Anda di halaman 1dari 11

MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 13, NO.

1, JULI 2009: 37-47 37

POLA PERILAKU KEBERSIHAN:


STUDI PSIKOLOGI LINGKUNGAN
TENTANG PENANGGULANGAN SAMPAH PERKOTAAN
Istiqomah Wibowo

Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

E-mail: istiqomahwibowo@yahoo.com; istiwb@ui.ac.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran pola perilaku kebersihan masyarakat perkotaan dalam kondisi
lingkungan bersih dan kotor. Gambaran pola perilaku kebersihan tersebut bermanfaat dalam memberikan sumbangan
teoritik berupa model yang dapat menjelaskan tentang pola perilaku kebersihan di suatu wilayah, yang mengarah pada
munculnya kondisi lingkungan yang bersih atau kotor. Faktor-faktor psikologis yang berasal dari individu pelaku dan
faktor sosiofisik yang terkait dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan intervensi secara tepat guna menciptakan
lingkungan hunian manusia yang bersih dan sehat. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif
dimana peneliti bertindak sebagai primary instrument, mengamati, mengawasi, dan terlibat langsung dalam peristiwa
atau kejadian-kejadian yang terjadi sehari-hari di perkotaan. Pengamatan dilakukan di 8 (delapan) lokasi. Data yang
diperoleh kemudian dibandingkan dengan kategori-kategori yang ada dan melakukan theoretical sampling dari
kelompok-kelompok yang berbeda guna memaksimalkan perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan informasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan penghuni secara kolektif terhadap sampah yang terjadi secara terus
menerus dari hari ke hari merupakan proses yang membentuk pola perilaku kebersihan yang relatif menetap. Rangkaian
tindakan kolektif yang selaras dengan motif bersama (memelihara kebersihan lingkungan) yang berdampak lingkungan
bersih, membentuk pola perilaku kebersihan ”Y”. Dengan demikian program kebersihan dapat dinyatakan sebagai
pembentukan pola perilaku kebersihan ”Y”. Sebaliknya rangkaian tindakan kolektif yang tidak selaras dengan motif
bersama dan berdampak lingkungan kotor membentuk pola perilaku yang dinyatakan sebagai pola perilaku kebersihan
”X”.

The Pattern of Cleanliness:


A Study of Environmental Psychology of Urban Waste Management

Abstract

The purpose of this study was to obtain a theoretical model on cleanliness behavior of the urban society. This model
was built based on the pattern of cleanliness behavior which was studied by observing the psychological factors within
the individual and the socio-physical factors related to the participants. The indicator used to measure the cleanliness of
the environment was the quantity of garbage scattered around the observed location. By living in the society, the
researchers could observe and investigate the occurance of cleanliness behavior in the urban region. Direct observation
was conducted in 4 (four) clean and 4 (four) dirty group of locations. Qualitative methods were used to process the
information from those groups, in order to get significant information regarding the differences and similarities from
those locations. The result showed that society’s day-to-day collective action toward garbage created a pattern of
cleanliness behavior that is relatively permanent. A series of collective actions which were not in accordance with the
communal motive formed cleanliness behavior pattern “X” and created a condition of dirty environment. Meanwhile,
the other series of collective actions which were in accordance with the communal motives formed cleanliness behavior
pattern “Y”. The collective efforts of the society in a particular region to form cleanliness behavioral pattern “Y” is
known as Program Kebersihan (Cleanliness Program).

Keywords: behavior setting, cause maps, cleanliness behavior, environmental psychology

37
38 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 13, NO. 1, JULI 2009: 37-47

1. Pendahuluan perilaku/tindakan yang dilakukan orang terhadap


sampah, mencakup perilaku yang bertanggung jawab
1.1 Latar Belakang terhadap lingkungan seperti tindakan mengotori
Pendekatan psikologi lingkungan muncul sebagai protes lingkungan hingga tindakan-tindakan yang bertanggung
terhadap pendekatan yang hanya memperhatikan faktor- jawab seperti tindakan-tindakan memelihara dan
faktor individual sebagai penyebab dari munculnya membersihkan lingkungan.
masalah-masalah sosial. Selama tahun 1970-an dan awal
tahun 1980-an, kontekstualisme makin diperhatikan di Hines, Hungerford dan Tomera (1986) melakukan meta
beberapa bidang penelitian psikologi. Para psikolog di analisis terhadap penelitian-penelitian yang berkenaan
semua bidang pemusatan utama psikologi melihat dengan perilaku yang bertanggung jawab terhadap
adanya kelemahan dari penelitian-penelitian yang tidak lingkungan, mendapatkan sejumlah variabel yang
memperhatikan konteks, dan menyerukan perlunya berasosiasi dengan perilaku yang dimaksud, yaitu
penelitian perilaku yang lebih menggunakan pendekatan pengetahuan tentang issues, pengetahuan tentang
yang holistik dan memakai dasar ekologis (Stokols, strategi tindakan, locus of control, sikap, komitmen
1987 dalam Stokols & Altman, 1987). verbal dan rasa tanggung jawab yang dimiliki
seseorang.
Psikologi lingkungan adalah bidang psikologi yang
menggabung-gabungkan dan menganalis transaksi serta Menurut model tersebut intensi untuk bertindak
tata hubungan dari pengalaman serta tindakan manusia ditentukan oleh faktor-faktor internal pelaku. Di lain
dengan aspek-aspek dari lingkungan sosiofisiknya yang pihak, perilaku yang bertanggung jawab terhadap
terkait. lingkungan selain ditentukan oleh faktor-faktor internal,
juga tidak terlepas dari faktor situasional (faktor
Penanggulangan Sampah Perkotaan sebagai Objek eksternal). Perilaku tidak terbentuk dengan sendirinya
Studi Psikologi Lingkungan. Kebersihan lingkungan tapi terbentuk melalui proses pembelajaran. Sebagai
merupakan salah satu tolok ukur kualitas hidup contoh, untuk menyapu jalanan diperlukan keterampilan
masyarakat. Masyarakat yang telah mementingkan menyapu dan pengetahuan tentang kebersihan.
kebersihan lingkungan dipandang sebagai masyarakat Pengetahuan tentang masalah lingkungan dan
yang kualitas hidupnya lebih tinggi dibandingkan pengetahuan tentang berbagai tindakan yang tepat untuk
masyarakat yang belum mementingkan kebersihan. mengatasinya menjadi salah satu prasyarat bagi perilaku
Salah satu aspek yang dapat dijadikan indikator bertanggungjawab. Memiliki pengetahuan dan
kebersihan lingkungan kota adalah sampah. Bersih atau kemampuan saja tidak cukup, perlu disertai hasrat atau
kotornya suatu lingkungan tercipta melalui tindakan- keinginan untuk mewujudkan perbuatan yang dimaksud.
tindakan manusia dalam mengelola dan menanggulangi Hasrat atau keinginan seseorang itu sendiri sangat
sampah yang mereka hasilkan. dipengaruhi oleh faktor-faktor kepribadian, yaitu sikap,
locus of control dan rasa tanggung jawab.
Perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab
terhadap sampah dapat menyebabkan munculnya Masih menurut model di atas, individu yang memiliki
masalah dan kerusakan lingkungan. Bila perilaku pengetahuan dan keterampilan dan mempunyai sikap
manusia semata-mata mengarah lebih pada kepentingan positif terhadap lingkungan serta terhadap perilaku pro-
pribadinya, dan kurang atau tidak mempertimbangkan lingkungan, biasanya memiliki intensi untuk
kepentingan umum/kepentingan bersama, maka dapat mewujudkan tindakan-tindakan perilaku bertanggung
diprediksi bahwa daya dukung lingkungan alam jawab. Namun faktor-faktor situasional, seperti keadaan
semakin terkuras habis dan akibatnya kerugian dan ekonomi, tekanan sosial dan peluang yang tersedia,
kerusakan lingkungan tak dapat dihindarkan lagi. Oleh dapat menghambat atau memperkuat kemungkinan
karena itu, sampah dan benda-benda buangan yang munculnya perilaku yang dimaksud. Perilaku
banyak terdapat di lingkungan kehidupan kita perlu bertanggungjawab merupakan hasil dari transaksi terus-
ditanggapi secara serius dan perlu dicari cara yang tepat menerus antara faktor internal individu dengan faktor
untuk menanggulanginya.Terkait dengan pendekatan situasional.
Psikologi Lingkungan yang menganalisis perilaku
manusia dengan aspek-aspek lingkungan sosiofisiknya, Sampah sebagai stimulus (S) akan menimbulkan respon/
maka untuk keperluan di atas psikologi lingkungan perilaku (R). Hubungan langsung antara S dan R, dapat
merupakan pendekatan yang paling tepat dalam digunakan untuk menjelaskan terbentuknya kebiasaan –
menjelaskan dan menganalisis gejala hubungan/ kebiasaan perilaku sehari-hari. Misalnya, sejak kecil
keterkaitan antara manusia dan masalah lingkungan seorang anak dilatih membuang benda-benda sisa ke
yang ditimbulkannya. keranjang sampah oleh orang tuanya. Pengalaman ini
terjadi berulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan
Perilaku Kebersihan. Perilaku kebersihan yang diteliti yang melekat setelah ia dewasa. Hubungan langsung
adalah berupa rangkaian dari berbagai wujud antara S-R tidak selalu terjadi dan berlaku respon subjek
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 13, NO. 1, JULI 2009: 37-47 39

