Anda di halaman 1dari 6

Evaluasi Proses Penyusunan APBN

APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan


kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara. Proses belanja tidak dapat dipisahkan
dari proses perencanaan anggaran. Mekanisme penyusunan anggaran sangat berpengaruh
pada kualitas belanja. Sistem penganggaran berbasis kinerja yang saat ini diterapkan
mendorong proses penyusunan anggaran menjadi lebih terukur. Berdasarkan sistem ini, setiap
penyusunan anggaran harus disusun atas output yang ingin dicapai. Indikator output ini
sangat bermanfaat untuk mengetahui efektivitas belanja. Oleh karena itu,
kualitas output sangat menentukan kualitas belanjanya. Output yang baik akan
memberikan outcome (hasil) dan benefit (manfaat) yang baik, sementara output yang buruk
akan berakibat pada tidak optimalnya hasil sehingga belanja yang dikeluarkan pun tidak
efektif. Selain itu, output yang baik adalah output yang disusun atas dasar analisis kebutuhan.

Mengapa upaya perbaikan kualitas perencanaan APBN bernilai strategis?

Upaya perbaikan pengelolaan keuangan, khususnya perencanaan APBN, masih


merupakan agenda strategis bagi percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat, yang
merupakan inti dari tujuan negara.

Failing to plan is planning to fail (Alan Lakein). Kegagalan dalam membuat rencana
berarti merencanakan sebuah kegagalan. Kegagalan dalam perencanaan APBN sama dengan
merencanakan kegagalan negara tersebut untuk mewujudkan tujuannya, yaitu peningkatan
kesejahteraan rakyat.

Beberapa permasalahan pokok dalam penyusunan anggaran yang perlu direspon


adalah sebagai berikut:

a. Konflik Kepentingan Dalam Penyusuan APBN

Pemahaman akan hubungan yang sangat erat antara ekonomi dengan politik akan
sangat berguna sekali dalam memahami akar permasalahan negara yang sebenarnya tidak
jauh dari persoalan ekonomi dan politik. Pemahaman tentang hal ini saya kira akan sangat
berguna untuk meredam atau paling tidak mengurangi skala perdebatan di antara beberapa
elemen negara ketika muncul kebijakan baru, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun
DPR. Sebagai contoh, berdasarkan pengalaman ketika pemerintah menelurkan kebijakan
ekonomi, maka akan selalu terjadi konroversi antara ekonom satu dengan ekonom lain
maupun antara ekonom dengan politisi yang pada akhirnya akan menggiring perdebatan itu
sampai pada perdebatan publik. Ketika perdebatan sudah sampai di tingkat publik, apalagi
eskalasinya semakin meningkat, tentu ini akan menyebabkan dampak yang buruk bagi iklim
ekonomi,sosial dan politik.

Salah satu contoh pergulatan intelektual dan kepentingan yang melibatkan paling
tidak dua disiplin ilmu (politik dan ekonomi) adalah dalam penyusunan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Biasanya penyusunan APBN akan dimulai bulan
Mei dan akan di sahkan pada bulan Agustus pada rapat paripurna DPR setiap tahunnya.
Perdebatan ini terjadi hampir setiap tahun dan akar pemasalahan tidak jauh dari permasalahan
defisit anggaran yang kian menjadi-jadi. Seberapa besar defisit anggaran yang dapat
ditoleransi, berapa besar asumsinya, bagaimana alternatif pembiayaannya, seberapa besar
alokasi untuk membiayai kegiatan sosial, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya? Itulah
paling tidak derivasi dari akar masalah tersebut. Tentu masalah ini tidak akan selesai jika
masing-masing pihak yang berkepentingan mencari solusi hanya dari sudut pandang
keilmuan masing-masing. Ekonom bersikeras dengan analisis ekonomi murninya dan politisi
tetap teguh pada posisi politisnya. Hal ini harus dicari solusi yang sifatnya win-win solution
bukannya win-loose solution. Dan memadukan kesepahaman dua disiplin ilmu tadi adalah
alternatif terbaik. Hal ini terpaksa dilakukan karena masalah sudah bergeser menjadi masalah
yang sifatnya normatif.

