Anda di halaman 1dari 8

KORSA

“KASO DAN RENG SANSEVIERIA TRIFASCIATA P.”

SEBAGAI SOLUSI PEMANASAN GLOBAL MENUJU

SUSTAINABLE DEVELOPMENT GOALS (SDGs)

Karya ini disusun untuk mengikuti


Pemilihan Putra-Putri Politeknik Statistika STIS Tahun 2018

Disusun Oleh:

NAMA : SHINTA MAHAPUTRI HAKIM


NIM : 221710013
KELAS : 2KS1

POLITEKNIK STATISTIKA STIS


JAKARTA
2018
Dahulu, Indonesia dikenal sebagai salah satu paru-paru dunia yang kaya akan hutan
sebagai pundi-pundi O2 untuk kehidupan makhluk hidup yang ada di bumi ini. Akan tetapi,
hutan tanah air ini harus menghadapi kenyataan bahwa luasnya kian hari kian berkurang.
Kegiatan membumihanguskan hutan bahkan menjadi suatu masalah siklik dan menjadikan
negara ini sebagai negara pengekspor asap pada beberapa tahun terakhir. Selain itu, Indonesia
yang dahulu merupakan negara agraris kini telah mulai berangsur-angsur menjadi negara
berbasis industri, hal ini ditandai dengan menjamurnya perusahaan-perusahaan industri
diberbagai sektor. Berbagai permasalahan dan pengalihan situasi tersebut memberikan dampak
yang besar bagi kelanjutan kehidupan seluruh makhluk hidup dimasa depan. Salah satu dampak
tersebut adalah bertambahnya polusi emisi CO2 dan beberapa emisi lain yang sulit untuk
diuraikan kembali menjadi gas yang aman. Polusi gas-gas emisi yang semakin meningkat akan
memberikan dampak pada pemanasan global (global warming). Berikut merupakan kondisi
udara pada daerah perkotaan saat ini.

Gambar 1. Kondisi Udara di Daerah Perkotaaan Saat Ini

Pemanasan global merupakan suatu bentuk ketidakseimbangan ekosistem bumi yang


diakibatkan oleh meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, laut, dan bumi. Meningkatnya suhu
pada atmosfer bumi terjadi karena sinar matahari yang dipantulkan pada permukaan bumi
terjebak oleh gas rumah kaca yang terdiri dari karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitro
oksida(N2O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorocarbon (PFC), dan sulfur heksafluorida
(SF6) di atmosfer. Sebagian besar Gas rumah kaca dihasilkan oleh CO2 yang mengandung
lebih dari 60% dari total gas rumah kaca (Rukaesih, 2004). Emisi ini terutama dihasilkan dari
proses pembakaran bahan bakar fosil serta akibat penggundulan dan pembakaran hutan. Gas-
gas emisi rumah kaca yang menumpuk di atmosfer mengakibatkan sebagian dari panas
matahari dalam bentuk radiasi infra merah tetap terperangkap di atmosfer bumi. Gas-gas emisi
tersebut menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan oleh
permukaan bumi, sehingga panas akan tersimpan secara berlebihan di permukaan bumi.
Kondisi ini dapat terjadi berulang sehingga mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus
meningkat.

Berdasarkan hasil kajian dari IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change)


menunjukkan bahwa sejak tahun 1850 tercatat adanya 12 tahun terpanas berdasarkan data
temperatur permukaan global. Kegiatan manusia mengambil peran dalam pemanasan global
sejak pertengahan abad ke-20. Maka dari itu, pemanasan global akan terus meningkat dengan
percepatan yang lebih tinggi pada abad ke-21 apabila tidak ada upaya menanggulanginya.
Pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim dan kenaikan frekuensi maupun intensitas
kejadian cuaca ekstrim.

Di Indonesia, perubahan iklim ditunjukkan oleh adanya peningkatan suhu rata-rata


sekitar 0,3 0 C/tahun, curah hujan yang menurun setiap tahun sekitar 2-3%, berubahnya rata-
rata curah hujan di wilayah Indonesia bagian selatan yang semakin menurun sedangkan
Indonesia bagian utara cenderung meningkat, serta terjadinya pergeseran musim (penghujan
dan kemarau) (Boer and Faqih, 2004). Indonesia merupakan negara yang terletak di garis
khatulistiwa yang menyebabkan beragam jenis flora dapat tumbuh subur di pulau-pulau
Indonesia. Sekitar 60% dari total spesies flora di dunia dapat tumbuh di Indonesia, beberapa
spesies flora diantaranya memiliki peran penting dalam melawan pemanasan global. Salah satu
diantaranya adalah tanaman hias lidah mertua (Sansevieria Trifasciata P).

