Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

LAPORAN PENDAHULUAN

1.1 Konsep Dasar


1.1.1 Definisi
Tumor testis merupakan jenis tumor maligna yang paling sering terjadi
pada pria berusia 15-35 tahun (Brunicardi et al, 2010). Tumor ini ditandai dengan
massa padat asimtomatik tanpa nyeri pada testis.
Menurut Sjamsuhidajat dan Wim de Jong (1997) :dalam artian umum,
tumor adalah benjolan atau pembengkakan abnormal dalam tubuh.Dalam artian
khusus, tumor adalah benjolan yang disebabkan oleh adanya neoplasma.
Neoplasma adalah pertumbuhan sel-sel baru yang tidak terbatas, tidak ada
koordinasi dengan jaringan sekitarnya dan tidak berfungsi fisiologis. Sel tumor
adalah sel tubuh yang mengalami transformasi dan tumbuh secara autonom lepas
dari kendali pertumbuhan secara normal sehingga sel ini berbeda dari sel normal
dalam bentuk dan strukturnya. Tumor testis adalah tumor yang berasal dari sel
germinal atau jaringan stroma testis.

1.1.2 Anatomi dan Fisiologi Testis


Struktur reproduksi pria terdiri dari penis, testis dalam kantong skrotum,
sistem duktus yang terdiri dari epididimis, vas deferens, duktus ejakulatorius, dan
urethra; dan glandula asesoria yang terdiri dari vesikula seminalis kelenjar prostat
dan kelenjar bulbouretralis (Pichl, 1998).

Gambar Sistem Reproduksi Pria

1
Testis adalah organ genitalia pria yang terletak di skrotum. Ukuran testis
pada orang dewasa adalah 4 x 3 x 2,5 cm, dengan volume 15 – 25 ml, berbentuk
uvoid.
Gambar Anatomi Testis (Pandangan Sagital)

Kedua buah testis terbungkus oleh jaringan tunika albuginea yang melekat
pada testis. Di luar tunika albuginea terdapat tunika vaginalis yang terdiri atas
lapisan viseralis dan parietalis, serta tunika dartos. Otot kremaster yang berada di
sekitar testis memungkinkan testis dapat digerakkan mendekati rongga abdomen
untuk mempertahankan temperatur testis agar tetap stabil. Testis bagian dalam
terbagi atas lobulus yang berjumlah + 250 lobuli. Tiap lobulus terdiri dari tubulus
seminiferus, sel-sel sertoli dan sel-sel leydig. Produksi sperma atau
spermatogenesis terjadi pada tubulus seminiferus. Di dalam tubulus seminiferus
terdapat sel-sel spermatogonia dan sel-sel sertoli, sedang diantara tubuli seminiferi
terdapat sel-sel Leydig. Sel-sel spermatogonium pada prosis spermatogenesis
menjadi sel spermatozoa. Sel-sel ertoli berfungsi memberi makan pada bakal
sperma, sedangkan sel-sel Leydig atau disebut sel-sel interstitial testis berfungsi
dalam menghasilkan hormon testosteron.

Gambar Anatomi Testes (Potongan Sagital)

2
Pada bagian posterior tiap-tiap testis, terdapat duktus melingkar yang
disebut epididimis. Sel-sel spermatozoa yang diproduksi di tubuli seminiferi testis
disimpan dan mengalami pematangan atau maturasi di epididimis. Setelah matur
(dewasa) sel-sel spermatozoa bersama-sama dengan getah dari epididimis dan vas
deferens disalurkan menuju ampula vas deferens. Sel-sel itu setelah bercampur
dengan cairan-cairan epididimis, vas deferens, vesikula seminalis, serta cairan
prostat membentuk cairan semen atau mani.
Vas deferens adalah duktus ekskretorius testis yang membentang hingga ke
duktus vesikula seminalis, kemudian bergabung membentuk duktus ejakulatorius.
Duktus ejakulatorius selanjutnya bergabung dengan uretra yang merupakan
saluran keluar bersama baik untuk sperma maupun kemih.
Testis mendapatkan pasokan darah dari beberapa cabang arteri, yaitu (1) arteri
spermatika interna yang merupakan cabang dari aorta, (2) arteri deferensialis
cabang dari arteri vesikalis inferior, dan (3) arteri kremastika yang merupakan
cabang dari arteri epigastrika. Pembuluh vena yang meninggalkan testis
berkumpul membentuk pleksus pampiniformis. Pleksus ini pada beberapa orang
mengalami dilatasi dan dikenal sebagai varikokel.
Gambar Anatomi Testis dan Hubungan Vaskuler

