Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perawat merupakan tenaga profesional yang mempunyai kemampuan,


tanggung jawab dan kewenangan dalam melaksanakan dan memberikan
perawatan kepada pasien baik dalam keadaan sehat maupun sakit.
Keperawatan dikatakan sebagai sains kerena melalui proses observasi,
eksperimen dan dapat dipertanggung jawabkan keilmuannya dalam
pelaksanaan praktik keperawatan itu sendiri. Sebagai suatu disiplin, sekarang
keperawatan disebut sebagai suatu ilmu dimana keperawatan banyak sekali
menerapkan ilmu – ilmu dasar seperti ilmu perilaku, sosial, fisika, biomedik
dan lain sebagainya. Salah satu ilmu yang juga harus dipelajari dalam
keperawatan adalah farmakologi. Dikarenakan salah satu peran perawat adalah
kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi obat. Perawat perlu
mengetahui tentang obat – obatan agar perawat mampu menjelaskan mengenai
pemberian obat yang benar, perhitungan dosis obat serta aksi terapeutik
berbagai golongan obat, efek samping dan bahaya salah penggunaan dan
penyalahgunaan obat serta pengkajian keperawatan dibidang obat.

Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari semua aspek tentang obat


terutama tentang respon tubuh terhadap obat yang meliputi aspek farmasetika,
farmakokinetika, farmakodinamika. Pada makalah ini kami akan membahas
mengenai obat uterotonika dan uterotokolitik.

1
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Diharapkan mahasiswa keperawatan S1 non – reguler STIKes
Dharma Husada Bandung dapat memahami mengenai obat uterotonika dan
uterotokolitik.
2. Tujuan Khusus
Diharapkan mahasiswa keperawatan S1 non – reguler STIKes
Dharma Husada Bandung dapat menjelaskan :
a. Pengertian obat uterotonika dan uterotokolitik.
b. Klasifikasi obat uterotonika dan uterotokolitik.
c. Indikasi obat uterotonika dan uterotokolitik.
d. Efek samping obat uterotonika dan uterotokolitik.
e. Kontra indikasi obat uterotonika dan uterotokolitik.
f. Dosis obat uterotonika dan uterotokolitik.
g. Bentuk sediaan obat uterotonika dan uterotokolitik.
h. Interaksi obat uterotonika dan uterotokolitik.
i. Penyimpanan obat uterotonika dan uterotokolitik.

C. Ruang Lingkup Penulisan

Pada penulisan makalah ini penulis menggunakan metode deskriptif,


yang materi penulisannya diperoleh dari beberapa referensi seperti buku dan
penelusuran internet.

D. Sistematika Penulisan

Karya tulis ilmiah ini tersusun atas beberapa bab dan subbab
diantaranya bab I pendahuluan yang terdiri subbab latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan, ruang lingkup penulisan, sistematika penulisan. Bab
II merupakan isi yang terdiri dari beberapa subbab obat uterotonika dan obat
uterotokolitik yang terdiri dari pengertian, klasifikasi, indikasi obat, efek
samping, kontra indikasi, dosis obat, bentuk sediaan, interaksi obat,

2
penyimpanan obat. Bab III penutup yang terdiri dari beberapa subbab
kesimpulan dan saran.

BAB II

ISI

A. Obat Uterotonika
1. Pengertian
 Uterotonika adalah zat zat yang meningkatkan kontraksi uterus .(,
Ganiswara Sutistia.2007)

3
 Oksitoksik ialah obat yang merngsang kontraksi uterus. (Departemen
Farmakologi dan Terapeutik FK UI)

2. Klasifikasi

Uterotonika diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu:

a. Alkaloid Ergot
Sumber alkaloid ergot adalah Claviceps purpurea, suatu jamur
yang hidup parasit dalam butir rye dan gandum. Banyak terdapat di
Eropa dan Amerika.
Ergot mengandung zat yang penting yaitu alkohol ergot dan
zat lain seperti zat organik, karbohidrat, gliserida, steroid, asam
amino, amin, dan basa amonium kuatener .

1) Indikasi
 Oksitosik.
 Sebagai stimultan uterus pada perdarahan post persalinan atau
pasca abortus.
2) Efek Samping
 Dapat menimbulkan keracunan akut dan kronik.
 Keracunan akut terjadi pada percobaan menggugurkan
kandungan dengan dosis besar, gejalanya mual, muntah, diare,
gatal, kulit dingin, nadi lemah dan cepat tingling, bingung dan
tidak sadar.
 Pada keracunan kronik terdapat gejala angina pectoris,
takikardia, bradikardia, peninggian atau penurunan tekanan
darah.
3) Kontraindikasi
 Tidak boleh diberikan pada pasien dengan sepsis.
 Penyakit pembuluh darah seperti arteritis sifilitika,
arteriosklerosis, penyakit pembuluh darah koroner,
tromboplebitis dan sindroma Raynaud atau Buerger.
 Hipertensi.
 Fungsi paru menurun.
 Fungsi hati dan ginjal menurun.
 Tidak boleh diberikan pada wanita hamil.
4) Dosis Obat

