Anda di halaman 1dari 246

Sudaryatno Sudirham

Analisis
Rangkaian Listrik
Jilid 2

darpublic
Analisis
Rangkaian Listrik
Jilid 2
(Analisis Transien, Analisis Menggunakan
Transformasi Laplace, Tanggapan Frekuensi,
Analisis Menggunakan Transformasi Fourier)

oleh
Sudaryatno Sudirham
Hak cipta pada penulis, 2010

SUDIRHAM, SUDARYATNO
Analisis Rangkaian Listrik
Bandung
are-0710

e-mail: darpublic@yahoo.com
Alamat pos: Kanayakan D-30, Komp ITB, Bandung, 40135.
Fax: (62) (22) 2534117
Pengantar

Buku ini adalah jilid ke-dua dari satu seri pembahasan analisis rangkaian
listrik. Penataan ulang serta penambahan penjelasan penulis lakukan
terhadap buku yang diterbitkan tahun 2002.
Buku jilid ke-dua ini berisi materi lanjutan, ditujukan kepada pembaca
yang telah mempelajari materi di buku jilid pertama. Pokok bahasan
disajikan dalam sebelas bab. Dalam dua bab pertama bahasan kembali ke
kawasan waktu dengan pokok bahasan tentang analisis transien pada
sistem orde pertama dan sistem orde ke-dua. Pokok bahasan dalam tujuh
bab berikutnya adalah mengenai analisis rangkaian menggunakan
transformasi Laplace, yang dapat digunakan untuk analisis keadaan
mantap maupun transien; bahasan ini mencakup dasar-dasar transformasi
Laplace sampai ke aplikasinya, yang kemudian dilanjutkan dengan
pembahasan mengenai fungsi alih dan tanggapan frekuensi, serta
pengenalan pada sistemtermasuk persamaan ruang status. Dua bab
terakhir membahas analisis rangkaian listrik menggunakan transformasi
Fourier. Pengetahuan tentang aplikasi transformasi Fourier dalam
analisis akan memperluas pemahaman mengenai tanggapan frekuensi,
baik mengenai perilaku sinyal itu sendiri maupuan rangkaiannya.
Lanjutan pembahasan analisis rangkaian listrik akan disajikan di jilid ke-
tiga, yang akan meliputi rangkaian pemroses energi serta analisis
harmonisa di mana sinyal dipandang sebagai suatu spektrum.

Mudah-mudahan sajian ini bermanfaat bagi para pembaca. Saran dan


usulan para pembaca untuk perbaikan dalam publikasi selanjutnya, sangat
penulis harapkan.

Bandung, 26 Juli 2010


Wassalam,
Penulis.

iii
<< La plus grande partie du savoir
humain est déposée dans des
documents et des livres,
mémoires en papier
de l’humanité.>>
A. Schopenhauer, 1788 – 1860

Dari Mini-Encyclopédie
France Loisirs
ISBN 2-7242-1551-6
Daftar Isi
Kata Pengantar iii
Daftar Isi v
Bab 1: Analisis Transien Rangkaian Orde Pertama 1
Contoh Rangkaian Orde Pertama. Tinjauan Umum Tanggapan
Rangkaian Orde Pertama. Komponen Mantap dan Komponen
Transien. Tanggapan Rangkaian Tanpa Fungsi Pemaksa.
Tanggapan Rangkaian Orde Pertama Terhadap Sinyal Anak
Tangga. Tanggapan Rangkaian Orde Pertama Terhadap Sinyal
Sinus. Tanggapan Masukan Nol dan Tanggapan Status Nol.
Ringkasan Mengenai Tanggapan Rangkaian Orde Pertama.
Bab 2: Analisis Transien Rangkaian Orde Ke-dua 31
Contoh Rangkaian Orde Kedua. Tinjauan Umum Tanggapan
Rangkaian Orde Kedua. Tiga Kemungkinan Bentuk
Tanggapan. Tanggapan Rangkaian Orde Kedua Terhadap
Sinyal Anak Tangga. Tanggapan Rangkaian Orde Kedua
Terhadap Sinyal Sinus.
Bab 3: Transformasi Laplace 55
Transformasi Laplace. Tabel Transformasi Laplace. Sifat-Sifat
Transformasi Laplace. Transformasi Balik. Solusi Persamaan
Rangkaian Menggunakan Transformasi Laplace.
Bab 4: Analisis Menggunakan Transformasi Laplace 85
Hubungan Tegangan-Arus Elemen di Kawasan s. Konsep
Impedansi di Kawasan s. Representasi Elemen di Kawasan s.
Transformasi Rangkaian. Hukum Kirchhoff. Kaidah-Kaidah
Rangkaian. Teorema Rangkaian. Metoda-Metoda Analisis.
Bab 5: Fungsi Jaringan 105
Pengertian dan Macam Fungsi Jaringan. Peran Fungsi Alih.
Hubungan Bertingkat dan Kaidah Rantai . Fungsi Alih dan
Hubungan Masukan-Keluaran di Kawasan Waktu. Tinjauan
Umum Mengenai Hubungan Masukan-Keluaran.
Bab 6: Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde Pertama 121
Tanggapan Rangkaian Terhadap Sinyal Sinus Keadaan
Mantap. Pernyataan Tanggapan Frekuensi. Bode Plot.

v
Bab 7: Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde Ke-dua 141
Rangkaian Orde Kedua Dengan Pole Riil. Fungsi Alih
Dengan Zero Riil Negatif . Tinjauan Umum Bode Plot dari
Rangkaian Dengan Pole dan Zero Riil. Tinjauan Kualitatif
Tanggapan Frekuensi di Bidang s. Rangkaian Orde Kedua
Yang Memiliki Pole Kompleks Konjugat.
Bab 8: Analisis Pada Sistem 163
Sinyal. Sistem. Model Sistem. Diagram Blok. Pembentukan
Diagram Blok. Reduksi Diagram Blok. Sub-Sistem Statis dan
Dinamis. Diagram Blok Integrator.
Bab 9: Sistem Dan Persamaan Ruang Status 185
Blok Integrator dan Blok Statis. Diagram Blok Integrator,
Sinyal Sebagai Fungsi t. Membangun Persamaan Ruang
Status. Membangun Diagram Blok dari Persamaan Ruang
Status.
Bab 10: Transformasi Fourier 195
Deret Fourier. Transformasi Fourier. Transformasi Balik.
Sifat-Sifat Transformasi Fourier. Ringkasan.
Bab 11: Analisis Menggunakan Transformasi Fourier 221
Transformasi Fourier dan Hukum Rangkaian. Konvolusi dan
Fungsi Alih. Energi Sinyal.
Daftar Referensi 237
Indeks 239
Biodata 241

vi
BAB 1
Analisis Transien di Kawasan Waktu
Rangkaian Orde Pertama

Yang dimaksud dengan analisis transien adalah analisis rangkaian yang


sedang dalam keadaan peralihan atau keadaan transien. Gejala transien
atau gejala peralihan merupakan salah satu peristiwa dalam rangkaian
listrik yang perlu kita perhatikan. Peristiwa ini biasanya berlangsung
hanya beberapa saat namun jika tidak ditangani secara baik dapat
menyebabkan terjadinya hal-hal yang sangat merugikan berupa
kerusakan peralatan.
Dalam sistem penyaluran energi, pemutusan dan penyambungan
rangkaian merupakan hal yang sering terjadi. Operasi-operasi tersebut
dapat menyebabkan terjadinya lonjakan tegangan yang biasa disebut
tegangan lebih. Tegangan lebih pada sistem juga terjadi manakala ada
sambaran petir yang mengimbaskan tegangan pada saluran transmisi.
Tegangan lebih seperti ini akan merambat sepanjang saluran transmisi
berbentuk gelombang berjalan dan akan sampai ke beban-beban yang
terhubung pada sistem tersebut. Piranti-piranti elektronik akan menderita
karenanya. Di samping melalui saluran transmisi, sambaran petir juga
mengimbaskan tegangan secara induktif maupun kapasitif pada
peralatan-peralatan. Semua kejadian itu merupakan peristiwa-peristiwa
peralihan.
Kita mengetahui bahwa kapasitor dan induktor adalah piranti-piranti
dinamis dan rangkaian yang mengandung piranti-piranti jenis ini kita
sebut rangkaian dinamis. Piranti dinamis mempunyai kemampuan untuk
menyimpan energi dan melepaskan energi yang telah disimpan
sebelumnya. Hal demikian tidak terjadi pada resistor, yang hanya dapat
menyerap energi. Oleh karena itu, pada waktu terjadi operasi penutupan
ataupun pemutusan rangkaian, perilaku rangkaian yang mengandung
kapasitor maupun induktor berbeda dengan rangkaian yang hanya
mengandung resistor saja.
Karena hubungan antara arus dan tegangan pada induktor maupun
kapasitor merupakan hubungan linier diferensial, maka persamaan
rangkaian yang mengandung elemen-elemen ini juga merupakan
persamaan diferensial. Persamaan diferensial ini dapat berupa persamaan

1
diferensial orde pertama dan rangkaian yang demikian ini disebut
rangkaian atau sistem orde pertama. Jika persamaan rangkaian berbentuk
persamaan diferensial orde kedua maka rangkaian ini disebut rangkaian
atau sistem orde kedua. Perilaku kedua macam sistem tersebut akan kita
pelajari berikut ini.
Dengan mempelajari analisis transien orde pertama, kita akan
• mampu menurunkan persamaan rangkaian yang merupakan
rangkaian orde pertama.
• memahami bahwa tanggapan rangkaian terdiri dari tanggapan
paksa dan tanggapan alami.
• mampu melakukan analisis transien pada rangkaian orde
pertama.
1.1. Contoh Rangkaian Orde Pertama
Rangkaian RC Seri. Salah
satu contoh rangkaian orde
S R A
pertama dalam keadaan iC
+ +
peralihan adalah rangkaian +
v v i v
RC seri seperti pada s
− in
C
Gb.1.1. Pada awalnya − −
saklar S pada rangkaian ini B
terbuka; kemudian pada Gb.1.1. Rangkaian RC.
saat t = 0 ia ditutup
sehingga terbentuk
rangkaian tertutup terdiri dari sumber vs dan hubungan seri resistor R
dan kapasitor C. Jadi mulai pada t = 0 terjadilah perubahan status pada
sistem tersebut dan gejala yang timbul selama terjadinya perubahan
itulah yang kita sebut gejala perubahan atau gejala transien. Gejala
transien ini merupakan tanggapan rangkaian seri RC ini setelah saklar
ditutup, yaitu pada t > 0. Aplikasi HTK pada pada rangkaian untuk t > 0
memberikan

dv dv
− v s + iR + v = −v s + RC + v = 0 atau RC + v = vs (1.1)
dt dt
Persamaan (1.1) adalah persamaan rangkaian seri RC dengan
menggunakan tegangan kapasitor sebagai peubah. Alternatif lain untuk
memperoleh persamaan rangkaian ini adalah menggunakan arus i sebagai
peubah. Tetapi dalam analisis transien, kita memilih peubah yang

2 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


merupakan peubah status dalam menyatakan persamaan rangkaian.
Untuk rangkaian RC ini peubah statusnya adalah tegangan kapasitor, v.
Pemilihan peubah status dalam melakukan analisis transien berkaitan
dengan ada tidaknya simpanan energi dalam rangkaian yang sedang
dianalisis, sesaat sebelum terjadinya perubahan. Hal ini akan kita lihat
pada pembahasan selanjutnya.
Persamaan (1.1) merupakan persamaan diferensial orde pertama tak
homogen dengan koefisien konstan. Tegangan masukan vs merupakan
sinyal sembarang, yang dapat berbentuk fungsi-fungsi yang pernah kita
pelajari di Bab-1. Tugas kita dalam analisis rangkaian ini adalah mencari
tegangan kapasitor, v, untuk t > 0.
Rangkaian RL Seri. Contoh lain rangkaian orde pertama adalah
rangkaian RL seri seperti pada
Gb.1.2. Saklar S ditutup pada t S R A
= 0 sehingga terbentuk
rangkaian tertutup RL seri. + iL
vs i L
Aplikasi HTK pada rangkaian −
ini untuk t > 0 memberikan :
B
di
vs − Ri − v L = vs − Ri − L = 0 Gb.1.2. Rangkaian RL seri.
dt
atau
di
L + Ri = v s (1.2)
dt

Persamaan (1.2) adalah persamaan rangkaian RL seri dengan arus i


sebagai peubah. Sebagaimana kita ketahui, arus merupakan peubah status
untuk induktor dan kita pilih ia sebagai peubah dalam analisis rangkaian
RL.
Rangkaian Orde Pertama yang Lain. Persamaan rangkaian RC dan RL
merupakan persamaan diferensial orde pertama dan oleh karena itu
rangkaian itu disebut rangkaian orde pertama atau sistem orde pertama.
Sudah barang tentu sistem orde pertama bukan hanya rangkaian RC dan
RL saja, akan tetapi setiap rangkaian yang persamaannya berupa
persamaan diferensial orde pertama adalah sistem orde pertama.

3
1.2. Tinjauan Umum Tanggapan Rangkaian Orde Pertama
Secara umum, persamaan rangkaian orde pertama berbentuk
dy
a + by = x(t ) (1.3)
dt
Peubah y adalah keluaran atau tanggapan dari rangkaian yang dapat
berupa tegangan ataupun arus sedangkan nilai a dan b ditentukan oleh
nilai-nilai elemen yang membentuk rangkaian. Fungsi x(t) adalah
masukan pada rangkaian yang dapat berupa tegangan ataupun arus dan
disebut fungsi pemaksa atau fungsi penggerak.
Kita mengetahui bahwa persamaan diferensial seperti (1.3) mempunyai
solusi total yang merupakan jumlah dari solusi khusus dan solusi
homogen. Solusi khusus adalah fungsi yang dapat memenuhi persamaan
(1.3) sedangkan solusi homogen adalah fungsi yang dapat memenuhi
persamaan homogen
dy
a + by = 0 (1.4)
dt
Hal ini dapat difahami karena jika fungsi x1 memenuhi (1.3) dan fungsi
x2 memenuhi (1.4), maka y = (x1+x2) akan memenuhi (1.3) sebab
dy d (x1 + x2 ) dx dx
a + by = a + b( x1 + x2 ) = a 1 + bx1 + a 2 + bx2
dt dt dt dt
dx1
=a + bx1 + 0
dt
Jadi y = (x1+x2) adalah solusi dari (1.3), dan kita sebut solusi total.

1.2.1. Tanggapan Alami, Tanggapan Paksa, Tanggapan Lengkap


Dalam rangkaian listrik, solusi total persamaan diferensial (1.3)
merupakan tanggapan lengkap (complete response) rangkaian, yang
tidak lain adalah keluaran (tanggapan) rangkaian dalam kurun waktu
setelah terjadi perubahan, atau kita katakan untuk t > 0. Tanggapan
lengkap ini terdiri dua komponen yaitu tanggapan alami dan tanggapan
paksa, sesuai dengan adanya solusi homogen dan solusi khusus dari (1.3).
Tanggapan alami adalah solusi homogen dari persamaan homogen (1.4);
disebut demikian karena ia merupakan tanggapan yang tidak ditentukan
oleh fungsi pemaksa x(t) karena x(t) = 0. Komponen ini ditentukan oleh

4 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


elemen rangkaian dan keadaannya sesaat setelah terjadinya perubahan
atau kita katakan ditentukan oleh keadaan pada t = 0+. Tanggapan paksa
adalah solusi khusus dari persamaan rangkaian (1.3); disebut demikian
karena tanggapan ini merupakan tanggapan rangkaian atas adanya fungsi
pemaksa x(t).
Tanggapan Alami. Banyak cara untuk mencari solusi persamaan (1.4).
Salah satu cara adalah memisahkan peubah dan kemudian melakukan
integrasi. Di sini kita tidak menggunakan cara itu, tetapi kita akan
menggunakan cara pendugaan. Persamaan (1.4) menyatakan bahwa y
ditambah dengan suatu koefisien konstan kali dy/dt, sama dengan nol
untuk semua nilai t. Hal ini hanya mungkin terjadi jika y dan dy/dt
berbentuk sama. Fungsi yang turunannya mempunyai bentuk sama
dengan fungsi itu sendiri adalah fungsi eksponensial. Jadi kita dapat
menduga bahwa solusi dari (1.4) mempunyai bentuk eksponensial y =
K1est . Jika solusi dugaan ini kita masukkan ke (1.4), kita peroleh

aK1se st + bK1e st = 0 atau yK1(as + b ) = 0 (1.5)

Peubah y tidak mungkin bernilai nol untuk seluruh t dan K1 juga tidak
boleh bernilai nol karena hal itu akan membuat y bernilai nol untuk
seluruh t. Satu-satunya cara agar persamaan (1.5) terpenuhi adalah
as + b = 0 (1.6)
Persamaan (1.6) ini disebut persamaan karakteristik sistem orde
pertama. Persamaan ini hanya mempunyai satu akar yaitu s = −(b/a). Jadi
tanggapan alami yang kita cari adalah

ya = K1e st = K1e −(b / a ) t (1.7)

Nilai K1 masih harus kita tentukan melalui penerapan suatu persyaratan


tertentu yang kita sebut kondisi awal yaitu kondisi pada t = 0+. Yang
dimaksud dengan t = 0+ adalah sesaat setelah terjadinya perubahan
keadaan; dalam kasus penutupan saklar S pada rangkaian Gb.1.1, t = 0+
adalah sesaat setelah saklar ditutup. Ada kemungkinan bahwa y telah
mempunyai nilai tertentu pada t = 0+ sehingga nilai K1 haruslah
sedemikian rupa sehingga nilai y pada t = 0+ tersebut dapat dipenuhi.
Akan tetapi kondisi awal ini tidak dapat kita terapkan pada tanggapan
alami karena tanggapan ini baru merupakan sebagian dari tanggapan
rangkaian. Kondisi awal harus kita terapkan pada tanggapan lengkap dan
bukan hanya untuk tanggapan alami saja. Oleh karena itu kita harus

5
mencari tanggapan paksa lebih dulu agar tanggapan lengkap dapat kita
peroleh untuk kemudian menerapkan kondisi awal tersebut.
Tanggapan Paksa. Tanggapan paksa dari (1.3) tergantung dari bentuk
fungsi pemaksa x(t). Seperti halnya dengan tanggapan alami, kita dapat
melakukan pendugaan pada tanggapan paksa. Bentuk tanggapan paksa
haruslah sedemikian rupa sehingga jika dimasukkan ke persamaan
rangkaian (1.3) maka ruas kiri dan ruas kanan persamaan itu akan
berisi bentuk fungsi yang sama. Jika tanggapan paksa kita sebut yp, maka
yp dan turunannya harus mempunyai bentuk sama agar hal tersebut
terpenuhi. Untuk berbagai bentuk fungsi pemaksa x(t), tanggapan paksa
dugaan yp adalah sebagai berikut.
Jika x(t ) = 0 , maka y p = 0
Jika x(t ) = A = konstan, maka y p = konstan = K
Jika x(t ) = Aeαt = eksponensial, maka y p = eksponensial = Keαt
Jika x(t ) = A sin ωt , maka y p = K c cos ωt + K s sin ωt
(1.8)

Jika x(t ) = A cos ωt , maka y p = K c cos ωt + K s sin ωt


Perhatikan : y = K c cos ωt + K s sin ωt adalah bentuk umum
fungsi sinus maupun cosinus .

Tanggapan Lengkap. Jika tanggapan paksa kita sebut yp, maka


tanggapan lengkap adalah

y = y p + y a = y p + K1e st (1.9)

Pada solusi lengkap inilah kita dapat menerapkan kondisi awal yang akan
memberikan nilai K1.
Kondisi Awal. Peubah y adalah peubah status, bisa berupa tegangan
kapasitor vC atau arus induktor iL. Kondisi awal adalah nilai y pada t = 0+.
Sebagaimana telah kita pelajari di Bab-1, peubah status harus merupakan
fungsi kontinyu. Jadi, sesaat sesudah dan sesaat sebelum terjadi
perubahan pada t = 0, y harus bernilai sama. Dengan singkat dituliskan

Kondisi awal : vC (0+ ) = vC (0− ) ataupun iL (0+ ) = iL (0− ) (1.10)

Jika kondisi awal ini kita sebut y(0+) dan kita masukkan pada dugaan
solusi lengkap (1.9) akan kita peroleh nilai K1.

6 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


y (0+ ) = y p (0+ ) + K1 → K1 = y (0+ ) − y p (0+ ) (1.11)

Nilai y(0+) dan yp(0+) adalah tertentu (yaitu nilai pada t=0+). Jika kita
sebut

y (0+ ) − y p (0+ ) = A0 (1.12)

maka tanggapan lengkap menjadi

y = y p + A0 e s t (1.13)

1.3. Komponen Mantap dan Komponen Transien


Tanggapan lengkap rangkaian seperti yang ditunjukkan oleh (1.13),
terdiri dari dua komponen. Komponen yang pertama (ditunjukkan oleh
suku pertama) kita sebut komponen mantap. Komponen yang kedua
(ditunjukkan oleh suku kedua) kita sebut komponen transien atau
komponen peralihan. Komponen transien ini berbentuk eksponensial
dengan konstanta waktu yang besarnya ditentukan oleh parameter
rangkaian, yaitu τ = a/b. Dengan pengertian konstanta waktu ini
tanggapan rangkaian dapat kita tulis

y = y p + A0 e −t / τ (1.14)

Sebagaimana kita ketahui, fungsi eksponensial dapat kita anggap hanya


berlangsung selama 5 kali konstanta waktunya karena pada saat itu
nilainya sudah tinggal kurang dari 1% dari amplitudo awalnya. Jadi
komponen transien boleh kita anggap hanya berlangsung selama 5τ,
sedangkan komponen mantap tetap berlangsung walau komponen
transien telah hilang (oleh karena itulah disebut komponen mantap).
Komponen transien tidak lain adalah tanggapan alami, yang merupakan
reaksi alamiah dari rangkaian terhadap adanya perubahan. Berikut ini
kita akan melihat beberapa contoh analisis transien sistem orde pertama.
1.4. Tanggapan Rangkaian Tanpa Fungsi Pemaksa, x(t) = 0
Persamaan rangkaian tanpa fungsi pemaksa ini berasal dari rangkaian
tanpa masukan. Perubahan tegangan dan arus dalam rangkaian bisa
terjadi karena ada pelepasan energi yang semula tersimpan dalam
rangkaian dan tanggapan rangkaian yang akan kita peroleh hanyalah
tanggapan alami saja. Walaupun demikian, dalam melakukan analisis
kita akan menganggap bahwa fungsi pemaksa tetap ada, akan tetapi

7
bernilai nol. Hal ini kita lakukan karena kondisi awal harus diterapkan
pada tanggapan lengkap, sedangkan tanggapan lengkap harus terdiri dari
tanggapan alami dan tanggapan paksa (walaupun mungkin bernilai nol).
Kondisi awal tidak dapat diterapkan hanya pada tanggapan alami saja
atau tanggapan paksa saja.
S
CO;TOH-1.1: Saklar S pada 1 2
rangkaian di samping ini
telah lama berada pada 12V + + 10kΩ
posisi 1. Pada t = 0, saklar S − v 0.1µF

dipindahkan ke posisi 2.
Carilah tegangan kapasitor,
v, untuk t > 0.
Penyelesaian :
Karena S telah lama pada posisi 1,
maka kapasitor telah terisi penuh, arus + 10kΩ iR
kapasitor tidak lagi mengalir, dan v
tegangan kapasitor sama dengan − 0.1µF
tegangan sumber, yaitu 12 V; jadi v(0−)
= 12 V. Setelah saklar dipindahkan ke posisi 2, kita mempunyai
rangkaian tanpa sumber (masukan) seperti di samping ini, yang akan
memberikan persamaan rangkaian tanpa fungsi pemaksa. Aplikasi
HTK pada rangkaian ini memberikan : − v + iR R = 0 .

dv
Karena iR = −iC = −C maka kita dapat menuliskan persamaan
dt
rangkaian sebagai :
dv dv 1
− v − RC = 0 atau + v=0
dt dt RC
Dengan nilai elemen seperti diperlihatkan pada gambar, maka
persamaan rangkaian menjadi :
dv
+ 1000v = 0
dt
Inilah persamaan rangkaian untuk t > 0. Pada rangkaian ini tidak ada
fungsi pemaksa. Ini bisa dilihat dari gambar rangkaian ataupun dari
persamaan rangkaian yang ruas kanannya bernilai nol.

8 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Persamaan karakteristik : s + 1000 = 0 → s = −1000
Dugaan tanggapan alami : va = A0e −1000t
Dugaan tanggpan paksa : v p = 0 ( tidak ada fungsi pemaksa)
Dugaan tanggapan lengkap : v = v p + A0e st = 0 + A0e −1000t
Kondisi awal : v(0 + ) = v(0 − ) = 12 V.
Penerapan kondisi awal pada dugaan tanggapan lengkap
memberikan : 12 = 0 + A0 → A0 = 12
Tanggapan lengkap menjadi : v = 12 e −1000 t V

Pemahaman :
Rangkaian tidak mengandung fungsi pemaksa. Jadi sesungguhnya
yang ada hanyalah tanggapan alami. Tanggapan paksa dinyatakan
sebagai vp = 0. Kondisi awal harus diterapkan pada tanggapan
lengkap v = v p + va = 0 + va walaupun kita tahu bahwa hanya ada
tanggapan alami dalam rangkaian ini.

CO;TOH-1.2: Saklar S pada rangkaian berikut ini telah lama tertutup.


Pada t = 0 saklar dibuka. Carilah arus dan tegangan induktor untuk t
> 0.
A
S 1 kΩ
+ i
50 V − 3 kΩ 0.6 H

Penyelesaian :
Saklar S telah lama tertutup, berarti keadaan mantap telah tercapai.
Pada keadaan mantap ini tegangan induktor harus nol, karena
sumber berupa sumber tegangan konstan. Jadi resistor 3 kΩ
terhubung singkat melalui induktor. Arus pada induktor dalam
keadaan mantap ini (sebelum saklar dibuka) sama dengan arus yang
50
melalui resistor 1 kΩ yaitu i (0− ) = = 50 mA . Setelah saklar
1000
dibuka, rangkaian tinggal induktor yang terhubung seri dengan

9
vA
resistor 3 kΩ. Untuk simpul A berlaku + i = 0 . Karena vA = vL
3000
1  di 
= L di/dt, maka persamaan ini menjadi  0,6  + i = 0 atau
3000  dt 

di
0,6 + 3000 i = 0
dt
Persamaan karakteristik : 0,6s + 3000 = 0 → s = −5000
Dugaan tanggapan alami : i a = A0 e −5000 t
Dugaan tanggapan paksa : i p = 0 (tak ada fungsi pemaksa)
Dugaan tanggapan lengkap : i = i p + A0 e −5000 t = 0 + A0 e −5000 t
Kondisi awal : i (0 + ) = i (0 − ) = 50 mA .
Penerapan kondisi awal pada dugaan tanggapan lengkap
memberikan : 50 = A0

Tanggapan lengkap menjadi : i = 50 e −5000 t mA

CO;TOH-1.3: Tentukanlah
A
tegangan kapasitor, v , dan
arus kapasitor i untuk t > 0 i
10Ω +
pada rangkaian di samping 4 i + v
− 5Ω
ini jika diketahui bahwa 1/6 F −
kondisi awalnya adalah v(0+)
= 10 V.
Penyelesaian :
Dalam soal ini tidak tergambar jelas mengenai terjadinya perubahan
keadaan (penutupan saklar misalnya). Akan tetapi disebutkan bahwa
kondisi awal v(0+) = 10 V. Jadi kita memahami bahwa rangkaian ini
adalah rangkaian untuk keadaan pada t > 0 dengan kondisi awal
sebagaimana disebutkan.
Persamaan tegangan untuk simpul A adalah
 1 1 4i
vA +  + i − = 0 atau 3v + 6i = 0 .
 10 5  10

10 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Karena i = C dv/dt = (1/6) dv/dt maka persamaan tersebut menjadi
dv
+ 3v = 0
dt
Persamaan karakteristik : s + 3 = 0 → s = −3
Dugaan tanggapan alami : v a = A0 e −3 t
Dugaan tanggapan paksa : v p = 0
Dugaan tanggapan lengkap : v = v p + A0 e −3t
Kondisi awal : v(0 + ) = 10 V
Penerapan kondisi awal memberikan : 10 = 0 + A0
Tanggapan lengkap (tegangan kapasitor) menjadi : v = 10 e −3t V
dv 1
Arus kapasitor : i = C = ×10 × (−3)e −3t = −5 e −3t A
dt 6

CO;TOH-1.4:
A B
Tentukanlah arus + −
induktor i(t) untuk t >
0 pada rangkaian di i 0,5 iR iR
samping ini jika 0,5 H 3Ω 2Ω
diketahui bahwa i(0+)
= 2 A.
Penyelesaian :
Sumber tegangan tak-bebas berada di antara dua simpul yang bukan
simpul referensi A dan B, dan kita jadikan simpul super. Dengan
mengambil i sebagai peubah sinyal, kita peroleh:
Simpul Super AB :
1 1
i + vB  +  = 0 → 6 i + 5vB = 0
3 2
v 4
v A − v B = 0,5 iR = 0,5 B → vB = v A
2 5
→ 3 i + 2v A = 0

11
Karena vA = L di/dt = 0,5 di/dt maka persamaan di atas menjadi
di
+ 3i = 0
dt
Persamaan karakteristik : s + 3 = 0 → s = −3
Dugaan tanggapan alami : ia = A0e −3 t
Dugaan tanggapan paksa : i p = 0
Dugaan tanggapan lengkap : i = v p + A0e −3 t = 0 + A0e −3 t
Kondisi awal i(0+ ) = 2 A
Penerapan kondisi awal memberikan : 2 = 0 + A0
Tanggapan lengkap menjadi : i = 2 e −3 t A

1.5. Tanggapan Rangkaian Orde Pertama Terhadap Sinyal Anak


Tangga
Fungsi anak tangga, Au(t), adalah fungsi yang bernilai 0 untuk t < 0 dan
bernilai konstan A untuk t > 0. Masukan yang berupa tegangan dengan
bentuk gelombang sinyal anak tangga dapat digambarkan dengan sebuah
sumber tegangan konstan A V seri dengan saklar S yang ditutup pada t
=0 yang akan memberikan tegangan masukan vs=Au(t). Rangkaian
sumber ini dapat juga kita nyatakan dengan sebuah sumber tegangan
bebas vs=Au(t). Kedua cara ini sering digunakan dalam menyatakan
persoalan-persoalan rangkaian.

+ S + +
vs + vs
AV − − Au(t)V
− −

Jika kita hanya meninjau keadaan untuk t > 0 saja, maka masukan sinyal
anak tangga vs = Au(t) dapat kita tuliskan sebagai vs = A (konstan) tanpa
menuliskan faktor u(t) lagi.
S i
CO;TOH-1.5: Saklar S pada 2
+ 10kΩ +
rangkaian di samping ini telah 1
− v
lama pada posisi 1. Pada t = 0, 12V 0,1µF −
S dipindahkan ke posisi 2.

12 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Tentukan v (tegangan kapasitor) untuk t > 0.
Penyelesaian :
Saklar S telah lama pada posisi 1 dan hal ini berarti bahwa tegangan
kapasitor sebelum saklar dipindahkan ke posisi 2 adalah v(0−) = 0.
Setelah saklar pada posisi 2, aplikasi HTK memberikan persamaan
rangkaian

− 12 + 104 i + v = 0 .
Karena i = iC = C dv/dt, maka persamaan tersebut menjadi

dv dv
− 12 + 104 × 0,1 × 10− 6 + v = 0 atau 10−3 + v = 12
dt dt

Persamaan karakteristik : 10−3 s + 1 = 0 → s = −1 / 10−3 = −1000


Dugaan tanggapan alami : va = A0e −1000 t

Fungsi pemaksa bernilai konstan (=12). Kita dapat menduga bahwa


tanggapan paksa akan bernilai konstan juga karena turunannya akan
nol sehingga kedua ruas persamaan rangkaian tersebut di atas dapat
berisi suatu nilai konstan.
Dugaan tanggapan paksa : v p = K
Masukkan v p dugaan ini ke persamaan rangkaian : 0 + K = 12 ⇒ v p = 12
Dugaan tanggapan lengkap : v = 12 + A0e −1000 t V
Kondisi awal : v(0 + ) = v(0−) = 0 .
Penerapan kondisi awal memberikan : 0 = 12 + A0 → A0 = −12
Tanggapan lengkap menjadi : v = 12 − 12 e −1000t V

Pemahaman : 12
v
a). Persamaan tegangan
[V]
kapasitor ini 12−12e−1000t
menunjukkan perubahan
tegangan pada waktu ia
0 t
diisi, sebagaimana
terlihat pada gambar di 0 0.002 0.004
samping ini.

13
b). Pemasukan suatu tegangan konstan ke suatu rangkaian dengan
menutup saklar pada t = 0 sama dengan memberikan bentuk
gelombang tegangan anak tangga pada rangkaian. Pernyataan
persoalan diatas dapat dinyatakan dengan rangkaian seperti
tergambar di samping ini dengan tambahan keterangan bahwa
vC(0−) = 0.
i
CO;TOH-1.6: Tentukanlah
tegangan kapasitor v untuk t > 0
pada rangkaian di samping ini + 10kΩ +
12u(t) v
jika v(0−) = 4 V. −
V 0,1µF −
Penyelesaian :
Aplikasi HTK pada rangkaian ini memberikan
dv
− 12u (t ) + 104 i + v = 0 ⇒ 10−3 + v = 12u (t )
dt
Jika kita hanya meninjau keadaan untuk t > 0 saja, maka fungsi anak
tangga dapat kita tuliskan sebagai suatu nilai konstan tanpa
menuliskan u(t) lagi. Jadi persamaan rangkaian di atas menjadi
dv
10−3 + v = 12
dt

Persamaan karakteristik : 10−3 s + 1 = 0 → s = −103


Dugaan tanggapan alami : va = A0e −1000 t
Dugaan tanggapan paksa : v p = K (fungsi pemaksa konstan)
→ 0 + K = 12 → v p = 12
Dugaan tanggapan lengkap : v = v p + A0e −1000t = 12 + A0e −1000t
Kondisi awal : v(0 + ) = v(0− ) = 4 V.
Penerapan kondisi awal memberikan : 4 = 12 + A0 → A0 = −8
Tanggapan lengkap menjadi : v = 12 − 8 e −1000t V

14 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


CO;TOH-1.7: Semula, rangkaian berikut ini tidak mempunyai
simpanan energi awal dan saklar S terbuka (tidak pada posisi 1
maupun 2). Kemudian saklar S ditutup pada posisi 1 selama
beberapa milidetik sampai arus yang mengalir pada resistor 15 Ω
mencapai 2,6 A. Segera setelah nilai arus ini dicapai, saklar dipindah
ke posisi 2. Carilah tegangan kapasitor mulai saat saklar pada posisi
2.
S 15Ω
A
1
2 iC
+
50 V + + v 10 Ω
− − 100 V

1/30 F

Penyelesaian :
Persoalan menutup saklar ke posisi 1 adalah persoalan pengisian
kapasitor. Kita tidak membahasnya lagi, dan selain itu berapa lama
saklar ada di posisi 1 juga tidak dipermasalahkan. Informasi bahwa
saklar ditutup pada posisi 1 sampai arus mencapai 2,6 A
menunjukkan bahwa sesaat sebelum saklar dipindahkan ke posisi 2,
tegangan di simpul A (yang berarti pula tegangan pada kapasitor v),
telah mencapai nilai tertentu yaitu
v (0 − ) = 50 − 15 × 2,6 = 11 V .
Setelah saklar ada di posisi 2, yaitu pada t > 0, persamaan tegangan
untuk simpul A adalah:

1 1 100 1 20
v A  +  + iC − = 0 atau v + iC =
 15 10  15 6 3

Karena iC = C dv/dt , maka persamaan di atas menjadi

1 1 dv 20 dv
v+ = atau + 5v = 200
6 30 dt 3 dt

15
Persamaan karakteristik : s + 5 = 0 → s = −5
Dugaan tanggapan alami : va = A0e −5 t
Dugaan tanggapan paksa : v p = K → 0 + 5K = 200 → v p = 40
Dugaan tanggapan lengkap : v = v p + A0e −5t = 40 + A0e −5t
Kondisi awal v(0+ ) = v(0 − ) = 11 V
Penerapan kondisi awal memberikan : 11 = 40 + A0 → A0 = −29
Tanggapan lengkap menjadi : v = 40 − 29 e −5t V.

CO;TOH-1.8: Semula, rangkaian di berikut ini tidak mempunyai


simpanan energi awal. Pada t = 0 saklar S ditutup di posisi 1 selama
satu detik kemudian dipindah ke posisi 2. Carilah tegangan
kapasitor untuk t > 0.
S 150Ω
A
2
1 iC 100Ω
+ +
− 50 V v
1/30 F −

Penyelesaian :
Pada waktu saklar di posisi 1, persamaan tegangan simpul A adalah

 1 1  50
vA +  + iC − =0
 150 100  150
 5  1 dv 100
→ v + − =0
 300  30 dt 300

dv
⇒ v+2 = 20
dt

16 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Persamaan karakteristik : 1 + 2s = 0 → s = −0,5
Dugaan tanggapan alami : v a = A0 e −0,5 t
Dugaan tanggapan paksa : v p = K → K + 0 = 20
Dugaan tanggapan lengkap : v1 = v p + A0 e −0,5 t = 20 + A0 e −0,5 t
Kondisi awal : v1 (0 + ) = 0
Penerapan kondisi awal → 0 = 20 + A0 → A0 = −20
Tanggapan lengkap menjadi : v1 = 20 − 20 e −0.5 t V untuk 0 < t ≤ 1
[ ]
atau dapat dituliskan sebagai : v1 = 20 − 20 e −0.5 t [u (t ) − u (t − 1)] V

Tanggapan ini berlangsung selama 1 detik, yaitu sampai saat saklar


S dipindahkan ke posisi 2. Pada saat t = 1, tegangan kapasitor adalah

v1 = 20 − 20 e −0,5 = 20 − 12,1 = 7,9 V

Untuk t > 1, persamaan tegangan simpul A adalah

 1 1   5  1 dv dv
vA +  + iC = 0 → v + =0 ⇒ v+2 =0
 150 100   300  30 dt dt

Persamaan karakteristik : 1 + 2s = 0 → s = −0,5


Dugaan tanggapan alami : va = A01e − 0,5 t , untuk t ≥ 1
va = 0 , untuk t < 1
atau dapat dituliskan sebagai : va = A01e − 0,5 (t −1)u (t − 1)

Tanggapan paksa : v p1 = 0
[ ]
Tanggapan lengkap : v2 = v p1 + A01e − 0,5 (t −1) u (t − 1)
[ ]
= 0 + A01e −0,5 (t −1) u (t − 1)
Kondisi awal : v2 (1+ ) = v1 (1− ) = 7,9 V
Penerapan kondisi awal (t = 1+ ) : 7,9 = 0 + A01 → A01 = 7,9
Tanggapan lengkap menjadi : v2 = 7,9 e −0,5 (t −1)u (t − 1)

Pernyataan tanggapan lengkap untuk seluruh selang waktu adalah

17
( )
v = v1 + v2 = 20 − 20e −0,5 t (u (t ) − u (t − 1) ) + 7,9 e −0,5 (t −1)u (t − 1)

Pemahaman :
Gambar dari perubahan tegangan kapasitor adalah seperti di bawah
ini.
10
v (20−20e−0,5t){u(t)−u(t−1)}
8
7,9e−0,5(t−1) u(t−1)
6
4
2
0 t
0 0.5 1 1.5 2 2.5

1.5.1. Prinsip Superposisi


Prinsip superposisi berlaku juga pada analisis transien. Jika rangkaian
mengandung beberapa fungsi pemaksa, maka tanggapan total rangkaian
adalah jumlah dari tanggapan lengkap dari masing-masing fungsi
pemaksa yang ditinjau secara terpisah.
CO;TOH-1.9: Masukan pada rangkaian contoh 1.8. dapat dinyatakan
sebagai sebuah sinyal impuls yang muncul pada t = 0 dengan
amplitudo 50 V dan durasinya 1 detik. Carilah v untuk t > 0.
Penyelesaian :
Sinyal impuls ini dapat dinyatakan dengan fungsi anak tangga
sebagai
vs = 50u (t ) − 50u (t − 1) V

Kita dapat memandang masukan ini sebagai terdiri dari dua sumber
yaitu
v s1 = 50u (t ) V dan v s 2 = −50u(t − 1) V
Rangkaian ekivalennya dapat digambarkan seperti di bawah ini.

18 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


150Ω A

− iC
+ 50u(t−1) V 100Ω
+
+ 50u(t) V v
− 1/30 F −

Untuk vs1 persamaan rangkaian adalah

 1 1  50 dv
vA +  + iC − =0 ⇒ v+2 = 20u (t )
 150 100  150 dt
Tanggapan lengkap dari persamaan ini telah diperoleh pada contoh
1.8. yaitu

( )
vo1 = 20 − 20 e −0,5 t u (t ) V

Untuk vs2 dengan peninjauan hanya pada t > 1, persamaan rangkaian


adalah

 1 1  50 dv
vA +  + iC + =0 ⇒ v+2 = −20u (t − 1)
 150 100  150 dt

Persamaan karakteristik : 2s + 1 = 0 → s = −0,5


Dugaan tanggapan alami : va = A01e −0,5 (t −1)u (t − 1)
Dugaan tanggapan paksa : v p 2 = K 2 → K 2 + 0 = −20
Dugaan tanggapan lengkap : vo2 = −20 + A01e −0,5 (t −1)u (t − 1)
Kondisi awal : v(1+ ) = 0 → 0 = −20 + A01 → A01 = 20
Tanggapan lengkap menjadi :
( )
vo2 = − 20 + 20 e − 0,5 (t −1) u (t − 1) V
Tanggapan total :
v = vo1 + vo2
( ) ( )
= 20 − 20 e − 0,5 t u (t ) + − 20 + 20 e − 0,5 (t −1) u (t − 1) V

Hasil ini sama dengan yang telah diperoleh pada contoh-1.8.

19
1.6. Tanggapan Rangkaian Orde Pertama Terhadap Sinyal Sinus
Berikut ini kita akan melihat tanggapan rangkaian terhadap sinyal sinus.
Karena tanggapan alami tidak tergantung dari bentuk fungsi pemaksa,
maka pencarian tanggapan alami dari rangkaian ini sama seperti apa yang
kita lihat pada contoh-contoh sebelumnya,. Jadi dalam hal ini perhatian
kita lebih kita tujukan pada pencarian tanggapan paksa.
Bentuk umum dari fungsi sinus yang muncul pada t = 0 adalah
y = A cos(ωt + θ)u (t ) (1.15.a)

Jika kita hanya meninjau keadaan untuk t > 0 saja, maka u(t) pada
(1.15.a) tidak perlu dituliskan lagi, sehingga pernyataan fungsi sinus
menjadi
y = A cos(ωt + θ) (1.15.b)

Fungsi sinus umum ini dapat kita tuliskan sebagai berikut.


y = A cos(ωt + θ) = A{cos ωt cos θ − sin ωt sin θ}

y = Ac cos ωt + As sin ωt
(1.16)
dengan Ac = A cos θ dan As = − A sin θ

Dengan pernyataan umum seperti (1.16), kita terhindar dari perhitungan


sudut fasa θ, karena sudut fasa ini tercakup dalam koefisien Ac dan As.
Dalam analisis rangkaian yang melibatkan sinyal sinus, kita akan
menggunakan bentuk umum sinyal sinus seperti (1.16). Koefisien Ac dan
As tidak selalu ada. Jika sudut fasa θ = 0 maka As = 0 dan jika θ = 90o
maka Ac = 0. Jika kita memerlukan nilai sudut fasa dari fungsi sinus
yang dinyatakan dengan persamaan umum (1.16), kita menggunakan
hubungan
A
tan θ = s (1.17)
Ac
Turunan fungsi sinus akan berbentuk sinus juga.
dy
y = Ac cos ωt + As sin ωt ; = − Ac ω sin ωt + As ω cos ωt
dt
(1.18)
d2y
= − Ac ω2 cos ωt − As ω2 sin ωt
dt 2

20 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Oleh karena itu, penjumlahan y dan turunannya akan berbentuk fungsi
sinus juga dan hal inilah yang membawa kita pada persamaan (1.8).
CO;TOH-1.10: Carilah A
tegangan dan arus
kapasitor untuk t > 0 pada iC +
+ 15Ω
rangkaian di bawah ini, v
− vs 10Ω
jika diketahui bahwa 1/30 F −
vs=50cos10t u(t) V dan
v(0+) = 0.
Penyelesaian :
Persamaan tegangan simpul untuk simpul A adalah
1 1 v 1 v
v +  + iC − s = 0 → v + iC = s
 15 10  15 6 15

Karena iC = C dv/dt , persamaan di atas dapat kita tulis

1 1 dv vs dv
v+ = atau + 5v = 100 cos10t
6 30 dt 15 dt
Faktor u(t) tak dituliskan lagi karena kita hanya melihat keadaan
pada t > 0.
Persamaan karakteristik : s + 5 = 0 → s = −5
Dugaan tanggapan alami : va = A0e −5 t

Fungsi pemaksa berbentuk sinus. Tanggapan paksa kita duga akan


berbentuk Accosωt+Assinωt.
Dugaan tanggapan paksa : v p = Ac cos10t + As sin 10t
Substitusi tanggapan dugaan ini ke persamaan rangkaian memberikan :
− 10 Ac sin 10t + 10 As cos10t + 5 Ac cos10t + 5 As sin 10t = 100 cos10t
→ −10 Ac + 5 As = 0 dan 10 As + 5 Ac = 100
→ As = 2 Ac → 20 Ac + 5 Ac = 100 ⇒ Ac = 4 dan As = 8
Tanggapan paksa : v p = 4 cos10t + 8 sin 10t
Dugaan tanggapan lengkap : v = 4 cos10t + 8 sin 10t + A0e −5 t

21
Kondisi awal v(0+ ) = 0
Penerapan kondisi awal : 0 = 4 + A0 → A0 = −4
Jadi tegangan kapasitor : v = 4 cos10t + 8 sin 10t − 4e −5t V

Arus kapasitor : iC = C
dv
=
dt 30
1
(
− 40 sin 10t + 80 cos10t + 20 e −5 t )
= −1,33 sin 10t + 2,66 cos10t + 0,66 e −5 t A

CO;TOH-1.11: Carilah tegangan dan arus kapasitor pada contoh-1.10.


jika kondisi awalnya adalah v(0+) = 10 V.
Penyelesaian :
Tanggapan lengkap yang diperoleh pada contoh-1.10.

