Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes Mellitus (DM) yang umum dikenal sebagai kencing manis adalah
penyakit yang ditandai dengan hiperglikemia (peningkatan kadar gula darah) yang
terus-menerus dan bervariasi, terutama setelah makan. Diabetes mellitus
merupakan keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolic
akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada
mata, ginjal, dan pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis dalam
pemeriksaan dengan mikroskop elektron (Bilous, 2002).
Jumlah penduduk dunia yang sakit diabetes mellitus cenderung meningkat
dari tahun ke tahun. Hal ini berkaitan dengan jumlah populasi meningkat, pola
hidup, prevalensi obesitas meningkat dan kegiatan fisik kurang (Smeltzer &Bare,
2002). Laporan dari WHO mengenai studi populasi DM di berbagai negara,
jumlah penderita diabetes mellitus pada tahun 2000 di Indonesia menempati
urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita diabetes mellitus dengan prevalensi
8,4 juta jiwa. Urutan diatasnya adalah India (31,7 juta jiwa), China (20,8 juta
jiwa), dan Amerika Serikat (17,7 juta jiwa) (Darmono, 2007).
Pada tahun 2010 jumlah penderita DM di Indonesia minimal menjadi 5 juta
dan di dunia 239,9 juta penderita. Diperkirakan pada tahun 2030 prevalensi
diabetes mellitus di Indonesia meningkat menjadi 21,3 juta angka kesakitan dan
kematian akibat DM di Indonesia cenderung berfluktuasi setiap tahunnya sejalan
dengan perubahan gaya hidup masyarakat yang mengarah pada makanan siap saji
dan sarat karbohidrat (Depkes RI, 2006).
Terapi gizi merupakan komponen utama keberhasilan penatalaksanaan
diabetes. Kepatuhan pasien terhadap prinsip gizi dan perencanaan makan
merupakan salah satu kendala pada pasien diabetes. Penderita diabetes banyak
yang merasa tersiksa sehubungan dengan jenis dan jumlah makanan yang
dianjurkan (Maulana, 2009).
Penelitian Setyani (2007) menggambarkan tingkat ketaatan diet bagi pasien
diabetes mellitus. Hasil penelitiannya menunjukkan hanya 43% pasien yang patuh
menjalankan diet diabetes mellitus. Sebanyak 57% pasien tidak patuh
menjalankan diet yang dianjurkan. Pasien yang patuh akan mempunyai kontrol
glikemik yang lebih baik, dengan control glikemik yang baik dan terus menerus
akan dapat mencegah komplikasi akut dan mengurangi resiko komplikasi jangka
panjang. Perbaikan kontrol glikemik berhubungan dengan penurunan kejadian
retinopati, nefropati dan neuropati. Sebaliknya bagi pasien yang tidak patuh akan
mempengaruhi kontrol glikemiknya menjadi kurang baik bahkan tidak terkontrol,
hal ini akan mengakibatkan komplikasi yang mungkin timbul tidak dapat dicegah
(Bilous, 2002).
BAB II
LAPORAN KASUS NON-INFEKSI

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. N
Umur : 59 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Suku : Makassar
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : jl. Tamangapa Raya RW 04 RT 001
Tanggal periksa : 27 November 2017
Waktu : 10.00 WITA
Nama PKM :
No.Register :
Dokter Jaga : dr. E

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Pasien dengan riwayat DM terkontrol
Anamnesis Terpimpin :
Pasien datang dengan riwayat DM terkontrol. Penglihatan kabur (-), nyeri
kepala (-), pusing (-), mual (-), muntah (-). Pasien mengeluhkan akhir-akhir
ini sering merasa haus dan nafsu makan pasien meningkat. Seringnya
terbangun buang air kecil pada malam hari (+). Saat ini, pasien juga
mengeluhkan nyeri pada kedua lututnya.
BAB : biasa, lancar
BAK : warna kuning, frekuensi sering.

Riwayat penyakit sebelumnya :


Sejak tahun lalu, pasien beberapa kali datang ke puskesmas dengan keluhan
nyeri pada persendian.
Riwayat Pengobatan
- Riwayat pengobatan DM dan asam urat (+)
Riwayat Kebiasaan
- Riwayat sering mengonsumsi makanan tinggi purin dan suka
mengonsumsi makanan yang manis
Riwayat Keluarga
- Keluarga dengan penyakit yang sama (-)
C. PEMERIKSAAN FISIS
Status Generalis : Sakit ringan / Gizi baik/ Compos mentis
GCS 15 (E4M6V5)
BB = 49 kg
TB = 155 cm
IMT = 20,39 kg/cm2
Status Vitalis : T = 110/70 mmHg
P = 20 x/menit
N = 80 x/menit
S = 360C
Kepala : Bentuk = Mesocephal
Ukuran= Normocephal
Mata = konjunctiva anemis (-/-), sclera ikterus (-/-)
Hidung = rhinore(-), Deviasi septum (-)
Telinga = Otore(-)
Bibir = Stomatitis(-), Bibir kering (-)
Mulut = lidah kotor (-)
Leher = peradangan tonsil (+) pembesaran kelenjar (-), Deviasi
trakea (-), Massa tumor (-), DVS (-)
Thorax : I = Normochest, Simetris (kanan=kiri), penggunaan otot
bantu pernapasan(-)
P = Nyeri tekan (-), Massa tumor (-), Krepitasi (-),vocal
fremitus(kanan=kiri)
P = Sonor (kanan=kiri)
Batas paru hepar = ICS 5 anterior dextra

