mempengaruhi
proses dan mengubah karakteristik lingkungan lokal melalui kimia dan atau
modifikasi fisika. Ketika minyak bumi dan turunannya mencapai bakau, dampak
fisik dan efek toksikologis mungkin akut (misalnya defoliasi dan kematian fauna)
dan atau kronis (misalnya penurunan reproduksi tumbuhan, kelangsungan hidup
populasi kepiting) (NOAA 2002).
Tumpahan minyak telah menyebabkan kerusakan pada bakau. Misalnya, pada
bulan Januari 2000, di Baia de Guanabara, Rio de Janeiro, Brazil, pipa minyak
pecah menyebabkan tumpahan minyak 1,3 juta ton, mencemari daerah yang luas
dari pantai dan mempengaruhi bakau (Brito et al., 2009), terutama wilayah utara
timur dari Rio de Janeiro. Hal ini disebabkan lingkungan degradasi hutan bakau
dekat dengan mulut sungai Suruí. Memang, ada kerusakan hutan secara massal
dan kesenjangan di daerah ini (Soares et al., 2003). Namun, pada tahun 2006,
penelitian menunjukkan proses regenerasi hutan bakau di Suruí (Soares et al.,
2006). Dampak dari tumpahan ini adalah dampak akut sumber kolom air (dari
diesel) dan dampak kronis habitat intertidal dan masyarakat serta organisme yang

135
terkait (dari bahan bakar minyak berat) (Michel, 2000). Kerusakan sosial ekonomi
sumber daya, termasuk perikanan dan rekreasi, rekreasi penggunaan pantai,
rekreasi berperahu dan rekreasi lainnya (Michel, 2000).
Pada tahun 2006, sekitar 25 ton minyak yang tumpah di Pelabuhan Gladstone
di Queensland, Australia (karena kecelakaan sebuah kapal tanker minyak), secara
signifikan mempengaruhi ekosistem hutan bakau yang berdekatan dengan
pelabuhan (AMSA, 2006). Beberapa minyak disimpan di daerah intertidal, yang
secara vertikal diperpanjang dari sedimen di zona intertidal ke hutan bakau
(Andersen et al., 2008). Beberapa konsentrasi PAH yang ditemukan di daerah
yang terkena dampak melebihi Pedoman Kualitas Sedimen Australia dan Selandia
Baru atau Australian and New Zealand Sediment Quality Guidelines (ANZECC/
ARMCANZ, 2000; Andersen et al., 2008). Tidak sedikit lubang kepiting terkena
pada daerah intertidal tinggi, menunjukkan rendah kepadatan kepiting
dibandingkan dengan situs referensi (Andersen et al., 2008). Banyak kecelakaan
lain yang melibatkan tumpahan minyak di hutan bakau juga telah dilaporkan
(Burns & Teal 1979; Wardrop et al., 1987; Corredor et al., 1990; Teal et al.,
1992; Burns et al., 1993; Duke et al., 1997; Mille et al., 1998; Burns et al., 2000;
Ke et al., 2005; Tam et al., 2005; Yun et al., 2008; Melville et al., 2009; Vane et
al., 2009).
Dalam ekosistem bakau, sedimen berperilaku sebagai wadah untuk
mempertahankan polutan. Dengan demikian, toksisitas polutan ditingkatkan, yang
mempengaruhi kesehatan ekosistem. Di antara polutan ini, senyawa minyak bumi
yang paling merusak (Nansingh & Jurawan 1999; Brito et al., 2009). Kematian
atau kerusakan tanaman dan hewan tidak hanya tergantung pada jenis, kuantitas,
kualitas dan pelapukan minyak tetapi juga pada kondisi iklim dan arus. Jika
tumpahan minyak tidak cukup untuk menyebabkan kematian pohon, dalam
sedimen bakau hanya menghilangkan sumber kontaminasi, diikuti oleh minimal
intervensi. Namun, ketika kematian pohon tidak terjadi, degradasi minyak di
sedimen adalah sangat melambat dan strategi mitigasi harus diterapkan (Burns &
Codi, 1998).
Selain itu, variasi musiman dan karakteristik biokimia substrat dapat
berkontribusi pada ketahanan minyak bumi dalam sedimen, meningkatkan

