Anda di halaman 1dari 21

TUGAS BAHASA INDONESIA

DISUSUN OLEH :

ANDRIANI NIFERA

XII MIPA 5 / 06
School Life – Friendship

Mereka dipertemukan untuk menjabarkan arti persahabatan yang sebenarnya


Meski mereka mencoba menghindar, mereka akan tetap masuk ke dalamnya
dan kisah mereka dimulai pada malam ini…

Kim Doyoung’s part

Tangan Doyoung terulur pada tumpukan buku Sejarah Korea Selatan yang ada di hadapannya.
Matanya berbinar meski ia baru melihat sampul buku tersebut. Tanpa melihat ulasan yang ada
di sampul belakang, ia langsung meletakkan buku tersebut pada tumpukan buku yang ada di
tangan kirinya. Sudah ada berbagai jenis buku pengetahuan yang diambilnya, ngomong-
ngomong.

Drrt…. drrrt….

Ia sedikit kelabakan ketika merasakan ponsel yang ada di dalam saku celananya bergetar.
Yeah… cukup sulit baginya untuk merogoh saku celana bagian kirinya mengingat tangan yang
bebas adalah tangan kanannya. Kepalanya menoleh ke segala arah, mencari meja kosong yang
ada di dalam toko buku. Oh, ada! Tapi letaknya sedikit jauh darinya. Well, setidaknya ada satu
meja kosong yang bisa ia gunakan untuk meletakkan buku-buku yang akan dibelinya itu.

Bruk!

Seseorang menabraknya dari arah samping. Alhasil, semua buku yang ada di tangan kirinya
terbang lepas dan jatuh ke lantai toko. Tidak hanya itu saja, meski sebenarnya orang tersebut
tidak terlalu keras menabrak, Doyoung terlihat hampir terhuyung ke belakang kalau tidak
segera berpegangan pada rak buku.

“Oh, I’m sorry. I didn’t mean to….”

“Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.”

Drrrt…. drrrt….

Ponselnya kembali bergetar saat ia berusaha menghentikan orang yang menabraknya tersebut
mengumpulkan buku-bukunya yang berserakan. Ia tak bisa melihat dengan jelas wajah orang
tersebut karena kepalanya tertutup topi berwarna putih.

“Ya, halo, Paman?” Akhirnya mau tidak mau ia menerima telepon yang ternyata dari sopirnya.
“Sebentar lagi, Paman. Sebentar lagi aku selesai dan…. eh… maaf, tidak apa-apa. Kau tidak
perlu…. Ya, Paman?”

Doyoung begitu kesulitan mencegah orang bertopi yang sepertinya sebaya dengannya tersebut
menumpuk buku-bukunya dengan rapi di lantai karena ia harus menanggapi ucapan sopirnya
di telepon yang menyuruhnya agar segera keluar dari toko buku.

“Iya, aku tahu. Paman cerewet sekali,” gerutu Doyoung sebelum mematikan ponselnya.
Ketika ia menoleh ke orang tersebut untuk mengucapkan terima kasih, ia harus memasang
wajah kecewa karena orang tersebut sudah tidak ada. Sebenarnya ia ingin mencari orang
tersebut, tapi karena kata-kata sopir cerewetnya terus-terusan terngiang di telingnya, akhirnya
ia putuskan untuk segera membawa buku-bukunya ke kasir.
Senyumnya mengembang pada tas berisi buku-buku yang berhasil dibelinya ketika ia sudah
ada di luar toko buku. Akan tetapi, senyum itu hanya bertahan beberapa detik takkala ia
melihat mobil hitam yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.

“Aku tidak tahu Paman bisa lebih cerewet dari ayahku,” ujar Doyoung setelah duduk di jok
mobil bagian belakang. Dengan hati-hati diletakkannya tas berisi buku-buku yang dibelinya.

“Ini sudah malam, Doyoung. Aku bisa dimarahi Tuan Besar kalau menuruti kemauanmu terus-
terusan,” Paman Park Ji Ho, atau Doyoung biasanya memanggil Paman Park, mencoba
mengingatkan Doyoung.

“Tapi kan Paman sudah menjadi milikku. Bahkan ayahku pun tidak bisa merebut Paman
dariku,” elak Doyoung. Well, faktanya memang benar. Paman Park sejak dulu adalah sopir
pribadi Doyoung. Pria paruh baya itu sudah mengantarnya sekolah sejak ia duduk di bangku
sekolah dasar.

“Ya sudahlah. Sekarang kita pulang, kan? Karena besok adalah tahun ajaran sekolah yang
baru, itu artinya kau harus berangkat sekolah sedikit lebih awal dari biasanya,” ujar Paman
Park seraya melajukan mobilnya menjauh dari area depan toko buku.

“Paman, aku haus. Bagaimana kalau kita membeli minuman dingin? Iced Choco? Iced
Cappucino? Milkshake?” tanya Doyoung yang menyandarkan punggung dan kepalanya pada
jok.

“Haus?” Paman Park menatap kaca kecil yang ada di atasnya untuk melihat Doyoung yang
ternyata mengangguk kecil. Tangannya kemudian merogoh saku kemejanya untuk mengambil
ponsel. “Kalau tidak salah kemarin aku mendapatkan 2 online voucher gratis untuk minuman
kopi dingin di sebuah cafe.”

“Benarkah?” Doyoung menegakkan tubuhnya dan merebut ponsel tersebut dari tangan Paman
Park. “Yang ini, Paman? Dari…. BlueBear Cafe?”

“Iya. Yang itu. Kau mau? Setidaknya kita tidak perlu mengeluarkan uang untuk
menghilangkan rasa hausmu. Bagaimana?”

Doyoung mengangguk dengan semangat.

“Biar aku saja yang membelinya. Paman di sini saja.”

“Tapi….”

“Aku tidak akan lama, Paman.”

Tanpa memedulikan panggilan sopirnya, Doyoung lantas keluar dari mobil dan berlari kecil ke
arah sebuah cafe kecil yang letaknya tak jauh dari perempatan jalan. Sesaat setelah memasuki
cafe, ia terpaksa mencari-cari pelayan cafe yang tampaknya tidak ada di counter. Yang ia lihat
hanyalah beberapa pengunjung cafe yang tengah duduk manis di meja pengunjung.

“Ada yang bisa kubantu?”

Kepala Doyoung kembali ke arah counter saat terdengar suara seseorang. Di hadapannya kini
sudah berdiri salah seorang pelayan cafe yang tengah mengenakan aphron berwarna biru,
yang menunggunya untuk mengatakan sesuatu.
“Ini…. aku….” Doyoung berjalan ke depan counter sambil mencari-cari online voucher yang
ada di ponsel sopirnya. “Benarkah voucher ini dari cafe ini?” Doyoung yang akhirnya
menemukan apa yang dicarinya langsung menunjukkannya pada pelayan cafe tersebut.

“Iya, itu dari cafe kami. Apa Anda mau menukarkanya?” tanya pelayan cafe tersebut seraya
menggeser tubuhnya pada mesin kasir yang ada di sampingnya untuk mengambil alat
pemindai kode voucher.

“Satu Iced Cappuchino dan satu Iced Choco. Apa itu tidak apa-apa?” ucap Doyoung sambil
menaikkan kedua tangannya ke atas counter.

Pelayan cafe tersebut mengangguk sambil tersenyum sebelum menyuruh Doyoung untuk
menunggu sebentar.

Sambil menunggu, Doyoung tetap berdiri di depan counter, mengarahkan matanya pada
pelayan cafe tersebut yang tengah membuatkan pesanannya.

“Benarkah Anda bekerja di sini? Sendirian?” Doyoung mencoba mengajak pelayan cafe
tersebut berbincang sedikit karena ia merasa akan sangat bosan bila hanya menunggu saja.
Ditambah suasana cafe yang cukup sepi.

“Saya hanya bekerja paruh waktu. Mungkin karena pengunjung yang datang tidak seramai
siang dan sore, makanya tidak banyak pelayan yang keluar untuk melayani,” jawab pelayan
cafe tersebut dengan ramah.

“Dan juga…. apakah Anda tidak berpikir kalau… Anda terlalu tampan untuk ukuran
seseorang yang bekerja di cafe?”

Pelayan cafe tersebut terkekeh saat memasukkan sedotan ke masing-masing wadah minuman
pesanan Doyoung.” Memang banyak yang berkata seperti itu. Tapi kalau tidak bekerja seperti
ini, saya tidak bisa membantu ibu saya membiayai sekolah saya.”

