Anda di halaman 1dari 39

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Manajemen Pemasaran

Berhasil atau tidaknya suatu perusahaan di dalam pencapaian tujuannya


tergantung pada bidang pemasaran, produksi, keuangan, maupun bidang lainnya
seperti personalia, selain itu juga tergantung pada kemampuan mereka untuk
mengkombinasikan fungsi-fungsi tersebut agar perusahaan dapat berjalan dengan
lancar. Manajemen pemasaran merupakan suatu ilmu yang dipergunakan oleh
perusahaan untuk memenuhi kebutuhan konsumen menjadi peluang yang
menghasilkan laba perusahaan. Berikut ini adalah beberapa pengertian manajemen
pemasaran menurut para ahli.

Pengertian manajemen pemasaran menurut Kotler dan Armstrong


(2014:465) yang diterjemahkan oleh Sabran adalah proses di mana perusahaan
menciptakan nilai bagi pelanggan dan membangun hubungan yang kuat dengan
pelanggan dengan tujuan untuk menangkap nilai dari pelanggan sebagai
imbalannya.

Sedangkan manajemen pemasaran menurut Buchari Alma (2014:132)


memberikan definisi :“Marketing management is the planning, direction and
control of of the enrtire marketing activity of a firms or division of a firms”. Maksud
dari pengertian tersebut adalah Manajemen pemasaran adalah perencanaan,
pengarahan dan pengawasan dari aktivitas enrtire pemasaran dari perusahaan atau
divisi dari perusahaan.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka pemasaran (marketing) adalah


serangkaian kegiatan pribadi atau organisasi untuk mengetahui dan memenuhi
kebutuhan yang diingkan pelanggan serta usaha perusahaan melalui proses
pertukaran. Kegiatan yang dimaksud adalah membuat, berkomunikasi,
menciptakan nilai kepada pelanggan dan membangun hubungan yang kuat dengan
pelanggan.

8
9

2.1.1 Definisi kualitas

Kualitas merupakan salah satu kunci dalam memenangkan persaingan


dengan pasar. Ketika perusahaan telah mampu menyediakan produk berkualitas
maka telah membangun salah satu fondasi untuk menciptakan kepuasan pelanggan.

Kualitas menurut Garvin dan Davis dalam Nasution (2015:3) adalah suatu
kondisi dinamis dimana yang berhubungan dengan produk, manusis/tenaga kerja,
proses dan tugas, serta lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan
pelanggan ataupun konsumen. Adapun dalam definisi strategis dinyatakan bahwa
kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginanan atau kebutuhan
pelanggan (meeting the needs of customers) dalam Sinambela (2011:6).

Menurut Goetsch dan Davis dalam Tjiptono (2012:152), kualitas dapat


diartikan sebagai “kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, sumber
daya manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan”.
Berdasarkan definisi ini, kualitas adalah hubungan antara produk dan pelayanan
atau jasa yang diberikan kepada konsumen dapat memenuhi harapan dan kepuasan
konsumen.

Kualitas adalah kesesuaian dengan kebutuhan pasar atau konsumen.


(Abubakar & Siregar, 2010 : p.2)

Tjiptono dan Sunyoto (2012) mengatakan bahwa kualitas merupakan:


“sebuah kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses,
dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.”

Sunyoto (2012) menyatakan bahwa kualitas merupakan suatu ukuran untuk


menilai bahwa suatu barang atau jasa telah mempunyai nilai guna seperti yang
dikehendaki atau dengan kata lain suatu barang atau jasa dianggap telah memiliki
kualitas apabila berfungsi atau mempunyai nilai guna seperti yang diinginkan.

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kualitas adalah


unsur yang saling berhubungan mengenai mutu yang dapat mempengaruhi kinerja
dalam memenuhi harapan pelanggan. Kualitas tidak hanya menekankan pada hasil
akhir, yaitu produk dan jasa tetapi menyangkut kualitas manusia, kualitas proses,
10

dan kualitas lingkungan. Dalam menghasilkan suatu produk dan jasa yang
berkualitas melalui manusia dan proses yang berkualitas. Menurut Garvin (1984)
yang dikutip oleh Tjiptono (2012:143), setidaknya ada lima perspektif kualitas yang
berkembang saat ini:

1. Transcendental Approach
Dalam perspektif ini, kualitas dipandang sebagai innate excellence, yaitu
sesuatu yang secara intuitif dapat dipahami, namun nyaris tidak mungkin
dikomunikasikan, sebagai conoh kecantikan atau cinta. Perpektif ini
menegaskan bahwa orang hanya bisa belajar memahami kualitas melalui
pengalaman yang didapatkan dan eksposure berulang kali (repeated
exposure).

2. Product-Based Approach
Perspektif ini mengasumsikan bahwa kualitas merupakan karakteristik,
komponen atau atribut objektif yang dapat dikuantitatifkan dan dapat
diukur. Perbedaan dalam hal kualitas mencerminkan perbedaan dalam
jumlah beberapa unsur atau atribut yang dimiliki produk. Semakin banyak
atribut yang dimiliki sebuah produk atau merek, semakin berkualitas produk
atau merek bersangkutan.

3. User-Based Approach
Perspektif ini didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung pada
orang yang menilainya (eyes of the beholder), sehingga produk yang paling
memuaskan preferensi seseorang (maximum satisfaction) merupakan
produk yang berkualitas paling tinggi. Perspektif yang bersifat subyektif
dan demandoriented ini juga menyatakan bahwa setiap pelanggan memiliki
kebutuhan dan keinginan masing-masing yang berbeda satu sama lain,
sehingga kualitas bagi seseorang adalah sama dengan kepuasan maksimum
yang dirasakan.

4. Manufacturing-Based Approach
Perspektif ini bersifat supply-based dan lebih berfokus pada praktik-praktik
perekayasaan dan pemanufakturan, serta mendefinisikan kualitas sebagai
11

kesesuaian atau kecocokan dengan persyaratan (conformance to


requirements). Dalam konteks bisnis jasa, kualitas berdasarkan perspektif
ini cenderung bersifat operation-driven.

5. Value-Based Approach
Perspektif ini memandang kualitas dari aspek nilai (value) dan harga
(price). Dengan mempertimbangkan trade-off antara kinerja dan harga,
kualitas didefinisikan sebagai affordable excellence, yakni tingkat kinerja
‘terbaik’ atau sepadan dengan harga yang dibayarkan. Kualitas dalam
perspektif ini bersifat relatif, sehingga produk yang memiliki kualitas paling
bernilai adalah barang atau jasa yang paling tepat dibeli (best-buy).

2.1.2 Manfaat Kualitas

Menurut Edvarsdsson dalam buku Tjiptono dan Chandra (2011:171-173),


produktivitas biasanya selalu dikaitkan dengan kualitas dan profitabilitas.
Meskipun demikian ketiga konsep tersebut memiliki penekanan yang berbeda-
beda:

1. Produktivitas menekankan pemanfaatan (utilisasi) sumber daya, yang


seringkali diikuti dengan penekanan biaya dan rasionalisasi modal. Fokus
utamanya terletak pada produksi/operasi.
2. Kualitas lebih menekankan aspek kepuasan pelanggan dan pendapatan.
Fokus utamanya adalah customer utility.
3. Profitabilitas merupakan hasil dari hubungan antara penghasil (uncome),
biaya, dan modal yang digunakan.
Perusahaan dapat meningkatkan pangsa pasarnya melalui pemenuhan kualitas
yang bersifat customer – driven yang akan memberikan keunggulan harga dan
customer value. Customer value merupakan kombinasi dari manfaat dan
pengorbanan yang terjadi apabila pelanggan menggunakan suatu barang atau jasa
guna memenuhi kebutuhan tertentu. Jika kualitas yang dihasilkan superior dan
pangsa pasar yang dimiliki besar, maka profitabilitasnya terjamin. Manfaat superior
meliputi:
12

1. Loyalitas pelanggan yang besar


2. Pangsa pasar lebih besar
3. Harga saham yang lebih tinggi
4. Harga jual produk / jasa lebih tinggi
5. Produk vitas yang lebih besar

2.1.1.2 Definisi Pelayanan

Aktivitas, manfaat maupun kepuasan merupakan bentuk pelayanan yang


pada dasarnya tidak berwujud. Hal ini diungkapkan Gronroos yang dikutip oleh
Tjiptono (2011:17) menyatakan bahwa pelayanan merupakan proses yang terdiri
atas serangkaian aktivitas intangible (tidak berwujud) yang biasanya (namun tidak
harus selalu) terjadi pada interaksi antara konsumen dengan karyawan jasa, sumber
daya fisik, barang, atau sistem penyedia jasa yang disediakan sebagai solusi atas
masalah konsumen. Dari definisi ini, dapat dikatakan bahwa pelayanan merupakan
aktivitas yang diberikan kepada konsumen dan pada dasarnya tidak berwujud,
disediakan sebagai solusi atau masalah konsumen.

