DISUSUN OLEH
dr.Hendrik
NIP xxxxxxxxxxxxxxxx
i
DAFTAR ISI
ii
D. PENGKAJIAN RESEP ................................................................................................. 50
E. ALUR PELAYANAN RESEP ..................................................................................... 52
F. DISPENSING ............................................................................................................... 53
G. EVALUASI STOK OBAT DAN BAKHP (STOCK OFF NAME) .............................. 55
H. PELAYANAN PERESEPAN NARKOTIK ................................................................. 55
I. PELAYANAN VERIFIKASI OBAT ........................................................................... 55
J. PEMANTAUAN DAN PELAPORAN EFEK SAMPING OBAT .............................. 57
K. PELAYANAN INFORMASI OBAT ........................................................................... 58
L. KONSELING ................................................................................................................ 60
M. PEMANTAUAN KADAR OBAT DALAM DARAH ............................................. 61
N. RONDE/VISITE ........................................................................................................... 61
O. PENGKAJIAN PENGGUNAAN OBAT ..................................................................... 62
P. INTERAKSI OBAT...................................................................................................... 62
Q. FAKTOR-FAKTOR PENUNJANG INTERAKSI OBAT .......................................... 64
R. MEKANISME DASAR INTERAKSI OBAT .............................................................. 65
S. INTERAKSI OBAT BERMAKNA KLINIS................................................................ 67
T. HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN INTERAKSI OBAT ................................... 68
U. GUNA INTERAKSI OBAT ......................................................................................... 68
V. PASIEN YANG RENTAN TERHADAP INTERAKSI OBAT .................................. 68
W. PERAN APOTEKER DAN ASISTEN APOTEKER DALAM MENCEGAH
INTERAKSI OBAT ............................................................................................................. 69
X. PENYIMPANAN PRODUK NUTRISI ....................................................................... 69
Y. PENYIMPANAN BAHAN RADIOAKTIF ................................................................. 70
Z. PENANGANAN OBAT EMERGENSI ....................................................................... 72
AA. PENANGANAN OBAT YANG DIBAWA PASIEN DARI RUMAH KERUMAH
SAKIT .................................................................................................................................. 78
BAB VII KESELAMATAN PASIEN ..................................................................................... 79
A. KESELAMATAN PASIEN DALAM PELAYANAN KEFARMASIAN .................. 81
B. PERAN APOTEKER DALAM MEWUJUDKAN KESELAMATAN PASIEN ........ 90
C. PENCATATAN DAN PELAPORAN .......................................................................... 96
D. MONITORING DAN EVALUASI .............................................................................. 99
BAB VIII KERJASAMA DOKTER DAN APOTEKER DALAM PELAYANAN PASIEN
DI RUMAH SAKIT ............................................................................................................... 101
BAB IX HIGH ALERT MEDICATIONS ............................................................................. 106
iii
A. PROSEDUR................................................................................................................ 108
B. OBAT-OBAT DENGAN PENGAWASAN (HIGH ALERT MEDICATIONS) ......... 114
C. PEMBERIAN HIGH ALERT MEDICATIONS PADA PEDIATRIK DAN
NEONATUS ...................................................................................................................... 120
BAB X PENGEMBANGAN STAF DAN PROGRAM PENDIDIKAN .............................. 123
I. EVALUASI DAN PENGENDALIAN MUTU .......................................................... 124
BAB XI KEBIJAKAN DAN PROSEDUR ........................................................................... 127
A. KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERBEKALAN FARMASI.................................. 127
B. ISI DARI KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERBEKALAN FARMASI ................. 128
C. KEBIJAKAN TENTANG PELAYANAN KEFARMASIAN ................................... 136
D. PROSEDUR TETAP PELAYANAN INSTALASI FARMASI ................................ 142
BAB XII PENUTUP .............................................................................................................. 145
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan
menyatakan bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus diwujudkan dalam bentuk
pemberian berbagai pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pelayanan
kesehatan yang menyeluruh oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat, terpadu dan
berkesinambungan, adil dan merata, serta aman, berkualitas, dan terjangkau oleh masyarakat.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016 Tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit menyatakan bahwa Rumah Sakit adalah institusi
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Salah satu pelayanan kesehatan yang
diberikan di rumah sakit yaitu pelayanan kefarmasian.
Pelayanan farmasi Rumah Sakit merupakan salah satu kegiatan di Rumah Sakit yang menunjang
pelayanan kesehatan yang bermutu. Hal tersebut diperjelas dalam Permenkes No. 72 Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, yang menyebutkan bahwa Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit
yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan
farmasi klinik. Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi 2 kegiatan, yaitu kegiatan yang bersifat
manajerial berupa pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai. Serta
kegiatan pelayanan farmasi klinik.
B. Ruang Lingkup
1
3. Rekonsiliasi Obat.
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO).
5. Konseling.
6. Visite.
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO).
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
9. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO).
10. Dispensing sediaan steril.
11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).
2) Kegiatan manajerial pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai, meliputi:
1. Pemilihan
2. Perencanaan kebutuhan
3. Pengadaan
4. Penerimaan
5. Penyimpanan
6. Pendistribusian
7. Pemusnahan dan penarikan
8. Pengendalian , dan
9. Administrasi
C. Landasan Hukum
Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit yang
menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Peraturan perundangan mengenai bahan
pelayanan farmasi diantaranya :
2
BAB II
PENGGORGANISASIAN INSTALASI FARMASI
A. Struktur Organisasi
Apoteker/D3Farmasi/Asisten Apoteker
B. Uraian Tugas
3
e. Membuat plan kerja untuk mengembangkan farmasi di Rumah Sakit untuk
menjamin kualitas pelayanan yang baik
4
C. Standar Ketenagaan
5
Sumber Daya Manusia Farmasi Rumah Sakit
Personalia Pelayanan Farmasi Rumah Sakit adalah sumber daya manusia yang
melakukan pekerjaan kefarmasian di rumah sakit yang termasuk dalam bagan
organisasi rumah sakit dengan persyaratan :
• Terdaftar di Departeman Kesehatan
• Terdaftar di Asosiasi Profesi
• Mempunyai izin kerja
• Mempunyai SK penempatan
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1332/Menkes/SK/X/2002
yang dimaksud dengan :
1. Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai Apoteker.
Distribusi Ketenagaan
Instalasi Farmasi Rumah Sakit Karang Tengah Medika di dalam
melaksanakan pelayanan farmasi dibagi menjadi 3 (tiga) shift pelayanan dalam waktu
24 jam. Distribusi tenaga farmasi ditempatkan pada 2 ( dua ) depo pelayanan yaitu
depo farmasi yang melayani rawat jalan dan rawat inap dan pelayanan gudang
farmasi.
7
BAB III
STANDAR FASILITAS
Berlantai keramik kedap air, dinding tembok, plafon triplek. Perlengkapan dalam
gudang perbekalan farmasi :
Rak obat
Lemari pendingin
Lemari Penyimpanan Obat
Komputer yang terhubung internet
Telpon
Alat tulis kantor
8
C. Ruang konsultasi
E. Kelengkapan Bangunan
F. Perlengkapan Administrasi
G. Sarana Informasi
9
BAB IV
PELAYANAN INSTALASI FARMASI
A. TUJUAN
1. TUGAS POKOK
Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal
Menyelenggarakan kegiatan pelayanan farmasi profesional berdasarkan prosedur
kefarmasian dan etika profesi
Melaksanakan komunikasi, informasi dan edukasi
10
Memberikan pelayanan bermutu melalui analisa dan evaluasi untuk meningkatkan
mutu pelayanan farmasi
Melakukan pengawasan berdasarkan aturan-aturan yang berlaku
Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan formularium
Rumah Sakit
2. FUNGSI
Pengelolaan Perbekalan Farmasi
1. Memilih perbekalan farmasi sesuai kebutuhan pelayanan rumah sakit yang
merupakan proses kegiatan sejak meninjau masalah kesehatan yang terjadi di
rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis, menentukan
kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial, standarisasi sampai
menjaga dan memparbaharui standar obat. Penentuan seleksi obat merupakan peran
aktif apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi untuk menetapkan kualitas
danefektifitas, serta jaminan purna transaksi pembelian.
2. Merencanakan kebutuhan perbekalan farmasi secara optimal yang merupakan
proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga perbekalan farmasi
yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, untuk menghindari kekosongan
obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan
dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi,
epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi disesuaikan
dengan anggaran yang tersedia.
3. Mengadakan perbekalan farmasi berpedoman pada perencanaan yang telah
dibuat sesuai ketentuan yang berlaku
4. Memproduksi perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan
kesehatan di rumah sakit yang merupakan kegiatan membuat, mengubah
bentuk untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
5. Menerima perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang
berlaku
6. Menyimpan perbekalan farmasi sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan
kefarmasian.
7. Mendistribusikan perbekalan farmasi ke unit-unit pelayanan di rumah sakit.
Pelayanan Kefarmasian Dalam Penggunaan Obat dan Alat Kesehatan
11
1. Mengkaji instruksi pengobatan/resep pasien yang meliputi kajian persyaratan
administrasi, persyaratan farmasi, dan persyaratan klinis.
2. Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat dan alat
kesehatan.
3. Mencegah dan mengatasi masalah yang berkaitan dengan obat dan alat
kesehatan.
4. Memantau efektifitas dan keamanan penggunaan obat dan alat kesehatan.
5. Memberikan informasi kepada petugas kesehatan, pasien atau keluarga pasien.
6. Memberi konseling kepada pasien atau keluarga pasien.
7. Melakukan penyiapan nutrisi parenteral
8. Melakukan evaluasi penggunaan obat (EPO)
9. Melakukan pencatatan setiap kegiatan
10. Melaporkan setiap kegiatan
Sistem Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit Karang Tengah Medika adalah sistem,
pelayanan satu pintu artinya seluruh perbekalan farmasi yang digunakan di seluruh bagian
Rumah Sakit (Poli, Instalasi dan Ruangan) berasal dari Instalasi farmasi Rumah Sakit.
Waktu Pelayanan 3 (tiga) shift dalam waktu 24 jam.
E. CAKUPAN PELAYANAN
12
BAB V
PENGELOLAAN PERBEKALAN FARMASI
Pedoman Perencanaan
• DOEN, Formularium Rumah Sakit, Ketentuan setempat yang berlaku.
• Data catatan medik
• Anggaran yang tersedia
13
• Penetapan prioritas
• Siklus penyakit
• Sisa persediaan
• Data pemakaian periode yang lalu
• Rencana pengembangan
Cara menentukan kriteria obat yang dapat dimasukkan dalam formularium ( tahap
awal yaitu dengan seleksi obat, hasil seleksi dibuat formularium) :
14
Kombinasi tetap harus menunjukkan khasiat dan keamanan ynag lebih tinggi
daripada masing-masing komponen
Perbandingan dosis komponen kombinasi tetapmerupakan perbandingan yang
tepat untuk sebagian besar penderita yang memerlukan kombinasi tersebut
Kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio)
Beberapa evaluasi yang digunakan dalam perencanaan obat adalah (Pudjaningsih,
1996):
1. Persentase Dana
→ persentase dana yang tersedia pada IFRS dibanding kebutuhan dana yang
sesungguhnya.
Nilai standar persentase dana yang tersedia adalah 100%.
2. Penyimpangan perencanaan
→ jumlah item obat dalam perencanaan dan jumlah item obat dalam
kenyataan pakai.
Nilai standar batas penyimpangan perencanaan adalah 20-30%
3. Pengadaan
Merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan
dan disetujui, melalui :
a.Pembelian :
Secara tender (oleh Panitia Pembelian Barang Farmasi)
Secara langsung dari pabrik/distributor/pedagang besar farmasi/rekanan)
Sumbangan/droping/hibah
Beberapa evaluasi yang digunakan dalam pengadaan obat adalah (Pudjaningsih,
1996):
1. Frekuensi pengadaan tiap item obat setiap tahunnya
digolongkan menjadi 3 kategori: rendah (<12), sedang (12-24), tinggi (>24)
Banyaknya obat dengan frekuensi sedang dan tinggi → kemampuan IFRS
dalam merespon perubahan kebutuhan obat dan melakukan pembelian obat
dalam jumlah sesuai dengan kebutuhan saat itu.
Pengadaan obat yang berulang menunjukkan bahwa yang tersedia di IFRS
merupakan obat dengan perputaran cepat (fast moving).
15
Banyaknya obat yang masuk kedalam jenis slow moving → kerugian bagi
rumah sakit.
2. Frekuensi kesalahan faktur
Kriteria kesalahan faktur: adanya ketidakcocokan jenis obat, jumlah obat
dalam suatu item, atau jenis obat dalam faktur terhadap surat pesanan yang
bersesuaian
Penyebab:
a. Tidak ada stok, atau barang habis di PBF
b. Stok barang yang tidak sesuai
c. Reorder atau frekuensi pemesanan terlalu banyak
3. Frekuensi tertundanya pembayaran oleh rumah sakit terhadap waktu yang
disepakati
Tingginya frekuensi tertundanya pembayaran menunjukkan kurang baiknya
manajemen keuangan pihak rumah sakit.
Hal ini dapat mempengaruhi kepercayaan pihak pemasok kepada rumah sakit
sehingga potensial menyebabkan ketidaklancaran suplai obat di kemudian
hari.
Pemasok Obat Untuk Instalasi Farmasi
Pemasok adalah suatu organisasi/ lembaga yang menyediakan atau memasok
produk atau pelayanan kepada konsumen. Pemasok obat untuk rumah sakit pada
umumnya adalah Industri Farmasi atau Pedagang Besar Farmasi. Untuk memperoleh
obat atau sediaan obat yang bermutu baik, perlu dilakukan pemilihan pemasok obat
yang baik dan produk obat yang memenuhi semua persyaratan dan spesifikasi mutu.
Jadi, salah satu komponen dari Praktek Pengadaaan Obat Yang Baik (PPOB) ialah
pemilihan pemasok yang memenuhi persyaratan (Siregar, 2004:289).
16
3. Mempunyai reputasi yang baik, artinya tidak pernah:
a. Melakukan hal-hal yang melanggar hukum yang berlaku
b. Menghasilkan/menjual produk obat yang tidak memenuhi syarat
c. Mempunyai sediaan obat yang ditarik dari peredaran karena mutu yang buruk
4. Selalu mampu dan dapat memenuhi kewajiban sebagi pemasok produk obat yang
selalu tersedia dan dengan mutu yang tertinggi, dengan harga yang terendah
17
10. Mengevaluasi pengalaman yang relevan dengan pemasok
11. Mengases finansial guna memastikan kelangsungan hidup pemasok dalam seluruh
periode suplai yang diharapkan
12. Kemampuan layanan dan dukungan
13. Kemampuan logistik termasuk lokasi dan sumber (Siregar, 2004:289).
18
Kesepakatan Untuk Penyelesaian Perselisihan
Sistem dan prosedur harus ditetapkan IFRS bersama pemasok untuk
penyelesaian perselisihan yang berkaitan dengan mutu yang terjadi dikemudian
hari
4. Penerimaan
Merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah diadakan
sesuai dengan aturan kefarmasian, melalui pembelian langsung, tender, konsinyasi
atau sumbangan.
Pedoman dalam penerimaan perbekalan farmasi:
• Pabrik harus mempunyai Sertifikat Analisa
• Barang harus bersumber dari distributor utama
• Harus mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS)
• Khusus untuk alat kesehatan/kedokteran harus mempunyai certificate of origin
• Expire date minimal 2 tahun
Setelah barang yang diorder tersebut datang, barang tersebut diterima bersama
dengan faktur dan di periksa oleh petugas gudang farmasi. Petugas gudang memeriksa
tanggal kadaluarsa dari obat tersebut dan nomor faktur.
Bila barang yang diperiksa telah sesuai dengan faktur, kemudian faktur
tersebut ditanda tangani oleh petugas yang menerima di bagian gudang. Setelah itu,
barang dimasukkan ke dalam gudang dan dicatat pada kartu stok.
5. Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara
menempatkan obat-obat yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian
serta gangguan baik yang dapat merusak mutu obat. Tujuan penyimpanan obat adalah
sebagai berikut:
19
Merupakan kegiatan pengaturan perbekalan farmasi menurut persyaratan yang
ditetapkan:
• Dibedakan menurut bentuk sediaan dan jenisnya
• Dibedakan menurut suhunya, kestabilannya
• Mudah tidaknya meledak/terbakar
• Tahan/tidaknya terhadap cahaya disertai dengan sistem informasi yang selalu
menjamin ketersediaan perbekalan farmasi sesuai kebutuhan.
20
Peralatan yang digunakan untuk penyimpanan obat dengan kondisi khusus
diantaranya :
1. Lemari pendingin dan AC untuk obat yang termolabil
2. Fasilitas peralatan penyimpanan dingin harus divalidasi secara berkala
3. Lemari penyimpanan khusus untuk narkotika dan obat psikotropika
4. Peralatan untuk penyimpanan obat, penanganan dan pembuangan limbah
sitotoksik dan obat berbahaya harus dibuat secara khusus untuk menjamin
keamanan petugas, pasien dan pengunjung
Beberapa obat perlu disimpan pada kondisi dan tempat yang khusus untuk
memudahkan pengawasan, yaitu :
1. Obat golongan narkotika dan psikotropika masing-masing disimpan dalam lemari
khusus dan terkunci.
2. Obat-obat seperti vaksin dan supositoria harus disimpan dalam lemari pendingin
untuk menjamin stabilitas sediaan.
3. Beberapa cairan mudah terbakar seperti aseton, eter dan alkohol disimpan dalam
lemari yang berventilasi baik, jauh dari bahan yang mudah terbakar dan peralatan
elektronik. Cairan ini disimpan terpisah dari obat-obatan.
Standar penyimpanan obat yang sering di gunakan adalah sebagai berikut:
1) Persyaratan gudang
a) Luas minimal 3 x 4 m2
b) Ruang kering tidak lembab
c) Ada ventilasi agar ada aliran udara dan tidak lembab
d) Cahaya cukup
e) Lantai dari tegel atau semen
f) Dinding dibuat licin
g) Hindari pembuatan sudut lantai dan dinding yang tajam
h) Ada gudang penyimpanan obat
i) Ada pintu dilengkapi kunci ganda
j) Ada lemari khusus untuk narkotika
2) Pengaturan penyimpanan obat
a) Menurut bentuk sediaan dan Alfabetis
b) Menerapkan sistem FIFO dan FEFO
c) Menggunakan almari, rak dan pallet
21
d) Menggunakan almari khusus untuk menyimpan narkotika dan psikotropika
e) Menggunakan almari khusus untuk perbekalan farmasi yang memerlukan
penyimpanan pada suhu tertentu
f) Dilengkapi kartu stock obat
22
Salah satu faktor penting dalam merancang gudang adalah adanya sirkulasi
udara yang cukup didalam ruangan gudang. Sirkulasi yang baik akan
memaksimalkan umur hidup dari obat sekaligus bermanfaat dalam
memperpanjang dan memperbaiki kondisi kerja. Idealnya dalam gudang
terdapat AC, namun biayanya akan menjadi mahal untuk ruang gudang
yang luas. Alternatif lain adalah menggunakan kipas angin. Apabila kipas
angin belum cukup maka perlu ventilasi melalui atap.
3) Kondisi penyimpanan khusus.
