Demam Typhoid Dan Gastritis
Demam Typhoid Dan Gastritis
PENDAHULUAN
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever.
Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1
Dyspepsia merupakan keluhan yang umu ditemui dalam praktik sehari hari
dan telah dikenal sejak lama dengan definisi yang terus berkembang, mulai dari
semua gejala yang berasal dari saluran cerna bagian atas, sampai diekseklusinya
gejala refluk hingga ke definisi terkini yang mengacu kepada criteria roma III.
Infeksi Helicobacter Pylori (HP) saat ini dipandang sebagai salah satu factor
penting dalam menangani dyspepsia, baik organic maupun fungsional, sehingga
penanganan dyspepsia dihubungkan dengan penanganan HP. 7
1
Prevalensi infeksi HP di Asia cukup tinggi, sehingga perlu diperhatikan
dalam pendekatan diagnosis dalam penatalaksanaan dyspepsia. Eradikasi Hp telah
terbuktik efektif dalam menghilangkan gejala dyspepsia organic, tetapi untuk
dyspepsia fungsional diperlukan penelitian lebih lanjut. 7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
mencakup istilah demam yang disebabkan baik oleh S. typhi dan demam
paratifoid, yang disebabkan oleh S. paratyphi A, B, C , dan kadang serotype
Salmonella lain. Demam typoid , jenis demam yang paling sering dan cenderung
untuk menjadi lebih berat dari pada bentuk yang lain. 3
2.1.2 Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi,
S. paratyphi A, S. paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S.
Hirschfeldii). Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri
Gram-negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora
fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari
oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen
(K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida
kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan
endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang
berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.1
2.1.3 Patofisiologi
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang
mengikuti ingesti organisme, yaitu:
1. penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch
3
2. bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch,
nodus limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem
retikuloendotelial
4
lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang
kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat
fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi
yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi,
sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium.3
5
Bagan Patofisiologi Demam Tifoid5
7
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai
nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih
didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada
deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen,
jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen
tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau
monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut
dalam perjalanan penyakit).5 Beberapa uji serologis yang dapat digunakan
pada demam tifoid ini meliputi :
a. Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi
antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan
sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen
kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal
adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah
dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat
antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih
menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.5
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu;
-
Aglutinin O (dari tubuh kuman)
-
Aglutinin H (flagel kuman)
-
Aglutinin Vi (simpai kuman) 5
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya
5
semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pada demam tifoid
mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi H timbul
lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun,
sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah
sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan
aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi
timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh
dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat.
Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi,
tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi. 5
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan
memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan
8
membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%.
Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid,
akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur
pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer
sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat
ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau
infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa
kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji
serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu
pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.5
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang
berhubungan dengan penderita dan faktor teknis.
1. Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
a. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
b. Gangguan pembentukan antibodi.
c. Saat pengambilan darah.
d. Daerah endemik atau non endemik.
e. Riwayat vaksinasi.
f. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi
bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau
vaksinasi. 5
2. Faktor teknik, yaitu
9
menimbulkan hasil positif palsu (false positive). Padahal sebenarnya
yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid). 5
b. Tes TUBEX
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi
kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan
menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas.
Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen 09 yang benar-
benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes
ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi
adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu
beberapa menit.5
Interprestasi hasil dari tes TUBEX :
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi
demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari
kemudian.
Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid
Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:
Immunodominan yang kuat
Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi
dan H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat
terhadap sel B.
Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga
respon antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan
cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.
Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang
ditemukan baik di alam maupun diantara mikroorganisme.5
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :
Mendeteksi infeksi akut Salmonella
Muncul pada hari ke 3 demam
Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
Hasil dapat diperoleh lebih cepat.5
10
c. Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi
spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi
terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut
sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid
pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan
tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan
deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus
akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang
merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi
dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan
memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.4
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas
dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya
reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan
antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat
yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya
mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana
biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran
lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap
stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil
didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien. 5
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis demam tifoid ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti dilakukan dengan cara menguji
sampel feses atau darah untuk mendeteksi adanya bakteri Salmonella sp dengan
membiakkan pada 14 hari awal setelah terinfeksi. Selain itu, tes widal (aglutinin
O dan H) mulai positif pada hari ke-10 dan titer akan meningkat sampai
berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal selang 2 hari jika peningkatan
aglutinin progresif (di atas 1/200) menunjukkan diagnosis positif dari infeksi
aktif demam tifoid. Biakan feses dilakukan pada minggu ke-2 dan ke-3 serta
biakan urin pada minggu ke-3 dan ke-4 dapat mendukung diagnosis dengan
ditemukannya bakteri Salmonella. 5
Gambaran darah juga membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat
leukopenia polimorfonuklear (PMN) dengan limfositosis relatif pada hari ke-10
dari demam, arah demam tifoid menjadi jelas. Jika terjadi leukositosis PMN,
berarti terdapat infeksi sekunder kuman di dalam lesi usus. Peningkatan cepat
dari leukositosis PMN waspada akan terjadinya perforasi usus. Tidak mudah
mendiagnosis karena gejala yang timbul tidak khas. Ada penderita yang setelah
terpapar kuman hanya mengalami demam kemudian sembuh tanpa diberi obat.