1.1.3 Epidemiologi

3
Tumor testis terjadi 1-1,5% keganasan di antara keganasan pada pria dan
5% pada keganasan urologi (European Association of Urology, 2011). Tumor
testis ini dapat terjadi di usia berapa saja, tetapi insidensi meningkat di antara usia
15-35 tahun (Sachdeva et al., 2012). Di Eropa, terjadi 3-10 kasus baru per 100.000
pria/tahun. Peningkatan insidensi tumor testis dideteksi terutama pada tahun 1970-
1980-an dan semakin meningkat dalam 30 tahun terakhir.
American Cancer Society menyebutkan terjadi 8.400 kasus baru tumor
testis di Amerika Serikat selama tahun 2009 dan diduga pada tahun 2013 akan
didiagnosis 7.920 kasus baru tumor testis. Diduga setiap tahunnya, 9.000 kasus
baru tumor testis didiagnosis di Amerika Serikat. Sejak tahun 2002-2006, median
usia ketika pasien didiagnosis adalah 34 tahun. Terjadi peningkatan insidensi
kasus di antara tahun 1988-2001 yang mencapai 100%. Diagnosis tumor testis
seminoma meningkat mencapai 124% selama periode itu sedangkan non-
seminoma mencapai 64%. Resiko mortalitas dari tumor testis sangat rendah,
mencapai 1:5.000 dikarenakan terapi yang meningkatkan usia harapan hidup.
1.1.4 Etiologi
Penyebab tumor testis belum diketahui dengan pasti. Faktor genetik dan
infeksi virus HIV diduga memengaruhi terjadinya tumor ini (American Cancer
Society, 2012). Penderita kriptokismus atau bekas kriptokismus memiliki resiko
lebih tinggi untuk terjadinya tumor testis ganas (Sjamsuhidajat dan de Jong,
2004). Kriptokismus yang merupakan ekspresi disgenesia kelenjar gonad
berhubungan dengan suatu transformasi ganas. Selain itu, penggunaan hormon
dietilstilbestrol (DES) oleh ibu pada kehamilan usia dini meningkatkan resiko
malignansi pada alat kelamin bayi saat usia dewasa muda (Sjamsuhidajat dan de
Jong, 2004).
1.1.5 Patofisiologi
Penyebabnya yang pasti tidak diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang
menunjang terjadinya kanker testis. Testis undesensus (testis yang tidak turun ke
dalam skrotum) walaupun telah dikoreksi dengan operasi. Sindroma Klinefelter
(suatu kelainan kromosom seksual yang ditandai dengan rendahnya kadar hormon
pria, kemandulan, pembesaran payudara (ginekomastia) dan testis yang kecil).
Perkembangan testis yang abnormal. Testis desensus dan sindroma klinefelter ini

4
dapat menyebabkan diferensiasi dan proliferasi dari testis yang terganggu
sehingga sel leydig yang ada didalam testis tersebut tidak mampu untuk
menghasilkan hormone testosterone dalam jumlah yang cukup, dimana hormone
testosterone ini berfungsi dalam proses diferensiasi dari vas deferen dan vesika
seminalis. FSH dan ICSH akan dilepaskan oleh kelenjar hipofisis berfungsi dalam
spermatogenesis. Karena ketidakseimbangan hormon ini kelenjar hipofisis
mengalami suatu mekanisme kompensasi untuk dapat memenuhi
ketidakseimbangan hormone FSH dan ICSH tersebut. Mekanisme kompensasi
tersebut menyebabkan ICSH tersebut meningkat dalam jumlah yang banyak untuk
merangsang sel leydig untuk terus mengahasilkan hormone testosterone. Akibat
sel leydig tersebut terus dipacu, sel leydig tersebut bertambah banyak dan tidak
terkontrol yang dapat menjadi kaganasan sehingga testis terus membesar.
Tumor testis pada mulanya berupa lesi intratestikuler yang akhinya
mengenai seluruh parenkim testis. Sel-sel tumor kemudian menyebar ke rete
testis, epididimis, funikulus spermatikus, atau bahkan ke kulit scrotum. Tunika
albugenia merupakan barrier yang sangat kuat bagi penjalaran tumor testis ke
organ sekitarnya, sehingga kerusakan tunika albugenia oleh invasi tumor
membuka peluang sel-sel tumor untuk menyebar keluar testis.
Kecuali kariokarsinoma, tumor testis menyebar melalui pembuluh limfe
menuju ke kelenjar limfe retroperitoneal (para aorta) sebagai stasiun pertama,
kemudian menuju ke kelenjar mediastinal dan supraclavikula, sedangkan
kariokarsinoma menyebar secara hematogen ke paru-paru (Anonim, 2010).

