Anda di halaman 1dari 183

“Melintas yang Sepintas, Meski Bias”

Komunitas Embun Pagi :


Abdul Haris Fitrianto, Ahmad Fahmi Mubarok, Awaludin
Marwan, Edi Subkhan, Giyanto, Muhammad
Taufiqurrohman, Muhtar Said, Yogas Ardiansyah
Daftar Isi

Melintas yang Sepintas ; Filsafat dan Basis


Epistemologis
Menggugat Epistemologi Ilmu Sosial....................................... 6
Giyanto

Logis Saja Sudah Cukup? ......................................................... 17


Ahmad Fahmi Mubarok

Psikologi, Lagi dan Lagi ........................................................... 20


Ahmad Fahmi Mubarok

Motivator & Humanity ............................................................. 24


Abdul haris Fitrianto

Psikososiofisiomikrobioantropogeoteknologi......................... 29
Ahmad Fahmi Mubarok

Beberapa Tanggapan................................................................ 32
Muhammad Taufiqurrohman

“Pertarungan” Kaum “Liberal”:


Kontradiksi Berfikir Bryan Caplan .......................................... 37
Giyanto

Setelah Postmodernisme ......................................................... 40


Edi Subkhan

Melintas yang Sepintas ; Pendidikan


Matinya Para Filsuf ................................................................. 47
Edi Subkhan

SPL dan Disorientasi Tujuan Pendidikan ................................ 53


Muhammad Taufiqurrohman

Warung Pecel .......................................................................... 57


Yogas Ardiansyah

2
Pendidikan Politik Bagi Kaum Tertindas ................................ 62
Awaludin Marwan

Ruang Publik Pendidikan......................................................... 67


Edi Subkhan

Menengok Diri Serta Pendidikan Kita ..................................... 73


Giyanto

Semarang Kota Pendidikan, Mungkinkah? ............................. 77


Edi Subkhan

Nafas Neoliberalisme RUU BHP ............................................. 82


Edi Subkhan

Melintas yang Sepintas ; Intelektualitas


Proyek Masyarakat Intelektual ............................................... 92
Muhammad Taufiqurrohman

Nilai Politik dan Mimbar Akademik ........................................ 95


Giyanto

Aktivis Asli Tapi Palsu.............................................................. 97


Muhtar Said

Melintas yang Sepintas ; Demokrasi


Otonomi Daerah:
Sebuah Taruhan Menuju Good Governance Lokal .................. 100
Awaludin Marwan

Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Malaysia ...................... 104


Awaludin Marwan

Potret Demokrasi Lokal .......................................................... 109


Awaludin Marwan

3
Melintas yang Sepintas ; Budaya
Mas Goen,
Jawablah Pertanyaan-Pertanyaanku Jika Kau Mencintaku .... 115
(Surat buat Goenawan Mohamad)
Muhammad Taufiqurrohman

Sudahlah... Mari bersahabat ................................................... 122


Yogas Ardiansyah

Memoir : Apa Budaya Kita?...................................................... 128


Ahmad Fahmi Mubarok

Solo vs Sragen .......................................................................... 132


Ahmad Fahmi Mubarok

Hegemoni British English dan American English


Di Indonesia ............................................................................. 136
Muhammad Taufiqurrohman

Melintas yang Sepintas ; Mahasiswa


Meneguhkan Gerakan Intelektual Mahasiswa......................... 152
Edi Subkhan

Post Power Syndrome Di Lembaga Kemahasiswaan ............... 156


Abdul Haris Fitrianto

Antara Iklan dan Lomba Karya Tulis Mahasiswa .................... 159


Ahmad Fahmi Mubarok

Melintas yang Sepintas ; Refleksi Kedirian


Dilema Eksistensi Manusia (tinjauan psikologi marxian) ....... 163
Abdul Haris Fitrianto

MEMOIR .................................................................................. 165


Muhammad Taufiqurrohman

4
PRINSIP ................................................................................... 169
Giyanto

Sekedar Meminta Izin ............................................................. 173


Ahmad Fahmi Mubarok

Sebuah Pesan ........................................................................... 175


Yogas Ardiansyah

Selamat Tinggal Sayangku ....................................................... 178


Giyanto

Cerita Tentang Itu .................................................................... 181


Ahmad Fahmi Mubarok

5
Melintas yang Sepintas ; Filsafat dan
Basis Epistemologis
Menggugat Epistemologi Ilmu Sosial
Oleh : Giyanto

Tulisan ini mencoba merefleksikan, dan bukan untuk


menemukan hal-hal baru. Kali ini, kita akan membahas
Epistemologi Ilmu Sosial. Setelah tertatih-tatih dalam
memahami karya von Mises, yang diterjemahkan di Jurnal
Akal dan Kehendak oleh Sukasah Syahdan, akhirnya saya
berani untuk menulis hal ini. Selain frustasi memahami arti
sifat statistik induktif dalam setiap metode kajian ilmu
sosial, ini adalah bentuk kekecewaan dan frustasi atas ilmu
yang saya pelajari, yaitu Ilmu Sosial.
Bertahun-tahun mempelajari Ilmu Sosial, seolah
saya belum mendapatkan apa-apa. Setiap jurnal penelitian
yang saya baca dari penelitian yang ada, hampir semuanya
merekomendasikan hal yang sama ; kurang adanya
koordinasi antar lembaga/institusi sosial, jadi diharapkan
setiap lembaga pemerintah melakukan koordinasi.
Setidaknya hasil itu, yang sering saya temukan dalam
rekomendasi kajian ilmu sosial dalam mencoba
memecahkan permasalahan sosial. Tidak ada solusi lain.
Terlepas dari teori-teori besar Kuhn, Capra, dan lain
sebagainya dalam usaha menjelaskan berbagai proses
perkembangan ilmu pengetahuan, dengan kacamata yang
sangat sederhana sebenarnya kita dapat melihat adanya
ketidaksesuaian antara teori-teori Ilmu Sosial dan realitas
sosial itu sendiri.
Faktor lain, yang saya kira lebih penting, ialah
paradigma positivistik yang sudah bertahun-tahun
menjangkiti pemikir-pemikir Ilmu Sosial. Ke-kurang

6
percaya diri-an dalam menggunakan kajian deskriptif
ataupun analisis non statistik sudah lama tumbuh dalam
pikiran para ahli Ilmu Sosial. Ejekan-ejekan yang sering
saya baca di buku-buku Filsafat Ilmu –misal Filsafat Ilmu
karya Jujun Suryasumantri- oleh para pakar, saya kira telah
memicu penyakit “kurang percaya diri” tersebut. Ejekan
bahwa tanpa Matematika ataupun Statistik, Ilmu Sosial
menjadi kurang sahih, menurut saya sangat tidak
beralasan.
Logika Ilmu sosial sangat berbeda. Obyek kajian
Ilmu Sosial tidak seperti obyek Ilmu Alam yang cenderung
tetap. Obyek ilmu alam tidak memiliki relasi yang dinamis
dengan variabel di luarnya, relasi yang ada cenderung tetap.
Berbeda dengan kajian Ilmu Sosial yang mempunyai relasi
yang tidak tetap terhadap variabel-variabel di luarnya.
Seandainya manusia hanya dipengaruhi oleh variabel-
variabel tetap diluarnya dan tidak berusaha untuk
membalikkan stimulus yang ada, yang barangkali kemudian
balik menanggapinya dengan respon secara timbal balik,
saya kira itu bukan manusia, tapi lebih dekat dengan robot.
Manusia yang harus menunggu stimuli sehingga
memberikan respon, sekali lagi, saya kira itu bukan
manusia.
Sependapat dengan Einstein ketika ditanya
mengenai persoalan-persoalan epistemologis ilmu tentang
tindakan manusia: Bagaimana mungkin matematika,
sebagai produk pikiran manusia yang tidak bergantung
pada pengalaman apapun, dapat begitu pas dengan
obyek-obyek realitas? Apakah akal manusia mampu
menemukan, tanpa bantuan pengalaman, melalui akal
semata ciri-ciri benda-benda yang nyata? Dan jawabannya
adalah: ”Sejauh teorema-teorema matematika mengacu
pada realitas, maka tidaklah pasti, dan sejauh mereka
pasti, mereka tidak mengacu pada realitas”.
7
Kecenderungan epistemologis yang muncul baru-
baru ini merupakan reaksi ketidakpuasan dari patron
metodologi yang ada. Keberanian para ahli Antropologi
untuk memakai metode grounded search merupakan cikal
bakal "pemberontakan” tersebut, walaupun ada sedikit
"malu-malu" untuk menggunakannya. Yang juga-dan
masih- menyerang akut saat ini, adalah virus yang sama,
yang merasuk dalam Ilmu Ekonomi. Dan saya memprediksi
virus-virus ketidakpuasan terhadap ketidakmampuan Ilmu
Ekonomi dalam usaha memprediksi setiap permasalahan
ekonomi, akan membawa kita (kembali) mengakui
kesahihan metode yang barangkali dianggap purba, yaitu
praksiologi.
Anjloknya bursa saham di Amerika Serikat telah
membuat Negara-negara di seluruh dunia menjadi was-
was. Berbagai analisis ekonomi yang saya baca masih
cenderung dangkal. Padahal permasalahan tersebut
sebenarnya hanya membutuhkan solusi sederhana yang
telah seringkali disampaikan orang tua kita, yang secara
ilmiah bukan "pakarnya”-setidaknya menurut pakar Ilmu
Ekonomi. Atau, solusi tersebut dapat diungkap dari nilai-
nilai klasik Cina maupun Jawa Kuno.
Tidak bermaksud menjadi kiri. Tulisan ini
sebenarnya ingin mengatakan bahwa apa yang kita yakini
dalam epistemologi yang dipakai secara umum oleh ahli
Ilmu Sosial sebenarnya semakin menjauhi kebenaran atau
realitas itu sendiri. Dengan kata lain, saya sebenarnya lebih
mengiyakan pandangan subyektfivitas a la Thomas Kuhn,
atau yang lebih kontemporer barangkalai Fritjof Capra.
Entitas sosial, apabila dianalogikan ibarat sebuah
sistem tubuh dalam logika biologi, atau jaring laba-laba
dalam analogi Rothbard. Jadi, seandainya paradigma yang
ada sekarang memakai paradigma empiris “obyektif”
dengan kacamata ilmu pengetahuan alam, bukan tidak
8
mungkin, para ahli ilmu sosial yang sekarang “menjabat”
atau meneliti dan menulis di jurnal ilmiah telah melakukan
sesuatu yang sia-sia dan menghabiskan waktu. Ini berarti
terdapat satu generasi yang hilang-atau buta-terhadap
pencerahan ilmu tentang manusia.
Saya menyadari konsekuensi mengatakan yang
demikian. Apabila benar-benar diterapkan mengenai
paradigma yang saya yakini, bukan tidak mungkin, semua
struktur kelembagaan yang ada di dunia akademis berubah
total. Dan ini, menurut saya, tidak akan mungkin dilakukan
karena para akademisi akan lebih mementingkan
kepentingannya sendiri atau hak mereka untuk ber-status
quo, karena terkait dengan profesi, daripada benar-benar
melakukan tanggungjawab ilmiah dalam memperjuangkan
kebenaran secara ilmiah pula. (apalagi ide-ide tersebut
hanya dikatakan oleh “anak kecil”, seperti kita)
Akan tetapi, seperti yang dikatakan Hayek, bukankah
tugas intelektual untuk “memasarkan ide” dan selalu
mengingatkan setiap penyimpangan yang ada di
masyarakat, termasuk dunia akademis? Mengenai peran
untuk mendebatkannya, secara filosofis sudah dilakukan
oleh orang-orang, yang setidaknya sudah saya sebut dalam
tulisan ini.
Begitu banyak bukti-bukti mengenai subyektvitas
Ilmu Sosial. Sejarah perjuangan Ideologi, ataupun sejarah
penemuan teori-teori di bidang Ilmu Alam telah dapat
menjadi bukti bagi seringnya ketersesatan perjalanan
penegakan Ilmu Pengetahuan pada jalurnya. Nasib tragis
yang dialami oleh Wegener dalam memperjuangkan teori
continental drift bisa dijadikan kasus, atau nasib Galileo,
Copernicus, dan begitu banyak teoritikus lainnya yang
bernasib sama. Dan dalam bidang ekonomi, saya
memprediksi pandangan-pandan Ludwig von Mises akan
berdengung keras di dunia akademik Ekonomi setelah
9
tersia-siakan oleh masyarakat akademis, yang tidak lepas
dari pengaruh kepentingan-kepentingan politis. Dalam hal
ini, saya yakin kebenaran akan berbicara dengan sendirinya
entah suatu saat nanti.
Namun demikian, sebuah fakta sejarah kurang
lengkap apabila dipergunakan sebagai bukti ilmiah. Bukti
yang ada di depan mata, ialah mandulnya peran ilmuwan
sosial di masyarakat umum. Bahkan seringkali orang-orang
yang memiliki pengaruh ilmiah dalam ilmu sosial, biasanya
adalah orang-orang “terpinggirkan” dalam dunia akademik.
Bukankah ini merupakan bukti kecil dari fenomena
tersebut? Contoh lain barangkali bisa dilihat dari
produktivitas karya-karya sosial. Dari pengalaman saya
sebagai pembaca, pandangan-pandangan sosial malah
sering muncul dari mulut-mulut yang bukan ahlinya.
Semisal yang sering menjadi kasus di Indonesia ialah
profesi wartawan, sastrawan, peneliti lepas, pebisnis dan
lain sebagainya.
Sebagai tambahan, hasrat untuk menyerukan
kebenaran ilmiah sebenarnya sudah menjadi bawaan bagi
setiap manusia yang berfikir. Dan apabila ada yang
sebagian, atau bahkan kebanyakan diam, itu disebabkan
keberadaan mereka di struktur internal organisasi, yang
menerapkan paradigma yang cenderung represif terhadap
orang-orang semacam itu. Toh apabila orang-orang yang
“berfikir” tersebut mengetahui, mereka akan memilih diam
daripada memilih melakukan “keributan” yang barangkali
akan dicap “berisik” dan membikin onar -barangkali dalam
bentuk ekstrim dituduh mencari popularitas.
Analisa lain yang saya tuduhkan, kalau bisa
dikatakan sebagai gugatan, terkait keberadaan bangsa
Indonesia yang dalam “kelahirannya” berbarengan, atau
bisa dikatakan “disebabkan” oleh pertarungan ideologi-
ideologi besar. Pengaruh sosialisme dari tahun 1945-1965,
10
dan selanjutnya pengaruh liberalisme a la Anglo Saxon dari
tahun 1966 sampai sekarang, masih menjadi landasan
“darimana” gagasan itu seharusnya muncul, sehingga bisa
dikatakan sahih. Apakah kesahihan sebuah ilmu hanya
didasarkan pada latar belakang geografis, budaya,
peradaban, atau apapun itu? Saya kira pandangan tersebut
menandakan kesempitan befikir.
Sebuah paradigma seharusnya bisa diterima apabila
dia dapat dipergunakan untuk menjawab permasalahan
yang ada, dalam hal ini permasalahan sosial. Dan sekarang
kita malah menjauhi dari idealisme tersebut.
Hal-hal di atas sebenarnya merupakan idealisme
dari seorang yang frustasi. Lebih parahnya, bila melihat
seretnya penerbitan berkala di dunia akademik, bisa
dikatakan dunia akademik kita sebenarnya telah mati suri.
Dari kasus yang sekarang saya temui, penerbitan-
penerbitan jurnal malah lebih banyak dilakukan oleh pihak-
pihak yang berada si luar lingkaran akademik. Mereka
sebagian berdiri disebabkan oleh berbagai motif. Namun,
tanpa menyelidiki motif tersebut, seharusnya kita patut
mengapresiasinya dengan pikiran terbuka.
Beberapa kasus tersebut, seharusnya menjadi
refleksi semua pihak, termasuk intelektual, bahwa
tanggungjawab ilmiah sebenarnya dapat diperankan oleh
berbagai macam profesi, dan tidak harus sebagai filsuf yang
seringkali diimpikan oleh para intelektual, jika hanya ingin
meninggikan strata ilmiahnya.
Dari fakta tersebut, terlihat begitu jelas, sehingga
mempengaruhi keyakinan saya pribadi untuk mengambil
posisi, walaupun harus tertatih-tatih dengan cara berputar-
putar berpindah profesi, hanya sekedar mencari dan terus
mencari apa yang harus dan patut diperjuangkan. Selain
ketersesatan penggunaan paradigma, kita juga telah kurang

11
sesuai dalam menggunakan alur berfikir logis dalam upaya
menelaah sumber permasalahan ilmu sosial.
Cerita singkat mengenai perjalanan panjang
diakuinya teori continental drift barangkali bisa dijadikan
inspirasi. Dari perspektif historis Ilmu Alam, saat Alfred
Lothar Wegener menemukan teori continental drift, mula-
mula dia hanya sekilas melihat gambaran peta Amerika
Selatan dengan garis pantai barat Afrika yang begitu
identik. Wegener membayangkan bahwa kedua benua
tersebut pernah menyatu. Baru kemudian dia
mengumpulkan detail-detail penemuan yang ada, untuk
mendukung teorinya. Padahal, penelitian geologis telah
lama dilakukan oleh para geolog yang hanya memfokuskan
detail-detail geologi tanpa membayangkan gambaran muka
bumi secara keseluruhan. Akhirnya argumen Wegener
mendapat bantahan tanpa pengujian terlebih dahulu dari
para ahli geologi yang merasa paling tahu pada bidang
tersebut. Namun demikian, Wegener bersikap tak acuh dan
menikmati bidangnya dalam Klimatologi. Hingga 60 tahun
kemudian kebenaran ilmiah terungkap dan bukti-bukti
yang mengarah bahwa benua itu bergerak semakin banyak.
Barangkali sejarah tersebut bisa terulang dengan
cerita terbalik. Para ahli ilmu sosial, termasuk para
ekonom, selama ini telah terlalu menyederhanakan dan
terlalu menggeneralisasikan manusia melalui sederet
angka-angka. Sekumpulan data administrasi yang belum
tentu kesahihannya telah menjadi agregat-agregat yang
dianggap mewakili manusia, tanpa menyelidiki pada tingkat
mikro apa yang sebenarnya dilakukan manusia, apa alasan
mereka melakukan sesuatu, dan bagaimana mereka
bertindak untuk mencapai tujuan tersebut. Sehingga, hanya
orang-orang jalanan atau praktisi yang mengetahui dengan
jelas tapi-sangat disayangkan-mereka kurang mampu
menyatakannya secara argumentatif, tertulis, dan
12
mendasarkan pada teori yang sahih, untuk menjelaskan
permasalahan yang dihadapinya.
Sebagai contoh, petani sering mendapati nilai harga
beras mereka lebih rendah, jika dibandingkan dengan
barang kebutuhan konsumsi yang lain. Apabila sekarang
harga beras ditingkat dasar mencapai Rp. 4000,- bisa jadi
harga di tingkat konsumen mencapai Rp. 5.000,-.
Walaupun begitu, dalam mekanisme pasar hal tersebut
dapat diterima, karena jalur distribusi yang terlalu panjang.
Namun, yang lebih memprihatinkan, dengan harga dasar
Rp. 4000,- seandainya dibandingkan dengan harga
komoditas lain serta ditambah faktor-faktor produksi yang
dibutuhkan dalam pertanian yang harganya terus naik,
maka nilai beras dengan nominal yang demikian sangat
tidak berarti. Akibatnya, dalam istilah ekonomi, akan
terjadi defisit anggaran yang dialami petani. Tindakan yang
sering ditempuh petani, dengan menyewakan salah satu
sawahnya untuk menyokong biaya produksi pada tiap awal
musim tanam. Dan hal tersebut terus berlarut-larut
sehingga para petani tidak pernah mengalami keuntungan
sama sekali disebabkan oleh kebijakan-kebijakan
pemerintah yang sifatnya inflasif (semakin membuat
rendah nilai barang, dalam hal ini beras). Belum lagi biaya-
biaya keluarga seperti pendidikan, listrik, pajak dan lain
sebagainya.
Permasalahan tindakan-tindakan manusia
berdasarkan pilihan-pilihan yang demikian sulit, apakah
ilmuwan sosial atau ahli ekonomi mengetahuinya? Saya
masih ragu hal demikian diketahui oleh ilmuwan yang
duduk manis di mimbar akademik yang sangat terhormat.
Dan apakah data-data yang dianggap subyektif tersebut
bisa digunakan oleh pemerintah untuk mengambil
kebijakan? Paling-paling yang digencarkan malah iklan

13
pembayaran pajak agar tepat waktu. Suatu paradoks yang
sering terjadi di hadapan kita.
Fenomena-fenomena pemiskinan secara sistematis
tersebut sering dianggap sebagai hal yang remeh-temeh.
Bahwa permasalahan sosial yang demikian, dianggap
terjadi secara kasuistik dan parsial. Bukti yang bisa
dianggap sahih ialah pertumbuhan ekonomi yang tinggi
melalui angka-angka. Dengan demikian laporan
pertanggungjawaban pemerintahan dapat diterima oleh
rakyat yang diwakili oleh anggota legislatif melalui “data-
data” yang telah dianalisis oleh kementrian ekonomi.
Sebuah sandiwara yang selalu terulang setiap lima tahun
sekali.
Memang tidak mudah menerapkan paradigma
Individualisme Metodis dalam epistemologis Ilmu Sosial.
Mises telah memperingatkan:
Meyakini bahwa keseluruhan kolektif itu dapat
divisualisasikan adalah suatu ilusi.
Keseleruhan kolektif tidak pernah dapat
dilihat; kognisinya selalu merupakan hasil
dari pemahaman atas makna yang diberikan
manusia pada tindakannya. Kita memang
dapat melihat keramaian, misalnya
kerumunan manusia. Apakah kerumunan itu
hanya sekedar pertemuan, ataukah sebuah
badan teorganisasi, atau jenis lain dari entitas
sosial, merupakan sebuah pertanyaan yang
hanya dapat dijawab oleh pemahaman akan
makna yang mereka berikan terhadap
keberadaan tersebut. Dan makna ini selalu
merupakan makna dari individunya.
Bukankah indera kita, melainkan pemahaman
kita, sebagai sebuah proses mental, yang
membuat kita memahami entitas sosial.
14
Mises menambahkan :
Siapa saja yang bermaksud memulai kajian
tentang tindakan manusia dari unit-unit
kolektif, akan mendapati rintangan tak terperi
berupa kenyataan bahwa setiap individu pada
saat yang sama juga dapat merupakan bagian
nyata dari beragam entitas kolektif.
Persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh
mulitiplisitas unit-unit sosial yang
berkoeksistensi dan antagonismeantagonisme
mutual mereka dapat diatasi hanya melalui
individualisme metodologi.
Singkat kata, sekarang kita tidak hanya melakukan
kesalahan terbesar abad ini, namun dengan menyengaja,
kita, masyarakat ilmiah, telah membodohi masyarakat
umum yang seharusnya tercerahkan oleh keberadaan ilmu
pengetahuan.
Salah satu dosen pernah mengatakan dengan enteng;
“bahwa abad dua puluh ialah abad kuantitatif”. Namun
dalam hati saya mengatakan “abad dua puluh ialah abad
kegelapan”. Memang sangat mudah melupakan sebuah
kesalahan yang tidak merugikan diri sendiri.
Saat mengetahui fakta yang demikian, terasa sulit
menerima bahwa yang selama ini kita lakukan sia-sia.
Namun, setidaknya tumbuhnya kesadaran lebih awal akan
menjadikannya lebih baik. Walaupun mengetahui bahwa
kita keliru dalam melakukan permulaan, setidaknya satu
hal penting adalah ahli ilmu sosial, termasuk ekonomi,
sudah melakukan sesuatu dengan niat yang tulus.
Harapan dari penulisan ini bukan bermaksud
meniadakan arti penting Ilmu Sosial maupun Ekonomi, tapi
lebih pada pencarian dalam upaya mendekati kebenaran,
sehinga Ilmu sosial menjadi lebih bermanfaat bagi

15
kehidupan riil yang dapat membentuk kesadaran bagi umat
manusia.
Dari ulasan di atas, suatu keharusan bagi ahli Ilmu
Sosial untuk dapat memulai berusaha mengetahui dan
menyelidiki tatanan sosial yang ada, dengan apa adanya,
melalui penelitian-penelitian lanjut yang dilakukan peneliti
atau penulis lain, sehingga dapat mendiagnosis
permasalahan-permasalahan sosial dengan kacamata yang
tepat. Dengan demikian, sedikit demi sedikit kita dapat
mengetahui serta memanfaatkan modal sosial yang selama
ini belum terurai jelas, agar dapat digunakan sebagai
fondasi dalam membangun masyarakat yang lebih baik.

16
Logis Saja Sudah Cukup?
Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok

Orang muda menghormati yang lebih tua, orang


tua menyayangi yang lebih muda
Adagium yang akrab terdengar, mengingat takdir
geografis yang senantiasa menuntut alam bawah sadar kita,
bangsa Indonesia, untuk menerapkannya dalam setiap
sudut kehidupan. Penerapan adagium tersebut terlihat dan
sangat terasa mengiringi nuansa kehidupan bangsa
Indonesia pada umumnya, dan sivitas akademika Unnes
pada khususnya. Sedemikian indah ungkapan tersebut,
tetapi simpang empat Unnes tak pernah tidak semrawut
pada jam-jam peak, suara knalpot yang mengekor aliran
musik Slipknot, pun kuliah yang tidak bisa serutin kartun
Naruto -secara periodik seminggu sekali- karena alasan
kesibukan staf pengajar. Lalu apakah ada yang salah
dengan ungkapan tersebut?
Semua ilmu bersifat netral, dan praksis manusialah
yang memberikannya kesan baik ataupun buruk. Merujuk
pada kalimat di atas, adagium “Orang muda menghormati
yang lebih tua, orang tua menyayangi yang lebih muda”
tentu tidak ada yang salah di dalamnya, dan justru lebih
condong ke arah baik. Bersoal-jawab mengenai fenomena
tersebut, dimana terdapat kesenjangan das sein dengan das
sollen, ada kemungkinan kekeliruan terletak dalam ranah
praktiknya. Perlu diketahui, bahwa sebagai tuntunan
norma, dua kalimat tersebut bersifat dwitunggal jika
memang diinginkan untuk diterapkan dalam keseharian.
Tetapi kenyataannya, terdapat pemenggalan kalimat, dan
celakanya masing-masing pihak (muda dan tua) memegang
erat kalimat yang seharusnya menjadi pegangan pihak
lainnya. Kalimat “orang muda menghormati yang lebih
tua”, yang seharusnya menjadi kunci bagi si muda, justru
17
dipegang oleh mereka yang tua. Dan begitu sebaliknya.
Demikian yang terjadi, sehingga Si muda terlebih dahulu
menuntut agar disayangi oleh Si tua, dan Si tua tak henti-
hentinya mengingatkan keharusan dan pentingnya
penghormatan kepada dirinya. Saling menuntut berlanjut
hingga saling menyalahkan tak lagi terhindarkan,
melupakan bahwa yang terjadi hanyalah “kunci” yang
tertukar.
Senada dengan fenomena ”kunci tertukar” di atas,
kritik sebagai kontrol sosial pun bernasib sama jika dilihat
dari prinsip ”semua ilmu berawal dari logika, dan berakhir
dengan seni melalui tingkatan logis (benar-salah), etis
(pantas-tidak pantas), dan estetis (indah-tidak indah) yang
berlaku secara hierarkis. Selayaknya sebuah keluarga
dimana orangtua mendidik anak-anaknya, maka keluarga
besar Indonesia -dan Unnes- juga mempunyai tujuan
mengupayakan pendidikan bagi rakyat. Dalam
mengupayakan proses pendidikan yang dilakukan, tak
jarang orangtua melakukan kesalahan yang menuai protes
dari Si anak. Sampai disitu semua berjalan sebagai
fenomena yang wajar-wajar saja bukan?
Namun ada sesuatu yang tertangkap dan tergolong
tidak wajar ketika melihat cara penyampaian kritik -sebagai
bentuk protes- dan penyampaian tanggapan yang
diberikan. Terkait dengan hierarki yang disebutkan
sebelumnya, taraf logis menilai apa yang dilakukan
orangtua dianggap salah, sehingga mendapatkan kritik.
Seharusnya, hal ini sudah masuk dalam ranah etis, yang
mempertimbangkan bagaimana cara penyampaian kritik
yang pantas dan tidak menentang etika, agar selaras dengan
prinsip hirarki logis-etis-estetis, mengingat status sivitas
akademika yang disandang bersama. Jika hal itu bisa
dilaksanakan dengan penuh kesadaran, bukan tidak

18
mungkin akan terjalin hubungan yang indah (estetis) dan
tidak terkesan urakan.
Sedikit menggeser kursi agar didapat angle yang
berbeda, apa yang terjadi mungkin bukan lagi
permasalahan salah pegang kunci maupun hirarki logis-
etis-estetis. Namun sebagaimana prinsip probabilitas dalam
dunia ilmiah, ada kemungkinan yang terjadi hanyalah
saling menunjukkan eksistensi baik individu maupun
golongan.
Secara psikologis pengakuan dan penerimaan
sebagai tujuan dari pertunjukan eksistensi merupakan
kebutuhan setiap manusia. Hanya saja sebagai makhluk
yang berbudaya, manusia lebih suka jalan berliku untuk
mencapai tujuan sekedar menghindari pertentangan
dengan norma, nilai-nilai, dan hukum yang berlaku. Karena
tuntutan sebagai makhluk yang berbudaya adalah dasar
pembedaan manusia dan hewan, tak sepantasnyalah
manusia memilih mengabaikan norma, aturan, dan hukum
yang berlaku untuk mencapai tujuannya. Menunjukkan
eksistensi dengan tetap memberikan jalan pada eksistensi
lain, sebagaimana diungkapkan Voltaire dengan indah, ”aku
tidak setuju denganmu, bukan berarti melarangmu untuk
mengatakannya”.

19
Psikologi, Lagi dan Lagi
Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok

Pada pukul 00:00, tengah malam, manusia


menemukan bahasa sebagai alat komunikasi. Beberapa jam
selanjutnya, tidak terlacak kejadian berarti, sampai kira-
kira pukul 08:00 pagi, moyang manusia diketahui telah
melukis di dinding-dinding gua. Setelah itu pun keadaan
kembali lengang. 12 jam setelah itu, pada pukul 08:00
malam, orang Sumeria menemukan tulisan, dan
Hieroglyph muncul 40 menit kemudian. Sementara itu,
abjad hadir pada pukul 09:28, dan tulisan filsuf Yunani
kuno diketahui pada beberapa menit selepas pukul 10:00
malam. Sampai pada jam ini, bisa dilihat bahwa 22 jam
(dari 24 jam) telah berlalu, dengan biasa saja.
Selanjutnya, menjelang tengah malam Gutenberg
menemukan mesin cetak. Dan momentum ini menjadi titik
awal meningginya percepatan perkembangan teknologi.
Telegraf, telepon, fonograf, ditemukan hampir pada menit
yang sama. Tak lebih dari 2 menit berjalan, berturut-turut
muncul inovasi berupa radio, film suara, komputer,
xerografi, televisi berwarna. Dan pada menit-menit akhir
sebelum tengah malam, ditemukan siaran FM stereofonik,
satelit, gabungan telekomunikasi dengan computer (WEB),
hanphone, laptop, robot yang mampu menangis, dan
sebagainya. Inilah, tengah malam itu.
Barangkali demikian, yang ingin diungkapkan oleh
Jalaludin Rahmat. Runtutan yang dimulai pada zaman
Homo Cromagnon sampai pada tahun-tahun sekarang ini,
yang kurang lebih berjarak 36000 tahun.
Lepas dari tepat atau tidaknya skala yang digunakan
pada ringkasan tersebut, setidaknya ada 3 fenomena yang
bisa ditangkap darinya. Yang pertama, berkaitan dengan
percepatan (akselerasi). Kembali melihat ringkasan, selama
20
22 jam awal berlalu dengan biasa saja. Justru hanya dalam
kurun 2 jam (akhir) itulah, “semuanya” ditemukan hingga
seperti sekarang ini. Betapa terjadi kesenjangan kemajuan
manusia (atau teknologi?) yang terjadi dalam kurun
tersebut. Manusia menjadi sedemikian kreatif dan inovatif.
Yang kedua, adalah perubahan yang terjadi dengan
akselerasi tinggi tersebut ternyata berkecenderungan untuk
melipat realita. Jaringan WEB, handphone, laptop, MTV,
dunia dalam berita, miniatur Negara (TMII), hanyalah
beberapa dari sekian banyak penampakan dari
kecenderungan tersebut. Adalah “ringkas dan mudah” yang
menjadi zikir harian-atau mungkin bisa disebut “ideologi”
jika dikaitkan dengan konsepsi Althusser.
Fenomena selanjutnya, adalah keberlanjutan dari
fenomena pertama. Jika sebelumnya dikatakan bahwa
manusia menjadi sedemikian kreatif dan inovatif, maka
fenomena yang ketiga ini adalah kikisnya sifat kritis. Kritis
yang hilang bukanlah kritis dalam arti “sekedar sinis”,
melainkan kritis yang bersifat reflektif. Karena percepatan
yang seperti ini telah tidak mengijinkan manusia untuk
sekedar berpaling dari teknologi. Telah terjadi perubahan
dalam sebuah percepatan, dan percepatan itu pun (yang
berarti perubahan kecepatan) mengalami perubahan. Dan
perpaduan antara dua hal tersebut lah (hilangnya sifat kritis
dan larut dalam teknologi), yang menjadi unsur evolusi
masyarakat pendiam dan tak peka.
Seperti yang telah terkatakan sebelumnya, yang
menjadi orientasi di sini adalah percepatan itu sendiri,
bukan lagi kreativitas atau melipat. Yang terjadi bukan lagi
pembalap yang ingin memacu motornya secepat mungkin
untuk menaiki podium, melainkan meng-nol-kan gaya
gesek antara ban dan aspal, meng-nol-kan pengaruh gaya
gravitasi, mendesain bentuk se-aerodinamis mungkin
untuk meng-nol-kan tekanan udara. Keadaan yang
21
mencerminkan sebuah kegilaan akan kecepatan dan
percepatan maksimal; ekstase akan percepatan, sekaligus
kegandrungan akan ke-nol-an; nihilitas. Perpaduan
“sempurna” antara optimisitas, pesimisitas, nihilitas,
fetishitas, sakralitas, profanitas, eksistensi, dan banalitas.

Teknopsikologi-psikoteknologi
Mungkin berawal dari sebuah pengandaian adanya
garis korelasi antara fenomena-fenomena tersebut dengan
psikologi, yang dilihat melalui kacamata analisis Alvin
Toffler.
Toffler menyatakan bahwa setiap jenis teknologi
menghasilkan lingkungan teknologi (teknosfer) yang khas.
Teknologi menjadi penyedia akses bagi mengalir dan
bertukarnya informasi, yang mewarnai budaya informasi
(infosfer). Infosfer yang terbentuk, pada akhirnya juga akan
membentuk, atau setidaknya mempengaruhi norma-norma
dan nilai-nilai dalam kehidupan sosial (sosiosfer). Dan
karena “keterlanjuran” kodrat manusia sebagai makhluk
sosial, maka perubahan sosiosfer juga berpengaruh masing-
masing individu secara personal dalam ranah psikologis.
Dan inilah, yang disebut lapisan psikosfer. Sambil lalu,
analisis Toffler terlihat mantap dan seolah-olah
mendeskripsikan fenomena global yang dihadapi oleh
manusia sekarang ini.
Tetapi, benarkah semua manusia?
Apa yang dianalisis oleh Toffler, tentu saja berasal
dari berbagai informasi diadapatkan dan dia ketahui,
adalah apa yang bersentuhan dengannya, baik melalui pikir,
rasa, maupun indra. Tetapi, tesis tentang Global village,
istilah yang dipinjam dari Marshal McLuhan, bukanlah
“tesis paska fenomena”. Tesis tersebut adalah sebuah
prognosis (prediksi), dan tentu saja berdasarkan indikasi
dan diagnosis yang dia temukan. Global Village, bukanlah
22
sesuatu yang telah terjadi, dalam arti tidak semua rentang
geografis yang berkelok-terjal bisa teratasi oleh jejaring
teknologi.
Toffler mungkin lupa, masih ada kata “kesenjangan”
di antara jutaan kata dalam kamus. Kata tersebut tetap
menjadi lubang hitam dalam perbincangan kali ini.
Akselerasi, justru bersesuaian dengan peribahasa Jawa
kebat klewat gancang pincang. Berjalan begitu cepat,
tetapi juga banyak yang terserak-tercecer olehnya. Agaknya
Toffler terlalu meyakini keberlakuan konsep Mcluhan, dan
menariknya terlalu jauh ke dalam ranah psikologi. Dia yang
sama sekali tidak menyentuh tentang dirinya, mencoba
meraba apa yang dia lihat, tetapi mengatakan telah
memegang dirinya.
Meskipun dunia telah dilipat dalam televisi, tetapi
lipatan itu tetap merupakan keadaan yang “seolah-olah”.
Semua manusia tak pernah hidup dalam satu desa, yang
global sekalipun. Kecepatan dan percepatan memang bisa
“mereduksi” waktu, tetapi tak bisa mereduksi ruang
(bahkan “mereduksi” pun tidak), sedangkan manusia hidup
dalam dimensi ruang sekaligus waktu. Manusia, tetap
berkeringat dan sesekali menghela nafas meski menaiki
pesawat super untuk mengelilingi dunia. Dan laris-
manisnya psikologi saat ini, justru memperlihatkan secara
gamblang bergesernya refleksi, yang telah tergantikan oleh
ucapan ”mari bersenang-senang”

23
Motivator & Humanity
Oleh : Abdul haris Fitrianto

Siapa yang tidak kenal Andrie Wongso?


Siapa tidak kenal John C. Maxwell?
Mereka adalah beberapa dari tokoh–tokoh motivasi
papan atas nasional bahkan internasional. Tugas mereka
(antara lain), dengan kapasitas intelektual yang dimiliki,
memandang gap yang ada pada relita dan system untuk
kemudian memotivasi, memompa sumber daya manusia
(SDM) agar mampu berfungsi optimal. Kata–kata seperti
”Siap..”, ”Sukses..”, ”Luar biasa..”, ”Berhasil..”, ”Semangat..”
dikemas menjadi sesuatu yang istimewa untuk
menyadarkan potensi setiap orang. Sungguh profesi yang
sangat mulia, bermanfaat bagi banyak orang dan institusi.
Mungkin juga menjadi motivator tidak hanya sekedar
profesi, tetapi menuntut suatu bakat yang berakar dari
berbagai soft skill dan hard skill. Tak ayal pada konteks
kekinian bisnis motivasi telah menjadi lahan kerja
prospektif. Hampir setiap hari kita dijumpai para motivator
amatir yang belum lulus kuliah S1, hingga motivator yang
kelas wahid dengan reputasi internasional melalui hasil
karya, atau bahkan orangnya.
Jika memperhatikan momentum zaman, motivator
memang telah lama ada seiring modernitas. Ketika
memotivasi khalayak, semula banyak motivator menyajikan
metode ceramah yang semi-indoktrinasi dalam ruang yang
terbatas. Seiring perkembangannya, kini metode motivasi
telah berkembang sedemikian rupa dalam bentuk latihan
dan pengembangan (training and development); Sang
motivator (trainer) hadir di ruangan dengan bersenjatakan
laptop dan materi yang disajikan melalui slideshow
powerpoint. Dan materi tersebut ditransformasikan pada
trainee (peserta pelatihan) melalui layar yang ditembakkan
24
dari sinar LCD. Tentu saja yang utama disamping perangkat
tersebut adalah cara dan gaya penyampaian dari sang
trainer. Selain metode tersebut, berbagai variasi motivasi
banyak disajikan melalui metode outdoor games/ activity.
Ada yang menyebutnya Outbond. Tujuan dari berbagai
metode pelatihan tersebut sama; Memotivasi trainee
dengan benar, agar dapat menyadari dan memanfaatkan
potensinya dengan optimal. Dengan kata lain ’kira – kira’
menjadikan manusia ’seutuhnya’ manusia.
Seperti yang telah tertulis di akhir alenia I, bahwa
motivator (disini diperketat khusus pada trainer) di jaman
modern ini semakin dibutuhkan oleh perusahaan (semakin
besar dan semakin bonafide perusahaan, maka profesi
motivator semakin dibutuhkan). Tugas motivator dalam
perusahaan jelas; membangkitkan motivasi karyawan,
menguak potensi SDM-nya, dan diaktualisasikan dengan
optimal untuk bekerja bagi kepentingan perusahaan. Dalam
bahasa kiasan, mungkin profesi ini mirip dengan
’suplemen’, yang dipercaya mampu memompa semangat
serta kebugaran otot–otot altet agar tampil dalam kondisi
maksimal. Atau bisa juga diibaratkan bensin dan pelumas
yang membuat mesin kendaraan bekerja optimal.
Dengan didukung manajemen strategis perusahaan,
rumusannya menjadi jelas, karyawan mendapat motivasi
eksternal berupa gaji, dan mendapat motivasi internal yang
diperoleh dari pelatihan dan pengembangan. Ketika
karyawan dari berbagai lini dalam perusahaan bekerja
optimal, maka hal ini akan berdampak positif; peningkatan
pada grafik produksi dan pemasaran.