136
dampak lingkungan (Garrity et al., 1994; Burns & Codi, 1998). Dalam situasi
seperti itu, penyembuhan membutuhkan waktu yang sangat lama, atau terjadi
kerusakan permanen (Brito et al., 2009).
Hal ini penting untuk menarik perhatian pada fakta bahwa sedimen bakau
yang berbeda dapat hadir berbeda tingkat kontaminasi, tergantung pada derajat
gangguan manusia yang mereka hadapi. Konsentrasi PAH di 20 sampel sedimen
yang dikumpulkan dalam empat hutan bakau yang berbeda di Hongkong,
menemukan tingkat dari 356 ke 11.098 ng.g-1 dan menggambarkan heterogenitas
yang besar di distribusi hidrokarbon minyak bumi yang mungkin terjadi di
lingkungan tersebut (Tam et al., 2001). Tingkat PAH pada bakau di Brazil antara
dua dan enam kali lebih tinggi dari tingkat tertinggi (6.19 μg.g-1) yang ditemukan
di Hongkong (Maciel-Souza et al., 2006). Dengan demikian, salah satu tantangan
besar yang dihadapi ketika membandingkan bioremediasi bakau, tidak hanya jenis
dan tingkat kontaminasi yang ditemukan dalam setiap kasus, tetapi juga distribusi
polutan. Dengan demikian, penggunaan biondikator minyak bisa menyediakan
alat yang efisien, di samping pemutaran PAH, untuk mengatasi tantangan ini.
Kemungkinan tujuan PAH dilepaskan ke lingkungan untuk penguapan,
fotoksidasi, oksidasi kimia, bioakumulasi, penyerapan dalam partikel tanah,
pencucian, dan degradasi oleh mikroba (Cerniglia, 1992; Yun et al., 2008.). Saat
ini proses utama untuk menghilangkan PAH adalah transformasi mikroba dan
degradasi (Gibson et al., 1975;. Yun et al., 2008). Potensi biodegradasi mikroba
yang diisolasi dari lingkungan terkontaminasi dengan hidrokarbon sangat tinggi
karena bakteri ini dapat beradaptasi dengan lingkungan yang terkontaminasi
(Wild & Jones 1986; Chaneau et al., 1999; Zhang et al., 2006; Yun et al., 2008).
4. Bioremediasi
Minyak mentah terdiri dari campuran senyawa hidrokarbon kompleks,
termasuk alifatik (n-alkena), alisiklik, dan hidrokarbon aromatik (PAH). Beberapa
proses yang paling penting yang mempengaruhi hidrokarbon dalam tanah adalah
penyerapan, volatilisasi, transformasi abiotik (kimia atau fotokimia), dan
biotransformasi. Penyerapan dan penguapan tidak menghancurkan kontaminan,
tetapi hanya mentransfer ke media lain. Selain itu, transformasi kimia abiotik
yang melibatkan kontaminan organik biasanya lambat, dan reaksi fotokimia tidak