Sepenuhnya Doyoung mengatupkan bibirnya dan hanya tersenyum malu.

“Ini pesanan Anda. Selamat menikmati. Kalau bisa sering-seringlah membeli minuman di sini
agar mendapatkan lebih banyak voucher lagi,” ujar pelayan cafe tersebut setelah meletakkan
pesanan Doyoung ke atas counter.

“Terima kasih ya. Selamat malam.”

Hanya itu yang diucapkan Doyoung sebelum berjalan keluar.

“Ada apa dengan wajahmu itu?” Paman Park sedikit heran melihat raut wajah Doyoung yang
berbeda dengan beberapa menit yang lalu.

“Dunia ternyata tidak adil, Paman,” gumam Doyoung sambil menyodorkan Iced Cappuchino
pada Paman Park. Gumamannya rupanya berhasil membuat sopirnya tersebut mengernyitkan
kening.

“Maksudmu?”

“Ternyata masih ada orang yang sampai harus bekerja paruh waktu untuk membantu orang
tuanya membiayai sekolahnya. Padahal kan dia hanya harus belajar giat sementara orang
tuanya bekerja mencari uang untuk membiayai sekolahnya.”

“Lalu?”
“Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa malu. Aku tidak pernah memikirkan apapun selain
yang berkaitan dengan sekolahku. Semua biaya sekolah sudah ditanggung ayah tanpa
kesulitan yang berarti. Tapi setelah berbincang dengan pelayan cafe tadi….”

“Aigoo…. Kim Doyoung kami rupanya sudah bisa berpikiran sedewasa itu. Padahal usiamu
baru 18 tahun. Tapi sepertinya kau belum dewasa karena kau memaksa ayahmu agar
menyekolahkanmu di sekolah itu,” potong Paman Park.

“Aku hanya tidak mau masuk sekolah yang murid-muridnya adalah anak dari teman-teman
Ayah. Sekolah mereka memang elit dan mewah, tapi aku tidak suka. Aku ingin sekolah di
sekolah biasa. Tapi kan pada akhirnya Ayah sendiri yang memintaku untuk sekolah di sana
meski aku tidak tahu kenapa tiba-tiba berubah pikiran.”

“Akh… sial.”

Doyoung terpaksa menoleh ke arah Paman Park setelah mendengar pria paruh baya tersebut
mengumpat pelan. “Ada apa, Paman?”

“Kau tunggu di sini. Aku ingin buang air kecil. Di cafe itu… pasti ada toiletnya, kan? Sebentar
ya.”

Doyoung hanya bisa tertawa terbahak-bahak melihat sopirnya keluar dari mobil dengan
tergesa-gesa. Terkadang… sopirnya tersebut bisa bertingkah lucu juga.

“Orang itu selalu saja seperti itu,” gumamnya seraya mengambil satu buku yang dibelinya tadi
dan membacanya sekilas sambil menikmati Iced Choco-nya.

Duk~!

Doyoung dibuat terkejut saat mobilnya sedikit bergoyang, seolah ada seseorang atau sesuatu
yang menabrak bagian samping mobilnya. Awalnya ia ingin membuka pintu mobil, tapi
karena takut terjadi apa-apa, akhirnya ia mengurungkan niatnya tersebut.

Perlahan ia menggeser tubuhnya ke dekat pintu mobil bagian kanannya. Dengan hati-hati ia
mencoba melihat apapun dari balik kaca mobil. Tidak ada apa-apa. Well, sepertinya
dugaannya itu hanya bertahan beberapa detik karena detik berikutnya ia hampir memekik
kalau tidak segera menutup mulutnya rapat-rapat. Ya, matanya yang bergerak ke bawah
melihat sosok seseorang yang duduk meringkuk di samping pintu mobilnya. Orang tersebut
mengenakan jaket berwarna abu-abu dengan tudung yang menutupi kepalanya.

Sumpah demi apapun, Doyoung ingin sekali berteriak karena bisa saja orang tersebut adalah
pencuri, perampok, pembunuh atau semacamnya yang sengaja mengincar mobilnya.
Pemikiran yang tepat kan?

Belum habis ketakutannya, Doyoung dibuat semakin tegang takkala ia melihat dari arah depan
mobilnya ada segerombol pria yang hampir semuanya berpakaian serba hitam berlari
mendekat.

Tapi tunggu dulu. Sepertinya apa yang ditakutkannya tidak terjadi karena orang-orang tersebut
tidak menyerang mobilnya. Mereka terlihat seperti tengah mencari seseorang. Doyoung yang
duduk di dalam mobil sama sekali tak bisa bergerak di tempatnya. Berulangkali matanya
memandang orang-orang tersebut dan seseorang yang masih duduk di sisi mobilnya yang lain.

Apakah mereka ada hubungannya dengan orang ini? Apakah mereka mencarinya? batin
Doyoung.
Barulah setelah dua menit berlalu, ia bernapas lega karena orang-orang itu berlari menjauh
dari mobilnya. Yang membuatnya heran, orang yang sejak tadi duduk di samping mobilnya
pun ikut hilang.

Ten’s part :

“Ini tempatnya ya?” gumam Ten yang baru saja turun dari bus. Ia berdiri cukup lama di halte
bus yang sepi sambil mencoba membaca tulisan hangul ibunya yang ada di secarik kertas
berukuran kecil. Maklum, sebagai seorang pemuda 18 tahun yang memiliki darah Korea
Selatan-Thailand dan baru 4 tahun tinggal di negara ibunya, ia tetap merasa kesulitan
membaca tulisan semacam itu. Ditambah tulisan itu adalah tulisan ibunya yang sedikit…

Akhirnya setelah susah payah mengerti arti tulisan yang tak seberapa panjang pemberian
ibunya, Ten lantas melangkah pelan menyusuri pinggir jalan. Matanya mengamati papan-
papan nama toko-toko yang ada di sampingnya. Bila ia menemukan satu papan nama yang
tulisannya sama persis dengan apa yang tertulis di kertas, maka “penderitaannya” akan segera
hilang.

“Toko Buku GyungJu…. Toko Buku GyungJu…. Toko Buku GyungJu,” gumamnya,
berusaha menemukan toko buku yang dimaksud ibunya. Yang membuatnya heran adalah tidak
ada toko buku di sini. Baiklah, lupakan Toko Buku yang bernama GyungJu. Dari sekian
banyak toko yang dilewatinya, ia tak menemukan satu pun toko buku.

“Apa saya salah naik bis?” gumamnya lagi yang kemudian berinisiatif untuk bertanya pada
siapapun yang ada di dekatnya. Masalahnya sekarang tidak ada seorang pun di dekatnya. Apa
mungkin karena ini sudah cukup malam, makanya tidak ada yang lewat jalan ini? Ia pikir
daerah tempat tinggal ibunya masih termasuk kota besar, tapi kenapa bisa sesepi ini?

Di saat Ten masih bingung dengan alamat toko buku tersebut, terdengar suara derap lari dari
arah belakangnya. Ten baru menyadarinya saat telinganya menangkap suara seseorang
mengumpat kesal. Baiklah, ia mungkin tidak terlalu lancar berbahasa Korea, tapi ia tahu kata-
kata umpatan dalam bahasa Korea karena diajari adik ibunya.

Mungkin orang yang tengah berlari ke arahnya itu bisa membantunya.

Ten yang sudah memutar tubuhnya dan bermaksud untuk menegakkan kepalanya terpaksa
dibuat terkejut karena tiba-tiba ada seseorang yang melesat ke arahnya dengan cepat dan
menabraknya.

Bruk~!

Ia dan orang tersebut sama-sama terjatuh ke jalan.

“Hey, are you okay?” Ten yang berhasil bangun mencoba menanyakan keadaan orang tersebut
karena orang tersebut berusaha bangun dengan susah payah. Sungguh, ia ingin membantunya,
tapi melihat orang tersebut menutupi kepalanya dengan tudung jaket berwarna abu-abu dan
wajahnya tidak terlihat dengan jelas karena tertutup sebagian rambut, rasa takut mulai
menjalarinya.

Ten hanya bisa mematung takkala tahu orang tersebut jauh lebih tinggi darinya. Postur
tubuhnya bagus dan tinggi.
“Kau… tidak apa-apa? oh ya… boleh saya bertanya? Apa kau tahu di mana Toko Buku
GyungJu? Alamatnya…. sebentar…” Ten menunduk memandang telapak tangan kirinya.
Kertas yang sejak tadi dipegangnya kini hilang entah ke mana. “Eo, hilang? Ke mana tadi
perginya?”