A= Bunyi pernapasan = vesikuler


Bunyi pernapasan tambahan (-)

Rhonki Wheezing

Jantung : I= Ictus cordis tidak tampak


P = Ictus cordis tidak teraba
P = Pekak relatif
Batas atas kanan = ICS II parasternal dextra
Batas atas kiri = ICS II parasternal sinistra
Batas kanan bawah = ICS V linea parasternalis dextra
Batas kiri bawah = ICS V linea medio clavicularis
A = Bunyi jantung I/II murni reguler, bising jantung (-)
Abdomen : I = Datar, mengikuti gerak napas
A = Peristaltik (+) kesan meningkat
P = Nyeri tekan (-), massa tumor (-), hepar tidak teraba, lien
tidak teraba
P = Tympani (+), asites (-)
Ekstremitas : Edema -/-, deformitas -/-, fraktur -/-

D. RESUME

Pasien datang dengan riwayat DM terkontrol. Pasien mengeluhkan


akhir-akhir ini sering merasa haus dan nafsu makan pasien meningkat.
Seringnya terbangun buang air kecil pada malam hari (+). Pasien memiliki
riwayat sejak tahun lalu, pasien beberapa kali datang ke puskesmas dengan
keluhan nyeri pada persendian. Riwayat sering mengonsumsi makanan
tinggi purin dan suka mengonsumsi makanan yang manis (+). Saat ini,
pasien juga mengeluhkan nyeri pada lutut.
Pada pemeriksaan status generalis dan vitalis didapatkan: Sakit
sedang, Gizi lebih, composmentis, BB : 49 kg, TB : 155 cm, IMT : 20,39
kg/m2 (Normal). Dari pemeriksaan fisis didapatkan TD : 110/70 mmHg,
N : 80 x/menit irregular, P : 20x/menit S: 36ºC.

E. DIAGNOSIS
Diabetes Melitus Tipe II

F. DIAGNOSIS BANDING
Diabetes Melitus Tipe I

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
GDS 225 mg/dl
Asam urat 5,1 mg/dl

H. RENCANA TERAPI
1. Metformin 500 mg, 1x1
2. Meloxicam 7,5 mg 2x1
3. Vitamin B6 10 mg 3x1

I. PROGNOSIS
Qua ed vitam : Bonam
Qua ed sanationem : Bonam
Qua ed funcionam : Bonam

J. EDUKASI :
 Makan makanan yang sehat
1. Batasi kebiasaan makan makanan yang tinggi kadar gulanya
2. Biasakan makan makanan yang tinggi serat.
 Berolahraga
1. Diutamakan olah raga endurance / ketahanan
2. Frekuensi 3­5 menit seminggu
3. Lamanya 30­60 menit tiap hari
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Menurut  American  Diabetes  Association  (ADA)  tahun  2010,  Diabetes

melitus  merupakan  suatu  kelompok  penyakit  metabolik  dengan  karakteristik

hiperglikemia  yang  terjadi  karena  kelainan  sekresi  insulin,  kerja  insulin,  atau

kedua­duanya.1

 E pidemiologi

Diantara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu penyakit tidak

menular   yang   akan   meningkat   jumlahnya   di   masa   mendatang.   Diabetes   sudah

merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21.

Data terakhir dari WHO menunjukkan justru peningkatan tertinggi jumlah pasien

diabetes malah di Negara Asia Tenggara termasuk Indonesia.2

Menurut   penelitian   epidemiologi   yang   sampai   saat   ini   dilaksanakan   di

Indonesia,   kekerapan   diabetes   di   Indonesia   berkisar   anatara1,4   dengan   1,6%.

Jumlah pasien diabetes dalam jangka waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan

naik  sebesar 40% dengan peningkatan  jumlah pasien  diabetes  yang jauh  lebih

besar yaitu 86­138%, yang disebabkan oleh karena:2

 Faktor demografi: 1) jumlah penduduk meningkat, 2) penduduk usia lanjut

bertambah banyak, 3) urbanisasi makin tak terkendali.
 Gaya hidup  yang ke barat­baratan:  1) penghasilan  per kapita tinggi, 2)

restoran   siap   santap,   3)   teknologi   canggih   menimbulkan  sedentary   life,

kurang gerak badan.
 Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi
 Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi

lebih panjang.
Klasifikasi

Klasifikasi DM dapat dilihat pada tabel berikut:1

Etiologi

Penyebab DM Tipe II antara lain:3
1. Penurunan fungsi cell β pancreas
Penurunan fungsi cell β disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
a) Glukotoksisitas
Kadar   glukosa   darah     yang   berlangsung   lama   akan   menyebabkan

peningkatan stress oksidatif, IL­1b, dan NF­kB dengan akibat peningkatan

apoptosis sel β.
b) Lipotoksisitas 
Peningkatan asam lemak bebas yang berasal dari jaringan adiposa dalam

lipolisis   akan   mengalami   metabolisme   non   oksidatif   menjadi   ceramide

yang toksik terhadap sel beta sehingga terjadi apoptosis.
c) Penumpukan amyloid
Pada   keadaan   resistensi   insulin,   kerja   insulin   dihambat   sehingga   kadar

glukosa   darah   akan   meningkat,   karena   itu   sel   beta   akan   berusaha

mengkompensasinya dengan meningkatkan sekresi insulin hingga terjadi

hiperinsulinemia. Peningkatan sekresi insulin juga di ikuti dengan sekresi

amylin dari sel beta yang akan ditumpuk disekitar sel beta hingga menjadi

jaringan amyloid dan akan mendesak sel beta itu sendiri sehingga akhirnya

jumlah  sel  beta  dalam  pulau  Langerhans  menjadi  berkurang.  Pada  DM

Tipe II  jumlah sel  beta berkurang sampai 50­60%.
d) Efek inkretin 
Inkretin   memiliki   efek   langsung   terhadap   sel   beta   dengan   cara

meningkatkan   proliferasi   sel   beta,   meningkatkan   sekresi   insulin   dan

mengurangi apoptosis sel beta.
e) Usia
Diabtes tipe II biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin sering

terjadi setelah usia 40 tahun, selanjutnya terus meningkat pada usia lanjut.

Usia   lanjut   yang   mengalami   gangguan   toleransi   glukosa   mencapai   50­

92%.   Proses   menua   yang   berlangsung   setelah   usia   30   tahun

mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia. Perubahan

dimulai dari tingkat sel, berlanjut pada tingkat jaringan dan akhirnya pada

tingkat organ yang dapat mempengaruhi fungsi homeostasis. Komponen

tubuh   yang   mengalami   perubahan   adalah   sel   beta   pankreas   yang

menghasilkan hormon insulin, sel­sel jaringan target yang menghasilkan

glukosa,system saraf, dan hormon lain yang mempengaruhi kadar glukosa.
f) Genetik
2. Retensi insulin
Penyebab retensi insulin pada DM tipe II sebenarnya tidak begitu jelas,

tetapi faktor­faktor berikut ini banyak berperan:
a) Obesitas
Obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap glukosa darah

berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel diseluruh tubuh termasuk di

otot berkurang jumlah dan keaktifannya kurang sensitif.
b) Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
c) Kurang gerak badan
d) Faktor keturunan
e) Stress
Reaksi pertama dari respon stress adalah terjadinya sekresi system saraf

simpatis yang di ikuti oleh sekresi simpatis adrenal medular dan bila stress

menetap maka sistem hipotalamus pituitari akan diaktifkan.

Patomekanisme 

Patogenesis   diabetes   mellitus   tipe   IIditandai   dengan   adanya   resistensi

insulin   perifer,   gangguan   “hepatic   glucose   production   (HGP)”,   dan   penurunan

fungsi sel  β, yang akhirnya akan menuju ke ekrusakan total sel  β. Mula­mula

timbul resistensi insulin yang kemudian disusul oleh peningkatan sekresi insulin

untuk mengkompensasi retensi insulin itu agar kadar glukosa darah tetap normal.

Lama­kelamaan sel  β  tidak akan sanggup lagi mengkompensasi retensi insulin

hingga   kadar   glukosa   darah   meningkat   dan   fungsi   sel   β  makin   menurun,   saat

itulah   diagnosis   diabetes   ditegakkan.   Penurunan   fungsi   sel   β   itu   berlangsung

secara   progresif   sampai   akhirnya   sama   sekali   tidak   mampu   lagi   mensekresi

insulin.4

Pada   diabetes   tipe   II   terdapat   dua   masalah   uatama   yang   berhubungan

dengan insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya

insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat
terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam

metabolism glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes mellitus tipe II

disertai dengan penurunan  reaksi intra sel ini. Dengan demikian insulin menjadi

tidak   efektif   untuk   menstimulasi   pengambilan   glukosa   oleh   jaringan.   Untuk

mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukagon dalam darah

harus   terdapat   peningkatan   jumlah   insulin   yang   disekresikan.   Pada   penderita

toleransi   glukosa   terganggu,   keadaan   ini   terjadi   akibat   sekresi   insulin   yang

berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau

sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel­sel beta tidak mampu mengimbangi

peningkatan  kebutuhan  akan  insulin,  maka  kadar  glukosa  akan  meningkat  dan

terjadi diabetes mellitus tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang

merupakan   ciri   khas   diabetes   mellitus   tipe   II,   namun   masih   terdapat   insulin

dengan   jumlah  yang  adekuat  untuk   mencegah  pemecahan   lemak   dan  produksi

badan keton yang menyertainya.4 

Pada   keadaan   tertentu   glukosa   dapat   meningkat   sampai   dengan   1200

mg/dl,   hal   ini   dapat   menyebabkan   dehidrasi   pada   sel   yang   disebabkan   oleh

ketidakmampuan   glukosa   berdifusi   melalui   membrane   sel,   hal   ini   akan

merangsang osmotik reseptor yang akan meningkatkan volume ektrasel sehingga

mengakibatkan peningkatan osmolalitas sel yang akan emrangsang hypothalamus

untuk mensekresi ADH dan merangsang pusat haus di bagian lateral (polidipsi).

