Materi Ajar MPKT A
Materi Ajar MPKT A
Tim Penyusun
Ade Solihat
Bambang Shergi Laksmono
Eko Handayani
Fristian Hadinata
Irmayanti Meliono
Pribadi Setiyanto
Rd.Ismala Dewi
PPKPT
UNIVERSITAS INDONESIA
2017
PENGANTAR
Buku yang berjudul Buku Ajar MPKT A ini merupakan penyempurnaan dari Buku Ajar 1
MPKT A, Buku Ajar II MPKT A, dan Buku Ajar III MPKT A yang terbit pada tahun 2016.
Tujuan penyempurnaan adalah agar buku menjadi terintegrasi, baik dari segi substansi maupun
teknis. Berbeda dengan tiga buku ajar MPKT A (2016) yang terkesan terlepas satu lain, buku ini
berusaha menyatukannya. Oleh karena itu, judulnya pun baru, yaitu BUKU AJAR MPKT A. Di
dalam buku ini, substansi integrasi muncul dalam academic skill, social skill, perspektif sosial
budaya, kebangsaan, kewarganegaraan, dan Pancasila.
BUKU AJAR MPKT A terdiri atas tiga bagian. Bagian I: “Jati Diriku sebagai Cendekia:
Karakter, Filsafat, Logika, Etika” ditulis oleh Dr. Irmayanti Meliono. M.Si. dan Dr. Fristian
Hadinata. Bagian II: “Jati Diriku sebagai Individu dan Bagian dari Masyarakat” ditulis oleh Prof.
Bambang Shergi Laksmomo, Ade Solihat M.A., dan Pribadi Setiyanto SE, M.A. Bagian III:
“Jati Diriku sebagai Warga Negara Indonesia yang Setia pada Pancasila” ditulis oleh Dr. Rd.
Ismala Dewi dan Eko Handayani M.Psi.
Kata “Jati Diriku” sengaja ditampilkan agar sasaran buku ajar ini terarah pada mahasiswa
peserta MPKT A agar mereka memiliki karakter, penalaran logis, kemampuan berpikir kritis,
dan memiliki perilaku etis. Nantinya, nilai-nilai ini akan menjadi “modal” seorang lulusan UI
untuk menjadi ilmuwan atau cendekiawan (materi Bagian I). Selain itu, mahasiswa harus
memiliki kecerdasan, berkepribadian santun, dan berkebudayaan tinggi melalui enkulturasi,
akulturasi, asimilasi (materi Bagian II). Bagian III, mengarahkan mahasiswa agar paham akan
pentingnya memiliki jati diri kebangsaan, memahami nilai-nilai Pancasila dan hak konstitusional
warga negara, serta mampu berhadapan dengan segala tantangan dalam kancah globalisasi
(materi Bagian III). Dengan demikian, ketiga bagian buku ini merupakan kesatuan yang holistik
dan bersifat “ulang alik”. Artinya, Bagian I memberi dasar pada Bagian II dan Bagian III, begitu
sebaliknya.
Proses pembuatan BUKU AJAR MPKT A dirasakan begitu cepat bagi Tim Penulis,
namun tulisan yang telah ada pada BUKU AJAR 1, II, III MPKT A (2016) cukup membantu
kelancarannya. Untuk itu, Tim Penulis mengucapkan terima kasih atas kontribusi semua penulis
BUKU AJAR MPKT A (2016), yaitu Dr. Bagus Takwin, Dra. Wuri Prasetyawati, M.Psi., Dr.
Saraswati Putri, Miranda Diponegoro, M.Psi., Eko Aditiya Meinarno, S.Psi., M.Si., Agnes Sri
Poerbasari, M.Si., dan Drs. Slamet Soemiarno, M.Si.
Terima kasih yang sama kami sampaikan kepada pihak Universitas Indonesia, khususnya
Prof. Dr. Harinaldi, M.Eng, Direktur Direktorat Pendidikan dengan Ka. Sub. Direktorat PMU
Dr. Luthfiralda Sjahfirdi, M.Biomed. yang telah memberikan dukungan dan fasilitas sehingga
Buku Ajar MPKT A berwajah baru ini dapat terbit. Terima kasih pula kepada Prof. Dr. Bambang
Shergi Laksmono, M.Sc. untuk desain cover yang merupakan hasil lukisan Beliau. Kepada
berbagai pihak yang telah membantu proses penulisan buku ini hingga selesai, kami ucapkan
terima kasih atas kerja sama selama ini. Semoga Buku Ajar MPKT A dapat bermanfaat bagi
seluruh mahasiswa program sarjana di Universitas Indonesia.
Tiada gading yang tak retak. Demikian pula dengan BUKU AJAR MPKT A 2017. Buku
ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, saran dan kritik dari para pembaca sangat diharapkan.
KATA PENGANTAR
PENGANTAR
BAGIAN 1 JATI DIRIKU SEBAGAI CENDEKIA: KARAKTER, FILSAFAT,
LOGIKA, DAN ETIKA
BAB 2 FILSAFAT
2.1 Apa itu Filsafat
2.2 Sistematika dan Karakteristik Filsafat
2.3 Berpikir Filosofis
BAB 3 LOGIKA
3.1 Apa itu Logika?
3.2 Logika Deduktif dan Induktif
3.3 Logika Formal dan Material
3.4 Term
3.4.1 Perbedaan Kata dengan Term
3.4.2 Luas dan Sifat Term
3.4.3 Klasifikasi
3.4.4 Definisi
3.5 Proposisi
3.5.1 Perbedaan Kalimat dengan Proposisi
3.5.2 Klasifikasi Proposisi
3.6 Penalaran Langsung
3.6.1 Oposisi
3.6.2 Eduksi dan Luas Term Predikat
3.7 Penalaran Tidak Langsung (Silogisme)
3.7.1 Silogisme Kategoris
3.7.2 Silogisme Hipotesis dan Disjungtif
3.8 Kekeliruan Berpikir (Fallacies)
3.8.1 Kekeliruan Berpikir Formal
3.8.2 Kekeliruan Berpikir Nonformal
BAB 4 ETIKA
4.1 Beberapa Istilah dalam Etika
4.2 Pengertian Etika
4.3 Kaidah dalam Etika
4.3.1 Hati Nurani
4.3.2 Kebebasan dan Tanggung Jawab
4.3.3 Hak dan Kewajiban
4.3.4 Nilai dan Norma Moral
4.4 Teori Etika
4.5 Pentingnya Etika dalam Dunia Kehidupan Manusia dan Dunia Akademik
KESIMPULAN
DAFTAR KEPUSTAKAAN
BIODATA PENULIS
KESIMPULAN
DAFTAR KEPUSTAKAAN
BIODATA PENULIS
BAB 4 KEWARGANEGARAAN
4.1 Pengertian dan Sejarah Kewarganegaraan
4.2 Siapakah Warga Negara Indonesia?
4.3 Menjadi Warga Negara Indonesia
4.4 Kehilangan Kewarganegaraan Indonesia
4.5 Hubungan Timbal-Balik antara Warga Negara dan Negara
4.6 Hak dan Kewajiban Warga Negara
4.6.1 Hak Konstitusional Warga Negara
4.6.2 Implementasi Hak Warga Negara dalam Kehidupan Sehari-hari
4.6.3 Batasan-batasan terhadap Hak Warga Negara
4.6.4 Kewajiban Warga Negara
4.6.5 Hak dan kewajiban warganegara dalam UUD 1945
4.7 Hak dan Kewajiban Negara
4.8 Evaluasi Kritis terhadap Hubungan Timbal-Balik antara Warga Negara dan Negara
KESIMPULAN
DAFTAR KEPUSTAKAAN
BIODATA PENULIS
BAGIAN I
Bagian I Buku Ajar MPKT A berisi penjelasan mengenai Karakter, Filsafat, Logika, dan Etika.
Karakter terkait dengan kehidupan seseorang, karena setiap orang memiliki watak, sifat, tabiat,
atau akhlak yang berbeda dengan orang lain. Oleh karena itu, dalam pendidikan tinggi,
mahasiswa sebagai salah satu pelakunya mendapat bekal atau pengetahuan mengenai kekuatan
karakter yang terkait dengan ilmu Filsafat, Logika, dan Etika. Filsafat mengarahkan mahasiswa
dapat berpikir kritis, sistematis, dan integral (mendalam). Belajar Logika akan membawa
mahasiswa mampu berpikir logis, tepat, benar dan mampu mengungkapkannya dalam bentuk
tulisan dan ujaran. Di lain pihak, Etika mengajak mahasiswa untuk belajar mengenai prinsip
yang baik (prinsip kebaikan), nilai –nilai kemanusiaan, seperti tanggung jawab, kebebasan,
kebersamaan dan sebagainya, sejalan dengan norma yang melingkupinya. Dengan demikian,
Filsafat, Logika, dan Etika menjadi semacam “paket” yang melengkapi/menambah “isi” karakter
mahasiswa agar berwawasan luas, kritis, logis, beretika, dan memiliki nilai kemanusiaan ketika
ia memasuki dunia ilmu pengetahuan di tengah arus globalisasi yang kompleks.
BAB 1
MEMBANGUN KARAKTER1
1
Tulisan pada Bab I Pembangunan Karakter bersumber pada tulisan Dr. Bagus Takwin dan Dra.Wuri Prasetyawati
M.Psi dalam Buku I MPKT A(2016) dan disempurnakan oleh penulis
Takwin, 2012) menekankan pentingnya pembentukan karakter bersama dengan pembangunan
rasa kebangsaan dan peningkatan pengetahuan serta keterampilan. Ki Hadjar Dewantara
menegaskan bahwa tujuan pendidikan adalah memerdekakan manusia. Manusia yang merdeka
adalah manusia dengan karakter yang kuat (Dewantara dalam Takwin, 2012). Pembentukan
karakter juga merupakan isu penting dalam pendidikan mengingat tujuan pendidikan adalah
pembentukan watak atau karakter (Santoso dalam Takwin, 2012). Dengan demikian, sejak
Indonesia mulai merdeka hingga kini, karakter menjadi bagian penting dan dasar dalam
membentuk kepribadian bangsa Indonesia.
Pendidikan tinggi memerlukan mahasiswa yang karakter kuat. Untuk itulah harus
diperjelas terlebih dahulu arti karakter itu sendiri. Menurut KBBI, karakter adalah tabiat, watak,
sifat kejiwaan, ahlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain
(http//kbbi.web.id/karakter). Karakter merupakan kumpulan tata nilai yang terwujud dalam suatu
sistem daya dorong yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang dapat ditampilkan
secara mantap (Arief dalam Saifuddin & Karim, 2011). Karakter juga merupakan internalisasi
nilai-nilai yang berasal dari lingkungan kemudian menjadi bagian dari kepribadian seseorang.
Karakter terbentuk melalui pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan, dan pengaruh
lingkungan. Oleh karena itu, karakter harus dibentuk, dibangun, dan ditumbuhkembangkan.
Dalam psikologi, pembentukan karakter diperhatikan sebagai hal yang membentuk
manusia seutuhnya. Pembahasan mengenai masalah ini menjadi bagian dari pembahasan atau
pendekatan psikologi positif yang melihat manusia sebagai makhluk dengan kekuatan yang dapat
dikembangkan guna menghadapi masalah di sekitarnya (Selligman dalam Peterson & Selligman,
2004).
Dalam kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa, karakter didefinisikan sebagai
nilia-nilai yang khas yang terinternalisaasi dalam diri dan ditampilkannya dalam perilaku.
Karakter merupakan ciri khas seseorang atau sekelompok orang yang mengandung nilai,
kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan
(Pemerintah Republik Indonesia, 2010). Kemendiknas RI (2011) telah mengidentifikasi 18 nilai
karakter yang perlu ditanamkan kepada peserta didik yang bersumber dari agama, Pancasila,
budaya, dan tujuan pendidikan nasional. Kedelapan belas nilai tersebut meliputi sikap (1)
religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8)
demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai
prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli
lingkungan, (17) peduli sosial, dan (18) tanggung jawab.
1.3.3 Kesatriaan
Keutamaan Kesatriaan (courage) merupakan kekuatan emosional yang melibatkan kemauan kuat
untuk mencapai suatu tujuan meskipun mendapat halangan atau tentangan secara eksternal
maupun internal. Keutamaan ini mencakup empat kekuatan, yaitu kekuatan untuk menyatakan
kebenaran dan mengakui kesalahan, ketabahan atau kegigihan, tegas, dan keras hati, integritas,
kejujuran, dan penampilan diri dengan wajar, serta vitalitas, semangat, dan antusias.
a. Kekuatan Keberanian mencakup kekuatan emosional yang melibatkan pelaksanaan kehendak
untuk mencapai tujuan dalam menghadapi oposisi eksternal dan internal. Kekuatan ini
membuat orang tahan menghadapi ancaman dan tantangan. Orang dengan kekuatan ini
kehendaknya tidak mundur ketika berhadapan dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi,
seperti rasa sakit atau keletihan. Kekuatan ini mendorong seseorang untuk mampu bertindak
atas keyakinan meskipun tidak populer.
b. Ketabahan atau kegigihan mencakup ketekunan dan kerajinan adalah kekuatan yang
memampukan orang untuk menyelesaikan apa sudah dimulai dan bertahan dalam suatu
rangkaian pencapaian tindakan meskipun ada hambatan. Orang dengan kekuatan ini mampu
menyesuaikan kata-kata dan perbuatan, serta berpegang pada prinsip dalam berbagai situasi,
bahkan situasi yang menghambat dan mengancam.
c. Integritas yang mencakup otentisitas (keaslian), kejujuran, dan penampilan diri yang wajar
adalah kekuatan yang membuat orang mampu menampilkan diri secara tulus. Orang dengan
kekuatan ini mengambil tanggung jawab atas perasaan dan tindakannya. Ia mau bertanggung
jawab untuk semua perbuatannya dan menjalankan tugas-tugas secara jujur.
d. Vitalitas yang mencakup semangat, antusiasme, dan penuh energi adalah kekuatan yang
membuat orang dapat menjalani kehidupan penuh dengan kegembiraan, semangat, dan
berenergi. Orang dengan kekuatan ini merasa hidup, aktif, dan penuh daya juang.
1.3.4 Keadilan
Keutamaan keadilan (justice) mendasari kehidupan yang sehat dalam suatu masyarakat. Ada tiga
kekuatan yang tercakup di sini. Pertama, kewarganegaraan atau kemampuan mengemban tugas,
dedikasi, dan kesetiaan demi keberhasilan bersama. Kedua, kesetaraan (equity dan fairness)
perlakuan terhadap orang lain atau tidak membeda-bedakan perlakuan yang diberikan kepada
satu orang dengan yang diberikan kepada orang lain. Ketiga, kepemimpinan. Keadilan adalah
kekuatan yang mendasari kehidupan masyarakat yang sehat.
a. Kewarganegaraan mencakup tanggung jawab sosial, loyalitas, dan kesiapan kerja dalam tim.
Aspek-aspek ini membuat orang dapat bekerja dengan baik sebagai anggota kelompok yang
setia kepada kelompok.
b. Kesetaraan adalah kekuatan yang membuat orang diperlakukan semua di hadapan keadilan,
bukan membiarkan keputusan atau perasaan pribadi yang bias kepada orang lain. Kekuatan
ini menghindarkan orang dari prasangka, seperti rasisme dan stereotipe. Orang dengan
kekuatan ini mementingkan kesejahteraan orang lain seperti kesejahteraannya sendiri.
c. Kepemimpinan adalah kekuatan yang mendorong orang sebagai anggota kelompok atau
sebagai pemimpin untuk menyelesaikan tugas dan pada saat yang sama menjaga hubungan
yang baik dengan orang lain dalam kelompok. Orang dengan kekuatan ini dapat
menempatkan diri dan bekerja secara prima baik sebagai pemimpin maupun sebagai
bawahan.
Epistemologi
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang mengkaji hakikat pengetahuan yang ditelusuri
melalui empat pokok, yaitu sumber pengetahuan, struktur pengetahuan, keabsahan pengetahuan,
dan batas-batas pengetahuan. Pertanyaan yang hendak dijawab di sini adalah bagaimana proses
perolehan pengetahuan pada diri manusia dan bagaimana ia dapat mengetahui. Dalam
epistemologi terdapat tiga cabang yang lebih spesifik.
Metodologi
Metodologi adalah cabang filsafat yang mengkaji cara-cara dan metode-metode ilmu
pengetahuan memperoleh pengetahuan secara sistematis, logis, sahih, dan teruji. Di sini cara dan
metode ilmu pengetahuan dikaji sejauh kesahihannya dalam kegiatan menemukan ilmu
pengetahuan. Di dalamnya termasuk juga kritik dan upaya pengujian keabsahan cara kerja dan
metode ilmu pengetahuan. Selain mengkaji cara-cara dan metode-metode yang sudah ada, dalam
metodologi itu dikaji pula kemungkinan-kemungkinan cara dan metode baru dalam ilmu
pengetahuan.
Logika
Logika adalah kajian filsafat yang mempelajari teknik-teknik dan kaidah-kaidah penalaran yang
tepat. Satuan penalaran dalam logika adalah argumen yang merupakan ungkapan dari putusan
(judgment). Penalaran berlangsung lewat argumentasi dalam seperangkat proposisi. Proposisi
adalah pernyataan untuk mengiyakan (afirmasi) atau menyangkal (negasi) sesuatu. Proposisi
terdiri atas pokok yang dibicarakan (subjek), apa yang disangkal atau diiyakan (predikat), dan
hubungan yang sifatnya menyatukan atau memisahkan (kopula). Argumentasi itu tersusun dari
premis ke kesimpulan lewat proses penyimpulan (inference). Secara umum ada dua jenis
argumentasi, yaitu deduktif dan induktif Argumen deduktif bertolak dari premis umum ke premis
atau kesimpulam khusus. Penilaiannya adalah valid atau tidak valid. Argumen induktif bergerak
dari premis-premis khusus ke kesimpulan atau premis umum induksi menghasilkan pengetahuan
yang tidak niscaya, melainkan kemungkinan. Kadar kemungkinannya dapat diukur penilaian
kuat atau lemah. Logika sangat berkaitan erat dengan filsafat ilmu dan metodologi ilmu.
Aksiologi
Secara etimologis, aksiologi berasal dari dua kata Yunani, yaitu axia yang berarti ‘nilai’ dan
logos yang berarti ‘ilmu’, ‘kajian’, ‘prinsip’ atau ‘aturan’. Oleh karena itu, aksiologi dapat
dimaknai sebagai sebuah studi tentang nilai-nilai. Pada dasarnya, pembahasan tentang nilai
menyangkut cabang lain dari filsafat. Ada tiga nilai yang berbeda namanya dalam filsafat, tetapi
mempunya keterkaitan dan kesatuan makna, yaitu kebaikan, kebenaran, dan keindahan (bonum,
veritas, pulcher). Etika berkaitan dengan masalah kebaikan; epistemolgi dengan masalah
kebenaran; dan estetika dengan masalah keindahan. Di dalam aksiologi dibahas tentang nilai
yang berkaitan dengan kebaikan dan apakah itu perilaku baik. Selain itu juga dibicarakan tentang
nilai yang berikaitkan dengan keindahan. Cabang filsafat yang termasuk dalam aksiologi adalah
etika dan estetika.
Etika
Etika adalah cabang filsafat yang mengkaji nilai apa yang berkaitan dengan kebaikan dan
perilaku baik. Cabang ini meliputi apa dan bagaimana hidup yang baik, orang yang baik, berbuat
baik, dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup. Istilah etika menunjuk dua hal. Pertama,
disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai dan pembenarannya. Kedua, pokok permasalahan
disiplin ilmu itu sendiri yaitu nilai-nilai hidup manusia yang sesungguhnya dan hukum-hukum
tingkah laku manusia. Dalam etika juga dipelajari alasan-alasan yang rasional mengapa manusia
berbuat dan tidak berbuat sesuatu. Oleh karena itu, etika bukanlah sekadar kumpulan perintah
dan larangan.
Estetika
Kata estetika diturunkan dari kata Yunani Kuno aisthetikos yang berarti to sense perception yang
juga diturunkan dari kata aisthanomai yang berarti I perceive, feel, sense. Oleh karena itu,
estetika mengkaji pengalaman dan penghayatan dalam menanggapi sesuatu yang dalam konteks
tertentu bisa indah atau tidak. Dengan lain, estetika merupakan sebuah disiplin ilmu yang
membahas terkait dengan persoalan putusan apakah sesuatu itu indah atau tidak dalam konteks
persepsinya atas realitas.
Jika kita melihat lebih dalam pemikiran-pemikiran filosofis dari Yunani Kuno hingga era
kontemporer, filsafat dapat didefinisikan sebagai usaha manusia untuk memahami segala sesuatu
secara kritis, radikal, sistematis, dan rasional. Di sini, filsafat tidak lain adalah sebuah usaha
refleksi. Sebuah usaha adalah sebuah proses, bukan semata produk. Filsafat sebagai sebuah
upaya adalah sebuah proses yang terus menerus berlangsung, tak ada kata putus, berlangsung
terus hingga kini. Proses itu berisi aktivitas-aktivitas untuk memahami segala perwujudan
kenyataan atau apa yang ada (being). Hasrat filsafat adalah memahami apa yang ada dan
mungkin ada.
Meski produk filsafat berupa pemikiran filosofis yang mencerminkan proses
pencariannya dan merupakan pelajaran penting, tidak tepat jika dalam memahami filsafat kita
hanya terfokus pada produknya. Sebagai produk, filsafat dapat terkesan sebagai barang jadi atau
sesuatu yang telah selesai. Jika kita hanya melihat produknya saja, kalimat-kalimat dalam filsafat
tampil sebagai jargon ataupun resep dalam mengatasi persoalan kehidupan. Sebaliknya, kalimat-
kalimat dalam filsafat tampil sebagai kerumitan yang sulit dimengerti, membuat orang gentar
dan berpikir bahwa filsafat bukan urusan orang kebanyakan. Hal terjadi jika kita tidak
memahami prosesnya. Jika filsafat hanya dianggap sebagai sebuah produk yang sudah selesai,
akan terjadi kontradiksi dalam pengertian filsafat. Filsafat yang memiliki sifat kritis tidak
mungkin merupakan barang yang jadi. Artinya, produk filsafat adalah pemikiran yang perlu
dikaji, direfleksikan, dan dikritik lagi. Setidaknya filsafat punya karakteristik sebagai berikut:
Istilah kritis dalam pengertian filsafat berasal dari istilah Latin kritein yang berarti
memilah-milah dan kritikos yang berarti kemampuan menilai. Dalam konteks ini, kata kritis
mengandung dua pengertian tersebut. Berfilsafat berarti memilah-milah dan memberi penilaian
terhadap objek yang dikaji. Secara lebih khusus lagi, kritis di sini diartikan sebagai terbuka pada
kemungkinan-kemungkinan baru dan tidak membakukan dan membekukan pikiran-pikiran yang
sudah ada. Artinya, berfilsafat bermakna selalu hati-hati dan waspada terhadap berbagai
kemungkinan kebekuan pikiran. Berfilsafat berarti juga berpikir kritis. Lebih khusus lagi, yang
dimaksud berpikir kritis di sini adalah usaha yang dilakukan secara aktif untuk memahami dan
mengevaluasi informasi dengan tujuan menentukan apakah informasi itu diterima, ditolak atau
belum dapat diputuskan penerimaannya karena belum jelas.
Karakteristik filsafat yang lain adalah radikal. Istilah radikal berasal dari kata radix yang
berarti akar. Radikal berarti mendalam; sampai ke akar-akarnya. Pemahaman yang ingin
diperoleh dari kegiatan filsafat adalah pemahaman yang mendalam. Berpikir kritis
memungkinkan kita untuk dapat berpikir radikal. Dengan berpikir kritis yang sifatnya luas dan
mendalam, kita tidak begitu saja menerima apa yang ada. Dengan kata lain, kita mencermati dan
menemukan masalah, lalu mencari pejelasan baru yang lebih lengkap. Penjelasan baru itu bisa
jadi menggantikan penjelasan terdahulu dalam pengertian membongkar dasar dan mencabut
akar-akar pemikiran sebelumnya. Karakteristik radikal pada filsafat memungkinkan kita
memahami persoalan sampai ke akar-akarnya dan mengajukan penjelasan yang mendalam.
Berfilsafat dilakukan secara sistematis. Asal kata sistematis adalah systema yang berarti
keteraturan, tatanan, dan saling keterkaitan. Dalam konteks ini, sistematis memiliki pengertian
bahwa upaya memahami segala sesuatu itu dilakukan menurut suatu aturan tertentu, runut, dan
bertahap, serta hasilnya mengikuti suatu aturan tertentu pula. Karakteristik sistematis dari filsafat
ini mengimplisitkan adanya jaminan langkah-langkah berpikir yang tepat. Dengan kata lain,
karakteristik sistematis dalam filsafat sekaligus mencakup nilai kevaliditasan. Dari sini dapat
dipahami bahwa filsafat mencakup logika. Artinya, filsafat selalu memegang keyakinan akan
daya argumen dan penalaran. Oleh sebab itu pula, filsafat tidak bisa dilepaskan dari karakteristik
rasional.
Kita mungkin tergoda untuk menyatakan bahwa apapun yang dipercaya seseorang adalah
sesuatu yang bersifat rasional setidaknya untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, kebanyakan filsuf
berpendapat bahwa ada keyakinan yang bisa diterima secara rasional dan ada pula yang tidak
bisa diterima secara rasional. Perbedaan keduanya terkait erat dengan argumentasi-argumentasi.
Seperti yang telah dijelaskan, kita dapat mengatakan bahwa sebuah keyakinan bisa diterima
secara rasional bila argumentasi untuk hal tersebut lebih kuat daripada argumentasi yang
menentangnya (Emmet, 2001). Sementara itu, keyakinan tidak bisa diterima secara rasional
apabila agumentasi yang menentangnya lebih kuat daripada argumentasi untuk hal tersebut.
Dalam konteks ini, pertanyaan seperti apa itu argumentasi dan bagaimana kita memisahkan
antara argumentasi yang baik dan argumentasi yang buruk menjadi sangat relevan untuk
diketahui. Oleh karena itu, kita dapat menyimpulkan bahwa fitur utama dari filsafat adalah
mengevaluasi argumentasi-argumentasi (evaluating arguments).
Argumentasi merupakan unit paling dasar yang lengkap dari sebuah proses penalaran.
Lebih lanjut, sebuah argumentasi adalah inferensi dari satu atau lebih titik tolak yang biasanya
dikenal dengan premis ke sebuah titik akhir yang biasanya dikenal dengan konklusi atau
kesimpulan. Di sini, perlu dibedakan antara argumentasi dan eksplanasi. Menurut Baggini dan
Fosl, aturan umum untuk membedakan keduanya adalah agumentasi merupakan upayan untuk
mendemonstrasikan bahwa (that) sesuatu itu benar, sedang eksplanasi merupakan sebuah upaya
untuk menunjukkan bagaimana (how) sesuatu itu benar. Misalnya, sebuah eksplanasi bagi
kematian seorang perempuan pasti akan menunjukkan bagaimana (how) hal itu terjadi dengan
merujuk adanya air dalam kadar tertentu di paru-parunya. Sementara itu, sebuah argumentasi
akan mendemonstrasikan bahwa (that) perempuan tersebut meninggal dunia, seperti dikarenakan
jantungnya berhenti berdetak dan tidak ada tanda-tanda vital lainya sehingga kita bisa
menyimpulan bahwa perempuan tersebut meninggal dunia (Baggini & Fosl, The Philosopher's
Toolkit: A Compendium of Philosophical Concepts and Methods, 2010). Ringkasnya,
argumentasi merupakan seperangkat pernyataan yang terdiri atas satu atau lebih premis dan
sebuah kesimpulan. Di sini, premis-premis tersebut merupakan alasan mengapa sebuah
kesimpulan yang dihasilkan benar. Berikut contohnya:
Semua sapi adalah mamalia.
Semua mamalia punya paru-paru.
Jadi, semua sapi punya paru-paru.
Dua pernyataan awal di atas adalah premis-premisnya, sedang yang pernyataan paling
bawah adalah konklusi atau kesimpulan. Kita menggunakan argumentasi untuk
mendemostrasikan sesuatu, di mana premis-premisnya mengkonstitusikan bukti atas kesimpulan
yang diambil. Di sini perlu dicatat bahwa kita harus cermat terkat dengan konsep bukti
dikarenakan ada perbedaan standar terkait dengan apa yang dimaksud hal tersebut. Misalnya,
argumentasi di atas di mana konklusi atau kesimpulannya menyatakan bahwa semua sapi punya
paru-paru, terbukti bahwa sapi punya paru-paru jika di dalamnya mengasumsikan premis-
premisnya benar. Oleh karena itu, konklusi atau kesimpulan pastilah benar. Argumentasi yang
semacam ini disebut sebagai argumentasi yang valid. Konklusi atau kesimpulan tidak mungkin
salah apabila semua premisnya benar. Perhatikan argumentasi berikut:
Oliver itu mahasiswa jurusan Ilmu Filsafat atau Kedokteran Gigi
Olvier bukan mahasiswa jurusan Kedokteran Gigi
Apa konklusi atau kesimpulan dari dua pernyataan ini? Jika keduanya benar, maka Oliver
pastilah mahasiswa jurusan Ilmu Filsafat. Dengan demikian, argumentasi di bawah ini adalah
argumentasi yang valid.
Oliver itu mahasiswa jurusan Ilmu Filsafat atau Kedokteran Gigi
Olvier bukan mahasiswa jurusan Kedokteran Gigi
Jadi, Oliber adalah mahasiswa jurusan Ilmu Filsafat.
Di sini mungkin memunculkan pertanyaan dapatkah sebuah argument tetap valid walau
premisnya tidak benar? Perhatikan argumentasi berikut:
Semua penyu adalah mamalia.
Semua mamalia punya hati.
Jadi, semua penyu punya hati.
Kita dapat menunjukkan bahwa premis pertama dari argumentasi itu salah, karena penyu
bukanlah mamalia. Apakah lantas argumentasi ini tidak valid? Tidak demikian. Hal ini
dikarenakan validitas argumentasi hanya menpostulatkan jika semua premisnya benar, maka
konklusi atau kesimpulannya pastilah benar. Artinya, sebuah argumentasi yang valid tidak
membutuhkan semua premisnya benar. Perbandingkanlah dengan argumentasi yang tidak valid
berikut:
Manusia adalah makhluk hidup
Kucing adalah makhluk hidup
Jadi, kucing adalah manusia
Di sini, kita bisa menyimpulkan bahwa sebuah argumentasi yang valid tidak menjamin
bahwa konklusi atau kesimpulannya benar. Dalam konteks ini yang dibutuhkan adalah
argumentasi yang masuk akal (soundness). Sebuah argumentasi masuk akal apabila argumentasi
tersebut valid dan semua premis-premisnya benar. Dalam mengevaluasi sebuah argumentasi, kita
tidak hanya mempertanyakan apakah argumentasi tersebut valid, tetapi juga apakah semua
premisnya benar. Pertimbangkanlah argumentasi berikut:
Hampir semua mahasiswa Fakultas Teknik mendapatkan nilai baik untuk
Matematika.
Athaya adalah mahasiswa Fakultas Teknik.
Jadi, Athaya adalah mahasia yang mendapatkan nilai baik untuk Matematika.
Jelas bahwa premis-premis dari argumentasi di atas tidak memberikan jaminan bahwa
konklusi atau kesimpulannya benar. Kesimpulan bisa saja salah sekalipun semua premisnya
benar. Akan tetapi, argumentasi tetap bisa dikatakan sebagai argumentasi yang baik. Hal ini bila
premis-premisnya benar, konklusi dan kesimpulannya kemungkinan benar. Dengan argumentasi
yang kuat secara induktif (inductively strong argument), jika premis-premisnya benar, maka
konkulsi atau kesimpulan pastilah kemungkinan benar. Hal ini memang berbeda dengan
argumentasi valid, di mana bila premis-premisnya benar, maka pastilah konkulusi atau
kesimpulannya benar. Dalam mengevaluasi sebuah argumentasi, hal yang pertama dilakukan
adalah mempertanyakan apakah argumentasi tersebut valid atau kuat secara induktif. Jika
ternyata tidak valid dan lemah secara induktif, maka argumentasi itu bukanlah argumentasi yang
baik. Jika kuat secara induktif, maka yang lebih kuat; lebih baik. Hal ini tentu mengandaikan
pula kita mempertanyakan apakah premis-premisnya benar.
Dalam konteks argumentasi deduktif, semua argumentasi yang valid punya kesamaan
nilai atas kevaliditasanya. Dengan ucap lain, kita tidak bisa mengatakan satu argumentasi lebih
valid daripada argumentasi yang lainnya. Hal ini berbeda dengan argumentasi induktif, di mana
tidak semua argumentasi yang kuat secara induktif punya kesamaan kekuatannya.
Pertimbangkanlah dua argumentasi berikut:
99% mahasiswa UI adalah orang yang berusia di bawah 55 tahun.
Rayyan adalah mahasiswa UI.
Jadi, Rayyan adalah (kemungkinan) adalah orang yang berusia di bawah 55 tahun.
Argumentasi ini tidaklah alid secara deduktif, tetapi secara induktif sangatlah kuat. Hal
ini tidak valid dikarenakan fakta bahwa tidak ada manusia yang saya kenal hidup lebih dari 150
tahun tidak menjamin bahwa saya tidak bisa hidup lebih daripada 150 tahun. Saya bisa saja
merupakan pengecualian atau bisa saja kemajuan dunia medis memungkinkan untuk itu suatu
hari nanti. Akan tetapi, tetap saja ada kemungkinan besar jika saya tidak mengenal manusia
yang hidup lebih dari 150 tahun, saya juga tidak akan hidup lebih daripada 150 tahun. Dengan
kata lain, premisnya membuat kesimpulan secara kemungkinan besar benar. Oleh sebab itu,
argumentasi tersebut kuat secara induktif. Kekuatan induktif bisa ditingkatkan dengan informasi
atau premis tambahan. Katakanlah misalnya, Sherlock Holmes menginvestigasi kasus pencurian
berlian di sebuah toko perhiasan dengan alasan-alasan berikut:
Sidik jari Tono ditemukan dalam toko perhiasan.
Tono punya riwayat pencurian yang sama dengan kasus ini.
Tono terlihat mengintai toko perhiasan sehari sebelum terjadinya kasus pencurian.
Jadi, Tono (kemungkinan) adalah pencurinya.
Dari bukti yang tersedia kita bisa berpikir bahwa Tono adalah pencurinya, tetapi hal itu
tidak cukup menyakinkan bagi hakim. Namun, bisa saja Sherlock Holmes melanjutkan
investigasi dan menambahkan bukti tambahan yang akan membuat konkulsi atau kesimpulan
lebih mungkin benar.
Katakanlah Sherlock Holmes bertanya kepada Tono di mana dia di malam terjadinya
kasus pencurian dan Tono memberikan alibi yang belakangan terbukti bohong. Sementara itu,
ada saksi mata yang menyatakan bahwa Tono memang berada di dekat toko perhiasan ketika
malam terjadinya kasus pencurian. Dengan dua tambahan dua premis tersebut akan
meningkatkan kemungkinan bahwa Tono adalah pencurinya. Dengan kata lain, argumentasi yang
diberikan lebih kuat daripada sebelumnya.
Tono berbohong tentang di mana dia ketika malam terjadinya kasus pencurian dan
tidak dapat memberikan sebuah alibi yang memuaskan.
Ada saksi mata yang menyatakan melihat Tono berada di dekat toko perhiasan ketika
malam terjadinya kasus pencurian.
Terakhir, katakanlah Sherlock Holmes menemukan berlian yang dicuri di dalam mobil
Tono. Oleh karena itu, sekarang kita punya argumentasi yang kuat dalam berhadapan dengan
Tono. Berikut rumusannya:
Sidik jari Tono ditemukan dalam toko perhiasan.
Tono punya riwayat pencurian yang sama dengan kasus ini.
Tono terlihat mengintai toko perhiasan sehari sebelum terjadinya kasus pencurian.
Tono berbohong tentang di mana dia ketika malam terjadinya kasus pencurian dan
tidak dapat memberikan sebuah alibi yang memuaskan.
Ada saksi mata yang menyatakan melihat Tono berada di dekat toko perhiasan ketika
malam terjadinya kasus pencurian.
Berlian yang dicuri ditemukan di mobil Tono
Jadi, Tono adalah (kemungkinan) pencurinya.
Di sini terlihat jelas bahwa argumentasi kedua lebih kuat dibandingkan argumentasi
pertama dikarenakan tambahan bukti atau premisnya. Akan tetapi, harus disadari bahwa
kekuatan induktif punya persoalan lain daripada sekerdar relasi antara premis-premis dengan
konklusi atau kesimpulannya. Perhatikanlah argumentasi di bawah ini.
Semua angsa yang telah diobservasi berwarna putih.
Jadi, (kemungkinan) semua angsa berwarna putih.
Apakah argumentasi di atas kuat secara induktif? Jika iya seberapa kuat? Hal ini sulit
untuk ditentukan dikarenakan untuk memberikan jawaban kita perlu mempertanyakan seberapa
banyak angsa yang telah diobservasi. Jika hanya sedikit angsa yang diobservasi, katakanlah 10
atau 20 maka argumentasi tersebut lemah. Jika angsa yang diobservasi ribuan, bisa dikatakan
bahwa argumentasi tersebut cukup kuat. Akan tetapi, kita perlu juga untuk mempertanyakan di
mana observasi atas angsa itu dilakukan.
Katakanlah kita hanya mengobservasi ribuan angsa dan semuanya berwarna putih, tetapi
hanya di satu tempat kita melihatnya, misalnya di Kota Depok. Maka, argumentasi tersebut
lemah dikarenakan mungkin ada angsa berwarna berbeda di tempat lain. Argumentasi tersebut
akan lebih kuat bila kita telah mengobservasi angasa di berbagai tempat yang berbeda dan
semuanya berwarna putih. Akan tetapi, kita juga perlu yakin bahwa kita telah mengobservasi
angsa dari jenis kelamin yang berbeda dan fase tumbuh yang berbeda.
Katakanlah, kita hanya mengobservasi ribuan angsa, tetapi semuanya betina dan fase
tumbuh dewasanya saja. Apa yang hendak ditunjukkan adalah bahwa kekuatan induktif bukan
hanya sekadar persoalan berapa banyak observasi, tetapi kita mesti memastikan bahwa observasi
yang dilakukan cukup representatif atas sample angsa (Emmet, 2001).
BAB 3
LOGIKA
Dari kedua proposisi tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa “Sokrates adalah
makhluk berakal budi”. Kesimpulan itu dihasilkan hanya melalui analisis terhadap dua proposisi
tersebut tanpa bersandar pada observasi empiris terhadap Sokrates. Oleh karena itu, dapat
dikatakan pengetahuan yang dihasilkan dari logika deduktif bersifat a priori. Selain itu, kita
mengetahui bahwa kesimpulan “Sokrates adalah makluk berakal budi” merupakan konsekuensi
yang sudah langsung terkandung di dalam dua proposisi di atas. Dengan demikian, logika
deduktif memiliki tiga ciri, yaitu (1) analitis, di mana kesimpulan hanya ditarik dengan
menganalisis proposisi-proposisi yang sudah ada; (2) tautologis, di mana kesimpulan yang
ditarik sesungguhnya secara implisit sudah terkandung dari premis-premisnya; (3) a priori, di
mana kesimpulan ditarik tanpa bersandar pada observasi empiris atau pengalaman indera.
Lain halnya dengan logika deduktif, logika induktif sangat bertumpu pada observasi
empiris. Oleh karena itu, pengetahuan yang dihasilkan merupakan generalisasi yang didasarkan
pada pengamatan atas kasus-kasus yang dinilai mempunyai persamaan. Dengan begitu, logika
induktif menghasilkan kesimpulan yang bentuk sintetis atau penggabungan dari kasus-kasus
yang digunakan sebagai titik tolak penalaran. Berikut pola umum logika deduktif:
X1 mempunyai karateristik P.
X2 mempunyai karateristik P.
X3 mempunyai karakteristik P.
:
Xn mempunyai karateristik P.
Jadi, X mempunyai karakteristik P
Selain itu, dikarenakan titik tolak penalarannya merupakan hasil pengamatan indera,
logika induktif bersifat a posteriori. Atas dasar itulah logika induktif memiliki tiga ciri berikut:
(1) sintetis, di mana kesimpulan ditarik dengan jalan menggabungkan kasus-kasus yang dinilai
mempunyai persamaan;
(2) general, di mana kesimpuylan yang dihasilkan selalu meliputi kasus yang lebih banyak atau
lebih umum sifatnya daripada jumlah kasus yang terhimpun sebagai titik tolak penalaran;
(3) a posteriori, di mana kesimplan didasarkan pada kasus-kasus yang teramati secara
pengalaman indera.
Atas dasar itu pula, logika induktif tidak memberikan suatu kepastian mutlak, tetapi dinilai
dengan probabilitas yang diberikan oleh premis-premis kepada kesimpulannya. Berikut secara
singkat tabel perbandingan antara logika deduktif dan logika induktif.
Tabel Perbandingan Logika Deduktif dan Logika Induktif
Logika Deduktif Logika Induktif
Analitis Sintetis
Tautologis Generalisasi
A priori A posteriori
Kepastian Mutlak Probabilitas
Jika kita perhatikan argumentasi nomor 1, argumentasi itu merupakan sebuah contoh
argumentasi yang mempunyai dua nilai sekaligus, yaitu kebenaran secara formal dan kebenaran
secara material. Di sini, argumentasi dibangun dengan proses penalaran yang tepat dan proposisi-
proposisinya berkorespondensi dengan kenyataan yang sebenarnya. Dengan kata lain,
argumentasi nomor 1 ini menunjukkan kesahihan secara formal dan kebenaran secara konten.
Berikutnya, kita perhatikan argumentasi nomor 2. Semua proposisi, baik premis-premis
ataupun kesimpulannya, bersesuaian dengan kenyataan. Oleh karena itu, argumentasi ini dari sisi
konten atau logika material dinyatakan benar. Akan tetapi, argumentasi ini dari sisi proses
penalaran atau bentuknya tidaklah sahih. Hal ini dikarenakan proposisi kesimpulan “Jadi, semua
salmon adalah ikan” bukan implikasi logis dari premis-premisnya, sekalipun premis-premis
tersebut benar dikarenkan bersesuaian dengan kenyataan.
Sebaliknya, kita perhatikan argurmentasi nomor 3 yang dari sisi konten atau logika
material dinyatakan salah karena semua proposisi baik premis-premis ataupun kesimpulan tidak
bersesuian dengan kenyataan. Akan tetapi, argumentasi tersebut dari sisi proses penalarannya
atau logika formal dinyatakan sahih. Hal ini dikarenakan kalau saja premis-premisnya (dalam
konteks ini “Semua amfibi mempunyai tanduk” dan “Semua ikan adalah amfibi”) bersesuaian
dengan kenyataan, maka kesimpulan “Jadi, semua ikan mempunyai tanduk” mestilah benar pula.
Dengan kata lain, proses penarikan kesimpulan dari argumentasi nomor 3 adalah sahih
dikarenakan kesimpulannya merupakan implikasi logis dari premis-premisnya.
Selanjutnya, kita perhatikan argumentasi nomor 4 yang dinyatakan tidak sahih dari sisi
proses penalaran dan salah dari sisi konten dikarenakan semua proposisinya tidak bersesuaian
dengan kenyataan. Tidak sahihnya proses penalaran itu disebabkan kesimpulan ‘Jadi, semua ikan
adalah katak” bukanlah implikasi logis atau tidak dapat ditarik dari premis “Semua amfibi
mempunyai tanduk” dan premis “Semua ikan mempunyai tanduk”.
Dengan demikian, dalam suatu argumentasi ada dua persoalan yang harus dibedakan,
yaitu kesahihan proses penalaran (logika formal) dan kebenaran konten dari penalaran (logika
material). Apa yang perlu diingat adalah setiap argumentasi yang dibangun dalam konteks
akademis dan ilmiah harus memperhatikan kedua sisi tersebut secara bersama-sama. Ringkasnya,
setiap argumentasi akademis dan ilmiah mensyaratkan kesahihan proses penalaran dan
kebenaran konten dari penalaran tersebut.
3.4 Term
3.4.1 Perbedaan Kata dengan Term
Konsep adalah unsur pembangun pikiran. Setiap hal yang diinderai dan dipersepsi oleh kita
dibentuk menjadi konsep. Konsep merupakan suatu gambaran abstrak yang tidak merujuk
kepada objek konkret tertentu. Misalnya, setelah kita memperoleh pengalaman bertemu dengan
berbagai individu dengan ciri-ciri tertentu, kita memiliki konsep tentang ‘manusia’. Dalam
konteks ini, konsep ‘manusia’ tidak hanya merepresentasikan individu-individu yang kita kenal,
melainkan pula manusia pada umumnya, termasuk individu-individu yang belum kita kenal. Hal
ini dikarenakan konsep yang kita punyai terkait langsung berhubungan dengan hakikat
kemanusiaan. Dengan begitu, kita dapat menyimpulkan bahwa konsep adalah suatu gambaran
abstrak yang tidak merujuk objek konkret tertentu dan menyentuh secara langsung hakikat objek
tersebut. Dikarenakan konsep merupakan suatu gambaran abstrak, untuk mewujudkannya
diperlukan suatu bentuk simbolik linguistik, yaitu kata. Dalam konteks ini, kata dapat dilihat
sebagai satuan konsep terkecil yang direpresentasikan melalui bahasa. Sejauh kata berfungsi
sebagai ungkapan lahiriah dari suatu konsep dalam logika, maka disebutlah sebagai term.
Di sini perlu diperjelas perbedaan kata dan term. Term selalu merupakan ungkapan
lahiriah dari suatu konsep. Dikarenakan hal itu, term dapat terdiri atas suatu kata atau lebih. Oleh
karena itu apa yang dimaksudkan dengan term adalah satu kata atau lebih yang merupakan
ungkapan lahiriah dari konsep. Misalnya, kata-kata berikut: mahasiswa; mahasiswa UI;
mahasiswa UI yang rajin; dan mahasiswa UI yang rajin belajar logika, masing-masing disebut
term dikarenakan merupakan ungkapan lahiriah dari kesatuan konsep-konsep berikut:
‘mahasiswa’; ‘mahasiswa UI’; ‘mahasiswa UI yang rajin’; dan ‘mahasiswa UI yang rajin
belajar logika’. Oleh karena itu, term tidaklah sebangun dengan kata dikarenakan term
merupakan ungkapan lahirah dari konsep. Dalam konteks ini, term bisa saja terdiri atas lebih dari
satu kata. Jika dilihat dari jumlah kata yang terdapat dalam term, term dibedakan menjadi term
tunggal dan term majemuk. Term tunggal adalah term yang terdiri atas satu kata saja dan sudah
mempunyai arti tertentu. Term majemuk adalah term yang terdiri atas dua kata atau lebih dan
sudah mempunyai arti tertentu.
Setidaknya ada dua alasan yang membedakan antara kata dan term. Pertama, setiap term
selalu mengungkapkan konsep tertentu, sedang kata tidak selalu merujuk pada suatu konsep.
Memang ada kata yang mengungkapkan suatu konsep sehingga dapat disebut sebagai term. Kata
jenis ini dikenal sebagai kata kategorimatis, misalnya mahasiswa, kursi, meja dan lain-lain. Akan
tetapi, ada juga kata yang tidak memiliki konsep tertentu yang disebut sebagai kata
sinkategorimatis, seperti nan, yang, amboi, dan lain-lain. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan
setiap term adalah kata, tetapi tidak setiap kata adalah term.
Kedua, setiap term yang diandaikan mengungkapkan konsep dapat berfungsi sebagai
subjek atau predikat dalam proposisi. Misalnya, proposisi ‘Gajah adalah hewan mamalia’.
Dalam contoh tersebut, term ‘gajah’ berfungsi sebagai subjek dan term ‘hewan mamalia’
berfungsi sebagai predikat. Dari contoh tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa tem subjek
ataupun term predikat dapat saja terdiri dari satu atau lebih kata; namun keseluruhan kata itu
tetap dianggap satu konsep semata. Misalnya, proposisi ‘Gajah yang dinaiki oleh pawang
mengamuk di lingkungan padat penduduk’ tetap dinyatakan memiliki dua term, yaitu term
subjek ‘Gajah yang dinaiki oleh pawang’ dan term predikat ‘mengamuk di lingkungan padat
penduduk’.
Dalam proposisi tidak dikenal istilah objek, keterangan ataupun hal lainnya sebagaimana
lazim ditemukan dalam kajian kebahasaan. Hal ini dikarenakan hubungan antara term subjek dan
term predikat merupakan syarat mutlak untuk terbentuknya proposisi yang merupakan unsur
pembangun penalaran. Oleh karena itu, pemahaman akan term sebagai unsur terkecil dalam
bidang logika sangat sangat penting dan tidak mungkin dilewatkan jika hendak mengertinya
secara utuh.
3.4.3 Klasifikasi
Setiap term terkait erat dengan cakupan konseptualnya. Dalam konteks itu, kita perlu mengetahui
persoalan klasifikasi. Klasifikasi merupakan suatu cara seseorang melakukan pembagian suatu
konsep ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil. Apa yang dimaksudkan dengan klasifikasi
bukanlah pembagian fisik, tetapi pembagian logis. Ada dua alasan yang pembedaan ini. Pertama,
dalam pembagian fisik, bagian-bagian yang lebih kecil tidak mempunyai hubungan sama sekali
dengan keseluruhan suatu konsep tertentu. Contonya, apabila sebuah mobil yang dilepas bagian-
bagiannya, maka kita tidak bisa mengatakan ‘Knalpot adalah mobil’ atau ‘setir adalah mobil’.
Berbeda dengan pembagian logis, bagian-bagian yang lebih kecil mempunyai hubungan
dengan keseluruhan suatu konsep tertentu. Oleh karena itu, keseluruhan suatu konsep tertentu
dapat berfungsi sebagai predikat untuk bagian-bagian yang lebih kecil tersebut. Contohnya,
konsep ‘binatang’ dapat diklasifikasikan ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil atau subkelas,
seperti sapi, kambing, kerbau, dan lain-lain. Oleh karena itu, kita masih bisa mengatakan
‘Kambing adalah binatang’ ataupun ‘Sapi adalah binatang’. Kedua, pembagian fisik terkadang
tidak menunjukkan suatu kriteria yang jelas. Selain itu, pembagian logis terhadap suatu konsep
ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil atau subkelas-subkelasnya selalu didasarkan pada satu
kriteria tertentu. Dengan demikian, klasifikasi sebagai pembagian logis dapat dimengerti sebagai
pembagian suatu konsep ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil atau subkelas-subkelasnya
berdasarkan satu kriteria tertentu (Hayon, 2000). Berikut contoh klasifikasi.
Di dalam logika, ada sejumlah prinsip yang digunakan untuk menyusun suatu klasifikasi
yang tepat. Berikut prinsip-prinsip klasifikasi.
Tabel Prinsip-Prinsip Klasifikasi
No Prinsip Klasifikasi Penjelasan dan Contoh
1 Klasifikasi harus lengkap Pengklasifikasian dari suatu konsep mengharuskan
semua subkelasnya yang berada di bahwa lingkup
konsep tersebut harus disebutkan secara lengkap.
Artinya, ketika subkelas-subkelas itu disatukan,
hasilnya tidak lebih atau tidak kurang dari lingkup
keseluruhan konsep yang dibagi-bagi. Misalnya,
klasifikasi terhadap ‘benda’ tidak lengkap apabila hanya
dibagi menjadi subkelas ‘benda padat’ dan subkelas
‘benda cair’ saja. Ketidaklengkapan dalam klasifikasi
itu karena tidak disebutkan subkelas ‘benda gas’.
2 Klasifikasi harus benar- Pengklasifikasian batas satu subkelas dengan subkelas
benar memisahkan (tidak yang lain harus benar-benar terpisah dan terbedakan
tumpang-tindih) dengan jelas. Artinya, satu subkelas dengan subkelas
yang lain tidak tumpang-tindih (overlapping). Misalnya,
‘mahasiswa UI’, diklasifikasi menjadi subkelas
‘mahasiswa UI yang berusia 18 tahun ke atas’ dan
‘mahasiswa UI yang berusia 20 tahun ke bawah.
Klasifikasi ini dinyatakan tidak benar-benar
memisahkan dikarenakan subkelas keduanya tumpang
tindih pada rentang ‘mahasiswa UI yang berusia 18
sampai dengan 20 tahun’.
3 Klasifikasi harus Prinsip ini merupakan penegasan kembali dari definisi
menggunakan kriteria yang klasifikasi yang telah dibahas di atas, yaitu pembagian
sama logis dengan kriteria yang sama atau tertentu.
Penggunaan kriteria yang berbeda dapat membuat
pengklasifikasian keliru dan menunjukkan pada
ketidakkonsistenan. Misalnya, ‘sepatu’ diklasifikasikan
menjadi subkelas ‘sepatu kulit’, ‘sepatu karet’, ‘sepatu
hitam’, ‘sepatu olahraga’. Klasifikasi ini keliru
dikarenakan tidak menggunakan kriteria yang sama.
Dalam klasifikasi itu ada kriteria yang berbeda yang
digunakan sebagai dasar klasifikasi. Subkelas ‘sepatu
kulit’ dan ‘sepatu karet’ merujuk pada bahan dari
sepatu; subkelas ‘sepatu hitam’ merujuk pada warna
dari sepatu; subkelas ‘sepatu olahraga’ merujuk pada
peruntukan dari penggunaan sepatu.
4 Klasifikasi harus teratur Pembagian logis dari suatu konsep ke dalam subkelas-
dan rapi subkelasnya dilakukan secara berurutan dan tidak ada
subkelas yang terlangkahi sehingga deretan subkelas
dari kelas induk sampai subkelas paling kecil
memperlihatkan suatu keseluruhan yang utuh. Misalnya,
kelas induk ‘’hewan” tidak dapat langsung dibagi ke
dalam “mamalia”, “pisces”, “amfibi”, “reptil”, “aves”,
tetapi harus dibagi menjadi “vertebrata” dan
“invertebrata” terlebih dahulu.
5 Klasifikasi harus sesuai Klasifikasi hendaknya disesuaikan dengan tujuan yang
dengan tujuan yang hendak hendak dicapai. Misalnya, pengklasifikasian tumbuhan
dicapai dalam bidang biologi. Hal itu sangat bergantung pada
tujuan teknis bidang tersebut; jika tujuannya hendak
memperjelas lingkungan tempat tumbuhan hidup, lebih
tepat diklasifikasikan menjadi ‘lingkungan kering
(xerofit)’, ‘lingkungan air (hidrofit)’, dan hidup di
‘lingkungan lembap (higrofit)’. Akan tetapi, jika hendak
memperjelas tumbuhan terkait dengan manfaatnya,
lebih tepat diklasifikasikan menjadi ‘tanaman obat-
obatan, ‘tanaman hias’, ‘tanaman pangan’ dan
sebagainya.
Ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan terkait dengan prinsip-prinsip
pengklasifikasian, terutama terkait dengan kesulitan yang muncul. Pertama, prinsip-prinsip
pengklasifikasian secara murni dalam praktik sangat sukar dikarenakan adanya sejumlah konsep
yang sulit ditentukan batas-batasnya secara tegas. Misalnya, ‘barang’ diklasifikasikan menjadi
subkelas ‘barang mahal’ dan ‘barang murah’ atau ‘orang’ diklasifikasikan menjadi subkelas
‘orang tradisional’ dan ‘orang modern’. Dalam contoh tersebut, subkelas tidak memiliki batas
yang jelas dan kriteria yang digunakan untuk pengklasifikasian tersebut lebih mencerminkan
penilaian yang subjektif. Kedua, ada bentuk pengklasifikasian ke dalam dua subkelas semata.
Bentuk pengklasifikasi ini dikenal sebagai klasifikasi dikotomis.
Istilah dikotomi, secara etimologis dari bahasa Latin dichtomia yang berarti pembagian
secara dua-dua atau berpasangan. Hal ini dilakukan dengan dua alasan yang berbeda, yaitu
dikarenakan terbatasnya pengetahuan kita terhadap subkelas-subkelas dari kelas induk atau
dikarenakan tujuan-tujuan tertentu dari pengklasifikasian. Jika didasarkan pada alasan yang
pertama, dikotomi tersebut dapat nyatakan sah.
Akan tetapi, jika didasarkan pada asalan yang kedua, dikotomi tersebut terkait erat
dengan ‘teknik hitam-putih’ dan lebih dikenal dengan klasifikasi dikotomi keliru. Hal ini banyak
ditemukan dalam propaganda. Klasifikasi dikotomi popaganda dilakukan dengan sengaja terkait
tujuan politis untuk menyederhanakan persoalan menjadi dua pilihan saja. Bentuk
pengklasifikasi ini dikenal sebagai klasifikasi dikotomis. Misalnya, ‘orang Indonesia’ pada masa
perjuangan kemerdekaan diklasifikasikan menjadi ‘orang Indonesia prorevolusi’ dan ‘orang
Indonesia kontrarevolusi’.
3.4.3 Definisi
Secara etimologis, kata definisi berasal kerja definere yang dalam bahasa Latin mempunyai arti
‘membatasi atau mengurung dalam batas-batas tertentu’ (Hayon, 2000). Dalam kegiatan
akademis, definisi selalu berhubungan dengan istilah yang hendak dijelaskan. Artinya, definisi
bisa dimengerti sebagai penentuan batas konseptual bagi suatu istilah. Oleh karena itu, definisi
mempunyai dua tujuan, yaitu memberikan rumusan yang lengkap terkait dengan istilah yang
didefinisikan dan mampu memperlihatkan perbedaan antara satu istilah dan istilah yang lainnya.
Pendefinisian suatu konsep dalam kegiatan akademis sangat penting dikarenakan dapat
meminimalkan kemungkinan terjadinya kesalahpahaman terkait dengan konsep tersebut.
Kerancuan pemahaman akan sulit dihindari apabila dari awal percakapan akademis tidak terlebih
dahulu menerangkan secara definitif apa yang dimaksud dengan sebuah konsep tertentu. Sebuah
definisi mengandung dua unsur, yaitu hal yang didefinisikan disebut definiendum dan hal yang
mendefinisikan atau menjelaskan arti difiniendum tersebut disebut definiens. Di sini perlu
ditegaskan bahwa definiens bukan arti dari definiendum, melainkan suatu istilah atau kelompok
istilah yang terkait dengan konteks definisi mempunyai arti yang sama dengan definiendum.
Lebih jelasnya perhatian tabel berikut:
Tabel Dua Unsur Definisi
Definiendum Definiens
Istilah yang hendak dijelaskan artinya Perumusan atau penjelasan yang diberikan
Pemahaman terkait dengan klasifikasi yang telah dijelaskan di atas sangat membantu kita
untuk menyusun suatu definisi yang tepat terkait dengan konsep ataupun istilah tertentu.
Misalnya, jika kita ingin mendefinisikan sebuah konsep bukanlah hal yang sulit jika kita
mengetahui dengan baik apa yang merupakan kelas induk (genus proximum) dan ciri spesifik
yang dimiliki oleh konsep tersebut sebagai suatu subkelas yang membedakannya dari subkelas-
subkelas lainnya (differentia spesifica). Misalnya, kita ingin mendefinsikan apa itu manusia.
Kita tahu bahwa kelas induk dari manusia adalah makhluk hidup (genus proximum) dan
ciri spesifik yang dimiliki oleh konsep manusia sebagai subkelas yang membedakannya dari
subkelas-subkelas lainnya (dalam konteks ini, hewan dan tumbuhan) adalah berakal budi
(differentia spesifica). Oleh karena itu, manusia dapat didefinisikan secara tepat sebagai makhluk
hidup (genus proximum) yang berakal budi (diffrentia spesifica). Penyusunan suatu definisi yang
tepat haruslah mengikuti ketentuan tertentu. Berikut prinsip-prinsip yang bisa diaplikasikan
untuk menghasilkan sebuah definisi yang tepat.
Tabel Prinsip-prinsip Definisi
No Prinsip Definisi Penjelasan dan Contoh
1 Definiens harus bisa dibolak- Prinsip ini menjelaskan bahwa definies tidak boleh
balikkan definiendum lebih luas atau lebih sempit dari definiendum. Apabila
ada perbedaan dalam luas cakupan konseptual
mengakibatkan kedua unsur definisi tersebut tidak
dapat dipertukarkan.
Contoh 1:
‘Elang adalah burung yang dapat terbang’. Definisi ini
tidak tepat dikarenakan ‘burung yang dapat terbang’
lebih luas cakupan konseptualnya daripada ‘elang’
sehingga kalau dibalikkan ‘Burung yang dapat terbang
adalah elang’ terjadilah kekeliruan.
Contoh 2:
‘Kursi adalah tempat duduk yang terbuat dari kayu’.
Definisi ini tidak tepat dikarenkaan ‘tempat duduk
yang terbuat dari kayu’ lebih sempit cakupan
konseptulnya daripada ‘kursi’ (kursi bisa saja tidak
terbuat dari kayu, tetapi besi misalnya).
Oleh karena itu, bisa tidaknya pembalikan posisi
difiniens dan definiendum adalah cara pengujian yang
efektif terkait dengan tepat atau tidaknya sebuah
definisi.
2 Definiendum tidak boleh Prinsip ini menjelaskan bahwa kata atau kelompok
masuk ke dalam definiens kata yang mendefinisikan tidak boleh menggunakan
kata yang didefinisikan. Jika hal itu terjadi, mka hanya
akan membentuk definisi yang sirkular atau tautologis
disebut dengan circulus in defienindo.
Contohnya, ‘Logika adalah ilmu yang mempelajari
aturan-aturan logika’. Dalam konteks ini, definisi ini
tidak tepat dikarenaka istilah logika tetap tidak
terjelaskan karena istilah itu justru diulang atau masuk
di dalam penjelasan atasnya.
3 Definiens harus dirumuskan Prinsip ini menegaskan bahwa definiens tidak boleh
secara jelas dinyatakan dalam bahasa yang kabur atau kiasan.
Pelanggaran atas prinsip ini menghasilkan apa yang
disebut dengan obscurum per obscurius yang berarti
menjelaskan sesuatu dengan keterangan yang lebih
tidak jelas atau ignotum per ignotius yang berarti
mendefinisikan sesuatu yang tidak diketahui dengan
sesuatu yang lebih tidak diketahui lagi.
Contohnya, ‘Kegalauan adalah situasi tidak adanya
konspirasi dan harmonisasi hati dalam kelabilan
ekonomi’. Definisi ini bukanlah definisi yang tepat
dikarenakan menggunakan bahasa yang kabur dan
tidak memberikan penjelasan apapun terkait dengan
definiendum.
4 Definiens tidak boleh Prinsip ini menekankan bahwa tujuan definisi tercapai
dirumuskan dalam bentuk jika definiens mengungkapkan apa sebenarnya makna
negatif, sejauh masih dapat definiendum. Dalam bentuk negatif, tujuan tersebut
dirumuskan dalam bentuk dapat tidak tercapai. Contohnya, apel itu bukan
afirmatif mangga, bukan anggur, bukan jeruk, dan seterusnya.
Contoh yang lebih teknis misalnya, ‘Sepak bola adalah
olahraga yang dimainkan tanpa menggunakan tangan’.
Definisi ini tidak tepat dikarenakan tidak memberikan
penjelasan yang utuh terkait dengan apa itu sepak bola.
Akan tetapi, ada istilah-istilah tertentu yang tidak
mungkin dirumuskan secara positif dikarenakan jika
dirumuskan positif justru tidak akan mengungkapkan
apa makna sebenarnya dari definiendum. Misalnya,
‘Buta adalah kondisi di mana tidak berfungsinya
indera penglihatan’.
3.5 Proposisi
3.5.1 Perbedaan Kalimat dan Proposisi
Dalam kehidupan sehari-hari, kita berkomunikasi menggunakan kalimat, baik kalimat berita,
kalimat tanya, maupun kalimat perintah. Perhatikanlah kalimat-kalimat berikut.
(1) “Saya adalah mahasiswa UI”
(2) “Apakah kamu sudah sarapan tadi pagi?”
(3) “Jawab pertanyaan saya!”
Kalimat (1) adalah kalimat berita, yaitu kalimat yang memberitakan hal tertentu. Kalimat
(2) adalah kalimat tanya; isinya merupakan pertanyaan tentang hal tertentu. Kalimat (3) adalah
kalimat perintah yang isinya menyerukan atau memerintahkan untuk melakukan hal tertentu.
Benar tidaknya sebuah struktur suatu kalimat ditentukan berdasarkan kaidah tata bahasa tertentu
(Hadinata, Putri, & Takwin, 2015).
Logika berfokus pada jenis kalimat tertentu, yaitu kalimat deklaratif yang pada
praktiknya memang bisa dilihat seperti kalimat berita. Akan tetapi, kalimat deklaratif
mempunyai pengertian yang lebih khusus, yaitu kalimat yang digunakan untuk membuat suatu
pernyataan yang menyampaikan sesuatu yang bisa dinilai benar atau salah. Dengan kata lain,
kalimat deklaratif mempunyai nilai kebenaran. Jenis kalimat ini di dalam literatur logika disebut
proposisi. Dalam konteks penalaran, dikenal dua jenis proposisi yaitu proposisi kategoris dan
proposisi hipotesis. Suatu proposisi disebut kategoris apabila term subjek diafirmasi atau
dinegasi term predikat tanpa syarat atau secara mutlak. Misalnya, “Aqila adalah mahasiswa UI.”.
Lain halnya dengan proposisi hipotesis. Pengafirmasian atau penegasian terhadap
predikat atas dasar syarat atau tidak secara mutlak. Misalnya, “Jika Aqila adalah mahasiswa UI,
maka Aqila mempunyai akun SIAK-NG dan KTM UI”. Dikarenakan mengandung suatu syarat,
proposisi hipotesis merupakan perpaduan dari dua proposisi kategoris yang dihubungkan dengan
cara tertentu, dalam konteks contoh di atas melalui ‘jika-maka’. Oleh karena itu, pemahaman
yang baik terkait dengan proposisi kategoris sangat penting jika hendak melakukan penyelidikan
terkait penalaran yang bersifat langsung (oposisi dan ekuivalensi) ataupun tidak langsung
(silogisme kategoris dan silogisme hipotesis). Di sini perlu diberikan catatan istilah ‘proposisi
kategoris’ sebangun dengan istilah ‘proposisi’. Tambahan ‘kategoris’, hanya untuk
membedakannya dengan ‘proposisi hipotesis’ secara pedagogis. Unsur-unsur dalam proposisi
yang perlu diperhatikan sebagai berikut.
1. Term yang berfungsi sebagai subjek disimbolkan dengan ‘S’.
2. Term yang berfungsi sebagai predikat disimbolkan dengan ‘P’.
3. Kopula merupakan penanda adanya hubungan antara term subjek dan term predikat.
Dalam konteks ini, mengafirmasi atau menegasi; serta menunjukkan kualitas dari proposisi.
Misalnya, “Tono adalah mahasiswa UI”. Dalam contoh ini, kualitas proposisinya adalah
afirmatif karena term subjek ‘Tono’ diafirmasi oleh term predikat ‘mahasiswa UI’. Lain
halnya dengan “Tono bukan mahasiswa UI”. Hal ini berarti kualitas proposisinya negatif
karena term subjek ‘Tono’ dinegasi oleh term predikat ‘mahasiswa UI’. Dalam pola formal
dua hubungan (afirmatif dan negasif) antara term subjek dan term predikat dapat dinyatakan
sebagai beikut: “S=P” dan “S≠P”.
4. Penanda (kata) yang menunjukan banyaknya satuan yang diikat oleh term subjek.
Dalam konteks itu, penanda satuan bisa menunjuk kepada permasalahan universal, partikular
dan singular. Pada universal ditandai seperti kata ‘seluruh’, ‘semua’, ‘setiap’, ‘tidak satu pun’
dan lain-lain. Pada partikular ditandai seperti kata ‘sebagian’, ‘kebanyakan’, beberapa,
‘hampir seluruh’, dan lain-lain. Pada singular biasanya tidak dinyatakan, tetapi merujuk
kepada nama diri atau nama unik di dalam term singular.
Berikut tabel yang menunjukan contoh unsur-unsur dalam proposisi yang perlu diperhatikan.
Tabel Unsur-Unsur Proposisi
Penanda Satuan Term Subjek Kopula Term Predikat
Semua manusia Adalah makhluk berakal
budi
Sebagian mahasiswa UI Bukan penyanyi
Hanif Adalah Seorang dosen di
UI
Di sini, perlu ditekankan suatu proposisi bisa saja tidak menyatakan penanda satuan dan
kopulanya (khususnya pada proposisi yang berkualitas afirmatif) secara eksplisit (tersurat). Akan
tetapi, hal itu tidak berarti subjek dari proposisi tersebut tidak mengandung banyaknya satuan
yang diikatnya ataupun hubungan terkait term subjek dan predikat. Misalnya, proposisi ‘Dosen
adalah orang yang mengajar di perguruan tinggi’. Dalam propisisi tersebut, penanda satuannya
memang tidak dinyatakan secara eksplisit, tetapi yang dimaksudkan adalah ‘Semua dosen adalah
orang yang mengajar di perguruan tinggi’ karena tidak ada satupun dosen yang tidak mengajar di
perguruan tinggi. Contoh yang lain, proposisi ‘Orang Batak pandai bernyanyi’. Dalam hal ini,
penanda satuan dan kopula tidak dinyatakan secara eksplisit, tetapi yang dimaksudkan adalah
‘Sebagian orang Batak adalah orang yang pandai bernyanyi. Artinya, pemahaman makna
kontekstual terkait dengan term dan proposisi dibutuhkan untuk menentukan atau melihat
penanda satuan, term subjek, kopula dan predikat suatu proposisi tertentu.
3.5.2 Klasifikasi Proposisi
a. Kuantitas Proposisi
Kuantitas proposisi ditentukan oleh luas term subjeknya dan terkait dengan penanda satuan. Kita
telah mengetahui bahwa suatu luas konsep dapat berupa universal, partikular, dan singular. Oleh
karena itu, klasifikasi proposisi berdasarkan kuantitas dibagi menjadi proposisi universal,
proposisi partikular dan proposisi singular. Perhatikan tabel berikut:
Jenis Proposisi Universal Proposisi Partikular Proposisi Singular
Proposisi
Pengertian Proposisi yang luas Proposisi yang luas term Proposisi yang luas
term subjeknya subjeknya partikular. Term term subjeknya
universal. Term subjek subjek tidak mengikat singular. Term subjek
mengikat semua seluruh anggotanya, merujuk hanya pada
anggotanya tanpa melainkan hanya sebagian satu hal tertentu.
terkecuali. atau paling kurang satu
yang tidak tentu.
Contoh 1. Semua koruptor 1. Sebagian penyanyi 1.Tono bukan
adalah penjahat. adalah pemain film. mahasiswa UI
2. Ular adalah 2. Ular adalah binatang 2.Gedung itu berlantai
binantang melata. yang diperdagangkan. empat.
(Term ‘ular’ dalam (Term ular dalam konteks
konteks proposisi ini proposisi ini adalah
adalah universal partikular dikarenakan
dikarenakan tidak tidak semua ular
ada ular yang bukan diperdagangkan).
binatang melata.)
b. Kualitas Proposisi
Kualitas proposisi ditentukan oleh kopulanya. Kita telah mengetahui bahwa sebuah proposisi
mesti mengandung kopula sebagai penanda afirmasi atau negasi. Oleh karena itu, klasifikasi
proposisi kategoris berdasarkan kualitas dibagi menjadi proposisi afirmatif dan proposisi negatif.
Perhatikan tabel berikut.
Jenis Proposisi Proposisi Afirmatif Proposisi Negatif
Pengertian Proposisi afirmatif jika term Proposisi negatif jika term
subjek diafirmasi oleh term subjek dinegasi oleh term
predikat. predikat.
Contoh Proposisi “Athaya adalah Proposisi “Rayyan bukan
mahasiswa UI” berkualitas mahasiswa UI” berkualitas
afirmatif dikarenakan negatif dikarenakan “Rayyan”
“Athaya” (term subjek) (term subjek) dinegasi oleh
diafirmasi oleh “mahasiswa “mahasiswa UI” (term predikat)
UI” (term predikat)
3.6.1 Oposisi
Penalaran langsung oposisi merupakan sebuah proses penalaran yang membandingkan
antarproposisi terkait kualitas dan kuantitas proposisi dengan term yang sama. Penalaran
langsung oposisi ada empat jenis, yaitu (1) Kontraris; (2) Subkontraris; (3) Subalterna, dan (4)
Kontradiktoris. Perhatikan tabel berikut.
Tabel Jenis Oposisi
Aspek Oposisi Proposisi-Proposisi Opositif Jenis Oposisi
Kualitas Proposisi A dengan Proposisi E (A-E) Kontraris
Proposisi I dengan Proposisi O (I-O) Subkontraris
Kuantitas Proposisi A dengan Proposisi I (A-I) Subalterna
Proposisi E dengan Propsosisi O (E-O)
Kualitas dan Kualitas Proposisi A dengan Proposisi O (A-O) Kontradiktoris
Proposisi E dengan Proposisi I (E-I)
Lebih jelas lagi apabila jenis oposisi tersebut divisualkan dalam sebuah diagram dengan garis
horizontal yang menyatakan oposisi dalam aspek kualitas dan garis vertikal yang menyakatan
aspek kualitas seperti gambar berikut.
Segi Empat Oposisi
A Kontraris E
I Subkontraris O
Ada catatan yang diperlukan terkait dengan proposisi A dan proposisi E pada gambar
segi empat opisisi. Dalam gambar itu, proposisi A dan proposisi E yang dimaksudkan adalah
proposisi dengan kuantitas singular. Dalam konteks itu, sifat opositifnya bukanlah kontraris,
tetapi kontradiktoris. Sementara itu, kedua jenis oposisi lainnya, baik oposisi kontraris dan
subalterna tidak bisa dilakukan atau tidak ada. Misalnya, “Andi adalah mahasiswa UI” (Proposisi
A) hanya mungkin mempunyai relasi opositif “Andi bukan mahasiswa UI” (Proposisi E). Walau
relasi opositifnya dengan proposisi E, dalam konteks ini relasi opositifnya bukanlah berjenis
kontraris melainkan kontradiktoris. Berikut dalil-dalil umum nilai kebenaran dari penalaran
oposisi.
1) Kontraris (Proposisi A-E)
Dalil utama oposisi kontraris adalah kedua proposisi (A dan E) itu tidak dapat dua-duanya benar
sekaligus; tetapi dapat sekaligus salah. Oleh karena itu, dalil itu dapat diturunkan sebagai berikut.
a) Jika satu benar, proposisi yang lain pasti salah.
b) Jika satu salah; proposisi yang lain bisa benar, tetapi bisa juga salah (tidak pasti).
Contoh:
Jika proposisi, “Semua mahasiswa UI adalah orang yang cerdas” dinyatakan benar;
maka propsisi “Semua mahasiswa UI bukan orang yang cerdas” pastilah proposisi
“Semua mahasiswa UI bukan orang yang cerdas” pastilah salah.
Jika proposisi “Semua dosen UI adalah orang yang jujur” dinyatakan salah; maka
propososi “Semua dosen UI bukan orang yang jujur” bisa benar, tetapi bisa juga salah
(tidak pasti).
2) Subkontraris (Proposisi I-O)
Dalil utama oposisi subkontraris adalah kedua proposisi (I-O) tidak dapat dua-duanya salah
sekaligus; tetapi dapat sekaligus benar. Oleh karena itu, dalil itu dapat diturunkan sebagai
berikut:
Jika satu salah, proposisi yang lain pasti benar.
Jika satu benar; proposisi yang laian bisa benar, tetapi bisa juga salah (tidak pasti).
Contoh:
Jika proposisi, “Sebagian pemain sepak bola adalah penyanyi yang handal”
dinyatakan salah; maka proposisi “Sebagian pemain sepak bola bukan penyanyi yang
handal” pastilah benar.
“Jika proposisi “Sebagian karyawan adalah orang yang berpendidikan sarjana”
dinyatakan benar; maka proposisi “Sebagian karyawan bukan orang yang
berpendidikan sarjana bisa benar, tetapi bisa juga salah (tidak pasti)
3) Subalterna (A-I dan E-O)
Dalil utama proposisi subalterna sebagai berikut.
Jika proposisi universal (A/E) benar, maka proposisi partikular (I/O) pasti benar.
Jika proposisi universal (A/E) salah, maka proposisi partikular (I/O) tidak pasti (bisa
benar atau salah).
Jika proposisi partikular (I/O) benar, maka proposisi universal (A/E) tidak pasti (bisa
benar atau salah).
Jika proposisi partikular salah (I/O), maka proposisi universal (A/E) pasti salah.
Oleh karena itu, kita dapat merumuskan kesimpulan dari dalil tersebut sebagai berikut:
Jika A benar, maka I pasti benar
Jika E benar, maka O pasti benar
Jika I benar, maka A tidak pasti
Jika O benar, maka E tidak pasti
Jika I salah, maka A salah
Jika O salah, maka E salah
Contoh:
Jika proposisi, “Semua orang di kelas ini adalah orang yang berasal dari kota
Jakarta” dinyatakan benar; maka proposisi “Sebagian orang di kelas ini adalah
orang yang berasal dari Jakarta” pastilah benar.
Jika proposisi, “Sebagian pejabat adalah anggota partai politik” dinyatakan benar;
maka proposisi “Semua pejabat adalah anggota partai politik” bisa benar, tetapi
bisa juga salah (tidak pasti).
Jika proposisi. “Beberapa pemain biola adalah orang yang senang jalan-jalan”
dinyatakan salah; maka proposisi “Semua pemain biola adalah orang yang senang
jalan-jalan” pastilah salah.
4) Kontradiktoris (A-O dan E-I)
Dalil utama oposisi kontradiktoris adalah kedua proposisi tidak dapat benar sekaligus; dan tidak
dapat pula salah sekaligus. Oleh karena itu dalil ini dapat diturunkan sebagai berikut.
Jika satu benar, maka yang lain salah.
Jika satu salah, maka yang lain benar.
Contoh:
Jika proposisi “Semua warga negara wajib melakukan bela negara” dinyatakan benar;
maka proposisi “Sebagian warga negara tidak wajib melakukan bela negara” pastilah
salah.
Jika proposisi “Beberapa orang melakukan tindak kejahatan” dinyatakan salah; maka
proposisi “Beberapa orang tidak melakuan tidakan kejahatan” pastilah benar.
Dari dalil-dalil umum kebenaran oposisi yang telah dijelaskan di atas, dapat disusun
sebuah tabel seperti di bawah ini.
Tabel Jika Premis Benar
Jika Premis A E I O
A benar - salah benar salah
E benar salah - salah benar
I benar tidak pasti salah - tidak pasti
O benar salah tidak pasti tidak pasti -
Dalam konteks tabel di atas, perlu dijelaskan ada tiga pengecualian terhadap dua dalil di
atas. Pertama, dalil tidak berlaku pada proposisi A yang memiliki corak definisi, karena definiens
dan difiniendum memang dapat dibolak-balikkan. Dengan kata lain, proposisi corak defini luas
term subjek universal dan term predikatnya terdistribusi (universal). Berikut contoh proposisi
corak definisi.
Manusia adalah makhluk hidup yang berakal budi.
Duda adalah lelaki yang pernah beristri.
Kedua, dalil tidak berlaku pada proposisi A yang term subjek dan term predikatnya
memang merujuk pada satu hal tertentu. Dalam konteks itu, luas term predikatnya adalah
singular. Misalnya:
2
Penjelasan terkait dengan luas term subjek telah diberikan pada 2.1. Luas dan Sifat Term. Kuantitas sebuah
proposisi ditentukan oleh luas term subjeknya, bukan luas term predikatnya.
Athaya adalah putra sulung Tuan Hadinata.
Sungai ini adalah sungai terpanjang di Indonesia.
Ketiga, dalil tidak berlaku pada proposisi E yang term subjek dan term predikatnya
memang merujuk pada satu hal tertentu. Dalam konteks itu, luas term predikatnya adalah
singular.
Bengkulu bukan kota terbesar di Indonesia.
Gedung ini adalah gedung tertinggi di lingkungan kampus UI Depok.
a. Konversi
Konversi adalah jenis penalaran langsung eduksi yang dilakukan dengan cara menukarkan posisi
tem subjek dengan term predikat proposisi tanpa mengubah kualitasnya. Jadi, peralihan terjadi
dari tipe “S-P” ke tipe “P-S”. Agar penalaran eduksi jenis ini tepat atau kesimpulan mempunyai
makna yang sama dengan premisnya, perlu diperhatikan dalil pokok konversi, yaitu: “Luas term
subjek dan predikat yang dipertukarkan harus sama besar”. Oleh karena itu, hanya dua
proposisi yang secara sempurna dapat dikonversikan, yaitu proposisi E dan proposisi I. Pada
proposisi E luas term subjek dan predikat sama-sama universal. Pada proposisi I luas term subjek
predikat sama-sama partikular. Artinya, apabila term subjek dan term predikatnya dipertukarkan;
maka tetap akan semakna. Perhatikan contoh berikut.
Premis: Semua gajah bukan kijang. (proposisi E)
Kesimpulan: Semua kijang bukan gajah. (proposisi E)
Premis: Beberapa mahasiswa UI adalah pemain biola. (proposisi I)
Kesimpulan: Beberapa pemain biola adalah mahasiswa UI. (proposisi I)
Konversi sempurna ini tidak bisa dilakukan terhadap proposisi A. Hal ini dikarenakan
dalam proposisi A luas term subjeknya universal, sedangkan luas term predikatnya partikular
(tidak terdistribusi). Oleh sebab itu, jika dikonvesikan secara sempurna maknanya berbeda.
Perhatikan contoh berikut.
Premis: Semua berlian adalah benda berharga. (Proposisi A)
Kesimpulan : Semua benda berharga adalah berlian. (Proposisi I)
Kita lihat kesimpulan yang dihasilkan tidak tepat. Oleh karena itu, konversi yang tepat
terhadap proposisi A mensyaratkan pembatasan term predikat dalam kesimpulan. Dengan kata
lain, dijadikan partikular atau secara teknis dijadikan proposisi I. Konversi atas proposisi A
disebut sebagai konversi terbatas. Berikut contoh konvesi yang tepat terhadap proposisi A:
Premis : Semua berlian adalah benda berharga. (Proposisi A)
Kesimpulan : Sebagian benda berharga adalah berlian. (Proposisi I)
Proposisi O tidak dapat dikonversikan sama sekali. Hal ini dikarenakan luas term subjek
dan luas term predikat pada proposisi O berbeda besarnya. Hasil kesimpulan sama sekali tidak
semakna dengan premisnya dan selalu keliru; bahkan kalaupun diubah menjadi proposisi E.
Perhatikan contoh berikut:
Misalnya:
Premis : Sebagian binantang bukan kucing. (Proposisi O)
Kesimpulan : Sebagian kucing bukan binatang. (Proposisi O)
Premis : Sebagian mahasiswa UI bukan orang yang berasal dari Solo.
(Proposisi O)
Kesimpulan : Semua orang yang berasal dari Solo bukan mahasiwa UI.
(Proposisi E)
Secara umum, konversi terhadap proposisi dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel Konversi Proposisi
Jenis Proposisi Awal (Premis) Konversi (Kesimpulan)
Proposisi
A Semua S adalah P Sebagian P adalah S
(konversi terbatas)
E Semua S bukan P Semua P bukan S
(konversi sempurna)
I Sebagian S adalah P Sebagian P adalah S
(konversi sempurna)
O Sebagian S bukan P Tidak dapat dikonversikan
b. Obversi
Obversi adalah penalaran langsung eduksi yang mengungkapkan kembali satu proposisi ke
proposisi lain yang semakna dengan mengubah kualitas proposisi awal (premis). Jadi, kita
beralih dari proposisi “tipe S-P menjadi S-nonP” atau “S-nonP menjadi SP”. Jika pada konversi
ada perubahan pada kuantitas tanpa perubahan kualitas, maka pada obversi ada perubahan pada
kualitas tanpa perubahan kuantitas. Untuk melakukan obversi terhadap suatu proposisi, kita
harus melakukan dua hal, yaitu
(1) mengubah kualitas (bukan kuantitas) proposisi awal;
(2) menegasikan predikat. Obversi sebetulnya berpijak pada prinsip negasi ganda, di mana
“A” ekuivalen dengan negasi dari negasi “A”.3
Obversi dapat dilakukan pada semua jenis proposisi. Oleh sebab itu ada empat jenis
obversi sebagai berikut.
1. Obversi Proposisi A menjadi Proposisi E
Premis : Semua buaya adalah binatang buas. (Proposisi A)
Kesimpulan: Semua buaya bukan non-binatang buas. (Proposisi E)
2. Obversi Proposisi E menjadi Proposisi A
Premis : Semua mahasiswa UI bukan orang buta huruf. (Proposisi E)
Kesimpulan: Semua mahasiswa UI adalah nonorang buta huruf. (Proposisi A)
3. Obversi Proposisi I menjadi Proposisi O
Premis : Sebagian orang kaya adalah pengusaha yang andal. (Proposisi I)
Kesimpulan: Sebagian orang kaya bukan nonpengusaha yang andal. (Proposisi O)
4. Obveresi Proposisi O menjadi Proposisi I
Premis : Sebagian karyawan bukan perokok. (Proposisi O)
Kesimpulan : Sebagian karyawan adalah non-perokok. (Proposisi I)
Secara umum, obversi terhadap proposisi dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel Obversi Proposisi
Jenis Proposisi Proposisi Awal (Premis) Konversi (Kesimpulan)
A Semua S adalah P Semua S bukan non-P (Proposisi E)
E Semua S bukan P Semua S adalah non-P (Proposisi A)
I Sebagian S adalah P Sebagian S bukan non-P (Proposisi O)
O Sebagian S bukan P Sebagian S bukan non-P
3
Bentuk formalnya adalah A ≡ ~(~A)
c. Kontraposisi
Kontraposisi adalah penalaran langsung eduksi yang mengungkapkan kembali suatu proposisi ke
proposisi lain yang semakna dengan cara menukar posisi term subjek dengan term predikat dan
menegasikan keduanya. Dengan kata lain, kita beralih dari tipe proposisi “S-P” ke tipe proposisi
“nonP-nonS”. Cara melakukan kontraposisi adalah menggunakan konversi dan obversi yang
telah dijelaskan di atas. Dalam konteks kontraposisi, langkah-langkahnya sebagai berikut:
(1) melakukan obversi dari proposisi awal;
(2) melakukan konversi; dan
(3) melakukan obeversi.4
Seperti konversi, kontraposisi tidak dapat diterapkan pada semua jenis proposisi. Dalam
konteks ini, hanya proposisi A dan proposisi O yang dapat dilakukan prosedur kontraposisi
langsung. Sementara itu, proposisi E harus diubah menjadi O. Perhatikan contoh di bawah ini.
Premis : Semua intan adalah batu mulia. (Proposisi A)
Obversi : Semua intan bukan non-batu mulia. (Langkah 1)
Konversi : Semua non-batu mulia bukan intan. (Langkah 2)
Obversi : Semua nonbatu mulia adalah nonintan. (Langkah 3 dan Kesimpulan)
Premis: Sebagian kucing bukan hewan jinak. (Proposisi O)
Obversi: Sebagian kucing adalah non-hewan jinak. (Langkah 1)
Konversi: Sebagian non-hewan jinak adalah kucing. (Langkah 2)
Obversi: Sebagian non-hewan jinak bukan non-kucing. (Langkah 3 dan Kesimpulan)
Premis: Semua tembaga bukan benda gas. (Proposisi E)
Obversi: Semua tembaga adalah non-benda gas. (Langkah 1)
Konversi: Sebagian non-benda gas adalah tembaga. (Langkah 2)
Obversi: Sebagian non-benda gas bukan non-tembaga. (Langkah 3 dan Proposisi I)
Berdasarkan prosedur itu, sebenarnya kita dapat melakukan kontraposisi secara langsung
sebagai berikut.
Premis: Semua pahlwan adalah orang pemberani.
Kesimpulan: Semua non-orang pemberani adalah non-pahlawan.
Premis: Sebagian pejabat bukan koruptor
4
Prosedur seperti membuat kontraposisi dikenal pula sebagai obversi dari obversi yang telah dikonversi’.
Kesimpulan : Sebagian non-koruptor bukan non-pejabat.
Secara umum, kontraposisi terhadap proposisi dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel Kontraposisi Proposisi
Jenis Proposisi Proposisi Awal (Premis) Kontraposisi (Kesimpulan)
A Semua S adalah P Semua non-P adalah non-S
E Semua S bukan P Sebagian non-P adalah non-S
I Sebagian S adalah P Tidak bisa dikontraposisikan
O Sebagian S bukan P Sebagaian non-P bukan non-S
d. Inversi
Inversi adalah penalaran langsung eduksi yang mengungkapkan kembali suatu proposisi ke
proposisi lain yang semakna dengan menegasikan kedua term subjek dan term predikat tanpa
mengubah posisinya. Dengan kata lain, kita beralih dari tipe proposisi “S-P” ke tipe proposisi
“nonS-nonP”. Untuk melakukan inversi, digunakan obvesi dan konversi secara bergantian
sehingga mendapatkan proposisi yang dimaksud (Mundiri, 2015). Dalam konteks ini, hanya
proposisi A dan E yang bisa dilakukan inversi. Pedoman yang perlu diperhatikan terkait dengan
dua proposisi itu sebagai berikut.
1. Jika premisnya adalah proposisi A, maka proposisi yang dihasilkan adalah proposisi I. Jika
premisnya adalah proposisi E, maka proposisi yang dihasilkan adalah proposisi O.
2. Jika premisnya adalah proposisi A, maka prosedur inversi harus dimulai dengan obversi.
Jika premisnya adalah proposisi E, maka prosedur inversi harus dimulai dengan konversi.
Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh berikut.
Proposisi A
Premis : Semua perak adalah logam.
Obversi : Semua perak bukan non-logam.
Konversi: Semua yang non-logam bukan perak.
Obversi : Semua yang non-logam adalah non-perak.
Konversi: Sebagian yang non-perak adalah non-logam. (Kesimpulan)
Proposisi E
Premis : Semua ayam bukan amfibi.
Konversi : Semua amfibi bukan ayam.
Obversi : Semua amfibi adalah non-ayam.
Konversi : Sebagian yang non-ayam adalah amfibi.
Obversi :Sebagian yang non-ayam bukan non-amfibi. (Kesimpulan)
Berdasarkan prosedur itu, sebenarnya kita dapat melakukan inversi secara langsung
sebagai berikut.
Premis : Semua mahasiswa UI adalah orang yang rajin belajar.
Kesimpulan : Sebagian yang non-mahasiswa UI adalah non-orang yang rajin belajar.
Premis : Semua sapi bukan hewan karnivora.
Kesimpulan: Sebagian yang non-sapi bukan non-hewan karnivora.
Ada catatan khusus terkait inversi ini, yaitu inversi bisa dilakukan secara langsung pada
proposisi A yang mengandung term subjek singular dan term predikat singular. Hal yang sama
juga berlaku pada proposisi A yang bercorak definisi. Perhatikan contoh berikut:
Premis : Ir. Soekarno adalah Presiden RI yang pertama.
Kesimpulan : Non-Soekarno adalah Non-Presiden RI yang pertama.
Premis : Manusia adalah makhluk hidup yang berakal budi.
Kesimpulan : Non-manusia adalah non-makhluk hidup yang berakal budi.
Secara umum, kontraposisi terhadap proposisi dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel Inversi Proposisi
Jenis Proposisi Proposisi Awal (Premis) Inversi (Kesimpulan)
A Semua S adalah P Sebagian non-S adalah non-P
E Semua S bukan P Sebagian non-S bukan non-P
I Sebagian S adalah P Tidak bisa diinversikan
O Sebagian S bukan P Tidak bisa diinversikan
Dalam konteks silogisme kategoris di atas, jika kita mendapatkan unsur-unsur silogisme
berdasarkan termnya adalah sebagai berikut.
1. Term yang menjadi subjek (S) kesimpulan yang disebut term minor (orang bahagia).
2. Term yang menjadi predikat (P) kesimpulan yang disebut term mayor (orang Indonesia).
3. Term yang tidak terdapat pada kesimpulan, tetapi termuat dalam dua premis awal (orang
baik) disebut terminus medius atau term penghubung yang disingkat dengan (M).
Term mayor dan term minor dari sebuah silogisme kategoris selalu terkandung dalam salah satu
dari kedua premis silogisme tersebut. Oleh karena itu, ketentuannya sebagai berikut.
1. Premis yang memuat term mayor disebut premis mayor. Proposisi pertama pada baris
pertama.
2. Premis yang memuat term minor disebut premis minor. Proposisi kedua pada baris kedua
3. Kesimpulan atau konklusi diturunkan dengan memperhatikan hubungan antara premis mayor
dan premis minor. Proposisi ketiga pada baris ketiga.
5
Perbedaan logika formal dengan logika material dibahas pada Subbab 1.1 Logika Formal dan Material.
Contoh di atas dapat dilihat sebagai berikut.
Premis Mayor : Semua orang baik (term M) adalah orang bahagia. (term P)
Premis Minor : Beberapa orang Indonesia (term S) adalaah orang baik. (term M)
Kesimpulan : Beberapa orang Indonesia (term S) adalah orang bahagia. (term P)
Dalam konteks ini, pada premis mayor “orang yang terhormat” berlaku (diafirmasi) bagi
“semua TNI”, sedangkan pada premis minor “Badrun” adalah anggota dari “TNI”, maka
otomatis “orang terhormat” berlaku (diafirmasi) pula bagi “Badrun” secara singular.
Dalam konteks ini, pada premis mayor “orang yang jujur ” tidak berlaku (diingkari atau
dinegasi) bagi “semua koruptor”, sedang pada premis minor “sebagian pejabat” adalah
anggota dari “koruptor”, maka otomatis “orang yang jujur” tidak berlaku (diingkari atau
dinegasi) pula bagi “pejabat” secara partikular.
b. Delapan Dalil Silogisme Kategoris
Dalam silogisme katagoris terdapat delapan dalil yang terdiri atas dua bagian, yaitu bagian
pertama terkait dengan term dan bagian kedua terkait dengan proposisi. Untuk memahami
penjelasan terkait dengan delapan dalil silogisme kategoris, kita perlu memahami penggunaan
simbol-simbol berikut.
Simbol Keterangan
S Subjek/term minor
P Predikat/term mayor
M Term pengubung (terminus medius)
U Universal
P Partikular
+ Afirmatif
- Negatif
1) Silogisme harus terdiri tiga tiga term, yaitu term subjek, term predikat, dan term
penghubung.
Apabila lebih atau kurang dari tiga term, maka tidak bisa ditarik kesimpulan. Contohnya
sebagai berikut.
Semua tanaman (1) adalah makhluk hidup (2).
Semua batu (3) adalah mineral (4).
Jadi,...(?) (Kesimpulan tidak dapat ditarik karena term lebih dari tiga)
Semua kerbau (1) adalah hewan mamalia (2).
Beberapa hewan mamalia (2) adalah kerbau (1).
Jadi,...(?) (Kesimpulan tidak dapat ditarik karena term kurang dari tiga)
2) Term subjek dan/atau term perdikat tidak boleh menjadi universal dalam
kesimpulan jika di dalam premis hanya berluas pertikular.
Berikut contoh silogisme kategoris yang tidak tepat karena melanggar dalil ini.
uM + pP Semua kambing adalah hewan herbivora
uS − uM Semua singa bukan kambing
uS − uP Jadi, semua singa bukan hewan herbivora
Dari silogisme kategoris di atas terlihat bahwa luas term predikat sebagai term mayor
(hewan herbivora) dalam kesimpulan (universal) lebih luas daripada luas term
tersebut dalam premis mayor (partikular). Kesalahan jenis ini disebut dengan istilah
illicit mayor.
uM − uP Burung burung bukan hewan mamalia.
uM + pS Semua burung adalah hewan berkaki dua.
uS − uP Semua hewan berkaki dua bukan mamalia.
Dari silogisme kategoris di atas terlihat bahwa luas term subjek sebagai term minor
(hewan berkaki dua) dalam kesimpulan (universal) lebih luas daripada luas term
tersebut dalam premis minor (partikular). Kesalahan jenis ini disebut dengan istilah
illicit minor.
3) Term penghubung (term M) tidak boleh muncul dalam kesimpulan.
Berikut contoh silogisme kategoris yang tidak tepat karena melanggar dalil ini.
M + P Semua pelajar adalah orang yang giat.
M + S Semua pelajar adalah orang yang cerdas.
M + S Jadi, semua pelajar adalah orang giat.
Dalam silogisme di atas term M berfungsi sebagai pembanding, melainkan menjadi
salah satu bagian dari kesimpulan. Dengan demikian, kesimpulan yang terjadi
bukanlah merupakan putusan baru.
4) Salah term penghubung (term M) setidaknya harus terdistribusi (berluas universal)
di dalam premis mayor dan/atau premis minor. Berikut contoh silogisme kategoris
yang melanggar dalil ini:
uP + pM Semua burung adalah hewan yang bersayap.
uS + pM Semua beo adalah hewan yang bersayap.
uS + pP Jadi, semua beo adalah burung.
Kesalahan silogisme kategoris di atas dikarenkan luas term yang berfungsi sebagai
term penghubung (term M), baik di premis mayor ataupun premis minor adalah
partikular. Luasnya partikular dikarenakan keduanya digunakan sebagai predikat pada
proposisi afirmatif pada premis mayor dan premis minor. Dengan demikian, term
penghubung (term M) tidak terdistribusi. Oleh karena itu, masing-masing term
penghubung (term M) dapat merujuk pada anggota yang berbeda. Kesimpulan
“Semua beo adalah burung” adalah benar secara material, tetapi secara formal
kesimpulan itu tidak sahih. Pelanggaran dalil semacam ini disebut undistributed
middle term.
5) Jika kedua premis afirmatif, maka kesimpulan harus berkualitas afirmatif.
Berikut contohnya:
M + P Semua mamalia adalah hewan menyusui.
S + M Beberapa kuda adalah mamalia.
S + P Jadi, beberapa kuda adalah hewan menyusui.
(Kesimpulan tidak boleh: Beberapa kuda bukan hewan menyusui.)
6) Kedua premis tidak boleh berkualitas negatif.
Premis mayor dan premis minor yang keduanya berkualitas negatif tidak dapat
melahirkan kesimpulan yang valid. Hal ini dikarenakan tidak adanya mata rantai yang
bisa menghubungkan kedua premis tersebut. Contohnya sebagai berikut.
M P Semua ayam bukan kerbau.
S M Semua bebek bukan ayam.
S P Jadi, semua bebek bukan ayam. (Kesimpulan tidak valid)
7) Kedua premis tidak boleh berkuantitas partikular.
Premis mayor dan premis minor yang berkuantitas partikular tidak dapat melahirkan
kesimpulan yang valid.
pM + pP Beberapa politikus adalah pejabat.
pS + pM Beberapa orang baik adalah politikus.
pS + pP Jadi, beberapa orang baik adalah politikus. (Kesimpulan tidak valid)
8) Dalil ke delapan dibagi menjadi dua bagian, yaitu
a. Kalau salah satu premis negatif di dalam siologisme kategoris, maka
kesimpulan harus negatif. Contohnya:
P M Semua perokok bukan orang bebas nikotin.
S + M Tono adalah perokok.
S P Jadi, Tono bukan orang bebas nikotin
(Kesimpulan tidak boleh: Tono adalah orang bebas nikotin.)
b. Kalau salah satu premis partikular di dalam siologisme kategoris,
kesimpulan harus partikular. Contohnya sebagai berikut.
M + P Semua mahasiswa adalah orang baik.
pS + M Sebagian manusia adalah mahasiswa.
pS + P Jadi, sebagian manusia adalah orang baik.
(Kesimpulan tidak boleh: semua manusia adalah orang baik)
c . Silogisme Disjungtif
Silogisme disjungtif adalah silogisme yang premis mayornya berupa proposisi disjungtif yang
menawarkan dua kemungkinan. Dalam konteks itu, premis minornya bersifat menegasi atau
mengafirmasi salah satu kemungkinan yang ditawarkan, sedangkan kesimpulan mengandung
kemungkinan yang lain. Dengan begitu, silogisme disjungtif memiliki empat bentuk sebagai
berikut.
Tabel Empat Bentuk Silogisme Disjungtif
1. P atau Q 2. P atau Q
Ternyata bukan P Ternyata bukan Q
Jadi, Q Jadi, P
3. P atau Q 4. P atau Q
Ternyata P Ternyata Q
Jadi, bukan Q Jadi, bukan P
Silogisme disjungtif terdiri atas dua jenis, yaitu silogisme disjungtif dalam arti luas dan
silogisme disjungtif dalam arti sempit. Silogisme disjungtif dalam arti luas mempunyai
kemungkinan yang tidak bersifat kontradiktif. Contohnya sebagai berikut.
Tina memakai kalung atau anting.
Ternyata Tina tidak memakai kalung.
Jadi, Tina memakai anting.
Silogisme disjungtif dalam arti luas hanya dapat sahih apabila proses penyimpulan
bergerak dari penegasian terhadap satu kemungkinan, kemudian pengafirmasian dilakukan
terhadap kemungkinan yang lain. Hal ini dilakukan karena dalam silogisme disjungtif dalam arti
luas kemungkinannya tidak bersifat kontradiktif sehingga mengakibatkan ada kemungkinan
ketiga, yaitu dua kemungkinan terjadi sekaligus. Dalam konteks contoh di atas, Tina bisa
memakai kalung dan anting bersamaan. Oleh karena itu, hanya ada dua bentuk yang sahih dalam
silogisme disjungtif, yaitu sebagai berikut:
Tabel Bentuk Sahih Silogisme Disjungtif dalam Arti Luas
1. P atau Q 2. P atau Q
Ternyata bukan P Ternyata bukan Q
Jadi, Q Jadi, P
Selain itu, silogisme disjungtif dalam arti sempit mempunyai kemungkinan yang bersifat
kontradiktif, yaitu silogisme disjungtif dalam arti luas dan silogisme dalam arti sempit.
Contohnya sebagai berikut.
Hasan berada di dalam atau di luar ruangan.
Ternyata Hasan tidak berada di dalam.
Jadi, Hasan berada di luar ruangan.
Dalam konteks ini, kedua kemungkinan terhubung sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi
kemungkinan ketiga. Oleh karena itu, keempat bentuk silogisme disjungtifnya bersifat sahih.
8) Negasi Anteseden
Kekeliruan berpikir formal ini terjadi dalam silogisme hipotesis yang menegasi anteseden
dalam pembuatan kesimpulan. Kesimpulan itu diturunkan dari pernyataan yang hubungan
antara anteseden dan konsekuennya tidak niscaya, tetapi diperlakukan seolah-olah
hubungan itu suatu keniscayaan. Contoh:
Jika guru pandai, maka murid pandai.
Ternyata guru tidak pandai.
Jadi, murid tidak pandai.
Bentuk silogisme hipotesis ini keliru dikarenakan antesenden yang tidak terjadi (Ternyata
guru tidak pandai) tidak berarti konsekuen (murid pandai) tidak terjadi. Artinya, murid
bisa saja pandai, kendati guru tidak pandai. Kekeliruan berpikir formal negasi anteseden
merupakan bentuk tidak sahih yang menyerupai modus tollens.7
9) Kekeliruan Disjungsi
Kekeliruan berpikir formal ini terjadi dalam silogisme disjungsi yang mengafirmasi salah
satu pilihan kemudian menyimpulkan bahwa pilihan lainnya tidak terjadi. Contoh:
6
Penjelasan terkait dengan modus ponens bisa dilihat pada pembahasan silogisme hipotesis.
7
Penjelasan terkait dengan modus tollens bisa dilihat pada pembahasan silogisme hipotesis.
Ani memakai kalung atau gelang.
Ternyata Ani memakai kalung.
Jadi, Ani tidak memakai gelang.
Bentuk silogisme disjungsi ini keliru dikarenakan ada kemungkinan ketiga, yaitu dua
pilihan terjadi bersamaan (Ani memakai kalung dan gelang). Dalam konteks ini,
silogisme disjungsi yang sahih adalah menegasikan salah satu pilihan, kemudian
menyimpulan pilihan lainnya terjadi. Contoh:
Tono memakai sepatu atau sandal.
Ternyata Tono tidak memakai sepatu.
Jadi, Tono memamakai sandal.
2) Argumentum ad populum
Kekeliruan berpikir nonformal relevansi ini terjadi apabila argumentasi yang diajukan
didasarkan kepada orang banyak. Dalam bahasa Latin, populus berarti orang banyak,
rakyat atau massa. Dalam konteks ini, seolah-olah justifikasi atas argumentasi tidak
diperlukan dikarenakan dijaminkan kepada kepercayaan orang banyak. Dalam sejarah
ilmu pengetahuan, kita bisa melihat contohnya ketika pertama kali dicetuskan bahwa
heliosentris, bukan geosentris. Penolakan atas heliosentris didasarkan hanya karena orang
banyak pada masa itu percaya bahwa bumi adalah pusat dari alam semesta. Contoh:
“Semua orang sudah tahu bahwa kamu adalah pencuri. Oleh karena itu, pastilah
pencuri dalam kejadian ini.”
“Kamu salah. Coba lihat berapa banyak orang yang tidak sepakat denganmu!
Hampir 75% dari semua penduduk di daerah ini.”
3) Argumentum ad hominem
Kekeliruan berpikir nonformal relevansi ini terjadi apabila dalam sebuah perbincangan
yang argumentatif yang dinilai bukan kesahihan bentuk atau kebenaran konten,
melainkan alasan-alasan yang berhubungan dengan sifat pribadi dari orang yang
mengajukan argumentasi tersebut. Artinya, apa yang dinilai adalah orangnya, bukan
argumentasinya. Berikut contohnya:
“Tuduhannya terkait dengan korupsi yang terjadi pastilah salah. Dia bukan orang
yang sopan dalam berbicara. Apa itu bagus buat pendidikan anak-anak yang
menyaksikan hal itu?”
“Tidak mungkin dia melakukan korupsi. Dia selalu baik kepada saya dan teman-
teman yang lainnya. Tutur katanya halus dan sikapnya pun santun kepada yang lebih
tua. Pastilah dia dijebak oleh orang yang tidak bertanggung jawab.”
4) Argumentum ad auctoritatis
Kekeliruan berpikir nonformal relevansi ini cukup mirip dengan argumentum ad
hominem, tetapi lebih khusus pada nilai suatu argumentasi didasarkan oleh keahlian atau
kewibawaan seseorang. Oleh karena itu, argumentum ad auctoritatis terjadi apabila suatu
argumentasi dinyatakan sahih atau benar hanya karena dikemukakan atau mengutip dari
seseorang yang sudah terkenal di bidang keahliannya. Contoh:
“Internet berbahaya bagi generasi muda. Hal ini disampaikan oleh Prof. Badu
dan saya mendengarnya sendiri. Apa yang dikatakan seorang profesor pastilah
benar karena dia ahli. Jadi, internet memang berbahaya bagi generasi muda.”
Kamu pasti salah. Kamu hanya mahasiswa. Saya adalah dosen. Oleh karena itu,
saya pasti lebih tahu daripada kamu.
5) Argumentum ad baculum
Dalam bahasa Latin baculum berarti tongkat atau pentungan. Dalam konteks ini,
argumentum ad baculum bisa diartikan argumentasi yang didasarkan pada ancaman.
Dalam kehidupan sehari-hari biasanya argumentum ad baculum muncul apabila
seseorang menolak pendapat seseorang dengan ancaman bukan dengan pembuktian yang
didasarkan tidak sahih atau salahnya sebuah argumentasi. Contoh:
“Kalau kamu berpendapat seperti itu, kamu harus memikirkan nilai-nilaimu
semester ini yang sangat bergantung pada saya. Oleh karena itu, saya ingin kamu
mencabut pendapat tersebut.”
6) Argumentum ad ignorantiam
Kekeliruan berpikir nonformal relevansi ini terjadi apabila menyimpulkan bahwa suatu
penyataan tertentu adalah benar dikarenakan penyangkalan terhadapnya tidak dapat
dibuktikan atau sebaliknya. Contohnya, ketika seseorang menyatakan “hantu itu ada”
dengan dasar pernyataan “hantu itu tidak ada” tidak bisa dibuktikan. Oleh karena itu,
argumentum ad ignorantiam dinyatakan sebagai berargumentasi dengan dasar
ketidaktahuan. Dalam bentuk yang lebih umum, argumentum ad ignorantiam bisa berarti
ketika seseorang membenarkan sebuah keputusan yang salah hanya dengan alasan ia
tidak tahu. Contoh:
“Saya menyuruh dia sebagai rekanan meskipun dia belum memenuhi syarat
karena saya tidak tahu bahwa dia tak memenuhi syarat saat itu. Jadi, saya tak bisa
dipersalahkan dalam kasus ini. Saya tidak tahu.”
7) Ignoratio elenchi
Kekeliruan berpikir nonformal relevansi ini merujuk pada sebuah loncatan sembarangan
dari suatu premis ke kesimpulan yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan premis
tersebut. Oleh karena itu, ignoratio elenchi dapat disebut ‘non sequitur’ dalam pengertian
kesimpulan tidak mengikuti premis. Dengan kata lain, hubungan antara premis dan
kesimpulan bersifat semu. Dalam konteks ini, ignoratio elenchi terjadi dalam kehidupan
sehari-hari dikarenakan oleh prasangka dan perasaan subjektif. Contoh:
“Andi lahir di bawah bintang Libra. Oleh karena itu, dia cocok jadi hakim.”
“Orang itu ramah pada orang-orang. Pasti dia tidak pernah korupsi.”
“Saya ditabrak ojek sore ini. Pasti karena saya melihat kucing hitam melintas
tadi pagi.”
“Rumah di ujung jalan itu sering kemalingan karena warna catnya hijau.”
Orang tua lebih tahu dan lebih pintar dari anak-anaknya karena anak-anak itu
dilahirkan orang tuanya.”
8) Petitio Principii
Kekeliruan berpikir nonformal relevansi ini terjadi karena menjadikan kesimpulan
sebagai premis dan sebaliknya. Dengan ucap lain, premis yang digunakan secara
substansial tidak berbeda dengan keseimpulan. Apabila, petitio principii berbentuk
lingkaran seperti A dibuktikan B; B dibuktikan C; dan C dibuktikan oleh A disebut
circulus vitiosus. Dalam konteks yang agak berbeda, petitio principii juga dapat muncul
dalam argumentasi yang menggunakan premis yang masih harus dibuktikan
kebenarannya. Contoh:
“Petugas hukum dapat disogok karena penghasilannya rendah. Penghasilan
hakim rendah karena ekonomi buruk. Ekonomi buruk karena hukum tidak
berfungsi. Hukum tidak berfungsi karena petugas hukum dapat disogok.”
“Yafiz adalah orang yang jujur. Itu terbukti dari ucapan-ucapannya sendiri
kemarin.”
2) Kekeliruan Amfiboli
Kekeliruan berpikir nonformal bahasa ini terjadi karena argumentasi yang dikemukakan
menggunakan susunan kata-kata yang bermakna ganda jika dilihat dari tata bahasa. Artinya,
kekeliruan amfiboli terjadi apabila makna tidak jelas dikarenakan letak sebuah kata dalam
konteks kalimat. Akibatnya, timbul lebih dari satu penafsiran mengenai makna mana yang
dirujuk sebenarnya. Contoh:
Anak ibu yang cantik itu berkuliah di jurusan Ilmu Filsafat
Kalimat di atas mengandung ambiguitas atau bermakna ganda. Hal ini terjadi karena keterangan
“yang cantik” ditujukan untuk siapa tidaklah jelas. Dalam konteks kalimat itu, bisa saja yang
berkuliah adalah sang anak atau ibunya.
3) Kekeliruan Aksentuasi
Kekeliruan berpikir nonformal bahasa ini terjadi dalam pengucapan kata-kata tertentu dalam
argumentasi sehingga menimbulkan makna yang berbeda pula. Ketidakwaspadaan dalam
penekanan ucapan dapat menimbulkan kekeliruan berpikir. Berikut contohnya:
Semua apel adalah buah.
Apel adalah upacara.
Jadi, beberapa upacara adalah buah.
4) Kekeliruan Metaforis
Kekeliruan berpikir nonformal bahasa ini terjadi dikarenakan suatu argumentasi menggunakan
makna kiasan yang disamakan dengan arti sebenarnya. Oleh karena itu, kekeliruan metaforis
terjadi akibat mencampuradukan makna kiasan dengan arti sebenarnya. Dalam konteks tertentu,
kekeliruan metaforis juga bisa terjadi karena menganalogikan dua permasalahan yang
kelihatannya mirip, tetapi sebenarnya berbeda secara mendasar. Contoh:
Kalau kita kehilangan pemimpin, kita seperti kehilangan kepala. Tanpa kepala
tubuh tidak berguna sama sekali. Oleh karena itu, kita juga tidak berguna tanpa
pemimpin.
Dalam diri manusia ada hati yang bisa membedakan kebaikan dan kejahatan. Oleh
karena itu, jika hatinya sakit, perlu untuk diobati. Organ hati sangat penting dijaga
kesehatannya.
BAB 4
ETIKA
Seperti telah diuraikan pada Bab 2, Etika merupakan bagian dari filsafat, khususnya pada
wilayah Aksiologi. Etika mengajak orang untuk mempertimbangkan dan memilih perilakunya
sesuai dengan prinsip (putusan) moral atau prinsip kebajikan atau prinsip kebaikan. Untuk itulah
orang diharapkan belajar dan memahami kaidah etika, seperti misalnya hati nurani, nilai moral,
kebebasan dan tanggung jawab, serta hak dan kewajiban. Kaidah etika tersebut dapat dijadikan
“petunjuk” bagi orang dalam bertindak baik dalam kehidupan keseharian maupun dunia
akademik. Khusus untuk bagian ini, akan diuraikan tentang beberapa istilah dalam kajian etika,
pengertian tentang etika, kaidah dalam etika, teori dalam etika, serta pentingnya etika dalam
dunia kehidupan manusia dan dunia akademik.
Contoh lain:
Dua orang sahabat mendapatkan sebuah proyek yang jumlah nominalnya cukup besar. Atas dasar
kesepakatan awal, pembagian keuntungan dibagi rata. Saat proyek telah usai, keduanya merasa
puas atas bagi hasil tersebut. Hal ini berarti, melalui “kehendak baik”, mereka telah melakukan
tindakan yang sesuai dengan hak moral tanpa merugikan satu dengan lainnya.
Hak umum adalah hak yang dimiliki setiap manusia bukan karena hubungan atau fungsi
tertentu, melainkan semata-mata karena ia manusia (human being). Hak ini dimiliki oleh semua
orang tanpa kecuali. Hak umum ini lazim dikenal sebagai human right atau “Hak Asasi
Manusia” (HAM). Sebagai contoh, hak mendapatkan hidup yang layak, hak mendapatkan
pendidikan yang baik, hak mendapatkan perlindungan dari ancaman perang. Dalam tingkat
internasional, ada Komisi Hak Asasi Manusia di bawah payung PBB, dikenal sebagai United
Nations on Human Right Council, salah satu tugasnya menangani perlindungan hak asasi
manusia bagi negara–negara anggota PBB. Di Indonesia ada beberapa lembaga yang menangani
kasus pelanggaran HAM, misalnya LBH (Lembaga Bantuan Hukum), Kepolisian, Komnas
HAM, Komnas Anak.
c. Hak Positif dan Hak Negatif
Hak Positif adalah setiap individu (dibaca saya) berhak atas tindakan orang lain untuk berbuat
sesuatu bagi saya (individu). Contoh, seorang anak kecil yang jatuh dari tangga kemudian
menangis. Ia berhak untuk diselamatkan dan orang lain akan membantu anak itu apabila ada
seseorang yang menyaksikan perisiwa itu. Semntara itu, hak negatif adalah hak yang dimiliki
seseorang karena kebebasannya dan orang lain tidak dapat menghalangi kebebasan itu. Misalnya,
hak untuk mendapatkan informasi atau hak untuk menulis di surat kabar. Seseorang (atau saya)
memiliki kebebasan untuk mendapatkan informasi dari berbagai sumber (media cetak, media
teknologi informasi) dan orang lain (atau instansi lain) tidak dapat mencegah ketika saya
mendapat sumber informasi tersebut.
Norma moral menyangkut perilaku atau tindakan seseorang, baik atau tidak dari sudut etis.
Norma moral dianggap sebagai norma tertinggi karena norma itu menilai norma-norma lain yang
menyertai tindakan seseorang. Sebagai contoh, seseorang menggunakan bahasa Indonesia
dengan baik dan benar, masyarakat menilai dari sisi norma bahasa itu sudah baik. Tetapi ketika
ia menggunakan bahasa Indonesia melalui ucapan-ucapannya menfitnah orang lain, masyarakat
akan menilai bahwa orang itu tidak etis, ia tidak memiliki kaidah norma moral.
1. Hedonisme
Hedonisme adalah pandangan klasik tentang ajaran moral yang dicetuskan pertama kali oleh
Epikuros (341-270 sM), seorang filsuf Yunani. Hedonisme berasal dari bahasa Yunani
hedonismos dan dari akar kata hedone yang artinya kesenangan (kenikmatan duniawi). Menurut
pandangan Epikuros, hedonisme merupakan kesenangan yag harus dicapai oleh manusia dalam
kehidupannya. Seseorang berhak mencari kesenangan atas dasar tujuan hidupnya. Oleh karena
itu, menurut Epikuros, tindakan manusia dalam mencari kesenangan dianggapnya sebagai sifat
yang hakiki (kodratiah) dari manusia. Namun dalam perkembangannya, hedonisme mendapat
banyak kritik, karena argumen hedonisme tidak didasari atas perilaku yang bertanggung jawab.
Seseorang memiliki kesenangan/kenikmatan sebaiknya memperhatikan ukuran atau norma yang
harus ditaatinya, baik norma yang berasal dari dirinya atau norma di sekitarnya. Memiliki
kesenangan (kenikmatan) itu baik. Akan tetapi, apakah setiap hari seorang mahasiswa
menghabiskan waktu sore hingga malam hari menonton film di bioskop itu baik? Belum tentu,
karena salah satu tugas mahasiswa adalah belajar, mengerjakan tugas di rumah. Apabila
waktunya dihabiskan hanya untuk menonton film, mahasiswa itu diangap tidak
bertanggungjawab terhadap tugas pekerjaan rumahnya atau belajar. Tugas pekerjaannya akan
terlantar hanya demi kesenangan menonton film saja. Dalam konteks sekarang, hedonisme
diartikan sebagai salah satu teori etika yang bertujuan mencari kenikmatan (kesenangan) atas
dasar tujuan hidup. Dasarnya adalah pertimbangan yang rasional dan tolok ukur norma yang
terkait dengan dirinya.
2. Eudemonisme
Eudemonisme adalah teori etika yang berasal dari filsuf Yunani, Aristoteles (384—322 SM). Ia
mengatakan bahwa setiap kegiatan manusia selalu memiliki tujuan yang dianggapnya baik.
Seringkali orang ingin mencari tujuan lain padahal ia sudah miliki tujuan. Menurut Aristoteles,
ada tujuan yang dianggapnya tertinggi, yaitu eudaimonia (kebahagiaan). Menurutnya,
kebahagiaan itu seharusnya ada pada setiap manusia. Seseorang mencapai tujuan akhir apabila
menjalankan tujuan hidupnya sesuai peran dan fungsinya dengan baik. Tujuan terakhir seorang
pianis (pemain piano) adalah bermain dengan baik pada pertunjukan musiknya. Tujuan terakhir
seorang mahasiswa adalah menyelesaikan studi dengan baik dan tepat waktu. Dengan kata lain,
eudemonisme adalah teori etika yang memiliki tujuan, yaitu kebahagian, disertai keutamaan
intelektual (berlandaskan rasional) dan keutamaan moral (pilihan dan pertimbangan dalam
melakukan tindakan yang dianggap baik).
3. Utilitarisme
Utilitarisme adalah teori etika normatif yang mendasarkan prinsip kegunaan (the principle of
utility) sebagai prinsip moral pada tindakan manusia. Yang dimaksud dengan prinsip kegunaan
adalah kegunaan yang dijadikan sebagai tolok ukur untuk menilai dan mengambil suatu
keputusan apakah tindakan itu secara moral dapat dibenarkan atau tidak. Menurut Jeremy
Bentham (1748—1832), seorang filsuf Inggris, dikatakan tindakan yang benar secara moral
adalah tindakan yang memiliki kegunaan tertentu. Tentunya, dalam pandangan utilitarisme, yang
harus dicatat adalah suatu tindakan dinilai berguna kalau akibat dari tindakan itu meliputi banyak
orang tanpa membeda-bedakan mereka. Semakin banyak orang mendapatkan kebahagiaan
(kesenangan) akibat tindakan moral tersebut, tindakan itu dianggap berguna. Bagi Bentham, hal
itu disebutnya sebagai the greatest good to the greatest number (Bertens, 2004: 248). Dari
semua tindakan yang kita pilih atau lakukan atau peraturan yang kita pegang, yang dapat
dibenarkan secara moral adalah tindakan atau peraturan yang dapat kita perhitungkan jika dapat
memajukan untuk kepentingan banyak orang, menguntungkan, dan paling membahagiakan
mereka. Sebaliknya, tindakan yang buruk adalah tindakan yang tidak menguntungkan, tidak
berfaedah, dan merugikan banyak orang.
Sebagai contoh, sebuah lembaga tertentu memiliki karyawan yang berjumlah seribu
(1000) orang. Pimpinan lembaga itu telah membagikan Kartu Jaminan Kesehatan (KJS) “Sehat
Pol” kepada seluruh karyawannya. KJS “Sehat Pol”diharapkan dapat dimanfaatkan oleh seluruh
karyawan (dari semua jenjang) untuk berobat ke Rumah Sakit “Cepat Sembuh”. Bapak BDX,
salah seorang karyawan yang bertugas di bagian kebersihan, merasa bahagia karena berkat KJS
itu ia mendapat perawatan intensif dari RS ‘Cepat Sembuh” ketika sakit. Begitu juga dengan
karyawan lainnya. Mereka menganggap bahwa KJS “Sehat Pol” sangat berguna karena dapat
dimanfaatkan oleh seluruh karywan yang membutuhkan. Contoh tersebut menunjukkan bahwa
tindakan pimpinan lembaga itu telah menunjukkan dan berdampak baik berupa keuntungan dan
kebahagiaan bagi seluruh karyawannya.
4. Deontologi
Secara harafiah, deontologi (dari bahasa Yunani) memiliki asal kata deon, yang artinya
kewajiban. Deontologi merupakan teori etika normatif yang berlandaskan pada kewajiban.
Artinya tindakan moral seseorang akan dinilai atas dasar bagaimana seharusya ia melakukan
tugas yang menjadi kewajibannya. Kewajiban seseorang harus dimaknai sebagai bagian dari
tugas dan aturan yang ia jalani. Sebagai seorang dosen di Universitas Indonesia, ia harus
mengajar (diartikan memiliki tugas) dan menaati tata tertib serta kode etik Dosen UI (diartikan
sebagai patuh aturan/norma). Perilaku dosen tersebut dianggap memiliki tindakan moral yang
dianggap baik.
Ada pandangan teori deontologi yang berasal dari Immanuel Kant (1724—1804) yang
berlandaskan pada prinsip imperatif kategoris dan prinsip imperatif hipotetis (Bertens, 2004:256-
258). Disebut imperatif kategoris apabila kewajiban moral mengandung perintah (imperatif)
yang mewajibkan begitu saja tanpa syarat. Sebagai contoh, Bapak Suka Suka bekerja di sebuah
bank “XYX” sebagai teller yang harus melayani nasabah untuk menarik atau menyimpan dana
di bank tersebut. Tindakan Bapak Suka Suka tersebut dianggap baik karena ia bekerja sesuai
kewajibannya.
Namun, bagaimana dengan imperatif hipotetis? Bagi Kant, imperatif hipotetis
mengarahkan seseorang dalam melakukan tindakan harus disertai syarat atau pertimbangan
tertentu. Lebih lanjut menurut Kant, “Apabila seseorang ingin mencapai tujuan, ia harus
menghendaki juga sarana-sarana untuk mencapai tujuan itu”. Jika seorang mahasiswa ingin lulus
dalam sebuah mata kuliah MPKT A, ia harus memiliki (semacam syarat dan sarana), misalnya
tekun belajar, hadir di kelas (minimal kehadiran 80%), membaca dan paham materi MPKT A.
Dengan kata lain, pandangan Kant termuat dalam pernyataan hipotetis, yaitu “Jika ………,
maka ….”. Dalam pandangan Kant, tindakan yang dianggap baik adalah tindakan moral yang
mewajibkan (memiliki imperatif kategoris) bukan oleh pertimbangan lain (hipotetis).
4.5 Pentingnya Etika dalam Dunia Kehidupan Manusia dan Dunia Akademik
Dalam kehidupan sekarang, manusia “dipaksa” serba cepat, serba bisa dalam melakukan
berbagai tindakan atau perilaku, berhadapan dengan kemajuan teknologi, dan banyak hal lainnya.
Apakah etika diperlukan dalam kehidupannya? Pertanyaan ini harus dijawab dengan berpikir
jernih. Sebagai manusia, ia akan hidup bersama orang lain, berhadapan dengan berbagi
persoalan dalam kehidupannya, berhadapan dengan situasi, dan kondisi yang kadang-kadang
tidak memuaskan dirinya. Hidup manusia bagaikan sebuah problem, selalu akan berhadapan
dengan masalah yang dapat diatasi atau tidak dapat diatasi dengan baik. Bahkan, dalam
kehidupan dunia akademik, akan berhadapan dengan berbagai persoalan, seperti kesempatan
mendapatkan hibah riset bagi dosen tidak selalu berhasil, kuliah tertentu yang membuat
mahasiswa menjadi “takut” karena mendengar dari seniornya bahwa “itu sulit lulusnya”.
Belajar etika untuk apa? Apakah ketika belajar etika langsung membuat seseorang
menjadi manusia yang baik? Belum tentu dan tidak selalu. Namun, belajar etika menyadarkan
kita bahwa dalam kehidupan ini, terutama di abad Globalisasi dan Milenium, diperlukan suatu
wawasan atau perspektif yang kritis dan bijaksana ketika berhadapan dengan berbagai persoalan
kehidupan baik dalam keseharian maupun akademik. Etika dapat menjadi sarana untuk
memperoleh orientasi kritis dan bijaksana ketika berhadapan dengan berbagai perilaku moralitas
manusia yang kadangkala membingungkan. Sebagai pemikiran kritis dan sistematis, etika ingin
mengarahkan suatu “ketrampilan” intelektual, yaitu ketrampilan untuk berargumentasi secara
rasional dan kritis. Lalu untuk apa orientasi kritis itu dibutuhkan? Orientasi kritis dibutuhkan
untuk mengambil sikap yang wajar dan bijak dalam suasana pluralisme moral yang merupakan
ciri khas zaman sekarang.
Ada beberapa alasan mengapa etika (termasuk etika terapan) dibutuhkan sampai
sekarang. Pertama, keragaman pandangan moral yang berasal dari pandangan hidup, latar
belakang budaya, kelompok, daerah, agama yang berbeda hidup berdampingan dalam suatu
masyarakat dan negara. Kedua, modernisasi dan kemajuan IPTEK telah membawa perubahan
besar dalam struktur masyarakat dan berakibat munculnya bertentangan dengan pandangan-
pandangan moral tradisional. Ketiga, munculnya berbagai ideologi yang menawarkan diri
sebagai penuntun hidup manusia dengan masing-masing ajaran/pandangannya.
Alasan–alasan tersebut dapat memicu manusia untuk memikirkan dan merenungkan
kembali tentang pentingnya etika dalam kehidupan manusia. Selama manusia berupaya mencari
jati dirinya, eksistensi dirinya, dan berada pada situasi kehidupan tertentu, manusia memerlukan
“kompas” moral, pegangan, dan orientasi kritis agar tidak terjebak, bingung, ikut-ikutan saja
dalam pluralisme moral lalu terlebur dalam kehidupan yang nyata. Peran etika menjadi penting
agar orang tidak mengalami krisis moral yang berkepanjangan. Etika dapat membangkitkan
kembali semangat hidup agar manusia menjadi baik dan bijaksana melalui eksistensi dan
profesinya.
Dalam kehidupan akademik atau kehidupan ilmiah, etika menjadi sangat penting. Pokok
perhatian etika tertuju pada problem dan proses kerja keilmuan, sehingga memunculkan studi
etika keilmuan. Etika Keilmuan menyoroti aspek bagaimana peran seorang mahasiswa, ilmuwan,
dosen, dan peneliti terhadap kegiatan yang sedang dilakukannya (belajar, membuat skripsi,
melakukan riset .dan sebagainya). Tanggung jawab mereka dipertaruhkan ketika berada dalam
proses kegiatan ilmiahnya, terutama dalam kejujuran ilmiah. Hasil tugas akhir (skripsi) atau
risetnya, misalnya, dikerjakan dengan kejujuran yang total atau duplikasi riset orang lain. Pokok
perhatian lain dalam etika keilmuan adalah masalah bebas nilai. Bebas nilai adalah suatu posisi
atau keadaan seorang ilmuwan (atau calon ilmuwan/mahasiswa) yang memiliki haknya berupa
kebebasan dalam melakukan penelitiannya. Mereka boleh meneliti apa saja asalkan sesuai
keinginannya, tujuan, dan terkait dengan bidang keilmuannya. Ketika mereka telah
menyelesaikan hasil riset itu, ia berada dalam posisi bebas nilai.
Kebalikan dari bebas nilai adalah tidak bebas nilai. Tidak bebas nilai dalam kegiatan
ilmiah (penelitian) adalah munculnya kritikan atau hambatan atau protes yang berasal dari luar
(norma agama, norma hukum, norma budaya) terhadap hasil penelitian seseorang. Norma
tersebut menjadi semacam “pagar” yang merintangi kebebasan seorang peneliti atas dasar dari
norma tertentu, misalnya norma agama atau norma sosial. Sebagai contoh, refleksi kritis akan
muncul terhadap persenjataan nuklir baru dimulai, setelah bom atom pertama kali diledakkan di
Hiroshima. Lihat saja bagaimana reaksi masyarakat dunia (komunitas internasioal) berusaha
mencegah dan mengecam keras program nuklir Korea Utara sejak negara itu melakukan uji
coba nuklir di awal tahun 2016. (www.bbc.com).
KESIMPULAN
Keutamaan karakter menjadi kecenderungan yang dimiliki seseorang dengan berbagai komponen
di dalamnya. Kekuatan karakter ini muncul dalam pikiran, perasaan, dan tindakan seseorang
yang kemudian dapat dikenali sebagai kekhasan orang tersebut. Hal ini dapat membantu
seseorang untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam lingkungan
pendidikan tinggi. Pendidikan karakter merupakan salah satu bentuk pembelajaran yang
dibutuhkan untuk menjawab kecenderungan perilaku negatif yang marak terjadi saat ini. Dengan
adanya pendidikan karakter, usaha untuk memperkuat karakter menjadi lebih memungkinkan
untuk diwujudkan. Pendidikan karakter di Indonesia dalam berbagai jenjang pendidikan telah
dimulai sejak zaman dulu. Di jenjang pendidikan tinggi, pendidikan karakter mengajarkan
mahasiswa mengidentifikasi tingkah laku yang tepat dalam menjalankan nilai tertentu ketika
berada dalam suasana akademik di tempat mereka belajar, terutama di Universitas Indonesia.
Untuk memperkuat landasan pembinaan karakter civitas akademika, Universitas
Indonesia telah menetapkan Sembilan Nilai Dasar Universitas Indonesia, yaitu kejujuran,
keadilan, keterpercayaan, kemartabatan dan/atau penghormatan, tanggungjawab dan
akuntabilitas, kebersamaan, keterbukaan, kebebasan akademik, dan otonomi keilmuan, serta
kepatuhan pada aturan, prosedur dan panduan UI serta panduan lainnya.
Di sisi lain, mahasiswa juga dibekali dengan belajar berfilsafat, berkenalan dengan
melihat adanya 3 wilayah besar pada studi filsafat, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan, tiga wilayah tersebut menjadi dasar untuk
pengembangan beragam ilmu pengetahuan yang telah ada. Selain itu, mahasiswa juga belajar
berpikir kritis, logis, sistematis, integral melalui dialog dengan dosen, mahasiswa lainnya serta
belajar beragumen dengan tepat dan benar. Logika mengarahkan dan membantu mahasiswa
untuk memiliki penalaran dengan benar, mengungkapkan pernyataan dengan tepat, sesuai
kaidah atau norma bahasa yang baik.
Belajar etika membuat mahasiswa sadar bahwa tindakan yang dilakukan selama ini
haruslah didasari dengan tindakan moral yang baik dan bertanggung jawab atas apa yang telah
diperbuatnya. Selain itu, refleksi moralitas atas perilaku atau tindakan manusia akan tetap ada,
selama manusia masih berinteraksi dengan orang lain, masyarakat, dan berhadapan dengan
kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang tidak dapat dibendung lagi. Saat ini kehidupan
manusia dan dunia akademik membutuhkan etika ketika berada dalam problem yang mungkin
sulit dipecahkan. Pemikiran mengenai etika terus berlanjut dan memiliki banyak percabangan
hingga saat ini. Nyaris di seluruh profesi dan disiplin keilmuan memiliki dimensi etika, misalnya
saja Etika Kedokteran, Etika Jurnalistik, juga Etika Dunia Virtual (Cyberethics), Etika
Lingkungan, Etika kepolisian. Percabangan pemikiran etika itu terjadi karena kemajuan
teknologi dan relasi antara manusia dan makhluk hidup lain semakin kompleks. Satu hal yang
dapat disadari dalam kajian etika, dunia yang dihadapi tidak bersifat netral dan bebas nilai (value
free). Segala sesuatu yang melibatkan tindakan manusia memiliki dimensi nilai yang dapat
dipertanyakan kondisi baik atau buruknya. Untuk itulah khususnya insan akademik belajar etika
agar dapat menerapkannya dalam dunia akademik masing-masing dan menjadi insan akademik
yang baik dan bijak serta sadar akan jati dirinya sebagai cendekia.
Sebagai penutup, Bagian I “Jati Diriku sebagai Cendekia: Karakter, Filsafat, Logika, dan
Etika” dari Buku Ajar MPKT A menjadi dasar untuk memahami Bagian II “Jati Diriku sebagai
Manusia dan Bagian dari Masyarakat”, dan Bagian III Jati Diriku sebagai Warganegara
Indonesia yang Cinta Pancasila”. Diharapkan materi ajar Bagian I dapat menambah wawasan
pengetahuan mahasiswa dalam memperluas keingintahuan studinya serta memiliki totalitas jati
diri atau eksistensi sebagai ilmuwan nantinya.
.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Bab 2 Filsafat
Baggini, J. (2005). What's It All About?: Philosophy and Meaning of Life. Oxford: Oxford
University Press.
Baggini, J., & Fosl, P. S. (2010). The Philosopher's Toolkit: A Compendium of Philosophical
Concepts and Methods. West Sussex: Blackwell Publishing.
Donald, P. (2006). Looking at Philosophy: The Unbearable Heaviness of Philosophy Made
Lighter. New York: MacGraw-Hill.
Emmet, B. (2001). Open Questions: An Introduction to Philosophy. Belmont:
Wadsworth/Thomson Learning.
Fullerton, G. S. (1915). An Introduction to Philosophy. New York: Norwood Press J. S. Cushing
Co.
Hadinata, F., Putri, S., & Takwin, B. (2015). MPKT A Buku Ajar I Kekuatan dan Keutamaan:
Karakter, Filsafat, Logika, dan Etika. Depok: Universitas Indonesia.
Law, S. (2007). Eyewitness Companions: Philosophy. New York: DK Publishing.
Nagel, T. (1987). What Does It All Mean?: AVery Short Introduction to Philosophy. Oxford:
Oxford University Press.
Russell, B. (1945). A History of Western Philosophy. New York: Simon and Schuster.
Warburton, N. (2011). A Little History of Philosophy. New Haven; London: Yale University
Press.
Bab 3 Logika
Angel, R. B. (1964). Reasoning and Logic. New York: Appleton Century Craft.
Copi, I. M. (1990). Introduction to Logic. New York: Macmillan Publishing Company.
Hadinata, F., Putri, S., & Takwin, B. (2015). MPKT A Buku Ajar I Kekuatan dan Keutamaan:
Karakter, Filsafat, Logika, dan Etika. Depok: Universitas Indonesia.
Hayon, Y. P. (2000). Logika: Prinsip-Prinsip Bernalar Tepat, Lurus, dan Teratur. Jakarta:
ISTN.
Luce, A. A. (1958). Logic. London: The English Universities Press Ltd.
McCall, R. J. (1966). Basic Logic. New York: Barnes & Noble Inc.
Mundiri. (2015). Logika. Depok: Rajawali Press.
Bab 4 Etika
Aristotle. (2004). Nichomacean Ethics. Cambrigde: Cambrigde University Press.
Bertens, K. (2004). Etika, cetakan ke 8, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
------------, (2001). Perspektif Etika Esai esai tentang Masalah Aktual, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius
Donald, P. (2006). Looking at Philosophy: The Unbearable Heaviness of Philosophy Made
Lighter. New York: MacGraw‐ Hill.
Hardiman, F. B. (2012). Pemikiran‐ Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern. Jakarta:
Erlangga.
Hunnex, Milton D. (2004). Peta Filsafat Pendekatan Kronologis & Tematis, penerjemah Zubair,
Jakarta: Penerbit Teraju & Mizan
Meliono, Irmayanti & YP Hayon et al (2008). MPKT Buku Ajar 1, Logika, Filsafat Ilmu dan
Pancasila, Depok: PDPT Universitas Indonesia
Palmer, D. (2006). Looking at Philosophy. New York: McGraw‐ Hill.
Rachel, C. (2016, Maret 21). Hume's Moral Philosophy. Retrieved from The Stanford
Encyclopedia of Philosophy:
http://plato.stanford.edu/archives/fall2010/entries/hume‐ moral/
www.bbc.com
Takwin, Bagus & Saras P. (2016) Buku I MPKT A versi soft file dalam flashdisk, Depok:
Universitas Indonesia
BIODATA PENULIS
Dr. Irmayanti Meliono adalah pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Latar
pendidikan adalah S1 PS Ilmu Filsafat FIB UI, S2 PS Antropologi FISIP UI, S3 dari PS Ilmu
Filsafat FIB UI dan Sandwich Program dari Erasmus University, Philosophy Departement,
Belanda. Mengajar beberapa mata kuliah seperti Kebudayaan Indonesia, Manusia dan
Masyarakat Indonesia (FIB UI); Teori Wilayah dan Humaniora, Dinamika Multikultural di Asia
Tenggara (S2 Asia Tenggara Departemen Kewilayahan FIB UI); Etika (S2 KIK- Sekolah
Stratejik dan Global UI); MPKS . Beberapa karya ilmiah pernah dibuat antara lain Buku Ajar I
Filsafat, Logika, Filsafat Ilmu (2010, PDPT UI, tim penulis), Ideologi Budaya, Fisafat Ilmu
Pengetahuan Saat ini sebagai Tim Penulis Buku Ajar MPKT A 2017-2018. Alamat
korespondensi: irma.meliono@gmail.com atau mayanti@ui.ac.id
Dr. Fristian Hadinata di Manna, 2 Agustus 1986. Menyelesaikan pendidikan S3 Ilmu Filsafat
pada usia 28 tahun dengan disertasi yang berjudul “Melampaui Fondasionalisme dan
Relativisme: Teori Kebenaran dari Perspektif Richard Rorty” dengan promotor Prof. Dr. TM
Soerjanto Poespowardojo, kopromotor Prof. Dr. Alois Agus Nugroho dan Dr. Donny Gahral
Adian di Universitas Indonesia. Kegiatan sehari-hari sebagai dosen tetap yang mengajar mata
kuliah Logika (critical thinking), Filsafat Sosial dan Pragmatisme serta sebagai Ketua Program
Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya-Universitas Indonesia. Terlibat dalam
penelitian-penelitian yang berfokus pada isu sosial kontemporer dengan pendekatan filosofis.
Terbuka untuk berkorespondensi di alamat email: hadinatafristian@yahoo.com/hadinatafristian
@ui.ac.id
BAGIAN II
JATIDIRIKU SEBAGAI INDIVIDU
DAN BAGIAN DARI MASYARAKAT
BAB 1
MANUSIA SEBAGAI INDIVIDU
a. Amygdala
Amygdala berbentuk biji almond; fungsinya membantu makhluk
untuk mengenali apakah sesuatu atau situasi yang dihadapinya itu
berbahaya atau tidak, apakah sesuatu itu penting bagi kelangsungan
hidup atau tidak; misalnya, apakah makanan ini boleh dimakan?
Apakah orang ini tepat untuk dijadikan pasangan? Apakah situasi
ini bahaya bagi kita?
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Otak Reptil saling berkaitan dengan Otak
Mamalia. Sebagai contoh, kerja Otak Reptil yang memerintahkan jantung sangat berkaitan
dengan bagian Amygdala. Dalam keadaan rileks, sistem saraf melakukan pengendalian sehingga
jantung berdenyut sebanyak 64 – 72 kali per menit untuk lelaki dewasa dan 72 – 80 kali per
menit untuk wanita dewasa. Pada saat berolahraga atau kondisi perasaan yang emosional atau
tegang, jantung dapat berdenyut lebih cepat. Dalam aliran darah yang dipompa oleh jantung
terdapat asupan oksigen dan nutrisi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh dan otak. Sebaliknya,
Amygdala di otak yang merespon situasi “menegangkan”, “berbahaya”, atau gejala lain yang
ditangkap pancaindra akan menghasilkan zat kimia yang kemudian dibawa oleh darah ke jantung
dan selanjutnya perasaan ini disalurkan ke seluruh tubuh. Akibatnya, seluruh tubuh bereaksi
secara selaras terhadap perasaan “menegangkan”, “sedih”, “cemas”, “terancam”, atau lainnya.
Pada manusia, Amygdala membantu seseorang untuk memahami ekspresi orang yang
dihadapinya. Kerusakan pada bagian ini akan membuat individu tidak mampu berempati dengan
orang lain. Oleh karena fungsi Amygdala banyak dipengaruhi oleh persepsi, Amygdala dapat
keliru memahami apabila individu menangkap tanda-tanda secara keliru saat menerima
rangsangan dari lingkungannya. Kesalahan tersebut dapat menyebabkannya menampilkan
perilaku yang tidak sesuai (King, 2011).
Apabila Amygdala rusak, individu akan mengalami kesulitan dalam menangkap emosi
yang signifikan dari setiap peristiwa. Kondisi ini kadang-kadang disebut sebagai “buta afektif”
(Goleman, 1996). Orang yang mengalami kerusakan Amygdala atau yang dicabut Amygdala-nya
sulit membaca ekspresi orang lain maupun mengenali bahasa tubuh. Kesulitan ini dapat
membawa akibat dalam hubungan antarmanusia, padahal kemampuan membaca ekspresi
pembicaralah yang dapat membantu kita memahami maksud sebenarnya yang ingin disampaikan
oleh pembicara: apakah ia bersungguh-sungguh, sedang bercanda, atau sedang menyindir kita.
Dalam bukunya yang berjudul Emotional Intelligence, Why it Matters More Than IQ, Daniel
Goleman (1996) menceriterakan bagaimana seorang pemuda yang diangkat Amygdala-nya untuk
mengendalikan kejang-kejang yang dialaminya masih mempunyai kemampuan berbicara, namun
menjadi tidak tertarik sama sekali pada orang lain. Pemuda itu lebih suka memisahkan diri dari
orang lain.
b. Hippocampus
Hippocampus mempunyai peran khusus dalam ingatan (Bethus, Tse,
& Morris dalam King, 2011). Walaupun ingatan tidak tersimpan
dalam Sistem Limbik, Hippocampus berperan penting dalam
mengintegrasikan berbagai rangsangan yang terkait sekaligus
membantu dalam membangun ingatan jangka panjang. Selain itu,
Hippocampus dan daerah sekitarnya berperan penting dalam
membentuk ingatan mengenai fakta-fakta walaupun hanya
mengalami sekali saja. Oleh karena itu, Hippocampus mempunyai peran sangat penting dalam
hidup, terutama dalam proses belajar. Apa yang telah dipelajari dan diingat oleh individu itulah
nantinya yang akan turut memengaruhi bagaimana seseorang mempersepsi segala sesuatu,
sehingga merangsang Amygdala untuk memberikan signal pada individu.
Bila Otak Reptil mengeluarkan perilaku refleks yang kaku dan tidak berubah dari waktu
ke waktu, Otak Mamalia menghasilkan perilaku yang lebih luwes dan mampu mengintegrasikan
pesan dari dalam maupun dari luar tubuh. Oleh karena itu, perilaku yang ditampilkan dapat
beraneka ragam, bergantung pada Sistem Limbik yang berkolaborasi dengan bagian Otak Reptil
atau dengan Neocortex yang canggih.
Neocortex
Periode terakhir evolusi otak telah menghasilkan Neocortex atau Otak Neomamalian. Neocortex
adalah lapisan teratas yang mengelilingi Otak Mamalia dan hanya dimiliki oleh jenis mamalia.
Reptil dan burung tidak mempunyai bagian otak ini. Walaupun Neocortex juga dimiliki oleh
mamalia lain selain manusia, pada manusia perbandingan ukuran Neocortex dari keseluruhan
otak adalah yang terbesar. Pada manusia, Neocortex mencakup 80% dari otak apabila
dibandingkan dengan mamalia lain yang umumnya hanya mencakup 30% sampai 40% dari
keseluruhan otaknya (King, 2011).
Perbandingan Neocortex Manusia dari Neocartex Hewan lainnya
Perbedaan luas Neocortex itulah yang memengaruhi banyaknya saraf dan kompleksitas
hubungan antarsaraf yang berkaitan dengan kemampuan berpikir dari makhluk-makhluk
tersebut. Berbeda dengan Amygdala yang bekerja dengan sistem intuitif yang primitif, Neocortex
bekerja dengan sistem analitis yang lebih canggih. Sebagai hasil evolusi yang paling akhir,
Neocortex mengendalikan keterampilan berpikir tingkat tinggi, nalar, pembicaraan, dan berbagai
tipe kecerdasan lainnya. Oleh karena itu, bagian ini sering disebut sebagai Otak Berpikir.
Saat menjumpai masalah rumit yang perlu dipecahkan dengan pemikiran tingkat tinggi,
Neocortex-lah yang paling cocok berfungsi. Besar Neocortex pada manusia membuatnya
memiliki kemampuan berpikir abstrak, transenden, dan tidak terbatas pada hal-hal yang sedang
dialami saat ini saja. Salah satu kelebihan dari kemampuan berpikir ini membuat manusia dapat
melakukan introspeksi untuk mengenali dirinya serta membuat perencanaan untuk
mengembangkannya, sedangkan gajah misalnya, mungkin tidak pernah sadar bahwa dia adalah
seekor gajah, apalagi memikirkan cara untuk menjadi gajah unggul.
Kreativitas
Otak kanan sering dianggap berperan pada terciptanya produk kreatif, karena otak kanan
memang penuh dengan gagasan baru. Namun, karena sifatnya yang bebas dan kurang taat pada
aturan, sering kali gagasan hebat itu tidak sampai menghasilkan produk kreatif. Dengan
demikian, dibutuhkan otak kiri yang lebih teratur untuk mewujudkannya. Oleh karena itu,
kreativitas dapat dikatakan merupakan hasil kerja sama kedua belah otak.
Banyak orang mempunyai salah satu bagian otak yang dominan, namun ada pula yang
mempunyai dua belahan yang sama kuat. Seorang yang unggul karena mempunyai kekuatan
seimbang pada kedua belah otaknya akan sampai pada penemuan-penemuan besar, seperti
pelukis terkenal bernama Leonardo da Vinci. Sebagai seorang seniman, tentu saja otak kanannya
sangat kuat. Namun, sebagai seorang jenius, Leonardo juga merupakan seorang ahli fisika, ahli
anatomi, dan lain–lain. Tidak heran jika tokoh ini sangat unggul (eminent). Sebaliknya, Einstein
yang ilmuwan tentunya mempunyai otak kiri yang unggul. Namun, kita tahu bahwa ia adalah
seorang pemain biola yang andal. Kerja sama kedua belahan otaknyalah yang membawanya pada
teori relativitas yang mengagumkan.
Dengan demikian, penting sekali usaha untuk mengaktifkan kedua belahan otak tersebut.
Secara umum, pendidikan lebih mengutamakan otak kiri, namun akhir-akhir ini, bersamaan
dengan makin majunya pengetahuan tentang otak, otak kanan mulai mendapatkan perhatian.
Bagi yang otak kirinya cenderung lebih aktif, perlu diupayakan untuk mengaktifkan pula otak
kanan. Kegiatan yang berkaitan dengan musik dan seni lainnya serta praktik olahraga adalah
cara-cara yang asyik untuk mengembangkannya. Sebaliknya, untuk yang otak kanannya
cenderung aktif, diperlukan upaya untuk meningkatkan sistematika berpikir. Berbagai latihan
seperti yang biasa dilakukan dalam belajar di sekolah dapat membantu berpikir lebih sistematik.
Inteligensi dan IQ
Kecerdasan menjadi sangat populer dibicarakan sejak awal abad XX, sejak Alfred Binet dan
Theodore Simon mengembangkan pengukuran kecerdasan modern pertama. Konsep kecerdasan
sendiri berpangkal pada pandangan Darwin mengenai survival of the fittest. Menurut Darwin,
spesies yang bertahan adalah spesies yang memiliki kemampuan adaptasi yang terbaik. Bertolak
dari pemikiran tersebut, banyak penelitian diarahkan kepada kemampuan manusia beradaptasi.
Manusia yang unggul adalah manusia yang mampu beradaptasi dengan lebih baik. Kemampuan
beradaptasi inilah yang disebut sebagai kecerdasan. King (2011:253) dalam buku The Science of
Psychology mendefinisikan kecerdasan sebagai “All-purpose ability to do well on cognitive
tasks, to solve problems, and to learn from experience.”
Kecerdasan dianggap sebagai kemampuan menggunakan kognisi guna memecahkan
masalah dan beradaptasi terhadap tuntutan lingkungan yang dipelajarinya dari pengalaman. Pada
awalnya pengukuran kecerdasan dilakukan untuk kepentingan merekrut tentara, kemudian
kepentingan mendapatkan orang yang tepat dalam pendidikan dan perusahaan. Hasil pengukuran
kecerdasan biasanya disebut sebagai IQ (intelligence quotient). Kemampuan yang dianggap
paling penting untuk berhasil dalam bidang-bidang tersebut adalah kemampuan analisis.
Selanjutnya, pengujian kecerdasan saat itu umumnya berupa pengujian kemampuan analisis.
Semula para ahli di bidang kecerdasan menganggap hanya ada satu macam kecerdasan.
Satu kemampuan ini bertanggung jawab atas semua keberhasilan individu. Pandangan itu
umumnya beranggapan bahwa kemampuan analitis adalah kemampuan tunggal tersebut.
Pandangan tersebut bertahan cukup lama. Berbagai seleksi untuk penempatan di bidang
pendidikan umumnya didasarkan pada kemampuan terhadap bidang tersebut. Seseorang
dianggap pandai jika kemampuan analitisnya tinggi. Pada umumnya, pendidikan memang
ditekankan pada kemampuan analitis karena siswa yang dianggap berhasil biasanya memang
mereka yang memiliki kemampuan analitis tinggi.
Pertanyaan yang sering kali muncul adalah mengapa banyak siswa yang unggul di
sekolah setelah terjun ke dalam masyarakat tidak lagi menunjukkan keunggulannya? Sebaliknya,
mereka yang tidak unggul dalam pendidikan sering kali menunjukkan keunggulan dalam
masyarakat. Sternberg menjelaskan masalah tersebut dengan mengatakan bahwa kecerdasan
tidak hanya satu macam. Menurut Sternberg, terdapat tiga macam inteligensi pada manusia, yaitu
Analytical Intelligence (Kecerdasan Analitis), Practical Intelligence (Kecerdasan Praktis), dan
Creative Intelligence (Kecerdasan Kreatif). Kecerdasan analitis banyak dirangsang di sekolah.
Oleh karena itu, untuk berhasil di sekolah, siswa membutuhkan kecerdasan analitis. Sebaliknya,
dalam kehidupan di tengah masyarakat, yang dibutuhkan adalah kecerdasan praktis. Apabila
sekolah tidak mengembangkan kecerdasan jenis ini, sulit mengharapkan individu akan berhasil
saat dia terjun ke dalam masyarakat.
Sejak akhir abad XX, para ahli yang memusatkan perhatiannya pada masalah kecerdasan
akhirnya menemukan adanya aneka ragam kecerdasan. Seorang tokoh yang teorinya sangat
populer saat ini adalah Gardner dari Harvard. Gardner mengajukan teori Multiple Intelligence
(Kecerdasan Majemuk). Kecerdasan menurut Gardner (1999) adalah kemampuan seseorang
untuk menciptakan karya yang bernilai bagi masyarakatnya. Oleh karena itu, kecerdasan tidaklah
satu macam. Dalam Frame of Mind, Gardner (1983) mengajukan delapan macam kecerdasan,
yakni kecerdasan (1) linguistik, (2) matematik-logikal, (3) spasial, (4) kinestetik-jasmani, (5)
musical, (6) interpersonal, (7) intrapersonal, dan (8) naturalistik.
Pada tahun 1999, dalam bukunya Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for the
21st Century, Gardner menegaskan bahwa naturalistik sebagai sebuah kecerdasan dapat ditambah
secara tentatif dengan dua macam kecerdasan lain, yaitu kecerdasan eksistensial dan kecerdasan
spiritual. Orang dapat sukses melalui kecerdasan yang berbeda; tidak hanya kecerdasan analitis.
Sebagai contoh, kita mengenal orang-orang yang sukses dalam bidang musik walaupun
prestasinya di sekolah hanya pas-pasan saja. Ada pula yang mempunyai prestasi yang luar biasa
di sekolah, namun selalu canggung dalam berhadapan dengan orang lain. Dengan berpegang
pada pendapat kecerdasan majemuk, paling tidak, ada dua pilihan yang dapat ditempuh, yaitu
memusatkan diri pada kecerdasan yang menjadi kekuatan kita, seperti Anggun C. Sasmi yang
sejak sangat muda menetapkan untuk meninggalkan bangku sekolah dan memusatkan diri pada
pengembangan kariernya di bidang musik atau justru berusaha mengembangkan kemampuan-
kemampuannya secara merata, termasuk kemampuan yang terlemah. Idealnya, saat seseorang
masih sangat muda, saat belum terlihat kemampuannya yang paling menonjol, sebaiknya ia
diberikan berbagai macam rangsangan agar semua kemampuannya dapat berkembang secara
optimal sehingga dapat dikenali letak kekuatannya.
Kecerdasan Emosional
Secara populer orang cerdas dikaitkan dengan kemampuan kognitif yang dimilikinya. Kecerdasan
itulah yang dianggap dapat menjanjikan keberhasilan. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, sering
dijumpai bahwa seorang yang cerdas tidak selalu berhasil. Sebagai contoh, seorang yang sangat cepat
memecahkan soal matematika atau mempunyai banyak pengetahuan, belum tentu dalam hidupnya
menunjukkan keberhasilan atau mungkin biasa-biasa saja. Pada kurun waktu 1970–1980-an,
gejala ini menggugah perhatian beberapa ahli, seperti Gardner, Salovey, Mayer, dan Baron
(Goleman, 1996) untuk melakukan berbagai penelitian yang bertujuan menilai faktor-faktor yang
ada di belakang kegagalan ini. Berdasarkan penelitian-penelitian tadi, Goleman mengajukan
sebuah konsep yang segera menjadi sangat populer, yaitu konsep kecerdasan emosi atau
emotional intelligence.
Goleman menyimpulkan bahwa kecerdasan atau inteligensi sebagai sebuah konsep
tampaknya terlalu sempit untuk menjelaskan keberhasilan atau kesuksesan seseorang.
Kesuksesan itu membutuhkan lebih daripada sekadar cerdas. Ia juga mengajukan konsep
kecerdasan emosi sebagai faktor yang lebih menentukan keberhasilan daripada kecerdasan atau
inteligensi. Kecerdasan emosionallah yang memungkinkan kecerdasan atau inteligensi, yang
bersifat kognitif, berfungsi secara optimal. Orang dengan kecerdasan emosional yang tinggi akan
mudah mengarahkan kognisinya dalam berpikir dan memecahkan masalah.
Premis Goleman mengenai kecerdasan emosional dapat diuraikan sebagai berikut. Untuk
berhasil, diperlukan kesadaran, pengendalian, dan penanganan yang efektif terhadap emosi, baik
emosi diri sendiri maupun emosi dari orang lain yang dihadapinya. Goleman menemukan lima
domain kecerdasan emosi, yaitu memahami emosinya sendiri, mengendalikan emosi, memotivasi
diri sendiri, memahami emosi orang lain, dan menangani hubungan dengan orang lain.
Mengenali perasaan sendiri apa adanya adalah unsur penting dalam kecerdasan
emosional. Apabila individu tidak mampu mengenali perasaannya sendiri, hidupnya akan
dikendalikan oleh perasaan itu. Sementara itu, individu yang memahami perasaannya akan
mampu mengarahkan hidupnya. Banyak orang yang tidak memahami emosinya sendiri karena
keliru belajar pada masa kecil. Orang tua bermaksud mengajarkan anak untuk mengendalikan
emosinya (terutama mengendalikan kemarahan), namun keliru ketika menyampaikan bahwa
“Anak yang baik tidak boleh marah.” Akibatnya, individu itu terbiasa menahan atau menekan
kemarahannya, bahkan menyangkal perasaan marah. Apabila hal itu terjadi terus-menerus,
sampai dewasa individu itu akan mengalami kesulitan dalam mengenali perasaannya. Oleh
karena itu, banyak orang yang tidak sadar bahwa dia marah atau terlambat menyadari perasaan
marahnya sampai kemarahannya sudah memuncak dan sulit dikendalikan, padahal marah itu
alami dan yang perlu dilakukan adalah mengendalikan kemarahan dan menyalurkan kemarahan
dengan cara yang lebih dapat diterima. Terapi relaksasi dalam bidang psikologi antara lain
membantu individu menyadari sedini mungkin ketika dirinya mulai merasa tegang dan tidak
nyaman.
Mengendalikan emosi serta mengarahkan penyaluran emosi agar sesuai dan dapat
diterima oleh lingkungannya merupakan kemampuan yang dibangun berdasarkan kesadaran diri.
Apabila individu cepat menangkap perasaan marahnya, lebih mudah baginya untuk
mengendalikan kemarahanya tersebut daripada jikalau ia sudah terlanjur sangat amat marah.
Kemampuan mengendalikan emosi akan sangat membantu dalam mencegah reaksi spontan dari
Otak Reptil dan memberi kesempatan bagi Neocortex untuk memegang kendali. Setiap orang
mempunyai cara tersendiri dalam mengendalikan emosinya, namun ada cara yang umum
dianggap dapat membantu. Menarik napas panjang dan minum air putih dianggap dapat
membantu penyediaan oksigen ke otak yang dapat meredakan hati. Beberapa cara yang sering
digunakan oleh orang tua atau guru dalam membantu anak meredakan kemarahan adalah dengan
menyuruhnya membilang angka secara perlahan, bahkan menyuruh anak mandi dengan alasan
akan membuatnya “sejuk”. Mengekspresikan perasaan secara pantas merupakan bentuk
kecerdasan emosi kedua. Cara mengekspresikan perasaan bersifat budaya, sangat tergantung
pada kebiasaan setempat. Bagaimanakah cara yang dianggap pantas untuk mengekspresikan
perasaan marah, sedih, gembira, takut, dan malu dalam budaya Anda?
Memotivasi diri sendiri adalah sebuah kemampuan yang sangat diperlukan untuk dapat
mengarahkan diri menuju sasaran. Seorang yang mempunyai kemampuan untuk memotivasi
dirinya sendiri akan lebih tahan dalam menghadapi berbagai kesulitan dalam hidup. Individu
yang mampu memotivasi dirinya akan setia pada tujuan; kesulitan tidak akan membuatnya
berbelok dari tujuannya. Banyak penelitian dalam bidang pendidikan yang menemukan bahwa
motivasi lebih menentukan prestasi belajar daripada kecerdasan. Apabila individu mampu
memotivasi dirinya sendiri, ia akan terus mendapatkan energi untuk belajar tanpa bergantung
pada dorongan dan dukungan dari orang lain. Kemampuan untuk memotivasi diri sendiri akan
memungkinkan individu menjadi pelajar mandiri yang dapat terus mengembangkan dirinya
seumur hidup.
Memahami emosi orang lain berkaitan dengan kemampuan empati. Memahami emosi
orang lain harus didahului oleh kemauan yang tulus, penerimaan atas orang lain apa adanya,
serta niat baik agar dapat menjalin hubungan yang baik dan menguntungkan bagi kedua belah
pihak. Memahami orang lain berarti memahami apa yang dipikirkan, dirasakan, serta diinginkan
oleh orang tersebut, dan kemampuan ini dapat dilatih. Untuk memastikan pemahaman mengenai
orang lain ini tidak keliru, diperlukan keterbukaan dan upaya mendapatkan umpan balik dari
orang yang bersangkutan. Saat terjadi “benturan” dengan orang lain, usahakan untuk memikirkan
apa kiranya yang dipikirkan orang tersebut, apa yang dirasakannya, serta apa yang diinginkannya
tanpa menggunakan “kacamata” kita sendiri. Agar dapat memahami kondisi emosi orang
tersebut secara lebih tepat, kita perlu mengenalnya dengan lebih dekat.
Untuk dapat menjalin hubungan dengan orang lain, ada banyak keterampilan sosial yang
perlu dilatih, yaitu kemampuan mendengarkan secara efektif dan kemampuan komunikasi yang
efektif. Apabila kecerdasan intelegensi (IQ) lebih berkaitan dengan faktor kognitif, kecerdasan
emosional (EQ) lebih berkaitan dengan faktor afektif. Sebagaimana diketahui, faktor afektif
seringkali memengaruhi faktor kognitif sehingga kecerdasan emosional merupakan faktor
motivasional yang akan mendorong atau menghambat penggunaan seluruh kapasitas kecerdasan,
atau menyebabkan individu enggan atau tak mampu menggunakan kecerdasannya secara
optimal. Selain itu, Zohar (2000) mengajukan pendapat bahwa baik IQ maupun EQ secara
sendiri-sendiri maupun bersamaan, tidak mampu untuk menjelaskan seluruh kompleksitas
kecerdasan manusia. Menurut Zohar, dengan kedua kecerdasannya (IQ dan EQ), manusia
mampu memahami situasi dan menampilkan perilaku yang sesuai untuk menghadapinya, namun
dibutuhkan kecerdasan ketiga, yaitu kecerdasan spiritual untuk membuat manusia mampu
melakukan transendensi.
Kecerdasan Spiritual
Dalam buku klasiknya, An Essay on Man, Cassirer (1944) menguraikan bagaimana sejak zaman
purba, manusia secara instingtif sudah menyadari dan mempunyai kecenderungan untuk mencari
sesuatu yang lebih “besar” daripadanya. Manusia mempunyai kebutuhan untuk terhubung
dengan sesuatu yang lebih “besar” dari dirinya itu. Bagi orang-orang beragama, “sesuatu” itu
biasa dimaksudkan sebagai Allah, Tuhan, Dewa dan lain sebagainya, sedangkan bagi yang tidak
beragama, hal itu sering dikaitkan dengan alam semesta atau kekuatan-kekuatan hebat lain yang
ada. Berbeda dengan spesies lainnya, manusia memang cenderung mencari jawaban atas
berbagai pertanyaan yang terkait dengan sesuatu yang lebih besar darinya; manusia mempunyai
kecenderungan dan kemampuan berpikir melampaui dirinya (transendental).
Manusia mampu dan cenderung untuk mencari jawaban atas berbagai hal besar dalam
hidupnya, misalnya untuk apa saya hidup? Bagaimana dan dari apakah alam semesta ini terbuat?
Di manakah posisi saya dalam alam semesta yang luas ini? Pertanyaan-pertanyaan tersebut
muncul dari kebutuhan pada manusia tentang pengalaman yang memiliki makna yang
mendalam, tujuan serta nilai yang bermakna. Itu semua membawa manusia pada pertanyaan
yang lebih mendalam dan bijak mengenai hidup serta akan berdampak pada berbagai keputusan
serta pengalaman hidupnya (Zohar, 2010).
Kecenderungan itu menunjukkan bahwa selain sebagai makhluk individual dan makhluk
sosial, pada dasarnya manusia juga merupakan makhluk spiritual. Kecenderungan tersebut tidak
akan mampu terjawab hanya melalui kecerdasan (IQ) dan kecerdasan emosi (EQ) semata. Ada
kecerdasan ketiga yang memungkinkannya, yaitu kecerdasan spiritual (SQ), yang oleh Zohar dan
Marshall disebut sebagai kecerdasan tertinggi. Zohar mendefinisikan kecerdasan spiritual
sebagai berikut.
….. kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan
nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam
konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasaan untuk menilai bahwa
tindakan atau jalan hidup seseotrang lebih bermakna dibandingkan dengan
yang lain (Zohar dan Marshall, 2007:4).
Kecerdasan ini berkaitan erat dengan kehidupan keagamaan walaupun tidak identik
dengan keberagamaan. Mungkin saja ada orang beragama, namun mempunyai kecerdasan
spiritual yang tidak terlalu tinggi. Kenyataan itu sering dijumpai pada orang yang menjalankan
berbagai ritual keagamaan hanya sebagai suatu kebiasaan dan keharusan, tanpa betul-betul
menyadari, mencari atau berusaha memahaminya secara mendalam penuh kesadaran.
Sebaliknya, mungkin saja ada orang yang tidak berargama secara formal, namun menyadari
bahwa dirinya merupakan bagian kecil dari sesuatu yang lebih besar (walaupun dalam pengertian
alam semesta). Oleh karena itu, perlu menjalani hidup sesuai dengan dan bagi kepentingan yang
lebih besar dari sekadar dirinya sendiri. Dengan demikian, untuk menjalankan keagamaan
dengan penuh kesadaran dan mendapatkan pemahaman agama, dibutuhkan kecerdasan spiritual,
namun kecerdasan spiritual sendiri tidak menjamin ketaatan seseorang dalam beragama.
Atau
Introverts (I)
(E)Extraverts ______________X_____|____________________
1.2.1 Extraversion/Introversion
Dimensi pertama ini membahas bagaimana individu berinteraksi dengan dunia dan dari mana
asal energi yang dimilikinya. Seseorang dengan tipe Extravert lebih tertarik dengan objek di luar
dirinya. Umumnya mereka senang bergaul, bekerja dalam kelompok, dan berada di tengah
keramaian. Adanya orang-orang lain dapat memberi semangat bagi dirinya sekaligus merupakan
energi yang membuatnya bersemangat dan bergairah. Keadaan ini bukan berarti mereka tidak
dapat bekerja sendiri. Mereka mungkin saja terampil bekerja sendiri namun apabila mereka harus
bekerja sendirian untuk jangka yang panjang, energinya mudah terkuras. Agar dapat menambah
semangat, orang-orang Extravert sebaiknya menyediakan waktu untuk berkumpul dengan orang
lain karena dengan energi yang cukup, hasil kerjanya dapat lebih dioptimalkan.
Sebaliknya, seorang yang Introvert lebih tertarik melakukan kegiatan-kegiatannya sendiri
dalam ketenangan. Sebagaimana orang Extravert mampu bekerja sendiri, orang-orang Introvert
walaupun lebih senang sendiri dapat saja mempunyai kemampuan kerja sama yang baik. Namun
demikian, bagi orang Introvert, jika terlalu lama berada di antara orang banyak, hal itu membuat
energinya terkuras dan mereka cepat merasa lelah. Agar dapat mengisi ulang energinya, mereka
perlu meluangkan cukup waktu untuk aktivitas sendirian, seperti mendengarkan musik sendirian,
membaca buku, ataupun bermain-main dengan gagasannya sendiri. Orang yang cenderung
ekstraversi disebut Extravert dan dalam MBTI dicantumkan inisial E sedangkan yang cenderung
introversi disebut Introvert dengan inisial I.
Perbedaan Ciri Extravert dan Introvert
Extraverts Introverts
Semangat dengan menghabiskan waktu
Semangat dengan kehadiran orang lain
sendiri
Senang menjadi pusat perhatian Menghindar dari pusat perhatian
Bertindak, lalu (atau sambil) berpikir Berpikir, baru bertindak
Cenderung berpikir dengan bersuara Berpikir dalam “kepala”
Mudah “dibaca” dan mudah ditebak; Lebih pribadi, lebih suka membagi informasi
membagi informasi pribadi dengan bebas pribadi kepada orang tertentu saja
Lebih banyak mendengarkan daripada
Lebih banyak bicara daripada mendengarkan
berbicara
Berkomunikasi dengan antusias Antusias disimpan hanya bagi dirinya sendiri
Memberi respons dengan cepat; menyukai Memberi respons setelah berpikir panjang;
pacu pembicaraan yang cepat lebih suka pacu pembicaraan yang lambat
Lebih menyukai pembicaraan yang luas Lebih menyukai pembicaraan yang mendalam
daripada mendalam daripada yang meluas
Dengan melihat ciri-ciri orang Extravert maupun Introvert, seseorang dapat mengenali
kecenderungan yang ada pada dirinya. Ia dapat membuat perkiraan tipe kepribadiannya; apakah
ia cenderung lebih Extravert atau Introvert. Berilah tanda X pada skala di bawah ini.
(E) Extraverts ____________________|____________________ Introverts (I)
1.2.2 Sensing/Intuition
Dimensi ini membicarakan jenis informasi yang mudah ditangkap oleh seseorang. Ada orang
yang lebih mudah menangkap informasi melalui pancaindranya. Ada pula orang yang lebih
tertarik pada arti sebuah fakta dibandingkan fakta-faktanya sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari,
digunakan kedua pendekatan ini untuk memperoleh informasi. Akan tetapi, setiap orang
cenderung lebih memilih, lebih mudah, atau lebih merasa nyaman menggunakan cara yang satu
daripada yang lain dan secara alamiah lebih mudah menggunakan yang satu daripada yang
lainnya, dan lebih sering merasa “benar” saat menggunakan satu pendekatan daripada yang lain.
Seorang yang lebih mudah menangkap informasi melalui pancaindra biasanya cukup cermat
dengan fakta-fakta, namun harus berusaha keras saat mencari makna “di belakang” fakta
tersebut. Sebaliknya, seorang intuitif cepat menangkap makna dari sebuah fakta, namun harus
hati-hati saat menangkap fakta dengan indranya karena kurang jeli dan kadang-kadang keliru.
Kerja sama antarkeduanya adalah yang terbaik walaupun ada hal-hal yang lebih mudah dipelajari
dengan menggunakan indra dan yang lain lebih mudah dipelajari melalui intuisi.
Perbedaan Ciri Sensor dan Intuitiive
Sensors Intuitives
Percaya kepada apa yang pasti dan konkret Percaya kepada inspirasi dan inference
Menyukai ide baru hanya bila bisa digunakan Menyukai ide baru dan konsep-konsep
dengan praktis
Menghargai realisme dan akal sehat Menghargai imajinasi dan inovasi
Senang menggunakan dan mengasah Senang mempelajari keterampilan baru; cepat
keterampilan yang sudah dimiliki bosan setelah menguasi sebuah keterampilan
Cenderung spesifik dan harfiah; memberikan Cenderung general dan figuratif; senang
deskripsi detail menggunakan perumpamaan dan peribahasa
Mengajukan informasi dengan cara step-by- Mengajukan informasi secara umum dan garis
step besar
Berorientasi pada masa kini Berorientasi pada masa depan
Orang-orang yang mempunyai kecenderungan sensing disebut Sensors dan dalam MBTI
ditulis dengan inisial S, dan yang intuisi disebut Intuitives dengan inisial N (huruf kedua dari
intuitif karena inisial I sudah mewakili Introvert). Dengan melihat ciri-ciri dari Sensor maupun
Intuitives, dapat dikenali kecenderungan yang ada pada diri seseorang. Selain itu, juga dapat
diperkirakan tipe kepribadian seseorang: apakah cenderung lebih Sensors atau Intuitives. Berilah
tanda X pada skala di bawah ini.
(S) Sensors ____________________|___________________ Intuitives (N)
1.2.3 Thinking/Feeling
Dimensi ini berkaitan dengan pengambilan keputusan. Individu yang memiliki kecenderungan
thinking biasa disebut Thinkers. Mereka biasa berpikir panjang sebelum mengambil keputusan:
benar salahnya, baik buruknya, aturannya, yang kesemuanya itu dianalisis dengan cermat.
Setelah pasti, barulah ia menetapkan keputusan. Hal tersebut berbeda dengan mereka yang
mempunyai kecenderungan feeling. Individu yang cenderung feeling disebut Feelers. Mereka
sangat peka terhadap perasaan orang lain. Sebuah keputusan diambil setelah memperhitungkan
dampaknya bagi orang lain dan mengikuti suara hatinya. Oleh karena itu, Feelers dapat
menerima pengecualian perlakuan, berbeda dari Thinkers yang bersikukuh dengan “satu hukum
atau aturan berlaku bagi semua”.
Perbedaan Ciri Thinker dan Feeler
Thinkers Feelers
Saat akan memutuskan sesuatu, melangkah Saat akan memutuskan sesuatu, melangkah ke
mundur; menggunakan analisis objektif depan; memikirkan dampak dari keputusan
terhadap situasi tersebut bagi orang lain
Menghargai empati dan harmoni; bisa
Menghargai logika, hukum dan keadilan; satu
menerima kekecualian dari suatu peraturan,
standar berlaku bagi semua
tergantung situasi
Mudah menangkap kesalahan dan cenderung Suka menyenangkan hati orang lain, mudah
kritis menghargai orang lain
Bisa tampak tidak berperasaan, tidak peka dan Bisa kelihatan terlalu emosional, tidak logis,
tidak peduli dan lemah
Menganggap lebih penting kebenaran daripada Menganggap cara menyampaikan sesuatu sama
memikirkan cara menyampaikannya pentingnya dengan kebenaran itu sendiri
Menganggap perasaan hanya sahih bila logis Menganggap perasaan itu sahih, masuk akal
ataupun tidak
Dimotivasi oleh keinginan berprestasi dan
Dimotivasi oleh keinginan untuk dihargai
berhasil
Dengan melihat ciri-ciri orang tipe Thinkers maupun Feelers, dapat dikenali
kecenderungan yang ada pada diri sendiri: apakah cenderung lebih Thinkers atau Feelers.
Berilah tanda X pada skala di bawah ini.
(T) Thinkers ____________________|___________________ Feelers (F)
1.2.4 Dimensi (J) Judging/Perceiving (P)
Dimensi keempat ini membahas gaya hidup. Ada orang yang lebih suka hidup dengan cara yang
teratur, ada pula yang lebih spontan. Orang yang termasuk judging disebut Judger. Mereka
cenderung hidup secara teratur dan lebih suka apabila kehidupannya terstruktur dengan jelas.
Mereka senang mengambil keputusan. Judgers mencari keteraturan dan senang mengendalikan
hidupnya, sedangkan mereka yang mempunyai kecenderungan perceiving, biasa disebut
Perceivers, lebih suka hidup secara spontan dan lebih menyukai kehidupan yang luwes. Mereka
menyukai berbagai kemungkinan dan lebih suka mencari apa makna dari kehidupan daripada
sekadar mengendalikannya.
Perbedaan Ciri Judger dan Perceiver
Judgers Perceiver
Paling bahagia bila keputusan sudah dibuat Paling senang meninggalkan pilihan terbuka
Memiliki ‘etika kerja’: kerja dulu, bermain Memiliki ‘etika bermain’: nikmati hidup
kemudian (itupun kalau sempat) sekarang, menyelesaikan tugas nanti (itupun
kalau masih ada waktu)
Menetapkan sasaran dan berusaha untuk Mengganti-ganti sasaran bila mendapat
mencapainya informasi baru
Lebih suka mengetahui apa yang akan
Suka beradaptasi pada situasi baru, bertindak
dihadapinya terlebih dahulu kemudian baru
sambil mempelajari situasi
bertindak
Lebih berorientasi pada produk (penekanan Lebih berorientasi pada proses (penekanan pada
pada penyelesaian tugas) bagaimana menyelesaikan tugas)
Mendapatkan kepuasan dalam menyelesaikan Mendapatkan kepuasan dari memulai proyek
proyek
Melihat waktu sebagai sumberdaya yang pasti Melihat waktu sebagai sumber daya yang dapat
dan serius menanggapi tenggang waktu diperbaharui dan melihat tenggang waktu
sebagai elastik (‘jam karet’)
Dengan melihat ciri-ciri dari Judgers maupun Perceivers, dapat dikenali kecenderungan
yang ada pada diri sendiri. Selain itu, tipe kepribadian sendiri dapat juga dikira-kira: cenderung
lebih Judger atau Perceiver. Berilah tanda X pada skala di bawah ini.
(J) Judgers ____________________|___________________ Perceivers(P)
1.3.1 Pembimbing/Tradisionalis
Kaum sensors percaya pada fakta, data yang telah terbukti, pengalaman masa lalu, serta
informasi yang ditangkap oleh pancainderanya, sedangkan judgers menyukai struktur serta
keteraturan, satu hal yang akan memengaruhinya saat mengambil keputusan. Apabila keduanya
digabung, kedua preferensi ini menghasilkan Sensing Judger, yakni sebuah tipe pribadi yang
menapak bumi dan tegas yang disebut sebagai Pembimbing/Tradisionalis.
Moto dari tipe Pembimbing/Tradisionalis adalah “cepat tidur, bangun pagi.” Tipe ini
adalah orang-orang yang paling tradisional dari empat kelompok temperamen Keirsey. Mereka
sangat menghargai hukum dan keteraturan, jaminan, sopan santun, aturan, serta mudah
menyesuaikan diri. Mereka didorong oleh motivasi untuk melayani kebutuhan masyarakat.
Pembimbing/Tradisionalis menghormati otoritas, hierarki, dan garis komando, serta memiliki
nilai-nilai yang konservatif. Mereka terikat pada rasa tanggung jawab dan selalu berusaha untuk
melakukan hal yang benar. Hal itu membuat mereka menjadi orang-orang yang dapat
diandalkan, dapat dipercaya, dan tentu saja orang yang bertanggung jawab.
Walaupun sama-sama tergolong pada temperamen Pembimbing/Tradisionalist, kelompok
Thinking (STJ) maupun Feeling (SFJ) sangat berbeda. Mereka yang ESFJ dan ISFJ dalam ciri
Pembimbing/Tradisionalis, tidak sekuat ciri ESTJ dan ISTJ. Bagi ESFJ dan ISFJ, hubungan
dengan orang lain dan kriteria orientasi pada manusia dalam pengambilan keputusan sangatlah
penting. Jadi, walaupun biasanya kaum Pembimbing/Tradisionalis (tidak peduli apa pun gaya
hidupnya, J atau P) paling senang mereka bekerja di tempat yang struktur dan ekspektasinya
jelas. Mereka yang tergolong Feeling akan berusaha membangun hubungan harmonis dengan
orang lain dan mencari kesempatan untuk melakukan pekerjaan yang memungkinkan mereka
membantu orang lain secara nyata.
Walaupun sama-sama tergolong pada temperamen Pembimbing/Tradisionalis, kelompok
Thinking (STJ) maupun Feeling (SFJ) sangat berbeda. Mereka yang ESFJ dan ISFJ dalam ciri
Pembimbing/Tradisionalis, tidak sekuat ciri ESTJ dan ISTJ. Bagi ESFJ dan ISFJ, hubungan
dengan orang lain dan kriteria orientasi pada manusia dalam pengambilan keputusan sangatlah
penting. Biasanya kaum Pembimbing/Tradisionalis (tidak peduli apa pun gaya hidupnya, J atau
P) paling senang bekerja di tempat yang struktur dan ekspektasinya jelas. Mereka yang
tergolong Feeling akan berusaha membangun hubungan harmonis dengan orang lain dan
mencari kesempatan untuk melakukan pekerjaan yang memungkinkan mereka membantu orang
lain secara nyata.
Pembimbing/Tradisionalis membutuhkan perasaan menyatu dengan kelompok dan
melakukan yang benar. Mereka menghargai stabilitas, keteraturan, kooperasi, konsistensi, dan
kesahihan, serta cenderung serius dan merupakan pekerja keras. Pembimbing/Tradisionalis
selalu menuntut baik dirinya maupun orang lain untuk selalu fokus pada pekerjaan dan bekerja
sebaik-baiknya.
a. Kekuatan
Pembimbing/Tradisionalis adalah orang-orang yang praktis dan terorganisasi, teliti, serta
sistematis. Mereka sangat memerhatikan peraturan, kebijakan, kontrak, ritual, maupun jadwal.
Mereka sangat hebat dalam memandu, memonitor, dan menjalankan aturan. Pembimbing/-
Tradisionalis senang bekerja dengan fakta yang telah terbukti dan menggunakannya untuk
mengarahkan diri pada sasaran organisasi tempat mereka menjadi anggotanya. Mereka sangat
bangga bahwa mereka selalu bekerja dengan baik. Mereka juga pandai melihat apa yang harus
diperhatikan dan menyelesaikan tugas dengan sumber daya yang seefisien mungkin. Begitu
mereka suka dan setuju terhadap suatu hal, Pembimbing/Tradisionalis selalu melaksanakannya
dengan teliti. Dalam keadaan terbaik, mereka adalah orang-orang yang solid, dapat dipercaya,
dan diandalkan.
b. Kemungkinan Kelemahan
Pembimbing/Tradisionalis tidak tertarik pada teori atau hal-hal yang
abstrak. Mereka kurang memperhatikan masa depan dibandingkan masa
kini. Perencanaan jangka panjang bukanlah kekuatannya.
Pembimbing/Tradisionalis kadang-kadang terlalu cepat dalam mengambil
keputusan.Mereka juga cenderung melihat hitam putih dan sulit melihat
area abu-abu. Mereka sulit menghadapi perubahan dan lambat dalam
menyesuaikan diri. Mereka cenderung enggan
mencobakan pendekatan baru yang berbeda,
apalagi yang belum teruji. Kemungkinan besar Mari’e
Muhammad
mereka akan minta bukti bahwa solusi baru itu
1939 - 2017
dapat dijalankan sebelum mereka dapat
mempertimbangkan untuk menggunakannya. Kelemahan utama
Pembimbing/Tradisionalis adalah mereka sering kurang luwes,
cenderung dogmatis, dan kurang imajinatif. Contoh tokoh dengan
Ciputra
1931 – temperamen ini adalah Mother Theresa, Jenderal Washington, Mar’ie
Muhammad, dan Ir. Ciputra.
1.3.2 Artis/Experiencers
Sensors berkonsentrasi pada apa yang dilihat, didengar, diraba, dicium, dikecap, dan percaya
pada apa yang dapat diukur serta dicatat. Perceivers terbuka pada berbagai kemungkinan dan
suka hidup secara luwes. Apabila digabung, kedua preferensi ini menghasilkan Sensing
Perceiver, sebuah tipe individu yang responsif dan spontan, yang disebut temperamen
Artis/Experiencers. Moto mereka adalah “Makan, minum, dan bergembiralah!” Ini adalah suatu
tipe yang paling avonturir. Mereka hidup untuk bertindak, mengikuti kata hati, dan demi masa
ini. Fokusnya adalah pada situasi sesaat dan kemampuan untuk menetapkan apa yang harus
dilakukan sekarang. Artis/Experiencers menghargai kebebasan dan spontanitas, sehingga jarang
menyukai aktivitas atau situasi yang terlalu terstruktur atau terlalu banyak aturan. Mereka
cenderung senang menyerempet bahaya (risk-taker), mudah menyesuaikan diri, easy-going, dan
pragmatis. Mereka mengagumi pertunjukan keterampilan di segala bidang atau disiplin.
Kebanyakan (tetapi tidak semua) Artis/Experiencers adalah orang-orang yang senang hidup di
“ujung tanduk.”
Artis/Experiencers membutuhkan aktivitas dan kebebasan untuk bertindak sesuai dengan
kata hatinya. Dalam bekerja, mereka fokus pada apa yang akan diselesaikan saat ini. Mereka
menghargai perbuatan heroik dan tindakan ahli dan senang menghadapi tantangan-tantangan.
Seperti Pembimbing/Tradisionalist, Artis/Experiencers juga ada dua macam, yaitu STP dan SFP.
SFP tidak sepenuhnya sesuai dengan gambaran temperamen Artis/Experiencers yang penuh
dengan kebebasan. Experiencer yang SFP terutama ingin berespons pada kebutuhan orang lain
dan ingin hasil kerjanya dapat membawa perubahan segera pada orang lain.
a. Kekuatan
Artis/Experiencers dapat melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi dan tangkas menangkap
kesempatan. Mereka sangat unggul dalam mengenali masalah praktis dan melakukan pendekatan
pada masalah ini secara luwes, berani, dan banyak akal. Mereka tidak takut mengambil risiko
ataupun berimprovisasi bilamana perlu. Artis/Experiencers senang melakukan perubahan demi
kebutuhan atau krisis mendesak. Namun, seperti Pembimbing/Tradisionalis, Artis/Experiencers
juga lebih suka menghadapi fakta dan masalah nyata daripada teori atau gagasan.
Artis/Experiencers merupakan pengamat yang tajam bagi perilaku manusia dan merupakan
negosiator yang hebat. Mereka sangat efisien dalam menggunakan perhitungan ekonomi untuk
mencapai sasarannya. Banyak orang dengan tipe tempramen Artis/Experiencers, walaupun tidak
semua, sangat terampil menggunakan alat dan instrumen segala alat yang bisa dimanipulasi
secara fisik dan membutuhkan ketepatan. Dalam keadaan terbaiknya, mereka mempunyai banyak
akal, mengasyikkan, dan menyenangkan.
b. Kemungkinan Kelemahan
Artis/Experiencers sering sulit ditebak oleh orang lain, dan kadang-kadang tidak berpikir secara
cermat sebelum bertindak. Mereka tidak suka teori, hal-hal abstrak, maupun konsep, dan
mengalami kesulitan dalam melihat hubungan maupun pola dari sebuah peristiwa.
Artis/Experiencers cenderung kehilangan antusiasme begitu fase krisis dari situasi telah berlalu.
Oleh karena menyukai pilihan-pilihan yang terbuka, mereka tidak selalu mengikuti aturan yang
baku dan terkadang menghindari komitmen dan rencana. Keadaan terburuknya adalah mereka
mungkin kurang bertanggung jawab, mungkin kurang dapat diandalkan, kekanak-kanakan, dan
impulsif. Contoh tokoh dengan temperamen ini adalah Ernest Hemmingway, Barbara Streissant.
a. Kekuatan
Idealis mengetahui bagaimana mengeluarkan potensi terbaik orang dan memahami cara
memotivasi orang lain untuk bekerja sebaik-baiknya. Mereka ahli dalam menyelesaikan konflik
dengan orang lain, membangun tim yang dapat bekerja sama dengan efektif, dan pandai
membuat orang percaya diri. Idealis pandai dalam mengidentifikasi solusi kreatif bagi berbagai
masalah. Mereka berkomunikasi dengan baik secara lisan maupun tulis dan dapat
membangkitkan gairah orang terhadap gagasan maupun tindakannya. Orang dengan tipe
tempramen Idealis umumnya adalah orang yang kharismatik, mau menerima gagasan baru dan
dapat menerima orang lain apa adanya.
b. Kemungkinan Kelemahan
Idealis mempunyai kecenderungan mengambil keputusan berdasarkan perasaannya dan mudah
larut pada masalah orang lain sehingga membuatnya kewalahan. Mereka juga kadang-kadang
terlalu idealis sehingga terkesan kurang praktis. Walaupun mempunyai kemampuan untuk
mencela dirinya sendiri, Idealis kurang mampu mendisiplinkan ataupun mengkritik orang lain.
Kadang-kadang mereka akan mengorbankan pendapatnya demi hubungan harmoni. Kelemahan
terbesar mereka adalah mungkin angin-anginan, tidak dapat diterka, dan terlalu emosional.
Contoh tokoh dengan temperamen ini adalah Mahatma Gandhi, Putri Diana, dan Romo Magnis-
Suseno.
1.3.4 Rasional/Konseptualis
Intuitif cenderung mencari arti dari segala sesuatu dan fokus pada implikasinya, sedangkan
Thinkers mengambil keputusan secara impersonal dan logis. Jika keduanya disatukan, kedua
preferensi ini menghasilkan Intuitive Thinker, sebuah tipe yang intelektual dan kompeten, yang
disebut Rasional/Konseptualis.
Moto kaum Conceptualizer adalah “unggullah dalam segala sesuatu.” Mereka adalah
yang paling mandiri dari keempat temperamen Keirsey. Mereka didorong oleh keinginan
mendapatkan pengetahuan dan menetapkan standar yang tinggi sekali bagi dirinya maupun orang
lain. Secara alamiah, orang dengan tipe tempramen Rasional/Konseptualis penuh rasa ingin tahu.
Mereka biasanya dapat melihat berbagai segi mengenai suatu argumentasi atau isu.
Rasional/Konseptualis unggul dalam melihat berbagai kemungkinan, memahami kompleksitas,
serta merancang solusi pada masalah riil maupun hipotetis. Peranannya sering menjadi arsitek
perubahan.
Rasional/Konseptualis senang menggunakan kemampuannya untuk melihat kemungkinan-
kemungkinan dan menganalisisnya secara logis untuk mendapatkan pemecahannya. Mereka
berminat untuk terus-menerus mendapatkan pengetahuan, baik demi pengetahuan itu sendiri
maupun untuk alasan strategis.
a. Kekuatan
Rasional/Konseptualis mempunyai visi yang jelas dan dapat menjadi inovator yang hebat.
Mereka dapat melihat berbagai kemungkinan maupun gambaran besar dari situasi serta mudah
mengkonseptualisasi dan merancang perubahan-perubahan yang diperlukan di lingkungannya.
Mereka unggul dalam membuat strategi, rencana, dan membangun sistem untuk mencapai
sasaran, dan menikmati prosesnya. Tipe Rasional/Konseptualis sangat mudah dalam memahami
gagasan yang kompleks dan teoretis serta pandai dalam mendeduksi prinsip-prinsip atau
kecenderungan-kecenderungan. Mereka senang akan tantangan dan menuntut dirinya sendiri
maupun orang lain untuk mencapai standar yang tinggi, dan biasanya mampu menerima kritikan
yang konstruktif tanpa merasa diserang secara pribadi. Dalam keadaannya yang terbaik, orang
yang Rasional/Konseptualis itu penuh percaya diri, tangkas, dan imajinatif.
b. Kemungkinan Kelemahan
Kadang-kadang Rasional/Konseptualis terlalu rumit untuk dipahami oleh orang lain. Mereka
juga mempunyai kecenderungan mengabaikan detail-detail yang penting. Mereka dapat menjadi
sangat skeptis dan sering menantang aturan-aturan, asumsi, atau adat-istiadat yang berlaku.
Rasional/Konseptualis juga kadang-kadang mengalami masalah dengan otoritas dan dapat tampil
sebagai elitis. Mereka sering kali mengalami kesulitan untuk melihat dampak tindakannya pada
orang lain. Mereka kadang-kadang tidak menganggap penting hubungan yang harmonis maupun
pentingnya perasaan. Mereka juga sangat kompetitif dan kadang-
kadang tidak peduli dengan suatu tugas apabila mereka tidak merasa
dapat unggul di sana. Hal yang paling parah, mereka dapat menjadi
arogan, menarik diri, dan asyik dalam dunianya sendiri. Dalam
bekerja sama, Rasional/Konseptualis membutuhkan banyak
kebebasan, keanekaragaman, banyak rangsangan intelektual, dan
kesempatan untuk menghasilkan gagasan, dan harus melihat bahwa
pekerjaannya menantang. Contoh tokoh-tokoh seperti ini adalah Bung Hatta
1902 -1980
Einstein, Thatcher, dan Bung Hatta.
BAB 2
MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BERKELOMPOK
Memahami segala segi dari manusia yang mencakup kemampuannya, faktor-faktor yang
memengaruhi dirinya, termasuk tipe kepribadiannya, akan dapat membantu individu dalam
memahami dan merencanakan pengembangan dirinya. Di samping itu, pengetahuan tersebut
dapat membantu individu dalam menjalin hubungan antarindividu yang harmonis dan efektif
karena pada dasarnya manusia, selain makhluk individu, juga makhluk sosial yang mempunyai
kecenderungan kuat untuk hidup bersama orang lain. Tanpa kehidupan sosial, tampaknya sulit
mengharapkan individu dapat berkembang sepenuhnya sehingga ada ungkapan “manusia hanya
bisa menjadi manusia bila ia hidup bersama manusia lain.”
Memang manusia dapat hidup sendiri saat keadaan memaksa, misalnya mereka
terdampar atau karena alasan lainnya, seperti yang terjadi pada Nakamura, seorang prajurit
Jepang asli Taiwan, pada Perang Dunia kedua. Pada tahun 1975, Nakamura ditemukan di Pulau
Morotai. Ia mengira perang dunia kedua masih berlangsung. Oleh karena itu, ia bersembunyi dan
hidup seorang diri. Ia membuat sebuah gubuk sederhana untuk tempat tinggal dan bercocok
tanam di ladang untuk kelangsungan hidupnya. Puluhan tahun ia tinggal sendiri sampai
ditemukan oleh penduduk Morotai. Begitu ditemukan dan tahu bahwa perang dunia sudah usai,
ia langsung minta dipulangkan ke negara kelahirannya, Taiwan, agar bisa berkumpul dengan
keluarga dan lingkungan sosialnya. Demikianlah manusia, bilamana mungkin, pasti mereka
berusaha hidup dalam sebuah lingkungan sosial.
Sebagai makhluk sosial, individu mempunyai kebutuhan yang kuat untuk hidup bersama
dalam kelompok agar dapat mengembangkan kemanusiaannya. Individu yang ada di dalam
kelompok melakukan interaksi di antara mereka. Melalui interaksinya itu, disepakati aturan-
aturan atau norma-norma yang mengatur kehidupan berkelompok.
Para pemimpin kelompok atau organisasi menghadapi tantangan serupa. Sementara mereka tidak
perlu membawa pasukan ke medan perang, pemimpin organisasi harus memahami lingkungan
tempat mereka beroperasi, menetapkan tujuan dan sasaran, dan memotivasi karyawan mereka
untuk mencapai keunggulan untuk ‘pertempuran’ di pasar global. Selain itu, para pemimpin
harus memimpin "pasukan" dengan cara yang memungkinkan mereka tidak hanya melakukan
tugas-tugas yang diperlukan tetapi juga untuk berpartisipasi dalam sehari-hari keputusan yang
memengaruhi mereka. Anggota kelompok atau organisasi berharap dapat memainkan peran yang
lebih berarti dalam kegiatan kelompok atau organisasi daripada di masa lalu, menerjemahkan
perintah dan pendekatan kontrol untuk kepemimpinan tidak akan banyak manfaatnya. Demikian
halnya dalam kerja kelompok belajar di lingkungan mahasiswa, seorang pemimpin hendaknya
mampu menggerakkan anggota kelompok belajarnya mencapai sasaran pembelajaran yang telah
ditetapkan.
Bab 1, 2
Baron, Renee. (1998). What Type am I? Discover Who You Really Are. New York: Penguin
Books.
Ford, Wendy S. Zabava, and Andrew D. Wolvin. (1993). "The Differential Impact of a Basic
Communication Course on Perceived Communication Competencies in Class, Work, and Social
Contexts." Communication Education, 42(3), 215-23. [EJ 463 803]
Gardner, Howard. (1983). Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. New York:
Basic Books.
st
Gardner, Howard. (199). Intlligence Reframed. Multiple Intelligences for the 21 Century. New
York: Basic Books.
Gazzaniga, Michael S. 2008. Human, the Science behind What Make us Unique. HarperCollons
e-books.
Goleman, Daniel. (1996). Emotional Intelligence, Why it can matter more than IQ. London:
Bloomsburry Publishing.
Janasz Suzanne C., Karen O. Dowd, dan Beth Z. Schneider. (2009). Interpersonal Skills in
Organizations. Third Edition. McGraw-Hill International Edition Co., New York.
Johnson David W. & Frank P. Johnson. 2006. Joining Together. Group Theory and Group Skills.
Ninth Edition. Pearson Education, Inc., Boston.
King, Laura A. (2011). The science of Psychology. New York: MacGraw-Hill.
Kouzes J.M. dan B.Z. Posner. (1993). Credibility: How leaders Gain and Lose It. Why People
Demand It. Jossey-Bass. San Francisco.
Kur, M. “Leaders Everywhere! Can a Broad Spectrum of Leadership Behaviours Permeate an Entire
Organization?” Leadership and Organization Development Journal 18 (1997).
MacLean, Paul D. (1990). The Triune Brain in Evolution: Role of Paleocerebral Functions, New
York: Springer.
Morreale, S.P., Osborn, M.M., & Pearson, J.C. (2000). “Why Communication is Important: A
rationale for the Centrality of the Study of Communication”. Journal of the Association for
Communication Administration, 29, 1--25.
Parsons, T. (1951), Social System, London: Collier-Macmillan Limited.
Peoples, David A. (1992). Presentations Plus, 2nd edition. John Wiley and Sons Inc.
Rakic, Pasko T. (1999). Medicine in the Twenty-First Century, Annals of the New York Academy
of Sciences 882.
Robbins, Stephens. P. (2003). Organizational Behaviour, 9th ed. San Diego State University Prentice
Hall International, Inc.
Rubin, R.B., Perse, E.M., & Barbato, C.A., (1988). Conceptualization and Measurement of
Interpersonal Communication Motives. Human Communication Research.
Soekanto, S. (1982). Sosiologi, Suatu Pengantar, Jakarta: CV Rajawali.
Sousa, David A. (2003). How the Gifted Brain Learns. California: A Sage Publication Company.
Taylor, Jill Bolte, PhD. (2008). My stroke of insight. London: Hodder & Stoughton.
Tieger, Paul D. & Barbara Barron-Tieger. (2001). Do What You Are, third ed. Boston: Little
Brown Company.
Weiten, W. et al. (2009). Psychology Applied to Modern Life. Belmont: Wadsworths Cengage
Learning.
Bab 3, 4
Ember, Caril R, Melvin Ember & Peter N Peregrine. (2007). Anthropology. 12th ed. New
Jersey: Pearson Prentice Hall.
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta
_____________.(2000). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Gazalba, Sidi. (1976). Pengantar Sosiologi dan Sosiografi. Jakarta: Bulan Bintang
Gazzaniga, Michael S. .(2008). Human, The Science Behind what Makes Us Unique. New
York: Harper Collins books.
Geertz, Clifford. (1973). The Interpretation of Culture. New York.
Geertz, Hildred. (1981). Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia.terj. Jakarta: Yayasan
Ilmu- Ilmu Sosial & FIS-UI
Hendropuspito. OC., D. (1989). Sosiologi Sistematik. Yogyakarta: Kanisius.
Johnson, Paul D. (1994). Teori Sosiologi: Klasik dan Modern, Jilid I dan II. (Terj. Robert
M.Z. Lawang). Jakarta : Gramedia
Linton, Ralph. (1984). The Study of Man: an Introduction. Terjemahan Firmansyah.
Bandung: Jemmars.
Kluchohn, Clyde. (1994). Terj. Mirror for Man (Cermin Bagi Manusia). Jakarta: Grafindo
Persada
Kroeber, A.L., and Clyde Kluckhohn. (1952). Culture: a Critical Review of Concepts and
Definitions. New York: Vintage Books.
Kroker, Arthur dan David Cook. (1988). The Postmodern Scene: Excremental Culture and
Hyper-aesthethics. London: MacmillannEducation Ltd.
Mutakin, Awan, Dasim Budimansyah, & Gurniawan Kamil Pasya. (2004). Dinamika
Masyarakat Indonesia. Bandung: PT Genesindo
Palomo, Margaret M. (1991). Contemporary Sociological Theory. Michigan: Macmillan
Publishing.
Poerwanto, Hari. (2008). Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif
Antropologi.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahyono, F.X. (2002). “Representamen Kebudayaan Jawa: Teknik Komparatif Referensial
pada Teks “Wedhatama”. Wacana, Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya. Vol.4 No.1,
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya.
Saifuddin, Achmad Fedyani. (2006). Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis
mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Shadily, Hasan. (1983). Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta: Bina Aksara
Soekanto, Soerjono. (1984). Beberapa Teori tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: CV.
Rajawali
________________. (1990). Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Suparlan, Parsudi. Juni (1981). “Kebudayaan, Masyarakat, dan Agama”. Majalah Ilmu-Ilmu
Sastra. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
______________. (2005). Sukubangsa dan Hubungan Antar-Sukubangsa. Jakarta: Yayasan
Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian (YPKIK)
Tylor. E.B. (1974). Primitive Culture: Researches into the development of Myhology,
philoshopy, religion, art, and custom. New York: Gordon Press.
Widagdho, Djoko. dkk. (2001). Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT Bumi Aksara
Wuradji. (1987). Pendidikan dan Masyarakat. Sosilogi Pendidikan: sebuah Pendekatan Sosio-
Antropologis. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
BIODATA PENULIS
Jati diri mahasiswa harus menunjukan sebagai warga negara yang mampu
menjelaskan masalah kebangsaan, kenegaraan, dan kewarganegaraan berdasarkan
nilai-nilai Pancasila dalam situasi dunia yang dinamis.
Sebagai negara kebangsaan (nation state), Indonesia merupakan kumpulan dari berbagai ikatan
primordial agama, suku, ras, bahasa, budaya, daerah, dan adat. Kemajemukan tersebut berpotensi
menimbulkan berbagai masalah. Namun, kemajemukan itu diikat oleh keberadaan dasar dan
ideologi bangsa, yaitu Pancasila dan UUD 1945, di samping faktor-faktor pemersatu lainnya.
Sementara itu, dalam proses bernegara terdapat saling pengaruh antara hak dan kewajiban serta
antara Negara dan Warga Negara. Di sisi lain, kehidupan negara Indonesia tidak terlepas pula
dari pengaruh kehidupan dunia global sehingga perlu dikaji pula dinamika hubungan antarbangsa
di dunia untuk melihat peran politik Indonesia di dalamnya.
BAB 1
BANGSA INDONESIA
8
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke III. Jakarta: Balai
Pustaka. Hal. 102.
khusus. Kekhasan corak kebudayaan pada suatu masyarakat itulah yang membedakannya dengan
masyarakat lainnya. Dalam etnografi (deskripsi atau tulisan tentang bangsa-bangsa), suatu
kebudayaan dengan corak khas itu dinamakan suku bangsa atau kelompok etnik (ethnic group).
Di antara kedua istilah di atas, istilah yang lebih tepat bagi kelompok masyarakat dengan
corak yang khas tersebut adalah suku bangsa, bukan kelompok etnik, karena suku bangsa
merupakan golongan sosial bukan kelompok sosial. Golongan sosial dan kelompok sosial
merupakan dua konsep mengenai kesatuan-kesatuan sosial atau unsur-unsur masyarakat. Kedua
konsep itu mempunyai pengertian yang berbeda. Golongan sosial merupakan suatu kesatuan
manusia yang ditandai oleh suatu ciri tertentu, yang mempunyai ikatan identitas sosial.
Kelompok sosial merupakan suatu masyarakat karena memenuhi syarat-syaratnya, yaitu adanya
sistem interaksi antara para anggota, adat-istiadat serta sistem norma yang mengatur interaksi itu,
kontinuitas, serta adanya rasa identitas yang mempersatukan semua anggota tadi. Di samping
ketiga ciri tadi, suatu kesatuan manusia yang disebut kelompok juga mempunyai ciri tambahan,
yaitu organisasi dan sistem kepemimpinan dan selalu tampak sebagai kesatuan-kesatuan dari
individu-individu yang pada masa-masa tertentu, secara berulang, berkumpul dan kemudian
bubar lagi.
Suku bangsa sebagai golongan sosial adalah golongan manusia yang terikat oleh identitas
dan kesadaran akan “kesatuan kebudayaan”. Kesadaran dan identitas itu sering kali dikuatkan
pula oleh kesatuan bahasa. “Kesatuan kebudayaan” tersebut bukan ditentukan oleh pihak luar,
misalnya ahli antropologi, ahli kebudayaan, atau ahli lainnya, dengan metode-metode analisis
ilmiah, melainkan oleh warga kebudayaan itu sendiri.
Suku Sunda misalnya. Kebudayaan mereka merupakan suatu kesatuan kebudayaan yang
berbeda dengan kebudayaan Jawa atau Batak. Kesatuan kebudayaan mereka bukan ditentukan
pihak luar, melainkan karena orang-orang Sunda sadar bahwa di antara mereka ada keseragaman
budaya, berkepribadian khas, dan identitas khusus yang berbeda dengan kebudayaan lain. Bahasa
Sunda yang mereka miliki menyebabkan semakin tingginya kesadaran akan kepribadian khusus
tadi. (Koentjaraningrat, 2002: 263--266.)
Menurut Suparlan, suku bangsa merupakan kategori atau golongan sosial yang askriptif,
yaitu keanggotaannya diperoleh bersama dengan kelahiran yang mengacu pada asal orang tua
yang melahirkan serta asal daerah tempat seseorang dilahirkan. Sebagai golongan sosial, suku
bangsa terwujud perorangan atau individu dan kelompok. Sebagai kelompok, suku bangsa
terwujud sebagai keluarga, komunitas, masyarakat, atau juga berupa perkumpulan suku bangsa.
Sebagai kelompok, suku bangsa mempunyai ciri-ciri berikut.
a. Merupakan satuan kehidupan yang secara biologi mampu berkembang biak dan lestari
dengan adanya keluarga yang dibentuk melalui perkawinan.
b. Mempunyai kebudayaan bersama sebagai pedoman hidup yang secara umum berbeda dengan
kelompok suku bangsa lain.
c. Keanggotaan di dalam suku bangsa bercorak askriptif.
Keanggotaan seseorang di dalam sebuah suku bangsa berbeda dengan keanggotaan
seseorang di dalam sebuah kelas sosial atau kelompok profesi yang coraknya diperoleh melalui
prestasi kerja atau usaha. Keanggotaan seseorang di dalam suatu suku bangsa bersifat terus-
menerus atau selamanya, sedangkan keanggotaan di dalam kelas sosial atau kelompok profesi
akan hilang pada waktu yang bersangkutan tidak lagi mampu menunjukkan kemampuan
ekonomi yang menjadi ciri-ciri dari golongan kelas sosial itu atau pada waktu seseorang tidak
lagi mengerjakan profesi yang selama ini ditekuninya (Suparlan, 2005: 3--6).
Sebagai makhluk sosial, setiap orang mempunyai lebih dari satu identitas diri. Sebagai
bagian dari bangsa Indonesia, jati diri seseorang merupakan jati diri bangsa Indonesia.
Mengingat bangsa Indonesia merupakan bangsa yang didukung oleh kesatuan dari aneka suku
bangsa, diperlukan pemahaman atas suku-suku bangsa tersebut. Corak jati diri ke-Indonesia-an
itu sangat ditentukan oleh jati diri suku-suku bangsa pendukungnya. Jati diri suku bangsa atau
kesukubangsaan termasuk salah satu di antara jati diri yang dapat menjadi jati diri utama atau
dapat pula menjadi jati diri yang menempel dan memperkuat jati diri utama seseorang. Oleh
karena itu, interaksi antarsuku bangsa perlu dilakukan dengan tetap mengedepankan jati diri ke-
Indonesia-an. Uraian mengenai masalah ini akan disampaikan lebih lanjut pada sub-bab
mengenai masyarakat majemuk bangsa Indonesia.
9
Rusman Heriawan, Kepala BPS, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR RI, Rabu tanggal 3 Februari
2010.
Konsekuensi dari kondisi kemajemukan bangsa Indonesia adalah potensi terjadinya
konflik atau disintegrasi. Konflik terjadi apabila terdapat cara pandang tertentu seperti sikap
etnosentrisme atau primordialisme yang diwujudkan antara lain dalam bentuk stereotip etnik
pada suku bangsa lain. Di sisi lain, integrasi bangsa dapat didorong oleh aspek-aspek seperti
pengalaman sejarah yang sama, tujuan yang sama, bahasa dan simbol-simbol yang sama sebagai
identitas kebangsaan.
Mengapa kemajemukan masyarakat menjadi salah satu sebab munculnya persoalan
konflik integrasi? Karena kemajemukan itu bukan tanpa konsekuensi. Mengapa? Anggota
masyarakat dari berbagai suku itu berinteraksi satu sama lain. Dalam interaksi yang terjadi
muncul jati diri kesukubangsaan. Acuan mereka adalah budaya kesukuan yang terwujud dalam
bentuk atribut-atribut masing-masing. Akibatnya, potensi konflik muncul.
Pada kenyataannya, kebudayaan suku bangsa menjadi sebuah acuan utama dalam
menghadapi lingkungannya. Dalam masyarakat luas yang heterogen, kebudayaan
kesukubangsaan yang berisikan keyakinan atas ciri-ciri masing-masing secara sadar atau tidak
sadar memunculkan keberadaan jati diri suku bangsa sendiri dan jati diri suku-suku bangsa
lainnya. Hal ini memunculkan keyakinan mengenai kebenaran subjektif terkait dengan
pengetahuan mengenai ciri-ciri suku-suku bangsa lainnya itu. Kebenaran subjektif tersebut
seringkali digunakan sebagai acuan dalam menghadapi anggota suku bangsa lainnya itu. Kondisi
ini disebut stereotip dan stereotip dapat berkembang menjadi prasangka (prejudice).
Sebuah stereotip biasanya muncul dari pengalaman seseorang atau sejumlah orang dalam
berhubungan dengan suku bangsa lain. Dari sejumlah pengalaman yang terbatas itu muncullah
pengetahuan yang diyakini kebenarannya. Pengetahuan ini kemudian disebarluaskan sehingga
pengetahuan yang sifatnya terbatas tadi menjadi pengetahuan baku yang diyakini benar. Padahal,
pengetahuan itu hanya sebatas interpretasi dari pengalaman si pelaku sendiri namun
digeneralisasi sedemikian rupa sebagai ciri-ciri suku bangsa tersebut (Suparlan, 2005: 3—6.)
10
Sardjono Jatiman, “Integrasi Bangsa: Antara Kesepakatan Normatif dan Kenyataan Empirik,” makalah yang
disampaikan pada Seminar Nasional Tinjauan Kritikal tentang Integrasi Bangsa, Depok, 16—17 Januari 1996.
PPKI adalah panitia baru yang dibentuk untuk melanjutkan tugas Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI; dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu
Zyunbi Cosakai) yang sebelumnya dibentuk pada 29 April 1945. PPKI dibentuk pada tanggal 12
Agustus 1945 (bukan 7 Agustus 1945 karena pada tanggal 7 Agustus 1945 yang terjadi hanyalah
pemberian izin oleh pemerintahan Jepang di Tokyo untuk mendirikan PPKI, sedangkan
pembentukannya secara resmi adalah pada tanggal 12 Agustus 1945). Tugas BPUPKI adalah
menyiapkan Rancangan Undang-Undang Dasar guna menyongsong kemerdekaan, sedangkan
PPKI dibentuk untuk menyatakan atau mengesahkan kemerdekaan dan melakukan peralihan
kekuasaan dari negara jajahan menjadi negara merdeka (Kusuma, 2004: 1--13).
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus tahun 1945, Negara Indonesia yang masih
baru itu masih mengalami berbagai ujian dalam mempertahankan kemerdekaannya. Kerajaan
Belanda ketika itu ingin menjajah kembali Indonesia dengan alasan sebelumnya Indonesia
adalah bagian sah dari kerajaan Belanda, namun diambil alih oleh Jepang karena Belanda
bergabung dengan sekutu kalah perang pada tahun 1941. Dengan kekalahan Jepang dalam
perang Pasifik pada tahun 1945, Belanda mengklaim bahwa secara hukum internasional,
Indonesia kembali menjadi bagian dari kerajaan Belanda.
Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaannya melalui berbagai upaya, seperti
perang konvensional yang disebut revolusi kemerdekaan dan ‘perang’ diplomasi berupa
perundingan antarpemerintah kedua negara. Akhirnya, dicapai persetujuan melalui Perjanjian
Meja Bundar. Perjanjian ini memaksa Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Namun
pengakuan itu disertai syarat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diubah
menjadi Negara Republik Indonesia Serikat. Setelah syarat dipenuhi, yaitu NKRI diubah
menjadi NRIS berdasarkan Konstitusi RIS 1949 pada tanggal. Sejak itu, secara de jure Belanda
mengakui kemerdekaan Indonesia 29 Desember 1949, bukan 17 Agustus 1945 (Mahfud, 2009:
120--122).
Setelah proklamasi dan masa transisi sampai tahun 1949, mulailah masa Demokrasi
Liberal (1950--1959), yang secara berturut-turut diikuti oleh era Demokrasi Terpimpin—yang
kemudian disebut Orde Lama (1959--1965), Orde Baru (1966--1998), dan era Reformasi (1998--
sekarang). Proses pembentukan negara dan hal-hal yang berhubungan dengan masalah tersebut
akan diuraikan lebih lanjut dalam Bab II.
1.3.2 Pancasila dan UUD 1945
Persatuan suku-suku bangsa menjadi bangsa Indonesia memiliki ideologi sebagai landasan
berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila dan UUD 1945. Pancasila sebagai kaidah-kaidah
penuntun dalam kehidupan sosial, politik, dan hukum disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945
oleh PPKI. UUD 1945, yang mencantumkan Pancasila dalam bagian pembukaaannya merupakan
hukum dasar yang mengatur prinsip-prinsip dan mekanisme ketatanegaraan guna menjamin
demokrasi. Di dalam UUD 1945 ada rambu-rambu untuk menjaga keutuhan bangsa. Dengan kata
lain, Pancasila dan UUD 1945 merupakan dasar pemersatu dan pengikat yang mampu menjamin
keberlangsungan integrasi dan demokrasi.
11
UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5035).
fungsi itu, gagasan kedua golongan cendekiawan di atas sebenarnya saling melengkapi. Gagasan
kebudayaan nasional dari golongan pertama memenuhi fungsi pertama sedangkan dari golongan
kedua memenuhi fungsi kedua.
Contoh kebudayaan nasional yang berasal dari puncak-puncak kebudayaan daerah antara
lain adalah Borobudur, batik, tari-tarian tradisional, angklung, gamelan, karapan sapi, dan lain-
lain. Menurut ahli psikologi E. H. Erikson, identitas diri dapat dikuatkan oleh individu yang
bersangkutan dengan mengacu pada suatu karya unik yang dapat dibanggakan. Oleh karena itu,
identitas nasional dapat dikuatkan oleh hasil-hasil karya unik yang dapat dibanggakan sebagai
hasil karya bangsanya (Koentjaraningrat, 1987a).
Contoh unsur-unsur kebudayaan yang dapat memperkuat rasa solidaritas atau yang dapat
memenuhi fungsi kedua tadi antara lain bahasa nasional (bahasa Indonesia), seni drama masa
kini, seni film, dan sistem hukum nasional. Unsur-unsur ini harus dapat mengintensifkan
komunikasi antarsuku bangsa yang berbeda-beda dan dipahami maknanya sehingga dapat
menumbuhkan toleransi dan solidaritas.
Unsur-unsur kebudayaan nasional perlu terus dilestarikan dan dikembangkan. Namun,
yang perlu diperhatikan adalah pengembangan itu tidak boleh dibatasi hanya pada unsur-
unsurnya saja, tetapi meliputi sistem nilai budayanya juga. Sebab, sistem nilai budaya
merupakan inti dari suatu kebudayaan karena dianggap bernilai tinggi). Nilai itu menjiwai semua
pedoman yang mengatur tingkah laku warga yang bersangkutan. Pedoman dimaksud adalah
adat-istiadat, sistem norma, aturan etika, aturan moral, aturan sopan-santun, pandangan hidup,
dan lain-lain. Menurut C. Kluckhohn, masalah kehidupan manusia bernilai tinggi dan universal
yang ada di setiap kebudayaan menyangkut setidaknya lima hal, yaitu (1) makna atau hakikat
hidup, (2) makna pekerjaan/karya dan amal perbuatan, (3) persepsi terhadap waktu, 4) hubungan
dengan alam sekitar, dan 5) masalah manusia dengan manusia (Koentjaraningrat, 1987b).
Di luar itu, salah satu dari kebudayaan nasional kita yang perlu terus dikembangkan
adalah soal hukum nasional. Pengembangan ini harus ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan
negara, sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945, yaitu membangun segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan
kesejahteraan umum, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Apa yang dibicarakan di atas pastinya merupakan salah satu upaya menjaga
keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain itu, setiap warga bangsa
perlu pula memahami jati dirinya sebagai bangsa Indonesia dan nilai- nilai yang dimilikinya.
Jati diri bangsa di sini berkaitan dengan cara pandang dan tingkah laku yang sesuai
dengan nilai budaya bangsa Indonesia. Istilah jati diri dapat diartikan sebagai ciri-ciri,
gambaran, atau keadaan khusus seseorang atau suatu benda. Jati diri ini pun diartikan sebagai
identitas.12 Jadi jati diri bangsa Indonesia adalah ciri-ciri atau identitas kita sebagai bangsa
Indonesia. Oleh karena itu, globalisasi harus pula diwaspadai karena dapat mengancam nilai-
nilai kebangsaan, seperti pemahaman yang keliru tentang ‘menjadi modern’ atau ‘menjadi seperti
orang Barat’.
Masalah jati diri, selain berkaitan dengan gaya hidup juga berkaitan dengan perilaku yang
dapat menyebabkan disintegrasi. Gaya hidup yang membuat anak-anak senang tawuran dan
“perang” antarsuku bangsa atau antara satu kelompok dengan kelompok yang lain menunjukkan,
antara lain, lemahnya toleransi terhadap perbedaan pendapat; munculnya elemen-elemen
separatisme dan kedaerahan/primordialisme; penafsiran keliru terhadap otonomi daerah sebagai
federalisme; pendekatan fragmentatif dalam menghadapi persoalan-persoalan bangsa; ketiadaan
atau kelangkaan tokoh panutan; lemahnya perasaan gotong-royong, solidaritas, dan kemitraan;
dan ketidaksepahaman dalam menyikapi proses globalisasi.13 Semua itu merupakan masalah
besar yang dihadapi bangsa Indonesia. Dengan demikian, perlu terus menerus ditumbuhkan
kesadaran bahwa kebhinekaan bangsa Indonesia merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
harus diterima sebagai kekayaan bangsa Indonesia.
12
Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: 2002), hlm. 462.
13
Muladi, “Jati Diri Bangsa”, makalah pada Diskusi Panel Revitalisasi Jati Diri Bangsa yang diselenggarakan oleh Biro
Organisasi dan Humas, Deputi Mensesneg Bidang Sumber Daya Manusia bersama Biro Kewilayahan dan
Wawasan, Deputi Seswapres Bidang Politik, Kantor Sekretariat Negara RI, Jakarta, 14 Juni 2006.
yang menandai golongan bangsa; perihal bangsa; mengenai (yang bertalian dengan) bangsa; atau
kesadaran diri sebagai warga dari suatu Negara.14 Dengan demikian, nilai kebangsaan dapat
diartikan sebagai suatu kesadaran dari warga negara yang dianggap penting atau berharga bahwa
dirinya merupakan bagian dari suatu negara yang mempunyai cir-ciri tertentu yang menandainya.
Pemahaman akan nilai kebangsaan yang kuat akan menumbuhkan rasa nasionalisme
dalam masyarakat. Menurut Kohn, nasionalisme adalah paham yang berpendapat bahwa
kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan.' Perasaan itu sangat
mendalam dan memiliki ikatan yang erat dengan tanah tumpah darahnya, dengan tradisi-tradisi
setempat, dan penguasa-penguasa resmi di daerahnya (Kohn, 1984: 11-13).
Bagi bangsa Indonesia, nilai kebangsaan tersebut tercermin dalam Konstitusi Negara, UUD
1945, khususnya pada bagian Pembukaan. Dalam salah satu alineanya tertulis bahwa
“...berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya.”
Pernyataan di atas menunjukan tekad bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang bebas
merdeka dengan tujuan mencapai masyarakat adil dan makmur.
14
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Op. Cit. Hlm. 783
Setelah terbentuknya NKRI, Nilai Kebangsaan yang ditanamkan berasal dari UUD 1945
dengan empat sumber acuan nilai, yaitu (1) Pancasila sebagai falsafah bangsa; (2) UUD 1945;
(3) NKRI sebagai bentuk negara; dan (4) Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan kesatuan
bangsa.
2.1.2 Wilayah
Wilayah atau lingkungan kekuasaan pemerintah meliputi (1) darat; (2) laut; (3) udara; dan (4)
ekstrateritorial. Wilayah darat ditandai dengan batas-batas alamiah/geografi maupun buatan.
Batas wilayah darat ditentukan oleh pemerintah. Batas wilayah laut merupakan hasil perjanjian
bilateral antarnegara yang bertetangga. Namun sejak dekade kesembilan abad XX, melalui
UNCLOS ’82, batas laut dan definisi tentang kepulauan diubah. Laut bukan lagi merupakan
pembatas suatu daerah, melainkan penghubung antardaerah dalam negara. Penentuan wilayah
udara mengacu pada konvensi Paris yang ditanda tangani pada 23 Oktober 1919. Konvensi
tersebut memutuskan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif atas
ruang udara yang terdapat di atas wilayahnya. Tujuannya adalah agar setiap negara memiliki
kedaulatan (air sovereignty) di atas wilayahnya. Sejak 1944 (Konvensi Chicago) wilayah
kedaulatan udara terbentang di atas daratan dan lautan suatu negara. Pasca-Perang Dunia II di-
tentukan adanya ruang angkasa dan berada di atas ruang udara masing-masing negara.
2.1.5 Konstitusi
Persayaratan lain suatu negara modern menurut Prof. Dr. Sri Soemantri (Ditjen Dikti, 2001: 36)
adalah adanya konstitusi. Kata konstitusi berasal dari bahasa Perancis constituir yang berarti
“membentuk” yang diartikan sebagai pengaturan dasar pembentukan suatu negara. Negara
moderen, terutama sejak berdirinya Amerika Serikat, menjadikan konstitusi merupakan prasyarat
bagi suatu negara bangsa (nation state).
Sebuah konstitusi biasanya berisikan (1) organisasi negara, pembagian kekuasaan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif; 2) hak asasi manusia, biasanya disebut bill of rights, dan
ditulis tersendiri; (3) prosedur mengubah kontitusi (amendemen); (4) ada kalanya ada larangan
untuk mengubah konstitusi dalam; (5) merupakan aturan hukum yang tertinggi. Di dalamnya
tidak jarang dibuat pembukaan atau mukadimah dasar yang berisikan cita-cita atau ideologi
negara (Budiardjo, 2008: 178).
a. Penduduk
Sebelum kemerdekaan Indonesia, rakyat Indonesia terdiri atas berbagai etnik, agama, dan
golongan kaula Belanda—onderdaan—maupun orang asing. Orang asing dibedakan antara
turunan Eropa—Jepang digolongkan sebagai orang Eropa—dan Timur asing yaitu Cina, Arab,
India. Setelah proklamasi kemerdekaan berbagai penduduk yang berada di Indonesia sebelum
tanggal 17 Agustus 1945 diakomodasi sebagai warga negara Indonesia.
b. Wilayah
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditentukan oleh BPUPKI adalah wilayah eks
Hindia Belanda (Setneg, tt: 25). Mengenai batas wilayah ini, pada tanggal 13 Desember 1957,
Pemerintah Indonesia mengeluarkan deklarasi tentang ketentuan batas wilayah laut yang
ditandatangani PM Djuanda.. Isinya ditujukan untuk memperkuat konsepsi wilayah maritim.
Konsep maritim Belanda dirombak total menjadi tata lautan yang diperbaharui “berasas negara
kepulauan” (archipelagic state principle). Dasar hukum konsepsi baru tersebut berupa negara
kepulauan yang wilayahnya meliputi: darat, laut, dan udara sebagai kesatuan yang utuh, yaitu
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea,
UNCLOS) pada tahun 1982 di Montego Bay, Jamaica.
Menurut Pasal 46 UNCLOS 1982, kepulauan berarti suatu gugusan pulau, termasuk
bagian pulau, perairan di antaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama
lainnya demikian eratnya sehingga merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi, dan politik.
Dengan demikian, Negara Kepulauan sebagaimana Negara Indonesia merupakan negara yang
terdiri atas pulau-pulau sebagai satu keastuan; wilayah itu sepertiganya merupakan daratan dan
dua pertiganya lautan.
c. Pemerintah
Pemerintah Indonesia ada sejak 18 Agustus 1945 sebagai hasil sidang Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Implementasi Trias politica setelah Orde Baru berakhir
merujuk pda UUD NRI 1945 tidak lagi sebagai pemisahan kekuasaan tetapi sebagai pembagian
kekuasaan. Fungsi dan kekuasaan negara tidak dibagi secara terpisah dalam tiga lembaga saja,
tetapi didistribusikan ke dalam enam lembaga tinggi negara. UUD NRI 1945 menghapus satu
lembaga tinggi negara, yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang sebelumnya mempunyai
kekuasaan konsultatif bagi Presiden. Selanjutnya dibentuk satu lembaga tinggi negara yang baru
bernama Mahkamah Konstitusi (MK). Pendistribusian kekuasaan negara pada lembaga-lembaga
tinggi negara memungkinkan adanya saling kontrol di antara lembaga-lembaga tersebut. Berikut
ini uraian mengenai lingkup kewenangan beberapa lembaga negara tersebut.
Badan eksekutif atau Pemerintah adalah organisasi yang berwenang merumuskan dan
melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk dalam suatu wilayah.
Pemerintah bertindak atas nama negara dan menyelenggarakan kekuasaan negara. Di negara
demokrasi, badan eksekutif terdiri atas kepala negara atau kepala pemerintahan, menteri-menteri,
pegawai negeri sipil, dan militer.
Pengertian badan eksekutif dapat dipersempit hanya mencakup kepala negara, kepala
pemerintahan, dan para menterinya. Untuk memperlancar tugas mereka dibentuklah badan
pelaksana yang bersifat permanen dan profesional, yakni birokrasi. Birokrasi melaksanakan
tugas-tugas administrasi yang bersifat teknis yang tidak dapat ditangani sendiri oleh para politisi.
Badan Yudikatif merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Indonesia kini memiliki tiga badan yudikatif,
yakni
(1) Mahkamah Agung (MA), berfungsi menyelenggarakan peradilan termasuk menguji materi
perundang-undangan di bawah UU;
(2) Mahkamah Konstitusi (MK), berfungsi (a) mengadili untuk menguji UU terhadap UUD, (b)
memutuskan sengketa kewenangan lembaga yang kewenangannya diberikan UUD, termasuk
membubarkan partai politik, (c) memutuskan perselisihan hasil pemilihan umum, (d)
memberikan pendapat atas pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran oleh Presiden;
3) Komisi Yudisial mempunyai kewenangan untuk meng-usulkan Hakim Agung dan
kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat,
serta perilaku hakim.
Badan Legislatif adalah badan yang membuat undang-undang. Anggotanya dianggap
mewakili rakyat. Menurut teori yang berlaku, rakyatlah yang berdaulat dan mempunyai suatu
kemauan. Badan legislatif dianggap merumuskan kemauan rakyat dengan jalan menentukan
kebijakan umum (public policy) yang mengikat seluruh masyarakat. Kenyataannya, bentuk dan
susunan badan-badan legislatif berbeda pada tiap negara.
Berdasarkan ketentuan UUD NRI 1945, kekuasaan yang ada pada negara didistribusikan
kepada
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan
konstitutif, yaitu kekuasaan membentuk Undang-Undang Dasar;
(2) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan
legislatif, yaitu membentuk undang-undang;
(3) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lembaga tinggi negara yang memiliki kekuasaan legislatif
yang berfungsi memberikan pertimbangan dalam pembentukan undang-undang.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), lembaga tinggi negara (baru) yang memiliki
kekuasaan inspektif yaitu melakukan pemeriksaan keuangan negara. Hasil pemeriksaan
keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD, sesuai dengan kewenangannya.
Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan mempertimbangkan pendapat DPD dan diresmikan oleh
Presiden Keanggotaannya Kedudukan BPK di ibu kota negara dan mempunyai perwakilan di
setiap provinsi.
d. Pengakuan dari Negara Lain
Mesir merupakan negara asing pertama yang mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Republik
Indonesia. Pengakuan de facto itu dilakukan pada tanggal 22 Maret 1946 dengan menyatakan
bahwa pengurusan tentang masalah Indonesia tidak dilakukan melalui Kedutaan Besar Belanda.
Selanjutnya, Mesir mengajak anggota Liga Arab untuk mengakui kemerdekaan Indonesia.
Pengakuan de jure baharu dilaksanakan pada 10 Juni 1947.
Negara kedua yang mengakui adalah India setelah merdeka dari Inggris pada 15 Agustus
1947. India menggagas resolusi bangsa-bangsa Asia-Afrika yang mengecam agresi militer
Belanda ke Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948. Perdana Menteri India J. Nehru
menggelar konverensi Asia bersama Pakistan, Sri Lanka, Nepal, Libanon, Siria, dan Irak. Dalam
konferensi ini, Nehru mendesak Pemerintah Belanda meninggalkan Indonesia.
Pengakuan negara lain bagi berdirinya suatu negara sangatlah penting. Pengakuan negara
tersebut akan menjadi jalan bagi terjadinya interaksi antarnegara. Dengan demikian, akan
memperkokoh kedaulatan negara sebagai negara yang merdeka.
e. Konstitusi
Secara hakiki konstitusi berarti perjanjian antarmasyarakat dalam bernegara, sekaligus kontrak
sosial. Pengertian Konstitusi (secara terminologi): sejumlah aturan dasar dan ketentuan hukum
yang dibentuk untuk mengatur fungsi dan struktur lembaga pemerintahan termasuk hubungan
kerja sama antarnegara dan masyarakat dalam hal kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut
Prof. Miriam Budiardjo (2008: 171) dalam negara demokrasi konstitusional, Konstitusi/UUD
berfungsi khas. Dia membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa hingga penyelenggaraan
kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dalam perjalanan sejarah, UUD kita yang sekarang
merupakan hasil empat kali amendemen dalam kurun waktu tiga tahun (1999--2002). Secara
resmi, konstitusi kita bernama UUD NRI 1945. Masyarakat sering menamakan UUD 2002.
Perubahan UUD 1945 dapat digambarkan sebagai berikut.
Undang-Undang Dasar (asli) terdiri dari tiga bagian, yaitu (1) Pembukaan (preambul);
(2) Batang Tubuh; dan (3) Penjelasan. Pembukaan terdiri atas empat alinea. Pembukaan
menggambarkan hakikat nilai-nilai hukum: Tuhan, kodrat, etis, dan filosofis dalam UUD.
Batang Tubuh merupakan jabaran pelaksanaan hukum dasar, yang terdiri atas enam belas Bab,
dan tertuang dalam tiga puluh tujuh pasal; empat pasal Aturan Peralihan; dan dua pasal Aturan
Tambahan. Bagian Penjelasan dibuat untuk memudahkan masyarakat memahami dan mendalami
isi serta hakikat: Pembukaan dan Batang Tubuh UUD sehingga dapat dihayati dan dilaksanakan.
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang sekarang merupakan hasil
empat kali amendemen, dengan ciri antara lain:
(1) tidak memuat penjelasan, ini dapat menyebabkan multi tafsir;
(2) judul bab dan pasal banyak mengalami perubahan;
(3) jumlah Bab, Pasal, dan Ayat berubah secara drastis, namun penomoran bab dan pasal tetap
sama, hanya dengan menyisipkan “huruf” pada nomor bab dan nomor pasal yang ada; 4)
UUD NRI 1945 kini memiliki 21 bab, 73 pasal, dan 173 ayat, serta hanya 6 (enam) pasal
yang tidak diubah; yakni pasal-pasal: 4; 10; 12; 29; 35; dan 36; 5) Hanya 1/8 (12,5%)
kententuan asli, selebihnya ketentuan baru.
Perkembangan UUD NKRI, yaitu (1) UUD (17/8-1945—27/12-1949); (2) Konstitusi
RIS (27/12-1949—17/8-1950); (3) UUDS RI (17/8-1950—5/7-1959); (4) UUD-1945 (5/7-
1959—19/10-1999); (5) UUD-1945 Amendemen I (19/10-1999—18/8-2000); (6) UUD 1945
Amendemen I dan II (18/8-2000—9/11-2001); (7) UUD-1945 Amendemen I s.d. III (9/11-
2001—10/8-2002); (8) UUD NRI 1945 (10/8—2002 kini) merupakan Amendemen I s.d. IV.
Tata Urut Perundangan-undangan NRIsebaga berikut: (1) Peraturan Dasar (UUD,
Perubahan UUD, Piagam Dasar); (2) UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perpu)/Jurisprudensi; (3) Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden; (4) Peraturan Menteri
(Permen), Peraturan Pejabat setingkat Menteri; (5) Peraturan Daerah Provinsi (Perdaprov); (6)
Peraturan Gubernur; (7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perdakab/Perdakot); (8) Peraturan
Bupati/ Walikota; dan (9) Peraturan Desa. Materi baru yang muncul dalam UUD NRI 1945 perlu
menjadi catatan kita semua, yaitu:
(1) danya DPD membuat Indonesia kini menganut sistem bi-kameral yang umumnya dianut
Negara Federal;
(2) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diangkat sebagai lembaga tinggi negara;
(3) wilayah NKRI dinyatakan sebagai negara Kepulauan (Nusantara) sesuai dengan Deklarasi
Juanda;
(4) masalah Hak Asasi Manusia (HAM) dikembangkan meskipun dipengaruhi oleh HAM
Universal (Universal Declaration of Human Rights) yang kini banyak ditentang oleh negara
merdeka “baru”;
(5) bela negara tertuang dalam dua pasal sebagai bela negara dan upaya ikut serta dalam
pertahanan dan keamanan;
(6) Pemilihan Umum (Pemilu) diupayakan langsung hanya untuk Presiden dan Wakil Presiden,
namun berkembang menjadi Pilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung; dan
(7) pimpinan eksekutif di pusat maupun daerah maksimal dijabat selama dua periode.
f. Tujuan Negara
Tujuan nasional suatu negara sebenarnya merupakan jabaran dari pada tujuan hidup manusia
setelah membangsa. Oleh karena itu, tujuan dimasukkan dalam konstitusi negara. Demikian juga
pada UUD kita; tujuan nasional kita ditulis dalam Pembukaan UUD dan tidak boleh diubah.
Secara singkat Pembukaan UUD berisi empat alinea, dapat dijelaskan sebagai berikut: (1)
Alinea pertama berisikan tentang Hukum Kodrat dan Hukum Etis yang telah dihayati oleh
bangsa Indonesia; 2) Alinea kedua, memuat cita-cita bangsa kita untuk merdeka; 3) Alinea
ketiga, merupakan hakikat dari Hukum Tuhan dan Hukun Etis; 4) Alinea keempat berisikan
tujuan negara dan sekaligus falsafah Pancasila dipakai untuk pedomanan berbangsa dan
bernegara. Isi Tujuan Nasional dapat ditulis secara singkat sebagai berikut: 1) melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2) untuk memajukan kesejah-
teraan umun; 3) mencerdaskan kehidupan bangsa; 4) dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
g. Bentuk Negara
Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, demikian Pasal 1 ayat 1,
UUD-1945 (asli). Artinya negara Indonesia bukan negara federasi, melainkan negara kesatuan
yang kekuasaan utamanya berada di tangan Pemerintah Pusat. NKRI dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintah daerah, yang diatur dengan UU (Pasal 18 ayat
(1) UUD NRI-1945). Pemerintah Daerah (Pemda) provinsi, kabupaten dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan perbantuan. (Pasal 18 ayat (2)
UUD NRI-1945).
2.3.3 Geopolitik Indonesia
Salah satu dari empat ciri khas Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkaitan dengan
wilayah adalah negara kepulauan, dengan masyarakatnya yang majemuk. Ciri khas bangsa
Indonesia ini menghendaki bangsa Indonesia memiliki cara pandang yang sama dalam upaya
mengelola wilayah. Kesamaan gagasan dan cara pandang untuk membentuk negara bangsa
dituangkan melalui ideologi Pancasila. Oleh karena itu disusunlah doktrin Geopolitik Indonesia
yang merupakan kesatuan pandang bangsa tentang diri dan lingkungannya. Geopolitik Indonesia
disebut Wawasan Nusantara. Wawasan Nusantara didefinisikan sebagai cara pandang dan sikap
bangsa Indonesia tentang dirinya yang bhineka, dan lingkungan geografisnya yang berwujud
negara kepulauan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Panitia LEMHANNAS, 1980: 72).
Wawasan Nusantara memiliki 4 fungsi: 1) mewujudkan serta memelihara persatuan dan
kesatuan yang serasi dan selaras dalam segenap aspek kehidupan nasional (astagatra); 2)
menumbuhkan rasa tanggung jawab atas pemanfaatan lingkungan; 3) menegakkan kekuasaan
guna melindungi kepentingan nasional; dan 4) merentang hubungan internasional dalam upaya
turut menegakkan perdamaian. Berdasarkan keempat fungsi tersebut, Wawasan Nusantara
dipakai sebagai 1) pola dasar perencanaan pembangunan nasional; 2) pola dasar pemanfaatan
lingkungan yang berhubungan erat, saling terkait, serta saling bergantung antara masyarakat dan
ruang hidupnya; 3) pola dasar implementasi konsep pertahanan keamanan untuk menjamin
segenap wilayah Indonesia; 4) dengan letak negara pada posisi silang dan sebagai negara
kepulauan terbesar, Indonesia dapat melaksanakan salah satu tujuan nasional, yaitu ikut serta
dalam upaya perdamaian dunia.
Konsep Wawasan Nusantara merupakan gambaran “dunia ideal” yang kita kejar dan
hendaknya diikuti oleh konsep “dunia nyata” yang harus diwujudkan. Dunia nyata yang harus
diwujudkan tidak lain adalah konsep geostrategi Indonesia. Konsep itu disebut Ketahanan
Nasional.
Nilai pertama dari Pancasila adalah ketuhanan. Nilai utama ini mengacu pada keyakinan
pada Tuhan dan hidup dengan menjalankan perintah-Nya tanpa mengganggu urusan (utamanya)
agama lain. Dalam sejarah bangsa Indonesia, pada zaman Kerajaan Majapahit dalam
menjalankan kerajaannya, Raja Hayam Wuruk memerintahkan para pejabat urusan agama agar
mengatur secara baik pelaksanaan dua agama besar secara berdampingan, yaitu agama Hindu
dan agama Buddha (Poseponegoro & Notosusanto, 1993: 232). Hal ini menjadi contoh bahwa
berabad-abad lalu di Indonesia telah dikenal pemahaman toleransi di bidang keagamaan.
Prinsip nilai kedua Pancasila adalah mengakui persamaan hak dan kewajiban, sayang
pada sesama, dan menjalin hubungan dengan bangsa lain berdasarkan sikap saling menghormati.
Cerminan tingkah laku dari nilai kedua sebagai bangsa adalah ketika mengakui bangsa-bangsa
lain yang menyatakan diri merdeka dan berdaulat sesuai dengan prosedur yang berlaku. Ketika
ada penjajahan terhadap suatu bangsa, bangsa Indonesia menolaknya. Di sisi lain, dalam
kehidupan sehari-hari, nilai ini dapat mewujud dalam keberanian untuk menyatakan suatu hal
yang benar di tengah situasi yang kurang selaras. Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari-hari,
kita melihat bahwa perokok tidak mengindahkan hak dasar dari orang-orang di sekitarnya.
Nilai ketiga Pancasila berupaya untuk mengutamakan kepentingan bangsa daripada
diri/kelompok, cinta tanah air dan bangsa, dan pengembangan rasa persatuan bagi bangsa.
Berbagai bentuk tingkah laku dapat dilakukan untuk mewujudkan nilai tersebut secara konkret di
masyarakat. Contohnya, para guru yang berjuang mendidik muridnya di wilayah-wilayah
terpencil di Indonesia.
Pada nilai keempat, Pancasila mengetengahkan tema demokrasi. Pada dasarnya,
demokrasi memosisikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan penuh atas dirinya. Jauh sebelum
merdeka, bangsa Indonesia sudah mengenal pola demokrasi yang hidup di masyarakat. Misalnya,
ada mekanisme rapat desa di berbagai komunitas di pulau-pulau di Nusantara (Malaka, dalam
Latif, 2011: 387).
Upaya untuk mengejawantahkan nilai kelima dalam Pancasila sebagai bangsa Indonesia
telah diupayakan sebelumnya. Dalam keseharian, kita sering mendengar istilah gotong-royong,
yaitu sebuah aktivitas membantu pihak lain yang meminta secara santun untuk menyelesaikan
suatu tugas agar tercapai tujuan bersama (Koentjaraningrat, 1977: 6; Marzali, 2005: 159). Pada
masyarakat desa yang agraris, membangun saluran air untuk sawah pribadinya jelas bukan
sekadar pekerjaan pribadi, melainkan terkait pula dengan warga lain. Oleh karena itu, hak untuk
mendapatkan air selaras dengan kewajiban menjaga sumber dan saluran air untuk pertaniannya.
15
Penjelasan UU RI Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Menurut UU Kewarganegaraan RI tersebut,16 kewarganegaraan Indonesia dapat diperoleh
atas 7 dasar, yaitu sebagai berikut.
a. Kelahiran
Dengan dasar kelahiran, seseorang secara otomatis menjadi WNI karena ayah dan ibunya adalah
WNI. Ketentuan ini merupakan implementasi dari asas keturunan (ius sanguinis). Seorang anak
tetap menjadi WNI walaupun dilahirkan di luar negeri. Tujuannya adalah untuk mencegah
apatride.
b. Pemberian status
Untuk menghindari kasus tanpa kewarganegaraan atau kewarganegaraan ganda, negara dapat
memberikan status warga negara bagi anak yang dilahirkan di luar negeri dengan salah satu
orang tua (ayah atau ibu) adalah WNI, sedangkan yang satu lagi bukan WNI.
c. Pengangkatan
Dengan dasar pengangkatan, seorang anak WNA yang berumur 5 tahun (atau kurang), yang
diangkat anak oleh WNI dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia.
d. Permohonan
Atas dasar permohonan, kewarganegaraan Indonesia dapat diberikan kepada anak berusia 18
tahun, yang ayah dan ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda, WNI dan asing (WNA).
Pada awalnya, dia menjadi WNA, namun kemudian ingin menjadi WNI untuk mengikuti ayah
atau ibunya yang berkewarganegaraan Indonesia. Pemerintah dapat mengabulkan
permohonannya setelah ia meninggalkan kewarganegaraan sebelumnya agar tidak terjadi
kewarganegaan ganda.
e. Naturalisasi
Naturalisasi memiliki arti bahwa kewarganegaraan Indonesia dapat diberikan kepada orang asing
yang sungguh-sungguh ingin menjadi WNI.
f. Perkawinan
Dengan perkawinan, demi kesatuan kewarganegaraan dalam keluarga, pihak suami atau istri
yang berstatus WNA dapat mengikuti pasangannya yang berstatus WNI dengan syarat bahwa ia
harus melepaskan kewarganegaraan sebelumnya terlebih dahulu.
16
Pasal 4, 8, 21 UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
g. Kehormatan
Negara dapat memberikan kewarganegaraan kehormatan kepada orang-orang asing tertentu yang
telah berjasa kepada negara, namun hal itu tidak boleh mengakibatkan yang bersangkutan
memiliki kewarganegaraan ganda. Pemberian kewarganegaraan kehormatan itu dilakukan oleh
presiden setelah memperoleh pertimbangan DPR.
17
Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2006, bab V, tentang Syarat dan Tata Cara
Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia, Pasal 31 dan 37.
atau, dengan kata lain, untuk mencegah timbulnya provinsialisme yang memberi peluang kepada
gerakan separatisme. Namun, ketetapan atas bentuk negara kesatuan juga diiringi oleh satu
ketentuan pula, yaitu bahwa pemerintah pusat tetap memperhatikan kepentingan daerah.
e. Prinsip Negara Hukum (lihat UUD 1945 sebelum dan sesudah amendemen, Pasal 1,
tentang Bentuk dan Kedaulatan Negara )
Prinsip ini menuntut pemerintahan agar berjalan dengan tuntunan hukum dan bukan dengan
kekuasaan. Hukum, khususnya UUD, merupakan sumber norma yang mengatur pemerintahan
maupun rakyat. Dalam UUD terkandung cita-cita bangsa, sistem pemerintahan, dan kerangka
kerja bagi pemerintah. UUD merupakan otoritas tertinggi yang di dalamnya seluruh kekuasaan
cabang-cabang pemerintahan dan pejabat-pejabat terpilih berasal dan diatur. UUD begitu penting
sehingga setiap presiden yang dilantik harus mengucapkan sumpah untuk memegang teguh UUD
dan menjalankan segala undang-undang dan peraturan-peraturan dengan selurus-lurusnya (lihat
Lafal Sumpah Presiden selengkapnya dalam UUD 1945 sesudah amendemen, Pasal 9).
Semua prinsip dasar tersebut selanjutnya tercermin dalam pasal-pasal menyangkut hak
dan kewajiban warga negara, yang tidak dapat terpenuhi tanpa kehadiran institusi politik/negara.
Sebaliknya, kemerdekaan suatu negara tidak dapat dipertahankan tanpa kesadaran nasional
(nasionalisme) warga negara.
b. Kesetaraan
Seluruh warga negara tanpa memandang suku, agama, budaya, aliran politik, profesi dan status
sosial-ekonomi diperlakukan setara. Kesetaraan ini menempatkan setiap warga negara mendapat
pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian yang adil, dan perlakuan yang sama di hadapan
hukum (UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pasal 95).
c. Kemerdekaan (Indepedensi)
Kata kemerdekaan kita jumpai pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945. Dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, kemerdekaan negara-bangsa merupakan prasyarat bagi kemerdekaan
tiap-tiap warga negara. Kemerdekaan di sini bermakna lebih dari kebebasan dalam pengertian
liberal karena kemerdekaan menempatkan individu sebagai “persona” atau pribadi yang
bermartabat di dalam negara. Itulah hakikat individu sebagai warga negara yang tidak hanya
diposisikan di hadapan lembaga-lembaga hukum dalam negara, tetapi juga memiliki hak untuk
mengajukan tuntutan terhadap negara. Bersamaan dengan itu, pengakuan terhadap hak itu juga
menuntut tanggung jawab untuk memelihara dan mempertahankan kemerdekaan negara.
Tanggung jawab tersebut bukanlah sebuah bentuk pemaksaan, melainkan merupakan bentuk
aktivitas bebas warga negara yang dilakukan dengan penuh kesadaran (Poole, 1999: 83).
Selain ketiga aspek praktis tersebut, jika ditinjau lebih jauh, aktivitas politik yang
dilakukan tiap warga negara sebenarnya juga merupakan sarana untuk memenuhi hak-haknya.
1. Hak untuk mengeluarkan pendapat dan mendapatkan informasi (Lihat Pasal 28 dan 28
F, UUD 1945 sesudah amendemen)
Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihat pemerintah membuat kebijakan-kebijakan yang
berpengaruh luas, seperti menaikkan harga dasar listrik (TDL), mencabut subsidi bahan bakar
minyak (BBM), dan meningkatkan pajak penjualan. Dalam menghadapi kebijakan tersebut, hak
untuk mengeluarkan pendapat dan mendapat informasi tentu harus dipergunakan untuk
mengawal pemerintah agar bertindak untuk kepentingan seluruh rakyat. Rakyat harus
mengetahui apa yang dikerjakan pemerintah, dapat menyuarakan pendapat mereka, dan bersikap
kritis jika ternyata dampak kebijakan tersebut tidak untuk kepentingan seluruh rakyat.
Hak untuk mendapatkan informasi juga berarti mengetahui hak-hak dan
menggunakannya bila diperlukan. Sebagai contoh, dalam kehidupan sehari-hari sering aparat
negara melakukan salah tangkap terhadap seseorang yang tidak bersalah. Jika warga negara
tersebut sadar akan haknya, ia dapat terhindar dari perlakuan yang tidak adil. Kemerdekaan
untuk mengeluarkan pendapat dan memperoleh informasi juga terkait erat dengan kebebasan
pers karena pemenuhan akan hak tersebut akan mengacu pada sarana-sarana untuk mengeluarkan
pendapat dalam wujud tulisan, seperti koran, majalah, buku, serta sumber-sumber informasi
modern, seperti radio, televisi, dan internet.
2. Hak berserikat
Dengan hak berserikat, rakyat dapat membentuk organisasi, mulai dari klub olahraga, asosiasi
profesi, hingga partai politik. Rakyat juga dijamin haknya untuk hadir dalam rapat umum,
kampanye, dan sebagainya.
3. Hak untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya
masing-masing.
Dengan hak yang telah ditetapkan dalam Pasal 29 UUD 1945 ini, pemerintah menjamin rakyat
untuk menjalankan ajaran agama mereka. Sesuai dengan prinsip kesetaraan, pemerintah tidak
akan memperlakukan rakyat secara berbeda karena agama yang dipeluknya.
4. Hak untuk memilih dalam pemilu.
Hak untuk memilih merupakan salah satu hak yang penting sekaligus merupakan bentuk
tanggung jawab warga negara. Dalam pemilihan umum, warga negara memilih orang-orang yang
akan duduk dalam pemerintahan dan suara pemilih merupakan mandat bagi pemerintah yang
terpilih. Jadi, jika ternyata mereka yang terpilih tidak mampu menjalankan tugasnya dengan
baik, warga negara berhak untuk tidak memilihnya kembali pada pemilu berikutnya. Pemenuhan
hak ini secara bertanggung jawab akan memastikan pergantian kepemimpinan secara tertib dan
damai.
b. Membela negara
Membela negara merupakan salah satu kewajiban warga negara yang penting (lihat Pasal 27 ayat
(3) UUD 1945 sesudah amendemen). Pemenuhan kewajiban ini akan memastikan keamanan
negara dan bangsa, dan dengan demikian juga keamanan warga negara.
c. Membayar pajak.
Pajak merupakan sumber pendapatan negara yang penting. Penggunaannya antara lain ialah
untuk membangun fasilitas yang amat vital, seperti pembangunan jalan, gedung-gedung
pemerintah, dan berbagai fasilitas lain. Pajak juga digunakan untuk gaji aparat negara, seperti
tentara dan polisi yang bertugas untuk mempertahankan keamanan negara dan menjaga
ketertiban rakyat, serta pegawai birokrasi yang bertugas melayani rakyat.
d. Mengikuti pendidikan dasar atau wajib sekolah (lihat Pasal 31 ayat (2) UUD 1945
sesudah amendemen).
Sekolah merupakan sarana yang penting untuk mempersiapkan seseorang menjadi warga negara
yang baik. Melalui sekolah, seseorang mendapatkan pendidikan yang bukan hanya berupa
pengetahuan, melainkan juga keterampilan dan kemampuan dasar sebagai warga negara, seperti
kemampuan menyuarakan pendapat dalam bentuk lisan dan tulisan, serta kemampuan untuk
mencari dan memilah informasi. Di Indonesia, sejauh ini, yang diwajibkan bagi warga negara
adalah mengikuti pendidikan dasar.
e. Menghormati hak asasi orang lain (lihat Pasal 28 J, UUD 1945 sesudah amendemen).
Menghormati hak asasi orang lain merupakan syarat agar hak kita sendiri juga dihormati orang
lain. Rasa saling hormat mengarah pada terciptanya ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Dalam kehidupan sehari-hari, interaksi sosial merupakan peristiwa
yang tidak dapat dihindari, misalnya di dalam keluarga, tempat kerja, dan kampus. Dalam
interaksi-interaksi tersebut tidak jarang dijumpai adanya perbedaan pendapat atau bahkan
konflik. Solusi dari konflik disebut menghormati hak asasi jika tidak melibatkan tindak
kekerasan, tidak menghasut, tidak menjarah harta milik orang lain, tidak melarang orang
beribadah menurut agama atau kepercayaannya. Selain itu, dalam hal perusahaan, pimpinan
perusahaan tidak melakukan tindakan, seperti tidak membayar gaji pegawai; dan dalam hal yang
melibatkan kaum muda, seseorang tidak menimbulkan keributan yang menggangu kenyamanan
orang lain.
Bersamaan dengan kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain, warga negara
juga memiliki tanggung jawab untuk menghormati hak-hak orang lain yang tidak sependapat
dengannya. Warga negara diharapkan mampu menghargai dan menerima pendapat orang lain
tanpa memandang latar belakang budaya, agama, aliran politik, dan sebagainya. Tingkah laku
menghormati dan menerima pendapat orang lain ini disebut toleransi. Toleransi sangat
dibutuhkan dalam negara dengan sistem demokrasi karena di alam demokrasi, tiap orang
memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat. Jika pertukaran ide tidak disertai oleh toleransi,
akan terjadi kebuntuan. Kebuntuan berpotensi terjadi di masyarakat yang memiliki latar belakang
yang beragam. Dalam konteks ini, tiap warga negara memiliki tanggung jawab untuk
menghargai pendapat orang lain.
Di samping menghargai keberagaman, warga negara juga wajib menghargai hak orang
lain dengan cara ikut memelihara berbagai fasilitas umum yang digunakan banyak orang. Hal
tersebut dapat dilakukan, misalnya, dengan memelihara kebersihan halte bus, tidak merusak
peralatan telepon umum, dan tidak membuang sampah sembarangan di tempat umum.
4.8 Evaluasi Kritis terhadap Hubungan Timbal Balik antara Warga Negara dan Negara
Jika negara lain seperti AS memiliki piagam hak asasi yang terpisah dari UUD, Indonesia tidak
demikian. UUD 1945 (sebelum amendemen) telah mencakup hak asasi di dalamnya. Hak-hak
tersebut termuat dalam Pasal 27--31, yaitu tentang hak di bidang politik, ekonomi, sosial, dan
budaya (Budiardjo, 2008: 248).
Pencantuman hak-hak tersebut memiliki latar belakang sejarah yang menarik. Penjajahan
Belanda di Indonesia telah menyebabkan para pendiri bangsa bersikap kritis terhadap paham-
paham seperti liberalisme, kapitalisme, kolonialisme, dan individualisme. Liberalisme, misalnya,
telah digunakan negara-negara Barat untuk merumuskan hak asasi. Liberalisme pula yang
mendorong adanya kompetisi bebas antarnegara sehingga timbul benih-benih kolonialisme yang
berakibat pada penjajahan, terutama di Asia dan Afrika. Liberalisme dan kapitalisme yang
dipraktikkan tanpa batas, pada masa tahun 1930-an, juga menyebabkan krisis ekonomi di negara-
negara Barat dan memicu terjadinya perang antarnegara.
Dampak penerapan liberalisme dan kapitalisme tersebut telah menyadarkan tokoh-tokoh
bangsa bahwa hak-hak politik, seperti hak mengeluarkan pendapat dan berserikat, yang
ditekankan di alam liberalisme tidak mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat atau
kesetaraan di bidang ekonomi, padahal kesejahteraan merupakan masalah krusial bagi negara-
negara yang baru merdeka seperti Indonesia. Sebagai jawaban atas masalah tersebut, dalam
perumusan UUD, keadilan sosial lebih ditekankan (lihat Pasal 31, Pasal 33, Pasal 34 UUD 1945
sebelum amendemen). Namun demikian, di tengah kuatnya arus pemikiran untuk lebih
menekankan hak atau kemerdekaan warga negara di bidang sosial dan ekonomi, ada tokoh
seperti Hatta yang tetap kokoh untuk mencantumkan hak rakyat untuk mengeluarkan pendapat
dan berserikat. Tujuan pencantuman hak tersebut tidak lain untuk mencegah timbulnya negara
kekuasaan yang berpotensi menindas rakyat.
Dengan diterimanya usulan-usulan tentang pencantuman hak mengeluarkan pendapat dan
berserikat, UUD 1945 sebelum amendemen telah mencantumkan hak-hak politik, sosial,
ekonomi, dan budaya. Ada satu hal yang membanggakan dan patut ditunjukkan di sini, yaitu
bahwa UUD 1945 memuat hak-hak kolektif, seperti hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri
(lihat Pembukaan UUD 1945) dan hak ekonomi dan sosial, seperti hak mendapat pengajaran, hak
atas penghidupan yang layak, hak untuk fakir miskin dan anak terlantar, dan seterusnya.
Pencantuman hak-hak tersebut dilakukan mendahului Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM) yang baru diundangkan tiga tahun kemudian, yaitu pada tahun 1948 (Budiardjo,
2008: 244). Dengan demikian, dari sudut sejarah pemikiran, kita patut menghargai pemikiran-
pemikiran tokoh pendiri bangsa kita.
Pembicaraan tentang pemikiran tentu tidak akan lengkap jika tidak mencakup aspek
tindakan dalam bentuk kebijakan negara di bidang pemenuhan hak-hak warga negara
sebagaimana tercantum dalam UUD. Dari sejarah perjalanan bangsa terlihat bahwa kebebasan
mengeluarkan pendapat, kebebasan berserikat, dan kebebasan pers tidak dapat dinikmati
sepenuhnya oleh warga negara karena adanya batasan-batasan, seperti pembubaran partai politik,
pembredelan pers, dan tindakan sewenang-wenang, seperti kekerasan militer (pemberlakuan
daerah operasi militer/DOM) di Aceh, kasus Tanjung Priok, dan kasus Trisakti. Faktor-faktor
tersebut, bersama-sama dengan keterpurukan ekonomi dan masalah-masalah korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN) yang kronis, telah mendorong berbagai elemen masyarakat untuk melakukan
Gerakan Reformasi untuk mengakhiri pemerintahan Soeharto.
Satu hal yang menarik dan patut dipelajari dari peristiwa-peristiwa tersebut adalah bahwa
ketika negara menjadi negara kekuasaan, negara (dalam hal ini pemerintah) memakai kekuasaan
untuk menafsirkan UUD demi kepentingan kekuasaan itu sendiri sehingga dalam
pelaksanaannya, rakyat menjadi pihak yang tertindas. Pada masa Orde Baru, sering kali terjadi
ketidaksamaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat tentang konsep “kepentingan umum”
dan “keamanan nasional”. Dalam tafsiran pemerintah, tidak jelas kapan kepentingan individu
berakhir dan kepentingan umum dimulai. Sebagai contoh, dalam kasus penggusuran, penduduk
diminta menyerahkan lahannya untuk pendirian fasilitas rumah sakit. Dalam kasus seperti ini,
masyarakat biasanya tidak mempersoalkannya, tetapi dalam kasus penggusuran untuk pendirian
pusat komersial, interpretasi tentang “kepentingan umum” dapat bertolak belakang karena dapat
dipandang sebagai pelanggaran hak asasi. Demikian pula interpretasi tentang keamanan, tidak
pernah jelas kapan keamanan terancam dan kapan unjuk rasa masih dapat ditoleransi sebagai
upaya untuk mengeluarkan pendapat. Kekuasaan menafsir “kepentingan umum”, “keamanan
umum” dan “stabilitas nasional” merupakan monopoli negara (Budiardjo, 2008: 251--253).
Dengan demikian, negara telah menampilkan diri sebagai negara kekuasaan.
Menghadapi situasi demikian, memasuki era Reformasi, berbagai elemen masyarakat
menuntut penguatan hak asasinya. Upaya ini berhasil dengan dikeluarkannya UU RI Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pemberlakuan dan pelaksanaan UU itu merupakan
kemajuan hak-hak asasi politik, seperti hak untuk mengeluarkan pendapat, hak berserikat, dan
kebebasan pers yang kini dapat dinikmati rakyat secara bebas. Selain itu, terbitnya UU Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasaan dalam Rumah Tangga telah menguatkan hak asasi
perempuan. Dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan RI terdapat pasal yang
mengesahkan status anak yang terlahir dari ibu WNI dan ayah WNA. Adanya UU ini
menyebabkan status anak yang terlahir dari ibu WNI adalah mengikuti kewarganegaraan ibunya
sampai ia dapat menentukan statusnya sendiri pada usia 18 tahun. UU Nomor 21 Tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dibentuk agar perempuan dan anak
terlindungi dari tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar
hak asasi manusia.
Adapun pemenuhan hak-hak politik ternyata tidak diimbangi dengan pemenuhan hak
warga negara di bidang sosial, ekonomi, dan budaya. Saat ini, Indonesia masih terbelit oleh
masalah pengangguran, pendidikan dan kesehatan yang mahal, kemiskinan, dan korupsi.
Kebijakan-kebijakan pemerintah ternyata belum mampu memenuhi tujuan-tujuan yang
digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Kesejahteraan dan keadilan sosial masih jauh dari
harapan. Masalah kesetaraan di hadapan hukum pun masih menjadi persoalan sehingga timbul
rasa ketidakadilan di kalangan rakyat. Di pihak warga negara, yang juga patut mendapat
perhatian khusus adalah bahwa perilaku kebebasan tanpa batas, seperti tindakan anarkis, amuk
massa, tindakan-tindakan yang tidak mencerminkan toleransi dalam hidup beragama, dan
perilaku korupsi, merupakan cermin melemahnya kesadaran akan pentingnya hukum untuk
ketertiban bersama dan menciptakan keadilan.
Melihat keadaan yang dikemukakan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa masalah
keamanan, kesetaraan, dan kebebasan tetap menjadi masalah penting dalam hidup berbangsa dan
bernegara. Pemenuhan hak-hak warga negara di ketiga bidang tersebut memerlukan peran
negara. Namun demikian, mengingat permasalahan dalam masyarakat begitu rumit dan beragam,
negara juga membutuhkan partisipasi warga negara. Partisipasi politik warga negara merupakan
kekuatan penyeimbang bagi kekuasaan negara. Melalui hubungan kerja sama atau hubungan
timbal balik antara negara dan warga negaralah penyelenggaraan negara dapat terarah pada cita-
cita bersama seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
BAB 5
INDONESIA DAN DUNIA INTERNASIONAL
Kesimpulan
Lahirnya negara Indonesia yang merdeka berangkat dari perjalanan panjang sejarah bangsa
Indonesia. Perjalanan tersebut dimulai dari kesadaran berbangsa yang disatukan oleh
pengalaman sejarah, masa sebelum penjajahan, saat penjajahan dan proses perjuangan bangsa
mencapai kemerdekaan, sampai saat kemerdekaan Indonesia berhasil diraih.
Dalam proses bernegara, bangsa Indonesia disatukan oleh nilai dasar yaitu Pancasila dan
hukum dasarnya, UUD 1945. Nilai Pancasila merupakan kristalisasi nilai- nilai yang hidup pada
bangsa Indonesia. Nilai tersebut merupakan pandangan hidup bangsa yang menjadi fondasi nilai
dalam kehidupan sehari- hari serta menjadi pedoman dalam berinteraksi sebagai warga global.
Setiap warga Indonesia perlu menyadari kedaulatan bangsanya sendiri berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Baik Negara maupun warga negara menyadari dan melaksanakan hak
dan kewajibannya untuk mengisi kemerdekaan bangsa. Semangat perjuangan dan nilai- nilai
kebangsaan yang terus dipertahankan dan dikembangkan akan menjadi jalan untuk mencapai
tujuan sebagai bangsa yang sejahtera dan bermartabat.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
B. Undang-undang
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum dan sesudah Amendemen I sampai
dengan IV).
_________, UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
_________, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165.
_________, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63.
_________, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasaan dalam Rumah Tangga.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95.
_________, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58.
_________, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140.
_________. Undang-Undang No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara,
serta Lagu Kebangsaan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109.
_________, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244.
DATA PENULIS
R. Ismala Dewi adalah tenaga pengajar tetap di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Program
Sarjana (S1) untuk Mata Kuliah Hukum dan Masyarakat, Manusia dan Masyarakat Indonesia,
Antropologi Budaya, Antropologi Hukum, dan Ilmu Budaya Dasar; dan di Program Pascasarjana
(S2) untuk Mata Kuliah Hukum Sumber Daya Air. Selain itu, penulis juga merupakan Tim
Pengembang MPKT A (2002 s.d. sekarang); Koordinator Pusat MPKT A UI (2007—2015);
Koordinator Fakultas MPKT A di FHUI (2004—2007); serta Dosen MPKT di lingkungan UI.
Selain di UI, beliau juga mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK/PTIK), Akademi
Ilmu Pemasyarakat (AKIP), dan Akademi Imigrasi (AIM). Latar belakang pendidikan adalah
Sarjana Hukum (S1) dari Fakultas Hukum UI, Magister Hukum (S2) dan Doktor (S3) dari
Program Pascasarjana FHUI. Selain sebagai tenaga pengajar, penulis juga berperan sebagai
anggota Senat Akademik FHUI, yang sebelumnya pernah menjabat juga sebagai Anggota Badan
penjaminan Mutu Akademik (BPMA) UI, dan Ketua Unit Penjaminan Mutu Akademik (UPMA)
FHUI. Penulis telah menulis beberapa buku dan karya ilmiah lain, aktif dalam berbagai kegiatan
yang berkaitan dengan disiplin ilmu hukum, dan aktif kegiatan pengabdian pada masyarakat.