Layanan merupakan kegiatan yang ditawarkan oleh penyedia jasa kepada


konsumen, bisa berupa benda dan objek lainnya, hal ini ditulis oleh Lovelock dan
Wirtz (2011:37) yang menyatakan Layanan adalah kegiatan ekonomi yang
ditawarkan oleh salah satu pihak kepada pihak lain. Seringkali berbasis waktu,
kinerja membawa hasil yang diingkan ke penerima, benda atau asset lainnya adalah
tanggung jawab pembeli.

Menurut Sunyoto (2012) terdapat beberapa pengertian jasa di antaranya


adalah jasa itu sebagai deeds (tindakan, prosedur, aktivitas); proses – proses, dan
unjuk kerja yang yang intangible. Jasa dari sisi penjualan dan konsumsi secara
kontras dengan barang: baranng adalah suatu objek yang tangible yang dapat
diciptakan dan dijual atau digunakan setelah selang waktu tertentu.

Jasa adalah intangible (seperti kenyamanan, hiburan, kecepatan,


kesenangan, dan kesehatan) dan perishable (jasa tidak mungkin disimpan sebagai
13

persediaan yang siap dijual atau dikonsumsi pada saat diperlukan) jasa diciptakan
dan dikonsumsi secara simultan.

Sunyoto (2012) menyatakan bahwa dalam jasa selalu ada aspek interaksi
antara pihak konsumen dan pemberi jasa, meskipun pihak – pihak yang terlibat
tidak selalu menyadari. Jasa juga bukan merupakan barang, akan tetapi jasa adalah
suatu proses atau aktivitas, dan aktivitas – aktivitas tersebut tidak terwujud.

Dari beberapa definisi diatas penulis menimpulkan bahwa jasa merupakan


suatu aktivitas yang ditawarkan kepada pihak lain dalam waktu itu juga karena jasa
tidak dapat disimpan dan tidak berwujud.

2.1.1.3 Karakteristik Pelayanan

Kotler (2013:37) mengemukakan bahwa jasa atau layanan memiliki empat


karakteristik utama yaitu:

1. Intangibility (tidak berwujud)


Jasa atau layanan berbeda secara signifikan dengan barang fisik. Bila barang
merupakan suatu objek, benda, material yang bisa dilihat, disentuh dan
dirasa dengan panca indra, maka jasa atau layanan justru merupakan suatu
perbuatan, tindakan, pengalaman, proses, kinerja (performance) atau usaha
yang sifatnya abstrak. Bila barang dapat dimiliki, maka jasa/layanan
cenderung hanya dapat dikonsumsi tetapi tidak dapat dimiliki (non-
ownership). Jasa juga bersifat intangible, artinya jasa tidak dapat dilihat,
dirasa, dicium, didengar atau diraba sebelum dibeli dan dikonsumsi.
Seorang konsumen jasa tidak dapat menilai hasil dari sebuah jasa sebelum
ia mengalami atau mengkonsumsinya sendiri.

2. Inseparability (tidak terpisahkan)


Barang biasanya diproduksi terlebih dahulu, kemudian dijual, baru
dikonsumsi. Sedangkan jasa umumnya dijual terlebih dahulu, baru
kemudian diproduksi dan dikonsumsi pada waktu dan tempat yang sama.
Interaksi antara penyedia jasa dan pelanggan merupakan ciri khusus dalam
pemasaran jasa layanan bersangkutan. Keduanya mempengaruhi hasil
14

(outcome) dari jasa/layanan bersangkutan. Hubungan antara penyedia jasa


dan pelanggan ini, efektivitas staff layanan merupakan unsur kritis.
Implikasinya, sukses tidaknya jasa atau layanan bersangkutan ditunjang
oleh kemampuan organisasi dalam melakukan proses rekrutmen dan
seleksi, penilaian kinerja, system kompensansi, pelatihan, dan
pengembangan karyawan secara efektif.

3. Variability
Layanan sangat bervariasi. Kualitas tergantung pada siapa yang
menyediakan mereka dan kapan dan dimana kualitas layanan disediakan.
Ada beberapa penyebab variabilitas layanan dimana jasa diproduksi dan
dikonsumsi secara bersama-sama sehingga membatasi control kualitas.
Permintaan yang tidak tetap membuat sulit untuk memberikan produk yang
konsisten dan tetap selama permintaan tersebut berada dipuncak. Tingginya
tingkat kontak antara penyedia layanan dan tamu, berarti bahwa konsistensi
produk tergantung pada kemampuan penyedia layanan dan kinerja pada saat
yang sama. Seorang tamu dapat menerima pelayanan yang sangat baik
selama satu hari dan mendapat pelayanan dari orang yang sama keesokan
harinya.

4. Perishability (tidak tahan lama)


Perishability berarti bahwa jasa atau layanan adalah komoditas yang tidak
tahan lama, tidak dapat disimpan untuk pemakaian ulang di waktu yang
akan datang, dijual kembali, atau dikembalikan. Permintaan jasa juga
bersifat fluktuasi dan berubah, dampaknya perusahaan jasa seringkali
mengalami masalah sulit. Oleh karena itu perusahaan jasa merancang
strategi agar lebih baik dalam menjalankan usahanya dengan menyesuaikan
permintaan dan penawaran.

2.1.2.1 Definisi Kualitas Pelayanan

Menurut Lewis dan Booms dalam Tjiptono (2011:180) kualitas jasa sebagai
ukuran seberapa bagus tingkat layanan yang diberikan mampu sesuai dengan
ekspetasi konsumen. Berdasarkan definisi ini, kualitas layanan ditentukan oleh
15

kemampuan perusahaan memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen sesuai


dengan ekspetasi konsumen.

Tjiptono dalam Sunyoto (2012) mengatakan bahwa kualitas atau mutu


dalam industri jasa pelayanan adalah suatu penyajian produk atau jasa sesuai ukuran
yang berlaku di tempat produk tersebut diadakan dan penyampaiannya setidaknya
sama dengan yang diinginkan dan diharapkan oleh konsumen.

Menurut Sunyoto (2012), “Mutu pelayanan berpusat pada upaya


pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen serta ketepatan penyampaiannya
untuk mengimbangi harapan konsumen, yaitu adanya kesesuaian antara harapan
dengan persepsi manajemen, adanya kesesuaian antara persepsi atas harapan
konsumen dengan standar kerja karyawan, adanya kesesuaian antara standar kerja
karyawan dengan pelayanan yang diberikan dengan pelayanan yang dijanjikan dan
adanya kesesuaian antara pelayanan yang diterima dengan yang diharapkan dengan
konsumen”.

Berdasarkan beberapa definisi diatas penulis menyimpulkan bahwa kualitas


pelayanan merupakan suatu penyajian produk atau jasa yang sesuai dengan standar
perusahaan dan diupayakan dalam penyampaian produk dan jasa tersebut sama
dengan apa yang diharapkan tamu restoran atau melebihi ekspetasi tamu.

2.1.2.2 Dimensi Pokok Kualitas Pelayanan

Mengetahui kualitas pelayanan yang diberikan oleh suatu organisasi penting


karena dapat memberikan manfaat bagi organisasi yang bersangkutan. Jika ini
dilakukan paling tidak organisasi atau instansi yang bersangkutan sudah punya
“Concern” pada pelanggan. Pada akhirnya bisa jadi berusaha maksimal untuk
memenuhi kebutuhan pelanggan yang dilayani.

Pelayanan berkualitas atau pelayanan prima yang berorientasi pada


pelanggan sangat bergantung pada kepuasan pelanggan. Lukman dalam Pasolong
(2011:134), menyebut salah satu ukuran keberhasilan menyajikan pelayanan yang
berkualitas (prima) sangat bergantung pada tingkat kepuasan pelanggan yang
dilayani. Pendapat tersebut artinya menuju kepada pelayanan eksternal, dari
16

perspektif, lebih utama atau lebih didahulukan apabila ingin mencapai kinerja
pelayanan yang berkualitas. Menurut Zeithmal dalam Pasolong (2011:135)
keputusan seorang konsumen untuk mengonsumsi atau tidak mengonsumsi barang
atau jasa dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain adalah persepsinya terhadap
kualitas pelayanan.Menurut Zeithhaml dkk dalam Pasolong (2011:135), untuk
mengetahui kualitas pelayanan yang dirasakan secara nyata oleh konsumen, ada
indikator ukuran kepuasan konsumen yang terletak pada lima dimensi kualitas
pelayanan menurut apa yang dikatakan konsumen. Pada dasarnya teori tentang
servequal dari Zithham, walaupun berasal dari dunia bisnis, tetapi dapat dipakai
untuk mengukur kinerja pelayanan publik yang diberikan oleh instansi pemerintah.

