Lukisan K.H. Ahmad Dahlan pada masa mudanya saat mengawali pergerakan Muhammadiyah.
Muhammadiyah tak dapat dijauhkan dari Kampung Kauman Yogyakarta, begitu pula sebaliknya.
Paling tidak karena dua sebab musabab. Pertama, menurut salah satu riwayat disebutkan sang
pendiri Muhammadiyah; K.H. Ahmad Dahlan, adalah putra kelahiran Kampung Kauman
Yogyakarta. Sedangkan riwayat lain menyebutkan Kiai lahir di Nitikan dan barulah beberapa
hari setelah kelahirannya dibawa ke Kauman. Kedua, ikrar berdirinya Muhammadiyah sebagai
organisasi dakwah dan sosial pendidikan berasaskan Islam terjadi di Kampung Kauman
Yogyakarta. Karenanya antara Muhammadiyah dan Kampung Kauman Yogyakarta memiliki
ikatan historis, basis sosial, dan emosional yang tak mungkin dapat dipisahkan.
Mempelajari perjuangan Islam di Nusantara akan kita temui Muhammadiyah. Mempelajari
Muhammadiyah tepatnya dimulai dengan mempelajari kehidupan dan pemikiran K.H. Ahmad
Dahlan. Untuk memulai usaha mengenali sosok Kiai tepatnya diawali dari ruang-ruang Kauman;
tempat di mana Kiai tumbuh besar, memulai perjuangan, dan kembali kehadirat Rabb-nya pada
hari Jumat tanggal 7 Rajab 1341 Hijrah Nabi/23 Februari 1923. Walaupun kemudian jasad Kiai
tidak dimakamkan di Kauman, namun jejak dan semangat perjuangannya masih membekas
dalam ruang-ruang yang pernah merekam.
Pada hari ahad tanggal 4 Safar 1435 Hijrah Nabi/8 Desember 2013, kira-kira 90 tahun dalam
perhitungan penanggalan masehi setelah wafatnya Kiai atau 94 tahun dalam perhitungan
penanggalan hijriyah, penulis bersama 11 rekan berkunjung ke Kampung Kauman Yogyakarta
untuk napak tilas jejak perjuangan K.H. Ahmad Dahlan guna mengambil ibrah dan meneladani
kisah hidup dan perjuangan salah seorang ulama yang hampir seluruh hidupnya dihabiskan untuk
menegakkan Islam di bumi Hindia Timur pada masanya. Ditemani mas Ghifari dan mas Priyo
dari Komunitas Blusukan Kampoeng Jogja, kami menelusuri dan memasuki satu persatu ruang
yang menjadi saksi bisu perjuangan K.H Ahmad Dahlan. Ruang yang telah menua oleh sebab
waktu, namun tak dapat menghapus kenangannya.
Rute napak tilas jejak perjuangan K.H. Ahmad Dahlan dalam ruang Kauman
1
Penelusuran kami dimulai dari Masjid Gedhe yang pembangunannya selesai pada hari ahad 29
Mei 1773. Masjid yang menjadi saksi bisu gerakan tajdid K.H. Ahmad Dahlan yang terlahir
dengan nama Muhammad Darwis. Selepas wafat ayahnya; K.H. Abu Bakar pada tahun 1896,
beliau diangkat oleh Kasultanan Yogyakarta sebagai salah seorang khetib di Masjid Gedhe untuk
menggantikan peran sang ayah dengan menyandang gelar Khetib Amin.
Di serambi masjid inilah setiap Kiai bertugas piket sehari dalam seminggu berusaha
menyampaikan ilmu kepada khalayak, termasuk perihal arah kiblat yang shahih ke arah barat
laut. Pada masanya lumrah masjid dan langgar memiliki kiblat ke arah barat. Sebagai seorang
alim yang memiliki otoritas di bidang ilmu falak, wajib baginya menyampaikan kebenaran
perkara arah kiblat walaupun tak serta merta diterima dengan mudah. Akhirnya atas pertolongan
Allah Azza Wa Jalla, dakwah Kiai berbuah manis hingga saat ini kita dapati arah kiblat Masjid
Gedhe yang menyerong ke arah barat laut.
Di pelataran masjid ini pula Kiai pernah membariskan kepanduan Hizbhul Wathan; padvinder
Muhammadiyah bagi kalangan muda yang didirikannya pada tahun 1921. Bayangkan saja di
pelataran luas yang dahulunya ditutupi tanah, seorang K.H. Ahmad Dahlan memimpin apel
barisan pemuda yang dicita-citakannya mampu menjadi pemuda yang Islami dan kelak tergerak
hatinya untuk berjuang atas nama Islam.
Penelusuran kami berlanjut ke ruang Kawedanan Pengulon yang berada di sebelah utara Masjid
Gedhe. Kawedanan Pengulon adalah badan keagamaan Kasultanan Yogyakarta yang dipimpin
seorang Kiai Penghulu yang memiliki tanggung jawab urusan keagamaan dalam wilayah
kekuasaan sultan yang mencakup peribadatan, perawatan masjid dan makam kerajaan, upacara
keagamaan kerajaan, dan peradilan kerajaan dalam lingkup peradilan syariat Islam. Kawedanan
Pengulon sebagai penanda otoritas sultan dalam bidang keagamaan
Dahulu Kiai Penghulu dalam kesehariannya bermukim di ndalem Pengulon dan berkantor di
pendopo Pengulon. Hirarki nilai ruangnya ditunjukkan dari ketinggian atap pendoponya yang
tertinggi kedua di lingkungan Kauman setelah atap Masjid Gedhe. Di ruang Kawedanan
Pengulon inilah terjadinya peristiwa perseteruan antara Kiai Penghulu Kamaludiningrat dengan
K.H. Ahmad Dahlan menyoal perubahan arah kiblat Masjid Gedhe. Gagasan pembaharuan serta
merta ditolak oleh Kiai Penghulu disebabkan kedudukannya yang membawahi K.H. Ahmad
Dahlan selaku abdi dalem pamenthakan berpangkat khetib. Perseteruan keduanya mencapai
klimaks dengan dirobohkannya Langgar Kidoel milik keluarga K.H. Ahmad Dahlan.
Memasuki sebuah pintu di sebelah utara Masjid Gedhe kami menjumpai ruang Kauman RT 12.
Berjalan beberapa langkah, tepat di samping kiri pertigaan jalan terlihat sebuah monumen
Syuhada fii Sabilillah Kauman Darussalam. Terukir nama 24 orang mujahid warga Kauman di
badan monumen yang insya Allah ikhlas mengorbankan jiwa untuk mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. Demi Islam, demi umat, demi keridhaan Allah. Semoga hanya karena
Allah pula kami menelusuri ruang-ruang Kauman untuk mengambil ibrah dari perjuanganmu,
wahai mujahid dakwah.
2
Monumen untuk mengenang para Mujahid warga Kauman yang diresmikan pada 23 Rabiul
Awal 1416 Hijrah Nabi/20 Agustus 1995
Setelah merenung sejenak, langkah kaki kami kembali berderap ke arah barat menyusuri jalan
paving yang basah lembab oleh hujan. Selang beberapa meter di sebelah kiri jalan kami
menjumpai Gedung TK ABA (Taman Kanak-Kanak ‘Aisyiyah Bustanul Athfal) yang telah
berdiri sejak tahun 1922 dengan nama Siswo Projo Wanito. Barulah pada tahun 1924
menggunakan nama Bustanul Anthfal yang berarti kebun anak-anak. Belanda menyebutnya
dengan Frobel. Dengan kata lain inilah pendidikan Taman Kanak-Kanak pertama di Hindia
Timur pada masanya yang kemudian menjadi embrio pendidikan serupa di Indonesia.
TK ‘Aisyiyah Bustanul Athfal yang dahulunya difungsikan oleh Kiai dan Nyai Dahlan untuk
memberikan pengajaran Islam
Jauh sebelumnya, ruang-ruang dalam gedung ini difungsikan untuk pengajian Nyai Dahlan bagi
perkumpulan Sopo Tresno yang dibentuknya pada tahun 1914 berawal dari keinginan Nyai untuk
mencerdaskan dan mengangkat harga diri kaum wanita. Begitu pula K.H. Ahmad Dahlan
mengisi ruangnya setiap malam selasa untuk mengajarkan Islam dan mendidik umat. Tak
disangka Jenderal Besar Soedirman pun menjadi salah satu penyambung seruan dakwah Kiai di
ruang yang sama, jauh setelah wafatnya Kiai, selain untuk bertemu dengan Nyai Dahlan;
meminta doa restu kepada ‘sang ibu’. Ruang yang kini kami berdiri di depannya menyimpan
rekam jejak dakwah 3 tokoh Islam di masanya yang hingga detik ini masih kita lihat dan rasakan
hasil dari kerja dakwah mereka.
Kami melangkah kembali hingga tiba di perempatan jalan. Tepat di sebelah kanan kami berdiri
Mushola ‘Aisyiyah yang diresmikan pendiriannya oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tahun 1922.
Ruang sholat khusus bagi kaum wanita yang diimami oleh seorang wanita. Bayangkan pada
masanya kaum wanita diharuskan berdiam diri di rumah. Urusannya hanya seputar dapur, sumur,
dan kasur. Kemudian terbit dakwah pembaharuan di Kauman yang memancarkan cahaya-Nya,
3
memuliakan wanita di atas jalan Islam. Mulailah wanita mendapatkan kehormatan, kebebasan
sebagai hamba Allah, dan perlindungan di balik Islam. Mulailah wanita mendapatkan ruang
untuk mencurahkan ketaatannya kepada Sang Pencipta. Ruang Musholah ‘Aisyiyah menjadi
saksi.
4
Sempitnya sirkulasi di Kampung Kauman Yogyakarta menunjukkan sikap keakraban warganya
Pendopo Tabligh adalah salah satu dari dua buah pendopo yang masih bertahan di Kampung
Kauman Yogyakarta. Salah lainnya adalah Pendopo Pengulon yang telah kami kunjungi di awal.
Tak banyak yang mengetahui di ruang Pendopo Tabligh inilah yang pada masanya dimiliki oleh
salah seorang murid K.H. Ahmad Dahlan dilangsungkan ikrar berdirinya Muhammadiyah pada 8
Dzulhijjah 1330 Hijrah Nabi/18 November 1912. Diawali dari saran seorang murid agar Kiai
mendirikan organisasi untuk menaungi sekolah yang telah dirintisnya pada tahun 1911. Takut-
takut kalau Kiai meninggal, sekolah tetap berdiri dan dilanjutkan perjuangannya oleh generasi
penerus. Maka seiring tumbuhnya dukungan dan setelah menunaikan istikharah, pada waktunya
berdirilah Muhammadiyah dari sebuah ruang kecil dan sederhana yang dipenuhi limpahan
rahmat Allah Azza wa Jalla.
Pendopo Tabligh; ruang lahirnya bayi Muhammadiyah
Kaki kami kembali melangkah. Kali ini menuju Langgar K.H. Ahmad Dahlan yang pada
masanya disebut dengan Langgar Kidoel. Di tengah perjalanan kami melihat sebuah rumah
bertuliskan Perpustakaan MABULIR di atas daun pintunya. Pemiliknya pernah ikut serta
berperang bersama Jenderal Besar Soedirman; H. Dauzan Farook. Setelah tidak lagi berperang ia
tetap meneruskan perjuangan. Kali ini tidak dengan senjata, tapi dengan buku untuk
melenyapkan kebodohan dalam diri umat. Dahulu setiap hari ia berkeliling dengan sepeda untuk
5
menawarkan buku koleksinya agar dapat dipinjam masyarakat. Tiada biaya yang dipungut, si
peminjam hanya harus mengajak 5 orang kawannya untuk turut meminjam buku. Tak
disangsikan lagi Perpustakaan MABULIR adalah cikal bakal perpustakaan keliling di Indonesia.
Namun kini bangunannya sepi tanpa pertanda adanya penghuni, sepi tanpa aktivitas yang
menggerakkan ruangnya.
Keberadaan perpustakaan MABULIR semakin menguatkan citra Kampung Kauman sebagai
kampung pendidikan Islam
Kembali melanjutkan perjalanan, kembali melewati gang-gang sempit di antara rumah warga,
tibalah kami di lingkungan rumah K.H. Ahmad Dahlan. Kami berdiri di halaman tanah di
kelilingi bangunan. Di sebelah barat adalah Langgar Kidoel, langgar milik keluarga K.H. Ahmad
Dahlan. Di dalam ruangnya pada tahun 1898 berkumpul 17 ulama untuk menggelar musyawarah
perihal arah kiblat yang shahih. Diskusi yang dilangsungkan dari waktu isya hingga shubuh tak
juga menunai hasil. Namun dua orang murid Kiai yang mendengar perbincangan secara diam-
diam menuju Masjid Gedhe di tengah malam dan menggoreskan garis putih di depan ruang
pengimaman sebagai penunjuk arah kiblat yang diyakini shahih oleh Kiai. Inilah awal mula
perseteruan antara K.H. Ahmad Dahlan dengan Kiai Penghulu Kamaludiningrat yang berakhir
pada perintah perobohan Langgar Kidoel.
Lingkungan kediaman K.H. Ahmad Dahlan; ruang bagi Kiai tumbuh dan memulai pergerakan
dakwahnya
Besarnya tantangan dan tekanan dakwah yang dihadapi Kiai meremukkan hatinya ketika melihat
langgar warisan sang ayah rata dengan tanah. Seketika Kiai mengajak istri untuk hijrah namun
sanak saudara tak ridha atas kepergiannya. Berkat petunjuk Allah Azza wa Jalla, Kiai
mengurungkan niatnya untuk pergi dan membangun kembali langgar warisan sang ayah pada
tahun 1901 dengan tetap menerapkan arah kiblat sebagaimana yang diyakininya. Semangat
dakwah Kiai pun kembali membuncah.
Di masa kini kita dapat menjumpai Langgar K.H. Ahmad Dahlan dengan kondisinya yang baru
dipugar. Di ruang pengimaman terdapat sebuah penanda, entah dibuat oleh Kiai atau masa
setelahnya, yang menunjukkan perhitungan arah kiblat. Kini hampir setiap hari ruang langgar
difungsikan untuk pengajian dan pengajaran setelah beberapa masa kosong tanpa kegiatan.
Ruang bawah langgar pun beralih fungsi menjadi kantor yayasan dan museum K.H. Ahmad
Dahlan. Sebuah upaya untuk mulai memperkenalkan kembali sosok seorang ulama besar kepada
generasi masa kini.
