Anda di halaman 1dari 31

A.

Kasus
Kasus 4
T. S usia 49 tahun dirawat di ICU hari ke 15. Pasien terpasang tracheostomi yang
terhubung dengan ventilator modus assist control, frekuensi pernapasan 25 x/menit, PEEP 8
mmHg, FiO2 50 %, tidal volume 400 ml, terlihat adanya secret di jalan nafas dan terdengar
suara ronchi di seluruh lapang paru. Tekanan darah pasien 115/61 mmHg, frekuensi nadi 94
x/menit, suhu 37,3° C dan CRT 3 detik. Keluarga mengatakan pasien sebelum masuk rumah
sakit mengalami luka di kaki, dan dua hari setelahnya pasien mengalami kejang-kejang dan
badan pasien menjadi kaku. Klien mendapatkan terapi diazepam, midazolam, dan
metronidazole.

B. Istilah yang ditemukan:


1. Tracheostomi
2. Ventilator modus assist control
3. PEEP
4. FiO2
5. Tidal volume
6. Suara ronchi
7. CRT 3 detik
8. Terapi diazepam, midazolam, metronidazole

C. Penjelasan Istilah
1. Trakeostomi
Trakeostomi adalah suatu tindakan dengan membuka dinding depan/anterior trakea
untuk mempertahankan jalan nafas agar udara dapat masuk ke paru-paru dan memintas
jalan nafas bagian atas (Hadikawarta, Rusmarjono, Soepardi, 2004). Tindakan ini
merupakan salah satu prosedur pembedahan yang paling sering dilakukan pada pasien
dengan gagal napas akut (Freeman,2011). Tindakan ini memiliki beberapa indikasi
yaitu:
a. Mengatasi obstruksi jalan nafas atas seperti laring
b. Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran nafas bagian atas seperti daerah
rongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya stoma maka seluruh seluruh
oksigen yang dihirupkan akan masuk ke dalam paru, tidak ada yang tertinggal di
ruang rugi tersebut. Hal ini berguna pada pasien dengan kerusakan paru, yang
kapasitas vitalnya berkurang.
c. Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat
mengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pada pasien dalam koma.
d. Untuk memasang respirator (alat bantu pernafasan).
e. Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas
untuk bronkoskopi.
f. Cedera parah pada wajah dan leher.
g. Hilangnya refleks laring dan ketidakmampuan untuk menelan sehingga
mengakibatkan resiko tinggi terjadinya aspirasi (Robert, 1997).
Jalan napas yang sulit pada pasien yang membutuhkan ventilasi mekanik yang
merupakan satu dari sedikit indikasi mutlak untuk melakukan tindakan trakeostomi.
Intubasi sulit dilakukan jika terjadi kehilangan saluran nafas. Hal ini lebih sering terjadi
pada pasien yang membutuhkan perawatan ventilasi yang berkepanjangan untuk
trakeostomi agar memudahkan perawatan. Trakeostomi dapat meningkatkan kebersihan
mulut dan meningkatkan kenyamanan pasien, serta membiarkan memudahkan dalam
pemberian nutrisi. Karena desainnya yang kaku, pendek, dan - pada beberapa model -
cannula yang dapat dilepas (untuk memungkinkan evakuasi sekresi), aliran udara
resistensi dan kerja pernafasan yang terkait mungkin kurang dengan trakeostomi relatif
ke tabung endotrakeal. Selain itu trakeostomi bisa dilakukan dengan aman pada pasien
yang sakit kritis, memberikan kenyamanan pasien yang lebih besar (Freeman,2011).
Komplikasi dini yang sering terjadi adalah perdarahan, hilangnya jalan nafas,
penempatan kanul yang sulit, laserasi trakea, ruptur balon, henti jantung sebagai
rangsangan hipoksia terhadap respirasi dan paralisis saraf rekuren. Perdarahan terjadi
bila hemostasis saat trakeostomi tidak sempurna serta disertai naiknya tekanan arteri
secara mendadak setelah tindakan operasi dan peningkatan tekanan vena karena batuk.
Perdarahan diatasi dengan pemasangan kasa steril sekitar kanul. Apabila tidak berhasil
maka dilakukan ligasi dengan melepas kanul. Emfisema subkutan terjadi di sekitar
stoma tetapi bisa juga meluas ke daerah muka dan dada, hal ini terjadi karena terlalu
rapatnya jahitan luka insisi sehingga udara yang terperangkap di dalamnya dapat masuk
ke dalam jaringan subkutan pada saat penderita batuk. Penanganannya dilakukan
dengan multiple puncture dan melonggarkan semua jahitan untuk mencegah komplikasi
lanjut seperti pneumotoraks dan pneumomediastinum. Sedangkan komplikasi pasca
trakeostomi terdiri atas kematian pasien, perdarahan lanjutan pada arteri inominata,
disfagia, aspirasi, pneumotoraks, emfisema, infeksi stoma, hilangnya jalan nafas, fistula
trakeoesofagus dan stenosis trakea. Kematian pasien terjadi akibat hilangnya stimulasi
hipoksia dari respirasi. Pasien hipoksia berat yang dilakukan tindakan trakeostomi, pada
awalnya pasien akan bernafas lalu akan terjadu apnea. Hal ini terjadi akibat deinervasi
fisiologis dari kemoreseptor perifer yang dipicu dari peningkatan tekanan oksigen tiba-
tiba dari udara pernafasan (Spector, Faw, 1999).
Perawatan pasca trakeostomi sangatlah penting, karena sekret dapat menyumbat
dan menimbulkan asfiksia. Oleh karena itu, sekret di trakea dan kanul harus sering
diisap ke luar, dan kanul dalam dicuci sekurang-kurangnya dua kali sehari lalu segera
dimasukkan lagi ke dalam kanul luar. Bila kanul harus dipasang dalam jangka waktu
lama, maka kanul harus dibersihkan dua minggu sekali. Kain basah di bawah kanul
harus diganti untuk menghindari timbulnya dermatitis. Gunakan kompres hangat untuk
mengurangi rasa nyeri pada daerah insisi. Setelah tindakan trakeostomi dilakukan, foto
Rontgen dada diambil untuk menilai posisi tuba dan melihat timbul atau tidaknya
komplikasi. Antibiotik diberikan untuk menurunkan risiko timbulnya infeksi
(Hadikawarta, Rusmarjono, Soepardi, 2004).
2. Assist Control (AC)
Ventilasi mode Assist Control (AC) adalah mode ventilasi volume-control. Mode
ini bekerja dengan menetapkan Volume Tidal (VT) yang akan diberikan ventilator pada
interval waktu yang ditentukan atau saat pasien memulai pernapasan. VT yang
diberikan oleh ventilator di AC selalu akan sama terlepas dari pemenuhan, nilai
tertinggi, atau tekanan udara di paru-paru. Mode AC adalah metode yang sangat baik
untuk menjamin ventilasi. Mode ini biasa digunakan pada kasus asidoses metabolik atau
respiratorik. Bahkan pada penelitian “ventilation with lower tidal volumes as compared
with traditional tidal volumes for acute lung unjury and the acute respiratory distress
syndrome” membuktikan bahwa mode ini dapat nenberikan pertolongan bertahan hidup
pada pasien dengan ARDS (Carpio dan Mora, 2017).
Assist Control berarti pasien dapat "membantu" ventilator dengan melakukan
beberapa tambahan nafas, melebihi dan di atas tingkat yang ditetapkan. "AC 14" berarti
pasien mendapatkan 14 napas yang dijamin per menit dari ventilator. Karena nafas ini
disampaikan oleh ventilator, mereka disebut "napas terkontrol". Begitu pasien berusaha
bernapas saat berada dalam mode AC, ventilator mendeteksi usaha pasien, dan
memberikan nafas mekanis penuh lainnya. Dengan demikian, pasien dengan AC 14
dengan tingkat nafas total 16 napas per menit memicu dua napastambahan per menit,
namun, semua 16 napas dikirim oleh ventilator (London health Sciences Centre,2014).
Keuntungan dari digunakannya mode Assist Control yaitu: dapat meningkatkan
rasa nyaman pada pasien melalui kemempuan memicu napas sesuai kebutuhan, tingkat
CO2 pasien diatur oleh operator sehingga memungkinkan koreksi yang mudah pada
kasus asidosis/alkalosis respiratorik serta kerja pernapasan yang rendah untuk pasien.
Sedangkan beberapa kerugian penggunaan mode ini yaitu: barotrauma, hiperventilasi
yang menyebabkan alkalosis resoiratori dan penumpukan napas karena pasien tidak
sadar atau tidak cukupnya waktu untuk ekshalasi (Carpio dan Mora, 2017).
Saat mode Assist Control dipilih sebagai mode pada ventilator, ada empat
parameter yang secara cepat mungkin termodifikasi, yaitu(Carpio dan Mora, 2017):
a. Volume Tidal (VT)
Volume tidal adalah volume yang ditetapkan, yang akan dikirimkan pada setiap
