Anda di halaman 1dari 69

LAPORAN PENELITIAN

INDIVIDUALISME versus HOLISME


Perspektif Pendekatan dalam Ilmu Ekonomi

Oleh :
Prof. Dr. Munawar Ismail, SE. DEA
Dr. Ahmad Erani Yustika, SE, MSc.
Arif Hutoro, SE, MT

Penelitian ini dibiayai oleh Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP)


Dengan kontrak Nomor : 3676/J10.1.12/PG/2007
Tanggal 20 September 2007

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS EKONOMI
2007
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT akhirnya


penulis bisa menyeleseikan Laporan Akhir Penelitian yang berjudul
“Individualisme versus Holisme : Perspektif Pendekatan dalam Ilmu
Ekonomi” yang dibiayai oleh Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Atas seleseinya Laporan Akhir ini, kami menyampaikan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dias Satria, SE, MSc. yang telah
berkenan membantu kami untuk mencarikan referensi sewaktu yang
bersangkutan masih di Australia. Terima kasih juga kami sampaikan kepada
Muiz, Tirta Guna, dan Ragil yang telah membantu pencarian referensi lewat
internet. Tanpa bantuan mereka semua, tidak mungkin Laporan ini bisa
diseleseikan karena literatur yang tersedia di Fakultas Ekonomi UNIBRAW
dan di Indonesia pada umunya sangat terbatas.
Akhirnya penulis hanya bisa berharap agar Laporan Akhir ini dapat
bermanfaat bagi rekan-rekan dosen dan para mahasiswa untuk memperluas
wawasan metodologi dalam ilmu ekonomi.

Malang, 5 Desember 2007

Penulis
DAFTAR ISI

Hal
Lembar Pengesahan ………………………………………………... i
Pengantar ………………………………………………... ii
Daftar Isi ………………………………………………... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang …………………………………….. 1
1.2. Masalah dan Tujuan Penelitian ……………............. 7
1.3. Metode dan Sistimatika Penulisan Laporan ……...... 9

BAB II PANDANGAN INDIVIDUALISME DAN HOLISME


TERHADAP FAKTA SOSIAL DAN PERILAKU
INDIVIDU
2.1. Individualisme dan Kolektivisme dilihat dari Sudut
Perilaku ...................................................................... 11
2.1.1. Individualisme …………………………….. 11
2.1.2. Kolektivisme ................................................ 14
2.2. Holisme dan Individualisme dalam Ilmu Sosiologi . 17
2.2.1. Debat Ontologis ............................................ 17
2.2.2. Debat Epistimologis ..................................... 20
2.2.3. Kemandirian Ilmu Sosiologi ........................ 21
2.2.4. Unit Analisis ................................................. 23
2.2.5. Aspek Realita ............................................... 24

BAB III METODOLOGI INDIVIDUALISME DALAM


EKONOMI
3.1. Pemikiran dalam Metodologi Individualisme .......... 26
3.1.1. Metodologi Individualisme Weber ............... 27
3.1.2. Metodologi Individualisme Hayek ............... 30
3.1.3. Metodologi Individualisme Popper .............. 34
3.2. Ambiguitas dalam Metodologi Individualisme ......... 36
3.2.1. Ketidakjelasan Ontologi Realita Sosial......... 36
3.2.2. Penjelasan Secara Individual atau Semata-
mata Individu? .............................................. 38
3.2.3. Folk Theorem Mengenai Penjelasan
Fenomena Sosial ........................................... 40
3.2.4. Relevansi Istilah Metodologi Individualisme 43
BAB IV METODOLOGI HOLISME DALAM EKONOMI
4.1. Makna Holisme ......................................................... 48
4.2. Model Holisme Sosioekonomi Parson ...................... 49
4.2.1. Ekonomi Sebagai Sebuah Subsistem Sosial . 50
4.2.2. Ekonomi dan Subsistem Sosial Lainnya ...... 52
4.2.3. Ekonomi dalam Keseimbangan Sosial ......... 56

BAB V KESIMPULAN
5.1. Metodologi Individualisme ....................................... 60
5.2. Metodologi Holisme .................................................. 62

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 64


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ilmu ekonomi merupakan disiplin yang tidak pernah lepas dari
kontroversi. Kontroversi dalam ilmu ekonomi memiliki dimensi yang sangat
luas. Maksudnya, kontroversi tersebut tidak hanya terjadi pada tataran
teoritis, tetapi juga terjadi dalam tataran yang lain, yaitu tataran idiologis dan
metodologis.
Kontroversi teori dalam bidang makro ekonomi misalnya, secara garis
besar, dapat dibagi ke dalam dua kubu, yaitu kubu klasik yang percaya
bahwa pasar akan menyeleseikan semua persoalan (market clearing) dan,
aliran lainnya, kubu keynesian yang menekankan perlunya peran aktif
pemerintah untuk memecahkan semua persoalan ekonomi.
Kubu klasik sangat menentang campur tangan pemerintah karena
mereka percaya bahwa secara alamiah perekonomian akan selalu menuju
pada titik kestabilan. Setiap ada gangguan, semua pelaku ekonomi akan
melakukan penyesuaian-penyesuaian sehingga perekonomian akan
mengarah pada titik keseimbangan yang baru. Dalam kondisi seperti ini,
campur tangan dari fihak luar, termasuk pemerintah, tidak diperlukan. Bagi
kubu klasik, campur tangan pemerintah akan merusak mekanisme ekonomi
karena hanya akan menghalang-halangi perjalanan ekonomi untuk menuju
titik keseimbangannya.
Sedangkan aliran keynesian yang pro pemerintah, justru memiliki
keyakinan sebaliknya. Diyakini bahwa pada dasarnya perekonomian tidak
pernah stabil dan, oleh karenanya, kondisi keseimbangan hanyalah sebuah
angan-angan belaka. Oleh karena itu, perekonomian perlu dibimbing untuk
mencapai kondisi yang diinginkan dan pembimbing yang relevan adalah
pemerintah. Inilah alasan mengapa pemerintah perlu intervensi secara aktif
dalam perekonomian.
Kedua kubu memiliki pandangan yang bertolak belakang karena
keduanya memang memiliki dasar pijakan yang sangat berbeda. Aliran
klasik yang membela peran pasar berangkat dari tiga asumsi. Yakni,
pertama, individu adalah pelaku yang rasional dan senantiasa bertujuan
untuk mengoptimalkan kepentinganya. Kedua, informasi yang ada di pasar
adalah sempurna sehingga tidak ada informasi yang tidak simetris. Sehingga
semua pelaku ekonomi memiliki pengetahuan yang sempurna tentang pasar.
Ketiga, harga bersifat fleksibel sesuai dengan kondisi permintaan dan
penawaran. Dengan asumsi seperti ini, dapat dibuktikan bahwa pasar, atau
perekonomian, selalu berada pada kondisi keseimbangan. Setiap ada
gangguan, harga akan melakukan penyesuaian-penyesuaian sampai titik
keseimbangan baru tercapai.
Asumsi harga fleksibel sangat ditentang oleh aliran keynesian. Kubu
keynesian menunjukkan fakta di lapangan bahwa harga tidak fleksibel,
terutama dalam jangka pendek. Karena berbagai hal, tidak semua harga-
harga barang bersifat fleksibel, tetapi harga bersifat kaku. Adanya harga
yang kaku, sangat menyulitkan tercapainya sebuah keseimbangan.
Akibatnya, ketidak seimbangan adalah ciri utama dari perekonomian. Atas
dasar itu, intervensi pemerintah menjadi sangat perlu untuk menciptakan
kestabilan dalam perekonomian.
Kontroversi antara klasik dan keynesian dalam makro ekonomi hanya
sekelumit dari kontroversi yang ada dalam bidang ekonomi. Kontroversi
antara kedua aliran tersebut sebenarnya masih tergolong ringan karena
sumber kontroversinya hanya menyangkut pada perbedaan asumsi yang
dipakai. Meskipun keduanya memiliki resep kebijakan yang berbeda, tetapi
keduanya masih berada dalam satu naungan idiologi, yaitu idiologi kapitas.
Kontroversi dalam idiologi memiliki konsekuensi yang jauh lebih luas
dari pada kontroversi pada tingkat teori, karena perbedaan dalam idiologi
akan menghasilkan perbedaan pada tataran sistem. Tentu saja perbedaan
dalam sistem lebih mendasar daripada perbedaan dalam teori. Contoh
perbedaan itu adalah perbedaan antara sistim kapitalis dan sistim sosialis.
Perbedaan antara kapitalis dan sosialis tidak hanya tercernin dalam
perbedaan pada tingkat teorinya, tetapi juga tercermin dari pandangan
mereka mengenai kedudukan individu dalam masyarakat.
Bagi kapitalis, individu adalah esensi dari masyarakat, sehingga
individu memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pada kedudukan
masyarakat. Oleh karena itu, sistim kapitalis sangat menghargai dan
menghormati kepemilikan individu. Sebaliknya, bagi pemikir sosialis, esensi
masyarakat jauh melebihi esensi individu. Individu hanya bagian dari
masyarakat, sehingga masyarakat memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari
pada kedudukan individu. Oleh karena itu, esensi kepemilikan individu
dalam sistim sosialis menjadi hilang, dan diganti oleh kepemilikan bersama.
Dengan demikian jelas bahwa perbedaan pada tingkat sistim jauh
lebih mendasar dari pada perbedaan pada tingkat teori. Perbedaan pada
tingkat teori sangat mungkin terjadi diantara para pemikir ekonomi yang
memiliki idiologi sama. Tetapi, bagi para pemikir yang memiliki idologi
berbeda, tentu saja sangat sulit untuk menghasilkan teori yang sama.
Perbedaan antara makro ekonomi klasik dan keynesian seperti telah
diuraikan di atas, adalah perbedaan yang terjadi di dalam sistim ekonomi
kapitalis.
Disamping kontroversi pada tingkat teori dan sistem, masih ada
kontroversi pada dimensi lain yang sangat penting tetapi sering dilupakan
oleh kebanyakan ekonom, yakni kontroversi tentang metodologi yang
seharusnya digunakan dalam memahami realita ekonomi. Secara sederhana,
ada dua pendekatan (metodologi) yang digunakan, yakni metodologi
individualisme dan metodologi holisme. Perlu ditegaskan bahwa istilah
individualisme dalam metodologi individualisme, atau istilah holisme
(kolektivisme) dalam metodologi holisme (kolektivisme), tidak terkait
dengan idiologi, tetapi semata-mata berkaitan dengan persoalan bagaimana
memahami fakta ekonomi.
Bangunan teori ekonomi mainstream (klasik dan keynesian) yang
dikembangkan sampai saat ini secara konsisten menggunakan metodologi
individualisme. Yaitu sebuah metodologi yang menekankan pada individu
sebagai titik sentralnya. Individu adalah esensi dari masyarakat, sehingga
setiap usaha yang dilakukan untuk memahami masyarakat harus berangkat,
dan berhenti, pada tingkat pemahaman individu. Sekali fenomena individu
sudah terjelaskan, maka dengan sendirinya fenomena masyarakat akan
terjelaskan pula. Ini adalah alasan penting mengapa teori ekonomi
mainstream yang kita pelajari secara meluas ini menggunakan individu
sebagai unit analisisnya.
Namun demikian banyak kritik yang dialamatkan pada metodologi
individualisme, terutama kritik yang dilontarkan oleh para ahli ekonomi
sosiologi. Titik tolak kritiknya berangkat dari perlakuan individu dalam
metodologi individualisme. Dalam metodologi individualisme, individu
diperlakukan sebagai aktor yang independen dan tidak dipengaruhi oleh
masyarakat. Karena tidak dipengaruhi oleh masyarakat, maka tindakan
ekonomi dari individu tidak dipengaruhi oleh faktor sosial tetapi ditentukan
semata-mata oleh faktor ekonomi.
Tentu saja metodologi individualisme sangat bertentangan dengan
fakta di lapangan, karena dalam realitasnya, dalam melakukan interaksi
ekonomi, individu sering dipengaruhi oleh struktur sosial di mana mereka
berada. Oleh karena itu, cara yang tepat dalam memahami realita ekonomi
bukan dengan mengasumsikan individu sebagai makhluk yang independen,
tetapi justru memperlakukan individu sebagai makhluk sosial yang menjadi
bagian integral dari masyarakat. Dengan kata lain, pendekatan yang benar
dalam memahami fakta ekonomi adalah dengan memaknai fakta ekonomi
secara holistik, dan bukan memanai secara parsial menurut elemen
individunya.
Perbedaan cara pandang antara antara kedua metodologi tersebut memiliki
implikasi yang sangat luas dalam merumuskan teori ekonomi itu sendiri.
Padahal tujuan dari teori ekonomi itu sendiri tidak lain adalah untuk
menjelaskan bagaimana beroperasinya perekonomian (atau untuk
menjelaskan fenomena ekonomi). Perbedaan cara pandang dari kedua
pendekatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Terlihat bahwa, dalam ekonomi soiologi, semua pelaku ekonomi
saling terkait satu sama lain dan semuanya menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari masyarakat. Oleh karena itu, struktur dan nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat menjadi kendala yang harus diperhatikan dalam
melakukan kegiatan ekonomi, di samping kendala ekonomi itu sendiri
seperti kelangkaan sumber daya yang dimiliki. Maksudnya, disamping
pertimbangan-pertimbangan yang bersifat ekonomis, pelaku ekonomi harus
memperhatikan faktor-faktor sosial yang berlaku di masyarakat. Dalam
ekonomi sosiologi, realita ekonomi adalah bagian dari masyarakat, dan
masyarakat merupakan referensi bagi individu.

Tabel 1
Perbandingan Pendekatan dalam Ekonomi Mainstream dan Ekonomi Sosiologi

Sudut Pandang Ekonomi Sosiologi Ekonomi Mainstream


Mengenai
Konsep tentang Semua pelaku saling terkait dan Semua pelaku terpisah satu
pelakunya merupakan bagian dari kelompok sama lain (metodologi
atau masyarakat individualisme)
Perilaku ekonomi Berbagai bentuk perilaku dalam Semua tindakan ekonomi
ekonomi digunakan, termasuk diasumsikan rasional;
perilaku yang rasional; rasionalitas rasional adalah asumsi
adalah sebuah variabel
Kendala dalam Kendala dari tindakan ekonomi Kendala dari tindakan
bertindak adalah kelangkaan sumber daya, ekonomi adalah kelangkaan
struktur sosial dan makna struktur sumber daya dan teknologi
Hubungan antara Perekonomian merupakan bagian Ekonomi dan pasar
ekonomi dan integral dari masyarakat; masyarakat
merupakan referensi utama;
masyarakat adalah dasar referensi masyarakat adalah diluar itu
Tujuan analisis Diskripsi dan penjelasan; sangat Memprediksi dan
jarang melakukan prediksi menjelaskan; sangat jarang
diskripsi
Metode yang Berbagai metode yang berbeda Formal, terutama bangunan
digunakan digunakan, termasuk metode sejarah, model matematika; sering
komparasi; data sering dihasilkan menggunakan data formal
oleh yang peneliti atau resmi
Sumber: Swedberg, 1998

Hal sebaliknya terjadi dalam pendekatan ekonomi mainstream. Di


mana semua pelaku ekonomi terpisah satu sama lain. Kendala yang dihadapi
oleh pelaku ekonomi adalah kendala sumber daya dan teknologi. Struktur
dan nilai-nilai yang ada di masyarakat bukan menjadi kendala karena
ekonomi dan masyarakat merupakan dua hal yang terpisah. Masyarakat
bukan menjadi referensi karena tempat berlangsungnya aktivitas ekonomi
bukan di masyarakat tetapi di pasar. Satu-satunya referensi bagi individu
adalah pasar beserta informasinya.
Dengan memperhatikan kedua pendekatan tersebut terlihat bahwa
pendekatan ekonomi mainstream sangat jauh dari realita ekonomi.
Pernyataan bahwa individu merupakan pelaku yang independen dari
masyarakat dan pasar terpisah dari kehidupan masyarakat, merupakan
pernyataan yang bertentangan dengan fakta. Bukti yang ditemui di lapangan
menunjukkan bahwa individu tidak pernah independen dari masyarakat dan
pasar berada di tengah-tengah masyarakat sehingga faktor sosial memiliki
pengaruh penting terhadap perilaku pasar.
Meskipun ekonomi sosiologi yang dekat dengan metodologi holisme
memiliki relevansi yang lebih tinggi dalam menjelaskan realita ekonomi dari
pada metodologi individualisme, tetapi sayangnya ekonomi sosiologi dan
metodologi holisme tidak mendapatkan porsi yang memadai sebagai materi
kuliah bagi mahasiswa Fakultas Ekonomi di Indonesia. Akibatnya, sarjana
ekonomi yang baru lulus sangat bias dalam memahami realita ekonomi
karena mereka melihat perekonomian sebagai dunia yang tertutup terhadap
aspek sosial sehingga pemehamannya bersifat parsial.
Dalam konteks inilah penelitian ini dilakukan agar hasilnya dapat
digunakan sebagai bahan tambahan untuk memperluas cakupan materi
pengajaran dalam ilmu ekonomi sehingga mahasiswa dan dosen memiliki
pemahaman yang luas terhadap fenomena ekonomi yang ada di lapangan.