Dalam studinya Parasuraman dalam Jurnal Pendayagunaan Aparatur


Negara (2012:170) menyimpulkan terdapat lima dimensi SERVQUAL (dimensi
kualitas pelayanan) sebagai berikut:

1. Tangibles, atau bukti fisik yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam


menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan
kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan
sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi
jasa. Yang meliputi fasilitas (gedung, dan lain sebagainya), perlengkapan
dan peralatan yang digunakan (teknologi), serta penampilan pegawainya.
2. Reliability, atau keandalan yaitu kemampuan organisasi untuk memberikan
pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Kinerja
harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu,
pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang
simpatik, dan dengan akurasi yang tinggi.
3. Responsiveness, atau ketanggapan yaitu suatu kemampuan untuk
membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan tepat
kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan
konsumen menunggu tanpa adanya suatu alasan yang jelas menyebabkan
persepsi negatif dalam kualitas pelayanan.
17

4. Assurance, atau jaminan dan kepastian yaitu pengetahuan,


kesopansantunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk
menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan. Terdiri dari
beberapa komponen antara lain, komunikasi (communication), kredibilitas
(credibility), keamanan (security), kompeten (competence), dan sopan
santun (courtesy).
5. Empathy, yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual
atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan berupa
memahami keinginan konsumen. Di mana suatu perusahaan diharapkan
memiliki pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami
kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian
yang nyaman bagi pelanggan.

Selanjutnya, Fitzsimmons dalam Sinambela (2011:7) berpendapat terdapat lima


indikator pelayanan publik yaitu :

1. Reliabilitas (reliability) yang ditandai pemberian pelayanan yang tepat dan


benar.
2. Ketampakan fisik (tangibles) yang ditandai dengan penyediaan yang
memadai sumber daya manusia dan sumber daya lainnya.
3. Responsivitas (rensponsiveness) yang ditandai dengan keinginan melayani
konsumen dengan cepat.
4. Kepastian (assurance) yang ditandai dengan tingkat perhatian terhadap etika
moral dalam memberikan pelayanan.
5. Empati (empathy) yang ditandai tingkat kemauan untuk mengetahui
keinginan dan kebutuhan konsumen.

Menurut Parasuraman yang dikutip oleh Tjiptono (2011:198) terdapat lima dimensi
pokok dalam kualitas pelayanan sebagai berikut:

1. Reliabilitas (reliability)
18

Berkaitan dengan kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan yang


akurat sejak pertama kali tanpa melakukan kesalahan apapun dan menyampaikan
jasanya sesuai dengan waktu yang disepakati.

2. Daya Tanggap (Responsiveness)

Berhubungan dengan kesediaan dan kemampuan karyawan untuk membantu para


konsumen dan merespon permintaan mereka, serta menginformasikan kapan jasa
akan diberikan dan kemudian memberikan jasa secara cepat.

3. Jaminan (Assurance)

Perilaku karyawan yang mampu menumbuhkan kepercayaan konsumen terhadap


perusahaan dan perusahaan bisa menciptakan rasa aman bagi para konsumennya.
Jaminan juga berarti bahwa para karyawan selalu bersikap sopan dan menguasai
pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menangani setiap pertanyaan
atau masalah konsumen.

4. Empati (Empathy)

Menyatakan bahwa perusahaan memahami masalah para konsumennya dan


bertindak demi kepentingan konsumen, serta memberikan perhatian personal
kepada para konsumen dan memiliki jam operasi yang nyaman.

5. Bukti Fisik (Tangible)

Berkenaan dengan daya tarik fasilitas fisik, peralatan/perlengkapan yang lengkap,


dan material yang digunakan perusahaan bersih, serta penampilan dari karyawan
rapi.

Berdasarkan kelima dimensi kualitas layanan tersebut Dari dimensi kualitas


pelayanan yang ada, maka peneliti memakai teori yang dikemukakan oleh
Fitzsimmons. Teori tersebut sesuai dengan judul yang diangkat oleh peneliti, maka
kepuasan pelanggan dapat diukur, dipahami dan dijadikan sebagai suatu hasil yang
baik untuk kepentingan peningkatan kualitas pelayanan jasa yang diberikan kepada
pelanggan, baik pelanggan yang baru pertama kali maupun pelanggan yang sudah
19

berulang-ulang menggunakan jasa tersebut. Dalam beberapa penelitian yang


dilakukan oleh (Viona aprilya, 2013), (Rully Tri Indriastuti, 2010), dan (Imroatul,
2010) . Gummeson yang dikutip oleh Tjiptono (2012:201) mengidentifikasi sumber
kualitas yang menentukan kualitas pelayanan yaitu:

1. Production Quality

Menjelaskan bahwa kualitas pelayanan ditentukan oleh kerjasama antara


departemen produksi/operasi dan departemen pemasaran.

2. Delivery Quality

Menjelasikan bahwa kualitas pelayanan dapat ditentukan oleh janji perusahaan


terhadap konsumen.

3. Desain Quality

Menjelaskan bahwa kualitas pelayanan ditentukan sejak pertama kali jasa tersebut
dirancang untuk memenuhi kebutuhan konsumen.

4. Relationship Quality

Menyatakan bahwa kualitas pelayanan ditentukan oleh relasi professional dan


sosial antara perusahaan dan stakeholder (konsumen, pemasok, perantara,
pemerintah, dan karyawan).

2.1.2.3 Konsep Kualitas Pelayanan

Menurut Tjiptono dan Chandra (2011:175) bahwa komponen jasa atau


layanan memainkan peran strategik dalam setiap bisnis. Pembelian sebuah barang
sering dibarengi dengan unsur jasa/layanan. Demikian pula sebaliknya, suatu jasa
sering diperluas dengan cara memasukan atau menambahkan produk fisik pada
penawaran jasa tersebut. Umumnya pelayanan lebih bersifat intangibles, tidak
dapat dilihat dan diraba sehingga pengguna hanya bisa dirasakan melalui
pengalaman langsung. Namun pelayanan mencakup hal – hal yang tangibles, yang
bisa dilihat dan diraba, berupa dimensi fisik dari pelayanan itu sendiri.
20

Suatu perusahaan dapat dikatakan meraih sukses ketika dilihat dari factor
pelayanan pelanggan, oleh karena itu pelayanan yang baik sangat mempengaruhi
banyaknya jumlah pelanggan dalam suatu perusahaan.

2.1.3 Pengertian Brand

Di dalam pemasaran suatu usaha, unsur brand atau merek memiliki peran yang
penting. The American Marketing Association dalam Kotler & Keller (2012:241)
mendefinisikan brand atau merek sebagai, ˝A name, term, sign, symbol, or design,
or a combination of them, intended to identify the goods or services of one seller or
group of sellers and to differentiate them from those of competitors.˝ Jika diartikan,
maka brand atau merek adalah suatu nama, istilah, tanda, simbol, desain, atau
kombinasi dari semuanya yang dimaksudkan untuk mengidentifikasikan suatu
barang atau jasa dari satu penjual atau sekelompok penjual dan untuk
membedakannya dari competitor lain. Maka jika dilihat, penggunaan brand atau
merek sendiri mencerminkan identitas dari produk atau jasa apa yang ditawarkan
oleh penjual. Merek juga memiliki peran dalam mengidentifikasi sumber atau
pembuat produk yang memungkinkan konsumen untuk mengevaluasi produk yang
sejenis secara berbeda tergantung pada bagaimana merek itu sendiri. Evaluasi
produk itu sendiri dapat dilakukan dari pengalaman masa lalu konsumen terhadap
penggunaan produk serta bagaimana pemasaran penjualnya apakah memenuhi
kebutuhan konsumen atau tidak, Kotler & Keller (2012:242).

Kevin Lane Keller (2013 :142) menyebutkan terdapat beberapa kriteria


didalam pemilihan elemen merek, antara lain :

1. Memorable (Mudah diingat)


Merupakan suatu kondisi yang diperlukan dalam membangun citra merek
untuk mencapai tingkat kesadaran merek yang tinggi. Elemen merek yang
mendukung tujuan akan mengesankan dan menarik perhatian sehingga
memudahkan untuk diingat atau dikenal dalam pembelian atau konsumsi.

2. Meaningful (Memiliki makna)


21

Elemen merek hendaknya memiliki suatu makna, baik dengan konten


deskriptif atau persuasif. Deskripsi makna yang terkandung dapat berupa :

a. Informasi umum tentang fungsi dari produk atau layanan

b. Informasi spesifik tentang atribut tertentu dan manfaat merek

3. Likeable (Dapat disukai)


Konsumen biasanya akan mencari suatu merek yang dapat menarik
perhatiannya, dimana merek tersebut dapat disukai secara visual, verbal,
maupun dengan cara lainnya.

4. Transferable (Dapat ditransferkan)


Elemen dapat ditransferkan merupakan suatu langkah-langkah dimana
elemen merek dapat menambah ekuitas merek untuk produk baru atau pasar
baru.

5. Adaptable (Mudah beradaptasi)


Adanya perubahan nilai-nilai konsumen dan adanya berbagai opini
menyebabkan merek harus memiliki adanya elemen yang dapat berbaur dan
mudah beradaptasi. Semakin mudah elemen merek beradaptasi dan
fleksibel, semakin mudah pula untuk memperbaruinya. Contohnya saja logo
dan karakter dapat diberikan tampilan baru atau desain yang baru untuk
membuatnya tampil lebih moderen dan relevan.

