LAPORAN PRAKTIKUM
Disusun Oleh :
Annisa’ Ihda Fajriyati 180341617589
Farah Fatimatuzzahro’ 180341617530
Muhamad Arjuna Salim 180341617565
Reza Nur Anisa 180341617557
Bahan:
1. Kantung Plastik
2. Karet gelang
3. Kertas Label
D. Prosedur Kerja
Pengambilan Sampel:
Pengamatan:
Dari tabel tersebut diketahui bawa hewan spesies larva mrutu biasa sangat
banyak ditemukan di stasiun 5 yaitu dengan jumlah 79 ekor, nilai skor hewan ini
hanya 2. Pada cacing merah ditemukan sebanyak 6 ekor dangan nilai skor hanya 1.
Pada Hydra hanya ditemukan 1 ekor dengan nilai skor. Pada pupa lalat ditemukan
16 ekor dengan nilai skor 5. Spesies yang terakhir ditemukan adalah larva nyamuk
yang berjumlah 2 dengan nilai skor 5. Dari nilai ini didapati nilai rerata yaitu 4,25
dan termasuk kualitas air yang kotor. Pada faktor nilai abiotik yang didapat pada
stasium 5, ketiganya letak memiliki pH 7,6 dengan tingkat keruhan yang sama yaitu
4 NTU. Namun untuk tingkat oksigennya berbeda dimana pada letak kiri 8,1%,
letak tengah 8,2%, letak kanan 8,7%.
F. Pembahasan
Sistem perairan mengandung sekitar 10% spesies fauna di bumi dan selama ini
memberikan jasa lingkungan bagi kehidupan manusia. Namun berbagai aktivitas
manusia telah mempengaruhi sumber daya air secara struktural dan fungsional,
sehingga mengurangi kemungkinan penggunaannya. Pertumbuhan populasi
manusia dan industrialisasi telah menyebabkan polusi sebagian besar ekosistem
perairan dan mengakibatkan penurunan kualitas air lingkungan (Naigaga et al.,
2011). Dengan demikian, ekosistem perairan diakui sebagai yang paling terancam
di seluruh dunia, dan oleh karena itu, organisme akuatik memerlukan perhatian
untuk konservasi mereka (López-López & Sedeño-Díaz, 2015).
Kualitas air dapat ditentukan menggunakan bioindikator karena tidak mungkin
jika harus menguji dan memantau kualitas air di suatu tempat setiap saat. Metode
biologis telah terbukti sesuai untuk pengawasan ekosistem akuatik. Organisme
indikator diperlukan untuk meningkatkan program penilaian pada dampak ekologis
aktivitas antropogenik pada lingkungan akuatik (Naigaga et al, 2011). Secara
alamiah terdapat organisme, penanda kimia atau proses biologis yang
perubahannya mengarah pada perubahan kondisi lingkungan. Makrozoobentos
sering digunakan dalam menilai kualitas lingkungan perairan (Vyas, et al., 2012).
Makrozoobentos adalah organisme yang sering digunakan sebagai indikator
pencemaran dan berperan juga dalam biomonitoring dari suatu perairan
(Minggawati, 2013).
Berdasarkan praktikum yang telah kami lakukan, didapatkan 4 speises
makrozoobentos di tiga titik pengambilan, diantaranya larva mrutu biasa, cacing
merah, pupa lalat kerdil dan larva nyamuk. Salah satu cara untuk mengukur
pencemaran adalah dengan memberi skor pencemaran pada fauna perairan tersebut.
Misalnya fauna yang membutuhkan banyak oksigen terlarut dan tidak tahan
terhadap pencemaran diberi skor tertinggi, sedangkan yang dapat hidup di tempat
yang sangat tercemar diberi skor paling rendah (Fajri dan Kasry 2013). Larva mrutu
biasa memiliki skor 2 dengan jumlah 36 pada tepi kiri sungai yang menandakan
kualitas perairan yang rendah. Cacing merah memiliki skor 1 dengan jumlah 6 ekor
di tepi kiri sungai yang menandakan bahwa perairan tersebut sangat tercemar. Di
sungai Biologi FMIPA ini, kami juga menemukan Hydra sp. ,namun pada
praktikum ini Hydra tidak digunakan sebagai bioindikator. Pupa lalat kerdil
memiliki skor 5 dengan jumlah 6 ekor yang menandakan bahwa perairan tersebut
memiliki kualitas perairan yang sedang atau sedikit tercemar. Faktor abiotik di tepi
kiri berupa pH 7.6, kekeruhan 4 NTU dan kadar oksigen 8,1 %.
