Anda di halaman 1dari 5

Menapak Mahameru

karya: Chevi Putri Prayida


Lautan kapas terhampar dipelupuk mata lentiknya, udara sejuk tercium oleh hidung lancipnya, dengan kain
yang membalur rapat tubuhnya dan selalu melayang-layang seakan bergembira berada disana. Srestha tak
pernah berhenti bersyukur kepada Allah yang telah memberinya kesempatan untuk merasakan surga dunia-Nya.

Dengan tangan yang ditutup sarung penghangat, ia mengarahkan cangkir kecil ke mulutnya dan menyeruput
sedikit demi sedikit air yang terasa manis didalamnya. Air yang menyentuh hangat tubuhnya dari udara dingin
yang mengerubunginya. Ia tak sendirian diatas puncak tertinggi di Jawa itu, ia bersama para pendaki lainnya
dan juga ketiga teman baiknya. Berkat ketiga bidadarinya yang cantik itulah, Srestha dapat menginjakkan kaki
diatas sana.

***

Srezarra Thalenza Nuela, biasa dipanggil Srestha, gadis cantik yang duduk dibangku kelas 2 di SMAN 54
Jakarta. Gadis yang bisa dikatakan sempurna karena memiliki orang-orang tersayang yang selalu ada
didekatnya. Salah satunya adalah ketiga sahabatnya yang bernama Fasyadira Vivian atau biasa dipanggil
Vivian, Agnazkiya Sela atau Agnez, dan Wylona Miraj atau Lona. Ketiga sahabatnya selalu mengerti dirinya,
akan hal yang dihadapinya dan masalah yang mendatanginya. Mereka sangat membantu Srestha dalam hal
apapun.

Meskipun begitu, Srestha tetap merasa bahwa Reno, kekasihnya, lebih berarti dibandingkan para sahabatnya.
Setiap saat Srestha selalu membangga-banggakan Reno di depan ketiga sahabatnya itu. Memang, Reno adalah
pribadi yang humoris dan romantis, Srestha merasa sangat nyaman bersamanya dan mereka sudah menjalin
hubungan lebih dari 3 bulan.

Semingguan ini memang sangat melelahkan untuk Srestha. Ia merebahkan tubuh kecilnya diatas pembaringan
di kamarnya, sekedar untuk melepas lelah yang ia rasakan belakangan ini.

“besok ulangan, besoknya lagi test, besoknya ujian. Aku butuh penyegaran” gumamnya berkali-kali

Ia meraih telepon genggam di kantung seragam yang masih dipakainya. Perasaan kesal sedikit timbul dihatinya
saat melihat tak ada satupun pemberitahuan dari kekasihnya. Karena rasa lelah yang dirasakannya, ia tak terlalu
memperdulikannya.

Suatu hari di sekolah, tiba-tiba Agnez mendengar percakapan salah seorang teman sekelasnya yang bernama
Aliza dengan orang lain.

“Reno kemarin ngantarin aku pulang dan dia ngasih boneka ke aku”
“serius? So sweet banget!”

Agnez mengira bahwa itu bukan Reno yang ia maksud karena Reno tak mungkin menyakiti Srestha. Tetapi di
hari-hari berikutnya, Agnez selalu mendengar Aliza membicarakan Reno, itu membuat ia semakin penasaran
mengenai Reno yang dimaksud. Ia bertanya langsung dan mendapati bahwa Reno yang dimaksud adalah
kekasih Srestha. Setelah mengetahui hal itu, ia langsung menghampiri Srestha dikelasnya.
“Sre, menurut kamu apa belakangan ini Reno agak berubah?”
“kok kamu tiba-tiba nanya gitu?”
“gak apa-apa kok, aku cuma gak mau aja Reno nyakitin kamu”
“sebenernya aku ngerasa dia berubah banget Nez. Tapi aku gak mau ambil pusing, mungkin dia lagi mau fokus
belajar buat UN makanya dia jarang hubungin dan samperin aku kesini.. oh iya kamu kok tau sih Reno
berubah?”

