Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

STRUKTUR DAN PERANAN ILMU

MATA KULIAH:
Pengantar Ilmu Sosial

DOSEN PEMBIMBING :
Hendra Sulistiawan, M.Pd

DI SUSUN OLEH:
Fadia Rahmayanti (112110059)

BIMBINGAN DAN KONSELING


IKIP PGRI PONTIANAK
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,


Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada
Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penulis mampu menyelesaikan makalah
ini guna memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Sosial yang membahas tentang Struktur
dan peranan ilmu. Ilmu merupakan salah satu hasil dari usaha manusia untuk memperadab
dirinya. Perkembangan ilmu merupakan jawaban dari rasa keinginan manusia untuk
mengetahui kebenaran. Ilmu meliputi baik pengetahuan maupun cara yang dikembangkan
manusia untuk mencapai tujuan tersebut. Sekarang kebenaran mempunyai berbagai konotasi
yang lebih panting atau kurang penting tergantung pendapat individual. Pengetahuan
dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama yakni, Pertama, manusia mempunyai
bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi
informasi tersebut. Kedua adalah kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir
tertentu. Secara garis besar cara berpikir seperti ini disebut penalaran. Pengetahuan banyak
jenisnya, salah satunya adalah ilmu. Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang objek
telaahnya adalah dunia empiris dan proses pendapatkan pengetahuannya sangat ketat yaitu
menggunakan metode ilmiah. Ilmu menggabungkan logika deduktif dan induktif, dan
penentu kebenaran ilmu tersebut adalah dunia empiris yang merupakan sumber dari ilmu itu
sendiri. Banyak orang yang belum begitu paham dengan tujuan, Struktur dan peranan ilmu
yang sebenarnya, maka dari itu dalam makalah ini penulis akan membahas lebih luas tentang
hal tersebut. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa IKIP PGRI Pontianak.
Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu,
kepada dosen pembimbing saya meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah
saya di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Pontianak, 17 November 2021

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman judul ………………………….…………………………………………………….. i


Kata Pengantar……………………………………………………………………………….. ii
Daftar Isi ……………………………………………………………………………………. iii

Bab I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………………….. iv
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………………………. iv
1.3 Tujuan …………………………………………………………………………...…… iv

Bab II PEMBAHASAN
2.1 Istilah Ilmu Pengetahuan…………………………………………………………
2.2 Metode Ilmiah …………………………………………………………………...
2.3 Langkah Metode Ilmiah………………………………………………………….

Bab III PENUTUP


Kesimpulan………………………………………………………………………….
Saran…………………………………………………………………………...……

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Dalam sejarah perkembangan ilmu, peran Pengantar ilmu sosial dalam struktur bangunan
keilmuan tidak bisa diangsikan. Sebagai landasan filosofis bagi tegaknya suatu ilmu, mustahil
para ilmuan menafikan peran pengantar ilmu sosial dalam setiap kegiatan keilmuan.
Secara umum, manusia memiliki rasa ingin tahu yang besar dan sulit untuk terpuaskan.
Apabila satu atau beberapa kebutuhannya tercapai, maka dia akan berkeinginan untuk meraih
kebutuhan lain yang lebih tinggi. Dalam usaha untuk memenuhi rasa ingin tahu itu banyak
jalan yang dapat ditempuh oleh manusia. Usaha itu antara lain meliputi: penggunaan mitos,
prasangka, pengamatan indrawi, pengalaman pribadi, kata hati dan lain-lain. Usaha-usaha ini
kurang begitu dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena hasil dari usaha-usaha
tersebut tidak dapat dikaji ulang, sebab adanya kelemahan dan keterbatasan yang dimiliki
manusia. Dalam buku “filsafat ilmu pengetahuan, Jalaluddin”. Pengetahuan merupakan hasil
proses dari usaha manusia untuk tahu. Berbedanya cara dalam mendapatkan pengetahuan
tersebut serta tentang apa yang dikaji oleh pengetahuan tersebut membedakan antara jenis
pengetahuan yang satu dengan yang lainnya. Pengetahuan dikembangkan manusia
disebabkan dua hal utama yakni, Pertama, manusia mempunyai bahasa yang mampu
mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut.
Kedua adalah kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Secara
garis besar cara berpikir seperti ini disebut penalaran. Penalaran merupakan suatu proses
berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Agar pengetahuan
yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu harus
dilakukan melalui suatu cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih
(valid) kalau proses penarikannya dilakukan menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan
kesimpulan ini disebut logika, di mana logika secara luas dapat didefinisikan sebagai
“pengkajian untuk berpikir secara sahih (yang benar)”. Ilmu merupakan bagian dari
pengetahuan yang objek telaahnya adalah dunia empiris dan proses pendapatkan
pengetahuannya sangat ketat yaitu menggunakan metode ilmiah. Ilmu menggabungkan logika
deduktif dan induktif, dan penentu kebenaran ilmu tersebut adalah dunia empiris yang
merupakan sumber dari ilmu itu sendiri.
1.2. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam makalah ini diarahkan pada beberapa item penting, yaitu :
1.2.1. Apa pengertian ilmu?
1.2.2. Apa pengertian ilmu sosial serta struktur dan peranan ilmu?
1.2.3. Apa hakikat ilmu pengetahuan bagi manusia?

1.3. Tujuan Pengkajian
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas pengantar ilmu sosial yaitu
membuat makalah dan mengkaji definisi dan pengertian struktur dan peranan ilmu.

1.4. Pembatasan Masalah
Dalam makalah ini, saya membatasi permasalahan yang ada, karena saya hanya
menjelaskan pengertian serta definisi yang menurut saya penting secara garis besar, agar
mudah dimengerti oleh pembaca.