6. Protectable (Dapat dilindungi)


Elemen merek yang terakhir adalah dapat dilindungi baik dalam hokum
mapupun dalam persaingan. Pemasar harus memilih elemen merek yang
dapat dilindungi secara hukum dan secara resmi mendaftarkannya pada
badan hukum yang tepat dan memiliki merek dagang yang sah.

2.1.3.1 Peran Brand

Kotler & Keller (2012:242) berpendapat bahwa sebuah merek memiliki


beberapa peran, antara lain :
22

1. Merek memudahkan dalam proses pemesanan dan penelusuran suatu


produk.
2. Merek membantu untuk mengatur persediaan dan pencatatan akutansi
3. Merek menawarkan perlindungan hukum atas aspek atau keunikan produk
yang dimiliki
4. Merek menandakan suatu kualitas tertentu sehingga pembeli yang puas
akan melakukan pembelian ulang.
5. Merek menjadi suatu sarana yang kuat untuk mengamankan keunggulan
kompetitif .

2.1.3.2 Pengertian Brand Image

Fandy Tjiptono, dalam Sulistyari (2012:4) menyebutkan bahwa brand image


adalah deskripsi tentang asosiasi keyakinan konsumen terhadap merek tertentu.
Sedangkan Kotler & Keller (2012:G1) mendefinisikan brand image sebagai ˝The
perceptions and beliefs held by consumers, as reflected in the associations held in
consumer memory.˝ Hal ini dapat diartikan sebagai persepsi dan kepercayaan yang
dipegang oleh konsumen, yang tercermin atau melekat dalam benak dan memori
dari seorang konsumen sendiri. Persepsi ini dapat terbentuk dari informasi atau
pengalaman masa lalu konsumen terhadap merek tersebut.

Menurut Hawkins & Mothersbaugh (2010:324) mengatakan “brand image


refers to the schematic memory of a brand” (citra merek mengacu pada skema
ingatan dari suatu brand). “It contains the target market’s interpretation of the
product’s attributes, benefits usage situations, users, and manufacturer/marketer
characterristics. It is what people think of and fell when they hear or see a brand
name”. Memori tersebut mengandung interpretasi produk dari atribut, manfaat,
kegunaan, situasi penggunaan, pengguna, dan karakteristik pabrikan. Itulah
mengapa orang-orang berpikir dan merasakan apa yang mereka dengar atau lihat
dari suatu nama merek.
23

2.1.3.3 Dimensi Brand Image

Menurut Keller dalam Leliga (2013:1), di dalam brand image terdapat 3


dimensi yang merangkai sebuah brand image, antara lain :

1. Brand Strength adalah seberapa sering seseorang terpikir tentang informasi


suatu brand, ataupun kualitas dalam memproses segala informasi yang
diterima konsumen. Terdapat empat indikator yaitu kemudahan
mengucapkan nama merek, kemudahan mengingat logo, penyampaian
produk dan layanan sesuai dengan informasi pemasaran di brosur atau
website dan konsistensi implementasi penyampaian layanan.
2. Brand Favorability adalah kesukaan terhadap brand, kepercayaan dan
perasaan bersahabat dengan suatu brand, serta akan sulit bagi brand, lain
untuk dapat menarik konsumen yang sudah mencintai brand, hingga pada
tahap ini. Terdapat lima indikator yaitu kelengkapan dan terawatnya
fasilitas yang ada, fasilitas yang ada dapat berfungsi dengan baik, pelayanan
yang profesional dari karyawan, gedung yang nyaman dan aksesnya yang
mudah.
3. Brand Uniqueness adalah membuat kesan unik dan perbedaan yang berarti
diantara brand lain serta membuat konsumen”tidak mempunyai alasan
untuk tidak” memilih brand tersebut. Terdapat dua indikator yaitu
memberikan kemudahan dan produk yang berbeda dan mengutamakan
privasi konsumen.
Berdasarkan ketiga dimensi Brand Image tersebut, maka Brand Image dapat
diukur, dipahami dan dijadikan sebagai suatu hasil yang baik untuk kepentingan
peningkatan Brand Image perusahaan dimata masyarakat, baik nasabah yang
baru pertama kali maupun nasabah yang sudah berulang-ulang menggunakan
jasa tersebut. Dalam beberapa penelitian yang dilakukan oleh (Tutut Ratna
Pranata, 2014), (Marco Dirgahadi Lukman, 2014), dan (Yohanes Sondang
Kunto, 2014) menggunakan ketiga dimensi tersebut.
24

2.1.3.4 Pengukuran Brand Image

Menurut Shimp dalam Bastian (2014:2), citra merek diukur dari 3 hal, yaitu :

1. Atribut
Atribut adalah ciri-ciri atau berbagai aspek dari merek yang diiklankan.
Atribut juga dibagi menjadi dua bagian, yaitu hal-hal yang tidak
berhubungan dengan produk (contoh : harga, kemasan, pemakai, citra
penggunaan), dan hal-hal yang berhubungan dengan produk (contoh : warna,
ukuran, desain).

2. Manfaat
Manfaat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu fungsional, simbolis, dan
pengalaman.

3. Evaluasi keseluruhan
Evaluasi keseluruhan, yaitu nilai atau kepentingan subjektif dimana.

2.1.3.5 Cara Membangun Merek yang Kuat

Rangkuti dalam Sangadji dan Sopiah (2013:326) mengemukakan bahwa,


“Membangun merek yang kuat tidak berbeda dengan membangun sebuah rumah.
Oleh karena itu, untuk membangun sebuah merek yang kuat diperlukan juga sebuah
fondasi yang kuat. Berikut adalah cara-cara yang digunakan untuk membangun
merek yang kuat.”
a. Sebuah merek harus memiliki pemosisian yang tepat
Agar mempunya pemosisan, merek harus ditempatkan secara spesifik di
benak pelanggan. Membangun pemosisian adalah menempatkan semua
aspek dari nilai merek (brand value) secara konsisten sehingga produk
selalu menjad nomor satu di benak pelanggan.
b. Memiliki nilai merek yang tepat
Merek akan semakin kompettif jika dapat diposisikan secara tepat. Oleh
karena itu, pemasar perlu mengetahui nilai merek. Nilai merek dapat
membentuk kepribadian merek (brand personality) yang mencerminkan
25

gejolak perubahan selera konsumen dalam pengonsumsian suatu


produk.
c. Merek harus memilik konsep yang tepat
Konsep yang baik dapat mengkomunikasikan semua elemen nilai merek
dan pemosisian yang tepat sehingga citra merek (brand image) produk
dapat ditingkatkan.

2.1.4.1 Pengertian Perilaku Konsumen

Konsumen ditempatkan sebagai sentral perhatian dalam konsep pemasaran


mutakhir. Para praktisi maupun akademisi berusaha mengaji aspek-aspek
konsumen dalam rangka mengembangkan strategi pemasaran yang diharapkan
mampu meraih pangsa pasar yang tersedia. Mempelajari perilaku konsumen
bertujuan untuk mengetahui dan memahami berbagai aspek yang ada pada
konsumen, yang akan digunakan dalam menyusun strategi pemasaran yang
berhasil.

Perilaku konsumen merupakan aktivitas langsung atau terlibat dalam


memperoleh dan menggunakan barang-barang ataupun jasa, termasuk di dalamnya
proses pengambilan keputusan yang mendahului dan menentukan tindakan-
tindakan tersebut.

Menurut Kotler dan Armstrong (2012:128) menyatakan bahwa:”Consumer


buyer behavior refers to the buying behavior of final consumers-individuals and
households who buy goods and services for personal consumption”.
Schiffman dan Kanuk yang dialihbahasakan oleh Kasip (2007:58)
mendefinisikan perilaku konsumen sebagai berikut proses yang dilalui oleh
seseorang dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan bertindak
pasca konsumsi produk, jasa maupun ide yang diharapkan dapat memenuhi
kebutuhannya.

Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan bahwa perilaku konsumen


selalu melihat perilaku dari tiap individu, rumah tangga ataupun organisasi tentang
bagaimana mereka berproses sebelum memutuskan untuk melakukan pembelian,
26

serta tindakannya setelah memperoleh dan mengkonsumsi produk, jasa atau ide.
Secara keseluruhan, proses perilaku konsumen tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:

Perilaku konsumen sangat berkaitan erat dengan proses pengambilan


keputusan konsumen dalam usaha memperoleh dan menggunakan barang dan jasa
untuk memuaskan kebutuhannya. Memahami prilaku konsumen tidaklah mudah
karena konsumen memutuskan untuk membeli suatu produk tertentu yang dapat
berbeda setiap hari dan sangat bervariasi dalam usia, pendapatan, tingkat
pendidikan, dan selera. Tugas pemasar yaitu meneliti faktor-faktor yang mendasari
konsumen dalam memilih salah satu atau beberapa diantara produk yang lainnya.
Menurut Kotler dan Keller yang dialihbahasakan oleh Bob Sabran
(2009:174), titik awal untuk untuk memahami perilaku konsumen adalah melalui
model stimulus – response seperti disajikan pada Gambar 2.4 di bawah ini:

Gambar 2.1
Model Perilaku Konsumen

Sumber : Kotler dan Keller (2009:174)

Model perilaku konsumen di atas disebut model stimulus – response karena


pada dasarnya konsumen memberikan respon terhadap stimuli yang diterimanya.
Model ini diawali dengan stimuli pemasaran dan lingkungan yang diterima
konsumen. Selanjutnya, serangkain proses psikologis dan karakteristik konsumen
menentukan keputusan pembelian yang akan diambil seorang konsumen. Proses
psikologis terdapat beberapa faktor kunci yaitu motivasi, persepsi, pembelajaran
27

dan ingatan, yang mempengaruhi respon konsumen terhadap berbagai stimuli


pemasaran.