Adanya larva mrutu yang berasal dari filum Annelida menandakan bahwa
lingkungan tersebut telah tercemar (Sastrawijaya, 2009). Hal ini merupakan
indikator pencemaran bahan organik karena jenis ini sangat toleran terhadap
kandungan oksigen terlarut yang rendah dan partikel tersuspensi yang tinggi dalam
sungai. Menurut Rahmawaty (2011), keanekaragaman suatu area juga dipengaruhi
oleh faktor substrat yang tercemar, kelimpahan sumber makanan, kompetisi antar
dan intra taksa, gangguan dan kondisi dari lingkungan sekitarnya sehingga taksa
yang mempunyai daya toleransi yang tinggi akan semakin bertambah sedangkan
yang memiliki daya toleransi yang rendah akan semakin menurun.
Begitu juga dengan ditemukannya cacing merah yang termasuk filum Annelida
menandakan bahwa lingkungan tersebut tercemar. Keberadaan Annelida yang
termasuk hewan makrozoobenthos di dalam perairan sangat ditentukan oleh
interaksinya terhadap faktor fisik, kimiawi, dan biologis (Dharmawibawa, 2019).
Perubahan kondisi perairan dapat menimbulkan gangguan terhadap
mikroorganisme di dalamnya. Annelida yang merupakan salah satu jenis hewan
makrozoobenthos mempunyai batas toleransi tertentu terhadap faktor-faktor
tersebut sehingga struktur komunitas (indeks dominansi dan komposisi jenis)
Annelida akan berbeda pada kondisi lingkungan yang berbeda (Santosa, 2000).
Respon Annelida terhadap perubahan lingkungan dapat digunakan untuk melihat
pengaruh berbagai kegiatan, seperti dampak kegiatan industri, pertanian, dan tata
guna lahan (APHA, 1976 dalam Santosa, 2000). Kebiasaan cacing merah secara
umum adalah membenamkan ujung anteriornya di dasar perairan. Cacing ini
berwarna merah, kadang terbungkus suatu selubung yang ujung posteriornya
dilambaikan untuk memperoleh oksigen sehingga tahan pada kandungan oksigen
yang rendah serta mempunyai tingkat toleran yang tinggi terhadap pencemaran
terutama kandungan bahan organik yang tinggi (Khairuddin, et al., 2016). Hal ini
menggambarkan bahwa adanya pencemaran bahan organik di sungai yang kami
amati.
Pupa larva kerdil dan larva nyamuk adalah makrozoobentos yang termasuk
dalam Ordo Diptera. Menurut Sudarso et al. (2009), peningkatan dominansi Ordo
Diptera di perairan dapat dijadikan sinyal awal dari adanya peningkatan masukan
limbah antropogenik ke perairan. Adanya larva nyamuk dan pupa lalat kerdil ini
menandakan tingkat kualitas perairan yang tercemar agak berat (Wardhana, 1999).
Pada titik sampel pengambilan tengah, didapatkan 4 spesies makrozoobenthos,
diantaranya larva mrutu biasa sebanyak 23, cacing merah sebanyak 5, pupa lalat
kerdil sebanyak 4 dan larva nyamuk sebanyak 1, dengan faktor abiotik berupa pH
7.6, kekeruhan 4NTU dan kadar oksigen 8,2 gram. Pupa lalat kerdil dan larva
nyamuk merupakan makrozoobenthos filum Arthropoda yang ditemukan pada
praktikum kami. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Septiani, dkk. (2013),
kepadatan Limnodrilus sp. yang tinggi pada setiap stasiun pengamatan dan
ditemukannya Chironomus sp. mengindikasikan terjadinya pencemaran bahan
organik di perairan Sungai Kapuas Kota Sintang. Kandungan organik yang tinggi
menyebabkan organisme yang dapat hidup adalah organisme yang mempunyai
toleransi luas terhadap bahan organik yang akhirnya menyebabkan indeks
keanekaragaman menjadi rendah. Limnodrilus sp. dan Chironomus sp. ini
merupakan dua hewan yang mewakili filum Arthropoda dalam penelitiannya.
