Anda di halaman 1dari 608

KOLITA 14

Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya Keempat Belas

Koordinator:
Yanti, Ph.D.

Pusat Kajian Bahasa dan Budaya


Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
2016
ISBN: 978-602-8474-36-8

KOLITA 14
KONFERENSI LINGUISTIK TAHUNAN ATMA JAYA 14

Koordinator:
Yanti, Ph.D.

Pusat Kajian Bahasa dan Budaya


Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
2016

Prosiding Tanpa Pengeditan


DAFTAR ISI KOLITA 14
Nama Judul Afiliasi Halaman
Nick Palfreyman LINGUISTIC RESEARCH USING PARTICIPATORY METHODS: International Institute for 1
GRAMMATICAL NEGATION IN INDONESIAN SIGN Sign Languages and Deaf
LANGUAGE Studies, University of Central
Lancashire, United Kingdom

Suhardianto THE CONSTRUCTION OF SLANG LANGUAGE FORM AND Universitas Putera Batam 7
TEENAGERS’ PERSPECTIVE USE FOUND IN BATAM
Ike Revita TERORISME VERBAL DALAM AKTIFITAS WOMEN Universitas Andalas 12
TRAFFICKING DI INDONESIA
Sony Christian Sudarsono REPRESENTASI GERAKAN FAJAR NUSANTARA (GAFATAR) Universitas Sanata Dharma 15
DALAM WACANA EDITORIAL REPUBLIKA DAN SUARA
PEMBARUAN EDISI 14 JANUARI 2016
Jufrizal VERBAL PREDICATES WITH “DI-KANAI-I” AND “KANAI” IN Universitas Negeri Padang 20
MINANGKABAUNESE: FROM GRAMMATICAL TO LEXICAL
PASSIVIZATION?
P. Ari Subagyo MAKSUD TUTURAN MIM “SELAMAT PAGI” DALAM Universitas Sanata Dharma 25
WACANA MEDIA SOSIAL
Temmy Widyastuti, METAFORA SEKS DALAM HUMOR KANG IBING: KAJIAN Universitas Pendidikan 30
Mahardhika Zifana ETNOLINGUISTIK TERHADAP KONSEP CAWOKAH DALAM Indonesia
HUMOR BERBAHASA SUNDA
Mahardhika Zifana KONFLIK YAMAN DALAM BAHASA MEDIA GLOBAL Universitas Pendidikan 34
(ANALISIS WACANA KRITIS TERHADAP PEMBERITAAN Indonesia
KONFLIK YAMAN DI BRITISH BROADCASTING
CORPORATION (BBC) DAN ISLAMIC REPUBLIC OF IRAN
BROADCASTING (IRIB))
Dessy Kusuma Vinahari THE IMPLEMENTATION OF VIDEO MODELING TO IMPROVE State University of Malang 39
TENTH GRADERS' SPEAKING SKILLS IN SENIOR HIGH
SCHOOL 1 MALANG
Ardi Nugroho THE RELATION BETWEEN EFL STUDENTS’ VOCABULARY SIZE Universitas Bunda Mulia 44
AND LEXICAL RICHNESS IN WRITING
Devian Try Gustary, THE USE OF COOPERATIVE LEARNING IN DEVELOPING Indonesia University of 48
Didi Sukyadi STUDENTS’ SPEAKING SKILLS Education
Diki Salman Alqo WASHBACK OF ENGLISH NATIONAL EXAMINATION (ENE) Indonesia University of 49
ON ENGLISH TEACHERS’ TEACHING PROCESS AFTER Education
REVISION OF ENE REGULATION
Herland Franley Manalu STUDENTS’ PERCEPTION OF PEER EVALUATION IN ORAL University of Indonesia 54
PRESENTATION AT THE UNIVERSITY OF INDONESIA

Jeanyfer Tanusy THE NARRATIVE SYNTAX OF THE LITTLE PRINCE: A Indonesia University of 58
SEMIOTICS ANALYSIS Education
Diana Nur Fathimah A MULTIMODAL ANALYSIS OF MOTHERS REPRESENTATION Indonesia University of 63
IN TELEVISION ADVERTISEMENTS Education
Rahmiwati Hermanto, THEMATIC PROGRESSION IN ENGLISH AND INDONESIAN Universitas Padjadjaran 67
Rizky Tazkiyatul Ummami VERSION IN AGATHA CHRISTIE’S SHORT-STORY: A
SYSTEMIC FUNCTIONAL LINGUISTIC
Yudi Juniardi ESL STUDENTS’ CRITICAL THINKING AND THEIR ACADEMIC Sultan Ageng Tirtayasa 72
WRITING SKILL University
Nayla Sabrina PENYIMPANGAN ASPEK PRAGMATIK WACANA DIALOG Universitas Indonesia 77
PADA NOVEL YANG BERJUDUL KAMBING JANTAN: SEBUAH
CATATAN HARIAN PELAJAR BODOH KARYA RADITYA DIKA

Dewa Made Artha Yogadinata CAPITOL MELAWAN DISTRICT 13: KOLOKASI VERBA YANG Universitas Airlangga 81
TERDAPAT PADA KARAKTER KATNISS DAN PRESIDEN SNOW
DALAM NOVEL TRILOGI HUNGER GAMES BERDASARKAN
KORPUS
Wahyu Damayanti KARAKTERISTIK BAHASA PADA NOVEL CATATAN HATI Balai Bahasa Provinsi 85
SEORANG ISTRI KARYA ASMA NADIA Kalimantan Barat

i
DAFTAR ISI KOLITA 14
Nama Judul Afiliasi Halaman
Nurhafni, ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA DI MEDIA SOSIAL Universitas Mataram 91
Zulkifli, “FACEBOOK” YANG DAPAT MEMENGARUHI
Dhilla Fithriya KEBERTAHANAN BAHASA INDONESIA: SEBUAH KAJIAN
MORFOLOGI
Ida Basaria UJI-GRAMATIKAL RELASI SUBJEK BAHASA PAKPAK DAIRI: Universitas Sumatera Utara 96
SEKILAS KAJIAN TIPOLOGI SINTAKSIS
Dian Karina Rachmawati HIERARKI MORFOLOGI VERBA REDUPLIKASI BAHASA Universitas Muhammadiyah 101
MADURA: PROSES DERIVASI DAN INFLEKSI DALAM KAJIAN Surabaya
MORFOLOGI DISTRIBUSIONAL
Dhion Meitreya Vidhiasi REDUPLIKASI BAHASA DAYAK SUHAID: KAJIAN MORFOLOGI Akademi Maritim Nusantara 106
DISTRIBUSI Cilacap, Universitas
Diponegoro
Ingatan Gulö LINGUISTIC ANALYSIS ON THE NAMES OF NIAS ANCESTORS STBA Teknokrat 111

Angkita Wasito Kirana PERBANDINGAN KEKAYAAN KOSAKATA MAHASISWA LAKI- Universitas Airlangga 116
LAKI DAN PEREMPUAN: STUDI KASUS DI FAKULTAS SAINS
DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Terra Bellatrix Aden Nashahta KOLOKASI WANITA DAN PEREMPUAN DI DALAM MAJALAH Universitas Airlangga 121
MALE DAN KARTINI
Ratnatul Faizah VARIASI BAHASA WARIA DI LINGKUNGAN TAMAN Universitas Mataram 126
UDAYANA: SEBUAH KAJIAN EKOLINGUISTIK
Lilik Wahyuni BUKU AJAR BAHASA INDONESIA BERBASIS JENDER SEBAGAI IKIP Budi Utomo Malang 132
ARENA REKAYASA SOSIAL BUDAYA DALAM
PENGEMBANGAN KARAKTER BANGSA
Panusak Meekaeo REVEALING THE CORRELATION BETWEEN EFL SIXTH Indonesia University of 137
GRADER SCORES ON THE ENGLISH TEACHER-MADE TESTS Education
AND THE ORDINARY NATIONAL EDUCATIONAL TESTING (O-
NET)
Eva Meidi Kulsum ASSESSMENT: TEST AND REFLECTIVE JOURNAL WRITING Indonesia University of 141
BASED ON STUDENTS’ PERCEPTIONS Education
Lukman Arif Rachman STUDENTS’ RESPONSE TOWARD ONLINE MULTIPLE-CHOICE Indonesia University of 146
TEST TO ASSESS STUDENTS’ READING COMPREHENSION Education

Claudius Bona THE EFFECTIVENESS OF INTEGRATED ENGLISH COURSES TO Politeknik Universitas 151
DEVELOP ENGLISH SKILLS Surabaya
Harwintha Yuhria Anjarningsih CHARACTERISING THE READING DEVELOPMENT OF University of Indonesia 156
INDONESIAN CHILDREN
Luluk Isani Kulup, STRATEGI BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN BAHASA Universitas PGRI Adi Buana 160
Rahayu Pujiastuti KEDUA ANAK USIA PRASEKOLAH
Ana Widyastuti PENGARUH APLIKASI METODE BERNYANYI TERHADAP Universitas Indraprasta PGRI 166
PENGUASAAN KOSAKATA BAHASA ANAK KELOMPOK A DI
TK ASSAADAH LIMO DEPOK
Ratu Rohullah, PELESAPAN DAN PERUBAHAN FONEM PADA BAHASA ANAK Universitas Mataram 169
Rozali Jauhari A., PRASEKOLAH DI TAMAN KANAK-KANAK ISLAM TERPADU
Wirman Hardi Gunawan DOMPU NTB (TINJAUAN PSIKOLINGUISTIK)
Dinda Puteri Alhumaira IMPLIKASI PRINSIP IRONI DALAM BAHASA JEPANG (KAJIAN Universitas Padjadjaran 173
PRAGMATIK)
Vera Yulianti STRATEGI PENGUASAAN KATA SERAPAN BAHASA INGGRIS Universitas Al Azhar 177
DALAM BAHASA JEPANG (WASEI-EIGO ) PADA PEMELAJAR Indonesia
BAHASA JEPANG ORANG INDONESIA
Diana Kartika TINDAK MEMINTA MAAF DALAM BAHASA JEPANG DAN Universitas Bung Hatta 182
BAHASA INDONESIA OLEH PEMBELAJAR SASTRA JEPANG,
FAKULTAS ILMU BUDAYA, UNIVERSITAS BUNG HATTA

Uti Aryanti, MEMAHAMI KARAKTER HAN DENGAN Universitas Indonesia 183


Assa Rahmawati Kabul, MENGASOSIASIKANNYA DENGAN BENDA-BENDA ALAM
Hana Nurul Hasanah
ii
DAFTAR ISI KOLITA 14
Nama Judul Afiliasi Halaman
A. Djawad Mubasyir KERUWETAN GRAMATIKAL DAN TINGKAT KEAKADEMIKAN Universitas Indraprasta PGRI 188
KARYA TULIS
Dian Eka Chandra Wardhana KONSTRUKSI RETORIKA YANG TEREFLEKSIKAN DALAM Universitas Bengkulu 194
PROSES KREATIF PENULISAN BAB TEMUAN PENELITIAN
DAN PEMBAHASAN AJP BERBAHASA INDONESIA DI JURNAL
TERAKREDITASI BIDANG PENELITIAN BAHASA

Afwin Sulistiawati PROFIL KOSAKATA PADA CERITA PILIHAN DI MAJALAH Universitas Airlangga 199
BOBO EDISI SEPULUH CERITA TERAKHIR 2015
Agung Pramujiono, KESANTUNAN INTEROGATIF DALAM INTERAKSI Universitas PGRI Adi Buana 204
Nunung Nurjati, INSTRUKSIONAL GURU SD DI SURABAYA
Taufik Nurhadi
Diana Nur Fathimah, TEACHING GRAMMAR TO HETEROGENOUS CLASS (A CASE Indonesia University of 208
Muhammad Hasanul ‘Aqil STUDY IN A NON-FORMAL ENGLISH COURSE IN BANDUNG) Education

Erwin Rahayu Saputra, SEEING GENRE-BASED APPROACH IMPLEMANTATION IN Indonesia University of 212
Ronauli Sihombing THE 2006 AND THE 2013 INDONESIA SECONDARY ENGLISH Education
CURRICULUM
Theodora Rani STUDENTS PERCEPTION OF SELF-ASSESSMENT AND THE Indonesia University of 217
USE OF SELF-ASSESSMENT IN ENGLISH WRITING SKILL Education

Fauzia CHOOSING VARIETIES OF ENGLISH FOR ENGLISH University of Ahmad Dahlan 222
EDUCATION DEPARTMENT STUDENTS AT UAD
Muhammad Yunus Anis JENIS FEMINA YANG BERSIFAT SIMA’I (COMMON USAGE) Universitas Sebelas Maret 227
DALAM NOMINA BAHASA ARAB: ANALISIS MORFOLOGI

Dike Febianti, ARUS MODERNISASI DALAM ABREVIASI KULINER JAWA Universitas Pendidikan 231
Mahmud Fasya BARAT: TELAAH MORFOLOGI Indonesia
Miftah Nugroho, KESANTUNAN TUTURAN MAD’U DALAM DAKWAH Universitas Sebelas Maret 235
Sri Samiati Tarjana, DIALOGIS DI KOTA SURAKARTA: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK
Dwi Purnanto
Dede Fatinova, INTERAKSI MAHASISWA SUKU BANJAR DI LINGKUNGAN Universitas Pendidikan 240
Rezky Amelda KAMPUS SEBAGAI UPAYA PEMERTAHANAN BAHASA Indonesia
BANJAR
Eni Sugiharyanti PENGGUNAAN BAHASA JAWA PADA WIKIPEDIA: UPAYA Universitas Brawijaya 244
PENGENALAN DAN PELESTARIAN BAHASA DAERAH
MELALUI INTERNET
Hestiyana UJARAN FATIS DALAM BAHASA BANJAR Balai Bahasa Kalimantan 250
Selatan
Y. Claudia Dhian Ariani PERBANDINGAN HASIL KEMAMPUAN MEMBACA Universitas Katolik Indonesia 255
PEMAHAMAN ANTARA STRATEGI MEMBACA Atma Jaya
PEMAHAMAN OK4R DAN STRATEGI ECOLA PADA SISWA
SEKOLAH DASAR
Nurhayati THE POWER STRUGGLE IN THE TESTIMONY OF SUDIRMAN Universitas Diponegoro 259
SAID TO THE HOUSE ETHICS COUNCIL (MKD)

Fransisca Dwi Harjanti LEKSIKON SEBAGAI SARANA MARJINALISASI: KAJIAN AWK Universitas Wijaya Kusuma 264
DALAM BERITA KASUS GAFATAR DAN TERORISME
Nuryadi PEMBERITAAN KORAN JP TENTANG PENERAPAN SYARIAH Universitas Islam 45 271
ISLAM DI ACEH: SUATU ANALISIS WACANA
Cindy Carla Djasmeini, THE EFFECT OF PROCESSING INSTRUCTION ON Atma Jaya Catholic 276
David Wijaya INDONESIAN LEARNERS’ ACQUISITION OF THE ENGLISH University of Indonesia
PLURAL MARKER
Yulia Helsi, RHETORICAL STRATEGIES OF FLOUTING MAXIM PADA Universitas Padjadjaran 281
Mahgfirah Firdaus Soberatta PRINSIP KERJA SAMA DALAM TALK SHOW SARAH SECHAN
NET TV: KAJIAN PRAGMATIS

iii
DAFTAR ISI KOLITA 14
Nama Judul Afiliasi Halaman
Aam Alamsyah THE USE OF LOCAL SHORT STORY IN ENGLISH LANGUAGE Atma Jaya Catholic 286
LEARNING (A LITERARY REVIEW ON THE USE OF LOCAL University of Indonesia
SOURCES AS AN ALTERNATIVE TEACHING MEDIA IN EFL)

Iskhak, TRANSTIVITY ANALYSIS OF EFL COLLEGE STUDENTS’ Galuh University, State 291
Ahmad Sofwan, READER RESPONSES TO SHORT STORIES University of Semarang
Rudi Hartono
Mahardhika Zifana PEMBUKTIAN TERBALIK KASUS PENCEMARAN NAMA BAIK Universitas Pendidikan 298
DALAM PERSPEKTIF LINGUISTIK FORENSIK Indonesia
Ria Saraswati, ANALISIS SEMIOTIK MEME POLITIK DALAM KAMPAYE Universitas Indraprasta PGRI 302
Rr. Astri Indriana Octavita PEMILU PRESIDEN AMERIKA SERIKAT 2015
Bambang Widiatmoko PERIBAHASA INDONESIA YANG MENGGUNAKAN KATA Universitas Islam 45 307
KERBAU (BOS BUBALUS): ANALISIS SEMANTIK KOGNITIF

Ramdan Sukmawan PENOLAKAN MENGANCAM MUKA Universitas Muhammadiyah 311


Sukabumi
Mohamad Suhaizi Bin Suhaimi, MEDAN MAKNA CINTA DAN SAYANG SERTA PADANANNYA Universiti Kebangsaan 315
Nur Jannah Ab Rahman, DALAM BAHASA INGGRIS: ANALISIS DATA KORPUS Malaysia
Masitah Mad Daud
Nursyahidah, PEMEROLEHAN KALIMAT BAHASA INDONESIA ANAK USIA 2- Universitas Mataram 319
Nurfatuhiyah, 5 TAHUN PADA PAUD PERTIWI KOTA MATARAM (KAJIAN
Miftahul Jannah PSIKOLINGUISTIK)
Cahya Ningrum L. K., KARAKTERISTIK FONOLOGIS TUTURAN PEMAIN KOMEDI Universitas Pendidikan 323
Cendana Kurnaesih SITUASI KELAS INTERNASIONAL DI NET TV Indonesia
Imas Mulyati ANALISIS PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA SISWA SMA SMA Negeri 1 Ciparay Kab. 326
DALAM MEDIA SOSIAL Bandung
Aleda Mawene KEKERASAN SIMBOLIK DALAM WACANA MOB PAPUA Universitas Cenderawasih 331
Haryadi TINDAK TUTUR MEMERINTAH PADA DIALOG FILM LASKAR Universitas Muhammadiyah 335
PELANGI Palembang

Ernalida, PENGARUH MODEL MIND MAPPING KONSTRUKTIF Universitas Sriwijaya, 340


Adenan Ayob IMAJINATIF TERHADAP KEMAMPUAN MENULIS CERPEN Universitas Pendidikan
DAN SIKAP SISWA SMA N 13 PALEMBANG Sultan Idris Malaysia
Hatmi Idris MEMAHAMI MAKNA DAN PENGGUNAAN KATA MAJEMUK Universitas Indonesia 347
DALAM BAHASA MANDARIN MELALUI MAKNA TIAP
MORFEM YANG MEMBENTUKNYA
Arono PEMEROLEHAN BAHASA IBU DALAM PERSPEKTIF Universitas Bengkulu 352
PERKAWINAN CAMPUR: STUDI KASUS PADA BAHASA ANAK
DI KOTA BENGKULU
Mohammad Andi Hakim MELAWAN LEGALISASI KEKERASAN BAHASA PADA ANAK; UIN Walisongo 357
TELAAH ANALISIS WACANA KRITIS TERHADAP BUKU ANAK
ISLAM SUKA MEMBACA
Clara Herlina Karjo DISCOURSE FEATURES OF FRAUD AND DECEPTION LETTERS Bina Nusantara University 362

Rebecca Urip Wattimena CHOOSE TO SPEAK ENGLISH AT HOME: FAMILY LANGUAGE Universitas Indonesia 366
POLICY OF THREE NATIVE INDONESIAN FAMILIES

Marina Christifani GENDER DIFFERENCES IN THE REALIZATION OF Atma Jaya Catholic 372
COMPLAINTS BY INDONESIAN LEARNERS: A CASE STUDY University of Indonesia

Rika Mutiara INVESTIGATING LANGUAGE FUNCTIONS IN THE ONLINE Universitas Mercu Buana 377
REVIEWS OF TOURIST RESORTS IN INDONESIA THROUGH
THE USE OF KEYWORDS
Fatihah Md Dom, PERANAN ADJUNG DALAM BAHASA MELAYU: SATU Universiti Kebangsaan 382
Nirwana Sudirman, ANALISIS ROLE AND REFERENCE GRAMMAR Malaysia
Nur Atikah Ibrahim
Muh. Ardian Kurniawan KESANTUNAN WANITA SUKU SASAK DALAM MERESPONS STKIP Hamzanwadi Selong 388
PUJIAN BAHASA SASAK
iv
DAFTAR ISI KOLITA 14
Nama Judul Afiliasi Halaman
Suliadi VARIASI BAHASA SASAK PADA TUTURAN RITUAL ADAT Universitas Mataram 393
BUANG AU DI DESA BAYAN KABUPATEN LOMBOK UTARA:
KAJIAN SOSIOLINGUISTIK
Mohammad Fadzeli Jaafar, MORPHOSYNTAX OF NEGERI SEMBILAN AND Universiti Kebangsaan 398
Idris Aman, MINANGKABAU DIALECTS Malaysia
Norsimah Mat Awal
Usmi PERSEPSI PENGAJAR DAN PEMBELAJAR BAHASA KOREA Universitas Inha-Korea, 403
TERHADAP BUKU ‘BAHASA KOREA TERPADU UNTUK Universitas Indonesia
ORANG INDONESIA’
Irmala Sukendra TERMS OF ADDRESS USED BY THE CHINESE-INDONESIAN IN Atma Jaya Catholic 409
TANGERANG: A CASE OF CULTURAL ASSIMILATION University of Indonesia

Sari Endahwarni PREDIKAT KALIMAT IMPERSONAL BAHASA RUSIA Universitas Indonesia 414
Stella Novelina, THE MASTERY OF ENGLISH WORD ORDER BY INDONESIAN Atma Jaya Catholic 420
Lanny Hidayat AND JAPANESE EFL LEARNERS University of Indonesia
Eli Rustinar PERGESERAN BAHASA REJANG KARENA PERKAWINAN Universitas Muhammadiyah 425
BEDA SUKU DI TRANSMIGRAN DESA PEKALONGAN Bengkulu
KABUPATEN KEPAHIANG
Tri Yuliawan REDUPLIKASI VERBA BAHASA MELAYU DI DESA TELUK Universitas Islam Riau 427
MEGA KECAMATAN TANAH PUTIH KABUPATEN ROKAN
HILIR RIAU
I Wayan Dirgeyasa POTRET PENGGUNAAN BAHASA BALI BAGI KOMUNITAS Universitas Negeri Medan 432
BALI DI KOTA MEDAN
Widyatmike Gede Mulawarman SISTEM SAPAAN BAHASA DAYAK KENYAH Universitas Mulawarman 437
Abd. Hadi Kudin, PEMILIHAN BAHASA KANAK-KANAK ORANG ASLI SEMAI Universiti Kebangsaan 438
Karim Harun Malaysia
Christela Cindy, THE GRAMMATICAL ERRORS IN THE TRANSLATION OF Atma Jaya Catholic 443
Hilda Novita, INDONESIAN PASSIVE CONSTRUCTIONS BY GOOGLE University of Indonesia
Suwarni Wijaya Halim TRANSLATE
Ade Mulyanah STRATEGIES OF TRANSLATING NOTICES: TERMINOLOGY Balai Bahasa Provinsi Jawa 448
TRANSLATION FROM ENGLISH INTO INDONESIAN Barat

Julyan Adhitama, REKONSTRUKSI PROSES PENERJEMAHAN DENGAN METODE Universitas Sanata Dharma 455
Harris Hermansyah Setiajid THINKING-ALOUD PROTOCOL
Furi Rachmah Nifira, BENTUK POTENSIAL DALAM MORFOLOGI BAHASA Universitas Pendidikan 462
Nissa Kustianita, INDONESIA Indonesia
Eka Rahmawati
Endang K. Trijanto MASIH PERLUKAH TES-FORMATIF DALAM PEMBELAJARAN Universitas Negeri Jakarta 466
BAHASA ASING?
Idhoofiyatul Fatin EFEKTIVITAS PENERAPAN METODE GUIDED DISCOVERY Universitas Muhammadiyah 469
DALAM PEMBELAJARAN TEKS CERITA BAGI CALON Surabaya
PENDIDIK
Yenny Hartanto PROGRAM TUTORIAL BAHASA INGGRIS DI PUSAT BAHASA Politeknik Universitas 473
UBAYA: DARI DAN OLEH MAHASISWA Surabaya
Nurfitri Habibi GRADING SPEAKING PERFORMANCE: TEACHERS’ Indonesia University of 477
ATTITUDES TOWARDS TWO RATING SCALES AND Education
SUBJECTIVITY ISSUES
Edy Jauhari, KESANTUNAN KRITIK DALAM MASYARAKAT BUDAYA JAWA Universitas Sebelas Maret 483
Djatmika, AREK: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK
Riyadi Santosa
Leonora Farilyn Pesiwarissa REGISTER TIFAR MAYANG DI KECAMATAN LEITIMUR Universitas Pattimura 489
SELATAN KOTA AMBON DAN KECAMATAN PIRU
KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT PROPINSI MALUKU
(SUATU KAJIAN ETNOLINGUISTIK)
Kalvin Karuna PERGESERAN BAHASA LUANG (LTERI LGONA) PADA Universitas Pattimura 494
TATARAN KATA
Munira Hasyim SISTEM POLA SAPAAN PAKDAENGANG DALAM BUDAYA Universitas Hasanuddin 499
MASYARAKAT ETNIK MAKASSAR
v
DAFTAR ISI KOLITA 14
Nama Judul Afiliasi Halaman
Nurdiana LANGUAGE FUNCTIONS IN INDONESIAN JUNIOR Universitas Bunda Mulia 504
SECONDARY SCHOOL (SMP) TEXTBOOKS OF ENGLISH
Sakilah Bewafa, READABILITY OF PASSAGES IN 2013 CURRICULUM ENGLISH Jakarta State University 508
Ana Utami Fatoni, TEXTBOOKS USED BY FIRST YEAR STUDENTS OF SENIOR
Sri Nurul Salimin Afamery HIGH SCHOOL
Edi Ramawijaya Putra REVITALIZING SOCIOLINGUISTIC COMPETENCE AS Atma Jaya Catholic 512
PERIPHERAL LEARNING OUTCOME IN INDONESIAN EFL University of Indonesia
CONTEXT
Audi Yundayani, IMPLEMENTING TASK-BASED LEARNING IN TEACHING STKIP Kusumanegara , 516
Dian Kardijan ENGLISH SPEAKING SKILL FOR SPECIFIC PURPOSES OF Universitas Siliwangi
MARKETING
Fitria Kamelia PORTRAYING STUDENTS’ PERCEPTION ON ENGLISH Indonesia University of 520
ASSESSMENT EXPERIENCES: AFFECTIVE RESPONSES, Education
SUMMATIVE AND FORMATIVE ASPECTS USING VISUAL
ANALYSIS
Zahra Faula Sinan STUDENTS’ PERCEPTION ON ORAL AND WRITTEN TESTS AS Indonesia University of 528
SUMMATIVE ASSESSMENT: A STUDY IN AN ISLAMIC Education
BOARDING SCHOOL IN SUBANG, WEST JAVA
Intan Septia Latifa STUDENTS’ PERCEPTION ON ASSESSMENT FEEDBACK IN Indonesia University of 533
WRITING Education
Fuad Abdullah, THE ENGLISH PRONUNCIATION TEACHING: A PORTRAIT AT Siliwangi University, SMA 538
Lulita THE ENGLISH EDUCATION DEPARTMENT OF SILIWANGI Ibnu Siena
UNIVERSITY
Reti Wahyuni EFL TEACHERS’ BELIEF AND PRACTICE ON MULTIPLE Indonesia University of 544
ASSESMENT IN 2013 CURRICULUM Education
Friscilla Wulan Tersta AN ANALYSIS OF THE SUMMATIVE ENGLISH TEST ITEMS ON Indonesia University of 549
DIFFICULTY LEVEL AND DISCRIMINATION INDEX FOR Education
EFFECTIVE TESTING IN THE SECOND SEMESTER OF TENTH
GRADE STUDENTS
Agung Diah Wulandari INTRODUCING LITERARY WORK TO THE STUDENTS IN EFL Atma Jaya Catholic 554
University of Indonesia
Marti Fauziah Ariastuti, FACTORS INFLUENCING SOUTH KOREAN STUDENTS’ University of Indonesia 558
Lucia Lusi Ani Handayani ACADEMIC PERFORMANCE IN LEARNING ENGLISH
Prihantoro HOW DO YOU LIKE YOUR TEA? THE LEXICOGRAMMAR OF Universitas Diponegoro 565
<ADJ + TEA> CONSTRUCTION IN THE CORPUS OF
CONTEMPORARY AMERICAN ENGLISH
Gabriella Ong, A COGNITIVE LINGUISTICS APPROACH TO LEARNING Atma Jaya Catholic 570
David Wijaya ENGLISH PREPOSITIONS: EXPERIMENTAL EVIDENCE University of Indonesia
David Wijaya LEARNING TO DESCRIBE PAIN PROPERLY IN ENGLISH: A Atma Jaya Catholic 575
CROSS-LINGUISTIC PERSPECTIVE University of Indonesia
Marcelinus Yeri Fernandez Akoli ERRORS AND VARIATIONS OF ENGLISH EXPRESSIONS ON Universitas Nusa Cendana 579
BEMO AS THE KUPANG CITY’S MODE OF PUBLIC
TRANSPORTATION
Ermawati S. DIFTONGISASI DAN ZEROISASI DALAM BAHASA MELAYU Universitas Islam Riau 584
RIAU DIALEK KAMPAR
Sastika Seli, BENTUK SAPAAN KEKERABATAN DALAM BAHASA RAWAS STKIP-PGRI Lubuklinggau 589
Dewi Syafitri DI KECAMATAN RAWAS ILIR DESA TANJUNG RAJA

Khusnul Khatimah ANALISIS PERCAKAPAN TERHADAP WAWANCARA ANTARA STKIP Taman Siswa Bima 590
OPRAH WINFREY, BARACK OBAMA, DAN MICHELLE
OBAMA DALAM ACARA THE OPRAH WINFREY SHOW

Eri Kurniawan, KESADARAN MORFOLOGIS DAN SINTAKSIS ANAK USIA DINI: Universitas Pendidikan 595
Teja Komara, STUDI KASUS DI PAUD BANDUNG Indonesia
Mochamad Salim Maridi Nurdiansyah

vi
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
RISET LINGUISTIK DENGAN METODE PARTISIPATORIS TENTANG NEGASI
GRAMATIKAL DALAM BAHASA ISYARAT INDONESIA (BISINDO)

LINGUISTIC RESEARCH USING PARTICIPATORY METHODS: GRAMMATICAL


NEGATION IN INDONESIAN SIGN LANGUAGE

Nick Palfreyman
International Institute for Sign Languages and Deaf Studies (iSLanDS)
University of Central Lancashire, UK
nickpalfreyman@cantab.net

ABSTRACT
Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) is one of hundreds of sign languages used around the world, and has emerged
naturally in Indonesia over the last 60 years or so. BISINDO is a different language to Bahasa Indonesia, and has its
own lexicon and grammar. There is little awareness of the linguistic status of sign languages, even among linguists of
spoken languages, but happily this is starting to change: awareness of sign language varieties in Indonesia is growing,
and robust documentation has begun.
Over fifty years of research on sign languages has shown that they have equivalent structures to spoken
languages at every level of linguistic organisation, from phonology and morphology to syntax and discourse. At the
same time, there are some obvious differences between the two modalities, not only linguistically but also in the
sociolinguistic features of speech and sign communities.
This paper begins with a discussion of similarities and differences between spoken and sign language
linguistics. These ideas are demonstrated with regard to the expression of grammatical negation in varieties of
BISINDO. Using a corpus of spontaneous conversational data collected in Solo and Makassar, over 800 grammatically
negative constructions have been analysed. It is found that predicates can be negated using one of four main
grammatical variants.
Quantitative multivariate analysis has been undertaken to identify linguistic and social factors that affect the
choice of variable, and examples of these factors are given. As with spoken languages, there are intriguing differences
between sign languages, and negation is well suited to showing this.
Sign language research has the potential to transform the lives of deaf community members, who continue to
face barriers to education and participation in mainstream society. I conclude with some thoughts about ethical
research practices and the benefits of participatory research methods for sign language users.

Ada tiga fokus pembahasan yang ingin saya bahas dalam makalah ini. Pertama, tentang modalitas bahasa
(seksi 2), perbedaan dan persamaan modalitas dalam bahasa lisan dan bahasa isyarat. Yang kedua, bentuk
negatif dalam BISINDO (seksi 3). Kemudian yang ketiga, etika meneliti bahasa isyarat dan pemberdayaan
kelompok tuli (seksi 4). Sebelumnya mengenai situasi bahasa isyarat di Indonesia.

SITUASI BAHASA ISYARAT DI INDONESIA


BISINDO, apakah Bahasa Isyarat Indonesia itu? Apakah bahasa isyarat tersebut merupakan bahasa isyarat
yang dipakai di Indonesia? Apakah BISINDO itu sama seperti bahasa isyarat yang digunakan oleh orang-
orang tuli di negara yang lainnya? Tentu tidak, sebenarnya terdapat banyak bahasa isyarat yang ada
di seluruh dunia. Saya seorang yang tuli dan saya berasal dari Inggris. Setiap hari di Inggris saya
berkomunikasi menggunakan British Sign Language (disingkat: BSL) atau Bahasa Isyarat Inggris. Lalu yang
menjadi pertanyaan adalah bagaimana BISINDO dan BSL itu berbeda? Salah satu jawaban adalah terdapat
dalam kosa katanya. Contohnya adalah kata Bahasa Indonesia dengan bentuk jam yang berarti sebuah benda
yang menunjukkan waktu. Namun kata jam itu di Inggris artinya ‘selai’ – bentuk inilah yang menunjukkan
perbedaan arti dalam dua bahasa lisan tersebut. Dengan cara yang sama, isyarat yang dicontohkan di bawah
dalam Gambar 1 diartikan ‘ibu’ dalam BISINDO, akan tetapi untuk BSL isyarat ini diartikan sebagai ‘tuli’.
Sekali lagi, Satu bentuk isyarat menunjukkan arti yang berbeda dalam dua bahasa isyarat tersebut.
Ada berapakah bahasa isyarat yang terdapat di Indonesia? Yang pertama adalah BISINDO
(Bahasa Isyarat Indonesia), yang kedua adalah Kata Kolok. Selain bahasa ini mungkin ada bahasa isyarat
lain di Indonesia yang belum dikenal oleh komunitas akademik. Kata Kolok merupakan bahasa yang
digunakan di Bali di desa yang terdapat banyak penduduk tuli (Marsaja 2008). Namun situasinya berbeda
dengan daerah-daerah yang lain di Indonesia. Kemudian yang ketiga adalah yang disebut dengan ‘home
sign’ atau isyarat rumahan. Yang dimaksud isyarat rumahan adalah isyarat atau gestur yang dipakai oleh
anak tuli yang tinggal di suatu tempat yang terpencil dan tidak memiliki latar belakang pendidikan. Anak tuli
itu mungkin berkomunikasi dengan orang tuanya dengan gestur-gestur sederhana yang tidak memiliki sistem

1
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
gramatikal tertentu. Sementara untuk dapat diakui menjadi sebuah bahasa, bahasa isyarat itu membutuhkan
kelompok pengguna supaya bahasa itu bisa berkembang.Namun dengan demikian, isyarat rumahan itu
belum dapat dikatakan sebagai bahasa isyarat, karena hanya digunakan di dalam rumah dan biasanya hanya
dengan anggota keluarga. Untuk isyarat rumahan ini, belum ada penelitian di Indonesia tapi sudah ada
penelitian bahasa isyarat rumahan di luar negeri (Goldin-Meadow 2012).
Kemudian bagaimana dengan BISINDO dan Kata Kolok? BISINDO digunakan oleh orang-orang
tuli di kota-kota besar di seluruh Indonesia. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, terdapat 500.000
orang dengan tingkat pendengaran yang dapat menyebabkan munculnya kebutuhan untuk bahasa isyarat
(Palfreyman 2015:14). Mungkin sebagian besar tidak menggunakan BISINDO namun masih belum dapat
diketahui secara tepat berapa jumlah pengguna BISINDO. Proses pendokumentasian bahasa isyarat sudah
mulai dilakukan selama empat tahun belakangan ini. 1 Kemudian bahasa isyarat Kata Kolok, dari total 2.000
orang jumlah penduduk yang ada di desanya, 50-nya adalah orang yang tuli, sisanya orang yang mendengar,
dan sekitar 1.500 orang yang bisa berbahasa Kata Kolok (de Vos 2012). Usianya Kata Kolok diperkirakan
60 tahun (ibid) dan penduduk desa ini sudah terbiasa dengan keberadaan orang tuli jadi situasi
sosiolinguistiknya sangat berbeda daripada situasi BISINDO.
Hal yang sangat penting untuk mengetahui sejarah BISINDO, karena dari sejarah kita bisa melihat
bagaimana orang tuli berkumpul dan mengembangkan bahasa yang mereka pergunakan. Yang pertama,
sekolah tuli pertama, pada tahun 1930 didirikan sekolah tuli pertama di Bandung, kemudian yang kedua di
Wonosobo tahun 1936. Sekolah Wonosobo didirikan oleh suster-suster Belanda yang berlayar ke Indonesia.
Kemudian disekolah itulah orang-orang tuli dari berbagai daerah berkumpul. Dan secara alami, bahasa
isyarat itu berkembang. Dari hasil wawancara saya dengan seorang tuli yang sudah tua, yang masuk sekolah
tuli di Bandung tahun 1950, beliau menceritakan bahwasannya anak-anak di sekolah itu biasa berbahasa
isyarat. Hal itulah yang menjadi sebuah bukti bahwa bahasa isyarat berkembang di sekolah. Namun, ada
kemungkinan juga jauh sebelum sekolah tuli itu didirikan, masyarakat tuli pada saat itu sudah menggunakan
bahasa isyarat dalam komunitasnya, namun belum ada penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut.
Meskipun demikian dapat diperkirakan bahwa BISINDO berusia sekurang-kurangnya 60 tahun (Palfreyman
2015:130).
Hal lain yang mempengaruhi perkembangan bahasa isyarat adalah teroganisirnya komunitas-
komunitas tuli yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan perlombaan disabilitas tingkat nasional atau
kepramukaan yang memudahkan terjadinya kontak bahasa antara orang tuli. Disamping itu, belakangan ini,
orang-orang tuli selalu memanfaatkan teknologi misalkan facebook dengan fasilitas posting video dan
fasilitias video call yang ada di telepon genggam. Teknologi tersebut memungkinkan terjadinya kontak
antara dua orang tuli yang belum pernah bertemu secara langsung, tapi bertemu melalui facebook, kemudian
mereka melakukan komunikasi secara langsung melalui video call dari situlah bahasa isyarat berkembang
sejalan dengan waktu. BISINDO itu sendiri terdapat variasi-variasi yang dapat kita temui, namun ketika para
pengguna BISINDO berkumpul dari berbagai daerah dan tidak ada hambatan besar dalam komunikasinya
karena kontak bahasa tersebut. Riset yang saya lakukan menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan besar
dalam tata bahasa BISINDO di daerah yang diteliti selama ini (Palfreyman 2015).
Akan lebih bermanfaat jika dengan menambahkan beberapa detil mengenai SIBI. Sistem Isyarat
Bahasa Indonesia yang disingkat sebagai SIBI merupakan sistem isyarat yang dibakukan dan diresmikan
oleh pemerintah Indonesia. SIBI bukanlah merupakan sebuah bahasa, karena sistem bahasa isyarat ini tidak
dikembangkan oleh komunitas tuli sebagai komunitas pengguna bahasa. Struktur SIBI ini mengikuti
struktur tata Bahasa Indonesia, dengan morfem-morfemnya dan morfologis yang sama dengan Bahasa
Indonesia. Sementara Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) memiliki tata bahasa tersendiri.

MEMBANDINGKAN MODALITAS ISYARAT DAN MODALITAS LISAN


Ada dua jenis modalitas yang ingin saya bandingkan, yaitu modalitas bahasa isyarat dan modalitas bahasa
lisan. Perbandingan ini berdasarkan pada hasil riset Meier (2003:2). Bahasa baik lisan maupun isyarat
memiliki beberapa ciri yang sama termasuk adanya kosa kata, duality of patterning (yang mengenai struktur
bahasa), produktifitas, struktur sintaksis, cara perolehan bahasa dan lateralisasi secara kognitif. Ciri tersebut
dijelaskan di bawah:
(i) Kosa kata – Baik dalam bahasa isyarat maupun bahasa lisan, sama-sama terdiri atas kosa kata.
(ii) Duality of patterning – Dalam bahasa lisan mengenal adanya sublexical (sebuah bunyi terkecil yang
sebelumnya tidak mempunyai makna yang kemudian bergabung dengan bunyi lain untuk

1
Riset mengenai Bahasa Isyarat Indonesia termasuk Isma 2012, Bharoto 2013, Palfreyman 2013, 2015, 2016, Suwiryo
2013, Wijaya & Satryawan 2013 dan Sukmara 2014.
2
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
mengekspresikan makna). Bahasa isyarat memiliki elemen yang mirip bunyi tersebut (perbedaan kecil
yang dapat mempengaruhi makna). Kesimpulan ini diumumkan oleh seorang pakar linguistic Amerika
yang bernama William Stokoe pada tahun 1960. Seperti halnya pasangan minimal: dalam BISINDO
ada isyarat TIDAK≡ENAK dengan gerakan yang mulai pada bibir (Gambar 2). 2 , 3 Jika lokasinya
dipindahkan ke dada isyarat ini menjadi HATI≡JELEK. Perbedaan lokasi itu mempengaruhi dan
membedakan maknanya.
(iii) Produktifitas – Dalam bahasa baik lisan maupun isyarat ada cara untuk memperbesar kosa kata. Kosa
kata isyarat bisa diperbesar melalui proses leksikalisasi termasuk compounding (Janzen 2012) dan
borrowing dari bahasa isyarat lain (Adam 2012).
(iv) Struktur sintaksis – Dalam bahasa lisan maupun isyarat morfem-morfem semakin bertambah karena
struktur sintaksisnya (Leeson & Saeed 2012), atau karena urutan katanya atau verb agreement nya
(Mathur & Rathmann 2012).
(v) Cara perolehan bahasa – Cara memperoleh bahasa baik anak dengar maupun anak tuli memiliki cara
yang sama. (Small 2003, Pichler 2012).
(vi) Lateralisasi – Riset terhadap penderita afasia menunjukkan bahwa belahan otak yang kiri berperan
yang penting dalam pemrosesan bahasa isyarat (Meier 2003, Dye 2012).
Selain persamaan antara modalitas isyarat dan modalitas lisan, ada juga yang memiliki perbedaan.
Pertama, bahasa lisan dengan alat artikulasinya hanya satu, yaitu alat ucap. Sementara bahasa isyarat
memiliki lebih dari satu, termasuk dua tangan, ekspresi wajah, gerakan alis mata, bibir, pipi dan gerakan
kepala. Penyampaian pesan juga berbeda karena adanya banyak alat artikulasi untuk bahasa isyarat
memungkinkan pesan disampaikan secara simultan. Contohnya untuk membentuk pertanyaan ‘Orang itu
siapa?’ tangan kiri dapat menunjukkan pada orang sambil tangan kanan mengartikulasikan isyarat SIAPA
dan ekspresi wajah menggunakan penanda interogatif. Jadi ada tiga elemen yang diekspresikan secara
simultan.Yang kedua, modalitas dipersepsi secara berbeda: dalam bahasa lisan, pada saat dua penutur
berbicara misalnya ada kaca yang membatasi penutur, mereka berdua tidak dapat saling mendengar. Namun
apabila penutur tuli yang berisyarat, apabila ada pembatas kaca yang membatasi, penutur tuli tetap bisa
berkomunikasi dengan lancar.
Secara sosiolinguistik bahasa lisan sering diperoleh dari orangtua ketika seorang lahir, sementara
bahasa isyarat biasanya diperoleh bukan dari orangtua. Karena kebanyakan anak tuli lahir dari orangtua yang
mendengar, jadi bahasa isyarat itu diperoleh dari kawan, teman-teman sesama tuli. Oleh karena itu, pola
perolehan bahasa isyarat dapat dijelaskan horisontal daripada vertikal (Quinn 2010). Bentuk bahasa isyarat
bisa dipengaruhi oleh kontak dengan bahasa lisan ketika komunitas bahasa isyarat sering merupakan
minoritas linguistik. Misalnya kontak dengan edukator yang mendengar bisa mempengaruhi pola mulut yang
digunakan dan juga urutan isyarat (Seksi 3).

NEGASI DALAM BISINDO


Berikut adalah deskripsi mengenai sistem negasi BISINDO yang sangat mendasar (terdapat deskripsi yang
lebih komprehensif dalam Palfreyman 2015). Sistem negasi bahasa isyarat dapat dikategorisasikan sebagai
manual dominant atau non-manual dominant (Zeshan 2004). BSL merupakan non-manual dominant karena
suatu klausa yang positif secara gramatikal bisa diubah menjadi negatif dengan gerakan kepala saja.
Gelengan kepala (yang non-manual) merupakan bentuk yang negasi. Bagaimana dengan BISINDO?
BISINDO itu sendiri tidaklah sama dengan BSL. Negasi dalam BISINDO itu berfokus pada tangan saja dan
oleh karena itu dikatakan manual dominant.
Pada tahun 2010 dan 2011 saya mengumpulkan data percakapan spontan dari 37 pengguna
BISINDO di Solo (17 orang) dan Makassar (20 orang). Data ini diatur sebagai korpus data yang terdiri dari
180 menit data spontan. Dalam pengamatan 808 konstruksi negatif yang ada dalam korpus data tersebut,
saya menemukan empat bentuk gramatikal atau varian negasi: (i) partikel negatif yang bebas, (ii) partikel
negatif yang klitik, (iii) partikel negatif dengan predikat yang pada bibir, dan (iv) bentuk supletif.

2
Adanya isyarat imbuhan ditunjukkan dengan penggunaan simbol ≡ (dalam khasus ini imbuhan adalah ≡JELEK).
3
Mengenai penotasian isyarat, dalam bahasa lisan apabila kita melakukan penelitian, peneliti menggunakan transkripsi
yang bisa dituliskan. Bagaimana cara menuliskan atau mentranskripsi bahasa isyarat? Ada tiga sistem penotasian yang
diciptakan tetapi sistem tersebut tidak mudah dimengerti oleh pembaca awam. Yang saya pakai adalah gloss atau
meminjam kata dari Bahasa Indonesia. Gloss itu bisa dikenali dari tulisan huruf besar. Penggunaan tanda (-) antara
beberapa gloss berarti bahwa ada satu isyarat saja (misalnya TIDAK-TAHU). Penting sekali untuk kita pahami bahwa
gloss ini adalah label dan bukan merupakan padanan dalam isyarat. Misalnya ciri gramatikalnya isyarat TIDAK-TAHU
tidak sama dengan cirinya ‘tidak tahu’ dalam Bahasa Indonesia.
3
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Daftar partikel negatif dalam BISINDO termasuk TIDAK (Gambar 3) yang diambil dari gestur
di masyarakat umum, kemudian TIDAK-ADA (Gambar 4) dan KOSONG (Gambar 5). Harus diingat bahwa
‘tidak ada’ dalam Bahasa Indonesia memiliki dua kata (‘tidak’ dan ‘ada’) sementara BISINDO
membutuhkan satu isyarat yang bermakna ‘tidak ada’. Berikut gambar-gambar adalah contoh kalimat
dengan partikel negatif (A-E).

(1) IBU / TULI (BSL) (2) TIDAK≡ENAK (3) TIDAK (4) TIDAK-ADA (5) KOSONG
Bisa dilihat bahwa ada partikel negatif yang diletakkan di
posisi pra predikat (A, B) dan juga pasca predikat (C). Contoh
(D) melibatkan suatu mouthing (belum) yang diartikulasi
dengan mulut pada waktu sama dengan partikel negatif
TIDAK. Dalam hal ini, itu fungsinya seperti fungsi kompletif
negatif.
Klitik adalah pemendekan bentuk. Ada klitik negatif
dalam BISINDO dan juga dalam Bahasa Inggris. Kita
menganggap ‘do not’ sebagai dua kata yang mandiri pada
tingkat fonologinya. Tetapi kata ini bisa digabungkan menjadi
‘don’t’. Bentuk ‘not’nya menjadi klitik. Contoh dalam
BISINDO itu ada predikat dan negatif TAHU TIDAK artinya
‘tidak tahu’ (Gambar 6). Kemudian isyaratnya dapat
digabungkan, jadi isyarat yang cenderung dibagian bawah,
diubah diangkat menjadi diatas mendekati isyarat TAHU itu
(Gambar 7). Ini contoh klitik dalam bahasa isyarat. Proses
perubahan morfologisnya bukan diucapkan seperti bahasa lisan tapi di gerakan isyaratnya.

(6) TAHU TIDAK (7) TAHU=TIDAK


Partikel negatif dengan predikat tersebut menggunakan gerakan bibir. Isyaratnya sama tapi mulut
yang membedakan predikat-predikatnya (termasuk ‘tahu’, ‘mau’, ‘bisa’, ‘usah’, ‘boleh’, ‘pernah’, ‘cukup’,
‘masalah’, ‘bawa’, ‘jadi’ dan ‘suka’). Misalnya isyaratnya TIDAK tapi terdapat pada mouthing ‘tidak mau’
atau ‘mau’ saja. Jadi predikat terdapat pada gerakan bibirnya saja, yaitu kata-kata yang terlihat pada mulut
itu dengan meminjam Bahasa Indonesia tetapi isyaratnya tetap isyarat (TIDAK). Fenomena ini belum
ditemukan dalam bahasa isyarat lain.
Varian yang ke empat adalah bentuk supletif negatif. Bentuk supletif itu merupakan bentuk yang
secara maksimal tidak mengikuti pola yang berlaku umum dalam suatu bahasa tertentu (Melčuk 1994).
Misalnya, dikatakan di atas bahwa partikel negatif TIDAK bisa digunakan di samping suatu predikat untuk
membuat klausa menjadi negatif. Namun untuk beberapa predikat ada isyarat lain untuk mengekspresikan
arti ‘ (fenomenon ini sudah kita kenali di atas dengan isyarat yang berarti ‘tidak ada’. Isyarat yang
dicontohkan dalam Gambar 4 itu terdiri dari satu isyarat (TIDAK-ADA) dan bukan dua isyarat (TIDAK ADA).

4
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Sama juga dengan arti ‘tidak kuat’. Isyarat kuat seperti KUAT, bentuk negatifnya bukan KUAT TIDAK tapi
TIDAK-KUAT (Gambar 8). Lalu bentuk isyarat BISA sangat berbeda daripada isyarat TIDAK-BISA (Gambar 9).

(8) TIDAK-KUAT (9) TIDAK-BISA (10) TIDAK-PERNAH


Setelah dilakukan perhitungan dari ke empat varian negatif itu, berikut hasilnya adalah:
partikel bebas: 377 token (49%)
partikel klitik: 134 token (18%)
predikat pada mulut: 131 token (17%)
supletif negatif: 126 token (16%) n = 768
Ternyata ada predikat yang dapat diubah menjadi negatif dengan penggunaan berbagai bentuk
varian: partikel, klitik, predikat pada mulut beserta supletif. Apa yang menjadi penyebab dari perbedaan
pilihan varian gramatikal ini? Pelaksanaan analisis multivariatif telah menunjukkan adanya hubungan
dengan usia. Orang tuli yang lebih tua lebih menyukai menggunakan partikel negatif (p = 0,000569),
sementara yang lebih muda lebih menyukai memilih bentuk supletif (p = 0,000504). Hal inilah yang
menunjukkan suatu contoh perubahan bahasa dalam BISINDO.
Telah jelas bahwa partikel TIDAK memiliki banyak fungsi termasuk negatif klausa dasar,
keberadaan negatif dan kompletif negatif. Hasil temuan mengenai bentuk supletif lah yang sekarang lebih
cenderung yang digunakan sesuai dengan ekspektasi bahwa beban fungsionalnya TIDAK akan menjadi lebih
ringan sementara bentuk-bentuk baru menanggung fungsi khusus. Hal ini adalah suatu proses
gramatikalisasi yang bernama layering (Hopper 1991:22). Belakangan ini, BISINDO banyak sekali variasi
yang bisa kita lihat, dan variasi ini memungkinkan identifikasinya gramatikalisasi yang sedang berlangsung.
Demikianlah, hal itu penting untuk saat ini kita melakukan penelitian untuk melihat perilaku-perilakunya.
Telah dijelaskan di atas bahwa terdapat orang tuli yang menggunakan isyarat TIDAK itu sebelum
predikat nya, dan hal ini dikarenakan pengaruh dari kontak dengan Bahasa Indonesia. Dalam 238 klausa
yang memiliki partikel negatif TIDAK beserta dengan predikat manual terpisah, ditemukan bahwa TIDAK
diletakkan di posisi prapredikat (24,1%) maupun pospredikat (75,9%). Setelah saya amati ternyata faktor
genderlah yang signifikan (p = 0,0222). Perempuan ternyata lebih menyukai menggunakan TIDAK sebelum
predikatnya, sementara laki-laki menggunakan TIDAK setelah predikatnya. Nah Labov pernah menyatakan
bahwa perempuan ‘lebih sensitif daripada laki-laki terhadap bentuk-bentuk prestis’ (Labov, 1972:243,
terjemahan saya). Jadi apakah ini sebenarnya sejalan dengan penelitian Labov bahwa perempuan lebih
memilih bentuk prestis? Sekali lagi kita memerlukan penelitian yang lebih mendalam untuk menemukan
apakah hipotesis ini betul atau tidak.

METODE PARTISIPATORIS
Komunitas tuli mengalami banyak kondisi ‘terpinggirkan’ dalam segala aspek kehidupan. Anggapan bahwa
bahasa isyarat itu ‘jelek’, dengan menyebut Bahasa Indonesia lebih ‘keren’ justru menyebabkan banyak
orang-orang tuli merasa rendah diri. Namun, banyak juga orang tuli yang belum menyadari bahwa bahasa
isyarat itu sesungguhnya adalah sebuah bahasa. Karena mereka banyak mendapat cemoohan dan mereka
sudah terstigmaisasi bahwa bahasa isyarat itu negatif. Jadi dengan melibatkan informan dalam proses
penelitian itu dapat meningkatkan kepercayaan diri mereka.
Saya telah mengumpulkan data-data dari komunitas tuli bersama dengan anggota komunitas yang
bersangkutan. Dari situlah, saya berbagi ilmu dalam proses penelitian. Sampai saat ini, saya masih
bekerjasama dengan komunitas tuli mendirikan Pusat Penelitian Tuli (PUPET) di Bekasi. Saat ini kami
sedang membuat database leksikal, yang kemudian kami juga membuka kelas BISINDO. Sehingga hasil
penelitian itu dapat bermanfaat. Jangan sampai seorang peneliti mengambil manfaat, akan tetapi komunitas
itu sendiri tidak mengambil manfaat dari penelitian yang sudah dilakukan.

5
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Saya ucapkan terima kasih kepada Galuh Sukmara, Hasby Biasafil dan Silva Isma atas pengoreksiannya.
Semua kesalahan yang tersisa adalah kesalahan saya saja. Saya juga mengakui partisipasinya para pengguna
BISINDO di Solo dan Makassar, terutama Muhammad Isnaini, Ovek Wulansari dan Jayeng Pranoto.

REFERENSI
Adam, Robert. 2012. Language contact and borrowing. In: Pfau, Steinbach and Woll (eds.) 2012: 841-861.
Bharoto, Adhi Kusuma. 2013. Classifier constructions in the Yogyakarta variety of Indonesian Sign Language.
A paper presented at the Third International Conference on Sign Linguistics and Deaf Education in Asia,
CUHK, January 2013.
Chu, Kenny & Laura Lesmana Wijaya. The linguistic and sociocultural aspects of name signs: a comparison between
Hong Kong Sign Language (HKSL) and Indonesian Sign Languages (Jakarta). A paper presented at the Third
International Conference.
De Vos, Connie. 2012. Sign-Spatiality in Kata Kolok: How a village sign language of Bali inscribes its signing space.
PhD dissertation, Max Planck Institute of Psycholinguistics, Nijmegen.
Dye, Matthew W.G. 2012. Processing. In: Pfau, Steinbach and Woll (eds.) 2012: 687-711.
Hopper, Paul J. 1991. On some principles of grammaticalization. In: Elizabeth Closs Traugott and Bernd Heine (eds.)
Approaches to Grammaticalization, Volume 1. Amsterdam: Benjamins, 17–36.
Isma, Silva Tenrisara Pertiwi. 2012. Signing varieties in Jakarta and Yogyakarta: Dialects or separate languages? MA
thesis, CUHK.
Janzen, Terry. 2012. Lexicalization and grammaticalization. In: Pfau, Steinbach and Woll (eds.) 2012: 816-840.
Labov, William. 1982. Building on empirical foundations, in Winfred .P. Lehmann and Yakov Malkiel (eds.)
Perspectives on Historical Linguistics. Amsterdam: Benjamins, 17-92.
Labov, William. 1972. Sociolinguistic Patterns. Philadelphia: University of Pennsylvania Press
Leeson, Lorraine and John Saeed. 2012. Word order. In: Pfau, Steinbach and Woll (eds.) 2012: 245-265
Marsaja, I Gede. 2008. Desa Kolok – A Deaf Village and its Sign Language in Bali, Indonesia. Nijmegen: Ishara.
Meier, Richard P., Kearsy Cormier and David Quinto-Pozos. 2002. Modality and Structure in Signed and Spoken
Languages, Cambridge: Cambridge University Press.
Mathur, Gaurav and Christian Rathmann. 2012. Verb agreement. In: Pfau, Steinbach and Woll (eds.) 2012: 136-157.
Melčuk, Igor A. 1994. Suppletion: Toward a logical analysis of the concept. Studies in Language 18, 339-410.
Palfreyman, Nick. 2016. Colour terms in Indonesian sign language varieties: A preliminary study. In: Ulrike Zeshan
and Keiko Sagara (eds.) Semantic Fields in Sign Languages. Berlin: De Gruyter/Ishara Press.
Palfreyman, Nick. 2015. Sign language varieties of Indonesia: A linguistic and sociolinguistic investigation.
Palfreyman, Nick. 2013. Form, function, and the grammaticalisation of completive markers in the sign language
varieties of Solo and Makassar. In: NUSA 55:, 153-172. http://hdl.handle.net/10108/74331
Pfau, Roland, Marcus Steinbach and Bencie Woll (eds.) Sign language. Berlin: de Gruyter.
Pichler, Deborah Chen. 2012. Acquisition. In: Pfau, Steinbach and Woll (eds.) 2012: 647-686.
Quinn, Gary. 2010. Schoolization: An account of the origins of regional variation in British Sign Language. Sign
Language Studies 10:4, 476-501.
Small, A. 2003. ASL Developmental Milestones and What You Can Do. Toronto, Ontario: The Canadian Cultural
Society of the Deaf and The Ontario Cultural Society of the Deaf. Developed in consultation with L.
McLaughlin, H. Gibson, R. Sandford, L. Roberts, J. Cripps, G. Brunsdon and B. Dooley.
Sukmara, Galuh. 2014. A preliminary investigation of the Yogyakarta sign language variety (title tbc). MA thesis, La
Trobe University, Melbourne.
Suwiryo, Adhika Irlang. 2013. Mouth movement patterns in Jakarta and Yogyakarta Sign Language: A preliminary
study. MA thesis, CUHK, Hong Kong.

RIWAYAT HIDUP
Nama : Nick Palfreyman
Institusi : International Institute for Sign Languages and Deaf Studies,
University of Central Lancashire, UK.
Pendidikan : BA, History, University of Cambridge
Ph.D., Sign linguistics and deaf studies, University of Central Lancashire
Riset yang diminati : Language Typology, Sociolinguistics, Applied Sign Linguistics, Endangered Languages

6
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
THE CONSTRUCTION OF SLANG LANGUAGE FORM AND TEENAGERS’ PERSPECTIVE USE
FOUND IN BATAM

Suhardianto
Universitas Putera Batam
suhardiantogamya@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan konstruksi pembentukan bahasa slang dan perspektif penggunaanya dalam
kehidupan remaja di kota Batam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Padan dan Agih
Sudaryanto (2015:27). Penggunaan metode Padan untuk menemukan perspektif penggunaan bahasa slang di kalangan
remaja, sementara metode Agih untuk melihat konstruksi bahasa slang itu sendiri. Metode pengumpulan data dalam
penelitian ini ialah metode Cakap dengan teknik Cakap Semuka (CS) terhadap 50 remaja yang di wawancara secara
acak di tiga kecamatan terbesar di Batam yaitu Batam Center, Batu Aji dan Tiban. Dari hasil penelitian ditemukan
antara lain formula konstruksi dalam pembentukan bahasa slang yang dapat dilihat dari tujuh cara antara lain
Penyingkatan (abbreviation) seperti PHP (Pemberi Harapan Palsu), PJ (Pajak Jadian) dan PHO (Pemberi Harapan
Palsu). Yang kedua Penghapusan (deletion) seperti gi berasal dari kata ‘lagi’, dan pa berasal dari kata ‘apa’.Yang
ketiga perubahan huruf dan suara (letter and sound change) seperti makacih berasal dari kata ‘makasih’ dan cayang
berasal dari kata ‘sayang’. yang keempat Adopsi Asal Kata Dasar (Adoption of Basic Word) seperti binggow berasal
dari kata ‘banget’ dan jehong berasal dari kata ‘jahat’. Yang kelima Singkatan Campuran Bahasa Indonesia atau
Bahasa Inggris (English or English-Indonesia mix Abbreviation) seperti CoPas berasal dari kata ‘Copy Paste’ dan
LoLa berasal dari kata ‘Loading Lama’. Keenam penyontekan (Citation) seperti Loe berasal dari bahasa betawi
artinya ‘kamu’. Yang ketujuh adalah Konstruksi Baru (New Construction) seperti nyanting artinya ‘meminjam’ dan
badi artinya ‘orang gila’. Sementara perspektif penggunaan bahasa slang dikalangan remaja dalam berkomunikasi
antar mereka adalah 30 % mengatakan bahwa mereka menggunakan bahasa slang karna ingin menujukkan kepada
kelompok lain bahwa mereka kelihatan lebih gaul dan keren, alasan karna mengikuti zaman sebanyak 27.72 %, lebih
mudah berkomunikasi antar mereka 21 %, ikut-ikutan teman 7.56 %, lucu-luan 5.04 %, biar tenar 4.20 % dan
kebiasaan 1.64 %.
Kata kunci: Slang, Perspektif, Konstruksi

INTRODUCTION
A phenomenon of slang language used mostly happened in teenagers’ life. Now days, the use of slang
language is not only communicated by teenagers who live in big city like Jakarta, Bandung and Surabaya
but also already expanded into small city like Batam. Slang language has different forms from the formal
use. It is made by teenagers to avoid the meaning from others. The form of slang can be single word form
and phrase form.
There are many varieties of languages used in society. Variaties are used by group to group, speaker
to speaker, in terms of the pronunciation of a language, the choice of words and the meaning of those words,
and even the use of syntactic constructions. In this fact, people may say the same thing in different ways.
The speakers may use different styles of their language depending on the particular context that is formal
and informal. One of the language varieties is used in society can be slang which is mostly use by teenagers.
Slang language is one of language styles belongs to more information language that mostly used by youth.
The existence of slang vocabularies is never constant. It will always be developed on and on appropriately
with the youth’s language development that can fulfill their needs in using language.
Teenager is very creative and productive human being in producing new word in communication
and interaction. When talking about slang it means cannot be separated from talking about teenagers’
creativity. Teenagers tend to use slang language in their daily communication especially in informal
situation. According to Richard in Gemilasari (2013:143) slang is used for a very informal speech variety
which often serves as an ‘in group’ language such as teenagers, army and pop group. Slang is considered as
a result of the rapid growth of the new word or term that is happening. It is such kind of teenagers’ creative
expression to make the words simpler and efficient to be spoken.

LANGUAGE STYLE
According to Holmes (2001:223) language varies according to its uses as well its users, according to where
it is used and to whom, as well as, according to who is using it. It is known that language style is a language
produced by addresser and writer caused by how the way using source language in choosing of word and
pattern of arranging of the words. The study of that variation in language (style) which depends on the
situation in which the language is used and also on the effect the writer wishes to create stylistics. Stylistics
7
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
is concerned with the choices that available to a writer and the reason why particular forms and expressions
are used rather than others.

SLANG AND ITS FORM


According to Yule (2010) slang is used for a very informal speech variety which often serves as an “in –
group” language such as teenagers, army, pop group, etc. The word slang is used only known by the group
itself. The word actually has informal language. The slang has been defines as one of those that everybody
can recognize and nobody can define. Slang words almost could not be found in dictionary. Slang is
informal, non- standard English vocabulary that provides effective shorts cut in expression because it is
often vivid and sharp. Like idiom, slang is part of native speaker’s informal talk.
Slang is traditionally considered as a vulgar, and rude form of language with a strong color of
irreverence and yet vitality in a society. It is generally labeled as a linguistic taboo which should not be
appearing in most formal social occasions. Slang is one of the language style belong to more information
language that mostly used by youth. It will always be developed on and on appropriately with the youth’s
language development that can fulfill their need in using language. Zhou (2013:2209)
Forms of slang consist of word and phrase. One single word could be slang depending on the
context, and it also applies on phrase Paltridge (2003:46). Slang words are formed by a variety of processes,
of which the following are the main ones. Word is a row letter that is flanked by two spaces, and has
meaning. Slang as phrase is a combination of two words or more than have non predicative characteristic.

METHOD OF RESEARCH
The researcher took around 50 informants from teenagers to be interviewed using Sudaryanto methods that
are Metode Cakap and Cakap Semuka technique. In conducting analysis the researcher also applies the
technique that proposed by Sudaryanto (2015:27) called as Metode Padan and Metode Agih. Apllying of
Metode Agih is to figure out the forms of slang language and its construction used by teenagers in Batam.
Meanwhile the used of Metode Padan to find out the teenagers’ perspective in using slang language.
Slang Language Form and Its Construction in Batam
The group of slang language forms below describes the forms of slang language that are created by
abbreviation. The abbreviation can be done into three ways, they are by initial each word collection, syllable
collection and letter word choosen. It can be seen from the discussion below:
1. Forms of slang language and ‘Abbreviation’ Construction
Initial Each Word Collection:
MKKB is constructed from the abbreviation of Masa Kecil Kurang Bahagia
PHO is constructed from the abbreviation of Perusak Hubungan Orang
PJ is constructed from the abbreviation of Pajak Jadian
PHP is constructed from the abbreviation of Pemberi Harapan Palsu
APG is constructed from the abbreviation of Angkatan Pelajar Gratis
Initial Syllable Collection:
Tel-Mi is constructed from the abbreviation of Telat Mikir
Ga-Tot is constructed from the abbreviation of Gagal Total
Ge-Ga-Na is constructed from the abbreviation of Gelisah Galau Merana
Mas-Bu-loh is constructed from the abbreviation of Masalah Buat Loh
Word letter choosen:
Org is created from the word Orang. The form of this slang is done by choosing some letters in a word
O, R, G and becomes Org. This word refers to kind of human or people in English.
2. Forms of slang language and ‘Deletion’ Construction
Deletion of initial letter and syllable:
Gi is created from the word Lagi. To make slang the teenagers delete the syllable La. It becomes Gi for
slang that refers to the meaning of Lagi to ask about kind of activity done by someone not asking about
additional for something
Example: Loe gi apa? *Loe mau gi
Pa is created from the word Apa. To make slang the teenagers delete the letter A. It becomes Pa for
slang that refers to the meaning of Apa to ask about someone’s need not asking about someone’s
activities
Example: Mau pa coy? *Lagi pa coy?

8
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Y is created from the word Iya. To make slang the teenagers delete the letter I. It becomes Ya for slang
that refers to the meaning of Iya to ask either about someone’s need and activities.
Example: Loe mau ya? Loe gi apa ya?
3. Forms of slang language and ‘Letters and sound Change’ Construction
Change of “S” to letter “C”
Makacih is a replacement of the word Makasih or Terima Kasih. To make slang language the teenagers
change the letter “S” to the letter “C” as example below:
Example: Makacih < Makasih/Terima Kasih
Kacian is a replacement of the word kasihan. To make slang language the teenagers change the letter
“S” to the letter “C” as example below:
Example: Kacian < Kasihan
Cayang is a replacement of the word Sayang. To make slang language the teenagers change the letter
“S” to the letter “C” as example below:
Example: Cayang < Sayang
Clamanya is a replacement of the word Selamanya. To make slang language the teenagers change the
letter “S” to the letter “C” as example below:
Example: Clamanya < Selamanya
Clalu is a replacement of the word Selalu. To make slang language the teenagers change the letter “S” to
the letter “C” as example below:
Example: Clalu < Selalu
Change of “K” to letter “Q”
Qmu is a replacement of the word Kamu. To make slang language the teenagers change the letter “K” to
the letter “Q” as example below:
Example: Qmu < Kamu
Change of “Ia” to sound “Y”
Dy is a replacement of the word Dia. To make slang language the teenagers change the sound “Ia” to the
sound “Y” as example below:
Example: Dia < Dy
Change of “Au” to sound “W”
Tw is a replacement of the word Tau. To make slang language the teenagers change the sound “Au” to
the sound “W” as example below:
Example: Tw < Tau
Change of “S” to sound “Z”
Maniz is a replacement of the word Manis. To make slang language the teenagers change the sound “S”
to the sound “Z” as example below:
Example: Maniz < Manis
Change of “U” to sound “Oe”
Imoet is a replacement of the word Imut. To make slang language the teenagers change the sound “U” to
the sound “Oe” as example below:
Example: Imoet < Imut
4. Forms of slang language and ‘Adopting of Basic Word Sound’ Construction
Binggow and Bingits are formed from the word Banget. These words are used to express or to describes
something.
Example: Qmu Hebat binggow = Qmu cantik bingits
Cemengut is formed from the word Semangat. This word is used to support someone to do something
hard
Example: Cemengut ya kakak = Semangat ya kakak
Jehong is formed from the word Jahat. This word is used to express someone’s character
Example: Qmu jehong ya = Kamu Jahat ya
Keles is formed from the word Kali. This word is used to express or to emphasize about someone’s
opinion. This word is not used for counting or meas multiple.
Example: Iya tau Keles = Iya, saya sudah tahu tentang itu * 2 keles 2 = 4
5. Forms of slang language and ‘ English or English-Indonesia Abbreviation’ Construction
English Language Abbreviation:
o The word COPAS comes from the original of English language words of COPY PASTE. It combines
to make slang language. The combination happened in the initial each syllable of words. CO and
PAS.
9
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
o The word OTW comes from the original of English language words of ON THE WAY. It combines
to make slang language. The combination happened in the initial each letter of words. O, T and W.
o The word OMG comes from the original of English language words of OH MY GOD. It combines
to make slang language. The combination happened in the initial each letter of words. O, M and G.
o The word GWS comes from the original of English language words of GET WELL SOON. It
combines to make slang language. The combination happened in the initial each letter of words. G,
W and S.
o The word INTRO comes from the original of English language words of INTRODUCE. It takes two
initial syllables of word to make slang language.
English – Indonesia Abbreviation:
o The word LOLA comes from the original of English – Indonesia language words LOADING -
LAMA. It combines to make slang language. The combination happened in the initial each syllable
of English – Indonesia words. LO and LA.
o The word WAK - SELFIE comes from the original of English – Indonesia regional language words
of AWAK and SELFIE. Awak is a word that is mostly used by Sumatra people refers to the first or
third singular person. It combines to make slang language.
6. Forms of slang language “Citation”
o The word Loe comes from the Jakarta language that refers to Kamu or You in English language.
This word is adopted by BatamTeenagers to use in their communication
o The word Gue also comes from the Jakarta language that refers to Saya or I in English language.
This word is adopted by BatamTeenagers to use in their communication
o The word Die comes from the Jakarta language that refers to Dia or He or She in English language.
This word is adopted by BatamTeenagers to use in their communication.
7. Forms of slang language “ New Construction”
o Nyanting is slang language that refers to the meaning of Pinjam or borrow. No correlation form of
pronunciation between the word nyanting and pinjam.
o Relat is slang language that refers to the meaning of Jadian or make a relationship with boyfriend or
girlfriend. No correlation form of pronunciation between the word Relat and Jadian.
o Badi is slang language that refers to the meaning of Orang GIla or a crazy man. No correlation form
of pronunciation between the word Badi and Orang Gila.
o Kepo is slang language that refers to the meaning of Pengen Tau or to know curiously. No
correlation form of pronunciation between the word Kepo and to know curiously.
Teenagers’ Perspective in Use of Slang Language
Based on the data found by the researcher in interviewing the informants, it can be concluded that the teenagers
mostly use the slang language because of showing off others. It can be seen from the percentage of its use that
is 30,25 %. Other mostly used reason of slang language by teenagers is up to date. That reason conveyed 27,73
%.

CONCLUSION
The forms of slang language that are used by teenagers in Batam can be formed in to several ways such as
abbreviation which is divided into three categories are initial each word collection, initial syllable collection,
and word letter chosen. The second way of slang language forms is deletion. It can be divided into deletion
of initial letter and deletion of initial syllable. The third way is letters and sound change. It includes change
of “S” to letter “C”, change of “K” to letter “Q”, change of sound “Ia” to sound “Y”, change of sound
“Au” to sound “W”, change of “S” to sound “Z”, and change of sound “U” to sound “Oe” such as Imoet is
a replacement of the word Imut.
The fourth way of making slang language is adoption of basic word. For instance the words
Binggow and Bingits are formed from the word Banget means very. The fifth way is called as English or
English-Indonesia abbreviation for instance the word CoPas comes from the original of English language
words of Copy Pste and the word LoLa comes from the original of English – Indonesia language words
Loading –Lama. The sixth way of making slang language is citation such as the word Loe comes from the
Jakarta language that refers to Kamu and the word Gue also comes from the Jakarta language that refers to
Saya. The last way of forming slang language that doneby teenagers is new construction. It refers to the new
forms of slang language allegedly that are formed under arbitrariness. For instance the word Nyanting is
slang language that refers to the meaning of Pinjam or borrow and word Badi is slang language that refers to

10
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
the meaning of Orang GIla or a crazy man. The two of these words have no correlation of sound and form
with the basic form of the word Pinjam and Gila.
The last result of this research is apparently teenagers’ perspective in use of slang language. The
reason of using slang language that is applied by teenagers in their community is to ‘show off’ their
existence in society. It is declared by 36 informants or 30.25 %. Other reasons are the effect of modern era
which is declared by 33 informants or 27.73 %, and getting easy to communicate is 21 %.

BIBLIOGRAPHY
Gemilasari, Nor. 2013. An Analysis of Word Formation of Slang Words Found in Short Stories in Teenager Magazines
Aneka Yess. English Language and Literature E-Journal. ISSN 2302-3546. Padang.
Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Linguistics. London and New York : Longman Malaysia.
Paltridge, Brian. 2006. Discourse Analysis. MPG Ltd., Bodmin, Cornwall. London.
Richard, Jack, et all. 1985. Longman Dictionary of Applied Linguistics. London: Longman.
Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara
Linguistik. Sanata Dharma University Press. Yogyakarta.
Yule, George. 2010. The Study of Language. Cambridge University Press. New York.
Zhou, Yanchun, Yanhon Fang. 2013. A Sociolinguistics Study of American Slang. Theory and Practice in Language
Studies, Vol. 3, No. 12, pp. 2209-2213. ISSN 1799-2591. Academy Publisher Manufactured. Finlandia.

CURRICULUM VITAE
Complete Name : Suhardianto
Institution : Universitas Putera Batam
Education : S2 Universitas Indraprasta PGRI
S1 Universitas Bung Hatta
Research Interest : • Morphology
• Pragmatic
• Sosiolinguistic

11
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
TERORISME VERBAL DALAM AKTIFITAS WOMEN TRAFFICKING DI INDONESIA

Ike Revita
Universitas Andalas
revita_ike@yahoo.com

ABSTRAK
Women trafficking adalah sebuah tindakan terbrutal di dunia. Perempuan tidak lagi diperlakukan seperti manusia.
Mereka diperjualbelikan layaknya barang. Aktifitas women trafficking dapat berjalan sedemikian rupa salah satunya
lewat peran bahasa. Bahasa digunakan sebagai alat untuk meyakinkan perempuan agar mau dijadikan korban. Tidak
jarang teror dilakukan agar perempuan bersedia dijadikan budak di era modern ini. Kaum perempuan terkesan tidak
berdaya akibat kepiawaian pelaku dalam melakukan terornya. Mereka seperti kehilangan kemampuan untuk
menyelamatkan diri dari serangan terorisme tersebut. Teror lewat bahasa seperti inilah yang disebut dengan terorisme
verbal. Dalam tulisan ini dipaparkan terorisme verbal dalam praktik women trafficking. Tujuan penulisan adalah
untuk memerikan bentuk- bentuk terorisme verbal yang dilakukan calo women trafficking terhadap calon korban.
Penelitian dilakukan di daerah Sumatera Barat (Padang, 50 Kota, dan Tanah Datar). Data adalah semua tuturan
yang disampaikan oleh calo kepada perempuan-perempuan yang diincar untuk dijadikan korban trafficking.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak, teknik pancing, catat, rekam , dan interview. Analisis data
menggunakan metode padan referensial dan translasional yang dihubungkan dengan konsep tindak tutur menurut
Searle (1992) dan Revita (2013) dan terorisme verbal menurut Revita (2016). Hasil analisis dipaparkan secara
deskriptif-naratif. Dari hasil analisis ditemukan empat bentuk terorisme verbal dalam aktifitas women trafficking,
yakni (1)persuasi; (2)deklarasi; (3)ancaman; dan (4)wejangan.
Kata kunci: women trafficking, terorisme verbal, tindak tutur

PENDAHULUAN
Women Trafficking dinilai sebagai perbuatan yang biadab. Perempuan yang seharusnya dilindungi tidak lagi
diperlakukan sebagai manusia. Mereka diperjualbelikan ibarat barang. Jika barang itu sudah tidak disukai
lagi, bia dijuap atau diberikan kepada orang lain. Bahkan tidak jarang, perempuan ini dibuang begitu saja.
Fenomena women trafficking diibaratkan sebagai puncak gunung es. Puncak gunung es itu terlihat
kecil meskipun faktanya tidak seperti itu. Dikatakan juga women trafficking ini ibarat api dalam lahan
gambut yang di atasnya terlihat padam, sesungguhnya jauh di bawah permukaan itu berkobar api yang
sangat besar.
Hal demikian terjadi karena salah satunya dipicu oleh ketidakpahaman masyarakat akan women
trafficking ini sendiri. Masyarakat banyak yang tidak menyadari bahwa sesungguhnya mereka adalah korban
trafficking atau perdagangan orang.
Contohnya adalah ketika seseoramg ditawari untuk menjadi asisten rumah tangga dengan gaji dan
jenis pekerjaan yang dilakukan. Tidak jarang yang terjadi adalah pekerjaan yang dilakukan menyalahi
perjanjian yang sudah ada tanpa adanya kompensasi. Sederhananya, asisten rumah tangga ini ditugasi beban
kerja yang melebihi apa yang sudah disepakati.
Keadaan seperti ini sering dianggap sebagai hal biasa. Pertimbangan susahnya mencari pekerjaan,
tuntutan kebutuhan ekonomi, persoalan perut, serta ketidakmengertian mengenai kontrak kerja menjadikan
mereka tetap bertahan dan menerima kondisi ini.
Bertahannya korban trafficking ini juga tidak lepas dari peran calo trafficking yang bermain dalam
bahasa. Kepiawaian merangkai kata menyebabkan banyak perempuan dan keluarganya yang terjebak dan
kemudian terpaksa harus merelakan diri mereka menjadi korban trafficking. Kekuatan dan kekuasaan calo
ini melalui teror verbal menjadikan mereka tidka berkutik.
Permasalahan di atas akan dijawab melalui tulisan ini. Adapun tujuan penulisan adalah untuk
mengidentifikasi bentuk-bentuk terorisme verbal dalam aktifitas women trafficking.
Data merupakan tuturan calo korban yang bersifat teror yang ditujukan kepada calon korban dan
keluarganya. Pengambilan data dilakukan di daerah Sumatera Barat (Padang, Lima Puluh Kota, dan Tanah
Datar) menggunakan metode simak dan tekni catat, rekam, seta interview (Sudaryanto, 2015). Analisis
dilakukan menggunakan metode padan pragmatik dan referensial dengan mengacu kepada konsep yang
dikemukakan Searle (1992) dan Revita (2013, 2015). Hasil analisis dipaparkan secara deskriptif.

TERORISME BAHASA DAN WOMEN TRAFFICKING


Sebagai alat komunikasi, bahasa tidak hanya digunakan untuk memberi informasi tetapi juga melakukan
sebuah aksi. Aksi seperti ini dalam bahasa disebut dengan tindak tutur (Searle, 1992; Austin, 1969).

12
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Dalam tindak tutur, seorang penutur dapat melakukan banyak tindakan, seperti memberi pendapat,
berjanji, memerintah, atau mengintimidasi. Bahasa yang bertujuan untuk mengintimidasi salah satunya
diwujudkan melalui teror. Teror-teror bahasa inilah yang disebut dengan terorisme bahasa (Revita, 2016).
Salah satu praktik terorisme bahasa adalah yang sering dilakukan dalam wacana women trafficking.
Trafficking merupakan perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan seseorang
dengan ancaman atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk pemaksaan lain, penculikan, penipuan,
kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi dan menerima bayaran atau
manfaat untuk memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain untuk tujuan
eksploitasi. (Protokol PBB Th. 2000). Jika trafficking dilakukan terhadap perempuan, maka disebut dengan
women trafficking.
Women trafficking ini secara umum bertujuan untuk mengeksploitasi kaum perempuan dengan
menguras habis tenaga mereka sebagai pekerja baik di perusahaan maupun dunia esek-esek (UNHCR, 2011).
Kaum perempuan dibuat tidak berdaya dengan berbagai modus sehingga mereka terjebak untuk harus
mengikuti keinginan dari si calo.
Modus-modus inilah yang diwujudkan melalui penggunaan bahasa mereka. Bahasa yang digunakan
cenderung menekan dan mengintimidasi sehingga tidak jarang kaum perempuan jadi terjebak dan tidak
mampu menghindar. Salah satunya melalui bujukan, rayuan, bahasa yang ‘manis’, dan tidak jarang diikuti
oleh ancaman fisik (Revita, 2013).

