ABSTRACT
ENDANG SRI WAHYUNI. Acute Toxicity Test to Artemia salina of Drilling
Waste Cutting. Supervised by HEFNI EFFENDI and MAJARIANA KRISANTI.
Drilling activity produced waste in the form of mud drill (used mud), drill
(cuttings) powder, hot water and other materials that are toxic to aquatic form.
This research aims to determine the value of the acute toxicity of waste drilling oil
cutting for brine shrimp (Artemia salina) as well as its influence on the
morphology of Artemia salina. This research was carried out in Culture And
Research Laboratory IPB in February to April 2016. This main research is done
by determining the LC50 values of cutting waste with 10 mL media test to 10
Artemia salina on 22000, 39000, 70000, 126000, and 226000 ppm. Lethal
concentration (LC50) of drilling waste cutting was 34260 ppm. Based on the
regulation of the Minister Of Energy And Mineral Resources no. 45 in 2006 about
the management of mud drill and drill dust on the activities of the oil and gas
drilling, the waste can be disposed of directly observable to the sea. Biota giving
the Artemia salina test response to exposure to cutting waste, such as changes in
the position of swimming, the liveliness of biota, the levels of stress testing as
well as damage to the morphology and anatomy of the body of biota test.
Keywords: Artemia, cutting, mortality, respond, toxicity
UJI TOKSISISTAS AKUT LIMBAH PENGEBORAN MINYAK
BUMI (CUTTING) TERHADAP BIOTA UJI
BRINE SHRIMP (Artemia salina)
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
pada
Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis tuturkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul Uji Toksisistas
Akut Limbah Pengeboran Minyak Bumi (Cutting) Terhadap Biota Uji Brine
Shrimp (Artemia Salina). Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu
syarat untuk menyelesaikan studi di Departemen Manajemen Sumberdaya
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak, terutama kepada:
1. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan untuk
menempuh studi
2. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB serta staf yang telah membantu
atas pendanaan dan bimbingan penelitian ini
3. Dr Yunizar Ernawati, selaku dosen Pembimbing akademik
4. Dr Ir Hefni Effendi, MPhil dan Dr Majariana Krisanti, SPi MSi selaku
komisi pembimbing skripsi yang telah memberikan saran dan masukan
untuk penyusunan tugas akhir ini
5. Dr Ir Sigid Hariyadi, MSc sebagai penguji luar komisi sidang skripsi.
6. Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc sebagai dosen penguji perwakilan
program studi Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
7. Keluarga tercinta; bapak Rabiansyah (alm), mamak Djamaliah, abang
Yusuf, teteh Wati, amok Heri, Kibo Emi (almh), andak Moko, acik Dedi,
serta seluruh keluarga besar yang telah memberikan dukungan dan doa
selama ini
8. Staff Tata Usaha Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
9. Volunteer Melawan Asap, partner penelitian (Ditta Ayu Anggraini dan
Dudi Muhamad Wildan, SPi), AMM, ATLANTIK Himasper, The
322/323, serta seluruh teman-teman yang telah memberikan doa,
semangat, bantuan, dan dukungan
10. Teman-teman MSP 49 dan seluruh sahabat atas doa, dukungan, dan
semangat selama penulis di Bogor.
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN vii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan 2
Manfaat Penelitian 2
METODE 3
Metode Kerja 3
Analisis Data 7
HASIL DAN PEMBAHASAN 9
Hasil 9
Pembahasan 13
KESIMPULAN DAN SARAN 16
Kesimpulan 16
Saran 16
DAFTAR PUSTAKA 16
LAMPIRAN 19
RIWAYAT HIDUP 29
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Minyak dan gas bumi merupakan energi yang sangat dibutuhkan oleh
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Energi dibutuhkan manusia
dalam berbagai sektor, seperti pengembangan industri, rumah tangga, transportasi,
dan kegiatan lainnya. Semakin tinggi tingkat kebutuhan akan energi tersebut
mendorong kegiatan eksploitasi komoditas minyak bumi semakin meningkat.
