Kasus Bisnis Etika Newmont
Kasus Bisnis Etika Newmont
Perusahaan tambang emas Newmont Minahasa Raya (NMR) adalah perusahaan PMA
(Penanam Modal Asing) yakni anak perusahaan Newmont Gold Company, USA. Naskah
kontrak karya PT NMR mendapat persetujuan Presiden RI tanggal 6 November 1986 yang
ditandatangani oleh Soeharto, bersama 33 naskah kontrak karya lainnya yang disetujui waktu itu.
Wilayah konsensi dalam Konrak karya meliputi 527.448 hektar di Desa Ratotok, Kecamatan
Belang, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.Sejak tahun 1986 Newmont melakukan eksplorasi
dan mulai tahun 1996 mulai berproduksi.
Bermula dari beroperasinya PT. Newmont Minahasa Raya tersebut mulai bermunculan
masalah-masalah terutama yang berkaitan terhadap pencemaran dan kerusakan terhadap
lingkungan, yakni produksi ikan merosot sebesar 70 persen dan penghasilan nelayan turun
sebesar 50 persen (terjadi pada bulan Juli 1996, hanya empat bulan setelah NMR mulai
mengoperasikan pertambangan mereka), jenis ikan yang berkurang (Setelah 1997, hanya tinggal
13 jenis ikan saja yang sekarang bisa ditemukan, padahal sebelumnya terdapat 59 jenis ikan yang
ditemukan disekitar perairan teluk Buyat), sering ditemukan ikan mati secara massal akibat
keracunan, perubahan kontur perairan serta terjadi pendangkalan akibat limbah yang terus
menerus dibuang kelaut, kualitas air bersih masyarakat menurun, dan yang paling parah adalah
timbulnya penyakit-penyakit aneh yang sebelum Newmont beroperasi tidak ditemukan.
Puncaknya ketika bermula pada tanggal 20 juli 2004, LSM Kelola Sulawesi Utara
menyatakan lebih dari 100 warga Buyat, Ratatotok diduga menderita penyakit minamata akibat
terkontaminasi logam berat Arsen (As) dan Merkuri (Hg). Gejala minamata tersebut ditemukan
berdasarkan hasil penelitian sejumlah dokter Universitas Sam Ratulangi pada bulan Juli,
disamping pernyataan para nelayan yang harus melaut sejauh 5-6 mil untuk menghindari
pencemaran.Ikan yang diperoleh pun mengalami benjolan dan sejumlah warga setempat
menderita penyakit kulit, kejang dan benjolan.Hal inilah juga dialami oleh salah seorang bayi
yang bernama Andini Lenzun dan akhirnya meninggal dunia. Pada hari yang sama, empat warga
Buyat yang didampingi oleh LBH Kesehatan, Yayasan Sahabat Perempuan, Yayasan Suara
Nurani melaporkan Menkes dan PT. NMR ke Mabes Polri. Karena Menkes membiarkan
terjadinya pencemaran sehingga warga Buyat mengalami sakit, cacat, dan meninggal.Sementara
PT. NMR dituntut karena telah melakukan pencemaran.
Pada tanggal 21 Juli 2004 Manager Lingkungan dan Presiden Direktur PT. NMR serta
Pelaksana Tugas Mineral dan Batu Bara ESDM menggelar konferensi pers. PT. NMR
membantah pihaknya telah mencemari Laut Buyat dengan alasan selama ini pihaknya telah
mematuhi standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pihak PT. NMR menuding bahwa
pencemarnya adalah penambangan liar (PETI) dan akan melayangkan somasi pada pihak yang
menyatakan pihaknya telah melakukan pencemaran. Direktur Eksekutif Nasional WALHI
menilai pemerintah lambat dalam menyikapi kejadian tersebut. Seharusnya sebagai satu-satunya
pertambangan yang beroperasi di sana PT. NMR harus ditindak tegas dan karena itu dalam
waktu dekat pihaknya akan menggugat PT. NMR.
Pada 22 juli 2004 Pemerintah memberangkatkan tim terpadu untuk menyelidiki kasus
pencemaran Teluk Buyat di Kabupaten Minahasa dan Kabupaten Bolaang Mangondow,
Sulawesi Utara. Tim itu terdiri atas Mabes Polri, Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral, serta Departemen Kesehatan. Mereka akan mencari fakta
kasus dugaan pencemaran lingkungan akibat limbah PT Newmont Minahasa Raya.
Penelitian lain dari dari Pusat Laboratorium Forensik Markas Besar Kepolisian Negara
RI (Puslabfor Mabes Polri) yang menyebutkan telah terjadi pencemaran logam berat di Teluk
Bayat, Minahasa, Sulawesi Utara. Tidak jauh berbeda dengan temuan Polri, Tim yang dibentuk
oleh Kementrian Lingkungan Hidup (terdiri dari peneliti Eksekutif Indonesian Centre for
Environmental Law (ICEL), peneliti dari BPPT, LIPI, Universitas Sam Ratulangi, dan KLH)
juga mendapatkan hasil temuan yang sama bahwa telah terjadi pencemaran logam berat di teluk
buyat.