6
Langgar milik keluarga K.H. Ahmad Dahlan yang merekam jejak pergerakan tajdid Kiai
Penanda arah kiblat; terlihat tiga buah garis lurus yang saling berpotongan
Di sebelah utara halaman tanah adalah kediaman K.H. Ahmad Dahlan yang kini tersekat menjadi
3 ruang hunian terpisah. Di ruang tamu kediaman Kiai yang tidak kurang berukuran 2,5x6 meter
pertama kali diselenggarakan lembaga pendidikan Islam yang dirintisnya. Berawal dengan 8
orang murid, 2 buah meja, 2 buah bangku panjang, dan sebuah papan tulis, modal untuk
mewujudkan modernisasi pendidikan Islam pada masanya. Di tengah gencarnya tantangan
dakwah yang dihadapi, 6 bulan setelah dimulainya pendidikan oleh Kiai bertambah menjadi 20
orang murid dan terus bertambah seiring waktu sehingga ruang belajar dipindahkan ke serambi
rumah Kiai; ruang yang lebih luas.
7
Rumah kediaman K.H. Ahmad Dahlan; ruang lahirnya lembaga pendidikan yang digagasnya
Pada 1 Desember 1911, Kiai memutuskan mendirikan sekolah yang diberi nama Madrasah
Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Awal dibukanya memiliki 29 orang murid, dan 6 bulan kemudian
melonjak menjadi 62 orang murid. Untuk mewadahi murid yang terus bertambah jumlahnya,
pada tahun 1913 Kiai mendirikan ruang kelas di sebelah timur halaman tanah tempat kami
berdiri. Barulah pada tahun 1919 ruang kelas dipindahkan ke sebelah selatan Masjid Gedhe di
atas tanah hibah dari sultan yang kemudian dinamakan Sekolah Dasar Pawiyatan. Dan kini ruang
kelas di lingkungan kediaman Kiai difungsikan untuk kegiatan PAUD. Tiada kosong dari
aktivitas pengajaran sebagaimana impian sang pendiri.
8
Ruang kelas di lingkungan kediaman K.H. Ahmad Dahlan; bandingkan gambar atas yang
diambil pada masa kini dengan dua gambar di bawahnya yang diambil pada tahun 1913
Setelah shalat dzuhur berjama’ah yang dilanjutkan dengan diskusi dan mengunjungi museum
K.H. Ahmad Dahlan, kami beranjak menuju Sekolah Dasar Pawiyatan. Tak terasa penelusuran
jejak perjuangan K.H. Ahmad Dahlan telah memasuki bagian akhirnya. Beberapa langkah
sebelum Sekolah Dasar Pawiyatan, di kiri jalan tepat di sebelah barat Masjid Gedhe terdapat
pemakaman Kauman. Di sinilah Nyai Dahlan di makamkan yang wafat pada tanggal 29 Jumadil
Akhir 1365 Hijrah Nabi/31 Mei 1946. Di tanah ini pula dimakamkan para pejuang Islam yang
turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan jiwanya. Tertulis di batu nisan
yang sederhana sebuah nama Abu Bakar Ali, Moch Wardani, dan Moch Djirhas.
Makam Nyai dan para pejuang Islam sebagai bukti militansi warga Kauman memperjuangkan
Islam dan kemerdekaan Indonesia
Makam yang kesehariannya tertutup rapat. Rantai besi dan gembok berukuran besar menjadikan
pintunya tak dapat dibuka. Makam pun dibuat rendah, tak lebih dari sejengkal tangan, hanya
nisan sebagai petunjuk identitas. Tak lain sebagai upaya mencegah munculnya praktik
kesyirikan.
Menziarahi makam Nyai Dahlan tanpa makam Kiai. Nisan bertuliskan Achmad Dahlan di
belakang makam Nyai adalah makam cucu Kiai dan Nyai, sedangkan K.H. Ahmad Dahlan
dimakamkan di Karang Kajen. Beredar beberapa riwayat berpisahnya makam Kiai dan Nyai,
pasangan yang saling bahu membahu memperjuangkan kaum Muslimin hingga wafatnya.
Sebuah riwayat mengatakan masyarakat Karang Kajen merupakan basis pendukung
Muhammadiyah pada masa awal berdirinya di tengah berbagai rintangan yang dihadapi Kiai di
dalam lingkungan Kauman. Keberadaan makam Kiai di Karang Kajen menjadi bukti atas riwayat
tersebut dan dikuatkan oleh riwayat yang meyakini Kiai bukanlah asli kelahiran Kauman,
sedangkan Nyai yang dimakamkan di Kauman menjadi petunjuk tanah kelahirannya di
lingkungan Kauman.
Beberapa langkah dari pemakaman Kauman kami telah berada di depan pagar SD
Muhammadiyah Kauman. Sekolah inilah yang dahulunya disebut dengan Sekolah Dasar
Pawiyatan yang diperuntukkan bagi murid putri. Sekolah yang cikal bakalnya tumbuh di
lingkungan hunian K.H. Ahmad Dahlan tak lagi menampakkan wujud aslinya yang telah berlalu
terbawa arus modernisasi. Patut diambil hikmah begitu cepatnya sekolah Muhammadiyah
tumbuh. Berawal dari ruang tamu di dalam sebuah rumah yang sederhana, kini kita dapati
bangunan 2 lantainya yang terlihat gagah perkasa. Semoga senantiasa segagah dan seperkasa niat
Muhammadiyah untuk terus memajukan kehidupan kaum Muslimin dan menegakkan Islam di
tanah Indonesia, namun tanpa menghapus kesejarahannya.
9
SD Muhammadiyah Kauman yang wujud fisiknya tak lagi menampakkan bekas-bekas SD
Pawiyatan peninggalan Kiai
Penelusuran jejak perjuangan K.H. Ahmad Dahlan dalam ruang-ruang Kauman kami akhiri
dengan kembali ke Masjid Gedhe melalui jalan setapak di sebelah selatan masjid, hanya
beberapa langkah dari Sekolah Dasar Pawiyatan. Berawal di masjid dan berakhir di masjid.
Kiranya begitulah umat Islam yang tumbuh di masjid dan kelak akan dishalatkan di masjid
sebelum menuju liang lahatnya di sebelah barat masjid. Tapi tidak berarti perjuangan berakhir di
masjid, justru perjuangan akan terus bergulir dari masjid.
Jejak-jejak perjuangan K.H. Ahmad Dahlan yang kami dapati dalam ruang Kauman Yogyakarta
menjadikan antara keduanya tak terpisahkan. Wafatnya Kiai tak berarti turut menghilangkan
rekam jejak hidup dan pemikirannya yang setelah sekian puluh tahun tetap terperangkap dalam
ruang-ruang Kauman. Ruang-ruang yang senantiasa menyimpan ingatannya untuk generasi
penerus. Bukan hanya untuk generasi penerus Muhammadiyah, bukan hanya untuk kami, tapi
untuk generasi kita. Untuk seluruh umat Islam di Dunia. Kita memang tak berkesempatan
bertemu Kiai, tapi dalam ruangnya kita dapat menyerap semangat dakwah dan pelajaran darinya.
Tentu, kalau saja kita berkeinginan untuk itu. Akhir kata, hidup-hidupilah Muhammadiyah.
Jangan mencari kehidupan di Muhammadiyah.
Wallahu a’lam bishawab.
K.H. Ahmad Dahlan yang mempunyai nama kecil Muhammad Darwisy adalah seorang
pahlawan nasional yang juga pendiri Persyarikatan Muhammadiyah. Ia bergabung sebagai
anggota Boedi Oetomo yang merupakan organisasi kepemudaan pertama di Indonesia. Ia adalah
sosok pemuda pembaharu yang sangat mengedapankan idealisme dalam hidupnya terutama
dalam bidang pendidikan. Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan
dakwah Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil
10
dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi wiraswasta yang cukup menggejala di
masyarakat. Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-
gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan
masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam’iyatul Khair,
Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode
ini,Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam,
seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang
kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903,
ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru
kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun
1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu
Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan
pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam
orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.
Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la
juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga
mempunyai putera dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur
yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.
KH. Ahmad Dahlan dimakamkan di KarangKajen, Yogyakarta.
11
umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur’an dan al-Hadits.
Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan
telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan
bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik
dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang
bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam.
Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen,
mengajar di sekolah Belanda, serta bergaul dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang kebanyakan
dari golongan priyayi, dan bermacam-macam tuduhan lain. Saat itu Ahmad Dahlan sempat
mengajar agama Islam di sekolah OSVIA Magelang, yang merupakan sekolah khusus Belanda
untuk anak-anak priyayi. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun ia
berteguh hati untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaruan Islam di tanah air bisa
mengatasi semua rintangan tersebut. Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan
mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum.
Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81
tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini
hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul
kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Maka dari itu kegiatannya dibatasi. Walaupun
Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-Iain
telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah
Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan
menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya
Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah di Garut. Sedangkan di
Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan
dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya
jama’ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.
12
terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh
Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada
pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh
Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2
September 1921.
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah
Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi
kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan
dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota (sekali dalam
setahun), yang saat itu dipakai istilah AIgemeene Vergadering (persidangan umum).
Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia melalui
pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya
sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar
penetapanitu ialah sebagai berikut:
KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya
sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;Dengan organisasi Muhammadiyah
yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran
yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar
iman dan Islam;Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial
dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa
ajaran Islam; dan Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah
mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial,
setingkat dengan kaum pria.
Kisah hidup dan perjuangan Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadyah diangkat ke layar lebar
dengan judul Sang Pencerah. Tidak hanya menceritakan tentang sejarah kisah Ahmad Dahlan,
film ini juga bercerita tentang perjuangan dan semangat patriotisme anak muda dalam
merepresentasikan pemikiran-pemikirannya yang dianggap bertentangan dengan pemahaman
agama dan budaya pada masa itu, dengan latar belakang suasana Kebangkitan Nasional.
Biodata Kyai Haji Ahmad Dahlan
Lahir: Yogyakarta,1 Agustus 1868
Wafat: Yogyakarta23 Februari 1923
Dikenal karena: Pendiri Muhammadiyah dan Pahlawan Nasional
Agama: Islam
Nama Istri:
Hj. Siti Walidah
Nyai Abdullah
13
Nyai Rum
Nyai Aisyah
Nyai Yasin
Anak:
Djohanah
Siradj Dahlan
Siti Busyro
Irfan Dahlan
Siti Aisyah
Siti Zaharah
Dandanah
14
3. KH Hisyam ( Ketua 1934 -1936)
15
Muhammadiyah mendapatkan kritikan keras dari Taman Siswa dan Syarikat Islam yang saat itu
melancarkan politik non-kooperatif. Namun, Hisyam berpendirian bahwa subsidi pemerintah itu
merupakan hasil pajak yang diperas dari masyarakat Indonesia, terutama ummat Islam. Dengan
subsidi tersebut, Muhammadiyah bisa memanfaatkannya untuk membangun kemajuan bagi
pendidikan Muhammadiyah yang pada akhirnya juga akan mendidik dan mencerdaskan bangsa
ini. Menerima subsidi tersebut lebih baik daripada menolaknya, karena jika subsidi tersebut
ditolak, maka subsidi tersebut akan dialihkan pada sekolah-sekolah Kristen yang didirikan
pemerintah kolonial yang hanya akan memperkuat posisi kolonialisme Belanda.
Berkat perkembangan pendidikan Muhammadiyah yang pesat pada periode Hisyam, maka
pada akhir tahun 1932, Muhammadiyah sudah memiliki 103 Volkschool, 47 Standaardschool,
69 Hollands Inlandse School (HIS), dan 25 Schakelschool, yaitu sekolah lima tahun yang akan
menyambung ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setingkat SMP saat ini) bagi murid
tamatan vervolgschool ataustandaardschool kelas V. Di sekolah-sekolah Muhammadiyah
tersebut juga dipakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sekolah-sekolah
Muhammadiyah saat itu merupakan lembaga pendidikan pribumi yang dapat menyamai
kemajuan pendidikan sekolah-sekolah Belanda, sekolah-sekolah Katolik, dan sekolah-sekolah
Protestan.
Berkat jasa-jasa K.H. Hisyam dalam memajukan pendidikan untuk masyarakat, ia mendapatkan
penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda saat itu berupa bintang tanda jasa, yaitu Ridder
Orde van Oranje Nassau. Ia dinilai telah berjasa kepada masyarakat dalam pendidikan
Muhammadiyah yang dilakukannya dengan mendirikan berbagai macam sekolah
Muhammadiyah di berbagai tempat di Indonesia.
Pendahulu KH Ibrahim
Agama Islam
16
Kiai Haji Hisyam lahir di Kauman, Yogyakarta, 10 November 1883 – meninggal 20
Mei 1945 pada umur 61 tahun adalah Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah yang ketiga. Ia
memimpin Muhamadiyah selama tiga tahun. Ia dipilih dan dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus
Besar Muhammadiyah dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934. Ia
adalah murid langsung dari KH. Ahmad Dahlan.
1Asal mula
2Muhammadiyah
o 2.1Sekolah Muhammadiyah
o 2.2Bantuan keuangan
3Pendidikan keluarga
4Bintang jasa
5Wafat
6Pranala Luar
Asal mula
KH. Hisyam lahir di kampung Kauman Yogyakarta tanggal 10 November 1883.
Muhammadiyah
Pertama kali ia dipilih dalam Kongres Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta tahun 1934,
kemudian dipilih lagi dalam Kongres Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin pada tahun 1935,
dan berikutnya dipilih kembali dalam Kongres Muhammadiyah ke-25 diBatavia (Jakarta) pada
tahun 1936.
KH Hisyam paling menonjol dalam ketertiban administrasi dan manajemen organisasinya. Pada
periode kepemimpinannya, titik perhatian Muhammadiyah lebih banyak diarahkan pada masalah
pendidikan dan pengajaran, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum. Hal ini terjadi
barangkali karena KH. Hisyam pada periode kepemimpinan sebelumnya telah menjadi Ketua
Bagian Sekolah (saat ini disebut Majelis Pendidikan) dalam Pengurus Besar Muhammadiyah.