Kegiatan pertambangan minyak bumi terdiri dari beberapa tahap, yaitu
tahap eksplorasi, eksploitasi, pemurnian, dan pemasaran hasil. Selain
menghasilkan minyak bumi sebagai hasil utama, kegiatan ini juga menghasilkan
hasil sampingan seperti produced water (air yang dipisahkan selama proses
produksi minyak mentah), lumpur bor (used mud), serbuk bor (cuttings), air panas
dari proses pendinginan, minyak, asap pembakaran, sampah, serta jenis limbah
lainnya. Hasil sampingan tersebut memiliki potensi toksik yang dapat mencemari
lingkungan perairan sekitar anjungan, apabila limbah tersebut tidak dikelola
terlebih dahulu (Mukhtasor 2007).
Dampak toksisitas limbah terhadap biota dapat timbul secara langsung
maupun tidak langsung. Dampak secara tidak langsung salah satunya adalah
terjadinya penurunan kualitas perairan (Kumar et al. 2013). Kualitas perairan
yang turun dapat berdampak pada proses hidup biota perairan. Biota perairan
yang terganggu dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan kehidupan
perairan. Oleh sebab itu, untuk mengetahui apakah limbah tersebut dapat
mengganggu perairan maka diperlukan suatu uji toksisitas limbah menggunakan
uji toksisitas akut (LC50).
Uji toksisitas merupakan uji yang digunakan untuk mengetahui efek
negatif suatu zat terhadap biota. LC50 merupakan nilai konsentrasi pemaparan
zat toksik yang menyebabkan 50% biota uji mati (Moe et al. 2001). Uji toksisitas
akut merupakan salah satu bentuk penelitian toksikologi perairan. Uji toksisitas
akut limbah dapat mengetahui kandungan toksik dari effluent yang masuk ke
perairan dalam konsentrasi tertentu yang dapat menyebabkan kematian pada biota.
Pemilihan biota uji ini didasarkan dengan kriteria biota uji yang harus dipenuhi
berdasarkan Organization for Economic Co-operation and Development (OECD)
dan US Environmental Protection Agency (US-EPA). Biota uji yang digunakan
merupakan biota uji yang dapat mewakili kondisi lingkungan dari perairan
tersebut (APHA 2005 in DWMS 2007).
Organisme hidup yang digunakan sebagai biota uji pada penelitian ini
adalah nauplius Artemia salina. Penggunaan Artemia salina sebagai biota uji laut
bertujuan untuk mengetahui toksisitas akut serbuk bor (cutting) minyak bumi
yang dibuang ke perairan laut. Artemia salina sangat baik digunakan sebagai
organisme dalam penelitian bioassay yang sederhana dan akurat untuk menilai
toksisitas akut perairan laut untuk semua jenis toksikan (Shaala et al. 2015).
Menurut Kanwar (2007), organisme sederhana ini mudah untuk dikultur dan
dikembangbiakkan dalam kondisi laboratorium. Hal ini dapat memudahkan
penentuan yang efektif untuk uji toksisitas serta untuk berbagai uji laboratorium
lainnya.
2
Perumusan Masalah
Mengetahui
- Artemia Sp. Uji (+) konsentrasi toksik
Bioassay yang aman bagi
- Kualitas Air
LC50 lingkungan dan
- Media yang pengaruh limbah
mengandung serbuk terhadap kualitas air
bor (cutting) serta upaya
pengelolaan limbah.
(-)
Tujuan
Manfaat Penelitian
METODE
Metode Kerja
Persiapan percobaan
a. Verifikasi homogenitas ruang uji
Kegiatan ini bertujuan untuk memverifikasi ruang yang digunakan untuk
uji berada dalam kondisi homogen. Uji ini dilakukan terpisah dari penelitian
utama. Hal ini bertujuan agar seluruh media uji pada penelitian dipastikan
menerima pengaruh lingkungan yang sama. Ruang uji yang digunakan dalam
verifikasi adalah wadah kaca tertutup berukuran 70 × 40 × 40 cm. Wadah kaca
diusahakan berada pada posisi yang tidak banyak terpapar cahaya matahari.