Mengingat kawasan hutan yang kian hari semakin berkurang dan digantikan dengan
kawasan sektor industri yang berkembang pesat tentunya menjadi tantangan besar bagi kita
untuk menghidupkan kembali kawasan hijau yang semakin tergerus, sedangkan kehidupan
makhluk hidup di muka bumi akan terus berlanjut. Sebagai makhluk hidup yang bertanggung
jawab tentunya kita tidak ingin membiarkan anak dan cucu kita merasakan bencana pemasanan
global dan perubahan iklim yang mengancam kehidupan mereka kelak.

Tujuan dari penulisan ini adalah memberikan informasi ilmiah bahwa tumbuhan lidah
mertua (Sansevieria Trifasciata P) berpotensi sebagai tanaman yang mampu memerangi
pemanasan global dan menyebabkan perubahan iklim serta memberikan sebuah inovasi berupa
rak tanaman yang terbuat dari kayu kaso dan reng yang menjadi solusi dari terbatasnya lahan
untuk membuat kawasan hijau sebagai bentuk aksi nyata dalam menghadapi perubahan iklim.
Mengapa Lidah Mertua (Sansevieria Trifasciata P)?

Lidah mertua (Sansevieria Trifasciata P) merupakan tanaman hias yang dapat tumbuh
di luar maupun di dalam ruangan. Lidah mertua (Sansevieria Trifasciata P) juga mampu hidup
di bawah terik matahari bahkan tumbuhan ini mampu beradaptasi dengan berbagai tipe tanah.
Tanaman ini memiliki kelebihan yang jarang ditemukan pada tanaman lain, diantaranya
mampu menyerap polutan salah satunya CO2.

Gambar 2. Tumbuhan Lidah Mertua (Sansevieria Trifasciata P)

Berdasarkan penelitian oleh Lembaga Badan Antariksa Nasional Amerika Serikat


(NASA) menunjukkan bahwa lidah mertua (Sansevieria Trifasciata P) mampu menyerap lebih
dari 107 unsur polutan yang ada dan berbahaya di udara (Novik, 2013). Berdasarkan
kemampuan lidah mertua (Sansevieria Trifasciata P) yang dapat menyerap CO2 tersebut
tentunya memiliki peran penting dalam memerangi pemanasan global. Hal ini karena sebagian
besar gas rumah kaca mengandung lebih dari 60% CO2 pada atmosfer bumi.

Inovasi Desain Atap Rumah Menjadi Korsa

Kaso dan reng merupakan bagian dari rusuk kayu yang digunakan untuk membentuk
kerangka penyusun genteng pada bangunan. Jika dilihat dari bentuknya, kerangka atap
bangunan ini dapat dimodifikasi menjadi Korsa (Kaso dan Reng Sansevieria Trifasciata P.).
Korsa adalah rak tanaman yang tersusun dari beberapa atap sehingga dapat memuat lebih
banyak tanaman. Bentuk korsa yang bertingkat tersebut tentunya dapat menjadi solusi
kurangnya ketersediaan tempat untuk membuat lahan hijau khususnya di area perkotaan. Korsa
juga dapat diletakkan di ruangan-ruangan terbuka yang terkena paparan langsung gas emisi
CO2.
Perakitan Korsa

Korsa dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan, sehingga tidak ada ketentuan khusus
untuk membuat Korsa. Namun, penulis telah merancang desain Korsa yang cukup ideal untuk
menerap gas CO2 jika diletakkan pada ruangan terbuka seperti di atas gedung, teras, dll.

Untuk membuat Korsa, diperlukan beberapa bahan sebagai berikut.

- Kayo kaso (kayu yang dipasang secara vertikal) dan reng (kayu yang dipasang secara
horizontal)berukuran lebar dan tinggi 4 cm dengan ketentuan sebagai berikut.
- Panjang 144 cm berjumlah 84 ruas (untuk 3 atap Korsa)
- Kayu berukuran lebar dan tinggi ±5 cm Panjang 148 cm berjumlah 4 ruas
- Pipa PVC menyesuaikan dengan ukuran korsa
- Penutup pipa PVC berjumlah 12 buah
- Paku ukuran 0,2 cm
- Corong menyesuaikan dengan ukuran pipa PVC

Setelah itu, Korsa dapat di rakit sehingga berbentuk seperti kerangka di bawah ini.

