Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever.
Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam


tifoid di seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap
tahunnya. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi
2
pada anak maupun dewasa. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia
sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan
spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun
2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia
dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun .3,4

Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit


endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang
sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit.
Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi
di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan
760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun.
Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91%
kasus.5,6

Dyspepsia merupakan keluhan yang umu ditemui dalam praktik sehari hari
dan telah dikenal sejak lama dengan definisi yang terus berkembang, mulai dari
semua gejala yang berasal dari saluran cerna bagian atas, sampai diekseklusinya
gejala refluk hingga ke definisi terkini yang mengacu kepada criteria roma III.
Infeksi Helicobacter Pylori (HP) saat ini dipandang sebagai salah satu factor
penting dalam menangani dyspepsia, baik organic maupun fungsional, sehingga
penanganan dyspepsia dihubungkan dengan penanganan HP. 7

1
Prevalensi infeksi HP di Asia cukup tinggi, sehingga perlu diperhatikan
dalam pendekatan diagnosis dalam penatalaksanaan dyspepsia. Eradikasi Hp telah
terbuktik efektif dalam menghilangkan gejala dyspepsia organic, tetapi untuk
dyspepsia fungsional diperlukan penelitian lebih lanjut. 7

Prevalensi infeksi Hp pada pasien dyspepsia yang menjalani pemeriksaan


endoskopi di berbagai rumah sakit pendidikan kedokteran di Indonesia ( 2003
-2004) ditemukan sebesar 10,2%. Prevalensi yang cukup tinggi ditemukan di
Makasar tahun 2011 ( 55% ), Solo tahun 2008 (51,8%), Yogyakarta (30,6%) dan
Surabaya tahun 2013 (23,5%), serta prevalensi terendah di Jakarta (8%). 7,8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam Typoid


2.1.1 Definisi
Demam typoid (Typus abdominalis) adalah penyakit infeksi akut yang
biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari
satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran.
Demam typoid mencakup dari demam enterik yang merupakan sindrom klinis
sistemik yang dihasilkan oleh organism Salmonella tertentu. Istilah ini

2
mencakup istilah demam yang disebabkan baik oleh S. typhi dan demam
paratifoid, yang disebabkan oleh S. paratyphi A, B, C , dan kadang serotype
Salmonella lain. Demam typoid , jenis demam yang paling sering dan cenderung
untuk menjadi lebih berat dari pada bentuk yang lain. 3

2.1.2 Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi,
S. paratyphi A, S. paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S.
Hirschfeldii). Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri
Gram-negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora
fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari
oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen
(K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida
kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan
endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang
berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.1

Gambar 1. Mikroskopik Salmonella Typhi


http://medicastore.com/artikel/html.

2.1.3 Patofisiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang
mengikuti ingesti organisme, yaitu:
1. penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch

3
2. bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch,
nodus limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem
retikuloendotelial

3. bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah

4. produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus


dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan
keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal. 3

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam


tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2)
banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang
biak dalam peyer patch dalam usus. Bakteri yang masih hidup akan mencapai
usus halus tepatnya di jejunum dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa
usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M
merupakan sel epitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de
entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria
kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening
mesenterika. 3

Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam


makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia
pertama yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini
kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel
atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang
mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi
sistemik.3

Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang


biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk

4
lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang
kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat
fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi
yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi,
sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium.3

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi


jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe
lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna
dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang
mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di
dinding usus.3

5
Bagan Patofisiologi Demam Tifoid5

2.1.4 Manifestasi Klinis


Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa
inkubasi terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa
inkubasi mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan
umum/status gizi serta status imunologis penderita.1 Walupun gejala demam
tifoid bervariasi, secara garis besar gejala-gejala yang timbul dapat
dikelompokkan :
1. Demam satu minggu atau lebih
2. Gangguan saluran pencernaan
3. Gangguan kesadaran.1

Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi


akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah,
diare, konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang
meningkat. Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas,
berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung
mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat. 3
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada
orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise
pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41 o C) serta dapat pula
bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid kongenital. 3
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat
dengan tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, dilapisi selaput tebal, di
bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan.
Bila penyakit makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila
lebih promine. 5
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu
kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4
6
mm, berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan
emboli kuman yang didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama
didapatkan di daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian
5
fleksor lengan atas. Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada
akhir minggu pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria.
Pembesaran limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih
lunak.5
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan
ukuran 1 – 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas
dan punggung pada orang kulit putih, belum pernah dilaporkan di Indonesia.
Ruam ini muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari. 5

2.1.5 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai
sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom
normositer, yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau
perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia
disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila
disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung
jenis didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left
ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan penyakitnya. SGOT
dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid
sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal. 1
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen
antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang
diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke
dalam tabung tanpa antikoagulan.