Verifikasi dilakukan dengan menempatkan delapan wadah berisi 100 mL air laut
(Gambar 2).
2 1 5
8 7
3 6 4
100mL
Hasil verifikasi diperoleh informasi bahwa ruang uji berada dalam kondisi
lingkungan yang sama di setiap sudut dan sisi wadah kaca. Kondisi ruang uji
tidak mengalami fluktuasi pada hasil pengukuran kualitas air (Lampiran 1).
Dengan demikian, wadah kaca tersebut dapat digunakan sebagai ruang uji dalam
uji pendahuluan dan uji utama toksisitas. Kondisi lingkungan uji yang homogen
dapat menjelaskan mortalitas biota uji hanya dipengaruhi oleh perlakuan dalam
hal ini adalah perlakuan konsentrasi, tanpa adanya pengaruh dari luar media.
c. Persiapan toksikan
Limbah pengeboran minyak yang dijadikan bahan utama media toksikan
adalah limbah padat pengeboran migas (cutting) (Lampiran 3). Media toksikan
yang akan digunakan pada uji pendahuluan dan uji toksisitas adalah supernatan.
Supernatan merupakan bagian atas hasil pencampuran antara limbah pengeboran
minyak dengan akuades (Gambar 3). Perbandingan antara bobot cutting (kg)
dengan volume akuades (L) adalah 1 : 1. Limbah yang telah dicampur dengan
akuades selanjutnya langsung dilakukan pengadukan agar tercampur merata.
(2)
= = = =
6
Keterangan :
N : konsentrasi tertinggi
n : konsentrasi terendah
k : jumlah konsentrasi yang diuji
a, b, c, d dan e : konsentrasi antara konsentrasi terendah dan konsentrasi tertinggi,
a adalah konsentrasi terkecil.
Uji utama
Artemia yang dijadikan biota uji pada uji utama diusahakan memiliki
ukuran yang seragam. Artemia dimasukkan ke dalam wadah uji yang berisi
kontaminan sebanyak 10 mL. Jumlah nauplius Artemia yang dipaparkan pada
setiap perlakuan adalah 10 ekor. Nilai ambang atas dan ambang bawah yang
didapat dari uji pendahuluan dikonversi menjadi angka konsentrasi yang dipakai
sebagai perlakuan konsentrasi pada uji utama melalui persamaan (1) dan (2).
Perlakuan untuk kontaminasi sebanyak lima buah dan satu buah perlakuan sebagai
media kontrol. Setiap konsentrasi dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali
(Gambar 4).
Analisis Data
Keterangan :
P : mortalitas terkoreksi (%)
pi : mortalitas hasil pengamatan (%)
c : mortalitas pada kontrol
3. Probit empiris ditentukan dari proporsi mortalitas yang ditransformasikan
dengan menggunakan tabel transformasi probit. (Lampiran 5).
4. Probit harapan ditentukan dari persamaan regresi linear antara log
konsentrasi (x) dengan nilai probit empiris (y). Nilai probit harapan (Y)
ditentukan dengan memasukan nilai log konsentrasi (X) ke dalam
persamaan regresi tersebut.
8. Nilai wy ditentukan melalui perkalian antara probit kerja (y) dengan nilai
pemberat (w).
9. Nilai wx2 ditentukan melalui perkalian antara nilai pemberat (w) dengan
log volume (x) yang telah dikuadratkan.
10. Nilai wxy ditentukan melalui perkalian antara nilai pemberat (w) dengan
log volume (x) dan probit kerja (y).