Hal itu dapat terjadi karena tidak semua penderita yang secara tidak sengaja
menelan kuman langsung sakit, tergantung dari banyaknya kuman dan imunitas
seseorang. Jika kuman hanya sedikit yang masuk saluran cerna, dapat langsung
dimatikan oleh sistem imun. 3
2.1.8 Penatalaksanaan
1. Non Medika Mentosa 3
12
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat
membantu. Pasien harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak
bekerja sampai pemulihan.
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP)
rendah serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi
penderita namun tidak memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah
selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet
untuk penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair,
bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral
maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit
berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan.
Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.3
2. Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi
antipiretik. Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman
dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum,
sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna
yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah
mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral,
obat yang masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na
yaitu antrain atau Novalgin. 3
b) Antibiotik 5
Antibiotik yang sering diberikan adalah :
Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi
tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak-
anak 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian
intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari
atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler
tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat
diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi
atau didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21
13
hari. Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi
relaps atau kambuh, dan carier.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma
sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam
30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam. Untuk
demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan
tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan
laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazole. 4
14
2.1.9 Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :
1. Komplikasi pada usus halus
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja
dengan benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai
nyeri perut dengan tanda – tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan
terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis
hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum yaitu
pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma
pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi
usus. Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding
abdomen tegang, dan nyeri tekan. 3
2. Komplikasi diluar usus halus
a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan
disebabkan oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder
dan dapat timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain
yang terjadi adalah abses paru, efusi, dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi
minggu kedua dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi
kolesistitis maka penderita cenderung untuk menjadi seorang karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis
berupa kesadaran menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi,
pemeriksaan otak dalam batas normal. Bila disertai kejang – kejang
maka biasanya prognosisnya jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh
gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering
didapatkan pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala
klinis tidak jelas sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata
peyebabnya adalah Salmonella havana dan Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis
15
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta
gambaran klinis tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7
tahun keatas serta sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga.
Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain : sinus takikardi, depresi
segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I, aritmia,
supraventrikular takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella
typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis
maupun pilonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid.
Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang
dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sidrom nefrotik
mempunyai prognosis yang buruk. 3
2.1.10 Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan
terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang,
angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan,
dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau
perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Relaps dapat timbul beberapa kali. Typhi
≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier
pada anak – anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada
1-5% dari seluruh pasien demam tifoid . 1
2.1.11 Edukasi
Pencegahan infeksi Salmonella typhi dapat dilakukan dengan penerapan
pola hidup yang bersih dan sehat. Berbagai hal sederhana namun efektif dapat
mulai dibiasakan sejak dini oleh setiap orang untuk menjaga higientias pribadi
dan lingkungan, seperti membiasakan cuci tangan dengan sabun sebelum makan
atau menyentuh alat makan/minum, mengkonsumsi makanan dan minuman
bergizi yang sudah dimasak matang, menyimpan makanan dengan benar agar
tidak dihinggapi lalat atau terkena debu, memilih tempat makan yang bersih dan
memiliki sarana air memadai, membiasakan buang air di kamar mandi, serta
mengatur pembuangan sampah agar tidak mencemari lingkungan. 1
16
2.2. DISPEPSIA
2.2.1. Definisi
2.2.2. Epidemiologi
2.2.3. Etiologi
Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat
kenyang, nyeri ulu hati/ epigastrik, rasa terbakar di epigastrium.
Keluhan ini terjadi selama tiga bulan dalam waktu enam bulan terakhir
sebelum diagnosis ditegakkan.
b. Dispepsia organic7,8
18
Gangguan fungsional (dyspepsia fungsional, irritable bowel syndrome)
2.2.4. Patofisiologi
Helicobacter pylori
Dismotilitas gastrointestinal
19
usus halus. Perbedaan patofisiologi ini diduga mendasari perbedaan pola
keluhan dan akan mempengaruhi pola piker pengobatan yang akan diambil.
Pada kasus dispepsia fungsional yang mengalami perlambatan pengosongan
lambung berkorelasi dengan keluhan mual, muntah dan rasa penuh di ulu
hati. Sedangkan kasus dengan hipersensitivitas terhadap distensi lambung
biasanya akan mengeluh nyeri, sendawa dan adanya penurunan berat badan.
Rasa cepat kenyang ditemukan pada kasus yang mengalami gangguan
akomodasi lambung pada waktu makan. Pada keadaan normal, waktu
makanan masuk lambung, terjadi relaksasi fundus dan korpus gaster tanpa
meningkatkan tekanan dalam lambung. Dilaporkan bahwa penderita
dispepsia fungsional terjadi penurunan kemampuan relaksasi fundus post
prandial pada 40% kasus. Konsep ini yang mendasari adanya pembagian
sub grup dispepsia menjadi tipe dismotilitas, tipe seperti ulkus, dan tipe
campuran.
