Anda di halaman 1dari 83

1.

PENDAHULUAN

1.1 Definisi

Akustik Kelautan yang dalam bahasa inggrisnya disebut “Marine


Acoustics”, adalah teori tentang gelombang suara/akustik dan
perambatannya di air laut. Dengan demikian, dalam Akustik Kelautan ini
proses pembentukan gelombang suara, sifat-sifat perambatannya, serta
proses-proses selanjutnya hanya dibatasi pada medium air laut, bukan air
sercara keseluruhan seperti halnya pada Akustik Bawah Air (Underwater
acoustics).

1.2 Sejarah Perkembangan

Walaupun pengukuran kecepatan suara lebih dilakukan sejak tahun


1827 oleh ahli Fisika Swiss dan Ahli Matematika Perancis, tetapi secara
komersial Akustik Kelautan mulai dikembangkan oleh Inggris pada Perang
Dunia II. Pada permulaan Perang Dunia II tersebut, diketemukanlah ASDIC
(Anti Submarine Detection Inverstigating Committee), suatu instrumen
akustik yang digunakan untuk mendeteksi kapal selam (submarine) (Urick,
1983).
Untuk tujuan-tujuan damai, khususnya dalam eksplorasi dan
eksploitasi sumberdaya hayati laut, baru dilakukan setelah Perang Dunia II.
Secara garis besar, sampai dekade (desa warsa) 80-an, kiranya dapat kita
catat beberapa kemajuan penting yang telah dicapai oleh para ahli Akustik
Kelautan seperti tertera berikut ini.

(1) Dekade 1945 – 1955

Pada periode ini, pengalamman pendeteksian ikan yang


diperoleh sebelumnya (khususnya oleh ahli Norwegia yang bernama
Sund, 1935) mulai dimanfaatkan untuk membantu pemenuhan
permintaan akan pangan dan protein. Kemudian pada tahun 1950,
seorang ahli Norwegia juga (Devold) berhasil mendeteksi dan
melokalisir gerombolan ikan atlantoscandian herring yang sedang
mencari ikan. Selanjutnya pada musim dingin 1950-1951, Davold
berhasil juga mendeteksi gerombolan ikan herring dewasa yang akan
melakukan pemijahan. Setelah itu alat pendektesian akustik menjadi
alat baku (standart), bukan saja untuk kapal-kapal peneliti perikanan
tetapi juga untuk armada penangkapan ikan (fishing fleets), terutama
oleh negara-negara Scandinavia dan Uni Soviet.
(2) Dekade 1955 – 1965

Pada permulaan periode ini berkat pengembangan daerah


penangkapan ikan misalnya dengan ditemukannya sistem-upwelling di
dunia, maka produksi ikan sangat meningkat. Oleh Perserikatan Bangsa
Bangssa (PBB) dimulailah dibuat proyek pengembangan di Somalia,
kemudian dengan cepat disusul oleh negara-negara penangkap ikan
yang memiliki armada-armada penangkapan ikan jarak jauh (long-
distance fleets) seperti Jepang dan Uni Soviet.
Ekspansi tersebut pada prinsipnya adalah berkat peningkatan
penggunaan instrumen pendeteksian ikan baik horizontal (sonar)
maupun vertikal (echo sounder). Beberapa negara maju secara
berlomba-lomba membuat instrumen kelautan tersebut, yakni
Norwegia, Inggris, Perancis, Amerika, Jerman, Jepang dan Uni Soviet.
Kuantifikasi dari pendugaan stok ikan dilakukan dengan melihat
ochogram, sehingga hanya bisa menentukan saat-saat yang tepat untuk
mengoperasikan alat penangkapan ikan.

(3) Dekade 1965 – 1975


Pada permulaan periode ini, produksi ikan dunia mulai merosot
sehingga penangkapan ikan harus dengan hati-hati dengan
memperhitungkan kemelimpahan stoknya. Dengan demikian, maka
mulailah dikembangkan metode akustik untuk “stock assessment”
dalam rangka manajemen stok ikan yang bersangkutan.
Dalam periode ini mulai dikembangkan “pulse counter” oleh
Inggris untuk menghitung jumlah individu target (ikan). Selanjutnya
oleh Norwegia diketemukan “Analog Echo Integrator” untuk
menghitung total biomass dari suatu perairan yang disursvai yang
kemudian dikenal dengan nama SIMRAD OM-Echo Integrator.
Ternyata kemudian analog echo integrator ini relatif mahal untuk
diproduksi secara komersial dan sangat sulit untuk dikalibrasi yakti
untuk mengkonversi nilai integrasi echo menjadi estimasi biomass.
Dengan adanya berbagai kesulitan tersebut, Amerika (University
of Wahington di Seattle) mulai meneliti dan mengembangkan “digital
echo integrator”.terobosan ini dimungkinkan karena diketemukan alat
pemrosesan sinyal (echo signal processor) yang baru dan berkat
bantuan teknologi komputerisasi, khususnya minicomputer. Selanjutnya
untuk pengukuran in situ target strength, oleh ahli fisika & matematika
Amerika (Ehrenberg) diketemukanlah, “dual-beam acoustic system”
yang kemudian disusul dengan dikembangkannya “towed-underwater
vehicle” yang selanjutnya menjadi keunggulan komparatif dari produksi
Amerika.

(4) Dekade 1975 – 1985

Walaupun ide “split-beam system” pertama kali diketemukan di


Amerika, tetapi untuk penerapan teknologinya dikembangkan oleh
Norwegia yakni dengan diproduksinya “SIMRAD split-beam acoustic
system”. Sistem ini yang merupakan keunggulan teknologi yang
dimiliki Norwegia sebenarnya merupakan pengembangan dari
“SIMRAD OD-Echo Integrator” (digital echo integrator) yang memiliki
kelemahan dalam mendapatkan nilai “in situ target strenght”. Jadi
jelaslah bahwa kalau di Norwegia pengembangan “scientific echo
sounder” dipusatkan pada “split-beam acoustic system”, maka di
Amerika pengembangan difokuskan pada “dual-beam acoustic system”
yang secara “ real-time” dapat menghitung nilai target strength (TS),
volume backscattering strength (SV), dan keudian biomass atau jumlah
ikan.
Jepang-pun tidak tinggal diam dalam rangka inovasi teknologi
canggih di bidang akustik kelautan ini yakni dengna diketemukannya
“frequency-diversity acoustic system” dan “quasi-ideal-beam acoustic
system”. Sistem yang pertama dikembangkan oleh Japan Radio
Company (JRC), sedangkan sistem yang kedua dikembangkan oleh
FURUNO dan akhir-akhir ini secara teknologi memiliki kedudukan
yang sejajar dengan “dual-beam acoustic system”, Amerika dan “split-
beam acoustic system” Norwegia.

1.3 Keunggulan Metode Akustik

Dibanding dengan metode lain, khususnya dalam eksplorasi


sumberdaya hayati laut atau pendugaan stok ikan, metode akustik memiliki
beberapa keunggulan komparatif, yakni :
(1) berkecepatan tinggi (great speed), sehingga sering disebut “quick
assessment method”.
(2) estimasi stok ikan secara langsung (direct estimation) karena tidak
tergantung dari statistik perikanan atau percobaan tagging dan secara
langsung dilakukan terhadap target dari survai.
(3) memungkinkan memperoleh dan memproses data secara “real-time”,
sehingga sangat membantu para pengambil keputusan atau penentu
kebijaksanaan dalam mempercepat penganbilan keputusan atau
kebijaksanaan.
(4) akurasi dan ketepatan (accuracy and precision)
(5) tidak berbahaya/merusak karena frequensi suara digunakan tidak akan
membahayakan baik sipemakai alat maupun target/obyek survai dan
dilakukan dengan jarak jauh (remote sensing).
(6) bisa digunakan jika dengan metode lain tidak bisa/mungkin dilakukan.

1.4 Ruang Lingkup

Secara garis besar, penggunaan dari metode akustik ini adalah sebagai
berikut :

(1) Pada survai sumberdaya hayati laut :

- untuk menduga spesies ikan.


- untuk menduga ukuran dari ikan.
- untuk menduga kemelimpahan (stok) ikan, plankton dan sebagainya.

(2) Pada budidaya perairan :

- untuk penentuan jumlah atau biomass ikan di dalam “panned fish”.


- untuk pengukuran ukuran dari individu “penned fish”.
- untuk memantau kesehatan dan aktivitas ikan dengan “telemetering
tags”.

(3) Pada studi tingkah laku ikan dan organisme laut lainnya :

- pergerakan ikan (migrasi vertikal dan horizontal)


- tingkah laku/orientasi (tilt angle)
- reaksi penghindaran dari kapal/alat penangkapan ikan (avoidance
reactions).
- respon terhadap stimuli.
(4) Pada penangkapan ikan :

- penampilan alat penangkapan ikan.


- selektivitas alat penangkapan ikan.
(5) Lain-lain, misalnya mempelajari perambatan suara di air laut, sifat-sifat
akustik dari air laut dan target/obyek di air laut, pendektisian sumber
suara dan komunikasi di air laut.

2. TARGET STRENGTH DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

2.1 Target Strength

Dalam pendugaan stok ikan dengan metode akustik dan juga medisai
echo sounder/sonar, faktor terpenting yang harus diketahui adalah target
strength.
Target strength adalah kekuatan dari suatu target untuk menentukan
suara. Tergantung dari domain yang digunakan, target strength didefinisikan
menjadi dua, yakni “intensity target strength” dan “energy target strength”.
Secara sederhana, kedua difinisi tersebut dapat diformulasikan sebagai
berikut (Johannesson and Mitson, 1983) :

(1) Intensity target strength (TSi)


reflected intensity 1 m
Tsi = 10 log ( ¿ thetarget ¿
incident intensity which strikesthe target
)
Ir
= 10 log . . . . . . . . . . . (1)
Ii
(2) Energy target strength (Tse)
reflected intensity 1 m
TSe = 10 log ¿ thetarget ¿
incident intensity which strikesthe target
Ir
= 10 log . . . . . . . . . . . (2)
Ii
Dimana dalam hal ini intensitas (I) dan energy (E) didefinisikan sebagai
berikut :
P2 (rec)
I= . . . . . . . . . . . . (3)
PC

E= ∫ I ( t ) dt .......... (4)
0

Serta P(rec) adalah “pressure” yang diterima oleh “receiver” dari echo
sounder yang secara matematis dapat didefinisikan sebagai :
P(rec) = s √ Gb 2 δ . . . . . . . . . (5)
dimana :
s adalah bentuk gelombang dari sinyal echo,
G adalah cumulative gain,
b2 adalah transmit & receive beam pattern
δ adalah scattering crossection
Untuk lebih jelasnya, pada Gambar 1 diberikan block diagram dari
sistem echosounder yang pada prinsipnya memberikan alasan kenapa
sampai kepada dua definisi target strength yang berbeda. Dari gambar
tersebut, definisi intensity target strength dan energy taget strength, masing-
masing akan menjadi :
2 2
TSi = 10 log ( |P(bsc )| / IP |P(inc)| . . . . . . (6)
∞ ∞
2 2
TSe = 10 log ( ∫|SFH | dw/∫|SFH| dw ) . . . . . . (7)
0 0

dimana :
P(bsc) = backscattered signal.
P(inc) = incident signal.
Gambar 1. Model sistem linier dari echo sounder.
S(w) = the frequency transfer function of the transmitter.
F(w) = the frequency transfer function of the target.
H(w) = the frequency transfer function of the receiver.

