Anda di halaman 1dari 18

.

Kesesatan Berfikir
Ilmu logika lahir bersamaan dengan lahirnya Filsafat Barat di Yunani. Dalam usaha
untuk menyebar luaskan pemikiran-pemikirannya, para filusuf Yunani banyak yang mencoba
membantah pemikirannya dengan para filusuf lainnya dengan menunjukkan kesesatan
penalarannya. Sejak awal, logika telah menaruh perhatian atas kesesatan penalaran tersebut.
Kesesatan penalaran ini disebut dengan kesesatan berfikir (fallacia/fallacy)1[1]
Kesesatan berfikir adalah proses penalaran atau argumentasi yang sebenarnya tidak logis,
salah arah dan menyesatkan. Ini karena adanya suatu gejala berfikir yang disebabkan oleh
pemaksaan prinsip-prinsip logika tanpa memperhatikan relevansinya.2[2]
Kesesatan relavansi timbul ketika seseorang menurunkan suatu kesimpulan yang tidak
relevan pada premisnya atau secara logis kesimpulan tidak terkandung bahkan tidak merupakan
implikasi dari premisnya.

B. Bentuk-bentuk Kesesatan Relevansi3[3]:


1. Argumentum ad Hominem.
Kesesatan ini terjadi jika kita berusaha agar orang lain menerima atau menolak suatu usul
yang tidak berdasarkan penalaran, melainkan karena alasan yang berhubungan dengan
kepentingan atau keadaan orang yang mengusulkan dan orang yang diusuli. Contoh:
Menolak land reform karena pembagian tanah itu selalu dituntut oleh orang
komunis.
Jadi, usul land reform itu perbuatan orang komunis dan perbuatan orang komunis itu
jahat.
2. Argumentum ad Veccundiam atau Argumentum Auctoritas.
Kesesatan ini sama dengan Argumentum ad Hominem, yaitu menerima atau menolak
sesuatu tidak berdasarkan nilai penalarannya, akan tetapi karena orang yang mengemukakannya
adalah orang yang berwibawa, dapat dipercaya dan seseorang yang ahli.
3. Argumentum ad Baculun.
Baculum artinya tongkat. Kesesatan ini terjadi jika penerimaan atau penolakan suatu
penalaran didasarkan atas adanya ancaman hukuman, jika tidak menyetujui akan dihukum,
dipenjarakan, dipukuli, bahkan dipersulit hidupnya dan diteror. Teror pada hakikatnya adalah
suatu paksaaan untuk menerima suatu gagasan karena ketakutan.
4. Argumentum ad Misericordiam.
Argumentum ad Misericordiam adalah penalaran yang ditujukan untuk menimbulkan
belas kasihan agar dapat diterima. Argumen ini biasanya berhubungan dengan usaha agar suatu
perbuatan dimaafkan.
Penalaran ini biasanya diungkapkan dalam pengadilan. Seperti, terdakwa mengingatkan
hakim bahwa ia mempunyai anak, istri, keluarga dan yang lain-lain.
5. Argumentum ad Populum.
Argumentum ad Populum banyak dijumpai dalam kampanye politik, seperti pidato-
pidato, demonstrasi dan propaganda. Karena Argumentum ad Popolum ditujukan kepada rakyat,
kepada suatu masa atau kepada halayak ramai, maka dalam Argumentum ad Populum perlu
pembuktian sesuatu secara klogis tidak dipentingkan, yang diutamakan adalah menggugah
perasaan masa pendengar atau membakar emosi pendengar agar menerima suatu konklusi
tertentu.
6. Kesesatan Non Causa Pro Causa.
Kesesatan Non Causa Pro Causa terjadi apabila kita menganggap sesuatu sebagai sebab,
padahal sebenarnya bukan sebab atau bukan sebab yang lengkap.
7. Kesesatan Aksidensi.
Sifat atau kondisi aksidental adalah sifat yang kebetulan, tidak harus ada dan tidak
mutlak. Kesesatan aksidensi terjadi jika kita menerapkan prinsip atau pernyataan umum kepada
peristiwa-peristiwa tertentu, tetapi karena keadaannya yang bersifat aksidental, maka
menyebabkan penerapan itu tidak cocok. Contoh:
Makan adalah suatu perbuatan baik. Tetapi jika makan pada waktu harus berpuasa,
maka penalaran tersebut sesat karena faktor aksidensi.
8. Kesesatan Komposisi atau Divisi.
Kesesatan karena komposisi dan divisi terjadi ketika menyimpulkan bahwa predikat itu
juga berlaku untuk kelompok kolektif seluruhnya. Maka disini penalaran kita sesat karena
komposisi. Contoh:
Jika film itu bagus, belum tentu semua pemerannya bermain bagus.
9. Petition Principia.
Petition Principia adalah kesesatan ketika membuktikan sesuatu. Penalaran yang disusun
menggunakan konklusinya atau apa yang hendak kita buktikan itu sebagai premis, sudah tentu
dengan kata-kata atau ungkapan yang berbeda dengan bunyi konklusinya. Contoh:
Manusia harus berlaku adil. Karena adil adalah perintah Tuhan yang tercantum dalam Kitab
Suci.
Sebagai alasan (premis), dikemukakan bahwa Kitab Suci itu berisi perintah Tuhan. Disini
dibuktikan bahwa perintah Tuhan itu tercantum dalam Kitab Suci karena Kitab Suci berisi
perintah Tuhan.
10. Ignoratio Elenchi.
Ignoraito Elenchi atau disebut pula kesesatan penalaran yang tidak disebabkan oleh
bahasa. Kesalahan ini terjadi ketika konklusi yang diturunkan dari premis tidak relavan dengan
premis itu. Contoh:
Dalam suatu pengadilan, seorang pembela dengan panjang lebar berhasil membuktikan
bahwa pembunuhan adalah suatu perbuatan yang sangat keji dan
menarik kesimpulan bahwa terdakwa melakukan perbuatan sekeji itu.
11. Kesesatan Karena Pertanyaan yang Kompleks.
Sebuah pertanyaan atau perintah seringkali bukan pertanyaan yang tunggal dan dapat
dijawab dengan tepat dengan satu jawaban, meskipun pertanyaannya berbentuk kalimat tunggal.
Contoh:
Rumah itu terdiri atas bagian-bagian apa saja?. Dapat dijawab: atap, dinding, langit-
langit, dan sebagainya.
Pertanyaan itu sebetulnya terdiri atas sejumlah pertanyaan. Demikian juga perintah untuk
menyebutkan jenis-jenis kalimat dapat dijawab dengan kalimat tanya dan kalimat berita, atau
kalimat pasif dan aktif, atau dengan kalimat panjang atau pendek. Kalau kita bertanya: jam
berapa kamu bangun?, maka pertanyan itu tidak kompleks. Karena terdiri dari satu peretanyaan,
akan tetapi pertanyaan itu mengandung sebuah pernyataan di dalamnya, yaitu “bahwa kamu
tidur”. Kalau ASEAN menuntut supaya Vietnam menarik mundur tentaranya dari Kampuchea, di
dalamnya terkandung pernyataan bahwa Vietnam telah memasuki Kampuchea dengan tidak sah.
Kalau perjanjian Camp David mengenai otonomi Palestina ditafsirkan berbeda oleh Mesir dan
Israel, itu disebabkan karena bunyi kalimat-kalimat yang bersangkutan mengandung makna yang
kompleks, sehingga Negara yang satu dapat menunjuk makna Negara lainnya. Biasanya suatu
persetujuan diplomatik memang mengandung makna majemuk yang kelak dapat ditafsirkan
menurut situasinya.
12. Argumentum ad Ignoratiam.
Kesesatan ini terjadi pada hal-hal yang berkaitan erat dengan sesuatu yang tidak
terbuktikan. Seperti: gejala psikis, telepati dan semacamnya. Hal itu sulit di buktikan baik oleh
pendukung maupun penentangnya.