Penurunan volume cairan intrasel merangsang volume reseptor di hypothalamus

menekan sekresi ADH sehingga terjadi diuresis osmosis yang akan mempercepat

pengisian  vesika   urinaria   dan  akan   merangsang  keinginan  berkemih   (poliuria).

Penurunan transport glukosa kedalam sel menyebabkan sel kekurangan glukosa

untuk   proses   metabolism   sehingga   mengakibatkan   starvasi   sel.   Penurunan


penggunaan   dan   aktivitas   glukosa   dalam   sel   akan   merangsang   pusat   makan

dibagian lateral hypothalamus sehingga timbul peningkatan rasa lapar (polifagia).4

Pada diabetes mellitus yang telah lama dan tidak terkontrol, bisa terjadi

aterosklerosis   pada   arteri   yang   besar,   penebalan   membrane   kapiler   di   seluruh

tubuh,   dan   degenerative   pada   saraf   perifer.   Hal   ini   dapat   mengarah   pada

komplikasi lain seperti thrombosis coroner, stroke, gangren pada kaki, kebutaan,

gagal ginjal dan neuropati.4

Faktor Resiko 

         Faktor resiko terjadinya diabetes mellitus adalah:
a) Usia >45 tahun
b) Gemuk : BB > 120% BB idaman, IMT>25 kg/m2 
c) Hipertensi, tekanan darah ≥140/90 mmHg
d) Riwayat DM di keluarga
e) Riwayat melahirkan bayi BB>4.000 gram
f)   Riwayat DM pada kehamilan (DM gestasional)
g) Riwayat TGT dan GDPT
h) Penderita PJK, TBC dan hipertensi
i)      Kadar  lipid  (kolesterol   HDL   ≤   35  mg/dl   dan  atau  trigliserida     ≥200

mg/dl).5
Gejala Klinik
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Gejala yang

dikeluhkan pada pasien diabetes mellitus berupa:1
1)   Keluhan klasik DM: poliuria, polifagia, polydipsia dan penurunan berat

badan yang tidak dapat dijelaskan masukkan.
2) Keluahan lain, dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,

dan disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulva pada wanita.
Pemeriksaan Fisis 
Keadaan umum adalah paling pertama kita perhatikan dalam pemeriksaan

fisis. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan tanda­tanda vital, yaitu tekanan

darah, suhu tubuh, frekuensi nadi, dan frekuensi pernafasan. Inspeksi didahului
pada daerah tungkai bawah yaitu melihat apakah terdapat luka atau ulkus, lalu

dilanjutkan   inspeksi   keseluruh   bagian   tubuh   untuk   melihat   tanda­tanda   dan

dehidrasi akibat hiperglikemia. Perhatikan juga apakah terdapat tanda takipnea

atau pernapasan kusmaull. Selain itu pemeriksaan juga dilakukan pada mata yaitu

pemeriksaaan ketajaman penglihatan dan respon pupil mata. Pada pemeriksaan

tungkai bawah juga penting untuk mendeteksi apakah terdapat neuropati dengan

tes raba halus menggunakan monofilament dan tes ulang fisiologis. Palpasi juga

dapat dilakukan untuk meraba adanya pulsasi terutama pada tungkai bawah.5   
Pada   pemeriksaan   fisis   dicari   tanda   penyakit   penyerta/komplikasi

diantaranya   hipertensi,   kardiomegali,   infeksi   paru,   udem,   kulit   kering,   dan

gangguan pulsasi PD.6
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk DM sebagai berikut:1
1) Glukosa darah sewaktu
2) Glukosa darah puasa
3) Uji toleransi glukosa oral 
Tes   ini   digunakan   untuk   menetukan   status   pre   DM,   namun   tidak

dibutuhkan untuk penapisan dan tidak sebaiknya dilakukan pada pasien

dengan manifestasi klinis diabetes dan hiperglikemia.
4) Pemeriksaan HbA1C 

Diagnosis

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:1

1)  Jika  keluhan  klasik  ditemukan,  maka  pemeriksaan  glukosa  plasma

sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegak­ kan diagnosis DM

2)    Pemeriksaan  glukosa  plasma  puasa  ≥  126  mg/dL  dengan  adanya

keluhan klasik
3)  Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO   dengan beban 75

g  glukosa  lebih  sensitif  dan  spesifik  dibanding  dengan  pemeriksaan

glukosa  plasma  puasa,  namun  pemeriksaan  ini  memiliki  keterbatasan

tersendiri.  TTGO  sulit  untuk  dilakukan  berulang­ulang  dan  dalam

praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.

Langkah­langkah  diagnostik  DM  dan  gangguan  toleransi  glukosa  dapat

dilihat  pada  bagan1.  Kriteria  diagnosis  DM  untuk  dewasa  tidak  hamil  dapat

dilihat pada tabel­1. Apabila hasil pe­ meriksaan tidak memenuhi kriteria normal

atau  DM,  bergantung  pada  hasil  yang  diperoleh,  maka  dapat  digolongkan  ke

dalam  kelompok  toleransi  glukosa  terganggu  (TGT)  atau  glukosa  darah  puasa

terganggu (GDPT).

