Anda di halaman 1dari 16

A.

MADAME DE MAINTENON

1. Sejarah singkat madame de maintenon


Madame de Maintenon (nama lahir Françoise d'Aubigne), pada27
November1635diNiort dan meninggal pada15 April 1719) adalah istri kedua dari
Raja Louis XIV dari Perancis. Dia dikenal selama pernikahan pertamanya sebagai
Madame Scarron, dan kemudian sebagai Madame de Maintenon. pernikahannya
dengan raja tidak pernah secara resmi diumumkan atau mengakui, meskipun dia
sangat berpengaruh di istana. Dia mulai sekolah untuk anak perempuan dari
keluarga bangsawan miskin.Dia adalah pendiri Royal House of St. Louis.

2. Hubungannya pada louis XIV


Françoise menikahdengan raja dalamsebuahupacarapribadioleh François de
Harlay de Champvallon, UskupAgung Paris, di hadapan, diyakini, dariPère la
Chaise, pengakuan raja, Marquis de Montchevreuil, Chevalier de Forbin,
danAlexandre Bontemps. Karenaperbedaandalam status sosialmereka,
pernikahanitu morganatic, yang berartibahwa Madame de Maintenon
tidaksecaraterbukadiakuisebagaiistri Raja
dantidakmenjadiRatu.Tidakadadokumentasiresmidaripernikahanituada,
tetapiituterjadiadalahtetapditerimaolehparasejarawan.Pentinguntukdiingatbahwa
Madame de Maintenon tidakpernahmenjadiratuPerancis,
hanyasebagaiselirkerajaansaja.

1
B. CHARTRES

1. Kota chartres
Chartres merupakan nama kota di Perancis. Letaknya di bagian tengah.
Tepatnya di region Centre, Perancis. Pada tahun 1999, kota ini memiliki jumlah
penduduk sebanyak 40.361 jiwa dengan memiliki luas wilayah 16,85 km². Kota
ini memiliki angka kepadatan penduduk sebanyak 2.395 jiwa/km².

2. Gereja di chartres
Katedral Chartres (bahasa Perancis: Cathédrale Notre-Dame de Chartres),
terletak di Chartres, sekitar 50 mil dari Paris, dianggap sebagai salah satu contoh
terbaik dari arsitektur gothicPerancis. Gereja ini dibangun pada 1145, namun
dihancurkan oleh kebakaran pada 1194. Yang tersisa hanyalah bagian barat,
sehingga bagian ini memiliki gaya gothic awal. Gereja ini kemudian dibangun
kembali antara 1194 dan 1220. Luas totalnya 117.058 kaki persegi (10 875 m2).

Gereja St Aignan tampak depan

2
Tampak samping dari arah parkir

Pintu masuk utama

3
Podium samping

Menuju altar

4
Pipe organ diatas balkon

Tangga menuju panggung altar, disampingnya berderet kursi, mungkin untuk misdinar atau
koor

5
Altar dan sakristi, semua berwarna emas

6
Bilik pengakuan dosa

Patung santo matius

7
Plakat ucapan terima kasih

Motif pada dinding

8
Pojok bilik pengakuan dosa

Patung Bunda maria

3. Sejarah kongregasi suster santo paulus dari chartres (SPC)


Dari sebuah desa kecil di paroki Levesville la Chenard, Dioses Chartres,
Perancis Utara. Sekitar akhir abad ke-17, Perancis menghadapi situasi kemiskinan,
kemerosotan moral dan krisis iman yang mendalam, hal itu disebabkan oleh