C. Kesalahan formal
Penalaran dapat sesat kalau bentuknya tidak tepat dan tidak sahih. Kesesatan inilah yang
disebut dengan kesalahan formal. Kesalahan formal adalah kesalahan yang terjadi karena
pelanggaran terhadap kaidah-kaidah logika.4[4]
Sesat pikir tidak hanya terjadi dalam fakta-fakta saja, melainkan juga dalam bentuk
penarikan kesimpulan yang sesat dikarenakan tidak dari premis-premisnya yang menjadi
acuannya. Sesat pikir juga bisa terjadi ketika menyimpulkan sesuatu lebih luas dari dasarnya.
Seperti: kucing berkumis, candra berkumis. Jadi, candra Kucing.
Sesat pikir juga terjadi dalam berbagai hal, seperti:
1. Definisi,
Kesesatan dalam definisi terjadi karena kata-katanya sulit, abstrak, negatif dan mengulang;
(kesesatan: mengulang apa yang didefinisikan). Contoh:
Hukum waris adalah hukum untuk mengatur warisan.
2. Klasifikasi,
Kesesatan dalam definisi terjadi pada dasar penggolongan yang tidak jelas, tidak konsisten dan
tidak bisa menampung seluruh fenomena yang ada. Contoh:
Musim menurut kegiatannya dapat dibagi menjadi musim tanam, musim menyiangi, musim
hujan dan musim panen; (kesesatan: musim kemarau dan musim hujan bukanlah kegiatan).
3. Perlawanan,
Kontraris hukumnya jika salah satu proposisi salah, berarti yang lain tentu benar. Contoh:
Jika semua karyawan korupsi dinilai salah, berarti semua karyawan tidak korupsi pasti benar.
4. Dalam mengolah proposisi majemuk. Menyamakan antara proposisi hipotesis kondisional dan
prposisi kondisional. Contoh:
Jika mencuri maka dihukum. Berarti jika dihukum berarti dia mencuri.

