Analisis Rangkaian Listrik Jilid 2 - Sudaryatno Sudirham PDF
Analisis Rangkaian Listrik Jilid 2 - Sudaryatno Sudirham PDF
Analisis
Rangkaian Listrik
Jilid 2
(Analisis Transien, Transformasi Laplace,
Transformasi Fourier, Model Sistem)
ii
Analisis
Rangkaian Listrik
Jilid 2
(Analisis Transien, Transformasi Laplace, Trans-
formasi Fourier, Model Sistem)
oleh
Sudaryatno Sudirham
i
Hak cipta pada penulis.
SUDIRHAM, SUDARYATNO
Analisis Rangkaian Listrik, Jilid 2
(Analisis Transien, Transformasi Laplace, Transformasi Fourier, Model
Sistem)
Darpublic, Kanayakan D-30, Bandung, 40135.
www.ee-cafe.org
Buku jilid ke-dua Analisis Rangkaian Listrik ini berisi materi lanjutan,
ditujukan kepada pembaca yang telah mempelajari materi di buku jilid
pertama. Materi bahasan disajikan dalam sebelas bab. Dua bab pertama
berisi bahasan mengenai analisis transien, dengan sinyal dinyatakan
sebagai fungsi waktu. Dua bab berikutnya membahas analisis rangkaian
menggunakan transformasi Laplace, yang dapat digunakan untuk analisis
keadaan mantap maupun transien; bahasan ini mencakup dasar-dasar
transformasi Laplace sampai ke aplikasinya. Lima bab berikutnya
membahas fungsi jaringan yang dilanjutkan dengan tanggapan frekuensi,
serta pengenalan pada model sistem, termasuk persamaan ruang status.
Dua bab terakhir membahas analisis rangkaian listrik menggunakan
transformasi Fourier. Pengetahuan tentang aplikasi transformasi Fourier
dalam analisis akan memperluas pemahaman mengenai tanggapan
frekuensi, baik mengenai perilaku sinyal itu sendiri maupun
rangkaiannya.
Mudah-mudahan sajian ini bermanfaat bagi para pembaca. Penulis
mengharap saran dan usulan para pembaca untuk perbaikan dalam
publikasi selanjutnya.
iii
Darpublic
Kanayakan D-30, Bandung, 40135
Selain Buku-e, di
www.ee-cafe.org
tersedia juga open course
dalam format .ppsx beranimasi dan .pdf
v
Bab 7: Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde-2 143
Rangkaian Orde-2 Dengan Pole Riil. Fungsi Alih Dengan
Zero Riil Negatif . Tinjauan Umum Bode Plot dari
Rangkaian Dengan Pole dan Zero Riil. Tinjauan Kualitatif
Tanggapan Frekuensi di Bidang s. Rangkaian Orde-2 Yang
Memiliki Pole Kompleks Konjugat.
Bab 8: Pengenalan Pada Sistem 165
Sinyal. Sistem. Model Sistem. Diagram Blok. Pembentukan
Diagram Blok. Reduksi Diagram Blok. Sub-Sistem Statis dan
Dinamis. Diagram Blok Integrator.
Bab 9: Sistem Dan Persamaan Ruang Status 187
Blok Integrator dan Blok Statis. Diagram Blok Integrator,
Sinyal Sebagai Fungsi t. Membangun Persamaan Ruang
Status. Membangun Diagram Blok dari Persamaan Ruang
Status.
Bab 10: Transformasi Fourier 197
Deret Fourier. Transformasi Fourier. Transformasi Balik.
Sifat-Sifat Transformasi Fourier. Ringkasan.
Bab 11: Analisis Menggunakan Transformasi Fourier 223
Transformasi Fourier dan Hukum Rangkaian. Konvolusi dan
Fungsi Alih. Energi Sinyal.
Daftar Pustaka 237
Indeks 237
1
Analisis Transien Rangkaian Orde-1
dv dv
− v s + iR + v = −v s + RC + v = 0 atau RC + v = vs (1.1)
dt dt
Persamaan (1.1) adalah persamaan rangkaian seri RC dengan
menggunakan tegangan kapasitor sebagai peubah. Alternatif lain untuk
memperoleh persamaan rangkaian ini adalah menggunakan arus i sebagai
peubah. Tetapi dalam analisis transien, kita memilih peubah yang
merupakan peubah status dalam menyatakan persamaan rangkaian.
Untuk rangkaian RC ini peubah statusnya adalah tegangan kapasitor, v.
Pemilihan peubah status dalam melakukan analisis transien berkaitan
dengan ada tidaknya simpanan energi dalam rangkaian yang sedang
dianalisis, sesaat sebelum terjadinya perubahan. Hal ini akan kita lihat
2 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)
Analisis Transien Rangkaian Orde-1
sesaat sebelum terjadinya perubahan. Hal ini akan kita lihat pada
pembahasan selanjutnya.
Persamaan (1.1) merupakan persamaan diferensial orde-1 tak homogen
dengan koefisien konstan. Tegangan masukan vs merupakan sinyal
sembarang, yang dapat berbentuk fungsi-fungsi yang pernah kita pelajari
di Bab-1. Tugas kita dalam analisis rangkaian ini adalah mencari
tegangan kapasitor, v, untuk t > 0.
3
Analisis Transien Rangkaian Orde-1
Peubah y tidak mungkin bernilai nol untuk seluruh t dan K1 juga tidak
boleh bernilai nol karena hal itu akan membuat y bernilai nol untuk selu-
ruh t. Satu-satunya cara agar persamaan (1.5) terpenuhi adalah
as + b = 0 (1.6)
Persamaan (1.6) ini disebut persamaan karakteristik sistem orde-1.
Persamaan ini hanya mempunyai satu akar yaitu s = −(b/a). Jadi
tanggapan alami yang kita cari adalah
5
Analisis Transien Rangkaian Orde-1
cari tanggapan paksa lebih dulu agar tanggapan lengkap dapat kita
peroleh untuk kemudian menerapkan kondisi awal tersebut.
Tanggapan Paksa. Tanggapan paksa dari (1.3) tergantung dari bentuk
fungsi pemaksa x(t). Seperti halnya dengan tanggapan alami, kita dapat
melakukan pendugaan pada tanggapan paksa. Bentuk tanggapan paksa
haruslah sedemikian rupa sehingga jika dimasukkan ke persamaan
rangkaian (1.3) maka ruas kiri dan ruas kanan persamaan itu akan
berisi bentuk fungsi yang sama. Jika tanggapan paksa kita sebut yp, maka
yp dan turunannya harus mempunyai bentuk sama agar hal tersebut
terpenuhi. Untuk berbagai bentuk fungsi pemaksa x(t), tanggapan paksa
dugaan yp adalah sebagai berikut.
Jika x(t ) = 0 , maka y p = 0
Jika x(t ) = A = konstan, maka y p = konstan = K
Jika x(t ) = Aeαt = eksponensial, maka y p = eksponensial = Keαt
Jika x(t ) = A sin ωt , maka y p = K c cos ωt + K s sin ωt
(1.8)
Jika x(t ) = A cos ωt , maka y p = K c cos ωt + K s sin ωt
Perhatikan : y = K c cos ωt + K s sin ωt adalah bentuk umum
fungsi sinus maupun cosinus .
y = y p + y a = y p + K1e st (1.9)
Pada solusi lengkap inilah kita dapat menerapkan kondisi awal yang akan
memberikan nilai K1.
Kondisi Awal. Peubah y adalah peubah status, bisa berupa tegangan
kapasitor vC atau arus induktor iL. Kondisi awal adalah nilai y pada t = 0+.
Sebagaimana telah kita pelajari di Bab-1, peubah status harus merupakan
fungsi kontinyu. Jadi, sesaat sesudah dan sesaat sebelum terjadi
perubahan pada t = 0, y harus bernilai sama. Dengan singkat dituliskan
Jika kondisi awal ini kita sebut y(0+) dan kita masukkan pada dugaan
solusi lengkap (1.9) akan kita peroleh nilai K1.
Nilai y(0+) dan yp(0+) adalah tertentu (yaitu nilai pada t=0+). Jika kita
sebut
y = y p + A0 e s t (1.13)
y = y p + A0 e −t / τ (1.14)
7
Analisis Transien Rangkaian Orde-1
dv
Karena iR = −iC = −C maka kita dapat menuliskan persamaan
dt
rangkaian sebagai :
dv dv 1
− v − RC = 0 atau + v=0
dt dt RC
Dengan nilai elemen seperti diperlihatkan pada gambar, maka
persamaan rangkaian menjadi :
dv
+ 1000v = 0
dt
Inilah persamaan rangkaian untuk t > 0. Pada rangkaian ini tidak ada
fungsi pemaksa. Ini bisa dilihat dari gambar rangkaian ataupun dari
persamaan rangkaian yang ruas kanannya bernilai nol.
Persamaan karakteristik : s + 1000 = 0 → s = −1000
Dugaan tanggapan alami : va = A0e −1000t
Dugaan tanggpan paksa : v p = 0 ( tidak ada fungsi pemaksa)
Dugaan tanggapan lengkap : v = v p + A0 e st = 0 + A0 e −1000t
Kondisi awal : v(0 + ) = v(0 − ) = 12 V.
Penerapan kondisi awal pada dugaan tanggapan lengkap
memberikan : 12 = 0 + A0 → A0 = 12
Tanggapan lengkap menjadi : v = 12 e −1000 t V
Pemahaman :
Rangkaian tidak mengandung fungsi pemaksa. Jadi sesungguhnya
yang ada hanyalah tanggapan alami. Tanggapan paksa dinyatakan
sebagai vp = 0. Kondisi awal harus diterapkan pada tanggapan leng-
kap v = v p + va = 0 + va walaupun kita tahu bahwa hanya ada tang-
gapan alami dalam rangkaian ini.
9
Analisis Transien Rangkaian Orde-1
A
S 1 kΩ
+ i
50 V − 3 kΩ 0.6 H
Solusi :
Saklar S telah lama tertutup, berarti keadaan mantap telah tercapai.
Pada keadaan mantap ini tegangan induktor harus nol, karena sum-
ber berupa sumber tegangan konstan. Jadi resistor 3 kΩ terhubung
singkat melalui induktor. Arus pada induktor dalam keadaan mantap
ini (sebelum saklar dibuka) sama dengan arus yang melalui resistor 1
50
kΩ yaitu i (0− ) = = 50 mA . Setelah saklar dibuka, rangkaian
1000
tinggal induktor yang terhubung seri dengan resistor 3 kΩ. Untuk
vA
simpul A berlaku + i = 0 . Karena vA = vL = L di/dt, maka per-
3000
1 di
samaan ini menjadi 0,6 + i = 0 atau
3000 dt
di
0,6 + 3000 i = 0
dt
Persamaan karakteristik : 0,6 s + 3000 = 0 → s = −5000
Dugaan tanggapan alami : i a = A0 e −5000 t
Dugaan tanggapan paksa : i p = 0 (tak ada fungsi pemaksa)
Dugaan tanggapan lengkap : i = i p + A0 e −5000 t = 0 + A0 e −5000 t
Kondisi awal : i (0 + ) = i (0 − ) = 50 mA .
Penerapan kondisi awal pada dugaan tanggapan lengkap
memberikan : 50 = A0
Tanggapan lengkap menjadi : i = 50 e −5000 t mA
1 1 4i
vA + + i − = 0 atau 3v + 6i = 0 .
10 5 10
11
Analisis Transien Rangkaian Orde-1
+ S + +
vs + vs
AV − − Au(t)V
− −
Jika kita hanya meninjau keadaan untuk t > 0 saja, maka masukan sinyal
anak tangga vs = Au(t) dapat kita tuliskan sebagai vs = A (konstan) tanpa
menuliskan faktor u(t) lagi.
CONTOH-1.5: Saklar S pada S i
rangkaian di samping ini telah
lama pada posisi 1. Pada t = 0, 2
+ 10kΩ +
S dipindahkan ke posisi 2. 1
− 12V
v
Tentukan v (tegangan kapasi- 0,1µF −
tor) untuk t > 0.
Solusi :
Saklar S telah lama pada posisi 1 dan hal ini berarti bahwa tegangan
kapasitor sebelum saklar dipindahkan ke posisi 2 adalah v(0−) = 0.
Setelah saklar pada posisi 2, aplikasi HTK memberikan persamaan
rangkaian
− 12 + 104 i + v = 0 .
Karena i = iC = C dv/dt, maka persamaan tersebut menjadi
dv
− 12 + 104 × 0,1 × 10− 6 + v = 0 atau
dt
dv
10−3 + v = 12
dt
13
Analisis Transien Rangkaian Orde-1
Pemahaman : 12
a). Persamaan tegangan v
kapasitor ini menunjuk- [V]
kan perubahan tegangan 12−12e−1000t
pada waktu ia diisi, seba-
gaimana terlihat pada 0 t
gambar di samping ini. 0 0.002 0.004
b). Pemasukan suatu te-
gangan konstan ke suatu rangkaian dengan menutup saklar pada t =
0 sama dengan memberikan bentuk gelombang tegangan anak tang-
ga pada rangkaian. Pernyataan persoalan diatas dapat dinyatakan
dengan sumber sinyal anak tangga dengan tambahan keterangan
bahwa vC(0−) = 0.
i
CONTOH-1.6: Tentukanlah tegan-
gan kapasitor v untuk t > 0 pada
rangkaian di samping ini jika + 10kΩ +
12u(t) v
v(0−) = 4 V. −
V 0,1µF −
Solusi :
Aplikasi HTK pada rangkaian ini memberikan
dv
− 12u (t ) + 104 i + v = 0 ⇒ 10−3 + v = 12u (t )
dt
Jika kita hanya meninjau keadaan untuk t > 0 saja, maka fungsi anak
tangga dapat kita tuliskan sebagai suatu nilai konstan tanpa menulis-
kan u(t) lagi. Jadi persamaan rangkaian di atas menjadi
dv
10−3 + v = 12
dt
Solusi :
Persoalan menutup saklar ke posisi 1 adalah persoalan pengisian
kapasitor. Kita tidak membahasnya lagi, dan selain itu berapa lama
saklar ada di posisi 1 juga tidak dipermasalahkan. Informasi bahwa
saklar ditutup pada posisi 1 sampai arus mencapai 2,6 A
menunjukkan bahwa sesaat sebelum saklar dipindahkan ke posisi 2,
tegangan di simpul A (yang berarti pula tegangan pada kapasitor v),
15
Analisis Transien Rangkaian Orde-1
1 1 100 1 20
v A + + iC − = 0 atau v + iC =
15 10 15 6 3
dv
+ 5v = 200
dt
Persamaan karakteristik : s + 5 = 0 → s = −5
Dugaan tanggapan alami : va = A0e −5 t
Dugaan tanggapan paksa : v p = K → 0 + 5K = 200 → v p = 40
Dugaan tanggapan lengkap : v = v p + A0e −5t = 40 + A0e −5t
Kondisi awal v(0+ ) = v(0 − ) = 11 V
Penerapan kondisi awal memberikan : 11 = 40 + A0 → A0 = −29
Tanggapan lengkap menjadi : v = 40 − 29 e −5t V.
S 150Ω
A
2
1 iC 100Ω
+ +
− 50 V v
1/30 F −
17
Analisis Transien Rangkaian Orde-1
Solusi :
Pada waktu saklar di posisi 1, persamaan tegangan simpul A adalah
1 1 50
vA + + iC − =0
150 100 150
5 1 dv 100
→ v + − =0
300 30 dt 300
dv
atau v+2 = 20
dt
Persamaan karakteristik : 1 + 2s = 0 → s = −0,5
Dugaan tanggapan alami : v a = A0 e −0,5 t
Dugaan tanggapan paksa : v p = K → K + 0 = 20
Dugaan tanggapan lengkap : v1 = v p + A0 e −0,5 t = 20 + A0 e −0,5 t
Kondisi awal : v1 (0 + ) = 0
Penerapan kondisi awal → 0 = 20 + A0 → A0 = −20
Tanggapan lengkap menjadi : v1 = 20 − 20 e −0.5 t V untuk 0 < t ≤ 1
[ ]
atau dapat dituliskan sebagai : v1 = 20 − 20 e −0.5 t [u (t ) − u (t − 1)] V
1 1 5 1 dv
vA + + iC = 0 → v + = 0 atau
150 100 300 30 dt
dv
v+2 =0
dt
( )
v = v1 + v2 = 20 − 20e −0,5 t (u (t ) − u (t − 1) ) + 7,9 e −0,5 (t −1)u (t − 1)
Pemahaman :
Gambar dari perubahan tegangan kapasitor adalah seperti di bawah
ini.
10
v (20−20e−0,5t){u(t)−u(t−1)}
8
7,9e−0,5(t−1) u(t−1)
6
4
2
0 t
0 0.5 1 1.5 2 2.5
19
Analisis Transien Rangkaian Orde-1
− iC
+ 50u(t−1) V 100Ω
+
+ 50u(t) V v
− 1/30 F −
1 1 50
vA + + iC + = 0 atau
150 100 150
dv
v+2 = −20u (t − 1)
dt
Persamaan karakteristik : 2 s + 1 = 0 → s = −0,5
Dugaan tanggapan alami : va = A01e − 0,5 (t −1)u (t − 1)
Dugaan tanggapan paksa : v p 2 = K 2 → K 2 + 0 = −20
Dugaan tanggapan lengkap : vo2 = −20 + A01e − 0,5 (t −1)u (t − 1)
Kondisi awal : v(1+ ) = 0 → 0 = −20 + A01 → A01 = 20
Tanggapan lengkap menjadi :
( )
vo2 = − 20 + 20 e − 0,5 (t −1) u (t − 1) V
Tanggapan total :
v = vo1 + vo2
( ) ( )
= 20 − 20 e − 0,5 t u (t ) + − 20 + 20 e − 0,5 (t −1) u (t − 1) V
Jika kita hanya meninjau keadaan untuk t > 0 saja, maka u(t) pada
(1.15.a) tidak perlu dituliskan lagi, sehingga pernyataan fungsi sinus
menjadi
y = A cos(ωt + θ) (1.15.b)
21
Analisis Transien Rangkaian Orde-1
y = Ac cos ωt + As sin ωt
(1.16)
dengan Ac = A cos θ dan As = − A sin θ
1 1 dv vs dv
v+ = atau + 5v = 100 cos10t
6 30 dt 15 dt
Faktor u(t) tak dituliskan lagi karena kita hanya melihat keadaan
pada t > 0.
Persamaan karakteristik : s + 5 = 0 → s = −5
Dugaan tanggapan alami : va = A0e −5 t
Arus kapasitor : iC = C
dv
=
dt 30
1
(
− 40 sin 10t + 80 cos10t + 20 e −5 t )
= −1,33 sin 10t + 2,66 cos10t + 0,66 e −5 t A
23
Analisis Transien Rangkaian Orde-1
Arus kapasitor : iC = C
dv 1
=
dt 30
(
− 40 sin 10t + 80 cos10t − 30 e −5 t )
= −1,33 sin 10t + 2,33 cos10t − e −5 t A
ym 0 = y ( 0 + ) e − (b / a ) t (1.19)
y s 0 = y f − y f ( 0 + ) e − (b / a ) t (1.20)
25
Analisis Transien Rangkaian Orde-1
Tanggapan Paksa :
ditentukan oleh fungsi pemaksa.
merupakan komponen mantap; tetap ada untuk t →∞.
Tanggapan Alami :
tidak ditentukan oleh fungsi pemaksa.
merupakan komponen transien; hilang pada t →∞.
konstanta waktu τ = a/b
y = y p (t ) − y p ( 0 + ) e − t / τ + y ( 0 + ) e − t / τ
27
Analisis Transien Rangkaian Orde-1
Soal-Soal
2. Saklar S pada rangkaian di bawah ini, telah lama berada pada posisi A.
Pada t = 0, ia dipindahkan ke posisi B. Carilah vC untuk t > 0.
