Anda di halaman 1dari 18

tTUGAS MAKALAH

BAHASA INDONESIA

“Bernalar Ilmiah”

Dosen Pengampu :
Fitri Handayani, M.A

Disusun Oleh :
Azzura Melan Sari 2210301002
Arla Hamida 2210301008
Muhammad Haikal 2210301017
Wezalfajri 2210302006

FAKULTAS USHULUDIN ADAB DAN DAKWAH


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KERINCI

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur seraya penyusun panjatkan ke hadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Bahasa Indonesia.Adapun isi dari makalah yaitu mempelajari dasar-
dasar bahasa Indonesia baku, ciri-ciri bahasa Indonesia baku dan ciri-ciri bahasa
Indonesia tak baku.
Penyusun berterima kasih kepada Ibu Fitri Handayani, M.A selaku dosen
mata kuliah Bahasa Indonesia yang telah memberikan arahan serta bimbingan,
dan juga kepada semua pihak yang telah membantu baik langsung maupun tidak
langsung dalam penyusunan makalah ini.
Seperti pepatah mengatakan “Tak ada gading yang tak retak”. Penyusun
menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Hal ini semata-mata karena
keterbatasan kemampuan penyusun sendiri. Oleh karena itu, sangatlah penyusun
harapkan saran dan kritik yang positif dan membangun dari semua pihak agar
makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya guna dimasa yang akan datang.

Sungai Penuh, September 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Halaman Sampul
Daftar Isi ...........................................................................................................3
Bab I Pendahuluan...........................................................................................4
1.1 Latar Belakang..................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan...............................................................................5
Bab II Penalaran Ilmiah...................................................................................6
2.1 Pengertian Penalaran Ilmiah..............................................................6
2.2 Tujuan Penalaran Ilmiah....................................................................9
2.3 Penalaran Deduktif.............................................................................9
2.4 Penalaran Induktif..............................................................................12
2.5 Kesalahan Penalaran..........................................................................13
2.6 Jenis-jenis Salah Nalar.......................................................................14
Bab III Penutup..................................................................................................16
3.1 Kesimpulan.........................................................................................16
3.2 Saran...................................................................................................16
Daftar Pustaka....................................................................................................17

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang dan mengalami
kemajuan, sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan cara berpikir
manusia. Pencarian pengetahuan yang benar harus berlangsung menurut prosedur
atau kaidah hukum, yaitu berdasarkan pikiran. Berpikir merupakan sebuah proses
yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak
pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada
sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia berpikir untuk
menemukan pemahaman atau pengertian, pembentukan pendapat, dan kesimpulan
atau keputusan dari sesuatu yang dikehendaki (Achmadi, 2001).

Menurut Himsworth (1997), manusia adalah makhluk yang berpikir.


Setiap saat dari hidupnya, sejak dia lahir sampai masuk liang lahat, dia tak pernah
berhenti berpikir. Hampir tak ada masalah yang menyangkut dengan
perikehidupan yang terlepas dari jangkauan pikirannya, dari soal paling remeh
sampai soal paling asasi (Hardiman, 2004). Sedemikian pentingnya kemampuan
berpikir bagi manusia, seorang filsuf dan ilmuwan terkenal dari Perancis bernama
René Descartes pernah berkata, “cogito ergo sum” yang artinya “aku berpikir,
maka aku ada”. Bagi manusia, berpikir juga menunjukkan keberadaan (existence),
bukan sekadar kebenaran (truth). Jika seorang manusia tidak lagi mampu berpikir,
sejatinya dia sebagai manusia telah tidak ada, atau dianggap tidak ada, walaupun
secara fisik masih ada. Namun, berpikir saja tidak cukup. Berpikir juga
membutuhkan ilmu agar proses dan hasil berpikirnya benar.