Akhirnya Sesuai dengan rencana dan persetujuan Departemen Energi & Sumber Daya
Mineral (ESDM), PT Newmont Minahasa Raya (PT NMR) akan menghentikan pengolahan bijih
emas pada 31 Agustus 2004. Selain itu, sejak tanggal 5 Agustus 2005 sampai dengan 27 Januari
2006 telah dilaksanakan sidang sebanyak 12 (dua belas) kali di Manado. Pemeriksaan dalam
sidang sementara ditujukan kepada :(i)Terdakwa yaitu PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) dan
Direktur PT. NMR ( Sdr. Richard Ness; (ii)Saksi-saksi: (a)Masyarakat warga Teluk Buyat;
(b)Saksi dari pihak PT. NMR yaitu penyusun dokumen AMDAL PT.NMR; (c)Anggota Tim
Teknis Penanganan Kasus Buyat (KLH dan instansi terkait); (d)Pejabat KLH yang berhubungan
dengan kasus tersebut. Namun pada 16 Pebruari 2006 telah terjadi kesepakatan antara
pemerintah dan Newmont Minahasa raya melalui Perjanjian Itikad Baik (Good Will Agreement)
dengan salah satu klausul dalam perjanjian tersebut yakni PT. NMR memberi dana sebesar 30
juta dolar AS (±Rp.300 miliar) untuk program pengembangan masyarakat dan pemantauan
lingkungan di Sulawesi Utara.
1. Pembagian hasil keuntungan yang tidak adil antara Pemerintah RI dan PT NMR
Berdasarkan Data Jaringan Advokasi Tambang tahun 2004 menunjukan bahwa Produksi
NMR sejak Thn 1999 sebesar adalah 11 Miliar/hari dengan pembagian 70 % di drop oleh NMR
dan 30 % di bagi ke pemerintah Pusat dan Daerah. Media Indonesia (16/12-99), menyebutkan
dari keuntungan finansial PT NMR antara tahun 1994 – 1999 sebesar Rp. 2.823 trilyun
disetorkan kepada pemerintah atau sebesar 470 milyar per tahunnya. Pos-pos pembagian
dananya adalah Pemda Minahasa sebesar 64 %, Pemda Sulut 16 % dan 20 %.
Berlarut-larutnya masalah seperti ini tentu tidak etis, bagaimanapun etika terhadap alam
harus diperhitungkan.Boleh jadi kondisi seperti ini diakibatkan oleh keinginan untuk
memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya sehingga tidak memperdulikan faktor
lingkungan.
Penggunaan sistem STD (Submarine Tailing Disposal), yakni pembuangan limbah tailing
ke laut ternyata sangat berdampak negatif terhadap lingkungan.Pembuangan limbah terutama
tailing ke teluk buyat, telah mencemarkan perairan teluk buyat, tak ayal lagi mahluk-mahluk laut
yang hidup di perairan tersebut terkontaminasi limbah sehingga mati.Ini terlihat dari seringnya
terjadi keracunan ikan secara massal dan terjadinya penurunan jenis ikan yang hidup di sekitar
perairan.Bukan hanya itu terjadinya, perubahan kontur perairan akibat tailing yang terus
terakumulasi mengakibatkan terjadi pendangkalan di perairan Buyat.
Dapat dikatakan pembuangan tailing ke teluk Buyat telah menimbulkan efek domino
negatif, logisnya seperti ini PT. NMR membuang tailing ke dasar perairan teluk Buyat, laut
menjadi tercemar, ikan serta mahluk hidup lainnya turut tercemar dan mati.Kemudian terjadinya
pendangkalan perairan serta pencemaran yang kebanyakan berada disekitar pemukiman
penduduk menyebabkan nelayan mesti lebih jauh dalam menangkap ikan, pada akhirnya
pendapatan mereka menurun sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidup amat terbatas pula.
Selain itu efek lain dari pembuangan tailing adalah efeknya terhadap manusia, tentunya logam-
logam limbah tailing tersebut turut terakumulasi dalam tubuh ikan atau mahluk lain yang
dikonsumsi oleh masyarakat sekitar, juga air laut sekitar serta air yang dikonsumsi oleh
masyarakat turut terkontaminasi sehingga menyebabkan turut terkontaminasinya manusia dan
menimbulkan beragam penyakit aneh yang pada akhirnya menimbulkan kematian.
Sistem pembuangan tailing ke laut sebenarnya telah di larang keras dibeberapa negara
seperti di Amerika dan Kanada, namun entah dengan dalih apa mereka mengadopsi sistem
tersebut dan diterapkan di Indonesia, hal ini juga tidak terlepas dari lemahnya sistem hukum di
indonesia.
