Kasus
Kasus 4
T. S usia 49 tahun dirawat di ICU hari ke 15. Pasien terpasang tracheostomi yang
terhubung dengan ventilator modus assist control, frekuensi pernapasan 25 x/menit, PEEP 8
mmHg, FiO2 50 %, tidal volume 400 ml, terlihat adanya secret di jalan nafas dan terdengar
suara ronchi di seluruh lapang paru. Tekanan darah pasien 115/61 mmHg, frekuensi nadi 94
x/menit, suhu 37,3° C dan CRT 3 detik. Keluarga mengatakan pasien sebelum masuk rumah
sakit mengalami luka di kaki, dan dua hari setelahnya pasien mengalami kejang-kejang dan
badan pasien menjadi kaku. Klien mendapatkan terapi diazepam, midazolam, dan
metronidazole.
C. Penjelasan Istilah
1. Trakeostomi
Trakeostomi adalah suatu tindakan dengan membuka dinding depan/anterior trakea
untuk mempertahankan jalan nafas agar udara dapat masuk ke paru-paru dan memintas
jalan nafas bagian atas (Hadikawarta, Rusmarjono, Soepardi, 2004). Tindakan ini
merupakan salah satu prosedur pembedahan yang paling sering dilakukan pada pasien
dengan gagal napas akut (Freeman,2011). Tindakan ini memiliki beberapa indikasi
yaitu:
a. Mengatasi obstruksi jalan nafas atas seperti laring
b. Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran nafas bagian atas seperti daerah
rongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya stoma maka seluruh seluruh
oksigen yang dihirupkan akan masuk ke dalam paru, tidak ada yang tertinggal di
ruang rugi tersebut. Hal ini berguna pada pasien dengan kerusakan paru, yang
kapasitas vitalnya berkurang.
c. Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus pada pasien yang tidak dapat
mengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pada pasien dalam koma.
d. Untuk memasang respirator (alat bantu pernafasan).
e. Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai fasilitas
untuk bronkoskopi.
f. Cedera parah pada wajah dan leher.
g. Hilangnya refleks laring dan ketidakmampuan untuk menelan sehingga
mengakibatkan resiko tinggi terjadinya aspirasi (Robert, 1997).
Jalan napas yang sulit pada pasien yang membutuhkan ventilasi mekanik yang
merupakan satu dari sedikit indikasi mutlak untuk melakukan tindakan trakeostomi.
Intubasi sulit dilakukan jika terjadi kehilangan saluran nafas. Hal ini lebih sering terjadi
pada pasien yang membutuhkan perawatan ventilasi yang berkepanjangan untuk
trakeostomi agar memudahkan perawatan. Trakeostomi dapat meningkatkan kebersihan
mulut dan meningkatkan kenyamanan pasien, serta membiarkan memudahkan dalam
pemberian nutrisi. Karena desainnya yang kaku, pendek, dan - pada beberapa model -
cannula yang dapat dilepas (untuk memungkinkan evakuasi sekresi), aliran udara
resistensi dan kerja pernafasan yang terkait mungkin kurang dengan trakeostomi relatif
ke tabung endotrakeal. Selain itu trakeostomi bisa dilakukan dengan aman pada pasien
yang sakit kritis, memberikan kenyamanan pasien yang lebih besar (Freeman,2011).
Komplikasi dini yang sering terjadi adalah perdarahan, hilangnya jalan nafas,
penempatan kanul yang sulit, laserasi trakea, ruptur balon, henti jantung sebagai
rangsangan hipoksia terhadap respirasi dan paralisis saraf rekuren. Perdarahan terjadi
bila hemostasis saat trakeostomi tidak sempurna serta disertai naiknya tekanan arteri
secara mendadak setelah tindakan operasi dan peningkatan tekanan vena karena batuk.
