Anda di halaman 1dari 32

1

KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA NANO-KALSIUM


HASIL EKSTRAKSI DARI TULANG IKAN TUNA (Thunnus
albacares)

WIYAN VIYATA PRINALDI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
2

KARAKTERISASI SIFAT FISIKOKIMIA NANO-KALSIUM


HASIL EKSTRAKSI DARI TULANG IKAN TUNA (Thunnus
albacares)

WIYAN VIYATA PRINALDI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
3

Judul Tesis : Karakterisasi Sifat Fisikokimia Nano-Kalsium Hasil Ekstraksi dari


Tulang Ikan Tuna (Thunnus albacares)
Nama : Wiyan Viyata Prinaldi
NIM : C351160151

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Dra Pipih Suptijah, MBA Dr Eng Uju, SPi MSi


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Teknologi Hasil Perairan

Dr Ir Wini Trilaksani, MSc Prof Dr Ir Anas Miftah Fauzi, MEng

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:


4

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam rencana penelitian ini adalah Karakterisasi Sifat Fisikokimia Nano-Kalsium
Hasil Ekstraksi dari Tulang Ikan Tuna (Thunnus albacares).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Pipih Suptijah MBA dan
Bapak Dr.Eng Uju S.Pi M.Si selaku komisi pembimbing, atas bimbingan, arahan
dan masukan sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada orangtua dan seluruh keluarga, serta rekan-rekan
atas segala doa, kasih sayang dan bantuannya.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Agustus 2018

Wiyan Viyata Prinaldi


5

DAFTAR ISI

PRAKATA iv
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1. PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
Hipotesis 3
2. METODOLOGI 3
Waktu dan Tempat 3
Bahan dan Alat 3
Tahapan Penelitian 3
Penelitian I: Persiapan Bahan Baku 3
Penelitian II: Ekstraksi Nano-kalsium 4
Penelitian III: Karakteristik Nano-kalsium 5
Prosedur Analisis 6
Rendemen 6
Derajat Putih 6
Analisis Proksimat 6
Analisis Kalsium 7
Analisis Fosfor 8
Ukuran Partikel 9
Karakterisasi Gugus Fungsi 9
Analisis Morfologi 9
Analisis Derajat Kristalinitas 9
Analisis Data 9
3. Hasil DAN PEMBAHASAN 10
Rendemen 10
Derajat Putih 11
Analisis Proksimat 12
Analisis Kalsium dan Fosfor 13
Ukuran Partikel 14
Karakterisasi Gugus Fungsi 15
Analisis Morfologi 17
Analisis Derajat Kristalinitas 19
4. SIMPULAN DAN SARAN 21
Simpulan 21
Saran 21
6

DAFTAR PUSTAKA 21
LAMPIRAN 25

DAFTAR TABEL
1 Komposisi proksimat nano-kalsium tulang tuna dibandingkan
dengan kalsium tulang ikan cod dan salmon (g/100 g, %bk) 12
2 Peta absorpsi FTIR sampel 16

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir persiapan bahan baku 4


2 Diagram alir ekstraksi nano-kalsium 5
3 Rendemen nano-kalsium tulang tuna 10
4 Derajat putih nano-kalsium tulang tuna 11
5 Kadar kalsium (■) dan fosfor (■) nano-kalsium tulang tuna 14
6 Spektrum FTIR sampel 17
7 Mikrograf SEM sampel milling 18
8 Kristalinitas nano-kalsium sampel ekstraksi milling 19
9 Kristalinitas nano-kalsium sampel ekstraksi HCl 19
10 Kristalinitas nano-kalsium sampel ekstraksi NaOH 20

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil uji normalitas, homogenitas, analisis ragam dan uji lanjut
Duncan rendemen 26
2 Hasil uji normalitas, homogenitas, analisis ragam dan uji lanjut
Duncan derajat putih 27
3 Hasil uji normalitas, homogenitas, analisis ragam dan uji lanjut
Duncan kadar air 28
4 Hasil uji normalitas, homogenitas, analisis ragam dan uji lanjut
Duncan kadar abu 29
5 Hasil uji normalitas, homogenitas, analisis ragam dan uji lanjut
Duncan kadar protein 30
6 Hasil uji normalitas, homogenitas, analisis ragam dan uji lanjut
Duncan kadar lemak 31
7 Hasil uji normalitas, homogenitas, analisis ragam dan uji lanjut
Duncan kadar kalsium 32
8 Hasil uji normalitas, homogenitas, analisis ragam dan uji lanjut
Duncan kadar fosfor 33
9 Hasil pengukuran partikel sampel milling 34
10 Hasil pengukuran partikel sampel HCl 34
11 Hasil pengukuran partikel sampel NaOH 35
12 Spektrum FTIR milling 35
7

13 Spektrum FTIR HCl 36


14 Spektrum FTIR NaOH 36
15 Mikrograf SEM sampel milling 37
16 Mikrograf SEM sampel HCl 37
17 Mikrograf SEM sampel NaOH 38
18 Profil difraktogram milling 38
19 Profil difraktogram HCl 39
20 Profil difraktogram NaOH 39
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tuna merupakan ikan ekonomis penting yang saat ini masih mendominasi
ekspor produk perikanan Indonesia. Statistik terkait penangkapan ikan di Indonesia
menunjukan bahwa stok sumberdaya ikan tuna cukup tinggi. Berdasarkan data
Kementerian Kelautan dan Perikanan (2015), produksi tangkapan nasional untuk
komoditas tuna pada tahun 2015 sebesar 319 950 ton mengalami peningkatan
dibanding tahun 2014 sejumlah 313 873 ton. Kementerian Kelautan dan Perikanan
(2017), data sementara perbulan September, hasil tangkapan tuna pada tahun 2017
telah mencapai 288 ton.
Ikan tuna dapat dijual dalam kondisi segar (bentuk utuh), dibuat dalam
bentuk loin, steak, saku, produk beku (frozen), tuna yang dikemas dalam kaleng dan
produk olahan (bakso, abon, otak-otak, nugget, sosis) yang dalam kegiatan
pengolahannya menghasilkan limbah berupa kepala, kulit, jeroan dan tulang.
Limbah tulang ikan tuna dapat menjadi alternatif penyediaan sumber kalsium pada
manuasia dan dapat meningkatkan nilai ekonomi (value added).
Kalsium merupakan satu mineral esensial yang memiliki peranan penting di
dalam tubuh yaitu sebagai komponen utama pembentuk tulang dan gigi
(Muchtadi et al. 1993). Konsumsi kalsium yang kurang akan menyebabkan tulang
menjadi rapuh dan mudah patah atau disebut dengan penyakit osteoporosis. Pada
usia lanjut, kalsium yang hilang dari tubuh lebih besar daripada kalsium yang
diabsorpsi. Berdasarkan hasil analisis data risiko osteoporosis oleh Puslitbang Gizi
Depkes bekerja sama dengan PT Fonterra Brands Indonesia tahun 2006
menyatakan 2 dari 5 orang Indonesia memiliki risiko osteoporosis. Hal ini juga
didukung oleh Indonesian White Paper yang dikeluarkan Perhimpunan
Osteoporosis Indonesia (Perosi) tahun 2007, osteoporosis pada wanita di atas 50
tahun mencapai 32.3%, sementara pada pria di atas 50 tahun mencapai 28.8%. Data
yang dikeluarkan International Osteoporosis Foundation (IOF), diprediksikan pada
tahun 2050 sebanyak 50% kasus patah tulang panggul akan terjadi di Asia
(Kemenkes 2009).
Pemanfaatan sumber mineral berupa kalsium oksida, kalsium karbonat
maupun kalsium fosfat telah dilakukan beberapa peneliti diantaranya studi
berdasarkan bukti ilmiah (Estrela dan Holland 2003); methazolamide kalsium fosfat
nanopartikel dalam sistem pengiriman okular (Chen et al. 2010); hidroksiapatit
ekstraksi dari sisik ikan (Huang et al. 2011); perbandingan sifat fisikokimia
hidroksiapatit komersial dan bahan alam (Giraldo-Betancur et al. 2013);
pengembangan suplemen kalsium dari limbah tulang ikan tuna yellowfin
(Thunnus albacares) dan karakterisasi kualitas nutrisi (Nemati et al. 2017).
Produk pangan yang difortifikasikan dengan kalsium tulang akan
menghasilkan produk yang kaya kalsium, untuk itu kalsium pada tulang harus
diubah menjadi bentuk yang dapat dicerna melalui perubahan struktur matriks
tulang dengan proses pelunakan yang dapat dilakukan dengan menggunakan
metode ekstraksi dengan air panas dan larutan asam panas (Kim & Mendis 2006).
Penggunaan larutan asam (asam klorida, asam asetat, asam sitrat) dalam ekstraksi
2

nanokalsium (Suptijah et al. 2010) dan ekstraksi menggunakan NaOH 3% dalam


pembuatan tepung tulang ayam sebagai sumber kalsium (Sittikulwitit et al. 2004).