S
A +
+ 1kΩ B 1kΩ
10µF vC
− 20 V
−
2kΩ +
+ 1kΩ vC
− 18 V 2kΩ 1µF
−
0,6kΩ +
+ 0,5kΩ
0,1µF vC
− 20 V 2kΩ −
29
Analisis Transien Rangkaian Orde-1
8kΩ 3kΩ +
+ vo
− 20 V 2kΩ
0,1µF −
6kΩ 10kΩ +
+ vo
− 20 V 3H 20kΩ
−
12Ω + 2H i
5Ω
S v 4Ω
5A _ 1Ω
31
Analisis Transien Rangkaian Orde-2
33
Analisis Transien Rangkaian Orde-2
d 2v dv
LC 2
+ RC + v = vin (2.2)
dt dt
Persamaan (2.2) adalah persamaan diferensial orde-2, yang merupakan
diskripsi lengkap rangkaian, dengan tegangan kapasitor sebagai peubah.
Untuk memperoleh persamaan rangkaian dengan arus induktor i sebagai
peubah, kita manfaatkan hubungan arus-tegangan kapasitor, yaitu
dv 1
i = iC = C
dt
→v=
C
idt ∫
sehingga (2.1) menjadi:
di 1
L + Ri +
dt C ∫
idt + v(0) = vin atau
d 2i di dv
LC 2
+ RC + i = C in = iin (2.3)
dt dt dt
Persamaan (2.2) dan (2.3) sama bentuknya, hanya peubah sinyalnya
yang berbeda. Hal ini berarti bahwa tegangan kapasitor ataupun arus
induktor sebagai peubah akan memberikan persamaan rangkaian yang
setara. Kita cukup mempelajari salah satu di antaranya.
Rangkaian RLC Paralel. Perhatikan rangkaian RLC paralel seperti pada
Gb.2.2. Aplikasi HAK
pada simpul A mem- A is
berikan
iR + iL + iC = is iR iC +
iL = i v
Hubungan ini dapat din- L C
R −
yatakan dengan arus
induktor iL = i sebagai
peubah, dengan meman- B
faatkan hubungan v =vL
=L di/dt, sehingga iR = Gb.2.2. Rangkaian paralel RLC
v/R dan iC = C dv/dt .
v dv
+i+C = is atau
R dt
(2.4)
d 2i L di
LC + + i = is
dt 2 R dt
Persamaan rangkaian paralel RLC juga merupakan persamaan diferensial
orde-2.
vC (0 + ) = vC (0 − ) dan i L ( 0 + ) = i L (0 − )
Dalam penerapannya, kedua kondisi awal ini harus dijadikan satu, arti-
nya vC dinyatakan dalam iL atau sebaliknya iL dinyatakan dalam vC , ter-
gantung dari apakah peubah y pada (2.25) berupa tegangan kapasitor
ataukah arus induktor.
Sebagai contoh, pada rangkaian RLC seri hubungan antara vC dan iL ada-
lah
dvC + dvC + i (0 + )
i (0 + ) = iL (0 + ) = iC (0 + ) = C (0 ) atau (0 ) =
dt dt C
Dengan demikian jika peubah y adalah tegangan kapasitor, dua kondisi
awal yang harus diterapkan, adalah:
35
Analisis Transien Rangkaian Orde-2
dvC + i (0 + )
vC (0+ ) = vC (0− ) dan (0 ) = L .
dt C
Contoh lain adalah rangkaian paralel RLC; hubungan antara vC dan iL
adalah
diL + diL + v (0 + )
vC (0+ ) = vL (0+ ) = L (0 ) atau (0 ) = C
dt dt L
Dengan demikian jika peubah y adalah arus induktor, dua kondisi awal
yang harus diterapkan, adalah:
diL + v (0 + )
i L (0 + ) = i L (0 − ) dan (0 ) = C .
dt L
Secara umum, dua kondisi awal yang harus kita terapkan pada (2.5) ada-
lah
dy +
y (0 + ) = y (0 − ) dan (0 ) = y ' (0 + )
dt (2.6)
+
dengan y ' (0 ) dicari dari hubungan rangkaian
d2y dy
a 2
+b + cy = 0 (2.7)
dt dt
Agar persamaan ini dapat dipenuhi, y dan turunannya harus mempunyai
bentuk sama sehingga dapat diduga y berbentuk fungsi eksponensial ya =
Kest dengan nilai K dan s yang masih harus ditentukan. Kalau solusi ini
dimasukkan ke (2.7) akan diperoleh :
as 2 + bs + c = 0 (2.9)
Persamaan ini adalah persamaan karakteristik rangkaian orde-2. Secara
umum, persamaan karakteristik yang berbentuk persamaan kwadrat itu
mempunyai dua akar yaitu :
− b ± b 2 − 4ac
s1, s2 = (2.10)
2a
Akar-akar persamaan ini mempunyai tiga kemungkinan nilai, yaitu: dua
akar riil berbeda, dua akar sama, atau dua akar kompleks konjugat.
Konsekuensi dari masing-masing kemungkinan nilai akar ini terhadap
bentuk gelombang tanggapan rangkaian akan kita lihat lebih lanjut.
Untuk sementara ini kita melihat secara umum bahwa persamaan
karakteristik mempunyai dua akar.
Dengan adanya dua akar tersebut maka kita mempunyai dua tanggapan
alami, yaitu:
Jika ya1 merupakan solusi dan ya2 juga merupakan solusi, maka jumlah
keduanya juga merupakan solusi. Jadi tanggapan alami yang kita cari
akan berbentuk
37
Analisis Transien Rangkaian Orde-2
Dua Akar Riil Berbeda. Kalau kondisi awal y(0+) dan dy/dt (0+) kita
terapkan pada tanggapan lengkap (2.12), kita akan memperoleh dua
persamaan yaitu
Berikut ini kita lihat suatu contoh. Seperti halnya pada rangkaian orde-1,
pada rangkaian orde-2 ini kita juga mengartikan tanggapan rangkaian
sebagai tanggapan lengkap. Hal ini didasari oleh pengertian tentang kon-
disi awal, yang hanya dapat diterapkan pada tanggapan lengkap. Rang-
kaian-rangkaian yang hanya mempunyai tanggapan alami kita fahami
sebagai rangkaian dengan tanggapan paksa yang bernilai nol.
CONTOH-2.1: Saklar S 1H
S 1 2
pada rangkaian di samp-
ing ini telah lama berada
pada posisi 1. Pada t = 0 + + i
iC
saklar dipindahkan ke − v 8,5 kΩ
15 V
posisi 2. Tentukan − 0,25 µF
tegangan kapasitor , v ,
untuk t > 0.
Solusi :
Kondisi mantap yang telah tercapai pada waktu saklar di posisi 1
membuat kapasitor bertegangan sebesar tegangan sumber, sementara
induktor tidak dialiri arus. Jadi
v(0− ) = 15 V ; i (0 − ) = 0
d dv dv
−v+L − C + R − C = 0
dt dt dt
d 2v dv
→ LC + RC +v = 0
2 dt
dt
Jika nilai-nilai elemen dimasukkan dan dikalikan dengan 4×106
maka persamaan rangkaian menjadi
d 2v dv
+ 8,5 × 103 + 4 × 106 v = 0
2 dt
dt
39
Analisis Transien Rangkaian Orde-2
Dua Akar Riil Sama Besar. Kedua akar yang sama besar tersebut dapat
kita tuliskan sebagai
s1 = s dan s2 = s + δ ; dengan δ → 0 (2.15)
Kalau kondisi awal pertama y(0+) kita terapkan, kita akan memperoleh
Jika kondisi awal kedua dy/dt (0+) kita terapkan, kita peroleh
B − A0 s
A0 s + K 2δ = B0 → K 2 = 0
δ
(2.17)
B − A0 s
→ K1 = A0 − 0
δ
Tanggapan lengkap menjadi
B − A0 s st B0 − A0 s ( s + δ)t
y = y p + A0 − 0 e + e
δ δ
B − A0 s B0 − A0 s δ t st
= y p + A0 − 0 + e e (2.18.a)
δ δ
1 e δ t st
= y p + A0 + ( B0 − A0 s ) − + e
δ δ
1 eδ t δt
Karena lim − + = lim e − 1 = t maka tanggapan lengkap
δ → 0 δ δ δ→0 δ
(2.18.a) dapat kita tulis
y = y p + [A0 + ( B0 − A0 s) t ] e st (2.18.b)
y = y p + [K a + K b t ] e st (2.18.c)
41
Analisis Transien Rangkaian Orde-2
d 2v dv
Persamaan rangkaian adalah : 2
+ 4 × 103 + 4 × 106 v = 0
dt dt
Persamaan karakteristik : s 2 + 4000s + 4 × 106 = 0
= Kbe st + (K a + Kbt ) s e st
dv dv +
→ (0 ) = 0 = K b + K a s
dt dt
→ Kb = − K a s = 30000 ⇒ Jadi : v = (15 + 30000t ) e − 2000 t V
dv +
Aplikasi kondisi awal yang kedua, (0 ) = y′(0 + ) , pada (2.19) mem-
dt
berikan
dy dy p
dt
=
dt
( ) (
+ jβK1e jβt − jβK 2e − jβt eαt + K1e jβt + K 2 e − jβt α e αt )
(0 ) = y′(0 + ) = y′p (0 + ) + ( jβK1 − jβK 2 ) + (K1 + K 2 ) α
dy +
dt
→ jβ(K1 − K 2 ) + α(K1 + K 2 ) = y′(0 + ) − y′p (0 + ) = B0
43
Analisis Transien Rangkaian Orde-2
d 2v dv
+ 103 + 4 × 106 v = 0
2 dt
dt
dv
Persamaan karakteristik : s 2 + 1000 + 4 × 10 6 = 0
dt
akar - akar : s1 , s 2 = −500 ± 500 2 − 4 ×10 6
= −500 ± j 500 15
Di sini terdapat dua akar kompleks konjugat :
α ± jβ dengan α = −500 ; β = 500 15
Tanggapan lengkap diduga akan berbentuk
v = v p + (K a cos β t + K b sin βt ) e αt
= 0 + (K a cos βt + K b sin βt ) e αt
Aplikasi kondisi awal pertama memberikan : v(0 + ) = 15 = K a
Aplikasi kondisi awal kedua
= (− K a β sin βt + K b β cos βt ) e αt
dv
dt
+ (K a cos βt + K b sin β t ) α e αt
dv + − αK a 500 × 15
(0 ) = 0 = K b β + αK a → K b = = = 15
dt β 500 15
Jadi tanggapan lengkap adalah :
(
v = 15 cos(500 15 t ) + 15 sin(500 15 t ) e −500t V)
Contoh 2.1, 2.2, dan 2.3 menunjukkan tiga kemungkinan bentuk tangga-
pan, yang ditentukan oleh akar-akar persamaan karakteristik.
a). Jika persamaan karakteristik mempunyai dua akar yang berbeda,
tanggapan alami akan merupakan jumlah dari dua suku yang masing-
masing merupakan fungsi eksponenial. Dalam kasus seperti ini, tangga-
pan rangkaian merupakan tanggapan amat teredam.
b). Jika persamaan karakteristik mempunyai dua akar yang sama besar,
maka tanggapan alami akan merupakan jumlah dari fungsi eksponensial
dan ramp teredam. Tanggapan ini merupakan tanggapan teredam kritis.
c). Jika persamaan karakteristik mempunyai dua akar kompleks konju-
gat, maka tanggapan alami merupakan jumlah dari fungsi-fungsi sinus
teredam. Jadi tanggapan rangkaian berosilasi terlebih dulu sebelum
akhirnya mencapai nol, dan disebut tanggapan kurang teredam. Bagian
riil dari akar persamaan karakteristik menentukan peredaman; sedangkan
bagian imajinernya menentukan frekuensi osilasi. (Gambar di bawah ini
menunjukkan perubahan v pada contoh-contoh di atas.)
v 20
[V]
15
teredam kritis (contoh 2.2)
10
sangat teredam (contoh 2.1)
5
0
0 0.002 0.004 0.006 0.008 0.01t [s]
-5
kurang teredam (contoh 2.3)
-10
45
Analisis Transien Rangkaian Orde-2
⇒ 2v A +
d
(v A − µ vB ) − vs − vB = 0
dt
1 v dv
vB 6 + i2 − A6 = 0 ⇒ vB + B − v A = 0
10 10 dt
dv
⇒ v A = vB + B
dt
Dua persamaan diferensial orde satu ini jika digabungkan akan memberi-
kan persamaan diferensial orde-2.
dv B dv B d 2v B dv
2v B + 2 + + − µ B − v B = vs = 10 atau
dt dt 2 dt
dt
d 2vB dv B
+ (3 − µ) + vB = 10
2 dt
dt
Pers. karakteristik : s 2 + (3 − µ) s + 1 = 0
− (3 − µ) ± (3 − µ) 2 − 4
→ s1, ss =
2
Dugaan tanggapan lengkap : vB = vBp + K1es1t + K 2es 2t
Dugaan tanggapan paksa : vBp = K3 → 0 + 0 + K3 = 10
⇒ vBp = 10
d 2vB dv B
+ (3 − µ) + v B = 10 atau
2 dt
dt
d 2vB dv B
+ + v B = 10
2 dt
dt
Pers. karakteristik : s 2 + s + 1 = 0
−1± 1− 4
→ s1, ss = = −0,5 ± j 0,5 3
2
(dua akar kompleks konjugat : α ± jβ ; α = −0,5 ; β = 0,5 3 )
Tanggapan lengkap diduga berbentuk :
vB = vBp + (K a cos β t + Kb sin β t ) eαt
Tanggapan paksa : vBp = K → 0 + 0 + K = 10 ⇒ vBp = 10
Tanggapan lengkap : vB = 10 + (K a cos β t + Kb sin β t ) eαt
47
Analisis Transien Rangkaian Orde-2
d2y dy
a +b + cy = A cos(ωt + θ)
2 dt
dt
Persamaan karakterisik serta akar-akarnya tidak berbeda dengan apa
yang telah kita bahas untuk sumber tegangan konstan, dan memberikan
tanggapan alami yang berbentuk
va = K1e s1t + K 2e s 2 t
d 2v dv
+5 + 6v = 156 cos 3t
2 dt
dt
49
Analisis Transien Rangkaian Orde-2
30
v [V] 20 vs
i [A] v
10
0 t [s]
-10 0 i 2 4 6 8 10
-20
-30
vB 1 v
Simpul B : +
6 L ∫
v B dt + i L (0) − = 0 → v B + 6 v B dt − v = 0
6 ∫
dv B dv d dv
→ + 6v B − = 0 → 2,5v + 1,5 − 1,5v s
dt dt dt dt
dv dv
+ 6 2,5v + 1,5 − 1,5v s − =0
dt dt
d 2v dv dv
→ 1,5 + 10,5 + 15v = 9v s + 1,5 s atau
2 dt dt
dt
d 2v dv dv
2
+7 + 10v = 6vs + s
dt dt dt
Dengan tegangan masukan vs = 10cos5t maka persamaan rangkaian
menjadi
50 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)
Analisis Transien Rangkaian Orde-2
d 2v dv
+7 + 10v = 60 cos 5t − 50 sin 5t
2 dt
dt
Persamaan karakteristik : s 2 + 7 s + 10 = 0
51
Analisis Transien Rangkaian Orde-2
Soal-Soal
1. Carilah bentuk gelombang tegangan yang memenuhi persamaan difer-
ensial berikut.
d 2v dv
a). +7 + 10v = 0 ,
2 dt
dt
dv +
v(0 + ) = 0, (0 ) = 15 V/s
dt
d 2v dv
b). +4 + 4v = 0 ,
2 dt
dt
dv +
v(0 + ) = 0 V, (0 ) = 10 V/s
dt
d 2v dv
c). +4 + 5v = 0 ,
2 dt
dt
dv +
v (0 + ) = 0 V, (0 ) = 5 V/s
dt
d 2v dv
a). + 10 + 24v = 100u (t ) ,
dt 2 dt
dv(0)
v(0 + ) = 5, = 25 V/s
dt
d 2v dv
b). + 10+ 25v = 100u (t ) ,
2 dt
dt
dv(0)
v(0 + ) = 5 V, = 10 V/s
dt
d 2v dv
c). +8 + 25v = 100u (t ) ,
dt 2 dt
dv(0)
v(0 + ) = 5 V, = 10 V/s
dt
53
Analisis Transien Rangkaian Orde-2
S + vC −
A − +
+ 0,4kΩ B
− 15 V 15 V 0,01µF
25kΩ 10mH
4kΩ +
+ vC
vs − 50pF
50mH −
10. Setelah terbuka dalam waktu cukup lama, saklar S pada rangkaian di
bawah ini ditutup pada t = 0. Tentukan v1 dan v2 untuk t > 0.
S
+ 12V + 4Ω 4Ω + +
− v1 v2
6V −
0,05F − 0,05F
−
i
0,25F
S 4Ω + +
+ 8Ω
− v1 − 2v1
12V 0,25F
−
12. Rangkaian di bawah ini tidak memiliki simpanan energi awal. Tentu-
kan v untuk t > 0 jika is = [2cos2t] u(t) A dan vs = [6cos2t] u(t) V.
− v +
5H 0,05F +
is vs
10Ω 10Ω −
55
Analisis Transien Rangkaian Orde-2
Kita telah melihat bahwa analisis di kawasan fasor lebih sederhana di-
bandingkan dengan analisis di kawasan waktu karena tidak melibatkan
persamaan diferensial melainkan persamaan-persamaan aljabar biasa.
Akan tetapi analisis ini terbatas hanya untuk sinyal sinus dalam keadaan
mantap. Berikut ini kita akan mempelajari analisis rangkaian di kawasan
s, yang dapat kita terapkan pada analisis rangkaian dengan sinyal sinus
maupun bukan sinus, keadaan mantap maupun keadaan peralihan.
Dalam analisis di kawasan s ini, sinyal-sinyal fungsi waktu f(t), ditrans-
formasikan ke kawasan s menjadi fungsi s, F(s). Sejalan dengan itu
pernyataan elemen rangkaian juga mengalami penyesuaian yang men-
gantarkan kita pada konsep impedansi di kawasan s. Perubahan pern-
yataan suatu fungsi dari kawasan t ke kawasan s dilakukan melalui
Transformasi Laplace, yang secara matematis didefinisikan sebagai suatu
integral
∞
F (s) = ∫0 f (t )e − st dt
55
Transformasi Laplace
57
Transformasi Laplace
ω
L [( A sin ωt ) u(t )] = A (3.6)
s + ω2
2
5 × 10 50
b). v2 (t ) = 5 sin(10t )u (t ) → V2 ( s ) = =
s 2 + (10) 2 s 2 + 100
3
c). v3 (t ) = 3e − 2t u (t ) → V3 ( s) =
s+2
59
Transformasi Laplace
dengan F1(s) dan F2(s) adalah transformasi Laplace dari f1(t) dan f2(t).
Solusi :
1 3
a). v1 (t ) = (1 + 3e − 2t ) u (t ) → V1 ( s ) = +
s s+2
e jωt + e − jωt
b). v 2 (t) = A cos(ωt )u (t ) = A u (t )
2
A j ωt
=
2
(
e u (t ) + e − jωt u (t ) )
A 1 1 A 2s As
V2 ( s ) = + = =
2 s − jω s + jω 2 s 2 + ω 2 s + ω2
2
3.3.3. Integrasi
Sebagaimana kita ketahui karakteristik i-v kapasitor dan induktor meli-
batkan integrasi dan diferensiasi. Karena kita akan bekerja di kawasan s,
kita perlu mengetahui bagaimana ekivalensi proses integrasi dan diferen-
siasi di kawasan t tersebut. Transformasi Laplace dari integrasi suatu
fungsi dapat kita lihat sebagai berikut.
t
Misalkan f (t ) = ∫0 f1( x)dx . Maka
∞ ∞ ∞ − st
t e − st t e
∫ ∫0
F ( s ) = f1 ( x)dx e − st dt = ∫0 f1 ( x)dx − ∫ −s f1 (t ) dt
0
− s 0 0
Suku pertama ruas kanan persamaan di atas akan bernilai nol untuk t = ∞
karena e−st = 0 pada t→∞ , dan juga akan bernilai nol untuk t = 0 karena
integral yang di dalam tanda kurung akan bernilai nol (intervalnya nol).