7
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai
nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih
didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada
deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen,
jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen
tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau
monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut
dalam perjalanan penyakit).5 Beberapa uji serologis yang dapat digunakan
pada demam tifoid ini meliputi :
a. Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi
antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan
sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen
kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah
dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat
antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih
menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.5
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu;
-
Aglutinin O (dari tubuh kuman)
-
Aglutinin H (flagel kuman)
-
Aglutinin Vi (simpai kuman) 5
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya
5
semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pada demam tifoid
mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi H timbul
lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun,
sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah
sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan
aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi
timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh
dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat.
Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi,
tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi. 5
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan
memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan
8
membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%.
Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid,
akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur
pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer
sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat
ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau
infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa
kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji
serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu
pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.5
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang
berhubungan dengan penderita dan faktor teknis.
1. Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
a. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
b. Gangguan pembentukan antibodi.
c. Saat pengambilan darah.
d. Daerah endemik atau non endemik.
e. Riwayat vaksinasi.
f. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi
bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau
vaksinasi. 5
2. Faktor teknik, yaitu

a. Akibat aglutinin silang.


b. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
c. Teknik pemeriksaan antar laboratorium. 5
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah :
 Negatif Palsu
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini
kejadian paling sering di negara kita, demam –> kasih antibiotika –>
nggak sembuh dalam 5 hari –> tes Widal) menghalangi respon
antibodi. Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur
darah.
 Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S.
paratyphi A, B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga
menimbulkan reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa

9
menimbulkan hasil positif palsu (false positive). Padahal sebenarnya
yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid). 5
b. Tes TUBEX
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi
kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan
menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas.
Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen 09 yang benar-
benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes
ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi
adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu
beberapa menit.5
Interprestasi hasil dari tes TUBEX :
 Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi
demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari
kemudian.
 Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
 Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid
Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:

Immunodominan yang kuat

Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi
dan H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat
terhadap sel B.

Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga
respon antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.

Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan
cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.

Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang
ditemukan baik di alam maupun diantara mikroorganisme.5
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :

Mendeteksi infeksi akut Salmonella

Muncul pada hari ke 3 demam

Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella

Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit

Hasil dapat diperoleh lebih cepat.5

10
c. Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi
spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi
terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut
sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan
tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan
deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus
akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi
dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan
memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.4
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas
dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya
reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan
antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat
yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya
mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana
biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran
lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap
stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil
didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien. 5

d. Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)


Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai
untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9,
antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap
antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi
adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody
sandwich ELISA.6 mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada
sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum
tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji
ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali
pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini
11
sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada
deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi
urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi ta
mpaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu
pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya
nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis. 5

2.1.6 Diagnosis Banding


 Demam Typhoid
 Demam Hemorhagic faver
 Demam Dengue
 Malaria

2.1.7 Diagnosis
Diagnosis demam tifoid ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti dilakukan dengan cara menguji
sampel feses atau darah untuk mendeteksi adanya bakteri Salmonella sp dengan
membiakkan pada 14 hari awal setelah terinfeksi. Selain itu, tes widal (aglutinin
O dan H) mulai positif pada hari ke-10 dan titer akan meningkat sampai
berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal selang 2 hari jika peningkatan
aglutinin progresif (di atas 1/200) menunjukkan diagnosis positif dari infeksi
aktif demam tifoid. Biakan feses dilakukan pada minggu ke-2 dan ke-3 serta
biakan urin pada minggu ke-3 dan ke-4 dapat mendukung diagnosis dengan
ditemukannya bakteri Salmonella. 5
Gambaran darah juga membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat
leukopenia polimorfonuklear (PMN) dengan limfositosis relatif pada hari ke-10
dari demam, arah demam tifoid menjadi jelas. Jika terjadi leukositosis PMN,
berarti terdapat infeksi sekunder kuman di dalam lesi usus. Peningkatan cepat
dari leukositosis PMN waspada akan terjadinya perforasi usus. Tidak mudah
mendiagnosis karena gejala yang timbul tidak khas. Ada penderita yang setelah
terpapar kuman hanya mengalami demam kemudian sembuh tanpa diberi obat.
Hal itu dapat terjadi karena tidak semua penderita yang secara tidak sengaja
menelan kuman langsung sakit, tergantung dari banyaknya kuman dan imunitas
seseorang. Jika kuman hanya sedikit yang masuk saluran cerna, dapat langsung
dimatikan oleh sistem imun. 3

