Anda di halaman 1dari 36

Kebijakan dan Praktek Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM)

Posted on June 22, 2011 by Dr. Mulyani

I. PENDAHULUAN

Dipandang sebagai sebuah sistem, suatu organisasi merupakan suatu sistem yang didalamnya
terdapat sub sistem, dimana sub sistem ini juga memiliki sub sub sistem, dan seterusnya. Sebagai
sebuah sistem, untuk dapat berfungsi dengan baik maka setiap bagian dari sistem didalam tubuh
organisasi ini harus dikoordinasikan dengan baik sehingga tercipta suatu keteraturan. Untuk
dapat mengkoordinasikan setiap bagian dari sistem ini maka diperlukan suatu penghubung,
batasan, atau jalur yang memungkinkan setiap bagian dari sistem tersebut bekerja atau berfungsi
sesuai sesuai kebutuhan dan tujuannya. Penghubung, batasan atau jalur tersebut, didalam suatu
organisasi dimanifestasikan dalam bentuk kebijakan organisasi dan dalam skala yang lebih
sempit,dalam hal ini Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai bagian dari sistem organisasi,
Penghubung, batasan atau jalur tersebut dimanifestasikan dalam bentuk kebijakan MSDM.

Sumber daya manusia sebagai individu-individu didalam organisasi memiliki keunikannya


masing-masing yang tidak dapat disamaratakan sehingga kebijakan yang diterapkan dalam suatu
organisasi selayaknya mampu mewadahi bahkan menjembatani beragam keunikan tersebut.
Individu dalam organisasi adalah unik karena setiap individu memiliki tingkat kebutuhan yang
berbeda, karakteristik yang berbeda, cara pandang atau perspektif yang berbeda terhadap suatu
peristiwa atau permasalahan, persepsi yang berbeda, dan kepribadian yang berbeda. Semua hal
tersebut merupakan hal yang sifatnya intangible, tidak dengan mudah dapat dilihat, diraba, dan
dipahami dengan mudah karena bukan sesuatu fisikal. Selain hal-hal intangible, individu juga
berbeda dan unik secara fisikal, diantaranya bentuk tubuh secara fisik, ras/etnis, dan gender/seks
yang tentunya akan melahirkan suatu kebutuhan yang berbeda. Keunikan-keunikan tersebut
perlu diakomodir dengan baik sehingga tujuan dari organisasi dapat terpenuhi.

Kebijakan yang ditetapkan dalam organisasi beserta praktiknya mempengaruhi perilaku


kelompok maupun individu didalam tubuh organisasi. Setiap individu dan kelompok akan
memiliki persepsi dan penilaian yang berbeda terhadap suatu bentuk kebijakan dan praktik
MSDM. Kekecewaan maupun tekanan yang mungkin timbul akibat persepsi dan penilaian
terhadap suatu bentuk kebijakan akan memunculkan bentuk-bentuk perilaku yang akan
berpengaruh terhadap penurunan kinerja organisasi yang diantaranya tercermin dari
meningkatnya ketidakhadiran, meningkatnya turnover, dan penurunan produktivitas individu
atau kelompok.

Sejalan dengan semua yang diungkapkan diatas, kebijakan maupun praktek MSDM ini perlu
mendapatkan perhatian secara khusus agar dapat berjalan dan berfungsi secara efektif. Untuk
dapat menciptakan kebijakan dan praktek yang efektif tentu perlu adanya suatu pemahaman
tentang kebijakan dan praktek MSDM. sesuai dengan judul dari makalah ini yaitu Kebijakan
dan Praktik Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM), untuk menambah pemahaman
akan kebijakan dan praktek MSDM, makalah ini akan membahas wujud kebijakan dan praktek
MSDM dalam organisasi, mengapa kebijakan dan praktek MSDM ini penting bagi peningkatan
kinerja organisasi, bagaimana menciptakan kebijakan dan praktek MSDM yang efektif, serta
bagaimana kita bisa menilai suatu kebijakan dan praktek MSDM dari segi keefektifannya.
II. PEMBAHASAN

2.1. Pentingnya pengelolaan MSDM dalam organisasi

Manusia merupakan sumber daya yang penting dalam organisasi sekaligus juga sebagai tiang
penyangga dalam organisasi, seperti dikemukakan Martin Yates[1] “The most valuable capital is
human capital; the most powerful technology is people”. SDM merupakan asset kritis organisasi
yang tidak hanya diikutsertakan dalam filosofi perusahaan tetapi juga dalam proses perencanaan
strategis. Menurut Kathrin Connor (dikutip dari Schuller, 1990), wakil presiden SDM di Liz
Claiborne: Human resources are a part of the strategic planning process. It is a part of policy
development, line extension planning and the merger and acquisition processes. Little is done in
planning policy on the finalization stages of any deal. Dari pernyataan Kathrin Connor, diakui
bahwa SDM merupakan bagian proses perencanaan strategis dan menjadi bagian pengembangan
kebijakan dan praktek organisasi. sebagai sumber daya yang penting, sumber daya manusia perlu
mendapatkan perhatian dan pengelolaan melalui suatu ilmu pengelolaan atau manajeman yang
dikenal sebagai manajemen sumber daya manusia. Manajemen Sumber Daya Manusia didasari
pada suatu konsep bahwa setiap karyawan adalah manusia, bukan mesin, dan bukan semata
menjadi sumber daya bisnis. Menurut Edwin B. Flippo, guru besar manajemen Universitas
Arizona[2], manajemen sumber daya manusia adalah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,
dan pengawasan terhadap pengadaan, pengembangan, kompensasi, integrasi, perawatan, dan
pemutusan hubungan kerja sumber daya manusia, untuk mencapai tujuan sehingga sasaran-
sasaran perseorangan, organisasi, dan kemasyarakatan dapat dicapai.

Sukses bersaing organisasi bisa dicapai dengan pengelolaan SDM potensial yang dimilikinya.
SDM bisa dijadikan sebagai sumber keunggulan kompetitif lestari serta tidak mudah ditiru
pesaing karena (Pfeffer, 1995):

1. Sukses bersaing yang diperoleh dari pengelolaan SDM secara efektif tidak setransparan
mengelola SDM lainnya, seperti melihat komputerisasi sistem informasi yang terdiri atas
semikonduktor dan sejumlah mesin pengontrol.

2. Bagaimana SDM dikelola dipengaruhi oleh budaya. Budaya organisasi akan mempengaruhi
ketrampilan, kemampuan SDM, serta kesesuaiannya dengan sistem yang ada.

Peffer (1995) menegaskan bahwa suatu keunggulan kompetitif dapat dicapai melalui pengelolaan
sumber daya manusia yang dimiliki perusahaan secara efektif. Hal ini dapat diperoleh dengan
menerapkan praktik-praktik berikut secara saling berkaitan karena sulit untuk menangani suatu
tindakan bila hanya diterapkan secara terpisah.

 Keselamatan kerja (employment security). Employment security untuk menghadapi


tekanan akan perlunya kehati-hatian dan selektivitas yang tinggi dalam mempekerjakan
manusia. Lebih jauh employment security mendorong keterlibatan karyawan karena
karyawan akan lebih termotivasi untuk memberikan kontribusi mereka terhadap proses
pekerjaan.
 Keselektifan dalam perekrutan (selective in recruiting), merupakan jaminan dalam
pekerjaan dan kepercayaan pada sumber daya manusia yang dimiliki perusahaan untuk
meraih keunggulan bersaing. Ini berarti dibutuhkan kehati-hatian dalam memilih orang
yang tepat, dengan cara yang benar. Dalam praktiknya persahaan melakukan proses
perekrutan sangat cermat didasarkan atas keinginan perusahaan untuk sukses dalam
persaingan. Di sisi lain, banyak juga proses penyaringan dilakukan untuk menemukan
orang yang dapat bekerja dengan baik dalam suatu lingkungan baru, dapat belajar dan
berkembang, sehingga membutuhkan supervisi yang lebih sedikit.
 Tingkat upah yang tinggi (high wages). Perusahaan yang ingin mempekerjakan tenaga
kerja yang sangat kompeten, pemberian upah atau gaji yang lebih tinggi merupakan salah
satu faktor kunci. Tingkat upah yang tinggi akan memberikan kemampuan lebih selektif
dalam menemukan orang yang dapat dilatih dan bertanggung jawab terhadap organisasi.
Upah yang tinggi merupakan hal yang paling penting karena akan memberikan kesan
bahwa organisasi sangat menghargai karyawannya.
 Pemberian insentif (incentive pay). Sudah merupakan suatu tendensi bahwa uang sering
digunakan untuk memecahkan masalah organisasional. Karyawan dimotivasi oleh faktor-
faktor yang melebihi uang seperti pengakuan, jaminan, perlakuan yang adil, dan
semuanya memberikan pengaruh yang besar terhadap individu.
 Hak kepemilikan karyawan (employee ownership), memberikan dua keuntungan yaitu
karyawan yang memiliki keinginan terhadap kepemilikan dalam organisasi tempat
mereka bekerja , dan adanya konflik yang lebih sedikit antara modal dan tenaga kerja.
Penerapan employee ownership yang efektif dapat mensejajarkan keinginan karyawan
dengan pemegang saham, dengan cara membuat karyawan sebagai pemegang saham
juga. Kedua, employee ownership menempatkan saham pada karyawan yang cenderung
untuk mengambil suatu gambaran jangka panjang organisasi, strategi organisasi,
kebijakan investasi, dan manuver keuangan lainnya.
 Information sharing. Jika sumber daya yang dimiliki perusahaan merupakan sumber
keunggulan bersaing, maka sangat jelas bahwa mereka harus memiliki informasi yang
dibutuhkan untuk melakukan apa yang diisyaratkan bagi tercapainya suatu kesuksesan.
Salah satu alasan yang potensial bagi perusahaan untuk tidak menyingkapkan informasi
pada sejumlah besar karyawan adalah terdapat kemungkinan bahwa informasi tersebut
akan bocor sampai pada pesaing.
 Partisipasi dan pemberdayaan (participation and empowerment). Dengan adanya
informasi yang diketahui bersama pada semua tingkat organisasional, merupakan suatu
kondisi awal yang diperlukan bagi sistem kerja yang berhasil, mendorong desentralisasi
dalam pengambilan keputusan, dan memberikan keleluasaan bagi pekerja untuk
berpartisipasi, dan pemberdayaan dalam pengendalian proses pekerjaan mereka sendiri.
Kepuasasan karyawan dan produktivitas kerja akan semakin meningkat dengan
meningkatnya partisipasi karyawan.
 Pengelolaan tim secara mandiri (self managed team). Organisasi yang memiliki suatu tim
yang kuat dan tangguh , cenderung memperoleh hasil yang memuaskan. Keuntungan
yang diperoleh pada organisasi yang memiliki self managed team diantaranya adalah
berkurangnya pembelian, penugasan karyawan, dan produksi, karena semuanya dapat
ditangani oleh tim kerja yang sudah terkelola dengan baik.
 Pelatihan dan pengembangan ketrampilan (trainning and skill development). Merupakan
suatu bagian yang integral dari sistem kerja yang paling baru, merupakan komitment
yang lebih besar terhadap pentingnya pelatihan dan pengembangan SDM. Pelatihan akan
memberikan hasil yang positif hanya jika pekerja yang dilatih mendapatkan kesempatan
untuk menggunakan keahlian tersebut. Disamping perlunya pelatihan dan pengembangan
bagi pekerja dan manajer, juga dibutuhkan perubahan struktur kerja, yaitu dengan
memberikan kepada mereka keleluasaan untuk melakukan segala sesuatunya secara
berbeda. Pelatihan tidak hanya menunjukkan komitmen perusahaan terhadap karyawan,
tetapi juga memastikan bahwa fasilitas akan tetap dilengkapi dengan orang-orang yang
memiliki kualifikasi yang tinggi, yang secara lebih spesifik telah telah dilatih untuk
pekerjaan mereka yang baru.
 Cross Utilization and Cross Trainning. Dengan adanya orang yang melakukan pekerjaan
ganda, akan memiliki sejumlah keuntungan potensial bagi perusahaan. Dengan
melakukan sesuatu lebih banyak dapat membuat pekerjaan yang dilakukan lebih menarik.
Adanya keragaman dalam pekerjaan mengijinkan adanya suatu perubahan yang cepat
dalam aktivitas, dan secara potensial akan memberikan perubahan kemampuan karyawan
untuk berhubungan dengan sesama. Masing-masing bentuk keragaman ini dapat
membuat kehidupan kerja lebih menantang
 Symbolic egalitarian. Salah satu hambatan untuk mendesentralisasikan pengambilan
keputusan yaitu dengan menggunakan self managed team. Perolehan komitmen dan
kerjasama karyawan merupakan suatu simbol yang memisahkan orang yang satu dan
yang lainnya. Sebagai konsekuensinya, bahwa banyak perusahaan terkenal dalam
mencapai keunggulan bersaing melalui SDM dengan sejumlah bentuk egalitarianism.
Egalitarianism yaitu sejumlah cara untuk memberikan tanda bahwa bagi orang dari
dalam perusahaan, maupun orang dari luar perusahaan memiliki kesamaan komparatif.
Dapat dicontokan di sini dengan tidak diberlakukannya tempat khusus untuk arena parkir.
Egalitariarism ini membuat semua aktivitas dan tindakan berjalan lebih lancar dan lebih
mudah, karena tidak adanya perbedaan status. Dalam konteks ini semua orang adalah
sederajat.
 Wage compression, isu ini sering dipertimbangkan dalam bentuk kompresi hirarkis.Tugas
yang saling tergantung dan memerlukan kerjasama sangat membantu untuk
menyelesaikan tugas. Kompresi bayaran dengan mengurangi kompetisi interpersonal dan
meningkatkan kerjasama pada gilirannya akan mengarah pada efisiensi.
 Promotion from within, yaitu mendorong pelatihan dan pengembangan keahlian karena
tersedianya kesempatan dan peluang promosi dalam perusahaan bagi para pekerja.
Promosi dari dalam pekerjaan akan memberikan fasilitas desentralisasi, partisipasi dan
delegasi karena hal ini membantu mempromosikan rasa percaya antar tingkatan hirarki,
promosi dari dalam perusahaan, dapat diartikan bahwa supervisor bertanggung jawab
untuk mengkoordinasikan upaya bawahannya. Promosi dari dalam perusahaan juga
menawarkan suatu insentif untuk bekerja lebih baik. Dan memberikan suatu keadilan
serta keleluasaan di tempat kerja. Keuntungan lain yang dapat diperoleh melalui promosi
dari dalam perusahaan adalah dapat memastikan bahwa orang dalam satu posisi
manajemen secara aktual mengetahui sesuatu tentang bisnis, teknologi dan operasional
yang mereka hadapi dan lakukan. Untuk mencapai keunggulan kompetitif melalui
praktik-praktik pengelolaan sumber daya manusia memerlukan waktu dan proses. Jadi
semuanya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bila tujuan perusahaan telah
dicapai, maka keunggulan kompetitif yang diperoleh melalui sumber daya manusia
secara subtansial dapat bertahan lebih lama, dan lebih sulit diimitasi oleh pesaing.

fungsi manajemen sumber daya manusia

Berdasarkan pada fungsi operasionalnya manajemen sumber daya manusia terdiri atas:

1. Perekrutan / staffing

Fungsi ini bertujuan untuk menyediakan atau mengadakan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh
organisasi atau perusahaan. Aktivitas di dalamnya termasuk rekrutmen, seleksi hingga
penempatan.

2. Pengembangan Sumber Daya Manusia

Fungsi ini bertujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan tenaga kerja.
Aktivitas di dalamnya berupa training dan workshop.

3.Kompensasi Dan Keuntungan

Fungsi ini bertujuan untuk mengkaji dan melaksanakan sistem balas jasa terhadap tenaga kerja
atas sumbangsih yang diberikan kepada perusahaan. Aktivitas di dalamnya berupa sistem
remunerasi.

4. Perawatan Sumber Daya Manusia

Fungsi ini bertujuan untuk memelihara tenaga kerja yang ada dengan memelihara motivasi
mereka untuk memberikan yang terbaik bagi perusahaan. Aktivitas di dalamnya berupa
pemberian tunjangan dan jaminan sosial terhadap kesehatan, keselamatan, dan keamanan.

5. Hubungan Tenaga Kerja

Fungsi ini bertujuan untuk menciptakan dan memilihara hubungan yang baik antara tenaga kerja
dengan rekannya, dan tenaga kerja dengan perusahaan, serta hubungan keduanya dengan
masyarakat dan pemerintah. Aktivitas di dalamnya termasuk pembuatan kebijakan perusahaan
dan perjanjian kerja bersama.

6. Pemutusan Hubungan Kerja

Fungsi ini bertujuan untuk memberikan proses yang layak dalam proses pengembalian tenaga
kerja kepada masyarakat sehingga kedua belah pihak, baik tenaga kerja maupun perusahaan
memiliki nilai kepastian.
Dari enam fungsi operasional tersebut di atas kita dapat melihat sejumlah aktivitas-aktivitas
dalam setiap fungsi operasional tersebut, yang dapat dikategorikan sebagai aktivitas dasar dalam
proses manajemen sumber daya manusia. Aktivitas-aktivitas yang ada ini merupakan bentuk
nyata dari setiap fungsi operasional dalam sebuah organisasi. Hal serupa diungkapkan oleh
Stoner, Freeman dan Gilbert JR dalam bukunya yang berjudul Manajemen, dimana mereka
menggambarkan proses manajemen yang terdiri dari tujuh aktivitas dasar yang meliputi :

1. Perencanaan Sumber Daya Manusia


2. Rekrutmen
3. Seleksi
4. Sosialisasi
5. Pelatihan Dan Pengembangan
6. Penilaian Prestasi Kerja
7. Promosi, Transfer, Demosi dan PHK.

Merujuk pada tujuh aktivitas dasar yang d di atas; mulai dari proses individu dalam upaya
memasuki lingkungan organisasi, diterima, hingga akhirnya berhenti dari keanggotaan sebuah
organisasi; kita dapat mengkategorikan tujuh aktivitas dasar menjadi 3 bagian utama saja yaitu,
proses awal individu menjadi anggota organisasi, proses sosialisasi individu dan berlangsungnya
keanggotaan individu dalam organisasi, dan proses berhentinya individu dari keanggotaan
organisasi. Tiga bagian utama tersebut, dilihat dari sudut pandang berlangsungnya organisasi,
merupakan siklus aktivitas utama yang pasti berlangsung dan terus berlangsung dalam tubuh
organisasi selama organisasi itu hidup. Siklus pada tulisan ini adalah suatu rangkaian kejadian
yang terus berulang, dalam kurun waktu tertentu. Berdasarkan pada pemahaman tersebut maka
siklus utama pada tubuh organisasi merupakan peristiwa yang akan terus berulang dalam tubuh
organisasi demi keberlangsungan organisasi tersebut.

Siklus aktivitas, seperti digambarkan di atas terdiri dari serangkaian aktivitas-aktivitas yang
berulang, didalam setiap aktivitas tersebut kebijakan dan Praktek MSDM memegang peranan
penting yang mendukung keberhasilan organisasi bukan hanya sekedar berlangsung terus-
menerus untuk bertahan hidup tetapi juga untuk dapat meraih tujuan organisasi. Bila
digambarkan lebih lanjut dengan kebijakan dan praktek MSDM yang berperan dalam tiap
aktivitas maka akan terdapat sejumlah kebijakan dan praktek MSDM sebagai berikut:

1. Kebijakan dan praktek seleksi (yang didalamnya mencakup perencanaan, rekrutmen


hingga penempatan)
2. Program pelatihan dan Pengembangan
3. evaluasi performance (yang pada akhirnya akan menentukan keberlangsungan individu
dalam organisasi,dalam hal ini apakah individu tersebut akan dipromosikan, atau
diberhentikan)

2.2. Kebijakan dan Praktek MSDM Dalam Organisasi


2.2.1. Kebijakan dan Praktek Seleksi

Rekrutmen, seleksi dan penempatan merupakan suatu proses yang akan selalu dilalui oleh tiap
perusahaan untuk memperoleh sumber daya manusia dan menjamin ketersediaan tenaga kerja
yang dibutuhkan. Rekrutmen dilakukan oleh organisasi atau perusahaan untuk mendapatkan
calon tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan sumber daya manusia, yang selanjutnya akan
melalui sejumlah proses seleksi untuk memperoleh tenaga kerja atau sumber daya manusia yang
sesuai dengan kebutuhan. Hal ini sesuai dengan yang diutarakan oleh Robert Wood dan Tim
Payne yang menyatakan,

‘Recruitment is a broad term used to communicate the notion of getting someone into the
organization. As such it covers everything from advertising to induction.

Selection is focused at the point where a decision is made about who to recruit. As such, it is
more concerned with the instrument and methods used to access candidates[4].

Rekrutmen, seleksi dan penempatan bertujuan untuk mencocokkan (to match) antara
karakteristik individu (pengetahuan, keterampilan, pengalaman, dan lain-lain) dengan
persyaratan jabatan yang harus dimiliki individu tersebut dalam memegang suatu jabatan[5].

Menurut Robert D.Gatewood dan Hubert S. Field terdapat dua bentuk sumber rekrutmen yaitu
external recruitment dan internal recruitment. External recruitment is of potential workers who
are currently not members of the organization, and internal recruitment is of those who are
current members[6].

Internal rekrutmen adalah upaya pencarian tenaga kerja untuk posisi yang baru atau tersedia,
yang berasal dari dalam organisasi itu sendiri. Internal rekrutmen dapat berupa promosi atau
mutasi; sedangkan eksternal rekrutmen adalah pencarian tenaga kerja untuk mengisi posisi baru
atau tersedia yang berasal dari luar tubuh organisasi.

Pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia melalui eksternal rekrutmen dapat dilakukan
melalui:

Advertising atau iklan

Upaya pencarian tenaga kerja dengan cara mengiklankan atau memberikan informasi kebutuhan
tenaga kerja oleh perusahaan, melalui berbagai media yang dapat diakses masyarakat. Pemilihan
media yang digunakan untuk mengiklankan kebutuhan tenaga kerja merupakan salah satu faktor
penting yang turut menentukan efektivitas suatu iklan.

Job Fair

Upaya pencarian tenaga kerja melalui event atau suatu kegiatan kerjasama dengan pihak institusi
tertentu (biasanya institusi pendidikan) untuk melakukan perekrutan.

Rekomendasi Karyawan
Pemenuhan kebutuhan tenaga kerja melalui akses yang dimiliki karyawan, misalnya melalui
kenalan atau kerabat karyawan.

Pelamar Independen

Sumber tenaga kerja yang diperoleh melalui lamaran yang masuk atas inisiatif pelamar tanpa
adanya proses informasi yang dilakukan pihak perusahaan.

Sumber-Sumber Masa Lalu

Sumber–sumber masa lalu adalah sumber tenaga kerja yang bisa diperoleh melalui berkas-berkas
masa lalu, seperti lamaran yang pernah masuk dan telah melalui tahapan seleksi, tetapi tidak
sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan saat itu namun dinilai kompeten untuk posisi yang
lain.

Proses seleksi dan penempatan merupakan proses lanjutan dari rekrutmen yang dilakukan oleh
pihak perusahaan. Seleksi dan penempatan merupakan rangkaian proses yang tidak bisa
terpisahkan, yang fungsinya saling melengkapi dan mendukung. Hal ini relevan dengan yang
diungkapkan George dan Jones tentang seleksi dan penempatan sebagai the process that
managers use to determine the relative qualifications of job applicants and their potential for
performing well in a particular job[7].

Seleksi[8] merupakan proses pemilihan individu-individu yang memiliki kualifikasi yang relevan
untuk mengisi posisi dalam suatu organisasi. Seleksi lebih dari sekedar pemilihan orang terbaik
dari yang tersedia. Melakukan seleksi terhadap pengetahuan, keahlian, dan kemampuan
(knowledge, skills, abilities) yang sesuai adalah merupakan satu paket aktivitas yang merupakan
usaha untuk memperoleh kecocokan antara apa yang dapat dilakukan oleh pelamar dan apa yang
ingin dilakukan, serta apa yang dibutuhkan oleh organisasi. Kecocokan antara pelamar dan
organisasi mempengaruhi kesediaan perusahaan untuk membuat penawaran kerja, dan juga
kesediaan pelamar untuk menerima pekerjaan tersebut.

Tahap selanjutnya adalah penempatan, yaitu kegiatan menempatkan seseorang pada posisi yang
sesuai pada suatu organisasi. Orang yang telah terpilih melalui proses seleksi, ditempatkan pada
jabatan yang ada pada struktur organisasi perusahaan, untuk menjalankan sejumlah pekerjaan
yang diwenangkan kepadanya dengan efektif dan efisien dalam rangka mencapai tujuan
organisasi. Sejalan dengan itu Heinz Weihrich dan Harold Koontz[9] mendefinisikan
penempatan sebagai berikut:

’Staffing is defined as filling and keeping filled, positions in organization structure. This is done
by identifying work force requirements, inventorying the people available, and recruiting,
selecting, placing, promoting, appraising, planning the careers of, compensating, and training
or otherwise developing both candidates and current jobholders so that they can accomplish
theirs tasks effectively and efficiently.

Penempatan sumber daya manusia idealnya dipandang sebagai proses pencocokan, dimana terdapat
kesesuaian dan atau kecocokan antara kemampuan individual sumber daya manusia dengan syarat-
syarat pekerjaan yang ditawarkan oleh organisasi. Kecocokan kualifikasi antara pelamar dengan jenis
pekerjaan yang ditawarkan akan mempengaruhi jumlah dan kualitas kerja bagi tenaga kerja, yang juga
secara langsung mempengaruhi pelatihan dan biaya-biaya operasi serta produktivitas perusahaan.
Peningkatan produktivitas bagi perusahaan dapat berasal dari perubahan dalam rencana pemberian
insentif, peningkatan pelatihan, atau desain pekerjaan yang lebih baik; tetapi apabila perusahaan tidak
memiliki orang-orang yang dibutuhkan dengan pengetahuan, keahlian, dan kemampuan yang sesuai
pada posisinya, maka perubahan tersebut mungkin tidak membawa dampak yang besar

Contoh Kasus 1

Memilih CPNS untuk Investasi Daerah

Pada awal Desember 2007, 17 daerah di Sumatera Utara akan memulai putaran
penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) baru (MedanBisnis/24/11/2007).
Seperti tahun-tahun sebelumnya, sudah dapat diperkirakan pelamarnya akan
membludak. Satu pertanyaan menggelitik, masihkah ada peluang dan harapan
bagi pelamar yang benar-benar berkualias untuk bisa diterima sebagai CPNS
dalam periode kali ini secara bersih? Inilah pertanyaan dari kalangan yang pesimis
bahwa periode ini (mungkin) seleksi CPNS di daerah tidak akan berjalan secara
fair, transparan dan akuntabel.

Pada awal 2006 lalu, pemerintah pusat (memang) mencoba merancang proses
seleksi CPNS secara serentak di lingkungan pemerintah daerah seluruhIndonesia.
Seleksi CPNS secara nasional ini dirancang untuk mencegah maraknya KKN
dalam seleksi CPNS yang selama ini sudah sangat umum terjadi. Masyarakat
telanjur berharap banyak dengan kebijakan ini. Tetapi kebijakan tinggallah
kebijakan. Dalam praktik di lapangan, tetap saja ditemukan kolusi dan nepotisme
selama proses seleksi CPNS di daerah.

Satu contoh kasus yang menonjol adalah ketika di Simalungun 56 orang CPNS
yang sudah dinyatakan lulus dibatalkan karena diduga melakukan KKN yang
kemudian dikenal sebagai CPNS Gate di Simalungun (Harian Global 15 Juni
2006). Insiden seperti ini seolah memberikan kepada kita bahwa otonomi daerah
tidak sepenuhnya digunakan oleh pemerintah daerah untuk melakukan
pemberantasan KKN, termasuk dalam hal rekrutmen pejabat publik di lingkungan
pemda.

Pemberantasan KKN dalam proses rekrutmen CPNS tidak cukup sekadar manis di
bibir pengobat rasa kecewa. Harus ada jaminan pasti bahwa proses seleksi
berjalan secara transparan dan accountable. Transparansi seleksi CPNS setidaknya
ini dapat diukur dengan melihat sejauh mana proses pengambilan keputusan
dilakukan secara objektif dan setiap pelamar memperoleh akses untuk melihat
hasil pengerjaan soal yang diujikan dan perbedaan keunggulan kualitatif
(pengalaman kerja, nilai ijazah, dsb) tiap-tiap peserta yang dijadikan dasar untuk
memutuskan lolos tidaknya seorang pelamar.
Sedangkan akuntabilitas seleksi CPNS antara lain dapat diukur dengan melihat
empat parameter (alat ukur). Pertama; apakah ada jaminan kerahasiaan atas materi
ujian sehingga bisa dipastikan tidak terjadi kebocoran dan/atau pembocoran soal.
Kedua; apakah ada parameter penilaian yang objektif dan akurat untuk
menentukan lolos tidaknya seorang pelamar dalam setiap tahapan. Ketiga; apakah
ada sistem pemantauan dan pengawasan yang ketat terhadap proses seleksi
disertai mekanisme penjatuhan sanksi yang tegas (dan transparan) bagi oknum-
oknum yang melakukan penyimpangan. Keempat; apakah ada soal-soal ujian
yang berkualitas sehingga dapat dijadikan ukuran tertulis tentang kapabilitas bakal
CPNS.

Sumber:

http://quinkaimud.blogspot.com/2009/11/contoh-kasus-proses-seleksi-kerja.html

2.2.2. Program Pelatihan dan Pengembangan

Definisi pelatihan menurut Center for Development Management and Productivity adalah belajar
untuk mengubah tingkah laku orang dalam melaksanakan pekerjaan mereka. pelatihan pada
dasarnya adalah proses memberikan bantuan bagi para pekerja untuk menguasai keterampilan
khusus atau membantu untuk memperbaiki kekurangannya dalam melaksanakan pekerjaan[10].

Program pelatihan menurut robin&Judge(2007) dapat mencakup berbagai hal dari mengajarkan
kepada karyawan kemampuan dasar hingga kursus-kursus lanjutan kepemimpinan. Program
pelatihan ini dapat dikategorikan dalam beberapa tipe yaitu, basic literacy skills, technical skills,
interpersonal skills, problem-solving skills.

 basic literacy skills

pelatihan atau traning kemampuan-kemampuan dasar, seperti matematika, bahasa, dan


kemampuan operasional lainnya.

 technical skills

traning berupa technical skill semakin meningkat kebutuhannya seiring dengan meningkatnya
penggunaan teknologi baru dan perubahan design organisasi. Pekerjaan berubah sebagai
konsekuensi dari berubahnya teknologi dan struktur organisasi.

 interpersonal skills
pelatihan interpersonal meliputi pelatihan mengenai bagaimana menjadi pendengar yang baik,
bagaimana mengkomunikasikan ide mereka secara jelas, dan bagaiman menjadi anggota team
yang efektif.

 problem-solving skills

pelatihan problem-solving meliputi pelatihan yang mengasah logika, sebab-akibat, menganalisa


masalah, dan memilih suatu solusi.

Pada prakteknya pelatihan dan pengembangan ini berdasarkan metode pelatihannya dapat
dikategorikan sebagai pelatihan formal dan non formal atau on the job dan off the job. On-the-job
traning ini meliputi pelatihan ditempat kerja seperti program mentoring, rotasi pekerjaan, dan lainnya.
Off-the-job traning ini meliputi aktivitas-aktivitas yang diselenggarakan diluar pekerjaan atau aktivitas
formal. Seperti yang saat ini marak dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan berupa outbond misalnya.
Efektif tidaknya sebuah program pelatihan dan pengembangan pada akhirnya, sangat bergantung pada
individu itu sendiri. Jika individu peserta program pelatihan tersebut memiliki motivasi belajar yang
rendah maka sedikit sekali benefit yang akan dicapai, dan begitu pula sebaliknya.

Contoh Kasus 2

Mengukur Efektivitas Training & Development

Di sebuah arena diskusi internal sebuah perusahaan otomotif terkemuka di


Indonesia, J Siregar (49) hanya bisa termangu kehilangan kata-kata ketika ia
diberondong pertanyaan peserta kelasnya. Pria yang yang kerap tampil sebagai
pemberi materi dalam kelompok diskusi terbatas soal SDM itu gelagapan ketika
digugat tentang efektivitas sebuah pelatihan, pengembangan atau training.

Sebagian peserta diskusi menganggap aktivitas bahkan keberadaan sebuah institusi


pelatihan di sebuah perusahaan dianggap tidak efektif. Mahalnya biaya training
dianggap tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. Waktu yang dikeluarkan
tidak sepadan dengan apa yang diberikan. Sehingga hujatan itu bermuara pada
kalimat training tidak ada gunanya? Kalau training tidak ada gunanya, buat apa ada
divisi training?

Namun bagi sebagian peserta lainnya pendapat itu sangat tidak berdasar. Mereka
menganggap, training masih sangat berguna untuk kemajuan perusahaan. Mereka
menyebut Acer terus meningkat bisnisnya sebesar 40% karena pengembangan
kompetensi dari timnya. ICON+ maju pesat sejak fokus pada pelatihan dan human
capital strategies. Citibank makin sukses dan tidak pernah diam seminggupun tanpa
training.

Bank Niaga apalagi, training center di Gunung Geulis penuh sepanjang tahun, maka
tidak heran terpilih sebagai Employer of Choice. Unilever juga sangat
mementingkan training untuk seluruh jajarannya. LippoBank dengan LB Academy
nya sukses sekali dan mendapat sambutan yang sangat positif dari seluruh
karyawan di Indonesia, manajemen sangat dihargai karena sangat memperhatikan
pengembangan karyawan dari segi softskills maupun hardskills.

Tengok HSBC, salah satu perintis industri keuangan modern di banyak negara di
Asia itu memanjakan aktivitas itu untuk terus mengembangkan sayapnya. Astra
juga dikenal menjadi raksasa di Indonesia karena banyak sekali menyiapkan
program-program pembelajaran untuk para karyawannya.

Lalu, apa rahasia sukses dari perusahaan-perusahaan yang sangat mendukung


strategi training dan development? Apakah biaya training itu racun, obat atau
vitamin? Bagaimana menilai bahwa biaya itu efektif, tidak buang-buang investasi
dan bisa menghasilkan untuk perusahaan? Yang terpenting apakah pola-pola seperti
ini masih efektif untuk tetap dilakukan oleh perusahaan yang ingin berkembang
tanpa harus jor-joran menyisihkan bujet perusahaan?
Mengenai soal kebutuhan, kebanyakan pengamat menganggap masih diperlukan
keberadaan divisi training & development di sebuah perusahaan. Managing
Director PT Multi Talent Indonesia Irwan Rei termasuk yang menyatakan hal itu.
”Jelas masih perlu. Selama perusahaan masih memiliki visi, misi dan tujuan yang
ingin dicapai dan ada kapabilitas organisasi yang ingin dibangun maka pelatihan
maupun divisi training akan diperlukan oleh perusahaan,” ujar Irwan.

Hanya saja bagi Irwan, pengelolaan training bisa saja diserahkan ke pihak di luar
perusahaan (outsourcing) selama ini dapat memberikan nilai tambah bagi
perusahaan. ”Yang penting pengelola training dapat membangun program yang
efektif atau sesuai dengan kompetensi maupun kapabilitas organisasi yang ingin
dibangun,” terangnya.
Dalam kenyataannya, banyak organisasi yang menyerahkan program pelatihannya
ke pihak eksternal, terutama untuk kompetensi-kompetensi yang sifatnya umum,
seperti kompetensi Kerjasama Tim, Kepemimpinan dll. Namun untuk kompetensi-
kompetensi yang sifatnya khusus dan menjadi ”kekuatan” perusahaan, maka
program pelatihan umumnya dijalankan di dalam dan oleh perusahaan itu sendiri.

soal efektivitas dan bagaimana mengukurnya, pendapat yang muncul cukup


beragam.
Direktur SDM PT Aneka Tambang, Syahrir Ika melihat ada beragam ukuran untuk
mengukur efektivitas dari sebuah training. “Efektivitas training itu kan memang ada
ukurannya macam-macam,” terang Syahrir ketika ditemui di Jakarta pertengahan
bulan lalu. Menurut pria yang juga Ketua Umum Perhimpunan Manajemen
Sumberdaya Manusia (PMSM) itu, untuk mengukur efektivitas itu ada yang
menggunakan ukuran cost terhadap revenue. “Ada yang
5% dari revenue dipakai untuk learning,” ucapnya. Ukuran lainnya adalah
peningkatan kompetensi daripada orang-orang itu. “Jadi training yang bagus itu
bisa dibikin lebih efisien, tapi menghasilkan.

Syaratnya perusahaan itu harus punya standar kompetensi,” tambahnya. Heru


Wiryanto, salah satu pakar dan praktisi SDM itu memiliki pendapat lain. “Kalau
melihat training sebagai panacea dan satu satunya obat untuk pengembangan ya
salah,” ujarnya kepada HC.

Kenapa salah, karena menurut pengajar di beberapa perguruan tinggi terkemuka itu,
dari beberapa riset justru 60% ditentukan job assignment, 30% coaching counseling
and feed back dan 10% only from training. “ Nah kalau merujuk hasil hal tersebut
kan efektifitasnya hanya 10%,” tambah Heru.

Selain itu, sumber kesalahan kedua adalah pada level analisa kebutuhan training.
Selama ini menurut kacamata Heru, kebanyakan praktisi SDM melakukan analisa
berdasarkan weakness bukan berdasar kekuatannya. “Bagaimanapun kita tidak akan
bisa melatih anjing agar bisa bernyanyi meski trainingnya 25 tahun. Karena
weakness
anjing adalah memang tidak bisa nyanyi,” jelasnya panjang lebar.

Dari situ bagi Heru terlihat, dimana letak kesalahannya. “Untuk development, 80%
strength, 15% trainable potential, dan hanya 5% weakness. Nah kalau
konsentrasinya di 15% +5% terus impact-nya hanya 10% kan bisa dihitung secara
matematis +/- 20% X 10% = impact training hanya 2% saja Wow….amazing kan,”
ungkapnya antusias.
Sehingga agar agar training bisa berjalan efektif sehingga hasilnya sesuai dengan
yang diharapkan, Heru menyarankan agar pelatihan itu berbasis strength based
bukan weakness based. Kemudian harus dilink antara business strategi dengan
kegiatan training, jika menggunakan causal chain analysis justru mulai dari
business
goal menuju training, jangan dibalik.

Soal kemungkinan melesetnya efektivitas training dari yang diharapkan juga diakui
oleh Irwan Rei. ”Hal ini dapat saja terjadi karena pengadaan training tidak
disesuaikan dengan apa yang memang dibutuhkan oleh perusahaan dan atau
pelaksanaan trainingnya itu sendiri yang kurang pas,” ungkap Irwan yang juga
berkacamata.

Menurut pandangannya, program training selayaknya dibangun berdasarkan


kompetensi yang diperlukan di dalam suatu jabatan. ”Ujung-ujungnya tujuan
training adalah untuk membangun kapabilitas organisasi di dalam mencapai visi
dan misinya,” ujarnya. Dan tanpa ada dasar yang jelas mengenai kapabilitas dan
kompetensi yang ingin dibangun oleh organisasi maka training bisa menjadi tidak
efektif hasilnya dan menjadi pemborosan bagi perusahaan.

Hal lain yang juga menurut Irwan Rei penting, soal pelaksanaan training nya itu
sendiri yang perlu disesuaikan dengan jenis kompetensi yang ingin dibangun. Ada
jenis kompetensi yang memerlukan pelatihan yang umumnya perlu dilakukan
dalam jangka panjang, seperti Kepemimpinan dan Kemampuan berkomunikasi.

Tapi ada juga yang dapat dilakukan dalam periode yang singkat seperti kemampuan
di dalam bidang komputer misalnya. ”Perhatian terhadap hal-hal ini akan
membantu meningkatkan efektvfitas training,” urainya lagi. Karena masih menurut
Irwan, sistem dan program SDM umumnya saling terkait satu sama lain, sistem
atau program di luar

training pun turut mempengaruhi ”keberhasilan” program training. Peningkatan


kompetensi menyangkut pengulangan (”Repetition is the mother of skills” kata
Anthony Robbins), sehingga diperlukan enforcement, dukungan atau dorongan dari
sistem/organisasi terhadap kemampuan yang dibangun melalui training.

”Misalnya, pemberian pelatihan Kepemimpinan akan lebih terlihat hasilnya bila


faktor Kepemimpinan ini juga menjadi bagian dari sistem Performance
Management maupun turut mempengaruhi kompensasi yang diterima oleh pegawai.
Keterkaitan antara sistem yang satu dengan yang lain inilah yang perlu juga
diperhatikan
untuk membantu efektivitas pelaksanaan training,” papar Irwan panjang.

Sementara itu Organization Development Manager PT Holcim Indonesia Santoso


Widaja berpendapat kalau efektivitas training itu tidak bisa dilihat sesaat. “Begini,
kalau namanya investasi kan berarti kita perlu waktu. Selain waktu, target tepat atau
tidak. Jadi pasti kalau kita investasi kita tahu kapan kita bisa mengambil hasilnya.
Itu harus disadari gitu lho,” katanya.

Efektivitas itu bisa dirasakan bisa enam bulan, setahun, beberapa ada yang sampai
tiga tahun. “Dan itu beda dari investasinya. Jadi kita harus tahu bagaiamana cara
mengukurnya dan juga berapa lama itu bisa. Karena yang instan itu bukan investasi,
sulap namanya,” lanjutnya.

Terkadang menurut Santoso, orang-orang maunya serba cepat. Tapi beberapa orang,
diakui Santoso memang bisa seperti itu, dan ia menyebutnya fast tracker. “Tapi
kalau semua orang seperti itu, organisasi tidak akan bisa menampung mereka.
Karena organisasi itu sifatnya pyramid. Berarti kan tidak semua orang bisa naik
sampai ke atas,” ujarnya lagi. Proses tercapainya efektivitas dari sebuah training
memang tergantung
pada beberapa hal. Irwan melihat beberapa kendala yang kerap kali menjadi batu
sandungan dari tercapainya sebuah tujuan training. Adanya perubahan sikap,
perilaku dan kompetensi dari karyawan setelah training dilakukan sering dianggap
menjadi penyebab kenapa training itu tidak efektif.

”Assessment yang dilakukan sebelum dan sesudah training akan dapat


memperlihatkan sejauh-mana program pelatihan yang telah diberikan telah merubah
dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pegawai,” imbuhnya.
Sementara itu Heru lebih melihat pada dua hal. Pertama, level analisa kebutuhannya
yang salah. “Fokusnya bukan pada strength tapi pada weakness bahkan trait yang
tidak pernah bisa diubah. Training adalah sebagai alternatif development bukan
obat satu-satunya. ,” terang Heru. Sedangkan yang kedua apa yang ditrainingkan
akan sesuai dengan perusahaan atau tidak. “Nah ini yang kerap kali menjadi
kendala,” katanya.

Dan untuk mengindikasikan hal itu Heru menyebut ada 4 level mulai dari reaksi,
learning, implementasi, business impact lalu Return Of Investment. “ Bila ini bisa
diawasi, efektivitas itu akan terjaga,” katanya. Namun bila efektivitas itu tidak
diperoleh, Heru memberikan alternatif lain. Yaitu dengan job assignment dan
coaching counseling. “Ya.. job assignment dan coaching counseling yang ada di
performance management akan lebih efektif,”usulnya.

Sementara itu, Santoso menilai penggunaan ROI sebagai salah satu cara untuk
mengukur efektivitas itu tidak mudah untuk dipraktekkan. Karena menurutnya
cukup sulit untuk mengukur efektivitas itu lewat ROI. “Mengukur ROI itu susah,
sangat sulit. Apakah yang dinaikkan produktivitasnya? Berapa persen seharusnya
disitu? Itu nggak gampang,” terang Santoso.

Untuk mempermudah itu, Santoso menganjurkan sebelumnya harus sudah


ditentukan dulu bersama-sama jadinya jelas. “Karena kalau sudah training baru
ditentukan malah percuma menurut saya. Sebelum training harus ditentukan dan
mereka harus agree bahwa ini seperti ini. Karena itu kita mengukur hal-hal yang
sifatnya intangible. Kalau finance gampang, kelihatan sekali, gitu,” terangnya.

Atau dengan kata lain, pertama-tama sebaiknya perusahaan itu menurut Santoso
tahu betul soal ke arah mana starteginya. “Syukur-syukur dari tahu strateginya jadi
tahu kompetensi apa yang mau dibangun. Karena nggak semua perusahaan tahu
kompetensi apa yang mau dibangun,” lanjutnya.

Setelah tahu kompetensi apa yang mau dibangun, mulai memetakan kompetensi
karyawannya. “Dari performance appraisal kan ada tuh kekurangannya apa. Itu bisa
ditentukan gapnya, yang disyaratkan dengan yang mereka miliki.
Nah dari situ, baru gapnya itu jadi prioritas,” imbuhnya. Lalu, prioritas gapnya itu
dikawinkan lagi dengan kompetensi apa yang mau dibina. Sehingga keluarlah
kompetensi apa saja yang menjadi prioritasnya itu. “Akibatnya training program
bisa dialihkan kekompetensi itu. Sehingga tidak mubazir,” pupusnya.

Nah sekarang tergantung sejauh mana pengelolaan itu memberikan nilai tambah
bagi perusahaan. Bagi Irwan Rei, bila sebuah perusahaan beranggapan bahwa
dengan menyerahkan pelaksanaan program pelatihan ke pihak eksternal dapat
memberikan nilai tambah bagi organisasi, maka wajar sekali bila organisasi
menyerahkannya ke pihak eksternal. ”Demikian juga sebaliknya,” tutup Irwan.
Sekarang tinggal bagaimana keputusan Anda…. (ich)

sumber:

portalhr.com, 38 Mei 2007

(http://prodsumen.com/beritahr/organisasi/detail.php?cid=1&id=655&pageNum=1)

2.2.3. Evaluasi Performance

2.2.3.1. Efektifness Organisasi dan Efektifness Kebijakan Dan Praktek MSDM

Sebuah organisasi yang betul-betul efektif adalah organisasi yang mampu menciptakan suasana
kerja di mana para pekerja tidak hanya melaksanakan pekerjaan yang telah dibebankan saja
tetapi juga membuat suasana supaya para pekerja lebih bertanggung jawab, bertindak secara
kreatif demi peningkatan efisiensi dalam usaha mencapai tujuan[11]. the conception of
effectiveness depends on how the organization is viewed[12] tiga pendekatan dalam memahami
efektivitas menurut Steers (1985) adalah pendekatan tujuan (the goal optimization approach),
pendekatan sistem (sistem theory approach), dan pendekatan kepuasan partisipasi (participant
satisfaction model).

1. Pendekatan Tujuan. Suatu organisasi berlangsung dalam upaya mencapai suatu tujuan.
Oleh karena itu, dalam pendekatan ini efektivitas dipandang sebagai goal attainment/goal
optimization atau pencapaian sasaran dari upaya bersama. Derajat pencapaian sasaran
menunjukkan derajat efektivitas. Suatu program dikatakan efektif jika tujuan akhir
program tercapai. Dengan perkataan lain, pencapaian tujuan merupakan indikator utama
dalam menilai efektivitas.
2. Pendekatan Sistem. Pendekatan ini memandang efektivitas sebagai kemampuan
organisasi dalam mendayagunakan segenap potensi lingkungan serta memfungsikan
semua unsur yang terlibat. Efektivitas diukur dengan meninjau sejauh mana berfungsinya
unsur-unsur dalam sistem untuk mencapai tujuan.
3. Pendekatan Kepuasan Partisipasi. Dalam pendekatan ini, individu partisipan ditempatkan
sebagai acuan utama dalam menilai efektivitas. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa
keberadaan organisasi ditentukan oleh kualitas partisipasi kerja individu. Selain itu, motif
individu dalam suatu organisasi merupakan faktor yang sangat menentukan kualitas
partisipasi. Sehingga, kepuasan individu menjadi hal yang penting dalam mengukur
efektivitas organisasi.

faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas organisasi adalah (1) Adanya tujuan yang jelas, (2)
Struktur organisasi. (3) Adanya dukungan atau partisipasi masyarakat, (4) Adanya sistem nilai
yang dianut. Organisasi akan berjalan terarah jika memiliki tujuan yang jelas. Adanya tujuan
akan memberikan motivasi untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Selanjutnya
tujuan organisasi mencakup beberapa fungsi diantaranya yaitu memberikan pengarahan dengan
cara menggambarkan keadaan yang akan datang yang senantiasa dikejar dan diwujudkan oleh
organisasi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi organisasi harus diperhatian untuk mewujudkan suatu


efektivitas. Richard M Steers menyebutkan empat faktor yang mempengaruhi efektivitas, yaitu:

1. Karakteristik Organisasi adalah hubungan yang sifatnya relatif tetap seperti susunan
sumber daya manusia yang terdapat dalam organisasi. Struktur merupakan cara yang unik
menempatkan manusia dalam rangka menciptakan sebuah organisasi. Dalam struktur,
manusia ditempatkan sebagai bagian dari suatu hubungan yang relatif tetap yang akan
menentukan pola interaksi dan tingkah laku yang berorientasi pada tugas.
2. Karakteristik Lingkungan, mencakup dua aspek. Aspek pertama adalah lingkungan
ekstern yaitu lingkungan yang berada di luar batas organisasi dan sangat berpengaruh
terhadap organisasi, terutama dalam pembuatan keputusan dan pengambilan tindakan.
Aspek kedua adalah lingkungan intern yang dikenal sebagai iklim organisasi yaitu
lingkungan yang secara keseluruhan dalam lingkungan organisasi.
3. Karakteristik Pekerja merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap efektivitas. Di
dalam diri setiap individu akan ditemukan banyak perbedaan, akan tetapi kesadaran
individu akan perbedaan itu sangat penting dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Jadi
apabila suatu rganisasi menginginkan keberhasilan, organisasi tersebut harus dapat
mengintegrasikan tujuan individu dengan tujuan organisasi.
4. Karakteristik Manajemen adalah strategi dan mekanisme kerja yang dirancang untuk
mengkondisikan semua hal yang di dalam organisasi sehingga efektivitas tercapai.
Kebijakan dan praktek manajemen merupakan alat bagi pimpinan untuk mengarahkan
setiap kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam melaksanakan kebijakan dan
praktek manajemen harus memperhatikan manusia, tidak hanya mementingkan strategi
dan mekanisme kerja saja. Mekanisme ini meliputi penyusunan tujuan strategis,
pencarian dan pemanfaatan atas sumber daya, penciptaan lingkungan prestasi, proses
komunikasi, kepemimpinan dan pengambilan keputusan, serta adaptasi terhadap
perubahan lingkungan inovasi organisasi.

Faktor-Faktor Yang Menunjang Efektivitas

Kebijakan dan praktek MSDM secara umum dikatakan efektif bila kebijakan dan praktek yang
berlangsung dapat mendukung tercapainya tujuan organisasi, secara spesifik, Kebijakan dan
Praktek MSDM di dalam organisasi atau perusahaan dapat dikatakan efektif dengan menilai
melalui sejumlah hal berikut yaitu; Sejauh mana kebijakan-kebijakan SDM yang ada menunjang
sasaran dan strategi SDM? Sejauh mana keterkaitan terapan kebijakan dan praktek-praktek SDM
dengan hasil (HR outcomes)? Apakah kinerja karyawan meningkat? Absentism menurun?
Orientasi karyawan pada pelanggan meningkat? Apakah Pendelegasian wewenang pengambilan
keputusan berjalan efektif?.

2.2.3.2. Tujuan evaluasi dan apa yang dievaluasi


Evaluasi performance dilakukan dengan beberapa tujuan diantaranya adalah:

 untuk membantu manajemen dalam membuat keputusan-keputusan umum terkait sumber


daya manusia seperti promosi, transfer, dan terminasi
 mengidentifikasi kebutuhan traning dan pengembangan SDM
 sebagai kriteria untuk menilai/memvalidasi seleksi dan program pengembangan yang
dilaksanakan.
 Sebagai feedback bagi karyawan itu sendiri, yaitu sebagai penilaian bagi performansi
individu yang terkait mengenai bagaimana organisasi melihat kinerja mereka.
 Sebagai dasar penilaian reward, dalam hal ini membantu dalam memutuskan siapa yang
akan mendapatkan penghargaan atas prestasi kerja yang diraih.

Penilaian terhadap performansi melalui sejumlah kriteria mempengaruhi perilaku dan apa yang
dikerjakan oleh karyawan. Beberapa kriteria yang populer[13] dalam menilai performansi
adalah:

 Individual task outcome


 Perilaku
 Traits

2.2.3.3. Metode evaluasi performance

Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mengevaluasi performance adalah:

 Essai tertulis
 Critical incidents
 Graphic Rating scale
 Behaviorally anchored rating scale
 Forced comparison

2.3. isu tentang kebijakan dan Praktek MSDM dalam perusahan

2.3.1. Keterkaitan antara individu dalam organisasi dengan kebijakan dan praktek
MSDM

Kebijakan dan praktek MSDM dalam suatu organisasi dapat diartikan secara berbeda-beda oleh
tiap individu dalam organisasi tersebut. the messages imparted often are understood quite
idiosyncratically;that is,two employees may read the same practice differently(Guzzo.,
Noonan:1994). Hal ini disebabkan adanya interpretasi yang berbeda-beda dari tiap individu
terhadap suatu kebijakan perusahaan atau organisasi yang akan memperngaruhi terhadap praktek
MSDMnya. the interpretations employees do make of HR Practices(Guzzo., Noonan:1994).
Scheneider dan colleages dalam penelitiannya atas persepsi karyawan terhadap event, praktek
dan prosedur kerja, menemukan bahwa praktek HR sangat terkait dengan interpretasi karyawan.
HR Practices(selection,training,performance appraisal,pay, and benefits) were among the
organizational practices most strongly related to interpretations of the climate for customer
service(Guzzo., Noonan:1994).

Interpretasi karyawan terhadap suatu kebijakan dapat dipelihara dengan memberikan penjelasan
yang jelas terhadap anggota organisasi(karyawan) pada awal diperkenalnya suatu organisasi
dan kebijakannya, hal ini untuk menjaga agar expectation dari karyawan tetap pada tataran
realistic. Harapan yang reastik membantu mempertahankan persepsi yang baik dari karyawan
terhadap suatu kebijakan, lebih jauh lagi akan mempengaruhi interpretasi karyawan tersebut
terhadap suatu kebijakan MSDM dan akan mempengaruhi perilaku dari karyawan tersebut
seperti tingkat tidakhadiran, kinerja, orientasi karyawan,dan turn over.

2.3.2. Kesetaraan Kesempatan Bekerja atau Equal Employment Opportunity (EEO)

Salah satu isu terkait kebijakan dan praktek MSDM adalah mengenai kesetaraan kesempatan
kerja atau Equal Employment Opportunity (EEO). kesetaraan kesempatan untuk mendapatkan
pekerjaan berarti kesempatan yang sama bagi setiap individu untuk menempati jabatan atau
pekerjaan tertentu tanpa memandang jenis kelamin atau gender, maupun kekurangan fisik dan
perbedaan agama, kepercayaan dan etnis. Equal employment opportunity adalah the equal right
of all citizens to the opportunity to obtain employment regardless of their gender, age, race,
country of origin, religion, or disabilities[14]. Kesetaraan kesempatan bekerja ini adalah konsep
yang luas yang menunjukkan bahwa setiap orang harus mendapat perlakuan yang sama pada
semua tindakan yang berhubungan dengan pekerjaan[15]. Kesetaraan dan keadilan gender dalam
pekerjaan dapat terlaksana dengan dihapuskannya diskriminasi dalam pekerjaan, dan perolehan
hak serta perlakuan yang sama dalam bekerja.

Persamaan kesempatan dalam bekerja dan memperoleh pekerjaan ini, tercantum juga dalam
konvensi ILO, Discrimination (Employment and Occupation) Convention No.111, Concerning
Discrimination In Respect of Employment and Occupation yang ditetapkan tanggal 25 juni 1958
dan diberlakukan 15 Juni 1960. Konvensi ini berisi 8 artikel yang berisi tentang diskriminasi
dalam pekerjaan, yang menegaskan bahwa istilah ”diskriminasi” meliputi setiap pembedaan,
pengecualian atau pengutamaan atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan
politik, kebangsaan atau asal-usul sosial yang berakibat meniadakan dan mengurangi persamaan
kesempatan; juga menegaskan bahwa untuk tujuan Konvensi ini, istilah pekerjaan dan jabatan
meliputi juga kesempatan mengikuti pelatihan keterampilan, memperoleh pekerjaan dan jabatan
tertentu dan syarat-syarat kondisi kerja. Indonesia telah meratifikasi Konvensi ini melalui
Undang-Undang No. 21 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No.111 Concerning
Discrimination In Respect of Employment and Occupation (Konvensi ILO mengenai
diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan). Sejalan dengan Konvensi ILO no.111 tahun 1958,
pada tahun 1957 telah dikeluarkan kesepakatan untuk pengupahan yang sama bagi laki-laki dan
perempuan melalui Konvensi ILO no.100 mengenai Pengupahan Bagi Laki-Laki Dan Wanita
Untuk Pekerjaan Yang Sama Nilainya, yang juga telah diratifikasi ke dalam Undang-Undang no.
80 tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi ILO no.100. Sejak diratifikasinya kedua Konvensi
ini berarti negara Indonesia telah menyetujui dan mengesahkan hasil dari Konvensi dan
memberlakukannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, di samping
itu setiap negara yang telah meratifikasi konvensi ILO harus menjalankan isi Konvensi tersebut
bersama-sama dengan ILO sendiri; sehingga disusunlah suatu guideline untuk pelaksanaan
persamaan kesempatan bekerja (EEO) di Indonesia, hal ini dimaksudkan agar organisasi-
organisasi dan perusahaan di Indonesia memiliki arah dan pedoman untuk melaksanakan
persamaan kesempatan bekerja (EEO) sesuai dengan prinsip-prinsip EEO. Prinsip EEO yang
utama yaitu “a fair chance for everyone at work”, dimana setiap orang harus memiliki akses
yang equal, dan dalam pekerjaan setiap orang harus memiliki kesempatan yang equal untuk
memperoleh training dan promosi serta kondisi kerja yang fair. EEO tidak mengasumsikan
bahwa setiap orang memiliki kemampuan yang sama, kualifikasi yang sama dan pengalaman
yang sama tetapi bertujuan memberikan setiap orang kesempatan yang sama (equal chance)
untuk menggunakan dan mengeluarkan seluruh bakat dan kemampuannya.

MASALAH-MASALAH MENGENAI MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA


(MSDM)
Bahasan mengenai MSDM meliputi beberapa hal terkait dengan sumber daya
manusia/karyawan. Mulai dari pengadaan, pengembangan, pemeliharaan sampai dengan
pemberhentian karyawan. dari setiap bahasan tersebut dalam kenyataannya mengalami beberapa
masalah. Masalah tersebut secara rinci setiap tahapnya yaitu:
pengadaan :
1. Prosedur Seleksi
2. Analisis Kebutuhan Perusahaan Atas Karyawan
3. Kriteria Karyawan
Pengembangan :
1. Pendidikan dan Pelatihan
2. Biaya
3. Status Karyawan
Pemeliharaan :
1. Kompensasi
2. Pesangon
3. Hubungan Perusahaan dengan Karyawan
Pemberhentian :
1. PHK
2. Pengangguran
3. Produktivitas Kerja Karyawan

Masalah-masalah di atas dapat dikembangkan dan harapannya adalah maslah-masalah tersebut


dapat diatasi dengan sebaik-baiknya.

TUGAS MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA

SOLUSI PEMECAHAN MASALAH DALAM MANAJEMEN SDM


I. PENDAHULUAN

Manajemen Sumber Daya manusia adalah suatu proses menangani berbagai masalah

pada ruang lingkup karyawan, pegawai, buruh, manajer, dan tenaga kerja lainnya untuk dapat

menunjang aktifitas organisasi atau perusahaan demi mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Menurut AF Stoner, manajemen sumber daya manusia adalah suatu prosedur yang berkelanjutan

yang bertujuan untuk memasok suatu organisasi atau perusahaan dengan orang-orang yang tepat

untuk ditempatkan pada posisi dan jabatan yang tepat pada saat organisasi memerlukannya.

Menurut Mutiara S Panggabean, bahwa manajemen sumber daya manusia adalah proses yang

terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pimpinan, dan pengendalian kegiatan-kegiatan yang

berkaitan dengan analisis pekerjaan, evaluasi pekerjaan, pengadaan, pengembangan, kompensasi,

promosi, dan pemutusan hubungan kerja guna penetapan tujuan yang telah ditetapkan.

Dari definisi diatas yang dikemukakan oleh para ahli tersebut menunjukkan demikian

pentingnya manajemen sumber daya manusia didalam mencapai tujuan perusahaan, karyawan,

dan masyarakat unsur manajemen ( Tool of management ), biasa dikenal market/marketing,

pasar.

II. MODEL-MODEL , FUNGSI DAN TUJUAN MANAJEMEN SDM

a. Model Manajemen SDM

Model yang digunakan oleh perusahaan kecil tidak bisa menerapkan model yang biasa

digunakan oleh perusahaan besar, demikian pula sebaliknya. Dalam perkembangan model model

ini berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi serta tuntutannya untuk menyusun berbagai

aktifitas manajemen sumber daya manusia ada 6 ( enam ) model yaitu :


1. Model Finansial

Dalam manajemen sumber daya manusia belakangan ini aspek finansial semakin

berkembang karena para manajer semakin sadar akan pengaruh yang berasal dari sumber daya

manusia ini meliputi biaya kompensasi tidak langsung, seperti biaya asuransi kesehatan, pensiun,

asuransi jiwa, liburan dan sebagainya, kebutuhan akan keahlian dalam mengelola bidang yang

semakin komplek ini, merupakan penyebab utama mengapa para manajer sumber daya manusia

semakin meningkat.

2. Model Hukum

Aspek hukum memiliki sejarah panjang yang berawal dari hubungan perburuhan, dimana

negosiasi kontrak, pengawasan dan kepatuhan merupakan fungsi pokok disebabkan adanya

hubungan yang sering bertentangan antara manajer dengan karyawan. Dalam model ini, operasi

sumber daya manusia memperoleh kekuatannya dari keahlian dibidang hukum.

3. Model Klerikal

Dalam model ini fungsi departemen sumber daya manusia yang terutama adalah

memperoleh dan memelihara laporan, data, catatan-catatan, menangani kertas kerja, yang

dibutuhkan memenuhi berbagai peraturan dan melaksanakan tugas-tugas kepegawaian rutin.

4. Model Humanistik

Bahwa departemen sumber daya manusia ini dibentuk ide sentralnya adalah untuk

mengembangkan dan membantu perkembangan nilai dan potensi sumber daya manusia didalam

organisasi. Spesialis sumber daya manusia harus memahmi individu karyawan dan membantunya

memaksimalkan pengembangan diri dan peningkatan karir. Model ini menggambarkan

tumbuhnya perhatian organisasi terhadap pelatihan dan pengembangan karyawan mereka.

5. Model manajerial
Departemen sumber daya manusia melatih manajer lini dalam keahlian yang diperlukan

untuk menangani fungsi-fungsi kunci sumber daya manusia sewperti pengangkatan, evaluasi

kinerja dan pengembangan. Karena karyawan pada umumnya lebih senang berinteraksi dengan

manajer mereka sendiri dibanding dengan pegawai staf, maka beberapa departemen sumber daya

manusia dapat menunjukkan manajer lini untuk berperan sebagai pelatih dan fasilitator. Model

manajerial ini memiliki dua versi yaitu versi pertama manajer sumber daya manusia memahami

kerangka acuan kerja manajer lini yang berorientasi pada produktifitas. Versi kedua manajer ini

melaksanakan beberapa fungsi sumber daya manusia.

6. Model Ilmu Perilaku

Model ini menganggap bahwa, ilmu perilaku seperti psikologi dan perilaku organisasi

merupakan dasar aktifitas sumber daya manusia. Prinsipnya adalah bahwa sebuah pendekatan

sains terhadap perilaku manusia dapat diterapkan pada hampir semua permasalahan sumber daya

manusia bidang sumber daya manusia yang didasarkan pada prinsip sains meliputi teknik umpan

balik, evaluasi, desains program dan tujuan pelatihan serta manajemen karir.

b. Fungsi Manajemen

1. Fungsi perencanaan

Perencanaan adalah usaha sadar dalam pengambilan keputusan yang telah diperhitungkan

secara matang tentang hal-hal yang akan dikerjakan dimasa depan dalam dan oleh suatu

organisasi dalam rangka pencapaian tujuan yang telah dilakukan sebelumnya.

2. Fungsi Rekrutmen

Menurut Schermerhorn, 1997, Rekrutmen ( Recruitment ) adalah proses penarikan

sekelompok kandidat untuk mengisi posisi yang lowong. Perekrutan yang efektif akan membawa
peluang pekerjaan kepada perhatian dari orang-orang yang berkemampuan dan ketrampilannya

memenuhi spesifikasi pekerjaan.

3. Fungsi Seleksi

Seleksi tenaga kerja adalah suatu proses menemukan tenaga kerja yang tepat dari sekian

banyak kandidat atau calon yang ada. Tahap awal yang perlu dilakukan setelah menerima berkas

lamaran adalah melihat daftar riwayat hidup / cv / Ciriculum vitae milik pelamar. Kemudian dari

cv pelamar dilakukan penyortiran antara pelamar yang akan dipanggil dengan yang gagal

memenuhi standar suatu pekerjaan. Lalu berikutnya adalah memanggil kandidat twerpilih untuk

dilakukan ujian tes tertulis, wawancara kerja / interview dan proses seleksi lainnya.

4. Fungsi Orientasi, Pelatihan, dan Pengembangan

Pelatihan ( Training ) merupakan proses pembelajaran yang melibatkan perolehan

keahlian, konsep, peraturan, atau sikap untuk menngkatkan kinerja tenaga keras. ( Simamora

2006, 273 0 Menurut pasal 1ayat 9 undang-undang nomor 13 tahun 2003. Pelatihan kerja adalah

keseluruhan kegiatan untuk memberi, memperoleh, meningkatkan,serta mengembangkan

kompetensi kerja, produktivitas, disiplin, sikap, dan etos kerja pada tingkat ketrapilan dan

keahlian tertentu sesuai dengan jenjang dan kwalifikasi jabatan dan pekerjaan. Pengembangan

( development ) diartikan sebagai penyiapan individu untuk memikul tanggung jawab yang

berbeda atau yang lebih tinggi dalam perusahaan, organisasi, lembaga atau instansi pendidikan

5. Fungsi evaluasi Kinerja

Evaluasi sama pentingnya dengan fungsi-fungsi manajemen lainnya, yaitu perencanaan,

pengorganisasian, atau pelaksanaan, pemantauan ( monitoring ) dan pengendalian. Terkadang

fungsi monitoring dan fungsi evaluasi, sulit untuk dipisahkan. Penyusunan sistem dalam

organisasi dan pembagian tugas, fungsi serta pembagian peran pihak-pihak dalam organisasi,
adakalanya tidak perlu dipisah-pisah secara nyata. Fungsi manajemen puncak misalnya, meliputi

semua fungsi dari perencanaan sampai pengendalian. Oleh karena itu, evaluasi sering dilakukan

oleh pimpinan organisasi dalam suatu rapat kerja, rapat pimpinan , atau temu muka, baik secara

reguler maupun menghadapi kejadian-kejadian khusus lainnya Sebagai bagian dari fungsi

manajemen, fungsi evaluasi tidaklah berdiri sendiri. Fungsi-fungsi seperti fungsi pemantauan dan

pelaporan sangat erat hubungannya dengan fungsi evaluasi. Di samping untuk melengkapi

berbagai fungsi didalam fungsi-fungsi manajemen, evaluasi sangat bermanfaat agar organisasi

tidak mengulangi kesalahan yangsama setiap kali.

6. Fungsi komensasi

Pemberian balas jasa langsung dan tidak langsung berbentuk uang atau barang kepada

karyawan sebagai imbal jasa ( output ) yang diberikannya kepada perusahaan. Prinsip

kompensasi adalah adil dan layak sesuai prestasi dan tanggung jawab.

7. Fungsi pengitegrasian

Kegiatan untuk mempersatukan kepentingan perusahaan dan kebutuhan karyawan,

sehingga tercipta kerjasama yang serasi dan saling menguntungkan.

8. Fungsi pemeliharaan

Kegiatan untuk memelihara atau meningkatkan kondisi fisik, mental, dan loyalitas

karyawan agar tercipta kerjasama yang panjang.

9. Fungsi Pemberhentian

Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu

yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antar pekerja dan pengusaha. Sedangkan

menurut Moekijat mengartikan bahwa pemberhentian adalah pemutusan hubungan kerja

seseorang karyawan dengan suatu organisasi perusahaan.


c. Tujuan Manajemen SDM

Ada 4 ( empat ) tujuan manajemen Yaitu :

1. Tujuan Sosial

Tujuan sosial manajemen sumber daya manusia adalah agar organisasi atau perusahaan

bertanggung jawab secara sosial dan etis terhadap keutuhan dan tantangan masyarakat dengan

meminimalkan dampak negatifnya.

2. Tujuan Organisasional

Tujuan organisasional adalah sasaran formal yang dibuat untuk membantu organisasi

mencapai tujuannya.

3. Tujuan Fungsional

Tujuan fungsional adalah tujuan untuk mempertahankan kontribusi departemen sumber

daya manusia pada tingkat yang sesuai dengan kebutuhan organisasi.

4. Tujuan Individual

Tujuan individual adalah tujuan pribadi dan tiap anggota organisasi atau perusahaan yang

hendak mencapai melalui aktifitasnya dalam organisasi.


III. PERMASALAHAN

Perusahaan yang sehat adalah perusahaan yang segala sesuatunya berjalan dengan lancar

tanpa ada permasalahan, hal ini terjadi karena manajemennya yang baik dan serta pengawasan

yang intensif. Untuk itu tidak mudah dalam menjalankan perusahaan dengan baik banyak sekali

kendala atau permasalahan yang dihadapi dan harus diselesaikan dengan baik dan kedepannya

dapat dapat dilaluinya tanpa ada kendala yang berarti.

Permasalahan yang dihadapi perusahaan biasanya dalam hal rekruitmen karyawan, dan

harus diakui bahwa proses rekruitmen bukan hal yang mudah, sebaliknya justru sering

menhadapi kendala. Maka penegasn dari permasalahan diatas adalah “ Permasalahan yang

dihadapi oleh Manajer dalam hal rekruitmen karyawan “.

Dalam kenyataanya, rekrutmen sering menghadapi berbagai permasalahan yang sering

kali menimbulkan ketidak puasan pada salah satu pihak atau lebih. Permasalahan rekrutmen

tersebut antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Perbandingan tingkat kepuasa setiap orang saat pertama kali mengisi suatu lowongan pekerjaan

adalah 50:50. Hal itu dapat diartikan bahwa apa yang didapatkan orang tersebut ( pegawai baru )

pda pekerjaanya tidak sepenuhnya cocok dengan apa yang dibayangkan sebelumnya. Dengan

demikian dia tidak dapat memanfaatkan kemampuannya seoptimal mungkin. Permasalahan yang

sama secara langsung dirasakan pula oleh organisasi yang menerima pegawai tersebut, yakni
hanya merasakan kepuasan sebesar 50% dari proses perekrutan tadi. Semuanya itu berarti pula

terjadinya pemborosan baik materi, tenaga maupun waktu. Salah satu penyebab terjadinya

problema diatas yang sekaligus merupakan juga masalah rekrutmen adalah tidak diketahuinya

secara pasti kebutuhan pegawai oleh rekruiter, serta kurang mampunya rekruiter menilai calon

pegawai.

Untuk meghindari kelemahan-kelemahan itu, maka seorang rekruiter harus mengerti bagaimana

jenis pendidikan, pengalaman dan ketrampilan yang dibutuhkan untuk setiap pekerjaan sebelum

program rekrutmen atau staffing dilakukan. Lebih jauh lagi, data tentang gaji, motifasi umum,

dan kandidat yang dibutuhkan sebelum dilakukan pengisian posisi dalam suatu organisasi harus

tersedia.

2. Lemahnya Rincian Job Rekruitmen

Sangatlah sukar untuk melakukan perekrutan secara efektif jika kualifikasi pekerjaan tidak

didefinisikan. Perekrutan secara internal atau eksternal seharusnya dimulai setelah adanya

pernyataan pendidikan yang ringkas dan jelas, ketrampilan dan pengalaman yang dibutuhkan

serta tingkat gaji dalam suatu pekerjaan.

Keputusan-keputusan proses staffing yang konsisten tidak dapat dibuat kecuali bila kebutuhan

pekerjaan dan posisi pekerjaantelah dijabarkan secara mencukupi, sehingga para pelamar

pekerjaan secara individual dan kandidat untukposisi tertentu dapat diukur melalui standar-

standar yang telah ditentukan,

3. Perekrutan baru memanfaatkan sejumlah kecil sumber tenaga kerja baru

Suatu organisasi akan dapat mengisi lowongan secara lebih cepat dengan biaya yang rendah pula

jika sumber daya rekruitmen digunakan secara optimal.


Secara keseluruhan ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam masalah-masalah

rekruitmen pegawai baru, yaitu :

 Faktor-faktor eksternal yang menyangkut kondisi keberadaan lapangan penyediaan tenaga kerja,

lokasi geografis, pasar tenaga kerja, kebijakan negara dan aspek hukum ketenagakerjaan, serta

isu-isu ketenagakerjaan yang berkembang.

 Pasar tenaga kerja Kegiatan rekruitmen harus memahami betul kondisi pasar tenaga kerja dan

karakteristik kompetitifnya, informasi ketenaga kerjaan dapat diperoleh melalui surat kabar,

organisasi ketenagakerjaan, lembaga pendidikan, departemen tenaga kerja, dan organisasi potensi

lainnya.

 Kebijakan negara dan aspek hukum ketenagakerjaan. Unsur penting dalam kebijakannegara

adalah peraturan-peraturan ketenagakerjaan yang berlaku, serta organisasi buruh atau profesi

yang sangat perpengaruh pada kondisi kerja para pegawai.

 Anggaran Rekruitmen. Komponen-komponen anggaran rekruitmen yang perlu diperhatikan

adalah advertensi, Transport, dan akomodasi pelamar, fee untuk agen-agen yang ikut merekrut

pegawai, relokasi /penempatan pegawai baru, program refferal dari pekerja, dan pelatihan

pegawai baru

4. Job Rekruitmen yang semu ( artificial )

Munculnya permasalahan job rekruitmen yang semu ini ialah sering dihilangkannya “ resume “

dari lamaran yang telah memenuhi kualifikasi pekerjaan oleh manajer ini, keadaan seperti ini

jelas sekali akan merugikan organisasi, karena telah menyia-nyiakan sumber daya yang

potensial. Oleh karenanya suatu organisasi haruslah selalu berorientasi kepada tujuan ( goal ) dan

tidak perlu menghiraukan faktor-faktor umur, jenis kelamin atau kewarga negaraan/ etnis
pribumi. Job requirements yang semu ini adalah sesuatu yang disukai, meskipun sebenarnya

tidak diperlukan. Bahkan banyak daripadanya yang bersifat ilegal. Semuanya cenderung untuk

mengurangi penawaran lamaran-lamaran yang berkualitas serta memboroskan waktu

, dan uang yang dibutuhkan untuk mengisi suatu jabatan/ pekerjaan.

Oleh karenanya, para profesional dibidang manajemen sumber daya manusia mutlak

penting mengenali berbagai sumber tersebut dengan setepat-tepatnya, karena dengan demikian

terdapat jaminan bahwa tenaga kerja yang memenuhi persyaratan dan kebutuhan organisasi

diperoleh dengan biaya, waktu dan tenaga dengan serendah mungkin.

IV. SOLUSI PERMASALAHAN

Untuk itu solusi dari permasalahan tersebut yang berkaitan dengan proses Rekruitmen

menurut pendapat kami meliputi :

A. Identifikasi Spesifikasi pekerjaan

a. Identifikasi spesifikasi kegiatan-kegiatan kerja.

b. Persyaratan-persyaratan yang dibutuhkan untuk menopang kegiatan-kegiatan kerja.

c. Menetapkan Record ( pendapatan ) yang bersifat aplikatif dengan kegiatan-kegiatan kerja yang

telah ditetapkan ( alur kegiatan kerja )

d. Melakukan pemeriksaan ( screening ) dalam kaitannya dengan aplikasi-aplikasi kerja yang akan

dilaksanakan.

e. Melakukan kegiatan testing dan interview ( wawancara ).

f. Melakukan tes fisik ( kesehatan ) pegawai / calon pegawai.

g. Koordinasi internal organisasi berkaitan dengan kebutuhan akan personalia, termasuk

penyusunan kegiatan promosi.


h. Menetapkan besaran gaji dan tunjangan-tunjangan yang terkait dengan kesejahteraan pegawai.

i. Penyusunan jabatan untuk para pekerja baik yang lama maupun yang baru , dilengkapi tugas dan

tanggungjawabnya.