Seperti kita ketahui bahwa dalam penyususan anggaran salah satu asas yang perlu
diperhatikan adalah asas keadilan (Justice). Ketika berbicara keadilan maka tentu ini tidak
bisa dipandang murni dari sudut ilmu ekonomi saja. Keadilan dalam hal ini tidak mungkin
diperlakukan sebagai masalah-masalah yang , yang dapat diselesaikan secara teknokratis.
Ketika bebicara tentang keadilanpolitically neutral maka kita berbicara dengan berbagai
macam kepentingan dan itu artinya secara langsung, kita mau-tidak mau masuk ke dalam
wilayah politik. Seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa dibelakang setiap variabel
ekonomi akan dijumpai sejumlah konstituen politik. Dan setiap konstituen politik akan akan
menterjemahkan keadilan sesuai dengan aspirasinya yaitu ketika kepentingan dari
masingmasing konstituen terpenuhi.

Salah satu contoh perdebatan nyata akhir-akhir ini adalah masalah realisasi 20 %
anggaran pendidikan. Jika dipikirkan secara mendalam kita akan mengetahui alasan kenapa
pemerintah terkesan setengah hati dalam merealisasikan 20 % anggaran tadi, yang sudah
menjadi amanah konstitusi. Bagi pemerintah, secara ekonomi realisasi anggaran pendidikan
tersebut tidak masuk akal, mengingat ini sangat memberatkan APBN dan mengancam
kesinambungan fiskal. Saat ini sekitar 30 % anggaran setiap tahun tersedot untuk membayar
utang beserta bunganya. Jika anggaran pendidikan 20% direalisasikan untuk menjaga
eksistensi negara apakah mungkin hanya mengandalkan 50 % anggaran? Mungkin ini
pertanyaan sederhananya. Hal ini ditambah fakta lagi bahwa institusi pendidikan belum
menujukkan kesipapan untuk memangku amanah tersebut. Institusi pendidikan kita masih
terlalu lemah. Korupsi di institusi pendidikan masih belum bisa ditanggulangi. Jika anggaran
20% terealisasi dengan segera ini akan menjadi bumerang bagi pembangunan Indonesia
khususnya sektor pendidikan. Lalu pertanyaannya kenapa orang-orang atau elemen yang
memperjuangkan realiasi anggaran tersebut masih tetap bersikeras? Tentu jawaban ini, jika
dikupas tidak jauh dari masalah politik. Jadi, pemahaman tentang permasalahan ini tidak
lepas dari pemahaman antara ekonomi dan politik. Dan setiap permasalahan baik ekonomi,
politik, sosial dan sebagainya tidak terlepas dari masalah di sektor lain. Sehingga analisis
pemecahan masalah sangat diperlukan pengetahuan interdisiplener.

Untuk mengeliminir hal demikian, pemahaman tentang hakikat hubungan ilmu politik
(political science) dengan ilmu ekonomi (economics) harus tertanam pada benak setiap
elemen bangsa khususnya ekonom dan politikus serta masyarakat pada umumnya. Tidak
dipungkiri bahwa ekonomi dan politik memiliki hubungan yang sangat erat, sehingga ilmu
politik dan ilmu ekonomi tidak dapat dipisahkan sebagai satu bidang keilmuan. Jika dirunut
dari sejarah hal ini dapat dibuktikan bahwa ilmu politik dan ilmu ekonomi pernah masuk
dalam satu bidang ilmu tersendiri yaitu ekonomi politik (political economy). Dengan
perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, ilmu tersebut kemudian memisahkan diri
menjadi dua lapangan yang mengkhususkan perhatian terhadap tingkah laku manusia yang
berbeda-beda: ilmu politik (Political science) dan ilmu ekonomi (economics). Akan tetapi,
pemisahan itu tidak dapat menutupi hakikat hubungan yang erat antara dua disiplin tersebut.
Politik menentukan kerangka kerja aktivitas ekonomi dan menyalurkanya kedalam
pengaturan yang ditujukan untuk melayani kepentingan kelompok dominan, disisi lain proses
ekonomi dengan sendirinya mengarah pada distribusi kekuasaaan dan kekayaan, dimana
kekuasaaan adalah pusat dari kajian ilmu politik.