Dalam prakteknya, semua parameter di atas sulit untuk diukur, dengan


demikian untuk pengukuran target strength ikan di laboratorioum pada
umumnya digunakan target acuan (reference target) yang nilai target
strengthnya telah diketahui/diukur sebelumnya. Dalam hal ini, rumus
perhitungan target strength akan menjadi (Arnaya et.al, 1998).

V 2 (max)
TSi = 10 log ( ) + TSr (i) . . . . . . (8)
V 2 r ( max)

V 2 ( t ) dt
t2 t2
TSe = 10 log ∫V 2
dt /∫ ¿ + TSr (e) . . . . . . (9)
t1 t1
¿
dimana :
V2 (max) = the peak squared echo envelope voltage of target.
V2r(max) = the peak squared echo envelope of reference target.
TSr (i) = intensity target strength of reference target.
V 2 ( t ) dt=¿
t2
the echo energy of target.
∫¿
t1

t2

∫ V 2 r ( t ) dt = the echo energy of reference target.


t1

TSr(e) = energy target strength of reference target.

Perlu diketahui bahwa bola (sphere) adalah suatu target yang paling
ideal karena “scattering croos-section ( δ ) nya akan π a2. Kemudian
karena target strength teoritis dapat dihitung dengan rumus yang sangat
sederhana (hanya untuk “time-domain” saja karena untuk “frequency-domain”
harus dilakukan koreksi terhadap “resonance frequency”, dan sebagainya) :
TSr = 10 log (a2/4) . . . . . . (10)
dimana : a adalah jari-jari dari lingkaran bola.

Khusus untuk mendapatkan nilai in situ target strength akan


dirumuskan tersendiri pada sub-bab 3.2 sewaktu menjelaskan metode
pengukuran in situ target strength. Yang perlu juga diingat lagi bahwa dalam
kenyataan di lapangan, pengukuran “energy target strength” sangat sulit,
dengan demikian untuk tingkat teknologi sekarang ini masih digunakan
“intensity target strength”.

2.2 Ukuran Ikan

Salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap nilai target strength
adalah ukuran ikan. Untuk spesies ikan yang sama, pada umumnya makin besar
ukuran ikan, maka makin besar nilai target strength-nya. Hal ini terutama berlaku
untuk “geometric region” dari grafik hubungan antara ukuran target dan target
strength (untuk region yang lain yakni Rayleigh region, resmance region dan
trasition region kecenderungan hubungan linier tersebut tidak berlaku).
Secara akustik, ukuran panjang ikan (L) berhubungan linier dengan scattering
cross section ( δ ¿ menurut persamaan δ = a L2 , yang dengan demikian
hubungan antara target strength (TS) dan L menjadi sebagai berikut :

TS = 20 log L + A . . . . . . (11)

dimana A adalah nilai target strength untuk 1 cm panjang ikan (normalized target
strength) dimana tergantung dari spesies ikan. Khusus untuk ikan –ikan yang
mempunyai gelembung renang (bladder fish), hubungan linier tersebut sudah
banyak diteliti dan telah teruji kebenarannya (Foote 1987), akan tetapi untuk ikan-
ikan yang tidak mempunyai gelembung renang (bladderless fish) masih
memerlukan penelitian lebih lanjut.
Dalam kenyataannya, nilai 20 log L dalam persamaan (11) diatas juga
bervariasi karena sangat tergantung dari spesies ikan dan faktor-faktor instrument
yang digunakan. Sebagai contoh dari hubungan tersebut adalah seperti tertera pada
gambar 2 (untuk horse mackerei) (Johannesson and Loose, 1973).
Kekomplekan hubungan antara TS dan L tergantung juga dari faktor-faktor
lain (yang akan dijelaskan pada sub-bab berikut ini) karena sulit untuk mengisolasi
hanya satu faktor mengingat ada keterpengaruhan antara kesemua faktor-faktor
tersebut.

2.3 Gelembung Renang

Secara Akustik, ikan dan organisme laut lainnya dapat digolongkan menjadi
dua kelompok besar, yakni :
Physostomes (gelembung renang terbuka)
Bladder fish
Physoclists (gelembung renang tertutup)
“fish”
Bladderless fish (tidak mempunyai gelembung renang)

Ikan-ikan yang mempunyai gelembung renang(bladder fish) pada umumnya


tidak memiliki target strength maksimum tepat pada dorsal-aspectnya karena
gelembung renang tersebut membentuk sudut terhadap garis sumbu memanjang
ikan (garis horizontal sebesar 2.2 – 100 atau rata-rata 5.60. sedangkan untuk ikan-
ikan yang tidak memiliki gelembung renang, nilai maksimum dari TS pada
umumnya tepat pada dorsial-aspectnya, kecuali untuk ikan yang terbentuk
tubuhnya tidak streamline.
Berdasarkan penelitian dan kemudian simulasi yang telah dilaksanakan
(Furusawa, 1988 dan Arnaya et.al, 1990 b), nila TS “bladder fish” adalah ± 10
dB lebih besar dibanding dengan “bladderless fish” khususnya untuk “geometric
region”. Bladderless fish tidak mempunyai Resonance region, sedangkan bladder
fish tidak memiliki resonance region yang nilainya tergantung dari kedalaman
renang ikan yang bersangkutan. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas dari
perbedaan kedua jenis ikan tersebut lihat Gambar 3.
Gambar 2. Hubungan antara target strength dan panjang ikan.
2.4 Tingkah Laku/Orientasi

Tingkah laku ikan akan berpengaruh terhadap orientasi relative terhadap


transducer. Orientasi ikan ini sebenarnya meliputi pitching (tilting), rolling dan
yawing. Pengaruh dari yawing tidak menentukan karena pada umumnya bentuk
transducer adalah bulat dan dilihat dari transducer posisi ikan tidak menimbulkan
perubahan sudut. Pengaruh rolling tergantung dari species ikan. Untuk bladder fish
biasanya tidak berpengaruh nyata karena sebagian besar (lebih besar dari 90%)
energy yang dipantulkan oleh tubuhnya berasal dari gelembung renang. Untuk
bladderless fish, pengaruh rolling cukup besar mengingat energy yang dipantulkan
sangat tergantung dari bentuk dan komponen tubuh dan bukan gelembung renang.
Untuk lebih memudahkan dalam mencari pola hubungan antara tingkah
laku/orientasi ikan dan target strengtgnya, biasanya pengaruh yawing dan rolling
tersebut diabaikan sehingga pitching atau tiltingnya yang harus diperhitungkan.
Secara umum, jika orientasi ikan dengan kepala ke bawah (downward-
oreientation), maka sudut kemiringan tubuh (tilt angle) nya disebut negatif,
sebaliknya kalau kepalanya ke atas (repward-orientation), maka “tilt-angle”nya
disebut positif. Perlu ditambahkan di sini bahwa yang dimaksud dengan “tilt angle”
adalah sudut yang dibentuk oleh garis horizontal dari garis/sumbu memanjang ikan
yang menghubungkan ujung mulut dan pertengahan sirip ekor.
Gambar 3. Perbedaan kecenderungan umum dari target strength “bladder fish” fish dan “
bladderless fish”
Untuk memberikan gambaran bagaimana pengaruh tilt angle ( θ ) tersebut
terhadap nilai target strength pada Gambar 4 diberikan contoh mekanisme
perubahan target strength dengan perubahan tilt angle ( θ ) yang lebih kecil dari
50. Jelas terlihat dari Gambar tersebut bahwa energy yang dipantulkan oleh ikan
sangat tergantung dari frequensi memiliki karakteristik polar diagram yang berbeda.
Makin tinggi frequensi, biasanya “main-lobe” nya makin ramping, (sebaliknya
makin rendah frequensi, main lobe-nya makin lebar (broad) sehingga lebih sensitif
terhadap perubahan tilt angle.
Mengingat tilt angle sangat berpengaruh terhadap TS, maka untuk mencari
hubungan matematis antara keduanyaa harus dicari fungsi distribusi dari tilt angle
(tilt angle probabilty distribution fuction). Fungsi ini yang umum dikenal sebagai
PDF biasanya berbentuk normal (Gaussian) dengan nilai tengah (mean) tertentu
dan simpang baku (standart deviation) tertentu pula. Untuk memudahkannya
biasanya digunakan simbul N ( θ́ , sd θ ), atau cukup disebut f ( θ ) saja. Fungsi
ini sangat penting karena digunakan untuk mendapatkan nilai rata-rata dari target
strength yang akan dijelaskan pada Bab 3.
Gambar 4. “Directional pattern” dari ikan dengan “tilt angle” yang berbeda
untuk panjang ikan dan frequensi tertentu.
Untuk memberikan gambaran hubungan antara fungsi tilt angle dan nilai rata-
rata target strength (dalam hal ini digunakan “normalized” target strength, A)
berikut ini adalah contoh untuk bladder fish” (Gambar 5a) dan “bladderless fish”
(Gambar 5b).
Dari Gambar 5 tersebut jelas terlihat bahwa dengan PDF dari tilt angle yang
berbeda, maka kecenderungan perubahan nilai rata-rata TS juga berubah secara
teratur juga. Di sini hanya diberikan untuk selang panjang ikan yang kecil saja
karena kesulitan dalam simulasi (Furusawa, 1988), khusus untuk melihat perbedaan
antara nilai maximum TS dan rata-rata menurut PDF tilt angle (0,10) dan (-5,15)
dapat juga dilihat pada Gambar 3 di atas.

2.5 Acoustic Impedance

Kalau dalam dunia perlistrikan dikenal istilah tahanan (resistance), maka di


dalam dunia akustik dikenal istilah acoustik impedance (PC), dimana C adalah
kecepatan suara di dalam medium dan P adalah densitas medium yang
bersangkutan. Untuk air laut, C = 1500 m/s dan P = 1.025 g/cm3, sedangkan untuk
tubuh ikan kedua dan komponen-komponen pembentuknya. Dengan demikian,
untuk bladder fish nilai PC tidak berpengaruh terhadap TS, tetap untuk “bladderless
fish” sangat besar pengaruhnya karena perubahan P atau C yang kecil
Gambar 5. Pengaruh orientasi (tilt angle) terhadap dorsal aspect target strength dari ikan.
a. bladder fish
b. bladderless fish
saja akan menimbulkan perubahan yang cukup besar pada nilai TS (lihat Gambar
6).

Jadi jika melakukan pengukuran target strength dari “bladeerless fish”, makan
faktor acoustic impedance ini harus diperhitungkan benar agar ketelitian
pengukuran bisa ditingkatkan. Untuk memudahkannya, jika melakukan pengukuran
TS ikan air laut, maka haruslah dilakukan di laut, sebaliknya untuk ikan-ikan air
tawar dilakukan di air tawar juga. Sudah tentu kalau melakukan pengukuran TS
dalam “in situ conditions” hal ini tidak perlu diperhitungkan karena sudah pada
kondisi yang sebenarnya dan ikanpun dalam keadaan berenang bebas.