Industrialisasi-konsumerisme-motivator
Modernitas dengan industrialisasinya telah
melahirkan konsumerisme. Berbagai perusahaan, dengan
menggunakan perusahaan penyiaran dan iklan telah
25
meninggalkan ’residu’ ingatan tentang berbagai produk
dalam alam prasadar setiap individu berupa image atau
brand. Tanpa disadari, ini menjadi suatu sublimal
conditioning pengkondisian kognitif yang berlangsung
dalam alam prasadar, setingkat di bawah kesadaran)
personal. Jika dikaitkan dengan kebutuhan pada setiap
orang. Selain itu berbagai metode pemasaran yang
dianggap ’bebas nilai’ didorong sehingga dapat diterima
oleh berbagai masyarakat dengan latar belakang kelas,
budaya, dan primordialisme yang berbeda-beda. Dari
sinilah paradigma konsumerisme di ditanamkan.
Konsumerisme ini seakan menemukan daur-nya
dalam hasil–hasil produksi perusahaan (karena memang
itu yang diharapkan). Layaknya hukum permintaan-
penawaran, gaya hidup konsumis ini membutuhkan respon
dari perusahaan dengan cara menggenjot produksi.
Menggenjot produksi, berarti menyusun strategi agar
volume produksi ajeg dalam kisaran tertentu. Dan agar ajeg
dalam kisaran tersebut, maka dibutuhkan strategi kerja
yang optimal dari seluruh lini departemen dan karyawan.
Berarti, agar kinerja karyawan selalu optimal, (selain
keputusan pemegang kebijakan strategis perusahaan) maka
tugas motivator-dan kebijakan direksi melalui HRD- adalah
memotivasi, membentuk karakter, dan mengembangkan
potensi. Hal ini menjadi ’nutrisi’ wajib agar kepentingan
perusahaan tercapai. Maka dari itu dalam konteks
industrialisasi atau sistem ekonomi kapitalistik, peran
motivator menjadi vital.

Dehumanisasi?
Pelatihan dan pengembangan SDM dalam konteks
industri telah berkembang menjadi bisnis yang
menjanjikan. Semakin Padat industri, semakin banyak
trainer, motivator, dan konsultan SDM yang dibutuhkan.
26
Semakin banyak job dari perusahaan, semakin melambung
pula ’nilai tukar’ para ’pebisnis mental’ tersebut. Dari
kondisi inilah para motivator saling berkomptetisi
mendapatkan job dari perusahaan.
Suatu kondisi keseimbangan menuju kemanusiaan
menjadi rentan apabila; Perusahaan hendak membeli
program pelatihan dan pengembangan dengan harga
murah, sementara para motivator (dengan lembaga
pelatihan dan pengembangannya) harus berjibaku dengan
sesamanya untuk mendapatkan project tersebut. Maka
kondisi ini potensial memunculkan dilema;
mempertahankan kualitas ideal program pelatihan dan
pengembangan, atau mengukur kualitasnya berdasarkan
harga yang diberikan perusahaan. Dengan bahasa lain,
pelatihan dan pengembangan tidak lagi dihadapkan pada
tujuan mengoptimalkan seluruh potensi pada setiap
individu, tetapi ’disunat’ seperlunya untuk mengaktifkan
potensi individu (karyawan) yang sesuai kebutuhan
perusahaan saja. Potensi manusia ditukar berdasarkan
’nilai dan guna’.
Lebih lanjut, dengan kondisi seperti di atas, maka
pengembangan SDM diarahkan untuk memenuhi target
perusahaan. Sedikit mengingat cita–cita luhur humanis
yang ”memanusiakan manusia”, maka setiap orang
mempunyai hak memperoleh kesempatan untuk
mengaktualisasikan segala potensinya. Apapun potensinya,
sekecil apapun potensi itu. Bertolak dari pandangan
tersebut, maka sebagai salah satu profesi yang bergerak
dalam bidang pengembangan SDM, sudah semestinya para
motivator menyadari dan mempraktikkannya. Jika
pengembangan SDM tidak di dasarkan pada tujuan
humanisme, maka dalam batasan yang luas hal itu
menjurus pada dikategori dehumanisasi.

27
Terakhir, ketika objek pengembangan SDM itu
adalah manusia, kenapa praktiknya tidak disandarkan utuh
pada prinsip–prinsip kemanusiaan? Atau disandarkan pada
prinsip kemanusiaan, tetapi hanya setengah hati? Prinsip
kemanusiaan yang ’disunat’?

28
Psikososiofisiomikrobioantropogeoteknologi
Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok

Menyebut kata sosiologi, antropologi, mikrobiologi,


psikologi, dan logi-logi yang lain, pada akhirnya tak bisa
dilepaskan dari disiplin, metode, obyektivitas,
intersubyektivitas, dan ilmiah. Hal ini sedikit paralel,
seperti ketika (saya lebih suka) menyebut
sosiokapitalkomunisliberal-dan lain(-lain)isme.
Berbagai perihal di atas, yang selalu digosipkan
dalam bangku sekolah, merupakan standarisasi kepandaian
seseorang. Dengan mengetahui, dan mengerti definisi dari
masing-masing kata tersebut, maka diandaikan pondasi
masa depan telah terbangun. Dan secara tidak langsung,
juga terdengar, bahwa hal-hal tersebutlah yang menjadi
pondasi dari kehidupan manusia.
Setidaknya, akan ada banyak jempol teracungkan
jika dengan lancar bisa menuturkan bahwa sosiologi adalah
ilmu tentang interaksi antar manusia dalam kehidupan
sosial, dengan sedikit bumbu Weber, Durkheim, Comte ;
atau mendongeng struktur psike (jiwa) manusia dalam
perspektif Maslow, Lewin, Watson, ataupun Darmanto
Jatman. Barangkali, akan dianggap sangat kreatif jika
mampu melakukan sebuah penelitian dengan disiplin dan
metode ilmiah dengan berlembar-lembar daftar pustaka,
meski hanya akan memperbanyak tempat debu di rak-rak
perpustakaan tanpa pernah terbuka kembali, bahkan oleh si
peneliti sendiri.
Tetapi, ada beberapa kerancuan terkait dengan
perihal tersebut. Logos, jika itu dimaknai sebagai ilmu,
maka harus bersesuaian dengan apa yang dihadapi oleh si
pelajar logos. Seringkali barisan rapi manusia,
diperdengarkan dongeng tentang cara menanggulangi erosi
di pegunungan, sementara lingkungan yang dihadapinya
29
adalah pantai yang lebih berdekatan dengan abrasi. Logos
dihadirkan sebagai sesuatu yang sangat jauh, sebagai
perbincangan yang bersifat elite.
Selanjutnya, jika logos dimaknai sebagai sebuah
kebenaran, justru yang terjadi adalah semakin
memperlebar jarak antar kebenaran, sekaligus
mempersempit jarak antara kebenaran dan kebohongan.
Ketika baru membiasakan diri untuk membaca koran (dan
tentu saja belum belajar merefleksikannya), kita (dipaksa)
meninggalkannya demi melihat dan mendengar video klip
dalam tayangan televisi. Alih-alih menghadirkan logos
adalah sesuatu yang bermakna luas, banyak, dan spesifik,
tetapi justru tak saling terkoneksi dan kontradiktif satu
sama lain. Sehingga secara tidak langsung, telah terjadi
pemaksaan untuk mengagungkan sekeping dan menafikan
kepingan yang lain.
Menyebut kata sosiologi, antropologi, mikrobiologi,
psikologi, dan logi-logi yang lain, seharusnya membawa
alur nalar kepada realitas. Tentang bagaimana melihat
realitas dari kacamata “kata sebelum logi” (--logi), juga
tentang sisi “kata sebelum logi” dari realitas. Tetapi,
pengandaian ini juga tak bisa diandaikan dengan
mengambil jarak tertentu dengan realitas, sehingga bisa
dengan leluasa mengamati realitas dan melihat detil-
detilnya. Realitas, tak bisa diandaikan seperti televisi, yang
bisa di lihat dari jarak minimal 3 meter, sesuai dengan
anjuran kesehatan mata. Pun cara tersebut juga hanya akan
memperlihatkan gambaran yang tersaji di layer televisi,
tanpa bisa mengetahui kabel, dioda, lampu led, speaker,
resistor, yang terangkai di dalamnya. Dan sampai di situ,
juga tidak akan diketahui bagaimana koneksi yang terjalin
mesra, antara televise dengan satellite, sampai dengan
artis-artis yang terlihat di layarnya.

30
Bahkan, untuk keluar dari ruang untuk melihat
ruang, atau keluar dari rentang waktu untuk melihat
jalannya waktu, juga sebuah kemustahilan. Sedangkan
keduanya, waktu dan ruang adalah anasir dari realitas.
Satu-satunya yang bisa dipahami dari realitas adalah
sesuatu yang bersentuhan langsung, baik melalui pikir,
rasa, maupun indra. Maka, logos, paling tidak harus
bersesuaian dengan hal tersebut. Baik logos dimaknai ilmu
maupun kebenaran, ataupun logos yang di-sebagai-kan
ilmu maupun kebenaran. Dan logos itu sendiri, selalu
didahului oleh pembacaan, yang merupakan keseluruhan
dari sensasi, persepsi, dan interpretasi. Atau, haruskah
terjadi penambahan “logologi” dalam daftar mata
pelajaran? Semoga saja tidak.

31
Beberapa Tanggapan
Oleh: Muhammad Taufiqurrohman

Pertama, soal “titik” (untuk selanjutnya saya tidak


akan menggunakan tanda “...“ lagi karena saya anggap
sudah mafhum). Titik yang saya maksud memanglah
sebuah titik yang terbatas. Titik yang sebenarnya bukan
titik. Dia hanyalah bayangan dari titik yang sejati. Titik
yang sejati itu menurut saya tidak ”ada”. Saya percaya
bahwa tidak ada ”sesuatu”pun yang paling akhir, juga titik
itu. Oleh karenanya, yang sanggup kita bisa bicarakan
adalah titik-titik yang sementara itu.
Jadi, akhirnya titik itu ada itu bukanlah dikarenakan
ia ingin ada. Tidak, sesungguhnya dia terpaksa menjadi ada
karena keterbatasan eksistensial. Tanpa ia ada, tanpa di
tulis menjadi tanda (.) pun sesungguhnya ia ada. Titik
selalu ada, tetapi titik yang selalu sementara. Tapi, bukan
”koma”. Kira-kira, titik yang saya anggap selalu ada -
bahkan tanpa kita minta dan kita sadari- tersebut adalah
titik yang benar-benar ada. Ia tidak koma, ia benar-benar
titik dalam sebuah eksistensi yang ”terakhir”tapi terakhir
yang tak benar-benar akhir.
Oleh karenanya, ia tidak pernah ”melampaui
kapasitas definitifnya” karena memang ruang yang bisa
dijangkaunya sudah penuh, tapi juga penuh yang
sementara. Dia tidak melampaui tetapi dia membentuk
ruang lagi yang baru yang selalu sama sekali lain. Dengan
demikian, sejauh yang bisa saya pahami, sesungguhnya
suatu titik pada saat yang sama adalah akhir sekaligus
mula. Ia akhir bagi suatu eksistensi yang lama. Pada saat
yang sama ia menjadi mula bagi eksistensi yang baru.
Dengan cara pandang inilah,menurut saya,
esensialisme dan eksistensialisme lebih mudah untuk
dilihat sebagai sesuatu yang tidak kontradiktif melainkan
32
saling meng”ada”kan. Esensialisme adalah mula sekaligus
akhir eksistensi, dan begitu pula sebaliknya. Ketegangan
antara keduanya yang entah sampai kapan inilah yang
menurut saya membedakan kita yang ”terbatas” dengan
yang ”tak terbatas” itu.
Selanjutnya, soal epistemologi dan positivisme.
Sejauh yang saya tahu, para pendukung ”post-post” itu
tidaklah pernah mempermasalahkan epistemologi. Apa
yang ingin mereka gugat dari positivisme adalah ketika
hanya epistemologi ilmu alam yang digunakan untuk
”menemukan” semua ilmu pengetahuan, juga terhadap
ilmu pengetahuan sosial/humaniora. Anarkisme
epistemologi (epistemic violence) inilah yang ingin digugat
oleh para ”post-post” tersebut terhadap positivisme. Para
pendukung ”post-post” ini sesungguhnya memang tidak
pernah mempersoalkan epistemologi. Sebab, sebagai
sebuah jalan menemukan apa yang sejati, epistemologi
tidaklah berwajah tunggal (dalam hal inilah saya menyebut
batas yang samar antara ontologi dan epistemologi). Setiap
hal memiliki epistemologinya sendiri-sendiri. Pencarian
Ilmu Pengetahuan Alam memerlukan epistemologi yang
tidak selalu sama dengan epistemologi Ilmu Pengetahuan
Sosial. Demikianlah, jika dalam wajah epistemologi saja
tidak tunggal apalagi wajah ilmu yang dihasilkannya. Oleh
karena itu, kehadiran para pendukung ”post-post” itu sama
sekali tidak berpretensi untuk mempersoalkan epistemologi
melainkan justru dalam rangka merayakan pluralisme
epistemologi. Mereka menggugat positivisme bukan
epistemologi.
Dengan demikian, menurut saya, positivisme tidak
hanya ”tidak dapat disebut sebagai” epistemologi
melainkan ia memang benar-benar bukan epistemologi.
Keempat, tentang sosialis. Sebenarnya saya lebih
suka memandang ”sosialis” ini dalam perspektif moral.
33
Menurut saya, dalam perspektif inilah kata atau pengertian
”sosialis” ini lebih mendapatkan maknanya ketimbang jika
dilihat dari perspektif sosial (sosiologi, antropologi apalagi
sejarah). Dengan demikian, ia menjadi sesuatu yang jauh
melampaui batas-batas apapun.
Mungkin filsafat ”sosialisme” Bambu dan Pisang ala
Cak Nur dapat membantu menjelaskan konsep ”sosialis”
yang saya maksudkan. Kira-kira begini (tentu saja dalam
keterbatasan analoginya) , bambu adalah pohon yang
merelakan daun-daunnya lepas agar ”yang lain”
(others/liyan) dapat juga menikmati cahaya yang jatuh dari
langit dan apa saja yang menimpanya. Others itu bisa jadi
tetangga-tetangganya (bambu di sampingnya), bisa jadi
anak-anaknya (rebung yang ingusan), atau bahkan bisa jadi
others yang bener-bener others (misalnya, pohon singkong
di sampingnya.
Pisang, sebaliknya, adalah pohon yang tidak rela
membagi cahaya yang datang menimpa dengan ”yang lain”
tadi. Lihatlah daun pisang, ia menjulur panjang ke segala
arah mata angin. Sampai sejauh mana panjang daun itulah
wilayah kekayaannya. Ia merasa segala tanah---bahkan
yang di luar tempat berdirinya sejauh tanah itu ada di
bawah kekuasaan daun-daunnya yang menjulur itu---
adalah miliknya. Tidak demikian dengan bambu. Kekayaan
bambu hanyalah tanah dimana dia berdiri. Dia sadar bahwa
semua tanah di luar tempat ia berdiri bukanlah tanahnya.
Dia bahkan tak pernah ”merelakan”nya, ia memang
”membiarkan”nya demikian. Ia sudah merasa cukup
dengan tanah tempat ia ada. Karena memang semua tanah
yang di luar dirinya bukanlah miliknya. Bahkan tanah
tempat ia berdiri yang ia rasa sebagai ”milik”nya, juga
mungkin bukanlah tanah yang benar-benar miliknya.
Demikianlah, bambu yang tidak meniatkan untuk
memberi kebebasan justru memberikan kebebasan bagi
34
”yang lain” itu untuk turut hidup dan berkembang.
Sebaliknya, pisang yang tampaknya mengayomi dan
membebaskan itu justru akhirnya tidak memberikan
kebebasan pada ”yang lain”. Sebatang bambu bahkan tidak
pernah menunggu ”tua” dan ”roboh” untuk melihat
anaknya tumbuh. Tidak demikian halnya dengan pisang
yang menunggu dirinya dirobohkan (saking serakahnya)
untuk memberikan kebebasan berkembang bagi yang lain
yang sama sekali baru. Demikianlah kisah bambu dan
pisang.
Demikianlah saya memahami “sosialis”. Kenyataan
bahwa pernah ada dalam sejarah manusia seperti
Muhammad, Gandhi, Hatta, Nelson Mandela, Sukarno,
(Edi Subkhan Muda juga mungkin bisa dimasukkan dalam
golongan ini) dll, bagi saya, adalah harapan optimisme akan
tetap adanya orang-orang ”sosialis” di dunia ini. Orang-
orang yang sesungguhnya mempunyai peluang sangat besar
untuk menumpuk kekayaan pribadi (karena mempunyai
kompetensi-kompetensi pribadi yang luar biasa untuk itu)
tetapi memilih untuk merasa cukup sekadarnya saja untuk
hidupnya agar ”yang lain” dapat juga berkembang bebas
seperti dirinya. Dan disinilah mungkin saya menyebutnya
sebagai pilihan intuitif-kategoris (untuk tidak menyebutnya
imperatif).
Dari sinilah, saya tetap berpendapat bahwa
filantropis bukanlah sosialis. Filantropis (khususnya
filantropis-filantropis super-konglomerat) adalah
memberikan harta ”curian” kepada orang yang yang
hartanya mereka ”curi”. Pun tidak mengembalikan
sepenuhnya hasil curian itu. Bahkan hasil curian yang
dikembalikan itu mungkin hanyalah nol koma sekian
persen. Sedang sosialis bukanlah pencuri. Sosialis adalah ia
yang memberikan harta kepada ”yang lain” dengan cara
”tidak mempunyai harta” atau ia mempunyai harta tetapi
35
bukanlah harta hasil curian. Jika ia hidup cukup hanya
dengan nol koma satu persen dari jumlah hartanya maka
akan ia berikan 99,9 persennya kepada ”yang lain”.
Demikianlah pengertian saya tentang ”sosialis”. Saya
tidak tahu apakah Muhammad, Gandhi dan teman-
temannya tadi adalah benar-benar sosialis dalam
pengertian saya. Saya juga tidak tahu adakah orang yang
benar-benar ”sosialis” seperti itu di negeri ini (juga Edi
Subkhan Muda) sekarang ini. Tetapi paling tidak mereka
adalah orang yang paling mendekati definisi saya tentang
siapakah ”sosialis”, si bambu itu. Celakanya, menurut saya
the very example of sang pisang di negeri ini sekarang ini
tak lain adalah orang macam Abu Rizal Bakrie.

36
“Pertarungan” Kaum “Liberal”: Kontradiksi
Berfikir Bryan Caplan
Oleh: Giyanto

Akhir minggu ini, di mises institute blog terjadi


'pertarungan' sengit antar pendukung Perbank-an Bebas
Baku emas dengan pendukung Per-bank-an bebas
Fractional Reserve Bank (FRB). Saya kira diskusi sengit
seperti ini tidak akan kita lihat di negari kita. Karena
intelektual di negeri kita memang kebanyakan keturunan
beo.
Terlepas penilaian kasar saya tersebut. Dalam
ocehan kali saya akan sedikit mengomentari tentang makna
filsafat kebebasan. Dalam hal ini tentang bagaimana
seharusnya dunia per-bank-an dijalankan. Ketika seseorang
mendeklarasikan dirinya sebagai pengusung ideologi pasar
bebas, seharusnya dirinya tidak terjebak dalam alur logika
yang kontradiktif dengan filsafat yang diusungnya.
Semisal argumen Bryan Caplan yang mendukung
sistem FRB. Konon Caplan adalah seorang anarkis pasar
bebas yang mendukung hak milik individu, tapi dalam
argumennya membela sistem FRB. Dia secara gegabah
mendukung bahwa 'tabungan' seseorang boleh saja dibagi-
bagi kemudian diutangkan ke beberapa orang dengan nilai
yang berlipat ganda. Artinya, Ketika sebuah bank memiliki
'cadangan dana' 10 milyar maka dia boleh saja memberi
pinjaman kepada pengusaha senilai 100 milyar.
Pertanyaannya, darimanakah uang 90 milyar tersebut
didapat?
Menurut pendukung Caplan yang mengaku 'liberal'
tersebut, uang 90 milyar merupakan hasil nilai jaminan
yang diberikan pengusaha kepada per-bank-an dengan nilai
yang setara diberi oleh nilai agunan sang pengusaha.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa sebuah Bank tidak
37
dapat dikatakan mencuri hak milik penabung dengan back
up agunan aset sang pengusaha—menurut pendapat
Caplan.
Berbeda dengan paham penganut sistem Perbankan
Deposit dengan cadangan emas. Mereka, Mises-Rothbard
dkk-dengan prinsip hak milik, mengatakan bahwa
seharusnya jumlah deposit bank harus setara dengan
jumlah 'nota uang' yang beredar di pasar, ataupun setara
dengan jumlah uang yang dipinjamkan kepada pengusaha.
Jadi tidak ada 'perlipatan' nilai uang di Per-bank-an.
Terlepas efek buruk sistem FRB yang dapat memicu
terjadinya krisis. Saya akan mencoba menyoroti dari sisi
prinsip filsafat pasar bebas yang saya pahami.
Salah satu prinsip dasar paham pasar bebas adalah
adanya pengakuan hak milik pribadi. Dalam sistem ini,
apabila diterapkan dalam konsep sistem perbankan kita,
maka sang penabung memiliki hak penuh terhadap
tabungannya. Seorang Banker harus secara penuh
menjamin keamanan simpanan sang nasabah. Adapun
resiko apabila terjadi kehilangan, perampokan, ataupun
kredit macet adalah resiko yang memang seharusnya
ditanggung oleh Banker. Ini adalah sesuatu yang wajar
dalam berbisnis. Kalaupun ada gagal bayar kredit dari
seorang pengusaha, seharusnya yang dikorbankan
bukanlah sang nasabah yang menabung di Bank.
Tanggungjawab tersebut sepenuhnya harus dipikul bersama
oleh Banker yang meminjamkan dana dan juga pengusaha
yang meminjam uang di bank tersebut. Bukan sebaliknya,
harus dipikul oleh nasabah dengan kehilangan dananya-hal
ini yang pernah kita lihat ketika terjadi “rush” tahun 2007,
nasabah dibatasi pengambilan dananya cuma Rp. 20 juta.
Bukankah ini namanya disebut keadilan? Ketika orang
mengambil hak miliknya tapi dilarang pemerintah melalui
pembatasan jaminan.
38
Kembali ke argumen Caplan. Menurut saya, Bryan
Caplan-tokoh idola para ekonom 'liberal' kita-tidak dapat
membedakan antara menabung dan berinvestasi. Ketika
seseorang berniat menabung, apa yang diharapkannya
adalah mengurangi ketidakpastian masa depan. Sehingga
dirinya menyimpan sebagian dananya untuk mengurangi
resiko masa depan.
Berbeda dengan berinvestasi. Seorang investor
dengan sengaja mengambil resiko untuk mendapat
keuntungan. Jadi dalam benak sang investor, dia akan siap
menanggung segala apapun resiko asalkan dia mendapat
keuntungan. Apabila suatu saat sang investor tidak dapat
mendapakan kembali dananya, dia akan siap dengan
konsekwensi tersebut. Dan apabila dia mendapatkan
keuntungan berdasarkan resiko yang dia ambil, itu juga
merupakan balasan yang setimpal atas pilihannya.
Jadi menurut saya, Bryan Caplan, melalui sistem
FRB yang didukungnya, menumpangtindihkan antara
tujuan menabung dengan investasi. Dengan kata lain,
dengan sistem FRB, sang penabung harus ikut menanggung
segala resiko yang menjadi pilihan sengaja sang 'investor'.
Jadi disini, menurut saya, sistem FRB yang
mengklaim diri bahwa dirinya adalah penganut pasar bebas
yang menjamin kepemilikan individu, tidak dapat
dikatakan sebagai liberal sejati. Barangkali benar apa yang
dikatan oleh seorang teman bahwa: musuh terbesar bagi
gerakan liberalisme adalah kaum liberal itu sendiri!

39
Setelah Postmodernisme
Oleh : Edi Subkhan

Sebuah karya besar yang patut kita apresiasi dan


menjadi bahan rujukan dalam cultural studies adalah
Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas
Kebudayaan oleh Yasraf Amir Piliang (2004), terutama
terbitan paling akhir oleh Jalasutra. Dalam pengantarnya,
penerbit Jalasutra menyatakan bahwa, “...banyak pemikir
kontemporer yang diulas cukup panjang dan ‘cair’
pemikirannya oleh Yasraf, ternyata nyaris ‘tak tersentuh’
dan ‘tak diulas detail’ oleh penulis kebudayaan lainnya”
(2004: 34).
Dunia yang Dilipat berangkat dari realitas baru, yang
tercipta akibat pemadatan, pemampatan, peringkasan,
pengecilan, dan percepatan dunia. Betapa tidak, merunut
pada logika Yasraf, berjilid-jilid buku yang dulu memenuhi
satu lemari, sekarang dimampatkan dalam sebuah flash
disk seukuran jari kelingking kita; mengirim surat dari
Demak ke Denmark tak perlu menunggu berhari-hari,
dalam hitungan detik lewat e-mail, surat kita sudah sampai;
kita pun tak perlu berdesak-desakan mengantre tiket film di
bioskop, karena film-film bermutu telah dimampatkan
dalam bentuk home theatre (VCD, televisi). Dengan kata
lain batas-batas kebudayaan itu kini seakan runtuh, dan
kita sekarang hidup dalam dunia yang telah kehilangan
batas. Tidak ada lagi batas antara realitas dan fantasi,
antara asli dan tiruan, antara kenyataan dan simulakrum,
antara seni dan kitch, antara normalitas dan abnormalitas,
antara feminin dan maskulin. Batas-batas tersebut telah
didekonstruksi, dan meninggalkan sebuah dunia dengan
segala hal yang berada di dalamnya tumpang tindih,
campur aduk, bahkan seakan-akan kemampuan untuk

40
membuat kategori, klasifikasi, dan taksonomi hilang (2004:
37).
Realitas baru tersebut, dengan mengambil perspektif
budaya, disebut Yasraf sebagai panorama kebudayaan yang
seakan-akan bagaikan tubuh tanpa organ, atau setidak-
tidaknya tubuh yang mengalami kekacauan organisme.
Fenomena ini telah meninggalkan berbagai enigma (teka-
teki, misteri) yang harus dicari jawabannya, berbagai
ketidakpastian harus dicarikan tafsirannya, dan berbagai
indeterminasi harus dicarikan maknanya. Realitas baru ini
tiada lain adalah produk dari modernitas yang meyakini
manusia dan kesadaran sebagai sentrum dan motor
penggerak kemajuan peradaban. Yasraf menyatakan, bahwa
para pemikir posmodern seperti Lyotard, Jameson, Hyssen
pada umumnya melihat perspektif yang sama mengenai
peralihan dari modernitas menuju posmodernitas. Mereka
rata-rata sepakat bahwa sifat-sifat kemajuan, rasionalitas,
dan universalitas yang mencirikan modernitas dianggap
telah berakhir. Dan konon kita kemudian memasuki
wacana posmodernitas yang dicirikan oleh titik balik
kemajuan, irasionalitas, dan pluralitas, dan perjalanan ke
masa lalu.
Peralihan dari Narasi Besar (metanarasi) seperti
komunisme, imperalisme, feminisme etnosentrisme,
eurosentrisme ke arah narasi-narasi kecil seperti
kebudayaan, lokal, dan etnik merupakan ciri dari kondisi
posmodernitas seperti yang digambarkan oleh Lyotard,
sebetulnya masih belum dibuktikan oleh pelbagai realitas
yang ada. Yasraf menyatakan bahwa yang terjadi di negara-
negara Eropa Timur adalah disintegrasi menjadi negara-
negara kecil yang merdeka, yang justru berkembang pesat
adalah kebudayaan kapitalisme global beserta ekses
prostitusi, diskotik, McDonald, komodifikasi olahraga,
industrialisasi budaya, dan sebagainya.
41
Di titik inilah Yasraf bergerak melewati
posmodernitas menuju ke arah ekstrimitas, yakni suatu
kondisi ketika segala sesuatu berkembang melampaui batas
ilmiahnya, ketika segala sesuatu bergerak melewati
maksimumnya, ketika segala sesuatu meloncat
meninggalkan titik terjauhnya. Yasraf mencontohkan
operasi plastik, misalnya, adalah kondisi ketika rekayasa
tubuh telah berkembang melampaui sifat alamiah dari
tubuh itu sendiri; kloning (reproduksi organis lewat
rekayasa genetika) adalah kondisi ketika rekayasa
reproduksi telah melewati sifat alamiahnya dari reproduksi
itu sendiri; teledildonik, yaitu ketika seks melalui dan/atau
terhadap jaringan komputer adalah kondisi ketika kegiatan
seks tidak lagi berada di dalam seksualitas yang alamiah;
lagi, perkembangan Super Mall misalnya, adalah suatu
kondisi ketika pasar bukan lagi sekadar transaksi jual-beli,
tetapi telah berkembang menjadi arena difusi kebudayaan,
penanaman nilai-nilai, dan transaksi gaya hidup.
Di titik inilah Yasraf menyatakan, bahwa yang
dihadapi sekarang bukanlah berhentinya pergerakan sosial-
budaya sebagaimana dicirikan oleh diskursus seni
posmodern, melainkan semakin meningkatnya percepatan
sosial dan kebudayaan, sehingga ia berkembang ke arah
titik melampaui sosial dan kebudayaan itu sendiri. Memang
sifat-sifat modernitas seperti kemajuan, rasionalitas, dan
universalitas sebenarnya belum berakhir. Dengan menyitir
Jean Badrillard, semuanya berkembang ke arah hyper,
yaitu kondisi ketika setiap sifat atau aktivitas sosial
berkembang ke arah titik ekstrim, ke arah kondisi
melampaui batas-batas alamiahnya. Wacana sosial dan
kebudayaan sekarang menuju pada kondisi
hipermodernitas (hypermodernity), yaitu kondisi ketika
segala sesuatu bertumbuh lebih cepat, ketika tempo

42
kehidupan menjadi semakin tinggi, ketika setiap wacana
bertumbuh ke arah ekstrim.
Globalisasi telah menggiring ke arah berakhirnya
sosial atau lenyapnya batas-batas sosial. Konsep seperti
integrasi, nasionalisme, persatuan, kesatuan, dan
solidaritas, tampak semakin kehilangan realitasnya, dan
pada akhirnya menjadi mitos. Proses akhir sosial ini
dipercepat dan mencapai keadaan maksimalnya di tangan
media dan informasi seperti televisi dan internet yang
menciptakan berbagai simulasi relasi sosial. Sekarang yang
ada bukanlah komunitas yang diikat oleh satu ideologi
tertentu, melainkan individu-individu yang satu sama lain
saling berlomba dalam sebuah arena duel, kontes
tantangan, rayuan, dan godaan masyarakat konsumer
(bukan konflik sosial sebagaimana yang dikatakan Marx).
Batas antara dunia anak-anak dan dunia orang dewasa tak
dapat dipilah lagi ketika majalah porno, video biru, atau
disket cyberporn yang dapat dibaca baik oleh anak-anak
maupun orang dewasa; batas antara proletariat dan borjuis
lenyap dalam arena konsumerisme; batas antara penguasa
dan teroris lenyap di tangan simulasi teroris sebagaimana
teror yang direkayasa oleh penguasa sendiri; dan batas
antara kebenaran dan kepalsuan lenyap di tangan
hiperealitas media dan informasi.
Di era hipermodernitas ini, salah satunya adalah,
realitas kebudayaan sarat oleh citraan (image) yang datang
dan pergi silih berganti dengan kecepatan tinggi.
Sebagaimana gejala obesitas atau kegemukan yang melanda
masyarakat kontemporer, kita pun kini berada di dalam
semacam obesitas citraan dan informasi, yakni semacam
kelimpahruahan informasi dan citraan. Dengan kata lain,
kita dikepung oleh informasi dan citraan dari segala
penjuru. Tak hanya citraan di dalam media, tetapi dunia
sehari-hari kita pun sudah berubah menjadi citraan-citraan.
43
Segala sesuatu tampak berada di atas panggung, di atas
arena, di dalam layar; segala sesuatu berlomba-lomba di
dalam satu duel citraan, setiap citraan menantang citraan-
citraan lainnya dalam sebuah kontes, di dalam sebuah
rekayasa citraan. Kesegaran informasi dan kecepatan
citraan telah menembus batas-batas teritorial, sehingga
tidak ada lagi batas-batas teritorial atau ruang yang dapat
menahan agresivitas informasi dan fantasmogoria citraan
yang datang dan pergi dalam kecepatan tinggi. Orang yang
merasa aman di dalam rumahnya yang dilindungi oleh
alarm system modern dan pintu otomatis, ternyata tidak
aman dari agresi televisi yang mengubah, meringkas,
mengemas, dan merepdoduksi bencana alam,
pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, kekerasan,
kebrutalan, kesadisan, keserakahan, kecabulan,
ketidakacuhan yang berada di mana-mana dan secara
simultan membawa dan menghadirkannya di atas
panggung tontonan rumah.
Bagi Yasraf, berakhirnya berakhir karena
pertumbuhan, kemajuan, dan kebaruan sebagai ciri
modernitas telah kehilangan spirit. Dengan kata lain,
modernitas telah kehilangan tujuan teleologisnya, dan kini
menjadi bagian rutin dari masyarakat konsumer yang
bergantung pada produksi secara terus menerus yang
dengan demikian sangat bergantung pada kemajuan rutin
semata. Intinya, modernitas telah bergerak melewati batas
tujuan teleologisnya (misalnya masyarakat adil makmur
atau masyarakat tanpa kelas) dan kini menghamba pada
masyarakat konsumer atau kapitalisme global, yang disebut
Yasraf sebagai masyarakat fatalistik yang telah kehilangan
arah tujuan, dan semata menggantungkan serta
menghanyutkan diri di dalam irama produksi dan
konsumsi, pergantian gaya dan gaya hidup, dalam
penampakan dan prestise. Yang diinginkan oleh
44
masyarakat konsumer dan kapitalisme adalah
perkembangbiakan kapital, percepatan produksi dan
konsumsi, dan pergantian seperti image, produk, kebaruan
yang tanpa henti-hentinya. Setiap kategori tidak saja
berkembang biak dalam tempo yang tinggi, akan tetapi
mereka juga rentan terkena kontaminasi. Dalam ranah
sosial dan kebudayaan, seks tidak lagi berada di dalam seks
itu sendiri, tetapi di mana-mana. Politik tidak lagi terbatas
pada jagad politik itu sendiri, tetapi di mana-mana.
Semuanya telah mengkontaminasi ranah kehidupan
lainnya, seperti ekonomi, sains, seni, dan olahraga.
Dengan penjelasan tersebut, Yasraf menyatakan
bahwa sangat tidak memadai dan sulit rasanya untuk
berpijak pada penjelasan mengenai kondisi sosial setelah
berakhirnya modernitas sebagai satu kondisi titik balik
sejarah dan pluralisme radikal, sebagaimana diklaim oleh
para pendukung posmodernitas. Yasraf menyatakan bahwa
dalam millenium ketiga tersebut, terdapat realitas baru
kebudayaan. Pertama, dari abad teknologi ke abad citraan;
kedua, dari era mekanik ke era mikroelektronik; ketiga, dari
realitas ke hiperealitas; keempat, dari order menuju chaos;
dan kelima, dari space menuju hyperspace. Dalam
membahas itu semua, Yasraf mengemukakan beberapa
indikator untuk membahas kondisi tersebut; pertama,
bahwa perkembangan sistem teknologi tampaknya akan
terus berlanjut dan akan memengaruhi keputusan-
keputusan estetik. Ia bahkan berkembang ke arah complex
system bahkan ke arah chaos, bersamaan dengan itu akan
tercipta pula semacam kompleksitas kebudayaan, baik
dalam objek, teknologi, metodologi, dan idiom. Kedua,
tekanan ekonomi pasar bebas telah merubah konsep
manusia posmodern tentang waktu, diri, individu, keluarga,
masyarakat, ruang, waktu, bangsa, dan negara. Ekonomi
pasar bebas menuntut bahwa cara-cara fragmentasi budaya,
45
kelenyapan batas, pastiche, kolase yang mencirikan
posmodernisme tampaknya akan terus berlanjut pada abad
ke-21. Namun, sekali lagi ia akan berhadapan dan
dipengaruhi oleh batasan-batasan moral. Ketiga, tekanan
moral menyangkut kemanusiaan dan lingkungan yang terus
meningkat, termasuk tekanan-tekanan pada objek
kebudayaan.
Dengan tiga indikator tersebut, maka Yasraf merasa
diperlukan pendekatan baru kebudayaan harus diterapkan
menghadapi perkembangan tersebut. Metodologi baru
harus dikembangkan, yang mampu menangani data yang
kompleks, halusinatif, kontradiktif, serta terus berubah.
Dengan agak memberanikan diri, Yasraf menyatakan
bahwa realitas kebudayaan abad ke-21 merupakan
perkawinan yang harmonis antara faktor ekonomi,
teknologi, dan etika, menggantikan perkawinan yang
meriah antara teknologi simulasi dan libido yang menandai
kebudayaan posmodernisme. Yang mungkin terjadi adalah
semacam titik balik dari kondisi yang sebelumnya
diciptakan oleh posmodernisme, yaitu dari kondisi
abnormalitas ke arah normalitas etika, dari vulgaritas ke
arah italitas bentuk, dari amoral ke arah revitalisasi moral,
dari despiritualisasi ke arah respiritualisasi kebudayaan.
Tanda-tanda ke arah ini semakin tampak akhir-akhir ini,
dengan berpalingnya kembali masyarakat pada kearifan-
kearifan masa lalu, pada kekuatan-kekuatan supranatural,
pada keputusan-keputusan irasional, pada agama.