4
 Oral : bekerja bereaksi setelah 10 menit. Dosis : 0,2 - 0,4
mg, 2 – 4 mg kali sehari selama 2 hari.
 Injeksi : Intra vena, bereaksi setelah 40 detik. Intra muscular
bereaksi setelah 7 – 8 menit.Dosis IV dan IM : 0.2 mg boleh
diulang 2 – 4 jam bila perdarahan hebat.
5) Bentuk sediaan obat
 Ergotamin tartrat
Merupakan kristal yang lartu dalam air dan alkohol. Terdapat
dalam bentuyk tablet oral 1 mg, tablet sublingual 2 mg dan
dalam bentuk larutan obat suntik 0,5 mg/mL dalam 1 ampul 1
mL.
 Ergonovin maleat
Merupakan kristal berwarna putih atau kuning, tidak berbau,
sensitif terhadap cahaya dan mudah larut dalam air. Terdapat
dalam bentuk suntikan ergonovin maleat berisi 0,2 mg/mL dan
dalam bentuk tablet berisi 0,2 mg. Sebaiknya disimpan pada
sushu antara 0 – 12 oC dan terlindung dari cahaya.
 Metilergonovin maleat (Methergin)
Terdapat dalam ampul 0,2 mg/mL dan tablet oral 0,2 mg.
 Metisergid maleat
Tersedia dalam bentuk tablet oral 2 mg.
 Dihidroergotamin
Tersedia dalam bentuk semprotan nasal 4 mg/mL dan suntikan
parenteral 1 mg/mL
6) Interaksi obat
Keefektifan ergometrin dapat terganggu jika ibu hamil yang
menggunakannya berada dalam keadaan hipokalsemia, keadaan ini
dapat dikoreksi dengan penyuntikan intavena garam kalsium.
Nikotin, beberapa preparat oksitosik yang lain, obat – obatan
anestesi umum, penyekat beta, sumatriptan dan eritromisin akan
menguatkan kerja ergometrin. Kepada ibu hamil yang memakai
ergometrin harus disarankan untuk tidak merokok (menggunakan
nikotin) selama tiga jam sesudah pemberiannya.
7) Penyimpanan obat
Ergometrin harus disimpan di tempat yang sejuk dan gelap,
sebaiknya di dalam lemari es dan tanggal kadaluwarsanya harus

5
diperiksa secara teratur. Kehilangan potensi setelah penyimpanan
selama setahun dapat mencapai 90 %. Tablet ergometrin
merupakan preparat yang tidak stabil dalam segala keadaan,
khususnya dengan kelembaban yang tinggi, dan dengan demikian
pemakaiannya tidak dianjurkan.

b. Oksitosin
Oksitosin merupakan hormon peptide yang disekresi oleh
pituitari posterior yang menyebabkan ejeksi air susu pada wanita
dalam masa laktasi. Oksitosin diduga berperan pada awal kelahiran.
Oksitosin merangsang otot polos, uterus, dan kelenjar mamae.
Fungsi perangsang ini bersifat selektif dan cukup kuat menstimulus
sensoris pada servik, vagina dan payudara sehingga merangsang
hipofisis posterior melepaskan oksitosin. Sensitivitas uterus terhadap
oksitosin meninggi bersaman dengan bertambahnya umur kehamilan.
1) Indikasi
 Oksitosik.
 Mengurangi pembengkakan payudara.
 Mengontrol perdarahan dan atonia uteri pasca persalinan.
 Induksi partus aterm.
 Mengakhiri kehamilan.
 Memperkuat kontraksi rahim selama persalinan.
2) Efek Samping
 Hiperstimulasi uterus membahayakan janin karena akan
mengganggu masuknya kepala janin ke dalam serviks, jika
serviks tidak melunak atau mengalami dilatasi, proses
persalinan tidak dapat berlangsung dan dalam keadaan ini,
kontraksi uterus yang keras, lama serta kuat dapat
menimbulkan konseskuensi yang serius seperti trauma pada
neonatus dan ibu serta rupture uterus.
 Reaksi anafilatik.
 Mual dan muntah
Dapat disebabkan oleh kontraksi otot polos usus atau kerja
langsung oksitosin pada zona pemicu kemoreseptor dan pusat
muntah dalam medula oblongata.
 aritmia, anafilaksis, aplasia placenta, emboli amnion.