Perumusan Masalah

Kecukupan asupan kalsium penting untuk pembentukan massa tulang


maupun kelancaran reaksi metabolisme yang berhubungan dengan fungsi kalsium.
Asupan kalsium rata-rata masyarakat Indonesia baru mencapai 254 mg/hari.
Anjuran asupan kalsium orang dewasa adalah 1000–1100 mg/hari, hal ini
didasarkan nilai asupan kalsium pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 Tentang Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan
bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, alternatif bahan pangan yang berkalsium
tinggi perlu diaplikasikan untuk menutupi kekurangan Ca sehari-hari.
Faktor lain yang mempengaruhi asupan kalsium ialah absorpsi kalsium
dalam tubuh. Ukuran mikro tidak dapat terabsorbsi sepenuhnya sehingga sering
menyebabkan defisiensi. Teknologi pembentukan ukuran kalsium yang perlu
dikembangkan adalah teknologi nano. Nano-kalsium mempunyai ukuran yang
sangat kecil yaitu 10-9 m yang menyebabkan reseptor cepat masuk ke dalam tubuh
dengan sempurna, oleh karena itu nano kalsium dapat terabsorbsi oleh tubuh hampir
100%.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh nano-kalsium dari tulang ikan


tuna (Thunnus albacares) melalui tahapan ekstraksi milling, pelarut asam dan basa
serta mempelajari karakterisasi perubahan sifat fisikokimianya.

Manfaat Penelitian

1. Sumber informasi pemanfaatan limbah hasil produksi perikanan khususnya


limbah tulang ikan tuna sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomis.
2. Kandungan kalsium tulang ikan tuna dapat dimanfaatkan sebagai sumber
kalsium alami untuk memenuhi kebutuhan asupan kalsium harian karena
memiliki potensi sumber daya yang besar.
3. Kalsium tulang ikan dalam bentuk nano mampu meningkatkan penyerapan
kalsium sehingga pemanfaatannya sebagai fortifikan pada bahan pangan lebih
efektif dan efisien.

Hipotesis

H0: Proses ekstraksi menggunakan jenis pelarut yang berbeda tidak berpengaruh
terhadap karakteristik fisikokimia nano-kalsium.
H1: Proses ekstraksi menggunakan jenis pelarut yang berbeda berpengaruh
terhadap karakteristik fisikokimia nano-kalsium.
3

2 METODOLOGI

Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Februari 2018 sampai bulan Juli
2018 bertempat di Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan, FPIK-
IPB; Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, FPIK-IPB; Laboratorium Pusat
Akademik Universitas IPB; Laboratorium Nutrisi Perah, FAPET-IPB;
Laboratorium Biofisika, FMIPA-IPB; Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka IPB;
Laboratorium Nanoteknologi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen,
Kementerian Pertanian.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah tulang ikan tuna
yang di dapat dari PT. Awindo International. Bahan lain yang digunakan adalah
natrium hidroksida (NaOH), asam klorida (HCl), dan bahan-bahan kimia untuk
analisa proksimat.
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini antara lain panci perebusan,
laboratory mill, autoclave, seperangkat alat ekstraksi, alat gelas, vakum filtrasi,
filter, furnace, oven, hot plate, timbangan, seperangkat unit analisis proksimat.
Instrument untuk analisis yang digunakan: whiteness meter, Particle Size Analyser
(PSA), Atomic Absorption Spectrometry (AAS), Spectrometry UV-Vis, Fourier
Transform Infrared (FTIR), Scanning Electron Microscopy (SEM), dan X-ray
Diffraction (XRD).

Tahapan Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan penelitian yaitu: (1) Persiapan
bahan baku; (2) Ekstraksi nano-kalsium tulang ikan dan (3) Karakterisasi sifat
fisikokimia bahan baku dan nano-kalsium.

Penelitan I: Persiapan Bahan Baku


Tahap ini bertujuan untuk menghasilkan bahan baku dalam bentuk bubuk
kasar tulang ikan yang siap diekstraksi. Tahap ini dilakukan dalam beberapa
tahapan proses seperti pencucian, perebusan, pengeringan dan pengecilan ukuran
seperti yang disajikan pada Gambar 1.
Tahapan proses awal yaitu limbah tulang ikan dicuci dengan air mengalir
untuk menghilangkan kotoran, darah, dan lendir sehingga tersisa limbah tulang
ikan, selanjutnya direbus selama 30 menit pada suhu 80 °C kemudian tulang ikan
dimasukkan ke dalam autoclave selama 3 jam pada suhu 121 °C dengan tekanan
sebesar 1 atm. Proses selanjutnya pengecilan ukuran hingga 5–10 cm. Tulang
direbus kembali pada suhu 100 °C selama 30 menit kemudian dikeringkan dan
dihaluskan dengan mortar agar menjadi tepung/bubuk kasar.
4

Limbah tulang

Perebusan (80 °C, 30 menit)

Autoclaving (121 °C, 1 atm, 3 jam)

Pengecilan ukuran (5–10 cm)

Perebusan (100 °C, 30 menit)

Pengeringan dan penepungan

Bahan baku

Gambar 1 Persiapan bahan baku

Penelitian II: Ekstraksi Nano-kalsium


Tahapan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh metode
ekstraksi terhadap nano-kalsium yang dihasilkan. Proses ekstraksi yang dilakukan
menggunakan 3 metode ekstraksi (Gambar 2) yaitu: Milling (Rajkumar et al. 2011);
HCl (Suptijah et al. 2010); dan NaOH (Trilaksani et al. 2006).

Metode Milling (Modifikasi Rajkumar et al. 2011)


Nano-kalsium dari tulang ikan tuna dibuat dengan cara comminuting
(pengecilan ukuran) kalsium dari perlakuan suhu kalsinasi 600 °C selama 6 jam,
tepung tulang melewati proses pembakaran hingga warnanya hitam dan tidak
berasap sebelum dikalsinasi, dilanjutkan dengan pengayakan. Proses selanjutnya
sampel dihancurkan sampai berukuran nano menggunakan Nanoblend Ball Mill
dengan lama waktu tertentu.

Ekstraksi dengan HCl (Modifikasi Suptijah et al. 2010)


Sampel tulang ikan tuna dihidrolisis menggunakan HCl 1 N perbandingan
sampel dan pelarut (1:3) selama 24 jam dan kemudian diekstraksi pada suhu 90 °C
selama 90 menit, selanjutnya difiltrasi untuk pemisahan filtrat dan residu. Residu
kemudian diekstraksi (3 kali ekstraksi) menggunakan HCl 1 N pada suhu dan waktu
yang sama, kemudian difiltrasi dan dinetralisasi menggunakan akuades hingga
mencapai pH netral. Sampel yang telah dinetralkan kemudian dikeringkan
menggunakan oven pada suhu 50 °C selama 24 jam. Proses dilanjutkan dengan
metode kalsinasi suhu 600 °C selama 6 jam.
5

Ekstraksi dengan NaOH (Modifikasi Trilaksani et al. 2006)


Sampel tulang ikan tuna diekstraksi dengan larutan NaOH 1.5 N dengan
perbandingan sampel dan pelarut (1:3) pada suhu 100 °C selama 2 jam, proses
ekstraksi ini dilakukan sebanyak 3 kali. Proses netralisasi dilakukan pada sampel
menggunakan akuades dan dipanaskan pada suhu 100 °C selama 60 menit sehingga
pH sampel menjadi netral. Setelah mencapai pH netral, sampel dikeringkan
menggunakan oven pada suhu 50 °C selama 24 jam. Proses dilanjutkan dengan
metode kalsinasi suhu 600 °C selama 6 jam.

Bahan baku

Perendaman HCl 1 N Ekstraksi NaOH 1.5 N


Pembakaran di atas hot plate
(24 jam) (100 °C, 2 jam)

Ekstraksi HCl 1 N
Kalsinasi suhu 600 °C Netralisasi
(90 °C, 90 menit)

Pengayakan Netralisasi Pengeringan

Pengecilan ukuran sampai


Pengeringan Kalsinasi suhu 600 °C
nano dengan Nanoblend Ball
Mill

Kalsinasi suhu 600 °C

Serbuk nano-kalsium
Rendemen, derajat putih,
proksimat, Ca&P, PSA,
FTIR, SEM, XRD

Gambar 2 Diagram alir ekstraksi nano-kalsium

Penelitian III: Karakterisasi Nano-kalsium


Karakterisasi sifat fisikokimia sampel dilakukan meliputi: rendemen,
derajat putih (whiteness meter), analsis proksimat, analisis kalsium (AAS), analisis
fosfor (spektrofotometer UV-Vis), ukuran partikel (PSA), gugus fungsi penyusun
(FTIR), karakterisasi morfologi (SEM), dan struktur kristal (XRD).