Ten yang sibuk mencari-cari kertas pemberian ibunya tak menyadari orang berjaket abu-abu
yang berdiri di dekatnya sudah berlari meninggalkan dirinya.

“Tadi ada di tangan saya dan… hah… ke mana perginya orang itu? Astaga…. saya bahkan
lupa membawa ponsel,” keluhnya saat tanganya hanya menemukan udara kosong di kedua
saku celana jeansnya.

Sumpah demi apapun, andai wajahnya tidak seperti orang Asia Timur pada umumnya,
mungkin orang-orang akan menganggapnya orang asing yang tersesat. Untung saja
penampilannya malam ini hanya seperti anak laki-laki… tidak tidak, seperti pemuda Korea
yang masih keluyuran malam-malam.

Langkahnya terhenti ketika kepalanya menoleh ke arah sebuah cafe kecil bernama BlueBear
Cafe setelah berjalan beberapa menit. Mungkin sambil membeli minuman di sana, ia bisa
bertanya pada pelayan cafe tersebut tentang Toko Buku GyungJu. Ide bagus.

“Satu Blueberry Summer,” ujar Ten setelah ia berdiri di depan counter sambil memandang
poster bergambar minuman berwarna ungu dan biru berhias buih soda yang merupakan
minuman favorit di cafe kecil tersebut. Dipakainya topi berwarna putih yang sejak tadi hanya
menggantung di ikat pinggangnya.

Tak berapa lama minuman pesanannya sudah ada di depannya. Ten baru akan mengulurkan
tangannya yang sudah memegang beberapa lembar uang ketika teringat tujuannya datang ke
cafe tersebut.

“Eee….apa saya boleh bertanya?” tanyanya sebelum memberikan uang tersebut pada pelayan
cafe berwajah cukup tampan yang ada di depannya.

“Iya.”

Untuk beberapa detik Ten tampak mencoba mengingat-ingat nama toko buku yang tertulis di
kertas pemberian ibunya. “Ah… Toko Buku… Gyungju? Iya, itu. Toko Buku GyungJu. Apa
Anda tahu di mana tempatnya?”

“Jadi ini yang namanya Toko Buku Gyungju?”

Ten menggumam pelan sambil menatap bangunan toko yang lumayan besar dan cukup ramai.
Untuk ukuran sebuah toko buku, tempat ini bisa dibilang sedikit aneh. Kenapa? Itu karena bila
di jam segini toko buku lainnya sudah tutup, toko ini masih buka dan masih saja ramai
dikunjungi orang. Sebentar. Mungkin karena besok adalah hari pertama masuk sekolah untuk
Tahun Ajaran Baru, makanya banyak orang yang datang untuk membeli buku. Tak terkecuali
Ten yang memang harus membeli beberapa buku tulis dan buku pelajaran untuk hari
pertamanya masuk sekolah SMU besok.

Lima menit berlalu dan ia belum menemukan paket buku tulis yang sesuai dengan seleranya.
Baiklah, sebenarnya semua buku tulis sama kan? Lalu untuk apa ia harus membanding-
bandingkan paket buku tulis yang ini dan yang itu bila pada akhirnya ia tak juga memilihnya.
Pertanyaan yang bagus.
Kepalanya mendongak mengamati nama-nama rak buku yang berjejer di dekatnya. Kalau ia
tidak salah ingat, buku yang belum dimilikinya adalah buku materi SAINS dan buku
pendamping materi MATEMATIKA. Kemarin adik ibunya sudah membelikannya begitu
banyak buku pelajaran materi kelas 2 SMU, tapi tetap masih ada saja buku yang belum
dimilikinya.

Ten yang mempercepat langkah kakinya setelah menemukan buku yang dicarinya terpaksa
menabrak seseorang yang berdiri di dekatnya.

Bruk!

Buku-buku yang ada di tangan orang tersebut jatuh berserakan ke lantai.

“Oh, I’m sorry. I didn’t mean to….”

“Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.”

Meski orang tersebut mengatakan “tidak apa-apa”, tetap saja Ten yang bersalah di sini. Maka
dari itu, ia langsung membungkuk mengambil buku-buku tersebut satu per satu kemudian
menumpuknya dengan rapi. Awalnya ia ingin kembali mengucapkan permintaan maafnya, tapi
karena orang tersebut sepertinya sedang sibuk menerima telepon, akhirnya ia hanya pergi
begitu saja.

Ah, padahal Ten ingin sekali benar-benar mengucapkan permintaan maafnya.

Jung Jaehyun’s part :

Bugh~!

Jaehyun tersungkur ke tanah setelah mendapat bogem mentah di pipi kanannya. Namun,
dengan mudah ia kembali berdiri sambil menyibak sebagian rambutnya yang jatuh ke
keningnya. Disekanya darah segar yang mengalir di sudut bibirnya.

“Sudah kubilang aku tidak mau bayar. Kalian yang kalah kenapa justru aku yang harus
bayar?” tanya Jaehyun dengan angkuh, tak peduli dengan tatapan tajam lima orang pria yang
jauh lebih dewasa dan jauh lebih menyeramkan darinya tersebut.

“Kau tidak menyadari kalau tadi kau berbuat curang?” desis salah satu pria yang memiliki tato
di lehernya.

Jaehyun mendengus pelan. Dipungutnya ponselnya yang jatuh ke tanah kemudian


ditunjukkannya pada kelima pria tersebut. “Hyungnim, ponsel ini baru kubeli beberapa
minggu lalu setelah aku menang undian uang. Dan sekarang lihat apa yang sudah kalian
lakukan padanya.”

“Kutanya sekali lagi, apa kau tidak sadar kalau tadi kau berbuat curang, hah?” pria yang lain
memberi penekanan pada pertanyaannya, seolah tak peduli dengan kata-kata Jaehyun.

“Aneh ya mendengar preman menyebutkan kata curang. Di dunia ini tidak ada yang namanya
permainan bersih, Hyungnim. Kita tadi hanya bermain biliyard dan hasil akhirnya adalah
kalian kalah dariku. Sesuai perjanjian, kalianlah yang harus membayarku, bukan aku yang
harus membayar kalian,” kata Jaehyun yang sama sekali tak merasa takut.
Well, Jaehyun, sepertinya kau sudah membuat darah yang sudah mendidih di dalam tubuh
kelima pria itu semakin mendidih. Bukankah menuruti apa kata mereka adalah jalan keluar
yang tepat dibanding wajahmu yang akan babak belur nantinya?

“Bocah Tengik ini rupanya sudah bosan hidup,” desis salah satu dari pria itu, bersiap
menyerang Jaehyun.

“Yeah… aku memang sudah bosan hidup, Hyungnim,” sahut Jaehyun ringan sebelum tiba-tiba
mengambil segenggam pasir yang ada di dekat kakinya dan menebarnya tepat di depan wajah
kelima pria tersebut. Tentu saja tindakannya membuat kelima pria tersebut mengumpat keras
merasakan sakit akibat pasir yang masuk ke mata mereka.

“… Tapi karena aku selalu gagal bunuh diri, akhirnya aku memutuskan untuk menjalani
hidupku yang sialan ini. Selamat malam, Hyungnim semua!”

Hanya itu yang diucapkan Jaehyun sebelum berlari meninggalkan mereka dengan cepat. Ia
tahu mereka akan segera mengejarnya karena ini bukan pertama kali baginya berurusan
dengan komplotan preman yang selalu menjadi parasit di tempat biliyard favoritnya.

“Yaa! Bocah Tengik! Mau lari ke mana kau?!”

Benar saja! Kali ini Jaehyun sangat tidak menyukai kemampuannya menebak situasi dengan
tepat. Sebelum mempercepat laju larinya, ia sempat menoleh ke belakang hanya untuk melihat
preman-preman itu mengejarnya.

“Haah….,” keluhnya pelan sambil menarik ke atas tudung kepala jaket abu-abunya untuk
menutupi kepalanya.

Satu-satunya cara agar ia bisa sedikit menjauh dari mereka adalah masuk ke dalam gang
sempit yang letaknya tak jauh darinya. Setidaknya ia tahu di mana ujung gang tersebut, jadi ia
bisa dengan leluasa mengecoh mereka.