B. Berkaitan dengan Perencanaan Organisasi dan Staffing

 Rekruitmen harus disesuaikan dengan karakter organisasi dan besaran organisasi ( skala

organisasi )

 Semakin besar skala organisasi maka lingkup kegiatan rekruitmen menjadi komplek sekali

 Tekanan organisasi yang ber skala besar ditandai oleh spesialisasi.

 Rekruitmen pada dasarnya tidak merupakan tanggungjawab satu manajer saja, namun melibatkan

manajer yang lainya yang membutuhkan sumber daya manusia.

 Rekruitmen berskala besar ditangani oleh staf yang berskala besar, dan testing dilakukan secara

kelompok.

 Manajer melakukan ketentuan rekruitmen sesuai ketentuan staffing, secara committed mereka

menetapkan kebutuhan akan pegawai baru dan bertumpu pada tuntutan organisasi.

 Bila rekruitmen berskala sangat besar, maka dapat dilaksanakan oleh suatu komite organisasi yang

bersifat terpisah.

C. Berkaitan denga seleksi

Maka petugas yang menangani seleksi tersebut diwajibkan memiliki penguasaan pengetahuan

diantaranya yaitu :

o Memahami organisasi ditempat dia bekerja

o Memahami karakteristik pegawai / calon pegawai dari berbagai tingkatan.

o Ketrampilan dan study banding untuk melakukan seleksi.

o Memahami cara untuk menempatkan kandidat yang tepat untuk satu jabatan.
D. Mengoptimalkan Sumber Daya rekrutmen

Adapun sumbernya terdiri dari :

 Transfer Internal dan Promosi .

Melalui metode “ Job Bidding “ data-data ( informasi ) mengenai karyawan suatu organisasi dan

kebutuhan pekerjaannya disimpan dalam word prosessor atau data base, sehingga proses transfer

atau promosi karyawan pada jabatan/pekerjaan yang ada, bisa lebih efektif “ Job posting“

melalui job bidding akan mengurangi ketidak puasan dan perputaran ( turn over ) karyawan, bila

penambahan posisi diisi oleh orang-orang dalam.

 Sumber Eksternal, yang terdiri dari :

Catatan-catatan/file lamaran ; Walk in applicants ( mendatangi secara langsung ),

Lembaga-lembaga pendidikan; Open Houses ( pelamar datang untuk mendapatkan penjelasan

pada waktu-waktu yang dikehendakinya ),

Field Interview ( sama dengan open houses, hanya dilakukan diluar kota dengan biaya lebih

mahal serta membutuhkan lebih banyak iklan ).

Tenaga kerja sementara ; Part-time dan kontrak, Organization Outplacing Employyees , Diret

Mail Recruitment, pertemuan para profesional, Asosiasi dagang dan pameran, Agen-agen tenaga

kerja swasta, dan iklan Rekrutmen.

 Pendekatan sistem sosial ( Human relation )


Manajemen sumber daya manusia atau personalia merupakan proses yang komplek, dengan

kekomplekannya maka pimpinan perusahaan mulai mengarah pada pendekatan yang lain yaitu

pendidikan sistem sosial yang merupakan suatu pendekatan yang dalam pemecahan masalah

selalu memperhitungkan faktor – faktor lingkungan. Setiap ada permasalahan, maka diusahakan

dipecahkan dengan sebaik mungkin dengan resiko yang paling kecil, baik bagi pihak tenaga

kerja maupun pemberi kerja,

 Pendekatan paternalisme ( Paternalistik )

Dengan adanya perkembangan pemikiran dari para pekerja yang menunjukan mereka dapat

melepaskan diri dari ketergantungan manajemen / maka pimpinan perusahaan mengimbangkan

dengan kebaikan untuk para pekerja. Paternalisme merupakan suatu konsep yang menganggap

manajemen sebagai pelindung terhadap karyawan, berbagai usaha telah dilakukan oleh pimpinan

perusahaan supaya para pekerja tidak mencari bantuan dari pihak lain. Pendekatan ini mulai

hilang pada waktu periode tahun 1930-an.

 Pemeliharaan Tenaga Kerja

Didalam pemeliharaan tenaga kerja ada pelaksanaan aspekekonomis dan non ekonomis yang

diharapkan dapat memberikan ketenangan kerja dan konsentrasi penuh bagi pekerja guna

menghasilkan prestasi kerja yang diharapkan oleh organisasi. Aspek ekonomis berhubungan

dengan pemberian kompensasi yang berupa gaji dan bonus yang sebanding dengan hasil

kerjanya. Aspek non ekonomis berupa adanya jaminan kesehatan, kesejahteraan dan serta

kenyamanan dalam bekerja. Adanya kegiatan pemeliharaan tenaga kerja yang memadai akan

memperkecil adanya konflik antara tenaga kerja dengan pemberi kerja. Antara lain tentang

kepuasan karyawan dan komunikasi yang terjadi dalam organisasi.


V. Kesimpulan

Manajemen Sumber daya Manusia merupakan perencanaan, pengorganisasian,

pengkoordinasian, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengadaan, pengembangan,

pemeliharaan, dan pemisahan tenaga kerja dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Meskipun

suatu negara tidak mempunyai keunggulan komparatifyang baik, namun mempunyai keunggulan

kompetitif, maka negara tersebut bisa lebih bersaing dengan negara lain,

Urgensi adanya Manajemen Sumber daya Manusia yaitu karena Manajemen sumber daya

manusia berarti mengatur, mengurus SDM berdasarkan visi perusahaan agar tujuan organisasi

dapat dicapai secara optimum, staffing dan personalia dalam organisasi, meningkatkan kinerja,

mengembangkan budaya korporasi yang mendukung penerapan inivasi dan fleksibilitas.

JUDUL SKRIPSI MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA


1. PENGARUH KOMPENSASI TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA KARYAWAN
BAGIAN PRODUKSI PADA PERUSAHAAN MEUBEL CV. KEMBANG JEPUN X
2. PENGARUH PENDIDIKAN DAN LATIHAN TENAGA KERJA TERHADAP
PRODUKTIVITAS KERJA KARYAWAN BAGIAN PRODUKSI PADA
PERUSAHAAN KAYU KARYA MULYA KANOR BOJONEGORO
3. ANALISIS PERBANDINGAN PRODUKTIVITAS KERJA KARYAWAN SEBELUM
DAN SETELAH PELATIHAN PADA PT. ASURANSI JIWA CENTRAL ASIA RAYA
CABANG X
4. ANALISIS PENGARUH PEMBERIAN UPAH DAN INSENTIF TERHADAP HASIL
PRODUKSI PADA PERUSAHAAN ROKOK SUMBER REJEKI PASURUAN
5. PENGARUH MOTIVASI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS KERJA
KARYAWAN BAGIAN PRODUKSI PADA PT. IMIT TULUNGAGUNG
6. PENGARUH INSENTIF TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA KARYAWAN PADA
PERUSAHAAN ROKOK LEMBANG JAYA MALANG
7. PENGARUH PEMBERIAN INSENTIF TERHADAP PENINGKATAN
PRODUKTIVITAS KARYAWAN BAGIAN PRODUKSI PADA PERUSAHAAN
ROKOK LEMBANG JAYA MALANG
8. PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TERHADAP SEMANGAT DAN
KEGAIRAHAN KERJA KARYAWAN PADA PT. TELKOM CABANG
TULUNGAGUNG
9. PENGARUH KEDISIPLINAN KERJA DALAM MENINGKATKAN
PRODUKTIVITAS KERJA KARYAWAN PADA PERUSAHAAN TEGEL DAYA
GUNA LUMAJANG
10. PENGARUH PEMBERIAN MOTIVASI DALAM BENTUK INSENTIF TERHADAP
PENINGKATAN PRESTASI KERJA KARYAWAN PADA HOTEL X
11. PERANAN MOTIVASI KERJA GUNA MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS KERJA
KARYAWAN PADA KUD. “SUMBER MAKMUR” NGANTANG KAB. MALANG
12. PENGARUH MOTIVASI TERHADAP PENINGKATAN KINERJA KARYAWAN
BAGIAN DISTRIBUSI PADA PT. PERTAMINA (PERSERO) INSTALASI TANJUNG
UBAN
13. PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TERHADAP SEMANGAT KERJA
KARYAWAN PADA PERUSAHAAN KNALPOT RODA JAYA MALANG
14. PELAKSANAAN ANALISA JABATAN YANG TEPAT GUNA MENINGKATKAN
EFEKTIVITAS KERJA PADA SEKSI PENGUKURAN DAN PERPETAAN BIRO
PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN PERUSAHAAN PERUM PERHUTANI
UNIT X
15. ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PELATIHAN KERJA TERHADAP PENINGKATAN
PRESTASI KERJA PEGAWAI DINAS PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN
KABUPATEN X
16. ANALISIS PENGARUH BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA
KARYAWAN PADA KOP SAE PUJON MALANG
17. PENGARUH PEMBERIAN INSENTIF TERHADAP PENINGKATAN
PRODUKTIVITAS KERJA KARYAWAN BAGIAN PRODUKSI PADA
PERUSAHAAN ROKOK VALAS MALANG
18.  Pengaruh Gaya Kepemimpinan, Motivasi, dan Disiplin Kerja terhadap Kinerja
Pegawai pada PT XYZ
19.  Pengaruh Kompensasi terhadap Kinerja Karyawan pada PT ABC
20.  Pengaruh Motivasi, Kepuasan, dan Disiplin Kerja terhadap Kinerja Pegawai pada PT
XYZ
21.  Pengaruh Penerapan Balance Scorecard terhadap Kinerja Manajer (Studi Kasus pada
Bank ABC)
22.  Pengaruh Kepemimpinan Transformasional dan Motivasi terhadap Kinerja Karyawan
pada PT XYZ
23.  Pengaruh Kepemimpinan dan Motivasi Terhadap Semangat Kerja Pegawai PT XYZ
24.  Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Karyawan
Melalui Kepuasan Kerja Karyawan sebagai Variabel Intervening (Studi pada PT. XYZ)
25.  Pengaruh Profesionalisme dan Komitmen Organisasi terhadap Kinerja Internal
Auditor, dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening (Studi pada PT Bank
XYZ)
26.  Pengaruh Lingkungan Kerja pada Hubungan Antara Kompensasi dan Kepemimpinan
Terhadap Kepuasan Kerja (Studi pada KPP XYZ)
27.  Pengaruh Motivasi, Pengawasan, dan Budaya Kerja Terhadap Produktifitas Kerja
Karyawan PT XYZ
28.  Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan (Studi
Pada PT XYZ)
29.  Pengaruh Kompensasi Terhadap Kinerja Karyawan PT ABC Dengan Motivasi Kerja
Sebagai Variabael Intervening

Anda mungkin juga menyukai