ANALISIS
Dalam melakukan terorisme berbahasa, ada beberapa bentuk yang digunakan calo terhadap korban. Bentuk
itu adalah (1) persuasi; (2) deklarasi; (3) ancaman; dan (4) wejangan.
a. Persuasi
Persuasi artinya membujuk (KUBI, 2012). Dalam berbahasa, seorang calo bisa melakukan persuasi
untuk meyakinkan calon korban. Contohnya dapat dilihat pada data 1 di bawah ini.
1. Dewi ini anaknya pintar, cantik, dan berbakat. Jo karajo, Dewi bisa manoloang urang gaek.
Caliaklah si A, lah tabuek dek inyo rumah rancak. Biaso-biaso se anaknyo. Kan lain nio Dewi kan?
‘Dewi ini anak yang pintar, cantik, dan berbakat. Dewi bisa membahagaiakan orang tua dengan
bekerja di kota. Coba kamu lihat si A! Dia sudah bisa membangun rumah. Orangnya biasa-biasa
saja.’
Tuturan 1 ini disampaikan oleh seorang perempuan yang membujuk seorang gadis berusia sekitar 15
tahun untuk ikut dengannya bekerja sebagai pramuniaga di sebuah counter handphone. Gadis ini
dibujuk sedemikian rupa dengan cara memuji kelebihan yang dimiliki serta harapan-harapan manis.
Selain itu, bekerja sebagai sebuah ibadah juga menjadi penegasan calo. Berkat persuasi ini, si gadis
akhirnya berkenan untuk memenuhi permintaan calo tersebut. Dia akhirnya ikut bekerja sebagai
‘pegawai’ yang disebut counter handphone.
b. Deklarasi
Revita (2013) menyebut deklarasi dengan pernyataan yang dapat merubah dunia. Dunia yang dimaksud
di sini adalah pikiran calon korban. Deklarasi ini biasanya dilakukan oleh orang yang tepat di waktu
yang tepat juga. Misalnya, ketika seorang paman yang menjadi tempat bertanya bagi keponakan di
Minangkabau, memberitahu bahwa dia sudah mencarikan pekerjaan untuk keponakannya itu.
Pemberitahuan ini dinilai sebagai sebuah deklarasi karena paman dalam posisinya sebagai orang yang
memenag bertugas memperhatikan keponakannya dan disampaikan dalam situasi ketika berbicara
dengan orang tua keponakannya. Contohnya seperti pada data 2 berikut.
2. Aden lah mancarian karajo untuak si A di Pakanbaru. Iyo karajo di rumah. Daripado bamain
ndak tantu odok, bialah karajo di Pakan tu. Baraja juo inyo.
‘Saya sudah mencarikan pekerjaan untuk A di Pekan Baru. Pekerjaanya adalah asisten rumah
tangga. Lebih baik dia bekerja daripada menganggur di sini. Dia dapat juga belajar.’
Apa yang disampaikan penutur dalam data (2) merupakan sebuah deklarasi karena dalam konteks ini
disampaikan oleh seorang paman yang dari kecil sudah membiayai sekolah A. Paman ini menilai
mencarikan pekerjaan untuk si A yang masih menganggur merupakan tanggungjawabnya juga. Apalagi
di Minangkabau, paman (mamak) punya peran yang penting untuk kemajuan keponakannya. Melalui
deklarasinya, tidak ada seorang pun yang mampu melakukan penolakan atas tuturan 2 tersebut.
c. Ancaman
Ancaman diartikan sebagai tuturan yang dapat membahayakan keselamatan calon korban. Dalam tuturan
yang bersifat ancaman ini, calo tidak jarang memperjelasnya dengan menggunakan ancaman fisik atau
bahkan diikuti dengan kekerasan fisik. Contohnya seperti pada data (3) berikut ini.
3. Kaki nan katuju dek kau? Manga di siko, ndak tau ojok. Den carian karajo nan sanang ndak nio lo
kau. Kini kau harus pai ka sinan, pai karajo!
13
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
‘Kamu mau ditendang? Apa yang kamu kerjakan di sini, tidak tentu arah. Saya carikan kamu
pekerjaan, kamu tidak mau. Sekarang kamu harus pergi ke sana dan bekerja!’
Dalam tuturan (3) terdapat kekerasan berupa ancaman. Tuturan (3) ini disampaikan oleh seorang bapak
yang marah karena anaknya menolak untuk bekerja di sebuah tempat yang menurutnya bagus. Bekerja
di sebuah toko pakaian dan dijanjikan memperoleh gaji yang lumayan. Penolakan si anak membuat
bapak ini marah dan melakukan pengancaman untuk menendang si anak jika masih menolak. Tuturan
Kaki nan katuju dek kau? dinilai sebagai sebuah ancaman karena jika itu dilakukan akan menyebabkan
berbahayanya keselamatan mitra tutur (si anak).
d. Wejangan
Wejangan disebut juga dengan nasihat. Nasihat dalam KUBI (2012) adalah anjuran berupa kebaikan.
Seorang calo tidak jarang meyakinkan calon korban dengan memberi nasihat. Melalui nasihat ini, calo
seakan-akan membangun citra baik dalam dirinya sehingga pandangan mitra tutur menjadi positif.
Contohnya adalah seperti data (4) di bawah ini.
4. Karajo ko ibadah mah Rat. Ratna karajo, manoloang urang tuo. Urang tuo jadi sanang. Kan pahalo
dek Irat tu. Bilo lo Irat ka manayanangan urang tuo kalau ndak katiko nyo masih iduik?
‘Kerja ini ibadah. Ratna bekerja menolong orang tua. Orang tua menjadi senang. Ini adalah sebuah
pahala untuk kamu. Kaoan kamu akan menyenangkan orang tua kalau bukan sekarang, ketika
mereka masih hidup.’
Tuturan (4) disampaikan oleh sorang perempuan satu kampung dengan mitra tutur. Perempuan ini
mengajak mitra tutur untuk ikut dengannya bekerja di Jakarta. Ajakan ini disampaikan melalui nasihat-
nasihat berupa kebaikan. Nasihat ini juga dijadikan alat untuk menimbulkan padangan positif terhadap
dirinya sehingga mitra tutur berkenan memenuhi ajakannya tersebut.

SIMPULAN
Women trafficking merupakan aktifitas yang secara tidak langsung memberi efek tidak sederhana kepada
korban, secara khusus, dan masyarakat secara umum. Aktifitas women trafficking ini sering tidak disadari
oleh masyarakat. Kepiawaian calo meyakinkan korban menyebabkan banyak yang terlena. Kesadaran bahwa
mereka sudah menjadi korban adalah ketika nasi sudah menjadi bubur.
Keberhasilan calo ini tidak lebih dari kemampuannya beretorika. Retorika ini bersifat terorisme.
Dikatakan demikian karena efeknya yang dinilai tidak berperikemanusiaan. Ada empat bentuk bahasa
terorisme yang digunakan calo dalam meyakinkan calon korban, yakni (1) persuasi; (2) deklarasi; (3)
ancaman; dan (4) wejangan.
Keempat bentuk ini muncul dan digunakan secara berimbang. Artinya, calo menggunakan keempat
bentuk ini sebagai varian-varian dalam meyakinkan calon korban. Pilihan bentuk ini juga didasari oleh
konteks yang ada.

REFERENSI
Alwi, Hasan. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Moeliono, Anton dkk. 2012. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Revita, Ike. 2016. ‘Terorisme Bahasa’. Harian Singgalang. 29 Januari 2016.
Revita, Ike. 2013. Pragmatik: Kajian Tindak Tutur Permintaan Lintas Budaya. Padang: FIB Unand.
Searle, John R. 1992. ‘Conversation’. Dalam John R. Searle et.al. (On) Searle on Conversation. Amsterdam/
Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.
Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.
Wijana, I Dewa Putu. 2014. Bunga Rampai Persoalan Linguistik, Sosiolinguistik, dan Pragmatik. Yogyakarta: A.
Com Advertising

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Ike Revita
Institusi : Universitas Andalas
Riwayat Pendidikan : S3 Linguistik Universitas Gadjah Mada
S2 Linguistik Universitas Gadjah Mada
S1 Sastra Inggris Universitas Andalas
Minat Penelitian : • Pragmatik/Semiotik
• Sosiopragmatik
• Sosiolinguistik
• Analisis Wacana

14
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
REPRESENTASI GERAKAN FAJAR NUSANTARA (GAFATAR) DALAM
WACANA EDITORIAL REPUBLIKA DAN SUARA PEMBARUAN EDISI 14 JANUARI 2016

Sony Christian Sudarsono


Universitas Sanata Dharma
sony@usd.ac.id; sony.christian@yahoo.co.id

ABSTRAK
Makalah ini membahas representasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) dalam editorial Republika dan Suara
Pembaruan edisi 14 Januari 2016. Representasi berkaitan dengan bagaimana seseorang, kelompok, peristiwa, benda,
gagasan atau pendapat ditampilkan dalam wacana. Data dianalisis dengan pendekatan pragmatik kritis, yaitu paduan
pendekatan pragmatik dengan analisis wacana kritis. Dari hasil analisis data, Gafatar direpresentasikan secara
berbeda. Menurut Republika, Gafatar direpresentasikan sebagai kelompok yang meresahkan dan sesat. Sementara itu,
Suara Pembaruan merepresentasikan Gafatar sebagai kelompok yang (sebatas) dituduh dan dituding radikal, bahkan
Suara Pembaruan menyangsikan Gafatar sebagai kelompok yang berbahaya. Pandangan-pandangan tersebut tampak
dari penggunaan sasaran tutur dan tujuan tutur yang berbeda. Dilihat dari isi wacana, konteks ideologi, dan konteks
waktu terbit Republika dan Suara Pembaruan, perbedaan representasi yang ditunjukkan dapat dipahami sebagai
sebuah perang wacana.
Kata kunci: representasi, Gafatar, wacana editorial, Republika dan Suara Pembaruan, pragmatik kritis

PENDAHULUAN
Awal tahun 2016 ini pemberitaan di media massa diramaikan dengan kabar tentang kelompok bernama
Gerakan Fajar Nusantara atau lebih terkenal dengan Gafatar. Pemberitaan bermula dari hilangnya beberapa
orang di Yogyakarta, Bandung, Garut, dan Magelang. Selain itu, Gafatar juga diduga menyebarkan ajaran
yang tidak sesuai dengan ajaran agama-agama yang diakui di Indonesia.
Menurut laman resmi Gafatar yang dikutip okezone.com, Gafatar dibentuk pada tahun 2012 dengan
14 Dewan Pimpinan Daerah (DPD), dan dalam waktu satu tahun, jumlah DPD sudah menjadi 34. Dijelaskan
juga bahwa Gafatar mengedepankan gerakan sosial seperti donor darah, pelatihan dan diskusi, bakti sosial
seperti kerja bakti membersihkan sungai hingga membuka pusat pengobatan gratis untuk masyarakat.
Gafatar lahir karena sebuah perasaan bahwa Indonesia belum merdeka dan masih dijajah neokolonialisme.
Kegiatan Gafatar berbasis pada bidang pertanian karena tujuan mereka adalah menciptakan ketahanan dan
kemandirian pangan (http://news.okezone.com/read/2016/01/12/337/1285955/mengetahui-lebih-dekat-gafatar
diunduh pada 13 Maret 2016, pukul 19.00 WIB).
Karena Gafatar mulai menjadi fenomena nasional, berbagai media massa pun tertarik untuk
mengulas segala hal tentang Gafatar. Secara khusus Republika dan Suara Pembaruan membahas Gafatar
dalam editorial edisi 14 Januari 2016. Dalam makalah ini, kedua editorial tersebut dijadikan objek kajian.
Makalah ini bertujuan mendeskripsikan representasi Gafatar dalam wacana editorial Republika dan Suara
Pembaruan edisi 14 Januari 2016 tersebut.

LANDASAN TEORI
Representasi berkaitan dengan bagaimana seseorang, kelompok, peristiwa, benda, gagasan atau pendapat
ditampilkan dalam wacana (Eriyanto, 2012:113). Representasi dalam dunia jurnalistik bukanlah fakta yang
sebenarnya, tetapi merupakan laporan atas fakta itu (Oetama melalui Barus, 2010). Laporan tersebut disusun
berdasarkan latar belakang, pengalaman, dan ideologi yang dianut penulisnya. Sebuah fakta yang sama dapat
dilaporan secara berbeda oleh dua orang wartawan yang berbeda, apalagi jika kedua wartawan tersebut
mewakili dua institusi media yang berbeda pula.
Salah satu bentuk laporan dalam dunia jurnalistik adalah editorial. Editorial merupakan opini redaksi
surat kabar yang biasanya ditulis oleh pemimpin redaksi atau redaktur senior untuk menyampaikan sikap
resmi sebuah institusi media tentang suatu hal yang sedang hangat dibicarakan (Sumadiria, 2004:82).
Dari pemahaman tersebut, penulis editorial telah menjalankan tiga fungsi bahasa menurut Gee
(2011), yaitu saying, doing, dan being. Melalui wacana editorial, media massa mengatakan sesuatu (saying),
sekaligus juga melakukan sesuatu (doing) dengan tindak-tindak tutur yang dilakukan. Lebih dari itu, melalui
wacana editorial, sebuah media massa telah merepresentasikan dirinya (self-representation) sebagai pihak
tertentu (being) ketika membahas suatu topik. Dalam kacamata Fairclough (1995)—yang terinspirasi dari
pendapat Halliday (1972)—usaha untuk merepresentasikan diri sendiri melalui wacana termasuk dalam
fungsi tekstual atau identitas (bdk. Eriyanto, 2012; Sudarsono, 2015:177).

15
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Selain merepresentasikan dirinya, penulis editorial juga merepresentasikan objek yang dibahasnya.
Usaha merepresentasikan objek tersebut termasuk dalam fungsi ideasional atau representasi (bdk. Eriyanto,
2012; Sudarsono, 2015:177). Sebuah realitas, dalam hal ini Gafatar, direpresentasikan dari perspektif
tertentu. Baik representasi diri maupun representasi objek bergantung pada latar belakang ideologi yang
dianut media yang bersangkutan.
Representasi diri dan representasi objek tersebut disampaikan di ruang publik dengan tujuan
pembaca mengikuti pendapat penulis editorial. Oleh karena itu, penulis editorial menjalin relasi dengan
pembaca sebagai masyarakat penerima opini. Usaha ini termasuk dalam fungsi interpersonal atau relasi
(bdk. Eriyanto, 2012; Sudarsono, 2015:177). Untuk menjalankan fungsi ini, editorial sebagai sebuah tindak
tutur memiliki sasaran tutur (addresse) (Leech, 1983). Wacana editorial tidak hanya mengarah kepada
pembaca sebagai sasaran tutur yang umum (newspaper’s general readership), melainkan juga pihak-pihak
tertentu yang memiliki kekuasaan (power) seperti pemerintah dan aparat, serta pihak-pihak berwenang lain
sebagai sasaran tutur khusus (Le, 2010:28).
Sebagai sebuah tindakan bahasa yang berorientasi pada tujuan, wacana editorial memiliki tujuan
tutur. Tujuan tuturlah yang menggerakkan wacana hendak diarahkan ke mana (bdk. Subagyo, 2012: 83).
Tujuan tutur (purpose/goal) dapat dikenali dari tipe-tipe tindak tutur yang ditampilkan, seperti tindak tutur
konstantif (menyatakan bagaimana sesuatu terjadi), ekspresif (menyatakan perasaan tentang peristiwa atau
keadaan), direktif (menyuruh atau melarang pihak tertentu), dan komisif (niat dan keyakinan pembicara
untuk melakukan sesuatu) (Le, 2010: 24).

METODE PENELITIAN
Seperti yang sudah dijelaskan di depan, data dalam penelitian ini adalah dua wacana editorial dari Republika
dan Suara Pembaruan edisi 14 Januari 2016. Dengan demikian, data disediakan dengan menyimak
penggunaan bahasa atau disebut juga metode simak (Sudaryanto, 2015: 203). Kedua wacana editorial
tersebut dikaji dengan pendekatan pragmatik kritis. Pendekatan pragmatik kritis merupakan paduan
pragmatik dengan analisis wacana kritis (AWK). Seperti halnya AWK, pragmatik kritis juga mengkaji
bahasa sebagai kekuasaan atau praktik sosial (social practice) (Fairclough, 1995), namun langkah kerja
dalam pragmatik kritis dimulai dari analisis pragmatik (Subagyo, 2010; Subagyo, 2013). Adapun metode
yang digunakan adalah metode padan pragmatik, yaitu metode yang alat penentunya adalah mitra bicara
(Sudaryanto, 2015:35). Peneliti memosisikan diri sebagai penerima tutur yang menginterpretasikan wacana
editorial tentang Gafatar ini (bdk. Subagyo, 2012).
Penerapan dari pendekatan pragmatik kritis adalah pertama, mengidentifikasi sasaran tutur dan
tujuan tutur dalam kedua wacana editorial tentang Gafatar tersebut. Sasaran tutur umum, yaitu pembaca,
biasanya tidak disebut atau hanya disebut dengan kata masyarakat atau kata ganti kita. Sasaran tutur khusus
diidentifikasi dengan membaca pihak-pihak tertentu yang disebut (mentioned) dalam wacana. Sementara itu,
tujuan tutur ditentukan dengan membaca tindak tutur yang dilakukan oleh Republika dan Suara Pembaruan
dalam editorial mereka. Setelah itu, hasil identifikasi sasaran dan tujuan tutur diinterpretasikan menjadi
representasi Gafatar menurut Republika dan Suara Pembaruan. Untuk menjaga validitas, interpretasi
dilakukan dengan penyimpulan disertai bukti-bukti yang kuat.

PEMBAHASAN
Sasaran tutur Republika dalam editorialnya adalah pembaca sebagai bagian dari masyarakat, aparat
berwenang, dan pemerintah. Secara khusus, masyarakat yang disebut adalah keluarga, lingkungan RT, RW,
kelurahan, dan seterusnya. Setiap sasaran tutur dikenai tujuan tutur yang berbeda. Untuk sasaran tutur
pembaca atau masyarakat, Republika memiliki tiga tujuan tutur yang saling terkait, yaitu mengabarkan,
menyatakan, dan meminta. Tujuan tutur mengabarkan dilakukan Republika pada lima paragraf pertama yang
berisi kabar tentang hilangnya beberapa orang seperti dr. Rica dari Yogyakarta, Ichsan Ali Abdur Jabar dari
Bandung, Winarti bersama dua anaknya dari Garut, dan Andi Kurniawan dari Magelang. Dikabarkan bahwa
hilangnya orang-orang tersebut terkait dengan Gafatar (kutipan (1)).
(1) Mereka yang meninggalkan keluarganya itu dilaporkan punya kaitan dengan aktivitas kelompok Gafatar.
Kabar-kabar tidak menyenangkan di atas menjadi dasar Republika untuk bertujuan tutur
menyatakan. Dinyatakan bahwa hilangnya banyak orang di atas merupakan efek meresahkan dari Gafatar (2)
Selain itu, Republika juga menyatakan bahwa Gafatar juga mengundang kesesatan karena mengajarkan hal
yang bertentangan dengan agama (3).
(2) Hilangnya banyak orang ini merupakan bagian yang sangat terlihat dari efek meresahkan kelompok
tersebut.

16
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
(3) Tak hanya soal hilangnya sebagian warga, Gafatar juga mengundang kesesatan saat menebarkan
ajaran yang bertentangan dengan agama.
Masih kepada pembaca sebagai masyarakat, tujuan tutur menyatakan di atas dilanjutkan dengan
tujuan tutur meminta. Karena adanya pengalaman tentang Gafatar yang dinyatakan sebagai kelompok yang
meresahkan dan sesat, masyarakat diminta mendeteksi secara dini kelompok-kelompok semacam Gafatar,
melapor kepada aparat jika ada keganjilan, dan terus memonitor segala aktivitasnya (4). Keluarga (dan
dilanjutkan lingkungan RT, RW, kelurahan, dan seterusnya) juga diminta menjadi benteng penangkal atas
kelompok semacam Gafatar untuk melindungi warga.
(4) Kehebohan Gafatar ini menjadi pelajaran penting bagi kita semua. Deteksi dini terhadap aktivitas
kelompok warga seperti Gafatar semestinya bisa dilakukan. Siapa pun yang melihat keganjilan di
sekitarnya bisa segera melapor kepada aparat setempat atau bisa memonitor segala aktivitasnya secara
intensif.
Sasaran tutur editorial Republika selanjutnya adalah pihak-pihak yang memiliki kuasa, yaitu aparat
berwenang dan pemerintah. Tujuan tutur yang diarahkan ke pihak-pihak yang memiliki kuasa bersifat
direktif seperti pendapat Le (2010:28). Untuk sasaran tutur aparat berwenang seperti kepolisian, Republika
bertujuan tutur meminta, bahkan cenderung mendesak supaya aparat bersikap tegas dan mengakhiri segala
aktivitas Gafatar. Aparat juga diminta untuk menutup semua tempat kegiatan Gafatar, mendata orang-orang
yang terlibat di dalamnya, dan mengumumkannya kepada masyarakat (5). Hal ini terkait dengan tujuan tutur
sebelumnya, yaitu menyatakan bahwa Gafatar meresahkan. Secara tidak langsung, tujuan tutur menyatakan
tersebut juga disasarkan kepada aparat berwenang.
(5) Dengan alasan ini, sebenarnya aparat berwenang, seperti kepolisian dan petugas perlindungan
masyarakat di berbagai daerah bisa mulai bersikap tegas. Aktivitas kelompok ini harus diakhiri supaya
tidak terus menimbulkan korban baru.
Tempat-tempat yang selama ini menjadi pusat kegiatan Gafatar semestinya ditutup segera. Orang-
orang yang ada di tempat-tempat itu pun perlu langsung didata untuk diumumkan kepada masyarakat.
Kepada sasaran tutur pemerintah, Republika juga bertujuan tutur meminta/mendesak supaya
pemerintah melindungi masyarakat dari kesesatan (6). Tujuan tutur ini dapat dibaca sebagai kelanjutan
tujuan tutur sebelumnya, yaitu menyatakan Gafatar sesat dan bertentangan dengan ajaran agama. Secara
tidak langsung pula, tindak tutur menyatakan sesat tersebut juga disasarkan kepada pemerintah.
(6) Dengan kondisi ini, pemerintah seharusnya bisa proaktif untuk melindungi masyarakat dari kesesatan
ajaran Gafatar.
Dari sasaran dan tujuan tutur dalam wacana editorial Republika tersebut, dapat disimpulkan bahwa
Gafatar direpresentasikan sebagai kelompok yang meresahkan dan sesat. Hal tersebut dikuatkan dengan
implikasi-implikasi tujuan tutur yang bersifat direktif kepada masyarakat maupun aparat berwenang dan
pemerintah. Karena Gafatar direpresentasikan sebagai kelompok yang meresahkan dan sesat, masyarakat
diminta mengambil pelajaran dari pengalaman ini dengan senantiasa mendeteksi secara dini, melaporkan,
dan memonitor jika ada kelompok-kelompok sejenisnya. Aparat berwenang dan pemerintah pun diminta
melakukan tindakan-tindakan penanganan seperti menghentikan dan mengakhiri kegiatan-kegiatan Gafatar
dan melindungi masyarakat dari kesesatan.
Sementara itu, dalam editorialnya, Suara Pembaruan menyebut secara khusus aparat, pemerintah,
dan para ulama serta organisasi-organisasi keagamaan. Selain itu, wacana editorial Suara Pembaruan juga
disasarkan kepada pembaca sebagai bagian dari masyarakat. Jika dibandingkan dengan sasaran tutur
Republika, terdapat satu perbedaan, yaitu editorial Suara Pembaruan disasarkan pula kepada para ulama dan
organisasi-organisasi keagamaan, sedangkan Republika tidak.
Kepada sasaran tutur masyarakat, Suara Pembaruan bertujuan tutur menyatakan atau mengabarkan
bahwa Gafatar ternyata bukan organisasi keagamaan, Gafatar dituduh berada di balik hilangnya beberapa
orang pada akhir 2015 dan awal 2016, Gafatar dituduh sesat (7) dan dituding radikal, dan Gafatar tidak
meninggalkan jejak kekerasan sebagaimana kelompok-kelompok radikal biasanya (8). Suara Pembaruan
juga menyangsikan bahwa Gafatar merupakan kelompok yang berbahaya karena sejauh ini intelijen tidak
menyatakannya (9).
(7) Kelompok yang dituduh sesat dan dalang di balik hilangnya beberapa orang belakangan ini, ternyata
bukan sebuah organisasi keagamaan.
(8) Sebagai organisasi yang dituding radikal, Gafatar tak meninggalkan jejak kekerasan [….]
(9) Fungsi intelijen juga dipertanyakan bila Gafatar maupun kelompok-kelompok semacam ini akhirnya
dianggap merugikan masyarakat bahkan mengancam keamanan negara. […] .Bila Gafatar memang
membahayakan, maka apa yang ada di balik organisasi semacam ini tak terendus intelijen.

17
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Penggunaan pembatas (hedge) yang dituduh dan yang dituding mengindikasikan bahwa proposisi
yang mengikutinya belum sepenuhnya akurat (bdk. Yule, 1996:38). Pembatasan (hedging) tersebut semakin
kuat setelah di akhir editorial, Suara Pembaruan mempertanyakan berbahayanya Gafatar karena intelijen
tidak mengendusnya. Hal tersebut tentu berlawanan dengan tujuan tutur Republika yang menuturkan bahwa
Gafatar yang adalah kelompok di balik hilangnya beberapa orang waktu itu merupakan kelompok yang
meresahkan, dan mengudang kesesatan.
Kepada sasaran tutur pemerintah bersama dengan masyarakat, Suara Pembaruan bertujuan tutur
menuntut supaya pemerintah mengedepankan penegakan hukum, memperkuat fungsi intelijen, dan
mengoptimalkan organisasi keagamaan. Suara Pembaruan menyatakan bahwa Indonesia adalah negara
hukum sehingga penegakan hukum menjadi senjata utama jika ada pihak yang melanggarnya tanpa peduli
pihak tersebut berlatar belakang agama, suku, dan ras tertentu (10). Kepada negara, Suara Pembaruan
menyarankan supaya tidak ikut campur pada masalah-masalah keagamaan (11). Terkait dengan hal tersebut,
kepada sasaran tutur aparat, Suara Pembaruan menyatakan bahwa aparat baru bisa turun tangan apabila ada
hukum yang dilanggar seperti benturan horizontal antarkelompok masyarakat berlatar belakang ideologi
(12).
(10) Namun demikian, pemerintah dan masyarakat harus tetap mengedepankan penegakan hukum sebagai
senjata, mempertajam fungsi intelijen, serta mengoptimalkan organisasi keagamaan mapan.
(11) Berkaitan dengan keyakinan itu, negara sebaiknya tidak perlu ikut campur. Negara justru harus
bertindak bila terdapat sebuah aliran, baik yang berlindung di balik organisasi keagamaan maupun
bukan, yang menggunakan intimidasi, teror dan kekerasan dalam metode perjuangannya atau melawan
Pancasila dan UUD 1945.
(12) Aparat baru turun tangan dengan mengacu pada hukum positif seandainya terjadi benturan horizontal
antarkelompok masyarakat berlatar belakang ideologi.
Secara khusus, Suara Pembaruan menyasarkan wacananya kepada para ulama dan organisasi
keagamaan. Suara Pembaruan bertujuan tutur meminta supaya para ulama dan organisasi keagamaan saja
yang menyelesaikan masalah aliran yang mengusung ideologi bertentangan dengan doktrin agama tertentu
(13). Tugas para ulama adalah meluruskan aliran yang dianggap menyalahi doktrin agama, bukan hanya
melarangnya (14). Suara Pembaruan juga bertujuan tutur mengkritik organisasi keagamaan yang dianggap
belum mampu mengisi kekosongan teologis dan meminta mencarikan solusi spiritual atas berbagai macam
persoalan hidup. Suara Pembaruan juga bertujuan tutur mengajak organisasi agama mengevaluasi diri
apakah mereka ketinggalan mengantisipasi perkembangan zaman dan mengajak para ulama memanfaatkan
teknologi modern untuk berdakwah karena berbagai informasi secara cepat dan bebas beredar melalui
perkembangan teknologi (15).
(13) Sementara itu, bila ada aliran yang mengusung ideologi bertentangan dengan doktrin agama-agama
tertentu, biarlah ulama dan organisasi agama bersangkutan yang menyelesaikan.
(14) Karena itu tugas berat para ulama untuk meluruskan aliran pemikiran yang dianggap menyalahi
doktrin agama.
(15) Kemunculan kelompok-kelompok alternatif ini menjadi evaluasi bagi organisasi keagamaan untuk
mengevaluasi apakah mereka ketinggalan mengantisipasi perkembangan zaman.
Era teknologi yang berkembang pesat membuat umat bisa mengakses segala macam dan bentuk
informasi dengan beragam cara. Kondisi seperti ini tidak bisa diabaikan oleh organisasi keagamaan
maupun para ulama sebagai pembina umat. Mengantisipasi perkembangan zaman antara lain adalah
dengan memanfaatkan perangkat modern untuk dakwah demi memperkuat keimanan umat.
Dari sasaran dan tujuan tutur dalam wacana editorial Suara Pembaruan tersebut, dapat disimpulkan
bahwa Gafatar direpresentasikan sebagai kelompok yang (sebatas) dituduh meresahkan, sesat dan
berbahaya. Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat hanya diminta mengedepankan penegakan hukum
tanpa ikut campur masalah keyakinan pribadi. Pemerintah diminta juga mempertajam fungsi intelijen.
Adapun para ulama dan organisasi keagamaan didorong untuk menyelesaikan masalah dugaan
penyimpangan doktrin agama dan mencari solusi spiritual atas masalah-masalah kehidupan umatnya.

SIMPULAN
Hasil analisis data menunjukkan bahwa dalam kedua wacana editorial tersebut, Gafatar direpresentasikan
secara berbeda. Menurut Republika, Gafatar direpresentasikan sebagai kelompok yang meresahkan dan
mengundang kesesatan. Sementara itu, Suara Pembaruan memandang Gafatar direprentasikan sebagai
kelompok yang sebatas dituduh sesat dan dituding radikal, bahkan menyangsikan Gafatar sebagai kelompok

18
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
yang berbahaya. Representasi tersebut berimplikasi pada penggunaan sasaran tutur dan tujuan tutur dalam
wacana editorial Republika dan Suara Pembaruan.
Perbedaan representasi yang ditunjukkan dapat dipahami sebagai sebuah perang wacana. Terlebih
lagi, Republika dan Suara Pembaruan berlatar belakang ideologi yang berbeda (Islam dan Kristen) (bdk.
Subagyo, 2012). Dilihat dari waktu terbitnya, Republika terbit sebagai harian pagi, sedangkan Suara
Pembaruan terbit sebagai harian sore. Perbedaan waktu terbit ini memungkinkan Suara Pembaruan untuk
“menanggapi” editorial Republika yang terbit di pagi hari. Hal tersebut pun terbukti dengan perbandingan
sasaran dan tujuan tutur yang digunakan di atas.

DAFTAR PUSTAKA
Barus, Sedia Willing. 2010. Jurnalistik: Petunjuk Teknis Menulis Berita. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Eriyanto. 2012. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Cetakan X. Yogyakarta: LKIS.
Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London: Longman.
Gee, James Paul. 2011. An Introducton to Discourse Analysis: Theory and Method. Third Edition. New York and
London: Routledge.
Halliday, M.A.K. 1972. “Language Structure and Language Function”. Dalam Lyons, John (ed.). New Horizons in
Linguistics. Harmmondworth, Middle Sex. England: Penguin Books Ltd. Halaman 140–164.
Le, Elizabeth. 2010. Editorial and the Power of Media. Amsterdam/Philadelpia: John Benjamin Publishing Company.
Leech, G. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman.
Mardiyansyah, Khafid. 2016. “Mengetahui Lebih Dekat Gafatar”. Diunduh dari http://news.okezone.com/read/2016/01/
12/337/1285955/mengetahui-lebih-dekat-gafatar pada 13 Maret 2016, pukul 19.00 WIB.
Subagyo, Paulus Ari. 2010. “Pragmatik Kritis: Paduan Pragmatik dan Analisis Wacana Kritis”. Linguistik Indonesia.
Tahun ke-28, No. 2. Halaman 177-187
________________. 2012. “Bingkai dalam Wacana Tajuk tentang Terorisme: Kajian Pragmatik Kritis Editorial Suara
Pembaruan dan Republika”. Disertasi di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sudarsono, Sony Christian. 2015. “Perspektif Pemberitaan Wacana Berita dalam Surat Kabar Lokal dan Nasional
tentang Kekerasan 29 Mei dan 1 Juni 2014 di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta”. Tesis di Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara
Linguistis. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.
Sumadiria, A.S.H. 2004. Menulis Artikel dan Tajuk Rencana: Panduan Praktis Penulis dan Jurnalis Profesional.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Sony Christian Sudarsono
Institusi : Universitas Sanata Dharma
Riwayat Pendidikan : S2 Linguistik Universitas Gadjah Mada
S1 Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma
Minat Penelitian : • Pragmatik
• Analisis Wacana
• Etnolinguistik
• Linguistik Kognitif

19
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
VERBAL PREDICATES WITH “DI-KANAI-I” AND “KANAI” IN MINANGKABAUNESE:
FROM GRAMMATICAL TO LEXICAL PASSIVIZATION

Jufrizal
Universitas Negeri Padang
juf_ely@yahoo.com

ABSTRAK
The lexicon kanai ‘get’ in Minangkabaunese can be combined with other verbs in the form of serial verb predicates.
The lexicon kanai can be said as the lexical passivization in Minangkabunese. It can be also seen that the lexicon kanai
in the passives with the serial verb constructions is etimologically derived from grammatical passivization di-kanai-i.
This paper grammatically discusses the phenomena of verbal predicates in serial verb kanai + verb in
Minangkabaunese. There are three questions answered as the basis of analysis and discussion presented in this paper,
namely: (i) what are the grammatical properties of clause constructions with the predicate serial verb kanai + verb in
Minangkabaunese?; (ii) is the lexicon kanai in such passive construction etimologically derived from morphological
passivization di-kanai-i in Minangkabunese?; and (iii) is it reasonable to claim that the constructions are the linguistic
processes from grammatical to lexical passivization? The data analyzed in this paper were the preliminary ones of a
library and field research conducted in 2016.
Keywords: passivization, grammatical, lexical, serial verb, clause construction

INTRODUCTION
The analogy viewing language as a “tool” that people use to accomplish the “job” of communication has
profound consequences for all kinds of application. In the basic principle, (see Payne, 2006:1 – 2) every tool
has two main components: a function and a form. The function of is the job the tool is designed to
accomplish, and the form is the tangible structure that accomplishes that job. Language, in nature, also
consists of a function and a form. Common sense tells that the main function of language is to help people
communicate. The form of language consists of sounds, gestures, or other physical variations in the
environment capable of being perceived by other people. In accordance with this, the form of language
makes sense in terms of its basic function. Without the function of communication, language would be no
more than random noises or other physical variations in the environment. Linguistically, the form of most
languages consists of a small number of sounds organized into words, phrases, clauses, sentences, and
discourse, including conversation, sermons, speeches, arguments, and other highly complex communicative
structures. They are all basically bound in systematic ways as the grammar of a language.
Grammar is one specific term in linguistics which has several meanings. But grammar, to linguists,
is something to be discovered, described, and explained, rather than something to be invented and enforced.
It includes a good portion of the mental habit patterns and categories that allow people in a community to
communicate with one another. Grammar is internal to the human mind, but allows the mind to “connect” to
other minds that have similar grammatical patterns (Payne, 2006:7). The term grammar may simply refer to
linguistic studies which belong to micro-linguistics. Basic language forms and functions are linguistically
studied in micro-linguistics which can be classified into phonology, morphology, syntax, and semantics. In
agglutinative languages, in particular, the studies of grammar mostly concern with morphology and syntax
(morphosyntax).
The semantic-grammatical properties of affixes in agglutinative language play important roles in
clausal/sentential constructions. In this type of languages, however, the phenomena of serial verb (or verb
serialization) are not common. The phenomena of serial verb are mostly found in isolative languages,
languages which have no affixes or in pidgins and creoles (see Durie in Alsina et.al (eds.), 1997:289). In
fact, the phenomena of serial verb can be also found in some agglutinative languages of Malay families,
such as in Minangkabaunese, although such grammatical properties are not dominant. The serial verb with
kanai + verb, such as: kanai tanyo ‘get asked’, kanai bao ‘get brought’, kanai ampok ‘get hit’, kanai jua ‘get
sold’ are common in Minangkabaunese as the verbal predicates. That Minangkabaunese has serial verb
constructions is typologically interesting and challenging as the constructions are assumed having unique
and specific grammatical characteristics, moreover as the verbal predicates. The linguistic data and
information, dealing with the minority constructions, may give significant contributions to the studies of
grammatical typology.
This paper, the analysis on a part of preliminary data of a research conducted in 2016, typologically
discusses the grammatical properties of serial verb (verb serialization) constructions with kanai + verb’ in
Minangkabaunese. The analysis and discussion are based on three related questions: (i) what are the

20
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
grammatical properties of clause constructions with the predicate serial verb kanai + verb in
Minangkabaunese?; (ii) is the lexicon kanai in such passive construction etimologically derived from
morphological passivization di-kanai-i in this local language?; and (iii) is it reasonable to claim that the
constructions are the linguistic processes from grammatical to lexical passivization? The analysis and
discussion based on these three questions are essential to know the grammatical-typological properties of the
unique grammatical constructions with kanai + verb as the verbal predicates in Minangkabaunese. The data
and information presented in this paper were obtained through library and linguistic field research conducted
in 2016. The analysis and discussion on the data are based on the relevant theories of linguistic typology,
especially the grammatical typology concerning with grammatical constructions and passivization.

BRIEF REVIEW OF RELATED THEORIES


Serial Verb in Grammatical Typology
The studies on language similarities and diversities across languages in structural levels become the bases
for language universal and linguistic typology as well. Language universals determine what is possible and
what is impossible in natural language structure. In other words, the study of language universals
underscores the unity underlying the enormous variety of languages found in the world. Language typology,
the studies based on the theories and analyses of linguistic typology, focuses on classifying languages
according to their structural characteristics; typology means the study of types or the classification of objects
into types. Both the studies on language universal and language typology are basically derived from cross-
linguistic studies; the data of analyses are obviously collected and compared from various types of languages
in the world (see Comrie, 1989; Whaley, 1997; Song, 2001; Finegan, 2004). Therefore, the grammatical-
typological studies on serial verb constructions need cross-linguistic data and information based cross-
linguistic studies.
Durie (in Alsina et.al. (eds.), 1997:289 – 290) says that verb serialization (= serial verb as it is used
in this paper) is widely found in languages of West African, Southeast Asia including Chinese, New Guinea,
Oceania, and some Central American Languages, as well as in many pidgins and creoles. The archetypal
serial verb construction consists of a sequence of two or more verbs which in various (rather strong) senses,
together act like a single verb. It is of course not to be expected that all cases that are called verb
serialization must be regarded as the same phenomenon. The constructions called verb serialization occur
with remarkably similar in languages of very different morpho-syntactic types, ranging from isolating,
morphology-less SVO languages of Southeast Asia to strongly head-marking Papuan verb-final languages.
The range of construction types and grammatical properties that these languages encompass is rather greater
than has been appreciated in much of the theoretical literature on serial verbs, which has tended to take as
representative patterns occurring in a few restricted areal contexts.
Payne (2002:307 – 312) simply explains the concepts and examples of serial verb construction based
on cross-linguistically studies. A serial-verb construction contains two or more verb roots that are neither
compounded nor members of separate clauses. Serial verbs occur in all types of languages, but may be more
common in languages that have little or no verbal morphology (isolating languages). English marginally
employs serial verbs in such constructions as the following:
(1) Run go get me a newspaper.
In many other languages, serial verbs are a much more well installed characteristic of the grammar.
Typically, verbs in a series will express various facets of one complex event. The followings are examples of
serial verb constructions in some languages in the world (see Payne, 2002).
(2) mo mu iwe wa ile (Yoruba)
I take book come house
‘I brought a book home’
(3) mede aburow migu msum (Akan)
I: take corn I:flow water:in
‘I pour corn into the water’
(4) pi-a yi yaha pi-a kare fo Bamako e (Supyire)
they-PERF them leave they:SUB-PERF go till Bamako to
‘They let them go to Bamako’
(5) pa yi yaha kari for Bamako ni (Minyanka)
they: ASP them leave go till Bamako to
‘They sent them to Bamako’

21
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
(6) John khap rot chon khwaay taay (Thai)
John drive car collide buffalo die
‘John drove the car into a buffalo and it (buffalo) died’
‘John drove the car into a buffalo and it (car) stalled’
‘John drove the car into a buffalo and he (John) died’
It can be seen, in addition to grammatical (morphosyntactic) properties, serial verb constructions
may contain semantic (and pragmatic, contextual) properties (see various meanings in Thai). Semantically,
serial-verb constructions often mean something slightly different than what the same series of verbs would
mean if they were cast in separate clause. Other grammatical-semantic properties of serial verb constructions
may carry aspectual meaning or voice categories. Those properties can be linguistically caused by the fact
that the serial verb is in predicate, the core part of clause constructions. A clause (or basic-simple sentence)
is also called predication which consists of one predicate and (its) arguments. Van Valin, Jr., and Lapolla
(2002:25) illustrate that basic construction of a clause is: predicate + arguments + (non-arguments) (see
also van Valin, Jr., 2005). In grammatical studies, particularly in syntax, linguists argue that predicate is the
core of a clause construction in which (lexical) verb is the nucleus.
Serial Verb as Verbal Predicates
Predication is the constructions which essentially consist of a predicate and its participant(s); a clause
(simple-independent sentence) is also called predication. In an independent clause, predicate is the core part
to which the arguments are grammatically attached. According to Alsina (1996:4 – 5), predicate expresses a
relation (or relations) among participants; these participants are called the arguments of the predicate. The
presents of arguments are grammatically and semantically determined by the predicate as the core of the
clause or by the verb form as the nucleus in the predicate. Therefore, the grammatical relations (S)ubject,
(D)irect (O)bject, and (I)ndirect (O)bject relate to predicate grammatically and functionally. The
correspondence between grammatical functions and the arguments of a predicate is neither random nor
totally unpredictable. The grammatical-semantic roles of predicate in clause constructions are cross-
linguistically essential; verb serialization (serial verb), is then common as the verbal predicate, in nature.
In relation to the facts that serial verb constructions mostly focus on the grammatical existence of
predicate, serial verb contains “rich” grammatical-semantic properties of human languages. Durie (in Alsina
et.al. (eds.), 1997:322) argues three generalizations about serial verb. The three generalizations have
important implications for the syntactic investigation of verb serialization:
(i) Verb serialization is universally characterized by heavy lexicalization of particular verb combinations;
(ii) This lexicalization exists alongside productivity of serialization, because many events can be typed in
terms of certain predictable internal structures and structural components;
(iii) The productivity of verb serialization is constrained in such a way that a large variety of syntactically
well-formed verb combination will be rejected by native speakers as unacceptable /ungrammatical
because they do not correspond to a recognizable event-type, either within the actual experience of
speakers, or alternatively within the permitted patterns of verb serialization within a language.
In accordance with the various grammatical-semantic properties of serial verb constructions cross-
linguistically, the linguistic studies on serial verb with kanai ‘get’ in Minangkabaunese may give meaningful
data and theoretical implication to linguistic typology theories and studies.

DATA ANALYSIS AND DISCUSSION


Verbal Predicates with Serial Verb kanai + verb in Minangkabaunese
To lead us having the grammatical typology description, let’s see firstly the following clause constructions
which are common and productive in Minangkabaunese:
(7) Caliak lah, paja tu kanai tanyo beko dek katua pamuda.
see PART, boy ART get ask later by leader youth
‘Let’s see, the boy will get asked by youth leader later’
(8) Cubo lah, waang pasti kanai tingga-an dek amak bisuak.
try PART, 2SG sure get leave- APL by mother tomorrow
‘Let’s see, you will surely get left by mother tomorrow’
(9) Tantu sajo, Amin kanai bao dek polisi malam tu.
of course, Amin get bring by policemen night that
‘Of course, Amin got brought by the policemen tonight’

22
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
(10) Kok tangka, inyo bisa kanai ampok dek urang kampuang.
if naughty 3SG can get hit by people village
‘If (he is) naughty, he can get hit by villagers’
(11) Kalau indak cadiak, kami alah kanai jua.
if not clever, 1PL already get sell
‘If (we are) not clever, we have already got sold’
Based on the data, the lexicon kanai ‘get’ must be followed by another verb without affixes of
active-voice marker (in Minangkabaunese, ma- ). If the lexicon kanai is followed by an active marker prefix
ma-, the constructions are not grammatical. Thus, there are no serial verbs such as: *kanai ma-nanyo,
*kanai ma-ningga-an, *kana imam-bao,* kanai ma-ampok, or *kanai man-jua. Semantically, the meaning
brought by the verbal predicates in the clauses is the passive-voice; it semantically equals with GET
PASSIVE in English. The grammatical-semantic criteria of cross-linguistic passives (see for instance
Tallerman, 2005) are fulfilled by the examples (7) – (11) above. It can be also claimed that the lexicon kanai
is the lexical passivization in Minangkabaunese, in addition to di- ta-, and ba- as the passive-prefixes in
Minangkabaunese. In accordance with this, Minangkabaunese has passivization by means of lexicon,
namely kanai ‘get’.
The followings are the examples of verbal predicates in grammatical passivization di-kanai-i to see
the comparison with the previous passives.
(12) Kok bantuak iko, waang bisa di- kanai-i kuruangan di Nusakambangan.
if like this 2SG can PAS get prison in Nusakambangan
‘If so, you can get arrested di Nusakambangan’
(13) Batua, kami anyo di-kanai-i tuduahan.
right 1PL just get accusation
‘That is right, we just got accused’
(14) Anak-anak-nyo acok di- kanai-i lacuik.
children- POS3SG often PAS get prod
‘His children often get prodded’
Grammatical to Lexical Passivization?: di-kanai-i to kanai in Minangkabaunese
Is it reasonable to claim that passivization with serial verb kanai+verb is the grammatical phenomena of
“from grammatical to lexical passivization? Based on the theories of phonological, morphological,
grammatical changes, it may be linguistically “suspected” that the lexicon kanai in this local language is
derived from grammatical passivization di-kanai-i; it is a part of the phenomena of grammatical change,
from grammatical to lexical passivization. Such grammatical “suspicion” can be based on simplification
processes of sound and morphological changes in many languages. To prove the assumption, firstly it is
necessary to check whether kanai is a real word form (base) in Minangkabaunese or it is a derived form of
di-kanai-i in which there is deletion of prefix di- as a passive marker and merger of final sound [ i ] in kanai
with prefik -i as a morphological marker of applicative or causative constructions in this language. In
Minangkabaunese dictionaries, it is explicitly stated that kanai is one word; it is a real word form, in nature.
Then, the final sound [ i ] in this word is not a single vowel, but it is a part of diphthong [ ai].
Phonologically, the merger of final sound [ i ] with suffix –i is not relatively natural; it is hard to claim that
kanai in the serial verb originally comes from kanai + i. Thus, kanai is more reasonable to assign as a real
word form rather than a derived one.
In addition, the passive constructions of Minangkabaunese do not allow the deletion of the
morphological markers, di-, ta-, or ba- (see Jufrizal, 2012; Jufrizal, 2015). Therefore, it is not on the right
point to state that there are the linguistic processes from grammatical passivization di-kanai-i to lexical
passivization kanai as found in verbal predicates with serial verb kanai + verb in Minangkabaunese. Native
speakers of Minangkabaunese are naturally able to identify that di-kanai-i and kanai are the different
constructions. In this case, lexicon kanai in serial verb kanai + verb as the verbal predicate cannot be
grammatically assigned as the derived form of di- kanai –i. In other words, Minangkabaunese has lexical
passivization by means of serial verb kanai + verb and grammatical passivization marked by passive
prefixes (di-, ta-, and ba-) + verb.

CONCLUDING REMARK
The clause constructions with verbal predicates in serial verb kanai+veb’ in Minangkabaunese are relatively
productive. Such productive grammatical constructions, however, are more on casual speech and informal
style. Therefore, the verbal predicates in the serial verb in Minangkabaunese contain pragmatic-contextual

23
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
meanings in addition to grammatical meaning, in nature. Grammatical typological analysis on the clause
constructions with predicates in serial verb with kanai tells that the constructions are in passive voice.
Further grammatical-typological analyses are needed in order to know whether the clause constructions with
serial verb kanai + transitive/intransitive verb may imply also the ergative-absolutive constructions or not.
Further analyses on serial verb in Minangkabaunese are linguistically needed, because there are still many
grammatical-semantic phenomena which have not been discussed in this paper yet.

REFERENCES
Ackerman, Farrell., and Webelhuth. 1998. A Theory of Predicates. Stanford: CSLI Publications.
Alsina, Alex. 1996. The Role of Argument Structure in Grammar: Evidence from Romance. Stanford: CSLI
Publications.
Alsina, Alex., Bresnan, Joan., Sells, Peter. (eds.). 1997. Complex Predicates. Stanford: CSLI Publications.
Comrie, Bernard. 1989. Language Universals and Linguistic Typology. Chicago: The University of Chicago Press.
Finegan, Edward. 2004. Language: Its Structure and Use. Boston: Thomson Wadsworth.
Jufrizal. 2012. Tatabahasa Bahasa Minangkabau: Deskripsi dan Telaah Tipologi Linguistik. Padang: UNP Press.
Jufrizal. 2015. ‘Grammatical Properties of Serial Verb with bae and kanai in Minangkabaunese: a Syntactic-Semantic
Preliminary Study’ (a paper presented at 2nd International Seminar on Linguistics; August 12-13, 2015).
Padang: Pascasarjana Linguistik Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas.
Payne, Thomas E. 2002. Describing Morphosyntax: A Guide for Field Linguist. Cambridge: Cambridge University
Press.
Payne, Thomas E. 2006. Exploring Language Structure: A Student’s Guide. Cambridge: Cambridge University Press.
Song, Jae Jung. 2001. Linguistic Typology: Morphology and Syntax. Harlow: Pearson Education Limited.
Tallerman, Maggie. 2005. Understanding Syntax. London: Hodder Education.
Van Vallin, Jr., Robert D., Lapolla, Randy J. 2002. Syntax: Structure, Meaning, and Function. Cambridge: Cambridge
University Press.
Van Vallin, Jr., Robert D. 2005. Exploring the Syntax-Semantics Interface. Cambridge: Cambridge University Press.
Whaley, Lindsay J. 1997. Introduction to Typology: The Unity and Diversity of Language. London: Sage Publications.

CURRICULUM VITAE
Complete Name : Jufrizal
Institution : Universitas Negeri Padang
Education : S3 Linguistik Universitas Udayana
S2 Linguistik Universitas Udayana
S1 Pendidikan Bahasa Inggris IKIP Padang
Research Interest : • Linguistic Typhology (Syntax, Morphology, Phonology)
• Cultural Linguistic
• Foreign Language Teaching

24
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
TUJUAN TUTUR MIM “SELAMAT PAGI” DALAM WACANA MEDIA SOSIAL

P. Ari Subagyo
Universitas Sanata Dharma
ari130267@yahoo.com

ABSTRAK
Masalah yang dibahas adalah apa saja tujuan tutur mim “Selamat Pagi” dalam wacana media sosial? Melalui kajian
secara pragmatis, dijumpai 14 tujuan tutur, yaitu (a) mengucapkan selamat pagi, (b) mengucapkan selamat pagi dan
mendoakan, (c) mengucapkan selamat pagi dan menyemangati, (d) mengucapkan selamat pagi dan mengingatkan, (e)
mengucapkan selamat pagi dan mengajak bergurau, (f) mengucapkan selamat pagi dan merayu (nggombal), (g)
mengucapkan selamat pagi, mengingatkan, dan mendoakan, (h) menyemangati, mengingatkan, dan mengucapkan
selamat pagi, (i) mengingatkan, menyemangati, dan mengucapkan selamat pagi, (j) mengingatkan, (k) menyemangati,
(l) berdoa/bersyukur, (m) menyemangati dan mendoakan, (n) mengingatkan dan bergurau.
Kata kunci: tujuan tutur, mim “Selamat Pagi”, media sosial, pragmatik

PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi informasi mutakhir telah menghasilkan media sosial sebagai sarana komunikasi
antarpribadi maupun antarkelompok. Dua kelebihan media sosial berbasis Web 2.0—seperti kita jumpai
dalam gawai (gadget) atau telefon cerdas (smartphone)—adalah kemampuannya mengirimkan informasi
secara interaktif dan kesanggupannya menampilkan pesan verbal dan visual. Dua kelebihan itu telah
melahirkan fenomena komunikasi berbentuk mim (dalam bahasa Inggris meme). Mim berasal dari bahasa
Yunani mimeme yang berarti ‘sesuatu yang menyerupai atau menirukan’. Mim dalam komunikasi media
sosial merupakan “sebuah karya komunikasi yang biasanya dibuat oleh anak muda, yang sukses dalam
menertawakan diri sendiri maupun kejadian-kejadian di sekitarnya” (Adhiwijayanti, 2015: 1).
“Biasanya” dalam keterangan “yang biasanya dibuat oleh anak muda” mengisyaratkan bahwa mim
tidak melulu dihasilkan oleh anak-anak muda, tetapi juga para mantan anak muda, terutama yang berselera
humor dan mengutamakan ikatan sosial. Mim memang lazim dikemas dalam bentuk humor atau parodi;
tujuannya menghibur; bentuknya bisa tulisan, foto atau gambar dengan kata-kata singkat, serta video parodi
untuk menyampaikan ide pembuatnya (ibid.). Melalui mim, dapat dikemukakan berbagai tujuan tutur,
termasuk mengucapkan “Selamat pagi” kepada mitra tutur, sebagai contoh:
(1) (2) (3)

Dalam tiga contoh tersebut, dijumpai fenomena verbal dan visual. Pada contoh (1), fenomena
verbalnya tuturan Selamat pagi. Semoga harimu dimulai dengan cinta dan berakhir dengan kenangan indah,
disertai foto beberapa tangkai bunga berwarna putih dalam keranjang yang juga berwarna putih. Fenomena
verbal pada contoh (2) adalah tuturan Selamat pagi. Jangan lupa sarapan biar ga pingsan, disertai fenomena
visual berupa foto jejari tangan yang di atasnya tersaji dua potong kue dan telur dadar, potongan daging,
serta dua iris tomat. Adapun pada contoh (3), fenomena verbal berupa tuturan Selamat pagi buat kamu yang
diam-diam terselip di mimpiku tadi malam, sedangkan fenomena visualnya foto seorang pria yang duduk di
pinggir ranjang sambil mengepalkan dua tangan ke atas—sebagaimana orang yang sedang bangun pagi—
beserta seekor kucing yang juga sedang menyorongkan dua kaki depannya—sebagaimana kucing yang
sedang siuman dari tidur.
Tentu ada hubungan antara fenomena verbal dan fenomena visual dalam mim. Tuturan dan foto atau
video yang dipilih dan disandingkan pasti memiliki kaitan semiotis sehingga menghasilkan keutuhan pesan.
Namun, makalah ini hanya berfokus pada fenomena verbalnya saja. Selain itu, makalah ini juga dibatasi
pada (a) mim yang berupa tulisan dan foto atau gambar (bukan mim berupa video) serta (b) mim yang tujuan
25
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
tuturnya maksimal tiga. Masalah yang dibahas adalah apa saja tujuan tutur mim “Selamat pagi” dalam
wacana media sosial? Kajian dilakukan secara pragmatis. Karena terbatasnya ruang, kajian ini lebih bersifat
deskriptif daripada eksplanatif.
Secara pragmatis ucapan selamat pagi biasa dimasukkan sebagai—menurut Malinowski (1930)—
phatic communion (komunikasi fatis), yakni penggunaan bahasa yang semata-mata mengutamakan fungsi
sosial, tetapi tidak dimaksudkan untuk mengemukakan gagasan atau pemikiran (bdk. Senft, 2014: 7; Leech,
1983: 141). Namun, jika dikaitkan dengan gagasan Austin (1962) dan Searle (1969), selamat pagi
merupakan wacana yang berisi tindak tutur. Hal itu dapat dilihat dalam mim “Selamat pagi” yang tidak
semata-mata berorientasi sosial, tetapi ternyata juga memiliki tujuan tutur lain di sampung mengucapkan
selamat pagi. Dengan demikian, meskipun tak dimaksudkan untuk mengkritik konsep phatic communion,
kajian ini menunjukkan perkembangan komunikasi fatis dalam peradaban mutakhir setelah hadirnya
teknologi komunikasi berbasis Web 2.0 atau maraknya media sosial.

METODOLOGI
Makalah ini merupakan hasil penelitian sederhana tentang praktik komunikasi dalam bentuk mim melalui
media sosial. Media sosial yang dimaksud terutama WhatsApp dan Instagram. Objek penelitiannya berupa
tujuan tutur dalam mim “Selamat pagi”. Objek penelitian itu terdapat dalam data berwujud tuturan atau
fenomena verbal dalam mim. Data dikumpulkan peneliti lewat komunikasi dengan WhatsApp, dan sebagian
yang lain dikumpulkan mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata
Dharma bernama Bella Belinda (124114018), dengan Instagram. Data yang sudah terkumpul kemudian
dianalisis dengan metode padan pragmatik (Sudaryanto, 2015: 18). Dengan metode tersebut, peneliti
menempatkan diri sebagai penerima tutur mim “Selamat Pagi” yang menafsirkan tujuan tuturnya.

PEMBAHASAN
Ditemukan 14 (empat belas) tujuan tutur dalam mim “Selamat Pagi”, yaitu (a) mengucapkan selamat pagi,
(b) mengucapkan selamat pagi dan mendoakan, (c) mengucapkan selamat pagi dan menyemangati, (d)
mengucapkan selamat pagi dan mengingatkan, (e) mengucapkan selamat pagi dan mengajak bergurau, (f)
mengucapkan selamat pagi dan merayu (nggombal), (g) mengucapkan selamat pagi, mengingatkan, dan
mendoakan, (h) menyemangati, mengingatkan, dan mengucapkan selamat pagi, (i) mengingatkan,
menyemangati, dan mengucapkan selamat pagi, (j) mengingatkan, (k) menyemangati, (l) berdoa/bersyukur,
(m) menyemangati dan mendoakan, (n) mengingatkan dan bergurau. Karena ruang yang sangat terbatas,
paparan berikut ini hanya bersifat deskriptif.
Mengucapkan Selamat Pagi
Tujuan tutur yang utama dari mim “Selamat Pagi” tentulah mengucapkan selamat pagi. Namun, mim yang
bertujuan tutur mengucapkan selamat pagi—seperti contoh (4)—justru sangat terbatas. Dijumpai beberapa
variasi seperti (5) dan (6) yang menunjukkan ciri kemudaan, sekalipun juga dijumpai variasi seperti (7) yang
beredar di kalangan bukan orang muda.
(4) Selamat pagi.
(5) Selamat pagi semua.
(6) Met pagi temen-temen.
(7) Selamat pagi bapak dan ibu.
Mengucapkan Selamat Pagi dan Mendoakan
Di samping bertujuan mengucapkan selamat pagi, mim juga bertujuan tutur mendoakan. Pada contoh (8) s.d.
(12), tujuan tutur mengucapkan selamat pagi terletak di depan, lalu diikuti mendoakan. Adapun pada contoh
(13) dan (15) susunannya dibalik. Mim ini beredar di kalangan muda maupun bukan orang muda.
(8) Selamat pagi. Assalamualaikum.
(9) Selamat pagi! Selamat beraktivitas :)
(10) Selamat pagi, para calon orang sukses!
(11) Selamat pagi. Semoga harimu dimulai dengan cinta, dan berakhir dengan kenangan indah.
(12) Selamat pagi saudaraku semua. Semoga Allah memberkati aktivitas kita sepanjang hari ini.
(13) Teriring kasih Tuhan untuk hari yang baru. Selamat pagi.
(14) Doaku hari ini: Tuhan, jadikan hari ini penuh berkah dan rahmatMu untuk teman, sahabat, saudara,
dan keluargaku terkasih. Selamat pagi.

26
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Mengucapkan Selamat Pagi dan Menyemangati
Mengucapkan selamat pagi dapat disertai dengan tujuan tutur menyemangati. Mim ini tidak hanya milik
orang muda, tetapi juga di kalangan orang tua. Ungkapan khas seperti semangat, cemangat, bahagia, seru,
senyum, enjoy, bangun, dan beberapa lainnya menjadi penanda berkobarnya semangat.
(15) Selamat pagi. Bahagia ya!
(16) Selamat pagi .... Semangat Senin ....
(17) Met pagi! Ayo kita bikin seru hari ini!
(18) Met PAGI …. Hoyyyyyy …..!!!! Hayoooooo ….. Cemaangaaatt …..!!
(19) Selamat pagi. Awali pagi ini dengan SENYUMAN.
(20) Selamat pagi. Tersenyumlah dalam mengawali hari. Karena itu menandakan bahwa kamu siap
menghadapi hari dengan penuh semangat.
(21) Enjoy ya hari ini :) Met pagi.
(22) Hayoo …. Bangun … Bangun … Selamat pagi semua
Mengucapkan Selamat Pagi dan Mengingatkan
Ucapan selamat pagi disertai pula tujuan tutur mengingatkan. Sesuatu yang diingatkan tentunya mengenai
hal-hal yang baik, misalnya tentang kedekatan dengan Tuhan, tekun berdoa, melupakan kepahitan hidup,
kesiapan memulai hari ini, saling mendoakan, dsb. Ada pula peringatan yang cocok untuk orang tua yang
harus mengurangi gula, seperti contoh (29).
(23) Selamat pagi. Ingat, tiada hal yang mustahil untuk kau raih di dunia ini, selama Tuhan berada di
pihakmu.
(24) Selamat pagi. Jangan lupa berdoa hari ini karena Tuhan tidak lupa membangunkan kamu hari ini.
(25) ‘Met pagi! Jangan mulai hari kamu dengan kepingan hari kemarin. Setiap pagi di mana kita bangun
adalah awal baru untuk hidup kita.
(26) Good morning! Sudah siap memulai hari?
(27) Selamat pagi. Indahnya hidup bukan dari seberapa banyak kita dikenal, namun seberapa banyak yang
berbahagia karena kita.
(28) Selamat pagi. Tiada yang lebih indah dalam setiap hubungan selain saling mendoakan.
(29) Selamat pagi. Kurangkan manis dalam minuman, tambahkan manis dalam senyuman
(30) Ketika merasa hidupmu terlalu berat, sudahkah kau bersyukur atas nafasmu hari ini? Sudahkah kau
senyum atas indahnya hari ini? Selamat pagi.
(31) Jika tidak dimulai maka tidak akan terjadi. Jika tidak berani maka tidak akan maju. Jika tidak
memutuskan maka tidak akan berhasil. Selamat pagi.
(32) Hidup terasa nikmat kalau kita banyak sahabat. Pagi semua ….
Mengucapkan Selamat Pagi dan Mengajak Bergurau
Mim “Selamat Pagi” menjadi lebih berwarna jika dimaksudkan juga untuk mengajak bergurau. Gurauan
dalam mim lazimnya dikaitkan dengan mengajak sarapan atau minum kopi. Rupanya bagi sebagian
pengguna WhatsApp dan Instagram, pagi hari yang diisi dengan sarapan dan minum kopi merupakan
suasana pagi yang diimpikan. Berikut ini contoh-contohnya:
(33) Pagiiiii Yuk sarapan dulu!
(34) Pagi, sayang ... Sarapan dulu yuks ...
(35) Selamat pagi. Jangan lupa sarapan biar ga pingsan.
(36) Met pagi. Ngopi dulu yuks!
(37) Selamat pagi. Selamat ngopi.
Mengucapkan Selamat Pagi dan Merayu (Nggombal)
Wacana gombal adalah wacana yang kurang serius dan menjurus pada kebohongan atau berlebih-lebihan
(Sudarsono, 2013: 1). Wacana ini lazimnya digunakan para pria untuk merayu gadis pujaannya. Merayu atau
nggombal menjadi tujuan lain selain mengucapkan selamat pagi.
(38) Selamat pagi kesayangan aku ....
(39) Selamat pagi kamu yang selalu terselip dalam doaku.
(40) Selamat pagi. Mau teh, kopi, atau aku?
(41) Met pagi, kamu, yang senyumnya ngalahin indahnya mentari pagi ...
(42) Selamat pagi kamu yang selalu ada di hati ...
(43) Selamat pagi kamu yang sok cuek, tapi diem-diem perhatiin aku
(44) Selamat pagi buat kamu yang diam-diam terselip di mimpiku tadi malam

27
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
(45) Selamat pagiiiii. Kamu tau orang pertama yang langsung terlintas di pikiranku setelah bangun tidur?
Ya cuma kamu.
(46) Selamat pagi kamu. Udah sayang aku belum? Kalau belum, besok aku tanya lagi ya.
(47) Dear kamu yang teristimewa. Met pagi!
Mengucapkan Selamat Pagi, Mengingatkan, dan Mendoakan
Ucapan selamat pagi bisa juga disertai dua tujuan tutur lain, yaitu mengingatkan dan mendoakan. Sebagai
contoh:
(48) Selamat pagi. Awali dengan doa, niat bekerja dengan semangat, dan pulang dengan selamat.
Amiinn....
(49) Selamat pagi. Rahmat Tuhan selalu baru dan segar setiap pagi … sesegar Cinta KasihNya kepada kita
semua. Tuhan memberkati.
(50) Setiap usaha tak kan mengkhianati. Setiap doa akan selalu menaungi. Semoga berkat Tuhan selalu
menyertai hari ini .... Selamat pagi.
Menyemangati, Mengingatkan, dan Mengucapkan Selamat Pagi
Sebelum mengucapkan selamat pagi, bisa juga tujuan tutur menyemangati dan mengingatkan diutarakan,
misalnya:
(51) Semangatlah menjalani hari ini. Jangan sesali kesalahan kemarin. Jadikan saja itu sebagai pelajaran
agar tidak terulang kembali. Selamat pagi.
(52) Jangan menyerah atas impianmu, impian memberimu tujuan hidup. Ingatlah, sukses bukan kunci
kebahagiaan. Kebahagiaanlah kunci sukses. Selamat pagi.
Mengingatkan, Menyemangati, dan Mengucapkan Selamat Pagi
Mengingatkan dan menyemangati sangat mungkin diperlukan untuk mengiringi ucapan selamat pagi.
(53) “Hidup itu seperti secangkir KOPI . Ada pahit, ada manis. Ada getir & ada semangat di dalamnya”.
Selalu lakukan yang terbaik untuk hari ini. Selamat pagi.
(54) Tuhan dengan mudah menciptakan peluang. Kesempatan pasti datang kembali, jangan putus asa.
Selamat pagi semua.
Selain mim yang secara tersurat menyatakan selamat pagi, dijumpai pula beberapa mim yang tujuan
tutur utamanya itu hanya tersirat. Ucapan selamat pagi terlacak lewat kata-kata kunci (clue), seperti bangun,
bangun pagi, mengawali, dan sebagainya. Mim jenis ini tergolong langka. Tujuan tutur yang terungkap
adalah:
Mengingatkan
Tujuan tutur mengingatkan tentunya berkenaan dengan perilaku atau tindakan positif, misalnya rasa
optimisme mencapai tujuan hidup serta pentingnya doa dan senyuman. Sebagai contoh:
(55) Bangun pagi adalah tanda bahwa Anda bisa mencapai tujuan hidup lebih baik dari kemarin.
(56) Hari ini akan lebih indah daripada kemarin jika kita mengawali dengan doa dan senyuman.
Menyemangati
Tuturan pendek seperti pada contoh (57) dan (58) di bawah ini bertujuan tutur menyemangati. “Semangat
pagi” dan “Semangat Senin” menjadi ungkapan yang penuh daya gerak.
(57) Semangat pagi
(58) Semangat Senin.
Berdoa atau Bersyukur
Bagi insan beriman, pagi merupakan saat untuk berdoa atau bersyukur karena Tuhan telah memberikan
kesempatan bagi manusia untuk beristirahat sehingga menjadi segar kembali. Misalnya:
(59) Pagi ini Tuhan, aku siap menerima berkatMu
(60) Ya Allah
hari ini aku bangun
hari ini aku sehat
dan hari ini aku hidup
Alhamdulilah …
terima kasih atas nikmat
Yang jarang aku syukuri
terima kasih, karena aku ini

28
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Kau beri aku kesempatan
untuk perbaiki diri lagi …
Menyemangati dan Mendoakan
Ada pula mim yang bertujuan tutur menyemangati dan mendoakan meskipun ucapan selamat pagi hanya
tersirat. Sebagai contoh:
(61) Sambutlah mentari pagi dengan semangat. Selamat beraktivitas & berkarya rekan-rekan.
(62) Songsong cahaya pagi teman-teman. Hari ini semoga lebih indah dari hari kemarin.
Mengingatkan dan Mengajak Bergurau
Tujuan tutur mengingatkan dan mengajak bergurau ternyata dapat disatukan dalam mim. Tujuan tutur yang
pertama serius, sedangkan yang kedua sebaliknya.
(63) Awali pagimu dengan sarapan, bukan senyuman, biar siangnya ga kelaparan.
(64) Pagi-pagi begini jangan lupa ngopi. Datanglah kemari. Mumpung ada Jessica! :)

PENUTUP
Mim “Selamat Pagi” dalam media sosial Whatsapp dan Instagram memiliki 14 tujuan tutur, yaitu (a)
mengucapkan selamat pagi, (b) mengucapkan selamat pagi dan mendoakan, (c) mengucapkan selamat pagi
dan menyemangati, (d) mengucapkan selamat pagi dan mengingatkan, (e) mengucapkan selamat pagi dan
mengajak bergurau, (f) mengucapkan selamat pagi dan merayu (nggombal), (g) mengucapkan selamat pagi,
mengingatkan, dan mendoakan, (h) menyemangati, mengingatkan, dan mengucapkan selamat pagi, (i)
mengingatkan, menyemangati, dan mengucapkan selamat pagi, (j) mengingatkan, (k) menyemangati, (l)
berdoa atau bersyukur, (m) menyemangati dan mendoakan, (n) mengingatkan dan bergurau.
Temuan tersebut memperlihatkan bahwa mim “Selamat pagi” yang bertujuan tutur mengucapkan
selamat pagi hanya ada 1 (satu). Adapun 13 (tiga belas) tujuan tutur lainnya bermacam-macam: mendoakan,
menyemangati, mengingatkan, mengajak bergurau, merayu (nggombal), bersyukur, dan bergurau; atau
gabungan dari beberapa tujuan tutur. Penelitian ini sekaligus membuktikan terjadinya perubahan konsep
tentang phatic communion (komunikasi fatis). Terbukti bahwa tuturan dalam mim “Selamat pagi” di media
sosial juga bermuatan gagasan atau pemikiran. Hal ini terjadi karena pada masa Malinowski menelorkan
teori tentang komunikasi fatis (tahun 1930-an), manusia belum membayangkan bakal terjadinya komunikasi
dengan media sosial. Waktu itu, dalam komunikasi bersemuka (face to face), tidaklah mungkin orang
mengucapkan tujuan tutur menyemangati dan mengingatkan, kemudian baru mengucapkan selamat pagi.
Atau mengucapkan selamat pagi secara tersirat dengan tujuan tutur berdoa atau bersyukur, menyemangati,
mendoakan, dan bergurau.
Kajian tentang mim “Selamat pagi” dalam media sosial dapat diperdalam dan diperluas, misalnya
mengenai ciri-ciri mim di kalangan orang muda dan kelompok usia lainnya. Kaitan antara fenomena verbal
dan visual juga layak ditelaah secara multimodal untuk mengetahui keutuhan pesan di dalam mim. Kajian
tentang mim “Selamat pagi” juga dapat dilakukan secara semiotis, misalnya dengan teori Roland Barthes
(1957), untuk mengungkap denotasi dan konotasi pesan-pesan di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA
Adhiwijayanti, Anindita. 2015. Meme Dibaca Mim. Jakarta: Bukune.
Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. Mondon & New York: Longman
Senft, Gunter. 2014. Understanding Pragmatics. London & New York: Routledge.
Sudarsono, Sony Christian. 2013. “Wacana Gombal dalam Bahasa Indonesia: Kajian Struktural, Pragmatis, dan
Kultural”. Skripsi di Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta.
Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : P. Ari Subagyo
Institusi : Universitas Sanata Dharma
Riwayat Pendidikan : S1, S2, dan S3 Universitas Gadjah Mada
Minat Penelitian : • Pragmatik
• Sosiolinguistik
• Analisis Wacana Kritis

29
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
METAFORA SEKS DALAM HUMOR KANG IBING: KAJIAN ETNOLINGUISTIK TERHADAP
KONSEP CAWOKAH DALAM HUMOR BERBAHASA SUNDA

Temmy Widyastuti Mahardhika Zifana


Universitas Pendidikan Indonesia
temmy.widyastuti@upi.edu mahardhika.zifana@gmail.com

ABSTRAK
Salah satu ciri humor Sunda yang paling khas adalah konsep Cawokah. Dalam konsep etnokomunikasi masyarakat
Sunda, ada perbedaan tegas antara cawokah dan jorang yang berkenaan dengan tingkat kevulgaran dalam
membicarakan hal-hal yang terkait seks. Berbeda dengan konsep jorang yang dianggap vuilgar dan tidak sopan,
masyarakat Sunda sangat menerima konsep cawokah yang dianggap lebih sopan dan biasa digunakan sebagai klimaks
dalam humor saat seorang penutur bercanda dengan mitra tuturnya. Hampir semua penutur bahasa Sunda mengenal
konsep ini karena dianggap sebagai bagian dari karakter orang Sunda. Dalam realisasi bahasa, cawokah memiliki
beragam pola dan bentuk, sebagai buah dari pola pikir penutur yang berbeda-beda. Kajian ini merupakan kajian
kebahasaan yang bertujuan untuk menjelaskan (1) pola-pola metaforis dari konsep cawokah; dan (2) realisasi umum
di dalam humor bahasa Sunda. Untuk menjawab masalah tersebut, data dikumpulkan dengan mencatat beberapa ciri
dan cara realisasi kebahasaan dari konsep cawokah dengan menggunakan beberapa teks humor dari komedian
legendaris Sunda, Kang Ibing (Rd. Aang Kusmayatna). Data kemudian dianalisis dengan mengacu kepada pendekatan
pemaknaan berdasarkan konsep kultural (Duranti, 1997). Selain itu, data kemudian dilengkapi dengan meminta
komentar dari beberapa informan yang merupakan pakar bahasa Sunda. Hasil akhir penelitian ini memberikan
perspektif dari disiplin Etnolinguistik/Linguistik Antropologis terhadap konsep cawokah dalam humor bahasa Sunda.
Kata kunci: Cawokah, Humor, Bahasa Sunda, Etnolinguistik, Kang Ibing

PENDAHULUAN
Seks dan seksualitas merupakan aspek kehidupan manusia yang tergolong penting. Dalam realisasinya, seks
dan seksualitas akan sangat berkenaan dengan perspektif dan kebudayaan suatu masyarakat. Oleh karena itu,
masing-masing komunitas memiliki cara pandang terhadap seks dan seksualitas yang unik dan berbeda
dengan komunitas lainnya. Sebagai contoh, cara pandang masyarakat Sunda terhadap seks tidak akan sama
dengan cara pandang masyarakat lainnya.
Masyarakat Sunda, sebagaimana masyarakat Indonesia secara umum, cenderung menganggap seks
sebagai hal yang tabu untuk dibicarakan (lih. Soebagijo, 2008: 14). Walau demikian, tidak berarti bahwa
seks sama sekali tidak akan menjadi topik percakapan, mengingat seks merupakan aspek yang penting dalam
kehidupan manusia. Misalnya, seks mungkin menjadi topik dalam percakapan humor.
Masyarakat Sunda mengenal dua istilah untuk humor yang mengandung topik seks, yaitu jorang dan
cawokah. Jorang dimaknai sebagai kata-kata vulgar yang dapat membuat penyimak merasa tidak nyaman,
atau bahkan jijik. Sementara itu, cawokah dimaknai sebagai guyonan yang lebih dapat diterima, karena
menggunakan bahasa humor yang khas dalam penyampaiannya. Dalam konsep etnokomunikasi masyarakat
Sunda, jelas ada perbedaan tegas antara cawokah dan jorang yang berkenaan dengan tingkat kevulgaran
dalam membicarakan hal-hal yang terkait seks. Berbeda dengan konsep jorang yang dianggap vulgar dan
tidak sopan, masyarakat Sunda sangat menerima konsep cawokah yang dianggap lebih sopan dan biasa
digunakan sebagai klimaks dalam humor saat seorang penutur bercanda dengan mitra tuturnya. Hampir
semua penutur bahasa Sunda mengenal konsep ini karena dianggap sebagai bagian dari karakter orang
Sunda. Dalam realisasi bahasa secara praktis, cawokah memiliki beragam pola dan bentuk, sebagai buah dari
pola pikir penutur yang berbeda-beda.
Fenomena jorang dan cawokah belum banyak dicuplik dalam berbagai penelitian kesundaan. Oleh
karena itu, kajian ini mencoba untuk mengisi hal ini dengan mengangkat humor-humor cawokah Sunda.
Kajian ini memilih teks humor dari seniman legendaris Sunda, Raden Aang Kusmayatna Kusumadinata,
alias Kang Ibing.
Teks humor Kang Ibing dipilih dengan pertimbangan bahwa Kang Ibing sangat dikenal di tengah
masyarakat Sunda sebagai pencerita yang banyak membuat humor yang legendaris. Secara umum,
masyarakat Sunda sangat menghargai karya-karya humor Kang Ibing sebagai buah dari proses kreatif yang
unik dan tidak dapat dibuat oleh semua orang. Dalam humor-humornya Kang Ibing pandai memilih kata-
kata, sehingga nuansa cawokah sebagai bumbu seks di dalamnya sangat jauh dari vulgar dan dapat diterima
oleh semua kalangan.

30
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
LANDASAN TEORI DAN METODE
Kajian ini menelaah bahasa dari perspektif budaya. Oleh karena itu, kajian ini tidak hanya melihat bentuk
dan struktur bahasa saja, tetapi juga menelisik fungsi dan pemakaian suatu gaya bahasa dalam konteks
sosiokultural. Dalam Tohari (2013:23), telah dikemukakan bahwa masyarakat Sunda sangat lekat dengan
budaya ngabodor (melucu). Ini tampak melalui khazanah folklor masyarakat Sunda, yang sejak zaman
dahulu telah memiliki kekhasan dalam kisah-kisah lucu, tatarucingan (teka-teki), sisindiran (sejenis pantun
bergaya Sunda), dan karya lisan lainnya. Dalam budaya Sunda, humor sudah dibukukan jauh sebelum
Indonesia merdeka, yakni sejak tahun 1922 (karya Sastrawinata dan S. Goenawan).
Untuk mengkaji fenomena bahasa cawokah dari perspektif budaya Sunda, kajian ini mengambil
sudut pandang etnolinguistik. Ini dengan mempertimbangkan bahwa subjek kajian ini adalah penutur (dalam
hal ini, Kang Ibing) sebagai anggota suatu komunitas (dalam hal ini, komunitas tutur Sunda). Ini selaras
dengan pendapat Duranti (1997:2) bahwa dimensi tuturan dapat ditelisik dengan mempelajari perlakuan
penutur terhadap bahasa yang dipakainya, dengan menghubungkan kata dan konteks penggunaannya sebagai
tindak sosial. Selain itu, kajian ini juga mempertimbangkan opini Levisen (2015) bahwa humor, dalam
konteks apapun dan tema apa saja, akan selalu lekat dengan kultur/budaya para penutur dan penyimaknya.
Secara khusus, kajian ini difokuskan terhadap penggunaan metafora. Sebagaimana telah diketahui,
budaya ialah bagian dari sistem komunikasi dalam jalinan tanda-tanda yang sistematis (Carter, 2015:78) –di
mana humor merupakan salah satu produk kreativitas tersebut. Budaya adalah realisasi dari wujud dunia
yang direpresentasikan dalam cerita, mitos, peribahasa, produk-produk yang artistik, dan performa. Metafora
dapat digolongkan sebagai salah satu produk budaya yang artistik (Carter, 2015:120). Ini karena metafora
meliputi proses perubahan makna yang dapat dikategorikan ke dalam dua macam, yaitu perubahan makna
berdasarkan asosiasi kesamaan (similarity) dan asosiasi berdasarkan kedekatan (contiguity). Selanjutnya,
menurut Piekot (2012:188) pola-pola perubahan makna dalam bahasa humor menunjukkan upaya pencerita
untuk mendekati maksud cerita yang sesungguhnya. Dalam hal ini, kita dapat menarik benang merah bahwa
ada pengaruh budaya pada bahasa yang digunakan dalam bahasa humor. Ini sekaligus juga mengkonfirmasi
kembali maksud Duranti (2007) bahwa dimensi tuturan dapat ditelisik dengan mempelajari perlakuan
penutur terhadap bahasa yang dipakainya, dengan menghubungkan kata dan konteks penggunaannya sebagai
tindak sosial.

