BAHASA INDONESIA
“Bernalar Ilmiah”
Dosen Pengampu :
Fitri Handayani, M.A
Disusun Oleh :
Azzura Melan Sari 2210301002
Arla Hamida 2210301008
Muhammad Haikal 2210301017
Wezalfajri 2210302006
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur seraya penyusun panjatkan ke hadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu.
Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Bahasa Indonesia.Adapun isi dari makalah yaitu mempelajari dasar-
dasar bahasa Indonesia baku, ciri-ciri bahasa Indonesia baku dan ciri-ciri bahasa
Indonesia tak baku.
Penyusun berterima kasih kepada Ibu Fitri Handayani, M.A selaku dosen
mata kuliah Bahasa Indonesia yang telah memberikan arahan serta bimbingan,
dan juga kepada semua pihak yang telah membantu baik langsung maupun tidak
langsung dalam penyusunan makalah ini.
Seperti pepatah mengatakan “Tak ada gading yang tak retak”. Penyusun
menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Hal ini semata-mata karena
keterbatasan kemampuan penyusun sendiri. Oleh karena itu, sangatlah penyusun
harapkan saran dan kritik yang positif dan membangun dari semua pihak agar
makalah ini menjadi lebih baik dan berdaya guna dimasa yang akan datang.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
Halaman Sampul
Daftar Isi ...........................................................................................................3
Bab I Pendahuluan...........................................................................................4
1.1 Latar Belakang..................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah.............................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan...............................................................................5
Bab II Penalaran Ilmiah...................................................................................6
2.1 Pengertian Penalaran Ilmiah..............................................................6
2.2 Tujuan Penalaran Ilmiah....................................................................9
2.3 Penalaran Deduktif.............................................................................9
2.4 Penalaran Induktif..............................................................................12
2.5 Kesalahan Penalaran..........................................................................13
2.6 Jenis-jenis Salah Nalar.......................................................................14
Bab III Penutup..................................................................................................16
3.1 Kesimpulan.........................................................................................16
3.2 Saran...................................................................................................16
Daftar Pustaka....................................................................................................17
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang dan mengalami
kemajuan, sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan cara berpikir
manusia. Pencarian pengetahuan yang benar harus berlangsung menurut prosedur
atau kaidah hukum, yaitu berdasarkan pikiran. Berpikir merupakan sebuah proses
yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak
pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada
sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia berpikir untuk
menemukan pemahaman atau pengertian, pembentukan pendapat, dan kesimpulan
atau keputusan dari sesuatu yang dikehendaki (Achmadi, 2001).
4
digunakanlah metode berfikir ilmiah. Metode ilmiah atau proses ilmiah
merupakan proses keilmuan untuk memperoleh pengetahuan secara sistematis
berdasarkan penelitian. Cara dalam berfikir ilmiah dapat dilakukan melalui tiga
macam jenis dalam penalaran, yaitu Penalaran Deduktif, Penalaran Induktif, dan
Penalaran Abduktif (Redja, 2001).
5
BAB II
PENALARAN ILMIAH
6
yang sejati. Pengetahuan bisa saja salah, bisa jugabenar. Masih ada unsur
subyektivitas dalam pengetahuan. Jika pengetahuan yang salah digunakan dalam
berpikir maka hasil berpikirnya juga pasti salah.
Contoh: bintang berbentuk segilima adalah pengetahuan yang salah bagi
orang yang telah belajar ilmu astronomi, namun menjadi pengetahuan yang benar
bagi kanak-kanak yang belum bersekolah. Benar-salah pengetahuan ditentukan
berdasarkan ilmu, bukan anggapan pribadi.
Ilmu atau ilmu pengetahuan (science) adalah segala pengetahuan yang
diperoleh dengan cara yang sistematis melalui metode tertentu oleh orang berilmu
(ahli) yang kita yakini benar. Dan karena hanya diyakini benar (dengan alasan
tertentu), maka suatu ilmu belum tentu kebenaran yang sejati. Ilmu pun bisa saja
salah, bisa juga benar. Kebenaran ilmu pengetahuan bisa memiliki banyak ragam
yang masing-masing mendaku dirinyalah kebenaran sejati (yang lain bukan).
Sangat banyak pengetahuan yang bisa digolongkan sebagai ilmu. Namun
ilmubelum bisa sepenuhnya menghilangkan pengaruh subyektivitas dan bias
(kepentingan, opini, pilihan, dsb). Misalnya dalam ilmu sosial, ilmu politik, ilmu
seni, ilmu agama, ilmu ekonomi, dan yang sejenis; biasanya memiliki banyak
“versi” atau “aliran” dalam hal tertentu yang masing-masing mendaku kebenaran,
minimal “lebih benar” dari yang lain. Walaupun tidak semua bagian dalam ilmu-
ilmu tersebut subyektif, tapi juga tidak bisa dibilang seluruhnya obyektif.