Tempat sampah yang ada di pinggir selokan hampir saja ia tabrak takkala ia melesat masuk ke
dalam gang tersebut. Kekehan pelan lolos dari bibirnya ketika ia tak lagi mendengar derap
langkah kelima pria itu. Akan tetapi, baru saja ia akan memperlambat langkah kakinya, dari
arah gang kecil yang ada di sisi kanan tubuhnya, terdengar teriakan seseorang.

Sial! Rupanya mereka mengambil jalan lain! Jaehyun tidak mungkin terus berlari kecil seperti
ini kalau masih ingin bangun pagi tanpa merasakan sakit di tubuhnya besok. Dengan cepat ia
melesat, berusaha keluar dari gang tersebut.

Kali ini ia tidak akan main-main lagi. Sudah tidak ada waktu untuk sekedar menoleh ke
belakang meski hanya untuk mengukur jaraknya dengan mereka. Menghilangkan diri dari
mereka adalah jalan keluar yang cukup tepat. Maka dari itu, setelah berhasil keluar dari gang
tersebut, ia terus berlari kencang.

“Haah! Sial!” umpatnya keras saat ia hampir saja terpeleset sesuatu. Rupanya ia tanpa sengaja
menginjak cairan seperti minyak di depan sebuah toko yang tutup. Ia tetap berlari meski
beberapa kali harus membersihkan bagian bawah sepatunya dengan cara menggosok-
gosoknya ke jalan.

Ha, tampaknya keberuntungan belum sepenuhnya berpihak padanya. Beberapa detik setelah ia
memastikan cairan yang ada di bagian bawah sepatunya hilang dan bermaksud untuk kembali
mempercepat larinya, tiba-tiba di depannya ada seseorang yang berdiri. Tak pelak ia tak bisa
mengerem kakinya sendiri.

Bruk!
Untuk kedua kalinya, Jaehyun harus tersungkur ke jalan. Kali ini ia bisa merasakan sakit pada
lengan kirinya. Malam yang sempurna, Jung Jaehyun.

“Hey, are you okay?”

Ia mendengar orang yang ditabraknya itu berbicara menggunakan Bahasa Inggris. Hanya saja
ia tak berniat untuk menjawabnya karena hal pertama yang harus ia lakukan adalah bangun
dari jalan. Ngomong-ngomong, ia cukup kesulitan untuk berdiri karena ia tersungkur dalam
posisi yang aneh.

“Kau… tidak apa-apa? oh ya… boleh saya bertanya? Apa kau tahu di mana Toko Buku
GyungJu? Alamatnya…. sebentar…”

Jaehyun yang sudah berhasil berdiri hanya berdecak pelan saat tahu orang yang ditabraknya
adalah seorang pemuda yang tampak seumuran dengannya. Melihat pemuda yang berbicara
dengan logat aneh itu sibuk mencari-cari sesuatu, Jaehyun hanya bisa memutar bola matanya.
Ia tidak bisa berdiri di sini lebih lama lagi. Preman-preman itu bisa menemukannya dan ia
tidak ingin itu sampai terjadi.

Tanpa peduli dengan pemuda tersebut yang masih saja mencari-cari sesuatu atau apapun itu,
Jaehyun lantas berlari meninggalkannya. Sebut saja…. wajahnya yang baru berhias luka
lebam kecil di bagian pipinya lebih berharga dibanding pemuda itu.

Lima belas menit.

Iya. Lima belas menit Jaehyun berlari. Bila ia cukup peka, mungkin ia akan tahu kalau ia baru
saja menjelajah komplek pertokoan yang tak jauh dari daerah tempat tinggalnya. Tapi sayang
sekali, untuk saat ini ia sama sekali tidak peka karena tenaganya sudah terkuras cukup banyak.

“Mereka… mereka… benar-benar tidak akan pernah berhenti mengejarku ya?” keluhnya saat
matanya menangkap sosok kelima pria itu dari kejauhan.

Sumpah demi apapun, Jaehyun tak bisa berlari lagi. Kedua lututnya terasa lemas. Mungkin
bersembunyi adalah pilihan yang tepat meski ia sama sekali tak menyukainya. Seorang Jung
Jaehyun pantang bersembunyi dari orang-orang seperti mereka. Yeah…, ia bisa
menggunakan prinsipnya itu lain waktu. Menyebalkan!

Tanpa berpikir panjang, ia langsung berlari ke arah sisi kanan sebuah mobil yang parkir tak
jauh dari cafe kecil. Karena tersandung batu saat berusaha membungkukkan tubuhnya di
samping mobil, ia terpaksa menghantam pintu mobil yang tertutup sempurna itu. Ia ingin
mengumpat, tapi ketika telinganya mendengar suara derap langkah dari beberapa orang yang
diyakininya adalah milik preman-preman itu, akhirnya ia mengurungkan niatnya dan hanya
duduk meringkuk di samping mobil sambil berusaha tidak mengeluarkan suara apapun.

Barulah setelah mereka berlari menjauh dari mobil itu, ia bisa bernapas lega. Dengan cepat ia
menyingkir dari mobil tersebut dan berjalan pelan ke arah cafe bernama BlueBear Cafe. Apa
ia akan membeli minuman di sana? Jawabannya adalah tidak. Ia hanya akan melewatinya
karena ia harus pulang.

“Itu dia di sana!”

Sungguh, malam ini ia seolah tak dibiarkan untuk mengambil napas dengan damai. Orang-
orang itu kembali bisa menemukannya.

“Aaah! Mereka benar-benar…,” desisnya seraya berlari kencang.


Otaknya berputar dengan cepat, mencari ide lain yang masuk akal untuk menyelamatkan
hidupnya malam ini karena bila ia terus berlari menyusuri pinggir jalan ini sampai di
pemukiman tempat tinggalnya, ia akan tertangkap.

Cafe itu? Cafe? Ah, iya!

Sedetik setelah masuk ke dalam cafe, ia langsung berdiri di sudut dinding putih yang ada di
dekat pintu masuk cafe yang terbuka lebar. Baru ia sadari kalau sejak ia melesat masuk ke
dalam cafe dan bersembunyi di dekat pintu, seorang pelayan cafe yang berdiri di dekat pintu
memerhatikannya. Belum sempat ia mengatakan apapun, terdengar derap langkah beberapa
orang yang mendekat ke arah depan cafe.

“Hei, kau melihat anak laki-laki yang sepertinya seusiamu berlari ke arah sini?” tanya salah
satu dari orang itu.

Itu mereka! Petaka! Hidup seorang Jung Jaehyun akan bertahan kurang dari lima detik kalau
sampai pelayan cafe itu membuka mulut memberitahu keberadaannya. Yang bisa ia lakukan
hanyalah menatap pelayan cafe tersebut dan berusaha berkomunikasi secara telepati
dengannya. Baiklah, itu mustahil.

“Tidak, Paman. Memangnya ciri-cirinya seperti apa?”

Di luar dugaan Jaehyun, pelayan cafe itu mengatakan hal mengejutkan. Apakah telepati
mereka berhasil? Jujur, ia kini hanya mengerjap-ngerjapkan matanya ke arah pelayan cafe itu.

“Kau yakin?” Salah satu preman itu mencoba memastikan.

“Sejak tadi saya ada di sini membersihkan kaca cafe, Paman.”

Merasa kesal karena yakin pelayan cafe tersebut berkata jujur, akhirnya kelima preman itu
pergi meninggalkan cafe sambil mengucapkan sumpah serapah mereka pada Jaehyun. Dengan
jelas, Jaehyun bisa mendengar keinginan mereka menggantung tubuhnya secara terbalik suatu
saat bila menemukannya. Mengerikan.

“Kukira setelah liburan sekolah, kau bisa jauh dari hal-hal seperti itu. Sepertinya dugaanku
salah ya.”

Jaehyun terpaksa mengernyitkan keningnya setelah pelayan cafe itu menoleh dan berkata
seperti itu padanya. Apa pelayan cafe itu mengenalnya?

“Ucapan terima kasih mungkin lebih tepat dan lebih singkat untuk saat ini daripada kata-kata
yang lain,” pelayan cafe tersebut kembali berkata saat Jaehyun tak kunjung membuka mulut
untuk mengatakan sesuatu.

Alih-alih menuruti apa kata pelayan cafe tersebut untuk mengucapkan terima kasih karena
telah menyelamatkannya, Jaehyun justru hanya menegakkan tubuhnya, merapikan jaket yang
dipakainya dan berjalan keluar dari cafe begitu saja.