46
Melintas yang Sepintas ; Pendidikan
Matinya Para Filsuf
Oleh : Edi Subkhan

Di tengah dunia yang berlari (runaway world –


Giddens) sekarang ini, hanya sedikit orang yang berminat
pada filsafat. Mahasiswa filsafat makin lama makin
berkurang; jurusan, program studi pusat kajian filsafat pun
hanya satu-dua yang dapat bertahan. Perguruan tinggi yang
dulu terdapat studi filsafat banyak yang dihapus. Dan baru-
baru ini pemerintah menyatakan akan “meninjau ulang”
jurusan-jurusan yang sudah “jenuh”, termasuk filsafat,
karena dianggap filsafat sudah tidak ada peminatnya lagi,
dan tak ada lapangan kerja yang mau memekerjakan
lulusan filsafat. Konon jurusan-jurusan yang “jenuh”
tersebut akan digabung atau dihapus, dan mahasiswa yang
masih tersisa akan coba dicarikan pekerjaan (Seputar
Indonesia, 13/2/08; Kompas, 13/2/08).
Sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik adalah,
lalu filsuf atau minimal lulusan program studi filsafat akan
dicarikan pekerjaan apa? Inilah yang tidak tepat bagi
pemerintah dalam memahami keberadaan filsafat, filsuf,
dan pusat-pusat belajar filsafat, utamanya di perguruan
tinggi. Pemerintah selalu memahami secara salah, bahwa
lulusan pendidikan formal mesti bekerja pada sektor riil,
yang nantinya akan menghasilkan materi untuk perputaran
ekonomi, dan ujung-ujungnya adalah kesejahteraan
masyarakat dan negara. Terlebih dalam pendidikan yang
sudah menghamba pada kapitalisme sekarang ini, maka
seseorang yang belajar pada bidang studi apa saja, adalah
untuk bekerja dan menghasilkan uang, tak lebih. Seakan
tidak tersisa ruang untuk memandang bahwa pendidikan
pada hakikatnya justru adalah untuk menjadikan seseorang
47
lebih bijak dalam memahami hidup dan kehidupan; dewasa
dalam berpikir, bersikap dan bertindak; lebih manusiawi,
serta untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Dan ketika
filsafat memang lebih berat dan menitikberatkan kajian dan
pembelajarannya pada hidup dan kehidupan serta ilmu
pengetahuan, maka ia menjadi tidak dianggap dalam
paradigma pendidikan kapitalis.
Filsafat dapat dipahami sebagai sebuah bidang
kajian akademik dan jalan hidup. Sebagai sebuah disiplin
keilmuan yang dinyatakan sebagai the mother of science
(induk segala ilmu pengetahuan), filsafat menjadi hidup
ketika dilestarikan dan dikembangkan secara akademik,
yakni dengan dikaji dan dikritisi, serta ditransfromasikan
dalam kehidupan sosial masyarakat. Sedangkan sebagai
jalan hidup, laku hidup, maka ia cukup telah menjadi mulia
sebagai pandangan hidup saja. Dengan begitu, menjadi
filsuf sebenarnya bukan obsesi intelektual, ketika dimaknai
sebagai cara pandang tentang kehidupan yang akan
menjadikan seseorang yang mempelajarinya menjadi lebih
bijak.
Oleh karena itu, pada akhirnya timbul pendapat
bahwa jika dengan lelaku keseharian seseorang sudah dapat
memahami kehidupan dan menjadi bijak, maka untuk apa
belajar filsafat secara akademik? Justru ketika filsafat
dinyatakan telah melingkupi segenap kehidupan ini-
walaupun ini mungkin tidak disadari oleh orang-orang yang
tidak mencoba memahami kehidupan secara hakikat- maka
ia menjadi bagian tak terpisahkan dari ruang privat dan
publik sehari-hari, dan oleh karena itu secara tidak
langsung, pada hakikatnya dalam keseharian kita telah
berfilsafat. Inilah alasan substansial mengapa seseorang
enggan belajar filsafat sebagai sebuah kajian keilmuan yang
“diklaim” mempengaruhi segala hal.

48
Jadi, perlunya filsuf untuk menjaga dan
mengembangkan filsafat yang kemudian menjaga dan
mengembangkan disiplin keilmuan “anak-anaknya” seperti
psikologi, sosiologi, pendidikan dan lainnya. Dalam
kerangka Darwinian maka ranah intelektual adalah
“habitat” (bedakan dengan “habitus” Bourdieu) para filsuf,
namun filsuf tidak seperti manusia dalam pengertian
Darwinian yang menyesuaikan dengan habitat tersebut,
justru filsuf dalam habitat intelektualnya selalu membentuk
habitat tersebut, tidak sekadar pre-determinisme atau
ditentukan oleh taqdir sosial ala August Comte dengan
sosiologi positivis.
Maka permasalahannya adalah ketika habitat
intelektual tersebut juga berubah, seiring berubahnya ranah
sosial di luar ranah intelektual. Persoalannya kemudian
bukan pada bagaimana agar para filsuf dapat bertahan
dalam ranah intelektual yang telah berubah, karena ranah
sosial yang lebih luas tersebut. Ranah sosial yang lebih luas
bukannya menganggap tidak perlu ranah intelektual, tapi
lebih jauh adalah menganggap tidak perlu adanya para
filsuf yang hidup dan menghidupi ranah intelektual tadi.
Dus, matinya filsuf karena dikehendaki oleh ranah
sosial yang lebih luas dan sekarang kapitalistik, adalah
matinya ranah intelektual. Dan matinya ranah intelektual
adalah matinya ranah sosial yang lebih luas, karena ranah
intelektual menopang secara epistemologis-ideologis
kehidupan sosial. Kecuali ketika ranah intelektual
didefinisikan lain, ada redefinisi ranah intelektual yang
“tidak terlalu” memerlukan pemikiran-pemikiran falsafi.
Jadi, bagi saya, problem filsuf sekarang dengan
konteks di Indonesia, bukanlah problem eksistensial-dan
harus survive. Filsuf tidak harus survive, tidak ada
keharusan, tapi keniscayaan adanya filsuf bagi dunia
intelektual dan sosial adalah bagaikan kemestian
49
sebagaimana adanya api untuk panas, “lele” untuk pecel
lele, “ayam” untuk mie ayam; tidak mungkin ada panas
tanpa api, kalaupun ada tidak dapat membakar (intelektual,
nalar, dan lainnya), menjadi aneh pecel lele tanpa ikan lele,
pun aneh mie ayam tanpa ayam, sebagaimana anehnya
intelektual tanpa para filsuf.
Yang penting bukan person filsufnya, tapi adanya
filsuf yang niscaya bagi adanya intelektualisme. Pun jika
dipandang dari konsepsi evolusi filsuf yang diandaikan
Abdul Haris Fitrianto, maka bagi saya “evolusi” filsuf tidak
dalam rangka menyesuaikan alam sekitar, tapi sebaliknya,
yakni membangun alam sekitar, membangun peradaban
manusia, dan “alam sekitar” yang mesti “menyesuaikan”
kehendak filsuf.
Beberapa filsuf “tersebut” sebagian pemikirannya
telah digunakan untuk membangun konsepsi dalam bidang
pendidikan, idealisme Plato misalnya, mengilhami
paradigma pendidikan idealis yang diterapkan secara
letterlijk di Indonesia pada awal kemerdekaan sampai
tahun 90-an. Tentu pemikiran Plato tidak secara langsung,
tapi sebagaimana dikonsep ulang oleh aliran pendidik
idealis, dan lainnya. Driyarkara pun sama dengan
“memanusiakan manusia” dan pendidikan sebagai “proses
pembudayaan”. Tapi sayang semuanya itu sekadar jargon
saja, dan masalahnya sebagaimana saya singgung dulu,
basis filosofis Driyarkara, Ki Hadjar Dewantara, tidak sama
dengan para pelaksana filsafat itu sekarang ini. Jika
demikian, apakah filsuf Indonesia dangkalkah? Bukan
dangkal, tetapi terdapat missmatch, beda komitmen,
dedikasi, dan kemampuan memegang kebenaran dan
hakikat filosofi antara filsuf terdahulu dengan orang-orang
yang mengimplementasikannya sekarang dalam ranah
praksis. Bagi saya tidak ada filsuf yang dangkal, filsuf yang

50
dangkal adalah bukan filsuf, melainkan hanya mengaku
filsuf.
Ada sebuah pameo yang menyatakan bahwa
seseorang belajar filsafat untuk menjadi dosen filsafat, yang
nantinya akan mengajar filsafat kepada mahasiswanya, dan
mahasiswa ini pun akan menjadi dosen filsafat yang kelak
akan mengajar filsafat pada mahasiswa generasi
selanjutnya, begitu seterusnya. Jadilah berputar terus
menjadi semacam lingkaran setan yang tak terputus. Pun
selama ini filsuf dipandang hanya berproduk buku, artikel
ilmiah untuk jurnal-jurnal filsafat; selebihnya secara
immateri adalah konsep dan teori filsafat, pemikiran,
gagasan, ide-ide, dan semacamnya. Filsuf pada akhirnya
dianggap sebagai individu idealis, nyentrik, tertutup, asyik
dengan dunianya sendiri, beberapa di antaranya sering
memantik kontroversi. Dan ini sama sekali tidak menarik
bagi dunia kapitalis yang selalu berlari untuk memupuk
modal materi.
Selama ini belum banyak institusi sosial yang
memerlukan filsuf. Bahkan institusi intelektual seperti
perguruan tinggi, lembaga penelitian, departemen-
departemen di pemerintahan, dan lembaga swadaya
masyarakat (LSM) serasa tidak melihat filsuf sebagai
sebuah modal atau investasi yang layak dilirik dan ditarik
masuk dalam institusi mereka. Satu kasus paling ironis dan
secara tepat menohok dunia pendidikan adalah perguruan
tinggi eks Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP)
yang sekarang menjadi universitas. Hampir semua IKIP
dulu memiliki program studi filsafat pendidikan, namun
lambat laun peminat berkurang, dan pada akhirnya semua
program studi tersebut dihapus secara perlahan sampai
kemudian hilang sama sekali. Ironisnya pula, ternyata
dapat dikatakan minim sekali dosen yang berlatarbelakang

51
filsafat pada universitas-universitas “mantan” IKIP
tersebut.
Pada masa penerimaan dosen yang dicari selalu
latarbelakang sesuai dengan program studi saja, dan tak
pernah mencari lulusan filsafat-atau filsuf-untuk menjadi
dosen di program studi bersangkutan. Sebagai misal,
program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD)
Unnes, tak ada dosen yang khusus berlatarbelakang filsafat,
apalagi filsafat pendidikan. Yang terjadi kemudian adalah,
program studi, jurusan, fakultas, universitas, dan disiplin
keilmuan tersebut menjadi kering, tak ada gairah
intelektual, dan sekadar menjalankan rutinitas akademik
yang sudah tersubordinasi sistem pendidikan kapitalis,
yakni rutinitas memproduksi guru-guru SD yang kemudian
disalurkan ke pasaran. Hasilnya dapat kita lihat,
bagaimanakah pemahaman hakikat keilmuan guru-guru
kita sekarang, pengetahuan tentang analisis ideologi,
wacana, dan diskursus keilmuan kontemporer, termasuk
gairah untuk terus belajar dan menggali dan
mengembangkan ilmu pengetahuannya; tiada!
Pada akhirnya ketika institusi intelektual dan sosial,
termasuk institusi pendidikan, sudah tak merasa
memerlukan filsafat dan filsuf, menghamba pada
kapitalisme, maka kian lama para peminat filsafat, para
filsuf, akan menjadi makhluk langka yang kian puah, dan
pada akhirnya akan mati seiring matinya ilmu pengetahuan
tanpa adanya filsuf.

52
SPL dan Disorientasi Tujuan Pendidikan
Oleh : Muhammad Taufiqurrohman

Sumbangan Pengembangan Lembaga (SPL)


Universitas Negeri Semarang 2008 cukup membuat
masyarakat luas terhenyak khususnya masyarakat Jawa
Tengah. Lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya, Unnes
menetapkan anggaran SPL tahun akademik 2008/2009
sebesar minimal 5 juta rupiah dan maksimal 35 juta rupiah
bagi calon mahasiswa baru. Peningkatan sumbangan
tersebut cukup fantastis di tengah keadaan ekonomi
masyarakat yang kian terpuruk. Apalagi kita tahu ‘pangsa
pasar’ Unnes selama ini adalah mereka yang berasal dari
golongan ekonomi kelas menengah ke bawah. Oleh karena
itu, cukup beralasan kiranya jika kita mengajukan beberapa
pertanyaan terkait hal tersebut.
Bagaimanakah alur logika para birokrat Unnes
dalam persoalan yang cukup ‘gawat’ ini? Masyarakat sangat
mengharap ada transparansi informasi tentang alur logika
tersebut. Sehingga misunderstanding terhadap fakta SPL
ini dapat diminimalkan dan dapat memicu dialog yang
lebih jernih dan komunikatif.
Sayangnya, sepengetahuan penulis sejauh ini belum
ada semacam press conference yang digelar oleh Unnes
sebagai sebuah pertanggungjawaban publik atas kebijakan
ini. Sejauh yang penulis tahu, satu-satunya alasan adalah
pernyataan petinggi Unnes yang menyatakan bahwa SPL
2008/2009 sudah disepakati oleh Senat Unnes, seperti
yang dilansir beberapa media massa. Apakah hubungan
antara alasan-alasan keputusan tentang SPL dengan
disepakatinya alasan-alasan tersebut oleh Senat? Jawaban
yang diharapkan masyarakat mestinya adalah jawaban yang
lebih ideologis, filosofis dan relevan dengan keadaan
masyarakat.
53
Pertanyaan lain yang datang adalah soal aturan
hukum yang memayungi keputusan tersebut. Kita Unnes
tahu belum menjadi Badan Hukum Pendidikan (penulis
berharap semoga tidak). Itu artinya, memang tidak ada
aturan hukum baru lagi yang bisa dijadikan paying, selain
persetujuan senat universitas sebagai legislator utama
keputusan-keputusan publik universitas selama ini. Lalu
mengapa, dengan status yang masih sama sebagai
Perguruan Tinggi Negeri, dan itu artinya dengan
kebutuhan-kebutuhan yang tidak terlalu berbeda seperti
tahun-tahun sebelumnya, SPL Unnes dinaikkan begitu
dramatis?
Mencoba meraba-raba inti persoalan, penulis
menyimpulkan beberapa hal. Pertama, SPL Unnes tahun
ini sangat erat kaitannya dengan isu BHP. Kebijakan
tentang SPL ini bisa jadi merupakan sebuah persiapan
sebelum di-BHPkan-nya Unnes. Sebab, lazim kita tahu
bahwa persoalan BHP adalah persoalan sensitif dan
multikompleks. BHP merupakan proyek besar pemerintah
pusat dengan segala undang-undang yang hampir pasti
akan ditetapkannya. Apalagi kita tahu, entah dengan
keterbatasan daya untuk melawan atau memang secara
ideologis sepaham, hampir semua petinggi PTN di
Indonesia tak terkecuali petinggi Unnes dapat menerima
kebijakan publik yang dirancang petinggi negara tersebut
tanpa reserve dan gejolak sebagai ciri utama masyarakat
akademis dalam menanggapi wacana-wacana baru dan
sensitif secara sosial semacam wacana BHP.
Sebagai pendukung BHP, dilemparkannya bola api
SPL oleh Unnes ini merupakan sebuah uji coba sebelum
dilemparkannya bola api yang lebih panas lagi bernama
BHP. Oleh karena itu, seberapa jauh upaya mengkritisi SPL
bahkan perlawanan terhadapnya merupakan tolak ukur
terhadap mulus atau tidaknya jalan Unnes menjadi BHP.
54
Jika terhadap isu ‘kecil’ SPL saja masyarakat luas (yang
berhak untuk menggugat keputusan publik yang merugikan
kehidupannya) dan khususnya masyarakat akademis Unnes
(senat universitas, BEM Universitas, BEM Fakultas, dosen
dan karyawan) sebagai kekuatan kontrol pembuat
kebijakan ‘lemah syahwat’ untuk mengkritisinya maka
bagaimana dengan isu sebesar BHP?

Disorientasi Tujuan Pendidikan


Kedua, lalu apa yang hendak dikritisi? SPL Unnes
hanyalah merupakan batu loncatan kecil untuk
merefleksikan persoalan pendidikan nasional kita. Bagi
penulis membicarakan SPL dan BHP adalah membicarakan
satu persoalan, yaitu disorientasi tujuan pendidikan yang
berujung pada komersialisasi pendidikan.
Pemahaman bahwa tujuan pendidikan hanya bisa
tercapai dengan mengkomersialkan pendidikan
(menjadikan pendidikan sebagai suatu komersial atau
barang dagangan) seperti yang terjadi di Indonesia tidaklah
sepenuhnya benar. Maka sepaham dengan Romo
Mangunwijaya, tujuan pendidikan bukanlah menjadikan
manusia sebagai ‘sarana’ seperti mesin, cangkul, dan sedan
seturut dengan menggemuknya kebutuhan masyarakat
komersial kapitalisme modern. Pendidikan hanya dimaknai
sebagai bekal mencari kerja. Negara melalui Direktorat
Jendral Perguruan Tinggi tampaknya mengamini hal ini.
Sebagai contoh simak saja rencana Dikti baru-baru ini yang
akan menutup program studi-program studi yang dianggap
tidak ‘marketable’ alias yang justru menambah
pengangguran semacam ilmu politik, ilmu sejarah, dan
lain-lain. Begitulah jika pendidikan diperdagangkan maka
mahasiswa pun direduksi menjadi hanya semacam
asongan.

55
Melampaui hal itu, tujuan pendidikan adalah
menjadikan manusia sebagai ‘tujuan’, yaitu menjadi
manusia seutuhnya. Lalu, apakah mengkomersialkan
pendidikan yang membuat rakyat kecil semakin tidak bisa
menjangkau ‘harga’ atas pendidikan adalah manusiawi?
Apakah sebuah kebijakan yang menyakiti perasaan
kemanusiaan rakyat yang tidak mampu untuk
mendapatkan hak-haknya sendiri untuk mendapatkan
pendidikan adalah manusiawi? Mengapa justru yang tidak
memanusiakan manusia adalah sesuatu yang
mengatasnamakan pendidikan yang justru bertujuan untuk
memanusiakan manusia? Mungkin disinilah letak
persoalannya bahwa SPL dan BHP sebagai bentuk
komersialisasi pendidikan hanyalah efek-efek kecil turunan
dari sesuatu yang jauh lebih mencekam, yaitu disorientasi
tujuan pendidikan nasional kita.

56
Warung Pecel
Oleh : Yogas Ardiansyah

Hari ini, mbok Ti tampak cerah wajahnya, lebih


cerah daripada hari-hari sebelumnya. Tangannya begitu
ringan mempersiapkan berbagai macam sayuran dan
bumbu sebagai bahan utama pembuatan pecel, yang
memang menjadi menu utama kedainya. Keceriaan mbok
Ti ini menular juga pada kang Kus, suaminya. Sang suami
ini dengan sigap membantu istrinya menimba air dari
sumur dan menata piring-gelas di rak. Menjadi sesuatu
yang lazim memang, di pelosok timur desa di Jawa Tengah
ini, seorang suami berperan seolah-olah menjadi karyawan
istrinya. Ini didasari keadaan sosial ekonomi yang memang
tak bisa di hindari. Ladang dan sawah yang dikerjakannya
tiap hari tidak mampu menyangga konsumsi harian
keluarga karena hanya bisa dipanen tiga bulan sekali,
bahkan lebih lama jika tidak dibantu dengan turunnya
hujan. Hal ini menyebabkan kang Kus rela menjadi
karyawan istrinya, karena hasil dari warunglah yang
memang menjadi andalan penghidupan sehari-hari.
Sedangkan nanti bila masa panen tiba, hasilnya digunakan
untuk membeli kambing atau anak sapi yang dirawat
sendiri, sebagai fungsi tabungan dan investasi. Mungkin
akan timbul gejolak jika yang mengalami pola ekonomi
seperti ini adalah keluarga yang tinggal di kota, karena
budaya patrilinial melekat erat di sebagian besar wilayah
Indonesia. Hanya kesadaran dan saling pengertian antara
mbok Ti dan kang Kus sajalah yang membuat pola rumah
tangga ini berjalan lancar.
Gerangan apakah yang membuat mbok Ti dan kang
Kus bersuka cita? Alasannya cukup sederhana dan biasa-
biasa saja : omzet penjualan kedai pecel miliknya
meningkat dan dipastikan akan terus meningkat. Puluhan
57
orang setiap hari antri untuk mendapatkan seporsi nasi
pecel buatannya. Seluruh warga kampung bahkan para
pegawai kantor yang terletak di seberang jalan raya sana
tiba-tiba memburu pecelnya.
Minggu kemarin, pak Camat memerintahkan seluruh
warga dan jajaran pegawainya, mulai sejak dibacakannya
instruksi, agar gemar mengkonsumsi makanan tradisional
daerah setempat, terutama pecel. Bukan itu saja,
merekapun diminta untuk ikut mempelajari cara mengolah
sayuran dan bumbu menjadi pecel yang nikmat. Dengan
bangga pak Camat mengeluarkan perintah itu disertai kata-
kata seperti yang tertera pada spanduk-spanduk sebelum
tahun 1998 “Dengan Mengkonsumsi Dan Melestarikan
Pecel, Kita Jaga Aset Dan Budaya Daerah”. Pak Camat juga
memerintahkan sekolah dan tempat kursus untuk
menambah mata pelajaran “membuat pecel” untuk para
siswanya. Bahkan ide itu berkembang menjadi proposal
pada sebuah universitas agar menambahkan mata kuliah
tentang perpecelan, agar mahasiswa tahu dan mengenal
pecel tidak hanya sebagai makanan pinggir jalan, tetapi
juga merupakan bidang penelitian ilmiah yang dapat dikaji
dari sisi ekonomi, sosial-budaya bahkan politik. Hidangan
yang disajikan setiap ada rapat atau tamu penting yang
berkunjung ke kecamatan itupun tak lepas dari pecel.
Sontak saja kebijakan ini membuat warung mbok Ti
kebanjiran pembeli. Semua orang berlomba membeli
pecelnya dan tak jarang bahkan meminta izin untuk belajar
membuat pecel darinya. Warung pecelnya mendapat
peringkat terlaris paling tinggi di banding warung yang
menjual makanan lain. Bahkan mbok Ti berencana
membuka kedai baru sebagai perluasan agar dapat
menampung semua peminat. Tak lupa, mbok Ti juga
menambah jumlah belanjaan agar mampu memenuhi
permintaan yang kian tinggi karena kebijakan pak Camat
58
tersebut. Hal ini dilakukan karena mbok Ti khawatir
pembeli akan mencari warung lain yang tiba-tiba saja
menjual pecel karena iri melihat potensi pasar yang begitu
besar. Warung–warung baru tersebut tentu belum terjamin
mutunya dan berpotensi merusak citra pecel yang sedang
naik daun.
Rencana memperluas kedai dan menambah produksi
tentu menimbulkan kerepotan tersendiri untuk mbok Ti
dan kang Kus. Mereka harus memperlebar warung,
menambah bumbu dan sayuran, menambah jumlah piring
dan sendok hingga sampai harus merekrut beberapa
karyawan baru untuk membantunya. Merekapun harus
melatih karyawan baru tersebut agar memenuhi kualifikasi
dalam membuat pecel sesuai dengan standar rasa yang
digariskan, dan sesekali melayani permintaan semacam
wawancara dari pembeli yang ingin mengetahui
perkembangan program pak Camat ini. Belum lagi biaya
untuk memperbesar bisnis ini ternyata lumayan besar juga.
Merekapun harus bekerja ekstra keras dan mulai
menggunakan teori efektivitas dan memperhitungkan
besaran modal yang mereka keluarkan apakah sebanding
dengan potensi pendapatannya. Tapi toh, mereka rela
melakukan kerja ekstra itu karena sadar peluang ini harus
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Peluang ini bisa jadi
takkan pernah ada lagi karena, kata orang, keberuntungan
macam ini tidak akan datang dua kali.
Di balik semua itu, ternyata memang karakter
suami-istri penjual pecel itu, yang orang jawa tulen, tak
mudah hilang begitu saja. Sebagai orang jawa, mereka
dididik untuk selalu ingat dan waspada akan setiap
perubahan yang dibawa oleh sang waktu. Mereka, sekalipun
disibukkan dengan kerja keras melayani pembeli, tetap
selalu bersyukur atas limpahan anugrah ini sembari tetap
tidak lupa diri. Entah berfikir secara modern tentang teori
59
peluang pasar ataukah berpikir tradisional yang
berdasarkan sikap nrimo ing pandum, mbok Ti dan kang
Kus sepertinya sadar bahwa perubahan ini tidaklah kekal
dan akan disusul dengan perubahan-perubahan yang lain.
Mbok Ti dan kang Kus juga sadar, bahwa mereka tidak tahu
sampai kapan kebijakan pak Camat ini akan terus berjalan
dan efektif dilaksanakan. Mereka juga tidak tahu motif apa
yang membuat pak Camat memerintahkan hal ini
(mendekati pemilu yang sebentar lagi tiba, perilaku
pemerintah memang sukar di tebak. Dan semua orang tahu,
sekalipun pegawai negeri dilarang berpolitik, pak Camat
adalah simpatisan golongan tertentu). Mbok Ti dan kang
Kus juga sadar bahwa seenak apapun pecelnya, tentu lidah
orang akan jengah juga jika setiap hari disuguhi pecel
melulu.
Semua itu membuat suami-istri ini tidak membabi
buta dalam mengembangkan institusi warung pecelnya.
Mereka tidak mau kapiran karena termakan oleh
perubahan zaman. Jika sewaktu-waktu kebijakan ini
dicabut karena diganti dengan kebijakan lain atau karena
dianggap sudah tidak relevan lagi atau karena didemo
penjual lain yang iri, mbok Ti dan kang Kus tetap akan
bertahan dan tidak terlalu merugi atau bahkan mengalami
post power syndrome. Mereka tetap melandaskan
kemajuan warung mereka berdasarkan naluri
kerendahhatian sembari takut untuk membayangkan
berapa kerugian yang harus mereka tanggung karena telah
membelanjakan dengan tanpa pertimbangan seluruh modal
dan tabungan mereka untuk memperluas warung, membeli
piring dan sendok dan menrekrut karyawan serta
melatihnya.
Siang yang panas ini, saya berkesempatan mencicipi
pecel mereka. Lantas entah mengapa, tiba-tiba saja saya
teringat jajaran pimpinan sekolah tinggi nun jauh disin(i)
60
yang sedang getol mencoba membuka lapak-lapak baru
untuk didatangi para calon mahasiswa dan para guru yang
sedang bersukahati menanti-nanti berkah sertifikasi.

61
Pendidikan Politik Bagi Kaum Tertindas
Oleh : Awaludin Marwan

Potensi besarnya angka Golput Jawa Tengah dalam


konteks perilaku pemilih tidak bisa disalahkan. Refleksi
sangat dibutuhkan tentang persoalan taraf pendidikan
politik mereka. Karena dengan pendidikan politiklah,
kontruksi sadar dan cerdas memilih bisa terwujud.
Konsepsi pendidikan kaum tertindas, yang pernah
menggemparkan Amerika saat dikumandangkan oleh Paulo
Freire pada abad ke -19, mengandung sejumlah orientasi
filosofis dari pendidikan. Bahwa pendidikan menjadi lebih
manusiawi (memanusiakan manusia), demokratis,
pragmatis, dialogis, dan membebaskan. Konsepsi ini bisa di
pakai untuk memotret dan memberikan solusi bagi
peningkatan kualitas pendidikan politik khalayak pemilih.
Pendidikan politik sebagaimana yang dapat kita lihat
dalam sosialisasi dan kampanye pilgub, ternyata tidak
secara holistik memperhatikan eksistensi kaum tertindas.
Kaum tertindas yang memiliki keterbelakangan hanya bisa
berpasrah diri dengan keadaan. Dimana kampanye
kandidat dan sosialisasi pemilu yang terbatas, sehingga
tidak mendukung terbentuknya kecerdasan dan kesadaran
politik mereka.
Sosialisasi dan kampanye hanya berniat untuk
menggiring mereka untuk mencoblos, bukan mencerdaskan
dan membebaskan. Tak banyak diharapkan dari sosialisasi
yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu jika hanya
menganjurkan kepada pemilih untuk menggunakan hak
pilihnya. Agenda sosialisasi menjadi sebuah tahapan yang
terkesan rutinitas semata. Apalagi pola komunikasi yang
disediakan bagi kaum tertindas hanya dalam format
penyuluhan dan menyalurkan informasi lewat media.
Metode ini menutup dialog dan memberangus kesadaran,
62
layaknya sistem pendidikan politik otoriter. Meminjam
ungkapan Freire, seperti banking education tanpa
kurikulum dan target yang jelas.
Sedangkan kampanye hanya akan membangun
skeptisisme terhadap bangunan pendidikan politik yang
ada. Pada kenyataannya, kampanye terbuka –sebagai
alternatif bentuk kampanye yang banyak dipilih kandidat–
yang mengutamakan penggiringan massa, hanya berefek
memangkas ruang dialog. Padahal dialog itulah, yang
merupakan hal esensial pada proses penyadaran. Dengan
terjalinnya dialog kritis, secara otomatis akan mendorong
tranformasi sosial dan pembebasan, serta mencerdaskan-
secara politis-khalayak pemilih.
Bentuk sosialisasi dan kampanye yang popular saat
ini mengharuskan prakondisi yang memerlukan
karakteristik pemilih rasional. Untuk menuju pemilih
rasional, paling tidak diperlukan energi yang cukup besar,
baik taraf pendidikan formal maupun tingkat kesejahteraan
yang mencukupi. Kaum tertindas yang jauh dari faktor
tersebut perlu diberikan pendidikan politik yang
meletakkan dasar humanisasi dan menyejajarkannya dalam
bentuk kesadaran kritis.
Kaum tertindas bisa diartikan pemilih yang
termasuk golongan miskin. Sebanyak 21, 11 % penduduk
Jawa Tengah berada dalam status masyarakat miskin (BPS,
2007: hal 185). Daerah yang memiliki jumlah penduduk
miskin terbanyak adalah Kabupaten Brebes, dengan
persentase 51, 60 %. Sedangkan jumlah penduduk miskin
terkecil di Kota Magelang, yakni 17, 70 %. Mereka inilah,
yang menjadi sasaran pembangunan kesadaran dan
kecerdasan politiknya.
Dilema ketidaksadaran dan ketidakcerdasan kaum
tertindas memang persoalan fundamental. Maka cukup
rasional jika persoalan fundamental ini di sandingkan
63
dengan fenomena golput dalam setiap pemilihan (umum).
Kurangnya pendidikan politik pemilih serasa cukup
signifikan dalam melahirkan bertambahnya angka golput.
Prihatmoko (2008) menyatakan, pada pemilu DPRD
Jateng tahun 2004 lalu, angka golput mencapai 22,06 %.
Berada dibawah partai pemenang pemilu (PDI-P) dengan
prosentase perolehan sebanyak 23,09 %. Dalam pilpres
putaran pertama, angka golput (23,44 %) juga dibawah
Mega-Hasyim sebagai pemenang (24,90 %). Dalam pilpres
putaran kedua, dukungan SBY-JK sebagai pemenang
(38,48 %) masih mengalahkan golput (28 %). Namun untuk
pemilu DPD, akumulasi seluruh suara 4 anggota terpilih
(20,59 %) dikalahkan golput (31,14 %). Selanjutnya,
sepanjang 2005-2007, golput memenangi 11 dari 26 pilkada
kabupaten/kota (42,31 %). Kesebelas daerah tersebut
adalah Kota Pekalongan, Kota Surakarta, Kabupaten
Kendal, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Semarang,
Kabupaten Klaten, Kabupaten Pemalang (2005), Kota
Salatiga, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Pati (2006),
serta Kabupaten Jepara (2007). Dengan demikian,
presentase pilkada yang dimenangkan golput meningkat.
Dari 41,18 % daerah pada tahun 2005 dan 42,86 % pada
tahun 2006, menjadi 50 % pada tahun 2007. Dari sebelas
pilkada tersebut, rata-rata golput sebesar 36,74 %, dan ini
jauh diatas suara bupati/walikota terpilih yang hanya
sebesar 26,10 %. Selisih perbandingan itu di rata-rata 26
pilkada kabupaten/kota sangat tipis, yakni golput 31,38 %
dan bupati/walikota terpiliih 35,12 %. Data itu menunjukan
besarnya potensi golput dan bahkan kemenangan golput
dalam pilgub.
Dengan potensi golput sebesar ini, maka perhatian
serius perlu ditujukan untuk membangun kembali
kesadaran dan kecerdasan politik warga, terutama kaum
tertindas. Sekali lagi, dalam Pedagogy of The Oppresed,
64
Freire menekankan pentingnya pendidikan berkesadaran
menuju ketiadaan penindasan. Dalam konteks yang lebih
operasional, hal ini bisa dilakukan melalui sosialisasi yang
harus diposisikan sebagai agen demitologisasi dalam
menghadapi masalah. Dan juga dialog sebagai instrumen
terpenting, yang akan memberikan motivasi pemilih
menjadi pemikir kritis dan merangsang kreatifitas aksi
dalam menghadapi persoalan politik.
Kalaupun perlu, sosialisasi ke depan haruslah diatur
sedemikian rupa, sehingga menyerupai sarana pendidikan
politik non formal yang mencerdaskan. Tidak hanya
sekadar mengajak pemilih untuk menggunakan hak
pilihnya saja, akan tetapi mampu mengajak pemilih mampu
”berpikir”, membongkar profil, visi, misi, program, dan
arah kebijakan kandidat. Sehingga, pada akhinya pemilih
tidak hanya pandai memilih dengan benar, tapi mampu
mendampingi 5 (lima) tahun ke depan dengan kritisisme
dari kontruksi kesadaran dan kecerdasan politik yang
dimilikinya.

65
Ruang Publik Pendidikan
Oleh : Edi Subkhan

Secara filosofis dapat dikatakan bahwa kedirian kita


di dunia ini, adanya diri kita sekarang ini, sebagaimana
diungkapkan oleh Heidegger bahwa, “Manusia sudah selalu
terlempar ke dunia”; manusia bukanlah subyek yang dapat
melepaskan diri dari dunia. Charles Taylor (1993)
menyatakan bahwa manusia adalah enggaged agency,
pelaku yang telah selalu terlibat dalam dunia tertentu.
Dalam pengertian yang lebih sederhana, manusia selalu
terlahir sudah dalam berada dalam komunitas masyarakat
tertentu, dalam ruang kehidupan tertentu, baik secara
geografis, etnis, keyakinan, dan lainnya. Takdir kedirian,
fitrah kemanusiaan, atau “kutukan” kehidupan manusia ia
selalu sudah mendapati dirinya berada di dunia ini dengan
ketentuan-ketentuan tertentu, seperti etnis, bahasa,
budaya, dan keyakinan. Kenyataan tersebut memberikan
pemahaman kepada kita bahwa manusia berada dalam
“ruang” tertentu secara sosial, dan ini adalah keniscayaan
abadi yang tak dapat dielakkan oleh manusia.
Pun ketika seseorang itu menjadi eksistensialis,
seperti Kierkegaard, Nietzsche, Gabriel Marcel, Fyodor
Dostoevsky, Jean Paul Sartre, Muhammad Iqbal al-
Pakistani, dan lainnya, maka mereka tak dapat
mengelakkan kenyataan bahwa mereka telah eksis terlebih
dahulu dalam “ruang” tertentu sebelum berupaya meng-
eksistensi-kan dirinya secara “sadar”. Eksistensialis yang
lebih mengedepankan “eksistensi” daripada “essensi”
terlepas dari penafian mereka akan “ruang” sosial justru
memberikan pemahaman bahwa mereka memiliki “ruang”
privat tersendiri, yang memisahkan diri dari “ruang publik”.
Secara distingtif-oposisi biner, maka ketika terdapat
“ruang publik” maka sebaliknya pasti ada “ruang privat”. Di
66
sini kita agaknya sudah mendapatkan basis filosofis yang
memadai mengenai adanya ruang publik dan privat,
walaupun tidak terlalu epistemologis, apalagi “etis-estetis”
yang merupakan bagian dari dimensi aksiologi dari filsafat.
Dengan terpaksa melampaui bahasan historis ruang publik
–dan privat- mulai dari Yunani kuno sampai pada alam
modernitas dan posmodernitas sekarang (bagi yang percaya
“mitos-mitos” tersebut), maka sekarang dapat dikatakan
bahwa hidup dan kehidupan kita, sampai ruang privat kita
tidak dapat menolak keberadaan ruang publik; ia selalu
berhadapan dengan ruang privat, dan pada akhirnya
melahirkan banyak perspektif seiring banyak masalah yang
terlahir dari persetubuhan ruang publik dan privat tersebut.
Secara singkat ruang publik bicara soal kebebasan,
kesetaraan, egalitarianisme, demokrasi, kesejahteraan
bersama, di sisi lain ruang privat bicara soal hak asasi,
kekhasan tertentu, privelege tertentu, keyakinan tertentu,
yang seakan-akan berada di balik tirai yang sewaktu-waktu
dapat keluar, mendesakkan “kekhasan” tersebut pada ruang
publik, menghegemoni, mendominasi wacana, dan pada
akhirnya –sebagaimana yang terjadi pada metanarasi besar
terdahulu (modernisme, posmodernisme, dialektika roh
[Hegel] dan mitos-mitos besar lainnya)- mendesak ruang
privat lain. Sebenarnya, berkaitan dengan latar pendidikan
saya di FIP Unnes, banyak masalah pendidikan yang mau
tidak mau mesti mengantarkan kita untuk mendekatinya
dari perspektif ruang publik. Dan hal itu merupakan
keniscayaan untuk mengambil ruang publik sebagai
pendekatan dalam memahami masalah sosial terlihat
dalam banyak ranah kehidupan.
Misalnya, soal moralitas guru sebagai manusia biasa,
sebagai bagian dari ruang privatnya ketika berhadapan
dengan ruang publik yang menuntut keselarasan antara apa
yang ia ajarkan pada siswa dengan ruang privatnya secara
67
betul-betul personal. Kasus yang nyata adalah soal guru
yang berbuat mesum, selingkuh, bertindak asusila. Guru
sebagai personal dan guru sebagai bagian dari ruang publik
menjadi problematik, bagaimana mesti menempatkan diri
dalam hak privasi untuk menjadi manusia biasa yang bisa
amoral dan menjadi manusia “agung” yang mesti selalu
baik di mata siswa dan masyarakat. Ruang publik telah
menjadikan posisi guru di situ tidak boleh memiliki ruang
privat karena tidak disepakati oleh mayoritas pendapat
ruang publik, yang nota bene pendapat mayoritas ruang
publik pun sebenarnya merupakan desakan dari ruang
privat moral dan etika yang sudah menjadi “sewajarnya”.
Ruang privat berupaya, dalam hal ini, pendapat atas moral
dan etika tertentu pada akhirnya menjadi dominan di ruang
publik ketika ‘semuanya’ atau katakanlah sebagian besar
berpendapat sama.
Bagi saya, dalam ruang publik pendidikan terdapat
bahasan sensitif sebagai bahasan yang belum tuntas
melibatkan ruang publik dan ruang privat, yakni ruang
privat keyakinan teologis dan ideologis yang niscaya
merengsek masuk dalam ruang publik pendidikan.
Pendidikan sebagai ruang publik ketika diperbandingkan
dengan ruang publik sebaga civil society, mungkin akan
lebih tepat disebut sebagai ‘ruang publik perantara’.
Ungkapan-ungkapan para pendidik kritis seperti Freire,
Illich, Postman, dan Apple, juga teoritis kritis seperti
Bourdieu, Foucault, dan Habermas yang menyatakan
bahwa pendidikan penuh dengan kepentingan ideologis,
politis, dan lainnya sebetulnya telah meneguhkan pendapat,
bahwa ketika pendidikan didefinisikan sebagai ruang publik
perantara maka memang betul ia menjadi ruang kontestasi
ideologi dan berbagai kepentingan lain termasuk keyakinan
teologi untuk menghegemoni, mendominasi, dan me-
reifikasi nilai-nilai yang menjadi kesepakatan bersama
68
dalam ruang publik pendidikan tersebut. Keyakinan
ideologis dan teologis memang niscaya keluar dari bilik
ruang privat menuju ruang publik untuk memenangi
kontestasi di antara ruang privat ideologis dan teologis
lainnya, yang juga sama-sama merengsek keluar menuju
ruang publik pendidikan. Hal itu karena ideologi dan
teologi lebih terkodifikasi, baku, masuk dalam kotak-kotak
terdapat kekhasan yang tak ada pada ruang yang lain.
Mirip prinsipnya Thomas Hobes, maka saya
berpendapat tidak boleh mendesak ruang privat lain apalagi
merusaknya dan lebih berupaya menjaga ruang privat
sendiri, oleh karena tindak amoral itu sebenarnya telah
merusak atau mendesakkan persepsi bahwa amoralitas itu
benar kepada ruang privat lain yang tidak sepaham, maka
amoral tidak diterima di ruang publik.
Tapi bukankah keyakinan dari ruang privat yang
dominan di ruang publik dan menjadi sebuah konsenses
kemanusiaan dan kelaziman moral, bahwa amoral itu tidak
boleh, juga sebentuk pemaksaan dan “pengrusakan” atas
ruang privat lain yang meyakini bahwa amoral itu boleh?
Bagaimana Anda menjawab ini? Ini baru pemanasan,
posting selanjutnya sedikit menginjak soal intelektual
kampus.