Vaksin memerlukan “Cold Chain” khusus dan harus dilindungi dari
kemungkinan putusnya aliran listrik.
a. Narkotika dan bahan berbahaya harus disimpan dalam lemari khusus
dan selalu terkunci,
b. Bahan-bahan mudah terbakar seperti alkohol dan eter harus disimpan
dalam ruangan khusus, sebaiknya disimpan di bangunan khusus
terpisah dari gudang induk.
4) Pencegahan kebakaran
Perlu dihindari adanya penumpukan bahan-bahan yang mudah terbakar
seperti dus, kartun dan lain-lain. Alat pemadam kebakaran harus dipasang
pada tempat yang mudah dijangkau.
23
g) Apabila persediaan obat cukup banyak, maka biarkan obat tetap dalam box
masing-masing, ambil seperlunya dan susun dalam satu dus bersama obat-
obatan lainnya. Pada bagian luar dus dapat dibuat daftar obat yang disimpan
dalam dus tersebut.
h) Obat-obatan yang mempunyai batas waktu pemakaian maka perlu
dilakukan rotasi stok agar obat tersebut tidak selalu berada dibelakang yang
dapat menyebabkan kadaluarsa obat.
24
Adapun manfaat informasi yang didapat :
a) Untuk mengetahui dengan cepat jumlah persediaan obat.
b) Perencanaan pengadaan dan penggunaan pengendalian persediaan.
Kartu stok memuat nama obat, satuan, asal (sumber) dan diletakkan bersama
obat pada lokasi penyimpanan.
Bagian judul pada kartu Stok diisi dengan dengan nama obat, kemasan, isi
kemasan
Kolom-kolom pada Kartu Stok diisi sebagai berikut:
1. Tanggal penerimaan atau pengeluaran.
2. Nomor dokumen penerimaan atau pengeluaran.
3. Sumber asal obat atau kepada siapa obat dikirim.
4. No. Batch/No. Lot.
5. Tanggal kadaluwarsa
6. Jumlah penerimaan
7. Jumlah pengeluaran
8. Sisa stok
9. Paraf petugas yang mengerjakan
Catatan : Pada akhir bulan sedapat mungkin kartu stok ditutup, sekaligus
untuk memeriksa kesesuaian antara catatan dengan keadaan fisik. Untuk
melakukan hal ini maka pada setiap akhir bulan beri tanda atau garis dengan
warna yang berbeda dengan yang biasa digunakan, misalnya warna merah.
25
Beberapa jenis sediaan obat harus selalu berada dalam kondisi steril, bebas
pirogen dan kontaminan, misalnya obat injeksi. Oleh sebab itu proses
manufaktur, pengepakan, dan distribusi hingga penyimpanannya harus
memenuhi syarat-syarat tertentu. Dalam prakteknya kerusakan obat jenis
ini umumnya berkaitan dengan kesalahan dalam penyimpanan dan
penyediaannya. Sebagai contoh, di kamar suntik pusat pelayanan
kesehatan acap kali ditemukan obat injeksi yang diatasnya diletakkan
jarum dalam posisi terbuka. Dengan alasan apapun (misalnya segi
kepraktisan saat pemindahan obat ke dalam spuit), cara ini jelas keliru dan
harus dihindari, oleh karena memungkinkan terjadinya kontaminasi
dengan udara luar dan berbagai bakteri, sehingga prinsip obat dalam
kondisi steril sudah tidak tercapai lagi. Untuk sediaan lain seperti cream,
salep atau sirup, meskipun risikonya lebih kecil, tetapi sering juga terjadi
kontaminasi, misalnya karena udara yang terlalu panas, kerusakan pada
pengepakannya, dsb, yang tentu saja mempengaruhi mutu obatnya.
b) Medication error.
Keadaan ini tidak saja dapat terjadi pada saat manufaktur (misalnya
kesalahan dalam mencampur 2 atau lebih obat sehingga dosisnya menjadi
terlalu besar atau terlalu kecil), tetapi dapat juga terjadi saat praktisi medik
ingin mencampur beberapa jenis obat dalam satu sediaan sehingga
menimbulkan risiko terjadinya interaksi obat-obat. Akibatnya efek obat
tidak seperti yang diharapkan bahkan dapat membahayakan pasien.
c) Berubah menjadi toksik (toxic degradation).
Beberapa obat, karena proses penyimpanannya dapat berubah menjadi
toksik (misalnya karena terlalu panas atau lembab), misalnya
tetrasiklin. Beberapa obat yang lain dapat berubah menjadi toksik
karena telah kadaluwarsa. Oleh sebab itu obat yang telah expired
(kadaluwarsa) atau berubah warna, bentuk dan wujudnya, tidak boleh
lagi dipergunakan.
d) Kehilangan potensi (loss of potency).
Obat dapat kehilangan potensinya sebagai obat aktif antara lain apabila
ketersediaan hayatinya buruk, telah melewati masa kadaluwarsa,
proses pencampuran yang tidak sempurna saat digunakan, atau proses
penyimpanan yang keliru (misalnya terkena sinar matahari secara
26
langsung). Setiap obat sebenarnya telah memiliki batas keamanan
(margin of safety) yang dapat dipertanggung jawabkan
Adapun Tanda-tanda perubahan mutu obat sesuai standar yang di
tetapkan yaitu :
1) Tablet.
a) Terjadinya perubahan warna, bau atau rasa
b) Kerusakan berupa noda, berbintik-bintik, lubang, sumbing, pecah,
retak dan atau terdapat benda asing, jadi bubuk dan lembab
c) Kaleng atau botol rusak, sehingga dapat mempengaruhi mutu obat
2) Kapsul.
a) Perubahan warna isi kapsul
b) Kapsul terbuka, kosong, rusak atau melekat satu dengan lainnya
3) Tablet salut.
a) Pecah-pecah, terjadi perubahan warna dan lengket satu dengan
yang lainnya
b) Kaleng atau botol rusak sehingga menimbulkan kelainan fisik
4) Cairan.
a) Menjadi keruh atau timbul endapan.
b) Konsistensi berubah
c) Warna atau rasa berubah
d) Botol-botol plastik rusak atau bocor
5) Salep.
a) Warna berubah
b) Konsistensi berubah
c) Pot atau tube rusak atau bocor
d) Bau berubah
6) Injeksi.
a) Kebocoran wadah (vial, ampul)
b) Terdapat partikel asing pada serbuk injeksi
c) Larutan yang seharusnya jernih tampak keruh atau ada endapan
d) Warna larutan berubah
27
Persyaratan Penyimpanan Narkotika
Harus terbuat dari kayu atau bahan lain yang kuat (tidak boleh terbuat
darikaca).
Harus mempunyai kunci yang kuat, kunci lemari harus dikuasai oleh
penanggung jawab atau pegawai yang dikuasakan.
Dibagi menjadi dua bagian dengan masing-masing kunci yang berlainan.
Apabila lemari memiliki ukuran kurang dari 40 cm x 80 cm x 100 cm,
maka dibuat pada tembok / lantai / lemari khusus.
Tidak boleh menyimpan atau meletakkan barang-barang selain narkotika,
kecuali ditentukan lain oleh Menteri Kesehatan (Menkes).
28
5. Persentase nilai obat yang kadaluarsa dan atau rusak
Mencerminkan ketidaktepatan perencanaan dan atau kurang baiknya sistem
distribusi dan atau kurangnya pengamatan mutu dalam penyimpanan obat dan
atau terjadinya perubahan pola penyakit atau pola peresepan oleh dokter.
Persentase nilai obat yang kadaluarsa dan atau rusak masih dapat diterima jika
nilainya dibawah 1%.
Tidak diresepkannya obat oleh dokter karena dokter memilih obat lain.
Kerugian yang ditimbulkan akibat stok mati: perputaran uang yang tidak
lancar, kerusakan obat akibat terlalu lama disimpan sehingga menyebabkan
obat kadaluarsa.
Stok berlebih
a. Memberlakukan sistem First in First Out (FIFO) dan atau First Expired
First Out (FEFO)
29
b. Mengembalikan obat kepada PBF atau menukar obat yang hampir tiba
waktu kadaluarsanya dengan obat baru
Stok kosong
Stok kosong adalah jumlah stok akhir obat sama dengan nol; stok obat di
gudang mengalami kekosongan dalam persediaannya sehingga bila ada
permintaan tidak bisa terpenuhi.
b. Hanya ada persediaan yang kecil untuk obat – obat tertentu (slow moving).
6. Pendistribusian
Merupakan kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi di rumah sakit
untuk pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap dan rawat jalan
serta untuk menunjang pelayanan medis. Sistem distribusi dirancang atas dasar
kemudahan untuk dijangkau oleh pasien dengan mempertimbangkan :
• Efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada
• Metode sentralisasi atau desentralisasi
• Sistem floor stock, resep individu, dispensing dosis unit atau kombinasi
a. Pendistribusian Perbekalan Farmasi untuk Pasien Rawat Inap
Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi
kebutuhan pasien rawat inap di rumah sakit, yang diselenggarakan secara
sentralisasi dan atau desentralisasi dengan system persediaan lengkap di ruangan,
sistem resep perorangan.
b. Pendistribusian Perbekalan Farmasi untuk Pasien Rawat Jalan
Merupakan kegiatan pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi
kebutuhan pasien rawat jalan di rumah sakit, yang diselenggarakan secara
30
sentralisasi dan atau desentralisasi dengan system resep perorangan oleh Apotik
Rumah Sakit.
c. Sistem pelayanan distribusi :
1. Sistem persediaan lengkap di ruangan
Pendistribusian perbekalan farmasi untuk persediaan di ruang rawat
merupakan tanggung jawab perawat ruangan.
Setiap ruang rawat harus mempunyai penanggung jawab obat.
Perbekalan yang disimpan tidak dalam jumlah besar dan dapat dikontrol
secara berkala oleh petugas farmasi.
2. Sistem resep perorangan
Pendistribusian perbekalan farmasi resep perorangan/pasien rawat
jalan dan rawat inap melalui Instalasi Farmasi.
3. Sistem unit dosis
Pendistribusian obat-obatan melalui resep perorangan yang disiapkan,
diberikan/ digunakan dan dibayar dalam unit dosis tunggal atau ganda, yang
berisi obat dalam jumlah yang telah ditetapkan atau jumlah yang cukup untuk
penggunaan satu kali dosis biasa.
Kegiatan pelayanan distribusi diselenggarakan pada:
a. Apotik rumah sakit dengan sistem resep perorangan
b. Satelit farmasi dengan sistem dosis unit
c. Ruang perawat dengan sistem persediaan di ruangan
31
7. Formularium Rumah Sakit
Seleksi obat merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh untuk
mengendalikan pembiayaan obat terhadap pengadaan dan stok obat7. Tujuan seleksi
obat bertujuan agar dapat menerapkan secara tepat asas substitusi generik dan asas
pertukaran terapi untuk menjamin terapi obat bermutu tinggi, untuk pemilihan dan
aplikasi terapi yang tepat, memastikan kualitas obat, mengendalikan pembiayaan obat,
bersaing baik dari segi kualitas, penyimpanan, distribusi, dan prosedur pembuatan
dengan harga yang rendah untuk meningkatkan keuntungan, meningkatkan kualitas
hidup pasien dengan obat yang cost effective dan berdasarkan EBM. Seleksi obat
meliputi evaluasi dan asesmen data bioekivalen, karakteristik penyimpanan,
dispensing dan konsumsi (pemberian), harga dan informasi produk yang relevan.
Seleksi obat dalam formularium meliputi pemilihan distributor, penyeleksian
distributor, penambahan atau penghapusan obat baru setelah disetujui oleh PFT.
Sistem formularium adalah suatu metode yang digunakan staf medik dari
suatu rumah sakit yang bekerja melalui PFT, mengevaluasi, menilai, dan memilih dari
berbagai zat aktif obat dan produk obat yang tersedia, yang dianggap paling berguna
dalam perawatan penderita. Sistem formularium menetapkan pengadaan, penilisan,
dispensing, dan pemberian suatu obat dengan nama dagang atau obat dengan nama
generik apabila obat itu tersedia dalam dua nama tersebut. Hasil utama dari
pelaksanaan sistem formularium adalah formularium rumah sakit. Formularium
adalah himpunan obat yang diterima/disetujui oleh Panitia Farmasi dan Terapi untuk
digunakan di rumah sakit dan dapat direvisi pada setiap batas waktu yang ditentukan.
Tujuan utama dari formularium adalah menyediakan bagi staf rumah sakit,
yaitu : 1) informasi tentang produk obat yang telah disetujui oleh PFT digunakan di
rumah sakit; 2) informasi terapi dasar tiap produk yang disetujui; 3) informasi tentang
kebijakan dan prosedur rumah sakit yang menguasai penggunaan obat, dan 4)
informasi khusus tentang obat seperti pedoman menetapkan dosis dan nomogram,
singkatan yang disetujui untuk penulisan resep/order dan kandungan natrium dari
berbagai obat formularium. Sistem pembuatan formularium adalah suatu sistem
dimana prosesnya tetap berjalan terus, dalam arti kata bahwa sementara Formularium
itu digunakan oleh staf medis, di lain pihak Panitia Farmasi dan Terapi mengadakan
evaluasi dan menentukan pilihan terhadap produk obat yang ada di pasaran, dengan
lebih mempertimbangkan kesejahteraan pasien.
32
Proses penyusunan formularium ada beberapa tahap, yaitu: (1) mendata semua
obat yang ada dalam stok rumah sakit, (2) mengedarkan daftar stok obat yang tersedia
dan formulir pengajuan obat untuk masuk dalam formularium, (3) rapat anggota PFT
untuk mendiskusikan pembuatan formularium, (4) mengundang dokter SMF untuk
membahas kriteria seleksi obat dan usulan obat yang akan dimasukkan ke dalam
formularium RS, (5) menyusun formularium rumah sakit berdasarkan hasil-hasil rapat
dengan dokter spesialis.
Susunan Formularium harus terdiri atas 3 bagian pokok:
a. Bagian pertama: informasi tentang kebijakan dan prosedur Rumah Sakit tentang
obat
b. Bagian kedua: monografi obat yang diterima masuk formularium
c. Bagian ketiga: informasi khusus
Komposisi Formularium : Halaman judul, Daftar nama anggota Panitia Farmasi dan
Terapi, Daftar Isi, Informasi mengenai kebijakan dan prosedur di bidang obat, Produk
obat yang diterima untuk digunakan, dan Lampiran.
Formularium terdiri atas :
a. Daftar Formularium (Formulary list) : suatu daftar produk obat yang disetujui
digunakan dalam suatu rumah sakit tertentu, terdiri atas nama generik, kekuatan
dan bentuk;
b. Panduan Formularium (Formulary manual) : mengandung ringkasan informasi
obat, pada umumnya termasuk nama generik, indikasi penggunaan, kekuatan,
bentuk sediaan, posologi, toksikologi, jadwal pemberian, kontraindikasi, efek
samping, kualitas yang direkomendasikan di-dispensing, dan informasi penting
yang harus diberikan kepada penderita.
Kriteria pemilihan obat essensial berdasarkan DOEN : 1. Memiliki ratio manfaat –
resiko (benefit-risk-ratio) yang paling menuntungkan penderita; 2. Mutu terjamin,
termasuk stabilitas dan bioavailabilitas; 3. Praktis dalam penyimpanan dan
pengangkutan; 4. Praktis dalam penggunaan dan penyerahan yang disesuaikan dengan
tenaga, sarana dan fasilitas kesehatan; 5. Menuntungkan dalam hal kepatuhan dan
penerimaan oleh penderita; 6. Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit cost-ratio) yang
tertinggi berdasarkan biaya langsung dan tidak langsung; 7. Bila terdapat lebih dari 1
pilihan yang memiliki efek terapi yang serupa, pilihan dijatuhkan pada : obat yang
sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan data ilmiah, sifat farmakokinetik yang
33
diketahui paling menguntungkan, stabilitasnya lebih baik, mudah diperoleh dan telah
dikenal; 8. Obat jadi kombinasi tetap : hanya bermanfaat bagi penderita dalam bentuk
kombinasi tetap, harus menunjukkan khasiat dan keamanan yang lebih tinggi daripada
masing-masing komponen, perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan
perbandingan yang tepat untuk sebagian besar panderita yang memerluakan
kombinasi tersebut, kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaat-biaya (benefit-
cost-ratio), antibiotik kombinasi tetap harus dapat mencegah atau mengurangi
terjadinya resistensi dan efek merugikan lainnya.
Kriteria berikut digunakan oleh Komite Ahli WHO pada Pemilihan dan
Penggunaan Obat Esensial: obat yang dipilih berdasarkan data kemanjuran dan
keamanan yang tersedia dari studi klinis, dan penggunaan umum dalam berbagai
pengaturan medis; Setiap obat yang dipilih harus tersedia dalam bentuk di mana
kualitas yang memadai, termasuk bioavailabilitas, dapat dipastikan, stabilitas di
bawah kondisi penyimpanan; Bila dua atau lebih obat-obatan tampak serupa dalam
hal di atas, pilihan dibuat atas dasar evaluasi yang cermat yaitu dilihat dari khasiat,
keamanan, kualitas, harga dan ketersediaan; Sebagai perbandingan biaya antara obat-
obatan, biaya pengobatan total, dan tidak hanya biaya satuan obat, harus
dipertimbangkan. Apabila obat tidak sepenuhnya mirip, pemilihan harus dilakukan
atas dasar analisis biaya-efektivitas; Dalam beberapa kasus, pilihan juga dapat
dipengaruhi oleh faktor lain, seperti farmakokinetik, atau dengan pertimbangan seperti
ketersediaan fasilitas untuk penyimpanan atau produsen; Sebagian besar obat-obatan
esensial harus dirumuskan sebagai senyawa tunggal. Fixed-ratio produk kombinasi
yang dapat diterima hanya bila dosis masing-masing bahan memenuhi persyaratan
populasi tertentu; Obat ditentukan oleh nama Nonproprietary internasional (INN) atau
nama generik tanpa mengacu pada nama merek atau produsen tertentu.
Panitia Farmasi dan Terapi adalah organisasi yang mewakili hubungan
komunikasi antara para staf medis dengan staf farmasi, sehingga anggotanya terdiri
dari dokter yang mewakili spesialisasi-spesialisasi yang ada di rumah sakit dan
apoteker wakil dari Farmasi Rumah Sakit, serta tenaga kesehatan lainnya.
Tujuan PFT adalah a. Menerbitkan kebijakan-kebijakan mengenai pemilihan
obat, penggunaan obat serta evaluasinya; b. Melengkapi staf profesional di bidang
kesehatan dengan pengetahuan terbaru yang berhubungan dengan obat dan
penggunaan obat sesuai dengan kebutuhan1. Panitia Farmasi dan Terapi harus
mengadakan rapat secara teratur, sedikitnya 2 (dua) bulan sekali dan untuk rumah
34
sakit besar rapatnya diadakan sebulan sekali untuk melakukan evaluasi terhadap
formularium.
Susunan kepanitiaan Panitia Farmasi dan Terapi : a. Terdiri dari 3 (tiga)
Dokter, Apoteker dan Perawat; b. Ketua dipilih dari dokter yang ada di dalam
kepanitiaan dan jika mempunyai ahli farmakologi klinik, maka sebagai ketua adalah
Farmakologi. Sekretarisnya adalah Apoteker dari instalasi farmasi atau apoteker yang
ditunjuk.
