MATA KULIAH:
Pengantar Ilmu Sosial
DOSEN PEMBIMBING :
Hendra Sulistiawan, M.Pd
DI SUSUN OLEH:
Fadia Rahmayanti (112110059)
Penulis
DAFTAR ISI
Bab I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………………….. iv
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………………………. iv
1.3 Tujuan …………………………………………………………………………...…… iv
Bab II PEMBAHASAN
2.1 Istilah Ilmu Pengetahuan…………………………………………………………
2.2 Metode Ilmiah …………………………………………………………………...
2.3 Langkah Metode Ilmiah………………………………………………………….
1.3. Tujuan Pengkajian
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas pengantar ilmu sosial yaitu
membuat makalah dan mengkaji definisi dan pengertian struktur dan peranan ilmu.
1.4. Pembatasan Masalah
Dalam makalah ini, saya membatasi permasalahan yang ada, karena saya hanya
menjelaskan pengertian serta definisi yang menurut saya penting secara garis besar, agar
mudah dimengerti oleh pembaca.
1.5. Manfaat
Adapun manfaat makalah ini adalah :
1.5.1. Menambah pengetahuan tentang pengertian ilmu pengetahuan,
1.5.2. Mempermudah seseorang memahami hakikat ilmu
1.5.3. Dapat Mengaplikasikan pentingnya ilmu dalam kehidupan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Ilmu
Mungkin tidak berlebihan jika seorang filsuf Oxsford University kontemporer Jerome
R Revert dalam karyanya The Philosophy of Science sampai saat ini mengakui bahwa ilmu
merupakan sebuah kisah sukses luar biasa. Ilmu telah begitu berjasa dalam membentuk dunia
yang kita huni sekarang dan sekaligus menentukan cara pandang kita tentang dunia ini.
Ironisnya, walaupun terminologi ilmu di lingkungan pendidikan, khususnya pendidikan
tinggi, hampir setiap waktu istilah tersebut diucapkan dan banyak diajarkan, serta begitu
familiar istilah itu dikalangan mahasiswa sebagai calon ilmuan, mungkin saja hanya sebagian
kecil dari mereka yang sudah memahami itu.
Di Indonesia, istilah ilmu pengetahan demikian terbiasa, padahal istilah tersebut dapat
dikatakan sebagai “pleonasme” (Thye Liang Gie, 1999: 85) suatu pemakaian kata yang lebih
dari yang diperlukan. Dalam bahasa inggris tidak ada istilah knowledge science. Cukup satu
di antaranya, “ilmu” itu ilmu, dan iika “pengetahuan” itu tetap pengetahuan, dan tidak pernah
ada kata majemuk yang dipadukan seperti itu. Selain itu, di Indonesia menurut The Liang Gie
(1999: 85-86) istilah ilmu atau science merupakan suatu perkataan yang bermakna jamak,
yaitu sebagai berikut:
1. Ilmu merupakan sebuah istilah umum untuk menunjuk pada segenap pengetahuan ilmiah
yang mengacu pada ilmu umum ( science in general)
2. Pengertian ilmu yang menunjuk pada satu bidang pengetahuan ilmiah tertentu, seperti ilmu
biologi, antropologi, sosiologi, geografi, sejarah, psikologi, geografi, ekonomi dan
sebagainya. Sebenarnya, ilmu yang pada pengertian kedua inilah yang lebih tepat digunakan
di lingkungan akademis.
Sebagaimana yang dikemukakan The Liang Gie (1999: 88-130) ilmu dipandang
sebagai kumpulan pengetahuan sistematis, metode penelitian, dan aktivitas penelitian.
1. Ilmu Sebagai Kumpulan Pengetahuan Sistematis
Pengertian ini lebih menekankan bahwa ilmu pengetahuan yang sistematis. Ilmu pengetahuan
(science) adalah pengetahuan (knowledge) yang tersusun sistematis dengan menggunakan
kekuatan pemikiran, pengetahuan selalu dapat diperiksa dan ditelaah dan kritis oleh setiap
orang lain yang ingin mengetahuinya. Menurut Johnstone, tidak semua pengetahuan itu
adalah ilmu sebab ilmu hanya terbata pada pengetahuan yang diperoleh secara sistematis. Ika
ditelaah lebih jauh, memang pernyataan tersebut memang benar karena untuk menadi ilmu
dari suatu pengetahuan itu tidaklah mudah harus melalui penataan yang tersusun secara
sistematis.
