SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
2
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Hasil Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
3
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam rencana penelitian ini adalah Karakterisasi Sifat Fisikokimia Nano-Kalsium
Hasil Ekstraksi dari Tulang Ikan Tuna (Thunnus albacares).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Pipih Suptijah MBA dan
Bapak Dr.Eng Uju S.Pi M.Si selaku komisi pembimbing, atas bimbingan, arahan
dan masukan sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada orangtua dan seluruh keluarga, serta rekan-rekan
atas segala doa, kasih sayang dan bantuannya.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
DAFTAR ISI
PRAKATA iv
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1. PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
Hipotesis 3
2. METODOLOGI 3
Waktu dan Tempat 3
Bahan dan Alat 3
Tahapan Penelitian 3
Penelitian I: Persiapan Bahan Baku 3
Penelitian II: Ekstraksi Nano-kalsium 4
Penelitian III: Karakteristik Nano-kalsium 5
Prosedur Analisis 6
Rendemen 6
Derajat Putih 6
Analisis Proksimat 6
Analisis Kalsium 7
Analisis Fosfor 8
Ukuran Partikel 9
Karakterisasi Gugus Fungsi 9
Analisis Morfologi 9
Analisis Derajat Kristalinitas 9
Analisis Data 9
3. Hasil DAN PEMBAHASAN 10
Rendemen 10
Derajat Putih 11
Analisis Proksimat 12
Analisis Kalsium dan Fosfor 13
Ukuran Partikel 14
Karakterisasi Gugus Fungsi 15
Analisis Morfologi 17
Analisis Derajat Kristalinitas 19
4. SIMPULAN DAN SARAN 21
Simpulan 21
Saran 21
6
DAFTAR PUSTAKA 21
LAMPIRAN 25
DAFTAR TABEL
1 Komposisi proksimat nano-kalsium tulang tuna dibandingkan
dengan kalsium tulang ikan cod dan salmon (g/100 g, %bk) 12
2 Peta absorpsi FTIR sampel 16
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil uji normalitas, homogenitas, analisis ragam dan uji lanjut
Duncan rendemen 26
2 Hasil uji normalitas, homogenitas, analisis ragam dan uji lanjut
Duncan derajat putih 27
3 Hasil uji normalitas, homogenitas, analisis ragam dan uji lanjut
Duncan kadar air 28
4 Hasil uji normalitas, homogenitas, analisis ragam dan uji lanjut
Duncan kadar abu 29
5 Hasil uji normalitas, homogenitas, analisis ragam dan uji lanjut
Duncan kadar protein 30
6 Hasil uji normalitas, homogenitas, analisis ragam dan uji lanjut
Duncan kadar lemak 31
7 Hasil uji normalitas, homogenitas, analisis ragam dan uji lanjut
Duncan kadar kalsium 32
8 Hasil uji normalitas, homogenitas, analisis ragam dan uji lanjut
Duncan kadar fosfor 33
9 Hasil pengukuran partikel sampel milling 34
10 Hasil pengukuran partikel sampel HCl 34
11 Hasil pengukuran partikel sampel NaOH 35
12 Spektrum FTIR milling 35
7
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tuna merupakan ikan ekonomis penting yang saat ini masih mendominasi
ekspor produk perikanan Indonesia. Statistik terkait penangkapan ikan di Indonesia
menunjukan bahwa stok sumberdaya ikan tuna cukup tinggi. Berdasarkan data
Kementerian Kelautan dan Perikanan (2015), produksi tangkapan nasional untuk
komoditas tuna pada tahun 2015 sebesar 319 950 ton mengalami peningkatan
dibanding tahun 2014 sejumlah 313 873 ton. Kementerian Kelautan dan Perikanan
(2017), data sementara perbulan September, hasil tangkapan tuna pada tahun 2017
telah mencapai 288 ton.