137
signifikan di sebagian besar lingkungan. Namun, diketahui bahwa bakteri mampu
melakukan biotransformasi berbagai kontaminan, yang memungkinkan
bioremediasi tanah yang terkena dampak minyak (Korda et al., 1997; Crápez et
al., 2002).
Degradasi campuran hidrokarbon kompleks di lingkungan yang efektif dalam
komunitas mikroba dengan proses enzimatik (Alexander, 1994). Ada banyak cara
untuk menentukan reaksi yang terjadi selama pemulihan. Istilah "natural
attenuation" menggambarkan semua proses yang digunakan untuk mengurangi
tingkat kontaminan yang terjadi, termasuk proses abiotik dan biotik, dimana
biodegradasi adalah mekanisme primer untuk mengurangi kontaminan (Nyer,
1998). Istilah "Bioremediasi" mengacu pada semua reaksi biokimia natural
attenuation (Nyer, 1998).
Prinsip bioremediasi didasarkan pada penggunaan dari populasi mikroba yang
memiliki kemampuan untuk memodifikasi polutan tertentu. Keragaman genetik
dan fleksibilitas metabolisme dari mikroorganisme untuk transformasi
kontaminan ke produk akhir, yang kemudian diintegrasikan ke dalam siklus
biogeokimia alami (Alexander, 1994). Tujuan utama bioremediasi adalah untuk
mendapatkan tingkat degradasi hingga batas deteksi polutan. Manfaat maksimal
dari proses ini adalah mineralisasi senyawa lengkap, serta sebagai pembentukan
biomassa (Atlas, 1994; Cunha & Leite, 2000; Watanabe & Hamamura, 2003).
Kesuksesan biodegradasi kontaminan minyak bumi tergantung pada keberadaan
mikroorganisme tertentu dan kondisi lingkungan yang memadai. Berbagai
kelompok bakteri berada dalam sedimen bakau yang sudah diketauhi potensinya
untuk menurunkan hidrokarbon, seperti Pseudomonas, Marinobacter,
Alcanivorax, Microbulbifer, Sphingomonas, Micrococcus, Cellulomonas, Dietzia
dan Gordonia (Brito et al., 2006).
5. Jenis Bioremediasi dan bioremediasi Mangrove
Bioremediasi dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung pada aspek
yang berbeda dari tujuan. Misalnya, untuk strategi bioaugmentation adalah
strategi di mana mikroorganisme yang berpotensi dapat menurunkan hidrokarbon
minyak bumi untuk dapat dipilih dimasukkan ke lingkungan (Atlas 1981; Vogel
1996).

138
Gambar 2. Strategi bioremediasi
Metode ini menggunakan mikroorganisme yang berasal dari situs, atau
strain rekayasa genetika, sesuai dengan hukum masing-masing negara.
Penggunaan konsorsium mikroba meningkatkan kelangsungan hidup
Laguncularia racemosa tanaman sebesar 35% dalam mikrokosmos bakau
terkontaminasi dengan 1% dari diesel. Selanjutnya, jumlah hidrokarbon minyak
bumi (TPHs) analisis menunjukkan bahwa ada 50% pengurangan tingkat TPHs
dalam sedimen dengan konsorsium dalam kaitannya dengan sedimen tanpa
konsorsium (Peixoto et al., 2009). Sebelumnya, bakteri diisolasi dalam sedimen
mangrove yang terletak di Hong Kong, Cina, yang menunjukkan kapasitas yang
besar untuk degradasi PAH di vitro dan dapat digunakan untuk mendegradasi
PAH terkontaminasi sedimen (Ramsay et al., 2000). Demikian pula, Yu et al.
(2005a) meneliti biodegradabilitas PAH, fluor (Fl), fenantrena (Phe) dan pyrene
(Pyr) oleh konsorsium bakteri yang diperkaya dengan sedimen mangrove.
Konsorsium ini dibentuk oleh tiga bakteri strain:. Rhodococcus sp, Acinetobacter
sp. Dan Pseudomonas sp. Inokulasi konsorsium diperkaya menyebabkan efek
sinergis kecil di degradasi Fl dan Phe tetapi hanya selama minggu pertama
pertumbuhan. Menurut penulis, studi lanjut harus dilakukan dengan menggunakan
konsorsium yang berbeda kombinasi dan konsentrasi inokulum awal untuk
menjelaskan efisiensi strain ini dalam bioremediasi yang (bioaugmentation)
mangrove yang terkontaminasi minyak (Yu et al., 2005b). Kompleksitas proses
metabolisme yang dibutuhkan untuk mendegradasi PAH menunjukkan bahwa
tidak ada mikroorganisme tertentu benar-benar menurunkan minyak bumi.
Kemungkinan bahwa degradasi minyak bumi terjadi lebih efisien bila dilakukan