Contoh: Si A baru saja belajar ilmu agama X dari ahli agama X, meyakini
dengan seyakin-yakinnya bahwa agama X adalah agama yang paling benar.
Namun si B yang telah lama belajar ilmu agama Y dari ahli agama Y, meyakini
dengan seyakin-yakinnya bahwa agama Y adalah agama yang paling benar.
Keduanya merasa sebagai pihak yang (paling) benar.
Sains atau ilmu [pengetahuan] alam (natural science) adalah segala ilmu
pengetahuan tentang alam semesta yang diperoleh melalui penelitian ilmiah
berdasarkan metode ilmiah oleh ahli sains (ilmuwan) yang terbukti benar. Dan
karena terbukti benar secara ilmiah, maka sains diakui sebagai kebenaran [ilmiah]
oleh siapa pun. Kebenaran ilmiah pun bukan kebenaran sejati karena kebenaran
ilmiah bersifat relatif dan dinamis, yaitu hanya diakui benar selama belum ada
bukti ilmiah lain yang menyalahkan. Kebenaran sains juga bersifat obyektif dan
universal, yaitu bisa diterima (dan dibuktikan)oleh seluruh manusia dan berlaku
sama di seluruh alam semesta.
Contoh: Ilmuwan John Dalton melalui penelitiannya pada tahun 1803
membuktikan bahwa atom adalah unsur terkecil dari materi yang tidak dapat
dibagi lagi. Kemudian ilmuwan J.J. Thomson melalui penelitiannya pada tahun
1897 membuktikan adanya elektron yang bermuatan negatif dalam atom. Atom
model Thomson digambarkan seperti bola pejal dengan elektron yang
“menempel” pada bola atom, seperti roti kismis. Kebenaran model atom Dalton
pun gugur. Demikian seterusnya hingga ilmuwan modern menemukan struktur
7
atom kuantum yang terdiri dari inti proton dan neutron serta elektron yang
mengorbit intinya, dimana proton dan neutron disusun oleh quark.
8
Kesimpulan: Kakek adalah orang yang kepalanya gundul.
Contoh di atas memiliki premis dengan pengetahuan yang benar karena
faktanya memang Fulan adalah seorang kakek dan kepalanya gundul. Logika
penarikan kesimpulannya pun benar. Tapi kesimpulan yang diambil salah karena
tidak sesuai dengan definisi ‘kakek’, walaupun faktanya benar. Ini contoh berpikir
yang salah walaupun bangun logikanya benar.
Contoh B:
Premis 1: Kakek adalah seorang yang punya cucu.
Premis 2: Anu adalah cucu Fulan.
Kesimpulan: Fulan adalah seorang kakek.
Contoh di atas memiliki premis 1 berisi definisi yang benar dan premis 2
berisi pengetahuan tentang hubungan keluarga antara Anu dan Fulan (yang
dianggap benar).Logika penarikan kesimpulannya pun benar. Secara berpikir yang
benar, contoh di atas sah (valid). Tapi contoh ini belum tentu benar jika kita
berpikir secara ilmiah.
Berpikir ilmiah tidak cukup hanya berpikir dengan benar. Berpikir ilmiah
harus diikuti bukti ilmiah. Berpikir ilmiah mewajibkan setiap elemen dalam
bangun logika disertai dengan bukti pendukung. Misalnya dalam contoh B di atas,
premis 1 harus disertai bukti bahwa definisi ‘kakek adalah seorang yang punya
cucu’ adalah benar, misalnya dengan menunjukkan referensi KBBI (Kamus Besar
Bahasa Indonesia). Premis 2 harus disertai bukti bahwa si Anu adalah benar-benar
cucu si Fulan, misalnya dengan menunjukkan Kartu Keluarga. Jika premis 1 dan 2
telah disertai bukti yang sah maka kesimpulannya bisa diterima benar dan sah
secara ilmiah.
9
bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan
pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua buah
pernyataan (Premis mayor dan premis minor) dan sebuah kesimpulan.
Contoh:
1. Semua makhluk mempunyai mulut
2. Aiman adalah seorang makhluk
3. Jadi Aiman mempunyai mulut
Ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari tiga hal, yakni kebenaran
premis mayor, kebenaran premis minor dan keabsahan pengambilan keputusan.
Sekiranya salah satu dari ketiga unsur tersebut persyaratannya tidak dipenuhi
maka kesimpulan yang ditariknya akan salah. Matematika adalah pengetahuan
yang disusun secara deduktif. Karena pada hakikatnya, kesimpulan yang berupa
pengetahuan baru bukan dalam arti sebenarnya melainkan sekedar konsekuensi
dari pengetahuan yang sudah kita ketahui sebelumnya.
Kelebihan cara berpikir deduktif adalah efisiensi waktu karena analisis
dilakukan secara fokus. Selain itu, karena tujuan yang ingin dicapai lebih jelas
maka langkah-langkah berpikir yang digunakan menjadi lebih rapi dan sistematis.
Pada deduksi, kesimpulan merupakan suatu konskekuensi logis dari premis-
premisnya. Sehingga pada penalaran yang baik, kesimpulan dapat menjadi benar
apabila premis-premisnya benar. Kelemahan cara berpikir deduktif adalah
terbatasnya aktifitas penarikan kesimpulan pada ruang lingkup tertentu. Apabila
salah satu atau kedua premisnya salah, maka kesimpulan yang diperoleh
berdasarkan premis tersebut juga akan salah. Logika deduktif tidak
memungkinkan kesimpulan yang diperoleh menjadi lebih luas dari premis
awalnya, sehingga ilmu pengetahuan menjadi sulit berkembang jika hanya
mengandalkan cara berpikir ini. Selain itu, pada logika deduktif, kebenaran premis
tidak dapat diuji, hanya kebenaran bentuk atau pola penalarannya saja yang dapat
diuji (Mustofa, 2016).
2. Jenis Silogisme
Pada dasarnya silogisme dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
a) Silogisme Kategoris
Silogisme kategoris ialah silogisme yang premis-premisnya dan
kesimpulannya berupa keputusan kategoris. Contoh dari silogisme kategoris
banyak sekali kita temui dalam percakapan sehari-hari. Orang biasanya
menyatakan hasil-hasil pemikiran dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi
biasanya hasil-hasil pemikiran itu tidak dirumuskan dalam bentuk silogisme.
Contoh bila kita ditanya “Mengapa korupsi itu tidak baik?” maka jawabannya
adalah “Karena korupsi itu jahat.” Apabila kita uraikan contoh tersebut
kedalam bentuk silogisme adalah sebagai berikut:
10
1. Segala tindak kejahatan adalah tidak baik
2. Korupsi adalah salah satu tindak kejahatan
3. Jadi korupsi itu tidak baik
Bentuk deduksi seperti inilah yang disebut silogisme dan silogisme ini
dalam logika tradisional digunakan sebagai bentuk standar dari penalaran
deduktif. Silogisme terdiri dari atas tiga proposisi kategorik (Soekadijo, 2001).
Dua proposisi yang pertama berfungsi sebagai premis sedang yang ketiga
berfungsi sebagai konklusi. Contoh di atas memiliki tiga term yaitu “kejahatan”,
“sikap tidak baik” dan korupsi”. Ketiga term tersebut digunakan dua kali. Kata
“Korupsi” digunakan dua kali sebagai subyek, sekali di premis dan sekali di
konklusi. Kata “Sikap tidak baik” berfungsi dua kali sebagai predikat, sekali di
premis sekali di konklusi.
b) Silogisme Hipotesis
Silogime hipotesis adalah silogisme yang mengandung satu premis
atau lebih yang berupa keputusan hipotesis. Adapun contoh dari silogime
hipotesis adalah sebagai berikut:
1. Jika kamu makan nasi (antecedens), maka kamu kenyang
(konsekuens)
2. Kamu makan nasi
3. Jadi kamu kenyang
Dalam silogisme hipotesis berlaku hukum, jika antecedens, keputusan
kondisional yang mengandung syarat, benar dan hubungannya saah, maka
kesimpulan akan benar pula. Namun, jika kesimpulan salah (dan hubungannya
sah) maka antecedens salah pula (Soedomo, 2006).
11
dan entimema tanpa konklusi dan mayor atau minor (Soekadijo, 2001).
Contoh entimema tanpa mayor adalah: “Tentu saja saya dapat khilaf, saya
kan manusia biasa!”
12
probabilitas setinggi-tingginya. Tinggi rendahnya probabilitas dipengaruhi oleh
sejumlah faktor, yaitu:
1. Makin besar jumlah fakta yang dijadikan dasar penalaran induktif, makin
tinggi probabilitas konklusinya, dan sebaliknya.
2. Makin besar faktor analogi di dalam premis, makin rendah probabilitas
konklusinya, dan sebaliknya.
3. Makin besar jumlah faktor disanaloginya dalam premis, makin tinggi
probabilitas konklusinya, dan sebaliknya.
4. Semakin luas konklusinya semakin rendah pula probabilitasnya, dan
sebaliknya (Soekadijo, 2001) .
