Anda di halaman 1dari 8

RUMPHIUS: CENDEKIAWAN BUTA DARI AMBON

O
rang-orang Belanda yang mulai berdatangan ke Nusantara pada awal abad
17, umumnya adalah pelaut-pedagang. Perhatian mereka terhadap laut lebih
diutamakan untuk mencari jalur-jalur baru dan untuk menjamin keselamatan
pelayaran untuk kepentingan perdagangan mereka. Belum ada perhatian terhadap sumberdaya
yang terkandung dalam laut itu sendiri. Lama kelamaan, mulai timbul minat pada beberapa
kalangan untuk mengoleksi biota laut karena ternyata biota laut yang ada di Nusantara sangat
beraneka ragam dan indah, jauh berbeda dari apa yang ada di negeri mereka di Eropa. Kegiatan-
kegiatan semacam ini dilakukan oleh para pehobi secara amatiran. Perhatian akan aspek
ilmiahnya baru dimulai oleh Rumphius di Ambon, sekitar petengahan abad 17.

Gambar 1. Kiri: Georgius Everhardus Rumphius. Kanan: Salah satu mahakarya


Rumphius, D’Amboinsche Rariteitkamer (1750).

1
Nama aslinya adalah Georg Eberhard Rumpf, tetapi kelak ia lebih dikenal dengan nama
versi Latinnya, Georgius Everhardus Rumphius, atau disingkat Rumphius. Ia lahir di
Wölfersheim, tak jauh dari Frankfurt (Jerman), pada tahun 1627 dari ayah Jerman dan ibu
Belanda. Ayahnya bekerja sebagai seorang insinyur, dan karenanya Rumphius muda
mendapatkan pendidikan yang cukup baik. Pada usia 18 tahun ia direkrut oleh Republik
Venesia. Setelah itu ia ikut kapal di Holland, tetapi ternyata ia dan kawan-kawan sekapal
ditipu. Mereka ternyata dikontrakkan ke West Indische-Compagnie (WIC) Belanda, yang
sedang menuju ke koloni Belanda di Pernambuco, di bagian timur-laut Brazil. Entah apa yang
terjadi, ia tak pernah sampai ke sana, dan kemudian ia kembali ke kampungnya setelah
beberapa saat berdiam di Portugal.
Pada tahun 1652 ia masuk dinas militer Belanda dalam Vereenigde Oost Indische
Compagnie (VOC/ Perserikatan Dagang Hindia Timur), dan tahun itu juga ia diberangkatkan ke
ibu kota kolonial Belanda di Batavia (sekarang Jakarta). Dari sini ia kemudian ditugaskan ke
Ambon, dan ternyata ia tak pernah kembali lagi hingga akhir hayatnya. Alam tropika di
Maluku, yang begitu kaya dan subur, ternyata banyak menyedot perhatian prajurit belia itu. Ia
menikahi seorang gadis Ambon, Susanna, dan segera mempelajari vegetasi dan kehidupan
hewan di sekitarnya yang mempunyai keanekaragaman hayati yang begitu kaya. VOC
tampaknya melihat kemampuan istimewanya disini, hingga akhirnya ia segera dibebaskan dari
dinas militer, dan diberi tugas-tugas sipil dengan jabatan sebagai Juru Beli (Koopman).
Meskipun tugas-tugas resminya cukup banyak, ia tetap melanjutkan pengkajian-pengkajian
alam, dengan minat utama pada botani dan zoologi.
Selama kruang lebih 50 tahun Rumphius tinggal di Ambon, ia telah menghasilkan
beberapa karya yang mengagumkan. Karya monumentalnya adalah Hebarium Amboinense,
yang berupa perian atau deskripsi mengenai tumbuhan, lingkungannya dan juga kegunaannya
untuk obat-obatan, baik itu tumbuhan yang hidup di darat maupun yang di laut. Salah satu
lukisan tertua mengenai alga laut dari perairan Nusantara tercantum dalam buku itu.
Mahakaryanya yang lain yang juga sangat tenar adalah D’Amboinsche Rariteikamer, yang
menguraikan tentang fauna laut Maluku, batuan fossil dan juga objek-objek pra-sejarah.
Kedua mahakaryanya itu dilengkapi dengan ilustrasi yang indah disertai detail yang
sangat akurat, hingga sampai kini pun mahakaryanya itu banyak menjadi sumber rujukan.
Naskahnya yang ketiga adalah Amboinsche Dierboek yang mengenai kehidupan satwa, tetapi
sayang naskah itu habis dilalap api ketika terjadi kebakaran besar yang melanda Ambon tanggal
11 Januaari 1670. Dengan peristiwa kebakaran itu boleh dikatakan seluruh karyanya sebelum
tahun 1670 ludes.