TEMUAN, ANALISIS, DAN PEMBAHASAN


Kajian ini menghimpun enam metafora dengan konotasi seks dari sepuluh humor yang diceritakan oleh
Kang Ibing.
Pertama, kajian ini menemukan kata diopi yang muncul dalam cerita Peucang Diudag Maung.
Secara literal, diopi bermakna dimakan (untuk cemilan/makanan ringan). Akan tetapi, dalam cerita tersebut,
kata diopi jelas memiliki konotasi seks karena cerita tersebut mengisahkan bahwa ada seekor maung bikang
(harimau betina) diopi oleh seekor peucang jalu (kancil jantan). Dalam hal ini, Kang Ibing mengambil
perubahan makna dengan asosiasi berdasarkan kedekatan (contiguity), mengingat ngopi (bentuk aktif diopi)
memiliki kedekatan rasa dengan berhubungan seks, yakni rasa nikmat dan menikmati.
Kedua adalah frase tihang beus yang muncul dalam cerita Nyopet Nu Saku Calanana Bolong
(Mencopet yang saku celananya bolong). Makna asli tihang beus adalah tiang besi yang ada di dalam bus
(untuk pegangan penumpang yang berdiri). Pada cerita tersebut, frase tihang beus memiliki makna konotatif
sebagai alat kelamin lelaki karena cerita tersebut menyatakan bahwa seorang pencopet perempuan yang
mencopet kakek-kakek bercelana bolong kemudian dipaksa untuk muntang kana tihang beus (memegangi
kuat-kuat tiang besi dalam bus). Pada metafora ini, Kang Ibing tampaknya melakukan perubahan makna
dengan asosiasi kesamaan (similarity) karena jelas bahwa secara visual ada kesamaan bentuk, yakni batang
tabung, antara tiang besi dengan alat kelamin lelaki.
Ketiga, kajian ini menemukan kata curuk disebut dalam dua cerita yang berbeda dengan konotasi
yang sama, yakni dalam cerita Tukang Lahang jeung Tukang Surabi (Tukang Sadap Air Nira dan Tukang
Surabi) dan cerita Tukang Bangunan jeung Randa Nu Boga Munding (Tukang Bangunan dan Janda Pemilik
Kerbau). Secara denotatif, curuk bermakna jari telunjuk. Pada kedua cerita Kang Ibing, curuk memiliki
konotasi sebagai alat kelamin lelaki. Pada cerita pertama (Tukang Lahang jeung Tukang Surabi), dikisahkan
“ceuk tukang lahang, sok, moal dibeja-beja, asal pangnyepengankeun curuk.” (Kata Tukang Lahang, sok,
tidak akan disebarkan beritanya, asal tolong pegangi telunjuk).
Sementara pada cerita kedua, diceritakan bahwa sang Janda berkata, “Jang! Jang! Jang! Ieu mah
lain bujur munding!” (Jang! Jang! Jang! Ini mah bukan pantat kerbau!). Lalu dijawab oleh Tukang
Bangunan, “Sawios da ieu ge sanes curuk.” (Tidak apa-apa, ini juga bukan telunjuk). Dalam hal ini, Kang

31
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Ibing tampaknya kembali mengambil perubahan makna dengan asosiasi berdasarkan kesamaan (similarity),
mengingat curuk memiliki kesamaan bentuk dengan alat kelamin lelaki.
Keempat adalah frase bujur munding yang muncul dalam cerita Tukang Bangunan jeung Randa Nu
Boga Munding (Tukang Bangunan dan Janda Pemilik Kerbau), yang juga telah dicuplik pada paragraf di
atas. Makna asli bujur munding adalah pantat kerbau. Pada cerita tersebut, frase bujur munding memiliki
makna konotatif sebagai alat kelamin perempuan karena cerita tersebut menyatakan dengan tegas bahwa
bujur munding yang dibahas di situ bukanlah pantat kerbau. Dalam metafora ini, Kang Ibing tampaknya
melakukan perubahan makna dengan asosiasi kesamaan (similarity) karena jelas bahwa secara visual ada
kesamaan bentuk antara bujur munding dengan alat kelamin perempuan.
Kelima, kajian ini menemukan kata patonggong-tonggong yang muncul dalam cerita Malam
Pertama. Secara literal, patonggong-tonggong bermakna saling memunggungi. Walau demikian, dalam
cerita tersebut, kata patonggong-tonggong justru memiliki konotasi seks karena cerita tersebut mengisahkan
bahwa ada sepasang suami-istri “...nu sare patonggong-tonggong. Salakina nonggongan lalangit,
pamajikanna nonggongan dipan.” (tidur saling memunggungi. Suaminya memunggungi langit-langit,
istrinya memunggungi ranjang). Dalam cerita ini, Kang Ibing mengambil perubahan makna dengan asosiasi
berdasarkan kedekatan (contiguity), mengingat patonggong-tonggong dalam cerita tersebut sebenarnya
memang bermakna memunggungi, tapi bukan saling memunggungi.
Keenam adalah frase lontong jeung jenang yang muncul dalam cerita Bebesanan (Punya Besan).
Makna asli lontong jeung jenang adalah lontong dan jenang, penganan khas Jawa Tengah. Pada cerita
tersebut, frase lontong jeung jenang memiliki makna konotatif sebagai lelaki dan perempuan karena cerita
tersebut menyatakan bahwa anak-anak dari kedua orang besan (suami-istri) adalah lontong jeung jenang.
Pada metafora ini, Kang Ibing tampaknya melakukan perubahan makna dengan asosiasi kesamaan
(similarity) karena ada kesamaan bentuk, khususnya pada lontong dengan batang kemaluan lelaki.
Dari hasil analisis terhadap temuan, dapat tergambar bahwa pola perubahan makna yang digunakan
oleh Kang Ibing dalam menyampaikan humor bernuanasa cawokah adalah sebagai berikut.
Tabel Pola Perubahan Makna
No. Kata Jenis Perubahan Makna
1. diopi Contiguity
2. panyepeng beus/tihang beus Similarity
3. curuk Similarity
4. bujur munding Similarity
5. patonggong-tonggong Contiguity
6. lontong jeung jenang Similarity
Dari keenam metafora yang dikaji, dapat dilihat bahwa Kang Ibing lebih banyak menggunakan pola
perubahan makna similarity daripada contiguity. Selaras dengan gagasan Duranti (2007:2) bahwa dimensi
tuturan dapat ditelisik dengan mempelajari perlakuan penutur terhadap bahasa yang dipakainya, maka
tampak bahwa ada kecenderungan jika konsep humor cawokah lebih cenderung menghubungkan kata dan
konteks penggunaannya sebagai tindak sosial dengan mencari asosiasi kesamaan. Kesamaan pada konteks
ini kemungkinan diambil secara visual, dengan melihat bentuk dua benda yang sama, sebelum kemudian
mengubah makna salah satu kata yang merepresentasikan bentuk tersebut dengan konotasi yang menjurus
kepada bentuk lain.
Secara umum, hasil ini dapat memberikan gambaran, atau pemaknaan, bahwa masyarakat Sunda
umumnya adalah masyarakat visual yang mengasosiasikan makna-makna konotatif berdasarkan bentuk, dan
kesamaan bentuk dua benda. Ini mungkin ada hubungannya dengan temuan Hefner (1997) bahwa budaya
masyarakat Sunda cenderung mengadopsi sistem kekerabatan bilateral, di mana laki-laki dan perempuan
menduduki posisi yang seimbang dan sama pentingnya. Dalam keluarga Sunda, ritual penting berkisar pada
siklus kehidupan, dari lahir sampai mati, dengan mengadopsi banyak simbol-simbol visual (Hefner,
1997:87). Misalnya, selama tujuh bulan kehamilan ada ritual yang disebut Nujuh Bulanan yang kaya dengan
simbol. Kajian ini mengkonfirmasi bahwa aspek kehidupan yang lekat dengan simbol metaforis pada orang
Sunda juga dapat ditemukan dalam realisasi komunikasi orang Sunda dengan menggunakan bahasa, bukan
hanya media-media visual.

SIMPULAN DAN SARAN


Dari temuan, analisis, dan pembahasan ada beberapa simpulan yang dapat dikemukakan sebagai hasil kajian
ini. Pertama, metafora seks dalam humor-humor cawokah Kang Ibing cenderung lebih banyak mengambil

32
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
jenis perubahan makna dengan asosiasi kesamaan/similarity. Ini dilakukan dengan menghubungkan makna
suatu kata yang merepresentasikan benda tertentu yang dianggap memiliki kesamaan bentuk visual dengan
organ seksual ataupun kegiatan seksual.
Kedua, secara filosofis, simbol-simbol yang memiliki kemiripan makna dengan makna sesungguhnya
dapat memberikan gambaran tentang pola pikir orang Sunda yang senang menggunakan simbol. Realisasi
bahasa dalam humor-humor cawokah yang dibuat oleh Kang Ibing memiliki kemiripan konsep dengan
kegiatan-kegiatan simbolis dalam berbagai upacara adat Sunda.
Selain dua simpulan tersebut, ada pula beberapa saran yang dapat dikemukakan oleh kajian ini.
Pertama, ada baiknya jika kajian-kajian selanjutnya menelisik konsep cawokah dalam dimensi dan cakupan
yang lebih luas. Semisal, kajian selanjutnya dapat mengambil subjek penelitian lebih dari satu sumber.
Kedua, klaim aspek budaya Sunda yang menggemari simbol, baik dalam berbahasa maupun berkegiatan
masih terbuka untuk diperdebatkan. Oleh karena itu, kajian selanjutnya juga dapat memfokuskan diri pada
klaim ini dengan menjadikan produk lingual dalam skala yang lebih luas (selain konsep humor).

REFERENSI
Carter, R. 2015. Language and creativity: The art of common talk. London: Routledge.
Duranti, A.. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.
Tohari, H.M., 2013. Feminisme Sunda Kuno: Studi Interpretasi Kritis Akulturasi Nilai-Nilai Kesetaraan Gender
Sunda-Islam dalam Carita Pantun Sri Sadana. Disertasi Doktoral pada Sekolah Pascasarjana Universitas
Pendidikan Indonesia. Tidak Diterbitkan.
Levisen, C. 2015. Scandinavian semantics and the human body: an ethnolinguistic study in diversity and
change. Language Sciences, 49, 51-66.
Piekot, T. 2012. Pictorial representation of idioms in Internet humour.Estonia and Poland: Creativity and Tradition in
Cultural Communication, 1, 187-203.
Soebagijo, A., 2008. Pornografi: Dilarang tapi dicari. Jakarta: Gema Insani.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Temmy Widyastuti Mahardhika Zifana
Institusi : Universitas Pendidikan Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia
Riwayat Pendidikan : S2 Pendidikan Bahasa Daerah S1, S2, dan S3
Universitas Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia
Minat Penelitian : • Bahasa • Analisis Wacana Kritis
• Linguistik Sistemik Fungsional • Etnolinguistik
• Etnolinguistik, Antropolinguistik • Linguistik Forensik

33
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
KONFLIK YAMAN DALAM BAHASA MEDIA GLOBAL (ANALISIS WACANA KRITIS
TERHADAP PEMBERITAAN KONFLIK YAMAN DI BRITISH BROADCASTING
CORPORATION (BBC) DAN ISLAMIC REPUBLIC OF IRAN BROADCASTING (IRIB))

Mahardhika Zifana
Universitas Pendidikan Indonesia
mahardhika.zifana@gmail.com

ABSTRAK
Yaman adalah salah satu negara yang dilanda fenomena Arab Spring di awal tahun 2012. Sayangnya, Yaman tidak
melewati fenomena tersebut dengan mulus dan terjebak dalam konflik internal antara kelompok oposisi Syiah, yang
didukung Iran; dan rezim pemerintah, yang didukung Arab Saudi. Konflik Yaman telah mendapatkan perhatian cukup
besar dari masyarakat dunia. Fakta ini menyebabkan media-media massa di berbagai belahan dunia turut memberikan
porsi besar dalam pemberitaan. Besarnya porsi pemberitaan Konflik Yaman dapat dilihat pula dalam beberapa media
asal negara-negara yang menentukan sikap keberpihakannya dengan jelas, seperti Inggris (Pro-pemerintah) dan Iran
(Pro-oposisi). Kajian ini merupakan kajian kebahasaan dalam ranah studi wacana kritis yang dilakukan untuk
menelisik pemberitaan oleh dua media paling terkemuka di Inggris dan Iran, yakni British Broadcasting
Corporation (BBC) dan Islamic Republic of Iran Broadcasting (IRIB), terkait pemberitaan Konflik Yaman. Data
penelitian ini diambil dari teks-teks berita bertema Konflik Yaman pada kedua media, dengan fokus kepada berita yang
memuat dua pihak yang bertikai, yakni Pemerintah Yaman dan Oposisi Houthi. Data dikaji menggunakan kerangka
Analisis Wacana Kritis dari van Leeuwen (2008) untuk mendapatkan analisis yang komprehensif terhadap proses-
proses inklusi dan eksklusi pihak-pihak yang bertikai dalam teks-teks pemberitaan. Interpretasi data dan simpulan
akhir mengungkapkan masing-masing ideologi BBC dan IRIB dalam merepresentasikan kelompok pemerintah dan
oposisi dalam konflik internal di Yaman.
Kata kunci: Representasi, Ideologi, Analisis Wacana Kritis, Linguistik Fungsional Sistemik, Konflik Yaman

PENDAHULUAN
Fenomena Arab Spring yang melanda negara-negara Arab di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara pada
tahun 2012 telah mengubah negeri-negeri Arab secara signifikan. Yaman adalah salah satu negara yang
terkena dampak Arab Spring dengan hasil yang tidak terlalu menggembirakan. Tidak seperti beberapa negeri
Arab lainnya yang dapat terdorong menuju demokratisasi dengan relatif mulus, Yaman malah terjebak
dalam konflik internal antara kelompok oposisi Syiah, yang didukung Iran; dan rezim pemerintah, yang
didukung Arab Saudi.
Konflik Yaman ini mendapatkan perhatian cukup besar dari masyarakat dunia, mendorong media-
media massa di berbagai belahan dunia untuk memberikan porsi yang besar pula dalam pemberitaannya.
Besarnya porsi pemberitaan Konflik Yaman dapat dilihat pula dalam beberapa media asal negara-negara
yang menentukan sikap keberpihakannya dengan jelas, seperti Inggris (pro-pemerintah) dan Iran (pro-
oposisi).
Keberpihakan media, pada hakikatnya, ialah sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan lagi karena
tidak ada media yang dapat benar-benar netral (Richardson, 2007). Dalam suatu jalinan wacana yang
menempatkan topik utama tentang dua kekuatan yang saling bertentangan, teks-teks (dalam hal ini,
pemberitaan media) perlu untuk diperhatikan secara seksama. Penerimaan masyarakat terhadap suatu berita
dapat beragam. Reaksi sosial masyarakat pun karenanya dapat beragam, baik menerima maupun menolak
berita-berita yang disajikan.
Atas dasar pemikiran tersebut, kajian ini mencoba untuk menempatkan wacana konflik Yaman
sebagai fokus utama. Dalam hal ini, wacana dibatasi pada pemberitaan di media-media yang identik dengan
dua kekuatan luar yang turut memengaruhi situasi di Yaman, yakni Kekuatan Barat dan Iran. Secara lebih
spesifik, kajian ini ditujukan kepada dua media yang mewakili masing-masing kubu. Media yang menjadi
fokus kajian dalam kajian ini adalah British Broadcasting Corporation (BBC) dan Islamic Republic of Iran
Broadcasting (IRIB). British Broadcasting Corporation (BBC) dan Islamic Republic of Iran Broadcasting
(IRIB). Masing-masing media, baik bagian sebagian maupun seluruhnya, dimiliki oleh pemerintahan yang
memiliki sikap internasional yang jelas terkait konflik Yaman. Pemerintah Inggris berada di kubu
Pemerintahan Yaman, sedangkan Pemerintah Iran mendukung kubu Houthi.

LANDASAN TEORI DAN METODE


Pengkajian terhadap pemberitaan wacana yang melibatkan pertentangan dua kekuatan dapat dilakukan
dengan menggunakan aneka perspektif dan pendekatan. Caldas-Coulthard & Iedema (2016:2) menjelaskan

34
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
bahwa wacana, sebagai sebagai satuan lingual, memiliki ciri unik yang berkenaan dengan teks-teks yang
membangunnya. Di sisi lain, wacana juga pastinya terkait dengan aspek-aspek di luar teks itu sendiri, seperti
konteks dan ko-teks. Dengan mencermati hal-hal tersebut, kajian ini menggunakan perspektif Analisis
Wacana Kritis (AWK). Pilihan ini agar kajian dapat mengeksplorasi dan mengelaborasi wacana secara
holistik, selain dapat menyentuh aspek-aspek di luar wacana yang dapat memengaruhi kontur teks-teks
pembangun wacana (lih. Carta & Wodak, 2015).
Secara khusus, dalam perspektif van Leeuween (2008), wacana dapat dilihat sebagai satuan lingual
yang berfungsi sebagai realisasi wujud semiosis produksi bahasa. Kajian ini memanfaatkan kerangka AWK
dari van Leeuwen (2005) dengan pertimbangan bahwa gambaran pemberitaan pada dasarnya bukan hanya
berbicara tentang kesatuan makna-makna denotatif, melainkan pula makna konotatif. Di dalam pemberitaan,
ada berbagai simbol yang hanya dapat dijelaskan melalui cara-cara yang tidak hanya mencakup pendekatan
bahasa dan sosial, namun juga pendekatan simbol (van Leeuwen, 2005, 2008).
Sepanjang sejarah AWK, van Leeuwen telah beberapa kali mencoba menyempurnakan gagasan
kajian wacana dalam perspektif simbol (lih. van Leeuwen, 2005, 2008, dan 2015). Walau demikian,
gagasan-gagasan yang lazim dari kerangka ini tentunya tidak akan jauh bergeser dari hakikat AWK sendiri
sebagai perangkat yang dapat digunakan untuk menyibak jalinan kuasa, akses, dan dominasi dalam teks-teks
yang merepresentasikan parapihak yang terlibat dalam wacana.
Said & Kasanga (2016:71) menjelaskan melalui berbagai kutipan bahwa kerangka AWK apapun,
pada hakikatnya merupakan alat yang efektif untuk menyibak sisi-sisi terdalam dari jalinan wacana,
termasuk kerangka van Leeuwen. Dalam perjalanan sejarah AWK pula, kerangka AWK van Leeuwen ini
telah terbukti dapat menguak hal-hal implisit pada teks-teks pembangun wacana. Salah satunya dapat dilihat
pada Anwar dkk (2015) yang menunjukkan bagaimana keranbgka ini sangat efektif untuk menggali simbol-
simbol ideologis dalam pidato Muhammad Ali Jinnah di Pakistan.
Gagasan van Leeuwen (2005) pada dasarnya membagi simbol kebahasaan dalam teks ke dlam dua
bagian besar, yakni inklusi dan eksklusi. Inklusi, merupakan upaya untuk merepresentasikan suatu kelompok
yang terlibat dalam wacana sebagai bagian kelompok lain yang lebih besar. Sementara eksklusi adalah
kebalikannya, yakni upaya untuk mengecualikan suatu kelompok dalam wacana. Kajian ini, akan bertumpu
kepada gagasan utama ini. Kajian ini mengambil tiga (3) teks dari masing-masing media dan menggunakan
teks-teks tersebut untuk menelisik bagaimana representasi para pihak yang terlibat dalam wacana
ditampilkan oleh masing-masing media. Berikut ini adalah judul-judul teks yang digunakan beserta tanggal
rilisnya.
No. Tanggal Rilis BBC IRIB Peristiwa
1. Sabtu, 27 Yemen conflict: air strike New Saudi airstrike hits Serangan udara Arab Saudi ke
Februari 2016 on market 'kills 30 people' market in Yemen’s north sebuah pasar
2. Selasa, 23 Yemen conflict: Al-Qaeda Saudi Arabia in cahoots Kemunculan kelompok Al
Februari 2016 joins coalition battle for with Al-Qaeda in Yemen Qaeeda dalam pertempuran di
Taiz Taiz
3. Kamis, 25 Yemen conflict: MEPs call EU resolution calls for Seruan agar Uni Eropa tidak
Februari 2015 for arms embargo on Saudi Saudi arms embargo amid menjual senjata kepada
Arabia Yemen war Pemerintah Saudi

TEMUAN DAN PEMBAHASAN


Eksklusi
Eksklusi merupakan skema yang sangat vital dalam analisis wacana. Dalam perspektif van Leeuwen (2008),
eksklusi didefinisikan sebagai proses pembentukan produk bahasa dengan tidak melibatkan aktor/subjek
dalam suatu wacana. Penghilangan aktor sosial ini memiliki tujuan tertentu. Menurut Van Leuween,
pembaca berita perlu mengkritisi bagaimana masing-masing kelompok itu ditampilkan dalam teks, apakah
ada pihak atau aktor yang dengan strategi wacana tertentu hilang dalam teks atau tidak. Ada beberapa
strategi bagaimana suatu aktor (seseorang atau kelompok) dikeluarkan dalam pembicaraan. Di antara temuan
pada kajian ini, eksklusi dapat digambarkan melalui penggalan-penggalan sebagai berikut.
Pasivisasi
Penggunaan kalimat pasif mengubah peran aktor dalam wacana. Dalam hal ini, kalimat yang berstruktur
aktif menunjukkan aktor dari suatu peristiwa. Berikut ini adalah temuan-temuan signifikan terkait pasivisasi
dalam teks terpilih.
BBC: Nearly 6,000 people have been killed since the Saudi-led coalition entered the conflict
in March 2015 (Kalimat 1, Paragraf 8, Teks 3, BBC)

35
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
IRIB: Yemen has been under military attacks by Saudi Arabia since late March last year.
(Kalimat 1, Paragraf 7, Teks 3, IRIB)
Pada hakikatnya, pasivisasi berfungsi untuk menyamarkan aktor dari suatu peristiwa. Walau
demikian, sangat menarik sekali bahwa pada teks yang dibuat IRIB di atas, aktor peristiwa tetap ditampilkan
(...by Saudi Arabia). Ini tentu sangat kontras dengan teks BBC yang ‘menyembunyikan’ pelaku dalam
peristiwa serangan militer.
Nominalisasi
Nominalisasi mengubah kata kerja menjadi kata benda.
BBC: While there, Ms Al Ahmad was warned by one group participating in the battle not to
film them. (Kalimat 1, Paragraf 10, Teks 2, BBC)
IRIB: During a visit to the province last year, Ahmad obtained footage of UAE troops
supplying tactical information to Ansar al-Sharia terrorists. (Kalimat 1, Paragraf 6, Teks 2,
IRIB)
Seperti halnya pasivisasi, nominalisasi sebenarnya berfungsi untuk menyamarkan aktor. Selain itu,
ada pula fungsi untuk menyamarkan peristiwa atau proses suatu kejadian. Pada teks yang dibuat IRIB di
atas, aktor peristiwa tetap ditampilkan (...UAE Troops Supplying...). Ini tampaknya mengulang apa yang
dilakukan IRIB dalam contoh pasivisasi sebelumnya. kembali, fenomena ini kontras dengan teks BBC yang
‘menyembunyikan’ pelaku (...by one group participating...).
Inklusi
Inklusi peristiwa atau kelompok selain yang diberitakan itu, menurut Van Leuween (2008), merupakan
penanda yang menunjukkan dengan jelas bagaimana suatu kelompok atau peristiwa direpresentasikan dalam
wacana. Berikut ini adalah skema-skema inklusi yang dapat ditemukan pada keempat teks.
Diferensiasi – Indeferensiasi
Strategi Diferensiasi-Indeferensiasi biasanya dipakai untuk menjadikan suatu kelompok tersudut atau
menghadirkan entitas lain dalam wacana yang dipandang lebih baik. Berikut ini contoh yang dapat
ditemukan.
BBC: At least 6,000 people have been killed in Yemen since March 2015, when the coalition
launched a military campaign to defeat the Houthis and allied army units loyal to former
President Ali Abdullah Saleh and restore the government. (Kalimat 1, Paragraf 6, Teks 2,
BBC)
IRIB: Yemen has made many sacrifices and given many martyrs in their fight against the
foreign invaders, and is battling evil forces that seek to destroy the entire region. (Kalimat 1,
Paragraf 3, Teks 2, IRIB)
Pada kedua contoh di atas, tampak jelas bagaimana cara kedua media membedakan pasukan koalisi
yang dipimpin Arab Saudi dalam teks berita mereka. BBC menggunakan istilah sederhana the coalition
untuk merujuk kepada pihak koalisi. Sementara IRIB menyebut koalisi tersebut dengan kata-kata yang
memiliki makna negatif: foreign invaders dan evil forces. Sementara itu, proses material yang digunakan
kedua media juga tampak berbeda (bdgk. launched a military campaign dan seek to destroy the entire
region)
Objektivasi – Abstraksi
Skema wacana ini berhubungan dengan pertanyaan apakah informasi mengenai suatu peristiwa atau aktor
sosial ditampilkan dengan memberi petunjuk konkret ataukah yang ditampilkan adalah abstraksi
BBC: The coalition's member states consider al-Qaeda a terrorist organisation, and the
jihadist network's local affiliates have attacked coalition forces and Yemeni government
personnel. (Kalimat 1, Paragraf 5, Teks 2, BBC)
IRIB: Meanwhile, evidence has emerged showing military collusion between Saudi forces
and al-Qaeda terrorists. (Kalimat 2, Paragraf 3, Teks 2, IRIB)
Pada kedua contoh teks di atas, kedua media tampak mencoba objektif dengan memberikan
gambaran yang tidak abstrak terkait sikap koalisi pimpinan Arab Saudi terhadap Al Qaeeda. Walau
demikian, jelas terlihat bahwa BBC mencoba menegaskan jika negara-negara koalisi tidak berada dalam
kubu yang sama dengan Al Qaeda (...consider al-Qaeda a terrorist organisation). Ini berbanding terbalik
dengan apa yang ditampilkan IRIB (...collusion between Saudi forces and al-Qaeda terrorists).

36
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Nominasi – Kategorisasi
Dalam suatu pemberitaan, aktor sosial seringkali dimunculkan bersama kategori yang dimilikinya. Kategori
ini dapat berupa macam-macam, menunjukkan ciri penting seseorang, baik agama, status, bentuk fisik, dan
sebagainya. Berikut adalah contoh skema ini yang dapat ditemukan pada teks.
BBC: It is not clear who carried out the strike, but Houthi rebels have accused the Saudi-led
coalition. (Kalimat 1, Paragraf 3, Teks 1, BBC)
IRIB: Since the beginning of the deadly campaign of the Riyadh regime in March 2015,
Saudi Arabia has claimed that its attacks are meant to hit members of the Ansarullah
movement. (Kalimat 1, Paragraf 5, Teks 1, IRIB)
Dari kedua contoh di atas, tampak bahwa BBC melabeli kelompok houthi sebagai rebel
pemberontak dan koalisi pimpinan Saudi sebagai pihak tanpa kategori (the Saudi-led coalition). Sebaliknya,
kategorisasi yang dibuat IRIB memberikan makna yang berbeda: Ansarullah movement dan Riyadh Regime.
Nominasi – Identifikasi
Pada skema ini, ada dua proposisi, proposisi kedua difungsikan sebagai penjelas atau keterangan proposisi
pertama. Berikut ini contoh temuan pada teks.
BBC: The strike hit the Nehm region north-east of Sanaa, where coalition-backed loyalists
have been advancing as they try to reach rebel-controlled Sanaa, AFP news agency reported.
(Kalimat 1, Paragraf 6, Teks 1, BBC)
IRIB: However, frequent reports have shown that Saudi warplanes target residential buildings
and places of gatherings for the civilians, including mosques and bazaars, in Yemen,
especially in the northern regions, where the Ansarullah enjoy more support. (Kalimat 1,
Paragraf 5, Teks 1, IRIB)
Bagian ini tampaknya memperkuat apa yang telah ditemukan pada bagian sebelumnya tentang
kategorisasi. BBC tetap secara konsisten mengidentifikasi kelompok Houthi sebagai rebel dan pihak Saudi
‘hanya’ sebagai coalition. Sebaliknya, IRIB mengidentifikasi pihak Saudi sebagai penyerang yang tidak
menghormati mesjid dan pasar (mosques and bazaars) dan pihak Houthi sebagai kelompok yang didukung
masyarakat Yaman Utara (where the Ansarullah enjoy more support)
Asimilasi – Individualisasi
Skema wacana ini mempertanyakan kejelasan kategori aktor sosial yang menjadi subjek berita. Berikut ini
temuan pada teks.
BBC: Nearly 6,000 people have been killed since the Saudi-led coalition entered the conflict in
March 2015. (Kalimat 1, Paragraf 8, Teks 3, BBC)
IRIB: Since the beginning of the deadly campaign of the Riyadh regime in March 2015, Saudi
Arabia has claimed that its attacks are meant to hit members of the Ansarullah movement. (Kalimat
1, Paragraf 5, Teks 3, IRIB)
Pada kedua contoh di atas, baik BBC maupun IRIB sama-sama merujuk kepada proses masuknya
pihak Saudi dalam konflik Yaman. Akan tetapi, IRIB tampak lebih menekankan pihak Saudi dengan
penanda individual (deadly campaign of the Riyadh regime) daripada apa yang dibuat oleh BBC (the Saudi-
led coalition).

SIMPULAN
Berdasarkan data dan analisis pada bagian sebelumnya, kajian ini menarik simpulan penting terkait
pemberitaan konflik Yaman pada kedua lembaga berita, BBC dan IRIB. Pertama, kedua media memiliki
kecenderungan tidak netral. Walaupun berada dalam kewajiban melaksanakan kode etik jurnalistik, produk
bahasa yang menunjukkan adanya simpati dan pembelaan terhadap subjek yang berada dalam satu kubu
tetap muncul. Kemunculan produk bahasa macam ini dapat dimaknai sebagai wujud semiosis dari produksi
bahasa yang terkait dengan kesamaan latar dan tujuan media dengan subjek berita, sebagaimana
dikemukakan oleh van Leeuwen (2008). Dalam hal ini, BBC cenderung berpihak kepada koalisi pimpinan
Saudi dan IRIB cenderung berpihak kepada gerilyawan Houthi.
Kedua, pemberitaan IRIB dan BBC terkait konflik Yaman menunjukkan bahwa kedua media sama-
sama memiliki agenda tersembunyi terkait pemberitaan mereka yang tidak netral. Dalam wujud nilai,
orientasi, dan kecenderungan, kedua media memiliki kecenderungan ideologis untuk membela subjek yang
berasal dari kubu yang sepaham dengan masing-masing pihak. Ini jelas tercermin melalui teks-teks berita
yang mereka lansir. Kecenderungan masing-masing media sangat kentara pada cara masing-masing dalam

37
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
merepresentasikan parapihak yang terlibat. Implikasi dari kecenderungan ini adalah pembangunan opini dan
persepsi masyarakat dunia melalui tatanan nilai ideologis kedua media yang dipengaruhi nilai politik dari
pemilik/pengelola media, Inggris dan Iran.

REFERENSI
Anwar, M. N., Ullah, R., Ahmad, N., & Ali, M. 2015. Critical Discourse Analysis of Quaid-e-Azam Muhammad Ali
Jinnah's (11th August, 1947) speech in the first Constituent Assembly of Pakistan. South Asian Studies,30(1),
159.
Caldas-Coulthard, C., & Iedema, R. (Eds.). 2016. Identity trouble: Critical discourse and contested identities. New
York: Springer.
Carta, C., & Wodak, R. 2015. Discourse analysis, policy analysis, and the borders of EU identity. Journal of Language
and Politics, 14(1), 1-17.
Said, S. B., & Kasanga, L. A. 2016. The discourse of protest: Frames of identity, intertextuality and
interdiscursivity. Negotiating and Contesting Identities in Linguistic Landscapes, 71.
Van Leeuwen, T. 2005.
Van Leeuwen, T. 2008. Discourse and Practice: New Tools for Critical Discourse Analysis. Oxford: Oxford University
Press.
Van Leeuwen, T. 2015. “Discourse as the Recontextualization of Social Practice: A Guide”. Dalam Wodak, R., &
Meyer, M. (Ed.). 2015. Methods of Critical Discourse Studies. London: Sage Publications.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Mahardhika Zifana
Institusi : Universitas Pendidikan Indonesia
Riwayat Pendidikan : S1, S2, dan S3 Universitas Pendidikan Indonesia
Minat Penelitian : • Analisis Wacana Kritis
• Etnolinguistik
• Linguistik Forensik

38
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
THE IMPLEMENTATION OF VIDEO MODELING TO IMPROVE TENTH GRADERS'
SPEAKING SKILLS IN SENIOR HIGH SCHOOL 1 MALANG

Dessy Kusuma Vinahari


State University of Malang
echi.kusuma@gmail.com

ABSTRACT
Speaking is a productive skill which is needed to communicate with each other. However, in SMAN 1 Malang, the tenth
graders have problem in speaking because the teacher mostly focus on the national exam materials. Thus, the students
feel nervous and confused when speaking in English. Besides lacking vocabulary and applying the grammar are the
factors in making the students nervous. Reflecting upon those problems, the researcher design a strategy to help the
students to improve their speaking skill. The strategy is called video modeling. In this study, the researcher employed
Classroom Action Research consisting of: (1) planning, (2) implementing, (3) observing, and (4) reflecting. The
subjects of this study were the students of X Peminatan of SMAN 1 Malang in 2013-2014 academic year. The research
instruments are observation checklists, field notes, and speaking test. The results of this study are: (1) there was an
increase of the students’ score. After the implementation of video modeling 83% of the students pass the passing grade;
(2) 80% of the students gave positive response toward the implementation of video modeling; and (3) the basic
procedure of video modeling were as follows: (1) watching videos that were chosen as the model; (2) observing the
video thoroughly; (3) discussing the result of the observation; (4) practicing by imitating the model; and (5)
performing.
Keywords: implementation, video modeling, tenth graders, speaking skill

INTRODUCTION
English is an international language used as a tool of communication among people in the world. In business
trading, education, social life, and technology, English is a lingua franca that used to connect one country
and other. To face the global competition, people should improve their English competence because English
is important for their career development. Thus, English become a major subject that must be taught in
Indonesia.
Speaking is one of the productive skills in oral mode. According to Spartt and William (2005)
speaking is a productive skill like writing that involves using speech to express meaning to other people.
However, speaking is more complicated than it seems because it involves more than pronouncing the word.
According to Brown (1994) and Burns & Joyce (1997) speaking is an interactive process of constructing
meaning that involves producing and receiving and processing information. A speaker not only needs to
know how to produce the specific parts, such as grammar, pronunciation, or vocabulary, but also needs to
know how to produce language in social situations.
Speaking can be divided into some types. Brown & Yule (in Nunan, 1989:27) distinguish oral
presentation into monologues and dialogues. The ability in giving uninterrupted oral presentation is different
from those involved in having conversation with one or more speakers.
Monologue was also stated in Indonesian curriculum. Based on standard competence of 2013
curriculum point 3.7 it was stated that the students should analyze the social function, text structure, and
generic structure of recount text as work report and historical description based on its function. In point 4.7
stated that the students should made work report and historical description, with considering the social
function, text structure, and generic structure of recount text appropriately and based on the context.
From the discussion above, it shows that speaking is very important. However, many Indonesian
students are lack in speaking and having difficulties in communicating in English. According to Alwasilah
(2006) school graduates that cannot communicate in English become a national problem. Learners’ lack in
speaking English will be an obstacle for the students because they cannot communicate well. This
phenomenon also happened in SMA Negeri 1 Malang. Many students are still lacking in speaking. From the
preliminary study that was done by the researcher in Cross-Subject class, 25% of the class, 8 students, are
not passing the grade because the minimum passing grade (KKM) for SMA Negeri 1 Malang is >78. Around
43% students are considered low because they scored between 79 and 82. When the researcher did an
observation in the class, when the students do speaking activity, some students have no problem with their
grammar.
In order to overcome all problems that were faced by the students, teacher should found a way that
could a good learning situation and at the same time improve students’ skill. To solve this problem, the
researcher chooses video modeling to improve students’ speaking skill. Video modeling is an instructional
technique that helps the students acquire new skills by viewing, from videotape, behavior that was
39
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
performed by another individual, and then imitating that behavior. Thus, this method is very effective in
teaching foreign language especially speaking. Besides, this method had already been applied in children
with autism and it is very effective in improving the children’s behavior.
Among the other modeling, video modeling is the best technique for teaching the students. As stated
by Charlop-Christy, Le, and Freeman (2000) video modeling resulted in quicker rates of acquisition and
increases in generalization in comparison to live modeling.
As discussed above, in this study, the researcher used video modeling to improves eleventh grade
students speaking skill. The reasons are the students able to observes directly the behavior of the model. It is
also interesting and helps the students to acquire more information. Besides, it is efficient and takes less time
than other modeling technique.
According to a previous study which is conducted by Indriastuti (2011) on The Use of YouTube
Video to Improve Students Speaking Skill (An Action Research at the First Grade Students of SMAN 1
Boyolali), the students’ speaking skill had been improved after the implementation of YouTube video to
teach speaking. After using YouTube video, the students are motivated in learning speaking and they are
eager to join all speaking activities.
According to the studies done Pratiwi (2012) about Improving The Speaking Skill Of The Tenth
Grade Students At Sma Berbudi Yogyakarta By Using Videos In The Academic Year Of 2011/2012 showed
that the use of videos combined with the communicative speaking activities was proved to be effective to
improve the students’ speaking skill. They were fluency, vocabulary, pronunciation and students’ confidence.
The findings were supported by the means of the students’ speaking scores which had improved from
64.60 % in the Pre-test to 72.50 % in the Progress-test and 75.10 % in the Post-test.
The difference of this study and the previous studies are the use video modeling could help the
students to be able to improve the students speaking skill faster and also make them able to speak like the
model.
Referring to the background of study, the researcher states the problem of the study follows. How
video modeling can be used to improve tenth grade students’ of SMA Negeri 1 Malang speaking skill.

RESEARCH METHOD
The CAR model that used in this study is Kemmis and McTaggart model. According to Kemmis and
McTaggart, action research is essentially a series of cycles of reflection, planning, and action. Kemmis and
McTaggart proposed a spiral model comprising four steps: planning, acting, observing and reflecting,
(Wilfred:1986).
The first thing that the researcher did was conducting a preliminary study. The researcher will
observes and identifies the problems in the classroom. In this study, the problem that was found is the
students’ speaking ability since many students find it difficult because speaking ability is not as simple as it
seems to be. After identifying the problem, the researcher will find an alternative by looking for references,
discussion, or join the seminar. The alternative that was chosen by the researcher is video modeling. Then,
the researcher will collaborate with the classroom teacher in implementing the method. In this study, the
researcher will be act as the teacher and teach speaking using video modeling.
After implementing the first stage, the researcher will do the reflection. If all the criteria that were
set before can be achieved, the researcher does not need to conduct the second cycle. However, if there are
some criteria that cannot be achieved, the researcher will undergo the second cycle. The result of the
reflection can be used as the basis in revising the plan. If the result of the second cycle is still unsatisfactory,
the researcher will go for the third cycle.
In the implementation of this study, the researcher will act as the teacher and observer. The
researcher will teach speaking skill using video modeling and observing the change before and after the
implementation of video modeling. In this research, the researcher collaborated with one of the English
teacher at school who helped the researcher in preparing several activities such as designing a plan,
observing, and monitoring.
The study was done in SMA Negeri 1 Malang. This school located in Jl Tugu Utara No. 1. There are
three major in this school; science, social, and language.
The subject of the study is Cross-Subject class. The students who joined the class are considered
having problem with their English language. The students also have problem with their Speaking.
The researcher started by conducting preliminary study. It aimed to analyze get data concerning the
actual problems faced by the teacher and the students in teaching and learning of speaking. The researcher’s
experience and the results pf observation are the basis tho finds the problems in teaching and learning

40
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
process. The resulus of prelims showed that many problems occur in the spearking class, low results on
speaking achivevement, the students low involvement in the class this is because the teacher is

RESULT AND DISCUSSIONS


The students’ speaking test was administered at the second meeting of the cycle. The test was intended to
know the progress of the strategy applied, to know how well the students’ speaking skill was after the
implementation of video modeling. The test was done by making the students perform in front of the class
individually. There were five points that was assessed; fluency, accuracy, pronunciation, content, and
delivery. The time allocation for the test is 2 X 45 minutes with the duration for each student were around 3
minutes.
From the data presented in the observation checklist, it was found that in the first meeting, most of
students involve and show a good response before the implementation of video modeling. During the
process, the students gave very good response by actively paying attention to the video and discussing their
group worked. In the class discussion, the students gave a good response in sharing the result of their
discussion. However, the students were having a hard time in giving their opinion towards the video and
comparing the news anchor in the video and the news anchor that they know because the students gave less
response than the previous activities. The students showed very good response once more by actively finding
out some information about explanation text and sharing their knowledge. The students were also making
the script and practicing for their performance diligently. During this meeting the acquired scored from the
observation checklist is 30. It means that 75% of the students paying attantion towards the video.
In the second meeting, most of students involve and show a good response before the
implementation of video modeling. During the process, the students gave very good response by actively
paying attention to the videos and discussing with their group. During class discussion, the students gave a
good response in sharing the result of their discussion and giving their opinion towards the videos and the
news anchor. The students also showed very good response in finding out some information about
explanation text and sharing their knowledge. The students were also making the script diligently. In the
group practice, the students were showing good response. In this meeting, the score that was obtained from
the scoring rubric are 33 in which 82.5% of the students are actively participated during the lesson.
According to the finding it can be shown that the students speaking skill are improved. At the
preliminary studies, only 11 students (30% of the class) passed the minumum standard score. After the
implementation of video modeling, 25 students (83% of the class) are able to pass the minimum standard
score. During the first and second meeting, there is an improvement of students’ participation. At the first
meeting, 75% of the students are actively participated. In the second meeting, students participation are
increased by 7.5% becomes 82.5%.
By considering the explanation above, it can be concluded that there are many advantages in
implementing video modeling to improve students speaking skill. The responses from the students were
good because previously they had never been taught using such technique during their speaking classes.
The video also helped the students in understanding explanation text. By using the video, the teacher may
able to explain the generic structure and the diction that was used. The teacher can also show the students the
difference between the diction used in spoken and written text. By showing the video, the students will
understand more about this.
During watching the video, teacher had to make sure that the students paying attention towards the
video. This teaching method needs students’ full attention in observing the model’s intonation, gesture, and
facial expression; in other word model’s behavior.
Practicing in group proved to be effective. The students were able to get feedback from their friends,
thus they know their weaknesses and their strength. However, during the practice the teacher should pay
attention towards the students because some of the students might be slacking off so the purpose of the
group activity can be achieved.
During the script making, the researcher played the students some instruments. By playing some
instruments, the students were able to concentrate more and finished their work on time. During teaching
and learning activity, the researcher asked the students to play a little game, so that they can be relaxed and
motivated. The researcher also gave the students small rewards, such as compliment or small gift, during the
teaching and learning activity and during the game in order to make the students more motivated.
Video modeling is a form of observational learning in which the targeted behavior is learned by
watching the video and then imitating the behavior of the model. By observing the model, in this case is the
news anchor, the students are able to learn how the model pronounce the word and the intonations in
delivering the news, as well as, other elements that help the speaker to deliver the news; the gesture, eye

41
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
contact, styles, and others. According to Drowick (1991), additional benefits to video modeling include an
increased ability to gain and hold the student's attention as well as the ability to have complete control over
the observed stimuli.
In this study, before the students were learning about explanation text, the researcher played the
video first. The researcher choose the videos of news anchors delivering the news. During the observation,
the researcher give students a worksheet. The worksheet used to help the students understanding about the
explanation text as well as observing how the news anchor delivering their news. Rather than getting
confused imagining a news anchor delivering their news, by giving a video, the students were able to freely
observing the model. If a teacher needs to emphasizing a spessific intonation or gesture, they may to pause
the video or rewind it. It also gives teacher more advantages because it could cover the weaknesses done by
a real life model. besides, the video also helped the students in understanding the generic structure of
explanation text and helped them in making script for their performance. According to Santoso (2008) the
use of audio, visuals, technology considered as important in order to get successful teaching and learning
activity. By using video modeling the teacher able to facilitated all kind of learners and make the students
interested in learning.
During video modeling, the students are able to learn using the three aspects audio, visual, and
kinesthetic. By using video modeling, students are able to learn how to pronounce the words and practice the
intonation. As for the visual, the students will observe how the model speaking. In this study, the model is
the news anchors delivering their news. After that, the students will practice speaking by imitating the model.
Therefore, it is good to apply in the class because it fulfills students’ need. Attending to need satisfaction is a
primary method of keeping students interested and happy (Harris, 2012). He continued that students will put
up with substantial immediate unpleasantness and do an amazing amount of hard work if they are convinced
that what they are learning actually meets their needs (Harris, 2012).
According to D’Ateno, P, et.al (2003), the video modeling teaching procedure was shown to be an
efficient technique for teaching relatively long sequences of responses in the absence of chaining procedures
in relatively few teaching sessions. Additionally, the complex sequences of verbal and motor responses were
acquired without the use of error correction procedures or explicit, experimenter implemented reinforcement
contingencies. That is why it gaves advantages both for the teacher and the students.
The students’ responses during the teaching and learning activity were increased. The results of the
observation checklist show improvement of the students from the first to the second meeting. The students’
response in the first meeting is 75% and the students’ response in the second meeting is 80%. There is an
increase about 5% from the first to the second meeting. It was in line with the study conducted by Sagala
(2009) the use of videos could improve students speaking skills and increase the students’ involvement in
speaking class.
From the observation checklist, shows that the students’ involvement is high. During videos
observing, the students are diligently observe the video and doing the worksheet. They also actively share
their knowledge about the material which is explanation text. Even though they got a little bit confused when
they started to write the script at first, the students were making the script diligently and they finished it on
time. Harris (2012) stated that one of the major keys to motivation is the active involvement of students in
their own learning.
The gap 5% percent from the first and the second meeting was made by the students’ involvement
during sharing their opinions towards the video. In the first meeting, the students responded when they were
asked to comparing the video with real life are low. The students got confused and did not give good
response. They directly agree with the researcher or other students’ opinion. When the researcher asked the
students to mention some Indonesian nwes anchor that they knew, the students were giving no response.
However, on the second meeting, when the students were asked to comparing two the videos, many of them
are able to give their opinion. They could give their opinion why they like the certain video better than the
other. It means that the video helps the students visualizing the materials, so that they can give their opinions.

CONCLUSION
Based on the research findings, the researcher draws the following conclusions. First, the use of video
modeling can improve the students’ speaking skills. By implementing this method, the students are able to
learn by using both audio and visual. Besides, they also has time to practice for their performance in front of
the class by imitating the model in the video. Thus, the students are able to performe the best.
Secondly, the basic procedures of video modeling were as follow: (1) watching videos that were
chosen as the model; (2) observing the video thoroughly; (3) discussing the result of the observation; (4)
practicing by imitating the model; and (5) performing. After conducting preliminary study, planning the

42
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
action, preparing the research instruments, implementing, observing, and reflecting the action, the researcher
concluded that through a well-prepared material and procedures animation clips can effectively improve the
students’ participation in speaking English.

REFERENCES
Britsch, Susan. Esol Educators and the Experience of Visual Literacy. Tesol Quarterly 207901.3d 31/12/09.
Brown, H.D. 2001. Teaching by Principles an Interactive Approach to Language Pedagogy (2nd Ed.). NY: Adison
Wesley Longman Inc.
Buggey, Tom. 2005 .Video Self-Modeling Applications With Students With Autism Spectrum Disorder in a Small
Private School Setting. Focus on Autism and Other Developmental Disabilities. 20 no1 September 2005
Edition. Page 52-63.
Cahyono, B.Y. 2010. Introduction: Teaching English by Using Internet Resources. Malang: State University of
Malang.
Carr, W. & Kemmis, S. 1986. Becoming Critical: Education, Knowledge and Action Research. Lewes, Falmer.
Caz. 2011. Using Video to Teach Social Skills. http://www.bizvidcommunications.com/blog/how-to/determine-a-
videos-purpose/. Access on April 19th 2013
Elliott, J. 1991. Action Research for Educational Change. Buckingham: Open University Press.
Firdaus, B.G. 2011. Using Video to Enhance Students’ Listening Comprehension. In B.Y. Cahyono & S.R.
Kusumaningrum (Eds.), Practical Techniques for English Language Teaching (pg 11-13). Malang:
Universitas Negeri Malang.
Harmer, J. 2007. The Practice of English Language Teaching (3rd Ed.). England. Pearson Education Limited.
Harris, R. 2012. Some Ideas for Motivating Students, (Online), (http://www.virtualsalt.com/motivate.htm), accessed on
April 15, 2014.
Hawkins, M.R., & Leung, C. 2011. Video Recording and the Research. TESOL Quarterly, 45 (2): 344-354.
Kweldju S. 2004. Lexically-Based Language Teaching: An Innovative Step for ELT in Indonesia. In B. Y. Cahyono &
U. Widiati (Eds.), The tapestry of English Language Teaching and Learning in Indonesia (pp. 37-55). Malang:
State University of Malang Press.
Latief, M.A. 2011. Research Method on Language Learning an Introduction. Malang: UM Press.
Nana, S. 1991. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru.
Nunan, D. 1999. Second Language Teaching and Learning. Boston: Heinle & Heinle Publishers.
Renandya,W. A. 2004. Indonesia. In H.W Kam & R.Y. L Wong (Eds.) Languages Policies and Languages Education.
The Impact in East Asian Countries in the Next Decade. Singapore: Eastern Universities
Roestiyah, N.K. 1989. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Bina Aksara.
Sumiarsih, N.R. 2011. Using Movies to Enhance Students’ Understanding of Natural Conversations Material. In B.Y.
Cahyono & S.R. Kusumaningrum (Eds.), Practical Techniques for English Language Teaching (pg 3-5).
Malang: Universitas Negeri Malang.
Susilo, H. 2008. Penelitian Tindakan Kelas Sebagai Sarana Pengembangan Keprofesionalan Guru dan Calon Guru.
Malang: Banyumedia Publising.
Yassaei, S. 2012. Using Original Video and Sound Effects to Teach English. English Teaching Forum, 50
(1).Washington D.C: United States Department of State. 12-16.

CURRICULUM VITAE
Complete Name : Dessy Kusuma Vinahari
Institution : I-Tutor and Private Tutoring
Education : S1 State University of Malang
Research Interest : English Teaching

43
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
THE RELATION BETWEEN EFL STUDENTS’ VOCABULARY SIZE AND LEXICAL RICHNESS
IN WRITING

Ardi Nugroho
Universitas Bunda Mulia
anugroho@bundamulia.ac.id

ABSTRACT
Vocabulary is a very important aspect in language learning. Without adequate vocabulary, an EFL learner cannot be
expected to communicate well since they have a limited repertoire of lexical items at their disposal. One measure of an
EFL learner’s vocabulary is their vocabulary size, which is basically the number of words that a person knows
(Schmitt, 2014). Many studies have been conducted on the topic of vocabulary size, some of which deal with how
someone’s vocabulary size influences his or her ability to comprehend various texts, or the ability to answer various
reading comprehension questions. Nevertheless, a learner’s ability to comprehend text can be considered as a passive
skill, and their vocabulary size is also only a measure of their receptive vocabulary. In other words, just because a
person recognizes and understands words when reading them from a passage, does not necessarily mean that he or she
will use said words in their speaking and writing. Hence, a person’s receptive vocabulary may not always be the same
as their productive vocabulary. Based on this, the writer has become interested in exploring the relationship between
EFL learners’ vocabulary size and their lexical richness, or their ability to use the words that they know. More
specifically, this research attempts to discover whether the learners’ vocabulary size influences their lexical richness in
writing. The source of data is the essays from the Final Test for the Writing 2 subject from students of the English
Language and Culture Department at Bunda Mulia University. The vocabulary size of the students is measured using
the Vocabulary Size Test by Nation and Beglar (2007), and their lexical richness is measured using the Type-Token
Ratio (TTR) by Templin (1957) as cited in Šišková (2012). Furthermore, the relation between the students’ vocabulary
size and lexical richness is analyzed using Pearson product-moment correlation coefficient to see whether there is a
significant relation between these two variables. The findings show that there is no significant correlation between the
two variables. Hence, a person with a high vocabulary size does not always mean that he or she will be able to write a
lexically rich piece of writing, and vice versa.
Keywords: vocabulary size, lexical richness, writing

INTRODUCTION
Vocabulary is a very important aspect in language learning. Without adequate vocabulary, an EFL learner
cannot be expected to communicate well since they have a limited repertoire of lexical items at their disposal.
In other words, unless a learner has a sufficient knowledge of English vocabulary, he or she would not be able
to properly interact with others in English as they lack the means to express themselves. Wilkins (1972) is of
the opinion that although grammar plays an important role in helping us convey our ideas, vocabulary is even
more crucial as without it, nothing can be conveyed. One measure of an EFL learner’s vocabulary is their
vocabulary size, which is basically the number of words that a person knows (Schmitt, 2014).
Many studies have been conducted on the topic of vocabulary size, some of which deal with how
someone’s vocabulary size influences his or her ability to comprehend various texts (Nation, 2006), or the
ability to answer various reading comprehension questions (Alavi and Akbarian, 2012). Nevertheless, a
learner’s ability to comprehend text can be considered as a passive skill, and their vocabulary size is also
only a measure of their receptive vocabulary. In other words, just because a person recognizes and
understands words when reading them from a passage, does not necessarily mean that he or she will use said
words in their speaking and writing. Hence, a person’s receptive vocabulary may not always be the same as
their productive vocabulary.
Based on the writer’s experience in teaching writing classes, it was found that the students often
produce sentences using the same vocabulary over and over again. They are unable to employ synonymous
words to make their writing more creative and varied which results in sentences that are somewhat
repetitive. Consequently, it can be said that their writings have a low level of lexical richness as they use the
same lexical items repeatedly. Nonetheless, when asked whether the students recognizes some of these other
synonymous words, they actually do know what they mean, but failed to utilize them and so ends up just
repeating the same vocabulary. This shows that although they are aware of the meaning of certain words,
they have difficulty producing them in actual writing. Hence, there is a clear gap between vocabulary
knowledge and vocabulary use.
From the situation described above, the writer has become interested in exploring the relationship
between EFL learners’ vocabulary size and their lexical richness, or their ability to use the words that they
know. More specifically, this research attempts to discover whether the learners’ vocabulary size influences
their lexical richness in writing. The main research question for the current study is as follows: “How do the
students’ vocabulary size relate to their lexical richness in writing?
44
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
PREVIOUS STUDIES
There have been several studies regarding vocabulary size and lexical richness in writing. One such study
was conducted by Laufer and Nation (1995). In this research, they proposed a new way of measuring lexical
richness, i.e. the Lexical Frequency Profile (LFP). This measurement was tested and was found to be a valid
and reliable tool for assessing someone’s lexical richness in writing. Furthermore, it was also found that a
correlation between students’ vocabulary size and lexical richness exists, in the sense that a learner’s
vocabulary size is reflected in the way they write.
Additionally, a study by Azodi, et al (2014) also investigated these two variables, i.e. vocabulary
size and lexical richness. This study involved the measurement of the L2 lexical richness of productive
vocabulary in the writings of Iranian EFL university students. It was revealed that “... EFL students increase
their vocabulary knowledge while they are studying different courses and they are able to use this
knowledge in their productive tasks.” Hence, it can be said that there is a relationship between a learner’s
vocabulary size and lexical richness. This is reflected in the way the students who have studied longer and
have more vocabulary knowledge or a larger vocabulary size are able to produce more lexically rich writings
compared to those who have lower vocabulary size.

THEORETICAL FRAMEWORK
According to Nation, 2001 as cited in Alavi and Akbarian (2012), vocabulary knowledge can be divided into
vocabulary size and depth. Vocabulary size basically deals with the number of words that a person knows,
whereas vocabulary depth concerns how well a person knows a particular word. For instance, not only its
meaning, but also its relation with other words such as the synonyms, antonyms, collocation, etc. Moreover,
vocabulary can also be differentiated into receptive and productive vocabulary (Laufer and Goldstein, 2004
as cited in Pignot-Shahov, 2012). Receptive vocabulary is related to someone’s vocabulary knowledge in
more passive contexts such as reading and listening. On the other hand, productive vocabulary deals more
with active skills like speaking and writing. In other words, the ability of a learner to use the words they
know in their speech and writing.
As for the second variable of the current study, i.e. lexical richness, it can be understood as “… the
amount of vocabulary that the speaker freely uses in discourse” (Zhang, 2014). Furthermore, Laufer and
Nation (1995) states that “Measures of lexical richness attempt to quantify the degree to which a writer is
using a varied and large vocabulary.” Thus, it can be summarized that lexical richness involves learner’s
ability to use a variety of lexical items in their speaking and writing. Therefore, a piece of writing with high
lexical richness will consist of vocabularies that are not often repeated, and vice versa.

RESEARCH METHODOLOGY
To measure the students’ vocabulary size, the Vocabulary Size Test by Nation and Beglar (2007) is
employed. The test consists of 140 multiple-choices items with vocabularies from different levels of word
frequencies. The test was distributed to 16 students of the English Language and Culture Department at
Bunda Mulia University. They had approximately 30 minutes to complete the test.
In addition, to measure their lexical richness, their essays from the Final Test for the Writing 2
subject are analyzed. The lexical richness is calculated by means of the Type-Token Ratio (TTR) proposed
by Templin (1957) as cited in Šišková (2012). This is one of the oldest but most common ways of measuring
an L2 learner’s lexical richness in writing. The formula for TTR is as follows:
number of types
Type Token Ratio = x 100%
number of tokens
To analyze the number of types and tokens in the students’ essays, the AntWordProfiler software (version
1.4.0) by Laurence Anthony (2012) is used.
Finally, to explore the relation between the students’ vocabulary size and lexical richness, the
Pearson product-moment correlation coefficient is employed. This is calculated with the help of SPSS
software version 16.0.

FINDINGS AND DISCUSSION


After administering the vocabulary size test and analyzing the students’ essays, the descriptive statistics and
summary of the students’ vocabulary size and lexical richness can be seen in the tables below.

45
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016

Table 1. Descriptive Statistics


Vocabulary Size TTR
N Valid 16 16
Missing 0 0
Mean 6768.75 32.0706
Median 6550.00 31.3550
Mode 5400a 22.70a
Range 5500 21.24
Minimum 5000 22.70
Maximum 10500 43.94
a. Multiple modes exist. The smallest value is shown

Table 2. Students’ Vocabulary Size and Lexical Richness


Students Vocabulary Size Types Tokens TTR
Student 1 8200 199 627 31.74%
Student 2 5000 124 343 36.15%
Student 3 6600 203 462 43.94%
Student 4 6500 166 536 30.97%
Student 5 6200 184 660 27.88%
Student 6 10500 199 567 35.10%
Student 7 5400 163 625 26.08%
Student 8 7200 188 635 29.61%
Student 9 5800 182 641 28.39%
Student 10 5900 166 427 38.88%
Student 11 5900 136 545 24.95%
Student 12 6900 226 526 42.97%
Student 13 7600 215 623 34.51%
Student 14 7500 159 484 32.85%
Student 15 5400 138 608 22.70%
Student 16 7700 220 833 26.41%
From the tables above, it can be seen that the vocabulary size of the students average at around 6769, with
the lowest score 5000 and the highest 10500. As for the lexical richness, which is shown by the value of the
Token Type Ratio (TTR), the average is around 32.07%. The lowest TTR is 22.70%, while the highest is
43.94%. In terms of vocabulary size, an average of approximately 6700 is considered adequate as studies
have shown that undergraduate non-native speakers of English with a vocabulary size of 5000-6000 words
have not had any major difficulties studying in an English speaking university (Nation, 2006). Nevertheless,
looking at the average for the TTR, it is found that the average is relatively low, i.e. only around 32% (the
higher the score, the better). This is actually not a very good result, as lower score means that the students’
writings are lexically poor. In other words, it means that they often repeat words over and over again and do
not employ a wide range of vocabulary in their writing.
Finally, to answer the main research question for this study regarding the relation between
vocabulary size and lexical richness, the two variables are calculated using the Pearson product-moment
correlation coefficient. The result is as follows:
Table 3. Correlation between Students’ Vocabulary Size and Lexical Richness
Vocabulary Size TTR
Vocabulary Size Pearson Correlation 1.000 .210
Sig. (2-tailed) .435
N 16.000 16
TTR Pearson Correlation .210 1.000
Sig. (2-tailed) .435
N 16 16.000

The findings show that between the two variables, there is no significant correlation as the result of the
Pearson product-moment correlation coefficient is only 0.210 (the closer the number is to 1, the stronger the
correlation). This means that vocabulary size does not directly influence the students’ ability to write using a
variety of lexical items. In other words, although the student may have a high vocabulary size, it does not
46
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
guarantee that he or she will be able to utilize his or her vocabulary to write a lexically rich piece of writing.
This can clearly be seen from table 2 above where student 6 who has the highest vocabulary size (10500)
only has a TTR of 35.10%, whereas student 3 who only has a vocabulary size of 6600, is able to produce an
essay with the highest TTR, i.e. 43.94%. Additionally, student 16 who has a vocabulary size of 7700, which
is higher than student 3, also only scored 26.41% in the TTR, which is one of the lowest results. Hence,
since there is no significant correlation between the two variables, whether the students possess a wide range
of vocabulary or not, it will not be clearly reflected in their writing.

CONCLUSION AND SUGGESTIONS


Based on the result of the current study, it is found that there is no significant correlation between the
students’ vocabulary size and lexical richness in writing. In other words, although a student may have a high
vocabulary size, it does not guarantee that he or she will be able to fully utilize that aspect of vocabulary
knowledge in his or her writing, in the sense that the high vocabulary size will not always be reflected in the
writing. Thus, it can be concluded that there is indeed a difference between receptive and productive
vocabulary. The vocabulary size test employed in this study only measures the receptive vocabulary, while
the students’ essays reflect the students’ productive vocabulary. Seeing as some students with high
vocabulary size scored relatively low in terms of lexical richness, it can be said that receptive and productive
vocabulary are different, in the sense that although the student is aware of certain words, those words may
not always be readily available to the student when writing an essay.
The implication of the findings for language teaching is that teachers should emphasize more on
productive vocabulary rather than just receptive vocabulary. Although the students may already understand a
lot of words, it is the responsibility of the teacher to make sure that the students are able to actually use the
words that they know in their speech and writing. Moreover, it is the duty of the teachers to find a way to
decrease the gap between receptive and productive vocabulary by employing various teaching methods and
techniques. It is also suggested that the students are given a lot of productive tasks that encourage them to
fully utilize the lexical items at their disposal. Of course, it should be noted that although the findings of this
research showed an insignificant correlation, it does not mean that the result is very conclusive, as the
number of respondents used in the study is quite small. Lastly, suggestions for further research may involve
the exploration of the relation between vocabulary depth and lexical richness, as depth deals with more
comprehensive aspects of vocabulary knowledge compared to vocabulary size.

REFERENCES
Alavi, S.M. and Akbarian, I. 2012. The Role of Vocabulary Size in Predicting Performance on TOEFL Reading
Item Types. System, 40, 376-385.
Anthony, L. 2012. AntWordProfiler (Version 1.4.0) [Computer Software]. Tokyo, Japan: Waseda University.
Azodi, N., Karimi, F., and Vaezi, R. 2014. Measuring the Lexical Richness of Productive Vocabulary in Iranian
EFL University Students’ Writing Performance. In Theory and Practice in Language Studies, Vol. 4, No.
9. Academy Publisher. pp. 1837-1849.
Laufer, B. and Nation, P. 1995. Vocabulary Size and Use: Lexical Richness in L2 Written Production. In Applied
Linguistics, Vol. 16, No.3. Oxford University Press. pp 307-322.
Nation, I.S.P. 2006. How Large a Vocabulary is Needed for Reading and Listening? Canadian Modern Language
Review, 63(1), 59-82.
Nation, I.S.P. and Beglar, D. 2007. A Vocabulary Size Test. The Language Teacher, 31(7), 9-13.
Pignot-Shahov, V. 2012. Measuring L2 Receptive and Productive Vocabulary Knowledge. Language Studies
Working Papers, 4, 37-45.
Schmitt, N. 2014. Size and Depth of Vocabulary Knowledge: What the Research Shows. Language Learning,
64(4), 913–951.
Šišková, Z. 2012. Lexical Richness in EFL Students’ Narratives. Language Studies Working Papers, 4, 26-36.
Wilkins, D. 1972. Linguistics in Language Teaching. London: Arnold.
Zhang, Y. 2014. A Corpus Based Analysis of Lexical Richness of Beijing Mandarin Speakers: Variable Identification
and Model Construction. In Language Sciences, Vol. 44. pp. 60-69.

CURRICULUM VITAE
Complete Name : Ardi Nugroho
Institution : Bunda Mulia University
Education : S2 in Applied English Linguistics, Atma Jaya Catholic University of Indonesia
Research Interest : • Semantics and Pragmatics
• Sociolinguistics and Corpus Linguistics

47
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
THE USE OF COOPERATIVE LEARNING IN DEVELOPING STUDENTS’ SPEAKING SKILLS

Devian Try Gustary Didi Sukyadi


Indonesia University of Education Indonesia University of Education
devyan_kavana@yahoo.com sukyadi@upi.edu

The teaching of speaking skills has become increasingly important in the English as a second or foreign
language (ESL/EFL) context. Nevertheless, lack of motivation, getting students to speak, and use of first
language are the biggest challenges in developing speaking skills. Additionally, most of the time teachers
dominate to talk in the classroom and students become passive listeners. An alternative way of teaching for
promoting students’ speaking can be found in cooperative learning since it provides the opportunity to
practice English and create active learning atmosphere for students to learn by themselves and from their
peers. Nevertheless, little attention has been paid to conduct cooperative learning in developing speaking
skills of secondary level especially in Indonesian context. Thus, this study aims to investigate how the
techniques of cooperative learning develop students’ speaking skills and to find out the benefits and
challenges during the implementation of cooperative learning in one vocational school in Cimahi. The study
employed qualitative research design, embracing characteristic of a case study and to some extent
practitioner research. The data were obtained from classroom observations, questionnaires, semi structured
interview and students’ spoken test. The results showed that despite some limitations; (1) the
implementation of cooperative learning elements in each technique had facilitated students to develop their
speaking skills especially in terms of their fluency, accuracy and confidence. This finding was also
supported by statistical calculation using pair T-test which showed that there was a difference in the
students’ speaking skills after they learned with cooperative learning techniques; (2) the benefits of
cooperative learning techniques involved three main categories which were achievement, interpersonal
relationships, psychological health and social competence;(3) nevertheless, time constraint leads to
inadequate time to practice students’ speaking especially in terms of their grammar, to proper
implementation the five elements of cooperative learning, and to teaching social skills; (4) thus, it is
suggested that the future researchers can conduct the similar study in more meetings to make sure that the
elements of cooperative learning and the social skills needed are applied in the teaching and learning process
and to ensure that the students have more practice in the target language.
Keywords: Cooperative Learning, Speaking skills, EFL

CURRICULUM VITAE
Complete Name : Devian Try Gustary
Institution : Indonesia University of Education
Education : S1 and S2 Indonesia University of Education
Research Interest : • Teaching Methodology
• English for Young Learners
• Material Development

48
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
WASHBACK OF ENGLISH NATIONAL EXAMINATION (ENE) ON ENGLISH TEACHERS’
TEACHING PROCESS AFTER REVISION OF ENE REGULATION
A case study at one State Senior High School in Bandung Regency

Diki Salman Alqo


Indonesia University of Education
salmanalqo@gmail.com

ABSTRACT
One of revisions of Government Regulation number 19 Year 2005 becomes Government Regulation number 13 Year
2015 regarding national standard of education is that the government does not use National Examination (NE) result
as one of bases to determine students’ graduation from schools has led the writer to investigate some wasback effects of
English National Examination after this revision on English teachers’ teaching process in the areas of teaching
process, teaching materials, and time allotment. To investigate the issue the writer distributed questionnaire that
covers the areas of teaching methods, teaching materials, and time allotment regarding the washback of NE on
teachers’ teaching process. Based on data collections it was found that English National Examination influences the
way teachers teach English in high intensity and it is said to have negative washback. These findings suggest that the
government need to identify and examine cases where washback is thought to have happened and to see how and why it
did or did not happen.
Keywords: washback, English National Examination, teaching methods, teaching materials, time allotment

INTRODUCTION
It is clearly stated in Government Regulation Number 13 Year 2015 that our educational system uses
examination as an assessment to measure students’ competence achievement as a recognition of study
achievement and/or completion from one education institution. One of the examination is in form of
National Examination. In further the regulation states that the result of this National Examination will be
used as a basis for: a) mapping quality of education institutions program; b) criterion for admission into
higher education; c) reference for giving guidance and assistance for education institutions for the sake of
improving education quality. It implies that this National Examination in this case English National
Examination (ENE) is very important and has significant influence that requires both students and teachers
to prepare for it. The present government regulation above regarding national standard of education is a
revision of the previous government regulation number 5 Year 2005 where previously the National
Examination was used as one of bases to determine students’ graduation from school.
Some researches have been conducted regarding the washback effects of English National
Examination (ENE). For example, Sukyadi and Mardiana (2011); Mutiarawati (2013); and Furaidah,
Saukah, & Widiati (2015). They found that ENE tends to contribute negative wasback. All those researchers
did their researches when ENE was used as a basis to determine students graduation from schools
(Government Regulation No. 5 Year 2005) hence they all categorized this ENE as a high stakes test.
According to Madaus (1988) and Popham (1987) as cited in Mutiarawati (2013) high stakes test is believed
to have significant effects to test takers and other people concerned.
Now, the situation is different. Government does not use the result of National Examination as a
basis to determine students graduation (Government Regulation No. 13 year 2015) but as the writer has
mentioned above. This different condition has led the writer to conduct further research regarding the
wasback effects of ENE after the revision of its regulation particularly in English teachers’ teaching process
that includes teaching methods, teaching materials and time allotment. Hence, the purpose of this study is to
investigate washback effects of English National Examination after the revision of its regulation on English
teachers in their teaching process in the areas of teaching methods, teaching materials, and time allotment.

WASHBACK, WHAT IS IT?


It is called “Washback” when the test gives effect on teaching and learning process of both teachers and
students in preparing for it (Brown, 2004; Aldersen & Wall, 1993; Green, 2013). In addition Hughes (2003)
in Ren (2011) defines wasback as positive or negative influence of test in teaching and learning process.
Wall (1997) as cited in Cheng & Curtis (2004) differenciate between test impact and test washback in term
of the the scope of the effects. According to Wall, impact refers to “any of the effects that a test may have on
individuals, policies or practices, within the classroom, the school, the educational system or society as a
whole”, whereas washback refers to “the effect of tests on teaching and learning”. This washback has
become an increasingly popular and prominent phenomenon in education-“what is assessed becomes what is

49
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
valued, which becomes what is taught” (McEwin, 1995) as cited in Cheng & Curtis (2004). Watanabe as
cited in Cheng & Watanabe (2004) has conceptualized some dimensions of washback as follows:
1. Specificity. Wasback may be general or specific. General washback means a type of effect that may be
produced by any test. For example, if a hypothesis says that a test motivates learners to study harder than
they would otherwise. Specific washback refers to a type of washback that relates to only specific aspect
of a test or one specific type. For example, teachers and students emphasize listening aspect in their
teaching and learning process due to this listening component will be included in the test.
2. Intensity: washback may be strong or weak. If the test has a strong effect, then it will determine
everything that happens in the classroom, and will lead all teachers in the same way toward exams. On
the other hand, if a test has a weak effect, then it will affect only a part of the classroom events, or only
some teachers and students, but no others.
3. Length: the effect of exams, if it is found to exist, may last for a short period of time, or a long time. For
example, if the effect of an entrance test is present only while the test takers are preparing for the test,
and the effect disappears after entering the institution, this is called short-term washback. While, if the
effect continues after they enter the institution, this is called long-term washback.
4. Intentionality: Messick (1998) as cited in Cheng & Watanabe (2004) implies that there is unintended as
well as intended wasback by stating, “Judging validity in terms of whether a test does the job it is
employed to do requires evaluation of the intended or unintended social consequences of test
interpretation and use. The appropriateness of the intended testing purpose and the possible occurrence
of unintended outcomes and side effects are the major issues”.
5. Value: Examination washback may be positive or negative. Pearson (1988) as cited in Cheng & Curtis
(2004) states that negative washback happens when the effect fails to reflect the learning principles and
course objectives to which the test supposedly relates, while positive wahback happens when the effects
are beneficial and “encourage the whole range of the desired changes”. On the other hand, Alderson and
Wall (1993) in Cheng & Curtis (2004) stressed that the quality of a test (good or bad) may result in
beneficial or detrimental wasback effects.
In addition Spratt (2005) explains four main categories that affect washback as follow:
1. Teacher-related factors
Teacher has crucial position in causing the occurrence of washback, how and to what extent. There are
four main factors: 1) beliefs; 2) attitudes; 3) education and experience; 4) personalities.
There are some factors that influence washback regarding the teacher’s beliefs: the teacher’s beliefs
about the reliability and fairness of the test (Smith, 1991), about what constitute effectiveness of
teaching methods (watanabe, 1996), about how much the test infringes their current teaching practices
(Aldersen and Hamp Lyson, 1996), about the stakes and usefulness of the test (Shohamy et al., 1996),
teacher philosophy (Lam, 1994), teacher’s beliefs about the relationship between the test and the
textbook (Wall and Alderson, 1993) and teacher’s beliefs about students’ beliefs (Alderson and Hamp
Lysons, 1996).
Next, teachers’ attitudes toward the test: according to Alderson and Hamph Lyson (1996) explains how
teacher attitudes toward the test influence if and how teachers prepare their classroom materials and
lessons. Turner (2001) states that teachers’ attitudes toward a test become more positive or promote
more positive washback when the teacher are involved in process of constructing a test.
Next, in relation to teachers’ education and experience (Watanabe, 2000), how many times teachers
attended general methodological training (Andrews, 2001), their training in teaching towards particular
test and in how to use test related textbooks (Wall and Aldersen, 1993), their access to and familiarity
with test support materials such as test specifications, and their understanding of the the test’s rationale
or philosophy (Cheng, 1997; Wall and Alderson, 1993).
Teachers’ personalities and willingness to innovate are also can influence the occurrence of washback
(Alderson and Hamp Lyson, 1996).
2. Resources
Availableness of test specifications and test support materials for teachers ( Shohamy et al., 1996;
Watanabe, 2000) and the kinds of textbooks available (Cheng, 1997; Hamp Lyson, 1998).
3. The school
School contributes the occurrence of wasback as follows: learning atmosphere and culture (Watanabe,
2000); administrator intervention towards teahers’ achievement (Smith, 1991; Shohamy et al., 1996);
and the amount of time and number of students allocated to test classes (Alderson and Hamp Lyson,
1996; read and Hayes, 2003).

50
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
4. The test
The test itself can influence the wasback to happen. Proximity, stakes, language, purpose, and formats that
the test uses are some factors that can influence extent and types of washback (Shohamy et al., 1996), the
weighting of individual papers (Lam, 1994), familiarity of test to teachers ( Andrews et al., 2002).

METHOD
This study employed a case study design that concerned with the exploration of washback effects of English
National Examination (ENE) on English teachers’ teaching process particularly in the areas of teaching
methods, teaching materials, and time allotment. This study was conducted at one State Senior High School
in Bandung Regency. This study involved three English teachers as participants of the research. The writer
used questionnaires adopted from the research of Mardiani (2011) as cited in Mutiarawati (2013). The
questionnaire consists of nineteen questions in closed questions form which cover the areas of teaching
methods, teaching materials, and time allotment as the areas that are the writer interested in for investigating
the washback effects of ENE. The type of this closed questionnaire was Likert-Scale with five choices:
strongly disagree, disagree, no opinion, agree, and strongly agree (Dorney, 2003) which are intended to
guide the participants for answering in order to focus on the inquiry.

FINDINGS AND DISCUSSION


Based on the questionnaires, there are three areas that are discussed which are affected by wasback effects of
English National Examination after revision of its regulation on English teachers’ teaching process. The
areas include teaching methods, teaching materials, and time allotment.
Teaching Methods
Category SA A NO D SD
Implement activities that may promote the students’ test taking skills 1 2
Arrange classroom activities based upon different factors but not just based upon the
2 1
objectives of NE
Teach test-taking strategies, especially as the NE dates get closer 1 2
Select some teaching methods in a way that tend to help the students succeed on NE 1 2
Select some teaching methods that tend to help develop students’ skills which are more
3
likely to be tested on NE
Neglect some teaching methods that are unable to prepare the students for NE 1 1 1
Teaching has been influenced by the NE 3
Rarely select some teaching methods that tend to help the students succeed on NE 3
Adjust the sequence of teaching objectives based on NE 3
The table displays that all participants used to implement activities that promote the students’ test
taking skills. Then, two participants used to arrange classroom activities based upon different factors but not
just based upon the objectives of NE, but one participant used to. Next, they used test-taking strategies,
especially when the NE event was getting closer. Next, all participants selected teaching methods that tend
to help and develop students’ skills to succeed on NE. Next, one participant used to neglect some teaching
methods that did not give contribution to her students for facing NE, but one participant disagreed with this
idea. Next, all participants confessed if their teaching methods were affected by NE. Next, all participants
used to select some teaching methods that tend to help the students succeed on NE. Then, all participants
used to adjust the sequence of teaching objectives based on NE.
Based on the data, the washback effects of NE on teaching methods could be categorized as a
negative washback in high intensity. Cheng (2005) states that washback intensity refers to the extent to
which participants will adjust their attitude to meet the demands of a test. Hughes (1993) recommended that
washback should be anticipated when participants are a) motivated to succeed on the test, b) believe they
know how to be successful and c) believe they have sufficient resources to succeed.
Teaching Materials
Category SA A NO D SD
Use materials in addition to the textbook if they will help the students’ succeed on NE 1 2
Give the students worksheets to review questions expected to be on NE 3
Give the students NE previous test in order to familiarize them with NE 1 2
Choice of supplementary materials is influenced by NE 1 2
Skip over certain sections in the textbook because they are less likely to be tested on NE 2 1
Include some relevant content to help the students perform well on NE 1 2
Display the objectives of NE throughout course content 2 1
Cover every section in the textbook although some sections are unlikely to be tested on NE 1 2

51
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
From the data, it can be concluded that all participants used to use materials in addition to the
textbook to help their students succeed on NE. Then, the participants used worksheet to review questions
that are expected to be on NE and also gave the students NE previous test to make their students familiar
with NE. Next, in using a textbook two participants skipped over certain sections they thought less likely to
be tested on NE, but one participant disagree with this point. Next, all participants included some relevant
content to help their students perform well on NE.
The findings from the questionnaire are in line with McEwen (1995) in Ӧzmen (2011) who states:
“what is assessed become what is valued, which becomes what is taught”.
Time Allotment
Category SA A NO D SD
Feel time allotment in class would be different if NE were cancelled 1 2
Spend more time instructing reading other than communication skills because reading
3
takes greater part to be tested on NE
From the table, we can see that one participant agreed that she would arrange time allotment for
teaching differently if ENE was canceled. On the other hand, two participants had no opinion about this idea.
Next, all participants allocated more time for teaching reading skill rather than three other skills that is
listening, speaking, and writing because reading material would take more portion on the NE.

CONCLUSIONS
From the findings of this study, it can be concluded that the English teachers’ teaching process who are
involved in this study were still affected by English National Examination in three areas that were
investigated that is teaching methods, teaching materials, and time allotment. In the area of teaching methods
and teaching materials the findings showed that the washback is negative. The participants taught the
students to succeed on NE. According to Pearson (1988) in Cheng & Curtis (2004), a test’s washback effect
will be negative if it fails to reflect the learning principles and course objectives to which the test supposedly
relates, and it will be positive if the effects are beneficial and “encourage the whole range of desired
change”. In the area of time allotment the findings also indicated the negative washback where the teachers
involved in this study spent more time for teaching materials that are belieived to be tested on NE. Alderson
& Wall (1993) explain that negative washback often happens when the teachers feel worried about the poor
result and feel guilty when their students fail to achieve the highest score in tests. This situation caused the
teachers to practice teaching for the test.

RECOMMENDATIONS
Based on the findings of the study, the writer recommends some recommendations as follows:
1. The writer only used single data collection in this study that is questionnaire as it is only a mini research.
In this case, the further research is suggested to use interview and observation in order to validate the
data from questionnaire.
2. This study only focused on investigation of wasback effect of English National Examination on English
teachers’ teaching process in three areas that is teaching methods, teaching materials, and time
allotment. In this case, the next research is recommended to consider more areas to be investigated such
as students’ learning.
3. Since the English National Examination gives the negative washback to teachers’ teaching process after
revision of its regulation as it is found in this study, it is recommended that the government need to
identify and examine cases where washback is thought to have happened and to see how and why it did
or did not happen.

REFERENCES
Alderson, C. J., Wall, D. 1993. Does Washback exist? Applied Linguistics,4(2), 115-129.
Brown, H.Douglas. 2004. Language Assessment: Principle and Classroom Practice. White Plains, NY: Pearson
Education.
Cheng, L., & Curtis, A. 2004. Wasback or Backwash: A review of the impact of testing on teachingand learning. In L.
Cheng, Y. Watanabe, & A. Curtis (Eds.), Washback in Language Testing: Research Contexts and
methods(pp.3-17). Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum.
Dorney, Z. 2003. Questionnaires in Second Language Research. New Jersey: Lawrence Erlbaum.
Furaidah, Saukah, A., Widiati, U. 2015. Wasback of English National Examination in the Indonesia Context. TEFLIN
Journal, Volume 26, Number 1, January 2015

52
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Green, A. 2013. Washback in Language Assessment. International Journal of English Studies.
Jones, B., Egley, R. 2004. Voices from Frontlines: Teachers’ Perceptions of High Stakes Testing. Education Policy
Analysis Archives Volume 12 No. 38.
Mutiarawati, R. 2013. A Thesis: The Washback Effects of English National Examination on English Teachers’
Teaching Process: A case study at one Junior High School in East Bandung. Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia.
Ӧzmen, K.S. 2001. Analyzing Washback Effect of SEPPPO on Prospective English Teachers. The Journal of Language
and Linguistic Studies, 7(2), 24-52.
Salinan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 13 Tahun 2015. Tentang Standar Nasional Pendidikan.
Spratt, M. 2005. Washback and the Classroom: The Implications for teaching and learning studies of washback from
exam. Language Teaching Research, 9(1), 5-29.Mardiana
Sukyadi, D., Mardiani, R. 2011. The washback Effect of the English National Examination on English Teachers’
Classroom Teaching and Students’ Learning. k@ta.
Watanabe, Y. 2004. Methodology in Washback Studies. In L. Cheng, Y. Watanabe, & A. Curtis (Eds.), Washback in
Language Testing: Research Contexts and methods(pp.3-17). Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum.
Ren, Y. 2011. A study of washback effects of the college English test (band 4) on teaching and learning English at
tertiary level in China. International Journal of Pedagogies and Learning.

CURRICULUM VITAE
Complete Name : Diki Salman Alqo
Institution : Indonesia University of Education
Education : Indonesia University of Education
Research Interest : English Teaching

53
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
STUDENTS’ PERCEPTION OF PEER EVALUATION IN ORAL PRESENTATION AT THE
UNIVERSITY OF INDONESIA

Herland Franley Manalu


University of Indonesia
herland.franley@gmail.com

ABSTRACT
This study aims at examining students’ perception of peer evaluation in a group oral presentation by English for
Academic Purposes (EAP) students at the University of Indonesia. Questionnaires were administered after the peer
evaluation process to 65 students studying EAP taught at the University of Indonesia. The peer assessment was
incorporated into the course to seek out whether and to what extent their speaking skills may enhance and to
investigate students’ attitudes towards this form of evaluation in oral presentations. Data were obtained through a
Likert scale questionnaire of peer evaluation. Data were analyzed using SPSS Software. The results specified a
statistically significant result of the use of peer evaluation in oral presentation. The findings of the present study
suggest that, when assessment criteria are definitely established, peer assessment empowers students to evaluate the
performance of their peers in a manner comparable to those of the teachers. The responses from the questionnaires
show that the evaluation and comments given by students were considered fair, useful and sufficient. Results also
suggest that students strongly agree to the use of this methodology because comments and evaluations given are useful
for making improvements. Nevertheless, the students preferred teachers to peers to evaluate their performance in the
discussion and they wanted to get more instructive comments from the teachers. As for its limitations, students highlight
the responsibility that comes with it and a certain amount of distrust in fellow students’ abilities to peer-assess. The
teacher’s possible roles in peer evaluation are presented at the conclusion of this study.
Keywords: Assessment, Peer Evaluation, Oral Presentation

BACKGROUND
Assessment is an essential element in the checking quality of teaching and learning in higher education. To
produce the good quality of their teaching and learning, the educational institutions should design their
assessment specifically. Well-designed assessment specifies clear expectations, sets a reasonable workload
and provides opportunities for students to self-monitor, rehearse, practice and receive feedback. Assessment
of students' learning is clearly at the core of universities’ business because the function of assessment in the
universities is to shape students’ competencies and skills (Gibbs, 2006).
Over the past twenty years, there have been increasing attempts on the part of university teachers to
involve their students in the assessment and evaluation process, to assist teachers in judging student
performance. This is intended to help teachers reduce the heavier scoring loads which have been brought
about by the large increases in university enrolments which have occurred over this period. Topping (2009)
mentions economical benefits in terms of reducing teaching workload by adopting peer assessment. When
the students are given the opportunity to give the feedback and do the assessment, they can judge the
performance of their classmates quite accurately.
Peer evaluation is one example of alternative form of assessment method which involves students in
the evaluation process and is likely to contribute positively in increasing student-student and student-teacher
interactions and enhance a learner’s understanding of other students’ idea during learning (Lu, 2013). The
other benefits of peer evaluation are increasing student responsibility and autonomy, evaluating skill
development, giving insight into assessment procedures and expectations for high quality work, making
students work harder with the knowledge that they will be assessed by their peers (Walker, 2001).
Even though most research, focusing on peer assessment, gave some compelling justification and
showed some evidence of increasing implementation, it is suggested that many EAP courses in some
Indonesian universities are still failing to incorporate peer assessment for either formative or summative
assessment. The reason for this is likely to be the implementation of peer assessment is notoriously
problematic, particularly in terms of concerns regarding reliability and validity and resistance from students.
Some studies have raised issues relating to the reliability of marks, the potential for group and gender bias
and acceptance by students (Cassidy, 2006; Walker, 2001).
Moreover, the findings of Cheng and Warren (2005) showed that students reflected a low level of
comfort in a peer assessment situation, and a low degree of confidence in their personal peer assessment
skills. This suggests that low self-efficacy levels for peer assessment skills can affect the nature and quality
of peer assessment. Langan et al. (2005) showed obvious problems with anonymity when the course
implemented peer evaluation in oral presentations. Lack of anonymity may lead to assessment bias. These
authors also detected gender effects and found that peers rated students from the same university slightly
higher than students from other universities. Falchikov (2005) cites a study of Lapham and Webster of 1999

54
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
who mention bias when peers are asked to mark seminar presentations. Lastly, Sellnow and Treinen (2004)
report that neither the gender of the presenter, nor the gender of the assessor, affects overall peer assessment.
Peer evaluation recently has been often used as an alternative assessment method, particularly in
public speaking classes in EAP course at the University of Indonesia. However, there were only a small
number of studies explore the views students hold about peer assessments of oral presentation skills in
Indonesian universities. It needs some more strong evidence in the implementation of peer evaluation in
higher education whether the students give positive view on this assessment method. Therefore, this study
aims to seek out for students’ perception of peer evaluation whether and to what extent their oral
presentation skills may enhance, to explore student engagement in peer evaluation activities in English and
to investigate student attitudes towards this form of evaluation in oral presentations.

METHOD
Subjects
The participants in this study were 65 first-year students studying EAP at the University of Indonesia. The
English language is taught as an obligatory course which includes two and a half hours of formal instruction
a week over a period of one semester. The students conduct the oral presentation and do the peer evaluation
activity in the end of the programme.
Data Collection
A questionnaire was designed to determine students’ opinions of the peer evaluation process as well as their
perception of its value. The first question was asked to determine if the students had any previous experience
with peer evaluation before entering university. The students are then asked to indicate their level of
agreement with the statements, ranging from ‘‘strongly disagree’’ to ‘‘strongly agree’’ using a 5-point Likert
scale. All students were asked to fill out the questionnaires after they had finished the peer evaluation
process. No incentives were offered for completion of the survey. All responses were anonymous.

RESULTS AND DISCUSSION


Based on the result of the statistical analysis produced by the SPSS v.20 software, there were 55.4% students
already had the peer evaluation and 44.6% never had it before. The overall results are shown in the
following table.
Table 1. Results of Peer Evaluation Survey
Level of
Statements n Frequency Percent
Agreement
I provide honest feedback when I evaluate my classmates' presentation 65 35 53.8 Agree
I am fair and objective when I grade my peers 65 34 52.3 Agree
I am comfortable providing face-to-face feedback to my colleagues 65 29 44.6 Agree
I work harder when I grade my peers and am being graded by them 65 38 58.5 Agree
I try harder to attend all meetings than I will have when my peers grade me 65 34 52.3 Agree
I think that the comments and evaluations given are useful for making
65 34 52.3 Strongly Agree
improvements
I enjoy the presentation as an evaluator 65 35 53.8 Agree
I enjoy the presentation as an evaluatee 65 32 49.2 Agree
Peer evaluations provide information on things that the lecturer does not see 65 31 47.7 Agree
My peers can provide me with useful feedback on my performance 65 34 52.3 Agree
It improves communication, when we grade each other – ex: everyone’s
65 35 53.8 Agree
opinion is heard
Peer evaluation is important for my English skills development 65 29 44.6 Agree
Adding peer evaluation to the English for Academic Purposes course has
65 33 50.8 Agree
improved the evaluation system
Table 1 shows a summary of the overall response for the individual statements, with the level of
agreement. The most frequent level of agreement towards the statements selected by students is taken from
the statistical software to show the students’ preference.
53.8% students (35 of 65 respondents) indicated that they provide honest feedback when evaluating
their classmates’ presentation, 52.3% (34 of 65 respondents) showed that they are fair and objective when
grading their peers, and 44.6% (29 of 65 respondents) thought that they are comfortable providing face-to-
face feedback to their colleagues.

55
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Approximately half of the students felt that they work harder when they grade their peers and are
being graded by them (38 of 65, 58.5%) and tried harder to attend all meetings than they will have when
their peers grade them (34 of 65, 52.3%). On the other hand, the same number of students strongly agreed
that the comments and evaluations given are useful for making improvements. Thirty five students (53.8%)
agreed that they enjoy the presentation when evaluating and 49.2% (32 of 65) indicated that they enjoy the
presentation when evaluated.
There were 31 students (47.7%) indicated that peer evaluations provide information on things that
the lecturer does not see. 34 students (52.3%) agreed that their peers can provide them with useful feedback
on their performance. When they grade each other, 35 students (53.8%) felt that peer evaluation improve
their communication. 29 students (44.6%) agreed that peer evaluation can develop their English skills. There
were about half of the students felt that adding peer evaluation to the EAP course has improved the
evaluation system (33 of 65, 50.8%).
Table 2. Which Evaluator Is Optimal to Evaluate Your Speaking Skill?
Frequency Percent
Peers 21 32.3
Teachers 35 53.8
Valid
Peers and Teachers 9 13.8
Total 65 100.0
Table 2 shows the optimal evaluator to rate students’ speaking skill. There were 53.8% students thought that
teachers are more optimal than peers. The result indicates while students welcome peer evaluation in some
form, they are uncomfortable taking on the responsibility of assessment. The reasons why students felt that
teachers are more optimal evaluator might include: lack capability to properly assess and high levels of
subjectivity; too much responsibility and uncomfortable with the feeling of ‘power’; lack of formal training;
confidentiality and the opportunity for other students to use their ideas (Walker, 2001); and lack of an
explicit educational rationale for peer evaluation and the belief that teachers are more knowledgeable than
students. Some respondents of this study were concerned about their inexperience in marking, they felt
uncomfortable critiquing others’ work and remarked that their marking input was not taken seriously
because it was not considered when calculating the final mark. Students also complained about the time
consuming nature of the activity and asked feedback as to their involvement in the assessment.

CONCLUSION
The findings of the present study confirm the findings of previous studies (Cassidy, 2006; Lu, 2013;
Topping, 2009) which reveal that involving students in the peer evaluation is very beneficial for developing
students’ oral presentation skills. Based on the result of the questionnaires analysis, the students felt that it
was fairer and important to include them in the assessment because they worked harder to grade their peers
and were aware that their efforts would affect their own mark. The present study also suggests that, when
assessment criteria are definitely established, peer evaluation empowers students to evaluate the
performance of their peers in a manner comparable to those of the teachers because the students can give
useful feedbacks and provide information on things that the teacher does not see. Students also feel
comfortable when they provide face-to-face feedback and it contributes to improving their communication
skills because students’ opinions are heard.
Some respondents suggested that there is need to conduct some training on how the peer evaluation
works because adding peer evaluation to the EAP course has improved the evaluation system. Therefore, it
will be important for universities to embrace culture change among the academic staff to enable them easily
adapt to new methods of evaluation. Training is very important when introducing new concepts or change in
an organization. There is need for universities to conduct training to the academic staff and train them how it
is supposed to be carried out. Through training, the teachers will be able to effectively adopt the system and
reduce any inefficiency that may affect its implementation. The need to change university exam policies was
also an important factor that needs to be considered. The universities need to change their policies to include
peer evaluation as one of the recommended methods of assessment at university level.
The limitation of this study is it fails to discuss the objectivity of scoring factors which may have
inhibited peer evaluation. The students could assess their peers fairly and objectively but doubted the
objectivity of others, especially in relation to the assessment of friends. The objectivity of the students can
be improved if the teacher plays his/her role during the evaluation process. Therefore, teachers’ possible
roles are involved in the process of peer evaluation and encourage students to participate positively.
Teachers are also asked to give initial instructions followed by continuous monitoring of the situation and
are required to uncover and fix problems as soon as possible (Topping, 2009).
56
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
A similar study can be conducted to explore the use of peer evaluation practice among universities.
A larger sample could also be considered. A study can also be conducted to determine the perception of the
university policy makers on peer assessment exercise.

REFERENCES
Bachman, L.F. 2004. Statistical Analyses for Language Assessment. Cambridge: Cambridge University Press
Bachman, L.F. & Palmer, A. 2010. Language Assessment in Practice. Oxford: Oxford University Press.
Cassidy .S. 2006. Developing employability skills: Peer assessment in Higher Education, Education and Training
journal, Vol. 48, No. 7, PP 508-517
Cheng, W. & Warren, M. 2005. Peer assessment of language proficiency, Language Testing, 22(1): 93-121.
Falchikov, N. 2005. Improving assessment through student involvement. Practical solutions for aiding learning in
higher and further education. New York: RoutledgeFalmer.
Gibbs, G. & Thompson. 2006. How assessment frames student learning, in C. Bryan & K. Clegg (Eds.), Innovative
assessment in higher education, pp. 23-36. London: Routledge.
Kovac, M. & Sirkovic, N. 2012. Peer Evaluation of Oral Presentations in Croatia. English Language Teaching, Vol. 5,
No. 7. http://www.ccsnet.org/elt.
Langan, A., Wheater, C., Shaw, E., Boyle, J., et al. 2005. Peer assessment of oral presentations: effects of student
gender, university affiliation and participation in the development of assessment criteria, Assessment &
Evaluation in Higher Education, 30 (1): 21-34.
Logan, E. 2009. Practitioner Research in Higher Education Vol. 3 (1): P.29-35. University of Columbia
Lu, X. 2013. World Transactions on Engineering and Technology Education. Vol. 11, No. 4
Sellnow, D., & Treinen, K. 2004. The role of gender in perceived speaker competence: an analysis of student critiques,
Communication Education, 53(3): 286-296.
Topping, K. 2009. Peer assessment, Theory Into Practice, 48: 20-27.
Uyanto, S. 2009. Pedoman Analisis Data Dengan SPSS (Edisi 3). Yogyakarta: Graha Ilmu
Walker, A. 2001. British psychology students' perceptions of group work and peer assessment, Psychology Learning
and Teaching, Vol. 1 No.1, pp.28-36.
Wiradisastra, G., Halimi, S., Poerwoto, C. et al. 2015. Modul Program Pengembangan Kepribadian Pendidikan
Tinggi: MPK Bahasa Inggris. Depok: Universitas Indonesia.

CURRICULUM VITAE
Complete Name : Herland Franley Manalu
Institution : University of Indonesia
Education : S2 University of Indonesia
Research Interest : • Language Assessment
• Language Teaching

57
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
THE NARRATIVE SYNTAX OF THE LITTLE PRINCE: A SEMIOTICS ANALYSIS

Jeanyfer Tanusy
Universitas Pendidikan Indonesia
jeanyfer.tanusy@gmail.com

ABSTRACT
Stories have always fascinated people of every age, place, and social class. A story, whether it is a fictional or non-
fictional narrative, is something that cannot be separated from humans’ lives as people, without realizing it, tell stories
when they speak about their experiences. A narrative comes in a lot of structures—from the simplest ones such as
stories for children to the most complex ones like histories—and for so many years a lot of people are interested in
finding if there is one structure that underlies every structure of stories. These narratologists invented theories and
developed them to find this universal structure applicable to every narrative structure, and some of them claimed that
they have found one. This article focuses on applying the two of the narrative syntax theories proposed by Algirdas
Greimas to find the basic structures of fairy tales, namely the Narrative Quest Model and the Actantial Model, to
analyze a children’ story written by a French Author Antoine de Saint-Exupéry, The Little Prince, which, despite the
title, is not a fairy tale. As Greimas’ claims to have found theories which are applicable to all narrative structures, the
writer is interested to see whether the two chosen theories are indeed applicable to a modern story. The theories are
not used to explore the theme or the message that underlies the story; instead it focuses mainly to find the basic
structure of the narrative as trajectory and the schema or paradigmatic connection among the major elements in the
story. The research uses descriptive qualitative approach in which the data are obtained through a series of thorough
reading before the story is redacted into a summary. Afterwards, the summary is divided into smaller narrative units
using the Narrative Quest Model and the major elements and characters of the story are selected based on their
functions in Greimas’ Actantial Model.
Keywords: semiotics, narrative syntax, children book, actantial model, narrative quest model

INTRODUCTION
There are a lot of ways in which we can define what a narrative is—one of which is that narrative is “the
representation of an event or a series of event” (Abbott, 2008). As Abbott (2008) put it, narrative “comes to us
so naturally that, when we start to examine it, we […] discovered [that we] had been speaking prose [...]
without knowing it.”
The word ‘narratology’ was first coined by Tzvetan Todorov (Noth, 1995). Since the term was proposed,
both theoretical and applied narratology have progressed and established itself in the sciences of discourse such as
anthropology, philosophy, theology, journalism, and many other disciplines. Structuralist Roland Barthes gave a
great contribution to the field of narratology. According to Noth (1995), Barthes proposed to differentiate
narrative works into three different levels: functions, actions, and narrative communication. His view of
narratological model being the minimal unit of a narrative was also held by the Russian narrative theorist
Vladimir Propp, whose book Morphology of the Folktale (1928) is “the point of departure of a narratology”
(Noth, 1995). In this book Propp reduces the formula of Russian fairy tales into around thirty ‘functions’ and
seven ‘roles.’ Departing from this, Algirdas Greimas proposed a narrative grammar which he claimed able to
generate the syntax of any narrative. Noth (1995) states that narrative syntax is the rules of combination of
‘narremes,’ a concept of a minimal constituent of a narrative, into a narrative.
This study focuses on the surface of the text instead of the underlying message of the story. Using
Greimas’ Narrative Program/Quest theory, the structure of the narrative is explored in its syntagmatic level while
the Actantial Model theory will explore the narrative in its paradigmatic level as mentioned by Marsen et al.
(2003). The two theories have been applied to explore fairy tales and other types of writing, and should Greimas’
claim that his theories are applicable to every narrative structure and that every story, as Chandler (2002) puts it,
shares ‘a common grammar,’ then it will also be applicable to the chosen source of data, The Little Prince.

METHOD
This study uses qualitative approach to analyze the data, which are in the form of a narrative text. Greimas’
theories, Narrative Quest and Actantial Models are used to see the syntagmatic and paradigmatic structure of
the story. The data are selected by doing extensive reading followed by breaking the narrative into small
units as suggested by Barthes (Chandler, 2002) to find the major elements of the narrative, which are then
placed into Greimas’ two models.

58
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Theory
Greimas’ Narrative Quest Model
The narrative quest model proposed by Greimas is in the level of narrative as trajectory, which Marsen et al.
(2003) describes as “[favoring] the verbal (referring to actions) as opposed to the nominal (referring to objects)
aspects of narrative.”
A narrative usually begins with a problem to be solved and ends with the problem being solved or
remained unsolved. In their article, Marsen et al. (2003) also notes that even though one action is followed by
another, it does not mean that the second action that happens is generated by the principle of causality. The
following figure shows a simple structure of a narrative:

Initial problem Actions and performers Resolution

Greimas’ narrative quest model is a significant development in the study of narrative as trajectory. Marsen et
al. (2003) stated that the Subject/Hero of this model does actions to solve the problem by undergoing several
tests divided into several stages, which can be linked to three sets of actions:
1. Qualifying Test which corresponds to competence. The Subject/Hero has resources to help bring them
to another stage.
2. Decisive Test which is linked to performance. The Subject/Hero uses the resources to deal with the
action based on the initial problem.
3. Glorifying Test corresponds with recognition, which suggests either a solution or lack thereof for the
closure of the problem.
Greimas’ Actantial Model
Actantial Model simplifies Propp’s and Souriau’s theories into paradigmatic oppositions called ‘actants,’ a
term referring to the functions and roles of each element in a narrative (Noth, 1995). Chandler (2002)
mentions the simplified version of the actants as follows:
1. Subject: the element who seeks
2. Object: the element which is sought for by the subject
3. Sender: the element that sends the object
4. Receiver: the destination (not necessarily a place)
5. Helper: the element that assists the subject
6. Opponent: the element that hinders or blocks the subject
Greimas’s actantial model is further developed into three different axes of actantial description as mentioned
by Hébert (2011):
1. The axis of desire/project speaks of two opposite actants, Subject and Object, and the ‘junction’
(relationship) between them. ‘Conjunction’ is a positive relationship where the Subject wants to be
together with the Object, and the negative relationship where the Subject wants to part with the Object is
‘disjunction’.
2. The axis of power/conflict talks about the relationship between the Helper and the Opponent. The
helper’s role is to ensure that the wanted junction between the subject and the object is achieved while
the opponent ensures otherwise.
3. The axis of transmission/knowledge/communication establishes the relationship between Sender, the
element asking for the junction between the Subject and the Object; and Receiver, the element which
may gain profit from the establishment of the junction.
The actantial model is a concept which may be visualized into the following diagram:

Sender Object Receiver

Communication axis
Project axis
Conflict axis

Helper Subject Oponent

59
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Application of the Narrative Quest Model
Greimas’ narrative quest and actantial models are said to be applicable to all narrative structure, and it is
believed that the first step to analyzing a story using these models are by summarizing the story.
The outline of The Little Prince story is as follows:
The narrator of The Little Prince is an adult pilot who is stranded in the desert after his plane
crashes during a flight. He meets a boy which he calls the Little Prince. The narrator believes
him to have had come from another planet—an asteroid named Asteroid B-612. It is told that
the Little Prince leaves his home planet because he feels that he could no longer stand the
demands of his rose. On his journey from one asteroid to another the Little Prince meets several
characters before he finally arrives on Earth. The first character he meets on planet Earth is a
snake, who offers to help him return to his home planet when he is ready to leave as he poses
that the Little Prince may not be able to take his body back to his home planet due to the far
distance. The narrator, who grows fond of the Little Prince, does not want him to leave. The
story ends with the snake biting the Little Prince to ‘help’ him to return to his planet.
The above summary is the basis of the application of Greimas’ Narrative Quest Model. Placing the Little
Prince in the element of Subject/Hero brings the following structure:
• Main action: the Little Prince wants to return to his home planet and his Rose; he uses the help of the
Snake to achieve his goal.
• The narrative sequence:
o Initial problem: The Little Prince is unable to return to his home planet due to its distance
o Qualifying test: The Little Prince needs a way to return to his home planet and he meets the Snake who
is willing to help him.
o Decisive test:
1. The Little Prince has to return to the place where he first arrives to planet earth on the exact day.
2. The Little Prince has to allow the snake to bite him.
o Glorifying test: The Little Prince leaves planet earth.
Application of the Actantial Model
Just as the Narrative Quest Model, this model also uses the summary as the basis to select the Subject of the
story. The Subject is usually the element or character that moves the plot of the story, and based on Greimas’
description of what property an element should have to be a Subject, it is seen that the Little Prince is a
suitable character to fit the role of a Subject in this model.
Having chosen a Subject, the other elements may then be put into place by breaking down the story
into the following actants:
Subject ………………………………. The Little Prince
Object .……………………………….. Asteroid B-612, The Rose
Sender ………………………………... The Rose
Receiver ………………………………. The Little Prince, Asteroid B-612, The Rose
Helper ………………………………… The Snake
Opponent …………………………….. The Narrator
The visual diagram should be as follow:

The Rose Asteroid B-612, The Little Prince,


The Rose Asteroid B-612 & The Rose

The Snake The Little Prince The Narrator

60
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14

According to Greimas in his axis of desire, a subject is a character or element that longs for
something. Here, the Little Prince is said to be the subject as he has a desire of something—to return to his
home planet, and by extension, to return to his Rose. This can be seen from the Little Prince’s statement that
he wants to “[go] back home today” (Saint-Exupery, 1943). The Little Prince also mentions on several
occasions that he has a responsibility to his Rose and that he is thinking about the Rose; this proves that he
wishes to return to his home planet and his flower.
Greimas’ axis of desire mentions that in order to function as an object, an element should be
something that the subject seeks for and there should be a relationship that is called a junction between the
element and the subject. As Asteroid B-612 and the Rose are the elements that are looked for by the Little
Prince, the subject of this model, the two elements function as the object. The relationship, or junction
between the Little Prince (subject) and Asteorid B-612 and the Rose (objects) can also be decided as a
positive relationship called conjunction as the Little Prince wants to return to the home planet. However, it is
quite difficult to explicitly say that the junction between the subject and the object is achieved as the story
does not specify that the Little Prince actually returns to his home planet. The Narrator only states that he
“[knows] that he did go back to his planet, because [he, the Narrator] did not find his body at daybreak”
(Saint-Exupery, 1943). Therefore, it is safer to conclude that there may be a possibility that the junction is
achieved.
Besides having the role as the object, the Rose also holds the function of the sender in this model.
Even though the character only appears in two chapters of the story before the Little Prince’s journey begins,
the Rose is the sole reason why the Little Prince leaves his home planet. The journey will not take place in
the first place if the rose does not make so many demands that the Little Prince is burdensome by it as is
seen in the following quotation:
“So, too, she began very quickly to torment him with her vanity—which was, if the truth be
known, a little difficult to deal with. […] The Little Prince, in spite of all the good will that
was inseparable from his love, had soon come to doubt her. He had taken seriously words
which were without importance, and it made him very unhappy.” (Saint-Exupery, 1943)
The Rose also clearly asks the Little Prince to leave in the following quotation: “Don’t linger like
this. You have decided to go away. Now go!” As Greimas mentioned that the sender is the element that
requests “the establishment of the junction” between a subject and an object, the Rose is then the sender in
this model.
The Little Prince, Asteroid B-612 and the Rose do not only have the functions as the subject and
object, respectively in that order, in this actantial model. They function as the receiver as well, for, according
to Hébert (2011) a receiver is the element that will gain benefit in the achievement of the junction between a
subject and an object. In this model, the three characters will gain benefit from the achievement of the
junction for the reason that the Little Prince gets what he wishes and Asteroid B-612 and the Rose will be
taken care of if the Little Prince returns.
In this model with the Little Prince as the subject, the Snake plays the role as the helper. The
function of a helper is to assist the subject in achieving the desired junction, and in this focus the Snake tries
to assist the Little Prince to reach the goal of returning to the home planet. It is proven as the Snake has
offered to help by saying that the Little Prince “move [the Snake] to pity” and that he “can help [the Little
Prince], some day, if [the Little Prince] grow too homesick for [his] own planet.” The Snake helps the Little
Prince to return to his home planet by biting his ankle, as is implied in the following: “There was nothing but
a flash of yellow close to his ankle.”
The narrator is assigned with the function of the opponent. As explained by Chandler (2002), an
opponent in an actantial model is the element or character that hinders the achievement of the junction
between the subject and the object. In this case, the narrator does not wish the Little Prince to return to his
home planet. In other words, his desires do not co-exist with the subject’s desire. The Narrator does not wish
to leave the Little Prince in the following quotation:
“Tonight—you know… do not come,” said the little Prince.
“I shall not leave you,” I said.
“I shall look as if I were suffering. I shall look a little as if I were dying. It is like that. Do not
come to see that. It is not worth the trouble…”
“I shall not leave you.”” (Saint-Exupery, 1943)
Greimas noted that an opponent that only wishes to hinder the achievement of the junction but does
not do anything is called the possible opponent. The narrator does not do a concrete action to prevent the

61
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Little Prince to return to his home planet. He simply sat down and was unable to move as the Snake ‘helps’
the Little Prince. Therefore the role of the Narrator in this model is called the possible opponent.

CONCLUSION
Narratology is a study that has undergone a lot of progress since the term was first coined. The study has
encouraged linguists to explore the world of narratives in order that they may find one structure that may be
applied to every narrative regardless of the purpose and style of writing.
Greimas’ models used in this study focus on analyzing a narrative structure in its syntagmatic and
paradigmatic levels, and therefore do not look into the underlying message of the story itself. The
application of Greimas’ Narrative Quest Model and Actantial Model to the structure of The Little Prince
shows that the two theories are applicable for a narrative that is not a fairy tale.
In the application of the theories, an extensive reading of the data source is done to discover the
smallest unit of the story, after which the elements are applied into its roles and functions. The character
Little Prince acts as the Subject/Hero in both models, and while it is not explicitly mentioned in the
Narrative Quest Model, it can be concluded that the Snake used as the Helper in Actantial Model is the
“Resource” of the Narrative Quest Model. The other elements revolve around the Little Prince and the Snake
to fit into the rest of the roles, functions, and narrative sequence in both models.

LIMITATION OF THE STUDY


Due to the fact that the researcher strictly uses Narrative Quest Model and Actantial Model without
combining it with Algirdas Greimas’s other theories such as the Semiotic and Veridictory Squares, the data
can only be analyzed very simply. For future research on this topic, it is suggested to combine the two
theories with Greimas’ or other narratologists’ narrative theories.

REFERENCES
Abbott, H. P. 2008. The Cambridge Introduction to Narrative. Cambridge: Cambridge University Press.
Chandler, D. 2002. Semiotics: The Basics. London: Routledge.
Hébert, L. 2011. Tools for Text and Image Analysis: An Introduction to Applied Semiotics. Quebec
Jameson, F. 1981. The Political Unconscious: Narrative as a Socially Symbolic Act. Ithaca: Cronell University Press.
Marsen, S., Biddle, R., & Noble, J. 2003, November 26. Use Case Analysis with Narrative Semiotics. Retrieved
January 9, 2016, from http://aisel.aisnet.org/cgi/viewcontent.cgi?article=1402&context=acis2003
Noth, W. 1995. The Handbook of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press.
Onodera, S. 2010, August 31. Retrieved December 27, 2015, from Hirosaki University Repository for Academic
Resources: http://hdl.handle.net/10129/3788
Saint-Exupery, A. d. 1943. The Little Prince. New York: Harcourt, Brace & World.

CURRICULUM VITAE
Complete Name : Jeanyfer Tanusy
Institution : Indonesia University of Education
Education : S2 Indonesia University of Education (ongoing)
S1 Maranatha Christian University
Research Interest : • Semiotica
• Forensic Linguistic
• Functional Grammar
• Pragmatic

62
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
A MULTIMODAL ANALYSIS OF MOTHERS REPRESENTATION IN TELEVISION
ADVERTISEMENTS

Diana Nur Fathimah


Indonesia University of Education
diananurfathimah@gmail.com

ABSTRACT
A number of research on gender representation has provided insight on how men and women are portrayed in the
society. However, there is an urgency to investigate gender representation in its’ specific gender role as. Therefore, the
present research aims to discover how women, specifically as a mother, are represented in television advertisement,
since it is a medium which plays an important role in the development of sex-role perception (Johansen, 2012). Six
version of Dettol Televison Advertisements were chosen to be the data of the present research. Using a qualitative
descriptive method, the research employs multimodal analysis as the procedure of the research based on Kress and van
Leeuwen’s (2006) visual grammar and Halliday’s (1994) systemic functional linguistics. The visual analysis is limited
to the representation, interaction, and composition, meanwhile, the verbal analysis comprises the analysis on
transitivity and mood system. The findings show that although visual semiotic mode is slightly more dominant than the
verbal, both of them play an important role in building the image of the mothers. The mothers are represented as either
a working mother or a housewife who does domestic chores. The mothers are represented in a positive way such as
being smart, independent, not weak, warm, tender and protective toward the children. From gender perspective, the
result suggests that when it comes to women’s role as a mother, their task and obligation are continued to be
stereotyped even though their occupations do not conform to the stereotypical view about women.
Keywords: Gender, multimodality, visual analysis, verbal analysis, representation, advertisements,stereotype

INTRODUCTION
Advertisement is an example of a text which mirrors ideology, behaviors, and attitudes of the society where
it is produced (Acevedo, 2006; Correa; 2011). It is based on this reason that a number of research has been
conducted to see the cultural representation reflected in advertisements. One of the cultural issues that has
been given attention is gender representation in advertisement.
In advertisements, women are mostly stereotyped negatively and men are mostly represented
possitively. Women are associated with domestic works and negative traits such as being dependent, not
intelligent, irrational, emotional, and weak. Meanwhile, men are often associated with paid-works and are
attributed with characteristics such as self-centered, decisive, confident, rational, and dominant (See
Acevedo, 2006; Aksu, 2005; Brannon, 2004). Overall, the representation of gender in advertisements shows
gender disparity that is prevalent the society.
A number of studies on gender representation in advertisements have provided a sufficient insight on
how men and women are perceived. However, there is an urgency to investigate men or women representation
in advertisements in a specific gender role that they play in society. This is considered important as Brannon
(2004) argues that it is gender roles which form and build the starting point for gender stereotypes. Based on
this reason, the current research aims to see whether or not specific women’s role affects women representation
in advertisements. The present research focuses on women’s role as a mother. The role of mother is chosen
because it is the “basic feminine accomplishment of gender for women” (Christopher, 2012, p. 74). In addition,
the present research also focuses on the advertisements on television, for television plays an important role in
the development of sex-role perception (Moschis and Moore, cited in Johansen 2012).
The present research chooses Dettol television advertisements as the source of data. There are six
versions of Dettol television advertisements, containing the appearance of mother, which were analyzed in
the present research. To study how mothers are represented in these television advertisements, the present
research employs multimodal analysis focusing on visual and verbal semiotic modes used in the selected
advertisements. The analysis is based on Kress and van Leeuwen’s (2006) visual grammar and Halliday’s
(1994) systemic functional linguistics.

CONCEPTUAL FRAMEWORK
Gender Stereotype
Stereotype is the accumulation of shared knowledge and experience in society which shapes the way people
perceive the world (Brannon, 2004; Wang, 2009). In relation to gender, stereotypes also influence how
society perceives gender in terms of the roles, psychological traits and characteristics appropriate for men
and women (Brannon, 2004). Deaux & Lewis (as cited in Brannon, 2004) propose four aspects of gender
stereotype which can differentiate men and women. Those aspects are traits, behaviors, physical

63
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
characteristics, and occupations. In terms of occupation, men are often associated with outside works and
paid-works, meanwhile women are often associated with domestic works. In terms of psychological traits,
men are anticipated to be self-centered, decisive, self-confident, rational, and power-dominant. Meanwhile,
women are expected to be sacrificing, dependent, anxious to please, emotional, and subservient to men
(Barker, 2005; Brannon, 2004; Wang, 2009).
A number of studies on gender representation suggest that those stereotypes are shown in various
media. However, researchers have focused more on representation of women in advertisements because
women are often used as central figures in advertising a wide range of variety of products (Dyer, 1996).
According to Goffman (1976), femininity and masculinity can be conveyed in any social situation, and when
the producer of advertisements makes the advertisements as if it were real-like, this depiction shows the
concept about femininity and masculinity that is being perceived in a real world. This depiction hence shows
the viewers about “how men and women are, or want to be, or should be” (Goffman, 1976, p. 15).
Multimodality
According to Halliday (1994) any communication mode has to be able to fulfill three metafunction of
language, namely ideational, the interpersonal, and the textual metafunction. Multimodality refers to the
combination of various semiotic modes to create meanings to fulfill those three metafunctions in one
communicative text (Kress & van Leeuwen, 2006; Liu, 2013; Machin & Mayr, 2012). As for the present
research, visual semiotic modes and verbal semiotic modes were analyzed using visual grammar (Kress &
Van Leeuwen, 2006) and Systemic Functional Linguistics (Halliday, 1994).
To represent human’s experience, visual mode employs vectorial relations between volumes and
diagrams (see Kress & van Leeuwen, 2006). Meanwhile, to represent participants in terms of class, structure
or meaning, this visual mode designs the social construct through the relation between the participants, in a
part-whole structure, with the objects surrounding them. These concepts fall under the first metafunction of
language, namely to represent and construe human’s experience. In the verbal analysis, however, this
function can be analyzed using transitivity system (Halliday, 1994).
The second metafunction of language is to enact social relationships between participants. The social
relationship enacted in visual structure is that between the maker of the images and the viewer. In
communicating through images, the relation and interaction between the producer of the images and the
viewers are represented through many aspects such as gaze, size of frame, and angle (Kress & van Leeuuwen,
2006). Finally, this social relationship in verbal mode is analyzed using mood system (Halliday, 1994).
The third metafunction of language serves to express the relation of language or sign co-textually
and contextually with other semiotic recourses in its environment. When there are two objects in the images,
the one placed in the left “is the side of the ‘already’ given: “something the reader is assumed to know
already” (Kress & van Leeuwen, 2006, p. 177). Meanwhile, the object that is placed on the right side is
called new. It is usually the key information of the text.

METHODOLOGY
The research employs descriptive qualitative research by conducting multimodal analysis based on Kress
and van Leeuwen’s Visual Grammar (2006) and Halliday’s Systemic Functional Linguistics (1994). The
visual data are all scenes in the advertisements containing the image of the mother. Meanwhile, the verbal
data are all utterances produced during the selected scenes play. The scenes were taken from six selected
Dettol television advertisements. The version of those advertisements are Dettol Re-energized, Dettol Liquid
Antiseptic (First Aid), Dettol Hand Wash Original, Dettol Liquid Antiseptic (for Bath), Dettol Liquid
Antiseptic (Germ-free Floor) and Dettol Anti-bacteria Original.
The research follows Hermawan’s (2013) procedure of analyzing multimodal text involving verbal
and visual semiotic modes. First, the researcher selected the scenes consisting of the appearance of mother as
unit of analysis. The scenes, description of the scenes, and the elements of visual and verbal analysis were
later presented in tabular form. The visual data were analyzed based on Kress & van Leeuwen’s (2006)
visual grammar and Halliday’s (1994) systemic functional linguistics. Last, the researcher interpreted the
findings based on the relationships between the verbal and visual data in relation to the theory of gender
representation in advertisements.

FINDINGS AND DISCUSSIONS


The result of the research will be discussed according to four aspects of gender stereotype, namely physical
characteristics, occupations, behaviors, and traits (Deaux & Lewis, cited in Brannon, 2004).
Physical Characteristic
In terms of physical appearance, the mothers are represented as physically perfect in all scenes of
advertisements. The images portray the mother with a set of similar physical characteristics. Mothers are the

64
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
beautiful women who have bright complexion, skinny body, and relatively beautiful face. All mothers in the
advertisements are portrayed as having the long hair, reinforcing the idealization of women in
advertisements. The representation of this kind is often considered typical, as physical beauty is always used
as the means to promote the selling of certain products (Rasul, 2000, cited in Ali & Shahwar, 2011;
Acevedo, 2006). Women in advertisements are always portrayed as having the ideal and perfect physical
appearance which is far from reality. Based on this reason, this representation is also called the idealized
representation (see Acevedo, 2006).
Occupation
In terms of the occupation, the mothers are mostly represented as an at-home mother or a housewife. The
occupational roles of mothers is identified from the embedded analytical processes, in which the mothers are
always attributed with the typical outfit commonly worn by women at home, such as the casual clothe,
cooking gloves, and apron. From 41 analytical processes on mothers in the advertisements, 17 of them
reinforce the idea that the mothers are at-home mothers or housewives. However, there are also 14 scenes
that represent the mothers as the independent mothers, or working mothers. The fact that some of the
advertisements portray the mothers as having the high educated occupational role indicates that women
representation in these advertisements does not fully conform to traditional stereotype of women which
limits women’s sphere at home or domestic affairs (Acevedo, 2006; Brannon, 2004). The advertisements
still acknowledge the possibility that women have outside works or paid works. Nevertheless, although these
independent mothers are depicted as women in a prestigious occupation, the scenes about them always take
place at home. This indicates that the stereotypes suggesting that women’ sphere is at home is still there. The
representation shows a new trend on portraying women as someone who are still fulfilling their very basic
obligation as a mother, yet, at the same time, are capable of having a high educated position or profession.
Behaviors
In terms of behavior, the mothers are represented as the ones who do women-related behaviors. It is
indicated through most of action processes found in the advertisements. The advertisements represent the
mothers as the actor who does women-related behavior such as doing domestic chores or taking care of the
child’s errands. Mothers’ act of taking care of the child mostly involves Dettol product as the goal or the
circumstance of means. The mothers are shown as helping the child healing her wound, sterilizing water for
the child’s bath, and helping the child washing hands using. The mothers are also portrayed as doing
housewife tasks such as cooking, buying groceries, and mopping the floor. All these activities are women-
related behaviors since they are commonly done by women and thus are always associated with women
(Brannon, 2004). Thus, it can be concluded that in terms of behaviors, the representation of mothers in these
advertisements are stereotyped since it still atributes women with domestic tasks or housewife task
regardless of mothers’ job or profession.
Traits
In terms of traits, the result shows that the mothers in television advertisements vary. The representation of
mothers which conforms to the stereotypical view about women is in terms of mothers’ nurturing
characteristics and warmth. Meanwhile, mothers’ traits that do not conform to the stereotypical view about
women are mothers being independent, powerful, and smart.
Mothers’ nurturing characteristics are indicated through the action process in forms of mothers
holding, hugging, and kissing their child. Their gentle traits are also supported by most of reactional
processes shown in the advertisements. Meanwhile, the warm characteristic of mothers is indicated by the
demand image of the mothers. The mothers always have smiling facial expression in demand images. These
images of mothers demand the viewers to enter into a relation of social affinity. To further interpretation,
this representation shows that the mothers are represented as kind and warm. The result shows that the
mothers are represented as caring, protective, loving, and warm. It also signifies intimacy between mothers
and the children. This representation conform to traditional stereotype about women in which women are
expected to have nurturing characteristic, love and tenderness (Brannon, 2004).
The television advertisements also show the opposite of women stereotypical traits. Instead of being
portrayed as dependent, weak, and unintelligent, the mothers in Dettol advertisements are depicted as
independent, powerful, and smart. Mothers’ independency is indicated through the action processes found in
the advertisements. The mothers are portrayed as the ones who take care of all child’s errands, including
preparing the child’s stuffs for schools and driving the child to the school or the course place. In all action
processes in the advertisements, the mothers play the role as an actor rather than the goal. Furthermore, in all
scenes, the mothers are the only actor which initiate the actions and solve the problem without being helped by
other represented participants. This representation of mothers does not conform to the stereotypical view about
women which says that women are often passive and dependent (Brannon, 2004). In terms of power, the
mothers are mostly portrayed as neutral through the use of the eye-level angle in the scenes. The findings also
show a pattern of portraying mothers as powerful in some scenes involving mothers’ doing domestic tasks.
65
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Different from the stereotyped view about women who are usually depicted as weak, the representation of
mothers in these advertisements show a new trend of portraying women as the ones who have power.
The mothers are also portrayed as smart and knowledgeable. It is indicated mostly by the interior
monologue produced by mothers. The findings show that almost all the verbal data are produced by mothers in
forms of declarative forms (27 clauses) and material process as the process that is mostly found within the
clauses (14 clauses). The mothers are depicted as explaining something about the healthy issue to either
another represented participant, or to viewers. This finding shows that the representation of mothers is different
from the negative stereotype which says that women is irrational and not intelligent (Acevedo, 2006).

CONCLUSION
Based on the discusssion, it can be seen that the advertisements reflect a new trend of viewing women
through the perspective on gender which is different the traditional one. As what a number of previous
research suggests, women are prone to get negative stereotype and to be represented negatively in media.
However, the representation of mothers in Dettol advertisements does not show any negative stereotype of
women, such as being weak, dependent, or unintelligent. The representation still remain the possitive
stereotype of women, such as being warm, tender, and caring. Furthermore, women are even represented as
powerful and authoritative, independent, and smart. The research shows that, when it comes to their role as
mothers, women’s obligation toward the family, especially their child, is something that is not contestable.
When it comes to fulfilling their duty as a mother, women’s role in the society remains constant. Thus,
women’s behaviors, activities and duties are still strongly stereotyped. Through this representation of
mothers, the advertisements suggest that the mothers, regardless whatever they do for a living, should be
able to achieve the basic responsibility of being a mother, namely taking care of the family.

REFERENCES
Acevedo, C. R. 2006. How women are depicted in ads? A content analysis study with Brazilian advertisements.
International Business & Economics Research Journal, 5(10), 59-72.
Aksu, B. 2005. Barbie Against Superman: Gender Stereotypes and Gender Equity in the Classroom. Journal of
Language and Linguistic Studies, (1)1, 12-21.
Ali, S and Shawar, D. 2011. Men, Women and T.V. Ads: The Representation of Men and Women in the
Advertisements of Pakistani Electronic Media, Journal of Media and Communication Studies 3(4), 151-159.
Retrieved from http://www.academicjournals.org/jmcs.
Barker, C. 2005. Cultural studies: Theory and practice. London: Sage Publications.
Brannon, L. 2004. Gender: psychological perspectives. London: Prentice Hall.
Correa, D. M. 2011. The construction of gender identity in India through television advertisement: a semiotic analysis.
(Doctoral thesis). Available from Australian Catholic University Digital Theses. (ABN 15 050 192 660).
Christopher, K. 2012. Extensive Mothering: Employed Mother's Constructions of the Good Mother. Gender and
Society. 26(1), 73-96, doi: 10. 1177/0891243211427700
Dyer, G. 1996. Advertising as communication. London: Routledge.
Goffman, E. 1976. Gender advertisements. London: Macmillan.
Halliday, M.A.K. 1994. An introduction to functional grammar. New York: Routledge.
Hermawan, B. 2013. Multimodality: Menafsir Verbal , Membaca Gambar, dan Memahami Teks. Bandung: Jurusan
Pendidikan Bahasa Inggris, FPBS UPI. Retrieved from http://www.ejournal.upi.edu.
Kress, G. & van Leeuwen, T. 2001. Multimodal discourse: The modes and media of contemporary communication.
London and NY: Bloomsbury.
Liu, J. 2013. Visual Images Interpretive Strategies in Multimodal Texts. Journal of Language Teaching and Reseach,
4, 1259-1263.
Machin, A. & Mayr, D. 2012. How to do critical discourse analysis. London: SAGE.
Wang, H. C. 2009. Language and Ideology: Gender Stereotypes of Female and Male Artists in Taiwanese Tabloids.
Discourse & Society. 20(6), 747-774, doi: 10.1177/0957926509342379.

CURRICULUM VITAE
Complete Name : Diana Nur Fathimah
Institution : Indonesia University of Education
Education : S1 Indonesia University of Education Semiotica
Research Interest : • Text Analysis
• English Teaching
• Pragmatic

66
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
THEMATIC PROGRESSION IN ENGLISH AND INDONESIAN VERSION
IN AGATHA CHRISTIE’S SHORT-STORY: A SYSTEMIC FUNCTIONAL LINGUISTIC

Rahmiwati Hermanto Rizky Tazkiyatul Ummami


Universitas Padjadjaran
rahmiwati91@gmail.com rizkytazkiya@gmail.com

ABSTRACT
It investigates into thematic progression patterns and theme structured in English as source language and Indonesian
as target language. The data is obtained from a novel using two different language (English version and Indonesian
version), in one titled. They are analyzed based on the theory of Systemic Functional Linguitics. The data obtained
analyzed using Halliday’s theory of clause as messages especially theme structure and Bloor’s theories of thematic
progression patterns. The method used in this research is descriptive method. The result of this research reveals that
there are differences between thematic progression in English text and Indonesian text. The result of this research
revelas that there are two types of Thematic Progression found in the English text and also two types of thematic
progression found in Indonesian text, the simple thematic progression and the multiple thematic progression. The
simple thematic progression consist of split Rheme pattern and a zigzag or linear theme pattern. The multiple Thematic
Progression consist of two combinations of patterns, A zigzag and constant theme pattern; three combinations of
pattern, constant rheme pattern, split rheme pattern, split rheme pattern, and a zigzag.
Keywords: Systemic Functional Linguistics, Thematic Progression, Theme-Rheme

SYSTEMIC FUNCTIONAL LINGUISTICS


Systemic Functional Linguistics or SFL concerns language as a system of meaning. This argumentation is in
line with Halliday in Bloor and Bloor, 2004: 2. ”For SFL, a language is ‘a system of meanings’. That is to
say that when people use language, their language acts produce or, or more technically, construct meaning.”
According to Martin, Matthiessen, and Painter 1997: 1 “Functional grammar is a way of looking at
grammar in terms of how grammar is used”. This approach, SFL, is known as Halliday’s theory in his first
book An Introduction to Functional Linguistics, 1985, and revised in theird edition by Halliday and
Matthiessen’s theory on their well known book An Introduction to Functional Linguistics, 2004: 61. They,
in line with Martin, 1990: 2-51, introduce the metafunctions of meanings. They are experiential (ideational)
meaning relates to clause representation, interpersonal meaning relates to clause exchange, and textual
meaning relates to clause as message. Clause as representation is represented by transitivity: process,
participant, and circumstance while clause as exchange by mood and residue and clause as message by
theme and rheme.

THEMATIC STRUCTURE: THEME AND RHEME


Thematic Structure, like information structure, operates at the level of the clause. Thematic structure is
similar to information structure and in many clauses there is a parallel equivalence between Theme and
Given on the one hand and between Rheme and new on the other.
The theme is the element which serves as the point of departure of the message; it is that which
locates and orients the clause within its context.
Following the example between Theme and Rheme:
1. Rani is singer
2. Tonight, I will tell you about a secret
3. He was angry
Theme Rheme
Types of Theme
According to Sujatna, 2014, related to the types of theme, can be categorized into three categories; they are
ideational theme, textual theme, and interpersonal theme.
Ideational Theme
Ideational themes or topical theme is theme contains one and only one, of these experiental elements. This
means that the theme of a clause ends with the firsr constituent that is either participant, circumstances or
process.

67
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016

Textual Theme
According to Gerot and Wignell, 1995: 105, in Sujatna 2014. “Textual themes relate to the clause and its
context”. Textual theme categorized into continuative, conjunctive adjunct, and conjunction.
Interpersonal Theme
Interpersonal themes indicate something about relationship between speaker and hearer (Sujatna, 2013: 20).
Interpersonal themes can be classified into three types; modal adjunct, vocatives, and finite/wh-
elemet/verbal operator.
Thematic Progression
Thematic progression (TP) is a feature of rhetorical coherence—the interrelatedness of feature in a text.
Downing, 2001, says that TP is closely connected with discourse coherence (or text connexity). She posits
further that a text is defined largely in terms of its semantic coherence. Rhetorical coherence can be further
explained by the concept of topical development.
However, if a text exhibits excessive rhematic progression (RP), it is likely to bring about rhetorical
incoherence in the text. Danes,1974, postulates four types of TP. His suggestions which serve as the bedrock
of the thematic analysis for this study are illustrated below:
The Simple Linier TP Pattern
Each rheme in this pattern becomes the theme of the utterance. It is graphically represented as follows:

The following text illustrates the simple linier TP pattern and its explanation:
The stomach produces gastric juice (1), which contains dilute hydrochloric acid (2). The
acid kills most of the bacteria in the food (3). The partly digested food passes next into the
duodenum (4).
Clause 1 : establishes a Theme The stomach with the rest as Rheme.
Clause 1 to 2 : the simple linier TP, since the rheme element gastric juice of clause 1 provides the theme of
clause 2 which
Clause 2 to 3 : the simple linier TP, since the rheme element hydrochloric acid of clause 2 provides the
theme of clause 3 The acid
Clause 3 to 4 : the simple linier TP, since the rheme element the food of clause 3 provides the theme of
clause 4 The partly digested food
The Constant (continuous) TP Pattern
In this pattern the same theme appears in sequence in series of utterances with possibly no identical wording.
Fries, 2001, describes this as a topically linked TP pattern. It is graphically represented as follows:

The following text illustrates the constant TP pattern and its explanation:
The brain contains 10 billion nerve cells, making thousands of millions of connections with
each other (1). It is the most powerful data processor we know (2). And it is under intensive
investigations by scientists nowadays (3).
Clause 1 : establishes a Theme The brain with the rest as Rheme.
Clause 2 : the constant TP, since the theme The brain of clause 1 remains the theme of clause 2 it as the
reference of ‘The brain’
Clause 3 : the constant TP, since the theme The brain of clause 1 remains the theme of clause 3 It as the
reference of ‘The brain’
The Theme-Derived TP
This pattern need a hypertheme to which all the themes relate. It is diagramed as follows:

68
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
The following text illustrates the theme-derived TP pattern and its explanation:
New Jersey is that along the coast and southern portion (1), the north-western region is
mountainous (2). The coastal climate is mildly (3) but there is considerable cold in the
mountainous areas during the winter months (4). Summers are fairly hot (5). The leading
industrial production includes chemicals… .(6)
Clause 1 : establishes a Theme New Jersey with the rest as Rheme.
Clause 1 to 2 : the theme-derived TP, since the theme the north-western region of clause 2 means that of
the hypertheme New Jersey of clause 1
Clause 1 to 3 : the theme-derived TP, since the theme The coastal climate of clause 3 means that of the
hypertheme New Jersey of clause 1
Clause 1 to 4 : the theme-derived TP, since the theme there of clause 4 refers to the hypertheme New Jersey
of clause 1
Clause 1 to 5 : the theme-derived TP, since the theme Summers of clause 5 refers to that of the hypertheme
New Jersey of clause 1
Clause 1 to 6 : the theme-derived TP, since the theme the leading industrial production of clause 6 means
that of the hypertheme New Jersey of clause 1.
The Split Rheme TP Pattern
This is the combination of pattern

The following text illustrates the split rheme TP pattern and its explanation:
The only other considerable region in the world lies in Japan (1). This country shows a
remarkable fusion of both densely populated rural and urban communities (2). Japanese
peasant farmers, who constitute 45 percent of the population, practice a typical monsoon
Asian subsistence economy (3), whereas the millions of people living in vast industrial
cities have much in common with counterparts in Europe and North American (4).
Analysis Data:
Clause 1 : establishes a Theme The only other considerable region in the world with the rest as Rheme.
Clause 1 to 2 : the split rheme TP, since the theme This country of clause 2 is the split of the rheme element
Japan of clause 1
Clause 1 to 3 : the split rheme TP, since the theme Japanese peasant farmers of clause 3 is the split of the
rheme element referring to the rheme element Japan of clause 1
Clause 1 to 4 : the split rheme TP, since the theme the millions of people living in vast industrial cities of
clause 4 is the split of the rheme element referring to the rheme element Japan of clause 1.

THE DATA ANALYSIS


English Version
Data 1
A neat young woman with spectacles, a shorthand pad, a pencil clasped in her hand,
hastened from an adjoining room.
Topical theme Rheme
A neat young woman with spectacles (1), a shorthand pad(2), a pencil claspe in her hand (3), hastened
from an adjoining room (4).
Analysis:
Clause 1 : establishes a Theme A neat young woman with spectacles with the rest as Rheme.
Clause 1 to 2 : the theme-derived TP, since the theme a shorthand pad of clause 2 means that of the
hypertheme A neat young woman with spectacles of clause 1
Clause 1 to 3 : the theme-derived TP, since the theme a pencil claspe in her hand of clause 3 means that of
the hypertheme A neat young woman with spectacles of clause 1
Clause 1 to 4 : the theme-derived TP, since the theme there of clause 4 refers to the hypertheme A neat
young woman with spectacles of clause 1.
The Theme-Derived TP

69
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Data 2
‘Olga Stormer! That’s what she calls herself.
Topical theme Rheme
Fancy yourself a star, don’t you, my Lady? You must be making a pretty little pot of money, too.
Interpersonal theme Rheme
Olga Stormer! (1) that’s what she calls herself. (2) Fancy yourself a star,(3) don’t you, my Lady? (4) You
must be making a pretty little pot of money, too. (5)
Analysis:
Clause 1 : establishes a Theme Olga Stormer with the rest as Rheme.
Clause 1 to 2 : the split rheme TP, since the theme that’s what she of clause 2 is the split of the rheme
element Olga Stormer of clause 1
Clause 1 to 3 : the split rheme TP, since the theme fancy yourself of clause 3 is the split of the rheme
element referring to the rheme element Olga Stormer of clause 1
Clause 1 to 4 : the split rheme TP, since the theme don’t you of clause 4 is the split of the rheme element
referring to the rheme element Olga Stormer of clause 1.
Clause 1 to 5 : the split rheme TP, since the theme You must be of clause 5 is the split of the rheme
element referring to the rheme element Olga Stormer of clause 1.
The Split Rheme TP Pattern
Indonesian Version
Data 3
Pria berpakaian lusuh di baris keempat itu mencondongkan tubuhnya ke depan dan
memandang ke arah panggung depan dengan penuh perhatian
Theme (Interpersonal Theme) Rheme
Kedua matanya yang licik diam-diam disipitkan agar dapat melihat lebih jelas
Theme (Topical Theme) Rheme
Pria berpakaian lusuh di baris keempat itu mencondongkan tubuhnya ke depan dan memandang ke arah
panggung depan dengan penuh perhatian. Kedua matanya yang licik diam-diam disipitkan agar dapat
melihat lebih jelas.
Analysis:
Clause 1: establishes a theme Pria berpakaian lusuh with the rest as rheme.
Clause 2: the constant TP, since the theme Pria berpakaian lusuh of clause 1 remains the theme of clause 2
Kedua matanya as the reference of “Pria berpakaian lusuh”.
The Constant TP pattern
Data 4
Ia kembali memeriksa lembar acara yang dipegangnya
Theme (Topical Theme) Rheme
Sebuah nama dicetak agak lebih besar daripada nama-nama lain.
Topical Theme Rheme
Ia kembali memeriksa lembar acara yang dipegangnya. Sebuah nama dicetak agak lebih besar daripada
nama-nama lain.
Analysis:
Clause 1 : establishes a theme Ia with the rest as Rheme.
Clause 1 to 2 : the simple linier TP, since the rheme element kembali memeriksa lembar acara yang
dipegangnya of clause 1 provides of theme of the clause 2 Sebuah nama dicetak
The Simple Linier TP

CONCLUSION
Based on the data and its explanation, the writer can draw some conclusions as follows:
1. There are four types of Thematic Progression found in source language, the constant TP pattern, the
simple linier TP pattern, the theme derived TP pattern and the split rheme TP pattern. In target language
the writer found three types of thematic progression, the constant TP pattern, the simple linier TP
pattern, and the theme derived TP pattern.
2. There are differences between source language and target language on thematic progression

70
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
REFERENCES
Bloor, Thomas & Bloor, Meriel. 2004. The Functional Analysis of English. Second Edition.London: Hodder Education.
Butt, David et al. 1999. Using Functional Grammar. Sydney: Macquarie University Deterding.
David H., & Poedjosoedarmo, Gloria. 2001. Grammar of English.Second Edition. Singapore: Prentice Hall.
Eggins, Suzanne. 1994. An Introduction to Systemic Functional Linguistics. London: Continuum.
Halliday, M.A.K. 1994. An Introduction to Functional Grammar. London: Arnold.
Halliday, M.A.K., & Matthiessen, Christian M.I.M. 2004. An Introduction to Functional Grammar. London: Arnold.
Sujatna, Eva Tuckyta Sari. 2014. Understanding English Syntax. Sumedang: Unpad Press.

CURRICULUM VITAE
Complete Name : Rahmiwati Hermanto Rizky Tazkiyatul Ummami
Institution : Padjadjaran University Padjadjaran University
Education : S2 Padjadjaran University Padjadjaran University
Research Interst : • Syntax • Text Analysis
• Systemic Functional Linguistic • Semantics
• Translation

71
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
ESL STUDENTS’ CRITICAL THINKING AND THEIR ACADEMIC WRITING SKILL

Yudi Juniardi
Sultan Ageng Tirtayasa University
yjuniardi@yahoo.com

ABSTRACT
This research is focused on students’ critical thinking and their academic writing ability. The goal of this research is
to see whether students critical thinking correlate to their academic writing. The method of this research is
quantitative method by applying correlational study. this research only choose 8 students as the sample of the
research. They were chosen by using random sampling technique. Two test instruments are used for collecting two
data, namely: students critical thinking test and students academic writing test. This research concludes following
remarks: (1) there is a positive correlation between Students’ Critical Thinking (SCT) and Students’ Academic
Writing Ability by having correlation coefficient 0.58. (2) the hypothesis of the research is accepted. The score of T
statistic 11.28 at the level of significant 0.95. This research will contribute to English teacher in teaching academic
writing and give some explanation the essence of critical thinking in composing academic writing.
Keywords: Critical Thinking, Academic Writing, Correlational Study

INTRODUCTION
According to Ennis (1985, 45), "Critical thinking is reflective and reasonable thinking that is focused on
deciding what to believe or do." Based on this, students can do and believe in some thing right if he or she
can do critical thinking.
Juniardi (2015) stated that now critical thinking has given a lot influence in education as well as in
language teaching. There are some advantages of critical thinking in teaching a language. CT has influence
on SS’ ability in translating scientific article and also it has influence on SS’ reading comprehension ability
(Juniardi and Irmawanty, 2012)
Instruction in critical thinking is to be designed to achieve an understanding of the relationship of
language to logic, which should lead to the ability to analyze, criticize, and advocate ideas, to reason
inductively and deductively, and to reach factual or judgmental conclusions based on sound inferences
drawn from unambiguous statements of knowledge or belief. The minimal competence to be expected at the
successful conclusion of instruction in critical thinking should be the ability to distinguish fact from
judgment, belief from knowledge, and skills in elementary inductive and deductive processes, including an
understanding of the formal and informal fallacies of language and thought.
CT can be important as it encourages students to think logically and rationally by using data and
evidence. Limited definitions focus on evaluation or appraisal; critical thinking is formulation and use of
criteria to make warranted judgments about knowledge claims, normative statements, methods of inquiry,
policy decisions, alternative positions on public issues, or any other object of concern. Critical thinking,
defined narrowly, is an essential element of general cognitive processes, such as problem solving or decision
making, but is not synonymous with them.
Based on the statements above, CT will lead one to do the right thing in drawing conclusion and
making the judgment because CT gives focus on cognitive process which encourage one to do higher
thinking.
In other hand, cognitive process is also involved in making academic writing. Writing in academic
contexts requires students to advance their own ideas within a framework of domain or discipline knowledge
and engage the reader in academic discourse. According to Arkoudis and Tran (2007), in Kaur (2015)
academic writing as a form of thinking is fundamental for academic success of the international students.
Irvin (2010) said that Academic writing is always a form of evaluation that asks you to demonstrate
knowledge and show proficiency with certain disciplinary skills of thinking, interpreting, and presenting.
Irvin (2010: 15) Characteristics of the Critical Essay “Critical” here is not used in the sense of “to
criticize” as in find fault with. Instead, “critical” is used in the same way “critical thinking” is used. A
synonym might be “interpretive” or “analytic.”
From the statement above, it is clear that in composing academic writing, students should critical
like in critical thinking. It means that in doing academic writing in the same time students also doing critical
thinking.
In line with this, Paltridge (2002) asserted that thesis writing is a difficult process especially for
English as a Second Language students because they possess limited language proficiency for critical
thinking, genre knowledge and social knowledge.

72
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Hyland (2007) cited in Kaur (2015) also highlighted that as a form of thinking especially in tertiary
literacy, students’ ability in sustaining arguments and synthesizing ideas to write in English for academic
purposes is crucial for academic success.
So if students want to success in their academic he or she should have good academic writing. It
implies that one must good at sustaining argument and synthesizing ideas; those are component involved in
critical thinking. Based on the explanation above the researcher eager to investigate whether SCT correlates
to SAWA.

RESEARCH METHOD
This research applied correlational research design. The researcher correlated students’ critical thinking and
their academics writing ability. The sample of this research were eight students. The data were taken from
critical thinking test and academic writing test. Those data were analyzed by using correlation calculation.
To examine the research hypothesis the researcher used T test.

RESULT AND DISCUSSION


Students Academic Writing Ability (SAWA)
Students were given academic writing test. They wrote an essay to giving their analysis relate to the data
which display in the text. The score can be seen in the table 1 below.
Table 1. Students Academic Writing Ability Score
Students Academic Writing Score
FW 11
DK 11
SR 11
AR 10.5
IS 10.5
RA 11
TR 8.7
SN 10.5
If we see from the table above most of the students has good at academic writing, the average of the
score is 10.5 in general the characteristic of students’ academic writing can be describe as follows: task
compliance: addresses the writing assignment but may not fully develop or include all parts of the
assignment. may digress in parts of the writing. topic development: development of content adequate, but
lacks clearly stated positions or supporting information; fluency of addresses the writing assignment but may
not fully develop or include all parts of the assignment. may digress in parts of the writing. topic
development: development of content adequate, but lacks clearly stated positions or supporting information;
fluency of expression may be halting of awkward. organization: organization controlled; generally
appropriate to topic; appropriate paragraphing; introduction & conclusion, thesis statement, topic sentences
evident and appropriate. vocabulary: flexibility in range; appropriate use (word choice) of vocabulary in a
variety of situations; mostly correct use of word forms. discourse control:generally adequately connected;
presentation of ideas generally clear and coherent; cohesive devices could be used more often and more
effectively. sentence structure: mastery of sentence patterns demonstrated; may have occasional
grammatical errors on the sentence level. the last, mechanics: spelling, form, indentations, capitalization,
punctuation, and citation errors few and not distracting.
The following picture display the spread of the students academic writing score.

Figure 1. Students’ Academic Writing Score

73
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Figure 1 displays students academic writing score. If we see from this chart students abilities in AW
is quite good. The lowest one at score 8.7.
Students’ Critical Thinking
To find out students’ critical thinking, the students were given essay test. They were asked to write their
responses related to issue given. Following table are the students’ critical thinking score.
Table 2. Students’ Critical Thinking Score
Aware of his or
Differentiates his
Evidence in Synthesizes Expresses her assumptions,
or her knowledge
Identifies order to evidence in ideas with intellectual
Students and thought Total
problem draw a order to draw precision habits, or
processes from
conclusion a conclusion and clarity emotional
other sources
responses
FW 5 5 4 5 2 4 25
DK 5 5 5 5 3 4 27
SR 6 5 6 5 4 4 30
AR 4 4 4 4 3 3 22
IS 3 3 3 3 3 3 18
RA 5 5 5 5 3 4 27
TR 4 4 4 4 3 3 22
SN 5 4 4 4 3 3 23
Total 37 35 35 35 24 28 194
adapted from MELAB (L. Hamp-Lyons, 1992)
Based on the data of students it can be seen that students has strong critical at identifying the
problem by having score 37 (the average 4.6) this score means that students strongly presents Identifies
problem and reasonable method or strategy.
However in applying evidence the score only 35 (the average 4.4) it means that students have ability
in applying relevant evidence and Conclusions are supported.also they have good ability in giving evidence
35 (the average 4.4) . Evidence is combined into logical relationships.they also can express ideas with
precision and clarity. But they still low at making thought and emotional response.

Figure 2. Students’ Critical Thinking Scores


If we see from the figure 2. It seems that students ability in identifying the problem is good.
However the lowest scores are students knowledge. Students have difficulties in differentiating his or her
knowledge and thought processes from other sources
Correlation between Students’ Critical Thinking (SCT) and Students’ Academic Writing Ability (SAWA)
Based on the data of the research SCT has correlation to SAWA. One who has good critical thinking, he or
she has hood academic writing. Students who have good critical thinking they have good ability in
To see the correlation between SCT and SAWA, it was analyzed by using program excel. The score
of SCT was correlate to SAWA (it can be seen at the table. 3) It has strong correlation by having (r)
coefficient r (x,y) 0.58.

74
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Table 3. Scores of Students’ Critical Thinking and Students’ Academic Writing
Students’ Critical Thinking (X) Students’ Academic Writing (Y)
22 11
24 11
27 11
19 10.5
18 10.5
24 11
19 8.7
20 10.5
168 84.2
This also was analyzed by using spss 22 and the result can be seen in the following table.
Table 4. Correlational Test
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 SCT & SAW 8 .580 .132
Hypothesis Test
Based on calculation of T Test by using SPSS 22, T statistic 11.287 and the hypothesis of the research was
accepted. The result of calculation can be seen in the following table.
Table 5. Paired Sample Test
Paired Samples Test
Paired Differences

95% Confidence Interval Sig.


Std. Std. Error t df
Mean of the Difference (2-tailed)
Deviation Mean
Lower Upper

Pair 1 SCT - SAW 11.10000 2.78157 .98343 8.77455 13.42545 11.287 7 .000

DISCUSSION
Based on the research analysis, students critical thinking has correlation to their academic writing ability. It
means that if students have good critical thinking, they will have good ability at academic writing ability.
Critical thinking relate to how one see the problem, giving the evidence, giving argument, and
drawing the conclusion. In other side, academic writing is the ability how students compose their writing. It
can be argumentative writing, analysis report, essay, comparative writing etc.
Students who have good academic writing, they have good ability in presenting their argument and
evidence. In drawing conclusion they give strong evidence and link back to the problem.

CONCLUSION
Based on the result of this research, this research remarks following:
1. There is a positive correlation between students’ critical thinking and students’ academic Writing ability.
It has strong correlation by having (r) coefficient 0.5.
2. The hypothesis of this research is accepted; there is a positive correlation between students’ critical
thinking and students’ academic writing ability.
3. This research gives implication, the better critical thinking, the better academic writing ability

REFERENCES
Chaffee, John. 2000. Thinking Critically: Sixth Edition. New York: Houghton Miflin Company.
Crawford Allan, E. Wendy Saul, et.al. 2005. Teaching and Learning Strategies for the Thinking Classroom. New York:
The International Debate Education Association.
Ennis, Robert H. "A Logical Basis for Measuring Critical Thinking Skills." Educational Leadership 43 (October 1985):
45-48.
Ennis, Robert H. 1996.Critical Thinking. New York: Prentice Hill Inc.
Irvin, L. Lennie. What Is “Academic” Writing? . Writing spaces : readings on writing. Volume 1/edited by Charles
75
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Lowe and Pavel Zemliansky.(2010); pp. 3-17
Juniardi, Yudi. 2015. Research On Language Teaching: From Theory To Practice. Serang: Untirta Press.
Juniardi, Yudi and Irmawanty, 2012. Students' Critical Thinking And Their Reading Comprehension Ability:
Proceeding The Ninth International Conference on English Studies: 37-40
Kaur,Manjet Mehar Singh International Graduate Students’ Academic Writing Practices in Malaysia: Challenges and
Solutions. Journal of International Students Volume 5, Issue 1 (2015), pp. 12-22
L. Hamp-Lyons, 1992 rubric academic writing. 1 may 2015. http://academics.smcvt.edu/cbauer-amazani/IEP/acad_
skills/rubric_acad_writing.htm

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Yudi Juniardi
Institution : Sultan Ageng Tirtayasa University
Education : S3 Lampung University
S2 Jakarta State University
S1 Jakarta State University
Dipl. Applied Linguistics RELC Singapura
Research Interst : • TEFL and Research on ELT
• Multimedia and Reading
• Psycholinguistics and Sociolinguistics
• Language Policy

76
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
PENYIMPANGAN ASPEK PRAGMATIK WACANA DIALOG PADA NOVEL YANG
BERJUDUL KAMBING JANTAN: SEBUAH CATATAN HARIAN PELAJAR BODOH
KARYA RADITYA DIKA

Nayla Sabrina
Universitas Indonesia
naylasbrn@gmail.com

ABSTRAK
Wijana (2003) menyatakan aspek pragmatik adalah aspek yang harus dipertimbangkan oleh peserta percakapan dalam
melakukan komunikasi. Aspek itu adalah prinsip kesopanan, prinsip kerjasama dan pragmatik parameter (hlm. 4).
Menurut Grice (1975) prinsip kerjasama terbagi menjadi empat maksim yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas,
maksim relevansi dan maksim pelaksanaan (hlm. 47). Leech (1983) membagi prinsip kesopanan menjadi enam maksim
yaitu maksim kebijaksanaan (impositif dan komisitif), maksim kemurahan (impositif dan komisif), maksim penerimaan
(ekspresif dan asertif), maksim kerendahan hati (ekspresif dan asertif), maksim kecocokan (asertif) dan maksim
kesimpatian (asertif) (hlm. 132). Brown dan Penelope (1978) menyatakan intensitas ancaman pada wajah dapat
diketahui dari tiga parameter sosial yaitu jarak sosial (social distance), status sosial (power) dan tindak ucap (rate of
imposition) (Renkema, 2004, hlm. 26). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penyimpangan aspek pragmatik
yaitu prinsip kesopanan, prinsip kerjasama dan parameter pragmatik dalam dialog novel berjudul Kambing Jantan:
Sebuah Catatan Harian Pelajar Bodoh yang ditulis oleh Raditya Dika. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini adalah novel berjudul Kambing Jantan: Sebuah Catatan Harian Pelajar
Bodoh ditulis oleh Raditya Dika. Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data yang dikumpulkan oleh
peneliti itu sendiri. Data primer ini berupa dialog yang mengalami penyimpangan. Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah kajian pustaka. Langkah pertama dalam pengumpulan data pustaka adalah membaca novel
secara teliti kemudian mengidentifikasi dialog yang mengalami penyimpangan aspek pragmatik. Metode dalam
menganalisis data adalah mengklasifikasikan data hasil penellitian kemudian data itu dianalisa berdasarkan maksim
dalam prinsip kesopanan dan prinsip kerjasama serta parameter dalam parameter pragmatik. Penelitian menunjukkan
penyimpangan prinsip kesopanan dominan terjadi pada maksim penerimaan, penyimpangan prinsip kerjasama
dominan terjadi pada maksim kualitas dan pelaksanaan sementara itu penyimpangan parameter pragmatik yang
dominan terjadi pada jarak sosial.
Kata kunci: aspek pragmatik, prinsip kesopanan, prinsip kerjasama, parameter pragmatik, dialog

PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk sosial sehingga tidak dapat melepaskan diri dari kegiatan berkomunikasi dengan
manusia lain. Komunikasi antar manusia bertujuan untuk menyampaikan suatu pesan. Dalam kegiatan
berkomunikasi yang efektif, penutur dan lawan tutur mempertimbangkan berbagai faktor pragmatik yang
terlibat di dalamnya, misal penutur akan menggunakan bahasa yang berbeda kepada lawan tutur berdasarkan
faktor usia, status sosial ekonomi, keeratan hubungan personal, formalitas tuturan, volume suara, dan faktor-
faktor lain bergantung pada pihak yang dilibatkan (Wijana, 2004, hlm. 4). Maka, komunikasi yang efektif
dapat tercapai apabila penutur dan lawan tutur mempertimbangkan aspek pragmatik dalam berkomunikasi.
Aspek pragmatik yang dibahas dalam penelitian ini adalah prinsip kesopanan, prinsip kerjasama dan
parameter pragmatik.
Masalah dalam penelitian ini adalah apa bentuk - bentuk penyimpangan prinsip kesopanan, prinsip
kerjasama dan parameter pragmatik yang terjadi dalam novel berjudul Kambing Jantan: Sebuah Catatan
Harian Pelajar Bodoh. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan penyimpangan tiga aspek pragmatik yaitu
prinsip kesopanan, prinsip kerjasama dan parameter pragmatik yang terjadi dalam novel berjudul Kambing
Jantan: Sebuah Catatan Harian Pelajar Bodoh oleh Raditya Dika dan memperlihatkan maksim yang dominan
pada setiap aspek pragmatik.
Novel berjudul Kambing Jantan: Sebuah Catatan Harian Pelajar Bodoh oleh Raditya Dika adalah
novel remaja yang ditulis berdasarkan kisah nyata yang dialami penulis novel ketika menimba ilmu di
Australia. Novel ini bercerita kelucuan dan kekonyolan yang dilakukan penulis beserta teman- temannya.
Namun, kelucuan dan kekonyolan yang diceritakan memiliki banyak penyimpangan dalam aspek pragmatik.
Penyimpangan itu terjadi karena tidak sesuai dengan maksim- maksim yang harus ditaati oleh peserta
percakapan.

KERANGKA TEORETIS
Penelitian ini menggunakan teori prinsip kesopanan dari Leech (1983), teori prinsip kerjasama dari Grice
(1975) dan parameter pragmatik dari Brown dan Levinson (1978).
77
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Leech (1983) membagi prinsip kesopanan menjadi enam maksim yaitu maksim kebijaksanaan (tact
maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim
kerendahan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim) dan maksim kesimpatian
(sympathy maxim). Setiap maksim dalam prinsip kesopanan memiliki 2 submaksim. Berikut penjelasan
maksim kesopanan dan submaksim submaksimnya.
1. Maksim kebijaksanaan (impositif dan komisif)
a. Minimalkan kerugian terhadap orang lain
b. Maksimalkan keuntungan bagi orang lain
2. Maksim kemurahan (impositif dan komisif)
a. Minimalkan keuntungan diri sendiri
b. Maksimalkan kerugian diri sendiri
3. Maksim penerimaan (ekspresif dan asertif)
a. Minimalkan ketidakhormatan terhadap diri sendiri
b. Maksimalkan rasa hormat terhadap orang lain
4. Maksim kerendahan hati (ekspresif dan asertif)
a. Minimalkan rasa hormat terhadap diri sendiri
b. Maksimalkan ketidakhormatan terhadap diri sendiri
5. Maksim kecocokan (asertif)
a. Minimalkan ketidaksetujuan antara diri sendiri dengan orang lain
b. Maksimalkan kesetujuan antara diri sendiri dengan orang lain
6. Maksim kesimpatian (asertif)
a. Minimalkan rasa antipati antara diri sendiri dengan orang lain
b. Maksimalkan rasa simpati antara diri sendiri dengan orang lain (hlm. 132)
Grice (1975) membagi prinsip kerjasama menjadi empat maksim yaitu kuantitas, kualitas, relevansi
dan pelaksanaan. Maksim kuantitas berkaitan dengan kuantitas informasi yang disediakan, maksim kualitas
berkaitan dengan kontribusi memberikan informasi yang benar, maksim relevansi berkaitan dengan
kontribusi yang relevan dengan topik pembicaraan dan maksim pelaksanaan tidak berkaitan dengan apa
yang dibicarakan tapi bagaimana pembicaraan itu dilakukan. Ada empat hal yang harus dipenuhi oleh
peserta percakapan dalam maksim ini yaitu percakapan yang tidak kabur, tidak ambigu, jelas dan runtut
(hlm. 45- 46).
Brown dan Levinson (1978) membagi tiga parameter sosial yang dapat mengancam wajah (face)
yaitu jarak sosial (social distance), status sosial (power) dan tindak ucap (rate of imposition) (Renkema,
2004, hlm. 26).

METODE PENELITIAN
Ancangan penelitian ini adalah penelitian kualitatif karena mendeskripsikan hasil penelitian berupa kata-
kata. Sumber data dalam penelitian ini adalah novel berjudul Kambing Jantan: Sebuah Catatan Harian
Pelajar Bodoh ditulis oleh Raditya Dika (2005) diterbitkan oleh Gagas Media terdiri dari 237 halaman.
Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu data yang dikumpulkan oleh peneliti itu sendiri.
Data primer ini berupa dialog yang mengalami penyimpangan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian
ini adalah kajian pustaka. Metode dalam menganalisis data adalah mengklasifikasikan data hasil penellitian
kemudian data itu dianalisa berdasarkan maksim dalam prinsip kesopanan dan prinsip kerjasama serta
parameter dalam parameter pragmatik. Hasil analisis akan dibuat dalam bentuk tabel untuk mengetahui
maksim yang dominan dari setiap aspek pragmatik.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penyimpangan prinsip kerja sama yang dominan terjadi pada maksim kualitas dan pelaksanaan. Dari hasil
analisis terdapat dua dialog yang menyimpang dari maksim kualitas dan dua dialog dari maksim
pelaksanaan. Contoh salah satu dialog yang menyimpang dari maksim kualitas yaitu.
Petugas imigrasi yang berkumis (PIYB): kamu lahirnya di pesawat ya dek?
Gw: Hah? Engga kok, pak. Saya lahir di kandang kelinci. Emangnya kenapa pak?
PIYB: Abis nama kamu di passport itu Dika Angkasaputra Moerwani. Ada Angkasa- angkasanya gitu
Penjelasan: Dalam wacana di atas, penulis melanggar maksim kualitas. Jawaban penulis yang bercetak tebal
diutarakan sebagai reaksi terhadap pertanyaan yang tidak lazim dari petugas imigrasi.

78
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Penyimpangan prinsip kerja sama yang dominan berikutnya terjadi pada maksim pelaksanaan.
Contoh salah satu dialog penyimpangan maksim ini adalah.
Dia: Hey, what u’r doing???
Gw: not much…I’m working on my ass.
Dia: U’r working on ur ass?
Gw: Yess…my ass is very hard.
Dia: HUH? Ur ass is very hard?!!!
Gw: Yep. And my teacher wants this ass by Saturday.
Dia: what the fuck? (hlm. 175).
Penjelasan: Dalam percakapan di atas, terjadi kesalahpahaman antara dia dan penulis mengenai arti kata ass.
Penulis mengartikan ass adalah assignment yaitu tugas kuliah sementara itu dia mengartikan ass
sebagai pantat. Hal ini terjadi karena penulis melanggar maksim pelaksanaan yang menghendaki
peserta pembicaraan untuk berbicara dengan jelas dan tidak taksa. Dari dialog antara dia dan
penulis, tersirat tokoh dia tidak memahami penyingkatan kata ass karena bukan berasal dari
Indonesia dan penulis mungkin beranggapan dia mengetahui kata itu dengan mengesampingkan
fakta bahwa kata ass yang merupakan singkatan dari kata assignment adalah bahasa gaul yang
digunakan oleh remaja di Indonesia.
Penyimpangan prinsip kesopanan yang dominan terjadi pada maksim penerimaan. Dari hasil analisis
terdapat 14 dialog yang menyimpang. Contoh salah satu dialog yang menyimpang dari maksim ini yaitu.
Gw: Yeah, actually my name isn’t Nike…it’s Dika…
Chang: HAH? DICKHEAD? HAHAHAHAHAHA *mukul meja*
Gw: *pasrah* yeah…Nike is alright, then…(hlm. 31).
Penjelasan: Tuturan dari Chang menunjukkan penyimpangan pada maksim penerimaan karena Chang
merendahkan nama penulis yang memiliki kemiripan dengan kata dickhead.
Penyimpangan parameter sosial yang dominan terjadi pada jarak sosial. Dari hasil analisis terdapat
tiga dialog yang menyimpang. Contoh salah satu dialog yang menyimpang dari parameter ini yaitu
Gw: *bengong* ya?
Pria Kotak Ijo (PKI): mo nonton?
Gw: iya…
*Gw nerusin tidur sambil bungkuk*
PKI: *colek gue* sama siapa?
Gw: Hah?
PKI: sama siapa…temen?
Gw: sendiri.
*Gw nerusin tidur sambil bungkuk*
PKI: ngantuk yah? Abis begadang?
Gw: iya kali…(dah, mulai jutek, merasa tidurnya keganggu).
PKI: jangan tidur bungkuk gitu dong…senderan aja…(hlm. 14).
Penjelasan: Kata- kata ngantuk yah? Abis begadang? Dan jangan tidur bungkuk gitu dong…senderan
aja… menunjukkan penyimpangan dalam parameter jarak sosial karena penulis tidak mengenal
pria itu.
Untuk mengetahui dialog yang dominan mengalami penyimpangan aspek pragmatik, peneliti
membuat tabel yang berisi jumlah dialog yang mengalami penyimpangan dari setiap aspek pragmatik.
Tabel- tabel itu dapat dilihat di bawah ini.
Tabel 1. Jumlah Dialog yang Menyimpang dari Prinsip Kerja Sama
Maksim Kuantitas Kualitas Relevansi Pelaksanaan
Data - 2 1 2
Tabel 2. Jumlah Dialog yang Menyimpang dari Prinsip Kesopanan
Maksim Kebijaksanaan Kemurahan Penerimaan Kerendahan Hati Kecocokan Kesimpatian
Data 5 - 14 3 6 -
Tabel 3. Jumlah Dialog yang Menyimpang dari Parameter Pragmatik
Maksim Jarak Sosial Status Sosial Tindak Ucap
Data 3 1 -

79
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
SIMPULAN
Dari penelitian itu, dapat diketahui novel remaja berjudul Kambing Jantan: Sebuah Catatan Harian Pelajar
Bodoh memiliki banyak dialog yang menyimpang dalam tiga aspek pragmatik yaitu prinsip kerjasama,
prinsip kesopanan dan parameter pragmatik. Dari tabel di atas, dapat di ketahui penyimpangan prinsip
kerjasama didominasi oleh maksim kualitas dan pelaksanaan yaitu sebanyak 2 dialog pada setiap maksim,
penyimpangan prinsip kesopanan didominasi oleh maksim penerimaan yaitu sebanyak 14 penyimpangan
dan penyimpangan parameter pragmatik didominasi oleh jarak sosial yaitu sebanyak 3 penyimpangan.
Secara keseluruhan, penyimpangan aspek pragmatik didominasi oleh penyimpangan prinsip kesopanan yaitu
sebanyak 28 penyimpangan.

REFERENSI
Cruse, A. 2004. Meaning in language: an introduction to semantics and pragmatics. (3rd ed). Oxford: Oxford
University Press.
Grice, H.P. 1975. Logic and Conversation. Dalam Cole dan Malone. Syntax and semantics, 3, speech act (hlm. 41- 58).
New York: Academic Press.
Leech, G.N. 1983. Principle of pragmatics. New York: Longman.
Raditya Dika .2005. Kambing jantan: sebuah catatan harian pelajar bodoh. Jakarta: Gagas Media.
Wijana, I Dewa Putu. 2004. Kartun: studi permainan bahasa. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Renkema, J. 2004. Introduction to discourse studies. Amsterdam & Philadelphia: Jhon Benjamins Publishing Company.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Nayla Sabrina
Institusi : Universitas Indonesia
Riwayat Pendidikan : S2 Linguistik Peminatan Penerjemahan Universitas Indonesia
S1 Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Surabaya
Minat Penelitian : Bahasa dan Penerjemahan

80
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
CAPITOL VS DISTRICT 13: KOLOKASI VERBA YANG TERDAPAT PADA KARAKTER
KATNISS DAN PRESIDEN SNOW DALAM NOVEL TRILOGI HUNGER GAMES
BERDASARKAN KORPUS

Dewa Made Artha Yogadinata


Universitas Airlangga
yogadinata31@gmail.com; yogadinata9@gmail.com

ABSTRAK
Penggambaran antara kebaikan dan kejahatan pada sebuah karakter dalam novel tertentu telah menjadi seni.
Penggambaran baik dan buruk sebagian besar dijelaskan dalam sedemikian rupa sehingga memberikan gambaran
perbedaan yang signifikan antara masing-masing karakter, terutama dalam novel untuk anak-anak dan remaja.
Karakter protagonis dan antagonis tidak selalu digambarkan sebagai kebaikan dan kejahatan pada umumnya dalam
cerita sebuah novel. Novel yang digunakan oleh peneliti adalah trilogy Hunger Games karena novel tersebut telah
meraih banyak penghargaan. Novel tersebut disebut sebagai trilogi karena memiliki penulis novel menulis dari novel
pertama sampai dengan seri ketiga. Peneliti memiliih Katniss sebagai karakter protagonis. Kemudian, peneliti memilih
Presiden Snow sebagai karakter antagonis. Kejahatan digambarkan sebagai karakter yang ahli dalam
menyembunyikan rencana buruk. Hal ini dapat dilihat dari kolokasi verba yang memiliki karakter antagonis dalam
novel. Selain itu Katniss sebagai karakter protagonis tetap digambarkan dengan jelas sebagai kebaikan. Kolokasi
verba mengidentifikasi perilaku dan tindakan dari karakter. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa
penggambaran antara karakter protagonis dan antagonis dalam novel trilogi Hunger Games. Peneliti menganalisa
kolokasi verba yang terdapat pada Katniss dan Presiden Snow dalam seluruh novel ini dengan menggunakan metode
pendekatan korpus. Pencarian kolokasi kata kerja karakter tersebut dalam novel ini dibantu oleh alat software yang
dikenal dengan AntConc. Selanjutnya, kolokasi verba yang telah ditemukan melalui Antconc dikategorikan ke dalam
kategori semantik yang dikemukakan oleh Biber pada tahun 1999 untuk melihat cara penulis novel menggambarkan
tokoh antagonis dan protagonis dalam novel ini. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil empat puluh kolokasi verba
yang memiliki frekuensi tertinggi yang terdapat pada Katniss dan Presiden Snow. Dari tujuh kategori semantik yang
dikemukakan oleh Biber hanya enam kategori yang dimiliki kolokasi verba pada karakter Katniss. Kolokasi verba
karakter Katniss tidak ada dalam kategori semantik verbs of simple occurrence. Sedangkan pada kolokasi verba yang
terdapat pada Presiden Snow memiliki lima kategori semantik. Kategori semantik yang tidak dimiliki karakter Presiden
Snow adalah verbs of facilitation or caursation dan verbs of existence or relation. Kolokasi verba tersebut
menunjukkan bahwa karakter antagonis tidak selalu digambarkan sebagai kejahatan terus menerus tetapi juga
mempunyai sisi kebaikan dibalik kejahatannya. Hal itu terjadi karena untuk menyembunyikan rencana jahat yang
dimiliki oleh Presiden Snow.
Kata kunci: Kategori Semantik, Karakter, Kolokasi, Novel, Verba

PENDAHULUAN
Korpora telah diterapkan di berbagai bidang, termasuk studi terjemahan, gaya bahasa, dan tata bahasa dan
pengembangan kamus (Hunston, 2002). Anthony (2004) menyatakan bahwa corpus hampir tidak berguna
tanpa beberapa jenis perangkat lunak komputer untuk memroses dan menampilkan hasil dengan cara yang
dimengerti. Dua dari perangkat lunak yang paling populer untuk ini adalah MonoConc Pro, dan WordSmith
Tools, meskipun banyak concordance lainnya dan program analisis korpus juga telah dikembangkan.
AntConc adalah aplikasi freeware, sehingga ideal untuk individu, sekolah atau perguruan tinggi dengan
anggaran yang terbatas, dan berjalan pada Windows dan sistem berbasis Linux atau Unix. Salah satu karya
yang menyediakan area yang luas untuk dianalisa adalah novel. Dari bias antara baik dan buruk untuk
kejahatan yang tersembunyi itu menarik untuk diceritakan sepanjang cerita. Cara penulis novel
menggambarkan kebaikan dan kejahatan pada sebuah karakter dalam novel tertentu telah menjadi seni
karena saat ini tidak umum untuk menggambarkan kejahatan dan kebaikan seperti biasanya. Oleh karena itu,
ini menjadi keinginan peneliti untuk meneliti hal tersebut.
Karakter Katniss dan Presiden Snow dipilih sebagai objek penelitian, karena keduanya merupakan
karakter dominan yang berlawanan dalam cerita tersebut. Kemudian, peneliti menganalisa kolokasi verba
yang terdapat pada karakter Katniss dan Presiden Snow. Peneliti memilih untuk menganalisa kolokasi verba
yang mengikuti karakter tersebut karena dari verba tersebut dapat dilihat penggambaran perilaku dan
tindakan seorang karakter dalam suatu cerita. Setelah mendapatkan kolokasi verba yang terdapat karakter
Katniss dan Presiden Snow, peneliti mengelompokkan verba yang sudah ditemukan ke dalam kategori
semantik. Kemudian, peneliti dapat menginterpretasikan hasil temuan yang sudah dikelompokkan ke dalam
kategori semantik.
Kolokasi adalah fenomena yang berada di sekitar kata tertentu yang mungkin terjadi dalam
kombinasi dengan kata lain dalam konteks tertentu, kolokasi adalah kata yang muncul di sekitar kata lain
81
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
(Baker, Hardie, & McEnery, 2006). Baker, Hardie, dan McEnery (2006) berpendapat bahwa kolokasi dapat
berguna untuk menunjukkan keberadaan bias atau konotasi kata-kata. Pada artikel ini, peneliti menjelaskan
teori tentang kategori semantik yang dikemukakan oleh Biber, dkk (1999). Ada delapan kategori verba
semantik yang dikemukakan oleh Biber yaitu activity verbs, communication verbs, mental verbs, verbs of
facilitation or causation, verbs of simple occurrence, verbs of existence or relation, and aspectual verbs.
Activity verbs menunjukkan tindakan dan peristiwa yang bisa dikaitkan dengan pilihan, dan
mengambil subjek dengan peran semantik. Communication verbs dapat dianggap sebagai subkategori khusus
kegiatan yang melibatkan kegiatan komunikasi. Mental verbs menunjukkan berbagai kegiatan dan sesuatu
yang dialami oleh manusia, mereka tidak melibatkan tindakan fisik dan tidak selalu berarti kemauan. Verbs
of facilitation or causation menjelaskan bahwa seseorang atau benda yang tidak bernyawa menyebabkan
sesuatu. Berikutnya adalah kategori verbs of simple occurrence menjelaskan tentang peristiwa yang terlepas
dari aktivitas yang dikehendaki. Kemudian, verbs of existence or relation menjelaskan tentang keadaan yang
ada di antara entitas. Aspectual verbs mengategorikan tahap kemajuan dari beberapa kegiatan, biasanya
dijelaskan dalam klausa pelengkap mengikuti frasa verba.
Sebelumnya sudah ada tiga penelitian yang terkait dengan kolokasi yang sudah dilakukan. Pertama,
Laufer dan Waldman melakukan penelitian berjudul Verb-Noun Collocations in Second Language Writing: A
Corpus Analysis of Learners’ English. Language Learning. Mereka melakukan penelitian tentang kata kerja dan
kata benda kolokasi dalam Penulisan Bahasa Kedua. Kemudian, Indiarti dan Nadar (2013) yang melakukan
penelitian berjudul Kolokasi Pada Konstruksi subjek Antisipatoris It Dalam Bahasa Inggris. Mereka melakukan
penelitian tentang kolokasi yang mengikuti subjek It dalam bahasa Inggris. Penelitian lain yang terkait berjudul
Medan Makna Verba Berjalan Dalam Bahasa Melayu Dialek Sambas yang dilakukan oleh Susilo dan Amir
(2015). Mereka melakukan penelitian tentang kata kerja "Berjalan" dalam bahasa Melayu.
Data ini diambil dari novel trilogi The Hunger Games. Peneliti menggunakan kolokasi verba yang
terdapat pada karakter Katniss dan Presiden Snow. Sumber data dalam penelitian ini berasal dari novel trilogi
The Hunger Games. Subyek penelitian ini adalah karakter protagonis dan antagonis yaitu Katniss dan Presiden
Snow. Sementara itu, objek penelitian ini adalah kolokasi verba antara Katniss dan Presiden Snow. Penulis
mengumpulkan data dengan metode observasi. Penulis menggunakan metode non-peserta. Penulis membuat
daftar langkah-langkah untuk mengumpulkan data. Ada lima langkah dalam mengumpulkan data untuk
mengetahui kolokasi verba yang terdapat pada Katniss dan Presiden Snow dalam novel trilogi Hunger Games.
Pertama, peneliti mengunduh novel dari seri pertama hingga seri ketiga karena penelit menggunakan
novel sebagai objek. Kedua, penulis mengubah bentuk baru dari PDF ke TXT dengan. Setelah itu, penulis
memasukkan novel dari seri pertama hingga seri ketiga ke dalam program AntConc untuk menemukan
kolokasi verba. Keempat, penulis melihat kolokasi verba di dengan mengubah jarak window span menjadi
lima ke kiri dan lima ke kanan. Kelima, peneliti juga melihat dalam menu concordance untuk melihat verba
yang sesuai.Setelah peneliti memperoleh data, peneliti melihat kolokasi verba. Kedua, peneliti membuat
daftar kolokasi verba dan juga frekuensi yang dimiliki oleh verba tersebut. Setelah itu, penulis
mengkategorikan kolokasi verba berdasarkan kategori semantik yang dikemukakan oleh Biber, dkk (1999).

PEMBAHASAN
Tabel 1. Kolokasi Verba Katniss
No. Verba Freq No. Verba Freq No. Verba Freq No. Verba Freq No. Verba Freq
1. Say 91 9. Hear 9 17. Sleep 4 25. Keep 3 33. Tell 3
2. Know 21 10. Come 8 18. Stay 4 26. Make 3 34. Try 3
3. Go 19 11. Begin 7 19. Stop 4 27. Manage 3 35. Whispers 3
4. Do 14 12. See 7 20. Take 4 28. Move 3 36. Wish 3
5. Asks 13 13. Want 7 21. Find 3 29. Plead 3 37. Worry 3
6. Think 12 14. Let 6 22. Got 3 30. Remember 3 38. Agree 2
7. Look 10 15. Call 4 23. Help 3 31. Seem 3 39. Answer 2
8. Get 9 16. Clear 4 24. Hunt 3 32. Smile 3 40. Appears 2
Tabel 2. Kategori Verba Katniss
No. Kategori Verba
1. Activity Verbs Go, do, look, get, come, clear, take, find, got, hunt, make, move, smile, sleep, plead,
manage, try
2. Communication Verbs say, ask, call, tell, whispers, answer
3. Mental Verbs know, think, hear, see, want, remember, wish, worry, agree.
4. Facilitation Verbs let, help
5. Relation Verbs stay, seem, appears
6. Aspectual Verbs begin, stop, keep

82
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Tabel 3. Kolokasi Verba Presiden Snow
No. Verba Freq No. Verba Freq No. Verba Freq No. Verba Freq No. Verba Freq
1. Say 8 9. Send 3 17. Hates 2 25. Smiles 1 33. Approved 1
2. Thinks 5 10. Kill 3 18. Visit 2 26. Rubs 1 34. Destroyed 1
3. Speak 5 11. Drawing 2 19. Tell 2 27. Rises 1 35. Condemn 1
4. Use 4 12. Begins 2 20. Imagine 2 28. Read 1 36. Chokes 1
5. Takes 4 13. Try 2 21. Want 2 29. Put 1 37. Made 1
6. Knows 3 14. Had 2 22. Move 2 30. Pours 1 38. Silences 1
7. Hear 3 15. Gives 2 23. Get 2 31. Goes 1 39. Whisper 1
8. Act 3 16. Asks 2 24. Convince 2 32. Calls 1 40. Watching 1
Tabel 4. Kategori Verba Presiden Snow
No. Kategori Verba
1. Activity Verbs use, takes, act, send, kill, try, gives, visit, move, get, smile, rubs, put, pours, goes,
watching destroyed, condemn, chokes, made
2. Communication Verbs say, speak, drawing, asks, tell, convince, calls, whisper
3. Mental Verbs think, knows, hear, imagine, had, hate, want, read, approved, silences.
4. Verbs of simple occurence rises
5. Aspectual Verbs Begins

INTERPRETASI DATA
Katniss dan Presiden Snow mempunyai kolokasi verba yang termasuk dalam activity verbs. Ini berarti,
mereka digambarkan sebagai karakter yang memiliki peran penting dalam novel ini Tetapi, kolokasi verba
yang terdapat pada karakter Presiden Snow tidak selalu berupa keburukan. Presiden Snow mempunyai verba
smile yang berarti dalam cerita novel tersebut dapat diketahui bahwa seorang karakter antagonis juga ada sisi
baiknya agar kejahatannya tidak langsung diketahui oleh musuhnya. Kemudian, kolokasi verba mereka juga
termasuk dalam kategori communication verbs. Karakter Katniss dan Presiden Snow juga melakukan
komunikasi dan percakapan dengan lawan main mereka karena dengan begitu mereka dapat mengetahui
keadaan yang terjadi di sekitar merekan.
Kemudian, kolokasi verba mereka juga terdapat dalam kategori mental verbs. Katniss dan Presiden
Snow digambarkan sebagai karakter yang mempunyai ambisi dan ingin mencapai sesuatu yang mereka
inginkan. Ini terlihat pada kategori mental verbs yang terdapat verba want. Katniss dan Presiden Snow juga
mempunyai kategori semantik dalam aspectual verbs. Katniss digambarkan sebagai karakter yang
mengawali dan mengakhiri suatu peristiwa atau kejadian dalam ceita tersebut karena dia mempunyai
kolokasi verba begin, dan stop. Katniss juga digambarkan sebagai karakter yang dapat menyembunyikan
sesuatu, hal ini dapat diketahui karena dia mempunyai kolokasi verba keep pada kategori aspectual verbs.
Selain itu, Presiden Snow hanya memiliki kolokasi verba begin pada kategori aspectual verbs. Karakter
Presiden Snow berarti hanya bisa mengawali suatu kejadian tetapi dia tidak tahu cara untuk mengakhiri yang
sudah dimulainya.
Kolokasi verba yang terdapat pada karakter Katniss juga ada ke dalam kategori verbs of facilitation
or causation dan verbs of existence or relation. Karakter Katniss dapat diketahui sebagai karakter yang
selalu ingin menjalin hubungan baik dengan semua karakter dalam cerita ini, dia juga selalu melakukan
semua misi yang dia inginkan bersama dengan karakter yang lain dengan kata lain dia tidak dapat sendirian
dalam melakukan segalah hal. Katniss juga karakter yang mampu menciptakan hal baru dan membantu
karakter yang lain dalam menemukan sesuatu yang baru pada cerita ini. Katniss adalah karakter protagonis
dalam cerita ini jadi dia juga digambarkan sebagai karakter yang suka membantu dan menciptakan segala
sesuatu yang baru dan hal yang dilakukan Katniss itu telah dinantikan oleh karakter yang lain maupun
masyarakat yang ada di distrik tiga belas. Sebaliknya dengan Presiden Snow, kolokasi verba pada karakter
tersebut tidak mempunyai kategori semantik verbs of facilitation or caursation dan verbs of existence or
relation. Jika dilihat dari temuan itu berarti Presiden Snow merupakan karakter yang selalu menjalankan
keinginannya sendiri tidak melibatkan karakter yang lainnya. Presiden Snow juga tidak membuat sesuatu
yang yang baru dalam cerita ini.
Presiden Snow mempunyai kolokasi verba yang dikategorikan dalam tipe verbs of simple
occurrence. Dalam cerita yang terdapat pada novel trilogy Hunger Games, Presiden Snow adalah karakter
yang membuat atau menciptakan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh karakter yang lain maupun
masyarakat yang dipimpin oleh Presiden Snow. Presiden Snow adalah karakter yang antagonis dalam cerita
ini, jadi dia digambarkan sebagai karakter yang selalu menimbulkan kekacauan tetapi secara tersembunyi.
Sebaliknya dengan karakter Katniss yang kolokasi verbanya tidak terdapat dalam kategori semantik verbs of
simple occurrence. Dalam cerita trilogi Hunger Games ini, karakter Katniss tidak pernah menimbulkan atau
menciptakan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh karakter yang lain. Hal itu dapat terjadi karena Katniss
adalah seorang tokoh protagonist dalam cerita trilogi Hunger Games ini.
83
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Katniss juga digambarkan sebagai karakter yang tidak terlalu sering melakukan tindakan
berkomunikasi melainkan dia lebih sering melakukan tindakan yang tidak melibatkan fisik seperti berpikir,
dan mengingat. Penulis novel ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa Katniss adalah karakter yang
penuh dengan pertimbangan sebelum melakukan aksinya. Sedangkan Presiden Snow adalah karakter yang
tidak terlalu banyak pertimbangan dalam melakukan aksinya dalam cerita ini. Peneliti dapat berinterpretasi
seperti itu karena kolokasi verba yang terdapat pada Katniss lebih banyak dikategorikan ke dalam mental
verbs dari pada communication verbs. Di samping itu, kolokasi verba yang terdapat pada Presiden Snow
lebih banyak dikategorikan ke dalam communication verbs dari pada mental verbs.

KESIMPULAN
Kolokasi verba yang terdapat pada Katniss hanya ada dalam tujuh kategori semantik. Kategori semantik
yang dimiliki Katniss adalah activity verbs, communication verbs, mental verbs, verbs of facilitation or
causation, verbs of existence or relation, dan aspectual verbs. Karakter Katniss tidak mempunyai kategori
semantik dalam verbs of simple occurrence. Kemudian, kolokasi verba yang terdapat pada Presiden Snow
dalam novel trilogi Hunger Games ini hanya memiliki lima kategori semantik dari delapan kategori semantik
yang dikemukakan oleh Biber (1999). Kategori semantik yang dimiliki oleh Presiden Snow adalah activity
verbs, communication verbs, mental verbs, verbs of simple occurrence, dan aspectual verbs.
Katniss juga digambarkan sebagai karakter yang tidak terlalu sering melakukan tindakan
berkomunikasi melainkan dia lebih sering melakukan tindakan yang tidak melibatkan fisik seperti berpikir,
dan mengingat. Penulis novel ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa Katniss adalah karakter yang
penuh dengan pertimbangan sebelum melakukan aksinya. Presiden Snow tidak selalu digambarkan sebagai
karakter yang jahat dalam cerita trilogi Hunger Games ini. Peneliti bisa menyimpulkan hal tersebut karena
Presiden Snow memiliki kolokasi verba smile yang masuk ke dalam kategori semantik activity verbs.
Dengan kata lain, penulis novel ini menggambarkan karakter antagonis sebagai karakter yang pandai dalam
menyembunyikan semua kejahatannya.

DAFTAR PUSTAKA
Anthony, L., 2004. AntConc: A learner and classroom friendly, multi-platform corpus analysis toolkit. proceedings of
IWLeL, pp.7-13.
Baker, P., Hardie, A. and McEnery, T., 2006. A glossary of corpus linguistics. Edinburgh University Press.
Görlach, M., Biber, D., Johansson, S., Leech, G., Conrad, S. and Finegan, E., 2000. Longman Grammar of Spoken and
Written English.
Hunston, S., 2002. Corpora in applied linguistics. Ernst Klett Sprachen.Indhiarti, T.R. and FX Nadar, M.A., 2013.
KOLOKASI PADA KONSTRUKSI SUBJEK ANTISIPATORIS IT DALAM BAHASA INGGRIS (Doctoral
dissertation, Universitas Gadjah Mada).aufer, B. dan Waldman, T. (2011), Verba-Noun Collocations dalam
Menulis Bahasa Kedua: Sebuah Analisis Corpus dari Pembelajar 'Belajar Bahasa Inggris, 61:. 647-672.
Laufer, B. dan Waldman, T., 2011. Verb-Noun Collocations in Second Language Writing: A Corpus Analysis of
Learners’ English. Language Learning, 61: 647–672.
Susilo, F. and Amir, A., 2013. MEDAN MAKNA VERBA BERJALAN DALAM BAHASA MELAYU DIALEK
SAMBAS. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, 2(9).
Suzzane Collins. (nd). Diperoleh November 20, 2015, dari SuzzaneCollinsBook.com: www.suzzanecollinsbooks.com
(nd). Diperoleh November 27, 2015, dari https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=
8&ved=0ahUKEwjW8vzmyd_JAhWMcI4KHeBLCtoQFggbMAA&url=http%3A%2F%2Fwww.kkoworld.com%2Fkitabl
ar%2Fsuzanna-kollinz-acliq-oyunlari-1-hisse-eng.pdf&usg=AFQjCNGzZ89GBKXx10iV6gw43gD9eXPfZ
(nd). Diperoleh November 27, 2015, dari https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=
8&ved=0ahUKEwiO07P9yd_JAhVNBI4KHfLNBDEQFggeMAA&url=http%3A%2F%2Fwww.anderson5.net%2Fcms%
2Flib02%2FSC01001931%2FCentricity%2FDomain%2F222%2FCatching%2520Fire.pdf&usg=AFQjCNEghHxR2
(nd). Diperoleh November 27, 2015, dari https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact
=8&ved=0ahUKEwjW8vzmyd_JAhWMcI4KHeBLCtoQFggdMAE&url=http%3A%2F%2Fwww.anderson5.net%2Fcms
%2Flib02%2FSC01001931%2FCentricity%2FDomain%2F222%2FMocking%2520Jay.pdf&usg=AFQjCNEZsNKrc3I

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Dewa Made Artha Yogadinata
Institusi : Universitas Airlangga
Riwayat Pendidikan : S1 Sastra Inggris Universitas Airlangga
Minat Penelitian : Linguistik Korpus

84
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
KARAKTERISTIK BAHASA PADA NOVEL CATATAN HATI SEORANG ISTRI
KARYA ASMA NADIA

Wahyu Damayanti
Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Barat
wahyu_b7320@yahoo.com

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini mendiskripsikan karakteristik bahasa pada novel Catatan Hati Seorang Istri (CHSI) karya Asma
Nadia dan faktor yang memengaruhi karakterisik bahasa tersebut. Landasan teori yang digunakan Suwito (1985) alih
kode, Suandi (2014) campur kode, Weinreich (1953) tentang interferensi. Metode dalam penelitian ini metode deskripsi
kualitatif. Data diperoleh dari novel CHSI karya Asma Nadia. Hasil pembahasan disimpulkan bahwa terdapat alih kode,
campur kode, dan interferensi. Alih kode terdiri alih kode dalam, adanya bahasa Ambon dan bahasa Jawa. Alih kode luar
munculnya bahasa Inggris dan bahasa Arab. Begitu juga dalam campur kode terdiri tiga jenis yaitu campur kode dalam,
campur kode luar, dan campur kode campuran. Campur kode dalam terdapat bahasa Jawa dan Betawi, sementara itu
campur kode luar terdapat bahasa Inggris dan Arab, sedangkan campur kode campuran terdapat bahasa Inggris, bahasa
Arab, dan bahasa Jawa. Adanya interferensi pada tataran morfologi. Faktor yang memengaruhi terjadinya alih kode, dan
campur kode, diantaranya; peralihan pokok pembicaraan, dan penggunaan ragam nonformal dan tutur bahasa rendah
dibandingkan dengan penggunaan ragam bahasa tinggi, keterbatasan padanan kata, istilah lebih popular. Faktor yang
memengaruhi interferensi karena terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu.
Kata kunci : karakteristik, alih kode; campur kode; Asma Nadia

PENDAHULUAN
Bahasa sebagai lambang bunyi yang arbiter dipergunakan oleh masyarakat untuk berhubungan dan bekerja
sama, berinteraksi, dan mengindentifikasikan diri (Harimurti dalam Wijana dan Rohmadi, 2013:163).
Bahasa sebagai alat komunikasi mempunyai peranan yang penting dalam interaksi manusia. Bahasa dapat
digunakan manusia untuk menyampaikan ide, gagasan, keinginan, perasaan, dan pengalamannya kepada
orang lain. Tanpa bahasa manusia akan lumpuh dalam komunikasi maupun berinteraksi antarindividu
maupun kelompok. Dengan demikian, manusia tidak dapat terlepas dari bahasa karena pentingnya fungsi
bahasa dalam kehidupan. Pernyataan itu senada dengan pendapat Samsuri (dalam Wijana dan Rohmadi,
2013:163) bahwa manusia tidak lepas memakai bahasa karena bahasa adalah alat yang dipakainya untuk
membentuk pikiran, perasaan, keinginan dan perbuatan-perbuatannya, serta sebagai alat untuk memengaruhi
dan dipengaruhi.
Salah satu aplikasi bahasa sebagai alat komunikasi adalah penggunaan bahasa pada novel Catatan
Hati Seorang Istri (CHSI) karya Asma Nadia. Asma Nadia merupakan penulis yang fenomenal saat ini,
Banyak karya yang dihasilkan diantaranya; cerpen, novel, buku-buku nonfiksi inspiratif, dan skenario.
Empat puluh tiga bukunya diterbitkan berbagai penerbit di tanah air sejak tahun 2000, sementara dua
cerpennya: Emak Ingin Naik Haji (2009) dan Rumah Tanpa Jendela (2011) telah diangkat ke layar lebar.
Novel Catatan Hati Seorang Istri dicetak sampai tujuh belas kali, dikarenakan banyak peminatnya.
Sebagai karya nonfiksi yang lahir dari perempuan dengan mengusung tema perempuan ini, bisa dibilang
saat terbit buku ini menjadi fenomena tersendiri: menjadi buku nonfiksi terlaris versi Kompas dan Tempo,
selama hampir setahun lamanya.
Asma Nadia dalam menuangkan ide cerita dalam Novel CHSI memunculkan bahasa yang
bervariasi. Meskipun ada beberapa bahasa yang dipungut dari ungkapan hati para ibu-ibu atau penulis yang
mencurahkan isi hati mereka kepada Asma Nadia, hal ini menjadikan karya tersebut menjadi tidak monoton.
Ketidakmonotonan ditunjukkan Asma Nadia dengan ditemukan beberapa kata bahasa Inggris, bahasa Jawa,
bahasa Arab, dan bahasa Ambon sehingga si pembaca dibuat sangat menikmati tulisan tersebut.
Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana karakteristik bahasa pada novel CHSI karya Asma Nadia
dan faktor apa yang memengaruhi karakteristik tersebut. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan
karakteristik bahasa pada novel CHSI karya Asma Nadia dan faktor yang memengaruhi karakteristik
tersebut. Manfaat penelitian ini diharapkan dapat menjadi barometer bahasa khusus untuk pengguna bahasa
pada media tertulis yaitu novel sehingga dapat diterima secara luas bagi masyarakat, di samping itu dapat
bermakna bagi upaya pembinaan dan pengembangan ilmu bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa-
bahasa lainnya.

85
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
LANDASAN TEORI
Alih Kode
Latar belakang terjadinya alih kode dapat ditelusuri melalui keterkaitan suatu pembicaraan dengan konteks
dan situasi berbahasa. Hymes (dalam Suandi, 2014:135) mengemukakan faktor-faktor dalam suatu interaksi
pembicaraan yang dapat memengaruhi penetapan makna, yaitu: siapa pembicara atau bagaimana pribadi
pembicara, dimana atau kapan pembicara itu berlangsung, apa modus yang digunakan, apa topik atau
subtopik yang dibicarakan, apa fungsi dan tujuan pembicaraan, apa ragam bahasa dan tingkat tutur yang
digunakan. Selain faktor di atas, faktor yang lain yang turut melatarbelakangi terjadinya alih kode adalah
sebagai berikut, penutur dan pribadi penutur, perubahan situasi tutur, kehadiran orang ketiga,peralihan
pokok pembicaraan, membangkitkan rasa humor, ragam dan tingkat tutur bahasa serta untuk sekedar
bergengsi.
Alih kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian atau peralihan pemakaian dua bahasa
atau lebih, beberapa variasi dari satu bahasa, atau bahkan beberapa gaya dari suatu ragam (Rahardi,
2001:20). Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain. Nababan
(1991:31) menyatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup juga kejadian pada waktu kita beralih dari satu
ragam bahasa yang satu, misalnya ragam formal ke ragam lain, misalnya ragam akrab; atau dari dialek satu
ke dialek yang lain; atau dari tingkat tutur tinggi. Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan
bahwa alih kode (code switching) merupakan suatu istilah yang digunakan untuk mengacu pada sebuah
situasi pergantian pemakaian dua bahasa atau lebih beberapa variasi dari satu bahasa dalam suatu peristiwa
tutur.
Menurut Suandi (2014:135) alih kode dillihat dari sudut pandang perubahan bahasa yang
digunakan, dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu alih kode ke dalam (internal code switching) dan alih
kode ke luar (external code switching). Berikut diuraikan secara rinci kedua jenis alih kode tersebut. 1) Alih
Kode ke Dalam (Internal Code Switching): alih kode yang terjadi bila si pembicara dalam pergantian
bahasanya menggunakan bahasa bahasa yang masih dalam ruang lingkup bahasa nasioanal atau antardialek
dalam satu bahasa daerah atau antara beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam satu dialek. 2) Alih
Kode Ke Luar (External Code Switching): alih kode yang di dalam pergantian bahasanya si pembicara
mengubah bahasanya dari bahasa yang satu ke bahasa lain yang tidak sekerabat (bahasa asing).
Campur Kode
Suwito (1985) menyatakan campur kode terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara
dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan
dengan karakteristik penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, dan rasa keagamaan. Ciri
yang menonjol biasanya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun, campur kode juga bisa terjadi
karena keterbatasan bahasa seperti ungkapan yang tidak ada padanannya, sehingga menyebabkan adanya
keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun mendukung satu fungsi. Beberapa wujud campur kode
antara lain; penyisipan kata, penyisipan frasa, penyisipan klausa, penyisipan ungkapan atau idiom, dan
penyisipan bentuk dasar baster (gabungan bentuk asli dan asing).
Campur kode (code–mixing) merupakan wujud penggunaan bahasa lainnya selain alih kode (code
switching). Nababan (1976) mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan campur kode ialah percampuran
dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech act atau discours) tanpa ada
sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut percampuran bahasa itu. Lebih lanjut beliau
mengungkapkan bahwa dalam situasi tersebut tidak ada situasi yang menuntut pembicara, hanya masalah
kesantaian dan kebiasaan yang dituruti oleh pembicara.
Suandi (2014:140) membedakan menjadi tiga jenis yaitu campur kode ke dalam (inner code mixing),
campur kode ke luar (outer code mixing), dan campur kode campuran (hybrid code mixing). Berikut
diuraikan secara rinci ketiga jenis campur kode: a) Campur Kode ke Dalam (Inner Code Mixing) adalah
jenis campur kode yang menyerap unsur-unsur bahasa asli yang masih sekerabat. b) Campur Kode Ke Luar
(Outer Code Mixing) adalah campur kode yang menyerap unsur-unsur bahasa asing. c) Campur Kode
Campuran (Hybrid Code Mixing) adalah campur kode yang di dalamnya (mungkin klausa atau kalimat) telah
menyerap unsur bahasa asli (bahasa-bahasa daerah) dan bahasa asing.
Suandi (2014:143—146) membagi beberapa tiga belas faktor penyebab campur kode, antara lain;
keterbatasan penggunaan kode, penggunaan istilah yang lebih popular, pembicara dan pribadi pembicara,
mitra bicara, tempat tinggal dan waktu pembicaraan berlangsung, modus pembicaraan, topic, fungsi dan
tujuan, ragam dan tingkat tutur bahasa, hadirnya penutur ketiga, pokok pembicara, untuk membangkitkan
rasa humor, dan untuk sekadar bergengsi.

86
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Interferensi
Dalam peristiwa interferensi digunakan unsur-unsur bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa tulis
aupun lisan, yang dianggap sebagai suatu kesalahan karena menyimpang dari kaidah atau aturan bahasa
yang digunakan. Weinreich (1953) menyebut interferensi adanya persentuhan sistem suatu bahasa
sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan
oleh penutur bilingual. Penutur multilingual yaitu penutur yang dapat menggunakan banyak bahasa secara
bergantian. Weinreich menganggap bahwa interferensi sebagai gejala penyimpangan dari norma-norma
kebahasaan yang terjadi pada penggunaan bahasa seorang penutur sebagai akibat pengenalannya terhadap
lebih dari satu bahasa, yakni akibat kontak bahasa.
Menurut Weinreich (dalam Suandi, 2014:117), terdapat beberapa factor yang menyebabkan
terjadinya interferensi, antara lain; kedwibahasaaan peserta tutur, tipisnya kesetiaan pemakai bahasa
penerima, tidak cukupnya kosakata bahasa penerima, menghilangnya kata-kata yang jarang digunakan,
kebutuhan akan sinonim, prestise bahasa sumber dan gaya bahasa, terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu mendeskripsikan data atau fakta penggunaan
bahasa dalam novel CHSI karya Asma Nadia. Sumber data dalam penelitian ini adalah bahasa pada novel
CHSI yang diterbitkan tahun 2014 khususnya berkaitan dengan alihh kode, campur kode, dan interferensi.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik pilah unsur penentu atau teknik PUP. Menurut
Sudaryanto (2015:25) teknik pilah unsur penentu adalah daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh
penelitinya. Sesuai dengan jenis penentu yang akan dipilah-pilahkan atau dipisah-pisahkan atau dibagi
menjadi berbagai unsur itu. Analisis data dimulai dengan pentranskripsian data, identifikasi data,
pengklasifikasian data, dan penginterpretasian data.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada novel CHSI terdapat judul besar di setiap cerita. Pada judul besar terdapat dua subtema cerita. Berikut
beberapa data yang terjaring berkaitan dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini.
Alih Kode ke Dalam (Internal Code Switching)
1. Pokoknya kami ingin Aba senang. Ahai, saya menangkap cahaya kehidupan di matanya. Aba
menghentikan makannya sejenak, melihat ke mata saya, menyentuh lengan saya, “Beta sayang dong
samua, apalagi Ibu su seng ad alai.” Ah…saya tertegun mendengarnya. (CHSI, hal 246).
2. Semua mata tertuju pada saya. “Ca Ida kan yang tertua, jadi Ca Ida yang musti bilang par Antua”.
Saya tersudut, saya tahu kami semua takut menyampaikan hal ini pada Aba. (CHSI, hal 245)
3. Kami juga akan menyiapkan mental untuk itu. “Mangkali katong musti cari Ibu lain par Aba, supaya
ada yang hibur Aba.”Ah, akhirnya keluar juga kata-kata yang berat membebani hati saya. (CHSI, hal
246).
4. Melihat Aba di depan pintu kamar, saya langsung lompat memeluknya. “Aba, maaf beta juga ,
katong su seng pung Ibu, jang Aba ilang dari katong. Kalau Aba bagini, katong musti pi mana.”
(CHSI, hal 247).
5. Dengan suara pelan tetapi jelas terdengar oleh saya, “Dengar, Nak, Ibu talalu barsi dan ikhlas untuk
beta. Jadi Aba seng bisa ganti dengan orang lain.” (CHSI, hal 247).
Kalimat pada data (1—5) mengalami alih kode dalam (inner code switching) dengan menggunakan bahasa
daerah Ambon yaitu “Beta sayang dong samua, apalagi Ibu su seng ada lai.” Arti dari kalimat tersebut
“saya menyayangi kalian semua, terlebih lagi ketika Ibu sudah berpulang.” Data (2) “Ca Ida kan yang
tertua, jadi Ca Ida yang musti bilang par Antua.”(Ca Ida kan anak tertua, jadi Ca Ida yang harus
menyampaikannya ke beliau). Data (3), “Mangkali katong musti cari Ibu lain par Aba, supaya ada yang
hibur Aba. (Mungkin sudah saatnya kami mencari pengganti Ibu untuk Aba, biar ada yang menghibur Aba).
Data (4), “Aba, maaf beta juga , katong su seng pung Ibu, jang Aba ilang dari katong. Kalau Aba bagini,
katong musti pi mana.”(Aba, maafkan saya, kami semua sudah tidak punya Ibu, janganlah Aba hilang dari
kami. Jikalau begini, kemana kami harus pergi). Data (5), “Dengar, Nak, Ibu talalu barsi dan ikhlas untuk
beta. Jadi Aba seng bisa ganti dengan orang lain.”(Ibu terlalu bersih/menjaga kehormatannya dan ikhlas
untuk saya. Saya tidak mungkin menggantikannya dengan orang lain, Nak). Alih kode terjadi dalam tulisan
ini disebabkan karena peralihan pokok pembicaraan yang merupakan salah satu faktor pada seorang penutur
dalam menentukan kode bahasa yang dipilih. Pada masyarakat tutur Ambon, peralihan pokok pembicaraan

87
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
dapat menyebabkan peralihan kode bahasa dalam tuturan mereka. Kode dalam peralihan ini berupa kode BI
ke BA dan BA ke BI.
Alih Kode ke Luar (External Code Switching)
6. Tetapi saya tidak bisa melakukan itu. Menjadi Ibu adalah hal terbaik yang terjadi pada saya dan tidak
ingin saya tutupi. “Yes, I’m a mother of two kids, and I’m proud of it!” (CHSI, hal 193).
7. Betapa saya bersyukur bisa mendengar kalimat: I love you, Bunda (Caca), I love you, Mama (Adam),
atau mendapatkan tatapan Adam yang memandang….(CHSI, hal 193).
8. ….begitu banyak poin yang digambarkan yang membuatku berpikir, barangkali sudah cukup lama
sebenarnya aku kehilangan suamiku. Sejak penghianatan pertamanya? Anyway, at least he hasn’t been
that into me for three years! (CHSI, hal 127).
9. Inge terlihat tabah menerima keterangan dokter. Sejak tiba, menurut Nita, adiknya terus mengaji. Surat
yang dilantunkan adalah kesukaan Taufik, surat Ar-Rahman. Fabi ayyi alla I rabbikumaa
tukadzzibaan… Maka nikmat Allah manakah yang kamu dustakan? (CHSI, hal 208).
10. Aku banyak berdoa, dan salah satu doa yang paing sering kuucapkan adalah: Allahumma arinal
haqqa haqqan, warzuknattiba’ah, wa arinal batila batilan warzuknajtinabah ( Ya Alla, tunjukkanlah
yang hak adalah hak dan berilah hamba kekuatan untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah yang batil
adalah batil, dan berilah hamba kekuatan untuk menjauhinya). (CHSI, hal 174).
Alih kode yang terjadi pada wacana (6—10) adalah peristiwa alih kode ke luar,yaitu alih kode dari bahasa
Indonesia ke bahasa asing diantaranya bahasa Inggris (pada data 6—8) “Yes, I’m a mother of two kids, and
I’m proud of it! (Ya, Saya seorang ibu dari dua anak dan Saya bangga untuk itu), I love you, Bunda (Caca),
I love you, Mama (Adam) (Saya mencintaimu, Bunda, Saya mencintaimu Mama) dan Anyway, at least he
hasn’t been that into me for three years! (Bagaimanapun, dia sudah tidak peduli dengan saya selama tiga
tahun). Dan bahasa Arab (9 & 10) Fabi ayyi alla I rabbikumaa tukadzzibaan (Maka nikmat Allah manakah
yang kamu dustakan?) dan Allahumma arinal haqqa haqqan, warzuknattiba’ah, wa arinal batila batilan
warzuknajtinabah (Ya Allah, tunjukkanlah yang hak adalah hak dan berilah hamba kekuatan untuk
mengikutinya, dan tunjukkanlah yang batil adalah batil, dan berilah hamba kekuatan untuk menjauhinya).
Peristiwa alih kode luar terjadi karena ragam dan tingkat tutur bahasa. Pemilihan ragam dan tingkat tutur
bahasa banyak didasarkan pada pertimbangan mitra bicara.Pertimbangan ini menunjukkan suatu pendirian
terhadap topik tertentu atau relevansi dengan situasi tertentu. Alih kode lebih sering timbul pada penggunaan
ragam nonformal dan tutur bahasa rendah dibandingkan dengan penggunaan ragam bahasa tinggi.
Campur Kode ke Dalam (Inner Code Mixing)
11. Ketika muslimah lain menangis, ngambek, dan marah-marah, saya masih bisa berpikir rasional dan
melihat masalah dengan jernih. (CHSI, hal 16).
12. Jarang lelaki itu keluar rumah kalau tidak perlu sekali. Jarang pula menghabiskan waktu sekadar
ngumpul-ngumpul dengan teman lelaki lain di kantor. (CHSI, hal 40)
13. Keberadaan Rossa di sekitar Igo membuat Kasih gerah. Ia murka tiap kali suaminya tidak bisa
dihubungi. “ pasti lagi sama perempuan celamitan itu!” (CHSI, hal 55).
14. Coba deh, elu dan Igo bicara. Cari momen untuk berdua. Bicarakan apa kegundahan masing-masing.
Temukan cara membuang kerikil yang kalian temukan. (CHSI, hal 57).
Tuturan kalimat (11—14) mengalami peristiwa campur dalam (inner code mixing) yang bersumber dari
bahasa Jawa seperti ngambek, ngumpul-ngumpul, celamitan dan bahasa Betawi yaitu kata elu. Faktor yang
memengaruhi terjadinya campur kode dalam karena faktor keterbatasan (tidak mengerti padanan kata, frase,
atau klausa dalam bahasa dasar yang digunakannya). Hal ini terjadi ketika penutur bertutur dengan kode
dasar BI, BJ, dan bahasa Betawi.
Campur Kode ke Luar (Outer Code Mixing)
15. Saya tercenung beberapa lama, memikirkan apa yang harus saya sampaikan pada Ve. Mencoba
berempati dan memasukkan diri saya pada posisinya, what if….bagaimana jika saya yang mendapat
perlakuan seperti itu…what whould I do?(CHSI, hal.9)
16. Apalagi suami benar-benar memperlakukan saya seperti ratu, Tidak jarang dia member surprise
dengan menyiapkan sarapan pagi ketika dia bangun lebih awal, dan kejutan-kejutan manis lainnya.
(CHSI, hal.13)
17. Jika itu yang terjadi….Alhamdulillah. Tinggal menggobati rasa sakit hati yang mungkin menahun.
Caranya, barangkali mengingat kebaikan-kebaikan suami yang pernah menyentuh kita (CHSI, hal.10)
18. Ah, apalagi yang bisa saya katakana, Ve? Mungkin istikharah….dan mencoba melibatkan Allah
dalam keputusan akhir yang diambil? (CHSI, hal.11)
88
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Tuturan pada kalimat (15—18) mengalami peristiwa campur kode ke luar (outer code mixing) yang
bersumber dari bahasa Inggris dan bahasa Arab. Bahasa Inggris what if….(bagaimana jika), what whould I
do (apa yang harus saya lakukan), dan surprise (kejutan). Faktor yang memengaruhi campur kode
penggunaan bahasa Inggris untuk sekedar bergengsi, hal ini terjadi apabila faktor naik fungsi
kontekstualnya maupun situasi relevansialnya. Campur kode luar pada data (17 & 18) bahasa Arab terdapat
pada kata Alhamdulillah (segala puji bagi Allah SWT) dan Istikharah (sholat untuk menentukan dua
pilihan). Faktor memengaruhi campur kode luar bahasa Arab yaitu penggunaan istilah yang lebih popular,
terdapat kosakata tertentu yang dinilai mempunyai padanan yang lebih popular.
Campur Kode Campuran (Hybrid Code Mixing)
19. Bagi saya ponsel dan agenda adalah hal yang private dan saya sangat menghormati privacy suami.
(CHSI, hal 17)
20. Mulai mempersiapkan bingkisan buku dan notes untuk seluruh peserta, sertifikat, mengcopy makalah,
termasuk buku-buku doorprize.
21. “Jidda kangen Jiddimu. Dia yang selalu nyeritain Jidda tentang Makkah, tentang Baitullah. (CHSI, hal
271).
22. Setiap Jidda berbahagia akan apa pun, selalu air mata syukur dan hamdalah diikuti dengan kerinduan
akan kekasih sejatinya. (CHSI, hal 271)
23. Ia murka tiap kali suaminya tidak bisa dihubungi. “Pasti lagi sama perempuan celamitan itu!” (CHSI,
hal 55)
Peristiwa campur kode campuran (Hybrid Code Mixing) terdapat pada tuturan kalimat (19—23) yaitu
ditandai dengan kata private (pribadi), privacy (kebebasan pribadi), mengcopy (menggandakan), doorprize
(hadiah kejutan), Baitullah (rumah Allah), hamdalah (Alhamdulillah) dan celamitan (genit). Faktor yang
memengaruhi terjadi campur kode campuran adalah ragam dan tingkat tuturan bahasa, hal ini dilakukan
karena pertimbangan pada mitra bicara dan menunjukkan suatu pendirian terhadap topik tertentu atau
relevansi dengan situasi tertentu.Campur kode ini lebih sering muncul pada pengguna ragam nonformal dan
tutur bahasa daerah jika dibandingkan dengan penggunaan ragam bahasa tinggi.
Interferensi
Meskipun interferensi dapat terjadi dalam berbagai tataran, yaitu tataran bunyi, morfologi, maupun kalimat,
akan tetapi interferensi yang terjadi dalam CHSI paling banyak adalah interferensi dalam tataran
morfologi/kata. Berikut beberapa data yang terjaring.
24. “Aku enggak pernah tahu dia sedang ada di mana sama siapa, sedang ngapain sementara aku harus
membelah perhatian untuk rumah dan kantor,” keluh Kasih lirih. (CHSI, hal 50).
25. Ia tidak terima dianggap bodoh. “Bagas pasti tidur siang kelamaan. Bangunin, dong, kalau sudah sore.
(CHSI, hal 52).
26. Sewaktu pernikahan para tanteku, buah hati mereka, “Alhamdulillah, Jidda sudah njalanken amanah
Jiddi. (CHSI, hal 272).
27. Bahkan Jiddi sering memberikan jatah makannya ke Jidda dengan alasan, “Saya ndak doyan ini, ndak
suka ini,” yang belakangan diketahui ternyata hanya agar si istri mendapat lebih. (CHSI, hal 273).
Tuturan kalimat pada data (24—27) terjadi interferensi yang ditandai dengan penanda lingual kata enggak,
ngapain, bangunin, njalanken, dan ndak. Pemakaian kata-kata tersebut seharusnya tidak digunakan dalam
pemakaian bahasa Indonesia karena sudah ada bentuk yang benar yaitu kata tidak untuk enggak, kata sedang
apa untuk ngapain, kata menjalankan untuk njalanken, kata tidak untuk ndak. Faktor yang memengaruhi
terjadinya interferensi karena terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu.

SIMPULAN
Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa karakteristik bahasa yang digunakan Asma Nadia dalam
novel Catatan Hati Seorang Istri menunjukkan bahwa terdapat alih kode, campur kode, dan interferensi. Alih
kode terdiri alih kode dalam adanya bahasa Ambon dan bahasa Jawa. Alih kode luar munculnya bahasa
Inggris dan bahasa Arab. Begitu juga dalam campur kode terdiri tiga jenis yaitu campur kode dalam, campur
kode luar, dan campur kode campuran. Campur kode dalam terdapat bahasa Jawa dan Betawi, sementara itu
campur kode luar terdapat bahasa Inggris dan Arab, sedangkan campur kode campuran terdapar bahasa
Inggris, bahasa Arab, dan bahasa Jawa. Untuk interferensi mengalami tataran morfologi. Faktor yang
memengaruhi terjadinya alih kode, dan campur kode, diantaranya; peralihan pokok pembicaraan, dan
penggunaan ragam nonformal dan tutur bahasa rendah dibandingkan dengan penggunaan ragam bahasa

89
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
tinggi, keterbatasan padanan kata, istilah lebih popular. Faktor yang memengaruhi interferensi karena
terbawanya kebiasaan dalam bahasa ibu.

DAFTAR PUSTAKA
Nadia, Asma. 2014. New: Catatan Hati Seorang Istri. Cetakan ketujuh belas. Depok: Asma Nadia Publishing House.
Nababan, P.W.J. 1976. Sosiolinguistik Selayang Pandang Bahan Ceramah pada Penataran Morfologi-Sintaksis. Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
__________. 1991. Sosiolinguistik: Suatu pengantar. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Rahardi. Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode, dan Alih Kode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suandi, Nengah, I. 2014. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara
Linguistis. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.
Suwito, 1985. Sosiolinguistik: Teori dan Problema. Surakarta: Henary offset.
Weinreich. Uriel. 1953. Language in Contact: Finding and Problems. The Hauge: Moulton.
Wijana, I Dewa Putu. Rohmadi, Muhammad. 2013. Sosiolinguistik. Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Wahyu Damayanti
Institusi : Balai Bahasa Kalimantan Barat
Riwayat Pendidikan : S1 Bahasa Inggris Universitas Tanjung Pura
Minat Penelitian : • Penggunaan Bahasa di Media Massa
• Antrolinguistik
• Bahasa di Ruang Publik

90
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA DI MEDIA SOSIAL “FACEBOOK” YANG DAPAT
MEMENGARUHI KEBERTAHANAN BAHASA INDONESIA: SEBUAH KAJIAN MORFOLOGI

Nurhafni Dhilla Fithriya Zulkifli


Universitas Mataram
nurhafni.hafid@gmail.com fithriyadhilla@gmail.com ijulk.bima@gmail.com

ABSTRAK
Media sosial facebook merupakan media sosial yang sangat mudah digunakan. Banyak masyarakat yang
menggunakannya baik kalangan menengah maupun kalangan atas. Sehingga, fenomena ini menarik untuk dikaji.
Pengkajian tentang media sosial facebook bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk kesalahan pembentukan leksikon
bahasa yang digunakan dalam media sosial facebook yang dapat memengaruhi kebertahanan Bahasa Indonesia dan
mendeskripsikan faktor-faktor terjadinya kesalahan berbahasa dalam media sosial facebook yang dapat memengaruhi
kebertahanan Bahasa Indonesia. Dalam penelitian ini dibatasi teori komunikasi, kebudayaan dan morfologi.
Selanjutnya, metode yang digunakan ialah metode kualitatif. Sehingga, yang akan menjadi data dalam penelitian ini
ialah teks dalam media sosial facebook yang diperoleh dengan cara difoto (capture atau screenshot), sedangkan yang
menjadi sumber data ialah media sosial facebook itu sendiri. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara
pengamatan/ observasi serta wawancara. Observasi dilakukan untuk mendapatkan bentuk kesalahan pembentukan
leksikon bahasa facebook, sedangkan wawancara dilakukan untuk mendapatkan jawaban tentang faktor-faktor
terjadinya kesalahan berbahasa dalam media sosial facebook yang dapat memengaruhi kebertahanan bahasa
Indonesia. Metode analisis data yang digunakan ialah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Dari
hasil analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini, ditemukan bentuk leksikon bahasa facebook yang melenceng
dari tata bahasa baku bahasa Indonesia yang dapat mengancam dan menggeser kedudukan bahasa Indonesia.
Pembentukan leksikon bahasa facebook tersebut akibat adanya proses: afiksasi dengan 4 data, reduplikasi dengan 7
data, peluluhan dengan 57 data, peluluhan + afiksasi dengan 3 data, penggantian segmen (lambang atau simbol
fonemik) dengan 12 data, peluluhan + penggantian segmen dengan 8 data dan penyengatan atau penekanan maksud
dengan 10 data. Proses pembentukan leksikon pada data-data tersebut tidak sesuai dengan tata bahasa baku bahasa
Indonesia. Dari hasil analisis data tersebut, ditemukan banyak kesalahan leksikon bahasa facebook yang terjadi pada
proses peluluhan yaitu dengan 57 data. Selanjutnya, faktor-faktor yang memengaruhi kebertahanan bahasa Indonesia,
antara lain: 1) minimnya pengetahuan tentang penggunaan pedoman bahasa Indonesia yang benar; 2) Adanya tujuan-
tujuan tertentu; 3) Mempermudah penulisan; 4) Adanya suatu komunitas; 5) Pengaruh bahasa Ibu; dan 6) Pengaruh
bahasa Asing. Dengan demikian, terdapat banyak kesalahan struktur bahasa dalam media sosial facebook yang dapat
memengaruhi kebertahanan bahasa Indonesia.
Kata kunci: bahasa Indonesia, facebook, kebertahanan , kesalahan, leksikon, media sosial, morfologi

LATAR BELAKANG
Penggunaan “facebook” dikalangan masyarakat sangat populer. Namun, kemunculannya bisa menggeser
kedudukan bahasa Indonesia. Dikarenakan sangat popular, pengguna media sosial facebook mulai dari
anak-anak, remaja, orang dewasa serta orang tua. Akibat banyaknya pengguna facebook ini, bisa kita
katakan bahwa facebook merupakan sebuah wilayah (daerah tempat tinggal) masyarakat pengguna jejaring
sosial. Karena, kita dapat berteman dengan orang di berbagai belahan dunia dan berkomunikasi secara bebas
seperti di kehidupan sehari-hari. Hal ini, tentunya akan memunculkan struktur-struktur bahasa baru yang
tidak sesuai dengan bahasa Indonesia. Contoh: A: Mowningg
B: Kecanteknyaaa mbak itak
A: Maaci cecaaa
Pada contoh di atas, A menggunakan kata “mowning” pada keterangan foto yang di unggahnya.
Selanjutnya, B mengomentari foto dengan mengatakan “kecanteknyaaa mbak itak” dan terakhir A
mengucapkan terima kasih kepada B dengan mengatakan “maaci cecaaa”. Dari contoh tersebut dapat di
lihat bahwa bahasa yang digunakan bukan bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Kata
“mowning” berasal dari bahasa inggris “morning” yang diluluhkan bunyi “r” dan diganti dengan bunyi “w”,
bahasa “kecanteknyaaa mbak itak” dipengaruhi oleh bahasa Sasak dan kata “maaci cecaaa” berasal dari
kata terima kasih dan Sessa (nama orang), kata tersebut diubah bunyinya karena dipengaruhi oleh bahasa
Inggris.
Contoh tersebut hanya beberapa dari begitu banyak istilah-istilah bahasa dalam media sosial
facebook. Apabila tidak diperbaiki secara cepat bukan tidak mungkin istilah-istilah dalam bahasa Indonesia
yang baku tidak dikenal lagi. Sehingga, menjadi tugas bersama para penggiat ilmu bahasa untuk mengurangi
dan memperbaiki kesenjangan yang terjadi antara istilah asing dan bahasa Indonesia.
Berdasarkan fenomena kebahasaan di atas, peneliti tertarik meneliti bahasa dalam media sosial
facebook yang mengancam serta menggeser kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa.
91
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Oleh karena itu, peneliti akan melakukan penelitian tentang “Analisis Kesalahan Berbahasa di Media Sosial
facebook yang Dapat Memengaruhi Kebertahanan Bahasa Indonesia: Sebuah Kajian Morfologi”.

LANDASAN TEORI
Sesuai dengan permasalahan yang diangkat, terdapat beberapa teori yang dapat menjadi landasan dalam
penelitian ini.
1. Komunikasi
2. Kebudayaan
3. Morfologi

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif.
Data dan Sumber Data
Pada bagian ini akan dipaparkan hal-hal yang berkaitan dengan data dan sumber data dalam penelitian ini.
1. Data dalam penelitian adalah teks dalam media sosial “facebook”, yang diperoleh dengan cara difoto
(capture atau screenshot).
2. Sumber data dalam penelitian ini adalah media sosial facebook.
Teknik Penyediaan Data
Teknik penyediaan data dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Pengamatan atau Observasi
2. Wawancara

PEMBAHASAN
1. Bentuk kesalahan pembentukan leksikon bahasa yang digunakan dalam media sosial facebook yang
dapat memengaruhi kebertahanan Bahasa Indonesia.
Struktur pembentukan leksikon dalam media sosial facebook memiliki banyak variasi, dikarenakan
terjadinya proses morfologi yang salah, yaitu; afiksasi, reduplikasi, peluluhan, peluluhan + afiksasi,
penggantian segmen (lambang atau simbol fonemik), peluluhan + penggantian segmen, alih kode dan
penyangatan atau penekanan maksud. Berikut akan dijabarkan proses morfologis leksikon bahasa yang
ada dalam media sosial facebook.
a. Afiksasi
Proses afiksasi tidak lain adalah proses pembubuhan atau pelekatan afiks pada bentuk/ morfem dasar;
baik morfem dasar itu berujud bentuk tunggal maupun bentuk kompleks sehingga menghasilkan kata
bentukan. Afiksasi terbagi menjadi, prefiks, infiks, sufiks dan konfiks.Bentuk leksikon bahasa facebook
yang mengalami proses afiksasi akan dipaparkan pada tabel berikut ini.
Tabel 1.
No. BI Afiksasi BF
1. Bawa Sufiks /in/ Bawain
2. Berantakan Sufiks /in/ Berantakin
b. Reduplikasi
Proses reduplikasi atau pengulangan tidak lain adalah pengulangan satuan gramatik, baik unsur yang
diduplikasi itu sebagian; baik disertai variasi fonem atau segmen. Dalam proses reduplikasi leksikon
bahasa facebook terjadi pula peluluhan, penambahan angka maupun tanda baca. Bentuk leksikon bahasa
facebook yang mengalami proses reduplikasi akan dipaparkan pada tabel berikut ini.
Tabel 2.
No. BI Peluluhan Angka Tanda BF
1. Cepat-cepat /e/ dan /cepat/ /2/ - Cpat2
2. Gara-gara /gara/ /2/ - Gara2

92
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14

c. Peluluhan
Peluluhan merupakan proses penghilangan bunyi huruf dalam kata dan digantikan dengan bunyi lain.
Namun, pada kajian ini proses peluluhan ada juga yang tidak diganti dengan bunyi (fonem) lain, hal ini
dilakukan untuk menyingkat kata tersebut. Bentuk leksikon bahasa facebook yang mengalami proses
peluluhan akan dipaparkan pada tabel berikut ini.
Tabel 3.
No. BI Peluluhan BF
1. Saja /s/ Aja
/s/ dan /a/ Ja
2. Bukan /u/ dan /a/ Bkn
d. Peluluhan + Afiksasi
Dalam proses morfologis yang terjadi pada leksikon bahasa facebook tidak hanya terjadi proses
peluluhan atau afiksasi saja. Namun, terjadi pula proses perpaduan keduanya. Bentuk leksikon bahasa
facebook yang mengalami proses peluluhan + afikasasi akan dipaparkan pada tabel berikut ini.
Tabel 4.
No. BI Peluluhan Afiksasi BF
1. Habis /h/ Infiks /e/ Abies
2. Saja /s/ Infiks /h/ Ajha
e. Penggantian Segmen (lambang atau simbol fonemik)
Lambang-lambang yang sudah di bakukan, dalam bahasa Indonesia kontemporer (kini) digantikan oleh
lambang-lambang yang baru dengan berbagai kreasi. Bentuk leksikon bahasa facebook yang mengalami
proses penggantian segmen akan dipaparkan pada tabel berikut ini.
Tabel 5.
No. BI Penggantian segmen BF
1. Nya /Nya/ /a/ dan /x/ a
x
2. Saudara /s/ /c/ Codara
/au/ /o/
f. Peluluhan + Penggantian Segmen
Dalam proses morfologis yang terjadi pada leksikon bahasa facebook tidak hanya terjadi proses
peluluhan atau penggantian segmen. Namun, terjadi pula proses perpaduan keduanya. Bentuk leksikon
bahasa facebook yang mengalami proses peluluhan + penggantian segmen akan dipaparkan pada tabel
berikut ini.
Tabel 6.
No. BI Peluluhaan Penggantian Segmen BF
1. Saja /s/ dan /a/ /j/ /z/ Za
2. Aku /k/ dan/ u/ /k/ dan /u/ /q/ Aq
/a/ dan /k/ /a/ dan /k/ /q/ Qu
/a/, /k/ dan /u/ /a/, /k/ dan /u/ /q/ Q
g. Penyangatan atau Penekanan Maksud
Penonjolan-penonjolan maksud atau ekspresi-ekspresi tertentu dalam bahasa Indonesia kontemporer,
dilakukan dengan variasi-variasi bunyi yang berlebihan.Bentuk leksikon bahasa facebook yang
mengalami proses penyangatan/ penekanan maksud akan dipaparkan pada tabel berikut ini.
Tabel 7.
No. BI BF
1. Ampun Ammppuunn
2. Apa Apaaa
2. Faktor-faktor terjadinya kesalahan berbahasa dalam media sosial facebook yang dapat memengaruhi
kebertahanan Bahasa Indonesia.
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan beberapa faktor-faktor terjadinya kesalahan berbahasa dalam
media sosial facebook yang dapat memengaruhi kebertahanan bahasa Indonesia. Beberapa faktor
tersebut meliputi; Minimnya pengetahuan tentang penggunaan pedoman bahasa Indonesia yang benar,
adanya tujuan-tujuan tertentu, mempermudah penulisan, adanya suatu komunitas, pengaruh bahasa Ibu
dan pengaruh bahasa Asing. Berikut akan dijelaskan tentang faktor-faktor tersebut.
93
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
a. Minimnya Pengetahuan tentang Penggunaan Pedoman Bahasa Indonesia yang Benar
Rata-rata penggunaan media sosial facebook terdiri dari semua kalangan, mulai dari anak-anak, remaja,
dewasa dan orang tua dari berbagai latar belakang pendidikan yang berbeda. Tidak semuanya memiliki
latar belakang pendidikan “bahasa”, walaupun telah dan akan didapatkan di sekolah. Namun, hal itu
tidak memberikan pengaruh yang signifikan karena pengkajian mendalam tentang “bahasa” akan
didapatkan di bangku kuliah oleh orang-orang yang mengambil jurusan “bahasa”. Sehingga, mereka
cenderung menggunakan bahasa yang baik saja daripada yang benar. Dengan demikian, minimnya
pengetahuan tentang tata bahasa yang benar memengaruhi kebertahanan Bahasa Indonesia.
b. Adanya tujuan-tujuan tertentu
Orang ketika menulis sesuatu tentunya memiliki maksud dan tujuan masing-masing. Tujuan tersebut
bisa berupa penunjukkan diri bahwa mereka mampu menciptakan variasi kata-kata yang baru yang akan
menjadi tren dimasyarakat. Kemudian, mereka ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa mereka
tidak kolot atau kampungan sehingga mereka tidak akan malu bergaul di media sosial. Hal ini
dikarenakan penggunaan Bahasa Indonesia yang sesuai tata baku bahasa Indonesia di anggap terlalu
kaku dan tidak gaya.
c. Mempermudah penulisan
Bahasa Indonesia cenderung memiliki kata-kata yang panjang dan susah untuk ditulis. Oleh karena itu,
orang-orang di media sosial facebook cenderung mempermudah tulisan kata-kata tersebut dengan
menyingkat atau menghilangkan sebagian huruf. Hal ini dilakukan untuk menghemat serta mempercepat
penulisan status karena kebanyakan orang-orang di media sosial facebook ketika ingin menulis status,
mereka cenderung ingin statusnya cepat dibaca oleh teman-temannya supaya mendapatkan tanggapan
atau komentar balik. Sebab, ketika mendapatkan tanggapan atau komentar balik dari teman mereka akan
merasa bahagia. Sedangkan, tentang kesalahan penulisan dengan penyingkatan atau penghapusan
sebagian huruf tidak dipedulikan lagi selama maksud dan tujuan mereka sampai kepada orang lain/
teman.
d. Adanya suatu komunitas
Ada begitu banyak komunitas yang terbentuk dalam lingkungan sosial. Komunitas-komunitas tersebut
mempunyai bahasa tersendiri yang akan membedakannya dengan komunitas lain, misalnya; komunitas
slank, komunitas alay, komunitas waria dan sebagainya. Komunitas yang merupakan mayoritas akan
lebih diikuti bahasanya oleh orang lain, sehingga akan banyak digunakan juga dalam bahasa di media
sosial facebook. Hal ini terjadi karena dalam lingkungan sosial terjadi kontak sosial antara komunitas-
komunitas tersebut, bahasa yang lebih dominan dipakai oleh mayoritas akan banyak diikuti. Ketika, ini
terjadi secara terus menerus mereka akan memproduksi kata-kata baru lagi.
e. Pengaruh Bahasa Ibu
Tidak dapat dipungkiri orang-orang Indonesia yang menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua,
akan banyak dipengaruhi oleh bahasa ibu. Hal ini, karena proses pembelajaran bahasa itu tidak mudah.
Orang-orang yang menjadikan bahasa ibu sebagai bahasa pertama akan kesulitan dalam berbahasa
Indonesia. Diperlukan latihan berulang kali untuk dapat berbahasa Indonesia dengan lancar, walaupun
tidak dapat dipungkiri masih ada penyisipan bahasa ibu dalam tuturannya. Hal ini pula yang
mempengaruhi bahasa tulis orang-orang di media sosial facebookyaitu banyak menyisipkan bahasa Ibu
dalam penulisan bahasa Indonesia.
f. Pengaruh bahasa Asing
Pembelajaran dan penggunaan bahasa Asing di lingkungan masyarakat sedang gencar-gencarnya
dilakukan, mengingat telah dimulainya MEA. Karena gencar-gencarnya tersebut banyak orang-orang
yang giat belajar bahkan kursus bahasa Asing. Mereka menganggap bahwa bahasa Asing merupakan
bahasa yang bergengsi. Bahkan ada yang menjadikan bahasa Asing sebagai bahasa pertama.
Penggunaan bahasa Asing ini tidak hanya terjadi secara lisan melainkan melalui tulisan, seperti di media
sosial facebook. Sehingga, penggunaan bahasa Asing semakin banyak dibandingkan bahasa Indonesia.
Hal tersebut tentunya, telah menggeser kedudukan bahasa Indonesia.

SIMPULAN
Berdasarakan hasil penelitian yang dilakukan di media sosial facebook, dapat disimpulkan bahwa terdapat
begitu banyak bentuk kesalahan pembentukan leksikon bahasa yang digunakan dalam media sosial facebook
yang dapat memengaruhi kebertahanan Bahasa Indonesia, salah satunya dapat dilihat dari sistem morfologi.
Terkait dengan penggunaan leksikon bahasa facebook, maka ditemukan adanya kesalahan: 1) afiksasi
dengan 4 jumlah data; 2) reduplikasi dengan 7 jumlah data; 3) peluluhan dengan 57 jumlah data ; 4)
peluluhan + afiksasi dengan 3 jumlah data; 5) penggantian segmen (lambang atau simbol fonemik) dengan

94
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
12 jumlah data; 6) peluluhan + penggantian segmen dengan 8 jumlah data ; dan 7) penyengatan atau
penekanan maksud dengan 10 jumlah data. Dengan demikian jumlah data yang banyak ditemukan
kesalahannya yaitu pada proses peluluhan.
Berdasarkan hasil analisis faktor-faktor terjadinya kesalahan berbahasa dalam media sosial facebook
yang dapat memengaruhi kebertahanan Bahasa Indonesia ditemukan beberapa faktor, yaitu: 1) Minimnya
Pengetahuan tentang Penggunaan Pedoman Bahasa Indonesia yang Benar; 2) Adanya tujuan-tujuan tertentu;
3) Mempermudah penulisan; 4) Adanya suatu komunitas; 5) Pengaruh Bahasa Ibu; dan 6) Pengaruh bahasa
Asing. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, kebertahan dan kedudukan Bahasa Indonesia yang baku
terancam dan tergeser kedudukannya oleh leksikon bahasa di media sosial facebook.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2013. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Ba’dulu, Abdul Muis & Herman. 2005. Morfosintaksis. Jakarta: Asdi Mahasatya.
Barker, Chris. 2015. Cultural Studies. Diterjemahkan oleh Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Basrowi dan Suwandi. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta.
Brannen, Julia. 2005. Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Chaer, Abdul. 2012. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Daeng, Hans J. 2008. Manusia Kebudayaan dan Lingkungan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Jenks Chris. Culture Studi Kebudayaan. Diterjemahkan oleh Erika Setyawati. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Mahsun. 2011. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode dan Tekniknya Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali
Pers.
Muhammad. 2011. Paradigma Kualitatif Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Liebe Book Press.
Mulyana, Deddy & Gembirasari. 2005. Human Communication Prinsip-Prinsip Dasar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nasrullah, Rulli. 2012. Komunikasi Antarbudaya: di Era Budaya Siberia Edisi Pertama. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Silalahi, Ulber. 2012. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta.
Sukri, Muhammad. 2008. Morfologi Kajian Antara Bentuk dan Makna. Mataram: Cerdas Press.
Verhaar. 2004. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Bahasa_indonesia. Diakses tanggal 24 Oktober 2015, 16:40.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Media_sosial. Diakses tanggal 24 Oktober 2015, 16:57.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/leksikon. Diakses tanggal 24 Oktober 2015, 18:08.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Nurhafni Dhilla Fithriya
Institusi : Universitas Mataram Universitas Mataram
Riwayat Pendidikan : S2 Universitas Mataram S2 Universitas Mataram
S1 Universitas Mataram S1 UNW Mataram
Minat Penelitian : • Sosiolinguistik Morfologi
• Pragmatik
• Morfologi

95
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
UJI-GRAMATIKAL RELASI SUBJEK BAHASA PAKPAK DAIRI:
SEKILAS KAJIAN TIPOLOGI SINTAKSIS

Ida Basaria
Universitas Sumatera Utara
ida1@usu.ac.id

ABSTRAK
Penelitian Bahasa Pakpak Dairi belum menggembirakan sama halnya dengan pemertahanan bahasa tersebut oleh
penutur-penuturnya, yang juga sangat mengkhawatirkan. Ada kecenderungan sikap generasi muda masyarakat
penuturnya yang merasa rendah diri atau malu dianggap orang tak terpelajar jika menggunakan bahasa ini. Mereka
lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dalam pergaulan sehari-hari, baik dalam lingkungannya sendiri, maupun
di luar lingkungannya. Adanya kecenderungan kepunahan dan sedikitnya penelitian tentang BPD tersebut menjadi
alasan yang sangat mendesak untuk dilakukannya penelitian ini. Secara praktis hasil penelitian ini akan bermanfaat
bagi pendokumentasian, dapat dijadikan sebagai sumber language planning, sehingga mampu merekayasa untuk
keperluan revitalisasi Bahasa Pakpak Dairi kelak. Sehubungan dengan itu, Comrie (1983:101) menyebutkan bahwa
prototipe (hakekat asal) subjek adalah adanya keterkaitan antara agen dan topik. Pengertian dan penetapan subjek
dalam suatu bahasa masih memunculkan fenomena yang hingga kini masih merupakan masalah yang terus
dipertanyakan. Hal ini disebabkan oleh perilaku gramatikal bahasa yang beragam dan tipologi bahasa yang berbeda
pula. Selain itu, perbedaan filsafat pengkajian dan dasar pijakan teoretis juga menjadi penyebab sulitnya
mengidentifikasi subjek bahasa tertentu. Dengan kata lain, secara lintas bahasa, subjek itu adalah agen dan juga topik.
Subjek (basic subject) secara lintas bahasa mempunyai ciri dan sifat perilaku khas yang dapat dianalisis dengan uji-
gramatikal melalui (1) perefleksifan (2) pengambangan penjangka (quantifier float), (2) perelatifan (relativisation).
Penelitian ini akan menelusuri sifat perilaku gramatikal subjek Bahasa Pakpak Dairi, melalui beberapa uji gramatikal
di atas dan menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang berorientasi kepada studi Fenomenologis.
Deskripitif bukanlah berarti hanya sekedar memberi gambaran apa adanya tentang relasi gramatikal Subjek bahasa
ini, melainkan sampai pada penemuan dan perumusan pola-pola yang berlaku pada relasi gramatikal subjek bahasa
Pakpak Dairi tersebut
Kata kunci: uji-gramatikal, relasi subjek, tipologi sintaksis

PENDAHULUAN
Di Indonesia menurut Gunarwan (2002) ada 169 bahasa daerah yang terancam punah. Dan mengacu pada
ciri yang disebut Grimes (2002), BPD dapat dimasukkan ke dalam kelompok bahasa yang terancam punah.
Meskipun dengan angka keterancaman sebanyak itu, kita belum mempunyai program dan tradisi preservasi
yang kuat untuk menyelamatkannya dari kepunahan, kecuali baru pada tingkat dokumentasi melalui
penelitian individu, perguruan tinggi, atau oleh pusat bahasa. Dan penelitian ini salah satu usaha pengenalan
BPD dan sekaligus usaha terhadap kelestariannya.

TINJAUAN PUSTAKA
Comrie (1998:104) menyebutkan prototipe (hakekat asal) subjek itu adalah memperlihatkan adanya saling
terkait antara agen dan topik. Artinya maksud yang paling jelas dari subjek itu, secara lintas bahasa adalah
bahwa subjek itu agen dan juga topik. Namun dalam penelitian ini, pengujian sifat perilaku subjek BPD akan
didasarkan pada sifat perilaku gramatikal.
Sifat perilaku subjek secara lintas bahasa bukanlah nilai mutlak. Mungkin saja ada sebagian sifat
perilaku tersebut yang tidak benar-benar cocok untuk perilaku bahasa tertentu. Pengujian sifat perilaku
subjek yang didasari oleh sifat perilaku gramatikal telah dilakukan oleh Artawa (2000: 11-17) terhadap
bahasa Bali. Menurutnya karena subjek adalah relasi gramatikal, maka penentuan/penetapan subjek dalam
suatu bahasa hendaknya didasarkan pada sifat perilaku gramatikal. Berkaitan dengan ini, hakekat kesubjekan
dilihat berdasarkan pengertian : (1) pronomina tidak-terang (PRO), (2) penaikan (raising) (3) perefleksivan
(4 ) pengambangan penjangka (quantifier float), (5) perelatifan (relativisation).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang berorientasi kepada studi
fenomenologis yang bukan matematis. Menurut Bogdan dan Taylor ( 1992 : 5 ) metode penelitian kualitatif
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata ( bisa lisan untuk penelitian
sosial, budaya, filsafat ). Deskripitif bukanlah berarti hanya sekedar memberi gambaran apa adanya tentang
relasi dan peran gramatikal dalam BPD, melainkan sampai pada penemuan dan perumusan pola-pola yang
96
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
berlaku pada relasi gramatikal Subjek, Objek dan Oblik BPD. Metode yang digunakan dalam menganalisis
data penelitian ini adalah metode agih (Soedaryanto, 1993: 15 dan Mahsun, 2011 : 102-142). Dengan
menggunakan teknik ganti dan teknik ubah-ujud dalam metode agih tersebut terhadap berbagai jenis klausa
dan kalimat BPD yang menjadi data penelitian akan diperoleh simpulan yang berupa ‘sistem’ yang mengatur
relasi gramatikal Subjek, Objek dan Oblik BPD.

PEMBAHASAN
Sifat perilaku subjek secara lintas bahasa seperti di atas bukanlah nilai mutlak. Karena mungkin saja ada
sebagian sifat perilaku tersebut yang tidak benar-benar cocok untuk perilaku bahasa tertentu. Pengujian sifat
perilaku subjek yang didasari oleh sifat perilaku gramatikal telah dilakukan oleh Artawa (1998: 11-17)
terhadap bahasa Bali. Menurutnya karena subjek adalah relasi gramatikal, maka penentuan/penetapan subjek
dalam suatu bahasa hendaknya didasarkan pada sifat perilaku gramatikal. Berkaitan dengan ini, hakekat
kesubjekan dilihat berdasarkan pengertian: (1) perefleksifan (2) pengambangan penjangka (quantifier float),
(3) perelatifan (relativisation).
Temuan data kesubjekan BPD dalam penelitian ini dianalisis berdasarkan pengujian yang bersifat
gramatikal seperti yang dikemukakan oleh Artawa (1998).
Uji Subjek dengan Perefleksifan
Pada umumnya bahasa di dunia menempatkan agen (pelaku) sebagai pengontrol FN refleksif. Dalam bahasa
Inggris misalnya, agen merupakan bentuk pilihan tak bermarkah untuk subjek.Artawa (1998:16; Jufrizal,
2007: 133) menyebutkan bahwa agen yang menjadi pengontrol perefleksifan merupakan kebenaran umum.
Argumen agen pada satu klausa selalu merupakan anteseden yang mungkin dari bentuk reflektif dalam
klausa tersebut. Dalam Bahasa Bali, Bahasa Tagalog dan Bahasa Minangkabau agen juga selalu pengontrol
bentuk refleksif, apapun fungsi gramatikalnya.
Dalam penelitian ini, bentuk refleksif BPD diungkapkan dengan bentuk diri na sandiri atau diri
sambaing. Contoh:
1. a) ibana me -nutung diri na sandiri b) nasida meng-kata diri na sandiri
3TG AKT- bakar diri sendiri 2JM AKT bicara diri sendiri
‘dia membakar diri sendiri’ ‘mereka memburukkan diri sendiri’
Dalam contoh di atas, agen ibana dan nasida merupakan subjek gramatikal klausa yang bersangkutan.
Bentuk refleksif yang diungkapkan dengan diri sandiri dikontrol oleh agen. Jadi pada BPD, agen
mengontrol perefleksifan pada klausa transitif dengan verba berprefiks nasal seperti contoh (1a) dan (1b).
Uji Subjek dengan Pengambangan Penjangka
Pengambangan penjangka adalah kata bantu bilangan (quantifier) tak takrif yang merupakan penentu
penunjuk jumlah (Moussay,1998 : 162, lihat juga Jufrizal 2007 : 37). Penjangka tak takrif dalam BPD dapat
digolongkan atas (i) jumlah,tidak,pasti,sedikit ’citok’;banyak’mbueh’; bermacam-macam, berjenis-
jenis ’meragam’; (ii) jumlah distributif: tiap,setiap, tiap-tiap’ganup’ (iii) jumlah kolektif:semua, segala,
segenap’kerina’; karinana ’sekaliannya’. Penjangka yang menunjukkan jumlah tak pasti dan distributif
dalam kalimat BPD digunakan pada posisi sebelum FN. Sedangkan penjangka yang menunjukkan jumlah
kolektif, bisa digunakan pada posisi sebelum atau sesudah FN Penjangka yang bisa digunakan pada
lebih satu posisi (mengambang) dalam BPD adalah kerina ’semua’, kerinana ‘semuanya’ Untuk menguji
kesubjekan BPD sehubungan dengan pengambangan penjangka (quantifier float), perhatikan contoh klausa
intransitif berikut ini
2. a) kessea kerina dukak- na 3. a) Medem kerina dukak na
berhasil semua anak-POS3TG Tidur semua anak -POS3TG
’semua anaknya berhasil’ ’semua anaknya tidur’
b) kessea dukak- na kerina b) Medem dukak-na kerina
berhasil anakPOS3TG semua tidur anak-POS3TG semua
‘semua anaknya berhasil’ ’semua anaknya tidur’
c) Kerina kessea dukak- na c) Kerina medem dukak-na
semua berhasil anak POS3TG semua tidur anak-POS3TG
’anaknya semua berhasil’ ’semua anaknya tidur’
Dalam klausa intransitif BPD seperti terlihat pada (2, 3,a,b,c) posisi penjangka kerina dapat berada
sesudah maupun sebelum FN pos-verbal yang merupakan satu-satunya argumen. Di mana pun posisi kerina,

97
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
selalu menjelaskan/menunjukkan jumlah penjangka FN-nya. Jadi satu-satunya argumen FN pos-verbal
dalam klausa intransitif BPD adalah subjek gramatikal
Selanjutnya mari perhatikan posisi pengambangan penjangka pada contoh klausa transitif dengan
verbal berafiks nasal BPD di bawah ini.
4. a) Me-nuan kemenjen kerina kalak perkuta 5. a) Meng-ajar perende kerina dukak- na
AKT-tanam kemenyan semua orang kampung AKT-ajar penyanyi semua anak-POS3TG
’semua orang kampung menanam kemenyan’ ’semua anaknya mengajar koor’
b) Me-nuan kemenjen kalak perkuta kerina b) Mengajar perende dukak-na kerina
AKT-tanam kemenyan orang kampung semua AKT-ajar penyanyi anak-POS3TG semua
‘semua orang kampung menanam kemenyan’ ’semua anaknya mengajar koor’
c) Kerina me-nuan kemenjen kalak perkuta c) Kerina meng-ajar perende dukak-na
semua AKT-tanam kemenyan orang kampung semua AKT-ajar penyanyi anak-POS3TG
’semua orang kampung menanam kemenyan’ ’semua anaknya mengajar koor’
Dari contoh di atas FN 2 pos-verbal pada klausa (4, 5) adalah kalak perkuta (contoh 4,a,b,c) dan dukakna
(contoh 5.a,b,c) yang merupakan argumen agen klausa tersebut Meskipun posisi penjangka kerina diubah-
ubah, namun makna penunjuk jumlah tetap diberikan kepada agen dukak na klausa yang bersangkutan. Hal
ini berarti bahwa argumen agen (FN 2 pos-Verbal) klausa transitif berprefiks nasal adalah subjek gramatikal
dalam BPD.
Pada klausa dengan verba transitif tanpa afiks dapat pula diamati posisi penjangka pada kalimat di
bawah berikut:
6. a) menum kopi nggara kerinana daholi i 7. a) menjomur page kerinana kalak perkuta i
minum kopi panas semuanya laki-laki itu. menjemur padi semua orang kampung
’semua laki-laki itu minum kopi panas’ ’semua orang kampung menjemur padi’
b) menum kopi nggara daholi i kerinana b) menjomur page kalak perkuta i kerina na
minum kopi panas laki-laki itu semuanya menjemur padi orang kampung itu semuanya
‘laki-laki itu semuanya minum kopi panas’ ‘semuanya orang kampung menjemur padi’
c) Kerinana menum kopi nggara daholi i c) Kerinana kalak perkutai menjomur page
semuanya minum kopi panas laki-laki itu semuanya orang kampung itu menjemur padi
’laki-laki itu semuanya minum kopi panas’ ‘semua orang kampung menjemur padi’
Klausa transitif dengan verba tanpa afiks (verba dasar), penjangka kerinana menjelaskan jumlah FN
2 pos –verbal. FN 2 pos-verbal tersebut adalah daholi i, kalak perkuta i merupakan agen dalam klausa
tersebut;sedangkan FN 1 pos-verbal kopi nggara, page merupakan pasien klausa tersebut. Jadi pada klausa
transitif dengan verba tanpa afiks (verba zero) agen yang merupakan subjek gramatikal adalah FN 2 pos-
verbal, sedangkan pasien yang merupakan objek gramatikal adalah FN1pos-verbal.
Uji-Subjek dengan Perelatifan
Keenan dan Comrie (1977) menyebutkan bahwa bahasa Inggris termasuk bahasa yang dapat merelatifkan
semua relasi gramatikalnya, namun bahasa Bali termasuk bahasa yang hanya dapat merelatifkan subjek.
Artawa (1998 :15).
Untuk mengetahui strategi perelatifan sehubungan dengan kesubjekan dalam klausa transitif dengan
verba zero BPD berikut. Klausa relatif dalam BPD dimarkahi (penanda relatif) oleh kata hubung na ’yang’
8. a) Pangan pelleng kalak i
makan nasi kuning orang itu
’orang itu makan nasi kuning’
b) Kalak [na pangan pelleng] i dedahenku.
orang [REL makan nasi kuning] itu adikku
’orang yang makan nasi kuning itu adikku’
c) Pelleng [na kalak i pangan] nggara
nasi kuning [REL orang itu makan] panas
’nasi kuning yang orang itu makan] panas’
Dari contoh (8 a,b,c) kalimat di atas, BPD dapat merelatifkan kedua FN pos-Verbal, yaitu FN 2
pos-verbal kalak i yang berfungsi subjek dan FN 1 pos-verbal pelleng yang berfungsi objek gramatikal. Jadi
klausa transitif dengan verba zero dapat merelatifkan kedua FN pos-verbalnya yang masing-masing
merupakan subjek dan objek gramatikal. Untuk mengetahui bagaimana keberterimaan klausa transitif
(verba berafiks nasal) BPD, mari diamati contoh berikut.

98
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
9. a) Me-nuan page kalak perkuta i
me-tanam padi orang kampung itu
’orang kampung itu menanam padi’
b) Kalak perkuta [na me nuan page] i pa tongaku
orang kampung [REL AKT tanam padi] itu bapak tengahku
’orang kampung yang menanam padi itu bapatengahku’
c) * Page [na me nuan kalak perkuta i] meratah
padi [REL AKT tanam orang kampung itu] menghijau
’padi yang menanam orang kampung itu menghijau’
10. a) Meng-endat ketang kalak i
AKT-tarik rotan orang itu
’orang itu menarik rotan’
b) Kalak [na meng- endat ketang]i kedek
orang [REL AKT tarik rotan] itu kecil
’orang yang menarik rotan itu kecil’
c) *Ketang [na meng- endat kalak ]i nteger
rotan [REL AKT tarik orang] itu lurus
’rotan yang menarik orang itu lurus’
Dari contoh (9, 10a,b,c) di atas memperlihatkan bahwa klausa transitif BPD dengan verba berafiks
nasal hanya dapat merelatifkan FN 2 pos-verbal yang merupakan subjek gramatikal (yaitu kalak perkuta
pada klausa 16 a,b dan kalak i pada klausa 10a,b). Apabila prefiks nasal pada verba dipertahankan, BPD
tidak dapat merelatifkan FN 1 pos-verbal yang merupakan objek gramatikal (yaitu page pada klausa (9c) dan
ketang pada klausa 10c).
Pada klausa intransitif strategi perelatifan dapat diamati pada contoh berikut ini.
11. a) Kundul kalak i 12. a) mengandung dedahenku
duduk orang itu Menangis adikku
‘orang itu duduk’ ‘adikku menangis’
b) Kalak [na kundul] i leja kalon b) Dedahenku [na mengandung]i mbernit ate
orang [REL duduk] itu capek sekali adikku [REL AKT tangis] itu sakit hati
‘orang yang duduk itu capek sekali ’adikku yang menangis itu sakit hati’
Ternyata dari contoh (11b) dan (12b) menunjukkan bahwa FN pos-Verbal kalak i, dedahenku yang
merupakan subjek gramatikal dan argumen satu-satunya (berperan sebagai agen) klausa tersebut dapat
direlatifkan.
Jadi perelatifan BPD memperlihatkan bahwa subjek (agen) dan objek gramatikal (pasien) klausa
transitif dengan verba zero (tanpa afiks) dapat direlatifkan. Tetapi pada klausa transitif dengan verba
berafiks nasal hanya agen yang dapat direlatifkan, Perelatifan pasien dengan tetap mempertahankan prefiks-
nasal verbanya menyebabkan kalimat itu tidak berterima secara gramatikal. Sementara itu subjek gramatikal
yang merupakan argumen agen satu-satunya pada klausa intransitif dapat direlatifkan. Konstruksi ini
terbukti mirip dengan konstruksi yang ada dalam bahasa Inggris (bahasa akusatif). Pada konstruksi klausa
transitif BPD dengan verba zero, agen mempunyai ciri sebagai subjek gramatikal (lihat 8a,b,c). Hal yang
sama juga terjadi pada kalimat intransitif, agen merupakan subjek gramatikal (11a,b dan 12a,b). Kenyataan
ini menyimpulkan bahwa agen merupakan subjek gramatikal dalam BPD. Dapat dikatakan bahwa uji
perelatifan menunjukkan bahwa kesubjekan BPD dikondisikan secara morfologis dan sintaksis dengan
isyarat gramatikal bahwa subjek dalam bahasa ini adalah agen secara semantis.

KESIMPULAN
Dengan seperangkat pengujian secara gramatikal terhadap relasi subjek gramatikal BPD dapat diterangkan
bahwa:
1. Pada BPD, Relasi S pada klausa dasar selalu berperan sebagai A
2. Relasi S pada klausa BPD berprefiks nasal berada pada posisi FN2 pos-Verbal yang merupakan
argumen A; Relasi O berada pada posisi FN1pos Verba merupakan argumen P
3. satu-satunya argumen FN pos-verbal dalam klausa intransitif BPD adalah subjek gramatikal

99
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
DAFTAR PUSTAKA
Alsina, A. 1996. The Role of Argument Structure in Grammar : Evidence from Romance. Stanford , California : CSLI
Publishers.
Artawa, I Kt. 2000. “Alternasi Diatesis pada Beberapa Bahasa Nusantara” dalam Kajian Serba Linguistik untuk Anton
Moeliono Pereksa Bahasa (editor: Purwo, B. K.). Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya dan PT.
BPK Gunung Mulia.
Comrie, B. 1998. “Linguistic Typology” dalam Newmeyer, F. J. (Editor). Linguistics: The Cambridge Survey. Vol. I.
Hal.: 447—467. Cambridge: Cambridge University Press.
Dixon, R.W.M. 1998. “Subject and Object in Universal Grammar” dalam Arnold, D., Atkinson, M., Durand, J.,
Groover, C., Sadler, L. (editor). Essay on Gramatical Theory and Universal Grammar. Hal.:91—118). Oxford:
Claredon Prebridgess.
Gunarwan, Asim.2002. “Beberapa Kasus Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa: Implikasinya pada Pembinaan Bahasa
Lampung”. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pembinaan Bahasa, Sastra, dan Budaya Daerah,
Bandar Lampung, 29-30 Oktober.
Grimes, Barbara F.2002. Kecenderungan Bahasa untuk Hidup atau Mati secara Global (Global Language Viability):
Sebab,Gejala, dan Pemulihan untuk Bahasa-Bahasa yang Terancam Punah”. Dalam Bambang Kaswanti
Purwo (Penyunting) PELBBA 15. Jakarta:Lembaga Bahasa Atma Jaya
Jufrizal. 2007. “Tipologi Gramatikal Bahasa Minangkabau” (disertasi). Denpasar: Program Doktor (S3).Linguistik
Universitas Udayana.
Lyons, J. 1988. Introduction to Theoritical Linguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
Palmer, F.R. 1994. Grammatical Roles and Relation. Cambridge : Cambridge University Press.
Shibatani, M. dan Theodora Bynon (editor). 1999. Approaches to Language Typology. Oxford: Oxford University Press.
Solin, Matsyuhito.1998. Dalam Tradisi dan Perubahan: Konteks Masyarakat Pakpak Dairi. Medan: Monora.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Ida Basaria
Institusi : Universitas Sumatera Utara
Riwayat Pendidikan : S1, S2, dan S3 Universitas Sumatera Utara
Minat Penelitian : • Bahasa Pakpak Dairi
• Bahasa Batak Toba

100
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
HIERARKI MORFOLOGI VERBA REDUPLIKASI BAHASA MADURA:
PROSES DERIVASI DAN INFLEKSI DALAM KAJIAN MORFOLOGI DISTRIBUSIONAL

Dian Karina Rachmawati.


Universitas Muhammadiyah Surabaya
dian_karina@ymail.com

ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang morfologi khususnya mengenai proses pembentukan verba reduplikasi pada bahasa
Madura (BM). BM memiliki ciri kebahasaan yang khas pada bentuk kata, khususnya reduplikasi. BM ini memiliki
bentuk reduplikasi yang beragam bentuk, variasi, dan makna baik dari kelas kata nomina, verba, adjektiva, atau pun
beberapa kelas kata lainnya. Hal inilah yang menjadi ciri khas kebahasaan yang dimiliki oleh BM, selain itu BM
memiliki bentuk reduplikasi yang lebih banyak daripada bentuk kata lainnya. Oleh karena itu penelitian ini fokus pada
pembentukan reduplikasi khususnya pada kelas kata verba. Verba reduplikasi BM mengalami sebuah proses derivasi
dan infleksi. Dengan demikian, data verba reduplikasi BM dibahas secara hierarki morfologis dengan teori morfologi
distribusional yang sebelumnya belum pernah dianalisis secara hierarki. Verba reduplikasi BM diperoleh dari data
tulis dan lisan melalui metode wawancara dan observasi. Teori yang digunakan untuk menganalisis verba reduplikasi
adalah teori morfologi distribusional, khususnya teori reduplikasi distribusional (RD) yang dikemukakan oleh
Frampton (2009). Teori reduplikasi distribusional (RD) merupakan pengembangan teori morfologi generatif dari
Harrison dan Raimy (2004). Pada teori morfologi generatif terdapat sebuah teori morfologi distribusional yang khusus
membahas proses distribusional reduplikasi secara hierarki. Proses pembentukan kata akan melewati sebuah proses
derivasi atau pun infleksi. Oleh karena itu, kasus derivasi pada verba reduplikasi akan mengakibatkan kategori kelas
kata, fungsi, serta makna kata berubah. Booij (2005:51) berpendapat bahwa fungsi dasar dari proses derivatif adalah
untuk memungkinkan pengguna bahasa untuk membuat leksem baru. Leksem berasal dari kategori leksikal nomina,
verba, adjektiva, dan leksem yang mungkin berasal dari kategori yang berbeda sesuai jenis bahasanya. Dengan
demikian, pembahasan kali ini adalah mengenai derivasi dalam reduplikasi BM. Berdasarkan teori RD, Frampton
(2009) mengembangkan teori reduplikasi dalam MD untuk menjelaskan proses pembentukan reduplikasi yang
sebelumnya belum tuntas menggunakan teori fonologi autosegmental. Teori reduplikasi distribusional digunakan untuk
menjelaskan proses pembentukan reduplikasi pada BM karena dalam teori ini dijelaskan bagaimana pembentukannya
dengan memerhatikan penyisipan jungtur (junctures) yang menunjukkan letak bunyi yang akan direduplikasi dengan
diikuti proses transkripsi sebagai realisasi fonologis dalam menghasilkan bentuk reduplikasi. Dalam hal ini junctures
diinterpretasikan sebagai instruksi yang mengarahkan transkripsi dari bentuk. Proses pembentukan verba reduplikasi
BM dengan teori ini akan diketahui terjadinya derivasi serta infleksi verba reduplikasi.
Kata kunci: verba reduplikasi, derivasi dan infleksi, morfologi distribusional

PENDAHULUAN
Bahasa Madura (BM) termasuk rumpun bahasa Austronesia ranting Malayo-Polinesia dan mempunyai
sekitar 14 juta penutur. BM memiliki beberapa dialek, yaitu dialek Bangkalan, Sampang, Pamekasan,
Sumenep, dan Kangean. Dialek yang dijadikan acuan standar BM adalah dialek Sumenep karena Sumenep
pada masa lalu merupakan pusat kerajaan dan kebudayaan Madura. Dengan demikian, objek kajian yang
dipilih pada penelitian ini adalah BM dialek Sumenep. BM juga memiliki ciri bahasa yang khas pada bentuk
kata, khususnya reduplikasi. BM ini memiliki bentuk reduplikasi yang beragam bentuk, variasi, dan makna
baik dari kelas kata nomina, adjektiva, khususnya pada kelas kata verba. BM memiliki bentuk reduplikasi
yang lebih banyak daripada bentuk kata lainnya. Oleh karena itu penelitian ini fokus pada pada pembentukan
reduplikasi khususnya pada kelas kata verba. Verba reduplikasi BM mengalami sebuah proses derivasi dan
infleksi. Dengan demikian, data verba reduplikasi BM dibahas secara hierarki morfologis dengan teori
morfologi distribusional yang sebelumnya belum pernah dianalisis secara hierarki.
Proses pembentukan kata juga akan melewati sebuah proses derivasi atau pun infleksi. Oleh karena
itu, kasus derivasi dalam proses pembentukan kata mengakibatkan kategori kelas kata berubah. Proses
pembentukan reduplikasi pada kelas kata verba pun melewati proses derivasi dan infleksi. Pembentukan
reduplikasi melewati beberapa proses di antaranya proses afiksasi terlebih dahulu diikuti reduplikasi, proses
afiksasi bersama-sama dengan reduplikasi yang mendukung satu fungsi, serta proses reduplikasi yang
disertai perubahan bunyi pada kata.
Oleh karena itu, kasus derivasi pada verba reduplikasi akan mengakibatkan kategori kelas kata,
fungsi, serta makna kata berubah. Booij (2005:51) berpendapat bahwa fungsi dasar dari proses derivatif
adalah untuk memungkinkan pengguna bahasa untuk membuat leksem baru. Leksem berasal dari kategori
leksikal nomina, verba, adjektiva, dan leksem yang mungkin berasal dari kategori yang berbeda sesuai jenis
bahasanya. Dengan demikian, pembahasan kali ini adalah mengenai derivasi dalam reduplikasi BM.

101
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Berdasarkan teori RD, Frampton (2009) mengembangkan teori reduplikasi dalam teori morfologi
distribusional (MD) untuk menjelaskan proses pembentukan reduplikasi yang sebelumnya belum tuntas
menggunakan teori fonologi autosegmental. Teori reduplikasi distribusional digunakan untuk menjelaskan
proses pembentukan reduplikasi pada BM karena dalam teori ini dijelaskan bagaimana pembentukannya
dengan memerhatikan penyisipan jungtur (junctures) yang menunjukkan letak bunyi yang akan direduplikasi
dengan diikuti proses transkripsi sebagai realisasi fonologis dalam menghasilkan bentuk reduplikasi. Proses
pembentukan verba reduplikasi BM dengan teori ini akan diketahui terjadinya derivasi ataupun infleksi dari
verba reduplikasi.
Berdasarkan latar belakang tersebut, identifikasi permasalahan dalam penelitian ini adalah
bagaimana proses pembentukan reduplikasi khususnya kelas kata verba secara derivasi atau infleksi dalam
teori morfologi distribusional. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis proses pembentukan
reduplikasi khususnya kelas kata verba secara derivasi atau infleksi dalam teori morfologi distribusional.

TEORI
Teori yang digunakan untuk menganalisis proses derivasi atau pun infleksi pada pembentukan reduplikasi
BM ini adalah teori morfologi distribusional (MD) yang merupakan pengembangan teori dari Harrison dan
Raimy (2004). Teori ini digunakan untuk melihat penyisipan leksikal pada pembentukan reduplikasi yang
dapat memicu perubahan fonologi atau pun proses penyesuaian bentuk kata. Berdasarkan teori MD ini,
peneliti lain yaitu Frampton (2009) mengembangkan teori reduplikasi dalam MD untuk menjelaskan proses
pembentukan reduplikasi yang sebelumnya belum tuntas menggunakan teori fonologi autosegmental.
Teori morfologi distribusional digunakan untuk menjelaskan proses pembentukan reduplikasi pada
BM karena dalam teori ini dijelaskan bagaimana pembentukannya dengan memerhatikan penyisipan jungtur
(junctures) yang menunjukkan letak bunyi yang akan direduplikasi dengan diikuti proses transkripsi sebagai
realisasi fonologis dalam menghasilkan bentuk reduplikasi. Penyisipan jungtur tersebut memicu terjadinya
proses derivasi atau pun infleksi pembentukan reduplikasi. Dalam hal ini junctures diinterpretasikan sebagai
instruksi yang mengarahkan transkripsi dari bentuk yang direduplikasi. Transkripsi terjadi dalam fonologi
sehingga sangat dimungkinkan proses fonologis terjadi setelah penyisipan juncture.
Berbeda dengan beberapa pendapat tersebut, Frampton (2009) mengatakan bahwa reduplikasi
merupakan mekanisme penggandaan (copying mechanism) yang terjadi melalui dua tahap. Tahap pertama
adalah penyisipan jungtur (junctures) yang menunjukkan letak bunyi yang akan direduplikasi, dan diiikuti
oleh proses transkripsi atau realisasi fonologis yang menghasilkan bentuk reduplikasi. Proses penyisipan
jungtur serta proses transkripsi tersebut merupakan gambaran proses derivasi atau pun infleksi. Hal ini
bermaksud bahwa junctures diinterpretasikan sebagai instruksi yang memicu dan mengarahkan transkripsi
dari bentuk yang direduplikasi. Karena transkripsi terjadi dalam fonologi, sangat dimungkinkan proses
fonologis terjadi setelah penyisipan juncture tetapi sebelum terjadinya transkripsi. Kaidah penyesuaian
fonologi dimungkinkan dengan hadirnya junctures dalam proses pembentukan reduplikasi tersebut.
Penelitian ini menggunakan konsep, model atau mekanisme dengan pembentukan reduplikasi seperti yang
telah dikemukakan oleh Frampton (2009) yang merupakan pengembangan dari morfologi distribusional
(MD). Dalam hal ini kaidah penyesuaian fonologi dimungkinkan adanya kehadiran junctures.
Proses pembentukan reduplikasi yang melewati tahap penyisipan jungtur dan transkripsi yang terjadi
dalam fonologi ini merupakan salah satu bentuk proses derivasi atau pun infleksi. Hal ini sesuai dengan
pendapat Booij (2005:51) bahwa fungsi dasar dari proses derivatif adalah untuk memungkinkan pengguna
bahasa untuk membuat leksem baru. Leksem milik kategori leksikal verba akan memungkinkan berasal dari
kategori yang berbeda sesuai jenis bahasanya. Dengan demikian, pembahasan kali ini adalah mengenai
derivasi dalam morfologi.
Proses reduplikasi merupakan serangkaian dari proses morfologi, karena proses reduplikasi
merupakan satuan-satuan yang tidak dapat berdiri sendiri dan saling berkaitan dengan afiks (prefiks, sufiks,
atau pun konfiks). Unsur-unsur tersebut akan mengalami proses reduplikasi dengan leksem dan imbuhan
tertentu. Hal ini tampak pada contoh tabel berikut.

102
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Word Formation, Booij (2005:52)
Derivation of nouns
A  N suffixation schoon “beautiful” schoon-heid “beauty”
V  N suffixation spreek “to speak” sprek-er “speaker”
prefixation praat “to talk” ge-praat “talking”
N  N suffixation moeder “mother” moeder-schap “motherhood”
prefixation zin “sense” on-zin “nonsense”
Derivation of adjectives
N  A suffixation meester “master” meester-lijk “masterly”
V  A suffixation lees ”to read” lees-baar “readable”
A  A suffixation blauw “blue” blauw-ig “blueish”
prefixation gewoon “common” on-gewoon “uncommon”
Derivation of verbs
N  V suffixation analyse “analysis” analy-eer “to analyse”
prefixation slaaf “slave” ver-slaaf “to enslave”
A  V suffixation kalm “calm” kalm-er “to calm down”
prefixation bleek “pale” ver-bleek “to turn pale”
V  V suffixation krab “to scratch” krabb-el “to scratch lightly”
prefixation rijd “to ride” be-rijd “to ride on”
Berdasarkan tabel tersebut, Booij (2005:52) mengatakan bahwa kata dibagi menjadi dua jenis kelas
leksikal: kelas terbuka dan kelas tertutup. Pada berbagai bahasa, kata nomina, kata sifat, dan kata kerja
merupakan bentuk kelas kata terbuka. Seperti yang telah diilustrasikan pada contoh (1), kelas-kelas kata ini
dapat diperpanjang dengan cara formasi pembentukan kata.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa bentuk dasar kelas kata yang membentuk
leksem baru biasanya berupa kelas terbuka, tapi ada pengecualian. Hal inilah yang menyebabkan hambatan
proses derivasi pembentukan kata pada kategori leksikal tertentu. Proses pembentukan kata yang melewati
proses derivasi, juga mengalami beberapa proses yang dinamakan dengan proses nominalisasi, verbalisasi,
adjektivalisasi, dan adverbialisasi sebagai proses yang menentukan kategori kelas kata yang dibentuk.
Setelah proses derivasi terjadi, maka tidak hanya mengubah kategori kelas kata namun mengubah makna
kata yang kompleks dari arti kata dasar ke dalam struktur morfologi, seperti pada tabel, schoon “cantik”
menjadi schoon-heid “kecantikan”. Perubahan kategori kelas kata adjektiva menjadi nomina, serta terjadi
perubahan makna dari “cantik” menjadi “kecantikan”. Hal inilah yang dinamakan dengan nominalisasi dari
kelas kata adjektiva menjadi nomina.
Pembentukan kata seperti yang telah dijelaskan di atas, menggambarkan bahwa proses derivasi yang
digunakan untuk membuat subklass spesifik kata kerja, misalnya, dalam bahasa Inggris terdapat verba
intransitif, sedangkan verba dasar mereka transitif, sehingga membutuhkan objek langsung untuk hadir. Oleh
karena itu kasus perubahan valensi sintaksis pun dinamakan proses derivasi yang merujuk pada sifat
kombinasi sintaksis kata-kata. Selain itu, verba intransitif hanya membutuhkan kehadiran subjek, kata kerja
transitif memerlukan kehadiran sebuah frase kata nomina kedua yang berfungsi sebagai objek langsung. Hal
ini terjadi pula pada reduplikasi bahasa Madura (BM). Bentuk kelas kata verba pada BM terjadi banyak
perubahan, baik perubahan kelas kata, perubahan makna, atau pun perubahan valensi. Hal inilah yang
dimaksud dengan proses derivasi yang tidak hanya mengubah kategori kelas kata, melainkan mengubah
subkategori semantik, valensi, serta mengubah kategori sintaksis.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Objek penelitian ini adalah reduplikasi BM dengan
sumber data tulis dan lisan. Sumber data tulis diperoleh dari tata bahasa baku BM yang ditulis oleh Sofyan
(2009), kamus lengkap Bahasa Madura-Indonesia Adrian (2009), majalah Jokotole yang terbit tiga bulanan
edisi tahun 2009—2013 yang masing-masing diambil salah satu edisi pada bulan tertentu saja, dan beberapa
daftar tanyaan yang berisi daftar reduplikasi dari media sosial berbahasa Madura, yaitu Lontar Madhura dan
Okara Madhura. Data lisan diperoleh melalui observasi dan wawancara narasumber penutur asli BM
menggunakan teknik elisitasi. Data tulis diperoleh dengan teknik catat.
Metode analisis data penelitian ini adalah metode agih yang dikemukakan oleh Sudaryanto (1993:
15). Alat penentu dari metode agih ini adalah bagian dari bahasa itu sendiri berupa reduplikasi bahasa. Data
dianalisis menggunakan beberapa teknik, di antaranya teknik lesap, ganti, sisip, dan ubah ujud. Teknik
tersebut digunakan untuk menemukan bentuk, fungsi, produktivitas, dan kaidah pembentukan reduplikasi
BM. Kaidah pembentukan reduplikasi pada bahasa Madura ini mengaplikasikan teori reduplikasi dalam

103
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
kerangka morfologi distribusional (MD) yang telah dikembangkan oleh Hale dan Marantz pada tahun 1993,
Harley dan Noyer (1999), dan Frampton (2009).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Bentuk reduplikasi yang paling produktif pada BM adalah reduplikasi sebagian suku akhir. Hal ini disebabkan
karena sebagian besar bentuk dasar setiap kelas kata pada BM ini terdiri atas dua suku kata. Berdasarkan hasil
analisis, reduplikasi sebagian suku akhir ditemukan pada beberapa kelas kata verba. Reduplikasi sebagian pada
suku akhir ini juga mengubah fungsi pada kelas kata verba, seperti pada tabel berikut.
Tabel 1. Reduplikasi Sebagian Suku Akhir
Bentuk Dasar Kategori Reduplikasi Kategori Fungsi Gramatis Fungsi Semantis
kala’ Verba la’-kala’ Verba Partikel-lah menyuruh untuk melakukan sesuatu
‘ambil’ ‘ambillah’
ongghâ Verba ghâ-onggha Verba Partikel-lah menyuruh untuk melakukan sesuatu
‘naik’ ‘naiklah’
kakan Verba kan-kakan Verba Partikel-lah menyuruh untuk melakukan sesuatu
‘makan’ ‘makanlah’
ghibâ Verba bâ-ghibâ Verba Partikel-lah menyuruh untuk melakukan sesuatu
‘bawa’ ‘bawalah’
mole Verba le-mole Verba Partikel-lah menyuruh untuk melakukan sesuatu
‘pulang’ ‘pulanglah’
tabbhu Verba bhu-tabbhu Nomina Pembentuk [NOM] menyatakan alat seperti bentuk dasarnya
‘tabuh’ ‘alat tabuh’
tokol Verba kol-tokol Nomina Pembentuk [NOM] menyatakan alat seperti bentuk dasarnya
‘pukul’ ‘alat-pukul’
peccot Verba cot-peccot Nomina Pembentuk [NOM] menyatakan alat seperti bentuk dasarnya
‘pecut’ ‘alat pemecut’
Perubahan fungsi reduplikasi sebagian suku akhir pada BM yaitu bisa berubah fungsi yang pertama
adalah sebagai penegasan atau penanda partikel- lah [PART] sebagai verba pada sebuah kalimat imperatif,
sehingga tidak terjadi perubahan makna dari bentuk dasar reduplikasinya, misalnya kala’ yang bermakna
verba ‘ambil’ mengalami reduplikasi menjadi la’-kala’ yang bermakna ‘ambillah’, begitu juga untuk kata
kerja lainnya seperti onggha^ ‘naik’ gha^-onggha^ ‘naiklah’, kakan ‘makan’ bentuk reduplikasinya kan-kakan
‘makanlah’, verba ghiba^ ‘bawa’ bentuk reduplikasinya ba^-ghiba^ ‘bawalah’ moleô ‘pulang’ bentuk
reduplikasinya leô-moleô ‘pulanglah’.
Perubahan fungsi kedua reduplikasi pada kelas kata kerja [VB] ini jika mengalami pengulangan
dengan mengulang suku akhir dari bentuk dasarnya dan memiliki fungsi yang bervariasi jika dibandingkan
dengan kelas kata lainnya yakni sebagai pembentuk nomina [NOM] dari sebuah alat yang digunakan seperti
bentuk dasarnya, misalnya bentuk dasar tabbhu yang memiliki makna verba ‘tabuh’ mengalami bentuk
reduplikasi sebagian pada suku akhirnya menjadi bhu-tabbhu yang berarti ‘alat tabuh’, begitu juga dengan
contoh-contoh lainnya seperti tokol ‘pukul’ bentuk reduplikasinya kol-tokol ‘alat pukul’, peccot ‘pecut’
bentuk reduplikasinya cot-peccot ‘alat pemecut’. Bentuk perbedaan fungsi gramatis dan semantis dari kelas
kata verba jika dilihat dari konteks kalimatnya.
Jajan kukus rowa kan-kakan Bhu-tabbhu reya jek sabe’ neng dinnak deggi’ elang.
Kue kukus itu RED-makan-PART RED-Tabuh-Nom ini jangan taruh di sini nanti hilang
‘Kue kuku itu makanlah’. ‘Alat tabuh ini jangan ditaruh di sini nanti hilang’.
Dengan demikian, konteks kalimat juga bepengaruh pada makna yang ditimbulkan dari bentuk
reduplikasi sebagian suku akhir khususnya pada kelas kata verba. Hal ini disebabkan fungsi gramatis dan
semantis pada bentuk reduplikasi BM bervariasi. Bentuk reduplikasi pada kelas kata verba yang memiliki
fungsi gramatis sebagai penanda partikel [PART], ketika berada pada posisi predikat pada sebuah kalimat
(1). Bentuk reduplikasi yang memiliki fungsi gramatis sebagai pembentuk nomina [NOM], ketika berada
pada posisi subjek dalam sebuah kalimat (2). Berdasarkan kedua kalimat nampak proses derivasi yaitu
perubahan fungsi pada kelas kata verba reduplikasi baik fungsi gramatis dan semantis, karena sesuai konteks
kalimat yang terbentuk.

SIMPULAN

104
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Berdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa reduplikasi BM khususnya pada kelas kata verba terjadi
sebuah proses derivasi secara hirarki mengalami perubahan fungsi. Beberapa bentuk reduplikasi memiliki
fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan proses pembentukannya. Proses reduplikasi sebagian suku akhir
BM berlangsung dan mengubah fungsi serta makna karena adanya proses pembentukan reduplikasi.
Bentuk reduplikasi BM ini memiliki pola mengulang suku kata akhir yang diikuti penyisipan jungtur
di sebelah kiri bentuk dasar, baik mengalami perubahan bunyi, atau pun proses afikasi (prefik-sebelah
kanan, sufik-sebelah kiri, konfiks-kiri dan kanan dari bentuk dasar). BM ini sangat kaya akan bentuk-bentuk
reduplikasinya, baik variasi makna maupun bentuk reduplikasinya beserta fungsinya.

DAFTAR PUSTAKA
Pawitra, Adrian. 2009. Kamus Lengkap Bahasa Madura-Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.
Booij, Greert. 2007. The Grammar of Words : An Introduction to Morphology. New York: Oxford University Press.
Frampton, John. 2009. Distributed Reduplication. Ms. MIT.
Harrison, K. David dan Eric Raimy. 2004. “Reduplication in Tuvan: Exponence, Readjustment and Phonology” dalam
Csirmaz, dkk Proceedings of WAFL I: Workshop in Altaic Formal Linguistics. MITWPL 46, Cambridge, MA.
Frampton, John. 2009. Distributed Reduplication. Ms. MIT
Haidi, Harley dan Rolf Noyer. 1999. “Distributed Morphology”. Dalam Glot International Volume 4 Issue 4, April
1999.
Halle, Morris dan Alec Maranzt.1993. “Distributed Morphology and the Pieces of Inflection” dalam K. Hale dan SJ
Keyser (ed). The View from Building 20: Essays in Linguistics in Honor of Sylvain Bromberger. Cambride:
MA: MIT Press
Harrison, K. David dan Eric Raimy. 2004. “Reduplication in Tuvan: Exponence, Readjustment and Phonology”. dalam
Csirmaz, dkk Proceedings of WAFL I: Workshop in Altaic Formal Linguistics. MITWPL 46, Cambridge, MA.
Sofyan, Ahmad, dkk. 2008. Tata Bahasa Baku Bahasa Madura. Sidoarjo: Balai Bahasa Surabaya.
---------------------. 2009. “Morfologi bahasa Madura dialek Sumenep”. Disertasi Doktor. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Dian Karina Rachmawati
Institusi : Universitas Muhammadiyah Surabaya
Riwayat Pendidikan : S2 Linguistik Universitas Diponegoro
S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya
Minat Penelitian : • Pengembangan Pendidikan dan Bahasa Indonesia
• Linguistik

105
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
REDUPLIKASI BAHASA DAYAK SUHAID: KAJIAN MORFOLOGI DISTRIBUSI

Dhion Meitreya Vidhiasi


Universitas Diponegoro, Akademi Maritim Nusantara
mvdhion@gmail.com

ABSTRAK
Kajian proses reduplikasi pembentukan kata dalam suatu bahasa yang menggunakan pendekatan teori generatif
seringkali hanya dijelaskan menggunakan teori fonologi dengan kerangka KV yang dicetuskan oleh Marantz (1982).
Menurut Subiyanto (2009), penggunaan teori KV masih belum bisa menjelaskan kaidah pembentukan reduplikasi
dengan cukup jelas terutama pada kaidah reduplikasi sebagian maupun berubah bunyi. Sebagai contoh penelitian
Subiyanto (2009) yang meneliti tentang bentuk reduplikasi kata dalam Bahasa Jawa. Adanya perubahan bunyi vokal
seperti pada kata mora-moro ‘datang berkali-kali’ yang berasal dari root “moro” yang berarti ‘datang’. Ada
perubahan bunyi vokal [a] menjadi bunyi [â] di akhir kata. Kemudian kemunculan vokal tengah [↔] pada reduplikasi
sebagian Bahasa Jawa. Teori fonologi dengan kerangka KV masih belum cukup menjelaskan alasan adanya
perubahan bunyi dan kemunculan vokal tengah tersebut dalam proses reduplikasi kata sebuah Bahasa terutama
Bahasa Jawa. Permasalahan inilah yang mendasari munculnya pendekatan morfologi distribusi untuk meneliti kaidah
pembentukan reduplikasi kata dalam sebuah bahasa. Makalah ini mengkaji tentang kaidah pembentukan reduplikasi
kata pada Bahasa Dayak Suhaid menggunakan teori Morfologi Distribusi (MD) yang telah dikembangkan oleh Hale
dan Marantz (1993) dan Frampton (2002). Sumber data yang digunakan dalam tulisan ini diperoleh dengan metode
wawancara dari penutur asli Bahasa Dayak Suhaid. Hasil wawancara kemudian ditranskripsikan dan dianalisa
bentuk-bentuk reduplikasi yang terjadi. Data kemudian dianalisa dan dijelaskan menggunakan teori Morfologi
Distribusi (MD). Hasil analisa yang diperoleh adalah bahwa dalam Bahasa Dayak Suhaid terdapat 4 (empat) jenis
reduplikasi yaitu reduplikasi penuh, reduplikasi sebagian, reduplikasi berimbuhan, dan reduplikasi berubah bunyi.
Selain itu, hasil analisa juga menunjukkan bahwa reduplikasi pada Bahasa Dayak Suhaid terjadi karena adanya
kaidah penyesuaian yang dilakukan melalui penyisipan jungtur. Dalam hal reduplikasi berubah bunyi, bentuk
perubahan bunyi dijelaskan dengan menggunakan fitur distingtif.
Kata kunci: reduplikasi, bahasa Dayak Suhaid, Morfologi Distribusi

Pendahuluan
Negara Indonesia memiliki banyak sekali bahasa daerah yang tersebar di banyak pulau di Indonesia. Salah
satu bahasa daerah yang ada yaitu Bahasa Dayak Suhaid yang terdapat di pulau Kalimantan. Bahasa Dayak
Suhaid memiliki sistem reduplikasi atau perulangan kata sama seperti Bahasa Jawa atau bahasa-bahasa
daerah lainnya. Reduplikasi sendiri menurut Ramlan (1985:63) adalah pengulangan satuan gramatik, baik
seluruhnya maupun sebagian, baik dengan variasi fonem maupun tidak.
Sudaryanto dalam Subiyanto (2009:1) menjelaskan bahwa ada 4 (empat) ragam bentuk reduplikasi,
yaitu reduplikasi penuh, reduplikasi bervariasi bunyi, reduplikasi parsial, dan reduplikasi parsial bervariasi
bunyi. Ada hal yang cukup rumit yang membedakan bentuk reduplikasi Bahasa Dayak Suhaid dengan
Bahasa Jawa terutama pada bentuk reduplikasi bervariasi bunyi. Bentuk reduplikasi bervariasi bunyi pada
Bahasa Jawa biasanya hanya ditunjukkan dengan bentuk perubahan satu bunyi seperti mesam-mesem dan
tura-turu.
Bentuk reduplikasi di atas dapat menimbulkan tanya, apakah bentuk tersebut hanya merupakan
proses pemberian imbuhan (afiksasi) ataukah merupakan kaidah penyesuaian (readjustment rules). Marantz
(1982:437) berpendapat bahwa reduplikasi adalah proses morfologis yang mengubah bentuk dasar melalui
proses afiksasi. Pendapat berbeda disampaikan oleh Frampton dalam Subiyanto (2009: 2) bahwa proses
reduplikasi melibatkan penerapan kaidah penyesuaian (Readjusment rule). Kaidah ini menurut Raimy (2000:
61) merupakan suatu kaidah yang dapat mengubah fitur fonologis maupun morfosintaks dari sebuah
morfem.
Berdasarkan temuan di atas, penulis ingin menjelaskan fenomena reduplikasi tersebut dengan
pendekatan teori morfologi distribusi (MD) yang ditemukan oleh Halle dan Maranzt pada tahun 1993.
Penerapan teori ini sudah pernah dilakukan di dalam tulisan Subiyanto (2009) yang meneliti tentang
“Reduplikasi Bahasa Jawa”. Subiyanto (2009:3) mengatakan bahwa teori MD menjelaskan jika sebuah kata
dapat dibentuk dengan menyisipkan leksikal yang diikuti kaidah penyesuaian dalam ranah morfologi yang
diikuti oleh kaidah fonologi untuk menghasilkan bentuk fonetik.
Latar belakang dan temuan di atas dapat menimbulkan permasalahan dalam hal reduplikasi Bahasa
Dayak Suhaid yaitu: (1) Bagaimanakah bentuk reduplikasi pada Bahasa Dayak Suhaid; (2) Bagaimana
proses pembentukan reduplikasi Bahasa Dayak Suhaid berdasarkan teori MD?

106
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan sumber data lisan yang diperoleh melalui metode wawancara dan observasi
terhadap informan kunci. Data yang sudah terkumpul dianalisis mengikuti langkah-langkah berikut: (1)
mengumpulkan data-data yang berbentuk reduplikasi (2) mengklasifikasikan betuk-bentuk reduplikasi (3)
melakukan analisis terhadap bentuk-bentuk reduplikasi dengan teori Morfologi Distribusi.
Hasil analisis kemudian disajikan dengan metode informal dan metode formal (Sudaryanto, 1993:
145). Metode penyajian informal adalah perumusan hasil analisis dengan kata-kata biasa, sedangkan
penyajian formal perumusan hasil analisis dengan tanda-tanda atau lambang.

LANDASAN TEORI
Penelitian bentuk reduplikasi sebuah bahasa membutuhkan pemahaman tentang beberapa teori yang dapat
mendukung penelitian tersebut. Penulis akan menjelaskan beberapa teori seperti teori tentang reduplikasi
dan morfologi distribusi itu sendiri.
Reduplikasi
Katamba (1993:180) berpendapat bahwa ada proses afiksasi yang dapat ditemui dalam bentuk reduplikasi
sebuah bahasa dimana bentuk afiks tersebut dapat diambil dari bentuk fonologis dari bentuk dasar. Dengan
kata lain, dapat dikatakan bahwa kita dapat memberikan imbuhan awalan, sisipan, atau akhiran dalam proses
pembentukan reduplikasi sebuah bahasa.
Frampton (2009:4-5) mengatakan hal yang berbeda tentang konsep reduplikasi. Dia berkata bahwa
reduplikasi sama dengan proses penggandaan yang harus melalui beberapa tahapan. Tahapan pertama yang
harus dilalui adalah proses penyisipan junctures “jungtur”. Junctures tersebut kemudian memunculkan
sebuah proses transkripsi. Junctures di sini dapat diinterpretasikan sebagai sebuah instruksi yang dapat
memicu dan mengarahkan proses penggandaan dan/ atau pemotongan dalam sebuah mekanisme transkripsi
reduplikasi. Konsep penyisipan junctures inilah yang kemudian berkembang menjadi konsep Reduplikasi
Distribusi (RD).
Morfologi Distribusi
Teori Morfologi Distribusi pertama kali diperkenalkan oleh Halle dan Marantz pada tahun 1993. Dalam teori
ini, mereka ingin mengkombinasikan fitur dari imbuhan dan fitur leksikal (1993: 111). Teori Morfologi
Distribusi kemudian melahirkan sebuah teori yang disebut Reduplikasi Distribusi (Distributed Reduplication).
Teori itulah yang kemudian digunakan oleh penulis dalam menjelaskan proses reduplikasi yang terjadi di
dalam Bahasa Dayak Suhaid. Dalam teori ini, ada beberapa proses yang harus dilewati dalam pembentukan
sebuah kata. Frampton (2009:5) menunjukkan bahwa ada lima proses dalam pembentukan kata, yaitu
penentuan domain (domain selection), penyisipan jungtur (Juncture Insertion/JuncIns), penyesuaian prosodi
(Prosodic Adjusment), transkripsi (transcription), NCC Repair.

PROSES PEMBENTUKAN REDUPLIKASI BAHASA DAYAK SUHAID


Awal dari proses pembentukan reduplikasi adalah pembuatan daftar fitur-fitur-fitur morfosintaksis yang
dapat dimasukkan ke dalam kaidah pembentukan reduplikasi yang terjadi melalui penyisipan leksikal, yang
diikuti oleh kaidah penyesuaian dan kaidah fonologi. Setiap morfem memiliki fungsi morfosintaksis yang
dapat digambarkan dengan pemberian fitur-fitur morfosintaksis pada setiap morfem seperti Daftar-daftar
fitur morfosintaksis berisi di antaranya morfem akar ([root]), penanda intensitas ([INT]), penanda tunggal
([SING]), penanda jamak ([PL]), dan lain sebagainya.
Sebuah kata dapat memiliki representasi bentuk leksikal yang berupa bentuk kosong [ɸ]. Eksponen
kosong [ɸ] inilah yang dapat memicu munculnya penyisipan jungtur untuk dapat menghasilkan bentuk
reduplikasi suatu bahasa. Bentuk eksponen kosong dapat dijumpai dalam bahasa Dayak Suhaid yang
kemudian memicu adanya penyisipan jungtur dalam root, misalnya ligas-ligas ‘cepat-cepat’.
Kaidah Pembentukan Reduplikasi Bahasa Dayak Suhaid dengan DM
Pada bagian ini akan dibahas kaidah pembentukan reduplikasi bahasa Dayak Suhaid dengan menggunakan
teori Distributif Morfologi (DM). Analisis bentuk reduplikasi bahasa Dayak Suhaid akan dibagi menjadi 4
(empat) macam, yaitu: 1) kaidah pembentukan reduplikasi penuh, 2) kaidah pembentukan reduplikasi
sebagian, 3) kaidah pembentukan reduplikasi berubah bunyi, dan 4) kaidah pembentukan reduplikasi
berimbuhan.

107
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Kaidah Pembentukan Reduplikasi Penuh
Proses pembentukan reduplikasi penuh bahasa Dayak Suhaid dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu
reduplikasi yang dibentuk dari penggabungan morfem akar [root] dan morfem penanda jamak [PL], dan
reduplikasi yang dibentuk dari penggabungan morfem akar [root] dan morfem penanda intensitas [INT].
Kaidah pembentukan reduplikasi penuh yang berasal dari proses penggabungan morfem akar [root] dan
morfem penanda jamak [PL] seperti yang terjadi pada pembentukan kaban-kaban ‘teman-teman (banyak
teman)’, adalah sebagai berikut:

Proses pembentukan reduplikasi di atas menunjukkan bahwa kata kaban-kaban dibentuk dari
morfem [[KABAN]] dan morfem PL (Plural). Terjadi penyisipan leksikal untuk morfem [[KABAN]]
berupa kaban, selanjutnya terdapat penambahan penambahan morfem PL yang memiliki eksponen kosong
(ɸ) dan memicu terjadinya penyisipan jungtur ([x x x x x]). Penyisipan jungtur yang dipicu oleh
penambahan PL tersebut menghasilkan bentuk reduplikasi dari bentuk dasar sehingga terbentuklah kata
kaban-kaban. Proses di atas juga menunjukkan bahwa ada pengulangan dari bentuk dasar yang merupakan
bentuk turunan. Kaidah pembentukan reduplikasi penuh pada nomina di atas menghasilkan bentuk-bentuk
seperti humah-humah ‘rumah-rumah’, buah-buah ‘buah-buah’.
Kaidah Pembentukan Reduplikasi Sebagian
Proses pembentukan reduplikasi sebagian ini tidak berbeda dengan proses yang terjadi pada Bahasa Jawa
‘dedunung’ seperti yang pernah disampaikan oleh Subiyanto (2009: 18). Proses ini terjadi karena adanya
penambahan prefiks yang memicu terjadinya kaidah penyesuaian berupa pengulangan konsonan awal dari
bentuk dasar yang diletakkan sebelum bunyi vokal yang merupakan wujud dari morfem nomina. Proses
reduplikasi sebagian pada Bahasa Dayak Suhaid untuk kata tetangga dapat digambarkan sebagai berikut:

Proses reduplikasi di atas menunjukkan bahwa kata tetangga dibentuk dari morfem pembentuk [N]
dan morfem [[TANGGA]]. Ada penyisipan leksikal dari morfem [[TANGGA]] yaitu tangga dan penyisipan
leksikal dari morfem [N] yang berupa bentuk [t↔]. Adanya penyisipan leksikal [t↔] tersebut memicu
adanya penyisipan jungtur, yang kemudian ditandai dengan x] pada konsonan awal stem sebelah kiri.
Predikat yang diisi dengan [↔] diberi tanda < > yang dapat diartikan bahwa tidak ada pengulangan untuk
predikat tersebut. Hasil dari pengulangan konsonan awal stem ke sebelah kiri [↔] tersebut menghasilkan
bentuk [t↔tangga].

108
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Kaidah Pembentukan Reduplikasi Berimbuhan
Proses pembentukan reduplikasi berimbuhan pada bahasa Dayak Suhaid merupakan bentuk pengulangan
morfem dasar yang memperoleh imbuhan yang kemudian mengalami reduplikasi penuh pada morfem dasar,
sebagai contoh seahi-ahi ‘setiap hari’. Morfem dasar dari kata tersebut adalah [AHI] yang memperoleh
awalan penanda jumlah [JML] untuk membentuk kata seahi. Kata seahi ini kemudian mendapatkan penanda
intensitas [INT] yang memiliki eksponen kosong [ɸ] yang dapat memicu munculnya penyisipan jungtur
pada morfem akar. Kaidah pembentukan kata tersebut dapat dijelaskan di bawah ini:

Kaidah Pembentukan Reduplikasi Berubah Bunyi


Sekilas proses pembentukan reduplikasi ini hampir sama dengan proses pembentukan reduplikasi penuh.
Perbedaan yang cukup terlihat adalah adanya proses perubahan bunyi yang terjadi. Proses perubahan bunyi
pada kaidah pembentukan reduplikasi berubah bunyi mungkin dimaksudkan untuk memudahkan penutur
dalam menuturkan suatu kata dengan memperhatikan tempat maupun cara artikulasi. Kaidah pembentukan
thipak – thapai ‘compang-camping / robek-robek’ yang berasal dari bentuk dasar thipak ‘camping / robek’
adalah sebagai berikut:

Dalam proses pembentukan reduplikasi di atas, ditemukan adanya kaidah penyesuaian yaitu
perubahan bunyi [i] menjadi [a] dan bunyi [k] menjadi bunyi [i]. Proses perubahan bunyi tersebut dapat
dijelaskan menggunakan kaidah fonologis. Ada 2 kaidah fonologis yang dapat ditemui pada data tersebut.
Pertama yaitu kaidah perubahan bunyi vokal tinggi [i] berubah menjadi vokal rendah [a] apabila vokal tinggi
[i] muncul setelah bunyi yang rendah pula, dalam hal ini bunyi [th]. hal tersebut dapat digambarkan dalam
kaidah berikut ini:

109
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
h h
Proses perubahan bunyi kedua yang terjadi pada kata t ipak – t apai adalah perubahan bunyi [k]
menjadi bunyi [i] pada akhir morfem. Dalam bahasa ini, perubahan menjadi bunyi [i] yang memiliki ciri
fonologis [+ tinggi], [- rendah], [- belakang], [ - bulat] terjadi setelah didahului oleh bukan bunyi belakang
[a] yang memiliki ciri fonologis berupa [- tinggi], [+ rendah], [-belakang], [- bulat]. Perubahan bunyi rendah
[k] menjadi bunyi tinggi [i] yang didahului dengan bukan bunyi belakang [a] dapat diartikan bahwa batang
lidah dinaikkan untuk menghambat laju udara dalam proses pembentukan bunyi. Proses tersebut dapat
dilihat dalam kaidah di bawah ini:

KESIMPULAN
Bentuk reduplikasi pada bahasa Dayak Suhaid dapat dibedakan menjadi 4 jenis yaitu reduplikasi penuh,
reduplikasi sebagian, reduplikasi berubah bunyi, dan reduplikasi berimbuhan. Reduplikasi penuh terjadi
karena adanya penyisipan jungtur akibat dari munculnya eksponen kosong. Pada reduplikasi sebagian,
penyisipan jungtur terjadi karena adanya penyisipan leksikal [↔]. Konsep reduplikasi penuh dan reduplikasi
berubah bunyi pada dasarnya hampir sama. Perbedaan yang cukup signifikan terjadi pada ada tidaknya
perubahan bunyi yang terjadi dan proses apa yang menyebabkan terjadinya proses perubahan bunyi tersebut.
Reduplikasi berimbuhan pada bahasa ini merupakan bentuk pengulangan morfem dasar yang memperoleh
imbuhan yang kemudian mengalami reduplikasi penuh pada morfem dasar. Penjelasan tentang kaidah
pembentukan reduplikasi pada bahasa Dayak Suhaid dapat dijelaskan dengan jelas dengan menggunakan
teori Morfologi Distribusi yang menekankan pada adanya penyisipan jungtur dalam proses tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Booij, Greert. 2007. The Grammar of Words: An Introduction to Morphology. New York: Oxford University Press.
Frampton, John. 2002. Distributed Reduplication. Cambridge: Ms. MIT.
Frampton, John. 2009. Distributed Reduplication. Cambridge: MIT Press.
Harrison, K. David dan Eric Raimy. 2004. “Reduplication in Tuvan: Exponence, Readjustment and Phonology”. dalam
Csirmaz, dkk Proceedings of WAFL I: Workshop in Altaic Formal Linguistics. MITWPL 46. Cambridge: MA.
Katamba, Francis, 1993. Morphology. London: Macmillan Press.
Maranzt, Alec. 1982. “Re reduplication” dalam Linguistic Inquiry, 13, hal 435-482. MIT.
Raimy, Eric. 2000. The Phonology and Morphology of Reduplication. Berlin: Mouton de Gruyter.
Subiyanto, Agus. 2009. Reduplikasi Bahasa Jawa: Kajian Morfologi Distribusi. Semarang: FIB Undip.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Dhion Meitreya Vidhiasi
Institusi : Akademi Maritim Nusantara Cilacap
Riwayat Pendidikan : S2 Universitas Diponegoro
S1 Universitas Stikubank
Minat Penelitian : • Critical Discourse Analysis
• Appraisal System

110
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
LINGUISTIC ANALYSIS ON THE NAMES OF NIAS ANCESTORS

Ingatan Gulö
STBA Teknokrat
atan@teknokrat.ac.id

ABSTRACT
This is a cultural-linguistic analysis on the names of Nias ancestors. Anthroponomastics on Nias ancient proper names
contains some worthy cultural accounts about the tribe. Looking at most of Nias names nowadays triggers a question
as to why are the names so ‘funny’ or amusing to other people with Indonesian linguistic background. Such a question
was the reason that motivated the present researcher to conduct a research on this matter. The purpose was to obtain
an insight on the thoughts as well as philosophical and cultural values held by Nias people in the past and
encompassed in how they named their descendants. In order to get the data, senior villagers were interviewed by the
researcher. The data gatethered were then classified according to the meanings and messages contained in those
meanings. After that, the researcher reported the result in a descriptive analytical report. After conducting the
research, it was revealed that it is not only the present-day Nias people who have such linguistically amusing names
but also the generations who lived before them. The research shows that the names vary in meanings and aspects of
life. What makes it interesting is that not only the names are semantically amusing but they also tell important cultural
values held by those ancestors living in the past. Written in Li Niha or Nias language, there were names with negative
meanings such as Sasao (garbage), Silöguna (the one with no benefit), and Taide'u (rat's feces). Some of the people
were named after animals' names and their body parts like Talaho (frog), I'omao (cat's tail), and Atemanu (chicken's
liver). Among other names, those ancestors were also named according to what their parents felt about daily lives such
as Kefelö'ö (no money), Sodania (there will be), and Marase (being tired). Compared to the present-day names of Nias
people, the names now become more positive in meanings.
Keywords: anthroponomastics, culture, Li Niha, name, Nias

INTRODUCTION
To Indonesian speakers, the name of the present researcher sounds ‘funny’ or amusing. Taking a look at the
list of his Facebook friends would provide more of such amusing examples in Indonesian. A step back to the
previous generation, such characteristics also appear but most of the names are in Nias language or Li Niha.
Those names carry positive meanings and purposes.
These facts led the present researcher to questions related to the names of the people back to the
third generation and those coming before them. In addition to digging out what the names looked like
linguistically, exploring cultural and philosophical values they held have also underlined the objectives of
conducting this research.
This study focused on a branch of onomastics, that is anthroponomastics, which deals with names of
people. Studies on onomastics or proper names have developed quite far recently; starting from the
meanings they carry, how they relate to their referents, their morphological and syntactic aspects, to the
issues of computerizing them for modern usages in information technology (Obeng, 1998; Monroy, 1999;
Jamil, 2010; Inokuma, 2011; Ewie, 2014; Islam and Das, 2014). Previous studies on anthroponomastics also
vary on purposes and findings. This study thus contributes the notion of Nias ancestors’ proper names to
those available pieces of work on onomastics.

THEORY AND METHOD


Apart from the long debate between Fregean and Kripkean views on onomastics (Monroy, 1999; Maier,
2007), this research places its ground mostly on the direct reference theory, without any intention to
completely deny the possibility of names carrying certain characteristcs that describe them. Recanati’s effort
to reconcile the two theories (Monroy, 1999) is thus taken into account so strongly but with emphasis, for
this preliminary study, on one of his two-mode representation namely the linguistic mode.
The data were collected by interviewing five senior villagers from the middle part of Nias island in
2014. Thus, the result does not represent those from northern and southern parts of the island. Those chosen
were considered knowledgeable about history and local wisdom by the other villagers. These respondents
were separately asked names of Nias ancestors that they had ever met or heard from their parents. The
researcher also asked other questions related to meanings of and reasons for giving those names. While the
interview was in progress, the researcher took notes on important information obtained from the respondents.
From one hundred nineteen data collected, one hundred were processed. The rest were
miscellaneous. The chosen data were sorted and examined one by one in order to be able to clasify them into

111
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
groups. The classification was not made according to certain theory or existing methods of grouping names
but according to semantic characteristics they had. The clusters and data were then analysed in reference to
the theory used to draw conclusion.

DATA AND DISCUSSION


The data are presented based on the highest level of occurence to the least ones. Most of those provided in
this article are only representations of the data processed. They were numbered continuously in order a
datum can be referred by a precise number.
Names in Imperative Forms
Twenty five percent of the proper names analyzed are in imperative forms. Examples are given below. Seen
from the translations, these names are giving orders to their bearers.
No. Nias Name Literal Meaning Idiomatic Translation
1 Atulö’ö Adjust Make it right
2 Fagohi Run -
3 Lulugö Push -
4 Sofumbörö Ask reason Ask what is the starting point/reason
5 Tahali Hold words Don’t say a word
6 Tohusökhi Continue good Continue to be good
These names employ either verbs alone (number 1 through 3) or with nouns (number 4 through 6)
functioning as the objects of the verbs. When they are in the latter form, however, the two words are
combined as one. Philosophically, such names express the ‘instruction’ of the parents to be followed by the
children.
Names Related to Dowry
The commanding tone discussed above is also found in data 11 and 12 in the following group. However,
they were put under this point as the word böŵö ‘dowry’ at the end of each name drew the attention of the
present researcher to separate them. There are 20 names found with this characteristics. That makes it 20%
of the whole data analyzed.
No. Nias Name Literal Meaning Idiomatic Translation
7 Fukamböŵö Dowry net Trap of dowry
8 Hinomböŵö Season of dowry Era of dowry
9 Naeremböŵö Slope of dowry -
10 Rucumböŵö Dowry peak The highest level of dowry
11 Sekhemböŵö Ask dowry Make bargain on dowry
12 Tehemböŵö Accept dowry Agree on the dowry
The presence of the word böŵö in these names really tells something about the culture in Nias.
Dowry given by the bridegroom’s family to the bride’s family is a very striking feature of Nias culture. It is
not impossible for the bride’s family to ask fifty million rupiahs as böŵö in order to agree on conducting the
wedding and thus be families. This amount of money can be made less or more. As made explicit by datum
11, the dowry can be bargained. The is usually done by the spokesman of the groom’s family.
To many Nias people, especially those who are still philosophically bound to this cultural system,
getting married is a big burden. This can be seen from data number 7 and 9 that consider böŵö as a trap and
slope.
Hope or Prayer of the Parents
Similarly to names in imperative forms, the names in this group describe the hope of the parents. These
proper names, however, are not wrapped in ‘commands’ but in statements.
No. Nias Name Literal Meaning Idiomatic Translation
13 Fanohu Continuity The one that continues
14 Roudödö Motivation of the heart The one that encourages
15 Sarali One word To have agreement on something
15 Sarotödö Whose heart is firm The one with faith
17 Sodania There will be -
18 Tali’aculö Should be right -

112
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Fifteen names show this characteristic. That represents 15% of the data analyzed. As they bear the
prayers of the parents, they are all in positive tones. Nowadays, it is still possible to find Nias names like
these both in Li Niha and in Bahasa.
Circumstancial Names
Previous research findings on anthroponomastics indicate the fact that names in other countries or certain
tribes were also made based on what happened during pregnancy or birth process (Olenyo, 2011; Okyere,
2015).
No. Nias Name Literal Meaning Idiomatic Translation
19 Huŵalö’ö No grey hair Without any grey hair
20 Kefelö’ö No money Having no money
21 Löbörö No reason (Also: no financial capital)
22 Marase Tired Exhausted
23 Rimilö’ö No money (Rimi refers to money or a coin)
24 Taligölö Depend on power/energy Depend on ability
Twelve percent of the data processed when conducting this research portrays this occurence of
giving names based on circumstance. Data 20 and 23, for example, refer to bad economical condition of the
parents when the children were born. Number 22 explains how the parents lived their daily lives. This
indicates defenselessness of the parents and generally shows how they felt about the situation they were in at
that time.
Animal’s Names
The names presented in this group and the rest are quite shocking as people might think it is not appropriate
to have names like these. The names are in negative senses but vary in levels.
No. Nias Name Literal Meaning Idiomatic Translation
25 Kalaosi Mouse deer The one named mouse deer
26 Kanago Antelope The one named antelope
27 Kanasu Dog The one named dog
28 Ka’ulö Snake The one named snake
29 Talaho Frog -
30 Teatea Cockroach -
Although the linguistic items in 25 and 26 refer to animals, for instance, they seem neutral when
compared to the others like in 29 and 30. According to the respondents interviewed, these names came about
because of three possible reasons. First, it could be because the parents loved or admired animals like deers
and antelopes. Second, it could be because they hated certain animals like in the case of snake or cockroach.
Third, it could be because they saw or met these animals during pregnancy. The second and the third
possibilities really have something to do with circumstancial names but they were put in a different group as
the names with this characteristic showed up quite often.
Animal’s Body Parts
Still in relation to point five, Nias ancestors were also named after animal’s body parts. There are 7 proper
names found. This represents 7% of the whole data.
No. Nias Name Literal Meaning Idiomatic Translation
31 Ahemanu Chicken’s foot -
32 Atemanu Chicken’s liver -
33 I’ode’u Rat’s tail -
34 I’omao Cat’s tail -
35 Kahekahe Foot Unimportant parts of the foot
36 Sa’azökha Wild boar’s nail The nail of a wild boar
Seen from the translations, the names cover different body parts of the animals like the outer ones
(foot or tail), the inside body part, useful part like the nail, and unimportant ones. Combined with the
previous group, 15% of the proper names is related to animals.
Expression of Indignity
There are only five names grouped into this characteristic, four of which are presented below. The first three
are not as offensive as the last one.

113
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
No. Nias Name Literal Meaning Idiomatic Translation
37 Löbadödö Not in the heart No one cares
38 Lösangila No one knows -
39 Silöguna With no function The one who is worthless
40 Toudai Under shit Beneath feces
No information was obtained as to why such a name in 40 was given. One thing assured by the
informasion source is that these were real names, not nick names nor epithets.
Reflection of Feelings
Names put under this point are those representing the feelings of the name givers. Seen from the last part of
the names, this naming practice has something to do with the ‘heart’ of the parent or the one who gave the
name.
No. Nias Name Literal Meaning Idiomatic Translation
41 Lazidödö Heart’s squeezer One that makes life bitter
42 Söndrudödö Heart’s sorrow One that puts (others) in misery
43 Susadödö Heart is bothersome Being woeful
44 Uzudödö Heart’s enemy Enemy of the heart
The ones presented are the only data found related to this reflection of feelings. One might find it
possible to put them in one of the other groups but the meanings and philosophical values they bear will stay
the same.
Waste Materials
This last group of the proper names also carry negative senses as they refer to things that are thrown away
because they are no longer needed. These four are all the data found with similar characteristics.
No. Nias Name Literal Meaning Idiomatic Translation
45 Lölönafo Waste of chewed betel -
46 Sasao Rubbish -
47 Taide’u Rat’s feces -
48 Uliŵino The peel of areca nut -
Afo or betel is an important part of Nias culture. Even to the present days the adults, especially,
chew betels and mineral lime wrapped in betel leaves with other ingredients such as areca nut and gambier
as a stimulant masticatory. After being chewed, what left is the waste called lölönafo in the language.
Although all those names refer to unwanted things, those in 46 and 47 are the worst in nature.

CONCLUSION
Apart from the fact that circumstancial names and some other kinds of names explained above are
commonly found in other languages, there are unusual practices related to name giving among Nias
ancestors. Some of them, such as those proper names with extremely negative senses, should be examined in
more details in order to have comprehensive understanding on the reasons for giving or having such names.
The data found the most, however, really portrays Nias cultural and philosophical values held by those
ancestors.

REFERENCES
Ewie, Charles Owu. 2014. A morphosyntactic analysis of some Fante habitation names. The International Journal of
Humanities and Social Studies, 2(5), 232-243.
Gulö, Ingatan. 2014. Unique characteristics of Nias language. International Journal of English and Education, 3(3), 26-
32.
Inokuma, Sakumi. 2011. Syntax of personal pronouns and proper names, and the notion of direct reference. Linguistic
Research, 27, 63-71.
Islam, Syeful and Jugal Krishna Das. 2014. Design analysis rules to identify proper noun from Bengali sentence for
universal networking language. I.J. Modern Education and Computer Science, 8, 1-9.
Jamil, Sikander. 2010. Frege: the theory of meaning concerning proper names. Kritike, 4(1), 150-173.
Lase, Apolonius. 2011. Kamus Li Niha: Nias – Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Maier, Emar. 2007. Proper names as rigid presuppositions. Proceedings of Sinn und Bedeutung 11, 418-432.
Monroy, Rivas Uxía. 1999. Proper names: one century of discussion. Logica Trianguli, 3, 119-138.

114
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Obeng, Samuel Gyasi. 1998. Akan death-prevention names: a pragmatic and structural analysis. The American Name
Society, 46(3), 163-187.
Okyere, Sarah Marjie. 2015. A linguistic survey of types of names among the Bubukusu of Kenya. Global Journal of
Human-Social Science, 15(3)1, 34-42.
Olenyo and Malande Moses James. 2011. What is in a name? An analysis of the semantics of Lulogooli personal names.
International Journal of Humanities and Social Science, 1(20), 211-218.

Note: The names are written in this article according to the newest Nias dictionary and the elaboration on
the writing issue of Nias (Lase, 2011; Gulö, 2014).

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Ingatan Gulö
Institution : STBA Teknokrat
Education : S2 Universitas Padjadjaran
S1 Perguruan Tinggi Teknokrat
Research Interst : • Nias Language
• Sociolinguistics
• English Syntax

115
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
PERBANDINGAN KEKAYAAN KOSAKATA MAHASISWA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN:
STUDI KASUS DI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Angkita Wasito Kirana


Universitas Airlangga
angqtha@gmail.com

ABSTRAK
Ada banyak anggapan yang menerka perbedaan dalam penggunaan bahasa antara laki-laki dan perempuan. Salah
satu perbedaan yang terlihat pada penelitian ini adalah perbedaan pada kecenderungan penggunaan kosakata.
Penelitian ini mengkaji ragam dan kecenderungan penggunaan kosakata pada mahasiswa laki-laki dan perempuan
semester satu di Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga. Kajian ini dianalisa dengan menggunakan
pendekatan Korpus dan diinterpretasikan dengan rujukan teori “Women’s Language” yang diusung oleh Lakoff
(1975). Sebanyak 100 mahasiswa yang terdiri dari masing-masing 50 mahasiswa laki-laki dan perempuan diminta
untuk menulis karangan argumentatif dalam Bahasa Inggris yang bertemakan “Online Games” sepanjang 100-200
kata. 100 karangan yang terkumpul kemudian dipilah dan dikelompokkan berdasarkan gender lalu untuk masing-
masing kelompok, karangan dianalisa menggunakan Antconc guna mendapat daftar kosakata yang digunakan. Daftar
kosakata dari masing-masing kelompok tersebut dipilah berdasarkan kelas katanya. Setelah itu, daftar kosakata
tersebut kemudian dianalisa menggunakan Antword Profiler guna didapat daftar kosakakata yang hanya digunakan
oleh masing-masing kelompok. Hasil terebut kemudian dikelompokkan berdasarkan makna semantik yang diusung oleh
Biber dkk (1999). Dengan menggunakan Antconc didapat bahwa secara keseluruhan, jumlah kosakata yang digunakan
mahasiswa laki-laki lebih beragam daripada mahasiswa perempuan. Mahasiswa laki-laki lebih beragam dalam
menggunakan Kata Benda dan Kata Keterangan. Sementara itu mahasiswa perempuan lebih beraam dalam
menggunakan Kata Sifat dan Kata Kerja. Apabila ditilik lebih dalam, setelah dianalisa menggunakan Antword Profiler
dan didapat daftar kosakata yang hanya digunakan oleh masing-masing kelompok, didapat hasil serupa dimana secara
keseluruhan kosakata yang digunakan mahasiswa laki-laki lebih beragam daripada mahasiswa perempuan. Selain itu,
Kata Benda dan Kata Keterangan yang digunakan mahasiswa laki-laki lebih beragam dan Kata Sifat dan Kata Kerja
yang digunakan mahasiswa perempuan lebih beragam. Setelah keempat kelas kata pada masing-masing kelompok
gender dikelompokkan berdasarkan kategori semantik, didapat keempat karakteristik “Women’s Language” yang
dikemukakan Lakoff (1975) terlihat pada pemilihan kosakata yang digunakan oleh para partisipan. Meskipun
mahasiswa laki-laki lebih berkembang kosakatanya, terlihat bahwa mahasiswa perempuan lebih deskriptif dan detail
dalam menjelaskan suatu topik yang notabene adalah ranah laki-laki. Selain itu juga terlihat dari kosakata yang
digunakan, bahwa mahasiswa perempuan cenderung lebih menahan diri untuk mengekspresikan pikirannya sementara
mahasiswa laki-laki cenderung lebih aktif dan komunikatif.
Kata kunci: gender, korpus, kosakata

PENDAHULUAN
Sebagaimana halnya fisik, perempuan dan laki-laki memiliki karakter masing-masing dalam menggunakan
bahasa. Ada berbagai pendapat yang melatarbelakangi perbedaan laki-laki dan perempuan dalam
menggunakan bahasa. Salah satunya dapat terlihat dari kosakata yang digunakan oleh masing-masing
gender. Ditinjau dari ilmu psikolinguistik, bagian tubuh yang berpengaruh dalam proses berbahasa adalah
hemisphere otak (Cummings, 2009). Hemisphere kiri perempuan lebih tebal daripada laki-laki sehingga
memungkinkan perempuan memroses bahasa lebih baik daripada laki-laki (Dardjowidjojo, 2003). Meskipun
demikian, menurut Dardjowidjojo, perbedaan yang muncul dalam penggunaan bahasa lebih dikarenakan
faktor budaya, bukan genetik. Sehingga dapat diartikan bahwa meskipun ada perbedaan pada organ
berbahasa yang dimiliki laki-laki dan perempuan, pengaruh terbesar dalam perbedaan penggunaan bahasa
adalah budaya.
Menurut Lakoff (1975), perbedaan laki-laki dan perempuan dalam berbahasa terlihat pada pemilihan
kata dan frekuensi penggunaannya. Gaya berbahasa yang cenderung digunakan oleh perempuan disebut oleh
Lakoff dengan istilah “Women’s Language”. Ada beberapa karakteristik dari “Women’s Language ini.
Namun karena penulis tertarik meneliti ragam kosakata, hanya beberapa saja yang akan dibahas. Yang
pertama adalah kosakata yang kurang beragam. Karakteristik yang kedua adalah adanya kecenderungan
untuk menggunakan ragam kata tertentu. Yang ketiga adalah adanya penekanan “kuat” dan “lemah” dalam
berbahasa. Dan karakter yang keempat adalah penggunaan kata sifat yang mengandung kesan mendamba
dan memuja. Lakoff menggunakan kelompok masyarakat Amerika sebagai acuan pengamatannya.
Kebudayaan yang mempengarui pola hidup masyarakat Amerika juga mempengaruhi bahasa yang
digunakan. Hal ini tentunya akan sangat menarik untuk dikaji di kelompok masyarakat Indonesia.
Kebudayaan yang ada di Indonesia membentuk karakter bagi masing-masing gender.

116
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Beberapa penelitian yang terkait dengan penelitian ini diantaranya adalah Prados (2010), Pahom,
dkk (2015), Ishikawa (2015),dan Zare-ee, A. & Kuar, S (2012). Layaknya keempat penelitian tersebut,
penelitian ini mengkaji kecenderungan kosakata pembelajar bahasa asing berdasarkan gender mereka. Hanya
saja, pada penelitian ini jumlah partisipan setara jumlahnya dan hanya mengkaji dari segi kosakata saja.
Partisipan pada penelitian ini adalah mahasiswa laki-laki dan perempuan di Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Airlangga dengan alasan tingkatan bahasa yang digunakan tentunya lebih tinggi daripada yang
belum mengenyam pendidikan tinggi dan mahasiswa di perguruan tinggi cenderung berasal dari berbagai
daerah di tanah air, sehingga hasil yang didapat tidak hanya berasal dari satu budaya saja mengingat
Indonesia memiliki berbagai macam suku dengan karakteristik kebudayaan yang berbeda-beda.
Dalam pengambilan data, penelitian ini dilakukan dengan melibatkan 100 mahasiswa laki-laki dan
perempuan. Mahasiswa diminta untuk membuat karangan argumentatif menggunakan Bahasa Inggris
dengan tema “Online Games” sepanjang 150-200 kata. Setelah karangan terkumpul, karangan
dikelompokkan berdasarkan gender partisipan sehingga didapat masing-masing 50 karangan. Setelah itu
karangan dirubah dari format word ke dalam format txt. Untuk menganalisa data, penulis menggunakan
aplikasi AntConc dan AntWord Profiler. Teks yang sudah dalam bentuk txt kemudian diunggah satu per satu
untuk masing-masing kategori gender ke aplikasi AntCont. Dengan pilihan menu “Wordlist”, didapat daftar
kata-kata yang digunakan oleh masing-masing gender. Setelah itu daftar kata dipilah berdasarkan kelas kata
(kata kerja, kata sifat, kata benda, dan kata keterangan) untuk masing-masing kategori gender. Setelah itu,
dengan menggunakan aplikasi AntWord Profiler, didapat daftar kata yang hanya terdapat pada satu kategori
gender, namun tidak pada kategori gender yang lainnya. Hasil tersebut kemudian dikelompokkan lagi
berdasarkan kategori semantik yang diusulkan oleh Biber (1999). Setelah itu tabel perbandingan jumlah
ragam kosakata untuk masing-masing kelas kata antara mahasiswa laki-laki dan perempuan dibuat,
dianalisa, dan diinterpretasikan dengan menggunakan teori “Women’s Language” yang diusung oleh Lakoff
(1975).

PEMBAHASAN
Pada bagian ini, penulis akan memaparkan hasil dari perbandingan jumlah token dan jenis kata secara
keseluruhan terlebih dahulu. Setelah itu perbandingan jumlah kata pada masing-masing kelas kata akan
dipaparkan. Kemudian penulis akan menginterpretasikan hal tersebut berdasarkan teori “Women’s
Language” yang diusung oleh Lakoff (1975). Hal selanjutnya yang akan dibahas adalah perbandingan
jumlah kata dari kosakata yang digunakan oleh mahasiswa perempuan tetapi tidak terdapat pada karangan
mahasiswa laki-laki, dan sebaliknya. Selanjutnya, hal-hal tersebut akan diinterpretasikan.
Penyajian Grafik Korpus Keseluruhan

Grafik 1. Perbandingan Jumlah Token, Tipe Kata, dan Masing-Masing Kelas Kata
Interpretasi Data
Merujuk pada teori Lakoff (1975) tentang “Women’s Language”, distribusi ragam kosakata yang digunakan
oleh mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi, terlihat sesuai dengan teori tersebut. Menurut Lakoff,
meskipun laki-laki dan perempuan mempelajari gaya berbahasa yang sama dari ibu mereka, bahasa yang
digunakan laki-laki lebih berkembang daripada perempuan. Hal ini dikarenakan laki-laki lebih diberi
kebebasan oleh masyarakat untuk lebih mengekspresikan dirinya dan mencoba berbicara dengan gaya
seperti apapun.Karenanya kosakata yang dimiliki oleh laki-laki lebih beragam daripada perempuan. Hal ini
terlihat dari ragam tipe kata yang digunakan oleh mahasiswa laki-laki. Secara keseluruhan, tipe kata yang
digunakan mahasiswa laki-laki lebih beragam daripada mahasiswa perempuan.
Apabila ditinjau dari masing-masing kelas kata, mahasiswa laki-laki menggunakan kosakata yang
lebih beragam pada kelas kata benda dan kata keterangan. Apabila menilik dari tema karangan, “Online
Game”, yang di Indonesia lebih banyak digemari oleh laki-laki, tentunya merupakan hal yang wajar apabila
mahasiswa laki-laki lebih mampu memberikan ragam permainan dan mampu menjelaskan bagaimana
permainan itu dimainkan dengan lebih terperinci dibandingkan mahasiswa perempuan. Hal ini tentunya

117
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
mendukung karakteristik “Women’s Language’ yang pertama. Selain itu, apabila merujuk pada karakteristik
“Women’s Language” yang kedua, terlihat bahwa mahaiswa perempuan yang lebih rinci, terlihat dari
penggunaan kata sifat yang lebih beragam pada karangan mereka. Begitu pula dengan penggunaan kata
kerja. Hal ini tentunya cukup menarik karena meskipun topik karangan adalah sesuatu yang biasanya
merupakan ranah laki-laki,, kecenderungan perempuan untuk menjadi lebih spesifik dalam menerangkan
suatu hal tetap ada.
Grafik Data Kosakata yang Hanya Terdapat pada Masing-Masing Kategori Gender

Grafik 2. Perbandingan Berdasarkan Jumlah Masing-Masing Kelas Kata


Perbandingan Menurut Makna Semantik

Grafik 3. Kata Benda

Grafik 4. Kata Kerja dan Kata Sifat

Grafik 5. Kata Keterangan


Interpretasi
Dari pemaparan hasil temuan ini dapat diinterpretasikan bahwa untuk topik “Online Games”, mahasiswa
laki-laki lebih berkembang kosakatanya pada kelas Kata Benda dan Kata Keterangan dibandingkan
mahasiswa perempuan. Meskipun demikian, menurut Lakoff (1975), perempuan cenderung lebih spesifik
dan detail dalam mendeskripsikan segala sesuatu. Uniknya, meskipun topik yang dibahas pada karangan ini
118
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
adalah topik yang cenderung merujuk kepada laki-laki, kecenderungan mahasiswa perempuan untuk menjadi
lebih deskriptif dan spesifik masih ada. Meskipun secara umum mahasiswa perempuan menggunakan
kosakata yang lebih sedikit dalam kelas Kata Benda, apabila ditinjau dari makna semantiknya, mahasiswa
perempuan menggunakan lebih banyak kosakata syang berada pada Kata Benda Khusus (Proper).
Mahasiswa perempuan menggunakan kosakata yang lebih beragam dalam penamaan geografis dan
penamaan objek. Selain itu, Mahasiswa perempuan juga lebih beragam dalam menggunakan kosakata pada
Kelas Kata Sifat. Hal ini terlihat pada Grafik 4 yang menunjukkan bahwa mahasiswa perempuan lebih
banyak menggunakan kosakata yang termasuk pada sub kategori Descriptors dan Classifier.
Karakeristik “Women’s Language” yang ketiga juga tersirat pada hasil yang didapat dari penelitian
ini. Menurut Lakoff (1975), terdapat penekanan “kuat” dan “lemah” pada bahasa yang digunakan oleh laki-
laki dan perempuan. Hal ini terlihat dari kecenderungan mahasiswa laki-laki yang lebih banyak
menggunakan Kata Kerja yang termasuk dalam sub kategori action daripada mahasiswa perempuan. Hal ini
juga terlihat dari penggunaan kosakata pada sub kategori mental pada kelas Kata Kerja. Mahasiswa
perempuan menggunakan lebih banyak kata kerja yang termasuk pada sub kategori mental. Perempuan
cenderung untuk menahan diri dalam mengekspresikan dirinya karena tentunya, dalam Masyarakat
Indonesia, masih hal yang jarang bagi perempuan untuk menggandrungi “Online Games” dan bergabung
dengan teman-teman lawan jenisnya dalam bermain permainan ini.
Karakteristik keempat dari “Women’s Language” milik Lakoff (1975) juga terlihat dari hasil
penelitian ini. Menurut Lakoff, ada kecenderungan bagi perempuan untuk menggunakan kelompok kata
yang mengindikasikan adanya pendambaan dan pemujaan perempuan atas sesuatu. Meskipun kata sifat yang
cenderung evaluatif ditemukan dalam jumlah yang sama banyak pada karangan mahasiswa laki-laki dan
perempuan, mahasiswa perempuan menggunakan lebih dari dua kali lipat dari jumlah kata yang digunakan
mahasiswa laki-laki pada kelompok emotion yang terdapat pada kelas Kata Benda.
Selain itu, dari hasil penelitian ditemukan bahwa laki-laki cenderung bersifat kolektif dan
mementingkan hubungan dengan sesama apabila berkaitan dengan “Online Games’. Hal ini terlihat dari
kecenderungan mahasiswa laki-laki untuk menggunakan kosakata yang termasuk dalam kelompok kata
benda yang bermakna collective dan relation. Selain itu, mahasiswa laki-laki juga cenderung menggunakan
kata kerja yang bersifat komunikatif. Sementara itu, mahasiswa perempuan cenderung lebih emosional
apabila berkaitan dengan “Online Games”. Mahasiswa perempuan cenderung lebih banyak menggunakan
kosakata yang termasuk dalam makna emotion daripada mahasiswa laki-laki. Hal lain yang tampak pada
penelitian ini adalah, terkait dengan topik, mahasiswa laki-laki cenderung lebih terfokus pada peristiwa yang
sifatnya jangka panjang sementara mahasiswa perempuan lebih terfokus pada peristiwa sesaat. Hal ini
terlihat pada kecenderungan mahasiswa laki-laki yang lebih banyak menggunakan kosakata yang tergolong
pada kategori event sementara mahasiswa perempuan lebih banyak menggunakan kosakata yang tergolong
pada kategori simple occurence.

KESIMPULAN DAN SARAN


Secara keseluruhan, jumlah kosakata yang digunakan mahasiswa laki-laki lebih banyak dan beragam
daripada mahasiswa perempuan. Meskipun demikian setelah ditilik lebih dalam, mahasiswa laki-laki lebih
beragam dalam kelas Kata benda dan Kata Keterangan. Sementara itu, mahasiswa perempuan lebih beragam
dalam kelas Kata Kerja dan Kata Sifat. Mahasiswa laki-laki cenderung lebih beragam dalam kategori Kata
Benda Umum, sedangkan mahasiswa perempuan lebih beragam dalam Kata Benda Khusus. Mahasiswa laki-
laki cenderung menggunakan kosakata yang bersifat kolektif, komunikatif, dan kejadian jangka panjang,
sementara mahasiswa perempuan lebih cenderung menggunakan kosakata yang tergolong dalam kategori
simple occurence.
Selain itu, keempat karakteristik kosakata pada “Women’s Language” yang dikemukakan oleh
Lakoff (1975) terlihat pada pemilihan kosakata mahasiswa perempuan di Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Airlangga. Mahasiswa perempuan cenderung kurang berkembang kosakatanya dibandingkan
mahasiswa laki-laki. Hal ini terlihat dari jumlah keseluruhan kosakata yang digunakan mahasiswa
perempuan dan laki-laki. Mahasiswa perempuan juga cenderung lebih menahan diri dalam mengekspresikan
dirinya dibandingkan mahasiswa laki-laki. Hal ini terlihat dari kecenderungan mahasiswa perempuan untuk
menggunakan kata kerja yang bersifat mental, bukannya komunikatif dan aktif seperti mahasiswa laki-laki.
Selain itu, mahasiswa perempuan juga cenderung lebih deskriptif dibandingkan mahasiswa laki-laki. Hal ini
terlihat pada kecenderungan mahasiswa perempuan untuk lebih banyak menggunakan kosakata yang
bermakna deskriptif dan klasifikatif pada kelas Kata Sifat dan penggunaan Kata Benda yang bersifat khusus
dibandingkan dengan mahasiswa laki-laki.

119
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Penelitian ini menggunakan topik yang familiar bagi laki-laki. Tentunya dibutuhkan penelitian lebih
lanjut untuk mendapat hasil yang lebih universal terkait dengan kecenderungan laki-laki dan perempuan
dalam berbahasa. Penelitian serupa dengan topik karangan yang bersifat lebih netral bagi masing-masing
gender akan sangat dibutuhkan guna mengkaji fenomena kebahasaan ini.

PUSTAKA ACUAN
Biber, D. et al., 1999. Longman Grammar of Spoken and Written English. s.l.:MIT Press.
Dardjowidjojo, S., 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Ishikawa, Y., 2015. Gender Differences in Vocabulary Use in Essay Writing by University Students. Procedia-Social
and Behavioral Sciences, Volume 192, pp. 593-600.
Lakoff, R., 1975. Language and Women's Place. New York: Harper and Row.
Pahom, O., Farley, A. & Ramonda, K., 2015. Are the Best Language Learners from Mars of from Venus? Gender and
Vocabulary Acquisition in the L2 Spanish Classroom. Reading Matrix: An International Journal, 15(1).
Prados, M., 2010. Gender and L1 Influence on EFL Learner's Lexicon. Dalam: Gender Perspectives on Vocabulary in
Foreign and Second Languages. s.l.:Palgrave Macmillan, pp. 44-73.
Zare-ee, A. & Kuar, S., 2012. Do Male Undergraduates Write More Argumentatively?. Procedia: Social And
Behavioral Sciences, pp. 5787-5791.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Angkita Wasito Kirana
Institusi : Universitas Airlangga
Riwayat Pendidikan : S1 Universitas Airlangga
Minat Penelitian : • Psikolinguistik
• Fonologi
• Korpus

120
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
KOLOKASI WANITA DAN PEREMPUAN DI DALAM MAJALAH MALE DAN KARTINI

Terra Bellatrix Aden Nashahta


Universitas Airlangga
terrabellatrix888@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini menggunakan pendekatan linguistik korpus untuk menyelidiki perbedaan antara kolokasi dari kata
perempuan dan kata wanita di dalam majalah Male dan Kartini. Penelitian ini di desain untuk mendeteksi representasi
dari kata perempuan dan kata wanita di setiap majalah. Penelitian ini berfokus pada rubrik insight dan kecantikan,
penelitian disusun berdasarkan informasi yang dirilis pada bulan Januari sampai November 2015 dari kedua rubrik
tersebut. Data didistribusikan berdasarkan kelas kata untuk mengidentifikasi representasi dari kata perempuan dan
wanita di setiap majalah. Hasil dari kata perempuan di dalam majalah Male adalah 25 kata benda sederhana dan lima
benda imbuhan, empat kata kerja sederhana dan 26 kata kerja imbuhan, 17 kata sifat sederhana dan satu kata sifat
imbuhan, dan lima keterangan sederhana dan tiga keterangan imbuhan. Berbeda dengan majalah Kartini, hasilnya
adalah 26 kata benda sederhana dan empat afiks kata benda, kata kerja empat sederhana dan 26 kata kerja imbuhan, 14
kata sifat sederhana dan satu kata sifat imbuhan, juga sepuluh adverbia sederhana dan tiga afiks adverbial. Hasil dari
kata wanita di dalam majalah Male antara lain 20 kata benda sederhana dan sepuluh afiks kata benda, kata kerja 12
sederhana dan 18 kata kerja imbuhan, 25 kata sifat sederhana dan 5 kata sifat imbuhan, dan 10 adverbia sederhana dan
lima afiks adverbia. Namun, hasil dari majalah Kartini menunjukkan 12 kata benda sederhana dan lima afiks benda, kata
kerja sederhana dan satu tujuh kata kerja imbuhan, dan satu adverbial sederhana. Perempuan dan wanita di dalam
majalah Male yang direpresentasikan sebagai objek pria di mana perempuan dan wanita berpenampilan sesuai dengan
penggambaran pria, berbeda dengan majalah Kartini wanita dan perempuan direpresentasikan dengan keadaan dan
penampilan dari perempuan dan wanita yang sesuai dengan kodratnya. Penelitian ini menyimpulkan representasi dari
persepsi pria dan wanita terhadap kata perempuan dan kata wanita berdasarkan majalah Male dan Kartini.
Kata kunci: Kolokasi, Perempuan, Wanita, Male, Kartini

PENDAHULUAN
Di Indonesia terdapat majalah yang dikhususkan untuk pembaca wanita dan majalah yang dikhususkan
untuk pembaca lelaki sebagai contoh Kartini dan Male. Masing-masing majalah ini memiliki ciri khas dan
karakteristik dalam diksinya dalam menempatkan penggambaran tertentu pada segala sesuatu. Akan sangat
menarik untuk mengkaji kecenderungan ini terlebih terhadap konsep wanita dari sudut pandang kedua
majalah yang masing-masing mewakili gender yang berbeda satu sama lain. Kata wanita memiliki arti;
perempuan dewasa (http://kbbi.web.id/wanita). Perempuan memiliki arti orang (manusia) yang memiliki
puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui; wanita (http://kbbi.web.id/perempuan).
Penulis tertarik untuk meneliti representatif dari kata wanita dan perempuan dari kedua majalah tersebut
menggunakan sudut pandang linguistik korpus dengan AntConc. Majalah Male yang memiliki target
pembaca pria sedangkan Kartini yang memiliki target pembaca wanita. Penulis memilih kata wanita dan
perempuan karena kedua kata tersebut memiliki arti yang berbeda di mana kata perempuan lebih ke arah
penggambaran fisik sedangkan kata wanita lebih ke arah kepribadian.
Kolokasi merupakan kata yang berkesinambungan dengan kata lain (Baker, Hardie & McEnery,
2006). Baker, Hardie & McEnery (2006) mengatakan bahwa kolokasi dapat menunjukkan makna konotasi
atau bias di dalam kata. Alwi,dkk (2010) menyatakan bahwa kata di dalam Bahasa Indonesia di bagi
kedalam empat kelas kata, antara lain: verba, nomina, adjektiva dan adverbia. Alasan penulis menggunakan
keempat kelas kata tersebut dikarenakan Katamba (2005) menyatakan bahwa kata konten terdiri dari
nomina, verba, adjektiva, dan adverbia yang mengandung sebagian besar refresensial (makna kognitif) dari
kalimat.
Alasan lain penulis mengangkat tema perempuan dalam kajian ini karena sebagai negara patriarkal,
ada kesenjangan pada penggambaran perempuan di mata masing-masing gender. selain itu, seringkali
perempuan dikaitkan dengan pornografi. Tong (2009) menyatakan pornografi adalah tidak lebih dari
propaganda patriarkal tentang peran perempuan sebagai budak, pembantu, pengasuh dan mainan, menurut
feminis budaya radikal. Feminis budaya radikal juga mengatakan, laki-laki ada untuk diri mereka sendiri,
wanita ada untuk laki-laki. Laki-laki sebagai subyek sedangkan wanita sebagai obyek. Mulvey (2003)
menyatakan bahwa wanita berdiri di dalam budaya patriarki sebagai penanda laki-laki, wanita sebagai
pembawa makna bukan penanda makna. Jackson (1992) mengatakan bahwa dalam perspektif sosial budaya
penampilan lebih penting bagi perempuan daripada laki-laki karena nilai budaya tampilan yang menarik
lebih pada wanita dibandingkan pria.

121
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Terdapat dua penelitan terkait sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain; The
representation of An Ideal Man and Ideal Woman in the Books”Memikat Pria Idaman” and “Memikat
Wanita Idaman” (Sari, 2014). Dari penelitian tersebut di temukan persamaan dan perbedaan di dalam kata
dan frasa yang digunakan untuk merepresentasikan wanita dan pria ideal, terdapat 7 kategori terkait dengan
pria dan 8 kategori terkait wanita. Dari kategori tersebut, terdapat 5 kemiripan kategori antara lain; tegas,
kelemahan dan ketidaktegasaan, penampilan fisik, keraguan dan ketakutan, serta perhatian. Sari menemukan
perbedaan kategori yang merepresentasikan pria dan wanita. Kategori yang terkait dengan wanita ialah
kesabaran, peran rumah tangga, dan hubungan intim. Sedangkan kategori yang terkait dengan pria ialah
kebebasan dan sifat melindungi.
Penelitian terkait yang kedua berjudul Language and ideology: gender stereotypes of female and
male artists in Taiwanese tabloids dilakukan oleh Wang (2009). Wang (2009) menemukan bahwa artis sama
seperti yang digambarkan di dalam tabloid , pada umunya terkait dengan agresif, menghamburkan uang, dan
tekanan sosial terhadap perkawinan dan seksualitas. Sedangkan penggambaran aktor berfokus pada
kesalahan berpenampilan dan percintaan, serta selalu terlibat manipulasi bagaimana kehidupan pribadi artis
dipandang.
Data untuk penelitian ini berasal dari majalah untuk pria yaitu Male dan majalah untuk wanita yaitu
Kartini. Kemudian penulis memilih rubik insight untuk majalah Male dan memilih rubik kecantikan untuk
majalah Kartini, mengunduh pdf kedua majalah tersebut dengan edisi Januari sampai November 2015 dan
merubahnya ke dalam bentuk file txt. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan AntConc untuk
menganalisis data di dalam penelitian ini. Penulis menggunakan kolom collocates untuk mencari kolokasi
kata wanita dan perempuan dari majalah Male dan Kartini. Penulis menggunakan kolom concordance untuk
membaca kolokasi kata yang terkait dengan kata yang penulis analisa.Kemudian, setelah mendapatkan data
maka penulis akan mengkelompokkan data tersebut berdasarkan kelas kata bahasa Indonesia berdasarkan
Alwi dkk (2010) seperti nomina, verba, adjektiva dan adverbia. Setelah dikelompokkan berdasarkan kelas
kata, penulis mengelompokkan lagi berdasarkan bagian-bagian di setiap kelas kata berdasarkan penjelasan
Kridalaksana (1986). Setelah mengelompokkan kata tersebut berdasarkan kelas kata berdasarkan Alwi dkk
(2010) dan bagian – bagian di setiap kelas kata menurut Kridalaksana (1986) kemudian penulis
menginterpretasikan data tersebut.

PEMBAHASAN
Penulis, menemukan 19323 untuk word tokens dan 3969 word types untuk majalah Male. Sedangkan, untuk
majalah Kartini penulis menemukan 10350 word tokens dan 2069 word types.
Perempuan
Kolokasi nomina pada kata perempuan di dalam majalah Male dan Kartini:
Tabel 1. Perbedaan Kolokasi Nomina pada Kata Perempuan

Berdasarkan data di atas kita dapat interpretasikan bahwa perempuan di majalah Male lebih
kedaerahan hal ini dapat kita lihat dari kata Jakarta, Sunda dan Solo. Sedangkan perempuan di majalah
Kartini lebih Internasional hal ini dapat kita lihat dari kata Indonesia dan Perancis. Selain itu perempuan di
majalah Male lebih berfokus pada pekerjaan hal ini dapat kita lihat dari kata produser dan presenter,
sedangkan perempuan pada majalah Kartini lebih berfokus pada kesehatan karena terdapat kata menopause,
kanker, jerawat, dan vitamin.

122
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Tabel 2. Perbedaan Kolokasi Verba pada Kata Perempuan

Berdasarkan data di atas dapat kita ketahui bahwa perempuan di dalam majalah Male lebih
digambarkan dengan memiliki tato dan dapat berpose hal ini menunjukkan bahwa perempuan sebagai objek
dari lelaki. Hal ini diperkuat oleh teori dari Tong (2009) dan Mulvey (2003). Sedangkan, di dalam majalah
Kartini perempuan lebih dituntut ke arah menjalankan kewajibannya akan dirinya seperti merawat, merias
dan menjaga dirinya. Hal ini diperkuat oleh teori Jackson (1992) bahwa penampilan lebih dikaitkan dengan
perempun daripada laki-laki. Selain itu penggambaran sifat perempuan di dalam majalah Male ialah;
menginspirasi, menggurui, dan mendoktrin. Sedangkan penggambaran sifat perempuan di dalam majalah
Kartini ialah;menurut dan mengeluh. Data tersebut menunjukkan bahwa perempuan di majalah Male tidak
lagi sebagai perempuan yang menurut namun menginspirasi dan lebih cenderung mendominasi. Sedangkan
di majalah Kartini lebih cenderung menjadi perempuan yang menurut dan mudah mengeluhkan sesuatu hal.
Tabel 3. Perbedaan Kolokasi Adjektiva pada Kata Perempuan

Data dari majalah Male menunjukkan perempuan yang bersifat penakut, mudah ragu, peka dan
dewasa, sedangkan majalah Kartini menunjukkan perempuan yang berani. Majalah Male menunjukkan
bahwa penampilan perempuan dalam penampilan fisik yang tomboi, seksi, keren, dan cantik. Sedangkan
dalam majalah Kartini penampilan perempuan ditampilkan sebagai perempuan yang anggun dan langsing.
Tabel 4. Perbedaan Kolokasi Adverbia pada Kata Perempuan

Adverbia dari majalah Male menunjukkan bahwa perempuan senang menceritakan sesuatu yang
telah terjadi dan menjelaskan sesuatu perihal. Hal ini dapat kita lihat dari kata telah, sudah, sebenarnya dan
setelah. Sedangkan dalam majalah Kartini perempuan digambarkan mempunyai keinginan yang spesifik, hal
ini dapat dilihat dari kata ingin dan khususnya.
Wanita
Kolokasi nomina pada kata wanita di dalam majalah Male dan Kartini
Tabel 5. Perbedaan Kolokasi Nomina pada Kata Wanita

Kolokasi kata wanita dari majalah Male menggambarkan tentang wanita di kota besar dan
sekitarnya seperti Jakarta dan Bekasi. Sedangkan Majalah Kartini menggambarkan wanita Internasional
seperti Inggris. Wanita di majalah Male digambarkan dapat menjalin hubungan dengan orang dewasa seperti
pria, lelaki dan wanita. Sedangkan di majalah Kartini wanita dapat menjalin hubungan secara terbuka tidak

123
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
terpaut akan usia, seperti; remaja, pria, dan perempuan. Majalah Male lebih membahas kegiatan wanita yang
terkait dengan penampilan fisik yang sempurna seperti; jockey, dan pemotretan. Majalah Kartini lebih
membahas seputar permasalah penampilan fisik, seperti keringat, kerutan. Majalah Male membahas tentang
tubuh dari wanita maka majalah Kartini lebih ke penunjang dari penampilan tersebut seperti perhiasan dan
pakaian. Hal ini diperkuat juga dengan teori yang telah diungkapkan oleh Jackson (1992) bahwa penampilan
lebih penting untuk wanita dibandingkan untuk pria. Jika di majalah Male membahas tentang prestasi wanita
maka majalah Kartini membahas tentang karier wanita.
Tabel 6. Perbedaan Kolokasi Verba pada Kata Wanita

Wanita pada majalah Male cenderung melakukan kegiatan yang dilakukan wanita dewasa
yang sebagai objek lelaki seperti; berpose dan bercinta. Hal ini diperkuat oleh teori dari Tong
(2009) dan Mulvey (2003), bahwa wanita sebagai objek dari lelaki. Sedangkan pada majalah
Kartini wanita sesuai dengan kodratnya seperti hamil. Wanita pada majalah Male digambarkan
bahwa mereka yang melakukan pendekatan, hal ini dapat dilihat dari kata mendekati. Sedangkan
wanita di Kartini digambarkan sebaliknya, seperti; menghindari
Tabel 7. Perbedaan Kolokasi Adjektiva pada Kata Wanita

Wanita menurut majalah Male memiliki penampilan fisik seperti; seksi, cantik, dan tomboi.
Teori milik Tong (2009) dan Mulvey (2003) telah menjelaskan bahwa wanita sebagai objek
penggambaran dari lelaki, kemudian teori milik Jackson mengatakan bahwa penampilan fisik
identik dengan wanita. Wanita juga digambarkan sebagai sosok yang sudah dapat memenuhi segala
kebutuhannya karena sukses, mandiri, independen, dan profesional. Wanita digambarkan memiliki
sifat yang setia, nekat, manja, dewasa dan berani. Wanita pada majalah Male menginginkan kriteria
lelaki seperti kebapakan, dan penyabar.
Tabel 8. Perbedaan Kolokasi Adverbia pada Kata Wanita

Kolokasi kata wanita untuk majalah Male menunjukkan tentang sesuatu yang telah terjadi
atau sesuatu yang sudah sering terjadi. Sedangkan untuk majalah Kartini menunjukkan penolakan.
Berdasarkan Tabel 1 perbedaan kolokasi nomina pada kata perempuan pada masing–masing
majalah penulis menemukan 25 nomina dasar dan lima nomina turunan dengan rincian empat termasuk
kategori nomina berafiks dan satu nomina deverbalisasi untuk majalah Male. Sedangkan untuk majalah
Kartini, 26 nomina dasar dan empat termasuk nomina turunan. Nomina turunan dibedakan menjadi dua
nomina deverbalisasi, satu nomina deajektivalisasi dan satu nomina penggabungan. Pada Tabel 2 perbedaan
kolokasi verba pada kata perempuan, penulis menemukan empat verba dasar bebas dan 26 verba berafiks
pada masing–masing majalah. Pada Tabel 3 perbedaan kolokasi adjektiva pada kata perempuan untuk
majalah Male, penulis menemukan 17 adjektiva dasar dan satu adjektiva turunan berafiks. Sedangkan untuk
majalah Kartini penulis menemukan 14 adjektiva dasar dan satu adjektiva turunan berafiks. Pada Tabel 4
perbedaan kolokasi adverbia pada kata perempuan, penulis menemukan lima adverbia dasar bebas dan tiga
124
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
adverbia berafiks untuk majalah Male, sedangkan untuk majalah Kartini ialah sepuluh adverbia dasar bebas
dan tiga adverbia berafiks.
Dari Tabel 5 perbedaan kolokasi nomina pada kata wanita pada majalah Male dan Kartini, penulis
menemukan 20 nomina dasar, tiga nomina deverbalisasi, dan tujuh nomina penggabungan dari majalah
Male. Sedangkan pada majalah Kartini penulis menemukan 12 nomina dasar, empat nomina berafiks, dua
nomina deverbaisasi dan satu nomina penggabuggan. Pada Tabel 6 perbedaan kolokasi verba pada kata
wanita pada majalah Male dan Kartini, penulis menemukan 12 nomina dasar bebas, 18 nomina berafiks
untuk majalah Male. Sedangkan untuk majalah Kartini penulis menemukan satu nomina dasar bebas dan
tujuh nomina berafiks. Pada Tabel 7 perbedaan kolokasi adjektiva pada kata wanita pada masing-masing
majalah, penulis menemukan 25 adjektiva dasar, empat adjektiva berafiks dan satu adjektiva berproses
gabungan. Sedangkan untuk majalah Kartini tidak ditemukan sama sekali adjektiva yang berkolokasi dengan
kata wanita. Pada Tabel 8 perbedaan kolokasi adverbia pada kata wanita pada majalah Male dan Kartini,
penulis menemukan sepuluh adverbia dasar bebas, dua adverbia berafiks, dua adverbia de-ajektival, dan satu
adverbia deverbal. Sedangkan pada majalah Kartini, penulis menemukan satu adverbia dasar bebas.
Berdasarkan data di atas penulis menemukan 191 kata dari majalah Male yang berkolokasi dengan
kata perempuan maupun wanita. Sedangkan untuk majalah Kartini, penulis menemukan 116 kata yang
berkolokasi dengan kata perempuan maupun wanita. Dari perbedaan yang signifikan ini terlihat bahwa
penggambaran wanita sebagai objek lebih banyak ditemukan pada majalah pria, hal ini sesuai dengan teori
Tong (2009) dan Mulvey (2003) yang mana wanita sebagai objek dari lelaki.

KESIMPULAN
Perempuan di majalah Male lebih kedaerahan, berfokus pada pekerjaan, digambarkan sebgai objek lelaki,
penggambaran sifat dan penampilan perempuan yang sesuai akan penggambaran pria terhadap perempuan.
Sedangkan, perempuan di majalah Kartini lebih Internasional, lebih berfokus pada kesehatan, lebih dituntut
pada kewajibannya akan dirinya, sifat perempuan digambarkan sesuai dengan sifat dan penampilannya yang
sesuai kodrati nya misalnya tampil anggun dan langsing.
Wanita di majalah Male terkait dengan penampilan fisik yang sempurna, melakukan kegiatan
sebagai objek lelaki dan wanita digambarkan seperti dengan fisik yang diinginkan oleh lelaki, sedangkan di
majalah Kartini lebih cenderung pada permasalahan penampilan fisik, wanita lebih berdasarkan kodratnya.

REFERENSI
Alwi, H., Dardjowidjojo, S., Lapoliwa, H. & Moeliono, A. M., 2010. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi
Ketiga. Jakarta: Pustaka Bahasa dan Balai Pustaka.
Beker, P., Hardie, A. & Mcenery, T., 2006. A Glossary of Corpus Linguistics. Edinburgh: Edinburgh University Press
Ltd.
Jackson, L. A., 1992. Physical Appearance and Gender: Sociobiological and Sociocultural Prespectives SUNY Series
in Psychology of Woman. s.l.:State University of New York Press.
Kridalaksana, H., 1986. Kelas kata dalam Bahasa Indonesia. Edisi kedua. Jakarta: Gramedia.
Mulvey, L., 2003. Visual pleasure and narrative cinema. The feminism and visual culture readder, pp. 44-53.
Sari, Y. R., 2014. The Representation of An Ideal Man and An Ideal Woman in the Books "Memikat Pria Idaman" and
"Memikat Wanita Idaman" (Unpublished Thesis). Surabaya: Faculty of Humanities Airlangga University.
Setiawan, E., 2015. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [Online] Available at: http://kbbi.web.id/
Tong, R., 2009. Feminist Thought A More Comprehensive Introduction. Boulder: Westview.
Wang, H.-C., 2009. Language and ideology: gender stereotypes of female and male artists in Taiwanese tabloids.
Discourse & Society, pp. 747-774.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Terra Bellatrix Aden Nashahta
Institusi : Universitas Airlangga
Riwayat Pendidikan : S1 Sastra Inggris Universitas Airlangga
Minat Penelitian : • Linguistik Korpus
• Leksikografi

125
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
VARIASI BAHASA WARIA DI LINGKUNGAN TAMAN UDAYANA:
SEBUAH KAJIAN EKOLINGUISTIK

Ratnatul Faizah
Universitas Mataram
ratnatulfaizah.rf@gmail.com

ABSTRAK
Terbentuknya komunitas dalam masyarakat yang menjadikan bahasa sebagai salah satu ciri khas pada komunitas
tersebut, khususnya pada komunitas waria. Leksikon yang digunakan berkomunikasi pada komunitas waria menjadi
hal yang menarik untuk diteliti karena merupakan salah satu fenomena kebahasaan yang memliki perbedaan dengan
bahasa Indonesia maupun bahasa daerah setempat, sehingg penelitian yang mengaji permasalahan mengenai variasi
bahasa waria di lingkungan taman Udayana kota Mataram ini mampu mengidentifikasi variasi bahasa yang
digunakan oleh komunitas tersebut. Selain itu penelitian ini diupayakan mampu mengidentifikasi kesenjangan bahasa
komunitas waria dengan bahasa Indonesia, serta formula yang digunakan dalam pembentukan leksikon bahasa
komunitas tersebut. Adapun teori yang digunakan adalah teori ekolinguistik. Metode pengumpulan data dilakukan
dengan menggunakan metode simak, cakap, dan studi pustaka. Metode pengananalisisan data menggunakan metode
padan intralingual dan ekstralingual. Penyajian data menggunakan kata-kata, dan lambang-lambang atau tanda-tanda.
Temuan yang diperoleh berupa leksikon bahasa seperti anjelina [anjəlina] ‘anjing’, mətong [mətong] ‘mati’ yang
diklasifikasikan bedasarkan kajian ekolinguistik yaitu pada lingkungan biotik, abiotik, ras, etnik, jenis kelamin, dan
kegiatan interaksi. Bentuk leksikon yang digunakan oleh komunitas waria tidak hanya berupa bentu dasar, melainkan
berbentuk afiksasi, reduplikasi dan pemajemukan seperti {-daΝ } + [ke sini] → [k↔sΙndaΝ] /kesindang/ ‘kesini’, {se-}
+ [rabana] ‘ribu’ → [s↔rabana] /serabana/ ‘seribu’, nyam-nyam [ňam-ňam] ‘nyamuk’, jail-jali [jail-jali] ‘jalan-
jalan’, gembala sepong [g↔mbala sepŏΝ] ‘gendut’, bawang goreng [bawaΝ goreΝ] ‘bau’. Sementara itu mengenai
keterkaitan bahasa dengan kebudayaan yang ada pada komunitas tersebut diidentifikasi menggunakan enam
parameter Duranti yaitu Culture as distinct from nature, culture as knowledge, culture as communication, culture as
system of mediation, culture as a system of practices, and culture as a system of participation. Berdasarkan enam
parameter tersebut, terkait dengan leksikon yang terdapat pada bahasa waria akan dikaji dengan dua aspek yaitu
budaya sebagai sesuatu yang berbeda dengan bawaan sadar dan budaya sebagai sistem komunikasi. Pada penelitian
ini ditemukan kesenjangan antara bahasa waria dengan bahasa Indonesia karena pengungkapan leksikon bahasa
waria tidak sesuai dengan bahasa Indonesia pada umumnya. Selain beberapa penemuan sebelumnya, terdapat bentuk
formula yang dapat diidentifikasi dalam pembentukan leksikon pada bahasa komunitas waria. Adapun formulanya
yaitu (1) hanya mengambil satu atau dua suku kata dari kata dalam bahasa Indonesia, seperti [ti-] + [do.re] → [tidore]
‘tidur’, [me.mo] + [tret] → [memotret] ‘memotong’, (2) menggunakan akhiran {-ong}, misalnya {-oΝ } + [lesbi] →
[lesbŏΝ] /lesbong/ ‘lesbi’, {-oΝ} + [mahal] → [mehŏΝ] /mehong/ ‘mahal’, (3) kata dalam bahasa Indonesia
ditambahkan akhiran dengan satu suku kata, seperti bungalo ‘bunga’, tasmania ‘tas’ , (4) menggunakan akhiran {-osə},
seperti {-osə} + [apa] → [aposə] /apose/ ‘apa’, {-osə} + [siapa] → [siaposə] /siapose/ ‘siapa’.
Kata kunci: leksikon, waria, ekolinguistik

PENDAHULUAN
Banyaknya jumlah penduduk di Indonesia menjelaskan penduduk Indonesia tidak bersifat homogen, tetapi
heterogen. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan keanekaragaman budaya, adat-istiadat, suku, dan agama.
Keanekaragaman tersebut menyebabkan munculnya variasi dalam berbagai hal yang terdapat dalam
lingkungan wilayah tersebut, termasuk variasi bahasa. Variasi Petter Matthews dalam kamus linguistik
berbahasa inggris‘The Concise Oxford Dictionary of Linguistics’ bahwa:
“Variety.Any form of a language seen as systematically distinct from others: thus that dialect of a
specific region (e.g. Cornwall), any mor general form distinguished as a whole by speakers (e.g. American
english or British English), a *social dialect, one of the forms distinguished in *diglossia, a dialect, one of
the forms distinguished in *digglossia, a dialect used in a sfecific genre of literature, and so on”. Jika
diterjemah dalam bahasa Indonesia akan memberikan pengertian “Bahasa mana saja secara sistematik
berbeda antara yang satu dengan yang lainnya: oleh karena itu dialek dari sebuah daerah (contohnya
Cornwall), dan yang lebih umum lainnya berbeda secara utuh oleh pembicara (contohnya Inggris-Amerika
atau Inggris British), sebuah dialek sosial, satu dari bentuk yang berbeda dalam *diglossia sebuah dialek,
satu dari banyak bentuk berbeda dalam *diglossia sebuah dialek yang digunakan dalam genre tertentu pada
literatur dan sebagainya”. Menurut Matthews konsep variasi ini lansung mengarah kepada bidang bahasa
yang menyatakan keragaman dalam suatu bahasa yang terjadi secara sistemik.
Variasi bahasa tersebut sebagai ciri khas yang ada pada suatu wilayah atau komunitas masyarakat,
misalnya saja terbentuknya komunitas dalam masyarakat yang menjadikan bahasa sebagai salah satu ciri
khas pada komunitas tersebut, khususnya pada komunitas waria. Menurut Sumarsono (2014) waria adalah
126
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
singkatan dari wanita pria yang merujuk kepada orang-orang yang secara biologis atau fisik berkelamin laki-
laki tetapi berpenampilan (berpakaian dan berdandan) serta berprilaku seperti atau mengidentifikasikan diri
sebagai perempuan.
Leksikon yang digunakan berkomunikasi pada komunitas waria menjadi hal yang menarik untuk
diteliti karena merupakan salah satu fenomena kebahasaan yang memliki perbedaan dengan bahasa
Indonesia maupun bahasa daerah setempat, sehingga komunitas tersebut memiliki kebudayaan tersendiri
yang berbeda dengan kebudayaan disekitarnya. Kaitan bahasa yang digunakan oleh masyarakat dengan
budaya, hal yang paling mendasar tentang hubungan bahasa dan kebudayaan adalah bahasa harus dipelajari
dalam konteks kebudayaan dan kebudayaan dapat dipelajari melalui bahasa (Sukri, 2008: 49). Duranti juga
menentukan teori sebagai tolak ukur hubungan antara bahasa dan kebudayaan. Adapun teori yang
dimaksudkan adalah: (1) Culture as distinct from nature, (2) culture as knowledge, (3) culture as
communication, (4) culture as system of mediation, (5) culture as a system of practices, and (6) culture as a
system of participation (Duranti, 1997).
Penelitian yang mengaji permasalahan mengenai variasi bahasa waria di lingkungan taman Udayana
kota Mataram ini mampu mengidentifikasi variasi bahasa yang digunakan oleh komunitas tersebut. Selain
itu penelitian ini diupayakan mampu mengidentifikasi kesenjangan bahasa komunitas waria dengan bahasa
Indonesia, serta formula yang digunakan dalam pembentukan leksikon bahasa komunitas tersebut. Adapun
teori yang digunakan adalah teori ekolinguistik. Ekolinguitik adalah suatu disiplin ilmu yang mengkaji
lingkungan dan bahasa. Ekolinguistik merupakan ilmu bahasa interdisipliner, menyanding ekologi dan
linguistik (Mbete, 2007:1). Kajian ekolinguistik memiliki parameter yaitu interrelationships (interelasi
bahasa dan lingkungan), environment (lingkungan ragawi dan sosial budaya) and diversity (keberagaman
bahasa dan lingkungan) (Haugen dalam Fill dan Muhlhausler, 2001:1). Metode pengumpulan data dilakukan
dengan menggunakan metode simak, cakap, dan studi pustaka. Metode pengananalisisan data menggunakan
metode padan intralingual dan ekstralingual. Penyajian data menggunakan kata-kata, dan lambang-lambang
atau tanda-tanda.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Bentuk Leksikon yang Digunakan pada Bahasa Waria di Lingkangan Taman Udayana dan Keterkaitannya
dengan Kebudayaan Komunitas Waria
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdapat banyak sekali leksikon-leksikon baru
yang terdapat pada bahasa yang digunakan oleh komunitas waria. Adapun leksikon tersebut akan
diklasifikasikan berdasarkan lingkungan yang mempengaruhi bagaimana dan dimana variasi bahasa waria
berkembang. Leksikon bahasa waria (selanjutnya disingkat LBW) diklasifikasikan berdasarkan kajian
ekoliguistik yaitu pada lingkungan biotik, abiotik, ras, etnik, jenis kelamin, dan kegiatan interaksi.
LBW yang dipengaruhi oleh lingkungan biotik dan abiotik
Tabel 1. Leksikon Bahasa Waria yang Dipengaruhi oleh Lingkungan Biotik (1-7) dan Abiotik (8-14)
No. LBW BI No. LBW BI
1 Anjelina Anjing 8 Apipon api
2 Binatu Binatang 9 Bantuan batu
3 Bungalo Bunga 10 Bejong Baju
4 Hello Kitty Kutu 11 Celenong Celana
5 Layang-layang Laba-laba 12 Gelunggung Gelang
6 Nyam-nyam nyamuk 13 Kamboja Kampung
7 Sepong Sapi 14 Rumkit Rumah
LBW yang dipengaruhi oleh ras
Ras merupakan golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik; rumpun bangsa. Leksikon yang dipengaruhi ras
ini muncul untuk memperhalus makna agar tidak menyinggug lawan bicara atau orang yang dimaksud.
Tabel 2. Leksikon Bahasa Waria karena Pengaruh Lingkungan Ras
No. LBW BI No. LBW BI
15 Batako Botak 19 Hitaci Kulit hitam
16 Centong Cantik 20 Jelita Jelek
17 Gembala Gendut 21 Kursek Kurus
18 Cucok Ganteng 22 Putria Kulit putih

127
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
LBW yang dipengaruhi oleh lingkungan etnik
Bentuk leksikon yang dipengaruhi oleh lingkungan etnik hanya berkisar pada keturunan saja karena pada
lingkungan komunitas waria leksikon untuk menyatakan keturunan paling sering ditemukan dan digunakan.
Adapun data leksikon tersebut akan disajikan dalam tabel berikut ini.
Tabel 3. Leksikon Bahasa Waria karena Pengaruh Lingkungan Etnik
No. LBW BI
23 Ani-ani Anak
24 Duren Duda
25 Istana Istri
26 Misua Suami
27 Pere Ibu
LBW yang dipengaruhi oleh jenis kelamin
Tabel 4. Leksikon Bahasa Waria karena Pengaruh Jenis Kelamin
No. LBW BI No. LBW BI
28 Bences, bencong Banci 31 Lesbong Lesbi
29 Hemong Homo 32 Pewong Perempuan
30 Lekong Laki-laki 33 Warinci Waria
LBW yang dipengaruhi oleh kegiatan interaksi
Leksikon yang paling banyak terbentuk pada bahasa komunitas waria ini adalah dipengaruhi oleh interaksi
yang dilakukan oleh komunitas tersebut. Interaksi yang dilakukan tidak hanya dengan sesama komunitas saja,
tetapi dilakukan dengan komunitas lesbi, dan homo. Berikut akan dipaparkan leksikon yang terbentuk karena
pengaruh interaksi tersebut.
Tabel 5. Leksikon Bahasa Waria karena Pengaruh Kegiatan Interaksi
No. LBW BI No. LBW BI No. LBW BI
34 Adinda Ada 44 Jali-jali Jalan-jalan 53 Sakinah,sekong Sakit
35 Apose Apa 45 Kemandrose Ke mana 54 Satra Satu
36 Bawang goreng Bau 46 Kenapose Kenapa 55 Sejetong Sejuta
37 Benyong Banyak 47 Kunang-kunang Kuning 56 Senderong Sendiri
38 Brihama kumandra Brem 48 Mehong Mahal 57 Serebana Seribu
39 Capcus, capcay Cepat 49 Metong Mati 58 Siapose Siapa
40 Cumi-cumi Cium 50 Mehong Mahal 59 Tekong Takut
41 Dimandrose Di mana 51 Memotret Memotong 60 Tidore Tidur
42 Gembala sepong Gemuk 52 Mobilisasi, metro Mobil 61 Ye Kamu
43 Jahara Jahat 44 Jali-jali Jalan-jalan 62 Ye-ye-ye Kalian
Berdasarkan enam parameter Duranti, terkait dengan leksikon yang terdapat pada bahasa waria akan
dikaji dengan dua aspek yaitu budaya berbeda dengan bawaan sadar dan budaya sebagai sistem komunikasi.
Dalam bahasa yang digunakan komunitas waria dikenal berbagai leksikon yang tidak terdapat dalam bahasa
pada umumnya, khususnya pada bahasa Indonesia. contohnya leksikon ekologi yang berhubungan dengan
biotik pada kata anjelina yang mewakili kata anjing.
Kebudayaan tidak bisa berkembang tanpa interaksi, seperti halnya bahasa dan kebudayaan sebagai
sistem komunikasi. Kebudayaan sepanjang zaman terus bergeser mengikuti perkembangan manusia. Seperti
halnya dengan muncul komunitas waria yang tentunya akan memiliki kebiasaan dan kebudayaan pada
komunitas tersebut. Dalam perkembangan yang terjadi dalam masyarakat terdapat dua hal yang
diperlakukan bagi suatu kebudayaan, yaitu: create culture dan interpret culture. Create culture, bagaimana
sebuah kebudayaan dibentuk dalam suatu masyarakat, lalu bagaimana kebudayaan tersebut di interpretasikan
mengggunakan bahasa. Perlakuan ini terkait dengan bahasa karena bahasa sebagai unsur esensial bagi
kebudayaan sebagai sarana interaksi yang memungkinkan terciptanya kebudayaan. Seperti bahasa yang
digunakan berinteraksi dalam komunitas waria, komunitas tersebut memiliki ciri khas sendiri. Leksikon
bahasa waria memiliki makna budaya. Bahasa waria banyak terdapat leksikon yang menghaluskan atau
menyamarkan maksudnya, seperti leksikon jahara ‘jahat’, birahi ‘bir’, gembala ‘gendut’, brihama
kumandara ‘brem’.
Leksikon bahasa waria tidak hanya menggunakan nama-nama orang untuk mengungkap sesuatu,
melainkan menggunakan nama-nama hewan, dan nama tempat. Adapun yang menggunakan nama-nama
hewan seperti capung ‘capek’, belalang ‘beli’, cumi-cumi ‘cium’, kelinci ‘kecil’, kunang-kunang ‘kuning’,
kalkun ‘kalung’, macan tutul ‘macet toal’, gembala sepong ‘gemuk’. Terdapat beberapa leksikon yang
menggunakan nama-nama tempat sebagai pengganti mengungkapkan leksikon dalam BI misalnya leksikon
bungalo dalam KBBI memiliki arti rumah peristirahatan di luar kota, namun para waria mengunakatan
128
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
leksikon tersebut untuk mengugkapkan leksikon bunga. Selain itu terdapat leksikon Bosnia yang merupakan
nama sebuah tempat di Eropa yang digunakan untuk mengungkapkan leksikon bosan oleh komunitas waria,
makasar merupakan nama sebuah daerah di Indonesia yang digunakan untuk mengungkapkan kata makan
oleh komunitas waria, istana untuk mengungkapkan leksikon isteri, dan leksikon samarinda untuk
mengungkapkan leksikon sama.
Berdasarkan leksikon-leksikon ini kita bisa melihat perbedaan cara pandang masyarakat dalam suatu
budaya. Perkembangan yang terjadi pada sistem komunikasi komunitas ini menyebabkan leksikon bahasa
waria tidak hanya digunakan oleh anggota komunitas tersebut, tetapi sudah banyak digunakan oleh
masyarakat yang bukan termasuk anggota komunitas tersebut, salah satunya selebritis. Leksikon-leksikon
bahasa waria yang biasa digunakan oleh orang-orang yang bukan anggota komunitas yaitu kata tanya seperti
siapose ‘siapa’, apose ‘apa’, selain itu terdapat beberapa leksikon lainnya seperti capcus ‘cepat’, sekong
‘sakit’, lekong ‘laki-laki’, dan lain sebagainya.
Kesenjangan antara Bahasa Waria dengan Bahasa Indonesia
Pengungkapan leksikon tidak menggunakan sinonim yang ada dalam BI
Leksikon untuk mengungkapkan sebuah leksikon dalam bahasa waria untuk mewakili leksikon dalam BI
tidak menggunakan sinonim kata, tetapi memunculkan varian baru terhadap kata tersebut. Misalnya dalam
BI untuk mengungkapkan leksikon melihat dapat menggunakan leksikon memandang atau menatap.
Adapun dalam LBW untuk mengungkapkan leksikon melihat digunakan leksikon melenteng “melihat”.
Leksikon yang digunakan tidak terdapat dalam KBBI
Leksikon-leksikon yang digunakan komunitas waria dalam berinteraksi terdapat banyak leksikon yang
sering digunakan oleh komunitas waria tidak terdapat dalam KBBI. Adapun leksikon yang dimaksudkan
seperti leksikon hitaci yang berarti “ kulit hitam”, bosnia memiliki arti “ bosan”, siapose yang berarti kata
tanya “siapa”, mursia yang memiliki arti dalam BI yaitu “murah”, anjelina untuk mengungkapkan leksikon
“anjing”.
Menggunakan leksikon dalam BI, namun memiliki arti yang berbeda
Komunitas waria tidak hanya membentuk leksikon-leksikon baru untuk mengungkapkan suatu maksud,
tetapi terdapat beberapa leksikon yang memang sudah ada dalam KBBI. Leksikon-leksikon tersebut
digunakan tidak sesuai dengan arti sebenarnya. tetapi Pada penggunaannya leksikon mobilisasi digunakan
dalam berkomunikasi tidak memiliki arti “pengerahan orang untuk dijadikan tentara”, tetapi digunakan
untuk menyatakan leksikon mobil.
Bentuk leksikon tidak sesuai dengan bentuk leksikon yang dimaksudkan
Kata-kata tersebut misalnya kata susah dalam BI yang merupakan bentuk dasar, dalam LBW digantikan
dengan menggunakan bentuk frasa. Kata nyamuk dalam BI digantikan dengan bentuk reduplikasi atau
pengulangan yaitu nyam-nyam yang dalam KBBI tidak memiliki arti tertentu. Leksikon kuning bentuk dasar
diungkapkan dengan bentuk pengulangan seperti kunang-kunang. Komunitas waria menggunakan frasa
brihama kumandra untuk mengungkapkan kata brem.
Bentuk Formula dalam Pembentukan Leksikon Bahasa Waria
Terdapat beberapa formula yang dapat disimpulkan berdasarkan data yang telah diperoleh dalam penelitian
ini. Adapun formula tersebut sebagai berikut.
Hanya mengambil satu atau dua suku kata dari kata dalam BI
Pada bahasa waria banyak leksikon baru yang terbentuk hanya dengan mengambil satu atau dua suku kata
pada kata dalam BI, kemudian suku kata tersebut dilekatkan dengan suku kata baru sehinga membentuk
leksikon baru, dan umum digunakan oleh komunias waria.
Kata tidur dalam BI menjadi kata tidore dalam bahasa waria.
Tidur = ti.dur
Hanya mengambil suku kata pertama yaitu ti, kemudian dilekatkan dengan penggalan kata do.re,
sehingga membentuk leksikon baru tidore.
[ti-] + [do.re] → [tidore] ‘tidur’
Kata memotong dalam BI menjadi kata memotret dalam bahasa waria.
Hanya mengambil dua suku kata yaitu me dan mo, selanjutnya dilekatkan dengan penggalan kata
tret, sehingga membentuk kata memotret.
[me.mo] + [tret] → [memotret] ‘memotong’

129
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Menggunakan akhiran {-oΝ}
Bahasa waria identik dengan akhiran {-oΝ} pada kata yang digunakan. Kata atau bentuk dasar (selanjutnya
disingkat BD) dalam BI dilekatkan dengan akhiran {-oΝ} akan mengalami proses morfofonemik yaitu
perubahan dan penghilangan fonem sehingga membentuk leksikon baru dalam bahasa waria yang tidak
terdapat dalam BI meskipun kata dasarnya ada dalam BI.
{-oΝ} + [lesbi] → [lesbŏΝ] /lesbong/ ‘lesbi’
BD /lesbi/ dilekatkan dengan akhiran {-oΝ} mengalami proses morfofonemik penghilangan fonem.
Penghilangan fonem tersebut berupa penghilangan fonem vokal /i/ pada BD sehingga membentuk kata
lesbong. Pada BD /lesbi/ tidak mengalami perubahan fonem karena huruf vokal pada suku kata pertama
tidak menggunakan huruf vokal selain /e/, karena huruf vokal selain huruf /e/ akan mengalami perubahan
fonem menjadi /e/.
{-oΝ} + [baña?] ‘banyak’ → [beñŏΝ] /benyong/ ‘banyak’
BD /banyak/ dilekatkan dengan akhiran {-oΝ} mengalami perubahan dan penghilangan fonem pada
saat proses pembentukan kata dalam bahasa waria. Perubahan fonem tersebut terjadi pada suku kata pertama
yaitu perubhan fonem/a/ menjadi /e/. Sedangkan penghilangan fonem terjadi pada suku kata terakhir yaitu
penghilangan fonem /a, dan k/ sehingga membentuk benyong yang berarti banyak.
{-oΝ} + [mati] → [metŏΝ] /metong/ ‘mati’
BD /mati/ mengalami perubahan fonem /a/ menjadi fonem /e/, dan mengalami penghilangan fonem /i/ pada
proses pembentukan kata setelah dilekatkan dengan akhiran {-oΝ}, sehingga membentuk kata baru menjadi
metong yang berarti mati.
Kata dalam BI ditambahkan akhiran dengan satu suku kata
Pada pembentukan kata pada bahasa waria, terdapat beberapaka kata yang terbentuk dengan penambahan
suku kata pada kata dalam BI. Kata dalam BI digunakan dengan sepenuhnya kemudian ditambahkan satu
suku kata.
Kata bunga digunakan sepenuhnya, namun ditambahkan suku kata lo sehingga membentuk kata
bungalo yang berarti bunga.
Kata mata digunakan sepenuhnya dalam bahsa waria, namun ditambahkan dua suku kata berupa ha,
dan ri, sehingga memnbentuk kata matahari yang berarti mata.
Menggunakan akhiran {-osə}
Selain memiliki akhiran {-oΝ}, dalam bahasa awaria juga memiliki akhiran {-osə}. Akhiran {-osə}
dilekatkan pada kata yang digunakan untuk bertanya atau kata Tanya.selain kata tanya akhiran {-osə} tidap
dapat dilekatkan dengan bentuk kata lainnya.
{-osə} + [apa] → [aposə] /apose/ ‘apa’
BD /apa/ dalam proses pembentukan kata bahasa waria, jika dilekatkan dengan akhiran {-osə}, akan
mengalami penghilangan fonem diakhir BD yaitu penghilangan fonem /a/ sehingga amembentu kata apose
yang berarti apa.
{-osə} + [mana] → [manrosə] /mandrose/ ‘mana’
BD /mana/ akan mengalami penghilangan fonem dan penambahan fonem pada saat proses
pembentukan kata dengan pelekatan akhiran {-osə}. Penghilangan fonem terjadi pada suku kata kata
terakhir yaitu penghilangan fonem /a/, sedangkan penambahan fonem terjadi pada suku kata terakhir yaitu
penambahan fonem /r/ sehingga membentuk kata manrose yang berarti mana. Jika ingin menanyakan arah
tujuan komunitas waria menggunakan kata kemanrose, dan untuk menanyakan tempat akan menggunakan
dimanrose.

PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan mengenai Variasi Bahasa Waria Di Lingkungan Taman Udayana :
Sebuah Kajian Ekolinguistik dapat disimpulkan bahwa penelitian ini menghasilkan bentuk-bentuk leksikon
bahasa waria serta keterkaitannya dengan kebudayaan bahasa waria, adanya kesenjangan antara bahasa
waria dengan bahasa Indonesia, serta terdapat formula secara umum yang menyusun terbentuknya leksikon
pada bahasa waria. Beberapa hal tersebut diuraikan sebagai berikut.

130
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
1) Leksikon bahasa waria diklasifikasikan bedasarkan kajian ekolinguistik yaitu lingkungan biotik, abiotik,
ras, etnik, jenis kelamin, dan kegiatan interaksi. Berikut contoh leksikonnya secara berurut yaitu
anjelina [anjəlina] ‘anjing’, bejong [bejŏΝ] ‘baju’, centong [cəntŏΝ] ‘cantik’, duren [duren] ‘duda’,
lekong [ləkŏΝ] ‘laki-laki’, mehong [məhŏΝ] ‘mahal’. Sementara itu mengenai keterkaitan bahasa
dengan kebudayaan yang ada pada komunitas tersebut diidentifikasi dua dari enam parameter Duranti
yaitu Culture as distinct from nature, dan culture as communication.
2) Kesenjangan antara bahasa waria dengan bahasa Indonesia jelas terlihat pada setiap leksikon yang
digunakan oleh komunitas tersebut. Terdapat beberapa hal yang menyebabkan kesenjangan antara dua
bahasa tersebut yaitu pengungkapan leksikon bahawa waria tidak menggunakan sinonim yang ada pada
bahasa Indonesia, terdapat beberapa leksikon yang digunakan tidak terdapat dalam KBBI,
menggunakan leksikon dalam BI, namun memiliki arti yang berbeda, serta bentuk leksikon tidak sesuai
dengan bentuk leksikon yang dimaksudkan.
3) Bentuk formula yang dapat diidentifikasi dalam pembentukan leksikon pada bahasa komunitas waria ini
adalah hanya mengambil satu atau dua suku kata dari kata dalam bahasa Indonesia, seperti Kata
memotong dalam bahasa Indonesia menjadi kata memotret dalam bahasa waria. Menggunakan akhiran
{-oΝ}, seperti pada proses pembentukan kata {-oΝ} + [homo]→ [hemŏΝ] /hemong/ ‘homo’, dengan
bentuk dasar homo pada bahasa Indonesia akan menjadi kata hemong pada bahasa waria. Kata dalam
bahasa Indonesia ditambahkan akhiran dengan satu suku kata, seperti leksikon mata diungkapkan
dengan leksikon matahari, leksikon bunga diungkapkan dengan leksikon bungalo. Menggunakan akhiran
{-osə}, seperti pada leksikon siapose ‘siapa’, dan apose ‘apa’.

DAFTAR PUSTAKA
Muhlhausler, Peter and Alwin Fill (Eds.) 2001. The Ecolinguistics Reader. Language, Ecology and Environment.
London and New York: Continuum.
Oxford. 2004. Learner’s Dictionary Pocket Dictionary.Cina.Oxford University Press.
Mbete, Aron Meko. 2007. Ekolinguistik: Persepektif Kelinguistikan yang Prospektif. Bahan untuk Berbagi Pengalaman
Kelinguistikan dalam Kuliah Umum Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Seni, Fakultas Bahasa dan Senu
Universitas Negeri Semarang.
Sumarsono.2014.Sosiolinguistik. Yogyakarta.Pustaka Belajar.
Duranti, A. 1997. Linguistik Antropology. Cambridge: Cambridge University Press.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Ratnatul Faizah
Institusi : Universitas Mataram
Riwayat Pendidikan : S1 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Mataram
Minat Penelitian : • Morfologi
• Ekolinguistik

131
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
BUKU AJAR BAHASA INDONESIA BERBASIS JENDER SEBAGAI ARENA REKAYASA
SOSIAL BUDAYA DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER BANGSA

Lilik Wahyuni
IKIP Budi Utomo Malang
lilik.wahyuni@ymail.com

ABSTRAK
Buku ajar merupakan media dialog untuk membentuk kesadaran ideologis siswa. Sebagai instrumen pendidikan, buku
ajar menjadi instrumen pembudayaan karakter mulia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan deskripsi objektif
tentang (1) praktik rekayasa karakter melalui buku ajar dan (2) karakter yang dikembangkan melalui buku ajar bahasa
Indonesia berbasis jender. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian pengembangan model Dick dan Carey
(2001) yang dimodifiasi berdasarkan keperluan pengembangan. Populasi penelitian ini adalah Sekolah Dasar di kota
Malang dengan menggunakan teknik random sampling. Dalam penelitian ini, peneliti berperan sebagai instrumen kunci
dengan dibantu oleh angket dan pedoman wawancara. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah observasi, angket, wawancara mendalam, dan focusing group discussion (FDG). Analisis data dilakukan secara
kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian ini adalah pertama, praktik rekayasa karakter dilakukan dengan menggunakan
buku ajar sebagai arena pembentukan karakter. Pesan yang disampaikan dalam buku ajar harus ditata dengan
menggunakan bentuk eufimisasi dan sensorisasi. Kedua, karakter yang dikembangkan melalui buku ajar bahasa
Indonesia berbasis jender adalah karakter berfikir logis, kritis, kreatif dan inovatif, percaya diri, bertanggung jawab,
ingin tahu, santun, nasionalis. Agar tidak sekedar menyajikan teori, konstruksi nilai-nilai karakter harus dilakukan
melalui inkulkasi.
Kata kunci: buku ajar bahasa Indonesia berbasis jender, arena, rekayasa sosial, karakter

PENDAHULUAN
Buku ajar merupakan instrumen untuk memperoleh pengetahuan. Menurut Archie J. Bahm (dalam Kartika
S. N., 2011), pengetahuan yang disepakati sebagai ilmu mempunyai enam komponen utama yang disebut
dengan six kinds of science yang meliputi problems, attitude, method, activity, conclusions, and effects.
Pengetahuan tersebut tidak hanya dipahami sebagai teori belaka akan tetapi diinternalisasi siswa sehingga
menjadi diri siswa tersebut.
Dalam kegiatan pembelajaran, buku ajar tidak langsung bisa digunakan begitu saja oleh siswa.
Dengan kata lain, buku ajar tidak bisa menggantikan tugas guru. Sebagaimana dikatakan oleh Rezat (2006)
bahwa kebanyakan penulis setuju bahwa buku adalah tidak dipahami umum untuk menggantikan guru, tetapi
ditulis dimediasi oleh guru.
Dengan menggunakan buku ajar, guru melakukan proses pembentukan pengetahuan, yang dalam
kurikulum dikenal dengan kompetensi. Sebagaimana dikatakan oleh Newton dalam Rezat (2006) bahwa
penggunaan buku ajar biasanya dianggap sebagai hubungan antara guru, siswa, dan teks. Yang harus
diperhatikan yaitu guru dianggap sebagai mediator dari buku ajar yang merupakan kumpulan bahan
pembelajaran yang dijadikan pegangan siswa dan disusun secara sistematis sesuai dengan tujuan
pendidikannya.
Sebagai instrumen pendidikan, buku ajar harus bisa menjadi instrumen pembudayaan karakter
mulia. Ujaran yang dituangkan dalam buku ajar harus direkayasa secara tepat sehingga buku ajar tersebut
bisa menjadi arena pembentukan norma-norma mulia. Sebagaimana dikatakan oleh Bourdieu (1994) bahwa
dalam setiap proses pemroduksian wacana selalu terdapat maksud-maksud yang tersembunyi di balik
simbol-simbol yang digunakan. Dengan menggunakan sistem simbolik, buku ajar bisa digunakan sebagai
instrumen produksi dan reproduksi karakter siswa.
Sebagai mediator, guru harus mengaitkan buku ajar dengan lingkungan yang membentuk siswa,
seperti lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. sebagiamana dikatakan oleh Rezat (2006) bahwa
sistem pendidikan merupakan sistem yang dibentuk secara historis dan kultural. Buku ajar harus bisa
menjadi instrumen untuk mengubah budaya, salah satunya adalah budaya patriarki. Sebagaimana dikatakan
oleh Bourdieau (1994) bahwa dalam masyarakat secara terus menerus terjadi praktik pertarungan ideologi.
Kelas yang dominan akan menyebarkan pengaruh-pengaruh ideologis dengan melegitimasi kebenaran
dirinya sendiri. Dampak dari keadaan tersebut adalah siswa memperoleh pemahaman tentang budaya
melalui interaksi dengan lingkungan sosial sekitarnya, baik melalui teman bermain maupuan teman belajar
di rumah dan sekolah. Salah satu dampak negatifnya yaitu dalam diri anak terinternalisasi budaya tidak
setara sehingga terbentuklah sikap anarkis dan saling mendominasi.
Keadaan di atas tentu tidak bisa dibiarkan. Selama ini banyak penulis buku ajar yang fokus pada
pembentukan kognitif siswa. Mereka kurang memperhatikan karakter siswa. Yang lebih menyedihkan, hasil
penelitian Wahyuni (2012) menunjukkan bahwa guru masih belum memahami pengertian dan tujuan

132
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
pendidikan karakter. Dikatakan belum mengerti karena guru cenderung masih memaknai pendidikan
karakter sekadar pendidikan yang bersifat “mastery”. Pendidikan karakter hanya dipahami sebagai
“peformance content” suatu bidang studi. Padahal, pendidikan karakter lebih mengarah pada pendidikan
yang bersifat ’moral excellence’.
Agar tidak terkesan sebagai pemaksaan, penanaman nilai karakter bisa dilakukan melalui bidang
studi Bahasa Indonesia. Sebagaimana dikatakan Nuh (2013) bahwa bahasa Indonesia merupakan penghela
mata pelajaran-mata pelajaran lain. Keadaan tersebut menyebabkan bahasa Indonesia lebih mudah dijadikan
sebagai media penanaman nilai-nilai karakter. Melalui pembelajaran Bahasa Indonesia yang kontekstual,
peserta didik sekaligus dilatih menyajikan bermacam kompetensi dasar secara logis dan sistematis. Dengan
kata lain, belajar bahasa hendaknya fungsional. Di samping menguasai kaidah bahasa, pembelajar harus
menggunakannya untuk berbagai keperluan, termasuk untuk mengembangkan karakter yang baik. Misalnya
supaya subjek didik berperilaku jujur, pembelajaran bahasa dapat diberi muatan nilai-nilai kejujuran dan
saling menghargai.
Melalui buku ajar bahasa Indonesia berbasis jender diharapkan terbentuk diri siswa yang berkarakter
yakni siswa yang mampu berfikir logis, kritis, kreatif dan inovatif, percaya diri, bertanggung jawab, ingin
tahu, santun, nasionalis. Hasil akhirnya adalah siswa menjadi bisa menghargai diri sendiri dan orang lain.
Mereka tidak anarkis dan tidak merendahkan orang lain. Hal itu sejalan dengan pandangan Rezat (2006)
yang mengatakan bahwa buku ajar bukan hanya sarana pedagogis tetapi juga memasarkan ideologi. Dengan
buku ajar ajar berbasis jender, pendidik melakukan rekayasa sosial budaya sehingga siswa dapat mengenal
dirinya dan lingkungan yang menjadi tempat tumbuh dan kembangmereka. Dengan begitu, dalam diri siswa
akan terbentuk karakter mulia yang saling mengasihi, menghargai, menyayangi, dan melindungi satu sama
lain. Adapun fokus penelitian ini adalah (1) praktik rekayasa karakter melalui buku ajar dan (2) karakter
yang dikembangkan melalui buku ajar bahasa Indonesia berbasis jender.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian pengembangan. Model pengembangan yang digunakan
adalah model Dick, Carey, dan Carey (2001) yang dimodifiasi berdasarkan keperluan pengembangan. Model
ini mengarah pada upaya pemecahan masalah dan terprogram melanglui langkah-langkah kegiatan yang
sistematis.
Sejalan dengan penelitian sebelumnya, populasi penelitian ini adalah Sekolah Dasar di kota Malang
dengan menggunakan teknik random sampling. Dalam penelitian ini, peneliti berperan sebagai instrumen
kunci dengan dibantu oleh angket dan pedoman wawancara. Teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah observasi, angket, wawancara mendalam, dan focusing group discussion (FDG).
Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.

PRAKTIK REKAYASA KARAKTER MELALUI BUKU AJAR


Dalam konteks analisis wacana kritis, norma merupakan hasil negosiasi kelompok penguasa. Sejalan dengan
pengertian tersebut, nilai-nilai karakter juga merupakan bentukan. Sikap anarkis, merendahkan, dan
mendominasi juga merupakan bentukan, salah satunya oleh budaya patriarki. Untuk mempertahankan
kekuasaannya, kelompok patriarki berusah melestarikan kekuasaan melalui proses negosiasi.
Sebagaimana dikatakan oleh Holmes (2013) bahwa identitas jender merupakan suatu bentukan.
Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivis, identitas jender sebagai realitas sosial merupakan
konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Dalam perspektif ini, individu bukanlah entitas yang
ditentukan oleh fakta sosial di luar dirinya, tetapi agen kreatif yang memproduksi sekaligus mereproduksi
serta mengkonstruksi dunia sosialnya. Sebagai agen kreatif, manusia dalam menghadapi fakta tidak hanya
melakukan konstruksi tetapi juga dekonstruksi dan rekonstruksi. Selain itu, ia juga melakukan recognition
dan refleksi berdasarkan pengalaman, prerequisite, serta konteks sewaktu menghadapi fakta tertentu.
Individu mengkonstruksi realitas sosial dan merekonstruksikannya dalam dunia realitas,
memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosial. Konstruksi sosial atas
realitas (social construction of reality) merupakan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, individu
menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif (Berger,
1990:4; Collin, 1997:8).
Dampak dari konstruksi sosial tersebut adalah masyarakat, termasuk siswa, menganggap bahwa
praktik dominasi dan subordinasi merupakan suatu kebenaran. Tindak anarkis, dominasi, dan subordinasi
menjadi tindak yang dipandang sebagai suatu kewajaran. Kalau dibiarkan, budaya anarkis, yang salah satunya
dibentuk oleh dominasi dan subordinasi di keluarga, bisa menjadi norma yang dipandang sebagai suatu
kebenaran oleh masyarakat. Dampak yang dikhawatirkan adalah hilangnya karakter mulia pada bangsa ini.
Agar tidak dipandang sebagai suatu kekerasan, konstruksi karakter siswa dapat dilakukan melalui
rekayasa budaya dalam buku ajar bahasa Indonesia berbasis jender. Salah satu strategi rekayasa ini bisa
dilakukan dengan menggunakan teori. Guru sebagai pengirim pesan menyusun simbol bahasa dalam buku
133
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
ajar dan siswa sebagai penerima pesan membongkar kode atau simbol bahasa dalam buku ajar tersebut.
Caranya yaitu dengan menggunakan bentuk eufimisasi dan bentuk sensorisasi.
Bentuk eufimisasi direpresentasikan dalam bentuk diksi dan gaya ujaran yang mampu “memaksa”
siswa agar mematuhi norma-norma yang ditanamkan oleh guru. Diksi dan gaya ujaran digunakan penutur
untuk menyembunyikan kekerasan simbolik agar tidak tampak, bekerja secara halus, tidak dapat dikenali,
dan dipilih secara “tak sadar”. Melalui diksi dan gaya ujaran yang menyembunyikan kekerasan simbolik
tersebut, pelaku pertarungan simbolik memproduksi dan mereproduksi wacana doxa.
Bentuk sensorisasi diwujudkan dalam diksi dan gaya ujaran yang mencitrakan norma-norma sosial
laki-laki dan perempuan. Diksi dan gaya ujaran yang digunakan pelaku pertarungan simbolik berfungsi
untuk melestarikan nilai yang dianggap sebagai “moral kehormatan” seperti kesantunan, kesucian, dan
kedermawanan. Melalui diksi dan gaya ujaran yang melestarikan nilai yang dipandang sebagai “moral
kehormatan” tersebut, pelaku pertarungan simbolik memperluas dan melestarikan wacana doxa.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa buku ajar bahasa Indonesia berbasis jender tidak
ditempatkan sekedar sebagai instrumen akan tetapi objek yang menjadi arena pembentukan karakter. Dalam
menghadapi doxa yang mulai menjauh dari karakter mulia, buku ajar yang dipandang sebagai dunia wacana
harus bisa menjadi arena negosiasi antara guru dan siswa. Agar ditaati siswa dengan penuh kesadaran, guru
harus menggunakan strategi eufimisasi dan sensorisasi. Pesan yang disampaikan dalam buku ajar harus
ditata dengan menggunakan bentuk eufimisasi dan sensorisasi. Melalui cara tersebut, siswa akan menjadi
patuh sehingga nilai-nilai karakter yang disampaikan melalui buku ajar menjadi habitus siswa. Habitus siswa
tersebut selanjutnya akan dieksternalisasi dalam bentuk praktik berbahasa sehari-hari. Dengan begitu,
praktik rekayasa karakter akan berjalan dengan harmonis.

KARAKTER YANG DIKEMBANGKAN MELALUI BUKU AJAR BAHASA INDONESIA


BERBASIS JENDER
Dalam Permendiknas N0.23/2006 tentang Standar kompetensi lulusan secara formal sudah digariskan untuk
masing-masing jenis atau satuan pendidikan sejumlah rumusan Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Standar
kompetensi lulusan tersebut selanjutnya dijadikan dasar pengembangan nilai-nilai karakter. Pengembangan
nilai-nilai karakter tersebut diwujudkan dalam bentuk indikator yang menggunakan kata kerja operasional
berhubungan dengan Kompetensi Berbahasa.
Salah satu tujuan belajar bahasa Indonesia ialah untuk mempelajari bidang-bidang yang lain.
Dengan kata lain, belajar bahasa hendaknya fungsional, di samping menguasai kaidah bahasa, pembelajar
harus menggunakannya untuk berbagai keperluan, termasuk untuk mengembangkan karakter yang baik.
Karakter yang dikembangkan tersebut adalah siswa yang mampu berfikir logis, kritis, kreatif dan inovatif,
percaya diri, bertanggung jawab, ingin tahu, santun, nasionalis. Hasil akhirnya adalah siswa menjadi bisa
menghargai diri sendiri dan orang lain.
Ada dua prinsip untuk mencapai keterpaduan dalam pembelajaran bahasa, yakni prinsip keefektifan
komunikasi secara luas dan prinsip situasi pembelajaran bahasa menurut konteks. Prinsip perpaduan yang paling
mendasar ialah bahwa pembelajaran bahasa akan optimal jika diusahakan dalam konteks yang bermakna.
Kegiatan yang dilakukan oleh pembelajar, pengalaman berkomunikasi secara aktif, dan proses
berpikir yang mereka alami membuat mereka menjadi penyimak dan pembaca yang cerdas, serta pembicara
dan penulis yang kreatif. Apabila pembelajaran bahasa tidak bermakna bagi pembelajar dan tidak memiliki
tujuan yang jelas, pembelajar akan mengalami kegagalan dalam belajar bahasa dan juga kegagalan dalam
mengamalkan nilai-nilai yang dipadukan.
Pembentukan karakter siswa salah satunya dilakukan melalui nilai-nilai kesetaraan jender yang
dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya deskriminasi sebagaimana dapat diuraikan sebagai berikut.
CARA
PARADIGMA
BENTUK MEMASUKKAN
DAMPAK PENDIDIKAN YANG LANGKAH BENTUK
NO. KETIMPANGAN NILAI
NEGATIF DIGUNAKAN UNTUK ANTISIPATIF KEGIATAN
JENDER KESETARAAN
MENGANTISIPASI
JENDER
1 Marginalisasi Meningkatkan Peningkatan Paradigma kritis yang Penyadaran Refleksi kritis
akses perempuan peran serta memandang pendidikan terhadap terhadap orang
dan mengajak perempuan sebagai arena masyarakat akan tua agar
mereka berperan agak salah arah perjuangan politik. perlunya mendukung
serta dalam dan justru Pendidikan dengan partisipasi peningkatan
pembangunan mengakibatkan paradigma ini perempuan agar akses anak
melalui beban yang mengagendakan terselenggara perempuan
pendidikan berganda- perubahan struktur komunikasi yang
ganda bagi secara fundamental harmonis antara
perempuan dalam politik ekonomi laki-laki dan

134
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
tanpa hasil masyarakat di mana ia perempuan
yang memang berada. Bagi mereka,
menguatkan kelas dan diskriminasi
kedudukan gender dalam
perempuan masyarakat tercermin
sendiri pula dalam dunia
2 Kekerasan Meningkatkan Sekolah justru pendidikan. Dalam Pembetulan sikap Pengembangan
Beban ganda partisipasi siswa menjadi perspektif ini siswa yang selalu visi, misi,
dalam pelestari urusan pendidikan mengalah, lemah tujuan, dan
mendukung peran ideologi adalah melakukan lembut, dan strategi
sekolah sebagai patriarki refleksi kritis terhadap menerima sekolah
agent of change the dominant kepemimpinan
yang diharapkan ideology, ke arah dan bimbingan
menjadi transformasi sosial. laki-laki serta
konstruktor Tugas utama pendidik selalu
ideologi adalah menciptakan mempertanyakan
perubahan ruang agar sikap kritis persetujuan dari
terhadap sistem dan pihak laki-laki
struktur untuk kemajuan-
ketidakadilan, serta kemajuan dan
melakukan dekonstruksi kesempatan-
dan advokasi menuju kesempatan yang
sistem sosial mereka dapatkan
3 Stereotipe Mengembangkan Stereotipe yang lebih adil. Pembuatan Pemberian
proses menyebabkan Paradigma kritis ini materi dan model contoh model
pembelajaran siswa sekaligus mengadopsi pembelajaran pembelajaran
melalui perempuan kesadaran kritis yang setara bahasa
pengembangan menjadi lebih dengan cara melatih jender dengan Indonesia
materi dan model bersikap “suka anak didik untuk mampu menghilangkan setara jender
pembelajaran rela” dalam mengidentifikasi segala materi yang
yang setara jender menempatkan bentuk ketiakadilan yang menggambarkan
dirinya sebagai mengejawantah dalam ibu (perempuan)
kelompok sistem dan struktur yang yang selalu
subordinat ada, kemudian mengerjakan
melakukan analisis tugas-tugas
bagaimana sistem dan domestik seperti
struktur itu bekerja, serta memasak,
bagaimana mencuci, dan
mentransformasikannya. menyapu, yang
(Fakih, dalam O'Neil, akan
2001). mengkonstruk
pola pikir bahwa
pekerjaan
domestik
merupakan
pekerjaan
perempuan.
4 Sosialisasi Meningkatkan Minimnya Konstruksi sikap Pengembangan
ideologi nilai aspek penguasaan penggunaan kepenguasaan rencana
peran jender perempuan keterampilan perempuan pembelajaran
terhadap baca tulis sehingga mereka setara jender
pendidikan mematikan dapat berbagi
akses sifat, peran,
perempuan ke kedudukan, dan
media hingga tugas laki-laki
kemajuan dan perempuan
peranan yang ditetapkan
perempuan oleh masyarakat
Indonesia berdasarkan
banyak yang norma, adat
tidak terserap kebiasaan, dan
oleh kepercayaan
masyarakat kita masyarakat
dan mereka
135
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
tetap
berpegang pada
nilai-nilai lama
yang tidak
tereformasi
Agar tidak sekedar menyajikan teori, konstruksi nilai-nilai karakter harus dilakukan melalui
inkulkasi. Sebagaimana dikatakan oleh Saefuddin (Tt) bahwa inkulkasi (penanaman) nilai memiliki ciri-ciri
(1) mengomunikasikan kepercayaan disertai alasan yang mendasarinya; (2) memperlakukan orang lain
secara adil; (3) menghargai pandangan orang lain; (4) mengemukakan keragu-raguan atau perasaan tidak
percaya disertai dengan alasan, dan dengan rasa hormat; (5) tidak sepenuhnya mengontrol lingkungan untuk
meningkatkan kemungkinan penyampaian nilai-nilai yang dikehendaki, dan mencegah kemungkinan
penyampaian nilai-nilai yang tidak dikehendaki; (6) menciptakan pengalaman sosial dan emosional
mengenai nilai-nilai yang dikehendaki, tidak secara ekstrem; (7) membuat aturan, memberikan penghargaan,
dan memberikan konsekuensi disertai alasan; (8) tetap membuka komunikasi dengan pihak yang tidak
setuju; dan (9) memberikan kebebasan bagi adanya perilaku yang berbedabeda, apabila sampai pada tingkat
yang tidak dapat diterima, diarahkan untuk memberikan kemungkinan berubah.

PENUTUP
Berdasarkan hasil kajian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, praktik rekayasa karakter
dilakukan dengan menggunakan buku ajar sebagai arena pembentukan karakter. Pesan yang disampaikan
dalam buku ajar harus ditata dengan menggunakan bentuk eufimisasi dan sensorisasi. Kedua, karakter yang
dikembangkan melalui buku ajar bahasa Indonesia berbasis jender adalah karakter berfikir logis, kritis,
kreatif dan inovatif, percaya diri, bertanggung jawab, ingin tahu, santun, nasionalis. Hasil akhirnya adalah
siswa menjadi bisa menghargai diri sendiri dan orang lain.
Berdasarkan hasil penelitian ini, kepada sekolah, guru, dan dosen bahasa Indonesia agar
memanfaatkan temuan penelitian ini sebagai bahan masukan untuk mengembangkan buku ajar yang mampu
menjadi arena negosiasi nilai. Dengan begitu, persoalan anak didik yang bersifat plural akan bisa diatasi.

DAFTAR RUJUKAN
Berger, P.L., Thomas Luckmann. 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta:
LP3ES.
Bourdieu, Pierre. 1994. Language and Symbolic Power. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.
Collin, Finn. 1997. Social Reality. London: Routledge.
Holmes, J. 2013. Introduction to Sociolinguistics. 4th edition. London: Longman
Kartika S.N. 2011. Pengertian Pengetahuan, Ilmu, dan Ilmu Pengetahuan. http://kartika-s-n-fisip08.web.unair.ac.id/
artikel_detail-37181-hardskill%20-PENGERTIAN%20PENGETAHUAN,%20ILMU,%20DAN%20ILMU%
20PENGETAHUAN.html. Diakses tanggal 22 Januari 2015. Pukul 22.15.
Rezat, S. 2006. A Model Of Textbook Use. ftp://ftp.gwdg.de/pub/EMIS/ proceedings/PME30/4/409.pdf. Diakses
tanggal 22 Januari 2015. Pukul 22.19.
Saefuddin, M. Tt. Inkulkasi Nilai dalam Pendidikan Anak. https://www.academia.edu/6499066/INKULKASI_NILAI_
DALAM_PENDIDIKAN_ANAK. Diakses tanggal 23 Januari 2015. Pukul 21.19.
Setiyono, Den. Tt. Bab II Hakikat Buku Teks.https://www.academia. edu/7316474/2._BAB_II_HAKEKAT_
BUKU_TEKS. Diakses tanggal 23 Januari 2015. Pukul 21.27.
Wahyuni, L. 2012. Pengimplementasian Pendidikan Karakter melalui Pengintegrasian Nilai-Nilai Kesetaraan Jender
dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD. Hibah Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi. Malang: IKIP
Budi Utomo

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Lilik Wahyuni
Institusi : IKIP Budi Utomo
Riwayat Pendidikan : S2 dan S3 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang
S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Malang
Minat Penelitian : • Wacana
• Budaya
• Jender
• Pendidikan

136
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
REVEALING THE CORRELATION BETWEEN EFL SIXTH GRADER SCORES ON THE
ENGLISH TEACHER-MADE TESTS AND THE ORDINARY NATIONAL EDUCATIONAL
TESTING (O-NET)

Panusak Meekaeo
Indonesia University of Education
panu0967@gmail.com

ABSTRACT
High stake tests provide washback to schools. Teachers and administrators can use it improve their instruction based on
their strength and weaknesses. The purpose of this study was to investigate the relationship between Grade 6 EFL
students’ performance in English on teacher-made tests and the O-NET in academic year 2014. Participants of the study
were 33 graduated primary students from Anuban Nongki Primary School. The subjects’ scores from the O-NET and the
scores of English subject were collected from the school. Statistical analyses used were Pearson’s Product Moment
Correlation Coefficient (Pearson’s r), the Standard Deviation (SD), and the Arithmetic Mean (M). Results revealed that
the correlation coefficient of scores from those two tests was high and it was statistically significant at the .01 level (r =
.76, p < .01). The results of the study indicated that the students were measured based on their ability and the scores of
teacher-made tests and the O-NET were correlated. As a result, the teacher-made tests possessed reliability and validity
and the test results reflect the real proficiency. The future research topics should be related to development of reading
ability, or vocabulary acquisition, or critical thinking since the proposed topics would help students to improve their
English performance.
Keywords: standardized test correlation, teacher-made test, high stake test, o-net

INTRODUCTION
In Thailand, English have been taught and learned as a foreign language in schools across the country.
English courses offered in schools are designed and planned to develop students’ English skills and aimed to
enable them to utilize English as a tool to seek other sources of world knowledge as well as to further study
at higher education (Sukying, 2010). As a result, when graduating from school, Thai students are expected to
possess overall English language competency. Hence, in 2009, the Ordinary National Educational Test (O-
NET) has been adopted to measure their academic ability of English (NIETS, 2012). The test contents are
designed base on the Basic Educational Curriculum of the Ministry of Education (NEITS, 2008). The main
purposes, apart from testing the academic knowledge and thinking ability of students according to the Basic
Education Core Curriculum A.D. 2008, are also to provide information to the schools to improve their
teaching and learning activities, and to evaluate the quality of education at the national level.
Accordance with the purposes of the O-NET mentioned above, the researcher was interested in
investigating the Grade six students’ performance in English on teacher-made tests and the Ordinary
National Educational Test (O-NET), and a relationship between scores of teacher-made tests and the O-
NET. It is expected that the study would provide useful information regarding the situations of teaching of
English in the school in the sense that whether or not the instruction is based on the curriculum and the
quality of English education reflects on the high stake test, and the finding would be the guideline for those
who involve with the English instruction to improve their teaching performance by considering the study
results since the results would show either the strength or weaknesses of the instruction and increase scores
both in the school and the O-NET holistically.
The Ordinaty National Educational Test (O-NET)
Ordinary National Educational Test (O-NET) is a standard-based achievement test (NIETS, 2012). The test
is intended to be administered for Thai students in their final semester of three year levels: Year 6, Year 9
and Year 12 (NIETS, 2015b). The main purposes are 1) to test the knowledge and thinking ability of
students based on the Basic Education Core Curriculum B.E 2551 (A.D. 2008), 2) to provide information to
the schools to improve their teaching and learning activities, and 3) to evaluate the quality of education at
the national level. The O-NET comprises of 5 major subject areas basing on the National Education
Curriculum (NIETS, 2015b) namely: 1) Thai Language, 2) Mathematics, 3) Science, 4) Social Science,
Religion and Culture, and 5) Foreign Languages.
Correlation
Tavakoli (2012) said “the main purpose of correlational research is to determine, through application of a
quantitative statistical analysis, whether a relationship exists between the variables under investigation.”
Similarly, Hatch and Farhady (1982) explained that the correlation studies allows us to determine the extent
137
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
to which scores on one tests are associated with scores on another test. In other words, the basic concern in
correlational analyses is to identify whether a student scoring high on one measure also scores high on the
other and whether a student who scores low on one measure also scores low on the other (Hatch and
Farhady, 1982). In this study, scores from the same person derived from two achievement tests were
computed and find the feasible relationship between them.

METHODS
This is a quantitative study aims to answer these questions, namely: 1) what is the grade six students’
performance in English on O-NET?; 2) what is the grade six students’ performance in English on
O-NET?; And 3) what is the correlation between the grade six students’ performance in English on teacher-
made tests and O-NET? The participants were 33 grade six students from Anuban Nongki Primary School,
Buriram Province, Thailand. The O-NET scores and teacher-made test scores were used as instrument of the
study.
The procedures were adapted from Gay, Mills and Airasian (2012)
1. Scores of two variables were obtained for each member of the sample from Anuban Nongki Primary
School.
2. The scores were paired and correlated by the Pearson’s r.
3. When two variables were correlated, the result was a correlation coefficient, which was a decimal
number ranging from -1.00 to +1.00, the correlation coefficient was interpreted. The result indicated the
size and direction of the relation between variables.

FINDING AND DISCUSSION


Finding one: What is the grade six students’ performance in English on teacher-made tests?
Table 1. Summary of the Students’ Achievement Score in English on Teacher-Made Tests
N Min Max Range Sum Mean SD
33 50 80 30 2032 61.57 10.12
According to Table 1, it shows that the mean score of all participants was 61.57 or just fair or grade
2 according to the school grading system scheme (BAAES, 2011). The lowest score was 50, whereas the
highest one was 80 so that the dispersion of score or the SD value was 10.12. It means that the scores of
students were different and variant.
Finding two: What is the grade six students’ performance in English on O-NET?
Table 2. Summary of the students’ achievement in English on the O-NET
N Min Max Range Sum Mean SD
33 12.5 52.5 40 1072.50 32.5 11.02

As can be seen on the Table 2, it was found that the mean score of the O-NET of all participants
was 32.5 or fair or level 1.5 according to the range of O-NET scores of English: grade six level, academic
year 2014 (NIETS, 2015a). The dispersion of score or SD value was 11.02, which indicated that the
participants gained highly different scores from each other. The lowest score was 12.5, while the highest
score was 52.5.
Finding three: What is the correlation between the grade six students’ performance in English on teacher-
made tests and O-NET?

HYPOTHESIS
H0: There is no significant relationship between the grade six students’ performance in English on teacher-
made tests and O-NET.
H1: There is a significant relationship between the grade six students’ performance in English on teacher-
made tests and O-NET.
Table 3. Summary of the Correlation between the Teacher-Made Test Scores
and the O-NET Scores of Participants (N = 33)
The participants’ O-NET scores
The participants’ English scores 0.76**
**Correlation is significant at the .01 level (2 tailed)

138
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
According to the research question 3, it was found that the null hypothesis was rejected because
there was positive relationship between the participants’ English teacher-made test scores and O-NET
scores. The strength of the relationship was high and it was statistically significant (r = 0.763, p < .01).
To summarize, the findings found that the subjects’ performance on English teacher-made test was
“fair” (M = 61.57). Similarly, the students’ performance on the O-NET was “fair” (M = 32.5) according to
the range of O-NET scores of English: grade six level, academic year 2014 (NIETS, 2015a). The correlation
statistic showed that the correlation of these two variables was significantly high. As a result, the study
corroborated the reliability and validity of teacher-made tests since the O-NET is regarded as a standardized
test and possesses high reliability and validity and the two scores reflected each other. Besides, the results
show that the assessment of English in Anuban Nongki Primary School was, therefore, dependable,
although, the scores of O-NET were lower than 50%.
Accordance with the purposes of the O-NET, aside from testing the knowledge and thinking ability
of students, the results of this study provided the information to the school to improve its teaching and
learning activities since the school can know the English teacher’s performance. Obviously, the instruction
of English in Grade 6 was based on learners’ ability due to the result showed that, generally, low score
learners obtained low scores both from the teacher-made tests and the O-NET. Similarly, the high score
learners, generally, obtained high scores from both tests. As a result, learners, parents, administrators, or
stakeholders can know the real ability of the students from the school’s scores. At the same time, they can
use this information to improve learners’ ability in the future. Still, even though, there was a correlation
between the teacher-made tests and the O-NET, but the score of O-NET was lower than 50% (satisfactory).
There were only three students who gained the scores 50 or higher (52.5 was the highest). Similarly, there
were nine students (N=33) gained score 70 (grade 3 or good) or higher (there was only one students who
could get score 80 or grade 4).
Additionally, the results also evaluated the quality of education both at the school and national level.
Since the Ministry of Education adopted the O-NET to Thai education system, in English at Grade 6 level
across the country, the scores have never reached 50 or higher before. Therefore, English education in the
school is less effective and need urgent improvement.

CONCLUSION
The washback of the O-NET can tell many things not only to educators, but society also can be informed the
English education situation. The results of the study indicated that, in the school, the students were measured
based on their ability and the scores of teacher-made tests and the O-NET were correlated. As a result, based
on the correlation, the teacher-made test possessed reliability and validity and the assessment results reflect
the real proficiency of learners because if they know their real ability, they can improve themselves or can
be improved correctly by teachers. Still the quality of English education in primary level was low since the
scores of the O-NET were lower than 50% so that the school have to enhance the teaching performance in
order to help learners to be successful.
In conclusion, as a recommendation, in the future researches, topics of study can be related to
development of reading ability since students could perform well if they can read and understand texts,
which must begin from Grade 1, or programs of cram before the test in the sense that to make students be
familiar with the test styles, or develop critical thinking, and so on. The success begins from the classroom. I
believe that the English education in primary level in Thailand will be better if teachers and administrators
understand constraints of their performance. And on the top of that English results in other levels (Middle
and high school) will gain benefit from that if students are good at English or any subjects from primary
level.

REFERENCES
Airasian, P. 1991. Classroom Assessment. In Pukmai, B. The Relationship between EFL high school Learners’ Scores
on Teacher-mad Test and the Ordinary National Educational Testing (O-NET). Unpublished M.A. thesis.
Mahidol University. Retrieved from http://tdc.thailis.or.th/.
Bureau of Academic Affairs and Educational Standards (BAAES), Ministry of Education. 2011. Guideline in
Measuring and Evaluating Learning According to The Core Curriculum of Basic Education B.E. 2551
(A.D.2008). Unpublished. Retrieved from http://academic.obec.go.th/web/doc/d/160
Gay, L.R., Mills, G.E., & Airasian, P. 2012. Educational Research: Competencies for Analysis and Applications Tenth
Edition. Pearson Education. New York. U.S.A.
Hatch, E., & Farhady, H. 1982. Research Design and Statistics for Applied Linguistics. Rowley: Newbury House
Publishers, Inc. Massachusetts. U.S.A.
National Institute of Educational Testing Service (NIETS). 2012. The Operation Involves the Use of O-NET as One of

139
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Criteria in Determining the Learning Outcomes of Students. Retrieved 2 December, 2015, from http://
academic.obec.go.th/web/doc/d/776.
National Institution of Educational Test Service (NIETS). 2015a. Criteria to Calculate the Level of O-NET Results,
Grade Nine, Academic Year 2014. Retrieved 16 December, 2015, from http://result.niets.or.th/Individual
Web/Notice/FrEnquireStudentGraphScore.aspx.
National Institute of Educational Testing Service (NIETS). 2015b. O-NET (Ordinary National Educational Test).
Retrieved 14 December, 2015 from http://www.niets.or.th/en/catalog/view/2211.
Sukying, A. 2010. A Comparison and Analysis of the Headwords Appearing in the English Course Books and Ordinary
National Educational Tests from a Vocabulary Perspective. Unpublished M.Ed. thesis. Mahasarakam
University. Retrieved from http://tdc.thailis.or.th/.
Tavakoli, H. 2012. A Dictionary of Research Methodology and Statistics in Applied Linguistics. Rahnama Press.
Tehran. Iran.

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Panusak Meekaeo
Institution : Indonesia University of Education
Education : S2 Indonesia University of Education
S1 Srinakharinwirot University Bangkok, Thailand
Research Interst : • Second Language Acquisition (SLA)
• Teaching English as a Foreign Language (TEFL)

140
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
ASSESSMENT: TEST AND REFLECTIVE JOURNAL WRITING BASED ON STUDENTS’
PERCEPTIONS

Eva Meidi Kulsum


Indonesia University of Education
meydiqulsum@gmail.com

ABSTRACT
Learning is not only aimed to get big score on test but also “it must focus on whether or not students can apply their
learning to the appropriate situation” (Conrad, 1995). To overcome this goal teacher should provide meaningful life-
long learning, not only in teaching but also in assessing students’ achievement; some teachers used test and other
teachers used reflective journal writing. This research investigated students’ perception of both kinds of assessment.
This study employed qualitative descriptive method by taking questionnaire. The data found were calculated manually
by calculating the percentages and mean scores of the student responses to infer the data findings. It was found that
mean score of students’ perceptions of test was 3.2 and reflective journal writing was 4.2 which indicated that students
had better perception of reflective journal writing. However, teachers can use reflective journal writing assessment
which is considered as a reflection to be a characteristic of good teaching as well as an important part of effective
teaching practices.
Keywords: Students’ perceptions, test, reflective journal writing

INTRODUCTION
Measuring students’ knowledge about what has been learned by them in classroom is debatable. Whether the
tool that teacher used to measure students’ competence is accurately measured or not. It should be noted that
learning is not only aimed to get big score on test but also “it must focus on whether or not students can
apply their learning to the appropriate situation” (Conrad, 1995). To overcome this goal teacher should
provide meaningful life-long learning, not only in teaching but also in assessing students’ achievement. In
line with that, Damian (2000) in his research argued that “the commotion about high-stake tests (proficiency,
standardized tests, achievement tests), is so prominent in the media these days that it would be easy to forget
that such tests are not the only –or even the primary- ways to assess students learning”. In order to get
comprehensive result about students’ achievement, teachers used various assessments; some teachers used
traditional assessment such as tests and quizzes and some of them preferred to use reflective journal writing
as an alternative assessment.
This research aimed to investigate students’ perception of test and reflective journal writing.
Knowing students’ perceptions towards both kinds of assessment whether test or reflective journal writing
assessment will give several information on how to best measure students’ achievement to create a life-long
learning.