kali napas. Mengubah VT akan mengubah ventilasi semenit (VT x RR).
Peningkatan ventilasi semenit akan mengakibatkan penurunan karbon dioksida
(𝐶𝑂2). Sebliknya, menurunkan VT maka akan menurunkan nilai ventilasi semenit
sehingga akan terjadi peningkatan 𝐶𝑂2 dalam darah pasien.
b. Respiratory Rate (RR)
Respiratory rate adalah tingkat yang ditetapkan untuk mengantarkan napas per
menit (bpm). Ventilator dalam mode AC diprogram untuk merasakan perubahan
pada tekanan sistem saat pasien memulai sebuah nafas. Bila diafragma
berkontraksi, tekanan intrathoracic menjadi lebih negatif. Tekanan negatif
ditransmisikan ke saluran udara dan kemudian ke tabung ventilator, di mana sensor
mendeteksi perubahan tekanan dan mengantarkan napas ke volume tidal yang
ditentukan. Jumlah tekanan negatif yang dibutuhkan untuk memicu nafas disebut
sensitivitas pemicu dan biasanya disiapkan oleh terapis pernafasan.
c. Fraksi Oksigen Terinspirasi ( 𝐹𝑖𝑂2)
𝐹𝑖𝑂2 adalah persentase oksigen dalam campuran udara yang diberikan oleh
ventilator selama setiap siklus pernafasan. Di mana, meningkatkan 𝐹𝑖𝑂2 akan
meningkatkan saturasi oksigen pasien.
d. PEEP (Positive End Expiratory Pressure)
CPAP adalah istilah yang digunakan saat PEEP diberikan selama pernapasan
spontan. PEEP adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan tekanan
ekspirasi akhir yang positif dengan tekanan napas positif. CPAP membantu pasien
bernafas secara spontan untuk memperbaiki oksigenasi mereka dengan
meningkatkan tekanan ekspirasi akhir di paru-paru sepanjang siklus pernafasan.
CPAP dapat digunakan untuk pasien yang diintubasi dan tidakdiintubasi. Ini dapat
digunakan sebagai mode penyapihan dan ventilasi nokturnal untuk membuka jalan
napas bagian atas, mencegah penyumbatan saluran napas atas pada pasien dengan
apnea tidur obstruktif (Morton dan Fontaine, 2013).
PEEP adalah tekanan positif yang diberikan pada akhir penghembusan. Sudah
menjadi kebiasaan umum untuk menggunakan tingkat PEEP yang rendah (2 sampai 5
cmh2o) pada pasien intubasi. PEEP meningkat 2 sampai 5 𝑐𝑚𝐻2 O jika tingkat FiO2
lebih besar 50% untuk mencapai Sa02 yang dapat diterima (> 90%) atau PaO2 (> 60
sampai 70 mmHg). PEEP paling sering dibutuhkan pada pasien dengan hipoksemia
refrakter (seperti ARDS) dimana PaO2 memburuk dengan cepat walaupun ada
konsentrasi oksigen yang lebih tinggi (Morton dan Fontaine, 2013).
PEEP digunakan untuk menjaga alveoli tetap terbuka, mengerahkan unit-unit
alveolar yang kolaps secara total atau sebagaian pada mode ventilasi lain. Tekanan akhir
ekspirasi meningkatkan kapasitas residu fungsional dengan memompa kembali alveoli
yang kolaps, menjaga alveoli pada posisi terbuka, dan meningkatkan kerja paru-paru.
PEEP dapat mengurangi shunt dan meningkatkan oksigenasi. Selain itu, terdapat bukti
bahwa menjaga alveoli terbuka dapat meningkatkan regenerasi surfaktan. Level yang
tinggi pada PEEP tidak boleh diinterupsi karena akan membutuhkan beberapa jam
untuk mengerahkan alveolikembali dan mengembalikan kapasitas residu fungsional;
sampai ini terjadi, oksigenasi terganggu. Pada pasien yang tidak memiliki sirkulasi
volume darah yang adekuat, pemakaian PEEP dapat menurunkan aliran balik vena ke
jantung, menurunkan cardiac output, dan menurunkan penerimaan oksigen ke jaringan.
Apabila hipotensi atau cardiac output menurun karena penggunaan PEEP, volume
invtravaskuler yang bersikulasi dapat diperbaiki dengan pemberian cairan IV untuk
perbaikan kondisi hipotensi (Morton dan Fontaine, 2013).
Komplikasi lain dari PEEP adalah barotrauma. Hal tersebut dapat terjadi pada
pasien terventilasi mekanik, tetapi paling sering ketika penggunaan PEEP level tinggi
(10-20 𝑐𝑚𝐻2 O atau lebih) pada paru-paru dengan tekanan ventilasi yang tinggi dan
kemampuan paru-paru yang lemah dan pasien dengan obstruksi jalan napas.
Perkembangan barotrauma adalah kedaruratan dan biasanya membutuhkan pemasangan
chest tube pada keadaan pneumotoraks (Morton dan Fontaine, 2013)
3. Suara ronchi
Adalah bunyi gaduh yang dalam. Dan terdengar selama ekspirasi karena adanya
gerakan. udara melewati jalan napas yang menyempit akibat obstruksi napas. Obstruksi
berupa sumbatan akibat sekresi, odema, atau tumor. Sepertinya, suara ngorok. Dan
suara ronchi akan terdengar pada saat pemeriksaan paru Auskultasi dengan cara
meletakan stetoskop di lapang paru dan mendengarkan bunyi suara. Suara ronci itu
sendiri ada dua jenis, yaitu :
a. Ronchi kering
Suatu bunyi tambahan yang terdengar kontinyu terutama waktu ekspirasi
disertai adanya mucus atau secret di bronkus. Ada yang high pitch (menciut) seperti
itu ditemukan pada pasien asma dan low pitch di karenakan secret yang meningkat
pada bronkus yang besar yang dapat juga terdengar waktu inspirasi.
b. Ronchi basah (krepitasi)
Bunyi tambahan yang terdengar tidak kontinyu pada waktu inspirasi seperti
bunyi ranting kering yang terbakar, disebabkan oleh secret di dalam alveoli atau
bronkiolus. Ronki basah dapat halus, sedang, dan kasar. Ronki halus dan sedang
dapat disebabkan cairan di alveoli misalnya pada pneumonia dan edema paru,
sedangkan ronki kasar misalnya pada bronkiekstatis.
Kondisi yang berhubungan dengan terjadinya ronchi yaitu:
1) Pneumonia
2) Asthma
3) Bronchitis
4) Bronkopasme
4. Obat-obatan
a. Diazepam
Aksi : Obat penenang yang menekan CNS; pada beberapa produk pada
korteks serebral, yang lain menghambat transmitter di CNS.
Kontraindikasi :hipersensitivitas terhadap produk ini, hamil dan menyusui.
(Peringatan : berikan dosis yang paling rendah untuk hasil yang
terapeutik.)
Efek samping : Muntah dan mengantuk. Dengan efek samping yang lebih parah
yaitu, Stevens-Johnson syndrome, disrasia darah, dan risiko
ketergantungan.
Digunakan untuk:masalah tidur, kejang, spasme otot, dan penghentian alkohol
b. Midazolam
Aksi : Menekan tingkat subkortikal pada CNS, dapat bekerja pada
sistem limbik, pembentukan retikular, dapat mempotensiasi "asam
y-aminobutyric, (GABA) dengan mengikat reseptor
benzodiazepin tertentu.
Kontraindikasi : Hamil, hipersensitivitas pada benzodiazepine, galukoma sudut
tertutup akut, status asma
Efek samping : Amnesia retrograde, euphoria, kebingungan, sakit kepala,
ansietas, insomnia, paresthesia, gemetar. Hipotensi, takikardi,
cardiac arrest, pandangan kabur, kehilangan keseimbangan,
uritkaria.
Farmakokinetik : Protein mengikat 97%, paruh waktu hidup 1,8-6,4 jam,
dimetabolisme di hati, metabolit diekskresikan dalam urin,
melewati plasenta, dan penghalang darah otak. PO : 20-30 menit.
IM : 15 menit, puncaknya setengah sampai 1 jam, durasi 2-3 jam.
IV : 3-5 menit, durasi 2 jam.
Digunakan untuk: Sedasi pra operasi, induksi anestesi umum, sedasi untuk prosedur
endoskopi diagnostik, intubasi, kecemasan.
c. Metronidazole
Aksi : Amebisida yang bertindak langsung dan mengganggu struktur
DNA, terapi yang menghambat sintesis nukleat bakteri.
Kontraindikasi : Hamil trimester 1, menyusui, hipersensitivitas terhadap produk
ini. Pencegahan pada hamil trimester 2 atau 3, pasien geriatrik,
infeksi kandida, gagal jantung, infeksi jamur, penyakit gigi
Efek samping : Sakit kepala, pusing, cepat marah, ataxia, depresi, kelelahan,
insomnia, kejang, aseptik meningitis. Di kardiovaskular obat ini
meratakan gelombang T. Obat ini juga memiliki efek samping,
pandangan menjadi kabur, mulut kering, tenggorokan sakit,
glossitis, mual-muntah.
Farmakokinetik : Melintasi plasenta, memasuki ASI, dimetabolisme oleh hati 30%
-60%, diekskresikan dalam urin (60% -80%), paruh waktu 6-8
jam. PO : puncaknya 1-2 jam dan diabsorpsi 80%-85%. IV :
langsung.
Digunakan untuk: amebiasis intestinal, trikomoniasis, trikomoniasis, infeksi bakteri
anaerob, giardasis, septikemia, endokarditis; infeksi sendi tulang, sendi, saluran
pernapasan bawah; rosacea.