Tanggapan lengkap : v = 4 cos10t + 8 sin 10t + A0e −5t


Kondisi awal v(0+ ) = 10 → 10 = 4 + A0 → A0 = 6
Jadi : v = 4 cos10t + 8 sin 10t + 6 e −5 t V

Arus kapasitor : iC = C
dv 1
=
dt 30
(− 40 sin 10t + 80 cos10t − 30 e −5 t )
= −1,33 sin 10t + 2,33 cos10t − e −5 t A

CO;TOH-1.12: Carilah tegangan kapasitor pada contoh 1.10. jika vs =


50cos(10t + θ)u(t) V dan kondisi awalnya adalah v(0+) = 10 V.
Penyelesaian :
dv
Persamaan rangkaian : + 5v = 100 cos(10t + θ)
dt
= 100 cos θ cos10t − 100 sin θ sin 10t
Tanggapan alami : va = A0e − 5 t (sama seperti contoh 4.10.)
Dugaan tanggapan paksa : v p = Ac cos10t + As sin 10t

22 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Substitusi tanggapan paksa dugaan ini ke persamaan rangkaian
memberikan :
− 10 Ac sin 10t + 10 As cos 10t + 5 Ac cos10t + 5 As sin 10t
= 100 cos θ cos10t − 100 sin θ sin 10t
→ −10 Ac + 5 As = −100 sin θ dan 10 As + 5 Ac = 100 cos θ
→ As = −20 sin θ + 2 Ac dan − 200 sin θ + 20 Ac + 5 Ac = 100 cos θ
⇒ Ac = 4cosθ + 8 sin θ dan As = −4 sin θ + 8cosθ
Tanggapan lengkap : v = 4 cos(10t + θ) + 8 sin(10t + θ) + A0e − 5 t
Kondisi awal v(0 + ) = 10 → 10 = 4 cos θ + 8 sin θ + A0
→ A0 = 10 − (4 cos θ + 8 sin θ)
Jadi : v = 4 cos(10t + θ) + 8 sin(10t + θ) + (10 − 4 cos θ − 8 sin θ)e − 5 t

1.7. Tanggapan Masukan ;ol dan Tanggapan Status ;ol


Jika suatu rangkaian tidak mempunyai masukan, dan yang ada hanyalah
simpanan energi dalam rangkaian, maka tanggapan rangkaian dalam
peristiwa ini kita sebut tanggapan masukan nol. Bentuk tanggapan ini
secara umum adalah

ym 0 = y ( 0 + ) e − (b / a ) t (1.19)
+
Sebagaimana kita ketahui y(0 ) adalah kondisi awal, yang menyatakan
adanya simpanan energi pada rangkaian pada t = 0−. Jadi tanggapan
masukan nol merupakan pelepasan energi yang semula tersimpan dalam
rangkaian.
Jika rangkaian tidak mempunyai simpanan energi awal, atau kita katakan
ber-status-nol, maka tanggapan rangkaian dalam peristiwa ini kita sebut
tanggapan status nol. Bentuk tanggapan ini ditunjukkan oleh (1.13) yang
kita tuliskan lagi sebagai

y s 0 = y f − y f ( 0 + ) e − (b / a ) t (1.20)

dengan yf adalah tanggapan keadaan mantap atau keadaan final, yang


telah kita sebut pula sebagai tanggapan paksa. Suku kedua adalah negatif
dari nilai tanggapan mantap pada t = 0 yang menurun secara

23
eksponensial. Ini merupakan reaksi alamiah rangkaian yang mencoba
mempertahankan status-nol-nya pada saat muncul fungsi pemaksa pada t
= 0. Jadi suku kedua ini tidak lain adalah tanggapan alamiah dalam status
nol.
Tanggapan lengkap rangkaian seperti ditunjukkan oleh (1.12) dapat kita
tuliskan kembali sebagai
y = y s 0 + y m 0 = y f (t ) − y f (0 + ) e − ( b / a ) t + y (0 + ) e − ( b / a ) t

Pengertian mengenai tanggapan status nol dan tanggapan masukan nol


tersebut di atas, mengingatkan kita pada prinsip superposisi. Rangkaian
dapat kita pandang sebagai mengandung dua macam masukan; masukan
yang pertama adalah sumber yang membangkitkan fungsi pemaksa x(t),
dan masukan yang kedua adalah simpanan energi awal yang ada pada
rangkaian. Dua macam masukan itu masing-masing dapat kita tinjau
secara terpisah. Jika hanya ada fungsi pemaksa, kita akan mendapatkan
tanggapan status nol ys0 , dan jika hanya ada simpanan energi awal saja
maka kita akan mendapatkan tanggapan masukan nol ym0. Tanggapan
lengkap adalah jumlah dari tanggapan status nol dan tanggapan masukan
nol, y = ys0 + ym0 . Sebagai contoh kita akan melihat lagi persoalan pada
contoh 1.11. yang akan kita selesaikan dengan menggunakan pengertian
tanggapan status nol dan tanggapan masukan nol.

CO;TOH-1.13: Carilah tegangan dan arus kapasitor untuk t > 0 pada


rangkaian di samping
ini, jika diketahui iC
bahwa 15Ω +
vs + v
v(0+) = 10 V dan − 10Ω
vs=50cos10t u(t) V 1/30 F −

Penyelesaian :
Persamaan rangkaian ini telah kita dapatkan untuk peninjauan pada t
> 0, yaitu
dv
+ 5v = 100 cos10t
dt

24 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Persamaan karakteristik : s + 5 = 0 → s = −5
Tanggapan masukan nol : vm0 = K m0 e − 5t
Kondisi awal : v m0 (0 + ) = v(0 + ) = 10
⇒ K m0 = 10 ⇒ v m0 = 10e − 5 t
Dugaan tanggapan mantap : v f = Ac cos 10t + As sin 10t
→ − 10 Ac sin 10t + 10 As cos 10t + 5 Ac cos 10t + 5 As sin 10t
= 100 cos 10t
→ − 10 Ac + 5 As = 0 → As = 2 Ac
10 As + 5 Ac = 100 → 20 Ac + 5 Ac = 100
⇒ Ac = 4 ⇒ As = 8
Tanggapan mantap : v f = 4 cos 10t + 8 sin 10t → v f (0 + ) = 4
Tanggapan status nol : v s 0 = v f − v f (0 + )e st
= 4 cos 10t + 8 sin 10t − 4e − 5t

Tanggapan lengkap : v = vs 0 + vm0 = 4 cos 10t + 8 sin 10t + 6e−5 t

25
1.8. Ringkasan Mengenai Tanggapan Rangkaian Orde Pertama
Tanggapan rangkaian terdiri dari tanggapan paksa dan tanggapan alami.
Tanggapan alami merupakan komponen transien dengan konstanta waktu
yang ditentukan oleh nilai-nilai elemen rangkaian. Tanggapan paksa
merupakan tanggapan rangkaian terhadap fungsi pemaksa dari luar dan
merupakan komponen mantap atau kondisi final.
y = y p (t ) + A0 e− t / τ

Tanggapan Paksa :
 ditentukan oleh fungsi pemaksa.
 merupakan komponen mantap; tetap ada untuk t →∞.

Tanggapan Alami :
 tidak ditentukan oleh fungsi pemaksa.
 merupakan komponen transien; hilang pada t →∞.
 konstanta waktu τ = a/b

Tanggapan rangkaian juga dapat dipandang sebgai terdiri dari tanggapan


status nol dan tanggapan masukan nol. Tanggapan status nol adalah
tanggapan rangkaian tanpa simpanan energi awal. Tanggapan masukan
nol adalah tanggapan rangkaian tanpa masukan atau dengan kata lain
tanggapan rangkaian tanpa pengaruh fungsi pemaksa.
y = y p (t ) − y p (0+ ) e − t / τ + y (0+ ) e − t / τ

Tanggapan Status Nol :


 tanggapan rangkaian jika tidak ada simpanan energi awal.

Tanggapan Masukan Nol :


 tanggapan rangkaian jika tidak ada masukan.
 upaya rangkaian untuk melepaskan simpanan energinya.

26 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Soal-Soal
1. Carilah bentuk gelombang tegangan / arus yang memenuhi persamaan
diferensial berikut.
dv
a). + 10v = 0 , v(0 + ) = 10 V
dt
dv
b). + 15v = 0 , v(0 + ) = 5 V
dt
di
c). + 8i = 0 , i (0 + ) = 2 A
dt
di
d). + 10 4 i = 0 , i (0 + ) = −5 mA
dt
dv
e). + 10v = 10u (t ) , v(0 + ) = 0
dt
dv
f). + 10v = 10u (t ) , v(0 + ) = 5 V
dt
di
g). + 10 4 i = 100u (t ) , i(0 + ) = 0
dt
di
h). + 10 4 i = 100u (t ) , i(0 + ) = −20 mA
dt
dv
i). + 5v = 10 cos(5t )u (t ) , v(0 + ) = 0
dt
dv
j). + 10v = 10 cos(5t )u (t ) , v(0 + ) = 5 V
dt
di
k). + 10 4 i = 100 [sin 100t ] u (t ) , i(0 + ) = 0
dt
di
l). + 10 4 i = 100 [sin 100t ] u (t ) , i (0 + ) = 0,5 A
dt

27
2. Saklar S pada rangkaian di bawah ini, telah lama berada pada posisi A.
Pada t = 0, ia dipindahkan ke posisi B. Carilah vC untuk t > 0.
S
A +
+ 1kΩ B 1kΩ
10µF vC
− 20 V

3. Saklar S pada rangkaian di bawah ini, telah lama tertutup. Pada t = 0,


ia dibuka. Carilah iL untuk t > 0.
S
iL
+ 1kΩ 2kΩ
2kΩ 1H
− 20 V

4. Saklar S pada rangkaian di bawah ini, telah lama tertutup. Pada t = 0,


ia dibuka. Carilah vC untuk t > 0.
S

2kΩ +
+ 1kΩ vC
− 18 V 2kΩ 1µF

5. Saklar S pada rangkaian di bawah ini, telah lama terbuka. Pada t = 0,


ia ditutup. Carilah vC untuk t > 0.
S

0,6kΩ +
+ 0,5kΩ
0,1µF vC
− 20 V 2kΩ

28 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


6. Saklar S pada rangkaian di bawah ini, telah lama terbuka. Pada t = 0,
ia ditutup. Carilah vo untuk t > 0.
S

8kΩ 3kΩ +
+ vo
− 20 V 2kΩ
0,1µF −

7. Saklar S pada rangkaian di bawah ini, telah lama terbuka. Pada t = 0,


ia ditutup. Carilah vo untuk t > 0.

6kΩ 10kΩ +
+ vo
− 20 V 3H 20kΩ

8. Rangkaian di bawah ini telah lama dalam keadaan mantap dengan


saklar dalam keadaan terbuka. Pada t = 0 saklar S ditutup. Tentukan
i dan v untuk t > 0.

12Ω + 2H i
5Ω
S v 4Ω
5A _ 1Ω

9. Sebuah kumparan mempunyai induktansi 10 H dan resistansi 10 Ω.


Pada t = 0, kumparan ini diberi tegangan 100 V. Berapa lama
dibutuhkan waktu untuk mencapai arus setengah dari nilai akhirnya ?
10. Sebuah rele mempunyai kumparan dengan induktansi 1,2 H yang
resis-tansinya 18 Ω. Jangkar rele akan terangkat jika arus di
kumparannya mencapai 50 mA. Rele ini dioperasikan dari jauh
melalui kabel yang resistansi totalnya 45 Ω dan dicatu oleh batere 12
V dengan resistansi internal 1 Ω. Hitunglah selang waktu antara saat
ditutupnya rangkaian dengan saat mulai beroperasinya rele.

29
11. Sebuah kapasitor 20 µF terhubung paralel dengan resistor R.
Rangkaian ini diberi tegangan searah 500 V dan setelah cukup lama
sumber tegangan dilepaskan. Tegangan kapasitor menurun mencapai
300 V dalam waktu setengah menit. Hitunglah berapa MΩ resistor
yang terparalel dengan kapasitor ?
12. Pada kabel penyalur daya, konduktor dan pelindung metalnya
membentuk suatu kapasitor. Suatu kabel penyalur daya searah
sepanjang 10 km mempunyai kapasitansi 2,5 µF dan resistansi
isolasinya 80 MΩ. Jika kabel ini dipakai untuk menyalurkan daya
searah pada tegangan 20 kV, kemudian beban dilepaskan dan
tegangan sumber juga dilepaskan, berapakah masih tersisa tegangan
kabel 5 menit setelah dilepaskan dari sumber ?
13. Tegangan bolak-balik sinus dengan amplitudo 400 V dan frekuensi
50 Hz, diterapkan pada sebuah kumparan yang mempunyai
induktansi 0,1 H dan resistansinya 10 Ω. Bagaimanakah persamaan
arus yang melalui kumparan itu beberapa saat setelah tegangan
diterapkan ? Dihitung dari saat tegangan diterapkan, berapa lamakah
keadaan mantap tercapai ?

30 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


BAB 2
Analisis Transien di Kawasan Waktu
Rangkaian Orde Ke-Dua

Dengan mempelajari analisis transien sistem orde ke-dua kita akan


• mampu menurunkan persamaan rangkaian yang merupakan
rangkaian orde kedua.
• memahami bahwa tanggapan rangkaian terdiri dari tanggapan
paksa dan tanggapan alami yang mungkin berosilasi.
• mampu melakukan analisis transien pada rangkaian orde
kedua.

2.1. Contoh Rangkaian Orde Kedua


Rangkaian RLC Seri. Kita lihat rangkaian seri RLC seperti pada Gb.2.1.
Saklar S ditutup
pada t = 0. Langkah S L
pertama dalam
mencari tanggapan + R i +
+ v
rangkaian ini adalah vin C
mencari persamaan v s − −

rangkaian. Karena
rangkaian
Gb.2.1. Rangkaian RLC seri.
mengandung C dan
L, maka ada dua
peubah status, yaitu tegangan kapasitor dan arus induktor, yang dapat
kita pilih untuk digunakan dalam mencari persamaan rangkaian,. Kita
akan mencoba lebih dulu menggunakan tegangan kapasitor sebagai
peubah rangkaian, kemudian melihat apa yang akan kita dapatkan jika
arus induktor yang kita pilih.
Aplikasi HTK untuk t > 0 pada rangkaian ini memberikan :
di
Ri + L + v = vin (2.1)
dt
Karena i = iC = C dv/dt, maka persamaan (2. 1) menjadi :

31
d 2v dv
LC 2
+ RC + v = vin (2.2)
dt dt
Persamaan (2.2) adalah persamaan diferensial orde kedua, yang
merupakan diskripsi lengkap rangkaian, dengan tegangan kapasitor
sebagai peubah. Untuk memperoleh persamaan rangkaian dengan arus
induktor i sebagai peubah, kita manfaatkan hubungan arus-tegangan
kapasitor, yaitu
dv 1
i = iC = C
dt
→v=
C
idt ∫
sehingga (2.1) menjadi:
di 1
L + Ri +
dt C ∫
idt + v(0) = vin atau

d 2i di dv
LC 2
+ RC + i = C in = iin (2.3)
dt dt dt
Persamaan (2.2) dan (2.3) sama bentuknya, hanya peubah sinyalnya
yang berbeda. Hal ini berarti bahwa tegangan kapasitor ataupun arus
induktor sebagai peubah akan memberikan persamaan rangkaian yang
setara. Kita cukup mempelajari salah satu di antaranya.
Rangkaian RLC Paralel. Perhatikan rangkaian RLC paralel seperti pada
Gb.2.2. Aplikasi HAK
pada simpul A A is
memberikan
iR + iL + iC = is iR iC +
iL = i v
Hubungan ini dapat L C
R −
dinyatakan dengan arus
induktor iL = i sebagai
peubah, dengan B
memanfaatkan hubungan
v =vL =L di/dt, sehingga Gb.2.2. Rangkaian paralel RLC
iR = v/R dan iC = C
dv/dt .

32 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


v dv
+i+C = is atau
R dt
(2.4)
d 2i L di
LC + + i = is
dt 2 R dt
Persamaan rangkaian paralel RLC juga merupakan persamaan diferensial
orde kedua.

2.2. Tinjauan Umum Tanggapan Rangkaian Orde Kedua


Secara umum rangkaian orde kedua mempunyai persamaan yang
berbentuk
d2y
dy
a +b
+ cy = x(t ) (2.5)
2
dt
dt
Pada sistem orde satu kita telah melihat bahwa tanggapan rangkaian
terdiri dari dua komponen yaitu tanggapan alami dan tanggapan paksa.
Hal yang sama juga terjadi pada sistem orde kedua yang dengan mudah
dapat ditunjukkan secara matematis seperti halnya pada sistem orde
pertama. Perbedaan dari kedua sistem ini terletak pada kondisi awalnya.
Karena rangkaian orde kedua mengandung dua elemen yang mampu
menyimpan energi yaitu L dan C, maka dalam sistem ini baik arus
induktor maupun tegangan kapasitor harus merupakan fungsi kontinyu.
Oleh karena itu ada dua kondisi awal yang harus dipenuhi, yaitu

vC (0 + ) = vC (0 − ) dan i L ( 0 + ) = i L (0 − )

Dalam penerapannya, kedua kondisi awal ini harus dijadikan satu,


artinya vC dinyatakan dalam iL atau sebaliknya iL dinyatakan dalam vC ,
tergantung dari apakah peubah y pada (2.25) berupa tegangan kapasitor
ataukah arus induktor.
Sebagai contoh, pada rangkaian RLC seri hubungan antara vC dan iL
adalah

dvC + dvC + i (0 + )
i (0 + ) = iL (0 + ) = iC (0 + ) = C (0 ) atau (0 ) =
dt dt C
Dengan demikian jika peubah y adalah tegangan kapasitor, dua kondisi
awal yang harus diterapkan, adalah:

33
dvC + i (0 + )
vC (0+ ) = vC (0− ) dan (0 ) = L .
dt C
Contoh lain adalah rangkaian paralel RLC; hubungan antara vC dan iL
adalah

diL + diL + v (0 + )
vC (0+ ) = vL (0+ ) = L (0 ) atau (0 ) = C
dt dt L
Dengan demikian jika peubah y adalah arus induktor, dua kondisi awal
yang harus diterapkan, adalah:
diL + v (0 + )
i L (0 + ) = i L (0 − ) dan (0 ) = C .
dt L
Secara umum, dua kondisi awal yang harus kita terapkan pada (2.5)
adalah
dy +
y (0 + ) = y (0 − ) dan (0 ) = y ' (0 + )
dt (2.6)
+
dengan y ' (0 ) dicari dari hubungan rangkaian

Tanggapan Alami. Tanggapan alami diperoleh dari persamaan rangkaian


dengan memberikan nilai nol pada ruas kanan dari persamaan (2.5),
sehingga persamaan menjadi

d2y dy
a 2
+b + cy = 0 (2.7)
dt dt
Agar persamaan ini dapat dipenuhi, y dan turunannya harus mempunyai
bentuk sama sehingga dapat diduga y berbentuk fungsi eksponensial ya =
Kest dengan nilai K dan s yang masih harus ditentukan. Kalau solusi ini
dimasukkan ke (2.27) akan diperoleh :

aKs 2 e st + bKse st + cKe st = 0 atau


(as )
(2.8)
st 2
Ke + bs + c = 0
Fungsi est tidak boleh nol untuk semua nilai t . Kondisi K = 0 juga tidak
diperkenankan karena hal itu akan berarti ya = 0 untuk seluruh t. Satu-
satunya jalan agar persamaan ini dipenuhi adalah

34 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


as 2 + bs + c = 0 (2.9)
Persamaan ini adalah persamaan karakteristik rangkaian orde kedua.
Secara umum, persamaan karakteristik yang berbentuk persamaan
kwadrat itu mempunyai dua akar yaitu :

− b ± b 2 − 4ac
s1, s2 = (2.10)
2a
Akar-akar persamaan ini mempunyai tiga kemungkinan nilai, yaitu: dua
akar riil berbeda, dua akar sama, atau dua akar kompleks konjugat.
Konsekuensi dari masing-masing kemungkinan nilai akar ini terhadap
bentuk gelombang tanggapan rangkaian akan kita lihat lebih lanjut.
Untuk sementara ini kita melihat secara umum bahwa persamaan
karakteristik mempunyai dua akar.
Dengan adanya dua akar tersebut maka kita mempunyai dua tanggapan
alami, yaitu:

ya1 = K1e s1t dan y a 2 = K 2e s 2 t

Jika ya1 merupakan solusi dan ya2 juga merupakan solusi, maka jumlah
keduanya juga merupakan solusi. Jadi tanggapan alami yang kita cari
akan berbentuk

ya = K1e s1t + K 2e s2t (2.11)

Konstanta K1 dan K2 kita cari melalui penerapan kondisi awal pada


tanggapan lengkap.
Tanggapan Paksa. Tanggapan paksa kita cari dari persamaan (2.5).
Tanggapan paksa ini ditentukan oleh bentuk fungsi masukan. Cara
menduga bentuk tanggapan paksa sama dengan apa yang kita pelajari
pada rangkaian orde pertama, yaitu relasi (2.8). Untuk keperluan
pembahasan di sini, tanggapan paksa kita umpamakan sebagai ypaksa= yp.
Tanggapan Lengkap. Dengan pemisalan tanggapan paksa tersebut di
atas maka tanggapan lengkap (tanggapan rangkaian) menjadi

y = y p + ya = y p + K1e s1t + K 2e s2t (2.12)

35
2.3. Tiga Kemungkinan Bentuk Tanggapan
Sebagaimana disebutkan, akar-akar persamaan karakteristik yang bentuk
umumnya adalah as2 + bs + c = 0 dapat mempunyai tiga kemungkinan
nilai akar, yaitu:
a). Dua akar riil berbeda, s1 ≠ s2, jika {b2− 4ac } > 0;
b). Dua akar sama, s1 = s2 = s , jika {b2−4ac } = 0;
c). Dua akar kompleks konjugat s1 , s2 = α ± jβ jika {b2−4ac } < 0.
Tiga kemungkinan nilai akar tersebut akan memberikan tiga
kemungkinan bentuk tanggapan yang akan kita lihat berikut ini, dengan
contoh tanggapan rangkaian tanpa fungsi pemaksa.

Dua Akar Riil Berbeda. Kalau kondisi awal y(0+) dan dy/dt (0+) kita
terapkan pada tanggapan lengkap (2.12), kita akan memperoleh dua
persamaan yaitu

y (0+ ) = y p (0+ ) + K1 + K 2 dan y ' (0+ ) = y′p (0+ ) + s1K1 + s2 K 2

yang akan menentukan nilai K1 dan K2. Jika kita sebut

A0 = y (0+ ) − y p (0+ ) dan B0 = y′(0+ ) − y′p (0+ ) (2.13)

maka kita peroleh K1 + K 2 = A0 dan s1K1 + s2 K 2 = B0 dan dari


sini kita memperoleh
s A − B0 s A − B0
K1 = 2 0 dan K2 = 1 0
s2 − s1 s1 − s2

sehingga tanggapan lengkap menjadi


s A − B0 s1t s1 A0 − B0 s2t
y = yp + 2 0 e + e (2.14)
s2 − s1 s1 − s2

Berikut ini kita lihat suatu contoh. Seperti halnya pada rangkaian orde
pertama, pada rangkaian orde kedua ini kita juga mengartikan tanggapan
rangkaian sebagai tanggapan lengkap. Hal ini didasari oleh pengertian
tentang kondisi awal, yang hanya dapat diterapkan pada tanggapan
lengkap. Rangkaian-rangkaian yang hanya mempunyai tanggapan alami
kita fahami sebagai rangkaian dengan tanggapan paksa yang bernilai nol.

36 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


CO;TOH-2.1: Saklar S 1H
S 1 2
pada rangkaian di
samping ini telah lama
berada pada posisi 1. + + i
iC
Pada t = 0 saklar − v 8,5 kΩ
15 V
dipindahkan ke posisi 2. − 0,25 µF
Tentukan tegangan
kapasitor , v , untuk t >
0.

Penyelesaian :
Kondisi mantap yang telah tercapai pada waktu saklar di posisi 1
membuat kapasitor bertegangan sebesar tegangan sumber, sementara
induktor tidak dialiri arus. Jadi

v(0− ) = 15 V ; i (0 − ) = 0

Setelah saklar di posisi 2, persamaan rangkaian adalah :


di
−v+L + iR = 0
dt
Karena i =− iC = −C dv/dt , maka persamaan tersebut menjadi

d  dv   dv 
−v+L  − C  + R − C  = 0
dt  dt   dt 
d 2v dv
→ LC + RC +v = 0
2 dt
dt
Jika nilai-nilai elemen dimasukkan dan dikalikan dengan 4×106
maka persamaan rangkaian menjadi

d 2v dv
+ 8,5 × 103 + 4 × 106 v = 0
2 dt
dt

37
Persamaan karkteristik : s 2 + 8,5 × 103 s + 4 × 106 = 0

→ akar - akar : s1 , s2 = −4250 ± 103 (4,25) 2 − 4 = −500, − 8000


( dua akar riil berbeda).
Dugaan tanggapan lengkap : v = 0 + K1e − 500t + K 2 e −8000t
(tanggapan paksa nol))
Kondisi awal :
a). v(0 + ) = v(0 − ) = 15 V → 15 = K1 + K 2 ⇒ K 2 = 15 − K1
dv + dv +
b). iL (0 + ) = iL (0 − ) = 0 = −iC (0 + ) = −C
(0 ) → (0 ) = 0
dt dt
→ 0 = K1s1 + K 2 s2 = K1s1 + (15 − K1 ) s2
− 15s2 − 15(−8000)
⇒ K1 = = = 16 ⇒ K 2 = 15 − K1 = −1
s1 − s2 − 500 + 8000
Tanggapan lengkap menjadi : v = 16e − 500 t − e −8000 t V
( hanya terdiri dari tanggapan alami).

Dua Akar Riil Sama Besar. Kedua akar yang sama besar tersebut dapat
kita tuliskan sebagai
s1 = s dan s2 = s + δ ; dengan δ → 0 (2.15)

Dengan demikian maka tanggapan lengkap (2.32) dapat kita tulis sebagai

y = y p + K1e s1t + K 2e s2t = y p + K1e st + K 2e ( s + δ)t (2.16)

Kalau kondisi awal pertama y(0+) kita terapkan, kita akan memperoleh

y (0+ ) = y p (0+ ) + K1 + K 2 → K1 + K 2 = y (0+ ) − y p (0+ ) = A0

Jika kondisi awal kedua dy/dt (0+) kita terapkan, kita peroleh

y′(0+ ) = y′p (0 + ) + K1s + K 2 ( s + δ)


→ ( K1 + K 2 ) s + K 2δ = y′(0 + ) − y′p (0+ ) = B0

Dari kedua persamaan ini kita dapatkan

38 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


B0 − A0 s
A0 s + K 2δ = B0 → K 2 =
δ
(2.17)
B − A0 s
→ K1 = A0 − 0
δ
Tanggapan lengkap menjadi

 B − A0 s  st B0 − A0 s ( s + δ)t
y = y p +  A0 − 0 e + e
 δ  δ
 B − A0 s  B0 − A0 s δ t  st
= y p +  A0 − 0 + e e (2.18.a)
 δ  δ 
  1 e δ t  st
= y p +  A0 + ( B0 − A0 s) − +  e
  δ δ 
 
 1 eδ t   δt 
Karena lim  − +  = lim  e − 1  = t maka tanggapan lengkap
δ →0 δ δ  δ→0 δ 
   
(2.18.a) dapat kita tulis

y = y p + [A0 + ( B0 − A0 s) t ] e st (2.18.b)

Tanggapan lengkap seperti dinyatakan oleh (2.18.b) merupakan bentuk


khusus yang diperoleh jika persamaan karakteristik mempunyai dua akar
sama besar. A0 dan B0 mempunyai nilai tertentu yang ditetapkan oleh
kondisi awal. Dengan demikian kita dapat menuliskan (2.18.b) sebagai

y = y p + [K a + K b t ] e st (2.18.c)

dengan nilai Ka yang ditentukan oleh kondisi awal, dan nilai Kb


ditentukan oleh kondisi awal dan s. Nilai s sendiri ditentukan oleh nilai
elemen-elemen yang membentuk rangkaian dan tidak ada kaitannya
dengan kondisi awal. Dengan kata lain, jika kita mengetahui bahwa
persamaan karakteristik rangkaian mempunyai akar-akar yang sama
besar (akar kembar) maka bentuk tanggapan rangkaian akan seperti yang
ditunjukkan oleh (2.18.c).

39
CO;TOH-2.2: Persoalan sama dengan contoh-2.1. akan tetapi resistor
8,5 kΩ diganti dengan 4 kΩ.
Penyelesaian :

d 2v dv
Persamaan rangkaian adalah : + 4 × 103 + 4 × 10 6 v = 0
2 dt
dt
Persamaan karakteristik : s 2 + 4000s + 4 × 106 = 0

akar - akar : s1 , s 2 = −2000 ± 4 × 106 − 4 × 106 = −2000 = s


Di sini terdapat dua akar sama besar oleh karena itu
tanggapan lengkap akan berbentuk :
v = v p + (K a + K b t ) e st = 0 + (K a + K b t ) e st , karena v p = 0.

Aplikasi kondisi awal pertama pada tanggapan lengkap ini


memberikan v(0 + ) = 15 = K a .
dv +
Aplikasi kondisi awal kedua (0 ) = 0 pada tanggapan
dt
lengkap memberikan
dv dv +
= K b e st + (K a + K bt ) s e st → (0 ) = 0 = K b + K a s
dt dt
→ K b = − K a s = 30000 ⇒ Jadi : v = (15 + 30000t ) e − 2000 t V

Akar-Akar Kompleks Konjugat. Dua akar kompleks konjugat dapat


dituliskan sebagai
s1 = α + jβ dan s2 = α − jβ

Tanggapan lengkap dari situasi ini, menurut (2.32) adalah

y = y p + K1e (α + jβ) t + K 2e( α − jβ) t


( )
(2.19)
= y p + K1e + jβ t + K 2e − jβ t eαt

Aplikasi kondisi awal yang pertama, y(0+), pada (2.19) memberikan

y (0+ ) = y p (0+ ) + (K1 + K 2 )


→ K1 + K 2 = y (0 + ) − y p (0+ ) = A0

40 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


dv +
Aplikasi kondisi awal yang kedua, (0 ) = y′(0 + ) , pada (2.19)
dt
memberikan
dy dy p
dt
=
dt
( ) (
+ jβK1e jβt − jβK 2e − jβt eαt + K1e jβt + K 2e − jβt α e αt )
dy +
(0 ) = y′(0 + ) = y′p (0 + ) + ( jβK1 − jβK 2 ) + (K1 + K 2 ) α
dt
→ jβ(K1 − K 2 ) + α(K1 + K 2 ) = y′(0 + ) − y′p (0 + ) = B0

Dari sini kita peroleh


K1 + K 2 = A0
B − αA0
jβ(K1 − K 2 ) + α(K1 + K 2 ) = B0 → K1 − K 2 = 0

A0 + ( B0 − αA0 ) / jβ A0 − ( B0 − αA0 ) / jβ
K1 = ; K2 =
2 2
Tanggapan lengkap menjadi
 A + ( B0 − αA0 ) / jβ + jβ t A0 − ( B0 − αA0 ) / jβ − jβ t  αt
y = yp +  0 e + e e
 2 2 
 e + jβ t + e − jβ t ( B0 − αA0 ) e + jβ t − e − jβ t  αt (2.20)
= y p +  A0 + e
 2 β 2j 
 
 ( B − αA0 ) 
= y p +  A0 cos βt + 0 sin βt  eαt
 β 

A0 dan B0 mempunyai nilai tertentu yang ditetapkan oleh kondisi awal


sedangkan α dan β ditentukan oleh nilai elemen rangkaian. Dengan
demikian tanggapan lengkap (2.53) dapat kita tuliskan sebagai
y = y p + (K a cos βt + K b sin βt ) eαt (2.21)

dengan Ka dan Kb yang masih harus ditentukan melalui penerapan


kondisi awal. Ini adalah bentuk tanggapan lengkap khusus untuk
rangkaian dengan persamaan karakteristik yang mempunyai dua akar
kompleks konjugat.

41
CO;TOH-2.3: Persoalan sama dengan contoh 2.1. akan tetapi resistor
8,5 kΩ diganti dengan 1 kΩ.
Penyelesaian :
Dengan penggantian ini persamaan rangkaian menjadi

d 2v dv
+ 103 + 4 × 106 v = 0
2 dt
dt
dv
Persamaan karakteristik : s 2 + 1000 + 4 × 106 = 0
dt
akar - akar : s1 , s2 = −500 ± 5002 − 4 × 106
= −500 ± j 500 15
Di sini terdapat dua akar kompleks konjugat :
α ± jβ dengan α = −500 ; β = 500 15
Tanggapan lengkap diduga akan berbentuk
v = v p + (K a cos β t + K b sin βt ) e αt
= 0 + (K a cos βt + K b sin βt ) e αt

Aplikasi kondisi awal pertama memberikan : v(0 + ) = 15 = K a


Aplikasi kondisi awal kedua
dv
= (− K a β sin βt + K b β cos βt ) e αt
dt
+ (K a cos βt + K b sin β t ) α e αt
dv + − αK a 500 × 15
(0 ) = 0 = K b β + αK a → K b = = = 15
dt β 500 15
Jadi tanggapan lengkap adalah :
(
v = 15 cos(500 15 t ) + 15 sin(500 15 t ) e −500t V )

42 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Contoh 2.1, 2.2, dan 2.3 menunjukkan tiga kemungkinan bentuk
tanggapan, yang ditentukan oleh akar-akar persamaan karakteristik.
a). Jika persamaan karakteristik mempunyai dua akar yang berbeda,
tanggapan alami akan merupakan jumlah dari dua suku yang masing-
masing merupakan fungsi eksponenial. Dalam kasus seperti ini,
tanggapan rangkaian merupakan tanggapan amat teredam.
b). Jika persamaan karakteristik mempunyai dua akar yang sama besar,
maka tanggapan alami akan merupakan jumlah dari fungsi eksponensial
dan ramp teredam. Tanggapan ini merupakan tanggapan teredam kritis.
c). Jika persamaan karakteristik mempunyai dua akar kompleks
konjugat, maka tanggapan alami merupakan jumlah dari fungsi-fungsi
sinus teredam. Jadi tanggapan rangkaian berosilasi terlebih dulu sebelum
akhirnya mencapai nol, dan disebut tanggapan kurang teredam. Bagian
riil dari akar persamaan karakteristik menentukan peredaman; sedangkan
bagian imajinernya menentukan frekuensi osilasi. (Gambar di bawah ini
menunjukkan perubahan v pada contoh-contoh di atas.)

v 20
[V]
15
teredam kritis (contoh 18.15)
10
sangat teredam (contoh 18.14)
5

0
0 0.00 0.004 0.006 0.008 0.01 t [s]
-5
kurang teredam (contoh 18.16)
-10

2.4. Tanggapan Rangkaian Orde Kedua Terhadap Sinyal Anak


Tangga
Bentuk umum sinyal anak tangga adalah Au(t). Jika kita hanya meninjau
keadaan pada t > 0, maka faktor u(t) tidak perlu dituliskan lagi.

43
CO;TOH-2.4: Jika vs=10u(t)
V, bagaimana-kah i1 1µF
keluaran vo rangkaian di
A B
samping ini pada t > 0
untuk berbagai nilai µ ? i2 + vo
+ 1MΩ 1MΩ +
vs −
Penyelesaian : 1µF − µvB
Karena vo = µvB maka kita
mencari persamaan
rangkaian dengan tegangan simpul B , yaitu vB , sebagai peubah.
Persamaan tegangan simpul untuk simpul A dan B adalah
 1 1  v v
v A  6 + 6  + i1 − s6 − B6 = 0
 10 10  10 10
d
⇒ 2v A + (v A − µ vB ) − vs − vB = 0
dt
 1  v dv
vB  6  + i2 − A6 = 0 ⇒ vB + B − v A = 0
 10  10 dt
dv
⇒ v A = vB + B
dt
Dua persamaan diferensial orde satu ini jika digabungkan akan
memberikan persamaan diferensial orde kedua.
dv B dv B d 2v B dv
2v B + 2 + + − µ B − v B = vs = 10 atau
dt dt 2 dt
dt
d 2vB dv B
+ (3 − µ) + vB = 10
2 dt
dt

Pers. karakteristik : s 2 + (3 − µ) s + 1 = 0

− (3 − µ) ± (3 − µ) 2 − 4
→ s1, ss =
2
Dugaan tanggapan lengkap : vB = vBp + K1es1t + K 2es 2t
Dugaan tanggapan paksa : vBp = K3 → 0 + 0 + K3 = 10
⇒ vBp = 10

44 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Tanggapan lengkap : vB = 10 + K1es1t + K 2es 2t
(
⇒ vo = µ 10 + K1es1t + K 2es 2t )
Jika (3 − µ)2 > 4 → µ < 1 → s1 ≠ s 2 ⇒ vo sangat teredam.
Jika (3 − µ)2 < 4 → µ > 1 →
s1, s 2 kompleks ⇒ vo kurang teredam.
2
Jika (3 − µ) = 4 → µ = 1 → s1 = s 2 ⇒ vo teredam kritis.

Pemahaman : Bentuk tegangan keluaran ditentukan oleh nilai µ dan


nilai elemen-elemen rangkaian. Kita dapat memilih nilai-nilai yang
sesuai untuk memperoleh tanggapan rangkaian yang kita inginkan.
Untuk µ > 3 akan terjadi keadaan tak stabil karena akar-akar bernilai
riil positif; peredaman tidak terjadi dan sinyal membesar tanpa batas.

CO;TOH-2.5: Carilah vo pada contoh 2.4 jika µ = 2 dan tegangan awal


kapasitor masing-masing adalah nol.
Penyelesaian : Persamaan rangkaian, dengan µ = 2, adalah

d 2vB dv B d 2 v B dv B
+ (3 − µ) + v B = 10 ⇒ + + v B = 10
dt 2 dt dt 2 dt

Pers. karakteristik : s 2 + s + 1 = 0
−1± 1− 4
→ s1, ss = = −0,5 ± j 0,5 3
2
(dua akar kompleks konjugat : α ± jβ ; α = −0,5 ; β = 0,5 3 )
Tanggapan lengkap diduga berbentuk :
vB = vBp + (K a cos β t + Kb sin β t ) eαt
Tanggapan paksa : vBp = K → 0 + 0 + K = 10 ⇒ vBp = 10
Tanggapan lengkap : vB = 10 + (K a cos β t + Kb sin β t ) eαt

45
Kondisi awalnya adalah : kedua kapasitor bertegangan nol.
→ vB (0+ ) = 0 dan v A (0+ ) − vo (0+ ) = 0
→ vB (0+ ) + 105 i2 (0+ ) − 2vB (0+ ) = 0
dvB + dvB +
→ 0 + 105 (0 ) − 0 = 0 → (0 ) = 0
dt dt
Penerapan dua kondisi awal ini ke tanggapan lengkap
memberikan : vB( 0+ ) = 0 = 10 + K a ⇒ K a = −10
dvB
= (− K aβ sin βt + Kbβ cos βt ) eαt + (K a cos βt + Kb sin βt ) α eαt
dt
dvB + − αK a 0,5 × (−10) − 10
(0 ) = 0 = Kbβ + αK a → Kb = = =
dt β 0,5 3 3
 10 
⇒ vB = 10 − 10 cos(0,5 3 t ) + sin(0,5 3 t )  e−0.5t
 3 

2.5. Tanggapan Rangkaian Orde Kedua Terhadap Sinyal Sinus


Masukan sinyal sinus secara umum dapat kita nyatakan dengan x(t) =
Acos(ωt+θ) u(t). Untuk peninjauan pada t > 0 faktor u(t) tak perlu ditulis
lagi. Dengan demikian persamaan umum rangkaian orde kedua dengan
masukan sinyal sinus akan berbentuk

d2y dy
a +b + cy = A cos(ωt + θ)
2 dt
dt
Persamaan karakterisik serta akar-akarnya tidak berbeda dengan apa
yang telah kita bahas untuk sumber tegangan konstan, dan memberikan
tanggapan alami yang berbentuk

va = K1e s1t + K 2e s 2 t

Untuk masukan sinus, tanggapan paksa diduga akan berbentuk


vp = Accosωt + Assinωt

46 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


CO;TOH-2.6: Carilah v dan i untuk
t > 0 pada rangkaian di samping
ini jika vs = 26cos3t u(t) V i 1H
5Ω +
sedangkan i(0) = 2 A dan v(0) = + 1
F v
6 V. − vs 6 −
Penyelesaian :
Aplikasi HTK untuk rangkaian
ini akan memberikan
di 5 dv 1 d 2v
− vs + 5i + +v=0→ + + v = 26 cos 3t atau
dt 6 dt 6 dt 2

d 2v dv
+5 + 6v = 156 cos 3t
2 dt
dt

Persamaan karakteristik : s 2 + 5s + 6 = 0 = ( s + 2)( s + 3);


akar - akar : s1 , s2 = −2, − 3
Dugaan tanggapan lengkap : v = v p + K1e − 2t + K 2 e −3t
Dugaan tanggapan paksa : v p = Ac cos 3t + As sin 3t
→ (− 9 Ac + 15 As + 6 Ac ) cos 3t + (− 9 As − 15 Ac + 6 As ) sin 3t = 156 cos 3t
→ −3 Ac + 15 As = 156 dan − 15 Ac − 3 As = 0
156 + 0 5 × 156 − 0
⇒ Ac = = −2 ; As = = 10
− 3 − 75 75 + 3
Tanggapan lengkap : v = −2 cos 3t + 10 sin 3t + K1e − 2t + K 2 e − 3t
1 dv + dv +
Kondisi awal : v(0 + ) = 6 dan i (0 + ) = 2 = (0 ) → (0 ) = 12
6 dt dt
Aplikasi kondisi awal pertama : 6 = −2 + K1 + K 2 → K 2 = 8 − K1
Aplikasi kondisi awal kedua : 12 = 30 − 2 K1 − 3K 2
⇒ K1 = 6 ⇒ K 2 = 2
Tanggapan lengkap : v = −2 cos 3t + 10 sin 3t + 6e − 2t + 2e − 3t V
1 dv
⇒ i= = sin 3t + 5 cos 3t − 2e − 2t − e − 3t A
6 dt

47
30
v [V] 20 vs
i [A] v
10
0 t [s]
-10 0 i 2 4 6 8 10
-20
-30

CO;TOH-2.7: Pada rangkaian di samping ini, vs = 10cos5t u(t) V.


Tentukanlah tegangan
A
kapasitor v untuk t > 0,
jika tegangan awal
kapasitor dan arusawal 4Ω 6Ω +
vs + B v
induktor adalah nol. − 0,25F −
Penyelesaian: 1H
 1 1  1 dv vs vB
Simpul A : v +  + − − =0
 4 6  4 dt 4 6
dv
→ v B = 2,5v + 1,5 − 1,5vs
dt

vB 1 v
Simpul B :
6
+
L ∫
vB dt + iL (0) − = 0 → v B + 6 v B dt − v = 0
6 ∫
dvB dv d  dv   dv  dv
→ + 6v B − = 0 →  2,5v + 1,5 − 1,5vs  + 6 2,5v + 1,5 − 1,5vs  − =
dt dt dt  dt   dt  dt
d 2v dv dv
→ 1,5 + 10,5 + 15v = 9v s + 1,5 s atau
2 dt dt
dt

d 2v dv dv
2
+7 + 10v = 6vs + s
dt dt dt
Dengan tegangan masukan vs = 10cos5t maka persamaan rangkaian
menjadi

48 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


d 2v dv
+7 + 10v = 60 cos 5t − 50 sin 5t
2 dt
dt

Persamaan karakteristik : s 2 + 7 s + 10 = 0

→ s1, ss = −3,5 ± 3,52 − 10 = −2 , − 5.


Dugaan tanggapan lengkap : v = v p + K1e − 2t + K 2e−5t
Dugaan tanggapan paksa : v p = Ac cos 5t + As sin 5t
 (−25 Ac + 35 As + 10 Ac ) cos 6t 
→   = 60cos6t − 50sin6t
 + (−25 As − 35 Ac + 10 As ) sin 6t 
→ −15 Ac + 35 As = 60 dan − 15 As − 35 Ac = −50
⇒ As = 0,93 ; Ac = −1,83
⇒ v p = −1,83 cos 5t + 0,93 sin 5t
Tanggapan lengkap : v = −1,83 cos 5t + 0,93 sin 5t + K1e − 2t + K 2e −5t
Kondisi awal :
(1) v(0+ ) = 0
v (0+ ) 10 1 dv +
(2) iL (0+ ) = 0 → iC (0+ ) = s = = 2,5 = (0 )
4 4 4 dt
dv +
⇒ (0 ) = 10
dt
Aplikasi kedua kondisi awal ini pada tanggapan lengkap :
v(0+ ) = 0 = −1,83 + K1 + K 2 → K 2 = 1,83 − K1
dv +
(0 ) = 10 = 4,65 − 2 K1 − 5K 2 → 5,35 = −2 K1 − 5(1.83 − K1)
dt
⇒ K1 = 4,83 ⇒ K 2 = −3
Tanggapan lengkap : v = −1,83 cos 5t + 0,93 sin 5t + 4,83e − 2t − 3e −5t

49
Soal-Soal
1. Carilah bentuk gelombang tegangan yang memenuhi persamaan
diferensial berikut.

d 2v dv
a). 2
+7 + 10v = 0 ,
dt dt
dv +
v(0+ ) = 0, (0 ) = 15 V/s
dt
d 2v dv
b). +4 + 4v = 0 ,
dt 2 dt
dv +
v(0+ ) = 0 V, (0 ) = 10 V/s
dt
d 2v dv
c). 2
+4 + 5v = 0 ,
dt dt
dv +
v (0+ ) = 0 V, (0 ) = 5 V/s
dt

2. Ulangi soal 1 untuk persamaan berikut.

d 2v dv
a). 2
+ 10+ 24v = 100u (t ) ,
dt dt
dv(0)
v(0 + ) = 5, = 25 V/s
dt
d 2v dv
b). 2
+ 10+ 25v = 100u (t ) ,
dt dt
dv(0)
v(0 + ) = 5 V, = 10 V/s
dt
d 2v dv
c). +8 + 25v = 100u (t ) ,
dt 2 dt
dv(0)
v(0 + ) = 5 V, = 10 V/s
dt

50 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


3. Ulangi soal 1 untuk persamaan berikut.

d 2v dv
a). 2
+6 + 8v = 100[cos1000 t ] u (t ) ,
dt dt
dv +
v(0+ ) = 0, (0 ) = 0 V/s
dt
d 2v dv
b). +6 + 9v = 100[cos1000 t ] u (t ) ,
dt 2 dt
dv +
v(0+ ) = 0 V, (0 ) = 0 V/s
dt
d 2v dv
c). +2 + 10v = 100[cos1000 t ] u (t ) ,
dt 2 dt
dv +
v(0+ ) = 0 V, (0 ) = 0 V/s
dt
4. Saklar S pada rangkaian di bawah ini, telah berada pada posisi A
dalam waktu yang lama. Pada t = 0, ia dipindahkan ke posisi B.
Carilah vC untuk t > 0
A S

6kΩ B 6kΩ 0,4H +


+
− 10 V 25pF vc

5. Saklar S pada rangkaian di bawah ini telah berada di posisi A dalam


waktu yang lama. Pada t = 0 , saklar dipindahkan ke posisi B.
Tentukan iL(t) untuk t > 0.
S iL
A
10kΩ B
+ 2,5kΩ
− 15V 2H
0,02 µF

51
6. Saklar S pada rangkaian di bawah ini telah berada di posisi A dalam
waktu yang lama. Pada t = 0 , saklar dipindahkan ke posisi B.
Tentukan iL(t) untuk t > 0.
S iL
A
0,4kΩ B
+ 25kΩ
+
− 15 V15 V− 10mH
0,01µF

7. Saklar S pada rangkaian di bawah ini, telah lama terbuka. Pada t = 0,


ia ditutup. Carilah vC untuk t > 0

3kΩ 3kΩ 0,4H +


+
− 10 V 0,1µF vc
S −

8. Saklar S pada rangkaian di bawah ini telah berada di posisi A dalam


waktu yang lama. Pada t = 0 , saklar dipindahkan ke posisi B.
Tentukan vC untuk t > 0.

S + vC −
A − +
+ 0,4kΩ B
− 15 V 15 V 0,01µF
25kΩ 10mH

9. Tegangan masukan vs pada rangkaian di bawah ini adalah vs = 100u(t)


V. Tentukan tegangan kapasitor untuk t>0.

4kΩ +
+ vC
vs − 50pF
50mH −

52 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


10. Setelah terbuka dalam waktu cukup lama, saklar S pada rangkaian di
bawah ini ditutup pada t = 0. Tentukan v1 dan v2 untuk t > 0.