Prosedur Analisis

Rendemen (AOAC 2005)


Rendemen merupakan hasil akhir yang dihitung berdasarkan proses input
dan output. Rendemen dihitung berdasarkan berat basah dengan rumus sebagai
berikut:
6

Berat akhir (g)


Rendemen (%) = x 100%
Berat awal (g)

Derajat Putih (Faridah et al. 2006)


Alat yang digunakan dalam menganalisis nano-kalsium ikan tuna adalah
whiteness meter. Prinsip kerja alat ini adalah melalui pengukuran indeks refleksi
dari permukaan sampel dengan sensor fotodioda. Semakin putih sampel, maka
cahaya yang dipantulkan semakin banyak, begitu pula sebaliknya semakin jelek
sampel maka cahaya yang dipantulkan juga semakin sedikit. Contoh sebanyak
3 gram sampel ditempatkan dalam satu wadah. Suhu sampel diseimbangkan dengan
meletakkan wadah sampel di atas tester. Wadah berisi sampel serta cawan berisi
standar (berupa serbuk BaSO4) dimasukkan ke tempat pengukuran dan alat akan
menampilkan nilai derajat putih. Pengukuran derajat putih sebagai berikut:
Derajat putih sampel
Derajat putih (%) = x 100%
110

Analisis Proksimat
a. Kadar Air (AOAC 925.09 2005)
Cawan kosong yang digunakan dikeringkan dalam oven selama 15 menit
atau sampai diperoleh berat tetap, didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan
ditimbang. Sampel kira-kira sebanyak 2 gram ditimbang dan diletakkan dalam
cawan dipanaskan dalam oven selama 3–4 jam pada suhu 105–110 °C. Cawan
didinginkan dalam desikator dan setelah dingin ditimbang kembali. Persentase
kadar air (berat basah) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
B1 - B2
Kadar air (%) = x 100%
B

Ket: B = berat sampel (g)


B1 = berat (sampel cawan + cawan) sebelum dikeringkan (g)
B2 = berat (sampel cawan + cawan) setelah dikeringkan (g)

b. Kadar Abu (AOAC 941.12 2005)


Pengukuran kadar abu ditentukan dengan alat tanur. Cawan porselin
dipanaskan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3–5 gram sampel
dimasukkan dalam cawan porselin lalu dibakar ampai tidak berasap lalu diabukan
dalam tanur suhu 600 °C sampai berwarna putih (semua contoh menjadi abu),
setelah didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga berat konstan.
Perhitungan kadar abu adalah sebagai berikut:

Berat abu (g)


Kadar abu (%) = x 100%
Berat sampel (g)

c. Kadar Protein (AOAC 920.87 2005)


Sampel ditimbang 1–2 gram lalu dimasukan ke dalam labu kjeldahl,
ditimbang 1.9 gram K2SO4, 40 mg HgO dan 2.0±0.1 ml H2SO4 dan dididihkan
sampai cairan bewarna jernih. Larutan jernih ini lalu dipindahkan ke dalam alat
7

destilasi. Labu kjeldahl dicuci dengan air 1–2 ml, air cucian dimasukan ke dalam
alat destilasi dan ditambahkan 8–10 ml larutan NaOH–NaS2O3.
Dibawah kondensor diletakkan erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3
dan 2–4 tetes indikator (campuran 2 bagian metil 0.2% dan 1 bagian metil biru 0.2%
dalam alkohol) diletakkan di bawah kondensor hingga ujung kondensor terendam
dalam larutan H3BO3. Hasil dari destilasi ini dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N.
Blanko juga dikerjakan seperti prosedur di atas. Kadar protein dapat dihitung
dengan rumus:
(mL sampel - ml HCl blanko) x N HCl x 14.007 x 6.25
Kadar protein (%) = x 100%
Berat sampel (mg)

d. Kadar Lemak (AOAC 960.39 2005)


Metode yang digunakan dalam analisis lemak adalah ekstraksi soxhlet.
Pertama kali labu lemak yang akan digunakan dikeringkan di dalam oven,
didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya. Contoh sebanyak 5 gram
dibungkus dengan kertas saring, kertas saring yang berisi contah tersebut
dimasukkan dalam alat ekstraksi soxhlet. Alat kondensor diletakkan di atasnya dan
abu lemak diletakkan di bawahnya. Pelarut heksana dimasukkan ke dalam labu
lemak secukupnya, dilakukan refluks selama minimal 5 jam sampai pelarut yang
turun kembali ke dalam labu lemak berwarna jernih.
Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi, dan pelarut ditampung
kembali. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan di dalam oven
itu didinginkan dalam desikator. Labu beserta lemak di dalamnya ditimbang dan
berat lemak dapat diketahui. Kadar lemak sampel dapat dihitung menggunakan
rumus sebagai berikut:
Berat lemak (g)
Kadar lemak (%) = x 100%
Berat sampel (g)

Analisis Kalsium (AOAC 968.08 2005)


Pembuatan larutan kalsium standar. Terhadap larutan stok Ca 1000 ppm,
dibuat deret standar 2, 4, 8 ppm dengan memipet 0.2; 0.4; 0.8 larutan stok Ca 1000
ppm, masing-masing ke dalam labu ukur 100 ml. Lalu ditambahkan larutan
Cl3La.7H2O (lantan) sebanyak 1 ml ke dalam masing-masing labu takar dan
ditambahkan akuades sampai volume tepat 100 ml.
Penetapan sampel. Pengabuan basah (wet digestion) menggunakan HNO3
65%, HClO4 60% dan HCl 37%. Sebanyak 1 g sampel dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 150 ml dan diberi HNO3 5 ml, kemudian didiamkan selama 1 jam.
Sampel selanjutnya dipanaskan selama 4 jam di atas hot plate, dan didinginkan.
Setelah itu ditambahkan H2SO4 (pa = pro analisis) sebanyak 0.4 ml dan dipanaskan
kembali selama 30 menit. Sampel diangkat dari hot plate dan diberi larutan
HClO4:HNO3 (2:1) sebanyak 3 ml, kemudian dipanaskan selama 15 menit hingga
sampel menjadi bening. Sampel ditambahkan dengan 2 ml akuades dan 0.6 ml HCl
(pa), setelah bening dipanaskan hingga larut dan didinginkan. Sampel diencerkan
sampai volume tertentu (aliquot 100 ml), kemudian disaring dengan menggunakan
kertas saring Whatman No. 42. Aliqout diambil sebanyak 1 ml, dimasukkan ke
dalam tabung reaksi dan ditambahkan akuades 4 ml serta lantan 0.05 ml selanjutnya
divortex, disentrifuse dengan kecepatan 2000 rpm selama 10 menit dan filtrat
8

dibaca dengan nyala atomisasi AAS pada panjang gelombang (λ) 422.7 nm. Hasil
absorbansinya dibandingkan dengan standar Ca yang telah diketahui. Analisis
kalsium dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

(ml aliqout/1000) x FP x (ppm sampel - ppm blanko)


Ca = x 100%
mg sampel

Ket: FP = faktor pengenceran


Ca(mg/100) = % Ca x 1000

Kadar Fosfor (AOAC 948.09 2005)


Preparasi larutan. Sebanyak 10 g amonium molibdat diencerkan dengan 60
ml akuades dalam labu takar, kemudian ditambahkan 28 ml H2SO4 pekat secara
bertahap dan diencerkan dalam akuades hingga 100 ml untuk menghasilkan larutan
ammonium molibdat (NH4)6MnO24.4H2O) 10% (Larutan A). Sesaat sebelum
dianalisis, larutan A diambil sebanyak 10 ml dan ditambahkan dengan 60 ml
akuades dan 5 gram FeSO4.7H2O dalam labu takar dan diencerkan hingga 100 ml
untuk menghasilkan larutan B.
Pembuatan larutan standar. Sebanyak 4.394 g KH2PO4 dilarutkan dalam
akuades sampai 1000 ml agar didapatkan konsentrasi P sebesar 1000 ppm.
Sebanyak 10 ml larutan tersebut kemudian diencerkan dengan penambahan akuades
400 ml sehingga didapatkan konsentrasi sebesar 25 ppm. Kemudian dibuat
konsentrasi larutan standar P = 2, 3, 4 dan 5 ppm masing-masing sebanyak 5 ml
dengan mengambil larutan standar 25 ppm berturut-turut sebanyak 0.4; 0.6; 0.8 dan
1.0 ml. Masing-masing volume tersebut ditambahkan 2 ml larutan B dan akuades
hingga 5 ml, kemudian dibaca dalam spektrofotometer dengan panjang gelombang
(λ) 660 nm.
Penetapan sampel. Larutan sampel ditambahkan 2 ml larutan B, lalu dipipet
ke dalam kuvet sebanyak 3 ml dan dibaca pada λ = 660 nm. Nilai absorbansi larutan
standar 2, 3, 4 dan 5 ppm diukur dan diregresikan sehingga didapat persamaan
y = a + bx. Kemudian nilai absorbansi sampel (y) dimasukkan untuk mendapatkan
nilai konsentrasi sampel (x) Perhitungan kadar fosfor menggunakan rumus:
C x 2.5
Fosfor dalam sampel (P2O5)(%) =
W