Ikan tuna dapat dijual dalam kondisi segar (bentuk utuh), dibuat dalam
bentuk loin, steak, saku, produk beku (frozen), tuna yang dikemas dalam kaleng dan
produk olahan (bakso, abon, otak-otak, nugget, sosis) yang dalam kegiatan
pengolahannya menghasilkan limbah berupa kepala, kulit, jeroan dan tulang.
Limbah tulang ikan tuna dapat menjadi alternatif penyediaan sumber kalsium pada
manuasia dan dapat meningkatkan nilai ekonomi (value added).
Kalsium merupakan satu mineral esensial yang memiliki peranan penting di
dalam tubuh yaitu sebagai komponen utama pembentuk tulang dan gigi
(Muchtadi et al. 1993). Konsumsi kalsium yang kurang akan menyebabkan tulang
menjadi rapuh dan mudah patah atau disebut dengan penyakit osteoporosis. Pada
usia lanjut, kalsium yang hilang dari tubuh lebih besar daripada kalsium yang
diabsorpsi. Berdasarkan hasil analisis data risiko osteoporosis oleh Puslitbang Gizi
Depkes bekerja sama dengan PT Fonterra Brands Indonesia tahun 2006
menyatakan 2 dari 5 orang Indonesia memiliki risiko osteoporosis. Hal ini juga
didukung oleh Indonesian White Paper yang dikeluarkan Perhimpunan
Osteoporosis Indonesia (Perosi) tahun 2007, osteoporosis pada wanita di atas 50
tahun mencapai 32.3%, sementara pada pria di atas 50 tahun mencapai 28.8%. Data
yang dikeluarkan International Osteoporosis Foundation (IOF), diprediksikan pada
tahun 2050 sebanyak 50% kasus patah tulang panggul akan terjadi di Asia
(Kemenkes 2009).
Pemanfaatan sumber mineral berupa kalsium oksida, kalsium karbonat
maupun kalsium fosfat telah dilakukan beberapa peneliti diantaranya studi
berdasarkan bukti ilmiah (Estrela dan Holland 2003); methazolamide kalsium fosfat
nanopartikel dalam sistem pengiriman okular (Chen et al. 2010); hidroksiapatit
ekstraksi dari sisik ikan (Huang et al. 2011); perbandingan sifat fisikokimia
hidroksiapatit komersial dan bahan alam (Giraldo-Betancur et al. 2013);
pengembangan suplemen kalsium dari limbah tulang ikan tuna yellowfin
(Thunnus albacares) dan karakterisasi kualitas nutrisi (Nemati et al. 2017).
Produk pangan yang difortifikasikan dengan kalsium tulang akan
menghasilkan produk yang kaya kalsium, untuk itu kalsium pada tulang harus
diubah menjadi bentuk yang dapat dicerna melalui perubahan struktur matriks
tulang dengan proses pelunakan yang dapat dilakukan dengan menggunakan
metode ekstraksi dengan air panas dan larutan asam panas (Kim & Mendis 2006).
Penggunaan larutan asam (asam klorida, asam asetat, asam sitrat) dalam ekstraksi
2
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis
H0: Proses ekstraksi menggunakan jenis pelarut yang berbeda tidak berpengaruh
terhadap karakteristik fisikokimia nano-kalsium.
H1: Proses ekstraksi menggunakan jenis pelarut yang berbeda berpengaruh
terhadap karakteristik fisikokimia nano-kalsium.
3
2 METODOLOGI
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Februari 2018 sampai bulan Juli
2018 bertempat di Laboratorium Preservasi dan Pengolahan Hasil Perairan, FPIK-
IPB; Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, FPIK-IPB; Laboratorium Pusat
Akademik Universitas IPB; Laboratorium Nutrisi Perah, FAPET-IPB;
Laboratorium Biofisika, FMIPA-IPB; Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka IPB;
Laboratorium Nanoteknologi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen,
Kementerian Pertanian.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah tulang ikan tuna
yang di dapat dari PT. Awindo International. Bahan lain yang digunakan adalah
natrium hidroksida (NaOH), asam klorida (HCl), dan bahan-bahan kimia untuk
analisa proksimat.