S
+ 12V + 4Ω 4Ω + +
− v1 6V −
0,05F − 0,05F v2

11. Rangkaian berikut tidak mempunyai simpanan energi awal. Saklar S


pada rangkaian berikut ditutup pada t = 0. Carilah i untuk t > 0.

i
0,25F
S 4Ω + +
+ 8Ω
− 0,25F v1 − 2v1
12V

12. Rangkaian di bawah ini tidak memiliki simpanan energi awal.


Tentukan v untuk t > 0 jika is = [2cos2t] u(t) A dan vs = [6cos2t] u(t)
V.
− v +

5H 0,05F +
is vs
10Ω 10Ω −

13. Sebuah kapasitor 1 µF dimuati sampai mencapai tegangan 200 V.


Muatan kapasitor ini kemudian dilepaskan melalui hubungan seri
induktor 100 µH dan resistor 20 Ω. Berapa lama waktu diperlukan
untuk menunrunkan jumlah muatan kapasitor hingga tinggal 10%
dari jumlah muatan semula ?
14. Sebuah kumparan mempunyai induktansi 9 H dan resistansi 0,1 Ω,
dihubungkan paralel dengan kapasitor 100 µF. Hubungan paralel ini
diberi tegangan searah sehingga di kumparan mengalir arus sebesar 1
A. Jika sumber tegangan diputus secara tiba-tiba, berapakah tegangan
maksimum yang akan timbul di kapasitor dan pada frekuensi berapa
arus berosilasi ?

53
15. Kabel sepanjang 2 kM digunakan untuk mencatu sebuah beban pada
tegangan searah 20 kV. Resistansi beban 200 Ω dan induktansinya 1
H (seri). Kabel penyalur daya ini mempunyai resistansi total 0,2 Ω
sedangkan antara konduktor dan pelindung metalnya membentuk
kapasitor dengan kapasitansi total 0,5 µF. Bagaimanakah perubahan
tegangan beban apabila tiba-tiba sumber terputus? (Kabel dimodelkan
sebagai kapasitor; resistansi konduktor kabel diabaikan terhadap
resistansi beban).

54 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


BAB 3
Transformasi Laplace

Kita telah melihat bahwa analisis di kawasan fasor lebih sederhana


dibandingkan dengan analisis di kawasan waktu karena tidak melibatkan
persamaan diferensial melainkan persamaan-persamaan aljabar biasa.
Akan tetapi analisis ini terbatas hanya untuk sinyal sinus dalam keadaan
mantap. Berikut ini kita akan mempelajari analisis rangkaian di kawasan
s, yang dapat kita terapkan pada analisis rangkaian dengan sinyal sinus
maupun bukan sinus, keadaan mantap maupun keadaan peralihan.
Dalam analisis di kawasan s ini, sinyal-sinyal fungsi waktu f(t),
ditransformasikan ke kawasan s menjadi fungsi s, F(s). Sejalan dengan
itu pernyataan elemen rangkaian juga mengalami penyesuaian yang
mengantarkan kita pada konsep impedansi di kawasan s. Perubahan
pernyataan suatu fungsi dari kawasan t ke kawasan s dilakukan melalui
Transformasi Laplace, yang secara matematis didefinisikan sebagai suatu
integral

F (s) = ∫0 f (t )e − st dt

dengan s merupakan peubah kompleks, s = σ + jω. Batas bawah integrasi


ini adalah nol yang berarti bahwa dalam analisis rangkaian di kawasan s
kita hanya meninjau sinyal-sinyal kausal.
Dengan melakukan transformasi sinyal dari kawasan t ke kawasan s,
karakteristik i-v elemenpun mengalami penyesuaian dan mengantarkan
kita pada konsep impedansi dimana karakteristik tersebut menjadi fungsi
s. Dengan sinyal dan karakteristik elemen dinyatakan di kawasan s, maka
persamaan rangkaian tidak lagi berbentuk persamaan integrodiferensial
melainkan berbentuk persamaan aljabar biasa sehingga penanganannya
menjadi lebih mudah. Hasil yang diperoleh sudah barang tentu akan
merupakan fungsi-fungsi s. Jika kita menghendaki suatu hasil di kawasan
waktu, maka kita lakukan transformasi balik yaitu transformasi dari
fungsi s ke fungsi t.

55
Di bab ini kita akan membahas mengenai transformasi Laplace, sifat
transformasi Laplace, pole dan zero, transformasi balik, solusi persamaan
diferensial, serta transformasi bentuk gelombang dasar.
Setelah mempelajari analisis rangkaian menggunakan transformasi
Laplace bagian pertama ini, kita akan
• memahami transformasi Laplace beserta sifat-sifatnya;
• mampu melakukan transformasi berbagai bentuk gelombang
sinyal dari kawasan t ke kawasan s.
• mampu mencari transformasi balik dari pernyataan bentuk
gelombang sinyal dari kawasan s ke kawasan t.

3.1. Transformasi Laplace


Melalui transformasi Laplace kita menyatakan suatu fungsi yang semula
dinyatakan sebagai fungsi waktu, t, menjadi suatu fungsi s di mana s
adalah peubah kompleks. Kita ingat bahwa kita pernah
mentransformasikan fungsi sinus di kawasan waktu menjadi fasor,
dengan memanfaatkan bagian nyata dari bilangan kompleks. Dengan
transformasi Laplace kita mentransformasikan tidak hanya fungsi sinus
akan tetapi juga fungsi-fungsi yang bukan sinus.
Transformasi Laplace dari suatu fungsi f(t) didefinisikan sebagai

F (s) = ∫0 f (t )e − st dt (3.1)

dengan notasi : L[ f (t )] = F ( s) = ∫0 f (t )e − st dt (3.2)
Dengan mengikuti langsung definisi ini, kita dapat mencari transformasi
Laplace dari suatu model sinyal, atau dengan kata lain mencari
pernyataan sinyal tersebut di kawasan s. Berikut ini kita akan
mengaplikasikannya untuk bentuk-bentuk gelombang dasar.

3.1.1. Pernyataan Sinyal Anak Tangga di Kawasan s.


Pernyataan sinyal anak tangga di kawasan t adalah v(t ) = Au (t ) .
Transformasi Laplace dari bentuk gelombang ini adalah

∞ ∞ Ae − (σ + jω)t
L[ Au(t)] = ∫0 Au (t ) e − st dt = ∫0 Ae − st dt = −
σ + jω
0
Batas atas, dengan α > 0, memberikan nilai 0, sedangkan batas bawah
memberikan nilai A/s.

56 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Jadi L[ Au(t )] = A (3.3)
s

3.1.2. Pernyataan Sinyal Eksponensial di Kawasan s


Transformasi Laplace bentuk gelombang eksponensial beramplitudo A,
yaitu v(t) = Ae−atu(t) , adalah

∞ ∞ Ae − ( s + a )t
∫0 ∫0
− at − st − ( s + a )t
L[ Ae u (t )] = -at
A e u (t ) e dt = Ae =−
s+a
0
Dengan a > 0, batas atas memberikan nilai 0 sedangkan batas bawah
memberikan A/(s+a).
A
Jadi L[ Ae− at u(t )] = (3.4)
s+a
3.1.3. Sinyal Sinus di Kawasan s
Transformasi Laplace bentuk gelombang sinus v(t) = (A cos ωt) u(t)
adalah :
∞ ∞
L [( A cos ωt ) u (t )] = ∫0 ( A cos ωt )u(t ) e− st dt = ∫0 ( A cos ωt ) e− st dt
Dengan memanfaatkan hubungan Euler cos ω = (e jωt + e − jωt ) / 2 , ruas
kanan persamaan di atas menjadi
∞ e jωt + e − jωt − st ∞ A ( jω− s )t ∞ A ( − j ω− s ) t
∫0 A
2
e dt = ∫0 2
e dt + ∫0 2
e dt

As
=
s 2 + ω2

Jadi L [( A cos ωt ) u(t )] = A s


(3.5)
s + ω2
2

Dengan cara yang sama, diperoleh


ω
L [( A sin ωt ) u(t )] = A (3.6)
s + ω2
2

57
3.2. Tabel Transformasi Laplace
Transformasi Laplace dari bentuk gelombang anak tangga, eksponensial,
dan sinus di atas merupakan contoh bagaimana suatu transformasi
dilakukan. Kita lihat bahwa amplitudo sinyal, A, selalu muncul sebagai
faktor pengali dalam pernyataan sinyal di kawasan s. Transformasi dari
beberapa bentuk gelombang yang lain termuat dalam Tabel-3.1. dengan
mengambil amplitudo bernilai satu satuan. Tabel ini, walaupun hanya
memuat beberapa bentuk gelombang saja, tetapi cukup untuk keperluan
pembahasan analisis rangkaian di kawasan s yang akan kita pelajari di
buku ini.
Untuk selanjutnya kita tidak selalu menggunakan notasi L[f(t)]
sebagai pernyataan dari “transformasi Laplace dari f(t)”, tetapi
kita langsung memahami bahwa pasangan fungsi t dan
transformasi Laplace-nya adalah seperti : f(t) ↔ F(s) , v1(t) ↔
V1(s) , i4(t) ↔ I4(s) dan seterusnya. Dengan kata lain kita
memahami bahwa V(s) adalah pernyataan di kawasan s dari
v(t), I(s) adalah penyataan di kawasan s dari i(t) dan
seterusnya.

CO;TOH-3.1: Carilah transformasi Laplace dari bentuk gelombang


berikut:
a). v1(t ) = 5 cos(10t )u (t ) ; b). v2 (t ) = 5 sin(10t )u (t ) ;
c). v3 (t ) = 3e− 2t u (t )
Penyelesaian : Dengan mnggunakan Tabel-3.1 kita peroleh :
5s 5s
a). v1 (t ) = 5 cos(10t )u (t ) → V1 ( s ) = =
s 2 + (10) 2 s 2 + 100
5 × 10 50
b). v2 (t ) = 5 sin(10t )u (t ) → V2 ( s ) = =
s 2 + (10) 2 s 2 + 100
3
c). v3 (t ) = 3e − 2t u (t ) → V3 ( s) =
s+2

58 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Tabel 3.1. Pasangan Transformasi Laplace

Pernyataan Sinyal Pernyataan Sinyal di


di Kawasan t : f(t) Kawasan s : L[f(t)]=F(s)
impuls : δ(t) 1
anak tangga : u(t) 1
s
1
eksponensial : [e−at]u(t)
s+a
s
cosinus : [cos ωt] u(t)
s 2 + ω2
ω
sinus : [sin ωt] u(t)
s 2 + ω2
s+a
cosinus teredam : [e−atcos ωt] u(t)
(s + a )2 + ω2
ω
sinus teredam : [e−atsin ωt] u(t)
(s + a )2 + ω2
s cos θ − ω sin θ
cosinus tergeser : [cos (ωt + θ)] u(t)
s 2 + ω2
s sin θ + ω cos θ
sinus tergeser : [sin (ωt + θ)] u(t)
s 2 + ω2
ramp : [ t ] u(t) 1
s2
1
ramp teredam : [ t e−at ] u(t)
(s + a )2

3.3. Sifat-Sifat Transformasi Laplace


3.3.1. Sifat Unik
Sifat ini dapat dinyatakan sebagai berikut.
Jika f(t) mempunyai transformasi Laplace F(s) maka transformasi
balik dari F(s) adalah f(t).

59
Dengan kata lain

Jika pernyataan di kawasan s suatu bentuk gelombang v(t)


adalah V(s), maka pernyataan di kawasan t suatu bentuk
gelombang V(s) adalah v(t).

Bukti dari pernyataan ini tidak kita bahas di sini. Sifat ini memudahkan
kita untuk mencari F(s) dari suatu fungsi f(t) dan sebaliknya mencari
fungsi f(t) dari dari suatu fungsi F(s) dengan menggunakan tabel
transformasi Lapalace. Mencari fungsi f(t) dari suatu fungsi F(s) disebut
mencari transformasi balik dari F(s), dengan notasi L−1[F(s)] = f(t) . Hal
terakhir ini akan kita bahas lebih lanjut setelah membahas sifat-sifat
transformasi Laplace.

3.3.2. Sifat Linier


Karena transformasi Laplace adalah sebuah integral, maka ia bersifat
linier.
Transformasi Laplace dari jumlah beberapa fungsi t adalah
jumlah dari transformasi masing-masing fungsi.
Jika f (t ) = A1 f1 (t ) + A2 f 2 (t ) maka transformasi Laplace-nya adalah

∫0 [A1 f1(t ) + A2 f 2 (t )]e
− st
F (s) = dt
∞ ∞
= A1 ∫0 f1 (t )dt + A2 ∫0 f 2 (t )dt (3.7)

= A1F1 ( s) + A2 F2 ( s)
dengan F1(s) dan F2(s) adalah transformasi Laplace dari f1(t) dan f2(t).

CO;TOH-3.2: a). Carilah transformasi Laplace dari :


v1 (t ) = (1 + 3e −2t ) u (t )
b). Jika transformasi Laplace sinyal eksponensial
Ae−atu(t) adalah 1/(s+a), carilah transformasi dari
v2(t)=Acosωt u(t).
Penyelesaian :

60 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


1 3
a). v1 (t ) = (1 + 3e − 2t ) u (t ) → V1 ( s) = +
s s+2

e jωt + e − jωt
b). v 2(t) = A cos(ωt )u (t ) = A u (t )
2
=
A j ωt
2
(
e u (t ) + e − jωt u (t ) )
A 1 1  A  2s  As
V2 ( s ) =  + =   =
2  s − jω s + jω  2  s 2 + ω 2  s + ω2
2

3.3.3. Integrasi
Sebagaimana kita ketahui karakteristik i-v kapasitor dan induktor
melibatkan integrasi dan diferensiasi. Karena kita akan bekerja di
kawasan s, kita perlu mengetahui bagaimana ekivalensi proses integrasi
dan diferensiasi di kawasan t tersebut. Transformasi Laplace dari
integrasi suatu fungsi dapat kita lihat sebagai berikut.
t
Misalkan f (t ) = ∫0 f1( x)dx . Maka
∞ ∞ ∞ − st
 t   e − st  t  e
∫ ∫0
F ( s ) = 

f1 ( x)dx  e − st dt = 
  − s


∫0 f1 ( x)dx  −
 0
∫ −s f1 (t ) dt
0 0

Suku pertama ruas kanan persamaan di atas akan bernilai nol untuk t = ∞
karena e−st = 0 pada t→∞ , dan juga akan bernilai nol untuk t = 0 karena
integral yang di dalam tanda kurung akan bernilai nol (intervalnya nol).
Tinggallah suku kedua ruas kanan; jadi
∞ − st ∞
e 1 F1( s)
∫ ∫ f1(t )e
− st
F (s) = − f1 (t ) dt = dt = (3.8)
−s s s
0 0

Jadi secara singkat dapat kita katakan bahwa :


transformasi dari suatu integrasi bentuk gelombang f(t) di kawasan t
dapat diperoleh dengan cara membagi F(s) dengan s.

61
CO;TOH-3.3: Carilah transformasi Laplace dari fungsi ramp r(t)=tu(t).
Penyelesaian :
Kita mengetahui bahwa fungsi ramp adalah integral dari fungsi anak
tangga.
t
r (t ) = tu (t ) = ∫0 u( x)dx
∞ t  − st 1
→ R( s ) = ∫0  ∫0 u( x)dx  e dt =
s2
Hasil ini sudah tercantum dalam Tabel.3.1.

3.3.4. Diferensiasi
Transformasi Laplace dari suatu diferensiasi dapat kita lihat sebagai
berikut.
df1 (t )
Misalkan f (t ) = maka
dt

F (s) = ∫ 0

df1 (t ) − st
dt
[ ∞
e dt = f1 (t )e − st 0 −

0
] ∫
f1 (t )( − s )e − st dt

Suku pertama ruas kanan bernilai nol untuk t = ∞ karena e−st = 0 untuk
t→ ∞ , dan bernilai −f(0) untuk t = 0. Dengan demikian dapat kita
tuliskan

L 
df1 (t ) 
=s ∫0 f (t )e − st dt − f (0) = sF1 ( s) − f1 (0) (3.9)
 dt 

Transformasi dari suatu fungsi t yang diperoleh melalui


diferensiasi fungsi f(t) merupakan perkalian dari F(s) dengan s
dikurangi dengan nilai f(t) pada t = 0.

CO;TOH-3.4: Carilah transformasi Laplace dari fungsi cos(ωt) dengan


memandang fungsi ini sebagai turunan dari sin(ωt).
Penyelesaian :

62 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


1 d sin(ωt )
f (t ) = cos(ωt ) =
ω dt
1 ω  s
→ F ( s) =  s − sin(0)  =
ω s + ω
2 2
 s + ω2
2

Penurunan di atas dapat kita kembangkan lebih lanjut sehingga kita


mendapatkan transformasi dari fungsi-fungsi yang merupakan fungsi
turunan yang lebih tinggi.

d 2 f1 (t )
jika f (t ) = → F ( s) = s 2 F1 (s) − sf1 (0) − f1′ (0)
dt 2 (3.10)
d 3 f1 (t ) 3 2
jika f (t ) = → F (s) = s F1 ( s) − s f1 (0) − sf1′ (0) − f1′′(0)
dt 3
3.3.5. Translasi di Kawasan t
Sifat transformasi Laplace berkenaan dengan translasi di kawasan t ini
dapat dinyatakan sebagai berikut
Jika transformasi Laplace dari f(t) adalah F(s),
maka transformasi Laplace dari f(t−a)u(t−a) untuk
a > 0 adalah e−asF(s).
Hal ini dapat kita lihat sebagai berikut. Menurut definisi, transformasi
Laplace dari f(t−a)u(t−a) adalah

∫0 f (t − a )u (t − a)e − st dt

Karena u(t−a) bernilai nol untuk t < a dan bernilai satu untuk t > a ,
bentuk integral ini dapat kita ubah batas bawahnya serta tidak lagi
menuliskan faktor u(t−a), menjadi
∞ ∞
∫0 f (t − a )u (t − a)e − st dt = ∫a f (t − a)e − st dt

Kita ganti peubah integrasinya dari t menjadi τ dengan suatu hubungan τ


= (t−a). Dengan penggantian ini maka dt menjadi dτ dan τ = 0 ketika t =
a dan τ = ∞ ketika t = ∞. Persamaan di atas menjadi

63
∞ ∞
∫0 f (t − a)u (t − a )e − st dt = ∫0 f (τ)e − s ( τ + a ) dτ
(3.11)

= e − as ∫0 f (τ)e − sτ dτ = e − as F ( s)

CO;TOH-3.5: Carilah transformasi


Laplace dari bentuk gelombang f(t)
sinyal seperti yang tergambar di A
samping ini.
Penyelesaian :
0 a →t
Model bentuk gelombang ini dapat
kita tuliskan sebagai
f (t ) = Au (t ) − Au (t − a) .

Transformasi Laplace-nya adalah :

A A A(1 − e − as )
F (s) = − e − as =
s s s
3.3.6. Translasi di Kawasan s
Sifat mengenai translasi di kawasan s dapat dinyatakan sebagai berikut.
Jika transformasi Laplace dari f(t) adalah F(s) , maka
transformasi Laplace dari e−αtf(t) adalah F(s + α).
Bukti dari pernyataan ini dapat langsung diperoleh dari definisi
transformasi Laplace, yaitu
∞ − αt ∞
∫0 e f (t )e − st dt = ∫0 f (t )e − ( s + α )t dt = F ( s + α) (3.19)

Sifat ini dapat digunakan untuk menentukan transformasi fungsi teredam


jika diketahui bentuk transformasi fungsi tak teredamnya.

CO;TOH-3.6: Carilah transformasi Laplace dari fungsi-fungsi ramp


teredam dan sinus teredam berikut ini :

a). v1 = tu (t )e −αt ; b). v2 = e −αt cos ωt u (t )

Penyelesaian :

64 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


1
a). Karena untuk v(t ) = tu (t ) → F ( s ) = ,
s2
1
maka jika v1 (t ) = tu (t )e − αt ⇒ V1 ( s) =
( s + α) 2
s
b). Karena untuk v(t ) = cos ωt u (t ) → V ( s) = ,
s + ω2
2

s+α
maka jika v2 (t ) = e − αt cos ωt u (t ) ⇒ V2 ( s ) =
( s + α ) 2 + ω2
3.3.7. Pen-skalaan (scaling)
Sifat ini dapat dinyatakan sebagai :
Jika transformasi Laplace dari f(t) adalah F(s) , maka untuk a
1 s
> 0 transformasi dari f(at) adalah F  .
a a

Bukti dari sifat ini dapat langsung diperoleh dari definisinya. Dengan
mengganti peubah t menjadi τ = at maka transformasi Laplace dari f(at)
adalah:
s
∞ 1 ∞ − τ 1 s
− st
∫0 f (at )e dt =
a ∫0 f ( τ )e a dτ = F 
a a
(3.12)

Jadi, jika skala waktu diperbesar (a > 1) maka skala frekuensi s mengecil
dan sebaliknya apabila skala waktu diperkecil (a < 1) maka skala
frekuensi menjadi besar.
3.3.8. ;ilai Awal dan ;ilai Akhir
Sifat transformasi Laplace berkenaan dengan nilai awal dan nilai akhir
dapat dinyatakan sebagai berikut.
Nilai awal : lim f (t ) = lim sF ( s)
t →0 + s →∞
Nilai akhir : lim f (t ) = lim sF ( s)
t →∞ s →0
+
Jadi nilai f(t) pada t = 0 di kawasan waktu (nilai awal) sama dengan
nilai sF(s) pada tak hingga di kawasan s. Sedangkan nilai f(t) pada t = ∞

65
(nilai akhir) sama dengan nilai sF(s) pada titik asal di kawasan s. Sifat
ini dapat diturunkan dari sifat diferensiasi.

CO;TOH-3.7: Transformasi Laplace dari suatu sinyal adalah


s+3
V ( s) = 100
s( s + 5)( s + 20)

Carilah nilai awal dan nilai akhir dari v(t).


Penyelesaian :
Nilai awal adalah :
 s+3 
lim v(t ) = lim sV ( s ) = lim  s × 100 =0
t →0 + s →∞ s →∞  s( s + 5)( s + 20) 
Nilai akhir adalah :
 s+3 
lim v(t ) = lim sV ( s) = lim  s × 100  =3
t →∞ s →0 s →0  s( s + 5)(s + 20) 

Tabel 3.2. memuat sifat-sifat transformasi Laplace yang dibahas di atas


kecuali sifat yang terakhir yaitu konvolusi. Konvolusi akan dibahas di
bagian akhir dari pembahasan mengenai transformasi balik.

66 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Tabel 3.2. Sifat-sifat Transformasi Laplace
Pernyataan f(t) Pernyataan F(s) =L[f(t)]
linier : A1 f1(t) + A2 f2(t) A1F1(s) + A2 F2(s)
t F ( s)
integrasi : ∫0 f ( x)dx s

diferensiasi :
df (t ) sF ( s) − f (0 − )
dt

d 2 f (t ) s 2 F ( s) − sf (0− ) − f ′(0− )
dt 2

d 3 f (t ) s 3 F ( s ) − s 2 f (0 − )
dt 3 − sf (0 − ) − f ′′(0 − )
linier : A1 f1(t) + A2 f2(t) A1F1(s) + A2 F2(s)
translasi di t: [ f (t − a )]u (t − a) e − as F (s)

translasi di s : e− at f (t ) F ( s + a)

penskalaan : f (at ) 1 s


F 
a a

nilai awal : lim f (t ) lim sF ( s )


t →0 + s →∞

nilai akhir : lim f (t ) lim sF ( s)


t →∞ s →0

t
konvolusi : ∫0 f1 ( x) f 2 (t − x)dx F1( s) F2 ( s )

3.4. Transformasi Balik


Berikut ini kita akan membahas mengenai transformasi balik, yaitu
mencari f(t) dari suatu F(s) yang diketahui. Jika F(s) yang ingin dicari
transformasi baliknya ada dalam tabel transformasi Laplace yang kita
punyai, pekerjaan kita cukup mudah. Akan tetapi dalam analisis

67
rangkaian di kawasan s, pada umumnya F(s) berupa rasio polinomial
yang bentuknya tidak sesederhana dan tidak selalu ada pasangannya
seperti dalam tabel. Untuk mengatasi hal itu, F(s) kita uraikan menjadi
suatu penjumlahan dari bentuk-bentuk yang ada dalam tabel, sehingga
kita akan memperoleh f(t) sebagai jumlah dari bentuk-bentuk gelombang
sederhana. Dengan perkataan lain kita membuat F(s) menjadi
transformasi dari suatu gelombang komposit dan kelinieran dari
transformasi Laplace akan memberikan transformasi balik dari F(s) yang
berupa jumlah dari bentuk-bentuk gelombang sederhana. Sebelum
membahas mengenai transformasi balik kita akan mengenal lebih dulu
pengertian tentang pole dan zero.
3.4.1. Pole dan Zero
Pada umumnya, transformasi Laplace berbentuk rasio polinom

bm s m + bm −1s m −1 + L + b1s + b0
F ( s) = (3.13)
an s n + an −1s n −1 + L + a1s + a0

yang masing-masing polinom dapat dinyatakan dalam bentuk faktor


menjadi
( s − z1 )(s − z2 ) L ( s − zm )
F (s) = K (3.14)
( s − p1 )(s − p2 )L ( s − pn )

dengan K = bm/an dan disebut faktor skala.


Akar-akar dari pembilang dari pernyataan F(s) di atas disebut zero
karena F(s) bernilai nol untuk s = zk (k = 1, 2, …m). Akar-akar dari
penyebut disebut pole karena pada nilai s = pk (k = 1, 2, …n) nilai
penyebut menjadi nol dan nilai F(s) menjadi tak-hingga. Pole dan zero
disebut frekuensi kritis karena pada nilai-nilai itu F(s) menjadi nol atau
tak-hingga.
Peubah s merupakan peubah kompleks s = σ + jω. Dengan demikian kita
dapat memetakan pole dan zero dari suatu F(s) pada bidang kompleks
dan kita sebut diagram pole-zero. Titik pole diberi tanda ″× ″ dan titik
zero diberi tanda ″o ″. Perhatikan contoh 3.8. berikut.

68 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


CO;TOH-3.8: Gambarkan diagram pole-zero dari
1 A( s + a) 1
a). F ( s) = b). F ( s) = c). F ( s ) =
s +1 2
( s + a) + b 2 s

Penyelesaian :

a). Fungsi ini mempunyai pole di s = −1
tanpa zero × σ
tertentu. −1

b). Fungsi ini mempunyai zero di s = −a. +jb
Pole dapat dicari dari σ
−a
( s + a) 2 + b 2 = 0 → pole di s = −a ± jb −jb

c). Fungsi ini tidak mempunyai zero tertentu jω


sedangkan pole terletak di titik asal, s = 0 +
j0. σ

3.4.2. Bentuk Umum F(s)


Bentuk umum F(s) adalah seperti (3.14) yaitu
( s − z1 )(s − z2 ) L ( s − zm )
F (s) = K
( s − p1 )(s − p2 )L ( s − pn )

Jika jumlah pole lebih besar dari jumlah zero, jadi n > m, kita katakan
bahwa fungsi ini merupakan fungsi rasional patut. Jika fungsi ini
memiliki pole yang semuanya berbeda, jadi pi ≠ pj untuk i ≠ j , maka
dikatakan bahwa F(s) mempunyai pole sederhana. Jika ada pole yang
berupa bilangan kompleks kita katakan bahwa fungsi ini mempunyai
pole kompleks. Jika ada pole-pole yang bernilai sama kita katakan bahwa
fungsi ini mempunyai pole ganda.

69
3.4.3. Fungsi Dengan Pole Sederhana
Apabila fungsi rasional F(s) hanya mempunyai pole sederhana, maka ia
dapat diuraikan menjadi berbentuk
k1 k2 kn
F (s) = + +L+ (3.15)
( s − p1) ( s − p2 ) ( s − pn )

Jadi F(s) merupakan kombinasi linier dari beberapa fungsi sederhana;


konstanta k yang berkaitan dengan setiap fungsi pembangun F(s) itu kita
sebut residu. Kita ingat bahwa transformasi balik dari masing-masing
fungsi sederhana itu berbentuk ke−αt. Dengan demikian maka
transformasi balik dari F(s) menjadi

f (t ) = k1e p1t + k 2e p2t + L + k ne pn t (3.16)

Persoalan kita sekarang adalah bagaimana menentukan residu. Untuk


mencari k1, kita kalikan kedua ruas (3.15) dengan (s − p1) sehingga faktor
(s− p1) hilang dari ruas kiri sedangkan ruas kanan menjadi k1 ditambah
suku-suku lain yang semuanya mengandung faktor (s− p1). Kemudian
kita substitusikan s = p1 sehingga semua suku di ruas kanan bernilai nol
kecuali k1 dan dengan demikian diperoleh nilai k1. Untuk mencari k2, kita
kalikan kedua ruas (3.15) dengan (s − p2) kemudian kita substitusikan s =
p2; demikian seterusnya sampai semua nilai k diperoleh, dan transformasi
balik dapat dicari.
CO;TOH-3.9: Carilah f(t) dari fungsi transformasi berikut.
4 4( s + 2)
a). F ( s) = ; b). F ( s) = ;
( s + 1)( s + 3) ( s + 1)( s + 3)
6( s + 2)
c). F ( s) =
s( s + 1)( s + 4)

Penyelesaian :
4 k k
a). F (s) = = 1 + 2
( s + 1)(s + 3) s + 1 s + 3

70 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


4 k
→ F ( s) × ( s + 1) → = k1 + 2 ( s + 1)
( s + 3) s+3
4
→ substitusi s = −1 → = k1 → k1 = 2
−1+ 3
4
→ F ( s) × ( s + 3) dan substitusi s = −3 → = k 2 → k2 = −2
− 3+1
2 −2
⇒ F ( s) = + ⇒ f (t ) = 2e −t − 2e −3t
s +1 s + 3
4( s + 2) k k
b). F (s) = = 1 + 2
( s + 1)(s + 3) s + 1 s + 3

4(−1 + 2)
→ F ( s) × ( s + 1) dan substitusi s = −1 → = k1 → k1 = 2
−1+ 3
4(−3 + 2)
→ F ( s) × ( s + 3) dan substitusi s = −3 → = k2 → k2 = 2
− 3+1
2 2
⇒ F (s) = + ⇒ f (t ) = 2e −t + 2e −3t
s +1 s + 3
6( s + 2) k k k
c). F (s) = = 1+ 2 + 3
s( s + 1)(s + 4) s s + 1 s + 4

Dengan cara seperti di a) dan b) kita peroleh

6( s + 2) 6( s + 2)
→ k1 = = 3 ; k2 = = −2 ;
( s + 1)( s + 4) s =0
s( s + 4) s = −1
6( s + 2)
k3 = = −1
s( s + 1) s = −4
3 −2 −1
⇒ F( s ) = + + → f (t ) = 3 − 2e −t − e − 4t
s s +1 s + 4

3.4.4 Fungsi Dengan Pole Kompleks


Secara fisik, fungsi F(s) merupakan rasio polinomial dengan koefisien
riil. Jika F(s) mempunyai pole kompleks yang berbentuk p = −α + jβ,
maka ia juga harus mempunyai pole lain yang berbentuk p* = −α − jβ;

71
sebab jika tidak maka koefisien polinomial tersebut tidak akan riil. Jadi
untuk sinyal yang memang secara fisik kita temui, pole kompleks dari
F(s) haruslah terjadi secara berpasangan konjugat. Oleh karena itu uraian
F(s) harus mengandung dua suku yang berbentuk
k k*
F (s) = L + + +L (3.17)
s + α − jβ s + α + jβ

Residu k dan k* pada pole konjugat juga merupakan residu konjugat


sebab F(s) adalah fungsi rasional dengan koefisien rasional. Residu ini
dapat kita cari dengan cara yang sama seperti mencari residu pada uraian
fungsi dengan pole sederhana. Kita cukup mencari salah satu residu dari
pole kompleks karena residu yang lain merupakan konjugatnya.
Transformasi balik dari dua suku dengan pole kompleks akan berupa
cosinus teredam. Tansformasi balik dari dua suku pada (3.17) adalah

f k (t ) = ke −(α − jβ)t + k * e −(α + jβ)t


= k e jθ e −(α − jβ)t + k e − jθ e −(α + jβ)t
= k e −( α − j (β+ θ))t + k e −(α + j (β+θ))t (3.18)

e j (β+ θ)t + e − j (β+θ)t


= 2 k e − αt = 2 k e −αt cos(β + θ)
2
Jadi f(t) dari (3.17) akan berbentuk :

f (t ) = L + 2 k e −αt cos(β + θ) + L

CO;TOH-3.10: Carilah transformasi balik dari


8
F (s) = 2
s( s + 4s + 8)
Penyelesaian :
Fungsi ini mempunyai pole sederhana di s = 0, dan pole kompleks
yang dapat ditentukan dari faktor penyebut yang berbentuk kwadrat,
yaitu

− 4 ± 16 − 32
s= = −2 ± j 2
2

72 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Uraian dari F(s) , penentuan residu, serta transformasi baliknya
adalah sebagai berikut.

8 k k2 k2∗
F (s) = = 1+ +
s ( s 2 + 4s + 8) s s + 2 − j 2 s + 2 + j 2
8 8
→ k1 = ×s = =1
2
s( s + 4s + 8) s =0
8

8
→ k2 = × ( s + 2 − j 2)
2
s( s + 4s + 8) s = −2 + j 2

8 8 2 j ( 3π / 4 )
= = = e
s ( s + 2 + j 2) s = − 2 + j 2 − 8 − j 8 2

2 − j ( 3π / 4 )
→ k 2∗ = e
2

2 j ( 3π / 4 ) − ( 2 − j 2 ) t 2 − j ( 3π / 4) − ( 2 + j 2 ) t
⇒ f(t) = u (t ) + e e + e e
2 2

= u (t ) +
2
e e [
2 − 2t j ( 3π / 4 + 2t )
+ e − j ( 3π / 4 + 2t ) ]
= u (t ) + 2e − 2t cos(2t + 3π / 4)

3.4.5. Fungsi Dengan Pole Ganda


Pada kondisi tertentu, fungsi F(s) dapat mempunyai pole ganda.
Penguraian F(s) yang demikian ini dilakukan dengan “memecah” faktor
yang mengandung pole ganda dengan tujuan untuk mendapatkan bentuk
fungsi dengan pole sederhana yang dapat diuraikan seperti biasanya.
Untuk jelasnya kita ambil suatu fungsi yang mengandung pole ganda
(dua pole sama) seperti pada (3.19) berikut ini.
K ( s − z1 )
F (s) = (3.19)
( s − p1 )(s − p2 ) 2
Dengan mengeluarkan salah satu faktor yang mengandung pole ganda
kita dapatkan

73
1  K ( s − z1 ) 
F (s) =   (3.20)
s − p2  ( s − p1 )(s − p2 ) 
Bagian yang didalam tanda kurung dari (3.20) mengandung pole
sederhana sehingga kita dapat menguraikannya seperti biasa.

 K ( s − z1 )  k1 k2
F1 ( s) =  = + (3.21)
 ( s − p1 )(s − p2 )  s − p1 s − p2
Residu pada (3.21) dapat ditentukan, misalnya k1 = A dan k2 = B , dan
faktor yang kita keluarkan kita masukkan kembali sehingga (3.20)
menjadi

1  A B  A B
F (s) =  + = +
s − p2  s − p1 s − p2  ( s − p2 )(s − p1 ) ( s − p2 ) 2

dan suku pertama ruas kanan diuraikan lebih lanjut menjadi


k11 k B
F (s) = + 12 + (3.22)
s − p1 s − p2 ( s − p2 ) 2

Transformasi balik dari (3.22) adalah

f (t ) = k11e p1t + k12e p2t + Bte p2t (3.23)

CO;TOH-3.11: Tentukan transformasi balik dari fungsi:


s
F (s) =
( s + 1)(s + 2) 2
Penyelesaian :

s 1  s 
F( s ) = =  
( s + 1)( s + 2) 2 ( s + 2)  ( s + 1)(s + 2) 
1  k1 k 
=  + 2 
( s + 2)  s + 1 s + 2 
s s
→ k1 = = −1 → k2 = =2
( s + 2) s = −1
( s + 1) s = −2

74 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


1  −1 2  −1 2
⇒ F( s ) =  +  = +
( s + 2)  s + 1 s + 2  ( s + 1)( s + 2) ( s + 2) 2
k k 2
= 11 + 12 +
s + 1 s + 2 ( s + 2) 2
−1 −1
→ k11 = = −1 → k12 = =1
s+2 s = −1 s + 1 s = −2
−1 1 2
⇒ F (s) = + + ⇒ f (t ) = −e −t + e − 2t + 2te − 2t
s + 1 s + 2 ( s + 2) 2

3.4.6. Konvolusi
Transformasi Laplace menyatakan secara timbal balik bahwa
jika f (t ) = f1(t ) + f 2 (t ) maka F (s) = F1( s) + F2 ( s)

jika F ( s) = F1( s) + F2 ( s) maka f (t) = f1(t ) + f 2 (t )

Kelinieran dari transformasi Laplace ini tidak mencakup perkalian. Jadi


jika F ( s) = F1( s) F2 ( s) maka f (t ) ≠ f1 (t ) f 2 (t )

Mencari fungsi f(t) dari suatu fungsi F(s) yang merupakan hasil kali dua
fungsi s yang berlainan, melibatkan sifat transformasi Laplace yang kita
sebut konvolusi. Sifat ini dapat dinyatakan sebagai berikut.
jika F ( s) = F1 ( s) F2 ( s) maka
t t (3.24)
L−1[F ( s)] = f (t ) = ∫ f1 (τ) f 2 (t − τ)dτ = ∫ f 2 (τ) f1 (t − τ)dτ
0 0

Kita katakan bahwa transformasi balik dari perkalian dua F(s) diperoleh
dengan melakukan konvolusi dari kedua bentuk gelombang yang
bersangkutan. Kedua bentuk integral pada (3.24) disebut integral
konvolusi.
Pandanglah dua fungsi waktu f1(τ) dan f2(t). Transformasi Laplace
masing-masing adalah
∞ ∞
F1 ( s) = ∫0 f1(τ)e − sτ dτ dan F2 ( s) = ∫0 f 2 (t )e − st dt .

75
Jika kedua ruas dari persamaan pertama kita kalikan dengan F2(s) akan
kita peroleh

F1( s) F2 ( s) = ∫0 f1(τ) e − sτ F2 ( s) dτ .

Sifat translasi di kawasan waktu menyatakan bahwa e−sτ F2(s) adalah


transformasi Laplace dari [ f2(t−τ) ] u(t−τ) sehingga persamaan tersebut
dapat ditulis
∞  ∞ 
F1 ( s) F2 ( s) = ∫0 f1 (τ)  ∫0 f 2 (t − τ)u (t − τ)e − st dt  dτ
 
Karena untuk τ > t nilai u(t−τ) = 0, maka integrasi yang berada di dalam
kurung pada persamaan di atas cukup dilakukan dari 0 sampai t saja,
sehingga
∞  t 
F1 ( s) F2 ( s) = ∫0  0∫
f1 (τ)  f 2 (t − τ)e − st dt  dτ

∞ t − st 
= ∫0 ∫0 f1(τ) f 2 (t − τ)e dt  dτ

Dengan mempertukarkan urutan integrasi, kita peroleh
∞ t  − st  t 
F1 ( s) F2 ( s) = ∫0 ∫0 f1(τ) f 2 (t − τ)dτe dt = L 

∫0 f1(τ) f 2 (t − τ)dτ
CO;TOH-3.12: Carilah f(t) dari F(s) berikut.
1 1
a). F ( s) = b). F( s) =
( s + a) 2 ( s + a)( s + b)
1
c). F ( s) =
s 2 ( s + a)
Penyelesaian : a). Fungsi ini kita pandang sebagai perkalian dari
dua fungsi.

76 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


1
F( s) = F1 ( s)F2 ( s) dengan F1 ( s ) = F2 ( s) =
( s + a)
→ f1 (t ) = f 2 (t ) = e − at
t t − ax − a (t − x )
⇒ f (t ) = ∫0 f1( x) f 2 (t − x)dx = ∫0 e e dx
t − ax − at + ax t
= ∫0 e dx = e − at dx = te − at
∫0
b). Fungsi ini juga merupakan perkalian dari dua fungsi.
F( s) = F1 ( s)F2 ( s) dengan
1 1
F1 ( s) = dan F2 ( s) =
( s + a) ( s + b)
→ f1 (t ) = e − at dan f 2 (t ) = e − bt
t t − ax − b (t − x )
⇒ f (t ) = ∫0 f1( x) f 2 (t − x)dx = ∫0 e e dx
t
t  e ( − a + b) x 
0 ∫
= e −bt e ( −a + b) x dx = e −bt 
 −a+b  

0

=
(
e −bt e( −a +b)t − 1
=
)
e − at − e −bt
−a+b −a+b
c). Fungsi ketiga ini juga dapat dipandang sebagai perkalian dua
fungsi.
1 1
F ( s) = F1( s ) F2 ( s) dengan F1 ( s) = 2 dan F2 ( s) =
s s + a
→ f1(t ) = t dan f 2 (t ) = e − at
t t − a (t − x ) t
⇒ f (t ) = ∫0 f1( x) f 2 (t − x)dx = ∫0 xe dx = e − at ∫0 xe
ax
dx

 ax
t   at
t e ax ax 
t
− at  xe  − at  te − 0 e
=e − ∫
dx = e − 2 
 a 0 a   a a 0
 0   
 te − 0 e − 1  at − 1 + e
at at − at
= e − at  − =
 a a 2  a2

77
3.5. Solusi Persamaan Rangkaian Menggunakan Transformasi
Laplace
Dengan menggunakan transformasi Laplace kita dapat mencari solusi
suatu persamaan rangkaian (yang sering berbentuk persamaan
diferensial) dengan lebih mudah. Transformasi akan mengubah
persamaan diferensial menjadi persamaan aljabar biasa di kawasan s
yang dengan mudah dicari solusinya. Dengan mentransformasi balik
solusi di kawasan s tersebut, kita akan memperoleh solusi dari persamaan
diferensialnya.
CO;TOH-3.13: Gunakan transformasi Laplace untuk mencari solusi
persamaan berikut.
dv
+ 10v = 0 , v (0 + ) = 5
dt
Penyelesaian :
Transformasi Laplace persamaan diferensial ini adalah

sV ( s) − v(0 + ) + 10V ( s) = 0 atau


5
sV ( s) − 5 + 10V ( s) = 0 ⇒ V ( s) =
s + 10
Transformasi balik memberikan v(t ) = 5e −10t

Transformasi Laplace dapat kita manfaatkan untuk mencari solusi dari


persamaan diferensial dalam analisis transien. Langkah-langkah yang
harus dilakukan adalah :
1. Menentukan persamaan diferensial rangkaian di kawasan waktu.
2. Mentransformasikan persamaan diferensial yang diperoleh pada
langkah 1 ke kawasan s dan mencari solusinya.
3. Transformasi balik solusi yang diperoleh pada langkah 2 untuk
memperoleh tanggapan rangkaian.

78 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


CO;TOH-3.14: Saklar S pada rangkaian di samping ini ditutup pada t =
0. Tentukan tegangan kapasitor untuk t > 0 jika sesaat sebelum S
ditutup tegangan kapasitor 2 V.
Penyelesaian
: S
+ i 100Ω +
Langkah 12 V − vC
pertama 0,02F

adalah
menentukan
persamaan rangkaian untuk t > 0. Aplikasi HTK memberikan
dvC
− 6 + 100i + vC = 0 atau − 6 + 2 + vC = 0 .
dt
Langkah kedua adalah mentransformasikan persamaan ini ke
kawasan s, menjadi
6
− + 2sVC ( s) − vC (0) + VC ( s) = 0 atau
s
6
− + 2sVC ( s) − 2 + VC ( s) = 0
s
Pemecahan persamaan ini dapat diperoleh dengan mudah.
3+ s k k2
VC ( s) = = 1+
s( s + 0,5) s s + 0,5
3+ s 3+ s
→ k1 = = 6 dan k 2 = = −5
( s + 0,5) s = 0 s s = −0,5
6 5
⇒ VC ( s ) = −
s s + 0,5
Langkah terakhir adalah mentransformasi balik VC (s) :
−0,5t
vC (t ) = 6 − 5e V

79
CO;TOH-3.15: Pada rangkaian di samping ini, saklar S dipindahkan
dari posisi 1 ke 2 pada t = 0. Tentukan i(t) untuk t > 0, jika sesaat
sebelum saklar dipindah tegangan kapasitor 4 V dan arus induktor 2
A.
1 i
S
Bagian 2 1H
+ 6Ω +
lain
− 6 V 1/13 F vC
rangkaian

Penyelesaian :
Aplikasi HTK pada rangkaian ini setelah saklar ada di posisi 2 ( t > 0
) memberikan
di 1
− 6 + 6i + L +
dt C ∫
idt + vC (0) = 0 atau

di
− 6 + 6i +
dt ∫
+ 13 idt + 4 = 0

Transformasi Laplace dari persamaan rangkaian ini menghasilkan


−6 I (s) 4
+ 6 I ( s) + sI ( s) − i (0) + 13 + =0 atau
s s s
−6 I (s) 4
+ 6 I ( s) + sI ( s) − 2 + 13 + =0
s s s
Pemecahan persamaan ini adalah :
2s + 2
→ I(s) =
2
s + 6 s + 13
2s + 2 k1 k1∗
= = +
( s + 3 − j 2)( s + 3 + j 2) s + 3 − j 2 s + 3 + j 2

2s + 2
= 1 + j1 = 2e j 45 → k1∗ = 2e − j 45
o o
→ k1 =
s + 3 + j 2 s = −3+ j 2

2e − j 45
o o
2e j 45
⇒ I (s) = +
s + 3 − j2 s + 3 + j2

80 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Transformasi balik dari I(s) memberikan

⇒ i (t ) = 2e j 45 e −(3− j 2)t + 2e − j 45 e −(3+ j 2)t


o o

= 2e −3t (cos 2t − sin 2t ) A

81
Soal-Soal
1. Carilah pernyataannya di kawasan s sinyal-sinyal berikut ini.

v1(t ) = 10[1 − e −2t ]u (t );


v2 (t ) = 10[1 + 4t ]u (t )
v3 (t ) = 10[e − 2t − e− 4t ]u (t );
v4 (t ) = 10[2e − 2t − 4e − 4t ]u (t )

2. Carilah pernyataannya di kawasan s sinyal-sinyal berikut ini.

v1(t ) = 15[sin(20t − 30o )]u (t );


v2 (t ) = 15[cos 20t − sin 20t ]u (t )
v3 (t ) = 15[cos 20t − cos10t ]u (t );
v4 (t ) = 15[1 − 2 sin 10t ]u (t )

3. Carilah pernyataannya di kawasan s sinyal-sinyal berikut ini.

v1(t ) = 20[e −2t sin(20t − 30o )]u (t );


v2 (t ) = 20[e − 2t (cos 20t − sin 20t )]u (t )
v3 (t ) = 20[e − 2t (cos 20t − cos10t )]u (t );
v4 (t ) = 20[e − 2t (1 − 2 sin 10t )]u (t )

4. Carilah pernyataannya di kawasan s sinyal-sinyal berikut ini.

v1(t ) = 15[cos 2 10t )]u (t );


v2 (t ) = 15[(cos 20t )(sin 20t )]u (t )
v3 (t ) = 20te − 2t u (t );
v4 (t ) = 20[e− 2t sin 10t ]u (t )

82 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


5. Berikut ini adalah pernyataan sinyal di kawasan s. Carilah
pernyataannya di kawasan waktu t.
1
V1( s) = ;
(s + 2)( s + 3)
s
V2 ( s) =
( s + 2)(s + 3)
s2
V3 ( s) = ;
( s + 2)(s + 3)
s2
V4 ( s) =
( s + 2)(s + 3)(s + 4)

6. Carilah pernyataan di kawasan waktu dari sinyal yang dinyatakan di


kawasan s berikut ini.
1
V1 ( s ) = ;
( s + 2) 2 + 9
s
V2 ( s ) = ;
( s + 2) 2 + 9
s2
V3 ( s ) =
( s + 2) 2 + 9

7. Berikut ini adalah pernyataan sinyal di kawasan s; carilah


pernyataannya di kawasan waktu.
1
V1( s) = ;
( s + 3)
1
V2 ( s) = ;
s( s + 3)
1
V3 (s ) =
s( s + 3)

83
8. Berikut ini adalah pernyataan sinyal di kawasan s; carilah
pernyataannya di kawasan waktu.
10
V1( s) = 2 ;
s + 10s + 16
10
V2 ( s) = 2 ;
s + 8s + 16
10
V3 (s) = 2
s + 6s + 25
9. Carilah pernyataannya di kawasan waktu sinyal-sinyal berikut ini.
6s + 14
V1( s ) = ;
( s + 2)(s + 3)
9s + 26
V2 ( s) = ;
( s + 2)(s + 3)( s + 4)
6s 2 + 34s + 46
V3 ( s) =
( s + 2)( s + 3)(s + 4)

10. Carilah pernyataannya di kawasan waktu sinyal-sinyal berikut ini.


s+2
V1( s) = ;
s( s 2 + 2s + 1)(s + 3)
(s + 1)(s + 4)
V2 (s) = 2 2 ;
s (s + 2s + 4)
(s + 10)(s + 200)
V3 (s) =
(s + 20)(s + 100)

84 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


BAB 4
Analisis Rangkaian Menggunakan
Transformasi Laplace
Setalah mempelajari bab ini kita akan
• memahami konsep impedansi di kawasan s.
• mampu melakukan transformasi rangkaian ke kawasan s.
• mampu melakukan analisis rangkaian di kawasan s.
Di bab sebelumnya kita menggunakan transformasi Laplace untuk
memecahkan persamaan rangkaian. Kita harus mencari terlebih dahulu
persamaan rangkaian di kawasan t sebelum perhitungan-perhitungan di
kawasan s kita lakukan. Berikut ini kita akan mempelajari konsep
impedansi dan dengan konsep ini kita akan dapat melakukan
transformasi rangkaian ke kawasan s. Dengan transformasi rangkaian ini,
kita langsung bekerja di kawasan s, artinya persamaan rangkaian
langsung dicari di kawasan s tanpa mencari persamaan rangkaian di
kawasan t lebih dulu.
Sebagaimana kita ketahui, elemen dalam analisis rangkaian listrik adalah
model dari piranti yang dinyatakan dengan karakteristik i-v-nya. Jika
analisis dilakukan di kawasan s dimana v(t) dan i(t) ditransformasikan
menjadi V(s) dan I(s), maka pernyataan elemenpun harus dinyatakan di
kawasan s.
4.1. Hubungan Tegangan-Arus Elemen di Kawasan s
4.1.1. Resistor
Hubungan arus dan tegangan resistor di kawasan t adalah
vR (t ) = RiR(t)

Transformasi Laplace dari vR adalah


∞ − st ∞ − st
VR ( s ) = ∫0 vR (t )e dt = ∫0 RiR (t )e dt =RI R(s)

Jadi hubungan arus-tegangan resistor di kawasan s adalah


VR ( s ) = R I R ( s ) (4.1)

85
4.1.2. Induktor
Hubungan antara arus dan tegangan induktor di kawasan t adalah
diL(t)
v L (t ) = L
dt
Transformasi Laplace dari vL adalah (ingat sifat diferensiasi dari
transformasi Laplace) :
∞ − st ∞ diL (t )  − st
VL ( s ) = ∫0 vL (t )e dt = ∫0 L dt 
e dt = sLI L ( s) − LiL (0)

Jadi hubungan tegangan-arus induktor adalah


VL ( s) = sLI L ( s) − LiL (0) (4.2)

dengan iL (0) adalah arus induktor pada saat awal integrasi dilakukan atau
dengan kata lain adalah arus pada t = 0. Kita ingat pada analisis transien
di Bab-4, arus ini adalah kondisi awal dari induktor, yaitu i(0+) = i(0−).