Sekolah Muhammadiyah
Pada periode kepemimpinan Hisyam ini, Muhammadiyah telah membuka sekolah dasar tiga
tahun (volkschool atau sekolah desa) dengan menyamai persyaratan dan kurikulum
sebagaimana volkschool gubernemen. Setelah itu, dibuka pula vervolgschool Muhammadiyah
sebagai lanjutannya. Dengan demikian, maka bermunculan volkschool dan vervolgschool
Muhammadiyah di Indonesia, terutama di Jawa. Ketika pemerintah kolonial
Belanda membuka standaardschool, yaitu sekolah dasar enam tahun, maka Muhammadiyah pun
mendirikan sekolah yang semacam dengan itu. Bahkan, Muhammadiyah juga
mendirikan Hollands Inlandse School met de Qur'an Muhammadiyah untuk menyamai usaha
masyarakat Katolik yang telah mendirikan Hollands Inlandse School met de Bijbel.
Kebijakan Hisyam mengarahkan pada modernisasi sekolah-sekolah Muhammadiyah, sehingga
selaras dengan kemajuan pendidikan yang dicapai oleh sekolah-sekolah yang didirikan
pemerintah kolonial. Ia berpikir bahwa masyarakat yang ingin memasukkan putra-putrinya ke
sekolah-sekolah umum tidak perlu harus memasukkannya ke sekolah-sekolah yang didirikan
pemerintah kolonial, karena Muhammadiyah sendiri telah mendirikan sekolah-sekolah umum
yang mempunyai mutu yang sama dengan sekolah-sekolah pemerintah, bahkan masih dapat pula
dipelihara pendidikan agama bagi putra-putri mereka. Walaupun harus memenuhi persyaratan-
persyaratan yang berat, sekolah-sekolah yang didirikan Muhammadiyah akhirnya banyak yang
mendapatkan pengakuan dan persamaan dari pemerintah kolonial saat itu.
Berkat perkembangan pendidikan Muhammadiyah yang pesat pada periode Hisyam, maka pada
akhir tahun 1932, Muhammadiyah sudah memiliki 103 Volkschool, 47Standaardschool,
69 Hollandsch-Inlandsche School (HIS), dan 25 Schakel School, yaitu sekolah lima tahun yang
akan menyambung ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, yang setingkat SLTP saat ini)
bagi murid tamatan vervolgschool atau standaardschool kelas V. Dalam sekolah-sekolah
Muhammadiyah tersebut juga dipakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Sekolah-
17
sekolah Muhammadiyah saat itu merupakan salah satu lembaga pendidikan yang didirikan
pribumi yang dapat menyamai kemajuan pendidikan sekolah-sekolah Belanda, sekolah-sekolah
Katolik, dan sekolah-sekolah Protestan.
Bantuan keuangan
Dalam memajukan pendidikan Muhammadiyah KH Hisyam mau bekerja sama dengan
pemerintah kolonial dengan bersedia menerima bantuan keuangan, dari pemerintah kolonial,
walaupun jumlahnya sangat sedikit dan tidak seimbang dengan bantuan pemerintah kepada
sekolah-sekolah Kristen saat itu. Hal inilah yang menyebabkan Hisyam dan Muhammadiyah
mendapatkan kritikan keras dari Taman Siswa dan Syarekat Islam yang saat itu melancarkan
politik non-kooperatif.
Namun Hisyam berpendirian bahwa subsidi pemerintah saat itu merupakan hasil pajak yang
diperas oleh pemerintah kolonial dari masyarakat Indonesia, terutama ummat Islam. Dengan
subsidi tersebut, Muhammadiyah bisa memanfaatkannya untuk membangun kemajuan bagi
pendidikan Muhammadiyah yang pada akhirnya juga akan mendidik dan mencerdaskan bangsa
ini. Menerima subsidi tersebut lebih baik daripada menolaknya, karena jika subsidi tersebut
ditolak, maka subsidi tersebut akan dialihkan pada sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah
kolonial yang hanya akan memperkuat posisi kolonialisme Belanda.
Pendidikan keluarga
Putra-putrinya KH Hisyam disekolahkan di beberapa perguruan yang didirikan pemerintah. Dua
orang putranya disekolahkan menjadi guru, yang saat itu disebut sebagaibevoegd. Satu orang
putranya menamatkan studi di Hogere Kweekschool di Purworejo, dan seorang lagi menamatkan
studi di Europeesche Kweekschool Surabaya. Kedua sekolah tersebut merupakan sekolah yang
didirikan pemerintah kolonial Belanda untuk mendidik calon guru yang berwenang untuk
mengajar sekolah HIS milik pemerintah (gubernemen). Akhirnya mereka menjadi guru di HIS
met de Qur'an Muhammadiyah di Kudus dan Yogyakarta.
Bintang jasa
Berkat jasa-jasa Hisyam dalam memajukan pendidikan untuk masyarakat, maka ia pun akhirnya
mendapatkan penghargaan dari pemerintah kolonial Belanda saat itu berupa bintang tanda jasa,
yaitu Ridder Orde van Oranje Nassau. Ia dinilai telah berjasa kepada masyarakat dalam
pendidikan Muhammadiyah yang dilakukannya dengan mendirikan berbagai macam sekolah
Muhammadiyah di berbagai tempat di Indonesia.
Wafat
KH Hisyam wafat pada tanggal 20 Mei 1945.
18
Lahir 25 Juni 1896
Surabaya, Hindia Belanda
Kebangsaan Indonesia
Organisasi Muhammadiyah
Kiai Haji Mas Mansoer (lahir di Surabaya, 25 Juni 1896 – meninggal di Surabaja, 25
April 1946 pada umur 49 tahun) adalah seorang tokoh Islam dan pahlawan nasional Indonesia.
1Keluarga
2Pendidikan
o 2.1Nyantri pada Kyai Kholil Bangkalan
o 2.2Belajar di Mekkah dan Mesir
3Menikah
4Bergabung dengan Sarekat Islam
5Taswir Al-Afkar
6Kepenulisan
7Kegiatan di Muhammadiyah
o 7.1Mulai aktif di Muhammadiyah
o 7.2Terpilih menjadi Ketua PB Muhammadiyah
o 7.3Gaya kepemimpinan
8Kegiatan politik
9Meninggal dunia
10Pahlawan nasional
11Pranala luar
Keluarga
Ibunya bernama Raudhah, seorang wanita kaya yang berasal dari keluarga Pesantren Sidoresmo
Wonokromo Surabaya. Ayahnya bernama KH. Mas Achmad Marzoeqi, seorang pionir Islam,
ahli agama yang terkenal di Jawa Timur pada masanya. Dia berasal dari keturunan bangsawan
Astatinggi Sumenep, Madura. Dia dikenal sebagai imam tetap dan khatib di Masjid Ampel, suatu
jabatan terhormat pada saat itu.
19
Pendidikan
Nyantri pada Kyai Kholil Bangkalan
Masa kecilnya dilalui dengan belajar agama pada ayahnya sendiri. Di samping itu, dia juga
belajar di Pesantren Sidoresmo, dengan Kiai Muhammad Thaha sebagai gurunya. Pada tahun
1906, ketika Mas Mansur berusia sepuluh tahun, dia dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren
Demangan, Bangkalan, Madura. Di sana, dia mengkaji Al-Qur'an dan mendalami kitab Alfiyah
ibnu Malik kepada Kiai Khalil. Belum lama dia belajar di sana kurang lebih dua tahun, Kia
Khalil meninggal dunia, sehingga Mas Mansur meninggalkan pesantren itu dan pulang ke
Surabaya.
Belajar di Mekkah dan Mesir
Sepulang dari Pondok Pesantren Demangan pada tahun 1908, oleh orang tuanya disarankan
untuk menunaikan ibadah haji dan belajar di Makkah pada Kiai Mahfudz yang berasal dari
Pondok Pesantren Termas Pacitan Jawa Timur. Setelah kurang lebih empat tahun belajar di sana,
situasi politik di Saudi memaksanya pindah ke Mesir. Penguasa Arab Saudi, Syarif Hussen,
mengeluarkan instruksi bahwa orang asing harus meninggalkan Makkah supaya tidak terlibat
sengketa itu. Pada mulanya ayah Mas Mansoer tidak mengizinkannya ke Mesir, karena citra
Mesir (Kairo) saat itu kurang baik di mata ayahnya, yaitu sebagai tempat bersenang-senang dan
maksiat. Meskipun demikian, Mas Mansoer tetap melaksanakan keinginannya tanpa izin orang
tuanya. Kepahitan dan kesulitan hidup karena tidak mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya
untuk biaya sekolah dan biaya hidup harus dijalaninya. Oleh karena itu, dia sering berpuasa
Senin dan Kamis dan mendapatkan uang dan makanan dari masjid-masjid. Keadaan ini
berlangsung kurang lebih satu tahun, dan setelah itu orang tuanya kembali mengiriminya dana
untuk belajar di Mesir.
Di Mesir, dia belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada Syaikh Ahmad Maskawih. Suasana
Mesir pada saat itu sedang gencar-gencarnya membangun dan menumbuhkan semangat
kebangkitan nasionalisme dan pembaharuan. Banyak tokoh memupuk semangat rakyat Mesir,
baik melalui media massa maupun pidato. Mas Mansoer juga memanfaatkan kondisi ini dengan
membaca tulisan-tulisan yang tersebar di media massa dan mendengarkan pidato-pidatonya. Ia
berada di Mesir selama kurang lebih dua tahun. Sebelum pulang ke tanah air, terlebih dulu dia
singgah dulu di Makkah selama satu tahun, dan pada tahun 1915 dia pulang ke Indonesia.
Menikah
Sepulang dari belajar di Mesir dan Makkah, ia menikah dengan puteri Haji Arif yaitu Siti
Zakijah yang tinggalnya tidak jauh dari rumahnya. Dari hasil pernikahannya itu, mereka
dikaruniai enam orang anak, yaitu Nafiah, Ainoerrafiq, Aminah, Mohammad Noeh, Ibrahim dan
Loek-loek. Di samping menikah dengan Siti Zakijah, dia juga menikah dengan Halimah. Dia
menjalani hidup dengan istri kedua ini tidak berlangsung lama, hanya dua tahun, karena pada
tahun 1939 Halimah meninggal dunia.
Taswir Al-Afkar
Di samping itu, Mas Mansoer juga membentuk majelis diskusi bersama Wahab Hasboellah yang
diberi nama Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran). Terbentuknya majelis ini diilhami oleh
Masyarakat Surabaya yang diselimuti kabut kekolotan. Masyarakat sulit diajak maju, bahkan
mereka sulit menerima pemikiran baru yang berbeda dengan tradisi yang mereka pegang. Taswir
al-Afkar merupakan tempat berkumpulnya para ulama Surabaya yang sebelumnya mereka
mengadakan kegiatan pengajian di rumah atau di surau masing-masing. Masalah-masalah yang
20
dibahas berkaitan dengan masalah-masalah yang bersifat keagamaan murni sampai masalah
politik perjuangan melawan penjajah.
Aktivitas Taswir al-Afkar itu mengilhami lahirnya berbagai aktivitas lain di berbagai kota,
seperti Nahdhah al-Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang menitikberatkan pada pendidikan.
Sebagai kelanjutan Nahdhah al-Wathan, Mas Mansur dan Abdul Wahab Hasbullah mendirikan
madrasah yang bernama Khitab al-Wathan (Mimbar Tanah Air), kemudian madrasah Ahl al-
Wathan (Keluarga Tanah Air) di Wonokromo, Far'u al-Wathan (Cabang Tanah Air)
di Gresik dan Hidayah al-Wathan (Petunjuk Tanah Air) di Jombang. Kalau diamati dari nama
yang mereka munculkan, yaitu wathan yang berarti tanah air, maka dapat diketahui bahwa
kecintaan mereka terhadap tanah air sangat besar. Mereka berusaha mencerdaskan bangsa
Indonesia dan berusaha mengajak mereka untuk membebaskan tanah air dari belenggu penjajah.
Pemerintahan sendiri tanpa campur tangan bangsa lain itulah yang mereka harapkan.
Taswir al-Afkar merupakan wadah yang diskusinya mau tidak mau permasalahan yang mereka
diskusikan merembet pada masalah khilafiyah, ijtihad, dan madzhab. Terjadinya perbedaan
pendapat antara Mas Mansoer dengan Abdoel Wahab Hasboellah mengenai masalah-masalah
tersebut yang menyebabkan Mas Mansoer keluar dari Taswir al-Afkar.
Kepenulisan
Mas Mansoer juga banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang berbobot. Pikiran-pikiran
pembaharuannya dituangkannya dalam media massa. Majalah yang pertama kali diterbitkan
bernama Soeara Santri. Kata santri digunakan sebagai nama majalah, karena pada saat itu kata
santri sangat digemari oleh masyarakat. Oleh karena itu, Soeara Santri mendapat sukses yang
gemilang. Djinem merupakan majalah kedua yang pernah diterbitkan oleh Mas Mansoer.
Majalah ini terbit dua kali sebulan dengan menggunakan bahasa Jawa dengan huruf Arab. Kedua
majalah tersebut merupakan sarana untuk menuangkan pikiran-pikirannya dan mengajak para
pemuda melatih mengekspresikan pikirannya dalam bentuk tulisan. Melalui majalah itu Mas
Mansoer mengajak kaum muslimin untuk meninggalkan kemusyrikan dan kekolotan. Di
samping itu, Mas Mansoer juga pernah menjadi redaktur Kawan Kita di Surabaya.
Tulisan-tulisan Mas Mansur pernah dimuat di Siaran dan Kentoengan di
Surabaya; Penagandjoer dan Islam Bergerak di Jogjakarta; Pandji Islam dan Pedoman
Masyarakat diMedan dan Adil di Solo. Di samping melalui majalah-majalah, Mas Mansoer juga
menuliskan ide dan gagasannya dalam bentuk buku, antara lain yaitu Hadits Nabawijah; Sjarat
Sjahnja Nikah; Risalah Tauhid dan Sjirik; dan Adab al-Bahts wa al-Munadlarah.
Kegiatan di Muhammadiyah
Mulai aktif di Muhammadiyah
Di samping aktif dalam bidang tulis-menulis, dia juga aktif dalam organisasi, meskipun
aktivitasnya dalam organisasi menyita waktunya dalam dunia jurnalistik. Pada tahun 1921, Mas
Mansoer masuk organisasi Muhammadiyah. Aktivitas Mas Mansoer dalam Muhammadiyah
membawa angin segar dan memperkokoh keberadaan Muhammadiyah sebagai organisasi
pembaharuan. Tangga-tangga yang dilalui Mas Mansur selalu dinaiki dengan mantap. Hal ini
terlihat dari jenjang yang dilewatinya, yakni setelah Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya,
kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur. Puncak dari tangga tersebut
adalah ketika Mas Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada tahun 1937-
1943.