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini antara lain panci perebusan,
laboratory mill, autoclave, seperangkat alat ekstraksi, alat gelas, vakum filtrasi,
filter, furnace, oven, hot plate, timbangan, seperangkat unit analisis proksimat.
Instrument untuk analisis yang digunakan: whiteness meter, Particle Size Analyser
(PSA), Atomic Absorption Spectrometry (AAS), Spectrometry UV-Vis, Fourier
Transform Infrared (FTIR), Scanning Electron Microscopy (SEM), dan X-ray
Diffraction (XRD).
Tahapan Penelitian
Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan penelitian yaitu: (1) Persiapan
bahan baku; (2) Ekstraksi nano-kalsium tulang ikan dan (3) Karakterisasi sifat
fisikokimia bahan baku dan nano-kalsium.
Limbah tulang
Bahan baku
Bahan baku
Ekstraksi HCl 1 N
Kalsinasi suhu 600 °C Netralisasi
(90 °C, 90 menit)
Serbuk nano-kalsium
Rendemen, derajat putih,
proksimat, Ca&P, PSA,
FTIR, SEM, XRD
Prosedur Analisis
Analisis Proksimat
a. Kadar Air (AOAC 925.09 2005)
Cawan kosong yang digunakan dikeringkan dalam oven selama 15 menit
atau sampai diperoleh berat tetap, didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan
ditimbang. Sampel kira-kira sebanyak 2 gram ditimbang dan diletakkan dalam
cawan dipanaskan dalam oven selama 3–4 jam pada suhu 105–110 °C. Cawan
didinginkan dalam desikator dan setelah dingin ditimbang kembali. Persentase
kadar air (berat basah) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
B1 - B2
Kadar air (%) = x 100%
B
destilasi. Labu kjeldahl dicuci dengan air 1–2 ml, air cucian dimasukan ke dalam
alat destilasi dan ditambahkan 8–10 ml larutan NaOH–NaS2O3.
Dibawah kondensor diletakkan erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3
dan 2–4 tetes indikator (campuran 2 bagian metil 0.2% dan 1 bagian metil biru 0.2%
dalam alkohol) diletakkan di bawah kondensor hingga ujung kondensor terendam
dalam larutan H3BO3. Hasil dari destilasi ini dititrasi dengan larutan HCl 0.02 N.
Blanko juga dikerjakan seperti prosedur di atas. Kadar protein dapat dihitung
dengan rumus:
(mL sampel - ml HCl blanko) x N HCl x 14.007 x 6.25
Kadar protein (%) = x 100%
Berat sampel (mg)
dibaca dengan nyala atomisasi AAS pada panjang gelombang (λ) 422.7 nm. Hasil
absorbansinya dibandingkan dengan standar Ca yang telah diketahui. Analisis
kalsium dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
Ket:
C = konsentrasi fosfor dalam sampel (mg/100 ml) yang terbaca dari kurva standar
W = berat sampel yang digunakan
Analisis Data
Rendemen
Rendemen merupakan perbandingan berat awal dan berat akhir produk yang
dihasilkan setelah mengalami suatu proses. Analisis rendemen dilakukan terhadap
sampel dengan bahan baku, ekstraksi milling, HCl dan NaOH. Hasil analisis
rendemen pembuatan nano-kalsium tulang tuna dapat dilihat pada Gambar 3.
100
82.46±0.22a
80
Rendemen (%)
60
40
30.10±0.15b
24.85±0.09c
22.25±0.08d
20
0
Bahan baku Milling
Milling HCl NaOH
Gambar 3 Rendemen nano-kalsium tulang tuna
Derajat Putih
Analisis derajat putih dilakukan untuk mengukur tingkat warna putih suatu
material. Semakin tinggi presentasi derajat putih suatu material maka nilai warna
putihnya juga semakin tinggi. Hasil analisis derajat putih nano-kalsium tulang tuna
pada proses ekstraksi berbeda dapat dilihat pada Gambar 4.