Disfungsi autonom
20
Adanya disaritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan
elektrogastrografi berupa tachygastria, bradygastria pada lebih kurang 40%
kasus dispepsia fungsional, tapi hal ini bersifat inkonsisten.
Hormonal
Psikologis
21
Bila nyeri ulu hati yang mendominasi dan disertai nyeri pada malam hari
dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti ulkus (ulcer like
dyspepsia)
Bila kembung, mual, cepat kenyang merupakan keluhan yang paling sering
dikemukakan, dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti
dismotilitas (dismotility like dyspepsia)
1. Pemeriksaan darah dalam tinja, dan urine. Dari hasil pemeriksaan darah
bila ditemukan leukositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada
pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung
lemak berarti kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga
menderita dispepsia tukak, sebaiknya diperiksa asam lambung. Pada
karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa petanda tumor, misalnya
dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa CEA, dugaan karsinoma pankreas
perlu diperiksa CA 19-9.
23
Approximate
Diagnostic category prevalence*
Functional (nonulcer) dyspepsia Up to 70 percent
Peptic ulcer disease 15 to 25 percent
Reflux esophagitis 5 to 15 percent
Gastric or esophageal cancer < 2 percent
Abdominal cancer, especially pancreatic cancer Rare
Biliary tract disease Rare
Carbohydrate malabsorption (lactose, sorbitol, fructose, Rare
mannitol)
Gastroparesis Rare
Hepatoma Rare
Infiltrative diseases of the stomach (Crohn disease, Rare
sarcoidosis)
Intestinal parasites Rare
(Giardia species, Strongyloides species)
Ischemic bowel disease Rare
Medication effects Rare
Metabolic disturbances (hypercalcemia, hyperkalemia) Rare
Pancreatitis Rare
Systemic disorders (diabetes mellitus, thyroid and Rare
parathyroid disorders, connective tissue disease)
24
2.2.9. Diagnosis
Anoreksia
Kuning (Jaundice)
25
2.2.10. Penatalaksanaan
Nonmedikamentosa
26
Penjelasan kepada pasien mengenai latar belakang keluhan yang
dialaminya, merupakan langkah awal yang penting. Jelaskan sejauh mungkin
tentang patogenensis penyakit yang dideritanya. Nasihat untuk menghindari
makanan yang dapat mencetuskan serangan keluhan. Makanan yang
merangsang seperti pedas, asam, tinggi lemak, kopi. Apabila keluhan pasien
lebih cepat kenyang, maka dapat dianjurkan untuk makan porsi kecil tetapi
sering dan rendah lemak. Pasien juga dianjurkan untuk rajin berolah raga dan
menghindari stress.
Medikamentosa
o Antasida
o Penyekat h2 reseptor
o Sitoproteksi
o Prokinetik
27
Termasuk golongan ini adalah metoklopramid (antagonis reseptor
dopamine D2), domperidon (antagonis reseptor D2 yang tidak melewati
sawar otak) dan cisapride (agonis reseptor 5-HT4). Dalam berbagai studi
metaanalisis, baik domperidon maupun cisapride mempunyai efektivitas
lebih baik dan mengurangi nyeri epigastrik, cepat kenyang, distensi
abdomen, dan mual. Cisapride memiliki efek samping pada jantung yaitu
aritmia, terutama pada pemanjangan masa Q-T, sehingga pemakaian
berada dalam pengawasan.
o Obat lain-lain
o Psikoterapi
28
(4 x 500 mg) ( 2 x 500 mg) subtral
2.2.11. Prognosis
Dispepsia yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang
yang akurat, mempunyai prognosis yang baik.8
2.2.12. Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien agar terhindar dari penyakit
gastritis yaitu dengan menganjurkan pasien agar menghindari pemicu terjadinya
keluhan, antara lain dengan makan tepat waktu, makan sering dengan porsi kecil
dan hindari dari makanan yang meningkatkan asam lambung atau perut
kembung seperti kopi, teh, makanan pedas dan kol.7,8
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo A. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2009. Hal.140-147.
2. Rezeki, Sri. Demam tifoid. 2008. Diakses pada tanggal 24 mei 2017 di
http://medicastore.com/artikel/html.
3. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa
Indonesia: A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC
; 2000. Hal. 92-98.
4. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :
Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Dalam : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi
1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.
29
5. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Jakarta :
2003. Hal. 2-20.
6. Pramitasari, OP. Faktor Resiko Kejadian Penyakit Demam Tifoid Pada
Penderita Yang Dirawat di RSUD Ungaran. Jurnal Kesehatan Masyarakat
2013, Volume 2, Nomor 1 tahun 2013,. Diakses pada tanggal 24 mei 2017 di
http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm.
7. Djojoningrat, D. Pendekatan Klinis Penyakit Gastrointestinal. In: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 441-2.
30