pada setiap orang. Manusia (O) berada dalam posisi orang yang sama akan membuang tissue serupa dari
berhadapan dengan lingkungan, dan dalam posisi itu (S) mobil ke jalan raya.
dan (O) berinteraksi. Interaksi dilakukan manusia
pertama kali melalui penginderaannya. Setelah itu apa Hingga di sini dapat dimengerti mengapa seseorang
yang diinderakan (persepsi) akan diproses lebih lanjut ketika di Jakarta sering membuang sampah
dalam alam kesadaran (kognisi) dan di sini ikut sembarangan, namun ketika ia berada di Singapura
berpengaruh berbagai faktor yang terdapat dalam perbuatannya terhadap sampah berbeda sekali. Secara
kognisi itu seperti ingatan (memori), minat, sikap, keseluruhan, gambaran perilaku kebersihan yang
motivasi dan inteligensi dari (O). Jadi yang dimaksud ditampilkan orang dalam kehidupan keseharian di
sebagai stimulus (S) adalah obyek benda-benda di perkotaan merupakan hubungan yang saling terkait
lingkungan sebagaimana dipersepsi oleh (O). antara makna subjektif pelaku dengan situasi
Pengalaman seseorang akan berbentuk penilaian lingkungan di sekitarnya (Wibowo, 1993).
terhadap apa yang diinderakan tadi dan atas dasar
penilaian itulah muncul suatu perilaku. Sebagai Melalui pengamatan di wilayah perkotaan maupun
stimulus, kantung plastik bekas bungkus menimbulkan kampung-kampung di pedesaan, kita dengan mudah
respon (R) berlainan. Ada yang langsung membuangnya mendapatkan lokasi-lokasi yang bersih walau memiliki
(tindakan O.1); ada yang menyimpannya untuk sarana kebersihan yang minim atau seadanya.
dimanfaatkan kembali (oleh O.2); dan ada yang Sebaliknya, tidak jarang pula ditemui tempat yang kotor
mengumpulkan untuk kemudian dijual (oleh O.3) walaupun telah tersedia sarana kebersihan yang
.Tampak dalam hal ini berbagai faktor (O) memegang memadai. Dapat dinyatakan bahwa peran perilaku jauh
peranan penting dalam hubungan S-R. Dalam faktor (O) lebih penting dalam memelihara kebersihan lingkungan
berlangsung proses kognisi antara lain kognisi, dibanding persoalan kelengkapan sarana. Tanpa
motivasi, sikap, nilai, emosi dan rasio. Orang dalam hal tindakan nyata, sarana selengkap apa pun tidak akan
ini dipandang sebagai mahluk yang bernalar, memiliki mampu berfungsi untuk mewujudkan kebersihan
alasan-alasan tertentu sebelum bertindak . lingkungan.