D. Analisa Kasus
1. Tetanus dan Kejang
Neurotoksin adalah zat yang beracun atau merusak jaringan saraf, neurotoksin
merupakan eksogen kimia neurologis yang dapat mempengaruhi perkembangan
jaringan saraf. Jenis-jenis neurotoksin yaitu plumbum, etanol,glutamat, nitrik
oksida (NO), toksin botulinum,toksin tetanus, dan tetrodotoksin. Beberapa zat seperti
nitrit oksida (NO) dan glutamat penting bagi fungsi tubuh dan hanya memberikan efek
toksik dalam konsentrasi yang berlebihan. Neurotoksin menghambat kontrol neuron atas
ion konsentrasi yang melintasi sel membran. Manifestasi makroskopik dai paparan
racun saraf dapat mencakup luas pada kerusakan sistem saraf pusat, seperti cacat
intelektual, gangguan memori, epilepsi, demensia.
Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat obligat
anaerob. Bakteri ini terdapat di mana-mana, mampu bertahan di berbagai lingkungan
ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat kuat. Clostridium tetani telah
diisolasi dari tanah, debu jalan, feses manusia dan binatang. Bakteri tersebut biasanya
memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka tusuk minor, atau ujung
potongan umbilikus pada neonatus; pada 20% kasus, mungkin tidak ditemukan tempat
masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui ulkus kulit, abses, gangren, luka bakar,
infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau setelah pembedahan abdominal/pelvis,
persalinan dan aborsi. Jika organisme ini berada pada lingkungan anaerob yang sesuai
untuk pertumbuhan sporanya, akan berkembang biak dan menghasilkan toksin
tetanospasmin dan tetanolysin (Laksmi, 2014).
Tetanospasmin adalah neurotoksin poten yang bertanggungjawab terhadap
manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin sedikit memiliki efek klinis (Laksmi,
2014).Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani.
Tetanospasmin dapat menyebabkan spasme danbekerja pada beberapa level dari
susunan syaraf pusat dengan cara(Adam,1997):
a. Tobin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat
pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
b. Karakteristik spasme dari tetanus ( seperti strichmine ) terjadi karena toksin
mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.
c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
ganglioside.
d. Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS )
dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia,
aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urine. Kerja dari tetanospamin
analog dengan strychninee, dimana ia mengintervensi fungsi dari arcus refleks yaitu
dengan cara menekan neuron spinal dan menginhibisi terhadap batang otak.
Toksin tetanospamin menyebar dari saraf perifer secara ascending bermigrasi
secara sentripetal atau secara retrogard mencapai CNS. Penjalaran terjadi didalam axis
silinder dari sarung parineural. Teori terbaru berpendapat bahwa toksin juga menyebar
secara luas melalui darah (hematogen) dan jaringan/sistem lymphatic (Adam,1997).
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke
susunan saraf pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian
bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui
pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. Masih belum jelas mana yang lebih
penting, mungkin keduanya terlibat.
Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular junction
lebih memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf
motorik dan otonom yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd menuju
sistem saraf pusat. Tetanospasmin yang merupakan zincdependent endopeptidase
memecah vesicleassociated membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada
suatu ikatan peptida tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di
sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu transmisi sinaps (Laksmi, 2014).
Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan γ-
amino butyric acid (GABA) yang menghasilkan berbagai tanda klinis yang umumnya
terkait dengan tetanus termasuk kejang otot dan kekakuan, trismus (kuncia), disfagia,
ruptur tendon, opisthotonus, kesulitan pernafasan, dan kematian (Cook et al., 2001).
Pada saat interneuron menghambat motor neuron alpha juga terkena pengaruhnya,
terjadi kegagalan menghambat refleks motorik sehingga muncul aktivitas saraf motorik
tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa spasme otot
yang tiba-tiba dan potensial merusak (Taylor, 2006).
Periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7 hari). Pada 80-90% penderita,
gejala muncul 1-2 minggu setelah terinfeksi. Selang waktu sejak munculnya gejala
pertamasampai terjadinya spasme pertama disebut periode onset. Periode onset
maupun periode inkubasi secara signifikan menentukan prognosis. Makin singkat
(periode onset <48 jam dan periode inkubasi <7 hari) menunjukkan makin berat
penyakitnya.
Karakteristik kejang tetanus menurut Laksmi (2014):
1. Terjadi kejang otot
2. Rigiditas otot
3. Ketidakstabilan otonom
4. Kekakuan otot (leher, nyeri punggung)
5. Spasme otot dapat menyebabkan ruptur tendon, dislokasi sendi serta patah tulang
6. Spasme laring dapat menyebabkan obstruksi jalan napas atas akut dan respiratory
arrest
7. Spasme otot-otot dada
8. Hipoksia
Otot wajah terkena paling awal karena jalur axonalnya pendek, sedangkan neuron-
neuron simpatis terkena paling akhir, mungkin akibat aksi toksin di batang otak. Pada
tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas otonom menyebabkan hilangnya kontrol
otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan
neuronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan membutuhkan tumbuhnya terminal
saraf yang baru, sehingga memanjangkan durasi penyakit ini (Laksmi, 2014).
Spasme otot muncul spontan, juga dapat diprovokasi oleh stimulus fisik, visual,
auditori, atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat menyebabkan
ruptur tendon, dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring dapat terjadi segera,
mengakibatkan obstruksi saluran nafas atas akut dan respiratory arrest. Pernapasan juga
dapat terpengaruh akibat spasme yang melibatkan otot-otot dada; selama spasme yang
memanjang, dapat terjadi hipoventilasi berat dan apnea yang mengancam nyawa. Tanpa
fasilitas ventilasi mekanik, gagal nafas akibat spasme otot adalah penyebab kematian
paling sering. Hipoksia biasanya terjadi pada tetanus akibat spasme atau kesulitan
membersihkan sekresi bronkial yang berlebihan dan aspirasi. Spasme otot paling berat
terjadi selama minggu pertama dan kedua, dan dapat berlangsung selama 3 sampai 4
minggu, setelah itu rigiditas masih terjadi sampai beberapa minggu lagi (Laksmi, 2014).