139
oleh konsorsium mikroba yang kompleks. Memang, dimasukkannya kedua
prokariotik dan eukariotik spesies dapat mendukung degradasi yang lebih luas
terhadap kontaminan minyak bumi.
Proses lain, biostimulation, adalah sebuah Strategi bioremediasi yang
digunakan untuk merangsang kemampuan mikroorganisme asli yang ditemukan di
dalam situs terkontaminasi terurai polutan. Stimulasi ini mungkin disebabkan oleh
koreksi pH, menyeimbangkan nutrisi sehubungan dengan beban karbon organik
polutan, aerasi tanah, penambahan akseptor elektron dan Koreksi kelembaban
(Luka bakar et al, 2000;. Ramsay et al. 2000; Mendelssohn dan Lin 2003).
Bioremediasi dengan penerapan nutrisi melibatkan berbagai teknik dan produk
komersial (misalnya formulasi oleophilic dan mereka dengan solubilisasi lambat
komponen), tetapi biasanya juga menimbulkan biaya tinggi (Ramsay et al 2000.;
Mendelssohn dan Lin 2003). Nutrisi yang larut dalam air diwakili oleh berbagai
pertanian pupuk, seperti nitrogen / fosfor / kalium (NPK) campuran dengan
proporsi yang berbeda. tungan yang tages menggunakan jenis nutrisi termasuk
pasar ketersediaan dan biaya rendah. Keterbatasan dalam biodegradasi
hidrokarbon dalam tumpahan minyak karena "ketidakseimbangan gizi" antara
karbon dan nitrogen yang disediakan dan Konsentrasi fosfor yang dibutuhkan
untuk mikroba Pertumbuhan ditemukan dalam banyak studi (Dibble dan Bartha
1979; Ramsay et al. 2000; Duke et al. 2000; Mendelssohn dan Lin 2003). Biaya
pengisian gizi biasanya tidak memadai untuk mendukung degradasi cepat minyak,
terutama jika ditemukan dalam tinggi konsentrasi. Studi menunjukkan bahwa
degradasi mikroba minyak di sedimen mangrove dirangsang oleh menambahkan
pupuk anorganik (Lee et al 1993;. Odokuma dan Dickson 2003; Yu et al. 2005a).
Namun, efektivitas strategi ini bervariasi dari sedimen ke sedimen dan
kontaminan ke kontaminan (Balba et al. 1998). Rasio C / N untuk biostimulation
sangat tergantung pada situasi aktual di dampakmdaerah. Direkomendasikan C /
N rasio untuk bioremediasi yang hidrokarbon oleh banyak penulis di literatur
bervariasi, mulai dari 100: 1 sampai 10: 1 (Atlas dan Bartha 1992; Mosbech
2002), meskipun jangkauan kerja untuk C / N 10: 1 sering digunakan (Mosbech
2002). Studi yang dilakukan bioremediasi oleh Yuan et al. (2001, 2000) lebih
ditujukan suplementasi dengan nutrisi seperti nitrogen dan fosfor, serta