b. Kebijakan Anggaran Defisit


Mengapa menerapkan kebijakan anggaran defisit? Dari semenjak merdeka hingga
hari ini, pengelolaan anggaran Indonesia selalu berkutat dengan masalah defisit. Satu celah
yang membuat Indonesia tidak bisa lepas dari ketergantungan terhadap utang.
Kebijakan anggaran yang dijalankan pemerintah acapkali menimbulkan sejumlah
persoalan. Pada masa orde lama yang menganut kebijakan anggaran moneter pemerintah
berkutat dengan masalah defisit dan inflasi, sedang pada masa orde baru yang menerapkan
kebijakan anggaran berimbang, utang luar negeri ditempatkan sebagai sumber utama
pembiayaan pembangunan, sementara pada era reformasi yang mengadopsi kebijakan
anggaran defisit, utang menjadi faktor penentu bagi keberlanjutan fiskal.
Runtuhnya rezim orde baru membawa Indonesia memasuki era reformasi. Di bawah
bimbingan lembaga donor (IMF dan World Bank), pemerintah melakukan perombakan besar-
besar dalam pengelolaan anggaran.
Pada tahun 2001, pemerintah mengadopsi standar Internasional Government Finance
Statistics (GFS) dalam penyajian APBN. Penandanya adalah diterapkannya kebijakan
anggaran defisit, dimana struktur APBN dipilah kedalam lima bagian; pendapatan, belanja,
keseimbangan primer, defisit anggaran, dan pembiayaan.
Anggaran defisit adalah kebijakan yang menghendaki posisi pengeluaran negara lebih
besar dari pada posisi penerimaan negara dalam satu tahun anggaran. Karena pengeluaran
lebih besar dari penerimaan maka anggaran negara mengalami defisit (kekurangan).
Selanjutnya, defisit ditutupi dengan mengajukan utang ke negara donor atau menerbitkan
obligasi.
Sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, setiap tahunnya, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan
defisit dalam APBN tidak lebih dari 3 persen, sementara rasio utang pemerintah dibatasi pada
level 60 persen terhadap PDB.
Sejak penerapan anggaran defisit, utang merupakan kata kunci dalam pengelolaan
APBN. Ketidakmampuan pemerintah menutup defisit berpotensi meningkatkan resiko fiskal.
Risiko fiskal merujuk pada suatu situasi dimana pemerintah sebagai pengelola keuangan
negara kesulitan mendapatkan utang tambahan untuk mengatasi defisit anggaran. Utang
sebagai sumber pembiayaan menutup defisit dijadikan faktor penentu bagi keberlanjutan
fiskal, yakni keberlanjutan atas penerimaan dan pengeluaran pemerintah, baik pada sisi
rencana maupun realisasi. Demikian, keberlanjutan fiskal sangat bergantung pada
kemampuan pengelolaan utang pemerintah.
Namun, pada kenyataannya kemampuan pengelolaan utang pemerintah terus
mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Ini diindikasikan meningkatnya Debt Service
Ratio (DSR) dan membengkaknya defisit keseimbangnya primer. DSR adalah perbandingan
antara nilai pembayaran utang luar negeri (pokok dan bunga) dengan nilai ekspor barang dan
jasa. Sampai kuartal II 2016, tingkat DSR telah mencapai 66 persen. Angka ini telah
melampaui batas kewajaran DSR yang ditetapkan oleh IMF yaitu sebesar 30-33 persen.
Dengan kata lain kemampuan penerimaan ekspor untuk membayar utang luar negeri semakin
lama semakin berkurang
Sementara, defisit keseimbangan primer yang merupakan selisih antara pendapatan
negara dikurangi belanja negara tanpa memperhitungkan pembayaran bunga utang. Defisit
keseimbangan primer terus membengkak dalam lima tahun terakhir (2012-2016).
Pada 2012 defisit keseimbangan primer tercatat sebesar Rp 52,7 triliun, tahun berikutnya
(2013) membengkak jadi Rp 98,6 triliun, pada tahun 2014 sedikit turun, berada pada kisaran
Rp 93,2 triliun. Memasuki tahun pertama pemerintahan Jokowi (2015), defisit keseimbangan
primer melambung sebesar Rp 142,4 triliun. Sementara hingga tutup tahun 2016, defisit
keseimbangan primer mendekati angka 110 triliun, melampaui jumlah yang ditetapkan