2. PenggunaanTracheostomy pada Pasien


Kasus yang disaikan menjelaskan bahwa klien sudah mendapatkan bantuan napas
dari ventilator mekanik dengan tracheostomy pada hari ke-15 ia di rawat. Berikut adalah
penjelasan mengapa pada klien terpasang tracheostomy dan bukan intubasi endotracheal
pada hari ke-15:
Pada situasi darurat di mana memerlukan jalan napas untuk menyelamatkan nyawa
pada pasien tanpa kepatenan jalan napas, pendekatan yang biasa dilakukan untuk
keadaan darurat (pada setting ruang UGD) seperti itu adalah penempatan kateter
transtracheal untuk insuflasi oksigen untuk mencegah kematian sementara trakeostomi
atau krikotiroidotomi dilakukan. Trakeostomi yang dilakukan dalam kondisi darurat
akan memakan waktu, sulit, dan sering dikaitkan dengan hasil yang lebih buruk, dan
krikotiroidotomi biasanya lebih diutamakan (Durbin Jr., 2005).
Pada kasus, terdapat dua kemungkinan waktu dipasangnya tracheostomy, yaitu:
pertama, pada saat keadaan setelah dipasang intubasi endrotracheal kurang dari 3 hari.
Hal ini berlaku jika saat keadaan awal pasien (saat masuk UGD) tidak terjadi spasme
laring atau hanya terjadi spasme otot dada (akibat dari neurotoksin tetanus yang
menyerang susunan saraf pusat) yang menyebabkan gangguan ventilasi spontan yang
membutuhkan bantuan ventilasi mekanik, sehingga dapat dilakukan intubasi
endotracheal terlebih dahulu untuk menjaga status ventilasi pasien.
Kedua, pemasangan tracheostomy dilakukan sesaat klien tiba di rumah sakit. Hal
ini berlaku jika diketahui kondisi klien saat masuk UGD mengalami spasme pada laring
baik itu disertai atau tidak disertai dengan spasme otot dada (yang sama-sama
diakibatkan karena neurotoksin tetanus menyerang susunan saraf pusat). Di mana pada
kondisi spasme laring, jika dilakukan intubasi endotracheal terlebih dulu, maka akan
beresiko melukai laring atau terjadi ruptur laring. Walau begitu, tindakan tracheostomy
tidak langsung dilakukan saat di UGD. Pasien akan dirujuk menuju instalasi bedah
sentral untuk menjalani tracheostomy dengan sebelumnya dapat dilakukan
krikotiroidotomi (di ruang UGD) untuk menjaga ventilasi pasien sebelum mendapatkan
tindakan tracheostomy.
Tracheostomy biasa dilakukan setelah terpasang intubasi translaryngeal di mana
keputusan untuk melakukan tracheostomy ini harus berdasarkan pada keputusan pribadi
klien dan/atau keluarga, tujuan yang ingin dicapai dari pemberian terapi, resiko dari
intubasi translaryngeal yang berkelanjutan dan resiko operasi tracheostomy (Durbin Jr.,
2005). Tracheostomi akan dianggap sebagai jalan napas buatan yang disukai lama jika
dibandingkan dengan intubasi translaryngeal lanjutan. Di mana, perlindungan laring dan
jalan nafas atas dari intubasi yang berkepanjangan merupakan alasan penting untuk
melakukan tracheostomi. Banyak struktur anatomis berisiko terkena dampak dari
intubasi translaryngeal, seperti edema dan kerusakan pita vokal, erosi mukosa laring,
jaringan parut pada laring dan stenosis serta kerusakan saraf laring yang berulang dapat
menyebabkan cacat permanen. Potensi pemulihan atau perbaikan luka pasca bedah
kurang pada kasus intubasi yang berkepanjangan. Pemeriksaan laring langsung
menunjukkan perubahan saluran napas yang ditandai dalam beberapa hari setelah
intubasi translaryngeal. Biasanya perubahan awal ini reversibel dan ada perbaikan
bertahap setelah tabung dikeluarkan dari laring (Durbin Jr., 2010).
Berdasarkan rekomendasi American College of Chest Physicians, batas untuk
mengubah penggunaan intubasi tracheal ke tracheostomy pada pasien kritis adalah 3
minggu (Mahafza et al., 2012). Namun, Dalam literatur otorhinolaryngology,
pemasangan tracheostomi untuk melindungi laring dari kerusakan intubasi telah
direkomendasikan dalam 3 hari dari intubasi. Rekomendasi ini berdasarkan fakta bahwa
kerusakan mukosa yang diamati secara visual pada laring dan pita suara maksimal
terjadi dalam 3-7 hari. Jika tabung intubasi dikeluarkan dari laring dalam beberapa hari,
lengkap penyembuhan luka-luka akan segera terjadi (Durbin Jr., 2005).
Secara garis besar, terdapat keuntungan-keuntungan pemasangan tracheostomy jika
dibandingkan dengan intubasi translaryngeal, yaitu: meningkatkan tingkat kenyamanan
pasien, dapat dilakukan oral hygiene lebih baik, sedikit dampak pada gigi dan luka
trakea, lebih mudah dan aman dalam perawatan, menurunkan airway resistance, dan
dapat memfasilitasi proses penyapihan serta mencegah VAP atau ventilator-associated
pneumonia (Tseng et al, 2015).
Tahap pertama dari kejadian VAP adalah mikroorganisme yang teraspirasi ke
saluran napas bawah.Endotracheal Tube memberikan celah pada aspirasi sekresi
orofaring yang telah terkontaminasi ke paru-paru yang berkontribusi pada kolonisasi
trakeal dan perkembangan VAP (Nseir et.al., 2007). Penggunaan endotracheal tube
dapat mengganggu benteng alami tubuh, seperti mukosilia dan reflex batuk, sehingga
biofilm dapat berkembang pada permukaan endotracheal tube.
Trakeostomi dianggap sebagai solusi oleh praktisi karena dengan memotong jalur
pemasangan melewati mulut akan memberikan proteksi terhadap masuknya
mikroorganisme. Selain itu, pemasangan trakeostomi memberikan kenyamanan,
kebersihan mulut, dan manajemen jalan napas yang lebih baik dibanding penggunaan
endotracheal tube.Penelitian yang dilakukan juga membuktikan bahwa pemasangan
awal trakeostomi, yaitu dalam lima hari dari pemasangan ventilasi mekanik,
mengurangi kejadian VAP, LOS ICU, dan memendekkan weaning , dan mengurangi
mortalitas (Durbin, 2014). Selain penggunaan trakeostomi, penggunaan ventilasi
protektif dengan PEEP (Positive End Expiratory Pressure) dan volume tidal yang
rendah dapat mengurangi resiko pertumbuhan bakteri dan VAP (Cirillo et.al., 2015).
Disamping itu, penggantian kanula trakeostomi 1-2 minggu sekali perlu dilakukan
untuk mengurangi resiko pertumbuhan biofilm bakteri di permukaan kanula (Nseir
et.al., 2007).
3. Suara ronchi
Suara ronchi yang terdengar adalah bunyi gaduh yang dalam. Dan terdengar selama
ekspirasi karena adanya gerakan. udara melewati jalan napas yang menyempit akibat
obstruksi napas. Obstruksi berupa sumbatan akibat sekresi, odema, atau tumor. Dan