5
WOC (Web Of Caution)

Kelainan Herediter Kelainan Paparan bahan kimia


Kromosom /
mutasi gen
penekanan/kerusak Adanya benjolan
an jaringan syaraf pada testis

MK : Nyeri Akut Tumor Testis

Sindroma Klinefelter
Penurunan hormon (suatu kelainan
testosteron kromosom seksual)

Hipogonadisme
(penurunan aktivitas
kelenjar gonad)
Diagnosi, prognosis
penurunan jangka panjang
fungsi/struktur tubuh
Testis tidak dapat
berkembang secara MK : Kecemasan
normal
Gangguan seksual

MK :Gangguan Testis Undesensus


(Testis yang tidak
fungsi seksual
turun ke skrotum)

6
1.1.6 Klasifikasi
95% dari tumor testis primer berasal dari sel germinal, sisanya berasal dari
non germinal (Purnomo, 2009). Menurut WHO, tumor germinal testis terdiri atas
seminoma dan non seminoma. Tumor seminoma, yang meliputi sekitar 40% dari
tumor ganas testis, terbagi menjadi tiga, antara lain klasik, spermatositik, dan
anaplastik. Sedangkan tumor non seminoma terbagi menjadi karsinoma sel
embrional, korio karsinoma, teratoma, dan tumor yolk sac.
Tumor seminoma didominasi oleh jenis klasik seminoma, yang mencapai
95% dari jenis tumor testis seminoma. Jenis tumor ini biasanya terjadi pada pria
berusia 25-45 tahun (American Cancer Society, 2012). Jenis spermatositik
biasanya terjadi pada pria berusia lebih dari 65 tahun dan sangat jarang
ditemukan. Jenis ini tumbuh lebih lambat dan lebih jarang bermetastasis
dibandingkan jenis klasik seminoma.
Tumor non-seminoma sering terjadi pada pria usia 15-30 tahun.
Kebanyakan tumor non-seminoma terdiri dari dua jenis tumor, namun ini tidak
mempengaruhi jenis terapi yang digunakan. Karsinoma sel embrional merupakan
jenis yang sering terlihat pada tumor testis non-seminoma. Ketika dilihat di bawah
mikroskop, jenis ini akan terlihat seperti jaringan embryo. Jenis ini tumbuh cepat
di dalam testis dan meningkatkan penanda tumor seperti alpha-feto protein
maupun HCG. Karsinoma yolk-sac biasanya lebih sering terjadi pada anak dan
turut meningkatkan penanda tumor AFP. (American Cancer Society, 2012).
Koriokarsinoma hanya terjadi pada 1% dari keseluruhan tumor non seminoma
(Sjamsuhidajat dan De Jong, 2004) dan selalu terjadi pada orang dewasa.
Koriokarsinoma tumbuh dengan sangat cepat dan bermetastasis dengan sangat
cepat pada paru, tulang, dan otak. Koriokarsinoma juga meningkatkan penanda
tumor HCG. Teratoma merupakan jenis yang jarang menyebar, lebih jinak, dan
jarang bermetastasis. Teratoma juga tidak meningkatkan produksi AFP maupun
HCG (American Cancer Society, 2012).
Tumor non germinal testis terdiri atas tumor sel leydig, tumor sel sertoli,
tumor sel granulosa, fibroma, dan gonadal stromal tumor (Albers et al, 2012).
Tumor sel leydig paling sering timbul pada orang dewasa, namun dapat juga
timbul pada anak-anak. Tumor ini biasanya jinak, namun sulit untuk

7
memperkirakan kemungkinan adanya keganasan. Tumor sel sertoli dapat timbul
pada setiap usia, termasuk pada janin, namun tumor-tumor ini biasanya jinak
walaupun 10% dari insidensi tumor memperlihatkan keganasan (Price dan Wilson,
2005).
1.1.7 Stadium Tumor
Berdasarkan sistem klasifikasi TNM, penentuan T dilakukan setelah
orkidektomi berdasarkan pemeriksaan histopatologik. Beberapa cara penentuan
stadium klinis yang lebih sederhana dikemukakan oleh Boden dan Gibb, yaitu
stadium I untuk tumor testis yang masih terbatas pada testis, stadium II untuk
tumor yang telah mengadakan penyebaran ke kelenjar regional (para aorta), dan
stadium III untuk tumor yang telah menyebar keluar dari kelenjar retroperitoneum
atau telah mengadakan metastasis supradiafragma. Stadium II dibedakan menjadi
II A untuk pembesaran limfonodi para aorta yang belum teraba dan stadium IIB
untuk pembesaran limfonodi yang telah teraba (> 10 cm) (Purnomo, 2009).
Tumor testis pada mulanya berupa lesi intratestikuler yang akhirnya
mengenai seluruh parenkim testis. Sel-sel tumor kemudian menyebar ke rete
testis, epididimis, funikulus spermatikus, bahkan ke kulit skrotum. Tumor
testis menyebar melalui pembuluh limfe menuju ke kelenjar limfe
retroperitoneal (para aorta), lalu menuju ke kelenjar limfe mediastinal dan
supraklavikula; secara hematogen tumor testis dapat menyebar ke paru,
hepar, dan otak.
Boden Gibb TNM
I T Terbatas pada testis
Tis Intratubuler (insitu)
T1 Testis dan rete testis
T2 Menembus tunika
albuginea/epididimis
T3 Funniculus spermaticus
T4 Skrotum
II N Penyebaran ke kelenjar
limfe regional
(retroperitoneal)
II A N1 Tunggal; ≤ 2 cm
II B N2 Tunggal 2-5 cm; multipel
≤ 5 cm