Berpikir ilmiah adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan,


memutuskan, mengembangkan dan sebagainya (Jammer, 1999). Pada dasarnya
setiap objek yang ada di dunia pastilah menuntut metode tertentu. Seperti halnya
dalam memperoleh pengetahuan. Suatu ilmu, mungkin membutuhkan lebih dari
satu metode ataupun dapat diselesaikan menurut berbagai metode. Akhirnya suatu
pendapat mengatakan, bahwa sesuatu memiliki berbagai segi yang menuntut
penggunaan berbagai metode. Untuk memperoleh pengetahuan, maka

4
digunakanlah metode berfikir ilmiah. Metode ilmiah atau proses ilmiah
merupakan proses keilmuan untuk memperoleh pengetahuan secara sistematis
berdasarkan penelitian. Cara dalam berfikir ilmiah dapat dilakukan melalui tiga
macam jenis dalam penalaran, yaitu Penalaran Deduktif, Penalaran Induktif, dan
Penalaran Abduktif (Redja, 2001).

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud penalaran ilmiah?
2. Apa tujuan penalaran?
3. Apa saja jenis jenis penalaran ilmiah?
4. Apakah yang dimaksud dengan penalaran deduktif?
5. Apakah yang dimaksud dengan penalaran induktif?
6. Apakah macam macam kesalahan dalam penalaran?

1.3. Tujuan Penulisan


Mengingat pentingnya mengetahui tentang penalaran ilmiah dalam
penggunaannya di kehidupan sehari – hari, makalah ini dibuat dengan tujuan
sebagai berikut :
1. Mengetahui pengertian penalaran ilmiah
2. Mengetahui jenis-jenis penalaran ilmiah
3. Mengetahui pengertian penalaran deduktif
4. Mengetahui pengertian penalaran induktif
5. Memahami macam-macam kesalahan dalam penalaran ilmiah

5
BAB II
PENALARAN ILMIAH

2.1 Pengertian Penalaran Ilmiah


Setiap manusia tentu ingin hidup bahagia dan sukses. Untuk mencapai
hidup yang demikian, manusia dihadapkan pada berbagai masalah hidup yang
seringkali tidak mudah. Agar bisa menentukan solusi yang tepat, yaitu solusi yang
paling sesuai, aman, nyaman, dan resiko terkecil, dari berbagai solusi yang
mungkin, manusia dituntut harus bisa berpikir. Tuntutan berpikir inilah yang
membuat manusia purba berevolusi menjadi manusia modern (homo sapiens)
dengan kemampuan otak yang terbaik di muka Bumi. Di antara seluruh makhluk
hidup di Bumi, hanya manusia yang mengenal konsep kesadaran (consciousness),
berpendapat (reasoning), dan pengetahuan (knowledge) hingga bisa membangun
peradaban (civilization).
Sedemikian pentingnya kemampuan berpikir bagi manusia, seorang filsuf
dan ilmuwan terkenal dari Perancis bernama René Descartes pernah berkata,
“cogito ergo sum” yang artinya “aku berpikir, maka aku ada”. Bagi manusia,
berpikir juga menunjukkan keberadaan (existence), bukan sekadar kebenaran
(truth). Jika seorang manusia tidak lagi mampu berpikir, sejatinya dia sebagai
manusia telah tidak ada, atau dianggap tidak ada, walaupun secara fisik masih ada.
Namun, berpikir saja tidak cukup. Berpikir juga membutuhkan ilmu agar proses
dan hasil berpikirnya benar.
Secara umum, pengertian berpikir adalah proses penentuan keputusan
dengan cara mengolah pengetahuan yang telah ada sebelumnya sehingga
diperoleh keputusan yang terbaik. Perhatikan bahwa ada syarat pengetahuan yang
telah ada sebelumnya. Tidak bisa disebut berpikir jika tidak ada pengetahuan yang
mendahuluinya atau mendasarinya. Tujuan berpikir dapat digolongkan dalam tiga
hal, yaitu:
1. Mendapat jawaban atas pertanyaan,
2. Mencari penyelesaian atas permasalahan,
3. Menentukan pilihan dari berbagai kemungkinan.