Perbuatan seseorang dalam lingkungan fisik tertentu, Masalah-masalah di sekitar perilaku kebersihan bersifat
merupakan proses yang saling terkait dan saling kompleks dan berlangsung dalam berbagai situasi di
pengaruh-mempengaruhi antara 1) (O) sebagai pelaku, wilayah perkotaan, di daerah permukiman, di kawasan
2) wujud perilaku/perbuatan itu sendiri (R), dan 3) industri dan perkantoran serta di tempat-tempat umum,
lingkungan. Transaksi terjadi antara makna yang sehingga pantas diakui sebagai masalah bersama atau
diberikan (O) terhadap lingkungan. Pada hakekatnya, tanggung jawab setiap orang/penghuni kota. Hal itu
makna ini ditentukan pula oleh niat atau maksud (O). merupakan kombinasi dari bermacam-macam faktor
Transaksi antara (O) dan (R) serta (S) dalam suatu dari berbagai unsur yang terkait. Keterkaitan hubungan
lingkungan yang berlangsung terus menerus dapat antara berbagai unsur memang menentukan pola
menjelaskan mengapa terdapat tindakan-tindakan perilaku kebersihan mereka. Hingga di sini, dapat
khusus pada tempat dan waktu khusus pula. Tindakan diasumsikan bahwa perilaku kebersihan yang dimaksud
tersebut berhubungan dengan berbagai wujud dan adalah tindakan kolektif warga terhadap sampah yang
bentuk yang terdapat di lingkungan, dan dengan makna bertujuan untuk memelihara dan membersihkan
yang diberikan oleh orang yang bersangkutan (O) lingkungan kota. Selanjutnya dapat dibuat dua
terhadap wujud dan bentuk itu. Makna itu sendiri pernyataan tunggal sebagai berikut: (1) Pola perilaku
bergantung pada pengalaman (O) mengenai suatu kebersihan adalah tindakan kolektif terhadap sampah.
situasi/suasana lingkungan. Demikian pula kelayakan (2) Pola perilaku kebersihan bertujuan untuk
suatu lokasi menjadi tempat sampah tergantung dari mewujudkan dan memelihara kebersihan lingkungan.
norma yang diterima dan berlaku di sana. Kedua pernyataan di atas merupakan dasar pemikiran
untuk penyelidikan di lapangan.
Tindakan terhadap sampah bervariasi antar individu dan
tergantung pada tempat dan situasi. Secara psikologis, 1.2 Tujuan studi
orang-orang, benda-benda, serta kejadian-kejadian Tujuan studi untuk dapat memahami gambaran perilaku
bermakna yang terdapat di sekitar individu membangun warga kota yang menghasilkan kondisi lingkungan yang
suasana atau situasi lingkungan di suatu tempat. bersih dan kondisi yang kotor oleh sampah yang
Dibandingkan karakteristik individual, maka situasi dihasilkan mereka.
lingkungan yang dialami langsung lebih berperan
menentukan wujud perilaku/tindakan seseorang 1.3 Manfaat studi
(Wicker, 1987). Artinya, ada kemungkinan bila berada Studi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
di rumahnya sendiri seseorang akan membuang tissue teoritik berupa model yang dapat menjelaskan tentang
bekas pakai pada tempat sampah yang telah tersedia pola perilaku kebersihan di suatu wilayah, yang
namun dalam situasi lain (misalnya dalam perjalanan), mengarah pada munculnya kondisi lingkungan yang
40 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 13, NO. 1, JULI 2009: 37-47

bersih atau kotor. Dengan diketahuinya pola perilaku kebersihan lingkungan berpangkal pada belief yang
kebersihan di suatu lokasi, diharapkan hasil penelitian dianut oleh individu/penghuni tentang bagaimana cara-
ini dapat digunakan sebagai dasar melakukan intervensi cara bertindak terhadap sampah di wilayah tersebut.
secara tepat guna menciptakan lingkungan hunian Kebanyakan belief ini berupa hubungan kausal antara
manusia yang bersih dan sehat. variabel-variabel, dan merupakan bagian penting dari
peta kausal (cause maps) yang digunakan oleh orang-
2. Metode Penelitian orang untuk memahami dan menangani dunia mereka
sehari-hari. Peta kausal adalah representasi kognitif
2.1 Landasan Teori yang menggabung-gabungkan beberapa hal, yakni
Setting-Perilaku (S-P). Menurut Barker (1987), sesuatu yang disadari, kualitas dari satuan itu dan
setting-perilaku (S-P) merupakan sistem sosial dalam keterkaitan antara satuan yang dipersepsi oleh
skala kecil yang komponen-komponennya mencakup seseorang.
orang-orang dan objek benda-benda. Dalam batasan
waktu dan ruang, berbagai komponen dari sistem itu 2.2 Ruang Lingkup Penelitian
berinteraksi secara teratur dengan cara tertentu untuk Perilaku kebersihan mencakup berbagai bentuk
melaksanakan suatu kegiatan. perbuatan/tindakan warga yang dapat kita amati pada
aktivitas sehari-hari mereka di suatu wilayah. Unit
Pola perilaku yang tampil secara teratur dalam batasan perilaku berupa tindakan-tindakan atau perbuatan yang
ruang dan waktu dan yang menjadi penyebab mengarah pada suatum tujuan serta dapat dikenali
keberadaaan suatu kegiatan disebut sebagai program melalui pengamatan langsung terlepas dari isi perbuatan
setting. itu sendiri oleh Wright (1967) disebut dengan ‘episode
perilaku’. Selanjutnya berpedoman pada rumusan
Keberadaan sebuah S-P tergantung pada dinamika Lewin, yakni B = f (P,E), (dimana B adalah behavior, f
internal setting, yaitu tatanan kejadian-kejadian dalam sebagai fungsi, P adalah person dan E adalah
setting yang membentuk program setting dan memenuhi environment, dan melalui catatan serta rekaman
kebutuhan personal penghuninya. Tatanan tersebut pengamatan di berbagai aktivitas di perkotaan,
ditentukan oleh resources (sumber daya) yang terdapat ditemukan oleh Barker dan kawan-kawan (dalam
dalam setting, untuk selanjutnya dalam penulisan ini Schoggen et al. ,1963) bahwa ada sebagian dari episode
disebut sebagai sumber daya setting dan faktor perilaku yang diprakarsai, dipantau dan diakhiri pada
kontekstual yang terkait disebut sebagai konteks setting. lingkungan ekologi (ecological environment, EƐ), dan
sebagian lagi diprakarsai, dipantau dan diakhiri pada
Sumber daya setting mencakup orang-orang, benda- lingkungan psikologi subyek pelaku (EΨ). Episode
benda, informasi, ruang, dan sumber cadangan dapat perilaku merupakan bagian yang berdiri sendiri, yaitu
berupa pekerja, peralatan, keuangan yang terdapat di bagian dari sistem psikologis pelaku (PEΨ). (PEΨ)
dalam S-P. Konteks setting meliputi keadaan sosial terlibat baik dalam episode yang induk acuannya adalah
ekonomi, keadaan geografik, jaringan hubungan dengan EΨ, maupun episode perilaku yang induk acuannya EƐ.
institusi di luar setting dan kebijakan hukum, yang Pada kedua episode tersebut, perilaku ditentukan dalam
secara keseluruhan mempengaruhi keberadaan setting. sistem B = f (PEΨ), tetapi untuk episode EƐ, pada
hakekatnya sistem psikologis sesaat merupakan
Keberadaan S-P dibentuk melalui tahapan waktu. Oleh subordinate untuk mengontrol sistem lingkungan
karena itu kondisi fisik lingkungan bersih atau kotor ekologi, yaitu PEΨ = f (EƐ).
dapat dipandang sebagai kondisi keberadaan S-P yang
dicapai melalui proses/dinamika yang berlangsung Perilaku kebersihan ditampilkan dalam episode tindakan
terus-menerus mengikuti tahapan waktu. Kegiatan- yang induk acuannya adalah EƐ dan EΨ. Tindakan orang
kegiatan kebersihan di suatu wilayah dapat dipandang membuang sampah ke sungai misalnya, merupakan
sebagai proses yang dinamis, merefleksikan episode perilaku yang awalnya mengacu pada
pengorganisasian dan tindakan transaksi terus menerus lingkungan ekologi (EƐ), bahwa aliran sungai dipersepsi
dari para penghuninya. dapat menghanyutkan sampah menjauhi lingkungan
rumah subyek pelaku. Makna yang terkandung pada
Menurut Wicker (1992), dinamika internal setting dapat aliran sungai tadi kemudian mengarahkan tindakan
ditinjau sebagai proses pembentukan consensual berkenaan dengan sampah rumah tangga mereka. Pada
meanings. Consensual meaning yang dimaksud adalah kejadian lain, kemungkinan subjek mempertimbangkan
suatu kesepakatan pemahaman yang dibangun melalui aspek pencemaran sebagai akibat yang akan muncul bila
proses pemberian makna dan transaksi terus menerus sampah dibuang ke sungai. Pertimbangan ini, yaitu
dalam kehidupan keseharian penghuni di wilayah informasi/pengetahuan tentang pencemaran yang sudah
tersebut. Program kebersihan merupakan refleksi dari diyakininya (EΨ), mendorong subyek menuju TPS yang
adanya kesepakatan pemahaman tentang bagaimana letaknya cukup jauh dari tempat tinggal subyek.
kegiatan harus dilakukan bersama. Pemahaman tentang
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 13, NO. 1, JULI 2009: 37-47 41

