Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH BAHASA INDONESIA

“Mempelajari Proses penalaran ilmiah


Secara memadai (Penalaran Induktif,
Deduktif dan Salah Nalar”

Dosen Pengampu : Sholeh

Nama Kelompok:
MUKARROMI AFANDI
ANAS FIRMANSYAH
ZEINY YAN ABDUH

PROGRAM STUDI MENEJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
MIFTAHUL ULUM
LUMAJANG
2023
DAFTAR ISI

Halaman Sampul
Daftar Isi ........................................................................................................... 2
Bab I Pendahuluan ............................................................................................ 3
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 3
1.2 Rumusan Masalah........................................................................... 4
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................... 4
Bab II Penalaran Ilmiah .................................................................................... 5
2.1 Pengertian Penalaran Ilmiah ......................................................... 5
2.2 Tujuan Penalaran Ilmiah ............................................................... 9
2.3 Penalaran Deduktif ........................................................................ 9
2.4 Penalaran Induktif...............................................................................11
2.5 Kesalahan Penalaran............................................................................13
2.6 Jenis-jenis Salah Nalar........................................................................14
Bab III Penutup......................................................................................................16
3.1 Kesimpulan...........................................................................................16
3.2 Saran......................................................................................................16
Daftar Pustaka........................................................................................................17

2
BAB I

PENDAHULUA

1.1. Latar Belakang


Ilmu pengetahuan dan teknologi selalu berkembang dan mengalami kemajuan,
sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan cara berpikir manusia.
Pencarian pengetahuan yang benar harus berlangsung menurut prosedur atau kaidah
hukum, yaitu berdasarkan pikiran.
Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini
merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu
yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia
berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian, pembentukan pendapat, dan
kesimpulan atau keputusan dari sesuatu yang dikehendaki (Achmadi, 2001). Menurut
Himsworth (1997), manusia adalah makhluk yang berpikir. Setiap saat dari hidupnya,
sejak dia lahir sampai masuk liang lahat, dia tak pernah berhenti berpikir. Hampir tak
ada masalah yang menyangkut dengan perikehidupan yang terlepas dari jangkauan
pikirannya, dari soal paling remeh sampai soal paling asasi (Hardiman, 2004).
Sedemikian pentingnya kemampuan berpikir bagi manusia, seorang filsuf dan
ilmuwan terkenal dari Perancis bernama René Descartes pernah berkata, “cogito ergo
sum” yang artinya “aku berpikir, maka aku ada”. Bagi manusia, berpikir juga
menunjukkan keberadaan (existence), bukan sekadar kebenaran (truth). Jika seorang
manusia tidak lagi mampu berpikir, sejatinya dia sebagai manusia telah tidak ada, atau
dianggap tidak ada, walaupun secara fisik masih ada. Namun, berpikir saja tidak
cukup. Berpikir juga membutuhkan ilmu agar proses dan hasil berpikirnya benar.
Berpikir ilmiah adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan,
memutuskan, mengembangkan dan sebagainya (Jammer, 1999). Pada dasarnya setiap
objek yang ada di dunia pastilah menuntut metode tertentu. Seperti halnya dalam
memperoleh pengetahuan. Suatu ilmu, mungkin membutuhkan lebih dari satu metode
ataupun dapat diselesaikan menurut berbagai metode. Akhirnya suatu pendapat
mengatakan, bahwa sesuatu memiliki berbagai segi yang menuntut penggunaan
berbagai metode. Untuk memperoleh pengetahuan, maka digunakanlah metode
berfikir ilmiah. Metode ilmiah atau proses ilmiah merupakan proses keilmuan untuk
memperoleh pengetahuan secara sistematis berdasarkan penelitian. Cara dalam
berfikir
3
ilmiah dapat dilakukan melalui tiga macam jenis dalam penalaran, yaitu Penalaran
Deduktif, Penalaran Induktif, dan Penalaran Abduktif (Redja, 2001).

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud penalaran ilmiah?
2. Apa tujuan penalaran?
3. Apa saja jenis jenis penalaran ilmiah?
4. Apakah yang dimaksud dengan penalaran deduktif?
5. Apakah yang dimaksud dengan penalaran induktif?
6. Apakah macam macam kesalahan dalam penalaran?

1.3. Tujuan Penulisan


Mengingat pentingnya mengetahui tentang penalaran ilmiah dalam
penggunaannya di kehidupan sehari – hari, khusunya dalam bidang kedokteran, maka
makalah ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut :
1. Mengetahui pengertian penalaran ilmiah
2. Mengetahui jenis-jenis penalaran ilmiah
3. Mengetahui pengertian penalaran deduktif
4. Mengetahui pengertian penalaran induktif
5. Memahami macam-macam kesalahan dalam penalaran ilmiah

4
BAB II
PENALARAN ILMIAH

2.1 Pengertian Penalaran Ilmiah


Setiap manusia tentu ingin hidup bahagia dan sukses. Untuk mencapai hidup yang
demikian, manusia dihadapkan pada berbagai masalah hidup yang seringkali tidak
mudah. Agar bisa menentukan solusi yang tepat, yaitu solusi yang paling sesuai, aman,
nyaman, dan resiko terkecil, dari berbagai solusi yang mungkin, manusia dituntut harus
bisa berpikir. Tuntutan berpikir inilah yang membuat manusia purba berevolusi menjadi
manusia modern (homo sapiens) dengan kemampuan otak yang terbaik di muka Bumi.
Di antara seluruh makhluk hidup di Bumi, hanya manusia yang mengenal konsep
kesadaran (consciousness), berpendapat (reasoning), dan pengetahuan (knowledge)
hingga bisa membangun peradaban (civilization).
Sedemikian pentingnya kemampuan berpikir bagi manusia, seorang filsuf dan
ilmuwan terkenal dari Perancis bernama René Descartes pernah berkata, “cogito ergo
sum” yang artinya “aku berpikir, maka aku ada”. Bagi manusia, berpikir juga
menunjukkan keberadaan (existence), bukan sekadar kebenaran (truth). Jika seorang
manusia tidak lagi mampu berpikir, sejatinya dia sebagai manusia telah tidak ada, atau
dianggap tidak ada, walaupun secara fisik masih ada. Namun, berpikir saja tidak cukup.
Berpikir juga membutuhkan ilmu agar proses dan hasil berpikirnya benar.
Secara umum, pengertian berpikir adalah proses penentuan keputusan dengan
cara mengolah pengetahuan yang telah ada sebelumnya sehingga diperoleh keputusan
yang terbaik. Perhatikan bahwa ada syarat pengetahuan yang telah ada sebelumnya.
Tidak bisa disebut berpikir jika tidak ada pengetahuan yang mendahuluinya atau
mendasarinya. Tujuan berpikir dapat digolongkan dalam tiga hal, yaitu:
1. Mendapat jawaban atas pertanyaan,
2.Mencari penyelesaian atas
permasalahan,
3.Menentukan pilihan dari berbagai kemungkinan.

2.1.1 Pengetahuan, Ilmu, dan Sains


Pengetahuan (knowledge) adalah segala yang kita dapatkan dari pengalaman diri
sendiri atau informasi dari orang lain yang kita anggap benar. Sekedar tahu saja tidak
bisa disebut pengetahuan. Dan karena hanya dianggap benar (dengan alasan tertentu),
maka pengetahuan kita belum tentu kebenaran yang sejati. Pengetahuan bisa saja salah,
5
bisa juga