Memahami perilaku konsumen dan mengenal pelanggan bukanlah suatu hal


yang sederhana. Pelanggan mungkin menyatakan kebutuhan dan keinginan mereka,
namun dapat bertindak sebaliknya, mereka mungkin menanggapi pengaruh yang
mengubah pikiran mereka pada menit-menit terakhir. Karenanya pemasar harus
mempelajari keinginan, persepsi, serta perilaku pembelian pelanggan sasaran
mereka.

Schiffman dan Kanuk dalam Kasip (2007:8) menjelaskan bahwa perilaku


konsumen adalah :

“Perilaku yang ditunjukkan konsumen dalam pencarian akan pembelian,


penggunaan, pengevaluasian, dan penggantian produk dan jasa yang
diharapkan dapat memuaskan kebutuhan konsumen. Perilaku konsumen itu
sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:

1. Faktor Sosial

a. Group

Sikap dan perilaku seseorang dipengaruhi oleh banyak grup-grup kecil.


Kelompok dimana orang tersebut berada yang mempunyai pengaruh langsung
disebut membership group. Membership group terdiri dari dua, meliputi
primary groups (keluarga, teman, tetangga, dan rekan kerja) dan secondary
groups yang lebih formal dan memiliki interaksi rutin yang sedikit (kelompok
keagamaan, perkumpulan profesional dan serikat dagang).

b. Family Influence

Keluarga memberikan pengaruh yang besar dalam perilaku pembelian. Para


pelaku pasar telah memeriksa peran dan pengaruh suami, istri, dan anak dalam
pembelian produk dan servis yang berbeda.

1. Faktor Personal
a. Economic Situation
28

Keadaan ekonomi seseorang akan mempengaruhi pilihan produk, contohnya


rolex diposisikan konsumen kelas atas sedangkan timex dimaksudkan untuk
konsumen menengah. Situasi ekonomi seseorang amat sangat mempengaruhi
pemilihan produk dan keputusan pembelian pada suatu produk tertentu

b. Lifestyle

Pola kehidupan seseorang yang diekspresikan dalam aktivitas, ketertarikan,


dan opini orang tersebut. Orang-orang yang datang dari kebudayaan, kelas
sosial, dan pekerjaan yang sama mungkin saja mempunyai gaya hidup yang
berbeda

c. Personality and Self Concept

Personality adalah karakteristik unik dari psikologi yang memimpin kepada


kestabilan dan respon terus menerus terhadap lingkungan orang itu sendiri,
contohnya orang yang percaya diri, dominan, suka bersosialisasi, otonomi,
defensif, mudah beradaptasi, agresif. Tiap orang memiliki gambaran diri yang
kompleks, dan perilaku seseorang cenderung konsisten dengan konsep diri
tersebut

d. Age and Life Cycle Stage

Orang-orang merubah barang dan jasa yang dibeli seiring dengan siklus
kehidupannya. Rasa makanan, baju-baju, perabot, dan rekreasi seringkali
berhubungan dengan umur, membeli juga dibentuk oleh family life cycle.
Faktor-faktor penting yang berhubungan dengan umur sering diperhatikan
oleh para pelaku pasar. Ini mungkin dikarenakan oleh perbedaan yang besar
dalam umur antara orang-orang yang menentukan strategi marketing dan
orang-orang yang membeli produk atau servis.

e. Occupation

Pekerjaan seseorang mempengaruhi barang dan jasa yang dibeli. Contohnya,


pekerja konstruksi sering membeli makan siang dari catering yang datang ke
tempat kerja. Bisnis eksekutif, membeli makan siang dari full service
29

restoran, sedangkan pekerja kantor membawa makan siangnya dari rumah


atau membeli dari restoran cepat saji terdekat

3. Faktor Psychological

a. Motivation

Kebutuhan yang mendesak untuk mengarahkan seseorang untuk mencari


kepuasan dari kebutuhan. Berdasarkan teori Maslow, seseorang dikendalikan
oleh suatu kebutuhan pada suatu waktu. Kebutuhan manusia diatur menurut
sebuah hierarki, dari yang paling mendesak sampai paling tidak mendesak
(kebutuhan psikologikal, keamanan, sosial, harga diri, pengaktualisasian diri).
Ketika kebutuhan yang paling mendesak itu sudah terpuaskan, kebutuhan
tersebut berhenti menjadi motivator, dan orang tersebut akan kemudian
mencoba untuk memuaskan kebutuhan paling penting berikutnya.

b. Perception

Persepsi adalah proses dimana seseorang memilih, mengorganisasi, dan


menerjemahkan informasi untuk membentuk sebuah gambaran yang berarti
dari dunia. Orang dapat membentuk berbagai macam persepsi yang berbeda
dari rangsangan yang sama

c. Learning

Pembelajaran adalah suatu proses, yang selalu berkembang dan berubah


sebagai hasil dari informasi terbaru yang diterima (mungkin didapatkan dari
membaca, diskusi, observasi, berpikir) atau dari pengalaman sesungguhnya,
baik informasi terbaru yang diterima maupun pengalaman pribadi bertindak
sebagai feedback bagi individu dan menyediakan dasar bagi perilaku masa
depan dalam situasi yang sama

d. Beliefs and Attitude

Beliefs adalah pemikiran deskriptif bahwa seseorang mempercayai sesuatu.


Beliefs dapat didasarkan pada pengetahuan asli, opini, dan iman. Sedangkan
30

attitudes adalah evaluasi, perasaan suka atau tidak suka, dan kecenderungan
yang relatif konsisten dari seseorang pada sebuah obyek atau ide

4 Faktor Cultural
a. Subculture

Sekelompok orang yang berbagi sistem nilai berdasarkan persamaan


pengalaman hidup dan keadaan, seperti kebangsaan, agama, dan daerah.
Meskipun konsumen pada negara yang berbeda mempunyai suatu kesamaan,
nilai, sikap dan perilakunya seringkali berbeda secara dramatis.

b. Social Class

Pengelompokkan individu berdasarkan kesamaan nilai, minat, dan perilaku.


Kelompok sosial tidak hanya ditentukan oleh satu faktor saja misalnya
pendapatan, tetapi ditentukan juga oleh pekerjaan, pendidikan, kekayaan, dan
lainnya

2.1.4.2 Pengertian Keputusan Pembelian


Proses keputusan pembelian konsumen merupakan salah satu bagian dari
perilaku konsumen (consumer behavior) yang tercipta. Keputusan pembelian
adalah sikap dari hasil pemutusan yang ditetapkan oleh pembeli setelah
mempertimbangkan jenis produk, merek, kuantitas, waktu, produsen, tenaga
penjual, dan metode pembayaran untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan.
Berikut ini penjelasan definisi keputusan pembelian berdasarkan pendapat beberapa
ahli :

Proses pengambilan keputusan pembelian sangat dipengaruhi oleh perilaku


konsumen. Proses tersebut sebenarnya merupakan proses pemecahan masalah
dalam rangka memenuhi keinginan atau kebutuhan konsumen. Menurut Engel er al
dalam Sangadji dan Sopiah (2011:332), “perilaku pembelian adalah proses
keputusan dan tindakan orang-orang yang terlibat dalam pembelian dan
penggunaan produk”. Adapun pendapat dari Peter dalam Sangadji (2011:332)
menyebutkan bahwa, “pengambilan keputusan konsumen adalah proses pemecahan
masalah yang diarahkan pada sasaran”.
31

Kotler dan Keller (2012:170), menyatakan : In the evaluation stage, the


consumers from preferences among the brands in the choice set and may also from
an intention to buy the most preferred brand.

Kotler dan Armstrong (2012:130), menyatakan : Consumer buyer behavior


is the buying behavior of final consumer-individuals and households who buy goods
and services for personal consumption.

Schiffman dan Kanuk dalam Kasip (2007:625) menyatakan :

“A decision is a selection on action from two or more alternative choice”.


Artinya apabila seseorang mengambil keputusan, maka terdapat beberapa
alternatif seperti dalam melakukan pembelian atau tidak juga dalam
pemilihan suatu proyek”.

Buchari Alma (2008:57) menyatakan : Keputusan membeli seseorang yang


asalnya dipengaruhi oleh lingkungan, kebudayaan, keluarga, dan sebagainya, akan
membentuk suatu sikap pada diri individu, kemudian melakukan pembelian.

Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli di atas bahwa keputusan


pembelian merupakan proses keputusan di mana konsumen benar-benar
memutuskan untuk menggunakan salah satu produk/jasa diantara berbagai macam
alternatif pilihan.

Pengetahuan tentang kebutuhan pasar dan kecenderungan terhadap


perkembangan pasar, persaingan, serta keunggulan bersaing organisasi sangat
diperlukan dalam pengambilan keputusan pembelian. Agar pengambilan keputusan
dapat dilakukan dengan tepat, bijaksana, dan ilmiah, maka menurut di dalam
melakukan pengambilan keputusan kita harus memperhatikan urutan langkah
dalam pengambilan keputusan, yaitu:

1. Mengenal dan merumuskan masalah yang memerlukan tindakan

2. Menentukan alternatif pemecahan yang mungkin

3. Mengumpulkan dan menganalisis fakta-fakta yang berhubungan dengan


masalah
32

4. Memutuskan suatu pemecahan

Menurut Kotler dan Keller dalam Bob Sabran (2009:146), pada umumnya
manusia bertindak rasional dan mempertimbangkan segala jenis informasi yang
tersedia dan mempertimbangkan segala sesuatu yang bisa muncul dari tindakannya
sebelum melakukan sebuah perilaku tertentu. Para konsumen akan melewati lima
tahapan dalam melakukan pembelian yaitu:

1. Pengenalan Masalah

Proses pembelian dimulai ketika pembeli mengenali masalah atau


kebutuhan. Kebutuhan tersebut dapat dicetuskan oleh rangsangan internal
atau eksternal. Rangsangan ini akan berubah menjadi dorongan.
Berdasarkan dorongan yang ada pada diri konsumen maka konsumen akan
mencari obyek yang diketahui untuk dapat memuaskan dorongan tersebut.

2. Pencarian Informasi

Seorang konsumen yang minatnya telah tergugah hanya akan ada dua
kemungkinan yaitu, mencari informasi secara aktif atau mencari informasi
kemudian hanya mengendapkannya dalam ingatan.

3. Evaluasi Alternatif

Tidak ada proses evaluasi tunggal sederhana yang digunakan oleh semua
konsumen atau oleh salah satu konsumen dalam semua situasi pembelian,
itu berarti setiap konsumen pasti memiliki beberapa alternatif sebelum
akhirnya menjatuhkan pilihan. Beberapa konsep dasar dari proses evaluasi
konsumen : Pertama, konsumen berusaha memenuhi kebutuhan; Kedua,
konsumen mencari manfaat tertentu dari solusi produk; Ketiga, konsumen
memandang masing-masing produk sebagai sekumpulan atribut dengan
kemampuan yang berbeda-beda dalam memberikan manfaat yang
digunakan untuk memuaskan kebutuhan itu.

4. Keputusan Pembelian
33

Dalam tahap evaluasi para konsumen membentuk preferensi atas merek-


merek yang ada di dalam kumpulan pilihan. Konsumen tersebut juga dapat
membentuk niat untuk membeli merek yang paling disukai. Namun ada dua
faktor yang dapat berada di antara niat pembelian dan keputusan pembelian,
pertama adalah sikap orang lain. Sejauh mana sikap orang lain mengurangi
alternatif yang disukai seseorang akan bergantung pada dua hal yaitu :
intensitas sikap negatif orang lain terhadap alternatif yang disukai
konsumen dan motivasi konsumen untuk menuruti keinginan orang lain.
Kedua, faktor situasi yang tidak terantisipasi yang dapat muncul dan
mengubah niat pembelian. Faktor-faktor tersebut diantaranya seperti faktor
pendapatan, keluarga, harga, dan keuntungan dari produk tersebut.

Menurut Schiffman, Kanuk dalam Valentine parengkuan dkk (2014:3)


keputusan pembelian adalah pemilihan dari dua atau lebih alternative pilihan
keputusan pembelian, artinya bahwa seseorang dapat membuat keputusan, harus
tersedia beberapa alternatif pilihan.

Menurut Kotler dan Keller,dalam Albert Soebianto (2014:6), keputusan


pembelian seseorang merupakan hasil dari suatu proses yang terdiri dari lima
tahapan yaitu pengenalan kebutuhan, pencarian informasi, pengevaluasian
alternatif, keputusan pembelian, dan perilaku setelah pembelian itu sendiri.Ia juga
menambahkan bahwa keputusan pembelian yang dilakukan oleh konsumen sangat
dipengaruhi oleh faktor psikologis dan karakteristik konsumen itu sendiri. Ekuitas
merek memegang peranan kunci terhadap psikologis seorang pelanggan dalam
pembentukan persepsi dan pembangunan karakter pelanggan.

Dari pengertian diatas bahwa keputusan pembelian adalah keinginan


konsumen dalam membeli produk atau jasa yang melalui alternatif pilihan.

2.1.4.3 Tahap-tahap pembelian

Menurut Saladin, (2010:63) dalam kegiatan membeli seorang konsumen


akan memandang suatu produk dan beberapa sudut. Adapun tahap-tahapnya adalah
sebagai berikut:
34

Gambar 2.2 Tahap-tahap proses pembelian

a. Pemasaran meneliti secara seksama apa yang dibutuhkan atau masalah yang
timbul, sampai seseorang itu membutuhkannya. Seseorang memiliki
perubahan hobi, dan untuk ini marketer harus dapat mengembangkan
rangsangan konsumen agar ia lebih tertarik.
b. Pencarian Informasi (information search)
Sumber informasi konsumen terbagi dalam empat kelompok yaitu:
1. Sumber pribadi: keluarga, teman-teman, tetangga, dan kenalan.

2. Sumber niaga : periklanan, petugas penjualan, penjual, kemasan, dan


pemajangan.

3. Sumber umum: media massa dan organisasi konsumen.

4. Sumber pengalaman: pernah menangani, menguji, dan mempergunakan


produk.

Pemasar harus mengidentifkasi sumber-sumber diatas dan menilai


pentingnya masing-masing sumber tersebut. Selanjutnya perusahaan unsur-
unsur bauran pemasaran secara cepat,tepat, dan terarah agar pembeli
menaruh perhatian serius untuk mempertimbangkan keinginannya sehingga
peluang dapat direkrut.

c. Penilaian alternatif (evaluation of alternbatives)


Ada lima konsep dalam penilaian alternatif konsumen, yaitu:

1. Sifat-sifat produk, menjadi ciri khusus dan perhatian konsumen


terhadap produk tersebut.
2. Pemasar lebih memperhatikan pentingnya ciri-ciri produk.
3. Kepercayaan konsumen terhadap ciri merek yang menonjol.
35

4. Fungsi kemanfaatan, yaitu konsumen lebih mengharapkan kepuasan


yang diperoleh.
5. Bagaimana penilaian yang dilakukan konsumen dan sekian banyak ciri-
ciri barang.

d. Keputusan membeli (purchase decision)


Penilaian terhadap keputusan membeli yang menyebabkan maksud untuk
membeli ada dua faktor penyebabnya:

1. Sikap orang lain: keputusan membeli banyak dipengaruhi oleh


temanteman, tetangga, atau siapa saja yang ia percaya.
2. Faktor-faktor situasi yang tak terduga: faktor harga pendapatan
keluarga, dan keuntungan yang diharapkan dan produk tersebut.

e. Perilaku pasca pembelian (postpurchase behavior)


Kepuasan pascapembelian : kepuasan membeli setelah membeli produk
tersebut. Ada beberapa tingkatan yaitu, sangat puas, puas, sedikit puas,
kecewa, dan sangat kecewa.

Menurut Kotler dan Keller dalam Bob Sabran (2009:146), pada umumnya
manusia bertindak rasional dan mempertimbangkan segala jenis informasi yang
tersedia dan mempertimbangkan segala sesuatu yang bisa muncul dari tindakannya
sebelum melakukan sebuah perilaku tertentu. Dimensi keputusan pembelian yaitu:

1 Pengenalan Masalah
Proses pembelian dimulai ketika pembeli mengenali masalah atau
kebutuhan. Kebutuhan tersebut dapat dicetuskan oleh rangsangan internal
atau eksternal. Rangsangan ini akan berubah menjadi dorongan.
Berdasarkan dorongan yang ada pada diri konsumen maka konsumen akan
mencari obyek yang diketahui untuk dapat memuaskan dorongan tersebut.

2. Pencarian Informasi
Seorang konsumen yang minatnya telah tergugah hanya akan ada dua
kemungkinan yaitu, mencari informasi secara aktif atau mencari informasi
kemudian hanya mengendapkannya dalam ingatan.
36

3. Evaluasi Alternatif
Tidak ada proses evaluasi tunggal sederhana yang digunakan oleh semua
konsumen atau oleh salah satu konsumen dalam semua situasi pembelian,
itu berarti setiap konsumen pasti memiliki beberapa alternatif sebelum
akhirnya menjatuhkan pilihan. Beberapa konsep dasar dari proses evaluasi
konsumen : Pertama, konsumen berusaha memenuhi kebutuhan; Kedua,
konsumen mencari manfaat tertentu dari solusi produk; Ketiga, konsumen
memandang masing-masing produk sebagai sekumpulan atribut dengan
kemampuan yang berbeda-beda dalam memberikan manfaat yang
digunakan untuk memuaskan kebutuhan itu.