2.6 Ensonifying, Frequency/Panjang Gelombang Suara

Ensonifying grequency (frekuensi suara yang digunakan) atau panjang


gelombang suara sangat berpengarruh terhadap target strength ikan yang
bersangkutan. Pada umumnya untuk “bladder fish”, makin tinggi frequensi (f) atau
makin pendek panjang gelombang suara ( λ ) (ingat λ = c/f), maka ada
kecenderungan nilai TS semakin rendah. Hal ini selain disebabkan oleh semakin
sempitnya “directional pattern” dari energi suara yang dipantulkan untuk frekuensi
tinggi (lihat Gambar 4) sehingga yang kembali ke permukaan transducer lebih
terbatas, juga karena untuk frekuensi tinggi faktor absorpsi suara oleh air laut
semakin besar.
Gambar 6. Pengaruh acoustic impedance (PC) terhadap target strength “bladderless fish”.
Dengan demikian, dalam survai atau penelitian dengan metode akustik,
penentuan frequensi atau panjang gelombang suara haruslah hati-hati. Dalam hal ini
harus diusahakan sedemikian rupa sehingga rasio dari panjang ikan terhadap
panjang gelombang (L/ λ ) di atas 10 atau “acoustic scattering” dari ikan yang
bersangkutan berada pada “geometric region”. Dengan kata lain, jikaa metode
akustik digunakan untuk meneliti ikan-ikan besar, gunakan frekuensi rendah (misal
38 kHz), sebaliknya untuk zooplankton harus digunakan frekuensi tinggi (bisa
sampai 1 MHz).
Berdasarkan penelitian Lytle and Maxwell (1983), secara umum hubungan
antara L/ λ dan target strength adalah seperti tertara pada Gambar 7. Rayleigh
region adalah untuk ikan yang terlalu kecil dibanding dengan λ (L<< λ ),
Resonance region adalah untuk L/ λ ancata 1 dan 10, dan Geometric region
adalah untuk L >> λ . Seperti telah disebutkan di atas, hanya bladder fish yang
memiliki “Resonance region” karena suara yang mengena tubuh ikan bervibrasi
dan mengakibatkan absorbsi dan pemancaran kembali energi sehingga nilai TS-nya
lebih besar dibanding dengan nilai jika diprediksi dengan pendekatan Rayleigh.
Untuk itu faktor kedalaman renang dari ikan harus diperhitungkan juga karena
menimbulkan perbedaan pada “resonance region” tersebut dan kosekuensinya pada
nilai target strength.
Gambar 7. Hubungan antara frequensi dan target strength untuk ikan dengan panjang
yang sama.
2.7 Beam Paattern

Beam pattern tergantung dari luas permukaan trandsucer dan frequensi yang
digunakan. Makin kecil luas permukaan transducer, maka makin besar sudut beam
dari transducer tersebut (untuk frekuensi tertentu), sebaliknya makin besar luas
permukaan transducer, maka makin kecil sudut beam yang dihasilkan.
Mengingat perubahan dari beam patttern, khususnya sudut beam tersebut,
maka terdapat target strength juga menimbul-kan pengaruh tertentu tergantung dari
besar-kecilnya sudut beam tersebut. Adapun bentuk umum dari hubungan antara
sudut beam dan peruahan nilai target strength adalah seperti tertera pada gambar 8.
Dari Gambar tersebut terlihat bahwa makin besar sudut beam, maka makin besar
perubahan nilai TS yang ditimbulkannya. Dengan demikian, untuk menghindari
perubahan TS yang besar, hendaknya sudut beam yang dipergnakan lebih kecil dari
100. Sudah tentu untuk menghasilkan beam dengan lebar yang sekecil mungkin
akan menemui kesulitan, lebih-lebih untuk frekuensi rendah, karena luas
permukaan transducer harus sebesar mungkin. Secara teknis sulit dilakukan karena
menjadi tidak efisien dan transducernya menjadi besar dan berat.

2.8 Spesies/Jenis Ikan

Seperti telah disebutkan pada sub-bab 2.3 di atas, secara akustik ikan-ikan
hanya
Gambar 8. Hubungan antara beam pattern dan target strength.
Dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni “bladder fish” dan “bladderleess
fish”. Contoh dari bladder fish yang termasuk physoclists (gelembung renang
tertutup) adalah cod, walley pollock, pacific. Whiting, saithe, dan sebagainya,
sedangkan yang termasuk physostomes (gelembung renangterbuka) adalah herring,
spart dan sebagainya. Selanjutnya yang termasuk bladderless fish adalahhh Atlantic
mackerel, jenis-jenis tuna/cakalang, squid dan seterusnya.
Dengan melihat rumus umum hubungan antara target strength dan panjang
ikan, yakni TS = log L + A seperti tertara pada rumus (11) di atas, maka secara
implisit dan eksplisit pengaruh dari spesies terkandung dalam nilai A (normalized
target strength). Jadi dengan mengetahui nilai A tersebut sebenarnya secara kasar
dapat membedakan spesies ikan. Pada umumnya untuk psysoclists biasanya nilai A
sekitar – 67.5 dB, sedangkan untuk physostomes sekitar – 71.9 dB dan untuk
bladderless fish sekitar – 80.0 dB (Foote, 1987 dan Arnaya, 1990 b)
Sudah tentu untuk mengetahui spesies ikan yang sebenarnya, selain
memerlukan pengalaman dan ketelitian dalam menginterpretasi echogram, juga
perlu verifikasi dengan alat penangkapan ikan, underwater camera/video camera,
dan sebagainya.

2.9 Kecepatan Renang

Seperti telah umum diketahui bahwa dengan pergerakan renang dari ikan,
maka akan menimbulkan perubahan bentuk tubuh dari ikan yang bersangkutan.
Perubahan bentuk (lateral deformation) ini akan menimbulkan perubahan pada echo
yang dihasilkannya dan kosekuensinya pada nilai target strength.
Untuk “bladder fish”, perubahan bentuk tubuh ikan akan mengakibatkan
perubahan bentuk yang kecil saja dari gelembung renang. Dengan bladder fish
tidak akan menimbulkan pengaruh yang nyata dari target strength.
Untuk “bladderless fish”, berdasarkan penelitian Arnaya rt.al (1990 a),
kecepatan renang sangat berpengaruh terhadap nilai target strength. Hal ini
terutama berlaku untuk squid dimana menggunakan mekanisme renang berupa “jet-
propulsion”. Jelas sekali bahwa dengan kecepatan renang yang berbeda, tilt angle
dari squid yang bersangkutan juga berubah, yang dengan demikian target
strengthnya juga berubah. Untuk “baldderless fish” lainnya seperti Atlantic
mackerel, kecepatan renang juga sangat mempengaruhi “body tilt angle” karena
untuk membuat keseimbangan gaya-gaya yang bekerja pada sistem
hidrodinamikanya (gravityh force, drag, thrust, lift dan sebagainya).

2.10 Multiple Scattering/Shadowing Effect

“Multiple scattering’ adalah phenomena yang belum pasti kebenarannya


dalam marine acoustics. Banyak ahli yang menyangsikan kebenarannya, misalnya
Foote (1982) yang menyatakan bahwa multiple scattering baru akan terjadi jika
densitan ikan lebih besar dari 32.300 ikan/m3, yang dalam kenyataannya tidak
mungkin ada. Dengan demikian, yang mungkin terjadi adalah “shadowing efect”
dari target yang berada di lapisan atas terhadap target (ikan) yang ada dibawahnya.
Untuk pengukuran target strength dimana syaratnya target harus menyebar
secara individual, bukan bergerombol karena nantinya sulit untuk mengisolasi
target tunggal, maka kekhawatiran akan kedua effek (multiple scattering dan
shadowing) mungkin sudah tidak beralasan lagi. Akan tetapi untuk penelitian
volume backscattering strength (SV) mungkin hanya pengaruh pembayangan
(shadowing effect) saja yang perlu diperhitungkan dan akan diuraika lebih rinci
pada sub-sub-bsb 3.1.2 berikut ini.
3. PENGUKURAN TARGET STRENGTH
Pengukuran target strength bisa dilakukan dengan cara terkontrol dimana ikan
yang menjadi target penelitian dalam kondisi terkontrol (controlled conditions), dan
in situ conditions dimana ikan-ikan dengan bebas berenang pada kondisi yang
sebenarnya.
Sebelum teknologi elektronika secanggih seperti sekarang ini, metode
terkontrol banyak digunakan karena memang tidak ada pilihan dan terbukti mampu
mengungkap sifat-sifat akustik dari ikan seperti yang telah dijelas-kan di dalam Bab
2 di atas. Sampai sekarangpun metode terkontrol ini masih bisa dilakukan asalkan
asumsi-asumsi yang digunakan mendekati keadaan yang sebenarnya di lapangan.
Selanjutnya metode “in situ” baru akhir-akhir ini banyak digunakan,
khususnya metode pengukuran langsung, yakni dengan ditemukannya teknologi
canggih di bidang trandsducer seperti dual-beam, split-beam, quasi-ideal-beam dan
multi-beam system lainnya. Sudah tentu metode in situ ini baru bisa digunakan jika
tersedia peralatan canggih tersebut serta mampu untuk mengoperasikannya.
Untuk memberikan gambaran yang lengkap dari kedua metode tersebut serta
keunggulan dan kelemahan masing-masing, maka berikut ini akan dijelaskan satu
demi satu dari kesemuanya itu, walaupun pada akhirnya hanya metode in situ
(secara langsung)- lah yang memiliki keunggulan komparatif dan di masa
mendatang akan mendominasi dunia Akustik Kelautan khususnya dalam eksplorasi
sumberdaya hayati laut.