11
100 92.61±0.62a
87.21±0.69c 89.27±0.38b
80
66.48±0.97d
Derajat putih (%)
60
40
20
0
Bahan baku Milling HCl NaOH
Analisis Proksimat
Analisis proksimat dilakukan terhadap sampel tulang ikan sebelum dan
setelah ekstraksi, meliputi pengujian kadar air, abu, protein dan lemak. Hasil
analisis proksimat bahan baku dan setelah ekstraksi sampel tulang dapat dilihat
pada Tabel 1.
1. Kadar Air
Kadar air sampel bahan baku, milling, HCl dan NaOH yang dihasilkan
dengan perlakuan proses ekstraksi secara statistik berbeda nyata pada p<0.05
(Lampiran 3). Nilai kadar air pada penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan
dengan hasil penelitian Trilaksani et al. (2006) tepung tulang ikan tuna yaitu
5.60–8.30% dan dibandingkan dengan kadar air tepung tulang ikan kakap pada
penelitian Dongaran et al. (2007) yaitu 2.20% serta tepung tulang ikan nila
(Tilapia Bone Powder) pada penelitian Hemung (2013) yaitu 2.46%. Hal ini
disebabkan oleh pengaruh panas yang dapat merusak kandungan bahan-bahan
tersebut sehingga hasil akhir setelah kalsinasi kandungan yang tersisa sangat
sedikit. Reo (2011) menyebutkan bahwa waktu pengeringan, suhu pengeringan dan
luas permukaan bahan dapat mempengaruhi kadar air suatu bahan.
2. Kadar Abu
Kadar abu suatu produk pangan menunjukkan residu bahan organik yang
tersisa setelah bahan organik dalam makanan terdestruksi. Analisis kadar abu
bertujuan untuk mengetahui berapa besar kandungan mineral yang terdapat dalam
nano-kalsium tulang tuna. Tulang mengandung sel-sel hidup dan matriks
intraseluler dalam bentuk garam mineral. Garam mineral tersebut terdiri dari
kalsium fosfat sebanyak 80% dan sisanya adalah kalsium karbonat dan magnesium
fosfat (Frandson 1992). Kadar abu suatu bahan adalah jumlah atau kadar mineral
dalam suatu bahan makanan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan meliputi dua
macam garam, yaitu garam organik, contohnya garam asam asetat dan garam
anorganik seperti garam klorida atau NaCl (Winarno 2002).
Hasil analisis kadar abu seperti pada Tabel 1, kadar abu pada penelitian ini
lebih tinggi dibandingkan kadar abu tepung tulang tuna pada penelitian
Hanura et al. (2017) sebelum sintering yaitu 60.36% dan tidak jauh berbeda dengan
setelah sintering 99.83%. Lesbani et al. (2011) menyatakan bahwa tingginya kadar
abu menunjukkan kandungan mineral yang tinggi dalam suatu bahan. Peningkatan
13
nilai kadar abu ini disebabkan menurunnya kadar komponen organik secara
proporsional akibat pemanasan suhu tinggi, sehingga hanya tersisa komponen
mineral dalam suatu bahan.
Analisis statistik kadar abu sampel bahan baku dan sampel nano-kalsium
dengan beberapa perlakuan ekstraksi berbeda nyata pada p<0.05 (Lampiran 4) dan
hal ini menunjukkan bahwa jenis pelarut yang digunakan untuk ekstraksi memberi
pengaruh terhadap kadar abu sampel.
3. Kadar Protein
Kadar protein pada penelitian ini menunjukkan nilai yang berbeda
berdasarkan proses ekstraksi yang dilakukan dan ditunjukkan oleh nilai rata-rata
kadar protein semua sampel. Kadar protein sampel berbeda nyata pada p<0.05
(Lampiran 5). Kadar protein sampel dipengaruhi oleh jenis pelarut yang digunakan
sebagai pengekstrak.
