Komunitas Embun Pagi - A5
Komunitas Embun Pagi - A5
Psikososiofisiomikrobioantropogeoteknologi......................... 29
Ahmad Fahmi Mubarok
Beberapa Tanggapan................................................................ 32
Muhammad Taufiqurrohman
2
Pendidikan Politik Bagi Kaum Tertindas ................................ 62
Awaludin Marwan
3
Melintas yang Sepintas ; Budaya
Mas Goen,
Jawablah Pertanyaan-Pertanyaanku Jika Kau Mencintaku .... 115
(Surat buat Goenawan Mohamad)
Muhammad Taufiqurrohman
4
PRINSIP ................................................................................... 169
Giyanto
5
Melintas yang Sepintas ; Filsafat dan
Basis Epistemologis
Menggugat Epistemologi Ilmu Sosial
Oleh : Giyanto
6
percaya diri-an dalam menggunakan kajian deskriptif
ataupun analisis non statistik sudah lama tumbuh dalam
pikiran para ahli Ilmu Sosial. Ejekan-ejekan yang sering
saya baca di buku-buku Filsafat Ilmu –misal Filsafat Ilmu
karya Jujun Suryasumantri- oleh para pakar, saya kira telah
memicu penyakit “kurang percaya diri” tersebut. Ejekan
bahwa tanpa Matematika ataupun Statistik, Ilmu Sosial
menjadi kurang sahih, menurut saya sangat tidak
beralasan.
Logika Ilmu sosial sangat berbeda. Obyek kajian
Ilmu Sosial tidak seperti obyek Ilmu Alam yang cenderung
tetap. Obyek ilmu alam tidak memiliki relasi yang dinamis
dengan variabel di luarnya, relasi yang ada cenderung tetap.
Berbeda dengan kajian Ilmu Sosial yang mempunyai relasi
yang tidak tetap terhadap variabel-variabel di luarnya.
Seandainya manusia hanya dipengaruhi oleh variabel-
variabel tetap diluarnya dan tidak berusaha untuk
membalikkan stimulus yang ada, yang barangkali kemudian
balik menanggapinya dengan respon secara timbal balik,
saya kira itu bukan manusia, tapi lebih dekat dengan robot.
Manusia yang harus menunggu stimuli sehingga
memberikan respon, sekali lagi, saya kira itu bukan
manusia.
Sependapat dengan Einstein ketika ditanya
mengenai persoalan-persoalan epistemologis ilmu tentang
tindakan manusia: Bagaimana mungkin matematika,
sebagai produk pikiran manusia yang tidak bergantung
pada pengalaman apapun, dapat begitu pas dengan
obyek-obyek realitas? Apakah akal manusia mampu
menemukan, tanpa bantuan pengalaman, melalui akal
semata ciri-ciri benda-benda yang nyata? Dan jawabannya
adalah: ”Sejauh teorema-teorema matematika mengacu
pada realitas, maka tidaklah pasti, dan sejauh mereka
pasti, mereka tidak mengacu pada realitas”.
7
Kecenderungan epistemologis yang muncul baru-
baru ini merupakan reaksi ketidakpuasan dari patron
metodologi yang ada. Keberanian para ahli Antropologi
untuk memakai metode grounded search merupakan cikal
bakal "pemberontakan” tersebut, walaupun ada sedikit
"malu-malu" untuk menggunakannya. Yang juga-dan
masih- menyerang akut saat ini, adalah virus yang sama,
yang merasuk dalam Ilmu Ekonomi. Dan saya memprediksi
virus-virus ketidakpuasan terhadap ketidakmampuan Ilmu
Ekonomi dalam usaha memprediksi setiap permasalahan
ekonomi, akan membawa kita (kembali) mengakui
kesahihan metode yang barangkali dianggap purba, yaitu
praksiologi.
Anjloknya bursa saham di Amerika Serikat telah
membuat Negara-negara di seluruh dunia menjadi was-
was. Berbagai analisis ekonomi yang saya baca masih
cenderung dangkal. Padahal permasalahan tersebut
sebenarnya hanya membutuhkan solusi sederhana yang
telah seringkali disampaikan orang tua kita, yang secara
ilmiah bukan "pakarnya”-setidaknya menurut pakar Ilmu
Ekonomi. Atau, solusi tersebut dapat diungkap dari nilai-
nilai klasik Cina maupun Jawa Kuno.
Tidak bermaksud menjadi kiri. Tulisan ini
sebenarnya ingin mengatakan bahwa apa yang kita yakini
dalam epistemologi yang dipakai secara umum oleh ahli
Ilmu Sosial sebenarnya semakin menjauhi kebenaran atau
realitas itu sendiri. Dengan kata lain, saya sebenarnya lebih
mengiyakan pandangan subyektfivitas a la Thomas Kuhn,
atau yang lebih kontemporer barangkalai Fritjof Capra.
Entitas sosial, apabila dianalogikan ibarat sebuah
sistem tubuh dalam logika biologi, atau jaring laba-laba
dalam analogi Rothbard. Jadi, seandainya paradigma yang
ada sekarang memakai paradigma empiris “obyektif”
dengan kacamata ilmu pengetahuan alam, bukan tidak
8
mungkin, para ahli ilmu sosial yang sekarang “menjabat”
atau meneliti dan menulis di jurnal ilmiah telah melakukan
sesuatu yang sia-sia dan menghabiskan waktu. Ini berarti
terdapat satu generasi yang hilang-atau buta-terhadap
pencerahan ilmu tentang manusia.
Saya menyadari konsekuensi mengatakan yang
demikian. Apabila benar-benar diterapkan mengenai
paradigma yang saya yakini, bukan tidak mungkin, semua
struktur kelembagaan yang ada di dunia akademis berubah
total. Dan ini, menurut saya, tidak akan mungkin dilakukan
karena para akademisi akan lebih mementingkan
kepentingannya sendiri atau hak mereka untuk ber-status
quo, karena terkait dengan profesi, daripada benar-benar
melakukan tanggungjawab ilmiah dalam memperjuangkan
kebenaran secara ilmiah pula. (apalagi ide-ide tersebut
hanya dikatakan oleh “anak kecil”, seperti kita)
Akan tetapi, seperti yang dikatakan Hayek, bukankah
tugas intelektual untuk “memasarkan ide” dan selalu
mengingatkan setiap penyimpangan yang ada di
masyarakat, termasuk dunia akademis? Mengenai peran
untuk mendebatkannya, secara filosofis sudah dilakukan
oleh orang-orang, yang setidaknya sudah saya sebut dalam
tulisan ini.
Begitu banyak bukti-bukti mengenai subyektvitas
Ilmu Sosial. Sejarah perjuangan Ideologi, ataupun sejarah
penemuan teori-teori di bidang Ilmu Alam telah dapat
menjadi bukti bagi seringnya ketersesatan perjalanan
penegakan Ilmu Pengetahuan pada jalurnya. Nasib tragis
yang dialami oleh Wegener dalam memperjuangkan teori
continental drift bisa dijadikan kasus, atau nasib Galileo,
Copernicus, dan begitu banyak teoritikus lainnya yang
bernasib sama. Dan dalam bidang ekonomi, saya
memprediksi pandangan-pandan Ludwig von Mises akan
berdengung keras di dunia akademik Ekonomi setelah
9
tersia-siakan oleh masyarakat akademis, yang tidak lepas
dari pengaruh kepentingan-kepentingan politis. Dalam hal
ini, saya yakin kebenaran akan berbicara dengan sendirinya
entah suatu saat nanti.
Namun demikian, sebuah fakta sejarah kurang
lengkap apabila dipergunakan sebagai bukti ilmiah. Bukti
yang ada di depan mata, ialah mandulnya peran ilmuwan
sosial di masyarakat umum. Bahkan seringkali orang-orang
yang memiliki pengaruh ilmiah dalam ilmu sosial, biasanya
adalah orang-orang “terpinggirkan” dalam dunia akademik.
Bukankah ini merupakan bukti kecil dari fenomena
tersebut? Contoh lain barangkali bisa dilihat dari
produktivitas karya-karya sosial. Dari pengalaman saya
sebagai pembaca, pandangan-pandangan sosial malah
sering muncul dari mulut-mulut yang bukan ahlinya.
Semisal yang sering menjadi kasus di Indonesia ialah
profesi wartawan, sastrawan, peneliti lepas, pebisnis dan
lain sebagainya.
Sebagai tambahan, hasrat untuk menyerukan
kebenaran ilmiah sebenarnya sudah menjadi bawaan bagi
setiap manusia yang berfikir. Dan apabila ada yang
sebagian, atau bahkan kebanyakan diam, itu disebabkan
keberadaan mereka di struktur internal organisasi, yang
menerapkan paradigma yang cenderung represif terhadap
orang-orang semacam itu. Toh apabila orang-orang yang
“berfikir” tersebut mengetahui, mereka akan memilih diam
daripada memilih melakukan “keributan” yang barangkali
akan dicap “berisik” dan membikin onar -barangkali dalam
bentuk ekstrim dituduh mencari popularitas.
Analisa lain yang saya tuduhkan, kalau bisa
dikatakan sebagai gugatan, terkait keberadaan bangsa
Indonesia yang dalam “kelahirannya” berbarengan, atau
bisa dikatakan “disebabkan” oleh pertarungan ideologi-
ideologi besar. Pengaruh sosialisme dari tahun 1945-1965,
10
dan selanjutnya pengaruh liberalisme a la Anglo Saxon dari
tahun 1966 sampai sekarang, masih menjadi landasan
“darimana” gagasan itu seharusnya muncul, sehingga bisa
dikatakan sahih. Apakah kesahihan sebuah ilmu hanya
didasarkan pada latar belakang geografis, budaya,
peradaban, atau apapun itu? Saya kira pandangan tersebut
menandakan kesempitan befikir.
Sebuah paradigma seharusnya bisa diterima apabila
dia dapat dipergunakan untuk menjawab permasalahan
yang ada, dalam hal ini permasalahan sosial. Dan sekarang
kita malah menjauhi dari idealisme tersebut.
Hal-hal di atas sebenarnya merupakan idealisme
dari seorang yang frustasi. Lebih parahnya, bila melihat
seretnya penerbitan berkala di dunia akademik, bisa
dikatakan dunia akademik kita sebenarnya telah mati suri.
Dari kasus yang sekarang saya temui, penerbitan-
penerbitan jurnal malah lebih banyak dilakukan oleh pihak-
pihak yang berada si luar lingkaran akademik. Mereka
sebagian berdiri disebabkan oleh berbagai motif. Namun,
tanpa menyelidiki motif tersebut, seharusnya kita patut
mengapresiasinya dengan pikiran terbuka.
Beberapa kasus tersebut, seharusnya menjadi
refleksi semua pihak, termasuk intelektual, bahwa
tanggungjawab ilmiah sebenarnya dapat diperankan oleh
berbagai macam profesi, dan tidak harus sebagai filsuf yang
seringkali diimpikan oleh para intelektual, jika hanya ingin
meninggikan strata ilmiahnya.
Dari fakta tersebut, terlihat begitu jelas, sehingga
mempengaruhi keyakinan saya pribadi untuk mengambil
posisi, walaupun harus tertatih-tatih dengan cara berputar-
putar berpindah profesi, hanya sekedar mencari dan terus
mencari apa yang harus dan patut diperjuangkan. Selain
ketersesatan penggunaan paradigma, kita juga telah kurang
11
sesuai dalam menggunakan alur berfikir logis dalam upaya
menelaah sumber permasalahan ilmu sosial.
Cerita singkat mengenai perjalanan panjang
diakuinya teori continental drift barangkali bisa dijadikan
inspirasi. Dari perspektif historis Ilmu Alam, saat Alfred
Lothar Wegener menemukan teori continental drift, mula-
mula dia hanya sekilas melihat gambaran peta Amerika
Selatan dengan garis pantai barat Afrika yang begitu
identik. Wegener membayangkan bahwa kedua benua
tersebut pernah menyatu. Baru kemudian dia
mengumpulkan detail-detail penemuan yang ada, untuk
mendukung teorinya. Padahal, penelitian geologis telah
lama dilakukan oleh para geolog yang hanya memfokuskan
detail-detail geologi tanpa membayangkan gambaran muka
bumi secara keseluruhan. Akhirnya argumen Wegener
mendapat bantahan tanpa pengujian terlebih dahulu dari
para ahli geologi yang merasa paling tahu pada bidang
tersebut. Namun demikian, Wegener bersikap tak acuh dan
menikmati bidangnya dalam Klimatologi. Hingga 60 tahun
kemudian kebenaran ilmiah terungkap dan bukti-bukti
yang mengarah bahwa benua itu bergerak semakin banyak.
Barangkali sejarah tersebut bisa terulang dengan
cerita terbalik. Para ahli ilmu sosial, termasuk para
ekonom, selama ini telah terlalu menyederhanakan dan
terlalu menggeneralisasikan manusia melalui sederet
angka-angka. Sekumpulan data administrasi yang belum
tentu kesahihannya telah menjadi agregat-agregat yang
dianggap mewakili manusia, tanpa menyelidiki pada tingkat
mikro apa yang sebenarnya dilakukan manusia, apa alasan
mereka melakukan sesuatu, dan bagaimana mereka
bertindak untuk mencapai tujuan tersebut. Sehingga, hanya
orang-orang jalanan atau praktisi yang mengetahui dengan
jelas tapi-sangat disayangkan-mereka kurang mampu
menyatakannya secara argumentatif, tertulis, dan
12
mendasarkan pada teori yang sahih, untuk menjelaskan
permasalahan yang dihadapinya.
Sebagai contoh, petani sering mendapati nilai harga
beras mereka lebih rendah, jika dibandingkan dengan
barang kebutuhan konsumsi yang lain. Apabila sekarang
harga beras ditingkat dasar mencapai Rp. 4000,- bisa jadi
harga di tingkat konsumen mencapai Rp. 5.000,-.
Walaupun begitu, dalam mekanisme pasar hal tersebut
dapat diterima, karena jalur distribusi yang terlalu panjang.
Namun, yang lebih memprihatinkan, dengan harga dasar
Rp. 4000,- seandainya dibandingkan dengan harga
komoditas lain serta ditambah faktor-faktor produksi yang
dibutuhkan dalam pertanian yang harganya terus naik,
maka nilai beras dengan nominal yang demikian sangat
tidak berarti. Akibatnya, dalam istilah ekonomi, akan
terjadi defisit anggaran yang dialami petani. Tindakan yang
sering ditempuh petani, dengan menyewakan salah satu
sawahnya untuk menyokong biaya produksi pada tiap awal
musim tanam. Dan hal tersebut terus berlarut-larut
sehingga para petani tidak pernah mengalami keuntungan
sama sekali disebabkan oleh kebijakan-kebijakan
pemerintah yang sifatnya inflasif (semakin membuat
rendah nilai barang, dalam hal ini beras). Belum lagi biaya-
biaya keluarga seperti pendidikan, listrik, pajak dan lain
sebagainya.
Permasalahan tindakan-tindakan manusia
berdasarkan pilihan-pilihan yang demikian sulit, apakah
ilmuwan sosial atau ahli ekonomi mengetahuinya? Saya
masih ragu hal demikian diketahui oleh ilmuwan yang
duduk manis di mimbar akademik yang sangat terhormat.
Dan apakah data-data yang dianggap subyektif tersebut
bisa digunakan oleh pemerintah untuk mengambil
kebijakan? Paling-paling yang digencarkan malah iklan
13
pembayaran pajak agar tepat waktu. Suatu paradoks yang
sering terjadi di hadapan kita.
Fenomena-fenomena pemiskinan secara sistematis
tersebut sering dianggap sebagai hal yang remeh-temeh.
Bahwa permasalahan sosial yang demikian, dianggap
terjadi secara kasuistik dan parsial. Bukti yang bisa
dianggap sahih ialah pertumbuhan ekonomi yang tinggi
melalui angka-angka. Dengan demikian laporan
pertanggungjawaban pemerintahan dapat diterima oleh
rakyat yang diwakili oleh anggota legislatif melalui “data-
data” yang telah dianalisis oleh kementrian ekonomi.
Sebuah sandiwara yang selalu terulang setiap lima tahun
sekali.
Memang tidak mudah menerapkan paradigma
Individualisme Metodis dalam epistemologis Ilmu Sosial.
Mises telah memperingatkan:
Meyakini bahwa keseluruhan kolektif itu dapat
divisualisasikan adalah suatu ilusi.
Keseleruhan kolektif tidak pernah dapat
dilihat; kognisinya selalu merupakan hasil
dari pemahaman atas makna yang diberikan
manusia pada tindakannya. Kita memang
dapat melihat keramaian, misalnya
kerumunan manusia. Apakah kerumunan itu
hanya sekedar pertemuan, ataukah sebuah
badan teorganisasi, atau jenis lain dari entitas
sosial, merupakan sebuah pertanyaan yang
hanya dapat dijawab oleh pemahaman akan
makna yang mereka berikan terhadap
keberadaan tersebut. Dan makna ini selalu
merupakan makna dari individunya.
Bukankah indera kita, melainkan pemahaman
kita, sebagai sebuah proses mental, yang
membuat kita memahami entitas sosial.
14
Mises menambahkan :
Siapa saja yang bermaksud memulai kajian
tentang tindakan manusia dari unit-unit
kolektif, akan mendapati rintangan tak terperi
berupa kenyataan bahwa setiap individu pada
saat yang sama juga dapat merupakan bagian
nyata dari beragam entitas kolektif.
Persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh
mulitiplisitas unit-unit sosial yang
berkoeksistensi dan antagonismeantagonisme
mutual mereka dapat diatasi hanya melalui
individualisme metodologi.
Singkat kata, sekarang kita tidak hanya melakukan
kesalahan terbesar abad ini, namun dengan menyengaja,
kita, masyarakat ilmiah, telah membodohi masyarakat
umum yang seharusnya tercerahkan oleh keberadaan ilmu
pengetahuan.
Salah satu dosen pernah mengatakan dengan enteng;
“bahwa abad dua puluh ialah abad kuantitatif”. Namun
dalam hati saya mengatakan “abad dua puluh ialah abad
kegelapan”. Memang sangat mudah melupakan sebuah
kesalahan yang tidak merugikan diri sendiri.
Saat mengetahui fakta yang demikian, terasa sulit
menerima bahwa yang selama ini kita lakukan sia-sia.
Namun, setidaknya tumbuhnya kesadaran lebih awal akan
menjadikannya lebih baik. Walaupun mengetahui bahwa
kita keliru dalam melakukan permulaan, setidaknya satu
hal penting adalah ahli ilmu sosial, termasuk ekonomi,
sudah melakukan sesuatu dengan niat yang tulus.
Harapan dari penulisan ini bukan bermaksud
meniadakan arti penting Ilmu Sosial maupun Ekonomi, tapi
lebih pada pencarian dalam upaya mendekati kebenaran,
sehinga Ilmu sosial menjadi lebih bermanfaat bagi
15
kehidupan riil yang dapat membentuk kesadaran bagi umat
manusia.
Dari ulasan di atas, suatu keharusan bagi ahli Ilmu
Sosial untuk dapat memulai berusaha mengetahui dan
menyelidiki tatanan sosial yang ada, dengan apa adanya,
melalui penelitian-penelitian lanjut yang dilakukan peneliti
atau penulis lain, sehingga dapat mendiagnosis
permasalahan-permasalahan sosial dengan kacamata yang
tepat. Dengan demikian, sedikit demi sedikit kita dapat
mengetahui serta memanfaatkan modal sosial yang selama
ini belum terurai jelas, agar dapat digunakan sebagai
fondasi dalam membangun masyarakat yang lebih baik.
16
Logis Saja Sudah Cukup?
Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok
18
mungkin akan terjalin hubungan yang indah (estetis) dan
tidak terkesan urakan.
Sedikit menggeser kursi agar didapat angle yang
berbeda, apa yang terjadi mungkin bukan lagi
permasalahan salah pegang kunci maupun hirarki logis-
etis-estetis. Namun sebagaimana prinsip probabilitas dalam
dunia ilmiah, ada kemungkinan yang terjadi hanyalah
saling menunjukkan eksistensi baik individu maupun
golongan.
Secara psikologis pengakuan dan penerimaan
sebagai tujuan dari pertunjukan eksistensi merupakan
kebutuhan setiap manusia. Hanya saja sebagai makhluk
yang berbudaya, manusia lebih suka jalan berliku untuk
mencapai tujuan sekedar menghindari pertentangan
dengan norma, nilai-nilai, dan hukum yang berlaku. Karena
tuntutan sebagai makhluk yang berbudaya adalah dasar
pembedaan manusia dan hewan, tak sepantasnyalah
manusia memilih mengabaikan norma, aturan, dan hukum
yang berlaku untuk mencapai tujuannya. Menunjukkan
eksistensi dengan tetap memberikan jalan pada eksistensi
lain, sebagaimana diungkapkan Voltaire dengan indah, ”aku
tidak setuju denganmu, bukan berarti melarangmu untuk
mengatakannya”.
19
Psikologi, Lagi dan Lagi
Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok
Teknopsikologi-psikoteknologi
Mungkin berawal dari sebuah pengandaian adanya
garis korelasi antara fenomena-fenomena tersebut dengan
psikologi, yang dilihat melalui kacamata analisis Alvin
Toffler.
Toffler menyatakan bahwa setiap jenis teknologi
menghasilkan lingkungan teknologi (teknosfer) yang khas.
Teknologi menjadi penyedia akses bagi mengalir dan
bertukarnya informasi, yang mewarnai budaya informasi
(infosfer). Infosfer yang terbentuk, pada akhirnya juga akan
membentuk, atau setidaknya mempengaruhi norma-norma
dan nilai-nilai dalam kehidupan sosial (sosiosfer). Dan
karena “keterlanjuran” kodrat manusia sebagai makhluk
sosial, maka perubahan sosiosfer juga berpengaruh masing-
masing individu secara personal dalam ranah psikologis.
Dan inilah, yang disebut lapisan psikosfer. Sambil lalu,
analisis Toffler terlihat mantap dan seolah-olah
mendeskripsikan fenomena global yang dihadapi oleh
manusia sekarang ini.
Tetapi, benarkah semua manusia?
Apa yang dianalisis oleh Toffler, tentu saja berasal
dari berbagai informasi diadapatkan dan dia ketahui,
adalah apa yang bersentuhan dengannya, baik melalui pikir,
rasa, maupun indra. Tetapi, tesis tentang Global village,
istilah yang dipinjam dari Marshal McLuhan, bukanlah
“tesis paska fenomena”. Tesis tersebut adalah sebuah
prognosis (prediksi), dan tentu saja berdasarkan indikasi
dan diagnosis yang dia temukan. Global Village, bukanlah
22
sesuatu yang telah terjadi, dalam arti tidak semua rentang
geografis yang berkelok-terjal bisa teratasi oleh jejaring
teknologi.
Toffler mungkin lupa, masih ada kata “kesenjangan”
di antara jutaan kata dalam kamus. Kata tersebut tetap
menjadi lubang hitam dalam perbincangan kali ini.
Akselerasi, justru bersesuaian dengan peribahasa Jawa
kebat klewat gancang pincang. Berjalan begitu cepat,
tetapi juga banyak yang terserak-tercecer olehnya. Agaknya
Toffler terlalu meyakini keberlakuan konsep Mcluhan, dan
menariknya terlalu jauh ke dalam ranah psikologi. Dia yang
sama sekali tidak menyentuh tentang dirinya, mencoba
meraba apa yang dia lihat, tetapi mengatakan telah
memegang dirinya.
Meskipun dunia telah dilipat dalam televisi, tetapi
lipatan itu tetap merupakan keadaan yang “seolah-olah”.
Semua manusia tak pernah hidup dalam satu desa, yang
global sekalipun. Kecepatan dan percepatan memang bisa
“mereduksi” waktu, tetapi tak bisa mereduksi ruang
(bahkan “mereduksi” pun tidak), sedangkan manusia hidup
dalam dimensi ruang sekaligus waktu. Manusia, tetap
berkeringat dan sesekali menghela nafas meski menaiki
pesawat super untuk mengelilingi dunia. Dan laris-
manisnya psikologi saat ini, justru memperlihatkan secara
gamblang bergesernya refleksi, yang telah tergantikan oleh
ucapan ”mari bersenang-senang”
23
Motivator & Humanity
Oleh : Abdul haris Fitrianto
Industrialisasi-konsumerisme-motivator
Modernitas dengan industrialisasinya telah
melahirkan konsumerisme. Berbagai perusahaan, dengan
menggunakan perusahaan penyiaran dan iklan telah
25
meninggalkan ’residu’ ingatan tentang berbagai produk
dalam alam prasadar setiap individu berupa image atau
brand. Tanpa disadari, ini menjadi suatu sublimal
conditioning pengkondisian kognitif yang berlangsung
dalam alam prasadar, setingkat di bawah kesadaran)
personal. Jika dikaitkan dengan kebutuhan pada setiap
orang. Selain itu berbagai metode pemasaran yang
dianggap ’bebas nilai’ didorong sehingga dapat diterima
oleh berbagai masyarakat dengan latar belakang kelas,
budaya, dan primordialisme yang berbeda-beda. Dari
sinilah paradigma konsumerisme di ditanamkan.
Konsumerisme ini seakan menemukan daur-nya
dalam hasil–hasil produksi perusahaan (karena memang
itu yang diharapkan). Layaknya hukum permintaan-
penawaran, gaya hidup konsumis ini membutuhkan respon
dari perusahaan dengan cara menggenjot produksi.
Menggenjot produksi, berarti menyusun strategi agar
volume produksi ajeg dalam kisaran tertentu. Dan agar ajeg
dalam kisaran tersebut, maka dibutuhkan strategi kerja
yang optimal dari seluruh lini departemen dan karyawan.
Berarti, agar kinerja karyawan selalu optimal, (selain
keputusan pemegang kebijakan strategis perusahaan) maka
tugas motivator-dan kebijakan direksi melalui HRD- adalah
memotivasi, membentuk karakter, dan mengembangkan
potensi. Hal ini menjadi ’nutrisi’ wajib agar kepentingan
perusahaan tercapai. Maka dari itu dalam konteks
industrialisasi atau sistem ekonomi kapitalistik, peran
motivator menjadi vital.
Dehumanisasi?
Pelatihan dan pengembangan SDM dalam konteks
industri telah berkembang menjadi bisnis yang
menjanjikan. Semakin Padat industri, semakin banyak
trainer, motivator, dan konsultan SDM yang dibutuhkan.
26
Semakin banyak job dari perusahaan, semakin melambung
pula ’nilai tukar’ para ’pebisnis mental’ tersebut. Dari
kondisi inilah para motivator saling berkomptetisi
mendapatkan job dari perusahaan.
Suatu kondisi keseimbangan menuju kemanusiaan
menjadi rentan apabila; Perusahaan hendak membeli
program pelatihan dan pengembangan dengan harga
murah, sementara para motivator (dengan lembaga
pelatihan dan pengembangannya) harus berjibaku dengan
sesamanya untuk mendapatkan project tersebut. Maka
kondisi ini potensial memunculkan dilema;
mempertahankan kualitas ideal program pelatihan dan
pengembangan, atau mengukur kualitasnya berdasarkan
harga yang diberikan perusahaan. Dengan bahasa lain,
pelatihan dan pengembangan tidak lagi dihadapkan pada
tujuan mengoptimalkan seluruh potensi pada setiap
individu, tetapi ’disunat’ seperlunya untuk mengaktifkan
potensi individu (karyawan) yang sesuai kebutuhan
perusahaan saja. Potensi manusia ditukar berdasarkan
’nilai dan guna’.
Lebih lanjut, dengan kondisi seperti di atas, maka
pengembangan SDM diarahkan untuk memenuhi target
perusahaan. Sedikit mengingat cita–cita luhur humanis
yang ”memanusiakan manusia”, maka setiap orang
mempunyai hak memperoleh kesempatan untuk
mengaktualisasikan segala potensinya. Apapun potensinya,
sekecil apapun potensi itu. Bertolak dari pandangan
tersebut, maka sebagai salah satu profesi yang bergerak
dalam bidang pengembangan SDM, sudah semestinya para
motivator menyadari dan mempraktikkannya. Jika
pengembangan SDM tidak di dasarkan pada tujuan
humanisme, maka dalam batasan yang luas hal itu
menjurus pada dikategori dehumanisasi.
27
Terakhir, ketika objek pengembangan SDM itu
adalah manusia, kenapa praktiknya tidak disandarkan utuh
pada prinsip–prinsip kemanusiaan? Atau disandarkan pada
prinsip kemanusiaan, tetapi hanya setengah hati? Prinsip
kemanusiaan yang ’disunat’?
28
Psikososiofisiomikrobioantropogeoteknologi
Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok
30
Bahkan, untuk keluar dari ruang untuk melihat
ruang, atau keluar dari rentang waktu untuk melihat
jalannya waktu, juga sebuah kemustahilan. Sedangkan
keduanya, waktu dan ruang adalah anasir dari realitas.
Satu-satunya yang bisa dipahami dari realitas adalah
sesuatu yang bersentuhan langsung, baik melalui pikir,
rasa, maupun indra. Maka, logos, paling tidak harus
bersesuaian dengan hal tersebut. Baik logos dimaknai ilmu
maupun kebenaran, ataupun logos yang di-sebagai-kan
ilmu maupun kebenaran. Dan logos itu sendiri, selalu
didahului oleh pembacaan, yang merupakan keseluruhan
dari sensasi, persepsi, dan interpretasi. Atau, haruskah
terjadi penambahan “logologi” dalam daftar mata
pelajaran? Semoga saja tidak.
31
Beberapa Tanggapan
Oleh: Muhammad Taufiqurrohman
36
“Pertarungan” Kaum “Liberal”: Kontradiksi
Berfikir Bryan Caplan
Oleh: Giyanto
39
Setelah Postmodernisme
Oleh : Edi Subkhan
40
membuat kategori, klasifikasi, dan taksonomi hilang (2004:
37).
Realitas baru tersebut, dengan mengambil perspektif
budaya, disebut Yasraf sebagai panorama kebudayaan yang
seakan-akan bagaikan tubuh tanpa organ, atau setidak-
tidaknya tubuh yang mengalami kekacauan organisme.
Fenomena ini telah meninggalkan berbagai enigma (teka-
teki, misteri) yang harus dicari jawabannya, berbagai
ketidakpastian harus dicarikan tafsirannya, dan berbagai
indeterminasi harus dicarikan maknanya. Realitas baru ini
tiada lain adalah produk dari modernitas yang meyakini
manusia dan kesadaran sebagai sentrum dan motor
penggerak kemajuan peradaban. Yasraf menyatakan, bahwa
para pemikir posmodern seperti Lyotard, Jameson, Hyssen
pada umumnya melihat perspektif yang sama mengenai
peralihan dari modernitas menuju posmodernitas. Mereka
rata-rata sepakat bahwa sifat-sifat kemajuan, rasionalitas,
dan universalitas yang mencirikan modernitas dianggap
telah berakhir. Dan konon kita kemudian memasuki
wacana posmodernitas yang dicirikan oleh titik balik
kemajuan, irasionalitas, dan pluralitas, dan perjalanan ke
masa lalu.
Peralihan dari Narasi Besar (metanarasi) seperti
komunisme, imperalisme, feminisme etnosentrisme,
eurosentrisme ke arah narasi-narasi kecil seperti
kebudayaan, lokal, dan etnik merupakan ciri dari kondisi
posmodernitas seperti yang digambarkan oleh Lyotard,
sebetulnya masih belum dibuktikan oleh pelbagai realitas
yang ada. Yasraf menyatakan bahwa yang terjadi di negara-
negara Eropa Timur adalah disintegrasi menjadi negara-
negara kecil yang merdeka, yang justru berkembang pesat
adalah kebudayaan kapitalisme global beserta ekses
prostitusi, diskotik, McDonald, komodifikasi olahraga,
industrialisasi budaya, dan sebagainya.
41
Di titik inilah Yasraf bergerak melewati
posmodernitas menuju ke arah ekstrimitas, yakni suatu
kondisi ketika segala sesuatu berkembang melampaui batas
ilmiahnya, ketika segala sesuatu bergerak melewati
maksimumnya, ketika segala sesuatu meloncat
meninggalkan titik terjauhnya. Yasraf mencontohkan
operasi plastik, misalnya, adalah kondisi ketika rekayasa
tubuh telah berkembang melampaui sifat alamiah dari
tubuh itu sendiri; kloning (reproduksi organis lewat
rekayasa genetika) adalah kondisi ketika rekayasa
reproduksi telah melewati sifat alamiahnya dari reproduksi
itu sendiri; teledildonik, yaitu ketika seks melalui dan/atau
terhadap jaringan komputer adalah kondisi ketika kegiatan
seks tidak lagi berada di dalam seksualitas yang alamiah;
lagi, perkembangan Super Mall misalnya, adalah suatu
kondisi ketika pasar bukan lagi sekadar transaksi jual-beli,
tetapi telah berkembang menjadi arena difusi kebudayaan,
penanaman nilai-nilai, dan transaksi gaya hidup.
Di titik inilah Yasraf menyatakan, bahwa yang
dihadapi sekarang bukanlah berhentinya pergerakan sosial-
budaya sebagaimana dicirikan oleh diskursus seni
posmodern, melainkan semakin meningkatnya percepatan
sosial dan kebudayaan, sehingga ia berkembang ke arah
titik melampaui sosial dan kebudayaan itu sendiri. Memang
sifat-sifat modernitas seperti kemajuan, rasionalitas, dan
universalitas sebenarnya belum berakhir. Dengan menyitir
Jean Badrillard, semuanya berkembang ke arah hyper,
yaitu kondisi ketika setiap sifat atau aktivitas sosial
berkembang ke arah titik ekstrim, ke arah kondisi
melampaui batas-batas alamiahnya. Wacana sosial dan
kebudayaan sekarang menuju pada kondisi
hipermodernitas (hypermodernity), yaitu kondisi ketika
segala sesuatu bertumbuh lebih cepat, ketika tempo
42
kehidupan menjadi semakin tinggi, ketika setiap wacana
bertumbuh ke arah ekstrim.
Globalisasi telah menggiring ke arah berakhirnya
sosial atau lenyapnya batas-batas sosial. Konsep seperti
integrasi, nasionalisme, persatuan, kesatuan, dan
solidaritas, tampak semakin kehilangan realitasnya, dan
pada akhirnya menjadi mitos. Proses akhir sosial ini
dipercepat dan mencapai keadaan maksimalnya di tangan
media dan informasi seperti televisi dan internet yang
menciptakan berbagai simulasi relasi sosial. Sekarang yang
ada bukanlah komunitas yang diikat oleh satu ideologi
tertentu, melainkan individu-individu yang satu sama lain
saling berlomba dalam sebuah arena duel, kontes
tantangan, rayuan, dan godaan masyarakat konsumer
(bukan konflik sosial sebagaimana yang dikatakan Marx).
Batas antara dunia anak-anak dan dunia orang dewasa tak
dapat dipilah lagi ketika majalah porno, video biru, atau
disket cyberporn yang dapat dibaca baik oleh anak-anak
maupun orang dewasa; batas antara proletariat dan borjuis
lenyap dalam arena konsumerisme; batas antara penguasa
dan teroris lenyap di tangan simulasi teroris sebagaimana
teror yang direkayasa oleh penguasa sendiri; dan batas
antara kebenaran dan kepalsuan lenyap di tangan
hiperealitas media dan informasi.
Di era hipermodernitas ini, salah satunya adalah,
realitas kebudayaan sarat oleh citraan (image) yang datang
dan pergi silih berganti dengan kecepatan tinggi.
Sebagaimana gejala obesitas atau kegemukan yang melanda
masyarakat kontemporer, kita pun kini berada di dalam
semacam obesitas citraan dan informasi, yakni semacam
kelimpahruahan informasi dan citraan. Dengan kata lain,
kita dikepung oleh informasi dan citraan dari segala
penjuru. Tak hanya citraan di dalam media, tetapi dunia
sehari-hari kita pun sudah berubah menjadi citraan-citraan.
43
Segala sesuatu tampak berada di atas panggung, di atas
arena, di dalam layar; segala sesuatu berlomba-lomba di
dalam satu duel citraan, setiap citraan menantang citraan-
citraan lainnya dalam sebuah kontes, di dalam sebuah
rekayasa citraan. Kesegaran informasi dan kecepatan
citraan telah menembus batas-batas teritorial, sehingga
tidak ada lagi batas-batas teritorial atau ruang yang dapat
menahan agresivitas informasi dan fantasmogoria citraan
yang datang dan pergi dalam kecepatan tinggi. Orang yang
merasa aman di dalam rumahnya yang dilindungi oleh
alarm system modern dan pintu otomatis, ternyata tidak
aman dari agresi televisi yang mengubah, meringkas,
mengemas, dan merepdoduksi bencana alam,
pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, kekerasan,
kebrutalan, kesadisan, keserakahan, kecabulan,
ketidakacuhan yang berada di mana-mana dan secara
simultan membawa dan menghadirkannya di atas
panggung tontonan rumah.
Bagi Yasraf, berakhirnya berakhir karena
pertumbuhan, kemajuan, dan kebaruan sebagai ciri
modernitas telah kehilangan spirit. Dengan kata lain,
modernitas telah kehilangan tujuan teleologisnya, dan kini
menjadi bagian rutin dari masyarakat konsumer yang
bergantung pada produksi secara terus menerus yang
dengan demikian sangat bergantung pada kemajuan rutin
semata. Intinya, modernitas telah bergerak melewati batas
tujuan teleologisnya (misalnya masyarakat adil makmur
atau masyarakat tanpa kelas) dan kini menghamba pada
masyarakat konsumer atau kapitalisme global, yang disebut
Yasraf sebagai masyarakat fatalistik yang telah kehilangan
arah tujuan, dan semata menggantungkan serta
menghanyutkan diri di dalam irama produksi dan
konsumsi, pergantian gaya dan gaya hidup, dalam
penampakan dan prestise. Yang diinginkan oleh
44
masyarakat konsumer dan kapitalisme adalah
perkembangbiakan kapital, percepatan produksi dan
konsumsi, dan pergantian seperti image, produk, kebaruan
yang tanpa henti-hentinya. Setiap kategori tidak saja
berkembang biak dalam tempo yang tinggi, akan tetapi
mereka juga rentan terkena kontaminasi. Dalam ranah
sosial dan kebudayaan, seks tidak lagi berada di dalam seks
itu sendiri, tetapi di mana-mana. Politik tidak lagi terbatas
pada jagad politik itu sendiri, tetapi di mana-mana.
Semuanya telah mengkontaminasi ranah kehidupan
lainnya, seperti ekonomi, sains, seni, dan olahraga.
Dengan penjelasan tersebut, Yasraf menyatakan
bahwa sangat tidak memadai dan sulit rasanya untuk
berpijak pada penjelasan mengenai kondisi sosial setelah
berakhirnya modernitas sebagai satu kondisi titik balik
sejarah dan pluralisme radikal, sebagaimana diklaim oleh
para pendukung posmodernitas. Yasraf menyatakan bahwa
dalam millenium ketiga tersebut, terdapat realitas baru
kebudayaan. Pertama, dari abad teknologi ke abad citraan;
kedua, dari era mekanik ke era mikroelektronik; ketiga, dari
realitas ke hiperealitas; keempat, dari order menuju chaos;
dan kelima, dari space menuju hyperspace. Dalam
membahas itu semua, Yasraf mengemukakan beberapa
indikator untuk membahas kondisi tersebut; pertama,
bahwa perkembangan sistem teknologi tampaknya akan
terus berlanjut dan akan memengaruhi keputusan-
keputusan estetik. Ia bahkan berkembang ke arah complex
system bahkan ke arah chaos, bersamaan dengan itu akan
tercipta pula semacam kompleksitas kebudayaan, baik
dalam objek, teknologi, metodologi, dan idiom. Kedua,
tekanan ekonomi pasar bebas telah merubah konsep
manusia posmodern tentang waktu, diri, individu, keluarga,
masyarakat, ruang, waktu, bangsa, dan negara. Ekonomi
pasar bebas menuntut bahwa cara-cara fragmentasi budaya,
45
kelenyapan batas, pastiche, kolase yang mencirikan
posmodernisme tampaknya akan terus berlanjut pada abad
ke-21. Namun, sekali lagi ia akan berhadapan dan
dipengaruhi oleh batasan-batasan moral. Ketiga, tekanan
moral menyangkut kemanusiaan dan lingkungan yang terus
meningkat, termasuk tekanan-tekanan pada objek
kebudayaan.
Dengan tiga indikator tersebut, maka Yasraf merasa
diperlukan pendekatan baru kebudayaan harus diterapkan
menghadapi perkembangan tersebut. Metodologi baru
harus dikembangkan, yang mampu menangani data yang
kompleks, halusinatif, kontradiktif, serta terus berubah.
Dengan agak memberanikan diri, Yasraf menyatakan
bahwa realitas kebudayaan abad ke-21 merupakan
perkawinan yang harmonis antara faktor ekonomi,
teknologi, dan etika, menggantikan perkawinan yang
meriah antara teknologi simulasi dan libido yang menandai
kebudayaan posmodernisme. Yang mungkin terjadi adalah
semacam titik balik dari kondisi yang sebelumnya
diciptakan oleh posmodernisme, yaitu dari kondisi
abnormalitas ke arah normalitas etika, dari vulgaritas ke
arah italitas bentuk, dari amoral ke arah revitalisasi moral,
dari despiritualisasi ke arah respiritualisasi kebudayaan.
Tanda-tanda ke arah ini semakin tampak akhir-akhir ini,
dengan berpalingnya kembali masyarakat pada kearifan-
kearifan masa lalu, pada kekuatan-kekuatan supranatural,
pada keputusan-keputusan irasional, pada agama.
46
Melintas yang Sepintas ; Pendidikan
Matinya Para Filsuf
Oleh : Edi Subkhan
48
Jadi, perlunya filsuf untuk menjaga dan
mengembangkan filsafat yang kemudian menjaga dan
mengembangkan disiplin keilmuan “anak-anaknya” seperti
psikologi, sosiologi, pendidikan dan lainnya. Dalam
kerangka Darwinian maka ranah intelektual adalah
“habitat” (bedakan dengan “habitus” Bourdieu) para filsuf,
namun filsuf tidak seperti manusia dalam pengertian
Darwinian yang menyesuaikan dengan habitat tersebut,
justru filsuf dalam habitat intelektualnya selalu membentuk
habitat tersebut, tidak sekadar pre-determinisme atau
ditentukan oleh taqdir sosial ala August Comte dengan
sosiologi positivis.
Maka permasalahannya adalah ketika habitat
intelektual tersebut juga berubah, seiring berubahnya ranah
sosial di luar ranah intelektual. Persoalannya kemudian
bukan pada bagaimana agar para filsuf dapat bertahan
dalam ranah intelektual yang telah berubah, karena ranah
sosial yang lebih luas tersebut. Ranah sosial yang lebih luas
bukannya menganggap tidak perlu ranah intelektual, tapi
lebih jauh adalah menganggap tidak perlu adanya para
filsuf yang hidup dan menghidupi ranah intelektual tadi.
Dus, matinya filsuf karena dikehendaki oleh ranah
sosial yang lebih luas dan sekarang kapitalistik, adalah
matinya ranah intelektual. Dan matinya ranah intelektual
adalah matinya ranah sosial yang lebih luas, karena ranah
intelektual menopang secara epistemologis-ideologis
kehidupan sosial. Kecuali ketika ranah intelektual
didefinisikan lain, ada redefinisi ranah intelektual yang
“tidak terlalu” memerlukan pemikiran-pemikiran falsafi.
Jadi, bagi saya, problem filsuf sekarang dengan
konteks di Indonesia, bukanlah problem eksistensial-dan
harus survive. Filsuf tidak harus survive, tidak ada
keharusan, tapi keniscayaan adanya filsuf bagi dunia
intelektual dan sosial adalah bagaikan kemestian
49
sebagaimana adanya api untuk panas, “lele” untuk pecel
lele, “ayam” untuk mie ayam; tidak mungkin ada panas
tanpa api, kalaupun ada tidak dapat membakar (intelektual,
nalar, dan lainnya), menjadi aneh pecel lele tanpa ikan lele,
pun aneh mie ayam tanpa ayam, sebagaimana anehnya
intelektual tanpa para filsuf.
Yang penting bukan person filsufnya, tapi adanya
filsuf yang niscaya bagi adanya intelektualisme. Pun jika
dipandang dari konsepsi evolusi filsuf yang diandaikan
Abdul Haris Fitrianto, maka bagi saya “evolusi” filsuf tidak
dalam rangka menyesuaikan alam sekitar, tapi sebaliknya,
yakni membangun alam sekitar, membangun peradaban
manusia, dan “alam sekitar” yang mesti “menyesuaikan”
kehendak filsuf.
Beberapa filsuf “tersebut” sebagian pemikirannya
telah digunakan untuk membangun konsepsi dalam bidang
pendidikan, idealisme Plato misalnya, mengilhami
paradigma pendidikan idealis yang diterapkan secara
letterlijk di Indonesia pada awal kemerdekaan sampai
tahun 90-an. Tentu pemikiran Plato tidak secara langsung,
tapi sebagaimana dikonsep ulang oleh aliran pendidik
idealis, dan lainnya. Driyarkara pun sama dengan
“memanusiakan manusia” dan pendidikan sebagai “proses
pembudayaan”. Tapi sayang semuanya itu sekadar jargon
saja, dan masalahnya sebagaimana saya singgung dulu,
basis filosofis Driyarkara, Ki Hadjar Dewantara, tidak sama
dengan para pelaksana filsafat itu sekarang ini. Jika
demikian, apakah filsuf Indonesia dangkalkah? Bukan
dangkal, tetapi terdapat missmatch, beda komitmen,
dedikasi, dan kemampuan memegang kebenaran dan
hakikat filosofi antara filsuf terdahulu dengan orang-orang
yang mengimplementasikannya sekarang dalam ranah
praksis. Bagi saya tidak ada filsuf yang dangkal, filsuf yang
50
dangkal adalah bukan filsuf, melainkan hanya mengaku
filsuf.
Ada sebuah pameo yang menyatakan bahwa
seseorang belajar filsafat untuk menjadi dosen filsafat, yang
nantinya akan mengajar filsafat kepada mahasiswanya, dan
mahasiswa ini pun akan menjadi dosen filsafat yang kelak
akan mengajar filsafat pada mahasiswa generasi
selanjutnya, begitu seterusnya. Jadilah berputar terus
menjadi semacam lingkaran setan yang tak terputus. Pun
selama ini filsuf dipandang hanya berproduk buku, artikel
ilmiah untuk jurnal-jurnal filsafat; selebihnya secara
immateri adalah konsep dan teori filsafat, pemikiran,
gagasan, ide-ide, dan semacamnya. Filsuf pada akhirnya
dianggap sebagai individu idealis, nyentrik, tertutup, asyik
dengan dunianya sendiri, beberapa di antaranya sering
memantik kontroversi. Dan ini sama sekali tidak menarik
bagi dunia kapitalis yang selalu berlari untuk memupuk
modal materi.
Selama ini belum banyak institusi sosial yang
memerlukan filsuf. Bahkan institusi intelektual seperti
perguruan tinggi, lembaga penelitian, departemen-
departemen di pemerintahan, dan lembaga swadaya
masyarakat (LSM) serasa tidak melihat filsuf sebagai
sebuah modal atau investasi yang layak dilirik dan ditarik
masuk dalam institusi mereka. Satu kasus paling ironis dan
secara tepat menohok dunia pendidikan adalah perguruan
tinggi eks Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP)
yang sekarang menjadi universitas. Hampir semua IKIP
dulu memiliki program studi filsafat pendidikan, namun
lambat laun peminat berkurang, dan pada akhirnya semua
program studi tersebut dihapus secara perlahan sampai
kemudian hilang sama sekali. Ironisnya pula, ternyata
dapat dikatakan minim sekali dosen yang berlatarbelakang
51
filsafat pada universitas-universitas “mantan” IKIP
tersebut.
Pada masa penerimaan dosen yang dicari selalu
latarbelakang sesuai dengan program studi saja, dan tak
pernah mencari lulusan filsafat-atau filsuf-untuk menjadi
dosen di program studi bersangkutan. Sebagai misal,
program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD)
Unnes, tak ada dosen yang khusus berlatarbelakang filsafat,
apalagi filsafat pendidikan. Yang terjadi kemudian adalah,
program studi, jurusan, fakultas, universitas, dan disiplin
keilmuan tersebut menjadi kering, tak ada gairah
intelektual, dan sekadar menjalankan rutinitas akademik
yang sudah tersubordinasi sistem pendidikan kapitalis,
yakni rutinitas memproduksi guru-guru SD yang kemudian
disalurkan ke pasaran. Hasilnya dapat kita lihat,
bagaimanakah pemahaman hakikat keilmuan guru-guru
kita sekarang, pengetahuan tentang analisis ideologi,
wacana, dan diskursus keilmuan kontemporer, termasuk
gairah untuk terus belajar dan menggali dan
mengembangkan ilmu pengetahuannya; tiada!
Pada akhirnya ketika institusi intelektual dan sosial,
termasuk institusi pendidikan, sudah tak merasa
memerlukan filsafat dan filsuf, menghamba pada
kapitalisme, maka kian lama para peminat filsafat, para
filsuf, akan menjadi makhluk langka yang kian puah, dan
pada akhirnya akan mati seiring matinya ilmu pengetahuan
tanpa adanya filsuf.
52
SPL dan Disorientasi Tujuan Pendidikan
Oleh : Muhammad Taufiqurrohman
55
Melampaui hal itu, tujuan pendidikan adalah
menjadikan manusia sebagai ‘tujuan’, yaitu menjadi
manusia seutuhnya. Lalu, apakah mengkomersialkan
pendidikan yang membuat rakyat kecil semakin tidak bisa
menjangkau ‘harga’ atas pendidikan adalah manusiawi?
Apakah sebuah kebijakan yang menyakiti perasaan
kemanusiaan rakyat yang tidak mampu untuk
mendapatkan hak-haknya sendiri untuk mendapatkan
pendidikan adalah manusiawi? Mengapa justru yang tidak
memanusiakan manusia adalah sesuatu yang
mengatasnamakan pendidikan yang justru bertujuan untuk
memanusiakan manusia? Mungkin disinilah letak
persoalannya bahwa SPL dan BHP sebagai bentuk
komersialisasi pendidikan hanyalah efek-efek kecil turunan
dari sesuatu yang jauh lebih mencekam, yaitu disorientasi
tujuan pendidikan nasional kita.
56
Warung Pecel
Oleh : Yogas Ardiansyah
61
Pendidikan Politik Bagi Kaum Tertindas
Oleh : Awaludin Marwan
65
Ruang Publik Pendidikan
Oleh : Edi Subkhan
72
Menengok Diri Serta Pendidikan Kita
Oleh : Giyanto
74
menafkahi anak dan istri- dalam sistem sosial “kewajiban”
itu bisa dikategorikan hak.
Dengan demikian, suatu status yang dalam proporsi
keseluruhan sistem sebenarnya mempunyai kewajiban atau
tanggung jawab yang besar, tetapi dalam praktiknya, hak
lah yang dipentingkan. Maka, secara tidak langsung peran
ideal status tersebut akan terbunuh. Bagaimana bisa orang
mau memberi tapi dirinya sendiri bergantung secara
mutlak pada sistem yang menopangnya. Saya kira akan
muncul alasan-alasan klise bagi pembelaan status quo
mereka.
Akibatnya, tanggung jawab bagi peran-peran yang
dalam keseluruhan sistem seharusnya dapat memberi
kontribusi yang besar tidak dapat mereka laksanakan
dengan seharusnya. Semisal, peran politisi, sebagai agen
pembuka kran demokrasi, akhirnya membunuh demokrasi
itu sendiri karena alokasi proporsi tuntutan hak mereka
yang terlalu besar, sehingga memilih untuk melanggengkan
kekuasaan yang ada [karena secara politis-ekonomis-
finansial, kelanggengan kekuasaan tersebut akan
memberikan keuntungan lebih besar kepada politisi
terkait].
Ada banyak penyebab mengapa kerumitan sistem
sosial yang ada dalam masyarakat kita sulit untuk dikaji
secara sistematis dengan bahasa yang bebas, dan mudah
dipahami oleh akademisi kita. Pertama, dominasi yang
besar akan warisan teori-teori pengetahuan yang selalu kita
impor, yang lebih banyak dipengaruhi oleh logika Cartesian.
Kedua, dalam melihat ilmu, kita terlalu takut untuk
mengatakan bahwa pengalaman empiris yang kita alami
juga merupakan sebuah ’ilmu’. Lebih lanjut, hal ini
disebabkan oleh sistem pendidikan yang hanya
memberikan batasan definitif yang baku. Kita tidak pernah
75
diberi kesempatan untuk membahasakannya sendiri secara
sistematis, tentang apa yang kita lihat dan alami.
Kebiasaan dalam praktik pendidikan kita memang
tidak bisa dibahas dalam satu artikel. Namun saya harap
wacana ini dapat menjadi perdebatan dari sudut pandang
pribadi dengan bahasa ilmunya masing-masing, sehingga
kita akan dapat berbagi mengenai apa yang kita resahkan
untuk menjadi perenungan lebih lanjut.
76
Semarang Kota Pendidikan, Mungkinkah?
Oleh : Edi Subkhan
79
konservasi lahan hijau, karena semua sudah diincar
pengembang usaha.
Jika kita mau realistis, maka pengembangan kota
Semarang menuju kota baru ideal sebagaimana kota-kota
besar dunia hanya mungkin ketika ke arah selatan, yakni di
Kabupaten Semarang, Ungaran, dan sekitarnya. Tak
mungkin ke utara, karena berbatas laut, lagipula pusat-
pusat industri di Semarang utara ibarat sakit-sakitan
terkena banjir dan rob. Pusat pendidikannya pun tak
banyak, barangkali hanya Unissula yang masih berdiri
menantang rob dan banjir.
Berbeda ketika kita melirik ke selatan. Daerah
pegunungan yang sejuk dan masih dapat ditata dengan
perencanaan yang berbudaya, humanis, dan ekologis,
niscaya kota baru Semarang akan terwujud. Di samping itu
Semarang selatan terdapat banyak institusi perguruan
tinggi yang tengah berkembang sebagai embrio kota-kota
kecil. Unnes di Gunungpati, Undip dan Polines di
Tembalang, IAIN Walisongo di Ngaliyan, Unika
Sugijapranoto di Bendan, Undaris di Ungaran, merupakan
potensi besar bagi berkembangnya embrio kota-kota kecil
yang berbudaya, humanis, ekologis, sekaligus intelektual.
Begitu besarnya magnitude kampus-kampus di
Semarang selatan itu sekarang telah menjadikan daerah
setempat berkembang begitu pesat. Itu adalah potensi dan
kekuatan tersendiri untuk membentuk kota baru Semarang
yang lebih kokoh, berkarakter dan berbudaya, sebagaimana
diidam-idamkan. Potensi kampus sebagai pusat
berkembangnya komunitas intelektual yang tentunya lebih
mempunya sense of belonging terhadap lingkungan tepat
betul jika disandingkan dengan potensi geografis Semarang
selatan yang relatif belum terjamah tangan-tangan jahil.
Pantas jika kemudian digagas sebuah pengembangan
kota baru Semarang dengan berporos pada keberadaan
80
institusi perguruan tinggi tersebut. Namun ketika melihat
betapa kian semrawutnya penataan pada masing-masing
daerah sekitar kampus itu sekarang, maka layak dipikirkan
bersama bagaimana agar mulai berbenah dari tampilan
fisik dulu. Yakni dengan menata pedagang kaki lima,
pertokoan-pertokoan baru, kost-kostan, dan jalur hijau. Di
samping itu juga perlu menertibkan proyek pembangunan
perumahan di daerah rawan di lereng-lereng bukit yang
sekaligus mengurangi lahan resapan. Jika itu tak dilakukan
maka beberapa waktu mendatang, Semarang bawah akan
menjadi Jakarta yang menjadi langganan banjir dengan
Semarang atas adalah daerah Puncaknya.
Selama ini memang tampak betapa kampus-kampus
tersebut belum terlalu melibatkan masyarakat sekitar untuk
proses pengembangan daerah menuju sebuah embrio kota
kecil yang ideal, dan warga pun seolah acuh tak acuh,
karena merasa sudah mendapatkan keuntungan finansial
dari bisnis kecil-kecilan mereka.
Menggagas keberadaan institusi pendidikan tersebut
sebagai poros pengembangan kota baru Semarang artinya
merumuskan penataan yang lebih melibatkan masyarakat
hingga akhirnya masyarakat tak hanya menjadi lebih
intelek, berbudaya, memiliki rasa memiliki dan sensitivitas
sosial tinggi, tapi juga tercipta lingkungan yang berbudaya,
humanis, dan ekologis. Di sisi lain, dalam jangka panjang
ini adalah peluang bagi potensi wisata edukatif yang tak
ternilai harganya, sekaligus sebagai pelengkap aset wisata
Semarang menuju the beauty of Asia.
Hal ini perlu dipikirkan mulai sekarang, agar kota-
kota kecil yang sedang lucu-lucunya itu tak telanjur tumbuh
menjadi seperti Semarang bawah yang penuh sesak, panas,
berpolusi, dan tak nyaman lagi.
81
Nafas Neoliberalisme RUU BHP
Oleh : Edi Subkhan
Neoliberalisme Pendidikan
Sofian Effendi (2007) menyatakan, bahwa para
ekonom membagi kegiatan usaha menjadi tiga sektor.
Sektor primer adalah semua usaha ekstraksi hasil tambang
dan pertanian. Sektor sekunder mencakup bidang usaha
untuk mengolah bahan dasar menjadi barang, bangunan,
produk manufaktur dan utilities. Sektor tersier adalah
industri-industri untuk mengubah benda fisik (physical
services), keadaan manusia (human services) dan benda
simbolik (information and communication services).
Berdasarkan pada tipologi tersebut, maka World Trade
Organization (WTO) sebagai organisasi dunia yang
mengatur perdagangan multilateral memasukkan bidang
pendidikan sebagai salah satu bidang usaha sektor tersier,
karena kegiatan pokoknya adalah mentransformasi orang
yang tidak berpengetahuan dan orang tidak punya
keterampilan menjadi orang berpengetahuan dan orang
yang punya keterampilan. Inilah awal mula neoliberalisasi
pendidikan secara sistematis dalam skala luas dunia
internasional.
Prinsip dan peraturan dari WTO adalah adanya
jaminan atas perdagangan bebas, sehingga semua bentuk
kebijakan dan tindakan yang menghalangi atau mengurangi
persaingan bebas harus dihilangkan. General Agreement on
Trade in Services (GATS) sebagai salah satu kesepakatan
82
WTO menyatakan bahwa semua transaksi perdagangan
dapat diperjual belikan dalam pasar global. Indonesia
termasuk salah satu negara yang menandatangani
pembentukan WTO dan GATS dengan konsekuensi mesti
tunduk pada ketentuannya, termasuk dunia pendidikan.
Menurut WTO, lingkup pendidikan mencakup: (1)
pendidikan dasar, (2) pendidikan menengah, (3)
pendidikan tinggi, (4) pendidikan orang dewasa, dan (5)
pendidikan lainnya. WTO pun telah menyediakan empat
mode penyediaan jasa pendidikan, yaitu: (1) Cross-border
supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan
kuliah-kuliah melalui internet seperti on-line degree
program, distance learning, dan tele course. (2)
Consumption abroad, penyediaan jasa pendidikan tinggi
yang paling dominan, yaitu pengiriman mahasiswa ke luar
negeri. (3) Commercial presence, lembaga pendidikan luar
negeri hadir secara fisik di Indonesia dengan membentuk
partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan
lembaga pendidikan tinggi dalam negeri. (4) Presence of
natural persons, yaitu dosen atau pengajar asing mengajar
pada lembaga pendidikan lokal. Dari beberapa mode
layanan pendidikan tersebut, maka sudah beberapa lama
Indonesia menerapkannya, hanya saja belum diatur
legalitas hukumnya.
85
usaha terbuka yang menjadi pintu masuk kekuatan asing di
dunia pendidikan (Media Indonesia, 18/9/07).
Adanya modal asing pada institusi pendidikan
menjadikan adanya intervensi sang pemilik modal atas
institusi tersebut. Lagipula investasi sebagai sebuah
termilogi ekonomi memang bernalar materialistik, bukan
nalar intelektual, karena sudah pasti orang yang investasi
tidak lain tujuannya kecuali ingin mendapatkan untung,
baik materiil maupun dalam bentuk lain, ini sudah lazim
dalam konsepsi ekonomi. Oleh karena itu, ruh dinamika
dan berjalannya agenda program institusi akan selalu
berorientasi pada mencari untung. Selain keuntungan
finansial yang sudah pasti dituju oleh pihak investor, tidak
menutup kemungkinan adanya keuntungan lain yang
dituju, dan nalar materialis biasanya akan melakukan
berbagai cara untuk mencapai tujuannya itu.
Dengan neoliberalisasi yang mendasarinya maka
patut dicurigai bahwa salah satu intervensi yang akan
dilakukan adalah dalam rangka menanamkan ideologi
neoliberal tersebut pada peserta didik, baik melalui
konstruk ilmu pengetahuan maupun kultur yang dibangun
di sekolah atau perguruan tinggi tersebut. Sekarang saja
dalam perguruan tinggi yang telah menjadi BHMN glamor
kehidupan dari kultur modernitas sudah terasa dengan
nalar mencari keuntungan ekonomi yang sangat besar, hal
yang sama juga terjadi di PTS-PTS favorit. lebih rawan lagi
adalah pada fakultas atau jurusan yang telah menjalin
kerjasama dengan perguruan tinggi di luar negeri dalam
bentuk dual degree.
87
pemerintah daerah. Agaknya pihak swasta tidak mendapat
perhatian di sini.
Pengaburan kewajiban juga terdapat pada draft RUU
BHP versi Juni 2008 pasal 34 ayat (5) yang menyatakan
bahwa peserta didik ‘dapat’ ikut menanggung biaya
penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan
kemampuannya, orangtua, atau pihak yang
bertanggungjawab membiayai. Tanggungjawab tersebut
sebanyak-banyaknya adalah 1/3 dari seluruh biaya
operasional (pasal 34 ayat [6]). Sebelumnya, pada pasal 33
ayat (3) sudah dinyatakan pula bahwa pungutan oleh badan
hukum pendidikan kepada peserta didik atau orangtua/wali
dilakukan dengan subsidi silang, dengan demikian sudah
terlebih dahulu ‘pungutan’ disahkan oleh RUU BHP ini.
Pada pasal 38 ayat (1) tentang alokasi dana 20
persen untuk beasiswa atau bantuan biaya pendidikan
dirasa akan membebani BHP bersangkutan, hingga
kebijakan ini akan memaksa mereka untuk terus mencari
dana besar-besaran dalam memenuhi pendanaan
operasional dan pemberian beasiswa. Sementara pada pasal
38 ayat (2) yang menyatakan bahwa beasiswa tersebut
ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah belum disepakati
oleh pemerintah. Dalam pasal itu pun belum jelas antara
BHPP dan BHPM. Mestinya dalam draft tersebut terdapat
ketegasan dan kejelasan peran dan fungsi pemerintah, dan
pemerintah betul-betul bertanggungjawab atas dunia
pendidikan. Dengan demikian terlihat betapa jelas bahwa
pemerintah justru membebankan kewajiban memberi
beasiswa pada badan hukum pendidikan.
Oleh karena itu, untuk pemenuhan pendanaan,
badan hukum pendidikan dibolehkan mendirikan badan
usaha berbadan hukum (pada pasal 35 draft RUU BHP
versi Juni 2008), sebelumnya pada RUU BHP versi 24
Januari 2008 pasal 37 badan hukum tersebut jelas disebut
88
perseroan terbatas, sementara dalam draft terakhir ini
justru masih ‘tanda tanya’. Kenyataannya di UI, PT Makara
yang telah menjalankan fungsi tersebut (karena UI telah
menjadi BHMN) selama delapan tahun tidak pernah
untung, namun justru merugi terus, dan ironisnya tidak ada
transparansi berkaitan dengan berbagai pemasukan dana
dari luar sampai pengalokasian dan realisasi kontribusinya
bagi kampus.
Selain itu Timus dalam draft terbaru versi Juni 2008
pasal 34A (pasal 39 versi Pemerintah) mengusulkan bahwa
badan hukum dapat melakukan investasi dalam bentuk
portofolio, padahal investasi ini pasti berasal dari anggaran
badan hukum pendidikan, ini tentu akan mengganggu
jalannya operasional badan hukum pendidikan.
Orientasinya menjadi sangat berbau mencari keuntungan
sekali dengan adanya badan usaha dan investasi. Mestinya
terdapat ketentuan tentang batasan-batasan etika
intelektual yang orientasi pada intelektualisme, atau
keberpihakan pada pencarian kebenaran –kata Bung Hatta,
hingga tidak akan terjebak pada bisnis kepakaran, atau
bahkan pelacuran intelektual. Hal ini mungkin sulit
dilakukan karena paradigma RUU BHP ini sepenuhnya
berorientasi ekonomi, maka semuanya akan .
Sampai pada draft terakhir RUU BHP versi hasil
Timus 20, 22—23 Juni 2008, tidak banyak terdapat
perubahan substansial, hanya penambahan dan
pengurangan di sana-sini, ironisnya sekadar dalam hal
redaksional saja. Sampai draft versi Juni 2008 tersebut,
pemerintah belum menyepakati tentang tanggungjawab
persentase pendanaan yang mesti ditanggungnya. Di
samping itu, masih terdapat banyak inkonsistensi
penggunaan istilah ‘penyelenggara’ dan ‘pengelola’ yang
dipermasalahkan oleh banyak PTS. Yang tak kalah
mengerikan adalah hilangnya istilah ‘guru’, ‘sekolah’, ‘siswa’
89
atau ‘murid’, berganti dengan istilah ‘pendidik’, ‘tenaga
didik’, ‘satuan pendidikan’, dan ‘peserta didik’. Padahal
dalam istilah-istilah tersebut terkandung filosofi yang lebih
luas dan dalam. Misalnya adalah konsepsi ‘guru’ yang
memiliki wibawa, panggilan hati, keluasan dan kedalaman
ilmu serta pengabdian, tentu lebih luas ketimbang istilah
pendidik yang sekadar berdimensi teknik dan profesi.
Darwin SN (Suara Pembaruan, 7/6/08)
menyatakan, bahwa proses liberalisasi pada sektor
pendidikan di Indonesia sama seperti pada liberalisasi
sektor migas, yakni mengharuskan pemerintah melepaskan
diri dari tanggungjawab sektor pendidikan. Untuk
memuluskan liberalisasi migas, seluruh rakyat Indonesia
“menikmati” kenaikan harga BBM dengan legalisasi UU
Migas. Begitu juga bidang pendidikan dengan RUU BHP
nantinya. PP No. 60/1999 tentang perubahan administrasi
institusi perguruan tinggi dan PP No. 61/1999 tentang
penetapan perguruan tinggi sebagai BHMN, bagi Darwin
merupakan tindak lanjut pertemuan Unesco di Paris. Sejak
tahun 1980-an, negara-negara maju mendapatkan income
besar dari sektor jasa. Ender & Fulton (2002: 104-105)
menyebutkan tiga negara yang mendapatkan keuntungan
paling besar dari liberalisasi adalah Amerika Serikat,
Inggris, dan Australia. Pada 2000, ekspor jasa pendidikan
Amerika mencapai USD 14 miliar atau Rp. 126 triliun. Di
Inggris, sumbangan pendapatan dari ekspor jasa
pendidikan mencapai 4 persen dari penerimaan sektor jasa
negara tersebut.
Menurut Millea (1998), sebuah publikasi rahasia
berjudul Intelligent Export mengungkapkan, bahwa pada
tahun 1993 sektor jasa telah mengumbang 20 persen dari
PDB Australia, menyerap 80 persen tenaga kerja dan
merupakan 20 persen dari ekspor total Australia. Sebuah
survei pada 1993 menunjukkan, industri jasa yang paling
90
menonjol orientasi ekspornya adalah jasa komputasi,
pendidikan, dan pelatihan. Ekspor jasa pendidikan dan
pelatihan tersebut telah menghasilkan 1,2 miliar dolar
Australia. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa
ketiga negara tersebut amat getol menuntut liberalisasi
sektor jasa pendidikan melalui WTO. Lebih kurang sampai
sekarang enam negara telah meminta Indonesia membuka
sektor jasa pendidikan, yakni Australia, Amerika Serikat,
Jepang, Cina, Korea, dan Selandia Baru.
91
Melintas yang Sepintas ;
Intelektualitas
Proyek Masyarakat Intelektual
Oleh : Muhammad Taufiqurrohman
92
definisi intelektual adalah siapa saja yang masuk menyelam
ke dalam realitas kehidupan masyarakatnya dan kemudian
memproduksi pengetahuan dari lokus keberadaannya dan
memberikan kontribusi nyata berdasarkan pengetahuannya
tersebut di bidangnya masing-masing tadi. Kata-kata ”di
bidangnya masing-masing” hanya menekankan pada segi
fokus atau orientasi kerja masing-masing person, bukan
pada tertutupnya kemungkinan adanya fusi dengan bidang
lain. Justru, karena lintas tuturlah maka produksi
pengetahuan memungkinkan fusi antarbidang (cross-field
understanding). Seorang seniman, misalnya, bisa
bekerjasama dengan seorang dosen seni lukis dalam upaya
mengembangkan kesenian di desanya. Aktivis politik yang
berfusi dengan para sastrawan dalam rangka melakukan
pendidikan politik terhadap masyarakat. Dan masih banyak
contoh yang bisa diusahakan sesuai kepentingannya
masing-masing.
Demikianlah, maka orientasi utama proyek
masyarakat intelektual adalah pengetahuan dan
masyarakat. Pengetahuan merupakan suatu dambaan
tentang apa yang sejati. Apa yang sesungguhnya ada.
Dambaan tersebut hampir selalu lahir di setiap masyarakat.
Entah di kota ataupun di desa. Sedangkan masyarakat
merupakan sekelompok manusia yang tinggal di suatu
wilayah dengan realitasnya sendiri. Satu masyarakat
dengan masyarakat yang lainnya tentu saja mempunyai
realitas yang tidak sama (meskipun tidak selalu berbeda).
Realitas yang mungkin berbeda inilah yang melahirkan
pengetahuan yang juga mungkin berbeda. Pengetahuan
tentang ilmu pertanian di daerah Jepara, misalnya, pasti
tidak sama persis dengan di daerah Kalimantan. Hal ini
dikarenakan realitas iklim, realitas tanah dan alam yang
berbeda. Atau contoh sederhananya, bagaimana cara kita
mengajar seorang anak berumur enam dan tujuh belas
93
tahun pastilah tidak sama karena realitas masing-masing
anak yang berbeda.
Lalu bagaimanakah implementasi kongkret proyek
masyarakat intektual? Adalah jika setiap kita, pada
bidangnya masing-masing kembali menyelami realitas
masyarakat di mana dan kapan kita berada, yaitu di ruang
kita berada, disini (here) dan sekarang (now).
94
Nilai Politik dan Mimbar Akademik
Oleh : Giyanto
96
Aktivis Asli Tapi Palsu
Oleh : Muhtar Said
99
Melintas yang Sepintas ; Demokrasi
Otonomi Daerah: Sebuah Taruhan Menuju Good
Governance Lokal
Oleh : Awaludin Marwan
103
Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Malaysia
Oleh: Awaludin Marwan
108
Potret Demokrasi Lokal
Oleh : Awaludin Marwan
114
Melintas yang Sepintas ; Budaya
Mas Goen, Jawablah Pertanyaan-Pertanyaanku
Jika Kau Mencintaku
(Surat buat Goenawan Mohamad)
Oleh : Muhammad Taufiqurrohman
Mas Goen,
Akhir-akhir ini aku meresahkan sesuatu. Di zaman
yang sulit ini aku masih berharap sastra dapat berfungsi
membantu menghadapi krisis. Yah, sastra dapat membantu
orang mendapatkan makan, harga BBM yang terjangkau,
pendidikan yang baik, angkot yang murah, dan kesehatan
yang terjangkau. Atau paling tidak ia dapat menjadi
tumpahan batin mereka yang tertindas. Intinya sastra dapat
berfungsi bagi sebanyak-banyak manusia, bukan hanya
pada mereka yang rajin mengunjungi gedung kesenian dan
kolom puisi akhir pekan di koran-koran itu. Mengapa tiba-
tiba aku menginginkannya? Mungkin kamu mengganggap
keresahanku ini sebagai keresahan yang terlalu mengharap,
kekanak-kanakan. Kukira-kira jawabanmu, sastra mesti
universal. Sastra tidak bertendens. Sastra adalah tempat
dimana daun-daun yang bergugurun layak dirayakan dan
juga kesepian malam yang tak bertepi. Aku membayangkan
kamu menulis puisi liris itu dengan begitu romantis di
temani buku-buku dan lampu itu. Tetapi bayangan akan
anak-anak di gerbong kereta Bogor-Jakarta itu tak mau
pergi dariku. Ia tak mau pergi.
115
akan pernah lupa orang ini bukan? Dengan mata tanpa
pejam, tiga hari tiga malam aku khatamkan tetralogi buru
di masa SMA dulu. Di pesantren, malam harinya dini
harinya, di sebelah deretan kitab-kitab kuning itu kubaca
habis Pram. Aku terbawa oleh semangat kemanusiaannya.
Sebagai seorang anak desa dari kampung yang jauh, yang
tak akan pernah mendapatkan bacaan macam ini di
desanya, aku adalah orang rakus. Yah, aku masih ingat
buku itu kupinjam tidak dari perpustakaan sekolah atau
kabupaten. Sebab, disana tak ada karya-karya Pram
dipajang. Aku pinjam dari mas-nya temenku yang
kebetulan datang jauh dari sekolah di UI, beli di Kwitang
katanya. Masa-masa itu harus kuakui aku tidak
mengenalmu. Meski puisi-puisimulah yang diajarkan di
buku-buku resmi sastra Indonesia yang baik dan benar.
Sebagai seorang bocah, kami diajari untuk
menafsirkan puisi-puisi surealis yang abstrak. Tahukah
kamu, itu adalah pelajaran termuak selama karirku sebagai
seorang siswa. Melebihi kemuakanku pada matematika.
Sebab, matematika masih bisa kumengerti alasan tentang
logika, dan lain-lain. Tetapi, menafsirkan kata-kata yang
tidak jelas maksud tujuannya ditulis. Pekerjaan yang aneh.
Pertanyaan itu selalu meliputiku; mengapa aku harus
mengerti kata-kata yang disimpan oleh penulisnya sendiri
dengan sengaja? Mengapa sebuah puisi yang hanya ingin
merayakan sesuatu (yang kelak aku tahu Alain Badiaou
mengatakannya sebagai event atau peristiwa dalam
bahasamu) harus kami baca dan tafsirkan? Dan setelah aku
belajar sastra, hingga sekaranag aku masih tidak mengerti
mengapa kami harus bersusah payah menafsirkan kata-kata
yang begitu tersembunyi maknanya? Sebab, bukankah kau
dan aku ada di ruang yang begitu berjarak. Sebab,
bukankah puisi sudah tidak berada lagi di dalam kamar
sehingga kau bisa menikmati sendiri sambil mendengarkan
116
John Lennon. Aku tambah tidak mengerti kemudian ketika
kulongok puisi-puisi di koran-koran. Mengapa macam puisi
sepertimu yang hanya ditampilkan di koran-koran?
Sebagai anak SMA dan kini setelah lulus dari sebuah
perguruan tinggi jurusan sastra, aku tidak mengerti. Kecuali
bahwa ini adalah urusan hegemoni. Kekuasaan sebuah
rezim sastra. Mengapa bukan puisi yang bisa dimengerti
oleh kebanyakan orang yang menyuarakan hati nurani yang
ditampilkan? Mengapa puisi temanku yang lugas-yang
bercerita tentang bapaknya yang seorang petani yang tidak
pernah bahagia karena harga beras yang dipanennya tidak
pernah membalikkan modal-tidak pernah dimuat di koran-
koran? Mengapa puisi yang hanya dibaca oleh segelintir
orang-dan aku menduga mereka juga menduga-duga apa
maknanya-dianggap sebagai sebuah produk peradaban
umat manuisa yang gemilang? Manusia yang mana? Yang
rajin datang ke pentas-pentas teater dan pembacaan puisi
yang digelar setahun dua kali itu? Bahwa aku juga bisa
menikmati puisi itu, iya aku bisa, tanpa harus kumengerti
maknanya. Bahasamu dan bahasa-bahasa puisi itu yang
begitu liris dan romantis. Mudah bagiku mendapatkan
feelnya. Bahkan aku bisa menuliskan yang demikian
berlembar-lembar, berbuku-buku. Lirih dan romantis
adalah kesukaanku. Hanya saja, aku ada rasa tidak
berterima dengan banyak kenyataan bahwa yang diajarkan
di sekolah-sekolah ditampilkan di koran-koran di gedung-
gedung kesenian seakan-akan ingin menyatakan, bahwa
hanya yang seperti inilah yang dianggap sah sebagai sebuah
puisi, sebuah karya seni. Puisi-puisi yang tidak sesuai
dengan selera redaktur sastra, yang tak lain juga pastilah
dia penggemarmu dan juga orang dekatmu itu, bukanlah
puisi. Yah, kalaupun puisi pastilah dia puisi nomor dua
puluh tujuh, puisi yang tidak baik. Tidak baik? Bukankah
kau adalah penganjur ulung tentang relativisme dan
117
kedaifan diri dan terbatasnya tafsir di Indonesia ini? Atau
kau telah lupa apa yang kau tulis di Catatan Pinggirmu itu.
Atau kau lupa ajaranmu sendiri tentang harus
manunggalnya tutur lan lampah, kata dan laku itu. Terus
terang aku tidak berterima dengan ini. Tiba-tiba lintasan
bayanganku ingin kembali pada masa lalu. Tiba-tiba aku
membayangkan bagaimana jadinya jika yang berkuasa
bukan Soeharto yang di backup Amerika melainkan
Soekarno.
Mas Goen,
Kadang-kadang aku pikir kamu adalah seorang
munafik, oportunis. Dulu ketika Soekarno berobsesi
menjadikan seni dan sastra untuk revolusi kau
melawannnya dengan Polemik Kebudayaan itu. Kau
melawan penindasan. Dengan teman-temanmu itu kau bak
pahlawan melawan sang proklamator [sungguh aku tidak
enak menyebutnya sebagai diktator. Dia adalah sastrawan
yang sebenarnya menurut pengertianku. Sebab, bagiku
jasanya bagi lebih banyak manusia di Indonesia ini, masih
lebih tak terhingga dari pada jasamu]. Yah, kau memang
seperti orang bermuka dua. Atau memang demikian seperti
yang kau akui dengan etika kedaifanmu itu. Yah, itu dulu.
Ketika kau masih berumur dua puluh tiga tahun. Ketika kau
masih muda dan belum mempunyai pengaruh, kekuasaan
intelektual, jaringan, dan uang yang banyak tentu saja. Dan
kini dengan segala kepentingan dan jejaringmu yang sudah
menggajah kau tak berdaya. Meringkuk sendiri di bawah
kasur. Dan sejarah memang rada berpihak padamu.
Soekarno tumbang Soeharto naik. Betapa bencinya
Soeharto terhadap puisi-puisi pembertontakan, puisi
perlawanan revolusi yang masa Soekarno dulu digalakkan
bahkan diharuskan. Kau datang menawarkan sastra
universal, sastra yang tidak bertendens, sastra yang tidak
berpolitik. Dalam puisi dia menjadi puisi liris yang
118
menurutmu mengakui kedaifan sebagai manusia. Atau
kadang, aku pikir adalah hanya pelarian, karena ketakutan
dan tidak punya keberanian melawan. Dalam novel cerpen
dia adalah bahasa-bahasa yang tidak bisa dimengerti oleh
orang awam, bahkan oleh siapapun saja kecuali oleh
penulisnya sendiri. Atau mungkin juga tidak, sebab si
penulis juga menulis sambil ngantuk atau sambil mabuk.
Tetapi karena kelihatan surealis, puisi itu di muat di koran-
koran. Yah, di masa orde baru itu, kamulah yang menjadi
model penyair yang baik. Yah, kamu dan orang-orang di
lingkaranmu. Bukan Pram. Bukan Pram. Lalu, berikan aku
satu alasan mengapa kau bukan seorang munafik. Sebab,
kau dan teman-temanmu telah menjadi penguasa rezim
sastra Indonesia yang baru. Yang menampik liyan dengan
tidak memberikan ruang bagi puisi-puisi yang kau anggap
tak bermutu. Yang menguasai pusat-pusat kebudayaan.
Yang menguasai sastra di koran-koran. Bukankah ini juga
sebuah bentuk penindasan? Bukankah ini juga sebuah
penjajahan bahkan secara nyata? Belum lagi jika ini harus
kuhubungkan dengan agenda-agenda besar ideologi di
belakangnya. Siapakah di belakangmu di belakang Utan
Kayumu itu? Mengapa kau tidak pernah berbicara tentang
Ford, Taff, CIA, Amerika, dan lain-lain. Seperti minggu lalu
aku masih ingat kau menulis di Bentara, tentang Seni,
Politik dan Emansipasi. Semuanya kau tulis, dari Lekra
sampai Polemik Kebudayaan, hampir satu halaman penuh.
Satu halaman hampir penuh. Tetapi, yang tidak kau tulis
adalah alasan mengapa kau bisa menulis satu halaman
hampir penuh di sebuah harian besar dan oleh karenanya
bisa dibaca berjuta-juta orang, dan mengapa tidak puisi-
puisi Wiji Tukul di halaman itu, yang karena puisi
pembelaannya pada mereka yang tertindas, dia hilang
entah dimana? Mas Goen, jawablah pertanyaan-
pertanyaanku ini jika kau mencintaiku.
119
Mas Goen,
Di kamar sambil lengang-lengang dengar John
Lennon, aku bisa menangis sesenggukan sendirian
membaca puisi-puisimu. Tapi ketika tiba-tiba aku berada di
gerbong kereta itu, di stasiun, di jalan-jalan, di metromini,
di trotoar, puisimu tiba-tiba menjadi suara yang sama sekali
jauh. Di udara. Ketika di depan mata kita ada orang
berteriak lapar apakah puisimu dapat membantu, paling
tidak sebagai cermin yang memantulkan kegelisahan dan
kesedihan suara hati mereka yang miskin, yang tidak dapat
makan, yang tidak bisa membayar uang sekolah, yang
bunuh diri karena malu tak bisa memberi uang jajan
anaknya, yang yang yang yang..... Aku tidak akan
menyalahkanmu sepanjang kau juga memberi ruang bagi
puisi-puisi yang lain. Menghargai yang lain. Merayakan
perbedaan yang katanya rahmat itu. Kukirimkan surat ini
sebab aku mencintaimu. Sebab, apakah berpikir merupakan
sebuah tindak kriminal?
Mas Goen,
Aku memang seorang utopis yang buruk. Aku
memimpikan di koran-koran itu, di pusat-pusat
kebudayaan itu, juga terpampang puisi-puisi yang lain,
semacam puisi realisme sosialis itu, atau apapun itu
namanya, segala yang bernama 'lain' dari mainstream.
Ingatkah kau pada Habermas yang juga pasti sudah kau
katamkan, bahwa represi atas sebuah kepentingan juga
merupakan sebuah kepentingan. Juga kau. Juga aku yang
menulis surat ini. Namun, mas Goen. Jika kepentingan itu
hanya didasarkan (aku khawatir) hanya karena kepentingan
eksistensi personal masing-masing dan mungkin juga
eksistensi sebuah rezim sastra yang ingin menghegemoni
semua ruang kebudayaan, dan bukanlah disandarkan pada
120
sebuah kepentingan yang didasarkan pada nilai-nilai yang
lebih transenden, yang lebih tinggi, semisal kemanusiaan,
kesederajatan, keilahian, dan lain sebagainya, dan oleh
karenanya kita berharap untuk tidak mengharapkan apa-
apa kecuali yang abadi, di luar hal-hal yang fana semisal
pengaruh, popularitas, kekayaan, pengakuan dan lain
sebagainya. Mas Goen, jika kau mencintaiku maka
jawablah pertanyaan-pertanyaanku ini.
Tapi aku sadar mas Goen, kita lahir di zaman yang
berbeda. Kau lahir di zaman ketika puisi-puisi banyak
dibakar tanpa alasan yang kau mengerti. Sedang aku lahir
di zaman ketika di trotoar orang meronta-ronta minta
makan karena sudah berhari-hari lapar. Tetapi di
sebelahnya sedan-sedan termahal di dunia melaju seperti
tanpa perasaan. Mengerikan. Sepi. Seperti tidak manusia.
Juga dengan alasan yang tidak aku mengerti.
121
Sudahlah... Mari bersahabat
Oleh : Yogas Ardiansyah
123
peristiwa ini dengan nasakah drama sejarah berjudul 9
Oktober 1740.
Pasca kejadian itu, kompeni sangat berhati-hati
menghadapi etnis Tionghoa. Kompeni membuat wilayah
khusus yang lantas terkenal disebut Pecinan (Chinatown)
dimana hampir sebagian besar keluarga Tionghoa tinggal di
dalamnya. Etnis Tionghoa menerima saja keputusan ini
karena dianggap lebih aman tinggal secara berkelompok
dan bersama-sama tanpa menyadari bahwa sebenarnya
maksud VOC adalah agar mereka lebih mudah mengawasi
dan mengontrol etnis Tionghoa karena bermukim dalam
satu wilayah. VOC juga mulai mendekati etni Tionghoa agar
melupakan kejadian pembantaian tersebut, dengan
memberikan hak dagang dan perlakuan istimewa dengan
jalinan kerjasama. Perlakuan istimewa ini merupakan
pancingan agar masyarakat pribumi merasa iri karena
dengan perlakuan istimewa dalam perdagangan, tentu saja
etnis Tionghoa menjadi kaya sedangkan pedagang dan
masyarakat pribumi pada umumnya tetap terjajah dan
miskin. Perbedaan ini segera berubah menjadi perbedaan
strata sosial : etnis Tionghoa yang kaya dan dekat dengan
kompeni dihadapkan dengan masyarakat pribumi yang
miskin dan terjajah. Kemudian segera timbul pertentangan-
pertentangan horisontal antara Tionghoa dan Pribumi.
Dengan konflik ini, VOC berharap agar etnis Tionghoa tidak
lagi teringat kejadian masa silam dan menganggapnya
sebagai “sejarah kelam” belaka. Kemudian muncul sistem
hukum yang sangat diskriminatif, dimana VOC
menggolongkan masyarakat menjadi kelompok
berdasarkan suku dan warna kulit. Kelompok pertama
adalah orang Belanda dan orang Eropa lainnya. Kelompok
kedua adalah orang kulit berwarna dimana bangsa
Tionghoa bersama orang Arab dan Jepang ada didalamnya.
Kelompok ketiga adalah para bangsawan keraton dan
124
pribumi yang menjadi pegawai Belanda serta yang terakhir
adalah pribumi jelata. Hukum memperlakukan kelompok-
kelompok masyarakat ini sangat diskriminatif sehingga rasa
benci karena merasa ditindas tumbuh subur, khususnya
dalam masyarakat Pribumi. Konflik ini terus berkembang,
mendarah-daging, dan terus saja bergulir dari masa ke
masa (disamping karena memang taktik VOC yang jitu, juga
karena mudahnya masyarakat Indonesia diadu dan
ketidaktahuan sejarah). Tercatat, sejak kejadian Oktober
1740, terjadi peristiwa besar dalam konteks hubungan etnis
Tionghoa dan Pribumi : konoflik Jawa-Cina selama Perang
Jawa 1825-1830, anti-Tionghoa di Kudus tahun 1918,
kerusuhan rasial pasca kemerdekaan tahun 1946,
pemberlakuan PP No. 10 tahun 1959, peristiwa rasialis di
Cianjur 1963, anti-Tionghoa pasca september 1965,
kerusuhan rasial di bandung 5 Agustus 1973, anti-Tionghoa
di Solo dan Semarang tahun 1980, kerusuhan pasca
reformasi tahun 1998 serta penerapan standar ganda Orde
Baru kepada masyarakat Tionghoa selama 1966-1998. Maka
berhasillah strategi VOC untuk mengadu domba etnis
Tionghoa dan pribumi.
Secara garis besar, pokok masalah sentimen antara
etnis Tionghoa dan pribumi bersumber pada masalah
ekonomi, yang kemudian meluas menjadi sentimen suku,
ideologi budaya bahkan agama. Kekayaan harta, yang
masih menjadi acuan utama penduduk Indonesia dalam
menentukan status sosial tampaknya menjadi sekat yang
paling ampuh untuk mendikotomi dua kelompok
masyarakat ini. Kondisi tersebut masih ditambah dengan
pola pikir dua kelompok ini yang secara mendasar
memangsangat berbeda dalam mencari dan mengelola
kekayaan. Penduduk pribumi, secara khusus suku jawa,
menganggap kekayaan memang harus dicari tetapi dengan
tetap dialasi sikap trimo, nriman ing pandum, sak titahe
125
(tetap menerima dan mensyukuri rizki walau hanya
sedikit). Sedangkan penduduk Tionghoa dari “sono”nya
memang sudah membawa jiwa dagang yang ulet, penuh
perhitungan, pekerja keras dan cenderung selalu mencari
untung. Nah, bayangkan, jika dua karakter yang memang
sejak mula berbeda budaya dan pola pikir ini mempunyai
sentimen negatif ditambah pula dengan “dikompori”
kompeni, berlangsung pula sejak berabad-abad silam pula.
Maka potensi konflik ini akan sangat sulit dihilangkan dan
ibarat api dalam sekam, tidak terlihat apinya tetapi terus
saja mengeluarkan asap. Konflik-konflik horisontal seperti
ini sepertinya hanya bisa dieliminir dengan cara
pendekatan kemanusiaan dan budaya, seperti yang telah
terjadi di Semarang. Etnis Cina di kota ini, dengan
bekerjasama dan meragkul berbagai pihak, setiap tahun
mengagendakan acara-acara yang tidak hanya bisa
dinikmati oleh orang Cina saja tetapi juga oleh masyarakat
Semarang secara luas. Kopi Semawis atau Komunitas
Pecinan Semarang untuk Pariwisata merancang kegiatan
pasar tradisional, pertunjukan budaya, festival-festival dan
berbagai agenda rutin tahunan lain yang secara nyata
mampu mempersatukan dan membaurkan semua lapisan
masyarakat. Kedekatan-kedekatan semacam ini yang
diharapkan mampu mengurangi potensi konflik di
masyarakat. Acara seperti ini juga dapat dijumpai di festival
kya-kya di Surabaya serta di beberapa dari Medan, Deli
Serdang, Palembang hingga di Pontianak.
Selain pendekatan budaya tersebut, dalam bidang
perdagangan dan segala hal yang menyangkut dengan uang
dan keuntungan (karena ini hal yang paling sensitif),
pemerintah harus menerapkan hukum yang fair dan
berlaku untuk semua pihak, serta aturan main yang jelas
hingga tidak ada lagi pihak yang merasa dianaktirikan dan
merasa pihak lain lebih dilindungi.
126
Menjelang pukul 17.30, Conny mulai mengemasi
berkas-berkasnya dan mematikan komputer setelah
membalas e-mail dari familinya yang menyebar dari Seattle
hingga Canberra. Kepada penulis ia berpesan agar pemuda
Indonesia, dari suku dan etnis manapun, untuk menjadikan
serentetan peristiwa rasial yang pernah terjadi sebagai
pelajaran berharga yang sekaligus mahal : bahwa kebencian
satu sama lain tidak akan memberi manfaat apapun pada
bangsa dan negara, kecuali kehancuran dan menumbuhkan
kebencian-kebencian baru yang siap membakar apasaja
dikemudian hari : membuyarkan persahabatan tulus antara
Joko dan A Cong.
Di akhir pertemuan, diperlihatkannya sebuah tulisan
harian nasional yang memuat betapa ia dulu mahir
menarikan tari jawa klasik dan menganggapnya sebagi
budayanya sendiri.
127
Memoir : Apa Budaya Kita?
Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok
Budaya Kita?
Dalam konteks kekinian, masyarakat mejadi sangat
kompleks, sehingga sulit untuk menggambarkannya secara
utuh dan komperhensif. Seperti yang kita tahu,
perkembangan teknologi (juga sebagai hasil perkembangan
130
budaya) sekarang ini telah menghadirkan alat-alat
pertukaran informasi yang sangat beragam dan canggih.
Handphone, jaringan internet, televisi, radio, berbagai
media cetak, selain sebagai media informasi, ternyata juga
membawa serta nilai-nilai dari budaya tertentu, yang secara
geografis terbentang jarak yang sangat jauh. Orang
indonesia bisa tahu, telah terjadi inflasi yang luar biasa di
daratan afrika, juga melalui medium tersebut.
Lalu lintas informasi dan pertukaran nilai terjadi
sedemikian cepat dan (lagi-lagi) kompleks. Informasi
”saling-silang” antar manusia dalam setiap belahan dunia,
dengan percepatan yang berbeda. Sebagai contoh, informasi
yang didapat oleh seseorang gemar mengakses internet,
akan berbeda dengan orang lain yang jarang bersentuhan
dengan jaringan internet. Terjadi kesenjangan informasi
yang didapat, antara manusia satu dengan lainnya.
Heterogenisitas menjadi sangat tinggi, bahkan manusia tak
bisa lagi mengerti ”apa, bagaimana, dan dari mana” hal-hal
yang mempengaruhi dirinya.
Jika dikembalikan pada konsep budaya sebagai hasil
interaksi antar manusia, agaknya usaha untuk
menyebutkan ”budaya murni” menjadi hal yang sulit, kalau
tidak mustahil. Budaya sebagai hasil interaksi manusia
tidak bisa dilepaskan dari manusia itu sendiri yang
kewalahan menghadapi perubahan. Dengan apa yang
terjadi sekarang ini, konstruk gagasan yang terbentuk juga
menjadi semakin ”carut-marut”, sebagai akibat lalulintas
informasi yang sedemikian cepat dan ”timpang”.
Selanjutnya, dengan sisi sejarah yang selalu tidak
utuh, peng-aku-an sebuah budaya yang tidak berdasarkan
pertimbangan logis, kesenjangan informasi yang tinggi,
saya rasa budaya ”resmi” Jawa Tengah perlu ditinjau
kembali.
131
Solo vs Sragen
Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok
135
Hegemoni British English dan American English Di
Indonesia
Oleh : Muhammad Taufiqurrohman
143
konsep ’blok historis’ inilah yang harus digunakan sebagai
strategi perebutan dan pertahanan hegemoni.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimanakah cara
mewujudkan konsensus (consent) dalam wujud ’blok
historis’ ini? Ada dua cara yang ditawarkan oleh Gramsci
yaitu, melalui “war of position” (perang posisi) dan “war of
movement”(perang pergerakan). Perang posisi dilakukan
dengan merebut posisi-posisi kepemimpinan intelektual,
moral, buadaya, agama dan ideologi. Perang ini dilakukan
dengan cara menguasai semua institusi-institusi yang
berperan dalam membentuk kekuasaan budaya. Sekolah-
sekolah, kampus, institusi agama, rumah sakit, lembaga-
lembaga kebudayaan dan institusi-institusi sosial lainnya
harus dikuasai. Sebab, di ruang-ruang inilah kebudayaan
(nilai-nilai, pandangan hidup dan ideologi) terbentuk. Oleh
karenanya karakteristik perang posisi adalah jangka waktu
lama yang membutuhkan kesabaran, kesetiaannya terhadap
perjuangan dalam sistem, dan selalu diarahkan pada
dominasi budaya (imperialisme kultural). Sedangkan
perang pergerakan lebih mengarah pada perang secara
frontal (langsung) dengan melakukan aksi-aksi pengerahan
seperti demonstrasi. Biasanya perang pergerakan dilakukan
setelah perang posisi berlangsung sesuai rencana. Setelah
merasa siap dengan posisi-posisi yang sudah direbut
melalui perang posisi barulah perang pergerakan dilakukun
walaupun tidak selalu demikian dalam praktiknya.
144
semakin memperkaya konvergensi dialek yang terbentuk.
Fought (2006:133) menyatakan:
One issue that has frequently been raised in
research on dialect contact is the question of
convergence or divergence. That is, are the varieties
in an area influencing each other in such a way that
they become more alike, are they influencing each
other in such a way that they become more
different, or do they develop and change as two (or
more) completely independent entities?
Banyak sekali penelitian yang sudah dilakukan
terhadap konvergensi atau divergensi dialek ini. Salah
satunya dalah penelitian tentang isu American Speech oleh
Fasold (1987) dan Baily dan Mayor (1989). Pertanyaan yang
diajukan adalah apakah ada konvergensi dialek antara
waraga European America dengan African America. Hasil
dari penelitian tersebut menunjukkan terjadi adanya
kontak dialek yang memunculkan konvergensi yang sangat
beragam antar dua dialek tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa pertemuan antar dialek
hingga akhirnya menemukan bentuk-bentuk baru dialek
sangatlah mungkin terjadi. Dari penelitian ini kita juga bisa
bertanya, jika di Amerika sendiri sudah terjadi berbagai
macam dialek (tidak hanya “standard American”) mengapa
justru di Indonesia kita mempertahankan American
English sebagai salah satu “standard English”. Hal yang
sama juga terjadi dalam British English dengan adanya
dialek Scotish, Irish, dll.
151
Melintas yang Sepintas ; Mahasiswa
Meneguhkan Gerakan Intelektual Mahasiswa
Oleh : Edi Subkhan
153
Donald Wilhelm (1979) menambahkan, bahwa
banyak tamatan perguruan tinggi mengalami kemandegan
atau kehilangan kapasitas intelektualnya ketika mereka
masuk ke dalam birokrasi dan rutinitas akademis di
perguruan tinggi atau di manapun mereka bekerja.
Perguruan tinggi yang diharapkan dapat berperan sebagai
avant garde, inovator dan pembaharu masyarakat
kemudian terjebak dalam mekanisme birokrasi dan
spesialisasi atau profesinya di mana mereka terus menerus
mengolah dan menghasilkan informasi serta pikiran dalam
bidang mereka masing-masing yang relatif sempit.
Hal itu tentu bertentangan dengan kenyataan bahwa
masalah yang dihadapi masyarakat sekarang tak dapat
dipecahkan dengan pendekatan sempit semacam itu;
pemecahan masalah sekarang membutuhkan pendekatan
menyeluruh, interdisipliner dan berwawasan luas.
Berkaitan dengan atmosfer intelektual akademik di
kampus kita sekarang, di mana kualitas mahasiswanya
tergolong biasa-biasa saja, baik-baik saja, padahal –
sebagaimana kata Tanadi Santoso (motivator marketing
terkemuka)- biasa dan baik saja sekarang tak cukup. Yang
dibutuhkan sekarang adalah sangat baik, atau buuuaik
sekali! (mengikuti kebiasaan orang Jawa ketika mengatakan
sesuatu dengan nada ‘sangat’, biasanya ditambah dengan
vokal “u”, misal dari kata baik menjadi buuaik, dari enak
menjadi uuuenak). Maka momen orientasi mahasiswa baru
sekarang layak kita dengungkan kembali, bahwa mahasiswa
mesti kembali pada khittah-nya di jalur intelektual dengan
meneguhkan gerakan intelektual mahasiswa.
Pertanyaan menggelitik yang layak diajukan adalah,
apakah kita termasuk intelektual atau sekadar intelegensia?
Kita mahasiswa biasa atau luar biasa? Atau dalam
perenungan yang lebih dalam lagi, “Selama hidup kita di
kampus ini, kita akan menghargai waktu yang diberikan
154
oleh Tuhan tersebut dengan karya apa?” Kita ingin menjadi
mahasiswa yang seperti apa? Dan semuanya kembali pada
diri kita sendiri untuk menjawab itu semua. Wallahu a’lam
bishsawab.
155
Post Power Syndrome Di Lembaga Kemahasiswaan
Oleh : Abdul Haris Fitrianto
158
Antara Iklan dan Lomba Karya Tulis Mahasiswa
Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok
160
terpikirkan. Suatu bentuk kreatifitas dengan kapasitas
intelektual yang patut diberi penghargaan.
161
Chaney, bahwa kemasan bukanlah segalanya, meskipun itu
penting.
Benturan lain dalam hal ini adalah kesan elitis yang
akan semakin berkembang jika “prinsip iklan” tersebut
masih saja digunakan. Selain LKTM, ajang lain sebagai
bentuk pembumian intelektual mahasiswa adalah KKN.
Bisa dibayangkan ketika seorang mahasiswa dengan jas
almamater, potongan celana hippies, rambut hasil
rebonding, aksesoris MP4 player lengkap dengan headset,
dan tak lupa telepon selular fitur 3G dalam genggaman,
yang datang ke sebuah dusun untuk KKN. Hallo effect
eksklusif akan semakin menguat pada mahasiswa yang
dilekatkan oleh warga setempat.
Melihat dari uraian di atas, kita sebagai mahasiswa
ternyata masih harus banyak belajar dari berbagai hal yang
sering dianggap common sense (klise) dalam dunia ilmiah.
162
Melintas yang Sepintas ; Refleksi
Kedirian
Dilema Eksistensi Manusia (tinjauan psikologi
marxian)
Oleh : Abdul Haris Fitrianto
163
Kehidupan terus berjalan seakan manusia akan
hidup abadi, padahal Setiap orang menyadari suatu saat dia
akan mati. Dilema keniscayaan mati dan perjuangan
eksistensi di dunia fana ini menimbulkan kompensasi pada
benak seseorang untuk tetap ingin dikenang walaupun telah
tiada. Sintesa ini mendorong individu tersebut terus
berprestasi dan meninggalkan karya yang akan tetap
dikenang, bahkan digunakan, walaupun empunya telah
mati. Karya atau prestasi yang ditorehkan tersebut tidak
lain adalah kompensasi terhadap kepastian kematian dan
juga perwakilan eksistensinya di dunia. Pada orang lain,
juga sadar bahwasannya kematian adalah keniscayaan,
Tetapi coba mengingkarinya dengan mencari kesenangan
dan menghindari rasa sakit agar menjauh bahkan menunda
kematian.
Dilema ini, dalam lingkup sosio-pikologis juga
pernah dikatakan Erich Fromm bahwa selama ini manusia
disepanjang sejarahnya hampir tidak pernah hidup di
”habitat alami”-nya, kecuali suku – suku pemburu dan
pengumpul makanan serta manusia agraris pertama yang
hidup 5000 SM. Manusia ”beradab” harus selalu hidup
dalam ”kerangkeng”, maksudnya hidup dalam berbagai
macam pengekangan dan ketidakbebasan – dan ini masih
saja dialami oleh masyarakat yang katanya paling maju.
Karena itu kebebasan selalu menjadi salah satu dambaan
manusia.
Kemudian, Manusia mungkin bisa bebas, tetapi
untuk apa?
164
MEMOIR
Oleh : Muhammad Taufiqurrohman
168
PRINSIP
Giyanto
170
akhirnya saya menyimpulkan bahwa itulah bentuk-bentuk
prinsip sebenarnya. Jadi, prinsip ada sebelum kita ada.
Dari gambaran diatas, yang membuat saya marah
adalah perilaku politisi-politisi yang sekarang lagi main
parodi di panggun politik. Menurut saya, tindakan-tindakan
mereka berlawanan dengan hukum-hukum alam. Dalam
hal kegiatan ekonomi, blunder ini sering terjadi. Yang
dikatakan Kang Edi saya sepakat---kalau dilihat dari
kacamata niat baik. Akan tetapi niat baik saja tidak cukup,
dari prinsip-prinsip atau hukum-hukum ekonomi yang
sementara saya pelajari. Tindakan mereka ternyata
merusak kegiatan ekologis ekonomi manusia. Hukum
penawaran dan permintaan tidak dapat dibantah. Dia
bekerja sesuai tindakan-tindakan manusia. Jadi kalau ada
yang mengitervensi, berarti ada pihak yang dirugikan. Di
sini, posisi saya pas berada melihat dari pihak tersebut:
bapak saya. Dan saya yakin Bapak tidak mengetahui hal
tersebut. Dia hanya kecewa dengan kondisi, dan saya tidak
tahan melihat hal tersebut. Jadi kalau saya sekarang banyak
menulis, ini terkait apa yang sudah bapak berikan secara
pribadi kepada mental saya, yang ternyata sekarang sangat
bermanfaat untuk saya pribadi.
Dari kecil, saya di-didik untuk bekerja. Kalau tidak
bekerja, maka saya tidak mendapat uang saku untuk
sekolah. Katanya, itu ialah keadilan untuk diri sendiri dan
orang lain. Sudah sejak kecil prinsip-prinsip sederhana itu
ditanamkan pada semua anaknya, termasuk saya. Tapi
setelah saya besar, dan sekarang bisa menulis, prinsip-
prinsip yang sederhana itu ternyata tidak dilakukan oleh
orang-orang yang malah sering kita idolakan. Anehnya, kita
malah menjadikan mereka ikon-ikon demokrasi yang sering
kita dukung setiap ucapannya. Pengalaman saya ketika di
Sumatera Barat, menurut penglihatan saya pribadi, di sana
malah lebih demokratis. Ninik mamak (kepala suku), cerdik
171
pandai (intelektual) dan alim ulama ialah elemen-elemen
representasi konsep demokrasi yang sebenarnya sudah ada
di budaya lokal. Parahnya, konsep itu telah “dirusak” oleh
pemaksaan konsep-konsep yang mempunyai niat baik
tetapi menentang “hukum” yang sudah ada di sana sejak
lama.
Terkait yang sering saya kritik dan hujat saat ini
adalah sistem yang telah terstruktur. Jadi kalau dulu orang
memperjuangkan kebebasan dalam bentuk kemerdekaan.
Saat ini saya melihat, sistem struktur itu menjadi sangat
kropos dan rawan runtuh, sehingga keadilan tidak hanya
menjauh tapi malah terancam.
Kalau Yogas Ardiansyah pernah menawarkan untuk
menentang sistem, maka yang sekarang saya wacanakan
adalah menentang sistem-sistem yang terstruktur. Dalam
kata yang sederhana, sistem terstruktur itu adalah: “Negara
dan elemen-elemennya yang sangat gemuk”. Kalau yang
menjalankan tidak segera membenahi diri ataupun
berefleksi, maka dalam waktu dekat “bencana itu akan
terjadi”. Saya tidak dapat membayangkan, korban itu akan
seberapa besar? Tapi tak apalah, bukankah perubahan itu
suatu yang tidak dapat dihindari? Agar manusia selalu
mengingat.
Barangkali kata-kata Bharbara Sher benar adanya...
172
Sekedar Meminta Izin
Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok
174
Sebuah Pesan
Oleh : Yogas Ardiansyah
176
“Saestu, Kanjeng Sunan? Betul begitu? Apakah
Kanjeng Sunan sudah siap menyaksikan peristiwa yang
belum pernah Kanjeng Sunan saksikan sebelumnya?”
Rona di wajah Sunan Kudus semakin merah
menyala.
“Kurang ajar!!! Siapa yang mengajarimu berkata
seperti itu kepadaku?!”
Dengan enteng Cak Sudrun menjawab : “Gus Dur
dan Emha Ainun Nadjib, Kanjeng Sunan”.
Seketika raut muka Sunan Kudus berubah.
“Pilihlah wanita yang ingin kau nikahi, lantas bawa
kemari”. Sambil mengumpat dalam hati “Assu!!!”
Tanpa menunggu lama, “Sendiko dhawuh, Kanjeng
Sunan!” Setelah menghaturkan sembah, Cak Sudrun segera
melompat keluar pendopo menemui kekasihnya untuk
diajak menghadap Sunan Kudus. Kelak Sunan Kudus akan
semakin terperanjat melihat siapa yang dibawa Cak Sudrun
kepadanya.
***
Sepertinya siasat Cak Sudrun boleh juga ditiru.
Fahmi? Haris? Mas Taufik? Guru Ed? Giyanto? Hhmm…,
Luluk
177
Selamat Tinggal Sayangku
Oleh : Giyanto
179
kemampuan orang-orang tersebut sehingga mereka tidak
diganggu oleh hal-hal rigid yang sering kau permasalahkan.
Keadilan adalah sebuah konsep gagasan sayangku.
Dia, keadilan, adalah sebuah cakrawala yang memiliki
banyak tafsir. Sekarang, keadilan bagiku lain artinya
dengan pengertian kita yang dahalu pernah kita yakini.
Selamat tinggal sayangku...
Salam
180
Cerita Tentang Itu
Oleh : Ahmad Fahmi Mubarok
181
maksudku tidak berempati, tapi empatiku agaknya hanya
semakin menambah kesedihanmu yang datang tiba-tiba.
Sambil berjalan, kuraba diriku. Aneh, aku biasa saja,
pun dalam kuliah. Hanya saja terus terpikirkan. Bagaimana
jika itu tiba-tiba teralamatkan kepadaku? Bagaimana jika
aku yang itu? Adakah yang mau menangis demi aku dan
kesedihan itu? Egois sekali memang, tapi semua orang
harus egois setidaknya jika saat tujuan dari semua
kehidupan itu tiba. Sempat tersungging senyum di bibir,
kekagumanku pada ayah temanku. Dalam awal dunia
barunya, ada yang menangisi kepergiannya. Rupanya ia
masih sangat dibutuhkan oleh orang lain, dia berguna bagi
yang lain, dia orang baik.
Dari sisi lain, pastinya seorang teman itu tak
menyangka, ketika tadi mandi, berangkat kuliah, sampai
akhirnya mendapatkan kabar telpon. Bukan lagi telegram
yang boros segalanya, si Marx sekarang bukan lagi kiri!
Mungkin saja dari awal dia mengira hari-harinya akan
seperti hari-hari sebelumnya.
Pikiranku telah kembali pada jalannya kuliah. Pak
dosen menjelaskan teori behavioristik, setiap perilaku
adalah baru, tidak ada hal yang sama persis! Semua stimuli
itu baru, sehingga responnya juga baru. Senin lalu, di ruang
yang sama juga kuliah dengan mata kuliah yang sama.
Tetapi materinya berbeda, suhu udara, pakaian yang kami
kenakan, cuaca, dan lain-lain yang berbeda. Semuanya itu
baru dan menimbulkan respon yang baru. Katanya perilaku
manusia suatu “lingkaran setan” stimulus-respon.
Sederhana sekali memang, seperti rumusan persamaan
kuadrat atau segitiga Phytagoras. Phyitagoras juga berkata
“semesta adalah suatu keseluruhan yang teratur” semua
bisa dirumuskan baginya. Wajar saja, Cak Nun yang
mengatakan “dunia adalah tempat ketidak pastian, dan
182
manusia adalah makhluk ketidak pastian” memang belum
lahir. Tapi berbeda bukan dosa, tak apalah.
Pak dosen juga bercerita masa mudanya, yang
pernah menuliskan sesuatu tentang malam. Malam yang
datang kala mentari mohon diri. Mengutip syair lagu Pas
Band “malam hari tetaplah malam, tak pernah dia
menghilang..” ya, dalam gemerlap bintang ataupun
kelabunya mendung, malam tak akan dibahasakan siang.
Mungkin si teoris (behavioristik) itu terlupa dengan satu
pepatah klasik inggris “there is nothing new under the sun”
dan belum pernah mendengar lagu Scorpion “and we are
live under the same sun..”
Semoga ini tidak dimaknai menari di atas kesedihan
orang lain. Tapi kata Derrida, tidak ada selain distorsi
sebagai akibat dari penafsiran yang berbeda. Sudahlah,
terserah saja..
183