3.1 Kondisi Terkontrol


Tergantung dari kondisi target yang menjadi obyek penelitian serta
jenis/tipe peralatan yang digunakan, maka pengukuran TS dengan kondisi ter-
kontrol ini dibagi menjadi dua yakni “tethered method” dan “cage method”.
3.1.1 Tethered Method
Pada pengukuran TS ikan dengan metode ini, ikan-ikan yang menjadi
obyek penelitian adalah ikan yang telah mati atau ikan yang dibius
(dianaestesi) sehingga ikan tersebut tidak bisa bergerak. Dengan demikian,
orientasi (tilt angle) ikan dapat diatur sesuai dengan kepentingan penelitian
(dorsal aspect, side aspect, dan seterusnya) dan berdasarkan perbedaan
orientasi tersebut, ukuran ikan, spesies ikan, jenis ensonifying frequency, dan
sebagainya, maka dapatlah dicari hubungannya dengan target strength yang di
ukur.
Pengukuran target strength ikan dengan metode ini telah sejak lama
dimulai tetapi secara besar-besaran dilaksanakan oleh nakken dan Olsen
(1997) dan kemudian oleh Miyanohana et al (1987). Kalau pada metode
nakken dan Olsen menggunakan standar/reference target untuk mendapatkan
nilai target strength, maka pada metode Miyanohana et.al digunakan
hydrophone. Walupun ada perbedaan cara pengukurannya secara prinsip tidak
jauh berbeda karena masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan.
Pada prinsipnya utnuk pengukuran dengan “tethered method” ini harus
ada echosounder (transmitter & receiver), “fish suspension and rotating tilting
mechanism, oscilloscope/FFT analyzer, data aequisition and processing
apparatus, transducer dan hydrophone/standard ball. Contoh dari sistem yang
menggunakan hydrophone adalah seperti tertera pada Gambar 9 dan untuk
yang menggunakan standad target adalah seperti tertera pada Gambar 10.
Mengingat cara pengukuran dengan penggunaan hydrophone lebih
mahal dan sulit dibandingkan dengan cara pengukuran dengan menggunakan
standart target, maka berikut ini akan diberikan cara yang kedua saja, seperti
halnya pada cara hydrophone, untuk setiap posisi ikan (misalnya dorsal
aspect dengan sudut kemiringan (tilt angle tertentu) harus dilakukan
“perekaman” dan pemrosesan data. Dengan demikian, untuk tilt angle θ
akan diperoleh nilai TS ( θ ¿ :
TS ( θ ¿ = 20 log (V( θ ¿/Vr ¿+TSr . . . . . . (12)
dimana :
V ( θ¿ = voltase sinyal echo dari ikan dengan tilt angle θ ,
Vr = voltase sinyal echo dari standard/reference target,
TSr = target strength dari standard target.
Untuk ukuran ikan tertentu dari species tertentu pula, akan diukur
satu set target strength mulai dari tilt angle minus 450 sampai dengan + 450
(dengan interval satu derajat). Satu
Gambar 9. Penggunaan hydrophone dalam pengukuran target strength dengan “tethered
method”
Gambar 10. Penggunaan “Standard target” dalam pengukuran target strength dengan
“tethered method”
bergerak, maka untuk pengukuran target strength dengan “cage method” ini
harus digunakan ikan hidup. Kemudian, kalau pada “tethered method”
pengukuran dilakukan seekor demi seekor, maka untuk “cage method” ini
dilakukan pengukuran mulai dari densitas ikan yang paling rendah sampai ke
densitas yang paling tinggi dalam kurungan (cage).
Menurut hipotesis bahwa dalam akustik kelautan berlaku sistem lincar,
maka echo yang berasal dari gerombolan ikan adalah jumlah dari echo tiap
individu ikan. Kemudian jika proses penerimaan echo adalah linier dan tidak
adanya “extinction”, maka “equivalent received pressure field”, Prec adalah
(Foote, 1982) :
n
Prec = ∑ P rec , i . . . . . . (14)
(s)

Selanjutnya jika densitas, tinggi gerombolan dan “extiction cross section


“rata-rata ( δe ¿ dari ikan yang bersangkutan cukup besar sehingga
“extinction” menjadi nyata, maka persamaan (14) harus digeneralisasi menjadi
(Foote, 1983).
n
Prec = exp (-2.p. δe . ∆ z ¿ . ∑ Prec , i . . . . . . (15)
(2)

dimana :
P = densitas ikan,
∆z = ketebalan dari lapisan distribusi ikan,
¿ ,i = komponen dari “received pressure” ikan ke i tanpa extinction
= Si √ ( Gb 2
δ ) i (lihat persamaan (3) di atas,
Kemudian, intensitas sesaat, I, tergantung dari acoustic impedance (PC)
dari air laut dan Prec menurut persamaan.
prec
I = . . . . . . (16)
PC
dan energy dari echo yang diterima adalah integral (waktu) dari intensitas sesaat
I:
∞ ∞
1
E = ∫ I (t) dt =
PC ∫ P2rec (t) dt . . . . . . (17)
0 0

dimana integral tersebut dalam prakteknya diambil dalam selang “duration” dari
“received echo signal”. Perlu kiranya dicatat bahwa energi echo E adalah sama
apakah untuk time-domain atau frequency-domain dan tidak tergantung dari
“system phase resonance”. Akan tetapi E tergantung dari bentuk pulsa dan
orientasi dari ikan di dalam beam suara.
Dalam hal tidak adanya noise, maka energi rata-rata adalah hasil perataan
dari sejumlah rata-rata adalah hasil perataan dari sejumlah besar (lebih besar dari
300 energi echo) yang berasal dari ensonfikasi terhadap agregasi ikan :
<E> = k ρf < δ > ¿ . . . . . . (18)
dimana :
k = parameter dari sistem alat yang ditentukan berdasarkan teknik
kalibrasi baku,
Pf = densitas rata-rata dari ikan yang dideteksi per ping,
¿δ>¿ = ∫ G . b2 .δ . dF / ∫ G . b2 .dF . . . . . . (19)
dimana : dF adalah elemen kemungkinan yang berkaitan dengan posisi ikan di
dalam beam suara, distribusi orientasinya, panjang, dan banyak lagi
kemungkinan variabel sifat-sifat ikan di dalam agregasi misalnya spesies,
kondisinya pada saat diamati, tingkah laku dan sebagainya.
Dalam bentuk logaritme, persamaan (18) dapat disederhanakan menjadi :
<SV> = 10 log ρf + <TS> . . . . . . (20)
Inilah persamaan pokok untuk mengestimasi densitas ikan ρf dengan
metode echo integration.
Pada penelitian yang sebenarnya, pengukuran (SV) dapat dilakukan
dengan memasukkan jumlah tertentu ikan ke dalam kurungan (cage) mulai dari
densitas terendah sampai densitas tertinggi. Untuk masing-masing densitas
tersebut, dapat dihitung “volume backscattering rata-rata” (SV) menurut
persamaan berikut ini :
<SV> = 10 log {(<Ecs>-<Ec>)/<Er>) + <TSr> - 10 log N + 10 log ρf
. . .(21)
dimana :
<Ecs> = rata-rata energi echo dari ikan dan cage,
<Ec> = rata-rata energi echo dari cage kosong,
<Er> = rata-rata energi echo dari “reference target”,
<TSr> = rata-rata target strength dari “reference target”.
N = jumlah ikan di dalam cage
ρf = densitas ikan di dalam cage (fish/m3).
Gambar 11. “Experimental set-up” dari pengukuran target strength dengan “cage
method”
Akhirnya dengan regresi linier diperoleh hubungan antara <SV> dan
ρf menurut persamaan :
<SV>= 4. Log ρf + B . . . . . . (22)
dimana kalau nilai a mendekati atau sama dengan 10, maka nilai B akan sama
dengan <TS> menurut persamaan (20) di atas.
Demikianlah prinsip dan prosedur pengukuran target strength “cage-
method” dimana sebenarnya yang dicari adalah hubungan linier antara <SV>
dan <TS> karena jika densitas ikan sama dengan satu, maka <SV> = <TS>.
Contoh dari cara pengukuran adalah seperti tertera pada Gambar 11 (Arnaya, et
al, 1988a, 1988b).

3.2 Kondisi In Situ


Dengan adanya beberapa kelemahan dari pengukuran target strength ikan
dalam kondisi terkontrol, misalnya ketidakpastian dari asumsi tingkah laku ikan
untuk menyatakan bahwa ikan yang bersangkutan dalam keadaan berenang
bebas, maka sebagai alternatifnya dikembangkan pengukuran dalam kondisi in
situ.
Sebelum sampai kepada penjelasan dari masing-masing metode, maka
ada baiknya kembali ke prinsip pokok dari persamaan akustik aktif yang
nantinya akan jelas kelihatan kenapa dikelompokkan menjadi metode tidak
langsung dan metode langsung dalam pengukuran target strength tersebut.
Intensitas dari akustik echo yang dipantulkan oleh ikan tunggal
dinyatakan dengan (Ehsenberg, 1983) :
I = k ( 10−2 ∝ R / R4 ). b2 ( θ , ∅ ) δ bs . . . . . . (23)
dimana :
k = faktor skala dimana dapat ditentukan selama kalibrasi alat,
( 10−2 ∝ R / R4 ) = faktor perbedaan/pengukuran intensitas suara karena
penyerapan dan “spreading”.
2
b ( θ , ∅ ) = fungsi “beam pattern” dua arah dari sistem akustik,
δ bs = acoustic backscattering cross section dari ikan yang terletak pada
koordinat sudut ( θ , ∅ ).
Untuk mendapatkan statistik backscattering cross section atau target strength
dari “received echo” yang diperoleh dari target-target tunggal, maka pengaruh
dari faktor skala k, faktor peredaman suara karena pengaruh absorpsi dan jarak
−2 ∝ R 2
10 /4R, dan fungsi “beam pattern” b ( θ , ∅ ) harus dicleminir
dari intensitas echo tersebut.
Dari ketiga faktor tersebut di atas, yang paling sulit untuk dieleminir
2
adalah b ( θ , ∅ ) karena tergantung dari posisi sudut target/ikan yang
menyebar secara random di dalam beam yang bersangkutan. Sebaliknya faktor k
dan ( 10−2 ∝ R /4R) relatif lebih mudah dieleminir yakni dengan melakukan
kalibrasi yang akurat pada time varied gain (TVD) dari “receiver” dan “source
level” (SL) serta gain dari keseluruhan sistem.
Sejumlah prosedur untuk mengeleminir faktor, beam pattern telah
diketemukan. Teknik-teknik tersebut pada prinsipnya dapat dikelompokkan
menjadi dua yakni secara tidak langsung mengekstrak pengaruh beam pattern
dari suatu koleksi echo, dan secara langsung mengeleminir/memindah beam
pattern dari masing-masing echo tunggal.