Tindakan yang muncul dari kesadaran (EΨ) membuang Tabel 1. Tabel Analisis Perilaku Kebersihan pada S-P
sampah langsung ke TPS dapat pula karena
menghindari efek negative dari penumpukan sampah di Setting-Perilaku (S-P)
sekitar lokasi pemukiman mereka. Orang- orang secara Pokok Kajian Kondisi Setting
aktif membentuk lingkungan mereka, dan pada waktu Bersih Kotor
yang sama lingkungan juga membatasi, menghambat, * Sumber Setting
menunjang dan membentuk aktivitas mereka • Orang
(Proshansky, et al., 1974; Canter, 1986). Oleh sebab itu, • Benda-benda & ruang
perilaku kebersihan dalam penelitian ini hendak dilihat • Informasi
sebagai wujud transaksi terus menerus antara orang dan • Cadangan Temuan empirik
lingkungannya, dan bukan hanya sebagai hasil atau lapangan
penentu kondisi lingkungan. * Konteks Setting
• Jaringan kerja
2.3 Metode • Kebijakan pemerintah
Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu untuk
mengkaji pola perilaku kebersihan masyarakat
perkotaan, peneliti merancang penelitian secara
kualitatif. Peneliti bertindak sebagai primary Penentuan Lokasi Pengamatan. Penentuan lokasi
instrument, mengamati dan mengawasi langsung pengamatan berdasarkan tiga kriteria berikut: (1)
peristiwa atau kejadian-kejadian yang terjadi sehari-hari kualitas pemukiman (tinggi-rendah), (2) tata letak
di perkotaan dengan hidup dan melibatkan diri di antara bangunan (teratur-tidak teratur), (3) kondisi kebersihan
mereka (participatory approach). (bersih-kotor).

Hasil studi di lapangan dianalisa dengan: (1) melakukan Batasan ruang tempat di perkotaan yang menjadi
pembandingan konstan antara data dengan kategori- sasaran dalam penelitian ini adalah ruang publik di
kategori yang muncul; dan (2) melakukan theoretical wilayah pemukiman. Ruang publik merupakan bagian
sampling dari kelompok-kelompok yang berbeda dari lingkungan yang berfungsi sebagai lingkungan
(bersih-kotor) guna memaksimalkan perbedaan- tempat tinggal dan berbagai kegiatan yang mendukung
perbedaan dan persamaan-persamaan temuan empirik peri kehidupan dan kehidupan masyarakat perkotaan.
lapangan (Glaser & Strauss, 1967). Analisis secara
induktif mengikuti kerangka pemikiran seperti Perkembangan tata-letak wilayah pemukiman di Jakarta
digambarkan dalam Tabel 1. sejalan dengan tingkat sosial – ekonomi dan aspek
demografi penduduk. Pemukiman di Menteng sebagai
Kejelasan mengenai dinamika perilaku kebersihan contoh dari hunian penduduk sosial-ekonomi tinggi, dan
diperoleh melalui analisis yang mengarah pada 2 proses pemukiman Dukuh Pinggir, merupakan contoh dari
yang berlangsung simultan. Analisis pertama dilakukan hunian penduduk sosial-ekonomi rendah, keduanya
pada kejadian-kejadian yang berlangsung sehari-hari terletak di wilayah Jakarta Pusat. Hunian sosial-
yaitu proses interaksi antar orang-orang serta benda- ekonomi tinggi menempati kapling tanah yang lebih
benda di dalam S-P (dinamika internal), dan analisis luas dibanding dengan dengan kapling tanah perumahan
kedua mengarah pada proses interaksi antarsistem sosial penduduk sosial ekonomi rendah. Hal ini berdampak
yang terkait dengan S-P yaitu jaringan kerja. pada tingkat kepadatan penduduknya, pada hunian
sosial-ekonomi rendah jumlah orang/penghuni relatif
lebih padat jika dibandingkan dengan hunian sosial –
2.4. Prosedur Penelitian
ekonomi tinggi.
Informasi dari lapangan diperoleh dengan menggunakan
tiga cara yaitu: (1) pengamatan: dilakukan terhadap
Kondisi permukiman berdasarkan kualitas bangunan
situasi dan kondisi S-P, perilaku keseharian
(rumah). Secara umum dapat dibedakan menjadi 2
penghuninya dan serakan sampah; (2) wawancara:
kelompok, yaitu:
wawancara tidak berstruktur dilakukan terhadap
a) Permukiman kualitas tinggi, yaitu kelompok
penghuni, pedagang yang berjualan dalam lokasi S-P,
perumahan yang terbentuk dari kumpulan rumah-
tukang sampah, pemulung dan pejabat di kelurahan,
rumah berkualitas baik (permanen).
RW, RT di wilayah/lokasi pengamatan. Jumlah
b) Permukiman kualitas rendah, yaitu kelompok
keseluruhan sekitar 50 orang; (3) pengumpulan
perumahan yang terbentuk dari kumpulan rumah-
dokumen tertulis/rekaman: dokumen dan rekaman
rumah berkualitas kurang baik (semi permanen,
termasuk catatan hasil wawancara dan pengamatan
tidak permanen, atau kumuh).
lapangan, dan brosur, lembar peraturan, peta lokasi
dikumpulkan melalui kantor kecamatan, kelurahan,
Berdasarkan tata letak bangunan (rumah) yang
dinas Kebersihan Kota, Dinas Tata Kota dan kliping
mencerminkan ada/tidaknya perencanaan ruang di areal
Koran.
42 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 13, NO. 1, JULI 2009: 37-47