2
Rumphius sendiri tak pernah melihat hasil akhir karya-karya besarnya itu. Pada usia
setengah baya ia menderia penyakit mata glaucoma, dan akhirnya menjadi buta total tahun
1674. Musibah ini disusul kemudian dengan meninggalnya istri dan seorang putrinya yang
direnggut bencana gempa bumi dahsyat disertai tsunami yang melanda Ambon di tahun 1674.
Untuk beberapa waktu semangat hidupnya mengendor. Namun berangsur-angsur ia mulai pulih,
gairah kerjanya kembali menggelora dengan daya tahan yang luar biasa untuk meneruskan
karya besarnya.

Gambar 2. Petikan ilustrasi dari karya Rumphius. Kiri: Beberapa jenis siput dari buku
D’Amboinsche Rariteitkamer. Kanan: Rumput laut (alga) dari buku Herbarium Amboinense.

Kebutaannya tidak menghalanginya untuk meneruskan kerjanya. Ia dibantu dengan mata


dan tangan orang lain yang dengan setia mendampinginya menyelesaikan karya-karya besarnya.
Seorang anak laki-lakinya dan beberapa tenaga lain direkrut oleh VOC untuk membantunya.
Oleh sebab itu ia sering dijuluki sebagai “si buta yang bisa melihat dari Ambon” (The blind seer
of Ambon). Kurang lebih 30 tahun dari bagian terakhir masa hidupnya dijalaninya dalam “gelap
gulita” sampai akhir hayatnya di tahun 1702.

3
Karya-karya agungnya baru diterbitkan setelah ia wafat. Karyanya D’Amboinsche
Rariteitkamer diterbitkan pertama kali tahun 1705 (edisi ke-2 terbit tahun 1740 dan edisi ke-3
tahun 1741), sedangkan karyanya yang paling agung Herbarium Amboinense, baru diterbitkan
hampir 40 tahun kemudian setelah kematiannya, antara tahun 1741-1750. Herbarium
Amboinense terbit dalam enam volume tebal, dengan total 1.660 halaman, hampir 700 gambar
dan perian (deskripsi) tentang sekitar 1.200 jenis tumbuhan.
Riwayat perjalanan naskah Herbarium Amboinense ini juga sangat dramatis. Mula-
mula naskah itu dikirim dari Ambon ke Batavia (Jakarta) tahun 1690 untuk selanjutnya
diteruskan ke negeri Belanda untuk diterbitkan disana. Mengingat perjalanan sangat jauh yang
harus ditempuh yang tentu penuh risiko, maka Gubernur Jenderal Camphuys di Batavia segera
memerintahkan untuk membuat dulu duplikatnya atau salinannya untuk ditinggalkan di Batavia.
Benar saja, bahwa naskah aslinya yang dibawa oleh kapal Waterland itu tak pernah sampai ke
Belanda. Di tengah jalan kapal itu dihadang dalam satu pertempuran laut dengan Perancis
tanggal 12 September 1692, hingga kapal itu tenggelam beserta seluruh isinya. Naskah asli
pun hilang. Demikianlah, upaya dimulai kembali dari awal berdasarkan duplikat naskah yang
masih ada di Batavia. Tanggal 8 Februari 1696 naskah duplikat dikirim lagi dengan kapal Sir
Janslandt, dan dapat tiba dengan selamat di Belanda.
Tetapi setelah naskah ini tiba di Belanda, para penentu kebijakan VOC disana (Heeren
Zeventien/ Dewan Tujuhbelas) tidak serta merta menyetujui untuk menerbitkan naskah itu.
Banyak pertimbangannya, antara lain karena naskah itu beisikan hal-hal yang dinilai sensitif
yang dapat mempengaruhi usaha perdagangan mereka. Bahkan informasi-informasi yang dinilai
semestinya dirahasiakan dari pesaing-pesaing dagang mereka dari bangsa lain. Hampir 40 tahun
setelah kematian Rumphius barulah karya-karya agungnya itu disetujui untuk diterbitkan.
Pada awalnya, Rumphius menulis naskahnya dalam bahasa Latin dengan judul
Herbarium Amboinense, tetapi kemudian diterjemahkan pula ke dalam bahasa Belanda menjadi
Amboinsche Kruidboek. Buku ini memberikan deskripsi tumbuh-tumbuhan yang umum
dijumpai di Ambon dan pulau-pulau sekitarnya, baik itu berupa pohon, perdu, semak, maupun
tumbuhan air. Deskripsinya mencakup nama-nama jenis tumbuhan dalam berbagai bahasa
(Latin, Belanda, Melayu, dan bahasa-bahasa lokal di Maluku), habitatnya, pemanfaatannya dan
juga hewan dan serangga yang berasosiasi dengannya. Karya besar Rumphius itu terbit sebelum
Linnaeus dengan karyanya Species plantarum (1753) dijadikan sebagai titik referensi awal
dalam sistem penamaan atau nomenklatur tumbuhan yang kita kenal sekarang ini. Oleh karena
itu nama-nama ilmiah yang diberikan Rumphius kemudian banyak perlu direvisi.

