Anda di halaman 1dari 7

NAMA KELOMPOK KASUS DUGAAN KORUPSI VLCC

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.

MANAJEMEN 2012 A
Kasus Dugaan Korupsi VLCC

Mantan Komisaris Pertamina yang saat ini menjabat Deputi Menteri Negara
BUMN, Roes Aryawijaya, kembali diperiksa penyidik bagian Tindak Pidana
Khusus Kejaksaan Agung sebagai saksi dugaan korupsi dalam penjualan kapal
tanker raksasa atau very large crude carrier (VLCC) Pertamina. Seusai
pemeriksaan, Roes yang ditanya wartawan soal keputusan penjualan dua kapal
tanker raksasa Pertamina tahun 2004 itu menjawab, “Penjualan tersebut
sebenarnya usulan Direksi Pertamina. Oleh Komisaris dikaji dan dilihat. ‘Kan
kalau tidak dijual perusahaannya bangkrut,” kata Roes. Keputusan menjual VLCC
itu melibatkan seluruh direksi dan komisaris Pertamina. Dalam siaran pers yang
dikeluarkan Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, disebutkan bahwa
direksi Pertamina bersama Komisaris Utama Pertamina, tanpa persetujuan
Menteri Keuangan pada 11 Juni 2004 telah melakukan divestasi dua tanker VLCC
milik Pertamina nomor Hull 1540 dan 1541 kepada Frontline dengan harga US$
184 juta. Hal tersebut bertentangan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
89 Tahun 1991 Pasal 12 Ayat 1 dan 2 karena persetujuan Menteri Keuangan baru
terbit tanggal 7 Juli 2004. Secara terpisah, Jaksa Agung Hendarman Supandji
menyatakan bahwa tersangka kasus dugaan korupsi penjualan VLCC itu ternyata
lebih banyak dari yang semula disebutkan.
Sumber: Kompas, 3 Oktober 2007.
a) Menurut Anda, siapakah yang disebut dengan pemegang saham dari PT
Pertamina tersebut ?
Berdasarkan Pasal 60 Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) jo. PP. No. 31 Tahun 2003 tertanggal 19
Juni 2003 (PP Pertamina), Pertamina beralih bentuk menjadi PT Persero yang
seluruh sahamnya dimiliki oleh Negara. Jadi Pemegang saham dari PT
Pertamina adalah Pemerintah Republik Indonesia, karena Pertamina hanya
sebuah BUMN yang bertugas mengelolah penambangan minyak dan gas
bumi di Indonesia yang 100% kepemilikan sahamnya dimiliki oleh
Pemerintah Republik Indonesia, melalui Kementerian Negara Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) selaku Kuasa Pemegang Saham.

b) Menurut Anda, apakah tindakan Direksi dan Komisaris Pertamina di atas


dapat dibenarkan bila dilihat dari UU PT ?
Dapat dibenarkan, karena Pertamina berubah menjadi persero tahun
lalu (2003) maka, juragan migas itu tunduk pada UU Perseroan Terbatas.
Sehingga setiap penjualan aset (bukan saham) cukup dengan persetujuan
komisaris lewat Rapat Umum Pemegang Saham.
Yang tertera pada Pasal 98 Ayat Ayat (4) Yang dimaksud “tidak boleh
bertentangan dengan Undang-Undang”, misalnya RUPS tidak berwenang
memutuskan bahwa Direksi di dalam mengagunkan atau mengalihkan
sebagian besar aset Perseroan cukup dengan persetujuan Dewan Komisaris
atau persetujuan RUPS dengan kuorum kurang dari 3/4 (tiga perempat).