Tinggallah suku kedua ruas kanan; jadi
∞ − st ∞
e 1 − st F1 ( s )
F (s) = − ∫ −s
f1 (t ) dt =
s ∫ f1(t )e dt =
s
(3.8)
0 0
61
Transformasi Laplace
3.3.4. Diferensiasi
Transformasi Laplace dari suatu diferensiasi dapat kita lihat sebagai
berikut.
df1 (t )
Misalkan f (t ) = maka
dt
F (s) = ∫0
∞ df1 (t ) − st
dt
[
e dt = f1 (t ) e − st ] −∫
∞
0
∞
0
f1 (t )( − s ) e − st dt
Suku pertama ruas kanan bernilai nol untuk t = ∞ karena e−st = 0 untuk
t→ ∞ , dan bernilai −f(0) untuk t = 0. Dengan demikian dapat kita tulis-
kan
∞
L
df1 (t )
=s ∫0 f (t )e − st dt − f (0) = sF1 ( s ) − f1 (0) (3.9)
dt
Penurunan di atas dapat kita kembangkan lebih lanjut sehingga kita men-
dapatkan transformasi dari fungsi-fungsi yang merupakan fungsi turunan
yang lebih tinggi.
d 2 f1 (t )
jika f (t ) = → F ( s) = s 2 F1 (s) − sf1 (0) − f1′ (0)
dt 2 (3.10)
3
d f1 (t )
jika f (t ) = → F (s) = s 3F1 ( s) − s 2 f1 (0) − sf1′ (0) − f1′′(0)
dt 3
3.3.5. Translasi di Kawasan t
Sifat transformasi Laplace berkenaan dengan translasi di kawasan t ini
dapat dinyatakan sebagai berikut
Jika transformasi Laplace dari f(t) adalah F(s), maka
transformasi Laplace dari f(t−a)u(t−a) untuk a > 0 adalah
e−asF(s).
Hal ini dapat kita lihat sebagai berikut. Menurut definisi, transformasi
Laplace dari f(t−a)u(t−a) adalah
∞
∫0 f (t − a )u (t − a)e − st dt
Karena u(t−a) bernilai nol untuk t < a dan bernilai satu untuk t > a , ben-
tuk integral ini dapat kita ubah batas bawahnya serta tidak lagi menulis-
kan faktor u(t−a), menjadi
∞ ∞
∫0 f (t − a )u (t − a)e − st dt = ∫a f (t − a)e − st dt
63
Transformasi Laplace
A A A(1 − e − as )
F (s) = − e − as =
s s s
3.3.6. Translasi di Kawasan s
Sifat mengenai translasi di kawasan s dapat dinyatakan sebagai berikut.
Jika transformasi Laplace dari f(t) adalah F(s) , maka
transformasi Laplace dari e−αtf(t) adalah F(s + α).
Bukti dari pernyataan ini dapat langsung diperoleh dari definisi trans-
formasi Laplace, yaitu
∞ − αt ∞
∫0 e f (t )e − st dt = ∫0 f (t )e − ( s + α )t dt = F ( s + α) (3.19)
Solusi :
1
a). Karena untuk v(t ) = tu (t ) → F ( s ) = ,
s2
1
maka jika v1 (t ) = tu (t )e − αt ⇒ V1 ( s ) =
( s + α) 2
s
b). Karena untuk v(t ) = cos ωt u (t ) → V ( s ) = ,
s + ω2
2
s+α
maka jika v2 (t ) = e − αt cos ωt u (t ) ⇒ V2 ( s ) =
( s + α ) 2 + ω2
Bukti dari sifat ini dapat langsung diperoleh dari definisinya. Dengan
mengganti peubah t menjadi τ = at maka transformasi Laplace dari f(at)
adalah:
s
∞ 1 ∞ − τ 1 s
− st
∫0 f (at )e dt = ∫
a 0
f ( τ )e a dτ = F
a a
(3.12)
Jadi, jika skala waktu diperbesar (a > 1) maka skala frekuensi s mengecil
dan sebaliknya apabila skala waktu diperkecil (a < 1) maka skala
frekuensi menjadi besar.
3.3.8. Nilai Awal dan Nilai Akhir
Sifat transformasi Laplace berkenaan dengan nilai awal dan nilai akhir
dapat dinyatakan sebagai berikut.
65
Transformasi Laplace
s+3
lim v(t ) = lim sV ( s ) = lim s × 100 =0
t →0 + s →∞ s →∞ s ( s + 5)( s + 20)
s+3
lim v(t ) = lim sV ( s ) = lim s × 100 =3
t →∞ s →0 s →0 s ( s + 5)(s + 20)
diferensiasi :
df (t ) sF ( s ) − f (0 − )
dt
d 2 f (t ) s 2 F ( s ) − sf (0− ) − f ′(0− )
dt 2
d 3 f (t ) s 3 F ( s ) − s 2 f (0 − )
− sf (0 − ) − f ′′(0 − )
3
dt
translasi di s : e− at f (t ) F ( s + a)
t
konvolusi : ∫0 f1 ( x) f 2 (t − x)dx F1 ( s ) F2 ( s )
67
Transformasi Laplace
Solusi :
jω
a). Fungsi ini mempunyai pole di s = −1
tanpa zero × σ
tertentu. −1
jω
b). Fungsi ini mempunyai zero di s = −a. +jb
Pole dapat dicari dari σ
−a
( s + a) + b = 0 → pole di s = −a ± jb
2 2
−jb
c). Fungsi ini tidak mempunyai zero tertentu jω
sedangkan pole terletak di titik asal, s = 0 +
j0. σ
Jika jumlah pole lebih besar dari jumlah zero, jadi n > m, kita katakan
bahwa fungsi ini merupakan fungsi rasional patut. Jika fungsi ini mem-
iliki pole yang semuanya berbeda, jadi pi ≠ pj untuk i ≠ j , maka dikata-
kan bahwa F(s) mempunyai pole sederhana. Jika ada pole yang berupa
bilangan kompleks kita katakan bahwa fungsi ini mempunyai pole
kompleks. Jika ada pole-pole yang bernilai sama kita katakan bahwa
fungsi ini mempunyai pole ganda.
69
Transformasi Laplace
Solusi :
4 k k
a). F (s) = = 1 + 2
( s + 1)(s + 3) s + 1 s + 3
4 k
→ F ( s ) × ( s + 1) → = k1 + 2 ( s + 1)
( s + 3) s+3
4
→ substitusi s = −1 → = k1 → k1 = 2
−1+ 3
4
→ F ( s ) × ( s + 3) dan substitusi s = −3 → = k 2 → k2 = −2
− 3+1
2 −2
⇒ F (s) = + ⇒ f (t ) = 2e −t − 2e −3t
s +1 s + 3
4( s + 2) k k
b). F (s) = = 1 + 2
( s + 1)(s + 3) s + 1 s + 3
4(−1 + 2)
→ F ( s ) × ( s + 1) dan substitusi s = −1 → = k1 → k1 = 2
−1+ 3
4(−3 + 2)
→ F ( s ) × ( s + 3) dan substitusi s = −3 → = k2 → k2 = 2
− 3+1
2 2
⇒ F (s) = + ⇒ f (t ) = 2e −t + 2e −3t
s +1 s + 3
6( s + 2) k k k
c). F (s) = = 1+ 2 + 3
s ( s + 1)(s + 4) s s + 1 s + 4
6( s + 2) 6( s + 2)
→ k1 = = 3 ; k2 = = −2 ;
( s + 1)( s + 4) s =0
s ( s + 4) s = −1
6( s + 2)
k3 = = −1
s ( s + 1) s = −4
3 −2 −1
⇒ F( s) = + + → f (t ) = 3 − 2e −t − e − 4t
s s +1 s + 4
71
Transformasi Laplace
sebab jika tidak maka koefisien polinomial tersebut tidak akan riil. Jadi
untuk sinyal yang memang secara fisik kita temui, pole kompleks dari
F(s) haruslah terjadi secara berpasangan konjugat. Oleh karena itu uraian
F(s) harus mengandung dua suku yang berbentuk
k k*
F (s) = L + + +L (3.17)
s + α − jβ s + α + jβ
Residu k dan k* pada pole konjugat juga merupakan residu konjugat se-
bab F(s) adalah fungsi rasional dengan koefisien rasional. Residu ini
dapat kita cari dengan cara yang sama seperti mencari residu pada uraian
fungsi dengan pole sederhana. Kita cukup mencari salah satu residu dari
pole kompleks karena residu yang lain merupakan konjugatnya.
Transformasi balik dari dua suku dengan pole kompleks akan berupa
cosinus teredam. Tansformasi balik dari dua suku pada (3.17) adalah
f (t ) = L + 2 k e −αt cos(β + θ) + L
Solusi :
Fungsi ini mempunyai pole sederhana di s = 0, dan pole kompleks
yang dapat ditentukan dari faktor penyebut yang berbentuk kwadrat,
yaitu
− 4 ± 16 − 32
s= = −2 ± j 2
2
8 k1 k2 k2∗
F (s) = = + +
s ( s 2 + 4s + 8) s s + 2 − j2 s + 2 + j2
8 8
→ k1 = ×s = =1
s ( s + 4s + 8)
2
s =0
8
8
→ k2 = × ( s + 2 − j 2)
s ( s + 4s + 8)
2
s = −2 + j 2
8 8 2 j (3π / 4 )
= = = e
s ( s + 2 + j 2) s = −2 + j 2 − 8 − j 8 2
2 − j (3π / 4 )
→ k 2∗ = e
2
2 j (3π / 4 ) − ( 2 − j 2 )t 2 − j (3π / 4) − ( 2 + j 2 )t
⇒ f(t) = u (t ) + e e + e e
2 2
= u (t ) +
2
e e [
2 − 2t j (3π / 4 + 2t )
+ e − j (3π / 4 + 2t ) ]
= u (t ) + 2e − 2t cos(2t + 3π / 4)
73
Transformasi Laplace
1 K ( s − z1 )
F (s) = (3.20)
s − p2 ( s − p1 )(s − p2 )
Bagian yang didalam tanda kurung dari (3.20) mengandung pole
sederhana sehingga kita dapat menguraikannya seperti biasa.
K ( s − z1 ) k1 k2
F1 ( s ) = = + (3.21)
( s − p1 )(s − p2 ) s − p1 s − p2
Residu pada (3.21) dapat ditentukan, misalnya k1 = A dan k2 = B , dan
faktor yang kita keluarkan kita masukkan kembali sehingga (3.20)
menjadi
1 A B A B
F (s) = + = +
s − p2 s − p1 s − p2 ( s − p2 )(s − p1 ) ( s − p2 ) 2
s 1 s
F( s) = =
( s + 1)( s + 2) 2 ( s + 2) ( s + 1)(s + 2)
1 k1 k
= + 2
( s + 2) s + 1 s + 2
s s
→ k1 = = −1 → k2 = =2
( s + 2) s = −1
( s + 1) s = −2
1 −1 2 −1 2
⇒ F( s) = + = +
( s + 2) s + 1 s + 2 ( s + 1)( s + 2) ( s + 2) 2
k k 2
= 11 + 12 +
s + 1 s + 2 ( s + 2) 2
−1 −1
→ k11 = = −1 → k12 = =1
s+2 s = −1 s + 1 s = −2
−1 1 2
⇒ F (s) = + + ⇒ f (t ) = −e −t + e − 2t + 2te − 2t
s + 1 s + 2 ( s + 2) 2
3.4.6. Konvolusi
Transformasi Laplace menyatakan secara timbal balik bahwa
jika f (t ) = f1 (t ) + f 2 (t ) maka F (s) = F1 ( s ) + F2 ( s )
Mencari fungsi f(t) dari suatu fungsi F(s) yang merupakan hasil kali dua
fungsi s yang berlainan, melibatkan sifat transformasi Laplace yang kita
sebut konvolusi. Sifat ini dapat dinyatakan sebagai berikut.
jika F ( s ) = F1 ( s ) F2 ( s ) maka
(3.24)
L−1[F ( s)] = f (t ) = ∫ f1 (τ) f 2 (t − τ)dτ = ∫ f 2 (τ) f1 (t − τ)dτ
t t
0 0
Kita katakan bahwa transformasi balik dari perkalian dua F(s) diperoleh
dengan melakukan konvolusi dari kedua bentuk gelombang yang ber-
sangkutan. Kedua bentuk integral pada (3.24) disebut integral konvolusi.
Pandanglah dua fungsi waktu f1(τ) dan f2(t). Transformasi Laplace mas-
ing-masing adalah
∞ ∞
F1 ( s ) = ∫0 f1 (τ)e − sτ dτ dan F2 ( s ) = ∫0 f 2 (t )e − st dt .
Jika kedua ruas dari persamaan pertama kita kalikan dengan F2(s) akan
kita peroleh
75
Transformasi Laplace
∞
F1 ( s ) F2 ( s ) = ∫0 f1 (τ) e − sτ F2 ( s ) dτ .
1
F( s ) = F1 ( s )F2 ( s ) dengan F1 ( s ) = F2 ( s ) =
( s + a)
→ f1 (t ) = f 2 (t ) = e − at
t t − ax − a (t − x )
⇒ f (t ) = ∫0 f1( x) f 2 (t − x)dx = ∫0 e e dx
t − ax − at + ax t
= ∫0 e dx = e − at dx = te − at
∫0
b). Fungsi ini juga merupakan perkalian dari dua fungsi.
F( s ) = F1 ( s )F2 ( s ) dengan
1 1
F1 ( s ) = dan F2 ( s ) =
( s + a) ( s + b)
→ f1 (t ) = e − at dan f 2 (t ) = e − bt
t t − ax − b (t − x )
⇒ f (t ) = ∫0 f1( x) f 2 (t − x)dx = ∫0 e e dx
t
− bt t ( − a + b) x −bt
e ( − a + b) x
=e ∫0 e dx = e
− a + b 0
=
(
e −bt e( −a +b )t − 1
=
)
e − at − e −bt
−a+b −a+b
c). Fungsi ketiga ini juga dapat dipandang sebagai perkalian dua
fungsi.
1 1
F ( s ) = F1 ( s ) F2 ( s ) dengan F1 ( s ) = 2 dan F2 ( s ) =
s s + a
→ f1 (t ) = t dan f 2 (t ) = e − at
t t − a (t − x ) t
⇒ f (t ) = ∫0 f1( x) f 2 (t − x)dx = ∫0 xe dx = e − at ∫0 xe
ax
dx
t at ax
t
− at te − 0 e
ax t e ax
− at xe
=e − ∫
dx = e − 2
a 0 a a a 0
0
te − 0 e − 1 at − 1 + e
at at − at
= e − at − =
a a 2 a2
77
Transformasi Laplace
79
Transformasi Laplace
Solusi :
Aplikasi HTK pada rangkaian ini setelah saklar ada di posisi 2 ( t > 0
) memberikan
di 1
− 6 + 6i + L +
dt C ∫
idt + vC (0) = 0 atau
di
− 6 + 6i +
dt ∫
+ 13 idt + 4 = 0
2s + 2 k1 k1∗
= = +
( s + 3 − j 2)( s + 3 + j 2) s + 3 − j 2 s + 3 + j 2
2s + 2
= 1 + j1 = 2e j 45 → k1∗ = 2e − j 45
o o
→ k1 =
s + 3 + j2 s = −3+ j 2
2e − j 45
o o
2e j 45
⇒ I (s) = +
s + 3 − j2 s + 3 + j2
81
Transformasi Laplace
Soal-Soal
1. Carilah pernyataannya di kawasan s sinyal-sinyal berikut ini.
v1(t ) = 10[1 − e −2t ]u (t );
v2 (t ) = 10[1 + 4t ]u (t )
v3 (t ) = 10[e − 2t − e− 4t ]u (t );
v4 (t ) = 10[2e − 2t − 4e − 4t ]u (t )
83
Transformasi Laplace
4.1.2. Induktor
Hubungan antara arus dan tegangan induktor di kawasan t adalah
85
Analisis Rangkaian Menggunakan Transformasi Laplace
diL(t)
v L (t ) = L
dt
Transformasi Laplace dari vL adalah (ingat sifat diferensiasi dari trans-
formasi Laplace) :
∞ ∞ diL (t ) − st
VL ( s ) = ∫0 vL (t )e − st dt = ∫0 L e dt = sLI L ( s ) − LiL (0)
dt
dengan iL (0) adalah arus induktor pada saat awal integrasi dilakukan atau
dengan kata lain adalah arus pada t = 0. Kita ingat pada analisis transien
di Bab-4, arus ini adalah kondisi awal dari induktor, yaitu i(0+) = i(0−).
4.1.3. Kapasitor
Hubungan antara tegangan dan arus kapasitor di kawasan t adalah
1 t
vC (t ) =
C ∫0 iC (t )dt + vc (0)
Transformasi Laplace dari tegangan kapasitor adalah
I ( s ) vC (0)
VC ( s ) = C + (4.3)
sC s
dengan vC(0) adalah tegangan kapasitor pada t =0. Inilah hubungan te-
gangan dan arus kapasitor di kawasan s.
VR ( s ) V (s) V ( s) 1
ZR = = R ; ZL = L = sL ; Z C = C = (4.4)
I R (s) IL ( s ) IC ( s ) sC
− − −
Resistor Induktor Kapasitor
Gb.4.1. Representasi elemen di kawasan s.
I C ( s ) vC (0)
VR ( s ) = R I R ( s ) ; VL ( s ) = sLI L ( s ) − LiL (0) ; VC ( s ) = +
sC s
Representasi elemen di kawasan s dapat pula dilakukan dengan
menggunakan sumber arus untuk menyatakan kondisi awal induktor dan
kapasitor seperti terlihat pada Gb.4.2.
87
Analisis Rangkaian Menggunakan Transformasi Laplace
+ IL (s) IC (s)
IR (s)
+ 1
+
VR(s) R sL VL (s) i L (0 ) VC (s)
sC
− s − CvC(0)
−
Gb.4.2. Representasi elemen di kawasan s.
i ( 0)
VR ( s ) = R I R ( s ) ; VL ( s ) = sL I L ( s ) − L ;
s
VC ( s ) =
1
(I C ( s) + CvC (0) )
sC
2
Vs ( s ) =
s+3
Representasi kapasitor adalah impedansinya 1/sC = 2/s seri dengan
sumber tegangan 8/s karena tegangan kapasitor pada t = 0 adalah 8
V. Representasi induktor impedansinya sL = s tanpa diserikan den-
gan sumber tegangan karena arus induktor pada t = 0 adalah nol.
Transformasi rangkaian ke kawasan s untuk t > 0 adalah
3 s 2 +
2 + s
VC(s)
s+3 − 8 +
s − −
∞ n n
∞
n
∫0 ∑ ik (t ) e − st dt =
k =1
∑ ∫0 ik (t )e− st dt = ∑ I k (s) = 0
k =1 k =1
(4.7)
Jadi hukum arus Kirchhoff (HAK) berlaku di kawasan s. Hal yang sama
terjadi juga pada hukum tegangan Kirchhoff. Untuk suatu loop
89
Analisis Rangkaian Menggunakan Transformasi Laplace
n
∑ vk (t ) = 0
k =1
(4.8)
∞ n n
∞
n
⇒ ∫ ∑ vk (t ) e − st dt =
0
k =1
k =1
0
∑∫
vk (t )e − st dt =
k =1
∑
Vk ( s ) = 0
3 s +
+ 2 VC (s)
Vin (s)
− s −
Solusi :
Kaidah pembagi tegangan pada rangkaian ini memberikan
2/ s 2 2
VR ( s ) = Vin ( s) = Vin ( s) = Vin ( s)
2 s + 3s + 2
2 ( s + 1)( s + 2)
3+ s +
s
Pemahaman :
Jika Vin(s) = 10/s maka
20 k k k
VC ( s ) = = 1+ 2 + 3
s ( s + 1)(s + 2) s s + 1 s + 2
20 20
→ k1 = = 10 ; k 2 = = −20 ;
( s + 1)( s + 2) s =0
s ( s + 2) s = −1
20
k3 = = 10
s ( s + 1) s = −2
10 − 20 10
⇒ VC ( s ) = + +
s s +1 s + 2
⇒ vC (t ) = 10 − 20e −t + 10e − 2t
dengan y(t) dan x(t) adalah keluaran dan masukan dan K adalah suatu
konstanta yang ditentukan oleh nilai-nilai resistor yang terlibat. Trans-
formasi Laplace dari kedua ruas hubungan diatas akan memberikan
Y ( s ) = KX ( s )
dengan Y(s) dan X(s) adalah sinyal keluaran dan masukan di kawasan s.