Terpilih menjadi Ketua PB Muhammadiyah
Mas Mansoer dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah dalam Kongres
Muhammadiyah ke-26 di Jogjakarta pada bulan Oktober 1937. Banyak hal pantas dicatat
sebelum Mas Mansoer terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Suasana yang
berkembang saat itu ialah ketidakpuasan angkatan muda Muhammadiyah terhadap kebijakan
Pengurus Besar Muhammadiyah yang terlalu mengutamakan pendidikan, yaitu hanya mengurusi
persoalan sekolah-sekolah Muhammadiyah, tetapi melupakan bidang tabligh (penyiaran agama
Islam). Angkatan Muda Muhammadiyah saat itu berpendapat bahwa Pengurus Besar
Muhammadiyah hanya dikuasai oleh tiga tokoh tua, yaitu KH. Hisjam (Ketua Pengurus Besar),
21
KH. Moechtar (Wakil Ketua), dan KH. Sjuja' sebagai Ketua Majelis PKO (Pertolongan
Kesedjahteraan Oemoem).
Situasi bertambah kritis ketika dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Jogjakarta pada tahun
1937, ranting-ranting Muhammadiyah lebih banyak memberikan suara kepada tiga tokoh tua
tersebut. Kelompok muda di lingkungan Muhammadiyah semakin kecewa. Namun setelah
terjadi dialog, ketiga tokoh tersebut ikhlas mengundurkan diri.
Setelah mereka mundur lewat musyawarah, Ki Bagoes Hadikoesoemo diusulkan untuk menjadi
Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, namun ia yang menolak. Kiai Hadjid juga menolak
ketika ia dihubungi untuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Perhatian pun
diarahkan kepada Mas Mansoer (Konsul Muhammadiyah Daerah Surabaya). Pada mulanya Mas
Mansoer menolak, tetapi setelah melalui dialog panjang ia bersedia menjadi Ketua Pengurus
Besar Muhammadiyah.
Pergeseran kepemimpinan dari kelompok tua kepada kelompok muda dalam Pengurus Besar
Muhammadiyah tersebut menunjukkan bahwa Muhammadiyah saat itu sangat akomodatif dan
demokratis terhadap aspirasi kalangan muda yang progresif demi kemajuan Muhammadiyah,
bukan demi kepentingan perseorangan. Bahkan Pengurus Besar Muhammadiyah pada periode
Mas Mansoer juga banyak didominasi oleh angkatan muda Muhammadiyah yang cerdas,
tangkas, dan progresif.
Gaya kepemimpinan
Terpilihnya Mas Mansoer sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah meniscayakannya
untuk pindah ke Jogjkarta bersama keluarganya. Untuk menopang kehidupannya,
Muhammadiyah tidak memberikan gaji, melainkan ia diberi tugas sebagai guru di Madrasah
Mu'allimin Muhammadiyah, sehingga ia mendapatkan penghasilan dari sekolah tersebut.
Sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansoer juga bertindak disiplin dalam
berorganisasi. Sidang-sidang Pengurus Besar Muhammadiyah selalu diadakan tepat pada
waktunya. Demikian juga dengan para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah. Berbeda dari
Pengurus Besar Muhammadiyah sebelumnya yang seringkali menyelesaikan persoalan
Muhammadiyah di rumahnya masing-masing, Mas Mansoer selalu menekankan bahwa
kebiasaan seperti itu tidak baik bagi disiplin organisasi, karena Pengurus Besar Muhammadiyah
telah memiliki kantor sendiri beserta segenap karyawan dan perlengkapannya. Namun ia tetap
bersedia untuk menerima silaturrahmi para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah itu di
rumahnya untuk urusan yang tidak berkaitan dengan Muhammadiyah.
Kepemimpinannya ditandai dengan kebijaksanaan baru yang disebut Langkah Muhammadiyah
1938-1949. Ada duabelas langkah yang dicanangkannya. Selain itu, Mas Mansoer juga banyak
membuat gebrakan dalam hukum Islam dan politik ummat Islam saat itu. Yang perlu untuk pula
dicatat, Mas Mansoer tidak ragu mengambil kesimpulan tentang hukum bank, yakni haram,
tetapi diperkenankan, dimudahkan, dan dimaafkan, selama keadaan memaksa untuk itu. Ia
berpendapat bahwa secara hukum bunga bank adalah haram, tetapi ia melihat bahwa
perekonomian ummat Islam dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, sedangkan ekonomi
perbankan saat itu sudah menjadi suatu sistem yang kuat di masyarakat. Oleh karena itu, jika
ummat Islam tidak memanfaatkan dunia perbankan untuk sementara waktu, maka kondisi
perekonomian ummat Islam akan semakin turun secara drastis. Dengan demikian, dalam kondisi
keterpaksaan tersebut dibolehkan untuk memanfaatkan perbankan guna memperbaiki kondisi
perekonomian ummat Islam.
Kegiatan politik
Dalam perpolitikan ummat Islam saat itu, Mas Mansoer juga banyak melakukan gebrakan.
Sebelum menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, Mas Mansoer sebenarnya sudah
banyak terlibat dalam berbagai aktivitas politik ummat Islam. Setelah menjadi Ketua Pengurus
Besar Muhammadiyah, ia pun mulai melakukan gebrakan politik yang cukup berhasil bagi
ummat Islam dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) bersama
Hasyim Asy'ari dan Wahab Hasboellah yang keduanya dari Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga
memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr. Sukiman Wiryasanjaya
sebagai perimbangan atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
22
Demikian juga ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansoer termasuk dalam empat orang
tokoh nasional yang sangat diperhitungkan, yang terkenal dengan empat serangkai,
yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Mas Mansur.
Keterlibatannya dalam empat serangkai mengharuskannya pindah ke Jakarta, sehingga Ketua
Pengurus Besar Muhammadiyah diserahkan kepada Ki Bagoes Hadikoesoemo. Namun
kekejaman pemerintah Jepang yang luar biasa terhadap rakyat Indonesia menyebabkannya tidak
tahan dalam empat serangkai tersebut, sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Surabaya, dan
kedudukannya dalam empat serangkai digantikan oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo.
Meninggal dunia
Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas Mansoer belum sembuh benar dari sakitnya. Namun ia
tetap ikut berjuang memberikan semangat kepada barisan pemuda untuk melawan kedatangan
tentara Belanda (NICA). Akhirnya ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan
di Kalisosok. Di tengah pecahnya perang kemerdekaan yang berkecamuk itulah, Mas Mansur
meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946. Jenazahnya dimakamkan di Gipo Surabaya.
Pahlawan nasional
Atas jasa-jasanya, oleh Pemerintah Republik Indonesia ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional
bersama teman seperjuangannya, yaitu KH. Fakhruddin.
23
Secara formal, selain kegiatan tabligh, Ki Bagus pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh (1922),
Ketua Majelis Tarjih, anggota Komisi MPM Hoofdbestuur Muhammadiyah (1926), dan Ketua
PP Muhammadiyah (1942-1953). Pokok-pokok pikiran Ahmad Dahlan berhasil ia rumuskan
sedemikian rupa sehingga dapat menjiwai dan mengarahkan gerak langkah serta perjuangan
Muhammadiyah. Bahkan, pokok-pokok pikiran itu menjadi Muqadimah Anggaran Dasar
Muhammadiyah. Muqaddimah yang merupakan dasar ideologi Muhammadiyah ini
menginspirasi sejumlah tokoh Muhammadiyah lainnya. HAMKA, misalnya, mendapatkan
inspirasi dari muqaddimah tersebut untuk merumuskan dua landasan idiil Muhammadiyah, yaitu
Matan Kepribadian Muhammadiyah dan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.
Ki Bagus juga sangat produktif dalam menuliskan buah pikirannya. Buku karyanya antara lain
Islam sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin. Karya-karyanya yang lain yaitu Risalah
Katresnan Djati(1935), Poestaka Hadi (1936), Poestaka Islam (1940), Poestaka Ichsan (1941),
dan Poestaka Iman (1954). Dari buku-buku karyanya tersebut tercermin komitmennya terhadap
etika dan bahkan juga syariat Islam. Dari komitmen tersebut, Ki Bagus adalah termasuk seorang
tokoh yang memiliki kecenderungan kuat untuk pelembagaan Islam.
Bagi Ki Bagus, pelembagaan Islam menjadi sangat penting untuk alasan-alasan ideologi,
politis, dan juga intelektual. Ini nampak dalam upayanya memperkokoh eksistensi hukum Islam
di Indonesia ketika ia dan beberapa ulama lainnya terlibat dalam sebuah kepanitiaan yang
bertugas memperbaiki peradilan agama (priesterraden commisse). Hasil penting sidang-sidang
komisi ini ialah kesepakatan untuk memberlakukan hukum Islam. Akan tetapi Ki Bagus
dikecewakan oleh sikap politik pemerintah kolonial yang didukung oleh para ahli hukum adat
yang membatalkan seluruh keputusan penting tentang diberlakukannya hukum Islam untuk
kemudian diganti dengan hukum adat melalui penetapan Ordonansi 1931. Kekecewaannya itu ia
ungkap kembali saat menyampaikan pidato di depan Sidang BPUKPKI.
Munculnya Ki Bagus Hadikusumo sebagai Ketua PB Muhammadiyah adalah pada saat terjadi
pergolakan politik internasional, yaitu pecahnya perang dunia II. Kendati Ki Bagus Hadikusuma
menyatakan ketidaksediaannya sebagai Wakil Ketua PB Muhammadiyah ketika diminta oleh
Mas Mansur pada Kong
Ahmad Rasyid Sutan Mansur
24
Agama Islam
Ahmad Rasyid Sutan Mansur atau lebih dikenal sebagai AR Sutan Mansur (lahir
di Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 15 Desember 1895 – meninggal 25 Maret 1985 pada umur
89 tahun) adalah seorang tokoh dan pemimpin Muhammadiyah.
1Pendidikan
2Karier
3Pindah ke Pulau Jawa
4Mengembangkan Muhammadiyah =
5Karya
6Pranala luar
Pendidikan
Selain mendapatkan gemblengan agama, dia juga mendapatkan pendidikan formal. Adapun
pendidikan formal didapat sejak tahun 1902 saat menimba ilmu di Tweede Class School (sekolah
kelas dua), juga di Maninjau, hingga tahun 1909.
Kemudian atas rekomendasi dari controlleur Maninjau, Sutan Mansur melanjutkan pendidikan
ke Kweekschool (sekolah guru) diKota Bukittinggi. Akan tetapi, karena sejak awal Sutan Mansur
sudah berkeinginan bersekolah di Mesir, maka dia memutuskan untuk belajar ilmu agama
terlebih dahulu kepada H. Abdul Karim Amrullah, ayahanda Buya Hamka.
Karier
Pada saat perkumpulan Sumatera Thawalib dibentuk pada Februari 1918 di Padang Panjang,
oleh beberapa sejawat, Sutan Mansur sudah dipandang mampu berperan sebagai guru. Oleh
karenanya, Sumatera Thawalib langsung mengutusnya menjadi guru di Kuala Simpang Ulim,
Simpang Ulim, Aceh Timur|Kuala Simpang]], Aceh, selama dua tahun.
Mengembangkan Muhammadiyah
Sejatinya, sebelum Sutan Mansur, pikiran-pikiran dari Muhammadiyah sudah lebih dulu
disebarluaskan oleh H Abdul Karim Amrullah, bahkan beberapa cabang Muhammadiyah sudah
berdiri di Maninjau dan Padang Panjang. Dengan kata lain, H Abdul Karim Amrullah telah
25
membuka jalan bagi Sutan Mansur untuk lebih mengembangkan Muhammadiyah di Sumatera
Barat. Dan penyebaran gerakan ini justru semakin pesat setelah dia mendapat dukungan dari
tokoh-tokoh masyarakat setempat dan sejumlah alim ulama 'kaum muda'.
Di samping itu, selaku mubalig tingkat pusat Muhammadiyah (1926-1929) dia ditugaskan
mengadakan tablig keliling ke Medan, Aceh, Kalimantan (Banjarmasin, Amuntai danKuala
Kapuas), Mentawai serta beberapa bagian Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Aktivitasnya
juga melatih pemuda-pemudi dalam Lembaga Kulliyatul Muballighin yang didirikannya untuk
menjadi kader Muhammadiyah.
Adapun metode yang digunakan untuk latihan itu adalah mujadalah (kelompok diskusi). Murid-
muridnya antara lain Duski Samad (adik kandungnya sendiri), Abdul Malik Ahmad (penulis
tafsir Alquran), Zein Jambek, Marzuki Yatim (mantan Ketua KNI Sumatera Barat), Hamka,
Fatimah Latif, Khadijah Idrus, Fatimah Jalil, dan Jawanis.
Pada tahun 1930 diselenggarakan Kongres ke-19 Muhammadiyah di Minangkabau. Salah satu
keputusannya adalah perlunya jabatan konsul Muhammadiyah di setiap karesidenan. Maka
berdasarkan Konferensi Daerah di Payakumbuh tahun 1931, dipilihlah Sutan Mansur sebagai
konsul Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera Barat hingga 1944. Kemudian atas usul konsul
Aceh, konsul-konsul seluruh Sumatera setuju untuk mengangkat Sutan Mansur selaku imam
Muhammadiyah Sumatera.
Ketika berlangsung Kongres Muhammadiyah ke-32 di Purwokerto tahun 1953, dia terpilih
sebagai Ketua Pusat Pimpinan (PP) Muhammadiyah. Tiga tahun berikutnya yakni pada Kongres
ke-33 di Yogyakarta, dia terpilih kembali sebagai ketua PP Muhammadiyah. Lantas pada
kongres ke-35 tahun 1962 di Yogyakarta, Sutan Mansur diangkat sebagai Penasehat PP
Muhammadiyah sampai 1980.
Tercatat selama masa kepemimpinannya dua periode (1953-1959) dia berhasil merumuskan
khittah (garis perjuangan) Muhammadiyah. Antara lain mencakup usaha-usaha menanamkan dan
mempertebal jiwa tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusyuk dan tawadlu, mempertinggi
akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, menggerakkan organisasi dengan penuh tanggung jawab,
memberikan contoh dan suri tauladan kepada umat, konsolidasi administrasi, mempertinggi
kualitas sumber daya manusia, serta membentuk kader handal.
Dalam bidang fikih, Sutan Mansur dikenal sangat toleran. Dia misalnya tidak terlalu
mempermasalahkan perbedaan pendapat dalam masalah furu'iyyah (hukum agama yang tidak
pokok). Hasil Putusan Tarjih Muhammadiyah dipandangnya hanya sebagai sikap organisasi
Muhammadiyah terhadap suatu masalah agama, itu pun sepanjang belum ditemukan pendapat
yang lebih kuat. Karenanya HPT menurut dia tidak mengikat anggota Muhammadiyah.