4.1.3. Kapasitor
Hubungan antara tegangan dan arus kapasitor di kawasan t adalah
1 t
vC (t ) =
C ∫0 iC (t )dt + vc (0)
Transformasi Laplace dari tegangan kapasitor adalah
I C ( s) vC (0)
VC ( s ) = + (4.3)
sC s
dengan vC(0) adalah tegangan kapasitor pada t =0. Inilah hubungan
tegangan dan arus kapasitor di kawasan s.

4.2. Konsep Impedansi di Kawasan s


Impedansi merupakan suatu konsep di kawasan s yang didefinisikan
sebagai berikut.
Impedansi di kawasan s adalah rasio tegangan terhadap arus di
kawasan s dengan kondisi awal nol.

86 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Sesuai dengan definisi ini, maka impedansi elemen dapat kita peroleh
dari (4.1), (4.2), dan (4.3) dengan iL (0) = 0 maupun vC (0) = 0,
V (s) V (s) V ( s) 1
ZR = R = R ; ZL = L = sL ; Z C = C = (4.4)
I R (s) IL ( s ) IC ( s) sC

Dengan konsep impedansi ini maka hubungan tegangan-arus untuk


resistor, induktor, dan kapasitor menjadi sederhana, mirip dengan relasi
hukum Ohm.
1
VR ( s) = RI R (s) ; VL ( s) = sLI L (s) ; VC = I C ( s) (4.5)
sC
Sejalan dengan pengertian impedansi, dikembangkan pengertian
admitansi, yaitu Y = 1/Z sehingga untuk resistor, induktor, dan kapasitor
kita mempunyai
1 1
YR = ; YL = ; YC = sC (4.6)
R sL

4.3. Representasi Elemen di Kawasan s


Dengan pengertian impedansi seperti dikemukakan di atas, dan hubungan
tegangan-arus elemen di kawasan s, maka elemen-elemen dapat
direpresentasikan di kawasan s dengan impedansinya, sedangkan kondisi
awal (untuk induktor dan kapasitor) dinyatakan dengan sumber tegangan
yang terhubung seri dengan impedansi tersebut, seperti terlihat pada Gb.
4.1.
+ + IL (s) + IC (s)
IR (s)
sL 1
sC
VR(s) R VL (s) VC (s)
− LiL(0) + vC (0)
+ − s

− − −
Resistor Induktor Kapasitor
Gb.4.1. Representasi elemen di kawasan s.
I ( s ) vC (0)
VR ( s ) = R I R ( s ) ; VL ( s) = sLI L ( s) − LiL (0) ; VC ( s ) = C +
sC s

87
Representasi elemen di kawasan s dapat pula dilakukan dengan
menggunakan sumber arus untuk menyatakan kondisi awal induktor dan
kapasitor seperti terlihat pada Gb.4.2.
+ IL (s) IC (s)
IR (s)
+ 1
+
VR(s) R sL VL (s) iL (0) VC (s)
sC
− s − CvC(0)


Gb.4.2. Representasi elemen di kawasan s.

 i ( 0) 
VR ( s ) = R I R ( s ) ; VL ( s ) = sL I L ( s ) − L ;
 s 
1
VC ( s ) = (I C ( s) + CvC (0) )
sC

4.4. Transformasi Rangkaian


Representasi elemen ini dapat kita gunakan untuk mentransformasi
rangkaian ke kawasan s. Dalam melakukan transformasi rangkaian perlu
kita perhatikan juga apakah rangkaian yang kita transformasikan
mengandung simpanan energi awal atau tidak. Jika tidak ada, maka
sumber tegangan ataupun sumber arus pada representasi elemen tidak
perlu kita gambarkan.
CO;TOH 4.1: Saklar S pada rangkaian berikut telah lama ada di posisi
1. Pada t = 0 saklar
dipindahkan ke 1
S
posisi 2 sehingga
2 3Ω 1H
rangkaian RLC 8 V + +
+
− 2e −3t
V 1/2 F vC
seri terhubung ke −
sumber tegangan −
2e−3t V.
Transformasikan rangkaian ke kawasan untuk t > 0.
Penyelesaian :
Pada t < 0, keadaan telah mantap. Arus induktor nol dan tegangan
kapasitor sama dengan tegangan sumber 8 V.

88 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Untuk t > 0, sumber tegangan adalah vs = 2e−3t yang transformasinya
adalah
2
Vs ( s ) =
s+3
Representasi kapasitor adalah impedansinya 1/sC = 2/s seri dengan
sumber tegangan 8/s karena tegangan kapasitor pada t = 0 adalah 8
V. Representasi induktor impedansinya sL = s tanpa diserikan
dengan sumber tegangan karena arus induktor pada t = 0 adalah nol.
Transformasi rangkaian ke kawasan s untuk t > 0 adalah

3 s 2 +
2 + s
VC(s)
s+3 − 8 +
s − −

Perhatikan bahwa tegangan kapasitor VC (s) mencakup sumber


tegangan (8/s) dan bukan hanya tegangan pada impedansi (2/s) saja.
Setelah rangkaian ditransformasikan, kita mengharapkan dapat langsung
mencari persamaan rangkaian di kawasan s. Apakah hukum-hukum,
kaidah, teorema rangkaian serta metoda analisis yang telah kita pelajari
dapat kita terapkan? Hal tersebut kita bahas berikut ini.

4.5. Hukum Kirchhoff


Hukum arus Kirchhoff menyatakan bahwa untuk suatu simpul
n
∑ ik (t ) = 0
k =1

Jika kita lakukan transformasi, akan kita peroleh

∞ n  n
 ∞ 
n

∫0 ∑ ik (t ) e − st dt =
 k =1 
∑ ∫0
k =1 

ik (t )e − st dt  =
 k =1
I k (s) = 0 (4.7)

Jadi hukum arus Kirchhoff (HAK) berlaku di kawasan s. Hal yang sama
terjadi juga pada hukum tegangan Kirchhoff. Untuk suatu loop

89
n
∑ vk (t ) = 0
k =1
(4.8)
∞ n  n
 ∞ 
n
⇒ ∫ ∑ vk (t ) e − st dt =
0 
 k =1 

k =1 
0
∑∫
vk (t )e − st dt  =
 k =1
Vk ( s ) = 0∑
4.6. Kaidah-Kaidah Rangkaian
Kaidah-kaidah rangkaian, seperti rangkaian ekivalen seri dan paralel,
pembagi arus, pembagi tegangan, sesungguhnya merupakan konsekuensi
hukum Kirchhoff. Karena hukum ini berlaku di kawasan s maka kaidah-
kaidah rangkaian juga harus berlaku di kawasan s. Dengan mudah kita
akan mendapatkan impedansi ekivalen maupun admitansi ekivalen

Z ekiv seri = ∑ Zk ; Yekiv paralel = ∑ Yk (4.9)

Demikian pula dengan pembagi arus dan pembagi tegangan.


Yk Zk
I k ( s) = Itotal ( s) ; Vk ( s ) = Vtotal ( s) (4.10)
Yekiv paralel Z ekiv seri

CO;TOH-4.2: Carilah VC (s) pada rangkaian impedansi seri RLC


berikut ini.

3 s +
+ 2 VC (s)
Vin (s)
− s −

Penyelesaian :
Kaidah pembagi tegangan pada rangkaian ini memberikan
2/ s 2 2
VR ( s ) = Vin ( s) = Vin ( s) = Vin ( s)
2 2
s + 3s + 2 ( s + 1)( s + 2)
3+ s +
s
Pemahaman :
Jika Vin(s) = 10/s maka

90 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


20 k k k
VC ( s) = = 1+ 2 + 3
s( s + 1)(s + 2) s s + 1 s + 2
20 20
→ k1 = = 10 ; k 2 = = −20 ;
( s + 1)( s + 2) s = 0 s ( s + 2) s = − 1
20
k3 = = 10
s( s + 1) s = −2
10 − 20 10
⇒ VC ( s) = + +
s s +1 s + 2
⇒ vC (t ) = 10 − 20e −t + 10e − 2t

Inilah tanggapan rangkaian rangkaian RLC seri (dengan R = 3Ω , L =


1H, C = 0,5 F) dengan masukan sinyal anak tangga yang
amplitudonya 10 V.

4.7. Teorema Rangkaian


4.7.1. Prinsip Proporsionalitas
Prinsip proporsionalitas merupakan pernyataan langsung dari sifat
rangkaian linier. Di kawasan t, pada rangkaian dengan elemen-elemen
resistor, sifat ini dinyatakan oleh hubungan
y (t ) = Kx(t )

dengan y(t) dan x(t) adalah keluaran dan masukan dan K adalah suatu
konstanta yang ditentukan oleh nilai-nilai resistor yang terlibat.
Transformasi Laplace dari kedua ruas hubungan diatas akan memberikan
Y ( s ) = KX ( s )

dengan Y(s) dan X(s) adalah sinyal keluaran dan masukan di kawasan s.
Untuk rangkaian impedansi,
Y (s) = K s X (s) (4.11)

Perbedaan antara prinsip proporsionalitas pada rangkaian-rangkaian


resistor dengan rangkaian impedansi terletak pada faktor Ks. Dalam
rangkaian impedansi nilai Ks, merupakan fungsi rasional dalam s.
Sebagai contoh kita lihat rangkaian seri RLC dengan masukan Vin(s). Jika
tegangan keluaran adalah tegangan pada resistor VR (s), maka

91
R  RCs 
VR ( s) = Vin ( s) =  Vin ( s)
R + sL + (1 / sC ) 2
 LCs + RCs + 1
Besaran yang berada dalam tanda kurung adalah faktor proporsionalitas.
Faktor ini, yang merupakan fungsi rasional dalam s, memberikan
hubungan antara masukan dan keluaran dan disebut fungsi jaringan.

4.7.2. Prinsip Superposisi


Prinsip superposisi menyatakan bahwa untuk rangkaian linier besarnya
sinyal keluaran dapat dituliskan sebagai
yo (t ) = K1x1(t ) + K 2 x2 (t ) + K3 x3 (t ) + ⋅ ⋅ ⋅

dengan x1, x2 , x3 … adalah sinyal masukan dan K1 , K2 , K3 … adalah


konstanta proporsionalitas yang besarnya tergantung dari nilai-nilai
elemen dalam rangkaian. Sifat linier dari transformasi Laplace menjamin
bahwa prinsip superposisi berlaku pula untuk rangkaian linier di kawasan
s dengan perbedaan bahwa konstanta proporsionalitas berubah menjadi
fungsi rasional dalam s dan sinyal-sinyal dinyatakan dalam kawasan s.

Yo ( s ) = K s1 X1 ( s ) + K s 2 X 2 ( s ) + K s3 X 3 ( s ) + ⋅ ⋅ ⋅ (4.12)

4.7.3. Teorema Thévenin dan ;orton


Konsep mengenai teorema Thévenin dan Norton pada rangkaian-
rangkaian impedansi, sama dengan apa yang kita pelajari untuk
rangkaian dengan elemen-elemen resistor. Cara mencari rangkaian
ekivalen Thévenin dan Norton sama seperti dalam rangkaian resistor,
hanya di sini kita mempunyai impedansi ekivalen Thévenin, ZT , dan
admitansi ekivalen Norton, Y- , dengan hubungan sbb:
VT ( s)
VT ( s) = Vht ( s) = I - ( s) ZT ; I - ( s) = I hs ( s) =
ZT
(4.13)
1 V ( s)
ZT = = T
Y- I - ( s)

92 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


CO;TOH-4.3: Carilah rangkaian ekivalen Thevenin dari rangkaian
impedansi berikut ini.

B
R 1 E
s + B
s 2 + ω2
− sC A
N

Penyelesaian :
1 / sC s s / RC
VT ( s) = Vht ( s) = =
R + (1 / sC ) s 2 + ω2 ( s + 1 / RC )( s 2 + ω2 )

1 s
I - ( s) = I hs ( s) =
R s 2 + ω2

R / sC 1
ZT = R || (1 / RC ) = =
R + 1 / sC C ( s + 1 / RC )

B
ZT E
VT + B
− A
N

4.8. Metoda-Metoda Analisis


Metoda-metoda analisi, baik metoda dasar (metoda reduksi rangkaian,
unit output, superposisi, rangkaian ekivalen Thevenin dan Norton)
maupun metoda umum (metoda tegangan simpul, arus mesh) dapat kita
gunakan untuk analisis di kawasan s. Hal ini mudah dipahami mengingat
hukum-hukum, kaidah-kaidah maupun teorema rangkaian yang berlaku
di kawasan t berlaku pula di kawasan s. Berikut ini kita akan melihat
contoh-contoh penggunaan metoda analisis tersebut di kawasan s.

4.8.1. Metoda Unit Output


CO;TOH-4.4: Dengan menggunakan metoda unit output, carilah
V2(s) pada rangkaian impedansi di bawah ini.

93
IL (s) sL

+
I1(s) IR (s) R IC (s) 1/sC V2(s)

Penyelesaian :
Misalkan : V2 ( s ) = 1
1
→ VC ( s ) = V2 ( s ) = 1 → I C ( s) = = sC
1 / sC
→ I L ( s ) = I C ( s ) = sC → VL ( s ) = sL × sC = LCs 2

LCs 2 + 1
→ VR ( s) = VL ( s) + VC ( s) = LCs 2 + 1 → I R (s) =
R
LCs 2 + 1 LCs 2 + RCs + 1
⇒ I1* ( s) = I R ( s) + I L ( s) = + sC =
R R
1 R
⇒ Ks = =
I1* ( s) 2
LCs + RCs + 1
R
⇒ V2 ( s) = K s I1 ( s) = I1 ( s)
2
LCs + RCs + 1
4.8.2. Metoda Superposisi
CO;TOH-4.5: Dengan menggunakan metoda superposisi, carilah
tegangan
induktor vo (t)
pada rangkaian R +
Au(t) + L vo R Bsinβt
berikut ini. −

Penyelesaian :
Rangkaian kita transformasikan ke kawasan s menjadi

R +
A + R Bβ
− sL Vo
s s + β2
2

Jika sumber arus dimatikan, maka rangkaian menjadi :

94 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


R +
+ A
R
− s sL Vo1

RLs
→ Z L // R =
R + sL
RLs
A L A/ 2
⇒ Vo1 ( s ) = R + sL = A=
RLs s R + 2sL s + R / 2L
R+
R + sL
Jika sumber tegangan dimatikan, rangkaian menjadi :

R +
R Bβ
sL Vo2
s + β2
2

1 / sL Bβ
Vo2 ( s ) = sL × I L ( s ) = sL × ×
1 1 1 s 2 + β2
+ +
R R sL
sRL Bβ RBβ s
= × =
2sL + R s + β
2 2 2 ( s + R / 2L)( s 2 + β 2 )

⇒ Vo ( s) = Vo1 ( s ) + Vo2 ( s )
A/ 2 RBβ  k1 k k 
= +  + 2 + 3 
s + R / 2L 2  s + R / 2 L s + jβ s − jβ 
s ( R / 2 L)
→ k1 = =−
(s 2 + β2 ) s = − R / 2L
( R / 2 L) 2 + β 2
s 1 1
→ k2 = = = e jθ ,
( s + R / 2 L)(s − jβ) s = − jβ
R / L − j 2β 2
( R / L) + 4β 2

 + 2β 
θ = tan −1  
R/L
1
→ k3 = e − jθ
( R / L) 2 + 4β 2

95
 R
− t 
− ( R / 2 L) 
R e 2L
A − 2L t RBβ  ( R / 2 L) 2 + β 2 
⇒ vo (t ) = e +  
2 2 
+
1
2 2
(
e − j (βt − θ) + e j (βt − θ) )


 ( R / L) + 4β 
R
A R 2 Bβ  − 2 L t RBβ
⇒ vo (t ) =  − e + cos(βt − θ)
 2 R + 4 Lβ 2 
2
( R / L) 2 + 4β 2

4.8.3. Metoda Reduksi Rangkaian


CO;TOH-4.6: Dengan menggunakan metoda reduksi rangkaian
selesaikanlah persoalan pada contoh 4.5.
Penyelesaian :
Rangkaian yang R +
+ A R Bβ
ditransformasikan ke − sL Vo
s s 2 + β2
kawasan s kita gambar −
lagi seperti di samping
ini.
Jika sumber
tegangan
+
ditransformasikan A Bβ
R
sL Vo R
menjadi sumber sR s + β2
2
arus, kita −
mendapatkan
rangkaian dengan dua sumber arus dan dua resistor diparalel.
Rangkaian tersebut dapat
disederhanakan menjadi
+
rangkaian dengan satu R/2 Bβ A
sL Vo +
sumber arus, dan kemudian s 2 + β2 sR
menjadi rangkaian dengan −
sumber tegangan.

+ R/2
Vo
+ R  Bβ A 
sL − +
− 2  s 2 + β2 sR 

96 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Dari rangkaian terakhir ini kita diperoleh :

sL R  Bβ A 
Vo ( s) = ×  +

sL + R / 2 2  s + β
2 2 sR 
A/ 2 ( RBβ / 2) s
Vo ( s ) = +
s + R / 2 L ( s + R / 2 L)( s 2 + β 2 )

Hasil ini sama dengan apa yang telah kita peroleh dengan metoda
superposisi pada contoh 4.20. Selanjutnya transformasi balik ke kawasan
t dilakukan sebagaimana telah dilakukan pada contoh 4.20.

4.8.4. Metoda Rangkaian Ekivalen Thévenin


CO;TOH-4.7: Dengan menggunakan rangkaian ekivalen Thévenin
selesaikanlah persoalan
pada contoh 4.5. R +
+ A R Bβ
Penyelesaian : − s sL Vo
s + β2
2

Kita akan
menggunakan
gabungan metoda R +
+ A R Bβ
superposisi dengan − s Vht 2
s + β2
rangkaian ekivalen −
Thévenin.
Tegangan hubungan terbuka pada waktu induktor dilepas, adalah
jumlah tegangan yang diberikan oleh sumber tegangan dan sumber
arus secara terpisah, yaitu
R A 1 Bβ
VT ( s) = Vht ( s) = × + R× ×
R+R s 2 s 2 + β2
A/ 2 RBβ / 2
= +
s s 2 + β2
Dilihat dari terminal induktor,
impedansi ZT hanyalah berupa dua ZT
resistor paralel, yaitu +
+
− VT sL Vo
R −
ZT =
2

97
Dengan demikian maka tegangan induktor menjadi

sL sL  A / 2 RBβ / 2 
Vo ( s) = VT ( s) =  + 
sL + ZT sL + R / 2  s s 2 + β2 
A/ 2 ( RBβ / 2) s
= +
s + R / 2 L ( s + R / 2 L)( s 2 + β 2 )

Persamaan ini telah kita peroleh sebelumnya, baik dengan metoda


superposisi maupun metoda reduksi rangkaian.

4.8.5. Metoda Tegangan Simpul


CO;TOH 4.8: Selesaikan persoalan pada contoh 4.5. dengan
menggunakan metoda A
tegangan simpul.
R +
Penyelesaian : + A R Bβ
− s sL Vo
s + β2
2
Dengan referensi −
B
tegangan seperti terlihat
pada gambar di atas,
persamaan tegangan simpul untuk simpul A adalah:

1 1 1  1 A Bβ
Vo ( s) + + − − 2 =0
 R R sL  R s s + β2
Dari persamaan tersebut di atas kita peroleh

 2 Ls + R  A Bβ
Vo ( s) = + atau
 RLs  Rs s + β 2
2

RLs  A Bβ 
Vo ( s) = +
2 Ls + R  Rs s 2 + β 2 
A/ 2 ( RBβ / 2) s
= +
s + R / 2 L ( s + R / 2 L)(s 2 + β 2 )

Hasil yang kita peroleh sama seperti sebelumnya.


Pemahaman :
Dalam analisis di kawasan s, metoda tegangan simpul untuk
rangkaian dengan beberapa sumber yang mempunyai frekuensi

98 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


berbeda, dapat langsung digunakan. Hal ini sangat berbeda dari
analisis di kawasan fasor, dimana kita tidak dapat melakukan
superposisi fasor dari sumber-sumber yang mempunyai frekuensi
berbeda.

4.8.6. Metoda Arus Mesh


CO;TOH-4.9: Pada rangkaian berikut ini tidak terdapat simpanan
energi awal. Gunakan metoda arus mesh untuk menghitung i(t).

i(t)
10mH
+ 10kΩ
10 u(t) 1µF
− 10kΩ

Penyelesaian :
Transformasi rangkaian ke kawasan s adalah seperti gambar berikut
ini. Kita
tetapkan 0.01s 104 I(s)
4
referensi V1( s ) =
10 + 10 106
arus mesh s − IA IB
s
IA dan IB.
Persamaan
arus mesh dari kedua mesh adalah


10
s
( )
+ I A ( s) 0.01s + 104 − I B ( s) × 104 = 0

 106 
I B ( s)104 + 104 + − I A ( s) × 104 = 0
 s 
 
Dari persamaan kedua kita peroleh:

→ I A ( s) =
(2s + 10 ) I
2
B (s)
s
Sehingga:

99
⇒−
10
s
(
+ 0.01s + 10 4 )(
2 s + 10 2
s
)
I B ( s ) − I B ( s ) × 10 4 = 0

10
⇒ I ( s ) = I B ( s) =
0,02 s 2 + 2 × 10 4 s + s + 10 6 − 10 4 s
10 10
= =
2 4
0,02 s + 10 s + 10 6 ( s − α )(s − β)

− 10 4 + 108 − 8 × 10 4
dengan α = ≈ −100 ;
0,04
− 10 4 − 108 − 8 × 10 4
β= ≈ −500000
0,04

10 k1 k2
⇒ I (s) = = +
( s + 100)( s + 500000) s + 100 s + 50000
10 10
k1 = = 2 × 10 −5 ; k2 = = −2 × 10 −5
s + 500000 s = −100 s + 100 s = −500000
[
⇒ i(t ) = 0,02 e −100t
−e − 500000t
] mA

100 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Soal-Soal
1. Sebuah resistor 2 kΩ dihubungkan seri dengan sebuah induktor 2 H;
kemudian pada rangkaian ini diterapkan sinyal tegangan v(t)=10u(t)
V. Bagaimanakah bentuk tegangan pada induktor dan pada resistor ?
Bagaimanakah tegangannya setelah keadaan mantap tercapai?
2. Ulangi soal 1 jika tegangan yang diterapkan v(t) = [20sin300t] u(t) V.
3. Ulangi soal 1 jika tegangan yang diterapkan v(t) = [20cos300t] u(t) V.
4. Rangkaian seri resistor dan induktor soal 1 diparalelkan kapasitor 0.5
µF. Jika kemudian pada rangkaian ini diterapkan tegangan
v(s)=10u(t) V bagaimanakah bentuk arus induktor ? Bagaimanakah
arus tersebut setelah keadaan mantap tercapai?
5. Ulangi soal 4 dengan tegangan masukan v(t)=[20sin300t]u(t) V.
6. Ulangi soal 4 dengan tegangan masukan v(t)=[20cos300t]u(t) V.
7. Sebuah kapasitor 2 pF diserikan dengan induktor 0,5 H dan pada
hubungan seri ini diparalelkan resistor 5 kΩ. Jika kemudian pada
hubungan seri-paralel ini diterapkan sinyal tegangan v(t)=10u(t) V,
bagaimanakah bentuk tegangan kapasitor ?
8. Ulangi soal 7 dengan tegangan masukan v(t) = [20sin300t] u(t) V.
9. Sebuah resistor 100 Ω diparalelkan dengan induktor 10 mH dan pada
hubungan paralel ini diserikan kapasitor 0,25 µF. Jika kemudian pada
hubungan seri-paralel ini diterapkan tegangan v(t) = 10u(t) V, carilah
bentuk tegangan kapasitor.
10. Ulangi soal 9 dengan tegangan masukan v(t) = [20sin300t] u(t) V.
11. Carilah tanggapan status nol (tidak ada simpanan energi awal pada
rangkaian) dari iL pada rangkaian berikut jika vs=10u(t) V.

1kΩ iL
+ vs 1kΩ
− 0.1H

101
12. Carilah tanggapan status nol dari vC dan iL pada rangkaian berikut
jika vs=100u(t) V.

5kΩ + iL
+ vs
− vC 50mH
0,05µF −

13. Carilah tanggapan status nol dari vC dan iL pada rangkaian berikut
jika vs=[10cos20000t]u(t) V.

500Ω + iL
+ vs vC 50mH

0,05µF −

14. Carilah i pada rangkaian berikut, jika is=100u(t) mA dan tegangan


awal kapasitor adalah vC (0) = 10 V.

0,05µF i
is
5kΩ 5kΩ

15. Ulangi soal 14 untuk is=[100cos400t] u(t) mA.


16. Carilah vo pada rangkaian berikut, jika is=100u(t) mA dan arus awal
induktor adalah iL (0) = 10 mA.

5kΩ +
is 0,1H vo
5kΩ

17. Ulangi soal 16 untuk is = [100cos400t] u(t) mA.


18. Carilah tanggapan status nol dari vL pada rangkaian berikut, jika vs=
10u(t) V , is = [10sin400t]u(t) mA.

0,5kΩ +
+ vL is
− vs
− 0,1H 0,5kΩ

102 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


19. Carilah tanggapan status nol dari v2 pada rangkaian berikut jika vs =
[10cos(900t+30o)] u(t) V.

10mH +
10kΩ
+ v1 1µF v2
− 10kΩ −

20. Ulangi soal 17 jika tegangan awal kapasitor 5 V sedangkan arus awal
induktor nol.
21. Pada rangkaian berikut carilah tanggapan status nol dari tegangan
keluaran vo(t) jika tegangan masukan vs(t)=10u(t) mV.

i
10kΩ
+ 10kΩ 0,1µF +
vs vo
− 1kΩ 100i 100kΩ

22. Pada rangkaian berikut carilah tanggapan status nol dari tegangan
keluaran vo(t) jika tegangan masukan vs(t)=10u(t) mV.

10kΩ i 2pF +
+ 10kΩ
vs vo
− 20pF 1kΩ 50i −

23. Untuk rangkaian berikut, tentukanlah vo dinyatakan dalam vin.


10kΩ

R2 C2
R1 10kΩ
+
+ − + −
vin + +
vo v 1µF +
C1 in vo

103
C1 R2
R1

+ C2 + +
vin
R2 vo

i1 i2
26. Untuk rangkaian M
transformator linier 50Ω
berikut ini tentukanlah i1 + L1 L2
− 50u(t) V 80Ω
dan i2 .

L1=0,75H L2=1H
M = 0,5H

27. Pada hubungan beban dengan


transformator berikut ini, M
nyatakanlah impedansi masukan Z L1
in L2
Zin sebagai fungsi dari M. 50Ω

L1=20mH L2=2mH

28. Berapakah M agar Zin pada soal 27 menjadi


0,02s(0,2s + 25000)
Z in =
s + 25000

29. Jika tegangan masukan pada transformator soal 28 adalah


vin = 10 cos 300t V , tentukan arus pada beban 50 Ω.

104 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


BAB 5
Fungsi Jaringan

Pembahasan fungsi jaringan akan membuat kita


• memahami makna fungsi jaringan, fungsi masukan, dan fungsi
alih;
• mampu mencari fungsi alih dari suatu rangkaian melalui analisis
rangkaian;
• memahami peran pole dan zero dalam tanggapan rangkaian;
• mampu mencari fungsi alih rangkaian jika tanggapan terhadap
sinyal impuls ataupun terhadap sinyal anak tangga diketahui.
5.1. Pengertian dan Macam Fungsi Jaringan
Sebagaimana kita ketahui, prinsip proporsionalitas berlaku di kawasan s.
Faktor proporsionalitas yang menghubungkan keluaran dan masukan
berupa fungsi rasional dalam s yang disebut fungsi jaringan (network
function). Secara formal, fungsi jaringan di kawasan s didefinisikan
sebagai perbandingan antara tanggapan status nol dan sinyal masukan.
Tanggapan Status Nol ( s)
Fungsi Jaringan = (5.1)
Sinyal Masukan ( s)
Definisi ini mengandung dua pembatasan, yaitu a) kondisi awal harus
nol dan b) sistem hanya mempunyai satu masukan.
Fungsi jaringan yang sering kita hadapi ada dua bentuk, yaitu fungsi
masukan (driving-point function) dan fungsi alih (transfer function).
Fungsi masukan adalah perbandingan antara tanggapan di suatu gerbang
(port) dengan masukan di gerbang yang sama. Fungsi alih adalah
perbandingan antara tanggapan di suatu gerbang dengan masukan pada
gerbang yang berbeda.

5.1.1. Fungsi Masukan


Contoh fungsi masukan adalah impedansi masukan dan admitansi
masukan, yang merupakan perbandingan antara tegangan dan arus di
terminal masukan.
V (s) I (s)
Z (s) = ; Y (s) = (5.2)
I (s) V ( s)

105
5.1.2. Fungsi Alih
Dalam rangkaian pemroses sinyal, pengetahuan mengenai fungsi alih
sangat penting karena fungsi ini menentukan bagaimana suatu sinyal
masukan akan mengalami modifikasi dalam pemrosesan. Karena sinyal
masukan maupun sinyal keluaran dapat berupa tegangan ataupun arus,
maka kita mengenal empat macam fungsi alih, yaitu
Vo ( s)
Fungsi Alih Tegangan : TV ( s ) = ;
Vin ( s)
I (s)
Fungsi Alih Arus : TI ( s ) = o
I in ( s)
(5.3)
I o ( s)
Admitansi Alih : TY ( s) = ;
Vin ( s)
Vo ( s)
Impedansi Alih : TZ ( s) =
I in ( s)
TV (s) dan TI (s) tidak berdimensi. TY (s) mempunyai satuan siemens dan
TZ (s) mempunyai satuan ohm. Fungsi alih suatu rangkaian dapat
diperoleh melalui penerapan kaidah-kaidah rangkaian serta analisis
rangkaian di kawasan s. Fungsi alih memberikan hubungan antara sinyal
masukan dan sinyal keluaran di kawasan s. Berikut ini kita akan melihat
beberapa contoh pencarian fungsi alih.

CO;TOH-5.1: a). b).


Carilah R 1 1
+ R
impedansi − Vs(s) Cs Is(s) Cs
masukan yang
dilihat oleh
sumber pada rangkaian-rangkaian berikut ini.
Penyelesaian :
1 RCs + 1 1 1 + RCs
a). Z in = R + = ; b). Yin = + Cs =
Cs Cs R R
R
⇒ Z in =
1 + RCs

106 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


CO;TOH-5.2: Carilah fungsi alih rangkaian-rangkaian berikut.

+ + Io(s)
R 1 Iin(s) 1
Vin(s) Vo(s) R
Cs Cs
− −
a). b).
Penyelesaian :
Kaidah pembagi tegangan untuk rangkaian a) dan kaidah pembagi
arus untuk rangkaian b) akan memberikan :
Vo ( s) 1 / Cs 1
a). TV ( s ) = = = ;
Vin ( s) R + 1 / Cs RCs + 1
I (s) 1/ R 1
b). TI ( s ) = o = =
I in ( s) 1 / R + sC 1 + sRC

CO;TOH-5.3: Tentukan impedansi


masukan dan fungsi alih + L +
rangkaian di samping ini. R1
vin R2 vo
Penyelesaian : − C −
Transformasi rangkaian ke
kawasan s memberikan

+ Ls +
R1
Vin(s) R2 Vo (s)
− 1/Cs −

Z in = (R1 + 1 / Cs ) || (Ls + R2 )
( R1 + 1 / Cs )( Ls + R2 )
=
R1 + 1 / Cs + R2 + Ls
( R1Cs + 1)( Ls + R2 )
=
LCs 2 + ( R1 + R2 )Cs + 1

Vo (s) R2
TV ( s ) = =
V in ( s ) Ls + R 2

107
CO;TOH-5.4: Tentukan impedansi R1 R2
masukan dan fungsi alih
rangkaian di samping ini. + +
Penyelesaian : vin C2 vo
C1 −
− −
Transformasi rangkaian ke +
kawasan s memberikan
rangkaian berikut ini :
R1 R2

+ +
Vin(s) Vo(s)
1/C1s 1/C2s
− −

+

R1 / C1s R1
Zin = R1 || (1 / C1s ) = =
R1 + 1 / C1s R1C1s + 1
V (s) Z R || (1 / C 2 s )
TV ( s ) = o =− 2 =− 2
Vin ( s ) Z1 R1 || (1 / C1 s )
R2 R C s +1
=− × 1 1
R2 C 2 s + 1 R1
R R C s +1
=− 2 1 1
R1 R 2 C 2 s + 1

CO;TOH-5.5: Tentukan 1µF


fungsi alih rangkaian
A
di samping ini.
+ + + vo
1MΩ 1MΩ
vs vx +
− µvx
− 1µF −
Penyelesaian :
Transformasi
rangkaian ke kawasan s memberikan rangkaian dan persamaan
berikut ini

108 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


106/s

+ + + Vo(s)
106 A 106
Vs(s) Vx +
106/s − µVx
− −

Persamaan tegangan untuk simpul A :

( )
 V A 10 −6 + 10 −6 + 10 −6 s 
 
 −6 −6 
− Vin 10 − V x 10  = 0

 − 10 −6 sµV x 
 

106 / s
sedangkan : Vx = VA
106 + 106 / s
1
= VA → VA = ( s + 1)Vx
s +1
⇒ ( s + 1)(2 + s)Vx − Vin − Vx − sµVx = 0 atau
(2s + 2 + s 2 + s − 1 − µs)Vx = Vin
Vx 1
⇒ =
Vin s 2 + (3 − µ) s + 1

V ( s) µV x ( s) µ
Fungsi alih : TV ( s) = o = =
2
V s (s) V s (s) s + (3 − µ) s + 1

5.2. Peran Fungsi Alih


Dengan pengertian fungsi alih sebagaimana telah didefinisikan, keluaran
dari suatu rangkaian di kawasan s dapat dituliskan sebagai
Y ( s) = T ( s ) X ( s) ; dengan T ( s) adalah fungsi alih
X ( s) : pernyataan sinyal masukan di kawasan s (5.4)
Y ( s) : keluaran (tanggapan status nol) di kawasan s.

Fungsi alih T(s) berupa fungsi rasional yang dapat dituliskan dalam
bentuk rasio dari dua polinom a(s) dan b(s) :

109
b( s) bm s m + bm −1 s m −1 ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ +b1 s + b0
T ( s) = = (5.5)
a ( s) a n s n + a n −1 s n −1 ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ + a1 s + a 0
Nilai koefisien polinom-polinom ini berupa bilangan riil, karena
ditentukan oleh parameter rangkaian yang riil yaitu R, L, dan C. Fungsi
alih dapat dituliskan dalam bentuk
( s − z1 )(s − z2 ) ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ( s − zm )
T ( s) = K (5.6)
( s − p1 )(s − p2 ) ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ( s − pn )
Dengan bentuk ini jelas terlihat bahwa fungsi alih akan memberikan zero
di z1 …. zm dan pole di p1 …. pn . Pole dan zero dapat mempunyai nilai
riil ataupun kompleks konjugat karena koefisien dari b(s) dan a(s) adalah
riil. Sementara itu sinyal masukan X(s) juga mungkin mengandung zero
dan pole sendiri. Oleh karena itu, sesuai dengan persamaan (5.6), sinyal
keluaran Y(s) akan mengandung pole dan zero yang dapat berasal dari
T(s) ataupun X(s). Pole dan zero yang berasal dari T(s) disebut pole
alami dan zero alami, karena mereka ditentukan semata-mata oleh
parameter rangkaian dan bukan oleh sinyal masukan; sedangkan yang
berasal dari X(s) disebut pole paksa dan zero paksa karena mereka
ditentukan oleh fungsi pemaksa (masukan).
CO;TOH-5.6: Jika sinyal masukan pada rangkaian dalam contoh-5.5
adalah vin = cos2t u(t) , carilah pole dan zero sinyal keluaran Vo(s)
untuk µ = 0,5.
Penyelesaian :
s
Pernyataan sinyal masukan di kawasan s adalah : Vin ( s) =
2
s +4
Fungsi alih rangkaian telah diperoleh pada contoh 5.5; dengan µ =
0,5 maka
µ 0,5
TV ( s ) = =
2 2
s + (3 − µ ) s + 1 s + 2,5s + 1
Dengan demikian sinyal keluaran menjadi
0,5 s
V o ( s) = TV ( s )Vin ( s) =
2 2
s + 2,5s + 1 s + 4
0,5 s
=
( s + 2)( s + 0,5) ( s + j 2)( s − j 2)
Pole dan zero adalah :

110 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


s = −2 : pole alami riil s=0 : satu zero paksa riil
s = −0.5 : pole alami riil s = − j 2 : pole paksa imaginer
s = + j 2 : pole paksa imajiner

5.2.1. Rangkaian Dengan Masukan Sinyal Impuls


Sinyal masukan yang berbentuk gelombang impuls dinyatakan dengan
x(t) = δ(t). Pernyataan sinyal ini di kawasan s adalah X(s) = 1. Dengan
masukan ini maka bentuk sinyal keluaran Vo(s) akan sama dengan bentuk
fungsi alih T(s).
Vo ( s) = T ( s) X ( s) = T ( s) × 1 = H ( s) (5.7)

Vo(s) yang diperoleh dengan X(s) = 1 ini kita sebut H(s) agar tidak rancu
dengan T(s). Karena X(s) = 1 tidak memberikan pole paksa, maka H(s)
hanya akan mengandung pole alami.
Kembali ke kawasan t, keluaran vo(t) = h(t) diperoleh dengan
transformasi balik H(s). Bentuk gelombang h(t) terkait dengan pole yang
dikandung oleh H(s). Pole riil akan memberikan komponen eksponensial
pada h(t); pole kompleks konjugat (dengan bagian riil negatif ) akan
memberikan komponen sinus teredam pada h(t) dan pole-pole yang lain
akan memberikan bentuk-bentuk h(t) tertentu yang akan kita lihat
melalui contoh berikut.
CO;TOH-5.7: Jika sinyal masukan pada rangkaian dalam contoh-5.5
adalah vin = δ(t) , carilah pole dan zero sinyal keluaran untuk nilai µ
= 0,5 ; 1 ; 2 ; 3 ; 4.
Penyelesaian :
µ
Fungsi alih rangkaian ini adalah : TV ( s) =
2
s + (3 − µ) s + 1
Dengan masukan vin = δ(t) yang berarti Vin(s) = 1, maka keluaran
rangkaian adalah :
µ
H (s) = 2
s + (3 − µ) s + 1
0,5 0,5
µ = 0,5 ⇒ H ( s ) = =
s + 2,5s + 1 ( s + 2)(s + 0,5)
2

⇒ dua pole riil di s = −2 dan s = −0,5

111
1 0,5
µ = 1 ⇒ H (s) = = ⇒ dua pole riil di s = −1
s + 2s + 1 ( s + 1) 2
2

2 2
µ = 2 ⇒ H (s) = =
2
s + s + 1 ( s + 0,5 − j 3 / 2)( s + 0,5 + j 3 / 2)
⇒ dua pole kompleks konjugat di s = −0,5 ± j 3 / 2
3 3
µ = 3 ⇒ H (s) = =
s + 1 ( s + j1)( s − j1)
2

⇒ dua pole imajiner di s = ± j1


4 4
µ = 4 ⇒ H ( s) = =
2
s − s + 1 ( s − 0,5 − j 3 / 2)( s − 0,5 + j 3 / 2)
⇒ dua pole kompleks konjugat di s = 0,5 ± j 3 / 2
5 5
µ = 5 ⇒ H (s) = 2 = ⇒ dua pole riil di s = 1
s − 2 s + 1 ( s − 1) 2
Contoh-5.7 ini memperlihatkan bagaimana fungsi alih menentukan
bentuk gelombang sinyal keluaran melalui pole-pole yang dikandungnya.
Berbagai macam pole tersebut akan memberikan h(t) dengan perilaku
sebagai berikut.
µ = 0,5 : dua pole riil negatif tidak sama besar; sinyal keluaran
sangat teredam.
µ=1 : dua pole riil negatif sama besar ; sinyal keluaran teredam
kritis.
µ =2 : dua pole kompleks konjugat dengan bagian riil negatif ;
sinyal keluaran kurang teredam, berbentuk sinus teredam.
µ=3 : dua pole imaginer; sinyal keluaran berupa sinus tidak
teredam.
µ=4 : dua pole kompleks konjugat dengan bagian riil positif ;
sinyal keluaran tidak teredam, berbentuk sinus dengan
amplitudo makin besar.
µ=5 : dua pole riil posistif sama besar; sinyal keluaran
eksponensial dengan eksponen positif; sinyal makin besar
dengan berjalannya t.

112 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Gambar berikut menjelaskan posisi pole dan bentuk tanggapan rangkaian
di kawasan t yang berkaitan.
pole di ± jβ
1 .2


0

0 20

×
-1 . 2

pole di + α ± jβ
× ×
pole di − α ± jβ
× × × σ

× ×
× pole riil positif
pole riil negatif

pole di 0+j0
(lihat pembahasan berikut)

Gb.5.3. Posisi pole dan bentuk gelombang keluaran.


5.2.2. Rangkaian Dengan Masukan Sinyal Anak Tangga
Transformasi sinyal masukan yang berbentuk gelombang anak tangga
x(t) = u(t) adalah X(s) = 1/s. Jika fungsi alih adalah T(s) maka sinyal
keluaran adalah
T (s)
Y (s) = T (s) X (s) = (5.8)
s
Jika kita bandingkan (5.8) ini dengan (5.7) dimana tanggapan terhadap
sinyal impuls dinyatakan sebagai H(s), maka tanggapan terhadap sinyal
anak tangga ini dapat kita sebut
T ( s) H ( s)
G ( s) = = (5.9)
s s
Karena H(s) hanya mengandung pole alami, maka dengan melihat bentuk
ini kita segera mengetahui bahwa tanggapan terhadap sinyal anak tangga
di kawasan s akan mengandung satu pole paksa disamping pole-pole

113
alami. Pole paksa ini terletak di s = 0 + j0; pole inilah yang ditambahkan
pada Gb. 5.3.
Mengingat sifat integrasi pada transformasi Laplace, maka g(t) dapat
diperoleh jika h(t) diketahui, yaitu
t
g (t ) = ∫0 h( x)dx (5.10)
Secara timbal balik, maka
dg (t )
h (t ) = , berlaku di semua titik kecuali di t
dt (5.11)
dimana g (t ) tidak kontinyu.

CO;TOH-5.8: Dalam contoh-5.7, jika µ = 2 dan sinyal masukan


berupa sinyal anak tangga, carilah pole dan zero sinyal keluaran.
Penyelesaian :
2
Dengan µ = 2 fungsi alihnya adalah TV ( s) =
2
s + s +1
Dengan sinyal masukan X(s) = 1/s , tanggapan rangkaian adalah
2 1 2
G (s) = =
2
( s + s + 1) s ( s + 0,5 − j 3 / 2)( s + 0,5 + j 3 / 2) s
Dari sini kita peroleh :
s = −0,5 ± j 3 / 2 : dua pole kompleks konjugat
dengan bagian riil negatif
s=0 : satu pole paksa di 0 + j 0

5.3. Hubungan Bertingkat dan Kaidah Rantai


Hubungan masukan-keluaran melalui suatu fungsi alih dapat kita
gambarkan dengan suatu diagam blok seperti Gb.5.4.a.