Ekstraksi nano-kalsium menggunakan milling mampu menurunkan kadar
protein dikarenakan mengalami penurunan setelah mengalami proses kalsinasi, dan
ekstraksi asam dan basa pada suhu tinggi juga dapat mereduksi protein tulang ikan.
Hal ini dikarenakan protein akan terhidrolisis apabila dicampurkan dengan asam,
alkali kuat, enzim proteolitik dengan bantuan proses pemanasan suhu kalsinasi.
Protein terhidrolisis melalui proses pemecahan protein secara bertahap menjadi
molekul-molekul peptida yang sederhana dan asam-asam amino
(Kirk dan Othmer 1964).
4. Kadar Lemak
Kadar lemak tulang ikan berkisar antara 1–27%, analisis statistik
menunjukkan kadar lemak sampel berbeda nyata pada p<0.05 (Lampiran 6). Kadar
lemak sampel pada penelitian ini lebih rendah dibandingan pada tepung tulang ikan
cod (perebusan) dan ikan salmon (protease dan perebusan) yaitu 3–17.8% serta
lebih tinggi dibandingkan kadar lemak tepung tulang ikan cod (protease) yaitu
<0.02% (Malde et al. 2010) dan penelitian tepung tulang ikan tuna
Hanura et al. (2017) yaitu 0.05%.
Perbedaan kadar lemak pada ikan tergantung pada spesies, lokasi geografis,
makanan yang dimakan dan musim (Pigott dan Tucker 1990). Proses kalsinasi pada
suhu 200–300 °C terjadi sedikit kehilangan berat gabungan antara komponen air
dan bahan organik. Suhu kalsinasi 300–500 °C akan menimbulkan dekomposisi
bahan-bahan organik misalnya lipid, protein dan kolagen serta beberapa senyawa
lain yang berhubungan dengan komposisi pada tulang, kemudian pada suhu 600 °C
yang tersisa hanya komponen mineral saja.
100
82.08±0.26b 83.25±0.28a
80 74.75±0.25c
Kadar (%)
60 Kalsium
Fosfor
40
20
7.75±0.10c 9.14±0.09b 9.65±0.11a
0
Milling
Milling HCl NaOH
Gambar 5 Kadar kalsium dan fosfor nano-kalsium tulang tuna
Kadar kalsium pada penelitian ini mendekati dengan kadar kalsium dari
hasil penelitian Suptijah et al. (2012) yaitu 84.67–85.68% dan lebih tinggi
dibandingkan penelitian Trilaksani et al. (2006) yaitu 23.72–39.24% (%bb).
Malde et al. (2010) melaporkan perlakuan menggunakan larutan asam dan enzim
dipanaskan pada proses maserasi kalsium dari tulang ikan meningkatkan
ketersediaan kalsium dalam sampel.
Hasil analisis fosfor pada penelitian ini (Gambar 5) dan secara statistik
berbeda nyata pada p<0.05 (Lampiran 8). Kadar fosfor pada penelitian
Trilaksani et al. (2006) memiliki rata-rata 11.34–14.25% (%bb) pada tepung tulang
ikan tuna dengan berbagai variasi waktu autoclaving dan frekuensi perebusan,
Hanura et al. (2017) 8.43–9.34% dengan variasi suhu sintering.
Luu dan Nguyen (2009) pada tepung tulang ikan lele (10.5%), kakap (12.8%) dan
salmon (11.0%).
Ukuran Partikel
Proses pengukuran partikel dilakukan pada sampel dalam bentuk larutan,
hingga sampel dilarutkan menggunakan akuades dan dipanasakan untuk
membentuk larutan suspensi kemudian diukur menggunakan PSA (Particle Size
Analyzer). Rata-rata ukuran partikel nano-kalsium hasil ekstraksi merupakan nilai
metode komulan ukuran terdispersi berdasarkan intensitasnya diketahui bahwa
sampel milling, HCl dan NaOH adalah sebagai berikut; 397 nm; 321 nm dan 259
nm (Lampiran 9-11). Ukuran partikel pada penelitian ini mendekati dengan ukuran
nano partikel methazolamide CaP (kalsium fosfat) yaitu 256.4 nm (Chen et al.