suara ronchi akan terdengar pada saat pemeriksaan paru Auskultasi dengan cara
meletakan stetoskop di lapang paru dan mendengarkan bunyi suara.
Saat pemasangan endotracheal ataupun tracheostomisama halnya diibaratkan
dengan partikel luar yang masuk, lalu akan mengaktifkan reseptor sel goblet. Saat
dimasukkan endotracheal ataupun tracheostomi, reseptor sel goblet akan tersentuh
dengan tabungnya dan menyebabkan produksi mucus/sekret. Karena pasien tidak dapat
batuk secara reflex secret yang dihasilkan tidak bisa keluar dan meyebabkan
penumpukan sekret. Penatalaksanaan untuk mengatasi sekret tersebut adalah disuction
atau dilakukan penyedotan.yang bertujuan untuk mesekresi secret supaya keluar
bersama sekret tersebut.
4. Ventilasi Mekanik dengan Cardiac Output (CO)
Pemberian tekanan positif dan volume pada ventilasi mekanik untuk membuka
alveoli sebagai terapi gagal napas mengakibatkan peningkatan tekanan intratorakal yang
dapat mengganggu kerja jantung sehingga dapat mempengaruhi terhadap menurunnya
fungsi sirkulasi.Menurunnya fungsi jantung pasien kritis saat ventilasi mekanik dapat
memperburuk pasokan O2 ke jaringan, mengganggu fungsi organ yang berakibat
meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Selain itu interaksi kardio-pulmoner saat
ventilasi mekanik juga mengakibatkan pengukuran preload ventrikel kiri dan tekanan
vena sentral menjadi tidak akurat(Helmi, 2012).
Perubahan tekanan dan volume pulmonal dapat menurunkan aliran darah balik vena
ke atrium dan mempengaruhi kerja ventrikel kanan dan ventrikel kiri. Interaksi antar
ventrikel ini menjelaskan bahwa gangguan kontraksi di salah satu ventrikel akan
mempengaruhi kerja ventrikel yang lain. Interaksi ini terjadi akibat hubungan anatomis
antar kedua ventrikel yang disusun oleh serabut otot, septum, dan berada di dalam
perikardium yang sama. Interaksi ini dapat mengakibatkan gangguan pada setiap bagian
pada kedua ventrikel tersebut, termasuk gangguan volume diastolik ventrikuler (Helmi,
2012).
Pada pasien yang mendapat ventilasi tekanan positif terjadi fenomena yang
berlawanan dengan pernapasan spontan. Pada saat inspirasi terjadi penurunan
compliance ventrikel kiri terutama saat diastolik, sehingga terjadi pula penurunan aliran
balik vena (venous return) yang disebabkan oleh kompresi pada atrium kanan dan vena
cava.1,8-10 Selain itu, pada saat ventilasi mekanik, juga terjadi peningkatan tekanan
darah arteri saat inspirasi yang diikuti dengan penurunan saat ekspirasi, yang dikenal
sebagai reversed pulsus paradoxus, paradoxical pulsus paradoxus, respirator pradox,
systolic pressure variation, pulse pressure variation (Helmi, 2012).
Perubahan tekanan dan volume intratoraks mempengaruhi kerja jantung melalui
beberapa mekanikme, yaitu (1) perubahan aliran darah vena (preload) yang
mempengaruhi perubahan volume akhir diastolik ventrikel kanan/kiri; (2) meningkatnya
resistensi vaskuler pulmonal (afterload ventrikel kanan); (3) kompresi langsung pada
perikardium; (4) interaksi antar ventrikel. Pada ventilasi mekanik, pengaruh volume
dan/atau tekanan intratorakal bervariasi bergantung pada modus ventilasi, volume tidal,
dan level PEEP yang diberikan. Peningkatan tekanan intratorakal saat ventilasi mekanik
dapat menyebabkan volume pengisian ventrikel kanan berkurang yang akhirnya
menurunkan preload dan curah jantung(Helmi, 2012).
Aliran balik ke jantung dari perifer terjadi melalui sistem vena yang mempunyai
tekanan dan resistensi rendah. Tekanan atrium kanan dapat berubah-ubah mengikuti
siklus ventilasi akibat perubahan tekanan intratorakal. Inspirasi dengan tekanan positif
pada ventilasi mekanik menyebabkan peningkatan tekanan intratorakal dan tekanan
atrium kanan yang akan menurunkan gradien tekanan aliran balik vena, volume
sekuncup, dan curah jantung. Dalam keadaan normal, berkurangnya aliran balik vena
dicegah dengan peningkatan tekanan intra abdominal karena desakan diafragma dan
karena kontraksi otot abdomen.Telah dilaporkan bahwa peningkatan tekanan saat CPAP
sampai dengan 20cmH2O tidak berakibat berkurangnya curah jantung selama dapat
diimbangi dengan peningkatan tekanan intraabdominal (Helmi, 2012).
Pada penggunaan ventilasi mekanik untuk terapi gagal napas akut, sering dijumpai
penurunan tekanan darah arteri yang disebabkan oleh berkurangnya pengisian ventrikel
kanan akibat berkurangnya aliran balik vena dan oleh kompresi di sekitar jantung dan
vena cava (Helmi, 2012). Ventilasi mekanik cenderung mengganggu kembalinya
darah ke dalam toraks sehingga mengurangi curah jatung. Pada pasien yang
terlentang relaks, kembalinya darah ke toraks bergantung pada perbedaan antara
tekanan vena perifer dan tekanan intratoraks rata-rata. Jika tekanan jalan napas
ditingkatkan oleh ventilator, tekanan intratoraks rata-rata meningkat dan
menghambat aliran balik vena (Vedora, Gultom 2015).
Preload dapat berkurang pada pemberian PEEP, sedangkan resistensi vaskuler
pulmonal meningkat akibat penambahan volume paru saat inspirasi yang menyebabkan
bertambahnya afterload dari ventrikel kanan.Fenomena ini mengakibatkan
berkurangnya volume akhir diastolik ventrikel saat inspirasi yang akan menurunkan
curah jantung.Pasien dengan sindrom gagal napas akut afterload ventrikel kanan
meningkat, sehingga penambahan level PEEP pada pasien ini dapat memperburuk aliran
balik vena yang menyebabkan berkurangnya curah jantung dan mengakibatkan
hipotensi sistemik. Selain itu, peningkatan afterload dapat pula mengakibatkan
pendesakan ventrikel kiri oleh septum sehingga menurunkan volume akhir diastolik
ventrikel kiri. Pada kondisi ini pengukuran tekanan baji paru pulmonary artery wedge
pressure (PCWP) menjadi tidak akurat.
PEEP yang terlalu tinggi menyebabkan overdistensi paru yang dapat mengaktifkan
faktor plasma yang berefek inotropik negatif terhadap jantung. Aktivasi faktor plasma
ini kemungkinan akibat respon inflamasi karena overdistensi paru. Respon ventrikel
kanan terhadap peningkatan tekanan jalan napas dan PEEP bergantung pula pada
penyakit dasar pasien dan pengaruh volume paru-paru terhadap resistensi vaskuler
pulmonal.
mekanikme yang bertanggung jawab terhadap penurunan curah jantung akibat