11. Nilai ̅ ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut:
̅ (6)
̅ (9)
Y (probit) = a + bX (10)
17. Selang atas dan selang bawah nilai LC50 diperoleh melalui persamaan
berikut:
m ± 1,96 V (12)
Perangkat lunak yang digunakan pada analisis probit adalah EPA Probit
Analysis Program versi 1.5. Perangkat lunak ini di bawah lembaga
Environmental Protection Agency (EPA). User’s guide EPA menjelaskan bahwa
program ini mampu menghitung estimasi nilai LC50 dan dalam selang
kepercayaan 95%. Tampilan program analisis probit ditunjukkan pada Gambar 5.
9
Hasil
100
90
80
Mortalitas (%) 70
60 jam ke 0
50 jam ke 24
40 jam ke 48
30 jam ke 72
20 jam ke 96
10
0
0 50000 100000 150000 200000 250000
Konsentrasi (ppm)
Kematian biota uji pada uji utama terus meningkat sesuai dengan semakin
tingginya konsentrasi dan lama pemaparan limbah. Estimasi konsentrasi akut
limbah dapat diperoleh melalui analisis probit. Tabel 5 menunjukkan estimasi
nilai konsentrasi akut (LC50) limbah yang dianalisis dengan analisis probit
manual dan perangkat lunak.
Tabel 5 Estimasi nilai toksisitas akut (LC50) limbah
LC50 (ppm) Selang Kepercayaan
Jam ke
Manual EPA Probit 95%
24 117787 110152 81745 – 155393
48 90303 88493 60850 – 137572
72 52396 51664 26650 – 82104
96 35900 34260 14655 – 51992
Tingkah laku biota uji nauplius selama pemaparan limbah uji utama
Pangamatan tingkah laku biota uji nauplius Artemia salina dilakukan pada
jam ke 0, 3, 6, 12, 24, 48, 72, 96 sejak pertama kali dilakukan pemaparan limbah.
Pengamatan dilakukan pada setiap perlakuan dan ulangan. Biota uji yang terpapar
limbah memperlihatkan respon tingkah laku yang cukup berbeda dengan tingkah
laku biota uji pada kontrol (Lampiran 8). Pengamatan tingkah laku biota uji
nauplius Artemia salina meliputi keaktifan pada pergerakan biota uji, posisi
berenang, tingkat kestresan biota uji, dan bentuk tingkah laku lain yang
ditunjukkan oleh biota uji selama pemaparan.
Respon biota uji terhadap pemaparan limbah menunjukkan tingkah laku
berupa stres secara keseluruhan. Stres ditunjukkan melalui pergerakan biota yang
sangat cepat dibandingkan dengan biota kontrol. Semakin tinggi konsentrasi dan
lama pemaparan, maka biota uji semakin stres hingga terjadinya kematian.
12
Kerusakan tubuh biota uji terhadap pemaparan limbah selama uji utama
Nauplius Artemia sering digunakan untuk evaluasi toksisitas polusi
lingkungan dan studi ekotoksikologi (Manzanares 2015). Limbah memberikan
efek toksikan terhadap biota uji nauplius Artemia salina. Salah satu dampak
toksikan limbah adalah kerusakan pada anggota tubuh nauplius Artemia salina.
Bentuk morfologi biota uji pada kontrol dan biota uji yang terpapar limbah
toksikan disajikan pada Gambar 7 dan 8.
Antenna II Ochi
Antenna I
Mandibula
Intestin
a b
c d
Gambar 8 Kerusakan morfologi biota uji selama uji utama pada pemaparan
limbah 39000 ppm (a) jam ke 24; (b) jam ke 48; (c) jam ke 72;
(d) jam ke 96
13
Pembahasan
hari selanjutnya cenderung ke arah dasar atau permukaan air. Pada jam ke 72 dan
ke 96, terlihat banyak biota uji yang pingsan. Biota uji dikatakan pingsan karena
biota uji terlihat mati tidak bergerak, namun setelah diberi suatu aksi sentuhan
biota uji kembali bergerak.