c) Menurut Anda siapa yang seharusnya berwenang untuk memutuskan


divestasi aset Pertamina tersebut ?
Menurut kelompok kami Direksi lah yang berwenang untuk
melakukan divestasi aset Pertamina karena Direksi bertanggung jawab
menyusun strategi bisnis, anggaran dan rencana kerja sesuai dengan visi, dan
misi perusahaan serta RKAP dan RJPP. Direksi juga bertanggung jawab
terhadap struktur pengendalian internal dan penerapan manajemen risiko dan
praktek-praktek tata kelola perusahaan yang baik. Direksi memastikan
praktek akuntansi dan pembukuan perusahaan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, memberikan perhatian pada pelaksanaan audit internal, melakukan
tindak lanjut yang diperlukan sesuai arahan Dewan Komisaris dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sesuai dengan peraturan yang ada saat
ini, Direksi bertanggungjawab terhadap laporan keuangan perusahaan dan
keputusan RUPS. Jajaran Direksi mengadakan rapat rutin seminggu sekali
dan rapat bersama Dewan Komisaris minimal sebulan sekali.

Guna memenuhi ketentuan dalam Anggaran Dasar Perusahaan


maupun Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Direksi menyampaikan laporan
tahunan kepada RUPS yang di dalamnya terdapat laporan keuangan yang
disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan. Untuk itu Pemegang Saham
melalui Dewan Komisaris telah menunjuk Ernst & Young sebagai auditor
eksternal independen untuk tahun buku yang berakhir 31 Desember 2009.
Selama tahun buku 2009 Kantor Akuntan Publik tersebut tidak memberikan
jasa lain kepada perusahaan selain jasa audit ini sehingga tidak terjadi
benturan kepentingan dalam pelaksanaan proses audit.

d) Mengapa kasus seperti penjualan VLCC pada perusahaan Pertamina itu dapat
muncul dan sering menimpa perusahaan BUMN ?
Karena penjualan Kapal Tanker Raksasa Pertamina secara bisnis
menimbulkan kontroversi karena perbedaan persepsi soal untung rugi dalam
pelegoan itu dan BUMN di anggap tak punya kuasa menjual tankernya karena
BUMN hanya pengelolah saja.

e) Coba pelajari berbagai peraturan pemerintah tentang penjualan aset BUMN


dan berikan pendapat Anda bagaimana seharusnya menurut prinsip-prinsip
penerapan GCG !
Menurut Peraturan Menteri Negara BUMN nomor PER –
02/MBU/2010 bagian kedua tentang penjualan pasal 5,6 dan7, menyatakan
bahwa pemindahtanganan dengan cara Penjualan dapat dilakukan apabila
memenuhi persyaratan, penjualan dilakukan sepanjang hal tersebut
memberikan dampak yang lebih baik bagi BUMN, penjualan dapat dilakukan
dengan cara Penawaran Umum, Penawaran Terbatas, dan Penunjukan
Langsung. Sesuai dengan prinsip GCG, Komisaris serta Direksi harus
bersikap profesionalisme untuk menyelamatkan perusahaan dalam keadaan
apapun dan melakukan aktivitas ekonomi sesuai dengan memperhatikan
aspek indepedensi dan profesionalitas agar menghasilkan dampak positif bagi
perusahaan. Jika ditinjau dari Prinsip-prinsip GCG harus digunakan secara
tepat untuk menguraikan kasus ini. Praktik bisnis yang sehat berlandaskan
GCG mensyaratkan pentingnya manajemen memegang prinsip keterbukaan
(transparency) sehingga memaksimalkan laba perusahaan dengan tidak
menimbulkan vested interest yang mengarah pada memaksimalkan
kepentingan pribadi manajemen dengan biaya yang dibebankan kepada
perusahaan. Selain itu, prinsip independensi juga menjadi syarat yang tidak
kalah pentingnya.

Pengelolaan perusahaan secara terpisah oleh para profesional baik


pada aspek pengelolaan (direksi) maupun aspek pengawasan (dewan
komisaris) akan menjaga independensi antarpihak yang berkepentingan.
Sehingga, upaya-upaya yang mengarah pada tindakan yang merugikan
perusahaan sedini mungkin dapat dihindari karena adanya fungsi kontrol yang
jelas. VLCC yang terjadi pada hakikatnya dapat dilihat sebagai berikut.
Pertama, terkait dengan prinsip Keterbukaan (Transparency).