2010) dan ukuran sampel penelitian ini dapat digolongkan ke dalam nanopartikel
seperti yang dijelaskan oleh Mohanraj dan Chen (2006) nanopartikel adalah partikel
yang berukuran 10-1000 nm.
Ukuran partikel sampel NaOH 259 nm, merupakan sampel dengan ukuran
partikel terkecil dibandingkan sampel lainnya, hal ini diduga ekstraksi mengunakan
pelarut basa mampu menghidrolisis senyawa organik yang terdapat dalam tulang
15
ikan sehingga memurnikan tulang ikan dari senyawa pengotor, sementara ekstraksi
dengan HCl selain untuk proses demineralisasi juga merupakan proses degreasing
yang dapat menghilangkan lemak.
Ukuran partikel sampel NaOH lebih kecil dibandingkan sampel HCl ini
menunjukkan bahwa ekstraksi menggunakan basa menghasilkan ukuran partikel
sampel yang lebih kecil dibandingkan dengan ukuran partikel sampel hasil ekstraksi
menggunakan asam. Ukuran partikel milling memiliki ukuran yang lebih besar
dibandingkan dengan sampel lainnya, ini menunjukkan bahwa pada proses
penepungan dengan Nanoblend Ball Mill tidak dapat menghasilkan bubuk kalsium
dengan ukuran yang lebih kecil. Proses pelunakan tulang menggunakan air pada
suhu tinggi (perebusan) mampu mengubah tekstur tulang karena adanya sejumlah
senyawa organik yang larut air seperti lemak dan protein (Kim dan Mendis 2009).
Sampel
Gugus fungsi Milling HCl NaOH
-1 -1 -1
cm %T cm %T cm %T
v1 PO43- - - 961 29.58
416 96.52
v2 PO43- 472 85.87 473 87.43
473 81.7
1044 1.02 1040 1.02
v3 PO43- 1042 1.01
1093 3.66 1093 4.95
569 7.55 568 8.75 569 10.37
v4 PO43- 602 9.19 603 10.26 603 12.79
635 25.53 635 29.99 635 33.51
874 56.29 874 67.8
1415 43.46
AKB (CO32-) 1415 43.91 1417 42.59
1462 39.8
1462 39.12 1462 39.36
1993 80.92
2002 78.64
2923 88.61 2002 84.14
OH 2361 82.45
3436 76.87 3542 77.53
permukaan 3445 73.75
3543 73.83 3571 67.98
3572 66.96
3571 62.44
3641 86.97 3642 83.7
OH Kristal
3696 90.01 3696 93.41
Apatit karbonat tipe B (AKB) sampel milling terlihat pada intensitas pita
absorpsi 1415.64 dan 1462.56 cm-1, sampel HCl pada 874, 1415 dan 1462 cm-1 dan
sampel NaOH pita absorpsi di daerah 874, 1417 dan 1462 cm-1. Apatit karbonat tipe
B lebih mendominasi dalam struktur apatit tulang dibandingkan tipe A
(Mathew dan Takagi 2001) dan hal ini juga ditunjukkan dari hasil penelitian ini
dimana karbonat tipe B lebih mendominasi dalam sampel. Gugus hidroksil (OH-)
semua sampel ditunjukkan dengan pita absorpsi lebar di daerah sekitar 1993–2923
dan 3436–3572 cm-1 sementara pada sampel milling dan HCl tampak pita absorpsi
kecil pada bilangan gelombang 3641–3696 cm-1 yang menunjukkan terbentuknya
gugus hidroksil kristal atau air kristal.