Karya
Buku-bukunya antara lain:
26
7. Kyai Haji Muhammad Yunus Anis (Ketua 1959 - 1962)
Selama rentang pengabdiannya sebagai muballigh, Yunus Anis pernah mukim di berbagai
daerah seperti di Sigli, Nangro Aceh Darussalam hingga ke Padang Panjang, Sumatera Barat.
Serta pernah pula mukim di Makassar dan Alabio, Kalimantan Selatan. Di berbagai daerah yang
disinggahi dan dimukiminya, Yunus Anis membuka jalan baru bagi berkembangnya
Muhammadiyah dan banyak mendirikan cabang-cabang Persyarikatan Muhammadiyah. Besar
andilnya dalam mengembangkan misi dakwah dan gerakan Muhammadiyah, pada akhirnya
menempatkan sosoknya sebagai Pengurus Besar Muhammadiyah.
Yunus Anis kembali ke Yogyakarta karena diminta membina bagian pemuda Hizbul Wathan.
Tugas itu diterimanya dengan penuh gairah, lalu berkiprah sungguh-sungguh dalam membina
pemuda yang berjiwa agresif dan kreatif bersendikan nilai-nilai Islam. Dan, di kemudian hari
diharapkan menjadi gemerasi penerus yang cakap, trampil, dilandasi iman yang teguh. Dalam
kesempatan Apel Besar Htzbul Wathan di akun-alun utara Yogyakarta, Yunus Anis tampil
membangkitkan semangat dengan hadir sambil menunggang kuda untuk memeriksa pasukan.
Tampaklah pada dirinya ditunjang postur tubuhnya yang tinggi besar, sosok kepemimpinan yang
tegas dan berkesan. Tak pelak, kesan itu kemudian tersiar luas di kalangan Muhammadiyah.
Selain itu, Yunus Anis dikenal pula sebagai organisator dan administrator. Bakat itu, pernah
mengantarnya sebagai Pengurus Cabang Muhammadiyah Batavia, hingga kepemimpinannya
semakin terlihat menonjol dan memperoleh kepercayaan dari keluarga besar Muhammadiyah.
Maka tahun 1934-1936 dan 1953-1958, Yunus Anis dipercaya sebagai Sekretaris Umum
Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Pembubaran Masyumi membawa implikasi buruk terhadap ummat Islam. Ummat Islam
nyaris tidak terwakili di parlemen (DPR GR). Dalam kondisi demikian itu, Yunus Anis
kemudian diminta oleh berbagai kalangan, termasuk A.H. Nasution, agar bersedia menjadi
anggota DPR GR yang sedang disusun Presiden Soekarno. Kesediaannya menjadi anggota DPR
27
GR sebenarnya mengundang banyak kritik dari tokoh-tokoh Muhammadiyah lainnya, sebab
disadari Muhammadiyah saat itu tidak mendukung kebijakan Presiden Soekarno yang
membubarkan Masyumi, serta bertindak secara otoriter menyusun anggota parlemen. Namun,
kritik itu dijawabnya dengan ungkapan sederhana: bahwa keterlibatannya dalam DPR GR
bukanlah untuk kepentingan politik jangka pendek, melainkan untuk kepentingan jangka
panjang. Yakni, mewakili ummat Islam yang nyaris tidak terwakili dalam parlemen.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menandai era berlakunya kembali UUD 1945 dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kemudian menyulut timbulnya berbagai macam peristiwa
politik yang tidak sehat. Tak sedikit manuver dan intrik dilakukan oleh partai politik, terutama
Partai Komunis Indonesia yang sangat membahayakan bagi instabilitas kondisi politik Tanah Air
saat itu. Dalam situasi seperti itulah Yunus Anis terpilih sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muham-
madiyah periode 1959-1962 pada Muktamar Muhammadiyah ke-34 di Yogyakarta.
Selama periode kepemimpinannya, Yunus Anis mengawal gagasan tentang Kepribadian
Muhammadiyah. Perumusan tersebut digarap oleh sebuah tim yang dipimpin oleh K.H. Faqih
Usman, dan akan diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 yang
bertepatan dengan setengah abad Muhammadiyah.
28
ini diperbarui pada zaman Jepang sehingga ia ditempatkan pada nomor 2 tertanggal 15 Februari
1944 (Jusuf Anis, t.t., p. 25).
Pada masa perjuangan, Badawi pernah memasuki Angkatan Perang Sabil (APS). Ia turut
beroperasi di Sanden Bantul, Tegallayang, Bleberan, dan Kecabean Kulon Progo. Pada tahun
1947-1949, Badawi menjadi Imam III APS bersama dengan K.H. Mahfudz sebagai Imam I dan
KRH. Hadjid selaku Imam II untuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia juga menjadi anggota
Laskar Rakyat Mataram atas instruksi dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, serta bergabung di
Batalyon Pati dan Resimen Wiroto, MPP Gedongan.
Pada tahun 1950, Badawi dikukuhkan sebagai Wakil Ketua Majelis Syuro Masyumi di
Yogyakarta. Di partai ini, ia tidak banyak perannya, karena partai ini kemudian membubarkan
diri.
Semenjak berkiprah di Muhammadiyah, ia lebih leluasa mengembangkan potensi dirinya untuk
bertabligh. Keinginan ini dijalankan melalui kegiatan sebagai guru di sekolah (madrasah) dan
melalui kegiatan dakwah lewat pengajian dan pembekalan ke-Muhammadiyah-an. Prestasi di
bidang tabligh telah mengantarkan Badawi untuk dipercaya menjadi Ketua Majelis Tabligh
Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1933. Pada tahun-tahun berikutnya, ia juga diserahi
amanat untuk menjadi Kepala Madrasah Za’imat (yang kemudian digabung dengan Madrasah
Mualimat pada tahun 1942). Di Madrasah Mualimat ia mempunyai obsesi untuk memberdayakan
potensi wanita, sehingga mereka akan bisa menjadi muballighat yang handal di daerahnya.
Semenjak itu, keberadaan Badawi tidak diragukan lagi. Di Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Ahmad Badawi selalu terpilih dan ditetapkan menjadi Wakil Ketua. Pada waktu Muktamar
Muhammadiyah ke-35 di Jakarta, Badawi terpilih menjadi Ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah periode 1962-1965, dan pada Muktamar Muhammadiyah ke-36 di Bandung
terpilih lagi menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1965-1968.
Citra politik Muhammadiyah pada masa kepemimpinan Badawi memang sedang tersudut, karena
banyaknya anggota Muhammadiyah yang menjadi anggota dan pengurus Masyumi yang saat itu
sedang menjadi target penghancuran oleh rezim Orde Lama. Citra ini memang sengaja
dihembus-hembuskan oleh PKI, bahwa Muhammadiyah dituduh anti-Pancasila, anti-
NASAKOM, dan pewaris DI/TII. Muhammadiyah pada saat itu berhadapan dengan adanya
banyak tekanan politik masa Orde Lama.
Menghadapi realitas politik seperti itu, Muhammadiyah akhirnya dipaksa berhadapan dengan
urusan-urusan politik praktis. Muhammadiyah sendiri kurang leluasa dalam beradaptasi dan
berinteraksi dengan sistem politik yang dibangun Orde Lama. Akhirnya, Muhammadiyah
mengambil kebijakan politik untuk turut serta terlibat dalam urusan-urusan kenegaraan. Meski
demikian, realitas menunjukkan bahwa Muhammadiyah hanya mampu mengerem laju pengaruh
komunis di masa Orde Lama yang kurang mengedepankan nilai agama dan moralitas bangsa.
Kebijakan Muhammadiyah seperti itu akhirnya membawa kedekatan Badawi dengan Presiden
Soekarno. Semenjak 1963, Badawi diangkat menjadi Penasehat Pribadi Presiden di bidang
agama. Perlu diperhatikan bahwa kedekatan Badawi dengan Soekarno bukan untuk mencari
muka Muhammadiyah di mata Presiden. KHA. Badawi sangat bijak dan pintar dalam melobi
Presiden dengan nuansa agamis. KHA. Badawi tidak menjilat atau menjadi antek Soekarno,
seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh lain. Ia memiliki prinsip agama yang kuat, sehingga
Muhammadiyah mengamanatkan kepadanya untuk mendekati Soekarno. Kedekatan ini juga
dirasakan oleh Soekarno, bahwa dirinya sangat memerlukan nasehat-nasehat agama. Oleh
karenanya, bila KHA. Badawi memberikan masukan-masukan yang disampaikan secara bijak,
Soekarno sangat memperhatikannya. Bahkan para menterinya pun diminta turut memperhatikan
fatwa Kiai Badawi.
Bagi Muhammadiyah, keadaan ini sangat menguntungkan. Fitnahan terhadap Muhammadiyah
yang terus jalan harus diimbangi dengan upaya mengikisnya. Soekarno sendiri sadar bahwa
Muhammadiyah pada masa itu senafas dan seirama dengan Masyumi, namun ia tetap
membutuhkan kehadiran Muhammadiyah. Bahkan Soekarno sepertinya semakin menyukainya
untuk balance of power policy (PP. Muhammadiyah, t.t., halaman 6). Iktikad baik Soekarno ini
menunjukkan bahwa dirinya sangat memerlukan kehadiran Muhammadiyah untuk mengimbangi
keberadaan PNI, NU, dan PKI yang dirasanya lebih dekat.
Nasehat-nasehat politik yang diberikan Badawi sangat berbobot dipandang dari kacamata Islam.
Secara relatif KHA. Badawi bisa mengendalikan Presiden Soekarno agar tidak terseret terlalu
jauh oleh pengaruh komunis yang menggerogotinya. Siraman rohani kepada Soekarno
29
disampaikan oleh Kiai Badawi tidak terikat oleh ruang dan waktu. Di mana ada kesempatan, Kiai
Badawi memberikan nasehatnya kepada Presiden.
Pada tahun 1968, dalam masa pemerintahan Orde Baru, Kiai Badawi diangkat menjadi anggota
Dewan Pertimbangan Agung. Di DPA itu, ia memberikan nasehat kepada Presiden Soeharto di
bidang agama Islam. Namun, KHA. Badawi sebenarnya hanya sedikit memberikan nasehatnya
pada pemerintahan awal Orde Baru itu. Hal ini dikarenakan kondisi fisiknya yang sudah
melemah. Penyakit yang disandangnya kurang memungkinkan fisiknya yang sudah tua untuk
turut berkiprah lebih banyak dalam memberikan sumbangsihnya kepada negara dan bangsa.
Sebagai seorang pemimpin, Badawi juga produktif sebagai penulis. Karya-karya tulis yang telah
dihasilkannya antara lain ialah Pengadjian Rakjat, Kitab Nukilan Sju’abul-Imam (bahasa Jawa),
Kitab Nikah (huruf Pegon dan berbahasa Jawa), Kitab Parail (huruf Latin berbahasa Jawa),
Kitab Manasik Hadji (bahasa Jawa), Miah Hadits (bahasa Arab), Mudzakkirat fi Tasji’il
Islam (bahasa Arab), Qawaidul-Chams(bahasa Arab), Menghadapi Orla (Bahasa Indonesia), dan
Djadwal Waktu Shalat untuk Selama-lamanja (H.M. Jusuf Anis, tt: 27).
KHA. Badawi meninggal hari Jum’at 25 April 1969 pukul 09.45 di Rumah Sakit PKU Muham-
madiyah Yogyakarta. Usaha para dokter tidak bisa menghadang takdir Allah yang telah
ditentukan atasnya. Di saat meninggal, KHA. Badawi masih menjabat sebagai anggota Dewan
Pertimbangan Agung dari tahun 1968. Sedang di Muhammadiyah beliau ditempatkan sebagai
Penasehat PP. Muhammadiyah periode 1969-1971 berdasar hasil Muktamar Muhammadiyah ke-
37 di Yogyakarta.
30
kepemimpinan Muhammadiyah dilanjutkan oleh Abdul Rozak Fachruddin yang masih sangat
muda.
Faqih Usman banyak terlibat aktif di berbagai gerakan Islam yang sangat membantu pengem-
bangan Muhammadiyah. Dia pernah memimpin majalah Bintang Islam sebagai media cetak
Muhammadiyah Jawa Timur. Kegiatannya dalam Muhammadiyah memperluas jaringan
pergaulannya, sehingga iapun terlibat aktif di berbagai organisasi masyarakat, seperti Majelis
Islam A’la Indonesia (MIAI) pada tahun 1937.
Pada tahun 1940-1942, dia menjadi anggota Dewan Kota Surabaya. Pada tahun 1945 dia menjadi
anggota Komite Nasional Indonesia Pusat dan Ketua Komite Nasional Surabaya. Pada tahun
1959, dia menerbitkan majalah Panji Masyarakat (Panjimas) bersama-sama dengan Buya
Hamka, Joesoef Abdullah Poear, dan Joesoef Ahmad. Majalah ini memiliki ikatan yang erat
dengan Muhammadiyah. Dia juga ikut andil dalam Partai Masyumi sejak didirikannya pada
tanggal 7 Nopember 1945 dalam Muktamar Ummat Islam di Yogyakarta. Dia duduk sebagai
salah seorang Pengurus Besar Masyumi, dan pada tahun 1952 duduk sebagai Ketua II sampai
dengan tahun 1960, yaitu pada saat Masyumi dibubarkan.
Pembubaran Masyumi pada masa rezim Soekarno menancapkan luka yang mendalam bagi
para tokoh ummat Islam saat itu, sehingga ketika rezim itu tumbang digantikan oleh rezim Orde
Baru, maka Faqih Usman bersama dengan Hasan Basri (mantan Ketua Umum Majelis Ulama
Indonesia) dan Anwar Haryono (mantan Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) mengirim
nota politik kepada pemerintah Orde Baru. Nota politik ini kemudian dikenal dengan Nota K.H.
Faqih Usman, yang isinya permintaan agar Pemerintah RI Orde Baru mau merehabilitasi
Masyumi dari partai terlarang.