3.2.1 Metode Tidak Langsung


Ide peggunaan metode tidak langsung ini adalah karena dapat
diimplementasikan dengan single transducer yang sama dengan sistem echo
sounder yang digunakan untuk pendugaan stok ikan. Sejumlah pendekatan yang
berbeda telah dikemukakan untuk pendugaan/pengukuran target strength secara
tidak langsung dari suatu koleksi echo-echo tunggal. Kesemuanya itu
mengandalkan asumsi bahwa target menyebar secara inform (merata) di dalam
volume yang diiluminasi suara. Dengan asumsi tersebut serta directivity function
dari transducer, adalah memungkinkan untuk menghitung/menentukan sifat-sifat
statistik yang diperlukan dari beam patttern pada persamaan (23) di atas.
Ada dua pendekatan yang berbeda untnuk memperoleh variable
backscattering cross section δ bs. Dalam pendekatan pertama, statistik dari
δ bs diasumsikan sebagai “unknown”, dan pendugaan “probability densitiy
function” (PDF) dari δ bs di-lakukan. Craig and Forbes – lah (1969) yang
pertama kali menggunakan pendekatan ini yang disebut juga “non-parametric
method”. Dalam teknik mereka, intensitas echo diekspresikan dalam dB
dengan :
Gambar 17. Penampang menlintang dari “acoustic beam pattern” untuk
perhitungan target strength dengan metode Craig-Forbes.
E = T + D . . . . . . (24)
dimana : E = 10 log I,
T = log k, δ bs,
D = 10 log b2 ( θ , ∅ )
Mereka menggunakan geometri dari acoustic beam untuk menentukan
hubungan antara penyebaran E, T dan D (Lihat Gambar 12). Jika dinyatakan
dalam bentuk persamaan matematis, maka hubungan antara PDF dari E, T dan D
adalah sebagai berikut :
+∞
PE ( e )= ∫ PT ( x ) . Pd (x −e) dx . . . . . . (25)
−∞

Persamaan integral ini dapat disederhanakan menjadi suatu set persamaan-


persamaan linier dimana sama/setara dengan formula Craig-Forbes jika

diasumsikan bahwa PE ( e ) , PT ( t ) dan PD ( d ) dapat dihitung dari


“beam pattern directivity function” secara merata/uniform. Hasil akhir kemudian
dapat dipecahkan dengan persamaan linier.
Dalam pendekatan kedua yang diajukan oleh Ehrenberg (1972) dan
kemudian didukung oleh Robinson (1978), dikembangkan suatu metode dimana
dengan menggunakan persamaan integral berhubungan dengan backscattering
cross section bs dan intensitas echo (bukan dalam bentuk log). Persamaan
tersebut dapat dipecahkan dengan menggunakan pendekatan polinomial untuk
berbagai PDF. Pendekatan ini juga disebut “parametric method” yang
sebenarnya dengan ketelitian hasil yang tidak jauh berbeda dengan “non-
parametric method”.
Mengingat bahwa kesemua metode/pendekatan untuk pengukuran target
strength secara tidak langsung tersebut sangat tergantung dari kesalahan numerik
dan statistk, maka ketelitian-nyapun sebenarnya sangat diragukan oleh para ahli
akustik. Dengan demikian mereka mencari jalan ke luar yakni dengan
menemukan metode langsung dalam pengukuran in situ target strength.
3.2.2 Metode Langsung

Kalau pada metode tidak langsung digunakan metode statistik (“software”)


untuk mengeleminir pengaruh beam pattern, maka dalam metode langsung ini
untuk mengeleminir pengaruh beam pattern tersebut digunakan “hardware” yang
dengan diketemukannya sistem beam tertentu yang berbeda dengan sistem bema
tunggal (single beam). Beberapa diantaranya yang pada akhir-akhir ini
berkompetisi dalam kecanggihan dan perebutan pasar dunia adalah dual-beam
method, split-beam method dan quasi-ideal-beam method.
(1) Dual-beam method
Ide pengukuran in situ target strength ikan dengan menggunakan metode
“dual-beam” ini dicetuskan oleh Ehrenberg (1974). Pada transducer dengan
beam ganda ini, acoustic seignal dipancarkan oleh narrow beam dan diterima
oleh narrow-beam dan wide-beam secara bersamaan. Seperti terlihat pada
Gambar 13, faktor “beam pattern” untuk wide-beam mendekati konstan pada
“main-lobe” dari “narrow-beam” dan “wide-beam” adalah sama untuk suatu
target pada sumbu utama beam (on-axis). Dengan demikian dan ditambah
dengan asumsi bahwa karakteristik TVG adalah ideal, maka inteensitas echo
pada “narrow-beam” dan “wide-beam” untuk suatu targer pada koordinat sudut
θ dan ∅ sebagai berikut :
In = k. b2 (θ . ∅ ). δ bs . . . . . . (26)
Iw = k. b(θ . ∅). δ bs . . . . . . (27)
dimana :
k = suatu konstanta
( bθ . ∅ ) adalah faktor “beam-pattern” untuk narrow-beam transducer.
δ bs = backscattering cross section dari ikan.

Selanjutnya faktor “beam-pattern” dapat diperoleh dengan mengambil


rasio dari kedua intensitas echo tersebut yakni :
2
¿ k . b (θ . ∅). δ bs = b ( θ . ∅ ) . . . . . . (28)
Iw k . b( θ . ∅).δ bs
Dengan demikian δbs dapat dihitung dengan meng-eleminir pengaruh
“beam-pattern” dan konstanta dari In atau Iw :
k .∈¿
2
Iw Iw ( Iw ) . . . . . . (29)
δbs= = =
k . b(θ . ∅) k (¿ /Iw) ¿
Jadi jelaslah bahwa “dual-beam method” dapat mengukur nilai δbs atau TS
dari ikan tunggal menurut prinsip tersebut di atas yang dalam aplikasinya terdiri
atas “dual-beam transducer” itu sendiri, echosounder dengan dua channel
“receiver”, “dual-beam processor”, microcomputer dan program cumputer
(software) target strength (Ehrenberg, 1984).
“Beam Pattern”
Dual-beam processor mengisolasi dan merekam data echo ikan tunggal yang
diterima dari elemen-elemen narrow dan wide beam transducer. Kemudian
program komputer akan memproses data tersebut untuk menghitung nilai δ bs
atau TS dan penyebarannya menurut kedalaman dan sebagainya. Informasi yang
diperoleh dengan metode ini buka hanya akan meningkatkan akurasi dari survai
pendugaan stok ikan secara akustik, tetapi sekaligus memberikan informasi yang
sangat berharga tentang ukuran ikan di dalam populasi.

(2) Split beam method

Walaupun banyak sekali keunggulan yang dimiliki oleh dual-beam


method, tetapi terhadap noise mempunyai banyak kelemahan. Untuk itulah
dikembangkan metode baru yang diketemukan oleh Ehrenberg (1981) juga tetapi
kemudian dikembangkan di Norwegia (Foote, et.al, 1984).
Metode ini menggunakan “receiving transducer” yang diplit menjadi
empat kuadran (Lihat Gambar 14). Pemancaran gelombang suara di-lakukan
dengan “full-beam” yang merupakan penggabungan dari keempat kuadran
dalam pemancaran secara simultan. Selanjutnya, sinyal yang memancar kembali
dari target diterima oleh masing-masing kuadran secara terpisah. Output dari
masing-masing kuadran kemudian digabung lagi untuk membentuk suatu
“fullbeam” dan dua set split beam (Gambar 15). Target tunggal diisolasi dengan
menggunakan output dari fullbeam sedangkan posisi sudut target dihitung dari
kedua set split beam.
Gambar 14. Bentuk dari split-beam transducer dan “full-beam” transducer.
Gambar 15. Prinsip dari split-beam echosounder.
Pada prinsipnya, posisi/lokasi sudut ( θ1. θ2 ) dari masing-masing target
tunggal dalam bidang tegak lurus ditentukan dengan mengukur beda fase (phase
difference) ∆θe dari sinyal yang diterima dari kedua belahan transducer.
Hubungan antara lokasi sudut θL dan beda fase listrik ∆θe tersebut adalah
sebagai berikut :
C . ∆θe
θ L=sin−1 ( ) . . . . . . (30)
ωo . d
Dimana :
C = kecepatan perambatan suara di air laut
ω o = angular frequency = 2 π f (f = acoustic frequency)
d = jarak antara pusat/sumbu akustik dari kedua belahan transducer.
Dalam kenyataan, lokasi sudut θL akan sangat kecil sehingga θL

~ c ∆θe
¿ . Dengan demikian, maka koordinat sudut ( θ . ∅ ) dari posisi
No . d
target dapat dihitung dari :
e = sin −1 √sin 2 θ1 +sin 2 θ2 . . . . . . (31)
sin
2
f = (¿¿ 2 θ1 +sin θ 2)
tan−1 ¿
Untuk sudut-sudut yang dekat acoustic-axis, maka persamaan (31) akan menjadi
:
e = √θ +θ
2
1
2
2 . . . . . . (32)
θ
f = (¿ ¿ 1/θ2 )
tan −1 ¿

Dengan didapatnya nilai sudut θ dan ∅ , maka faktor beam pattern b


( θ . ∅ ) untuk suatu target tunggal pada lokasi sudut θ , ∅ dapat dihitung
sehingga kemudian nilai δ bs dapat diestimasi berdasarkan perssamaan (23)
di atas.
Dibanding dengan dual-beam method, split-beam method ini lebih sulit
diimplementasikan karena memerlukan hardware dan software yang lebih rumit
untuk mengukur besa fase antara sinyal-sinyal yang diterima pada kedua
bagian/belahan beam. Rincian lebih lanjut dari kedua metode ini akan diberikan
pada Bab 4 sewaktu membahas pendugaan stok ikan.

(3) Quasi-ideal-beam method

Kalau pada metode dual-beam dan split-beam menggunakan sistem multi-


beam untuk pengukuran in situ target strength, maka pada quasi ideal-beam ini
tetap menggunakan beam tunggal hanya berkat kecanggihan teknologi
elektronika dan teknologi transducer akhirnya dihasilkan suatu beam yang
mendekati ideal. Beam ini dikatakan ideal karena memiliki mainlobe dengan
puncak yang datar (flat) dan side-lobenya beraa pada level lebih kecil dari
-30dB.
Adapun contoh dari quasi-ideal beam adalah seperti tertera pada Gambar
15. Seperti terlihat pada gambar tersebut (untuk frequensi 200 kHz), puncak dari
mainlobe adalah datar dimana hampir seluruhnya pada sudut beam. Dengan
demikian, untuk ikan dengan ukuran yang sama, dimanapun posisiny di dalam
beam akan menghasilkan intensitas echo yang sama. Jadi berbeda dengan sistem
beam lainny, untuk quasi ideal-beam ini tidak perlu mengeleminir beam pattern
b ( θ . ∅ ) supaya bisa menghitung target strength. Inilah suatu keunggulan
komparatif yang dimilikinya.
Gambar 15. Bentuk dari quasi ideal-beam
Untuk bisa menghasilkan “quasi ideal-beam transducer”, perlu penguasaan
tentang teori pembentukan beam yang karena memerlukan penjelasan khusus
dan lengkap, maka tidak menjadi ruang lingkup dari diklat kuliah ini. Bagi yang
ingin membaca lebih lanjut tentang “beam forming theory” in bisa baca Uric
(1983) atau Clay and Modwin (1977).
Adapun prinsip dari cara perhitungan in situ target strength dengan metode
ini adalah seperti tertera pada Gambar 16 (Sasakura, et.al). seperti halnya pada
dual-beam atau split-beam disinipun selain diperlukan hardware berupa “data
analyzer”, diperlukan juga software khusus yang sebenarnya sulit dipisahkan
dari sistem perhitungan secara keseluruhan mengingat data akhir yang diperoleh
adalah “real-time”.

3.2.3 Kombinasi Metode Akustik dan Metode Lain

Yang dimaksud dengan kombinasi di sini adalah nilai back scattering cross
section (SV) yang diperoleh dari survai akustik dengan menggunakan sistem
single-beam echo sounder/echo integrator dibagi dengan densitas ikan ρf
yang diperoleh dari echogram (ikan-ikan tunggal). Camera bawah air, alat
penangkapan ikan (khususnya trawl) sehingga berdasarkan persamaan (SV) =
log ρf + (TS), maka nilai rata-rata dari target strength (<TS>) dengan mudah
didapat.
Cara ini adalah yang keteletiannya paling rendah karena sulit untuk
melakukan kalibrasi dari gabungan metode yang digunakan dan sumber.
Gambar 16. Block diagarm dari cara penghitungan in situ target strength dengan
“quasi-ideal-beam method”.
Kesalahan (baik alat maupun pengamatan oleh mata manusia) sulit dihindarkan.
Dengan demikian, untuk tingkat teknologi yang sudah semakin canggih seperti
sekarang ini, metode ini sudah hampir ditinggalkan. Akan tetapi jika alat
canggih tidak ada dan dituntut untuk mendapatkan nilai in situ target strength
walaupun ketelitiannya rendah, maka mungkin juga masih bisa digunakan.