Belenggu Idealisme Ubermensch


Dunia pendidikan kita sekarang tak hanya dimaknai
sebagai sarana untuk memanusiakan manusia sebagaimana
dikatakan Driyarkara. Lebih dari itu sekarang dengan
berbasis pada paradigma education as human investment,
maka dunia pendidikan telah menjelma menjadi pabrik-
pabrik yang siap memproduksi manusia-manusia pesanan
pasar. Konsekuensinya, dengan harga tertentu maka akan
didapat produk dengan kualitas sebatas harga yang
diberikan. Dengan kata lain, dalam logika ekonomi,
69
semakin tinggi kita berani membayar -atau berinvestasi
pada sebuah lembaga pendidikan- maka semakin tinggi
pula kualitas produknya.
Tampaknya semua lembaga pendidikan menyadari
hal itu, hingga yang terjadi selanjutnya adalah persaingan
antarlembaga. Mereka semua berupaya untuk
menunjukkan bahwa lembaga mereka lebih berkualitas dari
yang lain. Ketika tantangan globalisasi sekarang
menghendaki penguasaan soft skill dan hard skill
competence bahasa Inggris, IT, keuletan, kreativitas,
profesionalisme, dan lainnya, maka lembaga pendidikan
beramai-ramai mengakomodasinya. Nah, ketika persaingan
kian ketat antarlembaga, maka inovasi-inovasi pendidikan
dilontarkan agar tak sekadar keunggulan kompetitif yang
didapat tetapi juga keunggulan komparatif.
Dari sini lahirlah lembaga-lembaga pendidikan
semacam full day school (sekolah sehari penuh) yang
bersaing dengan lembaga pendidikan lain yang bermodel
imersi, akselerasi, boarding school, sekolah alam, dan lain-
lainnya. Karena sudah bernalar bisnis, maka promosi
digencarkan bahwa konsep-konsep inovatif tersebut lebih
unggul dibandingkan dengan sekolah-sekolah biasa dengan
tujuan agar orang tua dan calon peserta didik kian tertarik,
hingga akhirnya memilih sekolah mereka, dan ketika
mereka bersekolah di lembaga tersebut tentu semakin
banyak “investasi” yang masuk, dan semakin sejahteralah
lembaga tersebut.
Jika ditelisik secara lebih filosofis, maka sebenarnya
masalah tersebut terjadi karena dunia pendidikan kita tak
mempunyai landasan filsafat dan ideologi pendidikan yang
kuat. Visi pendidikan kita pada kurikulum 1994 dan
sebelumnya telah mengandaikan bahwa tujuan pendidikan
adalah membentuk manusia Indonesia yang sempurna lahir
& batin, mampu menguasai segalanya, bisa apa saja, intinya
70
adalah sebentuk ubermensch (superman) yang digadang-
gadang oleh Hitler ketika mengklaim rasnya sebagai yang
terunggul di dunia. Intinya pendidikan kita ditujukan untuk
membentuk manusia super (superman) yang serba unggul
yang ternyata hal itu pun masih dalam kontroversi secara
filsafati dan mengabaikan realitas sosial-budaya bangsa
Indonesia.
Akhirnya yang dirujuk adalah filsafat idealisme
dalam pendidikan. Filsafat idealisme ini mencoba
memberikan semua materi yang penting bagi siswa,
celakanya semua materi dianggap penting, karena memang
tujuannya menciptakan manusia super tadi. Yang terjadi
adalah, banyak materi dijejalkan pada siswa walaupun
ternyata dangkal. Mulai dari hal sederhana sampai teori
yang sebenarnya belum perlu diberikan pada siswa SMP –
misalnya- akhirnya diberikan juga. Selanjutnya
pembelajaran lebih bersifat teoritis karena banyaknya
materi yang harus dipelajari, waktu belajar terbatas, hingga
tak mendalam dan minim prakteknya.
Walaupun paradigma tersebut sudah mulai
ditinggalkan dengan mensinergikan idealisme dan realita
dalam pendidikan kita, ternyata mimpi ubermensch
tidaklah tamat riwayatnya. Dengan disulut api nalar bisnis
yang penuh persaingan untuk mendapatkan hati pasar
(masyarakat dan dunia kerja) maka ia berganti baju dan
menjelma menjadi –salah satunya-konsep full day school.
Hal ini didasari pada kenyataan bahwa full day
school tak sekadar “memaksa” siswa belajar dari pagi
sampai sore, tapi tentu materinya lebih banyak, lebih
variatif, dan kemungkinan lebih mendalam. Tak hanya itu,
yang pasti full day school tentu lebih mahal biayanya
daripada sekolah biasa.
Yang dikhawatirkan adalah, siswa menjadi jenuh
belajar seharian. Tak hanya karena dibatasi dalam lingkup
71
sekolah yang seringkali menjauhkan dari realita kehidupan,
tetapi ketika materi yang diberikan terlalu banyak, apalagi
dengan konsep yang tak lagi menarik hati, maka siswa akan
kian jenuh. Padahal kejenuhan dalam belajar adalah awal
resistensi pada materi yang diberikan.
Perlu disadari kiranya bahwa siswa-siswa tak
semuanya tahan dalam “penjara” sekolah, karena ada yang
berkarakter pemberontak, tak semua siswa mampu
mencerap bejibun materi, karena berbedanya kecerdasan,
tak semua siswa mau mempelajari semua, karena
bervariasinya potensi dan bakat sebagaimana dikemukakan
Howard Gardner dalam konsep multiple intelligence-nya.
Ini adalah sebentuk eksploitasi siswa oleh lembaga
pendidikan bersangkutan. Padahal siswa mempunyai hak
untuk mengaktualisasikan diri, berekspresi, termasuk
bermain-main terutama pada usia anak-anak. Dengan
konsep sekolah sehari penuh, anak juga menjadi korban
idealisme visi pendidikan dan juga arogansi orang tua yang
“memaksa” anaknya jadi yang terbaik. Bukankah ketika
ingin memberi yang terbaik tak perlu dengan memaksa,
tapi dengan menyesuaikan potensi, bakat, dan
kemampuan? Begitu pula dengan sekolah, tak perlu
“memaksa” siswa belajar seharian, yang perlu dilakukan
adalah bagaimana caranya agar siswa menjadi senang
belajar, hingga saat yang paling dibencinya justru ketika
waktu belajar usai dan liburan tiba. Bisakah?

72
Menengok Diri Serta Pendidikan Kita
Oleh : Giyanto

Kita dikelilingi oleh praktik-praktik pendidikan yang


tidak memberikan pilihan-pilihan bebas serta
ketidakjelasan sasaran dari apa yang ingin dicapai, yaitu
sebagai sarana penegak kebenaran ilmu atau menjadi salah
satu sekrup kepentingan masyarakat kapitalis industri.
Untuk praktik pertama, kita tidak pernah benar-benar
serius mendiskusikan dunia ilmiah seperti apa yang akan
diperjuangkan oleh pendidikan kita. Sedangkan untuk
praktik kedua, kita selalu dililit masalah dan bayang-bayang
pengangguran.
Determinasi (dalam konteks psikologis, bukan dalam
konteks aliran falsafah), setidaknya saya artikan sebagai
suatu kesadaran yang ada pada setiap manusia untuk
menggali kehendak bebasnya dalam menciptakan (to
create), diiringi dengan perenungan-perenungan
mendalam untuk menciptakan pilihannya sendiri.
Kesadaran ini muncul karena adanya hasrat dinamis
manusia untuk maju, disertai dengan refleksi-refleksi,
sehingga tercipta suatu kondisi kesadaran mengenai apa
yang dia kerjakan.
Memang benar bahwa manusia memang tidak dapat
benar-benar bebas. Apa yang dilihat, didengar, dirasa, serta
dimodelkan oleh lingkungan terhadapnya akan
memengaruhi cara berfikirnya. Buku apa yang kita baca,
apa yang kita bicarakan, gambaran ideal yang ada di kepala
kita, setidaknya memberikan cerminan bahwa kita tidak
benar-benar bebas dalam menciptakan apa yang kita
pikirkan dan kita lakukan. Oleh karena itu pada fase
perkembangan dewasa, hal ini menjadi sangat relevan
untuk dibahas, karena pada fase ini, setidaknya menurut
ahli psikologi perkembangan, merupakan fase peneguhan
73
siapa diri kita sebenarnya. Masa inilah, akan seperti apa
kita kelak, dapat sangat mudah dilihat.
Kembali kepada permasalahan tingkat kesadaran
yang diperlukan bagi manusia “bebas”. Kebebasan dalam
arti kesadaran menentukan pilihan, tanpa ketakutan dan
kekhawatiran yang bersumber dari harapan lingkungan
sosial kepada masing-masing subyek. Dari keluarga, guru,
ulama, pacar, istri, anak dan teman, yang kesemuanya
memiliki kepentingan masing-masing bagi pembentukan
nilai masyarakat yang sudah mereka tentukan menjadi apa
yang “baik” dan “benar” menurut versi kepentingan
masyarakat “saat ini”.
Dengan demikian, walaupun sangat halus, harapan-
harapan itu secara tidak langsung memasung kebebasan
yang seharusnya sudah menjadi kodrat manusia. Semisal,
mimpi status sosial bagi para bekas aktivis yang biasanya
terpasung, bahwa menjadi dosen atau politisi ialah berada
pada strata tertinggi. Bukan berarti saya menganggap
rendah impian tersebut. Akan tetapi, kesempitan berfikir
seperti itu, akhirnya “membunuh” proses alami yang
seharusnya diperankan secara “ideal” dari status dosen
maupun politisi, yang dalam sistem masyarakat
mengemban tanggung jawab sebagai “khalifah”. Dengan
kata lain, kesempitan visi pribadi yang terjebak dalam
“status” atau “simbol”, bukan pada peran ideal dalam
kepentingan seluruh sistem masyarakat atau peradaban
modern, akhirnya memperlambat gerakan sistem
perkembangan diri untuk tumbuh secara sehat.
Seandainya secara normal orang disuruh memilih
antara hak dan kewajiban, maka orang secara normal akan
memilih hak secara dominan. Karena (misalnya) mereka
memiliki anak istri yang harus dipikirkan. Walaupun secara
mikro hal tersebut juga merupakan kewajibannya-untuk

74
menafkahi anak dan istri- dalam sistem sosial “kewajiban”
itu bisa dikategorikan hak.
Dengan demikian, suatu status yang dalam proporsi
keseluruhan sistem sebenarnya mempunyai kewajiban atau
tanggung jawab yang besar, tetapi dalam praktiknya, hak
lah yang dipentingkan. Maka, secara tidak langsung peran
ideal status tersebut akan terbunuh. Bagaimana bisa orang
mau memberi tapi dirinya sendiri bergantung secara
mutlak pada sistem yang menopangnya. Saya kira akan
muncul alasan-alasan klise bagi pembelaan status quo
mereka.
Akibatnya, tanggung jawab bagi peran-peran yang
dalam keseluruhan sistem seharusnya dapat memberi
kontribusi yang besar tidak dapat mereka laksanakan
dengan seharusnya. Semisal, peran politisi, sebagai agen
pembuka kran demokrasi, akhirnya membunuh demokrasi
itu sendiri karena alokasi proporsi tuntutan hak mereka
yang terlalu besar, sehingga memilih untuk melanggengkan
kekuasaan yang ada [karena secara politis-ekonomis-
finansial, kelanggengan kekuasaan tersebut akan
memberikan keuntungan lebih besar kepada politisi
terkait].
Ada banyak penyebab mengapa kerumitan sistem
sosial yang ada dalam masyarakat kita sulit untuk dikaji
secara sistematis dengan bahasa yang bebas, dan mudah
dipahami oleh akademisi kita. Pertama, dominasi yang
besar akan warisan teori-teori pengetahuan yang selalu kita
impor, yang lebih banyak dipengaruhi oleh logika Cartesian.
Kedua, dalam melihat ilmu, kita terlalu takut untuk
mengatakan bahwa pengalaman empiris yang kita alami
juga merupakan sebuah ’ilmu’. Lebih lanjut, hal ini
disebabkan oleh sistem pendidikan yang hanya
memberikan batasan definitif yang baku. Kita tidak pernah

75
diberi kesempatan untuk membahasakannya sendiri secara
sistematis, tentang apa yang kita lihat dan alami.
Kebiasaan dalam praktik pendidikan kita memang
tidak bisa dibahas dalam satu artikel. Namun saya harap
wacana ini dapat menjadi perdebatan dari sudut pandang
pribadi dengan bahasa ilmunya masing-masing, sehingga
kita akan dapat berbagi mengenai apa yang kita resahkan
untuk menjadi perenungan lebih lanjut.

76
Semarang Kota Pendidikan, Mungkinkah?
Oleh : Edi Subkhan

Perkembangan dunia pendidikan begitu pesatnya di


Semarang. Memang sebagai Ibu Kota provinsi Jawa
Tengah, Semarang adalah pusatnya segala aktivitas warga
Jawa Tengah. Tak sekadar pusat bisnis yang cukup
prospektif, Semarang juga merupakan pusat pendidikan
masa depan.
Semarang sudah beken dengan Unnes, IKIP PGRI,
IKIP Veteran, Undip, Unika Sugijapranata, Unissula, IAIN,
dan perguruan tinggi lainnya, sebagai pencetak para
praktisi dan akademisi, pendidik, ilmuwan, dan tenaga
profesional yang handal. Pendidikan dasar dan
menengahnya pun tak kalah dari daerah lain dengan
segudang prestasi akademik dan nonakademik yang
disandangnya.
Ada satu fenomena yang patut dicermati, yaitu pada
tiap sebuah lembaga pendidikan berdiri, di situlah ia
berkembang menjadi sentrum atau pusat aktivitas
masyarakat. Ambillah contoh Unnes yang berlokasi di
Gunungpati. Sejak keberadaannya dan sampai sekarang di
daerah sekitar kompleks kampus Unnes, yaitu Sekaran,
Banaran, Patemon, bahkan Trangkil dan lainnya mulai
dilirik oleh para pengembang perumahan. Sejumlah
perumahan pun bermunculan di beberapa daerah lereng
bukit yang sebenarnya tak layak sebagai daerah hunian
yang aman.
Warga sekitar kampus juga mulai melirik adanya
lahan usaha baru, mulai dari kost-kostan untuk mahasiswa,
warung makan dengan harga mahasiswa, dan toko
keperluan mahasiswa. Ada juga sebagian yang merelakan
diri dan sekeluarga menyingkir dari “peradaban” ke daerah
pinggiran, hanya agar rumahnya yang di dekat kampus
77
digunakan untuk kos mahasiswa. Tak hanya itu, bahkan ada
yang menjual tanah dan rumahnya untuk para pendatang
yang lebih pandai melihat peluang bisnis, dan “terpaksa”
warga membangun rumah di persawahan. Warung lesehan
menjamur, baik yang bongkar pasang, semi permanen,
maupun permanen.
Berbagai fasilitas kemudahan bagi warga kampus
dan masyarakat sekitar mulai lengkap. Jadilah kampung
yang tadinya sepi itu menjadi kota kecil yang hidup. Ya,
kota baru itu mulai tumbuh dilengkapi dengan minimarket,
rental komputer, rental CD dan film, kafe dan resto, warung
lesehan yang cukup prestise, dan warung internet. Bahkan
di beberapa tempat mulai muncul juga rumah-rumah
kebugaran, diskotik kecil-kecilan, perpustakaan plus,
persewaan balai pertemuan, penginapan, dan kantor-kantor
kecil.
Memang setiap perkembangan masyarakat selalu
ada lubang hitamnya. Pun demikian juga dengan
perkembangan kota-kota kecil itu. Hingga beberapa waktu
lalu sempat warga Tembalang memprotes rencana Undip
untuk membangun asrama mahasiswa, karena khawatir
mengurangi lahan usaha warga untuk kost-kostan. Namun
semakin lama semakin tampak kesemrawutan “tata
kota”nya. Pedagang kaki lima mulai berjejal di “trotoar-
trotoar” jalan sekitar kampus, permukiman warga pun
mulai berhimpit tak teratur, gang-gang sempit
bermunculan, karena semakin banyak warga maupun
pendatang membangun pertokoan dan kost-kostan.
Mereka membangun ternyata tak terlebih dahulu
menganalisis dampak sosial dan lingkungannya, hal itu
wajar saja kerena memang mereka bukan ahli tata ruang.
Tapi jika dibiarkan terus menerus maka tak lama lagi
embrio kota baru itu akan menjadi pusat kekumuhan baru
dengan kompleksitas masalah sosial dan lingkungan. Jika
78
sudah begitu bagaimana mungkin mencita-citakan kampus
sebagai pusat pengembangan komunitas pembelajar, yakni
komunitas yang berbudaya, humanis, ekologis, dan
sekaligus intelektual.
Mengacu pada paradigma rekonstruksionisme
sebagai kelanjutan dari proyek progresivisme pendidikan,
idealnya institusi pendidikan adalah pusat perubahan sosial
masyarakat. Mahasiswa dan segenap sivitas akademika
kampus adalah agent of social change. Pusat pendidikan
yang tengah berkembang tersebut adalah pusat-pusat baru
masyarakat yang memiliki kesadaran sosial dan rasa
memiliki tinggi, posisi tersebut menjadikannya sebagai
penyangga kota Semarang dalam skup yang lebih besar agar
dapat menjadi lebih kokoh berkarekter, berbudaya, dan
beradab. Pembenahan “Kota Baru”. Kita dapat berharap
banyak dari embrio kota baru tersebut, karena mereka
adalah gambaran ideal dari komunitas pembelajar yang
dicita-citakan. Komunitas pembelajar pada kota baru inilah
yang mempunyai pengaruh dan peran besar bagi
rekonstruksi sosial masyarakat, baik secara kultural
maupun struktural menuju masyarakat yang tinggi
sensitivitas sosial dan rasa memilikinya atas lingkungan.
Semarang bawah sudah penuh sesak dan berjejal
bangunan padat yang seringkali tak beraturan, macet,
banjir, rob, polusi, panas, dan sekian banyak
ketidaknyamanan lainnya. Sampai sekarang pun
penanganan masalah rob dan banjir tak begitu berhasil, tak
hanya karena political will pemerintah yang lemah, tapi
masyarakatnya pun tak punya rasa memiliki terhadap
fasilitas kota yang telah dibangun. Dan ini sudah menjadi
semacam mentalitas yang sulit diubah. Sulit rasanya
mengubah Semarang bawah menjadi lebih “manusiawi”
dan berbudaya. Demikian juga ketika mau melakukan

79
konservasi lahan hijau, karena semua sudah diincar
pengembang usaha.
Jika kita mau realistis, maka pengembangan kota
Semarang menuju kota baru ideal sebagaimana kota-kota
besar dunia hanya mungkin ketika ke arah selatan, yakni di
Kabupaten Semarang, Ungaran, dan sekitarnya. Tak
mungkin ke utara, karena berbatas laut, lagipula pusat-
pusat industri di Semarang utara ibarat sakit-sakitan
terkena banjir dan rob. Pusat pendidikannya pun tak
banyak, barangkali hanya Unissula yang masih berdiri
menantang rob dan banjir.
Berbeda ketika kita melirik ke selatan. Daerah
pegunungan yang sejuk dan masih dapat ditata dengan
perencanaan yang berbudaya, humanis, dan ekologis,
niscaya kota baru Semarang akan terwujud. Di samping itu
Semarang selatan terdapat banyak institusi perguruan
tinggi yang tengah berkembang sebagai embrio kota-kota
kecil. Unnes di Gunungpati, Undip dan Polines di
Tembalang, IAIN Walisongo di Ngaliyan, Unika
Sugijapranoto di Bendan, Undaris di Ungaran, merupakan
potensi besar bagi berkembangnya embrio kota-kota kecil
yang berbudaya, humanis, ekologis, sekaligus intelektual.
Begitu besarnya magnitude kampus-kampus di
Semarang selatan itu sekarang telah menjadikan daerah
setempat berkembang begitu pesat. Itu adalah potensi dan
kekuatan tersendiri untuk membentuk kota baru Semarang
yang lebih kokoh, berkarakter dan berbudaya, sebagaimana
diidam-idamkan. Potensi kampus sebagai pusat
berkembangnya komunitas intelektual yang tentunya lebih
mempunya sense of belonging terhadap lingkungan tepat
betul jika disandingkan dengan potensi geografis Semarang
selatan yang relatif belum terjamah tangan-tangan jahil.
Pantas jika kemudian digagas sebuah pengembangan
kota baru Semarang dengan berporos pada keberadaan
80
institusi perguruan tinggi tersebut. Namun ketika melihat
betapa kian semrawutnya penataan pada masing-masing
daerah sekitar kampus itu sekarang, maka layak dipikirkan
bersama bagaimana agar mulai berbenah dari tampilan
fisik dulu. Yakni dengan menata pedagang kaki lima,
pertokoan-pertokoan baru, kost-kostan, dan jalur hijau. Di
samping itu juga perlu menertibkan proyek pembangunan
perumahan di daerah rawan di lereng-lereng bukit yang
sekaligus mengurangi lahan resapan. Jika itu tak dilakukan
maka beberapa waktu mendatang, Semarang bawah akan
menjadi Jakarta yang menjadi langganan banjir dengan
Semarang atas adalah daerah Puncaknya.
Selama ini memang tampak betapa kampus-kampus
tersebut belum terlalu melibatkan masyarakat sekitar untuk
proses pengembangan daerah menuju sebuah embrio kota
kecil yang ideal, dan warga pun seolah acuh tak acuh,
karena merasa sudah mendapatkan keuntungan finansial
dari bisnis kecil-kecilan mereka.
Menggagas keberadaan institusi pendidikan tersebut
sebagai poros pengembangan kota baru Semarang artinya
merumuskan penataan yang lebih melibatkan masyarakat
hingga akhirnya masyarakat tak hanya menjadi lebih
intelek, berbudaya, memiliki rasa memiliki dan sensitivitas
sosial tinggi, tapi juga tercipta lingkungan yang berbudaya,
humanis, dan ekologis. Di sisi lain, dalam jangka panjang
ini adalah peluang bagi potensi wisata edukatif yang tak
ternilai harganya, sekaligus sebagai pelengkap aset wisata
Semarang menuju the beauty of Asia.
Hal ini perlu dipikirkan mulai sekarang, agar kota-
kota kecil yang sedang lucu-lucunya itu tak telanjur tumbuh
menjadi seperti Semarang bawah yang penuh sesak, panas,
berpolusi, dan tak nyaman lagi.

81
Nafas Neoliberalisme RUU BHP
Oleh : Edi Subkhan

”Lunturnya rasa nasionalisme itu antara lain disebabkan


lahirnya perdagangan bebas yang merontokkan batas-
batas negara serta kemajuan teknologi informasi
yang tidak mengenal batas-batas waktu dan tempat”
–H.A.R. Tilaar (2005)

Neoliberalisme Pendidikan
Sofian Effendi (2007) menyatakan, bahwa para
ekonom membagi kegiatan usaha menjadi tiga sektor.
Sektor primer adalah semua usaha ekstraksi hasil tambang
dan pertanian. Sektor sekunder mencakup bidang usaha
untuk mengolah bahan dasar menjadi barang, bangunan,
produk manufaktur dan utilities. Sektor tersier adalah
industri-industri untuk mengubah benda fisik (physical
services), keadaan manusia (human services) dan benda
simbolik (information and communication services).
Berdasarkan pada tipologi tersebut, maka World Trade
Organization (WTO) sebagai organisasi dunia yang
mengatur perdagangan multilateral memasukkan bidang
pendidikan sebagai salah satu bidang usaha sektor tersier,
karena kegiatan pokoknya adalah mentransformasi orang
yang tidak berpengetahuan dan orang tidak punya
keterampilan menjadi orang berpengetahuan dan orang
yang punya keterampilan. Inilah awal mula neoliberalisasi
pendidikan secara sistematis dalam skala luas dunia
internasional.
Prinsip dan peraturan dari WTO adalah adanya
jaminan atas perdagangan bebas, sehingga semua bentuk
kebijakan dan tindakan yang menghalangi atau mengurangi
persaingan bebas harus dihilangkan. General Agreement on
Trade in Services (GATS) sebagai salah satu kesepakatan
82
WTO menyatakan bahwa semua transaksi perdagangan
dapat diperjual belikan dalam pasar global. Indonesia
termasuk salah satu negara yang menandatangani
pembentukan WTO dan GATS dengan konsekuensi mesti
tunduk pada ketentuannya, termasuk dunia pendidikan.
Menurut WTO, lingkup pendidikan mencakup: (1)
pendidikan dasar, (2) pendidikan menengah, (3)
pendidikan tinggi, (4) pendidikan orang dewasa, dan (5)
pendidikan lainnya. WTO pun telah menyediakan empat
mode penyediaan jasa pendidikan, yaitu: (1) Cross-border
supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan
kuliah-kuliah melalui internet seperti on-line degree
program, distance learning, dan tele course. (2)
Consumption abroad, penyediaan jasa pendidikan tinggi
yang paling dominan, yaitu pengiriman mahasiswa ke luar
negeri. (3) Commercial presence, lembaga pendidikan luar
negeri hadir secara fisik di Indonesia dengan membentuk
partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan
lembaga pendidikan tinggi dalam negeri. (4) Presence of
natural persons, yaitu dosen atau pengajar asing mengajar
pada lembaga pendidikan lokal. Dari beberapa mode
layanan pendidikan tersebut, maka sudah beberapa lama
Indonesia menerapkannya, hanya saja belum diatur
legalitas hukumnya.

Neoliberalisme RUU BHP


Setelah menandatangani GATS, maka pemerintah
kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden RI (Perpres)
No. 76 tahun 2007 dan Perpres 77 Tahun 2007 yang
menyatakan bahwa pendidikan termasuk sektor yang
terbuka bagi penanaman modal asing, maksimal sampai
dengan 49 persen di “bidang usaha” pendidikan dasar,
menengah, tinggi, dan nonformal. Oleh karena itu, sebelum
lahir UU Sisdiknas tahun 2003, menjelang tahun 2000
83
hingga sekarang perguruan tinggi pun sudah melakukan
transformasi dari institusi yang tadinya bergantung pada
pemerintah menuju badan hukum yang mandiri lepas dari
birokrasi pemerintah. Otonomi tersebut diwujudkan
dengan dibentuknya badan hukum perguruan tinggi di
Indonesia dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
(PP) No. 61 tahun 1999 dan disusul dengan PP No.
155/2000 yang menjadikan empat perguruan tinggi, yaitu
Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB),
Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Teknologi
Bandung (ITB) menjadi Badan Hukum Milik Negara
(BHMN), jejak tersebut kemudian diikuti oleh USU dan
UPI.
Setelah itu pemerintah kemudian menginisiasi RUU
BHP karena telah terikat oleh amanat UU No. 20/2003
pasal 53 ayat (4). RUU inilah yang dipandang sebagai jalan
pembuka kapitalisme pendidikan, menempatkan
pendidikan subordinat dari sistem ekonomi neoliberalisme,
dan menjadikannya sekadar komoditas dagang. Hal ini
karena dalam draft awal RUU BHP juga menyinggung
tentang modal asing dalam bidang pendidikan sampai 49
persen. WTO dengan GATS-nya memang tidak secara
eksplisit menyatakan penarikan tanggungjawab pemerintah
atas dunia pendidikan, namun pola dan strategi
implementasi, juga globalisasi dan ideologi neoliberalisme
yang berada di baliknya meniscayakan ditariknya peran
negara dalam memenuhi tanggungjawabnya atas dunia
pendidikan.
Banyak pihak mengkhawatirkan keberadaan
lembaga pendidikan dalam negeri yang masih kembang
kempis jika mesti berkompetisi dengan lembaga pendidikan
asing di Indonesia. Di sisi lain ketika asing boleh
menanamkan modalnya sampai 49 persen, dikhawatirkan
lembaga pendidikan tersebut akan banyak disetir oleh
84
asing, baik orientasi belajar, pemahaman keilmuan, sampai
pada budaya dan filosofi pendidikannya. Walaupun pada
draft RUU BHP versi April 2008 pasal 12 telah dihapuskan,
namun kontroversi tetap berlanjut ketika ketentuan
pendirian lembaga pendidikan asing dan kepemilikan
modal tersebut masuk dalam RPP pengelolaan dan
pelayanan pendidikan yang dikeluarkan pada Juni 2008. Di
situ ditegaskan bahwa pihak asing boleh investasi di
lembaga pendidikan sebanyak 49 persen.
Menangapi hal itu Mendiknas Bambang Sudibyo
menyatakan kepada anggota DPR mengenai Perpres No.
77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha Terbuka dan
Tertutup dalam rapat kerja Komisi X, bahwa penanaman
modal asing di bidang pendidikan akan dilakukan terbatas
pada lima kota besar, yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta,
Surabaya, dan Medan. Selain itu, saat ini hanya berlaku
pada bidang pendidikan politeknik dan pendidikan luar
sekolah seperti kursus. Dinyatakan juga bahwa dasar
hukum adanya penanaman modal asing di bidang
pendidikan tidak hanya berdasarkan pada Perpres saja,
tetapi juga adanya tawaran dari Departemen Perdagangan
mengenai kesepakatan pemerintah Indonesia dalam
perundangan WTO di Jenewa, Swiss, pada 2002.
Dalam tawaran itu, pendidikan menjadi bagian yang
ditawarkan dalam arus globalisasi, namun Depdiknas
meminta tidak dibuka secara liberal, tetap harus ada
persyaratan yang mesti dipenuhi jika modal asing masuk ke
Indonesia di bidang pendidikan. Prihatin dengan kebijakan
tersebut, Mantan Rektor UGM, Sofian Effendi menyatakan,
dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 77/2007
maka dunia pendidikan di Indonesia akan menjadi ladang
bisnis luar biasa bagi pemodal asing, karena dalam PP
tersebut dunia pendidikan dimasukkan sebagai bidang

85
usaha terbuka yang menjadi pintu masuk kekuatan asing di
dunia pendidikan (Media Indonesia, 18/9/07).
Adanya modal asing pada institusi pendidikan
menjadikan adanya intervensi sang pemilik modal atas
institusi tersebut. Lagipula investasi sebagai sebuah
termilogi ekonomi memang bernalar materialistik, bukan
nalar intelektual, karena sudah pasti orang yang investasi
tidak lain tujuannya kecuali ingin mendapatkan untung,
baik materiil maupun dalam bentuk lain, ini sudah lazim
dalam konsepsi ekonomi. Oleh karena itu, ruh dinamika
dan berjalannya agenda program institusi akan selalu
berorientasi pada mencari untung. Selain keuntungan
finansial yang sudah pasti dituju oleh pihak investor, tidak
menutup kemungkinan adanya keuntungan lain yang
dituju, dan nalar materialis biasanya akan melakukan
berbagai cara untuk mencapai tujuannya itu.
Dengan neoliberalisasi yang mendasarinya maka
patut dicurigai bahwa salah satu intervensi yang akan
dilakukan adalah dalam rangka menanamkan ideologi
neoliberal tersebut pada peserta didik, baik melalui
konstruk ilmu pengetahuan maupun kultur yang dibangun
di sekolah atau perguruan tinggi tersebut. Sekarang saja
dalam perguruan tinggi yang telah menjadi BHMN glamor
kehidupan dari kultur modernitas sudah terasa dengan
nalar mencari keuntungan ekonomi yang sangat besar, hal
yang sama juga terjadi di PTS-PTS favorit. lebih rawan lagi
adalah pada fakultas atau jurusan yang telah menjalin
kerjasama dengan perguruan tinggi di luar negeri dalam
bentuk dual degree.

Lepas Tanggungjawab Pemerintah


Pemerintah mengaburkan tanggungjawabnya atas
pendanaan pendidikan pada RUU BHP versi Juni 2008,
bab VI tentang pendanaan pada pasal 33 ayat (2) dengan
86
menyatakan bahwa pendidikan formal yang
diselenggarakan badan hukum pendidikan menjadi
tanggungjawab bersama Pemerintah, pemerintah daerah,
dan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan (pada RUU BHP versi 24 Januari 2008 terdapat
pada pasal 32 ayat [2]). Di sini kata-kata ‘tanggungjawab
bersama’ selama ini menjadi dalih pemerintah untuk tidak
memenuhi pendanaan pendidikan.
Pada draft usulan RUU BHP versi Juni 2008 pasal
34 ayat (1) dinyatakan, bahwa Pemerintah dan pemerintah
daerah hanya menanggung biaya pendidikan dasar
berdasarkan standar minimal saja, ayat (2) menyatakan
pemerintah daerah dan masyarakat ‘dapat’ memberikan
bantuan sumberdaya pendidikan pada badan hukum
pendidikan. Sementara untuk pendidikan menengah dan
tinggi Pemerintah dan pemerintah daerah hanya
menanggung ‘sekurang-kurangnya’ 2/3 biaya pendidikan
untuk biaya operasional, investasi, beasiswa, dan bantuan
biaya pendidikan bagi peserta didik berdasarkan ‘standar
pelayanan minimal’ (pasal 34 ayat [3] & [4]).
Dengan demikian acuannya sekadar standar minimal
saja dan obsesi untuk wajib belajar 12 tahun yang sempat
dilontarkan pemerintah tak lagi menjadi pertimbangan, dan
jelas dengan demikian minim komitmen pemerintah pada
upaya meningkatkan pendidikan untuk menciptakan kader
bangsa yang berkualitas. Banyak obsesi pemerintah yang
dipaksakan pada pendidikan menengah dan tinggi dengan
sekolah berstandar internasional dan world class
university akan kian menekan masing-masing lembaga
pendidikan menengah dan tinggi dengan minimnya alokasi
dana untuk mereka. Pun dalam klausul tersebut badan
hukum yang dimaksud tersebut adalah BHPP yang
didirikan pemerintah pusat dan BHPPD yang didirikan

87
pemerintah daerah. Agaknya pihak swasta tidak mendapat
perhatian di sini.
Pengaburan kewajiban juga terdapat pada draft RUU
BHP versi Juni 2008 pasal 34 ayat (5) yang menyatakan
bahwa peserta didik ‘dapat’ ikut menanggung biaya
penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan
kemampuannya, orangtua, atau pihak yang
bertanggungjawab membiayai. Tanggungjawab tersebut
sebanyak-banyaknya adalah 1/3 dari seluruh biaya
operasional (pasal 34 ayat [6]). Sebelumnya, pada pasal 33
ayat (3) sudah dinyatakan pula bahwa pungutan oleh badan
hukum pendidikan kepada peserta didik atau orangtua/wali
dilakukan dengan subsidi silang, dengan demikian sudah
terlebih dahulu ‘pungutan’ disahkan oleh RUU BHP ini.
Pada pasal 38 ayat (1) tentang alokasi dana 20
persen untuk beasiswa atau bantuan biaya pendidikan
dirasa akan membebani BHP bersangkutan, hingga
kebijakan ini akan memaksa mereka untuk terus mencari
dana besar-besaran dalam memenuhi pendanaan
operasional dan pemberian beasiswa. Sementara pada pasal
38 ayat (2) yang menyatakan bahwa beasiswa tersebut
ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah belum disepakati
oleh pemerintah. Dalam pasal itu pun belum jelas antara
BHPP dan BHPM. Mestinya dalam draft tersebut terdapat
ketegasan dan kejelasan peran dan fungsi pemerintah, dan
pemerintah betul-betul bertanggungjawab atas dunia
pendidikan. Dengan demikian terlihat betapa jelas bahwa
pemerintah justru membebankan kewajiban memberi
beasiswa pada badan hukum pendidikan.
Oleh karena itu, untuk pemenuhan pendanaan,
badan hukum pendidikan dibolehkan mendirikan badan
usaha berbadan hukum (pada pasal 35 draft RUU BHP
versi Juni 2008), sebelumnya pada RUU BHP versi 24
Januari 2008 pasal 37 badan hukum tersebut jelas disebut
88
perseroan terbatas, sementara dalam draft terakhir ini
justru masih ‘tanda tanya’. Kenyataannya di UI, PT Makara
yang telah menjalankan fungsi tersebut (karena UI telah
menjadi BHMN) selama delapan tahun tidak pernah
untung, namun justru merugi terus, dan ironisnya tidak ada
transparansi berkaitan dengan berbagai pemasukan dana
dari luar sampai pengalokasian dan realisasi kontribusinya
bagi kampus.
Selain itu Timus dalam draft terbaru versi Juni 2008
pasal 34A (pasal 39 versi Pemerintah) mengusulkan bahwa
badan hukum dapat melakukan investasi dalam bentuk
portofolio, padahal investasi ini pasti berasal dari anggaran
badan hukum pendidikan, ini tentu akan mengganggu
jalannya operasional badan hukum pendidikan.
Orientasinya menjadi sangat berbau mencari keuntungan
sekali dengan adanya badan usaha dan investasi. Mestinya
terdapat ketentuan tentang batasan-batasan etika
intelektual yang orientasi pada intelektualisme, atau
keberpihakan pada pencarian kebenaran –kata Bung Hatta,
hingga tidak akan terjebak pada bisnis kepakaran, atau
bahkan pelacuran intelektual. Hal ini mungkin sulit
dilakukan karena paradigma RUU BHP ini sepenuhnya
berorientasi ekonomi, maka semuanya akan .
Sampai pada draft terakhir RUU BHP versi hasil
Timus 20, 22—23 Juni 2008, tidak banyak terdapat
perubahan substansial, hanya penambahan dan
pengurangan di sana-sini, ironisnya sekadar dalam hal
redaksional saja. Sampai draft versi Juni 2008 tersebut,
pemerintah belum menyepakati tentang tanggungjawab
persentase pendanaan yang mesti ditanggungnya. Di
samping itu, masih terdapat banyak inkonsistensi
penggunaan istilah ‘penyelenggara’ dan ‘pengelola’ yang
dipermasalahkan oleh banyak PTS. Yang tak kalah
mengerikan adalah hilangnya istilah ‘guru’, ‘sekolah’, ‘siswa’
89
atau ‘murid’, berganti dengan istilah ‘pendidik’, ‘tenaga
didik’, ‘satuan pendidikan’, dan ‘peserta didik’. Padahal
dalam istilah-istilah tersebut terkandung filosofi yang lebih
luas dan dalam. Misalnya adalah konsepsi ‘guru’ yang
memiliki wibawa, panggilan hati, keluasan dan kedalaman
ilmu serta pengabdian, tentu lebih luas ketimbang istilah
pendidik yang sekadar berdimensi teknik dan profesi.
Darwin SN (Suara Pembaruan, 7/6/08)
menyatakan, bahwa proses liberalisasi pada sektor
pendidikan di Indonesia sama seperti pada liberalisasi
sektor migas, yakni mengharuskan pemerintah melepaskan
diri dari tanggungjawab sektor pendidikan. Untuk
memuluskan liberalisasi migas, seluruh rakyat Indonesia
“menikmati” kenaikan harga BBM dengan legalisasi UU
Migas. Begitu juga bidang pendidikan dengan RUU BHP
nantinya. PP No. 60/1999 tentang perubahan administrasi
institusi perguruan tinggi dan PP No. 61/1999 tentang
penetapan perguruan tinggi sebagai BHMN, bagi Darwin
merupakan tindak lanjut pertemuan Unesco di Paris. Sejak
tahun 1980-an, negara-negara maju mendapatkan income
besar dari sektor jasa. Ender & Fulton (2002: 104-105)
menyebutkan tiga negara yang mendapatkan keuntungan
paling besar dari liberalisasi adalah Amerika Serikat,
Inggris, dan Australia. Pada 2000, ekspor jasa pendidikan
Amerika mencapai USD 14 miliar atau Rp. 126 triliun. Di
Inggris, sumbangan pendapatan dari ekspor jasa
pendidikan mencapai 4 persen dari penerimaan sektor jasa
negara tersebut.
Menurut Millea (1998), sebuah publikasi rahasia
berjudul Intelligent Export mengungkapkan, bahwa pada
tahun 1993 sektor jasa telah mengumbang 20 persen dari
PDB Australia, menyerap 80 persen tenaga kerja dan
merupakan 20 persen dari ekspor total Australia. Sebuah
survei pada 1993 menunjukkan, industri jasa yang paling
90
menonjol orientasi ekspornya adalah jasa komputasi,
pendidikan, dan pelatihan. Ekspor jasa pendidikan dan
pelatihan tersebut telah menghasilkan 1,2 miliar dolar
Australia. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa
ketiga negara tersebut amat getol menuntut liberalisasi
sektor jasa pendidikan melalui WTO. Lebih kurang sampai
sekarang enam negara telah meminta Indonesia membuka
sektor jasa pendidikan, yakni Australia, Amerika Serikat,
Jepang, Cina, Korea, dan Selandia Baru.