X(s) Y(s) X(s) Y1 (s)


T(s) T1(s) T2(s) Y(s)

a). b).
Gb.5.4. Diagram blok
Suatu rangkaian pemroses sinyal seringkali merupakan hubungan
bertingkat dari beberapa tahap pemrosesan. Dalam hubungan bertingkat
ini, tegangan keluaran dari suatu tahap menjadi tegangan masukan dari

114 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


tahap berikutnya. Diagram blok dari hubungan bertingkat ini ditunjukkan
oleh Gb.5.4.b. Untuk hubungan bertingkat ini berlaku kaidah rantai yaitu
apabila suatu rangkaian merupakan hubungan bertingkat dari tahapan-
tahapan yang masing-masing mempunyai fungsi alih tegangan TV1(s),
TV2(s) ….dst. maka fungsi alih tegangan total rangkaian menjadi
TV ( s ) = TV 1 ( s)TV 1( s) ⋅ ⋅ ⋅ ⋅TVk ( s) (5.12)

Kaidah rantai ini mempermudah kita dalam melakukan analisis dari suatu
rangkaian yang merupakan hubungan bertingkat dari beberapa tahapan.
Namun dalam hubungan bertingkat ini perlu kita perhatikan agar suatu
tahap tidak membebani tahap sebelumnya. Jika pembebanan ini terjadi
maka fungsi alih total tidak sepenuhnya menuruti kaidah rantai. Untuk
menekan efek pembebanan tersebut maka harus diusahakan agar
impedansi masukan dari setiap tahap sangat besar, yang secara ideal
adalah tak hingga besarnya. Jika impedansi masukan dari suatu tahap
terlalu rendah, kita perlu menambahkan rangkaian penyangga antara
rangkaian ini dengan tahap sebelumnya agar efek pembebanan tidak
terjadi. Kita akan melihat hal ini pada contoh berikut.
CO;TOH-5.9: Carilah fungsi alih kedua rangkaian berikut; sesudah itu
hubungkan kedua rangkaian secara bertingkat dan carilah fungsi alih
total.

+ R1 + + Ls +
Vin 1/Cs Vo Vin R2 Vo
− − − −

Penyelesaian : Fungsi alih kedua rangkaian berturut-turut adalah


1 / Cs 1 R2
TV 1( s) = = dan TV 2 ( s) =
R1 + 1 / Cs R1Cs + 1 R2 + Ls

Jika kedua rangkaian dihubungkan maka rangkaian menjadi seperti


di bawah ini.

+ R1 Ls +
Vin 1/Cs R2 Vo
− −

Fungsi alih rangkaian gabungan ini adalah:

115
R2  1 / Cs || ( R2 + Ls) 
TV ( s) =  
R2 + Ls  1 / Cs || ( R2 + Ls ) + R1 
R2  1 / Cs( R2 + Ls ) 1 / Cs( R2 + Ls ) 
=  + R1 
R2 + Ls  1 / Cs + R2 + Ls 1 / Cs + R2 + Ls 
R2  R2 + Ls 

=
R2 + Ls  LCs 2 + ( L + R2C )s + ( R1 + R2 ) 
Pemahaman :
Fungsi alih dari rangkaian yang diperoleh dengan menghubungkan
kedua rangkaian secara bertingkat tidak merupakan perkalian fungsi
alih masing-masing. Hal ini disebabkan terjadinya pembebanan
rangkaian pertama oleh rangkaian kedua pada waktu mereka
dihubungkan. Untuk mengatasi hal ini kita dapat menambahkan
rangkaian penyangga di antara kedua rangkaian sehingga rangkaian
menjadi seperti di bawah ini.
+
+ R1 − Ls +
Vin 1/Cs R2 Vo
− −

Diagram blok rangkaian ini menjadi :

Vin(s) Vo1 Vo1 Vo(s)


TV1 1 TV1

Contoh-5.9. di atas menunjukkan bahwa kaidah rantai berlaku jika suatu


tahap tidak membebani tahap sebelumnya. Oleh karena itu agar kaidah
rantai dapat digunakan, impedansi masukan harus diusahakan sebesar
mungkin, yang dalam contoh diatas dicapai dengan menambahkan
rangkaian penyangga. Dengan cara demikian maka hubungan masukan-
keluaran total dari seluruh rangkaian dapat dengan mudah diperoleh jika
hubungan masukan-keluaran masing-masing bagian diketahui.
Pengembangan dari konsep ini akan kita lihat dalam analisis sistem.

5.4. Fungsi Alih dan Hubungan Masukan-Keluaran di Kawasan


Waktu
Dalam pembahasan di atas dapat kita lihat bahwa jika kita bekerja di
kawasan s, hubungan masukan-keluaran diberikan oleh persamaan
Y (s) = T (s) X (s)

116 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Bagaimanakah bentuk hubungan masukan-keluaran di kawasan waktu?
Menurut (5.9) T(s) = H(s), sehingga kita dapat menggunakan konvolusi
untuk melakukan transformasi balik dari hubungan di atas dan kita
dapatkan hubungan masukan-keluaran di kawasan waktu, yaitu
t t
y (t ) = ∫0 h(τ) x(t − τ)dτ = ∫0 x(τ)h(t − τ)dτ (5.13)

dengan h(t) adalah tanggapan impuls dari rangkaian.


Persamaan (5.13) ini memberikan hubungan di kawasan waktu, antara
besaran keluaran y(t), besaran masukan x(t), dan tanggapan impuls
rangkaian h(t). Hubungan ini dapat digunakan langsung tanpa melalui
transformasi Laplace. Hubungan ini sangat bermanfaat untuk mencari
keluaran y(t) jika h(t) ataupun x(t) diperoleh secara experimental dan sulit
dicari transformasi Laplace-nya. Konvolusi berlaku untuk rangkaian
linier invarian waktu. Jika batas bawah adalah nol (seperti pada 5.13),
maka sinyal masukan adalah sinyal kausal, yaitu x(t) = 0 untuk t < 0.

5.5. Tinjauan Umum Mengenai Hubungan Masukan-Keluaran


Dari pembahasan mengenai fungsi alih diatas dan pembahasan mengenai
hubungan masukan-keluaran pada bab-bab sebelumnya, kita dapat
mengetahui bahwa hubungan antara sinyal keluaran dan sinyal masukan
di suatu rangkaian dapat kita peroleh dalam beberapa bentuk. Di kawasan
s, hubungan tersebut diperoleh melalui transformasi Laplace. Hubungan
tersebut juga dapat kita peroleh di kawasan t melalui konvolusi. Di
samping itu kita ingat pula bahwa hubungan antara sinyal keluaran dan
sinyal masukan dapat pula diperoleh dalam bentuk persamaan
diferensial, seperti yang kita temui pada waktu kita membahas analisis
transien. Jadi kita telah mempelajari tiga macam bentuk hubungan antara
sinyal keluaran dan sinyal masukan, yaitu
• transformasi Laplace,
• konvolusi,
• persamaan diferensial.
Kita masih akan menjumpai satu lagi bentuk hubungan sinyal keluaran
dan sinyal masukan yaitu melalui transformasi Fourier. Akan tetapi
sebelum membahas transformasi Fourier kita akan melihat lebih dulu
tanggapan frekuensi dalam bab berikut ini.

117
Soal-Soal
1. Terminal AB rangkaian berikut
A C
adalah terminal masukan, dan 1H
terminal keluarannya adalah CD. 1kΩ
Tentukanlah admitansi 1kΩ
0,5µF
masukannya (arus / tegangan
masukan di kawasan s) jika B D
terminal keluaran terbuka.

2. Jika tegangan masukan v1(t)=10u(t) V, gambarkan diagram pole-zero


dari arus masukan dan sebutkan jenis pole dan zero yang ada
3. Tegangan keluaran v2(t) rangkaian soal 1 diperoleh di terminal CD.
Tentukan fungsi alih tegangannya (tegangan keluaran / tegangan
masukan di kawasan s).
4. Jika tegangan masukan v1(t) = 10 u(t) V Gambarkan diagram pole-zero
tegangan keluaran.
5. Ulangi soal 2 dengan tegangan masukan v1(t) = 10[sin100t]u(t) V.
6. Ulangi soal 4 dengan tegangan masukan v1(t) = 10[sin100t]u(t) V.
7. Tentukan fungsi alih pada rangkaian berikut dan gambarkan digram
pole-zero dari tegangan keluaran Vo(s)dan sebutkan jenis pole dan
zeronya.

R1 C + R1 R2 +
+ +
− u(t) vo − cos1000t vo
L R2 C
− −
a). b).
R1 R2 C
R + +
+ C v + −
− u(t) L o − u(t) + vo
c). − d). −

118 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


+ +
− + −
R1 C +
+ R1
− u(t) R2
vo + vo
− u(t) R2
C −
e). f). −

+ +
− + − +
+ +
− u(t) − u(t)
C R1 vo R1 vo
R2 R2 L
− C −
g). L h),

8. Carilah fungsi alih, g(t), dan h(t) dari rangkaian berikut.

+ 0,5H + + 1H +
10kΩ
vo 1kΩ vo
vin vin
1kΩ 1kΩ
0,5µF
− − − −
a). b).

+ 100kΩ 10kΩ 1µF


+ − +
1µF
vin + +
vo −
vin
− 10kΩ 10kΩ − +
vo
− −
c), d).

9. Carilah fungsi alih hubungan bertingkat yang: (a)tahap pertamanya


rangkaian soal 18 dan tahap keduan rangkaian pada soal 15; (b) tahap
pertama rangkaian pada soal 19 dan tahap kedua rangkaian pada soal
16; (c) tahap pertama rangkaian soal 15 sedangkan tahap kedua
rangkaian pada soal 18; (d) tahap pertama rangkaian soal 16
sedangkan rangkaian pada soal 19 menjadi tahap kedua.

119
13. Carilah fungsi alih dari suatu rangkaian jika diketahui bahwa
tanggapannya terhadap sinyal anak tangga adalah :

a). g (t ) = −e −5000 t u (t );
( )
b). g (t ) = 1 − e − 5000 t u (t );
c). g (t ) = (− 1 + 5e )u(t);
− 5000 t

d). g (t ) = ( e −1000 t
−e )u(t );
− 2000 t

e). g (t ) = ( e −1000 t − e −2000 t )u (t );


f). g (t ) = ( e −1000 t sin 2000t )u (t )

(
g). g (t ) = e −1000 t sin 2000t u (t ) ; )
h). h(t ) = −1000 e −1000 t u (t );
i). h(t ) = δ(t ) − 1000 e −1000 t u (t ) ;
j). h(t ) = δ(t ) − 2000 e −1000 t u (t )

( )
k). h(t ) = e −1000 t sin 2000t u (t );
l). h(t ) = ( e −1000 t
cos 2000t )u (t )

14. Dengan menggunakan integral konvolusi carilah tegangan kapasitor


pada rangkaian seri RC jika tegangan masukannya: (a) v1(t) = tu(t) ;
(b) v1(t) = A e−α t u(t).

120 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


BAB 6
Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde Pertama

Sebagaimana kita ketahui, kondisi operasi normal rangkaian pada


umumnya adalah kondisi mantap dan dalam operasi tersebut banyak
digunakan sinyal sinus baik pada pemrosesan energi maupun pemrosesan
sinyal listrik. Dalam teknik energi listrik, tenaga listrik dibangkitkan,
ditransmisikan, serta dimanfaatkan dalam bentuk sinyal sinus dengan
frekuensi yang dijaga konstan yaitu 50 atau 60 Hz. Dalam teknik
telekomunikasi, sinyal sinus dimanfaatkan dalam selang frekuensi yang
lebih lebar, mulai dari beberapa Hz sampai jutaan Hz. Untuk hal yang
kedua ini, walaupun rangkaian beroperasi pada keadaan mantap, tetapi
frekuensi sinyal yang diproses dapat bervariasi ataupun mengandung
banyak frekuensi (gelombang komposit), misalnya suara manusia
ataupun suara musik. Karena impedansi satu macam rangkaian
mempunyai nilai yang berbeda untuk frekuensi yang berbeda, maka
timbullah persoalan bagaimanakah tanggapan rangkaian terhadap
perubahan nilai frekuensi atau bagaimanakah tanggapan rangkaian
terhadap sinyal yang tersusun dari banyak frekuensi. Dalam bab inilah
persoalan tersebut akan kita bahas.

6.1. Tanggapan Rangkaian Terhadap Sinyal Sinus Keadaan Mantap


Pernyataan di kawasan s dari sinyal masukan berbentuk sinus x(t) =
Acos(ωt+θ) adalah (lihat Tabel 6.1.) :
s cos θ − ω sin θ
X (s) = A (6.1)
s 2 + ω2
Jika T(s) adalah fungsi alih, maka tanggapan rangkaian adalah
s cos θ − ω sin θ
Y ( s ) = T ( s ) X( s ) = A T (s)
s 2 + ω2
(6.2)
s cos θ − ω sin θ
=A T (s)
( s − jω)( s + jω)
Sebagaimana telah kita bahas di bab sebelumnya, T(s) akan memberikan
pole-pole alami sedangkan X(s) akan memberikan pole paksa dan
pernyataan (6.2) dapat kita uraikan menjadi berbentuk

121
k k* k k2 kn
Y (s) = + + 1 + + ⋅⋅⋅ + (6.3)
s − jω s + jω s − p1 s − p 2 s − pn
yang transformasi baliknya akan berbentuk

y (t ) = ke jωt + k *e − jωt + K1e p1t + k 2e p2t + ⋅ ⋅ ⋅ + k ne pn t (6.4)

Di kawasan t, pole-pole alami akan memberikan komponen transien yang


biasanya berlangsung hanya beberapa detik (dalam kebanyakan
rangkaian praktis) dan tidak termanfaatkan dalam operasi normal.
Komponen mantaplah yang kita manfaatkan untuk berbagai keperluan
dan komponen ini kita sebut tanggapan mantap yang dapat kita peroleh
dengan menghilangkan komponen transien dari (6.4), yaitu :

ytm (t ) = ke jωt + k *e − jωt (6.5)

Nilai k dapat kita cari dari (6.2) yaitu


s cos θ − ω sin θ
k = ( s − jω)Y ( s) s = jω = A T ( s)
( s + jω) s = jω (6.6)
cos θ + j sin θ
=A T ( jω)
2
Faktor T(jω) dalam (6.6) adalah suatu pernyataan kompleks yang dapat
kita tuliskan dalam bentuk polar sebagai |T(jω)|ejϕ dimana |T(jω)| adalah
nilai mutlaknya dan ϕ adalah sudutnya. Sementara itu menurut Euler
(cosθ + jsinθ) = ejθ. Dengan demikian (6.6) dapat kita tuliskan
e jθ
k=A T ( jω) e jϕ (6.7)
2
Dengan (6.7) ini maka tanggapan mantap (6.5) menjadi
e jθ e − jθ
ytm (t ) = A T ( jω) e jϕe jωt + A T ( jω) e − jϕe − jωt
2 2
 e j (ωt + θ + ϕ) + e − j (ωt + θ + ϕ) 
= A T ( jω)   (6.8)
 2 
= A T ( jω) cos(ωt + θ + ϕ)

122 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Persamaan (6.8) ini menunjukkan bahwa tanggapan keadaan mantap dari
suatu rangkaian yang mempunyai fungsi alih T(s) dengan masukan sinyal
sinus, akan :
• berbentuk sinus juga, tanpa perubahan frekuensi
• amplitudo berubah dengan faktor |T(jω)|
• sudut fasa berubah sebesar sudut dari T(jω), yaitu ϕ.
Jadi, walaupun frekuensi sinyal keluaran sama dengan frekuensi sinyal
masukan tetapi amplitudo maupun sudut fasanya berubah dan perubahan
ini tergantung dari frekuensi. Kita akan melihat kejadian ini dengan suatu
contoh.
CO;TOH-6.1 : Carilah sinyal keluaran
keadaan mantap dari rangkaian di 2H +
+ vs vo
samping ini jika masukannya adalah vs = − 100Ω −
10√2cos(50t + 60o) V.
Penyelesaian :
Transformasi rangkaian ke kawasan s 2s +
+ Vs Vo
memberikan rangkaian impedansi seperti − 100
di samping ini. −

Fungsi alih rangkaian ini adalah


100 50
TV ( s) = = .
2s + 100 s + 50
Karena frekuensi sinyal ω = 50 , maka
50 50 1 − j 45o
TV ( j 50) = = = e
50 + j 50 −1
502 + 502 e j tan (50 / 50) 2
Keluaran keadaan mantap adalah :
10 2
vo (t ) = cos(50t + 60o − 45o ) = 10 cos(50t + 15o )
2
Pemahaman :
Frekuensi sinyal keluaran sama dengan sinyal masukan, yaitu ω = 50
rad/sec.
Amplitudo sinyal masukan vmaks = 10 2 V , sedangkan

123
1
TV ( jω) = TV ( j 50) = .
2
Amplitudo sinyal keluaran
1
vomaks = vsmaks T ( jω) = 10 2 × = 10 V
2
Sudut fasa sinyal masukan θ = 60o, sedang sudut |T(jω)| = −45o.
Sudut fasa sinyal keluaran : θ + ϕ = 60o − 45o = 15o.

6.2. Pernyataan Tanggapan Frekuensi


6.2.1. Fungsi Gain dan Fungsi Fasa
Faktor pengubah amplitudo, yaitu |T(jω)| yang merupakan fungsi
frekuensi, disebut fungsi gain yang akan menentukan bagaimana gain
(perubahan amplitudo sinyal) bervariasi terhadap perubahan frekuensi.
Pengubah fasa ϕ yang juga merupakan fungsi frekuensi disebut fungsi
fasa dan kita tuliskan sebagai ϕ(ω); ia menunjukkan bagaimana sudut
fasa sinyal berubah dengan berubahnya frekuensi. Jadi kedua fungsi
tersebut dapat menunjukkan bagaimana amplitudo dan sudut fasa sinyal
sinus berubah terhadap perubahan frekuensi atau dengan singkat disebut
sebagai tanggapan frekuensi dari rangkaian. Pernyataan tanggapan ini
bisa dalam bentuk formulasi matematis ataupun dalam bentuk grafik.

CO;TOH-6.2: Selidikilah perubahan gain dan sudut fasa terhadap


perubahan frekuensi dari rangkaian orde pertama di bawah ini.

1 H 500Ω +
+ vs vo
− 500Ω −
Penyelesaian :
Setelah di transformasikan ke kawasan s, diperoleh

124 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


500
fungsi alih rangkaian : TV ( s) =
s + 1000
500
⇒ TV ( jω) =
jω + 1000
500
⇒ fungsi gain : TV ( jω) =
1000 2 + ω 2
ω
⇒ fungsi fasa : ϕ(ω) = − tan −1
1000
Untuk melihat dengan lebih jelas bagaimana gain dan fasa berubah
terhadap frekuensi, fungsi gain dan fungsi fasa di plot terhadap ω.
Absis ω dibuat dalam skala logaritmik karena rentang nilai ω sangat
besar. Hasilnya terlihat seperti gambar di bawah ini.

Gain passband stopband


0.5

0.5/√2

ωC
0 ω
1 10 100 1000 10000 1E+05
0
1 10 100 1000 10000 1E+05

-45
ϕ [o]

-90

Kurva gain menunjukkan bahwa pada frekuensi rendah terdapat


gain tinggi yang relatif konstan, sedangkan pada frekuensi tinggi
gain menurun dengan cepat. Kurva fungsi fasa menujukkan bahwa
pada frekuensi rendah sudut fasa tidak terlalu berubah tetapi
kemudian cepat menurun mulai suatu frekuensi tertentu.
Gain tinggi di daerah frekuensi rendah pada contoh di atas
menunjukkan bahwa sinyal yang berfrekuensi rendah mengalami

125
perubahan amplitudo dengan faktor tinggi, sedangkan gain rendah di
frekuensi tinggi menunjukkan bahwa sinyal yang berfrekuensi tinggi
mengalami perubahan amplitudo dengan faktor rendah. Daerah
frekuensi dimana terjadi gain tinggi disebut passband sedangkan daerah
frekuensi dimana terjadi gain rendah disebut stopband. Nilai frekuensi
yang menjadi batas antara passband dan stopband disebut frekuensi
cutoff , ωC . Nilai frekuensi cutoff biasanya diambil nilai frekuensi
dimana gain menurun dengan faktor 1/√2 dari gain maksimum pada
passband.
Dalam contoh-6.2 di atas, rangkaian mempunyai satu passband yang
terentang dari frekuensi ω = 0 (tegangan searah) sampai frekuensi
cuttoff ωC , dan satu stopband mulai dari frekuensi cutoff ke atas.
Dengan kata lain rangkaian ini mempunyai passband di daerah frekuensi
rendah saja sehingga disebut low-pass gain. Inilah tanggapan frekuensi
rangkaian pada contoh-6.2.
Kebalikan dari low-pass gain adalah high-pass gain, yaitu jika passband
berada hanya di daerah frekuensi tinggi saja seperti pada contoh 6.3.
berikut ini.
CO;TOH-6.3: Selidikilah tanggapan frekuensi rangkaian di bawah ini.

+ +
vs 105/s 500
− 500 vo

Penyelesaian :
Fungsi alih rangkaian adalah
500 0,5s 0,5 × jω
TV ( s) = = → TV ( jω) =
5 2
10 / s + 1000 s + 10 jω + 10 2
0,5ω ω
⇒ TV ( jω) = ; ⇒ ϕ(ω) = 90 o − tan −1
ω 2 + 10 4 10 2

126 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Kurva gain dan fasa terlihat seperti pada gambar di bawah ini.
Stopband ada di daerah frekuensi rendah sedangkan passband ada di
daerah frekuensi tinggi. Inilah karakteristik high-pass gain

Gain stopband passband


0.5

0.5/√2

ωC
0 ω
1 10 100 1000 10000 1E+05
90
1 10 100 1000 10000 100000

45
ϕ [o]
0

6.2.2. Decibel
Dalam meninjau tanggapan frekuensi, gain biasanya dinyatakan dalam
5260s (disingkat dB) yang didefinisikan sebagai
Gain dalam dB = 20 log T ( jω) (6.9)

Gain dalam dB dapat bernilai nol, positif atau negatif. Gain dalam dB
akan nol jika |T(jω)| bernilai satu, yang berarti sinyal tidak diperkuat
ataupun diperlemah; jadi gain 0 dB berarti amplitudo sinyal keluaran
sama dengan sinyal masukan. Gain dalam dB akan positif jika |T(jω)| >1,
yang berarti sinyal diperkuat, dan akan bernilai negatif jika |T(jω)| < 1,
yang berarti sinyal diperlemah.
Frekuensi cutoff adalah frekuensi dimana gain telah turun 1/√2 = 0.707
kali nilai gain maksimum dalam passband. Jadi pada frekuensi cutoff,
nilai gain adalah
 1 
20 log T ( jω) maks  = 20 log T ( jω) maks − log 2
 2  (6.10)
= T ( jω) maks dB − 3 dB

127
Dengan demikian dapat kita katakan bahwa frekuensi cutoff adalah
frekuensi di mana gain telah turun sebanyak 3 dB.
Untuk memberikan gambaran lebih jelas, mengenai satuan decibel
tersebut, berikut ini contoh numerik gain dalam dB yang sebaiknya kita
ingat.

CO;TOH-6.4: Berapa dB-kah nilai gain sinyal yang diperkuat K kali ,


jika K = 1; √2 ; 2 ; 10; 30; 100; 1000 ?
Penyelesaian :
Untuk sinyal yang diperkuat K kali,
gain = 20 log(K T ( jω) ) = 20 log( T ( jω) ) + 20 log(K )
Jadi pertambahan gain sebesar 20log(K) berarti penguatan sinyal K
kali.
K =1 ⇒ gain : 20 log1 = 0 dB
K= 2 ⇒ gain : 20 log 2 ≈ 3 dB
K =2 ⇒ gain : 20 log 2 ≈ 6 dB
K = 10 ⇒ gain : 20 log10 = 20 dB
K = 30 ⇒ gain : 20 log 30 ≈ 30 dB
K = 100 ⇒ gain : 20 log100 = 40 dB
K = 1000 ⇒ gain : 20 log1000 = 60 dB

Jika faktor K tersebut di atas bukan penguatan akan tetapi


perlemahan sinyal maka gain menjadi negatif.

K = 1/ 2 ⇒ gain : − 3 dB
K = 1/ 2 ⇒ gain : − 6 dB
K = 1 / 10 ⇒ gain : − 20 dB
K = 1 / 30 ⇒ gain : − 30 dB
K = 1 / 100 ⇒ gain : − 40 dB
K = 1 / 1000 ⇒ gain : − 60 dB

128 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


6.2.3. Kurva Gain Dalam Decibel
Kurva gain dibuat dengan absis (frekuensi) dalam skala logaritmik
(karena rentang frekuensi yang sangat lebar); jika gain dinyatakan dalam
dB yang juga merupakan bilangan logaritmik sebagaimana didefinisikan
pada (6.9), maka kurva gain akan berbentuk garis-garis lurus.
Low-pass gain. Dengan menggunakan satuan dB, kurva low-pass gain
pada contoh-6.2 adalah seperti terlihat pada ganbar di bawah ini. Gain
hampir konstan −6 dB di daerah frekuensi rendah, sedangkan di daerah
frekuensi tinggi gain menurun dengan kemiringan yang hampir konstan
pula.

Gain 0
[dB] −6
−9
-20
ωC
-40 ω
1 10 100 1000 10000 1E+05

High-pass gain. Dalam skala dB, high-pass gain pada contoh-6.3 adalah
seperti terlihat pada ganbar di bawah ini. Gain hampir konstan −6 dB di
daerah frekuensi tinggi sedangkan di daerah frekuensi rendah gain
meningkat dengan kemiringan yang hampir konstan pula
0
Gain −6
[dB] −9
-20

ωC
-40 ω
1 10 100 1000 10000 1E+05

Band-pass gain. Apabila gain meningkat di daerah frekuensi rendah


dengan kemiringan yang hampir konstan, dan menurun di daerah
frekuensi tinggi dengan kemiringan yang hampir konstan pula,
sedangkan gain tinggi berada di antara dua frekuensi cutoff kita memiliki
karakteristik band-pass gain.

129
0
Gain −3
[dB]
-20

ωC
-40 ω
1 10 100 1000 10000 1E+05

Band-pass gain kita peroleh pada rangkaian orde kedua yang akan kita
pelajari lebih lanjut di bab selanjutnya. Walaupun demikian kita akan
melihat rangkaian orde kedua tersebut sebagai contoh di di bawah ini.

CO;TOH-6.5: Selidikilah perubahan gain dari rangkaian orde kedua di


samping ini. Gain belum dinyatakan dalam dB.

s +
+ 105/s Vo(s)
− Vin(s) 1100

Penyelesaian :
Fungsi alih rangkaian ini adalah
1100 1100s 1100s
TV ( s ) = = =
5
1100 + s + 10 / s 2
s + 1100s + 10 5 ( s + 100)( s + 1000)
j1100ω
TV ( jω) =
( jω + 100)( jω + 1000)
1000ω
⇒ TV ( jω) =
ω + 1002 × ω2 + 10002
2

Kurva gain terlihat seperti gambar di bawah ini. Di sini terdapat satu
passband , yaitu pada ω antara 100 ÷ 1000 dan dua stopband di
daerah frekuensi rendah dan tinggi.

130 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


1.4
Gain passband
stopband stopband
1
1/√2
0.7

0 ω
1 10 100 1000 10000

Apabila kurva gain dibuat dalam dB, kurva yang akan diperoleh
adalah seperti diperlihatkan di atas.

CO;TOH-6.6: Selidikilah
perubahan gain dari rangkaian
0,1s
orde kedua di samping ini.
105/s
Gain belum dinyatakan Vin(s) +
dalam dB. −
+
Penyelesaian : 10 Vo(s)
Fungsi alih rangkaian ini −
adalah
10 s 2 + 106
TV ( s) = =
0,1s × 105 / s s 2 + 104 s + 106
10 +
0,1s + 105 / s
− ω2 + 106
TV ( jω) =
− ω2 + j104 ω + 106
− ω2 + 106
⇒ TV ( jω) =
(106 − ω2 ) 2 + 108 ω2
Kurva gain adalah seperti gambar di bawah ini.
1.4
Gain passband stopband passband
1
0.7
1/√2

0 ω
1 100 10000 1000000

131
Kurva ini menunjukkan bahwa ada satu stopband pada ω antara 100
÷ 10000 dan dua passband masing-masing di daerah frekuensi
rendah dan tinggi.
Karakteristik gain seperti pada contoh-6.5. disebut band-pass gain
sedangkan pada contoh-6.6 disebut band-stop gain. Frekuensi cutoff
pada band-pass gain ada dua; selang antara kedua frekuensi cutoff
disebut bandwidth (lebar pita).

6.3. Bode Plot


Bode plots adalah grafik gain dalam dB ( |T(jω|dB ) serta fasa (ϕ(ω) )
sebagai fungsi dari frekuensi dalam skala logaritmik. Kurva-kurva ini
berbentuk garis-garis lengkung. Walaupun demikian kurva ini mendekati
nilai-nilai tertentu secara asimtotis, yang memungkinkan kita untuk
melakukan pendekatan dengan garis lurus dengan patahan di titik-titik
belok. Melalui pendekatan ini, penggambaran akan lebih mudah
dilakukan. Bila kita ingin mendapatkan nilai yang lebih tepat, terutama di
sekitar titik belok, kita dapat melakukan koreksi-koreksi pada kurva
pendekatan ini.
Manfaat Bode plots dapat kita lihat misalnya dalam proses perancangan
rangkaian; kurva-kurva pendekatan garis lurus tersebut merupakan cara
sederhana tetapi jelas untuk menyatakan karakteristik rangkaian yang
diinginkan. Dari sini kita dapat menetapkan maupun mengembangkan
persyaratan-persyaratan perancangan. Selain dari pada itu, tanggapan
frekuensi dari berbagai piranti, perangkat maupun sistem, sering
dinyatakan dengan menggunakan Bode plots. Pole dan zero dari fungsi
alih peralatan-peralatan tersebut dapat kita perkirakan dari bentuk Bode
plots yang diberikan. Berikut ini kita akan mempelajari tahap demi tahap
penggambaran Bode plots dengan pendekatan garis lurus. Kita akan
mulai dari rangkaian orde pertama disusul dengan rangkaian orde kedua.
6.3.1. Low-Pass Gain
Bentuk fungsi alih rangkaian orde pertama dengan karakteristik low-pass
gain adalah
K
TV ( s ) = (6.11)
s+α
K dapat bernilai riil positif ataupun negatif. Jika K positif berarti K
mempunyai sudut θK = 0o dan jika negatif mempunyai sudut θK = ±180o.

132 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Pole fungsi alih ini haruslah riil negatif karena hanya pole negatif (di
sebelah kiri sumbu imajiner dalam bidang s) yang dapat membuat
rangkaian stabil; komponen transiennya menuju nol untuk t →∞. Hanya
rangkaian yang stabil sajalah yang kita tinjau dalam analisis mengenai
tanggapan frekuensi.
Dari (6.11) kita dapatkan :
K K
T ( jω) = = (6.12)
jω + α α(1 + jω / α )

Fungsi gain dan fungsi fasa dapat kita tuliskan

K /α
TV ( jω) = dan ϕ(ω) = θ K − tan −1 (ω / α) (6.13)
2
1 + (ω / α )

Fungsi gain dalam satuan dB, menjadi

TV ( jω) dB = 20 log( K / α ) − 20 log 1 + (ω / α) 2  (6.14)


 
Fungsi gain ini terdiri dari dua komponen, yang ditunjukkan oleh suku
pertama dan suku kedua ruas kanan (6.14). Komponen pertama bernilai
konstan untuk seluruh frekuensi. Komponen kedua tergantung dari
frekuensi dan komponen inilah yang menyebabkan gain berkurang
dengan naiknya frekuensi. Komponen ini pula yang menentukan
frekuensi cutoff, yaitu saat (ω/α) =1 dimana komponen ini mencapai
nilai −20log√2 ≈ −3 dB. Jadi dapat kita katakan bahwa frekuensi cutofff
ditentukan oleh komponen yang berasal dari pole fungsi alih, yaitu
ωC = α (6.15)

Gb.6.1. memperlihatkan perubahan nilai komponen kedua tersebut


sebagai fungsi frekuensi, yang dibuat dengan α = 1000. Dengan pola
perubahan komponen kedua seperti ini maka gain total akan tinggi di
daerah frekuensi rendah dan menurun di daerah frekuensi tinggi, yang
menunjukkan karakteristik low-pass gain. Kurva ini mendekati nilai
tertentu secara asimtotis yang memungkinkan dilakukannya pendekatan
garis lurus sebagai berikut.

133
0
dB pendekatan
garis lurus
-20
−log√((ω/α)2+1)
-40
ωC
-60 ω
[rad/s]
1

10

100

1000

10000

1E+05

1E+06
Gb.6.1. Pola perubahan−log√((ω/α)2+1); α=1000 ; dan pendekatan garis
lurusnya.
Untuk frekuensi rendah, (ω/α) << 1 atau ω << α , komponen kedua dapat
didekati dengan.

− 20 log 1 + (ω / α) 2  ≈ −20 log 1 = 0


 
( ) (6.17)

yang akan memberikan kurva garis lurus horisontal di 0 dB.


Untuk frekuensi tinggi, (ω/α)>>1 atau ω>>α, komponen kedua tersebut
didekati dengan

− 20 log 1 + (ω / α) 2  ≈ −20 log(ω / α ) (6.18)


 
sehingga kurvanya berupa garis lurus menurun terhadap log(ω). Untuk
setiap kenaikan frekuensi 10 kali, yang kita sebut satu dekade, penurunan
itu adalah
− 20 log(10ω / α ) − 20 log(ω / α ) = −20 log 10 = −20 dB
Jadi pendekatan garis lurus untuk komponen kedua ini adalah garis nol
untuk 1<ω<α dan garis lurus −20 dB per dekade untuk ω>α. Titik belok
terletak pada perpotongan kedua garis ini, yaitu pada (ω/α) =1, yang
berarti terletak di frekuensi cutoff, seperti terlihat pada Gb.6.1.
Tanggapan fasa kita peroleh dari fungsi fasa (6.13) yaitu
ϕ(ω) = θ K − tan −1 (ω / α) (6.16)
Komponen pertama fungsi ini bernilai konstan. Komponen kedua
memberi pengurangan fasa yang juga menjadi penentu pola perubahan
tanggapan fasa. Lengkung komponen kedua ini terlihat pada Gb.6.2.

134 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


0
ϕ [o] pendekatan
garis lurus
−tan−1(ω/α)
-45

ωC
-90 1 ω
10

100

1000

10000

1E+05

1E+06
[rad/s]

Gb.6.2. Pola perubahan−tan−1(ω/α); α=1000 ; dan pendekatan garis


lurusnya.

Seperti halnya kurva pada Gb.6.1. kurva inipun mendekati nilai-nilai


tertentu secara asimtotik yang juga memungkinkan kita untuk
melakukan pendekatan garis lurus. Pendekatan garis lurus untuk
komponen kedua fungsi fasa ini kita lakukan dengan memperhatikan
bahwa pada (ω/α)=1, yaitu pada frekuensi cutoff, nilai −tan−1(ω/α)
adalah −45o. Pada ω=0.1ωC , nilai −tan−1(ω/α) kecil dan dianggap 0o ;
pada ω=10ωC , nilai −tan−1(ω/α) mendekati −90o dan dianggap −90o;
untuk ω>10ωC , nilai −tan−1(ω/α) adalah −90o . Jadi untuk daerah
frekuensi 0.1ωC < ω < 10ωC perubahan fasa dapat dianggap linier −45o
per dekade, seperti terlihat pada Gb.6.2.
Dengan pendekatan garis lurus seperti di atas, baik untuk fungsi gain
maupun untuk fungsi fasa, maka tanggapan gain dan tanggapan fasa
dapat digambarkan dengan nilai seperti tercantum dalam dua tabel di
bawah ini. Perhatikanlah bahwa nilai komponen pertama konstan untuk
seluruh frekuensi sedangkan komponen ke-dua mempunyai nilai hanya
pada selang frekuensi tertentu.

135
Gain Frekuensi
ωC = α
ω=1 1<ω<α ω>α
Komponen 1 20log(|K|/α) 20log(|K|/α) 20log(|K|/α)
Komponen 2 0 0 −20dB/dek
Total 20log(|K|/α) 20log(|K|/α) −20dB/dek

ϕ Frekuensi
ωC = α
ω=1 0,1α<ω<10α ω>10α
Komponen 1 θK θK θK
Komponen 2 0 −45 /dek
o
0
Total θK θK −45 /dek
o
θK

Kurva pendekatan garis lurus tanggapan gain dan tanggapan fasa ini,
dengan mengambil α = 1000, diperlihatkan pada Gb.6.3.a. dan Gb.6.3.b.
Gain [dB] ϕ [o]
20 45
20log(|K|/α) θK
0
0
−45o/dek
−20dB/dek -45
-20
-90
ωC = α 0.1ωC 10ωC
-40 -135
1

10

1 00

10 00

1 00 00

1 E+05

1 E+06

10

1 00

10 00

1 00 00

1 E+05

1 E+06

a). ω [rad/s] ω b).


[rad/s]
Gb.6.3. Pendekatan garis lurus tanggapan gain dan
tanggapan fasa − lowpass gain. ωC = α = 1000 rad/s.
Karena kurva garis lurus adalah kurva pendekatan, maka untuk
mengetahui gain sebenarnya, diperlukan koreksi-koreksi. Sebagai

136 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


contoh, pada Gb.6.3.a. gain pada frekuensi cutoff sama dengan gain
maksimum dalam pass-band; seharusnya gain pada frekuensi cutoff
adalah gain maksimum dalam pass-band dikurangi 3 dB.

6.3.2. High-Pass Gain


Fungsi alih rangkaian orde pertama dengan karakteristik high-pass gain
ini berbentuk
Ks Ks Ks
T (s ) = sehingga T ( jω) = = (6.19)
s+α jω + α α(1 + jω / α )

Berbeda dengan fungsi alih low-pass gain, fungsi alih ini mempunyai
zero pada s = 0. Fungsi gain dan fungsi fasa-nya adalah

T ( jω) =
( K / α)ω dan ϕ(ω) = θ K + 90o − tan −1(ω / α) (6.20)
2
1 + (ω / α )

⇒ T ( jω) dB = 20 log( K / α ) + 20 log ω − 20 log 1 + (ω / α) 2 (6.21)

Dengan hanya menggunakan pendekatan garis lurus, nilai fungsi gain


dan fungsi fasa adalah seperti dalam tabel berikut.

Gain Frekuensi
ωC = α
ω=1 1<ω<α ω>α
Komponen 1 20log(|K|/α) 20log(|K|/α) 20log(|K|/α)
Komponen 2 0 +20dB/dek 20log(α/1)+20dB/dek
Komponen 3 0 0 −20dB/dek
Total 20log(|K|/α) 20log(|K|/α) 20log(|K|/α)
+20dB/dek +20log(α/1)

137
ϕ(ω) Frekuensi

ωC = α

ω=1 0,1α<ω<10α ω>10α

Komponen 1 θK θK θK

Komponen 2 90o 90o 90o

Komponen 3 0o −45o/dek −90o

Total θK +90o θK +90o −45o/dek θK

Pendekatan garis lurus dari tanggapan gain dan tanggapan fasa dengan
α=100, diperlihatkan pada Gb.6.4.a.dan Gb.6.4.b.
θK+90o
40 90
Gain [dB]
20 ϕ [o] −45o/dek
+20dB/dek 45
0 θK
20log(|K|/α) 0
-20 10ωC
ωC = α ω [rad/s]
0.1ωC
ω [rad/s]
-40 -45
1

10

100

1000

10000

1E+05

1E+06

10

100

1000

10000

1E+05

1E+06

a). b).
Gb.6.4. Pendekatan garis lurus tanggapan gain dan
tanggapan fasa – highpass gain. ωC = α = 100 rad/s.

CO;TOH-6.7: Gambarkan pendekatan garis lurus tanggapan gain dari


dua rangkaian yang masing-masing mempunyai fungsi alih
20 20s
T1 ( s) = dan T2(s) =
s + 100 s + 100
Penyelesaian:
Fungsi gain rangkaian pertama adalah

138 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


20 0.2 0.2
T1 ( jω) = = ⇒ T1 ( jω) =
jω + 100 1 + jω / 100 1 + (ω / 100) 2

⇒ T1 ( jω) dB = 20 log( T1 ( jω) ) = 20 log(0.2) − 20 log 1 + (ω / 100) 2

Frekuensi dan nilai tanggapan gain rangkaian pertama terlihat pada


tabel berikut ini.
Gain Frekuensi
ωC = 100 rad/s
ω=1 1<ω<100 ω>100
Komponen 1 −14 dB −14 dB −14 dB
Komponen 2 0 0 −20dB/dek
Total −14 dB −14 dB −14 dB −20dB/dek

Fungsi gain rangkaian kedua adalah:


j 20ω j 0,2ω 0.2ω
T2 ( jω) = = ⇒ T2 ( jω) =
jω + 100 1 + jω / 100 1 + (ω / 100) 2

⇒ T2 ( jω) dB = 20 log(0.2) + 20 log(ω) − 20 log 1 + (ω / 100) 2

Frekuensi dan nilai tanggapan gain rangkaian kedua terlihat pada


tabel berikut ini.
Gain Frekuensi
ωC = 100 rad/s
ω=1 1<ω<100 ω>100
Komponen 1 −14 dB −14 dB −14 dB
Komponen 2 0 20 dB/dek 40+20 dB/dek
Komponen 3 0 0 −20 dB/dek
Total −14 dB −14 dB +20 dB/dek 26 dB

Gambar tanggapan gain ke-dua rangkaian adalah sebagai berikut.

139
Gain [dB] Gain [dB]
40 40
20 Komp-1 20
Komp-2
Komp-2 Gain
0 0
-20 -20
Gain
-40
ωC -40 Komp-1 Komp-3
-60 -60
1

10

100

1000

10000

10

100

1000

10000
ω ω
[rad/s] 1)
(Rangkaian [rad/s] 2)
(Rangkaian

6.3.3. Band-Pass Gain


Rangkaian dengan karakteristik band-pass gain dapat diperoleh dengan
menghubungkan secara bertingkat dua rangkaian orde pertama dengan
menjaga agar rangkaian yang di belakang (rangkaian kedua) tidak
membebani rangkaian di depannya (rangkaian pertama). Rangkaian
pertama mempunyai karakteristik high-pass gain sedangkan rangkaian
kedua mempunyai karakteristik low-pass gain. Hubungan kaskade
demikian ini akan mempunyai fungsi alih sesuai kaidah rantai dan akan
berbentuk
K s K
T = T1 × T2 = 1 × 2 (6.22)
s+α s+β
K ( jω) K2 K 1 ( jω) K2
T ( jω) = 1 × = ×
jω + α jω + β α(1 + jω / α ) β(1 + jω / β)
{K 1 K 2 / αβ}ω
⇒ T ( jω) =
1 + (ω / α )2 × 1 + (ω / β)2
⇒ T ( jω) dB = 20 log( K 1 K 2 / αβ) + 20 log ω

− 20 log 1 + (ω / α) 2 − 20 log 1 + (ω / β) 2
Dengan membuat β >> α maka akan diperoleh karakteristik band-pass
gain dengan frekuensi cutoff ωC1 = α dan ωC2 = β. Sesungguhnya
fungsi alih (6.22) berbentuk fungsi alih rangkaian orde kedua. Kita akan
melihat karakteristik band-pass gain rangkaian orde ke-dua dalam bab
berikut.

140 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


BAB 7
Tanggapan Frekuensi Rangkaian Orde
Ke-Dua

7.1. Rangkaian Orde Kedua Dengan Pole Riil


Pole dari fungsi tansfer rangkaian orde kedua bisa riil ataupun kompleks
konjugat. Pembahasan berikut ini akan dikhususkan untuk fungsi alih
dengan pole riil

7.1.1. Band-Pass Gain


Fungsi alih rangkaian orde kedua dengan satu zero dan dua pole riil
dapat ditulis sebagai
Ks
T ( s) = sehingga
( s + α)( s + β)
(7.1)
T ( jω) =
K × jω
=
(K / αβ)× jω
( jω + α)( jω + β) (1 + jω / α)(1 + jω / β)
( K / αβ)ω
Fungsi gain adalah T ( jω) = (7.2)
1 + (ω / α) 2 × 1 + (ω / β) 2
yang dalam satuan dB menjadi
T ( jω) dB = 20 log( K / αβ) + 20 log ω − 20 log 1 + (ω / α) 2
(7.3)
− 20 log 1 + (ω / β) 2
Fungsi gain ini terdiri dari komponen-komponen yang bentuknya telah
kita kenal pada pembahasan rangkaian orde pertama. Komponen pertama
(suku pertama ruas kanan (7.3)) bernilai konstan. Komponen kedua
berbanding lurus dengan logω dengan perubahan gain +20 dB per
dekade; komponen ketiga pengurangan gain −20 dB per dekade;
komponen ke-empat juga pengurangan gain −20 dB / dekade. Frekuensi
cutoff ωC1 = α diberikan oleh komponen ke-tiga sedangkan komponen
ke-empat memberikan frekuensi cutoff ωC2 = β.

141
Nilai fungsi gain dengan pendekatan garis lurus untuk β > α adalah
seperti dalam tabel di bawah ini. Mengenai fungsi fasa-nya akan kita
lihat pada contoh-contoh.
Gain Frekuensi
ωC1 = α rad/s ωC2 = β rad/s
ω=1 1<ω<α α<ω<β ω>β

Komp.1 20log(|K|/αβ) 20log(|K|/αβ) 20log(|K|/αβ) 20log(|K|/αβ)


Komp.2 0 +20 dB/dek +20log(α/1) +20log(β/1)
+20 dB/dek +20 dB/dek
Komp.3 0 0 −20 dB/dek −20log(β/α)−20 dB/dek
Komp.4 0 0 0 −20 dB/dek
Total 20log(|K|/αβ) 20log(|K|/αβ) 20log(|K|/αβ) 20log(|K|/αβ)
+20 dB/dek +20log(α/1) +20log(α)
−20 dB/dek

CO;TOH-7.1: Gambarkan Bode plots pendekatan garis lurus


(tanggapan gain dan tanggapan fasa) rangkaian yang diketahui
fungsi alihnya adalah :
50000s
T ( s) =
( s + 10)(s + 10000)
Penyelesaian :
50000 × jω 0,5ω
T ( jω) = =
( jω + 10)( jω + 10000) (1 + jω / 10)(1 + jω / 10000)
0,5ω
→ T ( jω) =
1 + (ω / 10) × 1 + (ω / 10000) 2
2

⇒ T ( jω) dB = 20 log 0,5 + 20 log ω − 20 log 1 + (ω / 10) 2

− 20 log 1 + (ω / 10000) 2
⇒ ϕ(ω) = 0 + 90o − tan −1 (ω / 10) − tan −1 (ω / 10000)
Nilai frekuensi dan kurva fungsi gain adalah sebagai berikut.

142 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Gain Frekuensi
ωC1 = 10 rad/s ωC2 = 10000 rad/s
ω=1 1<ω<10 10<ω<104 ω>104
Komponen 1 −6 dB −6 dB −6 dB −6 dB
Komponen 2 0 +20 dB/dek 20+20 dB/dek 80+20 dB/dek
Komponen 3 0 0 −20 dB/dek −60−20 dB/dek
Komponen 4 0 0 0 −20 dB/dek
Total −6 dB −6 dB 14 dB 14 dB
+20 dB/dek −20 dB/dek

40
Gain Gain
[dB] 20
14
0
−6
-20
ωC1 ωC2
-40 ω [rad/s]
1 10 100 1000 10000 100000

Untuk menggambarkan tanggapan fasa, kita perhatikan fungsi fasa

ϕ( ω) = 0 + 90 o − tan −1 ( ω / 10) − tan −1 (ω / 10000)


Untuk ω = 1 maka ϕ(ω)≈(0+90o−0−0)=90o . Mulai dari 0,1ωC1
sampai 10ωC1 (atau dari 1sampai 100) terjadi perubahan fasa −45o
per dekade. Mulai dari 0,1ωC2 sampai 10ωC2 (atau 1000 sampai
100000) terjadi perubahan fasa −45o per dekade. Perhatikan bahwa
dalam contoh ini 10ωC1 < 0,1ωC2 , sehingga ada selang frekuensi di
mana tanggapan fasa konstan yaitu antara 100 sampai 1000 rad/s.
Tabel berikut ini memuat nilai-nilai ϕ(ω) dan dari tabel ini kita
gambarkan kurva pendekatan garis lurus tanggapan fasa.