Faqih Usman banyak terlibat dalam aktivitas politik di negeri ini. Dia pernah dipercaya
Pemerintah RI untuk memimpin Departemen Agama pada masa Kabinet Halim Perdanakusumah
sejak 21 Januari 1950 sampai 6 September 1950. Pada tahun 1951 ia ditunjuk sebagai Kepala
Jawatan Agama Pusat. Situasi politik di tanah air yang tidak stabil saat itu menyebabkan susunan
kabinet pun jatuh bangun. Ia dipercaya kembali sebagai Menteri Agama pada masa Kabinet
Wilopo sejak 3 April l952 sampai 1 Agustus 1953. Fenomena terpilihnya Faqih Usman sebagai
Menteri Agama yang kedua kalinya sempat menimbulkan konflik politik antara Masyumi dan
Nahdhatul Ulama. K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang merupakan representasi kubu NU
menuntut agar jabatan Menteri Agama diberikan kepada unsur NU. Namun, setelah diadakan
pemungutan suara, ternyata Faqih Usman (representasi Masyumi) yang terpilih. Hal ini
mempengaruhi peta politik Islam di tanah air, karena akhirnya justru mempercepat proses
pemisahan Nahdhatul Ulama (NU) dari Masyumi.
Selepas dari jabatan Menteri Agama RI, ia masih tetap duduk sebagai anggota aktif
Konstituate, di samping jabatannya sebagai pegawai tinggi yang diperbantukan pada Departeman
Agama sejak tahun l954. Sebagai salah seorang tokoh Masyumi, dia juga terlibat aktif dalam
resolusi konflik politik dalam negeri. Hal itu terlihat menjelang meletusnya gerakan
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Utara. Bersama dengan
Mohammad Roem, dia berusaha menjadi mediator untuk mendamaikan konflik antara PRRI
dengan pemerintah pusat saat itu. Ia berusaha menemui rekan-rekannya di Masyumi yang terlibat
dalam kegiatan PRRI tersebut, seperti Muhammad Natsir, Boerhanuddin Harahap, dan
Sjafruddin Prawiranegara untuk mendialogkan persoalan yang semakin menajam menjadi perang
saudara tersebut. Upaya ini tidak membawa hasil yang memuaskan, bahkan bisa dianggap gagal.
Dalam keputusasaan tersebut, akhirnya Fakih Usman kembali ke Muhammadiyah yang menjadi
basis aktivitas kemasyarakatannya.
Sebagai salah seorang Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada kepengurusan KHA.
Badawi yang pertama (1962-1965), KH Fakih Usman merumuskan sebuah konsep pemikiran
yang kemudian dikenal dengan Kepribadian Muhammadiyah. Rumusan pemikirannya ini
diajukan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35 tahun 1962 di Jakarta, yang akhirnya diterima
sebagai pedoman bagi warga Muhammadiyah.
31
9. KH Abdur Rozak Fachdrudin (1971 - 1985)
32
turut dalam empat kali Muktamar Muhammadiyah berikutnya untuk periode 1971-1974, 1974-
1978, 1978-1985 dan terakhir 1985-1990.
Dari riwayat perjalanan dakwahnya, dapat ditarik kesimpulan, Pak AR meniti karir di
Muhammadiyah sejak dari bawah, yaitu menjadi anggota, menjadi muballigh yang ditugaskan di
pelosok Sumatera Selatan dan di kampungnya sendiri, sampai pada pimpinan puncak yakni
dipercaya sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pak AR menjadi pemimpin setelah
melalui proses yang amat panjang.
Melihat sosok Pak AR, akan didapatkan sebuah cermin, bahwa seorang pemimpin perlu
menghayati bagaimana kehidupan ummat secara riil. Bagaimana derita dan nestapa ummat
di tingkat bawah, bagaimana pahit getir berdakwah dan menggerakkan organisasi di tingkat
Ranting yang jauh dari kota, yang serba kekurangan prasarana dan sarana. Susah payah,
kesulitan-kesulitan, dan suka duka yang dialami seorang pemimpin yang bekerja di tingkat
Ranting dan Cabang dapat memberi pengalaman yang berharga dan menjadikan seorang
pemimpin menjadi arif dalam mengambil kebijakan dalam memimpin umat.
Pak AR adalah ulama besar yang berwajah sejuk dan bersahaja. Kesejukannya sebagai
pemimpin ummat Islam bisa dirasakan oleh ummat beragama lain. Ketika menyambut kunjungan
pimpinan Vatikan, Paus Yohanes Paulus II di Yogyakarta, sebenarnya Pak AR menyampaikan
kritikan kepada umat Katholik, tetapi kritik itu disampaikannya secara halus dan sejuk berupa
sebuah surat terbuka.
Dalam surat itu, Pak AR mengungkapkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia adalah muslim.
Namun, ada hal yang terasa mengganjal bagi umat Islam Indonesia, bahwa umat Katholik
banyak menggunakan kesempatan untuk mempengaruhi ummat Islam yang masih menderita dan
miskin agar mau masuk ke agama Katolik. Mereka diberi uang, dicukupi kebutuhannya,
dibangunkan rumah-rumah sederhana, dipinjami uang untuk modal dagang, tetapi dengan ajakan
agar menjadi umat kristen. Umat Islam dibujuk dan dirayu untuk pindah agama. Dalam
tulisannya kepada Paus Yohanes Paulus II itu, Pak AR menyatakan bahwa agama harus
disebarluaskan dengan cara-cara yang perwira dan sportif. Kritik ini diterima dengan lapang
dada oleh ummat lain karena disampaikan dengan lembut dan sejuk dalam bahasa Jawa halus,
serta dijiwai semangat toleransi yang tinggi.
Orang mengatakan bahwa Pak AR adalah penyejuk. Orang selalu mengatakan bahwa kelebihan
Pak AR adalah kesejukan dalam menyampaikan dakwah. Gaya kepemimpinan Pak AR yang
terasa adalah kesejukan.
Semasa hidupnya Pak AR memberi contoh hidup welas asih dalam ber-Muhammadiyah. Sikap
hidup beliau yang teduh, sejuk, ramah, menyapa siapa saja, sering humor, dan bersahaja, adalah
pantulan dari mutiara terpendam dalam nuraninya. Pak AR adalah penyebar rasa kasih sayang
dalam kehidupan ber-Muhammadiyah, baik dengan sesama Muslim, bahkan juga non Muslim
dalam persaudaraan kemanusiaan yang luhur. Beliau tidak pernah menyebarkan sikap dan
suasana saling membenci, curiga, iri hati, saling ingin menapikan, apalagi suka menebar aib
sesama dalam kehidupan ber-Muhammadiyah.
Selain dikenal sebagai seorang mubaligh yang sejuk, ia juga dikenal sebagai penulis yang
produktif. Karya tulisnya banyak dibukukan untuk dijadikan pedoman. Di antara karya-karyanya
ialah Naskah Kesyukuran; Naskah Enthengan, Serat Kawruh Islam Kawedar; Upaya
Mewujudkan Muhammadiyah sebagai Gerakan Amal; Pemikiran dan Dakwah
Islam; Syahadatain Kawedar; Tanya Jawab Entheng-Enthengan; Muhammadiyah adalah
Organisasi Dakwah Islamiyah; Al-Islam Bagian Pertama; Menuju Muhammadiyah; Sekaten dan
Tuntunan Sholat Basa Jawi; Kembali kepada Al-Qur‘an dan Hadis; Chutbah Nikah dan
Terjemahannya; Pilihlah Pimpinan Muhammadiyah yang Tepat; Soal-Jawab Entheng-
enthengan;Sarono Entheng-enthengan Pancasila; Ruh Muhammadiyah; dan lain-lain.
Ulama kharismatik ini tidak bersedia dipilih kembali menjadi Ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 tahun 1990 di Yogyakarta,
walaupun masih banyak Muktamirin yang mengharapkannya. Ia berharap ada alih
generasi yang sehat dalam Muhammadiyah. SKeteladanan KH AR Fachruddin
Pemimpin kita ini nama lengkapnya adalah KH Abdul Razaq Fachruddin, dan akrab
disapa Pak AR. Beliau wafat di Yogyakarta pada 1995 dalam usia 79 tahun. Semasa hidupnya
yang diisi dengan khidmah kepada Islam dan Indonesia penuh dengan keteladanan yang patut
ditiru generasi masa kini.
33
Kendati kami pernah bertemu, tapi kami tidak banyak merekam perilaku dan keteladanannya
kecuali melalui putra-putra beliau, khususnya Mas Luthfi Purnomo, salah seorang putra beliau
yang sangat akrab dengan kami sejak mengenalnya tahun 1970-an sampai sekarang.
Mas Luthfi, begitu ia akrab disapa, pernah bercerita kepada kami. Suatu saat ia berkata kepada
ayahandanya apakah beliau berkenan apabila ia suatu saat nanti berkiprah di luar
Muhammadiyah. Maklum, Pak AR adalah ketua umum PP Muhammadiyah sehingga Mas Luthfi
mungkin menyangka ayahandanya tidak berkenan kalau anak-anaknya berkiprah di luar
Muhammadiyah.
Ternyata jawaban beliau luar biasa, "Yo ora opo-opo. Kowe ora kudu nang Muhammadiyah (Ya
tidak apa-apa, kamu tidak harus di Muhammadiyah)." Kami langsung teringat sikap KH Hasyim
Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (wafat 1947) yang tidak pernah mengharuskan putra-putrinya
menjadi orang NU. Alangkah indahnya perilaku para pemimpin kita itu dalam menyikapi
perbedaan.
Bagi KH Hasyim Asy’ari, Islam itu bukan hanya NU. Demikian pula bagi Pak AR, Islam itu
bukan hanya Muhammadiyah. Bagi mereka, kebenaran adalah ajaran yang mengacu kepada
Alquran dan hadis, dan itu ada di mana-mana. Surga juga sangat luas. Setiap Muslim akan masuk
ke dalam surga. Dan jalan ke surga juga banyak, bukan hanya Muhammadiyah dan NU.
Bandingkan misalnya dengan para aktivis bawahan yang menjadikan surga yang luas itu sempit
karena tidak ada yang dapat masuk surga kecuali kelompoknya saja. Sementara, jalan menuju
surga hanya ada satu, yaitu lorong sempit kelompoknya saja. Sehingga mereka memvonis
Muslim yang bukan kelompoknya sebagai kafir.
Karenanya muncul ungkapan ada dua macam wali, wali songo atau wali sembilan dan wali
sempalan. Wali sembilan kerjanya mengislamkan orang-orang kafir, sedangkan wali sempalan
kerjanya mengafirkan orang-orang Islam.
Sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pak AR pernah ditawari jabatan menteri
agama, tapi beliau tidak menerimanya. Ketika ditanya alasannya, Pak AR menjawab bahwa
jabatan menteri agama itu tanggung jawabnya berat di akhirat dan beliau tidak sanggup
mengemban amanah itu.
Tampaknya Pak AR dibimbing oleh hadis Nabi SAW yang menyatakan jabatan itu akan menjadi
penyesalan di akhirat sehingga apabila memang dirasa berat tanggung jawabnya lebih baik tidak
menerimanya. Ketika hal ini kami ceritakan kepada seorang kawan, dia berkomentar, "Pada
masa sekarang mungkin tidak ada orang yang seperti Pak AR itu."
Pada masa Orde Baru, terkadang ada kebijakan pemerintah yang dinilai tidak pas menurut Pak
AR. Namun, beliau memiliki cara sendiri untuk mengkritisi dan menasihati pemerintah. Beliau
tidak mengumpulkan wartawan kemudian menggebuki pemerintah melalui media massa. Beliau
justru menghadap Pak Harto dan memberikan nasihat atas kebijakan pemerintah.
Cara beliau ini tampaknya dipandu oleh hadis Nabi riwayat Imam al-Hakim, "Apabila kamu mau
menasihati penguasa, maka janganlah kamu menasihatinya secara terbuka, tetapi ajaklah ia ke
tempat sepi kemudian nasihatilah. Apabila nasihat itu diterima, maka itu yang diharapkan dan
apabila tidak diterima, maka kamu telah bebas dari tanggung jawab."
Ketika negeri ini masih memiliki lembaga yang disebut Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Pak
AR pernah menduduki jabatan sebagai anggota DPA. Beliau pun mendapatkan jatah mobil.
Namun, belakangan mobil tersebut diserahkan kepada Muhammadiyah, padahal beliau berhak
memilikinya.
Ketika ditanya tentang hal itu, beliau menjawab bahwa beliau diangkat sebagai anggota DPA itu
karena kapasitasnya sebagai tokoh Muhammadiyah, bukan karena pribadinya. Karenanya, mobil
yang diterima karena menjadi anggota DPA menjadi hak Muhammadiyah, bukan haknya
sendiri.
Tampaknya Pak AR dipandu oleh hadis sahih riwayat Imam Muslim di mana seorang sahabat
yang bernama Ibnu al-Lutbiyyah RA ketika diutus Nabi SAW untuk menghimpun zakat
dan jizyah dari warga Bahrain, setelah pulang ke Madinah dan menghadap Nabi SAW, ia
mengatakan, "Ini untuk Nabi dan ini adalah hadiah untuk saya dari warga Bahrain."
Nabi kemudian berpidato di hadapan para sahabat, "Ada orang yang saya utus untuk memungut
zakat dan jizyah di Bahrain. Setelah pulang, dia mengatakan, 'Ini untuk engkau wahai Rasul, dan
ini untuk saya, hadiah dari warga Bahrain'." Nabi kemudian mengatakan, "Sekiranya dia akan
mendapatkan hadiah, mengapa dia tidak duduk saja di rumahnya. Nanti hadiah itu akan datang
sendiri ke rumahnya."
34
Dari hadis ini para ulama berpendapat, hadiah seseorang yang diperoleh karena jabatannya
adalah milik lembaga di mana ia menjabat, bukan miliknya pribadi. Dan itulah yang dilakukan
Pak AR Fachruddin. Bandingkan misalnya dengan oknum-okum tokoh masa kini yang semula
termasuk berkantong kempes, tetapi dengan menggunakan lembaga atau organisasinya, ia
menggendutkan rekeningnya.
Perilaku Pak AR ini memang dibimbing oleh agama karena beliau mendalami agama dulu
sebelum menjadi pemimpin, seperti disebutkan dalam hadis Ibnu Umar RA, "Dalamilah agama
sebelum kamu menjadi pemimpin." Sementara banyak orang sekarang menjadi pemimpin tanpa
pernah mendalami agama lebih dulu sehingga perilakunya tidak dipandu oleh agama tetapi
dipandu emosi dan hawa nafsu.