140
penggunaan akseptor elektron seperti oksigen dan / atau mikroorganisme.
Fitoremediasi adalah proses bioteknologi yang memanfaatkan fisik alami, kimia
dan biologi proses tanaman untuk menghapus, menurunkan, mengubah atau
menstabilkan kontaminan yang ditemukan di tanah dan air tanah. Penangkapan,
transformasi, penguapan dan rhizodegradation hidrokarbon dalam sedimen bakau
adalah proses penting yang terjadi selama fitoremediasi. Degradasi mikroba di
rhizosfer (rhizodegradation) mungkin mekanisme utama untuk membersihkan
berbagai tanah terkontaminasi oleh minyak bumi, termasuk sedimen mangrove.
Hal ini terjadi karena kontaminan, seperti PAH, sangat hidrofobik, dan
penyerapan mereka ke dalam tanah mengurangi bioavailabilitas mereka untuk
ditangkap oleh tanaman dan akibatnya mereka phytotransformation (Kamath et
al., 2004).
Keberhasilan dari rhizodegradation tergantung pada kehadiran dan
interaksi antara mikroorganisme tertentu, memadai kondisi lingkungan dan
ketersediaan minyak dibutuhkan untuk rhizodegradation terjadi. Dalam bakau
kurang fosfat, Kothamasi et al. (2006) menunjukkan hubungan antara lima spesies
dari arbuskula mikoriza jamur Glomus dan dua strain Pseudomonas aeruginosa
(phosphatesolubilising bakteri) diisolasi dari rizosfir dari tanaman bakau. Jamur
mikoriza arbuskula dapat dianggap sebagai perantara antara tanaman dan
mikroorganisme tanah, bergerak karbon dan lainnya phytoexudates dari tanaman
untuk rhizosfer dan mentransfer nutrisi dimobilisasi oleh bakteri ke pabrik
(Copley 2000). Sengupta dan Chaudhuri (2002) juga menunjukkan adanya
arbuskula jamur mikoriza dan hubungan mereka dengan komunitas tumbuhan
mangrove di muara dari Sungai Gangga, India. Hubungan simbiosis antara
tanaman, jamur dan bakteri menunjukkan oleh penulis ini dapat mempercepat
degradasi hidrokarbon di rhizosfer dan mengoptimalkan Proses rhizodegradation.
Faktor utama yang mempengaruhi bioremediasi dalam mangrove dijelaskan pada
(Tabel 1).

141
142
6. Molecular Ekologi dan Prospek Masa Depan Mikroba
Meskipun aspek berkelanjutan dan biaya-kompetitif teknik bioremediasi,
pengetahuan faktor yang berhubungan dengan komunitas mikroba (termasuk
keragaman dan fungsi) di diperlukan untuk keberhasilan pendekatan (Desai et al.
2010). Pengetahuan ini bisa diakses dengan pendekatan klasik, yang melibatkan
biakan mikroorganisme (s) dalam media pertumbuhan padat atau cair
mengandung karbon yang sesuai dan akseptor elektron sumber dan berbagai
kondisi fisiologis lainnya untuk mendorong pertumbuhan mikroba. Namun, secara
umum Kondisi budaya memaksakan tekanan selektif, mencegah pertumbuhan
banyak "uncultivable" mikroorganisme (Santos et al. 2009). Kemajuan terbaru
dalam alat molekuler untuk mempelajari keragaman dan fungsi komunitas
mikroba yang mengemudi dan memberikan kontribusi untuk pemahaman yang
lebih baik ekologi mikroba, dan peneliti menerapkan pengetahuan ini untuk
mengelola dan memahami proses bioteknologi (Santos et al. 2009) seperti
bioremediasi. Saat ini, penggunaan alat molekuler dalam mikroba sangatlah
penting dalam ekologi, dan mikrobiologi klasik dan mikrobiologi molekuler tidak
lagi mudah dianggap sebagai ilmu terpisah (Peixoto et al. 2008).