1.2. Masalah dan Tujuan Penelitian


Seperti telah disebutkan bahwa ilmu ekonomi merupakan bidang yang
tidak pernah lepas dari kontroversi. Kontroversi dalam ekonomi memiliki
dimensi yang sangat luas. Kontroversi ini tidak hanya terjadi pada tingkat
teori, tetapi juga terjadi pada tingkat sisitim atau idiologinya. Meskipun
demikian, masih ada kontroversi pada sisi lain yang sangat penting tetapi
sering dilupakan orang, yakni kontroversi tentang metodologi yang harus
dipakai dalam memahami realita ekonomi. Kontroversinya adalah antara
metodologi individualisme berhadapan dengan metodologi holisme.
Meskipun metodologi holisme terlihat lebih relevan dalam memahami
fakta ekonomi dari pada metodologi individualisme, namun metodologi
yang terakhir ini masih mendominasi pengajaran ilmu ekonomi di Fakultas
Ekonomi seluruh Indonesia. Kurangnya referensi sebagian besar pengajar di
Fakultas Ekonomi menjadi salah satu penyebab penting dari absennya materi
metodologi holisme dalam pengajaran ilmu ekonomi. Kondisi ini memiliki
implikasi yang sangat jauh, yaitu relatif sempitnya wawasan keilmuan yang
dimiliki oleh alumni jurusan IESP. Akibatnya, masalah ekonomi yang
semestinya komplek difahami sebagai fenomena yang sifatnya sempit,
parsial, linier, dan terlepas dari aspek sosial.
Dari uraian tersbut di atas, maka permasalahan dalama penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Apa makna metodologi individualisme dalam ilmu ekonomi
b. Bagaimana makna dan aplikasi metodologi holisme dalam ilmu
ekonomi
c. Bagaimana perbedaan antara metodologi individualisme dan
metodologi holisme dalam memahami fenomena sosial dan perilaku
individu

Berangkat dari ketiga permasalahan tersebut, maka tujuan dari penelitian ini
adalah untuk:
a. Menemukan makna dan persoalan yang belum terseleseikan dalam
metodologi individualisme
b. Menjelaskan pengertian metodologi holisme beserta penerapannya
dalam ilmu ekonomi
c. Mengetahui perbedaan antara metodologi individualisme dan holisme
dalam menjelaskan fakta sosial dan perilaku individual

1.3. Metode dan Sistimatika Laporan Penelitian


Penelitian ini adalah penelitian pustaka, di mana hasil-hasil yang
dilaporkan didasarkan pada referensi dan hasil penelitian yang relevan
dengan topik yang diajukan. Mengingat keterbatasan peneliti untuk bisa
meng-akses referensi di berbagai lembaga/perpustakaan internasional, maka
penelitian ini tidak bisa membahas secara mendalam perkembangan dan
cakupan dari kedua metodologi tersebut.
Mengingat kontroversi antara kedua metodologi tersebut terfokus
pada persoalan mengenai penentuan metode yang paling tepat dalam
memahami fenomena ekonomi, maka peneliti memandang perlu untuk
menjelaskan perbedaan kedua metodologi tersebut dalam memahami
fenomena sosial secara umum dan perilaku individual. Perlu memahami
fenomena sosial karena fenomena ekonomi pada dasarnya tidak bisa
dipisahkan dari fenomena sosial. Diperlukan pemahaman tentang perilaku
individu karena fenomena ekonomi tidak bisa dipisahkan dari perilaku
individu. Singkatnya, fenomena ekonomi adalah hasil dari tindakan individu
dan interkasi individu dalam masyarakat.
Dengan alasan seperti tersebut di atas, maka laporan penelitian ini
disusun dalam empat bab dengan uraian sebagai berikut:
 Bab I : Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan latar belakang,
permasalahan, dan tujuan penelitian.
 Bab II : Menyajikan pembahasan tentang debat antara metodologi
individualisme dan holisme dalam memahami fenomena sosial. Di
samping ituu, dalam bab II ini juga akan disajikan perbedaan perilaku
individu dari persfektif individualisme dan kolektivisme. Dengan dua
materi pokok seperti ini (fakta sosial dan perilkau individu), akan
memudahkan pembaca untuk mengikuti uraian pada bab-bab selanjutnya.
 Bab III : Menguraikan beberapa makna dan mendiskusikan hal-hal yang
masih membingungkan dalam metodologi individualisme.
 Bab IV : Membicarakan makna holisme dan model sosioekonomi
holisme a la Parson. Dalam bab ini, peneliti mencoba untuk
menunjukkan perbedaan antara metodologi holisme dan individualisme
dalam menjelaskan fenomena ekonomi.
 Bab V : Memberikan kesimpulan pokok dari kedua metodologi tersebut.
BAB II
PANDANGAN INDIVIDUALISME DAN HOLISME TERHADAP
FAKTA SOSIAL DAN PERILAKU INDIVIDU

Sebagian besar ilmuwan di bidang sosial sepakat bahwa fenomena


ekonomi tidak bisa dipisahkan dari aspek sosial yang berlaku di masyarakat.
Juga tidak dipungkiri bahwa fakta sosial ada karena individu anggotanya
melakukan tindakan. Oleh karena itu, memahami fakta sosial dan perilaku
individu yang membentuk fakta sosial itu sendiri, merupakan langkah awal
yang harus dilalui untuk memahami dengan benar fenomena ekonomi yang
dibentuk oleh tindakan individu yang hidup secara berkelompok.
Uraian dalam Bab II ini akan dimulai dengan pembahasan mengenai
makna individualisme dan kolektivisme dari sudut pandang psikologi.

2.1. Individualisme dan Kolektivisme dilihat dari Sudut Perilaku


Dari sudut pandang perilaku, istilah holisme hampir tidak ditemui.
Yang banyak disebut dalam literatur adalah istilah kolektivisme, sebagai
lawan dari perilaku yang individualis (individualisme).

2.1.1. Individualisme
Elemen kunci dari makna individualisme adalah asumsi bahwa secara
individu seseorang bersifat independen terhadap orang lain. Jika asumsi
tersebut benar, beberapa implikasi penting dari individualisme dapat
diunyatakan. Namun satu pertanyaan yang perlu dipikirkan adalah
mungkinkah secara empiris dapat dirumuskan implikasi spesifik dari
individualisme yang kemudian menggambarkan sifat keuniversalannya.
Sehubungan dengan pertanyaan tersebut, beberapa ahli memberikan
definisi yang berbeda-beda terhadap individualisme dari perspektif perilaku.
Hofstede (1980) mendifinisikan individualisme sebagai perilaku seseorang
yang memiliki cir-ciri tertentu, yaitu menempatkan hak di atas kewajiban,
mementingkan diri sendiri dan keluarga, menekankan pada otonomi personal
dan pemenuhan diri sendiri, serta mendasarkan pada identitas dan prestasi
personal. Waterman (1984) mendifinisikan normativ individualisme sebagai
perilaku yang memfokuskan pada tanggung jawab personal dan kebebasan
personal untuk memilih, hidup di atas potensi dirinya sendiri, dan
menghormati integritas orang lain. Sedangkan Schwartz (1990) berpendapat
bahwa masyarakat yang individualistik adalah masyarakat yang
fundamentally contractual, consisting of narrow primary groups and
negotiated social relations, with specific obligations and expectations
focusing on achieving status.
Semua definisi tersebut pada dasarnya menggambarkan substansi
yang sama dari individualisme, yakni sebagai pandangan yang
mementingkan aspek personal (tujuan personal, kontrol personal, dan
keunikan personal) dan tidak mementingkan atau mengesampingkan aspek
sosial. Dari pengertian seperti tersebut, selanjutnya dari sudut pandang
psikologi dapat diungkapkan beberapa implikasi penting yang berkaitan
dengan konsep diri, kesejahteraan, atribut gaya hidup, dan rasionalitas.
Pertama, dilihat dari konsep diri, individualisme memiliki tiga
implikasi yaitu :
 menciptakan dan sekaligus mempertahankan makna positip dari
kepentingan diri sendiri sebagai landasan manusia untuk berusaha
atau bertindak,
 berpikiran baik terhadap diri sendiri, sukses pribadi, dan memiliki
keunikan perilaku dan opini personal yang berbeda dengan yang lain
adalah sesuatu yang bernilai, dan
 memiliki sifat tertentu yang merupakan unsur pokok untuk
mendefinisikan diri.
Kedua, dilihat dari sudut pandang kesejahteraan, implikasi penting
dari individualisme adalah sebuah pendangan yang menyatakan bahwa
ekspresi emosional dan mencapai tujuan secara personal merupakan unsur
terpenting dari kesejahteraan dan kepuasan hidup.
Ketiga, dilihat dari atribut gaya hidup, individualisme berimplikasi
bahwa hal-hal yang berkaitan dengan cara penilaian, alasan atau argumen
yang diajukan, dan penyebab terjadinya sesuatu umumnya diarahkan pada
person, dan bukan pada kontek sosial. Hal ini demikian karena keberadaan
person diasumsikan stabil. Dengan demikian, individualisme mementingkan
alasan dekontekstualisasi (sebagai lawan dari situasi yang spesifik), karena
diasumsikan tidak ada hambatan bagi informasi sosial untuk menyatu
dengan kontek sosial.
Keempat, yang berkaitan dengan rasionalitas, implikasi dari
individualisme agak membingungkan. Di satu sisi, individu membutuhkan
hubungan (relationship) dan keanggotaan dalam kelompok untuk mencapai
tujuannya tetapi, di sisi lain, hubungan adalah sesuatu yang sangat mahal
untuk dipertahankan. Para ahli di bidang ini kemudian mengasumsikan
bahwa orang yang memiliki sifat individualis mempunyai pedoman tertentu
untuk menyeimbangkan antara biaya dan manfaat dalam mempertahankan
hubungan. Akan memutuskan hubungan dan keluar dari kelompok jika biaya
partisipasi melebihi manfaatnya. Kalau ini yang terjadi, maka selanjutnya
individu tersebut mencari dan membangun hubungan baru agar tujuan
personal dapat diwujudkan (yang sudah tidak bisa diwujudkan dengan
menggunakan bentuk hubungan yang terdahulu). Akhirnya dapat
disimpulkan bahwa, bagi orang yang memiliki sifat individualis, hubungan
dan keanggotaan kelompok merupakan sesuatu yang sifatnya tidak
permanen.

2.1.2. Kolektivisme
Kunci pokok dari kolektivisme adalah asumsi bahwa kelompok
memiliki kekuatan untuk mengikat dan mewajibkan individu. Dari sisi
pandang seperti ini, para ahli kemudian merumuskan beberapa implikasi
atau konsekuensi dari kolektivisme. Satu pertanyaan yang bisa diajukan
adalah apakah secara empiris peneliti dapat menemukan implikasi dari
perbandingan antar budaya yang kemudian menghasilkan kesimpulan yang
bersifat universal bagi kolektivisme. Meskipun kadang-kadang saling
bertentangan, adalah sangat mungkin untuk mendiskripsikan komponen
individualisme dan kolektivisme sebagai landasan untuk membedakan
keduanya.
Menurut Schwartz (1990), masyarakat kolektiv adalah masyarakat
komunal di mana pemahaman semua anggota kelompok terhadap kewajiban
dan harapan berada pada tingkat yang sama dan semuanya didasarkan pada
simbul-simbul yang tertulis. Dalam masyarakat seperti ini, unit sosial yang
memiliki tujuan tertentu dan nilai-nilai yang dianut secara bersama-sama,
merupakan sesuatu yang sifatnya terpusat. Artinya, masing-masing person
(individu) hanya berperan sebagai anggota dan menjadi bagian dari unit
sosial, sehingga unit analisisnya adalah kelompok beserta apa yang ada di
dalamnya (in-group). Penjelasan seperti ini memusatkan kolektivisme
sebagai pandangan hidup secara sosial yang selalu berorientasi ke dalam
kelompok dan bukan ke luar kelompok.
Mengingat kelompok yang memiliki orientasi ke dalam seperti ini
bisa berbentuk keluarga, marga, etnis, agama, dan lainnya, maka
kolektivisme dapat pula dipandang sebagai sebuah bangunan yang
menyatukan kultur yang berbeda-beda ke dalam sebuah kelompok yang
memiliki referensi tertentu. Kelompok baru yang dimaksud bisa berbeda
dalam bentuknya atau berbeda dalam tingkatannya. Oleh karena itu,
kolektivisme bisa memiliki cakupan yang lebih luas dari pada
individualisme dalam hal nilai, sikap, dan perilaku.
Dengan pengertian seperti tersebut di atas, maka implikasi penting
dari kolektivisme dilihat dari sisi psikologi (yang menyangkut tentang
konsep diri, kesejahteraan, atribut gaya hidup, dan rasioanalitas) dapat
dirumuskan, yakni:
Pertama, dilihat dari konsep diri, kolektivisme memiliki pengertian
bahwa:
 keanggotaan kelompok merupakan aspek yang sangat mendasar
 nilai-nilai yang dianut oleh person merepresentasikan tujuan dari
kelompok, seperti berkorban untuk kebaikan bersama dan menjaga
keharmonisan hubungan secara dekat antara satu anggota dengan
anggota lainnya.
Kedua, dilihat dari sisi kesejahteraan dan ekspresi emosionalnya,
kolektivisme berimplikasi beberapa hal yaitu:
 kepusaan hidup dipengaruhi oleh kesuksesan dalam menjalankan
peran dan kewajiban sosial dan sekaligus menghidari kegagalan dalam
melaksanakan peran dan kewajiban sosial
 membatasi ekspresi emosional, dan tidak mengungkapkan emosi
personalnya secara terbuka, merupakan nilai-nilai yang diyakini
sebagai sarana untuk menciptakan harmoni ke dalam kelompok (in-
group).
Ketiga, dilihat dari penilaian, alasan dan simbul-simbul yang dianut,
definisi kolektivisme menyatakan bahwa
 konteks sosial, kendala situasional, dan peran sosial menggambarkan
secara jelas persepsi diri dan selalu dijadikan landasan untuk menggali
alasan-alasan yang digunakan untuk menjelaskan sebab-sebab
timbulnya kejadian atau persoalan (causal reasoning)
 pemaknaan dikaitkan dengan sesuatu yang sifatnya kontekstual dan
memori merupakan sesuatu yang mensiratkan banyak hal
Terakhir, dilihat dari kaca mata rasioalitas, pengertian kolektivisme
memiliki beberapa implikasi yakni:
 keanggotaan dalam kelompok merupakan sesuatu yang sifatnya
permanen dan kelompok mengambarkan asal muasal individu, serta
umumnya hal ini dipandang sebagai factsoflife yang harus diterima
oleh semua orang
 batas antara ke dalam kelompok (in-group) dan ke luar kelompok
(out-group) adalah stabil, jelas, penting dan tidak bisa dirubah
 hubungan internal di dalam kelompok didasarkan pada prinsip
kesamaan atau bahkan kedermawanan
2.2. Holisme dan Individualisme dalam Ilmu Sosiologi
Debat holisme dan individualisme dalam ilmu sosiologi meliputi dua
hal, yaitu debat ontologis dan metodologis. Kedua debat tersebut pada
akhirnya membawa implikasi penting terhadap unit analisis maupaun
terhadap posisi dari ilmu sosiologi.