Sebenarnya, Agnez tak ingin membuat Srestha sedih dengan memberi tahunya akan hal ini. Tetapi Srestha
tetap memaksa Agnez. Agnez pun menjelaskan semuanya kepada Srestha. Srestha kaget dan merasa tak
percaya. Ia langsung pergi meninggalkan Agnez dengan air mata yang perlahan keluar dari matanya.

“Sre..tunggu!” Agnez berusaha menyusul kepergian Srestha

Dengan kedua tangan yang menutupi matanya, Srestha terus menangis.

“Udahlah Sre, gausah difikirin lagi. Masih ada aku, Agnez dan Wyn. Kita selalu ada buat kamu” Vivian
mencoba menghibur Srestha yang sedang duduk di taman belakang sekolah.

Malamnya setelah Srestha diberitahu oleh Agnez akan hal itu, ia langsung menelepon Reno untuk
menanyakannya langsung. Sebelum Srestha memulai, Reno sudah duluan berbicara.

“Sre..maafin aku ya, aku gak kuat sama sikap protektif kamu.. aku tau ini berat buat kamu.. tapi kita sampai
disini aja ya”

Kata-kata Reno barusan menusuk Srestha tepat dibagian ulu hatinya. Srestha langsung memutuskan
sambungan teleponnya dengan Reno dan mulai menangis sejadi-jadinya.

Seminggupun berlalu, Srestha tampak tak seperti dulu, ia lebih sering murung dan kadang menangis tiba-tiba.
Bayang-bayang wajah Reno masih melekat di fikirannya. Kepingan hatinya yang hancur sulit untuk menyatu
kembali. Baginya, hari-hari tak berwarna seperti dulu semenjak Reno tak bersamanya. Ketiga sahabat Srestha
sangat menyayanginya, segala cara mereka lakukan untuk membuat Srestha kembali riang seperti dulu, tapi tak
pernah satupun berhasil.

Suatu hari, mereka bertiga berbincang-bincang mengenai Srestha.

“aku rasa, Srestha butuh liburan” kata Wynona


“bener banget”
“gimana kalau kita ajak dia jalan-jalan keluar kota?”
“kemana tuh?”
“hmm.. aku mau ajak dia ke gunung Semeru”

Vivian dan Wynona kaget. Mana mungkin mereka sanggup mendaki gunung tertinggi di Jawa itu.

“Nez, disana rintangannya berat banget loh”


“justru itu yang akan buat Srestha sadar akan artinya sahabat. Kebersamaan dan kerjasama kita nanti disana
mudah-mudahan bisa menyentuh hati Srestha” tegas Agnez

Dengan beberapa menit perdebatan, mereka pun dengan nekad sepakat membuat keputusan bahwa mereka
akan mengajak Srestha mendaki gunung Semeru dan menuju puncak Mahameru. Memang gila rasanya, gadis-
gadis belia seperti mereka mencapai Mahameru.
Ketiga sahabat Srestha meminta izin terlebih dahulu kepada orang tua Srestha sebelum memberitahunya.
Ayahnya yang kebetulan sangat menyukai pendakianpun mengizinkannya.

Suatu malam, ketiga sahabat Srestha mengadakan acara nginap-menginap untuk membuat hati Srestha lebih
baik, mereka memutuskan untuk menginap di rumah Wynona. Selama malam itu, mereka saling bertukar cerita
dan fikiran satu sama lain, ya, itulah gunanya teman.

“Sre.. sebenernya kita mau ngajak kamu jalan-jalan”kata Agnez


“kemana?” Tanya Srestha
“hemm..ke Mahameru”
“kita udah izin kok sama Ibu dan Ayah kamu, mereka ngizinin kamu kok”

Akhirnya, setelah ketiga sahabatnya itu membujuknya, Sresthapun bersedia untuk ikut mendaki Gunung
Semeru.

Di sekolah, mereka berempat selalu berkumpul dan membicarakan apa saja yang harus dibawa dan harus
dilakukan disana. Sepulang sekolah mereka juga selalu menyempatkan diri untuk latihan fisik yang dilatih
langsung oleh ayah Srestha tentu saja untuk persiapan agar fisik mereka kuat dalam menghadapi berbagai
rintangan disana nantinya.