2.1.1 Pengetahuan, Ilmu, dan Sains


Pengetahuan (knowledge) adalah segala yang kita dapatkan dari
pengalaman diri sendiri atau informasi dari orang lain yang kita anggap benar.
Sekedar tahu saja tidak bisa disebut pengetahuan. Dan karena hanya dianggap
benar (dengan alasan tertentu), maka pengetahuan kita belum tentu kebenaran

6
yang sejati. Pengetahuan bisa saja salah, bisa jugabenar. Masih ada unsur
subyektivitas dalam pengetahuan. Jika pengetahuan yang salah digunakan dalam
berpikir maka hasil berpikirnya juga pasti salah.
Contoh: bintang berbentuk segilima adalah pengetahuan yang salah bagi
orang yang telah belajar ilmu astronomi, namun menjadi pengetahuan yang benar
bagi kanak-kanak yang belum bersekolah. Benar-salah pengetahuan ditentukan
berdasarkan ilmu, bukan anggapan pribadi.
Ilmu atau ilmu pengetahuan (science) adalah segala pengetahuan yang
diperoleh dengan cara yang sistematis melalui metode tertentu oleh orang berilmu
(ahli) yang kita yakini benar. Dan karena hanya diyakini benar (dengan alasan
tertentu), maka suatu ilmu belum tentu kebenaran yang sejati. Ilmu pun bisa saja
salah, bisa juga benar. Kebenaran ilmu pengetahuan bisa memiliki banyak ragam
yang masing-masing mendaku dirinyalah kebenaran sejati (yang lain bukan).
Sangat banyak pengetahuan yang bisa digolongkan sebagai ilmu. Namun
ilmubelum bisa sepenuhnya menghilangkan pengaruh subyektivitas dan bias
(kepentingan, opini, pilihan, dsb). Misalnya dalam ilmu sosial, ilmu politik, ilmu
seni, ilmu agama, ilmu ekonomi, dan yang sejenis; biasanya memiliki banyak
“versi” atau “aliran” dalam hal tertentu yang masing-masing mendaku kebenaran,
minimal “lebih benar” dari yang lain. Walaupun tidak semua bagian dalam ilmu-
ilmu tersebut subyektif, tapi juga tidak bisa dibilang seluruhnya obyektif.
Contoh: Si A baru saja belajar ilmu agama X dari ahli agama X, meyakini
dengan seyakin-yakinnya bahwa agama X adalah agama yang paling benar.
Namun si B yang telah lama belajar ilmu agama Y dari ahli agama Y, meyakini
dengan seyakin-yakinnya bahwa agama Y adalah agama yang paling benar.
Keduanya merasa sebagai pihak yang (paling) benar.
Sains atau ilmu [pengetahuan] alam (natural science) adalah segala ilmu
pengetahuan tentang alam semesta yang diperoleh melalui penelitian ilmiah
berdasarkan metode ilmiah oleh ahli sains (ilmuwan) yang terbukti benar. Dan
karena terbukti benar secara ilmiah, maka sains diakui sebagai kebenaran [ilmiah]
oleh siapa pun. Kebenaran ilmiah pun bukan kebenaran sejati karena kebenaran
ilmiah bersifat relatif dan dinamis, yaitu hanya diakui benar selama belum ada
bukti ilmiah lain yang menyalahkan. Kebenaran sains juga bersifat obyektif dan
universal, yaitu bisa diterima (dan dibuktikan)oleh seluruh manusia dan berlaku
sama di seluruh alam semesta.
Contoh: Ilmuwan John Dalton melalui penelitiannya pada tahun 1803
membuktikan bahwa atom adalah unsur terkecil dari materi yang tidak dapat
dibagi lagi. Kemudian ilmuwan J.J. Thomson melalui penelitiannya pada tahun
1897 membuktikan adanya elektron yang bermuatan negatif dalam atom. Atom
model Thomson digambarkan seperti bola pejal dengan elektron yang
“menempel” pada bola atom, seperti roti kismis. Kebenaran model atom Dalton
pun gugur. Demikian seterusnya hingga ilmuwan modern menemukan struktur

7
atom kuantum yang terdiri dari inti proton dan neutron serta elektron yang
mengorbit intinya, dimana proton dan neutron disusun oleh quark.