4. Keputusan Pembelian
Dalam tahap evaluasi para konsumen membentuk preferensi atas merek-
merek yang ada di dalam kumpulan pilihan. Konsumen tersebut juga dapat
membentuk niat untuk membeli merek yang paling disukai. Namun ada dua
faktor yang dapat berada di antara niat pembelian dan keputusan pembelian,
pertama adalah sikap orang lain. Sejauh mana sikap orang lain mengurangi
alternatif yang disukai seseorang akan bergantung pada dua hal yaitu :
intensitas sikap negatif orang lain terhadap alternatif yang disukai
konsumen dan motivasi konsumen untuk menuruti keinginan orang lain.
Kedua, faktor situasi yang tidak terantisipasi yang dapat muncul dan
mengubah niat pembelian. Faktor-faktor tersebut diantaranya seperti faktor
pendapatan, keluarga, harga, dan keuntungan dari produk tersebut.

2.1.5 Hubungan Kualitas Layanan Dengan Keputusan Pembelian


Kualitas layanan merupakan tolak ukur dalam menentukan keputusan
pembelian atau tidaknya seorang pengguna jasa, karena melalui kualitas layanan
akan dapat menilai kinerja dan merasakan puas atau tidaknya mereka dengan
layanan yang diberikan oleh penyedia jasa.
Nasution (2004:50) berpendapat bahwa kualitas layanan merupakan
penilaian menyeluruh atas keunggulan suatu layanan. Bila penilaian yang
37

dihasilkan merupakan penilaian yang positif, maka kualitas layanan ini akan
berdampak pada terjadinya keputusan pembelian.

2.1.5 Hubungan Brand Image Terhadap Keputusan Pembelian Konsumen


Kotler & Keller (2012:170) mengakatakan bahwa suatu merek dapat
membentuk niat konsumen untuk membeli merek yang paling mereka sukai.
Konsumen sendiri memilih merek terbaik berdasarkan dari atribut terbaik yang
mereka rasakan.
Sedangkan Kotler & Armstrong (2012:150) mengatakan bahwa ˝Marketers
are interested in the beliefs that people formulate about specific products and
services because these beliefs make up product and brand image that affect buying
behavior.˝ Hal ini dapat diartikan sebagai pemasar tertarik terhadap keyakinan
seseorang dalam menganalisa tentang produk atau jasa tertentu, karena keyakinan
konsumen tersebut yang membentuk suatu produk dan citra merek yang akan
mempengaruhi perilaku pembelian konsumen. Elemen dari merek sendiri akan
memainkan peran penting dalam pembentukan suatu merek. Merek sendiri harus
memiliki elemen yang bersifat deskriptif dan persuasif dimana merek dapat dengan
mudah diingat dan disukai karena hal itu akan meningkatkan citra dari merek itu
sendiri yang akan meningkatkan kesadaran konsumen terhadap suatu merek
produk.

2.1.6 Pengaruh Kualitas Pelayanan terhadap Keputusan Pembelian


dengan Brand Image Sebagai Variabel Moderating
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi konsumen dalam melakukan
pembelian diantaranya adalah memberikan layanan yang berkualitas, hal ini sesuai
dengan pendapat Tjiptono (2007) bahwa kualitas layanan merupakan tingkat
keunggulan (excellence) yang diharapkan dan pengendalian atas keunggulan
tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. Kualitas layanan merupakan tolak
ukur dalam menentukan keputusan pembelian atau tidaknya seorang pengguna jasa,
karena melalui kualitas layanan akan dapat menilai kinerja dan merasakan puas atau
tidaknya mereka dengan layanan yang diberikan oleh penyedia jasa.
38

Brand Image yang positif mempunyai pengaruh yang positif pada


keputusan pembelian, semakin tinggi brand image yang diciptakan oleh perusahaan
maka tingkat pengambilan keputusan untuk membeli juga semakin meningkat
(Suciningtyas, 2012). Brand Image merupakan representasi dari keseluruhan
persepsi terhadap merek dan dibentuk dari informasi dan pengalaman masa lalu
terhadap merek itu. Brand Image yang dimiliki Bank BTN saat ini tidak lepas dari
adanya kesederhanaan dalam membuat nama merek membuat konsumen menjadi
mudah dalam mengenali dari produk KPR BTN dimana pun produk tersebut berada
(Dabija, 2013). Meningkatkan kualitas pelayanan sangatlah penting dikarenakan
konsumen menginginkan Pelayanan terbaik. (Nurdianto dan Yuniati, 2013)
menyatakan bahwa kualitas pelayanan yang baik akan memberikan kepercayaan
dan persepsi (citra) yang baik juga kepada konsumen dalam penggunaan layanan
jasa.
Dengan adanya Brand Image yang baik akan mampu memperkuat
hubungan antara pengaruh kualitas pelayanan terhadap keputusan pembelian. oleh
karena itu Brand Image digunakan sebagai variable moderating untuk melihat
apakah ada moderasi hubungan antara kualitas pelayanan terhadap keputusan
pembelian.

2.1.6.1 Brand Image sebagai Pemoderasi


Sejauh ini belum ada penelitian di bidang kualitas pelayanan yang
membahas peran brand image sebagai pemoderasi pada pengaruh kualitas
pelayanan terhadap keputusan pembelian. Karena itu, penelitian ini dapat menutupi
kekurangan ini. Dalam memperlakukan brand image sebagai variabel moderasi,
penelitian ini mengadopsi model yang digunakan Hsieh & Li (2008), yang meneliti
pengaruh public relation perception (PRP) terhadap loyalitas konsumen dengan
brand image sebagai variabel moderasi pada perusahaan asuransi di Taiwan. Hasil
penelitian Hsieh & Li (2008) menunjukkan bahwa brand image terbukti berperan
sebagai pemoderasi pada pengaruh PRP terhadap loyalitas konsumen. Konsumen
yang memiliki brand image positif cenderung lebih loyal terhadap perusahaan,
sebaliknya konsumen yang memiliki brand image negatif cenderung tidak loyal
39

terhadap perusahaan. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Hanzaeen & Farsani
(2011). Mereka tertarik untuk mengetahui apakah brand image memoderasi
pengaruh perceived public relation (PPR) terhadap loyalitas konsumen perusahaan
elektronik merek LG. Hasil penelitian ini menemukan bahwa brand image terbukti
juga berperan sebagai pemoderasi pada pengaruh PPR terhadap loyalitas
konsumen.

2.2 Kerangka Pemikiran

Peningkatan jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun berdampak


pada kebutuhan masyarakat akan rumah, disisi lain hal ini merupakan suatu peluang
bagi dunia bisnis khususnya di Industri properti salah satunya perumahan. Namun,
peluang bisnis industri properti harus berbanding lurus dengan daya beli
masyarakat oleh karena itu para pelaku bisnis industri properti harus membuat suatu
strategi agar masyarakat dapat tertarik dengan produk properti yang ditawarkan.
Salah satu strategi yang dapat dilakukan para pelaku bisnis properti adalah bekerja
sama dengan perusahaan pembiayaan salah satunya perbankan yaitu dengan
menyediakan kredit perumahan bagi masyarakat.

Sepanjang perjalanannya dalam mengukir sejarah dengan segala prestasi


yang dimiliknya telah membuktikan perannya dalam menghubungkan kegemaran
masyarakat Indonesia untuk menabung. Sukses KPR (Kredit Pemilikan Rumah)
dengan realisasi pertama di Semarang pada tahun 1976 tersebut telah membawa
keyakinan manajemen BTN untuk menjadikan bisnis perumahan tersebut sebagai
bisnis utama BTN. Dengan semua usahanya maka BTN telah mengambil peran
dalam usaha pembangunan di segala bidang di seluruh tanah air.