Biota uji yang terpapar limbah tidak hanya merespon perlakuan melalui
tingkah laku, namun juga terjadi kerusakan morfologi tubuh berdasarkan lama
pemaparan sebelum mati. Kerusakan morfologi tubuh dapat diketahui dengan
membandingkan morfologi tubuh nauplius Artemia tanpa perlakuan (kontrol)
dengan perlakuan limbah. Dalam hal ini pengamatan bentuk morfologi tubuh
biota uji dilakukan setiap 24 jam biota uji yang sudah mati.
Ilustrasi kerusakan morfologi tubuh nauplius hanya dilakukan pada
konsentrasi 39000 ppm. Hal ini karena hasil pemotretan biota uji pada perlakuan
konsentrasi yang lain tidak terlalu bagus. Hasil dokumentasi pada konsentrasi lain
tidak memberikan gambaran yang cukup jelas terhadap tahapan kerusakan tubuh
berdasarkan lama pemaparan limbah. Dengan demikian, kerusakan morfologi
tubuh biota uji yang terpapar hanya dilihat berdasarkan lama pemaparan limbah.
Kerusakan bagian dalam dan luar tubuh serta kematian nauplius Artemia
salina yang terkena paparan limbah yang memiliki kandungan logam berat
terhadap nauplius Artemia juga dapat menyebabkan penghambatan pada
pertumbuhan dan perkembangannya (Shaojie et al. 2012). Pada studi kasus
penelitian dengan biota uji berupa post larva Penaeus monodon, kematian biota
uji yang terpapar dengan drilling muds disebabkan oleh adanya kerusakan bentuk
gill filamen. Bentuk kerusakan yang terjadi yaitu adanya bagian tubuh yang
mengalami reduksi atau hilang (Soegianto et al. 2008).
Tubuh Artemia salina terdiri dari kepala, torax, dan perut (Dumitrascu
2011). Tahapan kerusakan tubuh biota uji akibat pemaparan limbah, yaitu pada
bagian kepala (mulut, mata, dsb), saluran pencernaan, kerusakan total seluruh
bagian dalam tubuh biota, lalu kerusakan total bentuk tubuh biota uji. Tahapan
kerusakan tubuh ini menunjukkan bahwa kerusakan terjadi berdasarkan tingkat
interaksi terendah hingga tertinggi antara organ tubuh biota dengan bahan toksik
limbah. Artemia sp. memiliki cara makan non selektif filter yang menyebabkan
Artemia rentan terhadap bahan pencemar yang masuk dalam badan perairan
(Dong & Zhou 2012). Hal tersebut menyebabkan bagian kepala mengalami
kerusakan terlebih dahulu.
Toksisitas merupakan kemampuan suatu molekul atau senyawa kimia
yang dapat menimbulkan kerusakan pada bagian yang sensitif di dalam maupun di
luar tubuh makhluk hidup. Suatu senyawa kimia dapat dikatakan sebagai racun
apabila ketika senyawa tersebut bereaksi dengan satu objek dapat menimbulkan
efek yang merusak (Durham 1975). Efek toksik yang dihasilkan memberikan
indikasi terganggunya proses morfologi maupun fisiologis biota uji (Anderson et
al.1991) dalam hal ini bentuk morfologi tubuh Artemia sebagai biota uji.
Kerusakan tubuh biota uji berdasarkan lama pemaparan perlakuan limbah
menyebabkan kerusakan yang cukup signifikan.
Kecenderungan kerusakan bagian kepala (antenna dan antenula) terlebih
dahulu pada jam ke 24 diduga karena antenna banyak menyaring limbah.