tersebut, kondisi permukiman secara umum dapat Tabel 2. Tabel Penentuan Lokasi Pengamatan
dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu:
a) Permukiman teratur, yaitu kelompok perumahan Kondisi Kualitas Permukiman
yang dalam pembangunannya terencana dengan baik. Kebersihan Tidak Tidak
Teratur Teratur
b) Permukiman tidak teratur, yaitu kelompok Lingkungan Teratur Teratur
perumahan yang dalam pembangunannya tidak Bersih 1 2 3 4
terencana dengan baik. Kotor 5 6 7 8

Survei kondisi kebersihan lingkungan permukiman lokasi pengamatan, (2) membagi wilayah dalam region-
dilakukan di seluruh wilayah DKI Jakarta pada tahun region tebaran sampah, (3) menghitung tebaran sampah
1998, melalui pengamatan diketahui bersih tidaknya di dalam lokasi, (4) menentukan tingkat kebersihan
suatu lingkungan permukiman, selanjutnya dipilih lokasi pengamatan.
lokasi-lokasi tertentu yang memenuhi kriteria dan dapat
mewakili gambaran prototipe/kategori kebersihan Jumlah luas tebaran sampah dalam (n) region dibagi
lingkungan permukiman di Jakarta. dengan luas wilayah dikalikan 100% menghasilkan nilai
(%) yang menunjukkan tingkat kebersihan di lokasi.
Mengikuti poros Selatan-Utara, sepanjang jalan Kondisi bersih bila terdapat tebaran sampah kurang dari
protokol Fatmawati, Thamrin, Hayam Wuruk, dan poros 15% dari luas lokasi. Kondisi kotor bila tebaran sampah
Barat-Timur sepanjang Jl. Grogol-Slipi, Jl. Inspeksi lebih atau sama dengan 15% luas lokasi.
Kali Malang, Manggarai, Jatinegara, Klender, dilakukan
pengamatan untuk mencari wilayah permukiman yang Deskripsi Kehidupan Keseharian Setting. Tindakan-
memenuhi kriteria bersih dan kotor. Dari tindakan penghuni setting dalam kaitannya dengan
pencarian/pengamatan di sekeliling kedua poros tadi, kebersihan lingkungan diamati dan dicatat selama dua
didapatkan 8 setting perilaku di wilayah permukiman minggu berturut-turut. Pengamat tinggal di rumah
yang dijadikan objek penelitian, yaitu sebagai berikut: penduduk mengikuti kehidupan sehari-hari di sana.
A. Permukiman teratur. Waktu pengamatan berlangsung sejak pukul 05.30
1) Permukiman teratur kualitas tinggi kondisi hingga pukul 18.00.
bersih, yaitu: Permukiman di daerah Menteng,
wilayah Jakarta Pusat 3. Analisis Perilaku Kebersihan di Lokasi
2) Permukiman teratur kualitas tinggi kondisi Bersih dan Kotor
kotor, yaitu: Permukiman di daerah Menteng,
wilayah Jakarta Pusat
Kajian terhadap hasil pengamatan di empat lokasi bersih
3) Permukiman teratur kualitas rendah kondisi
dan empat lokasi kotor diperoleh gambaran tentang
bersih, yaitu: Permukiman di daerah Menteng,
rangkaian tindakan warga kota terhadap sampah
wilayah Jakarta Pusat
merupakan proses yang dapat dibagi ke dalam lima
4) Permukiman teratur kualitas rendah kondisi
episode perilaku sebagai berikut:
kotor, yaitu: Permukiman di daerah Menteng,
a. Episode-Produksi, berbagai kegiatan manusia yang
wilayah Jakarta Pusat
menggunakan benda-benda (materi) pada akhirnya
B. Permukiman tidak teratur.
akan menghasilkan suatu produk tertentu berikut
1) Permukiman tidak teratur kualitas tinggi
benda-benda sisa atau barang-barang bekas yang
kondisi bersih, yaitu: Permukiman di daerah
tidak diperlukan lagi. Benda-benda tersebut
Kemang, wilayah Jakarta Selatan
berpotensi menjadi sampah bila tidak digunakan
2) Permukiman tidak teratur kualitas tinggi
lagi.
kondisi kotor, yaitu: Permukiman di daerah
b. Episode-Buang, rangkaian tindakan menyingkirkan
Kemang, wilayah Jakarta Selatan
sampah ke suatu tempat atau menjauhkannya dari
3) Permukiman tidak teratur kualitas rendah
diri pelaku.
kondisi bersih, yaitu: Permukiman di daerah
c. Episode-Kumpul, rangkaian tindakan dimulai dari
Menteng, wilayah Jakarta Pusat
menyapu kemudian menggabungkan atau
4) Permukiman tidak teratur kualitas rendah
mengumpulkan sampah ke suatu tempat.
kondisi kotor, yaitu: Permukiman di daerah
d. Episode-Angkut, rangkaian tindakan memindahkan
Menteng, wilayah Jakarta Pusat
sampah yang sudah terkumpul dengan menggunakan
alat angkut seperti gerobak sampah, mobil pick-up
Prosedur penentuan lokasi pengamatan terangkum
bak terbuka atau truk sampah, ke suatu tempat
dalam Tabel 2.
pembuangan sampah.
e. Episode-Olah, rangkaian tindakan terhadap sampah
Prosedur Pengukuran Kondisi Kebersihan. Prosedur
yang bertujuan mengurangi, menghilangkan dan
pengukuran kondisi bersih-kotor dalam lokasi terdiri
merubahnya menjadi benda yang bermanfaat.
dari 4 tahapan sebagai berikut: (1) membuat peta wilayah/
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 13, NO. 1, JULI 2009: 37-47 43