Hari yang ditunggu-tunggupun tiba juga. Dengan tas bermerk Carrier yang terisi penuh dengan baju-baju,
peralatan mendaki dan bekal makanan, mereka menaiki kereta malam jurusan Malang. Perjalanan itupun
mereka isi penuh dengan canda dan tawa. Raut wajah gembirapun mulai terlukis di wajah Srestha.

Setelah perjalanan yang cukup panjang, mereka pun sampai di Desa Cemoro Lawang, Desa yang berada
sangat dekat dengan pintu masuk Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Karena hari itu sudah malam,
mereka beristirahat di tempat penginapan seadanya yang tersedia disana.

Keesokan paginya, mereka memulai perjalanan menuju Mahameru. Untuk mencapai tempat pendakian awal,
mereka harus menaiki mobil Jeep yang harga sewanya sangat mahal sekali. Kebetulan saat itu ada 4 remaja
laki-laki yang sebaya dengan mereka sedang mencari tumpangan Jeep. Salah seorang dari mereka menyapa
Srestha dan ketiga sahabatnya.

“hem.. kalian mau kemana?”


“kita mau ke Mahameru” jawab Vivian

Para lelaki itu tertawa kecil karena mendengar perkatan Vivian.

“lucu ya? Emang kalian doang yang bisa kesana” tegas Agnez
“nggak, nggak kok. Oh iya, nama gue Bara. Ini temen-temen gue, Fadil, Nino, dan Angga”

Merekapun berbincang-bincang satu sama lain dan sepakat untuk mendaki mahameru bersama. Mereka
berdelapan menyewa Jeep untuk sampai ke tempat pendakian awal yaitu Ranu Pani. Baru setengah perjalanan,
Srestha sudah merasakan kegugupan dan merasa tegang, jantungnya berdegub lebih kencang, ia tahu bahwa
ketiga sahabatnya juga merasakan hal yang sama. Bara terlihat sedang memandangi wajah Srestha yang manis
itu, Srestha merasakannya dan ia menoleh kearah Bara, Barapun berpaling karena ia merasa malu.

Sesampainya disana, kegugupan mereka hilang saat melihat ada banyak orang yang juga ingin mendaki
Gunung Semeru, akhirnya mereka bergabung untuk bersama-sama melewati berbagai rintangan disana.
Mereka semua berjalan menuju gapura yang bertuliskan “Selamat Datang Para Pendaki Semeru”. Setelah
sampai di gapura, mereka terus berjalan menyusuri lereng bukit yang landasannya landai dan dipenuhi oleh
bunga edelweis, lalu mereka sampai di Watu Rejeng. Di sana terdapat batu terjal yang sangat indah.
Pemandangannya sangat indah ke arah lembah dan bukit-bukit, yang ditumbuhi hutan cemara dan pinus.
Mereka menyaksikan kepulan asap dari puncak semeru. Mereka harus menempuh jarak sekitar 4,5 Km untuk
sampai di Ranu Kumbolo

Sesampainya di Ranu Kumbolo, mereka beristirahat untuk melepas penat. Puluhan pendaki lainnya juga
terlihat sudah mendirikan tenda-tenda disana sebagai tempat istirahat malam ini. Srestha dan ketiga temannya
terlihat kebingungan bagaimana cara mendirikan tenda.

“sini biar kita bantuin” kata Nino. Mereka langsung membantu mendirikan tenda

Sudah tengah malam, Srestha tak dapat tidur karena udaranya dingin sekali. Ia memutuskan untuk keluar tenda
dan menghangatkan dirinya didekat api unggun sembari menyedu teh. Tiba-tiba ia mendengar suara langkah
kaki, iapun menoleh dan ternyata itu adalah Bara. Bara langsung duduk disebelah Srestha dan merekapun
berbincang-bincang

“gak tidur?” Tanya Bara


“gak bisa, kedinginan”
“haha..sama.. lo pernah mendaki sebelumnya?”
“ini pertama kalinya. Kamu?”
“ini pendakian ketiga gue..”

Esok paginya, mereka meninggalkan Ranu Kumbolo dan melanjutkan perjalanan. Merekapun memulai
perjalanan dengan mendaki bukit yang terjal. Vivian merasa tidak kuat untuk mendakinya, ia menangis karena
kelelahan.

“aku gak kuat, aku mau turun aja”


“vi.. kita udah setengah jalan.. kita semua juga capek kok sama kayak kamu. Kita gak boleh nyerah, Vi”

Dengan jerih payah, dan kerja sama akhirnya mereka dapat sampai di Kalimati setelah melewati tanjakan cinta,
padang ilalang yang luas dan pohon-pohon cemara di kiri-kanan jalur. Ternyata rintangan yang ada disana lebih
sulit dari yang mereka bayangkan.

Mereka selalu mendapati medan yang terjal. Srestha hampir ingin jatuh karena terpeleset, beruntung Bara
cepat menangkapnya.

“lo gak apa-apa kan?” Tanya Bara


“iya.. makasih ya”

Saat itu sudah jam 2 malam dan mereka masih dalam keadaan menanjak menuju puncak Semeru. Agnez
terlihat terjatuh berkali-kali tetapi ia dapat kembali bangkit karena ketiga sahabatnya selalu membantunya.

Jam 5 pagi, terlihat tanda-tanda sang surya yang sudah mulai menampakkan cahayanya dan mereka masih
semangat untuk mencapai puncak Semeru.

“ayo teman-teman.. sebentar lagi kita sampai. Semangat!” kata salah seorang pendaki yang bersama mereka
Hanya tinggal satu langkah lagi lalu semua kerja keras mereka terbayar sudah oleh indahnya sorotan
kemerahan sang Surya dari balik awan. Srestha, Vivian, Agnez dan Wynona meneteskan air matanya karena
terharu dan merekapun berpelukkan. Bara dan ketiga temannya ikut senang dan tersenyum melihat keempat
gadis cantik itu tersenyum lega, dan merekapun ikut merangkul satu sama lain.

Mataharipun sudah sepenuhnya menampakkan diri. Terlihat kebiruan mulai berkunjung dan menghiasi langit
pada pagi hari itu. Mereka memakan bekal sarapan dengan lahapnya. Srestha langsung berdiri memisahkan diri
untuk lebih lama menikmati indahnya pemandangan diatas sana.

Saat sedang memandangi indahnya pemandangan. Tiba-tiba terlintas dibenaknya akan hal yang ia telah
lakukan kepada ketiga sahabatnya. Srestha merasa sangat bodoh karena telah mengorbankan ketiga bidadarinya
demi seorang pangeran dalam mimpinya. Ia melihat kearah para sahabatnya yang sedang duduk bersama sambil
memakan sarapan mereka dan Srestha tersenyum sambil meneteskan air mata.

“Mempunyai satu sahabat sejati lebih berharga dari seribu teman yang mementingkan diri sendiri” ucapnya
“tapi kan lo punya 7 sahabat” kata Bara yang tiba-tiba berada disampingnya

Srestha menengok kearah Bara dan merekapun bertatapan. Tak disangka, jantung Srestha tiba-tiba berdegup
kencang.

“Wynona, Agnez, Vivian, Fadil, Nino Angga dan…gue” lanjut Bara

Sresthapun langsung tersenyum, lalu mereka berdua tertawa.

“ternyata Indonesia gak kalah indahnya sama Negara lain” ucap Srestha. Barapun tersenyum. Mereka tak
memalingkan pandangan dari indahnya pemandangan dari atas sana.

Lautan kapas terhampar dipelupuk mata lentiknya, udara sejuk tercium oleh hidung lancipnya, dengan kain
yang membalur rapat tubuhnya dan selalu melayang-layang seakan bergembira berada disana. Srestha tak
pernah berhenti bersyukur kepada Allah yang telah memberinya kesempatan untuk merasakan surga dunia-Nya.

Dengan tangan yang ditutup sarung penghangat, ia mengarahkan cangkir kecil ke mulutnya dan menyeruput
sedikit demi sedikit air yang terasa manis didalamnya. Air yang menyentuh hangat tubuhnya dari udara dingin
yang mengerubunginya. Satu hal yang selalu ia ingat, ia tak sendirian diatas puncak tertinggi di Jawa itu, ia
bersama para pendaki lainnya dan juga ketiga teman baiknya. Berkat ketiga bidadarinya yang cantik itulah,
Srestha dapat menginjakkan kaki diatas sana.

Anda mungkin juga menyukai