Antenna berfungsi sebagai filter feeder sehingga kondisi lingkungan yang
terpapar limbah menyebabkan Artemia sangat intensif berinteraksi dalam
menyaring limbah. Berdasarkan Gambar 8.b kerusakan biota uji yang terpapar
15
limbah selama 48 jam mengalami kerusakan pada saluran pencernaan. Hal ini
diduga karena limbah yang masuk mulai bereaksi sangat toksik pada bagian
dalam tubuh biota, khususnya saluran pencernaan. Hal ini didukung dengan
pernyataan Shaojie et al. (2012) yang menyatakan bahwa Artemia sp. dianggap
sebagai organisme yang paling baik untuk uji toksisitas karena Artemia memiliki
cara makan non selektif filter yang membuat mereka rentan terhadap bahan
pencemar yang masuk dalam badan perairan. Kerusakan biota uji yang terpapar
limbah selama 72 hingga 96 jam mengalami kerusakan total pada bagian dalam
tubuh hingga bentuk luar tubuh biota uji.
Tingkah laku biota uji yang bertahan hidup dalam paparan limbah
memberikan respon yang sinergis dengan tingkat konsentrasi, selanjutnya
kerusakan bentuk tubuh biota uji yang sudah mati terpapar limbah memberikan
tingkat kerusakan yang sama dengan tingkat konsentrasi yang dipaparkan ke biota
uji. Hal ini sesuai dengan Loomis (1978), efek yang ditimbulkan oleh senyawa
beracun sangat bergantung pada kadar racun (toksin) yang diberikan. Dengan
demikian kematian biota uji terhadap pemaparan limbah pengeboran diduga
diakibatkan oleh bahan kimia yang terkandung dalam limbah pengeboran.
Kerusakan tubuh hingga kematian biota uji yang terjadi selama pengamatan perlu
dipertimbangkan kembali, meskipun menurut ketetapan Permen ESDM no 45
tahun 2006 limbah tersebut sudah aman dibuang langsung ke laut. perlu dilakukan
pengkajian kembali mengenai volume limbah yang aman terhadap suatu luasan
badan tampung limbah.
Drill cutting/cutting merupakan hasil operasi pengeboran dari potongan
lapisan bebatuan ketika mata bor menekan dan berputar di dalam perut bumi.
Cutting tersebut harus segera dikeluarkan dari sumur bor agar tidak mengganggu
proses pengeboran. Drilling fluids (lumpur bor) dipompakan melalui rangkaian
pipa pengeboran ke bawah menuju mata bor yang dalam keadaan berputar
berkecepatan tinggi. Mata bor akan naik ke atas melalui ruangan antara dinding
sumur dan rangkaian pipa pengeboran sambil membawa cutting. Pada proses ini
terjadi pencampuran antara material hasil pengeboran (cutting, lumpur, pasir)
dengan lumpur bor. Lumpur bor merupakan campuran air, lumpur khusus,
beberapa mineral, serta bahan kimia (EPA 1993).
Pengaruh pada kandungan lumpur bor dan cutting limbah (Lampiran 11)
terhadap biota dapat mengganggu kelestarian lingkungan perairan (Bakke et al.
