Nama Kelompok:
MUKARROMI AFANDI
ANAS FIRMANSYAH
ZEINY YAN ABDUH
Halaman Sampul
Daftar Isi ........................................................................................................... 2
Bab I Pendahuluan ............................................................................................ 3
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah........................................................................... 4
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................... 4
Bab II Penalaran Ilmiah .................................................................................... 5
2.1 Pengertian Penalaran Ilmiah ......................................................... 5
2.2 Tujuan Penalaran Ilmiah ............................................................... 9
2.3 Penalaran Deduktif ........................................................................ 9
2.4 Penalaran Induktif...............................................................................11
2.5 Kesalahan Penalaran............................................................................13
2.6 Jenis-jenis Salah Nalar........................................................................14
Bab III Penutup......................................................................................................16
3.1 Kesimpulan...........................................................................................16
3.2 Saran......................................................................................................16
Daftar Pustaka........................................................................................................17
2
BAB I
PENDAHULUA
4
BAB II
PENALARAN ILMIAH
6
benar. Masih ada unsur subyektivitas dalam pengetahuan. Jika pengetahuan yang salah
digunakan dalam berpikir maka hasil berpikirnya juga pasti salah.
Contoh: bintang berbentuk segilima adalah pengetahuan yang salah bagi orang
yang telah belajar ilmu astronomi, namun menjadi pengetahuan yang benar bagi kanak-
kanak yang belum bersekolah. Benar-salah pengetahuan ditentukan berdasarkan ilmu,
bukan anggapan pribadi.
Ilmu atau ilmu pengetahuan (science) adalah segala pengetahuan yang diperoleh
dengan cara yang sistematis melalui metode tertentu oleh orang berilmu (ahli) yang kita
yakini benar. Dan karena hanya diyakini benar (dengan alasan tertentu), maka suatu ilmu
belum tentu kebenaran yang sejati. Ilmu pun bisa saja salah, bisa juga benar. Kebenaran
ilmu pengetahuan bisa memiliki banyak ragam yang masing-masing mendaku dirinyalah
kebenaran sejati (yang lain bukan).
Sangat banyak pengetahuan yang bisa digolongkan sebagai ilmu. Namun ilmu
belum bisa sepenuhnya menghilangkan pengaruh subyektivitas dan bias (kepentingan,
opini, pilihan, dsb). Misalnya dalam ilmu sosial, ilmu politik, ilmu seni, ilmu agama,
ilmu ekonomi, dan yang sejenis; biasanya memiliki banyak “versi” atau “aliran” dalam
hal tertentu yang masing-masing mendaku kebenaran, minimal “lebih benar” dari yang
lain. Walaupun tidak semua bagian dalam ilmu-ilmu tersebut subyektif, tapi juga tidak
bisa dibilang seluruhnya obyektif.
Contoh: Si A baru saja belajar ilmu agama X dari ahli agama X, meyakini dengan
seyakin-yakinnya bahwa agama X adalah agama yang paling benar. Namun si B yang
telah lama belajar ilmu agama Y dari ahli agama Y, meyakini dengan seyakin-yakinnya
bahwa agama Y adalah agama yang paling benar. Keduanya merasa sebagai pihak yang
(paling) benar.
Sains atau ilmu [pengetahuan] alam (natural science) adalah segala ilmu
pengetahuan tentang alam semesta yang diperoleh melalui penelitian ilmiah berdasarkan
metode ilmiah oleh ahli sains (ilmuwan) yang terbukti benar. Dan karena terbukti benar
secara ilmiah, maka sains diakui sebagai kebenaran [ilmiah] oleh siapa pun. Kebenaran
ilmiah pun bukan kebenaran sejati karena kebenaran ilmiah bersifat relatif dan dinamis,
yaitu hanya diakui benar selama belum ada bukti ilmiah lain yang menyalahkan.
Kebenaran sains juga bersifat obyektif dan universal, yaitu bisa diterima (dan
dibuktikan) oleh seluruh manusia dan berlaku sama di seluruh alam semesta.
Contoh: Ilmuwan John Dalton melalui penelitiannya pada tahun 1803
membuktikan bahwa atom adalah unsur terkecil dari materi yang tidak dapat dibagi lagi.
7
Kemudian ilmuwan J.J. Thomson melalui penelitiannya pada tahun 1897 membuktikan
adanya elektron yang bermuatan negatif dalam atom. Atom model Thomson
digambarkan seperti bola pejal dengan elektron yang “menempel” pada bola atom,
seperti roti kismis. Kebenaran model atom Dalton pun gugur. Demikian seterusnya
hingga ilmuwan modern menemukan struktur atom kuantum yang terdiri dari inti proton
dan neutron serta elektron yang mengorbit intinya, dimana proton dan neutron disusun
oleh quark.
Definisi atau pengertian, adalah penjelasan berupa ciri atau batasan pada suatu
obyek sehingga mengantarkan pikiran seseorang hanya kepada obyek tersebut saja,
bukan pada obyek yang lain.
Entitas, adalah sesuatu yang berada atau berwujud yang menunjukkan sesuatu
tersebut sebagai sebuah obyek, biasanya berdasarkan definisi obyek.
Identitas, adalah sesuatu yang unik/khas yang dimiliki sebuah obyek yang bisa
membedakan obyek tersebut dari obyek lain dalam entitas yang sama.
Himpunan, adalah kumpulan obyek-obyek berdasarkan ciri atau batasan yang
sama sehingga membedakan dari kumpulan obyek-obyek yang lain.
Jenjang atau hirarki, adalah tingkatan obyek berdasarkan ciri atau batasan yang
sama sehingga membedakan dari obyek lain di tingkatan yang berbeda.
dan lain sebagainya.
8
Dari penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa berpikir yang benar adalah
berpikir yang berlandaskan ilmu yang benar dengan logika yang benar. Keduanya harus
terpenuhi. Berpikir tanpa ilmu yang benar walaupun logikanya benar, hasilnya salah.
Demikian juga berpikir dengan ilmu yang benar tapi logikanya salah, hasilnya juga salah.
Contoh A:
Premis 1: Fulan adalah seorang kakek.
Premis 2: Fulan adalah orang yang gundul.
Kesimpulan: Kakek adalah orang yang kepalanya gundul.
Contoh di atas memiliki premis dengan pengetahuan yang benar karena faktanya
memang Fulan adalah seorang kakek dan kepalanya gundul. Logika penarikan
kesimpulannya pun benar. Tapi kesimpulan yang diambil salah karena tidak sesuai
dengan definisi ‘kakek’, walaupun faktanya benar. Ini contoh berpikir yang salah
walaupun bangun logikanya benar.
Contoh B:
Premis 1: Kakek adalah seorang yang punya cucu.
Premis 2: Anu adalah cucu Fulan.
Kesimpulan: Fulan adalah seorang kakek.
Contoh di atas memiliki premis 1 berisi definisi yang benar dan premis 2 berisi
pengetahuan tentang hubungan keluarga antara Anu dan Fulan (yang dianggap benar).
Logika penarikan kesimpulannya pun benar. Secara berpikir yang benar, contoh di atas
sah (valid). Tapi contoh ini belum tentu benar jika kita berpikir secara ilmiah.
Berpikir ilmiah tidak cukup hanya berpikir dengan benar. Berpikir ilmiah harus
diikuti bukti ilmiah. Berpikir ilmiah mewajibkan setiap elemen dalam bangun logika
disertai dengan bukti pendukung. Misalnya dalam contoh B di atas, premis 1 harus
disertai bukti bahwa definisi ‘kakek adalah seorang yang punya cucu’ adalah benar,
misalnya dengan menunjukkan referensi KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Premis
2 harus disertai bukti bahwa si Anu adalah benar-benar cucu si Fulan, misalnya dengan
menunjukkan Kartu Keluarga. Jika premis 1 dan 2 telah disertai bukti yang sah maka
kesimpulannya bisa diterima benar dan sah secara ilmiah.
9
2.2 Tujuan Penalaran Ilmiah
Tujuan dari penalran adalah untuk menentukan secara logis atau objektif, apakah
yang kita lakukan itu benar atau tidak sehingga dapat dilaksanakan.
10
memungkinkan kesimpulan yang diperoleh menjadi lebih luas dari premis awalnya,
sehingga ilmu pengetahuan menjadi sulit berkembang jika hanya mengandalkan cara
berpikir ini. Selain itu, pada logika deduktif, kebenaran premis tidak dapat diuji, hanya
kebenaran bentuk atau pola penalarannya saja yang dapat diuji (Mustofa, 2016).
11
Dalam silogisme hipotesis berlaku hukum, jika antecedens, keputusan
kondisional yang mengandung syarat, benar dan hubungannya saah, maka kesimpulan
akan benar pula. Namun, jika kesimpulan salah (dan hubungannya sah) maka
antecedens salah pula (Soedomo, 2006).
Silogisme dalam komunikasi sehari-hari
Dalam komunikasi sehari-hari banyak terjadi penyimpangan karena unsur
proposisinya hiper lengkap, lebih dari tiga. Di samping itu banyak silogisme yang
menyimpang karena unsur proposisinya tidak lengkap dan ada juga silogisme yang
premisnya lebih dari dua proposisi bahkan lebih. Dalam makalah ini hanya dijelaskan
bentuk silogisme yang sering terjadi dikalangan kita yaitu Entimema (enthymeme).
Entimema adalah penalaran yang tidak semua unsur proposisinya dinyatakan
secara eksplisit. Karena silogisme terdiri dari tiga proposisi; mayor, minor dan
konklusi, maka bentuk entimema ada empat, yaitu entimema tanpa mayor, entimema
tanpa minor, entimema tanpa konklusi, dan entimema tanpa konklusi dan mayor atau
minor (Soekadijo, 2001). Contoh entimema tanpa mayor adalah: “Tentu saja saya
dapat khilaf, saya kan manusia biasa!”
13
2.5 Kesalahan Penalaran
Penalaran adalah suatu proses berpikir manusia untuk menghubung-hubungkan
data atau fakta yang ada sehingga sampai pada suatu kesimpulan. Salah nalar dapat terjadi
di dalam proses berpikir untuk mengambil keputusan. Hal ini terjadi karena ada kesalahan
pada cara penarikan kesimpulan. Salah nalar lebih dari kesalahan karena gagasan, struktur
kalimat, dan karena dorongan emosi. Salah nalar ada dua macam:
1. Salah nalar induktif, berupa :
a. kesalahan karena generalisasi yang terlalu luas,
b. kesalahan penilaian hubungan sebab-akibat,
c. kesalahan analogi.
2. Kesalahan deduktif dapat disebabkan :
a. kesalahan karena premis mayor tidak dibatasi;
b. kesalahan karena adanya term keempat;
c. kesalahan karena kesimpulan terlalu luas/tidak dibatasi; dan
d. kesalahan karena adanya 2 premis negatif.
Fakta atau data yang akan dinalar itu boleh benar dan boleh tidak benar.
Pengertian dan contoh salah nalar diantaranya berupa gagasan, pikiran, kepercayaan, dan
simpulan yang salah, keliru, atau cacat. Dalam ucapan atau tulisan kerap kali kita dapati
pernyataan yang mengandung kesalahan. Ada kesalahan yang terjadi secara tak sadar
karena kelelahan atau kondisi mental yang kurang menyenangkan, seperti salah ucap atau
salah tulis misalnya.