6
benar. Masih ada unsur subyektivitas dalam pengetahuan. Jika pengetahuan yang salah
digunakan dalam berpikir maka hasil berpikirnya juga pasti salah.
Contoh: bintang berbentuk segilima adalah pengetahuan yang salah bagi orang
yang telah belajar ilmu astronomi, namun menjadi pengetahuan yang benar bagi kanak-
kanak yang belum bersekolah. Benar-salah pengetahuan ditentukan berdasarkan ilmu,
bukan anggapan pribadi.
Ilmu atau ilmu pengetahuan (science) adalah segala pengetahuan yang diperoleh
dengan cara yang sistematis melalui metode tertentu oleh orang berilmu (ahli) yang kita
yakini benar. Dan karena hanya diyakini benar (dengan alasan tertentu), maka suatu ilmu
belum tentu kebenaran yang sejati. Ilmu pun bisa saja salah, bisa juga benar. Kebenaran
ilmu pengetahuan bisa memiliki banyak ragam yang masing-masing mendaku dirinyalah
kebenaran sejati (yang lain bukan).
Sangat banyak pengetahuan yang bisa digolongkan sebagai ilmu. Namun ilmu
belum bisa sepenuhnya menghilangkan pengaruh subyektivitas dan bias (kepentingan,
opini, pilihan, dsb). Misalnya dalam ilmu sosial, ilmu politik, ilmu seni, ilmu agama,
ilmu ekonomi, dan yang sejenis; biasanya memiliki banyak “versi” atau “aliran” dalam
hal tertentu yang masing-masing mendaku kebenaran, minimal “lebih benar” dari yang
lain. Walaupun tidak semua bagian dalam ilmu-ilmu tersebut subyektif, tapi juga tidak
bisa dibilang seluruhnya obyektif.
Contoh: Si A baru saja belajar ilmu agama X dari ahli agama X, meyakini dengan
seyakin-yakinnya bahwa agama X adalah agama yang paling benar. Namun si B yang
telah lama belajar ilmu agama Y dari ahli agama Y, meyakini dengan seyakin-yakinnya
bahwa agama Y adalah agama yang paling benar. Keduanya merasa sebagai pihak yang
(paling) benar.
Sains atau ilmu [pengetahuan] alam (natural science) adalah segala ilmu
pengetahuan tentang alam semesta yang diperoleh melalui penelitian ilmiah berdasarkan
metode ilmiah oleh ahli sains (ilmuwan) yang terbukti benar. Dan karena terbukti benar
secara ilmiah, maka sains diakui sebagai kebenaran [ilmiah] oleh siapa pun. Kebenaran
ilmiah pun bukan kebenaran sejati karena kebenaran ilmiah bersifat relatif dan dinamis,
yaitu hanya diakui benar selama belum ada bukti ilmiah lain yang menyalahkan.
Kebenaran sains juga bersifat obyektif dan universal, yaitu bisa diterima (dan
dibuktikan) oleh seluruh manusia dan berlaku sama di seluruh alam semesta.
Contoh: Ilmuwan John Dalton melalui penelitiannya pada tahun 1803
membuktikan bahwa atom adalah unsur terkecil dari materi yang tidak dapat dibagi lagi.

7
Kemudian ilmuwan J.J. Thomson melalui penelitiannya pada tahun 1897 membuktikan
adanya elektron yang bermuatan negatif dalam atom. Atom model Thomson
digambarkan seperti bola pejal dengan elektron yang “menempel” pada bola atom,
seperti roti kismis. Kebenaran model atom Dalton pun gugur. Demikian seterusnya
hingga ilmuwan modern menemukan struktur atom kuantum yang terdiri dari inti proton
dan neutron serta elektron yang mengorbit intinya, dimana proton dan neutron disusun
oleh quark.

2.1.2 Perangkat Berpikir


Selain membutuhkan ilmu, berpikir juga membutuhkan alat. Alat berpikir adalah
logika atau penalaran. Banyak orang yang mengira setiap kali kita berpikir maka
logikanya pasti benar. Atau jika kita berpikir maka segala yang bisa diterima pola pikir
kita maka pasti masuk akal. Itu salah kaprah. Tidak semua orang yang berpikir itu
logikanya benar. Atau tidak semua yang menurut kita masuk akal itu dijamin benar.
Berlogika pun ada konsepnya, ada aturannya, ada metodenya. Itu semua disebut dengan
ilmu logika. Berpikir tanpa pengetahuan dan penalaran yang benar akan menghasilkan
yang disebut dengan sesat pikir (fallacy).