Perdarahan diatasi dengan pemasangan kasa steril sekitar kanul. Apabila tidak berhasil
maka dilakukan ligasi dengan melepas kanul. Emfisema subkutan terjadi di sekitar
stoma tetapi bisa juga meluas ke daerah muka dan dada, hal ini terjadi karena terlalu
rapatnya jahitan luka insisi sehingga udara yang terperangkap di dalamnya dapat masuk
ke dalam jaringan subkutan pada saat penderita batuk. Penanganannya dilakukan
dengan multiple puncture dan melonggarkan semua jahitan untuk mencegah komplikasi
lanjut seperti pneumotoraks dan pneumomediastinum. Sedangkan komplikasi pasca
trakeostomi terdiri atas kematian pasien, perdarahan lanjutan pada arteri inominata,
disfagia, aspirasi, pneumotoraks, emfisema, infeksi stoma, hilangnya jalan nafas, fistula
trakeoesofagus dan stenosis trakea. Kematian pasien terjadi akibat hilangnya stimulasi
hipoksia dari respirasi. Pasien hipoksia berat yang dilakukan tindakan trakeostomi, pada
awalnya pasien akan bernafas lalu akan terjadu apnea. Hal ini terjadi akibat deinervasi
fisiologis dari kemoreseptor perifer yang dipicu dari peningkatan tekanan oksigen tiba-
tiba dari udara pernafasan (Spector, Faw, 1999).
Perawatan pasca trakeostomi sangatlah penting, karena sekret dapat menyumbat
dan menimbulkan asfiksia. Oleh karena itu, sekret di trakea dan kanul harus sering
diisap ke luar, dan kanul dalam dicuci sekurang-kurangnya dua kali sehari lalu segera
dimasukkan lagi ke dalam kanul luar. Bila kanul harus dipasang dalam jangka waktu
lama, maka kanul harus dibersihkan dua minggu sekali. Kain basah di bawah kanul
harus diganti untuk menghindari timbulnya dermatitis. Gunakan kompres hangat untuk
mengurangi rasa nyeri pada daerah insisi. Setelah tindakan trakeostomi dilakukan, foto
Rontgen dada diambil untuk menilai posisi tuba dan melihat timbul atau tidaknya
komplikasi. Antibiotik diberikan untuk menurunkan risiko timbulnya infeksi
(Hadikawarta, Rusmarjono, Soepardi, 2004).
2. Assist Control (AC)
Ventilasi mode Assist Control (AC) adalah mode ventilasi volume-control. Mode
ini bekerja dengan menetapkan Volume Tidal (VT) yang akan diberikan ventilator pada
interval waktu yang ditentukan atau saat pasien memulai pernapasan. VT yang
diberikan oleh ventilator di AC selalu akan sama terlepas dari pemenuhan, nilai
tertinggi, atau tekanan udara di paru-paru. Mode AC adalah metode yang sangat baik
untuk menjamin ventilasi. Mode ini biasa digunakan pada kasus asidoses metabolik atau
respiratorik. Bahkan pada penelitian “ventilation with lower tidal volumes as compared
with traditional tidal volumes for acute lung unjury and the acute respiratory distress
syndrome” membuktikan bahwa mode ini dapat nenberikan pertolongan bertahan hidup
pada pasien dengan ARDS (Carpio dan Mora, 2017).
Assist Control berarti pasien dapat "membantu" ventilator dengan melakukan
beberapa tambahan nafas, melebihi dan di atas tingkat yang ditetapkan. "AC 14" berarti
pasien mendapatkan 14 napas yang dijamin per menit dari ventilator. Karena nafas ini
disampaikan oleh ventilator, mereka disebut "napas terkontrol". Begitu pasien berusaha
bernapas saat berada dalam mode AC, ventilator mendeteksi usaha pasien, dan
memberikan nafas mekanis penuh lainnya. Dengan demikian, pasien dengan AC 14
dengan tingkat nafas total 16 napas per menit memicu dua napastambahan per menit,
namun, semua 16 napas dikirim oleh ventilator (London health Sciences Centre,2014).