2.1.8 Penatalaksanaan
1. Non Medika Mentosa 3
12
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat
membantu. Pasien harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak
bekerja sampai pemulihan.
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP)
rendah serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi
penderita namun tidak memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah
selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet
untuk penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair,
bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral
maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit
berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan.
Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.3

2. Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi
antipiretik. Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman
dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum,
sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna
yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah
mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral,
obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na
yaitu antrain atau Novalgin. 3
b) Antibiotik 5
Antibiotik yang sering diberikan adalah :
 Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi
tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak-
anak 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian
intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari
atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler
tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat
diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi
atau didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21
13
hari. Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi
relaps atau kambuh, dan carier.

 Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika


trimetoprim dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis
Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari
dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup dosis yang
diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali
selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan
ini adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia
megaloblastik, Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa
Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.

 Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah


dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun
untuk anak- anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup
efektif. Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan
terapi chloramphenicol.

 Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime),


merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan
lebih dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive
terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya
dengan dosis 100 mg/kg/hari IV dibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200
mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per
oral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma
sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam
30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam. Untuk
demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan
tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan
laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazole. 4

14
2.1.9 Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :
1. Komplikasi pada usus halus
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja
dengan benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai
nyeri perut dengan tanda – tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan
terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis
hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum yaitu
pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma
pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi
usus. Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding
abdomen tegang, dan nyeri tekan. 3
2. Komplikasi diluar usus halus
a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan
disebabkan oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder
dan dapat timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain
yang terjadi adalah abses paru, efusi, dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi
minggu kedua dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi
kolesistitis maka penderita cenderung untuk menjadi seorang karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis
berupa kesadaran menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi,
pemeriksaan otak dalam batas normal. Bila disertai kejang – kejang
maka biasanya prognosisnya jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh
gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering
didapatkan pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala
klinis tidak jelas sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata
peyebabnya adalah Salmonella havana dan Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis

15
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta
gambaran klinis tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7
tahun keatas serta sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga.
Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain : sinus takikardi, depresi
segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I, aritmia,
supraventrikular takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella
typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis
maupun pilonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid.
Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang
dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sidrom nefrotik
mempunyai prognosis yang buruk. 3
2.1.10 Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan
terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang,
angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan,
dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau
perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Relaps dapat timbul beberapa kali. Typhi
≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier
pada anak – anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada
1-5% dari seluruh pasien demam tifoid . 1

2.1.11 Edukasi
Pencegahan infeksi Salmonella typhi dapat dilakukan dengan penerapan
pola hidup yang bersih dan sehat. Berbagai hal sederhana namun efektif dapat
mulai dibiasakan sejak dini oleh setiap orang untuk menjaga higientias pribadi
dan lingkungan, seperti membiasakan cuci tangan dengan sabun sebelum makan
atau menyentuh alat makan/minum, mengkonsumsi makanan dan minuman
bergizi yang sudah dimasak matang, menyimpan makanan dengan benar agar
tidak dihinggapi lalat atau terkena debu, memilih tempat makan yang bersih dan
memiliki sarana air memadai, membiasakan buang air di kamar mandi, serta
mengatur pembuangan sampah agar tidak mencemari lingkungan. 1

16
2.2. DISPEPSIA

2.2.1. Definisi

Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau


kumpulan gejala/ keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu
hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh/
begah. Setiap pasien memliki keluhan yang bervariasi.7