Konsep-konsep penalaran yang penting dipahami, antara lain:

Definisi atau pengertian, adalah penjelasan berupa ciri atau batasan pada suatu
obyek sehingga mengantarkan pikiran seseorang hanya kepada obyek tersebut saja,
bukan pada obyek yang lain.
Entitas, adalah sesuatu yang berada atau berwujud yang menunjukkan sesuatu
tersebut sebagai sebuah obyek, biasanya berdasarkan definisi obyek.
Identitas, adalah sesuatu yang unik/khas yang dimiliki sebuah obyek yang bisa
membedakan obyek tersebut dari obyek lain dalam entitas yang sama.
Himpunan, adalah kumpulan obyek-obyek berdasarkan ciri atau batasan yang
sama sehingga membedakan dari kumpulan obyek-obyek yang lain.
Jenjang atau hirarki, adalah tingkatan obyek berdasarkan ciri atau batasan yang
sama sehingga membedakan dari obyek lain di tingkatan yang berbeda.
dan lain sebagainya.

2.1.3 Berpikir Secara Ilmiah

8
Dari penjelasan di atas, bisa kita simpulkan bahwa berpikir yang benar adalah
berpikir yang berlandaskan ilmu yang benar dengan logika yang benar. Keduanya harus
terpenuhi. Berpikir tanpa ilmu yang benar walaupun logikanya benar, hasilnya salah.
Demikian juga berpikir dengan ilmu yang benar tapi logikanya salah, hasilnya juga salah.

Contoh A:
Premis 1: Fulan adalah seorang kakek.
Premis 2: Fulan adalah orang yang gundul.
Kesimpulan: Kakek adalah orang yang kepalanya gundul.
Contoh di atas memiliki premis dengan pengetahuan yang benar karena faktanya
memang Fulan adalah seorang kakek dan kepalanya gundul. Logika penarikan
kesimpulannya pun benar. Tapi kesimpulan yang diambil salah karena tidak sesuai
dengan definisi ‘kakek’, walaupun faktanya benar. Ini contoh berpikir yang salah
walaupun bangun logikanya benar.

Contoh B:
Premis 1: Kakek adalah seorang yang punya cucu.
Premis 2: Anu adalah cucu Fulan.
Kesimpulan: Fulan adalah seorang kakek.
Contoh di atas memiliki premis 1 berisi definisi yang benar dan premis 2 berisi
pengetahuan tentang hubungan keluarga antara Anu dan Fulan (yang dianggap benar).
Logika penarikan kesimpulannya pun benar. Secara berpikir yang benar, contoh di atas
sah (valid). Tapi contoh ini belum tentu benar jika kita berpikir secara ilmiah.

Berpikir ilmiah tidak cukup hanya berpikir dengan benar. Berpikir ilmiah harus
diikuti bukti ilmiah. Berpikir ilmiah mewajibkan setiap elemen dalam bangun logika
disertai dengan bukti pendukung. Misalnya dalam contoh B di atas, premis 1 harus
disertai bukti bahwa definisi ‘kakek adalah seorang yang punya cucu’ adalah benar,
misalnya dengan menunjukkan referensi KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Premis
2 harus disertai bukti bahwa si Anu adalah benar-benar cucu si Fulan, misalnya dengan
menunjukkan Kartu Keluarga. Jika premis 1 dan 2 telah disertai bukti yang sah maka
kesimpulannya bisa diterima benar dan sah secara ilmiah.

9
2.2 Tujuan Penalaran Ilmiah
Tujuan dari penalran adalah untuk menentukan secara logis atau objektif, apakah
yang kita lakukan itu benar atau tidak sehingga dapat dilaksanakan.

2.3 Jenis Penalaran Ilmiah


2.3.1 Penalaran Deduktif
Deduksi ialah proses dalam nalar kita dari pengetahuan yang “lebih umum”
menyimpulkan pengetahuan yang “lebih khusus”. Pengetahuan yang lebih khusus itu
telah terkandung di dalam pengetahuan umum itu, tetapi belum dengan tegas dan jelas
dilihat dan dirumuskan; jadi masih bersifat potensial (Soedomo, 2006). Adapun menurut
Jujun S. Suriasumantri (2013), deduktif adalah cara berfikir di mana dari pernyataan
yang bersifat umum ditarik kesimpulannya yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan
secara deduktif biasanya menggunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus.
Silogismus disusun dari dua buah pernyataan (Premis mayor dan premis minor) dan
sebuah kesimpulan.
Contoh:
 Semua makhluk mempunyai mulut
 Aiman adalah seorang makhluk
 Jadi Aiman mempunyai mulut
Ketepatan penarikan kesimpulan tergantung dari tiga hal, yakni kebenaran premis
mayor, kebenaran premis minor dan keabsahan pengambilan keputusan. Sekiranya salah
satu dari ketiga unsur tersebut persyaratannya tidak dipenuhi maka kesimpulan yang
ditariknya akan salah. Matematika adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif.
Karena pada hakikatnya, kesimpulan yang berupa pengetahuan baru bukan dalam arti
sebenarnya melainkan sekedar konsekuensi dari pengetahuan yang sudah kita ketahui
sebelumnya.
Kelebihan cara berpikir deduktif adalah efisiensi waktu karena analisis dilakukan
secara fokus. Selain itu, karena tujuan yang ingin dicapai lebih jelas maka langkah-
langkah berpikir yang digunakan menjadi lebih rapi dan sistematis. Pada deduksi,
kesimpulan merupakan suatu konskekuensi logis dari premis-premisnya. Sehingga pada
penalaran yang baik, kesimpulan dapat menjadi benar apabila premis-premisnya benar.
Kelemahan cara berpikir deduktif adalah terbatasnya aktifitas penarikan kesimpulan pada
ruang lingkup tertentu. Apabila salah satu atau kedua premisnya salah, maka kesimpulan
yang diperoleh berdasarkan premis tersebut juga akan salah. Logika deduktif tidak

10
memungkinkan kesimpulan yang diperoleh menjadi lebih luas dari premis awalnya,
sehingga ilmu pengetahuan menjadi sulit berkembang jika hanya mengandalkan cara
berpikir ini. Selain itu, pada logika deduktif, kebenaran premis tidak dapat diuji, hanya
kebenaran bentuk atau pola penalarannya saja yang dapat diuji (Mustofa, 2016).

2.3.2 Jenis Silogisme


Pada dasarnya silogisme dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
 Silogisme Kategoris
Silogisme kategoris ialah silogisme yang premis-premisnya dan
kesimpulannya berupa keputusan kategoris. Contoh dari silogisme kategoris banyak
sekali kita temui dalam percakapan sehari-hari. Orang biasanya menyatakan hasil-
hasil pemikiran dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi biasanya hasil-hasil
pemikiran itu tidak dirumuskan dalam bentuk silogisme. Contoh bila kita ditanya
“Mengapa korupsi itu tidak baik?” maka jawabannya adalah “Karena korupsi itu
jahat.” Apabila kita uraikan contoh tersebut kedalam bentuk silogisme adalah sebagai
berikut:
# Segala tindak kejahatan adalah tidak baik
# Korupsi adalah salah satu tindak
kejahatan # Jadi korupsi itu tidak baik
Bentuk deduksi seperti inilah yang disebut silogisme dan silogisme ini dalam
logika tradisional digunakan sebagai bentuk standar dari penalaran deduktif.
Silogisme terdiri dari atas tiga proposisi kategorik (Soekadijo, 2001). Dua proposisi
yang pertama berfungsi sebagai premis sedang yang ketiga berfungsi sebagai
konklusi. Contoh di atas memiliki tiga term yaitu “kejahatan”, “sikap tidak baik” dan
korupsi”. Ketiga term tersebut digunakan dua kali. Kata “Korupsi” digunakan dua kali
sebagai subyek, sekali di premis dan sekali di konklusi. Kata “Sikap tidak baik”
berfungsi dua kali sebagai predikat, sekali di premis sekali di konklusi.
 Silogisme Hipotesis
Silogime hipotesis adalah silogisme yang mengandung satu premis atau lebih
yang berupa keputusan hipotesis. Adapun contoh dari silogime hipotesis adalah
sebagai berikut:
# Jika kamu makan nasi (antecedens), maka kamu kenyang
(konsekuens) # Kamu makan nasi
# Jadi kamu kenyang

11
Dalam silogisme hipotesis berlaku hukum, jika antecedens, keputusan
kondisional yang mengandung syarat, benar dan hubungannya saah, maka kesimpulan
akan benar pula. Namun, jika kesimpulan salah (dan hubungannya sah) maka
antecedens salah pula (Soedomo, 2006).
 Silogisme dalam komunikasi sehari-hari
Dalam komunikasi sehari-hari banyak terjadi penyimpangan karena unsur
proposisinya hiper lengkap, lebih dari tiga. Di samping itu banyak silogisme yang
menyimpang karena unsur proposisinya tidak lengkap dan ada juga silogisme yang
premisnya lebih dari dua proposisi bahkan lebih. Dalam makalah ini hanya dijelaskan
bentuk silogisme yang sering terjadi dikalangan kita yaitu Entimema (enthymeme).
Entimema adalah penalaran yang tidak semua unsur proposisinya dinyatakan
secara eksplisit. Karena silogisme terdiri dari tiga proposisi; mayor, minor dan
konklusi, maka bentuk entimema ada empat, yaitu entimema tanpa mayor, entimema
tanpa minor, entimema tanpa konklusi, dan entimema tanpa konklusi dan mayor atau
minor (Soekadijo, 2001). Contoh entimema tanpa mayor adalah: “Tentu saja saya
dapat khilaf, saya kan manusia biasa!”

2.4 Penalaran Induktif


Induksi adalah proses peningkatan dari hal-hal yang bersifat individual kepada
sesuatu yang bersifat universal (a passage from individual to universal), dimana
premisnya berupa proposisi-proposisi singular, sedang konklusinya berupa sebuah
proposisi universal, yang berlaku secara umum (Soekadijo, 2001). Sedangkan menurut
Jujun S. Suriasumantri induktif merupakan cara berfikir dimana ditarik suatu kesimpulan
yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual. Jadi bisa disimpulkan
bahwa penalaran induktif yaitu proses berfikir yang berangkat dari premis-premis khusus
menuju ke arah universal atau umum. Berfikir dengan logika induktif bertujuan untuk
menarik kesimpulan umum berupa deskripsi general dari suatu fenomena. Contohnya
adalah sebagai berikut:
# Besi itu mengalirkan listrik
# Tembaga itu mengalirkan
listrik # Perak itu mengalirkan
listrik
# Besi, tembaga, emas, perak adalah logam Jadi logam itu mengalirkan listrik
Kelebihan penalaran induktif terletak pada proses mendapatkan pernyataan baru
namun pada sisi lain hasil yang didapat tersebut masih berpeluang untuk menjadi salah
12
2.4.1 Ciri-ciri induktif
Menurut R. G. Soekadijo terdapat tiga ciri induktif, yaitu:
 Premis-premis dari induksi adalah proposisi empirik yang langsung kembali kepada
suatu observasi indera atau proposisi dasar (basic statement).
 Konklusi penalaran induktif lebih luas dari pada apa yang dinyatakan dalam premis-
premisnya.
 Konklusi induksi memilki kredibilitas rasional (probabilitas). Probabilitas didukung
oleh pengalaman, artinya konklusi induksi terkadang cocok dengan pengalaman,
namun apabila didasarkan pada observasi indra belum tentu cocok.
2.4.2 Bentuk generalisasi induktif
Dalam logika induktif, tidak ada konklusi yang mempunyai nilai kebenaran yang
pasti. Yang ada hanya konklusi dengan probabilitas rendah atau tinggi. Maka hasil usaha
analisa dan rekontruksi dalam penalaran induktif berupa ketentuan-ketentuan mengenai
bentuk induksi yang menjamin konklusi dengan probabilitas setinggi-tingginya. Tinggi
rendahnya probabilitas dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yaitu:
 Makin besar jumlah fakta yang dijadikan dasar penalaran induktif, makin
tinggi probabilitas konklusinya, dan sebaliknya.
 Makin besar faktor analogi di dalam premis, makin rendah probabilitas
konklusinya, dan sebaliknya.
 Makin besar jumlah faktor disanaloginya dalam premis, makin tinggi
probabilitas konklusinya, dan sebaliknya.
 Semakin luas konklusinya semakin rendah pula probabilitasnya, dan
sebaliknya (Soekadijo, 2001)
2.4.3 Bentuk analogi Induktif
Bentuk penalaran analogi induktif ditentukan oleh tiga aspek yaitu:
 Jumlah fakta yang dijadikan dasar dari konklusinya dan dinyatakan sebagai premis.
 Jumlah faktor-faktor analogi.
 Bentuk proposisi yang menjadi konklusinya.
Contohnya: Pisang 1 keras dan hijau adalah
masam
Pisang 2 keras dan hijau adalah masam
Pisang 3 adalah keras dan hijau Pisang 3 adalah masam

13
2.5 Kesalahan Penalaran
Penalaran adalah suatu proses berpikir manusia untuk menghubung-hubungkan
data atau fakta yang ada sehingga sampai pada suatu kesimpulan. Salah nalar dapat terjadi
di dalam proses berpikir untuk mengambil keputusan. Hal ini terjadi karena ada kesalahan
pada cara penarikan kesimpulan. Salah nalar lebih dari kesalahan karena gagasan, struktur
kalimat, dan karena dorongan emosi. Salah nalar ada dua macam:
1. Salah nalar induktif, berupa :
a. kesalahan karena generalisasi yang terlalu luas,
b. kesalahan penilaian hubungan sebab-akibat,
c. kesalahan analogi.
2. Kesalahan deduktif dapat disebabkan :
a. kesalahan karena premis mayor tidak dibatasi;
b. kesalahan karena adanya term keempat;
c. kesalahan karena kesimpulan terlalu luas/tidak dibatasi; dan
d. kesalahan karena adanya 2 premis negatif.
Fakta atau data yang akan dinalar itu boleh benar dan boleh tidak benar.
Pengertian dan contoh salah nalar diantaranya berupa gagasan, pikiran, kepercayaan, dan
simpulan yang salah, keliru, atau cacat. Dalam ucapan atau tulisan kerap kali kita dapati
pernyataan yang mengandung kesalahan. Ada kesalahan yang terjadi secara tak sadar
karena kelelahan atau kondisi mental yang kurang menyenangkan, seperti salah ucap atau
salah tulis misalnya.
Ada pula kesalahan yang terjadi karena ketidaktahuan, disamping kesalahan yang
sengaja dibuat untuk tujuan tertentu. Kesalahan yang kita persoalkan disini adalah
kesalahan yang berhubungan dengan proses penalaran yang kita sebut salah nalar.
Pembahasan ini akan mencakup dua jenis kesalahan menurut penyebab utamanya, yaitu
kesalahan karena bahasa yang merupakan kesalahan informal dan karena materi dan
proses penalarannya yang merupan kesalahan formal. Gagasan, pikiran, kepercayaan atau
simpulan yang salah, keliru, atau cacat disebut sebagai salah nalar.
Berikut ini salah nalar yang berhubungan dengan induktif, yaitu :
1. Generelisasi terlalu luas
Contoh : perekonomian Indonesia sangat berkembang
2. Analogi yang salah

14
Contoh : ibu Yuni, seorang penjual batik, yang dapat menjualnya dengan
harga terjangkau. Oleh sebab itu, ibu Lola seorang penjual batik, tentu dapat
menjualya dengan harga terjangkau.

2.6 Jenis – jenis salah nalar


A. Deduksi yang salah
Simpulan dari suatu silogisme dengan diawali premis yang salah atau tidak memenuhi
persyaratan.
Contoh:
a. Kalau listrik masuk desa, rakyat di daerah itu menjadi cerdas.
b. Semua gelas akan pecah bila dipukul dengan batu.
B. Generalisasi terlalu luas
Salah nalar ini disebabkan oleh jumlah premis yang mendukung generalisasi tidak
seimbang dengan besarnya generalisasi itu sehingga simpulan yang diambil menjadi
salah.
Contoh:
a. Setiap orang yang telah mengikuti Penataran P4 akan menjadi
manusia Pancasilais sejati.
b. Anak-anak tidak boleh memegang barang porselen karena barang itu
cepat pecah.
C. Pemilihan terbatas pada dua alternatif
Salah nalar ini dilandasi oleh penalaran alternatif yang tidak tepat dengan pemilihan
jawaban yang ada.
Contoh:
Orang itu membakar rumahnya agar kejahatan yang dilakukan tidak diketahui
orang lain.
D. Penyebab Salah Nalar
Salah nalar ini disebabkan oleh kesalahan menilai sesuatu sehingga mengakibatkan
terjadinya pergeseran maksud.
Contoh:
a. Broto mendapat kenaikan jabatan setelah ia memperhatikan dan
mengurusi makam leluhurnya.
b. Anak wanita dilarang duduk di depan pintu agar tidak susah jodohnya.
E. Analogi yang Salah

15
Salah nalar ini dapat terjadi bila orang menganalogikan sesuatu dengan yang lain
dengan anggapan persamaan salah satu segi akan memberikan kepastian persamaan
pada segi yang lain.
Contoh:
Anto walaupun lulusan Akademi Amanah tidak dapat mengerjakan tugasnya dengan
baik.
F. Argumentasi Bidik Orang
Salah nalar jenis ini disebabkan oleh sikap menghubungkan sifat seseorang dengan
tugas yang diembannya.
Contoh:
Program keluarga berencana tidak dapat berjalan di desa kami karena petugas
penyuluhannya memiliki enam orang anak.

16
BAB III
PENUTU
P

3.1 Kesimpulan
Berpikir yang ilmiah adalah berpikir yang berlandaskan ilmu yang benar dengan
logika yang benar. Keduanya harus terpenuhi. Berpikir tanpa ilmu yang benar walaupun
logikanya benar, hasilnya salah. Demikian juga berpikir dengan ilmu yang benar tapi
logikanya salah, hasilnya juga salah. Penalaran induktif merupakan penyimpulan dari
pernyataan khusus atau berbagai kasus yang individual ke bentuk umum, penalaran
deduktif merupakan lawan dari penalaran induktif, penyimpulan dari pernyataan umum
ke khusus. Sedangkan abduktif merupakan penyimpulan dari suatu kasus tertentu. Ketiga
penalaran tersebut bisa kita gunakan dalam kehidupan seharihari terutama ketika
dihadapkan dengan realitas kehidupan yang semakin variatif. Selain itu, kita juga bisa
menggunakannya sebagai alat untuk menggali ilmu pengetahuan, sehingga
perkembangan ilmu pengetahuan di masa mendatang akan semakin dinamis.

3.1 Saran
Penalaran ilmiah sangat dibutuhkan dalam metode penulisan ilmiah, terutama bagi
para akademisi. Menerapkan proses berpikir dan bernalar ilmiah dalam kehidupan sehari-
hari mendorong akademisi untuk selalu bersikap kritis dan melakukan sesuatu
berdasarkan data dan fakta.

17
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, asmori, 2001, Filsafat umum, Jakarta : Rajawali Pers

Hadi, A. Soedomo, Logika Filsafat Berfikir, Surakarta: LPP UNS dan UPT Penerbitan dan
Percetakan UNS PRESSSuriasumantri, JS. 2001. Ilmu dalam perspektif. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.

Hardiman, Budi F. 2004, Filsafat Modern, Jakarta : Gramedia

Himsworth, Harold (1997), Pengetahuan Keilmuan dan pemikiran filosofi, (terjemahan


Achamda Bimadja, PH.D ) , Bandung : ITB Bandung.

Jammer, Max (1999), Einstern and Religion : Physics and Theology, New jersey : Princeton
University, Press

Soekadijo, R. G., Logika Dasar, Tradisional, Simbolik dan Induktif, Jakarta: Gramedia
Pustaka

Supriasumantri, JS. 2001. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan.

Redja, Mudyahardjo, (2001), Filsafat ILmu Pendidikan : Suatu Pengantar, Bandung : Rosd

18

Anda mungkin juga menyukai