1.5. Manfaat
Adapun manfaat makalah ini adalah :
1.5.1.    Menambah pengetahuan tentang pengertian ilmu pengetahuan,
1.5.2. Mempermudah seseorang memahami hakikat ilmu
1.5.3.    Dapat Mengaplikasikan pentingnya ilmu dalam kehidupan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Ilmu
Mungkin tidak berlebihan jika seorang filsuf Oxsford University kontemporer Jerome
R Revert dalam karyanya The Philosophy of Science sampai saat ini mengakui bahwa ilmu
merupakan sebuah kisah sukses luar biasa. Ilmu telah begitu berjasa dalam membentuk dunia
yang kita huni sekarang dan sekaligus menentukan cara pandang kita tentang dunia ini.
Ironisnya, walaupun terminologi ilmu di lingkungan pendidikan, khususnya pendidikan
tinggi, hampir setiap waktu istilah tersebut diucapkan dan banyak diajarkan, serta begitu
familiar istilah itu dikalangan mahasiswa sebagai calon ilmuan, mungkin saja hanya sebagian
kecil dari mereka yang sudah memahami itu.
Di Indonesia, istilah ilmu pengetahan demikian terbiasa, padahal istilah tersebut dapat
dikatakan sebagai “pleonasme” (Thye Liang Gie, 1999: 85) suatu pemakaian kata yang lebih
dari yang diperlukan. Dalam bahasa inggris tidak ada istilah knowledge science. Cukup satu
di antaranya, “ilmu” itu ilmu, dan iika “pengetahuan” itu tetap pengetahuan, dan tidak pernah
ada kata majemuk yang dipadukan seperti itu. Selain itu, di Indonesia menurut The Liang Gie
(1999: 85-86) istilah ilmu atau science merupakan suatu perkataan yang bermakna jamak,
yaitu sebagai berikut:
1.      Ilmu merupakan sebuah istilah umum untuk menunjuk pada segenap pengetahuan ilmiah
yang mengacu pada ilmu umum ( science in general)
2.      Pengertian ilmu yang menunjuk pada satu bidang pengetahuan ilmiah tertentu, seperti ilmu
biologi, antropologi, sosiologi, geografi, sejarah, psikologi, geografi, ekonomi dan
sebagainya. Sebenarnya, ilmu yang pada pengertian kedua inilah yang lebih tepat digunakan
di lingkungan akademis.
Sebagaimana yang dikemukakan The Liang Gie (1999: 88-130) ilmu dipandang
sebagai kumpulan pengetahuan sistematis, metode penelitian, dan aktivitas penelitian.
1.      Ilmu Sebagai Kumpulan Pengetahuan Sistematis
Pengertian ini lebih menekankan bahwa ilmu pengetahuan yang sistematis. Ilmu pengetahuan
(science) adalah pengetahuan (knowledge) yang tersusun sistematis dengan menggunakan
kekuatan pemikiran, pengetahuan selalu dapat diperiksa dan ditelaah dan kritis oleh setiap
orang lain yang ingin mengetahuinya. Menurut Johnstone, tidak semua pengetahuan itu
adalah ilmu sebab ilmu hanya terbata  pada pengetahuan yang diperoleh secara sistematis. Ika
ditelaah lebih jauh, memang pernyataan tersebut memang benar karena untuk menadi ilmu
dari suatu pengetahuan itu tidaklah mudah harus melalui penataan yang tersusun secara
sistematis.
2.      Ilmu Sebagai metode penelitian
Pengeertian ini menekankan penekanannya bahwa itu pada hakikatnya sebagai metode
penelitian. Pendapat ini dikemukakan oleh William J. Goode dan Paul K. Hatt. Pengertian
ilmu sebagai metode penelitian ilmiah tidak hanya dikemukakan oleh William J. Goode dan
Paul K. Hatt saja, tapi juga dikemukakan oleh Harrold H Titus yang mengemukakan bahwa
banyak orang telah menggunakan istilah ilmu untuk meyebut a method of obtaining
knowledge that is objective and verifiable. ‘suatu metode untuk memperoleh pengetahuan
yang objektif dan dapat diperiksa kebenarannya’.
3.      Ilmu Sebagai Aktivitas Penelitian
Pengertian yang ketiga menekankan bahwa ilmu merupakan aktivitas penelitian.  Proses
tersebut bertitik tolak kepada fakta-fakta keseharian dan berakhir pada suatu teori yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hal ini merupakan ciri yang terkandung dalam
penelitian ilmu pengetahuan sebagai suatu bentuk aktivitas, yaitu sebagai suatu kegiatan yang
dilakukan secara sadar oleh manusia. Sebab ilmu tidak sekadar merupakan aktivitas tunggal
saja, melainkan suatu rangkaian aktivitas sehingga merupakan suatu proses.

2.2. Pengertian Ilmu-Ilmu Sosial


Istilah ilmu sosial dapat dilihat menurut pendapat para ahli ilmu sosial diantaranya
dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf, seorang ahli sosiologi Jerman dan penulis
buku class  and class conflict in industrial society, menurutnya bentuk tunggal ilmu sosial
menunjukan sebuah komunitas dan pendekatan yang saat ini hanya diklaim oleh beberapa
orang saja, sedangkan bentuk jamaknya, ilmu-ilmu sosial, mungkin istilah tersebut
merupakan bentuk yang paling tepat. Ilmu-ilmu sosial mencakup soiologi, antropologi,
psikologi, ekonomi, geografi sosial, politik, bahkan sejarah walaupun di satu sisi ia termasuk
ilmu humaniora (Dahrendorf,2000:999).
Istilah ilmu sosial tidak begitu saja dapat diterima di tengah-tengah kalangan
akademisi, terutama di inggris. Sciences Sosiale dan Sozialwissenschaften adalah istilah
istilah yang lebih mengena meski keduanya juga membuat “menderita” karena
diinterprestasikan terlalu luas atau terlalu sempit. Ironisnya ilmu sosial yang dimaksud sering
hanya untuk mendefinisikan sosiologi atau hanya teori sosial sintetis (Daendrorf,2000:1000).
Pendapat tentang ilmu-ilmu sosial lainya yang agak berbeda dikemukakan oleh
Immanuel Wallerstein, profesor  sosiologi yang terkemuka dan Direktur Fernand Braudel
Pusat Studi Ekonomi, Sistem-Sistem sejarah dan Peradaban State University of new york
at Birmingham. Pandangannya tentang ilmu-ilmu sosial, tidak sepesimis Ralf Dahrendorf,
namun ia pun tetap kritis terhadap padangan-pandangan yang menyeret ilmu sosial ke
nomotetis maupun ideografis.
Wallerstein tidak memberikan usul tunggal untuk dianut sebagai pendekatan nomotetik atau
ideografik (ideosinkratik). Sebaliknya,ia menganjurkan untuk semakin meningkatkan dialog
antara kedua pendekatan tersebut. Untuk ilmu-ilmu kealaman (sains) yang kemudian sering
didefinisikan sebagai pencarian hukum-hukum universal ataupun nomotetik mengenai alam
yang tetap benar, mengatasi segala ruang dan waktu (Wallerstein,1997:4).
Sedangkan untuk ilmu-ilmu sosial, Wallerstein lebih menekankan pada suatu prilaku
sosial yang menekankan jauh melebihi kearifan secara turun temurun dan merupakan hasil
dedukasi dari padatnya pengalaman hidup manusia sepanjang jalan.
Ilmu sosial adalah usaha penjelajahan dunia modern .Akarnya tertanam pada upaya yang
mekar sejak zaman abad keenambelasan ,serta merupakan bagian dan bidang konstruksi
dunia modern.Tujuanya untuk  mengembangkan pengetahuan sekular secara sistematis
tentang realitas yang hendak dibuktikan secara empiris (Wallerstein,1997: 2).