Peran atau tugas apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi adalah : Menjadi
salah seorang anggota panitia (Wakil Ketua/Sekretaris), Menetapkan jadwal
pertemuan, Mengajukan acara yang akan dibahas dalam pertemuan, Menyiapkan dan
memberikan semua informasi yang dibutuhkan untuk pembahasan dalam pertemuan,
Mencatat semua hasil keputusan dalam pertemuan dan melaporkan pada pimpinan
rumah sakit, Menyebarluaskan keputusan yang sudah disetujui oleh pimpinan kepada
seluruh pihak yang terkait, Melaksanakan keputusan-keputusan yang sudah disepakati
dalam pertemuan, Menunjang pembuatan pedoman diagnosis dan terapi, pedoman
penggunaan antibiotika dan pedoman penggunaan obat dalam kelas terapi lain,
Membuat formularium rumah sakit berdasarkan hasil kesepakatan Panitia Farmasi
dan Terapi, Melaksanakan pendidikan dan pelatihan, Melaksanakan pengkajian dan
penggunaan obat, Melaksanakan umpan balik hasil pengkajian pengelolaan dan
penggunaan obat pada pihak terkait.
Tahapan pembuatan Sistem Formularium
1. Tahap Pertama
Pengkajian Populasi penederita dalam empat tahun terakhir berturut-turut dari
rekaman morbiditas RS TSb, lalu dibuat tabel berisi kelompok penyakit, sub
kelompk penyakit, jumlah dan persentase penderita tiap tahun.
Pengelompokan penyakit berdasarkan ICD-10 ( International Classification of
Disease and related Health Problems)
2. Tahap Kedua
Penetapan peringkat penderita terbanyak pada tiap sub kelompok. Dibuat
suatu tabel berisi kelompok penyakit, subkelompok penyakit, jumlah dan
persentasenya.
3. Tahap Ketiga
Penetapan peringkat penderita terbanyak tiap sub kelompok
4. Tahap Keempat
35
penetapan penyakit, gejala, penyebab, dan gol farmakologi obat . Dibuat tabel
berisi sub kelompok penyakit dan gol farmakologi obat dan bahan pendukung
yang diperlukan untuk tiap golongn farmakologi
5. Tahap Kelima
Penetapan nama obat yang diperlukan dalam tiap golongn farmakologi
berdasarkan AHFS.Dibuat tabel mengandung gol farmakologi, sub golongan
farmakologi, nama obat dan bahan pendukungnya.
36
No.436/MENKES/SK/VI/1993. Standar pelayanan medik ini disusun oleh Ikatan
Dokter Indonesia, sebagai salah satu upaya penertiban dan peningkatan manajemen
rumah sakit dengan memanfaatkan pendayagunaan segala sumber daya yang ada di
rumah sakit.
Standar pelayanan harus ditetapkan untuk memelihara mutu pelayanan dan
salah satunya adalah dengan melakukan pemeliharaan formularium. Penggunaan
Formularium telah terbukti menjadi aset berharga untuk memberikan informasi obat
kepada tenaga kesehatan. SPM dapat memberikan informasi tentang diagnosis dan
pengobatan sehingga sangat efektif untuk di satukan. Jadi hubungan Formularium dan
SPM saling berhubungan erat sebab dalam formularium terdapat SPM.
Obat kadaluarsa bisa dibuang dengan cara dihancurkan dulu (dipalu tablet-
kapsulnya, dikeluarkan isinya, direndam isinya dalam air), terutama kalau jumlah obat
kadaluarsa jumlahnya sedikit, atau isinya yang sudah hancur dikeluarkan dan dibuang
37
ke WC atau ditanam atau di buang ke tempat sampah. Sehingga tidak diambil
pemulung. Jangan lupa dose wadah obat jangan dibuang dalam keadaan masih utuh,
karena bisa digunakan untuk menyimpan obat di PKL (Pedagang kaki Lima). Bahan
obat tersebut akan mengalami degradasi bila sudah tercampur dengan tanah. Namun
bila jumlah obat yang kadaluarsa jumlahnya besar misalnya dari donasi negara lain
tentunya bisa menggunakan insenerator atau pembakaran bertahap yang jauh dari
lingkungan penduduk dan ada pengawasan dan pengamanan. Untuk alat kesehatan
yang berbahaya dan tajam seperti jarum, wadah ampul, botol dan obat kanker
sebaiknya pakai incinerator.
9. Pemusnahan Resep
Dilakukan selama 4 tahun sekali, setelah dimusnahkan dibuat berita acara
pemusnahan. Dilaporkan ke kantor dinas kesehatan, dan ke kepala balai besar
pemeriksaan obat dan makanan serta kepada kepala dinas kesehatan provinsi.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
280/MenKes/V/1981 tentang Tata Cara Pemusnahan :
Resep Narkotika dihitung lembaranya
Resep lainya ditimbang
Resep dihancurkan dengan mesin penghancur, dikubur, atau dibakar.
11. Stelling
stelling adalah kegiatan mencatat dan menyesuaikan data di kartu stock
dengan keadan sebenarnya . ini berfungsi untuk mengetahui persediaan obat agar
tidak terjadi kekosongan . kegiatan ini harus kita lakukan setiap mengambil obat atau
pun memasukan obat ke dalam tempatnya . dengan kegiatan ini pula apoteker dapat
mengevaluasi tingkat perputaran obat tersebut.
38
39
BAB VI
PANDUAN PENULISAN RESEP
Penulisan resep yang lengkap adalah pendekatan profesional yang bertanggung jawab
dalam menjamin penggunaan obat dan alat kesehatan sesuai indikasi, efektif, aman dan
terjangkau oleh pasien melalui penerapan pengetahuan, keahlian, ketrampilan dan
perilaku apoteker serta bekerja sama dengan pasien dan profesi kesehatan lainnya.
Tujuan :
1. Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan pelayanan farmasi di rumah sakit
2. Memberikan pelayanan farmasi yang dapat menjamin efektifitas, keamanan dan
efisiensi penggunaan obat
3. Meningkatkan kerjasama dengan pasien dan profesi kesehatan lain yang terkait
dalam pelayanan farmasi
4. Melaksanakan kebijakan obat di rumah sakit dalam rangka meningkatkan
penggunaan obat secara rasional
B. PELAYANAN RESEP
Pelayanan resep merupakan proses dari bagian kegiatan yang harus dikerjakan
dimulai dari menerima resep dari dokter hingga penyerahan obat kepada pasien. Tujuan
dari pelayanan resep adalah agar pasien mendapatkan obat yang sesuai dengan resep
dokter serta bagaimana cara memakainya. Semua resep yang telah dilayani oleh rumah
sakit harus diarsipkan dan disimpan minimal 3 (tiga) tahun.
a. Teknik/Kaidah Penulisan Resep
Preskripsi dokter sangat penting bagi seorang dokter dalam proses
peresepan obat bagi pasiennya. Dokter dalam mewujudkan terapi yang rasional,
memerlukan langkah yang sistematis dengan moto 5T (Tepat obat, Tepat dosis, Tepat
cara, dan jadwal pemberian serta tepat BSO dan untuk penderita yang tepat).
Preskripsi yang baik haruslah ditulis dalam blanko resep secara lege artis.
Resep didefinisikan sebagai permintaan tertulis dari dokter, dokter
gigi atau dokter hewan kepadaapoteker pengelola apotek (APA) untuk
40
menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai dengan peratuan
perundangan yang berlaku. Resep yang benar adalah ditulis secara jelas, dapat dibaca,
lengkap dan memenuhi peraturan perundangan serta kaidah yang berlaku.
Unsur-unsur resep:
1. Identitas Dokter
Nama, nomor surat ijin praktek, alamat praktek dan rumah dokter penulis
resep serta dapat dilengkapi dengan nomor telepon dan hari serta jam praktek.
Biasanya sudah tercetak dalam blanko resep.
2. Nama kota
41
3.Superscriptio
Ditulis dengan symbol R/ (recipe=harap diambil). Biasanya sudah dicetak d
alam blanko. Bila diperlukan lebih dari satu bentuk sediaan obat/formula resep,
diperlukan penulisan R/ lagi.
4. Inscriptio
Ini merupakan bagian inti resep, berisi nama obat, kekuatan dan jumlah obat yang
diperlukan dan ditulis dengan jelas
5. Subscriptio
Bagian ini mencantumkan bentuk sediaan obat (BSO) dan jumlahnya. Cara penulisan
(dengan singkatan bahasa latin) tergantung dari macam formula resep yang
digunakan.
Contoh:
- m.f.l.a. sol
6. Signatura
Berisi informasi tentang aturan penggunaan obat bagi pasien yaitu meliputi frekuensi,
jumlah obat dan saat diminum obat, dl .
Contoh: s.t.d.d.tab.I.u.h.p.c ( tandailah tiga kali sehari satu tablet satu jam setelah
makan)
7. Identitas pasien
Umumnya sudah tercantum dalam blanko resep (tulisan pro dan umur). N
ama pasien dicantumkan dalan pro. Sebaiknya juga mencantumkan berat badan
pasien supaya kontrol dosis oleh apotek dapat akurat.
42
TATA CARA PENULISAN RESEP
Tidak ada standar baku di dunia tentang penulisan resep. Untuk Ind
onesia, resep yang lengkap menurut SK Menkes RI No. 26/2981 (BAB III, pasal
10) memuat:
6. Tanda seru dan paraf dokter untuk resep yang mengandung obat dengan jumlah
melebihi dosis maksimum
LANGKAH PRESKRIPSI
Hal yang sangat penting untuk menjadi pertimbangan dalam memilih obat:
c. Jenis bahan obat apa (bahan baku, formula standar, bahan generik, atau bahan
paten) yang dipilih.
43
bagian dari unsur inscriptio dan merupakan bahan baku, obat standar (obat
dalam formula baku/resmi, sediaan generik) atau bahan jadi/paten
Nama obat dapat dipilih dengan nama generik (nama resmi dalam buku
Farmakope Indonesia) atau nama paten (nama yang diberikan pabrik). Pengguna jenis
obat paten perlu memperhatikan kekuatan bahan aktif dan atau komposisi obat yang
dikandung di dalamnya agar pemilihan obat yang rasional dapat tercapai dan
pelayanan obat di apotek tidak menjumpai adanya masalah.
Contoh: Apabila dalam terapi perlu diberikan bahan obat Paracetamol, maka dapat
dipilih bahan baku (ada di apotik), sediaan generik berlogo (bentuk tablet atau sirup
paracetamol atau sediaan paten) Jumlah obat yang ditulis di dalam resep tergatung
dari lama pemberian dan frekuensi pemberian. Parameter yang diperlukan untuk
menentukannya adalah lama perjalanan penyakit, tujuan terapi,
dan kondisi penderita. Jumlah obat dituliskan dengan angka Romawi untuk
jenis sediaan jadi/paten
Dibedakan menajadi 3:
- Golongan obat wajib apotek atau OWA (ct: famotidin, al opurinol, gentamycin
topical)
44
d. Golongan obat bebas (ct: Vitamin B1, Vitamin C)
Obat diberikan dengan berbagai macam cara (per oral, per rectal, parenteral,
topical, dl ). Hal yang diperlukan dalam menentukan cara pemberian obat:
- Tujuan terapi
- Kondisi pasien
- Bioaviabilitas obat
Dosis yang ideal adalah dosis yang diberikan per individual. Hal ini
mengingat bahwa respon penderita terhadap obat sangat individualistis. Penentuan
dosis perlu mempertimbangkan:
45
3. Indeks terapi obat (lebar/sempit)
4. variasi kinetik obat
5. cara/rumus perhitungan dosis anak ( pilih yang paling teliti).
Perhitungan dosis pada anak secara ideal menggunakan dasar ukuran
fisik(berat badan atau luas permukaan tubuh).
Apabila dosis anak dihitung dengan perbandingan dengan dosis
dewasa, yaitu dengan memakai rumus perhitungan dosis anak (antara lain
Young, Clark), maka perlu diperhatikan tentang ketelitian dari rumus yang
dipakai.
JADWAL PEMBERIAN
Jadwal pemberian ini meliputi frekuensi, satuan dosis per kali dan saat/
waktu pemberian obat. Dalam resep tertuang dalam unsur signatura.
FREKUENSI
SAAT/WAKTU PEMBERIAN
Hal ini dibutuhkan bagi obat tertentu supaya dalam pemberiannya memiliki efek
optimal, aman dan mudah di kuti pasien.
46
LAMA PEMBERIAN
- Biaya/harga terjangkau
Cara atau aturan harus tertulis lengkap dalam resep, namun dokt
er juga masih harus menjelaskan kepada pasien. Demikian pula hal-
hal atau peringatan yang perlu disampaikan
47
tentang obat dan pengobatan, misal apakah obat harus diminum sampai
habis/tidak, efek samping, dl . Hal ini dilakukan untuk ketaatan pasien dan
mencapai rasionalitas peresepan
Evaluasi dalam penggunaan obat antara lain sebagai berikut (WHO, 2003) :
1. Jumlah rata – rata obat tiap resep
Tujuannya untuk mengukur derajat polifarmasi. Biasanya kombinasi
obat dihitung sebagai 1 obat. Perhitungan dilakukan dengan membagi jumlah
total produk obat yang diresepkan dengan jumlah resep yang disurvei.
2. Persentase obat generik yang diresepkan
Tujuannya untuk mengukur kecenderungan peresepan obat generik
3. Persentase antibiotik yang diresepkan
Digunakan untuk mengukur penggunaan antibiotik secara berlebihan
karena penggunaan antibiotik secara berlebihan merupakan salah satu bentuk
ketidakrasionalan peresepan.
4. Persentase injeksi yang diresepkan
Tujuannya untuk mengukur penggunaan injeksi yang berlebihan.
5. Persentase obat yang diresepkan dari formularium
Tujuannya untuk mengukur derajat kesesuaian praktek dengan
kebijakan obat nasional yang diindikasikan dengan peresepan dari
formularium. Tiap rumah sakit harus mempunyai formularium sehingga dapat
dijadikan acuan dalam penulisan resep serta dibutuhkan suatu prosedur untuk
menentukan apakah suatu merk produk tertentu ekuivalen dengan bentuk
generik yang ada pada daftar obat atau formularium.
1. Ukuran blanko resep (ukuran lebar 10-12 cm, panjang 15-18 cm)
2. 1 (satu ) lembar resep maksimal 6 item obat
3. Penulisan nama obat (Bagian Inscriptio):
a. Dimulai dengan huruf besar
b. Ditulis secara lengkap atau dengan singkatan resmi (dalam farmakope
Indonesia atau nomenklatur internasional) misal: ac. Salic; acetosal
c. Tidak ditulis dengan nama kimia (missal: kali chloride dengan KCl) atau
singkatan lain dengan huruf Kapital (missal clorpromazin dengan CPZ)
48
4. Penulisan jumlah obat
Satuan berat: mg (miligram), g, G (gram)
Sataun volume: ml (mililiter), l (liter)
Satuan unit: IU/IU (Internasional Unit)
5. Penulisan jumlah obat dengan satuan biji menggunakan angka
Romawi. Misal:
- Tab Novalgin no. XII
- Tab Stesolid 5 mg no. X (decem)
- m.fl.a.pulv. dt.d.no. X
6. Penulisan alat penakar:
Dalam singkatan bahasa latin dikenal:
C. = sendok makan (volume 15 ml)
Cth. = sendok teh (volume 5 ml)
Gtt. = guttae (1 tetes = 0,05 ml)
Catatan:
Hindari penggunaan sendok teh dan senok makan rumah tangga
karena volumenya tidak selalu 15 ml untuk sendok makan dan 5 ml
untuk sendok teh. Gunakan sendok plastik (5 ml) atau alat lain ( volume 5,
10, 15 ml) yang disertakan dalam sediaaan cair paten.
7. Arti prosentase (%)
0,5% (b/b) → 0,5 gram dalam 100 gram sediaan
0,5% (b/v) → 0,5 gram dalam 100 ml sediaan
0,5% (v/v) → 0,5 ml dalam 100 ml sediaan
49
10. Penulisan bentuk sediaan obat (merupakan bagian subscriptio) dituliskan
tidak hanya untuk formula magistralis, tetapi juga untuk formula officialis
dan spesialistis
Misal: m.f.l.a.pulv. No. X
Tab Antangin mg 250 X
Tab Novalgin mg 250 X
11. Penulisan jadwal dosis/aturan pemakaian (bagian signatura)
a. Harus ditulis dengan benar
Misal: S.t.d.d. pulv. I.p.c atau s.p.r.n.t.d.d.tab.I
b. Untuk pemakaian yang rumit seperti pemakaian ”tapering up/down” gunakan
tanda s.u.c (usus cognitus = pemakaian sudah tahu). Penjelasan kepada pasien
ditulis pada kertas dengan bahasa yang dipahami.
12. Setiap selesai menuliskan resep diberi tanda penutup berupa garis penutup
(untuk 1 R/) atau tanda pemisah di antara R/ (untuk > 2R/) dan paraf/tanda
tangan pada setiap R/.
13. Resep ditulis sekali jadi, tidak boleh ragu-ragu, hindari coretan, hapusan dan
tindasan.
14. Penulisan tanda Iter (Itteretur/ harap diulang) dan N.I. (Ne Iterretur/tidak boleh
diulang) Resep yang memerlukan pengulanagan dapat diberi tanda: Iter n X di
sebelah kiri atas dari resep untuk seluruh resep yang diulang. Bila tidak semua
resep, maka ditulis di bawah setiap resep yang diulang. Resep yang tidak
boleh diulang, dapat diberi tanda: NI di sebelah kiri atas dari resep untuk
seluruh resep yang tidak boleh diulang. Bila tidak semua resep, maka ditulis
di bawah setiap resep yang diulang.
15. Penulisan tanda Cito atau PIM
Apabila diperlukan agar resep segera dilayani karena obat sangat dipe
rlukan bagi penderita, maka resep dapat diberi tanda Cito atau PIM dan harus
ditulis di sebelah kanan atas resep.
D. PENGKAJIAN RESEP
50
Persyaratan administrasi meliputi :
• Nama, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien
• Nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter
• Tanggal resep
• Ruangan/unit asal resep
52
F. DISPENSING
53
Mencampur sediaan intravena kedalam cairan infuse
Melarutkan sediaan intravena dalam bentuk serbuk dengan pelarut yang sesuai
Mengemas menjadi sediaan siap pakai
Faktor yang perlu diperhatikan :
• Ruangan khusus
• Lemari pencampuran Biological Safety Cabinet
• HEPA Filter
3. Dispensing Sediaan Farmasi Berbahaya
Merupakan penanganan obat kanker secara aseptis dalam kemasan siap
pakai sesuai kebutuhan pasien oleh tenaga farmasi yang terlatih dengan
pengendalian pada keamanan terhadap lingkungan, petugas maupun sediaan
obatnya dari efek toksik dan kontaminasi, dengan menggunakan alat pelindung diri,
mengamankan pada saat pencampuran, distribusi, maupun proses pemberian kepada
pasien sampai pembuangan limbahnya.
Secara operasional dalam mempersiapkan dan melakukan harus sesuai prosedur
yang ditetapkan dengan alat pelindung diri yang memadai, sehingga kecelakaan
terkendali.