8
II C N3 Tunggal atau multipel > 5
cm
>10 cm
III M1a Penyebaran di atas
kelenjar retroperitoneal
M1b Metastasis hematogen
(paru, hati, otak, dan
tulang)
Sistem Penderajatan Tumor Testis (Purnomo, 2009)

Keterangan Penanda Tumor (American Cancer Society, 2012)


1.1.8 Gejala Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Gejala pada pasien diawali dengan pembesaran testis yang tidak nyeri.
Teraba massa di skrotum unilateral dan tidak nyeri. Asal massa skrotum harus
segera ditentukan karena kebanyakan massa yang tumbuh dalam atau berasal dari
testis merupakan keganasan sedangkan massa ekstratestikular biasanya jinak
(Price dan Wilson, 2005). Massa testikular juga sering menyebabkan bias yang
disebabkan oleh epididimitis atau orkitis, akan tetapi jika pemberian antibiotik
tidak mengurangi massa, dianjurkan untuk mengadakan USG. 20% dari kasus
menunjukkan gejala awal pasien adalah nyeri pada skrotum. Ginekomastia
muncul pada 7% pasien dan lebih sering terjadi pada tumor testis non-seminoma
(Albers, 2012).
Gejala tanda tanda lain seperti nyeri pinggang, dispnea atau batuk, nyeri
kepala, dan ginekomastia merupakan petunjuk adanya metastasis yang luas

9
(Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004). Nyeri pinggang terjadi pada 11% pasien
(Albers, 2012). Metastasis paraaorta yang luas menyebabkan perut menjadi
kembung, dengan atau tanpa nyeri pinggang. Metastasis di paru kadang luas dan
cepat sehingga terjadinya sesak napas. Gonadotropin yang disekresi oleh sel
tumor menyebabkan ginekomastia. Ginekomastia adalah manifestasi dari
beredarnya kadar β HCG di dalam sirkulasi sistemik yang terdapat pada
koriokarsinoma maupun tumor sel leydig. Tumor sel leydig dapat mensekresi
androgen atau estrogen yang menyebabkan timbulnya ginekomastia pada anak
laki-laki (Price dan Wilson, 2005). Kadang keadaan umum merosot cepat dengan
penurunan berat badan.
Pada pemeriksaan fisik testis terdapat benjolan padat keras, tidak nyeri
saat palpasi, dan tidak menunjukkan tanda transluminasi. Perlu diperhatikan
adanya infiltrasi tumor pada funikulus atau epididimis, massa di abdomen,
benjolan kelenjar supraklavikuler, atau ginekomasti.
1.1.9 Pemeriksaan Penunjang
1. Penanda Tumor
Pada karsinoma testis germinal, penanda tumor bermanfaat untuk
membantu diagnosis, penentuan stadium, monitoring respons terapi, dan indikator
prognosis tumor testis (Purnomo, 2009). Penanda tumor wajib diperiksa pre-
orkidektomi, 24 jam setelah orkidektomi, dan pemeriksaan serial setiap minggu
sampai diketahui normal (SIGN, 2011). Penanda tumor yang paling sering
diperiksa antara lain:
1) αFP (Alfa Feto Protein) adalah suatu glikoprotein yang merupakan
homolog albumin dan berperan sebagai protein carrier pada fetus (SIGN,
2011). AFP diproduksi oleh karsinoma embrional, teratokarsinoma, atau
tumor yolk sac (tumor non-seminoma); tetapi tidak diproduksi oleh
koriokarsinoma murni dan seminoma murni. Peningkatan AFP juga dapat
terjadi pada karsinoma sel hepar dan kanker gastrointestinal yang lain
(SIGN, 2011). Penanda tumor ini memiliki masa paruh waktu 5-7 hari.
2) HCG (Human Chorionic Gonadotropin) adalah suatu glikoprotein hormon
yang pada keadaan normal diproduksi oleh jaringan plasenta dan trofoblas.
Penanda tumor ini meningkat pada semua pasien koriokarsinoma, pada 40-

10
60% pasien karsinoma embrional, dan 5-10% pasien seminoma murni.
HCG mempunyai waktu paruh 24-36 jam.
3) LDH (Lactate Dehydrogenase) adalah enzim intraseluler yang terdapat
pada hampir semua sel yang bermetabolisme, dengan konsentrasi tertinggi
dijumpai pada jantung, otot rangka, hati, ginjal, otak, dan sel darah merah.
Walaupun kurang spesifik, LDH merupakan penanda yang berguna
terutama pada stadium seminoma dan non-seminoma pada tumor testis.
Peningkatan LDH menunjukkan metastasis yang luas pada tumor testis.
2. Pencitraan
Pemeriksaan ultrasonografi bermanfaat untuk membedakan dengan jelas
lesi intra atau ekstratestikuler dan massa padat atau kistik, namun pemeriksaan
ultrasonografi tidak dapat memperlihatkan tunika albuginea, sehingga tidak dapat
menentukan stadium tumor testis. Pemeriksaan USG yang menunjukkan adanya
tumor testis tanpa peningkatan penanda tumor seperti AFP, HCG, maupun LDH,
diagnosis ditegakkan melalui biopsi testis.
Hasil fals positif sering muncul pada berbagai macam kondisi, misalnya
rete testis yang berdilatasi yang terlihat seperti massa pada testis; infark testis juga
dapat memperlihatkan tanda hipoechoic dan terlihat seperti proses malignansi
tumor (Light et al., 2013).