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Bung Hatta sebagai salah seorang founding
father (Abdullah, 2006: 6-26) bahwa ilmu sosial sebagaimana hal nya dengan ilmu
pengetahuan yang lain, adalah satu ragam dimana memiliki peran tiga wajah ilmu sosial,
sebagai critical discourse, sebagai academic ebterprise, dan applied science/knowledge.
Pertama, sebagai critical discourse (wacana kritis) artinya pada kajian ini membahas tentang
apa adanya yang keabsahanya tergantung pada kesetiaan pada prasyarat sistem rasionalitas
yang kritis dan pada konvensi akademis yang berlaku.
Kedua,   sebagai academic enterprise , memiliki pengertian “bagaimana mestinya”. Dalam
bahasa Taufik Abdullah ilmu sosial tampil sebagai tetangga dekat dengan ideologi, sebagai
sistematisasi strategis dari sistem nilai dan filsafat sebagai pandangan hidup (Abdullah,
2006:10-11),  yang kenyataan nya sarat pada nilai.
Ketiga,  sebagai applied science, artinya bahwa dalam ilmu sosial itu diperlukan untuk
mendapatkan atau mencapai hal-hal yang praktis dan berguna entah untuk mewujukan atau
mencapai hal-hal yang praktis dan berguna entah untuk mewujudkan sesuatu yang dicita-
citakan contohnya  kemakmuran, maupun mengurangi atau meniadakan sesuatu yang tidak
diinginkan misalnya kemiskinan.
2.3. Pengertian Struktur Ilmu
Menurut pendapat Joseph J. Schwab struktur suatu disiplin ilmu adalah bentuk
konsepsi yang membatasi pokok masalah yang diselidiki dari suatu disiplin dan
pengawasan/pengendalian terhadap penelitiannya. Struktur suatu disiplin ilmu meliputi dua
bagian, yaitu substantive conceptual structure dan syntactical structure. substantive
conceptual structure ialah konsep-konsep yang menjadi kerangka berfikir atau frame of
reference dalam meneliti sesuatu. substantive conceptual structure akan menghubungkan dan
mengarahkan penelitian melalui serangkaian pertannyaan, contohnya data apa yang perlu
dicari? Eksperimen yang bagaimana yang diperlukan? Dan apa yang harus dilakukan?
Sedangkan konsepsi yang dimaksud dibentuk oleh ilmu itu sendiri meminjam dari disiplin
yang lain. Syntactical structure berhubungan dengan inquiry atau penelitian yang dilakukan
oleh displin itu. Syntactical structure menyangkut masalah-masalah, jalan mana yang harus di
tempuh dalam penelitian? Cara mengumpulkan data, cara menguji data, keriteria yang
dipakai dalam menetapkan kualitas data, ukuran untuk menentukan bahwa data yang
diperoleh relevan atau mungkin tidak relevan, penting atau kurang penting, jalan yang
ditempuh oleh disiplin itu sendiri, dari data mentah melalui interpretasi menuju pada
kesimpulan. Pendapat William J. Goode bahwa ilmu adalah sekumpulan pengetahuan
sistematis dan sekaligus sebagai metode pendekatan terhadap dunia empiris, ilmu merupakan
relasi yang rumit antara teori dan fakta. Pendapat Jacob Bronowski bahwa ilmu adalah
aktivitas menyusun fakta-fakta yang diketahui dalam kelompok-kelompok di bawah konsep-
konsep umum, dan konsep-konsep itu dinilai berdasarkan peryataan dari tindakan-tindakan
yang kita dasarkan padanya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa batang tubuh ilmu
(the body of knowledge) strukturnya mencangkup fakta, konsep, generalisasi, dan teori.
2.4. Pengertian dan Peranan Fakta
Menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary Of Current English, yang dimaksud
fakta adalah sebagai berikut.
1.      Sesuatu yang digunakan untuk mengacu pada situasi tertentu atau khusus.
2.      Kualitas atau sifat yang aktual (nyata)  atau dibuat atas dasar fakta-fakta. Kenyataan-
kenyataan fisik atau pengalaman praktis sebagaimana dibedakan dengan imajinasi, Sesuatu
hal yang dikenal sebagai yang benar-benar ada dan terjadi, terutama yang spekulasi, atau
teori.
3.      Dapat dibuktikan oleh evidensi (bukti) yang benar atau dinyatakan benar-benar terjadi.
4.      Hal yang terjadi dapat dibuktikan oleh hal-hal yang benar, bukan oleh berbagai hal yang
telah ditemukan.
5.      Sesuatu penegasan, pernyataan, atau informasi yang berisi atau berarti mengandung sesuatu
memiliki kenyataan objektif, dalam arti luas adalah sesuatu yang ditampilkan dengan benar
atau salah karena memiliki raelitas objektif.
Ternyata tidak semua pertanyaan di atas relevan dengan pembahasan kita sekarang
ini, oleh karena itu harus kita seleksi. Suatu hal yang menarik dari peryataan di atas bahwa
fakta itu sifatnya khusus ataupun terbatas, tidak bersifat general atau umum yang tidak
terbatas. Selain itu, menunjukkan suatu sifat yang nyata, yang ditampilkan dengan benar-
benar ada, terjadi karena memiliki raelitas objektif. Dengan demikian, hal itu sangat sesuai
denagn peryataan Bachtiar. Bahwa fakta merupakan abstraksi dari kenyataan yang diamati,
yang sifatnya terbatas dan dapat diuji kebenarannya secara empiris. Fakta pun
merupakan building blocks yang digunakan untuk mengembangkan konsep.
Menurut Helius Sjamsuddin bahwa fakta umumnya erat hubunganya dengan jawaban
atas apa, siapa, kapan, di mana, dan juga berupa benda-benda (things) yang benar-benar ada
atau peristiwa apa yang pernah terjadi pada masa lalu. Fakta harus dirumuskan atas dasar
sistem kerangka berpikir tertentu. Fenomena yang sma akan menghasilkan fakta yang
berbeda, apabila kerengka berfikir yang dipergunakan berbeda. Fakta harus merupakan
rumusan yang tajam, tertentu, tidak mengandung pertanyaan dan memiliki bukti sendiri. Dan
menurut James A. Banks, fakta adalah kejadian berbagai hal atau peristiwa tertentu yang
pada gilirannya  menjadi data mentah atau pengamatan dari ahli ilmuan-ilmuan sosial.
Sebagai contoh, menurut Carr para sejarawan memperoleh fakta-fakta itu dari
dokumen, inskripsi, dan ilmu-ilmu bantu sejarah lainnya, seperti arkeologi, epigrafi,
numismatik, dan kronologi. Di sinilah para sejarawan harus pandai menyeleksi terhadap apa
yang dijadikan fakta tersebut. Selanjutnya, dengan mengutip pendapat Pirandello
menganagolikan bahwa fakta ibarat karung goni baru dapat berdiri tegak setelah diisi sesuatu
di dalamnya. Jadi, jika terdapat ungkapan fakta berbicara untuk dirinya sendiri. Hal itu saja
tidak benar. Karena bagaimanapun keberadaan fakta itu, kehadirannya atas kehendak
sejarawan yang memilihnya dan menganggap rekevan dengan kebutuhan penelitian.
Lomas menyatakan, Seseorang tidak bisa lepas dari arti ide dalam sejarah. Sejarah
untuk menjadi penuh arti, tergantung pada seleksi dan hal ini pada gilirannya tergantung pada
penetapan signifikansi kriteria untuk memilih yang lebih relevan dan untuk menolak yan
kurang relevan. Dengan demikian, sejarawanlah yang lebih menentukan untuk berbicara
dengan alasan-alasan tertentu untuk menjadikan suatu cerita sejarah, tentang seorang tokoh,
peristiwa, benar tidaknya berbuat sesuatu,atas fakta-fakta yang ia seleksi sendiri. Namun,
tidak berarti sejarawan itu menjadi diktator dan mengabaikan prinsip-prinsip kebenaran.
Sebab kesadaran tentang lukisan masa lalu itu bukanlah merupakan wacana (discourse)
intelektual  yang bebas, tetapi dalam keterbatasan faktual yang partikular itu pun dapat
mengembangkan kebebasan apresiasi dan kreativitas sejarah kritis, reflektif, dan inspiratif.
Bukan keterangan sejarah (historical explanation) yang idoelogis tanpa pertanggung jawaban
yang rasional. Sebaliknya, yang ingin kita usahakan adalah sejarah sebagai ilmu pengetahuan
yang selalu relevan dengan perkembangan zaman apa pun. Begitu pun dalam penjelasan
sejarah, sejarawan dan guru sejarah tidaklah terbatas dari isi sumber-sumber dan fakta sejarah
yang harus disampaikan. Sebab bagaimanapun seharusnya kebenaran faktual tetap lebih
ditentukan oleh kejujuran sejarawan, dan kebenaran faktual mengisyaratkan kebenaran
teoristis.
Hubungan sejarawan maupun ahli-ahli ilmu sosial dengan fakta hakikatnya setaraf,
atau menurut istilah Carr ibarat memberi dan menerima, keduanya saling membutukan.
Mengingat fakta itu pun memerlukan suatu penafsiran yang lebih lanjut oleh sejarawan
maupun ilmu-ilmu sosial lainnya. Sejarawan dan ahli ilmu sosial lainnya perlu
mengembangkan dan menyuarakan fakta agar dapat bercerita dalam koridor yang memiliki
raelitas objektif, namun tidak kaku, tidak mati, dan tetap ada artinya. Demikian juga
sejarawan maupun ahli ilmu sosial lainnya,  jika tidak ada fakta maka karyanya tidak
berguna, tidak berakar dan sia-sia.