6
 Vasokonstriksi pembuluh darah umbilikus.
 Kerja anti diuretik dan SIADH (Syndromeinappropriate ADH)
Oksitosin menyebabkan retensi air sehingga terjadi penurunan
haluaran urine, peningkatan osmolaltas (dan berat jenis) urine,
pengenceran plasma, hiponatremia.
 Reaksi hipersensifitas.
Reaksi hipersensitivitas yang meliputi anafilaksis sudah pernah
dilaporkan.
 Ikterus neonatorum
Oksitosin akan melintasi plasenta dan memiliki kerja
antidiuretik pada janin sehinga terjadi peningkatan fragilitas
sel darah merah, hemolisis, dan hiperbilirubinemia yang
bergantumg pada takaran oksitosin.
3) Kontra Indikasi
 Kontraksi uterus hipertonik.
Pemberian oksitosin merupakan kontraindikasi jika uterus
sudah berkontraksi dengan kuat atau bila terdapat obstruksi
mekanis yang menghalangi kelahiran bayi sepertiplasenta
previa atau disproporsi sefalopelvik. Jika keadaan servik masih
belum siap, pematangan serviks harus dilakukan sebelum
pemberian oksitosin.
 Distress janin.
 Prematurisasi.
 Letak bayi tidak normal.
 Disporposi sepalo pelvic.
 Predisposisi lain untuk pecahnya rahim.
 Obsruksi mekanik pada jalan rahim.
 Ibu dengan pre eklampsia atau penyakir kardiovaskuler atau
pada ibu hamil yang berusia di atas 35 tahun dikarenakan
potensi oksitosin dalam mengganggu keseimbangan cairan dan
tekanan darah.
 Pemberian infus oksitosin yang terus – menerus pada kasus
dengan resistensi dan insersia uterus merupakan
kontraindikasi.
4) Dosis Obat

7
 Untuk induksi persalinan intra vena 1 – 4 mU/ menit,
dinaikkan menjadi 5 –10 mU/ menit sampai terjadi kontraksi
secara fisiologis.
 Untuk perdarahan uteri post partum ditambahkan 10 – 40 unit
pada 1 liter dextrose 5%, dan kecepatan infuse dititrasi untuk
mengawasi terjadinya atonia uterus.
 Kemungkinan lain adalah 10 units dapat diberikan secara intra
muscular setelah lahirnya plasenta.
 Untuk mengiduksi pengaliran susu 1 tiupan (puff)
disemprotkan kedalam tiap lubang hidung ibu dalam posisi
duduk 2 – 3 menit sebelum menyusui.
5) Bentuk sediaan obat
 Suntikan oksitosin (syntocinon) berisi 10 unit USP/mL, dapat
diberikan IM atau IV. Semua sediaan yang beredar sekarang
adalah sediaan sintetik. Sediaan alam sudah ditinggalkan
karena secara komersial tidak menguntungkan.
 Oksitosin juga terdapat dalam bentuk semprot hidung berisi
40 unit USP/mL.
 Sediaan sub lingual yang berisi 200 unit USP per tablet. Satu
unit USP oksitosin kira – kira setara dengan 2µg hormon
murni.
6) Interaksi obat
Jika oksitosin diberikan bersama preparat vasokontriktor
lainnya, maka akan terdapat bahaya peningkatan TD yang dapat
menyebabkan serangan stroke. Keadaan ini dapat terjadi jika
adrenalin (epinefrin) ditambahkan pada obat anestesi lokal,
misalnya anastesi blok kaudal, atau jika efedrin diberikan untuk
memperbaiki hipotensi yang ditimbulkan oleh anastesi epidural.
Ergometrin dan oksitosin bekerja secara sinergis dan kerap kali
diresepkan bersama dalam penatalaksanaan kala tiga persalinan.
Obat – obat anestesi inhalasi dapat menurunkan tekanan darah atau
menimbulkan disritmia jantung. Prostaglandin, estrogen jika
diberikan lebih dari satu preparat yang meningkatkan kontraktilitas
uterus, stimulasi berlebih uterus lebih cenderung terjadi.

8
Obat golongan opioid dan fenotiazin, retensi air dan
hiponatremia merupaka masalah yang potensial pada pemakaian
kombinasi oksitosin, opioid, dan fenotiazin ( misal :
proklorperazin) dengan memperbesar bahaya akibat pemberian
kombinasi obat – obat tersebut. Darah, plasma atau metabisulfit
akan menghilangkan aktivitas oksitosin jika diberikan lewat set
infus yang sama.
7) Penyimpanan obat
Penyimpanan oksitosin harus di tempat yang tidak terkena
cahaya dengan suhu di antara 4 – 22oC, misalnya di dalam lemari
es.