9
perang dan pemberontakan yang berkepanjangan. Situasi masyarakat yang
demikian inilah yang kemudian melatar belakangi tumbuhnya benih-benih Suster-
suster Santo Paulus dari Chartres.
Pada tanggal 25 Juni 1694, Pastor Louis Chauvet, ditugaskan sebagai pastor
paroki ditempat ini. Diawal tugasnya situasi di paroki sungguh memprihatinkan
dan tragis; bangunan gereja rusak, umatnya miskin dan kelaparan, mereka tidak
peduli dalam hidup beriman, moralnya pun rusak. Situasi inilah yang menantang
Pastor Louis Chauvet berani memutuskan untuk mempersembahkan seluruh
hidupnya bagi paroki Levesville. Ia berusaha memanfaatkan segala daya upaya
demi membangun kehidupan iman umatnya. Namun banyak kali usahanya itu
menghadapi masalah. Pastor Louis Chauvet menyadari bahwa ia tidak dapat
melakukan pekerjaan di paroki seorang diri. Beliau mencari para pemudi yang rela
membantunya. Akhirnya, Pastor Louis menemukan 3 orang gadis desa yang siap
membantunya di paroki.
Pada tahun 1696 Marie Anne de Tilly, datang membantu Pastor Louis
Chauvet. ia dilahirkan di Puri Allaines, Perancis Utara. Meskipun berasal dari
kalangan bangsawan ia merelakan seluruh hidupnya untuk membantu Pastor
Louis Chauvet dan bersedia melibatkan diri mewujudkan cita-cita Pastor Louis
Chauvet.
Marie Anne de Tilly mengajar dan membimbing gadis-gadis desa untuk
menjadi guru agar mereka siap menghadapi masa depannya. Ia bersama para gadis
desa, juga menyediakan diri untuk mengurusi orang sakit dan para gelandangan.
Mereka mengumpulkan anak-anak untuk belajar membaca dan menulis. Satu-
satunya peraturan yang mereka pegang adalah menghayati cinta kasih Kristus.
Kelompok gadis-gadis desa Levesville ini semakin bertambah jumlahnya, dan
karya pelayanan mereka juga berkembang sampai di luar paroki Levesville. Pada
waktu itu Pastor Chauvet tidak berpikir untuk mendirikan sebuah komunitas atau
konggregasi yang besar dan bersifat internasional. Namun kehendak Tuhan lain,
karena berkat dan rahmat-Nya, yang tadinya hanya merupakan sebiji sesawi,
sekarang berkembang menjadi pohon yang besar, yang ranting-rantingnya
mencapai seluruh dunia.
Kini Suster-suster Santo Paulus dari Chartres telah hadir di banyak Negara
seperti di Eropa, Afrika, Amerika Utara dan Selatan serta di kawasan Asia seperti
di Jepang, Korea, Hongkong, Filipina, Thailand dan Indonesia.
Kedatangan SPC di Indonesia atas undangan Bapak Uskup Mgr. W.
Demarteau, MSF yang waktu itu menjadi Uskup Banjarmasin. Pada tanggal 2
10
Oktober 1967, tiba di Banjarmasin, Kal-Sel enam orang Suster SPC kebangsaan
Filipina. Kepada mereka Bapak Uskup mempercayakan pengasuhan dan
pengelolaan Rumah Sakit Suaka Insan, Sekolah Perawat dan Poliklinik di
Banjarmasin. Kini Suster SPC, sebagaimana Kongregasi kami dikenal, juga
mengasuh dan mengelola sekolah-sekolah, asrama puteri dan pelayanan
kesehatan. Kami juga melayani masyarakat di pedalaman dan pedesaan di bidang
kesehatan dan karya pastoral.
Sekarang ada 10 (sepuluh) Komunitas SPC di Indonesia yang berada di
Keuskupan Palangka Raya, Jakarta dan Keuskupan Ende, Flores, NTT. Dengan
sekitar 80 Suster, bekerja di bidang kesehatan, pendidikan dan karya pastoral
paroki dan daerah pedalaman.

C. RAJA LOUIS KE XIV


Sebelum pecahnya Revolusi Perancis pada tahun 1789, Perancis merupakan
negara yang sarat dengan absolutisme raja-rajanya. Namun, bagi penulis hanya ada
satu nama yang paling identik dengan absolutisme itu, yakni Louis XIV. Louis XIV
merupakan seorang raja yang memiliki masa kepemimpinan paling lama dengan
memerintah selama kurang lebih 72 tahun. Raja yang dikenal sebagai Raja Matahari
tersebut lahir pada tanggal 5 September 1638 dan meninggal pada 1 September 1715.
Berbicara mengenai Louis XIV akan membawa kita pada salah satu periode kelam
dalam sejarah Perancis.
Louis XIV adalah anak dari Raja Louis XIII. Louis XIV harus menjalankan
sisa hidupnya tanpa kehadiran sang ayah sejak berusia lima tahun. Tatkala masih
berusia lima tahun, Louis XIV sudah didaulat menjadi seorang raja, namun karena
raja kecil itu masih terlalu muda, maka ia diwakili oleh seorang kardinal muda,