Tindakan-tindakan membersihkan dan memelihara Pola perilaku kebersihan X merupakan rangkaian


kebersihan lingkungan dilakukan oleh para pelaku yang tindakan warga pada lima episode yang banyak
mengakui bahwa perbuatan mereka didorong oleh menyimpang dari motif bersama (menciptakan,
keinginan untuk melihat lingkungan sekitar bersih. memelihara kebersihan), dan akhirnya akan membentuk
Suatu keinginan yang diakui oleh semua orang (motif kondisi lingkungan yang kotor (lihat Gambar 1).
bersama) namun tidak semua orang mau melakukannya
dalam perbuatan nyata terutama di tempat-tempat Jaringan Kerja. Pada daerah perkotaan dengan
umum. Perbuatan baik mereka memelihara kebersihan wilayah yang sangat luas, jaringan pengelolaan sampah
diatribusikan secara internal melalui ungkapan sebagai semakin kompleks dan memerlukan penanganan
berikut: ”saya senang lingkungan sekitar saya bersih, khusus. Tehnik pengelolaan sampah berkembang,
terawat dengan baik”; ”saya nggak suka lihat kotoran pekerjaan terdiferensiasi menjadi unit-unit kerja
numpuk”; ”saya senang dengan lingkungan bersih dan spesifik, seperti unit kerja penyapu jalan, unit kerja
sehat, nggak jadi sarang nyamuk, lalat dan tikus”. angkutan sampah dan unit kerja pengolahan sampah.
Berbeda dengan tindakan mengotori lingkungan, Pengelolaan sampah terbagi dalam berbagai jenis
kebanyakan dilakukan orang karena alasan eksternal pekerjaan yang memerlukan pengorganisasian dan
sebagai berikut: ”tidak ada tempat sampah”, ”kepalang koordinasi antar unit.
sudah kotor di situ”, ”nanti ada yang nyapuin”.
Tindakan–tindakan yang mendukung kebersihan Operasionalisasi dari pengelolaan kebersihan kota oleh
lingkungan ditampilkan pelaku dengan alasan/ beberapa instansi sekaligus mengimplikasikan adanya
pertimbangan eksternal yang memihak pada lingkungan pembagian kerja yang terkotak-kotak. Pengelolaan
seperti ”kalau tempat ini bersih banyak orang senang kebersihan kota tidak diorganisir dalam satu atap,
dan datang membeli”, ”saya menjaga tempat ini agar melainkan terpisah-pisah menurut urusan instansi
selalu bersih agar dibolehkan berjualan didepan rumah masing-masing. Pada Gambar 2 terlihat pengelolaan
mereka (orang gedongan)”, ”saya tiap pagi dan sore sampah dalam setting terbagi menurut tugas kerja
nyapu dan bebersih got supaya sampahnya tidak
numpuk dan bau dirubungi lalat”.

Tindakan/perbuatan yang mendukung kebersihan


lingkungan umumnya ditampilkan oleh individu yang
telah memahami akan pentingnya kebersihan
lingkungan dalam kehidupan mereka. Secara kognitif,
mereka telah menginternalisasi norma kebersihan
menjadi norma personal mereka dan dipresentasikan
sebagai kebiasaan berperilaku bersih.

Hasil pengamatan terhadap para pelaku diperoleh


gambaran bahwa valensi tindakan individual berperan
secara bermakna dalam menentukan perbedaan kualitas
kebersihan lokasi. Tindakan-tindakan individual yang
bervalensi negatif seperti membuang sampah
sembarangan dalam kehidupan keseharian di suatu Gambar 1. Pola Perilaku Kebersihan X dan Y
wilayah cenderung mengotori lingkungan. Namun
sebaliknya hanya tindakan-tindakan yang bervalensi
positif saja yang berpotensi/mampu menciptakan
kondisi bersih. Bila tindakan tindakan dengan valensi Dinas Dinas G
positif muncul dalam lima episode perilaku (produksi, Kebersihan Pertamanan
buang, kumpul, angkut, olah) maka rangkaian tindakan
tersebut akan membentuk pola perilaku menetap Y. Pola SOR Rumah Taman
perilaku Y mampu menciptakan kondisi lingkungan O
bersih, dikenal sebagai program kebersihan.
Jalan
Bila terdapat penyimpangan tindakan individu yang T
tidak sejalan dengan motif bersama (menciptakan,
memelihara kebersihan), maka secara konstan sistem = setting
tidak akan stabil. Penyimpangan-penyimpangan atau
ketidakselarasan dari tindakan individual merupakan Dinas PU
indikator adanya variasi atau perubahan pada program Gambar 2. Unit-unit Kerja Kebersihan dalam Wilayah
setting. Perkotaan
44 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 13, NO. 1, JULI 2009: 37-47