c. Prostagladin
Prostaglandin merupakan kelompok senyawa yang secara
kimiawi saling berhubungan dan dibuat secara in vivo dari fosfolipid
pada membran sel dalam pelbagai jaringan tubuh.
Prostagladin pertama kali ditemukan dari cairan semen
manusia pada sekitar tahun 1930 oleh Ulf Von Euler dari Swedia.
Oleh karena diduga berasal dari kelenjar prostat maka diberi nama
Prostagladin.
Prostagladin seperti hormone berfungsi layaknya senyawa
sinyal tetapi hanya bekerja didalam sel tempat mereka tersintesis.
Prostaglandin ditemukan pada ovarium, miometrin dan cairan
menstrual dengan konsentrasi berbeda selama siklus haid.
Berlainan dengan oksitosin, prostaglandin dapat merangsang
terjadinya persalinan, pada setiap usia kehamilan. Pada saat persalinan
spontan konsentrasi prostaglandin dalam darah perifer dan cairan
amnion meningkat.
Ada empat tipe prostaglandin endogenus yang memainkan
peranan dalam proses melahirkan. Huruf yang digunakan pada
keempat tipe prostaglandin ini menyatakan struktur kimia bagian
cincin molekul senyawa tersebut :
- PGE1 : mematangkan serviks.
- PGE2 : menimbulkan kontraksi uterus mulai dari trimester kedua
lanjut dan mematangkan serviks.

9
- PGI2 : memastikan aliran darah dari ibu ke dalam janin, dan
mempertahankan paten duktus arteriosus.
- PGI2α : menimbulkan kontraksi uterus pada segala waktu 9 berbeda
dengan oksitosin). Tipe ini juga penting pada saat menstruasi ketika
menyebabkan vasokontriksi dan kontraksi uterus.
1) Indikasi
 Sebagai oksitosik
 Mensitumulus kontraksi uterus setelah operasi caesar maupun
operasi uterus lainnya.
 Induksi partus aterm dan mempercepat persalinan pada kasus
– kasus tertentu
 Menghilangkan pembengkakan mamae.
 Mengontrol perdarahan dan atoni uteri pasca persalinan.
 Induksi abortus terapeutik.
2) Efek Samping
 Kontraksi otot polos – usus, uterus, pembuluh darah,
bronkiolus.
 Vasodilatasi dan hipotensi.
 Inflamasi.
 Pireksia.
 Sensitifitas terhadap rasa nyeri.
 Diuresis dan kehilangan elektrolit.
 Efek pada sistem saraf pusat (tremor merupakan efek samping
yang jarang terjadi)
 Pelepasan hormon hipofise, renin, dan steroid adrenal.
 Inhibisi respon sistem saraf otonom.
 Peningkatan tekanan intraokuler.
 Dapat menyebabkan kontraksi uterus.
 Diare terjadi dalam 2 minggu pada terapi inisiasi dalam 14 % –
40 %, pasien dengan AINS yang menerima 800 mg / hari.
Diare biasanya akan membaik sekitar 1 minggu.
3) Kontra Indikasi
 Adanya riwayat sikatrik pada uterus (sikatrika yang vertikal
merupakan kontraindikasi.
 Dispropori sevalopelvik yang berat.
 Plasenta previa dengan atau tanpa pendarahan.
 Malpresentasi, khususnya letak lintang.
 Grand multipara (melahirkan anak 4x lebih)
 Kehamilan kembar.

10
 Terdapat ruptur membran amnion.
 Jika ada infeksi pada jalan lahir.
 Pada kehamilan melintang, sungsang atau miring.
 Dalam kondisi mata yang dikenal sebagai glaucoma.
 Riwayat melahirkan yang sulit atau traumatik.
 Polihidramnion atau oligohidramnion.
4) Dosis obat
Pemberian prostaglandin harus dijaga oleh beberapa
pembatasan, sebagai contoh, pabrik pembuatnya menyarankan
pemberian hanya dua kali saja (2x 3 mg) dinoproston dalam bentuk
tablet vaginal Prostin E2.
5) Bentuk sediaan obat
 Misoprostol tablet
 Gastrul tablet.
6) Interaksi obat
 Oksitosin, jika dua jenis preparat stimulan uterus diberikan
sekaligus, dapat terjadi hiperstimulasi. Karena itu, oksitosin
biasanya baru diberikan 6 – 12 jam setelah pemberian
prostaglandin yangterakhir.
 Aspirin dan obat – obatan anti inflamasi non steroid lainnya
merupakan antagonis prostaglandin sehingga pemberiannya
akan memperlambat atau memperpanjang proses persalinan.
Parasetamol tidak berinteraksi dengan prostaglandin. Alkohol
merupakan zat antagonis yang melawan kerja dinoproston.
7) Penyimpanan Obat’
Preparat prostaglandin harus selalu disimpan di dalam lemari es.
Ada banyak dari produk ini yang memiliki waktu paruh yang
singkat. Persyaratan yang sebenarnya antara pelbagai produk
berbeda – beda, dan perawat harus mempelajari dahulu lembaran
data dari pabrik pembuatnya yang tercantum untuk setiap preparat.
Tablet misoprostol dapat disimpan di luar lemari es dan memiliki
waktu penyimpanan yang lama

B. Obat Uterotokolitik

1. Pengertian

11
 Obat Tokolitik yaitu obat yang menurunkan kontraktilitas uterus.

 Terapi tokolitik adalah terapi obat untuk mengurangi motilitas uterus.