2.2.2. Epidemiologi

Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai dalam


praktek praktis sehari-hari. Di Indonesia diperkirakan 30% kasus pada praktek
umum dan 60% pada praktek spesialis merupakan kasus dispepsia. Di Amerika,
prevalensi dispepsia sekitar 25%, tidak termasuk pasien dengan keluhan refluks.
Insiden pastinya tidaklah terdokumentasi dengan baik, tetapi penelitian di
Skandinavia menunjukkan dalam 3 bulan, dispepsia berkembang pada 0,8%
pada subyek tanpa keluhan dispepsia sebelumnya 7. Prevalensi keluhan saluran
cerna menurut suatu pengkajian sistematik atas berbagai penelitian berbasis
populasi (systematic review of population-based study) menyimpulkan angka
bervariasi dari 11-41%. Jika keluhan terbakar di ulu hati dikeluarkan maka
angkanya berkisar 4-14%. 7

Dispepsia masih menimbulkan masalah kesehatan karena merupakan


masalah kesehatan yang kronik dan memerlukan pengobatan jangka panjang
sehingga meningkatkan biaya perobatannya. Walaupun gejalanya hanya singkat
dan dapat diobati sendiri oleh pasien tanpa berobat ke dokter. Dispepsia terjadi
pada hampir 25% (dengan rentang 13%-40%) populasi tiap tahun tetapi tidak
semua pasien yang terkena dispepsia akan mencari pengobatan medis. 7

2.2.3. Etiologi

Berdasarkan etiologi nya, dispepsia dibagi menjadi dua jenis yaitu:

a. Dispepsia fungsional 7,8


17
 Dalam Konsensus Roma III (2006), definisi nya adalah:

 Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat
kenyang, nyeri ulu hati/ epigastrik, rasa terbakar di epigastrium.

 Tidak ada bukti kelainan structural (termasuk di dalamnya pemeriksaan


endoskopi saluran cerna bagian atas) yang dapat menerangkan penyebab
keluhan tersebut.

 Keluhan ini terjadi selama tiga bulan dalam waktu enam bulan terakhir
sebelum diagnosis ditegakkan.

 Dalam usaha untuk mencoba ke arah praktis pengobatan, dispepsia


fungsional dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:

1. Dispepsia tipe seperti ulcus. Yang lebih dominan adalah nyeri


epiastric.

2. Dispepsia tipe seperti dismotilitas. Yang lebih dominan adalah


keluhan kembung, mual, muntah, rasa penuh, cepat kenyang.

3. Dispepsia tipe non-spesifik. Tidak ada keluhan yang dominan.

b. Dispepsia organic7,8

Bisa disebabkan karena:

 Gangguan penyakit dalam lumen saluran cerna (tukak gaster/duodenum,


gastritis kronis, gastritis NSAID, tumor, infeksi Helicobacter pylori)

 Obat-obatan (Acarbose, Aspirin, Obat anti inflamasi non steroid,


Colchicine, Digitalis, Estrogen, Gemfibrozil, Glukokortikoid, Preparat
besi, Levodopa, Narkotik, Niasin, Nitrat, Orlistat, Potassium klorida,
Quinidine, Sildenafil, Teofilin)

 Penyakit pada hati, pancreas, system bilier (hepatitis, pancreatitis,


kolesistitis, kolelitiasis, disfungsi sfingter Oddi, keganasan)

 Penyakit sistemik (diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit jantung


koroner, gagal ginjal)

18
 Gangguan fungsional (dyspepsia fungsional, irritable bowel syndrome)

2.2.4. Patofisiologi

Patofisiologi dispepsia terutama dispepsia fungsional dapat terjadi karena


bermacam-macam penyebab dan mekanismenya. Penyebab dan mekanismenya
dapat terjadi sendiri atau kombinasinya. Pembagian dispepsia berdasarkan
gejalanya, seperti tercantum diatas, adalah untuk panduan manajemen awal
terutama untuk dispepsia yang tidak terinvestigasi. Beberapa hipotesisnya
yaitu:7,8

 Sekresi asam lambung

Kasus dispepsia fungsional mempunyai tingkat sekresi asam


lambung rata-rata normal. Diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa
lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.