Untuk rangkaian impedansi,
Y (s) = K s X (s) (4.11)
91
Analisis Rangkaian Menggunakan Transformasi Laplace
R RCs
VR ( s) = Vin ( s ) = Vin ( s )
R + sL + (1 / sC ) LCs + RCs + 1
2
Yo ( s ) = K s1 X1 ( s ) + K s 2 X 2 ( s ) + K s 3 X 3 ( s ) + ⋅ ⋅ ⋅ (4.12)
B
R 1 E
s + B
s 2 + ω2
− sC A
N
Solusi :
1 / sC s s / RC
VT ( s ) = Vht ( s) = =
R + (1 / sC ) s 2 + ω2 ( s + 1 / RC )( s 2 + ω2 )
1 s
I N ( s ) = I hs ( s ) =
R s 2 + ω2
R / sC 1
ZT = R || (1 / RC ) = =
R + 1 / sC C ( s + 1 / RC )
B
ZT E
VT + B
− A
N
93
Analisis Rangkaian Menggunakan Transformasi Laplace
+
I1(s) IR (s) R IC (s) 1/sC V2(s)
−
Solusi :
Misalkan : V2 ( s ) = 1
1
→ VC ( s ) = V2 ( s ) = 1 → I C ( s) = = sC
1 / sC
→ I L ( s ) = I C ( s ) = sC → VL ( s ) = sL × sC = LCs 2
LCs 2 + 1
→ VR ( s ) = VL ( s) + VC ( s ) = LCs 2 + 1 → I R (s) =
R
LCs 2 + 1 LCs 2 + RCs + 1
⇒ I1* ( s ) = I R ( s ) + I L ( s ) = + sC =
R R
1 R
⇒ Ks = =
I1* ( s ) LCs + RCs + 1
2
R
⇒ V2 ( s ) = K s I1 ( s) = I1 ( s )
LCs + RCs + 1
2
R +
A + R Bβ
− sL Vo
s s 2 + β2
−
R +
+ A
R
− s sL Vo1
−
RLs
→ Z L // R =
R + sL
RLs
⇒ Vo1 ( s ) = R + sL
A L A/ 2
= A=
RLs s R + 2sL s + R / 2L
R+
R + sL
R +
R Bβ
sL Vo2
s 2 + β2
−
1 / sL Bβ
Vo2 ( s ) = sL × I L ( s ) = sL × ×
1 1 1 s 2 + β2
+ +
R R sL
sRL Bβ RBβ s
= × =
2sL + R s 2 + β 2 2 ( s + R / 2 L)( s 2 + β 2 )
95
Analisis Rangkaian Menggunakan Transformasi Laplace
⇒ Vo ( s) = Vo1 ( s ) + Vo2 ( s )
A/ 2 RBβ k1 k k
= + + 2 + 3
s + R / 2L 2 s + R / 2 L s + jβ s − jβ
s ( R / 2 L)
→ k1 = =−
(s + β )
2 2
s = − R / 2L
( R / 2 L) 2 + β 2
s 1 1
→ k2 = = = e jθ ,
( s + R / 2 L)(s − jβ) s = − jβ
R / L − j 2β ( R / L) + 4β
2 2
+ 2β
θ = tan −1
R/L
1
→ k3 = e − jθ
( R / L) + 4β
2 2
R
− t
− ( R / 2 L)
R e 2L
A − 2L t RBβ ( R / 2 L) 2 + β 2
⇒ vo (t ) = e +
2 2
+
1
(
e − j (βt − θ) + e j (βt − θ) )
( R / L) + 4β
2 2
R
A R 2 Bβ − 2 L t RBβ
⇒ vo (t ) = − e + cos(βt − θ)
2 R + 4 Lβ
2 2
( R / L) 2 + 4β 2
+ R/2
Vo
+ R Bβ A
sL − +
2 s +β
2 2 sR
−
sL R Bβ A
Vo ( s ) = × +
sL + R / 2 2 s + β
2 2 sR
A/ 2 ( RBβ / 2) s
Vo ( s ) = +
s + R / 2 L ( s + R / 2 L)( s 2 + β 2 )
Hasil ini sama dengan apa yang telah kita peroleh dengan metoda super-
posisi pada contoh 4.20. Selanjutnya transformasi balik ke kawasan t
dilakukan sebagaimana telah dilakukan pada contoh 4.20.
97
Analisis Rangkaian Menggunakan Transformasi Laplace
A/ 2 RBβ / 2
= +
s s 2 + β2
Dilihat dari terminal induktor, im-
pedansi ZT hanyalah berupa dua resis- ZT
tor paralel, yaitu +
+
− VT sL Vo
R −
ZT =
2
Dengan demikian maka tegangan induktor menjadi
sL sL A / 2 RBβ / 2
Vo ( s ) = VT ( s ) = +
sL + ZT sL + R / 2 s s 2 + β2
A/ 2 ( RBβ / 2) s
= +
s + R / 2 L ( s + R / 2 L)( s 2 + β 2 )
1 1 1 1 A Bβ
Vo ( s ) + + − − 2 =0
R R sL R s s + β2
Dari persamaan tersebut di atas kita peroleh
2 Ls + R A Bβ
Vo ( s ) = + atau
RLs Rs s + β2
2
RLs A Bβ
Vo ( s ) = +
2 Ls + R Rs s + β 2
2
A/ 2 ( RBβ / 2) s
= +
s + R / 2 L ( s + R / 2 L)(s 2 + β 2 )
99
Analisis Rangkaian Menggunakan Transformasi Laplace
i(t)
10mH
10kΩ
10 u(t) + 1µF
− 10kΩ
Solusi :
Transformasi rangkaian ke kawasan s adalah seperti gambar berikut
ini. Kita
tetapkan 0.01s 104 I(s)
4
referensi V1( s ) =
10 + 10 106
arus mesh s − IA IB
s
IA dan IB.
Persamaan
arus mesh dari kedua mesh adalah
−
10
s
( )
+ I A ( s ) 0.01s + 104 − I B ( s ) × 104 = 0
106
I B ( s )104 + 104 + − I A ( s ) × 104 = 0
s
Dari persamaan kedua kita peroleh:
→ I A ( s) =
(2s + 10 ) I2
B (s)
s
Sehingga:
⇒−
10
s
(
+ 0.01s + 10 4 )(
2s + 10 2
s
)
I B ( s ) − I B ( s ) × 10 4 = 0
10
⇒ I( s) = I B (s) =
0,02s + 2 × 10 s + s + 10 6 − 10 4 s
2 4
10 10
= =
0,02s + 10 s + 10
2 4 6 ( s − α )( s − β)
101
Analisis Rangkaian Menggunakan Transformasi Laplace
Soal-Soal
1. Sebuah resistor 2 kΩ dihubungkan seri dengan sebuah induktor 2 H;
kemudian pada rangkaian ini diterapkan sinyal tegangan v(t)=10u(t)
V. Bagaimanakah bentuk tegangan pada induktor dan pada resistor ?
Bagaimanakah tegangannya setelah keadaan mantap tercapai?
2. Ulangi soal 1 jika tegangan yang diterapkan v(t) = [20sin300t] u(t) V.
3. Ulangi soal 1 jika tegangan yang diterapkan v(t) = [20cos300t] u(t) V.
4. Rangkaian seri resistor dan induktor soal 1 diparalelkan kapasitor 0.5
µF. Jika kemudian pada rangkaian ini diterapkan tegangan
v(s)=10u(t) V bagaimanakah bentuk arus induktor ? Bagaimanakah
arus tersebut setelah keadaan mantap tercapai?
5. Ulangi soal 4 dengan tegangan masukan v(t)=[20sin300t]u(t) V.
6. Ulangi soal 4 dengan tegangan masukan v(t)=[20cos300t]u(t) V.
7. Sebuah kapasitor 2 pF diserikan dengan induktor 0,5 H dan pada
hubungan seri ini diparalelkan resistor 5 kΩ. Jika kemudian pada
hubungan seri-paralel ini diterapkan sinyal tegangan v(t)=10u(t) V,
bagaimanakah bentuk tegangan kapasitor ?
8. Ulangi soal 7 dengan tegangan masukan v(t) = [20sin300t] u(t) V.
9. Sebuah resistor 100 Ω diparalelkan dengan induktor 10 mH dan pada
hubungan paralel ini diserikan kapasitor 0,25 µF. Jika kemudian pada
hubungan seri-paralel ini diterapkan tegangan v(t) = 10u(t) V, carilah
bentuk tegangan kapasitor.
10. Ulangi soal 9 dengan tegangan masukan v(t) = [20sin300t] u(t) V.
11. Carilah tanggapan status nol (tidak ada simpanan energi awal pada
rangkaian) dari iL pada rangkaian berikut jika vs=10u(t) V.
1kΩ iL
+ vs 1kΩ
− 0.1H
12. Carilah tanggapan status nol dari vC dan iL pada rangkaian berikut
jika vs=100u(t) V.
5kΩ + iL
+ vs
− vC 50mH
0,05µF −
13. Carilah tanggapan status nol dari vC dan iL pada rangkaian berikut
jika vs=[10cos20000t]u(t) V.
500Ω + iL
+ vs vC 50mH
−
0,05µF −
0,05µF i
is
5kΩ 5kΩ
5kΩ +
is 0,1H vo
5kΩ
−
0,5kΩ +
+ vL is
− vs
− 0,1H 0,5kΩ
103
Analisis Rangkaian Menggunakan Transformasi Laplace
19. Carilah tanggapan status nol dari v2 pada rangkaian berikut jika vs =
[10cos(900t+30o)] u(t) V.
10mH +
10kΩ
+ v1 1µF v2
− 10kΩ −
20. Ulangi soal 17 jika tegangan awal kapasitor 5 V sedangkan arus awal
induktor nol.
21. Pada rangkaian berikut carilah tanggapan status nol dari tegangan
keluaran vo(t) jika tegangan masukan vs(t)=10u(t) mV.
i
10kΩ 0,1µF +
+ 10kΩ
vs vo
− 1kΩ 100i 100kΩ −
22. Pada rangkaian berikut carilah tanggapan status nol dari tegangan
keluaran vo(t) jika tegangan masukan vs(t)=10u(t) mV.
i
10kΩ 2pF 10kΩ +
vs + vo
− 20pF 1kΩ 50i −
R2 C2
R1
+
+ − +
vin
vo
C1
a).
10kΩ
10kΩ
−
+ 1µF + +
vin vo
b).
C1 R2
R1
−
+ C2 + +
vin
R2 vo
c).
L1=0,75H L2=1H
M = 0,5H
Zin L1 L2
50Ω
L1=20mH L2=2mH
105
Analisis Rangkaian Menggunakan Transformasi Laplace
107
Fungsi Jaringan
+ + Io(s)
R 1 Iin(s) 1
Vin(s) Vo(s) R
Cs Cs
− −
a). b).
Solusi :
Kaidah pembagi tegangan untuk rangkaian a) dan kaidah pembagi
arus untuk rangkaian b) akan memberikan :
Vo ( s ) 1 / Cs 1
a). TV ( s ) = = = ;
Vin ( s ) R + 1 / Cs RCs + 1
I (s) 1/ R 1
b). TI ( s ) = o = =
I in ( s) 1 / R + sC 1 + sRC
+ Ls +
R1
Vin(s) R2 Vo (s)
− 1/Cs −
Z in = (R1 + 1 / Cs ) || (Ls + R2 )
( R1 + 1 / Cs )( Ls + R2 )
=
R1 + 1 / Cs + R2 + Ls
( R1Cs + 1)( Ls + R2 )
=
LCs 2 + ( R1 + R2 )Cs + 1
Vo (s) R2
TV ( s ) = =
V in ( s ) Ls + R 2
109
Fungsi Jaringan
+ +
Vin(s) Vo(s)
1/C1s 1/C2s
− −
−
+
Zin = R1 || (1 / C1s ) =
R1 / C1s R1
=
R1 + 1 / C1s R1C1s + 1
V o (s) Z R || (1 / C 2 s )
TV ( s ) = =− 2 =− 2
V in ( s ) Z1 R1 || (1 / C1 s )
R2 R C s +1
=− × 1 1
R2 C 2 s + 1 R1
R R C s +1
=− 2 1 1
R1 R 2 C 2 s + 1
106/s
+ + + Vo(s)
106 A 106
Vs(s) Vx +
106/s − µVx
− −
( )
V A 10 −6 + 10 −6 + 10 −6 s
−6 −6
− Vin 10 − V x 10 = 0
− 10 −6 sµV x
106 / s
sedangkan : Vx = VA
106 + 106 / s
1
= VA → VA = ( s + 1)Vx
s +1
⇒ ( s + 1)(2 + s)Vx − Vin − Vx − sµVx = 0 atau
(2s + 2 + s 2 + s − 1 − µs )Vx = Vin
Vx 1
⇒ =
Vin s 2 + (3 − µ) s + 1
V ( s ) µV x ( s ) µ
Fungsi alih : TV ( s ) = o = =
V s (s) V s (s) s + (3 − µ) s + 1
2
Fungsi alih T(s) berupa fungsi rasional yang dapat dituliskan dalam ben-
tuk rasio dari dua polinom a(s) dan b(s) :
111
Fungsi Jaringan
b( s ) bm s m + bm −1 s m −1 ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ +b1 s + b0
T ( s) = = (5.5)
a ( s ) a n s n + a n −1 s n −1 ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ + a1 s + a 0
Nilai koefisien polinom-polinom ini berupa bilangan riil, karena ditentu-
kan oleh parameter rangkaian yang riil yaitu R, L, dan C. Fungsi alih
dapat dituliskan dalam bentuk
( s − z1 )(s − z 2 ) ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ( s − z m )
T ( s) = K (5.6)
( s − p1 )(s − p2 ) ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ( s − pn )
Dengan bentuk ini jelas terlihat bahwa fungsi alih akan memberikan zero
di z1 …. zm dan pole di p1 …. pn . Pole dan zero dapat mempunyai nilai
riil ataupun kompleks konjugat karena koefisien dari b(s) dan a(s) adalah
riil. Sementara itu sinyal masukan X(s) juga mungkin mengandung zero
dan pole sendiri. Oleh karena itu, sesuai dengan persamaan (5.6), sinyal
keluaran Y(s) akan mengandung pole dan zero yang dapat berasal dari
T(s) ataupun X(s). Pole dan zero yang berasal dari T(s) disebut pole
alami dan zero alami, karena mereka ditentukan semata-mata oleh
parameter rangkaian dan bukan oleh sinyal masukan; sedangkan yang
berasal dari X(s) disebut pole paksa dan zero paksa karena mereka
ditentukan oleh fungsi pemaksa (masukan).
CONTOH-5.6: Jika sinyal masukan pada rangkaian dalam contoh-5.5
adalah vin = cos2t u(t) , carilah pole dan zero sinyal keluaran Vo(s)
untuk µ = 0,5.
Solusi :
s
Pernyataan sinyal masukan di kawasan s adalah : Vin ( s ) =
s +4
2
0,5 s
=
( s + 2)( s + 0,5) ( s + j 2)( s − j 2)
Pole dan zero adalah :
Vo(s) yang diperoleh dengan X(s) = 1 ini kita sebut H(s) agar tidak rancu
dengan T(s). Karena X(s) = 1 tidak memberikan pole paksa, maka H(s)
hanya akan mengandung pole alami.
Kembali ke kawasan t, keluaran vo(t) = h(t) diperoleh dengan transfor-
masi balik H(s). Bentuk gelombang h(t) terkait dengan pole yang di-
kandung oleh H(s). Pole riil akan memberikan komponen eksponensial
pada h(t); pole kompleks konjugat (dengan bagian riil negatif ) akan
memberikan komponen sinus teredam pada h(t) dan pole-pole yang lain
akan memberikan bentuk-bentuk h(t) tertentu yang akan kita lihat me-
lalui contoh berikut.
CONTOH-5.7: Jika sinyal masukan pada rangkaian dalam contoh-5.5
adalah vin = δ(t) , carilah pole dan zero sinyal keluaran untuk nilai µ
= 0,5 ; 1 ; 2 ; 3 ; 4, 5.
Solusi :
µ
Fungsi alih rangkaian ini adalah : TV ( s ) =
s + (3 − µ) s + 1
2
113
Fungsi Jaringan
1 0,5
µ = 1 ⇒ H (s) = = ⇒ dua pole riil di s = −1
s + 2s + 1 ( s + 1) 2
2
2 2
µ = 2 ⇒ H (s) = =
s + s + 1 ( s + 0,5 − j 3 / 2)( s + 0,5 + j 3 / 2)
2
jω
0
0 20
×
-1 . 2
pole di + α ± jβ
× ×
pole di − α ± jβ
× × × σ
× ×
× pole riil positif
pole riil negatif
pole di 0+j0
(lihat pembahasan berikut)
115
Fungsi Jaringan
alami. Pole paksa ini terletak di s = 0 + j0; pole inilah yang ditambahkan
pada Gb. 5.3.
Mengingat sifat integrasi pada transformasi Laplace, maka g(t) dapat
diperoleh jika h(t) diketahui, yaitu
t
g (t ) = ∫0 h( x)dx (5.10)
Secara timbal balik, maka
dg (t )
h (t ) = , berlaku di semua titik kecuali di t
dt (5.11)
dimana g (t ) tidak kontinyu.
a). b).
Gb.5.4. Diagram blok
Suatu rangkaian pemroses sinyal seringkali merupakan hubungan
bertingkat dari beberapa tahap pemrosesan. Dalam hubungan bertingkat
ini, tegangan keluaran dari suatu tahap menjadi tegangan masukan dari
Kaidah rantai ini mempermudah kita dalam melakukan analisis dari suatu
rangkaian yang merupakan hubungan bertingkat dari beberapa tahapan.
Namun dalam hubungan bertingkat ini perlu kita perhatikan agar suatu
tahap tidak membebani tahap sebelumnya. Jika pembebanan ini terjadi
maka fungsi alih total tidak sepenuhnya menuruti kaidah rantai. Untuk
menekan efek pembebanan tersebut maka harus diusahakan agar im-
pedansi masukan dari setiap tahap sangat besar, yang secara ideal adalah
tak hingga besarnya. Jika impedansi masukan dari suatu tahap terlalu
rendah, kita perlu menambahkan rangkaian penyangga antara rangkaian
ini dengan tahap sebelumnya agar efek pembebanan tidak terjadi. Kita
akan melihat hal ini pada contoh berikut.
CONTOH-5.9: Carilah fungsi alih kedua rangkaian berikut; sesudah itu
hubungkan kedua rangkaian secara bertingkat dan carilah fungsi alih
total.