2. Ilmu Sebagai metode penelitian
Pengeertian ini menekankan penekanannya bahwa itu pada hakikatnya sebagai metode
penelitian. Pendapat ini dikemukakan oleh William J. Goode dan Paul K. Hatt. Pengertian
ilmu sebagai metode penelitian ilmiah tidak hanya dikemukakan oleh William J. Goode dan
Paul K. Hatt saja, tapi juga dikemukakan oleh Harrold H Titus yang mengemukakan bahwa
banyak orang telah menggunakan istilah ilmu untuk meyebut a method of obtaining
knowledge that is objective and verifiable. ‘suatu metode untuk memperoleh pengetahuan
yang objektif dan dapat diperiksa kebenarannya’.
3. Ilmu Sebagai Aktivitas Penelitian
Pengertian yang ketiga menekankan bahwa ilmu merupakan aktivitas penelitian. Proses
tersebut bertitik tolak kepada fakta-fakta keseharian dan berakhir pada suatu teori yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hal ini merupakan ciri yang terkandung dalam
penelitian ilmu pengetahuan sebagai suatu bentuk aktivitas, yaitu sebagai suatu kegiatan yang
dilakukan secara sadar oleh manusia. Sebab ilmu tidak sekadar merupakan aktivitas tunggal
saja, melainkan suatu rangkaian aktivitas sehingga merupakan suatu proses.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Bung Hatta sebagai salah seorang founding
father (Abdullah, 2006: 6-26) bahwa ilmu sosial sebagaimana hal nya dengan ilmu
pengetahuan yang lain, adalah satu ragam dimana memiliki peran tiga wajah ilmu sosial,
sebagai critical discourse, sebagai academic ebterprise, dan applied science/knowledge.
Pertama, sebagai critical discourse (wacana kritis) artinya pada kajian ini membahas tentang
apa adanya yang keabsahanya tergantung pada kesetiaan pada prasyarat sistem rasionalitas
yang kritis dan pada konvensi akademis yang berlaku.
Kedua, sebagai academic enterprise , memiliki pengertian “bagaimana mestinya”. Dalam
bahasa Taufik Abdullah ilmu sosial tampil sebagai tetangga dekat dengan ideologi, sebagai
sistematisasi strategis dari sistem nilai dan filsafat sebagai pandangan hidup (Abdullah,
2006:10-11), yang kenyataan nya sarat pada nilai.
Ketiga, sebagai applied science, artinya bahwa dalam ilmu sosial itu diperlukan untuk
mendapatkan atau mencapai hal-hal yang praktis dan berguna entah untuk mewujukan atau
mencapai hal-hal yang praktis dan berguna entah untuk mewujudkan sesuatu yang dicita-
citakan contohnya kemakmuran, maupun mengurangi atau meniadakan sesuatu yang tidak
diinginkan misalnya kemiskinan.
2.3. Pengertian Struktur Ilmu
Menurut pendapat Joseph J. Schwab struktur suatu disiplin ilmu adalah bentuk
konsepsi yang membatasi pokok masalah yang diselidiki dari suatu disiplin dan
pengawasan/pengendalian terhadap penelitiannya. Struktur suatu disiplin ilmu meliputi dua
bagian, yaitu substantive conceptual structure dan syntactical structure. substantive
conceptual structure ialah konsep-konsep yang menjadi kerangka berfikir atau frame of
reference dalam meneliti sesuatu. substantive conceptual structure akan menghubungkan dan
mengarahkan penelitian melalui serangkaian pertannyaan, contohnya data apa yang perlu
dicari? Eksperimen yang bagaimana yang diperlukan? Dan apa yang harus dilakukan?
Sedangkan konsepsi yang dimaksud dibentuk oleh ilmu itu sendiri meminjam dari disiplin
yang lain. Syntactical structure berhubungan dengan inquiry atau penelitian yang dilakukan
oleh displin itu. Syntactical structure menyangkut masalah-masalah, jalan mana yang harus di
tempuh dalam penelitian? Cara mengumpulkan data, cara menguji data, keriteria yang
dipakai dalam menetapkan kualitas data, ukuran untuk menentukan bahwa data yang
diperoleh relevan atau mungkin tidak relevan, penting atau kurang penting, jalan yang
ditempuh oleh disiplin itu sendiri, dari data mentah melalui interpretasi menuju pada
kesimpulan. Pendapat William J. Goode bahwa ilmu adalah sekumpulan pengetahuan
sistematis dan sekaligus sebagai metode pendekatan terhadap dunia empiris, ilmu merupakan
relasi yang rumit antara teori dan fakta. Pendapat Jacob Bronowski bahwa ilmu adalah
aktivitas menyusun fakta-fakta yang diketahui dalam kelompok-kelompok di bawah konsep-
konsep umum, dan konsep-konsep itu dinilai berdasarkan peryataan dari tindakan-tindakan
yang kita dasarkan padanya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa batang tubuh ilmu
(the body of knowledge) strukturnya mencangkup fakta, konsep, generalisasi, dan teori.
2.4. Pengertian dan Peranan Fakta
Menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary Of Current English, yang dimaksud
fakta adalah sebagai berikut.
1. Sesuatu yang digunakan untuk mengacu pada situasi tertentu atau khusus.
2. Kualitas atau sifat yang aktual (nyata) atau dibuat atas dasar fakta-fakta. Kenyataan-
kenyataan fisik atau pengalaman praktis sebagaimana dibedakan dengan imajinasi, Sesuatu
hal yang dikenal sebagai yang benar-benar ada dan terjadi, terutama yang spekulasi, atau
teori.
3. Dapat dibuktikan oleh evidensi (bukti) yang benar atau dinyatakan benar-benar terjadi.
4. Hal yang terjadi dapat dibuktikan oleh hal-hal yang benar, bukan oleh berbagai hal yang
telah ditemukan.
5. Sesuatu penegasan, pernyataan, atau informasi yang berisi atau berarti mengandung sesuatu
memiliki kenyataan objektif, dalam arti luas adalah sesuatu yang ditampilkan dengan benar
atau salah karena memiliki raelitas objektif.
Ternyata tidak semua pertanyaan di atas relevan dengan pembahasan kita sekarang
ini, oleh karena itu harus kita seleksi. Suatu hal yang menarik dari peryataan di atas bahwa
fakta itu sifatnya khusus ataupun terbatas, tidak bersifat general atau umum yang tidak
terbatas. Selain itu, menunjukkan suatu sifat yang nyata, yang ditampilkan dengan benar-
benar ada, terjadi karena memiliki raelitas objektif. Dengan demikian, hal itu sangat sesuai
denagn peryataan Bachtiar. Bahwa fakta merupakan abstraksi dari kenyataan yang diamati,
yang sifatnya terbatas dan dapat diuji kebenarannya secara empiris. Fakta pun
merupakan building blocks yang digunakan untuk mengembangkan konsep.
Menurut Helius Sjamsuddin bahwa fakta umumnya erat hubunganya dengan jawaban
atas apa, siapa, kapan, di mana, dan juga berupa benda-benda (things) yang benar-benar ada
atau peristiwa apa yang pernah terjadi pada masa lalu. Fakta harus dirumuskan atas dasar
sistem kerangka berpikir tertentu. Fenomena yang sma akan menghasilkan fakta yang
berbeda, apabila kerengka berfikir yang dipergunakan berbeda. Fakta harus merupakan
rumusan yang tajam, tertentu, tidak mengandung pertanyaan dan memiliki bukti sendiri. Dan
menurut James A. Banks, fakta adalah kejadian berbagai hal atau peristiwa tertentu yang
pada gilirannya menjadi data mentah atau pengamatan dari ahli ilmuan-ilmuan sosial.
Sebagai contoh, menurut Carr para sejarawan memperoleh fakta-fakta itu dari
dokumen, inskripsi, dan ilmu-ilmu bantu sejarah lainnya, seperti arkeologi, epigrafi,
numismatik, dan kronologi. Di sinilah para sejarawan harus pandai menyeleksi terhadap apa
yang dijadikan fakta tersebut. Selanjutnya, dengan mengutip pendapat Pirandello
menganagolikan bahwa fakta ibarat karung goni baru dapat berdiri tegak setelah diisi sesuatu
di dalamnya. Jadi, jika terdapat ungkapan fakta berbicara untuk dirinya sendiri. Hal itu saja
tidak benar. Karena bagaimanapun keberadaan fakta itu, kehadirannya atas kehendak
sejarawan yang memilihnya dan menganggap rekevan dengan kebutuhan penelitian.
Lomas menyatakan, Seseorang tidak bisa lepas dari arti ide dalam sejarah. Sejarah
untuk menjadi penuh arti, tergantung pada seleksi dan hal ini pada gilirannya tergantung pada
penetapan signifikansi kriteria untuk memilih yang lebih relevan dan untuk menolak yan
kurang relevan. Dengan demikian, sejarawanlah yang lebih menentukan untuk berbicara
dengan alasan-alasan tertentu untuk menjadikan suatu cerita sejarah, tentang seorang tokoh,
peristiwa, benar tidaknya berbuat sesuatu,atas fakta-fakta yang ia seleksi sendiri. Namun,
tidak berarti sejarawan itu menjadi diktator dan mengabaikan prinsip-prinsip kebenaran.
Sebab kesadaran tentang lukisan masa lalu itu bukanlah merupakan wacana (discourse)
intelektual yang bebas, tetapi dalam keterbatasan faktual yang partikular itu pun dapat
mengembangkan kebebasan apresiasi dan kreativitas sejarah kritis, reflektif, dan inspiratif.
Bukan keterangan sejarah (historical explanation) yang idoelogis tanpa pertanggung jawaban
yang rasional. Sebaliknya, yang ingin kita usahakan adalah sejarah sebagai ilmu pengetahuan
yang selalu relevan dengan perkembangan zaman apa pun. Begitu pun dalam penjelasan
sejarah, sejarawan dan guru sejarah tidaklah terbatas dari isi sumber-sumber dan fakta sejarah
yang harus disampaikan. Sebab bagaimanapun seharusnya kebenaran faktual tetap lebih
ditentukan oleh kejujuran sejarawan, dan kebenaran faktual mengisyaratkan kebenaran
teoristis.
Hubungan sejarawan maupun ahli-ahli ilmu sosial dengan fakta hakikatnya setaraf,
atau menurut istilah Carr ibarat memberi dan menerima, keduanya saling membutukan.
Mengingat fakta itu pun memerlukan suatu penafsiran yang lebih lanjut oleh sejarawan
maupun ilmu-ilmu sosial lainnya. Sejarawan dan ahli ilmu sosial lainnya perlu
mengembangkan dan menyuarakan fakta agar dapat bercerita dalam koridor yang memiliki
raelitas objektif, namun tidak kaku, tidak mati, dan tetap ada artinya. Demikian juga
sejarawan maupun ahli ilmu sosial lainnya, jika tidak ada fakta maka karyanya tidak
berguna, tidak berakar dan sia-sia.
Fakta memang ibarat sebuah simbol, begitu menurut Carl L. Becker dalam Everyman
His Own Histirian maupun F.W. Dillistone dalam The Power Symbols. Sebuah fakta yang
sederhana dapat berubah menjadi fakta yang sangat penting dan berkekuatan besar karena
jaringan-jaringan yang terbentuk memiliki kaitan yang lebih jauh dan lebih besar lagi. Dalam
perspektif politik, siapa yang mengira karena absennya kebebasan, pada pukul 9 pagi tanggal
21 Mei 1998 akan terjadi lengsernya Jenderal Soeharto sebagai presiden Indonesia? Siapa
yang mengira karena absennya kebebasan, Jenderal Soeharto yang baru saja dipilih secara
bulat oleh MPR dua bulan sebelumnya, dapat berakhir dengan begitu cepat dalam peristiwa
yang spektakuler? Hampir semua orang terjebak dan merasa serta tidak percaya dengan
keputusan itu, mengingat sebagai “sultan di jawa tradisional” ia telah mengkonsolidasikan
semua kekuasaan di tangannya dengan menempatkan loyalisnya pada posisi kunci di institusi
politik, militer, dan birokrasi untuk menyokong kekuasaannya. Tentu saja mayoritas rakyat
indonesia bergembira atas lengsernya sang presiden, sekalipun pernah menorehkan prestasi
yang gemilang. Akan tetapi, pada akhirnya prestasi itu tersapu oleh ketamakan dan
kekacauan ekonomi politik.