 Helicobacter pylori

Peran infeksi Helicobacter pylori belum sepenuhnya dimengerti


dan diterima. Dari berbagai laporan kekerapan Hp pada dispepsia
fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan angka
kekerapan Hp pada kelompok orang sehat.

 Dismotilitas gastrointestinal

Berbagai studi melaporkan pada dispepsia fungsional terjadi


perlambatan pengosongan lambung, adanya hipomotilitas antrum (sampai
50% kasus), gangguan akomodasi lambung waktu makan, disritmia gaster
dan hipersensitivitas visceral. Salah satu dari keadaan ini dapat ditemukan
pada setengah sampai dua pertiga kasus dispepsia fungsional. Perlambatan
pengosongan lambung terjadi pada 25-80% kasus dispepsia fungsional,
tetapi tidak ada korelasi antara beratnya keluhan dengan derajat
perlambatan pengosongan lambung. Pemeriksaaan manometri antro-
duodenal memperlihatkan adanya abnormalitas dalam bentuk post antral
hipomotilitas prandial, di samping juga ditemukannya disfungsi motorik

19
usus halus. Perbedaan patofisiologi ini diduga mendasari perbedaan pola
keluhan dan akan mempengaruhi pola piker pengobatan yang akan diambil.
Pada kasus dispepsia fungsional yang mengalami perlambatan pengosongan
lambung berkorelasi dengan keluhan mual, muntah dan rasa penuh di ulu
hati. Sedangkan kasus dengan hipersensitivitas terhadap distensi lambung
biasanya akan mengeluh nyeri, sendawa dan adanya penurunan berat badan.
Rasa cepat kenyang ditemukan pada kasus yang mengalami gangguan
akomodasi lambung pada waktu makan. Pada keadaan normal, waktu
makanan masuk lambung, terjadi relaksasi fundus dan korpus gaster tanpa
meningkatkan tekanan dalam lambung. Dilaporkan bahwa penderita
dispepsia fungsional terjadi penurunan kemampuan relaksasi fundus post
prandial pada 40% kasus. Konsep ini yang mendasari adanya pembagian
sub grup dispepsia menjadi tipe dismotilitas, tipe seperti ulkus, dan tipe
campuran.

 Ambang rangsang persepsi

Dinding usus memiliki banyak reseptor, termasuk reseptor kimiawi,


reseptor mekanik dan nociceptor. Dalam studi tampaknya kasus dispepsia
mempunyai hipersensitivitas visceral terhadap distensi balon di gaster atau
duodenum. Penelitian dengan menggunakan balon intragastrik didapatkan
hasil bahwa 50% populasi dispepsia fungsional sudah timbul rasa nyeri atau
tidak nyaman di perut pada inflasi balon dengan volum yang lebih rendah
dibandingkan volume yang menimbulkan rasa nyeri pada populasi control.

 Disfungsi autonom

Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas


gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal
juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung
waktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan akomodasi
lambung dan rasa cepat kenyang.

 Aktivitas mioelektrik lambung

20
Adanya disaritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan
elektrogastrografi berupa tachygastria, bradygastria pada lebih kurang 40%
kasus dispepsia fungsional, tapi hal ini bersifat inkonsisten.

 Hormonal

Peran hormonal belum jelas dalam pathogenesis dispepsia.


Dilaporkan adanya penurunan kadar hormone motilin yang menyebabkan
gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa percobaan,
progesterone estradiol dan prolaktin mempengaruhi kontraktilitas otot polos
dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.

 Diet dan factor lingkungan

Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada


kasus dispepsia fungsional dibandingkan kasus control.

 Psikologis

Adanya stress akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan


mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan
kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus
stress sentral. Tapi korelasi antara factor psikologis stress kehidupan, fungsi
otonom dan motilitas tetap masih controversial. Tidak didapatkan
personaliti yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini
dibandingkan kelompok control. Walaupun dilaporkan dalam studi terbatas
adanya kecenderungan pada kasus dispepsia fungsional terdapat masa kecil
yang tidak bahagia, adanya sexual abuse, atau adanya gangguan psikiatrik.

2.2.5. Gejala klinis

Keluhan, kuantitas dan kualitas pada setiap pasien sangat bervariasi,


maka dispepsia diklasifikasikan berdasarkan keluhan yang dominan 7,8:

21
 Bila nyeri ulu hati yang mendominasi dan disertai nyeri pada malam hari
dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti ulkus (ulcer like
dyspepsia)

 Bila kembung, mual, cepat kenyang merupakan keluhan yang paling sering
dikemukakan, dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti
dismotilitas (dismotility like dyspepsia)

 Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan, dikategorikan sebagai


dispepsia non spesifik.

