UUD NRI 1945 sebagai sumber hukum dasar tertulis mengatur masalah
kenegaraan dan kesejahteraan sosial, tak terkecuali pula mengenai perlindungan
terhadap diri pribadi (privasi). Meskipun di dalam konstitusi tidak menyebutkan
istilah ‘privasi’ secara jelas namun pada hakikatnya istilah privasi sepadan
dengan perlindungan hak diri pribadi setiap orang sebagaimana tercantum dalam
Pasal 28G UUD NRI 1945 setelah amandemen kedua.
1
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28G.
2
Edmon Makarim, Konstitusi dan Telematika: Hak dan Kewajiban Konstitusional Terkait
Teknologi Informasi dan Komunikasi, (Badan Penerbit FH UI: 2017), hlm. 59
privasi dalam arti sempit menyangkut keamanan setiap orang dalam ruang
pribadinya, dan privasi dalam arti luas yakni menyangkut aspek yang terkait
dengan keamanan dan kenyamanan dirinya secara eksternal. 3 Oleh karenanya,
privasi dapat mencakup hak-hak antara lain sebagai berikut:
Selain berada dalam konstitusi, perlindungan terhadap hak atas privasi juga
tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan di bawahnya, seperti
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Hak Asasi
Manusia, Undang-Undang Telekomunikasi, Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, Undang-
Undang Kesehatan, Undang Administrasi Kependudukan, dan lain sebagainya.
3
Ibid., hlm. 58
seseorang yang terindentifikasi dan/ atau dapat diidentifikasi secara tersendiri
atau dikombinasi dengan informasi lainnya baik secara langsung maupun tidak
langsung melalui sistem elektronik dan/ atau non-elektronik. Berdasarkan hal
tersebut, data pribadi terbagi dalam: (i) data pribadi yang bersifat umum, dan (ii)
data pribadi yang bersifat spesifik.4
a. Nama lengkap;
b. Nomor paspor;
c. Photo atau video diri;
d. Nomor telepon;
e. Alamat surat elektronik;
4
Data spesifik menurut Pasal 6 RUU PDP antara lain: agama/ keyakinan, data kesehatan, data
biometrik, data genetika, kehidupan seksual, pandangan politik, catatan kejahatan, data anak, data
keuangan pribadi, keterangan tentang kecacatan fisik dan/ atau mental, dan/atau data lainnya
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
5
Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
Pasal 26 ayat (1).
6
Indonesia, Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi, Pasal 5.
f. Nomor kartu keluarga;
g. Nomor induk kependudukan;
h. Tanggal/ bulan/ tahun lahir;
i. Nomor induk kependudukan ibu kandung; dan
j. Nomor induk kependudukan ayah;
7
https://ictwatch.id/ (diakses pada tanggal 19 September 2018 Pukul 23.00 WIB)
fundamental dan perlindungan data adalah salah satu cara untuk
melindungi privasi itu sendiri.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang sifatnya melindungi data
pribadi khususnya untuk data dalam bentuk elektronik diatur lebih dalam
pada UU ITE yang secara spesifik mengatur mengenai perlindungan
terhadap privasi seseorang dalam media elektronik di mana persetujuan
mutlak diperlukan pada setiap penggunaan data pribadi seseorang.
Bahkan Pasal 26 ayat (2) UU ITE mengatur mengenai pemulihan hak
melalui mekanisme gani rugi.
Selain UU ITE, terdapat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (selanjutnya disingkat UU KIP) yang
secara tegas memberi klasifikasi informasi yang bukan merupakan
informasi publik. Dalam pasal 17 butir H disebutkan klasifikasi
informasi yang bukan tergolong informasi publik, yaitu:
1. Riwayat kondisi anggota keluarga;
2. Riwayat kondisi pengobatan kesehatan keluarga;
3. Kondisi keuangan seseorang;
4. Catatan pribadi seseorang; dan
5. Informasi mengenai hak-hak pribadi seseorang.
8
Op.Cit., Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
Pasal 31 ayat (1), (2), dan (3).
9
Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Pasal 40.
“Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas
informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam
bentuk apapun.”
3. UU Telekomunikasi Pasal 42, menyebutkan:10
(1) Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan
informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa
telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi yang diselenggarakannya.
(2) Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa
telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau
diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat
memberikan informasi yang diperlukan atas:
a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian
Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;
b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai
dengan undang-undang yang berlaku.
c. Rekaman informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
10
Ibid., Pasal 42.
penyelenggaraan dan pengawasan sistem penyiaran di Indonesia,
sehingga P3 SPS bukanlah suatu produk hukum yang ditunjukan untuk
memberikan perlindungan privasi secara langsung melainkan hanya
untuk mengurangi potensi pelanggaran privasi dalam penyelenggaraan
penyiaran.
Di dalam P3 SPS, khususnya pada Pasal 19 mengatur bahwa lembaga
penyiaran wajib menghormati hak privasi (hak atas kehidupan pribadi
dan ruang pribadi) subjek dan objek berita. Dalam hal penyajian
program, P3 SPS tidak mengautr secara detail kecuali yang terkait
dengan reportase mengenai konflik dan hal-hal negative dalam keluarga
(Pasal 20), penyiaran hasil rekaman tersembunyi (Pasal 21) dan
penayangan dari mereka yang tertimpa musibah (Pasal 23).
Selain P3 SPS, ketentuan hukum lainnya yang dapat melindungi privasi
seseorang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang menyebutkan
bahwa tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
mengakibatkan kerugian tersebut. Perbuatan melawan hukum juga
diperluas bukan hanya perbuatan yang melanggar undang-undang tetapi
juga termasuk perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan dan
kesusilaan dalam hubungan antara warga masyarakat dan terhadap diri
pribadi dan hak benda orang lain.11
Selain itu Pasal 1372 KUHPerdata menyebutkan bahwa tuntutan perdata
tentang penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian
serta pemulihan kehormatan dan nama baik. Tak cukup melalui gugatan
perdata saja, terhadap penghinaan juga dapat dimintakan ganti rugi
melalui gugatan pidana yang lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 310
KUHPidana.12
11
Sri Soesilowati Hahdi, Surini Ahla Sjarif dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata Suatu
Pengantar, (Gitama Jaya: 2005), hlm. 133.
12
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 310.
(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik
seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang
supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,
dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam
karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu
tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah.