Anda di halaman 1dari 8

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS ETIKA MEDIA DALAM PEMBERITAAN KASUS


JESSICA WONGSO

UJIAN TENGAH SEMESTER


ETIKA MEDIA

Mohammad Zubair Al Kaubraa


1506756141

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PEMINATAN PERIKLANAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2018
Deskripsi Kasus

Dilansir dari CNN Indonesia (Sasongko, 1 Februari 2016), kasus bermula ketika seorang
perempuan tewas di Olivier Café, Grand Indonesia pada tanggal 6 Januari 2016. Perempuan
yang kemudian diidentifikasi sebagai Wayan Mirna Salihin dinyatakan polisi mengalami
kematian tidak wajar. Tim forensik di Rumah Sakit Polri, Jakarta, menemukan bahwa lambung
Mirna rusak yang disebabkan oleh zat korosif. Kemudian Polda Metro Jaya melakukan
prarekonstruksi di Olivier Cafe dengan menghadirkan teman Mirna yang ada di tempat
kejadian, yaitu Hanie serta Jesica Kumala Wongso. Melalui prarekonstruksi tim kepolisian
menduga bahwa racun berasal dari kopi vietnam yang diminum oleh Mirna.

Seminggu kemudian, kepolisian melakukan rekonstruksi ulang berdasarkan rekaman kamera


CCTV yang didapat dari manajemen Olivier. Pada saat itu, pengacara dari Jessica, Yudi
Wibowo Sukinto, mengatakan bahwa Jessica merasa tertekan oleh adanya pemberitaan yang
tidak berimbang di media yang menyudutkan Jessica sebagai bersalah. Pada Sabtu pagi, 30
Januari 2016, Subdirektorat Kejahatan dan Kekerasan Polda Metro Jaya menangkap Jessica di
Hotel Neo, Mangga Dua.

Dilansir dari Liputan6 (Muslim, 27 Oktober 2016) sidang perdana dilakukan pada tanggal 15
Juni 2016. Hingga pada akhirnya, setelah melalui tiga puluh dua kali persidangan yang
melibatkan puluhan saksi, hakim menetapkan bahwa Jessica sebagai terdakwa dan dijatuhkan
hukuman dua puluh tahun penjara.

Pembahasan

Hal yang menjadi permasalahan adalah bagaimana media massa dan pers melakukan
pemberitaan terkait kasus ini. Menurut saya ada beberapa hal yang dapat diperdebatkan dari
pemberitaan media dimulai dari awal kasus ini muncul yaitu tewasnya Mirna hingga
didakwanya Jessia Wongso atas pembunuhan berencana yang dilakukan kepada Mirna.
Bahkan permasalahan terus muncul hingga paska penetapan Jessia sebagai terdakwa.

Jauh sebelum penetapan Jessica sebagai tersangka, media telah memberitakan kasus ini dengan
menyebutkan nama Mirna, Hanie, serta Jessica. Seminggu setelah kasus tewasnya Mirna
muncul, Metrotvnews.com (13 Januari 2016) sudah mengunggah berita berjudul “Mengenal
Jessica, Saksi Kunci Kematian Mirna” yang sudah menyorot tokoh Jessica sebagai saksi kunci
kasus ini. Dalam artikel tersebut, melalui penelusuran jurnalis dan internet, disebutkan latar
belakang Jessica dan bagaimana Jessica dan Mirna bisa saling mengenal.

Selain pemberitaan tersebut, selama penyelidikan kepolisian masih berlangsung dan Jessica
belum ditetapkan sebagai tersangka pada tanggal 30 Januari 2016, terdapat berbagai artikel
pemberitaan media massa yang seolah telah menggiring opini publik bahwa Jessica lah orang
yang menyebabkan kematian dari Mirna. Upaya media massa dalam membentuk opini yang
menyudutkan Jessica dapat dilihat dari berbagai judul yang tendensius. Contohnya adalah judul
berita Liputan6.com yaitu “Suara Jessica di Kopi Maut Mirna” (Santoso, 20 Januari 2016) dan
Kompastvnews.com yang berjudul “Arti Penting Celana yang Dibuang Jessica” (Syafitri, 20
Januari 2016).

Pemberitaan yang menghakimi Jessica semakin parah setelah dia ditetapkan sebagai tersangka
oleh kepolisian. Sejak ditetapkan mulai muncul beberapa pemberitaan dengan judul yang
bernada opini dan memancing perhatian publik berikut tuduhan. Contohnya seperti yang dibuat
oleh Liputan6.com berjudul “Jessica Pernah Coba Bunuh Mirna di Australia?” (Santoso, 2
Februari 2016). Padahal ternyata setelah dibaca pemberitaan ini masih berupa informasi yang
belum dapat dibuktikan dengan kalimat pembuka berupa “Hal ini juga terkait kabar miring
yang menyebutkan Jessica pernah coba membunuh Mirna saat kuliah di Australia, namun
Darmawan memilih enggan berkomentar panjang.” Selain itu, muncul berbagai berita yang
seolah mengadili Jessica dengan berbagai temuan maupun asumsi melalui pemberitaan yang
bernada tuduhan seperti “Kasus Mirna: Jessica Tersangka & 8 Tingkah Mencurigakan”
(Tempo, 31 Januari 2016) dan “Menebak Motif Pembunuhan Mirna: Dendam Kesumat hingga
Cemburu” oleh Detik.com (Dharmastuti, 12 Maret 2016).

Ada pula artikel yang dirasa mengambil narasumber yang tidak terlalu relevan dengan kasus
ini yang semakin menyudutkan Jessica, contohnya “Ahli Hipnoterapi: Sikap Tenang dan Mata
Jessica Mencurigakan” (Tempo, 30 Januari 2016). Terdapat pula artikel – artikel yang terlalu
mengintervensi ranah privat Jessica, seperti menyangkut orientasi seksual Jessica dan
kehidupannya ketika di Australia. Salah satu contohnya adalah “Baca, Ini Isi WhatsApp
‘Nakal’ Jessica ke Mirna, Bukti Dia Penyuka Sesama Jenis?” oleh Tribunnews.com (Arsyam,
3 Februari 2016).

Pemberitaan media massa online tersebut membuat opini di masyarakat yang sudah
menghakimi Jessica di luar peradilan. Tirto (Hanifan, 28 Oktober 2016) menemukan bahwa
dari kumpulan komentar di Facebook, Twitter, dan kolom komentar di 10 situs berita terbesar
di Indonesia menemukan sentimen publik pada Jessica cenderung negatif (52 persen). Hanya
13 persen yang positif dan 35 persen sisanya netral. Inilah yang kemudian di permasalahkan
oleh tim pembela Jessica dalam nota keberatan di sidang perdana Jessica yang menyatakan
bahwa “sekarang ini telah telanjur tercipta opini seakan-akan Jessica-lah pelaku
sesungguhnya,” (Hanifan, 28 Oktober 2016).

Permasalahan lainnya adalah bentuk eksploitasi dari kasus ini. Selain mengurusi ranah privat
Jessica Wongso dan Mirna Salihin, bahkan kehidupan dari saudara korban, Made Sandy
Salihin juga ditelusuri melalui artikel “Masih Ingat Mirna Korban Sianida Jessica Wongso?
Begini Kabar Saudara Kembarnya Kini” (Arsyam, 19 April 2018). Namun yang sempat
menjadi permasalahan di pers adalah bagaimana pemberitaan “Kopi Sianida” ini menjadi berita
yang amat sering disirkulasikan selama tahun 2016. Terutama ketika setiap sidang Jessica
Wongso disiarkan secara langsung dari ruang persidangan yang membuat kasus ini terkesan
sebagai sebuah infotainment. Namun, KPI yang menerima keluhan dari masyarakat terkait hal
ini merasa bahwa penyiaran terkait sidang tidang melanggar kode etik karena memang belum
ada aturan yang mengatur tentang ini (Rahadian, 18 Juli 2018).

Bagi yang merasa bahwa situasi pemberitaan tersebut tidak bermasalah akan melihat bahwa
yang dilakukan pers tersebut adalah bentuk kebebasan berekspresi sebagai bentuk etika
libertarian. Sebagaimana argumen Gordon bahwa kebebasan berekspresi tidak boleh dibatasi
terlepas dari apakah media telah mempraktikannya secara etis (Gordon dkk, 2011). Terlepas
dari apakah nilai etika yang dimiliki oleh pers saat ini benar – benar berasal dari diri
individunya sendiri (a la Reuss) atau pengambilan keputusan etis mereka didasarkan oleh
tuntutan sosial dan ekonomi (a la Gordon). Tapi penulis melihat bahwa penulisan artikel
tendensius, eksploitatif, dan sensasional mengulik masalah privat bisa jadi disebabkan adanya
tuntutan komersial dari berita. Ketika rating dan jumlah click meningkat dan perhatian
masyarakat tertuju pada kasus ini, mereka akan berlomba – lomba untuk memberikan berita
yang paling menarik dan paling cepat dalam mengabarkan.

Namun, menurut penulis kebebesan tersebut seharusnya tidak melanggengkan perilaku yang
tidak bertanggung jawab dari awak media, sebagaimana pendapat Reuss (Gordon dkk, 2011).
Terutama ketika hal yang diungkit memiliki hubungan dengan perkara kriminal yang
menyangkut persidangan. Oleh karena itu, kita bisa membahasnya dari sisi deontologi.
Pembahasan etika melalui teori deontologi adalah menilai suatu tindakan baik atau buruk
berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Di sini etika deontologi
bersifat sebagai sebuah petunjuk yang a priori (Gordon dkk, 2011).

Apabila kita mencoba membahas etika media secara deontologis, maka dalam pers &
jurnalistik, terdapat beberapa prinsip yang dianggap menjadi acuan etika normatif profesi pers
(Kovach dan Rosentiel, 2007): 1) kewajiban utama kerja jurnalistik adalah pada kebenaran, 2)
loyalitas utama dari kerja jurnalistik kepada warga, 3) esensi jurnalistik adalah disiplin
verifikasi; 4) para pekerja jurnalistik harus menjaga independensi terhadap sumber berita; 5)
jurnalistik harus bekerja untuk mengawasi penguasa; 6) jurnalistik harus menyediakan forum
publik untuk kritik maupun dukungan warga; 7) jurnalistik harus berupaya membuat hal yang
penting, menarik dan relevan; 8) jurnalistik harus menjaga agar berita komprehensif dan
proporsional; dan 9) para praktisi harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka.

Selain itu dalam dalam konteks pers di Indonesia, terdapat Kode Etik Jurnalistik. Gordon
menyebutkan bahwa kode etik ini dapat menjadi standardisasi penilaian kerja pers yang etis di
mata masyarakat (Gordon dkk, 2011). Terkait dengan kasus pemberitaan Jessica Wongso,
terdapat setidaknya dua pasal yang terkait. Pertama adalah Pasal 3 yang berbunyi “wartawan
Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan
fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah”. Selain itu,
pasal yang dapat dijadikan acuan dalam mendiskusikan kasus ini adalah Pasal 9 yang berbunyi
“wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali
untuk kepentingan publik”.

Berikut juga pendapat Kitross bahwa jurnalisme harus menjunjung nilai etis yang praktiknya
harus lebih dipedulikan dibandingkan kebenaran dan objektivitas serta akurasi dan keadilan
(Gordon dkk, 2011). Jadi meskipun jurnalisme mengabdi pada kebenaran, praktiknya tidak
boleh mengabaikan nilai etis. Di kasus ini, terlihat bahwa pemberitaan tidak proporsional yang
sangat memberatkan pihak Jessica yang masih menjadi tersangka. Dalam pandangan ini dan
mengikuti kode etik, seharusnya media dalam memberitakan perlu lebih sensitif dan
menghargai hak Jessica meskipun statusnya adalah tersangka. Terutama ini adalah kasus
kriminal yang menyakut proses peradilan, dengan demikian asa praduga tak bersalah tetap
harus ditetapkan. Peran pers bukanlah menghakimi, karena itu adalah tugas dari persidangan.
Tapi faktanya, yang dilakukan oleh pers adalah seolah memvonis Jessica secara publik dan
dihakimi oleh publik (court of public opinion) karena media sudah menyudutkan Jessica
seolah-olah sebagai “pembunuh” dengan narasi-narasi yang tersirat, padahal belum ada bukti
pasti yang dibenarkan persidangan.

Ketidakproporsionalan berita bisa dilihat dari narasumber pemberitaan. Bukannya memberikan


ruang yang cukup kepada pihak Jessica yang juga secara normatif memiliki hak bicara, pers
banyak memberikan ruang bagi orang – orang yang kurang relevan seperti ahli baca mimik
muka dan mikroekspresi untuk menekankan bahwa Jessica memang mencurigakan dan
bersalah. Hardly Stefano, sebagai koordinator bidang isi siaran KPI berpendapat bahwa
proporsi ulasan keluarga korban yang mendominasi akan memiliki pengaruh pada asas praduga
tak bersalah (BBC, 26 Oktober 2016).

Namun, tidak berarti bahwa semua pers tidak peka terhadap ketidakproporsionalan
pemberitaan yang ada. Terdapat artikel yang berusaha memberikan ruang bagi Jessica dan
keluarga untuk memberikan tanggapan sebagai upaya untuk menjaga proporsi dari
pemberitaan. Contohnya adalah pada artikel “Ini Sekelumit Kisah Perjalanan 32 Kali Sidang
Jessica Kumala Wongso” (Trio, 12 November 2016) yang mewawancarai keluarga Jessica.

Selain itu, permasalah privasi yang teramat diusik. Jessica dan keluarga sempat meninggalkan
rumahnya karena merasa tertekan oleh kehadiran dan pemberitaan pers, bahkan hingga
melaporkan ke Komas HAM. Namun bukan hanya privasi Jessica, pemberitaan yang sangat
mengeskpos korban sehingga hak-hak perlindungan korban maupun hak privasi tersangka
dilanggar. Pers mengumbar data keluarga Jessica dan Mirna kepada masyarakat padahal kasus
ini bukan merupakan kepentingan publik, yang tidak menyangkut kepentingan bernegara.

Peliputan persidangan Jessica yang eksploitatif karena ditayangkan secara berjam-jam juga
dianggap kurang etis, meskipun tidak aturan pasti yang mengatur. Pemberitaan yang berlebihan
ini mengurangi akses masyarakat kepada informasi lain yang lebih penting, padahal loyalitas
kepada kepentingan publik merupakan hal yang harusnya diutamakan oleh pers.

Namun, secara teleologis yang membahas nilai etis dari konsekuensi dari perbuatan
dibandingkan dengan perbuatannya sendiri. Salah satu prinsip dari jurnalisme sendiri adalah
kebenaran. Gordon juga berargumen bahwa kebenaran merupakan yang utama dibandingkan
dengan pertimbangan etik yang mungkin dihadapi (Gordon dkk, 2011). Mungkin yang
dilakukan oleh pers melanggar kode etik, namun tidak bisa dipungkiri bahwa pemberitaan yang
investigatif telah membantu pihak kepolisian dan peradilan dalam kemudian menetapkan
Jessica Wongso sebagai terdakwa. Diabaikannya kedua pasal Kode Etik Jurnalistik dapat
berarti mereka secara sadar mengabaikannya untuk menelusuri kebenaran ini a la etika
teleologis, namun juga ada hubungannya dengan apa yang disebutkan oleh Merrill bahwa pada
akhirnya, sebuah etika yang berarti adalah etika yang bersemayam pada diri jurnalis tersebut
(Gordon dkk, 2011). Menurut Gordon, Kode Etik Jurnalistik merupakan hal yang terlalu utopis,
yang terkadang tidak dapat sepenuhnya dipatuhi. Contohnya adalah pada kasus ini ketika
jurnalis berusaha untuk menelusuri kebenaran secara investigatif, meskipun harus menulusuri
kehidupan pribadi korban Mirna dan tersangka Jessica. Melalui analisis etika media, dapat
terlihat bahwa kasus pemberitaan Jessica Wongso ini mengalami perdebatan etis.

Referensi
Arsyam, Ilham. 3 Februari 2018. “Baca, Ini Isi WhatsApp ‘Nakal’ Jessica ke Mirna, Bukti Dia Penyuka
Sesama Jenis?”. Diakses di http://makassar.tribunnews.com/2016/02/03/baca-ini-isi-whatsapp-
nakal-jessica-ke-mirna-bukti-dia-penyuka-sesama-jenis.
Arsyam, Ilham. 19 April 2018. “Masih Ingat Mirna Korban Sianida Jessica Wongso? Begini Kabar
Saudara Kembarnya Kini”. Diakses di http://makassar.tribunnews.com/2018/04/19/masih-
ingat-mirna-korban-sianida-jessica-wongso-begini-kabar-saudara-kembarnya-kini.
Dharmastuti, Hestiana. 12 Maret 2016. “Menebak Motif Pembunuhan Mirna: Dendam Kesumat hingga
Cemburu”. Diakses di https://news.detik.com/berita/3163109/menebak-motif-pembunuhan-
mirna-dendam-kesumat-hingga-cemburu/index
Gordon, A., Kittross, J., Merrill, J., Babcock, W., Dorsher, M. 2011. Controversies in Media Ethics.
New York: Routledge
Hanifan Aqwam, Fiazmi. 28 Oktober 2016. “Vonis Publik Sebelum Vonis Pengadilan untuk Jessica”.
Diakses di https://tirto.id/vonis-publik-sebelum-vonis-pengadilan-untuk-jessica-bYwv
Kovach, B., & Rosenstiel, T. 2007. The elements of journalism: what newspeople should know and the
public should expect. 1st rev. ed., Completely updated and rev. New York: Three Rivers Press.
Muslim. 27 Oktober 2016. “Episode Akhir ‘Perang Intelektual’ Jessica Wongso”. Diakses di
https://www.liputan6.com/news/read/2635926/episode-akhir-perang-intelektual-jessica-
wongso
Rahadian, Lalu. 18 Juli 2018. “Media Diminta Taat Etik Saat Meliput Sidang Meski Belum Ada Aturan:
Diakses di https://tirto.id/media-diminta-taat-etik-saat-meliput-sidang-meski-belum-ada-
aturan-cPn5
Santoso, Audrey. 20 Januari 2016. “Suara Jesicca di Kopi Maut Mirna.” Diakses di
http://news.liputan6.com/read/2416023/suara-jesicca-di-kopi-maut-mirna
Sasongko, Joko Panji. 1 Februari 2016. “Kronologi Kasus Mirna Hingga Penahanan Jessica”. Diakses
di https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160201085309-12-107972/kronologi-kasus-
mirna-hingga-penahanan-jessica
Syatiri, Ana Shofiana. 20 Januari 2016. “Arti Penting Celana yang Dibuang Jessica.” Diakses di
http://megapolitan.kompas.com/read/2016/01/20/20080011/Arti.Penting.Celana.
yang.Dibuang.Jessica
Tempo. 30 Januari 2016. “Ahli Hipnoterapi: Sikap Tenang dan Mata Jessica Mencurigakan. Diakses di
https://metro.tempo.co/read/740822/ahli-hipnoterapi-sikap-tenang-dan-mata-jessica-
mencurigakan
Tempo. 31 Januari 2016. “Kasus Mirna: Jessica Tersangka & 8 Tingkah yang Mencurigakan”. Diakses
di https://nasional.tempo.co/read/740965/kasus-mirna-jessica-tersangka?page_num=2
Trio, Didik. 12 November 2016. “Ini Sekelumit Kisah Perjalanan 32 Kali Sidang Jessica Kumala
Wongso”. Diakses di http://banjarmasin.tribunnews.com/2016/11/12/ini-sekelumit-kisah-
perjalanan-32-kali-sidang-jessica-kumala-wongso.

Anda mungkin juga menyukai