2.2.6. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra abdomen atau


intra lumen yang padat (misalnya tumor), organomegali, atau nyeri tekan yang
sesuai dengan adanya rangsang peritoneal atau peritonitis.8

2.2.7. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa bagian, yaitu:

1. Pemeriksaan darah dalam tinja, dan urine. Dari hasil pemeriksaan darah
bila ditemukan leukositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada
pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung
lemak berarti kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga
menderita dispepsia tukak, sebaiknya diperiksa asam lambung. Pada
karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa petanda tumor, misalnya
dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa CEA, dugaan karsinoma pankreas
perlu diperiksa CA 19-9.

2. Ultrasonografi untuk mengidentifikasi kelainan padat intraabdomen,


misalnya ada batu kandung empedu, kolesistitis, sirosis hati, dsb.

3. Barium enema untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus halus


dapat dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau
22
muntah, penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau
memburuk bila penderita makan.

4. Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau


usus kecil dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari
lapisan lambung. Contoh tersebut kemudian diperiksa di bawah mikroskop
untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori.
Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik
sekaligus terapeutik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi
adalah:

a. CLO (rapid urea test)

b. Patologi anatomi (PA)

c. Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan

d. PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian

5. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD


dengan kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test
(belum tersedia di Indonesia). Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap
saluran makan bagian atas dan sebaiknya dengan kontras ganda. Pada
tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan terlihat gambar yang
disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media.
Bentuk niche dari tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan
dasar licin. Kanker di lambung secara radiologis, akan tampak massa yang
ireguler tidak terlihat peristaltik di daerah kanker, bentuk dari lambung
berubah. Pankreatitis akuta perlu dibuat foto polos abdomen, yang akan
terlihat tanda seperti terpotongnya usus besar (colon cut off sign), atau
tampak dilatasi dari intestin terutama di jejunum yang disebut sentinal
loops. 8

2.2.8. Diagnosis Banding 10

23
Approximate
Diagnostic category prevalence*
Functional (nonulcer) dyspepsia Up to 70 percent
Peptic ulcer disease 15 to 25 percent
Reflux esophagitis 5 to 15 percent
Gastric or esophageal cancer < 2 percent
Abdominal cancer, especially pancreatic cancer Rare
Biliary tract disease Rare
Carbohydrate malabsorption (lactose, sorbitol, fructose, Rare
mannitol)
Gastroparesis Rare
Hepatoma Rare
Infiltrative diseases of the stomach (Crohn disease, Rare
sarcoidosis)
Intestinal parasites Rare
(Giardia species, Strongyloides species)
Ischemic bowel disease Rare
Medication effects Rare
Metabolic disturbances (hypercalcemia, hyperkalemia) Rare
Pancreatitis Rare
Systemic disorders (diabetes mellitus, thyroid and Rare
parathyroid disorders, connective tissue disease)

24
2.2.9. Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis dispepsia, diperlukan anamnesis,


pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium sederhana dan pemeriksaan
8
tambahan, seperti pemeriksaan radiologis dan endoskopi. Tidak semua pasien
dispepsia dilakukan pemeriksaan endoskopi dan banyak pasien yang dapat
ditatalaksana dengan baik tanpa pengobatan sehingga diagnosis secara klinis
agak terbatas kecuali bila ada alarm sign. Bila ada salah satu atau lebih ada pada
pasien, sebaiknya dilakukan pemeriksaan endoskopi. Alarm sign adalah8 :

 Umur ≥ 45 tahun (onset baru)

 Perdarahan dari rektal atau melena

 Penurunan berat badan >10%

 Anoreksia

 Muntah yang persisten

 Anemia atau perdarahan

 Massa di abdomen atau limfadenopati

 Disfagia yang progresif atau odinofagia

 Riwayat keluarga keganasan saluran cerna bagian atas

 Riwayat keganasan atau operasi saluran cerna sebelumnya

 Riwayat ulkus peptikum

 Kuning (Jaundice)