(Joyce L. Kee & Evelyn R. Hayes.1996:618)

2. Golongan obat yang memiliki sifat tokolitik

a. Agonis Adrenoreseptor Beta2

Kelompok preparat golongan simptomimetik ini meliputi ritodrin,


terbutalin, salbutamol, dan adrenalin.

1) Indikasi

Obat tokolitik sangat efektif dalam menurunkan angka


persalinan yang sepertinya akan terjadi dalam 24 sampai 48 jam,
tetapi tidak akan menurunkan seluruh resiko akibat persalinan
prematur.

2) Efek Samping Preparat agonis adrenoreseptor beta2

a) Stimulasi kardiovaskuler

Pada pemberian obat – obat golongan tikolitik,


biasanya frekuensi jantung ibu akan meningkat sebanyak 20
-40 kali per menit dan dapat pila terjadi takikardia neonatal.

b) Vasodilatasi

Preparat agonis adrenoreseptor beta2 akan


menghasilkan relaksasi otot polos vaskuler dan menimbulkan
dilatasi pembuluh darah.

c) Sistem saraf pusat

Efeknya yaitu tremor, gugup, sakit kepala, kecemasan,


gugup, insomnia, gelisah,ketidakstabilan emosi, pusing,
halusinasi, bahkan paranoia.

12
d) Inhibisi otot polos

Pada traktus GI / usus dapat menyebabkan stasis lambung


sehingga timbul kehilangan selera makan , mual dan muntah.

e) Pengeringan sekresi mukus

Hal ini dapat menyebabkan :

 Mulut kering
 Pengeringan sekresi paru yang dapat menimbulkan infeksi
dada.
 Efek samping metabolik
 Hal ini dapat menyebabkan keadaan hiperglikemia.

f) Reaksi hipersensitivitas meliputi :

 Spasme Bronkus.
 Ruam pada 3-4 persen yang menggunakan obat tersebut.
 Deplesi sel – sel darah putih setelah pemberian selama
beberapa minggu.
 Abnormalitas kenaikan kadar enzim hati.

3) Kontraindikasi

 Penggunaan pada kehamilan trimester pertama dan kedua.

 Ibu hamil dengan kelainan jantung ( yang kongenital atau


didapat)

 Hipertiroidisme atau hipertensi yang mencakup hipertensi


pulmonalis.

 Penyakit diabetes, hipokalemia atau glaukoma sudut tertutu[p


yang sudah ada sebelumnya dapat menjadi semakin parah dan
berbahaya.

 Kompresi tali pusat.

13
 Pre eklampsia ringan merupakan kontraindikasi relatif.

4) Dosis obat

 Terbutalin sulfat 1000 µg (2 ampul) dalam 500 ml larutan infus


NaCl 0,9% dengan dosis awal pemberian 10 tetes/menit lalu
dinaikkan 5 tetes/menit tiap 15 menit hingga kontraksi hilang,

 Salbutamol: dosis awal 10 mg IV dalam 1 liter cairan infus 10


tetes/menit. Jika kontraksi masih ada, naikkan kecepatan 10
tetes/menit setiap 30 menit sampai kontraksi berhenti atau
denyut nadi >120/ menit kemudian dosis dipertahankan hingga
12 jam setelah kontraksi hilang.

5) Bentuk sediaan obat

 Terbutalin sulfat ampul 500 µg.

 Salbutamol ampul 10 mg

6) Interaksi obat

 Hipokalemia dapat bertambah berat dengan pemberian obat


dan keadaan yang meningkatkan kehilangan kalium seperti
obat – obat sterois, teofilin, diuretik, digoksin atau keadaan
hipoksia. Jika edema paru terjadi, keadaan ini harus diatasi
dengan pemberian diuretik. Dalam situasi ini, hipokalemia
(yang meliputi disritmia jantung) merupakan bahaya yang
nyata yang harus dipantau dengan ketat.

 Risiko disritmia jantung, kelebihan beban cairan dan edema


paru dapat meningkat dengan pemberian kortikosteroid yang
dilakukan secara bersamaan.

14
 Risiko disritmia jantung akan meningkat dengan penambahan
obat – obat golongan simpatomimetik yang lain seperti obat –
obat salesma yang dijual bebas, obat golongan amfetamin,
kokain, preparat anti depresan, obat – obat yang diresepkan
untuk penyakit asama seperti salbutamol atau terbutalin.

7) Penyimpanan obat

Disimpan di tempat yang kering serta sejuk dan jauh dari


cahaya. Larutan obat yang sudah berubah warna, berkabut atau
mengendap harus dibuang.

b. Penyekat Saluran Kalsium (terutama Nifedipine)

Obat – obat ini dapat diresepkan oleh dokter untuk keperluan


tokolisis dan penanganan hipertensi. Berbeda dengan obat – obat
tokolitik lain, pemberian nifepidin dilakukan per oral. Nifedipine
merupakan preparat yang sama efektifnya seperti preparat agonis beta
(misal ritodrin) dalam menghambat kontraksi uterus yang prematur.
Karena memiliki efek samping yang lebih sedikit pada ibu, penundaan
kelahiran yang lebih lama dan insidens morbiditas neonatal yang lebih
rendah, maka nifedipine kini dijadikan sebagai obat lini pertama pada
beberapa unit kebidanan di Inggris.