+ R1 + + Ls +
Vin 1/Cs Vo Vin R2 Vo
− − − −
+ R1 Ls +
Vin 1/Cs R2 Vo
− −
117
Fungsi Jaringan
R2 1 / Cs || ( R2 + Ls)
TV ( s) =
R2 + Ls 1 / Cs || ( R2 + Ls ) + R1
R2 1 / Cs( R2 + Ls ) 1 / Cs ( R2 + Ls )
= + R1
R2 + Ls 1 / Cs + R2 + Ls 1 / Cs + R2 + Ls
R2 R2 + Ls
=
R2 + Ls LCs 2 + ( L + R2C )s + ( R1 + R2 )
Pemahaman :
Fungsi alih dari rangkaian yang diperoleh dengan menghubungkan
kedua rangkaian secara bertingkat tidak merupakan perkalian fungsi
alih masing-masing. Hal ini disebabkan terjadinya pembebanan
rangkaian pertama oleh rangkaian kedua pada waktu mereka di-
hubungkan. Untuk mengatasi hal ini kita dapat menambahkan rang-
kaian penyangga di antara kedua rangkaian sehingga rangkaian men-
jadi seperti di bawah ini.
+
+ R1 − Ls +
Vin 1/Cs R2 Vo
− −
119
Fungsi Jaringan
Soal-Soal
1. Terminal AB rangkaian berikut adalah terminal masukan, dan terminal
keluarannya adalah CD. Tentukanlah admitansi masukannya (arus /
tegangan masukan di kawasan s) jika terminal keluaran terbuka.
A C
1H
1kΩ
0,5µF 1kΩ
B D
R1 C + R1 R2 +
+ +
− u(t) vo − cos1000t vo
L R2 C
− −
a). b).
R1 R2 C
R + +
+ C v + −
− u(t) L o − u(t) + vo
c). − d). −
+ +
− + −
R1 C +
+ R1
− u(t) R2
vo + vo
− u(t) R2
C −
e). f). −
+ +
− + − +
+ +
− u(t) − u(t)
C R1 vo R1 vo
R2 R2 L
− C −
g). L h),
+ 0,5H + + 1H +
10kΩ 1kΩ
vin vo vin vo
1kΩ 0,5µF 1kΩ
− − − −
a). b).
121
Fungsi Jaringan
13. Carilah fungsi alih dari suatu rangkaian jika diketahui bahwa
tanggapannya terhadap sinyal anak tangga adalah :
a). g (t ) = −e −5000 t u (t );
( )
b). g (t ) = 1 − e − 5000 t u (t );
c). g (t ) = (− 1 + 5e )u(t);
− 5000 t
d). g (t ) = ( e −1000 t
−e )u(t );
− 2000 t
(
g). g (t ) = e −1000 t sin 2000t u (t ) ; )
h). h(t ) = −1000 e −1000 t u (t );
i). h(t ) = δ(t ) − 1000 e −1000 t u (t ) ;
j). h(t ) = δ(t ) − 2000 e −1000 t u (t )
( )
k). h(t ) = e −1000 t sin 2000t u (t );
l). h(t ) = ( e −1000 t
cos 2000t )u (t )
123
Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde-1
k k* k k2 kn
Y (s) = + + 1 + + ⋅⋅⋅ + (6.3)
s − jω s + jω s − p1 s − p 2 s − pn
yang transformasi baliknya akan berbentuk
125
Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde-1
1
TV ( jω) = TV ( j 50) = .
2
Amplitudo sinyal keluaran
1
vomaks = vsmaks T ( jω) = 10 2 × = 10 V
2
Sudut fasa sinyal masukan θ = 60o, sedang sudut |T(jω)| = −45o.
Sudut fasa sinyal keluaran : θ + ϕ = 60o − 45o = 15o.
1 H 500Ω +
+ vs vo
− 500Ω −
Solusi :
Setelah di transformasikan ke kawasan s, diperoleh
500
fungsi alih rangkaian : TV ( s ) =
s + 1000
500
⇒ TV ( jω) =
jω + 1000
500
⇒ fungsi gain : TV ( jω) =
1000 2 + ω 2
ω
⇒ fungsi fasa : ϕ(ω) = − tan −1
1000
Untuk melihat dengan lebih jelas bagaimana gain dan fasa berubah
terhadap frekuensi, fungsi gain dan fungsi fasa di plot terhadap ω.
Absis ω dibuat dalam skala logaritmik karena rentang nilai ω sangat
besar. Hasilnya terlihat seperti gambar di bawah ini.
0.5/√2
ωC
0 ω
1 10 100 1000 10000 1E+05
0
1 10 100 1000 10000 1E+05
-45
ϕ [o]
-90
127
Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde-1
+ 500 +
vs
− 105/s vo
500
−
Solusi :
Fungsi alih rangkaian adalah
500 0,5s 0,5 × jω
TV ( s ) = = → TV ( jω) =
10 / s + 1000 s + 10
5 2
jω + 10 2
0,5ω ω
⇒ TV ( jω) = ; ⇒ ϕ(ω) = 90 o − tan −1
ω 2 + 10 4 10 2
Kurva gain dan fasa terlihat seperti pada gambar di bawah ini.
Stopband ada di daerah frekuensi rendah sedangkan passband ada di
daerah frekuensi tinggi. Inilah karakteristik high-pass gain
0.5/√2
ωC
0 ω
1 10 100 1000 10000 1E+05
90
1 10 100 1000 10000 100000
45
ϕ [o]
0
6.2.2. Decibel
Dalam meninjau tanggapan frekuensi, gain biasanya dinyatakan dalam
decibel (disingkat dB) yang didefinisikan sebagai
Gain dalam dB = 20 log T ( jω) (6.9)
Gain dalam dB dapat bernilai nol, positif atau negatif. Gain dalam dB
akan nol jika |T(jω)| bernilai satu, yang berarti sinyal tidak diperkuat
ataupun diperlemah; jadi gain 0 dB berarti amplitudo sinyal keluaran
sama dengan sinyal masukan. Gain dalam dB akan positif jika |T(jω)| >1,
yang berarti sinyal diperkuat, dan akan bernilai negatif jika |T(jω)| < 1,
yang berarti sinyal diperlemah.
Frekuensi cutoff adalah frekuensi dimana gain telah turun 1/√2 = 0.707
kali nilai gain maksimum dalam passband. Jadi pada frekuensi cutoff,
nilai gain adalah
1
20 log T ( jω) maks = 20 log T ( jω) maks − log 2
2 (6.10)
= T ( jω) maks dB − 3 dB
129
Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde-1
Dengan demikian dapat kita katakan bahwa frekuensi cutoff adalah fre-
kuensi di mana gain telah turun sebanyak 3 dB.
Untuk memberikan gambaran lebih jelas, mengenai satuan decibel terse-
but, berikut ini contoh numerik gain dalam dB yang sebaiknya kita ingat.
K = 1/ 2 ⇒ gain : − 3 dB
K = 1/ 2 ⇒ gain : − 6 dB
K = 1 / 10 ⇒ gain : − 20 dB
K = 1 / 30 ⇒ gain : − 30 dB
K = 1 / 100 ⇒ gain : − 40 dB
K = 1 / 1000 ⇒ gain : − 60 dB
Gain 0
[dB] −6
−9
-20
ωC
-40 ω
1 10 100 1000 10000 1E+05
High-pass gain. Dalam skala dB, high-pass gain pada contoh-6.3 adalah
seperti terlihat pada ganbar di bawah ini. Gain hampir konstan −6 dB di
daerah frekuensi tinggi sedangkan di daerah frekuensi rendah gain men-
ingkat dengan kemiringan yang hampir konstan pula
0
Gain −6
[dB] −9
-20
ωC
-40 ω
1 10 100 1000 10000 1E+05
131
Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde-1
0
Gain −3
[dB]
-20
ωC
-40 ω
1 10 100 1000 10000 1E+05
Band-pass gain kita peroleh pada rangkaian orde-2 yang akan kita pela-
jari lebih lanjut di bab selanjutnya. Walaupun demikian kita akan melihat
rangkaian orde-2 tersebut sebagai contoh di bawah ini.
s +
+ 105/s Vo(s)
− Vin(s) 1100
−
Solusi :
Fungsi alih rangkaian ini adalah
1100 1100s 1100s
TV ( s ) = = =
1100 + s + 10 / s
5
s + 1100s + 10
2 5 ( s + 100)(s + 1000)
j1100ω
TV ( jω) =
( jω + 100)( jω + 1000)
1000ω
⇒ TV ( jω) =
ω + 1002 × ω2 + 10002
2
Kurva gain terlihat seperti gambar di bawah ini. Di sini terdapat satu
passband , yaitu pada ω antara 100 ÷ 1000 dan dua stopband di
daerah frekuensi rendah dan tinggi.
1.4
Gain passband
stopband stopband
1
1/√2
0.7
0 ω
1 10 100 1000 10000
Apabila kurva gain dibuat dalam dB, kurva yang akan diperoleh
adalah seperti diperlihatkan di atas.
0 ω
1 100 10000 1000000
133
Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde-1
Kurva ini menunjukkan bahwa ada satu stopband pada ω antara 100
÷ 10000 dan dua passband masing-masing di daerah frekuensi ren-
dah dan tinggi.
Karakteristik gain seperti pada contoh-6.5. disebut band-pass gain se-
dangkan pada contoh-6.6 disebut band-stop gain. Frekuensi cutoff pada
band-pass gain ada dua; selang antara kedua frekuensi cutoff disebut
bandwidth (lebar pita).
Pole fungsi alih ini haruslah riil negatif karena hanya pole negatif (di
sebelah kiri sumbu imajiner dalam bidang s) yang dapat membuat
rangkaian stabil; komponen transiennya menuju nol untuk t →∞. Hanya
rangkaian yang stabil sajalah yang kita tinjau dalam analisis mengenai
tanggapan frekuensi.
Dari (6.11) kita dapatkan :
K K
T ( jω) = = (6.12)
jω + α α(1 + jω / α )
K /α
TV ( jω) = dan ϕ(ω) = θ K − tan −1 (ω / α) (6.13)
1 + (ω / α ) 2
135
Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde-1
0
dB pendekatan
garis lurus
-20
−log√((ω/α)2+1)
-40
ωC
-60 ω
[rad/s]
1
10
100
1000
10000
1E+05
1E+06
Gb.6.1. Pola perubahan−log√((ω/α)2+1); α=1000 ; dan pendekatan garis
lurusnya.
Untuk frekuensi rendah, (ω/α) << 1 atau ω << α , komponen kedua dapat
didekati dengan.
0
ϕ [o] pendekatan
garis lurus
−tan−1(ω/
-45
ωC
-90 ω
1
10
100
1000
10000
1E+05
1E+06
[rad/s]
137
Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde-1
Gain Frekuensi
ωC = α
ω=1 1<ω<α ω>α
Komponen 1 20log(|K|/α) 20log(|K|/α) 20log(|K|/α)
Komponen 2 0 0 −20dB/dek
Total 20log(|K|/α) 20log(|K|/α) −20dB/dek
ϕ Frekuensi
ωC = α
ω=1 0,1α<ω<10α ω>10α
Komponen 1 θK θK θK
Komponen 2 0 −45 /dek
o
0
Total θK θK −45 /dek
o
θK
Kurva pendekatan garis lurus tanggapan gain dan tanggapan fasa ini,
dengan mengambil α = 1000, diperlihatkan pada Gb.6.3.a. dan Gb.6.3.b.
Gain [dB] ϕ [o]
20 45
20log(|K|/α θK
0
0
−45o/dek
−20dB/dek -45
-20
-90
ωC = α 0.1ωC 10ωC
-40 -135
1
10
1 00
10 00
1 00 00
1 E+05
1 E+06
10
1 00
10 00
1 00 00
1 E+05
1 E+06
Gb.6.3.a. gain pada frekuensi cutoff sama dengan gain maksimum dalam
pass-band; seharusnya gain pada frekuensi cutoff adalah gain maksimum
dalam pass-band dikurangi 3 dB.
Berbeda dengan fungsi alih low-pass gain, fungsi alih ini mempunyai
zero pada s = 0. Fungsi gain dan fungsi fasa-nya adalah
T ( jω) =
( K / α )ω dan ϕ(ω) = θ K + 90o − tan −1(ω / α) (6.20)
1 + (ω / α ) 2
Gain Frekuensi
ωC = α
ω=1 1<ω<α ω>α
Komponen 1 20log(|K|/α) 20log(|K|/α) 20log(|K|/α)
Komponen 2 0 +20dB/dek 20log(α/1)+20dB/dek
Komponen 3 0 0 −20dB/dek
Total 20log(|K|/α) 20log(|K|/α) 20log(|K|/α)
+20dB/dek +20log(α/1)
139
Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde-1
ϕ(ω) Frekuensi
ωC = α
Komponen 1 θK θK θK
Pendekatan garis lurus dari tanggapan gain dan tanggapan fasa dengan
α=100, diperlihatkan pada Gb.6.4.a.dan Gb.6.4.b.
θK+90o
40 90
Gain [dB]
20 ϕ [o] −45o/dek
+20dB/dek 45
0 θK
20log(|K|/α) 0
-20 10ωC
ωC = α ω [rad/s]
0.1ωC
ω [rad/s]
-40 -45
1
10
1 00
1 0 00
10 00 0
1E+05
1E+06
10
10 0
1 00 0
10 00 0
1E+0 5
1E+0 6
a). b).
Gb.6.4. Pendekatan garis lurus tanggapan gain dan
tanggapan fasa – highpass gain. ωC = α = 100 rad/s.
20 0 .2 0 .2
T1 ( jω) = = ⇒ T1 ( jω) =
jω + 100 1 + jω / 100 1 + (ω / 100) 2
Gain Frekuensi
ωC = 100 rad/s
ω=1 1<ω<100 ω>100
Komponen 1 −14 dB −14 dB −14 dB
Komponen 2 0 0 −20dB/dek
Total −14 dB −14 dB −14 dB −20dB/dek
Frekuensi dan nilai tanggapan gain rangkaian kedua terlihat pada ta-
bel berikut ini.
Gain Frekuensi
ωC = 100 rad/s
ω=1 1<ω<100 ω>100
Komponen 1 −14 dB −14 dB −14 dB
Komponen 2 0 20 dB/dek 40+20 dB/dek
Komponen 3 0 0 −20 dB/dek
Total −14 dB −14 dB +20 dB/dek 26 dB
141
Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde-1
10
100
1000
10000
10
100
1000
10000
ω [rad/s] ω [rad/s]
(Rangkaian 1) (Rangkaian 2)
− 20 log 1 + (ω / α) 2 − 20 log 1 + (ω / β) 2
Dengan membuat β >> α maka akan diperoleh karakteristik band-pass
gain dengan frekuensi cutoff ωC1 = α dan ωC2 = β. Sesungguhnya
fungsi alih (6.22) berbentuk fungsi alih rangkaian orde-2. Kita akan
melihat karakteristik band-pass gain rangkaian orde-2 di bab berikut.
143
Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde-2
Gain Frekuensi
ωC1 = α rad/s ωC2 = β rad/s
ω=1 1<ω<α α<ω<β ω>β
− 20 log 1 + (ω / 10000) 2
⇒ ϕ(ω) = 0 + 90o − tan −1 (ω / 10) − tan −1 (ω / 10000)
Nilai frekuensi dan kurva fungsi gain adalah sebagai berikut.
Gain Frekuensi
ωC1 = 10 rad/s ωC2 = 10000 rad/s
ω=1 1<ω<10 10<ω<104 ω>104
Komponen 1 −6 dB −6 dB −6 dB −6 dB
Komponen 2 0 +20 dB/dek 20+20 dB/dek 80+20 dB/dek
Komponen 3 0 0 −20 dB/dek −60−20 dB/dek
Komponen 4 0 0 0 −20 dB/dek
Total −6 dB −6 dB 14 dB 14 dB
+20 dB/dek −20 dB/dek
40
Gain Gain
[dB] 20
14
0
−6
-20
ωC1 ωC2
-40 ω [rad/s]
1 10 100 1000 10000 100000
145
Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde-2
ϕ(ω) Frekuensi
ωC1 = 10 rad/s ωC2 = 104 rad/s
ω=1 1<ω<100 103<ω<105 ω>105
Komponen 1 0o 0o 0o 0o
90
ϕ [o]
45
-45
ωC1 ωC2
-90 ω [rad/s]
1 10 100 1000 10000 1E+05
Pemahaman :
Karena frekuensi cutoff pertama ωC1 =10, maka perubahan fasa
−45o/dekade terjadi pada selang frekuensi 1<ω<100. Karena fre-
kuensi cutoff kedua ωC2 = 10000, maka perubahan fasa −45o/dekade
yang kedua terjadi pada selang frekuensi 1000<ω<100000. Di luar
ke-dua selang frekuensi ini fasa tidak berubah, sehingga terlihat
adanya kurva mendatar pada selang frekuensi 100<ω<1000.
10s 2
T (s) =
( s + 40)(s + 200)
Solusi :
Gain dari sistem ini adalah
10( jω) 2 1 − ω2
T ( jω) = = ×
( jω + 40)( jω + 200) 800 (1 + jω / 40)(1 + jω / 200)
1 ω2
T ( jω) = ×
800 1 + (ω / 40) 2 × 1 + (ω / 200) 2
− 20 log (ω / 200) 2 + 1
20 +20dB/dek
Gain
0 +40dB/dek
[dB]
-20
-40
−58
-60
1 10 100 1000 10000 100000
ω [rad/s]
Fungsi fasa adalah :
ϕ(ω) = 0 + 2 × 90o − tan −1 (ω / 40) − tan −1 (ω / 200)
Pada ω = 1, ϕ(ω) ≈ 0o + 2× 90o =180o. Pada ω=(ωC1/10)=4, kompo-
nen ke-tiga mulai memberikan perubahan fasa −45o per dekade dan
147
Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde-2
225
ϕ [o]
180
135
90
45
0
1 10 100 1000 10000 100000
0,1ωC1 0,1ωC2 10ωC1 10ωC2 ω [rad/s]
Pemahaman :
Penggambaran tanggapan gain dan tanggapan fasa di sini tidak lagi
melalui langkah antara yang berupa pembuatan tabel peran tiap
komponen dalam berbagai daerah frekuensi. Kita dapat melakukan
hal ini setelah kita memahami peran tiap-tiap komponen tersebut da-
lam membentuk tanggapan gain dan tanggapan fasa. Melalui latihan
yang cukup, penggambaran tanggapan gain dan tanggapan fasa da-
pat dilakukan langsung dari pengamatan formulasi kedua macam
tanggapan tersebut.
Kita perhatikan penggambaran tanggapan fasa. Dalam contoh ini
0,1ωC2 < 10ωC1 dan bahkan 0,1ωC2 < ωC1. Oleh karena itu, penu-
runan fasa −45o per dekade oleh pole pertama, yang akan berlang-
sung sampai ω=10ωC1, telah ditambah penurunan oleh pole kedua
pada ω=0,1ωC2 sebesar −45o per dekade. Hal ini menyebabkan ter-
jadinya penurunan fasa −2×45o mulai dari ω=0,1ωC2 sampai dengan
ω=10ωC1 karena dalam selang frekuensi tersebut dua pole berperan
menurunkan fasa secara bersamaan. Pada ω=10ωC1 peran pole per-
tama berakhir dan mulai dari sini penurunan fasa hanya disebabkan
oleh pole kedua, yaitu −45o per dekade.
0
Gain
[dB]
-20
-40
-60
1 10 100 1000 10000 100000
ω [rad/s]
149
Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde-2
45
ϕ [o]
0
-45
-90
-135
-180
1 10 100 1000 10000 100000
ω [rad/s]
8 (ω / 20) 2 + 1
T ( jω) =
1 + (ω / 100) 2 × 1 + (ω / 1000) 2
40
Gain
[dB] +20dB/dek −20dB/dek
30
20
18
10
0
1 10 100 1000 10000 100000
ω [rad/s]
151
Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde-2
45
ϕ [o]
0
-45
-90
-135
1 10 100 1000 10000 100000
ω [rad/s]
Pemahaman :
Zero tetap berperan sebagai peningkat gain dan fasa. Zero riil
negatif meningkatkan gain dan fasa mulai pada frekuensi yang sama
dengan nilai zero.
7.3. Tinjauan Umum Bode Plot dari Rangkaian Yang Memiliki Pole
dan Zero Riil
Bode plots terutama bermanfaat jika pole dan zero bernilai riil, yaitu pole
dan zero yang dalam diagram pole-zero di bidang s terletak di sumbu riil
negatif. Dari contoh-contoh fungsi alih yang mengandung zero dan pole
riil yang telah kita bahas di atas, kita dapat membuat suatu ringkasan
mengenai kaitan antara pole dan zero yang dimiliki oleh suatu fungsi alih
dengan bentuk kurva gain dan kurva fasa pada Bode plots dengan
pendekatan garis lurus. Untuk itu kita lihat fungsi alih yang berbentuk
Ks (s + α1 )
T ( s) = (7.4)
(s + α 2 )(s + α3 )
yang akan memberikan
Kα1 jω(1 + jω / α1 )
T ( jω) =
α 2 α 3 (1 + jω / α 2 )(1 + jω / α 3 )
(7.5)
Dari (7.5) terlihat ada tiga macam faktor yang akan menentukan bentuk
kurva gain maupun kurva fasa. Ke-tiga faktor tersebut adalah:
Kα1
1. Faktor K 0 = yang disebut faktor skala. Kontribusi faktor
α 2α3
skala ini pada gain dan fasa berupa suatu nilai konstan, tidak
tergantung pada frekuensi. Kontribusinya pada gain sebesar 20log
|K0| akan bernilai positif jika |K0| > 1 dan bernilai negatif jika |K0| <
1. Kontribusinya pada sudut fasa adalah 0o jika K0 > 0 dan 180o jika
K0 < 0.
2. Faktor jω. Faktor ini berasal dari pole atau zero yang terletak di titik
(0,0) dalam diagram pole-zero di bidang s. Kontribusinya pada gain
adalah sebesar ± 20log(ω) dan kontribusinya untuk sudut fasa adalah
± 90o; tanda plus untuk zero dan tanda minus untuk pole. Jika fungsi
alih mengandung pole ataupun zero ganda (lebih dari satu) maka
kontribusinya pada gain adalah sebesar ± 20nlog(ω) dan pada sudut
fasa adalah ±n90o dengan n adalah jumlah pole atau zero. Dalam
pendekatan garis lurus, faktor ini memberikan perubahan gain
sebesar ±20n dB per dekade mulai pada ω = 1; tanda plus untuk zero
dan tanda minus untuk pole.
3. Faktor 1 + jω/α. Faktor ini berasal dari pole ataupun zero yang
terletak di sumbu riil negatif dalam diagram pole-zero di bidang s.
Faktor ini berkontribusi pada gain sebesar
153
Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde-2
dengan A(ω) adalah jarak antara pole dengan suatu nilai ω di sumbu
tegak. Makin besar ω akan makin besar nilai A(ω) sehingga |T(jω)| akan
semakin kecil.
Jika kita gambarkan kurva |T(jω)| terhadap ω dengan skala linier, kita
akan mendapatkan kurva seperti terlihat pada Gb.7.5.b. Akan tetapi jika
dalam penggambaran itu kita menggunakan skala logaritmis, baik untuk
absis maupun ordinatnya, kita akan mendapatkan kurva seperti terlihat
pada Gb.7.5.c. Inilah bentuk karakteristik low-pass gain dari rangkaian
orde satu yang telah kita kenal.
jω
ω
A(ω)
(a) × σ
α 0
low-pass gain|
|T(jω)| |T(jω)|
12 10
(b) 0 (c) 1
00 500
500 ω 1000 3
10 11 10
10 10
100
2 ω 1000
103
Kita lihat rangkaian orde-1 dengan fungsi alih yang mengandung zero di
(0,0)
Ks
T ( s) =
s+α
Fungsi gain adalah
Kjω |K |ω |K |ω
T ( jω) = = = (7.7)
jω + α α 2 + ω2 A(ω)
Jika kita plot |T(jω)| terhadap ω dengan skala linier, kita akan
mendapatkan kurva seperti terlihat pada Gb.7.6.a. Akan tetapi jika kita
plot |T(jω)| terhadap ω dengan skala logaritmis, baik untuk absis maupun
ordinatnya, kita akan mendapatkan kurva seperti terlihat pada Gb.7.6.b.
Inilah bentuk karakteristik high-pass gain dari rangkaian orde satu yang
telah kita kenal.
155
Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde-2
high-pass gain|
|T(jω)| |T(jω)|
1000
1056
1044
1032
1020
1008
996
984
972
960
948
936
924
912
900
888
876
864
852
840
828
816
804
792
780
768
756
744
732
720
708
696
684
672 100
660
648
636
624
612
600
588
576
564
552
540
528
516
504
492
480
468
456
444
432
420
408
396
384
372
360
348
336 10
324
312
300
288
276
264
252
240
228
ω
216
204
192
180
168
156
144
132
120
108
96
(a)84
72
60
48
360
24
12 (b)1
0 0
500 ω
500 3
1000
10 1
1 10 100 2
10 10 10 10 10003 100004
Diagram pole-zero dari fungsi alih ini adalah seperti terlihat pada
Gb.7.6.a. Dari diagram ini terlihat bahwa fungsi gain dapat dituliskan
sebagai
|K| |K|
T ( jω) = =
( jω + α 1 ) ( jω + α 2 ) ω 2 + α12 ω 2 + α 2
(7.8)
|K|
=
A1 (ω) × A2 (ω)
jω
ω
A2(ω)
A1(ω)
(a) × × σ
α2 α1 0
low-pass gain|
|T(jω)| |T(jω)|
12 10
10
8
6
4
2
(b)0 (c)1
00 2000
4000
4000 ω 8000
6000 8000
11 10
10 1002
10 10003
10 4
10000
10
Jika fungsi alih mengandung satu zero di (0,0) kurva |T(jω)| dengan
skala linier akan terlihat seperti Gb.7.8.a. dan jika dibuat dengan skala
logaritmik akan seperti Gb.7.8.b. yang telah kita kenal sebagai
karakteristik band-pass gain. Jika fungsi alih mengandung dua zero di
(0,0) kita memperoleh kurva |T(jω)| dalam skala linier seperti pada
Gb.7.9.a. dan jika digunakan skala logaritmik akan kita peroleh
karakteristik high-pass gain seperti Gb.7.9.b.
band-pass gain|
|T(jω)| |T(jω)|
100
96
84
72
60
48 10
36
24
12
(a) (b)1
10003 ω 10000
0
100 2
4
00 2000 4000
4000 ω 8000
6000 8000 11 10
10 10 10 10
157
Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde-2
high-pass gain|
|T(jω)|
1200000
|T(jω)|
1000000
1000000
800000
600000
400000
200000
(a)0 (b)1
00 2000
4000
4000
ω 8000
6000 8000
11 10
10
10 10 ω 10
100 2 10003 10000 4
K
T ( jω) =
( jω + α + jβ) ( jω + α − jβ)
K K
= =
(ω + β) 2 + α 2 × (ω − β) 2 + α 2 A1 (ω) × A2 (ω)
jω jω jω
A2(ω) ω3
A2(ω)
× A2(ω) × ω2 ×
β ω1
α 0 σ 0 σ 0 σ
(a) (b) A1(ω) A1(ω)
A1(ω) (c)
× × ×
dengan (7.11)
b
ω0 2 = c dan ζ=
2c
Bentuk penulisan penyebut seperti pada (7.11) ini disebut bentuk
normal. ζ disebut rasio redaman dan ω0 adalah frekuensi alami tanpa
redaman atau dengan singkat disebut frekuensi alami. Frekuensi alami
adalah frekuensi di mana rasio redaman ζ = 0.
Fungsi alih (7.11) dapat kita tuliskan
159
Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde-2
Ks
T ( s) =
s + 2ζω0 s + ω0 2
2
(7.12)
K s
= ×
ω0 2 (s / ω0 )2 + (2ζ / ω0 )s + 1
dan dari sini kita peroleh
K jω
T ( jω) = ×
ω0 2
− (ω / ω0 ) + j (2ζω / ω0 ) + 1
2
K ω
⇒ T ( jω) = × (7.13)
ω0 2
(1 − (ω / ω ) ) + (2ζω / ω )
0
2 2
0
2
(
− 20 log 1 − (ω / ω 0 )2 + (2ζω / ω 0 )2 )
2
(
− 20 log 1 − (ω / ω0 )2 ) + (2ζω / ω )
2
0
2
≈ −20 log 1 + 0 = 0 (7.15)
Untuk frekuensi tinggi komponen ketiga mendekati
(
− 20 log 1 − (ω / ω0 )2 ) + (2ζω / ω )
2
0
2
(7.16)
≈ −20 log(ω / ω0 ) (ω / ω0 ) + (2ζ ) ≈ −20 log(ω / ω0 )
2 2 2
20
ζ=0,1
dB ζ=0,05
ζ=0,5
0
ζ=1
-20
pendekatan
linier ω0
-40
100 1000 ω[rad/s] 10000
-135
pendekatan
linier ω0
-180
10 100 1000 10000 100000
ω[rad/s]
Gb.7.12. Pengaruh rasio redaman pada perubahan fasa oleh pole.
161
Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde-2
Solusi :
Kita tuliskan fungsi alih dengan penyebutnya dalam bentuk normal
80000s
menjadi T ( s ) = . Dari sini kita peroleh
s + 2 × 0,25 × 200s + 200 2
2
j 2ω
⇒ T ( jω) =
− (ω / 200) + j 2ζω / 200 + 1
2
2ω
⇒ T ( jω) =
(1 − (ω / 200) ) + (2ζω / 200)
2 2 2
dB ϕ [o]
60 135
40 90
20 45
0
0
-45
-20 -90
-40 -135
1
10
1 00
10 00
1 00 00
1 E+05
10
1 00
10 00
1 00 00
1 E+05
rad/s rad/s
Soal-Soal
1. Tentukanlah tanggapan frekuensi dan tentukan gain tertinggi dan fre-
kuensi cutoff dari rangkaian di bawah ini.
+ 0,5H +
9kΩ
vin vo
1kΩ
− −
2. Tentukanlah tanggapan frekuensi dan tentukan gain tertinggi dan fre-
kuensi cutoff dari rangkaian di bawah ini.
+ 10kΩ +
vin 1µF vo
10kΩ −
−
3. Tentukanlah tanggapan frekuensi dan tentukan gain tertinggi dan fre-
kuensi cutoff dari rangkaian-rangkaian di bawah ini.
+
+ − +
+ 1H + 1µF
vin vo
1kΩ
vin vo − 10kΩ
0,5µF 1kΩ 10kΩ −
− −
+ +
vin − vo
− +
−
163
Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde-2
a). g (t ) = −e −5000 t u (t );
(
b). g (t ) = 1 − 5e −5000 t u (t ) )
7. Ulangi soal 6 jika diketahui :
(
a). g (t ) = e−1000t − e −2000t u(t ) )
b). g (t ) = ( e −1000 t
sin 2000t )u(t )
8. Tentukanlah tanggapan frekuensi dari suatu rangkaian jika diketahui
tanggapannya terhadap sinyal impuls adalah seperti di bawah ini.
Tentukan gain tertinggi dan frekuensi cutoff.
10. Gambarkan Bode plots (pendekatan garis lurus) jika diketahui fungsi
alihnya
s(0.02 s + 1)
T ( s) = 50
(0.001s + 1)(0.4 s + 1)
8.1. Sinyal
Di awal buku ini kita telah mempelajari bentuk gelombang sinyal yang
merupakan suatu persamaan yang menyatakan sinyal sebagai fungsi dari
waktu. Dalam analisis rangkaian listrik, sinyal-sinyal yang kita tangani
biasanya berupa tegangan ataupun arus listrik. Pengertian ini dapat kita
perluas menjadi suatu pengertian yang tidak hanya mencakup sinyal lis-
trik saja tetapi juga mencakup sinyal-sinyal non-listrik yang juga meru-
pakan fungsi waktu. Dengan perluasan pengertian ini maka kita mem-
punyai definisi untuk sinyal sebagai,
Sinyal adalah suatu fungsi yang menyatakan variasi terhadap
waktu dari suatu peubah fisik.
Fungsi yang kita tetapkan untuk menyatakan suatu sinyal kita sebut rep-
resentasi dari sinyal atau model sinyal dan proses penentuan representasi
sinyal itu kita sebut pemodelan sinyal. Suatu sinyal yang tergantung dari
peubah riil t dan yang memodelkan peubah fisik yang berevolusi dalam
waktu nyata disebut sinyal waktu kontinyu. Sinyal waktu kontinyu ditulis
sebagai suatu fungsi dengan peubah riil t seperti misalnya x(t). Sebagai-
mana telah disebutkan di awal buku ini, sinyal jenis inilah yang sedang
kita pelajari.
Untuk memberi contoh dari sinyal non-listrik, kita bayangkan suatu ben-
da yang mendapat gaya. Benda ini akan bergerak sesuai dengan arah
gaya., posisinya akan berubah dari waktu ke waktu. Dengan mengambil
suatu kooordinat referensi, perubahan posisi benda akan merupakan
fungsi waktu dan akan menjadi salah satu peubah fisik dari benda terse-
but dan merupakan suatu sinyal. Selain perubahan posisi, benda juga
165
Pengenalan Pada Sistem
8.2. Sistem
Dengan contoh di atas, kita sampai pada pengertian mengenai sistem yai-
tu :
sistem merupakan aturan yang menetapkan sinyal keluaran
dari adanya sinyal masukan.
atau
sistem membangkitkan sinyal keluaran tertentu dari adanya
sinyal masukan tertentu.
Jika kita ingat mengenai pengertian elemen sebagai model piranti dalam
rangkaian listrik, maka sistem dapat dipandang sebagai model dari per-
sinyal sinyal
H y(t)
masukan x(t) keluaran
Gb.8.1. Diagram suatu sistem.
Cara kedua digunakan untuk sistem yang sangat kompleks dan sangat
sulit untuk dianalisis langsung, dan perilaku dinamiknya tidak difahami
secara baik. Untuk melakukan observasi empiris diperlukan sinyal
masukan yang harus dipilih secara cermat, dan sinyal keluarannya
diamati. Model sistem diperoleh dengan melakukan perhitungan balik
dari kedua sinyal tersebut. Pembangunan model sistem melalui cara
observasi sinyal masukan dan keluaran ini disebut identifikasi sistem.
Kita telah melihat bahwa ada empat macam cara untuk menyatakan
hubungan antara sinyal keluaran dan sinyal masukan, yaitu persamaan
diferensial, transformasi Laplace, konvolusi, dan transformasi Fourier.
Sejalan dengan itu, kita mengenal empat macam representasi sistem atau
model sistem sebagai berikut.
3. Integral Konvolusi
∞
y ( t ) = ∫ − h ( t − λ ) x ( λ ) dλ (8.4)
0
169
Pengenalan Pada Sistem
X(s) H1(s)
+
Y(s)
+
H2(s)
X(s) H1(s)+H2(s) Y(s)
171
Pengenalan Pada Sistem
X1(s)
R(s) H1(s) Y(s)
+ −
H2(s)
Y2(s) X2(s)
H1 ( s )
R(s) 1 + H1 ( s) H 2 ( s ) Y(s)
⇒ Y ( s ) + H 1 ( s )[H 2 ( s )Y ( s )] = H 1 ( s ) R( s )
Y ( s) H1 (s)
⇒ =
R( s ) 1 + H 1 ( s ) H 2 ( s )
Dengan hubungan umpan balik seperti pada Gb.8.6. fungsi alih sistem
keseluruhan menjadi
H 1 ( s)
1 + H 1 (s ) H 2 (s)
Fungsi alih H1(s) adalah fungsi alih dari suatu sistem yang disebut sistem
H 1 ( s)
loop terbuka sedangkan adalah fungsi alih dari sistem
1 + H 1 (s ) H 2 (s)
yang disebut sistem loop tertutup. Jika pada titik penjumlahan terdapat
tanda negatif pada jalur umpan balik maka sistem ini disebut sistem
dengan umpan balik negatif. Jika fungsi alih H2(s) = − 1 maka sistem
menjadi sistem dengan umpan balik negatif satu satuan.
Sub-Sistem. Jika kita memisahkan salah satu bagian dari diagram blok
suatu sistem yang tersusun dari banyak bagian dan bagian yang kita
pisahkan ini merupakan suatu sistem juga maka bagian ini kita sebut sub-
sistem. H2(s) dalam contoh hubungan paralel di atas merupakan salah
satu sub-sistem.
172 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)
Pengenalan Pada Sistem
173
Pengenalan Pada Sistem
I(s) 1
I(s) V(s)
+ sC
1
sC V(s)
− V(s) sC I(s)
1 1
→
V(s)→ → →I(s).
L s
Solusi :
V (s)
a). V ( s ) = R2 I 2 ( s ) = R2 [I ( s ) − I1 ( s )] = R2 I ( s ) −
R1
Diagram blok rangkaian ini adalah:
1
R1
I(s) + − R2 V(s)
V (s)
b). V ( s ) = sLI 2 ( s ) = sL[I ( s ) − I1 ( s )] = sL I ( s ) −
R1
Diagram blok rangkaian ini adalah:
1
R1
I(s) + − sL V(s)
175
Pengenalan Pada Sistem
c). V ( s ) =
1
I 2 ( s) =
1
[I (s) − I1 ( s)] = 1 I ( s) − V (s)
sC sC sC R1
I(s) + − 1
V(s)
sC
I(s) + − R1 V(s)
b). V ( s ) = R1 I 2 ( s ) = R1 [I ( s ) − I 1 ( s )] = R1 [I ( s ) − sC V ( s )]
Diagram blok:
sC
I(s) + − R1 V(s)
Tegangan V(s) pada contoh 8.1.b. dan 8.1.c. haruslah identik dengan
tegangan pada contoh 8.2. karena tegangan ini adalah tegangan pada
hubungan paralel dari dua elemen. Walaupun demikian kita mendapatkan
diagram blok yang berbeda pada kedua contoh tersebut. Kita akan
menguji apakah kedua diagram blok tersebut identik dengan mencari
fungsi alih masing-masing. Untuk itu kita akan memanfaatkan formulasi
hubungan blok paralel.
Untuk rangkaian R-L paralel di kedua contoh tersebut di atas kita peroleh
:
1
R1
I(s) + −
sL V(s)
sL sLR1 V (s)
H1 ( s ) = = =
1 + ( sL)(1 / R1) R1 + sL I ( s )
1
sL
I(s) + − R1 V(s)
R1 sLR1 V (s)
H 2 (s) = = =
1 + ( R1 )(1 / sL) sL + R1 I ( s)
1
R1
I(s) + − 1
V(s)
sC
1 / sC R1 / sC V (s)
H 3 ( s) = = =
1 + (1 / sC )(1 / R1) R1 + (1 / sC ) I ( s )
177
Pengenalan Pada Sistem
sC
I(s) + − R1 V(s)
R1 R1 / sC V (s)
H 4 (s) = = =
1 + ( R1)( sC ) (1 / sC ) + R1 I ( s)
Fungsi alih dari kedua hubungan paralel terserbut ternyata sama yang
tidak lain adalah impedansi total rangkaian R-L dan R-C paralel. Jadi
diagram blok yang diperoleh pada kedua contoh di atas adalah identik.
Solusi :
Dalam membangun diagram blok rangkaian ini, kita akan
menempuh langkah-langkah yang kita mulai dari tegangan keluaran
dan mencari formulasinya secara berurut menuju ke arah masukan.
Tegangan Vo(s) dapat dinyatakan sebagai R 2 I 5 ( s ) ataupun
(1/sC2) I4(s). Kita ambil yang kedua.