91
Melintas yang Sepintas ;
Intelektualitas
Proyek Masyarakat Intelektual
Oleh : Muhammad Taufiqurrohman

Selama ini ada semacam kesepakatan tentang


dikotomi intelektual dan non-intelektual. Kesepakatan ini
tumbuh begitu saja di masyarakat. Bahkan obrolan di
kalangan ‘intelektual’ sendiri, kesepakatan tersebut
mendapatkan legitimasinya. Ada semacam kesepakatan
opini, bahwa kalangan masyarakat tertentu bisa dianggap
intelek, tidak intelek -atau setidaknya kurang intelek.
Ada banyak pengertian tentang intelektual.
Pengertian lama tentang intelektual mestinya bisa kita
bongkar. Seperti yang dipahami oleh masyarakat tentang
mitos intelektual, misalnya intelektual adalah mereka yang
lulus dari pergguruan tinggi. Hanya mereka yang bergelar
sarjanalah yang dianggap intelek. Mereka yang berada
diluar lingkaran itu, seberapapun hebat produksi
pengetahuan dan kontribusi nyatanya pada masyarakat
sekitar, tidak dianggap kaum intelektual. Seorang petani
yang turut mempelopori penghijauan di desanya tidak kita
anggap intelektual, begitu juga seorang seniman tamatan
SMP yang menulis puisi dan kerap mewarnai kegiatan
kesenian di daerahnya. Alangkah naifnya jika alasannya
hanya karena mereka tidak menyandang gelar sarjana.
Bertolak dari kesadaran yang dibawa oleh
posmodernisme, bahwa ilmu pengetahuan tidak berhak
dihegemoni oleh satu pihak saja (dalam hal ini kaum
sarjana), atau Falsafah Jawa menyebutnya ’lintas tutur’.
Seorang intelektual bisa seorang guru, seniman, petani,
nelayan, dosen, professor hingga pensiunan. Dengan ini

92
definisi intelektual adalah siapa saja yang masuk menyelam
ke dalam realitas kehidupan masyarakatnya dan kemudian
memproduksi pengetahuan dari lokus keberadaannya dan
memberikan kontribusi nyata berdasarkan pengetahuannya
tersebut di bidangnya masing-masing tadi. Kata-kata ”di
bidangnya masing-masing” hanya menekankan pada segi
fokus atau orientasi kerja masing-masing person, bukan
pada tertutupnya kemungkinan adanya fusi dengan bidang
lain. Justru, karena lintas tuturlah maka produksi
pengetahuan memungkinkan fusi antarbidang (cross-field
understanding). Seorang seniman, misalnya, bisa
bekerjasama dengan seorang dosen seni lukis dalam upaya
mengembangkan kesenian di desanya. Aktivis politik yang
berfusi dengan para sastrawan dalam rangka melakukan
pendidikan politik terhadap masyarakat. Dan masih banyak
contoh yang bisa diusahakan sesuai kepentingannya
masing-masing.
Demikianlah, maka orientasi utama proyek
masyarakat intelektual adalah pengetahuan dan
masyarakat. Pengetahuan merupakan suatu dambaan
tentang apa yang sejati. Apa yang sesungguhnya ada.
Dambaan tersebut hampir selalu lahir di setiap masyarakat.
Entah di kota ataupun di desa. Sedangkan masyarakat
merupakan sekelompok manusia yang tinggal di suatu
wilayah dengan realitasnya sendiri. Satu masyarakat
dengan masyarakat yang lainnya tentu saja mempunyai
realitas yang tidak sama (meskipun tidak selalu berbeda).
Realitas yang mungkin berbeda inilah yang melahirkan
pengetahuan yang juga mungkin berbeda. Pengetahuan
tentang ilmu pertanian di daerah Jepara, misalnya, pasti
tidak sama persis dengan di daerah Kalimantan. Hal ini
dikarenakan realitas iklim, realitas tanah dan alam yang
berbeda. Atau contoh sederhananya, bagaimana cara kita
mengajar seorang anak berumur enam dan tujuh belas
93
tahun pastilah tidak sama karena realitas masing-masing
anak yang berbeda.
Lalu bagaimanakah implementasi kongkret proyek
masyarakat intektual? Adalah jika setiap kita, pada
bidangnya masing-masing kembali menyelami realitas
masyarakat di mana dan kapan kita berada, yaitu di ruang
kita berada, disini (here) dan sekarang (now).

94
Nilai Politik dan Mimbar Akademik
Oleh : Giyanto

Kurang lebih dua minggu blog Komunitas Embun


Pagi terbit, terhitung dari ketika tulisan ini diketik, tetapi
saya masih merasa kesepian. Tidak seperti ketika saat
diskusi rutin yang selama ini kita lakukan bersama anggota
komunitas lainnya (seminggu sekali) sepertinya kita lebih
bersemangat. Pikiran saya sedikit was-was mengenai
produktivitas teman-teman di Embun Pagi. Dua hal
agaknya yang mungkin menjadi alasan kuat minimnya
produktifitas menulis di Komunitas Embun Pagi selama ini,
adalah kendala teknis dan rasa kurang percaya diri untuk
mengungkapkan gagasan kita. Yakni ketika pada
kenyataannya kita mesti berhadapan dengan ’para pemilik
kebenaran’, orang-orang yang memiliki otoritas intelektual,
yakni yang diakui secara akademik dengan sederet gelar di
depan dan belakang nama mereka, yang seolah-olah
apapun yang keluar dari mulutnya adalah ’kebenaran’ tak
terbantahkan.
Kambing hitam yang bisa saya salahkan sementara
ini, mungkin budaya kita, entah itu budaya apa. Atau nilai-
nilai tertinggi dalam hidup kita, dan itu pun nilai apa, dan
yang tahu tak lain ialah pribadi kita masing-masing. Begini
saja, kita dalam mengungkapkan gagasan di sini setidaknya
adalah sebuah proses mencari kebenaran, bukan
pembenaran. Di blog Embun Pagi setidaknya kita memiliki
cukup banyak kesempatan untuk saling belajar, berbagi,
bertinteraksi, ataupun berkorespondensi, dan harapan
sangat tinggi saya pertaruhkan di pundak teman-teman
untuk mengeluarkan semua gagasan-gagasannya demi
mewarnai kehidupan sosial dan pribadi kita.
Menarik untuk mengomentari hasil poling bulan ini
[Januari], tentang perlunya membuat partai mahasiswa
95
sebagai penyalur aspirasi di Parlemen. Dari pilihan
pertanyaan, sangat jelas bahwa kita memang lebih banyak
tertarik dengan kajian politik, walaupun dalam setiap
tulisan tidak semuanya mengkaji politik. Akan tetapi
wacana-wacana yang sering kita lontarkan lebih banyak
didominasi “wacana kritik kuasa”. Artinya, dalam frame
berfikir, kita selalu mengacu pada persoalan politik. Seolah-
olah setiap situasi, kesalahan terletak pada interaksi antara
yang kuasa dan yang dikuasai. Saya tidak bermaksud
menyalahkan kerangka berfikir yang demikian, akan tetapi
apakah tidak ada alternatif cara berfikir yang lain?
Kedua, barangkali kita memang hidup di kampus
yang memelihara budaya bahwa nilai politik lebih tinggi
daripada nilai-nilai ilmiah-semisal kebebasan berpendapat
yang menghargai inovasi-inovasi atau gagasan-gagasan
kritis. Patut disayangkan, banyak guru besar yang duduk di
ruang senat tidak memiliki patokan-patokan yang jelas
mengenai seorang rektor yang “ideal”. Yang menurut
kriteria saya minimal bisa baca tulis. Hal ini menyebabkan
rektor terpilih, yang bukan hasil pilihan elemen dasar
universitas-seperti representasi mahasiswa dan segenap
sivitas akademika lainnya- menjadi kurang peka terhadap
realitas kampus.
Singkatnya, nilai tertinggi dari lingkungan dimana
kita belajar menurut saya sangat berpengaruh. Dengan kata
lain, lingkungan kita menjadikan pikiran kita tidak sehat.
Ironisnya, itu merupakan kampus kita, dimana seharusnya
kebebasan mimbar akademik ditegakkan.

96
Aktivis Asli Tapi Palsu
Oleh : Muhtar Said

"Apakah selamanya politik itu kejam, apakah selamanya


ia datang untuk menghantam atau memang itu yang
sudah digariskan, menjillat, menghasut, menindas
memperkosa hak-hak sewajarnya"
( Iwan Fals)

Kata aktivis sangat popular dikalangan mahasiswa


pasca reformasi. Dan karenanya, bargaining position
aktivis menjadi tinggi saat mereka bersatu menumbangkan
rezim orde baru di tahun 1998. Sampai sekarang aktivis
dianggap bak seorang pahlawan yang telah mengusir
penjajah di Negeri ini. Mereka selau dikenal dan disambut
dengan hormat jika berjalan disepanjang jalan.
Diawali dengan sejarah itu, sekarang banyak orang
yang ingin menjadi aktivis, terlepas dengan perasaan
ketulusan hati mereka untuk memperjuangkan hak-hak
kaum tertindas. Melaikan dengan dasar agar
mempermudahkan mereka untuk mendapatkan jaringan
demi kepentingan dirinya sendiri, atau yang lebih parahnya
mereka yang ingin jadi aktivis agar mereka terkenal
dimana-mana. Ini tidak ubahnya seperti artis.
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) merupakan
lembaga yang dikenal sebagai lembaga yang didalamnya
bercokol sekumpulan aktivis. Dan banyak mahasiswa yang
ingin masuk ke organisasi tersebut. Penulis tidak tahu
alasan mengapa mereka ingin masuk BEM. Apakah mereka
ingin mendapatkan beasiswa, ataukah mereka ingin
namanya dikenal dimana-mana. Penulis tidak tahu alasan
mereka sebenarnya. Di sini, penulis hanya mencoba
meraba-raba, dan sedikit melihat ”sejarah”, sejauh yang
penulis ketahui.
97
Kebanyakan mahasiswa yang duduk di jabatan BEM
mempunyai wibawa yang dahsyat untuk mempengaruhi
teman-temannya untuk ikut bergerak dalam
perjuangannya, karena BEM identik dengan organisasi
Inteletual-, setidaknya,itu dulu-. Sekarang BEM hanyalah
sekumpulan orang-orang yang oportunis, kebanyakan
mahasiswa yang menduduki jabatan BEM hanya untuk
mendapatkan sebuah biasiswa, ingin dirinya dianggap jago
berpolitik atau bahkan ingin dirinya dikenal bagai artis, jika
dia sedang berjalan orang akan menyapanya dengan rasa
hormat, bagai Pejabat pemerintahan yang mengobral
senyum dengan dihiasi wibawa palsu.
Parahnya lagi, aktivis mahasiswa yang ingin masuk
BEM dengan niaatan untuk memburu posisi struktural,
misalnya hanya memburu jabatan ketua BEM, ini hanya
akan menjadi sia-sia belaka. Mereka sudah mengorbankan
waktu, harta, dan pikiranya hanya untuk sebuah jabatan.
Jika seandainya kalah maka akan tercipta ilklim kebencian
pada salah satu lawannya, dan akhirnya akan tercipta
permusuhan, bisa jadi mereka akan selalu mempunyai
perasaan saling curiga. Hal ini akan menimbulkan perasaan
tidak tenang dalam kehidupan mereka.
Penulis selalu berharap semoga BEM selalu di
duduki kaum intelektual yang disana selau terjadi iklim
diskusi yang bisa mengasah intlektual mereka, bukan
sekedar sekumpulan mahasiswa yang hanya rapat dan
menggosip untuk membuat setrategi-setrategi agar bisa
mengalahkan musuh dan akhirnya muncullah black
campaigne ( Kampanye hitam). Tapi penulis
mengharapkan yang duduk di posisi BEM adalah orang
yang selau berdialektika, membaca, diskusi dan kemudian
menulis, tentunya dengan ketulusan hati yang paling dalam
tanpa ada unsur kepentingan untuk menjatuhkan.
Setidaknya, dalam bayangan penulis, adalah seperti yang
98
diungkaapkan oleh Richardo Mathopat“ aktivis adalah
orang yang bisa mengukur kekuatannya dan saling
percaya terhadap sesama”.

99
Melintas yang Sepintas ; Demokrasi
Otonomi Daerah: Sebuah Taruhan Menuju Good
Governance Lokal
Oleh : Awaludin Marwan

Kelayakan kinerja pemerintahan daerah di masa


otonomi daerah harus sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dan prinsip-pinsip pemerintahan yang baik.
Kita mengenal asas umum penyelenggaraan pemeritahan
negara yang dapat dijadikan pedoman bagi
terselenggaranya kinerja pemerintahan daerah yang
profesional. Asas umum penyelenggaraan pemerintahan
negara dirinci antara lain menjadi : asas kepastian hukum,
asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan
umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas
profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan asas
efektivitas.
Di era Otonomi Daerah, pelayanan publik
seharusnya menjadi lebih responsif terhadap kepentingan
publik dimana paradigmanya beralih ke pelayanan yang
lebih fokus pada berbagai kegiatan yang manfaatnya
dirasakan langsung oleh masyarakat dan sekaligus
mengedepankan aspek pemberdayaan masyarakat sehingga
publik mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap
fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama.
Suksesnya pelaksanaan pemerintahan termasuk di
dalamnya sukses pelaksanaan otonomi daerah ditandai
dengan berhasilnya tugas-tugas di bidang pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Hal
tersebut akan sangat ditentukan oleh peranan dan
kemampuan lembaga pemerintah baik di pusat maupun
daerah dalam menangani tugas-tugasnya berdasarkan
prinsip pengelolaan yang baik dan benar menuju
100
terciptanya suatu pemerintahan bersih dan berwibawa
(clean government).
Pemberian kewenangan otonomi kepada daerah
(Kabupaten dan Kota) didasarkan pada asas desentralisasi
dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan
bertanggungjawab. Dengan demikian diharapkan
berimplikasi pada : pertama, adanya keleluasaan daerah
untuk menyelenggarakan semua bidang pemerintahan yang
diserahkan dengan kewenangan yang utuh mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan
evaluasi. Kedua, adanya perwujudan tanggungjawab
sebagai konsekuensi logis dari pemberian hak dan
kewenangan tersebut berupa peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat, berjalannya proses demokrasi
dan mengupayakan terwujudnya keadilan dan pemerataan.
Di sisi lain, kewibawaan pemerintah akan sangat
dipengaruhi oleh kemampuan menyelenggarakan
pelayanan publik yang dapat memuaskan masyarakat serta
memfasilitasi masyarakat dan dialog publik dalam
pembentukan kebijakan negara, sehingga pelayanan
pemerintah kepada publik harus transparan, terpercaya,
serta terjangkau oleh masyarakat luas.
Dewasa ini bangsa Indonesia sedang mengalami
perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara secara
mendasar, yaitu : pertama, transformasi menuju era
masyarakat informasi, dimana kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi yang demikian pesat serta
pemanfaatannya secara luas, membuka peluang bagi
pengaksesan, pengelolaan dan pendayagunaan informasi
dalam volume yang besar secara cepat dan akurat.
Panggunaan media elektonik merupakan faktor yang sangat
penting dalam berbagai transaski baik nasional maupun
internasional. Kedua, perubahan paradigma
penyelenggaraan pemerintahan daerah dari sistem
101
sentralistik menjadi desentralistik yaitu penyelenggaraan
otonomi daerah untuk memberikan kewenangan yang luas,
nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara
proporsional yang berkeadilan, serta perimbangan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setiap
pembaharuan dan perubahan dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara dewasa ini, dimaksudkan dalam rangka
menuju terwujudnya pemerintahan yang demokratis guna
terwujudnya sistem pemerintahan yang lebih baik (good
governance) dan bertanggungjawab. Sasaran yang akan
dicapai dari good governance adalah diperolehnya
birokrasi yang handal dan profesional, efisien, produktif
serta memberikan pelayanan berkualitas kepada
masyarakat.
Untuk mewujudkan hal sebagaimana dimaksud di
atas, maka pembinaan dan pengawasan perlu dilakukan
secara berlapis terhadap penyelenggaraan otonomi daerah,
baik pemerintah pusat yang melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan di tingkat
provinsi maupun pemerintahan provinsi yang melakukan
pengawasan terhadap penyelanggaraan urusan
pemerintahan pada level kabupaten/ kota.
Pembinaan dalam upaya meningkatkan
penyelenggaraan otonomi daerah, untuk mewujudkan
kemandirian daerah dan pemberdayaan masyarakat, perlu
dilakukan dengan tindakan yang meliputi: koordinasi
pemerintahan antarurusan pemerintahan; pemberian
pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan;
pemberian bimbingan, supervise dan konsultasi
pelaksanaan urusan pemerintahan; pendidikan dan
pelatihan; perencanaan, penelitian, pengembangan,
pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan urusan
pemerintahan. Sedangkan pengawasan bertujuan agar
102
pelaksanaan berbagai urusan di daerah dapat berjalan
sesuai dengan standard an kebijakan pemerintah pusat,
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberian pembinaan, pengawasan dan konsultasi
dilakukan secara berkala dan atau sewaktu-waktu baik
secara keseluruhan daerah maupun kepada daerah sesuai
dengan kebutuhan. Hal ini diharapkan mampu
meningkatkan profesionaisme kepala daerah/ wakil kepala
daerah dan pejabat atau pegawai dalam lingkup aparatur
pemerintahan daerah. Sehingga pada akhirnya,
penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah bisa berjalan
dengan baik, dan aparatur pemerintah daerah bisa memiliki
paradigma kepemimpinan yang professional dan aspiratif
dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah secara luas.
Paradigma kepemimpinan aparatur pemerintah
daerah berpengaruh cukup signifikan terhadap baik-buruk
jalannya organisasi pemerintahan pada semua tingkatan.
Paradigma kepemimpinan daerah dalam dunia yang
turbulen adalah sebuah organisasi yang cenderung
mengembangkan nilai-nilai : legitimasi kekuasaan
(legitimacy of power), kredibilitas dan sistem (credibility
of system), kesejahteraan ekonomi (economic prosperity)
dan harmoni sosial (social harmony). Kecenderungan
selanjutnya akan mengarahkan pada organisasi dengan
karakter seperti: ber-visi, sederhana, fokus dan efesien dan
produktif. Seiring dengan kecenderungan tuntutan
organisasi, tuntutan kepemimpinan akan mengarahkan
pada perkembangan kualitas kepemimpinan yang
demokratis, kuat dan efektif.

103
Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Malaysia
Oleh: Awaludin Marwan

Akankah Pemilihan Umum Malaysia pada tanggal 8


Maret 2008 kemarin membawa perubahan signifikan bagi
kehidupan tata negara dan demokrasi di negara tersebut?
Sekitar 10.920.000 jiwa pemilih terdaftar memberikan
suaranya untuk 222 kursi parlemen dan 505 kursi negara
bagian. Para pemilih terdaftar itu mendatangi 7.950 TPS.
Memang, dalam penghitungan suara, Barisan Nasional -
koalisi yang memerintah saat ini- ”hanya” meraih 139 dari
222 kursi parlemen. Jumlah tersebut kurang dari dua per
tiga total yang diperlukan untuk dapat mengontrol
parlemen dan mengubah undang-undang. Aliansi oposisi
menganggap 82 kursi yang diraihnya sebagai sebuah
kemenangan. Aliansi yang menamakan diri barisan
alternatif terdiri dari Partai Keadilan Rakyat, Partai Aksi
Demokrasi dan Partai Islam se-Malaysia ini memperoleh
mayoritas kursi di lima negara bagian. Hasil pemilu ini
disambut baik rakyat Malaysia dengan harapan oposisi
akan mampu berbuat banyak untuk kebaikan rakyat.
Babak baru bagi kehidupan demokrasi Malaysia pun
lahir. Demokrasi yang menekankan sebuah metodologi
untuk menghasilkan rotasi kekuasaan dan fungsi
recruitment politik tercermin dalam pemilu kali ini. Barisan
Nasional menjalankan fungsi alat politik yang cukup
superior dalam memimpin Malaysia. Barisan Nasional
sebagai koalisi yang memerintah Malaysia sejak merdeka
pada 1957 akhirnya akan mengalami kesulitan karena akan
berhadapan dengan kelompok oposan di parlemen. Artinya
terbuka keran lebar bagi kelompok oposan untuk masuk
dalam jabatan politik dan menjalankan fungsi sebagaimana
mestinya. Terbongkarlah tirani koalisi partai penguasa
negara yang pada awalnya menyerupai keberadaan Golkar
104
di era orde baru yang sulit digoyang. Kini ada secercah
harapan yang menyediakan ruang bagi keinginan minoritas
untuk bersuara dalam struktur kelembagaan negara di
parlemen.
Keberadaan Barisan Nasional dalam lingkaran
kehidupan politik negara memang sebelumnya cukup
dominan. Barisan nasional (National Front) adalah sebuah
gabungan partai-partai politik yang dibentuk pada 1973,
yang kelanjutan Partai Perikatan (Alliance). Partai ini telah
memerintah Malaysia sejak kemerdekaan tanpa terputus.
Pada Desember 2003, partai anggota Barisan Nasional
adalah: United Malays National Organization
Organization (UMNO), Malaysia Chinese Association
(MIC), Gerakan Rakyat Malaysia, People’s Progressive
Party, Parti Pesaka Bumiputera Bersatu, Sarawak United
People’s Party, Parti Bersatu Sabah, Liberal Democratic
Party, Parti Bersatu Rakyat Sabah, United Pasokmomogun
Kadazandusun Murut Organization, Sarawak Progressive
Democratic Party. Partai ini melanggengkan kekuasaannya
hingga saat ini.
Kekalahan Barisan Nasional banyak dinilai tidak
hanya berasal dari kekecewaan warga terhadap kinerja dan
kebijakan pemerintah yang berkuasa saat ini –
Pemerintahan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad
Badawi. Bahkan tokoh Barisan Nasional Mahattir
Muhammad mengklaim ini sebagai bentuk kesalahan
tunggal penjabat Perdana Menteri saat ini. Akan tetapi,
kekalahan tersebut juga disebabkan oleh penerapan strategi
politik yang tidak efektif dalam mendapat simpati khalayak
pemilih oleh mesin politik partai. Partai Keadilan Rakyat
(PKR) tampak lebih bersuara dan mendominasi wilayah-
wilayah kampanye dengan kehadiran para tokohnya ke
titik-titik atau kantong-kantong kuat yang dapat
mempengaruhi hasil akhir perhitungan suara. Partai
105
UMNO, sementara itu, memilih strategi dengan lebih
menguasai dan mendominasi media massa sebagai alat
untuk menyuarakan kehadiran mereka ke masyarakat luas.
Dengan demikian, khalayak pemilih lebih memilih dan
bersimpatik pada tatap muka langsung dengan
komunikator terpercaya, yakni tokoh-tokoh di Barisan
Alternatif, ketimbang mereka terbawa oleh opini yang di
bangun oleh Barisan Nasional melalui saluran kampanye
media massa yang justru kurang massif.
Namun, kabar mengembirakan peluang
keseimbangan kekuatan di Malaysia ini–yang di tandai
dengan kegagalan Barisan Nasional memperoleh suara
penuh- tidak dibarengi dengan isu-isu yang masih bergulat
pada persoalan etnisisme. Isu-isu etnis membanjiri bursa
opini dalam pentas demokrasi negeri jiran itu. Memang
dulu pernah terdapat catatan sejarah kelam konflik antar
etnis di Malaysia. Lima orang tewas dan 37 cedera dalam
konflik antar-etnis Melayu dan India pada 11 Maret 2001 di
daerah Petaling Jaya. Konflik ditengarai disebabkan oleh
arak-arakan pemakaman masyarakat keturunan India
melewati tempat perayaan pesta pernikahan warga melayu.
Peristiwa ini merupakan yang pertama sejak Maret 1998
sejak terjadi protes kelompok Hindu Malaysia yang
memprotes rencana pemindahan kuil Hindu di bagian utara
nagara bagian Penang. Dalam peristiwa tersebut, 9 orang
cedera.
Namun wacana etnisisme ini harusnya tidak terdapat
di dalam pentas demokrasi yang sehat semasa ini.
Demokrasi yang menempatkan persamaan dan kebebasan
hak, bukan kemudian disalah artikan ke dalam kebebasan
untuk mengumpat etnis lain dan memunculkan jurang
pemisah pada perbedaan yang telah ada.
Melayu merupakan mayoritas dalam penduduk
Malaysia (55 persen). Cina sebanyak 30 persen dan India
106
sebanyak 10 persen. Penduduk keturunan India
kebanyakan bekerja sebagai profesional, sementara banyak
juga yang terpinggirkan dalam masyarakat Malaysia.
Banyak yang mengkhawatirkan konflik antar-etnis ini akan
mengulangi peristiwa konflik etnis Cina-Melayu pada 1969.
Dan sialnya, Barisan Nasional melalui stigma yang melekat
pada Badawi, memperoleh predikat menganakemaskan
etnis melayu ini.

Sistem Pemerintahan Pascapemilu


Dengan adanya perubahan komposisi di parlemen
Malaysia, tentu banyak harapan untuk sebuah perubahan.
Perubahan dalam skala besar ataupun kecil memiliki
peluang yang sama. Perubahan skala besar diperoleh dari
pembaharuan sistem ketatanegaraan, sedangkan skala kecil
ditandai dengan perubahan norma-norma dan nilai-nilai
sosial politik hukum dalam kehidupan bernegara.
Sistem ketatanegaraan Malaysia merupakan sistem
parlementer walaupun masih melestarikan pola feodal
berupa eksistensi raja (kerajaan) dalam struktur negara.
Demokrasi parlementer merupakan suatu hal yang dapat
dikenal dalam pola organisasi antara eksekutif dan legislatif
yang selalu berhadapan dan berjalan berirama. Namun
keberadaan kerajaan sebagai simbol negara masih dapat
dipandang elemen struktural yang absolut dan otoritarian.
Sebuah pandangan yang lazim manakala kedudukan dan
peran Yang Dipertuan Agung di Malaysia masih
mencerminkan kesetengahhatian negara itu menjalankan
sistem demokrasi subtansial –meskipun dalam praktik
pemilihan raja menganut sistem “pergiliran kekuasaan”
yang berasal dari 9 kerajaan yakni: Yang di Pertuan Besar
dari Negeri Sembilan; Sultan Selangor, Raja Perlis, Sultan
Terengganu, Sultan Kedah, Sultan Kelantan, Sultan Pahang,
Sultan Johor dan Sultan Perak. Beberapa negara juga masih
107
melestarikan budaya dan sistem kerajaan ini, seperti
Kerajaan Inggris Raya dengan Negara kesatuan (unitary
state) berbaur dengan kerajaan (unitary kingdom) yang
memiliki dua kamar terpisah : House of Commons (diketuai
oleh PM) dan House of Lord (merupakan warisan keluarga
kerajaan). Kemudian, Jepang dengan Kaisar, Parlemen
(kokkai), majelis tinggi (sangiin), majelis rendahnya
(shugiin) ataupun kerajaan Arab Saudi dengan dinasti Ibnu
Saud-nya dan masih banyak negara lain yang melestarikan
kebudayaan dan sistem kerajaan ini. Kendatipun demikian,
kita masih berharap bahwa perubahan akan terjadi
pascapemilu terhadap keberadaan, peran dan kedudukan
kerajaan di Malaysia untuk pembaharuan kehidupan
demokrasi sejati.
Satu catatan akhir untuk perubahan pascapemilu ini
adalah akan lahirnya check and balances yang berjalan
dengan baik. Perubahan komposisi di tubuh parlemen –
banyaknya kubu oposisi dalam struktur- hendaknya
mengarahkan pada hubungan eksekutif dan legislatif
dimana legislatif terus proaktif menjalankan fungsi
pengawasan dan kontrolnya dengan baik dan efektif.

108
Potret Demokrasi Lokal
Oleh : Awaludin Marwan

Demokrasi sebagai sebuah institusi inklusif yang


sesuai dengan kodrat manusia yang menyenangi kebebasan,
dilahirkan dengan kondisi persamaan, dan berdaulat.
Keyakinan rasional inilah yang terpakai oleh Indonesia
dalam rangka melaksanakan kehidupan sosio-politik, sosio-
filosofik, dan sosio-yuridis berbangsa. Sehingga ekuivalensi
cukup signifikan ini, dengan dukungan demokrasi
melahirkan suatu bentuk bangsa yang lebih beradab,
bermartabat, dan berdaulat.
Demokrasi hendaknya dibangun dari lokal menuju ke
nasional. Asumsi ini senyata dengan konsepsi demokrasi
pertama di Negara-Kota zaman Yunani Kuno. Oleh Miriam
Budiardjo,1 rakyat berkuasa, sebuah hakekat kelahiran
demokrasi, government or rule by the people, dari
peristilahan kata Yunani demos berarti rakyat, kratein/
kratos berarti kekuasaan/ berkuasa. Sistem Negara-Kota
(city-state) Yunani Kuno dengan penduduk tak kurang lebih
dari 300.000-an orang (abad ke-6 sampai abad ke-3 s.M)
merupakan demokasi langsung (direct democracy) seperti
bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat
keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung
oleh seluruh warga Negara yang bertindak berdasarkan
prosedur mayoritas.
Keterbatasan jumlah partisipasipan dan ruang di
dalam pelaksanaan konsep demokrasi di awal kelahirannya
merupakan cermin yang tak bisa di pandang secara parsial.
Konsep demokrasi lokal cukup cocok dikembangkan
terlebih dahulu manakala bangunan demokrasi bangsa
secara total akan di ciptakan. Dengan kata lain, demokrasi
nasional secara otomatis akan terbangun dengan sendirinya
semisal demokrasi lokal antara satu daerah dengan daerah
109
lain, satu demi satu telah memiliki kemapanan demokrasi.
Pendeknya, demokrasi lokal merupakan pondasi bagi
terciptanya demokrasi nasional, bukan sebaliknya. Terlihat
dengan jelas, pondasi demokrasi yang rapuh ditandai
dengan pemilu langsung nasional dilaksanakan terlebih
dahulu dengan pilkada langsung di tingkat daerah.
Demokrasi lokal belum terbangun, namun intervensi politik
skala nasional dipaksakan untuk dilaksanakannya
demokrasi langsung (direct democracy), bias jadi
keberhasilan pemilu terdahulu berkat faktor kebetulan saja,
bukan hasil dari sistem dan kontemplasi yang kuat.
Pembangunan demokrasi lokal menghadapi banyak
problematika, tidak hanya berkisar pada persoalan
pemilihan langsung saja. Tiga masalah dasar pembagian
peran pemerintahan, sentralisasi, desentralisasi, dan
dekonsentrasi membuka dialelktika yang tidak habis-
habisnya dibahas. Desiran arus demokrasi bersama dengan
otonomi daerah yang bermutana desentralisasi dan
dekonsentrasi tak semulus yang di bayangkan.
Penulis memandang terdapat empat masalah paling
menonjol dari pelbagai persoalan yang muncul dari
problematika demokrasi otonomi daerah. Mereka adalah :
uforianis pemekaran; perihal keuangan daerah; perbedaan
tradisi dan kultur lokal; lemahnya pengelolaan sumber daya
daerah, di samping persoalan politik pemilu yang terus
mengalami fase pendewasaan politis elit dan
masyarakatnya.
Uforianis pemekaran merupakan persoalan yang
bersamaan dengan implemantasi otonomi daerah. Sebuah
studi kasus yang di lakukan oleh Larraine V. Aragon di
Kabupaten bentukan baru seperti Kabupaten Marowali
(pusat suku bungku) dan Kabupaten Tojo Una Una
(terpusat khusus untuk suku Tojo). Menyebut-nyebutkan
bahwa pemekaran yang paling banyak diusulkan setelah di
110
implementasikannya otonomi daerah menyisakan banyak
persoalan. Ada banyak masalah sepele yang harus
dirundingkan, misalnya kota-kota mana yang akan menjadi
ibukota baru, dan kelompok-kelompok yang mana
anggotanya menduduki posisi sebagai bupati, orang-orang
mana yang akan menerima pegawai negeri baru. Kabupaten
baru di Sulawesi Tengah ini dampak dari desentralisasi
yang tidak bias meredam persoalan pengerahan kekerasan
dan polarisasi keagamaan yang tupang tindih dengan
kelompok-kelompok yang semakin di pisahkan oleh
sebagian besar rencana kabupaten baru.
Sementara persoalan keuangan daerah membawa
pada satu titik di mana kemandirian daerah dan
ketergantungan daerah pada pusat menjadi dualisme yang
tak tipis. Tujuannya sebenarnya tidak lain adalah
kemandirian daerah, namun pengelolaan keuangan daerah
yang lepas dari pantauan pusat akan menimbulkan tragedi
beberapa tahun silam di mana banyak DPRD dan
Pemerintah terlibat skandal korupsi legal, salah kaprah
dalam menginterpretasikan kebebasan daerah dalam
menentukan pengelolaan keuangan daerah secara ideal.
Di samping itu, beberapa pendapatan Negara masih
harus di bagi dengan Pusat dan Provinsi, seperti Pajak
Bumi dan Bangunan, salah satu pendapatan Negara dari
sector pajak yang peruntukannya harus dibagi Pusat,
Provinsi, dan Kabupaten. Beberapa sektor penting masih
dalam kendali pemerintahan pusat, membuat satu sisi
mematikan kreatifitas daerah di sisi lain check and balances
berjalan baik dan di mungkinkan pola distribusi ke daerah
lain yang tertinggal.
Dengan konsepsi pengelolaan keuangan, dikenal
automoney. Artinya, kemandirian daerah dalam
menyelenggarakan kewenangannya diukur dengan
kemampuannya menggali sumber-sumber pendapatan
111
sendiri.3 Memaksimalkan potensi sumber daya alam dan
sumber daya manusia serta pembangunan menjadi
prioritas yang tak terpisahkan selain menambah jumlah
peluang pajak dan retribusi daerah. Implikasi lain dari
pengelolaan berbasis demokrasi otonomi daerah,
penyelenggara pemerintahan dituntut menjunjung prinsip
pemerintahan yang bersih dan tranparan, jauh dari praktek
korupsi, kolusi dan nepotisme. Prinsip kehati-hatian dan
akuntabilitas penggunaan anggaran,4
Selanjutnya, pembangunan dan pengembangan
demokrasi lokal berbenturan dengan perbedaan tradisi dan
kultur lokal. Suatu contoh pengenalan struktur
pemerintahan desa pada tahun 1983 di Sumatera Barat
yang bertolak belakang dengan konsepsi nagari yang
luasnya lebih besar daripada konsepsi desa yang di adopsi
dari Jawa. Untuk mengindari kerugian financial dagi
daerahnya, maka nagari di pecah-pecah menjadi unit
administrasi lebih kecil menyamakan dengan desa. Sejak
lahirnya, system desa dan pemecahan nagari ini dikritik
habis-habisan di Sumatera Barat dan beberapa reunifikasi
desa terjadi pada tahun 1990-an. Nagari adalah unit-unit
territorial yang sangat otonom. Kepemimpinan, afiliasi
kelompok, dan hubungan properti di dasarkan di dasarkan
atas struktur kekerabatan matrilineal, sangat berbeda
dengan desa.5 Uraian ini menandakan bahwa unifikasi dan
distribusi perubahan yang tertranformasikan ke tingkatan
lokal tidak selamanya sesuai dengan akar kultur masyarakat
lokal setempat. Maka pembaharuan dan pembauran perlu
dilakukan, agar perubahan pada satu tujuan yang hendak di
capai juga tidak merusak apa-apa yang sudah mapan di
masyarakat dari sudut budaya.
Sementara pada sektor yang lain demokrasi lokal dan
otonomi daerah menghadapi sulitnya daerah untuk
pengelolaan sumber daya. Daerah yang maju semakin maju
112
sementara yang lain tertinggal, tidak terjadi keselarasan,
melainkan ketimpangan. Seperti halnya pengelolaan timah
di kepulauan Bangka, yang memperlihatkan betapa
rumitnya masalah penyelundupan pasir timah Bangka ke
Singapura, yang seharusnya lebih bisa bermanfaat untuk
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemerintah Daerah tak bisa
mengolah sumber dayanya, potensi itu ditangkap oleh
oknum pebisnis untuk dikelola dan diseleundupkan.6
Bersamaan dengan ha tersebut, otonomi daerah ternyata
menimbulkan konflik baru yang pada dasarnya merupakan
pertentangan bisnis dan kekuasaan daripada pertentangan
budaya atau politik. Konflik mengenai uang dan kekuasaan
yang merupakan hasil dari otonomi daerah nyatanya adalah
konflik bisnis. Itulah sebabnya, perkembangan demokrasi
tidak mengalami kesejajaran dengan pertumbuhan
ekonomi, karena ketidakberdayaan perangkat pengelola
yang mampu menangkap potensi menjadi aksi konkret
ekonomis.
Dilema arus pengembangan demokrasi lokal memang
cukup banyak, sekurang-kurangnya seperti yang
dikemukakan pada uraian diatas. Memang perlu meletakan
keseriusan diatas bangunan pendukung demokrasi, sebagai
contoh penguatan institusi yang berupa pemilihan
langsung. Dengan pemilihan langsung yang mencerminkan
prinsip dan semangat demokrasi, maka pada saat yang
bersamaan pembangunan basis politik daerah yang
demokratis telah di mulai. Sebab, minimal dengan
pemilihan langsung, secara bersama-sama : recuitmen
politik, yang mendorong lahirnya pemimpin yang lebih
kompeten dan professional; kemudian sosialisasi politik
dan pendidikan politik pun telah banyak memulai
pembangunan konkret yang hasilnya akan bisa dirasakan
mendatang atau saat ini. Sosialisasi politik dan pendidikan
politik mampu memotivasi masyarakat dan meningkatkan
113
kritisisme masyarakat untuk ikut serta membangun secara
kolektif komunal daerah setempat.

114
Melintas yang Sepintas ; Budaya
Mas Goen, Jawablah Pertanyaan-Pertanyaanku
Jika Kau Mencintaku
(Surat buat Goenawan Mohamad)
Oleh : Muhammad Taufiqurrohman

Mas Goen,
Akhir-akhir ini aku meresahkan sesuatu. Di zaman
yang sulit ini aku masih berharap sastra dapat berfungsi
membantu menghadapi krisis. Yah, sastra dapat membantu
orang mendapatkan makan, harga BBM yang terjangkau,
pendidikan yang baik, angkot yang murah, dan kesehatan
yang terjangkau. Atau paling tidak ia dapat menjadi
tumpahan batin mereka yang tertindas. Intinya sastra dapat
berfungsi bagi sebanyak-banyak manusia, bukan hanya
pada mereka yang rajin mengunjungi gedung kesenian dan
kolom puisi akhir pekan di koran-koran itu. Mengapa tiba-
tiba aku menginginkannya? Mungkin kamu mengganggap
keresahanku ini sebagai keresahan yang terlalu mengharap,
kekanak-kanakan. Kukira-kira jawabanmu, sastra mesti
universal. Sastra tidak bertendens. Sastra adalah tempat
dimana daun-daun yang bergugurun layak dirayakan dan
juga kesepian malam yang tak bertepi. Aku membayangkan
kamu menulis puisi liris itu dengan begitu romantis di
temani buku-buku dan lampu itu. Tetapi bayangan akan
anak-anak di gerbong kereta Bogor-Jakarta itu tak mau
pergi dariku. Ia tak mau pergi.

Lalu mas Goen,


Aku teringat bayangan-bayangan masa laluku. Yah,
aku adalah seorang pembaca setia Pram. Tentu kau tidak

115
akan pernah lupa orang ini bukan? Dengan mata tanpa
pejam, tiga hari tiga malam aku khatamkan tetralogi buru
di masa SMA dulu. Di pesantren, malam harinya dini
harinya, di sebelah deretan kitab-kitab kuning itu kubaca
habis Pram. Aku terbawa oleh semangat kemanusiaannya.
Sebagai seorang anak desa dari kampung yang jauh, yang
tak akan pernah mendapatkan bacaan macam ini di
desanya, aku adalah orang rakus. Yah, aku masih ingat
buku itu kupinjam tidak dari perpustakaan sekolah atau
kabupaten. Sebab, disana tak ada karya-karya Pram
dipajang. Aku pinjam dari mas-nya temenku yang
kebetulan datang jauh dari sekolah di UI, beli di Kwitang
katanya. Masa-masa itu harus kuakui aku tidak
mengenalmu. Meski puisi-puisimulah yang diajarkan di
buku-buku resmi sastra Indonesia yang baik dan benar.
Sebagai seorang bocah, kami diajari untuk
menafsirkan puisi-puisi surealis yang abstrak. Tahukah
kamu, itu adalah pelajaran termuak selama karirku sebagai
seorang siswa. Melebihi kemuakanku pada matematika.
Sebab, matematika masih bisa kumengerti alasan tentang
logika, dan lain-lain. Tetapi, menafsirkan kata-kata yang
tidak jelas maksud tujuannya ditulis. Pekerjaan yang aneh.
Pertanyaan itu selalu meliputiku; mengapa aku harus
mengerti kata-kata yang disimpan oleh penulisnya sendiri
dengan sengaja? Mengapa sebuah puisi yang hanya ingin
merayakan sesuatu (yang kelak aku tahu Alain Badiaou
mengatakannya sebagai event atau peristiwa dalam
bahasamu) harus kami baca dan tafsirkan? Dan setelah aku
belajar sastra, hingga sekaranag aku masih tidak mengerti
mengapa kami harus bersusah payah menafsirkan kata-kata
yang begitu tersembunyi maknanya? Sebab, bukankah kau
dan aku ada di ruang yang begitu berjarak. Sebab,
bukankah puisi sudah tidak berada lagi di dalam kamar
sehingga kau bisa menikmati sendiri sambil mendengarkan
116
John Lennon. Aku tambah tidak mengerti kemudian ketika
kulongok puisi-puisi di koran-koran. Mengapa macam puisi
sepertimu yang hanya ditampilkan di koran-koran?
Sebagai anak SMA dan kini setelah lulus dari sebuah
perguruan tinggi jurusan sastra, aku tidak mengerti. Kecuali
bahwa ini adalah urusan hegemoni. Kekuasaan sebuah
rezim sastra. Mengapa bukan puisi yang bisa dimengerti
oleh kebanyakan orang yang menyuarakan hati nurani yang
ditampilkan? Mengapa puisi temanku yang lugas-yang
bercerita tentang bapaknya yang seorang petani yang tidak
pernah bahagia karena harga beras yang dipanennya tidak
pernah membalikkan modal-tidak pernah dimuat di koran-
koran? Mengapa puisi yang hanya dibaca oleh segelintir
orang-dan aku menduga mereka juga menduga-duga apa
maknanya-dianggap sebagai sebuah produk peradaban
umat manuisa yang gemilang? Manusia yang mana? Yang
rajin datang ke pentas-pentas teater dan pembacaan puisi
yang digelar setahun dua kali itu? Bahwa aku juga bisa
menikmati puisi itu, iya aku bisa, tanpa harus kumengerti
maknanya. Bahasamu dan bahasa-bahasa puisi itu yang
begitu liris dan romantis. Mudah bagiku mendapatkan
feelnya. Bahkan aku bisa menuliskan yang demikian
berlembar-lembar, berbuku-buku. Lirih dan romantis
adalah kesukaanku. Hanya saja, aku ada rasa tidak
berterima dengan banyak kenyataan bahwa yang diajarkan
di sekolah-sekolah ditampilkan di koran-koran di gedung-
gedung kesenian seakan-akan ingin menyatakan, bahwa
hanya yang seperti inilah yang dianggap sah sebagai sebuah
puisi, sebuah karya seni. Puisi-puisi yang tidak sesuai
dengan selera redaktur sastra, yang tak lain juga pastilah
dia penggemarmu dan juga orang dekatmu itu, bukanlah
puisi. Yah, kalaupun puisi pastilah dia puisi nomor dua
puluh tujuh, puisi yang tidak baik. Tidak baik? Bukankah
kau adalah penganjur ulung tentang relativisme dan
117
kedaifan diri dan terbatasnya tafsir di Indonesia ini? Atau
kau telah lupa apa yang kau tulis di Catatan Pinggirmu itu.
Atau kau lupa ajaranmu sendiri tentang harus
manunggalnya tutur lan lampah, kata dan laku itu. Terus
terang aku tidak berterima dengan ini. Tiba-tiba lintasan
bayanganku ingin kembali pada masa lalu. Tiba-tiba aku
membayangkan bagaimana jadinya jika yang berkuasa
bukan Soeharto yang di backup Amerika melainkan
Soekarno.
Mas Goen,
Kadang-kadang aku pikir kamu adalah seorang
munafik, oportunis. Dulu ketika Soekarno berobsesi
menjadikan seni dan sastra untuk revolusi kau
melawannnya dengan Polemik Kebudayaan itu. Kau
melawan penindasan. Dengan teman-temanmu itu kau bak
pahlawan melawan sang proklamator [sungguh aku tidak
enak menyebutnya sebagai diktator. Dia adalah sastrawan
yang sebenarnya menurut pengertianku. Sebab, bagiku
jasanya bagi lebih banyak manusia di Indonesia ini, masih
lebih tak terhingga dari pada jasamu]. Yah, kau memang
seperti orang bermuka dua. Atau memang demikian seperti
yang kau akui dengan etika kedaifanmu itu. Yah, itu dulu.
Ketika kau masih berumur dua puluh tiga tahun. Ketika kau
masih muda dan belum mempunyai pengaruh, kekuasaan
intelektual, jaringan, dan uang yang banyak tentu saja. Dan
kini dengan segala kepentingan dan jejaringmu yang sudah
menggajah kau tak berdaya. Meringkuk sendiri di bawah
kasur. Dan sejarah memang rada berpihak padamu.
Soekarno tumbang Soeharto naik. Betapa bencinya
Soeharto terhadap puisi-puisi pembertontakan, puisi
perlawanan revolusi yang masa Soekarno dulu digalakkan
bahkan diharuskan. Kau datang menawarkan sastra
universal, sastra yang tidak bertendens, sastra yang tidak
berpolitik. Dalam puisi dia menjadi puisi liris yang
118
menurutmu mengakui kedaifan sebagai manusia. Atau
kadang, aku pikir adalah hanya pelarian, karena ketakutan
dan tidak punya keberanian melawan. Dalam novel cerpen
dia adalah bahasa-bahasa yang tidak bisa dimengerti oleh
orang awam, bahkan oleh siapapun saja kecuali oleh
penulisnya sendiri. Atau mungkin juga tidak, sebab si
penulis juga menulis sambil ngantuk atau sambil mabuk.
Tetapi karena kelihatan surealis, puisi itu di muat di koran-
koran. Yah, di masa orde baru itu, kamulah yang menjadi
model penyair yang baik. Yah, kamu dan orang-orang di
lingkaranmu. Bukan Pram. Bukan Pram. Lalu, berikan aku
satu alasan mengapa kau bukan seorang munafik. Sebab,
kau dan teman-temanmu telah menjadi penguasa rezim
sastra Indonesia yang baru. Yang menampik liyan dengan
tidak memberikan ruang bagi puisi-puisi yang kau anggap
tak bermutu. Yang menguasai pusat-pusat kebudayaan.
Yang menguasai sastra di koran-koran. Bukankah ini juga
sebuah bentuk penindasan? Bukankah ini juga sebuah
penjajahan bahkan secara nyata? Belum lagi jika ini harus
kuhubungkan dengan agenda-agenda besar ideologi di
belakangnya. Siapakah di belakangmu di belakang Utan
Kayumu itu? Mengapa kau tidak pernah berbicara tentang
Ford, Taff, CIA, Amerika, dan lain-lain. Seperti minggu lalu
aku masih ingat kau menulis di Bentara, tentang Seni,
Politik dan Emansipasi. Semuanya kau tulis, dari Lekra
sampai Polemik Kebudayaan, hampir satu halaman penuh.
Satu halaman hampir penuh. Tetapi, yang tidak kau tulis
adalah alasan mengapa kau bisa menulis satu halaman
hampir penuh di sebuah harian besar dan oleh karenanya
bisa dibaca berjuta-juta orang, dan mengapa tidak puisi-
puisi Wiji Tukul di halaman itu, yang karena puisi
pembelaannya pada mereka yang tertindas, dia hilang
entah dimana? Mas Goen, jawablah pertanyaan-
pertanyaanku ini jika kau mencintaiku.
119
Mas Goen,
Di kamar sambil lengang-lengang dengar John
Lennon, aku bisa menangis sesenggukan sendirian
membaca puisi-puisimu. Tapi ketika tiba-tiba aku berada di
gerbong kereta itu, di stasiun, di jalan-jalan, di metromini,
di trotoar, puisimu tiba-tiba menjadi suara yang sama sekali
jauh. Di udara. Ketika di depan mata kita ada orang
berteriak lapar apakah puisimu dapat membantu, paling
tidak sebagai cermin yang memantulkan kegelisahan dan
kesedihan suara hati mereka yang miskin, yang tidak dapat
makan, yang tidak bisa membayar uang sekolah, yang
bunuh diri karena malu tak bisa memberi uang jajan
anaknya, yang yang yang yang..... Aku tidak akan
menyalahkanmu sepanjang kau juga memberi ruang bagi
puisi-puisi yang lain. Menghargai yang lain. Merayakan
perbedaan yang katanya rahmat itu. Kukirimkan surat ini
sebab aku mencintaimu. Sebab, apakah berpikir merupakan
sebuah tindak kriminal?

Mas Goen,
Aku memang seorang utopis yang buruk. Aku
memimpikan di koran-koran itu, di pusat-pusat
kebudayaan itu, juga terpampang puisi-puisi yang lain,
semacam puisi realisme sosialis itu, atau apapun itu
namanya, segala yang bernama 'lain' dari mainstream.
Ingatkah kau pada Habermas yang juga pasti sudah kau
katamkan, bahwa represi atas sebuah kepentingan juga
merupakan sebuah kepentingan. Juga kau. Juga aku yang
menulis surat ini. Namun, mas Goen. Jika kepentingan itu
hanya didasarkan (aku khawatir) hanya karena kepentingan
eksistensi personal masing-masing dan mungkin juga
eksistensi sebuah rezim sastra yang ingin menghegemoni
semua ruang kebudayaan, dan bukanlah disandarkan pada
120
sebuah kepentingan yang didasarkan pada nilai-nilai yang
lebih transenden, yang lebih tinggi, semisal kemanusiaan,
kesederajatan, keilahian, dan lain sebagainya, dan oleh
karenanya kita berharap untuk tidak mengharapkan apa-
apa kecuali yang abadi, di luar hal-hal yang fana semisal
pengaruh, popularitas, kekayaan, pengakuan dan lain
sebagainya. Mas Goen, jika kau mencintaiku maka
jawablah pertanyaan-pertanyaanku ini.
Tapi aku sadar mas Goen, kita lahir di zaman yang
berbeda. Kau lahir di zaman ketika puisi-puisi banyak
dibakar tanpa alasan yang kau mengerti. Sedang aku lahir
di zaman ketika di trotoar orang meronta-ronta minta
makan karena sudah berhari-hari lapar. Tetapi di
sebelahnya sedan-sedan termahal di dunia melaju seperti
tanpa perasaan. Mengerikan. Sepi. Seperti tidak manusia.
Juga dengan alasan yang tidak aku mengerti.

121
Sudahlah... Mari bersahabat
Oleh : Yogas Ardiansyah

“Mah, lho kok itu temboknya yang sana ditulisi


Jawa Pribumi kenapa tho, Mah?”
“Ya karena mereka memang orang Jawa”
“Lha trus kita ini orang apa, Mah? Kita orang Cina
ya, Mah? Kemaren aku pas lewat di Pandanaran
dikatain ci…ci…ci…cina..., gitu ik mah?”
”Nek kamu dikatain begitu, bilang saja aku orang
Indonesia!!!, gitu”
Percakapan disekitar bulan Nopember 1980 ini
terjadi antara Conny dan anaknya, Ivan yang berusia enam
tahun. Kerusuhan rasial yang terjadi di Semarang pada
tahun tersebut membuat keluarga ini menjadi serasa
sedang tidak berada di negeri sendiri. Beberapa hari
sebelum pecah kerusuhan, para karyawan suami Conny,
yang kebanyakan suku jawa, ikut membantu
“membentengi” rumah Conny dengan tripleks tebal, agar,
jika memang nanti ada huru-hara, rumah ini dapat selamat
dari lemparan batu. Entah jika kerusuhan menjalar menjadi
pembakaran….
Hari ini, senin 11 Pebruari 2008 pukul 15.10, langit
kota Semarang diselimuti mendung yang cukup tebal
disertai angin kencang. Conny Handayani (61) dengan
semangat menceritakan apa yang pernah ia dan
keluarganya alami sejak kerusuhan berbau rasial pada masa
pasca 1965 hingga yang terakhir (semoga saja memang
menjadi yang terakhir) pada tahun 1998. Di ruang kerjanya,
di Jurusan Bahasa dan Sastra Asing Universitas Negeri
Semarang, ia dengan antusias menceritakan kejadian-
kejadian yang mendeskreditkan ia dan keluarganya hanya
karena memang mereka keturunan Cina. Conny mengaku,
122
sejak muda ia telah terbiasa mengalami sikap-sikap tidak
simpatik yang diperlakukan kepadanya oleh pihak-pihak
yang belum bersedia menghargai keragaman.
Kita akui atau tidak, sentimen rasial di Indonesia
masih terus terjadi. Ini menjadi ancaman terbesar
disintegrasi bangsa ini, disamping keinginan beberapa
daerah untuk merdeka. Sentimen rasial yang paling kentara
dan paling sering terjadi sejak berabad-abad silam
menimpa warga negara non-pribumi, yang lantas secara
otomatis dipahami sebagai warga negara keturunan Cina.
Benny G. Setiono dalam buku “Tionghoa Dalam Pusaran
Politik” memulai kerusuhan rasial ini dengan pembunuhan
etnis Tionghoa pada tahun 1740. VOC yang mulai merasa
terancam kekuatan ekonomi dan solidaritas etnis Tionghoa
menerapkan aturan yang intinya membatasi gerak dan
mobilitas mereka. Aturan permissiebriefje (25 Juli 1740) ini
tentu saja ditolak oleh masyarakat etnis Tionghoa karena
selain mengikat, aturan ini ternyata lebih mirip sebuah
aturan untuk memeras etnis Tionghoa. Karena tak tahan
dengan kekangan tersebut, sekelompok masyarakat
Tionghoa melakukan protes dan segera disambut dengan
tanggapan represif tentara VOC. Tanggal 7 Oktober 1740,
atas perintah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier dan
anggota Dewan Hindia William van Imhoff, seluruh
serdadu kompeni di Batavia berkekuatan 1800 orang
ditambah schutterij (centeng) dan 11 batalyon wajib militer
melakukan operasi pembersihan terhadap etnis Tionghoa.
Puncak kekerasan ini terjadi pada 9 Oktober 1740, dimana
sekitar 10.000 orang etnis Tionghoa beserta seluruh rumah
dan harta bendanya di seluruh kota Batavia dibakar dan
dimusnahkan (laporan Domine Wolter Robert Baron von
Hoevell, Tijdschrift voor Nederland’s Indie, pertengahan
abad XIX). Sastrawan Remy Sylado mengabadikan

123
peristiwa ini dengan nasakah drama sejarah berjudul 9
Oktober 1740.
Pasca kejadian itu, kompeni sangat berhati-hati
menghadapi etnis Tionghoa. Kompeni membuat wilayah
khusus yang lantas terkenal disebut Pecinan (Chinatown)
dimana hampir sebagian besar keluarga Tionghoa tinggal di
dalamnya. Etnis Tionghoa menerima saja keputusan ini
karena dianggap lebih aman tinggal secara berkelompok
dan bersama-sama tanpa menyadari bahwa sebenarnya
maksud VOC adalah agar mereka lebih mudah mengawasi
dan mengontrol etnis Tionghoa karena bermukim dalam
satu wilayah. VOC juga mulai mendekati etni Tionghoa agar
melupakan kejadian pembantaian tersebut, dengan
memberikan hak dagang dan perlakuan istimewa dengan
jalinan kerjasama. Perlakuan istimewa ini merupakan
pancingan agar masyarakat pribumi merasa iri karena
dengan perlakuan istimewa dalam perdagangan, tentu saja
etnis Tionghoa menjadi kaya sedangkan pedagang dan
masyarakat pribumi pada umumnya tetap terjajah dan
miskin. Perbedaan ini segera berubah menjadi perbedaan
strata sosial : etnis Tionghoa yang kaya dan dekat dengan
kompeni dihadapkan dengan masyarakat pribumi yang
miskin dan terjajah. Kemudian segera timbul pertentangan-
pertentangan horisontal antara Tionghoa dan Pribumi.
Dengan konflik ini, VOC berharap agar etnis Tionghoa tidak
lagi teringat kejadian masa silam dan menganggapnya
sebagai “sejarah kelam” belaka. Kemudian muncul sistem
hukum yang sangat diskriminatif, dimana VOC
menggolongkan masyarakat menjadi kelompok
berdasarkan suku dan warna kulit. Kelompok pertama
adalah orang Belanda dan orang Eropa lainnya. Kelompok
kedua adalah orang kulit berwarna dimana bangsa
Tionghoa bersama orang Arab dan Jepang ada didalamnya.
Kelompok ketiga adalah para bangsawan keraton dan
124
pribumi yang menjadi pegawai Belanda serta yang terakhir
adalah pribumi jelata. Hukum memperlakukan kelompok-
kelompok masyarakat ini sangat diskriminatif sehingga rasa
benci karena merasa ditindas tumbuh subur, khususnya
dalam masyarakat Pribumi. Konflik ini terus berkembang,
mendarah-daging, dan terus saja bergulir dari masa ke
masa (disamping karena memang taktik VOC yang jitu, juga
karena mudahnya masyarakat Indonesia diadu dan
ketidaktahuan sejarah). Tercatat, sejak kejadian Oktober
1740, terjadi peristiwa besar dalam konteks hubungan etnis
Tionghoa dan Pribumi : konoflik Jawa-Cina selama Perang
Jawa 1825-1830, anti-Tionghoa di Kudus tahun 1918,
kerusuhan rasial pasca kemerdekaan tahun 1946,
pemberlakuan PP No. 10 tahun 1959, peristiwa rasialis di
Cianjur 1963, anti-Tionghoa pasca september 1965,
kerusuhan rasial di bandung 5 Agustus 1973, anti-Tionghoa
di Solo dan Semarang tahun 1980, kerusuhan pasca
reformasi tahun 1998 serta penerapan standar ganda Orde
Baru kepada masyarakat Tionghoa selama 1966-1998. Maka
berhasillah strategi VOC untuk mengadu domba etnis
Tionghoa dan pribumi.
Secara garis besar, pokok masalah sentimen antara
etnis Tionghoa dan pribumi bersumber pada masalah
ekonomi, yang kemudian meluas menjadi sentimen suku,
ideologi budaya bahkan agama. Kekayaan harta, yang
masih menjadi acuan utama penduduk Indonesia dalam
menentukan status sosial tampaknya menjadi sekat yang
paling ampuh untuk mendikotomi dua kelompok
masyarakat ini. Kondisi tersebut masih ditambah dengan
pola pikir dua kelompok ini yang secara mendasar
memangsangat berbeda dalam mencari dan mengelola
kekayaan. Penduduk pribumi, secara khusus suku jawa,
menganggap kekayaan memang harus dicari tetapi dengan
tetap dialasi sikap trimo, nriman ing pandum, sak titahe
125
(tetap menerima dan mensyukuri rizki walau hanya
sedikit). Sedangkan penduduk Tionghoa dari “sono”nya
memang sudah membawa jiwa dagang yang ulet, penuh
perhitungan, pekerja keras dan cenderung selalu mencari
untung. Nah, bayangkan, jika dua karakter yang memang
sejak mula berbeda budaya dan pola pikir ini mempunyai
sentimen negatif ditambah pula dengan “dikompori”
kompeni, berlangsung pula sejak berabad-abad silam pula.
Maka potensi konflik ini akan sangat sulit dihilangkan dan
ibarat api dalam sekam, tidak terlihat apinya tetapi terus
saja mengeluarkan asap. Konflik-konflik horisontal seperti
ini sepertinya hanya bisa dieliminir dengan cara
pendekatan kemanusiaan dan budaya, seperti yang telah
terjadi di Semarang. Etnis Cina di kota ini, dengan
bekerjasama dan meragkul berbagai pihak, setiap tahun
mengagendakan acara-acara yang tidak hanya bisa
dinikmati oleh orang Cina saja tetapi juga oleh masyarakat
Semarang secara luas. Kopi Semawis atau Komunitas
Pecinan Semarang untuk Pariwisata merancang kegiatan
pasar tradisional, pertunjukan budaya, festival-festival dan
berbagai agenda rutin tahunan lain yang secara nyata
mampu mempersatukan dan membaurkan semua lapisan
masyarakat. Kedekatan-kedekatan semacam ini yang
diharapkan mampu mengurangi potensi konflik di
masyarakat. Acara seperti ini juga dapat dijumpai di festival
kya-kya di Surabaya serta di beberapa dari Medan, Deli
Serdang, Palembang hingga di Pontianak.
Selain pendekatan budaya tersebut, dalam bidang
perdagangan dan segala hal yang menyangkut dengan uang
dan keuntungan (karena ini hal yang paling sensitif),
pemerintah harus menerapkan hukum yang fair dan
berlaku untuk semua pihak, serta aturan main yang jelas
hingga tidak ada lagi pihak yang merasa dianaktirikan dan
merasa pihak lain lebih dilindungi.
126
Menjelang pukul 17.30, Conny mulai mengemasi
berkas-berkasnya dan mematikan komputer setelah
membalas e-mail dari familinya yang menyebar dari Seattle
hingga Canberra. Kepada penulis ia berpesan agar pemuda
Indonesia, dari suku dan etnis manapun, untuk menjadikan
serentetan peristiwa rasial yang pernah terjadi sebagai
pelajaran berharga yang sekaligus mahal : bahwa kebencian
satu sama lain tidak akan memberi manfaat apapun pada
bangsa dan negara, kecuali kehancuran dan menumbuhkan
kebencian-kebencian baru yang siap membakar apasaja
dikemudian hari : membuyarkan persahabatan tulus antara
Joko dan A Cong.
Di akhir pertemuan, diperlihatkannya sebuah tulisan
harian nasional yang memuat betapa ia dulu mahir
menarikan tari jawa klasik dan menganggapnya sebagi
budayanya sendiri.

127
Memoir : Apa Budaya Kita?
Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok

Budaya adalah produk masyarakat dalam konteks


ruang dan waktu tertentu. Sekumpulan orang-orang dalam
masyarakat, yang berinteraksi dalam kajian sosiologi
menghasilkan sesuatu, yang disebut budaya. Maka, budaya
adalah hasil interaksi manusia, baik dengan sesamanya,
maupun dengan alam sekitar.
Budaya itu sendiri hadir dalam dua bentuk yang
secara dasariah berbeda. Konstruk gagasan di satu sisi, dan
hasil budaya di sisi yang lain. Konstruk gagasan budaya
tidak bisa ditangkap secara audiovisual karena bersifat
abstrak. Meskipun demikian, hal ini menjadi penting
karena sebagai dasar dari masyarakat untuk menghadapi
tantangan zamannya. Masyarakat palaeolithikum, dengan
konstruk gagasannya menghasilkan kapak batu, untuk
menghadapi lingkungan. Karena memang konstruk gagasan
yang ada masih sederhana.
Sedangkan hasil budaya, adalah budaya
sebagaimana yang terlihat. Hasil budaya sebenarnya selalu
mengikuti dan hadir kemudian, seiring dengan konstruk
gagasan dari masyarakat. Hasil budaya diantaranya hadir
berupa makanan, mode, karya seni, juga ilmu pengetahuan
dan teknologi, disamping hal-hal yang bersifat ritualistic.
Pada kasus masyarakat Palaeolithikum tersebut, kapak batu
adalah bentuk nyata perbenturan gagasan-gagasan yang
ada dengan alam sekitar. Sehingga kapak batu bisa disebut
sebagai hasil budaya-pada saat itu.
Sebagaimana dikatakan bahwa budaya adalah hasil
dari interaksi manusia, maka budaya tidak bisa lepas
sepenuhnya dari manusia itu sendiri, sebagai penghasil
128
sekaligus pelaku budaya, yang berada dalam ruang dan
waktu tertentu. Maka, sebagai konsekuensi logisnya,
budaya pun tidak bisa dilepaskan dari konteks ruang dan
waktu.
Mencoba melihat keterkaitannya dengan konteks
ruang, manusia sebagai individu tentu mempunyai ruang
tertentu di mana ia hidup untuk bersosialisasi, sekaligus
mempunyai banyak ruang dalam kehidupan sosialnya.
Maksudnya, setiap individu mempunyai keluarga, tetangga,
desa, negara, ruang pekerjaan, komunitas-komunitas,
ruang dalam kaitannya dengan status sosial, belum lagi
kaitan secara personal dengan individu lain. Semua bentuk
ruang terdapat interaksi di dalamnya, yang menghasilkan
kebiasaan-kebiasaan tertentu, sebutlah itu ”kebudayaan
kecil”. Teranglah, bahwa manusia tidak hidup hanya dalam
satu ruang tertentu dalam hidupnya, tak seorangpun yang
semata-mata hanya satu hal.

Budaya Sebagai Sejarah


Dalam keterkaitannya dengan waktu, manusia
menjadi tahu tentang tentang adanya batas waktu, tentang
adanya masa lalu. Masa lalu hadir sebagai sejarah, yang
diketahui melalui cerita. Sebuah cerita, tentu saja sangat
tergantung dari siapa yang menceritakannya. Maka dari itu
sejarah selalu hadir dengan wajah yang tidak pernah utuh.
Jawa Tengah (sebagai konteks ruang), apa yang ada
sekarang tentu berbeda dengan apa yang ada pada beberapa
abad lalu (konteks waktu). Masyarakat Jawa Tengah
sekarang bukanlah orang yang sama dengan masyarakat
Jawa Tengah pada beberapa abad lalu. Baik dari
heterogenitas, secara personal, juga apa yang dihadapi. Hal
ini membuat budaya yang dihasilkan juga berbeda.
Mungkin masyarakat Jawa Tengah pada saat itu
menghasilkan Tari Gambyong, sebagai salah satu cara
129
untuk mengekspresikan gagasannya, dan secara kebetulan
masyarakat sekarang tidak.
Di sisi lain, Tari Gambyong yang hadir pada saat ini
juga menjadi bagian dari sejarah, yang selalu tidak lengkap.
Mugkinkah, Jawa Tengah yang begitu luas, dengan individu
yang juga begitu banyak hanya menghasilkan satu tarian?
Jelas tidak. Begitu juga dengan hasil budaya Jawa Tengah
lainnya.
Bagi saya, ada yang janggal di sini, ketika
menyebutkan Tari Gambyong sebagai hasil budaya Jawa
Tengah. Karena Tari Gambyong itu sendiri, bahkan
keberadaannya jauh lebih dulu (baca : tua) dari sekedar
Jawa Tengah. Jawa Tengah sebagai pembatasan wilayah
propinsi, baru ada pada zaman pemerintahan Indonesia.
Sedangkan Tari Gambyong jauh lebih tua, bahkan sama
sekali tidak mengenal Indonesia. Maka yang terjadi adalah
peng-aku-an Tari Gambyong oleh Jawa Tengah, dan buka
sebaliknya. Bisa dikatakan bahwa tari gambyong bukanlah
kebudayaan Jawa Tengah, tetapi berasal dari salah satu
tempat-yang kemudian-termasuk dalam pengkotakan Jawa
Tengah.
Poin kejanggalan lain, ada kerancuan tentang siapa
yang berhak me-resmi-kan hal tersebut. Apakah mereka
adalah perwakilan Jawa Tengah, bagian dari Jawa Tengah,
sebagian Kecil dari Jawa Tengah, atau bahkan yang sama
sekali bukan dari Jawa Tengah. Dari sini, baik Jawa Tengah
maupun Tari Gambyong, sebagai cerita sejarah telah
dihadirkan dengan wajah yang tidak utuh.

Budaya Kita?
Dalam konteks kekinian, masyarakat mejadi sangat
kompleks, sehingga sulit untuk menggambarkannya secara
utuh dan komperhensif. Seperti yang kita tahu,
perkembangan teknologi (juga sebagai hasil perkembangan
130
budaya) sekarang ini telah menghadirkan alat-alat
pertukaran informasi yang sangat beragam dan canggih.
Handphone, jaringan internet, televisi, radio, berbagai
media cetak, selain sebagai media informasi, ternyata juga
membawa serta nilai-nilai dari budaya tertentu, yang secara
geografis terbentang jarak yang sangat jauh. Orang
indonesia bisa tahu, telah terjadi inflasi yang luar biasa di
daratan afrika, juga melalui medium tersebut.
Lalu lintas informasi dan pertukaran nilai terjadi
sedemikian cepat dan (lagi-lagi) kompleks. Informasi
”saling-silang” antar manusia dalam setiap belahan dunia,
dengan percepatan yang berbeda. Sebagai contoh, informasi
yang didapat oleh seseorang gemar mengakses internet,
akan berbeda dengan orang lain yang jarang bersentuhan
dengan jaringan internet. Terjadi kesenjangan informasi
yang didapat, antara manusia satu dengan lainnya.
Heterogenisitas menjadi sangat tinggi, bahkan manusia tak
bisa lagi mengerti ”apa, bagaimana, dan dari mana” hal-hal
yang mempengaruhi dirinya.
Jika dikembalikan pada konsep budaya sebagai hasil
interaksi antar manusia, agaknya usaha untuk
menyebutkan ”budaya murni” menjadi hal yang sulit, kalau
tidak mustahil. Budaya sebagai hasil interaksi manusia
tidak bisa dilepaskan dari manusia itu sendiri yang
kewalahan menghadapi perubahan. Dengan apa yang
terjadi sekarang ini, konstruk gagasan yang terbentuk juga
menjadi semakin ”carut-marut”, sebagai akibat lalulintas
informasi yang sedemikian cepat dan ”timpang”.
Selanjutnya, dengan sisi sejarah yang selalu tidak
utuh, peng-aku-an sebuah budaya yang tidak berdasarkan
pertimbangan logis, kesenjangan informasi yang tinggi,
saya rasa budaya ”resmi” Jawa Tengah perlu ditinjau
kembali.

131
Solo vs Sragen
Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok

Tentu saja, potret tak bisa menghadirkan tafsir, dari


selain momen yang terjepret. Seperti halnya kata yang tak
bisa menghadirkan dialektika dan realita. Namun apa, yang
tersisa selain potret, juga kata?
Adalah sepetak ruang berbatas geografis, yang
memiliki anasir sejarah, sehingga beberapa manusia bisa
berteriak lantang : “Kami orang Sragen!”. Atau kemudian
beberapa mahasiswa kreatif me-mlesetkannya dengan
sebutan “Sragen-tina”, yang langsung mengingatkan
pecinta sepak bola kepada Lionel Messi.
Memang, kemudian kota yang berbatas langsung
dengan Jawa Timur itu, dinamai Sragen. Pemda setempat,
melalui Perda Nomor : 4 Tahun 1987, menetapkan hari
Selasa Pon, tanggal 27 Mei 1746, sebagai hari jadi kota. Dari
hasil penelitian serta kajian pada fakta sejarah, tanggal dan
waktu tersebut (dianggap) adalah ketika Pangeran
Mangkubumi -yang kelak menjadi Sri Sultan Hamengku
Buwono (ke-) I- menancapkan tonggak pertama melakukan
perlawanan terhadap Belanda, demi maujudnya sebuah
bangsa yang berdaulat dengan membentuk suatu
Pemerintahan lokal di Desa Pandak, Karangnongko masuk
tlatah Sukowati sebelah timur.
Waktu itu mungkin Sragen belum mengenal akses
internet, apalagi hotspot. Tetapi, lebih kurang 3 abad
terlalui kemudian, Sragen telah terbiasa menggunakan
istilah “one stop service”. Ketika kemudian Sragen harus
berkelindan dengan dinamika Demografi, yang selalu
identik dengan peningkatan jumlah, tetapi dalam satuan
waktu yang tak bisa mulur-mungkret. Maka dari itu,
132
kecepatan dan percepatan adalah sesuatu yang kemudian
didepankan.
Ya, memasuki gedung layanan publik Pemkab
Sragen, mengesankan suasana kantor Bank. Sragen
menyediakan layanan singkat waktu, juga singkat jarak,
seperti pil APC-nya Andrea Hirata, yang oleh warga
Belitong, dipercaya bisa menyembuhkan segala penyakit.
Sragen membasiskan dirinya dengan IT [Informatical
Technology}, yang masih mempesonakan, melalui
kecepatan dan percepatan yang disediakannya. Sragen,
dalam hal ini, mengedepankan rasionalitas tujuan, yang
ditolak oleh Jurgen Habermas.
Sementara itu, tak begitu jauh dari Sragen,
terbentang batas geografis lain, yang ternamai Solo
[Surakarta]. Kota yang mem-brand-kan dirinya “The Spirit
of Java”, merupakan kota dengan sejarah yang masih
mengakar sebagai modal budaya, dan masih tersisa sampai
kurun waktu sekarang ini. Sejarah solo, adalah cerita
tentang kerajaan, yang katanya feodalistik. Dan tanggal 16
Juni, merupakan hari jadi Pemerintah Kota Surakarta.
Menurut cerita, pada 16 Juni 1946 terbentuk Pemerintah
Daerah Kota Surakarta, yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri, sekaligus menghapus
kekuasaan Kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran.
Meskipun demikikan, ritual-ritual warisan keraton,
yang melibatkan begitu banyak manusia, masih diikuti
dengan antusias dan belum dianggap profan [terlihat disini,
bahwa legitimasi kekuasaan tak bisa menyentuh keimanan.
Karena keimanan tak bisa dilepaskan dari subjeknya,
manusia. Dan tak ada manusia tanpa archetype, tanpa
keterlanjuran sejarah dan budaya].
Beberapa waktu yang lalu, Solo menggelar
pemindahan sekitar 989 Pedagang Kaki Lima [PKL]
Monjari ke pasar Klithikan Notoharjo Semanggi.
133
Pemindahan PKL dari tempat lama ke tempat baru itu,
diarak dengan kirab prajurit keraton, diiringi kereta
keraton ditonton oleh–kurang lebih-400.000 pasang mata.
Dengan membawa tumpeng masing-masing, banyak bibir
PKL menyunggingkan senyum. Arak-arakan itu,
mengidentikkan dirinya dengan Sekatenan. Mungkin Solo,
melalui Joko Widodo, begitu menghargai ketertanaman
warisan nilai-nilai yang masih menyisakan bianglala
keimanan.
Pun Solo, dalam hal ini mengedepankan rasionalitas
komunikasi a la Jurgen Habermas. Karena sebelum
Sekatenan dadakan itu digelar, telah 54 kali Joko Widodo
mengajak para PKL makan bersama di kediaman dinasnya.
Meskipun, tidak ada jaminan apa-apa, bahwa Joko Widodo,
setidaknya, pernah membaca pemaparan tentang
Habermas, oleh Fransisco Budi Hardiman.
Sebagaimana Martin Heidegger mengatakan bahwa
manusia sudah selalu terlempar ke dunia, sehingga
manusia tak bisa menghindari keterkutukannya sebagai
subyek yang tak dapat melepaskan diri dari dunia, bahwa
manusia adalah enggaged agency, pelaku yang telah selalu
terlibat dalam dunia tertentu. Terkait dengan tesis
Heidegger tersebut, maka manusia tak bisa menghindar
dari kebutuhan-kebutuhan, baik yang bersifat alamiah
maupun yang “terpaksa”. Dalam ilustrasi kecil, sesaat
setelah terlahir, manusia harus segera disusukan kepada
ibunya, dan baru beberapa hari kemudian dimintakan akta
kelahiran.
Dalam potret Solo, terlihat bahwa regulasi yang
diajukan lebih kepada pem-fasilitasan pemenuhan
kebutuhan manusia sebagai makhluk hidup. Manusia
(sebagai makhluk hidup) yang membutuhkan pemenuhan
atas rasa laparnya, atas kebutuhannya akan nutrisi, gizi,
dan sebagainya, di manapun dia berada.
134
Sedangkan di Sragen, bertolak dari adanya
kebutuhan manusia sebagai konsekuensi atas
keterlemparannya di dunia. Manusia yang selalu terlahir
dalam konteks ruang dan waktu tertentu, dan secara
kebetulan, konteks tersebut mewajibkan beberapa
kebutuhan kepadanya. Manusia sebagai warga negara,
penduduk. Sragen sebagai pihak yang “memaksakan”
kebutuhan terhadap penduduknya, menyadari posisinya,
sehingga terkesan segan untuk menyita lebih banyak, yang
akan mengganggu upaya penduduk untuk memenuhi
kebutuhan yang lebih “dibutuhkan”.
Dengan demikian, apa yang terjadi di Solo bisa
dikatakan berbeda, dengan apa yang terjadi di Sragen.
Kedua regulasi tersebut berbeda, karena memang bertolak
dari masalah yang berbeda, meskipun di sisi lain berkaitan
dengan hal yang sama. Kedua regulasi tersebut berkaitan
dengan orang banya, tetapi dalam perannya yang berbeda.
Manusia yang satu, tetapi satu yang terdiri dari beberapa,
yang terikat oleh seutas tali ruang dan waktu.
Setidaknya menurut saya, belum ada kalimat yang
lebih tepat untuk menyebut kedua hal tersebut sebagai
hasrat untuk melipat kebutuhan, rentang jarak, ruang dan
waktu; melipat dunia, dan juga hasrat akan sebuah kondisi
keteraturan.
Di sinilah, yang semakin memantapkan saya, bahwa
menentukan sebuah policy, harus pertama kali
mempertanyakan “apa”, tanpa meringkasnya menjadi
sekedar “bagaimana”.

135
Hegemoni British English dan American English Di
Indonesia
Oleh : Muhammad Taufiqurrohman

Bahasa Inggris diakui oleh dunia sebagai bahasa


internasional. Hal ini menjadikan bahasa Inggris sebagai
alat komunikasi yang paling memungkinkan dalam relasi
internasional. Modernismelah yang memungkinkan hal ini
terjadi. Perkembangan teknologi telah mempermudah umat
manusia untuk saling berinteraksi satu sama lain. Interaksi
tersebut bisa terjadi antar berbagai latar belakang suku ,
negara, bahkan benua yang sangat berjauhan secara
geografis dan berbeda dalam penggunaan bahasa.
Konsekuensi modernisme tersebut juga membuat
bahasa Inggris menjadi bahasa yang paling populer di
dunia. Hal ini dikarenakan bahasa inilah yang paling
banyak digunakan oleh penduduk bumi. Sejarah Inggris
sebagai negara penjajah terbesar di dunia menjadi faktor
dominan perkembangan tersebut. Di negara-negara bekas
jajahan Inggris kita bisa melihat penggunaan bahasa
Inggris sebagai second language setelah bahasa resmi
mereka seperti bisa kita lihat di India, Malaysia, dan
Singapura (Singlish).
Lain halnya Indonesia yang tidak pernah mengalami
penjajahan Inggris. Hal inilah mungkin yang menjadi faktor
utama mengapa bahasa Inggris tidak bisa menjadi second
language seperti di ketiga negara tetangga kita tersebut.
Faktor historis ini juga mungkin yang menjadi faktor
mengapa perkembangan penggunaan bahasa Inggris di
Indonesia berbeda dengan di ketiga negara tersebut.
Bahasa Inggris sebagai bahasa dunia dengan
demikian telah menjadikannya sebagai milik warga dunia.
Dengan kata lain, bahasa Inggris tidak hanya monopoli
136
Inggris atau Amerika saja. Implikasi jauh dari
perkembangan ini adalah tidak ada otoritas (juga termasuk
Inggris dan Amerika) yang paling berhak mengatakan
bahwa bahasa Inggris di negara X bukanlah bahasa Inggris
karena berbeda dengan bahasa Inggris versi Inggris atau
Inggris versi Amerika. Dengan demikian, perkembangan
bahasa Inggris yang menemukan berbagai macam
bentuknya hasil dari perkawinan dengan masyarakat dunia
yang beragam tidaklah bisa dielakkan lagi.
Model perkembangan bahasa Inggris di India,
Malaysia dan Singapura sangatlah menarik untuk dijadikan
model perkembangan tersebut. Dalam perspektif kajian
subaltern, perkembangan bahasa Inggris di ketiga negara
tersebut telah berhasil menemukan bentuk baru bahasa
Inggris yang telah berubah dari bentuk pakem (resmi)
bahasa Inggris yang dibawa oleh bekas penjajah (colonizer)
mereka (Inggris). Meskipun tidak berubah seratus persen,
perubahan tersebut mengindikasikan penciptaan yang baru
dalam arti mengadakan suatu bentuk yang sebelumnya
belum pernah ada. Bentuk baru tersebut sangat identik
dengan masing-masing kekhasan dari kekayaan lokalitas
masyarakat mereka. Bentuk-bentuk baru tersebut belumlah
pernah ada dalam tradisi bahasa apapun. Di India
misalnya, bahasa Inggris telah menjadi sangat India dengan
pemertahanan terhadap dialek India yang sangat kental.
Hal yang serupa juga terjadi di Singapura dan Malaysia
meski dengan bentuk yang berbeda.
Pertanyaan yang jarang sekali diajukan adalah
mengapa di Indonesia bahasa Inggris tidak (atau mungkin
belum) menemukan bentuk barunya. Mengapa Inggris versi
Inggris (British English) dan versi Amerika (American
English) masih dapat bertahan dengan sangat baik bahkan
telah menjadi semacam ukuran berbahasa Inggris yang
paling baik (“standard English”) di Indonesia? Padahal kita
137
tahu kekhasan berbahasa dalam ranah fonologi (intonasi,
aksen, dialek, dll) masyarakat Indonesia sangat berbeda
dengan masyarakat Inggris dan Amerika. Apalagi jika kita
melihat beragamnya kekhasan berbahasa masyarakat
Indonesia dari Sabang sampai Merauke dalam ranah
fonologi tersebut. Perbedaan dialek orang Padang sangat
berbeda dengan orang Batak, misalnya. Bahkan dalam satu
suku bisa terjadi perbedaan dialek yang sangat tajam. Pada
suku jawa misalnya, dialek orang Jawa Tegal akan sangat
berbeda dengan dialek orang Jawa Jepara apalagi Jawa
Solo. Demikianlah di negara yang sangat kaya akan
keberagaman kekhasan berbahasa inilah mengapa bahasa
Inggris tidak menemukan bentuk barunya?
Hal yang tidak kalah penting dari alasan penemuan
bentuk baru bahasa Inggris versi Indoneisa tersebut adalah
kenyataan bahwa terdapat korelasi positif antara
pemakaian bahasa Iggris masyarakat dengan produksi
bacaan dan pengetahuan masyarakat. Contoh yang menarik
kita bisa lihat dari produksi film-film India yang mampu
menembus pasar internasional karena kemampuan bahasa
Inggris pemain film India yang sangat baik. Hal serupa juga
bisa kita lihat di Singapura dan Malaysia. Salah satu faktor
kemajuan Singapura dan Malaysia disinyalir adalah
penggunaan bahasa Inggris sebagai second language.
Faktor historis Indonesia yang tidak pernah dijajah
Inggris mungkin bisa menjadi alasan mengapa hal ini bisa
terjadi. Tetapi, apakah dengan demikian kemungkinan
penemuan bentuk baru (hybrid) dari perkawinan bahasa
Inggris asli dengan konteks lokalitas masyarakat Indonesia
tidak bisa terjadi? Jika India, Malaysia dan Singapura bisa
mengapa kita tidak? Untuk memulai usaha pembongkaran
ini bolehlah kita curiga dengan memulai memeriksa apakah
benar British English dan American English telah
melakukan apa yang disebut Gramsci sebagai hegemoni
138
atas cara berbahasa Inggris di Indonesia? Jika memang
benar ada, bagaimanakah mekanisme hegemoni ini bekerja
dalam masyarakat kita?

Teori Hegemoni Gramsci


Teori hegemoni pertama kali disampaikan oleh
Antonio Gramsci. Pria yang lahir di Sardinia, Italia, pada 22
Januari 1881 ini menyelasikan studinya di Universitas
Turin di Fakultas Sastra. Penulis Letters From Prison ini
adalah seorang Marxian sejati. Oleh karenanya, sebelum
membicarakan Gramsci kita tidak bisa melewatkan
pembicaraan mengenai pandangan-pandangan Karl Marx.
Dengan memasuki pandangan Marx kita akan lebih mudah
memahami pandangan Gramsci, khususnya mengenai teori
hegemoni.
Marx tersohor dengan teori determinisme ekonomi-
nya. Teori ini menyatakan bahwa segala hal yang
melingkupi proses sosial tidak bisa terlepas dari ekonomi
sebagai determinan utamanya. Dengan ini Marx
menyatakan bahwa kapital sebagai struktur ekonomi adalah
faktor utama perubahan-perubahan dan cara pandang
masyarakat terhadap sesuatu.
Marx membagi struktur masyarakat menjadi dua,
yakni base-structure dan superstructure. Base-structure
adalah hal-hal yang kasat mata yang bersifat materiil yang
bisa kita panca indrai, seperti uang, modal dan produksi
yang melingkupinya. Kapital di bawah struktur ekonomi
merupakan salah satu wujud base-structure yang paling
nyata. Sedangkan superstructure adalah hal-hal yang
bersifat abstrak seperti nilai-nilai, pandangan hidup,
kepercayaan dan ideologi. Tesis utama Marx atas
pembedaan ini adalah bahwa base-structure membentuk
superstructure. Oleh karenanya, Marx menganggap
ekonomi-tempat perkembangan kapital- sebagai faktor
139
utama yang membentuk politik dan kebudayaan sebagai
tempat bersemainya nilai-nilai, pandangan hidup dan
ideologi. Kapital menentukan nilai-nilai dan ideologi.
Konsekuensi pandangan Marx ini adalah bahwa
kapitalisme yang dikuasai oleh kaum borjuasi akan
berusaha terus melanggengkan kekuasaannya. Satu-satunya
cara pertahanan mereka adalah eksploitasi kaum buruh
(proletariat) yang semakin kuat. Dari titik inilah Marx
percaya bahwa eksploitasi yang semakin hari semakin keras
akan melahirkan perlawanan atau revolusi proletariat
dalam bahasa Marx. Jadi, pandangan Marx adalah bahwa
revolusi proletariat ini akan terjadi dengan sendirinya
seperti hukum alam lainnya. Oleh karena itu, tidak
diperlukan usaha apapun untuk mewujudkan revolusi
proletariat. Sebab, menurut Marx perlawanan oleh kaum
proletariat dengan wujud perjuangan kelas pastilah terjadi
dengan sendirinya. Hal ini seperti yang diungkapkannya
dalam Manifesto Komunis-nya yang terkenal: “The history
of all hitherto existing society is the history of class
struggles.”- (The Communist Manifesto, Chapter 1)
Benarkah ramalan Marx dengan teorinya ini? Hal
inilah yang menjadi pertanyaan mendasar Gramsci atas
teori Marx. Konteks pemikiran Gramsci lahir saat
menyaksikan revolusi proletariat yang tak kunjung tiba di
masyarakat Eropa yang semakin kapitalis. Mestinya jika
mengikuti alur pandangan Marx semakin kapitalis
masyarakat semakin kuatlah gerak menuju revolusi
proletariat. Tetapi kenyataan yang dilihat Gramsci adalah
kaum proletariat justru semakin terintegrasi dengan kelas
yang memeras mereka yaitu kaum kapitalis borjuis.
Gramsci memandang kekuatan kaum proletariat semakin
hari justru semakin melemah dan patuh kepada kaum
borjuis walaupun kaum borjuis tidak menggunakan cara-
cara kekerasan (coersive) dalam memeras tenaga mereka.
140
Kepatuhan tanpa kekerasan kaum proletariat kepada kaum
borjuis yang luput dari ramalan Marx inilah yang oleh
Gramsci dinamakan sebagai hegemoni. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh During (2005:21) bahwa:
For Gramsci, hegemony helped to explain why class
conflict was not endemic despite the fact that power
and capital were so unevenly distributed and the
working class (in Italy, particularly the southern
peasantry) led such confined lives. Gramsci argued
that the poor partly consented to their oppression
because they shared certain cultural dispositions
with the rich.
Hegemoni adalah konsep terpenting Gramsci.
Berbicara tentang hegemoni berarti berbicara tentang
kekuasaan dan pengaruh, pihak yang menguasai
(dominant) dan pihak yang dikuasai (subordinate). Hal ini
seperti yang disampaikan oleh Strinati: “…Dominant
groups in society, including fundamentally but not
exclusively the ruling class, maintain their dominance by
securing the ’spontaneous consent’ of subordinate groups,
including the working class, through the negotiated
construction of a political and ideological consensus which
incorporates both dominant and dominated groups.”
(Strinati, 1995: 165)
Pada mulanya ketika kita berbicara tentang
kekuasaan akan diidentikkan dengan ranah kekuasaan
militer, negara dan kerajaan. Era globalisasi yang
melahirkan kapitalisme telah menggeser pengertian
tersebut. Kapitalisme, dalam hal ini para kapitalis dan
sistem itu sendiri, telah menjadi sebuah institusi kekuasaan
tersendiri. Perkembangan selanjutnya adalah ketika
kekuasaan telah beroperasi dalam ranah kebudayaan yang
biasa disebut sebagai imperialisme budaya. Institusi-
institusi kebudayaan semacam gereja, ulama, dan pakar-
141
pakar bidang keilmuan tertentu adalah contoh kekuasaan
dalam ranah budaya di sekitar kita. Roger Simon menyebut
hegemoni sebagai: “…the practices of a capitalist class or
its representatives to gain state power and maintain it
later.” (Simon, 1982: 23)
Lalu bagaimanakah kekuasaan dan pengaruh
diperoleh? Ada dua cara memperoleh kekuasaan, yaitu
melalui kekerasan (coercive) dan melalui kesepakatan
(consent). Cara yang pertama adalah cara klasik merebut
kekuasaan yang sering dipakai dalam ranah militer, negara
dan kerajaan pada zaman dulu. Sedangkan cara yang kedua
lebih banyak dipakai dalam ranah ekonomi dan budaya.
Meskipun perkembangan terkini tidak bisa disederhanakan
mempunyai alur yang selalu demikian. Negara-negara
modern saat ini juga menggunakan cara-cara kesepakatan
sebagai senjata mereka dalam merebut kekuasaan dan
pengaruh negara lain, misalnya Amerika. Sedangkan
institusi-institusi budaya terkadang justru menggunakan
cara-cara kekerasan dalam memperebutkan pengaruhnya.
Hal ini bisa kita lihat dari berbagai macam gerakan
separatis yang mengarah pada tindakan terorisme yang
terjadi beberapa dasawarsa ini.
Inti konsep hegemoni Gramsci adalah penekanannya
terhadap consent dari pada coercive. Gramsci
mengidentifikasi hegemoni dengan kekuasaan yang
dijalankan tanpa paksaan dan menekankan kesepakatan
terhadap kehidupan intelektual masyarakat melalui sarana-
sarana kebudayaan seperti yang disampaikan Strinati: “It
can be argued that Gramsci’s theory suggests that
subordinated groups accept the ideas, values and
leadership of the dominant group not because they are
physically or mentally induced to do so, nor because they
are ideologically indoctrinated, but because they have
reason of their own.” (Strinati, 1995: 166)
142
Mekanisme hegemoni bekerja dengan cara
membujuk kelas-kelas sosial lain untuk menerima nilai-
nilai budaya, politik, dan moral dari kelas itu. Oleh karena
itu, definisi hegemoni lebih dekat sebagai upaya mencapai
kekuasaan, apakah politik, ekonomi atau budaya, melalui
konsensus antar kelas daripada melalui kekerasan. Bahkan
dalam suatu hegemoni yang berhasil, kekuatan koersif
sudah tidak dibutuhkan lagi oleh kelas berkuasa.
Konsekuensi logis dari konsep hegemoni Gramsci ini
adalah penekanannya pada peran kebudayaan dalam
revolusi sosialis, suatu faktor yang terabaikan dalam
analisis Marxisme ortodoks yang terlalu dibutakan oleh
kerangka “base-superstructur”. Kerangka ini menyimpan
kekonyolan pengertian ekonomistik, dimana perubahan
dalam basis struktur ekonomi menentukan perubahan
dalam level suprastruktur politik, ideologi dan kebudayaan.
Revolusi sosialis dianggap tergantung seratus persen dari
perkembangan perekonomian kapitalistik.
Gramsci melihat kekuatan kaum borjuasi di negara-
negara barat sudah mencakup seluruh bidang kehidupan
masyarakat: ekonomi, politik, budaya, dan lain-lain.
Kesatuan kekuatan borjuasi dalam masyarakat ini oleh
Gramsci disebut sebagai “blok historis (historical bloc)”,
yaitu semacam konstalasi utuh di mana semua dimensi
kehidupan kelas-kelas sosial dalam masyarakat telah
menyatu dan saling mendukung di bawah hegemoni sebuah
kelas, yaitu kelas borjuasi. Inilah alasan yang dilihat
Gramsci mengapa revolusi sosialis tidak jua terjadi. Kelas
borjuasi telah berhasil menghegemoni kelas-kelas lain
dalam masyarakat. Sehingga masyarakat (khususnya kelas
proletariat) menganggap situasi kekuasaan hegemoni kelas
borjuis tersebut sebagai sesuatu yang memang demikian
adanya. Oleh karena itu, rekomendasi Gramsci adalah

143
konsep ’blok historis’ inilah yang harus digunakan sebagai
strategi perebutan dan pertahanan hegemoni.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimanakah cara
mewujudkan konsensus (consent) dalam wujud ’blok
historis’ ini? Ada dua cara yang ditawarkan oleh Gramsci
yaitu, melalui “war of position” (perang posisi) dan “war of
movement”(perang pergerakan). Perang posisi dilakukan
dengan merebut posisi-posisi kepemimpinan intelektual,
moral, buadaya, agama dan ideologi. Perang ini dilakukan
dengan cara menguasai semua institusi-institusi yang
berperan dalam membentuk kekuasaan budaya. Sekolah-
sekolah, kampus, institusi agama, rumah sakit, lembaga-
lembaga kebudayaan dan institusi-institusi sosial lainnya
harus dikuasai. Sebab, di ruang-ruang inilah kebudayaan
(nilai-nilai, pandangan hidup dan ideologi) terbentuk. Oleh
karenanya karakteristik perang posisi adalah jangka waktu
lama yang membutuhkan kesabaran, kesetiaannya terhadap
perjuangan dalam sistem, dan selalu diarahkan pada
dominasi budaya (imperialisme kultural). Sedangkan
perang pergerakan lebih mengarah pada perang secara
frontal (langsung) dengan melakukan aksi-aksi pengerahan
seperti demonstrasi. Biasanya perang pergerakan dilakukan
setelah perang posisi berlangsung sesuai rencana. Setelah
merasa siap dengan posisi-posisi yang sudah direbut
melalui perang posisi barulah perang pergerakan dilakukun
walaupun tidak selalu demikian dalam praktiknya.

Dialek Dan Etnisitas


Dalam Language and Etnicity, Fought memberikan
penekanan bahwa terjadinya perkawinan dua dialek dari
dua etnis yang berbeda sangatlah sah. Bahkan terkadang
memang tidak bisa dihindarkan. Semakin banyak
pertemuan antar dialek dari berbagai macam etnis justru

144
semakin memperkaya konvergensi dialek yang terbentuk.
Fought (2006:133) menyatakan:
One issue that has frequently been raised in
research on dialect contact is the question of
convergence or divergence. That is, are the varieties
in an area influencing each other in such a way that
they become more alike, are they influencing each
other in such a way that they become more
different, or do they develop and change as two (or
more) completely independent entities?
Banyak sekali penelitian yang sudah dilakukan
terhadap konvergensi atau divergensi dialek ini. Salah
satunya dalah penelitian tentang isu American Speech oleh
Fasold (1987) dan Baily dan Mayor (1989). Pertanyaan yang
diajukan adalah apakah ada konvergensi dialek antara
waraga European America dengan African America. Hasil
dari penelitian tersebut menunjukkan terjadi adanya
kontak dialek yang memunculkan konvergensi yang sangat
beragam antar dua dialek tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa pertemuan antar dialek
hingga akhirnya menemukan bentuk-bentuk baru dialek
sangatlah mungkin terjadi. Dari penelitian ini kita juga bisa
bertanya, jika di Amerika sendiri sudah terjadi berbagai
macam dialek (tidak hanya “standard American”) mengapa
justru di Indonesia kita mempertahankan American
English sebagai salah satu “standard English”. Hal yang
sama juga terjadi dalam British English dengan adanya
dialek Scotish, Irish, dll.

Hegemoni British English Dan American English


Demikianlah sekilas tentang teori hegemoni
Gramsci, mulai dari inspirasi, konteks yang
melatabelakangi kelahirannya, perkembangan yang
menyertainya dan juga konsep dialek yang meneguhkan
145
bahwa pembentukan sebuah entitas dialek baru sangatlah
wajar bahkan sesuatu yang mestinya tak dapat dihindarkan.
Dalam konteks perkembangannya sekarang yang
sudah memasuki ranah budaya (yang sering disebut sebagai
"imperialisme budaya"), konsep hegemoni seringkali
digunakan sebagai pisau analisis. Ranah kebudayaan yang
sangat luas justru semakin memperlihatkan urgensi konsep
hegemoni Gramsci, terlebih jika dikaitkan dengan
globalisasi. Salah satu aspek budaya yang sangat terkait
dengan globalisasi seperti yang diuraikan di pengantar di
atas adalah bahasa. Dalam konteks globalisasi inilah,
bahasa Inggris sebagai bahasa internasional mau tidak mau
tidak bisa melepaskan dirinya dari relasi kuasa dan
hegemoni yang berada di dalamnya.
Namun, tulisan ini tidak ingin mempersoalkan
terlalu jauh tentang hegemoni bahasa Inggris di dunia
internasional (dan khusunya di Indonesia) karena
relavansinya sudah tidak dianggap begitu penting lagi. Hal
ini dikarenakan konsekuensi logis penerimaan bahasa
Inggris sebagai bahasa internasional telah menemukan
perkembangan yang tak terduga sebelumnya. Mengikuti
teori subaltern, lahirnya bahasa Inggris versi India, versi
Malaysia, versi Singapura dan versi-versi yang lainnya telah
meruntuhkan hegemoni bahasa Inggris versi Inggris dan
versi Amerika di dunia. Artinya, sebagai bahasa milik dunia
semua versi bahasa Inggris di seluruh dunia dianggap sama,
sederajat dan sah untuk digunakan sebagai alat
komunikasi. Terlebih jika kita memang benar bahwa
terdapat korelasi positif antara penguasaan bahasa Inggris
dengan produksi bacaan dan pengetahuan suatu
masyarakat, juga tingkat daya saing dalam pergaulan
internasional.
Bertolak dari pandangan tersebut, tulisan ini ingin
memfokuskan pada hegemoni British English dan
146
American English di Indonesia. Bagaimanakah pisau
analisis hegemoni membedah kerja kekuasaan British
English dan American English di Indonesia
Sebagaimana kita ketahui bahasa mempunyai
berbagai macam struktur; grammar, lexical, fonologi,
morfologi, dialek, aksen, intonasi, dsb. Kajian dalam tulisan
ini tidak akan membahas bidang grammar dan lexical
dalam British English dan American English. Kajian akan
difokuskan pada fonologi, khususnya dalam dialek yang
meliputi aksen dan intonasi. Hal ini dikarenakan dalam
wilayah grammar dan lexical tidak terdapat banyak
perbedaan dalam berbagai macam varian bahasa Inggris di
dunia. Lain halnya dalam ranah fonologi, bentuk bahasa
Inggris versi India, Malaysia dan Singapura bisa menjadi
contoh betapa perbedaan dalam ranah fonologi bahasa
Inggris--ketika berhadapan dengan kekayaan kekhasan
lokalitas masing-masing masyarakat atau etnis-- bisa
menjadi demikian beragam. Jadi, fokus kajian tulisan ini
adalah membedah hegemoni British English dan American
English dalam wilayah fonologinya di Indonesia.
Menurut teori hegemoni Gramsi, kekuasaan adalah
sesuatu yang dapat memproduksi kepatuhan atau pengaruh
dalam wujud konsensus (consent) bersama. Oleh
karenanya, sifat kekuasaan bukanlah semata-mata sesuatu
yang harus dimiliki di tangan tetapi sifatnya dapat
diketahui dari bentuk-bentuk kepatuhan atau kesepakatan
pihak-pihak yang terkena efek kekuasaan tersebut.
Kekuasaan dalam pengertian ini adalah sesuatu yang netral
yang dapat diperebutkan oleh pihak-pihak yang
menginginkannya.
Dalam konteks pembicaraan kita, sesuatu yang
diperebutkan tersebut bernama cara atau versi bahasa
Inggris. Sedangkan pihak-pihak yang memperebutkan
adalah British English, American English dan (semestinya)
147
Indonesian English (bahasa Inggris versi Indonesia).
Bahkan mungkin juga peserta yang turut berkompetisi
adalah bahasa Inggris versi Jawa, versi Padang, versi Batak,
bersi Sunda atau bahkan mungkin versi Irian. Hal ini
dikarenakan oleh aksentuasi berbahasa dalam ranah
fonologi yang sangat beragam di masyarakat kita.
Keragaman aksentuasi inilah yang berpengaruh dalam
pembentukan versi berbahasa Inggris di masing-masing
wilayah.
Mengikuti perspektif hegemoni Gramsci, British
English dan American English mestinya adalah peserta
biasa yang harus berkompetisi untuk memeperebutkan
kekuasaan yang bernama versi bahasa Iggris tersebut. Jadi,
British English dan American English mestinya tidak
secara otomatis menjadi pemenang atau pemegang
kekuasaan tersebut. Satu-satunya yang bisa menyebabkan
perolehan kekuasaan tanpa kompetisi adalah tidak adanya
lawan yang mestinya adalah bentuk baru bahasa Inggris
versi Indonesia. Pentingnya konsep hegemoni adalah
membongkar keadaan tanpa persaingan yang menjadikan
British English dan American English dengan mudah
menghegemoni cara berbahasa Inggris di Indonesia.
Penggunaan versi berbahasa Inggris bukanlah sesuatu yang
memang begitu adanya (taken for granted) melainkan
sesuatu yang terkonstruksi oleh struktur-struktur hegemoni
tersebut.
Kekuasaan dalam perspektif hegemoni selalu
mempunyai dua unsur, yaitu dominan (penguasa) dan
subordinat/subaltern (pihak yang dikuasai). Kekuasaan
dalam wujud cara berbahasa Inggris di Indonesia dengan
demikian dipegang oleh British English dan American
English sebagai dominan dan Indonesian English (kita
andaikan dia ada) sebagai subordionat. Mungkin bisa
dimasukkan dalam versi Indonesia adalah cara berbahasa
148
Inggris dengan dialek jawa yang masih sangat kental. Kita
bisa melihatnya pada bahasa Inggris beberapa tokoh
nasional kita, seperti Gus Dur dan Amin Rais. Cara
berbahasa Inggris kedua tokoh ini oleh pemegang
“standard English” di Indonesia dianggap sebagai tidak
layak (subordinate). Meskipun tanpa adanya subordinat
pun posisi British English dan American English sebagai
dominan tetap sah bahkan justru semakin legitimate.
Kesadaran akan konstruksi tersebutlah yang menjadi
obsesi terbesar teori hegemoni. Bahwa penggunaan bahasa
Inggris versi Inggris dan versi Amerika bukanlah sesuatu
yang memang seharusnya diterima tetapi masih bisa
dipertanyakan bahkan bisa dilawan dengan bahasa Inggris
versi baru, yakni versi Indonesia.
Dalam pengertian ini, fonologi British English dan
American English telah memegang kekuasaan karena dia
dipatuhi dan disepakati oleh pihak-pihak yang terkena
efeknya. Dalam pembahasan kita, pihak yang terkena efek
kekuasaan hegemoni British English dan American English
tersebut adalah masyarakat pengguna bahasa Inggris di
Indonesia.
Bagaimanakah mekanisme hegemoni British English
dan American English bekerja di Indonesia? Hegemoni
British English dan American English dipertahankan
setidaknya melalui beberapa institusi. Pertama dan yang
paling utama adalah sekolah dan perguruan tinggi. Acuan
yang dipakai oleh kurikulum bahasa Inggris adalah British
English dan American English. Hal ini bisa kita lihat dari
pakar-pakar pembuat kurikulum yang hampir semuanya
adalah lulusan Amerika atau Inggris. Juga, secara otomatis
melalui kewajiban memakai kamus versi British English
dan American English yang masih sangat resmi semacam
Oxford Dictionary. Kedua, kelas menengah dan atas
masyarakat Indonesia. Yang termasuk kelas ini adalah
149
mereka yang seringkali berkunjung ke luar negeri. Terakhir
adalah melalui media, khususnya media elektronik. Hal ini
bisa kita lihat dari British English atau American English
yang wajib digunakan oleh para pembawa berita atau
presenter musik seperti VJ di beberapa media elektronik
Indonesia. Beberapa institusi inilah, yang disadari atau
tidak, telah mengukuhkan hegemoni British English dan
American English.
Pemertahanan hegemoni “standard English”
semacam ini juga terjadi di beberapa negara Amerika Latin
yang menggunakan bahasa Inggris. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh Fought (2006:74), bahkan dia
menyangsikan konsep “standard” tersebut:
“Standard English”. I put the word “standard” in
quotes because the concept itself is so difficult to
define; entire books are available on this topic (e.g.,
Bex and Watts 1999). However, it is definitely the
case that, for example, middle-class Latinos in the
communities that have been studied often use a
variety that contains few or no vernacular
grammatical structures. Also, there is pressure to
use a standard variety in the school setting, and at
least some children will use a different variety there
than they do at home.
Demikianlah fakta akan hegemoni British English
dan American English di Indonesia sudah kita ungkap
beserta bagaimanakah hegemoni tersebut dipertahankan.
Di sisi lain, kita tahu bahwa kemampuan berbahasa Inggris
juga berhubungan dengan tingkat produksi bacaan dan
pengetahuan sebuah masyarakat. Oleh karena itu, mestinya
hegemoni British English dan American English di
Indonesia harus segera diimbangi (untuk tidak
menyebutnya ditumbangkan) dengan penemuan bahasa
Inggris versi Indonesia. Apakah mungkin terbentuk bahasa
150
Inggris versi Indonesia tersebut? Jawabannya ada di tangan
intelektual Indonesia.
Penulis sadar akan keterbatasan tulisan ini. Banyak
sekali bahan yang belum digali, terutama yang paling
penting adalah (1) sejarah perkembangan hegemoni British
English dan American English di Indonesia, (2) detail
penjelasan mengenai bentuk-bentuk dialek di negara-
negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai second
language, khususnya negara yang tidak pernah dijajah
Inggris tetapi menemukan versi bahasa Inggris baru sebagai
second language, dan (3) teori dan data tentang korelasi
positif antara penguasaan bahasa Inggris dan produksi
bacaan dan pengetahuan masyarakat. Hal ini dikarenakan
keterbatasan waktu dan bahan untuk sebuah tema yang
sangat besar dan luas ini. Penulis berharap dapat
mengembangkan penelitian ini secara lebih ketat di lain
kesempatan.

151
Melintas yang Sepintas ; Mahasiswa
Meneguhkan Gerakan Intelektual Mahasiswa
Oleh : Edi Subkhan

Semua manusia adalah intelektual, namun tidak semua


manusia menjalankan fungsi intelektualnya dalam
masyarakat.
Antonio Gramsci (1891-1937).

Mahasiswa baru memasuki dunia kampus dengan


motivasi dan orientasi awal yang berbeda, ada yang
menganggap kuliah sekadar prestise, ajang cari jodoh,
mengasah intelektual, dan –sebagian besar- sekadar
sebagai tempat mendapatkan ijazah agar mudah dapat
kerja. Salah satu orientasi mahasiswa adalah
intelektualisme yang biasanya baru disadari dan terbentuk
ketika mahasiswa bersangkutan berinteraksi dengan
segenap literatur ilmiah yang diramu dengan nalar kritis
dan dibenturkan pada realitas sosial masyarakat.
Namun sayang orientasi yang relatif strategis dalam
menjalankan posisi sebagai pioner perubahan di
masyarakat ini mulai redup, tergadaikan, dan ditinggalkan.
Aktivis mahasiswa banyak yang sekadar jago manajemen
organisasi tapi minim kapasitas intelektual, dan sebaliknya
banyak “intelektual” yang menahbiskan diri sebagai
“intelektual bebas” merasa lebih nyaman bertengger dalam
puncak-puncak intelektual yang tak membumi dan elitis.
Bukankah mestinya mahasiswa sebagai aktivis dalam
arti luas dapat membumi dan memancarkan sisi
intelektualitasnya untuk semua, tak hanya berguna untuk
komunitasnya saja. Aktivis yang bergerak pada ranah ini
sebenarnya lebih mendekati apa yang disebut Antonio
Gramsci (1891-1937) sebagai intelektual organik yang
152
mampu mempertautkan teori dan praksis sebagaimana
dituju oleh Mazhab Frakfurt agar lebih berguna bagi
kehidupan dan memecahkan problem sosial.
George A. Theodorson & Achilles G. Theodorson
(1979) mengatakan bahwa kaum intelektual adalah anggota
masyarakat yang mengabdikan dirinya pada pengembangan
ide-ide orisinal dan terikat dalam pencarian pemikiran-
pemikiran kreatif. Dengan demikian terdapat karakteristik
kaum intelektual, yaitu pada penggunaan intelek dan akal
pikiran, bukan untuk hal-hal yang bersifat praktis, tapi
lebih berorientasi pada pengembangan ide-ide (Azyumardi
Azra, 2003).
Hal itu memperkuat tesis bahwa kaum intelektual
pada dasarnya bersifat progresif revolusioner, meskipun
lebih diwujudkan dalam revolusi pemikiran bukan revolusi
fisik. Hal inilah yang menjadikan intelektual sebagai
berperilaku, bersikap, dan berkarakter kritis. Dan sebagai
kritikus, kaum intelektual menyatakan pikiran dan
kritiknya secara jelas dan bijak.
Sejatinya insan intelektual dengan beberapa
kualifikasi seperti di atas bukanlah monopoli pendidikan
formal, terutama perguruan tinggi. Bahkan banyak kaum
intelektual lahir dari luar benteng menara gading kampus.
Mereka mampu mengembangkan pemikiran sendiri hingga
mencapai kemampuan pemikiran dan perilaku intelektual.
Sebaliknya banyak jebolan perguruan tinggi yang
lebih tepat digolongkan sebagai intelegensia daripada
intelektual. Intelegensia menurut Gouldner (1979) adalah
mereka yang minat intelektualnya secara fundamental
bersifat teknis. Hal ini karena sebagai produk perguruan
tinggi mereka telah menerima pendidikan yang membuat
mereka mampu memegang pekerjaan sesuai dengan bidang
dan profesi ilmunya (Bottomore, 1964).

153
Donald Wilhelm (1979) menambahkan, bahwa
banyak tamatan perguruan tinggi mengalami kemandegan
atau kehilangan kapasitas intelektualnya ketika mereka
masuk ke dalam birokrasi dan rutinitas akademis di
perguruan tinggi atau di manapun mereka bekerja.
Perguruan tinggi yang diharapkan dapat berperan sebagai
avant garde, inovator dan pembaharu masyarakat
kemudian terjebak dalam mekanisme birokrasi dan
spesialisasi atau profesinya di mana mereka terus menerus
mengolah dan menghasilkan informasi serta pikiran dalam
bidang mereka masing-masing yang relatif sempit.
Hal itu tentu bertentangan dengan kenyataan bahwa
masalah yang dihadapi masyarakat sekarang tak dapat
dipecahkan dengan pendekatan sempit semacam itu;
pemecahan masalah sekarang membutuhkan pendekatan
menyeluruh, interdisipliner dan berwawasan luas.
Berkaitan dengan atmosfer intelektual akademik di
kampus kita sekarang, di mana kualitas mahasiswanya
tergolong biasa-biasa saja, baik-baik saja, padahal –
sebagaimana kata Tanadi Santoso (motivator marketing
terkemuka)- biasa dan baik saja sekarang tak cukup. Yang
dibutuhkan sekarang adalah sangat baik, atau buuuaik
sekali! (mengikuti kebiasaan orang Jawa ketika mengatakan
sesuatu dengan nada ‘sangat’, biasanya ditambah dengan
vokal “u”, misal dari kata baik menjadi buuaik, dari enak
menjadi uuuenak). Maka momen orientasi mahasiswa baru
sekarang layak kita dengungkan kembali, bahwa mahasiswa
mesti kembali pada khittah-nya di jalur intelektual dengan
meneguhkan gerakan intelektual mahasiswa.
Pertanyaan menggelitik yang layak diajukan adalah,
apakah kita termasuk intelektual atau sekadar intelegensia?
Kita mahasiswa biasa atau luar biasa? Atau dalam
perenungan yang lebih dalam lagi, “Selama hidup kita di
kampus ini, kita akan menghargai waktu yang diberikan
154
oleh Tuhan tersebut dengan karya apa?” Kita ingin menjadi
mahasiswa yang seperti apa? Dan semuanya kembali pada
diri kita sendiri untuk menjawab itu semua. Wallahu a’lam
bishsawab.

155
Post Power Syndrome Di Lembaga Kemahasiswaan
Oleh : Abdul Haris Fitrianto

Banyak keuntungan dan kemudahan ketika


seseorang mempunyai Power (kekuasaan) di lembaga
kemahasiswaan. Karena posisi strategis ini menunjukkan
eksistensi, menjanjikan status sosial, gengsi, pengaruh,
kolega, sampai fasilitas. Tidak mengherankan banyak
calon-baik perseorangan maupun dari kelompok tertentu-
berebut untuk meraih posisi strategis ini saat pemilihan
Ketua Lembaga Kemahasiswaan. Hal ini merupakan
perilaku yang lumrah manakala masing-masing calon
dipahami terikat dalam sistem dimana will to power
menjadi motivasi yang dominan.
Selama mempunyai posisi strategis dalam lembaga
kemahasiswaan mungkin memang menyenangkan, selain
dapat meningkatkan status sosial, menancapkan
pengaruhnya, juga dapat memberikan nilai kebanggaan
pada diri sendiri karena dapat berprestasi atau
menuangkan kreativitas.
Status sosial ini berpengaruh terhadap sikap dalam
menghadapi berakhirnya periode jabatan. Jika semasa kerja
ia mempunyai status sosial tinggi sebagai hasil dari prestasi
dan kerja keras (sehingga mendapatkan penghargaan dan
pengakuan dari civitas akademia atau organisasi), maka ia
cenderung memiliki kemampuan adaptasi yang lebih baik
(karena konsep diri yang positif dan hubungan sosial yang
baik). Namun jika status sosial itu didapat bukan murni
dari hasil jerih payah prestasi, misalnya lebih karena politis,
maka orang atau pergerakan ini justru cenderung
mengalami kesulitan saat menghadapi masa akhir periode
jabatan, karena begitu pensiun, maka kebanggaan akan
lenyap sejalan dengan hilangnya atribut dan fasilitas yang
melekat selama masih menjabat.
156
Kecemasan akan kehilangan atribut dan fasilitas ini
bisa berperan kuat menimbulkan gangguan psikis. Bila
subyek memiliki pengaruh cukup besar ketika menjabat,
berbagai gangguan psikis yang semestinya tidak perlu akan
muncul begitu jabatan itu harus dilepaskan. Hal ini
berdampak negatif terhadap dirinya, mereka mendadak
bisa menjadi sangat sensitif dan merasa eksistensi yang
telah dibangun akan punah hanya karena masa kejayaannya
telah berlalu. Periode ini disebut sebagai Post Power
Syndrome. Umumnya, post power syndrome adalah gejala
yang muncul dimana penderita hidup dalam bayang-bayang
kebesaran masa lalunya (karir, jabatan, status sosial,
kecantikan, ketampanan, kecerdasan, atau hal yang lain),
dan seakan-akan tidak bisa menerima realita
dihadapannya.
Pada mulanya Post Power Syndrome adalah issue
pada mereka yang akan-atau telah melewati masa produktif
. Tetapi dewasa ini, post power syndrome mengalami
perluasan kajian. Dalam lingkup lembaga kemahasiswaan
dapat diartikan post power syndrome adalah keadaan
dimana subjek merasa masih mempunyai atribut
kekuasaan, hak, wewenang seperti pada saat menjabat.
Perilaku yang ditampilkan subjek antara lain berusaha
sebisa mungkin untuk dapat mempertahankan sisa–sisa
pengaruhnya selama mungkin.
Dalam kajian Kesehatan Mental, yang mengalami
post power syndrome biasanya justru mereka yang pada
dasarnya sudah memiliki kondisi mental yang tidak stabil,
konsep diri yang negatif dan rasa kurang percaya diri -
terutama berkaitan dengan kompetensi diri. Selain masalah
harga diri yang memang sering menjadi akar depresi
setelah lengser, orang-orang dengan harga diri rendah
semasa produktif cenderung akan jadi overachiever.
Semata-mata untuk membuktikan diri sehingga mereka
157
berusaha maksimal dalam bekerja dan mengabaikan
sosialisasi dengan sesamanya pula. Pada saat lepas jabatan
hanya merasa kehilangan harga diri, kehilangan pengaruh,
dan eksistensi.
Seperti kita ketahui bersama, Pemilihan umum raya
Keluarga Mahasiswa Unnes baru saja berakhir, baik di
Tingkat Universitas, Fakultas dan Jurusan. Para calon
terpilih di setiap lembaga tentu saja mulai menyiapkan
program kerja untuk satu periode mendatang. Artinya,
masa kerja lembaga kemahasiswaan periode 2007 ini
sebentar lagi selesai. Nah, bertolak dari semua ini, patut
kita cermati, mungkinkah ada yang mengalami Post Power
Syndrome? Semoga saja tidak.

158
Antara Iklan dan Lomba Karya Tulis Mahasiswa
Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok

Mahasiswa sebagai status sosial menjadi moncer di


Indonesia dengan gelar non-formal yang dilekatkan
kepadanya. Jika Clifford Geertz berbicara mengenai
pemetaan “kasta” masyarakat jawa menjadi priyayi dan
non-priyayi, maka mahasiswa bukan hanya dalam satu
konstruks budaya saja, tetapi lebih meluas dan lintas-
budaya. Menjadi suatu kebanggaan bagi seseorang ketika
memperkenalkan dirinya sebagai mahasiswa, agent of
change yang intelek. Sebagian rasan-rasan bahkan
menyiratkan mahasiswa sebagai status sosial tertinggi, dan
wisuda merupakan terjun bebas dari puncak tertinggi
menjadi seorang pengangguran “beban negara”.
Sehubungan dengan stereotype yang melekat itu,
belakangan justru terlontar kritik yang cukup menggelitik
(dari Edi Subkhan dalam “meneguhkan gerakan intelektual
mahasiswa” di blog “komunitas embun pagi”), mengatakan
bahwa banyak mahasiswa menahbiskan diri sebagai
“intelektual bebas” merasa lebih nyaman bertengger dalam
puncak-puncak intelektual yang tak membumi dan elitis.
Sebagian lain jago manajemen organisasi tetapi minim
kapasitas intelektual, demikian halnya dengan sekelumit
cerita tentang mahasiswa yang kuliah terkesan hanya
sekedar prestise ataupun ajang mencari jodoh. Berbagai
“dekonstruksi” terhadap status sosial mahasiswa ini tentu
saja menjadi hal yang problematis dan cukup menggelitik
kita sebagai mahasiswa. Konsep ideal yang sering
dikedepankan dalam permasalahan ini adalah menjadi
“intelektual organik” seperti kata Antonia Gramsci, mampu
memadukan teori dan praksis agar berguna bagi kehidupan
dan memecahkan problem sosial. Jika dianalisis lebih
lanjut, tawaran tersebut seperti jalan tengah yang terkesan
159
mencari aman. Tetapi bagaimanapun juga, bukankah jalan
terbaik adalah ditengah-tengah?

LKTM ; Ajang Pembumian Intelektual


Lomba Karya Tulis Mahasiswa yang secara rutin
dilaksanakan setiap tahun, menjadi suatu ajang yang
memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk lebih
berperan dalam masyarakat. Dengan berbagai pengetahuan
yang telah didapatkan, mereka berusaha mensintesakannya
sebagai praksis untuk mengatasi permasalahan-
permasalahan sosial. Selain sebagai bentuk kompetisi antar
mahasiswa, secara tidak langsung juga berpretensi
menjawab berbagai kritik yang dialamatkan kepadanya.
Seiring dengan itu, partisipasi mahasiswa dalam LKTM pun
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sebagai contoh,
seperti yang terjadi di lingkup FIP UNNES, tahun 2007 lalu
peserta LKTM tercatat 24 judul, sedangkan kali ini (2008)
meningkat tajam menjadi 41 judul. Fakta ini meski bukan
satu-satunya indikator dalam menentukan kepedulian
mahasiswa terhadap permasalahan yang terjadi dalam
masyarakat, kiranya dapat digunakan sebagai “monitor”
bahwa ternyata mahasiswa semakin antusias untuk mencari
lebih, dalam identitas ke-mahasiswa-annya.
Ide kreatif sebagai alternatif solusi pemecahan
masalah dilahirkan, baik dalam bidang sosial
kemasyarakatan maupun dalam bidang pendidikan.
Berbagai ide kreatif seperti pendidikan seks anak melalui
drama, pementasan wayang kulit dalam bentuk animasi
sebagai sarana pembelajaran moral sekaligus pelestarian
budaya-budaya adiluhung, pembelajaran berbasis internet
dengan menggunakan layanan blogger, penggunaan media
komik dalam mata pelajaran sejarah di sekolah dasar, dan
banyak ide-ide lain yang terkadang sama sekali belum

160
terpikirkan. Suatu bentuk kreatifitas dengan kapasitas
intelektual yang patut diberi penghargaan.

LKTM dan Belenggu Strategi Iklan


Dalam telaah psikologi kognitif, segala hal yang
berbeda, meliputi bentuk, warna, ataupun suara, pasti akan
lebih menarik perhatian. Kecenderungan manusia untuk
memberikan perhatian lebih kepada hal yang berbeda ini
kemudian dimanfaatkan sebagai strategi iklan. Hal ini
dapat dengan mudah dilihat deretan iklan dalam suatu
surat kabar. Warna tulisan yang lazim digunakan dalam
iklan tersebut adalah hitam, namun ada beberapa warna
lain dalam sedikit deretan iklan yang akan langsung
menarik perhatian pembaca (hal-hal semacam ini justru
bisa dikatakan sebagai pembumian teori yang
sesungguhnya). Berkaitan dengan LKTM yang kali ini
menjadi lakon, strategi ini banyak digunakan dalam
presentasi ide-ide kreatif tersebut. Perkembangan teknologi
memudahkan presentasi dengan penayangan slide show
untuk mempermudah penyampaian gagasan. Selain
kreatifitas gagasan, kreatifitas pembuatan tayangan ini pun
beragam.
Bentuk jawaban melalui LKTM terhadap kritik di
atas ternyata juga kembali menjadi suatu hal yang
dilematis. Tayangan slide show semestinya hanya sebagai
sarana penyampaian ide ternyata berbelok arah menjadi
semacam “pamer” animasi dan gambar background dengan
warna dan keunikan bentuk, yang justru lebih menyita
perhatian dibanding apa yang seharusnya disampaikan.
Presentasi ilmiah menjadi semacam kemasan iklan yang
mengabaikan isi (bersifat substantif) tanpa memperhatikan
prinsip konsumen yang dikatakan oleh Idi Subandy
Ibrahim dalam kata pengantar “lifestyle” karangan David

161
Chaney, bahwa kemasan bukanlah segalanya, meskipun itu
penting.
Benturan lain dalam hal ini adalah kesan elitis yang
akan semakin berkembang jika “prinsip iklan” tersebut
masih saja digunakan. Selain LKTM, ajang lain sebagai
bentuk pembumian intelektual mahasiswa adalah KKN.
Bisa dibayangkan ketika seorang mahasiswa dengan jas
almamater, potongan celana hippies, rambut hasil
rebonding, aksesoris MP4 player lengkap dengan headset,
dan tak lupa telepon selular fitur 3G dalam genggaman,
yang datang ke sebuah dusun untuk KKN. Hallo effect
eksklusif akan semakin menguat pada mahasiswa yang
dilekatkan oleh warga setempat.
Melihat dari uraian di atas, kita sebagai mahasiswa
ternyata masih harus banyak belajar dari berbagai hal yang
sering dianggap common sense (klise) dalam dunia ilmiah.

162
Melintas yang Sepintas ; Refleksi
Kedirian
Dilema Eksistensi Manusia (tinjauan psikologi
marxian)
Oleh : Abdul Haris Fitrianto

Seperti triade dialektika yang selalu


mempertentangkan tesa, antitesa, memunculkan sintesa
yang kemudian dipandang sebagai tesa baru dan
seterusnya, Konflik eksistensi hadir bersama manusia sejak
dilahirkan hingga manusia tersebut meninggal. Ini disebut
dilema eksistensi manusia yangg selalu bergerak menuju
kesempurnaan sebagai antitesa bahwasannya manusia
adalah tidak sempurna. Sebagai kompensasinya, manusia
berusaha menutupi kekurangan – kekurangannya dengan
prestasi dan semacamnya .
Teringat epos Mahabarata, yang menggambarkan
Prabu Kresna sebagai seorang ksatria sejati. Manusia
setengah dewa, sakti mandraguna, perancang strategi
perang yang ulung, mempunyai falsafah hidup yang luar
biasa, menjadi guru dan penasihat dari para ksatria
Pandawa dan berbagai wujud pencapaian kesempuarnaan.
Eksistensi Kresna yang sedemikian hebat ternyata
meninggalkan kompensasi yang luar biasa pula. Kresna
dipandang gagal mendidik anak- anaknya. Beliau tidak
cukup dekat dengan anak-anaknya, Waktu Kresna lebih
banyak digunakan untuk membimbing Pandawa. Belum
lagi energi untuk membagi kasih sayang dan keadilan pada
empat istri yang dimilikinya. Pencitraan kresna sebagai
tokoh luar biasa dalam perjalanan Pandawa ternyata
meninggalkan kompensasi kehidupan internal; rumah
tangga yang rapuh.

163
Kehidupan terus berjalan seakan manusia akan
hidup abadi, padahal Setiap orang menyadari suatu saat dia
akan mati. Dilema keniscayaan mati dan perjuangan
eksistensi di dunia fana ini menimbulkan kompensasi pada
benak seseorang untuk tetap ingin dikenang walaupun telah
tiada. Sintesa ini mendorong individu tersebut terus
berprestasi dan meninggalkan karya yang akan tetap
dikenang, bahkan digunakan, walaupun empunya telah
mati. Karya atau prestasi yang ditorehkan tersebut tidak
lain adalah kompensasi terhadap kepastian kematian dan
juga perwakilan eksistensinya di dunia. Pada orang lain,
juga sadar bahwasannya kematian adalah keniscayaan,
Tetapi coba mengingkarinya dengan mencari kesenangan
dan menghindari rasa sakit agar menjauh bahkan menunda
kematian.
Dilema ini, dalam lingkup sosio-pikologis juga
pernah dikatakan Erich Fromm bahwa selama ini manusia
disepanjang sejarahnya hampir tidak pernah hidup di
”habitat alami”-nya, kecuali suku – suku pemburu dan
pengumpul makanan serta manusia agraris pertama yang
hidup 5000 SM. Manusia ”beradab” harus selalu hidup
dalam ”kerangkeng”, maksudnya hidup dalam berbagai
macam pengekangan dan ketidakbebasan – dan ini masih
saja dialami oleh masyarakat yang katanya paling maju.
Karena itu kebebasan selalu menjadi salah satu dambaan
manusia.
Kemudian, Manusia mungkin bisa bebas, tetapi
untuk apa?

164
MEMOIR
Oleh : Muhammad Taufiqurrohman

Teman-temanku yang aku cintai,


Betapa aku bahagia memiliki teman seperti kalian.
Meski mungkin perjumpaan kita terasa telat. Yah, baru
setelah aku dan kalian hampir selesai belajar di perguruan
tinggi itu. Perguruan tinggi yang benar-benar mengajari
kita bahwa memang kita harus benar-benar belajar.
Mungkin benar kata orang, cinta datang sering di akhir
halaman. Tapi tidak, sebab itulah baru mula dari perjalanan
cinta kita. Percintaan dalam mencari perayaan nikmatnya
ilmu pengetahuan. Jalan mencari kebenaran.
Teman-teman,
Kemudian kita sepakat untuk sering bertemu. Yah,
jagongan. Setiap minggu itu. Di Anomaly, Graha Sunyi,
Transformatif. Kos-kosan itu. Kalian datang dengan
membawa jajanan sendiri, kopi, makalah yang kalian copy
sendiri. Dan tak lupa tentu saja berbatang-batang rokok
yang menemani malam-malam yang terasa cepat itu. Dan
datanglah fajar. Subuh. Embun Pagi. Matahari. Kalian tahu
betapa bahagianya aku saat itu. Dalam kesepian yang
mencekam ini aku merasa mendapatkan teman. Teman
yang menemaniku merayakan kesepian itu. Dari sorot mata
kalian, aku tahu, kalian juga merasakan hal yang tidak jauh
berbeda dariku.
Teman-teman,
Kemudian percintaan itu sayangnya semakin mekar.
Diluar jagongan itu aku dan kalian diam-diam saling
bertemu. Gelisah, takut, bimbang, mempertanyakan,
ngomel, protes, mengumpat, dan segala hal yang bernada
ketidakmapanan. Politik, budaya, ekonomi, pendidikan,
sastra, agama, sex, bahkan tuhan. Kita seperti orang-orang
gila di tengah sebuah masyarakat yang sangat waras. Kita-
165
maaf jika kau tak berkenan kugunakan kata ini-seperti
berada di tengah kerumunan yang asing tapi akrab, akrab
tapi asing. Aku bahagia ada kalian di sampingku. Aku
mendengar. Aku belajar. Aku bercermin pada kalian. Kalian
tahu sebenarnya aku malu pada kalian. Betapa sedikit yang
aku tahu. Setiap kali jagongan itu hendak dimulai dan
bahkan ketika jagongan itu sedang berlangsung, sungguh
aku malu. Aku malu. Sebab, banyak yang tak kumengerti
dari apa yang kalian bicarakan. Kata-kata. Definisi yang
sangat elementer. Nama-nama. Istilah-istilah. Aku diam.
Aku diam. Seperti tertampar betapa aku tak mengerti apa-
apa. Betapa sedikit sekali yang aku mengerti. Kadang, rasa
maluku itu kubawa sampai ke mimpi-mimpiku. Aku
bermimpi suatu saat aku bisa mendengarkan kalian dengan
baik, memahami apa yang ingin kalian katakan padaku.
Jujur, bahkan hingga saat kutulis surat ini perasaan malu
itu masih menggelayutiku. Harus kuakui betapa terkadang
aku malu bertanya tentang banyak istilah yang kalian
sampaikan dan tuliskan, juga di blog ini. Maka
sesungguhnya aku malu pada diriku sendiri karena tidak
mengakui kebodohanku. Namun, terimakasih teman-
teman. Kalian telah mengajariku banyak tentang hal-hal,
menemaniku dari jauh. Kalianlah yang selalu
mengingatkanku menamparku sekali waktu untuk belajar
dan belajar…
Teman-teman,
Hingga suatu waktu aku harus pergi meninggalkan
kota itu. Aku memutuskan pergi. Keluar. Berjalan. Entah
untuk apa… Di sepanjang perjalanan itu kutahan tangis
yang semakin lama tak bisa kutahan. Aku harus pergi
meninggalkan sebuah kota yang telah memberikanku
banyak hal. Pelajaran, teman-teman, keluarga, mimpi,
pengkhianatan, kegagalan, harapan, ketakutan, sakit hati,
ketulusan dan tentu saja cinta. Sampai pada suatu waktu-
166
mungkin hingga saat ini-aku tak tahu mengapa perpisahan
ini terjadi. Aku pergi ke suatu tempat yang tak pernah aku
tahu mengapa aku disitu. Aku kesepian lagi. Untunglah, ada
Guru itu-yang dengan sabar dan setia menemaniku pelan-
pelan untuk belajar berjalan- dan kalian tentu saja. Meski
hanya lewat layar, diam-diam sambil mengintip kukirimkan
rinduku yang semakin berat ini.
Teman-teman,
Di kota baru itu kutemukan kesepian sekaligus pesta.
Sepi sebab tak ada kalian disitu. Pesta sebab hampir tiap
hari harus kudatangi seminar, diskusi, pentas, kursus
filsafat ilegal, kelas ilegal dan banyak lain hal. Hal-hal yang
sangat aku sukai. Aku adalah seorang amatir. Itu kalian
tahu. Baru beberapa bulan ini setelah bertemu kalian itu
aku merasa benar-benar belajar. Aku adalah seorang anak
TK di wilayah ini. Segala kuikuti. Segala kudengarkan.
Hingga terkadang aku bingung sendiri di tengah pesta itu.
Sebagai seorang anak TK, aku merasa terjebak. Aku tidak
tahu apa yang orang-orang dewasa itu perbincangkan di
seminar-seminar itu. Tapi, aku terus melangkah. Entah
untuk apa.. Kubaca kembali handout-handout diskusi siang
tadi di kamar itu. Tetap saja sulit kupahami. Apalagi jika
setelah itu kubuka blog ini melihat kalian saling menulis,
berargumen. Aku iri. Aku iri. Aku ingin menulis seperti
kalian. Aku kesulitan memahami apa yang sesungguhnya
terjadi padaku. Hingga sampai saat kuposting tulisan ini.
Teman-teman,
Betapa beratnya mempertahankan diri di zaman ini.
Itu yang sering kalian wejangkan padaku. Yah, betapa sulit
menjadi manusia yang utuh di republik ini. Kita berbicara
tentang banyak hal. Rakyat, demokrasi, kesejahteraan,
kemiskinan, BBM, birokrasi, BHP, BLT, korupsi, teror,
kitab suci dan banyak hal lain yang tak mungkin kutuliskan
dilembar yang sangat terbatas ini untuk hal yang sangat tak
167
terbatas yang sudah, sedang, dan akan kita perbincangkan.
Sungguh, teman-teman. Pada suatu waktu kadang aku
frustasi. Mempertanyakan kembali untuk apakah semua
kegelisahan ini? Untuk siapakah segala kesepian ini? Dan
yang paling membuatku malu, siapakah kita ini? Berhak
apa kita memikirkan segala hal yang berhubungan dengan
kebenaran, kebahagiaan, nasib banyak manusia? Siapakah
kita ini? Siapa?
Namun, teman-teman, terima kasih.
Kalian selalu datang mengusik nuraniku lewat blog
ini sering-sering, mengingatkanku bahwa perjalanan
(perjuangan atau dolanan?) ini masih sangat panjang.
Terimakasih untuk hal-hal yang tak bisa kukatakan.
Semoga kita bahagia. Amin.

168
PRINSIP
Giyanto

“Kita harus berhadapan dengan penyesalan. Menjadi


dewasa berarti belajar menerima segala hal yang tidak
dapat kita ubah, menghadapi penderitaan yang tidak
putus, dan belajar mencintai hidup seperti adanya, bukan
sebagaimana yang kita kehendaki”.
Barbara Sher

Saya sudah jenuh beragumen. Tapi tak apalah, ini


demi sesuatu yang terlanjur saya komitmen-kan. Tulisan ini
agak filosofis terkait yang ada dalam perangkat pikiran
saya, yang diantara sistem neuron-neuron saling terhubung
sedemikian rupa sehingga membentuk pandangan-
pandangan yang telah saya tulis ini. Pikiran-pikiran ini juga
yang membuat saya dalam satu bulan ini (Maret, 2008)
tidak enak tidur dan juga tidak enak makan. Sampai-
sampai proposal skripsi yang sudah saya ajukan belum saya
urus.
Konon ada tiga hal yang tidak bisa dihindari
manusia. Pertama pilihan, kedua prinsip dan yang terakhir
perubahan. Masalah pilihan tidak akan saya bahas di
tulisan ini karena Edi sudah sering mendiskusikannya,
terkait dengan eksistensi manusia itu sendiri. Karena
manusia sebagai makhluk yang hidup, maka manusia tidak
bisa mengihindar untuk tidak memilih.
Begitu juga masalah perubahan. Semenjak kita aktif
dalam berbagai organisasi, saya kira temen-temen sering
menggunakan kata perubahan sebagai alat yang paling
efektif untuk melakukan gerakan. Tanpa memperhatikan
apakah perubahan itu lebih baik ataupun lebih buruk dan
kadang-kadang malah membunuh diri sendiri, sekali lagi,
perubahan tidak dapat dihindari. Dan tiap pribadi pasti
169
pernah dalam masa transisi, seperti yang sekarang dialami
Taufiq, maka sangat jelas peran perubahan dalam hidup
setiap manusia.
Yang terakhir, yaitu prinsip. Sudah hampir dua
tahun ini saya mencari-cari apa itu sebenarnya prinsip.
Prinsip, dari yang saya ketahui belakangan ialah sebuah
hukum alam yang sudah ada sebelum kita ada. Artinya, dia
diciptakan oleh Sang Khalik agar kita tunduk pada prinsip-
prinsip atau hukum-hukum yang telah diciptakan-Nya. Dan
yang membuat saya gelisah saat ini ialah terkait masalah
ini. Dari kecenderungan-kecenderungan perilaku manusia
yang saya lihat, sebagian besar politisi, prinsip-prinsip itu
mereka tentang.
Saya ingat apa yang pernah ditulis Cak Nun: Iblis
dan Malaikat itu makhluk kepastian, sedangkan manusia
adalah makhluk kemungkinan. Ini juga mirip dengan kata
Ludwig von Mises, bahwa setelah para filsuf meninggalkan
pencarian mereka akan hal yang absolut, para utopian
meneruskannya. Jika seandainya sekarang masih ada
manusia yang masih terkurung otaknya untuk mengejar-
ngejar kepastian, ini berarti dia menentang kodratnya
sendiri.
Begitulah cerita singkat seperti yang sering
diungkapkan dalam berbagai filsafat, baik agama maupun
ilmu pengetahuan. Dan sekarang, kita sering terkecoh oleh
ilusi-ilusi yang selalu mengejar kepastian serta
kesempurnaan. Salah satu email dari Sukasah Syahdan
(pengelola dan editor Jurnal Akal dan Kehendak), terkait
pandangan epistemologis yang saya geluti sekarang ini. Dia
mengatakan: “jika teori digagas tanpa kekeliruan logis,
maka realitas hanya akan terjadi sesuai dengannya! Ini
terdengar sulit diterima; tetapi begitu memang adanya”,
tegasnya. Mendengar hal itu terasa agak aneh. Tapi

170
akhirnya saya menyimpulkan bahwa itulah bentuk-bentuk
prinsip sebenarnya. Jadi, prinsip ada sebelum kita ada.
Dari gambaran diatas, yang membuat saya marah
adalah perilaku politisi-politisi yang sekarang lagi main
parodi di panggun politik. Menurut saya, tindakan-tindakan
mereka berlawanan dengan hukum-hukum alam. Dalam
hal kegiatan ekonomi, blunder ini sering terjadi. Yang
dikatakan Kang Edi saya sepakat---kalau dilihat dari
kacamata niat baik. Akan tetapi niat baik saja tidak cukup,
dari prinsip-prinsip atau hukum-hukum ekonomi yang
sementara saya pelajari. Tindakan mereka ternyata
merusak kegiatan ekologis ekonomi manusia. Hukum
penawaran dan permintaan tidak dapat dibantah. Dia
bekerja sesuai tindakan-tindakan manusia. Jadi kalau ada
yang mengitervensi, berarti ada pihak yang dirugikan. Di
sini, posisi saya pas berada melihat dari pihak tersebut:
bapak saya. Dan saya yakin Bapak tidak mengetahui hal
tersebut. Dia hanya kecewa dengan kondisi, dan saya tidak
tahan melihat hal tersebut. Jadi kalau saya sekarang banyak
menulis, ini terkait apa yang sudah bapak berikan secara
pribadi kepada mental saya, yang ternyata sekarang sangat
bermanfaat untuk saya pribadi.
Dari kecil, saya di-didik untuk bekerja. Kalau tidak
bekerja, maka saya tidak mendapat uang saku untuk
sekolah. Katanya, itu ialah keadilan untuk diri sendiri dan
orang lain. Sudah sejak kecil prinsip-prinsip sederhana itu
ditanamkan pada semua anaknya, termasuk saya. Tapi
setelah saya besar, dan sekarang bisa menulis, prinsip-
prinsip yang sederhana itu ternyata tidak dilakukan oleh
orang-orang yang malah sering kita idolakan. Anehnya, kita
malah menjadikan mereka ikon-ikon demokrasi yang sering
kita dukung setiap ucapannya. Pengalaman saya ketika di
Sumatera Barat, menurut penglihatan saya pribadi, di sana
malah lebih demokratis. Ninik mamak (kepala suku), cerdik
171
pandai (intelektual) dan alim ulama ialah elemen-elemen
representasi konsep demokrasi yang sebenarnya sudah ada
di budaya lokal. Parahnya, konsep itu telah “dirusak” oleh
pemaksaan konsep-konsep yang mempunyai niat baik
tetapi menentang “hukum” yang sudah ada di sana sejak
lama.
Terkait yang sering saya kritik dan hujat saat ini
adalah sistem yang telah terstruktur. Jadi kalau dulu orang
memperjuangkan kebebasan dalam bentuk kemerdekaan.
Saat ini saya melihat, sistem struktur itu menjadi sangat
kropos dan rawan runtuh, sehingga keadilan tidak hanya
menjauh tapi malah terancam.
Kalau Yogas Ardiansyah pernah menawarkan untuk
menentang sistem, maka yang sekarang saya wacanakan
adalah menentang sistem-sistem yang terstruktur. Dalam
kata yang sederhana, sistem terstruktur itu adalah: “Negara
dan elemen-elemennya yang sangat gemuk”. Kalau yang
menjalankan tidak segera membenahi diri ataupun
berefleksi, maka dalam waktu dekat “bencana itu akan
terjadi”. Saya tidak dapat membayangkan, korban itu akan
seberapa besar? Tapi tak apalah, bukankah perubahan itu
suatu yang tidak dapat dihindari? Agar manusia selalu
mengingat.
Barangkali kata-kata Bharbara Sher benar adanya...

172
Sekedar Meminta Izin
Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok

Terkait dengan sebuah komitmen yang beberapa


waktu lalu telah tersepakati, dan juga telah tercicil bersama.
Ya, “mainan” itu (selanjutnya tanpa tanda petik),
adalah mainan yang kita buat bersama. Mainan kita ini
memang tak se-kualitas dengan supertoy, seperti yang
diidamkan Pak Saratri, untuk menjadi mainan para
superboy, yang akhirnya sebagai peng-counter sang
superpower. Mainan kita ini, yang kita baca dengan
mengeja, yang kita obrolkan sembari menghisap asap, yang
kita ketik dengan amarah membuncah, juga yang kita
posting dengan meretas cemas, sekali lagi bukanlah mainan
mewah. Mainan kita ini mainan sederhana, yang kita buat
dengan cara sederhana, dengan anasir yang sederhana, di
tempat-tempat yang sederhana, dengan tekhnik yang
sederhana, dan jika saya adalah Sapardi Djoko, maka juga
akan saya katakan mainan ini adalah mainan yang kita
cintai dengan sederhana pula. Sederhana, tetapi
menyimpan sesuatu yang tidak ringkas.
Ataukah mainan kita ini bukanlah mainan?
Mungkinkah mainan ini adalah sebuah perjuangan? Saya
tak begitu peduli dengan perjuangan. Tetapi mainan yang
telah merajut komitmen itu tentu tak bisa lepas dari kata,
sementara Rendra mengatakan bahwa perjuangan adalah
me-laku-kan kata. Maka, baik perjuangan heroik ataupun
mainan yang mengasyikkan, mainan ini tetap menyisipkan
“perjuangan” di sela-sela partikelnya. Tetapi entah, jika kita
tak sepakat dengan Rendra.
Mainan kita ini, telah menjalani beberapa persen
proses pem-benda-annya. Kita semua tahu, mainan kita tak
bisa terwakili oleh sekedar himpitan cover depan dan
belakang. Kita semua tau itu. Tetapi bukankah salah satu
173
rule of game dari mainan ini, adalah mengajak siapapun
untuk ikut bermain bersama kita? Siapapun. Maka dengan
benda yang masih embrio itulah, salah satu ketaatan kita
pada rule of game dari mainan kita ini.
Mainan kita ini, telah beberapa persen dalam proses
menjadi “potret dari potret”. Mainan kita ini telah terbiasa
terpotret dalam blog itu-
komunitasembunpagi,blogspot.com itu- memang akan kita
potret lagi dalam beberapa lembar kertas yang terhimpit
cover. Sekali lagi, kita tau, dan saya selalu berharap bahwa
mainan kita, yang me-metafisi-kan kehadirannya dalam
potret-potret tersebut, semoga akan terus bertambah, baik
secara jumlah huruf, kedalaman analisis, maupun
kemekaran pembahasan.
Dan sejak semula, saya telah beberapa kali disentil
oleh beberapa dari kita, untuk ikut menurunkan tangan
dalam pembuatan mainan ini. Maka dari itulah,
perkenankan saya, melalui ini, untuk meminta surat
perizinan. Dalam “mal” yang telah di buat oleh Mas Edi,
juga di-iya-kan oleh Mas Yogas, saya akan mencoba
menyusun puzzle. Saya, yang hanya mempunyai sebilah
pisau lipat nan tumpul, mungkin hanya mampu memungut
daun dan ranting kering dalam mainan kita ini, jika mainan
kita ini diibaratkan sebagai pohon. Itupun daun dan ranting
sejauh yang bisa saya gapai.
Ah… Beberapa puzzle terlalu kecil, beberapa yang
lain terpotong dengan kurang rapi. Ingin sekali saya
merapikan puzzle-puzzle itu. Tetapi ternyata puzzle-puzzle
itu bukan dari pabrik yang sama.
Bisakah, masing-masing pabrik melengkapi puzzle-
nya?

174
Sebuah Pesan
Oleh : Yogas Ardiansyah

Selain sering sekali terlibat dalam dialektika dengan


Emha Ainun Nadjib, sampai sekarang pun, Cak Sudrun
ternyata sering datang dalam Jama’ah Ma’iyah di beberapa
tempat. Tidak seperti pak Kanjeng yang lebih kalem dan
bijaksana, ia tampil lebih slengekan dan nggapleki. Kadang
ia tampil dengan sarung kumal dan jas tebal, padahal cuaca
malam sungguh gerah minta ampun. Sesekali ia tampil sok
casual dengan kaos dan jelana jins yang warnamya
bertabrakan di sana-sini. Tetapi bisa juga ia datang
mengenakan kostum ala pria mapan dan metroseksual yang
ternyata juga banyak menjadi jama’ah Emha. Dan malam
itu, beberapa bulan yang lalu di Gambang Syafa’at, ia
memilih hem warna hijau menyala dan sarung motif batik
yang sepertinya sudah hampir setengah lusin bulan tidak
dicuci apalagi disetrika. Setelah lantang mengajukan
pertanyaan yang kemudian menjadi bahan tertawaan
seluruh hadirin yang datang karena berkata “sing penting
wareg!!” untuk menjawab pertanyaan Emha “milih segoné
opo milih sambelé?”, dengan senyum puas seakan telah
berhasil mengerjai Emha dan jama’ahnya ia bergeser ke
belakang agak serong ke barat daya di pojok pintu keluar
ruangan yang biasa digunakan acara Gambang Syafa’at.
Senyumya terlihat bermakna puas sekali, padahal ia baru
saja diolok-olok dan ditertawakan sekitar 500-an orang.
Sungguh sebuah metode pembelajaran yang berat dan
dalam sekali.
Kemudian ia duduk bersila di samping orang-orang
yang malam menjelang dini hari itu masih setia dengan
syawab-syawab berkah Emha dan Kiai Budi Harjono.
Kemudian tanpa diminta ia tiba-tiba nyerocos kepada orang
yang ada di kanan-kirinya soal pengalamannya nyantri di
175
padepokan Sunan Kudus. Dari ngumpet di jumbleng hingga
terjun bebas dari pucuk pohon kelapa menggunakan kepala
sebagai tumpuan mendarat, yang kesemuanya telah
diceritakan Emha dalam buku-bukunya. Lantas cerita Cak
Sudrun sampai pada masa betapa ia sangat ngebet ingin
menikah, ingin kawin. Ia, entah dari mana datangnya, tiba-
tiba mempunyai keinginan yang luar biasa untuk menjadi
suami. Mulai dari hasrat dorongan biologis hingga
psikologis seorang lelaki yang memang ingin melindungi
dan bertanggungjawab. Tetapi masalah ini tidak bisa
mudah begitu saja karena ternyata Sunan Kudus belum
merestuinya untuk menikah. Segala daya upaya diplomasi
dan lobbying sudah ia ungkapkan untuk mendapat restu
sang Sunan, tetapi hatinya tidak bergeming jua. Hingga
suatu malam, setelah selesai mengaji di pendopo, ia
memberanikan diri sekali lagi mengungkapkan
keinginannya kepada Sang Sunan. Bukan dengan cara
bergaining yang halus, tetapi sudah dengan ancaman.
“Mohon ampun, Kanjeng Sunan. Kalau Kanjeng
Sunan tidak memberi restu kepada hamba untuk menikah,
atau paling tidak ta’aruf dan yang-yangan, maka dengan
terpaksa hamba akan melampiaskan hasrat dengan cara
yang tidak-tidak dan akan menggoncangkan padepokan ini,
Kanjeng Sunan”.
Sunan Kudus langsung naik pitam. “Hah? Kau mau
mengancamku? Sehebat apa kau? Kau tidak sehebat Aryo
Penangsang, orang Jipang yang tidak bias membaca
sasmitoku itu. Berani sekali kau, Sudrun”.
“Hamba tidak hendak melawan Kanjeng Sunan. Ini
hanya metode, Kanjeng Sunan”.
“Kau pikir aku takut? Terserah kau. Berbuatlah
sesukamu!”

176
“Saestu, Kanjeng Sunan? Betul begitu? Apakah
Kanjeng Sunan sudah siap menyaksikan peristiwa yang
belum pernah Kanjeng Sunan saksikan sebelumnya?”
Rona di wajah Sunan Kudus semakin merah
menyala.
“Kurang ajar!!! Siapa yang mengajarimu berkata
seperti itu kepadaku?!”
Dengan enteng Cak Sudrun menjawab : “Gus Dur
dan Emha Ainun Nadjib, Kanjeng Sunan”.
Seketika raut muka Sunan Kudus berubah.
“Pilihlah wanita yang ingin kau nikahi, lantas bawa
kemari”. Sambil mengumpat dalam hati “Assu!!!”
Tanpa menunggu lama, “Sendiko dhawuh, Kanjeng
Sunan!” Setelah menghaturkan sembah, Cak Sudrun segera
melompat keluar pendopo menemui kekasihnya untuk
diajak menghadap Sunan Kudus. Kelak Sunan Kudus akan
semakin terperanjat melihat siapa yang dibawa Cak Sudrun
kepadanya.
***
Sepertinya siasat Cak Sudrun boleh juga ditiru.
Fahmi? Haris? Mas Taufik? Guru Ed? Giyanto? Hhmm…,
Luluk

177
Selamat Tinggal Sayangku
Oleh : Giyanto

Selamat tinggal sayangku. Setelah sekian lama kita


berpisah, ingin sekali ku ucapkan rasa terima kasihku
padamu. Dulu saat pertama mengenalmu, aku memang
sangat tergila-gila kepadamu. Kau kubawa ke mana-mana,
karena aku takut semua orang akan mengenalmu. Kau
begitu menginspirasi. Kau ajarkan aku bahwa kita harus
memperjuangkan keadilan. Kau ajarkan aku bahwa
’eksploitasi’ harus kita hentikan. Bahwa perbedaan kelas
harus ditiadakan. Bahwa pabrik-pabrik bangsat itu harus
kita kuasai untuk kepentingan bersama.
Tapi sayangku. Sebelum aku menemui dirimu yang
’asli’. Di saat banyak orang membicarakanmu, dan ketika
Lenin, Stalin, Mao dan Castro telah menggunakanmu untuk
memuluskan jalan mereka dalam meraih kepentingannya
sendiri. Dirimu sudah tidak menarik lagi. Kau kukenal
lewat ”Madilog”, walaupun sekarang aku belum
menemukan versi aslimu, tapi aku telah banyak melihat
dirimu telah mempengaruhi banyak orang. Dirimu
sekarang telah berganti wajah dengan berbagai versi. Dari
Neo-Neo hingga Isme-isme yang baru. Entah berapa versi
wajahmu telah membuatku begitu muak.
Ya sayangku. Sekarang aku telah mengenal gadis-
gadis cantik yang lain. Aku sekarang tergila-gila pada
orang-orang yang dulu kau musuhi. Ingatkah kau di saat
Kau menuduh Bastiat sebagai ”klasik” dan menuduh orang-
orang yang bekerja keras sebagai ”kapitalis”. Dan generasi
terbarumu menuduh ilmuwan yang lain sebagai 'positivis'
dan pendukung 'borjuis'. Tapi aku tidak peduli sayangku.
Di saat dirimu telah menguasai jagad raya gagasan.
Dengan tidak sengaja aku menemukan ’gadis kecil’ yang
begitu sederhana. Dia mempesona, walaupun dia tidak
178
berjilid-jilid sepertimu, tapi menurutku ’gadis kecil’
tersebut telah berhasil menunjukkan dan mengenalkan ku
pada orang-orang hebat yang dulu belum pernah aku kenal.
Setelah mengenal mereka semua, Aku begitu
terhentak dan panas dingin. Tubuhku lemas, hingga tiga
hari tubuhku terasa merinding. Aku melihat dunia dengan
kaca mata lain. Ketika kau dulu memperkanalkan aku
bahwa keadilan adalah ketika aku mendapatkan seratus
rupiah sedangkan tetanggaku mendapat seribu rupiah,
seharusnya aku dapat memperjuangkannya dengan
’menuduh’ tetanggaku sebagai tidak adil. Atau ketika kau
mengatakan bahwa ’kesetaraan’ atau ’kesamaan’ harus
diperjuangkan dengan cara apapun, menurutku itu adalah
gagasan yang tolol sayangku.
Tapi mereka mengatakan lain sayangku. Mereka
mengatakan bahwa, kalau aku ’hanya’ mampu menciptakan
seratus rupiah, maka seharusnya aku memang harus dapat
seratus rupiah. Atau kalau seandainya aku dapat seribu
rupiah adalah karena aku memang layak mendapatkannya.
Dan dalam mengajari ketidakadilan, mereka
menunjukkan jalan yang lain sayangku. Mereka
mengatakan bahwa, ’pemalas’ dan ’perampok’ adalah
bentuk ketidakadilan. Tidak layaknyalah apabila kita
menolong orang lain dengan cara mengambil alih barang
orang lain kemudian kita-kita bagikan sayangku. Mereka
mengatakan, ketika kita mampu memberi, seharusnya kita
melakukan sendiri menurut kemampuan kita masing-
masing sayangku.
Sekarang saya sedang belajar banyak dari mereka
sayangku, dan mereka pun mengajarkan hal yang lain
sayangku. Mereka mengajarkan bahwa kegiatan merampok
bukanlah sebuah keadilan. Keadilan menurut mereka
adalah ketika orang-orang itu mendapatkan nilai sesuai

179
kemampuan orang-orang tersebut sehingga mereka tidak
diganggu oleh hal-hal rigid yang sering kau permasalahkan.
Keadilan adalah sebuah konsep gagasan sayangku.
Dia, keadilan, adalah sebuah cakrawala yang memiliki
banyak tafsir. Sekarang, keadilan bagiku lain artinya
dengan pengertian kita yang dahalu pernah kita yakini.
Selamat tinggal sayangku...

Salam

180
Cerita Tentang Itu
Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok

Pagi agak mendung ketika aku beranjak dari depan


komputer untuk pergi mandi, sebentar saja. Dengan
pakaian seadanya, berjalan kaki yang akhir-akhir ini sudah
jarang aku lakukan akhirnya sampai di kampus. Beberapa
saat bertegur sapa dengan beberapa kenalan, basa-basi
identitas kesukuanku yang masih saja etnosentris, lalu
kuarahkan kaki menuju warnet yang ternyata penuh sesak
seperti biasanya. Rencana membuka site “komunitas
embun pagi” belum menjadi rejeki, tak apalah, tak harus
dipikirkan seperti membaca “lifestyle”nya David Chaney
pikirku. Tak seberapa lama setelah kembali berbincang
dengan seorang teman, mataku menangkap jarum jam yang
menyatu pada angka 11, kok bisa pas sekali? Bergegas
jalanku menuju gedung sebelah, ada kuliah Psikologi
Belajar seperti tertulis di jadwal. Jadwal yang katanya
menutup ruang kebebasan, ah ada-ada saja. Sebentar lagi
kuliah, dan presentasi, wiridanku saat itu.
Wiridan itu putus, memang tak pandai saja
konsentrasiku. Kerumunan teman-teman yang seperti
ngerumpi, membicarakan semuanya tanpa bekas, tanpa
tujuan tetapi menyenangkan. Mungkin itu yang banyak
dilupakan orang sekarang, semuanya harus praktis dan
bertujuan. Ini mungkin gara-gara teleologi para filsuf itu..
Oh, tidak. Ternyata mereka sedang saling berempati.
Seseorang ditengah kerumunan matanya berkaca-kaca,
bahkan basah tak beda dengan rutinitas Kaligawe yang
membuat rantai sepeda motorku jadi kendur selain karena
jarang servis di bengkel. Sayup-sayup terdengar “tadi dia
dapet telpon, ayahnya meninggal”. Aku puaskan diriku
dengan informasi itu, dan berjalan lagi. Maaf teman, bukan

181
maksudku tidak berempati, tapi empatiku agaknya hanya
semakin menambah kesedihanmu yang datang tiba-tiba.
Sambil berjalan, kuraba diriku. Aneh, aku biasa saja,
pun dalam kuliah. Hanya saja terus terpikirkan. Bagaimana
jika itu tiba-tiba teralamatkan kepadaku? Bagaimana jika
aku yang itu? Adakah yang mau menangis demi aku dan
kesedihan itu? Egois sekali memang, tapi semua orang
harus egois setidaknya jika saat tujuan dari semua
kehidupan itu tiba. Sempat tersungging senyum di bibir,
kekagumanku pada ayah temanku. Dalam awal dunia
barunya, ada yang menangisi kepergiannya. Rupanya ia
masih sangat dibutuhkan oleh orang lain, dia berguna bagi
yang lain, dia orang baik.
Dari sisi lain, pastinya seorang teman itu tak
menyangka, ketika tadi mandi, berangkat kuliah, sampai
akhirnya mendapatkan kabar telpon. Bukan lagi telegram
yang boros segalanya, si Marx sekarang bukan lagi kiri!
Mungkin saja dari awal dia mengira hari-harinya akan
seperti hari-hari sebelumnya.
Pikiranku telah kembali pada jalannya kuliah. Pak
dosen menjelaskan teori behavioristik, setiap perilaku
adalah baru, tidak ada hal yang sama persis! Semua stimuli
itu baru, sehingga responnya juga baru. Senin lalu, di ruang
yang sama juga kuliah dengan mata kuliah yang sama.
Tetapi materinya berbeda, suhu udara, pakaian yang kami
kenakan, cuaca, dan lain-lain yang berbeda. Semuanya itu
baru dan menimbulkan respon yang baru. Katanya perilaku
manusia suatu “lingkaran setan” stimulus-respon.
Sederhana sekali memang, seperti rumusan persamaan
kuadrat atau segitiga Phytagoras. Phyitagoras juga berkata
“semesta adalah suatu keseluruhan yang teratur” semua
bisa dirumuskan baginya. Wajar saja, Cak Nun yang
mengatakan “dunia adalah tempat ketidak pastian, dan

182
manusia adalah makhluk ketidak pastian” memang belum
lahir. Tapi berbeda bukan dosa, tak apalah.
Pak dosen juga bercerita masa mudanya, yang
pernah menuliskan sesuatu tentang malam. Malam yang
datang kala mentari mohon diri. Mengutip syair lagu Pas
Band “malam hari tetaplah malam, tak pernah dia
menghilang..” ya, dalam gemerlap bintang ataupun
kelabunya mendung, malam tak akan dibahasakan siang.
Mungkin si teoris (behavioristik) itu terlupa dengan satu
pepatah klasik inggris “there is nothing new under the sun”
dan belum pernah mendengar lagu Scorpion “and we are
live under the same sun..”
Semoga ini tidak dimaknai menari di atas kesedihan
orang lain. Tapi kata Derrida, tidak ada selain distorsi
sebagai akibat dari penafsiran yang berbeda. Sudahlah,
terserah saja..

Embun pagi ini,


segar dan bening,
lembut dan dingin,
Seperti embun kemarin.

Usia terlalu singkat,


untuk terus berharap.
Jiwa terlalu lemah,
untuk selalu pasrah.

Innalillahi wainnailaihi roji’un..

183

Anda mungkin juga menyukai