Dari sisi transparansi, penunjukan langsung Goldman Sachs


dilakukan secara tidak transparan, namun Pertamina memberikan argumentasi
bahwa penunjukan yang dimaksud didasarkan karena keadaan yang
mendesak. Berlandaskan best practice GCG, keadaan yang mendesak
seharusnya tidak dapat dijadikan alasan bagi Pertamina untuk tidak
transparan. Penunjukan langsung pada prinsipnya dapat dibenarkan selama
alasan atas penunjukan tersebut diungkapkan dan sesuai dengan peraturan
yang berlaku. Pada kasus ini ada kesan bahwa penunjukan langsung
dilakukan karena adanya permainan untuk memenangkan pihak tertentu.
Kedua, prinsip Fairness.
Dari sisi fairness (kewajaran) dapat terlihat dari saat Frontline Ltd
melakukan penawaran ketiga dimana sebenarnya telah melewati batas waktu
penawaran, namun Goldman Sachs tetap menerima penawaran tersebut.
Selanjutnya Direktur Pertamina mengusulkan agar dua bidder yang lain
diberikan kesempatan yang sama sekali lagi, namun Goldman Sachs
menyatakan bahwa bila kedua bidder diberikan kesempatan yang sama maka
proses tender tidak akan selesai tepat waktu. Hal ini menimbulkan tanda
tanya besar. Mengapa kedua bidder yang lain tidak diberikan kesempatan?
Apakah sedemikian lama untuk bidder mengajukan penawaran? Apakah
konsekuensi dari terlambat beberapa hari menimbulkan efek besar tehadap
Pertamina? Dari sisi GCG, Pertamina telah melanggarnya. Jika ketika itu
Pertamina telah mengimplementasikan GCG, maka kepada dua bidder yang
lain harus juga diberikan kesempatan yang sama sebagaimana yang telah
diberikan kepada Frontline Ltd.

Ketiga, prinsip Akuntabilitas. Penjualan tanker dilakukan tanpa seizin


Menteri Keuangan Boediono. Padahal Direksi telah mengajukan pada Dewan
Komisaris mengenai hal ini dan disetujui Dewan Komisaris. Sementara dalam
RUPS dengan Kementerian BUMN juga telah didapat persetujuan mengenai
penjualan VLCC. Berbicara mengenai akuntabilitas dalam GCG berarti
berbicara tentang kejelasan fungsi, hak dan tanggungjawab dari organ dan
stakeholders. Pertamina merupakan badan hukum berbentuk Perseroan
Terbatas dengan organ-organ Perseroan yakni Direksi, Dewan Komisaris dan
RUPS. Governance structure dan governance mechanism dalam hubungan
antar organ harus dijalankan dengan berpedoman pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan Anggaran Dasar sebagai peraturan internal.
Pertanyaan mendasar adalah apakah penjualan tersebut memang
membutuhkan persetujuan Menteri Keuangan?

Keempat, prinsip Independensi. Penetapan Frontline Ltd sebagai


pemenang didasarkan pada rekomendasi yang diberikan oleh Goldman Sachs,
dengan selisih harga berbeda US$ 500,000 dari penawaran Essar.
Kewenangan penetapan pemenang sepenuhnya berada di tangan Pertamina.
Untuk itu Pertamina seharusnya dapat mengambil keputusan secara objektif
tanpa campur tangan pihak manapun. Jika dirasakan bahwa rekomendasi dari
Goldman berakibat tidak fair dan menimbulkan masalah di kemudian hari,
Pertamina dapat menolak rekomendasi tersebut. GCG menghendaki adanya
pemetaan risiko dalam setiap aspek. Pertamina seharusnya terlebih dahulu
memikirkan risiko-risiko yang timbul sebelum mengambil keputusan strategis
seperti ini. Dengan pengelolaan risiko hukum yang baik, langkah antisipasi
dapat dilakukan secara seksama dan tidak akan merugikan Pertamina.

Anda mungkin juga menyukai