2.5. Pengertian dan Peranan Konsep
Istilah konsep yang berkembang di masyarakat awam hampir selalu dikaitan dengan
rancangan atau sesuatu yang belum selesai. Pemahaman yang demikian sebenarnya terlalu
sederhana dan menyimpang karena pengertian konsep begitu luas dan bukan mengenai
sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas yang belum maupun sudah selesai.
Istilah konsep mengacu sebagai abstraksi yang bersifat konotatif maupun denotatif. Dengan
demikian, ruang lingkup konsep bisa bersifatabstrak maupun konkret ataupun riil. Sebut saja
gunung, danau, kursi, meja, pohon, mobil, kambing, ketimun, garam, dan sebagainya,
semuahnyaitu konsep. Di dunia ini baik itu yang konkret maupun abstrak, seperti agama,
kebaikan, pandai, merah, fantasi, kemenakan, gas, dan mertua, itu adalah konsep-konsep
yang tak terhingga jumlahnya. Jadi, kalau begitu apa konsep itu ?
Menurut Schwab (1969 : 12-14), konsep merupakan abstraksi, suatukonstruksi logis
yang terbentuk dari kesan, tanggapan, dan pengalaman-pengalaman kompleks. Pendapat
Schwab tersebut sejalan dengan James A. Banks (1977: 85) bahwa A concept is an abstract
word or phrase that is useful for classifiying or categorizing a group of things, ideas, or
events. ‘Suatu konsep adalah suatu kata abstrak atau frase yang bermanfaat untuk
mengklasifikasikan atau menggolongkan suatu kelompk berbagai hal, gagasan, atau
peristiwa’. Dengan demikian, pengertian konsep menujukan pada suatu abstraksi,
penggambaran dari suatu yang konkret maupun abstrak (tampak maupun tidak tampak) dapat
berbentuk pengertian atau definisi ataupun gambaran mental, atribut esensial dari suatu kata
gori yang memiliki ciri-ciri esensial relatif sama.
Sebagai contoh, gunung. Jika dilihat dari jenis, ketinggian, dan bentuknya gunung itu
sangat beragam. Gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat akan jauh lebih kecil dan pendek
jika dibandingkan dengan G. Jayawijaya di Papua maupun G. kerinci di perbatasan Provinsi
Jambi dan Sumatra Barat.
Dengan demikian, berbeda dengan fakta yang menekankan kekhususan, sedangkan
konsep memiliki ciri-ciri umum (common characteristics) yang sudah tentu konsepnya lebih
luas dari pada fakta. Menurut Jack R. Fraenkel dalam Jelping Students Think and Value
Strategies for Teaching the Social Studies, dikatakan bahwa sebenarnya konsep-konsep itu
dalam kenyataannya tidak ada. Konsep itu berada dalam ide atau pikiran manusia. Semua
realitas yang berada di sekeliling kita memasuki atau menyentuh indra-indra manusia sebagai
informasi dari berbagai pengalaman. Kemudian, masukan-masukan indra (sensory infut)
tersebut diatur dan disusun dengan mengenakan simbol-simbol (label kata-kata) berdasarkan
persamaan-persamaan esensial tersebut (Fraenkel, 1980 : 58).
Mengklarifikasi jenis-jenis konsep atas 6 macam.
1. Konsep kanjungtif, yaitu konsep yang berfungsi untuk menghubungkan (Connective) dari
keberadaan dua atau lebih atribut yang semuanya harus ada (Fraenkel, 1980 : 58) Contohnya,
konsep anak berarti ia adalah indivindu yang masih kecil dan masih belum dewasa.
Sebaliknya, konsep Ibu maupun ayah mencerminkan orang dewasa yang sudah cukup tua
untuk memiliki anak.
2. Konsep disjungtif, mencerminkan adanya alternatif-alternatif yang beragam. Contohnya,
konsep olahraga bentuk dan jenisnya dapat berupa permainan sepak bola, tenis meja, lempar
lembing, maraton, dan sebagainya.
3. Konsep relasional, yang memiliki arti mengandung suatu hubungan khusus antara dua
atribut maupun lebih yang dinyatakan secara eksplisit dengan bilangan tertentu. Contohnya,
konsep kecepatan mobil dihubungkan dengan rata-rata per kilo meter per jam. Konsep isi
dihubungkan dengan meter kubik. Konsep luas dihubungkan dengan berapa meter persegi.
4. Konsep deskriptif, adalah konsep yang menuntut jawaban tentang gambaran suatu benda.
Konsep deskriptif ini pun menuntut pemahaman karakteristik ataupun ciri-ciri esensial yang
sama dalam mengemukakan pendapat. Contohnya, apa itu kursi? Apa itu Presiden ? dan
sebagainya.
5. Konsep valuatif yaitu konsep yang berhubungan denga pertimbangan baik ataupun buruk,
salah satupun benar, cantik ataupun jelek rupa, dan sebagainya.
6. Konsep campuran antara deskriptif dan konsep valuatif, yaitu suatu konsep yang tidak
hanya memberikan penjelasan tentang suatu karakteristik yang diniliki oleh benda tersebut,
tetapi juga sekaligus memberikan sikap ataupun penilaian terhadap pernyataan tersebut.
Menurut Fraenkel (1980 :59), konsep ini merupakan yang paling banyak ditemui. Contohnya
pembunuhan sadis, pemerintah otoriter, kolonialisme, imperialisme, sadisme, dan sebagainya.
Timbul pertanyaan, sebenarnya kita belajar mengenal konsep-konsep itu untuk apa ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut Fraenkel telah mengidentifikasi kegunaan konsep bagi
kehidupan manusia.
1. Konsep itu berguna untuk melakukan efisien dan efektivitas bagi manusia, hal itu dapat kita
pahami karena informasi-informasi itu kian terus bertambah banyak dan semuanya harus
diindentifikasi dalam simbol-simbol yang dapat disepakati. Caranya adalah dengan
merumuskannya dalam konsep-konsep yang mereduksi informasi-informasi tersebut menurut
proposi-proposi yang dapat ditangani (Sjamsuddin, 1996 :15). Konsep mencakup kelas dari
objek, peristiwa, individu, atau ide. Kemudian konsep-konsep itu diterima melaluli indra kjita
dan disusun serta diserhanakan berdasarkan persamaan karakteristiknya, namun belum begitu
rinci ( Fraenkel, 1980 : 64-64 )
2. Melalui konsep itu pun adanya klasifikasi atas beberapa individu, karakteristik yang serupa
kemudian diindentifikasi dan dicari perbedaan-perbedaannya. Sehingga dalam klasifikasi
(kategorisasi) tersebut begitu tampak persamaan dan perbedaanya. Contohnya, gunung :
walaupun dari sekian gunung itu berbeda-beda, tetapi gunung memiliki ciri-ciri yang sama,
memiliki ketinggian sampai ribuan meter dari permukaan air laut. Contoh lainya unggas,
bervariasi dari jenis ayam, bebek, angsa, sampai kepada jenis burung. Semuanya itu harus
benar-benar teridenfikasi secara teliti, jangan samapai terjadi miskonsep yang dapat
menimbulkan persepsi yang keliru dan fatal.
3. konsep dapat berfungsi untuk mereduksi keperluan yang sering dikatakan berulang-ulang
terhadap sesuatu kajian yang serupa dan sudah diketahui (Fraenkel, 1980 : 65). Sebagai
contoh jika kita telah mengetahui binatang itu burung maka burung pun terbagi-bagi dalam
beberapa jenis, seperti burung gelatik, manyar, beo, pipit, gagak, perkutut, kutilang, kakatua,
kepodang, samurai, cendrawasih, elang, sampai burung hantu.
4. konsep dapat berfungsi memudahkan kita untuk memecahkan masalah. Dengan
menempatkan objek, indivindu, peristiwa, ataupun ide ke dalam kategori yang benar kita
dapat memperoleh beberapa wawasan bagaimana menangani sesuatu masalah tertentu yang
dihadapi (Fraenkel, 1980 : 65). Sebagai contoh, seseorang yang mengetahui bahwa ular
pohon yang berwarna hijau itu beracun dan sangat berbahaya maka ia akan hati-hati jika ia
memanjat pohon yang hijau dan sering dijadikan tempat persembunyian ular pohon tersebut.