1) Indikasi

 Menghambat kontraksi uterus yang prematur.

 Penanganan hipertensi.

2) Efek Samping Penyekat obat

a) Hipotensi dan Iskemia

15
Obat ini akan menimbulkan dilatasi arteriole yang
menyebabkan penurunan tekanan darah. Ketika tekanan darah
menurun dan frekuensi jantung meningkat, pasien dapat nyeri
pada dada atau palpitasi karena iskemia miokard.

b) Edema paru

Keadan ini dapat disebabkan oleh pengenceran plasma


akibat vasodilatasi yang disertai dengan pemberian infus dan
kehilangan protein dalam urine ( pada pre- eklampsia).

c) Vasodilatasi

Nifepidin akan menurunkan TD dengan menimbulkan


relaksasi otot polos arteriole sehingga terjadi vasodilatasi di
seluruh tubuh.

d) Masalah gastrointestinal

Nifepidin akan menimbulkan relaksasi otot polos usus


sehingga timbul mual, konstipasi, dan refluks gastroesofagus
yang disertai gejala sakit pada ulu hati.

e) Efek samping pada SSP

Pelbagai efek pada SSP dilaporkan dalam pemakaian


nifepidin yang meliputi keadaan depresi, somnolensia, letargi,
kelemahan, insomnia dan agitasi.

f) Reaksi hipersensitivitas

Reaksi hipersensitivitas kadang – kadang terjadi dan


meliputi gejala ruam , telangiektasia serta hepatotoksisitas
maternal.

g) Efek pada janin

16
Perbandingan dengan preparat tokolitik lainnya dalam
kaitannya dengan efek obat terhadap bayi manusia sampai
sejauh ini masih memperlihatkan hasil yang lebih
menguntungkan pada pemakaian Nifepidin.

3) Kontra indikasi

Penghentian mendadak pemberian obat ini dapat memicu


rasa nyeri pada dada, palpitasi atau bahkan infark miokard, oleh
karena itu penghentian pemakaian obat ini biasanya dilakukan.

4) Dosis obat

 5 – 10 mg sub lingual setiap 15 – 20 menit ( sampai 4 kali


pemberian kemudian 10 – 20 mg oral setiap 4 – 6 jam.

5) Bentuk sediaan obat

 Kapsul Nifedipine 10 mg, 20 mg.

 Tablet nifedipine 30 mg, 60 mg, 90 mg.

6) Interaksi obat

 Penggunaan nifedipine bersama dengan obat – obat


antihipertensi yang lain, khususnya garam magnesium dan
antagonis reseptor alfa (misal labetolol), dapat memicu serangan
hipotensi yang berat. Alkohol juga memiliki efek hipotensif dan
sebaiknya dihindari. Stockley mengemukakan bahwa potensi
timbulnya hipotensi yang berat akan terdapat jika bupivakain
disuntikan dengan kurang hati – hati ke dalam pembuluh vena
( dan bukan ke dalam ruang epidural) pada pasien yang
mendapat nifedipine.

 Magnesium sulfat yang pemakaiannya dikombinasikan dengan


nifedipine dapat menimbulkan blok neuromuskuler yang berat

17
atau depresi kardiak dan bahkan henti jantung. Karena itu,
banyak praktisi lebih suka untuk menghindari pemberian
nifedipine pada ibu hamil jika terdapat kemungkinan bahwa ibu
tersebut akan mengalami kejang eklampsia.

7) Penyimpanan obat

Penyimpanan harus dilakukan dalam wadah yang kedap


udara dan jauh dari cahaya.

c. Peranan Obat Anti Inflamasi Non Steroid Sebagai Tokolitik

Prostaglandin sebagai salah satu pencetus proses persalinan


(kontraksi uterus) yang penting maka para peneliti menganggap bahwa
prostaglandin synthetase inhibitor dalam hal ini Obat Anti Inflamasi
Non Steroid (OAINS) dapat digunakan sebagai tokolitik. Salah satu
obat-obat golongan ini yang dapat dipakai tokolitik adalah
Indomethacin.

1) Indikasi obat

 Sebagai tokolitik untuk mengurangi kontraksi pada persalinan


prematur.

2) Efek Samping Obat

Kemungkinan efek yang paling sering terjadi adalah:

 Iritasi gastrointestinal termasuk mual, sakit lambung, heartburn,


dan muntah.

 Meningkatkan resiko terjadinya perdarahan yang banyak saat


persalinan.

18
 Terapi indomethacin yang lama dapat menyebabkan gangguan
fungsi ginajal pada ibu.

 Penggunaan indomethacin selama lebih dari 7 hari, berkaitan


dengan timbulnya depresi, pusing, dan psikosis dan sering sakit
kepala.