143
ϕ(ω) Frekuensi
ωC1 = 10 rad/s ωC2 = 104 rad/s
ω=1 1<ω<100 103<ω<105 ω>105

Komponen 1 0o 0o 0o 0o

Komponen 2 90o 90o 90o 90o

Komponen 3 0o −45o/dek −90o −90o

Komponen 4 0o 0o 0o−45o/dek −90o

Total 90o 90o−45o/dek 0o−45o/dek −90o

90
ϕ [o]
45

-45
ωC1 ωC2
-90 ω [rad/s]
1 10 100 1000 10000 1E+05

Pemahaman :
Karena frekuensi cutoff pertama ωC1 =10, maka perubahan fasa
−45o/dekade terjadi pada selang frekuensi 1<ω<100. Karena
frekuensi cutoff kedua ωC2 = 10000, maka perubahan fasa
−45o/dekade yang kedua terjadi pada selang frekuensi
1000<ω<100000. Di luar ke-dua selang frekuensi ini fasa tidak
berubah, sehingga terlihat adanya kurva mendatar pada selang
frekuensi 100<ω<1000.

7.1.2. High-Pass Gain


Karakteristik high-pass gain dapat diperoleh dari rangkaian orde kedua
yang fungsi alihnya mengandung dua zero di s = 0.
CO;TOH-7.2: Gambarkan tanggapan gain dan tanggapan fasa jika
diketahui fungsi alihnya adalah

144 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


10s 2
T (s) =
( s + 40)(s + 200)
Penyelesaian :
Gain dari sistem ini adalah
10( jω) 2 1 − ω2
T ( jω) = = ×
( jω + 40)( jω + 200) 800 (1 + jω / 40)(1 + jω / 200)

1 ω2
T ( jω) = ×
800 1 + (ω / 40) 2 × 1 + (ω / 200) 2

T ( jω) dB = 20 log(1 / 800) + 2 × 20 log ω − 20 log (ω / 40) 2 + 1

− 20 log (ω / 200) 2 + 1

Komponen pertama tanggapan gain adalah konstan 20log(1/800) =


−58 dB. Komponen kedua berbanding lurus dengan log(ω) dengan
kenaikan 2×20 dB per dekade. Pengurangan gain oleh komponen
ketiga mulai pada ωC1 = 40 dengan −20 dB per dekade. Pengurangan
gain oleh komponen ke-empat mulai pada ωC2 = 200 dengan −20 dB
per dekade. Kurva tanggapan gain adalah sebagai berikut.

20 +20dB/dek
Gain 0 +40dB/dek
[dB]
-20

-40
−58
-60
1 10 100 1000 10000 100000
ω [rad/s]
Fungsi fasa adalah :
ϕ(ω) = 0 + 2 × 90o − tan −1(ω / 40) − tan −1 (ω / 200)
Pada ω = 1, ϕ(ω) ≈ 0o + 2× 90o =180o. Pada ω=(ωC1/10)=4,
komponen ke-tiga mulai memberikan perubahan fasa −45o per

145
dekade dan akan berlangsung sampai ω=10ωC1=400. Pada ω =
0.1ωC2=20, komponen ke-empat mulai memberikan perubahan fasa
−45o per dekade dan akan berlangsung sampai ω=10ωC2=2000.
225
ϕ [o]
180
135

90

45
0
1 10 100 1000 10000 100000
0,1ωC1 0,1ωC2 10ωC1 10ωC2 ω [rad/s]

Pemahaman :
Penggambaran tanggapan gain dan tanggapan fasa di sini tidak lagi
melalui langkah antara yang berupa pembuatan tabel peran tiap
komponen dalam berbagai daerah frekuensi. Kita dapat melakukan
hal ini setelah kita memahami peran tiap-tiap komponen tersebut
dalam membentuk tanggapan gain dan tanggapan fasa. Melalui
latihan yang cukup, penggambaran tanggapan gain dan tanggapan
fasa dapat dilakukan langsung dari pengamatan formulasi kedua
macam tanggapan tersebut.
Kita perhatikan penggambaran tanggapan fasa. Dalam contoh ini
0,1ωC2 < 10ωC1 dan bahkan 0,1ωC2 < ωC1. Oleh karena itu,
penurunan fasa −45o per dekade oleh pole pertama, yang akan
berlangsung sampai ω=10ωC1, telah ditambah penurunan oleh pole
kedua pada ω=0,1ωC2 sebesar −45o per dekade. Hal ini
menyebabkan terjadinya penurunan fasa −2×45o mulai dari
ω=0,1ωC2 sampai dengan ω=10ωC1 karena dalam selang frekuensi
tersebut dua pole berperan menurunkan fasa secara bersamaan. Pada
ω=10ωC1 peran pole pertama berakhir dan mulai dari sini penurunan
fasa hanya disebabkan oleh pole kedua, yaitu −45o per dekade.

146 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


7.1.3. Low-pass Gain
Karakteristik low-pass gain dapat diperoleh dari rangkaian orde kedua
yang fungsi alihnya tidak mengandung zero.
CO;TOH-7.3: Gambarkan Bode plots pendekatan garis lurus rangkaian
yang fungsi alihnya adalah :
5 × 104
T ( s) =
( s + 100)( s + 1000)
Penyelesaian :
5 × 104 0,5
T ( jω) = =
( jω + 100)( jω + 1000) (1 + jω / 100)(1 + jω / 1000)
0,5
T ( jω) =
1 + (ω / 100) × 1 + (ω / 1000) 2
2

T ( jω) dB = 20 log 0,5 − 20 log 1 + (ω / 100) 2 − 20 log 1 + (ω / 1000) 2

ϕ(ω) = 0 − tan −1 (ω / 100) − tan −1 (ω / 1000)

Komponen pertama tanggapan gain adalah 20log(0,8) ≈ −6 dB.


Komponen kedua memberikan perubahan gain −20 dB per dekade
mulai pada ω = ωC1 = 100. Komponen ke-tiga memberikan per-
ubahan gain −20 dB per dekade mulai pada ω = ωC2 = 1000,
sehingga mulai ω = 1000 perubahan gain adalah −40 dB per dekade.

0
Gain
[dB]
-20

-40

-60
1 10 100 1000 10000 100000
ω [rad/s]

Fungsi fasa adalah

147
ϕ(ω) = 0 − tan −1(ω / 100) − tan −1(ω / 1000)

Pada ω = 1, ϕ(ω) ≈ 0. Mulai pada ω = 10 , komponen kedua


memberikan perubahan fasa −45o per dekade sampai ω = 1000.
Mulai pada ω = 100 , komponen ke-tiga memberikan perubahan fasa
−45o per dekade sampai ω = 10000. Jadi pada selang 100<ω<1000
perubahan fasa adalah −90o per dekade.

45
ϕ [o]
0
-45

-90

-135
-180
1 10 100 1000 10000 100000
ω [rad/s]

7.2. Fungsi Alih Dengan Zero Riil ;egatif


Dalam contoh-contoh sebelumnya, fungsi alih mempunyai zero di s = 0.
Fungsi alih dalam contoh berikut ini mempunyai zero di s ≠ 0.

CO;TOH-7.4: Gambarkan tanggapan gain dan tanggapan fasa jika


diketahui fungsi alihnya adalah
4 × 10 4 ( s + 20)
T ( s) =
( s + 100)( s + 1000)
Penyelesaian :

4 × 104 ( jω + 20) 8(1 + jω / 20)


T ( jω) = =
( jω + 100)( jω + 1000) (1 + jω / 100)(1 + jω / 1000)

8 (ω / 20) 2 + 1
T ( jω) =
1 + (ω / 100) 2 × 1 + (ω / 1000) 2

148 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


T ( jω) dB = 20 log 8 + 20 log 1 + (ω / 20) 2

− 20 log 1 + (ω / 100) 2 − 20 log 1 + (ω / 1000) 2


ϕ(ω) = 0 + tan −1 (ω / 20) − tan −1 (ω / 100) − tan −1 (ω / 1000)
Komponen pertama dari tanggapan gain adalah 20log8 = 18 dB.
Komponen kedua memberikan perubahan gain +20 dB per dekade,
mulai pada ω = 20. Komponen ke-tiga memberikan perubahan −20
dB per dekade mulai pada ω = 100. Komponen ke-empat
memberikan perubahan −20 dB per dekade mulai pada ω = 1000.
40
Gain
[dB] +20dB/dek −20dB/dek
30

20
18
10

0
1 10 100 1000 10000 100000
ω [rad/s]

Fungsi fasa adalah:

ϕ(ω) = 0 + tan −1(ω / 20) − tan −1 (ω / 100) − tan −1(ω / 1000)

Pada ω = 1, ϕ(ω) ≈ 0. Komponen kedua memberikan perubahan fasa


+45o per dekade mulai dari ω = 2 sampai ω = 200. Komponen ketiga
memberikan perubahan fasa −45o per dekade mulai dari ω = 10
sampai ω = 1000. Komponen keempat memberi-kan perubahan fasa
−45o per dekade mulai dari ω = 100 sampai ω = 10000. Kurva
tanggapan fasa adalah seperti di bawah ini.

149
45
ϕ [o]
0

-45

-90

-135
1 10 100 1000 10000 100000
ω [rad/s]

Pemahaman :
Zero tetap berperan sebagai peningkat gain dan fasa. Zero riil
negatif meningkatkan gain dan fasa mulai pada frekuensi yang sama
dengan nilai zero.

7.3. Tinjauan Umum Bode Plot dari Rangkaian Yang Memiliki Pole
dan Zero Riil
Bode plots terutama bermanfaat jika pole dan zero bernilai riil, yaitu pole
dan zero yang dalam diagram pole-zero di bidang s terletak di sumbu riil
negatif. Dari contoh-contoh fungsi alih yang mengandung zero dan pole
riil yang telah kita bahas di atas, kita dapat membuat suatu ringkasan
mengenai kaitan antara pole dan zero yang dimiliki oleh suatu fungsi alih
dengan bentuk kurva gain dan kurva fasa pada Bode plots dengan
pendekatan garis lurus. Untuk itu kita lihat fungsi alih yang berbentuk
Ks(s + α1 )
T ( s) = (7.4)
(s + α 2 )(s + α3 )
yang akan memberikan
Kα1 jω(1 + jω / α1 )
T ( jω) =
α 2 α 3 (1 + jω / α 2 )(1 + jω / α 3 )
(7.5)
Dari (7.5) terlihat ada tiga macam faktor yang akan menentukan bentuk
kurva gain maupun kurva fasa. Ke-tiga faktor tersebut adalah:

150 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Kα1
1. Faktor K 0 = yang disebut faktor skala. Kontribusi faktor
α 2α3
skala ini pada gain dan fasa berupa suatu nilai konstan, tidak
tergantung pada frekuensi. Kontribusinya pada gain sebesar 20log
|K0| akan bernilai positif jika |K0| > 1 dan bernilai negatif jika |K0| <
1. Kontribunya pada sudut fasa adalah 0o jika K0 > 0 dan 180o jika
K0 < 0.
2. Faktor jω. Faktor ini berasal dari pole atau zero yang terletak di titik
(0,0) dalam diagram pole-zero di bidang s. Kontribusinya pada gain
adalah sebesar ± 20log(ω) dan kontribusinya untuk sudut fasa adalah
± 90o; tanda plus untuk zero dan tanda minus untuk pole. Jika fungsi
alih mengandung pole ataupun zero ganda (lebih dari satu) maka
kontribusinya pada gain adalah sebesar ± 20nlog(ω) dan pada sudut
fasa adalah ±n90o dengan n adalah jumlah pole atau zero. Dalam
pendekatan garis lurus, faktor ini memberikan perubahan gain
sebesar ±20n dB per dekade mulai pada ω = 1; tanda plus untuk zero
dan tanda minus untuk pole.
3. Faktor 1 + jω/α. Faktor ini berasal dari pole ataupun zero yang
terletak di sumbu riil negatif dalam diagram pole-zero di bidang s.
Faktor ini berkontribusi pada gain sebesar

± 20 log 1 + ( ω / α) 2  dan berkontribusi pada sudut fasa sebesar


 
± tan −1 (ω / α) ; tanda plus untuk zero dan tanda minus untuk pole.
Dalam pendekatan garis lurus, faktor ini memberikan perubahan
gain sebesar ±20dB per dekade mulai pada ω = α; untuk frekuensi di
bawahnya kontribusinya nol. Perubahan fasa yang dikontribusikan
adalah sebesar ±45o per dekade dalam selang frekuensi 0,1α < ω <
10α; di luar selang itu kontribusinya nol.
Koreksi-koreksi untuk memperoleh nilai yang lebih tepat, terutama di
sekitar titik belok, dapat kita lakukan dengan kembali pada formulasi
kontribusi pole ataupun zero pada gain yaitu sebesar
± 20 log 1 + (ω / α) 2  . Nilai perubahan gain yang lebih tepat
 
diperoleh dengan memasukkan nilai ω yang kita maksudkan pada
formulasi tersebut sehingga kita akan memperoleh:

151
• perubahan gain di ω = α adalahsebesar
± 20 log 1 + (α / α) 2  ≈ 3 dB .
 
• perubahan gain di ω = 2α adalah sebesar
± 20 log 1 + (2α / α) 2  ≈ 7 dB .
 
• perubahan gain di ω = 0.5α adalah sebesar
± 20 log 1 + (0.5α / α) 2  ≈ 1 dB .
 
7.4. Tinjauan Kualitatif Tanggapan Frekuensi di Bidang s
Pembahasan kuantitatif mengenai tanggapan frekuensi dari rangkaian
dengan fungsi alih yang mengandung pole riil di atas, telah cukup lanjut.
Berikut ini kita akan sedikit mundur dengan melakukan tinjauan secara
kualitatif mengenai tanggapan frekuensi ini, untuk kemudian
melanjutkan pembahasan tanggapan frekuensi rangkaian dari rangkaian
dengan fungsi alih yang mengandung pole kompleks konjugat.
Tinjaulah sistem orde pertama dengan fungsi alih yang mengandung
pole riil
K
T ( s) =
s+α
Diagram pole-zero dari fungsi alih ini adalah seperti terlihat pada
Gb.7.5.a. Dari gambar ini kita dapatkan bahwa fungsi gain :
K |K| |K|
T ( jω) = = = (7.6)
jω + α α 2 + ω2 A(ω)
dengan A(ω) adalah jarak antara pole dengan suatu nilai ω di sumbu
tegak. Makin besar ω akan makin besar nilai A(ω) sehingga |T(jω)| akan
semakin kecil.
Jika kita gambarkan kurva |T(jω)| terhadap ω dengan skala linier, kita
akan mendapatkan kurva seperti terlihat pada Gb.7.5.b. Akan tetapi jika
dalam penggambaran itu kita menggunakan skala logaritmis, baik untuk
absis maupun ordinatnya, kita akan mendapatkan kurva seperti terlihat
pada Gb.7.5.c. Inilah bentuk karakteristik low-pass gain dari rangkaian
orde satu yang telah kita kenal.

152 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


ω
A(ω)

(a) × σ
α 0

low-pass gain|
|T(jω)| |T(jω)|
12 10

(b) 0 (c) 1
00 500
500 ω 103
1000
11 10
10 10
100
2 ω 1000
103

Gb.7.5. Diagram pole-zero sistem orde pertama dan kurva |T(jω)|


terhadap ω
Kita lihat rangkaian orde pertama dengan fungsi alih yang mengandung
zero di (0,0)
Ks
T ( s) =
s+α
Fungsi gain adalah
Kjω |K |ω |K |ω
T ( jω) = = = (7.7)
jω + α α 2 + ω2 A(ω)

Jika kita plot |T(jω)| terhadap ω dengan skala linier, kita akan
mendapatkan kurva seperti terlihat pada Gb.7.6.a. Akan tetapi jika kita
plot |T(jω)| terhadap ω dengan skala logaritmis, baik untuk absis maupun
ordinatnya, kita akan mendapatkan kurva seperti terlihat pada Gb.7.6.b.
Inilah bentuk karakteristik high-pass gain dari rangkaian orde satu yang
telah kita kenal.

153
high-pass gain|
|T(jω)| |T(jω)|
1000
1056
1044
1032
1020
1008
996
984
972
960
948
936
924
912
900
888
876
864
852
840
828
816
804
792
780
768
756
744
732
720
708
696
684
672 100
660
648
636
624
612
600
588
576
564
552
540
528
516
504
492
480
468
456
444
432
420
408
396
384
372
360
348
336 10
324
312
300
288
276
264
252
240
228
216
204
ω
192
180
168
156
144
132
120
108
96
(a)84
72
60
48
360
24
12 (b)1
0 0
500 500ω 10 3
1000
1
1 10 100 2 10003
10 10 10 10 100004

Gb.7.6. Diagram pole-zero sistem orde pertama dan kurva |T(jω)|


terhadap ω.

Fungsi alih rangkaian orde kedua dengan fungsi transfer yang


mengandung dua pole riil, berbentuk
K
T ( s) =
( s + α1 ) ( s + α 2 )

Diagram pole-zero dari fungsi alih ini adalah seperti terlihat pada
Gb.7.6.a. Dari diagram ini terlihat bahwa fungsi gain dapat dituliskan
sebagai
|K| |K|
T ( jω) = =
( jω + α 1 ) ( jω + α 2 ) ω 2 + α12 ω 2 + α 2
(7.8)
|K|
=
A1 (ω) × A2 (ω)

dengan A1(ω)dan A2(ω) adalah jarak masing-masing pole ke suatu nilai


ω. Dengan bertambahnya ω, A1(ω)dan A2(ω) bertambah secara
bersamaan. Situasi ini mirip dengan apa yang dibahas di atas, yaitu
bahwa |T(jω)| akan menurun dengan naiknya frekuensi; perbedaannya
adalah bahwa penurunan pada rangkaian orde kedua ini ditentukan oleh
dua faktor yang berasal dari dua pole. Dalam skala linier bentuk kurva
|T(jω)| adalah seperti Gb.7.7.b. Dalam skala logaritmik kita memperoleh
karakteristik low-pass gain seperti terlihat pada Gb.7.7.c. yang sudah
kita kenal.

154 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)



ω
A2(ω)
A1(ω)
(a) × × σ
α2 α1 0
low-pass gain|
|T(jω)| |T(jω)|
12 10
10
8
6
4
2
(b)0 (c)1
00 2000
4000
4000 ω 8000
6000 8000
11 10
10 1002
10 10003
10 4
10000
10

Gb.7.7. Diagram pole-zero sistem orde kedua dan kurva


|T(jω)| terhadap ω

Jika fungsi alih mengandung satu zero di (0,0) kurva |T(jω)| dengan
skala linier akan terlihat seperti Gb.7.8.a. dan jika dibuat dengan skala
logaritmik akan seperti Gb.7.8.b. yang telah kita kenal sebagai
karakteristik band-pass gain. Jika fungsi alih mengandung dua zero di
(0,0) kita memperoleh kurva |T(jω)| dalam skala linier seperti pada
Gb.7.9.a. dan jika digunakan skala logaritmik akan kita peroleh
karakteristik high-pass gain seperti Gb.7.9.b.
band-pass gain|
|T(jω)| |T(jω)|
100
96
84
72
60
48 10
36
24
12
(a)
0 (b)1
10003 ω 10000
100 2
4
00 2000 4000
4000 ω 8000
6000 8000 11 10
10 10 10 10

Gb.7.8. Diagram pole-zero sistem orde kedua dan kurva |T(jω)| terhadap
ω

155
high-pass gain|
|T(jω)|
1200000
|T(jω)|
1000000
1000000
800000
600000
400000
200000
(a)0 (b)1
00 2000
4000
4000
ω 8000
6000 8000
11 10
10
10 10 ω 10
100 2 10003 10000 4

Gb.7.9. Diagram pole-zero sistem orde kedua dan kurva |T(jω)| terhadap
ω
Keadaan yang sangat berbeda terjadi pada rangkaian orde dua dengan
fungsi alih yang mengandung pole kompleks konjugat yang akan kita
lihat berikut ini.

7.5. Rangkaian Orde Kedua Yang Memiliki Pole Kompleks


Konjugat
Rangkaian orde ke-dua yang memiliki pole kompleks konjugat
dinyatakan oleh fungsi alih yang berbentuk
K
T ( s) = (7.9)
( s + α + jβ) ( s + α − jβ)

yang memberikan fungsi gain

K
T ( jω) =
( jω + α + jβ) ( jω + α − jβ)
K K
= =
(ω + β) 2 + α 2 × (ω − β) 2 + α 2 A1(ω) × A2 (ω)

Gb.7.10. memperlihatkan diagram pole-zero rangkaian orde kedua


dengan fungsi alih yang mengandung pole kompleks konjugat dalam
tiga keadaan yaitu frekuensi ω1 < ω2 < ω3.

156 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


jω jω jω
A2(ω) ω3
A2(ω)
× A2(ω) × ω2 ×
β ω1
α 0 σ 0 σ 0 σ
(a) (b) A1(ω) A1(ω)
A1(ω) (c)
× × ×

Gb.7.10. Diagram pole-zero sistem orde kedua dengan pole kompleks


konjugat.
Dari Gb.7.10. terlihat bahwa peningkatan ω akan selalu diikuti oleh
bertambahnya nilai A1(ω). Akan tetapi tidak demikian halnya dengan
A2(ω). Pada awalnya peningkatan ω diikuti oleh turunnya nilai A2(ω)
sampai mencapai nilai minimum yaitu pada saat ω = ω2 = β seperti pada
Gb.7.10.b. Setelah itu A2(ω) meningkat dengan meningkatnya ω.
Hasilnya adalah fungsi gain |T(jω)| meningkat pada awal peningkatan ω
sampai mencapai nilai maksimum dan kemudian menurun lagi. Puncak
tanggapan gain disebut resonansi.
Untuk mempelajari tanggapan frekuensi di sekitar frekuensi resonansi,
kita tuliskan fungsi alih rangkaian orde kedua dalam bentuk
Ks
T ( s) = (7.10)
2
s + bs + c
yang dapat kita tuliskan
Ks
T ( s) =
s + 2ζω0 s + ω0 2
2

dengan (7.11)
b
ω0 2 = c dan ζ=
2c
Bentuk penulisan penyebut seperti pada (7.11) ini disebut bentuk
normal. ζ disebut rasio redaman dan ω0 adalah frekuensi alami tanpa
redaman atau dengan singkat disebut frekuensi alami. Frekuensi alami
adalah frekuensi di mana rasio redaman ζ = 0.
Fungsi alih (7.11) dapat kita tuliskan

157
Ks
T ( s) =
s + 2ζω0 s + ω0 2
2
(7.12)
K s
= ×
ω0 2 (s / ω0 )2 + (2ζ / ω0 )s + 1
dan dari sini kita peroleh
K jω
T ( jω) = ×
ω0 2
− (ω / ω0 ) + j (2ζω / ω0 ) + 1
2

K ω
⇒ T ( jω) = × (7.13)
ω0 2
(1 − (ω / ω ) ) + (2ζω / ω )
0
2 2
0
2

⇒ ϕ(ω) = θ K + 90o − tan −1


(2ζω / ω0 )
1 − (ω / ω0 )2
Fungsi gain dalam dB adalah
K
T ( jω) dB = 20 log + 20 log ω
ω0 2 (7.14)

(
− 20 log 1 − (ω / ω 0 )2 + (2ζω / ω 0 )2 )
2

Rasio redaman akan mempengaruhi perubahan nilai gain oleh pole


seperti ditunjukkan oleh komponen ketiga dari fungsi gain ini.
Untuk frekuensi rendah komponen ketiga ini mendekati nilai

(
− 20 log 1 − (ω / ω0 )2 ) + (2ζω / ω )
2
0
2
≈ −20 log 1 + 0 = 0 (7.15)
Untuk frekuensi tinggi komponen ketiga mendekati

(
− 20 log 1 − (ω / ω0 )2 ) + (2ζω / ω )
2
0
2
(7.16)
≈ −20 log(ω / ω0 ) (ω / ω0 ) + (2ζ ) ≈ −20 log(ω / ω0 )
2 2 2

Pendekatan garis lurus untuk menggambarkan tanggapan gain


mengambil garis horizontal 0 dB untuk frekuensi rendah dan garis lurus
−20log(ω/ω0)2 untuk frekuensi tinggi yang memberikan kemiringan −40
dB per dekade. Kedua garis ini berpotongan di ω = ω0 yang merupakan
titik beloknya. Gb.7.11. memperlihatkan pengaruh nilai rasio redaman
pada tanggapan gain ini di sekitar titik belok.

158 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


20
ζ=0,1
dB ζ=0,05
ζ=0,5
0

ζ=1
-20
pendekatan
linier ω0
-40
100 1000 ω[rad/s] 10000

Gb.7.11. Pengaruh rasio redamaan pada perubahan gain oleh pole.


Fungsi fasa adalah
ϕ(ω) = θ K + 90o − tan −1
(2ζω / ω0 ) (7.17)
1 − (ω / ω0 )2
Untuk frekuensi rendah pengurangan fasa oleh pole mendekati nilai
− tan −1
(2ζω / ω0 ) ≈ − tan −1 (2ζω / ω0 ) ≈ 0 (7.18)
1 − (ω / ω0 )2 1
dan untuk frekuensi tinggi mendekati
− tan−1
(2ζω/ ω0 ) ≈ − tan−1
(2ζω/ ω0 ) ≈ −180o (7.19)
1 − (ω / ω0 )2 − (ω / ω0 )2
Gb.7.12. memperlihatkan pengaruh rasio redaman terhadap perubahan
fasa yang disebabkan oleh pole.
ϕ(ω) [o]
0
ζ=0,05
ζ=0,1
-45 ζ=0,5
ζ=1
-90

-135
pendekatan
linier ω0
-180
10 100 1000 10000 100000
ω[rad/s]
Gb.7.12. Pengaruh rasio redaman pada perubahan fasa oleh pole.

159
CO;TOH-7.5: Gambarkan tanggapan gain dan tanggapan fasa untuk
fungsi alih berikut ini dan selidiki pengaruh rasio redaman terhadap
tanggapan gain.
80000s
T ( s) =
s + 100s + 4 × 104
2

Penyelesaian :
Kita tuliskan fungsi alih dengan penyebutnya dalam bentuk normal
80000s
menjadi T ( s ) = . Dari sini kita peroleh
s + 2 × 0,25 × 200s + 200 2
2

ω0 = 200, dan ζ = 0,25.


2s
T ( s) =
(s / 200) + (2ζ / 200) s + 1
2

j 2ω
⇒ T ( jω) =
2
− (ω / 200) + j 2ζω / 200 + 1

⇒ T ( jω) =
(1 − (ω / 200) ) + (2ζω / 200)
2 2 2

T ( jω) dB = 20 log 2 + 20 log ω − 20 log (1 − (ω / 200) ) + ( 2ζω / 200) 2 2 2

Komponen pertama konstan 20log2 = −6 dB. Komponen kedua


memberikan penambahan gain 20 dB per dekade, mulai frekuensi
rendah. Pengurangan gain oleh komponen ketiga −40 dB per
dekade mulai pada ω = ω0.
Fungsi fasa adalah : ϕ(ω) = 0o + 90o − 90o / dek | 20<ω< 2000

dB ϕ [o]
60 135
40 90
20 45
0
0
-45
-20 -90
-40 -135
1

10

1 00

10 00

1 00 00

1 E+05

10

1 00

10 00

1 00 00

1 E+05

rad/s rad/s

160 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Soal-Soal
1. Tentukanlah tanggapan frekuensi dan tentukan gain tertinggi dan
frekuensi cutoff dari rangkaian di bawah ini.

+ 0,5H +
9kΩ
vin vo
1kΩ
− −
2. Tentukanlah tanggapan frekuensi dan tentukan gain tertinggi dan
frekuensi cutoff dari rangkaian di bawah ini.

+ 10kΩ +
vin 1µF vo
10kΩ −

3. Tentukanlah tanggapan frekuensi dan tentukan gain tertinggi dan
frekuensi cutoff dari rangkaian-rangkaian di bawah ini.

+
+ − +
+ 1H + 1µF
vin vo
1kΩ
vin vo − 10kΩ
0,5µF 1kΩ 10kΩ −
− −

100kΩ 10kΩ 1µF

+ +
vin − vo
− +

4. Tentukanlah tanggapan frekuensi dan tentukan gain tertinggi dan


frekuensi cutoff dari hubungan bertingkat dengan tahap pertama
rangkaian ke-dua dan tahap kedua rangkaian pertama.

161
5. Tentukanlah tanggapan frekuensi dan tentukan gain tertinggi dan
frekuensi cutoff dari hubungan bertingkat dengan tahap pertama
rangkaian ke-tiga dan tahap ke-dua rangkaian pertama.
6. Tentukanlah tanggapan frekuensi dari suatu rangkaian jika diketahui
tanggapannya terhadap sinyal anak tangga adalah sebagai seperti di
bawah ini. Tentukan gain tertinggi dan frekuensi cutoff.

a). g (t ) = −e −5000 t u (t );
(
b). g (t ) = 1 − 5e −5000 t u (t ) )
7. Ulangi soal 6 jika diketahui :

(
a). g (t ) = e−1000 t − e −2000t u(t ) )
b). g (t ) = ( e −1000 t
sin 2000t )u(t )
8. Tentukanlah tanggapan frekuensi dari suatu rangkaian jika diketahui
tanggapannya terhadap sinyal impuls adalah seperti di bawah ini.
Tentukan gain tertinggi dan frekuensi cutoff.

a). h(t ) = −1000 e −1000 t u (t )


b). h(t ) = δ(t ) − 2000 e −1000 t u (t )
9. Gambarkan Bode plot (pendekatan garis lurus) jika diketahui fungsi
alihnya
(5s + 1)(0.005s + 1)
T ( s) = 10
(0.05s + 1)(0.5s + 1)

10. Gambarkan Bode plots (pendekatan garis lurus) jika diketahui fungsi
alihnya
s(0.02 s + 1)
T ( s) = 50
(0.001s + 1)(0.4 s + 1)

162 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


BAB 8
Analisis Pada Suatu Sistem

Pengenalan pada sistem ini bertujuan agar kita


• memahami sinyal dalam pengertian yang lebih luas;
• memahami pengertian tentang sistem;
• mampu membangun diagram blok suatu sistem;
• mampu mereduksi diagram blok suatu sistem.

8.1. Sinyal
Di awal buku ini kita telah mempelajari bentuk gelombang sinyal yang
merupakan suatu persamaan yang menyatakan sinyal sebagai fungsi dari
waktu. Dalam analisis rangkaian listrik, sinyal-sinyal yang kita tangani
biasanya berupa tegangan ataupun arus listrik. Pengertian ini dapat kita
perluas menjadi suatu pengertian yang tidak hanya mencakup sinyal
listrik saja tetapi juga mencakup sinyal-sinyal non-listrik yang juga
merupakan fungsi waktu. Dengan perluasan pengertian ini maka kita
mempunyai definisi untuk sinyal sebagai,
Sinyal adalah suatu fungsi yang menyatakan variasi terhadap
waktu dari suatu peubah fisik.
Fungsi yang kita tetapkan untuk menyatakan suatu sinyal kita sebut
representasi dari sinyal atau model sinyal dan proses penentuan
representasi sinyal itu kita sebut pemodelan sinyal. Suatu sinyal yang
tergantung dari peubah riil t dan yang memodelkan peubah fisik yang
berevolusi dalam waktu nyata disebut sinyal waktu kontinyu. Sinyal
waktu kontinyu ditulis sebagai suatu fungsi dengan peubah riil t seperti
misalnya x(t). Sebagaimana telah disebutkan di awal buku ini, sinyal jenis
inilah yang sedang kita pelajari.
Untuk memberi contoh dari sinyal non-listrik, kita bayangkan suatu
benda yang mendapat gaya. Benda ini akan bergerak sesuai dengan arah
gaya., posisinya akan berubah dari waktu ke waktu. Dengan mengambil
suatu kooordinat referensi, perubahan posisi benda akan merupakan
fungsi waktu dan akan menjadi salah satu peubah fisik dari benda
tersebut dan merupakan suatu sinyal. Selain perubahan posisi, benda juga

163
mempunyai kecepatan yang juga merupakan fungsi dari waktu;
kecepatan juga merupakan suatu sinyal.
Jika posisi benda dalam contoh di atas merupakan suatu sinyal, apakah ia
dapat dijadikan suatu masukan (input) pada sebuah “rangkaian” ?
Bayangkanlah benda yang bergerak itu adalah sebuah pesawat terbang.
Kita ingin mengamatinya dengan menggunakan sebuah teropong, dan
untuk itu teropong kita arahkan pada pesawat. Setiap saat pesawat
berubah posisi, kedudukan teropong kita sesuaikan sedemikian rupa
sehingga bayangan pesawat selalu terlihat oleh kita melalui teropong.
Kita katakan bahwa posisi pesawat merupakan masukan pada kita untuk
mengubah arah teropong; dalam hal ini kita dan teropong menjadi
sebuah “rangkaian”. Apakah dari “rangkaian” ini ada suatu keluaran
(output)? Keluaran dari “rangkaian” ini adalah berupa perubahan arah
teropong. Jelaslah bahwa ada hubungan tertentu antara arah teropong
sebagai keluaran dengan posisi pesawat sebagai masukan, dan hubungan
keluaran-masukan demikian ini sudah biasa kita lihat pada rangkaian
listrik. Kalau kita yang meneropong pesawat tersebut digantikan oleh
sebuah mesin penggerak otomatis dan teropong diganti dengan sebuah
meriam, maka jadilah sebuah “rangkaian” mesin penembak pesawat.
Mesin penembak ini dapat kita sebut sebagai suatu perangkat yang
mampu menetapkan arah meriam jika mendapatkan masukan mengenai
posisi pesawat (istilah “perangkat” di sini kita beri pengertian sebagai
gabungan dari banyak piranti untuk menjalankan fungsi tertentu).
Dengan kata lain antara sinyal keluaran dengan sinyal masukan terdapat
hubungan yang sepenuhnya ditentukan oleh perilaku perangkat; hal ini
berarti bahwa perangkat “memiliki aturan” yang menetapkan bagaimana
bentuk keluaran untuk sesuatu masukan yang ia terima.

8.2. Sistem
Dengan contoh di atas, kita sampai pada pengertian mengenai sistem
yaitu :
sistem merupakan aturan yang menetapkan sinyal keluaran
dari adanya sinyal masukan.
atau
sistem membangkitkan sinyal keluaran tertentu dari adanya
sinyal masukan tertentu.
Jika kita ingat mengenai pengertian elemen sebagai model piranti dalam
rangkaian listrik, maka sistem dapat dipandang sebagai model dari

164 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


perangkat. Dengan demikian rangkaian-rangkaian listrik yang sudah
pernah kita pelajari, yang juga menetapkan hubungan antara keluaran dan
masukan, dapat kita pandang sebagai suatu sistem. Kalau rangkaian
tersebut merupakan bagian lain dari rangkaian (dalam hubungan kaskade
misalnya) kita dapat memandangnya sebagai sub-sistem. Hubungan
keluaran-masukan dari suatu sistem dapat kita nyatakan sebagai
y (t ) = H [x (t )] (8.1)
dengan y(t) sinyal keluaran dan x(t) sinyal masukan. Hubungan ini dapat
kita gambarkan dengan diagram berikut.

sinyal sinyal
H y(t) keluaran
masukan x(t)
Gb.8.1. Diagram suatu sistem.

Perhatikanlah bahwa sistem didefinisikan menurut sinyal keluaran dan


masukannya. Jadi kita memandang sistem dari sudut pandang sinyal
masukan dan keluaran. Selain dari pada itu, Gb.8.1. mempelihatkan
bahwa arah propagasi sinyal adalah sesuai dengan arah anak panah. Jadi
sinyal berasal dari masukan menuju ke keluaran. Penggambaran ini
sesuai dengan definisi kita yaitu bahwa suatu sistem membangkitkan
sinyal keluaran dari sinyal masukan.
Suatu sistem dapat mempunyai satu masukan atau lebih; demikian juga
keluarannya bisa hanya satu atau lebih. Sistem dengan satu masukan dan
satu keluaran disebut single-input-single-output (SISO) system atau kita
terjemahkan dengan sistem masukan-tunggal-keluaran-tunggal (MTKT).
Jika masukan dan keluarannya lebih dari satu disebut multi-input-multi-
output (MIMO) system atau kita terjemahkan sistem masukan-ganda-
keluaran-ganda (MGKG).

8.3. Model Sistem


Pernyataan matematis secara eksplisit dari suatu sistem seperti pada (8.1)
disebut representasi sistem atau model sistem. Proses untuk memperoleh
model sistem kita sebut pemodelan sistem. Ada dua cara yang dapat
ditempuh untuk membangun model sistem. Cara pertama adalah
menurunkan langsung dari hukum-hukum fisika dan cara kedua adalah
melalui observasi empiris. Cara pertama dapat digunakan apabila proses-
proses fisiknya terdefinisi dengan jelas dan difahami. Model sistem yang

165
diturunkan haruslah cukup sederhana untuk keperluan analisis dan
simulasi.
Cara kedua digunakan untuk sistem yang sangat kompleks dan sangat
sulit untuk dianalisis langsung, dan perilaku dinamiknya tidak difahami
secara baik. Untuk melakukan observasi empiris diperlukan sinyal
masukan yang harus dipilih secara cermat, dan sinyal keluarannya
diamati. Model sistem diperoleh dengan melakukan perhitungan balik
dari kedua sinyal tersebut. Pembangunan model sistem melalui cara
observasi sinyal masukan dan keluaran ini disebut identifikasi sistem.
Kita telah melihat bahwa ada empat macam cara untuk menyatakan
hubungan antara sinyal keluaran dan sinyal masukan, yaitu persamaan
diferensial, transformasi Laplace, konvolusi, dan transformasi Fourier.
Sejalan dengan itu, kita mengenal empat macam representasi sistem atau
model sistem sebagai berikut.
1. Persamaan Diferensial. Bentuk ini kita kenal misalnya sistem orde
kedua
d 2 y (t ) dy (t )
+a + by (t ) = f (t )
2 dt
dt
Bentuk umum dari model ini dinyatakan dalam persamaan diferensial
:
y ( n) (t ) + an −1 y ( n −1) (t ) L + a1 y& (t ) + a0 y (t ) =
bm x( m) (t ) + bm −1x ( m−1) (t ) + L + b0 x(t )

y ( n −1) (0) = y n −1 , y ( n −2) (0) = y n− 2 , L ,


(8.2)
y& (0) = y1 , y (0) = y 0 .
Dalam (8.2) kita menganggap bahwa koefisien ak dan bk adalah
bilangan riil (konstan tidak tergantung waktu). Kita juga menganggap
m ≤ n. Masukan sistem adalah x(t) dan keluarannya adalah y(t). Orde
dari persamaan diferensial ini adalah n.
2. Fungsi Alih Laplace
Y (s) b s m + bm −1s m −1 + L + b0
= m = T (s) = H (s) (8.3)
X ( s ) s n + a n −1s n −1 + L + a1s + a0

166 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Di sini sinyal keluaran dan masukan dinyatakan di kawasan s, yaitu
Y(s) dan X(s). T(s) adalah fungsi alih Laplace, yang untuk selanjutnya
akan kita gunakan sebagai representasi sistem di bab ini dan kita
tuliskan sebagai H(s).
3. Integral Konvolusi

y (t ) = ∫ − h (t − λ ) x (λ )dλ (8.4)
0

dengan h(t ) = L−1{H ( s )}.

4. Fungsi Alih Fourier


Y (ω) = H ( ω) X ( ω) (8.5)
dengan H ( ω) = F{h (t )} adalah fungsi alih Fourier.

Untuk selanjutanya, kita akan menggunakan cara representasi sistem


yang ke-dua, yaitu menggunakan fungsi alih Laplace.

8.4. Diagram Blok


8.4.1. Penggambaran Sistem Dengan Diagram Blok
Diagram blok adalah representasi dari fungsi alih dengan menggunakan
gambar. Diagram blok sangat bermanfaat untuk menggambarkan
struktur sistem, terutama jika sistem tersusun dari banyak sub-sistem
(penjelasan pengertian sub-sistem akan diberikan kemudian).
Diagram ini juga bermanfaat untuk melakukan analisis sistem. Di sub-
bab ini kita mengambil model sistem dengan transformasi Laplace (di
kawasan s). Hubungan masukan- keluaran sistem akan berbentuk :
Y (s)
= H ( s ) atau Y (s) = H (s ) X (s) (8.6)
X (s)
Diagram blok dari sistem
ini adalah seperti terlihat X(s) H(s) Y(s)
pada Gb.8.2. Diagram blok
seperti ini telah kita kenal
Gb.8.2. Diagram blok.
dalam analisis rangkaian
listrik. Hanya di sini kita mempunyai pengertian H(s) sebagai
representasi dari sistem. Diagram blok ini ekivalen dengan persamaan
aljabar (8.6). Jadi susunan diagram blok merupakan pernyataan operasi-

167
operasi matematis. Hal ini berbeda dengan Gb.8.1. yang hanya
merupakan diagram untuk memperjelas definisi tentang sistem.
Suatu sistem yang kompleks tersusun dari sistem-sistem yang lebih
sederhana. Diagram blok dapat kita gunakan untuk menyatakan
hubungan dari sistem-sistem yang lebih sederhana tersebut untuk
membentuk sistem yang kompleks. Diagram blok akan mempelihatkan
struktur dari sistem yang kompleks yaitu interkoneksi dari komponen-
komponen sistem. Lebih dari itu, diagram blok juga dapat dimanfaatkan
sebagai alat untuk melakukan perhitungan-perhitungan; fungsi alih
sistem diturunkan dari diagram blok yang tersusun dari banyak
komponen tersebut.

8.4.2. Hubungan-Hubungan Sistem


Berikut ini kita akan melihat hubungan-hubungan sederhana dari sistem
yang akan menjadi dasar bagi kita untuk memandang sistem yang lebih
kompleks. Kita akan meninjau dua sistem yaitu H1(s) dan H2(s). Untuk
menghubungkan dua sistem, atau dua blok, harus ada titik-titik hubung.
Titik Hubung. Ada dua macam titik hubung yang perlu kita perhatikan
yaitu titik pencabangan (pickoff point) dan titik penjumlahan. Titik
pencabangan adalah titik tempat terjadinya duplikasi sinyal; sinyal-sinyal
yang meninggalkan titik pencabangan sama dengan sinyal yang
memasuki titik pencabangan. Hal ini digambarkan pada Gb.8.3.a. Pada
titik penjumlahan, beberapa sinyal dijumlahkan. Sinyal yang keluar dari
titik penjumlahan adalah jumlah dari sinyal yang masuk ke titik
penjumlahan. Jika sinyal yang masuk bertanda “+” maka ia dijumlahkan
dan jika bertanda “−” ia dikurangkan. Untuk titik penjumlahan ini ada
konvensi, yaitu bahwa hanya ada satu sinyal saja yang meninggalkan
titik penjumlahan. Hal ini digambarkan pada Gb.8.3.b.

titik pencabangan X1(s)


+
X(s) X(s) X2(s) −
+ X1(s)−X2(s)+ X3(s)
X(s) X3(s)
a). titik pencabangan b). titik penjumlahan
Gb.8.3. Titik-titik hubung.
Hubungan Kaskade atau Hubungan Seri. Hubungan seri antara dua
sistem terjadi jika keluaran dari sistem yang satu merupakan masukan

168 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


pada sistem berikutnya seperti terlihat pada Gb.8.4. Fungsi alih dari
hubungan kaskade, yang merupakan fungsi alih total, adalah hasil kali
dari fungsi alih sistem yang menyusunnya. Jadi hubungan kaskade sistem
H1(s) dan H2(s) dapat digantikan oleh satu sistem H1(s)H2(s). Hal ini
sesuai dengan kaidah rantai yang telah kita pelajari dalam analisis
rangkaian di kawasan s.

X(s) H1(s) H2(s) Y(s)

X(s) H1(s)H2(s) Y(s)

Gb.8.4. Hubungan seri


Hubungan Paralel. Hubungan paralel antara dua sistem terjadi jika
kedua sistem mendapat masukan yang sama sedangkan keluarannya
merupakan jumlah dari keluaran kedua sistem tersebut, seperti terlihat
pada Gb.8.4.b. Jadi hubungan paralel antara dua sistem H1(s) dan H2(s)
dapat digantikan oleh satu sistem dengan fungsi alih H1(s)+H2(s).

X(s) H1(s)
+
Y(s)
+
H2(s)
X(s) H1(s)+H2(s) Y(s)

Gb. 8.5. Hubungan paralel.


Hubungan Umpan Balik. Pada hubungan umpan balik, keluaran dari
sistem pertama menjadi masukan pada sistem kedua dan keluaran sistem
kedua menjadi pengurang pada sinyal dari luar R(s); sinyal hasil
pengurangan ini menjadi masukan pada sistem pertama. Hubungan ini
diperlihatkan pada Gb.8.6.

X1(s)
R(s) H1(s) Y(s)
+ −
H2(s)
Y2(s) X2(s)
H1 ( s )
R(s) 1 + H1 ( s) H 2 ( s ) Y(s)

Gb.8.6. Hubungan umpan balik .

169
Dari diagram blok pada Gb.8.6. diperoleh persamaan berikut.
Y ( s ) = H 1 ( s ) X 1 ( s ) = H 1 ( s )[R( s ) − Y 2 ( s )]
= H 1 ( s ) R( s ) − H 1 ( s )Y 2 ( s )
= H 1 ( s ) R( s ) − H 1 ( s )[H 2 ( s )Y ( s )]

⇒ Y ( s ) + H 1 ( s )[H 2 ( s )Y ( s )] = H 1 ( s ) R( s )
Y ( s) H1 (s)
⇒ =
R( s ) 1 + H 1 ( s ) H 2 ( s )

Dengan hubungan umpan balik seperti pada Gb.8.6. fungsi alih sistem
keseluruhan menjadi
H 1 ( s)
1 + H 1 (s ) H 2 (s)

Fungsi alih H1(s) adalah fungsi alih dari suatu sistem yang disebut sistem
H 1 ( s)
loop terbuka sedangkan adalah fungsi alih dari sistem
1 + H 1 (s ) H 2 (s)
yang disebut sistem loop tertutup. Jika pada titik penjumlahan terdapat
tanda negatif pada jalur umpan balik maka sistem ini disebut sistem
dengan umpan balik negatif. Jika fungsi alih H2(s) = − 1 maka sistem
menjadi sistem dengan umpan balik negatif satu satuan.
Sub-Sistem. Jika kita memisahkan salah satu bagian dari diagram blok
suatu sistem yang tersusun dari banyak bagian dan bagian yang kita
pisahkan ini merupakan suatu sistem juga maka bagian ini kita sebut sub-
sistem. H2(s) dalam contoh hubungan paralel di atas merupakan salah
satu sub-sistem.
8.5. Pembentukan Diagram Blok
Berikut ini kita akan melihat contoh penggambaran diagram blok dan
penyederhanaan diagram blok. Sebagaimana telah disebutkan, walaupun
kita telah mengembangkan pengertian sistem akan tetapi dalam contoh-
contoh yang akan kita lihat di sini kita membatasi diri pada sistem listrik.
8.5.1. Diagram Blok Elemen Rangkaian
Definisi sistem menyatakan bahwa dari sinyal masukan tertentu suatu
sistem akan memberikan sinyal keluaran tertentu. Definisi ini dipenuhi
oleh elemen-elemen rangkaian seperti R, L, dan C, karena elemen-elemen

170 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


ini akan memberikan sinyal keluaran (tegangan atau arus) tertentu jika
diberi sinyal masukan (arus atau tegangan) tertentu yang kita kenal
sebagai karakteristik i-v dalam analisis rangkaian listrik. Jika sistem
dapat divisualisasikan menggunakan diagram blok, maka elemen-elemen
rangkaian listrik dapat pula digambarkan dengan diagram blok.
Resistor. Gb.8.7. memperlihatkan diagram blok dari resistor. Hubungan
tegangan-arus resistor adalah V ( s ) = RI ( s ) atau I ( s ) = (1 / R)V ( s ) .
Kedua relasi memberikan diagram blok seperti ditunjukkan pada gambar.

I(s) I(s) R V(s)


+
R V(s)
− V(s) 1 I(s)
R

Gb.8.7 Diagram blok resistor.