1
1. V o (s) = I 4 ( s)
sC 2
1
I4(s) Vo(s)
sC2
1
2. I 4 ( s ) = I3 ( s ) − I 5 ( s ) = I3 − Vo ( s )
R2
1
R2
− 1
+ Vo(s)
I3(s)
sC
I4(s) 2
3. I 3 ( s) =
1
[V1 ( s) − Vo (s)]
sL
1
R2
− 1
− 1
+ Vo(s)
V1(s)
sL I (s) sC2
3 I4(s)
4. V1 ( s ) =
1
I 2 (s) =
1
[I1 (s) − I3 (s)]
sC1 sC1
1
R2
1 − 1
− 1
+ + Vo(s)
I1(s) sC1 sC2
sL
− V1(s) I3(s) I4(s)
5. I1 ( s ) =
1
[Vi ( s) − V1 (s)]
R1
1
R2
+ − 1 + 1 − 1 + − 1
Vo
Vi(s)
sC1 V1(s) sC
R1 I1(s) − sL I (s) I4(s)
3
2
Pada langkah ke-5 ini terbentuklah diagram blok yang kita cari.
Walaupun diagram ini terlihat cukup rumit, tetapi sesungguhnya setiap
blok menggambarkan peran dari setiap elemen. Perhatikan pula bahwa
dalam diagram blok ini digunakan blok-blok integrator.
179
Pengenalan Pada Sistem
Y2(s)
a). Y3(s)
H(s) Y2(s)
− 1 − 1 − 1
Vi(s) + + + Vo(s)
2 s s
s
−
Solusi :
1
1. Hubungan paralel dari blok 1 dan dapat digantikan
s
1/ s 1
dengan H 1 ( s ) = = sehingga diagram blok
1 + (1)(1 / s ) s +1
menjadi:
− 1 − 1 A
+ + 1 Vo(s
Vi(s 2 s
− s s +1
− 1 − 1
+ +
2 s s ( s + 1)
Vi(s) − Vo(s)
s+1
1
3. Umpan balik langsung dari Vo(s) pada blok sama
s ( s + 1)
dengan memparalel blok ini dengan blok 1 walaupun tidak
tergambarkan dalam diagram. Hubungan paralel ini dapat
diganti
181
Pengenalan Pada Sistem
1 / s ( s + 1) 1
dengan H 2 ( s ) = = .
1 + (1){1 / s ( s + 1)} s ( s + 1) + 1
+ − 1 1
2 +
s B s ( s + 1) + 1
Vi(s) − Vo(s)
s+1
s ( s + 1) + 1
+ − 1
2 + Vo(s)
Vi(s) s 2 ( s + 1) + s
−
s+1
1
5. Selanjutnya s + 1 paralel dengan
s ( s + 1) + s
2
1 ( s 2 ( s + 1) + s ) 1
H 3 (s) = = =
1 + ( s + 1) ( s ( s + 1) + s )
2
( s (s + 1) + s ) + ( s + 1)
2
1
s + s + 2s + 1
3 2
s ( s + 1) + 1
+ − 2
Vi(s) Vo(s)
s3 + s 2 + 2s + 1
2 /( s 3 + s 2 + 2s + 1) 2
H 4 (s) = =
1 + 2( s + s + 1) /( s + s + 2s + 1)
2 3 2
s + 3s + 4s + 3
3 2
183
Pengenalan Pada Sistem
( s − z1 )( s − z 2 ) L ( s − z m )
H (s) = K
( s − p1 )(s − p 2 ) L ( s − p n )
k1 k2 kn
= + +L+
( s − p1 ) ( s − p 2 ) (s − p n )
Hal ini telah kita lihat pada waktu kita membahas transformasi Laplace.
a
Selanjutnya, setiap suku dari fungsi alih H(s) yang berbentuk
s+b
a b(1 / s )
dapat ditulis sebagai yang diagram bloknya merupakan
b 1 + b(1 / s )
a 1
hubungan seri antara blok statis dengan blok berumpan balik
b s
yang jalur umpan-balik-nya berisi blok statis b . Dengan demikian
maka diagram blok dari H(s) dapat dibuat hanya terdiri dari blok statis
dan blok integrator saja.
Soal-Soal
1. Susunlah diagram blok dari rangkaian-rangkaian berikut, lakukan
reduksi diagram blok, tentukan fungsi alihnya.
+ + 1µF
vin 10Ω
1H vo vin + +
10Ω − 1kΩ 1kΩvo
a). − − b). 1µF
−
+
iin 1kΩ
0.1H 1µF vo
1kΩ −
f).
+
iin 5mH 1kΩ vo
2µF −
g).
2. Lakukan reduksi diagram blok dan carilah fungsi alih dari diagram
blok berikut.
+ 1 +
X (s) 10 Y(s)
− s +
k
a).
1 1
X(s) + Y(s)
s s
ω2
b).
185
Pengenalan Pada Sistem
X(s)
1 +
Y(s)
s +1 −
c). s+2
1 1
X(s) + + +
Y(s)
− − s s +
3
4
1
c). s
1
X(s) + + +
Y(s)
− − s +
3
+ 1
− s
4
d).
X(s)+ 1 + 1 1 +
− s − s s + Y(s)
4
+ 1
− s
5
e).
187
Sistem dan Persamaan Ruang Status
b
a
− 1 − 1
+
X(s) c s s Y(s)
+
d
Solusi :
Dalam diagram blok ini terdapat dua blok integrator. Jika sinyal
masukan setiap blok integrator adalah q&i (t ) dan sinyal keluarannya
adalah qi(t) maka diagram blok di atas dapat kita gambarkan seperti
di bawah ini, di mana masukan dua blok integrator adalah
q&1 (t ) dan q& 2 (t )
sedangkan keluarannya adalah
q1(t) dan q2(t).
b
a
x(t ) − 1 − 1
+ +
c s s
q&1(t ) q1(t ) q&2 (t ) q2 (t ) + y (t )
+
d
y (t ) = q2 (t ) + dx(t )
9.3. Membangun Persamaan Ruang Status
Dari diagram blok di atas, kita dapat memperoleh satu set persamaan di
kawasan t yang akan memberikan hubungan antara sinyal masukan dan
sinyal keluaran sistem, yaitu x(t) dan y(t). Dengan perkataan lain kita
dapat memperoleh persamaan sistem di kawasan t. Set persamaan
tersebut kita peroleh dengan memperhatikan masukan blok-blok
integrator, dan keluaran sistem. Dalam contoh ini set persamaan tersebut
adalah :
q&1 (t ) = −bq 2 (t ) + cx(t )
q& 2 (t ) = q1 (t ) − aq 2 (t ) (9.1)
y (t ) = q 2 (t ) + dx(t )
Dengan cara ini set persamaan yang kita peroleh, yaitu persamaan (9.1),
akan terdiri dari dua kelompok. Kelompok pertama adalah persamaan
yang ruas kirinya berisi q& (t ) , yang merupakan masukan blok integrator,
dan kelompok kedua adalah yang ruas kirinya berisi y(t), yaitu keluaran
sistem. Kelompok pertama dapat kita tuliskan dalam bentuk matriks
q&1 (t ) 0 − b q1 (t ) 1
& = + x(t ) (9.2)
q 2 (t ) 1 − a q 2 (t ) 0
189
Sistem dan Persamaan Ruang Status
r q& (t ) r q (t )
Dengan mendefinisikan vektor q& = 1 dan q = 1 maka
q& 2 (t ) q 2 (t )
(9.2) dapat kita tuliskan
[ ]
r
q& (t ) =
0 − b r 1
[q (t )] + x(t ) (9.3)
1 − a 0
Kelompok kedua dari (9.1) adalah y (t ) = q2 (t ) + dx(t ) dan dengan
definisi untuk vektor q(t) maka ia dapat kita tuliskan dalam bentuk
matriks
y (t ) = [0 1][q (t )] + [d ]x(t )
r
(9.4)
Dengan demikian maka set persamaan (9.1) dapat kita tuliskan sebagai
[ ]
r
q& (t ) =
0 − b r
[q (t )] + x(t )
1
1 − a 0 (9.5)
y (t ) = [0 1][q (t )] + [d ]x(t )
r
Set persamaan (9.6) ini disebut representasi ruang status dari sistem.
Sebutan lain dari representasi ini adalah model ruang status atau juga
persamaan peubah status atau persamaan ruang status.
+ q&2 1 q2 +
a2 c2
s
− +
b
d
Solusi:
Dari diagram blok di atas, masukan blok-blok integrator dan
keluaran sistem memberi kita persamaan berikut.
q&1 = a1 x(t ) − ω2 q3
q& 2 = a2 x(t ) − bq2
q& 3 = q1
y(t ) = c3 q3 + c2 q2 + dx(t )
Persamaan ini kita tuliskan dalam bentuk matriks, menjadi
q&1 (t ) 0 0 − ω q1 (t ) a1
2
r& &
q (t ) = q 2 (t ) = 0 − b 0 q 2 (t ) + a 2 x(t )
q& 3 (t ) 1 0 0 q3 (t ) 0
1
q (t )
y (t ) = [0 c 2 c3 ] q 2 (t ) + [d ]x(t )
q3 (t )
0 1 0 q1 (t ) 0
q (t ) = 0 1 q 2 (t ) + 0 x(t)
r&
0
− a1 − a 2 − a3 q3 (t ) 1
y (t ) = [b1 b2 b3 ] q (t )
r
Solusi :
Langkah pertama adalah melakukan pengembangan dari persamaan
yang diketahui sehingga diperoleh set persamaan berikut.
191
Sistem dan Persamaan Ruang Status
q&1 (t ) = q 2 (t )
q& 2 (t ) = q3 (t )
q& 3 (t ) = −a1q1 (t ) − a 2 q 2 (t ) − a3 q3 (t ) + x(t )
y (t ) = b1q1 (t ) + b2 q 2 (t ) + b3 q3 (t )
b3
b2
+ +
+ q&3 1 q3 q&2 1 q2 q&1 1 q1
s s
b1
x(t ) − s + y (t )
− −
a3
a2
a1
193
Sistem dan Persamaan Ruang Status
Soal-Soal
1. Carilah persamaan ruang status dari sistem-sistem dengan diagram
blok di bawah ini.
+ 1 +
X (s) 10 Y(s)
− s +
k
a).
1 1
X(s) + Y(s)
s s
ω2
b).
X(s)
1 +
Y(s)
s +1 −
s+2
c).
1 1
X(s) + + +
Y(s)
− − s s +
3
4
1
d). s
+ + 1 +
X(s) Y(s)
− − s +
3
+ 1
− s
4
e).
X(s) + 1 + 1 1 +
− s − s s + Y(s)
4
+ 1
− s
5
f).
2 1 0
3
q (t ) = 7 3 5 q ( t ) + x ( t )
r& r
a). 5
0 6 4
y (t ) = [9 0 0] q (t ) + 10 x (t )
r
0 0 2 0
q (t ) = 4 0 − 1 q (t ) + 1 x (t )
r& r
b).
2 0 0 0
y (t ) = [5 0 0] q (t ) + 5 x (t )
r
195
Sistem dan Persamaan Ruang Status
r − σ ω r 1
q& (t ) = q (t ) + x ( t )
c). − ω − σ 1
y (t ) = [1 1] q (t )
r
r 0 1 r 0
q& (t ) = 2 q (t ) + x (t )
d). − ω − 2ζω 1
y (t ) = [1 0] q (t )
r
r 0 1 r 0
q& (t ) = 2 q (t ) + x (t )
e). − ω − 2ζω 1
y (t ) = [0 1] q (t )
r
197
Transformasi Fourier
∞
f (t ) = a0 + ∑ [a n cos(nω0t ) + bn sin(nω0t )] (10.1)
n =1
yang dapat kita tuliskan sebagai (lihat sub-bab 3.2)
∞
f (t ) = a0 + ∑ a n2 + bn2 (cos(nω0 t − θ n ) )
(10.2)
n =1
2 T0 / 2
an =
T0 ∫−T / 2 f (t ) cos(nω0t )dt
0
; n>0 (10.3)
2 T0 / 2
bn =
T0 −T0 / 2∫f (t ) sin( nω 0 t )dt ; n > 0
To / 2
∞ ∫
−T / 2 a n cos(nω 0 t ) cos(kω o t )dt
+ ∑ o
To / 2
n =1 +
−To / 2∫ bn sin( nω 0 t ) cos(kω o t )dt
Dengan menggunakan kesamaan tigonometri
1 1
cos α cos β = cos(α − β) + cos(α + β)
2 2
1 1
cos α sin β = sin(α − β) + sin(α + β)
2 2
maka persamaan di atas menjadi
To / 2 To / 2
∫−T / 2 f (t ) cos(kωot )dt = ∫−T / 2 a0 cos(kωot )dt
o o
an To / 2
∞ ∫ (cos((n − k )ω0t ) + cos((n + k )ωot ))dt
2 −To / 2
+ ∑
bn To / 2
n =1 +
∫(sin((n − k )ω0t ) + sin((n + k )ωot ))dtdt
2 −To / 2
Karena integral untuk satu perioda dari fungsi sinus adalah nol, maka
semua integral di ruas kanan persamaan ini bernilai nol kecuali satu
yaitu
a n To / 2
∫ (cos((n − k )ω 0 t ))dt = a n yang terjadi jika n = k
2 −To / 2 2
2 To / 2
oleh karena itu an =
To ∫−T / 2 f (t ) cos(nω0 t )dt
o
199
Transformasi Fourier
v(t) T
CONTOH-10.1: Tentukan
deret Fourier dari bentuk A
gelombang deretan pulsa
berikut ini. −T/2 0 T/2
To
Solusi :
Bentuk gelombang ini memiliki simetri genap, amplitudo A,
perioda To , lebar pulsa T.
T /2
1 T /2At AT
ao =
To ∫ Adt =
−T / 2 To
−T/ 2
=
To
; bn = 0 ;
2 T /2 2A
∫−T / 2 A cos(nωot )dt = Toωon sin nωot −T / 2
T /2
an =
To
A 2 A nπT
nπT
= 2 sin
=
sin
πn πn To
To
Untuk n = 2, 4, 6, …. (genap), an = 0; an hanya mempunyai
nilai untuk n = 1, 3, 5, …. (ganjil).
∞
2 A nπT
∑
AT
f (t ) = + sin cos(nωot )
To nπ To
n =1, ganjil
∞
=
AT
+ ∑
2A
(− 1)(n −1) / 2 cos(nωot )
To nπ
n =1, ganjil
Pemahaman :
Pada bentuk gelombang yang memiliki simetri genap, bn = 0.
Oleh karena itu sudut fasa harmonisa tanθn = bn/an = 0 yang be-
rarti θn = 0o.
Simetri Ganjil. Suatu fungsi dikatakan mempunyai simetri ganjil
jika f(t) = −f(−t). Contoh fungsi yang memiliki simetri ganjil adalah
fungsi sinus, sin(ωt) = −sin(−ωt). Untuk fungsi semacam ini, dari
(10.1) kita dapatkan
∞
− f ( −t ) = − a 0 + ∑ [− an cos(nω0t ) + bn sin(nω0t )]
n =1
=
A
nπ
(
1 + cos 2 (nπ) − 2 cos(nπ) )
Untuk n ganjil cos(nπ) = −1 sedangkan untuk n genap cos(nπ)
= 1. Dengan demikian maka
bn =
A
(1 + 1 + 2) = 4 A untuk n ganjil
nπ nπ
bn =
A
(1 + 1 − 2) = 0 untuk n genap
nπ
∞
∑
4A
⇒ v(t ) = sin( nωot )
n =1, ganjil
nπ
Pemahaman:
Pada bentuk gelombang dengan semetri ganjil, an = 0. Oleh ka-
rena itu sudut fasa harmonisa tanθn = bn/an = ∞ atau θn = 90o.
201
Transformasi Fourier
e jα + e − jα
cos α = .
2
Dengan menggunakan relasi ini maka (10.2) akan menjadi
∞
f (t ) = a 0 + ∑ an2 + bn2 (cos(nω0t − θ n ) )
n =1
∞ e j ( nω 0 t − θ n ) + e − j ( nω 0 t − θ n ) (10.6)
= a0 + ∑ an2 + bn2
n =1
2
∞ a2 + b2 ∞ a2 + b2
= a0 + ∑ n n
2
e j ( nω 0 t − θ n ) +
∑ n
2
n − j ( nω 0 t − θ n )
e
n =1 n =1
Suku ketiga (10.6) adalah penjumlahan dari n = 1 sampai n =∞. Jika
penjumlahan ini kita ubah mulai dari n = −1 sampai n = −∞, dengan
penyesuaian an menjadi a−n , bn menjadi b−n , dan θn menjadi θ−n,
maka menurut (10.3) perubahan ini berakibat
2 T0 / 2 2 T0 / 2
a− n = ∫
T0 −T0 / 2
f (t ) cos(−nω0t )dt =
T0 −T0 / 2 ∫
f (t ) cos(nω0t )dt = an
2 T0 / 2 2 T0 / 2
b− n = ∫
T0 −T0 / 2
f (t ) sin(−nω0t )dt = −
T0 −T0 / 2 ∫
f (t ) sin(nω0t )dt = −b
b − bn
tan θ− n = − n = ⇒ θ− n = −θn
a− n an
(10.7)
Dengan (10.7) ini maka (10.6) menjadi
a2 + b2
∞ −∞ a 2 + b2
f (t ) =
∑
n
2
n j ( nω0 t − θ n )
e
+ n
2
e ∑
n j ( nω 0 t − θ n )
n =0 n = −1
(10.8)
Suku pertama dari (10.8) merupakan penjumlahan yang kita mulai
dari n = 0 untuk memasukkan a0 sebagai salah satu suku
penjumlahan ini. Dengan cara ini maka (10.8) dapat ditulis menjadi
+∞ a2 + b2 +∞
n n − j θ n j ( n ω0 t )
f (t ) = ∑ 2
e
e = cn e j ( n ω 0 t )∑ (10.9)
n = −∞ n = −∞
203
Transformasi Fourier
an2 + bn2
cn = dan ∠cn = θn dengan
2 (10.11)
−b b
θ n = tan −1 n jika an < 0; θn = tan −1 n jika an > 0
an an
n = −∞ n = −∞ 0
n = −∞ 0
(10.14)
∞
T0 / 2
∑ ∫
1
= f (t ) e − jnω0t dt ω0 e jnω0t
2π n = −∞ −T0 / 2
Kita lihat sekarang apa yang terjadi jika perioda T0 diperbesar. Ka-
rena ω0 = 2π/T0 maka jika T0 makin besar, ω0 akan makin kecil. Be-
da frekuensi antara dua harmonisa yang berturutan, yaitu
2π
∆ω = (n + 1)ω0 − nω0 = ω0 =
T0
juga akan makin kecil yang berarti untuk suatu selang frekuensi ter-
tentu jumlah harmonisa semakin banyak. Oleh karena itu jika pe-
rioda sinyal T0 diperbesar menuju ∞ maka spektrum sinyal menjadi
spektrum kontinyu, ∆ω menjadi dω (pertambahan frekuensi infini-
tisimal), dan nω0 menjadi peubah kontinyu ω. Penjumlahan pada
(10.14) menjadi integral. Jadi dengan membuat T0 → ∞ maka
(10.14) menjadi
1 ∞ ∞ − j ωt 1 ∞
f (t ) = ∫−∞ ∫−∞ f (t ) e dt e jωt dω = ∫−∞ F (ω) e
j ωt
dω
2π 2π
(10.15)
dengan F(ω) merupakan sebuah fungsi frekuensi yang baru,
sedemikian rupa sehingga
205
Transformasi Fourier
∞ − jωt
F (ω) = ∫−∞ f (t ) e dt (10.16)
dan F(ω) inilah transformasi Fourier dari f(t), yang ditulis dengan
notasi
F[ f (t )] = F (ω)
Proses transformasi balik dapat kita lakukan melalui persamaan
(10.15).
f (t ) = F −1 (ω)
Solusi :
|F(ω)|
Spektrum amplitudo sin-
yal aperiodik ini meru-
pakan spektrum konti-
nyu |F(jω)|.
sin(ωT / 2) −6π −4π −2π 0 2 π 4 π 6π ω
F (ω) = AT
ωT / 2 -5 T T0 T T T T
Pemahaman:
Sinyal ini mempunyai simetri genap. Sudut fasa harmonisa ada-
lah nol sehingga spektrum sudut fasa tidak digambarkan. Per-
hatikan pula bahwa |F(ω)| mempunyai spektrum di dua sisi, ω
positif maupun negatif; nilai nol terjadi jika sin(ωT/2)=0 yaitu
pada ω = ±2kπ/T (k = 1,2,3,…); nilai maksimum terjadi pada ω
= 0, yaitu pada waktu nilai sin(ωT/2)/(ωT/2) = 1.