1.  TGT:  Diagnosis  TGT  ditegakkan  bila  setelah  pemeriksaan  TTGO

didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL

(7,8­11,0 mmol/L).

2. GDPT:Diagnosis  GDPT  ditegakkan  bila  setelah    pemeriksaan  glukosa

plasma  puasa  didapatkan  antara  100 –  125  mg/dL  (5,6  –  6,9  mmol/L)

dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam <140 mg/dL.

Tabel 1. Kriteria diagnosis DM 1
1.    Gejala  klasik  DM    +  glukosa plasma sewaktu     200    mg/dL  (11,1

mmol/L)  Glukosa  plasma  sewaktu  merupakan  hasil  pemeriksaan

sesaat  pada  suatu  hari    tanpa  memperhatikan  waktu  makan

terakhir

2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa   126  mg/dL (7.0

mmol/L)  Puasa  diartikan  pasien  tak    mendapat  kalori  tambahan

sedikitnya 8 jam

3.  Kadar gula plasma 2  jam  pada TTGO    200  mg/dL (11,1 mmol/L)

TTGO  yang  dilakukan  dengan  standar  WHO,  menggunakan

beban   glukosa   yang  setara  dengan  75   g  glukosa  anhidrus  yang

dilarutkan ke  dalam air.

*    Pemeriksaan  HbA1c  (>6.5%)  oleh  ADA  2011  sudah

dimasukkan  menjadi  salah  satu  kriteria  diagnosis  DM,  jika

dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi.
Pengobatan

Tujuan  penatalaksanaan  secara  umum  adalah  meningkatkan  kualitas

hidup penyandang diabetes. Adapun Pilar penatalaksanaan DM, yaitu:1

1. Edukasi

2. Terapi gizi medis

3. Latihan jasmani

4. Intervensi farmakologis

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan  jasmani

selama  beberapa  waktu  (24  minggu).  Apa  bila  kadar  glukosa  darah  belum

mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik

oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera

diberikan  secara  tunggal  atau  langsung  kombinasi,  sesuai  indikasi.  Dalam

keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat

badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera

diberikan.

1.  Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku

telah  terbentuk  dengan  mapan.  Pemberdayaan  penyandang  diabetes

memerlukan  partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan

mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai

keberhasilan  perubahan  perilaku,  dibutuhkan  edukasi  yang  komprehensif  dan


upaya  peningkatan  motivasi.  Berbagai  hal  tenta  5r55r5555555555555ng

edukasi dibahas lebih mendalam di bagian promosi perilaku sehat di halaman.

Pengetahuan  tentang  pemantauan  glukosa  darah  mandiri,  tanda  dan

gejala  hipoglikemia  serta  cara  mengatasinya  harus  diberikan  kepada  pasien.

Pemantauan  kadar  glukosa  darah   dapat  dilakukan  secara  mandiri,  setelah

mendapat pelatihan khusus

2.  Terapi gizi medis

- Terapi  Nutrisi  Medis  (TNM)  merupakan  bagian  dari  penata  laksanaan

diabetes  secara  total.  Kunci  keberhasilan  TNM   adalah  keterlibatan

secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan

yang lain serta pasien dan keluarganya).
-   Setiap  penyandang  diabetes  sebaiknya  mendapat  TNM  sesuai  dengan

kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.
- Prinsip  pengaturan  makan  pada  penyandang  diabetes  hampir  sama

dengan  anjuran  makan  untuk  masyarakat  umum  yaitu  makanan  yang

seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masingmasing

individu.  Pada  penyandang  diabetes   perlu   ditekankan   pentingnya

keteraturan   ma  kan   dalam  hal  jadwal  makan,  jenis,  dan  jumlah

makanan,  terutama  pada  mereka  yang  menggunakan  obat  penurun

glukosa darah atau insulin.

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:

 Karbohidrat

q   Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 4565% total asupan energi.

q  Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
q     Makan  tiga  kali  sehari  untuk  mendistribusikan  asupan  karbo  hidrat

dalam  sehari.  Kalau  diperlukan  dapat  diberikan  makanan  selingan  buah

atau makanan lain sebagai bagian dari kebu tuhan kalori sehari.

 Lemak

q   Asupan lemak dianjurkan sekitar 2025% kebutuhan kalori.

q   Tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.

q    Bahan  makanan  yang  perlu  dibatasi  adalah  yang  banyak

mengandung  lemak  jenuh  dan  lemak  trans  antara  lain:  daging  berlemak

dan susu penuh (whole milk).

q   Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.

 Protein

q   Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.

q   Sumber  protein  yang  baik  adalah  seafood  (ikan,  udang cumi,dll), 

daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, 

kacang­kacangan, tahu, dan tempe.

 Natrium

q    Anjuran  asupan  natrium  untuk  penyandang  diabetes  sama  dengan

anjuran  untuk  masyarakat  umum  yaitu  tidak  lebih  dari  3000  mg  atau

sama dengan 6­7 gram (1 sendok teh) garam dapur.