143
Misalnya, DGGE adalah sidik jari molekul Teknik yang menyediakan pola atau
profil keragaman genetik dalam komunitas mikroba, di mana band yang berbeda
(umumnya) sesuai dengan yang berbeda urutan gen, menghasilkan analisis sidik
jari sampel sasaran (Muyzer et al. 1993). Gomes et al. (2008) mengeksplorasi
keragaman komunitas bakteri dalam sedimen hutan bakau perkotaan dan
menyarankan bahwa keragaman bakteri secara keseluruhan tidak secara signifikan
dipengaruhi oleh tingkat yang berbeda dari polusi hidrokarbon di lokasi
pengambilan sampel yang berbeda. Untuk menentukan apakah air pasang
mempengaruhi hasil dari percobaan mikrokosmos, kami membandingkan berbeda
pendekatan untuk mempelajari struktur komunitas mikroba dalam mikrokosmos
mangrove. Untuk melakukan hal ini, kita dibangun tiga mikrokosmos yang
berbeda; yang pertama adalah akuarium 20-L (40 × 19 cm) yang berisi 10 liter
sedimen basah (1,2 Kg / L berat kering.) (Gambar. 3a). untuk meniru perlakuan
pasang surut, dua pompa yang terhubung ke mikrokosmos, salah satunya
digunakan untuk memompa buatan air laut (Natural Sea Salt Mix, Oceanic
Systems, Texas, USA) dalam akuarium (kira-kira 5 L masing-masing waktu), dan
yang lain digunakan untuk menghilangkan air setelah 6 jam. Ini menghasilkan
gelombang buatan yang terus sedimen di bawah 5 cm air selama 6 jam setiap kali.
Prosedur ini diulang setiap 6 jam. Buatan air laut (20 L) disimpan dalam botol 20-
L, dan 10 L air yang refresh setiap 5 hari.

144
Sistem kedua juga 20-L akuarium (40 × 19 cm), tetapi tanpa simulasi pasang
(Gambar. 3b). Itu air menguap dilengkapi setiap 2 hari dengan air suling.
Penggantian air dilakukan dengan air laut buatan (Natural Sea Salt Mix, Oceanic
Systems, Texas, USA). Ketiga mikrokosmos memiliki proporsi yang lebih kecil
(10 × 8 cm PVC tube), yang diterima hanya 350 g / L berat kering. sedimen dan
juga tidak punya simulasi pasang (Gbr. 3c). Sebuah 12:12 h cahaya / Rezim gelap
digunakan untuk meniru periode cahaya melalui penggunaan timer dan tiga 100
W sumber cahaya tungsten tempat ~ 30 cm di atas semua mikrokosmos. Setelah
mengatur setiap mikrokosmos, mereka dibiarkan Fungsi selama 3 hari untuk
menstabilkan dan meniru stratifikasi ditemukan di lingkungan ini sebelum
onset percobaan. Struktur koloni mikroba dari mereka mikrokosmos kemudian
dibandingkan dengan alat molekuler (polymerase chain reaction (PCR) / DGGE).
Hasil menunjukkan bahwa struktur komunitas bakteri sangat mirip antara
mikrokosmos 1 dan 3 (Gambar 4a, b.),

menunjukkan bahwa Kloning dan sekuensing 16S rDNA telah semakin banyak
digunakan dalam ekologi mikroba molekul Studi, yang memungkinkan evaluasi
yang lebih komprehensif keragaman mikroba dalam sampel lingkungan, termasuk
lokasi yang terkontaminasi. Taketani et al. (2009) dievaluasi hubungan antara
fiksasi N2 dan degradasi hidrokarbon dalam sampel sedimen bakau dari situs

145
murni dan terkontaminasi, menggunakan mikrokosmos dengan model simulasi
pasang dijelaskan dalam pekerjaan ini (Gambar. 3a), dengan atau tanpa minyak
tambahan, dan menggunakan perpustakaan klon dan Real Time PCR. Mereka
Hasil penelitian menunjukkan efek yang lebih besar dari penambahan hidrokarbon
pada populasi membawa gen nifH disampel tercemar dibandingkan yang murni.
dalam lain Penelitian (Martin et al. 2006), perpustakaan metagenomik yang
dibangun untuk memahami ekologi dan metabolik fungsi komunitas mikroba
yang terlibat dalam ditingkatkan sistem penghapusan fosfat biologis.
Metagenomics menilai DNA genom total, dan dengan demikian potensi
metabolisme, yang terkandung dalam komunitas mikroba. Ada dua fundamental
cara yang berbeda untuk mencapai hal ini: (a) berdasarkan urutan- dan (b)
pendekatan berbasis fungsi (Warneckea dan Hess 2009).
7. Diskusi akhir
Banyak penulis telah memusatkan upaya mereka pada memahami dampak
yang disebabkan oleh adanya minyak di komunitas mikroba dalam sedimen dan
rizosfer tanaman bakau. Studi ini menghasilkan pemahaman yang lebih baik dari
variabel-variabel yang mempengaruhi degradasi minyak di lingkungan ini,
menghasilkan data untuk optimasi bioremediasi yang proses mangrove
dipengaruhi oleh minyak