Pita absorpsi spektra FTIR pada penelitian ini memiliki kemiripan dengan
penelitian Huang et al. (2011) melaporkan tentang karakteristik spektra bubuk
FHAP (fish hydroxyapatite) menunjukkan gugus fosfat (PO43-) terdapat di daerah
563, 957 dan 1030 cm-1, sedangkan gugus apatit karbonat (CO32-) terindikasi pada
876 dan 1412–1547 cm-1. Hasil analisis FTIR untuk HAp (hydroxyapatite) isolasi
dari tulang ikan tuna telihat sejumlah pita pada spektra yang terbentuk pada daerah
601, 631, 873, 962, 1027, 1088, 1413, 1454 cm-1 dan pita yang lebar pada daerah
antara 3300–3600 cm-1, yang menunjukkan karakteristik puncak-puncak spektrum
HAp (Venkatesan dan Kim 2010).
Pita absorpsi gugus fosfat (PO43-) pada spektra FTIR terdapat dalam bentuk
vibrasi simetris strectching, vibrasi simetris bending, vibrasi asimetris strectching,
dan vibrasi asimetris bending. Bentuk pita absorpsi fosfat v3 dan v4 adalah pita
asimetris yang mengindikasikan bahwa senyawa sampel tidak seluruhnya dalam
bentuk amorf. Pita absorpsi apatit karbonat (CO32-) terindikasikan dalam tipe AKB
17
80
Transmittance [%]
60
40
20
0
Milling
HCl
NaOH
Analisis Morfologi
Karakteristik morfologi merupakan suatu instrumen yang diperlukan untuk
mengetahui bentuk fisik suatu sampel. Analisis morfologi Scanning electron
microscopy (SEM) adalah jenis mikroskop yang menggunakan berkas elektron
untuk menggambarkan profil permukaan benda dan prinsip kerjanya adalah
menembak permukaan benda dengan berkas elektron berenergi tinggi, sehingga
permukaan benda yang dikenai berkas akan memantul kembali pada berkas tersebut
dan menghasilkan elektron sekunder ke segala arah
(Mikrajuddin dan Khairurrijal 2008).
18
A B
C D
E F
Gambar 7 Mikrograf SEM sampel milling (A dan B), HCl (C dan D) dan NaOH
(E dan F)
Simpulan
Jenis pengekstrak yang digunakan dalam proses ekstraksi nano-kalsium dari
tulang ikan tuna berpengaruh terhadap karakteristik fisikokimia nano-kalsium, hal
ini ditunjukkan oleh hasil analisis fisik (rendemen, derajat putih dan ukuran
partikel), proksimat (kadar air, abu, protein dan lemak), dan kadar mineral (kalsium
dan fosfor).
Spektra FTIR (Fourier Transform Infrared) semua sampel menunjukkan
adanya gugus fosfat (PO43-) dalam bentuk amorf dan kristalin, gugus karbonat
dalam bentuk apatit karbonat (CO32-) tipe B (AKB) dengan intensitas yang berbeda
sehingga dikatakan bahwa jenis larutan yang digunakan untuk ekstraksi
mempengaruhi intensitas gugus fosfat (PO43-), karbonat (CO32-) dan hidroksil
(OH-) dalam sampel.
Analisis morfologi sampel menggunakan SEM (Scanning Electron
Microscopy) menunjukkan bahwa secara alami permukaan tulang ikan tampak
padat, tidak beraturan dan berbentuk bongkahan dengan butiran sampel yang
cenderung mengembang dan tampak hidroskopis sampel milling, sedangkan proses
ekstraksi sampel menggunakan HCl mengakibatkan sampel tampak tidak beraturan
dengan banyak serpihan kecil butiran sampel dan lebih berpori dibandingan dengan
sampel lainnya, dan ekstraksi dengan NaOH mengakibatkan sampel yang tidak
beraturan, tajam dan sedikit berpori.
Analisis menggunakan XRD (X-Ray Diffraction) menunjukkan bahwa fasa
fosfat dan karbonat pada semua sampel merupakan campuran amorf dan kristalin.