 Serat

q    Seperti  halnya  masyarakat  umum  penyandang  diabetes  di­  anjurkan

mengonsumsi  cukup  serat  dari  kacang­kacangan,  buah,  dan  sayuran

serta  sumber  karbohidrat  yang  tinggi  se­  rat,  karena  mengandung

vitamin, mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
q   Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.

3. Latihan jasmani

Kegiatan jasmani seharihari dan latihan jasmani secara teratur (34 kali 

seminggu selama kurang lebih 30 menit), meru pakan salah satu pilar dalam 

pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan seharihari seperti berjalan kaki ke pasar, 

menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain 

untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki 

sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan 

jasmani yang di anjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti 

jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya 

disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang 

relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah 

mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang 

kurang gerak atau bermalasmalasan

4. Terapi farmakologis
Terapi  farmakologis  diberikan  bersama  dengan  pengaturan makan 

dan latihan jasmani (gaya hidup sehat).

Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

1.  Obat hipoglikemik oral

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:

- Pemicu  sekresi  insulin  (insulin  secretagogue):    sulfonilurea dan

glinid
- Peningkat  sensitivitas  terhadap  insulin:  metformin  dan

tiazolidindion
- Penghambat glukoneogenesis (metformin)
- Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
- DPPIV inhibitor

Perbandingan Golongan OHO1

Cara kerja Efek Redu Keuntungan Kerugian

utama samping ksi


Sulfonilurea Meningkatkan BB naik, 1,0­2,0%  Sangat efektif Meningkatkan 

sekresi insulin hipoglikemia berat badan, 

hipoglikemia 
Glinid Meningkatkan BB naik, 0,5­1,5% Sangat efektif Meningkatkan berat 

sekresi insulin hipoglikemia badan, 

pemberian3x/hari, 
Metformin Menekan produksi Dispepsia, 1,0­2,0% Tidak ada kaitan  Efek samping

glukosa hati &  diare,  dengan berat  gastrointestinal, 

menambah  asidosis  badan kontraindikasi pada

sensitifitas  laktat insufisiensi renal

terhadap insulin
Penghambat Menghambat Flatulens,  0.,5­0,8% Tidak ada kaitan Sering menimbulkan

glukosidase­  absorpsi glukosa tinja lembek dengan berat badan efek

alfa  gastrointestinal, 
Tiazolidindion Menambah Edema 0,5­1,4% Memperbaiki  Retensi cairan, 

sensitifitas  profil lipid  CHF,fraktur, 

terhadap insulin (pioglitazon),  berpotensi 

berpotensi  menimbulkan infark
DPP­4 Meningkatkan Sebah, muntah0,5­0,8% Tidak ada kaitan Penggunaan 

inhibitor sekresi insulin,  dengan berat badan jangka

Inkretin menghambat 
Meningkatkan Sebah, muntah 0,5­ Penurunan berat  panjang tidak 
Injeksi 2x/hari,

analog/mimetik sekresi insulin,  1,0% badan penggunaan jangka 

menghambat  panjang tidak 
Insulin Menekan Hipoglikemi,  1,5­ Dosis tidak  Injeksi 1­4 kali/hari,

produksi glukosa  BB naik 3,5% terbatas, harus

hati, stimulasi  memperbaiki  dimonitor, 

pemanfaatan  profil lipid dan  meningkatkan berat 


Komplikasi

 Penyulit akut1

1.  Ketoasidosis diabetik (KAD)

Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan

kadar  glukosa  darah  yang  tinggi  (300600  mg/dL), disertai  dengan  adanya

tanda  dan  gejala  asidosis  dan  plasma  keton(+)  kuat.  Osmolaritas  plasma

meningkat (300320 mOs/ mL) dan terjadi peningkatan anion gap.
2.  Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)

Pada  keadaan  ini  terjadi  peningkatan  glukosa  darah  sangat tinggi  (600­

1200  mg/dL),  tanpa  tanda  dan  gejala  asidosis,  os  molaritas  plasma  sangat

meningkat  (330380  mOs/mL),  plasma  keton  (+/),  anion  gap  normal  atau

sedikit meningkat.

3.  Hipoglikemia

Hipoglikemia dan cara mengatasinya:

q    Hipoglikemia  ditandai  dengan  menurunnya  kadar  glukosa darah < 60

mg/dL

q  Bila   terdapat  penurunan   kesadaran   pada   penyandang diabetes harus

selalu  dipikirkan  kemungkinan  terjadinya  hipoglikemia.  Hipoglikemia

paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. 

q    Gejala  hipoglikemia  terdiri  dari  gejala  adrenergik  (berdebar­  debar,

banyak  keringat,  gemetar,  dan  rasa  lapar)  dan  gejala  neuro­glikopenik

(pusing, gelisah, kesadaran menurun sam­ pai koma).

q    Hipoglikemia  harus  segera  mendapatkan  pengelolaan  yang  memadai.