Kegiatan :
Melakukan perhitungan dosis secara akurat
Melarutkan sediaan obat kanker dengan pelarut yang sesuai
Mencampur sediaan obat kanker sesuai dengan protokol pengobatan
Mengemas dalam kemasan tertentu
Membuang limbah sesuai prosedur yang berlaku
Faktor yang perlu diperhatikan :
• Cara pemberian obat kanker
• Ruangan khusus yang dirancang dengan kondisi yang sesuai
• Lemari pencampuran Biological Safety Cabinet
• Hepa Filter
• Pakaian khusus
• Sumber Daya Manusia yang terlatih
54
G. EVALUASI STOK OBAT DAN BAKHP (STOCK OFF NAME)
Standar akreditasi 2012 bab MPO / JCI chapter MMU memberi perhatian khusus pada
proses penggunaan obat. Perhatian khusus itu berupa:
55
1) Review / tinjauan sebelum penyiapan obat (MMU.5.1).
2) Verifikasi sebelum pemberian obat (MMU.6.1).
Kedua hal itu sangat penting untuk menjamin obat sampai ke pasien dengan benar.
1) Kondisi darurat,
2) Dokter pemesan hadir pada saat pemesanan, pemberian, dan pemantauan pasien;
atau
3) Jika obat merupakan bagian dari prosedur (misal untuk radiologi diagnostik dan
intervensi).
56
Contoh check list dapat dilihat di bawah ini:
57
Menentukan frekuensi dan insidensi Efek Samping Obat yang sudah dikenal sekali,
yang baru saja ditemukan.
Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi
timbulnya Efek Samping Obat atau mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya
Efek Samping Obat.
Kegiatan :
Menganalisa laporan Efek Samping Obat
Mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami
Efek Samping Obat
Mengisi formulir Efek Samping Obat
Melaporkan ke Panitia Efek Samping Obat Nasional
Faktor yang perlu diperhatikan :
• Kerjasama dengan Panitia Farmasi dan Terapi dan ruang rawat
• Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat
58
Menyediakan informasi bagi Komite/Panitia Farmasi dan Terapi sehubungan
dengan penyusunan Formularium Rumah Sakit.
Bersama dengan PKMRS melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan
dan rawat inap.
Melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga farmasi dan tenaga kesehatan
lainnya.
Mengkoordinasi penelitian tentang obat dan kegiatan pelayanan kefarmasian.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan :
Sumber informasi obat
Tempat
Tenaga
Perlengkapan
59
Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tertulis, langsung atau tidak langsung
dengan jelas dan mudah di mengerti, tidak bias, etis dan bijaksana melalui
penelusuran literatur secara sistematis untuk memberi informasi yang dibutuhkan.
Mendokumentasikan setiap kegiatan pelayanan informasi obat secara sistematis.
L. KONSELING
60
• Ruangan khusus
• Kartu pasien/catatan konseling
Melakukan pemeriksaan kadar beberapa obat tertentu atas permintaan dari dokter
yang merawat karena indeks terapi yang sempit.
Tujuan :
Mengetahui kadar obat dalam darah
Memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat
Kegiatan :
Memisahkan serum dan plasma darah
Memeriksa kadar obat yang terdapat dalam plasma dengan menggunakan alat TDM
Membuat rekomendasi kepada dokter berdasarkan hasil pemeriksaan
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan :
Alat Therapeutic Drug Monitoring
Reagen sesuai obat yang diperiksa
N. RONDE/VISITE
Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap bersama tim dokter dan
tenaga kesehatan lainnya
Tujuan :
Pemilihan obat
Menerapkan secara langsung pengetahuan farmakologi terapetik
Menilai kemajuan pasien
Bekerjasama dengan tenaga kesehatan lain.
Kegiatan :
Apoteker harus memperkenalkan diri dan menerangkan tujuan dari kunjungan
tersebut kepada pasien.
Untuk pasien baru dirawat, Apoteker harus menanyakan terapi obat terdahulu dan
memperkirakan masalah yang mungkin terjadi.
Apoteker memberikan keterangan pada formulir resep untuk menjamin penggunaan
obat yang benar.
61
Melakukan pengkajian terhadap catatan perawat akan berguna untuk pemberian
obat.
Setelah kunjungan membuat catatan mengenai permasalahan dan penyelesaian
masalah dalam satu buku dan buku ini digunakan oleh setiap Apoteker yang
berkunjung ke ruang pasien untuk menghindari pengulangan kunjungan.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan :
Pengetahuan cara berkomunikasi
Memahami teknik edukasi
Mencatat perkembangan pasien
P. INTERAKSI OBAT
Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat lain
(interaksi obat-obat) atau oleh makanan, obat tradisional dan senyawa kimia lain.
Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat digunakan bersama-
sama.
62
Pada prinsipnya interaksi obat dapat menyebabkan dua hal penting. Yang
pertama, interaksi obat dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan khasiat obat.
Yang kedua, interaksi obat dapat menyebabkan gangguan atau masalah kesehatan yang
serius, karena meningkatnya efek samping dari obat- obat tertentu. Resiko kesehatan
dari interaksi obat ini sangat bervariasi, bisa hanya sedikit menurunkan khasiat obat
namun bisa pula fatal.
Interaksi secara kimia / farmasetis terjadi apabila secara fisik atau kimia
suatu obat inkompatibel dengan obat lainnya. Pencampuran obat yang
inkompatibel akan mengakibatkan inaktivasi obat. Interaksi ini sering terjadi
pada cairan infus yang mencampurkan berbagai macam obat .
Interaksi secara farmakokinetik terjadi apabila suatu obat mempengaruhi
absorpsi, distribusi, biotransformasi / metabolisme, atau ekskresi obat lain.
Secara fisiologi interaksi terjadi apabila suatu obat merubah aktivitas obat
lain pada lokasi yang terpisah dari tempat aksinya.
Sedangkan interaksi secara farmakodinamik terjadi apabila suatu obat
mempengaruhi aktivitas obat lain pada atau dekat sisi reseptornya.
63
Interaksi antar obat dapat berakibat menguntungkan atau merugikan. Interaksi
yang menguntungkan, misalnya (1) Penicillin dengan probenesit: probenesit
menghambat sekresi penicillin di tubuli ginjal sehingga meningkatkan kadar penicillin
dalam plasma dan dengan demikian meningkatkan efektifitas dalam terapi gonore; (2)
Kombinasi obat anti hipertensi: meningkatkan efektifitas dan mengurangi efek
samping: (3) Kombinasi obat anti kanker: juga meningkatkan efektifitas dan
mengurangi efek samping (4) kombinasi obat anti tuberculosis: memperlambat
timbulnya resistansi kuman terhadap obat; (5) antagonisme efek toksik obat oleh
antidotnya masing-masing.
Insidens interaksi obat yang penting dalam klinik sukar diperkirakan karena :
64
5. Bobot Badan
Perbandingan dosis obat – bobot badan menentukan konsentrasi obat yang
mencapai sasaran.
6. Kehamilan
Pengosongan lambung↑, metabolisme ↑, ekskresi/filtrasi glomerolus ↑.
7. Obat Dalam Asi
Ampisilin, eritromisin, kanamisin, linkomisin, kloramfenikol, rifampisin,
streptomisin sulfat, tetrasiklin, dll.
8. Variasi Diurenal
Hormon kortikosteroid dari korteks adrenal pada pagi hari ↑, mlm hari ↓
9. Toleransi
MK : Induksi enzim
10. Suhu Tubuh
Distribusi ekskresi, ikatan, aktivitas enzim
11. Kondisi Patologik
Gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal.
12. Genetik
Defisiensi enzim
13. Waktu Pemberian
Sesudah makan/ sebelum makan
Pada kenyataanya banyak obat yang berinteraksi obat terjadi tidak hanya
dengan satu mekanisme tetapi melibatkan dua atau lebih mekanisme. Akan tetapi
secara umum mekanisme interaksi obat dalam tubuh dapat dijelaskan atas dua
mekanisme utama, yaitu interaksi farmakokinetik dan interaksi farmakodinamik.
Pemberian suatu obat (A) dapat mempengaruhi aksi obat lainnya (B) dengan
mekanisme berikut:
65
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang memiliki
efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama. Interaksi ini
dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat-obat yang
bekerja pada sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diprediksi
dari pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi
Salah satu faktor yang dapat mengubah respon terhadap obat adalah pemberian
bersamaan dengan obat-obat lain. Ada beberapa mekanisme dimana obat dapat
66
berinteraksi, tetapi kebanyakan dapat dikategorikan secara farmakokinetik
(absorpsi, distribusi, metabolisme, eksresi), farmakodinamik, atau toksisitas
kombinasi.
a) Sumasi (adiktif).
b) Sinergisme, contoh : Sulfonamid mencegah bakteri untuk mensintesa
dihidrofolat, sedangkan trimetoprim menghambat reduksi dihidrofolat menjadi
tetrahidrofolat. Kedua obat ini bila diberikan bersama-sama akan memiliki efek
sinergistik yang kuat sebagai obat anti bakteri.
c) Antagonisme, contoh : Antagonis reseptor beta (beta bloker) mengurangi
efektifitas obat-obat bronkhodilator seperti salbutamol yang merupakan agonis
beta reseptor.
d) Potensiasi, contoh :
1) Banyak diuretika yang menurunkan kadar kalium plasma, dan yang akan
memperkuat efek glikosid jantung yang mempermudah timbulnya
toksisitas glikosid.
2) Penghambat monoamin oksidase meningkatkan jumlah noradrenalin di
ujung syaraf adrenergik dan karena itu memperkuat efek obat-obat seperti
efedrin dan tiramin yang bekerja dengan cara melepaskan noradrenalin.
67
4. PENGHAMBAT ENZIM
Contoh: amiodaron, diltiazem, eritromisin, ketokonazol, metronidazol, simetidin,
siprofloksasin, verapamil
68
W. PERAN APOTEKER DAN ASISTEN APOTEKER DALAM MENCEGAH
INTERAKSI OBAT
Satu prinsip yang harus menjadi perhatian utama saat memberikan informasi
kepada pasien mengenai penggunaan obat adalah pastikan pasien untuk mengikuti
petunjuk yang diberikan agar dapat memperoleh manfaat yang maksimum dengan
resiko minimum dari obat yang diminum. Adapun informasi yang perlu disampaikan
kepada pasien mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum mengkonsumsi obat,
terkait dengan kemungkinan adanya interaksi dengan makanan atau minuman adalah :
Pasien harus mentaati petunjuk yang terdapat pada label atau etiket yang
melengkapi.
Kapan obat seharusnya dikonsumsi, apakah sebelum atau sesudah makan, atau
bersamaan dengan makanan. Atau pada saat perut kosong.
Boleh tidaknya obat dikonsumsi bersamaan dengan susu, kopi, teh, atau minuman
lain seperti minuman ringan atau alcohol
Efek yang mungkin terjadi jika suatu obat dikonsumsi dengan makanan, misalnya
bisa menurunkan atau meningkatkan absorbsi obat, atau bisa mengiritasi lambung
jika diberikan sebelum makan.
69
Luas yang cukup
Dipisahkan antara fasilitas penyelenggaraan manajemen, pelayanan langsung pada
pasien, dispensing, serta pembuangan limbah.
Dipisahkan antara jalur steril, bersih, daerah abu-abu, serta daerah bebas
kontaminasi.
Adanya pengaturan suhu.
Adanya pengaturan sinar.
Adanya pengaturan kelembaban.
Hambatan dari aspek gedung dan ruangan dapat diatasi dengan cara:
1) Membuat satelit gudang farmasi yang ditempatkan di setiap bangsal perawatan.
Gudang utama berfungsi sebagai Safety Stock, sedangkan satelit digunakan untuk
mempermudah permintaan dan pengiriman obat antara gudang utama dan bangsal
perawatan.
2) Menerapkan model Computerize Inventory, yaitu lemari inventory/logistik yang
dilengkapi dengan sistem komputerisasi, menggunakan password yang dapat
diakses tiap satelit di bangsal untuk mempermudah permintaan obat ke gudang
utama.
Persyaratan ruang penyimpanan :
1) Accesibility, adalah ruang penyimpanan harus mudah dan cepat diakses.
2) Size, ruang penyimpanan harus cukup untuk menampung barang yang ada.
3) Utilities, ruang penyimpanan memiliki sumber listrik, air, AC, dan sebagainya.
4) Communication, ruang penyimpanan harus memiliki alat komunikasi misalnya
telepon.
5) Drainage, ruang penyimpanan harus berada di lingkungan yang baik dengan
sistem pengairan yang baik pula.
6) Security, ruang penyimpanan harus aman dari resiko pencurian dan
penyalahgunaan serta hewan pengganggu.
Radiasi dari bahan radioaktif dapat menimbulkan efek somatik dan efek genetik,
efek somatik dapat akut atau kronis. Efek somatik akut bila terkena radiasi 200[Rad]
sampai 5000[Rad] yang dapat menyebabkan sindroma system saraf sentral, sindroma
70
gas trointestinal dan sindroma kelainan darah, sedangkan efek somatik kronis terjadi
pada dosis yang rendah. Efek genetik mempengaruhi alat reproduksi yang akibatnya
diturunkan pada keturunan. Bahan ini meliputi isotop radioaktif dan semua
persenyawaan yang mengandung radioaktif. Pemakai zat radioaktif dan sumber radiasi
harus memiliki instalasi fasilitas atom, tenaga yang terlatih untuk bekerja dengan zat
radioaktif, peralatan teknis yang diperlukan dan mendapat izin dari
BATAN. Penyimpanannya harus ditempat yang memiliki peralatan cukup untuk
memproteksi radiasi, tidak dicampur dengan bahan lain yang dapat membahayakan,
packing/kemasan dari bahan radioaktif harus mengikuti ketentuan khusus yang telah
ditetapkan dan keutuhan kemasan harus dipelihara. Peraturan perundangan mengenai
bahan radioaktif diantaranya :
Pemasangan label dan tanda dengan memakai lambang atau tulisan peringatan
pada wadah atau tempat penyimpanan untuk bahan berbahaya adalah tindakan
pencegahan yang esensial. Tenaga kerja yang bekerja pada proses produksi atau
pengangkutan biasanya belum mengetahui sifat bahaya dari bahan kimia dalam
wadah/packingnya, demikian pula para konsumen dari barang tersebut, dalam hal
inilah pemberian label dan tanda menjadi sangat penting.
Peringatan tentang bahaya dengan label dan tanda merupakan syarat penting
dalam perlindungan keselamatan kerja, namun hal tersebut tidak dapat dianggap
sebagai perlindungan yang sudah lengkap, usaha perlindungan keselamatan lainnya
masih tetap diperlukan. Lambang yang umum dipakai untuk bahan kimia yang
memiliki sifat berbahaya adalah sebagai berikut:
71
.Gambar 2 Tanda bahaya dari bahan kimia
Keterangan :
72
Tujuan : Untuk mengembalikan fungsi sirkulasi dan mengatasi keadaan gawat darurat
lainnya dengan menggunakan obat-obatan
Perhatian !
Jenis-jenis obat :
Epinephrin
Indikasi : henti jantung (VF, VT tanpa nadi, asistole, PEA) , bradikardi, reaksi atau
syok anfilaktik, hipotensi.
Dosis 1 mg iv bolus dapat diulang setiap 3–5 menit, dapat diberikan intratrakeal
atau transtrakeal dengan dosis 2–2,5 kali dosis intra vena. Untuk reaksi reaksi atau
syok anafilaktik dengan dosis 0,3-0,5 mg sc dapat diulang setiap 15-20 menit.
Untuk terapi bradikardi atau hipotensi dapat diberikan epinephrine perinfus dengan
dosis 1mg (1 mg = 1 : 1000) dilarutka dalam 500 cc NaCl 0,9 %, dosis dewasa 1
μg/mnt dititrasi sampai menimbulkan reaksi hemodinamik, dosis dapat mencapai 2-
10 μg/mnt
Pemberian dimaksud untuk merangsang reseptor α adrenergic dan meningkatkan
aliran darah ke otak dan jantung
Pemberian ini dimaksud untuk mengatasi gangguan irama antara lain VF, VT,
Ventrikel Ekstra Sistol yang multipel, multifokal, konsekutif/salvo dan R on T
Dosis 1 – 1,5 mg/kg BB bolus i.v dapat diulang dalam 3 – 5 menit sampai dosis
total 3 mg/kg BB dalam 1 jam pertama kemudian dosis drip 2-4 mg/menit sampai
24 jam
dapat diberikan intratrakeal atau transtrakeal dengan dosis 2–2,5 kali dosis intra
vena
73
Kontra indikasi : alergi, AV blok derajat 2 dan 3, sinus arrest dan irama
idioventrikuler
Sulfas Atropin
Dopamin
Untuk merangsang efek alfa dan beta adrenergic agar kontraktilitas miokard, curah
jantung (cardiac output) dan tekanan darah meningkat
Dosis 2-10 μg/kgBB/menit dalam drip infuse. Atau untuk memudahkan 2 ampul
dopamine dimasukkan ke 500 cc D5% drip 30 tetes mikro/menit untuk orang dewasa
Magnesium Sulfat
Morfin
Sebagai analgetik kuat, dapat digunakan untuk edema paru setelah cardiac arrest.
Dosis 2-5 mg dapat diulang 5 – 30 menit
74
Kortikosteroid
Digunakan untuk perbaikan paru yang disebabkan gangguan inhalasi dan untuk
mengurangi edema cerebri
Natrium bikarbonat
Diberikan untuk dugaan hiperkalemia (kelas I), setelah sirkulasi spontan yang timbul
pada henti jantung lama (kelas II B), asidosis metabolik karena hipoksia (kelas III)
dan overdosis antidepresi trisiklik.
Dosis 1 meq/kg BB bolus dapat diulang dosis setengahnya.
Jangan diberikan rutin pada pasien henti jantung.