2.2.1. Debat Ontologis


Istilah ontologi sering dikaitkan dengan ilmu filsafat yang bertujaun
untuk menjelaskan keberadaan sesuatu. Debat ontologis tentang realitas
sosial, oleh karenanya, pada dasarnya merupakan kontroversi mengenai
pemaknaan terhadap keberadaan realits sosial itu sendiri. Umumnya, inti
debatnya adalah apakah eksistensi realitas sosial itu merupakan satu
kesatuan yang utuh, atau sesuatu yang dapat di potong-potong menjadi
beberapa bagian yang lebih kecil lagi.
Ahli sosiologi seperti Durkheim (Allwood, 1973) menyatakan bahwa
bentuk yang lebih tinggi dari sebuah realitas adalah sama dengan bentuk-
bentuk yang ada di bawahnya. Meskipun demikian ini tidak berarti bahwa
fakta sosial adalah sesuatu yang bersifat material tetapi sesuatu yang sama
dengan material, meskipun memiliki corak yang berbeda. Bagi Durkheim
penomena sosial berbeda dengan individu, di mana penomena sosial
memiliki bentuk yang nyata yang merupakan realita dengan karakternya
yang spesifik dan sangat bebebeda dengan fakta individual yang membentuk
fakta sosial.
Menurut Marvin Olsen (Allwood, 1973), keberadaan tatanan sosial
tidak hanya muncul melalui interaksi antar person atau individu yang
berperan sebagai aktor sosial, tetapi keberadaannya juga bersifat independen
dari aktor yang menciptakannya. Pola tatanan sosial menggambarkan
karakteristik yang spesifik dan tidak mencerminkan karakteristik individu
para anggotanya. Jika ciri-ciri yang melekat pada realitas sosial itu berbeda,
maka keberadaannya juga berbeda.
Dengan pandangan seperti ini, maka hal ini memiliki implikasi
tertentu secara ontologis. Secara eksplisit Durkheim menyatakan bahwa
kemunculan kualitas atau ciri-ciri realitas sosial yang kemudian membentuk
sebuah realitas tersendiri, sangat berbeda dengan individu beserta
karakternya. Disimpulkan bahwa realitas sosial tidak bisa direduksi pada
tingkat realita individuial.
Untuk mendukung pernyataan tersebut, Durkheim membuat analogi
ilmu sosial dengan bidang ilmu pengetahuan alam, misalnya, biologi.
Kehidupan sel menjadi tidak bermakna kecuali dengan partikel mineralnya,
sebagaimana sosial menjadi tidak bermakna kecuali dengan individunya.
Adalah tidak mungkin karakteristik penomena sebuah kehidupan bertumpu
pada atom dari hidrogen, oksigen, karbon, dan nitrogen. Bagaimana
mungkin karakter sebuah kehidupan muncul dalam unsur yang mati?.
Karakter biologi tidak mungkin eksis pada semua unsur-unsurnya karena
unsur-unsur tersebut secara alamiah tidak sama. Seperti halnya karbon tidak
mungkin menjadi sebuah nitrogen, karena keduanya tidak memiliki karakter
atau fungsi yang sama. Oleh karena itu kehidupan tidak mungkin dipotong-
potong dalam bagian yang terpisah. Kehidupan adalah satu kesatuan
sehingga memiliki strata yang bisa hidup hanya secara totalitas, dan bukan
pada masing-masing bagian yang membentuk kehidupan itu sendiri.
Dengan pola pikir yang sama, kemudian Durkheim menyatakan
bahwa sebuah kenyataan atau realitas yang timbul dari kombinasi dari
unsur-unsur yang lain, tidak memiliki realita yang sama. Sekali realita sosial
muncul, maka keberadaannya terpisah dengan realita pada tingkat
individual. Oleh karena itu, setiap masyarakat menghasilkan penomena yang
baru, dan harus ditegaskan bahwa fakta-fakta yang dihasilkannya menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat itu sendiri, dan bukan
merupakan bagian dari fakta-fakta para anggotanya.
Dengan demikian timbul pertanyaan, bagaimana menjelaskan bentuk
kongkrit tentang keberadaan (atau ontologi) dari realita soial yang baru
tersebut menurut pandangan Durkheim?. Sudah dinyatakan di atas bahwa
hal tersebut berbeda dengan realita-relita lainnya. Realita satu dan lainnya
adalah terpisah atau independen. Oleh karena itu, dari sudut pandang
holistik, eksistensi dari realita sosial dapat dinyatakan ke dalam dua
rumusan:

a. Realita sosial terpisah sama sekali dari realita bagian-bagian yang


membentuknya (disebut holisme yang ekstrim)
b. Realita sosial, dalam beberapa hal, merupakan penomena dari unsur-
unsur yang membentuknya, sehingga realita sosial memiliki
karateristik tersendiri tetapi tidak terpisah dari karakteristik unsur-
unsurnya (disebut holisme moderat)

Rumusan pertama merupakan rumusan yang tepat bila dikaitkan


dengan doktrin yang ekstrim seperti yang diungkap oleh Rousseau
(Allwood, 1973) tentang kehendak bersama (la volonte generale). Kehendak
bersama dari sebuah kelompok sosial adalah penomena sosial yang terpisah
sama sekali dari kehendak anggota. Holisme moderat pada rumusan ke dua
merupakan alternatif rumusan yang relevan sebagian besar dari bentuk teori
holistik.
Para penganut faham individualisme yang meyakini adanya
reduksionisme tidak setujui dengan alasan yang telah disebutkan oleh
pemikir holisme. Terutama sekali yang berkaitan dengan alasan tentang
timbulnya karateristik secara otomatis pada berbagai tingkat realita. Tidak
ada tingkat-tingkat khusus dalam relita sosial. Yang ada hanya karateristik
dan interaksi individu anggotanya. Pengamatan terhadap semua kondisi dan
karateristik sosial di manapun tidak bisa dilakukan, karena kondisi dan
karakter tersebut tidak lain merupakan karakteristik dari kumpulan hasil
interaksi individu yang sangat banyak.
Mereka yang setuju dengan pendekatan reduksionisme mengajukan
alasan untuk menentang dua rumusan holisme tersebut di atas. Yakni dengan
mengatakan: ambil semua bagian-bagian dari keseluruhan tersebut, dan
kemudian keseluruhan itu akhirnya juga tidak ada. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa tidak ada sesuatu yang menyeluruh itu terpisah sama sekali
dengan bagian-bagiannya.

2.2.2. Debat Epistimologi


Terhadap rumusan holisme moderat seperti pada poin (b), penganut
paham reduksionis memberikan argumen epistimologi untuk hal-hal berikut
ini. Untuk semua pernyataan ilmiah tentang realita harus bisa diturunkan
dari pengamatan empiris secara langsung. Langkah-langkah penurunan ini
bisa memakan waktu lama, tetapi pada dasarnya hal ini adalah sesuatu yang
mungkin untuk membentuk cara-cara penurunan yang tertentu. Jika
seseorang mengesampingkan prosedur ini, tidak bisa dibayangkan
bagaimana seseorang dapat memisahkan antara berfikir ilmiah dan berfikir
yang sifatnya spekulatif dan fantasi.
Sekarang kita kaitkan prinsip epistimologi tersebut ke dalam holisme
tipe moderat. Holisme moderat menegaskan bahwa kalaupun realita sosial
pada dasarnya tergantung pada bagian-bagiannya, ini tidak berarti bahwa
karakter yang melekat pada realita sosial dapat direduksi ke dalam karakter
individual. Justru sebaliknya, realitas sosial tidak bisa direduksi.
Para pemikir reduksionis menggaris bawahi bahwa sesuatu yang bisa
diamati langsung adalah karakter pada tingkat individual, fakta-fakta dan
lingkungan alam dari individu. Hanya karakter dari bagian-bagian yang
membentuk totalitas tersebut, dan bukan ciri-ciri dari totalitas itu sendiri,
yang dapat diobservasi

2.2.3. Kemandirian Ilmu Sosiologi


Argumen-argumen yang telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa
ada beberapa tipe holisme dan indiviudalisme. Ini menggambarkan sebuah
gagasan bahwa setiap ilmu pengetahuan menggali dan memiliki wilayah
realita bahasan sendiri-sendiri, dan jika dua ilmu pengetahuan menggali area
yang sama, maka pada dasarnya keduanya bukan ilmu pengetahuan yang
terpisah. Bagi fihak-fihak yang percaya pada thesis tersebut dan kemudian
berfikir bahwa penomena sosial adalah sesuatu yang menarik, menjadi
sangat penting untuk diketahui bahwa ilmu sosiologi pada dasarnya
memiliki area yang khusus untuk dipelajari, dan area itu bukan milik ilmu
lain. Seperti yang dikatakan oleh Durkheim, untuk menilai eksitensi ilmu
pengetahuan dapat dilihat apakah ilmu pengetahuan tersebut memiliki area
bahasan tersendiri yang tidak menjadi bahasan dari bidang ilmu lain.
Untuk alasan seperti ini maka dapat dikatakan bahwa sosiologi
memiliki objek studi tersendiri yang tidak menjadi objek studi dalam bidang
kimia, biologi, atau psikologi. Dari pemikiran ini, kemudian pemikir holisme
menawarkan sebuah argumen, di mana dikatakan bahwa, jika thesis itu
benar, maka penomena sosial merupakan wilayah atau realita ilmu sosiologi
yang memiliki ciri-ciri tertentu yang tidak bisa direduksi ke dalam ciri-ciri
dari objek yang kemudian menjadi wilayah studi dari ilmu lainnya (misalnya
psikologi). Pada prinsipnya sangatlah tidak mungkin bagi teori psikologi
yang didasarkan pada indidvidu digunakan untuk menggambarkan relita
sosial. Dengan prinsip holistik model Durkheim ini selanjutnya dapat
dijadikan sebagai landasan untuk menyatakan bahwa eksistensi sosiologi
sebagai ilmu pengetahuan yang terpisah dari ilmu psikologi dan biologi.
Usaha untuk menempatkan sosiologi sebagai ilmu yang terpisah dari
ilmu lain, memiliki konsekuensi tertentu. Yakni sosiologi adalah teori yang
harus dipisahkan dari ilmu non-sosial. Konsep-konsepnya, hubungan dan
pertalian sebab-akibatnya harus bersifat sosial murni.
Perlu dicatat bahwa hanya dengan asumsi ontologi model Durkheim
seperti ini bisa mengelurakan ilmu-ilmu yang lain dari studi penomena
sosial. Ini menjelaskan mengapa beberapa pemikir holisme selalu
mengkaitkan alasan seperti ini dengan komitmen ontologinya, sehingga
menjamin bahwa sosiologi adalah benar-benar ilmu pengetahuan.
Sebaliknya para pemikir reduksionis menolak anggapan bahwa setiap
ilmu pengetahuan memiliki wilayah studi tersendiri. Mereka menyatakan
bahwa pada dasrnya tidak ada ilmu yang murni seperti yang dinyatakan oleh
Durkheim. Ilmu fisika dan kimia secara internal memiliki area yang
tumpang tindih dan, secara eksternal, memiliki persoalan area yang tumpang
tindih dengan ilmu lain. Bahkan kemudian ada penggabungan di antara
beberapa ilmu, misalnya bio-kimia, teknik-kimia, dan sebagainya.
Sosiologi tidak seharusnya membenarkan eksistensinya dengan
membuktikan bahwa sosiologi memiliki objek kajian tersendiri. Subjek
kajian sosiologi secara bersama-sama juga menjadi kajian ilmu-ilmu
psikologi, ekonomi, sejarah, dan biologi. Karena para pemikir reduksionis
tidak berfikir bahwa sosiologi harus memiliki wilayah kajian tersendiri,
mereka justru menekankan kesamaan ilmu-ilmu sosial sehingga
memungkinkan untuk merumuskan teori sosial yang umum.

2.2.4. Unit Analisis


Kontroversi antara individualisme dan holisme tidak berhenti pada
independen tidaknya ilmu sosiologi tetapi juga berkaitan dengan unit analsis
yang digunakan. Keduanya memiliki cara pandang yang berbeda, atau
bahkan saling bertentangan.
Holisme menggunakan unit analisis yang lebih besar dari pada
reduksionisme atau individualisme. Reduksionisme menggaris bawahi
bahwa ada satu unit analisis yang fondamental dalam ilmu sosiologi yaitu
individu, di mana semua teori harus dibangun dari unit individu. Sebaliknya
holisme memilih unit analisis yang lebih besar seperti kelompok dan satuan
sosial lainnya. Holisme menggunakan ciri-ciri agregat seperti integrasi dan
kohesi sebagai konsep dasar untuk membangaun hubungan satu dengan
lainnya dan tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
Selanjutnya dapat dikatakan bahwa, dalam holisme, teori sosiologi
dapat dan seharusnya menjelaskan penomena sosial dengan mengacu pada
unit yang luas dan ciri-ciri yang terkandung di dalamnya. Sebaliknya paham
reduksionis menegaskan bahwa penomena sosial dapat dan seharusnya
dijelaskan oleh referensi individual beserta ciri-cirinya.
2.2.5. Aspek Realitas
Cara yang menarik untuk melihat perbedaan antara holisme dan
reduksionisme adalah dengan mengatakan bahwa masing-masing pendukung
membicarakan sisi masing-masing dan tidak membicarakan hal yang sama.
Berbicara tentang sosiologi berarti sedang tidak berbicara psikologi.
Seseorang dapat melihat sekelompok orang sekurang-kurangnya dalam dua
cara, yakni, satu sisi, seseorang tertarik pada kelompok sebagaimana adanya
dan, sisi lain, seseorang tertarik pada masing-masing orang pada kelompok
tersebut. Seseorang tertarik pada bagian realita yang sama, tetapi berbeda
dalam aspeknya. Dalam ilmu biologi, sel memiliki ciri-ciri tertentu seperti
kehidupan, tetapi jika kita memandang sel yang sama dari sudut pandang
ilmu kimia atau lainnya, kita tertarik hanya pada ciri-ciri kimianya.
Bagaimana seseorang memandang sebuah objek dari sudut pandang
yang berbeda sudah dikenal dalam penomena persepsi psikologi. Tergantung
bagaimana kita mengorganisir sebuah realita, dari sisni berbagai pandangan
akan muncul. Perbedaan antara holisme dan reduksionisme, oleh karenanya,
dapat dijelaskan sebagai berikut. Keduanya sebenarnya memperhatikan
penomena yang sama, tetapi keduanya tertarik pada sesuatu yang berbeda.
Atau, keduanya memandang realita yang sama tetapi dengan perspektif yang
berbeda.
Paradok holisme yang menyatakan bahwa kepercayaan yang muncul
dan hal yang terpisah tentang realita yang tidak bisa direduksi ke dalam
bentuk yang lain dapat dijelaskan secara sederhana sebagai sesuatu yang
berpindah dari perspektif satu ke perspektif lainnya. Akan lebih baik kalau
memandang sesuatu dari sudut yang berbeda diartikan sebagai adanya
perbedaan asumsi sehingga menghasilkan interpretasi dan organisasi yang
berbeda terhadap sesuatu yang menyangkut hal yang sama.
Dalam berbagai kasus, adalah hal yang penting untuk membedakan
berbagai perspektif sudut pandang, asumsi-asumsi yang didasarkan pada
kerangka teori yang digunakan untuk membahas sesuatu fakta. Selanjutnya
dapat didefinisikan unit analisisnya yang bersesuaian dengan kerangka teori
yang sudah dibangun. Seseorang bisa tertarik pada agregat sosial
sebagaimana adanya, atau tertarik pada bagian-bagian tertentu yang
membentuk agregat tersebut.
Perbedaan antara holisme dan reduksionisma dalam ontologi juga bisa
diseleseikan dengan cara yang sama. Karakter yang melekat pada satu
kesatuan yang menyeluruh tidak bisa direduksi menurut holisme karena
mereduksi berarti merubah sudut pandang dan akan menyebabkan hilangnya
karakter dari satu kesatuan yang menyeluruh tersebut. Artinya, kita masih
membahas hal yang sama tetapi kita tertarik pada sekumpulan asumsi dan
cara pengorganisasian yang baru.
BAB III
METODOLOGI INDIVIDUALISME DALAM EKONOMI

