Anda di halaman 1dari 4

Arsitektur Rumah Bali yang Hilang

Dari jaman dahulu para undagi Bali sangat ketat dan taat mengikuti aturan atau
pakem dalam mendirikan bangunan, sehingga aturan pembangunan di Bali seperti
dikenal dalam rontal Asta Kosala Kosali atau Asta Petali. Undagi jaman dahulu
tidak berani keluar dari konsep yang telah digariskan oleh para leluhurnya,
sehingga dikenal adanya konsep tata ruang Tri Loka atau Tri Angga, yakni
membagi areal hunian menjadi tiga yaitu nista, madya dan utama atau bhur, bwah
dan swah yang akhirnya menjadi konsep Tri Hita Karana dan akhirnya melahirkan
konsep orientasi kosmologi yang disebut Nawa Sanga atau Sanga Mandala, hingga
konsep keseimbangan kosmologi yang disebut Manik Ring Cucupu.

Pembangunan selalu selaras dengan alam sekelilingnya dengan memperhatikan


faktor lingkungan. Di jaman dahulu orang menggunakan sikut, sehingga bangunan
yang akan dibuat sesuai dengan proporsi pemiliknya, menjadi nyaman dan
menyenangkan, karena selalu memperhatikan ruang terbuka yang di sebut natah
dan adanya pengaturan waktu dalam penyediaan bahan bangunan, sehingga
keseimbangan dan kelestarian alam tetap terjaga.
Mungkin suatu saat nanti, semua ajaran adi luhung leluhur tentang arsitektur akan
menjadi suatu sejarah, karena sudah tidak ada yang mengikuti, sudah kuno atau
sudah ketinggalan jaman. Semua bangunan pada jaman ini dibuat secara praktis,
ekonomis dan kalau seandainya bisa, mengerjakan bangunan ingin dapat
diselesaikan dalam waktu semalam. Pengerjaan bangunan tanpa memandang lagi
pakem yang sudah pernah ada, semua dihantam rata. Tidak perlu mencari hari baik
untuk memulai pekerjaan, apalagi untuk mencari bahan bangunan. Arsitektur
bangunan sudah tidak mencerminkan Bali, terutama di pusat kota. Kalaupun harus
bercirikan Bali, akan terlihat beberapa tempelan hiasan Bali dibeberapa sudut
bangunan yang berkesan terlalu dipaksakan. Kalaupun Bali masih peduli dan ingin
untuk melestarikan budaya dan arsitekturnya, tentulah tidak terlambat. Masih dapat
diselamatkan, terutama jika ada niat dan tekad yang kuat dari orang Bali itu sendiri
dan juga Pemerintah Daerah sebagai badan yang memiliki wewenang kontrol dapat
melakukan pekerjaannya dengan konsekuen. Arsitektur Bali dan para undagi
selayaknya juga menyediakan bentuk dan design rumah sederhana bercirikan Bali,
menyediakan ragam gambar yang banyak, sehingga masyarakat dapat menirunya
atau memperoleh ilham dan ide ketika mereka membangun.

Kalau mau jujur, masyarakat kebanyakan tidak mengerti tentang apa yang
dimaksud dengan arsitektur Bali, apakah menyangkut bentuk atap, bentuk
bangunan, hiasan ornamen atau bahan bangunan yang dipergunakan. Seandainya
orang Bali sudah tidak berminat lagi untuk mempergunakan arsitektur Bali, maka
Bali akan menjadi asing di tanahnya sendiri. Karena perkembangan jaman dan
perkembangan manusia, bangunan bertingkat tinggi akan segera merambah Bali.
Kalau bangunan tingkat tinggi sudah merupakan suatu keharusan, karena
menyelamatkan lahan dan menyikapi harga tanah yang mahal, maka Bali tidak ada
bedanya dengan kota besar lainnya dan akan berubah menjadi kota metropolitan.
Memang akan sangat disayangkan, namun itulah kenyataannya. Arsitektur Bali
yang tersisa mungkin hanya terdapat pada bangunan Pura yang tetap bertahan
selaras dengan perkembangan agama Hindu di Bali.

Penggak” Orang Bali yang Hilang


Dahulu orang Bali dipedesaan mengenal istilah penggak, penggak merupakan
sebuah tempat seperti Warung dan "posko" sekarang yang berada di pojokan
Banjar. Penggak merupakan sebuah wadah informal yang biasa dipakai oleh
masyarakat untuk berdiskusi dan melakukan kegiatan sebelum melaksanakan rapat
di Banjar. Biasanya dari penggak ini muncul ide-ide baru yang akan dibicarakan
pada rapat Banjar. Wadah seperti itu sudah beralih menjadi Posko partai politik
yang memanfaatkan Penggak sebagai pencarian "Masa /pendukung". Penggak
sekarang sudah hilang. hilang fungsi utama, dan hilang juga kreativitas didalamnya
untuk memunculkan ide-ide baru.

Contoh budaya Bali yang sudah rapuh, yaitu:

Eksistensi Desa Adat Di Bali Rapuh

Eksistensi dan implementasi desa pakraman atau desa adat di Bali kini terancam
rapuh, ditandai banyaknya kasus atau konflik adat, seperti pertikaian kelompok
warga antarbanjar atau dusun dalam satu desa maupun dengan desa
lainnya."Banyaknya kasus adat seperti yang terjadi di Desa Pakudui, Kecamatan
Tegallalang, Kabupaten Gianyar, merupakan bukti rapuhnya eksistensi desa
pakraman," kata Plt Bendesa Agung Desa Pakraman Dewa Gede Ngurah Suasta.
Konflik memuncak ketika prosesi pengusungan jenazah seorang warga Banjar
Pakudui Kangin, dihadang oleh warga Banjar Pakudui Kauh. Menurut Ngurah
Suasta, keberadaan desa pakraman rapuh saat dasar desa adat itu, yakni ajaran
agama Hindu, mulai banyak dilupakan oleh masyarakatnya. "Warga banyak yang
mulai tidak patuh menjalankan ajaran yang seharusnya menjadi pedoman dalam
kehidupan sehari-hari," ujarnya.
Eksistensi Subak di Bali Rapuh

Subak sedang menghadapi bermacam tantangan, lebih-lebih dalam menyongsong


era globalisasi yang jika tidak teratasi maka kelangsungan hidup subak bias
terancam. Tantangan-tantangan tersebut antara lain:

Anda mungkin juga menyukai