13
d. kesalahan karena adanya 2 premis negatif.
Fakta atau data yang akan dinalar itu boleh benar dan boleh tidak benar.
Pengertian dan contoh salah nalar diantaranya berupa gagasan,
pikiran,kepercayaan, dan simpulan yang salah, keliru, atau cacat. Dalam ucapan
atau tulisan kerap kali kita dapati pernyataan yang mengandung kesalahan. Ada
kesalahan yang terjadi secara tak sadar karena kelelahan atau kondisi mental yang
kurang menyenangkan, seperti salah ucap atau salah tulis misalnya.
Ada pula kesalahan yang terjadi karena ketidaktahuan, disamping
kesalahan yang sengaja dibuat untuk tujuan tertentu. Kesalahan yang kita
persoalkan disini adalah kesalahan yang berhubungan dengan proses penalaran
yang kita sebut salah nalar. Pembahasan ini akan mencakup dua jenis kesalahan
menurut penyebab utamanya, yaitu kesalahan karena bahasa yang merupakan
kesalahan informal dan karena materi dan proses penalarannya yang merupan
kesalahan formal. Gagasan, pikiran, kepercayaan atau simpulan yang salah, keliru,
atau cacat disebut sebagai salah nalar.
Berikut ini salah nalar yang berhubungan dengan induktif, yaitu :
1. Generelisasi terlalu luas
Contoh : perekonomian Indonesia sangat berkembang
2. Analogi yang salah
Contoh : ibu Yuni, seorang penjual batik, yang dapat menjualnya dengan
harga terjangkau. Oleh sebab itu, ibu Lola seorang penjual batik, tentu dapat
menjualya dengan harga terjangkau.
14
a. Setiap orang yang telah mengikuti Penataran P4 akan menjadi manusia
Pancasilais sejati.
b. Anak-anak tidak boleh memegang barang porselen karena barang itu
cepat pecah.
C. Pemilihan terbatas pada dua alternatif
Salah nalar ini dilandasi oleh penalaran alternatif yang tidak tepat dengan
pemilihan jawaban yang ada.
Contoh:
Orang itu membakar rumahnya agar kejahatan yang dilakukan tidak
diketahui orang lain.
D. Penyebab Salah Nalar
Salah nalar ini disebabkan oleh kesalahan menilai sesuatu sehingga
mengakibatkan terjadinya pergeseran maksud.
Contoh:
a. Broto mendapat kenaikan jabatan setelah ia memperhatikan dan
mengurusi makam leluhurnya.
b. Anak wanita dilarang duduk di depan pintu agar tidak susah jodohnya.
E. Analogi yang Salah
Salah nalar ini dapat terjadi bila orang menganalogikan sesuatu dengan
yang lain dengan anggapan persamaan salah satu segi akan memberikan kepastian
persamaan pada segi yang lain.
Contoh:
Anto walaupun lulusan Akademi Amanah tidak dapat mengerjakan
tugasnya dengan baik.
F. Argumentasi Bidik Orang
Salah nalar jenis ini disebabkan oleh sikap menghubungkan sifat
seseorang dengan tugas yang diembannya.
Contoh:
Program keluarga berencana tidak dapat berjalan di desa kami karena
petugas penyuluhannya memiliki enam orang anak.
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berpikir yang ilmiah adalah berpikir yang berlandaskan ilmu yang benar
dengan logika yang benar. Keduanya harus terpenuhi. Berpikir tanpa ilmu yang
benar walaupun logikanya benar, hasilnya salah. Demikian juga berpikir dengan
ilmu yang benar tapi logikanya salah, hasilnya juga salah. Penalaran induktif
merupakan penyimpulan dari pernyataan khusus atau berbagai kasus yang
individual ke bentuk umum, penalaran deduktif merupakan lawan dari penalaran
induktif, penyimpulan dari pernyataan umum ke khusus. Sedangkan abduktif
merupakan penyimpulan dari suatu kasus tertentu. Ketiga penalaran tersebut bisa
kita gunakan dalam kehidupan seharihari terutama ketika dihadapkan dengan
realitas kehidupan yang semakin variatif. Selain itu, kita juga bisa
menggunakannya sebagai alat untuk menggali ilmu pengetahuan, sehingga
perkembangan ilmu pengetahuan di masa mendatang akan semakin dinamis.
3.1 Saran
Penalaran ilmiah sangat dibutuhkan dalam metode penulisan ilmiah,
terutama bagipara akademisi. Menerapkan proses berpikir dan bernalar ilmiah
dalam kehidupan sehari-hari mendorong akademisi untuk selalu bersikap kritis
dan melakukan sesuatu berdasarkan data dan fakta.
16
DAFTAR PUSTAKA
17
18