Corong
Pipa yang telah dilubangi secara
acak menggunakan paku

Kaso

Reng
Penutup pipa

Jarak antar
atap ±70 cm

Jarak antar kaso dan reng


adalah 20x20 cm
Gambar 3. Rancangan Desain Korsa
Berdasarkan desain yang telah dirancang, setiap atap Korsa tersebut dapat memuat 72
pot lidah mertua (Sansevieria trifasciata P.) dengan diameter pot 20 cm, sehingga jika dibuat
sebanyak tiga atap mampu memuat sebanyak 216 tanaman Lidah mertua (Sansevieria
trifasciata P.). Korsa yang menyerupai bentuk atap rumah bertingkat tersebut dapat
menghemat tempat dan memudahkan kita dalam proses penyiraman tanaman. Pipa yang
dilubangi dengan paku secara menyilang bertujuan supaya air yang disiram melalui corong
dapat terpancar ke seluruh tanaman tanpa harus menggunakan lebih banyak pipa, sedangkan
penutup pada ujung pipa berfungsi sebagai penghambat jalannya air supaya air yang keluar
dari lubang-lubang kecil dapat terpancar lebih kuat. Setiap atap Korsa diberi jarak ±70 cm
supaya tidak mengganggu pertumbuhan lidah mertua (Sansevieria trifasciata P.)

Setelah Korsa dirakit, susun lidah mertua (Sansevieria trifasciata P.) yang telah
diletakkan di pot pada setiap slot yang terdapat pada Korsa hingga memenuhi semua slot seperti
gambar berikut ini.

Gambar 4. Korsa dengan Tumbuhan Lidah mertua (Sansevieria trifasciata P.)

Perawatan lidah mertua (Sansevieria trifasciata P.) pada Korsa cukuplah mudah, bahkan tidak
diperlukan perawatan khusus untuk membuatnya subur. Cukup menyiramnya sebanyak dua
kali dalam seminggu saja sudah cukup untuk membuat pertumbuhan lidah mertua (Sansevieria
trifasciata P.) subur dan sehat.

Korsa Sebagai Inovasi dalam Mengatasi CO2

Laju penyerapan CO2 oleh lidah mertua (Sansevieria trifasciata P.) tergantung pada
jumlah emisi CO2 pada ruang tertutup atau terbuka. Semakin banyak emisi CO2, maka akan
semakin banyak CO2 yang diserap oleh lidah mertua (Sansevieria trifasciata P.). Berdasarkan
hasil penelitian oleh Whika Febria Dewatisari dkk bahwa lima helai daun atau satu buah
tanaman lidah mertua (Sansevieria trifasciata P.) mampu menyerap hingga 69 ppm gas CO2
pada konsentrasi gas CO2 pada tabung berukuran 1 m3 yang berisi CO2 sebesar 855 ppm atau
sekitar 80.07% dari konsentrasi gas CO2 selama 5 hari. Nilai Ambang Batas (NAB) CO2 di
udara sebesar 5000 ppm dan Baku Mutu Lingkungan (BML) CO2 adalah sebesar 1000 ppm.
Kadar CO2 di udara sekitar lidah mertua (Sansevieria trifasciata P.) selama percobaan masih
di bawah Nilai Ambang Batas (Whika Febria Dewatisari, 2009). Sedangkan rata-rata
konsentrasi paparan gas CO2 pada udara bebas mencapai 403,3ppm dengan jumlah tanaman
lidah mertua (Sansevieria trifasciata P.) pada Korsa sesuai dengan desain dapat memaut
sebanyak 216 pot lidah mertua (Sansevieria trifasciata P.) tentunya dapat menyerap lebih
banyak emisi CO2.

Berdasarkan hasil penelitian serta gagasan Korsa, jika setiap bangunan memiliki
minimal satu Korsa maka tentunya dapat mengurangi emisi CO2 yang terpapar di udara serta
yang terperangkap di atmosfer bumi sebagai Gas rumah kaca hingga 80.07% per 216 m3
(tergantung jumlah tanaman lidah mertua (Sansevieria trifasciata P.)). Bekurangnya emisi
yang terperangkap di atmosfer bumi tentunya dapat mengurangi dampak negatif dari
pemanasan global yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Korsa diharapkan sebagai
implementasi yang dapat diterapkan pada jangka panjang dengan upaya pengadaan secara
maksimal untuk menyelamatkan kehidupan makhluk hidup di muka bumi serta sebagai salah
satu bentuk aksi nyata dalam menanggulangi perubahan iklim menuju Sustainable
Development Goals (SDGs).
DAFTAR PUSTAKA

Achmad, Rukaesih. 2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Boer, Faqih. 2004. Climate risk and adaptation country profile (Indonesia). Vulnerability, Risk
Reduction And Adaptation To Climate Change. World Bank Group.

Dewatisari, Whika Febria, 2009. Uji Anatomi, Metabolit Sekunder, dan Molekuler Sansevieria
Trifasciata. Surakarta : Universitas Sebelas Maret.

Novik Kurnianti. Pada Friday, October 18, 2013 Teknik Menanam Tanaman Hias Sansevieria.

Working Group I. 2013. Intergovernmental Panel on Climate Change pada Climate Change
2013 the Physical Science Basis.

Anda mungkin juga menyukai