11
Mazarin. Masalah kenegaraan diambil alih sepenuhnya oleh Louis setelah Mazarin
tutup usia pada tahun 1961. Louis meletakan pemerintahannya di atas fondasi
keagamaan dan mengklaim kekuasaan mutlaknya sebagai hak ilahi.
Beberapa karakteristik yang menjadi lambang dari absolutisme di masa Louis
XIV adalah pemerintahan tanpa undang-undang, tanpa Dewan Legislatif, tanpa
kepastian hukum, tanpa anggaran belanja pasti, serta tanpa dibatasi oleh kekuasaan
apapun. Selain itu, Louis XIV terkenal dengan pernyataannya, L’etat c’est moi yang
berarti negara adalah saya. Pernyataan tersebut menjadi simbol akan masa keemasan
absolutisme di ranah Perancis. Sistem otonomi daerah juga absen selama masa
pemerintahannya. Louis menghancurkan pemerintahan lokal dan kota yang
independen dengan mendirikan berbagai dewan kotapraja yang diketuai oleh
intendant. Intendant merupakan pengawas yang mewakili Louis. Dengan demikian,
pemerintah pusat memegang kendali penuh terhadap daerah.
Selama masa pemerintahan Louis XIV, kebebasan beragama bagi kaum
Huguenots hangus begitu saja setelah Edict of Nantes ditarik pada tahun 1679.
Penghancuran gedung gereja seolah menjadi puncak kemalangan kaum Huguenots.
Louis XIV ingin semuanya memeluk Katolik sehingga semua pendeta dan anak-anak
Huguenots harus menjadi umat Katolik. Saat itu, ada banyak orang Huguenots yang
meninggalkan Perancis dan memulai petualangan baru di negeri seberang.
Sejak dari pemerintahan Louis XIII, raja-raja Prancis menjalankan
pemerintahan absolut. Artinya, raja berkuasa tanpa dibatasi oleh undang-undang
dasar. Besarnya kekuasaan yang dimiliki oleh raja-raja Prancis terkenal dengan
ucapan Louis XIV : L’etat c’est moi. Yang artinya “negara adalah aku”.
Pada masa pemerintahan Louis XIV, Prancis mencapai puncak kejayaannya.
Akan tetapi, kejayaan itu dicapai melalui penderitaan rakyat. Louis XIV banyak
mendirikan bangunan megah dan menjadikan Paris sebagai pusat kebudayaan Eropa.
Di sisi lain, rakyat hidup menderita. Mereka dibebani berbagai macam pajak seperti
pajak tanah (taille), pajak gandum (gabele), dan pajak anggur (aide). Hasil itu tidak
digunakan untuk kepentingan negara, tetapi untuk kepentingan raja dan kerabat istana.
Sementara itu, tulisan-tulisan cendekiawan Prancis seperti Montesquieu dan
Rousseau tentang kebebasan mulai mempengaruhi rakyat. Montesquieu
mengemukakan teori tentang perlunya diadakan pemisahan antara kekuasaan
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sedangkan Rousseau mengemukakan teori
kedaulatan rakyat.
Pada abad ke-18, Prancis sering terlibat dalam perang melawan negara-negara
lain. Semua itu memerlukan biaya. Akibatnya, Prancis kekurangan uang, apalagi
12
sebagian daerah jajahannya sudah dikuasai Inggris. Dalam krisis keuangan itu,
kalangan istana tetap hidup bergelimang kemewahan.
Dalam situasi keuangan yang semakin parah, Louis XVI memanggil Etat
Genereaux (semacam dewan perwakilan) untuk bersidang. Anggota dewan itu terdiri
atas 3 golongan, yaitu : bangsawan, biarawan dan rakyat biasa.
Antara etiga golongan itu terdapat kesepakatan tentang cara pemungutan
suara. Pada bulan Juni 1789 golongan rakyat biasa berhasil membentuk Assemble
Nationale Constituante (Dewan Konstituante). Dewan ini dipimpin oleh Mirabeau,
seorang bangsawan yang meihak golongan rakyat biasa.
Sementara itu, tersiar desas-desus bahwa raja memerintahkan tentara untuk
membubarkan Dewan Konstituante. Akibatnya, pada tanggal 14 Juli 1789, penduduk
Paris menyerbu penjara Bastille. Serangan ke penjara yang dianggap sebagai lambang
absolutisme itulah yang merupakan awal Revolusi Prancis. Rakyat Prancis
mengumandangkan semboyan : liberte, egalite, fraternite. Yang artinya : kebebasan,
persamaan, persaudaraan.
Aksi yang dimulai oleh penduduk Paris itu menjalarke daerah pedalaman.
Rakyat menyerbu istana-istana dan kediaman tuan-tuan tanah dan para bangsawan.
Hrta kekayaan mereka dirampas. Tanah milik tuan tanah dibagi-bagi oleh rakyat.
Untuk menghindari amukan massa, banyak bangsawan yang melarikan diri ke luar
negeri.
Pada tahun 1791, Dewan Konstituante berhasil menyususn undang-undang
dasar. Prancis tetap berbentuk kerajaan, tetapi kerajaan konstituante. Louis XVI
menjalankan pemerintahan berdasarkan undang-undang dasar.