11
Tumor Testis yang muncul sebagai massa hipoechoic pada USG
(Medscape, 2012)
Berbeda dengan pemeriksaan ultrasonografi, MRI dapat mengenali tunika
albuginea secara terperinci sehingga dapat digunakan untuk menentukan luas
ekstensi tumor testis. CT Scan berguna untuk menentukan ada tidaknya metastasis
pada retroperitoneum, sayangnya pemeriksaan CT tidak mampu mendeteksi
mikrometastasis pada kelenjar limfe retroperitoneal (Purnomo, 2009). Foto paru
dibuat terutama untuk diagnosis metastasis paru.
1.1.10 Penatalaksanaan
1. Tumor Testis Seminoma
Tumor testis seminoma merupakan tumor ganas yang cukup sensitif
terhadap radioterapi dan kemoterapi. Pemilihan terapi didasarkan pada derajat
penyebaran setelah orkidektomi dan pemeriksaan lengkap, termasuk keterangan
histologi kelenjar limfe retroperitoneal (Sjamsuhidajat dan de Jong, 2004).

12
Pasien dengan stadium I seminoma dilakukan terapi operatif berupa
orkidektomi. 15-20% pasien dengan seminoma stadium I dapat mengalami
metastasis retroperitoneal dan dapat kambuh setelah dilakukan orkidektomi
(Albers et al., 2011). Oleh karena itu, dilakukan radioterapi pada kelenjar limfe
regio paraaorta dan regio iliaka ipsilateral dengan dosis moderat (20-24 Gy).
Pemberian kemoterapi pada stadium I (berupa carboplatin dalam satu siklus) juga
dapat dijadikan alternatif (Oliver, et al., 2011) walaupun tidak memberikan
perbedaan signifikan pada kekambuhan setelah follow up selama 4 tahun. Diseksi
kelenjar limfe retroperitoneal (retroperitoneal lymphnode dissection) atau RPLND
tidak direkomendasikan pada stadium I seminoma.
Pasien dengan stadium IIA dan IIB setelah ordikdektomi, standar terapinya
adalah radioterapi (Albers, 2011). Radiasi dilakukan pada regioparaaorta dan
regio panggul ipsilateral dengan dosis 30-36 Gy. Pengurangan dosis hingga 27 Gy
diketahui menimbulkan kekambuhan pada 11% pasien. Pada stadium IIB,
alternatif lain radioterapi adalah kemoterapi. Pada kemoterapi diberikan 4 siklus
EP (etoposide dan cisplatin) atau 3 siklus PEB (cisplatin, etoposide, dan
bleomycin). Penggunaan agen tunggal carboplatin tidak dianjurkan. Dikarenakan
seringnya terjadi kekambuhan pada stadium II C dan stadium III diberikan skema
kemoterapi yang berlaku untuk penderita non seminoma.
2. Tumor Testis Non-Seminoma
Penderita dengan tumor non seminoma cenderung tidak sensitif pada
radioterapi. Pada non seminoma stadium I, setelah dilakukan orkidektomi,
dianjurkan untuk dilakukan kemoterapi dengan dua siklus PEB (cisplatin, eposide,
dan bleomycin) (Albers et al., 2011). Setelah itu baru dilakukan tindakan
pembersihan kelenjar retroperitoneal (RPLND). Tindakan diseksi kelenjar pada
pembesaran aorta didahului dengan pemberian sitotastika terlebih dahulu dengan
harapan terjadinya downstaging dan pengecilan ukuran tumor. Kekambuhan dapat
terjadi pada 30% pasien, dengan 80% kekambuhan terjadi pada tahun pertama
follow up, 12% pada tahun kedua, 6% tahun ketiga, dan 2% pada tahun keempat
dan kelima.
Pada pasien non-seminoma dengan stadium II memiliki terapi yang hampir
sama dengan stadium I. Setelah dilakukan orkidektomi, pada stadium II A