Semenjak beroperasinya PT. NMR ternyata kondisi masyarakat disekitarnya tak kunjung
membaik bahkan kualitas kehidupan masyarakat cenderung menurun.Hal ini disebabkan
kurangnya perhatian NMR terhadap masyarakat, padahal kondisi ini bila kita cermati disebabkan
oleh beroperasinya NMR.Sikap NMR sejak kedatangannya yang cenderung menutup-nutupi
informasi kepada masyarakat perihal dampak lingkungan yang disebabkan pembuangan tailing
ke dasar teluk buyat patut menjadi catatan hitam, bahwa NMR tidak beritikad baik. Sikap tidak
mengakui bahwa NMR telah melakukan pencemaran terhadap perairan Teluk Buyat, padahal
telah banyak dilakukan penelitian yang menunjukan NMR telah mencemari lingkungan
merupakan sikap arogan yang sama sekali berimplikasi negatif terhadap masyarakat. Bahkan
sikap NMR menuduh pihak lain (para pendulang emas tradisional) telah mencerminkan bahwa
NMR tidak memiliki etika dalam berbisnis.
Disamping itu, ditengah maraknya tuntutan masyarakat terhadap NMR, pihak NMR
masih melakukan tindakan pencucian nama baik, yakni dengan mengkampanyekan perairan
buyat tidak tercemar dengan melakukan kegiatan bakar ikan terpanjang di indonesia.
Sikap tersebut tentu saja amat merugikan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut,
karena jelas wilayah seluas itu hanya tinggal puing-puing saja, belum lagi rehabilitasi perairan
yang tercemar, itu akan membutuhkan waktu yang lama, dan biaya yang besar juga, dituntut
kesungguhan segenap pihak yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan segenap
permasalahan tersebut.
Bisnis yang didasari tindakan-tindakan yang disebutkan diatas amat tidak etis tentunya.
Ditinjau dari teori utilitarisme praktek seperti itu amat bertentangan, tentunya kebijakan PT.
NMR dalam membuang tailing ke dasar perairan teluk buyat hanya menguntungkan segelintir
orang saja, yakni para kapitalis yang mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan
aspek-aspek yang lain. Kalau kita cermati kelompok yang dirugikanlah yang lebih besar, bukan
hanya masyarakat disekitar Teluk Buyat saat itu, melainkan generasi-generasi yang akan datang
di daerah tersebut serta masyarakat dan bangsa indonesia secara kesleuruhan.
Belum lagi kalau kita berkaca pada teori Deontologi, tentunya apa yang dilakukan oleh
NMR sangat bertentangan, jika NMR tulus menjalankan misinya sebagai perusahaan yang peduli
terhadap lingkungan, maka sudah menjadi kewajibannyalah untuk melakukan perbaikan-
perbaikan terhadap sistem kerja, sistem pembuangan limbahnya, sikap terhadap masyarakat
sekitar, serta melakukan rehabilitasi setelah ditinggalkan, karena memang itulah kewajibannya!
Dalam Teori Hak disebutkan bahwa secara individual siapapun tidak pernah boleh
dikorbankan demi mencapai tujuannya.Hal ini tentunya telah dilanggar oleh NMR, yakni hak-
hak masyarakat untuk hidup nyaman, sejahtera, sehat dan layak.Belum lagi hak alam yang telah
dilanggar dengan melakukan eksploitasi untuk mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya.
Berkaca pada teori keadilan Distributif yang dikemukakan oleh Beauchamp dan Bowie,
tentunya semua kegiatan negatif NMR telah bertentangan terutama dengan prinsip hak.Dalam
teori tanggung jawab sosial, selain berorientasi ekonomis, saat ini perusahaan haruslah memiliki
orientasi sosial, tentunya aktivitas-aktivitas yang dimaksud untuk kepentingan masyarakat
disekitar perusahaan itu berada.PT. NMR sepertinya telah memperlihatkan dirinya sebagai
perusahaan yang memiliki tanggung jawab sosial tinggi terhadap masyarakat dan lingkungannya
melalui kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial, diantaranya melalui kegiatan santunan terhadap
masyarakat sekitar. Namun sepertinya kegiatan seperti itu dilakukan sekedar untuk mencuci
nama NMR yang tercoreng akibat kegiatannya yang telah mencemari lingkungan.
Kesimpulan
Berdasakan uraian mengenai kerusakan lingkungan oleh Newmont, dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
Saran
Daftar Pustaka
http://sepatanpaper.blogspot.com/2009/04/dampak-kerusakan-lingkungan.html
http://setaaja.blogspot.com/2012/03/penyelesaian-kasus-buyat.html
http://dwikiputraw.wordpress.com/2014/06/24/pencemaran-logam-berat-hg-di-teluk-buyat-
minahasa-sulawesi-utara-oleh-pt-newmont-minahasa-raya/