Anda di halaman 1dari 164

Hermien Nugraheni, SKM., M.Kes.

Perilaku Kesehatan
--Yogyakarta: LeutikaPrio, 2017
iv + 158 hlm.; 13x19 cm
Cetakan Pertama, Maret 2017

Penulis : Hermien Nugraheni, SKM., M.Kes.


Pemerhati Aksara : Masruroh
Desain Sampul : Cynthia
Tata Letak : Anwar

Jl. Wiratama No. 50, Tegalrejo,


Yogyakarta, 55244
Telp. (0274) 625088
www.leutikaprio.com
email: leutikaprio@hotmail.com

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.


Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin dari penerbit.

ISBN 978-602-371-403-2

Dicetak oleh PT Leutika Nouvalitera


Isi di luar tanggung jawab penerbit & percetakan.
Daftar Isi

KONSEP PERILAKU

A. Pengertian Perilaku 1

B. Teori Perilaku 5

C. Bentuk Perilaku 6

D. Proses Pembentukan Perilaku 9

E. Pengembangan Perilaku 11

PENDEKATAN PSIKOLOGIS DALAM PERILAKU MANUSIA

A. Pendekatan Neurobiologis 20

B. Pendekatan Psikoanalisis 21

C. Pendekatan Perilaku (Behaviorisme) 23

D. Pendekatan Kognitif 24

E. Pendekatan Humanistik/Phenomenology 26

F. Asumsi Dasar Manusia Menurut Pendekatan 28


Humanistik

G. Aplikasi dari Pendekatan-Pendekatan Tersebut 29

iii
PERILAKU KESEHATAN
A. Perilaku Kesehatan 33
B. Klasifikasi Perilaku Kesehatan 35
C. Model Perilaku Kesehatan 41

DOMAIN PERILAKU KESEHATAN


A. Pengetahuan (Knowledge) 48
B. Sikap (Attitude) 58
C. Tindakan atau Praktik (Practice) 63

DETERMINAN PERILAKU KESEHATAN


A. Konsep Bloom 66
B. Teori Lawrence Green 70
C. Teori Snehandu Karr 72
D. Teori WHO 75
E. Teori A-B-C 82
F. Teori Reason Action 90
G. Teori Planned Behaviour 93

PENGUKURAN DAN INDIKATOR PERILAKU KESEHATAN


A. Pengetahuan 110
B. Sikap 113
C. Tindakan 122

PERENCANAAN PERUBAHAN PERILAKU KESEHATAN


A. Teori Perubahan Perilaku 125
B. Perubahan Perilaku 133
C. Perencanaan Perubahan Perilaku 139

iv
Konsep Perilaku

A. Pengertian Perilaku
Perilaku berasal dari kata “peri” dan “laku”. Peri berarti
cara berbuat kelakuan perbuatan, dan laku berarti perbuatan,
kelakuan, cara menjalankan. Belajar dapat didefinisikan sebagai
satu proses di mana suatu organisasi berubah perilakunya
sebagai akibat pengalaman. 
Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia
itu sendiri yang mempunyai bentangan arti yang sangat luas
antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja,
kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian tersebut
bisa disimpulkan bahwa perilaku manusia adalah semua
kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung
maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo,
2003). Sedangkan, dalam pengertian umum perilaku adalah
segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh makhluk
hidup.
Pengertian perilaku dapat dibatasi sebagai keadaan
jiwa untuk berpendapat, berpikir, bersikap, dan lain sebagainya
yang merupakan refleksi dari berbagai macam aspek, baik
fisik maupun nonfisik. Perilaku juga diartikan sebagai suatu
reaksi psikis seseorang terhadap lingkungannya, reaksi yang
dimaksud digolongkan menjadi dua, yakni:

1
1. bentuk pasif (tanpa tindakan nyata atau konkret), 
2. dalam bentuk aktif (dengan tindakan konkrit)
Pada manusia, perilaku operan atau psikologis inilah
yang dominan. Sebagian terbesar perilaku ini merupakan
perilaku yang dibentuk, perilaku yang diperoleh, perilaku
yang dikendalikan oleh pusat kesadaran atau otak (kognitif).
Timbulnya perilaku (yang dapat diamati) merupakan resultan
dari tiga daya pada diri seseorang, yakni (Notoatmojo, 2003):
1. Daya seseorang yang cenderung untuk mengulangi
pengalaman yang enak dan cenderung untuk
menghindari pengalaman yang tidak enak (disebut
conditioning dari Pavlov & Fragmatisme dari James);
2. Daya rangsangan (stimulasi) terhadap seseorang yang
ditanggapi, dikenal dengan “teori stimulus-respons”
dari Skinner;
3. Daya individual yang sudah ada dalam diri seseorang
atau kemandirian (Gestalt Theory dari Kohler).
Perilaku adalah keteraturan tertentu dalam hal
perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan predisposisi
tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di
lingkungan sekitarnya. Dalam pengertian umum, perilaku
adalah segala perbuatan tindakan yang dilakukan makhluk
hidup. Perilaku adalah suatu aksi dan reaksi suatu organisme
terhadap lingkungannya. Hal itu berarti bahwa perilaku baru
berwujud bila ada sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan
tanggapan yang disebut rangsangan. Dengan demikian suatu
rangsangan tentu akan menimbulkan perilaku tertentu pula. 
Proses pembentukan dan atau perubahan perilaku
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari diri
individu itu sendiri, antara lain susunan syaraf pusat, persepsi,

2
motivasi, emosi, dan belajar. Para psikolog mengemukakan
bahwa perilaku terbentuk dari adanya interaksi antara domain
trikomponen sikap, yakni interaktif antara komponen kognitif,
afektif, dan domain konatif. Namun, masih terdapat kekeliruan
yang menganggap komponen konatif merupakan salah
satu komponen dalam trikomponen sikap sebagai perilaku
(behaviour) sehingga perilaku dianggap sebagai salah satu
komponen sikap (attitude).
Ada tiga asumsi yang
saling berkaitan mengenai
perilaku manusia. Pertama,
perilaku itu disebabkan.
Kedua, perilaku itu
digerakkan. Ketiga,
perilaku itu ditujukan
pada sasaran/tujuan.
Dalam hal ini berarti proses perubahan perilaku
mempunyai kesamaan untuk setiap individu, yakni perilaku itu
ada penyebabnya, dan terjadinya tidak dengan spontan, dan
mengarah kepada suatu sasaran baik secara ekslusif maupun
inklusif. 
Senada dengan itu, Ndraha (2005), mendefinisikan
perilaku sebagai: operasionalisasi dan aktualisasi sikap
seseorang atau suatu kelompok dalam atau terhadap sesuatu
(situasi atau kondisi) lingkungan (masyarakat, alam, teknologi,
atau organisasi). Pengaruh lingkungan dalam pembentukan
perilaku adalah bentuk perilaku yang berdasarkan hak dan
kewajiban, kebebasan, dan tanggung jawab baik pribadi maupun
kelompok masyarakat. Perilaku mendapat pengaruh yang kuat
dari motif kepentingan yang disadari dari dalam faktor intrinsik
dan kondisi lingkungan dari luar/faktor ekstrinsik atau exciting

3
condition. Oleh karena itu, perilaku terbentuk atas pengaruh
pendirian, lingkungan eksternal, kepentingan yang disadari,
kepentingan responsif, ikut-ikutan atau yang tidak disadari
serta rekayasa dari luar. 
Lebih lanjut Kwick (dalam Notoatmodjo, 2003)
menyatakan bahwa: perilaku adalah “tindakan atau perbuatan
organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari”.
Motif merupakan salah satu faktor yang memengaruhi atau
penyebab timbulnya perilaku. Dalam hal ini Winardi (2002)
mengemukakan bahwa motif-motif merupakan “mengapa”
dan “perilaku” mereka muncul dan mempertahankan aktivitas
dan determinasi arah umum perilaku seorang individu. Pada
intinya, dapat dikatakan bahwa motif-motif atau kebutuhan
merupakan penyebab terjadinya tindakan-tindakan. Kekuatan
motif merupakan alasan yang melandasi perilaku, kekuatan
motif cenderung menyusut, apabila ia terpenuhi atau apabila
terhalangi. 
Perilaku manusia adalah sekumpulan perilaku yang
dimiliki oleh  manusia  dan dipengaruhi oleh adat, sikap,
emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan/atau genetika.
Perilaku seseorang dikelompokkan ke dalam perilaku
wajar, perilaku dapat diterima, perilaku aneh, dan perilaku
menyimpang. Dalam  sosiologi, perilaku dianggap sebagai
sesuatu yang tidak ditujukan kepada orang lain dan oleh
karenanya merupakan suatu  tindakan sosial  manusia yang
sangat mendasar (Notoatmojo dan Solita, 1985). Perilaku tidak
boleh disalahartikan sebagai perilaku sosial, yang merupakan
suatu tindakan dengan tingkat lebih tinggi karena perilaku
sosial adalah perilaku yang secara khusus ditujukan kepada
orang lain.  Penerimaan terhadap perilaku seseorang diukur
relatif terhadap norma sosial dan diatur oleh berbagai kontrol

4
sosial.  Dalam  bidang kesehatan  perilaku seseorang dan
keluarganya dipelajari untuk mengidentifikasi faktor penyebab,
pencetus, atau yang memperberat timbulnya masalah kesehatan.
Intervensi terhadap perilaku seringkali dilakukan dalam rangka
penatalaksanaan yang holistik dan komprehensif.

B. Teori Perilaku
Perilaku manusia itu didorong oleh motif tertentu
sehingga manusia itu berperilaku. Dalam hal ini ada beberapa
teori, di antara teori-teori tersebut dapat dikemukakan:
1. Teori Naluri (Instinct Theory)
Dikemukakan oleh McDougall sebagai pelopor
dari psikologi sosial. Perilaku itu disebabkan karena
insting yang merupakan perilaku yang innate, perilaku
yang bawaan, dan insting akan mengalami perubahan
karena pengalaman.
2. Teori Dorongan (Drive Theory)
Teori ini bertitik tolak pada pandangan bahwa
organisme itu mempunyai dorongan-dorongan atau
drive tertentu. Dorongan-dorongan ini berkaitan
dengan kebutuhan-kebutuhan organisme yang
mendorong organisme berperilaku. Teori ini disebut
juga teori reduction.
3. Teori Insentif (Incentive Theory)
Teori ini bertitik tolak pada pendapat bahwa
perilaku organisme itu disebabkan karena adanya
insentif atau reinforcement ada yang positif dan ada
yang negatif. Reinforcement positif adalah berkaitan
dengan hadiah, reinforcement negatif berkaitan
dengan hukuman.

5
4. Teori Atribusi
Teori ini menjelaskan tentang sebab-sebab
perilaku orang. Apakah perilaku itu disebabkan oleh
disposisi internal (motif, sikap, dan sebagainya)
ataukah oleh keadaan eksternal.

C. Bentuk Perilaku
Pada dasarnya bentuk perilaku dapat diamati,
melalui sikap dan tindakan. Namun demikian tidak berarti
bahwa bentuk perilaku itu hanya dapat dilihat dari sikap dan
tindakannya saja, perilaku dapat pula bersifat potensial, yakni
dalam bentuk pengetahuan, motivasi, dan persepsi.
Bentuk-bentuk perilaku manusia sangat beragam
sehingga tidak ada satu teori pun yang bisa menjelaskan
secara detail betuk dan arah berilaku manusia. Bentuk- perilaku
kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas.
Bloom (1958, dalam Notoatmodjo, 2007) seorang ahli psikologi
pendidikan membagi perilaku ke dalam tiga domain atau
ranah/kawasan, yaitu ranah kognitif  (cognitive domain),  ranah
afektif  (affective domain), dan ranah psikomotor  (psychomotor
domain), meskipun kawasan-kawasan tersebut tidak mempunyai
batasan yang jelas dan tegas.
Pembagian kawasan ini dilakukan untuk kepentingan
tujuan pendidikan, yaitu mengembangkan atau meningkatkan
ketiga domain perilaku tersebut, yang terdiri dari:
1. Pengetahuan peserta terhadap materi pendidikan
yang diberikan (knowledge).
2. Sikap atau tanggapan peserta didik terhadap
materi pendidikan yang diberikan (attitude).

6
3. Praktik atau tindakan yang dilakukan oleh peserta
didik sehubungan dengan materi pendidikan yang
diberikan (practice).
Skinner (1938,
dalam Notoatmodjo,
2007), seorang ahli
psikologi merumuskan
bahwa perilaku
merupakan respons
atau reaksi seseorang
terhadap stimulus
(rangsangan dari
luar). Berdasarkan rumus teori Skinner tersebut maka perilaku
manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Perilaku tertutup (covert behavior)
Perilaku tertutup terjadi bila respons
terhadap stimulus tersebut masih belum dapat
diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respons
seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian,
perasaan, persepsi, pengetahuan, dan sikap terhadap
stimulus yang bersangkutan.
2. Perilaku terbuka (overt behavior)
Perilaku terbuka ini terjadi bila respons
terhadap stimulus sudah berupa tindakan, atau
praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau
observable behavior.
Dari penjelasan tersebut dapat disebutkan bahwa
perilaku itu terbentuk di dalam diri seseorang dan dipengaruhi
oleh dua faktor utama, yaitu:

7
1. Faktor internal, meliputi:
a. Motivasi Kebutuhan
Seseorang berniat untuk membeli suatu produk
karena ada sesuatu yang menggerakkan.
Menurut Jeffrey, et al (1996) dalam Suryani
(2008), proses motivasi terjadi karena adanya
kebutuhan, keinginan, ataupun harapan yang
tidak terpenuhi yang menyebabkan timbulnya
ketegangan. Pada tingkat tertentu ketegangan
ini akan berubah menjadi hasrat yang
mendorong individu melakukan suatu perilaku
tertentu guna memenuhi kebutuhan, keinginan,
dan hasratnya tersebut.
b. Pengalaman
Pengalaman merupakan proses pembelajaran
dalam perilaku seseorang dan kebanyakan
perilaku manusia adalah hasil dari proses
pembelajaran. Secara teori pembelajaran
seseorang terjadi dari hasil dorongan,
rangsangan isyarat, dan tanggapan (Umar,
2000).
c. Karakteristik Konsumen
Karakteristik konsumen yang memengaruhi
perilaku seseorang yakni: umur dan tingkat
pendidikan.

2. Faktor Eksternal, meliputi:


a. Kelompok Acuan
Kelompok acuan seseorang terdiri atas semua
kelompok di sekitar individu yang mempunyai

8
pengaruh baik langsung maupun tidak langsung
terhadap perilaku individu tersebut. Kelompok
acuan memengaruhi pendirian dan konsep
pribadi seseorang karena individu biasanya
berhasrat untuk berperilaku sama dengan
kelompok acuan tersebut (Suryani, 2008).
b. Keluarga
Keluarga mempunyai peran penting dalam
keputusan pembelian. Konsumen sebagai
anggota keluarga yang sering berinteraksi
dengan anggota keluarga yang lain, perilakunya
secara tidak langsung dipengaruhi oleh hasil
interaksi tersebut. (Suryani, 2008)

D. Proses Pembentukan Perilaku


Proses pembentukan perilaku dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang berasal dari dalam diri individu itu
sendiri, faktor-faktor tersebut antara lain: 
1. Persepsi
Persepsi adalah sebagai pengalaman yang dihasilkan
melalui indra penglihatan, pendengaran, penciuman,
dan sebagainya. 
2. Motivasi 
Motivasi diartikan sebagai
dorongan untuk bertindak
untuk mencapai suatu
tujuan tertentu. Hasil
dari pada dorongan dan
gerakan ini diwujudkan
dalam bentuk perilaku

9
3. Emosi
Perilaku juga dapat timbul karena emosi. Aspek
psikologis yang memengaruhi emosi berhubungan
erat dengan keadaan jasmani, sedangkan keadaan
jasmani merupakan hasil keturunan (bawaan).
Manusia dalam mencapai kedewasaan semua aspek
yang berhubungan dengan keturunan dan emosi akan
berkembang sesuai dengan hukum perkembangan.
Oleh karena itu, perilaku yang timbul karena emosi
merupakan perilaku bawaan. 
4. Belajar 
Belajar diartikan sebagai suatu pembentukan perilaku
dihasilkan dari praktik-praktik dalam lingkungan
kehidupan. Barelson (1964) dalam Notoatmojo (2007)
mengatakan bahwa belajar adalah suatu perubahan
perilaku yang dihasilkan dari perilaku terdahulu.

Perilaku manusia terjadi melalui suatu proses yang


berurutan. Penelitian Rogers (1974) dalam Notoatmojo (2003)
mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku
baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi
proses yang berurutan, yaitu:
1. Awareness (kesadaran), yaitu orang tersebut menyadari
atau mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.
2. Interest (tertarik), yaitu orang mulai tertarik kepada
stimulus.
3. Evaluation (menimbang baik dan tidaknya stimulus
bagi dirinya). Hal itu berarti sikap responden sudah
lebih baik lagi.
4. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru.

10
5. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap
stimulus.
Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi
perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan,
kesadaran, dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan
menjadi kebiasaan atau bersifat langgeng (Notoatmodjo:
2003).

E. Pengembangan Perilaku
Perkembangan manusia tidak hanya tertuju pada aspek
psikologis saja, tetapi juga aspek biologis. Karena setiap aspek
perkembangan individu, baik fisik, emosi, inteligensi, ataupun
sosial, satu sama lain saling memengaruhi. Terdapat hubungan
atau korelasi yang positif di antara aspek tersebut.
1. Perkembangan Fisik dan Perilaku Psikomotorik
a. Perkembangan fisik
Perkembangan fisik ini mencakup aspek-aspek
sebagai berikut:
1) Perkembangan anatomis
Perkembangan anatomis ditunjukkan
dengan adanya perubahan kuantitatif pada
struktur tulang belulang. Indeks tinggi dan berat
badan, proporsi tinggi kepala dengan tinggi garis
keajekan badan badan secara keseluruhan.
2) Perkembangan fisiologi
Perkembangan fisiologis ditandai dengan
adanya perubahan-perubahan secara kuantitatif,
kualitatif, dan fungsional dari sistem-sistem kerja

11
hayati seperti kontraksi otot, peredaran darah
dan pernafasan, persyaratan, sekresi kelenjar
dan  pencernaan. Aspek  fisiologi yang sangat
penting bagi kehidupan manusia adalah otak
(brain).
b. Perkembangan perilaku psikomotorik
Perilaku psikomotorik memerlukan koordinasi
fungsional antara neuronmuscular system
(persyarafan dan otot) dan fungsi psikis (kognitif,
afektif, dan konatif).
1) berjalan dan memegang benda
2) bermain dan bekerja
3) proses perkembangan motorik
2.  Perkembangan Bahasa dan Perilaku Kognitis
a. Perkembangan bahasa
Bahasa merupakan kemampuan untuk
berkomunikasi dengan orang lain. Dalam
pengertian ini tercakup semua cara untuk
berkomunikasi, di mana pikiran dan perasaan
dinyatakan dalam bentuk lambang atau simbol
untuk mengungkapkan sesuatu pengertian, seperti
dengan menggunakan lisan, tulisan, isyarat,
bilangan, lukisan, dan mimik muka. Perkembangan
pikiran itu dimulai pada usia 1,6–2,0 tahun, yaitu
pada saat anak dapat menyusun kalimat dua atau
tiga kata. Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh
faktor-faktor sebagai berikut yaitu:
1) faktor kesehatan
2) inteligensi

12
Perkembangan bahasa anak dapat dilihat dari
tingkat inteligensinya.
3) status sosial ekonorni keluarga
4) jenis kelamin (sex)
5) hubungan keluarga.

b.  Perkembangan bahasa dan perilaku kognitif


Istilah “cognitive” berasal dari
kata  cognition  yang padanannya  knowing,
berarti ‘mengetahui’. Dalam arti yang
luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan,
dan penggunaan pengetahuan (Neisser, 1976).
Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif
menjadi populer sebagai salah satu domain atau
wilayah/ranah psikologis manusia yang meliputi
setiap perilaku mental yang berhubungan dengan
pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi,
pemecahan masalah, kesengajaan, dan keyakinan.
Jean Piaget mengklasifikasikan perkembangan
kognitif anak menjadi empat tahapan:

13
1) Tahap  sensory-motor  yakni perkembangan
ranah kognitif yang terjadi pada usia 0–2
tahun.
2) Tahap pre-operational, yakni perkembangan
ranah kognitif yang terjadi pada usia 2–7
tahun.
3) Tahap  concrete-operational, yang terjadi
pada usia 7–11 tahun
4) Tahap formal-operational, yakni
perkembangan ranah kognitif yang terjadi
pada usia 11–15 tahun.
Terdapat hubungan yang amat erat antara
perkembangan bahasa dan perilaku kognitif.
Bahasa merupakan sarana dan alat yang strategis
bagi 1ajunya perkembangan perilaku kognitif.
3. Perkembangan Perilaku Sosial, Moralitas, dan
Keagamaan
a. Perkembangan perilaku sosial
Menurut Plato secara potensial (fitriah)
manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial (zoon
politicon).
1) Proses sosialisasi dan perkembangan
sosial
Secepat individu menyadari bahwa
di luar dirinya itu ada orang lain maka
mulailah pula menyadari bahwa ia harus
belajar apa yang seyogianya ia perbuat
seperti yang diharapkan orang lain.
2) Kecenderungan pola orientasi sosial

14
b. Perkembangan Moralitas
1) Perkembangan moral
Istilah moral berasal dari kata Latin
“mos” (Moris), yang berarti ‘adat istiadat
peraturan/nilai-nilai atau tatacara
kehidupan’.
2) Faktor-faktor yang memengaruhi
perkembangan moral
Perkembangan moral seorang anak
banyak dipengaruhi oleh lingkungan.
Anak memperoleh nilai-nilai moral dan
lingkungannya dan orang tuanya. Beberapa
sikap orang tua yang perlu diperhatikan
sehubungan dengan perkembangan moral
anak, di antaranya sebagai berikut:
a) konsisten dalam mendidik anak;
b) sikap orang tua dalam keluarga;
c) penghayatan dan pengamalan agama
yang dianut; dan
d) sikap orang tua dalam menerapkan
norma.
c. Perkembangan penghayatan keagamaan

4. Perkembangan Perilaku Afektif, Konatif dan Kepribadian


Perkembangan fungsi-fungsi konatif dan
hubungannya dengan pembentukan fungsi konatif
atau motivasi itu merupakan faktor penggerak perilaku
manusia yang bersumber terutama pada kebutuhan-
kebutuhan dasarnya (basic needs).

15
a. Perkembangan emosional dan perilaku afektif
Aspek emosional dari suatu perilaku, pada
umumnya selalu melibatkan tiga variabel, yaitu
rangsangan yang menimbulkan emosi (the stimulus
variable), perubahan-perubahan fisiologis yang
terjadi bila mengalami emosi (the organismic
variable), dan pola sambutan ekspresi atau
terjadinya pengalaman emosional itu (the response
variable).
b. Perkembangan kepribadian
Kepribadian merupakan terjemahan dan
bahasa Inggris “personality”. Istilah personality
secara etimologis berasal dan bahasa Latin “person”
(kedok) dan “personare” (menembus). Persona
biasanya dipakai oleh para pemain sandiwara
pada zaman kuno untuk memerankan satu bentuk
tingkah laku dan karakter pribadi. Personare adalah
bahwa pemain sandiwara itu dengan melalui
kedoknya berusaha menembus keluar untuk
mengekspresikan satu bentuk gambaran manusia
tertentu. Keunikan penyesuaian sangat berkaitan
dengan aspek-aspek kepribadian itu sendiri, yaitu
meliputi hal-hal berikut:
1) Karakter, yaitu konsekuen tidaknya dalam
mematuhi etika pelaku, konsisten atau
teguh tidaknya dalam memegang pendirian
atau pendapat.
2) Temperamen, yaitu disposisi reaktif
seseorang, atau cepat/lambatnya mereaksi
terhadap rangsangan-rangsangan yang
datang dari lingkungan.

16
3) Sikap terhadap objek (orang, benda,
peristiwa, norma, dan sebagainya) yang
bersifat positif, negative, atau ambivalen
(ragu-ragu).
4) Stabilitas emosi, yaitu kadar kestabilan
reaksi emosional terhadap rangsangan
dan lingkungan. Seperti: mudah tidaknya
tersinggung marah, sedih, atau putus asa.
5) Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan
untuk menerima risiko dan tindakan atau
perbuatan yang dilakukan.
6) Sosiabilitas, yaitu disposisi pribadi yang
berkaitan dengan hubungan interpersonal,
yang tampak dalam sifat pribadi yang
tertutup atau terbuka; dan kemampuan
berkomunikasi dengan orang lain.
c. Faktor-faktor yang memengaruhi kepribadian
Kepribadian dipengaruhi oleh berbagai faktor,
baik hereditas (pembawaan) maupun lingkungan
(seperti: fisik, sosial, kebudayaan, spiritual).
1) Fisik
Faktor yang dipandang memengaruhi
perkembangan kepribadian adalah postur
tubuh (langsing, gemuk, pendek, atau
tinggi), kecantikan (cantik atau tidak cantik),
kesehatan (sehat atau sakit-sakitan),
keutuhan tubuh (utuh atau cacat), dan
keberfungsian organ tubuh.

17
2) Inteligensi
Tingkat intelegensi individu
dapat memengaruhi perkembangan
kepribadiannya.
3) Keluarga
Suasana atau iklim keluarga sangat
penting bagi perkembangan kepribadian
anak.
4) Teman sebaya (peer group)
Setelah masuk sekolah, anak mulai
bergaul dengan teman sebayanya dan
menjadi anggota dan kelompoknya.
Pada saat inilah dia mulai mengalihkan
perhatiannya untuk mengembangkan sifat-
sifat atau perilaku yang cocok atau dikagumi
oleh teman-temannya, walaupun mungkin
tidak sesuai dengan harapan orang tuanya.
5) Kebudayaan
Setiap kelompok masyarakat (bangsa,
ras, atau suku bangsa) memiliki tradisi, adat,
atau kebudaya yang khas.

18
Pendekatan Psikologis
dalam Perilaku Manusia

Setiap perilaku atau aktivitas seorang manusia dapat


dijelaskan dari berbagai dimensi pendekatan. Misalnya, kegiatan
seseorang yang ketika menyeberang jalan. Aktivitas ini dapat
dijelaskan sebagai aktivitas fisik yang dipicu oleh saraf yang
merangsang otot kaki sehingga orang tersebut berjalan untuk
menyeberang. Aksi ini juga dapat dijelaskan tanpa melibatkan
aktivitas fisik, di mana aktivitas berjalan ini dimulai ketika dia
menerima rangsangan lampu hijau yang menandakan dia boleh
menyebrang.
Setiap tindakan yang dilakukan seseorang dapat
dideskripsikan atau dijelaskan dari sudut pandang yang
berbeda. Psikolog juga memiliki pendekatan-pendekatan yang
berbeda untuk melihat perilaku manusia. Setiap pendekatan
memandang manusia dengan cara berlainan. Pembahasan tidak
akan mengulas pendekatan mana yang paling kuat. Karakteristik
manusia tampaknya merupakan sintesis dari berbagai pendekatan
tersebut.

19
Begitu pula dengan cara menjelaskan psikologi,
dapat dibahas dari berbagai pendekatan yang berbeda. Pada
kesempatan ini akan diuraikan lima pendekatan berdasarkan
Konsep Psikologi Modern. Kelima pendekatan ini tidak mutually
exclusive, tetapi kelimanya fokus pada aspek tertentu yang
berbeda sebagai reaksi terhadap suatu masalah yang dihadapinya.
Pada studi psikologi, tidak ada pendekatan yang benar atau salah.
Kelima pendekatan psikologi tersebut adalah:

A. Pendekatan Neurobiologis
Pendekatan yang berusaha
menghubungkan tindakan
dengan kejadian yang
berlangsung di dalam tubuh
manusia, terutama dalam otak
dan susunan syaraf.
Pendekatan ini menjelaskan hubungan antara perilaku yang
dapat diamati dan kejadian-kejadian mental (seperti pikiran
dan emosi) menjadi proses biologis. Penemuan penelitian
menunjukkan ada hubungan yang erat antara aktivitas otak
dengan perilaku dan dengan pengalaman. Misalnya: reaksi emosi,
seperti takut dan marah.
Otak manusia yang terdiri dari +12 miliar sel saraf
dengan jumlah interkoneksi yang tidak terhitung, mungkin
merupakan struktur paling rumit yang ada di dunia ini. Pada
prinsipnya, setiap kejadian yang dilakukan/dialami seseorang,
merupakan penjabaran aktivitas otak beserta sistem sarafnya.
Dengan demikian, kita dapat memahami aspek perilaku
seseorang berdasarkan pemahaman tentang proses kerja antara
otak dengan sistem sarafnya. Sebagai contoh, proses belajar

20
dapat dijelaskan dari perspektif biologi saraf sebagai proses
perubahan pengetahuan yang disimpan pada suatu sistem baru
hasil pembelajaran. Begitu pula, persepsi dapat dipelajari sebagai
aktivitas pencatatan pada sel saraf otak ketika mata menangkap
dan memproyeksikan suatu informasi ke otak.
Penemuan baru sangat meyakinkan bahwa terdapat
hubungan yang sangat erat antara aktivitas-aktivitas otak
dengan perilaku dan pengalaman. Reaksi emosional, misalnya
rasa cemas, dapat ditimbulkan pada seekor bintang dengan
memberikan suatu rangsangan elektris pada area spesifik
di sekitar otak bagian dalam. Rangsangan elektris dapat
menimbulkan sensasi tentang hal-hal yang menyenangkan atau
sebaliknya menyedihkan, walaupun pada dasarnya kita memiliki
memori yang baik di masa lalu.
Perkembangan pendekatan ini mengalami hambatan
karena keterbatasan kita untuk memahami otak manusia yang
sangat kompleks. Untuk itu, pendekatan lain jauh lebih cepat
berkembang.

B. Pendekatan Psikoanalisis
Konsep psikoanalitis
tentang perilaku manusia
dikembangkan oleh Sigmund
Freud dari Eropa, bersamaan
dengan lahirnya pendekatan
perilaku dari AS. Aliran ini
berkembang berdasarkan
suatu konsep bahwa perilaku
manusia pada dasarnya merupakan suatu unjuk laku yang muncul
akibat proses di bawah sadar.

21
Dengan proses di bawah sadar tersebut, berarti cara
berpikir, rasa takut, atau keinginan seseorang akan muncul
secara tidak sadar, dan berpengaruh pada perilaku. Freud percaya
bahwa impuls-impuls bawah sadar seseorang terbentuk karena
dorongan atau sebaliknya akan mati karena perlakuan-perlakuan
yang diterima seseorang dari lingkungannya (keluarga atau
masyarakat sekitarnya) sejak masa kecil. Impuls-impuls tersebut
biasanya muncul pada saat mimpi, kesalahan-kesalahan saat
bicara, atau gejala-gejala sakit mental.
Teori Freud ini menunjukkan bahwa pada dasarnya
manusia itu bukan mahkluk rasional. Freud menilai kehidupan
manusia dari sisi negative—manusia memiliki insting dasar sama
dengan hewan (perilaku manusia berdasarkan pada kebutuhan
dasar seks dan bersifat agresif) dan selalu bertentangan dengan
nilai-nilai kehidupan sosial (sebagai pengendali insting dasar
manusia). Mengingat manusia itu memiliki insting dasar seperti
hewan maka Freud merasa pesimis bahwa manusia akan mampu
hidup bersama secara damai.
Dalam pandangan psikoanalisis, kepribadian manusia
merupakan interaksi antara id, ego, dan superego. Jadi, perilaku
manusia adalah hasil interaksi id, ego, dan superego.
a. Id dimaksudkan sebagai nafsu yang memuat
dorongan-dorongan biologis manusia. Contoh: Id-
lah yang mendorong kita untuk makan dan minum.
b. Ego bergerak atas prinsip realitas adalah struktur
kepribadian yang membawa kita untuk menjejak
pada kenyataan sosial. Oleh sebab itu, ego pulalah
yang membuat keinginan-keinginan kita terpenuhi.
Sebaliknya, id hanya akan menghasilkan sejumlah
keinginan, bukan memenuhinya.

22
c. Superego dipandang sebagai polisi kepribadian,
hati nurani yang berupaya mewujudkan keinginan-
keinginan ideal kita, yaitu norma-norma sosial dan
kultural masyarakat kita.

C. Pendekatan Perilaku (Behaviorisme)


Behaviorisme adalah pendekatan yang sangat
bermanfaat untuk menjelaskan presepsi interpersonal, konsep
diri, eksperimen, sosialisasi, kontrol sosial, serta ganjaran dan
hukuman. Behaviorisme menganalisis perilaku manusia hanya
berdasar perilaku yang tampak dan dapat diukur.
Perilaku manusia adalah
hasil dari proses belajar.
Manusia belajar dari
lingkungannya dari
hasil belajar itulah dia
berperilaku. Oleh karena itu,
manusia dapat dipengaruhi
oleh lingkungannya.
Behaviorisme juga disebut psikologi stimulus-respons (S-R).
Seseorang yang makan pagi, naik sepeda, tertawa, bicara,
menangis, merupakan bentuk-bentuk perilaku manusia sehari-
hari, di mana proses kejadiannya (aktivitasnya) dapat diobservasi.
Pendekatan perilaku ini mulai dikembangkan oleh psikolog
Amerika – John B. Watson awal 1990-an. Sebelumnya, psikologi
didefinisikan sebagai studi mental, di mana data-datanya
diperoleh sebagai hasil observasi sendiri (self observation) yang
direkam dalam form introspeksi.
Introspeksi merupakan catatan individual melalui
observasi dan pencatatan yang teliti tentang persepsi dan

23
perasaan seseorang pada suatu periode tertentu. Introspeksi
merupakan suatu pendekatan yang hanya dapat menghasilkan
gambaran secara individual/bersifat privat, tidak dapat
digeneralisir.
Watson menyatakan bahwa introspeksi merupakan
pendekatan yang sia-sia. Ia harus bisa diobservasi dan dapat
diukur. Hanya Anda yang dapat mengintrospeksi persepsi dan
perasaan Anda. Orang lain hanya dapat mengobservasi perilaku
Anda. Watson mengatakan bahwa hanya dengan pendekatan
observasi, kita dapat mengenal perilaku seseorang sebagai ilmu
psikologi yang objektif.
Perkembangan lain dari pendekatan perilaku adalah
stimulus-response (SR) psikologi, yang dikembangkan oleh BF
Skinner (psikolog Harvard), yang lebih konsentrasi pada apa yang
menjadi input (rangsangan) dan apa output-nya (respons) sehingga
sering disebut pendekatan black-box (tidak memperhatikan
bagaimana proses di dalam organisasinya). Dari pendekatan ini,
sebagai contoh, berkembang pendekatan reward and punishment,
yang dapat mendorong terjadinya proses pembelajaran bagi
manusia dengan cepat serta meminimasi kesalahan.

D. Pendekatan Kognitif
Psikologi kognitif
berpendapat bahwa manusia
bukan hanya penerima stimuli
yang pasif. Mental manusia
mengolah informasi yang
diterimanya dan mengubahnya
menjadi bentuk-bentuk baru
dan memilihnya ke dalam kategori-kategori.

24
Pendekatan kognitif adalah pendekatan yang
menanggapi keresahan orang ketika behaviorisme tidak mampu
menjawab mengapa ada orang yang dapat berprilaku berbeda
dari lingkungannya karena ia memiliki motif pribadinya sendiri
(sef-motivated). Juga karena terlihat bagaimana pasifnya manusia.
Ahli psikologi kognitif berargumentasi bahwa manusia
bukan merupakan reseptor suatu rangsangan yang pasif, tetapi
setiap rangsangan akan diproses secara aktif, di mana infomasi
akan diterima (melalui penglihatan, pendengaran, atau ingatan)
dan ditransformasikan dalam bentuk dan kategori baru di dalam
otak, untuk kemudian digunakan sebagai dasar untuk melakukan
aktivitas (berbicara, membaca, atau belajar).
Kognitif merupakan proses mental dari persepsi,
memori, dan proses pengolahan informasi sehingga seseorang
dapat memiliki pengetahuan baru, memecahkan masalah,
atau menyusun rencana untuk masa depan. Psikologi kognitif
merupakan studi saintifik tentang kognisi—tujuannya untuk
mengembangkan teori yang dapat menjelaskan bagaimana
berorganisasi dan berfungsinya proses mental—proses
menerima, memilih, menggunakan stimulus (informasi) untuk
digunakan sebagai dasar bertindak, membuat keputusan atau
membuat rencana. “Mental Model of Reality” merupakan cikal-
bakal psikologi kognitif.
Kenneth Craik, seorang psikolog Inggris dan sebagai
seorang pionir psikologi kognitif, menyatakan bahwa otak
manusia seperti komputer yang memiliki kemampuan untuk
modeling atau bekerja paralel. Pendekatan psikolog kognitif
analog dengan kerja komputer (sistem pengolah informasi)
di mana infomasi yang masuk diproses dengan berbagai cara:
dipilih, diambil, dan dibandingkan dengan informasi lain yang
dimiliki dalam memori, ditansformasi, disusun, dan sebagainya.

25
Respons hasil bergantung pada proses internal dan kondisi
sesaat.

E. Pendekatan Humanistik/Phenomenology
Pendekatan ini berpendapat bahwa manusia bukan
sekadar wayang yang sibuk mencari identitas, tetapi ia juga
berupaya mencari makna, baik makna kehidupan, makna
kehadiran, serta apa yang dapat diberikan pada lingkungan.
Pendekatan humanistis menekankan pada kreativitas, emosi, dan
pencarian makna di atas kepuasan materi.
Psikologi humanistik bertumpu pada tiga dasar pijakan
yaitu:
a. keunikan manusia;
b. pentingnya nilai dan makna; dan
c. kemampuan manusia untuk mengembangkan diri.
Pendekatan ini menilai
manusia tidak digerakkan oleh
kekuatan luar yang tidak dapat
dikontrolnya, tetapi manusia
adalah pemeran yang mampu
mengontrol nasib sendiri dan
mampu mengubah dunia di
sekelilingnya.
Pendekatan phenomenologi fokus pada pengalaman
subjektif dimulai dengan pemahaman seseorang tentang
dunia, kemudian secara personal ia melakukan suatu aktivitas
berdasarkan interpretasi tentang kejadian-kejadian yang ia
lihat. Aktivitas seseorang merupakan hasil interpretasi atas
pemahaman tentang suatu kejadian atau fenomena yang
diinteraksikan dengan pengalaman yang ia miliki (walaupun
tanpa teori).

26
Konsep psikologi phenomenologikal dimulai dengan
mempelajari karakter alami manusia dalam menginterpretasikan
dirinya dan dunianya, yang dapat dipelajari melalui observasi
setiap aktivitasnya. Dua orang manusia akan menunjukkan
reaksi yang berbeda terhadap suatu perlakuan/situasi yang
sama; dengan bertanya bagaimana interpretasi masing-masing
terhadap situasi yang mereka hadapi, kita akan memahami
perilakunya. Pendekatan phenomenologikal cenderung menolak
konsep bahwa perilaku seseorang dikendalikan oleh bawah
sadar (teori psikoanalitik), atau merupakan reaksi terhadap
faktor-faktor luar (teori perilaku). Mereka percaya bahwa perilaku
seseorang bukan merupakan reaksi atas kekuatan-kekuatan luar
yang terkendali, tetapi merupakan suatu aktualisasi diri sebagai
seorang aktor yang mampu melawan takdir. Konsep ini berawal
dari keyakinan bahwa setiap manusia mampu membangun jalan
hidupnya masing-masing karena kita memiliki kebebasan untuk
memilih dan menentukan tujuan hidup sehingga kita dapat
menyusun rencana untuk memilih jalan hidupnya. Ini merupakan
isu antara free will versus determinism. Ide phenomenologikal ini
sejalan dengan pemikiran-pemikiran Kiergegaard, Sartre, dan
Camus.
Teori phenomenologi juga sering disebut humanistik
karena pendekatan ini membedakan secara tegas antara manusia
dengan binatang, khususnya sehubungan dengan konsep
kebebasan untuk menemukan aktualisasi diri. Sehubungan
dengan teori humanistik ini, dikembangkan teori-teori motivasi
untuk menumbuhkan dan membangun aktualisasi diri seseorang.
Semua dari kita pada dasarnya menuntut kebutuhan dasar
untuk mengembangkan potensi (kompetensi) untuk berkarya
menghasilkan sesuatu melebihi apa yang secara normal dapat
kita perkirakan.

27
Psikologi humanistik berpendapat bahwa manusia bebas
memilih dan menentukan tindakannya sendiri. Oleh karena itu,
setiap orang bertanggung jawab atas tindakannya sendiri dan
tidak dapat menyalahkan lingkungan, orang tua, atau keadaan
atas tindakannya.

F. Asumsi Dasar Manusia Menurut


Pendekatan Humanistik
1. Manusia adalah makhluk yang baik dan dapat dipercaya.
Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang baik dan
berupaya menjalin hubungan yang bermakna dan
konstruktif dengan orang lain.
2. Manusia lebih bijak daripada inteleknya. Manusia lebih
bijak dari pikiran-pikiran yang disadarinya bilamana
manusia berfungsi dengan cara yang baik dan tidak
disentrif.
3. Manusia adalah makhluk yang mengalami. Yaitu
makhluk yang memikirkan berkehendak, merasakan,
dan mempertanyakan. Rogers yakin bahwa inti dari
kehidupan yang bernilai terletak dalam mengalami
sebagai pribadi yang mendalam.
4. Kehidupan ada pada saat ini, kehidupan ialah hidup
sekarang. Kehidupan itu lebih dari sekadar tingkah laku
otonistik yang ditentukan oleh peristiwa masa lalu,
dan nilai kehidupan terletak pada saat sekarang, bukan
pada masa lalu atau pada saat yang akan datang.
5. Manusia adalah makhluk yang bersifat subjektif.Tingkah
laku manusia hanya dapat dipahami berdasarkan dunia
subjektifnya, yaitu bagaimana individu itu memandang
diri dan lingkungannya.

28
6. Hubungan manusiawi yang mendalam merupakan
salah satu kebutuhan yang terpokok manusia.
Meningkatkan hubungan antarpribadi yang mendalam
memiliki potensi yang sangat besar sebagai sumber
kesejahteraan mental manusia.
7. Manusia memiliki kecenderungan ke arah aktualisasi.
Kecenderungan manusia adalah bergerak ke arah
pertumbuhan, kesehatan, penyesuaian, sosialisasi,
realisasi diri, kebebasan, dan otonomi.

G. Aplikasi dari Pendekatan-Pendekatan


Tersebut
Setiap aspek psikologi, pada dasarnya dapat dibahas dari
berbagai dimensi pendekatan tersebut. Sebagai contoh, dalam
studi tentang agresi, psikologi fisiologikal akan tertarik dengan
mempelajari mekanisme otak yang akan memengaruhi perilaku
seseorang. Untuk itu, banyak eksperimen untuk memahami
agresi seekor binatang dengan memberikan stimulasi elektrikal
atau kimia pada area tertentu dari otaknya. Psikologi perilaku
akan tertarik untuk mempelajari jenis-jenis pengalaman belajar
seseorang sehingga kita dapat memahami mengapa dia lebih
agresif dibandingkan dengan lainnya ketika memperoleh suatu
perlakuan. Lebih jauh, kita dapat meneliti faktor-faktor yang
berpengaruh pada perilaku seseorang. Psikologi kognitif lebih
fokus untuk memahami bagaimana seseorang memiliki kesan atas
suatu kejadian di dalam pikirannya dan bagaimana representasi
mentalnya dapat dimodifikasi karena adanya informasi baru.
Psikologi humanistik akan fokus untuk memahami aspek-
aspek situasi kehidupan individual dalam menyalurkan sifat
agresivitasnya menjadi progres untuk menumbuhkan aktualisasi
diri.

29
Setiap pendekatan akan memberikan solusi yang
berbeda dalam mengubah perilaku seseorang. Sebagai contoh,
psikolog fisiologi akan menganjurkan obat atau operasi untuk
mengendalikan agresivitas seseorang. Pendekatan perilaku
akan menganjurkan untuk memodifikasi kondisi lingkungan
kerja untuk mendorong terbentuknya pengalaman belajar baru,
misalnya dengan memberikan penghargaan pada perilaku
nonagresif. Psikolog kognitif akan menganjurkan pendekatan
seperti pendekatan perilaku, walaupun ia akan lebih fokus
pada proses mental aindividual dan proses pengolahan
keputusan seseorang khususnya pada situasi yang kompleks
(emosional). Psikoanalis akan konsentrasi untuk memahami latar
belakang suburnya bawah sadar seseorang yang mendorong
rasa kebencian untuk kemudian mencoba menemukan saluran
perilakunya yang dapat diterima masyarakat, sedangkan psikolog
humanistik akan berusaha menolong manusia untuk dapat
menampilkan perasaannya (feelings) serta membantu agar dia
dapat memperbaiki kemampuan interpersonal. Garis besar tujuan
aliran psikolog humanistik adalah melakukan rekayasa aspek-
aspek sosial untuk mendorong semangat kompetisi dan agresi
seseorang dibandingkan semangat kooperasinya. 

30
Perilaku Kesehatan

Di dunia kesehatan masyarakat, teori Bloom menyatakan


bahwa derajat kesehatan masyarakat ditentukan oleh faktor
lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan, dan faktor
heredity. Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam
pengalaman serta interaksi antara manusia dengan lingkungan
yang diwujudkan dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan.
Perilaku dibentuk melalui suatu proses dan berlangsung
dalam interaksi manusia dan lingkungan. Faktor-faktor yang
memengaruhi terbentuknya perilaku dibedakan menjadi
dua, yaitu faktor intern dan ekstern. Faktor intern mencakup
pengetahuan, kecerdasan, emosi, inovasi, dan sebagainya yang
berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar. Faktor ekstern
meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun nonfisik separti
iklim, sosial ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya.
Perilaku yang terbentuk di dalam diri seseorang dari
dua faktor utama, yaitu stimulus yang merupakan faktor dari luar
diri seseorang (faktor eksternal) dan respons yang merupakan
faktor dari dalam diri orang yang bersangkutan (faktor internal).
Faktor eksternal atau stimulus adalah faktor lingkungan, baik
lingkungan fisik maupun nonfisik dalam bentuk sosial budaya,

31
ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor eksternal yang paling
besar perannya dalam membentuk perilaku manusia adalah
faktor sosial dan budaya tempat seseorang tersebut berada.
Faktor internal yang menentukan seseorang merespons stimulus
dari luar adalah perhatian, pengamatan, persepsi motivasi,
fantasi, sugesti, dan sebagainya.
Terdapat empat cara untuk membentuk perilaku, yaitu
melalui penguatan positif, penguatan negatif, hukuman, dan
pemunahan. Bila suatu respons diikuti dengan sesuatu yang
menyenangkan, respons tersebut penguatan positif. Bila suatu
respons diikuti oleh dihentikannya atau ditarik kembalinya
sesuatu yang tidak menyenangkan, disebut penguatan negatif.
Kedua penguatan positif dan negatif tersebut akan menentukan
hasil dari proses belajar. Keduanya memperkuat respons dan
meningkatkan kemungkinan untuk mengulangi perilaku yang
dipelajari. Penghukuman akan mengakibatkan suatu kondisi
yang tidak enak dalam suatu usaha untuk menyingkirkan suatu
perilaku yang tidak diinginkan. Proses pembentukan sikap dan
perilaku berlangsung secara bertahap dan melalui proses belajar
yang diperoleh dari berbagai pengalaman atau menghubungkan
pengalaman dengan hasil belajar.
Perilaku adalah suatu fungsi dari interaksi antara
person atau individu dengan lingkungannya. Perilaku seseorang
ditentukan oleh banyak faktor. Adakalanya perilaku seseorang
dipengaruhi oleh kemampuannya, ada pula karena kebutuhannya
dan ada juga yang dipengaruhi oleh pengharapan dan
lingkungannya. Perilaku merupakan respons seseorang terhadap
stimulus yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.
Respons ini dapat bersifat pasif atau tanpa tindakan seperti
berpikir, berpendapat, bersikap, ataupun aktif atau melakukan
tindakan.

32
A. Perilaku Kesehatan
Untuk dapat lebih memahami pengertian perilaku
kesehatan, perlu kiranya dicermati terlebih dahulu arti dari
perilaku, yang menurut Edwin G. Boring dalam Mappiare
(2006) menyatakan perilaku merupakan kumpulan respons
yang menjadi sangat kompleks yang selalu berkaitan dengan
situasi, sebagaimana sebuah respons selalu terkait dengan
sebuah stimulus. Perilaku kesehatan menurut Notoatmodjo
(2007) adalah respons seseorang terhadap stimulus atau objek
yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit, dan faktor-faktor
yang memengaruhi sehat sakit (kesehatan) seperti lingkungan,
makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan. Menurut Sarafino
(2006) perilaku kesehatan adalah setiap aktivitas individu yang
dilakukan untuk mempertahankan atau meningkatkan kondisi
kesehatan tanpa memperhatikan status kesehatan, sedangkan
menurut Taylor (2003) mengatakan bahwa perilaku kesehatan
adalah tindakan yang dilakukan individu untuk meningkatkan
atau mempertahankan kondisi kesehatan mereka.
Dengan kata lain, perilaku
kesehatan adalah semua
aktivitas atau kegiatan
seseorang baik yang dapat
diamati (observable) maupun
yang tidak dapat diamati
(unobservable) yang berkaitan
dengan pemeliharaan dan
peningkatan kesehatan.
Pemeliharaan kesehatan
mencakup mencegah atau melindungi diri dari penyakit,
meningkatkan kesehatan, dan mencari penyembuhan bila sakit
atau terkena masalah kesehatan.

33
Oleh sebab itu, perilaku kesehatan pada garis besarnya
dikelompokkan menjadi dua, yakni:
1. Perilaku orang yang sehat
agar tetap sehat dan
meningkat. Perilaku ini
disebut perilaku sehat
(healthy behavior) yang
mencakup perilaku-
perilaku mencegah atau
menghindari penyebab penyakit/masalah kesehatan
(perilaku preventif) dan perilaku dalam mengupayakan
peningkatan status kesehatan (perilaku promotif).
2. Perilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah
kesehatan, untuk memperoleh penyembuhan atau
pemecahan masalah kesehatannya. Perilaku itu disebut
perilaku pencarian pelayanan kesehatan (health seeking
behavior). Perilaku itu mencakup tindakan-tindakan
yang diambil seseorang bila sakit atau terkena masalah
kesehatan untuk memperoleh kesembuhan. Tempat
pencarian kesembuhan ini adalah tempat atau fasilitas
pelayanan kesehatan, baik fasilitas atau tempat pelayanan
kesehatan tradisional (dukun, sinshe, paranormal), maupun
pengobatan modern atau professional (rumah sakit,
puskesmas, poliklinik, dan sebagainya).
Di dalam Budiharto (2010) perilaku kesehatan adalah
respons seseorang terhadap stimulus yang berhubungan dengan
konsep sehat, sakit, dan penyakit. Bentuk operasional perilaku
kesehatan dapat dikelompokkan menjadi tiga wujud, yaitu:
1. Perilaku dalam wujud pengetahuan, yakni dengan
mengetahui situasi atau rangsangan dari luar yang
berupa konsep sehat, sakit, dan penyakit.

34
2. Perilaku dalam wujud sikap, yakni tanggapan batin
terhadap rangsangan dari luar yang dipengaruhi faktor
lingkungan: fisik (kondisi alam), biologis (berkaitan
dengan makhluk hidup), lingkungan sosial (masyarakat
sekitarnya).
3. Perilaku dalam wujud tindakan, yakni berupa perbuatan
terhadap situasi atau ransangan luar.
Di dalam Budiharto (2010) ada beberapa ahli
mengatakan bahwa perilaku kesehatan merupakan fungsi dari:
1. niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan
kesehatan atau pemeliharaan kesehatan (behavior
intention);
2. dukungan sosial dari masyarakat sekitar (social support);
3. ada atau tidaknya informasi kesehatan atau fasilitas
kesehatan (accessibility of information); dan
4. situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak
bertindak (action situation).

B. Klasifikasi Perilaku Kesehatan


Menurut Notoatmodjo (2003), rangsangan yang terkait
dengan perilaku kesehatan terdiri dari empat unsur, yaitu
sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan
lingkungan.
1. Perilaku terhadap sakit dan penyakit
Perilaku tentang bagaimana seseorang
menanggapi rasa sakit dan penyakit yang bersifat
respons internal (berasal dari dalam dirinya) maupun
eksternal (dari luar dirinya), baik respons pasif
(pengetahuan, persepsi, dan sikap) maupun aktif
(praktik) yang dilakukan sehubungan dengan sakit

35
dan penyakit. Perilaku seseorang terhadap sakit dan
penyakit sesuai dengan tingkatan-tingkatan pemberian
pelayanan kesehatan yang menyeluruh atau sesuai
dengan tingkatan pencegahan penyakit, yaitu:
a. perilaku peningkatan dan pemeliharan kesehatan
(health promotion behavior)
Adalah perilaku-perilaku
atau kegiatan-kegiatan
yang berkaitan dengan
upaya mempertahankan dan
meningkatkan kesehatan,
antara lain:
1) makan dengan menu seimbang (appropriate
diet);
2) kegiatan fisik yang teratur dan cukup;
3) tidak merokok, tidak minum minuman keras,
dan tidak menggunakan narkoba;
4) istirahat yang cukup;
5) pengendalian atau manajemen stres; dan
6) perilaku atau gaya hidup positif
b. Perilaku pencegahan penyakit (health prevention
behavior)

Menurut Leavel dan Clark yang disebut


pencegahan adalah segala kegiatan yang dilakukan
baik langsung maupun tidak langsung untuk
mencegah suatu masalah kesehatan atau penyakit.
Pencegahan berhubungan dengan masalah
kesehatan atau penyakit yang spesifik dan meliputi
perilaku menghindar (Romauli, 2009, p.134).