13
diberikan kemoterapi dua seri, II B diberikan kemoterapi empat seri. Selanjutnya
dilakukan tindakan RPLND. Penderita stadium II C dan III diberikan kemoterapi
yang terdiri atas PEB (sisplatin, bleomisin, dan etoposide). Bila respons tidak
sempurna, diberikan seri tambahan dengan sediaan kemoterapi lain. Dapat
diberikan empat siklus PEI/VIP/TIP/VeIP. Bila masih terdapat sisa jaringan di
regio retroperitoneal, dilakukan laparatomi eksplorasi.
Setelah dilakukan terapi, baik pada seminoma dan non seminoma
dianjurkan untuk pemeriksaan berkala, baik pemeriksaan fisik, penanda tumor,
USG, dan foto dada. Untuk pemeriksaan fisik dan penanda tumor minimal empat
kali dalam setahun, di dalam dua tahun pertama setelah terapi. Untuk tahun-tahun
selanjutnya sampai 10 tahun ke depan minimal kontrol berkala sekali dalam
setahun. Untuk foto dada dan USG dilakukan minimal dua kali dalam setahun
dalam dua tahun pertama.
3. Tumor Non Germinal
Untuk tumor testis non germinal, baik tumor sel leydig, tumor sel sertoli,
dan lainnya, direkomendasikan untuk melakukan organ sparing-procedure pada
lesi intraparenkimal untuk menegakkan diagnosis histologis., terutama pada
pasien dengan ginekomastia dan disorder hormonal, diagnosis non-germinal
tumor testis harus dipertimbangkan dan orkidektomi tanpa pertimbangan
sebaiknya dihindari.
Jika terdapat tanda-tanda keganasan, terutama pada pasien yang lebih tua,
orkidektomi dan RPLND sangat direkomendasikan untuk menghindari terjadinya
metastasis. Tumor non-germinal yang ganas, yang sudah bermetastasis ke
limfonode, paru, hati, dan tulang tidak terlalu merespon baik terhadap kemoterapi
maupun radioterapi dan prognosisnya kurang baik (Albers et al, 2011).
1.2 Manajemen Keperawatan
1.2.1 Pengkajian

Aktivitas/istirahat Gejala: Kelemahan dan/atau keletihan.


Perubahan pada pola istirahat dan jam
kebiasaan tidur pada malam hari; adanya
faktor-faktor yang mempengaruhi tidur,

14
misalnya nyeri, ansietas, berkeringat malam.
Keterbatasan partisipasi dalam hobby,
latihan.
Pekerjaan atau profesi dengan pemajanan
karsinogen lingkungan, tingkat stress tinggi.
Sirkulasi Gejala: Palpitasi, nyeri dada pada
pengerahan kerja.
Kebiasaan: Perubahan pada tekanan darah.
Integritas ego Gejala: Faktor stress (keuangan, pekerjaan,
perubahan peran) dan cara mengatasi stress
(misalnya merokok, minum alkohol,
menunda mencari pengobatan, keyakinan
religious/ spiritual).
Masalah tentang perubahan dalam
penampilan, misalnya alopesia, lesi cacat,
pembedahan.
Menyangkal diagnosis, perasaan tidak
berdaya, putus asa, tidak mampu, tidak
bermakna, rasa bersalah, kehilangan control,
depresi.
Tanda: Menyangkal, menarik diri, marah.
Eliminasi Gejala: Perubahan pada pola defekasi,
misalnya darah pada feses, nyeri pada
defekasi.
Perubahan eliminasi urinarius, misalnya
nyeri atau rasa terbakar pada saat berkemih,
hematuri, sering berkemih.
Tanda: Perubahan pada bising usus, distensi
abdomen.
Makanan/cairan Gejala: Kebiasaan diet buruk (misalnya
rendah serat, tinggi lemak, adiktif, bahan
pengawet).
Anoreksia, mual/muntah.
Intoleransi makanan.
Perubahan pada berat badan; penurunan
berat badan, kakeksia, berkurangnya massa
otot.
Tanda: Perubahan pada kelembaban/turgor
kulit; edema.

15
Neurosensori Gejala: Pusing; sinkope.
Gejala: Tidak ada nyeri, atau derajat
bervariasi, misalnya ketidaknyamanan
Nyeri/kenyamanan
ringan sampai nyeri berat (dihubungkan
dengan proses penyakit).
Gejala: Merokok (tembakau, mariyuana,
Pernapasan hidup dengan seseorang yang merokok)
Pemajanan asbes
Gajala: Pemajanan pada kimia toksik,
karsinogen.
Keamanan
Pemajanan matahari lama/berlebihan.
Tanda: Demam. Ruam kulit, ulserasi.
Gejala: Masalah seksualitas, misalnya
dampak pada hubungan, perubahan pada
tingkat kepuasan.
Seksualitas
Nuligravida lebih besar dari usia 30 tahun.
Multigravida, pasangan seks multiple,
aktivitas seksual dini. Herpes genital.
Gejala: Ketidakadekuatan/kelemahan sistem
pendukung.
Riwayat perkawinan (berkenaan dengan
Interaksi social kepuasan di rumah, dukungan, atau
bantuan).
Masalah rentang fungsi/tanggung jawab
peran.
Gejala: Riwayat kanker pada keluarga,
misalnya ibu atau bibi dengan kanker
payudara.
Sisi primer: penyakit primer dalam rumah
Penyuluhan/pembelajaran tangga ditemukan/didiagnosis.
Penyakit metastatik: sisi tambahan yang
terlibat; bila tidak ada, riwayat alamiah dari
primer akan memberikan informasi penting
untuk mencari metastatik.