Ket:
C = konsentrasi fosfor dalam sampel (mg/100 ml) yang terbaca dari kurva standar
W = berat sampel yang digunakan

Ukuran Partikel (Malvern Instruments Limited 2015)


Ukuran partikel dilakukan menggunakan PSA (Particle Size Analyzer)
merek Vasco-PSA, reflactometer Arago DL 135, Cordouan. Sampel diukur
menggunakan metode LALLS (Low Angle Laser Light Scattering) dapat digunakan
untuk ukuran partikel 0.1–3000 µm. Sumber sinar laser pada intensitas gas He-Ne
λ = 0.63 µm. Sebanyak 2 mg sampel dilarutkan menggunakan akuades, pelarut
organik atau nonorganik untuk membentuk larutan suspensi kemudian dilakukan
pengukuran.
9

Karakterisasi Gugus Fungsi (Huang et al. 2011)


Analisis sampel menggunakan FTIR (Fourier Transform Infrared) dapat
mengidentifikasi gugus fungsi dalam sampel, sebanyak 2 mg sampel bubuk kalsium
dicampurkan dengan 200 mg KBr, dihomogenisasi, lalu dibentuk pelet
menggunakan pompa hidrolik sehingga membentuk kepingan tipis. Pengukuran
spektrum sampel menggunakan FTIR (Spectrum one-FT-IR Spectrometer C69526,
Perkins Eimer Precisely, dihubungkan dengan PC yang dilengkapi perangkat lunak
OPUS) pada area IR (4000–400 cm-1), spektrum dihasilkan dengan kecepatan 32
detik dan resolusi 4 cm-1. Tampilan data spektrum yang terdapat titik serapan
kemudian diubah ke dalam format DPT (data point table) untuk keperluan
pengolahan data. Selain data spektrum asli, dihasilkan pula data dengan perlakuan
pendahuluan berupa garis dasar koreksi, normalisasi (nilai serapan diatur sehingga
serapan tertinggi bernilai satu dan serapan terendah bernilai nol).

Analisis Morfologi (Connor et al. 2003)


Analisis sampel menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) untuk
mengetahui morfologi sampel, sebanyak 2 mg sampel diletakkan pada plat
alumunium dan didistribusikan pada permukaan plat tersebut kemudian dilapisi
dengan emas-palladium (60:40) setebal 48 nm, selanjutnya sampel diamati
menggunakan SEM (JEOL, JSM-35C) pada tegangan 22 kV.

Analisis Derajat Kristalinitas (Huang et al. 2011)


Analisis sampel menggunakan XRD (X-ray Diffraction) dilakukan untuk
mengetahui fasa yang terdapat dalam sampel, menentukan ukuran kristal dan
kristalinitas. Sampel dikarakterisasi menggunakan alat XRD (Emma GBC) yaitu
200 mg sampel dicetak langsung pada alumunium ukuran 2x2.5 cm dengan bantuan
perekat, kemudian dihamburkan dengan Cu dengan panjang gelombang (λ) 1.5406
Å pada kisaran 2Ɵ pada suhu 10° sampai 80° dan ukuran langkah 0.1°.

Analisis Data

Analisis statistik pada penelitian dilakukan untuk data hasil analisis


fisikokimia (rendemen, derajat putih, proksimat, kalsium dan fosfor) menggunakan
rancangan acak lengkap ANOVA one-way (RAL) dengan tiga kali ulangan pada
tiap perlakuan dan jika hasil uji menunjukkan perbedaan yang nyata maka dianalisis
lebih lanjut dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada tingkat
kepercayaan p<0.05 (Steel dan Torrie 1980), dengan menggunakan softwere SPSS
(Statistical Product and Service Solutions) 12.0. Model rancangan yang digunakan
adalah sebagai berikut:
Yij = µ + τi + ɛij
Dimana:
Yij = Nilai pengamatan dari perlakuan ke-i (analisis fisikokimia) dan
ulangan ke-j
µ = Nilai tengah umum atau rataan
τi = Pengaruh perlakuan ke-i (jenis pengekstrak)
ɛij = Galat pengamatan atau percobaan pada perlakuan ke-i dengan
ulangan ke-j
10

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rendemen
Rendemen merupakan perbandingan berat awal dan berat akhir produk yang
dihasilkan setelah mengalami suatu proses. Analisis rendemen dilakukan terhadap
sampel dengan bahan baku, ekstraksi milling, HCl dan NaOH. Hasil analisis
rendemen pembuatan nano-kalsium tulang tuna dapat dilihat pada Gambar 3.
100
82.46±0.22a
80
Rendemen (%)

60

40
30.10±0.15b
24.85±0.09c
22.25±0.08d
20

0
Bahan baku Milling
Milling HCl NaOH
Gambar 3 Rendemen nano-kalsium tulang tuna

Gambar 3 menunjukkan bahwa perbedaan ekstraksi akan menghasilkan


rendemen yang berbeda-beda. Hal ini bisa disebabkan penggunaan air dan proses
pemanasan hanya mampu menurunkan sejumlah kecil senyawa organik jika
dibandingkan dengan menggunakan pelarut asam dan basa. Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa metode ekstraksi yang berbeda memberikan pengaruh yang
nyata terhadap nilai rendemen pada taraf uji p<0.05 (Lampiran 1).
Al-Sokanee et al. (2009) mengemukakan hasil rendemen mengalami penurunan
akibat proses kalsinasi diduga karena hilangnya kandungan air dan bahan organik
yang terdapat pada bahan serbuk tulang ikan.

Derajat Putih
Analisis derajat putih dilakukan untuk mengukur tingkat warna putih suatu
material. Semakin tinggi presentasi derajat putih suatu material maka nilai warna
putihnya juga semakin tinggi. Hasil analisis derajat putih nano-kalsium tulang tuna
pada proses ekstraksi berbeda dapat dilihat pada Gambar 4.
11

100 92.61±0.62a
87.21±0.69c 89.27±0.38b

80
66.48±0.97d
Derajat putih (%)

60

40

20

0
Bahan baku Milling HCl NaOH

Gambar 4 Derajat putih nano-kalsium tulang tuna

Analisis sidik ragam derajat putih semua sampel menunjukkan bahwa


berbeda nyata pada p<0.05 (Lampiran 2) dan hal ini menunjukkan bahwa derajat
putih sampel dipengaruhi oleh perlakuan ekstraksi. Jenis pelarut dan proses
ekstraksi memberi pengaruh yang nyata pada derajat putih bubuk nano-kalsium
yang dihasilkan. Perlakuan menggunakan NaOH dan pemanasan mengakibatkan
perubahan warna tepung tulang ikan nila menjadi lebih putih
(Techochatchawal et al. 2009). Ekstraksi nano-kalsium menggunakan NaOH
memiliki derajat putih tertinggi yaitu 92.61% yang melebihi dengan derajat putih
bubuk CaCO3 komersil yaitu ≥ 92%. Derajat putih nano-kalsium yang dihasilkan
pada penelitian ini 66.48–92.61% dengan rerata 83.89%, hasil ini mendekati derajat
putih nano-kalsium dari cangkang udang vannamei pada penelitian
Suptijah et al. (2012) yaitu 81.73–93.39% dengan rata-rata 87.56%.
Hemung (2013) menyatakan bahwa bubuk kalsium berwarna putih biasanya lebih
disukai untuk fortifikasi pada produk pangan dibandingkan dengan bubuk yang
gelap warnanya, tepung tulang ikan biasanya digunakan sebagai bahan tambahan
pada susu skim.
Derajat putih nano-kalsium dipengaruhi oleh komponen mineral
penyusunnya, komponen utama penyusun nano-kalsium adalah kalsium yang
memiliki warna putih, oleh sebab itu derajat putih nano-kalsium juga tinggi
(Estrela dan Holland 2003). Derajat putih pada produk serbuk berhubungan dengan
salah satu sifat yang sangat bermanfaat dalam komersialiasi produk dan semakin
tinggi nilai pengotor maka nilai derajat putihnya akan mengalami proses penurunan
(Pallela et al. 2011). Selama proses penyimpanan dapat terjadi perubahan warna
pada bubuk kalsium, diakibatkan adanya kandungan asam amino yang
mengakibatkan reaksi browning nonenzimatis, namun dengan penyimpanan pada
kondisi vakum dan suhu rendah dapat mencegah terjadinya reaksi tersebut.
12