Keuntungan dari digunakannya mode Assist Control yaitu: dapat meningkatkan
rasa nyaman pada pasien melalui kemempuan memicu napas sesuai kebutuhan, tingkat
CO2 pasien diatur oleh operator sehingga memungkinkan koreksi yang mudah pada
kasus asidosis/alkalosis respiratorik serta kerja pernapasan yang rendah untuk pasien.
Sedangkan beberapa kerugian penggunaan mode ini yaitu: barotrauma, hiperventilasi
yang menyebabkan alkalosis resoiratori dan penumpukan napas karena pasien tidak
sadar atau tidak cukupnya waktu untuk ekshalasi (Carpio dan Mora, 2017).
Saat mode Assist Control dipilih sebagai mode pada ventilator, ada empat
parameter yang secara cepat mungkin termodifikasi, yaitu(Carpio dan Mora, 2017):
a. Volume Tidal (VT)
Volume tidal adalah volume yang ditetapkan, yang akan dikirimkan pada setiap
kali napas. Mengubah VT akan mengubah ventilasi semenit (VT x RR).
Peningkatan ventilasi semenit akan mengakibatkan penurunan karbon dioksida
(𝐶𝑂2). Sebliknya, menurunkan VT maka akan menurunkan nilai ventilasi semenit
sehingga akan terjadi peningkatan 𝐶𝑂2 dalam darah pasien.
b. Respiratory Rate (RR)
Respiratory rate adalah tingkat yang ditetapkan untuk mengantarkan napas per
menit (bpm). Ventilator dalam mode AC diprogram untuk merasakan perubahan
pada tekanan sistem saat pasien memulai sebuah nafas. Bila diafragma
berkontraksi, tekanan intrathoracic menjadi lebih negatif. Tekanan negatif
ditransmisikan ke saluran udara dan kemudian ke tabung ventilator, di mana sensor
mendeteksi perubahan tekanan dan mengantarkan napas ke volume tidal yang
ditentukan. Jumlah tekanan negatif yang dibutuhkan untuk memicu nafas disebut
sensitivitas pemicu dan biasanya disiapkan oleh terapis pernafasan.
c. Fraksi Oksigen Terinspirasi ( 𝐹𝑖𝑂2)
𝐹𝑖𝑂2 adalah persentase oksigen dalam campuran udara yang diberikan oleh
ventilator selama setiap siklus pernafasan. Di mana, meningkatkan 𝐹𝑖𝑂2 akan
meningkatkan saturasi oksigen pasien.
d. PEEP (Positive End Expiratory Pressure)
CPAP adalah istilah yang digunakan saat PEEP diberikan selama pernapasan
spontan. PEEP adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan tekanan
ekspirasi akhir yang positif dengan tekanan napas positif. CPAP membantu pasien
bernafas secara spontan untuk memperbaiki oksigenasi mereka dengan
meningkatkan tekanan ekspirasi akhir di paru-paru sepanjang siklus pernafasan.
CPAP dapat digunakan untuk pasien yang diintubasi dan tidakdiintubasi. Ini dapat
digunakan sebagai mode penyapihan dan ventilasi nokturnal untuk membuka jalan
napas bagian atas, mencegah penyumbatan saluran napas atas pada pasien dengan
apnea tidur obstruktif (Morton dan Fontaine, 2013).
PEEP adalah tekanan positif yang diberikan pada akhir penghembusan. Sudah
menjadi kebiasaan umum untuk menggunakan tingkat PEEP yang rendah (2 sampai 5
cmh2o) pada pasien intubasi. PEEP meningkat 2 sampai 5 𝑐𝑚𝐻2 O jika tingkat FiO2
lebih besar 50% untuk mencapai Sa02 yang dapat diterima (> 90%) atau PaO2 (> 60
sampai 70 mmHg). PEEP paling sering dibutuhkan pada pasien dengan hipoksemia
refrakter (seperti ARDS) dimana PaO2 memburuk dengan cepat walaupun ada
konsentrasi oksigen yang lebih tinggi (Morton dan Fontaine, 2013).