4. PENDUGAAN STOK IKAN DENGAN METODE AKUSTIK

Echo counting dan echo integration adalah dua metode pokok untuk
mendapatkan nilai kuantitative dari pendugaan stok/kemelimpahan ikan dengan
metode akustik. Jika densitas ikan pada volume yang disamping adalah rendah,
maka echo dari ikan-ikan tunggal dapat dengan mudah dipisahkan darn
kemudian dapat dihitung satu demi satu. Akan tetapi pada densitas ikan yang
tinggal atau ikan-ikan tersebut membentuk gerombolan, dimana eho dari target
ganda menjadi overlap dan ikan tunggal sulit dipisahkan, maka total biomasa
atau jumlah ikan seluruhnya dapat diukur/diduga dengan echo integrator. Echo
integrator ini seperti telah sedikit disinggung di bagian muka berfungsi untuk
mengubah energi total dari echo ikan menjadi densitas ikan dalam fish/m 3 atau
kg/m3. Biasanya untuk survai kelautan, satuan bisa juga dalam bentuk “number
per unit area” (NPUA) sebagai ganti dari “number per unit volume”

4.1 Echo Counting

Seperti telah disebutkan di atas, jika target-target ikan adalah


menyebar secara merata atau terpisah satu sama lain sehingga hanya
sebagian kecil/tidak ada echo yang overlap, maka memungkinkan untuk
mengidentifikasi dan menghitung echo dari ikan tunggal yang
bersangkutan. Perhitungan ini akan memberikan suatu pendugaan dari
densitas ikan di dalam beam suara. Sebagai tambahan, dengan mengukur
amplitudo echo maka akan diperoleh juga informasi yang sangat berharga
tentang distribusi dari ukuran ikan.
Persyaratan utama dari berfungsinya “echo country system” ini
adalah “single fish echoes” (echo ikan tunggal). Seandainya echo yang
didapat berasal dari “multiple target”, maka sudah tentu alat ini tidak akan
bisa berfungsi. Ada beberapa kriteria untuk menentukan apakah echo yang
bersangkutan berasal dari target tunggal atau target majemuk, diantaranya
“amplitude criteria” dan “pulse duration criteria” yang penggunaannya
harus bersama-sama.
Dalam menggunakan kriteria pertama (amplitudo), maka harus
ditentukan dulu amplitudo minimum yang biasanya sedikit di atas “noise
threshold”. Dengan demikian, maka “single fish echo” diterima jika
amplitudonya lebih besar dari amplitudo minimum, noise ditolak dengan
amplitudo yang lebih kecil dari amplitudo minimum, dan khusus untuk
“multiple fish echo” karena amplitudonya lebih besar dari amplitudo
minimum, maka harus dimasukkan lagi ke kriteria yang kedua (pulse
duration).
Pada kriteria yang kedua ini, terlebih dahulu harus ditentukan lebar
pulsa minimum dan maksimum pada dua tingakatan amplitudo yakni”half-
amplitudo pulse width” dan “eighth-amplitudo pulse width” atau lebar
pulsa pada amplitudo -6 dB dan -1dB. Jadi kalau multiple target sudah
pasti akan ditolak jika lebar pulsanya baik pada tingkat setengah amplitudo
maupun pada tingkat 1/8 amplitudo lebih besar dari kriteria lebar pulsa
maksimum pada masing-masing tingkat tersebut.
Untuk lebih jelasnya, lihat Gambar 17 yang secara sistematis
digunakan untuk penilaian “single fisg echo tersebut. Sebenarnya kriteria
ini bisa juga digunakan untuk penentuan “single target echo” baik pada
dual-beam system maupun sistem lainnya.
Secaraa sederhana, block diagram dari sistem echo caounting ini
adalah seperti tertera pada Gambar 18. Sebagai perbandingan diterakan
juga block diagram yang umum dari echo integrator. Pada gambar tersebut
belum dimasukkan kriteria tersebut di atas, dimana biasanya berada antara
“linear/envelope detector” dan “pulse counter” yakin berupa “range gate”
dan “threshold device”.
Dalam prateknya, echo counting tidak efektif digunakan karena
pada umumnya sulit untuk mendapatkan penyebaran ikan yang merata dan
densitasnyapun rendah (karena ikan biasanya bergerombol). Dengan
demikian, echo integrator-lah yang lebih efektif dan lebih banyak
dikembangkan di seluruh dunia, lebih-lebih telah secara resmi
direkomendasikan oleh FAO.

4.2 Echo Integration

Pada permulaan diketemukan dan dikembangkannya echo


integrator ini hanya “analog echo integrator” yang berhasil diterapkan dan
itupun dengan “single beam system”. Kemudian dengan semakin majunya
teknologi, maka alaog echo integrator ditinggalkan dan lahirlah “digital
echo integrator”. Walaupun telah menggunakan sistem digital tetapi karena
belum bisa mengukur.
Gambar 17. Kriteria untuk penentuan echo target tunggal pada echo counter.
Gambar 18. Block diagram dari sistem echo counter dan echo integrator secara umum.
In situ target strength secara langsung dan “real time” (karena
masih menggunakan sistem beam tunggal), maka ketelitian/akurasi dan
ketepatan pendugaan stok ikan menjadi tidak begitu tinggi. Selanjutnya
dengan di temukannya teknologi canggih dalam pengukuran in situ target
strength seperti yang telah dijelaskan pada Bab 3, digital echo integrator
untuk pendugaan stok ikan menjadi sangat andal dan berkembang dengan
pesat penggunaannya di seluruh dunia.

4.2.1 Single beam system

Echo integrator dengan “single beam acoustic system” ini semula


banyak memberikan harapan, akan tetapi kemudian banyak menimbulkan
permasalahan karena hasil pendugaan stok ikan yang diperolehnya kurang
bisa dipertanggung jawabkan. Echo integrator tipe ini mula-mula
dikembangkan di Norwegia, kemudia di Ameria Serikat, Perancis, dan
Jepang.
Akhir-akhir ini dengan berbagai modifikasi dari echo integrator
generasi sebelumnya. Kaijo Denki (Jepang) mengembangkan digital echo
integrator dengan sistem yang mereka sebut “quasidual-beam system”
(Furusawa et.al, 1990), yakni dengan dengan memanfaatkan dua beam dari
dua transducer dengan frequensi yang berbeda (25 dan 100 kHz). Akan
tetapi setelah dikaji lebih lanjut dan kembali kepada prinsip-prinsip dasar
dari dual-beam system, maka sebenarnya echo integrator tersebut masih
tetap mengaplikasikan sistem beam tunggal. Selanjutnya walaupun telah
dilengkapi dengan monitor khusus yang bisa diatur sedemikian rupa
sehingga nilai target strength berdasarkan perbedaan warna (dengan
ketelitian 1,5 dB), maka tetap tidak bisa menghasilkan nilai in situ target
strength yang sebenarnya dan dengan akurasi yang tinggi.
Dengan demikian, kiranya single-beam system ini tidak akan
mampu bersaing di masa depan, yang dengan demikian pilihan akan tetap
jatuh pada sistem beam yang lebih canggih.
4.2.2 Dual-beam system

Dengan mengkombinasikan dual-beam system untuk mendapatkan


in situ target strength dan digital echo integrator seperti tertera pada
Gambar 19, maka dual-beam acoustic system ini mempunya suat
keunggulan dalam sistem perolehan dan pemrosesan data (Burczynki and
Johnshon, 1986).
Seperti terlihat pada Gambar tersebut dengan transducer yang
menggunakan dual-beam yang dioperasikan dengan towed-body (V-fin),
maka melalui echo sounder akan diperoleh echo signal yang kemudian
disalurkan ke masing-masing TVG. Echo signal dari wide-beam yang
melalui TVG = 40 log R + 2 ∝ R untuk diproses bersama echo signal
dari wide-beam di dual-beam processor, sedangkan yang satu lagi untuk ke
TVG = 20 log R + 2 ∝ R untuk diproses lebih lanjut di echo.
Gambar 19. Block diagram dari “combined dual-beam/echo integration system”.
Integrator. Demikianlah seterusnya, dari dual beam processor akan
dihasilkan nilai rata-rata in situ target strength sedangkan dari echo
integrator dihasilkan nilai rata-rata SV. Kemudian dengan micro computer
dapat dilakukan perhitungan lebih lanjut sampai mendapatkan densitas
ikan dan kemudian stok/kemelimpahan ikan.
Demikian secara ringkas prinsip dari dual-beam acoustic system
yang hingga saat ini memiliki keunggulan komparatif pada portabilits yang
tinggi karena transducer dioperasikan dengan towed body dan sudah tentu
jika noise tidak terlalu besar maka ketelitiannya tinggi.

4.2.3 Split-beam system

Pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang mendasar dari digital


echo integrator yang digunakan pada split-beam acoustic system ini degan
“dual-beam acoustic system”. Perbedaannnya hanya pada perolehan dan
pemrosesan data target strength. Secara umum sistemperolehan dan
pemrosesan data dengan sistem ini adalah seperti tertera pada Gambar 20.
Sehubungan dengan prinsip kerja dari sistem ini adalah mencari
beda fase dari echo signal yang diterima oleh dua belahan transducer
(sebutlah yang satu adalah port-starboard phase pulse dan yang satu lagi
fore-aft phase pulse), maka selain dapat mengukur in situ target strength
secara akurat, juga dapat mengukur posisi sudut dari masing-masing target
yang terletak di dalam beam (Foote, 1988).
Gambar 20. Block diagram dari sistem perolehan dan pemrosesan data pada split-beam
acoustic system.
Gambar 21. Block diagram dari “combined split-beam/echo integration acoustic system”
Untuk sistem perolehan dan pengolahan data yang real time, maka
ada baiknya diberikan penyederhanaan dari sistem yang ada hanya untuk
memudahkan pemahaman tentang bagaimana real-time system tersebut
bekerja (lihat Gambar 21 diatas).

4.2.4 Quasi ideal-beam system

Dengan ditemukannya “quasi-ideal-beam” seperti yang telah


dijelaskan pada Bab 3, maka kalibrasi akustik dan pengukuran in situ
target strength yang akurat menjadi kenyataan.
Echo integrator dengan sistem ini seperti pada sistem lainnya,
memiliki dua processor yang terpisah yang memungkinkan nilai SV dan
TS untuk frekuensi ganda dan secara simultan menghitung SV dan TS
untuk frekuensi tinggal tertentu (lihat Gambar 22).
Dalam perhitungan dengan “SV mode”, SV dan data lain seperti SS
(Surface scattering strength per unit area), S ( ratio of the integration
layer), N (density of fish) dan BSV (backscattering strength of a single fish
per unit volume = TS) dapat juga dihitung dan diprint-out secara
bersamaan.
Selanjutnya pada perhitungan dengan “TS mdoe”, perhitungan dari
nilai rata-rata TS pada masing-masing layer, TS mac (maksimum TS), M
(total fish density) dan N (densitas ikan) dapat dihitung dan diprint-out
seperti halnya “SV-mode”. Sebagai tambahan, disediakan juga “TS
distribution mode” yang memperlihatkan histrogram
Gambar 22. Block diagram dari perhitungan SV pada “Quasi-ideal-beam acoustic
system”
Dari distribusi TS atau panjang dari ikan-ikan yang diteliti/disurvai.