Telah dipaparkan pada bagian terdahulu bahwa individualisme dan


holisme tidak hanya menjadi monopoli dalam bidang ekonomi, tetapi juga
menjadi bidang kajian menarik bagi berbagai bidang ilmu pengatahuan
sosial lainnya, khususnya sosiologi. Yang lebih menarik ladi, kontroversi
tersebut juga terjadi di bidang eksakta. Tidak seperti yang dibayangkan oleh
orang sosial, di mana diyakini kontroversi hanya terjadi pada penomena
sosial, kontroversi dalam memahami fakta dan fenomena alam akhir-akhir
ini menjadi perdebatan yang menarik dan terus berkembang. Keberadaan
metodologi individualisme yang telah memiliki tempat yang mapan dalam
bidang eksakta mulai dikritisi.
Namun demikian, pada bagian ini penulis akan memaparkan berbagai
pemikiran metodologi individualisme dalam ekonomi. Perlu disadari bahwa
makna dari metodologi individualisme dalam ilmu ekonomi sangat beragam,
di mana masing-masing ahli memiliki penafsiran yang tidak selalu sama
dengan ahli lain, sehingga memberikan hasil dan implikasi yang berbeda-
beda dalam memahami penomena ekonomi.

3.1. Pemikiran dalam Metodologi Individualisme


Dalam sejarahnya, makna metodologi individualisme tidak pernah
seragam. Mulai dari penafsiran secara ketat sampai penafsiran secara
longgar. Ketat dan longgarnya penafisran dari metodologi individualisme
berkaitan dengan posisi dari individu sendiri. Artinya, apakah individu itu
dipandang sebagai makhluk yang independen atau dependen.
3.1.1. Metodologi Individualisme Weber
Istilah metodologi individualisme awalnya diperkenalkan oleh murid
Weber, Joseph Schumpeter, pada tahun 1908 dalam karyanya yang berjudul
Das Wesen und der Hauptinhalt der theoretischen Nationalokonomie.
Penggunaan istilah dalam bahasa Inggris juga diungkapkan pertama kali
oleh Schumpeter dalam artikelnya yang dimuat di Quarterly Journal of
Economics dengan judul On the Consept of Social Value. Namun perlu
disadari bahwa elaborasi substansi teoritisnya bukan berasal dari
Schumpeter tetapi berasal dari Weber. Schumpeter sendiri menggunakan
istilah metodologi individualisme memang untuk mengungkapkan pemikiran
Weber.
Dalam mengartikan metodologi individualisme, Weber
mengungkapkannya dengan makna yang tidak seperti yang dikenal secara
meluas tentang metodologi individualisme dalam ekonomi. Dikatakan
bahwa, jika mendiskusikan fenomena sosial, maka yang menjadi pokok
pembicaraan adalah berbagai kolektif sosial seperti negara, asosiasi,
korporasi bisnis, yayasan. Semua bentuk kolektif sosial tersebut dipandang
seolah-olah sebagai person secara individual. Substansi yang dibicarakan
adalah rencananya, kinerja dari tindakannya, kerugian yang dideritanya, dan
sebagainya. Doktrin metodologi individualisme Weber dikaitkan dengan
sudut pandang sosiologis dari tindakan yang dilakukan oleh kolektif sosial.
Untuk itu, apa yang dilakukan oleh kolektif sosial dalam sebuah organisasi
harus diperlakukan semata-mata sebagai hasil dari tindakan person secara
individual, karena hanya dengan memperlakukan kolektivitas sebagai person
yang berperan sebagi agent akhirnya dapat dipahami tindakan subjektivnya.
Metodologi individualisme dalam Weber seperti ini memang dekat
dengan model intepretasi dalam model sosiologi individualisme. Alasan
untuk menekankan tindakan secara individual dalam menjelaskan makna
sosiologis karena hanya tindakan seperti ini yang bisa dipahami secara
subjektif. Weber menggaris bawahi kata tindakan (action) untuk
menggambarkan pada bagian perilaku manusia yang dilandasi oleh kondisi
mental. Dengan demikian, untuk menemukan definisi dari karakteristik
sebuah tindakan adalah dengan memaknai bahwa tindakan tersebut di
landasi oleh kondisi mental (kondisi intensional). Ini menggambarkan
bahwa, menurut Weber, tindakan merupakan susuatu yang penting sehingga
kita harus memiliki kekuatan untuk memahaminya, terutama dengan
memahami motif utama dari pelaku ekonomi. Dengan jalan seperti ini, maka
tugas ilmuan sosial adalah untuk mencapai sesuatu yang tidak bisa dicapai
oleh ilmuwan eksakta, terutama yang berkaitan dengan tingkat pemahaman
tentang subjektif pelaku individualnya. Penjelasan teoritis tentang sutau
tindakan (action-theoritic explanation) merupakan pokok dari analisis ilmiah
dalam bidang sosial, sehingga tanpa mengatahui alasan mengapa seseorang
bertindak terhadap apa yang dilakukan, seseorang tidak akan pernah bisa
memahami dengan baik mengapa fenomena yang lebih besar bisa terjadi.
Dari penjelasan di atas jelas bahwa makna metodologi individualisme
bagi orang yang pertama kali melontarkan istilah tersebut, amat berbeda
dengan istilah yang dipahami oleh pemikir selanjutnya sampai saat ini.
Tujuan dari metodologi individualisme Weber bukan untuk menunjukkan
pentingnya penjelasan individual dalam menejalskan penomena sosial,
melainkan ditujukan untuk memberikan penjelasan teoritis tentang sebuah
tindakan (action-theoritic explanation). Penekanan pada action-theoritic
explanation merupakan isu metodologis karena memberikan rumusan
mengenai sebuah cara atau metode dalam ilmu sosial, di mana tujuan
utamanya adalah untuk memberikan pemahaman tentang penomena sosial.
Tindakan dapat dipahami, tetapi penomena sosial tidak bisa dipahami,
karena tindakan dilandasi oleh kondisi intensional. Hanya individu yang
memiliki kondisi intensional, sedangkan fenomena tidak memiliki dorongan
intensional, sehingga metodologi untuk memahami tindakan berarti
menekankan pada metodologi individual. Jadi individualisme dalam
metodologi individualisme merupakan konsekuensi dari komitmen pokok
untuk memahami secara teoritis dan bukan pada faktor motivasinya itu
sendiri. Inilah yang digunakan bagi para ahli metodologi individualisme
untuk menunjukkan bahwa metodologi ini netral terhadap politk maupun
idiologi. Metodologi individualisme bukan berkaitan dengan sebuah idiologi
(bukan idiologi individualisme versus idiologi kolektivisme), tetapi hanya
berkaitan dengan metodologi untuk memahami fenomena sosial.
Disini perlu dipahami tentang perbedaan antara metodologi
individualisme dalam pengertian Weber dengan tradisi pemikiran yang lebih
lama lagi, yaitu atomisme dalam ilmu sosial. Beberapa penulis sering
mengemukakan bahwa istilah metodologi individualisme sering dipakai oleh
ekonom dari pemikir Austria (Carl Menger). Metodologi atomisme
diperjelas oleh Hobbes yang menyatakan bahwa pada dasarnya individu
adalah makhluk yang sudah memiliki kesempurnaan dalam dirinya, sehingga
interaksi diantara individu-individu tidak akan pernah bisa merubah karakter
individunya. Metodologi individualisme tidak pernah mempertimbangkan
klaim terhadap makna dari kondisi intensional individu, sehingga tetap
memungkinkan untuk mereduksi dimensi sosial ke dalam psikologi. Jadi
salah satu cara untuk membedakan metodologi atomisme dari
individualisme adalah, yang pertama, sosiologi sepenuhnya dapat direduksi
ke dalam psikologi dan, yang kedua, sosiologi tidak pernah direduksi ke
dalam psikologi.
Akhirnya perlu dicatat bahwa komitmen metodologi individualisme
Weber sangat berdekatan dengan apa yang disebut doktrin metodologi teori
tipe idieal. Penjelasan historis mungkin menggunakan kondisi mental aktual
dari pelaku pembuat sejarah, tetapi ahli sosiologi lebih tertarik pada
penjelasan abstrak secara umum, sehingga tidak terfokus pada motovasi
beberapa individu tertentu. Karena adanya keterbatasan untuk membuat
intepretasi seperti ini, maka model yang tepat adalah model tindakan yang
rasional.
Jadi hal yang terpenting dari metodologi individualisme Weber adalah
bahwa metodologi tersebut menetapkan teori tindakan rasional merupakan
kunci dari penelitian ilmiah dari ilmu sosial. Ini merupakan penjelasan
mengapa generasi berikutnya di bidang ilmu sosial, terutama yang mengikuti
pemikiran Weber, berusaha untuk mengembangkan unifikasi metodologi
ilmu sosial yang kemudian lebih dikenal dengan istilah teori umum
mengenai tindakan (general theory of action). Yakni dengan memperluas
model tindakan dalam ekonomi sebagi sebuah model tindakan yang tidak
bisa dilepaskan dengan bidang lain seperti sosiologi, psikologi, dan
antropologi. Model Parson (akan dibicarakan pada bab berukitnya) dpat
dipandang sebagai model yang mengkaitkan ekonomi ke dalam sistem sosial
secara keselurhan.

3.1.2. Metodologi Individualisme Hayek


Dalam ilmu ekonomi mainstream, bidang yang paling sesuai dengan
bentuk metodologi individualisme adalah ekonomi mikro (tradisi
marginalisme pemikir Austria), dan homo economicus adalah konsep yang
paling dekat dengan model tindakan yang rasional. Tentu saja tradisi
semacam ini tidak begitu asing dalam profesi ekonomi. Dalam beberapa hal,
banyak pemikir ekonomi yang berpendapat bahwa makro ekonomi
merupakan bidang kajian yang menempatkan individu sebagai titik awalnya.
Tetapi ada juga yang memandang pergerakan siklus bisnis, atau pasar
bursa/modal, sebagai domain yang tidak menetapkan motivasi aktor individu
sebagai penjelasan penting dari terbentuknya kegiatan pada domain tersebut.
Masih banyak juga yang mencoba untuk mencari korelasi antara variabel-
variabel makro ekonomi, seperti antara inflasi dan pengangguran, tanpa
memberikan penjelasan mengapa perubahan pada satu variabel
menyebabkan perubahan variabel lainnya. Jadi masih tetap menjadi
kontroversi aktual dalam ekonomi tentang kegunaan dari model tindakan
yang rasional yang merupakan jantung dari teori keseimbangan umum.
Salah satu debat yang paling awal dalam persoalan metdologis adalah
debat mengenai apa yang disebut methodenstreit antara pemikir ekonomi
Austria dan pemikir historis German. Bagi sebagian besar pemikir Austria,
seperti Carl Menger dan Ludwig von Mises, mereka adalah pembela
atomisme murni. Hanya Friedrich von Hayek yang secera spesifik meng-
identifikasikan dirinya sebagai penganut doktrin metodologi individualisme
Weberian, dan selalu mempertahankan pemikirannya melalui penekanannya
terhadp pentingnya aspek intepretatif dalam ilmu sosial.
Dalam pandangan Hayek, keinginan dalam ilmu sosial untuk bisa
menandingi ilmu eksakta tidak bisa dipisahkan dari ketakutan yang
berlebihan dari ilmuwan sosial pada konsep teologi (nilai). Hal ini
mendorong banyak pemikir ekonomi untuk menjauhkan diri dari persoalan
mental atau moral dan memfokuskan semata-mata pada korelasi statistik
antara variabel variabel ekonomi. Cara seperti ini kemudian menciptakan
problem tersendiri, yaitu semakin menjauhkan ekonom dari penomena yang
bersifat unintelligible dalam ekonomi. Ambil sebagai contoh, tentang
pergerakan harga. Seseorang mungkin mengamati adanya korelasi yang
konstan antara periode awal bulan dan fluktuasi harga daging. Kita tidak
akan bisa memahami dengan benar penomena tersebut sampai hal tersebut
dijelaskan dengan kontek tindakan pelaku ekonomi yang rasional. Misalnya,
pada awal bulan produksi menurun, yang beimplikasi pada kurang ketatnya
persaingan harga antar penjual, tetapi persaingan antar pembeli atau
konsumen lebih ketat, sehingga harga berfluktuasi. Hayek menekankan
bahwa semua analisa makro ekonomi tidak pernah bisa tuntas karena
hilangnya fondasi mikro ekonomi.
Perlu dicatat bahwa meskipun Hayek menempatkan model tindakan
rasional sebagai hal yang sangat mendasar dalam pemikirannya, pada
prinsipnya model Hayek bukan termasuk dalam kategori rasionalisme.
Sebaliknya, Hayek menekankan bahwa beberapa penomena ekonomi dapat
timbul sebagai akibat dari tindakan yang tidak diinginkan meskipun
dilakukan oleh tindakan yang rasional. Meskipun hasil akhir yang dicapai
mungkin tidak sama dengan yang diinginkan, tetap penting untuk diketahui
bahwa mereka berfikir sebagaimana mereka melakukan tindakan yang
didasarkan pada metode yang mereka pilih.
Motivasi Hayek untuk mengungkapkan metodologi individualisme
dan penekanannya pada penjelasan ilmiah dalam bidang sosial yang
kemudian mengerucut pada mekanisme teoritis tentang tindakan, pada
dasarnya Hayek ingin mengungkapkan pandangannya terhadap keterbatasan
perspektif perilaku individual. Adalah benar untuk berbicara variabel pada
tingkat makro ekonomi seperti tingkat inflasi, tetapi penting untuk diingat
bahwa secara umum pelaku individual tidak bereaksi secara penuh terhadap
indikator inflasi tersebut. Semuanya akan melihat perubahan harga yang
paling relevan dan memiliki dampak langsung bagi kepentingannya, yaitu
harga input atau harga barang konsumsi. Umumnya mereka bereaksi
terhadap perubahan harga tertentu dan bukan harga umum (inflasi).
Sebenarnya sebagian besar dari mereka juga tidak mengetahui semua
konsekuensi dari tindakan mereka dalam merespon perubahan harga
Keberaturan atau ke-ajegan konsekuensi dari tindakan mereka disebut
kaidah yang spontan (spontaneous order). Ini merupakan elemen penting
dari Hayek apa yang disebut information-based argument dalam
kapitalisme. Artinya, pelaku ekonomi bertindak sesuai dengan informasi
yang dia miliki.
Untuk menjelaskan pentingnya perspektif individual, Hayek
memberikan contoh mengenai proses dari perkembangan rute dalam hutan.
Seseorang memilih jalan untuk dilalui, memilih rute yang memberikan
sedikit hambatan. Kesulitan melalui rute itu berkurang sedikit demi sedikit
bagi orang lain yang lewat melalui rute tersebut. Kemudian orang lain terus
mengikuti rute itu. Akhirnya semua orang melewati rute tersebut, meskipun
tidak seorangpun merencanakan untuk melakukan hal itu. Itu semua
merupakan apa yang disebut sebagai kaidah yang spontan (spontaneous
order).
Masalah yang timbul akibat mengesampingkan perpektif pelaku
(agent), menurut Hayek, adalah bahwa semakin kuatnya kecenderungan
untuk menilai terlalu tinggi terhadap kemampuan kita tentang pengendalian
dan rencana yang rasional, yang memungkinkan kita jauh dari rasionalisme.
Sebaliknya, tujuan penting dari metodologi individualisme adalah untuk
membantu kita dalam melihat keterbatasan argumen-argumen kita.
Merumuskan teori yang langsung mengacu pada, misalnya, tingkat bunga,
tekanan inflasi atau tingkat pengangguran, bisa menyebabkan kita untuk
berfikir tentang hanya pada variabel-variabel yang kita otak-atik saja,
sehingga menghalangi keberhasilan kita dalam memahami bekerjanya
perekonomian. Kita lupa bahwa konsep-konsep tersebut merupakan
abstraksi, tidak digunakan sebagai petunjuk oleh aktor individual, sebaliknya
untuk menjelaskan efek total dari keputusan yang dilakukan oleh berjuta-juta
individu. Elemen kunci dari metodologi individualisme adalah secara
sistimatis metodologi tersebut berangkat dari konsep yang mengarahkan
individu untuk bertindak, dan bukan dari hasil yang menteorikan tindakan
individu-individu. Jadi metodologi individualisme, dalam pandangan Hayek,
lebih mengacu pada perencanaan sosial.
Namun dalam perkembangannya, Hayek tidak pernah menyebut lagi
tentang metodologi individualisme. Malah dia menekankan penjelasan yang
berevolusi dalam karya-karya nya, dan ini menggambarkan bahwa dia mulai
menarik diri dari doktrin individualisme.

3.1.3. Metodologi Individualisme Popper


Untuk sekian tahun lamanya, istilah metodologi individualisme selalu
dikaitkan dengan karya dari Karl Popper. Kontroversi ini dipicu oleh karya
dia antara lain The Poperty of Historicism (1944) dan The Open Society and
Its Enemies (1945) (Heat, 2005). Meskipun Popper sering mengungkapkan
istilah tersebut, tetapi dia tidak begitu banyak mempertahankan
komitmennya terhadap metodologi individualisme. Tugas ini diberikan
kepada muridnya yang bernama J.W.N. Watkins.
Sayangnya versi metodologi individualisme yang diwariskan Popper
kepada Watkins sulit untuk dipertahankan dari pada yang diwariskan oleh
Hayek. Sebab sejak awal, persepsi metodologi individualisme yang
dikemukakan sangat didasarkan pada keyakinnanya mengenai peranan dari
ilmu sosial. Di mana Popper menolak peranan ilmu sosial dalam
memberikan pemahaman, karena yang dipentingkan dari ilmu sosial adalah
kemampuan untuk menjelaskan hubungan kausal, memprediksi, dan menguji
(seperti yang terjadi pada ilmu eksakta).
Masalah yang timbul dari metodologi individualisme model Popper
dengan mudah dapat diketahui. Jika ilmu sosial bertujuan untuk memberikan
intepretasi, atau menggunakan intepreatsi sebagai bagian dari strategi untuk
memberikan penjelasan, maka metodologi individualisme memiliki argumen
yang jelas, yaitu dengan memposisikan tindakan individual sebagai
penjelasan dari penomena sosial. Tetapi jika kepentingan ilmuwan sosial
hanya memberikan penjelasan secara kausal, seperti halnya dalam ilmu
eksakta, maka yang menjadi persoalan adalah alasan dimana logikanya
menekankan pada tindakan individual sebagai cara untuk menjelaskan
penomena sosial. Dalam kasus yang terakhir ini, tidak ada lagi alasan
metodologis yang kuat untuk mempertahankannya.
Disamping itu, beberapa pemikir mengkritik pemikiran Popper
dengan mengatakan bahwa metodologi individualisme yang dikemukakan
pada dasarnya hanya merupakan metapisika atau ontologi individualisme.
Dengan kata lain, metodologi individualisme Popper hanya menjelaskan
makna eksistensi dunia realita, atau elemen dari dunia relita itu terdiri dari
apa saja. Popper menegaskan bahwa pada dasarnya masyarakat tidak
memiliki eksistensi, karena elemen utama dari masyarakat adalah individu.
Watkins juga melemparkan pernyataan metodologis yang
membingungkan untuk membedakan antara, satu sisi, pernyataannya
mengenai penjelasan yang tidak selesei atau seproh jalan terhadap
penomena sosial yang tidak memberikan perhatian khusus pada penjelasan
mekanisme individual atau teori tentang tindakan dan, sisi lain, istilah yang
disebut penjelasan secara tuntas (rock-bottom explanations) itu sendiri.
Watkins mengungkapkan penjelasan yang tidak selesei itu dengan
memberikan contoh mengenai hubungan antara inflasi dan pengangguran
(Watkins, 1973b, hal. 168). Namun, sehubungan dengan contoh yang
diberikan tersebut, Watkins juga tidak memberikan uraian secara jelas apa
makna dari penjelasan yang tidak selesei itu, dan bagaimana cara untuk
mendapatkan penjelasan secara tuntas.
Disamping itu, Popper juga mengunakan ungkapan yang bertolak
belakang mengenai metodologi individualisme dan psikologisme. Di satu
sisi, Proper menyatakan bahwa semua hukum kehidupan sosial harus
direduksi pada hukum psikologi manusia tetapi, di sisi lain, dalam
formulasinya, Popper tidak menyamakan metodologi individualisme dengan
metodologi psikologisme. Watkins, sebagai penerus Popper, juga tidak
banyak memberikan penjelasan bagaimana mungkin memberikan
penjelaskan tindakan individu tanpa mengacu pada aspek psikologis.

3.2. Ambiguitas dalam Metodologi Individualisme


3.2.1. Ketidakjelasan Ontologi Realita Sosial
Seperti telah disinggung pada bagian awal bahwa Watkins (1973b)
menyadingkan ontologi dan metodologi idalam satu pengertian, di mana
dikatakan bahwa prinsip individualisme berarti ”elemen utama dari dunia
sosial adalah person individual yang bertindak sesuai dengan posisinya
............(hal. 167-168).....; tetapi kita tidak akan pernah sampai pada
penjelasan secara tuntas tentang skala sosial yang lebih besar sampai kita
telah melakukan deduksi person-person individual tentang keberadaannya,
kepercayaannya, sumber dayanya dan hubungan individua inter-person-
nya” (hal. 168). Pernyataan tentang ”elemen utama tentang dunia” adalah
pernyataan ontologis. Kemudian Watkins berpindah ke pernyataan yang
bersifat metodologis, yaitu dengan menyatakan ”... penjelasan secara tuntas
(rock-bottom explanations)....”. Padahal ontologis dan metodologis
merupakan dua hal yang sangat berbeda.
Meskipun makna ontologis sedah jelas, tetapi yang menjadi persoalan
berikutnya adalah apa yang dimaksud dengan elemen utama tersebut ?.
Apakah realita sosial itu terdiri dari individu-individu saja, atau individu
beserta dengan hubungan yang terjadi diantara individu-individu tersebut.
Karena, faktanya, interaksi yang dilakukan oleh invidividu memang
termasuk menjadi bagian dari realita sosial.
Bagi mereka yang menganut paham individualisme itu sendiri,
sebenarnya juga mengakui bahwa interaksi antar individu merupakan bagian
yang tidak bisa dipisahkan dari realita sosial. Totalitas aksi atau tindakan di
dalam kelompok yang dilakukan oleh dua fihak, wujud bangunannya bukan
hanya sekedar penjumlahan dari perilaku individu yang terobservasi dan,
oleh karenanya, tidak bisa kemudian direduksi hanya ke dalam elemen
individu saja. Lebih dari itu, perlu disadari bahwa totalitas menjadi eksis
karena totalitas merupakan hasil interaksi antar individu dalam bentuk relasi
yang spesifik. Keberadaan hubungan yang kemudian membentul totalitas
tersebut, oleh karenanya, tidak dapat dijabarkan hanya dalam bentuk
hubungan antar bagian-bagiannya, tetapi juga harus dijabarkan oleh interaksi
mereka dengan fihak yang berada di luar kelompok, baik secara individual
maupun secara menyeluruh. Bagi Hayek, masyarakat tidak hanya terdiri dari
individu, tetapi juga interaksi antara individu-individu, ditambah dengan
interaksi individu dengan lingkungannya seperti lingkungan alam maupun
lingkungan sistem sosial-ekonomi di mana mereka berada.
3.2.2. Penjelasan Secara Individual atau Semata-mata Individu?
Uraian tentang ontologi sosial di atas tidak hanya menggambarkan
adanya perbedaan antara ontologi dan metodologi, tetapi juga menunjukkan
adanya ambiguitas (ketidak jelasan) yang nyata pada tingkat metodologi itu
sendiri. Apakah realita sosial itu dapat dijelaskan pada tingkat individual
(individu ditambah dengan interaksinya) atau dapat dijelaskan oleh semata-
mata individunya ?.
Popper (Hodgson, 2005) menjelaskan metodologi individualisme
dengan menegaskan bahwa perilaku dan tindakan kolektif, seperti negara
atau kelompok sosial, harus direduksi ke dalam perilaku dan tindakan
individual. Penggunan istilah direduksi menunjukkan bahwa penjelasan
meliputi penjelasan tingkat individual (individu dan interaksinya). Tetapi
Popper kemudian merubah pernyataannya dengan mengaskan metodologi
individualisme sebagai doktrin yang penting di mana ”penomena sosial dan,
lebih khusus lagi, berfungsinya semua institusi sosial, harus dipahami
sebagai hasil dari keputusan, tindakan, sikap makhluk individu, dan kita
tidak pernah merasa puas dengan penjelasan pada tingkat kolektiv (negara,
ras, dan sebagainya)” (Hodgson, 2005). Dihilangkannya sebutan penjelasan
tingkat individual menjadi penjelasan pada makhluk individu tidak harus
diartikan sebagai reduksi pada penjelasan tingkat individu semata, tetapi
hanya menegaskan bahwa penjelasan pada tingkat sosial tidak pernah
memuaskan.
Penjelasan yang diberikan oleh Watkins lebih luas lagi, karena
ditegaskan bahwa penjelasan tidak hanya pada tingkat individu semata-mata,
tetapi termasuk di dalamnya adalah sumber daya dan hubungan antar
individu, sehingga penjelasan penomena sosial tidak hanya pada penjelasan
individu saja tetapi termasuk pula interaksi antar individu.
Elster (Hodgson, 2005) memdefinisikan metodologi individualisme
sebagai doktrin di mana semua penomena sosial (struktur dan perubahannya)
pada dasarnya bisa dijelaskan hanya pada level individual – karakternya,
tujuannya, dan keyakinannya. Definisi seperti ini juga tidak tegas, karena
tidak memberikan ketegasan apakah interaksi antara individu, atau relasi
sosial menjadi karakter individu atau tidak. Jika interaksi individu dan relasi
sosial keduanya bukan merupakan karakter individu, maka makna
metodologi individualisme lebih condong pada penjelasan yang didasarkan
pada reduksi individu. Namun apakah memang seperti ini yang dimaksud
oleh Jon Elster, juga tidak jelas.
Beberapa ekonomi juga tidak memberikan penjelasan yang tegas.
Frank Hahn (Hodgson, 2005) menyatakan bahwa dirinya termasuk orang
yang setuju dengan metode reduksi, dan berusaha menempatkan penjelasan
pada tindakan pelaku secara individual. Meskipun menekankan pentingnya
individu, tetapi Hanh tidak menegaskan apakah yang dimaksud individu itu
individu semata atau individu plus interaksinya.
Sebaliknya Brennan and Tullock (Hodgson, 2005), menyatakan
bahwa, dalam metodologi individualisme, unit analisisnya selalu individu,
sedangkan analisis yang lebih agregatif harus dipandang sebagai alat
legitimasi. Definisi seperti memang berbeda dengan definisi-definisi lain
seperti yang sudah disebutkan di atas.
Dengan gambaran seperti di atas menjadi jelas bahwa memang tidak
ada kesepakatan apakah metodologi individualisme itu sekedar menekankan
pada penjelasan tingkat individual atau penjelasan pada tingkat individu
semata. Seperti yang dikatakan oleh Udhen (Hodgson, 2005), metodologi
individualisme memiliki makna yang sangat lebar, mulai dari pandangan
yang menyatakan bahwa penjelasan penomena sosial sepenuhnya dapat
dijelaskan dengan penjelasan individu semata, sampai pandangan yang
menegaskan bahwa bahwa penjelasan secara individu hanya bisa
menjelaskan sebagian saja dari penomena sosial.

3.2.3. Folk Theorem Mengenai Penjelasan Fenomena Sosial


Uraian di atas menunjukkan bahwa penjelasan terhadap fenomena
sosial akan memberikan hasil yang memuaskan kalau penjelasan itu
memasukkan interaksi antar individu disamping penjelasan yang didasarkan
pada individu semata. Dengan demikian penjelasan secara individual dalam
metodologi individualisme harus menyertakan interaksi individu. Selama
melibatkan lebih dari satu individu, maka penjelasan yang memuaskan harus
menyertakan interaksi individu (yang berarti berkaitan dengan kondisi
sosial). Dalam teori ekonomi, penjelasan individual sering dikaitkan dengan
model ekonomi Robinson Crousue, yakni sebuah model di mana realita
ekonomi hanya memiliki seorang aktor (Robinson Crousue). Tetapi karena
dalam faktanya tidak ada perekonomian yang pelakunya hanya terdiri dari
satu orang, maka makna penjelasan individual untuk menjelaskan fenomena
sosial harus melibatkan interaksi antar pelakunya.
Pertanyaan yang bisa diajukan adalah, dalam ilmu sosial, apakah ada
penjelasan memuaskan atas fenomena sosial dengan hanya didasarkan pada
penjelasan individu semata?. Udhens (Hodgson, 2005) menyatakan bahwa
teori kontrak dan teori keseimbangan umum merupakan contoh dari teori-
teori yang hanya menekankan pada penjelasan individu semata. Namun
pernyataan seperti ini ditolak oleh Arrow (1994), di mana disebutkan bahwa
mekanisme penentuan harga dalam model keseimbangan umum melibatkan
struktur dan interaksi sosial, serta penomena sosial tidak bisa sepenuhnya
direduksi ke dalam penjelasan individu semata. Dalam standar teori ekonomi
yang ketat sekalipun, perilaku individual pasti terkait dengan struktur sosial.
Semua bentuk teori kontrak dan keseimbangan umum melibatkan
komunikasi individu dengan individu lainnya. Atau setidak-tidaknya, setiap
individu mempertimbangkan kehendak individu lain, sehingga interaksi
semacam secara tidak langsung sudah menunjukkan adanya kaidah-kaidah
dalam interaksi dan intepretasi. Pertukaran yang terjadi melalui model
interaksi pasar mengasumsikan adanya komunikasi tentang harga dan otput.
Dalam setiap komuniasi membutuhkan bahasa, dan bahasa secara alamiah
adalah sebuah sistem dari sekumpulan kaidah.
Perlu disadari bahwa setiap pertukaran menyertakan perpindahan hak
kepemilikan dari satu fihak ke fihak lain. Dalam kasus yang banyak terjadi,
kepindahan hak kepemilikan itu didasarkan pada hukum-hukum yang sudah
ada sebelum transaksi itu dilakukan. Hal seperti ini juga tidak berbeda
dengan semua kontrak perjanjian, di mana semuanya didasarkan pada
struktur sosial yang berkaitan dengan penegakkan hukum. Oleh karena itu,
teori kontrak dan teori keseimbangan umum pada dasarnya telah
mempertimbangkan adanya bentuk-bentuk relasi antar individu, dan bukan
sebuah model yang didasarkan pada kondisi inidividu yang terisolasi semata
seperti dalam model Robinson Crousue. Teori-teori tersebut juga
mengisyaratkan pentingnya hubungan antar individu dan institusi sosial. Hak
kepemilikan dan pemindahannya membutuhkan sistem penegakan hukum.
Bisa jadi aspek hukum ini tidak dikatakan secara eksplisit, tetapi sebenarnya
hal itu sudah diasumsikan sejak awal.
Individual choise yang merupakan konsep penting dalam ilmu
ekonomi sangat membutuhkan kerangka konseptual untuk bisa memaknai
dunia realita. Penerimaan informasi oleh individu membutuhkan kerangka
kognitif untuk bisa memproses dan memaknai dengan baik informasi yang
diterima. Untuk bisa memiliki kemampuan kognitif, tentu saja seseorang
membutuhkan proses sosialisasi dan edukasi, yang berarti harus melibatkan
interaksi dengan pihak lain. Ini bermakna bahwa pemahaman terhadap dunia
sangat membutuhkan pengetahuan yang diperoleh melalui hubungan dan
interaksi sosial. Pemahaman merupakan proses indvidual dan sekaligus
sosial. Dengan demikian, pilihan individu memang tidak mungkin
dilepaskan dari institusi dan interaksi sosial.
Field (1979) menunjukkan bahwa langkah awal yang dilakukan oleh
ekonom untuk menjelaskan sebab-sebab munculnya institusi sosial adalah
asumsi mengenai adanya tindakan individu dalam konteks yang sudah
tertentu yang akhirnya membentuk model interaksi yang tertentu pula.
Dengan kata lain, kondisi alamiah di mana institusi sosial itu muncul, pada
dasarnya sudah mengasumsikan adanya struktur, budaya, aturan dan norma
sosial. Penjelasan mengenai munculnya institusi sosial melalui teori
permainan sekalipun, tidak bisa dilepaskan dari kaidah-kaidah yang berlaku.
Tidak ada teori permainan tanpa kendala dan aturan bagi pemainnya. Teori
permainan sendiri juga tidak pernah mampu menjelaskan mengenai aturan
itu sendiri. Aturan dan kendala dietapkan sebelum permainan dimulai.
Pernyataan bahwa penjelasan penomena sosial tidak dapat dilakukan
hanya dengan penjelasan individu semata, telah diterima secara luas dalam
teori ekonomi kelembagaan yang baru. Bahkan pernyataan mengenai
perlunya penjelasan yang berangkat dari individu beserta institusinya,
dianggap sebagai pernyataan yang kuno. Hal itu masih harus ditambah lagi
dengan asumsi mengenai bentuk historis dari munculnya institusi. Dengan
cara seperti ini akan memudahkan peneliti untuk menggali institusi
berikutnya. Dalam kontek seperti ini, pengertian metodologi individualisme
yang sempit sudah ditinggalkan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penjelasan penomena sosial
yang berangkat dari penjelasan individu tanpa melibatkan institusi yang
melingkupi individu bukan merupakan pendekatan yang baik. Sama hanya
penjelasan dalam ilmu biologi, di mana ingi menjelaskan dampak gen tanpa
memperhatikan lingkungannya, merupakan penjelasan yang tidak
memuaskan.
Semua teori memang harus memulai penjelasannya dengan
memutuskan mana yang dianggap tertentu. Namun demikian klaim, bahwa
penjelasan terhadap munculnya institusi dapat dimulai dari asumsi adanya
individu yang rasional dan bebas dari pengaruh institusi, merupakan
penjelasan yang tidak sepenuhnya tepat. Model pendekatan seperti ini akan
banyak menemui kesulitan, terutama terkait dengan konsepsi tentang kondisi
awal dari mana institusi itu akan dimunculkan.

3.2.4. Relevansi Istilah Metodologi Individualisme


Seperti telah diuraikan di atas, kontroversi utama dalam metodologi
individualisme berkaitan dengan makna dari metodologi individualisme itu
sendiri, yaitu apakah:
1. Penomena sosial dapat dijelaskan sepenuhnya dari sudut pandang
individu semata, atau
2. Penomena sosial harus dijelaskan dari sudut pandang individu
ditambah dengan hubungan antar individu
Pernyataan (1), seperti telah disebutkan, dalam praktek tidak bisa
dicapai. Para pemikir metodologi individualisme sendiri telah gagal dalam
merformulasikan makna secara kongkrit dari rumusan yang sangat sempit
seperti ini. Sedangkan pernyataan (2), secara substansi tidak ada yang salah,
dan semua ahli ilmu sosial tampaknya sangat mendukung pernyataan
tersebut. Hanya saja, persoalannya adalah apakah istilah individualisme
tetap relevan dengan pernyataan tersebut.
Dalam ilmu sosial, struktur didefinisikan sebagai sekumpulan
hubungan interaktif antara individu. Hubungan interaktif seperti ini
menyangkut pula posisi sosial yang diduduki oleh individu, misalnya,
sebagai menteri, manager keuangan, pegawai pemasaran. Posisi sosial akan
menciptakan hubungan sosial yang spesifik antara satu individu dengan
individu lainnya. Bila individu menduduki posisi sosial tertentu, maka yang
bersangkutan tidak hanya memiliki kualitas atau kekuasaan yang melekat
pada dirinya sendiri sebagai mana individu lainnya, tetapi juga memiliki
kualitas atau kekuasaan tambahan. Tentu saja hal ini akan memiliki
pengaruh yang berbeda pada saat individu yang memiliki posisi sosial
tersebut berinteraksi dengan individu atau fihak lain.
Sesuai dengan definisi, institusi dapat dipandang sebagai struktur
sosial yang khusus di mana didalamnya terdapat aturan-aturan yang harus
ditaati. Secara langsung, adanya posisi sosial berarti menggambarkan adanya
institusi dan aturan yang mengatur posisi tersebut. Referensi di bidang
filsafat mengenai munculnya ciri-ciri yang mapan menerangkan bahwa ciri-
ciri yang baru akan muncul saat elemen dalam entitas berinteraksi. Hasil dari
interaksi ini akan sangat berbeda kalau entitas tersebut terisolasi. Persoalan
ini analog dengan, misalnya, air memiliki ciri-ciri yang tidak dimiliki oleh
hidrogen atau oksigen; air adalah air, dan berbeda dengan hidorgen dan
oksigen, meskipun secara kimiawi air adalah senyawa antara hidrogen dan
oksigen.
Dengan logika semacam ini, hubungan interaktif antar individu dalam
metodologi individualisme membuka peluang untuk menciptakan ciri-ciri
baru yang spesifik yang berbeda dengan ciri-ciri individual. Jika struktur
sosial sama dengan hubungan antar individu, maka pernyataan (2) harus
dirubah menjadi (2+) yakni, penomena sosial harus dijelaskan dari sudut
pandang individu dan struktur sosial.
Masalah yang kemudian muncul dari definisi yang terakhir ini adalah
bukan pada isi atau subtansinya, tetapi pada istilahnya itu sendiri. Meskipun
pernyataan (2) dan (2+) kedua-duanya dapat diterima, namun tidak ada
alasan yang tepat untuk memberikan nama metodologi individualisme untuk
dua pernyataan tersebut. Yang benar adalah, barangkali, metodologi
struktutralisme atau metodologi institusionalisme. Namun dua nama yang
terakhir ini juga bermasalah bila dihubungkan dengan substansinya, karena
kita harus berangkat dari struktur dan sekaligus individunya untuk
menjelaskannya. Jadi, hal yang berkaitan dengan pemberian nama sangat
membingungkan.
Beberapa ilmuwan sosial berpendapat bahwa struktur sosial
merupakan sesuatu yang lebih dari sekedar hubungan antar individu (di
mana hubungan semacam ini juga meliputi posisi sosial). Jika hal ini benar,
maka (2) dan (2+) tidak lagi sama. Inipun juga salah. Adalah sangat
berbahaya bila diartikan stuktur sosial sebagai sesuatu yang lebih dari
sekedar pola interaksi individu, yang akan tetap ada meskipun individunya
menjadi hilang. Pada prinsipnya struktur sosial adalah interaksi sosial
individu, termasuk di dalamnya posisi sosial, dan munculnya ciri-ciri baru
sebagai hasil dari interaksi tersebut.
Dengan demikian, memberikan makna pada metodologi
individualisme berpeluang untuk masuk ke dalam kebingunan ini. Beberapa
orang bisa terperangkap dalam permasalahan ini bila menetapkan stuktur
sebagai elemen akhir dari sesuatu yang harus dijelaskan. Bagaimanapun juga
perlu dipahami bahwa pernyataan tentang perlunya struktur dan individu
dalam menjelaskan penomena sosial tidak harus diartikan sebagai
terlepasnya struktur sosial dari individu. Harus diingat bahwa jika individu
hilang, maka semua struktur sosial juga akan hilang.
Memahami bahayanya untuk memusatkan penjelasan hanya pada
struktur sosial tidak berarti penomena sosial harus direduksi pada penjelasan
individu semata. Struktur dan individu yang terisolasi adalah sesuatu yang
berbeda, karena interaksi dan individu yang terisolasi juga sesuatu yang
berbeda. Secara maknawi jelas bahwa individu yang terisolasi tidak akan
pernah memiliki interaksi dengan individu lain. Struktur sosial tergantung
dari interaksi antar individu, dan struktur itu akan hilang jika seluruh
individu atau seluruh interaksinya menjadi hilang. Namun jika beberapa
orang saja yang meninggal, sebagian besar struktur masih tetap ada.
Perbedaan antara struktur dan individu yang terisolasi dapat dijelaskan
dengan fakta bahwa setiap individu yang dilahirkan di dunia sudah
berhadapan dengan struktur yang sudah ada. Kemudian individu tersebut
menjadi bagian dari dunia dan selanjutnya memainkan peranan untuk
melakukan perubahan pada saat dia melakukan interaksi dengan individu
lain.
Para pendukung metodologi individualisme menyadari bahwa
individu merupakan makhluk sosial yang terperangkap dalam hubungan
sosial. Mereka juga menyadari arti pentingnya budaya, bahasa dan
komunikasi dalam membentuk kepribadian individu. Sehingga
membayangkan individu yang terisolasi, dan bebas dari interaksi sosial,
merupakan sesuatu yang sulit untuk diwujudkan. Namun para pendukung
metodologi individualisme sangat malas untuk menggunakan kesadarannya
sebagai intrumen untuk menjelaskan penomena sosial.
Setidak-tidaknya ada dua alasan mengapa pendukung metodologi
individualisme malas meperbaharui cara pandangnya sehingga metodologi
individualisme tetap populer, terutama yang berkaitan dengan versi yang
lebih laus dari pernyataan (2) yang melibatkan individu dan struktur sosial
dalam menjelaskan penomena sosial (Hodgson, 2005). Pertama, adanya
kesalahan persepsi bahwa hal ini berhubungan dengan politik individualisme
yang berkonfrontasi dengan politik kolektivisme/komunisme. Ini
menunjukkan adanya kebingunan antara politik dan metode analisis. Kedua,
mereka beranggapan bahwa penjelasan dalam komponen mikro merupakan
tujuan utama dari ilmu pengetahuan. Namun demikian, seperti pembahasan
gen dalam biologi atau partikel dalm fisika, keduanya menggambarkan
bahwa penjelasan dalam ilmu pengetahuan tidak pernah dalam bentuk
semata-mata komponen mikro. Kedua bidang tersebut terus memperluas
hubungan interaktifnya. Kalaupun penjelasan dalam komponen mikro
tersebut valid, hal ini tidak harus diartikan bahwa pendekatan secara tuntas
(rock-bottom explanations) adalah penjelasan pada tingkat individu.
Sebaliknya mendorong kita untuk menghadapi tugas yang berat itu untuk
menjelaskan semua penomena sosial tersebut ke dalam sub atomik yang
lebih mendasar.
BAB IV
METODOLOGI HOLISME DALAM EKONOMI

4.1. Makna Holisme


Holisme setidak-tidaknya dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu
sisi metodologi (metodologi holisme) dan sisi karakteristiknya (holisme
metafisik).
Secara metodologi, holisme adalah lawan dari reduksionisme.
Perbedaan diantara keduanya dapat dinyatakan seperti berikut ini:
 Metodologi holisme: pemahaman terhadap sebuah keseluruhan sistem
yang komplek dapat dilakukan dengan memahami prinsip-prinsip
perilaku dari keseluruhan yang komplek tersebut, dan bukan melalui
pemahaman terhadap struktur dan perilaku dari bagian-bagian yang
membentuk keseluruhan sistem itu sendiri.
 Metodologi reduksionisme: pemahaman terhadap sebuah keseluruhan
sistem yang komplek dapat dilakukan dengan memahami struktur dan
perilaku dari bagian-bagian sistim yang dimaksud.
Jadi yang dimaksud dengan makna metodologis dari holisme pada
dasarnya berkaitan dengan penetapan cara terbaik untuk memahami sebuah
entitas yang dianggap sebagai sebuah kesatuan yang utuh.
Disamping dilihat dari sisi metodologisnya, holisme dapat juga
dipandang dari sisi karakteristik yang melekat pada sebuah entitas. Sudut
pandang dari sisi karakteristik ini dikenal dengan istilah holisme metafisik.
Menurut para pemikir di bidang ini, holisme metapisik menyatakan bahwa
karakteristik sebuah entitas tidak ditentukan oleh karakteristik bagian-bagian
yang membentuk entitas tersebut. Dalam hal ini dapat dibedakan tiga model
holisme metapisik: ontological, property dan nomological holism.
 Ontological holism: sebuah objek sebagai sebuah kesatuan secara fisik
bukan kumpulan dari bagian-bagiannya.
 Property holism: sebuah objek memiliki karakteristik yang tidak
ditentukan oleh karakteristik pisik dari bagian-bagiannya.
 Nomological holism: sebuah objek memiliki kaidah yang tidak
ditentukan oleh kaidah-kaidah mengenai struktur dan perilaku dari
bagian-bagiannya.
Pendefinisian seperti tersebut di atas merupakan pendefinisian yang
berhubungan dengan bidang fisika, kaena berkaitan dengan konponen dan
ciri fisik yang melekat pada sebuah entitas (objek).

4.2. Model Holisme Sosioekonomi Parson


Seperti yang dikatakan oleh Heath (2005), hanya sedikit ahli ilmu
sosial yang benar-benar holist. Yang ada adalah para penentang
reduksionisme yang kemudian memunculkan pendekatan baru, misalnya,
fungsionalisme, memetics (penjelasan secara kultural yang berevolusi),
depth hermeneutic, psychoanalytic, dan sebagainya.
Dalam bidang ekonomi sendiri dikenal istilah mikro ekonomi dan
makro ekonomi. Secara ontologi, pelaku dalam makro ekonomi adalah
penjumlahan dari seluruh pelaku ekonomi dalam mikro ekonomi. Namun
secara metodologi, apakah penjelasan perekonomian secara makro dapat
direduksi ke dalam perekonomian secara mikro, sampai sekarang masih
merupakan sebuah kontroversi. Konsep ekonomi makro keynesian tidak
memiliki keterkaitan dengan konsep ekonomi mikro. Sedangkan makro
ekonomi klasik baru mencoba membangun model makro yang bertumpu
pada model mikro. Meskipun demikian, para ekonom dari dua pemikiran
tersebut, dan para ekonom pada umumnya, tidak pernah berbicara tentang
pendekatan holisme dan individualisme dalam membangun teorinya.
Kontroversi antara individualisme dan holisme dalam ilmu ekonomi
lebih dekat dengan kontroversi antara ekonomi mainstream (yang bertumpu
pada pemikiran neoklasik) dan ekonomi nonmainstream. Dalam ekonomi
mainstream, pelaku ekonomi adalah individu, dan individu tersebut
diasumsikan terlepas dari struktur sosial, sehingga individunya bersifat
terisolasi atau independen. Sebaliknya dalam nonmainstream, individu
sebagai pelaku ekonomi tidak terisolasi dari struktur sosial yang
melingkupinya. Oleh karena itu, perilaku ekonomi dari seorang aktor
ekonomi tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor sosial. Yang termasuk
dalam aliran nonmainstream ini adalah ekonomi kelembagaan, ekonomi
sosiolgi, sosioekonomi, dan sebagainya.
Untuk alasan seperti tersebut di atas, pada bagian ini penulis akan
menyajikan ekonomi sosiologi model Parson yang bisa dipandang sebagai
holisme dalam ekonomi (Zafirovski, 2005). Model Parson dapat dipandang
sebagai holisme sosioekonomi karena ekonomi diperlakukan sebagai sebuah
subsistem dari totalitas sistem yang ada (yaitu sistem sosial). Sebagai sebuah
subsistem, ekonomi berdampingan dengan subsistem-subsistem yang lain
yang memiliki kaitan tertentu sehingga akhirnya membentuk sebuah sistem
sosial yang menyeluruh.

4.2.1. Ekonomi Sebagai Sebuah Subsistem Sosial


Model ekonomi sosiologi Parson dapat dilihat sebagai holisme
sosioekonomi, dalam arti sebuah pendekatan holistik untuk ekonomi dan
sosiologi. Model itu menunjukkan hubungan antara perekonomian dan
masyarakat sebagai kategori sistemik dan hubungan antara ekonomi dan
sosiolgi sebagai ilmu sosial. Perekonomian sebagai sebuah sistem sosial
dapat dianggap sebagai bagian dari sistem sosial sebagai totalitas. Hubungan
antara perekonomian dan masyarakat dapat diperlakukan sebagaimana
hubungan antara bagian-bagian dengan keseluruhannya, atau antara yang
lebih kecil dengan yang lebih besar.
Bila perekonomian sebagai bagian dari sebuah sistem sosial, maka di
dalamnya terdapat bentuk hubungan yang tertentu dan hubungan tersebut
pada akhirnya menetukan harga, kuantita, dan metode produksi. Oleh karena
itu, perekonomian bisa diperlakukan sebagai bagian dari sistem sosial yang
lebih kecil yang kemudian menjalin hubungan dengan totalitas sistem sosial
yang lebih besar. Dengan pandangan seperti ini, maka alokasi dan reward
yang menjadi elemen penting dalam perekonomian merupakan sebuah
cerminan dari struktur masyarakat secara keseluruhan.
Yang membedakan antara ekonomi sebagai subsistem dengan
subsistem-subsistem sosial yang lainnya adalah fungsinya. Maksudnya
fungsi spesifik yang dimainkan oleh masing-masing subsistem dalam entitas
sistem sosial. Sehubungan dengan fungsi yang dimainkan oleh subsistem ini,
Parson membedakan empat fungsi, yaitu adaptasi (adaptation), pencapaian
tujuan (goal attainment), integrasi (integration), dan pola tersembunyi untuk
menjaga dan mengelola ketegangan atau gangguan (latent-pattern
maintenance and tension management). Keempat fungsi tersebut dikenal
sengan istilah AGIL (singkatan dari empat fungsi). Ekonomi memainkan
fungsi adaptasi, pemerintahan atau negara memainkan fungsi pencapaian
tujuan, komunitas sosial (masyarakat sipil) memainkan fungsi integrasi, dan
budaya (sistem motivasi budaya) memainkan fungsi untuk menjaga dan
mengelola ketegangan atau gangguan.
Selanjutnya dalam model sistem-fungsionalis seperti ini, diasumsikan
bahwa fungsi atau tujuan dari subsistem yang berbeda-beda adalah untuk
memberikan konstribusi masing-masing terhadap kehidupan dan
keberlanjutan sistem sosial secara keseluruhan. Kontribusi ekonomi sebagai
sebuah subsistem adalah untuk memberikan cara yang terbaik bagi sistem
sosial dalam bidang ekonomi. Secara lebih tegas dikatakan bahwa fungsi
ekonomi adalah memberikan penyeleseian terhadap persoalan adaptasi yang
dihadapi oleh sistem sosial melalui optimalisasi nilai ekonomi dari
keseluruhan sumber daya yang tersedia untuk memuaskan keinginan sistem
sosial yang lebih besar.
Uraian di atas mengindikasikan bahwa adaptasi berarti menyangkut
proses ekonomi yang mendasar seperti produksi, konsumsi, pertukaran, dan
distribusi kekayaan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa fungsi adaptasi
utama dari ekonomi, sebagai subsistem sosial, adalah memproduksi dan
mengakumulasi kekayaan atas nama masyarakat sebagai sebuah sistem yang
lebih besar. Oleh karena itu, tujuan ekonomi pada dasarnya menempati
posisi yang lebih rendah dari pada tujuan sosial sebagai sebuah sistem.
Dalam arti, produksi dan akumulasi kekayaan tersebut hanya dimaksudkan
sebagai sumbangan ekonomi terhadap berfungsinya sistem sosial yang lebih
besar.
Dalam model Parson ini jelas bahwa keberadaan ekonomi bukan di
atas keberadaan masyarakat, karena fungsinya tidak lain adalah untuk
kebaikan dan kelangsungan masyarakat itu sendiri, dan bukan sebaliknya.

4.2.2. Ekonomi dan Subsistem Sosial Lainnya


Telah diketahui bahwa ekonomi hanya merupkan salah satu subsistem
disamping tiga subsistem yang lain yaitu pemerintahan/negara, budaya, dan
komunitas sosial. Masing-masing susbsistem memiliki fungsi yang spesifik
baik dalam kaitannya dengan internal subsistem itu sendiri maupaun dengan
eksternal system (sosial sistem secara menyeluruh). Keempat subsistem
tersebut membentuk sistem sosial melalui pertukaran atau hubungan antara
satu subsistem dengan lain subsistem. Masing-masing subsistem memiliki
kaidah aksi dan reaksi yang berbeda-beda. Hubungan diantara mereka
memiliki kekhasan tersendiri tidak seperti pertukaran yang terjadi dalam
ekonomi.
Dalam model Parson, negara (fungsi pencapaian tujuan), komunitas
sosial (fungsi integrasi), budaya (fungsi menjaga dan mengelola
ketegangan), ketiganya menentukan atau membentuk kondisi sosial bagi
berlangsungnya kegiatan ekonomi yang memiliki fungsi adaptasi dalam
masyarakat. Atau dengan kata lain, ketiganya merupakan rambu-rambu
(politik, budaya, tempat, dan lingkungan) bagi bekerjanya subsistem
ekonomi. Selanjutnya perlu ditekankan bahwa bentuk hubungan yang terjadi
antara subsistem ekonomi dan subsistem nonekonomi seperti ini, berlaku
pula dalam internal subsistem ekonomi sendiri. Maksudnya, di dalam
sibsistem ekonomi sendiri terjadi hubungan antara bagian-bagiannya dan
akhirnya hubungan antara bagian-bagian tersebut membentuk subsistem
ekonomi. Fenomena terus berkembangnya sistem pembagian kerja dan
bentuk baru dalam solidaritas sosial dalam masyarakat moderen bisa
dijadikan indikasi awal mengenai adanya hubungan yang spesifik dalam
internal subsistem ekonomi.
Dalam kaitannya dengan hubungan antara ekonomi dan subsistem
sosial lainnya, perlu digaris bawahi bahwa hubungan yang terjadi dalam
ekonomi didominasi oleh faktor moneter (uang). Sedangkan hubungan
dalam subsistem sosial lainnya tidak terkait dengan faktor nonmoneter tetapi
memiliki referensi khusus yang terkait dengan subsistemnya masing-masing.
Referensi khusus tersebut adalah kekuatan atau kekuasaan bagi terjadinya
hubungan internal dalam subsistem negara, solidaritas atau integrasi dalam
subsistem komunitas sosial, dan penghormatan atau prestise dalam
subsistem budaya. Jadi dalam model Parson, uang seperti halnya kekuasaan,
solidaritas, dan penghormatan merupakan media simbolik bagi terjadinya
pertukaran antara subsistem ekonomi dan subsistem nonekonomi lainnya
dalam masyarakat. Dengan kata lain, pertukaran antara subsistem ekonomi
dengan subsistem lainnya tertintegrasi dalam sistem sosial melalui perantara
media simbolik.
Kekuasaan sebagai media simbolik jelas melibatkan interaksi dalam
proses politik, dan hal ini dapat dianalogkan dengan uang atau kekayaan
yang menjadi media simbolik dalam ekonomi. Solidaritas atau integrasi,
yang merupakan hasil nyata dari pengintegrasian subsistem komunitas sosial
ke dalam masyarakat secara keseluruhan, dapat dipandang sebagai kekuatan
umum yang mampu mengatur perilaku atau tindakan, sebagaimana yang
diperankan uang atau kekayaan yang mampu mempengaruhi perilaku atau
keputusan dalam subsistem ekonomi. Untuk hal yang sama, penghormatan
atau prestise dapat dipandang sebagai media simbolik bagi output dalam
subsistem budaya, karena penghormatan memiliki fungsi yang sama dengan
uang sebagai sebuah penghargaan atau reward.
Karena ekonomi dipandang sebagai subsistem yang menyesuaikan
dengan masyarakat, maka ekonomi harus melakukan hubungan dengan tiga
subsistem yang lain yang memiliki perbedaan dalam referensinya.
Penempatan posisi ekonomi sebagai subsistem yang adaptif menunjukkan
bahwa setiap proses dalam ekonomi tidak bisa dilepaskan dari faktor
nonekonomi, karena ekonomi harus beroperasi dalam lingkungan yang
dilingkupi oleh subsistem sosial lainnya.
Posisi subsistem ekonomi seperti ini sangat berbeda dengan pemikiran
mainstream dalam ekonomi di mana diyakini bahwa ekonomi memiliki
dunia tersendiri yang terpisah dari dunia sosial (nonekonomi), sehingga
faktor sosial sering diperlakukan sebagai sesuatu yang given dalam analisa
ekonomi. Tentu saja metode analisis semacam ini sangat bertentangan
dengan model Parson. Seperti telah disebutkan, Parson menegaskan bahwa
ekonomi tidak bisa melepaskan diri dari subsistem sosial lainnya karena,
dalam maysrakat, ekonomi hanya merupakan sebuah subsistem diantara
subsistem sosial lainnya. Oleh karena itu, mengasumsikan konstan atau
given faktor nonekonomi dalam analisa ekonomi menjadi sangat tidak
memadai dalam menjelaskan perilaku dan bekerjanya kegiatan ekonomi
yang memang faktanya dilingkupi oleh sistem sosial yang berlaku di
masyarakat.
Seperti telah disebutkan, dalam model Parson, ekonomi diperlakukan
sebagai kasus khusus dari sistem sosial, yakni menjadi sebuah subsistem
dalam sistem sosial. Karena menjadi subsistem, secara internal, ekonomi
memiliki kekhususan sebagaimana sistem sosial itu sendiri. Kekhasan
ekonomi sebagai sebuah subsistem adalah di dalamnya terdapat empat
kategori fungsi yaitu: komitmen ekonomi, produksi dan distribusi kekayaan,
menyediakan modal atau investasi, dan organisasi atau kewirausahaan.
Keempat subsistem atau fungsi dalam ekonomi tersebut membentuk sebuah
media yang menjadi acuan bagi masing-masing fungsi untuk mencari satu
penyeleseian yang memuaskan di dalam internal subsistem ekonomi itu
sendiri. Selanjutnya solusi dalam subsistem ekonomi itu sendiri, bersama
dengan solusi pada subsistem sosial lainnya melalui media simbolik,
menghasilkan solusi yang lebih tinggi pada tingkat sosial kemasyarakatan
secara menyeluruh.
Cara penurunan sistem seperti ini, yakni mulai dari sebuah entitas ke
dalam sub-sub sistem yang lebih rendah lagi, lalu kemudian sub sistem yang
terakhir ini diturunkan lagi menjadi sub-sub sistem yang lebih kecil lagi,
bisa diteruskan sampai mendapatkan sub sistem yang terkecil. Sangatlah
dimungkinkan, misalnya, memperlakukan perusahaan sebagai sebuah
organisasi ekonomi menjadi sebuah realita institusional yang komplek yang
tidak sekedar sebagai pelaksana fungsi produksi kekayaan dalam entitas
sosial. Dengan memberlakukan perusahaan sebagai sistem institusional yang
komplek akan membuka jalan bagi masuknya model Parson ke dalam
analisa ekonomi kontemporer, termasuk di dalamnya adalah ekonomi
kelembagaan yang baru.

4.2.3. Ekonomi dalam Keseimbangan Sosial


Telah disebutkan bahwa subsistem ekonomi berinteraksi dengan
subsistem lainnya melalui media simbolik untuk mencapai solusi pada
tingkat entitas tertinggi (sosial). Tercapainya solusi pada tingkat sosial
seperti ini disebut keseimbangan sosial. Dengan demikian, konsep tentang
sistem sosial dalam model Parson digambarkan sebagai sebuah kekuatan
tarik menarik antara integrasi dan disorganisasi yang menuju pada posisi
keseimbangan, dan keseimbangan sosial ini bersifat menyeluruh
(keseimbangan umum). Gambaran konsep tentang keseimbangan sosial
seperti ini mirip dengan keseimbangan umum model Walrasian dalam
ekonomi (neoklasik).
Meskipun demikian, perlu diketahui bahwa keseimbangan dalam
model ekonomi neoklasik adalah model keseimbangan ekonomi-pasar,
sedangkan model keseimbangan dalam Parson adalah keseimbangan sosial
atau kultural. Namun karena dalam model Parson ekonomi merupakan
bagian dari sosial, maka posisi keseimbangan umum dalam ekonomi
neoklasik menjadi keseimbangan parsial dalam model Parson. Disamping
itu, masih ada perbedaan lagi antara dua model keseimbangan tersebut.
Yaitu, model keseimbangan umum dalam ekonomi neoklasik
memperlakukan faktor sosial sebagai faktor yang konstan (tidak
berpengaruh). Padahal model Parson menekankan pentingnya faktor sosial
dalam menentukan solusi (keseimbangan) yang terjadi dalam subistem
ekonomi. Jadi, dilihat dari faktor yang mempengaruhinya, kedua konsep
keseimbangan tersebut memang berbeda.
Menurut Parson, setiap sistem sosial memiliki empat fungsi atau
tuntutan, dan keempatnya harus mencapai kesepakatan bersama
(keseimbangan) jika keberlangsungan sistem sosial itu ingin dipertahankan.
Kesepakatan bersama itu diciptakan untuk memenuhi berbagai tuntutan
(berupa adaptasi, integrasi, pencapaian tujuan, dan menjaga tekanan) dari
subsistem yang berbeda (ekonomi, masyarakat, negara, dan budaya) yang
ada dalam sistem sosial.
Kesepakatan itu tidak harus berlaku secara permanen, sehingga
keseimbangan sosial dalam model Parson memang tidak harus stabil.
Ketidak stabilan dari posisi keseimbangan yang sudah dicapai
menggambarkan adanya perubahan dalam sistem sosial. Selanjutnya
perubahan sistem yang terjadi di masyarakat akan mengganggu
keseimbangan awal dan, oleh karenanya, diperlukan keseimbangan baru
agar sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam sistem sosial tersebut.
Secara implisit, perpindahan dari satu keseimbangan ke keseimbangan
lainnya menandakan adanya ketidak seimbangan. Bagaimana menjelaskan
kondisi ketidak seimbangan sosial tersebut ?. Ketidak seimbangan dalam
model Parson diartikan sebagai sebuah kondisi di mana belum tercapainya
pemahaman dan kesepakatan bersama terhadap nilai-nilai yang harus
dijadikan sebagai rujukan (referensi) dalam masyarakat. Dengan demikian,
dalam model Parson, nilai-nilai yang disepakati bersama menjadi unsur yang
sangat penting bagi terciptanya sebuah keseimbangan sosial.
Berkaitan dengan proses tercapainya keseimbangan baru sebagai
akibat dari adanya gangguan sosial, Parson merumuskan dua syarat
fundamental yang harus dipenuhi agar keseimbangan sosial bisa dicapai dan
sekaligus dapat pertahankan. Pertama, terjadinya proses sosialisasi kepada
semua pelaku tentang perlunya orientasi baru mengenai peranan yang harus
dimainkan oleh pelaku dalam sistem sosial secara keseluruhan. Kedua,
adanya sistem kontrol atau kendali sosial yang dimaksudkan untuk
menghindari timbulnya keinginan/perilaku yang menyimpang dan kekuatan
yang cenderung menjauhkan dari posisi keseimbangan yang timbul selama
proses tercapainya keseimbangan.
Pada dasarnya, rumusan tentang tercapainya keseimbangan sosial
seperti tersebut di atas mensiratkan dua hal penting yaitu, pertama, adanya
proses internalisasi nilai-nilai dan norma-norma sosial oleh individu (tingkat
mikro) dan, kedua, proses institusionalisasi nilai-nilai tersebut dalam
masyarakat (tingkat makro). Keseimbangan akan tercapai kalau individunya
sudah tersosialisasi dan institusinya memiliki legitimasi.
Bagaimana proses keseimbangan yang terjadi pada internal subsistem
ekonomi sendiri?. Keseimbangan pada subsistem ekonomi dapat
diperlakukan sebagai kasus khusus, atau sebagai satu dimensi dari
keseimbangan sosial. Keseimbangan pada subsistem ekonomi ditentukan
oleh tidak hanya oleh faktor-faktor endogenes pasar seperti yang disebutkan
dalam model neoklasik, tetapi juga oleh faktor sosial yang bersifat
eksogenes bagi pasar, terutama faktor institusional dan kultural. Dengan kata
lain, keseimbangan dalam subsistem ekonomi ditentukan oleh kekuatan yang
saling berinteraksi antara faktor institusional yang ada di luar subsistem
ekonomi dan faktor internal yang ada di dalam pasar itu sendiri.
Dipertimbangkannya faktor institusional sebagai faktor penentu dari
tercapainya keseimbangan pada subsistem ekonomi merupakan kosekuensi
yang wajar mengingat subsistem ekonomi merupakan bagian integral dari
sistem sosial. Karena variabel sosial mempengaruhi keseimbangan, maka
secara metodologis hal ini memiliki implikasi penting untuk mengaitkan
perubahan keseimbangan ekonomi dengan perubahan struktur. Ringkasnya,
dalam model Parson, perubahan keseimbangan ekonomi menggambarkan
adanya perubahan yang bersifat institusional.
BAB V
KESIMPULAN

5.1. Metodologi Individualisme


Meskipun diakui secara luas bahwa teori ekonomi mainstream
dibangun dengan menggunakan metodologi individualisme, namun
pengertian dari metodologi individualisme itu sendiri masih belum tegas.
Masing-masing penulis memiliki penafsiran tersendiri sesuai dengan
kepentingannya sendiri-sendiri.
Bagi Weber, metodologi individualisme memiliki makna tersendiri
dan amat berbeda dengan istilah yang dipahami oleh pemikir selanjutnya
sampai saat ini di bidang metodologi individualisme. Tujuan dari
metodologi individualisme Weber bukan untuk menunjukkan pentingnya
penjelasan individual dalam menejalskan penomena sosial, melainkan
ditujukan untuk memberikan penjelasan teoritis tentang sebuah tindakan
(action-theoritic explanation). Penekanan pada action-theoritic explanation
merupakan isu metodologis karena memberikan rumusan mengenai sebuah
cara atau metode dalam ilmu sosial, di mana tujuan utamanya adalah untuk
memberikan pemahaman tentang penomena sosial. Tindakan dapat
dipahami, tetapi penomena sosial tidak bisa dipahami, karena tindakan
dilandasi oleh kondisi intensional. Hanya individu yang memiliki kondisi
intensional, sedangkan fenomena tidak memiliki dorongan intensional,
sehingga metodologi untuk memahami tindakan berarti menekankan pada
metodologi individual.
Hayek juga menekankan pada pentingnya penjelasan individual dari
fenomena ekonomi makro. Maksudnya, mengaitkan variabel secara makro
dengan variabel makro lainnya tidak akan pernah memberikan jawaban yang
memuaskan karena penjelasan seperti ini tidak pernah memperhatikan alasan
individu mengapa mereka bertindak seperti itu. Meskipun demikian Hayek
juga mengingatkan penjelasan secara individual bukan merupakan
penjelasan yang powerful karena penjelasan secara individual juga memiliki
keterbatasan. Hal ini demikian karena tidak semua fakta-fakta yang ada di
lapangan sesuai dengan prediksi awal dari individu yang melakukan
tindakan. Atau, fakta di lapangan merupakan hasil penjumlahan dari
konsekuensi tindakan individu yang disadari maupun yang tidak disadari.
Popper, bersama dengan muridnya Watkins, merupakan pemikir yang
secara gigih menekankan pentingnya penjelasan individual terhadap realita
sosial. Metodologi individualisme Popper identik dengan reduksionisme.
Semua fenomena sosial dapat direduksi pada fenomena individu karena
individu merupakan elemen pokok dari komunitas sosial. Namun demikian,
metodologi individualisme Popper sangat dikritik karena mencampur-
adukkan antara pengertian ontologi dan metodologi. Padahal keduanya
memiliki perbedaan yang tajam.
Meskipun metodologi indvidualisme banyak digunakan dalam ilmu
ekonomi namun masih ada beberapa hal yang belum jelas dalam metodologi
individualisme, yaitu:
 Secara metodologis, timbul pertanyaan: penjelasan terhadap realita
sosial itu bisa dicapai dengan penjelasan individu semata atau
penjelasan individu beserta interaksinya?. Jawaban terhadap
pertanyaan ini juga tidak jelas. Ketidak jelasan metodologis seperti ini
berkaitan dengan ketidak jelasan ontologis itu sendiri. Secara
ontologis, juga tidak jelas apakah realita sosial itu terdiri dari individu
semata, atau individu plus interaksinya.
 Menurut kaidah ilmu sosial, realita sosial terdiri dari individu dan
interaksinya. Oleh karena itu penjelasan terhadap fenomena sosial
harus melibatkan individu dan interaksinya. Tetapi kalau melibatkan
individu dan interaksinya, maka istilah metodologi individualisme
menjadi tidak tepat, karena metodologi individualisme
memberlakukan individu sebagai makhluk yang terisolasi.

5.2. Metodologi Holisme


Pendekatan Parson dalam menjelaskan posisi ekonomi dalam
hubungannya dengan masyarakat sebagai implementasi dari holisme
sosioekonomi dapat disarikan dalam beberapa hal berikut ini.
 Secara sistemik, ekonomi digambarkan sebagai sebuah fenomena
khusus dari sistem sosial, dan penggambaran seperti ini bukan barang
aneh bagi ekonom. Maksudnya, para ekonom yang tergabung dalam
pemikiran ekonomi konvensional selalu menempatkan ekonomi
sebagai bidang yang memiliki keunikan tersendiri sehingga
memungkinkan ekonomi menjadi bidang kajian khusus yang berbeda
dengan bidang lain.
 Model Parson mencoba mengelaborasi sebuah makna holistik dari
ekonomi yang diposisikan sebagai bagian integral dari sistem sosial.
Artinya, meskipun ekonomi memiliki kekhasan tersendiri, namun
realita ekonomi tetap tidak bisa dipisahkan dari realita sistem sosial.
Dalam kontek ini, Parson memperlakukan ekonomi sebagai sebuah
subsistem yang berbeda dalam totalitas sistem sosial.
 Model Parson menjelaskan adanya ketergantungan antara subsistem
ekonomi dan bagian-bagian subsistem sosial lainnya dalam bentuk
pertalian susbsistem ekonomi dengan subsistem nonekonomi yang
terdiri dari negara/pemerintahan, budaya, dan komunitas sosial.
 Karena ekonomi menjadi subsistem yang memiliki keunikan
tersendiri, maka secara internal ekonomi dapat dijabarkan lagi ke
dalam subsistem-subsistem yang lebih kecil yang akhirnya
membentuk totalitas subsistem ekonomi. Secara lebih khusus,
perusahaan dapat diperlakukan sebagai salah satu sistem mikrososial
dalam subsistem ekonomi.
 Model Parson merumuskan hubungan antara ekonomi pasar dan
keseimbangan sosial dalam posisi yang berbeda di mana, dalam
totalitas sistem sosial, ekonomi pasar sebagai salah satu bagian dari
keseimbangan sosial. Ini sekaligus menunjukkan adanya perbedaan
antara keseimbangan umum model ekonomi neoklasik dan
keseimbangan sosial dalam Parson.
 Dinyatakan secara tegas bahwa keseimbangan dan perilaku pasar
ditentukan secara bersamaa-sama oleh faktor sosial (yang bersifat
eksogen), terutama faktor institusi dan budaya, dan faktor internal dari
pasar dan perekonomian (yang bersifat endogen). Secara umum,
pendekatan metodologis untuk ekonomi dan sosial model Parson
menjelaskan, dan sekaligus memprediksikan, bahwa proses dan
perilaku dalam ekonomi tidak bisa dipisahkan dari variabel
nonekonomi termasuk didalamnya adalah institusi sosial.
DAFTAR PUSTAKA

Agassi, Joseph, 1973, Methodological Individualism, dalam John O‟Neill,


Modes of Individualism and Collectivism, Heinemann, London.
Allwood, Jens, 1973, The Concepts of Holism and Reductionism In
Sociological Theory, Forskningspapport Frans Sociologiska
Institutionen Vid Goteborgs Universitet Nr 27 Mars.
Arrow, Kenneth J., 1994, Methodological Individualism and Social
Knowledge, American Economic Review, Vol. 84, No. 2, May.
Currie, Gregory, 1984, Individualism and Global Supervinience, British
Journal for the Philosophy of Science, Vol. 35, No. 4.
Field, Alexander J. (1979) „On the Explanation of Rules Using Rational
Choice Models‟, Journal of Economic Issues, 13(1), March.
Goldstein, L.J., 1973, The Inadequacy of the Principal of Methodological
Individualism, dalam John O‟Neill, Modes of Individualism and
Collectivism, Heinemann, London.
Goldstein, L.J., 1973, Two Theses of Methodological Individualism, dalam
John O‟Neill, Modes of Individualism and Collectivism, Heinemann,
London.
Heath, Joseph, 2005, Methodological Individualism, dalam Edward N. Zalta,
Stanford Encyclopedia of Philosophy.
Hodgson, Geoffrey M., 2005, Meaning of Methodological Individualism,
Journal of Economic Methodology, 14(2), June.
Hofstede,G., 1980, Culture’sconsequences. Beverly Hills, CA : Sage.
Kincaid, Harorld, 1998, Methodological Individualism/Atomism, dalam
John B. Davis, D. Wade Hands and Uskali Maki, Handbook of
Economic Methodology, Edward Elgar.
Kincaid, Harold, 1986, Reduction, Expalnation, and Individualism,
Philosophy of Science, Vol. 53, No.4.
Lindsay, A. D., 1962, Individualism, dalam Edwin R. A. Seligman and
Alvin Johnson, Encyclopedia of the Social Sciences, The McMillan
Company.
Munawar, 2007, Kritik Sosiologis Terhadap Kedudukan Individu dalam
Bangunan Teori Ekonomi Neoklasik, Pidato Pengukuhan Guru Besar
dalam Ilmu Makroekonomi di Fakultas Ekonomi Universitas
Brawijaya Malang, Widyaloka, 10 Desember.
Oyserman, Daphna, Heather M. Coon, and Markus Kemmelmeier, 2002,
Rethinking Individualism and Collectivism: Evaluation of Theoretical
Assumptions and Meta-Analyses, Psychological Bulletin, Vol. 128,
No. 1.
Parker, Wayne D., 2006, Methodological Individualisme vs. Methodological
Holism: Neoclassicisme, Institutionalisme, Socioeconomic Theory,
Paper presented at the joint annual congress for the International
Association for Research in Economics Psycology (IAREP) and the
Society for the Advancement of Behavioral Economics (SABE), Paris,
France, July 5-8.
Schwartz, S.H., 1990, Individualism–collectivism: Critique and proposed
Refinements, Journal of Cross-Cultural Psychology, 21.
Sperber, Dan, 1997, Individualisme Methodologique et Cognitivisme, dalam
R. Boudon, F. Chazel dan A. Bouvier (eds), Cognition et sciences
sociales, Press Universitaires de France, Paris.
Swedberg, Richard, 1998, Economic Sociology, dalam John B. Davis, D.
Wade Hands and Uskali Maki, Handbook of Economic Methodology,
Edward Elgar.
Udhen, Lars, 2002, The Changing Face of Methodological Individualism,
Annual Review of Sociology, 28.
…………….. Holisme and Nonseparability in Physics, dalam Edward N.
Zalta, Stanford Encyclopedia of Philosophy.
Waterman, A. S., 1984, The psychology of individualism, NewYork:
Praeger.
Watkins, J.W.N., 1973a, Historical Explanation in the Social Sciences,
dalam John O‟Neill, Modes of Individualism and Collectivism,
Heinemann, London.
Watkins, J.W.N., 1973b, Ideal Types and Historical Explanation, dalam
John O‟Neill, Modes of Individualism and Collectivism, Heinemann,
London.
Watkins, J.W.N., 1973c, Methodological Individualism: A Reply, dalam
John O‟Neill, Modes of Individualism and Collectivism, Heinemann,
London.
Zafirovski, Milan, 2006, Parsonian Economic Sociology, American Journal
of Economics and Sociology, Vol. 65, No.1 (January).

Anda mungkin juga menyukai