Analisis Proksimat
Analisis proksimat dilakukan terhadap sampel tulang ikan sebelum dan
setelah ekstraksi, meliputi pengujian kadar air, abu, protein dan lemak. Hasil
analisis proksimat bahan baku dan setelah ekstraksi sampel tulang dapat dilihat
pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi proksimat nano-kalsium tulang tuna dibandingkan dengan


kalsium tulang ikan cod dan salmon (g/100 g, %bk)
Sampel Air Abu Protein Lemak
Bahan baku 4.25±0.22a 72.02±0.37b 15.30±0.09a 1.53±0.05a
Milling 0.52±0.04b 98.43±0.42a 0.46±0.02b 0.39±0.02b
HCl 0.37±0.04b 98.66±0.56a 0.39±0.02b 0.24±0.02c
NaOH 0.33±0.05b 99.03±0.47a 0.19±0.01c 0.22±0.02c
Tulang salmon (protease)* - 55.5 36 3.0
Tulang cod (protease)* - 67.8 26.6 <0.2
Tulang salmon (rebus)* - 43 35.7 17.8
Tulang cod (rebus)* - 65.7 32.4 7.9
Ket: *Malde et al. (2010)

1. Kadar Air
Kadar air sampel bahan baku, milling, HCl dan NaOH yang dihasilkan
dengan perlakuan proses ekstraksi secara statistik berbeda nyata pada p<0.05
(Lampiran 3). Nilai kadar air pada penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan
dengan hasil penelitian Trilaksani et al. (2006) tepung tulang ikan tuna yaitu
5.60–8.30% dan dibandingkan dengan kadar air tepung tulang ikan kakap pada
penelitian Dongaran et al. (2007) yaitu 2.20% serta tepung tulang ikan nila
(Tilapia Bone Powder) pada penelitian Hemung (2013) yaitu 2.46%. Hal ini
disebabkan oleh pengaruh panas yang dapat merusak kandungan bahan-bahan
tersebut sehingga hasil akhir setelah kalsinasi kandungan yang tersisa sangat
sedikit. Reo (2011) menyebutkan bahwa waktu pengeringan, suhu pengeringan dan
luas permukaan bahan dapat mempengaruhi kadar air suatu bahan.

2. Kadar Abu
Kadar abu suatu produk pangan menunjukkan residu bahan organik yang
tersisa setelah bahan organik dalam makanan terdestruksi. Analisis kadar abu
bertujuan untuk mengetahui berapa besar kandungan mineral yang terdapat dalam
nano-kalsium tulang tuna. Tulang mengandung sel-sel hidup dan matriks
intraseluler dalam bentuk garam mineral. Garam mineral tersebut terdiri dari
kalsium fosfat sebanyak 80% dan sisanya adalah kalsium karbonat dan magnesium
fosfat (Frandson 1992). Kadar abu suatu bahan adalah jumlah atau kadar mineral
dalam suatu bahan makanan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan meliputi dua
macam garam, yaitu garam organik, contohnya garam asam asetat dan garam
anorganik seperti garam klorida atau NaCl (Winarno 2002).
Hasil analisis kadar abu seperti pada Tabel 1, kadar abu pada penelitian ini
lebih tinggi dibandingkan kadar abu tepung tulang tuna pada penelitian
Hanura et al. (2017) sebelum sintering yaitu 60.36% dan tidak jauh berbeda dengan
setelah sintering 99.83%. Lesbani et al. (2011) menyatakan bahwa tingginya kadar
abu menunjukkan kandungan mineral yang tinggi dalam suatu bahan. Peningkatan
13

nilai kadar abu ini disebabkan menurunnya kadar komponen organik secara
proporsional akibat pemanasan suhu tinggi, sehingga hanya tersisa komponen
mineral dalam suatu bahan.
Analisis statistik kadar abu sampel bahan baku dan sampel nano-kalsium
dengan beberapa perlakuan ekstraksi berbeda nyata pada p<0.05 (Lampiran 4) dan
hal ini menunjukkan bahwa jenis pelarut yang digunakan untuk ekstraksi memberi
pengaruh terhadap kadar abu sampel.

3. Kadar Protein
Kadar protein pada penelitian ini menunjukkan nilai yang berbeda
berdasarkan proses ekstraksi yang dilakukan dan ditunjukkan oleh nilai rata-rata
kadar protein semua sampel. Kadar protein sampel berbeda nyata pada p<0.05
(Lampiran 5). Kadar protein sampel dipengaruhi oleh jenis pelarut yang digunakan
sebagai pengekstrak.
Ekstraksi nano-kalsium menggunakan milling mampu menurunkan kadar
protein dikarenakan mengalami penurunan setelah mengalami proses kalsinasi, dan
ekstraksi asam dan basa pada suhu tinggi juga dapat mereduksi protein tulang ikan.
Hal ini dikarenakan protein akan terhidrolisis apabila dicampurkan dengan asam,
alkali kuat, enzim proteolitik dengan bantuan proses pemanasan suhu kalsinasi.
Protein terhidrolisis melalui proses pemecahan protein secara bertahap menjadi
molekul-molekul peptida yang sederhana dan asam-asam amino
(Kirk dan Othmer 1964).

4. Kadar Lemak
Kadar lemak tulang ikan berkisar antara 1–27%, analisis statistik
menunjukkan kadar lemak sampel berbeda nyata pada p<0.05 (Lampiran 6). Kadar
lemak sampel pada penelitian ini lebih rendah dibandingan pada tepung tulang ikan
cod (perebusan) dan ikan salmon (protease dan perebusan) yaitu 3–17.8% serta
lebih tinggi dibandingkan kadar lemak tepung tulang ikan cod (protease) yaitu
<0.02% (Malde et al. 2010) dan penelitian tepung tulang ikan tuna
Hanura et al. (2017) yaitu 0.05%.
Perbedaan kadar lemak pada ikan tergantung pada spesies, lokasi geografis,
makanan yang dimakan dan musim (Pigott dan Tucker 1990). Proses kalsinasi pada
suhu 200–300 °C terjadi sedikit kehilangan berat gabungan antara komponen air
dan bahan organik. Suhu kalsinasi 300–500 °C akan menimbulkan dekomposisi
bahan-bahan organik misalnya lipid, protein dan kolagen serta beberapa senyawa
lain yang berhubungan dengan komposisi pada tulang, kemudian pada suhu 600 °C
yang tersisa hanya komponen mineral saja.

Analisis Kalsium dan Fosfor


Pengujian mineral dilakukan terhadap sampel tulang tuna yang meliputi
kalsium dan fosfor terhadap beberapa perlakuan ekstraksi. Kadar kalsium dan
fosfor semua sampel ditunjukkan pada Gambar 5 dan hasil analisis statistik kadar
kalsium berbeda nyata pada p<0.05 (Lampiran 7).
14

100

82.08±0.26b 83.25±0.28a
80 74.75±0.25c
Kadar (%)

60 Kalsium
Fosfor

40

20
7.75±0.10c 9.14±0.09b 9.65±0.11a

0
Milling
Milling HCl NaOH
Gambar 5 Kadar kalsium dan fosfor nano-kalsium tulang tuna

Kadar kalsium pada penelitian ini mendekati dengan kadar kalsium dari
hasil penelitian Suptijah et al. (2012) yaitu 84.67–85.68% dan lebih tinggi
dibandingkan penelitian Trilaksani et al. (2006) yaitu 23.72–39.24% (%bb).
Malde et al. (2010) melaporkan perlakuan menggunakan larutan asam dan enzim
dipanaskan pada proses maserasi kalsium dari tulang ikan meningkatkan
ketersediaan kalsium dalam sampel.
Hasil analisis fosfor pada penelitian ini (Gambar 5) dan secara statistik
berbeda nyata pada p<0.05 (Lampiran 8). Kadar fosfor pada penelitian
Trilaksani et al. (2006) memiliki rata-rata 11.34–14.25% (%bb) pada tepung tulang
ikan tuna dengan berbagai variasi waktu autoclaving dan frekuensi perebusan,
Hanura et al. (2017) 8.43–9.34% dengan variasi suhu sintering.
Luu dan Nguyen (2009) pada tepung tulang ikan lele (10.5%), kakap (12.8%) dan
salmon (11.0%).