Huh, tipikal seorang Jung Jaehyun, pemuda 18 tahun yang selalu merasa enggan mengucapkan
terima kasih pada orang yang telah membantunya. Mungkin seharusnya ia tidak naik ke kelas
2 SMU mengingat ia juga melakukan hal yang sama pada guru-gurunya saat ia masih duduk di
bangku kelas 1 SMU.

*
Lee Taeyong’s part :

Taeyong menghela napas setelah memarkirkan sepedanya di dekat tumpukan kardus yang ada
di bagian belakang cafe tempatnya bekerja paruh waktu. Sambil menyibak rambutnya yang
jatuh di keningnya, ia menaiki tangga kecil di dekat pintu belakang.

“Annyeong haseyo, Hyungnim…”

“Kau terlambat lagi, hah? Sekarang cepat ganti pakaian dan segera layani pengunjung.”

Belum selesai ia menyapa karyawan tetap cafe yang lebih tua darinya, lagi-lagi ia harus
mendengar kata-kata yang sama selaa 6 bulan ini dari salah satu rekan kerjanya. Well,
mungkin sebutan rekan kerja sedikit menakutkan mengingat dirinya yang paling muda di sini.

“Jangan lupa, meja nomor 7 belum mendapatkan waffle pesanannya. Meja nomor 4 ingin
tambah jus jeruk. Sekalian juga…., tata uang yang ada di laci kasir. Tadi ada barang datang,
kami semua belum sempat menatanya.”

Taeyong mengangguk, mengiyakan “permintaan” karyawan cafe yang bernama Kwak Tae
Gong itu.

Yeah, apa lagi yang bisa ia lakukan selain mengiyakan permintaan yang lebih mirip perintah
dari laki-laki itu. Diterima menjadi pekerja paruh waktu di BlueBear Cafe ini saja sudah
membuatnya bersyukur ratusan kali. Setidaknya ia hanya harus mengingat hal tersebut
ketimbang mengeluh ini itu karena perlakuan karyawan tetap cafe yang bekerja pada sore
hingga malam itu.

Kesulitan ekonomi. Ya, itulah alasannya bekerja di tempat ini. Sebenarnya untuk ukuran
pemuda 18 tahun sepertinya bila harus bekerja sedikit kurang tepat. Tugasnya hanyalah belajar
yang rajin dan bersikap layaknya anak sekolah yang besok akan duduk di bangku kelas 2
SMU.

Namun, bagi Taeyong yang hanya hidup dengan ibunya di sebuah flat sederhana dengan
segala keterbatasannya, tidak mungkin bila hanya belajar dan bersikap layaknya anak sekolah.
Ia butuh biaya untuk sekolah. Pendapatan ibunya yang hanya sebagai karyawan laundry umum
tidaklah cukup untuk itu. Apa dia akan berpangku tangan? Tidak. Di saat tidak banyak tempat
usaha atau toko yang mau menerima anak sekolah sebagai karyawan, pemilik cafe ini cukup
baik menerimanya bekerja meski hanya sebagai pekerja paruh waktu.

Yup, Taeyong patut berterima kasih dan bersyukur.

Baiklah, kembali ke cafe di mana sekarang Taeyong yang sudah berganti pakaian tengah
membawa satu porsi waffle pesanan ke meja nomor 7. Tak lama kemudian ia menuangkan
satu gelas jus jeruk pesanan meja nomor 4 dan mengantarkannya.

Matanya memandang semua meja pengunjung yang hanya diisi beberapa orang. Malam ini
pengunjungnya cukup sedikit dibanding malam-malam sebelumnya. Setidaknya dengan
keadaan yang seperti itu, ia bisa sedikit istirahat sambil menata uang yang ada di laci kasir.

“Permisi.”

Taeyong terpaksa menegakkan kepalanya saat mendengar suara seseorang dari depan counter.
Oh, ada satu pengunjung yang datang. Kalau dilihat dari wajah dan penampilannya, sepertinya
pengunjung itu seumuran dengannya.

“Iya. Mau pesan apa?” tanya Taeyong dengan ramah sambil berdiri di depannya.
Untuk beberapa detik pengunjung cafe itu memandang poster minuman bernama Blueberry
Summer yang memang selalu jadi favorit cafe ini.

“Satu Blubbery Summer,” pinta pengunjung cafe tersebut.

“Baiklah. Tunggu sebentar.”

Taeyong segera menyiapkan pesanan pengunjung cafe tersebut. Dan tak sampai lima menit,
pesanan sudah jadi.

“Ini. Silakan menikmati,” ujar Taeyong sambil tersenyum hangat.

“Eee… apa saya boleh bertanya?”

Taeyong yang bermaksud menerima uang pesanan terpaksa memandang pengunjung tersebut
karena tiba-tiba pengunjung tersebut bertanya sambil menjauhkan uang di tangannya.

“Iya.”

“Ah… Toko Buku… Gyungju? Iya, itu. Toko Buku GyungJu. Apa Anda tahu di mana
tempatnya?”

Setelah mengangguk kecil, Taeyong pun berkata, “Toko Buku GyungJu? Oh, toko yang itu.
Setelah Anda keluar dari cafe ini, jalan lurus saja ke arah utara. Nanti Anda akan menemukan
kedai ramyun yang ada di sudut jalan itu. Nah, Toko Buku GyungJu ada seberang jalan depan
kedai.”

Taeyong menundukkan kepala dengan sopan setelah pengunjung cafe itu mengucapkan terima
kasih sambil tersenyum lebar. Well, setidaknya masih ada orang yang mau mengucapkan
terima kasih atas bantuannya.

Sepuluh potong kimbap yang harum dan hangat menyambut Taeyong setelah ia membuka
tutup kotak makan yang dibawanya dari rumah. Senyum polos terukir di bibirnya saat
memandang makan malam buatan ibunya. Satu potong kimbap langsung masuk ke dalam
mulutnya. Begitu seterusnya hingga di dalam kotak tersisa empat potong kimbap. Ia baru akan
mengambil satu potong lagi ketika telinganya mendengar pintu cafe dibuka oleh pengunjung.
Buru-buru diletakkannya kotak makannya ke atas meja di dekat kulkas berukuran besar dan
mencuci tangannya.

“Anda mau memesan apa?” tanya Taeyong sesaat setelah ia kembali ke counter. Dilihatnya
seorang pengunjung cafe bertubuh tinggi kurus seperti kebingungan mencari seseorang.

Ini…. aku….” Pengunjung cafe itu berjalan ke depan counter sambil mencari sesuatu pada
ponsel yang ada di tangannya. “Benarkah voucher ini dari cafe ini?” tanyanya sambil
menunjukkan apa yang ditemukannya pada Taeyong.

“Iya, itu dari cafe kami. Apa Anda mau menukarkanya?” tanya Taeyong seraya menggeser
tubuhnya pada mesin kasir yang ada di sampingnya untuk mengambil alat pemindai kode
voucher.

Taeyong segera membuatkan 2 pesanan pengunjung itu dengan cekatan. Beberapa kali ia
diajak berbicara oleh pengunjung tersebut.
“Ini pesanan Anda. Selamat menikmati. Kalau bisa sering-seringlah membeli minuman di sini
agar mendapatkan lebih banyak voucher lagi,” ujar Taeyong setelah meletakkan pesanan
Doyoung ke atas counter.

Dihelanya napas panjang saat menatap punggung orang itu keluar dari cafe. Kemudian
diedarkannya matanya ke arah meja pengunjung yang sebagian pengunjungnya sudah pergi.
Tentu saja mereka akan meninggalkan piring dan gelas minuman mereka di sana. Dan sudah
menjadi pekerjaan seorang pelayan cafe untuk menyingkirkan piring dan gelas kotor tersebut
kemudian membersihkan mejanya.

Setelah memastikan semua meja kembali bersih, ia beranjak ke arah pintu cafe sambil
meletakkan lap bersih ke bahunya. Ia baru akan mengambil tempat sampah yang bergeser dari
posisi semula ketika tiba-tiba sosok pemuda bertubuh tinggi tegap melesat masuk ke dalam
cafe dan bersembunyi di balik dinding yang ada di dekat pintu masuk cafe.

Pemuda itu…., Taeyong hanya memerhatikannya. Bukan karena ia terkejut melihatnya yang
tiba-tiba masuk begitu saja, melainkan karena ia mengenalnya. Tampaknya pemuda yang
wajah bersihnya berhias luka lebam pada salah satu pipinya tersebut baru menyadari kalau
Taeyong tengah memerhatikannya.