Fakta memang ibarat sebuah simbol, begitu menurut Carl L. Becker dalam Everyman
His Own Histirian maupun F.W. Dillistone dalam The Power Symbols. Sebuah fakta yang
sederhana dapat berubah menjadi fakta yang sangat penting dan berkekuatan besar karena
jaringan-jaringan yang terbentuk memiliki kaitan yang lebih jauh dan lebih besar lagi. Dalam
perspektif politik, siapa yang mengira karena absennya kebebasan, pada pukul 9 pagi tanggal
21 Mei 1998 akan terjadi lengsernya Jenderal Soeharto sebagai presiden Indonesia? Siapa
yang mengira karena absennya kebebasan, Jenderal Soeharto yang baru saja dipilih secara
bulat oleh MPR dua bulan sebelumnya, dapat berakhir dengan begitu cepat dalam peristiwa
yang spektakuler? Hampir semua orang terjebak dan merasa serta tidak percaya dengan
keputusan itu, mengingat sebagai “sultan di jawa tradisional” ia telah mengkonsolidasikan
semua kekuasaan di tangannya dengan menempatkan loyalisnya pada posisi kunci di institusi
politik, militer, dan birokrasi untuk menyokong kekuasaannya. Tentu saja mayoritas rakyat
indonesia bergembira atas lengsernya sang presiden, sekalipun pernah menorehkan prestasi
yang gemilang. Akan tetapi, pada akhirnya prestasi itu tersapu oleh ketamakan dan
kekacauan ekonomi politik.
2.5. Pengertian dan Peranan Konsep
Istilah konsep yang berkembang di masyarakat awam hampir selalu dikaitan dengan
rancangan atau sesuatu yang belum selesai. Pemahaman yang demikian sebenarnya terlalu
sederhana dan menyimpang karena pengertian konsep begitu luas dan bukan mengenai
sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas yang belum maupun sudah selesai.
Istilah konsep mengacu sebagai abstraksi yang bersifat konotatif maupun denotatif. Dengan
demikian, ruang lingkup konsep bisa bersifatabstrak maupun konkret ataupun riil. Sebut saja
gunung, danau, kursi, meja, pohon, mobil, kambing, ketimun, garam, dan sebagainya,
semuahnyaitu konsep. Di dunia ini baik itu yang konkret maupun abstrak, seperti agama,
kebaikan, pandai, merah, fantasi, kemenakan, gas, dan mertua, itu adalah konsep-konsep
yang tak terhingga jumlahnya. Jadi, kalau begitu apa konsep itu ?
Menurut Schwab (1969 : 12-14), konsep merupakan abstraksi, suatukonstruksi logis
yang terbentuk dari kesan, tanggapan, dan pengalaman-pengalaman kompleks. Pendapat
Schwab tersebut sejalan dengan James A. Banks (1977: 85) bahwa A concept is an abstract
word or phrase that is useful for classifiying or categorizing a group of things, ideas, or
events. ‘Suatu konsep adalah suatu kata abstrak atau frase yang bermanfaat untuk
mengklasifikasikan atau menggolongkan suatu kelompk berbagai hal, gagasan, atau
peristiwa’. Dengan demikian, pengertian konsep menujukan pada suatu abstraksi,
penggambaran dari suatu yang konkret maupun abstrak (tampak maupun tidak tampak) dapat
berbentuk pengertian atau definisi ataupun gambaran mental, atribut esensial dari suatu kata
gori yang memiliki ciri-ciri esensial relatif sama.
Sebagai contoh, gunung. Jika dilihat dari jenis, ketinggian, dan bentuknya gunung itu
sangat beragam. Gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat akan jauh lebih kecil dan pendek
jika dibandingkan dengan G. Jayawijaya di Papua maupun G. kerinci di perbatasan Provinsi
Jambi dan Sumatra Barat.
Dengan demikian, berbeda dengan fakta yang menekankan kekhususan, sedangkan
konsep memiliki ciri-ciri umum (common characteristics) yang sudah tentu konsepnya lebih
luas dari pada fakta. Menurut Jack R. Fraenkel dalam Jelping Students Think and Value
Strategies for Teaching the Social Studies, dikatakan bahwa sebenarnya konsep-konsep itu
dalam kenyataannya tidak ada. Konsep itu berada dalam ide atau pikiran manusia. Semua
realitas yang berada di sekeliling kita memasuki atau menyentuh indra-indra manusia sebagai
informasi dari berbagai pengalaman. Kemudian, masukan-masukan indra (sensory infut)
tersebut diatur dan disusun dengan mengenakan simbol-simbol (label kata-kata) berdasarkan
persamaan-persamaan esensial tersebut (Fraenkel, 1980 : 58).
Mengklarifikasi jenis-jenis konsep atas 6 macam.
1.      Konsep kanjungtif, yaitu konsep yang berfungsi untuk menghubungkan (Connective) dari
keberadaan dua atau lebih atribut yang semuanya harus ada (Fraenkel, 1980 : 58) Contohnya,
konsep anak berarti ia adalah indivindu yang masih kecil dan masih belum dewasa.
Sebaliknya, konsep Ibu maupun ayah mencerminkan orang dewasa yang sudah cukup tua
untuk memiliki anak.
2.      Konsep disjungtif,  mencerminkan adanya alternatif-alternatif yang beragam. Contohnya,
konsep olahraga bentuk dan jenisnya dapat berupa permainan sepak bola, tenis meja, lempar
lembing, maraton, dan sebagainya.
3.      Konsep relasional, yang memiliki arti mengandung suatu hubungan khusus antara dua
atribut maupun lebih yang dinyatakan secara eksplisit dengan bilangan tertentu. Contohnya,
konsep kecepatan mobil dihubungkan dengan rata-rata per kilo meter per jam. Konsep isi
dihubungkan dengan meter kubik. Konsep luas dihubungkan dengan berapa meter persegi.
4.      Konsep deskriptif,  adalah konsep yang menuntut jawaban tentang gambaran suatu benda.
Konsep deskriptif ini pun menuntut pemahaman karakteristik ataupun ciri-ciri esensial yang
sama dalam mengemukakan pendapat. Contohnya, apa itu kursi? Apa itu Presiden ? dan
sebagainya.
5.      Konsep valuatif yaitu konsep yang berhubungan denga pertimbangan baik ataupun buruk,
salah satupun benar, cantik ataupun jelek rupa, dan sebagainya.
6.      Konsep campuran antara deskriptif dan konsep valuatif,  yaitu suatu konsep yang tidak
hanya memberikan penjelasan tentang suatu karakteristik yang diniliki oleh benda tersebut,
tetapi juga sekaligus memberikan sikap ataupun penilaian terhadap pernyataan tersebut.
Menurut Fraenkel (1980 :59), konsep ini merupakan yang paling banyak ditemui. Contohnya
pembunuhan sadis, pemerintah otoriter, kolonialisme, imperialisme, sadisme, dan sebagainya.
          Timbul pertanyaan, sebenarnya kita belajar mengenal konsep-konsep itu untuk apa ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut Fraenkel telah mengidentifikasi kegunaan konsep bagi
kehidupan manusia.
1.      Konsep itu berguna untuk melakukan efisien dan efektivitas bagi manusia, hal itu dapat kita
pahami karena informasi-informasi itu kian terus bertambah banyak dan semuanya harus
diindentifikasi dalam simbol-simbol yang dapat disepakati. Caranya adalah dengan
merumuskannya dalam konsep-konsep yang mereduksi informasi-informasi tersebut menurut
proposi-proposi yang dapat ditangani (Sjamsuddin, 1996 :15). Konsep mencakup kelas dari
objek, peristiwa, individu, atau ide. Kemudian konsep-konsep itu diterima melaluli indra kjita
dan disusun serta diserhanakan berdasarkan persamaan karakteristiknya, namun belum begitu
rinci ( Fraenkel, 1980 : 64-64 )
2.      Melalui konsep itu pun adanya klasifikasi atas beberapa individu, karakteristik yang serupa
kemudian diindentifikasi dan dicari perbedaan-perbedaannya. Sehingga dalam klasifikasi
(kategorisasi) tersebut begitu tampak persamaan dan perbedaanya. Contohnya, gunung :
walaupun dari sekian gunung itu berbeda-beda, tetapi gunung memiliki ciri-ciri yang sama,
memiliki ketinggian sampai ribuan meter dari permukaan air laut. Contoh lainya unggas,
bervariasi dari jenis ayam, bebek, angsa, sampai kepada jenis burung. Semuanya itu harus
benar-benar teridenfikasi secara teliti, jangan samapai terjadi miskonsep  yang dapat
menimbulkan persepsi yang keliru dan fatal.
3.      konsep dapat berfungsi untuk mereduksi keperluan yang sering dikatakan berulang-ulang
terhadap sesuatu kajian yang serupa dan sudah diketahui (Fraenkel, 1980 : 65). Sebagai
contoh jika kita telah mengetahui binatang itu burung maka burung pun terbagi-bagi dalam
beberapa jenis, seperti burung gelatik, manyar, beo, pipit, gagak, perkutut, kutilang, kakatua,
kepodang, samurai, cendrawasih, elang, sampai burung hantu.
4.      konsep dapat berfungsi memudahkan kita untuk memecahkan masalah. Dengan
menempatkan objek, indivindu, peristiwa, ataupun ide ke dalam kategori yang benar kita
dapat memperoleh beberapa wawasan bagaimana menangani sesuatu masalah tertentu yang
dihadapi (Fraenkel, 1980 : 65). Sebagai contoh, seseorang yang mengetahui bahwa ular
pohon yang berwarna hijau itu beracun dan sangat berbahaya maka ia akan hati-hati jika ia
memanjat pohon yang hijau dan sering dijadikan tempat persembunyian ular pohon tersebut.
5.      Konsep juga berguna untuk menjelaskan (eksplanasi) sesuatu yang dianggap rumit ataupun
memerlukan keterangan yang cukup panjang dan rinci. Banyak konsep-konsep yang kita
ketahui sekarang diperoleh melalui proses pembelajaran ataupun pengenalan dari konsep-
konsep sebelumnya yang dianggap baru. Dengan demikian, konsep bisa dijakdikan tempat
persembunyian ular pohon tersebut.
6.      Konsep berguna untuk mengonseptualisasikan sesuatu secara cermat cermat melalui
sembol-simbol. Itulah kelebihan insan manusia sebagai makluk yang suka berfikir (homo
sapiens). Tidak ada filsuf modern yang telah menjadikan simbol lebih sentral dalam
pengembangan penafsiran tentang realitas, selain Ernest Cassirer yang teruang dalam
karyanya The Philosophy of Simbolic karena manusia makluk yang suka menggunakan
simbol-simbol (Cassirer : 1951). Sedikit berbeda dengan sejarawan Belanda Johan Huizinga
dimana manusia sering disebut homo luden atau makluk yang suka bermain.
7.      Sesuatu konsep pun mengandung konotasi negatif dinamakan stereotip (Fraenkel, 1980 :
66-68). Konsep sterreotip ini demikian melakat pada diri setiap etnis maupun individu, hanya
kadar atau derajatnyalah yang membedakannya. Walter Lippman seorang wartawan senior
Amerika Serikat. Samapai sekarang ini dianggap sebagai orang pertama yang merumuskan
stereotip dan membahasnya secara ilmiah dalam buku Public Opinion (1922). Menurut
Lippman (1922 : 1), sereotip adalah gambaran di kepala yang merupakan rekonstruksi dari
keadaan lingkungan untuk menggambarkan keadaan sebenarnya, dan sereotip berfungsi
sebagai cara penyederhanaan untuk memberikan gambaran itu. Akan tetapi, sekarang ini
stereotip didefinisikan sebagai informasi yang salah sebagai lawan dari sosiotip yang ilmiah
(Hayakawa, 1950 : 209). Di Indonesia pun sering kita dengar ungkapan-ungkapan yang
bernada stereotip. Contohnya, jawa koek, Cina licik, Padang bengkok, Orang Tasik si tukang
kredit, Dasar Batak si tukang copet, Irian si hitam legam, dan sebagainya. Bahkan di
kalangan orang Barat pun setereotip dan etnosentrisme pernah hidup dan berkembang.
8.      konsep berguna sebagai mata rantai penghubung ataupun katalisator antara disiplin ilmu,
baik itu yang sifatnya interdisipliner, multidisipliner, maupun lintas disipliner. Sebagai
contoh, konsep kerja sama bukan saja ditemukan dalam bidang sosial (sosiologi), tetapi juga
budaya (antropologi), kemudian ekonomi (terdapat koprasi), maupun psikologi terutama
dalam kajian empati dan solidaritas. Dalam bidang politik, konsep kerja sama tersebut akan
tampak pada kajian integrasi bangsa yang dibangun oleh solidaritas dan kesetiakawanan.

2.6. Pengertian dan Peranan Generalisasi


Generalisasi adalah pertanyaan hubungan dua konsep atau lebih. Pertanyaan tersebut
boleh terbentang dari yang sangat sederhana ke yang sangat kompleks. Kadang-kadang
mereka dikenal sebagai prinsip-prinsip atau hukum.
Generalisasi menghubungkan konsep satu sama lain, selanjutnya merupakan
kesimpulan dari pengalaman kita. Generalisasi  dapat juga menguraikan dunia sosial kita
dengan teliti. Generalisasi menyatakan hubungan antara dua konsep atau lebih, sering
mengidentifikasi penyebab dan efek, dapat digunakan untuk meramalkan suatu kejadian di
masa depan yang berhubungan dengan yang dinyatakan dalam generalisasi.
Dari pertanyaan tersebut dapat dikemukakan bahwa generalisasi merupakan
pertanyaan tentang hubungan antara konsep-konsep dan berfungsi untuk membantu dalam
memudahkan pemahaman suatu maksud pertanyaan itu, berfungsi mengidentifikasi penyebab
dan pengaruhnya, bahkan dapat digunakan untuk memprediksi suatu kejadian yang
berhungan dengan pertanyaan yang ada dalam generalisasi tersebut. Dalam arti, suatu
generelasisasi pun merupakan pertanyaan yang sederhana sampai kepada yang lebih
konpleks. Dengan demikian, generalisasi itu tidak hanya mendeskripsikan data, melainkan
memberikan struktur pada data tersebut. Oleh karena itu, dapat pula dikatakan bahwa
generalisasi adalah kesimpulanyang ditarik secara induktif mengenai dua hubungan fakta-
fakta atau lebih yang ditarik secarainduktif mengenai dua hubungan fakta-fakta atau lebih 
yang melahirkan teori (Fuad Hasan, 1997: 10-11). Generalisasi pun merupakan pernyataan
yang menjelaskan hubungan antara konsep-konsep yang berfungsi sebagain pembantu
berpikir dan memahami,  tidak sekedar mendeskripsikan data, tetapi juga memberikan
struktur (Sjamsuddin, 1996 : 19). Generalisasi dapat disusun dalam bentuk dan ruang lingkup
yang sederhana sampai kepada yang luas dan kompleks. Oleh karena itu, James A. Banks
(1977 : 99-101) membedakan 3 tingkat generasi.
1.      High Order Generalizations disebut juga laws atau principles, yaitu generalisasi yang
pemakaiannya secara universal. Contohnya, interaksi antara suatu masyarakat dengan
lingkungan mereka, mempengaruhicara yang ditempuh mereka untuk memenuhi
kebutuhannya.
2.      Intermediate Level generalizations, ialah generlasasi yang digunakan di kawasan tertentu
dan kebudayaan tertentu. Contohnya, wilayah Indonesia yang terletak di daaerah tropis yang
subur dan daerahnya luas, menyebabkan bangsa Indonesiadi pedesaan sebagai besar hidup
dari pertanian.
3.      Law Order Generalizations, yaitu generalisasi yang digunakan atas data dari dua atau tiga
sampel kecil, misalnya tentang sekelompok kota padasatu kawasan tertentu. Contohnya,
suatu kelimpahan curah hujan yang tinggi seta suhu udara yang sejuk, menyebabkan daerah
Lembang, Bandung cocok untuk tanaman sayuran kol, sawi, maupun kentang.
Ditinjau dari tipe-tipenya, generalisasi menurut Fraenkel (1980 : 74), dapat dibedakan
menjadi empat macam, yaitu generalisasi deskriptif, kausal, korelatif, dan kondisional.
1.       Generalisai Kasusal, yaitu suatu generalisasi yang hanya mendeskripsikan suatu hubungan
yang ada. Cotohnya, peradaban Eropa menyebarkan ke Afrika, Asia, dan Amerika, baik
melalui kolonisasi maupun cara-cara damai.
2.       Generalisasi Kausal, yaitu suatu generalisasi yang menjelaskan hubungan sebab akibat
terjadinya suatu peristiwa. Contoh, adanya imperialisme Barat, melahirkan nasionalsme Asia
dan Afrika.
3.       Generalisasi Korelatif, suatu generalisasi yang menujukan adanya hubungan satu sama lain.
Contohnya, pada umumnya industri berat di Eropa berdekatan dengan tambang-tambang batu
bara.
4.       Generalisasi kondisional, artinya suatu generalisasi yang menyarankan apa yang akan
terkadi jika seamdaimya suatu kondisi khusus dilaksanakn, dengan demikian adanya suatu
persyatan khusus. Contohnya, recovery ekonomi Indonesia sulit untuk dapat pulih
kembali, jika faktor keamanan bagi investor tidak terjamin.

2.7. Pengertian dan Peranan Teori


Ada kesan bahwa berteori itu jauh lebih mudah daripada praktik. Akan tetapi, dalam
menyajikan teori keilmuan, untuk membuat itu jauh, sangat sulit dan rumit. Dan kita dapat
melihat bahwa tidak semua para ahli pandai membuat dan menghasilkan teori-teori baru. Di
sinilah mengapa orang yang berhasil membuat teori sangat dihargai, mengingat teori
merupakan bentuk tertinggi dari pengetahuan. Bahkan teori merupakan tujuan utama dari
ilmu pengetahuan pada umumnya,
Hal yang terpenting yang sama-sama dimiliki oleh para teoritikus adalah bahwa
mereka tidak semata-mata melukiskan kehidupan sosial atau menceritakan sejarah
perkembangan sosial demi kehidupan sosial, atau menceritakan sejarah perkembangan sosial
itu sendiri. Mereka lebih berusaha membantu kita untuk melihat masyarakat manusia dengan
cara tertentu sehingga apa yang kita peroleh dengan membaca karya-karya mereka tidak
hanya lebih banyak informasi mengenai kehidupan sosial, melainkan sesuatu yang jauh lebih
penting lagi, yaitu sebuah pemahaman yang lebih baik mengenai hakikat hubungan-hubungan
sosial manusia. Sasaran bersama para teoritikus adalah memberi tilikan social dan
pemahaman social yang lebih besar, bukan menyajikan sekumpulan data social yang masih
mentah. Mereka melakukan ini dengan menyusun model-model tentang bagaimana
masyarakat beroperasi, memilah-milah masyarakat menjadi bagian-bagian pembentukanya,
dan menunjukan hubungan-hubungan operasional mereka.
Sebagai contoh, bagi Thomas Hobbes, yang terkenal diktumnya homo homini lupus
atau manusia adalah serigala antara sesamanya. Hal itu berarti menganalisis hakiki kontrak-
kontrak yang dibuat oleh individu-individu yang rasional dan mengejar kepentingan-
kepentingan diri. Berbeda dengan Emile Durkheim yang menekankan pada keteraturan sosial
yang berhubungan dengan proses-proses sosial yang meningkatkan integrasi dan solidaritas.
Durkheim, selain itu pun dalam bukunya The Division of Labor in Society, dikemukakan
bahwa pertumbuhan dalam pembagian kerja meningkatkan suatu perubahan dalam struktur
sosial dan solidaritas mekanik ke solidaritas organik. Dengan demikian, bagi Durkheim jelas
memperlihatkan saling ketergantungan fungsional dari kelompok-kelompok kerja yang besar
di dalam organisme sosial. Dengan melakukan itu, keduanya mengaku memberitahu kita
tidak hanya apa yang beroperasi dengan cara ini dan bukan dengan yang lain. Mereka
berusaha memajukan pemahaman kita sebanyak mungkin untuk pengetahuan kita tentang
fenomena sosial, untuk menjelaskan dan juga menggambarkannya.
Unsur-unsur utama sebuah teori menurut Campbell (1945: 15) adalah definisi,
deskripsi, dan penjelasan.
1.      Definisi  memberitahu kita bagaimana penulis akan memakai istilah-istilah kuncinya, setiap
teoritikus tentang masyarakat misalnya, harus menjelaskan apa yang bia maksud dengan kata
masyarakat, dan menawarkan pandangan tertentu mengenai peristilahan pokok, seperti
interaksi, kontrak, maupun solidaritas. Proses mendefinisikan istilah-istilah umum ini sangat
penting karena mengacu pada analisis konsep-konsep yang dituju. Hal itu selayaknya
dilakukan dengan menunjuk cirri-ciri esensial yang relatif sama atau dimiliki oleh suatu
entitas jika istilah yang bersangkutan ingin dipakai secara akurat untuk mengacu padanya.
Memang suatu definisi adalah tidak penting bagi dirinya, namun definisi berguna sebagai alat
untuk menjernihkan pemikiran.
2.      Deskripsi  merupakan sebuah kegiatan yang tanpa akhir dan selalu belum selesai serta tanpa
batas. Jadi, tidak terhingga banyaknya fakta yang harus ditemukan, diselidiki, dibuktikan,
atau diperdebatkan. Bahkan untuk para teoritikus besar seleksi bahan tertentu selalu
diperlukan. Hal itu menunjukan kepada kita bahwa apa yang menjadi cirri khas dari sebuah
pendekatan teoretis yang berbeda dari sebuah pendekatan empiris dalam arti sempit yang
berdasarkan pada fakta-fakta khusus yang saling berkaitan.
3.      Penjelasan harus melampaui makan deskripsi dengan mengatakan hal-hal apakah yang
dapat memberikan pada kita suatu pemahaman tertentu mengenai mengapa suatu kenyataan
seperti itu?. Misalnya, mengapa suatu jenis masyarakat tertentu akan berubah, entah secara
lamban (evolusi) atau secara cepat (revolusi) menjadi masyarakat jenis lain?. Dengan
demikian, pada setiap teori yang memadai harus disertai dengan deskripsi yang saling
berkaitan serta memuncak dalam suatu bentuk penjelasan yang lebih rinci.
Kemudian, jika begitu teori itu apa?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, di bawah
ini disajikan beberapa definisi, antara lain dikemukakan oleh Mandler dan Kessen dalam
bukunya The Languageof Psychology dikemukakan, Theories are set of statements,
understandable to other, which make prediction about empirical events  (Mandler dan
Kessen, 1959:142). Dengan demikian, menurut pendapat Mandler dan Kessen tersebut bahwa
teori itu merupakan ramalan tentang peristiwa empiris. Kemudian menurut Kerlinger
(2000:14), seorang peneliti behavioral, mengemukakan bahwa:
Suatu teori ialah seperangkat konstruk (konsep), batasan, dan proposisi yang menyajikan
suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan mencari hubungan-hubungan antar
variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi itu.
Sedikit berbeda dengan Hollander yang ditulis dalam karyanya principles and
methods of social psychology, dikemukakan bahwa basically, a theory consists of one on
more functional statements of proportions that treat the fenomena (Hollander, 1967:55).
Dengan demikian, suatu teori menurutnya merupakan atas proposisi yang fungsional yang
menyajikan hubungan variable yang meliputi satuan fenomena. Begitu pun jika dibandingkan
dengan pendapat McDavid dan Harari dalam social psychology: individuals, groups
societies mengemukakan “istilah teori secara normal diberlakukan bagi pengintegrasian
tatanan hipotesis yang lebih tinggi ke dalam jaringan sistematis yang mencoba untuk
menguraikan dan meramalkan cakupan peristiwa yang lebih luas dengan membiarkan satu
hipotesis menjadi berkualitas atau untuk menetapkan kondisi-kondisi itu di bawah yang lain
yang akan menjadi sesuai”.
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa teori di satu pihak adalah
rangkaian fakta-fakta dan konsep-konsep serta generalisasi-generalisasi, di pihak lain
merupakan perkiraan tentang implikasi (akibat) dari rangkaian fakta-fakta, konsep-konsep,
dan generalisasi-generalisasi tersebut, yang satu sama lainnya sangat berhubungan. Dengan
demikian, benar menurut sosiolog Indonesia Harsja Bachtiar bahwa teori merupakan suatu
kesatuan sejumlah generalisasi atas dasar fakta yang diketahui (Bachtiar, 1997:114).
Menurut William J. Goode demikian juga James Banks, teori teramat penting dalam
ilmu pengetahuan karena tanpa teori ilmu tidak dapat membuat prediksi ilmiah, dan tanpa
pengetahuan memprediksi, kita tidak dapat melakukan pengendalian. Serupa dengan
pendapat itu Joseph J. Schwab mengemukakan, They seeks ends that are not knowledge but
something else making, the appreciation of what is made, the arts and habits of deliberation;
choice and action (schwab, 1969:21).
Bahkan  lebih jauh Suppes (1974) dan Kerlinger (2000) mengemukakan bahwa ada
lima fungsi teori. Antara lain:

1.      Berguna sebagai kerangka kerja untuk melakukan penelitian.


Mengenai pentingnya teori sebagai kerangka kerja untuk penelitian, dimaksudkan
untuk mencegah praktik-praktik pengumpulan data yang tidak memberikan sumbangan bagi
pemahaman peristiwa. Empirisme yang polos menurut Suppes (1974: 6) merupakan suatu
bentuk coretan mental dan ketelanjangan tubuh jauh lebih menarik daripada ketelanjangan
pikiran. Sebagai kerangka kerja, teori secara tegas mampu menyatupadukan kumpulan data
yang terpisah-pisah menjadi suatu kerangka pedoman yang konsisten dan berpautan yang
menetapkan hubungannya, serta meramalkan secara logis dari keterhubungan antar fenomena
itu.
Oleh karena itu, sebuah teori yang berperan sebagai kerangka kerja tersebut,
implikasinya bahwa teori harus memiliki kegunaan sebagai berikut.
a.       Teori harus mampu membantu mensistematisasikan, menyusun data, maupun pemikiran
tentang data sehingga tercapai pertalian yang logis di antara aneka ragam data itu, yang
semula kacau balau. Di sinilah teori berfungsi sebagai kerangka kerja atau pedoman, bagan
yang sistematisasi, mapun menjadi sistem acuan.
b.      Mampu memberikan suatu skema atau rencana sementara mengenai medan yang semula
belum di petakan sehingga terdapat suatu orientasi.
c.       Mampu menunjukan atau menyarankan arah untuk penyelidikan lebih lanjut.
Kerangka kerja tersebut merupakan sebuah proses yang bersifat rasional, kognitif, dan
teleologis (The Liang Gie, 1999:96)
1.      Aktivitas rasional, berarti kegiatan yang mempergunakan kemampuan pikiran untuk
bernalar yang berbeda dengan aktivitas berdasarkan perasaan dan naluri. Dalam ilmu
pengetahuan, teori mempraktikkan diri sebagai kegiatan penalaran logis dari pengamatan
empiris.
2.      Aktivitas kognitif, pada hakikatnya merupakan rangkaian kegiatan intelektual manusia yang
melahirkan ilmu. Hal ini sesuai dengan pendapat Bernard Barber bahwa pemikiran rasional
atau rasionalitas manusia merupakan sumber utama dari ilmu.
3.      Aktivitas teleologis, adalah mengarah pada tujuan tertentu karena para teoretikus maupun 
ilmuwan dalam melakukan aktivitas ilmiah memiliki tujuan-tujuan yang ingin dicapai.
Teori ilmu pengetahuan melayani suatu tujuan tertentu yang ingin dicapai. Bukankah
semua teori ilmi pengetahuan itu pada dasarnya melayani suatu tujuan tertentu yang ingin
dicapai oleh para teoritisi dan ilmuwan? Sebagaimana ilmu maka teori pun tidak mengarah
pada tujuan tunggal yang sangat terbatas bidangnya. Lahirnya teori-teori baru yang beragam
di berbagai bidang dan tampaknya akan terus berkembang sejalan dengan pemikiran para
teoritisi dan ilmuwan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Stephen Toulmin.
‘Ilmu tidak memiliki satu tujuan melainkan banyak, dan pertumbuhannya telah melampaui
banyak tahap-tahap yang bertentangan. Seperti halnya semua aktivitas kritis, ilmu tidak
memiliki satu, melainkan sejumlah tujuan yang berkaitan; ini harus berusaha memnuhi
semuanya sejauh mungkin dalam keserasian, dan ilmu berhak menentukan tujuan-tujuan
baru’.

2.      Teori memberikan suatu kerangka kerja bagi pengorganisasian butir-butir informasi


tertentu.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya oleh Lachman (1969: 46) bahwa teori
pun ‘memberikan suatu skema atau rencana sementara mengenai medan yang semula belum
ditetapkan sehingga terdapat suatu orientasi. Dalam hal ini fakta-fakta, proposisi, dan kaidah-
kaidah itu dapat diturunkan dari teori tersebut dan disusun secara sistematik, yang dilengkapi
cirri-ciri pokok selanjutnya, yaitu keumuman (generality), rasionalitas, objektivitas,
kemampuan diperiksa kebenaranya (verifiability), dan kemampuan menjadi milik umum
(communality).
Kemudian dalam kaitanya dengan fungsi kedua dari teori adalah bahwa teori
memberikan suatu kerangka kerja bagi pengorganisasian butir-butir informasi tertentu. Hal
ini dapat dipahami karena semua teori pada hakikatnya berusaha untuk memenuhi fungsi itu.
Dalam analogi ini dapat dimisalkan tentang teori belajar Robert Gagne. Menurut
pandangannya, belajar itu merupakan faktor yang luas yang dibentuk oleh pertumbuhan.
Perkembangan tingkah laku itu adalah hasil dari efek kumulatif dari belajar (Gagne, 1968:
178).
Sebagai contoh, seorang anak sedang mengungkapkan dalm bentuk bahasa lisan
tentang kata kursi berarti menunjuk pada objek benda-benda tempat duduk dalam perabotan
rumah yang berkaki. Jadi, dalam hal ini siswa dituntut untuk memiliki pengetahuan tertentu,
berkemampuan untuk menuangkan pengetahuan itu dalam bentuk bahasa yang memadai
untuk dapat dikomunikasikan kepada orang lain. Sebab memiliki kemampuan verbal tanpa
ada kemampuan untuk dibahasakan, kiranya tidak banyak berguna. Memiliki informasi
pengetahuan verbal memegang peranan penting dalam kehidupan manusia karena tanpa
pengetahuan verbal, orang tidak dapat mengatur kehidupan sehari-harinya dan tidak dapat
berkomunikasi dengan orang lain (Winkel, 1991: 72-73).
Hal ini akan berbeda dengan aktivitas pembelajaran selanjutnya. Ia sedang belajar
untuk mengembangkan kemampuan yang berhubungan dengan lingkungan hidup dan dirinya
sendiri dalam bentuk representasi, khususnya konsep dan berbagai simbol. Di mana ia sedang
menempuh ujian teori mengemudi. Untuk menempuh ujian teori tersebut, orang itu tidak
perlu turun ke jalan raya, cukup dengan diuji oleh petugas kepolisian dengan memperlihatkan
sebuah peta atau denah yang menggambarkan suatu situasi lalu lintas tertentu, serta
diberikannya sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan simbol-simbol atau rambu-rambu.
Jika ditelaah bagian pertama dan kedua, ini tampak berbeda, walaupun dua-duanya
merupakan aktivitas belajar terutama jika ditelaah dari Teori Belajar Gagne. Jenis belajar
yang terdahulu atau pertama disebut belajar informasi verbal, sedangkan belajar yang
kemudian disebut belajar kemampuan intelek (Gagne dan Briggs, 1970: 51).