Digunakan untuk perbaikan kontraksi otot jantung, stabilisasi membran sel otot
jantung terhadap depolarisasi. Juga digunakan untuk mencegah transfusi masif atau
efek transfusi akibat darah donor yang disimpan lama
Diberikan secara pelahan-lahan IV selama 10-20 menit atau dengan menggunakan
drip
Dosis 4-8 mg/Kg BB untuk kalsium glukonat dan 2-4 mg/Kg BB untuk Kalsium
klorida. Dalam tranfusi, setiap 4 kantong darah yang masuk diberikan 1 ampul
Kalsium gluconat
Furosemide
Diazepam
75
DIGOXIN
Lama kerja: Half life: 34-51 jam dan lebih lama pada gagal ginjal
Efek samping: Pada pasien dengan insufisiensi renal atau hipokalemia biasanya lebih
mudah terjadi keracunan digoxin dengan gejala: mual, muntah, aritmia
(supraventikuler, bradikardia, dan block) Ginecomastia (sangat jarang)
Perhatian: pemberian digoxin intravena harus pelan atau perinfus dan hanya pada
situasi darurat. Dosis harus diturunkan bila pasien telah mendapat obat glikoside
jantung yang lain dalam waktu 72 jam sebelumnya
NALOXONE
76
NIFEDIPINE
Epinephrin Dosis 0,01/Kg BB dapat diulang 3-5 menit dengan dosis 0,01
mg/KgBB iv (1:1000)
Atropin Dosis 0,02 mg/KgBB iv (minimal 0,1 mg) dapat diulangi dengan
dosis 2 kali maksimal 1mg
Lidokain Dosis 1 mg/KgBB iv
Natrium Dosis 1 meq/KgBB iv
Bikarbonat
Kalsium Klorida Dosis 20-25 mg/KgBB iv pelan-pelan
Kalsium Dosis 60–100 mg/KgBB iv pelan-pelan
Glukonat
Diazepam Dosis 0,3-0,5 mg/Kg BB iv bolus
Furosemide Dosis 0,5-1 mg/KgBB iv bolus
77
AA. PENANGANAN OBAT YANG DIBAWA PASIEN DARI RUMAH KERUMAH
SAKIT
Obat-obat yang bisa dibawa di rumah kerumah sakit adalah obat-obatan yang
bisa didapat dari pemeriksaan pada praktek dokter ataupun Puskesmas. Obat-obat biasa
dibawa pasien pada saat berobat jalan atau dirawat dirumah sakit. Petugas melakukan
wawancara kepada pasien/keluarga pasien tentang riwayat pengobatan sebelum masuk
rumah sakit dan meminta sampel obat yang dibawa pasien. Petugas mengkonsultasikan
dengan dokter tentang pertimbangan penggunaan obat yang dibawa tersebut. Apakah
obat tetap dipakai atau obat dihentikan.
78
BAB VII
KESELAMATAN PASIEN
80
yang lebih besar lagi yang disebut Megasistem. Seorang Apoteker yang berperan di dalam
mikrosistem (apotek, puskesmas, instalasi farmasi rumah sakit, dan sarana pelayanan farmasi
lain) dalam membangun keselamatan pasien harus mampu mengelola dengan baik elemen-
elemen dalam mikrosistem tersebut, yaitu sistem pelayanan, sumber daya, sistem inventori,
keuangan dan teknologi informasi.
Dalam membangun keselamatan pasien banyak istilah-istilah yang perlu difahami dan
disepakati bersama. Istilah-istilah tersebut diantaranya adalah:
- Kejadian Tidak Diharapkan/KTD (Adverse Event)
- Kejadian Nyaris Cedera/KNC (Near miss)
- Kejadan Sentinel
- Adverse Drug Event
- Adverse Drug Reaction
- Medication Error
- Efek samping obat
Menurut Nebeker JR dkk. dalam tulisannya Clarifying Adverse Drug Events: A Clinician’s
Guide to terminology, Documentation, and Reporting, serta dari Glossary AHRQ (Agency for
Healthcare Research and Quality) dapat disimpulkan definisi beberapa istilah yang
berhubungan dengan cedera akibat obat sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 1.
TABEL 1
RINGKASAN DEFINISI YANG BERHUBUNGAN DENGAN CEDERA AKIBAT
OBAT
Istilah Definisi Contoh
Terjadi cedera Kejadian cedera pada pasien Iritasi pada kulit karena
• Kejadian yang selama proses penggunaan perban.
tidak diharapkan terapi/penatalaksanaan Jatuh dari tempat tidur.
(Adverse Event) medis.
Penatalaksanaan medis
mencakup seluruh aspek
pelayanan, termasuk
81
diagnosa, terapi, kegagalan
diagnosa/terapi, sistem,
peralatan untuk pelayanan.
Adverse event dapat dicegah
atau tidak dapat dicegah.
Istilah Definisi Contoh
• Reaksi obat yang Kejadian cedera pada pasien Steven-Johnson Syndrom
tidak diharapkan selama proses terapi akibat : Sulfa, Obat epilepsi dll
(Adverse Drug penggunaan obat.
Reaction)
• Kejadian tentang Respons yang tidak • Shok anafilaksis
obat yang tidak diharapkan pada penggunaan
diharapkan terhadap terapi obat dan antbiotik golongan
(Adverse Drug mengganggu atau penisilin
Event) menimbulkan cedera pada • Mengantuk pada
penggunaan obat penggunaan CTM
dosis normal.
Reaksi Obat Yang Tidak
Diharapkan (ROTD) ada
yang
berkaitan dengan efek
farmakologi/mekanisme
kerja (efek samping) ada
yang tidak berkaitan dengan
efek farmakologi (reaksi
hipersensitivitas).
• Efek obat yang Respons yang tidak Shok anafilaksis pada
tidak diharapkan (Adverse diharapkan terhadap terapi penggunaan antbiotik
drug obat dan mengganggu atau golongan penisilin.
effect) menimbulkan cedera pada Mengantuk pada penggunaan
penggunaan obat dosis lazim CTM
Sama dengan ROTD tapi
dilihat dari sudut pandang
82
obat. ROTD dilihat dari
sudut pandang pasien.
Cedera dapat terjadi
atau tidak terjadi
• Medication Error Kejadian yang dapat dicegah Peresepan obat yang
akibat penggunaan obat, tidak rasional.
yang menyebabkan cedera. Kesalahan perhitungan
dosis pada peracikan.
Ketidakpatuhan pasien
sehingga terjadi dosis
berlebih.
Istilah Definisi Contoh
• Efek Samping Efek yang dapat diprediksi, (sebaiknya istilah ini
tergantung pada dosis, yang dihindarkan)
bukan efek tujuan obat. Efek
samping dapat dikehendaki,
tidak dikehendaki, atau tidak
ada kaitannya.
Apoteker harus mampu mengenali istilah-istilah di atas beserta contohnya sehingga
dapat membedakan dan mengidentifikasi kejadian-kejadian yang berkaitan dengan cedera
akibat penggunaan obat dalam melaksanakan program Keselamatan pasien.
Berdasarkan laporan IOM (Institute of Medicine) tentang adverse event yang dialami
pasien, disebutkan bahwa insiden berhubungan dengan pengobatan menempati urutan utama.
Disimak dari aspek biaya, kejadian 459 adverse drug event dari 14732 bernilai sebesar $348
juta, senilai $159 juta yang dapat dicegah (265 dari 459 kejadian). Sebagian besar tidak
menimbulkan cedera namun tetap menimbulkan konsekuensi biaya.
Atas kejadian tersebut, IOM merekomendasikan untuk :
1. Menetapkan suatu fokus nasional terhadap isu tersebut
2. Mengembangkan suatu sistem pelaporan kesalahan secara nasional
3. Meningkatkan standar organisasi
4. Menciptakan sistem keselamatan dalam organisasi kesehatan.
Penelitian terbaru (Allin Hospital) menunjukkan 2% dari pasien masuk rumah sakit
mengalami adverse drug event yang berdampak meningkatnya Length Of Stay (LOS) 4.6 hari
83
dan meningkatkan biaya kesehatan $ 4.7000 dari setiap pasien yang masuk rumah sakit.
Temuan ini merubah tujuan pelayanan farmasi rumah sakit tersebut : a fail-safe system that is
free of errors. Studi yang dilakukan Bagian Farmakologi Universitas Gajah Mada (UGM)
antara 2001-2003 menunjukkan bahwa medication error terjadi pada 97% pasien Intensive
Care Unit (ICU) antara lain dalam bentuk dosis berlebihan atau kurang, frekuensi pemberian
keliru dan cara pemberian yang tidak tepat. Lingkup perpindahan/perjalanan obat (meliputi
obat, alat kesehatan, obat untuk diagnostik, gas medis, anastesi) : obat dibawa pasien di
komunitas, di rumah sakit, pindah antar ruang, antar rumah sakit, rujukan, pulang, apotek,
praktek dokter. Multidisiplin problem : dipetakan dalam proses penggunaan obat :
pasien/care giver, dokter, apoteker, perawat, tenaga asisten apoteker, mahasiswa, teknik,
administrasi, pabrik obat. Kejadian medication error dimungkinkan tidak mudah untuk
dikenali, diperlukan kompetensi dan pengalaman, kerjasama-tahap proses.
Tujuan utama farmakoterapi adalah mencapai kepastian keluaran klinik sehingga
meningkatkan kualitas hidup pasien dan meminimalkan risiko baik yang tampak maupun
yang potensial meliputi obat (bebas maupun dengan resep), alat kesehatan pendukung proses
pengobatan (drug administration devices). Timbulnya kejadian yang tidak sesuai dengan
tujuan (incidence/hazard) dikatakan sebagai drug misadventuring, terdiri dari medication
errors dan adverse drug reaction.
Ada beberapa pengelompokan medication error sesuai dengan dampak dan proses
(tabel 2 dan 3). Konsistensi pengelompokan ini penting sebagai dasar analisa dan intervensi
yang tepat.
Tabel 2 . Indeks medication errors untuk kategorisasi errors (berdasarkan dampak)
Errors Kategori Hasil
No error A Kejadian atau yang
berpotensi untuk terjadinya
kesalahan
84
membahayakan pasien
85
Tabel 3 . Jenis-jenis medication errors (berdasarkan alur proses pengobatan)
Tipe Medication Errors Keterangan
Wrong dose form Obat yang diserahkan dalam dosis dan cara
pemberian
yang tidak sesuai dengan yang diperintahkan
di dalam
resep
86
bersangkutan
JCAHO (2007) menetapkan tentang keamanan terhadap titik kritis dalam proses
manajemen obat : sistem seleksi (selection), sistem penyimpanan sampai distribusi (storage,
distribution), sistem permintaan obat, interpretasi dan verifikasi (ordering and transcribing),
sistem penyiapan, labelisasi/etiket, peracikan, dokumentasi, penyerahan ke pasien disertai
kecukupan informasi (preparing dan dispensing), teknik penggunaan obat pasien
(administration), pemantauan efektifitas penggunaan (monitoring). Didalamnya termasuk
system kerjasama dengan tenaga kesehatan terkait baik kompetensi maupun kewenangannya,
sistem pelaporan masalah obat dengan upaya perbaikan, informasi obat yang selalu tersedia,
keberadaan apoteker dalam pelayanan, adanya prosedur khusus obat dan alat yang
memerlukan perhatian khusus karena dampak yang membahayakan.
87
WHO dalam developing pharmacy practice-a focus on patient care membedakan
tentang praktek farmasi (berhubungan dengan pasien langsung) dan pelayanan farmasi
(berhubungan dengan kualitas obat dan sistem proses pelayanan farmasi)
- Praktek pekerjaan kefarmasian meliputi obat-obatan, pengadaan produk farmasi dan
pelayanan kefarmasian yang diberikan oleh apoteker dalam sistem pelayanan kesehatan.
- Pelayanan kefarmasian meliputi semua pelayanan yang diberikan oleh tenaga farmasi dalam
mendukung pelayanan kefarmasian. Di luar suplai obat-obatan, jasa kefarmasian meliputi
informasi, pendidikan dan komunikasi untuk mempromosikan kesehatan masyarakat,
pemberian informasi obat dan konseling, pendidikan dan pelatihan staf.
- Pekerjaan kefarmasian meliputi penyediaan obat dan pelayanan lain untuk membantu
masyarakat dalam mendapatkan manfaat yang terbaik.
Klasifikasi aktivitas apoteker (American Pharmacists Association/APha)
A. Memastikan terapi dan hasil yang sesuai
a. Memastikan farmakoterapi yang sesuai
b. Memastikan kepahaman/kepatuhan pasien terhadap rencana pengobatannya
c. Monitoring dan pelaporan hasil
B. Dispensing obat dan alat kesehatan
a. Memproses resep atau pesanan obat
b. Menyiapkan produk farmasi
c. Mengantarkan obat atau alat kesehatan
C. Promosi kesehatan dan penanggulangan penyakit
a. Pengantaran jasa penanggulangan klinis
b. Pengawasan dan pelaporan issue kesehatan masyarakat
c. Promosi penggunaan obat yang aman dalam masyarakat
D. Manajemen sistem kesehatan
a. Pengelolaan praktek
b. Pengelolaan pengobatan dalam sistem kesehatan
c. Pengelolaan penggunaan obat dalam sistem kesehatan
d. Partisipasi dalam aktivitas penelitian
e. Kerjasama antardisiplin
Pada tahun 1998, FIP menerbitkan suatu statemen tentang Standard profesional mengenai
kesalahan pengobatan yang berhubungan dengan peresepan obat dengan tujuan
mendefinisikan istilah "kesalahan pengobatan" dan untuk menyarankan suatu tatanama
standard untuk mengkategorikan hal-hal seperti kesalahan dan disain sistemnya untuk
88
meningkatkan keselamatan dalam pabrikasi, pemesanan, pelabelan, penyiapan, administrasi
dan penggunaan obat.
Dalam, relasi antara dokter sebagai penulis resep dan apoteker sebagi penyedia obat
(pelayanan tradisional farmasi), dokter dipercaya terhadap hasil dari farmakoterapi. Dengan
berubahnya situasi secara cepat di system kesehatan, praktek asuhan kefarmasian
diasumsikan apoteker bertanggung jawab terhadap pasien dan masyarakat tidak hanya
menerima asumsi tersebut.
Dengan demikian apoteker bertanggung jawab langsung pada pasien tentang biaya,
kualitas, hasil pelayanan kefarmasian. Dalam aplikasi praktek pelayanan kefarmasian untuk
keselamatan pasien terutama medication error adalah : menurunkan risiko dan promosi
penggunaan obat yang aman.
Berbagai metode pendekatan organisasi sebagai upaya menurunkan medication error yang
jika dipaparkan menurut urutan dampak efektifitas terbesar adalah :
1. Mendorong fungsi dan pembatasan (forcing function& constraints) : suatu upaya
mendesain sistem yang mendorong seseorang melakukan hal yang baik, contoh : sediaan
potasium klorida siap pakai dalam konsentrasi 10% Nacl 0.9%, karena sediaan di pasar dalam
konsentrasi 20% (>10%) yang mengakibatkan fatal (henti jantung dan nekrosis pada
tempat injeksi)
2. Otomasi dan komputer (Computerized Prescribing Order Entry) : membuat statis
/robotisasi pekerjaan berulang yang sudah pasti dengan dukungan teknologi, contoh :
komputerisasi proses penulisan resep oleh dokter diikuti dengan ”/tanda peringatan” jika di
luar standar (ada penanda otomatis ketika digoxin ditulis 0.5g)
3. Standard dan protokol, standarisasi prosedur : menetapkan standar berdasarkan bukti
ilmiah dan standarisasi prosedur (menetapkan standar pelaporan insiden dengan prosedur
baku). Kontribusi apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi serta pemenuhan
sertifikasi/akreditasi pelayanan memegang peranan penting.
4. Sistem daftar tilik dan cek ulang : alat kontrol berupa daftar tilik dan penetapan cek ulang
setiap langkah kritis dalam pelayanan. Untuk mendukung efektifitas sistem ini diperlukan
pemetaan analisis titik kritis dalam sistem.
5. Peraturan dan Kebijakan : untuk mendukung keamanan proses manajemen obat pasien.
contoh : semua resep rawat inap harus melalui supervisi apoteker
6. Pendidikan dan Informasi : penyediaan informasi setiap saat tentang obat, pengobatan dan
pelatihan bagi tenaga kesehatan tentang prosedur untuk meningkatkan kompetensi dan
mendukung kesulitan pengambilan keputusan saat memerlukan informasi
89
7. Lebih hati-hati dan waspada : membangun lingkungan kondusif untuk mencegah
kesalahan, contoh : baca sekali lagi nama pasien sebelum menyerahkan.
Penggunaan obat rasional merupakan hal utama dari pelayanan kefarmasian. Dalam
mewujudkan pengobatan rasional, keselamatan pasien menjadi masalah yang perlu di
perhatikan. Dari data-data yang termuat dalam bab terdahulu disebutkan sejumlah pasien
mengalami cedera atau mengalami insiden pada saat memperoleh layanan kesehatan,
khususnya terkait penggunaan obat yang dikenal dengan medication error. Di rumah sakit
dan sarana pelayanan kesehatan lainnya, kejadian medication error dapat dicegah jika
melibatkan pelayanan farmasi klinik dari apoteker yang sudah terlatih. Saat ini di negara-
negara maju sudah ada apoteker dengan spesialisasi khusus menangani medication safety.
Peran Apoteker Keselamatan Pengobatan (Medication Safety Pharmacist) meliputi :
1. Mengelola laporan medication error
• Membuat kajian terhadap laporan insiden yang masuk
• Mencari akar permasalahan dari error yang terjadi
2. Mengidentifikasi pelaksanaan praktek profesi terbaik untuk menjamin medication safety
• Menganalisis pelaksanaan praktek yang menyebabkan medication error
• Mengambil langkah proaktif untuk pencegahan
• Memfasilitasi perubahan proses dan sistem untuk menurunkan insiden yang sering terjadi
atau berulangnya insiden sejenis
3. Mendidik staf dan klinisi terkait lainnya untuk menggalakkan praktek pengobatan yang
aman
• Mengembangkan program pendidikan untuk meningkatkan medication safety dan
kepatuhan terhadap aturan/SOP yang ada
4. Berpartisipasi dalam Komite/tim yang berhubungan dengan medication safety
• Komite Keselamatan Pasien RS
• Dan komite terkait lainnya
5. Terlibat didalam pengembangan dan pengkajian kebijakan penggunaan obat
6. Memonitor kepatuhan terhadap standar pelaksanaan Keselamatan Pasien yang ada
Peran apoteker dalam mewujudkan keselamatan pasien meliputi dua aspek yaitu
aspek manajemen dan aspek klinik. Aspek manajemen meliputi pemilihan perbekalan
farmasi, pengadaan, penerimaan, penyimpanan dan distribusi, alur pelayanan, sistem
pengendalian (misalnya memanfaatkan IT). Sedangkan aspek klinik meliputi skrining
90
permintaan obat (resep atau bebas), penyiapan obat dan obat khusus, penyerahan dan
pemberian informasi obat, konseling, monitoring dan evaluasi. Kegiatan farmasi klinik sangat
diperlukan terutama pada pasien yang menerima pengobatan dengan risiko tinggi.
Keterlibatan apoteker dalam tim pelayanan kesehatan perlu didukung mengingat
keberadaannya melalui kegiatan farmasi klinik terbukti memiliki konstribusi besar dalam
menurunkan insiden/kesalahan.
Apoteker harus berperan di semua tahapan proses yang meliputi :
1. Pemilihan
Pada tahap pemilihan perbekalan farmasi, risiko insiden/error dapat diturunkan dengan
pengendalian jumlah item obat dan penggunaan obat-obat sesuai formularium.
2. Pengadaan
Pengadaan harus menjamin ketersediaan obat yang aman efektif dan sesuai peraturan yang
berlaku (legalitas) dan diperoleh dari distributor resmi.
3. Penyimpanan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan untuk menurunkan kesalahan
pengambilan obat dan menjamin mutu obat:
• Simpan obat dengan nama, tampilan dan ucapan mirip (look-alike, sound-alike medication
names) secara terpisah.
• Obat-obat dengan peringatan khusus (high alert drugs) yang dapat menimbulkan cedera jika
terjadi kesalahan pengambilan, simpan di tempat khusus. Misalnya :
o menyimpan cairan elektrolit pekat seperti KCl inj, heparin, warfarin, insulin, kemoterapi,
narkotik opiat, neuromuscular blocking agents, thrombolitik, dan agonis adrenergik.
o kelompok obat antidiabet jangan disimpan tercampur dengan obat lain secara alfabetis,
tetapi tempatkan secara terpisah
• Simpan obat sesuai dengan persyaratan penyimpanan.
