Oleh :
Prof. Dr. Munawar Ismail, SE. DEA
Dr. Ahmad Erani Yustika, SE, MSc.
Arif Hutoro, SE, MT
Penulis
DAFTAR ISI
Hal
Lembar Pengesahan ………………………………………………... i
Pengantar ………………………………………………... ii
Daftar Isi ………………………………………………... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang …………………………………….. 1
1.2. Masalah dan Tujuan Penelitian ……………............. 7
1.3. Metode dan Sistimatika Penulisan Laporan ……...... 9
BAB V KESIMPULAN
5.1. Metodologi Individualisme ....................................... 60
5.2. Metodologi Holisme .................................................. 62
Tabel 1
Perbandingan Pendekatan dalam Ekonomi Mainstream dan Ekonomi Sosiologi
Berangkat dari ketiga permasalahan tersebut, maka tujuan dari penelitian ini
adalah untuk:
a. Menemukan makna dan persoalan yang belum terseleseikan dalam
metodologi individualisme
b. Menjelaskan pengertian metodologi holisme beserta penerapannya
dalam ilmu ekonomi
c. Mengetahui perbedaan antara metodologi individualisme dan holisme
dalam menjelaskan fakta sosial dan perilaku individual
2.1.1. Individualisme
Elemen kunci dari makna individualisme adalah asumsi bahwa secara
individu seseorang bersifat independen terhadap orang lain. Jika asumsi
tersebut benar, beberapa implikasi penting dari individualisme dapat
diunyatakan. Namun satu pertanyaan yang perlu dipikirkan adalah
mungkinkah secara empiris dapat dirumuskan implikasi spesifik dari
individualisme yang kemudian menggambarkan sifat keuniversalannya.
Sehubungan dengan pertanyaan tersebut, beberapa ahli memberikan
definisi yang berbeda-beda terhadap individualisme dari perspektif perilaku.
Hofstede (1980) mendifinisikan individualisme sebagai perilaku seseorang
yang memiliki cir-ciri tertentu, yaitu menempatkan hak di atas kewajiban,
mementingkan diri sendiri dan keluarga, menekankan pada otonomi personal
dan pemenuhan diri sendiri, serta mendasarkan pada identitas dan prestasi
personal. Waterman (1984) mendifinisikan normativ individualisme sebagai
perilaku yang memfokuskan pada tanggung jawab personal dan kebebasan
personal untuk memilih, hidup di atas potensi dirinya sendiri, dan
menghormati integritas orang lain. Sedangkan Schwartz (1990) berpendapat
bahwa masyarakat yang individualistik adalah masyarakat yang
fundamentally contractual, consisting of narrow primary groups and
negotiated social relations, with specific obligations and expectations
focusing on achieving status.
Semua definisi tersebut pada dasarnya menggambarkan substansi
yang sama dari individualisme, yakni sebagai pandangan yang
mementingkan aspek personal (tujuan personal, kontrol personal, dan
keunikan personal) dan tidak mementingkan atau mengesampingkan aspek
sosial. Dari pengertian seperti tersebut, selanjutnya dari sudut pandang
psikologi dapat diungkapkan beberapa implikasi penting yang berkaitan
dengan konsep diri, kesejahteraan, atribut gaya hidup, dan rasionalitas.
Pertama, dilihat dari konsep diri, individualisme memiliki tiga
implikasi yaitu :
menciptakan dan sekaligus mempertahankan makna positip dari
kepentingan diri sendiri sebagai landasan manusia untuk berusaha
atau bertindak,
berpikiran baik terhadap diri sendiri, sukses pribadi, dan memiliki
keunikan perilaku dan opini personal yang berbeda dengan yang lain
adalah sesuatu yang bernilai, dan
memiliki sifat tertentu yang merupakan unsur pokok untuk
mendefinisikan diri.
Kedua, dilihat dari sudut pandang kesejahteraan, implikasi penting
dari individualisme adalah sebuah pendangan yang menyatakan bahwa
ekspresi emosional dan mencapai tujuan secara personal merupakan unsur
terpenting dari kesejahteraan dan kepuasan hidup.
Ketiga, dilihat dari atribut gaya hidup, individualisme berimplikasi
bahwa hal-hal yang berkaitan dengan cara penilaian, alasan atau argumen
yang diajukan, dan penyebab terjadinya sesuatu umumnya diarahkan pada
person, dan bukan pada kontek sosial. Hal ini demikian karena keberadaan
person diasumsikan stabil. Dengan demikian, individualisme mementingkan
alasan dekontekstualisasi (sebagai lawan dari situasi yang spesifik), karena
diasumsikan tidak ada hambatan bagi informasi sosial untuk menyatu
dengan kontek sosial.
Keempat, yang berkaitan dengan rasionalitas, implikasi dari
individualisme agak membingungkan. Di satu sisi, individu membutuhkan
hubungan (relationship) dan keanggotaan dalam kelompok untuk mencapai
tujuannya tetapi, di sisi lain, hubungan adalah sesuatu yang sangat mahal
untuk dipertahankan. Para ahli di bidang ini kemudian mengasumsikan
bahwa orang yang memiliki sifat individualis mempunyai pedoman tertentu
untuk menyeimbangkan antara biaya dan manfaat dalam mempertahankan
hubungan. Akan memutuskan hubungan dan keluar dari kelompok jika biaya
partisipasi melebihi manfaatnya. Kalau ini yang terjadi, maka selanjutnya
individu tersebut mencari dan membangun hubungan baru agar tujuan
personal dapat diwujudkan (yang sudah tidak bisa diwujudkan dengan
menggunakan bentuk hubungan yang terdahulu). Akhirnya dapat
disimpulkan bahwa, bagi orang yang memiliki sifat individualis, hubungan
dan keanggotaan kelompok merupakan sesuatu yang sifatnya tidak
permanen.