Taeyong terpaksa mengalihkan pandangannya pada depan cafe karena secara tiba-tiba juga
muncul lima orang pria bertubuh besar.

“Hei, kau melihat anak laki-laki yang sepertinya seusiamu berlari ke arah sini?” tanya salah
satu dari mereka.

Untuk beberapa detik Taeyong hanya terdiam memandang mereka dengan wajah datar
sebelum menjawab, “Tidak, Paman. Memangnya ciri-cirinya seperti apa?”

Kau yakin?” Salah satu preman itu tampaknya mencoba memastikan jawaban yang diberikan
Taeyong.

“Sejak tadi saya ada di sini membersihkan kaca cafe, Paman,” Taeyong kembali menjawab
dengan tenang.

Barulah setelah kelima pria menyeramkan itu pergi, Ia menoleh ke arah pemuda tersebut dan
mendengus pelan.

“Kukira setelah liburan sekolah, kau bisa jauh dari hal-hal seperti itu. Sepertinya dugaanku
salah ya,” ucapnya sebelum menggerakkan salah satu kakinya membetulkan letak tempat
sampah.

Pemuda berambut gelap itu mengernyitkan keningnya.

“Ucapan terima kasih mungkin lebih tepat dan lebih singkat untuk saat ini daripada kata-kata
yang lain,” tambah Taeyong saat pemuda itu terlihat sama sekali tak berniat untuk
menanggapinya.

Baiklah. Sepertinya kata-katanya memang tidak mendapat tanggapan karena pemuda itu hanya
pergi begitu saja tanpa mengucapkan apa-apa. meninggalkan Taeyong yang hanya bisa
menggelengkan kepala.

“Mau sampai kapan dia akan seperti itu terus? Jung Jaehyun, hidupmu membosankan sekali,”
gumamnya pelan pada sosok pemuda tersebut yang kini sudah menghilang dari pandangannya.
Jaehyun yang sudah menghabiskan hampir tiga jam di dalam warnet dibuat terkejut dengan
suara bel kecil yang berbunyi ketika ia membuka pintu kaca warnet tersebut. Well, seharusnya
ia sudah hafal dengan bunyi bel tersebut mengingat hampir setiap hari ia mengunjungi tempat
ini. Tapi entah kenapa ia tetap saja menunjukkan reaksi seperti itu.

“Lain kali lepaskan saja bel ini. Mengganggu sekali,” gerutu Jaehyun pada penjaga warnet
yang kemudian hanya menatapnya dengan tatapan yang seolah sama sekali tak memedulikan
apapun yang ia katakan.

Mungkin saja penjaga warnet tersebut hanya malas mendengar gerutuan yang sama yang
dilontarkan Jaehyun setiap hari.

Menyadari tidak direspon sama sekali, Jaehyun hanya menggebrak pelan tepi pintu kaca
tersebut sebelum berjalan keluar sambil mengeratkan jaket yang membungkus tubuhnya
karena angin malam langsung menyambutnya dengan cukup kencang. Dinaikkannya tudung
jaket ke atas kepalanya. Yeah, setidaknya telinganya tidak kedingingan.

Berjalan sendirian seperti ini di malam hari memang sudah menjadi “rutinitas”-nya sebelum
kembali ke tempat yang terpaksa ia sebut dengan rumah dan membiarkan kantuk
menguasainya tanpa peduli pada apapun yang ada di “rumah”nya.

Langkah kakinya melambat saat matanya tanpa sengaja melihat cafe kecil yang ada tak jauh
darinya. Namun, tidak ada yang ia lakukan. Ia hanya melihatnya sekilas saja sebelum kembali
melanjutkan jalannya. Sesekali kakinya menendang udara kosong yang ada di depan sepatu
sekolahnya dengan pelan. Dan kepalanya menoleh ketika ia melintas di depan cafe tersebut.

Cafe yang relatif sepi. Tak banyak pengunjung yang datang, padahal malam begitu larut.
Masih pukul delapan malam, ngomong-ngomong. Bila Jaehyun harus memberikan
penilaian—meski sebenarnya ia tidak harus juga sih— cafe tersebut tidak terlalu buruk meski
ukurannya cukup kecil dibanding cafe lain di sekitar daerah ini.

Dan juga…..

Greb!

Belum selesai Jaehyun menilai cafe tersebut dengan menggunakan matanya, tiba-tiba
seseorang mengamitkan tangannya pada lengannya. Tentu saja ia terkejut bukan main dan
hampir saja mendorong orang tersebut kalau saja ia tak segera menoleh dan melihat senyum
lebar orang tersebut.

“Akhirnya kau datang juga, Jung Jaehyun!” seru Ten yang masih saja mengamitkan tangannya
pada lengan Jaehyun.

Tanpa menggunakan tenaga besar, Jaehyun berhasil melepaskan tangan kurus Ten dari
lengannya dan melemparkan tatapan tajam ke arah teman sekelasnya tersebut yang entah
muncul dari mana.

“Kami menunggumu sejak tadi. Saya kira kau tidak datang. Tapi rupanya….”

“Apa yang sedang kau bicarakan?” Jaehyun memotong dengan ketus.

Alih-alih menjawab, Ten justru mendorong punggung Jaehyun agar berjalan ke arah cafe.
Setiap kali Jaehyun berusaha menyingkirkan diri dari tangan Ten, pemuda berambut hitam
selalu berhasil meraih belakang jaketnya dan kembali mendorongnya.
“Jung Jaehyun sudah datang!” Ten kembali berseru setelah berhasil membawa Jaehyun ke
depan sebuah meja pengunjung dekat kaca di mana di sana sudah ada Doyoung yang sibuk
menikmati minuman hangat pesanannya.

Doyoung, pemuda bertubuh tinggi kurus ini tak memberikan respon apapun selain
menegakkan kepalanya dan memandang heran ke arah Jaehyun. Sungguh, kemunculan
Jaehyun saja sudah cukup mengejutkannya.

“Duduklah. Biar saya pesankan minuman satu lagi untukmu.” Ten langsung menarik kursi di
depan Doyoung dan mendaratkan Jaehyun ke sana dengan sedikit tenaga. Tangannya
melambai ke arah Taeyong yang kembali muncul dari belakang.

Ya, Ten dan Doyoung memang sedang berada di BlueBear Cafe, tempat Taeyong bekerja.
Mereka sengaja berkumpul di sini karena itu adalah cara mudah untuk bertemu dengan
Taeyong meski sebenarnya cukup sulit juga mengajak berbicara teman mereka tersebut setelah
tahu Taeyong terus-menerus keluar-masuk dari dapur belakang cafe ke meja kasir dan counter
untuk melayani pengunjung cafe. Sendirian.

Dan sekarang tiba-tiba Jaehyun muncul di saat mereka semua tidak yakin dia akan datang
setelah Ten mengirimi ratusan pesan di ponsel Jaehyun, memintanya agar datang ke cafe ini.

“Di tahun ini kau banyak berubah ya? Tidak terlalu banyak sih,” celetuk Doyoung yang
ditinggal sendirian bersama Jaehyun di mejanya.

Jaehyun hanya memutar matanya jengah. Tangannya terangkat, mengacak-acak rambutnya


sekilas dan membuang pandangannya ke arah lain. Baiklah, ia sama sekali tidak tahu apa
yang sedang Doyoung katakan padanya. Bahkan ia tidak mengerti kenapa tiba-tiba ia diseret
kemari oleh…. oleh….

“Kenapa kau dan anak kawin silang itu membawaku kemari?” Akhirnya Jaehyun membuka
mulutnya untuk bertanya sesuatu meski respon yang ia dapat adalah Doyoung tersedak oleh
minumannya.

Jaehyun berdecak pelan melihat Doyoung terbatuk-batuk sambil meletakkan gelas


minumannya kembali ke atas meja dan memukul-mukul pelan dadanya.

“Bahkan minum saja kau tidak becus,” desis Jaehyun sebelum beranjak dari kursinya,
bermaksud untuk mengambilkan Doyoung sebotol air mineral. Akan tetapi, sosok Ten yang
berjalan ke arah mereka membuatnya kembali menghenyakkan diri ke kursinya.

“Pesananmu akan segera datang,” ucap Ten seraya duduk di samping Jaehyun. Sedetik
kemudian, pemuda bermata besar ini heran melihat Doyoung sibuk meredakan batuknya.
Spontan ia beralih ke samping Doyoung dan menepuk-nepuk punggung Doyoung sambil
menyodorkan sebotol air putih yang ia ambil dari dalam tas hitamnya. “Apa yang terjadi
denganmu?”