Ukuran Partikel
Proses pengukuran partikel dilakukan pada sampel dalam bentuk larutan,
hingga sampel dilarutkan menggunakan akuades dan dipanasakan untuk
membentuk larutan suspensi kemudian diukur menggunakan PSA (Particle Size
Analyzer). Rata-rata ukuran partikel nano-kalsium hasil ekstraksi merupakan nilai
metode komulan ukuran terdispersi berdasarkan intensitasnya diketahui bahwa
sampel milling, HCl dan NaOH adalah sebagai berikut; 397 nm; 321 nm dan 259
nm (Lampiran 9-11). Ukuran partikel pada penelitian ini mendekati dengan ukuran
nano partikel methazolamide CaP (kalsium fosfat) yaitu 256.4 nm (Chen et al.
2010) dan ukuran sampel penelitian ini dapat digolongkan ke dalam nanopartikel
seperti yang dijelaskan oleh Mohanraj dan Chen (2006) nanopartikel adalah partikel
yang berukuran 10-1000 nm.
Ukuran partikel sampel NaOH 259 nm, merupakan sampel dengan ukuran
partikel terkecil dibandingkan sampel lainnya, hal ini diduga ekstraksi mengunakan
pelarut basa mampu menghidrolisis senyawa organik yang terdapat dalam tulang
15

ikan sehingga memurnikan tulang ikan dari senyawa pengotor, sementara ekstraksi
dengan HCl selain untuk proses demineralisasi juga merupakan proses degreasing
yang dapat menghilangkan lemak.
Ukuran partikel sampel NaOH lebih kecil dibandingkan sampel HCl ini
menunjukkan bahwa ekstraksi menggunakan basa menghasilkan ukuran partikel
sampel yang lebih kecil dibandingkan dengan ukuran partikel sampel hasil ekstraksi
menggunakan asam. Ukuran partikel milling memiliki ukuran yang lebih besar
dibandingkan dengan sampel lainnya, ini menunjukkan bahwa pada proses
penepungan dengan Nanoblend Ball Mill tidak dapat menghasilkan bubuk kalsium
dengan ukuran yang lebih kecil. Proses pelunakan tulang menggunakan air pada
suhu tinggi (perebusan) mampu mengubah tekstur tulang karena adanya sejumlah
senyawa organik yang larut air seperti lemak dan protein (Kim dan Mendis 2009).

Karakterisasi Gugus Fungsi


Karakterisasi menggunakan FTIR dilakukan untuk mengidentifikasi gugus
fungsi yang terbentuk pada sampel tulang tuna setelah mengalami perlakuan
ekstraksi, dengan spektra dan peta pita absorpsi (Gambar 6). Gugus fungsi yang
terindikasi pada nano-kalsium diantaranya gugus fosfat (PO43-), karbonat (CO32-)
dan gugus hidroksil (OH). Apatit karbonat adalah komponen anorganik dalam
tulang dan gigi, berdasarkan lokasinya substitusi CO32- terdiri dari 2 tipe yaitu apatit
karbonat tipe A (AKA) terbentuk jika ion karbonat menggantikan posisi OH- dan
apatit karbonat tipe B (AKB) jika karbonat menggantikan posisi ion PO43- (Mathew
dan Takagi 2001).
Spektra pita absorpsi fosfat (PO43-) v1 (vibrasi simetris strectching) tidak
tampak pada sampel milling dan HCl sementara pada sampel NaOH fosfat v1
terdapat pada bilangan gelombang 961.29 cm-1, sedangkan pita absorpsi fosfat v2
(vibrasi simetris bending) pada semua sampel secara berturut terdapat pada
bilangan gelombang 416.04, 473.12, 472.82 dan 473.28 cm-1.
Absorpsi fosfat v3 (vibrasi asimetris strectching) pada semua sampel tampak
pada gelombang 1044.88, 1093.47, 1042.45, 1040.54 dan 1093.66 cm-1. Kehadiran
pita absorpsi fosfat v3 menunjukkan bahwa kalsium fosfat pada tulang tuna hadir
dalam bentuk campuran fasa amorfus dan fasa kristalin atau derajat kristalinitas
kalsium fosfat, hal ini sama juga terbentuk pada tulang tikus dimana pada pita
absorpsi 1036 cm-1 mengindikasi adanya campuran fasa amorfus dan fasa kristalin
(Dahlan et al. 2006).
Pita absorpsi fosfat v4 (vibrasi asimetris bending) sebagai bentuk belah pita
absorpsi yang ditunjukkan pada bilangan gelombang disekitar 568, 602 dan
635 cm-1 pada semua spektra sampel yang menunjukkan kehadiran kristal
hidroksiapatit (HAp). Derajat belah pita absorpsi fosfat v4 selain mengindikasi
adanya kehadiran kristal apatit tapi juga menunjukkan kandungan fasa kristal dalam
sampel (Dahlan et al. 2006).
16

Tabel 2 Peta absorpsi FTIR sampel

Sampel
Gugus fungsi Milling HCl NaOH
-1 -1 -1
cm %T cm %T cm %T
v1 PO43- - - 961 29.58
416 96.52
v2 PO43- 472 85.87 473 87.43
473 81.7
1044 1.02 1040 1.02
v3 PO43- 1042 1.01
1093 3.66 1093 4.95
569 7.55 568 8.75 569 10.37
v4 PO43- 602 9.19 603 10.26 603 12.79
635 25.53 635 29.99 635 33.51
874 56.29 874 67.8
1415 43.46
AKB (CO32-) 1415 43.91 1417 42.59
1462 39.8
1462 39.12 1462 39.36
1993 80.92
2002 78.64
2923 88.61 2002 84.14
OH 2361 82.45
3436 76.87 3542 77.53
permukaan 3445 73.75
3543 73.83 3571 67.98
3572 66.96
3571 62.44
3641 86.97 3642 83.7
OH Kristal
3696 90.01 3696 93.41

Apatit karbonat tipe B (AKB) sampel milling terlihat pada intensitas pita
absorpsi 1415.64 dan 1462.56 cm-1, sampel HCl pada 874, 1415 dan 1462 cm-1 dan
sampel NaOH pita absorpsi di daerah 874, 1417 dan 1462 cm-1. Apatit karbonat tipe
B lebih mendominasi dalam struktur apatit tulang dibandingkan tipe A
(Mathew dan Takagi 2001) dan hal ini juga ditunjukkan dari hasil penelitian ini
dimana karbonat tipe B lebih mendominasi dalam sampel. Gugus hidroksil (OH-)
semua sampel ditunjukkan dengan pita absorpsi lebar di daerah sekitar 1993–2923
dan 3436–3572 cm-1 sementara pada sampel milling dan HCl tampak pita absorpsi
kecil pada bilangan gelombang 3641–3696 cm-1 yang menunjukkan terbentuknya
gugus hidroksil kristal atau air kristal.
Pita absorpsi spektra FTIR pada penelitian ini memiliki kemiripan dengan
penelitian Huang et al. (2011) melaporkan tentang karakteristik spektra bubuk
FHAP (fish hydroxyapatite) menunjukkan gugus fosfat (PO43-) terdapat di daerah
563, 957 dan 1030 cm-1, sedangkan gugus apatit karbonat (CO32-) terindikasi pada
876 dan 1412–1547 cm-1. Hasil analisis FTIR untuk HAp (hydroxyapatite) isolasi
dari tulang ikan tuna telihat sejumlah pita pada spektra yang terbentuk pada daerah
601, 631, 873, 962, 1027, 1088, 1413, 1454 cm-1 dan pita yang lebar pada daerah
antara 3300–3600 cm-1, yang menunjukkan karakteristik puncak-puncak spektrum
HAp (Venkatesan dan Kim 2010).
Pita absorpsi gugus fosfat (PO43-) pada spektra FTIR terdapat dalam bentuk
vibrasi simetris strectching, vibrasi simetris bending, vibrasi asimetris strectching,
dan vibrasi asimetris bending. Bentuk pita absorpsi fosfat v3 dan v4 adalah pita
asimetris yang mengindikasikan bahwa senyawa sampel tidak seluruhnya dalam
bentuk amorf. Pita absorpsi apatit karbonat (CO32-) terindikasikan dalam tipe AKB
17

terbentuk pada semua sampel yang ditunjukkan oleh 3 bilangan gelombang di


sekitar 874, 1415 dan 1462 cm-1.
100

80
Transmittance [%]

60

40

20

0
Milling
HCl
NaOH

3500 3000 2500 2000 1500 1000 500


Wavenumber cm-1
Gambar 6 Spektrum FTIR sampel

Analisis Morfologi
Karakteristik morfologi merupakan suatu instrumen yang diperlukan untuk
mengetahui bentuk fisik suatu sampel. Analisis morfologi Scanning electron
microscopy (SEM) adalah jenis mikroskop yang menggunakan berkas elektron
untuk menggambarkan profil permukaan benda dan prinsip kerjanya adalah
menembak permukaan benda dengan berkas elektron berenergi tinggi, sehingga
permukaan benda yang dikenai berkas akan memantul kembali pada berkas tersebut
dan menghasilkan elektron sekunder ke segala arah
(Mikrajuddin dan Khairurrijal 2008).
18