D. Klasifikasi Fallacy Formal5[5]:


1. Fallacy of Four Terms (kekeliruan karena menggunakan empat term).
Kekeliruan berfikir karena menggunakan empat term dalam silogisme terjadi karena term
penengah diartikan ganda, sedangkan harusnya terdiri dari tiga term. Seperti :
Semua perbuatan mengganggu orang lain diancam dengan hukuman
Menjual barang di bawah harga tetangganya adalah mengganggu kepentingan orang lain.
Jadi, menjual harga di bawah tetangganya diancam dengan hukuman.
2. Fallacy of Undistributed Middle (kekeliruan karena kedua term penengah tidak mencakup).
Contoh kekeliruan berfikir karena tidak satupun dari kedua term penengah mencakup:
Orang yang terlalu banyak belajar kurus.
Dia kurus sekali
Karena itu tentulah ia banyak belajar.
3. Fallacy of Illicit Process (kekeliruan karena proses tidak benar).
Kekeliruan berfikir karena term premis tidak mencakup tapi dalam konklusi mencakup.
Seperti:
Kuda adalah binatang, sapi bukan kuda. Jadi ia bukan binatang.
4. Fallacy of Two Negatife Premises (kekeliruan karena menyimpulkan dari dua premis yang
negatif)
Kekeliruan berfikir karena mengambil kesimpulan dari dua premis negative sebenarnya tidak
bisa ditarik konklusi. Contoh:
Tidak satupun barang yang baik itu murah dan semua barang di toko itu adalah tidak murah.
Jadi, semua barang di toko itu adalah baik.
5. Fallacy of Affirming the Consequent (kekeliruan karena mengakui akibat).
Kekeliruan dalam berfikir dalam Silogisme Hipotetika karena membenarkan akibat
kemudian membenarkan sebabnya. Contoh:
Bila pecah perang, harga barang-barang naik. Sekarang harga barang naik, jadi
perang telah pecah.
6. Fallacy of Denying Antecedent (kekeliruan karena menolak sebab).
Kekeliruan berpikir dalam Silogisme Hipotetika karena mengingkari sebab, kemudian
disimpulkan bahwa akibat juga tidak terlaksana. Contoh:
Bila datang elang, maka ayam berlarian. Sekarang elang tidak datang, jadi ayam tidak
berlarian.
7. Fallacy of Disjunction (kekeliruan dalam bentuk disyungtif).
Kekeliruan berpikir terjadi dalam Silogisme Disyungtif karena mengingkari alternatif pertama,
kemudian membenarkan alternatif lain. Padahal menurut patokan, pengingkaran alternatif
pertama bisa juga tidak terlaksananya alternatif yang lain. Contoh:
Dari menulis cerita atau pergi ke Surabaya. Dia tidak pergi ke Surabaya, jadi dia tentu menulis
cerita.
8. Fallacy of Inconstistency (kekeliruan karena tidak konsisten).
Kekeliruan berfikir karena tidak runtutnya pertanyaan yang satu dengan pertanyaan yang diakui
sebelumnya. Contoh:
Tuhan adalah Mahakuasa, karena itu Ia bisa menciptakan Tuhan lain yang lebih kuasa dari Dia.
E. Kesesatan Bersifat Semantik/Bahasa
Semantik berkaitan dengan ilmu kata, yaitu bagaimana kejadian dan pengertian sesuatu
kata. Kesalahan semantik itu dapat disebut dengan ambiguitas. Ambiguitas berasal dari amb
(bahasa latin) yang mempunyai arti sekitar atau sekeliling, dan kata agree yang dapat diartikan
sesuatu yang mendorong pikiran ke segala arah (Heru Suharto, 1994). Berarti ambiguitas adalah
kata-kata yang mempunyai arti lebih dari satu, atau bisa juga disebut hemonim.6[6]
Hemonim adalah kesesatan karena adanya kata-kata. Kata disini adalah kata kata yang
memiliki banyak arti, yang dalam logika yang biasanya disebut ambiguitas. Diantara cara-cara
untuk menghindar ambiguitas adalah:
1. Menunjukkan langsung adanya kesesatan semantik dengan mengemukakan konotasi sejati,
2. Memilih kata-kata yang hanya arti tunggal,
3. Menggunakan wilayah yang tepat, apakah universal atau partikular,
4. Dapat juga dengan konotasi subjektif yang berlaku khusus atau objektif yang bersifat
komprehensif. (Heru Suharto, 1994).

F. Kesesatan Karena Bahasa


Kesesatan karena bahasa terjadi karena beberapa hal; biasanya kata-kata dalam bahasa
dapat memiliki arti yang berbeda dan arti yang sama pun bisa ada pada kata-kata yang
berbeda.7[7] Kesesatan dalam bahasa bisa hilang karena bahasa itu biasanya hilang atau berubah
kalau penalaran dari bahasa disalin ke bahasa lain.
Berikut ini beberapa kesesatan karena bahasa8[8]:
1. Kesesatan Karena Aksen atau Tekanan.
Perbedaan arti dan kessatan penalaran terjadi dalam ucapan tiap-tiap suku kata yang diberikan
tekanan, karena perubahan tekanan dapat membawa perubahan arti. Contoh:
Tiap pagi pasukan mengadakan apel.
Apel itu buah.
Jadi, tiap paagi pasukan mengadakan buah.
2. Kesesatan Karena Term Ekuivok.
Term ekuivok (term yang mempunyai lebih dari satu arti) adalah apabila dalam satu penalaran
terjadi pergantian arti dari sebuah term yang sama, maka terjadilah kesesatan penalaran. Contoh:
Abadi adalah sifat Ilahi.
Adam adalah mahasiswa abadi.
Jadi, Adam adalah mahasiswa yang bersifat Ilahi.
3. Kesesatan Karena Methaphora (kiasan).
Kesesatan dalam kiasan terjadi karena dalam suatu penalaran sebuah arti kiasan disamakan
dengan arti sebenarnya atau arti sebaliknya. Cukup luar biasa apabila orang mencampur adukkan
arti sebenarnya dan arti kiasan dari sesuatu kata atau ungkapan. Kesesatan ini sering disengaja
dalam lawak.
4. Kesesatan Karena Amfiboli.
Kesesatan amfiboli terjadi kalau konstruksi sebuah kalimat itu demikian rupa, sehingga artinya
menjadi bercabang. Contoh:
Mahasiswa yang duduk diatas meja yang paling depan.
Apa yang paling depan, mahasiswa atau mejanya?