 Pada neonatus resiko mengalami enterokolitis nekrotikans,


perdarahan intraventrikuler, peningkatan resiko displasia
bronkhopulmoner, gagal napas, disfungsi ginjal, dan insiden
yang lebih tinggi untuk terjadinya penutupan duktus arteriosus
yang dini akibat indomethacin setelah lahir.

3) Kontra indikasi

Indomethacin dikontraindikasikan untuk ibu-ibu yang


menderita kerusakan ginjal, hati, asma, oligohidramnion, ulkus
peptikum dan alergi.

4) Dosis obat

Pada persalinan prematur adalah 150-300 mg/hari, dengan


dosis awal adalah 100-200 mg peranal atau 50-100 mg peroral dan
kemudian 25-50 mg setiap 4- 6 jam. Setelah pemberian dosis awal
kadar optimal dicapai dalam 1-2 jam yang dapat dicapai oleh
pemberian dengan cara peranal.

5) Bentuk sediaan obat

 Kapsul 25 mg.

6) Interaksi obat

 Interaksi serius dapat terjadi bila obat diberikan bersama


dengan golongan aminoglikosid. Pemantauan fungsi ginjal
dianjurkan bila obat yang potensial nefrotoksik digunakan

19
bersamaan atau segera setelah penggunaan indomethacin.
Waktu rata-rata pemulihan fungsi ginjal adalah 5 hari.
Timbulnya insufisiensi ginjal akut pada ibu mungkin
berhubungan dengan kombinasi antara perubahan aliran darah
ginjal dengan adanya restriksi cairan.

 Indomethacin yang digunakan bersama-sama ß bloker


menyebabkan hipertensi yang berat pada ibu. Bagaimana
mekanisme OAINS ini menyebabkan hipertensi tidak
diketahui, tetapi perlu hati-hati dan dihindari pemakaiannya
pada wanita-wanita dengan preeklampsi. Indomethacin juga
bersifat antipiretik. Penggunaannya dapat menutupi demam
yang timbul akibat korioamnionitis subklinis. Perdarahan
rectal dapat terjadi akibat pemberian berulang indomethacin
suppositoria, terapi oral setelah dosis awal dapat mencegah
efek samping tersebut pada ibu, sedangkan pemberian sacara
perrektal dapat mencegah efek samping pada system
gastrointestinal pada ibu.

 Pemberian indomethacin secara vaginal pada penderita dengan


selaput ketuban yang masih intak sudah dilakukan dan tidak
menunjukkan timbulnya komplikasi. Cara pemberian ini tidak
dianjurkan terutama pada pasien dengan pecahnya ketuban
sebelum waktu. Bukti eksperimental pada binatang percobaan
menunjukkan bahwa indomethacin tidak berefek terhadap
oksigenasi fetal atau aliran darah fetal-maternal.

7) Penyimpanan obat

 Simpan obat dalam wadah aslinya. Simpan pada suhu kamar


dan terhindar dari panas dan kelembaban.

 Supositoria simpan di lemari pendingin

20
d. Atosiban

Antagonis oksitosin salah satu contohnya adalah atosiban dapat


menjadi obat tokolitik di masa depan. Obat ini merupakan alternatif
menarik terhadap obat-obat tokolitik saat ini karena spesifisitasnya
yang tinggi dan kurangnya efek samping terhadap ibu, janin atau
neonatus. Atosiban adalah obat sintetik baru pada golongan obat ini
dan telah mendapat izin penggunaannya sebagai tokolitik di Eropa.
Atosiban menghasilkan efek tokolitik dengan melekat secara
kompetitif dan memblok reseptor oksitosin.

1) Indikasi obat

 Menunda kelahiran pre term denga kontraksi uterus durasi


paling tidak 30 detik ≥ 4 kali per 30 menit, dilatasi servijs 1 – 3
cm ( 0 – 3 untuk nulipara) dan effacement ≥ 50 %, umur 18
tahun, usia kehamilan 24 – 33 minggu, detak jantung janin
normal.

2) Efek samping

 Muntah.

 Hipertensi.

 Sakit kepala.

 Hiperglikemia.

3) Kontra indikasi

 Usia kehamilan di bawah 24 minggu atau lebih dari 33 minggu

 Pecah ketuban pada usia kehamilan > 30 minggu.

21
 Perkembangan intauterus lambat dan detak jantung fetus
abnormal.

 Kematian janin intrauterus.

 Plasenta previa.

 Hipersensitivitas pada zat aktif atau tambahan.

4) Dosis obat

 Dosis pertama bolus 6,75 mg atosiban selama lebih dari 1


menit, dilanjutkan infus 18 mg/jam selama 3 jam dan 6mg/jam
selama 45 jam. Lama pemberian tidak boleh melebihi 48 jam,
dan total dosis pemberian tidak melebihi 330 mg.