Tampaknya perilaku Pak AR inilah yang menyebabkan tokoh NU KH M Yusuf Hasyim yang
akrab disapa Pak Ud, ketika dalam perjalanan darat dari Tebuireng ke Jakarta dan sampai di
Brebes, beliau mendengar dari radio mobilnya bahwa Pak AR wafat, maka Pak Ud tidak
melanjutkan perjalanannya ke Jakarta, melainkan kembali berputar menuju Yogyakarta untuk
memberikan penghormatan terakhir kepada Pak AR.
Semoga keteladanan Pak AR ini dapat menjadi seteguk air yang menghilangkan kedahagaan
umat Islam akan keteladanan seorang pemimpin. Semoga Allah SWT menerima ibadahnya dan
mengampuni dosanya. Aamiin.
Setalah tidak menjabat sebagai Ketua PP Muhammadiyah, dan menjabat sebagai Penasehat PP
Muhammadiyah, Pak AR masih aktif melaksanakan kegiatan tabligh ke berbagai tempat. Hingga
akhirnya, penyakit vertigo memaksanya harus beristirahat, sesekali di rumah sakit. Namun,
dalam keadaan demikian, sepertinya beliau tidak mau berhenti. Pak AR wafat pada 17 Maret
1995 di Rumah Sakit Islam Jakarta pada usia 79 tahun.
35
Sekembalinya ke Indonesia selama study di Timur Tengah, Azhar Basyir diangkat sebagai dosen
di Universitas Gadjah Mada (UGM). Tak hanya bidang keilmuan yang ditekuninya, di lapangan
organisasi Azhar Basyir pun aktif terlibat. Bahkan sejak duduk di sekolah menengah sudah
bergiat di Majelis Tabligh Muhammadiyah. Karir berorganisasinya dimulai sebagai Juru Tulis
yang tugasnya mengetik dan mengantar surat. Barulah kemudian Azhar Basyir masuk dalam
jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yaitu di Majelis Tarjih sampai tahun 1985.
Pada Muktamar Muhammadiyah di Semarang tahun 1990, ulama intelektual ini diberi amanah
di jajaran Ketua PP Muhammadiyah. Saat memasuki musim haji tahun 1994, pemerintah
menunjuknya selaku perwakilan Amirul Haj Indonesia. Pulang dari Tanah Suci, Azhar Basyir
kembali bekerja keras. Dan pada saat yang sama, duduk di beberapa organisasi seperti menjadi
salah satu ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat masa bakti 1990-1995, anggota Dewan
Pengawas Syariah Bank Muamalat Indonesia, serta anggota MPR-RI periode 1993-1998. Pada
usia 65 tahun, tokoh kharismatik ini mulai memasuki masa pensiun dari kegiatan mengajar di
Fakultas Filsafat UGM. Tetapi, tetap bertekad mengabdikan ilmunya dengan mengajar di
Fakultas Hukum UGM, IAIN Sunan Kalijaga dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta tahun 1995, Azhar Basyir terpilih
sebagai Ketua Muhammadiyah menggantikan KH AR Fakhruddin. Berkenaan dengan dimensi
tasawuf dalam Muhammadiyah, Azhar Basyir menyatakan bahwa Muhammadiyah juga
menganut tasawuf, seperti yang ditulis Buya Hamka dalam buku Tasauf Modern. Menurutnya,
orang dapat saja melakukan kegiatan yang berorientasi dunia tanpa meninggalkan dzikir.
Demikianlah ketegasan tokoh ini dalam menetapkan garis kebijakan Muhammadiyah. Melalui
gagasan dan pemikirannya itulah Azhar Basyir dikenal sebagai ulama yang banyak menguasai
ilmu agama, kehadirannya dalam khazanah pemikiran Islam seumpama sumur yang tak surut
ditimba. Dapatlah dikata, Azhar Basyir merupakan sosok perpaduan ulama dan intelektual. Oleh
karenanya, Muhammadiyah di bawah kepemimpinannya cukup intens memunculkan kegiatan
yang berbentuk pengajian dan kajian dalam mengurai berbagai persoalan keummatan dan
pemikiran keislaman. Karya ilmiah yang pernah ditulis Azhar Basyir cukup banyak dijadikan
rujukan dalam kajian ilmiah di berbagai Universitas di Tanah Air. Di waktu senggangnya, Azhar
Basyir juga bergiat menulis buku. Di antara karya-karyanya adalah Refleksi Atas Persoalan
Keislaman (seputar filsafat, hukum, politik dan ekonomi); Garis-garis Besar Ekonomi
Islam; Hukum Waris Islam; Sex Education; Citra Manusia Muslim;Syarah Hadits; Missi
Muhammadiyah; Falsafah Ibadah dalam Islam; Hukum Perkawinan Islam; Negara dan
Pemerintahan dalam Islam; Mazhab Mu’tazilah (Aliran Rasionalisme dalam Filsafat
Islam); Peranan Agama dalam Pembinaan Moral Pancasila; Agama Islam I dan II, dan lain-
lain. Selain itu, Magister dalam ilmu Dirasat Islamiyah ini diakui secara internasional sebagai
ahli fiqih yang disegani. Itulah mengapa, sosoknya dengan mudah diterima duduk di Lembaga
Fiqih Islam: Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang memiliki persyaratan ketat.
Tepatnya pada awal Juni 1994, ulama ini masuk rumah sakit karena komplikasi penyakit gula,
radang usus, dan jantung. Kondisinya kian memburuk. Hingga akhirnya, wafad di Rumah Sakit
Umum Pusat Dr. Sarjito setelah dirawat di PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Azhar Basyir
wafad tepat pada tanggal 28 Juni 1994 dalam usia 66 tahun dan dimakamkan di Pemakaman
Umum Karangkajen Yogyakarta.
36
ibunya, sejak dini sudah mencerminkan nilai-nilai agama yang sangat menekankan tumbuhnya
kepribadian disiplin, taat beribadah, banyak membaca dan berbudi pekerti. Dari lingkungan
sekitarnya, Amien Rais juga banyak belajar tentang realitas masyarakat dimana dirinya sangat
dekat dengan kondisi keluarga miskin, kampung sederhana, dan bahkan memahami betul bentuk
ruang tidur dan dapurnya yang alakadarnya.
. Amien Rais menyelesaikan pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar Muhammadiyah I Surakarta,
sampai pendidikan SMP dan SMU juga selesai di sekolah Muhammadiyah. Pendidikan tingkat
sarjana Amien Rais selesaikan di Jurusan Hubungan Internasional fakultas FISIPOL Universitas
Gadjah Mada pada tahun 1968, bahkan tahun berikutnya juga menerima gelar Sarjana Muda dari
Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di masa-masa mahasiswa inilah Amien
Rais terlibat aktif dan berperan di berbagai organisasi kemahasiswaan, seperti Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah (Ketua Dewan Pimpinan Pusat IMM) dan Himpunan Mahasiswa Islam (Ketua
Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam HMI Yogyakarta). Studinya dilanjutkan pada tingkat Master
bidang Ilmu Politik di University of Notre Dame, Indiana, dan selesai tahun 1974. Dari
universitas yang sama juga memperoleh Certificate on East-European Studies. Sedangkan gelar
Doktoralnya diperoleh dari University of Chicago, Amerika Serikat (1981) dengan mengambil
spesialisasi di bidang politik Timur Tengah dan selesai tahun 1984. Disertasinya yang cukup
terkenal, berjudul: The Moslem Brotherhood in Egypt: its Rise, Demise, and
resurgence (Organisasi Ikhwanul Muslimin di Mesir: Kelahiran, Keruntuhan dan
Kebangkitannya kembali). Program Post-Doctoral Program di George Washington University
pada tahun 1986 dan di UCLA pada tahun 1988 pernah pula diikutinya.
Saat mengenang Zainal Zakze Award yang di raihnya tahun1967, sebuah penghargaan jurnalisme
bagi penulis mahasiswa krits, Amien Rais hanya berkomentar pendek ”Sejak itu, saya tidak
pernah tidak kritis.”
Sebagai ilmuwan dan akademisi sekaligus Guru Besar Ilmu Politik di Universitas Gadjah Mada,
Amien Rais mengajar mata kuliah Teori Politik Internasional, Sejarah dan Diplomasi di Timur
Tengah, Teori-teori Sosialisme, hingga memegang mata kuliah Teori Revolusi dan Teori Politik
di Program Pascasarjana Ilmu Politik. Selain itu, Amien Rais mengelola Pusat Pengkajian
Strategi dan Kebijakan (PPSK), lembaga yang konsen dalam kegiatan pengkajian dan penelitian
sebagai bentuk keprihatinan atas terbatasnya produk kebijakan menyangkut masalah-masalah
strategis yang berorientasi pada penguatan pilar-pilar kehidupan masyarakat. Perjalanan
pendidikan Amien Rais memberinya tak sedikit pengalaman dan kemampuan kognitif-analitis,
dimana kemampuan itu mengantarnya menjadi salah seorang intelektual terkemuka di negeri
sendiri dan di berbagai negeri mancanegara. Sepanjang rentang aktivitas sekembalinya ke Tanah
Air setelah sekian lama malang-melintang menimba ilmu di negeri Paman Sam, tugas-tugas
intelektualisme yang kemudian Amien Rais geluti --baik berupa transformasi keilmuan dengan
mengajar di berbagai universitas maupun dengan melakukan kritik atas fenomena sosial yang
sedang berlangsung-- meneguhkan sosoknya yang memiliki daya kepemimpinan di atas rata-rata
dan dapat dipercaya. Kritiknya yang sangat vokal bahkan mewarnai opini publik di Indonesia.
Dan sebagai pakar politik Timur Tengah, Amien Rais juga seringkali melontarkan kritik yang
sangat tajam terhadap kebijakan politik luar negeri Amerika, sebuah negeri tempatnya sendiri
belajar tentang demokrasi dan hak asasi manusia.
Konsistensi Amien Rais dalam menolak sikap lembek bangsanya terhadap intervensi asing dan
budaya koorporatokrasi yang menjagal hak-hak dasar hajat hidup bangsa Indonesia sendiri
terekam jelas dalam buah pikirnya pada buku: Selamatkan Indoenesia; Agenda Mendesak
Bangsa. Dalam komentarnya tentang buku itu, Amin Rais tak segan-segan mengakuinya
sebagai Angry Book (buku yang marah). “Saya mencoba menggugah anak anak-anak bangsa
yang sudah dibrainwashing sejak jaman londo dahulu, dan sekarang masih melekat sebagai
mental inlander. Tanpa melepaskan mental inlander (mental budak), kita tidak bisa bangkit.
Sayangnya, pemimpin kita tidak mengikuti Sultan Agung Mataram tapi malah mengikuti
Amangkurat I dan II yang menjual Pelabuhan Cirebon (pada bangsa asing) dan memanggil
eyang pada Gubernur Jendral Belanda”. Tukasnya tanpa tedeng aling-aling dalan sebuah
kesempatan diskusi Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah (2008).
Jauh masa sebelum Amien Rais melontarkan hal itu, perannnya sebagai cerdik cendekia
terkemuka telah menempatkannya di posisi Ketua Dewan Pakar ICMI (Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia), yang lahir dan besar dari rahim Orde Baru. Namun, kondisi politik dan
perekonomian yang sudah terlanjur membusuk dan sangat tidak sehat bagi demokratisasi
37
mendorongnya mengambil langkah berani yang tidak populer dan bersuara lantang tentang
silang sengkarut praktik KKN (korupsi, kolusi, Nepotisme) di tubuh birokarasi serta eksploitasi
serakah kekayaan negeri yang sangat merugikan negara di sejumlah perusahaan besar asing
seperti Busang dan Freeport . Seperti resiko yang diduga banyak orang, Amien Rais kemudian
terpental dari posisinya di ICMI.
Namun kehadirannya di Muhammadiyah dan lompatan-lompatan gagasannya justru dianggap
sejalan dengan watak gerakan pembaharuan yang kritis dan korektif, hal itu kemudian menuai
dukungan penuh. Maka tahun 1993, dihadapan peserta Tanwir Muhammadiyah yang
berlangsung di Surabaya Amien Rais kembali menggulirkan issu besar, yakni perlunya suksesi
kepresidenan. Sebuah langkah janggal pada saat itu sebab gurita kepemimpinan Orde Baru masih
sangat mencengkeram. Keberaniannya mengambil resiko yang tak jarang bahkan mengancam
jiwanya, diakui suami Kusnariyati Sri Rahayu ini sebagai sikap amal ma’ruf nahi mungkar yang
sesungguhnya amanat dan sekaligus ruh gerakan dakwah Muhammadiyah. Aminen Rais juga
merasa bahagia menerjang segala resiko perjuangannya karena mendapat supportpenuh dari istri
dan kelima putra-putrinya: Ahmad Hanafi, Hanum Salsabilla, Ahmad Mumtaz, Tasnim Fauzia,
dan Ahmad Baihaqi.
Setamat Sekolah Rakyat Ibtidaiyah di kampung kelahirannya, Buya Safii menginjakkan kaki di
lantai sekolah Madrasah Mu’allimin Lintau, Sumatera Barat. Sampai kemudian menyebrangkan
kakinya jauh melintasi lautan untuk melanjutkan sekolah ke Madrasah Mu’allimin
Muhammadiyah di Yogyakarta, dan tamat tahun 1956. Berbekal ilmu agama di Mu’allimin itu,
Buya Safii pun menerima dengan lapang dada tugas pengabdian yang harus diembannya ke
Lombok Timur selama satu tahun sebagai guru di sekolah Muhammadiyah.
Setelah menjalani masa pengabdian itu, Buya Safii melanjutkan studinya kembali ke perguruan
tinggi, meskipun ikhtiar menempuh pendidikan tinggi baginya bukanlah hal yang mudah. Namun
tekad dan semangatnya menimba ilmu telah membuatnya mampu menerabas segala rintangan.
Bayangkan, dalam keadaan yatim piatu Buya Safii masih sanggup merentang jerih usahanya
dengan hanya ditopang saudaranya untuk bisa duduk sebagai mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Cokroaminoto Surakarta.Saya terdampar di pantai karena belas kasihan
ombak, kenangnya mengilustrasikan perjalanan hidupnya dalam sebuah wawancara dengan
Majalah Kuntum.