Doyoung tak menjawab. Setidaknya matanya bergerak dan berhenti pada Jaehyun yang mana
itu artinya jawabannya ada pada pemuda bersifat pemarah itu. Tidak mungkin ia akan
memberitahu Ten bahwa Jaehyun baru saja menyebutnya “anak kawin silang”. Sebutan itu
cukup kasar di telinganya dan ia tidak ingin Ten merasa tersinggung.

Doyoung berharap Jaehyun tak memanggil Ten dengan sebutan itu tepat di depan wajah Ten.
Semoga saja tidak pernah terjadi meski ia tidak yakin sepenuhnya akan hal itu mengingat
bagaimana Jaehyun selalu suka bicara sesuka hati.
Taeyong muncul dengan sebuah cangkir berwarna putih di atas baki kayu. Dengan hati-hati ia
meletakkan cangkir tersebut di depan Jaehyun yang mana mendapat kerutan dahi dari
Jaehyun.

“Apa ini?” tanya Jaehyun dengan cepat sambil mendongak ke arah Taeyong.

“Coklat panas,” jawab Taeyong ringan.

“Kau pikir aku masih bayi?”

“Udara malam ini dingin sekali makanya saya memesankan coklat panas untukmu—“

“Jangan sok kenal denganku, Kau Anak Ka—“

Mengetahui Jaehyun akan menyebut Ten dengan sebutan Anak Kawin Silang, Doyoung yang
cukup pintar membaca keadaan dan berpikir dengan cepat langsung menjauhkan cangkir
tersebut dari hadapan Jaehyun dengan sedikit kasar supaya perhatian Jaehyun teralihkan.

“Aku akan meminumnya! Kau pesan saja sesukamu, okay?” ujar Doyoung, melihat Jaehyun
dan Ten bergantian. Sementara itu, Taeyong memandang puncak kepala Jaehyun sambil
menghela napas panjang, merasa gerah dengan sikap kasar Jaehyun.

“Berikan saja padaku.”

Aneh, Jaehyun justru merebut kembali cangkir tersebut dari tangan Doyoung dan
meminumnya sedikit dengan cukup kasar sebelum meletakkan kembali ke atas meja. “Katakan
saja padaku kenapa tiba-tiba kalian membawaku kemari?”

“Untuk merayakan keberhasilan kita mempresentasikan tugas kelompok kita tiga hari yang
lalu. Sekaligus saya ingin berterima kasih padamu karena kepiawaianmu membawakan poin-
poin penting tugas kita. Mungkin kalau bukan karena dirimu, kelompok kita tidak akan
mendapatkan nilai tinggi,” Ten menyerobot lebih dulu untuk memberikan jawaban. Hanya
dengan melihat ekspresi di wajahnya dan cara bicaranya yang selalu ceria seperti yang biasa ia
tampilkan, kita sudah bias menyimpulkan bahwa amarah Jaehyun tak berpengaruh padanya.
Untuk yang kesekian kalinya.

Dengusan kasar lolos dari bibir Jaehyun. Namun, ketika ia akan membalas ucapan Ten,
seseorang memanggil Taeyong dari arah meja kasir. Serentak keempat pemuda itu menoleh ke
arah yang sama.

“Aku… aku harus kembali bekerja. Nikmati minuman kalian,” ucap Taeyong sebelum berlari
kecil ke arah rekan kerjanya.

Sosok Taeyong menghilang setelah masuk ke dalam dapur belakang bersama rekan kerjanya
tersebut. Doyoung dan Ten kembali melanjutkan percakapan yang sebelumnya terhenti.

“Apa sekarang pekerjaanmu berubah? Berbicara dengan pelanggan cafe? Begitu?” tanya salah
satu karyawan cafe yang bertubuh besar sambil berkacak pinggang di depan Taeyong.
“Maaf, Sunbae. Mereka adalah….”

“Teman-temanmu?” Karyawan lain yang bertubuh kurus dan berambut pirang langsung
memotong ucapan Taeyong dengan sinis.

Taeyong hanya mengangguk pelan sambil memandang mereka berdua.

“Kita dibayar untuk melayani pesanan pelanggan secepat mungkin, bukan mengobrol dengan
orang-orang yang kau sebut teman tadi. Itu bisa mengganggu konsentrasi kerja, tahu tidak?”

Yang bisa Taeyong lakukan hanyalah membungkuk dan meminta maaf meski sebenarnya ia
bisa saja membalikkan ucapan mereka. Semua yang mereka berdua lakukan sejak tadi
hanyalah .mengobrol tidak jelas di dekat lemari pendingin sambil menghabiskan hampir
sepuluh soft drink dan menyuruhnya melakukan ini dan itu.

“Waktu shift kami sudah hampir habis dan kami tidak punya waktu untuk menyelesaikan
pekerjaan kami. Bereskan sisi kompor yang itu sebelum kau keluar ke meja kasir. Mengerti?
Sebenarnya aku ingin membantumu, tapi aku sudah punya janji dengan teman-temanku dan
dia,” Rekan kerja Taeyong yang bertubuh besar lantas melepaskan apron berwarna biru dan
meletakkan sembarangan ke dekat meja. Hal yang sama dilakukan oleh rekan kerjanya yang
bertubuh kurus.

“Selamat malam, Sunbae, Hyungnim. Hati-hati di jalan.”

Tak ada respon. Tentu saja begitu. Aneh bila Taeyong mendapatkan respon meski hanya
sekedar ucapan iya atau semacam itu. Sambil menghela napas pelan ia lantas mengambil dua
apron biru tersebut dan memasukkannya ke dalam kecil dekat tempat cuci piring untuk ia cuci
nanti saat ia akan pulang.

Ia menghentikan kegiatannya ketika ia menyadari ada seseorang yang tengah


memperhatikannya dari arah lorong yang menuju ke toilet. Ditolehkannya kepalanya ke
jendela dan mendapati sosok Jaehyun berdiri di sana, menatapnya dengan tatapan datar
khasnya.

Tak ada yang Taeyong ucapkan karena ia harus segera keluar dari dapur dan melayani
pengunjung cafe ketika mendengar suara pintu kaca cafe dibuka. Ia yakin teman sekelasnya itu
melihat semuanya tadi karena jarak lorong dengan dapur hanya beberapa langkah, ditambah
jendela dapur mengarah langsung pada lorong yang selalu dilewati oleh para pengunjung cafe
saat mereka ingin ke toilet.

Well, sebenarnya ia tidak ingin pemandangan seperti itu disaksikan oleh temannya. Atau
mungkin lebih tepatnya…. oleh semua orang yang mengenalnya.

oOo

Seungri High School, 07.45.00 KST

Ten baru saja keluar dari toilet pria dan kini sedang sibuk merapikan rambut hitamnya di
depan kaca. Suasana hatinya sedang baik—padahal hampir setiap hari moodnya selalu baik—
karena tak ada satupun temannya yang keluar dari group chat yang ia buat beberapa minggu
lalu.

Ha, mungkin seharusnya Ten menyebut nama Jaehyun saja karena hanya teman satu kelasnya
itu saja yang selalu keluar setiap kali ia memasukkannya ke dalam group chat. Mungkinkah
Jaehyun sudah lelah dengan sifat keras kepalanya? Kalau benar begitu, Ten harus bangga pada
dirinya karena ia bisa membuktikan pada Doyoung bahwa ia bisa “menaklukkan” seorang
Jung Jaehyun. Yeah, meski hanya untuk masalah group chat.
Mungkin “berbangga diri” bukanlah kata yang cukup tepat mengingat Jaehyun masih saja
bergeming setiap kali percakapan di group chat mereka semakin panjang. Setidaknya Taeyong
masih mau ikut memberikan kata-kata meski tidak terlalu panjang dan cukup sederhana
sebagai respon.

“Hyung, aku sudah mendapatkan teman di sini,” gumamnya dengan suara lemah. Sekilas ada
biasan kesedihan di kedua matanya sebelum ia memejamkannya untuk beberapa detik dan
menghela napas panjang.

Kepalanya menoleh ke arah pintu ketika setidaknya ada tiga sampai empat seniornya masuk
ke dalam toilet. Awalnya Ten hanya membiarkan mereka setelah membungkukkan badannya
sebentar untuk menyapa. Ingat, mereka adalah senior kelas 3. Tapi beberapa detik kemudian ia
harus mengernyitkan kening karena langkahnya dihadang.