APBN-P 2016 sebesar 106 triliun. Sementara untuk tahun 2017 defisit keseimbangan primer
diprediksi terbang ke angka Rp 111,4 triliun.
Membengkaknya defisit keseimbangan primer, mengisyaratkan bahwa APBN telah
kehilangan kemampuannya untuk membayar bunga utang dari hasil penerimaan negara,
bahkan pemerintah dipaksa mencari utang baru hanya untuk membayar bunga utang lama.
Situasi ini membuat utang Indonesia terus membengkak dan semakin sulit keluar dari
jeratannya.
Menutup tahun 2016, utang luar negeri pemerintah sudah menembus angka Rp 3.500
triliun. Bahkan untuk tahun 2017, Pemerintah berencana menarik utang baru melalui
penerbitan SBN sebesar Rp 597 triliun. Penerbitan SBN ini, ditujukan membayar cicilan
bunga dan utang pokok untuk tahun 2017 sebesar Rp 500 triliun. Pembayaran bunga utang
tahun 2017 diperkirakan mencapai Rp 221,4 triliun atau naik dibandingkan tahun 2016
sebesar Rp 191 triliun dan tahun 2015 sebesar Rp 156 triliun.
Untuk mengatasi membengkaknya utang dan defisit APBN, pemerintah hanya
memiliki dua opsi; mengenjot penerimaan atau memangkas belanja. Sejauh ini, tampaknya
pemerintah lebih cenderung memilih untuk meningkatkan penerimaan dibandingkan
memangkas pengeluaran. Namun, pilihan pemerintah untuk mengenjot penerimaan, di tengah
situasi ekonomi global yang masih bergejolak dan kondisi perekoromian dalam negeri yang
tidak stabil, sesungguhnya merupakan keputusan yang kurang realtis
Sampai hari ini, perekonoian global masih dilanda gejolak Trump Tantrum
(bergejolaknya ekonomi dunia akibat terpilihnya Donald Trump sebagai presiden USA).
Sementara perekonomian di dalam negeri masih diwarnai rasio pajak (tax ratio) terhadap
PDB yang diperkirakan berada di kisaran angka 10-11 persen, sehingga
tidak acceptable untuk mendongkrak penerimaan negara. Idealnya tax ratio sebesar 16
persen.
Walaupun, potensi dari penerimaan pajak relatif rendah, namun tidak menghalangi
keinginan pemerintah untuk tetap mendongkrak penerimaan. Melalui berbagai cara
pemerintah menaikkan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Dipermulaan tahun 2017,
rakyat dikejutkan oleh rencana kenaikan tafif listrik dan biaya pengurusan BPKB dan STNK
kendaraan bermotor.
Belanja pemerintah yang begitu ekspansif tersebut, tidak sebanding dengan tingkat
penerimaan yang dipatok pemerintah. Tahun 2017 penerimaan dipatok sebesar Rp Rp 1.737,6
triliun, sedangkan pada tahun 2016 dari proyeksi penerimaan sebesar Rp 1.822,5, realisasi
penerimaan hanya sebesar Rp 1.551,8 triliun. Untuk tahun 2015, dari proyeksi penerimaan
sebesar Rp 1.762,3 triliun, realisasi penerimaan hanya mencapai Rp 1.491,5 triliun.
Besarnya belanja dibandingkan penerimaan, membuat defisit dalam APBN terus
membengkak dari tahun ke tahun. Defisit tersebut selalu ditutupi dengan mengajukan utang
baru, baik utang langsung kepada debitur (lembaga donor) maupun melalui penerbitan SBN
(Surat Berharga Negara). Dan seperti biasa utang tersebut akan menjadi beban pada APBN
tahun-tahun berikutnya.
Defisit dan utang yang mengerogoti APBN tersebut harus segera diakhiri.
Pemerintahan Jokowi harus berani membuat terobosan dalam pengelolaan anggaran negara
dengan menerapakan kebijakan anggaran surplus, dimana belanja ditekan sedemikian rupa
hingga mencapai angka di bawah penerimaan.
Demikian, pemerintah sesungguhnya tidak perlu khawatir dengan penurunan
pertumbuhan ekonomi akibat kebijakan anggaran surplus. Pengoperasian anggaran surplus
memungkinkan pemerintah mampu menjaga kelangsungan fiskal dan mengurangi
ketergantungan terhadap utang.
Bukankah amanat Nawacita adalah membangun kemandirian. Defisit dan utang tidak
akan pernah membawa bangsa ini mencapai kemandirian.
c. Spesifikasi indikator kinerja dan target kinerja masih relatif lemah.