PEEP digunakan untuk menjaga alveoli tetap terbuka, mengerahkan unit-unit
alveolar yang kolaps secara total atau sebagaian pada mode ventilasi lain. Tekanan akhir
ekspirasi meningkatkan kapasitas residu fungsional dengan memompa kembali alveoli
yang kolaps, menjaga alveoli pada posisi terbuka, dan meningkatkan kerja paru-paru.
PEEP dapat mengurangi shunt dan meningkatkan oksigenasi. Selain itu, terdapat bukti
bahwa menjaga alveoli terbuka dapat meningkatkan regenerasi surfaktan. Level yang
tinggi pada PEEP tidak boleh diinterupsi karena akan membutuhkan beberapa jam
untuk mengerahkan alveolikembali dan mengembalikan kapasitas residu fungsional;
sampai ini terjadi, oksigenasi terganggu. Pada pasien yang tidak memiliki sirkulasi
volume darah yang adekuat, pemakaian PEEP dapat menurunkan aliran balik vena ke
jantung, menurunkan cardiac output, dan menurunkan penerimaan oksigen ke jaringan.
Apabila hipotensi atau cardiac output menurun karena penggunaan PEEP, volume
invtravaskuler yang bersikulasi dapat diperbaiki dengan pemberian cairan IV untuk
perbaikan kondisi hipotensi (Morton dan Fontaine, 2013).
Komplikasi lain dari PEEP adalah barotrauma. Hal tersebut dapat terjadi pada
pasien terventilasi mekanik, tetapi paling sering ketika penggunaan PEEP level tinggi
(10-20 𝑐𝑚𝐻2 O atau lebih) pada paru-paru dengan tekanan ventilasi yang tinggi dan
kemampuan paru-paru yang lemah dan pasien dengan obstruksi jalan napas.
Perkembangan barotrauma adalah kedaruratan dan biasanya membutuhkan pemasangan
chest tube pada keadaan pneumotoraks (Morton dan Fontaine, 2013)
3. Suara ronchi
Adalah bunyi gaduh yang dalam. Dan terdengar selama ekspirasi karena adanya
gerakan. udara melewati jalan napas yang menyempit akibat obstruksi napas. Obstruksi
berupa sumbatan akibat sekresi, odema, atau tumor. Sepertinya, suara ngorok. Dan
suara ronchi akan terdengar pada saat pemeriksaan paru Auskultasi dengan cara
meletakan stetoskop di lapang paru dan mendengarkan bunyi suara. Suara ronci itu
sendiri ada dua jenis, yaitu :
a. Ronchi kering
Suatu bunyi tambahan yang terdengar kontinyu terutama waktu ekspirasi
disertai adanya mucus atau secret di bronkus. Ada yang high pitch (menciut) seperti
itu ditemukan pada pasien asma dan low pitch di karenakan secret yang meningkat
pada bronkus yang besar yang dapat juga terdengar waktu inspirasi.
b. Ronchi basah (krepitasi)
Bunyi tambahan yang terdengar tidak kontinyu pada waktu inspirasi seperti
bunyi ranting kering yang terbakar, disebabkan oleh secret di dalam alveoli atau
bronkiolus. Ronki basah dapat halus, sedang, dan kasar. Ronki halus dan sedang
dapat disebabkan cairan di alveoli misalnya pada pneumonia dan edema paru,
sedangkan ronki kasar misalnya pada bronkiekstatis.
Kondisi yang berhubungan dengan terjadinya ronchi yaitu:
1) Pneumonia
2) Asthma
3) Bronchitis
4) Bronkopasme
4. Obat-obatan
a. Diazepam
Aksi : Obat penenang yang menekan CNS; pada beberapa produk pada
korteks serebral, yang lain menghambat transmitter di CNS.
Kontraindikasi :hipersensitivitas terhadap produk ini, hamil dan menyusui.
(Peringatan : berikan dosis yang paling rendah untuk hasil yang
terapeutik.)
Efek samping : Muntah dan mengantuk. Dengan efek samping yang lebih parah
yaitu, Stevens-Johnson syndrome, disrasia darah, dan risiko
ketergantungan.
Digunakan untuk:masalah tidur, kejang, spasme otot, dan penghentian alkohol
b. Midazolam
Aksi : Menekan tingkat subkortikal pada CNS, dapat bekerja pada
sistem limbik, pembentukan retikular, dapat mempotensiasi "asam
y-aminobutyric, (GABA) dengan mengikat reseptor
benzodiazepin tertentu.
Kontraindikasi : Hamil, hipersensitivitas pada benzodiazepine, galukoma sudut
tertutup akut, status asma
Efek samping : Amnesia retrograde, euphoria, kebingungan, sakit kepala,
ansietas, insomnia, paresthesia, gemetar. Hipotensi, takikardi,
cardiac arrest, pandangan kabur, kehilangan keseimbangan,
uritkaria.
Farmakokinetik : Protein mengikat 97%, paruh waktu hidup 1,8-6,4 jam,
dimetabolisme di hati, metabolit diekskresikan dalam urin,
melewati plasenta, dan penghalang darah otak. PO : 20-30 menit.
IM : 15 menit, puncaknya setengah sampai 1 jam, durasi 2-3 jam.
IV : 3-5 menit, durasi 2 jam.
Digunakan untuk: Sedasi pra operasi, induksi anestesi umum, sedasi untuk prosedur
endoskopi diagnostik, intubasi, kecemasan.
c. Metronidazole
Aksi : Amebisida yang bertindak langsung dan mengganggu struktur
DNA, terapi yang menghambat sintesis nukleat bakteri.
Kontraindikasi : Hamil trimester 1, menyusui, hipersensitivitas terhadap produk
ini. Pencegahan pada hamil trimester 2 atau 3, pasien geriatrik,
infeksi kandida, gagal jantung, infeksi jamur, penyakit gigi
Efek samping : Sakit kepala, pusing, cepat marah, ataxia, depresi, kelelahan,
insomnia, kejang, aseptik meningitis. Di kardiovaskular obat ini
meratakan gelombang T. Obat ini juga memiliki efek samping,
pandangan menjadi kabur, mulut kering, tenggorokan sakit,
glossitis, mual-muntah.
Farmakokinetik : Melintasi plasenta, memasuki ASI, dimetabolisme oleh hati 30%
-60%, diekskresikan dalam urin (60% -80%), paruh waktu 6-8
jam. PO : puncaknya 1-2 jam dan diabsorpsi 80%-85%. IV :
langsung.
Digunakan untuk: amebiasis intestinal, trikomoniasis, trikomoniasis, infeksi bakteri
anaerob, giardasis, septikemia, endokarditis; infeksi sendi tulang, sendi, saluran
pernapasan bawah; rosacea.
D. Analisa Kasus
1. Tetanus dan Kejang
Neurotoksin adalah zat yang beracun atau merusak jaringan saraf, neurotoksin
merupakan eksogen kimia neurologis yang dapat mempengaruhi perkembangan
jaringan saraf. Jenis-jenis neurotoksin yaitu plumbum, etanol,glutamat, nitrik
oksida (NO), toksin botulinum,toksin tetanus, dan tetrodotoksin. Beberapa zat seperti
nitrit oksida (NO) dan glutamat penting bagi fungsi tubuh dan hanya memberikan efek
toksik dalam konsentrasi yang berlebihan. Neurotoksin menghambat kontrol neuron atas
ion konsentrasi yang melintasi sel membran. Manifestasi makroskopik dai paparan
racun saraf dapat mencakup luas pada kerusakan sistem saraf pusat, seperti cacat
intelektual, gangguan memori, epilepsi, demensia.
Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat obligat
anaerob. Bakteri ini terdapat di mana-mana, mampu bertahan di berbagai lingkungan
ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat kuat. Clostridium tetani telah
diisolasi dari tanah, debu jalan, feses manusia dan binatang. Bakteri tersebut biasanya
memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka tusuk minor, atau ujung
potongan umbilikus pada neonatus; pada 20% kasus, mungkin tidak ditemukan tempat
masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui ulkus kulit, abses, gangren, luka bakar,
infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau setelah pembedahan abdominal/pelvis,
persalinan dan aborsi. Jika organisme ini berada pada lingkungan anaerob yang sesuai
untuk pertumbuhan sporanya, akan berkembang biak dan menghasilkan toksin
tetanospasmin dan tetanolysin (Laksmi, 2014).
Tetanospasmin adalah neurotoksin poten yang bertanggungjawab terhadap
manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin sedikit memiliki efek klinis (Laksmi,
2014).Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani.
Tetanospasmin dapat menyebabkan spasme danbekerja pada beberapa level dari
susunan syaraf pusat dengan cara(Adam,1997):
a. Tobin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat
pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
b. Karakteristik spasme dari tetanus ( seperti strichmine ) terjadi karena toksin
mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.
c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
ganglioside.
d. Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System (ANS )
dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti takikhardia,
aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urine. Kerja dari tetanospamin
analog dengan strychninee, dimana ia mengintervensi fungsi dari arcus refleks yaitu
dengan cara menekan neuron spinal dan menginhibisi terhadap batang otak.
Toksin tetanospamin menyebar dari saraf perifer secara ascending bermigrasi
secara sentripetal atau secara retrogard mencapai CNS. Penjalaran terjadi didalam axis
silinder dari sarung parineural. Teori terbaru berpendapat bahwa toksin juga menyebar
secara luas melalui darah (hematogen) dan jaringan/sistem lymphatic (Adam,1997).
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke
susunan saraf pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian
bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui
pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. Masih belum jelas mana yang lebih
penting, mungkin keduanya terlibat.
Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular junction
lebih memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf
motorik dan otonom yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd menuju
sistem saraf pusat. Tetanospasmin yang merupakan zincdependent endopeptidase
memecah vesicleassociated membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada
suatu ikatan peptida tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di
sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu transmisi sinaps (Laksmi, 2014).
Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan γ-
amino butyric acid (GABA) yang menghasilkan berbagai tanda klinis yang umumnya
terkait dengan tetanus termasuk kejang otot dan kekakuan, trismus (kuncia), disfagia,
ruptur tendon, opisthotonus, kesulitan pernafasan, dan kematian (Cook et al., 2001).
Pada saat interneuron menghambat motor neuron alpha juga terkena pengaruhnya,
terjadi kegagalan menghambat refleks motorik sehingga muncul aktivitas saraf motorik
tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa spasme otot
yang tiba-tiba dan potensial merusak (Taylor, 2006).
Periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7 hari). Pada 80-90% penderita,
gejala muncul 1-2 minggu setelah terinfeksi. Selang waktu sejak munculnya gejala
pertamasampai terjadinya spasme pertama disebut periode onset. Periode onset
maupun periode inkubasi secara signifikan menentukan prognosis. Makin singkat
(periode onset <48 jam dan periode inkubasi <7 hari) menunjukkan makin berat
penyakitnya.
Karakteristik kejang tetanus menurut Laksmi (2014):
1. Terjadi kejang otot
2. Rigiditas otot
3. Ketidakstabilan otonom
4. Kekakuan otot (leher, nyeri punggung)
5. Spasme otot dapat menyebabkan ruptur tendon, dislokasi sendi serta patah tulang
6. Spasme laring dapat menyebabkan obstruksi jalan napas atas akut dan respiratory
arrest
7. Spasme otot-otot dada
8. Hipoksia
Otot wajah terkena paling awal karena jalur axonalnya pendek, sedangkan neuron-
neuron simpatis terkena paling akhir, mungkin akibat aksi toksin di batang otak. Pada
tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas otonom menyebabkan hilangnya kontrol
otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan
neuronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan membutuhkan tumbuhnya terminal
saraf yang baru, sehingga memanjangkan durasi penyakit ini (Laksmi, 2014).
Spasme otot muncul spontan, juga dapat diprovokasi oleh stimulus fisik, visual,
auditori, atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat menyebabkan
ruptur tendon, dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring dapat terjadi segera,
mengakibatkan obstruksi saluran nafas atas akut dan respiratory arrest. Pernapasan juga
dapat terpengaruh akibat spasme yang melibatkan otot-otot dada; selama spasme yang
memanjang, dapat terjadi hipoventilasi berat dan apnea yang mengancam nyawa. Tanpa
fasilitas ventilasi mekanik, gagal nafas akibat spasme otot adalah penyebab kematian
paling sering. Hipoksia biasanya terjadi pada tetanus akibat spasme atau kesulitan
membersihkan sekresi bronkial yang berlebihan dan aspirasi. Spasme otot paling berat
terjadi selama minggu pertama dan kedua, dan dapat berlangsung selama 3 sampai 4
minggu, setelah itu rigiditas masih terjadi sampai beberapa minggu lagi (Laksmi, 2014).
A. Analisis Data
No. Tanggal Data fokus Masalah Etiologi Dx
dan jam
1 Kamis, 5 DO : Ketidakefektifan Sekresi Ketidakefektifan
Oktober 1. Terdapat suara bersihan jalan yang bersihan jalan napas b.
2017 Ronchi seluruh nafas tertahan d. Sekret yang tertahan
pukul lapang paru
08.00 2. RR : 25x/menit
WIB DS: -
1. Kamis, 5 Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan Manajemen jalan napas (1K-3140) Manajemen jalan
Oktober 2017 bersihan jalan 1 x 3 menit diharapkan napas (1K-3140)
a. Buang sekret dengan memotivasi
pukul 08.00 nafas b.d sekresi kebersihan jalan nafas
klien untuk dilakukan penyedotan a. Penyedotan lendir
WIB yang tertahan klien efektif (IIE0410)
lendir (1K-3140.06) atau sekret dapat
dengan kriteria hasil :
b. Lakukan penyedotan melalui mengurangi
1. Tidak ada suara
endotrakea atau nasotrakea, penyempitan pada
tambahan (ronkhi)
sebagaimana mestinya (1K- rongga pernapasan
2. Akumulasi sputum
3140.12) b. Penyedotan yang
dalam saluran nafas
c. Monitor status pernapasan dan dimaksud adalah
dapat teratasi
oksigenasi, sebagaimana penyedotan lendir
3. Frekuensi nafas
mestinya (1K-3140.21) atau sekret dapat
normal 12-
mengurangi
24x/menit
penyempitan pada
Manajemen Jalan Napas Buatan
rongga pernapasan
(1K-3180)
c. Menjaga
a. Selalu mencuci tangan (1K- kepatenan jalan
3180.01) napas
b. Lakukan universal Manajemen Jalan
precautions (1K-3180.02) Napas Buatan (1K-
c. Menggunakan alat pelindung 3180)
diri (1K-3180.01)
a. Mencuci tangan
d. Monitor suara ronki dan
dilakukan untuk
crakles pada pasien (1K-
melindungi
3180.09)
perawat dan
e. Pertahankan teknik steril
mencegah
ketika melakukan penyedotan
penyebaran infeksi
dan melakukan perawatan
pada pasien
trakeostomi (1K-3180.29)
b. Mengurangi resiko
infeksi pada pasien
c. Melindungi
perawat dari resiko
infeksi oleh pasien
dan lingkungan
d. Mencegah agar
suara ronki tidak
hadir kembali
setelah dilakukan
penyedotan
e. Mencegah resiko
infeksi saat
dilakukan
penyedotan
2. Kamis, 5 Ketidakefektifan Status pernapasan: Manajemen Jalan Napas Buatan Manajemen Jalan
Oktober 2017 Pola Napas ventilasi (IIE0403) (1K-3180) Napas Buatan (1K-
pukul 08.00 b.d.Keletihan a. Kedalaman inspirasi klien a. Monitor penurunan volume 3180)
WIB Otot Pernapasan normal (IIE040303) ekspirasi dan peningkatan a. untuk
b. Kapasitas volume klien tekanan inspirasi pada pasien mengantisipasi
normal ±1100 yang menggunakan ventilasi adanya
(IIE040324) mekanik (1K-3180.22) keabormalan pola
c. Penggunaan otot bantu b. Lakukan fisioterapi dada bila napas yang lebih
napas tidak diperlukan diperlukan(1K-3180.33) parah
lagi (IIE040309) b. fisiterapi dada
dapat melemaskan
otot. Diharapkan
dengan fisioterapi
dada, otot dada
klien tidak
mengalami spasme
lagi.
3. Kamis, 5 Resiko Kefektifan Pompa Monitoring Status Respiratori Monitoring Status
Oktober 2017 Penurunan Jantung (IIE0400) (2K-3350) Respiratori (2K-
pukul 08.00 Curah Jantung 3350)
Setelah dilakukan tindakan a. Memonitor pola napas (2K-
WIB
keperawatan selama 1x24 3350.04) Memonitor status
jam, diharapkan tidak ada b. Memonitor pembacaan ventilasi respiratori pada
penurunan curah jantung mekanik, menyadari adanya klien yang
klien dengan kriteria hasil: peningkatan tekanan inspirasi terpasang vetilator
a. nilai tekanan sistolik dan penurunan vlume tidal (2K- mekanik dapat
tidak jauh dari rentang 3350. 15) membantu
normal (IIE040001) c. Lakukan pengambilan sampel mengidentifikasi
b. Nilai tekanan diastolik darah arteri untuk mengetahui perlunya
tidak jauh dari rentang status oksigenasi klien perubahan setting
normal (IIE040019) berhubungan dengan setting pada ventlator
c. Nilai fraksi ejeksi tidak ventilator mekanik. mekanik. Karena
jauh dari rentang normal setting pada
Manajemen Cairan (2G-4120)
(IIE040004) ventilator mekanik
d. Nilai CVP tidak jauh dai a. Memonitor status mehodinamik dapat
rentang normal (CVP, MAP, PAP dan PCWP) mempengaruhi CO
(IIE040025) (2G-4120.07) klien.
b. Mengelola terapi IV (2G- Manajemen Cairan
4120.13) (2G-4120)
Pemberian cairan
pada klien
penurunan curah
jantung dapat
meningkatkan nilai
curah jantung serta
teknan darah klien.
DAFTAR PUSTAKA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis
Dosen Pembimbing: Ns.Dody Setyawan.,S.Kep.,M.Kep
Disusun oleh :
1. Rikarda Ogethai 22020113100053
2. Putwi Marinesia Nur 22020115120037
3. Grahya Febriella M.N.P 22020115120039
4. Ayu Marta Puri 22020115120043
5. Dyah Sukma Indiastutik 22020115120045
6. Zumrotul Aulia 22020115120062
7. Septiana Tri Permata 22020115130063
8. Hesti Kusumastuty 22020115130073
9. Nisriina Luthfiyah 22020115140061
Kelompok 4
A.15.1