Ekstraksi nano-kalsium menggunakan NaOH meningkatkan derajat kristalinitas
lebih tinggi dibandingkan ekstraksi menggunakan HCl dan milling.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang bioavabilitas nano-kalsium hasil
ekstraksi dari tulang ikan tuna dan aplikasi dalam produk pangan sebagai bahan
tambahan pangan guna memenuhi kebutuhan mineral terutama kalsium dan fosfor.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Sokanee ZN, Toabi AAH, Al-Assadi MJ, Al-Assadi EA. 2009. The drug release
study of cefi riaxone from porous hydroxyapatite scaff olds. AAPS pharmacy
Sci Tech 10(5):72-779.
22
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2015. Kelautan dan Perikanan dalam
Angka. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan.
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2017. Kuota Penangkapan Ikan Tuna
Sirip Biru Selatan Indonesia Sebesar 750 ton. [terhubung berkala]
http://kkp.go.id (10 Desember 2017).
Lesbani A, Setiawati Y, Mika RAM. 2011. Karakterisasi kitin dan kitosan dari
cangkang kepiting bakau (Scylla serrata). J Penel Sains 14(3C):32-36.
Liu HS, Chin TS, Lai LS, Chiu SY, Chung KH, Chang CS, Lui MT. 1997.
Hydroxyapatite synthesized by a simplified hydrothermal method. J Ceram
Intl 23:19-25.
Luu PH, Nguyen MH. 2009. Recovery and utilization of calcium from fish bones
byproducts as a rich calcium source. Tap Chi Khoa Hoc Va Cong Nghe 47:
91-103.
Malde MK, Bugel S, Kristense M, Malde K, Graff IE, Pedersen JI. 2010. Calcium
from salmon and cod bone is well absorbed in young healthy men: a
doubleblinded randomised crossover design. Nutrition & Metabolism 7:61.
Malvern Instruments Limited. 2015. A Basic Guide to Particle Characterization.
Mathew M, Takagi S. 2001. Structures of Biological Minerals in Dental Research.
J Res Nat Standard and Tech 106:1035-1044.
Mikrajuddin A, Khairurrijal. 2008. Review: Karakterisasi nanomaterial. J Nano
Saintek 2(1):1-12.
Mohanraj VJ, Chen Y. 2006. Nanoparticles – A Review. Trop J Pharm Res
5(1):561-573.
Moreno CE, Magda K, Robert TZ. 1974. Fluoridated hydroxyapatite solubility and
caries formation. J Nature 247:64-65.
Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1993. Metabolisme Zat Gizi Sumber, Fungsi,
dan Kebutuhan bagi Tubuh Manusia Jilid II. Jakarta (ID): Pustaka Sinar
Harapan.
Nemati M, Huda N, Ariffin F. 2017. Development of calcium supplement from fish
bone wastes of yellowfin tuna (Thunnus albacares) and characterization of
nutritional quality. Intl Food Res J 24(6):2419-2426.
Pallela, R., J. Venkatesan, and S.K. Kim. 2011. Polymer assisted isolation of
hydroxyapatite from Thunnus obesus bone. J. Ceramics International 37:3489-
3497.
Pigott GM, Tucker BW. 1990. Seafood: Effects of Technology on Nutrition. New
York (US): Marcel Dekker Inc.
Rajkumar M, Sundaram NM, V Rajendran. 2011. Preparation of size controlled,
stoichiometric and bioresorbable hydroxyapatite nanorod by varying initial
Ph, Ca/P ratio and sintering temperature. Digest J of Nanomaterials and
Biostruct 6(1):169-179.
Reo AR. 2011. Pengaruh perbedaan konsentrasi larutan garam dan lama
pengeringan terhadap mutu ikan layanag asin dengan kadar garam rendah.
Pac J 2(6):1118-1122.
Sittikulwitit S, Sirichakwal PP, Puwastien P, Chavasit V, Sungpuag P. 2004. In
vitro bioavailability of calcium from chicken bone extract powder and its
fortified products. J Food Comp and Anal 17:321-329.
Steel RGD, Torrie JH. 1993 Principles and Procedures of Statistics Indeks.
Penerjemah: Sumantri B. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama.
24
LAMPIRAN