Jasa terkadang sulit dibedakan secara khusus dengan barang. Hal ini
disebabkan pembelian suatu barang kerap kali disertai jasa-jasa tertentu dan begitu
pula sebaliknya dengan pembelian jasa yang seringkali melibatkan barangbarang
tertentu untuk melengkapinya. Bisnis jasa sering kita jumpai dalam kehidupan
sehari-hari, misalnya jasa transportasi, telekomunikasi, pendidikan, salon, restoran,
dll. Jasa dapat menawarkan manfaat dari satu pihak kepada pihak lain, yang pada
40

dasarnya tidak berwujud. Fandy Tjiptono (2012:4) mendefinisikan pelayanan


(service) bisa dipandang sebagai sebuah sistem yang terdiri atas dua komponen
utama, yakni service operations yang kerap kali tidak tampak atau tidak diketahui
keberadaannya oleh pelanggan (back office atau backstage) dan service delivery
yang biasanya tampak (visible) atau diketahui pelanggan (sering disebut pula front
office atau frontstage). Kualitas sebagaimana diinterpretasikan ISO 9000
merupakan perpaduan antara sifat dan karakteristik yang menentukan sejauh mana
keluaran dapat memenuhi persyaratan kebutuhan pelanggan.Pelanggan yang
menentukan dan menilai sampai seberapa jauh sifat dan karakteristik itu memenuhi
kebutuhannya. Menurut Fandy Tjiptono (2012:157) mendefinisikan kualitas
pelayanan adalah ukuran seberapa bagus tingkat layanan yang diberikan mampu
sesuai dengan ekspektasi pelanggan. Pada dasarnya, terdapat tiga orientasi kualitas
yang seharusnya konsisten satu sama lain, yaitu : persepsi pelanggan, produk (jasa),
dan proses. Bagi yang berwujud barang, ketiga orientasi ini hampir selalu dapat
dibedakan dengan jelas, tetapi tidak untuk jasa. Sedangkan jasa, produk dan proses
mungkin tidak dapat dibedakan dengan jelas, bahkan produknya adalah proses itu
sendiri. Salah satu pendekatan kualitas jasa yang banyak dijadikan acuan dalam
riset pemasaran adalah model SERVQUAL (Service Quality) yang dikembangkan
oleh Parasuraman, Zeithmal, dan Berry.SERVQUAL dibangun atas adanya
perbandingan dua faktor utama, yaitu persepsi pelanggan atas layanan yang
sesungguhnya diharapkan (expected service).Harapan para pelanggan pada
dasarnya sama dengan layanan seperti apakah yang seharusnya diberikan
perusahaan kepada pelanggan. Harapan para pelanggan ini didasarkan pada
informasi yang disampaikan dari mulut ke mulut (word of mouth), kebutuhan
pribadi, pengalaman di masa lampau, dan komunikasi eksternal (iklan dan berbagai
bentuk promosi perusahaan lainnya).

Keterkaitan konsumen pada suatu merek akan lebih kuat apabila dilandasi
pada banyak pengalaman atau penampakkan untuk mengkomunikasikannya
sehingga akan terbentuk citra merek (brand image). Citra merek yang baik akan
mendorong untuk meningkatkan volume penjualan dan citra perusahaan. Citra
merek dapat dianggap sebagai jenis asosiasi yang muncul di benak konsumen ketika
41

mengingat sebuah merek tertentu. Asosiasi tersebut secara sederhana dapat muncul
dalam bentuk pemikiran atau citra tertentu yang dikaitkan pada merek tertentu,
sama halnya ketika kita berpikir mengenai orang lain.

Pada keputusan pembelian, ada perilaku konsumen yang


mempengaruhinya. Kotler & Keller (2012:151) mendefinisikan perilaku konsumen
sebagai, “The study of how individuals, groups, and organizations select, buy, use,
and dispose of goods, services, ideas, or experiences to satisfy their needs and
wants.” Definisi ini dapat diartikan sebagai perilaku konsumen adalah suatu ilmu
yang mempelajari tentang bagaimana individu, kelompok, dan organisasi dalam
memilih, membeli, menggunakan, dan membuang barang, jasa, ide, atau
pengalaman untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka. Dari perilaku
tersebut, untuk memenuhi kebutuhannya konsumen nantinya akan melakukan
tindakan yaitu pembelian.

Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian

Kualitas Pelayanan Keputusan


Pembelian

Brand Image

2.3 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap perumusan masalah


penelitian, oleh sebab itu perumusan masalah penelitian bisasnya disusun dalah
bentuk kalimat dan pernyataan (Sugiono, 2014). Berdasarkan permasalahan yang
diteliti, maka ditarik sebagai hipotesis sebagai berikut :

𝐻1 : Kualitas Pelayanan berpengaruh signifikan terhadap Keputusan Pembelian


pada Bank BTN KCP Antapani
42

𝐻2 : Brand Image berpengaruh signifikan terhadap Keputusan Pembelian Jasa KPR


Pada Bank BTN KCP Antapani

𝐻3 : Kualitas Pelayanan berpengaruh signifikan terhadap Keputusan Pembelian Jasa


KPR Pada Bank BTN KCP Antapani dengan Brand Image sebagai Variabel
Moderating

2.4 Penelitian Terdahulu Yang Relevan

Penelitian terdahulu merupakan telaah pustaka yang berasal dari penelitian-


penelitian yang pernah dilakukan. Dalam penelitian terdahulu ini diuraikan secara
sistematis mengenai hasil-hasil penelitian yang didapat oleh peneliti terdahulu dan
hubungan dengan penelitian yang dilakukan. Pada bagian ini dijelaskan tentang
objek yang diteliti oleh peneliti terdahulu, model yang digunakan, hasil penelitian,
serta hubungan antara penelitian yang dilakukan ini dengan peneliti terdahulu.
Fakta-fakta atau data yang dikemukakan diambil dari sumber aslinya.

Judul yang diangkat tentu tidak lepas dari penelitian terdahulu sebagai
landasan dalam menyusun sebuah kerangka pekir ataupun arah dari penelitian ini.

Tabel 2.1

Penelitian terdahulu

No Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil

1 Bayu Sutrisna Aria Pengaruh kualitas produk, kualitas pelayanan


Sejati (2016) kualitas pelayanan, dan berpengaruh signifikan
harga dan positif terhadap

Terhadap keputusan keputusan pembelian;


pembelian pada starbucks (2) harga berpengaruh
signifikan dan positif
terhadap keputusan

pembelian; (3) kualitas


produk berpengaruh
43

signifikan dan positif


terhadap keputusan

pembelian. Adapun
indikator didalam
variabel kualitas
produk yang memiliki
kontribusi

paling besar, yaitu


keragaman produk.
Berdasarkan nilai
koefisien determinasi
partial

variabel kualitas
produk menjadi
variabel yang
berpengaruh dominan
terhadap keputusan

pembelian.

2 Alfredo Dwitama Pengaruh Kualitas Produk, Kualitas pelayanan


Soenawan, Edward Kualitas Pelayanan Dan memiliki pengaruh
Stephen Malonda Harga Terhadap positif dan signifikan
Keputusan Pembelian terhadap keputusan
Konsumen D‟stupid pembelian konsumen
Baker Spazio Graha D'Stupid Baker
Family Surabaya Surabaya. Hal tersebut
menunjukkan bahwa

reliabilitas, daya
tanggap, jaminan dan
44

empati yang diberikan


karyawan, serta
fasilitas

ruang makan yang


membuat konsumen
nyaman, telah menjadi
beberapa pertimbangan

bagi konsumen untuk


melakukan pembelian
produk D'Stupid Baker
Surabaya.

3 Jackson R.S. Kualitas produk, harga, Kualitas Pelayanan


Weenas (2013) promosi dan kualitas berpengaruh positif dan
pelayanan pengaruhnya signifikan terhadap

Terhadap keputusan Keputusan Pembelian


pembelian spring bed Spring Bed Comforta
comforta pada PT Massindo
Sinar Pratama Manado.

4 Gillian Rice dan Conceptualizing Inter- “Purchasing decisions


Nittaya Wongtada ( Attitudional Conflict in are influenced by image
Arizona state Concumer Response to of good and positive
university) Foreign Brands. value for customers”.
Keputusan pembelian
sangat dipengaruhi oleh
citra yang baik dan
bernilai positif bagi
konsumennya.
45

5 Eva Sheilla Rahma Analisis pengaruh kualitas citra merek dan kualitas
(2007) layanan dan Citra merek layanan berpengaruh
terhadap minat beli dan positif dan signifikan
Dampaknya pada terhadap minat beli
keputusan pembelian konsumen, dan minat

(Studi Pada Pengguna beli


Telepon Seluler Merek konsumen berpengaruh
Sony Ericson di Kota positif dan signifikan
terhadap keputusan
Semarang)
pembelian

6 Siti Rodliyah Pengaruh brand image Brand image


Purnamasari (2015) terhadap proses keputusan berpengaruh signifikan
pengambilan terhadap proses

Kpr di btn kantor cabang keputusan pengambilan


KPR BTN dengan
bandung
persentase pengaruh
sebesar 47,9%
sedangkan sisanya
sebesar 52,1% yang
salah satunya
dipengaruhi

faktor lain seperti


komunikasi pemasaran
mulut ke mulut (word
of mouth).

7 Syarief Darmoyo, Brand image sebagai Relationship marketing


Monika Chandra variabel pemoderasi dan brand image
(2016) pengaruh relationship berpengaruh terhadap
marketing terhadap loyalitas
46

loyalitas konsumen garuda konsumen, dan brand


indonesia image memoderasi
pengaruh relationship
marketing terhadap
loyalitas

konsumen.

8 An‐Tien Hsieh The moderating effect of brand image terbukti


brand image on public berperan sebagai
relations perception and pemoderasi pada
customer loyalty pengaruh PRP terhadap
loyalitas konsumen.
Konsumen yang
memiliki brand

image positif
cenderung lebih loyal
terhadap perusahaan,
sebaliknya konsumen
yang memiliki

brand image negatif


cenderung tidak loyal
terhadap perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai