“Bernalar Ilmiah”
Oleh:
Kelompok III
UNIVERSITAS AIRLANGGA
FAKULTAS KEDOKTERAN
2019
DAFTAR ISI
Halaman Sampul
Daftar Isi ........................................................................................................... 2
Bab I Pendahuluan ............................................................................................ 3
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah........................................................................... 4
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................... 4
Bab II Penalaran Ilmiah .................................................................................... 5
2.1 Pengertian Penalaran Ilmiah ......................................................... 5
2.2 Tujuan Penalaran Ilmiah ............................................................... 9
2.3 Penalaran Deduktif ........................................................................ 9
2.4 Penalaran Induktif................................................................................11
2.5 Kesalahan Penalaran............................................................................13
2.6 Jenis-jenis Salah Nalar.........................................................................14
Bab III Penutup.......................................................................................................16
3.1 Kesimpulan..........................................................................................16
3.2 Saran 16
Daftar Pustaka........................................................................................................17
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
ilmiah dapat dilakukan melalui tiga macam jenis dalam penalaran, yaitu Penalaran
Deduktif, Penalaran Induktif, dan Penalaran Abduktif (Redja, 2001).
4
BAB II
PENALARAN ILMIAH
6
Kemudian ilmuwan J.J. Thomson melalui penelitiannya pada tahun 1897 membuktikan
adanya elektron yang bermuatan negatif dalam atom. Atom model Thomson
digambarkan seperti bola pejal dengan elektron yang “menempel” pada bola atom,
seperti roti kismis. Kebenaran model atom Dalton pun gugur. Demikian seterusnya
hingga ilmuwan modern menemukan struktur atom kuantum yang terdiri dari inti proton
dan neutron serta elektron yang mengorbit intinya, dimana proton dan neutron disusun
oleh quark.
Definisi atau pengertian, adalah penjelasan berupa ciri atau batasan pada suatu
obyek sehingga mengantarkan pikiran seseorang hanya kepada obyek tersebut saja,
bukan pada obyek yang lain.
Entitas, adalah sesuatu yang berada atau berwujud yang menunjukkan sesuatu
tersebut sebagai sebuah obyek, biasanya berdasarkan definisi obyek.
Identitas, adalah sesuatu yang unik/khas yang dimiliki sebuah obyek yang bisa
membedakan obyek tersebut dari obyek lain dalam entitas yang sama.
Himpunan, adalah kumpulan obyek-obyek berdasarkan ciri atau batasan yang
sama sehingga membedakan dari kumpulan obyek-obyek yang lain.
Jenjang atau hirarki, adalah tingkatan obyek berdasarkan ciri atau batasan yang
sama sehingga membedakan dari obyek lain di tingkatan yang berbeda.
dan lain sebagainya.
7
Dari penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa berpikir yang benar adalah
berpikir yang berlandaskan ilmu yang benar dengan logika yang benar. Keduanya harus
terpenuhi. Berpikir tanpa ilmu yang benar walaupun logikanya benar, hasilnya salah.
Demikian juga berpikir dengan ilmu yang benar tapi logikanya salah, hasilnya juga salah.
Contoh A:
Premis 1: Fulan adalah seorang kakek.
Premis 2: Fulan adalah orang yang gundul.
Kesimpulan: Kakek adalah orang yang kepalanya gundul.
Contoh di atas memiliki premis dengan pengetahuan yang benar karena faktanya
memang Fulan adalah seorang kakek dan kepalanya gundul. Logika penarikan
kesimpulannya pun benar. Tapi kesimpulan yang diambil salah karena tidak sesuai
dengan definisi ‘kakek’, walaupun faktanya benar. Ini contoh berpikir yang salah
walaupun bangun logikanya benar.
Contoh B:
Premis 1: Kakek adalah seorang yang punya cucu.
Premis 2: Anu adalah cucu Fulan.
Kesimpulan: Fulan adalah seorang kakek.
Contoh di atas memiliki premis 1 berisi definisi yang benar dan premis 2 berisi
pengetahuan tentang hubungan keluarga antara Anu dan Fulan (yang dianggap benar).
Logika penarikan kesimpulannya pun benar. Secara berpikir yang benar, contoh di atas
sah (valid). Tapi contoh ini belum tentu benar jika kita berpikir secara ilmiah.
Berpikir ilmiah tidak cukup hanya berpikir dengan benar. Berpikir ilmiah harus
diikuti bukti ilmiah. Berpikir ilmiah mewajibkan setiap elemen dalam bangun logika
disertai dengan bukti pendukung. Misalnya dalam contoh B di atas, premis 1 harus
disertai bukti bahwa definisi ‘kakek adalah seorang yang punya cucu’ adalah benar,
misalnya dengan menunjukkan referensi KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Premis
2 harus disertai bukti bahwa si Anu adalah benar-benar cucu si Fulan, misalnya dengan
menunjukkan Kartu Keluarga. Jika premis 1 dan 2 telah disertai bukti yang sah maka
kesimpulannya bisa diterima benar dan sah secara ilmiah.
8
2.2 Tujuan Penalaran Ilmiah
Tujuan dari penalran adalah untuk menentukan secara logis atau objektif, apakah
yang kita lakukan itu benar atau tidak sehingga dapat dilaksanakan.
9
memungkinkan kesimpulan yang diperoleh menjadi lebih luas dari premis awalnya,
sehingga ilmu pengetahuan menjadi sulit berkembang jika hanya mengandalkan cara
berpikir ini. Selain itu, pada logika deduktif, kebenaran premis tidak dapat diuji, hanya
kebenaran bentuk atau pola penalarannya saja yang dapat diuji (Mustofa, 2016).
1
Dalam silogisme hipotesis berlaku hukum, jika antecedens, keputusan
kondisional yang mengandung syarat, benar dan hubungannya saah, maka kesimpulan
akan benar pula. Namun, jika kesimpulan salah (dan hubungannya sah) maka
antecedens salah pula (Soedomo, 2006).
• Silogisme dalam komunikasi sehari-hari
Dalam komunikasi sehari-hari banyak terjadi penyimpangan karena unsur
proposisinya hiper lengkap, lebih dari tiga. Di samping itu banyak silogisme yang
menyimpang karena unsur proposisinya tidak lengkap dan ada juga silogisme yang
premisnya lebih dari dua proposisi bahkan lebih. Dalam makalah ini hanya dijelaskan
bentuk silogisme yang sering terjadi dikalangan kita yaitu Entimema (enthymeme).
Entimema adalah penalaran yang tidak semua unsur proposisinya dinyatakan
secara eksplisit. Karena silogisme terdiri dari tiga proposisi; mayor, minor dan
konklusi, maka bentuk entimema ada empat, yaitu entimema tanpa mayor, entimema
tanpa minor, entimema tanpa konklusi, dan entimema tanpa konklusi dan mayor atau
minor (Soekadijo, 2001). Contoh entimema tanpa mayor adalah: “Tentu saja saya
dapat khilaf, saya kan manusia biasa!”
1
2.4.1 Ciri-ciri induktif
Menurut R. G. Soekadijo terdapat tiga ciri induktif, yaitu:
• Premis-premis dari induksi adalah proposisi empirik yang langsung kembali kepada
suatu observasi indera atau proposisi dasar (basic statement).
• Konklusi penalaran induktif lebih luas dari pada apa yang dinyatakan dalam premis-
premisnya.
• Konklusi induksi memilki kredibilitas rasional (probabilitas). Probabilitas didukung
oleh pengalaman, artinya konklusi induksi terkadang cocok dengan pengalaman,
namun apabila didasarkan pada observasi indra belum tentu cocok.
2.4.2 Bentuk generalisasi induktif
Dalam logika induktif, tidak ada konklusi yang mempunyai nilai kebenaran yang
pasti. Yang ada hanya konklusi dengan probabilitas rendah atau tinggi. Maka hasil usaha
analisa dan rekontruksi dalam penalaran induktif berupa ketentuan-ketentuan mengenai
bentuk induksi yang menjamin konklusi dengan probabilitas setinggi-tingginya. Tinggi
rendahnya probabilitas dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yaitu:
• Makin besar jumlah fakta yang dijadikan dasar penalaran induktif, makin tinggi
probabilitas konklusinya, dan sebaliknya.
• Makin besar faktor analogi di dalam premis, makin rendah probabilitas konklusinya,
dan sebaliknya.
• Makin besar jumlah faktor disanaloginya dalam premis, makin tinggi probabilitas
konklusinya, dan sebaliknya.
• Semakin luas konklusinya semakin rendah pula probabilitasnya, dan
sebaliknya (Soekadijo, 2001)
2.4.3 Bentuk analogi Induktif
Bentuk penalaran analogi induktif ditentukan oleh tiga aspek yaitu:
• Jumlah fakta yang dijadikan dasar dari konklusinya dan dinyatakan sebagai premis.
• Jumlah faktor-faktor analogi.
• Bentuk proposisi yang menjadi konklusinya. Contohnya:
Pisang 1 keras dan hijau adalah masam
Pisang 2 keras dan hijau adalah masam
Pisang 3 adalah keras dan hijau Pisang 3 adalah masam
1
2.5 Kesalahan Penalaran
Penalaran adalah suatu proses berpikir manusia untuk menghubung-hubungkan
data atau fakta yang ada sehingga sampai pada suatu kesimpulan. Salah nalar dapat terjadi
di dalam proses berpikir untuk mengambil keputusan. Hal ini terjadi karena ada kesalahan
pada cara penarikan kesimpulan. Salah nalar lebih dari kesalahan karena gagasan, struktur
kalimat, dan karena dorongan emosi. Salah nalar ada dua macam:
1. Salah nalar induktif, berupa :
a. kesalahan karena generalisasi yang terlalu luas,
b. kesalahan penilaian hubungan sebab-akibat,
c. kesalahan analogi.
2. Kesalahan deduktif dapat disebabkan :
a. kesalahan karena premis mayor tidak dibatasi;
b. kesalahan karena adanya term keempat;
c. kesalahan karena kesimpulan terlalu luas/tidak dibatasi; dan
d. kesalahan karena adanya 2 premis negatif.
Fakta atau data yang akan dinalar itu boleh benar dan boleh tidak benar.
Pengertian dan contoh salah nalar diantaranya berupa gagasan, pikiran, kepercayaan, dan
simpulan yang salah, keliru, atau cacat. Dalam ucapan atau tulisan kerap kali kita dapati
pernyataan yang mengandung kesalahan. Ada kesalahan yang terjadi secara tak sadar
karena kelelahan atau kondisi mental yang kurang menyenangkan, seperti salah ucap atau
salah tulis misalnya.
Ada pula kesalahan yang terjadi karena ketidaktahuan, disamping kesalahan yang
sengaja dibuat untuk tujuan tertentu. Kesalahan yang kita persoalkan disini adalah
kesalahan yang berhubungan dengan proses penalaran yang kita sebut salah nalar.
Pembahasan ini akan mencakup dua jenis kesalahan menurut penyebab utamanya, yaitu
kesalahan karena bahasa yang merupakan kesalahan informal dan karena materi dan
proses penalarannya yang merupan kesalahan formal. Gagasan, pikiran, kepercayaan atau
simpulan yang salah, keliru, atau cacat disebut sebagai salah nalar.
Berikut ini salah nalar yang berhubungan dengan induktif, yaitu :
1. Generelisasi terlalu luas
Contoh : perekonomian Indonesia sangat berkembang
2. Analogi yang salah
1
Contoh : ibu Yuni, seorang penjual batik, yang dapat menjualnya dengan
harga terjangkau. Oleh sebab itu, ibu Lola seorang penjual batik, tentu dapat
menjualya dengan harga terjangkau.
1
Salah nalar ini dapat terjadi bila orang menganalogikan sesuatu dengan yang lain
dengan anggapan persamaan salah satu segi akan memberikan kepastian persamaan
pada segi yang lain.
Contoh:
Anto walaupun lulusan Akademi Amanah tidak dapat mengerjakan tugasnya dengan
baik.
F. Argumentasi Bidik Orang
Salah nalar jenis ini disebabkan oleh sikap menghubungkan sifat seseorang dengan
tugas yang diembannya.
Contoh:
Program keluarga berencana tidak dapat berjalan di desa kami karena petugas
penyuluhannya memiliki enam orang anak.
1
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berpikir yang ilmiah adalah berpikir yang berlandaskan ilmu yang benar dengan
logika yang benar. Keduanya harus terpenuhi. Berpikir tanpa ilmu yang benar walaupun
logikanya benar, hasilnya salah. Demikian juga berpikir dengan ilmu yang benar tapi
logikanya salah, hasilnya juga salah. Penalaran induktif merupakan penyimpulan dari
pernyataan khusus atau berbagai kasus yang individual ke bentuk umum, penalaran
deduktif merupakan lawan dari penalaran induktif, penyimpulan dari pernyataan umum
ke khusus. Sedangkan abduktif merupakan penyimpulan dari suatu kasus tertentu. Ketiga
penalaran tersebut bisa kita gunakan dalam kehidupan seharihari terutama ketika
dihadapkan dengan realitas kehidupan yang semakin variatif. Selain itu, kita juga bisa
menggunakannya sebagai alat untuk menggali ilmu pengetahuan, sehingga
perkembangan ilmu pengetahuan di masa mendatang akan semakin dinamis.
3.1 Saran
Penalaran ilmiah sangat dibutuhkan dalam metode penulisan ilmiah, terutama bagi
para akademisi. Menerapkan proses berpikir dan bernalar ilmiah dalam kehidupan sehari-
hari mendorong akademisi untuk selalu bersikap kritis dan melakukan sesuatu
berdasarkan data dan fakta.
1
DAFTAR PUSTAKA
Hadi, A. Soedomo, Logika Filsafat Berfikir, Surakarta: LPP UNS dan UPT Penerbitan dan
Percetakan UNS PRESSSuriasumantri, JS. 2001. Ilmu dalam perspektif. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Jammer, Max (1999), Einstern and Religion : Physics and Theology, New jersey : Princeton
University, Press
Soekadijo, R. G., Logika Dasar, Tradisional, Simbolik dan Induktif, Jakarta: Gramedia
Pustaka
Supriasumantri, JS. 2001. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
Redja, Mudyahardjo, (2001), Filsafat ILmu Pendidikan : Suatu Pengantar, Bandung : Rosda
1
PENALARAN ILMIAH KELOMPOK III
MKDU 2019
BAB I PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
▪ Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan.
▪ Berpikir membutuhkan ilmu agar proses dan hasil berpikirnya benar.
▪ Berpikir ilmiah adalah menggunakan akal budi untuk
mempertimbangkan, memutuskan, mengembangkan dan sebagainya.
▪ Berpikir ilmiah dapat dilakukan melalui penalaran induktif dan deduktif.
RUMUSAN MASALAH
▪ Apa yang dimaksud penalaran ilmiah?
▪ Apa tujuan penalaran?
▪ Apa saja jenis jenis penalaran ilmiah?
▪ Apakah yang dimaksud dengan penalaran deduktif?
▪ Apakah yang dimaksud dengan penalaran induktif?
▪ Apakah macam macam kesalahan dalam penalaran?
TUJUAN PENULISAN
▪ Mengetahui pengertian penalaran ilmiah
▪ Mengetahui tujuan penalaran ilmiah
▪ Mengetahui jenis-jenis penalaran ilmiah
▪ Mengetahui pengertian penalaran deduktif
▪ Mengetahui pengertian penalaran induktif
▪ Memahami macam-macam kesalahan dalam penalaran ilmiah
BAB II PEMBAHASAN
PENGERTIAN BERPIKIR
ILMIAH
Proses penentuan keputusan dengan cara mengolah
pengetahuan yang telah ada sebelumnya sehingga
diperoleh keputusan yang terbaik. Tidak bisa disebut
berpikir jikatidak ada pengetahuan yang
mendahuluinya atau mendasarinya.
Tujuan berpikir dapat digolongkan dalam tiga hal, yaitu:
▪ Mendapat jawaban atas pertanyaan
▪ Mencari penyelesaian atas permasalahan
▪ Menentukan pilihan dari berbagai kemungkinan
Selain membutuhkan ilmu, berpikir juga membutuhkan alat.
Alat berpikir adalah logika atau penalaran. Berpikir tanpa
pengetahuan dan penalaran yang benar akan menghasilkan
yang disebut dengan sesat pikir (fallacy).
Konsep-konsep penalaran yang penting dipahami, antara lain:
§Definisi atau pengertian adalah penjelasan berupa ciri atau
batasan pada suatu obyek sehingga mengantarkan pikiran
seseorang hanya kepada obyek tersebut saja.
§Entitas adalah sesuatu yang berada atau berwujud yang
menunjukkan sesuatu tersebut sebagai sebuah obyek,
biasanya berdasarkan definisi obyek.
§Identitas adalah sesuatu yang unik/khas yang dimiliki sebuah
obyek yang bisa membedakan obyek tersebut dari obyek lain
dalam entitas yang sama.
§Himpunan adalah kumpulan obyek-obyek berdasarkan ciri
atau batasan yang sama sehingga membedakan dari kumpulan
obyek-obyek yang lain.
§Jenjang atau hirarki adalah tingkatan obyek berdasarkan ciri
atau batasan yang sama sehingga membedakan dari obyek lain
di tingkatan yang berbeda.
TUJUAN PENALARAN ILMIAH
Tujuan penalaran adalah menentukan secara logis atau
objektif apakah yang kita lakukan itu benar atau tidak
sehingga dapat dilaksanakan.
JENIS PENALARAN ILMIAH:
DEDUKTIF
Soedomo, 2006:
Pengetahuan yang “lebih umum” menyimpulkan
pengetahuan yang “lebih khusus”. Pengetahuan yang lebih
khusus itu telah terkandung di dalam pengetahuan umum
itu, tetapi belum dengan tegas dan jelas dilihat dan
dirumuskan; jadi masih bersifat potensial.
JENIS PENALARAN ILMIAH:
DEDUKTIF
Penarikan kesimpulan deduktif menggunakan pola berpikir
silogismus. Silogismus tersusun dari dua buah pernyataan
(premis mayor dan premis minor) dan sebuah kesimpulan.
Contoh:
Semua mahluk hidup bernapas
Lucy adalah mahluk hidup
Jadi Lucy bernapas
JENIS PENALARAN ILMIAH:
DEDUKTIF
Kelebihan penalaran deduktif:
▪ Analisis terfokus sehingga waktu yang digunakan lebih efisien.
▪ Tujuan yang dicapai jelas sehingga proses berpikir lebih
sistematis.
Kelemahan penalaran deduktif:
▪ Kebenaran penarikan kesimpulan bergantung pada kebenaran
premis-premisnya.
▪ Kebenaran premis tidak dapat diuji.
▪ Penarikan kesimpulan tidka dapat lebih luas dari premis-
premisnya sehingga ilmu pengetahuan sulit berkembang bila
hanya menggunakan logika deduktif.
JENIS PENALARAN ILMIAH:
INDUKTIF
Soekadijo, 2001:
Proses peningkatan dari hal-hal yang bersifat individual
kepada sesuatu yang bersifat universal (a passage from
individual to universal), dimana premisnya berupa proposisi-
proposisi singular, sedang konklusinya berupa sebuah
proposisi universal, yang berlaku secara umum
JENIS PENALARAN ILMIAH:
INDUKTIF
Berpikir dengan logika induktif bertujuan untuk menarik
kesimpulan umum berupa deskripsi general dari suatu
fenomena.
Contoh:
Besi mengalirkan listrik
Tembaga mengalirkan listrik
Perak mengalirkan listrik
Besi, tembaga, emas, perak adalah logam. Jadi, logam
mengalirkan listrik
JENIS PENALARAN ILMIAH:
INDUKTIF
Ciri-ciri logika induktif antara lain:
▪ Premis-premis dari induksi adalah proposisi empirik yang
langsung kembali kepada suatu observasi indera atau proposisi
dasar (basic statement).
▪ Konklusi penalaran induktif lebih luas dari pada apa yang
dinyatakan dalam premis-premisnya.
▪ Konklusi induksi memilki kredibilitas rasional (probabilitas).
Probabilitas didukung oleh pengalaman, artinya konklusi induksi
terkadang cocok dengan pengalaman, namun apabila
didasarkan pada observasi indra belum tentu cocok.
KESALAHAN PENALARAN
Kesalahan penalaran didapatkan karena adanya kesalahan dalam
proses penarikan kesimpulan. Kesalahan penalaran terdiri dari:
Salah nalar induktif:
▪ Kesalahan karena generalisasi yang terlalu luas
▪ Kesalahan penilaian hubungan sebab-akibat
▪ kesalahan analogi
Salah nalar
deduktif:
▪ Kesalahan karena premis mayor tidak dibatasi
▪ Kesalahan karena adanya term keempat
▪ Kesalahan karena kesimpulan terlalu luas/tidak dibatasi
▪ Kesalahan karena adanya 2 premis negatif
JENIS KESALAHAN
PENALARAN
▪ Deduksi yang salah
Simpulan dari suatu silogisme dengan diawali premis yang salah atau
tidak memenuhi persyaratan.
▪ Generalisasi terlalu luas
Salah nalar ini disebabkan oleh jumlah premis yang mendukung
generalisasi tidak seimbang dengan besarnya generalisasi itu
sehingga simpulan yang diambil menjadi salah.
▪ Pemilihan terbatas pada dua alternatif
Salah nalar ini dilandasi oleh penalaran alternatif yang tidak tepat
dengan pemilihan jawaban yang ada.
JENIS KESALAHAN
PENALARAN
▪ Penyebab Salah Nalar
Salah nalar ini disebabkan oleh kesalahan menilai sesuatu sehingga
mengakibatkan terjadinya pergeseran maksud.
▪ Analogi yang Salah
Salah nalar ini dapat terjadi bila orang menganalogikan sesuatu
dengan yang lain dengan anggapan persamaan salah satu segi akan
memberikan kepastian persamaan pada segi yang lain.
▪ Argumentasi Bidik Orang
Salah nalar jenis ini disebabkan oleh sikap menghubungkan sifat
seseorang dengan tugas yang diembannya.
BAB III PENUTUP
SIMPULAN DAN SARAN
▪ Berpikir yang ilmiah adalah berpikir yang berlandaskan ilmu yang
benar dengan logika yang benar.
▪ Penalaran induktif merupakan penyimpulan dari pernyataan khusus
atau berbagai kasus yang individual ke bentuk umum.
▪ Penalaran deduktif merupakan lawan dari penalaran induktif,
penyimpulan dari pernyataan umum ke khusus.
▪ Menerapkan proses berpikir dan bernalar ilmiah dalam kehidupan
sehari-hari mendorong akademisi untuk selalu bersikap kritis dan
melakukan sesuatu berdasarkan data dan fakta.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, asmori, 2001, Filsafat umum, Jakarta : Rajawali Pers
Hadi, A. Soedomo, Logika Filsafat Berfikir, Surakarta: LPP UNS dan UPT
Penerbitan dan Percetakan UNS PRESSSuriasumantri, JS. 2001. Ilmu dalam
perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hardiman, Budi F. 2004, Filsafat Modern, Jakarta : Gramedia
Himsworth, Harold (1997), Pengetahuan Keilmuan dan pemikiran filosofi,
(terjemahan Achamda Bimadja, PH.D ) , Bandung : ITB Bandung.
Jammer, Max (1999), Einstern and Religion : Physics and Theology, New jersey :
Princeton University, Press
Soekadijo, R. G., Logika Dasar, Tradisional, Simbolik dan Induktif, Jakarta:
Gramedia Pustaka
Supriasumantri, JS. 2001. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar
Harapan.
Redja, Mudyahardjo, (2001), Filsafat ILmu Pendidikan : Suatu Pengantar, Bandung :
Rosda