Sebelum menerapkan strategi bioremediasi, namun, penting untuk mendiagnosa


setiap terkontaminasi lingkungan secara individual. Satu harus menentukan

146
keanekaragaman hayati di lokasi dan faktor-faktor abiotik. Pengaruh bahwa
biodegradasi kontaminan, seperti kuantitas dan kualitas kontaminan ditemukan di
lokasi, ketersediaan hara, salinitas dan suhu sedimen, antara lain (Gambar. 5).
Setelah evaluasi awal, strategi bioremediasi dapat ditentukan, misalnya,
untuk mempercepat. Proses pelemahan alami yang bakau tertentu. Ini antisipasi
pemulihan bakau dapat mengakibatkan (dan harus menghasilkan) lebih cepat re-
kolonisasi dan / atau dan kelangsungan hidup dan pertumbuhan tanaman, yang
sering penting untuk pemulihan situs terkontaminasi minyak sebelum kerusakan
lengkap. Akhirnya, perhatian utama ialah menentukan bagaimana menetapkan
tingkat yang dapat diterima dari kontaminasi PAH di mangrove dan, terutama,
bagaimana efisien memantau nilai-nilai tersebut dalam lingkungan heterogen.
Saran kami adalah bahwa seluruh lingkungan harus dievaluasi untuk menentukan
apa yang dapat diterima dan tidak, termasuk tingkat PAH, kesehatan tanaman dan
kelangsungan hidup, yang Kehadiran hewan dan profil mikroba molekul. Evaluasi
multi-parameter ini harus dilakukan strategi untuk bioremediasi bakau dan
monitoring bakau.

BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Dalam proses bioremediasi berbagai sumber polutan yang ada di ekosistem
perairan, contohnya pada bakau. Banyak faktor yang bisa berpengaruh terhadap
kesuksesan bioremediasi minyak pada bakau, termasuk keberadaan dan aktivitas
mikroorganisme pendegradasi minyak pada sedimen, ketersediaan dan
konsentrasi minyak dan nutrisi, salinitas, temperatur, dan toksisitas minyak.
Bioremediasi dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung pada aspek
yang berbeda dari tujuan. Misalnya, untuk strategi bioaugmentation adalah
strategi di mana mikroorganisme yang berpotensi dapat menurunkan hidrokarbon
minyak bumi untuk dapat dipilih dimasukkan ke lingkungan.

147
2. Saran
Berdasarkan isi dan kesimpulan diatas, saran yang dapat disampaikan bahwa
untuk mengetahui proses bioremediasi berjalan sempurna perlu dikembangkan
dengan melakukan pengukuran tingkat penyembuhan bakau setelah proses
bioremediasi dari berbagai tingkat polusi. Tidak hanya peran dari mikroorganisme
yang penting dalam proses bioremediasi tetapi juga parameter kimia pada tingkat
polusi juga perlu diperhatikan. Sehingga proses pemulihan bakau tersebut bisa
berlangsung dengan baik dan dapat melestarikan kembali ekosistem bakau.

Daftar Pustaka
Santos, Henrique F et al,. 2010. Water Air Soil Pollut: Bioremediation of
Mangroves Impacted by Petroleum. Molecular Microbial Ecology
Laboratory, Institute of Microbiology Professor Paulo de Góes,m
Federal University of Rio de Janeiro, Rio de Janeiro, Brazil

148

Anda mungkin juga menyukai