Berdasarkan PP Nomor 21 Tahun 2004 Tentang Penyusunan Rencana Kerja Dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga Pasal 3, RKA-KL terdiri dari rencana kerja Kementerian
Negara/Lembaga dan anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan rencana kerja tersebut.
Di dalam rencana kerja tersebut diuraikan visi, misi, tujuan, kebijakan, program, hasil yang
diharapkan, kegiatan, keluaran yang diharapkan.

Mengapa perlu adanya indikator kinerja dan target kinerja (output) dalam penyusunan RKA-
KL? Indikator kinerja dan output sangat bermanfaat untuk mengetahui efektivitas suatu
program atau kegiatan.

Dalam implementasinya, indikator kinerja dan output masih terlalu abstrak sebagai alat ukur
efektivitas suatu kegiatan. Contoh kasusnya adalah sebagai berikut:

Dalam DIPA suatu satker, beberapa output dari suatu kegiatan adalah berupa dokumen.
Output berupa dokumen keuangan untuk kegiatan Pembinaan Administrasi dan Dukungan
Pelayanan Pelaksanaan Tugas Kantor Pusat Kementerian masih terlalu abstrak.
d. Perencanaan Kurang Matang

Dapat kita lihat bahwa perencanaan anggaran di Indonesia masih memiliki banyak
kelemahan dan menjadi salah satu penyebab perbedaan angka realisasi dengan anggaran.
Seringnya revisi anggaran yang dilakukan satuan kerja juga menunjukkan bahwa
perencanaan anggaran yang disusun belumlah tepat dan sesuai kebutuhan di lapangan. Selain
itu, penetapan APBN-P seolah menjadi tradisi rutin pemerintah setiap pertengahan tahun. Hal
ini menunjukkan bahwa pemerintah belum dapat memproyeksikan anggaran secara tepat
sehingga anggaran pemerintah tidak memiliki ketahanan terhadap perkembangan ekonomi
yang terjadi selama tahun berjalan.

e. Tidak relevannya satuan biaya yang digunakan dalam penganggaran

f. Perkiraan Belanja disusun berbarengan dengan perkiraan penerimaan

APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan
pengeluaran negara selama satu tahun anggaran. Dalam implementasinya, jika realisasi
penerimaan lebih kecil dari rencana pengeluaran, maka rencana pengeluaran harus dikurangi.
Jika perencanaan tidak disusun dengan baik maka bisa menyebabkan perubahan APBN yang
efeknya adalah mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional.

Daftar Pustaka:
________Presiden Republik Indonesia Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2004 Tentang Penyusunan Rencana Kerja Dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga
________DIPA Setjat TA 2016.

_________http://frets-alfret-fisip12.web.unair.ac.id/artikel_detail-91391
Politik%20Anggaran- Perlukah%20Kesetaraan%20Dalam%20Politik%20Anggaran.html
_________http://ambudaya.blogspot.co.id/2007/04/perdebatan-ekonomi-politik-konflik.html

_________https://indoprogress.com/2017/01/mengakhiri-rezim-defisit-pada-kebijakan-fiskal/

Anda mungkin juga menyukai