4.2.5 Frequency-Diversity system

Satu lagi sistem yang akhir-akhir ini dikembangkan oleh Japan


Radio Company (Jepang) adalah “frequency-diversity device”, yakni suatu
teknik baru dalam sistem pendugaan stok ikan seccara akustik dengan
menggunakan beberapa frequency yang berbeda, misalnya 45, 50 dan 55
kHz.
Prinsip dasar dari sistem ini adalah untuk mengurangi komponen
“interference” dari echo signal yang diterima dari target yang sebenarnya
tergantung dari jenisnya memiiki “frequency responense” tertentu. Oleh
karenanya, keunggulan dari sistem ini adalah menggunakan frequency
domain, dimana jika digunakan tiga frequency atau tiga gelombang suara
yang berbeda tetapi agak berdekatan, maka komponen “interference” dari
“instantaneons power” akan menjadi -6 dB lebih rendah dibandingkan
dengan jika hanya menggunakan frekuensi tunggal.
Dalam prakteknya, untuk menghindarkan pengaruh interferensi
antar gelombang suara, maka dilakukan perata-rata-an dari anggaplah tiga
gelombang suara tersebut dalam menghasilkan echo signal. Block diagram
dari sistem ini dapat dilihat pada Gambar 23. Sistem ini telah berhasil
diterapkan terutama pada :marine ranching system” yang menggunakan
telemetri untuk mentransfer informasi/data yang diperoleh dari marine
ranch yang bersangkutan ke stasiun di darat.
Gambar 23. Block diagram dari “frequency-diversity system” dalam perhitungan SV.
5. PENUTUP

Dengan kecanggihan teknologi yang dimiliki oleh masing-masing


sistem akustik yang telah diuraikan di atas, maka di masa depan prospek
pengembangan akustik kelautan khususnya untuk eksplorasi sumberdaya
hayati laut sudah tidak bisa diragukan lagi.
Seiring dengan perkembangan teknologi juga, di masa depan
hendaknya diusahakan untuk mempertemukan kecanggihan yang dimiliki
oleh masing-masing sistem tersebut sehingga memungkinkan terbentuknya
sistem tunggal yang sebenarnya adalah multi-system. Anggaplah dual-
beam system bisa dipadukan dengan split-beam system, ideal-beam system
dan frequency-diversity system, sehingga dengan satu instrumen akustik
saja bisa melakukan apa saja. Hal ini memang masih merupakan impian
tetapi penulis yakin kelak akan menjadi kenyataan.
Kemuudian karena organisme laut tersebut beraneka ragam
jenis/spesies dan ukurannya, maka di masa depan juga hendaknya
diciptakan suatu instrumen akustik kelautan yang mampu digunakan untuk
semua target, mulai dari plankton sampai ke ikan-ikan tuna yang besar.
Sudah tentu multiple-frequency system ini secara teknologis akan sangat
mahal tetapi ditinjau dari kegunaannya yang bisa multi-purposa, maka
hendaknya sejak dini dikaji betul-betul untuk pengembangan-nya nanti.
Kemudian, karena ada kesulitan untuk mengidentifikasi spesies
“ikan” tanpa alat bantu tertentu (alat penangkapan ikan), maka di masa
mendatang perlu juga pengembangan Remottely-Operated Vehicle (ROV)
yang dilengkapi dengan underwater video camera dan transducer “
canggih” sehingga identifikasi spesies bisa dilakukan seara simultan
dengan pengukuran target strength (TS), volume backscattering strength
(SV), behaviour/orientasi (tilt angle distribution) dan sebagainya.
Selanjutnya karena kapal peneliti menghasilkan noise yang cukup
besar sehingga berpengaruh terhadap kelitian hasil penelitian akustik
kelautan ini dan juga mengakibatkan “avoidance reaction” dari ikan, maka
pengadaan “silent-ship” mungkin perlu dipertimbangkan.

###### ARN ######


DAFTAR PUSTAKA
Arnaya, 1.N., N. Sano and K. lida, 1988. Studies on acoustic target strength of squid. I .
intensift and energy target strengths. Bull. Fac. Fish. Hookaido univ., 39(3) : 187
– 200.
Arnaya, 1.N., N. Sano and K. lida, 1989a. Studies on acoustic target strength of squid III.
Measurement of the mean target strength of small live squid. Bull. Face. Fish.
Hookaido Univ., 40(3) : 168 – 181.
Aranaya, 1.N., N. Sano and K. lida, 1989b. Studies on acoustic target strength of squid.
IV, measurement of the mean target strenth of relatively large-seized live squid.
Bull. Fac. Fish. Hokkaido Univ., 40(3) : 18 – 31.
Aranaya, 1.N. and N. Sano, 1990b. Studies on acousticc target strength of squid. IV.
Simulations of squid target strength by prrolate spheroidal model. Bull. Fac.
Fish. Hokkaido Univ., 41(1), 32 – 42/
Burczyaski, J,J, and R. L. Johnson, 1986. Applications of dual-beam acoustic survey
techniques to limnetic population of juvenile sockeye salmon
(Oncorhynchusnerka). Can. J. Fish. Auat. Sci., 43 : 1776 – 1778.
Clay, C.S. and H. Medwin, 1977. Acoustical oceanography : principles and applications.
John wiley & sons, inc.,544 pp.
Craig. R. E. And S. T . foobes, 1969. Design of a sonar for fish counting. fiskDr. Skr. Sec.
havUnders., 15: 210 -219.
Ehrenberg, J. E. 1972. A method for extracting the fish target strengeth distribution fronm
acoustic echoes. Proc. 1974 IEEE Conf. Eng. Ocean Environ., vol. 1 : 61-64.
Ehrenberg, J. E. 974. Two application for dual-beam transducer in hydroacoustic fish
assessment system. Proc 1974 IEEE Conf. Eng. Ocean Environ., Vol. 1 : 152 –
155.
Ehrenberg, J. E. 1981. Analysis of split-beam backscattering cross section estimation and
single echo isolation. Applied physic laboratory, university of washington,
Seattle, WA. APL-UW 8108.
Ehrenberg, J. E., 1983. A review of in situ target strength estimation techniques. FAD
Fish. Rep., 300 : 85 – 90.
DAFTAR PUSTAKA

Ehrenberg, J. E. 1984. The Biosomics dual beam target strength measurement system.
FAO Fish. Circ., 778 : 71 – 78/
Foote, K.G., 1982. On multiple scattering in fisheries dcoustiesc. Intern. Counc. Explor.
Sea, CM 1982/B:3A, 6pp.
Foote, K.G., 1982. Energy in acoustic echoes from fish aggregation. Fish. Res., 1
(1981/1982) : 129 -140
Foote, K.G. F.H. Kristensen and H. Solli, 1984. Trial of a new split-beam echosounder.
Intern. Counc. Expl. Sea, CM. 1984/8 : 21 , 15 pp.
Foote, K.G., 1987. Fish target strengths for use inecho integrator surveys. J.
Acoust,Soc.Am., 82 (3) : 981 – 987.
Foote, K.G. 1988. Scheme for displaying fish position data in real time derived with a
split-beam echo sounders. J. Cons. Int . explor. Ner, 45 : 93 – 96.
Furusawa, M., 1988, Prolate spheroidal models fot predicting general trands of fish target
strength. J. Acoonst. Soc. Jpn (E), 9, 13 – 24.
Johnesson, K.A and G.F. losse. 1977.some results of observed abundance estimations
obatied in several UNDP/FAO Resource survey Projects. Rapp.P.ver.Reun. cons.
Int. Exsplor. Mer., 170 : 296 – 318.
Lytle, D.W and D.R Maxwell 1983. Hydroacoustic assessment in high density fish
schools. FAO Fish. Rep., 300, 157 – 171.
Robinson, B.J. 1982. An in situ technique to determine fish target strength, with results
for blue whiting (Micromesistius poutassou). Cons. Int. Explor. Mer., 40 : 153 –
160.
Sasakura, T., K. Minohara, J. Kagawa, 1987. Scientific sounder using quasi-ideal bean
transducer. Intern. Symp. Fish. Acoust., June 22 – 26, 1987, Seattle, Washington.
40 pp.
Urik, R.J. 1983. Principles of underwater sounde. Thrid edition. McGraw-Hill Book
Company, 423 pp.
Lampiran 1. Unit and symbols

The International System of Units has received worldwide acceptance, so it


is aspecially important that projects aesoclated with the United Naations
Organisation should make use of this system whenever possible to ensure
uniformity in its training programmes and in reporting the results of its work.
System International d’Unitba (International System of Units) abbrevinted
SI, was adopted by the 11th General Conference of Weights and Measures in 1960.
It includes three calsses of units :
1. Base units
2. Supplementary units
3. Derived units.
Which together form the coherent system of SI units.

1. Base Units : SI is founded on the seven base unit below.


Quantity Name of Base Unit Symbol
Length metre m
Masa kilogram kg
Time second s
Electrical current ampere A
Thermodynamic temperature kelvin K
Luminous intensity candela cd
Amount of substance mole mol

2. Supplementary Units
These units have not yet been classified as either base units or derivet units.
Quality name symbol
Plane angle radian rad
Solid angle steradian sr

3. derived units
Only those through to be appropriate to this manual are listed below
Quality Name Symbol Expressed as
Frequency hertz Hz 1 Hz = 1 s-1
Force newton N 1N = 1 kg m/s2
Pressure and stress pascal Pa 1 Pa = 1 N/m2
Work, energy, quantity of heat joule J 1J = 1 Nm
Power watt W 1W = 1 J/s
Electrical potential volt V 1V = 1 W/A
Electrical capacitance farad F 1F = 1 As/V
Electrical resistance ohm Ω 1Ω = 1 V/A
Electrical conductance siemens S 1S = 1 Ω-1

Lampiran 1. Lanjutan

4. Other Units
Quantity Name Symbol Expressed as
Absorption alpha α dB/km
Efficiency eta η %
Angle theta θ degrees
Wavelength lambda λ m
Density rho ρ kg/m3
Wave speed c m/s
Acoustic resistance rayl ρ kg/m2s
Acoustic cross-section sigma σ m2
Duration of time tau τ s
Angular velocity omega ω rads/g
Angle (ideal beam) Psi ψ
Intensity I
Electrical power Pe watts
Acoustic power WA w
Source level SL dB/lμPa
Directivity index DI 10 log (4πarea)/λ2
Transmission loss TL dB
Target strength TS dB
Receiving transducer sensitivity SRT dB/IV/lμPa
Radiator resistance RR ohms
Voltage at transducer terminals VRT dB/V
Echo level EL dB/lμPa
Band level BL dB
Calibrated voltage output VR dB/V

5. Multiples of SI Units
Again, only those multiples likely to occur in this manual are included :
Multiplication Factor Name Symbol
106 mega M
103 kilo k
102 hecto h
10-1 deci d
10-2 centi c
10-3 milli m
10-6 micro μ
10-9 nano n
10-12 pico p
Lampiran 2. Lanjutan

Examples
1 cm3 = (10-2 m)3 = 10-6 m3
1 μs-1 = (10-6 s)-1 = 106 s-1
1 mm2/s = (10-3 m)2/s = 10-6 m2/s
Compound prefixes should not be used, write nm (nanometer) NOT mμm
The coise of multiples (decimal multiple or submultiple) of an SI units is
taken for convenience, i.e. the particular multiple shosen will be the one leading to
numerical values within practical range. It is usually possible to keep these values
between 0,1 and 1000
Examples
0,00394 m can be written as 3,94 mm
1401 Pa can be written as 1.401 kPa
3,1 x 10-8 s can be written as 31 ns
In calculations, errors may be avoided more easily if quantities in SI with the
prefixed being replaced by powers of 10.
Symbol for units are printed in lower case up-right type and remain unaltered
in the plural, they should be written without a final full stop and be placed after be
complete numerical value. Upper case letters are used where the name of the unit is
derived from a proper name, e,g. newton,N or pascal, P.
m
Compound units, formet by another, e,g.
s

Are indicated as m/s, or ms-1 the letter form is preferable where multiple units occur
on the same line.