RefleksiHistoris
Perancis di bawah Louis XIV bukanlahbentukdarisebuahnegara yang
ideal.Kita sudahmengetahuibagaimanaundang-
undangtidakhadirpadamasapemerintahannya.Inilahpemerintahanmonarkiabsolut yang
mewarnaisejarahpanjangPerancissebagaisebuahnegarabesar.DengantidakadanyaBadan
Legislatif, makajanganharapundang-undangakanmunculsebagaisebuahperaturan.
Akibatnya, segalaperaturandibuatsendirioleh raja
dantentunyaberdasarkanprinsipsubjektivitas.Semuaperaturan yang
ditetapkansemasakepemimpinan Louis XIV
sangatcondongpadakepentinganpribadinya.Mengacupadadefinisidarinegara,
makakitaakanmendapatibahwaadamasyarakatluassebagaipenghunisuatunegaradanada
pemerintah. Permasalahannyaadalahmengapaseluruhprinsip di
13
negaratersebutsepenuhnyabersumberdari raja Louis?Di manakahrakyat?
Tentusajarakyattakmendapatkanporsidalamhalini.Inilahabsolutisme yang
begitutajampadazamanitu.
Ucapan Louis bahwa “negaraadalahsaya”
sesungguhnyaterlihatbegitumemalukan.Bagaimanamungkinnegara yang
terdiriatasbegitubanyakumatmanusiadisempitkanmenjadisebatasdirinyasaja?
Inisangatlahtidakmasukakalbagikita, namunmenjadisesuatu yang biasa di
matapenganutajaranabsolutismetersebut.Denganmenerapkanabsolutisme,
penindasanbanyakterjadikhususnyaterhadap orang-orang
Huguenots.Bagipenuliskeadaannegara yang
demikianlebihmengacupadapengertiannegaramenurut Marx yang
mengemukakanbahwanegaraadalahalatkelas yang berkuasauntukmenindaskelas lain
danmenurutsayapengertiansemacamitutidaklahtepat, karena di
dalamnegaraseharusnyapemerintahmenjadihamba Allah
danmengarahkanmasyarakatuntukberperilakudenganbenarsebagaiwargakerajaan
Allah.
Estates General bungkam di bawahkekuasaan Louis XIV. Louis takpernahmemanggil
Estates General selamamasapemerintahannya yang panjang. Bagipenulis orang
sekaliber Louis tetaplahmanusiabiasadanmemerlukansokongandaripihaklain di
luardirinya. Sebagaiseorang raja semestinya Louis
banyakberkomunikasidanmemaksimalkanperandari Estates General
demikemajuandarinegaraPerancis. Keputusan raja
tidaklahmutlakbenardanpastiadabanyakkesalahan di dalamnya, namunpenulis rasa
Louis terlaluberanimengumbarprinsipnya yang
kentaldengankesalahantanpamembukapintubagipihaklainuntukmelengkapiataumempe
rbaiki.
Bagaimanadengansentralisasiterpusat yang diterapkanoleh Louis XIV?
Tentusajatidaktepat.Pemerintahpusatsesungguhnyatidakbenar-
benartahuakanpermasalahan di daerah, olehkarenaitu,
daerahtetapperludiberikanwewenanguntukmengatursendiriurusannya. Selainitu,
kewenangan yang