Radiologi (dalam hal ini pemeriksaan barium meal), dapat


mengidentifikasi kelainan structural dinding/mukosa saluran cerna bagian atas
seperti adanya tukak atau gambaran ke arah tumor. Pemeriksaan ini terutama
bermanfaat pada kelainan yang bersifat penyempitan/ stenotik/ obstruktif di
mana skop endoskopi tidak dapat melewatinya. 8

25
2.2.10. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan optimal dispepsia terutama pasien baru dengan


dispepsia yang belum terinvestigasi serta tidak ada gambaran alarm, didominasi
oleh pengobatan H pylori secara empiris dengan antibakteri. Pada pengobatan
tingkat pertama, terapi antisekretori secara empiris juga masih popular.
Penatalaksanaan dispepsia tanpa gambaran alarm meliputi 8 :

1. Supresi asam secara empiris


2. Pemeriksaan H pylori non invasif dengan urea breath test, serologi,
pemeriksaan antigen feses dan pemeriksaan endoskopi untuk kasus yang
positif
3. Pemeriksaan H pylori non invasif dan eradikasi bila positif
4. Terapi eradikasi empiris H pylori tanpa pemeriksaan
5. Endoskopi dini

Pada dispepsia dengan gambaran alarm, diperlukan manajemen awal


dengan pemeriksaan endoskopi. Manajemen selanjutnya tergantung dari hasil
endoskopi tersebut.8,9 Mayoritas pasien dengan dispepsia hasil pemeriksaan
endoskopinya normal. Pada penelitian di Kanada dengan pasien dispepsia yang
belum dilakukan tindakan endoskopi pada pelayanan kesehatan primer,
menyimpulkan bahwa kebanyakan yang ditemukan adalah esofagitis (43%),
ulkus peptikum (5%), adekarsinoma lambung dan esophagus (<1%), dengan H
pylori yang kebanyakan negative dan penggunaan OAINS yang sedikit.
Pemeriksaan endoskopi mempunyai beberapa keuntungan. Di antaranya untuk
menegakkan diagnosis yang dapat menunjukkan adanya kelainan atau
abnormalitas seperti esofagitis atau ulkus serta meningkatkan kepuasan pasien.
Temuan yang dapat ditemukan pada pemeriksaan endoskopi lambung antara lain
Normal, Gastritis (akut atau kronis), Ulkus gaster, Massa, Keganasan, Hipertensi
portal, Perubahan setelah operasi, Lain-lain kelainan yang jarang ditemukan.
Pada dispepsia fungsional, manajemennya amper sama dengan dispepsia tanpa
gambaran alarm, antara lain dengan 7,11 :

 Nonmedikamentosa

26
Penjelasan kepada pasien mengenai latar belakang keluhan yang
dialaminya, merupakan langkah awal yang penting. Jelaskan sejauh mungkin
tentang patogenensis penyakit yang dideritanya. Nasihat untuk menghindari
makanan yang dapat mencetuskan serangan keluhan. Makanan yang
merangsang seperti pedas, asam, tinggi lemak, kopi. Apabila keluhan pasien
lebih cepat kenyang, maka dapat dianjurkan untuk makan porsi kecil tetapi
sering dan rendah lemak. Pasien juga dianjurkan untuk rajin berolah raga dan
menghindari stress.
 Medikamentosa

o Antasida

Obat yang paling umum dikonsumsi. Berfungsi untuk


menetralisir faktor asam sesaat, penurun nyeri sesaat.

o Penyekat h2 reseptor

Obat ini juga umum diberikan. Berfungsi untuk menurunkan


sekresi asam lambung. Diperkirakan manfaat terapinya 20% di atas
placebo. Generik : cimetidin, ranitidin, famotidin.

o Penghambat pompa proton

Obat ini tampak superior dibandingkan placebo pada dispepsia


fungsional. Berfungsi untuk menghambat produksi asam lambung.
Respon terbaik terlihat pada kelompok dispepsia fungsional tipe seperti
ulkus. Jenis obatnya yaitu omeprazol, lansoprazol, pantoprazol,
rabeprazol, esomeprazol.

o Sitoproteksi

Obat ini misalnya misoprostol, sukralfat, teprenon, rebamipid.