207
Transformasi Fourier
∞ − αt ∞
F(ω) = ∫−∞ Ae u (t )e − jωt dt = ∫0 Ae −( α + jω)t dt
∞
e −(α + jω)t A
=− A = untuk α>0
α + jω α + jω
0
| A|
⇒ F(ω) =
α 2 + ω2
ω
⇒ θ(ω) = ∠F ( jω) = − tan −1
α
ω −90o
Pemahaman:
Untuk α < 0, tidak ada transformasi Fourier-nya karena inte-
grasi menjadi tidak konvergen.
Solusi
1 ∞ 1 0+
f (t ) = ∫−∞ 2πδ(ω) e jωt dω = ∫0 2πδ(ω) e jωt dω
2π 2π −
α+
= ∫α −
δ(ω)(1) dω = 1
Pemahaman :
Fungsi 2πδ(ω) adalah fungsi di kawasan frekuensi yang hanya
mempunyai nilai di ω=0 sebesar 2π. Oleh karena itu e jωt juga
hanya mempunyai nilai di ω=0 sebesar e j0t =1. Karena fungsi
hanya mempunyai nilai di ω=0 maka integral dari −∞ sampai
+∞ cukup dilakukan dari 0− sampai 0+, yaitu sedikit di bawah
dan di atas ω=0. Contoh ini menunjukkan bahwa transformasi
Fourier dari sinyal searah beramplitudo 1 adalah 2πδ(ω).
Solusi :
1 ∞ 1 α+
f (t ) = ∫−∞ 2πδ(ω − α ) e jωt dω = ∫α 2πδ(ω − α ) e jωt dω
2π 2π −
α+
= e jα t ∫α −
δ(ω − α ) dω = e jαt
Pemahaman :
Fungsi 2πδ(ω−α) adalah fungsi di kawasan frekuensi yang han-
ya mempunyai nilai di ω=α sebesar 2π. Oleh karena itu e jωt juga
hanya mempunyai nilai di ω=α sebesar ejαt. Karena fungsi hanya
mempunyai nilai di ω=α maka integral dari −∞ sampai +∞ cu-
kup dilakukan dari α− sampai α+, yaitu sedikit di bawah dan di
atas ω=α.
209
Transformasi Fourier
∞ πA
∫−∞ α [u(ω + α) − u(ω − α)] e
1 jωt
f (t ) = dω
2π
α
∞ jωt
πA
=
1
∫ [1] e jωt dω = A e
2π −∞ α 2α jt
−α
j αt − j αt jαt − jαt
A e −e A e −e sin( αt )
= = =A
2α jt αt j2 αt
Pemahaman:
Dalam soal ini F(ω) mempunyai nilai pada selang −α<ω<+α
oleh karena itu e jωt juga mempunyai nilai pada selang frekuensi
ini juga; dengan demikian integrasi cukup dilakukan antara −α
dan +α.
−β 0 +β ω t
Solusi:
211
Transformasi Fourier
10
CONTOH-10.11: Carilah f(t) dari F (ω) =
( jω + 3)( jω + 4)
Solusi :
Jika kita ganti jω dengan s kita dapatkan
10
F (s) =
( s + 3)(s + 4)
Pole dari fungsi ini adalah p1 = −3 dan p2 = −4, keduanya di se-
belah kiri sumbu imajiner.
10 k k
F( s) = = 1 + 2
( s + 3)(s + 4) s + 3 s + 4
10 10
→ k1 = = 10 ; k 2 = = −10
s+4 s = −3 s+3 s = −4
10 10
⇒ F( s) = −
s+3 s+4
Transformasi balik dari F(ω) adalah :
[
f (t ) = 10 e −3t − 10 e −4t u (t )]
212 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)
Transformasi Fourier
F[cosβt] = F
e jβt + e − jβt 1
= Fe [ ]
jβ t 1
+ F e − jβt[ ]
2 2 2
10.4.2. Diferensiasi
Sifat ini dinyatakan sebagai berikut
F
df (t )
= jωF (ω) (10.23)
dt
Persamaan (10.15) menyatakan
1 ∞
f (t ) = ∫ F (ω) e jωt dω
2π − ∞
→
df (t ) d 1 ∞
dt
= ∫
dt 2π − ∞
1 ∞ d
F (ω) e jωt dω =
∫ 2 π − ∞
( jωt
dt F (ω) e dω
)
1 ∞
= ∫ jωF (ω) e jωt dω
2π − ∞
df (t )
→ F = jωF (ω)
dt
213
Transformasi Fourier
10.4.3. Integrasi
Sifat ini dinyatakan sebagai berikut.
t F(ω)
F ∫ f ( x)dx = + πF(0)δ(ω) (10.24)
−∞ jω
F[u (t )] = F ∫ δ( x)dx =
t 1
+ πδ(ω)
−∞ jω
10.4.4. Pembalikan
Pembalikan suatu fungsi f(t) adalah mengganti t dengan −t. Jika kita
membalikkan suatu fungsi, maka urutan kejadian dalam fungsi yang
baru berlawanan dengan urutan kejadian pada fungsi semula. Trans-
formsi Fourier dari fungsi yang dibalikkan sama dengan kebalikan
dari transformasi Fourier fungsi semula. Secara formal hal ini dapat
dituliskan sebagai
Jika F[ f (t )] = F (ω) maka F[ f (−t )] = F (−ω) (10.25)
Menurut (10.16)
∞
F [ f ( −t ) ] = ∫ f (−t ) e − jωt dt ; Misalkan − t = τ
−∞
−∞
→ F[ f (−t )] = F[ f (τ)] = − ∫∞ f (τ) e jωτ dτ
∞ − jωτ
= ∫−∞ f (τ) e dτ = F(−ω)
[ ] [
F e −α|t| = F e −αt u (t ) + e −α(−t ) u (−t ) ]
1 1 2α
= + =
α + jω α + j (−ω) α 2 + ω 2
ω)
10.4.5. Komponen Nyata dan Imajiner dari F(ω
Pada umumnya transformasi Fourier dari f(t), F(ω), berupa fungsi
kompleks yang dapat kita tuliskan sebagai
215
Transformasi Fourier
∞ − j ωt ∞ ∞
F (ω) = ∫−∞ f (t ) e dt = ∫−∞ f (t ) cosωt dt − j ∫−∞ f (t ) sinωt dt
= A(ω) + jB(ω) = F (ω) e jθ ω
dengan
∞ ∞
A(ω) = ∫−∞ f (t ) cos ωt dt ; B(ω) = − ∫−∞ f (t ) sin ωt dt (10.26)
B(ω)
F (ω) = A2 (ω) + B 2 (ω) ; θ(ω) = tan −1 (10.27)
A(ω)
Jika f(t) fungsi nyata, maka dari (10.26) dan (10.27) dapat kita sim-
pulkan bahwa
1. Komponen riil dari F(ω) merupakan fungsi genap, karena
A(−ω) = A(ω).
2. Komponen imajiner F(ω) merupakan fungsi ganjil, karena
B(−ω) =− B(ω).
3. |F(ω)| merupakan fungsi genap, karena |F(−ω)| = |F(ω)|.
4. Sudut fasa θ(ω) merupakan fungsi ganjil, karena θ(−ω) =−
θ(ω).
5. Kesimpulan (1) dan (2) mengakibatkan : kebalikan F(ω)
adalah konjugat-nya, F(−ω) = A(ω) − jB(ω) = F*(ω) .
6. Kesimpulan (5) mengakibatkan : F(ω) × F(−ω) = F(ω) ×
F*(ω) = |F(ω)|2.
7. Jika f(t) fungsi genap, maka B(ω) = 0, yang berarti F(ω) riil.
8. Jika f(t) fungsi ganjil, maka A(ω) = 0, yang berarti F(ω)
imajiner.
10.4.6. Kesimetrisan
Sifat ini dinyatakan secara umum sebagai berikut.
Jika F[ f (t )] = F (ω) maka F[F (t )] = 2π f (−ω) (10.28)
∞ j ωt ∞ − jωt
2π f (t ) = ∫−∞ F (ω) e dω → 2π f (−t ) = ∫−∞ F (ω) e dω
∞ − j ωt
Jika t dan ω dipertukarkan maka : 2π f (−ω) = ∫−∞ F (t ) e dω
10.4.9. Penskalaan
Sifat ini dinyatakan sebagai berikut.
1 ω
Jika F[ f (t )] = F (ω) maka F[ f (at )] = F (10.31)
|a| a
10.5. Ringkasan
Tabel-10.1 berikut ini memuat pasangan transformasi Fourier se-
dangkan sifat-sifat transformasi Fourier termuat dalam Tabel-10.2.
217
Transformasi Fourier
Soal-Soal
Deret Fourier Bentuk Sinus-Cosinus.
1. Tentukan deret Fourier dari gelombang segitiga berikut ini.
v 1ms
5V
t
a). −5V
v 1ms
10V
b). t
20ms
v 150V
c).
v 150V
t
20ms
d).
v 1ms
10V
−5V t
e).
2. Siklus pertama dari deretan pulsa dinyatakan sebagai
v(t ) = 2u(t ) − 2u(t − 1) + u (t − 2) − u (t − 3)
Gambarkan siklus pertama tersebut dan carilah koefisien Fourier-
nya serta gambarkan spektrum amplitudo dan sudut fasanya.
219
Transformasi Fourier
v 1ms
10V
b). t
v 2ms
10V
1ms
t
−5V
c).
v
150V
t
20ms
d).
v 1ms
10V
−5V t
e).
Transformasi Fourier
5. Carilah transformasi Fourier dari bentuk-bentuk gelombang beri-
kut:
a). v (t ) =
At
[u(t ) − u(t − T )] ;
T
b). v(t ) = A cos 2πt u t + T − u t − T
T 4 4
d). v (t ) = 2 + 2u (t ) ;
e). v(t ) = 2 sgn( −t ) + 6u (t )
[ ]
f). v(t ) = 2e −2t u (t ) + 2 sgn(t ) δ(t + 2)
− ω2
e). F ( ω) = ;
( jω + 20) ( jω + 50)
1000
f). F ( ω) =
jω( jω + 20) ( jω + 50)
221
Transformasi Fourier
j500ω
g). F ( ω) = ;
( − jω + 50) ( jω + 50)
j5ω
h). F ( ω) =
( jω + 50) ( jω + 50)
5000
i). F ( ω) = ;
jω( − jω + 50) ( jω + 50)
5000δ(ω)
j). F ( ω) =
− ω2 + j 200ω + 2500
k). F ( ω) = 4 π δ( ω) + e −2 ω ;
4π δ( ω − 4)e − j2ω
l). F ( ω) =
jω
4π δ( ω) + 4( jω + 1)
m). F ( ω) = ;
jω( 2 + jω)
n). F ( ω) = 4 π δ( ω) + e −2 ω
o). F ( ω) = 4 π δ( ω) + 4π δ( ω − 2) + 4π δ( ω + 2)
223
Analisis Menggunakan Transformasi Fourier
1
ZR = R ; Z L = jωL ; ZC = (11.1)
jωC
Bentuk-bentuk (11.1) telah kita kenal sebagai impedansi arus bolak-
balik.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa transformasi Fourier sua-
tu sinyal akan tetap memberikan relasi hukum Kirchhoff di kawasan fre-
kuensi dan hubungan tegangan-arus elemen menjadi mirip dengan relasi
hukum Ohm jika elemen dinyatakan dalam impedansinya. Dengan dasar
ini maka kita dapat melakukan transformasi rangkaian, yaitu menyatakan
elemen-elemen rangkaian dalam impedansinya dan menyatakan sinyal
dalam transformasi Fouriernya. Pada rangkaian yang ditransformasikan
ini kita dapat menerapkan kaidah-kaidah rangkaian dan metoda-metoda
analisis rangkaian. Tanggapan rangkaian di kawasan waktu dapat
diperoleh dengan melakukan transformasi balik.
Uraian di atas paralel dengan uraian mengenai transformasi Laplace,
kecuali satu hal yaitu bahwa kita tidak menyebut-nyebut tentang kondisi-
awal. Hal ini dapat difahami karena batas integrasi dalam mencari trans-
formasi Fourier adalah dari −∞ sampai +∞. Hal ini berbeda dengan trans-
formasi Laplace yang batas integrasinya dari 0 ke +∞. Jadi analisis rang-
kaian dengan menggunakan transformasi Fourier mengikut sertakan selu-
ruh kejadian termasuk kejadian untuk t < 0. Oleh karena itu cara analisis
dengan transformasi Fourier tidak dapat digunakan jika kejadian pada t
< 0 dinyatakan dalam bentuk kondisi awal. Pada dasarnya transformasi
Fourier diaplikasikan untuk sinyal-sinyal non-kausal sehingga metoda
Fourier memberikan tanggapan rangkaian yang berlaku untuk t = −∞
sampai t = +∞.
CONTOH-11.1: Pada rangkaian seri antara
resistor R dan kapasitor C diterapkan + +
tegangan v1. Tentukan tanggapan v1 R C vC
rangkaian vC. − −
Solusi:
Persoalan rangkaian orde-1 ini telah pernah kita tangani pada anal-
isis transien di kawasan waktu maupun kawasan s (menggunakan
transformasi Laplace). Di sini kita akan menggunakan transformasi
Fourier.
225
Analisis Menggunakan Transformasi Fourier
Solusi:
F[ sgn(t ) ] =
2
Dari Tabel 10.1. kita peroleh . Dengan demikian
jω
maka VC(ω) dan uraiannya adalah
1 / RC 2 2 2
VC (ω) = = −
jω + 1 / RC jω jω jω + 1 / RC
Transformasi baliknya memberikan
vC (t ) = sgn(t ) − 2 e −(1 / RC ) t u (t )
Pemahaman:
Persoalan ini melibatkan sinyal non-kausal yang memerlukan solusi
dengan transformasi Fourier. Suku pertama dari vC(t) memberikan
informasi tentang keadaan pada t < 0, yaitu bahwa tegangan kapasi-
tor bernilai −1 karena suku kedua bernilai nol untuk t < 0. Untuk t >
0, vC(t) bernilai 1 − 2e−(1/RC) tu(t) yang merupakan tegangan transien
yang nilai akhirnya adalah +1. Di sini terlihat jelas bahwa analisis
dengan menggunakan transformasi Fourier memberikan tanggapan
rangkaian yang mencakup seluruh sejarah rangkaian mulai dari −∞
sampai +∞. Gambar vC(t) adalah seperti di bawah ini.
2
vC
1
+1
sgn(t)−2e−(1/RC) tu(t)
0
t
-40 -20 0 20 40
sgn(t) −(1/RC) t
-1 −2e u(t)
−1
−2
-2
+∞
F [ y(t )] = Y (ω) = F ∫ h(τ) x(t − τ)dτ
τ= −∞
(11.4)
∞ +∞
= ∫ ∫τ=−∞ h(τ) x(t − τ)dτ e − jωt dt
t = −∞
Pertukaran urutan integrasi pada (11.4) memberikan
∞ +∞
Y (ω) = ∫ ∫t =−∞ h(τ) x(t − τ) e − jωt dt dτ
τ= −∞
(11.5)
∞ +∞ − jωt
= ∫
τ= −∞
h(τ)
∫t =−∞ x(t − τ) e dt dτ
Mengingat sifat pergeseran waktu pada transformasi Fourier, maka
(11.5) dapat ditulis
∞ − jωτ
Y (ω) = ∫τ=−∞ h(τ)e X (ω)dτ
(11.6)
∞
= ∫ h(τ)e − jωτ dτ X (ω) = H (ω) X (ω)
τ=−∞
227
Analisis Menggunakan Transformasi Fourier
X (ω) = F [sgn(t) ] =
2
jω
Sinyal keluaran adalah
α2 2 2α 2
Y (ω) = H (ω) X (ω) = =
α 2 + ω2 jω jω(α + jω)(α − jω)
yang dapat diuraikan menjadi
k k2 k3
Y (ω) = 1 + +
jω α + jω α − jω
2α 2
k1 = jωY (ω) jω=0 = =2
(α + jω)(α − jω)
jω=0
2α 2
2α 2
k 2 = (α + jω)Y (ω) jω=−α = = = −1
jω(α − jω) − α (α + α )
jω= − α
2α 2 2α 2
k 3 = (α − jω)Y (ω) jω=α = = = +1
jω(α + jω) α(α + α )
jω=α
2 −1 1
Jadi Y (ω) = + + sehingga
jω α + jω α + j (−ω)
Gambar dari hasil yang kita peroleh adalah seperti di bawah ini.
y(t)
1
+1
[1−e−α t ] u(t)
0
-40 0 t 40
[−1+eα t ] u(t)
-1 −1
α2
Fungsi alih sistem tersebut adalah H (ω) = .
α 2 + ω2
Kurva |H(ω)| kita gambarkan dengan ω sebagai absis dan hasilnya
adalah seperti gambar di bawah ini.
|H(ω)|
1 1
0
-20 -10 00 10 ω 20
229
Analisis Menggunakan Transformasi Fourier
α2 1
= ⇒ ω c = α 2 2 − α 2 = 0.644α
α 2
+ ω c2 2
231
Analisis Menggunakan Transformasi Fourier
Solusi:
Kita dapat menghitung di kawasan waktu
[ ]
v(t ) = 10 e −1000 t u (t ) → V (ω) =
10
jω + 1000
Energi total :
2 ∞
1 ∞ 100 100 −1 ω
W1Ω = ∫ dω =
π 0 ω 2 + 10 6 π(1000)
tan
1000 0
1 π 1
= − 0 = J
10π 2 20
Misalkan lebar pita yang diperlukan untuk memperoleh 90% energi
adalah β, maka
2 β
1 β 100 100 ω
W90% = ∫ dω = tan −1
π 0 ω 2 + 10 6 π(1000) 1000 0
1 β
= tan −1
10π 1000
Jadi
1 β 1 β 9π
⇒ tan −1 = 0.9 × ⇒ = tan
10π 1000 20 1000 20
⇒ β = 6310 rad/s
233
Analisis Menggunakan Transformasi Fourier
Soal-Soal
1. Saklar S pada rangkaian berikut telah berada di posisi 1 mulai t =
−∞. Pada t = 0 ia dipindahkan keposisi 2 dan tetap pada posisi 2
sampai t = + ∞. Jika v1 = −10 V, v2 = 10 V, tentukan vin , Vin(ω) ,
Vo(ω) , vo.
1
− + S 1 µf
v1
− + + +
v2 2 vin 10 kΩ vo
− −
1
− + S 0,5 kΩ
v1
− + + +
v2 2 vin 1H vo
− −
1µF 10kΩ
−
+ +
10kΩ +
v1
vo
235
Analisis Menggunakan Transformasi Fourier
100kΩ +
+ vo
− 1µF
v1 100kΩ −
1µF 10kΩ
−
+ +
10kΩ +
v1
vo
Indeks 239
s t
sifat transformasi Fourier 215, tanggapan alami 5, 34
220 tanggapan frekuensi 125
sifat transformasi Laplace 60, tanggapan lengkap 6, 35
67 tanggapan paksa 6, 35
sinus 20, 46, 57, 125 tegangan simpul 99
sinyal 167 teorema Thévenin 92
sistem 168 transformasi balik 68, 210
spektrum kontinyu 207 transformasi Fourier 207, 212,
status nol 24, 26 220, 225
sub-sistem dinamis 185 transformasi Laplace 56, 58,
sub-sistem statis 185 59, 78, 85
superposisi 19, 92, 94 transformasi rangkaian 88
u
unit output 94
z
zero 68, 152