berbagai instansi yang terkait. Sampah yang berada 4. Kesimpulan


dalam sungai dan got merupakan tanggung jawab Dinas
Pekerjaan Umum; sedangkan Dinas Pertamanan Hasil studi disimpulkan dalam tiga bagian. Bagian
mengurus sampah yang berada dan berasal dari taman, pertama adalah model dari pola perilaku kebersihan,
dan jalur hijau/pohon-pohon di sepanjang jalan. Dinas bagian kedua berhubungan dengan sumber daya, S-P
Kebersihan mengurus sampah rumah tangga dan jalan. dan bagian ketiga berkenaan dengan faktor kontekstual,
termasuk di dalamnya perihal kebijakan pemerintah.
Dalam praktik pembagian kerja seperti itu cenderung Model dari pola perilaku kebersihan masyarakat di
menimbulkan social loafing, yaitu gejala persepsi perkotaan menurut hasil dari studi ini terlihat pada
bahwa ada orang lain bertanggung jawab terhadap Gambar 3.
pekerjaan yang sama cenderung menurunkan performance
(kinerja) pelaku. Keteraturan, koordinasi dan Sampah sebagai stimulus diolah melalui peta kausal
kesinambungan antar unit kerja merupakan kunci utama pelaku, digabung-gabungkan dengan informasi yang
bagi kelancaran mekanisme pengelolaan sampah kota. sudah tersimpan dalam ingatan, untuk kemudian
diinterpretasi dan diberi makna tertentu. Makna
Telaah Kebijakan Pemda mengenai Kebersihan tersebut, menentukan tindakan-tindakan yang akan
Lingkungan di Wilayah DKI Jakarta. Kebijakan dilakukan oleh subyek. Dapat dinyatakan bahwa
pemerintah mengenai kebersihan kota dituangkan dalam tindakan-tindakan terhadap sampah didasari oleh makna
berbagai peraturan-peraturan pemerintah. Peraturan subyektif pelaku. Tindakan-tindakan warga kota yang
tentang kebersihan lingkungan di wilayah DKI Jakarta bervalensi positif dan muncul pada lima episode
secara tertulis dituangkan dalam Keputusan, Instruksi perilaku kebersihan, menghasilkan gambaran dari pola
Gubernur dan Peraturan Daerah/Perda. perilaku menetap yang disebut sebagai pola perilaku
kebersihan Y. Sementara, tindakan pelaku yang
Berbagai kebijakan di atas dibuat berdasarkan bervalensi negatif dan muncul pada lima episode
pertimbangan: (1) bahwa kebersihan lingkungan di perilaku kebersihan, menghasilkan gambaran dari pola
wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta harus dilakukan perilaku menetap yang disebut sebagai pola perilaku
secara terus-menerus dan berkesinambungan antara kebersihan X.
Pemerintah Daerah dan seluruh lapisan masyarakat, (2)
bahwa kebersihan lingkungan bukan semata-mata Pola perilaku kebersihan (PPK) dibangun, dibentuk,
tanggung jawab Pemerintah Daerah tetapi juga diorganisasikan terus-menerus melalui tindakan-
merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah tindakan penghuni, tatanan kejadian-kejadian yang
Daerah dan masyarakat. membentuk pola perilaku kebersihan ditentukan oleh
resources (sumber daya setting) dan faktor kontekstual
yang melingkupinya (lihat Gambar 4).

Gambar 3. Model Perilaku Kebersihan


MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 13, NO. 1, JULI 2009: 37-47 45

Sumber setting kurang berperan dalam menggiatkan perilaku


(1) Orang/Warga perkotaan kebersihan penghuni kota.
Pola perilaku Y mampu bertahan dan berkelanjutan
karena di wilayah tersebut terdapat orang-orang yang (4) Sumberdaya cadangan
berkesinambungan memimpin dan menggerakkan atau Cadangan berupa tenaga kerja, peralatan kebersihan
mempengaruhi penghuni lain untuk melakukan maupun uang cukup tersedia pada semua wilayah.
tindakan-tindakan yang sesuai dengan tujuan bersama Ketersediaan sumberdaya cadangan dapat melancarkan
yaitu menciptakan dan memelihara kebersihan proses pengelolaan sampah yang terdapat di wilayah
lingkungan. Mereka secara rutin mengajak, tersebut.
mengingatkan, menghimbau warga untuk memelihara
kebersihan lingkungan, mengawasi serta menegur Konteks Setting
apabila ada penyimpangan-penyimpangan. Orang-orang (1) Jaringan Hubungan Kerja
yang memiliki pengaruh dan daya motivasi tinggi Kerjasama antara masyarakat dan institusi-institusi
seperti itu tidak terdapat pada wilayah dengan kondisi pemerintahan di bidang kebersihan lingkungan (Dinas
lingkungan kotor. Tindakan-tindakan penghuni masing- Kebersihan Kota, Dinas Pertamanan, Dinas Pekerjaan
masing terlepas satu sama lain, belum ada kesepakatan Umum, PD Pasar Jaya dan Kopro Banjir) membentuk
bersama tentang bagaimana memelihara kebersihan jaringan hubungan kerja. Jaringan hubungan kerja yang
khususnya ruang publik. tidak terkoordinasi dengan baik maupun pembagian
kerja yang terkotak-kotak (sesuai dengan bidang kerja
(2) Benda/peralatan dan ruang masing-masing), menimbulkan kerancuan kerja dan
Benda-benda peralatan kebersihan dan ruang tempat
penampungan sampah sementara (TPS) tersedia di
setiap wilayah kota. Pengoperasian peralatan, jadwal
kerja dan luas cakupan wilayah kerja mempengaruhi
kinerja pelaku (pekerja kebersihan). Jadwal kerja yang
tidak teratur, cakupan wilayah kerja yang terlalu luas
dan pengoperasian peralatan yang melebihi kapasitas,
cenderung menurunkan kinerja pelaku, dan akibatnya PP
adalah menurunkan tingkat kebersihan lingkungan. K

Sumber Setting
(3) Terpaan informasi
Terpaan informasi sekitar kebersihan lingkungan yang
diterima langsung melalui orang-orang yang
mempunyai kredibilitas tinggi di suatu wilayah Konteks setting
(misalnya ketua RT/RW, ibu-ibu PKK, pemilik tanah),
mampu mempengaruhi warga untuk melakukan
kegiatan memelihara kebersihan lingkungan. Informasi Ket: PPK = Pola Perilaku Kebersihan
sekitar kebersihan lingkungan yang diterima secara Gambar 4. Pola Perilaku Kebersihan dalam Sistem
tidak langsung melalui media massa (koran, majalah Perkotaan
televisi), papan reklame, selebaran maupun pamflet,
Tabel 3. Sumber Setting dan Kondisi Kebersihan

Sumber Setting Kotor Bersih


Pola perilaku X Pola perilaku Y
• Orang Daya motivasi rendah Daya motivasi tinggi
Pengoperasian peralatan melebihi Pengoperasian peralatan sesuai
• Benda dan Ruang kapasitas kapasitas
Ruang LPS tersedia Ruang LPS tersedia
• Informasi Terpaan informasi tidak langsung Terpaan informasi langsung
• Cadangan Sumber Daya Tersedia Tersedia