Pada titik sampel pengambilan kanan, didapatkan 3 spesies makrozoobenthos,
diantaranya larva mrutu biasa sebanyak 20, pupa lalat kerdil sebanyak 5 dan larva
nyamuk sebanyak 5. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa,
berdasarkan indikator makrozoobenthos, kondisi perairan dapat dikategorikan
menjadi lima kondisi, yaitu : kondisi sangat buruk, kondisi buruk, kondisi sedang,
baik, dan kondisi sangat baik. Pada kondisi sangat baik ditemukan berbagai macam
hewan. Pada kondisi baik ditemukan udang air biasa, nimfa lalat sehari insang
segiempat, larva ulat air, nimfa capung jarum dan biasa. Pada kondisi sedang
ditemukan larva kumbang, anggang-anggang, kepik air, siput berpintu, siput tak
berpintu, cacing pipih dan kerang. Kondisi buruk biasanya ditemukan larva nyamuk
dan lalat, belatung ekor tikus, larva mrutu biasa, cacing bersegmen, dan lintah.
Sedangkan pada kondisi sangat buruk tidak ditemukan hewan (Lind, 1985).
Faktor abiotik pada titik pengambilan tepi kanan ini berupa pH 7.6, kekeruhan
4NTU dan kadar oksigen 8,7 gram. Nilai pH perairan sebesar 7,6 ini bersifat netral
menuju basa. pH 7,6 ini merupakan pH yang cocok untuk kehidupan organisme
akuatik sehingga mendukung kelangsungan hidup semua spesies yang telah
ditemukan. Hal ini diperkuat oleh teori yang menyatakan bahwa sebagian besar
biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai ph sekitar 7-8,5.
Alga akan memanfaatkan karbondioksida hingga batas ph tidak memungkinkan lagi
bagi alga untuk tidak menggunakan karbondioksida (sekitar 10-11), karena pH itu
karbondioksida bebas tidak dapat ditemukan. Nilai pH sangat mempengaruhi
proses biokimiawi perairan, misalnya nitrifikasi akan berakhir bila rendah
(Tudorancea, et al., 1979).
Faktor lain yang diamati adalah tingkat kekeruhan (turbidity) air yang memiliki
kadar 4 mg/l. Semakin tinggi tingkat kekeruhan air maka intensitas cahaya yang
mauk ke perairan akan berkurang, sehingga organisme yang ada akan mengalami
kematian. Dari hasil pengamatan, tingkat kekeruhan perairan taman sains FMIPA
adalah sebesar 4NTU. Kekeruhan dan kedalaman air mempunyai pengaruh
terhadap jumlah dan jenis hewan benthos. Semakin keruh suatu perairan maka
jumlah dan jenis benthos akan semakin sedikit, begitupula sebaliknya. Dalam hal
ini, perairan dekat taman sians FMIPA ini mempunyai kualitas air yang kotor
(Tudorancea, et al., 1979)
Faktor lain yang juga dipengaruhi oleh kadar oksigen yang terlarut dalam air.
Berdasarkan hasil pengamatan diperoleh kadar oksigen senilai 8,1 % menunjukkan
kadar yang melebihi ideal. Menurut Susanto (2008), kadar oksigen terlarut dalam
air sebanyak 5-6 ppm merupakan kondisi ideal, sedangkan batas minimum oksigen
dalam perairan adalah 3 ppm, pada 4 ppm beberapa jenis ikan masih bertahan hidup
namun nafsu makannya mulai menurun. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat
dinilai adanya penurunan kadar oksigen di sungai kebun biologi mengingat angka
tersebut tidak mencapai kondisi ideal. Turunnya kadar oksigen ini disebabkan
kondisi air yang sudah tercemar, sesuai dengan teori bahwa pada umumnya perairan
yang telah tercemar kandungan oksigennya sangat rendah, hal ini karena oksigen
terlarut di dalam air diserap oleh mikroorganisme untuk mendegradasi bahan
buangan organik sehingga menjadi bahan yang mudah menguap. Selain itu bahan
buangan organik juga dapat bereaksi dengan oksigen yang terlarut di dalam air
sehingga semakin sedikit sisa kandungan oksigen yang terlarut di dalamnya
(Tudorancea, et al., 1979).
G. Kesimpulan
Dari praktikum ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Berdasarkan bioindikator yang didapatkan, kualitas air sungai Biologi
FMIPA UM tergolong rendah dengan tingkatan air yang cukup tercemar.