Ada pula kesalahan yang terjadi karena ketidaktahuan, disamping kesalahan yang
sengaja dibuat untuk tujuan tertentu. Kesalahan yang kita persoalkan disini adalah
kesalahan yang berhubungan dengan proses penalaran yang kita sebut salah nalar.
Pembahasan ini akan mencakup dua jenis kesalahan menurut penyebab utamanya, yaitu
kesalahan karena bahasa yang merupakan kesalahan informal dan karena materi dan
proses penalarannya yang merupan kesalahan formal. Gagasan, pikiran, kepercayaan atau
simpulan yang salah, keliru, atau cacat disebut sebagai salah nalar.
Berikut ini salah nalar yang berhubungan dengan induktif, yaitu :
1. Generelisasi terlalu luas
Contoh : perekonomian Indonesia sangat berkembang
2. Analogi yang salah
14
Contoh : ibu Yuni, seorang penjual batik, yang dapat menjualnya dengan
harga terjangkau. Oleh sebab itu, ibu Lola seorang penjual batik, tentu dapat
menjualya dengan harga terjangkau.
15
Salah nalar ini dapat terjadi bila orang menganalogikan sesuatu dengan yang lain
dengan anggapan persamaan salah satu segi akan memberikan kepastian persamaan
pada segi yang lain.
Contoh:
Anto walaupun lulusan Akademi Amanah tidak dapat mengerjakan tugasnya dengan
baik.
F. Argumentasi Bidik Orang
Salah nalar jenis ini disebabkan oleh sikap menghubungkan sifat seseorang dengan
tugas yang diembannya.
Contoh:
Program keluarga berencana tidak dapat berjalan di desa kami karena petugas
penyuluhannya memiliki enam orang anak.
16
BAB III
PENUTU
P
3.1 Kesimpulan
Berpikir yang ilmiah adalah berpikir yang berlandaskan ilmu yang benar dengan
logika yang benar. Keduanya harus terpenuhi. Berpikir tanpa ilmu yang benar walaupun
logikanya benar, hasilnya salah. Demikian juga berpikir dengan ilmu yang benar tapi
logikanya salah, hasilnya juga salah. Penalaran induktif merupakan penyimpulan dari
pernyataan khusus atau berbagai kasus yang individual ke bentuk umum, penalaran
deduktif merupakan lawan dari penalaran induktif, penyimpulan dari pernyataan umum
ke khusus. Sedangkan abduktif merupakan penyimpulan dari suatu kasus tertentu. Ketiga
penalaran tersebut bisa kita gunakan dalam kehidupan seharihari terutama ketika
dihadapkan dengan realitas kehidupan yang semakin variatif. Selain itu, kita juga bisa
menggunakannya sebagai alat untuk menggali ilmu pengetahuan, sehingga
perkembangan ilmu pengetahuan di masa mendatang akan semakin dinamis.
3.1 Saran
Penalaran ilmiah sangat dibutuhkan dalam metode penulisan ilmiah, terutama bagi
para akademisi. Menerapkan proses berpikir dan bernalar ilmiah dalam kehidupan sehari-
hari mendorong akademisi untuk selalu bersikap kritis dan melakukan sesuatu
berdasarkan data dan fakta.
17
DAFTAR PUSTAKA
Hadi, A. Soedomo, Logika Filsafat Berfikir, Surakarta: LPP UNS dan UPT Penerbitan dan
Percetakan UNS PRESSSuriasumantri, JS. 2001. Ilmu dalam perspektif. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Jammer, Max (1999), Einstern and Religion : Physics and Theology, New jersey : Princeton
University, Press
Soekadijo, R. G., Logika Dasar, Tradisional, Simbolik dan Induktif, Jakarta: Gramedia
Pustaka
Supriasumantri, JS. 2001. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
Redja, Mudyahardjo, (2001), Filsafat ILmu Pendidikan : Suatu Pengantar, Bandung : Rosd
18