Mucopromotor, meningkatkan kadar prostaglandin, meningkatkan aliran
darah mukosa.

o Prokinetik

27
Termasuk golongan ini adalah metoklopramid (antagonis reseptor
dopamine D2), domperidon (antagonis reseptor D2 yang tidak melewati
sawar otak) dan cisapride (agonis reseptor 5-HT4). Dalam berbagai studi
metaanalisis, baik domperidon maupun cisapride mempunyai efektivitas
lebih baik dan mengurangi nyeri epigastrik, cepat kenyang, distensi
abdomen, dan mual. Cisapride memiliki efek samping pada jantung yaitu
aritmia, terutama pada pemanjangan masa Q-T, sehingga pemakaian
berada dalam pengawasan.

o Obat lain-lain

Adanya peran hipersensitivitas visceral dalam patogenensis


dispepsia fungsional. Bila sudah terbukti terlibatnya H.pylori (+), dapat
diberikan antibiotic seperti Amoxicillin, claritromisin, tetrasiklin,
metronidazol, bismuth. Obat dosis rendah antidepresan golongan trisiklik
dapat menurunkan keluhan dispepsia terutama nyeri abdomen.

o Psikoterapi

Dalam studi terbatas, tampaknya behavioral therapy


memperlihatkan manfaatnya pada kasus dispepsia fungsional
dibandingkan terapi baku.

Pengobatan gastritis akibat infeksi HP bertujuan untuk melakukan


radikasi kuman tersebut. Eradikasi dilakukan dengan cara mengkombinasikan
anatar berbagai obat antibiotik dan proton pump inhibitor (PPI). Antibiotik yang
dianjutkan adalah klaritomisin, amoksisilin, metronidazole dan tetrasiklin, bila
PPI dan kombinasi 2 antibiotik gagal maka dianjurkan menambahkan bismut
subsalisilat /subsitrat. 7,8
regimen untuk Eradikasi Infeksi H.Pylori

Obat 1 Obat 2 Obat 3 Obat 4

PPI dosis ganda Klaritromisin Amoksisilin


(2 x 500 mg) (2 x 1000mg )

PPI dosis ganda Klaritromisin Metronidazole


(2 – 500mg) (2 x 500 mg)

Ppi dosis ganda Tetrasiklin Metronidazole Subsalisilat /

28
(4 x 500 mg) ( 2 x 500 mg) subtral

2.2.11. Prognosis
Dispepsia yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang
yang akurat, mempunyai prognosis yang baik.8

2.2.12. Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien agar terhindar dari penyakit
gastritis yaitu dengan menganjurkan pasien agar menghindari pemicu terjadinya
keluhan, antara lain dengan makan tepat waktu, makan sering dengan porsi kecil
dan hindari dari makanan yang meningkatkan asam lambung atau perut
kembung seperti kopi, teh, makanan pedas dan kol.7,8

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2009. Hal.140-147.
2. Rezeki, Sri. Demam tifoid. 2008. Diakses pada tanggal 24 mei 2017 di
http://medicastore.com/artikel/html.
3. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa
Indonesia: A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC
; 2000. Hal. 92-98.
4. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :
Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Dalam : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi
1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.

29
5. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Jakarta :
2003. Hal. 2-20.
6. Pramitasari, OP. Faktor Resiko Kejadian Penyakit Demam Tifoid Pada
Penderita Yang Dirawat di RSUD Ungaran. Jurnal Kesehatan Masyarakat
2013, Volume 2, Nomor 1 tahun 2013,. Diakses pada tanggal 24 mei 2017 di
http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm.
7. Djojoningrat, D. Pendekatan Klinis Penyakit Gastrointestinal. In: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 441-2.

8. Djojoningrat, D. Dispepsia Fungsional. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.


Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 529-533.

9. Lindseth, G. Gangguan Lambung dan Duodenum. In: Patofisiologi. Edisi VI.


Jakarta: EGC; 2006. p. 417-21.

10. Talley, N; et al. Management Issues in Dyspepsia: Current Consensus and


Controversies. http://www.helico.com/sites/default/files/publications/R21.pdf.
Diunduh pada tanggal 02 Juli 2017.

11. A, Ryan; et al. Update on the Evaluation and Management of Functional


Dyspepsia. http://www.aafp.org/afp/2011/0301/p547.html Diunduh pada
tanggal 02 Juli 2017.

30

Anda mungkin juga menyukai