ventilasi mekanik. Mereka membuktikan pada pasien gagal napas akut dengan fungsi
ventrikel kanan normal terjadi penurunan curah jantung secara progresif seiring dengan
peningkatan PEEP yang diakibatkan oleh peningkatan resistensi vaskuler pulmoner
secara progresif dan gangguan fungsi sistolik ventrikel kanan. Mekanikme ini berperan
terhadap berkurangnya curah jantung saat ventilasi mekanik. Sehingga penting untuk
melakukan titrasi PEEP untuk optimisasi oksigenasi, curah jantung, dan transpor O2
sistemik.
5. Ventilator mode Assist-Control berhubungan dengan CRT >3 detik
Volume tidal umumnya ditetapkan pada 6-8 mL / kg; volume inflasi yang lebih
besar dihindari, karena berkontribusi terhadap peningkatan tekanan toraks dan dapat
mempengaruhi output jantung. Proporsi yang lebih besar dari volume yang dikirim tidak
akan berpartisipasi dalam pertukaran gas, namun mungkin akan berkontribusi pada
hiperventilasi dinamis, PEEP intinsik, curah jantung turun, dan ketidaksesuaian
ventilasi-perfusi yang memburuk (Criner, 2010).
6. VAP (Ventilator Associated Pneumonia)
Ventilasi melanik adalah keutamaan esensial dari perawatan di ICU
moderen.Tetapi, ventilasi mekanik diasosiasikan sebagai resiko substansial dari
Ventilator-Associated Pneumonia (VAP) (Safdar, Crnich, & Maki, 2005).Ventilator
Associated Pneumonia (VAP) adalah infeksi nosokomial yang sering terjadi pada 9%
sampai 27% pasien terventilasi mekanik.Hal tersebut diasosiasikan dengan morbiditas
yang signifikan termasuk menambah lama pemakaian ventilator, menambah lama rawat
di ICU dan Rumah Sakit, dan menambah pengeluaran.Lebih jauh, VAP mempunyai
rata-rata mortalitas 20 sampai 40 persen (Upenn, 2008).
VAP adalah pneumonia yang terjadi setelah inisiasi pemasangan ventilasi mekanik
lebih dari 48 jam (Upenn, 2008). Factor resiko yang tidak dapat diubah adalah pada
populasi yang teridentifikasi mempunyai insiden kenaikan VAP, seperti umur >60,
COPD, ARDS, trauma kepala, dan reintubasi.Factor yang dapat diubah diantaranya
intervensi, treatment, dan perilaku di ICU yang secara positif atau negatif
mempengaruhi insiden VAP (Upenn, 2008).
Sebenarnya, manusia mempunyai mekanisme pertahanan termasuk barier jalan
napas, reflex batuk, mucus, dan pembersih mukosilia.Mukosa bersilia dari saluran
pernapasan atas mempunyai peran penting untuk mengeluarkan partikel dan mikroba
yang dapat melewati cabang bronchial (Safdar, Crnich, & Maki, 2005).Selain itu,
system antibody yang ada di dalam tubuh juga berperan dalam mengeluarkan pathogen
potensial dengan proses-proses pertahanan imunitas.
Pertahanan tubuh normal untuk prevensi pneumonia (Safdar, Crnich, & Maki,
2005):
a. Anatomi jalan napas
b. Reflek batuk
c. Mucus
d. Mukosilia pembersih
e. Makrofag alveolar
f. Leukosit
g. Ig
h. Komplemen
i. Lactoferria
j. Membran dasar
Patogenesis dari VAP termasuk mikroaspirasi dari sekresi orofaring dan/atau
lambung yang telah terkontaminasi/terkoloni dengan organisme patogen.Sebelum
menginfeksi, mikroorganisme melewati saluran napas bawah yang steril.
mikroorganisme dapat lewat melalui empat akses: (1) melalui aspirasi sekresi
bermikroba maupun secara langsung dari orofaring atau melalui refluks dari lambung ke
orofaring, kemudian ke saluran napas bawah, (2) ekstensi langsung dari infeksi sekitar,
seperti infeksi ruang pleural, (3) lewat inhalasi dari udara terkontaminasi atau aerosol
medis, atau (4) dari darah bermikroba yang terbawa sampai ke paru-paru dari suatu
infeksi local yang jauh, seperti kateter urin atau vaskuler yang berhubungan dengan
infeksi aliran-darah (Safdar, Crnich, & Maki, 2005). Mikroorganisme kemudian
melekat dengan mukosa dan memproduksi cairan infeksius.Usaha untuk mencegah
VAP adalah difokuskan pada ekstubasi segera dan mencegah aspirasi (Upenn, 2008).
Pasien dengan resiko pneumonia diataraya adalah pasie dengan (Upenn, 2008):
a. Intubasi/reintubasi
b. COPD
c. Umur >60
d. Aspirasi
e. Penurunan LOC atau GCS <15
f. Neuromuscular blockade
g. Cedera spinal/ketidakstabilan spinal/trauma kepala
h. Nutrisi enteral-terutama pre-pyloric
i. ECF/pasien perawatan di rumah
j. Riwayat terapi antibiotic dalam 90 hari terakhir
k. Hospitalisasi > 5 hari
l. Penyakit atau terapi immunosupresi
m. ARDS
n. Pasien dialysis kronis
o. Riwayat hospitalisasi dalam 90 hari terakhir.
Keperawatan dan Perawatan Saluran Respirasi (ICSI, 2011):
a. Tinggikan kepala 30-45 derajat untuk pasien dengan resiko tinggi aspirasi tanpa
kontraindikasi medis
b. Cuff pressure harus dijaga pada 20-25 cmH2O
c. Perubahan sirkuit harus dilakukan ketika berbeda dari kenyataan daripada kebiasaan
d. Panas dan kelembaban penukar tidak boleh dirubah terlalu sering dari 48 jam atau
ketika berubah dengan nyata atau terjadi malfungsi mekanik
e. Nilai rongga mulut dan berikan perawatan mulut setiap 6-8 jam dan bila dibutuhkan,
menggunakan solusi chlorhexidine 0,12 atau 2. Gunakan pelembab mulut water-
soluble dan/atau pelembab bibir setiap 6-8 jam (setelah perawatan mulut) dan bila
dibutuhkan untuk menjaga kelemaban
f. Menggunakan dedicated suction line untuk suction sekresi system respirasi melalui
ET. Putar posisi dari ET tidak kurang dari 24 jam. Jika endotrachal dorsal lumen
digunakan, hilangkan sekresi oral/subglotik dalam secara rutin per rekomendasi
pabrik
g. Evaluasi untuk terapi kinetic bed
h. Nilai pasien untuk reduksi/diskontuitas sedasi harian dan implementasi per petunjuk
institusi. Kurangi atau diskontinu sedasi sampai pasien bangun dan dapat mengikuti
perintah sederhana arau pasien menjadi gelisah
i. Nilai pemenuhan syarat untuk percobaan weaning harian walaupun berkontraindikasi
Medikasi (ICSI, 2011):
a. Nilai stress ulcer prophylaxis dan penggunaan terus-menerus
b. Direkomendasikan semua pasien dengan admisi ICU dinilai resiko dari tromboemboli
vena, dan menerima tromboropilaksis sesuai resiko pasien.
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Analisis Data
No. Tanggal Data fokus Masalah Etiologi Dx
dan jam
1 Kamis, 5 DO : Ketidakefektifan Sekresi Ketidakefektifan
Oktober 1. Terdapat suara bersihan jalan yang bersihan jalan napas b.
2017 Ronchi seluruh nafas tertahan d. Sekret yang tertahan
pukul lapang paru
08.00 2. RR : 25x/menit
WIB DS: -