Bagi  pasien  dengan  kesadaran  yang  masih  baik,  diberikan  makanan

yang mengandung  karbohidrat  atau mi­ numan  yang mengandung  gula

berkalori  atau  glukosa  15­20  gram  melalui  intra  vena.  Perlu  dilakukan

pemeriksaan  ulang  glukosa  darah  15  menit  setelah  pemberian  glukosa.

Gluk­ agon diberikan pada pasien dengan hipoglikemia berat.
q    Untuk  penyandang  diabetes  yang  tidak  sadar,  sementara  dapat

diberikan  glukosa  40%  intravena  terlebih  dahulu  sebagai  tindakan

darurat, sebelum dapat dipastikan penyebab menurunnya kesadaran.

 Penyulit menahun1

1. Makroangiopati

q   Pembuluh darah jantung

q   Pembuluh  darah  tepi:  penyakit  arteri  perifer  sering  terjadi  pada

penyandang  diabetes.  Biasanya  terjadi  dengan  ge­  jala  tipikal

claudicatio intermittent, meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus

iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.

q   Pembuluh darah otak

2.   Mikroangiopati:

q   Retinopati diabetik

q   Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan me­ ngurangi risiko

dan memberatnya retinopati. Terapi aspi­ rin tidak mencegah timbulnya

retinopati

q   Nefropati diabetik

q     Kendali  glukosa  dan  tekanan  darah  yang  baik  akan  mengurangi  risiko

nefropati

q     Pembatasan  asupan  protein  dalam  diet  (0,8  g/kgBB)  juga  akan

mengurangi risiko terjadinya nefropati

3.  Neuropati

q    Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer,

berupa  hilangnya  sensasi  distal.  Berisiko  tinggi  untuk  terjadinya  ulkus

kaki dan amputasi.
q    Gejala  yang  sering  dirasakan  kaki  terasa  terbakar  dan bergetar

sendiri, dan lebih terasa sakit di malam hari.

q     Setelah  diagnosis  DM  ditegakkan,  pada  setiap  pasien  perlu dilakukan

skrining   untuk   mendeteksi   adanya   polineuropati   distal   dengan

pemeriksaan   neurologi   sederhana,   dengan   monofilamen   10   gram

sedikitnya setiap tahun.

q    Untuk  mengurangi  rasa  sakit  dapat  diberikan  duloxetine,  antidepresan

trisiklik, atau gabapentin.

q    Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati peri­ fer harus

diberikan  edukasi  perawatan  kaki untuk mengu­ rangi risiko ulkus kaki.

Untuk   penatalaksanaan  penyulit  ini   seringkali  diperlukan  kerja  sama

dengan  bidang/disiplin ilmu lain 

Pencegahan

1) Pencegahan Primer

Sasaran pencegahan primer:

Pencegahan  primer  adalah  upaya  yang  ditujukan  pada  kelompok  yang

memiliki  faktor  risiko,  yakni  mereka  yang  belum  terkena,  tetapi  berpotensi

untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa.

Materi pencegahan primer

Materi  pencegahan  primer  terdiri  dari  tindakan  penyuluhan  dan

pengeloaan  yang  ditujukan  untuk  kelompok  masyarakat  yang  mempunyai

risiko  tinggi  dan  intoleransi  glukosa.Skema  tentang  alur  pencegahan  primer

dapat dilihat pada bagan­4.

Materi penyuluhan meliputi antara lain:
1.  Program   penurunan   berat   badan.   Pada   seseorang   yang  mempunyai

risiko  diabetes  dan  mempunyai  berat  badan  lebih,  penurunan  berat  badan

merupakan  cara  utama  untuk  menurunkan  risiko  terkena  DM  tipe  2 atau

intoleransi  glukosa.  Beberapa  penelitian  menunjukkan  penurunan  berat

badan

5­10% dapat mencegah atau memperlambat munculnya DM

tipe 2.

2.  Diet sehat.

v   Dianjurkan diberikan pada setiap orang yang mempunyai risiko.

v   Jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai berat ba­ dan ideal.

v   Karbohidrat  kompleks  merupakan  pilihan  dan  diberikan  secara  terbagi

dan seimbang sehingga tidak menimbulkan puncak (peak) glukosa darah

yang tinggi setelah makan.

v   Mengandung sedikit lemak jenuh, dan tinggi serat larut.

3.  Latihan jasmani.

v   Latihan  jasmani  teratur  dapat  memperbaiki  kendali  glukosa  darah,

mempertahankan  atau  menurunkan  berat  badan,  serta  dapat

meningkatkan kadar kolesterol HDL.

v   Latihan jasmani yang dianjurkan:

v   Dikerjakan sedikitnya selama 150 menit/minggu dengan latihan aerobik

sedang (mencapai 50­70% denyut jantung

maksimal),  atau  90  menit/minggu  dengan  latihan  aerobik  berat

(mencapai  denyutjantung>70%  maksimal).  Latihan  jasmani  dibagi

menjadi 3­4 x aktivitas/minggu.