1.2.2 Diagnosa Keperawatan

16
1. Nyeri (akut) berhubungan dengan proses penyakit (penekanan/kerusakan
jaringan syaraf, infiltrasi sistem suplay syaraf, obstruksi jalur syaraf,
inflamasi), efek samping terapi kanker.
2. Cemas/takut berhubungan dengan situasi krisis (kanker), perubahan
kesehatan, sosio ekonomi, peran dan fungsi, bentuk interaksi, persiapan
kematian, pemisahan dengan keluarga.
3. Resiko tinggi gangguan fungsi seksual berhubungan dengan defisit
pengetahuan/keterampilan tentang alternatif respon terhadap transisi
kesehatan, penurunan fungsi/struktur tubuh, dampak pengobatan.
1.2.3 Intervensi Keperawatan
1. Nyeri (akut) berhubungan dengan proses penyakit (penekanan/kerusakan
jaringan syaraf, infiltrasi sistem suplay syaraf, obstruksi jalur syaraf, inflamasi),
efek samping terapi kanker.

Tujuan Intervensi
Tujuan : Setelah diberikan NIC Label >> Pain
asuhan keperawatan selama …. Management
Diharapkan nyeri terkontrol 1. Observasi respon verbal
dengan kriteria hasil: dan nonverbal pasien
NOC Label >> Depression terhadap nyeri
Level 2. Monitor kepuasan pasien
1. Tidak ada mood depresi terhadap manajemen nyeri
2. Ketertarikan terhadap 3. Tingkatkan istirahat dan
aktivitas meningkat tidur yang adekuat
3. Tidak ada gangguan 4. Kelola analgetik
konsentrasi 5. Jelaskan pada pasien
4. Tidak ada keletihan penyebab nyeri
5. Tidak ada gangguan 6. Ajarkan teknik
tidur nonfarmakologis
NOC Label >> Pain Control (relaksasi, masase
1. Pasien melaporkan punggung)
nyeri terkontrol NIC Label >> Analgetic
2. Pasien menyadari onset Administration
nyeri  Tentukan lokasi,
3. Pasien mampu karakteristik, kualitas, dan
menentukan factor derajat nyeri sebelum
penyebab nyeri pemberian obat
NOC Label >> Pain Level  Cek instruksi dokter tentang
1. Tidak ada ekspresi jenis obat, dosis dan
menahan nyeri dan frekuensi
ungkapan secara verbal  Cek riwayat alergi
2. Tidak ada tegangan otot

17
3. Pasien tidak mengerang  Pilih analgetik yang
dan menangis diperlukan atau kombinasi
dari analgetik ketika
pemberian lebih dari satu
 Tentukan pilihan analgetik
tergantung tipe dan beratnya
nyeri
 Tentukan analgetik pilihan,
rute pemberian dan dosis
optimal
 Pilih rute pemberian
secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri secara
teratur
 Monitor vital sign sebelum
dan sesudah pemberian
anlgetik pertama kali
 Berikan analgetik tepat
waktu terutama saat nyeri
hebat
 Mengvaluasi efektifitas
analgetik, tanda dan gejala
(efek samping)
NIC Label >> Vital Sign
Monitoring
 Monitor tekanan darah,
denyut nadi, suhu tubuh,
dan status pernapasan
yang sesuai
 Monitor tekanan darah
pasien setelah minum obat
 Pantau dan laporkan tanda
dan gejala dari
hipothermia dan
hiperthermia
 Monitor kualitas denyut
nadi
 Monitor irama dan denyut
jantung
 Monitor irama pernapasan
 Monitor warna kulit, suhu
tubuh, dan kelembaban
Mengidentifikasi
kemungkinan penyebab dari
perubahan tanda-tanda vital

18
2. Cemas/takut berhubungan dengan situasi krisis (kanker), perubahan
kesehatan, sosio ekonomi, peran dan fungsi, bentuk interaksi, persiapan
kematian, pemisahan dengan keluarga.
Tujuan:
a. Klien dapat mengurangi rasa cemasnya
b. Rileks dan dapat melihat dirinya secara obyektif.

c. Menunjukkan koping yang efektif serta mampu berpartisipasi


dalam pengobatan.
Intervensi Rasional
1. Tentukan pengalaman klien 1. Data-data mengenai
sebelumnya terhadap penyakit pengalaman klien sebelumnya
yang dideritanya. akan memberikan dasar untuk
penyuluhan dan menghindari
adanya duplikasi.