Sepuluh jenis kesesatan karena relevansi


1 1. Argumentum Ad Hominem
Kesesatan ini terjadi kalau kita berusaha agar orang menerima atau menolak sesuatu usul, tidak
berdasarkan alasan penalaran, akan tetapi karena alasan yang berhubungan dengan kepentingan
atau keadaan orang yang mengusulkan atau diusuli.

2 2. Argumentum Ad Verecundiam atau Argumentum Auctoritatis


Kesesatan ini juga menerima atau menolak sesuatu tidak berdasarkan nilai penalarannya, akan
tetapi karena orang yang mengemukakannya adalah orang yang berwibawa, dapat dipercaya,
seorang ahli. Secara logis seharusnya orang tidak menggantungkan diri kepada pendapat orang
lain yang dianggap ahli itu. Keahlian, kepandaian, atau kebaikan justru harus dibuktikan dengan
penalarannya yang tepat, tidak sebaliknya. Sebenarnya nilai wibawa hanya setinggi nilai
argumentasinya.
3 3. Argumentum Ad Baculum
Kesesatan ini terjadi kalau penerimaan atau penolakan suatu penalaran didasarkan atas adanya
ancaman hukuman. Kalau tidak menyetujui, akan dihukum, dipenjarakan, dipukuli, dipersulit
hidupnya, dan sebagainya. Teror pada hakikatnya adalah paksaan untuk menerima sesuatu
gagasan atau penalaran karena ketakutan.
4 4. Argumentum Ad Misericordiam
Penalaran yang ditujukan untuk menimbulkan belas kasihan agar dapat diterima disebut
argumentum ad misericordiam. Argumen yang demikian ini biasanya berhubungan dengan
usaha agar sesuatu perbuatan dimaafkan.
5 5. Argumentum Ad Populum
Argumentum ad populum ditujukan kepada rakyat, kepada suatu massa, kepada pendengar orang
banyak. Pembuktian sesuatu secara logis tidak dipentingkan. Yang diutamakan adalh menggugah
perasaan massa pendengar, membangkitkan semangat atau membakar emosi pendengar agar
menerima suatu konklusi tertentu. Argumentum ad populum banyak dijumpai dalam kampanye
politik, pidato-pidato, demonstrasi dan propaganda.
6 6. Kesesatan Non Causa pro Causa
Kesesatan ini terjadi apabila kita menganggap sesuatu sebagai sebab, padahal sebenarnya bukan
sebab, atau bukan sebab yang lengkap.
7 7. Ignoratio Elenchi
Kesesatan Ignoratio elenchi terjadi apabila konklusi yang diturunkan dari premis tidak relevan
dengan premis itu.
8. Argumentum Ad Ignorantiam
Penalaran yang menyimpulkan suatu konklusi atas dasar bahwa negasinya tidak terbukti salah,
atau yang menyimpulkan bahwa sesuatu konklusi itu salah karena negasinya tidak terbukti benar.
9. Kesesatan Aksidensi
Kesesatan aksidensi terjadi kalau kita menerapkan prinsip atau pernyataan umum kepada
peristiwa-peristiwa tertentu karena keadaannya yang bersifat aksidential menyebabkan
penerapan itu tidak cocok. Sifat atau kondisi yang aksidential adalah sifat atau kondisi yang
kebetulan, yang tidak harus ada, dan tidak mutlak. Jadi kesesatan ini biasa terjadi karena orang
mengira bahwa apa yang dianggap benar dalam substansi itu, juga benar dalam aksidensinya atau
sifat-sifatnya, maupun keadaan-keadaan yang eksistensinya secara kebetulan. Adapun setiap
subjek tertentu itu mempunyai ciri-ciri khusus yang telah menjadi kodratnya sejak adanya
eksistensi diri dan yang membedakannya dengan subjek lain.
10. Kesesatan karena Komposisi dan Divisi
Ada predikat-predikat yang hanya mengenai individu-individu suatu kelompok kolektif. Kalau
kita menyimpulkan bahwa predikat itu juga berlaku untuk kelompok kolektif seluruhnya,
penalaran kita sesat karena komposisi.

STRATEGI MENGHINDARI SESAT PIKIR


Sesat pikir pada hakikatnya merupakan jebakan bagi proses penalaran kita. Oleh karena
itu, untuk menhindari kekeliruan relevansi, misalnya kita sendiri harus tetap bersikap kritis
terhadap setiap argumen. Dalam hal ini, penelitian terhadap peranan bahasa dan penggunaannya
merupakan hal yang sangat menolong dan penting. Realisasi keluwesan dan keanekaragaman
penggunaan bahasa dapat kita manfaatkan untuk memperoleh kesimpulan yang benar dari
sebuah argumen.

Sesat pikir karena ambiguitas kata atau kalimat terjadi secara sangat “halus”. Banyak kata
yang menyebabkan kita mudah tergelincir karena banyak kata yang memiliki rasa dan makna
yang berbeda-beda. Untuk menghindari terjadinya sesat pikir tersebut, kita harus dapat
mengupayakan agar setiap kata atau kalimat memiliki makna yang tegas dan jelas. Untuk itu kita
harus dapat mendefinisikan setiap kata atau term yang dipergunakan.
FALASI (KESESATAN DALAM BERPIKIR)
Posted on Juni 11, 2012 by Faiqotul Himmah

Falasi berasal dari fallacia atau falaccy dalam bahasa Yunani dan Latin yang berarti ‘sesat pikir’.
Falasi didefinisikan secara akademis sebagai kerancuan pikir yang diakibatkan oleh
ketidakdisiplinan pelaku nalar dalam menyusun data dan konsep, secara sengaja maupun tidak
sengaja. Ia juga bisa diterjemahkan dalam bahasa sederhana dengan ‘ngawur’.

Begitu banyak manusia yang terjebak dalam lumpur falasi, sehingga diperlukan sebuah aturan
baku yang dapat memandunya agar tidak terperosok dalam sesat pikir yang berakibat buruk
terhadap pandangan dunianya. Seseorang yang berpikir tapi tidak mengikuti aturannya, terlihat
seperti berpikir benar dan bahkan bisa mempengaruhi orang lain yang juga tidak mengikuti
aturan berpikir yang benar. Karena itu, al-Qur’an sering kali mencela bahwa ‘sebagian besar
manusia tidak berakal’, tidak berpikir’, dan sejenisnya.

Falasi sangat efektif dan manjur untuk melakukan sejumlah aksi amoral, seperti mengubah opini
publik, memutar balik fakta, pembodohan publik, provokasi sektarian, pembunuhan karakter,
memecah belah, menghindari jerat hukum, dan meraih kekuasaan dengan janji palsu.

Ada beberapa hal yang mengakibatkan kesalahan berfikir dan itu sering tidak disadari orang,
baik orang yang berfikir sendiri, maupun orang yang mengikuti buah pikiran itu. Ini pun dalam
logika dirumuskan dan diberi nama. Sebelum kamu memajukan hal-hal yang betul-betul
merupakan kesalahan berfikir, kami sebut dulu dua hal yang sebetulnya bukan kesalahan, tetapi
sering membingungkan dan disalahgunakan, untuk membawa orang lain ke konklusi yang salah.

Di dalam logika deduktif, kita dengan mudah memperoleh kesesatan karena adanya kata-kata
yang disebut homonim, yaitu kata yang memiliki banyak arti yang dalam logika biasanya disebut
kesalahan semantik atau bahasa. Kesalahan semantik itu dapat pula disebut ambiguitas. Adapun
untuk menghindari ambiguitas dapat dengan berbagai cara, misalnya menunjukkan langsung
adanya kesesatan semantik dengan mengemukakan konotasi sejati. Memilih kata-kata yang
hanya arti tunggal, menggunakan wilayah pengertian yang tepat, apakah universal atau
partikular. Dapat juga dengan konotasi subyektif yang berlaku khusus atau obyektif yang bersifat
komprehensif.

Kesesatan di dalam logika induktif dapat dikemukakan seperti prasangka pribadi, pengamatan
yang tidak lengkap atau kurang teliti, kesalahan klasifikasi atau penggolongan karena
penggolongannya tidak lengkap atau tumpang tindih maupun masih campur aduk. Kesesatan
juga bisa terjadi pada hipotesis karena suatu hipotesis bersifat meragukan yang bertentangan
dengan fakta. kemudian yang berkaitan dengan sebab adalah antiseden yang tidak cukup, dan
analisis yang perbedaannya tidak cukup meyakinkan. Tidak cukupnya perbedaan itu
menjadikannya suatu kecenderungan homogen, masih pula terdapat kebersamaan yang sifatnya
kebetulan. Kesalahan juga terjadi karena generalisasi yang tergesa-gesa, atau analogi yang keliru.
Kesalahan juga terjadi karena suatu argumen ternyata memuat premis-premis yang tidak
berhubungan dengan kesimpulan yang akan dicari. Sebuah argumen yang premis-premisnya
tidak berhubungan dengan kesimpulannya merupakan argumen yang “salah” sekalipun semua
premisnya itu mungkin benar.

Berikut macam – macam kesesatan atau kekeliruan dalam berpikir yang sering terjadi :

A. KEKELIRUAN FORMAL

Adalah kesesatan yang dilakukan karena bentuk penalaran yang tidak tepat atau tidak sahih.
Kesesatan ini terjadi karena pelanggaran terhadap prinsip-prinsip logika mengenai term dan
proposisi dalam suatu argumen. Macam – macam kesesatan formal :

1. Fallacy of Four Terms (Kekeliruan Karena Menggunakan Empat Term)

Kesesatan berfikir karena menggunakan empat term dalam silogisme. Ini terjadi karena term
penengah diartikan ganda, sedangkan dalam patokan diharuskan hanya tiga term.
Contoh :

Semua perbuatan mengganggu orang lain diancam dengan hukuman. Menjual barang di bawah
harga tetangganya adalah mengganggu kepentingan orang lain. Jadi menjual harga di bawah
tetangganya diancam dengan hukuman

Orang yang berpenyakit menular harus diasingkan. Orang berpenyakit panu adalah membuat
penularan penyakit, jadi harus diasingkan.

2. Fallacy of Unditributed Middle (Kekeliruan Karena Kedua Term Penengah Tidak


Mencakup)
Contoh :
Orang yang terlalu banyak belajar kurus. Dia kurus sekali, karena itu tentulah ia banyak belajar.
Semua anggota PBB adalah Negara merdeka. Negara itu tentu menjadi anggota PBB karena
memang negara merdeka.

3. Fallacy of Illicit Process (Kekeliruan Karena Proses Tidak Benar)

Kekeliruan berfikir karena term premis tidak mencakup (undistributed) tetapi dalam konklusi
mencakup.
Contoh :

Kura-kura adalah binatang melata. Ular bukan kura-kura, karena iitu ia bukan binatang melata.

Kuda adalah binatang, sapi bukan kuda jadi ia bukan binatang.

4. Fallacy of Two Negative Premises (Kekeliruan Karena Menyimpulkan daru Dua Premis
yang Negatif)

Kekeliruan berfikir karena mengambil kesimpulan dari dua premis negative. Apabila terjadi
demikian sebenarnya tidak bisa ditarik konklusi.
Contoh :

Tidak satu pun drama yang baik mudah dipertontonkan dan tidak satu pun drama Shakespeare
mudah dipertontonkan, maka semua drama Shakespeare adalah baik.

Tidak satu pun barang yang baik itu murah dan semua barang di toko itu adalah tidak murah, jadi
kesemua barang di toko itu adalah baik.

5. Fallacy of Affirming the Consequent (Kekeliruan Karena Mengakui Akibat)

Kekeliruan berfikir dalam silogisme hipoteka karena membenarkan akibat kemudian


membenarkan pula akibatnya.
Contoh :

Bila kita bisa berkendaraan secapat cahaya, maka kita bisa mendarat di bulan. Kita telah dapat
mendarat di bulan berarti kita telah dapat berkendaraan secepat cahaya.

Bila pecah perang harga barang-barang baik. Sekarang harga naik, jadi perang telah pecah.

6. Fallacy of Denying Antecedent (Kekeliruan Karena Menolak Sebab)


Kekeliruan berfikir dalah silogisme hipoteka karena mengingkari sebab kemudian
disimpulkan bahwa akibat juga tidak terlaksana.
Contoh :

Bila permintaan bertambah harga naik. Nah, sekarang permintaan tidak bertambah, jadi harga
naik.
Bila datang elang maka ayam berlarian, sekarang elang tidak datang, jadi ayam tidak berlarian.

7. Fallacy of Disjunction (Kekeliruan dalam Bentuk Disyungtif)

Kekeliruan berfikir terjadi dalam silogisme disyungtif karena mengingkari alternative pertama,
kemudian membenarkan alternative lain. Padahal menurut patokan, pengingkaran alternative
pertama, bisa juga tidak terlaksananya alternative yang lain.
Contoh :
Dia lari ke Jakarta atau ke Bandung. Ternyata tidak di Bandung,
berarti dia ada di Jakarta. (Dia bisa tidak di Bandung maupun di
Jakarta)

8. Fallacy of Inconsistency (Kekeliruan Karena tidak Konsisten)

Kekeliruan berfikir karena tidak runtutnya pernyataan yang satu dengan pernyataan yang diakui
sebelumnya.
Contoh :
Tuhan adalah Maha kuasa, karena itu Ia bisa menciptakan Tuhan
lain yang lebih kuasa dari Dia.

B. KEKELIRUAN INFORMAL

1. Fallacy of Hasty Generalization (Kekeliruan Karena Membuat Generalisasi yang


Terburu-buru)

Kekeliruan berfikir karena tergesa-gesa membuat generalisasi, yaitu mengambil kesimpulan


umum dari kasus individual yang terlampau sedikit, sehinggga kesimpulan yang ditarik
melampau batas lingkungannya.
Contoh :

Dia orang Islam mengapa membunuh. Kalau begitu orang Islam memang jahat.

Panen di kabupaten itu gagal, kalau begitu tahun ini Indonesia harus mengimpor beras.

2. Fallacy of Forced Hypothesis (Kekeliruan Karena Memaksakan Praduga)

Kekeliruan berfikir karena menetapkan kebenaran suatu dugaan.


Contoh :

Seorang pegawai datang ke kantor dengan luka goresan di pipinya. Seseorang menyatakan
bahwa istrinyalah yang melukainya dalam suatu percekcokan karena diketahuinya selama ini
orang itu kurang harmonis hubungannya dengan istrinya, padahal sebenarnya karena goresan
besi pagar.
3. Fallacy of Begging the Question (Kekeliruan Kerna Mengundang Permasalahan)

Kekeliruan berfikir karena mengambil konklusi dari premis yang sebenarnya harus dibuktikan
dahulu kebenarannya.
Contoh :

Surat kabar X merupaka sumber informasi yang reliable, karena beritanya tidak pernah basi. (Di
sini orang hendak membuktikan bahwa surat kabar X memang merupakan sumber informasi
yang dapat dipercaya berdasarkan pemberitaannya yang up to date, tanpa dibuktikan
pemberitaannya memang dapat diuji kebenarannya).

4. Fallacy of Circular Argument (Kekeliruan Karena Menggunakan Argumen yang Berputar)

Kekeliruan berfikir karena menarik konklusi dari satu premis kemudian konklusi tersebut
dijadikan premis sedangkan premis semula dijadikan konklusi pada argumen berikutnya.
Contoh :

Ekonomi Negara X tidak baik karena banyak pegawai yang korupsi. Mengapa banyak pegawai
yang korupsi? Jawabnya karena ekonomi Negara kurang baik.

5. Fallacy of Argumentative Leap (Kekeliruan Karena Berganti Dasar)

Kekeliruan berfikir karena mengambil kesimpulan yang tidak diturunkan dari premisnya. Jadi
mengambil kesimpulan melompat dari dasar semula.
Contoh :

Ia kelak menjadi mahaguru yang cerdas, sebab orang tuanya kaya.

Pantas ia cantik karena pendidikannya tinggi.

Bentuk tulisannya bagus, jadi ia adalah anak yang pandai.

6. Fallacy of Appealing to Authority (Kekeliruan Karena Mendasarakan pada Otoritas)

Kekeliruan berfikir karena mendasarkan diri pada kewibawaan atau kehormatan seseorang tetapi
dipergunakan untuk permasalahan di luar otoritas ahli tersebut.
Contoh :

Bangunan ini sungguh kokoh, sebab dokter Haris mengatakan demikian. (Dokter Haris adalah
ahli kesehatan, bukan insinyur bangunan).

7. Fallacy of Appealing to Force (Kekeliruan Karena Mendasarkan Diri pada Kekuasaan)

Kekeliruan berfikir karena berargumen dengan kekuasaan yang dimiliki, seperti menolak
pendapat/argumen seseorang dengan menyatakan:
Kau masih juga membantah pendapatku. Kau baru satu tahun duduk dibangku perguruan tinggi,
aku sudah lima tahun.

8. Fallacy of Abusing (Kekeliruan Karena Menyerang Pribadi)

Kekeliruan berfikir karena menolak argumen yang dikemukakan seseorang dengan menyerang
pribadinya.
Contoh :

Jangan dengarkan gagasan dia tentang konsep kemajuan desa ini. Waktu ia menjabat kepala desa
di sini ia menyelewengkan uang Bandes (Bantuan Desa).

9. Fallacy of Ignorance (Kekeliruan Karena Kurang Tahu)

Kekeliruan berfikir karena menganggap bila lawan bicara tidak bisa membuktikan kesalahan
argumentasinya, dengna sendirinya argumentasi yang dikemukakannya benar.
Contoh :

Kalau kau tidak bisa membuktikan bahwa hantu itu ada maka teranglah pendapatku benar,
bahwa hantu itu tidak ada.

10. Fallacy of Complex Question (Kekeliruan Karena Pertanyaan yang Ruwet)

Kekeliruan berfikir karena mengajukan pertanyaan yang bersifat menjebak.


Contoh :

Jam berapa kau pulang semalam? (Yang ditanya sebenarnya tidak pergi. Penanya hendak
memaksakan pengakuan bahwa yang ditanya semalam pergi).

11. Fallacy of Oversimplification (Kekeliruan Karena Alasan Terlalu Sederhana)

Kekeliruan berfikir karena berargumentasi dengan alasan yang tidak kuat atau tidak cukup bukti.
Contoh :

Kendaraan buatan Honda adalah terbaik, karena paling banyak peminatnya.

12. Fallacy of Accident (Kekeliruan Karena Menetapkan Sifat)

Kekeliruan berfikir karena menetapkan sifat bukan keharusan yang ada pada suatu benda bahwa
sifat itu tetap ada selamanya.
Contoh :

Daging yang kita makan hari ini adalah dibeli kemarin. Daging yang dibeli kemarin adalag
daging mentah. Jadi hari ini kita makan daging mentah.
13. Fallacy if Irrelevent Argument (Kekeliruan Karena Argumen yang Tidak Relevan)

Kekeliruan berfikir karena mengajukan argument yang tidak ada hubungannya dengan masalah
yang menjadi pokok pembicaraan.
Contoh :

Kau tidak mau mengenakan baju yang aku belikan. Apakah engkau mau telanjang berangkat ke
perjamuan itu?

14. Fallacy of False Analogy (Kekeliruan Karena Salah Mengambil Analogi)

Kekeliruan berfikir karena menganalogikan dua permasalahan yang kelihatannya mirip, tetapi
sebenarnya berbeda secara mendasar.
Contoh :

Seniman patung memerlukan bahan untuk menciptakan karya-karya seni, maka Tuhan pun
memerlukan bahan dalam menciptakan alam semesta.

15. Fallacy of Appealing to Pity (Kekeliruan Karena Mengundang Belas Kasihan)

Kekeliruan berfikir karena menggunakan uarain yang sengaja menarik belas kasihan untuk
mendapatkan konklusi yang diharapkan. Uraian itu sendiri tidak salah tetapi menggunakan
uraian-uraian yang menarik belas kasihan agar kesimpulan menjadi lain. Padahal masalahnya
berhubungan dengan fakta, bukan dengan perasan inilah letak kekeliruannya. Kekeliruan pikir
ini sering digunakan dalam peradilan oleh pembela atau terdakwa, agar hakim memberikan
keputusan yang sebaik-baiknya, seperti pembelaan Clarence Darrow, seorang penasihat hukum
terhadap Thomas I Kidd yang dituduh bersekongkol dalam beberapa perbuatan criminal dengan
mengatakan sebagai berikut :

Saya sampaikan pada anda (para yuri), bukan untuk kepentingan Thomas Kidd tetapi
menyangkut permasalahan yang panjang, ke belakang ke masa yang sudah lampau maupun ke
depan masa yang akan datang, yang menyangkut seluruh manusia di bumi. Saya katakan pada
anda bukan untuk Kidd, tetapi untuk mereka yang bangun pagi sebelum dunia menjadi terang
dan pulang pada malam hari setelah langit diteraingi bintang-bintang, mengorbankan kehidupan
dan kesenangnnya, bekerja berat demi terselenggarakannya kemakmuran dan kebesaran, saya
sampaikan pada anda demi anak-anak yang sekarang hidup maupun yang akan lahir.

C. KEKELIRUAN DALAM BAHASA

Setiap kata dalam bahasa memiliki arti tersendiri, dan masing-masing kata dalam sebuah kalimat
mempunyai arti yang sesuai dengan keseluruhan arti kalimatnya. Maka, meskipun kata yang
digunakan itu sama, namun dalam kalimat yang berbeda, kata tersebut dapat bervariasi artinya.
Ketidakcermatan dalam menentukan arti kata atau arti kalimat itu dapat menimbulkan kesesatan
penalaran. Berikut ini adalah beberapa bentuk kesesatan karena penggunaan bahasa.
1. 1. Ekuivokasi
Adalah kesesatan yang disebabkan karena satu kata mempunyai lebih dari satu arti. Bila
dalam suatu penalaran terjadi pergantian arti dari sebuah kata yang sama, maka terjadilah
kesesatan penalaran. Ekuivokasi terdiri dari dua macam, yaitu ekuivokasi verbal dan non
verbal.

Contoh :

– Ekuivokasi verbal.

Seorang pasien berkebangsaan Malaysia memeriksakan diri kepada seorang dokter Indonesia.
Setelah diperiksa, dokter membeeri nasihat, “Ibu perlu menjaga makannya.”

Sang pasien bertanya, “Boleh saya makan ayam?” Sang dokter menjawab, “Bisa.”

Sang pasien bertanya, ”Boleh saya makan ikan?” Sang dokter menjawab, “Bisa.”

Sang pasien bertanya, ”Boleh saya makan sayur?” Sang dokter menjawab, “Bisa.”

Sang pasien merasa marah lalu membentak, ”Kalau semua bisa (beracun), apa yang saya hendak
makan???”

Yang jadi masalah di sini adalah kata “bisa” yang berarti “dapat” dan yang juga berarti “racun
ular”.

– Ekuivokasi non – verbal.

Menggelengkan kepala umunya menunjukkan ketidak setujuan, namun di India menggelengkan


kepala dari satu sisi ke sisi yang lain menunjukkan kejujuran.

1. 2. Amfibologi (gramatikal)

Adalah kesesatan yang dikarenakan konstruksi kalimat sedemikian rupa sehingga artinya
menjadi bercabang. Ini dikarenakan letak sebuah kata atau term tertentu dalam konteks
kalimatnya. Akibatnya timbul lebih dari satu penafsiran mengenai maknanya, padahal hanya satu
saja makna yang benar sementara makna yang lain pasti salah.

Contoh :

Ali mencintai kekasihnya, dan demikian pula saya!

Arti 1 : Ali mencintai kekasihnya dan saya juga mencintai kekasih Ali.

Arti 2 : Ali mencintai kekasihnya dan saya juga mencintai kekasih saya.

1. 3. Kesesatan Aksentuasi
Adalah kesesatan ekuivokasi yang disebabkan perubahan aksentuasi atau tekanan. Perubahan
dalam tekanan terhadap suku kata dapat menyebabkan perubahan arti. Karena itu kurangnya
perhatian terhadap tekanan ucapan dapat menimbulkan perbedaan arti sehingga penalaran
mengalami kesesatan. Terdiri dari dua macam yaitu aksentuasi verbal dan non verbal.

Contoh :

– Aksentuasi Verbal
Apel (buah) dan apel bendera (menghadiri upacara bendera)
Mental (kejiwaan) dan mental (terpelanting)
Tahu (masakan, makanan) dan tahu (mengetahui sesuatu)

– Aksentuasi Non verbal

Pada kata “apa” dan “ha”.

Akan berbeda maknanya jika diucapkan dalam keadaan marah, menjawab panggilan dan dalam
keadaan bertanya.

1. 4. Metaforis

Disebut juga (fallacy of metaphorization) adalah kesesatan yang terjadi karena pencampur-
adukkan arti kiasan dan arti sebenarnya. Artinya terdapat unsur persamaan dan sekaligus
perbedaan antara kedua arti tersebut. Tetapi bila dalam suatu penalaran arti kiasan disamakan
dengan arti sebenarnya maka terjadilah kesesatan metaforis, yang dikenal juga kesesatan karena
analogi palsu.

Contoh :

Pemuda adalah tulang punggung negara.

Penjelasan kesesatan: Pemuda disini adalah arti sebenarnya dari orang-orang yang berusia muda,
sedangkan tulang punggung adalah arti kiasan karena negara tidak memiliki tubuh biologis dan
tidak memiliki tulang punggung layaknya mahluk vertebrata. Ungkapan ini sering kali disengaja
seperti yang terjadi dalam dunia lawak.

1. 5. Komposisi
Adalah kesesatan yang terjadi dikarenakan menetapkan sifat yang ada pada suatu bagian
untuk menyifati keseluruhannya.
Contoh :
Setiap kapal perang telah siap, maka keseluruhan angkatan laut Negara itu sudah siap
bertempur.

Anda mungkin juga menyukai