Kapasitor. Gb.8.8. memperlihatkan diagram blok dari kapasitor.
Hubungan tegangan-arus kapasitor adalah V ( s ) = (1 / sC ) I ( s ) atau
I ( s ) = ( sC )V ( s ) . Kedua relasi memberikan diagram blok seperti
ditunjukkan pada gambar.

I(s) 1
I(s) V(s)
+ sC
1
sC V(s)
− V(s) sC I(s)

Gb.8.8. Diagram blok kapasitor.


Berbeda dengan resistor, kapasitor adalah elemen dinamik. Hubungan
yang pertama mengambil peubah status, yaitu tegangan kapasitor,
sebagai keluaran dan dapat ditulis sebagai V ( s ) = (1 / C )(1 / s ) I ( s ) dan
diagram bloknya menjadi :
1 1

I(s)→ → →V(s)
C s

171
Di kawasan t hubungan tersebut adalah v(t ) = (1 / C ) ∫ idt . Oleh karena
1
itu blok disebut sebagai blok integrator.
s
Induktor. Gb.8.9. memperlihatkan diagram blok dari induktor.
Hubungan tegangan-arus induktor adalah V ( s ) = ( sL) I ( s ) atau
I ( s ) = (1 / sL)V ( s ) . Kedua relasi memberikan diagram blok seperti
ditunjukkan pada gambar.

I(s) I(s) sL V(s)


+
sL V(s)
1
− V(s) I(s)
sL
Gb.8.9. Diagram blok induktor.
Seperti halnya kapasitor, induktor adalah elemen dinamik. Hubungan
yang kedua mengambil peubah status, yaitu arus induktor, sebagai
keluaran dan dapat ditulis sebagai I ( s ) = (1 / L )(1 / s )V ( s ) . Dengan blok
integrator diagram bloknya menjadi :
1 1

V(s)→ → →I(s).
L s

8.5.2. Pembentukan Diagram Blok


Dalam contoh-contoh berikut ini kita akan melihat bagaimana diagram
blok dibentuk. Kita menggabungkan pemahaman mengenai rangkaian
listrik dengan pemahaman hubungan-hubungan sistem.

CO;TOH-8.1: Gambarkan diagram blok rangkaian-rangkaian berikut.

172 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


I2(s) I2(s) I2(s)
I(s) I(s) I(s)
I1(s) I1(s) I1(s)
+ + +
V(s) sL V(s) 1 V(s)
R1 R2 R1 R1
− − sC −
(a) (b) (c)
Penyelesaian :

 V (s) 
a). V ( s) = R2 I 2 ( s) = R2 [I ( s) − I1 ( s)] = R2  I ( s) − 
 R1 
Diagram blok rangkaian ini adalah:
1
R1

I(s) + − R2 V(s)

 V (s) 
b). V ( s) = sLI 2 ( s) = sL[I ( s) − I1 ( s)] = sL  I ( s) − 
 R1 
Diagram blok rangkaian ini adalah:
1
R1

I(s) + − sL V(s)

1 1  
c). V ( s) = I 2 ( s) = [I (s) − I1 ( s)] = 1  I ( s) − V (s) 
sC sC sC  R1 

Diagram blok rangkaian ini adalah:


1
R1

I(s) + − 1
V(s)
sC

173
CO;TOH-8.2: Gambarkan diagram blok rangkaian-rangkaian berikut.
I2(s) I2(s)
I(s) I(s)
I1(s) I1(s)
+ +
sL V(s) 1 R1 V(s)
R1
− sC −
(a) (b)
Penyelesaian :
 V ( s) 
a). V ( s) = R1 I 2 ( s) = R1 [I ( s) − I1 ( s)] = R1  I ( s) −
 sL 
Diagram blok:
1
sL

I(s) + − R1 V(s)

b). V ( s) = R1 I 2 ( s) = R1 [I ( s) − I1 ( s)] = R1 [I ( s) − sC V ( s )]

Diagram blok:

sC

I(s) + − R1 V(s)

Tegangan V(s) pada contoh 8.1.b. dan 8.1.c. haruslah identik dengan
tegangan pada contoh 8.2. karena tegangan ini adalah tegangan pada
hubungan paralel dari dua elemen. Walaupun demikian kita mendapatkan
diagram blok yang berbeda pada kedua contoh tersebut. Kita akan
menguji apakah kedua diagram blok tersebut identik dengan mencari
fungsi alih masing-masing. Untuk itu kita akan memanfaatkan formulasi
hubungan blok paralel.
Untuk rangkaian R-L paralel di kedua contoh tersebut di atas kita peroleh
:

174 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


1
R1

I(s) + −
sL V(s)
sL sLR1 V (s)
H1 ( s ) = = =
1 + ( sL)(1 / R1) R1 + sL I ( s )
1
sL

I(s) + − R1 V(s)
R1 sLR1 V (s)
H 2 (s) = = =
1 + ( R1 )(1 / sL) sL + R1 I ( s)

Untuk rangkaian R-C paralel kita peroleh :

1
R1

− 1
I(s) + V(s)
sC
1 / sC R1 / sC V (s)
H 3 ( s) = = =
1 + (1 / sC )(1 / R1) R1 + (1 / sC ) I ( s )

sC

I(s) + − R1 V(s)

R1 R1 / sC V (s)
H 4 (s) = = =
1 + ( R1)( sC ) (1 / sC ) + R1 I ( s)

Fungsi alih dari kedua hubungan paralel terserbut ternyata sama yang
tidak lain adalah impedansi total rangkaian R-L dan R-C paralel. Jadi
diagram blok yang diperoleh pada kedua contoh di atas adalah identik.

175
CO;TOH-8.3: Bangunlah diagram blok dari rangkaian listrik yang telah
ditransformasikan ke kawasan s di bawah ini.
I1(s) I3(s)
I5(s)
V1(s)
+ R sL +
Vi (s)
1
1 I2(s) 1 I4(s) Vo(s)
R2
− sC1 sC2 −

Penyelesaian :
Dalam membangun diagram blok rangkaian ini, kita akan
menempuh langkah-langkah yang kita mulai dari tegangan keluaran
dan mencari formulasinya secara berurut menuju ke arah masukan.
Tegangan Vo(s) dapat dinyatakan sebagai R 2 I 5 ( s ) ataupun
(1/sC2) I4(s). Kita ambil yang kedua.
1
1. V o (s) = I 4 ( s)
sC 2

1
I4(s) Vo(s)
sC2

1
2. I 4 ( s ) = I3 ( s ) − I 5 ( s ) = I3 − Vo ( s )
R2

1
R2
− 1
+ Vo(s)
I3(s)
I4(s) sC2

1
3. I 3 ( s) = [V1 ( s) − Vo (s)]
sL

176 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


1
R2
− 1
− 1
+ Vo(s)
V1(s)
sL I (s) sC2
3 I4(s)
1 1
4. V1 ( s ) = I 2 ( s) = [I1(s) − I3 (s)]
sC1 sC1

1
R2
1 − 1
− 1
+ + Vo(s)
I1(s) sC1 sC
sL 2
− V1(s) I3(s) I4(s)

1
5. I1 ( s ) = [Vi ( s) − V1 (s)]
R1

1
R2

+ − 1 + 1 − 1 + − 1
Vo
Vi(s)
R1 I1(s) − sC1 V1(s) sL I (s) I4(s) sC2
3

Pada langkah ke-5 ini terbentuklah diagram blok yang kita cari.
Walaupun diagram ini terlihat cukup rumit, tetapi sesungguhnya setiap
blok menggambarkan peran dari setiap elemen. Perhatikan pula bahwa
dalam diagram blok ini digunakan blok-blok integrator.

8.6. Reduksi Diagram Blok


Dalam Contoh-8.3 kita melihat bagaimana diagram blok dibentuk.
Diagram blok ini cukup panjang. Dengan menggunakan relasi-relasi
ekivalensi sistem terhubung seri dan paralel kita dapat menyederhanakan
diagram blok tersebut. Penyederhanaan diagram blok ini disebut reduksi
diagram blok. Karena diagram blok ekivalen dengan persamaan
rangkaian, maka penyederhanaan diagram blok akan menuju pada
diperolehnya fungsi alih.

177
Selain ekivalensi seri dan paralel, dalam melakukan reduksi diagram
blok kita memanfaatkan juga kaidah-kaidah pemindahan titik
pencabangan sebagai berikut.
Keluaran Y2(s) tidak akan berubah jika pemindahan titik
pencabangannya ke depan melampaui blok H(s) diikuti dengan
penambahan satu blok seri yang ekivalen dengan blok H(s).
Keluaran Y3(s) tidak akan berubah jika pemindahan titik
pencabangannya ke belakang melampauai blok H(s) diikuti
dengan penambahan satu blok seri 1/H(s).
Perhatikanlah Gb.8.10. Gambar b) diperoleh dengan jalan memindahkan
titik pencabangan di gambar a). Pencabangan keluaran Y2(s) di pindah ke
depan melewati blok H(s) dan pencabangan keluaran Y3(s) ke belakang
melewati blok H(s).

Y2(s)

X(s) H(s) Y1(s)

a). Y3(s)

H(s) Y2(s)

X(s) H(s) Y1(s)


1
b). H (s)
Y3(s)

Gb.8.10. Pemindahan titik pencabangan.

CO;TOH-8.4: Lakukanlah reduksi pada diagram blok berikut ini.

− 1 − 1 − 1
Vi(s) + + + Vo(s)
2 s s
s

Penyelesaian :

178 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


1
1. Hubungan paralel dari blok 1 dan dapat digantikan
s
1/ s 1
dengan H1 ( s ) = = sehingga diagram blok
1 + (1)(1 / s) s +1
menjadi:

− 1 − 1 A 1
+ + Vo(s
Vi(s 2 s
s s +1

2. Titik pencabangan A dapat dipindahkan ke belakang dan terjadi


1 1
hubungan seri dan yang dapat diganti dengan
s s +1
1
.
s ( s + 1)

Diagram blok menjadi :

− 1 − 1
+ +
2 s s ( s + 1)
Vi(s) − Vo(s)
s+1

1
3. Umpan balik langsung dari Vo(s) pada blok sama
s ( s + 1)
dengan memparalel blok ini dengan blok 1 walaupun tidak
tergambarkan dalam diagram. Hubungan paralel ini dapat
diganti
1 / s( s + 1) 1
dengan H 2 ( s) = = .
1 + (1){1 / s( s + 1)} s( s + 1) + 1

Diagram blok menjadi

179
+ − 1 1
2 +
s B s ( s + 1) + 1 Vo(s)
Vi(s) −
s+1

4. Titik pencabangan B dapat dipindahkan ke belakang yang akan


menyebabkan terjadinya hubungan seri antara blok
1 1
dan yang dapat diganti dengan
s s( s + 1) + 1
1
2
s ( s + 1) + s
Diagram blok menjadi :

s ( s + 1) + 1
+ − 1
2 + Vo(s)
Vi(s) s 2 ( s + 1) + s

s+1

1
5. Selanjutnya s + 1 paralel dengan 2
s ( s + 1) + s

1 ( s 2 ( s + 1) + s) 1
H 3 (s) = = =
2 2
1 + ( s + 1) ( s ( s + 1) + s) ( s (s + 1) + s) + ( s + 1)

1
3 2
s + s + 2s + 1

dan H3(s) seri dengan 2 sehingga diagram blok menjadi :

180 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


s ( s + 1) + 1
+ − 2
Vi(s) 3 2 Vo(s)
s + s + 2s + 1

6. Diagram blok paralel terakhir ini memberikan

2 /( s 3 + s 2 + 2s + 1) 2
H 4 (s) = =
2 3 2 3 2
1 + 2( s + s + 1) /( s + s + 2s + 1) s + 3s + 4s + 3
dan diagram blok menjadi
2
Vi(s) 3 2 Vo(s)
s + 3s + 4 s + 3

Reduksi diagram blok pada akhirnya akan memberikan fungsi alih


dari sistem yaitu H4(s).

8.7. Sub-Sistem Statis dan Dinamis


Perhatikanlah bahwa dalam diagram blok yang diperoleh pada contoh
8.3. terdapat blok-blok yang berisi nilai konstan dan ada yang berisi
fungsi s atau lebih tepat blok yang menggambarkan fungsi alih bernilai
konstan dan blok yang menggambarkan fungsi alih yang merupakan
fungsi dari peubah Laplace s. Blok yang berisi nilai konstan berasal dari
elemen statis resistor, dan yang berisi fungsi s berasal dari elemen
dinamik C ataupun L. Suatu sub-sistem disebut dinamis jika fungsi
transfernya merupakan fungsi peubah Laplace s. Jika fungsi alihnya
bernilai konstan (gain kontan) maka sub-sistem itu disebut statis.
8.8. Diagram Blok Integrator
Suatu diagram blok yang seluruh blok-blok dinamisnya berupa blok
integrator disebut diagram blok integrator. Sebagaimana telah dibahas,
blok integrator berasal dari elemen dinamik apabila kita mengambil
peubah status sebagai keluaran. Untuk kapasitor V ( s) = (1 / C )(1 / s) I ( s)
dan untuk induktor I ( s) = (1 / L)(1 / s)V ( s) .

Pembentukan diagram blok integrator dari suatu fungsi alih dapat


dilakukan karena fungsi alih H(s) yang berbentuk rasio polinomial dapat
kita uraikan menjadi suku-suku :

181
( s − z1 )( s − z 2 ) L ( s − z m )
H (s) = K
( s − p1 )(s − p 2 ) L ( s − p n )
k1 k2 kn
= + +L+
( s − p1 ) ( s − p 2 ) (s − p n )

Hal ini telah kita lihat pada waktu kita membahas transformasi Laplace.
a
Selanjutnya, setiap suku dari fungsi alih H(s) yang berbentuk
s+b
 a  b(1 / s)
dapat ditulis sebagai   yang diagram bloknya merupakan
 b  1 + b(1 / s)
a 1
hubungan seri antara blok statis dengan blok berumpan balik
b s
yang jalur umpan-balik-nya berisi blok statis b . Dengan demikian
maka diagram blok dari H(s) dapat dibuat hanya terdiri dari blok statis
dan blok integrator saja.

182 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Soal-Soal
1. Susunlah diagram blok dari rangkaian-rangkaian berikut, lakukan
reduksi diagram blok, tentukan fungsi alihnya.

+ + 1µF
vin 10Ω
1H vo vin + +
10Ω − 1kΩ 1kΩvo
a). − − b). 1µF

100m 1kΩ 10k 5kΩ


+ + vin 1µF Ω
vin +
1kΩ 1kΩ − +
1kΩ vo 10µ
− 1kΩ vo
c). 1µF − e). F −

+
iin 1kΩ
0.1H 1µF vo
1kΩ −
f).

+
iin 5mH 1kΩ vo
2µF −
g).

2. Lakukan reduksi diagram blok dan carilah fungsi alih dari diagram
blok berikut.

+ 1 +
X (s) 10 Y(s)
− s +
k
a).
1 1
X(s) + Y(s)
s s

ω2
b).

183
X(s)
1 +
Y(s)
s +1 −

c). s+2

1 1
X(s) + + +
Y(s)
− − s s +
3

4
1
c). s

1
X(s) + + +
Y(s)
− − s +
3
+ 1
− s
4
d).

X(s)+ 1 + 1 1 +
− s − s s + Y(s)
4
+ 1
− s
5
e).

184 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


BAB 9
Sistem Dan Persamaan Ruang Status

Persamaan ruang status (state space equations) atau representasi


ruang keadaan (state space reprentation) merupakan satu alternatif
untuk menyatakan sistem dalam bentuk persamaan diferensial.
Persamaan ini dapat diturunkan dari diagram blok integrator.
9.1. Blok Integrator dan Blok Statis
1
Kita lihat lebih dulu blok integrator X(s)→ →Y(s) yang
s
1
menunjukkan hubungan Y ( s) = X ( s) . Hubungan ini di kawasan t
s
adalah

y (t ) = ∫ x(t ) yang dapat kita tuliskan sebagai x(t ) = y& (t )

Hubungan terakhir di kawasan t ini dapat kita baca sebagai : sinyal


masukan adalah turunan dari sinyal keluaran.
1
Sekarang blok kita pandang sebagai integrator dan bukan sebagai
s
gambaran dari fungsi alih 1/s. Dengan pandangan ini maka jika keluaran
integrator adalah q(t) masukannya adalah q& (t ) . Kita dapat
menggambarkan hubungan keluaran dan masukan di kawasan t dari
integrator sebagai
1
q& (t ) → → q(t )
s

Perhatikan: Secara teknis penggambaran di atas tidak benar.


Akan tetapi kita harus mengartikan gambar tersebut sebagai
diagram sub-sistem yang mempunyai sinyal masukan q& (t ) dan
sinyal keluarannya q(t) dan bukan q(t) sama dengan (1/s) kali
q& (t ) .

185
Berbeda dengan blok integrator, blok statis X(s)→ a →Y(s)
memberikan hubungan Y ( s) = aX ( s) yang di kawasan t memberikan
hubungan
y (t ) = ax(t )

Jadi kita dapat menggambarkan hubungan y (t ) = ax(t ) dengan


menggunakan blok statis, yaitu
x(t)→ a →y(t).

9.2. Diagram Blok Integrator, Sinyal Sebagai Fungsi t


Berikut ini kita akan melihat contoh suatu diagram blok integrator yang
sinyal masukan dan keluaran dari setiap integrator dinyatakan sebagai
fungsi t.

CO;TOH-9.1: Dalam diagram blok di bawah ini nyatakanlah sinyal


masukan dan keluaran pada setiap blok integrator sebagai fungsi t.

b
a

− 1 − 1
+
X(s) c s s Y(s)
+
d

Penyelesaian :
Dalam diagram blok ini terdapat dua blok integrator. Jika sinyal
masukan setiap blok integrator adalah q&i (t ) dan sinyal keluarannya
adalah qi(t) maka diagram blok di atas dapat kita gambarkan seperti
di bawah ini, di mana masukan dua blok integrator adalah
q&1 (t ) dan q& 2 (t )
sedangkan keluarannya adalah
q1(t) dan q2(t).

186 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Dengan diagram ini keluaran sistem adalah
y (t ) = q 2 (t ) + dx(t ) .

b
a

x(t ) − 1 − 1
+ +
c s s
q&1(t ) q1(t ) q&2 (t ) q2 (t ) + y (t )
+
d

y (t ) = q2 (t ) + dx(t )

9.3. Membangun Persamaan Ruang Status


Dari diagram blok di atas, kita dapat memperoleh satu set persamaan di
kawasan t yang akan memberikan hubungan antara sinyal masukan dan
sinyal keluaran sistem, yaitu x(t) dan y(t). Dengan perkataan lain kita
dapat memperoleh persamaan sistem di kawasan t. Set persamaan
tersebut kita peroleh dengan memperhatikan masukan blok-blok
integrator, dan keluaran sistem. Dalam contoh ini set persamaan tersebut
adalah :
q&1 (t ) = −bq 2 (t ) + cx(t )
q& 2 (t ) = q1 (t ) − aq 2 (t ) (9.1)
y (t ) = q 2 (t ) + dx(t )
Dengan cara ini set persamaan yang kita peroleh, yaitu persamaan (9.1),
akan terdiri dari dua kelompok. Kelompok pertama adalah persamaan
yang ruas kirinya berisi q& (t ) , yang merupakan masukan blok integrator,
dan kelompok kedua adalah yang ruas kirinya berisi y(t), yaitu keluaran
sistem. Kelompok pertama dapat kita tuliskan dalam bentuk matriks

 q&1 (t )  0 − b   q1 (t )  1
& =   +   x(t ) (9.2)
q 2 (t ) 1 − a  q 2 (t ) 0

187
r  q& (t )  r  q (t ) 
Dengan mendefinisikan vektor q& =  1  dan q =  1  maka
q& 2 (t ) q 2 (t )
(9.2) dapat kita tuliskan
r
[ ]
q& (t ) = 
0 − b  r 1
 [q (t )] +   x(t ) (9.3)
1 − a  0 
Kelompok kedua dari (9.1) adalah y (t ) = q2 (t ) + dx(t ) dan dengan
definisi untuk vektor q(t) maka ia dapat kita tuliskan dalam bentuk
matriks
r
y (t ) = [0 1][q (t )] + [d ]x(t ) (9.4)
Dengan demikian maka set persamaan (9.1) dapat kita tuliskan sebagai
r
[ ]
q& (t ) = 
0 − b  r
 [q (t )] +   x(t )
1
1 − a  0  (9.5)
r
y (t ) = [0 1][q (t )] + [d ]x(t )
Secara umum bentuk persamaan (9.5) dapat kita tulis sebagai
r
[ ] r
q& (t ) = [A][q (t )] + [B ]x(t )
r (9.6)
y (t ) = [C ][q (t )] + [D]x(t )
Set persamaan (9.6) ini disebut representasi ruang status dari sistem.
Sebutan lain dari representasi ini adalah model ruang status atau juga
persamaan peubah status atau persamaan ruang status.

CO;TOH-9.2: Carilah representasi ruang status dari sistem berikut.

x(t ) + q&1 1 q1 q&3 1 q3


a1 c3
s s +
− y (t )
+
ω
2

+ q&2 1 q2 +
a2 c2
s
− +
b
d

188 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Penyelesaian:
Dari diagram blok di atas, masukan blok-blok integrator dan
keluaran sistem memberi kita persamaan berikut.

q&1 = a1 x(t ) − ω2 q3
q& 2 = a2 x(t ) − bq2
q& 3 = q1
y(t ) = c3 q3 + c2 q2 + dx(t )
Persamaan ini kita tuliskan dalam bentuk matriks, menjadi

 q&1 (t )  0 0 − ω   q1 (t )   a1 
2
r& &      
q (t ) = q 2 (t ) = 0 − b 0  q 2 (t ) + a 2  x(t )
 q& 3 (t )  1 0 0   q3 (t )   0 
 
 1 
q (t )
y (t ) = [0 c 2 c3 ] q 2 (t ) + [d ]x(t )
 q3 (t ) 

Inilah representasi ruang status dari sistem yang kita cari

9.4. Membangun Diagram Blok dari Persamaan Ruang Status


Melalui contoh berikut ini kita akan melihat bagaimana diagram blok
dari suatu sistem dapat dibangun jika persamaan ruang statusnya
diketahui.

CO;TOH 9.3: Bangunlah diagram blok sistem yang persamaan ruang


statusnya adalah sebagai berikut.

 0 1 0   q1 (t )  0
r& 
q (t ) =  0 0 1  q 2 (t ) + 0 x(t)
− a1 − a 2 − a3   q3 (t )  1
r
y (t ) = [b1 b2 b3 ] q (t )

Penyelesaian :
Langkah pertama adalah melakukan pengembangan dari persamaan
yang diketahui sehingga diperoleh set persamaan berikut.

189
q&1 (t ) = q 2 (t )
q& 2 (t ) = q3 (t )
q& 3 (t ) = −a1q1 (t ) − a 2 q 2 (t ) − a3 q3 (t ) + x(t )
y (t ) = b1q1 (t ) + b2 q 2 (t ) + b3 q3 (t )

Langkah berikutnya adalah menggambarkan blok-blok integrator


dengan masukan dan keluaran masing-masing. Langkah ini
memberikan diagram blok integrator sebagai berikut
q&1 1 q1 q&2 1 q2 q&3 1 q3
s s s

Langkah berikutnya adalah melakukan penghubungan blok-blok ini


sesuai dengan persamaan yang diketahui, yaitu
persamaan q&1 (t ) = q 2 (t ) berarti bahwa masukan blok
integrator nomer-1 adalah keluaran dari blok integrator
nomer-2.
persamaan q& 2 ( t ) = q 3 ( t ) berarti masukan blok
integrator nomer-2 adalah keluaran blok integratir
nomer-3. Kita mendapatkan hubungan:

q&3 1 q3 q&2 q2 q&1 1 q1


1
s s s
Selanjutnya kita membuat pencabangan-pencabangan dan
penjumlahan dengan blok-blok statis, sesuai dengan persamaan
yang diketahui, yaitu
q& 3 (t ) = −a1q1 (t ) − a 2 q 2 (t ) − a3 q3 (t ) + x(t )

Hasil yang kita peroleh adalah:

190 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


+ q&3 1 q3 q&2 1 q2 q&1 1 q1
x(t )
s s s

− −
a3
a2
a1

Satu persamaan lagi yang harus kita penuhi, yaitu persamaan


keluaran
y (t ) = b1q1 (t ) + b2 q 2 (t ) + b3 q3 (t )

Dengan pencabangan dan penjumlahan persamaan ini kita penuhi.

b3
b2
+ +
+ q&3 1 q3 q&2 1 q2 q&1 1 q1
s s
b1
x(t ) − s + y (t )
− −
a3
a2
a1

191
Soal-Soal
1. Carilah persamaan ruang status dari sistem-sistem dengan diagram
blok di bawah ini.

+ 1 +
X (s) 10 Y(s)
− s +
k
a).

1 1
X(s) + Y(s)
s s

ω2
b).

X(s)
1 +
Y(s)
s +1 −
s+2
c).

1 1
X(s) + + +
Y(s)
− − s s +
3

4
1
d). s

192 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


+ + 1 +
X(s) Y(s)
− − s +
3
+ 1
− s
4
e).

X(s) + 1 + 1 1 +
− s − s s + Y(s)
4
+ 1
− s
5
f).

2. Gambarkan diagram blok dari sistem dengan persamaan status berikut


ini.

 2 1 0
3
q ( t ) =  7 3 5 q ( t ) +   x ( t )
r& r
a).   5
0 6 4
r
y (t ) = [9 0 0] q (t ) + 10 x (t )

0 0 2  0
q (t ) = 4 0 − 1 q (t ) + 1 x (t )
 
r& r
b).    
2 0 0  0
r
y (t ) = [5 0 0] q (t ) + 5 x (t )

193
r − σ ω  r 1
q& (t ) =   q (t ) +   x ( t )
c).  − ω − σ 1
r
y (t ) = [1 1] q (t )

r  0 1 r 0 
q& (t ) =  2  q (t ) +   x (t )
d). − ω − 2ζω 1 
r
y (t ) = [1 0] q (t )

r  0 1 r 0 
q& (t ) =  2  q (t ) +   x (t )
e). − ω − 2ζω 1 
r
y (t ) = [0 1] q (t )

194 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


BAB 10
Transformasi Fourier
Kita telah mempelajari tanggapan frekuensi dari suatu rangkaian.
Analisis dengan menggunakan transformasi Fourier yang akan kita
pelajari berikut ini akan memperluas pemahaman kita mengenai
tanggapan frekuensi, baik mengenai perilaku sinyal itu sendiri
maupuan rangkaiannya. Selain dari pada itu, pada rangkaian-
rangkaian tertentu dijumpai keadaan dimana model sinyal dan piranti
tidak dapat dinyatakan melalui transformasi Laplace akan tetapi
dapat dilakukan melalui transformasi Fourier. Topik-topik yang akan
kita bahas meliputi: deret Fourier, transformasi Fourier, sifat-sifat
transformasi Fourier, dan analisis rangkaian menggunakan
transformasi Fourier. Dalam bab ini kita mempelajari tiga hal yang
pertama, sedangkan hal yang terakhir akan kita pelajari di bab
berikutnya.
Dengan mempelajari deret dan transformasi Fourier kita akan
• memahami deret Fourier.
• mampu menguraikan bentuk gelombang periodik
menjadi deret Fourier.
• mampu menentukan spektrum bentuk gelombang
periodik.
• memahami transformasi Fourier.
• mampu mencari transformasi Fourier dari suatu
fungsi t.
• mampu mencari transformasi balik dari suatu
transformasi Fourier.

10.1. Deret Fourier


10.1.1. Koefisien Fourier
Kita telah melihat bahwa sinyal periodik dapat diuraikan menjadi
spektrum sinyal. Penguraian suatu sinyal periodik menjadi suatu
spektrum sinyal tidak lain adalah pernyataan fungsi periodik
kedalam deret Fourier. Jika f(t) adalah fungsi periodik yang
memenuhi persyaratan Dirichlet, maka f(t) dapat dinyatakan sebagai
deret Fourier :

195

f (t ) = a0 + ∑ [an cos(nω0t ) + bn sin(nω0t )] (10.1)
n =1
yang dapat kita tuliskan sebagai (lihat sub-bab 3.2)

f (t ) = a0 + ∑  a n2 + bn2 (cos(nω0 t − θ n ) )

(10.2)
n =1

Koefisien Fourier a0, an, dan bn ditentukan dengan hubungan berikut.


1 T0 / 2
a0 = ∫
T0 −T0 / 2
f (t )dt

2 T0 / 2
an = ∫
T0 −T0 / 2
f (t ) cos(nω 0 t )dt ; n > 0 (10.3)

2 T0 / 2
bn = ∫
T0 −T0 / 2
f (t ) sin( nω 0 t )dt ; n > 0

Hubungan (10.3) dapat diperoleh dari (10.1). Misalkan kita mencari


an: kita kalikan (10.1) dengan cos(kωot) kemudian kita integrasikan
antara −To/2 sampai To/2 dan kita akan memperoleh
To / 2 To / 2
∫−T / 2 f (t ) cos(kωo t )dt = ∫−T / 2 a0 cos(kωo t )dt
o o

 To / 2 
∞ ∫
 −T / 2 a n cos(nω 0 t ) cos(kω o t )dt 
+ ∑  o
 To / 2


n =1 +

 −To / 2∫ bn sin( nω 0 t ) cos(kω o t )dt 

Dengan menggunakan kesamaan tigonometri
1 1
cos α cos β = cos(α − β) + cos(α + β)
2 2
1 1
cos α sin β = sin(α − β) + sin(α + β)
2 2
maka persamaan di atas menjadi

196 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


To / 2 To / 2
∫−T / 2 f (t) cos(kωot )dt = ∫−T / 2 a0 cos(kωot )dt
o o

 an To / 2
∞  ∫ (cos((n − k )ω0t ) + cos((n + k )ωot ))dt 
2 −To / 2
+ ∑ 
 bn To / 2


n =1  +
∫(sin((n − k )ω0t ) + sin((n + k )ωot ))dtdt 
 2 −To / 2 
Karena integral untuk satu perioda dari fungsi sinus adalah nol, maka
semua integral di ruas kanan persamaan ini bernilai nol kecuali satu
yaitu
a n To / 2
∫ (cos((n − k )ω 0t ))dt = a n yang terjadi jika n = k
2 −To / 2 2
2 To / 2
oleh karena itu an = ∫
To −To / 2
f (t ) cos(nω 0 t )dt

Pada bentuk-bentuk gelombang yang sering kita temui, banyak


diantara koefisien-koefisien Fourier yang bernilai nol. Keadaan ini
ditentukan oleh kesimetrisan fungsi f(t) yang pernah kita pelajari di
Bab-3; kita akan melihatnya sekali lagi dalam urain berikut ini.

10.1.2. Kesimetrisan Fungsi


Simetri Genap. Suatu fungsi dikatakan mempunyai simetri genap
jika f(t) = f(−t). Salah satu contoh fungsi yang memiliki simetri
genap adalah fungsi cosinus, cos(ωt) = cos(−ωt). Untuk fungsi
semacam ini, dari (10.1) kita dapatkan

f (t ) = a0 + ∑[an cos(nω0t) + bn sin(nω0t )] dan
n =1

f (−t ) = a0 + ∑ [an cos(nω0t) − bn sin(nω0t )]
n =1
Kalau kedua fungsi ini harus sama, maka haruslah bn = 0, dan f(t)
menjadi

f (t ) = ao + ∑ [an cos(nω0t )] (10.4)
n =1

197
v(t) T
CO;TOH-10.1: Tentukan
deret Fourier dari bentuk A
gelombang deretan pulsa
berikut ini. −T/2 0 T/2
To

Penyelesaian :
Bentuk gelombang ini memiliki simetri genap, amplitudo A,
perioda To , lebar pulsa T.
T /2
1 T /2At AT
ao =
To ∫ Adt =
−T / 2 To
−T/ 2
=
To
; bn = 0 ;

2 T /2 2A
∫−T / 2 A cos(nωot )dt = Toωon sin nωot −T / 2
T /2
an =
To
A  2 A   nπT 
 nπT
=  =
2 sin
 sin 

πn   πn   To 
 To
Untuk n = 2, 4, 6, …. (genap), an = 0; an hanya mempunyai
nilai untuk n = 1, 3, 5, …. (ganjil).

AT 2 A   nπT 
f (t ) =
To
+ ∑ sin
nπ   To
 cos(nωot )


n =1, ganjil

AT

2A
= + (− 1)(n −1) / 2 cos(nωot )
To nπ
n =1, ganjil
Pemahaman :
Pada bentuk gelombang yang memiliki simetri genap, bn = 0.
Oleh karena itu sudut fasa harmonisa tanθn = bn/an = 0 yang
berarti θn = 0o.
Simetri Ganjil. Suatu fungsi dikatakan mempunyai simetri ganjil
jika f(t) = −f(−t). Contoh fungsi yang memiliki simetri ganjil adalah
fungsi sinus, sin(ωt) = −sin(−ωt). Untuk fungsi semacam ini, dari
(10.1) kita dapatkan

− f ( −t ) = − a 0 + ∑ [− an cos(nω0t ) + bn sin(nω0t )]
n =1

198 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Kalau fungsi ini harus sama dengan

f (t ) = a0 + ∑ [an cos(nω0t ) + bn sin(nω0t )]
n =1
maka haruslah

a0 = 0 dan an = 0 ⇒ f (t ) = ∑ [bn sin(nω0t )] (10.5)
n =1

CO;TOH-10.2: Carilah deret


v(t) T
Fourier dari bentuk gelombang
persegi di samping ini. A
t
Penyelesaian:
Bentuk gelombang ini memiliki −A
simetri ganjil, amplitudo A,
perioda To = T.
ao = 0 ; a n = 0 ;

2 T /2 T 
bn = 
T  ∫0 A sin(nωot )dt + ∫T / 2 − A sin(nωot )dt 
2A 
 − cos(nωot ) 0 + cos(nωot ) T / 2 
T /2 T
=
Tnωo  

=
A

(
1 + cos2 (nπ) − 2 cos(nπ) )
Untuk n ganjil cos(nπ) = −1 sedangkan untuk n genap cos(nπ)
= 1. Dengan demikian maka
A
bn = (1 + 1 + 2) = 4 A untuk n ganjil
nπ nπ
A
bn = (1 + 1 − 2) = 0 untuk n genap



4A
⇒ v(t ) = sin(nωot )
n =1, ganjil

Pemahaman:

199
Pada bentuk gelombang yang mempunyai semetri ganjil, an = 0.
Oleh karena itu sudut fasa harmonisa tanθn = bn/an = ∞ yang
berarti θn = 90o.

Simetri Setengah Gelombang. Suatu fungsi dikatakan mempunyai


simetri setengah gelombang jika f(t) = −f(t−To/2). Fungsi dengan
sifat ini tidak berubah bentuk dan nilainya jika diinversi kemudian
digeser setengah perioda. Fungsi sinus(ωt) misalnya, jika kita kita
inversikan kemudian kita geser sebesar π akan kembali menjadi
sinus(ωt). Demikain pula halnya dengan fungsi-fungsi cosinus,
gelombang persegi, dan gelombang segitiga.

− f (t − To / 2) = −a0 + ∑ [− an cos(nω0 (t − π)) − bn sin(nω0 (t − π))]
n =1

∑ [− (−1)n an cos(nω0t ) − (−1)n bn sin(nω0t )]



= − a0 +
n =1

Kalau fungsi ini harus sama dengan



f (t ) = a0 + ∑ [an cos(nω0t ) + bn sin(nω0t )]
n =1

maka haruslah ao = 0 dan n harus ganjil. Hal ini berarti bahwa


fungsi ini hanya mempunyai harmonisa ganjil saja.

10.1.3. Deret Fourier Bentuk Eksponensial


Deret Fourier dalam bentuk seperti (10.1) sering disebut sebagai
bentuk sinus-cosinus. Bentuk ini dapat kita ubah kedalam cosinus
(bentuk sinyal standar) seperti (10.2). Sekarang bentuk (10.2) akan
kita ubah ke dalam bentuk eksponensial dengan menggunakan
hubungan

e jα + e − jα
cos α = .
2
Dengan menggunakan relasi ini maka (10.2) akan menjadi

200 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)



f (t ) = a 0 + ∑  an2 + bn2 (cos(nω0t − θ n ) )

n =1
∞  e j ( nω 0 t − θ n ) + e − j ( nω 0 t − θ n )  (10.6)
= a0 + ∑  an2 + bn2 
n =1 
2 
∞  a2 + b2  ∞  a2 + b2 
= a0 + ∑  n n
2
e j ( nω 0 t − θ n )  +
 ∑  n
 2
n − j ( nω 0 t − θ n ) 
e

n =1   n =1  
Suku ketiga (10.6) adalah penjumlahan dari n = 1 sampai n =∞. Jika
penjumlahan ini kita ubah mulai dari n = −1 sampai n = −∞, dengan
penyesuaian an menjadi a−n , bn menjadi b−n , dan θn menjadi θ−n,
maka menurut (10.3) perubahan ini berakibat
2 T0 / 2 2 T0 / 2
a− n = ∫
T0 −T0 / 2
f (t ) cos(−nω0t )dt =
T0 −T0 / 2 ∫
f (t ) cos(nω0t )dt = an

2 T0 / 2 2 T0 / 2
b− n =
T0 −T0

/ 2
f (t ) sin(−nω0t )dt = −
T0 −T0 / 2 ∫
f (t ) sin(nω0t )dt = −b

b − bn
tan θ− n = − n = ⇒ θ− n = −θn
a− n an
(10.7)
Dengan (10.7) ini maka (10.6) menjadi

 a2 + b2
∞  −∞  a 2 + b2 
f (t ) =
 ∑
 n
2
n j ( nω0 t − θ n ) 
e

+  n
 2
e ∑
n j ( nω 0 t − θ n ) 

n =0   n = −1  
(10.8)
Suku pertama dari (10.8) merupakan penjumlahan yang kita mulai
dari n = 0 untuk memasukkan a0 sebagai salah satu suku
penjumlahan ini. Dengan cara ini maka (10.8) dapat ditulis menjadi

+∞  a2 + b2  +∞
 n n − j θ n  j ( n ω0 t )
f (t ) = ∑  2
e 

e = cn e j ( nω0 t ) ∑ (10.9)
n = −∞   n = −∞

Inilah bentuk eksponensial deret Fourier, dengan cn adalah koefisien


Fourier yang mungkin berupa besaran kompleks.

201
an2 + bn2 an − jbn
cn = e − jθ = (10.10)
2 2

an2 + bn2
cn = dan ∠cn = θn dengan
2 (10.11)
−b  b 
θ n = tan −1  n  jika an < 0; θn = tan −1  n  jika an > 0
 an   an 

Jika an dan bn pada (10.3) kita masukkan ke (10.10) akan kita


dapatkan
an − jbn 1 T0 / 2 − jnωn t
cn =
2
=
T0 ∫−T / 2 f (t ) e
0
dt (10.12)

dan dengan (10.12) ini maka (10.9) menjadi


+∞ +∞
 1 T0 / 2 
f (t ) = ∑ c n e j ( nω 0 t ) = ∑  T0 ∫−T / 2 f (t ) e− jnω t dt  e j (nω t ) (10.13)
o 0

n = −∞ n = −∞ 0

Persamaan (10.11) menunjukkan bahwa 2|cn| adalah amplitudo dari


harmonisa ke-n dan sudut fasa harmonisa ke-n ini adalah ∠cn.
Persamaan (10.10) ataupun (10.12) dapat kita pandang sebagai
pengubahan sinyal periodik f(t) menjadi suatu spektrum yang terdiri
dari spektrum amplitudo dan spektrum sudut fasa seperti telah kita
kenal di Bab-1. Persamaan (10.9) ataupun (10.13) memberikan f(t)
apabila komposisi harmonisanya cn diketahui. Persamaan (10.12)
menjadi cikal bakal transformasi Fourier, sedangkan persamaan
(10.13) adalah transformasi baliknya.
CO;TOH-10.3: Carilah koefisien Fourier cn dari fungsi pada
contoh-10.1.
Penyelesaian :
T /2
1 T /2 − jnωo t A  e − jnωo t 
 
cn =
To ∫−T / 2A e dt =
To  − jnωo


 −T / 2
A  e jnωoT / 2 − e − jnωoT / 2 
=   = 2 A sin (nω T / 2)
nωoTo  j  nωoTo o
 

202 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


10.2. Transformasi Fourier
10.2.1. Spektrum Kontinyu
Deret Fourier, yang koefisiennya diberikan oleh (10.12) hanya
berlaku untuk sinyal periodik. Sinyal-sinyal aperiodik seperti sinyal
eksponensial dan sinyal anak tangga tidak dapat direpresentasikan
dengan deret Fourier. Untuk menangani sinyal-sinyal demikian ini
kita memerlukan transformasi Fourier dan konsep spektrum
kontinyu. Sinyal aperiodik dipandang sebagai sinyal periodik dengan
perioda tak-hingga.
Jika diingat bahwa ω0 = 2π/T0 , maka (10.13) menjadi

 1 T0 / 2 
f (t ) = ∑  T0 ∫−T / 2 f (t ) e− jnω t dt  e jnω t
0 0

n = −∞ 0
(10.14)

1  T0 / 2 
= ∑ ∫

2π n = −∞  −T0 / 2
f (t ) e − jnω0t dt  ω0 e jnω0t

Kita lihat sekarang apa yang terjadi jika perioda T0 diperbesar.


Karena ω0 = 2π/T0 maka jika T0 makin besar, ω0 akan makin kecil.
Beda frekuensi antara dua harmonisa yang berturutan, yaitu

∆ω = (n + 1)ω0 − nω0 = ω0 =
T0

juga akan makin kecil yang berarti untuk suatu selang frekuensi
tertentu jumlah harmonisa semakin banyak. Oleh karena itu jika
perioda sinyal T0 diperbesar menuju ∞ maka spektrum sinyal
menjadi spektrum kontinyu, ∆ω menjadi dω (pertambahan frekuensi
infinitisimal), dan nω0 menjadi peubah kontinyu ω. Penjumlahan
pada (10.14) menjadi integral. Jadi dengan membuat T0 → ∞ maka
(10.14) menjadi

1 ∞  ∞  1 ∞
f (t ) = ∫ ∫ f (t ) e − jωt dt  e jωt dω = F (ω) e jωt dω

2π − ∞  − ∞  2π − ∞
(10.15)
dengan F(ω) merupakan sebuah fungsi frekuensi yang baru,
sedemikian rupa sehingga

203
∞ − jωt
F (ω) = ∫−∞ f (t ) e dt (10.16)

dan F(ω) inilah transformasi Fourier dari f(t), yang ditulis dengan
notasi
F[ f (t )] = F (ω)
Proses transformasi balik dapat kita lakukan melalui persamaan
(10.15).

f (t ) = F −1(ω)

CO;TOH-10.4: Carilah transformasi


Fourier dari bentuk gelombang pulsa v(t)
di samping ini. A
Penyelesaian :
−T/2 0 T/2
Bentuk gelombang ini adalah
aperiodik yang hanya mempunyai nilai antara −T/2 dan +T/2,
sedangkan untuk t yang lain nilainya nol. Oleh karena itu
integrasi yang diminta oleh (10.16) cukup dilakukan antara −T/2
dan +T/2 saja.
T /2
T /2 A − jωt A  e jωT / 2 − e − jωT / 2 
F (ω) = ∫−T / 2 A e − jωt dt = − e =  
jω −T / 2
ω / 2  j2 
sin(ωT / 2)
= AT
ωT / 2

Kita bandingkan transformasi Fourier (10.16)


∞ − jωt
F (ω) = ∫−∞ f (t ) e dt
dengan koefisien Fourier
a n − jbn 1 T0 / 2
cn = = ∫ f (t ) e − jnω n t dt (10.17)
2 T0 − T 0 / 2

Koefisien Fourier cn merupakan spektrum sinyal periodik dengan


perioda T0 yang terdiri dari spektrum amplitudo |cn| dan spektrum

204 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


sudut fasa ∠cn, dan keduanya merupakan spektrum garis (tidak
kontinyu, memiliki nilai pada frekuensi-frekuensi tertentu yang
diskrit). Sementara itu transformasi Fourier F(ω) diperoleh dengan
mengembangkan perioda sinyal menjadi tak-hingga guna mencakup
sinyal aperiodik yang kita anggap sebagai sinyal periodik yang
periodenya tak-hingga. Faktor 1/T0 pada cn dikeluarkan untuk
memperoleh F(ω) yang merupakan spektrum kontinyu, baik
spektrum amplitudo |F(jω)| maupun spektrum sudut fasa ∠ F(ω).

CO;TOH-10.5: Gambarkan spektrum amplitudo dari sinyal pada


contoh 10.4.

Penyelesaian :
|F(ω)|
Spektrum amplitudo
sinyal aperiodik ini
merupakan spektrum
kontinyu |F(jω)|.
sin(ωT / 2) −6π −4π −2π 0 2 π 4 π 6π ω
F (ω) = AT
ωT / 2 -5 T T0 T T T T

Pemahaman:
Sinyal ini mempunyai simetri genap. Sudut fasa harmonisa
adalah nol sehingga spektrum sudut fasa tidak digambarkan.
Perhatikan pula bahwa |F(ω)| mempunyai spektrum di dua sisi,
ω positif maupun negatif; nilai nol terjadi jika sin(ωT/2)=0 yaitu
pada ω = ±2kπ/T (k = 1,2,3,…); nilai maksimum terjadi pada ω
= 0, yaitu pada waktu nilai sin(ωT/2)/(ωT/2) = 1.

CO;TOH-10.6: Carilah transformasi Fourier dari f(t) = [A e−αt ] u(t)


dan gambarkan spektrum amplitudo dan fasanya.
Penyelesaian :

205
∞ − αt ∞
F(ω) = ∫−∞ Ae u (t )e − jωt dt = ∫0 Ae −( α + jω)t dt

e −(α + jω)t A
=− A = untuk α > 0
α + jω α + jω
0
| A|
⇒ F(ω) =
α 2 + ω2
ω
⇒ θ(ω) = ∠F ( jω) = − tan −1
α

|F(ω) θ(ω) +90o


25
A/α 90
|

ω −90o
Pemahaman:
Untuk α < 0, tidak ada transformasi Fourier-nya karena
integrasi menjadi tidak konvergen.

10.3. Transformasi Balik


Pada transformasi Fourier transformasi balik sering dilakukan
dengan mengaplikasikan relasi formalnya yaitu persamaan (10.15).
Hal ini dapat dimengerti karena aplikasi formula tersebut relatif
mudah dilakukan

CO;TOH-10.7: Carilah f(t) dari


F (ω) = 2πδ(ω)
Penyelesaian :
1 ∞ 1 0+
f (t ) = ∫−∞ 2πδ(ω) e jωt dω = ∫0 2πδ(ω) e jωt dω
2π 2π −

α+
= ∫α −
δ(ω)(1) dω = 1

206 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Pemahaman :
Fungsi 2πδ(ω) adalah fungsi di kawasan frekuensi yang hanya
mempunyai nilai di ω=0 sebesar 2π. Oleh karena itu e jωt juga
hanya mempunyai nilai di ω=0 sebesar e j0t =1. Karena fungsi
hanya mempunyai nilai di ω=0 maka integral dari −∞ sampai
+∞ cukup dilakukan dari 0− sampai 0+, yaitu sedikit di bawah
dan di atas ω=0. Contoh ini menunjukkan bahwa transformasi
Fourier dari sinyal searah beramplitudo 1 adalah 2πδ(ω).