2. Spesies yang ditemukan di sungai Biologi FMIPA UM sebagai bioindikator
adalah larva mrutu biasa, cacing merah, pupa lalat kerdil dan larva nyamuk.
H. Daftar Rujukan
Dharmawibawa, Iwan Doddy. 2019. STRUKTUR KOMUNITAS ANNELIDA
SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN SUNGAI ANCAR KOTA
MATARAM. Bioscientist: Jurnal Ilmiah Biologi. Vol. 7, No. 1; 2019
Fajri, N. E., & Kasry, A. 2013. Kualitas Perairan Muara Sungai Siak Ditinjau dari
Sifat Fisik Kimia dan Makrozoobenthos. Universitas Riau. Pekanbaru.
Jurnal Berkala Perikanan Terubuk 41(1).
Khairuddin, M. Yamin, A. Syukur. 2016. Analisis Kualitas Air Kali Ancar dengan
Menggunakan Bioindikator Makroinvertebrata. Jurnal Biologi Tropis, Volume 16
(2):10-22.
Lind, O. T. 1985. Handbook of common methods in limnology.Sec. Ed.
Kendall/Hunt Publ. Comp. Dubuque.
López-López E., Sedeño-Díaz J.E. (2015) Biological Indicators ofWater Quality:
The Role of Fish and Macroinvertebrates asIndicators of Water Quality.
In: Armon R., Hänninen O. (eds). Environmental Indicators. Springer,
Dordrecht. https://doi.org/10.1007/978-94-017-9499-2_37
Minggawati I. 2013. Struktur komunitas makrozoobentos di Perairan Rawa
Banjiran Sungai Rungan, Kota Palangka Raya. Ilmu Hewani Tropika 2 (2):
64-67.
Naigaga, I., Kaisaer, H., Muller, W. J., Ojok, L., Mbabazi, D., magezi,G., &
Muhumuza, E. 2011. Fish as bioindicators in aquaticenvironmental
pollution assessment: A case study in Lake Victoriawetlands, Uganda.
Physics and Chemistry of the Earth, Parts A/B/C,36(14–15), 918-928.
https://doi.org/10.1016/j.pce.2011.07.066.
Odum EP. 1993. Dasar-dasar ekologi. Ed ke-3. Samingan T, penerjemah.
Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Rahmawaty. 2011. Indeks keanekaragaman makrzoobentos sebagai bioindikator
tingkat pencemaran di Muara Sungai Jeneberang. Bionature 12 (2): 103-
109.
Santosa, M. 2000. Struktur Komunitas Makrozoobenthos sebagai Indikator
Perubahan Kualitas Perairan Sungai Ciamuk di Daerah Kabupaten
Sumedang .Skripsi. Bogor: Institut Pertanian
Sastrawijaya, A. T. 2009. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta.
Septiani, Ervin., Setyawati, Tri Rima., Yanti, Ari Hepi. 2013. Kualitas Perairan
Sungai Kapuas Kota Sintang Ditinjau dari Keanekaragaman
Makrozoobentos. Jurnal Protobiont Vol 2 (2): 70 - 74
Susanto, H. dan A. Rochdianto. 2008. Kiat Budi Daya Ikan Mas Dilahan Kritis.
Jakarta: Penebar Swadaya Depok.
Tudorancea, C.; R. H. Green and J. Huebner. 1979. Structure Dynamics and Pro-
duction of the Benthic Fauna in Lake Manitoba. Hydrobiologia
Vyas V, Bharose S, Yousuf S, Kumar A. 2012. Distribution of makrozoobenthos in
River Narmada near water intake point. Nat SciRes 2 (3): 18-25.
Wardhana, W. A. (1999). Perubahan lingkungan perairan dan pengaruhnya
terhadap biota akuatik. Disampaikan pada Pelatihan Monitoring Biologi
Bagi Pengelola Taman Nasional Gunung Halimun, Stasiun Penelitian
Cikaniki TNGH. Jakarta: FMIPA UI.
Zulkifli, H dan Setiawan, D. 2011. Struktur danFungsi Komunitas
Makrozoobentos di perairan Sungai Musi Kawasan Pulokerto
sebagai Instrumen Biomonitoring. Jurnal Natur Indonesia.
14(1): 95-99.