5) Bentuk sediaan obat

 Tractocile 6,75 mg / 0,9 ml larutan injeksi.

6) Interaksi obat

Studi interaksi telah dilakukan dengan labetolol dan


betametason pada wanita yang sehat, tidak ditemukan interaksi
yang relevan antara atosiban dan bethamethasone atau labetalol.

7) Penyimpanan obat

 Penyimpanan di pendingin dengan suhu antara 2oC – 8oC.

 Simpan pada kemasan asli untuk melindungi obat dari paparan


cahaya.

 Obat yang sudah dibuka harus segera digunakan.

e. Magnesium Sulfat

22
MgSO4 sudah lama dikenal dan dipakai sebagai anti kejang
pada penderita preeklamsia sebagai anti kejang yang juga bersifat
sebagai tokolitik. Di Amerika Serikat obat ini dipakai sebagai obat
tokolitik utama karena murah, mudah cara pemakaiannya dan resiko
terhadap sistem kardiovaskuler yang rendah serta hanya menghasilkan
efek samping yang minimal terhadap ibu, janin dan neonatal.

1) Indikasi obat

 Anti kejang pada penderita preeklamsia

 Sebagai tokolitik

2) Efek samping

Edema pulmonal, nyeri dada, nausea berat atau kemerahan,


mengantuk, dan pandangan kabur. Namun, secara keseluruhan,
efek samping terhadap ibu jarang terjadi.

3) Kontra indikasi

Pemberian obat secara parenteral konrraindikasi pada


pasien dengan sumbatan jantung atau kerusakan pada miokardium.

4) Dosis obat

MgSO4 sebagai terapi tokolitik dimulai dengan dosis awal


4-6 gr secara intravana yang diberikan selama 15-30 menit dan
diikuti dengan dosis 2 – 4 gr/jam selama 24 jam selama terapi
tokolitik dilakukan konsentrasi serum ibu biasanya dipelihara
antara 4-9 mg/dl. Untuk meminimalisir atau mencegah terjadinya
intoksikasi seperti hal di atas maka perlunya disediakan kalsium
glukonas 1 gr sebagai anti dotum dari MgSO4.

5) Bentuk sediaan obat

23
 Larutan MgSO4 40 % 25 ml dalam flacon.

6) Interaksi obat

Penggunaan magnesium sulfat dengan gentamisin dan


aminoglikosida lain telah menyebabkan potensiasi kelemahan
neuromuskuler, selain itu magnesium yang ditambah nifedipin
dapat menyebabkan efek hipotensif yang bermakna karena
potensiasi nifedipin terhadap aksi penghambatan neuromuskular
dari magnesium. Ketika magnesium sulfat digunakan dengan hati-
hati sebagai obat tokolitik, efek sampingnya terhadap ibu, janin dan
neonatus biasanya sedikit dan tidaklah serius atau merusak.

7) Penyimpanan obat

Dalam wadah tertutup baik.

24
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Uterotonika adalah zat zat yang meningkatkan kontraksi uterus.


Uterotonika diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu Alkaloid Ergot,
Oksitosin, dan Misoprostol / Prostagladin. Kegunaan obat uterotonika atau
oksitosik adalah untuk meningkatkan kontraksi uterus post partum untuk
mencegah terjadinya perdarahan post partum dan diperlukan untuk proses
induksi pada saat proses melahirkan untuk mempercepat terjadinya kelahiran
bayi.

Terapi tokolitik adalah terapi obat untuk mengurangi motilitas uterus.


Beberapa obat yang dapat memiliki sifat tokolitik yaitu Agonis Adrenoreseptor
Beta2, Penyekat Saluran Kalsium (terutama Nifedipine), Peranan Obat Anti
Inflamasi Non Steroid Sebagai Tokolitik, Atosiban, dan Magnesium Sulfat.
Pemberian Terapi tokolitik bertujuan untuk mengurangi kontraksi uterus pada
kelahiran prematur.

B. Saran

Demi kesempurnaan makalah ini kritik dan saran yang bersifat


membangun sangat penulis harapkan, agar makalah ini dapat dijadikan suatu
pedoman untuk pembelajaran dalam mata farmakologi di STIKes Dharma
Husada Bandung.

DAFTAR PUSTAKA

25
Blog kesehatan Putri.2014.Makalah Analgetik dan Antipiretik. September 2014.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Departemen
Farmakologi.2012.Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
Jordan, Sue.2003. Farmakologi Kebidanan. Jakarta : EGC.
Kee, Joyce L & Evelyn R. Hayes.1996. Farmakologi : Pendekatan Proses
Keperawatan.Jakarta : EGC.
Sutistia, Ganiswara.2007.Farmakologi dan Terapi Edisi V. Jakarta : Gaya Baru.

http://chifhalikeblue.blogspot.co.id/2010/12/tokolitik.html

https://dokmud.wordpress.com/2010/01/10/tokolitik-pada-kebidanan/

www.medicines.org.uk

26

Anda mungkin juga menyukai