A B

C D

E F
Gambar 7 Mikrograf SEM sampel milling (A dan B), HCl (C dan D) dan NaOH
(E dan F)

Analisis morfologi permukaan semua sampel menggunakan SEM dengan


perbesaran 1000x dan 5000x seperti terlihat pada Gambar 7. Hasil analisis
menunjukkan bahwa sampel milling memiliki permukaan yang lebih padat, tidak
beraturan dan berbentuk bongkahan dengan butiran sampel yang cenderung
mengembang dan tampak hidroskopis (hal ini juga ditunjang dengan hasil FTIR,
terlihat pita absorbsi OH permukaan dengan intensitas persen transmitan yang
kecil). Permukaan sampel HCl tampak tidak beraturan dengan banyak serpihan
kecil butiran sampel dan lebih berpori dibandingan dengan sampel lainnya,
sementara sampel NaOH terlihat serpihan sampel yang tidak beraturan, tajam dan
sedikit berpori.
19

Analisis Derajat Kristalinitas


Profil hasil analisis XRD (X-ray Diffraction) disesuaikan dengan data
JCPDS (Joint Comitte on Powder Diffraction Standart) dan karakterisasi dilakukan
untuk mengetahui fasa yang terbentuk pada sampel, derajat kristalinitas sampel dan
ukuran kristal sampel. Grafik hasil analisis XRD dapat dilihat pada Gambar 8, 9
dan 10.

Gambar 8 Kristalinitas nano-kalsium sampel ekstraksi milling


Keterangan: Data hasil pengujian XRD terhadap sampel nano-kalsium, Grafik berwarna ■ : (Ca9.576 Na0.212
Dy0.212) (PO4)6 (OH)2 jenis clinohydroxyapatite, neodymian dan Grafik berwarna ■ :
Ca10((PO4)5.52 (HPO4)0.15 (SiO4)0.33) ((OH)1.66 O0.19) Hydroxylapatite sesuai sistem
komputer berdasarkan katalog JCPDS; Grafik berwarna ■ : sampel nano-kalsium metode milling.

Gambar 9 Kristalinitas nano-kalsium sampel ekstraksi HCl


Keterangan: Data hasil pengujian XRD terhadap sampel nano-kalsium, grafik berwarna ■ : Ca5 (PO4)3 F jenis
Fluorapatite sesuai sistem komputer berdasarkan katalog JCPDS; Grafik berwarna ■ : sampel
nano-kalsium metode HCl.
20

Gambar 10 Kristalinitas nano-kalsium sampel ekstraksi NaOH


Keterangan: Data hasil pengujian XRD terhadap sampel nano-kalsium, Grafik berwarna ■ : Ca9.74 (PO4)6
(OH)2.08 jenis Hydroxylapatite sesuai sistem komputer berdasarkan katalog JCPDS; Grafik
berwarna ■ : sampel nano-kalsium metode NaOH.

Hasil analisis XRD menunjukkan bahwa sampel milling teridentifikasi


memiliki kandungan clinohydroxyapatite dan Hydroxylapatite dengan kemiripan
66.49% dan 33.51%, sedangkan sampel HCl memiliki kandungan Fluorapatite
dengan kemiripan 100% dan sampel NaOH memliki kandungan Hydroxylapatite
dengan kemiripan 100%. Kemiripan diindikasikan oleh pembacaan visual
komputer dengan simbol syn yang diartikan sebagai sinonim. Senyawa
hidroksiapatit tersebut membentuk kompleks dengan rumus senyawa Ca9.74
(PO4)6 (OH)2.08. Kristal yang terbentuk di dalam senyawa tersebut memiliki
bentuk hexagonal. Hal ini membuktikan bahwa di dalam tulang tuna terdapat
senyawa hidroksiapatit dan fluorapatit yang sangat potensial untuk dikembangkan.
Analisis kristalinitas senyawa hidroksiapatit tulang tuna memiliki kesesuaian
dengan Liu et al. (1997); Moreno et al. (1974) yang menyatakan bahwa
hidroksiapatit Ca5(PO4)3(OH) adalah bahan material yang baik digunakan untuk
penggantian jaringan keras karena karakteristik kimia dan kristalografinya
memiliki kecocokkan dengan beberapa sifat dari tulang dan gigi manusia. Elliott
(1994) mengungkapkan bahwa hidroksiapatit merupakan senyawa dengan rumus
Ca5(PO4)3X, dimana X dapat berupa F- (flourapatit, FAp), OH- (hidroksiapatit,
HAp) atau ion Cl- (klorapatit).
Gambar 8, 9 dan 10 menunjukkan hasil analisis dari sistem komputer
terhadap sampel milling nano-kalsium tulang tuna yang memiliki presentase
kristalinitas sebesar 85.1%, HCl 87.7% dan NaOH 89.3%.
Giraldo-Betancur et al. (2013) melaporkan beberapa hidroksiapatit komersial
memiliki tingkat kristalinitas yang beragam, misalnya standard of bone ash
certified by NIST (the National Institute of Standards & Technology) sebesar
83.72%, Sigma (Sigma Aldrich 289396-synthetic) 91.76%, Apafill G (Reg. No.
76LYC e synthetic, Centro de Biomateriales of La Habana University Biomat)
73.98%, Coralina (HAp-200 e Reg. No. 47.174.92 e marine corals, Centro Nacional
21

de Investigaciones Cientificas e La Habana, Cuba) 84.07%, bio Biograft (Ref.


16140301, SN. 806330, LOT. DR-0005-08, human bone powder 1 cc) 61.64%.
Kandungan kristal memiliki presentasi cukup tinggi, ditandai dengan
banyaknya fase kristalin yang terbentuk. Presentase kristalinitas cenderung
meningkat seiring dengan kenaikan suhu pemanasan. Dahlan et al. (2009)
melaporkan sintesis HAp dari cangkang telur dengan metode kering dengan
pemanasan pada suhu 900 dan 1000 °C, menghasilkan kristalinitas antara 84% dan
94%.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Jenis pengekstrak yang digunakan dalam proses ekstraksi nano-kalsium dari
tulang ikan tuna berpengaruh terhadap karakteristik fisikokimia nano-kalsium, hal
ini ditunjukkan oleh hasil analisis fisik (rendemen, derajat putih dan ukuran
partikel), proksimat (kadar air, abu, protein dan lemak), dan kadar mineral (kalsium
dan fosfor).
Spektra FTIR (Fourier Transform Infrared) semua sampel menunjukkan
adanya gugus fosfat (PO43-) dalam bentuk amorf dan kristalin, gugus karbonat
dalam bentuk apatit karbonat (CO32-) tipe B (AKB) dengan intensitas yang berbeda
sehingga dikatakan bahwa jenis larutan yang digunakan untuk ekstraksi
mempengaruhi intensitas gugus fosfat (PO43-), karbonat (CO32-) dan hidroksil
(OH-) dalam sampel.
Analisis morfologi sampel menggunakan SEM (Scanning Electron
Microscopy) menunjukkan bahwa secara alami permukaan tulang ikan tampak
padat, tidak beraturan dan berbentuk bongkahan dengan butiran sampel yang
cenderung mengembang dan tampak hidroskopis sampel milling, sedangkan proses
ekstraksi sampel menggunakan HCl mengakibatkan sampel tampak tidak beraturan
dengan banyak serpihan kecil butiran sampel dan lebih berpori dibandingan dengan
sampel lainnya, dan ekstraksi dengan NaOH mengakibatkan sampel yang tidak
beraturan, tajam dan sedikit berpori.
Analisis menggunakan XRD (X-Ray Diffraction) menunjukkan bahwa fasa
fosfat dan karbonat pada semua sampel merupakan campuran amorf dan kristalin.
Ekstraksi nano-kalsium menggunakan NaOH meningkatkan derajat kristalinitas
lebih tinggi dibandingkan ekstraksi menggunakan HCl dan milling.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang bioavabilitas nano-kalsium hasil
ekstraksi dari tulang ikan tuna dan aplikasi dalam produk pangan sebagai bahan
tambahan pangan guna memenuhi kebutuhan mineral terutama kalsium dan fosfor.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Sokanee ZN, Toabi AAH, Al-Assadi MJ, Al-Assadi EA. 2009. The drug release
study of cefi riaxone from porous hydroxyapatite scaff olds. AAPS pharmacy
Sci Tech 10(5):72-779.
22