2013), hal ini mendorong untuk dilakukannya pengolahan limbah. Negara-negara
tertentu sudah melakukanbanyak model pengolahan limbah, baik limbah industri
besar maupun industri kecil. Kegiatan pengolahan pada umumnya dilakukan
dengan pemisahan jenis limbah padat dan cair, treatment dengan teknologi dan
praktik khusus berdasarkan jenis dan karakter limbah. Menurut DWMS (2007),
prinsip dasar dan orientasi dalam pengolahan limbah pengeboran yaitu
minimalisasi limbah, recycle atau reuse, pembuangan limbah. Proses
pembuangan limbah harus memperhatikan karakter area pembuangan limbah,
lokasi pembuangan limbah, waktu dan musim saat proses pembuangan (Onwukwe
et al. 2012)
Sumiyati et al. (2008) menjelaskan bahwa limbah B3 (Bahan Berbahaya
dan Beracun) dapat dimanfaatkan kembali, melalui pengelolaan recycle, reuse,
dan recovery (3R). Salah satu limbah B3 yang dapat diolah kembali melalui
pengolahan tersebut adalah limbah pengeboran minyak. Hasil recycle limbah
16
Kesimpulan
Saran
Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai dosis dan volume limbah yang
aman terhadap lingkungan perairan laut. Berdasarkan kerusakan tubuh yang
mulai terjadi pada kosentrasi terendah uji utama, maka perlu dilakukan uji
toksisitas kronik limbah pengeboran. Selain itu perlu dilakukan penelitian
lanjutan mengenai jenis kandungan logam berat dan senyawa kimia sebagai
karakter limbah yang bersifat mematikan terhadap biota. Serta diperlukan uji
toksisitas menggunakan organisme bentik perairan dengan tujuan untuk
mengetahui pengaruh limbah terhadap organisme dasar dan sedimen perairan.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
jam ke 72 Jam ke 96
botol ke DO Suhu pH Salinitas botol ke DO Suhu pH Salinitas
1 6,3 28,8 8 30 1 6,3 28,6 8 30
2 6,5 28,7 8 30 2 6,3 28,5 8 30
3 6,2 28,8 8 30 3 6,3 28,5 8 30
4 6,3 28,5 8 30 4 6,4 28,4 8 30
5 6,4 28,7 8 30 5 6,3 28,5 8 30
6 6,5 29,0 8 30 6 6,5 28,5 8 30
7 6,4 28,7 8 30 7 6,3 28,5 8 30
8 6,2 28,6 8 30 8 6,4 28,4 8 30
20
Sumber : http://saltaquarium.about.com
a b
Lampiran 3 Limbah cutting
Lampiran 6 Tabel koefisien dan nilai probit (Bliss 1935 in Busvine 1971)
23
Lampiran 7 Mortalitas biota uji nauplius Artemia salina pada uji pendahuluan
Lampiran 8 Respon tingkah laku biota uji terhadap pemaparan limbah pada uji utama toksisitas
Perlakukan Tingkah laku biota uji terhadap lama pemaparan
(ppm) 0 jam 3 jam 6 jam 12 jam 24 jam 48 jam 72 jam 96 jam
Kontrol Berenang aktif Berenang aktif Berenang aktif Berenang aktif Berenang aktif Berenang aktif Berenang aktif Berenang aktif
di kolom air di kolom air di kolom air di kolom air di kolom air di kolom air di kolom air di kolom air
22000 Berenang di Berenang di Berenang di Berenang tidak Berenang tidak Berenang tidak Berenang Berenang pasif
kolom air kolom air kolom air terlalu aktif terlalu akitf di aktif. sangat lemah di di kolom air.
kolom perairan Cenderung di air
kolom air
39000 Berenang di Berenang tidak Berenang tidak Berenang Berenang Berenang Berenang Berenang pasif,
kolom air terlalu aktif terlalu aktif cenderung ke tersendat- lemah. lemah. di kolom.
dasar perairan sendat di kolom Cenderung ke Cenderung ke
hingga dasar dasar perairan dasar perairan
70000 Berenang di Berenang tidak Berenang di Berenang tidak Berenang Berenang pasif, Berenang pasif Berenang pasif
kolom air terlalu aktif, sekitar dasar aktif cenderung lemah d kolom tidak terlalu di kolom. dan banyak yg
cenderung ke perairan ke dasar hingga dasar aktif berenang. pingsan.
dasar air
126000 Berenang di Berenang tidak Bereanang Berenang Berenang Berenang pasif. Banyak Banyak
kolom air terlalu aktif, sangat cepat air tersendat- lemah Ada beberapa individu yang individu yang
cenderung (stress) sendat mendekati individu yang pingsan di pingsan di
berenang dasar pingsan. kolom air. kolom air dan
dikolom dan dasar
dasar
226000 Berenang di Berenang Berenang pasif Berenang
kolom air sangat cepat di dasar. sangat lemah.
disekitar dasar Ada yang - - - -
air (stress) pingsan.
25
26
25
27
RIWAYAT HIDUP