dilimpahkanpadapemerintahlokaljugadapatmembuatsuatudaerahmenjadimandiridantid
akmelulubergantungpadapemerintahpusat.Hanyasayang, Louis
tidakmengindahkansemuahaltersebutdanmendirikandewankotapraja yang dengan
14
intendant sebagaitangankanan
Louis.Denganmemberikankewenangankepadapemerintahlokaldankota yang
independen, makasesungguhnyafokusnegaradapatdialihkankepadaobjek lain yang
lebihmemerlukanperhatiandansecaraotomatisbebanpemerintahpusatmenjadiberkurang
. Tapi Louis yang
rakusternyatainginmenelansemuanyasendiriantanpamemberikankesempatanpadapeme
rintahlokaluntukberkembang.
Jauhsebelum Louis XIV menunjukanbatanghidungnya di bumi,
pemerintahPerancissudahdibuatpusingdengankehadirankaum Huguenots. Raja-raja
terdahulu yang berkuasaataspolitikdan agama
tentusajakhawatirakanperubahandalamkeagamaan yang akanmenularkebidangpolitik.
Olehkarenaitu, kaum Huguenots ditolakmentah-mentah.Di bawahkekuasaan Louis
XIV, kaum Huguenots lebihdarisekadarditolak, karenamerekabahkandipaksamenjadi
orang Katolik.DoktrinKatolikpadasaatitusangatlahkacau,
tetapidianutolehbanyakpihak.Sepertibiasa,
kelompokminoritasselaluditindasdandikesampingkanpadahalminoritasbelumtentusala
h.
Menghidupisesuatu yang salahsudahmenjadikesukaanbanyak
orang.Sadaratautidak, merekamerasanyamanberada di lingkungan yang
nihilkebenaran.Memang, tradisiturun-temurun yang menolakkaum Huguenots
sudahmendarahdaging, tetapirantaiitubisasajaterputusjikalau Louis
mempunyaikepekaandankejeliandalammemandangsesuatu.Bagipenulis, orang-orang
Huguenots yang pergisebelumataupunsesudahpembatalan Edict of Nantes
merupakankerugianbesarbagiPerancis, apalagimereka yang pergibukanlah orang
biasa.Di sini, kesempatanuntukmenggalikebenarandariDoktrinProtestan orang-orang
Huguenots yang terlatihmenjadiberkurangdrastisdantidakseorang pun
tahukapankesempatanuntukmengetahuikebenaranitudatanglagi.Anugerahpergibegitus
aja.
Sosokseorang Louis XIV cukuppopuler di duniamaya.Setiap orang, mulaidari
orang-orang politikhinggarakyatjelatadapatmembacasejarahhidupdari the Sun King
tersebut.Apakah orang-orang politikakanterinspirasiolehabsolutisme Louis XIV
ataumalahmenyadaribahayadariabsolutismeitusetelahmengetahuisejarahkelamPeranci
s? Bagaimanadengankita?Setiap orang
dapatmemberikanresponberbedaseusaimendalamisesuatu.SebagaiumatKristiani, kita
15
kaya akanpengetahuanFirmanTuhan,
akantetapijikahidupkitamencerminkankehidupanseorang Louis XIV,
makakitawajibbertanyaapakahkitasungguh-sungguhlayakmengakusebagai orang
Kristen.

16

Anda mungkin juga menyukai