2.1.2 Perangkat Berpikir


Selain membutuhkan ilmu, berpikir juga membutuhkan alat. Alat berpikir
adalah logika atau penalaran. Banyak orang yang mengira setiap kali kita berpikir
maka logikanya pasti benar. Atau jika kita berpikir maka segala yang bisa
diterima pola pikir kita maka pasti masuk akal. Itu salah kaprah. Tidak semua
orang yang berpikir itu logikanya benar. Atau tidak semua yang menurut kita
masuk akal itu dijamin benar. Berlogika pun ada konsepnya, ada aturannya, ada
metodenya. Itu semua disebut dengan ilmu logika. Berpikir tanpa pengetahuan
dan penalaran yang benar akan menghasilkan yang disebut dengan sesat pikir
(fallacy).
Konsep-konsep penalaran yang penting dipahami, antara lain:
Definisi atau pengertian, adalah penjelasan berupa ciri atau batasan pada
suatu obyek sehingga mengantarkan pikiran seseorang hanya kepada obyek
tersebut saja, bukan pada obyek yang lain.
Entitas, adalah sesuatu yang berada atau berwujud yang menunjukkan
sesuatu tersebut sebagai sebuah obyek, biasanya berdasarkan definisi obyek.
Identitas, adalah sesuatu yang unik/khas yang dimiliki sebuah obyek yang
bisa membedakan obyek tersebut dari obyek lain dalam entitas yang sama.
Himpunan, adalah kumpulan obyek-obyek berdasarkan ciri atau batasan
yang sama sehingga membedakan dari kumpulan obyek-obyek yang lain.
Jenjang atau hirarki, adalah tingkatan obyek berdasarkan ciri atau
batasan yang sama sehingga membedakan dari obyek lain di tingkatan yang
berbeda.

2.1.3 Berpikir Secara Ilmiah


Dari penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa berpikir yang benar
adalah berpikir yang berlandaskan ilmu yang benar dengan logika yang benar.
Keduanya harus terpenuhi. Berpikir tanpa ilmu yang benar walaupun logikanya
benar, hasilnya salah. Demikian juga berpikir dengan ilmu yang benar tapi
logikanya salah, hasilnya juga salah.
Contoh A:
Premis 1: Fulan adalah seorang kakek.
Premis 2: Fulan adalah orang yang gundul.

8
Kesimpulan: Kakek adalah orang yang kepalanya gundul.
Contoh di atas memiliki premis dengan pengetahuan yang benar karena
faktanya memang Fulan adalah seorang kakek dan kepalanya gundul. Logika
penarikan kesimpulannya pun benar. Tapi kesimpulan yang diambil salah karena
tidak sesuai dengan definisi ‘kakek’, walaupun faktanya benar. Ini contoh berpikir
yang salah walaupun bangun logikanya benar.
Contoh B:
Premis 1: Kakek adalah seorang yang punya cucu.
Premis 2: Anu adalah cucu Fulan.
Kesimpulan: Fulan adalah seorang kakek.
Contoh di atas memiliki premis 1 berisi definisi yang benar dan premis 2
berisi pengetahuan tentang hubungan keluarga antara Anu dan Fulan (yang
dianggap benar).Logika penarikan kesimpulannya pun benar. Secara berpikir yang
benar, contoh di atas sah (valid). Tapi contoh ini belum tentu benar jika kita
berpikir secara ilmiah.
Berpikir ilmiah tidak cukup hanya berpikir dengan benar. Berpikir ilmiah
harus diikuti bukti ilmiah. Berpikir ilmiah mewajibkan setiap elemen dalam
bangun logika disertai dengan bukti pendukung. Misalnya dalam contoh B di atas,
premis 1 harus disertai bukti bahwa definisi ‘kakek adalah seorang yang punya
cucu’ adalah benar, misalnya dengan menunjukkan referensi KBBI (Kamus Besar
Bahasa Indonesia). Premis 2 harus disertai bukti bahwa si Anu adalah benar-benar
cucu si Fulan, misalnya dengan menunjukkan Kartu Keluarga. Jika premis 1 dan 2
telah disertai bukti yang sah maka kesimpulannya bisa diterima benar dan sah
secara ilmiah.

2.2 Tujuan Penalaran Ilmiah


Tujuan dari penalran adalah untuk menentukan secara logis atau objektif,
apakah yang kita lakukan itu benar atau tidak sehingga dapat dilaksanakan.

2.3 Jenis Penalaran Ilmiah


1. Penalaran Deduktif
Deduksi ialah proses dalam nalar kita dari pengetahuan yang “lebih
umum”menyimpulkan pengetahuan yang “lebih khusus”. Pengetahuan yang lebih
khusus itu telah terkandung di dalam pengetahuan umum itu, tetapi belum dengan
tegas dan jelas dilihat dan dirumuskan; jadi masih bersifat potensial (Soedomo,
2006). Adapun menurut Jujun S. Suriasumantri (2013), deduktif adalah cara
berfikir di mana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulannya yang

9
bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan
pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua buah
pernyataan (Premis mayor dan premis minor) dan sebuah kesimpulan.
Contoh:
1. Semua makhluk mempunyai mulut
2. Aiman adalah seorang makhluk
3. Jadi Aiman mempunyai mulut
Ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari tiga hal, yakni kebenaran
premis mayor, kebenaran premis minor dan keabsahan pengambilan keputusan.
Sekiranya salah satu dari ketiga unsur tersebut persyaratannya tidak dipenuhi
maka kesimpulan yang ditariknya akan salah. Matematika adalah pengetahuan
yang disusun secara deduktif. Karena pada hakikatnya, kesimpulan yang berupa
pengetahuan baru bukan dalam arti sebenarnya melainkan sekedar konsekuensi
dari pengetahuan yang sudah kita ketahui sebelumnya.
Kelebihan cara berpikir deduktif adalah efisiensi waktu karena analisis
dilakukan secara fokus. Selain itu, karena tujuan yang ingin dicapai lebih jelas
maka langkah-langkah berpikir yang digunakan menjadi lebih rapi dan sistematis.
Pada deduksi, kesimpulan merupakan suatu konskekuensi logis dari premis-
premisnya. Sehingga pada penalaran yang baik, kesimpulan dapat menjadi benar
apabila premis-premisnya benar. Kelemahan cara berpikir deduktif adalah
terbatasnya aktifitas penarikan kesimpulan pada ruang lingkup tertentu. Apabila
salah satu atau kedua premisnya salah, maka kesimpulan yang diperoleh
berdasarkan premis tersebut juga akan salah. Logika deduktif tidak
memungkinkan kesimpulan yang diperoleh menjadi lebih luas dari premis
awalnya, sehingga ilmu pengetahuan menjadi sulit berkembang jika hanya
mengandalkan cara berpikir ini. Selain itu, pada logika deduktif, kebenaran premis
tidak dapat diuji, hanya kebenaran bentuk atau pola penalarannya saja yang dapat
diuji (Mustofa, 2016).

2. Jenis Silogisme
Pada dasarnya silogisme dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
a) Silogisme Kategoris
Silogisme kategoris ialah silogisme yang premis-premisnya dan
kesimpulannya berupa keputusan kategoris. Contoh dari silogisme kategoris
banyak sekali kita temui dalam percakapan sehari-hari. Orang biasanya
menyatakan hasil-hasil pemikiran dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi
biasanya hasil-hasil pemikiran itu tidak dirumuskan dalam bentuk silogisme.
Contoh bila kita ditanya “Mengapa korupsi itu tidak baik?” maka jawabannya
adalah “Karena korupsi itu jahat.” Apabila kita uraikan contoh tersebut
kedalam bentuk silogisme adalah sebagai berikut:

10
1. Segala tindak kejahatan adalah tidak baik
2. Korupsi adalah salah satu tindak kejahatan
3. Jadi korupsi itu tidak baik
Bentuk deduksi seperti inilah yang disebut silogisme dan silogisme ini
dalam logika tradisional digunakan sebagai bentuk standar dari penalaran
deduktif. Silogisme terdiri dari atas tiga proposisi kategorik (Soekadijo, 2001).
Dua proposisi yang pertama berfungsi sebagai premis sedang yang ketiga
berfungsi sebagai konklusi. Contoh di atas memiliki tiga term yaitu “kejahatan”,
“sikap tidak baik” dan korupsi”. Ketiga term tersebut digunakan dua kali. Kata
“Korupsi” digunakan dua kali sebagai subyek, sekali di premis dan sekali di
konklusi. Kata “Sikap tidak baik” berfungsi dua kali sebagai predikat, sekali di
premis sekali di konklusi.

b) Silogisme Hipotesis
Silogime hipotesis adalah silogisme yang mengandung satu premis
atau lebih yang berupa keputusan hipotesis. Adapun contoh dari silogime
hipotesis adalah sebagai berikut:
1. Jika kamu makan nasi (antecedens), maka kamu kenyang
(konsekuens)
2. Kamu makan nasi
3. Jadi kamu kenyang
Dalam silogisme hipotesis berlaku hukum, jika antecedens, keputusan
kondisional yang mengandung syarat, benar dan hubungannya saah, maka
kesimpulan akan benar pula. Namun, jika kesimpulan salah (dan hubungannya
sah) maka antecedens salah pula (Soedomo, 2006).

c) Silogisme dalam komunikasi sehari-hari


Dalam komunikasi sehari-hari banyak terjadi penyimpangan
karena unsur proposisinya hiper lengkap, lebih dari tiga. Di samping itu
banyak silogisme yang menyimpang karena unsur proposisinya tidak
lengkap dan ada juga silogisme yang premisnya lebih dari dua proposisi
bahkan lebih. Dalam makalah ini hanya dijelaskan bentuk silogisme yang
sering terjadi dikalangan kita yaitu Entimema (enthymeme).
Entimema adalah penalaran yang tidak semua unsur proposisinya
dinyatakan secara eksplisit. Karena silogisme terdiri dari tiga proposisi;
mayor, minor dan konklusi, maka bentuk entimema ada empat, yaitu
entimema tanpa mayor, entimema tanpa minor, entimema tanpa konklusi,

11
dan entimema tanpa konklusi dan mayor atau minor (Soekadijo, 2001).
Contoh entimema tanpa mayor adalah: “Tentu saja saya dapat khilaf, saya
kan manusia biasa!”

2.4 Penalaran Induktif


Induksi adalah proses peningkatan dari hal-hal yang bersifat individual
kepada sesuatu yang bersifat universal (a passage from individual to universal),
dimana premisnya berupa proposisi-proposisi singular, sedang konklusinya
berupa sebuah proposisi universal, yang berlaku secara umum (Soekadijo, 2001).
Sedangkan menurut Jujun S.Suriasumantri induktif merupakan cara berfikir
dimana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang
bersifat individual. Jadi bisa disimpulkan bahwa penalaran induktif yaitu proses
berfikir yang berangkat dari premis-premis khusus menuju ke arah universal atau
umum. Berfikir dengan logika induktif bertujuan untuk menarik kesimpulan
umum berupa deskripsi general dari suatu fenomena. Contohnya adalah sebagai
berikut:
1. Besi itu mengalirkan listrik
2. Tembaga itu mengalirkan listrik
3. Perak itu mengalirkan listrik
4. Besi, tembaga, emas, perak adalah logam Jadi logam itu mengalirkan
listrik
Kelebihan penalaran induktif terletak pada proses mendapatkan pernyataan
baru namun pada sisi lain hasil yang didapat tersebut masih berpeluang untuk
menjadi salah.
1. Ciri-ciri induktif
Menurut R. G. Soekadijo terdapat tiga ciri induktif, yaitu:
1. Premis-premis dari induksi adalah proposisi empirik yang langsung
kembali kepada suatu observasi indera atau proposisi dasar (basic
statement).
2. Konklusi penalaran induktif lebih luas dari pada apa yang dinyatakan
dalam premis-premisnya.
3. Konklusi induksi memilki kredibilitas rasional (probabilitas). Probabilitas
didukung oleh pengalaman, artinya konklusi induksi terkadang cocok
dengan pengalaman, namun apabila didasarkan pada observasi indra
belum tentu cocok.
2. Bentuk generalisasi induktif
Dalam logika induktif, tidak ada konklusi yang mempunyai nilai
kebenaran yang pasti. Yang ada hanya konklusi dengan probabilitas rendah atau
tinggi. Maka hasil usaha analisa dan rekontruksi dalam penalaran induktif berupa
ketentuan-ketentuan mengenai bentuk induksi yang menjamin konklusi dengan

12
probabilitas setinggi-tingginya. Tinggi rendahnya probabilitas dipengaruhi oleh
sejumlah faktor, yaitu:
1. Makin besar jumlah fakta yang dijadikan dasar penalaran induktif, makin
tinggi probabilitas konklusinya, dan sebaliknya.
2. Makin besar faktor analogi di dalam premis, makin rendah probabilitas
konklusinya, dan sebaliknya.
3. Makin besar jumlah faktor disanaloginya dalam premis, makin tinggi
probabilitas konklusinya, dan sebaliknya.
4. Semakin luas konklusinya semakin rendah pula probabilitasnya, dan
sebaliknya (Soekadijo, 2001) .

3. Bentuk analogi Induktif


Bentuk penalaran analogi induktif ditentukan oleh tiga aspek yaitu:
1. Jumlah fakta yang dijadikan dasar dari konklusinya dan dinyatakan
sebagai premis.
2. Jumlah faktor-faktor analogi.
3. Bentuk proposisi yang menjadi konklusinya. Contohnya:
Pisang 1 keras dan hijau adalah masam
Pisang 2 keras dan hijau adalah masam
Pisang 3 adalah keras dan hijau Pisang 3 adalah masam

2.5 Kesalahan Penalaran


Penalaran adalah suatu proses berpikir manusia untuk menghubung-
hubungkan data atau fakta yang ada sehingga sampai pada suatu kesimpulan.
Salah nalar dapat terjadi di dalam proses berpikir untuk mengambil keputusan.
Hal ini terjadi karena ada kesalahan pada cara penarikan kesimpulan. Salah nalar
lebih dari kesalahan karena gagasan, struktur kalimat, dan karena dorongan emosi.
Salah nalar ada dua macam:
1. Salah nalar induktif, berupa :
a. kesalahan karena generalisasi yang terlalu luas,
b. kesalahan penilaian hubungan sebab-akibat,
c. kesalahan analogi.
2. Kesalahan deduktif dapat disebabkan :
a. kesalahan karena premis mayor tidak dibatasi;
b. kesalahan karena adanya term keempat;
c. kesalahan karena kesimpulan terlalu luas/tidak dibatasi; dan

13
d. kesalahan karena adanya 2 premis negatif.
Fakta atau data yang akan dinalar itu boleh benar dan boleh tidak benar.
Pengertian dan contoh salah nalar diantaranya berupa gagasan,
pikiran,kepercayaan, dan simpulan yang salah, keliru, atau cacat. Dalam ucapan
atau tulisan kerap kali kita dapati pernyataan yang mengandung kesalahan. Ada
kesalahan yang terjadi secara tak sadar karena kelelahan atau kondisi mental yang
kurang menyenangkan, seperti salah ucap atau salah tulis misalnya.
Ada pula kesalahan yang terjadi karena ketidaktahuan, disamping
kesalahan yang sengaja dibuat untuk tujuan tertentu. Kesalahan yang kita
persoalkan disini adalah kesalahan yang berhubungan dengan proses penalaran
yang kita sebut salah nalar. Pembahasan ini akan mencakup dua jenis kesalahan
menurut penyebab utamanya, yaitu kesalahan karena bahasa yang merupakan
kesalahan informal dan karena materi dan proses penalarannya yang merupan
kesalahan formal. Gagasan, pikiran, kepercayaan atau simpulan yang salah, keliru,
atau cacat disebut sebagai salah nalar.
Berikut ini salah nalar yang berhubungan dengan induktif, yaitu :
1. Generelisasi terlalu luas
Contoh : perekonomian Indonesia sangat berkembang
2. Analogi yang salah
Contoh : ibu Yuni, seorang penjual batik, yang dapat menjualnya dengan
harga terjangkau. Oleh sebab itu, ibu Lola seorang penjual batik, tentu dapat
menjualya dengan harga terjangkau.

2.6 Jenis – jenis salah nalar


A. Deduksi yang salah
Simpulan dari suatu silogisme dengan diawali premis yang salah atau tidak
memenuhi persyaratan.
Contoh:
a. Kalau listrik masuk desa, rakyat di daerah itu menjadi cerdas.
b. Semua gelas akan pecah bila dipukul dengan batu.
B. Generalisasi terlalu luas
Salah nalar ini disebabkan oleh jumlah premis yang mendukung
generalisasi tidak seimbang dengan besarnya generalisasi itu sehingga simpulan
yang diambil menjadi salah.
Contoh:

14
a. Setiap orang yang telah mengikuti Penataran P4 akan menjadi manusia
Pancasilais sejati.
b. Anak-anak tidak boleh memegang barang porselen karena barang itu
cepat pecah.
C. Pemilihan terbatas pada dua alternatif
Salah nalar ini dilandasi oleh penalaran alternatif yang tidak tepat dengan
pemilihan jawaban yang ada.
Contoh:
Orang itu membakar rumahnya agar kejahatan yang dilakukan tidak
diketahui orang lain.
D. Penyebab Salah Nalar
Salah nalar ini disebabkan oleh kesalahan menilai sesuatu sehingga
mengakibatkan terjadinya pergeseran maksud.
Contoh:
a. Broto mendapat kenaikan jabatan setelah ia memperhatikan dan
mengurusi makam leluhurnya.
b. Anak wanita dilarang duduk di depan pintu agar tidak susah jodohnya.
E. Analogi yang Salah
Salah nalar ini dapat terjadi bila orang menganalogikan sesuatu dengan
yang lain dengan anggapan persamaan salah satu segi akan memberikan kepastian
persamaan pada segi yang lain.
Contoh:
Anto walaupun lulusan Akademi Amanah tidak dapat mengerjakan
tugasnya dengan baik.
F. Argumentasi Bidik Orang
Salah nalar jenis ini disebabkan oleh sikap menghubungkan sifat
seseorang dengan tugas yang diembannya.
Contoh:
Program keluarga berencana tidak dapat berjalan di desa kami karena
petugas penyuluhannya memiliki enam orang anak.

15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berpikir yang ilmiah adalah berpikir yang berlandaskan ilmu yang benar
dengan logika yang benar. Keduanya harus terpenuhi. Berpikir tanpa ilmu yang
benar walaupun logikanya benar, hasilnya salah. Demikian juga berpikir dengan
ilmu yang benar tapi logikanya salah, hasilnya juga salah. Penalaran induktif
merupakan penyimpulan dari pernyataan khusus atau berbagai kasus yang
individual ke bentuk umum, penalaran deduktif merupakan lawan dari penalaran
induktif, penyimpulan dari pernyataan umum ke khusus. Sedangkan abduktif
merupakan penyimpulan dari suatu kasus tertentu. Ketiga penalaran tersebut bisa
kita gunakan dalam kehidupan seharihari terutama ketika dihadapkan dengan
realitas kehidupan yang semakin variatif. Selain itu, kita juga bisa
menggunakannya sebagai alat untuk menggali ilmu pengetahuan, sehingga
perkembangan ilmu pengetahuan di masa mendatang akan semakin dinamis.

3.1 Saran
Penalaran ilmiah sangat dibutuhkan dalam metode penulisan ilmiah,
terutama bagipara akademisi. Menerapkan proses berpikir dan bernalar ilmiah
dalam kehidupan sehari-hari mendorong akademisi untuk selalu bersikap kritis
dan melakukan sesuatu berdasarkan data dan fakta.

16
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, asmori, 2001, Filsafat umum, Jakarta : Rajawali Pers


Hadi, A. Soedomo, Logika Filsafat Berfikir, Surakarta: LPP UNS dan UPT
Penerbitan dan Percetakan UNS PRESSSuriasumantri, JS. 2001.
Ilmu dalam perspektif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hardiman, Budi F. 2004, Filsafat Modern, Jakarta : Gramedia
Himsworth, Harold (1997), Pengetahuan Keilmuan dan pemikiran filosofi,
(terjemahan Achamda Bimadja, PH.D ) , Bandung : ITB Bandung.
Jammer, Max (1999), Einstern and Religion : Physics and Theology, New jersey :
Princeton University, Press
Soekadijo, R. G., Logika Dasar, Tradisional, Simbolik dan Induktif, Jakarta:
Gramedia Pustaka
Supriasumantri, JS. 2001. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar
Harapan.
Redja, Mudyahardjo, (2001), Filsafat ILmu Pendidikan : Suatu Pengantar,
Bandung : Rosda

17
18

Anda mungkin juga menyukai