CO;TOH-10.8: Carilah f(t) dari


F ( jω) = 2πδ(ω − α)

Penyelesaian :
1 ∞ 1 α+
f (t ) = ∫−∞ 2πδ(ω − α) e jωt dω = ∫α 2πδ(ω − α) e jωt dω
2π 2π −

α+
= e jα t ∫α −
δ(ω − α) dω = e jαt

Pemahaman :
Fungsi 2πδ(ω−α) adalah fungsi di kawasan frekuensi yang
hanya mempunyai nilai di ω=α sebesar 2π. Oleh karena itu e jωt
juga hanya mempunyai nilai di ω=α sebesar ejαt. Karena fungsi
hanya mempunyai nilai di ω=α maka integral dari −∞ sampai
+∞ cukup dilakukan dari α− sampai α+, yaitu sedikit di bawah
dan di atas ω=α.

CO;TOH-10.9: Carilah f(t) dari


πA
F(ω) = [u (ω + α) − u (ω − α)]
α
Penyelesaian :

207
1 ∞ πA
f (t ) = ∫ [u(ω + α) − u(ω − α)] e jωt dω
2π −∞ α
α
j ωt
1 ∞ πA
= ∫ [1] e jωt dω = A e
2π −∞ α 2α jt
−α
jαt − jαt jαt − jαt
A e −e A e −e sin(αt )
= = =A
2α jt αt j2 αt
Pemahaman:
Dalam soal ini F(ω) mempunyai nilai pada selang −α<ω<+α
oleh karena itu e jωt juga mempunyai nilai pada selang frekuensi
ini juga; dengan demikian integrasi cukup dilakukan antara −α
dan +α.

Hasil transformasi balik f(t) dinyatakan dalam bentuk sin(x)/x


yang bernilai 1 jika x→0 dan bernilai 0 jika x→∞. Jadi f(t)
mencapai nilai maksimum pada t = 0 dan menuju nol jika t
menuju ∞ baik ke arah positif maupun negatif. Kurva F(ω) dan
f(t) digambarkan di bawah ini.
f(t)
A
F(ω)

−β 0 +β ω t

10.2.3. Dari Transformasi Laplace ke Transformasi Fourier


Untuk beberapa sinyal, terdapat hubungan sederhana antara
transformasi Fourier dan transformasi Laplace. Sebagaimana kita
ketahui, transformasi Laplace didefinisikan melalui (8.1) sebagai

F (s) = ∫0 f (t )e − st dt (10.18)

208 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


dengan s = σ + jω adalah peubah frekuensi kompleks. Batas bawah
integrasi adalah nol, artinya fungsi f(t) haruslah kausal. Jika f(t)
memenuhi persyaratan Dirichlet maka integrasi tersebut di atas akan
tetap konvergen jika σ = 0, dan formulasi transformasi Laplace ini
menjadi

F ( s) = ∫ f (t )e − jωt dt (10.19)
0
Sementara itu untuk sinyal kausal integrasi transformasi Fourier
cukup dilakukan dari nol, sehingga transformasi Fourier untuk sinyal
kausal menjadi

F ( ω) = ∫ f (t ) e − jωt dt (10.20)
0
Bentuk (10.20) sama benar dengan (10.19), sehingga kita dapat
simpulkan bahwa
untuk sinyal f (t ) kausal dan dapat di - integrasi berlaku
(10.21)
F (ω) = F( s) σ =0

Persyaratan “dapat di-integrasi” pada hubungan (10.21) dapat


dipenuhi jika f(t) mempunyai durasi yang terbatas atau cepat
menurun menuju nol sehingga integrasi |f(t)| dari t=0 ke t=∞
konvergen. Ini berarti bahwa pole-pole dari F(s) harus berada di
sebelah kiri sumbu imajiner. Jika persyaratan-persyaratan tersebut di
atas dipenuhi, pencarian transformasi balik dari F(ω) dapat pula
dilakukan dengan metoda transformasi balik Laplace.

CO;TOH-10.10: Dengan menggunakan metoda transformasi


Laplace carilah transformasi Fourier dari fungsi-fungsi berikut
(anggap α, β > 0).

a). f1(t ) = A e −αt u (t )


b). f 2 (t ) = δ(t )
[ ]
c) f3 (t ) = A e−αt sin βt u (t )

Penyelesaian:

209
a). f 1 (t ) = Ae −αt u (t ) → fungsi kausal dan dapat di - integrasi
A
→ F (s) = → pole p1 = −α (di kiri sumbu imag)
s+α
1
→ F (ω) =
jω + α
b). f 2 (t ) = δ(t ) → fungsi kausal dan dapat di - integrasi
→ F ( s ) = 1 → F (ω) = 1
[ ]
c). f 3 (t ) = A e − αt sin βt u (t ) → fungsi kausal, dapat di - integrasi
A
→ F (s) = → pole p = −α ± jβ (di kiri sumbu im)
( s + α) 2 + β2
A a
→ F (ω) = =
2 2
( jω + α ) + β α + β − ω2 + j 2αω
2 2

10
CO;TOH-10.11: Carilah f(t) dari F (ω) =
( jω + 3)( jω + 4)

Penyelesaian :
Jika kita ganti jω dengan s kita dapatkan
10
F (s) =
( s + 3)(s + 4)
Pole dari fungsi ini adalah p1 = −3 dan p2 = −4, keduanya di
sebelah kiri sumbu imajiner.
10 k k
F( s ) = = 1 + 2
( s + 3)(s + 4) s + 3 s + 4
10 10
→ k1 = = 10 ; k 2 = = −10
s + 4 s = −3 s + 3 s = −4
10 10
⇒ F( s ) = −
s+3 s+4
Transformasi balik dari F(ω) adalah :

[ ]
f (t ) = 10 e −3t − 10 e −4t u (t )

210 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


10.4. Sifat-Sifat Transformasi Fourier
10.4.1. Kelinieran
Seperti halnya transformasi Laplace, sifat utama transformasi Fourier
adalah kelinieran.
Jika F[ f1(t )] = F1 (ω) dan F[ f2 (t )] = F2 (ω)
:
maka : F[Af1(t ) + Bf 2 (t )] = AF1(ω) + BF2 (ω)
(10.22)

CO;TOH-10.12: Carilah transformasi Fourier dari v(t) = cosβt.


Penyelesaian:
Fungsi ini adalah non-kausal; oleh karena itu metoda
transformasi Laplace tidak dapat di terapkan. Fungsi cosinus ini
kita tuliskan dalam bentuk eksponensial.

F[cosβt] = F 
 e jβt + e − jβt  1
= Fe [ ]
jβ t 1
+ F e − jβt[ ]
 2  2 2

Dari contoh 10.8. kita ketahui bahwa F e jωt  = 2πδ(ω − β)


 
Jadi F[cosβt] = πδ(ω − β) + πδ(ω + β)

10.4.2. Diferensiasi
Sifat ini dinyatakan sebagai berikut

F 
df (t ) 
 = jωF (ω) (10.23)
 dt 
Persamaan (10.15) menyatakan
1 ∞
f (t ) = ∫ F (ω) e jωt dω
2π − ∞


df (t ) d  1 ∞
dt
=  ∫
dt  2π − ∞
 1 ∞ d
F (ω) e jωt dω  =

∫ 2 π − ∞
( jωt
 dt F (ω) e dω 

)

1 ∞
= ∫ jωF (ω) e jωt dω
2π − ∞
 df (t ) 
→ F  = jωF (ω)
 dt 

211
10.4.3. Integrasi
Sifat ini dinyatakan sebagai berikut.

 t  F(ω)
F ∫ f ( x)dx  = + πF(0)δ(ω) (10.24)
 −∞  jω

Suku kedua ruas kanan (10.24) merupakan komponen searah jika


sekiranya ada. Faktor F(0) terkait dengan f(t); jika ω diganti dengan
nol akan kita dapatkan

F (0) = ∫−∞ f (t )dt
CO;TOH-10.13: Carilah transformasi Fourier dari f(t) = Au(t).
Penyelesaian:
Metoda transformasi Laplace tidak dapat diterapkan untuk
fungsi anak tangga. Dari contoh (10.10.b) kita dapatkan bahwa
F[δ(t )] = 1 . Karena fungsi anak tangga adalah integral dari
fungsi impuls, kita dapat menerapkan hbungan (10.24) tersebut
di atas.
t 1
F[u (t )] = F ∫ δ( x)dx = + πδ(ω)
−∞ jω

10.4.4. Pembalikan
Pembalikan suatu fungsi f(t) adalah mengganti t dengan −t. Jika kita
membalikkan suatu fungsi, maka urutan kejadian dalam fungsi yang
baru berlawanan dengan urutan kejadian pada fungsi semula.
Transformsi Fourier dari fungsi yang dibalikkan sama dengan
kebalikan dari transformasi Fourier fungsi semula. Secara formal hal
ini dapat dituliskan sebagai
Jika F[ f (t )] = F (ω) maka F[ f (−t )] = F (−ω) (10.25)

Menurut (10.16)

212 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)



F [ f ( −t ) ] = ∫ f (−t ) e − jωt dt ; Misalkan − t = τ
−∞
−∞
→ F[ f (−t )] = F[ f (τ)] = − ∫∞ f (τ) e jωτ dτ
∞ − jωτ
= ∫−∞ f (τ) e dτ = F(−ω)

Sifat pembalikan ini dapat kita manfaatkan untuk mencari


transformasi Fourier dari fungsi signum dan fungsi eksponensial dua
sisi.

CO;TOH-10.14: Carilah transformasi Fourier dari fungsi signum


dan eksponensial dua sisi breikut ini.
v(t)
u(t) v(t)
1
1 −αt
e−α(−t) e u(t)
0 t
−u(−t)
−1 00 t
eksponensial dua sisi :
signum : sgn(t) = u(t) − e−α| t | = e−αt u(t) + e−α(−t) u(−t)
u(−t) :
Penyelesaian
1
Contoh 10.13. memberikan F[u (t )] = + πδ(ω) maka

2
F[sgn(t )] = F[u (t ) − u (−t )] =

Contoh 10.10.a memberikan [ ]


F e− αt u (t ) =
1
α + jω
maka

[ ] [
F e −α|t| = F e −αt u (t ) + e −α(−t ) u (−t ) ]
1 1 2α
= + =
α + jω α + j (−ω) α 2 + ω 2

10.4.5. Komponen ;yata dan Imajiner dari F(ω)


Pada umumnya transformasi Fourier dari f(t), F(ω), berupa fungsi
kompleks yang dapat kita tuliskan sebagai

213
∞ − jωt ∞ ∞
F (ω) = ∫−∞ f (t ) e dt = ∫−∞ f (t ) cosωt dt − j ∫−∞ f (t ) sinωt dt
= A(ω) + jB(ω) = F (ω) e jθ ω
dengan
∞ ∞
A(ω) = ∫−∞ f (t ) cos ωt dt ; B(ω) = − ∫−∞ f (t ) sin ωt dt (10.26)

 B(ω) 
F (ω) = A2 (ω) + B 2 (ω) ; θ(ω) = tan −1  (10.27)
 A(ω) 
Jika f(t) fungsi nyata, maka dari (10.26) dan (10.27) dapat kita
simpulkan bahwa
1. Komponen riil dari F(ω) merupakan fungsi genap, karena
A(−ω) = A(ω).
2. Komponen imajiner F(ω) merupakan fungsi ganjil, karena
B(−ω) =− B(ω).
3. |F(ω)| merupakan fungsi genap, karena |F(−ω)| = |F(ω)|.
4. Sudut fasa θ(ω) merupakan fungsi ganjil, karena θ(−ω) =−
θ(ω).
5. Kesimpulan (1) dan (2) mengakibatkan : kebalikan F(ω)
adalah konjugat-nya, F(−ω) = A(ω) − jB(ω) = F*(ω) .
6. Kesimpulan (5) mengakibatkan : F(ω) × F(−ω) = F(ω) ×
F*(ω) = |F(ω)|2.
7. Jika f(t) fungsi genap, maka B(ω) = 0, yang berarti F(ω) riil.
8. Jika f(t) fungsi ganjil, maka A(ω) = 0, yang berarti F(ω)
imajiner.

10.4.6. Kesimetrisan
Sifat ini dinyatakan secara umum sebagai berikut.
Jika F[ f (t )] = F (ω) maka F[F (t )] = 2π f (−ω) (10.28)

Sifat ini dapat diturunkan dari formulasi transformasi balik.

214 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


∞ j ωt ∞ − jωt
2π f (t ) = ∫−∞ F (ω) e dω → 2π f (−t ) = ∫−∞ F (ω) e dω
∞ − j ωt
Jika t dan ω dipertukarkan maka : 2π f (−ω) = ∫−∞ F (t ) e dω

10.4.7. Pergeseran Waktu


Sifat ini dinyatakan sebagai berikut.
Jika F[ f (t )] = F (ω) maka F[ f (t − T )] = e − jωT F (ω) (10.29)
Sifat ini mudah diturunkan dari definisinya.

10.4.8. Pergeseran Frekuensi


Sifat ini dinyatakan sebagai berikut.

Jika F −1[F (ω)] = f (t ) maka F −1[F (ω − β)] = e jβt f (t ) (10.30)


Sifat ini juga mudah diturunkan dari definisinya.

10.4.9. Penskalaan
Sifat ini dinyatakan sebagai berikut.
1  ω
Jika F[ f (t )] = F (ω) maka F[ f (at )] = F  (10.31)
|a|  a 

10.5. Ringkasan
Tabel-10.1 berikut ini memuat pasangan transformasi Fourier
sedangkan sifat-sifat transformasi Fourier termuat dalam Tabel-10.2.

215
Tabel 10.1. Pasangan transformasi Fourier.
Sinyal f(t) F(ω)
Impuls δ(t) 1
Sinyal searah (konstan) 1 2π δ(ω)
Fungsi anak tangga u(t) 1
+ πδ(ω)

Signum sgn(t) 2

Exponensial (kausal) (e )u(t )
− αt 1
α + jω
Eksponensial (dua sisi) e − α |t | 2α
α 2 + ω2
Eksponensial kompleks e jβt 2π δ(ω − β)

Kosinus cosβt π [δ(ω − β) + δ(ω + β)]


Sinus sinβt − jπ [δ(ω − β) − δ(ω + β)]

Tabel 10.2. Sifat-sifat transformasi Fourier.


Sifat Kawasan Waktu Kawasan Frekuensi
Sinyal f(t) F(ω)
Kelinieran A f1(t) + B f2(t) AF1(ω) + BF2(ω)
Diferensiasi df (t ) jωF(ω)
dt
t F (ω)
∫ f ( x)dx
Integrasi + π F (0) δ(ω)
−∞ jω
Kebalikan f (−t) F(−ω)
Simetri F (t) 2π f (−ω)
Pergeseran waktu f (t − T) e − jωT F (ω)
Pergeseran frekuensi e j β t f (t) F(ω − β)
Penskalaan |a| f (at)  ω
F 
a

216 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Soal-Soal
Deret Fourier Bentuk Sinus-Cosinus.
1. Tentukan deret Fourier dari gelombang segitiga berikut ini.
v 1ms
5V
t
a). −5V

v 1ms
10V

b). t

20ms
v 150V

c).
v 150V

t
20ms
d).

v 1ms
10V

−5V t
e).
2. Siklus pertama dari deretan pulsa dinyatakan sebagai
v(t ) = 2u(t ) − 2u(t − 1) + u (t − 2) − u (t − 3)
Gambarkan siklus pertama tersebut dan carilah koefisien Fourier-
nya serta gambarkan spektrum amplitudo dan sudut fasanya.

217
3. Suatu gelombang komposit dibentuk dengan menjumlahkan
tegangan searah 10V dengan gelombang persegi yang amplitudo
puncak ke puncak-nya 10 V. Carilah deret Fouriernya dan
gambarkan spektrum amplitudonya.
Deret Fourier Bentuk Eksponensial.
4. Carilah koefisien kompleks deret Fourier bentuk gelombang
berikut.
v 1ms
5V
t
a). −5V

v 1ms
10V

b). t

v 2ms
10V
1ms
t
−5V
c).
v
150V

t
20ms
d).

v 1ms
10V

−5V t
e).

218 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Transformasi Fourier
5. Carilah transformasi Fourier dari bentuk-bentuk gelombang
berikut:
At
a). v (t ) = [u(t ) − u(t − T )] ;
T
 
b). v(t ) = A cos 2πt  u t + T  − u t − T 
 T   4  4 
  
c). v(t ) = A 1 + cos 2πt  u t + T  − u  t − T 
2  T    2  2 

d). v (t ) = 2 + 2u (t ) ;
e). v(t ) = 2 sgn(−t ) + 6u (t )

[ ]
f). v(t ) = 2e −2t u (t ) + 2 sgn(t ) δ(t + 2)

g). v(t ) = 2e −2(t − 2)u (t − 2) + 2e −2(t + 2)u (t + 2)

6. Tentukan transformasi balik dari fungsi-fungsi berikut:


π − α|ω|
a). F ( ω) = e ;
α
πA
b). F ( ω) = [u(ω + β) − u(ω − β)]
β
1000
c). F ( ω) = ;
( jω + 20) ( jω + 50)

d). F ( ω) =
( jω + 20) ( jω + 50)

− ω2
e). F ( ω) = ;
( jω + 20) ( jω + 50)
1000
f). F ( ω) =
jω( jω + 20) ( jω + 50)

219
j500ω
g). F ( ω) = ;
( − jω + 50) ( jω + 50)
j5ω
h). F ( ω) =
( jω + 50) ( jω + 50)
5000
i). F ( ω) = ;
jω( − jω + 50) ( jω + 50)
5000δ(ω)
j). F ( ω) =
− ω2 + j 200ω + 2500
k). F ( ω) = 4 π δ(ω) + e −2ω ;

4π δ( ω − 4)e − j2ω
l). F ( ω) =

4π δ( ω) + 4( jω + 1)
m). F ( ω) = ;
jω( 2 + jω)

n). F ( ω) = 4 π δ( ω) + e −2ω

o). F ( ω) = 4 π δ( ω) + 4π δ( ω − 2) + 4π δ( ω + 2)

220 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


BAB 11
Analisis Rangkaian Menggunakan
Transformasi Fourier
Dengan pembahasan analisis rangkaian dengan menggunakan
transformasi Fourier, kita akan
• mampu melakukan analisis rangkaian menggunakan
transformasi Fourier.
• mampu mencari tanggapan frekuensi.

11.1. Transformasi Fourier dan Hukum Rangkaian


Kelinieran dari transformasi Fourier menjamin berlakunya relasi hukum
Kirchhoff di kawasan frekuensi. Relasi HTK misalnya, jika
ditransformasikan akan langsung memberikan hubungan di kawasan
frekuensi yang sama bentuknya dengan relasinya di kawasan waktu.
Misalkan relasi HTK : v1 (t ) + v 2 (t ) − v3 (t ) = 0
jika ditransformasikan : V1 (ω) + V3 (ω) − V3 (ω) = 0

Hal inipun berlaku untuk KCL. Dengan demikian maka transformasi


Fourier dari suatu sinyal akan mengubah pernyataan sinyal di kawasan
waktu menjadi spektrum sinyal di kawasan frekuensi tanpa mengubah
bentuk relasi hukum Kirchhoff, yang merupakan salah satu persyaratan
rangkaian yang harus dipenuhi dalam analisis rangkaian listrik.
Persyaratan rangkaian yang lain adalah persyaratan elemen, yang dapat
kita peroleh melalui transformasi hubungan tegangan-arus (karakteristik
i-v elemen). Dengan memanfaatkan sifat diferensiasi dari transformasi
Fourier, kita akan memperoleh relasi di kawasan frekuensi untuk resistor,
induktor, dan kapasitor sebagai berikut.
Resistor : V R (ω) = RI R (ω)
Induktor : V L (ω) = jωLI L (ω)
Kapasitor : I C (ω) = jωCVC (ω)
Relasi diatas mirip dengan relasi hukum Ohm. Dari relasi di atas kita
dapatkan impedansi elemen, yaitu perbandingan antara tegangan dan arus
di kawasan frekuensi

221
1
ZR = R ; Z L = jωL ; ZC = (11.1)
jωC
Bentuk-bentuk (11.1) telah kita kenal sebagai impedansi arus bolak-
balik.
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa transformasi Fourier
suatu sinyal akan tetap memberikan relasi hukum Kirchhoff di kawasan
frekuensi dan hubungan tegangan-arus elemen menjadi mirip dengan
relasi hukum Ohm jika elemen dinyatakan dalam impedansinya. Dengan
dasar ini maka kita dapat melakukan transformasi rangkaian, yaitu
menyatakan elemen-elemen rangkaian dalam impedansinya dan
menyatakan sinyal dalam transformasi Fouriernya. Pada rangkaian yang
ditransformasikan ini kita dapat menerapkan kaidah-kaidah rangkaian
dan metoda-metoda analisis rangkaian. Tanggapan rangkaian di kawasan
waktu dapat diperoleh dengan melakukan transformasi balik.
Uraian di atas paralel dengan uraian mengenai transformasi Laplace,
kecuali satu hal yaitu bahwa kita tidak menyebut-nyebut tentang kondisi-
awal. Hal ini dapat difahami karena batas integrasi dalam mencari
transformasi Fourier adalah dari −∞ sampai +∞. Hal ini berbeda dengan
transformasi Laplace yang batas integrasinya dari 0 ke +∞. Jadi analisis
rangkaian dengan menggunakan transformasi Fourier mengikut sertakan
seluruh kejadian termasuk kejadian untuk t < 0. Oleh karena itu cara
analisis dengan transformasi Fourier tidak dapat digunakan jika kejadian
pada t < 0 dinyatakan dalam bentuk kondisi awal. Pada dasarnya
transformasi Fourier diaplikasikan untuk sinyal-sinyal non-kausal
sehingga metoda Fourier memberikan tanggapan rangkaian yang berlaku
untuk t = −∞ sampai t = +∞.
CO;TOH-11.1: Pada rangkaian seri antara
resistor R dan kapasitor C diterapkan + +
tegangan v1. Tentukan tanggapan v1 R C vC
rangkaian vC. − −
Penyelesaian:
Persoalan rangkaian orde pertama ini telah pernah kita tangani pada
analisis transien di kawasan waktu maupun kawasan s
(menggunakan transformasi Laplace). Di sini kita akan
menggunakan transformasi Fourier.

222 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Transformasi Fourier dari rangkaian ini
adalah : tegangan masukan V1(ω), + R +
impedansi resistor R terhubung seri V1 1/jωC VC
1 − −
dengan impedansi kapasitor .
jωC
Dengan kaidah pembagi tegangan kita dapatkan tegangan pada
kapasitor adalah
ZC 1 / jωC 1 / RC
VC (ω) = V1 (ω) = V1 (ω) = V1 (ω)
R + ZC R + (1 / jωC ) jω + (1 / RC )
Tegangan kapasitor tergantung dari V1(ω). Misalkan tegangan
masukan v1(t) berupa sinyal anak tangga dengan amplitudo 1. Dari
tabel 11.1. tegangan ini di kawasan frekuensi adalah
1
V1 (ω) = + π δ(ω) . Dengan demikian maka

1 / RC  1  1 / RC π δ(ω) / RC
VC (ω) =  + π δ(ω)  = +
jω + (1 / RC )  jω  jω( jω + 1 / RC ) ( jω + 1 / RC )
Fungsi impuls δ(ω) hanya mempunyai nilai untuk ω = 0, sehingga
pada umumnya F(ω)δ(ω) = F(0)δ(ω). Dengan demikian suku kedua
π δ(ω) / RC
ruas kanan persamaan di atas = π δ(ω) . Suku pertama
( jω + 1 / RC )
dapat diuraikan, dan persamaan menjadi
1 1
VC (ω) = − + π δ(ω)
jω jω + 1 / RC
Dengan menggunakan Tabel 11.1. kita dapat mencari transformasi
balik
1
vC (t ) =
2
[ ] 1
[ ]
sgn(t ) − e −(1/ RC ) t u (t ) + = 1 − e −(1/ RC ) t u (t )
2
Pemahaman :
Hasil yang kita peroleh menunjukkan keadaan transien tegangan
kapasitor, sama dengan hasil yang kita peroleh dalam analisis
transien di kawasan waktu di Bab-4 contoh 4.5. Dalam
menyelesaikan persoalan ini kita tidak menyinggung sama sekali
mengenai kondisi awal pada kapasitor karena transformasi Fourier
telah mencakup keadaan untuk t < 0.

223
CO;TOH-11.2: Bagaimanakah vC pada contoh 11.1. jika tegangan
yang diterapkan adalah v1(t) = sgn(t) ?

Penyelesaian:
2
Dari Tabel 11.1. kita peroleh F[ sgn(t ) ] = . Dengan demikian

maka VC(ω) dan uraiannya adalah

 1 / RC  2 2 2
VC (ω) =   = −
 jω + 1 / RC  jω jω jω + 1 / RC
Transformasi baliknya memberikan

vC (t ) = sgn(t ) − 2 e −(1/ RC ) t u (t )

Pemahaman:
Persoalan ini melibatkan sinyal non-kausal yang memerlukan
penyelesaian dengan transformasi Fourier. Suku pertama dari vC(t)
memberikan informasi tentang keadaan pada t < 0, yaitu bahwa
tegangan kapasitor bernilai −1 karena suku kedua bernilai nol untuk
t < 0. Untuk t > 0, vC(t) bernilai 1 − 2e−(1/RC) tu(t) yang merupakan
tegangan transien yang nilai akhirnya adalah +1. Di sini terlihat jelas
bahwa analisis dengan menggunakan transformasi Fourier
memberikan tanggapan rangkaian yang mencakup seluruh sejarah
rangkaian mulai dari −∞ sampai +∞. Gambar vC(t) adalah seperti di
bawah ini.
2
vC
1
+1
sgn(t)−2e−(1/RC) tu(t)
0
t
-40 -20 0 20 40
sgn(t)
-1 −2e−(1/RC) tu(t)
−1
−2
-2

224 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


11.2. Konvolusi dan Fungsi Alih
Jika h(t) adalah tanggapan rangkaian terhadap sinyal impuls dan x(t)
adalah sinyal masukan, maka sinyal keluaran y(t) dapat diperoleh melalui
integral konvolusi yaitu
t
y (t ) = ∫0 h(τ) x(t − τ)dτ (11.2)

Dalam integral konvolusi ini batas integrasi adalah τ = 0 sampai τ = t


karena dalam penurunan formulasi ini h(t) dan x(t) merupakan bentuk
gelombang kausal. Jika batas integrasi tersebut diperlebar mulai dari τ =
−∞ sampai τ = +∞, (11.2) menjadi
+∞
y (t ) = ∫τ=−∞ h(τ) x(t − τ)dτ (11.3)

Persamaan (11.3) ini merupakan bentuk umum dari integral konvolusi


yang berlaku untuk bentuk gelombang kausal maupun non-kausal.
Transformasi Fourier untuk kedua ruas (11.3) adalah

 +∞ 
F [ y(t )] = Y (ω) = F ∫ h(τ) x(t − τ)dτ
 τ= −∞ 
(11.4)
 +∞
∞ 
= ∫ h(τ) x(t − τ)dτ e − jωt dt

t = −∞  τ = −∞ 
Pertukaran urutan integrasi pada (11.4) memberikan
∞  +∞ 
Y (ω) = ∫  h(τ) x(t − τ) e − jωt dt  dτ

τ= −∞  t = −∞ 
(11.5)
∞  +∞ 
= ∫ h(τ)  x(t − τ) e − jωt dt  dτ

τ= −∞  t = −∞ 
Mengingat sifat pergeseran waktu pada transformasi Fourier, maka
(11.5) dapat ditulis

∫τ=−∞ h(τ)e
− jωτ
Y (ω) = X (ω)dτ
(11.6)
 ∞ 
= ∫ h(τ)e − jωτ dτ X (ω) = H (ω) X (ω)
 τ=−∞ 

225
Persamaan (11.6) menunjukkan hubungan antara transformasi Fourier
sinyal keluaran dan masukan. Hubungan ini mirip bentuknya dengan
persamaan yang memberikan hubungan masukan-keluaran melalui
fungsi alih T(s) di kawasan s yaitu Y(s) = T(s) X(s). Oleh karena itu H(ω)
disebut fungsi alih bentuk Fourier.
CO;TOH-11.3: Tanggapan impuls suatau sistem adalah
α −α|t|
h (t ) = e . Jika sistem ini diberi masukan sinyal signum,
2
sgn(t), tentukanlah tanggapan transiennya.
Penyelesaian:
Dengan Tabel 11.1. didapatkan H(ω) untuk sistem ini
α  α 2α α2
H (ω) = F  e −α|t|  = =
2  2 α 2 + ω2 α 2 + ω2
Sinyal masukan, menurut Tabel 11.1. adalah
2
X (ω) = F [sgn(t)] =

Sinyal keluaran adalah
α2 2 2α 2
Y (ω) = H (ω) X (ω) = =
α 2 + ω2 jω jω(α + jω)(α − jω)
yang dapat diuraikan menjadi
k1 k2 k3
Y (ω) = + +
jω α + jω α − jω

2α 2
k1 = jωY (ω) jω=0 = =2
(α + jω)(α − jω)
jω=0
2
2α 2α 2
k 2 = (α + jω)Y (ω) jω=−α = = = −1
jω(α − jω) − α (α + α )
jω= − α

2α 2 2α 2
k 3 = (α − jω)Y (ω) jω=α = = = +1
jω(α + jω) α(α + α )
jω=α

226 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


2 −1 1
Jadi Y (ω) = + + sehingga
jω α + jω α + j (−ω)

y (t ) = sgn(t ) − e −αt u (t ) + e −α ( −t ) u (−t )


= [ 1 − e −α t ] u (t ) + [−1 + e α t ] u (−t )]

Gambar dari hasil yang kita peroleh adalah seperti di bawah ini.
y(t)
1
+1

[1−e−α t ] u(t)
0
-40 0 t 40
[−1+eα t ] u(t)
-1 −1

CO;TOH-11.4: Tentukan tanggapan frekuensi dari sistem pada contoh-


11.3.
Penyelesaian :

α2
Fungsi alih sistem tersebut adalah H (ω) = .
α 2 + ω2
Kurva |H(ω)| kita gambarkan dengan ω sebagai absis dan hasilnya
adalah seperti gambar di bawah ini.
|H(ω)|
1 1

0
-20 -10 00 10 ω 20

227
Pada ω =0, yaitu frekuensi sinyal searah, |H(ω)| bernilai 1 sedangkan
untuk ω tinggi |H(ω)| menuju nol. Sistem ini bekerja seperti low-
| H (0) |
pass filter. Frekuensi cutoff terjadi jika | H (ω) |=
2

α2 1
= ⇒ ω c = α 2 2 − α 2 = 0.644α
2
α + ω c2 2

11.3. Energi Sinyal


Energi total yang dibawa oleh suatu bentuk gelombang sinyal
didefinisikan sebagai
+∞
Wtotal = ∫−∞ p(t )dt
dengan p(t) adalah daya yang diberikan oleh sinyal kepada suatu beban.
v 2 (t )
Jika beban berupa resistor maka p(t ) = i 2 (t ) R = ; dan jika
R
bebannya adalah resistor 1 Ω maka
+∞ 2
W1Ω = ∫−∞ f (t )dt
(11.7)
dengan f (t ) berupa arus ataupun tegangan
Persamaan (11.7) digunakan sebagai definisi untuk menyatakan energi
yang dibawa oleh suatu bentuk gelombang sinyal. Dengan kata lain,
energi yang diberikan oleh suatu gelombang sinyal pada resistor 1 Ω
menjadi pernyataan kandungan energi gelombang tersebut.
Teorema Parseval menyatakan bahwa energi total yang dibawa oleh
suatu bentuk gelombang dapat dihitung baik di kawasan waktu maupun
kawasan frekuensi. Pernyataan ini dituliskan sebagai
+∞ 2 1 +∞
W1Ω = ∫−∞ f (t )dt = ∫
2π − ∞
| F (ω) | 2 dω (11.8)

Karena |F(ω)|2 merupakan fungsi genap, maka (11.8) dapat dituliskan


1 +∞
W1Ω =
π 0 ∫| F (ω) | 2 dω (11.9)

228 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Jadi di kawasan waktu energi gelombang adalah integral untuk seluruh
waktu dari kuadrat bentuk gelombang, dan di kawasan frekuensi
energinya adalah (1/2π) kali integrasi untuk seluruh frekuensi dari
kuadrat besarnya (nilai mutlak) transformasi Fourier dari sinyal.
Penurunan teorema ini dimulai dari (11.7).
+∞ 2 +∞ 1 ∞ j ωt 
W1Ω = ∫−∞ f (t )dt = ∫−∞ f (t ) 2π ∫−∞ F (ω) e dω dt

Integrasi yang berada di dalam tanda kurung adalah integrasi terhadap ω
dan bukan terhadap t. Oleh karena itu f(t) dapat dimasukkan ke dalam
integrasi tersebut menjadi
1 +∞ ∞ 
W1Ω = ∫ ∫
 f (t ) F (ω) e jωt dω dt
2π −∞  − ∞ 
Dengan mempertukarkan urutan integrasi, akan diperoleh
1 +∞ ∞ 
W1Ω = ∫ ∫ f (t ) F (ω) e jωt dt  dω
2π −∞  −∞ 
1 +∞  ∞ 
= ∫ F (ω)  f (t ) e − j ( −ωt ) dt  dω

2π − ∞  − ∞ 
1 +∞ 1 +∞
= ∫
2π −∞
F (ω) F (−ω)dω =
2π −∞ ∫
| F (ω) | 2 dω

Teorema Parseval menganggap bahwa integrasi pada persamaan (11.8)


ataupun (11.9) adalah konvergen, mempunyai nilai berhingga. Sinyal
yang bersifat demikian disebut sinyal energi; sebagai contoh: sinyal
kausal eksponensial, eksponensial dua sisi, pulsa persegi, sinus teredam.
Jadi tidak semua sinyal merupakan sinyal energi. Contoh sinyal yang
mempunyai transformasi Fourier tetapi bukan sinyal energi adalah sinyal
impuls, sinyal anak tangga, signum, dan sinus (tanpa henti). Hal ini
bukan berarti bahwa sinyal ini, anak tangga dan sinyal sinus misalnya,
tidak dapat digunakan untuk menyalurkan energi bahkan penyaluran
energi akan berlangsung sampai tak hingga; justru karena itu ia tidak
disebut sinyal energi melainkan disebut sinyal daya.
CO;TOH-11.5: Hitunglah energi yang dibawa oleh gelombang
[ ]
v(t ) = 10 e −1000 t u (t ) V

Penyelesaian:

229
Kita dapat menghitung di kawasan waktu

∫0 [10 e ] dt = ∫ [100 e ]dt


∞ −1000t 2 ∞ − 2000t
W1Ω =
0

100 −2000t 1
=− e = J
2000 0 20
Untuk menghitung di kawasan frekuensi, kita cari lebih dulu
V(ω)=10/(jω+1000).
2 ∞
1 ∞  100  100 −1 ω
W1Ω = ∫  
2π −∞  ω 2 + 10 6 
d ω =
2π(1000)
tan
1000 −∞
1  π  π  1
=  −  −  = J
20π  2  2  20
Pemahaman: Kedua cara perhitungan memberikan hasil yang sama.
Fungsi |F(ω)|2 menunjukkan kerapatan energi dalam spektrum sinyal.
Persamaan (11.40) adalah energi total yang dikandung oleh seluruh
spektrum sinyal. Jika batas integrasi adalah ω1 dan ω2 maka kita
memperoleh persamaan
1 ω2
W12 = ∫
π 1
ω
| F (ω) | 2 dω (11.10)

yang menunjukkan energi yang dikandung oleh gelombang dalam selang


frekuensi ω1dan ω2.
Jika hubungan antara sinyal keluaran dan masukan suatu pemroses sinyal
adalah Y (ω) = H (ω) X (ω) maka energi sinyal keluaran adalah
1 ∞
W1Ω = ∫
π 0
| H (ω) | 2 | X (ω) | 2 dω (11.11)

Dengan hubungan-hubungan yang kita peroleh ini, kita dapat


menghitung energi sinyal langsung menggunakan transformasi
Fouriernya tanpa harus mengetahui bentuk gelombang sinyalnya.

CO;TOH-11.6: Tentukan lebar pita yang diperlukan agar 90% dari


[
total energi gelombang exponensial v(t ) = 10 e −1000 t u (t ) V dapat ]
diperoleh.
Penyelesaian:

230 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Bentuk gelombang

[ ]
v(t ) = 10 e −1000 t u (t ) → V (ω) =
10
jω + 1000
Energi total :
2 ∞
1 ∞  100  100 −1 ω
W1Ω = ∫  
π 0  ω 2 + 10 6 
d ω =
π(1000)
tan
1000 0
1 π  1
= − 0 = J
10π  2  20
Misalkan lebar pita yang diperlukan untuk memperoleh 90% energi
adalah β, maka
2 β
1 β 100  100 −1 ω
W90% = ∫ 
π 0  ω 2 + 10 6 
d ω =
π(1000)
tan
1000 0
1 β
= tan −1
10π 1000
Jadi
1 β 1 β  9π 
⇒ tan −1 = 0.9 × ⇒ = tan 
10π 1000 20 1000  20 
⇒ β = 6310 rad/s

231
Soal-Soal
1. Saklar S pada rangkaian berikut telah berada di posisi 1 mulai t =
−∞. Pada t = 0 ia dipindahkan keposisi 2 dan tetap pada posisi 2
sampai t = + ∞. Jika v1 = −10 V, v2 = 10 V, tentukan vin , Vin(ω) ,
Vo(ω) , vo.
1
− + S 1 µf
v1
− + + +
v2 2 vin 10 kΩ vo
− −

2. Saklar S pada rangkaian berikut telah berada di posisi 1 mulai t =


−∞. Pada t = 0 ia dipindahkan keposisi 2 dan tetap pada posisi 2
sampai t = + ∞. Tentukan vin , Vin(ω) , Vo(ω) , vo, jika v1 = −10 V,
v2 = 5 V.
1
− + S
v1
− + + 10 kΩ +
v2 2 vin 1 µf vo
− −

3. Saklar S pada rangkaian berikut telah berada di posisi 1 mulai t =


−∞. Pada t = 0 ia dipindahkan keposisi 2 dan tetap pada posisi 2
sampai t = + ∞. Tentukan vin , Vin(ω) , Vo(ω) , vo, jika v1 = 10e100t
V, v2 = 10e−100t V.
1
− + S
v1
− + + 1H +
v2 2 vin 0,5 kΩ vo
− −

4. Saklar S pada rangkaian berikut telah berada di posisi 1 mulai t =


−∞. Pada t = 0 ia dipindahkan keposisi 2 dan tetap pada posisi 2
sampai t = + ∞. Tentukan vin , Vin(ω) , Vo(ω) , vo, jika v1 = 10e100t
V, v2 = −10e−100t V.

232 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


1
− + S 0,5 kΩ
v1
− + + +
v2 2 vin 1H vo
− −

5. Saklar S pada rangkaian berikut telah berada di posisi 1 mulai t =


−∞. Pada t = 0 ia dipindahkan keposisi 2 dan tetap pada posisi 2
sampai t = + ∞. Tentukan vin , Vin(ω) , Vo(ω) , vo, jika v1 = 10 V,
v2 = 10e−100t V.
1
− + S
v1
1H
− + + +
v2 2 vin 100 Ω vo
− −

6. Pada sebuah rangkaian seri L = 1 H, C = 1µF, dan R = 1 kΩ,


diterapkan tegangan vs = 10sgn(t) V. Tentukan tegangan pada
resistor.
7. Tanggapan impuls sebuah rangkaian linier adalah h(t) = sgn(t).
Jika tagangan masukan adalah vs(t) = δ(t)−10e−10tu(t) V, tentukan
tegangan keluarannya.
8. Tentukan tanggapan frekuensi rangkaian yang mempunyai
tanggapan impuls
h(t) = δ(t)−20e−10tu(t).
9. Tentukan tegangan keluaran rangkaian soal 8, jika diberi masukan
vs(t) = sgn(t).
10. Jika tegangan masukan pada rangkaian berikut adalah
v1 = 10 cos100t V, tentukan tegangan keluaran vo.

1µF 10kΩ

+ +
10kΩ +
v1
vo

233
11. Ulangi soal 10 untuk sinyal yang transformasinya
200
V1 (ω) =
ω 2 + 400
12. Tentukan enegi yang dibawa oleh sinyal
−100 t
v(t ) = 500 t e u (t ) V . Tentukan pula berapa persen energi
yang dikandung dalam selang frekuensi −100 ≤ ω ≤ +100 rad/s .
13. Pada rangkaian filter RC berikut ini, tegangan masukan adalah
v1 = 20e −5t u (t ) V .

100kΩ +
+ vo
− 1µF
v1 100kΩ −

Tentukan energi total masukan, persentase energi sinyal keluaran


vo terhadap energi sinyal masukan, persentase energi sinyal
keluaran dalam selang passband-nya.
14. Pada rangkaian berikut ini, tegangan masukan adalah
v1 = 20e −5t u (t ) V .

1µF 10kΩ

+ +
10kΩ +
v1
vo

Tentukan energi total masukan, persentase energi sinyal keluaran


vo terhadap energi sinyal masukan, persentase energi sinyal
keluaran dalam selang passband-nya.

234 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Daftar Referensi
1. Sudaryatno Sudirham, “Analisis Rangkaian Listrik”, Penerbit ITB
2002, ISBN 979-9299-54-3.
2. Sudaryatno Sudirham, “Pengembangan Metoda Unit Output Untuk
Perhitungan Susut Energi Pada Penyulang Tegangan Menengah”,
Monograf, 2005, limited publication.
3. Sudaryatno Sudirham, “Pengantar Rangkaian Listrik”, Catatan
Kuliah El 1001, Penerbit ITB, 2007.
4. Sudaryatno Sudirham, “Analisis Harmonisa Dalam Permasalahan
Kualitas Daya”, Catatan Kuliah El 6004, 2008.
5. P. C. Sen, “Power Electronics” McGraw-Hill, 3rd Reprint, 1990,
ISBN 0-07-451899-2.
6. Ralph J. Smith & Richard C. Dorf : “Circuits, Devices and Systems”
; John Wiley & Son Inc, 5th ed, 1992.
7. David E. Johnson, Johnny R. Johnson, John L. Hilburn : “Electric
Circuit Analysis” ; Prentice-Hall Inc, 2nd ed, 1992.
8. Vincent Del Toro : “Electric Power Systems”, Prentice-Hall
International, Inc., 1992.
9. Roland E. Thomas, Albert J. Rosa : “The Analysis And Design of
Linier Circuits”, . Prentice-Hall Inc, 1994.
10. Douglas K Lindner : “Introduction to Signals and Systems”,
McGraw-Hill, 1999.

235
Daftar ;otasi
v atau v(t) : tegangan sebagai fungsi waktu.
V : tegangan dengan nilai tertentu, tegangan searah.
Vrr : tegangan, nilai rata-rata.
Vrms : tegangan, nilai efektif.
Vmaks : tegangan, nilai maksimum, nilai puncak.
V : fasor tegangan dalam analisis di kawasan fasor.
|V| : nilai mutlak fasor tegangan.
V(s) : tegangan fungsi s dalam analisis di kawasan s.
i atau i(t) : arus sebagai fungsi waktu.
I : arus dengan nilai tertentu, arus searah.
Irr : arus, nilai rata-rata.
Irms : arus, nilai efektif.
Imaks : arus, nilai maksimum, nilai puncak.
I : fasor arus dalam analisis di kawasan fasor.
|I| : nilai mutlak fasor arus.
I(s) : arus fungsi s dalam analisis di kawasan s.
p atau p(t) : daya sebagai fungsi waktu.
prr : daya, nilai rata-rata.
S : daya kompleks.
|S| : daya kompleks, nilai mutlak.
P : daya nyata.
Q : daya reaktif.
q atau q(t) : muatan, fungsi waktu.
w : energi.
R : resistor; resistansi.
L : induktor; induktansi.
C : kapasitor; kapasitansi.
Z : impedansi.
Y : admitansi.
TV (s) : fungsi alih tegangan.
TI (s) : fungsi alih arus.
TY (s) : admitansi alih.
TZ (s) : impedansi alih.
µ : gain tegangan.
β : gain arus.
r : resistansi alih, transresistance.
g : konduktansi; konduktansi alih, transconductance.

236 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


I;DEKS

a i
akar kompleks 40 impedansi 86
akar riil 36, 38 impuls 111
anak tangga 12, 43, 56, 113 induktor 86
analisis transien 1 integrasi 61, 216
arus mesh 99 integrator 186, 188
b k
Bode plot 132 kaidah 90
c kaidah rantai 114
cutoff 126 kapasitor 86, 171
d kaskade 168
decibel 127 Kirchhoff 89
diagram blok 169, 172, 174, komponen mantap 7
177, 189 komponen transien 7
diferensiasi 62, 216 kondisi awal 6
dinamis 181 konvolusi 75, 117, 167, 225
e l
eksponensial 57, 200 linier 60
energi sinyal 228 m
f metoda-metoda 93
Fourier 195 n
fungsi alih 106, 109, 117, nilai akhir 65
166, 225 nilai awal 65
fungsi fasa 124 Norton 92
fungsi gain 124 o
fungsi jaringan 105 orde ke-dua 31, 33, 141
fungsi masukan 105 orde pertama 1, 2, 4, 26, 121
fungsi pemaksa 7 p
g paralel 169
gain 126 Parseval 229
gain, band-pass 129, 140, 143 passband 126
gain, high-pass 126, 129, 137, pembalikan 212
146 pen-skalaan 65, 215
gain, low-pass 126, 129, 149 pole 68, 70, 71, 73, 156
h proporsionalitas 91
hubungan bertingkat 114

237
r u
reduksi rangkaian 96 umpan balik 169
resistor 85 unik 59
ruang status 187, 189 unit output 93
s z
simetri 198, 200, 202 zero 68, 150, 152
sinyal 163
sinyal sinus 20, 46, 57, 121
sistem 164, 165, 165, 185
spektrum kontinyu 203
statis 181
stopband 126
sub-sistem 181
superposisi 18, 92, 94
t
tanggapan alami 4, 5, 26, 34
tanggapan frekuensi 121, 124,
141, 152
tanggapan lengkap 4, 6, 35
tanggapan masukan nol 24, 26
tanggapan paksa 4, 6, 26, 35
tanggapan status nol 24, 26
tegangan simpul 98
teorema 91
Thévenin 97
transformasi balik 55, 59, 206
transformasi Fourier 195, 203,
208, 211, 223
transformasi Laplace 55, 56, ,
58, 59, 67, 78, 85, 211
translasi s 64
translasi t 63

238 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Listrik (2)


Biodata

Nama: Sudaryatno Sudirham


Lahir: di Blora pada 26 Juli 1943
Istri: Ning Utari
Anak: Arga Aridarma
Aria Ajidarma.

1971 : Teknik Elektro – Institut Teknologi Bandung.


1972 – 2008 : Dosen Institut Teknologi Bandung.
1974 : Tertiary Education Research Center – UNSW − Australia
1979 : EDF – Paris Nord dan Fontainbleu − Perancis
1981 : INPT - Toulouse − Perancis; DEA 1982; Doktor 1985.
Kuliah yang pernah diberikan: “Pengukuran Listrik”, “Pengantar Teknik
Elektro”, “Pengantar Rangkaian Listrik”, “Material Elektroteknik”,
“Phenomena Gas Terionisasi”, “Dinamika Plasma”, “Dielektrika”,
“Material Biomedika”.
Buku dan Artikel: “Analisis Rangkaian Listrik”, Penerbit ITB, ISBN
979-9299-54-3, 2002; “Metoda Rasio TM/TR Untuk Estimasi Susut
Energi Jaringan Distribusi”, Penerbit ITB, ISBN 978-979-1344-38-8,
2009; “Fungsi dan Grafik, Diferensial Dan Integral”, Penerbit ITB,
ISBN 978-979-1344-37-1, 2009; “Analisis Rangkaian Listrik (1)”, 2010;
“Analisis Rangkaian Listrik (2)”, 2010; “Analisis Rangkaian Listrik (3)”,
2010; ”Mengenal Sifat Material (1)”, 2010; ”Estimasi Susut Teknik dan
-onteknik Jaringan Distribusi”, 2011.
Bidang minat: Power Engineering; Material Science.

239

Anda mungkin juga menyukai