Baru satu tahun kuliah, pemberontakan PRRI/Permesta meletus dan menyebabkan terputusnya
jalur hubungan Sumatera-Jawa. Dengan demikian, bantuan biaya kuliah dari saudaranya
terputus, sehingga Buya Safii memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah. Masa itu cukup getir,
dimana Buya Safii harus menyambung hidup sebagai guru desa di wilayah Kecamatan
Baturetno, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
Tak salah banyak orang memuji semangat keilmuannya, motivasi belajar Buya Safii tak berhenti
hanya oleh getah getir kesulitan hidup yang membelintang di hadapannya. Sembari bekerja,
suami dari Hj. Nurkhalifah dan ayah dari ketiga putranya: Salman, Ikhwan dan Mohammad
38
Hafiz ini, Buya Safii kembali melanjutkan kuliah di Jurusan Sejarah, karena tidak mungkin lagi
kembali ke Fakultas Hukum. Gelar Sarjana Muda berhasil diraihnya dari Universitas
Cokroaminoto pada tahun 1964, sedangkan gelar Sarjananya diperoleh dari IKIP Yogyakarta
empat tahun kemudian. Kepakarannya di bidang sejarah semakin teruji setelah memperoleh gelar
Master dari Ohio State Universitas, Amerika Serikat.
Pilihan yang tak sengaja itu ternyata telah menuntun saya menemukan hikmah
kemanusiaan,komentarnya ringan dalam sebuah wawancara dengan KOMPAS.
Gelar Doktoralnya diperoleh pada tahun 1993 dari Universitas Chicago dalam Program Studi
Bahasa dan Peradaban Timur Dekat dengan disertasi: Islam as the Basis of State: A Study of the
Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia. Anak
bungsu di antara empat bersaudara ini, terlibat secara intensif melakukan pengkajian terhadap
Al-Quran dengan bimbingan seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam, Fazrul Rahman. Di
sana pula, Buya Safii kerap terlibat diskusi intensif dengan Nurcholish Madjid dan Amien Rais
yang sedang menjalani pendidikan doktor.
Buya Safii mengakui bahwa ilmu dan pengetahuan sejarah telah demikian memikat minatnya
karena sejarah berbicara tentang simpul-simpul kemanusiaan secara totalitas. Tak heran jika
dalam sebuah ungkapannya terlukis kesan itu: Sudah 25 tahun terakhir, perhatian terhadap
sejarah, filsafat dan agama melebihi perhatian saya terhadap cabang ilmu yang lain. Namun saya
sadar sepenuhnya, bahwa semakin saya memasuki ketiga wilayah itu semakin tidak ada tepinya.
Tidak jarang saya merasa sebagai orang asing di kawasan itu, kawasan yang seakan-akan tanpa
batas.
Dari proses itu pula, rasa humanisnya tumbuh dan memperdalam perhatiannya pada masalah-
masalah kemanusiaan. Kehidupan relegius yang kuat berurat akar dalam sanubarinya kemudian
memercik indah dalam tafsir dan ajakan membumikan islam dalam
kembangan Hablumminnas yang sejati: saling mencintai dan mengasihi sesama manusia di muka
bumi. Dan menyerukan agar Islam tak dipeluk dalam keyakinan sebatas ritual, namun juga harus
mampu mengembangkan praktik dan perilaku hidup keislaman dengan memeluk utuh Islam
sesuai seruan hakikinya: rahmatan lil’alamin.
”Terasalah kekecilan diri ini berhadapan dengan luas dan dalamnya lautan jelajah yang hendak
dilayari.” Kalimat bersahaja itu terlontar pada mukaddimah pidato Pengukuhan Guru Besar-nya
di IKIP Yogyakarta. “Rendah hati adalah refleksi dari iman,” sambungnya.
Maka tak berelebihan, jika begitu banyak orang yang terpukau dan takzin pada sosok Buya Safii
sebagai ilmuwan yang selalu menempatkan kekuatan religi dalam setiap pergulatan dengan
ilmunya. Ia sejarawan dan ahli filsafat, tetapi di tengah masyarakat lehadirannya selaku anak
bangsa lebih dikenal sebagai seorang agamawan. Tidaklah kamu diberi ilmu, kecuali sedikit
saja, pungkasnya mengutip sebuah ayat suci Al-Quran. Ini adalah nasehat untuk meredam ambisi
dan rasa ingin tahu manusia untuk tidak melangkahi kawasan luar batas kemampuannya sendiri.
Dalam pengertian itulah, maka timbul semakin kuat keyakinanya bahwa dalam setiap ilmu
pengetahuan ada tanda-tanda keberadaan Tuhan. Kita harus percaya pada realitas yang ada di
luar jangkauan manusia, demikian tekannya. Alam semesta dan seluruh muatannya tidak bisa
menjelaskan dirinya, diam seribu bahasa mengenai asal-usul kejadian dan keberadaannya. Hanya
wahyu yang kemudian menolong otak manusia dan persepsinya guna memahami semua
fenomena itu. Hanya lewat agama, manusia bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang tujuan
eksistensi manusia dan tentang makna kematian. Filsafat, apalagi sejarah, tidak mampu
melakukannya.
Membaca buku adalah kesibukan harian yang dilakukan Buya Safii, selain menjalankan
aktivitasnya sebagai Ketua PP Muhammadiyah, anggota Dewan Pertimbangan Agung dan staf
pengajar di IKIP Yogyakarta. Tidak heran kalau Buya Safii juga fasih menyitir ungkapan yang
berharga dari kalangan ilmuwan, dan juga kaya dengan ungkapan-ungkapan puitis yang
bermakna cukup mendalam.
Bahkan keterlibatan Buya Safii sebagai Ketua Umum Muhammadiyah merupakan sebuah
keharusan sejarah itu sendiri. Tatkala desakan reformasi sedang bergulir di Indonesia, dan Amien
Rais sebagai salah satu lokomotif pendesak yang saat itu menakhodai Muhammadiyah harus
melibatkan diri dalam aktivitas politik untuk mengawal gerak roda reformasi secara praktis,
maka sebagai nakhoda pengganti Buya Safii sadar bahwa pada saat itu pula Muhammadiyah
seumpama bahtera induk yang harus tetap diarahkan ke haluan utamanya agar tak terseret-seret
oleh tarikan arus pergumulan politik praktis dan kepentingan jangka pendek.
39
”Janganlah kita berlama-lama berada dalam iklim ketidakpastian masa depan, sebab itu berarti
kita membiarkan bangsa ini berkubang dalam proses pembusukan sejarah. Sungguh memalukan
dan melelahkan!”
Setelah kembali terpilih sebagai Ketua Umum Muhammadiyah dalam Muktamar ke-44 (2000)
yang berlangsung di Jakarta, Buya Safii kemudian mengemudikan perannya dalam
mendinamisasi Muhammadiyah agar dapat secara optimal menggerakkan usaha-usaha tajdid dan
cita-cita pencerahan yang hendak diraihnya. Jangan sampai gerakan pembaharuan sebagai dasar
filosofis Muhammadiyah tergerus dan hanya menjadi slogan kosong dalam aktualisasi
gerakannya. Salah satu usahanya adalah mendorong laju kebangkitan intelektual di kalangan
Angkatan Muda Muhammadiyah, sebab sangat menyadari bahwa keilmuan dan keislaman
adalah semangat inti segala gerak Muhammadiyah. Dimana kepemilikan ilmu dan daya
intelektualitas adalah pintu gerbang kemampuan memahami dan mengamalkan Islam secara
kaffah, dan AMM sebagai pelaku sejarah gerakan Muhammadiyah masa depan menjadi juru
kunci cerah dan buramnya wajah Muhammadiyah dalam pergulatan dunia.
Dalam sebuah catatan pendeknya, Buya Safii mempertegas suara hidupnya sebagai bapak
bangsa: Aku mencintai bangsa ini secara tulus dan dalam sekali. Bagiku, membela bangsa adalah
dalam rangka membela Islam.
Usaha dan perjuangan Buya Safii tak berhenti tatkala meletakkan kepemimpinan
Muhyammadiyah pada gernerasi di bawahnya. Buya kemudian mendirikan Maarif Institud
sebagai wahana melanjutkan ikhtiar dalam rangka mengawal dan menggapai kebangkitan
intelektual di kalangan generasi muida Islam. Kini, di bawah layar Maarif Institud, Buya Safii
pun kian menancapkokohkan jejaknya sebagai tokoh pluralis yang konsisten memperjuangkan
nilai-nilai kemajukan dakam bingkai keislamam, keindonesiaan dan kemanusiaan.
40
dukungan penuh dari keluarganya. Pada kesempatan terakhir saat melepas jenazah sang mertua,
Din Syamsuddin mengungkapkan bahwa ibu mertuanya selalu mendukung gerak hidupnya.
Bahkan, saat hendak memulai studi di Amerika hingga ketika akan mencalonkan diri menjadi
ketua umum PP Muhammadiyah.
“Sejak awal kami memang sudah berkomitmen untuk menjadi keluarga yang saling
mendukung,” ungkapnya tak tahan dibeslah rasa haru.
Ketekunan belajar dalam girah Islam yang pantang surut itu, berhasil mengantar Din
Syamsuddin menempuh pasca sarjana Interdepartmental Programme in Islamic Studies di
University of California Los Angeles (UCLA) USA hingga meraih gelar MA, dan menyandang
gelar doktor di universitas yang sama pada tahun 1996. Setelah kembali ke tanah air, Din
Syamsuddin sempat bersinggungan dengan dunia politik praktis dengan mengomandani litbang
Golkar. Dan sebagai akademisi, sehari-harinya Din Syamsuddin malang-melintang menggeluti
profesi Dosen di berbagai Perguruan Tinggi seperti Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ),
UHAMKA dan Universitas Indonesia (UI). Pada tahun-tahun berikutnya, berkesempatan
pula mendapat berbagai tugas kenegaraan yang cukup penting, diantaranya sebagai Anggota
Dewan Riset Nasional, Dirjen Binapenta Departemen Tenaga Kerja RI, Sekretaris Umum
Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga tugas lain yang tak kalah penting seperti Sekretaris
Dewan Penasihat Ikatan Cendekiawan Muslim Iindonesia, ICMI.
Sebagai cendekiawan muslim yang cukup konsen mendorong proses demokratisasi, Din
Syamsuddin merasa berkepentingan untuk turut mengawal arah perkembangan dan kemajuan
proses demokrasi di negara yang memiliki pemeluk Islam terbesar di dunia ini. Ikhtiar mulia ini,
tercermin dalam sebuah statemennya: Kemenangan politik Islam di Indonesia tidak hanya
ditandai oleh perolehan suara partai-partai Islam dan penguasaan posisi politik kenegaraan. Tapi
pada sejauh mana nilai-nilai Islam seperti keadilan, kebenaran dan persamaan dapat menjadi
bagian dari watak bangsa. Ini yang harus terus diperjuangkan bersama seluruh komponen
bangsa.
Sementara di kancah internasional, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta ini telah menorehkan kiprah yang tak sedikit dalam usahanya merajut relasi
konstruktif dan menyuarakan urgensi hubungan damai antar pemeluk agama melalui berbagai
forum yang domotorinya seperti World Peace Forum/ WPF, Asian Committee on Religions for
Peace/ ACRP, Tokyo. World Conference on Religions for Peace/ WCRP, New York. World
Council of World Islamic Call Society, Tripoli. World Islamic People’s Leadership, Tripoli.
Strategic Alliance Russia based Islamic World. UK-Indonesia Islamic advisory Group.
Dr. H. Haedar Nashir, M.Si.
Dilahirkan di Bandung, 28 Februari 1958, kesehariannya bekerja sebagai Dosen di
FISIPOL UMY. Mantan Sekretaris PP Muhammadiyah periode 2000-2005 ini, Menamatkan
pendidikan dasar di Bandung, kemudian hijrah ke Yogyakarta untuk memperoleh gelar S1 di
STPMD / APMD Yogyakarta. Gelar S2 dan S3 diperoleh di Fisipol UGM pada bidang Sosiologi.
Menjadi anggota Muhammadiyah sejak tahun 1983 dengan nomor anggota 545549. Penulis buku
"Muhammadiyah Gerakan Pembaruan" (2010) ini pernah menjadi Ketua PP Ikatan Pelajar
Muhammadiyah periode 1983-1986 dan Ketua Dep. Kader PP Pemuda Muhammadiyah periode
1985-1990. Bersama Istrinya Dra. Hj. Siti Noordjanah Djohantini, M.M., M.Si., yang juga Ketua
Umum PP 'Aisyiyah 2015-2020 menjalankan amanah Muktamar Muhammadiyah ke 47 di
Makassar. Haedar Nashir juga menyempatkan kesibukaannya sebagai Ketua Umum untuk
menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Tertua di Indonesia, Suara Muhammadiyah.
Berikut Data Diri Ketua Umum PP Muhammadiyah Periode 2015-2020
Nama : Haedar Nashir
Tpt Tgl Lahir : Bandung, 28 Februari 1958
Pekerjaan : Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Status Keluarga : Kawin
Nama Istri : Dra. Hj. St. Noordjannah Djohantini, MM, M.Si.
(Dosen FE UMY dan Ketua Umum Pimpinan Pusat Aisyiyah)
Anak : 1. dr. Hilma Nadhifa Mujahidah/perempuan (dokter lulusan FK UMY)
2. dr. Nuha Aulia Rahman/laki-laki (dokter lulusan FK UGM)
Pendidikan : 1. Madrasah Ibtidaiyah Ciparay, Bandung
2. SMP Muhammadiyah III, Bandung
3. SMA Negeri 10, Bandung
41
4. STPMD APMD Yogyakarta, lulusan terbaik
5. Pascasarjana S2-Sosiologi UGM, lulus Cumlaude
6. Pascasarjana S3 Sosiologi UGM, lulus Cimlaude
Pendidikan Agama : Pondok Pesantren Cintawana, Tasikmalaya Jawa Barat
Pengalaman Kemasyarakatan dan Akademik:
1. LSM: Dhworowati Cultural Institute, 1980-1985 Yogyakarta
2. Pelatihan Peneliti Agama, Depag R.I, tahun 1993
3. Muktamar Islam Asy-Syi’bi di Bagdhad, Irak tahun 2001.
4. Seminar nasional di berbagai lingkungan publik dan akademis
5. Studi lingkungan dan Civil Society di Berlin, Frankfurt, dan Mainz (Jerman) yang
dilaksanakan Kementrian KLH R.I dan German Technology Cooperation (GTZ), tahun 2004.
6. Dosen Luar Biasa Fak Dakwah IAIN Su-Ka YK (1993-1998)
7. Mengajar “Pemikiran Islam Kontemporer” pada Program Doktor Pascasarjana UIN-Suka
Yogyakarta, 2012
8. Membimbing Disertasi pada Pascasarjana Sosiologi UGM dan Pascasaarjana Psikologi UGM
9. Mengajar pada Program Doktor Politik Islam pada Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta (2009-sekarang)
Karya Ilmiah (Buku) :
42
43
44