4
Rumphius juga meggambarkan produk-produk yang dapat dihasilkan dari tumbuhan
tertentu, lokasi dimana bisa dijumpai, dan bagaimana cara membudidayakannya. Selain itu ia
juga memberikan gambaran tentang tumbuhan yang mempunyai kaitan dengan tradisi atau adat
istiadat penduduk setempat.
Mengenai naskah D’Amboinsche Rariteitkamer, Rumphius banyak memberikan
deskripsi mengenai jenis-jenis hewan laut yang terdapat di sekitar Ambon seperti udang,
kepiting, kerang, siput, bintang laut, bulu babi (sea urchin), karang dan lainnya. Selain itu, juga
mencakup beberapa hal mengenai mineral dan peninggalan pra-sejarah yang ditemukannya di
sekitar Ambon. Naskahnya kemudian diterbitkan oleh François Halma di Amsterdam tahun
1705. Rumphius mampu menuliskan sesuatu dengan gaya yang memukau misalnya dalam
menggambarkan kehidupan hewan, sebaran geografinya, pemanfaatannya oleh masyarakat
pribumi, dan sebagainya. Demikian pula bagaimana hewan laut melekat di substratnya, atau
adaptasinya dengan warna sesuai lingkungannya.

Gambar 3. Rumah tinggal Rumphius di Ambon, dipotret sekitar tahun 1910.


(id.wikipedia.org)

Ia juga menggambarkan kehidupan cacing yang disebut “cacing wawo” (Lycidice oele),
yang siklus hidupnya sampai sekarang pun masih diselimuti misteri. Cacing laut ini muncul
hanya sekali setahun dalam populasi yang luar biasa banyaknya dan terjadi hanya pada hari
ketiga atau keempat setelah bulan purnama di bulan Februari atau Maret. Munculnya dimulai
setelah matahari terbenam sampai keesokan harinya setelah matahari terbit. Setelah itu cacing
ini pun lenyap dan baru akan muncul kembali tahun berikutnya dalam siklus yang sama. Pada

5
saat itu penduduk setempat memanen cacing itu secara besar-besaran yang merupakan bahan
makanan istimewa. Bagaimana siklus itu bisa terjadi hanya sekali dalam setahun setelah bulan
purnama merupakan pertanyaan yang hingga sekarang pun belum dapat terungkap dengan jelas.
Selain mengenai hewan laut, Rumphius juga mengungkapkan beberapa hal mengenai
mineral, geologi dan objek-objek pra-sejarah secara singkat. Menurut seorang tokoh yang tenar
dalam arkeologi Nusantara, Heine-Geldern (1945), Rumphius adalah ilmuwan Eropa pertama
yang mempunyai perhatian akan masalah prasejarah di negeri ini. Dalam buku D’Amboinsche
Raiteitkamer, Rumphius memberikan tempat satu bab khusus untuk membahas kapak batu dan
satu bab lainnya untuk kapak perunggu dari zaman pra-sejarah.

Gambar 4. Kiri: Para pejabat Hindia Belanda meletakkan karangan bunga di Monumen
Rumphius, sekitar tahun 1930. Monumen ini kemudian hancur dilanda bom dalam Perang
Dunia II. Kanan: Monumen Rumphius dibangun kembali tahun 1996 dan direlokasi di halaman
SMA Xaverius, Jalan Pattimura, Ambon.