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Methods of


Analytical of The Association of Official Analytical Chemist. Washington, DC
(US): AOAC.
Chen R, Yong Q, Li R, Zhang Q, Liu D, Wang M, Xu Q. 2010. Methazolamide
calcium phosphate nanoparticles in a ocular delivery system. Yakugaku
Zasshi 130(3):419-424. The Pharmeceutical society of Japan.
Connor DJ, Sexton BA, Smart R. 2003. Surface Analysis Methods in Materials
Science, (Springer-Verlag, Germany).
Dahlan K, Sari YW, Yiniarti E, Soejoko DS. 2006. Karekterisasi gugus fosfat dan
karbonat dalam tulang tikus dengan Fourier Transform Infra-Red (FT-IR)
spectroscopy. Indonesian J Material Sci 10:221-224.
Dongoran N, Kustiyah L, Marliyati SA. 2007. Pembuatan susu kedelai berkalsium
tinggi dengan penambahan tepung tulang ikan kakap merah (Lutjanus
sanguineus). Media Gizi dan Keluarga 31(1):71-79.
Elliott JC. 1994. The apatite and other calcium orthophosphate. J Struc and Chem
18:68-76.
Estrela C, Holland R. 2003. Calcium Hydroxide: Study Based on Scientific
Evidences. J Appl Oral Sci 11(4): 269-82.
Faridah DN, Kusumaningrum HD, Wulandari N, Inrasti D. 2006. Modul Praktikum
Analisis Pangan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Frandson RD. 2002. Anatomy and Physiology of Farm Animals, 7th edition.
Colorado (US): Willey-Blackwell.
Giraldo-Betancur AL, Espinosa-Arbelaez DG, Real-Lopez A, Millan-Malo BM,
Rivera-Munoz EM, Gutierrez-Cortez E, Pineda-Gomez P, Jimenez-Sandoval
S, Rodriguez-Garcia ME. 2013 Comparison of physicochemical preperties of
bio and commercial hydroxyapatite. J Current App Phy 13(7):1383-1390.
Hanura AB, Trilaksani W, Suptijah P. 2017. Karakterisasi Nanohidroksiapatit
Tulang Tuna (Thunnus sp.) sebagai Sediaan Biomaterial. J Ilmu Tek Kel
Tropis 9(2):619-629.
Hemung BO. 2013. Properties of tilapia bone powder and its calcium bioavailability
based on transglutaminase assay. Int J Biosci Biochem and Bioinfo 3(4):306-
309.
Huang YC, Hsiao PC, Chai HJ. 2011. Hydroxyapatite extracted from fish scale:
Effects on MG63 osteoblast-like cells. Ceramics Int 37:1825-1831.
Ismanadji I, Djazuli N, Widarto, Istihastuti T, Herawati N, Ismarsudi, Lasmono
2000. Laporan Perekayasaan Teknologi Pengolahan Limbah. Jakarta (ID):
Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, Direktorat Jenderal
Perikanan.
[Kemenkes] Kementerian Kesehatan. 2009. Berdiri Tegak, Bicara Lantang,
Kalahkan Osteoporosis. http://depkes.go.id. (25 November 2017).
[Kemenkes] Kementerian Kesehatan. 2013. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) Indonesia tahun 2013. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI.
Kim SK, Mendis E. 2006. Bioactive compounds from marine processing by
products – A review. Food Res Intl 39:383-393.
Kirk, Othmer. 1964. Encylopedia of Chemical Technology. New York (US): John
Wiley & Sons, Inc.
23

[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2015. Kelautan dan Perikanan dalam
Angka. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2017. Kuota Penangkapan Ikan Tuna
Sirip Biru Selatan Indonesia Sebesar 750 ton. [terhubung berkala]
http://kkp.go.id (10 Desember 2017).
Lesbani A, Setiawati Y, Mika RAM. 2011. Karakterisasi kitin dan kitosan dari
cangkang kepiting bakau (Scylla serrata). J Penel Sains 14(3C):32-36.
Liu HS, Chin TS, Lai LS, Chiu SY, Chung KH, Chang CS, Lui MT. 1997.
Hydroxyapatite synthesized by a simplified hydrothermal method. J Ceram
Intl 23:19-25.
Luu PH, Nguyen MH. 2009. Recovery and utilization of calcium from fish bones
byproducts as a rich calcium source. Tap Chi Khoa Hoc Va Cong Nghe 47:
91-103.
Malde MK, Bugel S, Kristense M, Malde K, Graff IE, Pedersen JI. 2010. Calcium
from salmon and cod bone is well absorbed in young healthy men: a
doubleblinded randomised crossover design. Nutrition & Metabolism 7:61.
Malvern Instruments Limited. 2015. A Basic Guide to Particle Characterization.
Mathew M, Takagi S. 2001. Structures of Biological Minerals in Dental Research.
J Res Nat Standard and Tech 106:1035-1044.
Mikrajuddin A, Khairurrijal. 2008. Review: Karakterisasi nanomaterial. J Nano
Saintek 2(1):1-12.
Mohanraj VJ, Chen Y. 2006. Nanoparticles – A Review. Trop J Pharm Res
5(1):561-573.
Moreno CE, Magda K, Robert TZ. 1974. Fluoridated hydroxyapatite solubility and
caries formation. J Nature 247:64-65.
Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1993. Metabolisme Zat Gizi Sumber, Fungsi,
dan Kebutuhan bagi Tubuh Manusia Jilid II. Jakarta (ID): Pustaka Sinar
Harapan.
Nemati M, Huda N, Ariffin F. 2017. Development of calcium supplement from fish
bone wastes of yellowfin tuna (Thunnus albacares) and characterization of
nutritional quality. Intl Food Res J 24(6):2419-2426.
Pallela, R., J. Venkatesan, and S.K. Kim. 2011. Polymer assisted isolation of
hydroxyapatite from Thunnus obesus bone. J. Ceramics International 37:3489-
3497.
Pigott GM, Tucker BW. 1990. Seafood: Effects of Technology on Nutrition. New
York (US): Marcel Dekker Inc.
Rajkumar M, Sundaram NM, V Rajendran. 2011. Preparation of size controlled,
stoichiometric and bioresorbable hydroxyapatite nanorod by varying initial
Ph, Ca/P ratio and sintering temperature. Digest J of Nanomaterials and
Biostruct 6(1):169-179.
Reo AR. 2011. Pengaruh perbedaan konsentrasi larutan garam dan lama
pengeringan terhadap mutu ikan layanag asin dengan kadar garam rendah.
Pac J 2(6):1118-1122.
Sittikulwitit S, Sirichakwal PP, Puwastien P, Chavasit V, Sungpuag P. 2004. In
vitro bioavailability of calcium from chicken bone extract powder and its
fortified products. J Food Comp and Anal 17:321-329.
Steel RGD, Torrie JH. 1993 Principles and Procedures of Statistics Indeks.
Penerjemah: Sumantri B. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama.
24

Suptijah P, Hardjito L, Haluan J, Suhartono MG. 2010. Recovery dan manfaat


nanokalsium hewan perairan (dari cangkang udang). Logika 2(7):061-064.
Suptijah P, Jacoeb AM, Deviyanti N. 2012. Karakterisasi dan bioavailabilitas
nanokalsium cangkang udang vanname (Litopenaeus vannamei). J Akuatika
3(1):63-73.
Techochatchawal K, Therdthai N, Khotavivattana S. 2009. Development of calcium
supplement from the bone of Nile Tilapia (Tilapia nilotica). As J Food Ag-
Ind 2(4):539-546.
Trilaksani W, Salamah E, Nabil M. 2006. Pemanfaatan limbah tulang ikan tuna
(Thunnus sp.) sebagai sumber kalsium dengan metode hidrolisis protein. Bul
THP 9(2):34-45.
Venkatesan J, Kim SK. 2010. Effect of temperature on isolation and
characterization of hydroxyapatite from tuna (Thunnus obesus) bone.
Materials 3:4761-4772.
Winarno FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): Gramedia.
25

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai