Epitaksis 2
Epitaksis 2
DEFINISI
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung; merupakan suatu gejala atau keluhan, bukan
penyakit. Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat menjengkelkan dan mengganggu, dan
dapat pula mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara
efektif. Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau nasofaring
dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu
kelainan yang mana hampir 90 % dapat berhenti sendiri.
VASKULARISASI
Hidung kita kaya pembuluh darah, yang berasal dari A. karotis eksterna dan interna. Arteri karotis
eksterna mensuplai hidung melalui A. maksilaris interna dan A. fasialis. Cabang terminal A. fasialis yaitu A.
labialis superior, mensuplai darah ke dasar hidung dan septum bagian anterior. Sedangkan A. maksilaris
interna akan masuk fossa pterigomaksilaris dan kemudian membentuk percabangan arteri, yaitu posterior
superior alveolar, descending palayine, infraorbital, sphenopalatine, pterygoid canal, dan pharyngeal. A.
descending palatin berjalan ke bawah melalui kanalis paatine mayor dan mensuplai darah ke dindidng lateral
hidung, serta juga septum hidung bagian anterior lewat percabangan ke forame incisivus. Adapaun A.
sphenopalatine masuk ke hidung dekat area perlekatan posterior konka media untuk kemudian mensuplai
darah di dinding lateral hidung, dan juga membeika percabangannya ke septum hidung anterior. Aeteri
karotis interna memberikan kontribusi pada sistem baskularisasi hidung, terutama lewat cabangnya, A.
ophtalmicus.
Pleksus Kiesselbach atau area little, terletak di bagian anterior tulang rawan septum. Setiapa cabang
arteri yang menyuplai hidung ke area ini saling berhubungan membentuk anastomosis.
PATOFISIOLOGI
Semua perdarahan hidung disebabkan lepasnya lapisan mukosa hidung yang mengandung banyak
pembuluh darah kecil. Lepasnya mukosa akan disertai luka pada pembuluh darah yang mengakibatkan
pendarahan.
Terdapat dua sumber perdarahan yaitu bagian anterior dan posterior. Pada epistaksis anterior,
perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach (yang paling sering terjadi dan biasanya pada anak-anak) yang
merupakan anastomosis cabang arteri ethmoidakis anterior, arteri sfeno-palatina, arteri palatine ascendens
dan arteri labialis superior.
Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri ethmoidalis
posterior. Epistaksis posterior sering terjadi pada pasien usia lanjut yang menderita hipertensi,
arteriosclerosis, atau penyakit kardiovaskuler. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan.
Perdarahan yang hebat dapat menimbulkan syok dan anemia, akibatnya dapat timbul iskemia serebri,
insufisiensi koroner dan infark miokard, sehingga dapat menimbulkan kematian. Oleh karena itu pemberian
infuse dan tranfusi darah harus cepat dilakukan.
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut, terlihat
perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut
bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan
tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga
mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi
perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding
pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.
DIAGNOSIS
Dalam mendiagnosis pasien epistaxis memerlukan anamnesis yang lengkap untuk mengetahui
penyebab pasti epistaxis. Dalam anamnesis ditanyakan :
Lamanya pendarahan dan frekuensinya
Apakah darah ada mengalir ke tenggorokan
Riwayat pendarahan sebelumnya
Menanyakan riwayat penyakit seperti ada tidaknya hipertensi, diabetes mellitus, gangguan
pendarahan dalam keluarga, kelainan darah, infeksi local atau infeksi sistemik
Kemudian melakukan pemeriksaan fisik berupa :
Keadaan umum dan kesadaran pasien
Pengukuran tekanan darah
Frekuensi denyut nadi
Frekuensi pernafasan
Suhu tubuh
DIAGNOSIS BANDING
Sebagian besar pasien epistaksis mempunyai tempat perdarahan yang terletak anterior dalam cavitas
nasalis akibat kejadian traumatik ringan, misalnya perdarahan bisa akibat memasukkan objek (lazim suatu
jari tangan). Keadaan kering, terutama musim dingin, akibat sistem pemanasan dan kurangnya kelembaban,
maka membrana hidung menjadi kering dan retak yang menyebabkan permukaannya berdarah. Area ini tepat
mengelilingi perforasi septum atau deviasi septum bisa menjadi kering karena aliran udara hidung abnormal
dan bisa timbul perdarahan. Pada kelompok usia pediatri, benda asing dan alergi menjadi sebab lazim
epistaksis. Beberapa anak bisa berdarah akibat ruptura pembuluh darah septum yang membesar yang muncul
dari lantai hidung. Perdarahan juga dapat terjadi pada trauma pembuluh darah disekitar basis cranii yang
kemudian masuk ke hidung melalui sinus sphenoid atau tuba eustachius.
PENATALAKSANAAN
Prinsipnya penatalaksanaan epistaxis
1. Awalnya perbaiki keadaan umum pasien, bila ada kelainan diatasi terlebih dulu misalnya dengan
pemasangan infuse. Bila jalan nafas tersumbat oleh darah atau bekuan darah, maka dibersihkan atau
diisap.
2. Mencari sumber pendarahan apakah dari anterior atau posterior. Diperlukan alat pemeriksaan berupa
lampu kepala, speculum hidung, dan alat pengisap. Pasien diperiksa dalam posisi duduk biarkan darah
mengalir keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Pasien dengan keadaan lemah sebaiknya setengah
duduk atau berbaring dengan posisi kepala ditinggikan. Untuk pasien anak-anak duduk dipangku
dengan kepala dipegang agar tidak bergerak-gerak.
3. Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin
dan pantokain/ lidokain 2%, serta bantuan alat penghisap untuk membersihkan bekuan darah. Tampon
dibiarkan 10-15 menit lalu dapat dilihat apakah pendarahan dari anterior atau posterior.
4. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan
larutan nitras argenti 20%-30%, asam trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik
diberikan analgesik topikal terlebih dahulu. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus
Teknik Pemasangan
Untuk memasang tampon Bellocq, dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai tampak di
orofaring dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut. Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang
yang terdapat pada satu sisi tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung. Benang yang telah
keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang lain membantu mendorong tampon
ini ke arah nasofaring. Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior,
kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan di tempat lubang hidung sehingga tampon posterior
terfiksasi. Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan melalui mulut (tidak boleh terlalu
kencang ditarik) dan diletakkan pada pipi. Benang ini berguna untuk menarik tampon keluar melalui mulut
setelah 2-3 hari. Setiap pasien dengan tampon Bellocq harus dirawat.
Semakin meningkatnya penggunaan endoskop, akhir-akhir ini dikembangkan teknik kauterisasi atau
ligasi pada arteri sfenopalatina dengan panduan endoskop.
KOMPLIKASI
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya.
Akibat perdarahan hebat :
1. Aspirasi darah ke dalam saluran pernapasan bawah
2. Syok dan anemia
3. Gagal ginjal
4. Tekanan darah yang turun mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi
koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian.
5. Pembuluh darah yang terbuka dapat menyebabkan infeksi
Akibat pemasangan tampon :
1. Pemasangan tampon dapat menimbulkan sinusitis, otitis media, dan septikemia. Oleh karena itu pada
setiap pemasangan tampon hidung harus selalu diberikan antibiotik dan setelah 2-3 hari harus dicabut.
Bila perdarahan masih berlanjut, dipasang tampon baru.
2. Sebagai akibat mengalirnya darah secara retrograd melalui tuba Eustachius, dapat terjadi
hemotimpanum
4. Pada pemasangan tampon posterior (tampon Bellocq) dapat terjadi laserasi palatum mole atau sudut
bibir jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi.
5. Kateter balon atau tampon balon yang dipompa terlalu keras dapat menyebabkan nekrosis mukosa
hidung atau septum.
PENATALAKSANAAN
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan, mencegah
komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.
Pasien yang datang dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau sudah terlalu
lemah dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila sudah dalam keadaan syok.
Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk menyingkirkan bekuan darah. Kemudian
diberikan tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1: 10.000 dan lidokain atau pantokain 2 %.
Kapas ini dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa sakit
pada saat tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 – 5 menit. Dengan cara ini dapat ditentukan
apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau posterior.
Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan jumlah dan kecepatan
perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan darah harus cepat dilakukan. Pada pasien
dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera diatasi. Jika ada kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus
dilakukan pemeriksaan hitung trombosit, masa protrombin dan masa tromboplastin (APTT), sedangkan
prosedur diagnosis selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Bila terjadi kehilangan darah yang
banyak dan cepat, harus difikirkan pemberian transfusi sel-sel darah merah (packed red cell) disamping
penggantian cairan.
A. Epistaksis Anterior
1. Kauterisasi
Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal dengan menggunakan tampon
kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 4% topikal dengan epinefrin 1 : 100.000 atau
kombinasi lidokain 4% topikal dan penilefrin 0.5 %.10 Tampon ini dimasukkan dalam rongga hidung
dan dibiarkan selama 5 – 10 menit untuk memberikan efek anestesi lokal dan vasokonstriksi.5
Kauterisasi secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan larutan perak nitrat 20 – 30% atau
B. Epistaksis Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit
dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Epistaksis posterior dapat diatasi dengan
menggunakan tampon posterior, balloon tamponade , ligasi arteri dan embolisasi.
1. Tampon Posterior
Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau setidaknya dengan
anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup koana dan terfiksasi di nasofaring untuk
menghindari mengalirnya darah ke nasofaring. Kemudian dilakukan pemasangan tampon anterior.
Tekhnik ini pertama sekali diperkenalkan oleh Bellocq, dengan menggunakan tampon yang diikat
dengan tiga pita (band).
Masukkan kateter karet kecil melalui hidung kedalam faring, kemudian ujungnya dipegang
dengan cunam dan dikeluarkan dari mulut agar dapat diikat pada kedua ujung pita yang telah
disediakan. Kateter ditarik kembali melalui rongga hidung sehingga tampon tertarik ke dalam koana
melalui nasofaring. Bantuan jari untuk memasukkan tampon kedalam nasofaring akan mempermudah
tindakan ini.
Apabila masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan
tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua pita yang keluar dari nares anterior kemudian diikat pada
sebuah gulungan kain kasa didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak
bergerak. Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya untuk menarik
tampon keluar melalui mulut setelah 2 – 3 hari.
PROGNOSIS
Untuk sebagian besardari populasi umum, epistaksis hanyalah gangguan. Namun, masalahnya
kadang-kadang dapat mengancam jiwa, terutama pada pasien lanjut usia dan pada pasien dengan masalah
medis yang mendasari. Untungnya, kematian jarang terjadi dan biasanya akibat komplikasi dari hipovolemia,
dengan pendarahan parah atau penyakit yang mendasari.
Secara keseluruhan, prognosis yang baik tetapi variabel,dengan perawatan yang tepat, itu sangat
baik. Ketika perawatan suportif yang memadai dan masalah medis yang mendasari dikontrol, kebanyakan
pasien tidak mengalami perdarahan ulang apapun. Hal lain dapat kambuh kecil yang menghilang secara
spontan atau dengan pengobatan diri yang minimal. Sebagian kecil pasien mungkin memerlukan perawatan
mengemas ulang atau lebih agresif.
Pasien dengan epistaksis yang terjadi dari membran kering atau trauma ringan melakukannya dengan
baik, tanpa efek jangka panjang. Pasien dengan HHT cenderung memiliki beberapa kambuh terlepas dari
modalitas pengobatan. Pasien dengan perdarahan dari masalah hematologi atau kanker memiliki prognosis
variabel. Pasien yang telah menjalani kemasan hidung tunduk pada peningkatan morbiditas.
90 % kasus epistaksis dapat berhenti sendiri. Pada pasien hipertensi dengan atau tanpa
arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk.
PENDAHULUAN
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologis terdiri dari
komponen pembuluh darah dan jaringan ikat. Meskipun secara histologis jinak, tetapi secara klinis tumor ini
bersifat tumor ganas karen mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus
paranasalis, pipi, mata dan tengkorak. Angiofibroma nasofaring sangat mudah berdarah yang sulit
dihentikan. Tumor ini jarang ditemukan, merupakan 0,05% dari tumor keala dan leher. Biasanya ditemukan
pada laki-laki dan remaja antara usia 7-19 tahun dan jarang terjadi pada usia lebi dari 25 tahun.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan radiologis. Trias
gejala tanda klinis adalah epistaksis masif berulang, obstruksi hidung dan massa di nasofaring sangat
mendukung kecurigaan adanya angiofibroma nasofaring.
Penanganan angiofibroma nasofaring dapat berupa pembedahan (ekstirpasi tumor), radioterapi,
terapi hormonal, sitostatika. Pembedahan merupakan pilihan utama dan dapat dilakukan dengan beberapa
metode yaitu pendekatan transpalatal, rinotomi lateral, degloving, kraniotomi. Pengobatan lain seperti
pemberian hormonal, sitostatika maupun radioterapi dilakukan bila tumor tidak dapat dioperasi atau diberi
sebelum operasi untuk mengecilkan tumor dan mengurangi perdarahan selama operasi.
Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain juvenile angiofibroma, juvenile
nasopharyngeal angiofibroma, JNA, nasal cavity tumor, nasal tumor, benign nasal tumor, tumor hidung
(nose tumor), nasopharyngeal tumor, angiofibroma nasofaring belia.
ANATOMI
Ruang nasofaring yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan yang erat dengan
beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting.
1. Pada dinding posterior meluas ke arah kubah adalah jaringan adenoid.
2. Terdapat jaringan limfoid pada dinding faring lateral dan pada resessus faringeus, yang dikenal sebagai
fossa Rosenmuller.
3. Torus tubarius, refleksi mukosa faring di atas bagian kartilago saluran tuba eustachii yang berbentuk
bulat dan menjulang tampak sebagai tonjolan seperti ibu jari ke dinding lateral nasofaring tepat diatas
perlekatan palatum mole.
4. Koana pada posterior rongga hidung.
5. Foramina kranial, yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan dari penyakit nasofaring,
termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh saraf kranial glossofaringeus, vagus, dan spinal assesori.
6. Struktur pembuluh darah yang penting yang letaknya berdekatan termasuk sinus petrosus inferior, vena
jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksiput dan arteri faringea asendens, dan foramen
hipoglossus yang dilalui saraf hipoglossus.
7. Tulang temporalis bagian petrosa dan feromen laserum yang terletak dekat bagian lateral atap
nasofaring.
EPIDEMIOLOGI
JNA banyak dialami terutama remaja putra berusia 14-18 tahun. Jika remaja putri didiagnosis JNA,
maka sebaiknya menjalani pemeriksaan kromosom atau diagnosis JNA akan terus dipertanyakan. Umumnya
JNA terjadi pada dekade kedua kehidupan, tepatnya pada rentang usia 7-19 tahun. JNA jarang terjadi setelah
usia 25 tahun.
Insiden JNA adalah 1 dari 5.000-60.000 kasus THT dan dilaporkan 0,05% dari semua tumor kepala
dan leher. Dilaporkan insiden JNA banyak terjadi di Mesir dan India.
Insiden dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia, seperti pada Timur Tengah
dan Amerika. Martin, Ehrlich dan Abels (1948) melaporkan rata-rata setiap tahunnya dari satu atau dua
pasien untuk 2.000 pasien yang diobati pada Head and Neck Service of The Memorial Hospital, New York.
Di London, Harrison (1976) mencatat status dari satu per 15.000 pasien pada Royal National Throat, Nose
and Ear Hospital dimana satu kesimpulan bahwa lebih sedikit angiofibroma di London dibanding di New
York.
ETIOLOGI
Penyebab pastinya belum dapat ditentukan. Namun teori yang paling dapat diterima adalah bahwa
JNA berasal dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue yang terletak di turbinate cartilage. Pengaruh
hormonal yang dikemukakan ini dapat menjelaskan mengapa beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute)
setelah masa remaja (puberty).
Teori lainnya yang diajukan adalah tumor berasal dari embryonal chondrocartilage yang berada di
occipital plate. Selain itu, ada juga teori tentang respon desmoplastic dari nasopharyngeal periosteum atau
embryonic fibrocartilage antara basiocciput dan basisphenoid. Teori tentang penyebab dari sel-sel
paraganglionik nonkromafin dari cabang terminal arteri maksilaris juga dipostulasikan. Hasil analisis
hibridisasi genomik komparatif dari tumor ini juga berhasil mengungkapkan delesi kromosom 17, termasuk
daerah untuk tumor suppressor gene p53 sama seperti Her-2/neu oncogene.
Berbagai macam teori banyak dikemukakan. Salah satu diantaranya adalah teori jaringan asal, yaitu
pendapat bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga
hidung.
Faktor hormonal dikemukakan sebagai penyebabnya. Banyak bukti memperlihatkan secara langsung
adanya reseptor seks-hormon, seperti reseptor androgen (RA), reseptor estrogen (RE), dan reseptor
progesteron (RP), pada tumor ini. Bukti ini secara langsung memperlihatkan bahwa reseptor seks-hormon
PATOFISIOLOGI
Menurut Mansfield E (2006), asal mula JNA terletak di sepanjang dinding posterior-lateral di atap
nasofaring, biasanya di daerah margin superior foramen sfenopalatina dan aspek posterior dari middle
turbinate. Histologi janin mengkonfirmasikan luasnya area jaringan endotel di daerah ini.
Bukannya menyerbu jaringan disekitarnya, namun tumor ini berpindah dan berubah menyandarkan
diri pada tekanan sel-sel yang telah mati (necrosis) untuk merusak dan menekan melalui perbatasan yang
banyak tulangnya.
Pada 10-20% kasus, terjadi perluasan intrakranial. Menurut Tewfik TL (2007), tumor mulai tumbuh
di dekat foramen sfenopalatina. Tumor-tumor yang besar seringkali memiliki dua lobus (bilobed) atau
dumbbell-shaped, dengan satu bagian tumor mengisi nasofaring dan bagian yang lainnya meluas ke fossa
pterigopalatina.
Pertumbuhan anterior terjadi pada membran mukosa nasofaring, memindahkannya ke anterior dan
inferior menuju ke ruang postnasal. Pada akhirnya, rongga hidung terisi pada satu sisinya, dan septumnya
berdeviasi (”bengkok”) ke sisi lainnya.
Pertumbuhan superior langsung menuju sinus sfenoid, yang dapat juga terjadi erosi (eroded).
Cekungan sinus (cavernous sinus) dapat “diserbu” atau diinvasi juga jika tumor berkembang lebih lanjut.
Penyebaran lateral langsung menuju fossa pterigopalatina, mendesak dinding posterior sinus maksila. Lalu,
fossa infratemporal dimasuki atau diinvasi.
Adakalanya, bagian sfenoid yang lebih besar (the greater wing of the sphenoid) dapat ter-erosi,
membuka middle fossa dura. Terjadi proptosis dan atrofi nervus optikus jika fissura orbita didesak oleh
tumor.
Kejadian angiofibroma ekstranasofaring sangatlah jarang dan cenderung terjadi pada pasien yang
lebih tua, terutama pada wanita, namun tumor jenis ini lebih sedikit melibatkan pembuluh darah (less
vascular) dan kurang agresif (less aggressive) jika dibandingkan dengan JNA.
PATOGENESIS
Penyebab yang pasti dari angiofibroma belum diketahui secara pasti. Beberapa pendapat dari para
ahli telah dikemukakan pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu berdasarkan jaringan tempat
asal tumbuh tumor dan adanya gangguan hormonal. Pada teori tentang jaringan asal tumbuh, diduga tumor
terjadi karena pertumbuhan abnormal jaringan fibrokartilago embrional di daerah oksipital os spenoidalis.
Sedangkan teori hormonal menerangkan bahwa tumbuhnya angiofibroma diduga karena
ketidakseimbangan hormonal, terutama androgen. Banyak bukti memperlihatkan secara langsung adanya
reseptor sex hormon muncul pada angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive immunocytochemical
dan mencatat populasi sel yang mana memperlihatkan reseptor tersebut. 24 angiofibroma nasofaring
diperoleh dari jaringan penyimpanan, dan studi imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada reseptor
GEJALA KLINIS
Gejala klinik terdiri dari hidung tersumbat (80-90%); merupakan gejala yang paling sering, diikuti
epistaksis (45-60%); kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala (25%); khususnya bila sudah meluas
ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%) dan gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness,
pembengkakan palatum serta deformitas pipi. Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat
hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang ekstensif.
Adanya obstruksi hidung memudahkan terjadinya penimbunan sekret sehingga timbul rinore kronis
yang diikuti oleh gangguan penciuman. Tuba eustachius akan menimbulkan ketulian atau otalgia. Sefalgia
hebat biasanya menunjuukkan bahwa tumor sudah meluas ke intrakranial.
Biasanya penderita datang karena epistaksis yang hebat, pucat karena anemi, atau hidung terasa
buntu. Penyebab epistaksis disebabkan lepasnya krusta pada permukaan tumor atau karena tumor sendiri
mengalami ulserasi, dan jarang sekali karena erosi pembuluh darah besar.
Gejala
1. Obstruksi nasal (80-90%) dan ingus (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang paling sering, terutama
pada permulaan penyakit.
2. Sering mimisen (epistaxis) atau keluar cairan dari hidung yang berwarna darah (blood-tinged nasal
discharge). Mimisen, yang berkisar 45-60% ini, biasanya satu sisi (unilateral) dan berulang (recurrent).
3. Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang.
4. Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.
5. Tuli konduktif (conductive hearing loss) dari obstruksi tuba eustachius.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Penemuan Histologis
Pada pemeriksaan histologis, ditemukan jaringan serabut yang telah dewasa/matang (mature fibrous
tissue) yang mengandung bermacam-macam pembuluh darah yang berdinding tipis. Pembuluh-pembuluh
darah ini dilapisi dengan endothelium, namun mereka kekurangan elemen-elemen otot yang dapat
berkontraksi secara normal. Inilah yang dapat menjelaskan tentang kecenderungan terjadi perdarahan.
Laboratorium
Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada keadaan ini.
Biopsi
Kebanyakan kasus dari angiofibroma nasofaring juvenile tidak dianjurkan untuk biopsi sebelum
reseksi defenitif. Walaupun didapatkan gambaran radiologis yang klasik, bagaimanapun, tidak ada tanda
absolut dari angiofibroma. Jika tumor atipikal atau jika gambaran klinik tidak biasa, seharusnya
dipertimbangkan untuk biopsi sebelum tumor direseksi. Bila diperlukan, biopsi dari kasus yang dicurigai
angiofibroma dapat dilakukan di ruang operasi.
Pemeriksaan Radiologis
FOTO SINAR-X
Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam nasofaring. Holman dan Miller
menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada foto lateral, yang tergantung pada lokasi tipikal dalam alur
STADIUM
Sebagai neoplasma dari nasofaring, stadium tumor berdasarkan pada daerah yang terlibat adalah
penting untuk evaluasi individu dan pengobatannya. Different Staging System mengeluarkan untuk
angiofibroma nasofaring, Chandler dan kawan-kawan merekomendasikan berdasarkan sistem stadium pada
usulan sistem untuk kanker nasofaring oleh AJC.
Stadium I : Tumor di nasofaring.
Stadium II : Tumor meluas ke rongga hidung dan atau sinus sfenoid.
Stadium III : Tumor meluas kedalam antrum, sinus ethmoid, fossa pterygomaksillaris, fossa
infratemporalis. Orbita dan atau pipi.
Stadium IV : Tumor meluas ke rongga intrakranial.
Sistem stadium lain yang diusulkan oleh Fisch :
Stadium I : Tumor terbatas pada rongga hidung, nasofaring tanpa destruksi tulang.
Stadium II : Tumor meluas ke fossa pterygomaksillaris, sinus-sinus paranasalis dengan destruksi
tulang.
Stadium III : Tumor meluas ke fossa infratemporalis, orbita dan atau regio parasellar menyisakan
lateral ke sinus kavernosus.
Stadium IV : Tumor meluas ke sinus kavernosus, regio khiasma optik dan atau fossa pituitary.
Klasifikasi menurut Sessions :
- Stadium IA : Tumor terbatas pada nares posterior dan atau nasofaring.
- Stadium IB : Tumor terbatas pada nares posterior dan atau nasofaring dengan melibatkan sedikitnya
satu sinus paranasalis.
- Stadium IIA : Tumor meluas minimal lateral ke fossa pterygomaksillaris.
- Stadium IIB : Tumor meluas penuh pada fossa pterygomaksillaris dengan atau tanpa erosi superior
dari tulang orbita.
DIAGNOSIS BANDING
1. Penyebab lain dari obstruksi nasal, (seperti polip nasal, polip antrokoanal, teratoma, encephalocele,
dermoids, inverting papilloma, rhabdomyosarcoma, karsinoma sel skumous).
2. Penyebab lain dari epistaksis, sistemik atau lokal.
3. Penyebab lain dari proptosis atau pembengkakan orbita.
4. Granuloma piogenik (pyogenic granuloma).
5. Polip koanal (choanal polyp).
6. Polip angiomatosa (angiomatous polyp).
7. Kista nasofaringeal (nasopharyngeal cyst).
8. Kordoma (chordoma).
9. Karsinoma (carcinoma).
10. Penyebab lain dari nasal obstruction, (seperti: nasal polyps, antrochoanal polyp, teratoma,
encephalocele, dermoids, inverting papilloma, rhabdomyosarcoma, squamous cell carcinoma)
11. Penyebab lain dari mimisen (epistaxis), baik sistemik maupun lokal.
12. Penyebab lain dari proptosis atau pembengkakan rongga mata (orbital swellings).
PENATALAKSANAAN
Terapi Medis
Hormonal
Penghambat reseptor testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor stadium I dan II sampai 44%.
Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, jalan ini tidak digunakan secara rutin.
o Flutamide hormonal, suatu nonsteroidal androgen blocker atau testosterone receptor blocker,
efektif untuk mengurangi ukuran tumor pada stadium I dan II hingga 44%.
o Terapi hormonal dengan diethylstilbestrol (5 mg PO tid untuk 6 minggu) sebelum eksisi dapat
mengurangi vascularity JNA namun terkait dengan efek samping memiliki sifat kewanitaan
(feminizing side effects).
o Doxorubicin dan dacarbazine disiapkan jika JNA berulang atau kambuh.
o Schuon, et.al. (2006) melaporkan analisis immunohistochemical dari mekanisme pertumbuhan
JNA. Mereka berkesimpulan bahwa pertumbuhan dan vaskularisasi JNA dikendalikan oleh
faktor-faktor yang dibebaskan dari stromal fibroblasts. Oleh karena itu, dihambatnya faktor-
faktor ini dapat bermanfaat untuk terapi JNA yang tidak dapat dioperasi (inoperable).
Radioterapi
Beberapa pusat melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi radiasi. Bagaimanapun,
menganggap hubungan efek potensial dari radiasi membuat terapi radiasi modalitas yang tidak berguna
Terapi Pembedahan
Beberapa pendekatan yang digunakan tergantung dari lokasi dan perluasan JNA.
Rute rinotomi lateral, transpalatal, transmaksila, atau sphenoethmoidal digunakan untuk tumor-tumor
yang kecil (Klasifikasi Fisch stadium I atau II).
Pendekatan fossa infratemporal digunakan ketika tumor telah meluas ke lateral.
Pendekatan midfacial degloving, dengan atau tanpa osteotomi LeFort, memperbaiki akses posterior
terhadap tumor.
Pendekatan translokasi wajah dikombinasikan dengan insisi Weber-Ferguson dan perluasan koronal
untuk kraniotomi frontotemporal dengan midface osteotomies untuk jalan masuk.
Pendekatan extended anterior subcranial memudahkan pemotongan tumor sekaligus (en bloc),
dekompresi saraf mata, dan pembukaan sinus kavernosus.
Intranasal endoscopic surgery dipersiapkan untuk tumor yang terbatas pada rongga hidung dan sinus
paranasal.
KOMPLIKASI
Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit stadium IV), perdarahan
yang tak terkontrol dan kematian, iatrogenic injury terhadap struktur vital, dan transfusi perioperative.
PROGNOSIS
Berbagai faktor risiko yang berkaitan dengan berulangnya JNA adalah: keberadaan tumor di fossa
pterigoideus dan basisphenoid, erosi clivus, perluasan intrakranial, suplai makanan dari arteri karotid interna,
usia muda, dan ada tidaknya sisa tumor.
Embolisasi preoperative menurunkan angka morbiditas dan kekambuhan (recurrence). Rata-rata
kesembuhan untuk pembedahan primer mendekati 100% dengan reseksi lengkap dari JNA ekstrakranial dan
70% dengan tumor intrakranial. Rerata kesembuhan 90% berhubungan dengan pembedahan kedua jika
terjadi kekambuhan.
Meskipun tidak bersifat seperti kanker, angiofibroma dapat terus menyebar. Dapat hilang sendiri.
Terdapat angka rekurensi yang cukup tinggi setelah operasi, sekitar 6-24 %.
Karsinoma nasofaring ( KNF ) merupakan penyakit keganasan yang paling sering ditemukan di
bidang penyakit Telinga Hidung Tenggorokan. Dalam urutan 5 besar tumor ganas dengan frekuensi tertinggi,
ia menduduki tempat ke empat setelah kanker mulut rahim, payudara dan kulit.
Gangguan pendengaran merupakan salah satu gejala dini dari penyakit ini, disamping gejala dini lain
yang berupa hidung buntu atau hidung keluar darah, tetapi gejala tersebut sering tidak terpikirkan oleh dokter
pemeriksa bahwa penyebanya adalah tumor ganas di nasofaring, sehingga baru di ketahui bila penyakit
sudah dalam keadaan lanjut. Gangguan pengdengaran kadang-kadang disertai juga keluhan rasa penuh di
telinga , telinga berbunyi atau rasa nyeri di telinga.
Lokasi permulaan tumbuh KNF, tersering di fosa Rosemuller, sebab daerah tersebut merupakan
daerah peralihan epitel. Dalam penyebarannya, tumor dapat mendesak Tuba Eustachius serta mengganggu
pergerakan otot Levator Palatini., yang berfungsi membuka tuba, sehingga fungsi tuba terganggu dan
mengakibatkan gangguan pendengaran berupa menurunnya pendengaran tipe Konduksi yang bersifat
Reversibel.
EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini banyak ditemukan pada ras cina terutama yang tinggal di daerah selatan. Ras mongloid
merupakan faktor dominan dalam munculnya kanker nasofaring, sehingga sering timbul di Negara-negara
asia bagian selatan. Penyakit ini juga ditemukan pada orang-orang yang hidup di daerah iklim dingin, hal ini
diduga karena penggunaan pengawet nitrosamine pada makanan-makanan yang mereka simpan.
ETIOLOGI
Penyebab penyakit ini dikatakan bahwa beberapa faktor saling berkaitan sehingga akhirnya
disimpulkan bahwa penyebab penyakit ini adalah multifaktor. Kaitan antara suatu kuman yang di sebut
sebagai virus Epstein-Barr dan konsumsi ikan asin dikatakan sebagai penyebab utama timbulnya penyakit
ini.
PATOFISIOLOGI
Sudah hampir dipastikan bahwa penyebab dari kanker nasofaring adalah infeksi virus Epstein Barr,
karena pada semua pasien nasofaring didapatkan kadar antivirus Virus Epstein Barr didapatkan cukup tinggi.
Faktor lain yang mempengaruhi adalah letak geografis yang sudah disebutkan diatas, penyakit ini lebih
sering ditemukan pada laki-laki walaupun alasannya belum dapat dibuktikan hingga saat ini. Faktor lain yang
mempengaruhi adalah faktor lingkungan seperti iritasi oleh bahan kimia, asap, bumbu masakan, bahan
pengawet, masakan yang terlalu panas, air yang memiliki kadar nikel yang cukup tinggi, dan kebiasaan
seperti orang Eskimo yang mengawetkan ikannya dengan menggunakan nitrosamine. Tentang faktor
keturunan sudah banyak diteliti tetapi hingga sekarang belum dapat ditarik kesimpulan. Satu hal lagi yang
KLASIFIKASI WHO
1. Tipe. 1 : Karsinoma sel skuamosa dengan berkeratinisasi
2. Tipe 2 : Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi
3. Tipe 3 : Karsinoma tanpa diferensiasi
GEJALA DINI
Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan pengobatan yang
sedini mungkin memegang peranan penting untuk mengetahui gejala dini KNF dimana tumor masih terbatas
di rongga nasofaring.
Gejala telinga
Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara
tuba eustachius ( fosa Rosenmuller ). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman pada telinga sampai
rasa nyeri di telinga.
Gejala Hidung
Epistaksis. Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi
pendarahan hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan
seringkali bercampur dengan ingus. Sumbutan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke
dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan
gangguan penciuman dan adanya ingus kental.
Gejala mata
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lubang, maka
gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen
laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, V, VI, sehingga tidak jarang gejala diplopia lah yang membawa
pasien ke dokter mata.
Gejala saraf
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, XII jika penjalaran melalui foramen
jugulare. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jakson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak
disebut sindrome unilateral.
Gejala akibat metastasis
Sel-sel kanker dapat ikur mengalir bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang
letaknya jauh dari nasotoring, hal ini yang disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan
paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk.
N = Nodule
N– Pembesaran kelenjar getah bening regional .
NX- pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai
N0 - Tidak ada pembesaran.
N1 – metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm
diatas fossa supraklavikula .
N2 - .metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6 cm
diatas fossa supraklavikula
N3 - metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran lebih besar dari 6 cm, atau terletak didalam
fossa supraklavikula.
N3a : ukuran lebih dari 6 cm
N3b : di dalam fossa supraklavikula
M = Metastasis
M = Metastesis jauh
MX – metastase jauh tidak dapat dinilai
M0 - Tidak ada metastesis jauh.
M1 – Terdapat Metastesis jauh .
Stadium :
Stadium O : T1s dan N0 dan M0
Stadium I : T1 No Mo
Stadium II A : T2a dan No dan Mo
Stadium II B : T1 N1 Mo
T2a N1 Mo
T2b No, N1 Mo
PENATALAKSANAAN
Stadium I : radioterapi
Stadium II & III : kemoradiasi
Stadium IV dengan N < 6 cm : kemoradiasi
Stadium IV dengan N > 6 cm : kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi
Radioterapi hingga sekarang masih merupakan terapi utama dan pengobatan tambahan yang dapat
diberikan berupa bedah diseksi leher, pemberian tetrasiklin, interferon, kemoterapi, dan vaksin antivirus.
Perhatian terhadap efek samping dari pemberian radioterapi seperti, mulut terasa kering, jamur pada mulut,
rasa kaku di leher, sakit kepala, mual dan muntah kadang-kadang dapat timbul. Oleh karena itu dapat
dianjurkan pada penderita untuk membawa air minum dalam aktivitas dan berusaha menjaga kebersihan
pada mulut dan gigi.
Pemberian vaksin pada penduduk dengan resiko tinggi dapat dilakukan untuk mengurangi angka kejadian
penyakit ini pada daerah tersebut
Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak maupun yang
ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, kekerapan jenis yang ganas hanya sekitar 1 % dari keganasan seluruh
tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan leher.
Hidung dan sinus paranasal atau juga disebut sinonasal merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-
tulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulit
diketahui secara dini. Asal tumor primer juga sulit ditentukan, apakah dari hidung atau sinus karena biasanya
pasien berobat dalam keadaan penyakit telah lanjut dan tumor sudah memenuhi rongga hidung dan seluruh
sinus.
Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan
ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.
DEFINISI
Tumor hidung adalah pertumbuhan ke arah ganas yang mengenai hidung dan lesi yang menyerupai
tumor pada rongga hidung, termasuk kulit dari hidung luar dan vestibulum nasi.
JENIS HISTOPATOLOGI
Hampir seluruh jenis histopatologi tumor jinak dan ganas dapat tumbuh di daerah sinonasal.
Termasuk tumor jinak epitelial yaitu adenoma dan papiloma, yang non-epitelial yaitu fibroma, angiofibroma,
hemangioma, neurilemomma, osteoma, displasia fibrosa dan lain-lain. Disamping itu ada tumor odontogenik
misalnya ameloblastoma atau adamantinoma, kista tulang dan lain-lain.
Tumor ganas epitelial adalah karsinoma sel skuamosa, kanker kelenjar liur, adenokarsinoma,
karsinoma tanpa diferensiasi dan lain-lain. Jenis non epitelial ganas adalah hemangioperisitoma, bermacam-
macam sarkoma termasuk rabdomiosarkoma dan osteogenik sarcoma ataupun keganasan limfoproliferatif
seperti limfoma malignum, plasmasitoma atau pun polimorfik retikulosis sering juga ditemukan di daerah
ini.
Beberapa jenis tumor jinak ada yang mudah kambuh atau secara klinis bersifat ganas karena tumbuh
agresif mendestruksi tulang, misalnya papiloma inverted, displasia fibrosa atau pun ameloblastoma. Pada
jenis-jenis ini tindakan operasi harus radikal.
KLASIFIKASI
A. Tumor Jinak
Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa. Secara makroskopis mirip dengan polip, tetapi
lebih vaskuler, padat dan tidak mengkilap. Ada 2 jenis papiloma, pertama eksofitik atau fungiform dan yang
kedua endofitik disebut papiloma inverted. Papiloma inverted ini bersifat sangat invasive, dapat merusak
jaringan sekitarnya. Tumor ini sangat cenderung untuk residif dan dapat berubah menjadi ganas. Lebih
sering dijumpai pada anak laki-laki usia tua. Terapi adalah bedah radikal misalnya rinotomi lateral atau
maksilektomi media.
Tumor jinak angiofibroma nasofaring sering bermanifestasi sebagai massa yang mengisi rongga
hidung bahkan juga mengisi seluruh rongga sinus paranasal dan mendorong bola mata ke anterior.
B. Tumor Ganas
Tumor ganas yang tersering adalah karsinoma sel skuamosa (70%), disusul oleh karsinoma yang
berdeferensiasi dan tumor kelenjar.
Sinus maksila adalah yang tersering terkena (65-80%), disusul sinus etmoid (15-25%), hidung
sendiri (24%), sedangkan sinus sphenoid dan frontal jarang terkena.
PEMERIKSAAN
A. Gejala dan Tanda :
Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Tumor di dalam sinus maksila
biasanya tanpa gejala. Gejala timbul setelah tumor besar, sehingga mendesak atau menembus dinding tulang
meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi, orbita atau intrakranial.
Tergantung dari perluasan tumor, gejala - gejalanya dapat dikategorikan sebagai berikut :
a. Gejala Nasal : gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Sekretnya sering bercampur
darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi
deformitas hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik.
b. Gejala Orbital : perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia, protosis atau penonjolan
bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.
c. Gejala Oral : perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus di palatum atau di
prosesus alveolaris. Pasien megeluh gigi palsunya tidak pas lagi atau gigi geligi goyah. Seringkali
pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah
dicabut.
d. Gejala Fasial : perluasan tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan pipi. Disertai nyeri, anesthesia
atau parestesia muka jika mengenai nervus trigeminus.
e. Gejala Intrakranial. Perluasan tumor ke intrakranial menyebabkan sakit kepala hebat, oftalmoplegia
dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak yang keluar melalui hidung. Jika
perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf otak lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke
belakang, terjadi trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia
daerah yang dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis.
B. Pemeriksaan Fisik :
Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah terdapat asimetri atau tidak.
Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi anterior dan posterior.
Permukaan yang licin merupakan pertanda tumor jinak sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol, rapuh
dan mudah berdarah merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial
berarti tumor berada di sinus maksila.
Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan tumor pada stadium dini.
Adanya pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang bermetastasis ke kelenjar
leher.
DIAGNOSIS
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor tampak di rongga
hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus segera dilakukan. Biopsi tumor sinus maksila,
dapat dilakukan melalui tindakan sinoskopi atau melalui operasi Caldwel-Luc yang insisinya melalui sulkus
ginggivo-bukal.
Jika dicurigai tumor vaskuler, misalnya angofibroma, jangan lakukan biopsi karena akan sangat sulit
menghentikan perdarahan yang terjadi. Diagnosis adalah dengan angiografi.
STAGING :
Bermacam-macam klasifikasi untuk menentukan stadium yang digunakan di Indonesia adalah
klasifikasi UICC dan AJCC yang hanya berlaku untuk karsinoma di sinus maksila, etmoid dan rongga
hidung sedangkan untuk sinus sphenoid dan frontal tidak termasuk dalam klasifikasi ini karena sangat jarang
ditemukan. Perlu diingat bahwa keganasan yang tumbuh seperti basalioma dan melanoma malignum di kulit
sekitar hidung dan sinus paranasal tidak termasuk dalam klasifikasi tumor hidung dan sinus paranasal.
Perluasan tumor primer dikatagorikan dalam T1, T2, T3, dan T4. Paling ringan T1, tumor terbatas di
mukosa sinus, paling berat T4, yakni tumor meluas ke orbita, sinus sphenoid dan frontal dan atau rongga
intracranial.
Metastasis kelenjar ke limfa leher regional dikatagorikan dengan N0 (tidak diketemukan metastasis
ke kelenjar limfa leher regional), N1 (metastasis ke kelenjar limfa leher dengan ukuran diameter terbesar
kurang atau sama dengan 3 centimeter (cm), N2 (diameter terbesar lebih dari 3 cm dan kurang dari 6 cm) dan
N3 (diameter terbesar lebih dari 6 cm). Metastasis jauh dikategorikan sebagai M0 (tidak ada metastasis) dan
M1 (ada metastasis). Adapun pembagian sistem TNM menurut Simson, adalah sebagai berikut :
T : Tumor.
T—1 :
a. Tumor pada dinding anterior antrum.
b. Tumor pada dinding nasoantral inferior.
c. Tumor pada palatum bagian anteromedial.
T—2 :
a. Invasi ke dinding lateral tanpa mengenai otot.
b. Invasi ke dinding superior tanpa mengenai orbita.
M : Metastasis.
M—1 : Stadium dini, tumor terbatas di sinus.
M—2 : Stadium lanjut, tumor meluas ke struktur yang berdekatan.
Berdasarkan TNM ini dapat ditentukan stadiumnya, yaitu stadium dini (stadium 1 dan 2) dan
stadium lanjut (stadium 3 dan 4). Lebih dari 90 % pasien datang dalam stadium lanjut dan sulit menentukan
asal tumor primernya karena hampir seluruh hidung dan sinus paranasal sudah terkena tumor.
Stadium :
Stadium 0 T1s N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium IIA T2a N0 M0
Stadium IIB T1 N1 M0
T2a N1 M0
T2b N0,N1 M0
Stadium III T1 N2 M0
T2a,T2b N2 M0
T3 N2 M0
Stadium IV A T4 N0,N1,N2 M0
Stadium IV B Semua T N3 M0
Stadium IV C Semua T Semua N M1
Terapi
Tumor jinak:
Terapi pilihan adalah pembedahan dengan pendekatan antara lain:
1. Rinotomi lateral
2. Caldwell-Luc
3. Pendekatan trans-palatal
Tumor ganas:
1. Pembedahan:
Reseksi:
o Rinotomi lateral
o Maksilektomi partial/total (kombinasi eksenterasi orbita atau dengan kombinasi deseksi
leher radikal)
Paliatif: mengurangi besar tumor (debulking) sebelum radiasi.
2. Radiasi:
Dilakukan bila operasi kurang radikal atau residif
Pra bedah pada tumor yang radio sensitif (misalnya Karsinoma Anaplastik undifferentiated)
3. Kemoterapi:
Dilakukan atas indikasi tertentu (misalnya Tumor sangat besar/inoperable, metastasis jauh,
kombinasi dengan radiasi)
PROGNOSIS
Prognosis meningkat pada pasien penyajian dengan primary ethmoid, awal lesi diobati dengan baik
radiasi dan pembedahan, dan dengan sejarah terbalik papilloma.20 SCCA lain seperti kepala dan leher, getah
bening keterlibatan node adalah langka dan selektif getah bening node diseksi tidak menganjurkan . Tingkat
ketahanan hidup 5 tahun adalah 60-64%, dan tingkat kekambuhan diperkirakan 31%.