4. Skrining Resep
Apoteker dapat berperan nyata dalam pencegahan terjadinya medication error melalui
kolaborasi dengan dokter dan pasien.
• Identifikasi pasien minimal dengan dua identitas, misalnya nama dan nomor rekam medik/
nomor resep,
• Apoteker tidak boleh membuat asumsi pada saat melakukan interpretasi resep dokter. Untuk
mengklarifikasi ketidaktepatan atau ketidakjelasan resep, singkatan, hubungi dokter penulis
resep.
91
• Dapatkan informasi mengenai pasien sebagai petunjuk penting dalam pengambilan
keputusan pemberian obat, seperti :
o Data demografi (umur, berat badan, jenis kelamin) dan data klinis (alergi, diagnosis dan
hamil/menyusui). Contohnya, Apoteker perlu mengetahui tinggi dan berat badan pasien yang
menerima obat-obat dengan indeks terapi sempit untuk keperluan perhitungan dosis.
o Hasil pemeriksaan pasien (fungsi organ, hasil laboratorium, tanda-tanda vital dan parameter
lainnya). Contohnya, Apoteker harus mengetahui data laboratorium yang penting, terutama
untuk obat-obat yang memerlukan penyesuaian dosis dosis
(seperti pada penurunan fungsi ginjal).
• Apoteker harus membuat riwayat/catatan pengobatan pasien.
• Strategi lain untuk mencegah kesalahan obat dapat dilakukan dengan penggunaan
otomatisasi (automatic stop order), sistem komputerisasi (e-prescribing) dan pencatatan
pengobatan pasien seperti sudah disebutkan diatas.
• Permintaan obat secara lisan hanya dapat dilayani dalam keadaan emergensi dan itupun
harus dilakukan konfirmasi ulang untuk memastikan obat yang diminta benar, dengan
mengeja nama obat serta memastikan dosisnya. Informasi obat yang penting harus diberikan
kepada petugas yang meminta/menerima obat tersebut. Petugas yang menerima permintaan
harus menulis dengan jelas instruksi lisan setelah mendapat konfirmasi.
5. Dispensing
• Peracikan obat dilakukan dengan tepat sesuai dengan SOP.
• Pemberian etiket yang tepat. Etiket harus dibaca minimum tiga kali :
pada saat pengambilan obat dari rak, pada saat mengambil obat dari wadah, pada saat
mengembalikan obat ke rak.
• Dilakukan pemeriksaan ulang oleh orang berbeda.
• Pemeriksaan meliputi kelengkapan permintaan, ketepatan etiket, aturan pakai, pemeriksaan
kesesuaian resep terhadap obat, kesesuaian resep terhadap isi etiket.
6. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)
Edukasi dan konseling kepada pasien harus diberikan mengenai hal-hal yang penting tentang
obat dan pengobatannya. Hal-hal yang harus diinformasikan dan didiskusikan pada pasien
adalah :
• Pemahaman yang jelas mengenai indikasi penggunaan dan bagaimana menggunakan obat
dengan benar, harapan setelah menggunakan obat, lama pengobatan, kapan harus kembali ke
dokter
• Peringatan yang berkaitan dengan proses pengobatan
92
• Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) yang potensial, interaksi obat dengan obat lain dan
makanan harus dijelaskan kepada pasien
• Reaksi obat yang tidak diinginkan (Adverse Drug Reaction – ADR) yang mengakibatkan
cedera pasien, pasien harus mendapat edukasi mengenai bagaimana cara mengatasi
kemungkinan terjadinya ADR tersebut
• Penyimpanan dan penanganan obat di rumah termasuk mengenali obat yang sudah rusak
atau kadaluarsa. Ketika melakukan konseling kepada pasien, apoteker mempunyai
kesempatan untuk menemukan potensi kesalahan yang mungkin terlewatkan pada proses
sebelumnya.
7. Penggunaan Obat
Apoteker harus berperan dalam proses penggunaan obat oleh pasien rawat inap di rumah
sakit dan sarana pelayanaan kesehatan lainnya, bekerja sama dengan petugas kesehatan lain.
Hal yang perlu diperhatikan adalah :
• Tepat pasien
• Tepat indikasi
• Tepat waktu pemberian
• Tepat obat
• Tepat dosis
• Tepat label obat (aturan pakai)
• Tepat rute pemberian
8. Monitoring dan Evaluasi
Apoteker harus melakukan monitoring dan evaluasi untuk mengetahui efek terapi,
mewaspadai efek samping obat, memastikan kepatuhan pasien. Hasil monitoring dan evaluasi
didokumentasikan dan ditindaklanjuti dengan melakukan perbaikan dan mencegah
pengulangan kesalahan. Seluruh personal yang ada di tempat pelayanan kefarmasian harus
terlibat didalam program keselamatan pasien khususnya medication safety dan harus secara
terus menerus mengidentifikasi masalah dan mengimplementasikan strategi untuk
meningkatkan keselamatan pasien.
Faktor-faktor lain yang berkonstribusi pada medication error antara lain :
• Komunikasi (mis-komunikasi, kegagalan dalam berkomunikasi )
Kegagalan dalam berkomunikasi merupakan sumber utama terjadinya kesalahan.
Institusi pelayanan kesehatan harus menghilangkan hambatan komunikasi antar petugas
kesehatan dan membuat SOP bagaimana resep/permintaan obat dan informasi obat lainnya
dikomunikasikan. Komunikasi baik antar apoteker maupun dengan petugas kesehatan lainnya
93
perlu dilakukan dengan jelas untuk menghindari penafsiran ganda atau ketidak lengkapan
informasi dengan berbicara perlahan dan jelas. Perlu dibuat daftar singkatan dan penulisan
dosis yang berisiko menimbulkan kesalahan untuk diwaspadai.
• Kondisi lingkungan
Untuk menghindari kesalahan yang berkaitan dengan kondisi lingkungan, area
dispensing harus didesain dengan tepat dan sesuai dengan alur kerja, untuk menurunkan
kelelahan dengan pencahayaan yang cukup dan temperatur yang nyaman. Selain itu area
kerja harus bersih dan teratur untuk mencegah terjadinya kesalahan. Obat untuk setiap pasien
perlu disiapkan dalam nampan terpisah.
• Gangguan/interupsi pada saat bekerja
Gangguan/interupsi harus seminimum mungkin dengan mengurangi interupsi baik langsung
maupun melalui telepon.
• Beban kerja
Rasio antara beban kerja dan SDM yang cukup penting untuk mengurangi stres dan beban
kerja berlebihan sehingga dapat menurunkan kesalahan.
• Meskipun edukasi staf merupakan cara yang tidak cukup kuat dalam menurunkan
insiden/kesalahan, tetapi mereka dapat memainkan peran penting ketika dilibatkan dalam
sistem menurunkan insiden/kesalahan.
Apoteker di rumah sakit atau sarana pelayanan kesehatan lainnya dapat menerapkan
Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Pada Pelayanan Kefarmasian yang mengacu
pada buku Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety) (diterbitkan
oleh Depkes tahun 2006) :
1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien Ciptakan kepemimpinan dan budaya yang
terbuka dan adil
• Adanya kebijakan Instalasi Farmasi RS/Sarana Pelayanan Kesehatan lainnya tentang
Keselamatan Pasien yang meliputi kejadian yang tidak diharapkan (KTD), kejadian nyaris
cedera (KNC), Kejadian Sentinel, dan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh apoteker
dan tenaga farmasi, pasien dan keluarga jika terjadi insiden.
• Buat, sosialisasikan dan penerapan SOP sebagai tindak lanjut setiap kebijakan
• Buat buku catatan tentang KTD, KNC dan Kejadian Sentinel kemudian laporkan ke atasan
langsung
2. Pimpin dan Dukung Staf Anda
Bangun komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang keselamatan pasien di tempat
pelayanan (instalasi farmasi/apotek)
94
• Adanya suatu tim di Instalasi Farmasi/Apotek yang bertanggung jawab terhadap
keselamatan pasien (sesuai dengan kondisi)
• Tunjuk staf Instalasi Farmasi/Apotek yang bisa menjadi penggerak dan mampu
mensosialisasikan program (leader)
• Adakan pelatihan untuk staf dan pastikan pelatihan ini diikuti oleh seluruh staf dan
tempatkan staf sesuai kompetensi
Staf farmasi harus mendapat edukasi tentang kebijakan dan SOP yang berkaitan
dengan proses dispensing yang akurat, mengenai nama dan bentuk obat-obat yang
membingungkan, obat-obat formularium/non formularium, obat-obat yang ditanggung
asuransi/non-asuransi, obat-obat baru dan obat-obat yang memerlukan perhatian khusus.
Disamping itu petugas farmasi harus mewaspadai dan mencegah medication error yang dapat
terjadi.
• Tumbuhkan budaya tidak menyalahkan (no blaming culture) agar staf berani melaporkan
setiap insiden yang terjadi
3. Integrasikan Aktivitas Pengelolaan Risiko
Kembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko serta lakukan identifikasi dan asesmen hal
yang potensial bermasalah
• Buat kajian setiap adanya laporan KTD, KNC dan Kejadian Sentinel
• Buat solusi dari insiden tersebut supaya tidak berulang dengan mengevaluasi SOP yang
sudah ada atau mengembangkan SOP bila diperlukan
4. Kembangkan Sistem Pelaporan
• Pastikan semua staf Instalasi Farmasi/Apotek dengan mudah dapat melaporkan insiden
kepada atasan langsung tanpa rasa takut
• Beri penghargaan pada staf yang melaporkan
5. Libatkan dan Komunikasi Dengan Pasien
Kembangkan cara-cara komunikasi yang terbuka dengan pasien
• Pastikan setiap penyerahan obat diikuti dengan pemberian Informasi yang jelas dan tepat
• Dorong pasien untuk berani bertanya dan mendiskusikan dengan apoteker tentang obat yang
diterima
• Lakukan komunikasi kepada pasien dan keluarga bila ada insiden serta berikan solusi
tentang insiden yang dilaporkan
6. Belajar dan Berbagi Pengalaman Tentang Keselamatan Pasien
Dorong staf untuk melakukan analisis penyebab masalah
95
• Lakukan kajian insiden dan sampaikan kepada staf lainnya untuk menghindari berulangnya
insiden
7. Cegah KTD, KNC dan Kejadian Sentinel dengan cara :
• Gunakan informasi dengan benar dan jelas yang diperoleh dari system pelaporan, asesmen
risiko, kajian insiden dan audit serta analisis untuk menentukan solusi
• Buat solusi yang mencakup penjabaran ulang sistem (re-design system), penyesuaian SOP
yang menjamin keselamatan pasien
• Sosialisasikan solusi kepada seluruh staf Instalasi Farmasi/Apotek
96
2. Laporan insiden dapat dibuat oleh siapa saja atau staf farmasi yang pertama kali
menemukan kejadian atau terlibat dalam kejadian.
3. Pelaporan dilakukan dengan mengisi “Formulir Laporan Insiden” yang bersifat rahasia
2 Alur Pelaporan Insiden Ke Tim Keselamatan Pasien (KP) Di Rumah Sakit
(Internal)
1. Apabila terjadi suatu insiden (KNC/KTD/Kejadian Sentinel) terkait dengan pelayanan
kefarmasian, wajib segera ditindaklanjuti (dicegah/ditangani) untuk mengurangi dampak/
akibat yang tidak diharapkan.
2. Setelah ditindaklanjuti, segera buat laporan insidennya dengan mengisi Formulir Laporan
Insiden pada akhir jam kerja/shift kepada Apoteker penanggung jawab dan jangan menunda
laporan (paling lambat 2 x 24 jam).
3. Laporan segera diserahkan kepada Apoteker penanggung jawab
4. Apoteker penanggung jawab memeriksa laporan dan melakukan grading risiko terhadap
insiden yang dilaporkan.
5. Hasil grading akan menentukan bentuk investigasi dan analisis yang akan dilakukan :
• Grade biru : Investigasi sederhana oleh Apoteker penanggung jawab, waktu maksimal 1
minggu
• Grade hijau : Investigasi sederhana oleh Apoteker penanggung jawab, waktu maksimal 2
minggu
• Grade kuning : Investigasi komprehensif/Root Cause Analysis (RCA) oleh Tim KP di RS,
waktu maksimal 45 hari
• Grade merah : Investigasi komprehensif/Root Cause Analysis (RCA) oleh Tim KP di RS,
waktu maksimal 45 hari
6. Setelah selesai melakukan investigasi sederhana, laporan hasil investigasi dan laporan
insiden dilaporkan ke Tim KP di RS.
7. Tim KP di RS akan menganalis kembali hasil investigasi dan Laporan insiden untuk
menentukan apakah perlu dilakukan investigasi lanjutan Root Cause Analysis (RCA) dengan
melakukan Regrading
8. Untuk Grade kuning/merah, Tim KP di RS akan melakukan Root Cause Analysis (RCA)
9. Setelah melakukan Root Cause Analysis (RCA), Tim KP di RS akan membuat laporan dan
Rekomendasi untuk perbaikan serta “pembelajaran” berupa : Petunjuk / Safety alert untuk
mencegah kejadian yang sama terulang kembali
10. Hasil Root Cause Analysis (RCA), rekomendasi dan rencana kerja dilaporkan kepada
Direksi
97
11. Rekomendasi untuk “Perbaikan dan Pembelajaran” diberikan umpan balik kepada
instalasi farmasi.
12. Apoteker penanggung jawab akan membuat analisis dan tren kejadian di satuan kerjanya
13. Monitoring dan Evaluasi Perbaikan oleh Tim KP di RS.
98
• Laporan dipersepsikan sebagai ”pekerjaan perawat”
• Laporan sering tidak diuraikan secara rinci karena takut disalahkan
• Laporan terlambat
• Laporan kurang lengkap ( cara mengisi formulir salah, data kurang lengkap )
Hal-hal yang perlu dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan
1. JANGAN melaporkan insiden lebih dari 24 jam
2. JANGAN menunda laporan insiden dengan alasan belum ditindaklanjuti atau
ditandatangani
3. JANGAN menambah catatan medis pasien bila telah tercatat dalam laporan insiden
4. JANGAN meletakan laporan insiden sebagai bagian dari rekam medic pasien
5. JANGAN membuat salinan laporan insiden untuk alasan apapun
6. CATATLAH keadaan yang tidak diantisipasi
Hambatan dalam pencatatan dan pelaporan
- Pandangan bahwa kesalahan adalah suatu kegagalan dan kesalahan dibebankan pada satu
orang saja.
- Takut disalahkan karena dengan melaporkan KTD, KNC, dan Kejadian sentinel akan
membeberkan keburukan dari personal atau tim yang ada dalam rumah sakit/sarana
pelayanan kesehatan lain.
- Terkena risiko tuntutan hukum terhadap kesalahan yang dibuat.
- Laporan disebarluaskan untuk tujuan yang merugikan
- Pelaporan tidak memberi manfaat langsung kepada pelapor
- Kurangnya sumber daya
- Kurang jelas batasan apa dan kapan pelaporan harus dibuat
- Sulitnya membuat laporan dan menghabiskan waktu
Dokumentasi
Semua laporan yang telah dibuat harus didokumentasikan di Instalasi Farmasi/ sarana
pelayanan kesehatan lain untuk bahan monitoring, evaluasi dan tindak lanjut.
100
BAB VIII
KERJASAMA DOKTER DAN APOTEKER DALAM PELAYANAN PASIEN DI
RUMAH SAKIT
101
a. Karakteristik partisipan. Yang termasuk karakteristik partisipan adalah faktor demografi
seperti pendidikan dan usia. Contohnya, dokter muda yang sejak awal dididik untuk dapat
bekerja sama dalam tim interdisipliner mungkin akan lebih mudah menerima konsep
hubungan dokter-Apoteker.
b. Karakteristik konteks. Yang dimaksud adalah kondisi pasien, tipe praktek (apakah
tunggal atau bersama), kedekatan jarak praktek, banyaknya interaksi, akan menentukan
seberapa intensif hubungan yang akan terjalin.
c. Karakteristik pertukaran. Yang termasuk di sini antara lain adalah: ketertarikan secara
profesional, komunikasi yang terbuka dan dua arah, kerjasama yang seimbang, penilaian
terhadap performance, konflik dan resolusinya. Semakin seimbang pertukaran antara
kedua belah pihak, akan memungkinkan hubungan kolaboratif yang lebih baik.
Menurut McDonough dan Doucette (2001) ada 4 tahap stage hubungan untuk memulai
kerjasama kolaboratif antara dokter dan Apoteker adalah sebagai berikut:
Ini adalah stage awal, di mana masing-masing profesi saling mengenal dan mengetahui.
Hubungannya masih “alamiah”, hanya sebatas Apoteker menerima resep dari dokter,
kemudian dispensing. Apoteker mengontak dokter jika terjadi hal-hal tidak jelas yang terkait
dengan resep (dosis, nama obat, dsb), dan menjawab pertanyaan tentang infomasi obat. Tidak
ada diskusi lebih lanjut apakah obat telah memberikan hasil optimal kepada pasien.
Mestinya Apoteker tidak boleh puas hanya dengan stage tersebut, walau dianggap lebih aman
secara profesional. Apoteker perlu meningkatkan peranannya untuk mencapai pada stage 1.
Pada awalnya, usaha untuk meningkatkan frekuensi dan kualitas hubungan dokter-Apoteker
cenderung unilateral, dengan Apoteker yang harus memulai. Apoteker perlu berusaha untuk
membuat dokter menjadi paham tentang apa-apa yang bisa “disumbangkan” Apoteker
terhadap pelayanan pasien, misalnya menunjukkan keahliannya dalam memberikan informasi
obat yang up to date, memberikan alternatif obat untuk kondisi-kondisi khusus pasien,
dsb. Dari situ dokter akan dapat membangun dasar kepercayaan dan menumbuhkan
komitmen terhadap hubungan kerjasama dengan Apoteker.Pada stage ini, komunikasi sering
102
merupakan tantangan tersendiri. Jangan sampai terjadi miskomunikasi bahwa seolah-olah
Apoteker akan “mengintervensi” wewenang dokter dalam memilih obat atau akan menjadi
“polisi” yang akan mengawasi pengobatan oleh dokter. Justru perlu ditekankan bahwa
Apoteker adalah mitra yang akan membantu dokter sesuai dengan kewenangannya, demi
tercapainya pengobatan pasien yang optimal. Pada stage ini dapat dirumuskan mengenai
bentuk kerjasama, bagaimana cara komunikasinya, bagaimana protokolnya, dan dibuat suatu
kesepakatan.
Setelah hubungan kerjasama disepakati untuk berlanjut, masuklah pada stage ke 2. Pada stage
ini partisipan (dokter dan Apoteker) akan menguji kekompakan, harapan, kepercayaan dan
komitmen mereka terhadap hubungan kerjasama. Dokter mungkin akan memutuskan untuk
merujuk pasien ke Apoteker untuk hal-hal yang terkait dengan obat, misalnya penyesuaian
dosis dan konseling obat, dan mengevaluasi kompetensi Apoteker untuk memutuskan apakah
kerjasama ini cukup bermanfaat dan dapat dilanjutkan. Sebaliknya Apoteker juga dapat
menilai apakah dokter tersebut dapat diajak bekerja sama yang positif. Pada fase ini, jika
harapan dokter terhadap Apoteker terpenuhi, dokter akan memberikan kepercayaan kepada
Apoteker untuk meneruskan kerjasama untuk bersama-sama memberikan pelayanan yang
terbaik pada pasien. Sebaliknya jika ternyata harapan masing-masing tidak terpenuhi dari
adanya hubungan ini, maka hubungan kerjasama mungkin akan berakhir.
Jika dokter dan Apoteker telah melihat dan mendapatkan manfaat kerjasama mereka dari
stage exploration and trial, maka mereka dapat meningkatkan dan memperluas kerjasama
profesional tersebut dan sampai ke stage 3.
Pada stage ini kuncinya adalah komunikasi, pengembangan norma/aturan yang disepakati,
penilaian performance, dan resolusi konflik. Pada fase ini the exchange efforts masih belum
seimbang, dengan Apoteker perlu secara kontinyu mengkomunikasikan mengenai manfaat
bagi pasien yang mendapat pelayanan farmasi yang tepat. Jika performance Apoteker sesuai
dengan ekspektasi dokter, dokter dan Apoteker secara pelan-pelan akan memantapkan
lingkup dan kedalaman saling ketergantungan (interdependence) mereka. Tujuannya adalah
memelihara atau meningkatkan kualitas pertukaran sehingga hubungan profesional dapat
terus dikembangkan
103
Stage 4: commitment to the collaborative working relationship.
Kolaborasi akan semakin mungkin terwujud jika dokter telah melihat bahwa dengan adanya
kerjasama dengan Apoteker resiko praktek pelayanannya menjadi lebih kecil, dan banyak
nilai tambah yang diperoleh dari kepuasan pasien. Komitmen akan lebih mungkin tercapai
jika usaha dan keinginan bekerjasama dari masing-masing pihak relatif sama. Dokter akan
mengandalkan pengetahuan dan keahlian Apoteker mengenai obat-obatan, sementara
Apoteker akan bersandar pada informasi klinis yang diberikan oleh dokter ketika akan
membantu memanage terapi pasien. Pada stage ini pertemuan tatap muka untuk
mendiskusikan masalah pasien, masalah-masalah pelayanan, dan hal-hal lain harus
dijadwalkan, dan bisa dikembangkan bersama tenaga kesehatan yang lain. Selain itu adanya
komitmen kerjasama ini perlu diinformasikan kepada tenaga kesehatan yang lain sehingga
mereka dapat turut terlibat di dalamnya.
105
BAB IX
HIGH ALERT MEDICATIONS
Pengertian obat High alert adalah obat-obatan yang memiliki risiko lebih tinggi
untuk menyebabkan/menimbulkan adanya komplikasi/membahayakan pasien secara
signifikan jika terdapat kesalahan penggunaan (dosis, interval, dan pemilihannya).
Obat-obatan yang termasuk dalam kategori high alert medications:
Tabel Obat-obatan Kategori HIGH ALERT K
Katagori/Kelas Obat Jenis Obat
Agonis adnergik IV Epinefrin, fenilefrin, norepinefrin,
isoproterenol
Antagonis adrenergic IV Propanolol, metoprolol, labetalol
Anti-trombotik, termasuk:
a. Antikoagulan a. Warfarin, LMWH (low-molecular-
weight heparin), unfractionated
b. Inhibitor faktor Xa heparin IV
c. Direct thrombin inhibitors b. Fondaparinux
c. Argatroban, bivalrudin, dabigatran
d. Trombolitik texilate,lepirudin
e. Inhibitor glikoprotein d. Alteplase, reteplase, tenecteplase
IIb/IIIa e. Eptifibatide , abciximab, tirofiban
Larutan / solusio
kardioplegik
Agen kemoterapi (parenteral
dan oral)
Dekstrosa hipertonik ( ≥
20%)
106
Larutan dialysis (peritoneal
dan hemodialisis)
Obat-obatan epidural atau
intratekal Obat-obatan
epidural atau intratekal
Obat hipoglikemik (oral)
Obat inotropik IV Digoksin, milrinone
Insulin (SC dan IV) Insulin regular, aspart, NPH, glargin
Obat-obatan dengan bentuk amfoterisin B liposomal
liposomal
Agen sedasi moderat / Dexamedetomidine, midazolam
sedang IV
Agen sedasi moderat / Chloral hydrate, ketamin, midazolam
sedang oral, untuk anak
Opioid / narkose:
a. IV
b. Transdermal
c. Oral (termasuk konsentrat
air, formula rapid dan
lepas lambat)
Agen blok neuromuscular Suksinilkolin, rokuronium, vekuronium,
atrakurium, pankuronium
Preparat nutrisi parenteral
Agen radiokontras IV
Akua bi destilata, inhalasi,
dan irigasi (dalam kemasan
≥ 100ml)
NaCl untuk injeksi,
hipertonik, dengan
konsentrasi > 0,9%
Konsentrat KCl untuk
injeksi
Epoprostenol IV
107
Injeksi Magnesium Sulfat
(MgSO4)
Digoksin IV
Metotreksat oral
(penggunaan non-onkologi)
Opium tincture
Oksitosin IV
Injeksi natrium nitropruside
Injeksi kalium fosfat
Prometazin IV
Kalsium intravena
Vasopressin (IV atau
intraoseus)
Antikonvulsan Benzodiazepin
-obatan Jenis obat
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadi kesalahan pada obat high alert :
1. Kurangi atau eliminasi kemungkinan terjadinya kesalahan
a. Mengurangi jumlah high alert medications yang disimpan di suatu unit
b. Mengurangi konsentrasi dan volume obat yang tersedia
c. Hindarkan penggunaan high alert medications sebisa mungkin
2. Lakukan pengecekan ganda
3. Minimalisasi konsekuensi kesalahan
a. Pisahkan obat-obat dengan nama atau label yang mirip
b. Minimalisasi instruksi verbal dan hindarkan penggunaan singkatan
c. Batasi akses terhadap high alert medications
A. PROSEDUR
108
1) Nama pasien dan nomor rekam medis
2) Tanggal dan waktu instruksi dibuat
3) Nama obat (generik), dosis, jalur pemberian, dan tanggal pemberian setiap obat
4) Kecepatan dan atau durasi pemberian obat.
c. Dokter harus mempunyai diagnosis, kondisi, dan indikasi penggunaan setiap high
alert medications secara tertulis.
d. Sistem instruksi elektronik akan memberikan informasi terbaru secara periodik
mengenai standar pelayanan, dosis, dan konsentrasi obat (yang telah disetujui oleh
Komite Farmasi dan Terapeutik ah terstandarisasi
dengan menggunakan instruksi tercetak.
e. Instruksi kemoterapi harus ditulis pada ‘Formulir Instruksi Kemoterapi’ dan
ditandatangani oleh spesialis onkologi, informasi ini termasuk riwayat alergi pasien,
tinggi badan, berat badan, dan luas permukaan tubuh pasien. Hal ini memungkinkan
ahli farmasi dan perawat untuk melakukan pengecekan ganda terhadap penghitungan
dosis berdasarkan berat badan dan luas permukaan tubuh.
3. Pemberian obat
a. Perawat harus selalu melakukan pengecekan ganda (double-check) terhadap
semua high alert medications sebelum diberikan kepada pasien.
b. Pengecekan Ganda Terhadap High Alert Medications
109
1) Tujuan:
Identifikasi obat-obatan yang memerlukan verifikasi atau pengecekan ganda
oleh petugas kesehatan lainnya (sebagai orang kedua) sebelum memberikan
obat dengan tujuan meningkatkan keselamatan dan akurasi.
2) Kebijakan:
a) pengecekan ganda diperlukan sebelum memberikan high alert medications
tertentu / spesifik dan di saat pelaporan pergantian jaga atau saat
melakukan transfer pasien.
b) Pengecekan ganda ini akan dicatat pada rekam medis pasien atau pada
catatan pemberian medikasi pasien.
c) Pengecekan pertama harus dilakukan oleh petugas yang berwenang untuk
menginstruksikan, meresepkan, atau memberikan obat-obatan, antara lain:
perawat, ahli farmasi, dan dokter.
d) Pengecekan kedua akan dilakukan oleh petugas yang berwenang, teknisi,
atau perawat lainnya. (petugas tidak boleh sama dengan pengecek
pertama)
e) Kebutuhan minimal untuk melakukan pengecekan ganda/verifikasi oleh
orang kedua dilakukan pada kondisi-kondisi seperti berikut:
Setiap akan memberikan injeksi obat
Untuk infuse:
- Saat terapi inisial
- Saat terdapat perubahan konsentrasi obat
- Saat pemberian bolus
- Saat pergantian jaga perawat atau transfer pasien
- Setiap terjadi perubahan dosis obat
f) Pengecekan tambahan dapat dilakukan sesuai dengan instruksi dari dokter.
3) Berikut adalah high alert medications yang memerlukan pengecekan ganda:
110
Tabel High alert medications Perlu Pengecekan Ganda untuk Semua Dosis
Termasuk Bolus
Obat- obat
Obat-Obatan
Kemoterapi
Heparin
Insulin
Infuse Magnesium sulfat pada pasien obstetric
Infuse kateter saraf epidural dan perifer
*abciximab
Argatroban
Bivalirudin
*eptifibatide
Lepirudan
Citrate ACD-A
Kalsium klorida 8 gm/1000ml infuse (untuk CRRT)
* obat-obatan yang sebaiknya tidak diberikan sebagai bolus dari kantong infuse /
vial
Obat-obatan yang Memerlukan Pengecekan Ganda jika Terdapat Perubahan
Kantong Infus
Obat-obatan Obat-Obatan
Infuse benzodiazepine
Kemoterapi
Infuse opioid
Infuse epidural
Infuse kateter saraf perifer
111
Infuse bensodiazepin
Infuse opioid, epidural
Heparin
4) Prosedur:
a) Untuk dosis inisial atau inisiasi infuse baru
(1) Petugas kesehatan mempersiapkan obat dan hal-hal di bawah ini untuk
menjalani pengecekan ganda oleh petugas kedua:
(a) Obat-obatan pasien dengan label yang masih intak
(b) Rekam medis pasien, catatan pemberian medikasi pasien, atau resep /
instruksi tertulis dokter
(c) Obat yang hendak diberikan lengkap dengan labelnya
(2) Petugas kedua akan memastikan hal-hal berikut ini:
(a) Obat telah disiapkan dan sesuai dengan instruksi
(b) Perawat pasien harus memverifikasi bahwa obat yang hendak
diberikan telah sesuai dengan instruksi dokter.
(c) Obat memenuhi 5 persyaratan.
(d) Membaca label dengan suara lantang kepada perawat untuk
memverifikasi kelima persyaratan ini:
Obat tepat.
Dosis atau kecepatannya tepat, termasuk pengecekan ganda
mengenai penghitungan dan verifikasi pompa infuse.
Rute pemberian tepat.
Frekuensi interval tepat.
Diberikan kepada pasien yang tepat.
(e) Pada beberapa kasus, harus tersedia juga kemasan/ vial obat untuk
memastikan bahwa obat yang disiapkan adalah obat yang benar,
misalnya: dosis insulin
(f) Ketika petugas kedua telah selesai melakukan pengecekan ganda dan
kedua petugas puas bahwa obat telah sesuai, lakukanlah pencatatan
pada rekam medis/catatan pemberian medikasi pasien.
(g) Petugas kedua harus menulis ‘dicek oleh:’ dan diisi dengan nama
pengecek.
112
(h) Pengecekan ganda akan dilakukan sebelum obat diberikan kepada
pasien
(i) Pastikan infuse obat berada pada jalur/selang yang benar dan lakukan
pengecekan selang infuse mulai dari larutan/cairan infuse, pompa,
hingga tempat insersi selang.
(j) Pastikan pompa infuse terprogram dengan kecepatan pemberian yang
tepat, termasuk ketepatan data berat badan pasien.
b) Untuk pengecekan saat pergantian jaga perawat atau transfer pasien:
(1) Petugas kedua akan memastikan hal-hal berikut ini:
(a) Obat yang diberikan harus memenuhi kelima persyaratan.
(b) Perawat berikutnya akan membaca label dengan lantang kepada
perawat sebelumnya untuk memverifikasi kelima persyaratan
(seperti yang telah disebutkan di atas).
(2) Saat pengecekan telah selesai dan kedua perawat yakin bahwa obat telah
sesuai, lakukanlah pencatatan pada bagian ‘pengecekan oleh perawat’ di
rekam medis pasien3.
Sesaat sebelum memberikan obat, perawat mengecek nama pasien,
memberitahukan kepada pasien mengenai nama obat yang diberikan, dosis, dan
tujuannya (pasien dapat juga berperan sebagai pengecek, jika memungkinkan).
c. Semua pemberian high alert medications intravena dan bersifat kontinue harus
diberikan melalui pompa infus IV. Pengecualian dapat diberikan pada pasien di
Ruang Rawat Intensif Neonatus (Neonates Intensive Care Unit – NICU), atau
pada pasien risiko tinggi mengalami kelebihan cairan (volume over-load) .Setiap
selang infuse harus diberi label dengan nama obat yang diberikan di ujung distal
selang dan pada pintu masuk pompa (untuk mempermudah verifikasi dan
meminimalkan kesalahan).
d. Pada situasi emergensi, di mana pelabelan dan prosedur pengecekan ganda dapat
menghambat / menunda penatalaksanaan dan berdampak negatif terhadap pasien,
perawat atau dokter pertama-tama harus menentukan dan memastikan bahwa
kondisi klinis pasien benar-benar bersifat emergensi dan perlu ditatalaksanakan
segera sedemikian rupa sehingga pengecekan ganda dapat ditunda. Petugas yang
memberikan obat harus menyebutkan dengan lantang semua terapi obat yang
diberikan sebelum memberikannya kepada pasien.
113
e. Obat yang tidak digunakan dikembalikan kepada farmasi/apotek, dan dilakukan
peninjauan ulang oleh ahli farmasi atau apoteker apakah terjadi kesalahan obat
yang belum diberikan.
f. Dosis ekstra yang digunakan ditinjau ulang oleh apoteker untuk mengetahui
indikasi penggunaan dosis ekstra.
114
a. Sering terjadi kesalahan berupa obat tertukar karena namanya yang mirip, konsentrasi
yang mirip, dan indikasinya yang serupa. Gunakan label yang dapat membedakan
nama obat (misalnya: DOBUTamin, DOPamin)
b. Gunakan konsentrasi standar
c. Beri label pada pompa dan botol infuse berupa ‘nama obat dan dosisnya’
5. Kalsium Intravena (sebagai gluceptate, gluconate, atau chloride)
a. CaCl tidak boleh diberikan melalui IM karena bersifat sangat iritatif terhadap
jaringan.
b. Faktor yang dapat mempengaruhi konsentrasi kalsium dalam darah adalah kadar
fosfor serum dan albumin serum.
c. Efek samping yang dapat terjadi:
1) Interaksi obat dengan digoksin (injeksi cepat kalsium dapat menyebabkan
bradiaritmia, terutama pada pasien yang mengkonsumsi digoksin).
2) Antagonis terhadap CCB (calcium-channel blocker) dan peningkatan tekanan
darah.
3) Hipokalsemia atau hiperkalsemia akibat pemantauan kadar kalsium yang tidak
efisien.
4) Rasio kalsium-fosfor yang tidak tepat dalam larutan IV dan menyebabkan
presipitasi dan kerusakan organ.
5) Nekrosis jaringan akibat ekstravasasi kalsium Klorida.
d. Instruksikan pemberian kalsium dalam satuan milligram.
e. Lakukan pengecekan ganda
115
f. Berikan stiker atau label pada vial heparin dan lakukan pengecekan ganda terhadap
adanya perubahan kecepatan pemberian.
g. Untuk pemberian bolus, berikan dengan spuit (daripada memodifikasi kecepatan
infus)
h. Obat-obatan harus diawasi dan dipantau
i. Warfarin harus diinstruksikan secara harian berdasarkan pada nilai INR / PT harian.
7. Insulin IV
a. Singkatan ‘u’ untuk ‘unit’ tidak diperbolehkan. Jangan menggunakan singkatan.
b. Infuse insulin: konsentrasi standar = 1 unit/ml, berikan label ‘high alert’ , ikuti
protokol standar ICU
c. Vial insulin yang telah dibuka memiliki waktu kadaluarsa dalam 30 hari setelah
dibuka.
d. Vial insulin disimpan pada tempat terpisah di dalam kulkas dan diberi label.
e. Pisahkan tempat penyimpanan insulin dan heparin (karena sering tertukar)
f. Jangan pernah menyiapkan insulin dengan dosis U100di dalam spuit 1 cc, selalu
gunakan spuit insulin (khusus).
g. Lakukan pengecekan ganda
h. Perawat harus memberitahukan kepada pasien bahwa mereka akan diberikan
suntikan insulin/
i. Distribusi dan penyimpanan vial insulin dengan beragam dosis:
1) Simpan dalam kulkas secara terpisah dan diberi label yang tepat
2) Semua vial insulin harus dibuang dalam waktu 30 hari setelah dibuka (injeksi
jarum suntik). Tanggal dibuka / digunakannya insulin untuk pertama kali harus
dicatat pada vial.
8. Konsentrat elektrolit: injeksi NaCl > 0,9% dan injeksi Kalium (klorida, asetat, dan
fosfat) ≥ 0,4 Eq/ml
a. Jika KCl diinjeksi terlalu cepat (misalnya pada kecepatan melebihi 10 mEq/jam)
atau dengan dosis yang terlalu tinggi, dapat menyebabkan henti jantung.
b. KCl tidak boleh diberikan sebagai IV push/bolus.
c. Hanya disimpan di apotek, ICU, ICCU, dan kamar operasi
d. Standar konsentrasi pemberian infuse NaCl: maksimal 3% dalam 500ml.
e. Berikan label pada botol infuse: ‘larutan natrium hipertonik 3%’ (Tulisan berwarna
merah)
116
f. Protokol untuk KCl:
1) Indikasi infuse KCl
2) Kecepatan maksimal infuse
3) Konsentrasi maksimal yang masih diperbolehkan
4) Panduan mengenai kapan diperlukannya monitor kardiovaskular
5) Penentuan bahwa semua infuse KCl harus diberikan via pompa
6) Larangan untuk memberikan larutan KCl multipel secara berbarengan
(misalnya: tidak boleh memberikan KCl IV sementara pasien sedang mendapat
infuse KCl di jalur IV lainnya)
7) Diperbolehkan untuk melakukan substitusi dari KCl oral menjadi KCl IV, jika
diperlukan
g. Lakukan pengecekan ganda.
9. Infuse narkose/opiat, termasuk infuse narkose epidural11
a. Opiate dan substansi lainnya harus disimpan dalam lemari penyimpanan
yangterkunci di apotik / unit farmasi dan di ruang perawatan pasien.
b. Kapanpun memungkinkan, instruksi yang dicetak (print) sebaiknya tersedia dalam
meresepkan obat.
c. Berikan label ‘high alert’: untuk infuse kontinu dengan konsentrasi non-standar
yang diberikan /diantarkan ke unit rawat, jika dperlukan sewaktu-waktu.
d. Konsentrasi standar:
1) Morfin: 1 mg/ml
2) Meperidin: 10 mg/ml
3) Hidromorfin: 0,2 mg/ml (lima kali lebih poten dibandingkan morfin)
4) Fentanil (penggunaan ICU): 10 mcg/ml
e. Konsentrasi tinggi: (berikan label ‘konsentrasi tinggi’)
1) Morfin: 5 mg/ml
2) Hidromorfin: 1 mg/ml (lima kali lebih poten dibandingkan morfin)
3) Fentanil (penggunaan ICU): 50 mcg/ml
f. Instruksi penggunaan narkose harus mengikuti Kebijakan Titrasi.
g. Pastikan tersedia nalokson atau sejenisnya di semua area yang terdapat
kemungkinan menggunakan morfin
h. Tanyakan kepada semua pasien yang menerima opiate mengenai riwayat alergi
i. Hanya gunakan nama generik
j. Jalur pemberian epidural:
117
1) semua pemberian infuse narkose/opiate harus diberikan dengan pompa infuse
yang terprogram dan diberikan label pada alat pompa
2) Gunakan tabung infuse yang spesifik (misalnya: warna: kuning bergaris) tanpa
portal injeksi.
3) Berikan label pada ujung distal selang infuse epidural dan selang infus IV untuk
membedakan.
k. Jika diperlukan perubahan dosis, hubungi dokter yang bertanggungjawab
l. Lakukan pengecekan ganda.
10. Agen sedasi IV (lorazepam, midazolam, propofol)
a. Setiap infuse obat sedasi kontinu memiliki standar dosis, yaitu:
1) Lorazepam: 1 mg/ml
2) Midazolam: 1 mg/ml, efek puncak: 5-10 menit
3) Propofol: 10 mg/ml
b. Lakukan monitor selama pemberian obat (oksimetri denyut, tanda vital, tersedia
peralatan resusitasi)
11. Infus Magnesium Sulfat
a. Tergolong sebagai high alert medications pada pemberian konsentrasi melebihi
standar, yaitu > 40 mg/ml dalam larutan 100 ml (4 g dalam 100 ml larutan isotonic
/ normal saline).
b. Perlu pengecekan ganda (perhitungan dosis, persiapan dosis, pengaturan pompa
infuse).
118
2) ‘Dapat menyebabkan henti napas’
e. Lakukan pengecekan ganda
f. Untuk setiap container obat baru yang disediakan oleh farmasi (misalnya: vial,
spuit, dan sebagainya), pengecekan ganda harus dicatat oleh kedua petugas di
rekam medis pasien.
g. Catatlah jika ada perubahan instruksi, termasuk perubahan kecepatan infuse dan
pengaturan pompa infuse
h. Kapanpun memungkinkan, instruksi yang dicetak (print) sebaiknya tersedia.
Instruksi juga harus menyatakan ‘Pasien harus terpasang ventilator’.
i. Jangan pernah menganggap obat-obatan ini sebagai ‘relaksan’
j. Harus dihentikan pemberiannya pada pasien yang di-ekstubasi dan tidak
menggunakan ventilator lagi.
13. Obat-obatan inotropik IV (Digoksin, Milrinone)
a. Obat-obatan ini memiliki rentang terapeutik yang sempit dan memiliki
sejumlahinteraksi obat.
b. Pasien-pasien yang harus mendapatkan pengawasan ekstra adalah: lansia (geriatric)
yang mendapat dosis tinggi obat inotropik dan juga mengkonsumsi quinidine.
c. Dalam penggunaan obat, berikan edukasi kepada pasien mengenai pentingnya
kepatuhan pasien dalam hal dosis, perlunya pemeriksaan darah perifer secara rutin,
dan tanda-tanda peringatan akan terjadinya potensi over dosis.
d. Tingkatkan pemantauan pasien dengan memperbanyak kunjungan dokter dan
pemeriksaan laboratorium
e. Lakukan pemeriksaan digoksin darah secara rutin.
f. Monitor penggunaan Digibind dan kembangkan suatu protokol mengenai indikasi
penggunaan Digibind.
14. Garam fosfat (Natrium dan Kalium)
a. Sebisa mungkin, berikan terapi pengganti fosfat melalui jalur oral
b. Berikan dalam bentuk natrium fostat, kapanpun memungkinkan
b. Pemberian Kalium Fosfat berdasarkan pada level/kadar fosfat inorganik pasien
dan faktor klinis lainnya.
c. Dosis normal kalium fosfat: tidak melebihi 0,32 mmol/kgBB dalam 12 jam. Dosis
dapat diulang hingga serum fosfat > 2 mg/dl.
d. Selalu berikan via pompa infuse.
119
C. PEMBERIAN HIGH ALERT MEDICATIONS PADA PEDIATRIK DAN
NEONATUS
1. High alert medications pada neonatus dan pediatric serupa dengan obat-obatan pada
dewasa, dan obat-obatan di bawah ini:
a. Regicide (semua jalur pemberian)
b. Chloral hydrate (semua jalur pemberian)
c. Insulin (semua jalur pemberian)
d. Digoksin (oral dan IV)
e. Infuse dopamine, dobutamin, epinefrin, norepinefrin
120
Tabel Konsentrasi Standar Obat-obatan untuk Pediatric, PICU, dan NICU
Obat Konsentrasi 1 Konsentrasi 2 Konsentrasi 3
KCl 0,1 mEq/ml 0,2 mEq/ml
(10 mEq/100ml) (20 mEq/100ml),
hanya untuk
infus vena
sentral
121
c. Hanya staf yang berpengalaman dan kompeten yang diperbolehkan memberikan obat.
d. Simpan dan instruksikan hanya 1 (satu) konsentrasi.
e. Harus memberikan instruksi dalam satuan milligram, tidak boleh menggunakan
satuan milliliter
f. Jangan menginstruksikan penggunaan obat-obatan ini sebagai rutinitas /jika perlu.
Jika diperlukan pemberian obat secara pro re nata (jika perlu), tentukan dosis
maksimal yang masih diperbolehkan (misalnya: dosis maksimal 500 mg per hari).
122
BAB X
PENGEMBANGAN STAF DAN PROGRAM PENDIDIKAN
Dalam upaya meningkatkan pengetahuan staf instalasi farmasi disusun setiap tahun
program pengembangan staf instalasi farmasi, diusulkan ke Direktu RS melalui bidang diklat,
apabila disetujui dilaksanakan pada tahun yang akan datang. Program pengembangan staf
dapat berupa program pendidikan berkelanjuatan, pelatihan atau pertemuan ilmiah. Instalasi
Farmasi RS Karang Tengah Medika juga menjadi tempat praktek kerja siswa SMF dan D3
Farmasi.
a. Program orientasi bagi tenaga baru instalasi farmasi
Tenaga Instalasi farmasi yang baru ditetapkan di IFRS Karang Tengah Medika menjalani
program orientasi selama 1 bulan. Tenaga yang bersangkutan ditugaskan pada shift pagi
sampai masa orientasi berakhir. Setelah 1 bulan, baru ditugaskan seperti tenaga yang lain,
yaitu dinas 3 shift untuk Apoteker/Ahli Madya Farmasi, dan untuk Apoteker tetap shift
pagi.
b. Program Diseminasi
Merupakan program pendidikan intern dimana karyawan yang telah mengikuti kegiatan
pendidikan berkelanjutan, pelatihan dan kursus wajib membagikan pengetahuan kepada
karyawan lain.
c. Program Jangka Pendek
Tujuan program pendidkan, pelatihan dan pertemuan ilmiah adalah untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia, antara lain :
Mengikutsertakan karyawan instalasi farmasi secara bergiliran dalam seminar,
simposium, lokakarya, pelatihan yang diadakan didalam atau luar RS.
Mengikutsertakan karyawa instalasi farmasi dalam training/kursus serta
kunjungan RS lain.
d. Program Monitoring
Memonitor program orientasi tenaga baru :
- Disiplin kerja dan kerapian dalam berpakaian
- Kecepatan dan ketepatan dalam menjalankan tugas yang telah ditentukan
Memonitor program disseminasi
- Memonitor pelaksanaan program disseminasi sesuai jadwal pelaksanaan
123
- Memonitor keberhasilan program disseminasi dengan memberikan umpan balik
kepada seluruh karyawan farmasi
124
3) Peningkatan pelayanan farmasi dan pelayanan farmasi klinik sesuai dengan prosedur
tetap
4) Melakukan pembaharuan prosedur tetap sesuai dengan keadaan dan perkembangan
instalasi farmasi
5) Peningkatan mutu terpadu pelayanan rumah sakit
a) Jangka Pendek
- Meneliti dan mengevaluasi kepuasan/keinginan pasien melalui kuestioner dan
gugus kendali mutu
- Pembinaan personil dan motivasi secara berkala
- Mengikuti pelatihan/pendidikan bagi tenaga farmasi secara bergantian
- Penambahan sumber daya manusia sesuai keadaan dan perkembangan
instalasi farmasi
7) Program pengendalian mutu
Kegiatan pengendalian mutu meliputi :
- Pemantauan : Mengumpulkan informasi/data yang berhubungan
dengan pelayanan farmasi
- Penilaian : Menilai secara berkala masalah atau yang timbul dalam
pelayanan dan berupaya untuk memperbaikinya.
- Tindakan : Bila masalah sudah ditemukan, dilakukan tindakan untuk
memperbaiki dan mendokumentasikan.
- Evaluasi : mengevaluasi efektifitas tindakan agar dapat diterpakan
dalam program jangka panjang.
- Umpan balik : Menginformasikan hasil tindakan secara teratur kepada
staf
8) Evaluasi mutu pelayanan kefarmasian
Indikator inti, antara lain :
- Indikator penulisan resep oleh dokter
- Jumlah rata-rata obat setiap kali kunjungan
- Persentase penulisan resep antibiotik
- Persentase penulisan resep injeksi
- Persentase penulisan resep sesuai formularium
- Persentase penulisan resep generik
Indikator pelayanan pasien
125
- Rata-rata waktu pelayanan per resep
- Persentase obat yang dibeli pasien
Indikator pelengkap, antara lain :
- Rata-rata biaya obat per lembar resep rawat jalan
- Rata-rata biaya antibiotik
- Rata-rata biaya obat injeksi
- Persentase obat yang diresepkan yang masuk dalam formularium
- Persentase pasien yang puas terhadap pelayanan yang diterimanya.
126
BAB XI
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR
127
XX. PENCATATAN DAN PELAPORAN PENGGUNAAN NARKOTIKA DAN
PSIKOTROPIKA
XXI. PENCATATAN DAN PELAPORAN PENGGUNAAN MORFIN, PETHIDIN,
FENTANYL INJ EKSI PER PASIEN
XXII. PENCATATAN DAN PELAPORAN PENGGUNAAN OBAT GENERIK
XXIII. PENGAWASAN MUTU PERBEKALAN FARMASI DAN MUTU
PELAYANAN FARMASI
XXIV. PENGARSIPAN DOKUMEN
XXV. PENGARSIPAN RESEP
XXVI. PEMUSNAHAN RESEP
XXVII. PENARIKAN OBAT KADALUARSA
XXVIII. PEMUSNAHAN PERBEKALAN FARMASI RUSAK/KADALUARSA
XXIX. KEBIJAKAN PENANGANAN BILA PERBEKALAN FARMASI TIDAK
TERSEDIA DI RUMAH SAKIT
129
2. Pemeriksaan perbekalan farmasi dilakukan dengan menyesuaikan antara Surat
Pesanan, faktur pembelian dan barang yang diterima.
3. Setiap perbekalan farmasi yang diterima oleh panitia penerimaan dibuatkan
berita acara yang ditandatangani panitia penerimaan.
4. Perbekalan farmasi yang diterima dan diperiksa kebenarannya oleh panitia
penerimaan disimpan digudang instalasi farmasi.
130
4. Kunci lemari narkotika dan psikotropika disimpan oleh Apoteker dan Asisten
Apoteker senior bertugas.
131
2. Instalasi farmasi juga melayani amprahan BAKHP bagi poli/instalasi dan
ruangan yang memerlukan.
3. Pelayanan instalasi farmasi mencakup pasien umum, Askes PNS, Jamsostek,
pasien perusahaan yang menjalin kerjasama, Jamkesmas/Da/Prov/jampersal dan
karyawan rumah sakit non PNS.
4. Kriteria dan tata cara pelayanan masing-masing pasien mengikuti prosedur yang
berlaku di Rumah Sakit
132
2. Penulisan resep harus mengacu pada formularium RS yang ditetapkan Direktur
melalui Panitia farmas dan Terapi
133
XX. PENCATATAN DAN PELAPORAN PENGGUNAAN NARKOTIKA DAN
PSIKOTROPIKA
1. Rumah Sakit Karang Tengah Medika khususnya Instalasi Farmasi secara rutin
mengirimkan laporan penggunaan narkotika dan psikotropika secara rutin sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
134
3. Berkas berupa kartu stok, buku catatan, laporan disimpan selama 5 tahun
dan setelah 5 tahun dapat dimusnahkan.
135
farmasi tersebut habis sebelum waktu nya dan sangat diperlukan untuk
pelayanan .
I. PENGKAJIAN RESEP
II. PENULIS RESEP
III. FARMASI TENTANG BATASAN PEMBERIAN OBAT OLEH PETUGAS
IV. BATASAN PENULISAN RESEP
V. PENULISAN RESEP
VI. PELAYANAN FARMASI MENETAPKAN UNTUK MENGHUBUNGI
PETUGAS PENULIS RESEP/PESANAN OBAT BILA TIMBUL
PERTANYAAN
VII. DISPENSING
VIII. SISTEM DISTRIBUSI KEPADA PASIEN
IX. FARMASI YANG MENELAAH RESEP
X. FARMASI YANG BERWENANG PENYERAHAN OBAT
XI. PELAYANAN INFORMASI OBAT
XII. KONSELING
XIII. VISITE PASIEN
XIV. PENGKAJIAN PENGGUNAAN OBAT
XV. PEMANTAUAN DAN PELAPORAN EFEK SAMPING OBAT
XVI. MEDICATION ERROR DAN KESELAMATAN PASIEN
XVII. TENTANG PENDOKUMENTASIAN DAN PENGELOLAAN OBAT YANG
DIBAWA KE DALAM RUMAH SAKIT OLEH PASIEN
XVIII. WAKTU TUNGGU PELAYANAN OBAT
XIX. TENTANG PENGOBATAN SENDIRI / SWAMEDIKASI
XX. PEMBENTUKAN PFT
XXI. PENGAWASAN OBAT
136
I. PENGKAJIAN RESEP
1. Pengkajian resep dilaksanakan oleh Apoteker
2. Tiap resep yang masuk diperiksa persyaratan administrasi meliputi nama pasien,
umur, jenis kelamin, berat badan pasien, nama dokter, nomor ijin, alamat dan
paraf dokter, tanggal resep dan ruangan asal resep. Diperiksa juga persyaratan
farmasi meliputi bentuk dan kekuatan sediaan, dosis dan jumlah obat, aturan, cara
dan teknik penggunaan.
3. Apabila resep yang diperksa ada yang tidak sesuai dengan poin nomor 2, apoteker
berhak menanyakan ke dokter penulis resep
137
VI. KEBIJAKAN PELAYANAN FARMASI MENETAPKAN UNTUK
MENGHUBUNGI PETUGAS PENULIS RESEP/PESANAN OBAT BILA
TIMBUL PERTANYAAN
1. Apoteker bertanggung jawab melakukan pekerjaan kefarmasian sesuai dengan
peraturan yang berlaku dalam hal menghubungi petugas yang menulis resep /
pesanan obat bila timbul pertanyaan
VII. DISPENSING
1. Resep-resep yang memenuhi persyaratan adminstrasi dan persyaratan farmasi di
interpretasikan.
2. Resep dihargai kemudian disiapkan obat-obatan yang diperlukan, diberikan
etikan, diserahkan disertai dengan pemberian informasi obat yang memadai.
3. Resep yang telah dilayani didokumentasikan sesuai ketentuan yang berlaku.
138
3. Instalasi Farmasi bersama dengan PKMRS melakukan kegiatan penyuluhan bagi
pasien rawat jalan, rawat inap.
4. Instalasi farmasi melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga Farmasi dan
tenaga kesehatan lain.
XII. KONSELING
1. Konseling merupakan proses yang sistematik untuk mengidentifikasi dan
penyelesaian masalah pasien yang berkaitan dengan pengambilan dan penggunaan
obat pasien rawat jalan dan pasien rawat inap.
2. Konseling dimaksudkan untuk memberi permasalahan yang benar mengenai obat,
tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara menggunakan obat, lama penggunaan
obat, efek samping obat, tanda-tanda toksisitas, dan cara penyimpanan obat.
139
normal yang digunakan pada manusai untuk tujuan profilaksis, diagnosis, dan
terapi.
2. Pemantauan efek samping obat adalah kegiatan bersama antara instalasi farmasi,
panitia Farmasi dan terapi serta ruang rawat inap.
3. Instalasi farmasi harus selalu memperhatikan ketersediaan Formulir MESO di
ruangan.
140
XVIII. KEBIJAKAN PEMBENTUKAN PFT
141
D. PROSEDUR TETAP PELAYANAN INSTALASI FARMASI
142
XXIV. Prosedur pencatatan dan pelaoran penggunaan morfin, pethidin dan fentanyl
injeksi ke pasien
XXV. Prosedur pencatatan dan pelaporan obat generik
XXVI. Prosedur pengarsipan dokumen
XXVII. Prosedur pengarsipan resep
XXVIII. Prosedur pemusnahan resep
XXIX. Prosedur pemusnahan perbekalan farmasi yang rusak/kadaluarsa
XXX. Prosedur pengkajian resep
XXXI. Prosedur dispensing
XXXII. Prosedur pemantauan dan pelaporan efek samping obat
XXXIII. Prosedur pelayanan informasi obat
XXXIV. Prosedur konseling
XXXV. Prosedur visite
XXXVI. Prosedur pengkajian penggunaan obat
XXXVII. Prosedur evaluasi kinerja tenaga instalasi farmasi
XXXVIII. Prosedur orientasi pegawai baru
XXXIX. Prosedur penyusunan jadwal dinas
XL. Prosedur Evaluasi dan Pengendalian Mutu
XLI. Prosedur peningkatan mutu sumber daya manusia instalasi farmasi
XLII. Prosedur pertemua berkala
XLIII. Prosedur perjanjian kerjasama pendidikan dan pelatihan dengan institusi
pendidikan kefarmasian
XLIV. Prosedur bimbingan siswa/mahasiswa kefarmasian
XLV. Prosedur penjenjangan karier
XLVI. Prosedur Apabila penulisan resep tidak jelas dan tidak terbaca
XLVII. Penanganan iv mixture
XLVIII. Prosedur Penarikan obat kembali
XLIX. Prosedur Pengadaan pihak ke 3
L. Prosedur pengelolaan obat rusak atau kadaluarsa
LI. Prosedur penanganan radioaktif / Sitostatika
LII. Prosedur Penambahan obat Formularium
LIII. Prosedur Penyerahan Obat
LIV. Prosedur Penarikan Obat Rusak atau Kadaluarsa
143
LV. Prosedur Penyimpanan Obat Nutrisi
LVI. Prosedur Penyimpanan Obat Emergensi
144
BAB XII
PENUTUP
145