5. Konsep juga berguna untuk menjelaskan (eksplanasi) sesuatu yang dianggap rumit ataupun
memerlukan keterangan yang cukup panjang dan rinci. Banyak konsep-konsep yang kita
ketahui sekarang diperoleh melalui proses pembelajaran ataupun pengenalan dari konsep-
konsep sebelumnya yang dianggap baru. Dengan demikian, konsep bisa dijakdikan tempat
persembunyian ular pohon tersebut.
6. Konsep berguna untuk mengonseptualisasikan sesuatu secara cermat cermat melalui
sembol-simbol. Itulah kelebihan insan manusia sebagai makluk yang suka berfikir (homo
sapiens). Tidak ada filsuf modern yang telah menjadikan simbol lebih sentral dalam
pengembangan penafsiran tentang realitas, selain Ernest Cassirer yang teruang dalam
karyanya The Philosophy of Simbolic karena manusia makluk yang suka menggunakan
simbol-simbol (Cassirer : 1951). Sedikit berbeda dengan sejarawan Belanda Johan Huizinga
dimana manusia sering disebut homo luden atau makluk yang suka bermain.
7. Sesuatu konsep pun mengandung konotasi negatif dinamakan stereotip (Fraenkel, 1980 :
66-68). Konsep sterreotip ini demikian melakat pada diri setiap etnis maupun individu, hanya
kadar atau derajatnyalah yang membedakannya. Walter Lippman seorang wartawan senior
Amerika Serikat. Samapai sekarang ini dianggap sebagai orang pertama yang merumuskan
stereotip dan membahasnya secara ilmiah dalam buku Public Opinion (1922). Menurut
Lippman (1922 : 1), sereotip adalah gambaran di kepala yang merupakan rekonstruksi dari
keadaan lingkungan untuk menggambarkan keadaan sebenarnya, dan sereotip berfungsi
sebagai cara penyederhanaan untuk memberikan gambaran itu. Akan tetapi, sekarang ini
stereotip didefinisikan sebagai informasi yang salah sebagai lawan dari sosiotip yang ilmiah
(Hayakawa, 1950 : 209). Di Indonesia pun sering kita dengar ungkapan-ungkapan yang
bernada stereotip. Contohnya, jawa koek, Cina licik, Padang bengkok, Orang Tasik si tukang
kredit, Dasar Batak si tukang copet, Irian si hitam legam, dan sebagainya. Bahkan di
kalangan orang Barat pun setereotip dan etnosentrisme pernah hidup dan berkembang.
8. konsep berguna sebagai mata rantai penghubung ataupun katalisator antara disiplin ilmu,
baik itu yang sifatnya interdisipliner, multidisipliner, maupun lintas disipliner. Sebagai
contoh, konsep kerja sama bukan saja ditemukan dalam bidang sosial (sosiologi), tetapi juga
budaya (antropologi), kemudian ekonomi (terdapat koprasi), maupun psikologi terutama
dalam kajian empati dan solidaritas. Dalam bidang politik, konsep kerja sama tersebut akan
tampak pada kajian integrasi bangsa yang dibangun oleh solidaritas dan kesetiakawanan.
3.2. Saran
Dari uraian diatas saya menyarankan kepada semuanya, bahwa ilmu itu sangat
penting dalam segala hal, ilmu pengetahuan dapat menjelaskan berbagai hal dan dapat
menambah pengetahuan seseorang karena ilmu adalah pelukisan fakta-fakta pengalaman
secara lengkap dan konsisten dalam istilah-istilah yang sesederhana mungkin, pelukisan
secara lengkap dan konsisten itu melalui tahap pembentukan definisi, melakukan analisa,
melakukan pengklassifikasian dan melakukan pengujian.
DAFTAR PUSTAKA
https://raharja.ac.id/2020/11/19/ilmu-pengetahuan/
https://repository.usd.ac.id/7331/1/Artikel%20%28B-1%29.pdf
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/197007111994032-
SITI_NURBAYANI_K/MATERI_PERKULIAHAN/PLSBT/Modul_5.BBM.Lanjt.pdf
Supardan, Dadang. (2009). Pengantar Ilmu Sosial. Bandung. PT Bumi Aksara