6. notes
1) the units of pressure in older textbooks was the μbar, this has been
replaced by the μPa. To convert μbar to μPa, add 100 dB,
e,g. 110 dB/lμbar/lm = 210 dB/lμbar/lm
or -110 dB/lV/lμbar = -210 dB/lV/lμbar
2) use of the nautical mile is standard for seagoing purposes, where the
terms mile or mile2 are used, a nautical mile is implied. (Never use nm as
an abbreviation for nautical mile.
3) The prefix hydro is regarded as superfiuous when fisheries acoustics are
being considered. It is not used in this manual.
4) Some dublication in the use of symbols inevitably occur but an
explanation is given in the section concerned.

Lampiran 2. Glossary of Terms


A. 1. Absorption coefficient t the coefficient α, denoting the power loss due to
absorption (symbol α)
2. Absorption loss t a temperature and frequency dependent power loss to
acoustic waves, linear with distance (symbol αR : unit dB)
3. Acoustic axis : region of maximum response, normally perpendicular to
the fase of a tranducer.
4. Acoustics : the theory of acoustic waves and their propagation
5. acoustic calibration : acasuring the performance of an acoustic system to a
specified standart (unit dB)
6. acoustic equation : see sonar equation
7. acoustic equipment : devices for the generation or reception of acoustic
waves
8. acoustic intensity : amount of acoustic power throght unit area. Referenca
is a plane wave intensity having an rms pressure equal to 1μPa (one micro
pascal) (symbol 1 : dB/1μPa)
9. acoustic power : acoustic energy per unit time
10. acoustic speed : speed at which acoustic waves trafel (symbol c ; unit m/s)
11. amplification : amount by which a signal is increased, see gain (unit dB)
12. amplifier : the device which increases signal size
13. amplitude : size of a signal
14. analogue :bfunctional similarity : (a circuit or device to generate voltages
proportional to quantities)
15. angular resolution : the amount of discrimination between targets
separated in angle (unit degrees)
16. array : multi-element transducer
17. attenuation : reduction or acoustic power due to spherical spreading and
absorption of the waves (unit dB/km)
18. automatic gain control : amplification variet in proportion to a received
signal to reduce output voltage variation.

B. 1. Back scattering : amount of acoustic power scattering bu a target into the


direction of the transmitting tranducer.
2. back scattering layer : biomas layer which back-scatters acoustic power
3. band width : the amount frequencies extend on either side of the nominal
acoustic frequency (symbol BW ; unit Hz)
4. beam angle : full included angle between the half-power points (symbol
ʘ : unit degrees)
5. bean half angle : angle where the acoustic power is half that of the axis
(symbol ʘ/2 unit degrees)
6. beam dual : see dual beam system
7. beam aquivalent : see equivalent beam
8. beam deflection : amount by which beam is moved in angle from its
normal acoustic axis
9. beam narrow : when full angle is less than 100
10. beam pattern : two-dimensional pattern showing the relative response of a
beam
11. beam wide : when full angle is more than 100
12. beam overlap : amount by which successive pings cover the same area
13. beam sidth : distance across the acoustic beam at a given range (unit :
metres)
14. blocking : when receiving function is stopped by a very large signal, as in
‘white line’.
15. body towed : see towed body
16. bottom lock : when the bottom signal forms a reference for echoes just
above it. (also seabed lock).
17. bottom discrimination : determining the nature of the bottom.
18. bottom noise : noise generated by tidal flow.
19. bottom pulse : electrical pulse produed from bottom echo.

C. 1. Calibration : measuring or adjusting the performance of a system to a


specified standart.
2. calibration equipment : signal generators, hydrophones, standart targets,
projectors, oscilloscopes, voltmeters, etc.
3. cavitation : production of voids in the water due to negative pressure.
4. channeling : restriction of acoustic waves boundaries.
5. contour line : similar function to ‘white line’.
6. cross section : see scattering-cross section.

D. 1. Dead zone : volume of the transduser beam, usually close to the seahed,
where targets cannot be detected.
2. decibel : logarithmic ratio used to express relative levels of acoustic or
electrical signal (unit : dB).
3. demodulation : process of extracting information ffrom a signal.
4. depth interval : selected interval between two depth, also known as a gate
(unit metres).
5. depth range : the total depth indicated on the display (unit metres)
6. depth recorder : device which indicated an records the depth of acoustic
targets and the enabed.
7. detection threshold : signal power in the receiver bandwidth relative to the
noise power in a 1 Hz band which permits the detection of a target against
specified criteria (unit : dB)
8. digital : having the circuit state of “OFF” or “ON”
9. directivity index : diagram of the concentrating power of a transducer
related to dimensions and acoustic wavelength, expressed in logarithmi a
form (symbol Dl : unit dB)
10. directivity pattern : diagram of the contentrating power of a transducer in
terms of beam angle and relative amplitude of the lobes.
11. display unit : for the display of signals and other information relating to
the echo-sounder.
12. Doppler effect : frequency difference (f) between the transmitted pulse (f 0)
and the received echo, due to the relative speed (V in m/s) between the
ship and the target inwater where the acoustic velocity is c, m/s and f =
2f0V/c
13. dual beam : multi-element transducer from which two concentric beams of
same frequency but different beeamwidths are formed.
14. dynamic range : the axtent which signals can be processed without
distortion (unit dB).

E. 1. Echo : an acoustic wave reflected from a target.


2. echo level : acoustic intensity at the receiving transducer (symbol : εL ;
unit dB)
3. echo paper dry : recording paper conductive with high voltage.
4. echo paper moist : recording paper conductive with low voltage.
5. echogram : record of a sequence of echoes.
6. echo integrator : unit to process and add the scoustic intensities from
selected depth intervals.
7. echo sounder : system comprising acoustic transmitter, echo receiver and
display.
8. echo sounding : finding the depth of a target by measuring the time from
transmission to echo.
9. echo ranging : finding to distance to a target by measuring the time from
transmission to echo.
10. echo trace : mark on a record caused by an echo.
11. electro-acoustic : process to convert electrical energy into acoustic energy.
12. electro-strictive :material which changes its dimensions under the
influence of an electrical field.
13. electro-acoustical efficiency : efficiency of electrical to acoustic energy
conversion (symbol η ; unit : dB or %).
14. equipment log sheet : a table of equipment readings.
15. equivalent angle : the included angle of an ‘ideal’ beam, calculated from
actual transducer characteristics.
16. expanded dynamic range : a technique to improve the ranges of tones on a
paper record.
17. expanded scale : display of a portion of range or depth at a size exceeding
its basic scale.

F. 1. Far-field : distance beyond where the initial fluctuations of intensity occur


when transmitted by a transducer.
2. figure of merit : comparative performance of acoustic systems based on
maximum allowable two-way transmission loss related to a target strength
of dB (symbol : FM ; unit : dB).
3. fish a bundance : how many fish are in a population.
4. fish detection : location of fish by acoustic means.
5. fish target strength :bratio of the acoustic intensity IR reflected from a fish
and measured 1 m away, to the incident acoustic intensity I i , 10 log IR/Ii
dB (symbol : TS ; unit : dB)
6. free-field : volume of water clear of boundaries.
7. frequency : number of complete cycle of an electrical or acoustic wave to
pass a given point in one second (symbol : f ; unit : Hz)
8. frequency counter : a device to count the number of complete cycles to
pass a given point in a given time.
9. frequency response : the extent to which a system is sensitive to a range of
frequencies (unit Hz)
G. 1. Gain : amount by which the amplitude (size) of a signal is increased (unit
dB)
2. geometrical loss : dispersal of energy of an acoustic wave due to the
spreading effect within the geometry of the beam.
3. geometrical spreading : increase in the cross section of an acoustic beam,
proportional to distance squared.
4. geometric cross-section : projected area of a target in the direction on
isonification.
5. geometric zone : where the relationship of wavelength λ to the dimensions
of a fish enables TS to be deduced from the laws of geometric optics. Λ
very much less than fish length.
6. ghost echo :an echo falsely related to the depth scale.

H. 1. Hydrophone : device to receive arounstle waves and convert them to


electrical signals.

I. 1. Impedance : ratio of generally complex quantities of pressure and particle


velocity or of voltage and current at the same time and place.
2. incident intensity : acoustic intensity falling on a target.
3. insonify : to ‘illuminate’ by means of acoustic waves.
4. isotropic : having non-directional properties.
5. integrator : see echo integrator
6. intensity : see acoustic intensity (symbol I ; unit dB/μPa)
7. interface : the matching unit between one instrument and another.
8. interference : an unwanted signal or a mainfunction.

L. 1. Layer : see scattering.


2. live fish calibration : overall calibration of an echo-souder/echo-integrator
system by insonifying fish and measuring the received intensity.
3. lobe : see side lobe.
4. log sheet : see survey equipment.
M. 1. Manual : hand control.
2. magneto-strictive : material which changes its dimensions under the
influence a magnetic field.
3. market button : a press buttom to make a line on a paper record.
4. minimum recordable signal : smallest amplitude (size) of signal which can
be seen on the display.
5. modulation : the process of impressing information ona signal (e,g. pulse)

N. 1. Nautical mile market : signal from ships log to mark a record, or to zero
an integrator.
2. near field : the distance within which tranducer measurements should not
be made.
3. noise level : number of dB by which noise is above or below a given
reference.
4. noise limited : distance at which detection is no langer possible because
the signal is obscured by noise.
5. noise reduction : number of dB by which noise is reduced from a
reference.
6. noise spectrum level : noise power for one cycle of energy, (symbol : SPL ;
unit : dB/lμPa/Hz)

Anda mungkin juga menyukai