“Maaf, Sunbaenim, saya ingin keluar. Jam pelajaran akan….”

“Namamu Ten, bukan?” Hoobin, nama salah satu senior Ten tersebut mengulurkan tangan ke
arah dinding di dekat Ten, membuat Ten kembali berhenti berjalan.

“Iya, Sunbaenim.” Ten menelan ludah perlahan. Kebiasaannya menonton drama korea untuk
belajar bahasa Korea membuatnya membayangkan banyak hal-hal yang mengerikan. Apakah
senior-seniornya ini akan memukulinya di sini? Bila ia harus melihat bagaimana ekspresi
wajah mereka yang seolah menghakiminya, ia yakin sesuatu yang buruk akan terjadi padanya.

“Kudengar kau…. pernah di-bully sewaktu kau…. masih SMP. Benar begitu? Aku jadi
penasaran akan hal itu. Kau tahu, ini adalah pertama kali bagi sekolah ini menerima anak
sepertimu. Lalu….”

Tiba-tiba Ten menarik napas dan wajahnya berubah ketakutan ketika seniornya tersebut
menyergap kerah seragam sekolahnya dengan cukup kasar. Sebuah kilasan masa lalu melintas
dengan cepat secara bergantian di dalam benaknya, membuatnya merasakan dadanya perlahan
mulai sesak.

“Sun-sunbaenim… to-tolong le-lepaskan ta-tanganmu….” Suara Ten terdengar terbata-bata.

Sungguh, Ten sendiri juga terkejut dengan reaksi yang ia tunjukkan mengingat reaksi seperti
ini sudah lama tidak ia rasakan. Perasaan ngeri mulai menjalar di dalam benaknya. Bahkan
keringat dingin mulai muncul di keningnya tanpa sebab.

“Ooh.. jadi seperti ini kau sewaktu SMP dulu?” Ejek Hoobin sambil menyeringai tipis di sudut
bibirnya.

Ekspresi ketakutan Ten justru semakin membuat senior kelas 3 tersebut bersemangat untuk
mengerjainya. Akan tetapi suara pintu dibuka dengan cukup keras dari arah salah satu pintu
toilet membuat mereka semua terkejut dan seketika menoleh kea rah pintu tersebut.

“Para Senior Terhormat, bukankah kalian terlalu kekanak-kenakan melakukan hal seperti itu?”
Jaehyun muncul dari balik pintu sambil menarik resleting celananya ke atas. “Seingatku kita
sudah SMU. Aah…, aku salah. Sepertinya semua senior kelas 3 di sekolah manapun akan
selalu melakukan hal seperti itu. Kekanak-kanakan, memalukan, menjijikkan dan tidak
berguna.”

Bagus. Kini perhatian semua senior benar-benar beralih pada Jaehyun. Ten pun sudah terlepas
dari tangan Hoobin dan kini sedang berusaha mengatur detak jantungnya yang sejak tadi tak
karuan karena perasaan takut.
Bel tanda pelajaran pertama akan segera dimulai tiba-tiba berbunyi. Dan ya, sebut saja… bel
tersebut menyelamatkan Jaehyun yang mungkin saja akan mendapatkan sedikit “balasan” dari
para seniornya tersebut karena sudah mengganggu kegiatan mereka.

“Kalau ingin menghajarku kapan-kapan saja. Hari ini aku ingin giat belajar, Sunbaenim. Jadi,
selamat pagi.” Hanya itu yang Jaehyun ucapkan sebelum mengulurkan tangannya ke arah Ten,
menarik seragam bagian depan pemuda berambut hitam tersebut agar ikut dengannya keluar
dari toilet.

Ten berulangkali mengucapkan terima kasih pada Jaehyun ketika mereka berjalan di lorong
yang akan membawa mereka ke kelas 2-3 sambil berusaha mengatur napasnya.

“Kau ini anak laki-laki tapi kenapa lemah sekali sih? Kenapa tidak melawan mereka saja?
Toh, tinggi badan kalian tidak jauh berbeda. Sama-sama pendeknya,” gumam Jaehyun,
tangannya kembali terulur untuk menarik kerah bagian belakang Ten ketika teman sekelasnya
tersebut bermaksud untuk masuk ke kelas yang salah. “Kelasmu bukan yang itu. Tapi di depan
sana.”

Ten hanya menyeringai, menggaruk pelan pelipisnya.

“Balas budi. Saya akan membalas budi. Katakan saja apa permintaanmu dan saya akan
mengabulkannya,” ucap Ten sambil merapikan kerah seragamnya.

“Apa selain menjadi murid sekolah, kau juga memiliki pekerjaan sampingan sebagai jin?”
Jaehyun mendengus pelan. Untuk beberapa detik ia cukup bingung dengan kombinasi wajah
riang dan sepasang mata yang masih terlihat ketakutan dan trauma secara samar-samar pada
diri Ten.

“Saya serius dengan itu. Kapan pun kau membutuhkan bantuan saya, saya akan—“

“Masuk sajalah.” Jaehyun memotong ucapan Ten dengan mendorong punggung Ten ke dalam
kelas mereka yang seperti biasa, selalu sunyi secara mendadak setiap kali ia melangkah
masuk.

Doyoung yang sejak tadi duduk di kursi Jaehyun karena ada yang harus ia bicarakan dengan
Taeyong berniat untuk beranjak ke kursinya sendiri. Namun, ia kembali menghenyakkan diri
dengan ekspresi heran ketika Jaehyun justru menarik kursi di samping Ten.

“Doyoung-ah, berikan tasku,” ujar Jaehyun dengan nada pelan tanpa menoleh ke arah
Doyoung.

Meski ada banyak pertanyaa di dalam kepala Doyoung, ia tetap saja menuruti apa kata
Jaehyun. Dengan cepat ia mengambil tas Jaehyun yang menggantung di samping meja dan
langsung memberikan tas tersebut pada Jaehyun.

Suara derap sepatu terdengar dari arah luar kelas dan sosok guru mata pelajaran Bahasa
Inggris untuk pagi terlihat dari arah jendela kelas mereka yang menghadap ke lorong. Well,
tampaknya pagi ini mereka bisa sedikit santai karena guru tersebut adalah guru yang tidak
terlalu “mengerikan”.

Jaehyun yang duduk di samping Ten lantas menampilkan smirk tipis di sudut bibirnya.

“Kau bilang akan mengabulkan permintaanku, kan?” tanya Jaehyun sambil menoleh ke arah
Ten.

Ten hanya mengangguk kecil.


“Kalau begitu ini adalah permintaanku.” Jaehyun mengalungkan tasnya pada bahunya.

Ten yang masih tidak mengerti dengan perkataan Jaehyun hanya mengernyitkan kening. “Saya
tidak mengerti,” ungkapnya kemudian.

“Otakmu kan pintar. Jadi kau pasti dengan mudah menemukan alasan masuk akal untuk yang
satu ini.”

Hanya itu yang diucapkan Jaehyun sebelum menyelinap ke belakang kursi Ten dan membuka
jendela yang ada di samping teman sekelasnya tersebut. Secepat kilat, ia berhasil keluar dari
kelasnya dengan cara melompat keluar melalui jendela, tepat sedetik sebelum guru kelasnya
masuk.

Tentu saja, Ten dibuat terkejut dan terlihat berusaha mencerna apa yang baru saja ia lihat.
Jaehyun tiba-tiba kabur dari kelas melalui jendela dan sebelumnya mengatakan bahwa ia ingin
permintaannya dikabulkan. Apa ini?

“Ten?” Doyoung yang menyaksikan adegan Jaehyun dari bangku Taeyong lantas memanggil
Ten.

Dengan wajah bingung yang begitu polos, Ten menoleh. Ia tidak tahu harus berkata
bagaimana. Dan itu sudah cukup membuat Doyoung terkekeh.

“Apa tadi….”

“Dia baru saja memanfaatkanmu, Ten,” tutur Doyoung dengan sedikit berbisik.

“Seseorang harus memborgolnya di mejanya sendiri agar ia tidak main kabur seperti itu lagi,”
celetuk Taeyong.

“Aku berani bertaruh, dia akan membawa kabur mejanya bersamanya. Anak itu sama sekali
tidak berubah,” sahut Doyoung yang membiarkan Ten kebingungan di bangkunya.

Anda mungkin juga menyukai