36
Perilaku pencegahan penyakit dan lima
tingkatan pencegahan penyakit menurut Leavel
dan Clark ada lima tingkatan, yaitu (Maryati, 2009,
p.146) di antaranya adalah:
1) Memberikan imunisasi pada golongan yang
rentan untuk mencegah terhadap penyakit-
penyakit tertentu.
2) Isolasi terhadap penyakit menular.
3) Perlindungan terhadap keamanan
kecelakaan di tempat-tempat umum dan di
tempat kerja.

c. Perilaku pencarian pengobatan (health seeking


behavior)
Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan
seseorang pada saat menderita penyakit dan atau
kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari
mengobati sendiri (self treatment) sampai mencari
pengobatan ke luar negeri.

37
d. Perilaku pemulihan kesehatan (health rehabilitation
behavior), meliputi:
1) Mengembangkan lembaga-lembaga
rehabilitasi dengan mengikutsertakan
masyarakat.
2) Menyadarkan masyarakat untuk menerima
mereka kembali dengan memberi dukungan
moral, setidaknya bagi yang bersangkutan
untuk bertahan.
3) Mengusahakan perkampungan rehabilitasi
sosial sehingga setiap penderita yang telah
cacat mampu mempertahankan diri.
4) Penyuluhan dan usaha-usaha kelanjutannya
harus tetap dilakukan seseorang setelah ia
sembuh dari suatu penyakit.

2. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan


Perilaku ini adalah respons individu terhadap
sistem pelayanan kesehatan modern maupun tradisional,
meliputi:
a. respons terhadap fasilitas pelayanan kesehatan;
b. respons terhadap cara pelayanan kesehatan;
c. respons terhadap petugas kesehatan; dan
d. respons terhadap pemberian obat-obatan.
Respons tersebut terwujud dalam pengetahuan,
persepsi, sikap dan penggunaan fasilitas, petugas,
ataupun penggunaan obat-obatan.

3. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental


behaviour)
Perilaku ini adalah respons individu terhadap
lingkungan sebagai determinant (faktor penentu)

38
kesehatan manusia. Lingkup perilaku ini sesuai
lingkungan kesehatan lingkungan, yaitu:
a. Perilaku terhadap air bersih, meliputi manfaat
dan penggunaan air bersih untuk kepentingan
kesehatan.
b. Perilaku sehubungan dengan pembuangan air kotor
atau kotoran. Di sini menyangkut pula hygiene,
pemeliharaan, teknik, dan penggunaannya.
c. Perilaku sehubungan dengan pembuangan limbah,
baik limbah cair maupun padat. Dalam hal ini
termasuk sistem pembuangan sampah dan air
limbah yang sehat dan dampak pembuangan
limbah yang tidak baik.
d. Perilaku sehubungan dengan rumah yang sehat.
Rumah sehat menyangkut ventilasi, pencahayaan,
lantai, dan sebagainya.
e. Perilaku terhadap pembersihan sarang-sarang
vektor.
Lewin (1951) dalam buku Azwar (2007)
merumuskan suatu model hubungan perilaku yang
mengatakan bahwa perilaku adalah fungsi karakteristik
individu dan lingkungan. Karakteristik individu meliputi
berbagai variabel seperti motif, nilai-nilai, sifat
kepribadian, dan sikap yang saling berinteraksi pula
dengan factor-faktor lingkungan dalam menentukan
perilaku. Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar
dalam menentukan perilaku, bahkan kadang-kadang
kekuatannya lebih besar daripada karakteristik individu.
Hal itulah yang menjadikan prediksi perilaku lebih
kompleks.

39
4. Perilaku orang sakit dan perilaku orang sehat
Menurut Sarwono (2004) yang dimaksud
dengan perilaku sakit dan perilaku sehat sebagai
berikut:
a. Perilaku sakit adalah segala bentuk tindakan yang
dilakukan oleh individu yang sedang sakit agar
memperoleh kesembuhan. Perilaku sakit menurut
Suchman adalah tindakan untuk menghilangkan
rasa tidak enak atau rasa sakit sebagai akibat dari
timbulnya gejala tertentu.
b. Perilaku sehat adalah tindakan yang dilakukan
individu untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatannya, termasuk pencegahan penyakit,
perawatan kebersihan diri, dan penjagaan
kebugaran melalui olahraga dan makanan bergizi.
Penyebab perilaku sakit menurut Mechanic
sebagaimana diuraikan oleh Sarwono (2004) adalah
sebagai berikut:
a. Dikenal dan
dirasakannya
tanda dan gejala
yang menyimpang
dari keadaan
normal.
b. Anggapan adanya
gejala serius yang
dapat menimbulkan bahaya.
c. Gejala penyakit dirasakan akan menimbulkan
dampak terhadap hubungan dengan keluarga,
hubungan kerja, dan kegiatan kemasyarakatan.
d. Frekuensi dan persisten (terus-menerus, menetap)
tanda dan gejala yang dapat dilihat.

40
e. Kemungkinan individu untuk terserang penyakit.
f. Adanya informasi, pengetahuan, dan anggapan
budaya tentang penyakit.
g. Adanya perbedaan interpretasi tentang gejala
penyakit.
h. Adanya kebutuhan untuk mengatasi gejala
penyakit.
i. Tersedianya berbagai sarana pelayanan kesehatan,
seperti: fasilitas, tenaga, obat-obatan, biaya, dan
transportasi.

Psikologi memandang perilaku manusia (human


behavior) sebagai reaksi yang dapat bersifat sederhana maupun
bersifat kompleks. Pada manusia khususnya dan pada berbagai
spesies hewan umumnya memang terdapat bentuk-bentuk
perilaku instingtif (species–specific behavior) yang didasari
oleh kodrat untuk mempertahankan kehidupan. Salah satu
karakteristik reaksi perilaku manusia yang menarik adalah sifat
diferensialnya. Maksudnya, satu stimulus dapat menimbulkan
lebih dari satu respons yang berbeda dan beberapa stimulus
yang berbeda dapat saja menimbulkan satu respons yang sama.

C. Model Perilaku Kesehatan


Ada beberapa model perilaku kesehatan menurut para
ahli, yaitu:
1. Model Suchman
Yang terpenting dalam model Suchman adalah
menyangkut pola sosial dari perilaku sakit yang tampak
pada cara orang mencari, menemukan, dan melakukan
perawatan medis.  Pendekatan yang digunakannya

41
berkisar pada adanya 4 unsur yang merupakan faktor
utama dalam perilaku sakit, yaitu:
a. perilaku itu sendiri;
b. sekuensinya;
c. tempat atau ruang lingkup; dan
d. variasi perilaku selama tahap-tahap perawatan
medis. 
Arti keempat unsur tersebut dapat dikembangkan
menjadi lima konsep dasar yang berguna
dalam menganalisis perilaku sakit, yaitu:
a. mencari pertolongan medis dari berbagai sumber
atau pemberi layanan;
b. fragmentasi perawatan medis di saat orang
menerima pelayanan dari  berbagai unit, tetapi
pada lokasi yang sama;
c. menangguhkan (procastination) atau menangguh-
kan upaya mencari pertolongan meskipun gejala
sudah diasakan;
d. melakukan  pengobatan sendiri (self medication);
dan
e. membatalkan atau menghentikan pengobatan
(discontuniti).
2. Model pengelolaan rasa sakit
Menurut Daldiyono (2007: 16), tidak semua
orang sakit memiliki penyakit. Suatu rasa  sakit bukan
merupakan penyakit bila tidak mengganggu aktivitas
dan fungsi pokok, misalnya:  makan, minum, buang
air, tidur, dan aktivitas sehari-hari lainnya,  sedangkan
menurut Lehndorff dalam Daldiyono (2007) rasa sakit
bisa dikelola baik untuk sekadar pengendalian rasa
sakit maupun untuk mencapai penyembuhan diri dari
penyakit yang sedang dideritanya.

42
Faktor utama yang  menunjang kemajuan derajat
kesehatan pasien adalah keinginan dan kehendak yang
besar  untuk mengalami kemajuan. Dalam pandangan
Lehndorff dan Tracy dalam Daldiyono (2007) sikap
optimis  itu dapat diwujudkan dengan memiliki rasa
ingin menjadi lebih baik, memiliki  harapan untuk
menjadi lebih baik, mau berusaha untuk menjadi lebih
baik, dan mereka  belajar metode-metode cepat untuk
memotivasinya.
3. Model Mechanic
Landasan pemikiran model mechanic ini yaitu
mengembangkan suatu model mengenai  faktor-faktor
yang memengaruhi perbedaan cara melihat, menilai,
serta bertindak terhadap suatu gejala penyakit. Teori ini
menekankan pada dua faktor:
a. persepsi dan definisi oleh individu pada suatu
situasi dan
b. kemampuan individu melawan keadaan yang
berat
Dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud perilaku
sakit adalah pola reaksi sosio-kultural yang dipelajari
pada suatu saat ketika individu dihadapkan pada gejala
penyakit sehingga gejala-gejala itu akan dikenal, dinilai,
ditimbang, dan kemudian dapat bereaksi atau tidak
bergantung pada definisi atau situasi itu.
4. Model Andersoon
Kerangka asli model ini yaitu menggambarkan
suatu sekuensi (rangkaian) determinan  (faktor yang
menentukan) individu terhadap pemanfaatan pelayanan
kesehatan oleh keluarga dan dinyatakan bahwa hal itu
bergantung pada:

43
a. Presdisposisi keluarga untuk menggunakan jasa
pelayanan kesehatan, misalnya saja variabel
demografi (umur, jumlah, status perkawinan),
variabel struktur sosial (pendidikan, pekerjaan,
suku bangsa), kepercayaan terhadap magis.
b. Kemampuan untuk melaksanakannya yang terdiri
atas persepsi terhadap penyakit serta  evaluasi
klinis terhadap klinis.
c. Kebutuhan terhadap jasa pelayanan. Faktor
presdisposisi dan faktor yang memungkinkan untuk
mencari pengobatan dapat terwujud di dalam
tindakan apabila itu dirasakan sebagai kebutuhan.
5. Model Keyakinan Sehat
Model keyakinan sehat (health believe model/ HBM)
dikembangkan oleh Rosenstock. Empat keyakinan utama
yang didefinisikan dalam model HBM, yaitu:
a. keyakinan tentang
kerentanan  terhadap
keadaan sakit;
b. keyakinan tentang
keseriusan atau
keganasan penyakit;
c. keyakinan tentang
kemungkinan biaya; dan
d. keyakinan tentang efektivitas tindakan
ini  sehubungan dengan adanya kemungkinan
tindakan alternatif.
Menurut Marshall H. Becker dan Lois A. Maiman,
model ini terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut:
a. Kesiapan seseorang untuk melakukan suatu
tindakan ditentukan oleh pandangan orang itu
terhadap bahaya penyakit tertentu dan persepsi

44
mereka terhadap kemungkinan akibat (fisik dan
sosial) bila terserang penyakit tersebut.
b. Penilaian seseorang terhadap perilaku kesehatan
tertentu, dipandang dari sudut kebaikan  dan
kemanfaatan (misalnya perkiraan subjektif
mengenai kemungkinan manfaat dari suatu tindakan
dalam mengurangi tingkat bahaya dan keparahan).
Kemudian dibandingkan dengan persepsi terhadap
pengorbanan (fisik, uang, dan lain-lain) yang harus
dikeluarkan untuk melaksanakan tindakan tersebut.
c. Suatu “kunci” untuk melakukan tindakan kesehatan
yang tepat harus ada, baik dari  sumber internal
(misalnya gejala penyakit) maupun eksternal
(misalnya interaksi interpersonal, komunikasi
massa).
6. Model Kurt Lewin
Mempunyai pandangan bahwa individu hidup di
lingkungan masyarakat  dan  individu ini akan bernilai
positif dan negatif di suatu daerah atau wilayah
tertentu.  Implikasinya di dalam kesehatan adalah
penyakit atau sakit adalah suatu daerah negatif,
sedangkan sehat adalah wilayah positif.  Ada empat
variabel apabila seseorang bertindak untuk melawan
atau mengatasi penyakit:
a. kerentanan yang dirasakan (perceived suspecbility);
b. keseriusan yang dirasakan (perceived seriousness);
c. manfaat dan rintangan yang dirasakan (perceived
benefits and barriers); dan
d. isyarat atau tanda-tanda (clues)
Lewin berpendapat bahwa perilaku manusia
adalah suatu keadaan yang seimbang antara kekuataan
pendorong (driving forces) dan kekuatan penahan

45
(resistining forces). Teori ini dinamakan force field analysis,
bahwa individu selalu terdapat kekuatan/dorongan
yang saling bertentangan. Keadaan ini dapat berubah
apabila terjadi ketidakseimbangan sehingga ada tiga
kemungkinan terjadinya perubahan perilaku pada diri
seseorang:
a. Kekuatan-kekuatan pendorong meningkat.
b. Kekuatan-kekuatan penahan menurun.
c. Kekuatan pendorong meningkat dan kekuatan
penahan menurun.
7. Model pengambilan keputusan
Ada beberapa kondisi sosial yang khas terjadi,
yaitu:
a. realitas sosial adanya perbedaan pemahaman dan
sikap antara pasien dan anggota keluarganya;
b. perbedaan pemahaman dan sikap pasien
diwujudkan dalam bentuk persepsi atau respons
terhadap penyakit tersebut;
c. setiap di antara mereka mempunyai akses informasi
ke pihak lain mengenai persepsi penyakit; dan
d. adanya komunikasi atau interaksi antara pasien dan
orang lain.
Interaksi ini menghasilkan dua kemungkinan:
dekolektivasi refeksi dan  kolektivasi persepsi. Ada
dua kemungkinan kolektivasi pasien:
1) aktif (inisiatif untuk bertindak dalam proses
penyembuhan) dan
2) pasif ( pasrah terhadap sikap orang lain diluar
dirinya )

46
Domain Perilaku

Meskipun perilaku dibedakan menjadi perilaku tertutup


(covert behavior) dan perilaku terbuka (overt behavior), tetapi
sebenarnya perilaku adalah totalitas yang terjadi pada orang
yang bersangkutan. Perilaku adalah keseluruhan (totalitas)
pemahaman dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil
bersama antara faktor internal dan eksternal. Perilaku seseorang
sangat kompleks dan mempunyai bentangan yang sangat luas.
Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan,
membedakan adanya tiga area/wilayah/ ranah/domain,
yaitu: kognitif (cognitive), afektif (affective), dan psikomotor
(psychomotor). Kemudian oleh ahli pendidikan di Indoneia, ketiga
domain ini diterjemahkan ke dalam cipta (kognitif), rasa (afektif),
dan karsa (psikomotor), atau peri cipta, peri rasa, dan peri tindak.
Dalam perkembangan selanjutnya, berdasarkan
pembagian domain oleh Bloom ini dan untuk kepentingan
pendidikan praktis, dikembangkan menjadi tiga tingkat ranah
perilaku sebagai berikut:

47
A. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi
setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap suatu objek
tertentu. Tanpa pengetahuan seseorang tidak mempunyai dasar
untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan terhadap
masalah yang dihadapi.
1. Macam pengetahuan
Ada empat macam pengetahuan (Widodo, 2006), yaitu:
a. Pengetahuan faktual (factual knowledge)
Pengetahuan yang berupa potongan-potongan
informasi yang terpisah-pisah atau unsur dasar
yang ada dalam suatu disiplin ilmu tertentu.
Pengetahuan faktual pada umumnya merupakan
abstraksi tingkat rendah. Ada dua macam
pengetahuan faktual, yaitu pengetahuan tentang
terminologi (knowledge of terminology) mencakup
pengetahuan tentang label atau simbol tertentu
baik yang bersifat verbal maupun nonverbal dan
pengetahuan tentang bagian detail dan unsur-
unsur (knowledge of specific details and element)
mencakup pengetahuan tentang kejadian, orang,
waktu, dan informasi lain yang sifatnya sangat
spesifik.
b. Pengetahuan konseptual
Pengetahuan yang menunjukkan saling keterkaitan
antara unsur-unsur dasar dalam struktur yang lebih
besar dan semuanya berfungsi bersama-sama.
Pengetahuan konseptual mencakup skema, model
pemikiran, dan teori baik yang implisit maupun
eksplisit. Ada tiga macam pengetahuan konseptual,
yaitu pengetahaun tentang klasifikasi dan kategori,

48
pengetahuan tentang prinsip dan generalisasi, dan
pengetahuan tentang teori, model, dan struktur.
c. Pengetahuan prosedural
Pengetahuan tentang
bagaimana mengerjakan
sesuatu, baik yang bersifat
rutin maupun yang baru.
Sering kali pengetahuan
prosedural berisi langkah-
langkah atau tahapan
yang harus diikuti dalam mengerjakan suatu hal
tertentu.
d. Pengetahuan metakognitif
Mencakup pengetahuan tentang kognisi secara
umum dan pengetahuan tentang diri sendiri.
Penelitian-penelitian tentang metakognitif
menunjukkan bahwa seiring dengan
perkembangannya, siswa menjadi semakin sadar
akan pikirannya dan semakin banyak tahu tentang
kognisi, dan apabila siswa bisa mencapai hal ini
maka mereka akan lebih baik lagi dalam belajar.
2. Dimensi kognitif
Dimensi proses kognitif dalam taksonomi yang baru
yaitu:
a. Menghafal (remember)
Menarik kembali informasi yang tersimpan dalam
memori jangka panjang. Mengingat merupakan
proses kognitif yang paling rendah tingkatannya.
Untuk mengondisikan agar “mengingat” bisa
menjadi bagian belajar bermakna, tugas mengingat
hendaknya selalu dikaitkan dengan aspek
pengetahuan yang lebih luas dan bukan sebagai

49
suatu yang lepas dan terisolasi. Kategori ini
mencakup dua macam proses kognitif: mengenali
(recognizing) dan mengingat (recalling).
b. Memahami (understand)
Mengonstruksi makna atau pengertian berdasarkan
pengetahuan awal yang dimiliki, mengaitkan
informasi yang baru dengan pengetahuan yang
telah dimiliki, atau mengintegrasikan pengetahuan
yang baru ke dalam skema yang telah ada dalam
pemikiran siswa. Karena penyusun skema adalah
konsep maka pengetahuan konseptual merupakan
dasar pemahaman. Kategori memahami
mencakup tujuh proses kognitif: menafsirkan
(interpreting), memberikan contoh (exemplifying),
mengklasifikasikan (classifying), meringkas
(summarizing), menarik inferensi (inferring),
membandingkan (comparing), dan menjelaskan
(explaining).
c. Mengaplikasikan (applying)
Mencakup penggunaan
suatu prosedur guna
menyelesaikan masalah
atau mengerjakan
tugas. Oleh karena
itu, mengaplikasikan
berkaitan erat dengan
pengetahuan prosedural. Namun, tidak berarti
bahwa kategori ini hanya sesuai untuk pengetahuan
prosedural saja. Kategori ini mencakup dua macam
proses kognitif: menjalankan (executing) dan
mengimplementasikan (implementing).

50
d. Menganalisis (analyzing)
Menguraikan suatu permasalahan atau objek
ke unsur-unsurnya dan menentukan bagaimana
saling keterkaitan antara unsur-unsur tersebut dan
struktur besarnya. Ada tiga macam proses kognitif
yang tercakup dalam menganalisis: membedakan
(differentiating), mengorganisir (organizing), dan
menemukan pesan tersirat (attributting).
e. Mengevaluasi
Membuat suatu pertimbangan berdasarkan
kriteria dan standar yang ada. Ada dua macam
proses kognitif yang tercakup dalam kategori ini:
memeriksa (checking) dan mengritik (critiquing).
f. Membuat (create)
Menggabungkan beberapa unsur menjadi
suatu bentuk kesatuan. Ada tiga macam proses
kognitif yang tergolong dalam kategori ini, yaitu:
membuat (generating), merencanakan (planning),
dan memproduksi (producing) (Widodo, 2006).
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan
wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi
materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden (Notoatmodjo, 2007).
3. Faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan
Faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan
seseorang antara lain:
a. Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh
seseorang kepada orang lain agar mereka dapat
memahami. Tidak dapat dipungkiri bahwa makin
tinggi pendidikan seseorang makin mudah pula
bagi mereka untuk menerima informasi dan pada

51
akhirnya makin banyak pengetahuan yang mereka
miliki.
b. Pekerjaan
Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang
memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik
secara langsung maupun tidak langsung.
c. Umur
Dengan bertambahnya umur seseorang akan
terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis
(mental), di mana pada asfek psikologi ini, taraf
berpikir seseorang semakin matang dan dewasa.
d. Minat
Minat diartikan sebagai suatu kecenderungan
atau keinginan yang tinggi terhadap seseuatu.
Minat menjadikan seseorang untuk mencoba
menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh
pengetahuan yang mendalam.
e. Pengalaman
Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah
dialami oleh individu baik dari dalam dirinya
maupun dari lingkungannya. Pada dasarnya
pengalaman mungkin saja menyenangkan atau
tidak menyenangkan bagi individu yang melekat
menjadi pengetahuan pada individu secara
subjektif.
f. Informasi
Kemudahan seseorang untuk memperoleh
informasi dapat membantu mempercepat
seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang
baru. (Wahid, 2007)

52
4. Cara memperoleh pengetahuan
Dari berbagai macam cara yang telah digunakan
untuk memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang
sejarah, dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni:
a. Cara tradisional untuk memperoleh pengetahuan
Cara kuno atau tradisional ini dipakai orang untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan, sebelum
dikemukakannya metode ilmiah atau metode
penemuan secara sistematik dan logis. Cara-cara
penemuan pengetahuan pada periode ini antara
lain meliputi:
1) Cara coba-salah (trial and error)
Cara yang paling
tradisional, yang
pernah digunakan
oleh manusia
dalam memperoleh
pengetahuan
adalah melalui
cara coba-coba atau dengan kata yang lebih
dikenal “trial and error”. Cara ini telah dipakai
orang sebelum adanya peradaban.
Cara coba-coba ini dilakukan dengan
menggunakan kemungkinan dalam
memecahkan masalah, dan apabila
kemungkinan tersebut tidak berhasil, dicoba
kemungkinan lain. Apabila kemungkinan
kedua ini gagal pula maka dicoba kembali
dengan kemungkinan ketiga, dan apabila
kemungkinan ketiga gagal dicoba
kemungkinan keempat dan seterusnya,
sampai masalah tersebut dapat terpecahkan.

53
Itulah sebabnya maka cara ini disebut metode
trial (coba) and error (gagal atau salah) atau
metode coba-salah/coba-coba.
Metode ini telah digunakan orang dalam
waktu yang cukup lama untuk memecahkan
berbagai masalah. Bahkan, sampai sekarang
pun metode ini masih sering digunakan,
terutama oleh mereka yang belum atau
tidak mengetahui suatu cara tertentu dalam
memecahkan masalah yang dihadapi.
2) Cara kekuasaan atau otoritas
Dalam kehidupan manusia sehari-hari, banyak
sekali kebiasaan-kebiasaan dan tradisi-tradisi
yang dilakukan oleh orang, tanpa melalui
penalaran apakah yang dilakukan tersebut baik
atau tidak. Kebiasaan-kebiasaan ini biasanya
diwariskan turun-temurun dari generasi ke
generasi berikutnya. Misalnya, mengapa harus
ada upacara selapanan dan turun tanah pada
bayi, mengapa ibu yang sedang menyusui
harus minum jamu, mengapa anak tidak boleh
makan telur, dan sebagainya.
Kebiasaan seperti ini tidak hanya terjadi pada
masyarakat tradisional saja, melainkan juga
terjadi pada masyarakat modern. Kebiasaan-
kebiasaan ini seolah-olah diterima dari
sumbernya sebagai kebenaran yang mutlak.
Sumber pengetahuan tersebut dapat berupa
pemimpin-pemimpin masyarakat baik formal
maupun informal, ahli agama, pemegang
pemerintahan, dan sebagainya. Dengan
kata lain, pengetahuan tersebut diperoleh

54
berdasarkan pada otoritas atau kekuasaan, baik
tradisi, otoritas pemerintah, otoritas pemimpin
agama, ataupun ahli ilmu pengetahuan.
3) Berdasarkan pengalaman pribadi
Pengalaman
adalah guru
terbaik, demikian
bunyi pepatah.
Pepatah ini
mengandung
maksud bahwa
pengalaman
itu merupakan sumber pengetahuan atau
pengalaman itu merupakan suatu cara untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan.
Oleh sebab itu, pengalaman pribadi pun
dapat digunakan sebagai upaya memperoleh
pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan
cara mengulang kembali pengalaman yang
diperoleh dalam memecahkan permasalahan
yang dihadapi pada masa yang lalu. Apabila
dengan cara yang digunakan tersebut orang
dapat memecahkan masalah yang dihadapi
maka untuk memecahkan masalah lain yang
sama, orang dapat pula menggunakan cara
tersebut. Namun, bila gagal menggunakan
cara tersebut, ia tidak akan mengulangi cara
itu, dan berusaha untuk mencari cara yang
lain sehingga dapat berhasil memecahkannya.
4) Melalui jalan pikiran
Sejalan dengan perkembangan kebudayaan
umat manusia, cara berpikir manusia

55
pun ikut berkembang. Dari sini manusia
mampu menggunakan penalarannya dalam
memperoleh pengetahuannya. Dengan
kata lain, dalam memperoleh kebenaran
pengetahuan manusia telah menggunakan
jalan pikirannya, baik melalui induksi maupun
deduksi.
Induksi dan deduksi pada dasarnya merupakan
cara melahirkan pemikiran secara tidak
langsung melalui pernyataan-pernyataan yang
dikemukakan, kemudian dicari hubungannya
sehingga dapat dibuat kesimpulan. Apabila
proses pembuatan kesimpulan itu melalui
pernyataan-pernyataan khusus kepada
yang umum dinamakan induksi, sedangkan
deduksi adalah pembuatan kesimpulan dari
pernyataan-pernyataan umum kepada yang
khusus.
b. Cara modern dalam memperoleh pengetahuan
Cara baru atau modern dalam memperoleh
pengetahuan pada dewasa ini lebih sistematis,
logis, dan ilmiah. Cara ini disebut “metode
penelitian ilmiah”, atau lebih populer disebut
metodologi penelitian (research methodology).
Cara ini mula-mula dikembangkan oleh Francis
Bacon (1561–1626). Ia adalah seorang tokoh
yang mengembangkan metode berpikir induktif.
Mula-mula ia mengadakan pengamatan langsung
terhadap gejala-gejala alam atau kemasyarakatan.
Kemudian hasil pengamatannya tersebut
dikumpulkan dan diklasifikasikan dan akhirnya
diambil kesimpulan umum. Kemudian metode

56
berpikir induktif yang dikembangkan oleh Bacon ini
dilanjutkan oleh Deobold van Dallen. Ia mengatakan
bahwa dalam memperoleh kesimpulan dilakukan
dengan mengadakan observasi langsung dan
membuat pencatatan-pencatatan terhadap semua
fakta sehubungan dengan objek yang diamatinya.
Pencatatan ini mencakup tiga hal pokok yakni:
1) Segala sesuatu
yang positif
yakni gejala
tertentu yang
muncul pada
saat dilakukan
pengamatan.
2) Segala sesuatu yang negatif yakni gejala
tertentu yang tidak muncul pada saat
dilakukan pengamatan.
3) Gejala-gejala yang muncul secara bervariasi
yaitu gejala-gejala yang berubah-ubah pada
kondisi-kondisi tertentu.
Berdasarkan hasil pencatatan-pencatatan ini
kemudian ditetapkan ciri-ciri atau unsur-unsur
yang pasti ada pada sesuatu gejala. Selanjutnya hal
tersebut dijadikan dasar pengambilan kesimpulan
atau generalisasi. Prinsip-prinsip umum yang
dikembangkan oleh Bacon ini kemudian dijadikan
dasar untuk mengembangkan metode penelitian
yang lebih praktis. Selanjutnya, diadakan
penggabungan antara proses berpikir deduktif-
induktif-verivikatif seperti dilakukan oleh Newton
dan Galileo. Akhirnya, lahir suatu cara melalukan
penelitian, yang dewasa ini dikenal dengan metode

57
penelitian ilmiah (scientific research method)
(Notoatmodjo, 2005).

B. Sikap (Attitude)
Menurut Notoatmodjo (2005), sikap merupakan reaksi
atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap
suatu stimulus atau objek. Sikap juga merupakan kesiapan atau
kesediaan untuk bertindak dan juga merupakan pelaksanaan
motif tertentu.
Menurut Gerungan (2002), sikap merupakan pendapat
maupun pendangan seseorang tentang suatu objek yang
mendahului tindakannya. Sikap tidak mungkin terbentuk
sebelum mendapat informasi, melihat, atau mengalami sendiri
suatu objek.
1. Tingkatan sikap
Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri dari
berbagai tingkatan, yaitu:
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa seesorang atau subjek
mau menerima stimulus yang diberikan (objek).
Misalnya: sikap seseorang terhadap periksa hamil
(antenatal care) dapat diketahui atau diukur dari
kehadiran si ibu untuk mendengarkan penyuluhan
tentang antenatal care di lingkungannya.
b. Menanggapi (responding)
Menanggapi diartikan
sebagai memberikan
jawaban atau
tanggapan terhadap
pertanyaan atau objek
yang dihadapi. Misalnya:

58
seorang ibu yang mengikuti penyuluhan antenatal
care tersebut ditanya atau diminta menanggapi
oleh penyuluh, kemudian ia menjawab atau
menanggapinya.
c. Menghargai (valuing)
Menghargai diartikan sebagai subjek,atau seseorang
memberikan nilai yang positif terhadap objek atau
stimulus, dalam arti, membahasnya dengan orang
lain dan bahkan mengajak atau memengaruhi atau
menganjurkan orang lain merespons. Contoh: ibu
yang telah mengikuti penyuluhan antenatal care
tadi, lalu mendiskusikannya dengan suami atau
bahkan mengajak tetangganya untuk melakukan
antenatal care.
d. Bertanggung jawab (responsible)
Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah
bertanggung jawab terhadap apa yang telah
diyakininya. Seseorang yang telah mengambil
sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, dia harus
berani mengambil risiko bila ada orang lain yang
mencemooh atau adanya risiko lain. Contoh: ibu
yang telah bersikap positif terhadap pentingnya
antenatal care maka ia akan siap dengan segala
risikonya, seperti mengorbankan waktu, kehilangan
sebagian penghasilannya, atau bahkan diomeli
mertuanya karena sering meninggalkan rumah.

Menurut Ahmadi (2003), sikap dibedakan menjadi:


a. Sikap negatif yaitu: sikap yang menunjukkan
penolakan atau tidak menyetujui terhadap norma
yang berlaku di mana individu itu berada.

59
b. Sikap positif yaitu: sikap yang menunjukkan
menerima terhadap norma yang berlaku di mana
individu itu berada.

2. Fungsi sikap
Sedangkan fungsi sikap dibagi menjadi empat
golongan yaitu:
a. Sebagai alat untuk menyesuaikan.
Sikap adalah sesuatu yang bersifat communicable,
artinya sesuatu yang mudah menjalar sehingga
mudah pula menjadi milik bersama. Sikap bisa
menjadi rantai penghubung antara orang dengan
kelompok atau dengan kelompok lainnya.
b. Sebagai alat pengatur tingkah laku.
Pertimbangan dan reaksi pada anak, dewasa, dan
yang sudah lanjut usia tidak ada. Perangsang pada
umumnya tidak diberi perangsang spontan, tetapi
terdapat adanya proses secara sadar untuk menilai
perangsangan-perangsangan itu.
c. Sebagai alat pengatur pengalaman.
Manusia di dalam menerima pengalaman-
pengalaman secara aktif. Artinya semua berasal
dari dunia luar tidak semuanya dilayani oleh
manusia, tetapi manusia memilih mana yang perlu
dan mana yang tidak perlu dilayani. Jadi semua
pengalaman diberi penilaian lalu dipilih.
d. Sebagai pernyataan kepribadian.
Sikap sering mencerminkan pribadi seseorang ini
disebabkan karena sikap tidak pernah terpisah
dari pribadi yang mendukungnya. Oleh karena itu,
dengan melihat sikap pada objek tertentu, sedikit
banyak orang bisa mengetahui pribadi orang

60
tersebut. Jadi, sikap merupakan pernyataan pribadi
(Notoatmodjo, 2005).
Manusia dilahirkan dengan sikap pandangan atau
sikap perasaan tertentu, tetapi sikap terbentuk sepanjang
perkembangan. Peranan sikap dalam kehidupan manusia
sangat besar. Bila sudah terbentuk pada diri manusia maka
sikap itu akan turut menentukan cara tingkahlakunya
terhadap objek-objek sikapnya.
3. Macam-macam Sikap
Adanya sikap akan menyebabkan manusia
bertindak secara khas terhadap objeknya. Sikap dapat
dibedakan menjadi:
a. Sikap sosial
Suatu sikap sosial yang dinyatakan dalam kegiatan
yang sama dan berulang-ulang terhadap objek
sosial. Karena biasanya objek sosial itu dinyatakan
tidak hanya oleh seseorang saja, tetapi oleh orang
lain yang sekelompok atau masyarakat.
b. Sikap individu
Sikap individu dimiliki hanya oleh seseorang
saja, di mana sikap individual berkenaan dengan
objek perhatian sosial. Sikap individu dibentuk
karena sifat pribadi diri sendiri. Sikap dapat
diartikan sebagai suatu bentuk kecenderungan
untuk bertingkah laku, dapat diartikan suatu
bentuk respons evaluatif yaitu suatu respons yang
sudah dalam pertimbangan oleh individu yang
bersangkutan.
Sikap mempunyai beberapa karakteristik yaitu:
a. Selalu ada objeknya
b. Biasanya bersifat evaluatif
c. Relatif mantap

61
d. Dapat diubah
Sikap adalah reaksi atau respons
seseorang yang masih tertutup terhadap stimulus
atau objek. Sikap secara nyata menunjukkan
konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap
stimulus tertentu.

Bagan 1
Hubungan Sikap dan Tindakan
STIMULUS PROSES REAKSI TERBUKA
(rangsangan) STIMULUS (TINDAKAN)

REAKSI TERTUTUP
(Sikap)

Komponen pokok sikap: (Allport, 1954)


1. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap
objek. Artinya, bagaimana keyakinan atau pendapat atau
pemikiran seseorang terhadap objek. Sikap orang terhadap
penyakit kusta misalnya, berarti bagaimana pendapat atau
keyakinan orang tersebut terhadap penyakit kusta.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek,
artinya bagaimana penilaian (terkandung di dalamnya
faktor emosi) orang tersebut terhadap objek. Seperti
contoh butir a, berarti bagaimana orang menilai terhadap
penyakit kusta, apakah penyakit yang biasa saja atau cukup
berbahaya.
3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave), artinya
sikap merupakan komponen yang mendahului tindakan
atau perilaku terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk
bertindak atau berperilaku terbuka (tindakan). Misalnya,

62
sikap terhadap penyakit kusta, adalah apa yang akan
dilakukan seseorang bila ia menderita penyakit kusta.
Ketiga komponen tersebut secara bersama-sama
membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam menentukan
sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi
memegang peranan penting. Contoh: seorang ibu mendengar
(tahu) tentang penyakit demam berdarah (penyebab, cara
penularan, cara pencegahan, dan sebagainya). Pengetahuan
ini akan membawa ibu untuk berpikir dan berusaha supaya
keluarganya, terutama anaknya tidak kena penyakit demam
berdarah. Dalam berpikir ini komponen emosi dan keyakinan ikut
bekerja sehingga ibu tersebut berniat (kecenderungan bertindak)
untuk melakukan 3M agar anaknya tidak terserang demam
berdarah. Ibu ini mempunyai sikap tertentu (berniat melakukan
3M) terhadap objek tertentu yakni penyakit demam berdarah.

C. Tindakan atau Praktik (Practice)


Seperti telah disebutkan bahwa sikap adalah
kecenderungan untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu
terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan
perlu faktor lain, antara lain adanya fasilitas atau sarana prasarana.
Seorang ibu hamil tahu bahwa memeriksakan kehamilannya
adalah penting untuk kesehatan diri dan janinnya, dan sudah
bersikap positif atau berniat untuk melakukan pemeriksaan
kehamilan. Sikap ini akan menjadi tindakan bila ada dukungan
berupa tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan yang dekat
dari rumah, tenaga kesehatan (bidan) yang siap melayani, dan
kendaraan atau apa pun yang mempermudah si ibu sampai ke
tempat pelayanan.
Praktik atau tindakan ini dapat dibedakan menjadi tiga
tingkatan menurut kualitasnya, yaitu:

63
1. Praktik terpimpin (guided respons)
Apabila subjek atau seseorang telah melakukan
sesuatu, tetapi masih bergantung pada tuntunan atau
menggunakan panduan. Misalnya: seorang ibu hamil
bersedia memeriksakan kehamilannya, tetapi masih harus
diingatkan bidan atau tetangganya.
2. Praktik secara mekanisme (mechanism)
Apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau
mempraktikkan sesuatu hal secara otomatis maka disebut
praktik atau tindakan mekanis. Misalnya seorang ibu selalu
mambawa anaknya ke posyandu untuk ditimbang tanpa
harus diingatkan kader atau petugas kesehatan.
3. Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah
berkembang. Artinya apa yang dilakukan tidak sekadar
rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan
modifikasi atau tindakan/perilaku yang berkualitas. Misalnya
menggosok gigi, bukan sekadar aktivitas menggosok gigi,
tetapi dilakukan dengan cara yang benar dan pada waktu
yang benar.

64
Determinan
Perilaku Kesehatan

Dalam bahasa Inggris, kata  health  mempunyai dua


pengertian dalam bahasa Indonesia yaitu sehat atau kesehatan.
Sehat menjelaskan kondisi atau keadaan dari subjek, misalnya
anak sehat, ibu sehat, dan orang sehat, sedangkan kesehatan
menjelaskan tentang sifat dari subjek, misalnya kesehatan
manusia, kesehatan masyarakat, dan kesehatan individu. Sehat
dalam pengertian keadaan atau kondisi mempunyai batasan
yang bebeda-beda. Secara awam, sehat diartikan keadaan
seseorang yang dalam kondisi tidak sakit, tidak ada keluhan,
dapat menjalankan kesehatan sehari-hari, dan sebagainya.
Menurut batasan ilmiah, sehat atau kesehatan telah dirumuskan
dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992,
“Keadaan sempurna baik fisik, mental, dan sosial dan tidak hanya
bebas dari penyakit dan cacat, serta produktif secara ekonomi
dan sosial. Hal ini berarti, kesehatan seseorang tidak hanya
diukur dari aspek fisik, mental, dan sosial saja, tetapi juga diukur
dari produktivitasnya dalam arti mempunyai pekerjaan atau
menghasilkan sesuatu secara ekonomi.

65
A. Konsep Blum
Banyak sekali hal-hal  yang memengaruhi kesehatan
kita, yang mungkin tidak kita sadari bahwa hal-hal yang berada
di sekitar kita adalah faktor-faktor utama yang memengaruhi
kesehatan. Kesehatan adalah hasil interaksi berbagai faktor, baik
faktor internal (fisik dan psikis) maupun faktor eksternal (sosial,
budaya, lingkungan fisik, politik, ekonomi, pendidikan).

Faktor-faktor tersebut saling berkaitan dengan masalah-


masalah lain di luar masalah kesehatan itu sendiri. Menurut
Henrik L. Blum (1974) seperti dikutip Azwar (1983), terdapat
empat faktor yang memiliki pengaruh besar terhadap kesehatan
yaitu faktor perilaku, faktor lingkungan, faktor pelayanan
kesehatan, dan faktor keturunan yang saling memengaruhi.
1. Faktor Perilaku Masyarakat
Perilaku masyarakat dalam menjaga
kesehatan sangat memegang peranan penting untuk
mewujudkan masyarakat yang sehat. Hal itu dikarenakan
budaya hidup bersih dan sehat harus dapat dimunculkan
dari dalam diri masyarakat untuk menjaga kesehatannya.

66
Diperlukan suatu program untuk menggerakan masyarakat
menuju  sehat. Sebagai tenaga motorik tersebut adalah
orang yang memiliki kompetensi dalam menggerakan
masyarakat dan paham akan nilai kesehatan masyarakat.
Masyarakat yang berperilaku hidup bersih dan sehat akan
menghasilkan budaya menjaga lingkungan yang bersih
dan sehat.
Beberapa kegiatan yang mungkin kita lakukan
seperti berolah raga, tidur  yang cukup, tidak merokok,
dan tidak minum minuman beralkohol. Apabila kita
mengembangkan kebiasaan yang bagus dari sejak awal,
hal tersebut berpengaruh positif terhadap kesehatan
tubuh. Sekali-kali atau dalam batas-batas tertentu untuk
waktu yang lebih lama, kita bebas melakukan kebiasaan-
kebiasaan harian. Namun, bagaimanapun juga sikap yang
tidak berlebihan merupakan suatu keharusan agar benar-
benar sehat. Tubuh kita memerlukan tidur  yang cukup,
olahraga, dan rutinitas yang sehat dalam jumlah tertentu
untuk mempertahankan kesejahteraannya.
2. Faktor Lingkungan
Berbicara mengenai lingkungan sering kali
kita meninjau dari kondisi fisik. Lingkungan yang
memiliki kondisi sanitasi buruk dapat menjadi sumber
berkembangnya penyakit. Hal ini jelas membahayakan
kesehatan masyarakat kita. Terjadinya penumpukan
sampah yang tidak dapat dikelola dengan baik, polusi
udara, air, dan tanah juga dapat menjadi penyebab. Upaya
menjaga lingkungan menjadi tanggung jawab semua
pihak, untuk itulah perlu kesadaran dari semua pihak.
Di samping lingkungan fisik juga ada lingkungan
sosial yang berperan. Sebagai makhluk sosial kita
membutuhkan bantuan orang lain sehingga interaksi

67
individu satu dengan yang lainnya harus terjalin dengan
baik. Kondisi lingkungan sosial yang buruk dapat
menimbulkan masalah kejiwaan.
3. Pelayanan kesehatan
Kondisi pelayanan kesehatan juga menunjang
derajat kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan
yang berkualitas sangat dibutuhkan. Masyarakat
membutuhkan posyandu, puskesmas, rumah sakit, dan
pelayanan kesehatan lainnya untuk membantu dalam
mendapatkan pengobatan dan perawatan kesehatan
terutama untuk pelayanan kesehatan dasar yang memang
banyak dibutuhkan masyarakat.  Kualitas dan kuantitas
sumber daya manusia di bidang kesehatan juga  harus
ditingkatkan. Puskesmas sebagai garda terdepan dalam
pelayanan kesehatan masyarakat sangat besar peranannya
sebab di puskesmaslah akan ditangani masyarakat yang
membutuhkan edukasi dan perawatan primer. Banyak
kejadian kematian yang seharusnya dapat dicegah seperti
diare, demam berdarah, malaria, dan penyakit degeneratif
yang berkembang saat ini seperti jantung koroner,
stroke, diabetes mellitus asalkan masyarakat paham dan
melakukan nasihat dalam menjaga kondisi lingkungan
dan kesehatannya.
4. Faktor keturunan yang saling memengaruhi (genetik)
Nasib suatu bangsa
ditentukan oleh
kualitas generasi
mudanya.  Oleh
sebab itu, kita
harus terus
meningkatkan
kualitas generasi

68
muda kita agar mereka mampu berkompetisi dan memiliki
kreativitas tinggi dalam membangun bangsanya.
Dalam hal ini kita harus memperhatikan status gizi
balita sebab pada masa inilah perkembangan otak anak
yang menjadi aset kita di masa mendatang. Namun, masih
banyak saja anak Indonesia yang status gizinya kurang,
bahkan buruk  padahal potensi alam Indonesia cukup
mendukung. Oleh sebab itulah, program penanggulangan
kekurangan gizi dan peningkatan status gizi masyarakat
masih tetap diperlukan seperti  program  posyandu
yang biasanya dilaksanakan di tingkat RT/RW. Dengan
berjalannya program ini maka akan terdeteksi secara dini
status gizi masyarakat dan cepat dapat tertangani.
Semua negara di dunia menggunakan konsep Blum
dalam menjaga kesehatan warga negaranya. Untuk negara
maju saat ini sudah fokus pada peningkatan kualitas
sumber daya manusia sehingga asupan makanan anak-
anak mereka begitu dijaga dari segi gizi sehingga
akan melahirkan keturunan yang berbobot. Kondisi
yang berseberangan dialami Indonesia sebagai  negara
agraris, segala regulasi pemerintah tentang kesehatan
malah fokus pada penanggulangan kekurangan gizi
masyarakatnya. Bahkan, dilematisnya, banyak masyarakat
kota yang mengalami kekurangan gizi padahal dari hasil
penelitian membuktikan wilayah Indonesia potensial
sebagai lahan pangan dan perternakan karena wilayahnya
yang luas dengan topografi yang mendukung.  Sering
kali dalam analisis kesehatan,  pemerintah kurang
mempertimbangkan sisi kesehatan masyarakat (public
health) sehingga kebijakan yang dibuat hanya dari sudut
pandang kejadian sehat-sakit.

69
Perilaku adalah
resultan antarstimulus
(faktor eksternal) dengan
respons (faktor internal)
dalam subjek atau orang
yang berperilaku tersebut.
Perilaku seseorang atau
subjek dipengaruhi atau
ditentukan oelah faktor-
faktor baik dari dalam maupun dari luar subjek.
Faktor yang menentukan atau membentuk
perilaku ini disebut determinan. Dalam bidang perilaku
kesehatan ada tiga teori yang sering menjadi acuan dalam
penelitian kesehatan.

B. Teori Lawrence Green


Ada dua determinan masalah kesehatan, yaitu faktor
perilaku (behavioral factor) dan faktor nonperilaku (non-behavioral
factor). Faktor-faktor tersebut ditentukan oleh tiga faktor utama.
1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors)
Faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi
terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan,
sikap, keyakinan, kepercayaan, nila-nilai, dan tradisi.
Misalnya, seorang ibu mau membawa anaknya ke
posyandu karena tahu bahwa di posyandu akan
dilakukan penimbangan anak untuk mengetahui
pertumbuhannya. Anaknya akan memperoleh imunisasai
untuk pencegahan penyakit, dan sebagainya. Tanpa
adanya pengetahuan-pengetahuan ini, ibu tersebut
mungkin tidak akan membawa anaknya ke posyandu.

70
2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors)
Faktor-faktor yang memungkinkan atau yang
memfasilitasi perilaku serta tindakan. Yang dimaksud
dengan faktor pemungkin adalah saran dan prasarana
atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan,
misalnya puskesmas, posyandu, rumah sakit, tempat
pembuangan air, tempat pembuangan sampah, tempat
olahraga, makanan bergizi, uang, dan sebagainya.
Misalnya, sebuah keluarga yang sudah tahu masalah
kesehatan, mengupayakan keluarganya untuk
menggunakan iar bersih, buang air besar di WC, makan
makanan yang bergizi, dan sebagainya. Namun, apabila
keluarga tersebut tidak mampu untuk mengadakan
fasilitas itu semua maka dengan terpaksa buang air
besar di kali atau kebun, menggunakan air kali untuk
keperluan sehari-hari, makan seadanya, dan sebagainya.

3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors) yaitu


Faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat
terjadinya perilaku. Kadang-kadang, meskipun seseorang
tahu dan mampu untuk berperlaku sehat, tetapi tidak
melakukannya, seorang ibu hamil tahu manfaat periksa
hamil dan di dekat rumahnya ada polindes, dekat
dengan bidan, tetapi dia tidak mau melakukan periksa
hamil karena ibu lurah dan ibu-ibu tokoh lain tidak
pernah periksa hamil, tetapi anaknya tetap sehat. Hal
ini berarti, bahwa untuk berperilaku sehat memerlukan
contoh dari para tokoh masyarakat.
Model ini dapat digambar sebagai berikut:

B = f (PF,EF,RF)

71
B = behaviour
PF = predisposing factors
EF = enebling factors
RF = reinforcing factors
f = fungsi
Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat
tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap,
kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang atau masyarakat
yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas, sikap,
dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga
akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.
Seseorang yang tidak mau mengimunisasikan anaknya
di posyandu dapat disebabkan karena orang tersebut tidak
atau belum mengetahui manfaat imunisasi bagi anaknya.
(predisposing factor). Atau, barangkali juga karena rumahnya
jauh dari posyandu atau puskesmas tempat mengimunisasikan
anaknya (enabling factor). Sebab lain, mungkin karena para
petugas kesehatan atau tokoh masyarakat lain disekitarnya tidak
pernah mengimunisasikan anaknya (reinforcing factors).

C. Teori Snehandu B. Kar


Kar menganalisis perilaku kesehatan dengan bertitik
tolak bahwa perilaku itu merupakan fungsi dari:
1. Adanya niat
(intention) seseorang
untuk bertindak
sehubungan dengan
objek atau stimulus
di luar dirinya.
Misalnya orang mau membuat jamban/WC keluarga
di rumahnya apabila dia mempunyai niat untuk itu.

72
2. Adanya dukungan dari masyarakat sekitar (social
support). Di dalam kehidupan seseorang di
masyarakat, perilaku orang tersebut cenderung
memerlukan legitimasi dari masyarakat sekitarnya.
Apabila perilaku tersebut bertentangan atau tidak
memperoleh dukungan dari masyarakat maka dia
akan merasa kurang atau tidak nyaman. Demikian
pula untuk berperilaku sehat, orang memerlukan
dukungan dari masyarakat sekitarnya, minimal
tidak mendapat gunjingan atau bahan pembicaraan
masyarakat.
3. Terjangkaunya informasi, yaitu tersedianya
informasi-informasi terkait dengan tindakan yang
akan diambil seseorang. Misalnya, sebuah keluarga
mau ikut program keluarga berencana apabila
keluarga ini memperoleh penjelasan yang lengkap
tentang keluarga berencana yaitu tujuan ber-KB,
bagaimana cara ber-KB (alat-alat kontrasepsi yang
tersedia), efek samping dari KB yang digunakan, dan
sebagainya.
4. Adanya otonomi atau kebebasan pribadi untuk
mengambil keputusan. Di Indonesia, terutama ibu-
ibu, kebebasan pribadinya masih terbatas, terutama
di pedesaan. Seorang istri dalam pengambilan
keputusan masih sangat bergantung pada suami.
Misalnya, untuk membawa anaknya yang sakit ke
puskesmas harus menunggu setelah suaminya
pulang kerja. Demikian pula, untuk periksa hamil,
seorang istri harus memperoleh persetujuan dari
suami, dan kalu suami tidak setuju maka tidak akan
ada pemeriksaan kehamilan.

73
5. Adanya kondisi atau situasi yang memungkinkan
(action situation). Untuk bertindak apa pun memang
diperlukan suatu kondisi dan situasi yang tepat.
Kondisi dan situasi mempunyai pengertian yang
luas, baik fasilitas yang tersedia serta kempuan yang
ada. Untuk membangun rumah yang sehat misalnya,
jelas sangat bergantung pada kondisi ekonomi dari
orang yang bersangkutan. Meskipun faktor yang
lain tidak ada masalah, tetapi apabila kondisi dan
situasinya tidak mendukung maka perilaku tesebut
tidak akan terjadi.
Uraian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

B = f (BI, SS, AL, PA, AS)


B = behaviour
f = fungsi
BI = behaviour intention
SS = social support
AI = accessibility of information
PA = personal autonomy
AS = action situation

Seorang ibu yang tidak mau ikut KB, mungkin karena


ia tidak ada minat dan niat terhadap KB (behaviour intention),
atau barangkali juga karena tidak ada dukungan dari masyarakat
sekitarnya (social support). Mungkin juga karena kurang atau
tidak memperoleh informasi yang kuat tentang KB (accessibility
of information), atau mungkin ia tidak mempunyai kebebasan
untuk menentukan, misalnya harus tunduk kepada suaminya,
mertuanya, atau orang lain yang ia segani (personal autonomy).
Faktor lain yang mungkin menyebabkan ibu ini tidak ikut KB

74
adalah karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan,
misalnya alasan kesehatan (action situation).

D. Teori WHO
Ada empat determinan yaitu:
1. Pemikiran dan perasaan (thought and feeling)
Yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi,
sikap, kepercayaan-kepercayaan, dan penilaian-
penilaian seseorang terhadap objek (dalam hal ini
adalah objek kesehatan).
Merupakan hasil pemikiran-
pemikran dan perasaan-
perasaan seseorang, atau lebih
tepat diartikan pertimbangan-
pertimbangan pribadi
terhadap objek atau stimulasi,
merupakan modal awal untuk
bertindak atau berperilaku.
Misalnya, seorang ibu akan membawa
anaknya ke puskesmas untuk memperoleh imunisasi,
akan didasarkan pertimbangan untung ruginya,
manfaatnya, dan sumber daya atau uangnya yang
tersedia.
Pengetahuan diperoleh dari pengalaman
sendiri atau pengalaman orang lain. Seorang anak
memperoleh pengetahuan bahwa api itu panas setelah
memperoleh pengetahuan bahwa api itu panas setelah
memperoleh pengalaman, tangan atau kakinya kena
api. Seorang ibu akan mengimunisasikan anaknya
setelah melihat anak tetangganya kena penyakit polio

75
sehingga cacat karena anak tetangganya tersebut
belum pernah memperoleh imunisasi polio.
Kepercayaan sering diperoleh dari orang tua,
kakek, atau nenek. Seseorang menerima kepercayaan
itu berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya
pembuktian terlebih dahulu. Misalnya wanita hamil
tidak boleh makan telur agar tidak kesulitan waktu
melahirkan.
Sikap menggambarkan suka atau tidak suka
seseorang terhadap objek. Sikap sering diperoleh dari
pengalaman sendiri atau orang lain yang paling dekat.
Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi
orang lain atau objek lain. Sikap positif terhadap nilai-
nilai kesehatan tidak selalu terwujud dalam suatu
tindakan yang nyata. Hal itu disebabkan oleh beberapa
alasan yang telah disebutkan.
Sikap akan terwujud di dalam suatu tindakan
bergantung pada situasi saat itu. Misalnya, seorang
ibu yang anaknya sakit, segera ingin membawanya ke
puskesmas, tetapi pada saat itu tidak mempunyai uang
sepeser pun sehingga dia gagal membawa anaknya ke
puskesmas.
Sikap akan diikuti atau tidak diikuti oleh
tindakan yang mengacu kepada pengalaman orang
lain. Seorang ibu tidak mau membawa anaknya yang
sakit keras ke rumah sakit meskipun dia mempunyai
sikap yang positif terhadap RS, sebab ia teringat akan
anak tetangganya yang meninggal setelah beberapa
hari di RS.
Sikap diikuti atau tidak diikuti oleh suatu
tindakan berdasarkan pada banyak atau sedikitnya
pengalaman seseorang. Seorang akseptor KB dengan

76
alat kontrasepsi IUD mengalami perdarahan. Meskipun
sikapnya sudah positif terhadap KB, tetapi ia kemudian
tetap tidak mau ikut KB dengan alat kontrasepsi apa
pun.
Di dalam suatu masyarakat apa pun selalu
berlaku nilai-nilai yang menjadi pegangan setiap
orang dalam menyelenggarakan hidup bermasyarakat.
Misalnya, gotong royong adalah suatu nilai yang selalu
hidup di masyarakat.
2. Adanya acuan atau referensi dari seseorang atau
pribadi yang dipercaya (personal references).
Di dalam masyarakat, di mana sikap peternalistik
masih kuat maka perubahan perilaku masyarakat
bergantung dari perilaku acuan atau referensi yang
pada umumnya adalah para tokoh masyarakat
setempat. Misalnya, orang mau membangun jamban
keluarga kalau para tokoh masyarakatnya sudah lebih
dulu mempunyai jamban keluarga sendiri.
Perilaku orang lebih-lebih perilaku anak kecil,
lebih banyak dipengaruhi oleh orang-orang yang
dianggap penting. Apabila seseorang itu penting
untuknya maka apa yang ia katakan atau perbuatan
cenderung untuk dicontoh. Untuk anak-anak sekolah
misalnya maka gurulah yang menjadi panutan
perilaku mereka. Orang-orang yang dianggap penting
ini sering disebut kelompok referensi (reference group),
antara lain guru, para ulama, kepala adat (suku), kepala
desa, dan sebagainya.
3. Sumber daya (resources)
Sumber daya (resources) yang tersedia
merupakan pendukung untuk terjadinya perilaku
seseorang atau masyarakat. Kalau dibandingkan

77
dengan teori Green, sumber daya ini adalah sama
dengan  enabling factors  (sarana dan prasarana atau
fasilitas). Misalnya, sebuah keluarga akan selalu
menyediakan makanan yang bergizi bagi anak-anaknya
apabila mempunyai uang yang cukup untuk memebeli
makanan tersebut, dan orang mau menggosok gigi
menggunakan pasta gigi kalau mampu membeli sikat
gigi dan pasta gigi.
Sumber daya di sini mencakup fasilitas, uang,
waktu, tenaga, dan sebagainya. Semua itu berpengaruh
terhadap perilaku seseorang atau sekelompok
masyarakat. Pengaruh sumber daya terhadap perilaku
dapat bersifat positif maupun negatif. Misalnya
pelayanan puskesmas dapat berpengaruh positif
terhadap perilaku penggunaan puskesmas, tetapi juga
dapat berpengaruh sebaliknya.
4. Sosiobudaya (culture)
Merupakan faktor eksternal untuk
terbentuknya perilaku seseorang. Sosiobudaya
setempat biasanya sangat berpengaruh terhadap
perilaku seseorang. Hal ini dapat kita lihat dari perilaku
tiap-tiap etnis di Indonesia yang berbeda-beda karena
memang masing-masing etnis mempunyai budaya
yang berbeda-beda.
Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai,
dan penggunaan sumber-sumber di dalam suatu
masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way
of life) yang pada umumnya disebut kebudayaan.
Kebudayaan ini terbentuk dalam waktu yang
lama sebagai akibat dari kehidupan suatu masyarakat
bersama. Kebudayaan selalu berubah, baik lambat
maupun cepat, sesuai dengan peradaban umat

78
manusia. Kebudayaan atau pola hidup masyarakat
di sini merupakan kombinasi dari semua yang telah
disebutkan.
Perilaku yang normal adalah salah satu
aspek dari kebudayaan, dan selanjutnya kebudayaan
mempunyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku
ini.
Perilaku yang sama di antara beberapa orang
dapat disebabkan oleh sebab atau latar belakang yang
berbeda-beda. Misalnya, alasan masyarakat tidak mau
berobat ke puskesmas. Mungkin karena tidak percaya
terhadap puskesmas, mungkin takut pada dokternya,
mungkin tidak tahu fungsinya puskesmas, dan lain
sebagainya.
Secara sederhana dapat diilustrasikan sebagai
berikut:

B = f (TF, PR, R, C)
B = behaviour
f = fungsi
TF = thoughts and feeling
PR = personal reference
R = resources
C = culture

Disimpulkan bahwa perilaku kesehatan seseorang atau


masyarakat ditentukan oleh pemikiran dan perasaan seseorang,
adanya orang lain yang dijadikan referensi dan sumber-sumber
atau fasilitas-fasilitas yang dapat mendukung perilaku dan
kebudayaan masyarakat. Seseorang yang tidak mau membuat
jamban keluarga, atau tidak mau buang air besar di jamban,

79
mungkin karena ia mempunyai pemikiran dan perasaan yang
tidak enak kalau buang air besar dijamban (thought and feeling).
Atau barangkali karena tokoh idolanya juga tidak membuat
jamban keluarga sehingga tidak ada orang yang menjadi
referensinya (personal reference). Faktor lain juga mungkin karena
langkah sumber-sumber yang diperlukan atau tidak mempunyai
biaya untuk membuat jamban keluarga (resource). Faktor lain lagi
mungkin karena kebudayaan (culture), bahwa jamban keluarga
belum merupakan budaya masyarakat.
Kini makin disadari kesehatan dipengaruhi oleh
determinan sosial dan lingkungan, fisik, dan biologi. Ada sepuluh
determinan sosial yang dapat memengaruhi kesehatan.
1. Kesenjangan sosial
Masyarakat dengan kelas sosial ekonomi lemah,
biasanya sangat rentan dan berisiko terhadap penyakit,
serta memiliki harapan hidup yang rendah.
2. Stres
Stres merupakan keadaan
psikologis/jiwa yang labil.
Kegagalan menanggulangi
stres baik dalam kehidupan
sehari-hari di rumah dan
di lingkungan kerja akan
memengaruhi kesehatan
seseorang.
3. Pengucilan sosial
Kehidupan di pengasingan atau perasaan terkucil akan
menghasilkan perasaan tidak nyaman, tidak berharga,
kehilangan harga diri, akan memengaruhi kesehatan
fisik maupun mental.

80
4. Kehidupan dini
Kesehatan masa dewasa ditentukan oleh kondisi
kesehatan di awal kehidupan. Pertumbuhan fisik
yang lambat serta dukungan emosi yang kurang baik
pada awal kehidupan akan memberikan dampak pada
kesehatan fisik, mental, dan kemampuan intelektual
masa dewasa.
5. Pekerjaan
Stres di tempat kerja meningkatkan risiko terhadap
penyakit dan kematian. Syarat-syarat kesehatan di
tempat kerja akan membantu meningkatkan derajat
kesehatan.
6. Pengangguran
Pekerjaan merupakan penopang biaya kehidupan.
Jaminan pekerjaan yang mantap akan meningkatkan
kesehatan dan kesejahteraan bagi diri dan keluarganya.
7. Dukungan sosial
Hubungan sosial termasuk di antaranya adalah
persahabatan serta kekerabatan yang baik dalam
keluarga dan juga di tempat kerja.
8. Penyalahgunaan Napza
Pemakaian Napza merupakan faktor memperburuk
kondisi kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan.
Napza atau pemakaian narkoba, alkohol, dan merokok
akan memberikan dampak buruk terhadap kehidupan
sosial ekonomi masyarakat.
9. Pangan
Ketersediaan pangan, pendayagunaan penghasilan
keluarga untuk pangan, serta cara makan berpengaruh
terhadap kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat.
Kekurangan gizi maupun kelebihan gizi berdampak
terhadap kesehatan dan penyakit.

81
10. Transportasi
Transportasi yang
sehat, mengurangi
waktu berkendara,
meningkatkan
aktivitas fisik yang
memadai akan baik
bagi kebugaran dan
kesehatan. Selain itu,
mengurangi waktu berkendara dan jumlah kendaraan
akan mengurangi polusi pada manusia.

E. Teori A-B-C (Antecedent-Behaviour-


Consequence)
Program modifikasi perilaku menjadi populer dalam
domain keselamatan karena terbukti bahwa sebagian besar
kecelakaan disebabkan oleh perilaku yang tidak aman.
Meskipun fokus pada upaya mengubah perilaku tidak aman
menjadi perilaku aman adalah penting, tetapi upaya untuk
menganalisi mengapa orang berperilaku tidak aman adalah
lebih penting. Dengan hanya berfokus pada perubahan
perilaku individu tanpa memperhatikan bagaimana orang
tersebut termotivasi untuk berubah hanya akan menghasilkan
perubahan pada gejalanya saja. Sementara itu, penyebab
dasar mengapa orang berperilaku tidak aman masih belum
diketahui (Fleming, M. & R. Lardner. 2002).
Perilaku merupakan fungsi dari lingkungan sekitar.
Kejadian yang terjadi di lingkungan sekitar dapat dibagi
menjadi dua kategori, yaitu kejadian yang mendahului suatu
perilaku dan kejadian yang mengikuti suatu perilaku. Kejadian

82
yang muncul sebelum suatu perilaku disebut anteseden,
sedangkan kejadian yang mengikuti suatu perilaku disebut
konsekuensi (McSween, 2003). Perilaku memiliki prinsip
dasar dapat dipelajari dan diubah dengan mengidentifikasi
dan memanipulasi keadaan lingkungan atau stimulus yang
mendahului dan mengkuti suatu perilaku (Geller, 2001a).
Elemen inti dari modifikasi perilaku adalah model
ABC dari perilaku. Menurut model ABC, perilaku dipicu oleh
beberapa rangkaian peristiwa anteseden (sesuatu yang
mendahului sebuah perilaku dan secara kausal terhubung
dengan perilaku itu sendiri) dan diikuti oleh konsekuensi
(hasil nyata dari perilaku bagi individu) yang dapat
meningkatkan atau menurunkan kemungkinan perilaku
tersebut akan terulang kembali. Analisis ABC membantu
dalam mengidentifikasi cara-cara untuk mengubah perilaku
dengan memastikan keberadaan anteseden yang tepat dan
konsekuensi yang mendukung perilaku yang diharapkan
(Fleming, M. & R. Lardner. 2002).
Anteseden yang juga
disebut sebagai aktivator
dapat memunculkan suatu
perilaku untuk mendapatkan
konsekuensi yang diharapkan
(reward) atau menghindari
konsekuensi yang tidak
diharapkan (penalty). Dengan
demikian, anteseden mengarahkan suatu perilaku dan
konsekuensi menentukan apakah perilaku tersebut akan
muncul kembali (Geller, 2001a).
Hubungan antara anteseden, perilaku, dan
konsekuensi dapat dilihat pada gambar. Panah dua arah
di antara perilaku dan konsekuensi menegaskan bahwa

83
konsekuensi memengaruhi kemungkinan perilaku tersebut
akan muncul kembali. Konsekuensi dapat menguatkan atau
melemahkan perilaku sehingga dapat meningkatkan atau
mengurangi frekuensi kemunculan perilaku tersebut. Dengan
kata lain, konsekuensi dapat meningkatkan atau menurunkan
kemungkinan-kemungkinan perilaku akan muncul kembali
dalam kondisi yang serupa (McSween, 2003). Anteseden
adalah penting, tetapi tidak cukup berpengaruh untuk
menghasilkan perilaku. Konsekuensi menjelaskan mengapa
orang mengadopsi perilaku tertentu (Fleming, M. & R. Lardner.
2002).

Gambar Hubungan antara Anteseden, Perilaku, dan


Konsekuensi

Anteseden
Perilaku Konsekuensi

Sumber: Mc Sween 2003:90

Model ABC dapat digunakan untuk mempromosikan


perilaku sehat dan selamat. Sebagai contoh, analisis ABC
dapat digunakan untuk menyelidiki mengapa pekerja tidak
menggunakan alat pelindung telinga pada lingkungan
yang bising dan mengidentifikasi bagaimana cara untuk
mempromosikan penggunaan alat pelindung telinga (APT)
sehingga dapat mengurangi kehilangan pendengaran
(Fleming, M. &R. Lardner. 2002)
1. Anteseden (Antecedents)
Anteseden adalah peristiwa lingkungan yang
membentuk tahap atau pemicu perilaku. Anteseden

84
yang secara reliable mengisyaratkan waktu untuk
menjalankan sebuah perilaku dapat meningkatkan
kecenderungan terjadinya suatu perilaku pada saat
dan tempat yang tepat. Anteseden dapat bersifat
alamiah (dipicu oleh peristiwa-peristiwa lingkungan)
dan terencana (dipicu oleh pesan/peringatan yang
dibuat oleh komunikator) (Graeff dkk., 1996).
Contoh anteseden yaitu peraturan dan prosedur,
peralatan dan perlengkapan yang sesuai, informasi,
rambu-rambu, keterampilan, dan pengetahuan, serta
pelatihan (Fleming, M. & R. Lardner. 2002). Menurut
Anne R. French seperti yang dikutip Roughton (2002),
anteseden dapat berupa safety meetings, penetapan
tujuan, peraturan, perjanjian kontrak, kebijakan dan
prosedur, penambahan dan pengurangan insentif,
intruksi, penempatan rambu atau label keselamatan,
pelatihan, pemodelan.
Meskipun anteseden diperlukan untuk memicu
perilaku, tetapi kehadirannya tidak menjamin
kemunculan suatu perilaku. Sebagai contoh, adanya
peraturan dan prosedur keselamatan belum tentu
memunculkan perilaku aman. Bagaimanapun, adanya
anteseden yang memiliki efek jangka panjang seperti
pengetahuan sangat penting untuk menciptakan
perilaku aman. Anteseden adalah penting untuk
memunculkan perilaku, tetapi pengaruhnya tidak
cukup untuk membuat perilaku tersebut bertahan
selamanya. Untuk memelihara perilaku dalam jangka
panjang dibutuhkan konsekuensi yang signifikan bagi
individu (Fleming, M. & R. Lardner. 2002).

85
2. Konsekuensi (Consequences)
Konsekuensi adalah perstiwa lingkungan yang
mengikuti sebuah perilaku, yang juga menguatkan,
melemahkan atau menghentikan suatu perilaku.
Secara umum, orang cenderung mengulangi perilaku-
perilaku yang membawa hasil-hasil positif dan
menghindari perilaku-perilaku yang memberikan
hasil-hasil negatif (Graeff dkk, 1996).
Konsekuensi didefinisikan sebagai hasil
nyata dari perilaku individu yang memengaruhi
kemungkinan perilaku tersebut akan muncul kembali.
Dengan demikian, frekuensi suatu perilaku dapat
meningkat atau menurun dengan menetapkan
konsekuensi yang mengikuti perilaku tersebut
(Fleming, M. & R. Lardner. 2002).
Konsekuensi dapat berupa pembuktian diri,
penerimaan atau penolakan dari rekan kerja, sanksi,
umpan balik, cedera atau cacat, penghargaan,
kenyamanan atau ketidaknyamanan, rasa terima
kasih, dan penghematan waktu (Roughton, 2002).
Ada tiga macam konsekuensi yang
memengaruhi perilaku, yaitu penguatan positif,
penguatan negatif, dan hukuman. Penguatan positif
dan penguatan negatif memperbesar kemungkinan
suatu perilaku untuk muncul kembali, sedangkan
hukuman memperkecil kemungkinan suatu perilaku
untuk muncul kembali (Fleming, & R. Lardner: 2002).
Penguatan positif dapat berupa mendapatkan
sesuatu yang diinginkan seperti umpan balik positif
terhadap pencapaian, dikenal oleh atasan, pujian dari
rekan kerja, dan penghargaan. Penguatan negatif dapat
berupa terhindar dari sesuatu yang tidak diinginkan

86
seperti terhindar dari pengucilan oleh rekan kerja,
terhindar dari rasa sakit, terhindar dari kehilangan
insentif, dan terhindar dari denda. Hukuman dapat
berupa mendapatkan sesuatu yang tidak diinginkan
atau kehilangan sesuatu yang dimiliki atau diinginkan
seperti kehilangan keuntungan, aksi pendisiplinan,
rasa sakit/cedera, dan perasaan bersalah (Fleming, M.
& R. Lardner: 2002).
Konsekuensi tersebut dapat digunakan satu
saja atau gabungan ketiganya untuk mengubah
perilaku. Sebagai contoh, frekuensi seorang manajer
mengadakan inspeksi dapat ditingkatkan dengan:
a. Penguatan positif: pujian dari atasan
setelah melakukan inspeksi.
b. Penguatan negatif: menghindari
pengucilan oleh rekan kerja jika tidak
melaksanakan inspeksi.
c. Hukuman: bonus bagi manajer dikurangi
jika tidak melaksanakan inspeksi.
(Fleming, M. & R. Lardner. 2002)
Meskipun penguatan positif dan penguatan
negatif sama-sama meningkatkan frekuensi
kemunculan suatu perilaku, keduanya menimbulkan
hasil yang berbeda. Penguatan negatif hanya
menghasilkan perilaku untuk menghindari
sesuatu yang tidak diinginkan. Penguatan positif
menghasilkan perilaku lebih dari yang diharapkan,
dengan kata lain memengaruhi penilaian individu.
Seseorang memunculkan perilaku karena memang
“keinginannya” bukan karena “keharusan” (Fleming,
M. & R. Lardner: 2002).

87
Penguatan dan hukuman ditentukan
berdasarkan efeknya. Jadi, sebuah konsekuensi yang
tidak dapat mengurangi frekuensi dari perilaku bukan
merupakan hukuman dan konsekuensi yang tidak
dapat meningkatkan frekuensi bukan merupakan
penguatan. Faktanya, suatu tindakan yang sama
dapat sekaligus menjadi penguatan bagi seseorang
dalam suatu situasi dan hukuman dalam situasi yang
lain (Fleming, M. & R. Lardner: 2002).
Sering kali konsekuensi menimbulkan efek
yang bertentangan dengan efek yang diharapkan.
Hal itu disebabkan karena konsekuensi pada perilaku
tidak ditentukan oleh tindakan khusus atau tujuan
yang diharapkan, tetapi oleh orang yang melakukan
perilaku tersebut. Sebagai contoh, seorang manajer
ingin memberikan penghargaan atas keterlibatan
pekerja dalam program peningkatan keselamatan.
Ia mengundang pekerjanya untuk menghadiri
makan malam dan upacara penghargaan serta
menghadiahkan tiket permainan golf di akhir minggu
untuk dua orang. Meskipun maksud manajer tersebut
adalah memberikan penguatan positif, tetapi hadiah
tersebut tidak memiliki efek yang diharapkan
jika penerimanya merupakan orang tua tunggal.
Karyawan tersebut kemungkinan besar tidak akan
menggunakan kesempatannya untuk berlibur karena
tidak memiliki seseorang untuk diajak, tidak dapat
meninggalkan anaknya, dan tidak bisa bermain golf
(Fleming, M. & R. Lardner. 2002).
Berdasarkan ilustrasi tersebut, aspek
permasalahan ketika menggunakan modifikasi
perilaku untuk mengubah perilaku adalah dalam

88
memiliki konsekuensi
yang menurut orang lain
memberikan penguatan
baginya. Apa yang kita
pikir dapat memberikan
penguatan belum tentu
sama efeknya bagi
orang lain (Fleming, M.
& R. Lardner. 2002).
Ada beberapa strategi yang dapat digunakan
untuk mengidentifikasi penguatan yang efektif, yaitu:
a. Melibatkan target individu atau kelompok
dalam menentukan konsekuensi.
b. Memperhatikan apa yang dipilih oleh
target individu atau kelompok untuk
dilakukan ketika mereka memiliki pilihan.
Tugas kerja yang dipilih oleh mereka
secara aktif dapat digunakan untuk
menguatkan aktivitas lain yang kurang
diinginkan.
(Fleming, M. & R. Lardner. 2002)
Krausse (1996) dalam Dwinanda, Bayu (2007)
menyatakan bahwa kekuatan konsekuensi dalam
memengaruhi perilaku ditentukan oleh:
a. Waktu
Konsekuensi yang segera (sooner)
mengikuti perilaku berpengaruh lebih
kuat dibandingkan dengan konsekuensi
yang muncul belakangan (later).
b. Konsistensi
Konsistensi yang lebih pasti mengikuti
perilaku (certain) berpengaruh lebih kuat

89
daripada konsistensi yang tidak dapat
diprediksi atau tidak pasti (uncertain).
c. Signifikansi
Konsekuensi positif berpengaruh lebih
kuat dibandingkan dengan konsekuensi
negatif.
Kesalahan yang umum terjadi adalah
menghentikan konsekuensi yang menguatkan ketika
perilaku yang diharapkan muncul. Perilaku yang baru
membutuhkan penguatan konsisten selama beberapa
waktu agar menjadi kebiasaan. Jika penguatan segera
dihilangkan, perilaku yang baru terbentuk mungkin
akan menurun (Fleming, M. & R. Lardner: 2002).

F. Teori Reasoned Action


Theory of Reasoned Action (TRA) pertama kali dicetuskan
oleh Ajzen pada 1980. Teori itu disusun menggunakan asumsi
dasar bahwa manusia berperilaku dengan cara yang sadar dan
mempertimbangkan segala informasi yang tersedia. Dalam TRA ini,
Ajzen menyatakan bahwa niat seseorang untuk melakukan suatu
perilaku menentukan akan dilakukan atau tidak dilakukannya
perilaku tersebut. Lebih lanjut, Ajzen mengemukakan bahwa niat
melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu dipengaruhi
oleh dua penentu dasar, yang pertama berhubungan dengan
sikap  (attitude towards behavior)  dan yang lain berhubungan
dengan pengaruh sosial yaitu norma subjektif (subjective norms).
Theory of Reasoned Action (TRA) atau Behavioral Intention
Theory  dari Ajzen dan Fishbelin masih relatif baru, dan kurang
banyak digunakan dan kurang banyak dikenal. Model ini
menggunakan pendekatan kognitif dan didasari ide bahwa  “…
humans are reasonable animals who, in deciding what action to

90
make, system atically process and utilize the information available
to them…”. Theory of Reasoned Action  (TRA) merupakan teori
perilaku manusia secara umum: aslinya teori ini dipergunakan
di dalam berbagai macam perilaku manusia, khususnya yang
berkaitan dengan permasalahan sosial-psikologis, kemudian
makin bertambah digunakan untuk menentukan faktor-faktor
yang berkaitan dengan perilaku kesehatan.
Teori ini menghubungkan
keyakinan  (beliefs), sikap  (attitude),
kehendak/intensi  (intention),
dan perilaku (behavior).  Untuk
mengetahui apa yang akan
dilakukan seseorang, cara terbaik
untuk meramalkannya adalah
mengetahui intensi orang tersebut.
Intensi ditentukan oleh sikap dan
norma subjektif. Komponen pertama
mengacu pada sikap terhadap perilaku. Sikap ini merupakan hasil
pertimbangan untung dan rugi dari perilaku tersebut (outcome of
the behavior).
Di samping itu, juga dipertimbangkan pentingnya
konsekuensi-konsekuensi yang akan terjadi bagi
individu  (evaluation regarding the outcome). Komponen kedua
mencerminkan dampak dari norma-norma subjektif. Norma
sosial mengacu pada keyakinan seseorang terhadap bagaimana
dan apa yang dipikirkan orang-orang yang dianggapnya
penting (referent person) dan motivasi seseorang untuk mengikuti
pikiran tersebut. Contoh: orang tua mempunyai harapan tentang
keikutsertaan dalam program imunisasi bagi anak-anaknya.
Mereka mungkin percaya bahwa imunisasi melindungi serangan-
serangan penyakit (keuntungan), tetapi juga menyebabkan rasa

91
sakit atau tidak enak badan dan juga mahal (kerugian). Orang
tua akan mempertimbangkan mana yang lebih penting antara
perlindungan kesehatan atau tangisan, mungkin anak panas dan
mengeluarkan uang.
Pertanyaan yang sering muncul ialah atas dasar apa
seseorang mempunyai keyakinan dan norma sosial? Pertanyaan
ini mencakup peran variabel eksternal, seperti variabel
demografis, jenis kelamin, usia, yang tidak muncul secara
langsung dalam ‘theory of reasoned action’. Menurut Fishbein &
Middlestadt variabel ini bukannya kurang penting, tetapi efeknya
pada intensi (kehendak) dianggap diperantai oleh sikap, norma
subjektif, dan berat relatif dari komponen-komponen ini.
Keuntungan teori ini adalah memberi pegangan untuk
menganalisis komponen perilaku dalam item yang operasional.
Bagaimana sejumlah pencegahan harus dipertimbangkan supaya
model ini dipergunakan dengan tepat. Fokus sasaran adalah
prediksi dan pengertian perilaku yang dapat diamati secara
langsung dan di bawah kendali seseorang. Artinya bahwa perilaku
sasaran harus diseleksi dan diidentifikasikan secara jelas. Tuntutan
ini memerlukan pertimbangan mengenai tindakan  (action),
sasaran (target), konteks (context), dan waktu (time).
Lebih lanjut, sebuah konsep penting dalam teori ini
ialah fokus perhatian  (salience). Istilah ini mengacu intervensi
yang efektif, pertama-tama harus menentukan hasil dan
kelompok referensi yang penting bagi perilaku populasi yang
dipertimbangkan. Hal ini berbeda dari perilaku populasi yang
satu ke populasi yang lain. Ini mengacu pada norma nilai dan
norma-norma dalam kelompok sosial yang diselidiki, sebagai
indikator penting untuk memprediksikan perilaku yang akan
diukur.
Dengan menggunakan model Fishbein, dapat dikatakan
yang penting bukankah budaya itu sendiri, tetapi cara budaya

92
memengaruhi sikap, intensi, dan perilaku.
Banyak penelitian di bidang sosial yang sudah
membuktikan bahwa Theory of Reasoned Action (TRA) ini adalah
teori yang cukup memadai dalam memprediksi tingkah laku.
Namun, setelah beberapa tahun, Ajzen melakukan meta analisis,
ternyata didapatkan suatu penyimpulan bahwa Theory of Reasoned
Action  (TRA) hanya berlaku bagi tingkah laku yang berada di
bawah kontrol penuh individu karena ada faktor yang dapat
menghambat atau memfalitasi realisasi niat ke dalam tingkah
laku. Berdasarkan analisis ini, lalu Ajzen menambahkan suatu
faktor yang berkaitan dengan kontrol individu, yaitu  perceived
behavior control  (PBC). Penambahan satu faktor ini kemudian
mengubah  Theory of Reasoned Action  (TRA) menjadi  Theory of
Planned Behaviour (TPB).

G. Theory of Planned Behaviour


Berdasarkan Teori Perilaku yang Direncanakan (Theory of
Planned Behaviour), niat merupakan fungsi tiga determinan, yang
satu bersifat personal, kedua merefleksikan pengaruh sosial dan
ketiga berhubungan dengan isu kontrol. Berikut akan dibahas
lebih rinci mengenai variable-variabel utama dari  Theory of
Planned Behaviour, yaitu sikap, norma subjektif, kontrol perilaku
yang dirasakan, niat, dan perilaku.
1. Sikap
Menurut Alport sikap adalah suatu predisposisi
yang dipelajari untuk merespons terhadap suatu objek
dalam bentuk rasa suka atau tidak suka. Sikap merupakan
kecenderungan untuk mengevaluassi dengan beberapa
derajat suka (favor) atau tidak suka (unfavor), yang
ditunjukkan dalam respons kognitif, afektif, dan tingkah
laku terhadap suatu objek, situasi, institusi, konsep, atau
orang/sekelompok orang.

93
Struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang
saling menunjang yaitu komponen kognitif, komponen
afektif, dan komponen konatif.
a. Kognitif
Komponen kognitif merupakan representasi apa
yang dipercayai oleh individu pemilik sikap. Mam
menjelaskan bahwa komponen kognitif berisi
persepsi, kepercayaan, dan  stereotype  yang dimiliki
individu mengenai sesuatu. Contohnya adalah sikap
profesi medis.
Percaya bahwa profesi medis seperti dokter dan
perawat berhubungan dengan kepercayaan yang
tidak profesional, tidak berkualifikasi baik, hanya
berorientasi pada uang adalah beberapa contoh
kepercayaan negatif yang dipikirkan seseorang
yang kemudian akan mengarahkan orang tersebut
pada akhirnya memiliki sikap yang negatif terhadap
profesi medis, demikian juga sebaliknya jika ia
memiliki kepercayaan yang positif.

94
b. Afektif
Komponen afektif merupakan perasaan individu
terhadap objek sikap dan menyangkut masalah
emosi. Aspek emosional inilah yang biasanya
berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan
merupakan aspek yang paling bertahan terhadap
pengaruh-pengaruh yang mungkin akan mengubah
sikap seseorang. Apabila diaplikasikan pada contoh
sikap terhadap profesi medis tersebut, seseorang
yang memiliki perasaan jijik terhadap profesi
medis dan apa yang dikerjakannya akan melahirkan
sikap yang negatif pada orang tersebut, demikian
sebaliknya jika ia memiliki perasaan positif maka ia
juga akan memiliki sikap positif pada profesi medis.
c. Konatif (tingkah laku)
Komponen perilaku atau komponen konatif dalam
struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku
atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam
diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang
dihadapinya. Jika diaplikasikan pada contoh sikap
di atas, seseorang yang memiliki sikap positif pada
profesi medis jika orang tersebut menyatakan
kesediaannya untuk memberikan sumbangan
pada pembangunan rumah sakit baru, bersedia
mengunjungi dokter, dan lainnya.
Individu akan merasa nyaman kalau ketiga
komponen tersebut bersesuaian atau harmoni. Jika
tidak ada kesesuaian berarti terjadi disonansi, yang
menyebabkan konsumen merasa tidak nyaman dan
tidak enak.

95
Berdasarkan Theory of Planned Behaviour, sikap terhadap
perilaku ditentukan oleh adanya  belief  tentang konsekuensi
perilaku, yang disebut behavioural belief. Setiap behavioural belief
ini menghubungkan perilaku dengan hasil atau konsekuensi
tertentu dari perilaku.
Menurut Michener, Delamater dan Myers, sikap
dipengaruhi oleh:
1. Belief seseorang tentang kemungkinan konsekuensi
dari tingkah laku
2. Evaluasi seseorang (positif atau negatif) terhadap
masing-masing konsekuensi hasil dari tingkah laku.
Ajzen berpendapat bahwa “Seseorang yang percaya
bahwa menampilkan perilaku tertentu akan mengarahkan pada
hasil yang positif, akan mempunyai sikap  favorable  terhadap
ditampilkannya perilaku, sedangkan orang yang percaya bahwa
menampilkan tingkah laku tertentu akan mengarahkan pada
hasil yang negatif maka ia akan mempunyai sikap  unfavorable”.
Hal tersebut juga dapat dirumuskan sebagai berikut:

Keterangan:
AB = Sikap terhadap perilaku B
bi = belief bahwa menampilkan perilaku B akan menghasilkan i
ei = evaluasi terhadap i

Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menggunakan


metode skala Likert. Skala Likert ini dirancang untuk mengukur
sikap, walaupun kadang-kadang penerapannya juga dilakukan
terhadap hal-hal lain selain sikap. Alat ukur ini terdiri dari dua
skala yaitu:

96
• Skala untuk mengukur salient  belief yang dimiliki
subjek tentang konsekuensi melakukan perilaku
tertentu.
• Skala untuk mengukur evaluasi subjek terhadap
konsekuensi melakukan perilaku tertentu.

2. Norma Subjektif
Menurut Ajzen, norma subjektif merupakan
persepsi seseorang terhadap adanya tekanan sosial
untuk menampilkan atau tidak menampilkan tingkah
laku. Selain itu, Ajzen juga mendefinisikan norma
subjektif sebagai belief seseorang individu atau kelompok
tertentu menyetujui dirinya untuk menampilkan tingkah
laku tertentu.
Untuk melakukan seseuatu yang penting,
biasanya seseorang mempertimbangkan apa harapan
orang lain (orang-orang terdekat, masyarakat) terhadap
dirinya. Namun, harapan orang-orang lain tersebut tidak
sama pengaruhnya. Ada yang berpengaruh sangat kuat
dan ada yang cenderung diabaikan.
Harapan dari orang lain yang berpengaruh lebih
kuat, lebih memotivasi orang yang bersangkutan untuk
memenuhi harapan tersebut, akan lebih menyokong
kemungkinan seseorang bertingkah laku sesuai dengan
harapan.
Menurut Ajzen norma subjektif dapat
dirumuskan:

97
Keterangan:
SN =  Subjective Norm
ni = Belief normative  (belief  seseorang bahwa
seseorang atau kelompok yang menjadi
referensi berpikir bahwa ia seharusnya
menampilkan atau tidak menampilkan
perilaku).
Mi = Motivasi seseorang untuk mengikuti
seseorang atau kelompok yang menjadi
referensi.
3. Kontrol Perilaku yang Dirasakan
Kontrol perilaku yang dirasakan merupakan
persepsi seseorang tentang kemudahan atau kesulitan
untuk menampilkan tingkah laku. Persepsi ini merupakan
refleksi dari pengalaman masa lampau individu dan juga
halangan atau rintangan untuk menampilkan tingkah
laku.
Sebagaimana sikap dan norma subjektif,
kontrol perilaku yang dirasakan juga merupakan sebuah
fungsi  belief,  yang biasa disebut  control belief yang
mengacu pada persepsi seseorang apakah ia mempunyai
atau tidak mempunyai kapasitas untuk menunjukkan
perilaku.  Control belief  merupakan belief tentang ada
atau tidaknya factor-faktor yang mempermudah atau
menghambat dalam menampilkan tingkah laku tersebut
tidak hanya didasarkan pada pengalaman masa lalu
individu dengan perilaku, tetapi juga dipengaruhi oleh
informasi tidak langsung dari pihak kedua mengenai
perilaku, hasil observasi terhadap pengalaman
bertingkah laku teman, serta faktor lain yang dapat
meningkatkan atau mengurangi persepsi individu
terhadap kesulitan untuk menampilkan tingkah laku.

98
Ajzen berpendapat bahwa “semakin besar
sumber atau kesempatan yang seseorang pikir untuk
menampilkan tingkah laku serta semakin sedikit
halangan dan rintangan yang dapat diantisipasi maka
semakin besar pula persepsi mereka terhadap kontrol
untuk menampilkan perilaku”.
Kontrol perilaku yang dirasakan adalah faktor
yang sangat berperan dalam memprediksi tingkah laku
yang tidak berada di bawah kontrol penuh individu
tersebut. Kontrol perilaku yang disarankan berperan
dalam meningkatkan terwujudnya niat ke dalam
tingkah laku pada saat yang tepat. Individu bisa saja
memiliki sikap yang positif dan persepsi bahwa orang
lain akan sangat mendukung tindakannya tersebut,
tetapi ia mungkin saja tidak dapat melakukannya karena
ia terhambat oleh faktor seperti perasaan tidak mampu
untuk melakukannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa
walaupun individu memiliki sikap dan norma subjektif
yang mendukungnya untuk melaksanakan suatu tingkah
laku, tetapi eksekusi tingkah laku itu sendiri masih
bergantung pada faktor kontrol perilaku yang dirasakan
yang ia miliki.
Menurut Ajzen, kontrol perilaku yang dirasakan
ini dapat diukur secara langsung dengan memberikan
pertanyaan pada individu apakah ia mampu
menampilkan suatu tingkah laku yang diinginkannya
atau apakah individu tersebut percaya bahwa ia dapat
melakukannya dengan sepenuhnya di bawah kontrol
mereka.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya
bahwa control belief mengacu pada persepsi seseorang
apakah ia mempunyai atau tidak mempunyai kapasitas

99
untuk menunjukkan perilaku. Berdasarkan hal itu,
kontrol perilaku yang dirasakan dapat dirumuskan
sebagai berikut:

Keterangan:
PBC = Kontrol perilaku yang dirasakan
Ci =  control belief
Pi = kekuatan faktor I untuk mempermudah atau
menghambat dalam menampilkan perilaku.
Kontrol perilaku yang dirasakan diukur dengan
menggunakan dua skala yaitu:
a. Skala yang mengukur  control belief  subjek, yaitu
mengenai ada tidaknya faktor yang menghambat
atau mendorong untuk menampilkan perilaku.
b. Skala yang mengukur  perceived power,  yaitu
mengenai persepsi individu terhadap kekuatan
factor-faktor yang ada dalam mendorong atau
menghambat ditampilkannya perilaku.
4. Niat
Niat berperilaku menurut Fishbein, Ajzen, dan
banyak peneliti merupakan suatu predictor yang kuat
tentang bagaimana seseorang bertingkah laku dalam
situasi tertentu.
Dapat disimpulkan bahwa niat merupakan
predictor  yang kuat dari perilaku yang menunjukkan
seberapa keras seseorang mempunyai keinginan
untuk mencoba, seberapa besar usaha mereka untuk
merencanakan sehingga menampilkan suatu tingkah
laku.

100
Berdasarkan Theory of Planned Behaviour tersebut,
niat berperilaku ini dilakukan oleh sikap, norma
subjektif, dan kontrol perilaku yang dirasakan yang
dimiliki individu terhadap suatu perilaku. Dari sini niat
berperilaku tersebut dapat dirumuskan:

B ~ I = (AB) W1 + (SN) W2 + (PBC)


W3
Keterangan:
B = Behaviour
I = Intention
AB = Sikap (attitude) terhadap perilaku
SN = Subjective norm
PBC = Kontrol perilaku yang dirasakan
W1, W2, W3 = Weight/bobot/skor
Fishbein dan Ajzen mengatakan bahwa
seberapa kuat niat seseorang menampilkan suatu
perilaku ditunjukkan dengan penilaian subjektif
seseorang (subjective probability), apakah ia akan
melakukan atau tidak melakukan perilaku tersebut.
Beberapa ahli juga berpendapat bahwa cara
yang paling sederhana untuk memprediksi apakah
seseorang akan melakukan sesuatu adalah dengan
menanyakan apakah mereka berniat atau mempunyai
niat untuk melakukannya. Oleh karena itu, niat diukur
denagn meminta seseorang untuk menempatkan dirinya
dalam sebuah dimensi yang bersifat subjektif yang
meliputi hubungan antara individu dengan perilaku.
Berdasarkan hal itu maka niat dapat diukur
dengan cara memberikan beberapa item pertanyaan
yang menanyakan apakah subjek berniat atau tidak
berniat untuk melakukan suatu perilaku.

101
5.  Perilaku
Secara etimologis kata perilaku berarti
tanggapan atau reaksi seseorang (individu) terhadap
rangsangan/lingkungan. Selain itu, perilaku juga
merupakan aktivitas yang dilakukan individu dalam
usaha memenuhi kebutuhan. Dari aspek biologis,
perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organism
atau makhluk hidup yang bersangkutan.
Skinner dalam Notoatmodjo (2010), seorang
ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan
respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus
(rangsangan dari luar). Teori Skiner ini dikenal sebagai
teori S-O-R (Stimulus-Organisme-Respons).
Perilaku kesehatan merupakan respons
seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan
dengan sehat-sakit, penyakit dan faktor-faktor yang
memengaruhi kesehatan seperti lingkungan, makanan,
minuman, dan pelayanan kesehatan. Dengan kata
lain, perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau
kegiatan seseorang, baik yang dapat diamati atau tidak,
yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan
kesehatan.
Teori Perilaku yang Direncanakan atau Theory
of Planned Behaviour  merupakan salah satu teori yang
menjelaskan tentang perilaku manusia. Theory of Planned
Behaviour  merupakan pengembangan lebih lanjut
dari Theory of Reasoned Action (TRA).Konstruk yang belum
ada adalah kontrol perilaku yang dipersepsi. Konstruk
ini ditambahkan dalam upaya memahami keterbatasan
yang dimiliki individu dalam rangka melakukan perilaku
tertentu. Dengan kata lain, dilakukannya atau tidak
dilakukannya perilaku tidak hanya ditentukan oleh

102
sikap dan norma subjektif semata, tetapi juga persepsi
individu terhadap kontrol yang dapat dilakukannya
yang bersumber pada keyakinannya terhadap kontrol
tersebut (control beliefs).
Sebagai aturan umum, semakin baik sikap
dan norma subjektif dan semakin besar kontrol
yang dirasakan, semakin besar niat seseorang untuk
melakukan perilaku tertentu.
Model teoretik dari Teori Perilaku yang
Direncanakan (Theory of Planned Behaviour) mengandung
berbagai variabel yaitu:
a. Sikap terhadap perilaku  (Attitude Toward
Behaviour)
Yaitu penilaian positif atau negatif dari
perilaku  tertentu. Hal  ini ditentukan oleh
hubungan kepercayaan terhadap perilaku
dengan hasil dari berbagai perilaku dan sifat
lainnya. Ajzen (1991) berpendapat bahwa
seseorang yang percaya menampilkan
perilaku tertentu akan mengarahkan pada
hasil yang positif maka akan mempunyai
sikap  favorable  terhadap ditampilkannya
perilaku, sedangkan seseorang yang percaya
bahwa menampilkan tingkah laku tertentu
akan mengarahkan pada hasil yang negatif
maka ia akan mempunyai sikap unfavorable.
b. Norma subjektif (subjective norm) 
Adalah sejauh mana seseorang memiliki
motivasi untuk mengikuti pandangan
orang terhadap perilaku yang akan
dilakukannya  (normative belief). Jika individu
merasa bahwa itu adalah hak pribadinya untuk

103
menentukan apa yang dia lakukan, bukan
ditentukan orang lain di sekitarnya maka dia
akan mengabaikan pandangan orang tentang
perilaku yang akan dilakukannya. Fishbein
dan Atjen menggunakan istilah  motivation to
comply  untuk menggambarkan fenomena ini,
yaitu apakah individu mamatuhi pandangan
orang lain yang berpengaruh terhadap hidupnya
atau tidak. Atzen (1991) berpendapat bahwa
harapan dari orang lain yang berpengaruh
lebih kuat, lebih memotivasi orang yang
bersangkutan untuk memenuhi harapan
tersebut, akan lebih menyokong kemungkinan
seseorang bertingkah laku sesuai dengan
harapan tersebut. Namun, jika harapan dari
orang lain itu lemah, kurang memotivasi orang
yang bersangkutan untuk memenuhi harapan
tersebut maka orang yang bersangkutan akan
mengabaikan harapan orang lain itu.
c. Persepsi kemampuan mengontrol (kontrol
perilaku yang dirasakan/perceived behaviour
control)
Yaitu keyakinan (beliefs) apakah individu pernah
melaksanakan atau tidak pernah melaksanakan
perilaku tertentu, individu memiliki fasilitas
dan waktu untuk melakukan perilaku itu,
kemudian individu melakukan estimasi
atas kemampuan dirinya apakah dia punya
kemampuan atau tidak punya kemampuan
untuk melakukan perilaku itu. Semakin besar
kesempatan atau sumber yang seseorang pikir
untuk menampilkan tingkah laku serta semakin

104
sedikit halangan dan rintangan yang dapat
diantisipasi maka makin besar pula persepsi
mereka terhadap kontrol untuk menampilkan
perilaku.
d. Niat untuk melakukan perilaku (intention) 
Yaitu kecenderungan seseorang untuk memilih
untuk melakukan atau tidak melakukan suatu
perilaku. Niat ini ditentukan oleh sejauh mana
individu memiliki sikap positif pada perilaku
tertentu dan sejauh mana bila dia memilih
untuk melakukan perilaku itu dia mendapat
dukungan dari orang-orang lain yang
berpengaruh dalam kehidupannya. Seseorang
yang mempunyai niat berperilaku tinggi maka
seseorang yang bersangkutan akan melakukan
perilaku tersebut. Namun, jika seseorang yang
bersangkutan memiliki niat yang rendah maka
perilaku tersebut tidak akan dilakukan atau
terwujud.
e. Perilaku (behavior)
Yaitu fungsi dari niat yang kompatibel dan
tanggapan dari perilaku dalam control perilaku
yang dipersepsi.

6.  Aplikasi Theory Planned Behaviour


“Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di
lingkungan Sekolah Dasar (SD)”

105
a. Sikap
Banyak faktor yang memengaruhi munculnya
sikap para siswa mengenai PHBS di lingkungan
sekolah, salah satunya adalah pengarahan yang
diberikan oleh guru atau penyuluhan oleh petugas
kesehatan. Dari kegiatan semacam itu akan
memberikan pengetahuan terhadap para siswa
mengenai apa dan bagaimana PHBS itu (kognitif).
Dengan pengetahuan pengetahuan tersebut akan
memunculkan sikap dalam siri para siswa. Sikap
yang muncul pada tiap-tiap siswa pasti berbeda.
Sikap tersebut bisa berupa:
1) Kepercayaan atau keyakinan, ide
dan konsep terhadap objek. Artinya
bagaimana keyakinan dan pendapat
atau pemikiran siswa terhadap PHBS.
2) Kehidupan emosional atau evaluasi
orang terhadap objek, artinya
bagaimana penilaian (terkandung
di dalamnya faktor emosi) orang
tersebut terhadap objek. Dalam hal ini
berarti bagaimana para siswa menilai

106
terhadap PHBS, apakah merupakan
suatu hal yang baik dan bermanfaat,
biasa saja atau malah sesuatu yang
tidak berguna.
3) Kecenderungan untuk bertindak (tend
to behave),  artinya sikap merupakan
komponen yang mendahului tindakan
atau perilaku terbuka. Sikap adalah
ancang-ancang untuk bertindak atau
berperilaku terbuka (tindakan). Dalam
hal ini siswa akan berpikir/berancang-
ancang untuk menerapkan PHBS.
b. Norma Subjektif
Norma subjektif dalam hal ini berkaitan dengan
perilaku warga sekolah yang lain serta penerapan
PHBS di lingkungan keluarga para siswa. Norma
subjektif merupakan adanya pengaruh orang
lain atau kelompok terhadap munculnya niat
untuk berperilaku tertentu. Siswa akan melihat
bagimana penerapan PHBS oleh warga sekolah
tersebut, apakah PHBS benar-benar diterapkan
dengan baik oleh semua pihak atau tidak. Selain
itu, kebiasaan di lingkungan keluarga juga
memberikan pengaruh terhadap siswa untuk
mau menerapkan PHBS di sekolah. Saat semua
warag sekolah atau sebagian besar warga sekolah
melaksanakan PHBS di sekolah maka kemungkinan
besar seorang siswa juga akan menerapkannya
karena jika tidak, ia akan merasa berbeda dengan
lingkungannya. Atau karena adanya peraturan
di rumahnya yang membentuk kebiasaan PHBS
terhadap seorang siswa maka siswa tersebut akan

107
memiliki kebiasaan PHBS di mana pun dia berada.
Dalam hal ini norma keluarga memengaruhi
kecenderungan berperilaku dari siswa tersebut.
c. Kontrol perilaku yang disadari
Kontrol perilaku di sini adalah mengenai penilaian
diri atas kemungkinan dilaksanakannya suatu
perilaku tetentu. Dalam hal ini seorang siswa
mampu atau tidak dirinya menerapkan PHBS di
sekolah serta mengenai ada tidaknya hambatan
yang mungkin menghalangi siswa tersebut untuk
menerapkan PHBS di sekolah. Dalam contoh
kasus ini faktor kontrol perilaku yang disadari
menurut kami memberikan pengaruh yang kecil
karena dalam penerapan PHBS, semua siswa pasti
mampu melaksanakannya selama ada sikap yang
positif, apalagi didukung dengan norma subjektif
yang positif pula. Mengenai hambatannya, pihak
sekolah sebelum membuat komitmen untuk
menerapkan PHBS terhadap semua warga sekolah,
tentunya semua persiapan telah dilakukan, seperti
sarana dan prasarana, misal tempat sampah yang
memadai, tempat cuci tangan yang layak dan
memadai, dan lain-lain.
d. Niat
Niat untuk melakukan sesuatu akan muncul setelah
munculnya sikap yang positif, adanya dukungan
normatif yang positif, dan adanya kemampuan
diri untuk melakukannya. Setelah seorang siswa
merasa bahwa PHBS di sekolah memang baik dan
penting untuk diterapkan karena nanti juga akan
berdampak baik bagi dirinya dan lingkungannya,
dia juga termotivasi dari orang-orang sekitarnya,

108
serta merasa mampu untuk melaksanakannya
maka akan muncul niat dalam diri siswa tersebut
untuk menerapkan PHBS di sekolah.

109
Pengukuran dan Indikator
Perilaku Kesehatan

A. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil ingin tahu dan terjadi
setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek
tertentu. Pengindraan terjadi pada pancaindra manusia. Sebagian
besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior).
Oleh karena itu, dari pengalaman dan penelitian ternyata
perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng
daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Rogers
(1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi
perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut
terjadi proses yang berurutan, yakni:
1. Kesadaran (awareness)
Di mana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
2. Merasa tertarik (interest) terhadap stimulus atau objek
tersebut, di sini sikap subjek sudah mulai terbentuk.

110
3. Menimbang-nimbang (evaluation) terhadap baik dan
tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti
sikap responden sudah lebih baik lagi.
4. Uji coba (trial) di mana subjek mulai mencoba melakukan
sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
5. Adopsi (adoption), di mana subjek telah berperilaku baru
sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya
terhadap stimulus.
Metode pendidikan untuk mengubah domain perilaku,
yaitu pengetahuan dapat dilakukan dengan cara: ceramah,
kuliah, presentasi, wisata karya, curah pendapat,  seminar, studi
kasus, tugas pembaca, simposium, diskusi panel, dan konferensi.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan
wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi
yang ingin diukur. Guna mengukur suatu pengetahuan dapat
digunakan suatu pertanyaan. Adapun pertanyaan yang dapat
dipergunakan untuk pengukuran pengetahuan secara umum
dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu pertanyaan
subjektif misalnya jenis pertanyaan esai dan pertanyaan objektif
misalnya pertanyaan pilihan ganda (multiple choice), betul-
salah, dan pertanyaan menjodohkan. Pertanyaan esai disebut
pertanyaan subjektif karena penilaian untuk pertanyaan ini
melibatkan faktor subjektif dari nilai sehingga nilainya akan
berbeda dari seorang penilai yang satu dibandingkan dengan
yang lain dan dari satu waktu ke waktu lainnya. Pertanyaan
pilihan ganda, betul-salah, menjodohkan disebut pertanyaan
objektif karena pertanyaan-pertanyaan itu dapat dinilai secara
pasti oleh penilainya tanpa melibatkan faktor subjektivitas dari
penilai. Pertanyaan yang dapat dipergunakan untuk pengukuran
pengetahuan secara umum, yaitu pertanyaan subjektif dari
peneliti. Pertanyaan objektif khususnya pertanyaan pilihan
ganda lebih disukai dalam pengukuran pengetahuan karena

111
lebih mudah disesuaikan dengan pengetahuan yang akan diukur
dan penilaiannya akan lebih cepat. Menurut Arikunto (2010),
pengukuran pengetahuan ada dua kategori yaitu: menggunakan
pertanyaan subjektif misalnya jenis pertanyaan esai dan
pertanyaan objektif misalnya pertanyaan pilihan ganda (multiple
choice), pertanyaan betul salah dan pertanyaan menjodohkan.
Skala pengukuran untuk
mengetahui domain perilaku
yaitu pengetahuan dapat
dilakukan melalui kategorisasi
model distribusi normal
dengan batasan kategori skala
berdasarkan mean skor skala
(M), deviasi standar dengan (s),
skor minimum (Xmin), dan skor
maksimum (Xmaks). Kategori variabel yaitu tinggi, sedang, dan
rendah.
Contoh lain yaitu menggunakan variabel terikat
seperti pengetahuan yaitu pengetahuan tentang pengertian
stimulasi, manfaat stimulasi, macam stimulasi, contoh-contoh
stimulasi, pentingnya bermain, pengaruh lingkungan, dan
faktor yang berperan dalam perkembangan anak, dengan
pengelompokan  kategori: 1. buruk (menjawab tahu ≤ 2 dari 10
pertanyaan), 2. kurang (menjawab tahu 3-5 dari 10 pertanyaan),
3. baik (menjawab tahu > 5 dari 10 pertanyaan).
Menurut Arikunto (2006) pengetahuan seseorang dapat
diketahui dan diinterpretasikan dengan skala yang bersifat
kualitatif, yaitu:
1. Baik: Hasil persentase 76%-100%
2. Cukup: Hasil persentase 56%-75%
3. Kurang: Hasil persentase > 56%

112
B. Sikap (Attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang
masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Berbagai
batasan tentang sikap dapat disimpulkan bahwa manifestasi
sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan
terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata
menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap
stimulus tertentu. Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial
menyatakan bahwa sikap itu merupakan suatu aksi tertentu.
Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, tetapi
merupakan predisposisi tindakan atau perilaku.  Allport (1954)
mengatakan sikap itu mempunyai tiga komponen pokok, yakni:
1. kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap
suatu objek;
2. kehidupan emosional atau evaluasi emosional
terhadap suatu objek; dan
3. kecenderungan untuk bertindak.
Ketiga komponen ini bersama-sama membentuk sikap
yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap ini, pengetahuan,
berpikir, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.
Suatu contoh misalnya, seorang ibu telah mendengar penyakit
polio (penyebabnya, akibatnya, pencegahannya, dan sebagainya).
Pengetahuan ini akan membawa ibu untuk berpikir dan berusaha
supaya anaknya tidak terkena polio. Dalam berpikir ini komponen
emosi dan keyakinan ikut bekerja sehingga ibu tersebut berniat
akan mengimunisasikan anaknya untuk mencegah anaknya
terkena polio. Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri dari
berbagai tingkatan, yakni:
1. Menerima (receiving), yaitu subjek mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan objek.

113
2. Merespons (responding), yaitu memberikan
jawaban apabila ditanya serta mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan. Terlepas
jawaban dan pekerjaan itu benar atau salah adalah
berarti orang menerima ide tersebut.
3. Menghargai (valuing), yaitu mengajak orang lain
mengerjakan atau mendiskusikan terhadap suatu
masalah.
4. Bertanggung jawab (responsible), yaitu bertanggung
jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya
merupakan tingkat sikap yang paling penting.

Metode pendidikan untuk mengubah domain perilaku,


yaitu sikap dapat dilakukan dengan cara diskusi kelompok, tanya
jawab, role playing, pemutaran film, video, tape recorder, simulasi,
dan bimbingan penyuluhan.
1. Sifat sikap
Sifat sikap ada dua macam, dapat bersifat positif dan
dapat pula bersifat negatif (Wawan, A dan Dewi M,
2010):
a. Sikap positif, kecenderungan tindakan adalah
mendekati, menyenangi, mengharapkan objek
tertentu.
b. Sikap negatif, terdapat kecenderungan untuk
menjauhi, menghindari, membenci, tidak
menyukai objek tertentu.
2. Ciri-ciri sikap
Ciri-ciri sikap (Wawan, A dan Dewi M, 2010) adalah:
a. Sikap bukan dibawa sejak lahir, melainkan
dibentuk atau dipelajari sepanjang
perkembangan itu dalam hubungan dengan

114
objeknya. Sifat ini
membedakannya
dengan sifat
motif-motif
biogenis, seperti
lapar, haus,
kebutuhan akan istirahat.
b. Sikap dapat berubah-ubah, karena itu sikap
dapat berubah pada orang-orang bila terdapat
keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu
yang mempermudah sikap pada orang itu.
c. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa
mempunyai hubungan tertentu terhadap suatu
objek. Dengan kata lain, sikap itu terbentuk,
dipelajari, atau berubah senantiasa berkenaan
dengan suatu objek tertentu yang dapat
dirumuskan dengan jelas.
d. Objek sikap itu merupakan suatu hal tertentu,
tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari
hal-hal tersebut.
e. Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-
segi perasaan, sifat alamiah yang membedakan
sikap dan kecakapan-kecakapan atau
pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang.
3. Faktor-faktor yang memengaruhi sikap
Faktor-faktor yang memengaruhi sikap terhadap
objek sikap (Saifuddin, A: 2000), antara lain:
a. Pengalaman pribadi
Untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap,
pengalaman pribadi haruslah meninggalkan
kesan yang kuat. Karena itu, sikap akan lebih

115
m u d a h
terbentuk
a p a b i l a
pengalaman
tersebut
terjadi dalam
situasi yang
melibatkan faktor emosional.
b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Pada umumnya, individu cenderung untuk
memiliki sikap yang konformis atau searah
dengan sikap orang yang dianggap penting.
Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh
keinginan untuk berafiliasi dan keinginan
untuk menghindari konflik dengan orang yang
dianggap penting tersebut.
c. Pengaruh kebudayaan
Tanpa disadari, kebudayaan telah menanamkan
garis pengaruh sikap kita terhadap berbagai
masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap
anggota masyarakatnya, karena kebudayaanlah
yang memberi corak pengalaman individu-
individu masyarakat asuhannya.
d. Media massa
Dalam pemberitaan surat kabar maupun
radio atau media komunikasi lainnya, berita
yang seharusnya faktual disampaikan secara
objektif cenderung dipengaruhi oleh sikap
penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap
sikap konsumennya.

116
e Lembaga pendidikan dan lembaga agama
Konsep moral dan ajaran dari lembaga
pendidikan dan lembaga agama sangat
menentukan sistem kepercayaan, tidaklah
mengherankan jika kalau pada gilirannya
konsep tersebut memengaruhi sikap.
f. Faktor emosional
Kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan
pernyataan yang didasari emosi yang berfungsi
sebagai semacam penyaluran frustrasi atau
pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.
4. Cara pengukuran sikap
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara
langsung atau tidak langsung. Secara langsung
dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau
pernyataan responden terhadap suatu objek. Secara
tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-
pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat
responden melalui kuesioner (Notoatmodjo, S 2003).
Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan
menilai pernyataan sikap seseorang. Pernyataan
sikap adalah rangkaian kalimat yang mengatakan
sesuatu mengenai objek sikap yang hendak diungkap.
Pernyataan sikap mungkin berisi atau mengatakan
hal-hal yang positif mengenai objek sikap, yaitu
kalimatnya bersifat mendukung atau memihak
pada objek sikap. Pernyataan ini disebut dengan
pernyataan yang favourable. Sebaliknya, pernyataan
sikap mungkin pula berisi hal-hal negatif mengenai
objek sikap yang bersifat tidak mendukung maupun
kontra terhadap objek sikap. Pernyataan ini disebut
dengan pernyataan yang tidak favourable. Suatu skala

117
sikap sedapat mungkin diusahakan agar terdiri atas
pernyataan  favourable  dan tidak  favourable  dalam
jumlah yang seimbang. Dengan demikian, pernyataan
yang disajikan tidak semua positif dan tidak semua
negatif, yang seolah-olah isi skala memihak atau
tidak mendukung sama sekali objek sikap (Saifuddin,
A 2000).
a. Skala Thurstone
Metode ini mencoba menempatkan sikap
seseorang pada rentangan kontinum  dari
yang sangat unfavourable hingga sangat
favourable  terhadap suatu objek sikap.
Caranya dengan memberikan orang
tersebut sejumlah  item  sikap yang telah
ditentukan derajat  favorabilitas-nya. Derajat
(ukuran) favorabilitas ini disebut nilai skala.
b. Skala Likert
Skala  Likert  digunakan untuk mengukur
sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau
sekelompok orang tentang fenomena sosial.
Dengan skala  Likert maka variabel yang akan
diukur dijabarkan menjadi indikator variabel.
Kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai
titik tolak untuk menyusun item-item instrumen
yang dapat berupa pernyataan atau
pertanyaan. Jawaban setiap item instrumen
yang menggunakan skala  Likert  mempunyai
gradiasi dari sangat positif sampai sangat
negatif. Seperti halnya skala  Thurstone,
skala  Likert  disusun dan diberi skor sesuai
dengan skala interval sama (equal interval

118
scale).
c. Skala Guttman
Skala pengukuran dengan tipe ini akan didapat
jawaban yang tegas, yaitu “ya-tidak”; “pernah-
tidak pernah”; “positif-negatif”, dan lain-lain.
Data yang diperoleh dapat berupa interval atau
rasio  dikotomi  (dua alternatif). Dalam skala
Guttman hanya terdapat dua interval. Penelitian
menggunakan skala  Guttman  dilakukan bila
ingin mendapatkan jawaban yang tegas
terhadap suatu permasalahan yang ingin
ditanyakan.
d. Unobstrusive Measures
Metode ini berakar dari suatu situasi di mana
seseorang dapat mencatat aspek-aspek
perilakunya sendiri atau yang berhubungan
sikapnya dalam pertanyaan.
e. Pengukuran Involuntary Behaviour
Pengukuran dapat dilakukan jika memang
diinginkan atau dapat dilakukan oleh
responden. Dalam banyak situasi, akurasi
pengukuran sikap dipengaruhi oleh kerelaan
responden. Pendekatan ini merupakan
pendekatan observasi terhadap reaksi-reaksi
fisiologis yang terjadi tanpa disadari dilakukan
oleh individu yang bersangkutan.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi hasil
pengukuran sikap (Wawan, A dan Dewi, M:
2010), yaitu:
1) keadaan objek yang diukur
2) situasi pengukuran
3) alat ukur yang digunakan

119
4) penyelenggaraan pengukuran
5) pembacaan atau penilaian hasil
pengukuran

5. Faktor-faktor perubah sikap (Wawan dan Dewi, 2010)


Perubahan sikap dipengaruhi oleh tiga faktor,
yaitu:
a. Sumber dari pesan
Sumber pesan dapat berasal dari
seseorang, kelompok, institusi. Dua ciri penting
dari sumber pesan, yaitu:
1) Kredibilitas
Semakin percaya dengan orang yang
mengirimkan pesan maka kita akan
semakin menyukai untuk dipengaruhi
oleh pemberi pesan. Dua aspek penting
dalam kredibilitas, yaitu keahlian-keahlian
dan kepercayaan saling berkaitan. Tingkat
kredibilitas berpengaruh terhadap daya
persuasif.
Jika kredibilitas tinggi maka daya persuasif
juga tinggi. Jika kredibilitas rendah maka
daya persuasif juga rendah.
2) Daya tarik
Kredibilitas masih perlu ditambah daya
tarik dipengaruhi oleh daya tarik fisik,
menyenangkan, dan ada kemiripan.
b. Pesan (isi dari pesan)
Umumnya berupa kata-kata dan simbol-
simbol lain yang menyampaikan informasi. Ada
tiga hal yang berkaitan dengan isi pesan, yakni:

120
1) Usulan
Merupakan suatu pernyataan yang kita
terima secara tidak kritis. Pesan dirancang
dengan harapan orang akan percaya,
membentuk sikap, dan terhasut dengan
apa yang dikatakan tanpa melihat
faktanya, contoh: iklan di TV.
2) Menakuti
Cara lain untuk membujuk adalah dengan
menakut-nakuti. Jika terlalu berlebihan
maka orang menjadi takut sehingga
informasi justru dijauhi.
3) Pesan satu sisi dan dua sisi
Pesan satu sisi paling efektif jika orang
dalam keadaan netral atau sudah
menyukai suatu pesan. Pesan dua sisi
lebih disukai untuk mengubah pandangan
yang bertentangan.

c. Penerima pesan
Beberapa ciri penerima pesan:
1) Influenceability
Sifat kepribadian seseorang tidak
berhubungan dengan mudahnya

121
seseorang untuk dibujuk, meski demikian
anak-anak lebih mudah dipengaruhi
daripada orang dewasa. Orang
berpendidikan rendah juga lebih mudah
dipengaruhi daripada yang berpendidikan
tinggi.
2) Arah perhatian dan penafsiran
Pesan akan berpengaruh pada
penerima, bergantung dari persepsi
dan penafsirannya. Yang terpenting
pesan dikirim ke tangan orang pertama,
mungkin dapat berbeda jika info sampai
ke penerima kedua.
6. Kriteria Penilaian Sikap
Menurut Sugiyono (2012), pengetahuan
seseorang dapat diketahui dan diinterpretasikan
dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu:
• Baik, hasil persentase 76%–100%
• Cukup, hasil persentase 56%–75%
• Kurang, hasil persentase < 56%

C. Praktik dan Tindakan (Practice)


Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu
tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi
suatu perbuatan nyata diperlakukan faktor pendukung atau
suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas. Sebagai
contoh: sikap ibu yang sudah positif terhadap imunisasi harus
mendapat konfirmasi dari suaminya dan ada fasilitas imunisasi
yang mudah dicapai, agar ibu tersebut dapat mengimunisasikan
anaknya. Tingkat-tingkat praktik meliputi:

122
1. Persepsi (perception), yaitu mengenal dan memilih
berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil.
2. Respons terpimpin (guided respons), yaitu dapat
melakukan sesuatu dengan urutan yang benar sesuai
dengan contoh.
3. Mekanisme (mechanism), yaitu apabila seseorang telah
dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis,
atau suatu ide sudah merupakan suatu kebiasaan maka
ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.
4. Adaptasi (adaptation), yaitu merupakan praktik yang
sudah berkembang dengan baik. Artinya tindakan
itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi
kebenaran tindakannya.
Metode pendidikan untuk mengubah domain perilaku
yaitu praktik dan tindakan dapat dilakukan dengan cara
latihan sendiri, bengkel kerja, demonstrasi, eksperimen, dan self
monitoring.
Skala pengukuran untuk mengetahui domain perilaku
yaitu praktik dan tindakan dapat dievaluasi melalui kegiatan
medis. Seseorang akan terlibat dalam kegiatan medis karena tiga
alasan pokok, yaitu: 
1. untuk pencegahan penyakit atau pemeriksaan kesehatan
pada saat gejala penyakit belum dirasakan (perilaku
sehat);
2. untuk mendapatkan diagnosis penyakit dan tindakan
yang diperlukan jika ada gejala penyakit yang dirasakan
(perilaku sakit); dan
3. untuk mengobati penyakit, jika penyakit tertentu telah
dipastikan, agar sembuh dan sehat seperti sediakala,
atau agar penyakit tidak bertambah parah (peran sakit).

123
Pengukuran perilaku berisi pernyataan-pernyataan
terpilih yang sesuai dengan perilaku pencegahan dan telah
diuji reabilitas serta validitasnya maka dapat digunakan untuk
mengungkapkan perilaku responden. Kriteria pengukuran
perilaku yakni:
1. Perilaku baik jika nilai ≥ 7
2. Perilaku kurang baik jika nilai ≤ 6
Subjek memberi respons dengan skala Gutman jawaban
ya diberi skor 1 dan jawaban tidak diberi skor 0 (Hidayat, 2009). 

124
Perencanaan Perubahan
Perilaku Kesehatan

Hal yang penting dalam perilaku kesehatan adalah


masalah pembentukan dan perubahan perilaku. Karena
perubahan perilaku merupakan tujuan pendidikan atau
penyuluhan kesehatan sebagai penunjang program-program
kesehatan yang lainnya. Banyak teori tentang perubahan perilaku
ini, antara lain akan diuraikan berikut ini.

A. Teori Perubahan Perilaku


1. Teori Stimulus-Organisme-Respons (SOR)
Teori ini mendasarkan asumsi bahwa penyebab
terjadinya perubahan perilaku bergantung kepada kualitas
rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme.
Artinya kualitas dari sumber komunikasi (sources) misalnya
kredibilitas, kepemimpinan, gaya berbicara sangat menentukan
keberhasilan perubahan perilaku seseorang, kelompok, atau
masyarakat.
Hosland, et al (1953) dalam Notoatmojo (2003)
mengatakan bahwa proses perubahan perilaku pada hakikatnya
sama dengan proses belajar. Proses perubahan perilaku tersebut

125
menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri dari:
a. Stimulus (rangsang) yang diberikan pada
organisme dapat diterima atau ditolak. Apabila
stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti
stimulus itu tidak efektif memengaruhi perhatian
individu dan berhenti di sini. Namun, bila stimulus
diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari
individu dan stimulus tersebut efektif.
b. Apabila stimulus telah mendapat perhatian dari
organisme (diterima) maka ia mengerti stimulus
ini dan dilanjutkan kepada proses berikutnya.
c. Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut
sehingga terjadi kesediaan untuk bertindak demi
stimulus yang telah diterimanya (bersikap).
d. Akhirnya dengan dukungan fasilitas serta
dorongan dari lingkungan maka stimulus tersebut
mempunyai efek tindakan dari individu tersebut
(perubahan perilaku).

Selanjutnya teori ini mengatakan bahwa perilaku dapat


berubah hanya apabila stimulus (rangsang) yang diberikan
benar-benar melebihi dari stimulus semula. Stimulus yang dapat
melebihi stimulus semula ini berarti stimulus yang diberikan
harus dapat meyakinkan organisme. Dalam meyakinkan
organisme ini, faktor reinforcement memegang peranan penting.
Proses perubahan perilaku berdasarkan teori SOR ini
dapat digambarkan seperti berikut ini.

126
2. Teori Festinger (Dissonance Theory)
Festinger (1957) dalam Notoatmojo (2003) ini
telah banyak pengaruhnya dalam psikologi sosial. Teori
ini sebenarnya sama dengan konsep imbalance (tidak
seimbang). Hal ini berarti bahwa keadaan cognitive
dissonance merupakan keadaan ketidakseimbangan
psikologis yang diliputi oleh ketegangan diri yang
berusaha untuk mencapai keseimbangan kembali.
Apabila terjadi keseimbangan dalam diri individu maka
berarti sudah tidak terjadi ketegangan diri lagi dan
keadaan ini disebut consonance (keseimbangan).
Dissonance (ketidakseimbangan) terjadi karena
dalam diri individu terdapat dua elemen kognisi yang
saling bertentangan. Yang dimaksud elemen kognisi
adalah pengetahuan, pendapat, atau keyakinan. Apabila
individu menghadapi suatu stimulus atau objek
dan stimulus tersebut menimbulkan pendapat atau
keyakinan yang berbeda/bertentangan di dalam diri
individu sendiri maka terjadilah dissonance.

127
Sherwood dan Borrou merumuskan dissonance
itu sebagai berikut:
Pentingnya stimulus × jumlah kognitif dissonance
Dissonance = ------------------------------------------------------------
Pentingnya stimulus × jumlah kognitif consonance

Rumus ini menjelaskan bahwa ketidakseimbangan


dalam diri seseorang yang akan menyebabkan perubahan
perilaku terjadi disebabkan karena adanya perbedaan
jumlah elemen kognitif yang seimbang dengan jumlah
elemen kognitif yang tidak seimbang serta sama-sama
pentingnya. Hal ini akan menimbulkan konflik pada diri
individu tersebut.
Contoh: seorang ibu rumah tangga yang bekerja
di kantor. Di satu pihak, dengan bekerja ia dapat
tambahan pendapatan bagi keluarganya yang akhirnya
dapat memenuhi kebutuhan bagi keluarga dan anak-
anaknya, termasuk kebutuhan makanan yang bergizi.
Apabila ia tidak bekerja, jelas tidak dapat memenuhi
kebutuhan pokok keluarga. Di pihak yang lain, apabila ia
bekerja, ia khawatir terhadap perawatan terhadap anak-
anaknya akan menimbulkan masalah. Kedua elemen
(argumentasi) ini sama-sama pentingnya, yakni rasa
tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga yang
baik.

128
Titik berat dari penyelesaian konflik ini adalah
penyesuaian diri secara kognitif. Dengan penyesuaian
diri ini maka akan terjadi keseimbangan kembali.
Keberhasilan tercapainya keseimbangan kembali ini
menunjukkan adanya perubahan sikap dan akhirnya
akan terjadi perubahan perilaku.

3. Teori Fungsi
Teori ini berdasarkan anggapan bahwa perubahan
perilaku individu itu bergantung kepada kebutuhan. Hal
ini berarti bahwa stimulus yang dapat mengakibatkan
perubahan perilaku seseorang apabila stimulus tersebut
dapat dimengerti dalam konteks kebutuhan orang
tersebut. Menurut Katz (1960) dalam Notoatmojo (2003)
perilaku dilatarbelakangi oleh kebutuhan individu yang
bersangkutan. Katz berasumsi bahwa:
a. Perilaku itu memiliki fungsi instrumental, artinya
dapat berfungsi dan memberikan pelayanan
terhadap kebutuhan. Seseorang dapat bertindak
(berperilaku) positif terhadap objek demi

129
pemenuhan kebutuhannya. Sebaliknya bila objek
tidak dapat memenuhi kebutuhannya maka ia akan
berperilaku negatif. Misalnya orang mau membuat
jamban apabila jamban tersebut benar-benar
menjadi kebutuhannya.
b. Perilaku dapat
berfungsi sebagai
defence mecanism
atau sebagai
pertahanan diri
dalam menghadapi
lingkungannya.
Artinya dengan
perilakunya, dengan tindakan-tindakannya,
manusia dapat melindungi ancaman-ancaman yang
datang dari luar. Misalnya orang dapat menghindari
penyakit demam berdarah karena penyakit tersebut
merupakan ancaman bagi dirinya.
c. Perilaku berfungsi sebagai penerima objek
dan memberikan arti. Dalam peranannya
dengan tindakannya itu, seseorang senantiasa
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dengan
tindakan sehari-hari tersebut seseorang telah
melakukan keputusan-keputusan sehubungan
dengan objek atau stimulus yang dihadapi.
Pengambilan keputusan yang mengakibatkan
tindakan-tindakan tersebut dilakukan secara
spontan dan dalam waktu yang singkat. Misalnya
bila seseorang merasa sakit kepala maka secara
cepat tanpa berpikir lama ia akan bertindak untuk
mengatasi rasa sakit tersebut dengan membeli

130
obat di warung dan meminumnya, atau tindakan-
tindakan lain.
d. Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspresif dari diri
seseorang dalam menjawab suatu situasi. Nilai
ekspresif ini berasal dari konsep diri seseorang dan
merupakan pencerminan dari hati sanubari. Oleh
sebab itu, perilaku itu dapat merupakan “layar” di
mana segala ungkapan diri orang dapat dilihat.
Misalnya, orang yang sedang marah, senang, gusar,
dan sebagainya dapat dilihat dari perilaku atau
tindakannya.
Teori ini berkeyakinan bahwa perilaku itu
mempunyai fungsi untuk menghadapi dunia luar
individu dan senantiasa menyesuaikan diri dengan
lingkungannya menurut kebutuhannya. Oleh sebab itu,
di dalam kehidupan manusia, perilaku itu tampak terus-
menerus dan berubah secara relatif.
4. Teori Kurt Lewin
Kurt Lewin (1970) berpendapat bahwa perilaku
manusia adalah suatu keadaan yang seimbang antara
kekuatan-kekuatan pendorong (driving forces) dan
kekuatan-kekuatan penahan (restrining forces). Perilaku
ini dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan
antara kedua kekuatan tersebut didalam diri seseorang.
Ada tiga kemungkinan terjadinya perubahan
perilaku pada diri seseorang itu, yakni:
a. Kekuatan-kekuatan pendorong meningkat. Hal
ini terjadi karena adanya stimulus-stimulus
yang mendorong untuk terjadinya perubahan-
perubahan perilaku. Stimulus ini berupa
penyuluhan-penyuluhan atau informasi-informasi

131
sehubungan dengan perilaku yang bersangkutan.
Misalnya, seseorang yang belum ikut KB (ada
keseimbangan antara pentingnya anak sedikit
dengan kepercayaan banyak anak banyak rezeki)
dapat berubah perilakunya (ikut KB) kalau kekuatan
pendorong yakni pentingnya ber-KB dinaikkan
dengan penyuluhan-penyuluhan atau usaha-usaha
lain.

Kekuatan Pendorong ----------- Meningkat


Perilaku Semula
Kekuatan Penahan
Perilaku

b. Kekuatan-kekuatan penahan menurun. Hal ini


akan terjadi karena adanya stimulus-stimulus
yang memperlemah kekuatan penahan tersebut.
Misalnya, contoh tersebut, dengan memberikan
pengertian kepada orang tersebut bahwa banyak
anak banyak rezeki adalah kepercayaan yang
salah maka kekuatan penahan tersebut melemah
dan akan terjadi perubahan perilaku pada orang
tersebut.

Pendorong
Perilaku Semula
Penahan --- menurun
Perilaku baru

c. Kekuatan pendorong meningkat, kekuatan


penahan menurun. Dengan keadaan semacam ini
jelas juga akan terjadi perubahan perilaku. Seperti
contoh tersebut, penyuluhan KB yang berisikan

132
memberikan pengertian terhadap orang tersebut
tentang pentingnya ber-KB dan tidak benarnya
kepercayaan anak banyak, rezeki banyak, akan
meningkatkan kekuatan pendorong dan sekaligus
menurunkan kekuatan penahan.

Kekuatan Pendorong - Meningkat


Perilaku Semula -----------------------------------------> Perilaku Baru
Kekuatan Penahan - Menurun

B. Perubahan Perilaku
Jika kita menemukan cara untuk mencari manfaat
dari kesehatan terhadap kepekaan dan perilaku yang responsif
dan penyesuaian gaya hidup yang kondusif pada kesehatan, di
profesi kesehatan harus menemukan arti yang paling efektif dari
perluasan manfaat kesehatan untuk semua.
1. Bentuk Perubahan Perilaku
Bentuk perubahan perilaku menurut WHO yang disadur
oleh Notoatmodjo (2007) meliputi:
a. Perubahan alamiah (natural change )
Bentuk perubahan
perilaku yang terjadi
karena perubahan
alamiah tanpa
pengaruh faktor-
faktor lain. Apabila
dalam masyarakat
sekitar terjadi suatu perubahan lingkungan fisik
atau sosial, budaya, dan ekonomi maka anggota-
anggota masyarakat di dalamnya yang akan
mengalami perubahan.

133
b. Perubahan terencana (planned change)
Bentuk perubahan perilaku yang terjadi karena
memang direncanakan sendiri oleh subjek.
c. Kesediaan untuk berubah (readiness to change )
Setiap orang di dalam masyarakat mempunyai
kesediaan untuk berubah yang berbeda-
beda meskipun kondisinya sama. Apabila
terjadi suatu inovasi atau program-program
pembangunan di dalam masyarakat maka yang
sering terjadi adalah sebagian orang sangat
cepat untuk menerima inovasi atau perubahan
tersebut, tetapi sebagian lagi sangat lamban.

Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari


perubahan perilaku, yaitu:
a. Perubahan yang disadari dan disengaja
(intensional)
Perubahan perilaku yang terjadi merupakan
usaha sadar dan disengaja dari individu
yang bersangkutan. Begitu juga dengan
hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan
menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi
perubahan, misalnya pengetahuannya
semakin bertambah atau keterampilannya
semakin meningkat, dibandingkan sebelum
dia mengikuti suatu proses belajar. Misalnya,
seorang manajer sedang belajar tentang
strategi bisnis. Dia menyadari bahwa dia sedang
berusaha mempelajari tentang strategi bisnis.
Begitu juga, setelah belajar strategi bisnis dia
menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi
perubahan perilaku, dengan memperoleh

134
sejumlah pengetahuan, sikap, dan keterampilan
yang berhubungan dengan strategi bisnis.
b. Perubahan yang berkesinambungan (kontinu)
Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan
yang dimiliki pada dasarnya merupakan
kelanjutan dari pengetahuan dan keterampilan
yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu
juga, pengetahuan, sikap, dan keterampilan
yang telah diperoleh itu, akan menjadi dasar
bagi pengembangan pengetahuan, sikap, dan
keterampilan berikutnya.
c. Perubahan yang fungsional
Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan hidup individu
yang bersangkutan, baik untuk kepentingan
masa sekarang maupun masa mendatang.
d. Perubahan yang bersifat positif
Perubahan perilaku yang terjadi bersifat
normatif dan menujukkan ke arah kemajuan.
e. Perubahan yang bersifat aktif
Untuk memperoleh perilaku baru, individu
yang bersangkutan aktif berupaya melakukan
perubahan. Misalnya, manajer ingin
memperoleh pengetahuan baru tentang
strategi bisnis maka manajer tersebut aktif
melakukan kegiatan membaca dan mengkaji
buku-buku strategi bisnis, berdiskusi dengan
manajer lain tentang strategi bisnis, dan
sebagainya.
f. Perubahan yang bersifat pemanen
Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses
belajar cenderung menetap dan menjadi

135
bagian yang melekat dalam dirinya. Misalnya,
manajer belajar mengoperasikan program
akuntansi maka penguasaan keterampilan
mengoperasikan komputer program akuntansi
tersebut akan menetap dan melekat dalam diri
mahasiswa tersebut.
g. Perubahan yang bertujuan dan terarah
Individu melakukan kegiatan belajar pasti
ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan
jangka pendek, jangka menengah, ataupun
jangka panjang. Misalnya, seorang manajer
mempelajari strategi bisnis mempunyai tujuan
jangka pendeknya untuk tahu tentang apa-
apa yang akan dilakukan dalam dunia bisnis,
sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah
untuk ahli dalam bisnis dan mungkin untuk
opromosi ke jabatan yang lebih tinggi karena
telah menguasai bidang tertentu.
h. Perubahan perilaku secara keseluruhan
Perubahan
perilaku
b e l a j a r
bukan hanya
s e k a d a r
memperoleh
pengetahuan
semata, tetapi termasuk memperoleh pula
perubahan dalam sikap dan keterampilannya.
Sedangkan menurut Roger dikutip (Notoatmodjo,
2007), sebelum orang menghadapi perilaku baru dalam
diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan:

136
a. Awareness (kesadaran)
Di mana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap objek
stimulus. Pada tahapan ini seseorang baru
mengetahui objek stimulus, misalnya pada
perilaku deteksi dini kanker payudara maka
pada tahapan ini seseorang baru mengetahui
tentang perilaku deteksi dini kanker payudara.
b. Interest (tertarik)
Di mana orang tertarik dengan stimulus. Pada
tahap ini seseorang sudah mulai tertarik
dengan masalah perilaku deteksi dini kanker
payudara.
c. Evaluation (penilaian)
Rasa menimbang baik dan tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap
responden sudah lebih baik sebab responden
sudah mulai membuat penilaian baik buruknya
perilaku deteksi dini kanker payudara untuk
dirinya.
d. Trial (mencoba)
Di mana seseorang telah berperilaku baru
sesuai dengan pengetahuan serta sikap
terhadap stimulus. Pada tahapan ini responden
telah mulai mencoba perilaku deteksi dini
kanker payudara.
e. Adoption (menerima)
Di mana subjek telah berperilaku baru sesuai
dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya
terhadap stimulus. Pada tahap ini perilaku
deteksi dini kanker payudara sudah menjadi
bagian dari perilaku responden.

137
2. Strategi perubahan perilaku
Beberapa strategi untuk memperoleh
perubahan perilaku dikelompokkan menjadi tiga:
a. Menggunakan kekuatan/kekuasaan atau
dorongan
Misal: dengan adanya peraturan-peraturan/
perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh
anggota masyarakat.
Strategi ini dapat berlangsung cepat, tetapi
belum tentu berlangsung lama karena
perubahan perilaku terjadi tidak atau belum
didasari oleh kesadaran sendiri.
b. Pemberian informasi
Dengan memberikan informasi-informasi
tentang sesuatu hal yang berkaitan dengan hal
tertentu.
c. Diskusi partisipasi
Cara ini adalah
s e b a g a i
peningkatan
cara yang
k e d u a
tersebut
yang dalam
memberikan
informasi-
informasi tentang peraturan baru organisasi
tidak bersifat searah saja, tetapi dua arah.

138
C. Perencanaan Perubahan Perilaku
Kesehatan
1. Memilih perilaku sasaran
Pemilihan perilaku sasaran merupakan salah
satu keputusan rumit yang harus dibuat selama
perencanaan. Pada umumnya komunikator yang
berupaya menyediakan informasi komprehensif
tentang masalah kesehatan, memasukkan jenis
perilaku dan pesan yang terlalu banyak dalam
program-program mereka, hasilnya mempunyai
sedikit dampak perubahan perilaku. Program-program
komunikasi yang mampu meraih perubahan perilaku
akan mengarah kepada beberapa perilaku yang
bisa dilaksanakan (feasible) saja. Sebagai contoh,
keberhasilan program immunisasi di Filipina, pesan-
pesan komunikasi diarahkan secara eksklusif pada
upaya memotivasi orang tua supaya menggunakan
vaksinasi campak bila anak mereka telah berumur 9
bulan. Immunisasi-immunisasi lain tidak disebutkan
dalam pesan-pesan komunikasi yang ditujukan kepada
audiens sasaran. Supaya berhasil mengubah perilaku,
komunikator harus mengeliminasi mayoritas perilaku-
perilaku ideal dan memilih sekelompok perilaku ideal
yang mudah dilaksanakan sebagai arah program
komunikasi mereka.
Ada beberapa alasan mengapa sebaiknya
komunikator menyusun sebuah daftar singkat
perilaku-perilaku yang hendak dipromosikan. Pertama,
perilaku-perilaku yang terkait dengan praktik-praktik
kesehatan yang diinginkan sering terlalu banyak dan
terlalu kompleks untuk diperkenalkan, diubah, dan

139
dipelihara semua dalam waktu yang sama. Kedua,
beberapa perilaku tidak lebih mudah diubah daripada
perilaku yang lain, beberapa perilaku tidak mudah
dijalankan oleh audiens sasaran, dan perilaku-perilaku
yang lain tidak bersesuaian (incompatible) dengan
norma sosial serta norma kultural. Ketiga, beberapa
perilaku mempunyai dampak potensial lebih besar
terhadap masalah kesehatan. Kadang-kadang program
komunikasi mempromosikan perilaku-perilaku yang
tidak menunjukkan hubungan yang jelas dengan
masalah kesehatan tertentu. Contohnya: meskipun
memasak air merupakan sebuah perilaku penting
untuk mencegah diare, tetapi tindakan ini bukan
merupakan langkah yang diperlukan untuk menangani
dehidrasi. Tindakan memasak air mempunyai sedikit
dampak terhadap hasil guna (efficacy) upaya rehidrasi,
dan karena mengorbankan banyak waktu dan tenaga
yang diperlukan untuk memasak serta mendinginkan
air maka hal tersebut dapat menghalangi ibu
menggunakan ORS (oral rehydration salt).
a. Langkah-langkah dalam memilih perilaku
Langkah-langkah berikut ini membantu
komunikator dalam memilih beberapa perilaku
kunci untuk dijadikan sasaran dalam sebuah
program komunikasi.
1) Langkah 1: meninjau hasil penilaian
Proses perencanaan dimulai dengan
sebuah upaya meninjau fakta atau data
mengenai kepercayaan, pengetahuan, dan
praktik audiens sasaran yang berkaitan
dengan masalah kesehatan. Tinjauan
ini akan membantu penyusun rencana

140
memahami perilaku-perilaku yang telah
ada dan konsekuensi-konsekuensi yang
memelihara perilaku-perilaku tersebut,
serta memutuskan perilaku mana yang
benar-benar mudah diadopsi audies
sasaran.
2) Langkah 2: meninjau daftar perilaku-
perilaku “ideal”
Perilaku-perilaku ideal adalah perilaku
yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan
medik dan perlu dilakukan oleh audiens
sasaran dengan tujuan untuk mencegah
atau menangani masalah kesehatan.
Selama tahap perencanaan, daftar perilaku
ideal ditinjau kembali dan menambahkan
beberapa langkah yang telah berhasil
diidentifikasi dan diperlukan demi kinerja
yang baik untuk memelihara kesehatan.
3) Langkah 3: memilih perilaku sasaran
Perilaku-perilaku sasaran adalah jumlah
minimum langkah-langkah perilaku
yang esensial untuk membuat praktik
kesehatan menjadi efektif. Semua
perilaku dan langkah-langkah perilaku
yang tidak penting dan tidak mudah
dikeluarkan terlebih dahulu (dieliminasi)
dari daftar perilaku ideal sehingga daftar
tersebut hanya mengandung pokok-
pokok yang dapat ditangani, yang akan
dijadikan sasaran program komunikasi.
Selama proses eliminasi, komunikator
mempertimbangkan dampak kesehatan

141
dan kelayakan dari setiap perilaku ideal,
demikian juga dengan aproksimasi-
aproksimasi terhadap perilaku-perilaku
yang telah dilaksanakan oleh sasaran.
Segala pertimbangan sebaiknya dianalisis
dengan tajam karena sebuah perilaku
bisa saja sebenarnya diperlukan untuk
menimbulkan dampak pada kesehatan,
tetapi orang-orang tidak mungkin dapat
menjalankannya. Proses eliminasi ini suatu
tindakan yang harus selalu dilakukan
sebagai upaya menyeimbangkan semua
faktor-faktor yang mungkin menentukan
apakah sebuah perilaku akan diadopsi
atau tidak. Kadang-kadang ada perilaku
yang tidak dapat dengan mudah
dijlankan sasaran dengan cara yang
ideal, tetapi perilaku tersebut harus ada
agar menimbulkan suatu dampak pada
masalah kesehatan.
b. Perangkat untuk menyaring perilaku
Skala analisis perilaku Behaviour Analysis Scale
(Green, Kreuter, Deeds, Partridge, 1980) terutama
bermanfaat bila sebuah praktik kesehatan
merupakan sasaran komunikasi untuk yang
pertama kali. Skala tersebut terdiri atas sembilan
kriteria perilaku yang dipakai untuk memberi
nilai angka (rating) potensi perilaku-perilaku
sasaran, yaitu: dampak terhadap masalah
kesehatan, konsekuensi-konsekuensi positif,
kompatibilitas/frekuensi, durasi, beban yang
perlu ditanggung, aproksimasi-aproksimasi,

142
kompleksitas, dan observabilitas. Skala ini akan
memudahkan untuk melihat mana di antara
banyak perilaku tersebut yang paling mungkin
diubah dan berpotensi menimbulkan dampak
terhadap masalah kesehatan.
Dalam situasi di mana
perilaku ideal berbeda
secara radikal dengan
perilaku yang sekarang
sedang berlangsung,
padahal perilaku baru
tersebut diperlukan untuk
memecahkan masalah
kesehatan maka perlu ada negosiasi untuk
menentukan perilaku antara yang lebih mudah
dijalankan.

2. Memilih strategi komunikasi


Komunikator perlu mempertimbangkan
banyak faktor medis, politik, finansial, logistic, dan
teknis, ketika memutuskan strategi komunikasi
yang “terbaik”. Faktor-faktor perilaku sebaiknya
mengambil bagian dalam memengaruhi pemilihan
strategi.
a. Defisit-defisit keterampilan dan kinerja
Dalam memilih strategi komunikasi,
komunikator sebaiknya mempertimbangkan
apakah ketidakhadiran perilaku atau
ketidaktepatan kinerja sebuah perilaku sasaran
disebabkan oleh kurangnya keterampilan
(defisit keterampilan) atau ketidakhadiran
kondisi-kondisi yang memuaskan bagi

143
pelaksana perilaku tersebut (defisit kinerja).
Bila seseorang mempunyai defisit keterampilan,
komunikator akan memilih strategi untuk
memperkenalkan dan mengajarkan
keterampilan-keterampilan ini. Bila sasaran
telah menjalankan aproksimasi-aproksimasi
perilaku sasaran maka strategi komunikasinya
adalah memberikan penghargaan terhadap
aproksimasi tersebut dan mengajarkan
keterampilan yang diperlukan untuk
membentuk perilaku sasaran.
Dalam situasi lain, orang telah memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang berarti,
tetapi masih belum dapat menjalankan perilaku
dengan benar atau tidak menjalankannya
sama sekali. Salah satu alasannya adalah
pelaksanaan perilaku tersebut tidak langsung
menghasilkan konsekuensi yang bermanfaat,
atau bahkan menghasilkan konsekuensi yang
justru tidak menyenangkan.
Maka, dalam kasus ini strategi
komunikasi yang dipakai akan kurang fokus
pada pengajaran dan pembentukan perilaku,
tetapi lebih mengarah kepada pengembangan
lingkungan pendukung bagi kesinambungan
kinerja perilaku sasaran. Sebagai contoh,
banyak ibu yang yakin bahwa pemberian ASI
merupakan pilihan terbaik. Namun, ketika
mereka dihadapkan pada rasa sakit saat
pertama kali menyusui maka timbul frustrasi
dan berakibat pada menurunnya minat
untuk melanjutkan menyusui. Oleh karena

144
itu, komunikasi dilakukan untuk memberi
pengetahuan dan keterampilan bagi faktor
pendukung (suami, ibu, sahabat wanita) tentang
bagaimana cara mendukung para ibu yang baru
pertama kali menyusui untuk tetap menyusui
sambil berupaya mengurangi rasa sakit.
b. Keputusan pemilihan strategi
Langkah pertama, komunikator
mula-mula mempertimbangkan apakah
orang-orang telah mengetahui perilaku
sasaran. Jika mereka tidak mengetahui maka
komunikator akan memilih strategi antesenden
untuk memperkenalkan sebuah perilaku,
menyediakan informasi, dan menciptakan
kesadaran dan kebutuhan terhadap teknologi
dan perilaku kesehatan yang baru. Jika ternyata
orang telah sadar akan perilaku baru ini maka
pertanyaan berikutnya adalah apakah sasaran
mampu melakukannya. Bila jawabannya
tidak maka berarti mereka mengalami defisit
keterampilan dan strategi yang dipilih adalah
untuk melatih dan mengajarkan keterampilan.
Sebaliknya, bila orang telah tahu
akan perilaku tersebut dan tahu bagaimana
melakukannya dengan benar, tetapi tetap
tidak melakukannya maka mereka mengalami
defisit kinerja. Banyak terjadi ketidakhadiran
perilaku sasaran disebabkan oleh dua jenis
defisit ini secara bersamaan. Pada kondisi ini
maka perlu dikembangkan sebuah strategi
komunikasi yang mengarah baik pada defisit
keterampilan dan kinerja secara terpadu.

145
Namun, pelaksanaannya tidak dapat keduanya
sekaligus. Maka, sebaiknya diprioritaskan pada
pengembangan defisit keterampilan baru
kemudian pada pengembangan defisit kinerja.
c. Strategi menanggapi defisit keterampilan
Apabila kegagalan dalam menjalankan
perilaku sasaran disebabkan oleh defisit
keterampilan (tidak tahu bagaimana cara
menjalankan perilaku tersebut) maka sasaran
tidak akan pernah mencoba menjalankan
perilaku tersebut. Strategi komunikasinya
adalah memberikan pelatihan serta
mengajarkan keterampilan yang diperlukan
untuk menjalankan perilaku sasaran dengan
cara yang benar.
Bisa jadi sasaran telah menjalankan
aproksimasi perilaku sasaran, tetapi tidak
dengan frekuensi dan durasi yang cukup, bentuk
yang benar, atau saat yang tepat. Maka, strategi
komunikasinya adalah dengan memberikan
apresiasi terhadap aproksimasi yang telah
dilakukan sekaligus mengajarkan frekuensi,
durasi, akurasi, dan penjadwalan yang benar.
d. Strategi menanggapi defisit kinerja
Dalam situasi yang lain, banyak orang
dapat menunjukkan bagaimana perilaku
sasaran dengan benar, tetapi mereka masih
belum menjalankan perilaku tersebut dalam
kehidupan sehari-hari. Sebuah perilaku
menimbulkan konsekuensi lebih dari satu,
dengan rentang yang luas mulai dari yang
positif hingga yang negatif, mulai yang tejadi

146
seketika sampai yang mengalami penundaan,
serta mulai dari yang konkret sampai yang
abstrak. Perilaku-perilaku yang secra kultural
relevan, secara individu menonjol dan terjadi
seketika akan merupakan konsekuensi yang
berdaya tinggi. Sebaliknya, konsekuensi yang
tertunda atau abstrak mempunyai daya yang
sangat lemah.
3. Memilih saluran komunikasi
Setelah komunikator memilih perilaku sasaran
dan menetapkan strategi komunikasi maka tahap
selanjutnya adalah memilih pesan-pesan dan saluran
yang dipakai untuk berkomunikasi dengan sasaran.
Strategi-strategi komunikasi yang menggabungkan
saluran-saluran secara majemuk merupakan strategi
yang mempunyai dampak paling besar bagi upaya
perubahan perilaku kesehatan.
Aturan-aturan memilih saluran yang bersifat
dasar, tetapi sangat penting adalah:
a. Pilih saluran yang mencerminkan pola-pola
penggunaan oleh sasaran tertentu, bukan
berdasarkan selera tim komunikasi atau
pembuat keputusan. Agar berdampak efektif,
pilih saluran yang mampu meraih sasaran
dengan derajat frekuensi, efektivitas, dan
kredibilitas yang paling benar.
b. Kenali bahwa saluran yang berbeda
memainkan peranan yang berbeda.
c. Gunakan beberapa saluran secara simultan.
Penggunaan saluran secara majemuk yang
terpadu akan meningkatkan cakupan,
frekuensi, dan efektivitas pesan-pesan

147
komunikasi.
d. Pilih media yang sesuai dengan sumber
daya manusia dan finansial yang ada dalam
program.
e. Pilih saluran yang dapat dijangkau dan
tepat bagi sasaran.
Kombinasi saluran-saluran ini disebut media
campuran. Media campuran yang dipilih sebaiknya
merupakan media yang membuat komunikator
mampu mencapai banyak orang dengan banyak
kesempatan, dalam kerangka waktu yang sudah
ditentukan.
4. Memanfaatkan saluran sebagai konsekuens
Saluran komunikasi
umumnya berfungsi sebagai
anteseden bagi perilaku
sasaran, menyediakan informasi,
mengajarkan keterampilan,
dan menciptakan kebutuhan
terhadap produk-produk
dan pelayanan-pelayanan.
Meskipun demikian, komunikator sebaiknya juga
mempertimbangkan penggunaan saluran-saluran
ini untuk memperkuat jalinan antara pelaku dan
konsekuensnya.
Strategi yang dihasilkan akan menggunakan
saluran-saluran tersebut dalam menyediakan model-
model perilaku beserta konsekuensnya. Sebagai
contoh, siaran televisi dapat memperagakan orang
yang menjalankan perilaku tertentu dan mengalami
konsekuensi tertentu sehingga menarik perhatian

148
audiens. Saluran-saluran komunikasi dapat berfungsi
sebagai konsekuensi sekurang-kurangnya melalui
tiga cara, yaitu:
a. Memperkenalkan sebuah konsekuensi bagi
perilaku sasaran
Bila sebuah konsekuens tidak seketika
dirasakan karena sifat preventif sebuah
perilaku, komunikator dapat memperkenalkan
konsekuensi positif baru sampai konsekuensi
yang lebih alamiah dapat dirasakan. Bahan-
bahan cetakan seperti piagam atau sertifikat,
dapat dipakai sebagai penghargaan bagi
penunaian tugas atau penguasaan keterampilan,
newsletter Kementerian Kesehatan dapat
menuliskan prestasi para petugas pelayanan
kesehatan primer teladan atau program-
program kesehatan yang efektif.
Jika strategi komunikasi memperkenalkan
konsekuensi-konsekuensi baru, maka
komunikator akan menggunakan saluran-
saluran komunikasi untuk mengajari individu
dalam hal mengenali konsekuensi-konsekuensi
baru tersebut.
b. Mengurangi konsekuensi negatif
Saluran komunikasi juga dapat dipakai
untuk mengurangi konsekuensi negatif
dalam perilaku sasaran. Pada beberapa kasus
komunikator tidak dapat secara langsung
mengubah konsekuensi negatif itu sendiri, tetapi
dapat mengurangi dampaknya pada audiens
sasaran. Sebagai contoh, obat pencegah malaria
dapat menimbulkan efek samping. Saluran

149
komunikasi dapat memberikan informasi
mengenai efek samping tersebut, mengajarkan
kepada audiens sasaran bahwa hal itu normal
dan perlu agar pengobatan menjadi efektif.
c. Meningkatkan daya tonjol dari konsekuensi
Teknologi dan perilaku yang diperlukan
bagi kelangsungan hidup anak semakin
berkembang. Perilaku baru menghasilkan
konsekuensi-konsekuensi baru. Komunikator
sering perlu menonjolkan konsekuensi
yang relatif tidak diketahui. Banyak orang di
dunia berkembang tidak mengetahui bahwa
kekurangan vitamin A dapat menyebabkan rabun
senja. Meskipun demikian strategi komunikasi
yang mengarah kepada usaha menonjolkan
konsekuensi ini tidak perlu menghasilkan
anjuran-anjuran perilaku preventif karena hanya
beberapa orang anak saja yang benar-benar
mengalami rabun senja.
5. Memanfaatkan saluran komunikasi dalam rantai A-B-C
Tabel berikut ini memberikan ilustrasi cara-cara
saluran komunikasi berfungsi dalam memicu, membentuk,
dan menghargai perilaku-perilaku sasaran, khususnya
dengan mempertimbangkan karakteristik demografi dan
sosioekonomi populasi di negara berkembang.
Angka 1 menunjukkan bahwa saluran tersebut
benar-benar kuat dalam menjalankan fungsi ini.
Angka 2 mengandung arti bahwa saluran tersebut
kemungkinan kuat. Angka 3 menunjukkan bahwa saluran
ini kemungkinan relatif lemah dalam fungsi ini, tetapi
tetap dapat dipakai bersama-sama dengan saluran
yang lain. Kosong berarti saluran ini kemungkinan tidak

150
dpat berfungsi dengan baik. Angka-angka dalam tabel
dimaksudkan hanya untuk memberikan contoh analisis
program mengenai bagaimana menggunakan saluran-
saluran komunikasi.

Tabel
Peranan Saluran Komunikasi dalam Rantai A-B-C

Strategi Inter- Media Siar Media


personal (Radio/TV) Cetak
Anteseden
Peningkatan pengetahuan 1 1 2
Menciptakan kesadaran atau permintan 2 1 2
(demand)
Upaya memotivasi 1 1 2
Memberikan pengingat waktu 2 1 2
Praktik
Mengajarkan keterampilan kompleks 1 3 2
Membentuk aproksimasi 1 2
Menyediakan umpan balik 1
Mengajarkan frekuensi 1 1 2
Mengajarkan durasi 1 1 2
Mengajarkan akurasi 1 1 2
Mengajarkan penjadwalan 1 1 2
Konsekuens
Mengurangi konsekuensi yang tidak 1 2
menyenangkan
Memperkenalkan konsekuensi yang 1 1 2
menyenangkan
Semakin menonjolkan sebuah konsekuensi 1 1 3
Mengurangi penghargaan bagi perilaku- 1 1 3
perilaku tandingan atau yang tidak
diharapkan

151
Tabel tersebut dirancang untuk membantu
komunikator memvisualisasikan bagaimana saluran-
saluran tersebut dapat berfungsi dalam rantai A-B-C.
Persoalannya bukan saluran mana yang terbaik,
melainkan bagaimana saluran-saluran ini dapat
dipakai dengan cara yang terpadu untuk mendukung
dan memperkuat perilaku sasaran tertentu.

152
Sumber Pustaka

Ahmadi, Abu, Widodo Supriyono. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta:


PT Rineka Cipta.

Ahmadi, Abu. 2003. Psikologi Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.


Jakarta: Rineka Cipta

Azwar, S. 2007. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya, edisi 2.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Azwar, Saifuddin. 2000. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta:


Penerbit Pustaka Pelajar

Budiharto. 2010. Pengantar Ilmu Perilaku Kesehatan dan Pendidikan


Kesehatan Gigi. Jakarta: EGC.

Gerungan, W. A. 2004. Psikologi Sosial. Bandung: PT Refika


Aditama.

Heri Purwanto. 1998. Pengantar Perilaku Manusia. Jakarta: EGC.h


10-19

Hidayat, Komariddin. 2009. Active Learning: 101 Srategi


Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Insan Masani.

Mappiare A.T, Andi. 2006. Kamus Istilah Konseling & Terapi. Jakarta:
PT Raja Grafino Persada.

Maulana, Heri D. J. 2009.Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC.

153
Mustaqim, Abdul Wahid. 2003. Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT
Rineka Cipta, cet. 1 hal. 63.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan.


Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, Soekidjo, & Sarwono, Solita. 1985. Pengantar Ilmu


Perilaku Kesehatan. Jakarta: Badan Penerbit Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia. Hlm. 23

Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku.


Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi.


Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan.


Jakarta: Rineka Cipta.

Romauli, S. Vindari, A.M. 2009. Kesehatan Reproduksi buat


Mahasiswi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Sarafino, E. P. 2006. Health Psychology: Biopsychosocial Interactions.


Fifth Edition. USA: John Wiley & Sons.

Sarwono, S.2004. Sosiologi Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Sri Maryati. 2009. “Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemberian


Asi Eksklusif pada Bayi Umur 0-6 Bulan di Kota Medan
Tahun 2009”. Tesis. FKM USU. Jakarta.

Sudarma, Momon. 2008. Sosiologi untuk Kesehatan. Jakarta:


Salemba Medika.

154
Sugiyono. 2012. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Penerbitt
Alfabeta. p .231, 275.

Suryani. 2008. Perilaku Konsumen dan Komunikasi Pemasaran.


Bandung: Remaja Rosdakarya.

Talidizuhu Ndraha. 2005. Teori Budaya Organisasi. Jakarta: Rineka


Cipta.

Umar, Husein.  2000. Riset Pemasaran dan  Perilaku  Konsumen.


Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Wawan, A dan Dewi, M. 2010. Teori dan Pengukuran Pengetahuan,


Sikap, dan

Perilaku Manusia. Yogyakarta: Nuha Medika.

Winardi. 2002. Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen.


Jakarta: Raja Grafindo Persada.

155
156
Biodata Penulis

Hermien Nugraheni, SKM., M.Kes.


dilahirkan di Semarang pada tanggal
0 Agustus 1969. Adalah dosen di
Politeknik Kesehatan Kemenkes
Semarang yang sedang menempuh
studi S-3 pada Program Doktor Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kesehatan Masyarakat, Universitas
Diponegoro Semarang.
Istri dari Widhia Arie Prajoga Wijata, M.M. ini adalah
pengampu mata kuliah Ilmu Kesehatan Masyarakat, Dasar
Perilaku Kesehatan, Sosiobudaya Dasar, Sosiologi Kesehatan,
Antropologi Kesehatan, Pengembangan Kepribadian, dan
Pendidikan dan Budaya Antikorupsi.
Buku “Perilaku Kesehatan” ini adalah buku pertamanya,
setelah beberapa bahan ajar mata kuliah yang diampunya sudah
berhasil disusun dalam proses belajar mengajar di Politeknik
Kesehatan Kemenkes Semarang.
Besar harapan penulis, buku ini bermanfaat sebagai
referensi bagi mahasiswa Politeknik Kesehatan khususnya dan
calon-calon tenaga kesehatan di Indonesia pada umumnya,
sebagai bekal sebelum berkarya di tengah masyarakat.
Memahami, mencermati, menganalisis, dan mengintervensi
perilaku masyarakat dalam bidang kesehatan adalah bagian dari
tugas tenaga kesehatan agar perilaku yang merupakan faktor

157
terbesar pengaruhnya terhadap derajat kesehatan masyarakat
dapat diupayakan mendukung terciptanya hidup sehat bagi
semua.

158

Anda mungkin juga menyukai