2. Pemberian informasi dapat


2. Berikan informasi tentang membantu klien dalam
prognosis secara akurat. memahami proses penyakitnya.

3. Dapat menurunkan kecemasan


3. Beri kesempatan pada klien klien.
untuk mengekspresikan rasa
marah, takut, konfrontasi. Beri
informasi dengan emosi wajar
dan ekspresi yang sesuai. 4. Membantu klien dalam
memahami kebutuhan untuk
4. Jelaskan pengobatan, tujuan dan pengobatan dan efek
efek samping. Bantu klien sampingnya.
mempersiapkan diri dalam
pengobatan. 5. Mengetahui dan menggali pola
koping klien serta
5. Catat koping yang tidak efektif mengatasinya/memberikan
seperti kurang interaksi sosial, solusi dalam upaya
ketidak berdayaan. meningkatkan kekuatan dalam
mengatasi kecemasan.

6. Agar klien memperoleh


dukungan dari orang yang
6. Anjurkan untuk terdekat/keluarga.
mengembangkan interaksi

19
dengan support system. 7. Memberikan kesempatan pada
klien untuk berpikir/ merenung/
7. Berikan lingkungan yang tenang istirahat.
dan nyaman.
8. Klien mendapatkan kepercayaan
8. Pertahankan kontak dengan diri dan keyakinan bahwa dia
klien, bicara dan sentuhlah benar-benar di tolong.
dengan wajar.

3. Resiko tinggi gangguan fungsi seksual berhubungan dengan defisit


pengetahuan/keterampilan tentang alternatif respon terhadap transisi
kesehatan, penurunan fungsi/struktur tubuh, dampak pengobatan.
Tujuan Intervensi
Setelah dilakukan asuhan <<NIC LABEL: Sexual
keperawatan selama … x 24 Counseling>>
jam, diharapkan disfungsi 1. Menentukan jumlah rasa
bersalah seksual yang
seksual klien dapat diatasi,
berhubungan dengan persepsi
dengan criteria hasil : pasien tentang faktor-faktor
<<NOC LABEL : Sexual penyebab penyakit
Functioning>> 2. Merujuk pasien ke ahli terapi
 Klien mampu mencapai seks
gairah seksual (Skala 5). 3. Membahas obat berpengaruh
 Klien mampu ereksi (Skala pada seksualitas
5). 4. Membahas pengetahuan pasien
 Klien mampu mencapai tentang seksualitas secara
gairah untuk orgasme(Skala umum
5). 5. Membahas modifikasi yang
 Klien mampu diperlukan dalam
mengekspresikan minat kegiatan seksual
seksual (skala 5) 6. Menggunakan humor dan
 Klien mampu mendorong pasien untuk
mengungkapkan kenyamanan menggunak>> an humor untuk
seksual. (skala 5). meredakan kecemasan
<<NOC LABEL : Body Image atau rasa malu
 Klien merasakan kepuasan 7. Menyertakan pasangan /
pada dirinya (Skala 5) partner seksual dalam
 Klien mampu menyesuaikan konseling sebisa mungkin.
diri terhadap perubahan <<NIC LABEL: Teaching
fungsi tubuh. (skala 5) Sexuality>>
 Klien mampu menyesuaikan 1. Menjelaskan anatomi dan
diri terhadap perubahan fisiologi manusia dari wanita

20
status kesehatan (Skala 5) dan pria.
2. Menjelaskan anatomi fisiologi
dan anatomi reproduksi
manusia.
3. Orang tua mendukung peran
sebagai pendidik sexulity
utama anak-anak mereka.
<<NIC LABEL: Reproductive
Technology Management>>
1. Membantu pasien untuk fokus
pada bidang kehidupan
keberhasilan berhubungan
dengan status kesuburan
2. Membantu dengan prosedur
fertilisasi
3. Menjadwalkan tindak lanjut tes

21
DAFTAR PUSTAKA

Albers, P., et al. 2012. Guidelines on Testicular Cancer from European


Association of Urology, diunduh dari
www.uroweb.org/gls/pdf/10_Testicular_Cancer.pdf

American Cancer Society. 2012. Testicular Cancer. Diunduh dari


www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003142-pdf.pdf

Brunicardi F.C., et al. 2010. Schwartz’s Principle of Surgery Ninth Edition. USA:
The McGraw Hill Companies.

Light D., et al. 2013. Malignant Testicular Tumor Imaging. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/381007-overview#a22

Price S.A dan Wilson L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit Ed. 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Purnomo, B. 2009. Dasar-dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto.

Sachdeva, K., et al. 2012. Testicular Cancer, diunduh dari


http://emedicine.medscape.com/article/279007-overview#a0199

Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). Management of Adult


Testicular Germ Cell Tumours. SIGN Publication 2011; 124: 1-70.

Sjamsuhidajat R., dan Jong W.D. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Ed. 2. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Anonim. 2010. Karsinoma Testis Online
http://www.scribd.com/doc/32055135/Ca-testis. (akses : 20 February
2017)

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC

Dochterman, Joanne McCloskey. 2004. Nursing Interventions Classification


(NIC) Fourth Edition. St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier

NANDA Internasional 2010. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi


2009-2011. Jakarta: EGC

Price, Sylvia Anderson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit


vol 2; edisi 6. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta : EGC

22

Anda mungkin juga menyukai