4.  Menghentikan merokok.
Merokok  merupakan  salah  satu  risiko  timbulnya  gangguan

kardiovaskular.  Meskipun  merokok  tidak  berkaitan  langsung  dengan

timbulnya  intoleransi  glukosa,  tetapi  merokok  dapat  memperberat

komplikasi kardiovaskular dari intoleransi glukosa dan DM tipe2

2) Pencegahan Sekunder

Pencegahan  sekunder  adalah  upaya  mencegah  atau  meng­  hambat

timbulnya  penyulit  pada  pasien  yang  telah menderita  DM.  Dilakukan dengan

pemberian  pengobatan  yang  cukup  dan  tindakan   deteksi   dini   penyulit   sejak

awal pengelolaan penyakit DM. Dalam upaya pencegahan  sekunder program

penyuluhan  memegang  peran  penting  untuk  meningkatkan  kepatuhan pasien

dalam menjalani program pengobatan dan dalam menuju perilaku sehat.

Untuk  pencegahan  sekunder  ditujukan  terutama  pada  pasien  baru.

Penyuluhan dilakukan sejak pertemuan pertama dan perlu selalu diulang pada

setiap  kesempatan  pertemuan  berikutnya.  Materi  penyuluhan  pada  tingkat

pertama dan lan­ jutan dapat dilihat pada materi edukasi pada bab II.3.1 dan

materi tentang edukasi tingkat lanjut, pada bab II.4.2.

Salah  satu  penyulit  DM  yang  sering  terjadi  adalah  penya­

kit  kardiovaskular,  yang  merupakan  penyebab  utama  kematian  pada

penyandang  diabetes.  Selain  pengobatan  terhadap  ting­  ginya  kadar  glukosa

darah, pengendalian berat badan, tekanan darah, profil lipid dalam darah serta

pemberian  antiplatelet  da­  pat  menurunkan  risiko  timbulnya  kelainan

kardiovaskular pada penyandang diabetes.

3) Pencegahan Tersier
q    Pencegahan   tersier   ditujukan   pada   kelompok   penyan­ dang

diabetes  yang  telah  mengalami  penyulit  dalam  upaya  mencegah

terjadinya kecacatan lebih lanjut

q    Upaya  rehabilitasi  pada  pasien  dilakukan  sedini  mungkin,

sebelum kecacatan menetap. Sebagai contoh aspirin dosis rendah (80­325

mg/hari) dapat diberikan secara rutin bagi penyandang   diabetes   yang

sudah   mempunyai   penyulit

makroangiopati.

q    Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada

pasien  dan  keluarga.  Materi  penyuluhan  termasuk upaya  rehabilitasi

yang  dapat  dilakukan  untuk  mencapai kualitas hidup yang optimal.

Pencegahan  tersier  memerlukan  pelayanan  kesehatan  holistik  dan

terintegrasi  antar  disiplin  yang  terkait,  terutama  di  rumah  sakit  rujukan.

Kolaborasi  yang  baik  antar  para  ahli  di  berbagai disiplin  (jantung  dan  ginjal,

mata,  bedah  ortopedi,  bedah  vaskular,  radiologi,  rehabilitasi  medis,  gizi,

podiatris, dll.) sangat diperlu kan  dalam  menunjang keberhasilan pencegahan

tersier.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengendalian dan


Pencegahan DM Tipe II. Jakarta: Perkeni
2. Suli, Seliati, Ed. 2014. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing
3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011. Penatalaksanaan Diabetes
Melitus Terpadu, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FK UI
4. Gleadle J. At a glance. 2007. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Erlangga
5. Chris Tanto, Ed. 2014. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi IV. Jakarta: Media
Aescalapius
6. Faqih, M. daeng, ed. 2013. Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer, edisi 1. Jakarta: IDI

BAB V
PEMBAHASAN

Pasien datang dengan riwayat DM terkontrol. Gejala yang saat ini pasien keluhkan adalah
nyeri pada kedua lutut. Pasien juga mengeluhkan akhir-akhir ini sering merasa haus/polidipsi dan
nafsu makan pasien meningkat/polifagia. Pasien juga sering terbangun buang air kecil pada
malam hari. Keluhan yang dialami pasien ini menunjukkan gejala klasik dari DM.
Pasien terdiagnosis DM sejak 1 bulan yang lalu dan pasien telah menjalani pengobatan
monoterapi dengan mengonsumsi metformin. Riwayat kebiasaan pasien ini sering mengonsumsi
makanan dan minuman manis sehingga diberikan edukasi mengenai gaya hidup sehat (GHS).
Riwayat keluarga dengan penyakit yang sama tidak ada, IMT pasien : 20,39 kg/m2 (Normal).
Hasil lab menunjukkan GDS pasien 225 mg/dl.
Pemeriksaan  glukosa plasma  sewaktu  >200  mg/dl dengan keluhan sesuai gejala klasik

DM  sudah  cukup  untuk  menegakkan  diagnosis  DM. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai
faktor resiko yang diderita pasien diantaranya faktor strees, diet tidak sehat rendah serat tinggi
glukosa, dll.

Pengobatan yag dapat diberikan sebagai berikut:


1. Metformin 1x500 mg/hari (obat anti hiperglikemik dengan cara menghambat
gluconeogenesis dan meningkatkan sensitivitas terhadap insulin)
2. Meloxicam 7,5 mg 2x1 ( anti nyeri )
3. Vitamin B6 10 mg 3x1 (pyridoxine)

Anda mungkin juga menyukai