2. Kamis, 5 Data Pendukung: Resiko Perubahan Resiko Penurunan


Oktober 1. Pemasangan Penurunan preload Curah Jantung b. d.
2017 ventilator dengan Curah Jantung Perubahan preload
pukul modus assist
08.00 control, PEEP 8
WIB mmHg.
2. CRT 3 detik
3. Kamis, 5 DO: Ketidakefektifan Keletihan Ketidakefektifan Pola
Oktober 1. Fase ekspirasi Pola Napas Otot Napas b. d.Keletihan
2017 memanjang Pernapasan Otot Pernapasan
pukul 2. Perubahan
08.00 ekskursi dada
WIB 3. Pola napas
abnormal
4. Penggunaan otot
bantu pernapasan
5. Penurunan
kapasitas paru
B. Prioritas Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas b. d. Sekret yang Tertahan
2. Ketidakefektifan Pola Napas b. d. Keletihan Otot Pernapasan
3. Resiko Penurunan Curah Jantung b. d. Perubahan Preload
C. Rencana Keperawatan
Hari/Tanggal Diagnosa Tujuan Intervensi
No. Rasionalisasi
Dan Jam Keperawatan (NOC) (NIC)

1. Kamis, 5 Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan Manajemen jalan napas (1K-3140) Manajemen jalan
Oktober 2017 bersihan jalan 1 x 3 menit diharapkan napas (1K-3140)
a. Buang sekret dengan memotivasi
pukul 08.00 nafas b.d sekresi kebersihan jalan nafas
klien untuk dilakukan penyedotan a. Penyedotan lendir
WIB yang tertahan klien efektif (IIE0410)
lendir (1K-3140.06) atau sekret dapat
dengan kriteria hasil :
b. Lakukan penyedotan melalui mengurangi
1. Tidak ada suara
endotrakea atau nasotrakea, penyempitan pada
tambahan (ronkhi)
sebagaimana mestinya (1K- rongga pernapasan
2. Akumulasi sputum
3140.12) b. Penyedotan yang
dalam saluran nafas
c. Monitor status pernapasan dan dimaksud adalah
dapat teratasi
oksigenasi, sebagaimana penyedotan lendir
3. Frekuensi nafas
mestinya (1K-3140.21) atau sekret dapat
normal 12-
mengurangi
24x/menit
penyempitan pada
Manajemen Jalan Napas Buatan
rongga pernapasan
(1K-3180)
c. Menjaga
a. Selalu mencuci tangan (1K- kepatenan jalan
3180.01) napas
b. Lakukan universal Manajemen Jalan
precautions (1K-3180.02) Napas Buatan (1K-
c. Menggunakan alat pelindung 3180)
diri (1K-3180.01)
a. Mencuci tangan
d. Monitor suara ronki dan
dilakukan untuk
crakles pada pasien (1K-
melindungi
3180.09)
perawat dan
e. Pertahankan teknik steril
mencegah
ketika melakukan penyedotan
penyebaran infeksi
dan melakukan perawatan
pada pasien
trakeostomi (1K-3180.29)
b. Mengurangi resiko
infeksi pada pasien
c. Melindungi
perawat dari resiko
infeksi oleh pasien
dan lingkungan
d. Mencegah agar
suara ronki tidak
hadir kembali
setelah dilakukan
penyedotan
e. Mencegah resiko
infeksi saat
dilakukan
penyedotan
2. Kamis, 5 Ketidakefektifan Status pernapasan: Manajemen Jalan Napas Buatan Manajemen Jalan
Oktober 2017 Pola Napas ventilasi (IIE0403) (1K-3180) Napas Buatan (1K-
pukul 08.00 b.d.Keletihan a. Kedalaman inspirasi klien a. Monitor penurunan volume 3180)
WIB Otot Pernapasan normal (IIE040303) ekspirasi dan peningkatan a. untuk
b. Kapasitas volume klien tekanan inspirasi pada pasien mengantisipasi
normal ±1100 yang menggunakan ventilasi adanya
(IIE040324) mekanik (1K-3180.22) keabormalan pola
c. Penggunaan otot bantu b. Lakukan fisioterapi dada bila napas yang lebih
napas tidak diperlukan diperlukan(1K-3180.33) parah
lagi (IIE040309) b. fisiterapi dada
dapat melemaskan
otot. Diharapkan
dengan fisioterapi
dada, otot dada
klien tidak
mengalami spasme
lagi.
3. Kamis, 5 Resiko Kefektifan Pompa Monitoring Status Respiratori Monitoring Status
Oktober 2017 Penurunan Jantung (IIE0400) (2K-3350) Respiratori (2K-
pukul 08.00 Curah Jantung 3350)
Setelah dilakukan tindakan a. Memonitor pola napas (2K-
WIB
keperawatan selama 1x24 3350.04) Memonitor status
jam, diharapkan tidak ada b. Memonitor pembacaan ventilasi respiratori pada
penurunan curah jantung mekanik, menyadari adanya klien yang
klien dengan kriteria hasil: peningkatan tekanan inspirasi terpasang vetilator
a. nilai tekanan sistolik dan penurunan vlume tidal (2K- mekanik dapat
tidak jauh dari rentang 3350. 15) membantu
normal (IIE040001) c. Lakukan pengambilan sampel mengidentifikasi
b. Nilai tekanan diastolik darah arteri untuk mengetahui perlunya
tidak jauh dari rentang status oksigenasi klien perubahan setting
normal (IIE040019) berhubungan dengan setting pada ventlator
c. Nilai fraksi ejeksi tidak ventilator mekanik. mekanik. Karena
jauh dari rentang normal setting pada
Manajemen Cairan (2G-4120)
(IIE040004) ventilator mekanik
d. Nilai CVP tidak jauh dai a. Memonitor status mehodinamik dapat
rentang normal (CVP, MAP, PAP dan PCWP) mempengaruhi CO
(IIE040025) (2G-4120.07) klien.
b. Mengelola terapi IV (2G- Manajemen Cairan
4120.13) (2G-4120)
Pemberian cairan
pada klien
penurunan curah
jantung dapat
meningkatkan nilai
curah jantung serta
teknan darah klien.
DAFTAR PUSTAKA

Adams. R.D,et al : Tetanus in :Principles of New'ology,McGraw-Hill,ed 1997, 1205- 1207.