Hanya ada satu naskah Rumphius yang diterbitkan ketika ia masih hidup, yakni
laporannya yang berjudul “Waerachtigh Verhael van der Schierlijke Aerdbevinge” (Kisah
Nyata tentang Gempa Bumi yang Dahsyat), yang dicetak tahun 1675. Laporan itu menguraikan
secara rinci peristiwa gempa bumi dahsyat disertai tsunami yang menghantam Ambon dan
sekitarnya pada tanggal 17 Februari 1674 yang merenggut korban lebih 2.200 jiwa. Bencana ini
dimulai pada malam hari ketika masyarakat Cina di Ambon sedang ramai merayakan hari raya
mereka. Dilaporkannya bumi bergerak bagai berayun-ayun, lonceng gereja berdentang sendiri,
rumah-rumah runtuh, bukit longsor, tanah merekah lebar, jembatan runtuh, banjir dimana-mana,
laut pun mengering kemudian disusul gelombang dahsyat menghantam desa-desa di tepi pantai,
mayat-mayat bergelimpangan dimana-mana, manusia yang panik dan tak berdaya. Ini

6
merupakan laporan tertulis tertua mengenai gempa dan tsunami di Indonesia. Bencana itu juga
mengakibatkan Rumphius kehilangan istri dan seorang putrinya yang tertimpa reruntuhan
dinding yang roboh.
Menjelang usianya yang semakin senja, dari rumahnya di Pulau Ambon, ia dengan
gairah melakukan banyak korespondensi dengan berbagai tokoh-tokoh terkemuka, baik di Asia
maupun di Eropa. Ia pun menjadi cukup tenar dan akhirnya diangkat sebagai anggota Academia
Naturae Curiosorum di Vienna tahun 1681. Akademi ini memberikan gelar penghargaan
Plinius Indicus kepadanya, yang sangat dibanggakan olehnya. Ia akhirnya berpulang pada
tanggal 15 Juni 1702 dalam usia 75 tahun.
Rumphius memang lahir sebagai orang Jerman, kemudian menjadi warga Belanda, dan
setelah tinggal selama 50 tahun sampai akhir hayatnya menyatu dengan alam dan lingkungan
Ambon, boleh dikatakan ia pun sudah menjadi orang Ambon. Untuk mengenang jasanya
Pemerintah Kolonial Belanda kemudian mendirikan sebuah monumen yang dikenal dengan
Monumen Rumphius. Monumen Rumphius ini kemudian hancur dilanda bom dalam Perang
Dunia II yang lalu. Di kemudian hari monumen Rumphius dibangun kembali dan direlokasi di
halaman Sekolah SMA Xaverius, Jalan Pattimura, Ambon. Monumen Rumphius yang baru ini
diresmikan oleh Walikota Madya Ambon, Johanes Sudiono, tanggal 22 April 1996.
Di samping itu, dapat dicatat bahwa enam mahakarya Rumphius yang sangat bersejarah
itu kini terdapat pula dalam koleksi Perpustakaan Rumphius yang terletak di Jalan Pattimura, di
samping Katedral, Jalan Pattimura, Ambon,

PUSTAKA

Buijze, W. 1998. R. E. Rumphius: Waerachtigh Verhael, van der Schriekelijke


Aerdbevinge.Dutch transcription and Edition (with an English and Indonesian
Translation). Nedelandse Ambassade.
Heine-Geldern, R. von. 1945. Prehistoric research in the Netherlands Indies. In Honig, P. & F.
Andersen (Editors). The Science and Scientist in the Netherlands Indies. The Board for
the Netherlands Indies, Suriname and Curacao. New York: 129-167.
Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta: 356 hlm.
Nontji, A. 2009. Penjelajahan dan Penelitian Laut Nusantara dari Masa ke Masa. Pusat
Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 433 hlm.
Pangemanan, F. H. 2012. Enam mahakarya Rumphius tersimpan di Perpustakaan Rumphius
Ambon. Harian Suara Maluku 24 Februari 2012.

7
Sirks, M. J. 1945. Rumphius, the blind seer of Amboina. In Honig, P. & F. Anderson (Eds.).
Science and Scientists in Netherlands Indies. The Board for the Netherlands Indies,
Surinama and Curacao, New York: 295-308.
van Aken, H. 2005. Dutch oceanographic research in colonial times. Oceanography 18 (4): 30-
41
Veldkamp, J. F. 2011. Georgius Everhardus Rumphius (1627-1702), the blind seer of Ambon.
Garden’s Bulletin Sngapore 63 (1&2): 1-15
Zanefeld, J. S. 1950. A review of three centuries of physiological work and collectors in
Indonesia (1650 – 1959). Organization of Scientific Research 21: 1-16.

Anda mungkin juga menyukai