Tabel 4. Konteks Setting dan Kondisi Kebersihan

Konteks Kotor Bersih


• Jaringan hubungan kerja Tidak terkoordinasi baik Terkoordinasi baik
• Kebijakan pemerintah Peraturan di bidang kebersihan Peraturan di bidang kebersihan
46 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 13, NO. 1, JULI 2009: 37-47

dapat menurunkan kinerja pelaku/pekerja kebersihan, belum terkoordinasi dengan baik sehingga menimbulkan
akibatnya adalah cenderung menurunkan tingkat kerancuan kerja di lapangan.
kebersihan lingkungan.
Beberapa saran yang perlu dalam membentuk,
(2) Kebijakan Pemerintah mempertahankan dan meningkatkan perilaku kebersihan
Kebijakan pemerintah berupa aneka peraturan tentang penghuni kota pada umumnya, adalah sebagai berikut:
kebersihan lingkungan ternyata secara konseptual belum (1) Tindakan-tindakan yang menyokong kebersihan
dirinci guna memberi kejelasan operasional di lapangan. lingkungan perlu diajarkan dan dilatih sejak dini
Gambaran kondisi kebersihan dengan faktor kontekstual dalam lingkungan keluarga. Pembelajaran yang
terangkum dalam Tabel 4. berlangsung terus-menerus dalam keluarga lebih
mudah diterima dan diinternalisasikan sehingga
5. Diskusi dan Saran membentuk kebiasaan. Norma kebersihan yang
ditanamkan dalam lingkungan sosial terdekat akan
Pemahaman tentang cara bagaimana menciptakan dan berkembang dalam diri individu menjadi norma
memelihara kebersihan lingkungan, merupakan dasar personal, acuan dari tindakan/perbuatan kebersihan
tindakan individu dalam pembentukan pola perilaku dalam kehidupan keseharian mereka.
kebersihan. Pola perilaku kebersihan dibangun, (2) Menggiatkan gerakan menghargai sampah. Pada
dibentuk, diorganisir terus-menerus melalui tindakan- dasarnya perlu dilakukan suatu kegiatan untuk
tindakan nyata dari individu penghuni kota. merubah sikap dan perilaku warga terhadap
Dibandingkan dengan wilayah kotor, hal yang menonjol sampah. Pandangan tentang sampah sebagai barang
dalam wilayah bersih adalah bahwa pola perilaku tidak berguna dan kotor perlu diubah menjadi sikap
kebersihan Y yang dibangun berdasarkan kesepakatan positif bahwa sampah adalah sumber materi yang
pemahaman. Pengelolaan sampah di wilayah dapat dikelola dan mendatangkan manfaat bagi
pemukiman teratur sudah termasuk dalam pengaturan kehidupan manusia. Bila tidak dikelola dengan baik
tata ruang dari pengembang pemukiman. Pengaturan dalam jangka panjang dapat merugikan kehidupan
tersebut menjadi faktor pertimbangan dan daya tarik manusia pada umumnya.
untuk membeli rumah di wilayah tersebut. Kesepakatan (3) Untuk menciptakan lingkungan yang bersih
pemahaman itu terbentuk melalui transaksi terus diperlukan kepemimpinan. Perlu ada orang-orang
menerus antar penghuni dan dipelopori oleh orang- yang dijadikan panutan ,mau melaksanakan,
orang yang memiliki daya motivasi tinggi, yaitu mereka mengajak, menggiatkan warga untuk bersama-sama
yang secara rutin berperan memimpin, memberi mengelola sampah yang dihasilkan dari berbagai
informasi langsung, memberi contoh berupa tindakan aktivitas keseharian mereka.
serta selalu bertindak mengajak dan menghimpun warga (4) Wewenang untuk pengaturan dan pemeliharaan
bekerjasama dalam berbagai aktivitas nyata yang kebersihan di ruang publik sebaiknya
bertujuan memelihara kebersihan lingkungan. diberikan/didelegasikan kepada komunitas warga
yang berada tinggal dan menetap dalam batasan
Tingkat kebersihan lingkungan di perkotaan bervariasi wilayah yang dimaksud. Orang-orang yang berada
dan tergantung pada pola perilaku kebersihan menetap dalam setting dituntut bertanggungjawab dan
yang dibentuk oleh penghuni dalam kehidupan berkewajiban mengelola sampah dan memelihara
keseharian mereka. Dalam praktik, pengoperasian kebersihan disekitar pemukiman mereka masing-
peralatan kebersihan sesuai dengan kapasitasnya serta masing.
kerjasama dengan berbagai instansi pemerintah yang
mengurusi sampah dalam suatu wilayah terjalin baik Daftar Acuan
dan lancar sangat berperan dalam pembentukan pola
perilaku kebersihan Y. Kondisi lingkungan bersih dan Barker, R. G. (1987). Prospecting in environmental
kotor masih terdapat baik di wilayah pemukiman yang psychology: Oskaloosa Revisited. Dalam D. Stokols, &
teratur kualitas tinggi maupun di wilayah pemukiman I. Altman (Eds.), Handbook of Environmental
yang tidak teratur kualitas rendah. Dapat dinyatakan Psychology, Vol. 2. New York: Wiley.
bahwa tingkat sosial-ekonomi penghuni dan tata-kelola
wilayah pemukiman kota tidak berpengaruh dalam Canter, D. (1986). Intention, meaning and structure:
pembentukan pola perilaku kebersihan warganya. Social action in its physical context. Makalah dalam
Dibanding dengan adanya koordinasi antar wilayah dan seminar: Manusia, Rumah dan Lingkungan, Fakultas
unit-unit yang berkepentingan. Peran serta masyarakat Psikologi UI, Bagian Psikologi Sosial dan Fakultas
belum optimal, kebijakan pemerintah berupa peraturan Teknik UI, Jurusan Arsitektur, Depok.
di bidang kebersihan, belum sepenuhnya dapat
dipahami dan diindahkan warga. Tugas pekerjaan Glaser, B. G., & Strauss, A. L. (1967). The discovery of
pengelolaan sampah dari beberapa instansi pemerintah grounded theory: Strategies for qualtitative research.
New York: Aldine.
MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 13, NO. 1, JULI 2009: 37-47 47

Hines, J. M., Hongerford, H. R., & Tomera, A. N. Wibowo, I. (1993). Faktor-faktor personal dan sosial
(1986). Analysis and synthesis of research on untuk mempengaruhi intensi kaum ibu dalam
responsible environmental behavior: A meta-analysis. pemeliharaan lingkungan. Jakarta: Pusat Penelitian
Journal of Environmental Education. Vol. 18 (2), 1-8. Sumber Daya Manusia dan Lingkungan – LPUI.

Proshansky, et.al. (1974). An introduction to Wicker, A. W. (1987). Behavior settings reconsidered:


environmental psychology. New York: Holt Rinehart Temporal stages, resources, internal dynamics, context.
and Wiston. Dalam D. Stokols & I. Altman (Eds.), Handbook of
Environmental Psychology. Vol. 1, New York: Wiley.
Schoggen, P. F. (1989). Behavior setting: A revision of
barber’s ecological psychology. Stanford, CA: Stanford Wright, H. F. (1967). Recording and analyzing child
University Press. behavior. New York: Harper and Row.

Stokols, D. & Altman, I. (Eds.) (1987). Handbook of


environmental psychology. New York: Wiley.

Anda mungkin juga menyukai