2.1.2. Kolektivisme
Kunci pokok dari kolektivisme adalah asumsi bahwa kelompok
memiliki kekuatan untuk mengikat dan mewajibkan individu. Dari sisi
pandang seperti ini, para ahli kemudian merumuskan beberapa implikasi
atau konsekuensi dari kolektivisme. Satu pertanyaan yang bisa diajukan
adalah apakah secara empiris peneliti dapat menemukan implikasi dari
perbandingan antar budaya yang kemudian menghasilkan kesimpulan yang
bersifat universal bagi kolektivisme. Meskipun kadang-kadang saling
bertentangan, adalah sangat mungkin untuk mendiskripsikan komponen
individualisme dan kolektivisme sebagai landasan untuk membedakan
keduanya.
Menurut Schwartz (1990), masyarakat kolektiv adalah masyarakat
komunal di mana pemahaman semua anggota kelompok terhadap kewajiban
dan harapan berada pada tingkat yang sama dan semuanya didasarkan pada
simbul-simbul yang tertulis. Dalam masyarakat seperti ini, unit sosial yang
memiliki tujuan tertentu dan nilai-nilai yang dianut secara bersama-sama,
merupakan sesuatu yang sifatnya terpusat. Artinya, masing-masing person
(individu) hanya berperan sebagai anggota dan menjadi bagian dari unit
sosial, sehingga unit analisisnya adalah kelompok beserta apa yang ada di
dalamnya (in-group). Penjelasan seperti ini memusatkan kolektivisme
sebagai pandangan hidup secara sosial yang selalu berorientasi ke dalam
kelompok dan bukan ke luar kelompok.
Mengingat kelompok yang memiliki orientasi ke dalam seperti ini
bisa berbentuk keluarga, marga, etnis, agama, dan lainnya, maka
kolektivisme dapat pula dipandang sebagai sebuah bangunan yang
menyatukan kultur yang berbeda-beda ke dalam sebuah kelompok yang
memiliki referensi tertentu. Kelompok baru yang dimaksud bisa berbeda
dalam bentuknya atau berbeda dalam tingkatannya. Oleh karena itu,
kolektivisme bisa memiliki cakupan yang lebih luas dari pada
individualisme dalam hal nilai, sikap, dan perilaku.
Dengan pengertian seperti tersebut di atas, maka implikasi penting
dari kolektivisme dilihat dari sisi psikologi (yang menyangkut tentang
konsep diri, kesejahteraan, atribut gaya hidup, dan rasioanalitas) dapat
dirumuskan, yakni:
Pertama, dilihat dari konsep diri, kolektivisme memiliki pengertian
bahwa:
keanggotaan kelompok merupakan aspek yang sangat mendasar
nilai-nilai yang dianut oleh person merepresentasikan tujuan dari
kelompok, seperti berkorban untuk kebaikan bersama dan menjaga
keharmonisan hubungan secara dekat antara satu anggota dengan
anggota lainnya.
Kedua, dilihat dari sisi kesejahteraan dan ekspresi emosionalnya,
kolektivisme berimplikasi beberapa hal yaitu:
kepusaan hidup dipengaruhi oleh kesuksesan dalam menjalankan
peran dan kewajiban sosial dan sekaligus menghidari kegagalan dalam
melaksanakan peran dan kewajiban sosial
membatasi ekspresi emosional, dan tidak mengungkapkan emosi
personalnya secara terbuka, merupakan nilai-nilai yang diyakini
sebagai sarana untuk menciptakan harmoni ke dalam kelompok (in-
group).
Ketiga, dilihat dari penilaian, alasan dan simbul-simbul yang dianut,
definisi kolektivisme menyatakan bahwa
konteks sosial, kendala situasional, dan peran sosial menggambarkan
secara jelas persepsi diri dan selalu dijadikan landasan untuk menggali
alasan-alasan yang digunakan untuk menjelaskan sebab-sebab
timbulnya kejadian atau persoalan (causal reasoning)
pemaknaan dikaitkan dengan sesuatu yang sifatnya kontekstual dan
memori merupakan sesuatu yang mensiratkan banyak hal
Terakhir, dilihat dari kaca mata rasioalitas, pengertian kolektivisme
memiliki beberapa implikasi yakni:
keanggotaan dalam kelompok merupakan sesuatu yang sifatnya
permanen dan kelompok mengambarkan asal muasal individu, serta
umumnya hal ini dipandang sebagai factsoflife yang harus diterima
oleh semua orang
batas antara ke dalam kelompok (in-group) dan ke luar kelompok
(out-group) adalah stabil, jelas, penting dan tidak bisa dirubah
hubungan internal di dalam kelompok didasarkan pada prinsip
kesamaan atau bahkan kedermawanan
2.2. Holisme dan Individualisme dalam Ilmu Sosiologi
Debat holisme dan individualisme dalam ilmu sosiologi meliputi dua
hal, yaitu debat ontologis dan metodologis. Kedua debat tersebut pada
akhirnya membawa implikasi penting terhadap unit analisis maupaun
terhadap posisi dari ilmu sosiologi.