3.      Teori mengungkapkan kompleksitas peristiwa-peristiwa yang tampaknya sederhana.


Secara umum fungsi ketiga dari suatu teori adalah bahwa teori sering mengungkapkan
seluk beluk dan kompleksitas peristiwa-peristiwa yang tampaknya sederhana. Suatu contoh
khusus adalah hakikat dan jenis-jenis belajar faktor-faktor yang berpengaruh terhadap belajar
dari model Bandura (1971). Untuk sebagian besar kejadian, penjelasan yang dahulu diberikan
terbatas pada segi peniruannya saja. Artinya, pelajar menirukan model dan mendapat hadiah
karena melakukan aktivitas yang diharapkan. Namun, teori belajar sosial dari Bandura
ternyata menunjukan hal yang kompleks sebab mengenai situasi waktu, pengamat
menunjukan tingkah laku hasil model berhari-hari dan berminggu-minggu, mengenali kondisi
belajar untuk gejala yang rumit penerapannya.
Secara lebih umum, pemeriksaan terhadap teori-teori yang ada pada waktu itu
menunjukan adanya bermacam-macam faktor yang berpengaruh pada apa yang semula
dianggap proses sederhana tentang belajar. Ternyata dalam kelas penerapannya menyangkut
taraf perkembangan siswa, sifat hakikat tugas yang dipelajari, model yang relevan diamati
siswa, kemampuan siswa untuk menerima, proses pengkodean, menyimpan aktivitas apa
yang dipelajari siswa dalam ingatannya, dan persepsi siswa terhadap apa yang dikerjakan dari
sudut keberhasilan maupun kegagalannya. Semuanya itu memberikan perhatian ekstra dan
tidak boleh disepelekan.

4.      Teori mengorganisasikan kembali pengalaman-pengalaman sebelumnya.


Di dunia tidak ada yang abadi, kecuali perubahan itu sendiri yang abadi. Bahkan
seorang futuris ternama Amerika Serikat, yakni Alvin Toffler (1981: 28-29) pernah
mengatakan change do not only important in life, but change of itself is life. Memaknai
ungkapan tersebut benar juga menurut Fritjop Capra bahwa krisis kompleks dan
multidimensional yang segi-seginya menyentuh pada semua aspek kehidupan manusia
belakangan ini semuanya memerlukan suatu pengujian kembali secara mendalam premis-
premis dan nilai-nilai budaya kita.
Ini artinya bahwa dalam ilmu pengetahuan, keberadaan teori-teori lama mutlak
diadakan peninjauan kembali untuk dikaji dan diuji validitas dan relevansinya secara
mendalam. Fungsi penyusunan kembali kepercayaan-kepercayaan lama, khususnya penting
berkaitan dengan belajar di kelas. Belajar seperti itu terjadi dalam suatu konteks sosial yang
relative. Kadang-kadang variabel-variabel yang semula kecil saja pengaruhnya dalam
dasawarsa dekat yang sudah lewat, dapat menjadi faktor yang penting dalam pengelolaan
hasil belajar siswa.

5.      Teori berfungsi untuk memberikan prediksi dan kontrol.


Hal ini dikemukakan oleh kerlinger (2000: 16) bahwa di samping ilmuwan
mempersoalkan penjelasan dan pemahaman tentang ilmu, juga tidak kalah pentingnya adalah
melakukan prediksi dan control. Para pendukung pandangan ini dapat mengatakan bahwa
adekuasi suatu teori terletak pada kekuatan prediksinya. Jika dengan menggunakan suatu
teori kita dapat membuat suatu prediksi yang akurat, maka teori kita terkukuhkan.
Tinjauan yang melihat ilmu pengetahuan dari sudut pandang prediksi ini jelas
mengandung validitas yang tinggi. Namun demikian, perlu diingat bahwa prediksi hanyalah
salah satu aspek saja dari suatu teori. Artinya manakala da proposisi-proposisi sederhana
suatu teori kita menurunkan proposisi lain yang lebih kompleks, pada intinya apa yang kita
lakukan adalah prediksi. Dengan demikian, para ahli sebelumnya benar bahwa teori pada
hakikatnya merupakan tujuan utama ilmu pengetahuan karena semua hal lainnya memancar
dari teori.
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Simpulan
Dari uraian di atas kita dapat diambil kesimpulan bahwa suatu ilmu pengetahuan haruslah
memenuhi tiga syarat pokok yaitu:
1. Suatu ilmu pengetahuan harus mempunyai obyek tertentu (khususnya obyek formal).
2. Suatu ilmu pengetahuan harus menggunakan metode-metode tertentu yang
sesuai.
3. Suatu ilmu pengetahuan harus mengggunakan sistematika tertentu.
Disamping ketiga macam syarat tersebut, maka dapat diajakukan syarat-syarat tambahan bagi
suatu ilmu pengetahuan ialah antara lain:
1. Suatu ilmu pengetahuan harus mempunyai dinamika, artinya ilmu pengetahuan harus
senantiasa tumbuh dan berkembang untuk mencapai kesempurnaan diri.
2. Suatu ilmu pengetahuan harus praktis, artinya ilmu pengetahuan harus berguna
atau dapat dipraktekkan untuk kehidupan sehari-hari.
3. Suatu ilmu pengetahuan harus diabdikan untuk kesejahteraan umat manusia.

3.2. Saran
            Dari uraian diatas saya menyarankan kepada semuanya, bahwa ilmu itu sangat
penting dalam segala hal, ilmu pengetahuan dapat menjelaskan berbagai hal dan dapat
menambah pengetahuan seseorang karena ilmu adalah pelukisan fakta-fakta pengalaman
secara lengkap dan konsisten dalam istilah-istilah yang sesederhana mungkin,  pelukisan
secara lengkap dan konsisten itu melalui tahap pembentukan definisi, melakukan analisa,
melakukan pengklassifikasian dan melakukan pengujian.

DAFTAR PUSTAKA
https://raharja.ac.id/2020/11/19/ilmu-pengetahuan/
https://repository.usd.ac.id/7331/1/Artikel%20%28B-1%29.pdf
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/197007111994032-
SITI_NURBAYANI_K/MATERI_PERKULIAHAN/PLSBT/Modul_5.BBM.Lanjt.pdf
Supardan, Dadang. (2009). Pengantar Ilmu Sosial. Bandung. PT Bumi Aksara

Anda mungkin juga menyukai