Bradley D. Freeman, MD. (2011). Tracheostomy Update When and How. Crit Care Clin 33
(2017) 311–322. USA: Department of Surgery, Washington University School of
Medicine.
Carpio dan Mora. (2017). Ventilation, assist control. Bookshelf NCBI. Diakses pada 4 Oktober
2017, dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441856/
CDC. (2017).Pneumonia (Ventilator-associated [VAP] and non-ventilator-associated
Pneumonia [PNEU]) Event. Diakses pada 07 Oktober 2017 dari
https://www.cdc.gov/nhsn/pdfs/pscmanual/6pscvapcurrent.pdf
Cook TM, Protheroe RT, Handel JM. 2001. Tetanus: a review of the literature. British Journal of
Anaesthesia, 87(3):477-487.
Criner, Gerard J. dan Barnette, Rodger E. (2010). Critical Care Study Guide : Text and Review
Second Edition. London : Springer.
Dugdale, David C. 2009. Capillary Nail Test.
Medlineplus.http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003394.htm
Durbin Jr, Charles G.. (2005). Indications for and timing of tracheostomy. Respiratory Care, 20
(4): 483-487.
Durbin Jr, Charles G.. (2010). Tracheostomy: why, when adn how?. Respiratory Care, 55 (8):
1056-1068.
Hadikawarta, A., Rusmarjono, Soepardi, E., 2004. Penanggulangan Sumbatan Laring Dalam
Soepardi E.A, Iskandar N., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, dan
Kepala – Leher. Edisi Kelima. Jakarta, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta: 201-212
Haridian Gunadi (2013). Efektivitas Vasopresin dan Norepinefrin dalam Memperbaiki Fungsi
Ginjal pada Pasien Syok Sepsis yang Disertai Acute Kidney Injury. Vol. 1, No. 3,
Desember 2013.
Helmi, Mochamat. (2012). Peran Ventilasi Mekanik Terhadap Fungsi Jantung. Majalah
Kedokteran Terapi Intensif. Vol 2 No 3. 130-134.Institute for Clinical Systems
Improvement (ICSI). (2011). Health Care Protocol: Prevention of Ventilator-Associated
Pneumoniafifth edition. Bloomington: ICSI Diakses pada 07 Oktober 2017 dari
https://www.icsi.org/_asset/y24ruh/VAP-Interactive1111.pdf
Kalil, et., al. (2016). Management of Adults With Hospital-acquired and Ventilator-associated
Pneumonia: 2016 Clinical Practice Guidelines by the Infectious Diseases Society of
America and the American Thoracic Society. Clinocal Infectious Disease IDSA Guideline
63
Kreimeier, Uwe .2000.Pathophysiology of fluid imbalance. Critical Care 2000 Critical Care
2000, 4(Suppl 2):S3-S7.
Laksmi, Ni Komang Saraswita. (2014). Penatalaksanaan Tetanus. CDK-222 vol. 41 Nomor 11:
823-827
London health Sciences Centre. (2014). Assist control (AC). Diakses pada 4 Oktober 2017, dari:
http://www.lhsc.on.ca/Patients_Families_Visitors/CCTC/Words/ac.htm
Mahafza, Tareq et al. (2012). Early vs. Late tracheostomy for ICU patients: experience in a
referral hospital. Saudi Journal of Anaesthesia, 6 (2): 152-155.
Michael R. O'Grady et all. 2010. CLINICAL CARDIOLOGY
CONCEPTS.http://www.vetgo.com/cardio/concepts/concsect.php?conceptkey=14. Di
akses pada 03 oktober 2017 dalam https://dokumen.tips/download/link/capillary-refill-
time-55ab59e350275.
Morton dan Fontaine. (2013). Critical care nursing tenth edition: a holistic approach. China:
Lippincott Williams & Wilkins.
Naik, Bhiken i, dkk. (2015). Variability in Mechanical Ventilation: What’s All the Noise About?.
Respiratory Care. Vol 60 No 8. 1203-1210.
Oman, K. S., Koziol-McLain, J., & Scheetz, L. J. (2008). Panduan Belajar Keperawatan
Emergensi (Emergency Nursing Secrets). Jakarta: EGC.
Robert, H., 1997. Trakeostomi. In: Boeis. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta: 473-485
Safdar, Nasia; Crnich, Christopher J & Maki, Dennis G. (2005).The Pathogenesis of Ventilator-
Associated Pneumonia: Its Relevance to Developing Effective Strategies for Prevention.
Respiratory Care 50(6).
Skidmore-Roth, Linda. (2013). Mosby’s 2013 Nursing Drug Reference 26th edition.USA :
Elsevier
Spector, G.J., and Faw, K.D., 1999. Insufisiensi Pernapasan dan Trakeostomi dalam Penyakit
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher, Ballenger JJ, Alih Bahasa Bagian THT –
KL RSCM-FKUI, Jilid I. Edisi ke-13. Jakarta, Binarupa Aksara: 435 – 462
Taylor AM. 2006. Tetanus. Continuing Education in Anesthesia, Critical Care & Pain, Vol
6(3):101-104.
Tseng, Kuei Ling et al.. (2015). Tracheostomy versus endotracheal intubation prior to admission
to a respiratory care center: a retrospective analysis. International Journal of Gerontology,
9 :151-155.
University of Pennsylvania.(2008). Ventilator Asssociated Pneumonia in the SICU. US:
University of Pennsylvania diakses pada tanggal 07 Oktober 2017 dari
http://www.uphs.upenn.edu/surgery/education/trauma/sccs/protocols/ventilator.pdf
Vedora, Gultom.(2015). Gambaran Kejadian Ventilator Associated PneumoniaPada Pasien Yang
Menggunakan Ventilator ≥ 48 Jam DiICU RSUP H. Adam Malik Pada Bulan Agustus
2014 – Juni 2015. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Diakses pada 07
Oktober 2017
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/56204/Cover.pdf?sequence=7&isA
llowed=y
MAKALAH
STUDI KASUS III KGDK

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis
Dosen Pembimbing: Ns.Dody Setyawan.,S.Kep.,M.Kep

Disusun oleh :
1. Rikarda Ogethai 22020113100053
2. Putwi Marinesia Nur 22020115120037
3. Grahya Febriella M.N.P 22020115120039
4. Ayu Marta Puri 22020115120043
5. Dyah Sukma Indiastutik 22020115120045
6. Zumrotul Aulia 22020115120062
7. Septiana Tri Permata 22020115130063
8. Hesti Kusumastuty 22020115130073
9. Nisriina Luthfiyah 22020115140061

Kelompok 4
A.15.1

DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2017

Anda mungkin juga menyukai