LITERATURE RIVIEW
Assessment derives from assidere (a Latin word) which has meaning to sit beside, to observe, to talk with,
and to learn from one another (Conrad, 1995). Traditionally, the word “assessment” has referred to students’
work as the fulfillment of education purposes (Joughin, 2009:14) which is usually conducted by teacher to
see students’ achievement. On the other hands, assessment also can be assumed as way to discuss teaching
effectiveness (Garfield, 1994). However assessment focused on students’ progress and their ability to
implement what has been learnt to the proper situation.
According to Brown (2003:5), assessment is actually popular term in teaching. While teaching,
teachers are indeed observing students’ performance. Furthermore, teaching and assessing cannot be
separated each other. People usually think that assessment is a test, but it is not. Assessment is wider than
test, test is a subset of assessment. Teachers can assess students’ performance not only by test but also other
kinds of assessment such as formal and informal assessment. Teachers usually use informal assessment in
accidental and unplanned comment and responses to the students. While formal assessment is usually
conducted by teacher in the form of exercises which were designed to measure students’ skill and knowledge.
Other important distinction of assessment is the function of assessment itself. How is the procedure
to be used? There are two functions of assessment, those are summative and formative assessment.
According to Bell and Cowie (2001) cited in Heritage (2010:19) Summative assessment is “concerned with
summing up and summarizing the achievement status of a student”. In contrast, formative assessment is
“concerned with how judgment about quality of student responses can be used to shape and improve
students learning during learning”. Brown (2003) stated that for all practical purposes virtually all kinds of
141
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
informal assessment is formative which has primary focus to the ongoing development of learners’ language.
While formal assessment is summative where students’ usually give bad feedback to the tests given by
teachers. They tend to have a tough that they were glad that the test was over and would not think over the
task anymore. This is a challenge for teacher to instill such summative tests to be a more formative quality.
Besides, Brown (2003:13) introduced two kinds of performance-based-classroom assessment, those
are traditional and alternative assessment. Traditional assessment is a type of assessment in which the
students choose their answer from a given of choices. In traditional assessment students are expected to
recognize that there is only one correct or best answer for the question. Traditional assessment usually
produce in the form of true or false tests, multiple choice tests, essay, short answer test (Dikli, 2003:13): test
is mostly used assessment to measure students’ achievement in learning. On the other hands, alternative
assessment is in which students create an original response to answer a certain question. Teacher and
students focus on communication, not on right or wrong answers. Therefore, alternative assessment methods
is usually reflected in such recordings, checklists, diaries, portfolios, student debriefings, peer conferences
and reflective journal writing are necessary within a constructivist classroom (Worley, 2001). Reflective
writing has been introduced as a way of assessing the learning from practice that is implicit in continuing
professional development (Sayers, 2004:520). The discussion about journal or reflective journal writing has
been proposed by Clandinin and Connelly (1994) as “on going records of practices and reflections on those
practices.”
In line with that, Bound et al (1985:27) cited in Johns (2009) one of the most useful activities that
can initiate a period of reflection is recollecting what has taken place and replaying the experience in the
minds’ eye, to observe the event as it had happened and to notice exactly what occurred and one’s reaction
to it in all its elements. Journal can be either public or private. It is intended to be made public when
reflective journal is part of professional training or a university degree. It can be a mandatory part of the
course to ensure that the students practice the skills of critical thinking or self-reflection. But other use
reflective journal for self-development and professional development, they usually keep it privately (Wood,
2013:20).

METHOD
This research method employed qualitative descriptive method by taking questionnaire to find out students’
perceptions on test and reflective journal writing. Class A of English Literature at the second year of study
was chosen as the object of this study. 20 students were taken as the sample using purposive sampling
technique. In consideration that assessments they got from their teachers are formed in different types.
According to the students, there were some methods used by their teachers in assessing their achievements;
test and reflective journal writing. Some teachers used tests to measure their competence and other teachers
used weekly reflective journal writing as an alternative assessment. In addition, this situation was very fit
with this study.
This research used questionnaire as the instrument and material to analyze students’ perceptions of
test and reflective journal writing adopted from (William, 2004). There were 21 items to be answered by
respondents which were divided into 2 sub-scales, each sub-scales consisted of 7 and 14 statements. The
each data from questionnaire was counted, displayed, and analyzed. The student’s responses (n=20) to the
survey items (n=21) were scored by the given values:
Table 1. Score of Each Item
Value Positive Negative
Strongly Agree (SA) 5 1
Agree (A) 4 2
Not Applicable (NA) 3 3
Disagree (D) 2 4
Strongly disagree (SD) 1 5
The data calculated manually by calculating the percentages and mean scores of the student
responses to infer the data findings. At last, the analysis of each data collection was synthesized and
discussed in findings and discussion session.

FINDINGS AND DISCUSSION


The overall analysis for the 21 items portrayed in figure 1 below. It highlighted mean score of students’
perceptions of test was 3.2 and reflective journal writing was 4.2 which indicated that students had better
perception of reflective journal writing than test:

142
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14

Figure 1. Students’ Perceptions of Test and Reflective Journal


The result shown by figure 1 is also supported by figure 2 below, it compared students’ perception
towards both kinds of test. The graph discussed how test and journal helped students understand what they
learned (item 1), allowed them to describe what they understood (item 2), and allowed them to reflect on
what they learned (item 3). Besides that, it also highlighted students’ perception on the instructions (item 4),
easiness in answering question (item 5), time allotment (item 6), and willingness to conduct the test and
reflective journal writing any more (item 7). In each item of the questionnaire sub-scales, reflective journal
writing had higher mean scores, students thought that reflective journal writing is more effective than test
(see figure 2).

Figure 2. Students’ Perceptions of Test and Reflective Journal


For more explicit explanation, it would be discussed as follows:
Students’ Perception of Test
The students were given questionnaire which could reflect their perceptions of test that their lecturers
usually conducted to measure their achievement on particular subject. There were 7 items, based on the
result of questionnaire given to the respondents it was than resulted that 72% students (Mean score 3.6)
understood the instruction for the test which is automatically meant that the instruction of the test was clear
enough. ≤ 70% (Mean scores 3.4, 3.5, and 3.3) students agreed that test helped them to understand what they
learned and allowed them to describe what they understood but didn’t reflect on what they learned. Because
the test didn’t reflect on what they learn, 52% students (Mean score 2.6) didn’t find an easiness in answering
the test. In spite of difficulty found in the test, 56% students still had enough time to complete the test. In
addition, there were 60% students who would like to take an assessment in the form of test while the rest
(40% students) would not (see figure 2).

Figure 3. Items of Students’ Perceptions of Test


It can be concluded that 64% students have positive perception and 36% students have negative
perception on test.

143
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Students’ Perception of Reflective Journal Writing
There were 17 items which could be assumed as a tool to see their perceptions on reflective journal writing.
The data analysis showed that 98% students (mean scores 4.9 item 16) believed that journal writing would
help them practiced writing meant that they used it as a way to improve their writing skill supported by
Sayers (2004:523) who explained that reflective journal was to give students lots of opportunities to practice
and offer encouraging feedback. It was then followed by 92% students (mean scores 4.6) who expressed
themselves through journal and learned much things from journal they made (items 17 and 19). Students
could learn much things from journal as example journal could help students learn about how writing works,
risk-taking and exploration with their writing, foster ability to produce text, and build confidence in writing.
(Dannele and Cooper, 2009: 105). While ≤ 90% students (mean scores 4.4, 4.5 and 4.3) felt that journal
helped them understood what they learned and allowed them to describe what they understood so that they
would like to write more in their journal (items 8, 9, 13, and 18) in consideration that they could write their
feeling in it so that students understanding of the course will broader and deeper (Bassot, 2013: 14). ≤ 82%
students (mean scores 4.1 and 4.0) understood what they were supposed to write in journal, because
according to them it had made the subject easier and they would like to share with the class what they wrote
(items 11, 14, and 21) this was in line with Steven and Cooper (2009:106) statement that journal could help
students process their experiences and then shared them with others. According to Bassot, (2013) students
might be someone who loved journal writing and might have kept a private or public journal for some time.
On the other hand, students might be new to the whole ideas. The data from questionnaire showed that 72%
students shown by mean score 3.6 found it easy to write in journal then they would like to continue writing
in a journal in other subject because they also felt that they had enough time to write in journal which meant
that journal was not a time consuming activity to them (items 12, 15, and 20). However they are included to
the group of students who loved journal in which it helped them contribute to their lifelong learning
(Howatson, 2010: 130 cited in Bassot, 2013). See figure 5 below:

Figure 5. Students’ Perception on Reflective Journal Writing


From those findings it could be implied that reflective journal writing as an alternative assessment is
accurately enough to measure students’ competence because it can reflect what has been understood by
students. This kind of activity is called as reflective thinking. Reflective thinking according to Calderhead
(1989) as cited in Richards and Ho (1993:27) is kind of “the exercise of interactive, interpretative skills, in
the analysis and solution of complex and ambiguous problems”. Reflective journal writing can be used as a
key to help students get the most out of their field experiences (As, Clayton, and Atkinson, 2005 and Jacoby,
1996 as cited in Steven and Cooper, 2009: 106). Journals have been particularly effective in encouraging
reflective thought. Thus, teacher can use reflective journal writing to create an effective teaching practice
which also supported by a good perception from the students.

CONCLUSION AND RECOMMENDATION


After given questionnaire it was then resulted that students had better perception of reflective journal writing
than test which is shown by mean score of students’ perceptions of test was 3.2 and reflective journal writing
was 4.2. However, teachers can use reflective journal writing assessment as an alternative assessment which
is considered as a reflection to be a characteristic of good teaching as well as an important part of effective
teaching practices.
This research offers several recommendations that provide for further studies in the field of students’
perception on assessment whether it is formed in the form of test or reflective journal writing that can be
useful for teachers with additional information on how to best measure students’ achievement in order to
create a life-long learning. Besides, teachers can predict an appropriate assessment that would be given to
overcome the difficulties of learning English.

144
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
REFERENCES
Bassot, Barbara. 2013. The reflective Journal. UK: Palgrave Macmillan
Brown, H. Douglas. 2003. Language Assessment: Principle and Classroom Practices. California: Pearson
Clandinin, D.J., and Connelly, F.M. 1994. Personal Experience Methods. Thousand Oaks, CA: Sage Publications.
Conrad, L. 1995. Assessing thoughtfulness: a new paradigm. South Euclid, OH: Center for Excellence in Education.
Dikli, Semire. 2003. Assessment at a Distance: Traditional vs. Alternative Assessments. The Turkish Online Journal of
Educational Technology. Vol. 2.
Damian, C. 2000. Assessment that informs practice. Columbus, OH: Eisenhower National Clearinghouse for
Mathematics and Science Education.
Journal Keeping. Garfield, G.B. 1994. Beyond Testing and Grading: Using Assessment to Improve Student Learning.
Journal of Statistics Education, 2(1).
Heritage, Margaret. 2010. Formative assessment: making it happen in the classroom. California: Corwin.
Ho, B., & C. Richards, J. 1993. Reflective Thinking through Teacher Journal Writing: Myths and Realities.
Johns, Christoper. 2009. Becoming a reflective practitioner. Wiley-Blackwell
Joughin. 2009. Assessment, Learning, and Judgment in Higher Education. Australia: Center for Educational
Development and Interactive Resources.
Sayers, Pete. 2004. Reflective Writing and Reflective Thinking. Boston: Kluwer Academic Publisher.
Steven, Dannele D. and Cooper, Joanne E. 2009. Journal Keeping: How to Use Reflective Writing for Effective
Learning, Teaching, Professional Insight, and Positive Change. Williams, Nicole. (2004). Reflective Journal
Writing as an Alternative Assessment. Beery Middle School- Columbus Public Schools
Wood, Jane. 2013. Transformation through journal writing: the art of self-reflection for helping professions. London
and Philadelphia: Jessica Kingsley Publisher
Worley, T. M. 2001. Alternative assessment: methods to make learning more meaningful. Virginia: Stylus Publishing.

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Eva Meidi Kulsum
Institution : Indonesia University of Education
Education : S2 Indonesia University of Education
S1 UIN Sunan GunungDjati
Research Interst : • Linguistic (Arabic and English)
• Education

145
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
STUDENTS’ RESPONSE TOWARD ONLINE MULTIPLE-CHOICE TEST TO ASSESS
STUDENTS’ READING COMPREHENSION

Lukman Arif Rachman


Indonesia University of Education
lukmanarifrachman@gmail.com

ABSTRACT
The development of technology in assessing students is popular in schools nowadays. As the result, almost all schools
in Bandung start using online test in assessing students and even preparing for computer based national exam. The
typical test used is online multiple-choice test. Therefore, the study presents the report of students’ response toward the
use of online multiple-choice test to assess students’ reading comprehension. The study also investigates the use of
online multiple-choice test comparing to the use of short essay test with the same material. The study was conducted in
one of private senior high school in Bandung as the pilot project digital school in Bandung which included 100
students as the population of the study. The data of the study were obtained from questionnaire and interviewing some
students. The data were analyzed by summarizing all students’ responses and comparing the scores of students from
both of tests. The result shows that the use of online multiple-choice test makes students easier in doing the test and
decreasing the possibility of students to cheat and work corporately in doing the test although there are some problems
faced by students in the implementation of online test. Moreover, in order to know the effectiveness of using online
multiple-choice test in assessing students’ reading comprehension, the data gathered from the score of students from
online multiple-choice test and from short essay test were compared by using simple statistical calculation, comparing
the average scores from both of the tests. The result shows that the use of online multiple-choice test can’t assess
students reading comprehension since students’ scores from both of the tests were different; although the materials
given were same. Hence, the suggestion of the study is that the use of online test should be built up more. Moreover, in
assessing students’ reading comprehension, the use of online multiple-choice should be mixed with the other kind of
tests such as short essay test.
Keywords: response, online Multiple-choice test, reading comprehension

INTRODUCTION
Assessing is important process to know students’ achievement and comprehension of material learned.
Assessment is used to judge the progress of students and inform teachers to give feedback toward their
understanding (Mansell W, et all, 2009). Additionally, assessment should enable students to demonstrate
deep understanding of concepts rather than surface knowledge and recall of facts. Assessment should be able
to reveal the quality of students’ understanding and thinking as well as specific content or processes
(Assessment and Reporting Unit Learning Policies Branch, Office of Learning and Teaching, 2005).
One of the popular assessments used is multiple choices. Multiple choice is commonly chosen since
it is very easy to measure objectively. Moreover, it doesn’t need long time for students to answer the test.
Nowadays, the developing of technology affects all aspect in education. So then, the form and the way of
assessing are also developed by using technology. The form of multiple choices is modified especially with
the media used. Students usually answering the test on answer sheet by crossing or bolding the choice has
been changed by using gadget. Hence, students can answer and do the test by using their gadget anywhere
and anytime.
The developing of technology in doing assessment triggers Ridwan Kamil, The Major of Bandung
City, to build up the schools in Bandung to be Digital School and now Bandung is chosen as the piloting city
in developing technology in implementing education. One of the programs in digital school is paperless in
doing assessment. Meanwhile, the school should do assessment in digital by using gadget. The program is
also supported by doing cooperation of some schools in Bandung with SEAMEO, South East Asia Minister
Education Organization, the organization which leads the schools in South East Asia to develop technology.
SMA BPI 1 Bandung is chosen as the piloting private school in implementing digital school and doing
assessment through online.
Some tests that have been conducted through online multiple test in SMA BPI 1 are online midterm
test and final test by giving students multiple choices questions and networking test which collaborate with
the other schools in Bandung. The implementation of online multiple choices test appears some response
from students as those who doing the test since there are some advantages and disadvantages of online
multiple choices test.
Regarding to that, the study will investigate students’ response toward the use of online multiple
choices test that is conducted in SMA BPI 1 Bandung in assessing students’ reading comprehension. The
study will investigate students’ response in ten, eleven and twelve grade of senior high school and only
146
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
investigate students in ten grade to compare the use of online multiple-choice test and conventional short
essay in assessing students’ reading comprehension.

LITERATURE REVIEW
Development of Technology in Education
The development of technology increase rapidly until it contributes the innovation of education system.
Education technology influences the development in media, social network used for education, and include
the process of assessing. The development of technology in education is not only based on the used of media
or social network specialized for education, but it is about how technology is manipulated to be used for
education purposes. Ouyang and Stanley (2004) mention that educational technology impacts the
development of education. The important point that should be focused on is that educational technology is
only a tool. The effectiveness of using this tool depends largely on how teachers treat students’ learning
process and how they select educational technology. Let’s say the use of email to collect task or homework
of students and the use of Edmodo or Quipper to assess students’ comprehension digitally.
According to Trucano (2012), there are several trends of using technology for education in
developing countries, in this case focused on Indonesia. The trends try to mention of why technology
nowadays impacts almost all of aspects in education. The first trend is the low cost of gadget sold. The
cheaper price and easy way to get gadget make impossible to avoid gadget in education life in school.
Almost every student brings their gadget to school like laptop, tablet, and smart phone. Especially for
students live in big city like Bandung, using gadget has been their life style that cannot be avoided.
The use of technology in education is undeniable give a lot contribution. If we want for example
learning process nowadays helps us to learn everywhere and anytime regardless the distance and time.
Whelan (2005) says that the use of technology like electronic device can provide students self-control
learning contents, activities and progress without wasting a lot of time and space. It means that using
technology in assessment will save time and paperless which will be easy to check for the result.
The development of online multiple choice is the result of innovation of doing assessment which is
line with the development of technology used for education. According to Parkes in Educational Psychology
Program, University of New Mexico, the history of multiple-choice development began by using scanner in
1934, and technology has continued to play a role in multiple-choice developments. It is no surprise, then,
that computing and using internet have facilitated multiple-choice testing.

METHOD
Research and Design
Since the study investigate students’ response toward online multiple-choice test in assessing students’
reading comprehension, qualitative method is used to document and analyze the data. The data obtained
from questionnaire and interview section in order to answer first research question. Moreover, the online
multiple-choice test and conventional short essay test were given in order to know the differences between
using online multiple-choice test and short essay test. It was aimed to know students reading comprehension,
whether students know or only guessing the answer.
The Population of the study is students in SMA BPI 1 Bandung from ten, eleven, and twelve grade.
The total of students in SMA BPI 1 is 961 students but only 100 students that were asked to give their
response toward online multiple-choice test. There are only 50 students from ten grade, 25 students from
eleven grade and 25 students from twelve grade. In order to obtain the data through interview, to get more
specific response of students toward online multiple choice test, there only 6 students got interview section,
2 students from each grade. Moreover, there are only students from ten grade that compare the online
multiple-choice test and conventional short essay test.
Instrument of the study
The study uses questionnaire, some questions in interview section, and online multiple-choice test and
conventional short essay test. The reason of using questionnaires and interviews are often used together in
especially in investigating educational assessment (Harris & Brown, 2009). Kendall (2008) in (Harris &
Brown, 2009) mentions that questionnaires can provide evidence of patterns amongst large populations,
qualitative interview data often gather more in-depth insights on participant attitudes, thoughts, and actions.
The online multiple-choice test and short essay were given to some students in order to get the data to
answer second research question, is online multiple choices test measure students’ comprehension in reading
the material. Both of test were given to the same students in order to compare the result of test using online
147
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
multiple-choice and short essay. Then, the data will be analyzed qualitatively by comparing the score from
both of tests.

FINDING AND DISCUSSION


Students Responses toward Online Multiple Choice Test
Regarding to the data obtained from the questionnaire, 100 students gave their responses from yes or no
questions. The data obtained are shown below;

The data obtained from questionnaire shows that 53 students like online multiple choice test because
online multiple choice test is simpler for students to do the test. Based on the interview section, some
students also mentioned that they are not necessary to use pencil and make them faster in choosing the
correct answer. Otherwise, 47 students dislike online multiple choice test since there are some problems
commonly occurred in the process of the test such as the problems in connection, system used, and the
limitation of gadget that students have.
Regarding to students response toward the second question, 59 students agree that the use of online
multiple choice test make them easier in the process of test. They say that online test make the visualization
of the question clearer than using paper, especially for the questions that need pictures. Differently, 41
students tend to use conventional multiple choice test by using paper since some trouble found in the process
as mention in previous paragraph.
Considering to third question, 56 students ignore that online multiple choice test help them in
answering the question. It is because the options and the questions are given randomly to students. In this
case, students will be difficult to cheat and cooperate with the other students in choosing the correct answer.
That’s why, in the fourth question 62 students agree that the use of online multiple choice test will avoid the
possibility of students to cheat and work corporately.
Furthermore, for the fifth and sixth questions, 83 students ignore that they know the correct answer
when they answer the question in online multiple choice. This response is in line with students’ response
toward sixth question while 85 students said that they commonly choosing the options by guessing the
correct answer. In this case, it can be concluded that the use of online multiple choice test cannot test
students’ comprehension in understanding the material. Therefore the study also compares students’ score
through online multiple choice test and conventional short essay test.
There are some problems found by students in doing online multiple choice test as the responses of
fifth question. Students usually have problem in the connection of internet. Almost 37 students said that the
limited access of internet had by school make students difficult to do the test. Moreover, students should
redo the test from the beginning if the internet connection is lack or stop. The other problem is the gadget
used by students. It is because not all students in the school have gadget that can be used for the test. The
solution that school does is allowing students to use limited computer that available in the school. So,
students will have different schedule in doing the test.
In addition, some students also mention that the software and the system used in online test are the
problem for them especially when facing the error system. Students sometimes cannot get their score
directly and should take the test from beginning. Moreover, since the online test need electric power for the
gadget and computer used. The school should have alternative source for the electric power to avoid the
problem while the power stop. Besides, since the used of online test force students to use gadget, some
students also gave their responses that doing the test using gadget make their eyes easier to get tired. Hence,
students cannot stand for long time to focus to the monitor of their gadget.

148
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
The Use of Online Multiple Choice Test in Measuring Students’ Reading Comprehension
In order to answer the second research question, two kind of tests were conducted to know whether online
multiple choice test can measure students’ reading comprehension or not. The first test is online multiple
choice test and the second is conventional short essay test. The test were conducted in different time with the
same samples of students. The reading material given in the test is same with different form since in the first
test students were given the options as it multiple choice. Otherwise, for the second test, students should
answer the same questions by write the answer without having the options. The students’ score of both the
tests are shown below.

According to the table above, it can be seen that the results of both tests are different. The average
students’ score obtained in online multiple-choice is 2125 and the score from short essay test is 1375. While
students got the test in online multiple-choice, most of students can do the test well and get higher score than
short essay test although the reading material given in both of the test is same.
Regarding to the result above, there are some factors that influence the scores in both of the tests.
According to the data obtained from questionnaire and interviewing some students, there are some factors
mentioned by students of why students get easier in doing online multiple-choice test than doing short essay
test. The first factor is the possibility for students to guess the correct answer from the options when they
don’t know the answer. Some students also agree that online multiple choice test is easier for them to answer
since they just need to choose the option and perhaps they can choose correct answer although by guessing
the answer. Otherwise, in short essay test, it will be difficult for students to guess the answer when they
don’t know the answer since there are no options in essay test. Therefore, students should think critically to
answer the question and force them to understand the text.
The second factor is the possibility for students to cheat and work corporately when doing online
multiple-choice test although the question and the option give to students randomly. Differently, in short
essay test, students should answer the question by their own language. Hence it also forced students to
understand the text first before they could answer the questions. That’s why in conducting the second test,
students tended to skip the question when they couldn’t answer.

CONCLUSION
The conclusion of the study can be stated that more than half students as the sample like the use of online
multiple-choice test. It is because online multiple-choice test makes students easier to do the test since
students are not necessary to use pencil to bold the option. Moreover, online multiple-choice test minimize
the possibility of students to cheat and work corporately since the random system used in the test. Otherwise,
this test still has some weaknesses such as the limitation of internet connection, the available of gadget in
school and students have, and the possibility of students in guessing the answer. Hence, it will not improve
students reading comprehension and think critically since almost all students as the sample mentioned that
they commonly guess the correct answer in doing online multiple-choice test.
The statement above is supported by regarding the students score obtained from online multiple
choice test and the score from short essay test; while the score from online multiple choice test is higher than
the score from short essay test. Although they got the same material and same texts, they tended to be easier
to answer question in online multiple choice test because they can choose and guess the options served.
Differently, in short essay test, students couldn’t answer the question while they can answer in online
multiple-choice test. In conclusion it can be said that the use of online multiple-choice test cannot be used
effectively to measure students reading comprehension.

SUGGESTION
After conducting some conclusions, there are some suggestions for teachers and school in conducting online
multiple-choice test and for students in doing the test. The suggestion for teachers is that try to modify the
kind of the test that is commonly used for testing students in midterm test and final test semester. In the
other words, teachers should be creative in designing the test for students and don’t only depended on using
multiple-choice test. Regarding to using online system, teachers should prepare well before conducting the
test since any possibilities can be happened while the test is going on. Since online system test really helpful
149
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
for students in the process of the test, the school should also facilitate teachers as assessor or tester by having
online system score which is not only in multiple-choice test but also the other kind of the test. Try to use
online short essay test and the other test that can trigger up students to think creatively and critically without
only choosing the correct answer from the options that have been served. Moreover, there are some
suggestions for students. The first is try to focus to the test and read several times than only guess the answer
or cheat to the other students to get the correct answer.

REFERENCES
Trunaco, Michael. 2012. Ten trends in technology use in education in developing countries that you may not have
heard about. EduTech- A World Bank Blog on ICT use in Education. (Online) Available at:
http://blogs.worldbank.org/edutech/some-more-trends. November 2015.
Harris, R. Lois & Brown, Gavin T.L. 2009. Mixing interview and questionnaire methods: Practical problems in
aligning data. Published in Practical Assessment, Research & Evaluation; Volume 15, Number 1, January
2010 ISSN 1531-7714. Available at http://pareonline.net/pdf/v15n1.pdf.
Mansell, W., James, M. & the Assessment Reform Group. 2009. Assessment in schools. Fit for purpose? A
Commentary by the Teaching and Learning Research Programme. London: Economic and Social Research
Council, Teaching and Learning Research Programme.
Assessment and Reporting Unit Learning Policies Branch Office of Learning and Teaching . 2005. Current Response
on Assessment. Published on September 2005 by Assessment and Reporting Unit Learning Policies Branch
Office of Learning and Teaching.
Whelan, R. 2005. Instructional technology& theory: A look at past, present & future Trends. Retrieved June 14,
2009,from http://www.nyu.edu/its/pubs/connect/spring05/pdfs/whelan_it_history.pdf
Ouyang, John Ronghua & Stanley, Nile. 2014. Theories and Research in Educational Technology and Distance
Learning Instruction through Blackboard. Published at Universal Journal of Educational Research 2(2): 161-
172, 2014 http://www.hrpub.org DOI: 10.13189/ujer.2014.020208

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Lukman Arif Rachman
Institution : Indonesia University of Education
Education : S1 and S2 Indonesia University of Education
Research Interst : • Teaching Methodology
• ICT (Information Communication and Technology) in Language Development
• Second Language Acquisition

150
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
THE EFFECTIVENESS OF INTEGRATED ENGLISH COURSES TO DEVELOP ENGLISH
SKILLS

Claudius Bona
Politeknik Universitas Surabaya
claudiusid@yahoo.com

ABSTRACT
Integrated English Courses is being implemented in Business English study program of Politeknik Universitas
Surabaya, Surabaya since 2007 until now. There are three integrated courses which are Intensive English Course,
English Communication Skills, and English for Business. Although the content are varied; the courses have something
in common, they teach 4 (four) basics English skills; listening, speaking, reading, and writing, to the Business English
students. According to the Collins’ online dictionary integrated course is a course that covers several subjects or it
provides a fully integrated course leading to a solid grounding in the four component subjects. The purpose of this
preliminary study is to find the effectiveness of integrated English courses to develop 4 (four) English skills of the
students of Business English study program. This study is determined by the following goals: to reveal whether the
students learned the four English skills from these integrated courses, to find whether the integrated English courses
effectively develop students’ English skills, and to find the relationship of the students who said that the integrated
English courses can develop their English skills, with their English proficiency achievement. The target population of
this study is the semester 4 and 6 of Business English students. Questionnaire is distributed to the students to reveal the
effectiveness of the integrated English courses with the students’ English skills development. The finding of this study is
proving that integrated English courses could effectively develop students’ English skills. The study could be beneficial
for students, study program and Politeknik Universitas Surabaya. Since it could be use by the study program as a tool
for the next curriculum review. Instead of depend only on the regular courses, students should also be motivated to
enhance their learning activity with the self-access learning activity through videos, songs, and books in order to
increase their reading and listening skills. Students can also develop their speaking skill through an extracurricular
activity such as English Communication Club (ECC). The club can facilitate the students to communicate fluently in
English. Since this study is only a preliminary research, a further study should be implemented in order to compare
which one is better for students; integrated or non integrated English courses to develop students’ English skills.
Keywords: Integrated English Courses, effectiveness, four English skills, learning materials, Business English study program

INTRODUCTION
The English Language Teaching (ELT) and Learning can be conducted in several ways. It can be conducted
in the regular classroom activity, and outside the classroom activity. But it also can be conducted online
through online activity. The major thing is every ELT activity needs a good curriculum and course design in
order to run effectively or get an expected result. One of the courses that can be developed is integrated
course. Integrated course according to Collins’ online dictionary is a course that covers several subjects or it
provides a fully integrated course leading to a solid grounding in the four component subjects. Integrated
course design according to Dee Fink can be identified with four model’s component which are identify
situational factor, learning goals, feedback and assessment, teaching/ learning activities. In the ELT context,
the integrated course here can be in the form of integrated English course. Fisk’s model’s component could
be the basis in creating integrated English course. Therefore the learning goals of integrated English course
should be to develop four English skills; listening, speaking, reading, writing, of the students. Since 2007,
Business English study program of Politeknik Ubaya Surabaya already implemented integrated English
course into 3 (three) major courses which are Intensive English Course, English Communication Skills,
English for Business. The development of the courses is intended to pave the path for the new students that
come from different high schools in Indonesia. Therefore courses are given to the earlier semester to give
basics English skills for the students. The writer is interesting to conduct a preliminary study to reveal
whether the integrated English courses, especially implemented in Business English study program effective
or not to develop the students’ English skills. This study is determined by the following goals: to reveal
whether the students learned the four English skills from these integrated courses, to find whether the
integrated English courses effectively develop students’ English skills, and to find the relationship of the
students who said that the integrated English courses could develop their English skills with their English
proficiency achievement. Since this is only a preliminary study, a further study should be implemented in
order to compare which one is better for students; integrated or non integrated English courses to develop
students’ English skills.

151
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
METHOD
This study emphasizes on the semester 4 and 6 students of Business English study program Politeknik
Ubaya. They become the target respondent since they are already passed all of the Integrated English
courses. The three courses are Intensive English Course, English Communication Skills, and English for
Business. Since the courses and the respondents are very specific, therefore the result of this study cannot be
generalized with others integrated English courses and respondents. Questionnaires are distributed to
semester 4 and semester 6 students then being used as a tool to reveal the effectiveness of the integrated
English courses to the students. The questionnaire are divided into two sections; section 1 about English
skills learned through Business English’s integrated English courses, section 2 about the effectiveness of
integrated English courses to develop English skills. There are 25 multiple choice statements’ questions and
2 open ended questions asking about the respondents’ statements on the effectiveness of the integrated
English courses to develop English skills. The result of the questionnaire will be compared with the students
English proficiency test, which is TOEFL equivalent test. The findings of the questions whether the
integrated English courses are effective or not in order to develop students’ English skills will be revealed by
the writer by comparing the result of the questionnaire with the result of the English proficiency test.

FINDINGS
The findings will be divided with three factors, the first factors is revealing whether the students learned the
four English skills; listening, speaking, reading, writing, from the three integrated English courses, which
are Intensive English Course (IEC), English Communication Skills (ECS), and English for Business (EFB)
or not. The second factor is revealing whether the integrated English courses effectively develop students’
English skills. The third as the final factor is finding the relationship of the students who said that the
integrated English courses could develop their English skills with their English proficiency achievement.
English Skills Learned through Integrated English Courses
The questionnaire is distributed to semester 4 and 6 students of Business English study program. 23 students
are participated in filling the questionnaire for this study. The writer categorized the questions into two
sections. Section one asks whether the students learned the English skills through integrated English courses
or not. In the section two, the writer wants to reveal whether the Integrated English course effective to
develop students’ English skills or not. Three integrated English courses are taught in Business English
study program which are Intensive English Course (IEC), English Communication Skills (ECS), English for
Business (EFB). They become the topic of discussion in section one. The students have to state whether they
learned the four skills which are listening, speaking, reading, and writing through those three integrated
English courses. The questionnaire reveals that through IEC 78% of the students always or almost always
learned listening skill, while only 21.7% of the students think that sometimes they learned the skill. About
the speaking skill, 73.9% of the students always or almost always learned that from IEC. While only 26.1%
of the students think that sometimes they learned the subject. 73.9% of the students state that they always or
almost always learned reading skill from IEC and only 26.1% think that sometimes they learned the subject.
69.6% of the students think that they always or almost always learned writing skill from IEC. While only
30.4% think sometimes they learned writing through IEC.
Through the questionnaire, the writer wants to reveal students’ statement about the English skills
they learned through English Communication Skills (ECS) course. Majority of the students, 91.3% of them
stated that they always or almost always learned listening skill through ECS. While only small number of
thee students which are 8.7% stated that sometimes they learned listening skill from ECS. 78.2% of the
students state that learned speaking skill through ECS, while 21.7% stated that they sometimes learned the
skill. Regarding the reading skill, 78.3% of the students mention that they always or almost always learned
it from ECS, while only 21.7% of them think sometimes they learned it from ECS. Many students, 82% of
them think that always or almost always learned writing skill from ECS and only 17.4% of them think
sometimes they learned writing from ECS.
The questionnaire also reveals about the students’ statement whether they learned the four English
skills through English for Business (EFB) course. The result is varied among the students considering their
statement about listening skill they have learned through EFB. 56.5% of the students think that always or
almost always learned listening from EFB, but 43.45% of the students think that they sometimes and even
never learned listening skill from EFB. Regarding the speaking skill, 65.2% of the students stated that they
always or almost always learned the skill from EFB and 34.8% of them stated that sometimes they learned it
from EFB. The majority of the students which are 91.3% of the students state that they always or almost
always learned reading skill from EFB, but only 8.7% of them think they sometimes learned the skill from
152
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
EFB. Most of the students, 87% of them stated that they learned writing skill from EFB and only 13% of the
students who are stated they sometimes learned the writing skill.
The students fill the open ended question in section one with variety of answers. Most of the
students stated that they learned all of the four English skills from IEC, ECS, and EFB. Some students think
that their listening and speaking skill are improved through the integrated English courses, especially from
ECS and EFB. The other students think that they need additional speaking course to improve their skill.
Students also needed more practical skill and updated learning materials as well as more grammar plus
vocabulary courses.
The Effectiveness of Integrated English Courses to Develop Students’ English Skills
The writer tries to reveal about the effectiveness of integrated English courses to develop students’ English
skills through section two of the questionnaire. The three integrated courses are Intensive English Course
(IEC), English Communication Skills (ECS), English for Business (EFB). All of the students or 100% of
them strongly agree and agree that they can develop their listening skill through IEC. 91.3% of the students
strongly agree and agree that their speaking skill is developed through IEC and only 8.7% of them who do
not agree with it. 100% of the students strongly agree and agree that their reading skill is developed through
IEC. Regarding with writing skill, 91.3% of the student are strongly agree and agree that their writing skill is
improved through IEC and only 8.7% disagree that their writing skill is developed through IEC.
Most of the students or 100% of them strongly agree and agree that their listening skill is developed
through ECS. While 95.7% of the students strongly agree and agree that their speaking skill is improved
through ECS, but 4.35% of the students strongly disagree that their speaking skill is improved through this
integrated course. 100% of them of the students also strongly agree and agree that their reading skill is
developed through ECS. While 91.3% of the students strongly agree and agree that their writing skill is
developed through ECS and only 8.7% of them disagree that their writing skill is developed through ECS.
Regarding the English for Business (EFB) course, 91.3% of students strongly agree and agree that
their listening skill is developed through EFB, but 8.7% of the students disagree that their listening skill is
developed. 95.7% of the students strongly agree and agree that their speaking skill is developed through
EFB, while 4.35% of the students disagree that their speaking skill is developed. The same result is also
happens about the reading skill, 95.7% of the students strongly agree and agree that their reading skill is
developed through EFB, while 4.35% of the students disagree that their reading skill is developed. 91.3% of
the students strongly agree and agree that their writing skill is developed through EFB but 8.7% of the
students disagree that their writing skill is developed.
From the three integrated English course, 65.2% of the students choose ECS as the course that can
effectively develop their four English skills. While 26.1% of them choose IEC and only 8.7% of the students
choose EFB as the course that can effectively develop their four English skills. It seems ECS is the most
effective integrated English course that makes majority of the students choose it.
The open ended question in section two is filled with variety of answers. Most of the students stated
that they develop all of the four English skills from IEC, ECS, and EFB. Most students think that ECS is the
integrated English course that can develop their English skills. Several students also think that they are
developed in speaking skill, although some students need some extra course as well as out of class activity to
improve their speaking. Some students think that the courses have to relate the learning materials with
update business world’s information through online learning.
The Relationship of the Integrated English Courses with Students’ English Proficiency
The writer tries to find the relationship of the students’ statement in the questionnaire with their English
proficiency test results in this case is TOEFL equivalent test. This attempt is in order to find the correlation
between the students statement about the development of their English skills through the integrated English
courses with their English proficiency. The study program considered 450 is the passing grade and the
students’ English proficiency test result range from 412 to 578. It turns out 13 out of 19 of the students
strongly agree and agree that they can develop their English skills from integrated English courses score
above 450. Almost all of the students, 21 of 23 students strongly agree and agree that their listening skills
are developed through IEC, ECS, EFB. 2 students who disagree that their listening skill is developed
through the integrated English course get 480 and 520 on their English proficiency test. 20 of 23 students
strongly agree and agree that their speaking skills are developed through IEC, ECS, EFB and 3 students who
disagree or strongly disagree get 437, 480, 492 on their English proficiency test. From 23 students only 1
student who disagree that his reading skill is developed through the integrated English course and gets 437
on his English proficiency test. 21 out of 23 students strongly agree and agree that their writing skills are
developed through the integrated English course and those who disagree get 437, 480, 520. By correlating

153
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
the students’ English proficiency test result with their statement, it is reveals that most of students who
strongly agree and agree about the effectiveness of integrated English courses to develop English skills get
above 450 and only one out of four students who disagree gets 437.

DISCUSSION OF THE FINDINGS


The findings reveal that students always or almost always learned listening from the three integrated English
courses, which are IEC, ECS, and EFB. 91.3% of the students think that ECS is the course that they learned
listening skill more. 100% of the students also strongly agree and agree that they can develop their listening
skill effectively through IEC, ECS, and EFB. Regarding the speaking skill, above 65% of the students
learned the skill through three integrated English courses. ECS is also the course that students learned
speaking skill more with 78.2% of the students stated that. Most of the students, which are above 91% of
them strongly agree and agree that they can develop their speaking skill effectively through IEC, ECS, and
EFB. More than 73% of the students always or almost always learned reading from the three integrated
English courses, while 91.3% of the students choose EFB as the course that they learned reading more.
Almost 100% of the students strongly agree and agree that they can develop their reading skill effectively
through IEC, ECS, and EFB. More than 70% students learned writing skill from the three integrated courses.
91.3% of the students strongly agree and agree that they can develop their writing skill effectively through
IEC, ECS, and EFB. ECS turns out to be the most effective integrated English course that makes majority of
the students choose it. It is revealed from the open ended questions that most of the students learned all of
the four English skills from IEC, ECS, and EFB. Other students also need additional speaking course to
improve their skill as well as more practical skill and updated online learning materials as well as more
grammar plus vocabulary courses. The findings also reveal 14 out of 23 students get above 450 and it seems
that most of the students who strongly agree and agree that the integrated English course could develop their
English skills get above 450 English proficiency test.

CONCLUSIONS AND SUGGESTIONS


The finding of this study is proving that the integrated English courses; especially in Business English study
program of Politeknik Ubaya, effectively develop students’ English skills. This study founds that English
Communication Skills is the most effective integrated English course. The writer also revealed that most of
the students who strongly agree or agree that the integrated English course effectively develop their English
skills have good English proficiency test results. It is also revealed that students need additional course or
study program’s extracurricular activity such as English Communication Club (ECC) to enhance their
English skills. The club can facilitate the students to communicate fluently in English. The other activity
might be self-access learning activity through videos, songs, and books. This study will be beneficial for
students, study program and Politeknik Ubaya and it could be use by the study program as a tool for the next
curriculum review. Since this study is only a preliminary research, a further study should be implemented in
order to find the effectiveness of the lecturer as a facilitator of the courses, the effectiveness of the learning
materials and to compare which one is better for students; integrated or non integrated English courses to
develop students’ English skills,

REFERENCES
Ahmad, S., and Congman Rao. 2013. Applying communicative approach in teaching English as a foreign language:
A case study of Pakistan. Porta Lingarium 20.
Aljiffri, Ibtesam H. 2010. Effects of the integrated approach to teaching English and social studies on achievement in a
Saudi Private Elementary School. Journal of Psychological and Social Science Vol. 11 no 4.
Ann, Macharia. 2011. Teachers’ strategies for managing challenges of integrated English in Secondary Schools in
Kiambu East Region, Kiambu County, Kenya. A Research Project Report.
Chang, Ming. 2011. Factors affecting the implementation of communicative language teaching in Taiwanese College
English Classes. English Language Teaching Vol. 4 no. 2.
Duibhir, Pádraig Ó and Jim Cummins. 2012. Towards an integrated language curriculum in early childhood and
primary education (3-12 years) Commissioned research report.
Fink, L. Dee. 2005. Integrated course design. Idea Paper #42. The Idea Center. Manhattan, Kansas
Johnson, Steve, Sarah Veitch, and Silvia Dewiyanti. 2015. A framework to embed communication skills across the
curriculum: A design-based research approach. Journal of University Teaching & Learning Practice Vol. 12
no 4.
Naomi, Mbithe Caroline. 2014. Influence of the new integrated English curriculum on students’ performance in
English at the Kenya certificate of secondary education in Masinga Division, Kenya. A Research Project
Report.
154
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Ömer, Koçer and Dinçer Ali. 2011. The effect of culture integrated language courses on foreign language education.
US-China Education Review Vol. 8 no. 3.
Varghese, Rosemary. 2012. An integrated teaching model to develop English proficiency of ESL Management Students.
The Southeast Asian Journal of English Language Studies Vol. 18 no 2.

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Claudius Bona
Institution : Politeknik Universitas Surabaya
Education : S2 Manajemen Universitas Surabaya
S1 Sastra Inggris Universitas Kristen Petra
Research Interst : • ICT (Information Communication and Technology) in Language Development
• Curriculum and Media Design for English Learning

155
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
CHARACTERISING THE READING DEVELOPMENT OF INDONESIAN CHILDREN

Harwintha Yuhria Anjarningsih


University of Indonesia
wintha_salyo@yahoo.com

ABSTRACT
To characterise the reading development of Indonesian children, a tool is currently developed. The tool builds on two
important findings from previous literature: that the depth of a language’s orthography influences reading
development (e.g., Seymore, Aro, & Erskine, 2003); and that reading development proceeds in phases (e.g., Ehri,
2005). In languages with deep orthography such as English, reading is made challenging by irregular words, such as
‘pint,’ which cannot be decoded successfully just by relying on phonological strategy. It does not work when children
try to assemble the words based on the Grapheme-Phoneme Conversion that can be found in regular words, such as
‘mint.’ Furthermore, in English, each grapheme or series of graphemes can be read differently in different words. For
example, the graphemes <c> and <h> can be read as /ʃ/ in the word ‘moustache,’ /t ʃ/ in the word ‘chair,’ and /k/ in
the word ‘choir.’ The work of Seymour, Aro, & Erskine (2003) shows that children reading English are not reading
fluently about 50% of familiar words by the end of the first school year. On the other hand, in languages with
transparent orthographies, such as Italian, children have become accurate and fluent in reading simple, familiar words
by the end of the first school year. In terms of orthography, Indonesian is transparent, much like Italian. It is
interesting to ask how children’s reading proceeds in such a transparent orthography which has not been extensively
investigated. In this research project, a tool that makes use of several variables of the written Indonesian words is
developed and tested to uncover its suitability and reliability for nationwide application. One hundred disyllabic,
frequent words (10,000 most frequent words based on the IndonesianWac corpus) are read by the participants and
divided into four groups: (1) simple words; (2) words with diphthongs ; (3) words with digraphs; and (4) words with
consonant clusters. Two groups of normally developing children have been tested: 16 pre-school children (mean age=5
years; 7 months); 17 grade 1 children (mean age=7 years). Answers are recorded digitally and written on answer
sheets. Overall, by keeping number of syllables constant, it is possible to assess how syllable structure(s) affects the
children’s reading development and how chronological age affects reading development. Our preliminary findings
are: (1) at the pre-school stage, (a) all four groups of words are difficult, (b) reading mistakes predominantly show
visual errors which still show 50% of the graphemes in the target words, and (c) digraphs and consonant clusters
presented the most difficult challege as evidenced by the percentages of mistakes made; (2) at the grade one level, (a)
simple words and words with diphthongs are less difficult to read, (b) mistakes are also predominantly visual ,
although to a much smaller extent than that of the pre-schoolers, and (c) digraphs and consonant clusters still present
the most difficult challenge at this level.
Keywords: Reading Acquisition, Reading Development, Reading Disabilities, Dyslexia

INTRODUCTION
The orthography of Indonesian (Bahasa Indonesia) is considered transparent or shallow, that is there is a
considerably straightforward, regular one-to-one mapping between graphemes and phonemes and vice versa.
For example, the grapheme <a> is always pronounced as the phoneme /a/. Indeed, in general, novice
beginning readers in Indonesian are taught to practice assembling syllables by linking the graphemes in the
words that they are reading to the phonemes that they map to. To date, for a language that is spoken by about
2 million people, there have not been a lot of research articles reporting about reading in Indonesian (Hastuti,
1998; Anjarningsih, 2006) and there are scarcer number of articles discussing the development of reading by
beginning readers as assessed by a reading test. It is this gap that the present investigation aims to fill.
In other transparent orthographies, such as Italian, it is hypothesized that children can be skilled
readers by mastering a single foundation, which is the alphabetic foundation (Seymore, Aro, & Erskine,
2003). That is, they just need to be able to map what phonemes the graphemes correspond to because there
are no exception words whose pronounciation cannot be built from the mapping of graphemes to phonemes.
Ehri (2005) hypothesized that, in both opaque and transparent orthographies, children go through the
following phases: pre-alphabetic, partial alphabetic, full alphabetic, and consolidated alphabetic, before
becoming skilled readers who can sight read (the printed words activate meaning and pronunciation directly
and there is no need to activate the sounds of each grapheme every time it is encountered). Of interest to the
present investigation are two phases in the hypothesized development course: partial alphabetic and full
alphabetic phases. According to Ehri (2005), partial alphabetic phase is when children have known only
some of the graphemes in their orthography and the phonemes they map to. In this phase, they can still be
confused by words sharing some letters, most notably beginning and end letters, such as confusing “siku”
and “susu.” Next, children are in the full alphabetic phase when they know the grapheme-phoneme
correspondences that occur frequently in their orthography and they can segment all the grapheme-phoneme
156
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
correspondences in the words that they read, thus arriving at correct pronunciations and effectively building
sight vocabulary.
However, if we are interested in reading development, it is interesting to investigate how the phases
of reading development interact with the various syllable structures that Indonesian has. Results of the
current research shed light how children from two different age groups read highly frequent disyllabic words
whose syllable structure complexity has been manipulated; thus adding more refined understanding of the
development in reading a transparent orthography which has been scarcely investigated in the literature.

METHOD
Participants
A total of thirty-three children participated in the study. They were divided into two groups based on age and
level of schooling: the pre-school group (n=16; mean age: 5 years; 2 months), and the grade one group
(n=17; mean age: 7 years). The pre-school children were recruited from an early education center in Citayam,
West Java whose programs aim to encourage children to love reading, while the grade one children were
recruited from neighborhoods surrounding the Universitas Indonesia campus in Depok. To qualify for the
study, the children had to be typically developing and had no language delays or impairments.
Design and Material
The experimental conditions were created from highly frequent words based on the IndonesianWac corpus
(the 10,000 most frequent words). From this pool of words, one hundred disyllabic words were chosen,
twenty-five of which were simple words (i.e., word with a CV-CV structure that did not contain any
digraphs, diphthongs, and consonant clusters, such as mata), twenty-five containing digraphs (e.g., singa),
twenty-five containing diphthongs (e.g., danau), and the remaining twenty-five containing consonant
clusters (e.g., produk). Thus, the test contained four parts of highly frequent words with identical number of
syllables, but the items’ phonotactics were controlled.
Procedure
The children in both groups were tested individually. For the pre-school children, testing took place at the
early education center, while for the grade one children, they were tested at home. The test was compiled in
a B5-sized book B5 and each page contained only one word which was put in the middle of the page. Each
child was shown the words one by one. Spoken answers were recorded digitally on a digital recorder and
manually on an answer sheet. There was no time constraint to read each word or to finish the entire test.
Results
The children’s responses were first categorized as correct or wrong, resulting in quantitative results.
Table 1. Percentages of Errors Made by the Two Experimental Groups on the Four Subtests
No. Sub-tests Pre-school group (n=16) Grade one group (n=17)
Correct (%) Wrong (%) Correct (%) Wrong (%)
1. Simple words (n=25) 83.5 16.5 92 8
2. Words containing 49.25 50.75 88.5 11.5
diphthongs (n=25)
3. Words containing digraphs 48.25 51.75 75.3 24.7
(n=25)
4. Words containing 20.25 79.75 50.8 49.2
consonant clusters (n=25)
It can be observed that across the board, children were the most successful when reading the simple
words aloud and followed by, in descending order, words containing diphthongs, words containing digraphs, and
words containing consonant clusters. Also shown by the data are the results that overall, the grade one group
successfully read proportionately more words accurately than the pre-school group in all the four sub-tests.
Errors were then analyzed qualitatively based on the following criteria:
1. Visual errors: errors showing change, substitution, deletion, and transposition of sounds in the words.
The resulting words still share 50% of its graphemes (letters) with the tested words.
2. Regularisation errors: errors which results in the division of digraphs and diphthongs into one or two
simple graphemes or sounds.
3. Substitution errors: errors resulting in totally different words or pseudo- or non-words.

157
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016

Comparison of Percentages of Visual, Regularisation, and Substitution Errors In the Two Experimental
Groups
45

40

35

Percentage of errors
30

25

20

15

10

0
Simple words Words with Words with Words with
digraphs diphthongs consonant
clusters

Visual, regularisation and substitution errors in the subtests


Pre-school group Grade one group

Figure 1. Qualitative Breakdowns of the Reading Errors,


Depicted in Percentages of Visual, Regularization, and Substitution Errors
In general, it can be noted that the pre-schoolers are familiar with graphemes (letters) and the
corresponding phonemes (sounds). The percentage of substitution errors (e.g., saying the word “juga” as
[do.ʔa]), which suggest that they were guessing, overall was below 10% of their answers. However, the
manipulated syllable structures seemed to show the development of reading in this group. When there are
more than one letter in a syllable, the resulting erroneous words were proportionately more in the subtests
other than the simple word subtest. The words containing diphthongs were mostly regularized, the digraphs
visually distorted, and the consonant clusters both visually distorted and regularized.
As for the first graders, they are more proficient in mapping the graphemes into their corresponding
phonemes. Overall, the percentages of errors in all subtests were around 10%, except in reading digraphs
and consonant clusters, which were around 25% and 35% respectively. This finding about digraphs and
consonant clusters which were difficult for both groups suggests that digraphs and consonant clusters present
the most difficult challenge for this sample of beginning readers.
It is interesting to see the patterns of errors in the diphthong subtest, which was not difficult for the
first graders but was regularized by the pre-schoolers. The first graders, in turn, regularized the digraphs,
while the pre-schoolers made predominantly visual errors. Consonant clusters seemed to be very difficult for
the pre-schoolers since they made almost 90% visual and regularization errors combined, while the first
graders were able to segment at least one of the consonants in the clusters resulting in predominantly
regularization errors. Thus, the data suggest that visual errors are made at an earlier phase of reading
development, followed by regularization errors, which decrease in number as children get more proficient in
reading, and that consonant clusters present the most difficult challenge for beginning readers of this age,
followed in decreasing level of difficulty by digraphs, diphthongs, and simple words.

DISCUSSION
The current research has the aim to investigate the reading development of beginning readers of Indonesian
by utilizing a reading test. Two groups of beginning readers participated in the study: a pre-school group and
a grade one group. They were assigned to read 100 highly frequent disyllabic words which were divided into
four subtests, differering in syllable complexity (simple words, words containing digraphs, words containing
diphthongs, and words containing consonant clusters). Results are interpreted based on the hypothesized
reading phases by Ehri (2005).
Overall, the children showed that they were in partial command of the alphabetic foundation
because visual, regularization, and substitution errors were still committed. In addition, the development
seemed to be influenced by syllable complexity. At the same time point, words with simple syllable structure
are read more accurately than other words that contain digraphs, diphthongs, and consonant clusters. For the
first graders, in the middle of the school year, they could quite successfully read the words in the first three
subtests. Substitution errors which included producing words other than the target words were very
infrequent.
Consonant clusters appeared to be special because although the children knew the graphemes or
letters, they could not pronounce the clusters accurately yet. Even though the first graders managed to
outperform the pre-schoolers in this subtest, they could only pronounce half of the 25 words correctly.
In conclusion, the current research succeeded to discover that in the development of reading, in
terms of accuracy when children have a partial understanding of the mapping between graphemes and
phonemes, Indonesian beginning readers move forward from reading words with simple CV-CV syllable
158
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
structure, diphthongs, digraphs, and consonant clusters. In terms of what reading errors can inform us about
reading development, the earliest errors that show that the childrena are processing the words are
substitution errors, followed by visual errors after more reading practice, and then followed by regularization
errors.
The present results need to be supplemented by findings from research investigating other samples
from other areas in Indonesia and from other age groups or age spans in order to form a complete picture of
the development of reading in Indonesian. With the normal course of development already at hand,
characterizing reading delays or impairments such as dyslexia will be made more accurate and interventions
can be planned accordingly.

REFERENCES
Anjarningsih, H.Y. 2006. “Developmental Dyslexia in Bahasa Indonesia: Developing a Screening Test,” Tesis S2
Program Erasmus Mundus European Masters in Clinical Language University of Potsdam.
Ehri, L.C. 2005. Learning to Read Words: Theory, Findings, and Issues. Scientific Studies Of Reading, 9, 167–188
Hastuti, Yanuarita Puji. 1998. “Kesulitan Membaca pada Anak: Studi Kasus Kesalahan Membaca pada Lima Siswa
Sekolah Dasar,” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sastra Universitas Indonesia.
Seymour, Aro, & Erskine. 2003. Foundation literacy acquisition in European orthographies. British Journal of
Psychology, 94, 143–174.

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Harwintha Yuhria Anjarningsih
Institution : Universitas Indonesia
Education : S3 Afasiologi/Neurolinguistik, University of Groningen, Belanda
S2 European Masters in Clinical Linguistics, University of Potsdam, Jerman
S1 Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
Research Interst : • Gangguan berbahasa pada anak-anak dan orang dewasa
• Pemrosesan bahasa pada penutur bilingual
• Pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan khusus

159
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
STRATEGI BELAJAR DALAM PEMBELAJARAN BAHASA KEDUA ANAK USIA
PRASEKOLAH

Luluk Isani Kulup Rahayu Pujiastuti


Universitas PGRI Adi Buana
kulupluluk@gmail.com rahayu_pujiastuti30@yahoo.co.id

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi belajar dalam pembelajaran bahasa kedua anak usia
prasekolah. Pertanyaan penelitiannya adalah bagaimana wujud strategi kognitif dalam pembelajaran bahasa kedua
pada anak usia prasekolah? Pertanyaan kedua adalah bagaimana wujud strategi sosial dalam pembelajaran bahasa
kedua pada anak usia prasekolah? Pendekatan yang digunakan yaitu kualitatif. Pendekatan kualitatif dianggap
relevan karena (1) menonjolkan peran latar alami; (2) menggunakan data yang bersifat deskriptif; (3) mementingkan
makna; (4) menggunakan cara induktif karena tidak bermaksud menguji hipotesis (Bogdan dan Biklen, 1992:27-29).
Data penelitian ini berupa ujaran yang dihasilkan anak usia prasekolah ketika mempelajari bahasa kedua yang
berupa bahasa Indonesia. Ujaran tersebut berupa kata, frase, klausa, atau kalimat yang dapat memberi gambaran
strategi belajar bahasa yang berupa strategi kognitif maupun strategi sosial. Sumber data dari penelitian ini adalah
anak usia prasekolah yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Jadi, sebelumnya, anak
menggunakan bahasa pertama yang berupa bahasa Jawa. Jumlah anak yang menjadi sumber data nantinya dipilih
dengan jumlah gasal berdasarkan konsep Ingram (1992:21) yang memakai tiga orang untuk angka minimum absolut
untuk menentukan ciri umum pembelajaran. Bila hanya mengambil satu subjek kurang dapat memperoleh gambaran,
anak tersebut khas atau tidak, bila dua subjek tidak dapat diketahui dari kedua subjek tersebut yang khas, tetapi
dengan tiga subjek, sekurang-kurangnya akan mempunyai mayoritas yang dapat digunakan untuk membuat keputusan.
Dalam penelitian ini. Beberapa teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu teknik (1) simak, baik libat cakap
maupun bebas libat cakap; (2) lesap/pancing; (3) catat; (4) rekam (Mahsun, 2013:92-93). Instrumen yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu berbagai media yang berbentuk verbal, audio, dan visual, seperti pertanyaan langsung, lagu,
gambar-gambar, permainan, dan sebagainya. Instrumen tersebut digunakan pada saat pemancingan sehingga
terkumpul data. Adapun prosedur yang digunakan untuk mengumpulkan data yaitu (1) menentukan pola yang dipakai
untuk mengumpulkan data; (2) melakukan pengamatan; (3) membuat format data untuk memudahkan satuan data dan
hubungan antarsatuan data. Berdasarkan analisis data ditemukan bentuk-bentuk ujaran yang direalisasikan dalam
strategi belajar. Di antaranya, 1) bentuk pengulangan, 2) mengaitkan unformasi dengan informasi lain, 3) meminta
klarifikasi, koreksi 4) bekerja sama, 5) empati.
Kata kunci: Strategi Belajar, Pembelajaran Bahasa Kedua, Anak Usia Prasekolah

PENDAHULUAN
Setelah memperoleh bahasa pertama, anak akan mempelajari bahasa kedua. Agar pembelajaran bahasa
kedua tersebut berhasil, anak harus menerapkan strategi tertentu. Melalui strategi tersebut diharapkan anak
dapat memperoleh pengetahuan tentang bahasa target dan dapat menggunakannya dalam komunikasi.
Salah satu strategi yang digunakan dalam pembelajaran bahasa kedua yaitu strategi belajar bahasa.
Menurut Clark and Clark (1993:112), Oxford (1990:97), dan Ellis (2008:96), dari berbagai strategi belajar
bahasa, yang banyak digunakan anak usia prasekolah ke bawah yaitu strategi kognitif dan strategi sosial.
Strategi kognitif adalah aktivitas mental yang bisa digunakan individu memahami dan memproduksi bahasa.
Strategi sosial terkait dengan cara pembelajar berinteraksi dengan pembelajar lain atau penutur lain.
Ketika belajar bahasa kedua, aktivitas mental anak akan selalu digunakan agar memiliki
pengetahuan yang tepat untuk bahasa target. Selain itu, ketika belajar bahasa kedua, anak perlu membina
kerjasama dengan orang lain dalam proses belajar. Caranya, dengan mengujicobakan hal yang telah
dipelajari pada lingkungan sosialnya. Melalui kedua strategi tersebut, anak dapat memperoleh pengetahuan
tentang bahasa kedua dan mencoba untuk menerapkan dalam lingkungan sosialnya.
Strategi kognitif dan strategi sosial penting untuk diteliti. Berdasarkan kegiatan prapenelitian yang
dilakukan pada percakapan dua anak usia prasekolah ditemukan penggunaan strategi kognitif dan strategi
sosial yang dilakukan dalam proses belajar bahasa kedua. Kedua anak menggunakan strategi kognitif berupa
peniruan, pengulangan, dan pentransferan informasi. Setelah melakukan peniruan dan pengulangan, kedua
kedua anak tersebut merasa perlu menegaskan pemahamannya. Oleh karena itu, kedua anak tersebut merasa
perlu untuk mengujicoba pemahamannya agar memperoleh penguatan (reinforcement).
Berhubungan dengan strategi sosial, kedua anak menggunakan strategi bertanya untuk
memverifikasi dan bekerja sama dengan teman ini sebagai tipe strategi sosial, tetapi juga memberi
pernyataan atau mentransfer informasi. Strategi sosial tersebut pada dasarnya tidak hanya untuk memenuhi

160
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
kebutuhan teman akan adanya informasi, tetapi juga digunakan kedua subjek untuk memanfaatkan
lingkungan sosialnya guna menegaskan pemahamannya pada saat belajar.
Penggunaan kedua strategi belajar yaitu strategi kognitif dan strategi sosial yang dilakukan kedua
anak bukan tanpa makna. Menurut Slobin (1991:153), perkembangan kognitif yang terus-menerus umumnya
akan diikuti oleh perkembangan linguistik atau dicerminkan dalam bahasa anak. Bloom (dalam Fernald dan
Marchman, 2006:1029; Brown, 2007:33-34) menambahkan bahwa dalam pandangan kognitif,
perkembangan bahasa anak mengacu kepada interaksi persepsi anak dengan perkembangan kognitifnya yang
dipengaruhi oleh lingkungan anak, baik secara linguistik maupun nonlinguistiknya. Jadi, kapasitas kognitif
menentukan struktur dan proses linguistik yang mendasari pemahaman dan produksi ujaran. Dengan adanya
proses kognitif yang terjadi di otak, setiap anak dapat mengatur dan mengerti peristiwa-peristiwa yang ada
dalam lingkungannya. Jadi, penggunaan kedua strategi belajar bahasa tersebut penting karena dengan
mengetahui perkembangan bahasa anak dapat diketahui pula perkembangan kognitif anak.

KAJIAN TEORI
Strategi Belajar Pembelajaran Bahasa Kedua
Setelah memperoleh bahasa pertama, anak terkondisi untuk mempelajari bahasa kedua. Pembelajaran
merujuk pada proses sadar untuk mengumpulkan pengetahuan tentang kosa kata dan tata bahasa dari suatu
bahasa. Pembelajaran biasanya diperoleh secara formal. Hal tersebut sesuai pendapat Krashen (dalam
Brown, 2007:294) yang menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses yang terjadi secara sadar pada
peserta didik untuk memahami bentuk dan memahami aturan atau sistem suatu bahasa. Selain itu, pendapat
Darjowidjoyo (2012:225) bahwa pembelajaran adalah penguasaan bahasa yang dilakukan dengan tatanan
formal, belajar di kelas, dan diajar seorang guru.
Untuk mempelajari bahasa kedua perlu memiliki strategi tertentu. Strategi adalah serangkaian
prosedur atau proses yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar untuk memudahkan pembelajar bahasa
untuk mencapai tujuan pembelajaran, baik untuk memperoleh pengetahuan maupun menggunakan
pengetahuan yang dimiliki secara tepat. Hal tersebut sesuai pendapat Chamot (2005:112) bahwa strategi
adalah prosedur yang digunakan untuk memudahkan pembelajaran; strategi bersifat sadar dan digunakan
untuk mencapai tujuan.
Pringgowidagdo (2002:88) menyatakan bahwa strategi berkaitan dengan empat hal. Pertama,
berhubungan dengan perilaku yang digunakan pembelajar bahasa dalam mempelajari bahasa. Kedua,
mengacu pada pengetahuan pembelajar tentang strategi yang digunakan. Ketiga, mengacu pada pengetahuan
pembelajar tentang aspek-aspek lain dari suatu bahasa dan strategi yang digunakan. Keempat, mengacu pada
pengayaan diri pembelajar bahasa atau pemertajaman penguasaan bahasa target.
Setiap anak memiliki strategi yang berbeda-beda dalam menyampaikan keinginan-keinginan kepada
orang yang dikehendaki. Menurut Tarone (dalam Ellis, 1985:13), strategi pembelajaran bahasa terdiri atas
(1) strategi belajar; (2) strategi produksi; (3) strategi komunikasi. Sesuai dengan judul, berikut ini akan
dibahas strategi belajar.
Strategi belajar merupakan suatu tahap yang mengaktifkan dan melibatkan pembelajar secara
langsung dalam proses pembelajaran sehingga meningkatkan pengetahuan (kompetensi) pembelajar bahasa.
Leaver, Ehrman, and Shekhtman (2005:83) menambahkan bahwa strategi belajar merupakan salah satu
wujud strategi kompetensi yaitu cara yang digunakan untuk mendapat pengetahuan, menyimpan
pengetahuan, serta menggunakan pengetahuan dalam komunikasi.
Menurut O’Malley dan Chemot (dalam Hudson, 2007:114-115), ada tiga tipe strategi belajar, yaitu
(1) strategi kognitif; (2) strategi metakognitif; (3) strategi sosial. Menurut Clark and Clark (1993:112),
Oxford (1990:97), dan Ellis (2008:96), strategi yang banyak untuk digunakan anak usia prasekolah ke bawah
yaitu strategi kognitif dan strategi sosial.
Strategi kognitif adalah aktivitas mental yang bisa digunakan individu untuk mendapatkan,
menahan, dan mengambil kembali berbagai pengetahuan. Strategi kognitif mencerminkan cara seseorang
belajar, mengingat, dan berpikir serta cara memotivasi diri sendiri. Karena berhubungan dengan aktivitas
mental, Leaver, Ehrman, dan Shekhtman (2005:84) menyatakan bahwa strategi kognitif merupakan strategi
dalaman. Artinya, cara yang digunakan pembelajar bahasa kedua untuk memiliki pengetahuan dengan
menghubungkan hal yang belum diketahui dengan hal yang baru diketahui. Untuk keperluan tersebut
dibutuhkan aktivitas mental. Strategi kognitif bertugas saat pembelajar memahami dan memproduksi bahasa.
Strategi kognitif merupakan keterampilan kognitif untuk memilih dan mengarahkan proses-proses
internal dalam belajar dan berpikir. Brown (2007:153) menyatakan strategi kognitif meliputi (a) berlatih,
seperti: peniruan sistem bunyi, dan tulisan, pengulangan, dan penggunaan pola; (b) penerimaan dan
pengiriman pesan, seperti: pembelajaran ide dan penggunaan banyak sumber; (c) penganalisisan dan
161
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
penalaran, seperti penalaran deduktif, penganalisisan ekspresi, penerjemahan, dan pentransferan; (d)
pembentukan struktur masukan dan keluaran, seperti: pencatatan, perangkuman, dan pemberian tanda
(pembuatan hightlight).
Strategi sosial terkait dengan cara pembelajar berinteraksi dengan pembelajar lain atau penutur lain.
Strategi ini dilakukan melalui bekerjasama dengan teman dan mengajukan pertanyaan klarifikasi, verifikasi
atau koreksi. Strategi sosial berhubungan erat dengan lingkungan sosial pembelajar serta lingkungan sosial
pengguna bahasa yang dipelajari. Strategi sosial bertugas untuk membina kerjasama dengan orang lain
dalam proses belajar. Strategi ini dapat dilakukan dengan bertanya (mengklasifikasi, memverifikasi, minta
koreksi), bekerja sama (dengan teman atau native speaker), serta berempati dengan orang lain. Jadi, strategi
sosial terdiri atas (a) pengajuan pertanyaan dan pernyataan untuk meminta klarifikasi dan verifikasi, dan
koreksi; (b) bekerja sama dengan teman sebaya; (c) berempati pada orang lain (mengembangkan
pemahaman lintas budaya dan mawas pada pemikiran atau perasaan orang lain).
Hubungan Penggunaan Strategi Belajar dengan Perkembangan Kognitif
Ada dua hal penting yang berhubungan dengan pembelajaran bahasa kedua. Dua hal penting tersebut yaitu
kompetensi dan performansi. Menurut Brown (2007:35), kompetensi adalah pengetahuan berbahasa atau
pengetahuan dasar tentang suatu sistem, peristiwa, dan fakta. Carroll (2001:24-25) menyatakan bahwa
kompetensi terdiri atas tiga komponen, yaitu komponen fonologis, sintaktis, dan semantis; oleh Fromkin,
Rodman dan Hyams (2011:324) ditambah dengan komponen morfologis. Kompetensi merupakan
kemampuan yang tidak dapat diamati karena bersifat internal. Oleh karena itu, untuk mewujudkan secara
konkret kompetensi dapat dilakukan dengan performansi. Harley (2008:35) menambahkan bahwa
performansi terdiri atas dua proses yaitu pemahaman dan produksi bahasa.
Untuk dapat melakukan performansi bahasa kedua, anak harus memiliki pengetahuan pada bahasa
kedua yang sedang dipelajari. Untuk itulah, anak membutuhkan strategi belajar tertentu, termasuk
melakukan strategi kognitif dan strategi sosial. Melalui strategi kognitif dan strategi sosial, anak melakukan
aktivitas mental dan memanfaatkan lingkungan sosialnya agar dapat memperoleh pemahaman terhadap
bahasa kedua yang dipelajari.
Strategi kognitif dan strategi sosial yang digunakan anak pada dasarnya menggambarkan
kompetensi yang dimiliki anak. Ketika mempelajari dan menginternalisasi sistem serta kaidah-kaidah bahasa
target, anak tidak dapat langsung mencerna secara tepat; ada proses yang harus dilalui untuk dapat
memahami pengetahuan bahasa kedua atau bahasa target secara tepat. Proses tersebut dilakukan dengan
menerapkan strategi kognitif dan strategi sosial. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Brown (2007:29)
bahwa dalam pembelajaran bahasa, anak akan terus menguji serangkaian hipotesis dalam percakapan.
Hipotesis itu akan direvisi, dibentuk ulang, bahkan ditinggalkan. Oleh karena itu, melalui performansi anak
dapat diketahui kompetensinya. Slobin (1991:153) menyatakan bahwa dalam pembelajaran bahasa,
perkembangan kompetensi anak dapat digunakan untuk mengetahui perkembangan kognitifnya. Dengan
demikian, mengetahui strategi belajar pada pembelajaran bahasa kedua anak berarti mengetahui
perkembangan kognitifnya.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang dilakukan secara longitudinal. Data berupa ujaran,
kata, frase, klausa, atau kalimat yang dihasilkan anak usia prasekolah ketika mempelajari bahasa kedua
yang berupa bahasa Indonesia. Sumber data yaitu tiga orang anak usia prasekolah. Jumlah tersebut
berdasarkan pendapat Ingram (1992:21) bahwa untuk menentukan ciri umum pembelajaran bahasa dapat
digunakan tiga orang untuk angka minimum absolut. Bila hanya menggunakan satu subjek kurang dapat
memperoleh gambaran, anak tersebut khas atau tidak, bila dua subjek tidak dapat diketahui dari kedua
subjek tersebut yang khas, tetapi dengan tiga subjek, sekurang-kurangnya akan mempunyai mayoritas yang
dapat digunakan untuk membuat keputusan
Pengumpulan data menggunakan teknik simak libat cakap, simak bebas libat cakap, catatan
lapangan, dan rekam. Instrumen yang digunakan yaitu media yang berbentuk verbal, audio, dan visual.
Prosedur analisis data, meliputi: mentranskripsi, mereduksi, menyajikan, menginterpretasi, dan
menyimpulkan data. Instrumen yang digunakan yaitu tabel.

PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh informasi dua hal yaitu perkembangan pembelajaran bahasa kedua
anak usia prasekolah.

162
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Ditinjau dari Strategi Kognitif
Perkembangan strategi kognitif yang terjadi pada ketiga subjek penelitian dimulai dari peniruan,
pengulangan, penggunaan pola, penganalisisan ekspresi, dan pentransferan informasi. Peniruan dan
pengulangan dilakukan karena adanya kesulitan dan kesalahan. Bagi subjek, peniruan dan pengulangan
karena ada koreksi kesalahan merupakan cara untuk memperoleh pengetahuan pada kata yang dipelajari.
Dengan menirukan dan mengulang, para subjek mencoba untuk menggunakan kata secara tepat dalam
komunikasi.
S1.SK.Pr.12.1 S2.SK.Pr.2.1
Melihat Aryo mewarnai gambar jeruk Farid bercerita kalau kemarin dia berkunjung ke rumah neneknya
Guru: Warna apa itu? Farid: Itu lho namanya? (Sambil berpikir) Namanya apa, Bu?
Aryo: Jeruk Guru: Gresik
Guru: Warnanya apa? Farid: Gesik
Aryo: (Melihat guru kemudian melihat gambar) Guru: Gresik
Guru: Oranye Farid: Gresik
Aryo: (Hanya melihat guru)
Guru: Oranye
Aryo: Oranye
S1.SK.Pl.4.2 S2.SK.Pl.6.1
Aryo: Petak umpet itu apa? Farid: Ini hidung
Adam: Gak tahu ya? Nanti yang jadi merem, Guru: Kalau gajah namanya belalai
yang gak jadi … ya ngumpet, terus dicari, gitu lho! Farid: Harimau ndak punya belai?
Aryo: Yang jadi merem, yang gak jadi ngumpet ya? Guru: Belalai. Yang punya cuma gajah
Adam: Iya. Terus dicariin Farid: Gajah punya belalai
Aryo: Ayo main petak umpet. Aku yang jadi merem, kamu yang ngumpet
Pada keempat data terlihat subjek tidak memahami warna, nama kota tempat tinggal neneknya,
nama permainan, dan belalai. Ketika guru dan temannya yang menjadi mitra tutur memberi tahu dan
memberi penjelasan, subjek mencoba untuk menirukan kemudian menyatakan kata secara benar.
Pada perkembangan selanjutnya, subjek juga menggunakan strategi penggunaan pola dan
pentransferan informasi. Tujuan penggunaan pola yaitu untuk meningkatkan performansi, baik pemahaman
atau produksi, sedangkan tujuan pentransferan informasi yaitu untuk mendapat penguatan. Penggunaan pola
tutur dengan mencontoh tuturan sehari-hari, secara tidak langsung merupakan cara untuk lebih
meningkatkan pemahaman siswa pada pola tuturan yang digunakan lingkungan sosialnya.
S2.SK.Pp.10.3 S3.SK.Pp.15.1
Erik: Ini dibukain! Guru: Kalau masuk mau mulai pelajaran apa yang dilakukan?
Farid: Kamu dibikinin siapa? Adam: (Tertawa)
Erik: Mamaku Guru: Lupa ya? Apa
Adam: Doa
Guru: Untuk apa berdoa
Adam: Biar pinter
Selain keempat strategi kognitif, subjek juga mengalami perkembangan lanjut yaitu menggunakan strategi
penganalisisan dan pemahaman yang berupa penganalisisan ekspresi kemudian pentransferan informasi.
S2.SK.Pek.7.2 S3.SK.Pek.11.1 S1.SK.Ptr.10.1
Aryo: Bu ini Alma ngambil krayonku. Aryo: Bu ini boleh ya? Aryo: Kalau habis makan itu kata
Guru: Ndak boleh nakal (Menggeleng Guru: Boleh (Sambil mengangguk) Bu Vivit bilang Alhamdulilah.
sambil menampakkan mimik --- Farid: Aku ya bilang Alhamdulilah
tidak setuju dengan tindakan Aryo: Aku ngerjakan bareng sama Aryo: Bilango Alhamdulilah
yang dilihat) Erik, Bu. Oi: Alhamdulilah
--- Guru: (Mengangguk) Aryo: Aku juga sudah bilang
Aryo: Bu, ini lho Erik nggodain Aryo: Lho itu lho boleh Alhamdulilah
Guru: (Menunjukkan mimik tidak Adam: Aku juga boleh bu? Guru: Pinter
setuju dengan tindakan)
Aryo: Ndak boleh!
Nakal itu lho katanya bu Vivit
---
Farid: Aku ndak nakal Bu.
Ini Aryo dan Erik yang nakal
Apabila anak mencontoh bahasa yang dipajankan mitra tutur kemudian melakukan pentransferan
informasi, hal itu merupakan cara untuk memperoleh penguatan. Proses mentransfer yang direspon secara
163
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
positif oleh orang lain, tanpa adanya teguran baik verbal maupun nonverbal, akan menjadi pola yang
dijadikan kebiasaan (Brown, 2007:29).
Dalam komunikasi, ekspresi dimaksudkan sebagai penegasan, pemahaman, teguran, dan berbagai
maksud. Hal tersebut terjadi karena dalam komunikasi yang menjadi faktor penentu pemahaman maksud
tidak hanya faktor linguistik, tetapi juga faktor nonlinguistik, salah satunya ekspresi. Darjowidjojo
(2000:275) menyatakan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, anak harus mempelajari norma dan
kebiasaan masyarakat. Hal itu berarti, anak tidak cukup hanya mampu dalam pemakaian bahasa (language
usage), tetapi juga mampu dalam penggunaan bahasa (language use). Oleh karena itu, anak harus
mempunyai kemampuan pragmatis untuk dapat menggunakan kosakata secara tepat. Pragmatik mengacu
pada telaah makna dalam interaksi yang mencakup makna dari kata yang diucapkan oleh pembicara berikut
konteks saat ujaran dinyatakan. Konteks berarti hal-hal di luar bahasa yang ikut menentukan pemahaman
makna. Salah satu wujud konteks yaitu melalui ekspresi.
Bila saat penggunaan bahasa kedua tidak ada teguran dari orang yang memberi pembelajaran,
dianggap proses pembelajaran berhasil. Sebaliknya, bila ada teguran berarti pentransferan informasi tersebut
dipakai sarana untuk mengedit pemahaman yang masih salah dari pengetahuan yang telah dimiliki. Hal
tersebut seperti pernyataan Brown (2007:29) bahwa dalam pembelajaran bahasa, anak akan terus menguji
serangkaian hipotesis dalam percakapan. Hipotesis itu akan direvisi, dibentuk ulang, bahkan ditinggalkan.
Ternyata, pada kedua anak terjadi teguran dari orang yang mengajari sehingga kedua anak mencoba untuk
mengedit pemahaman awalnya.
Ditinjau dari Strategi Sosial
Strategi sosial yang biasa digunakan anak usia prasekolah mempunyai urutan berupa (a) pengajuan
pertanyaan untuk meminta klarifikasi, verifikasi, dan koreksi; (b) bekerjasama dengan teman sebaya.
Strategi sosial yang dilakukan dengan bertanya merupakan salah satu cara ketiga subjek penelitian untuk
belajar bahasa. Pateda (1990:55) mengatakan bahwa pada tahap tertentu anak akan mulai bertanya karena
anak ingin mengetahui segala sesuatu yang ada di sekelilingnya. Pertanyaan muncul sebagai usaha anak
untuk belajar bahasa. Bagi seorang anak, bertanya merupakan salah satu kegiatan untuk memperoleh data
masukan. Brown (2000:41) menyatakan perkembangan bahasa anak tidak hanya bergantung pada potensi
bawaan, tetapi juga data masukan. Sehubungan dengan data masukan itu Krashen (1982:20) menyebutnya
sebagai hipotesis masukan (Input Hyphothesis). Dalam hipotesis masukan dinyatakan bahwa seorang anak
mengembangkan kemampuan berbahasa melalui pajanan bahasa yang ada di sekelilingnya. Tidak hanya
yang dipajankan oleh orang tuanya, tetapi juga oleh lingkungannya.
S1.S.Pper.6.1 S2.SS.Pper.2.2
Aryo : Buk! … Mas Aldi kalu tidur ngorok Setelah berolah raga, Farid bercakap-cakap dengan temannya
Guru : Ayo yang bagus. Bukan ngorok tapi mendengkur Farid : Pegel semua kakiku
Aryo : Mendengkur (Menirukan) Guru : Pegel itu capek
Putri : Aryo ngorok bu Farid : Capek
Aryo : Lho, ndak ngorok. Mendengkur ya bu? Guru : Iya. Capek bisa di kaki, di pinggang, di tangan
Guru : Iya mendengkur Farid : Di tangan juga?
Guru : Iya
Strategi sosial yang berupa kerja sama dengan teman sebaya merupakan kegiatan saling mendukung
dalam suatu peristiwa komunikasi agar tujuan komunikasi tercapai. Adanya keinginan yang sama untuk
mencapai tujuan yang sama mengharuskan subjek untuk melakukan kerjasama dengan mitra tuturnya.
S2.SS.Kts.11.1 S3.SS.Kts.3.1
Farid bercerita kepada temannya kalau tadi malam pergi ke TP bersama Putri : Ini namanya strawberi
keluarganya. Adam : strawberi. Aku ndak pernah makan
Farid : Ke sananya itu borongan Putri : Ini lho cobain. Kecut
Erik : Borongan itu apa? Adam : (Makan strawberi)
Farid : Gitu itu, aku sama papa, mamaku, terus sama kakakku
Guru : Itu rombongan
Farid : Iya sih. Apa bu?
Guru : Rombongan. Itu artinya bersama-sama. Rombongan
Farid : Rombongan. Iya aku perginya rombongan
Erik : Rombongan namanya
Berdasarkan kedua data terlihat bahwa strategi belajar sosial tersebut pada dasarnya menekankan
sikap positif dari para partisipannya. Wujud peristiwa berbahasanya dapat terjadi melalui beberapa macam,
seperti: bertanya jawab atau melakukan hubungan yang saling mendukung.

164
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa strategi belajar dalam pembelajaran bahasa kedua
anak usia prasekolah terdiri atas (1) strategi kognitif meliputi (a) strategi berlatih: peniruan, pengulangan,
dan penggunaan pola; (b) strategi penganalisisan dan penalaran: penganalisisan ekspresi dan pentransferan;
(2) strategi sosial meliputi (a) pengajuan pertanyaan untuk meminta klarifikasi dan koreksi; (b) bekerjasama
dengan teman sebaya.

DAFTAR PUSTAKA
Brown, D.H. 2007. Principles of Language Learning and Teaching. New York: Pearson Education.
Carrol, S.E. 2001. Input and Evidence: The Raw Material of Second Language Acquisition. Philadelphia: John
Benjamins Publishing Company.
Chamot, A. 2005. “Language Learning Strategy instruction: Current Issues and Research”. In Annual Review of
Applied Linguistics. New York: Longman.
Clark, H.H. and Eve V. Clark. 1993. Psychology and Language: An Introduction to Psycholinguistics. USA: Harcourt
Brace Jovanovich, Inc.
Dardjowidjojo, S. 2012. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ellis, R. 1985. Understanding Second Language Acquisition. Oxford: Oxford University Press.
Ellis, R. 2008. The Study of Second Language Acquisition. Oxford: Oxford University Press.
Fernald, A. dan Marchman, V.A. 2006. “Language Learning” in Handbook of Psycholinguistics. USA: Elsevier Inc.
Fromkin, V., Rodman, R., dan Hyams, N. 2011. An Introduction to Language. Canada: Wdsworth Cengage Learning.
Harley, T.A. 2008. Psychology of Language. Canada: Psychology Press.
Hudson, T. 2007. Teaching Second Language Reading. Oxford: Oxford University Press.
Ingram, D. 1992. First Language Acquisition: Method, Description, and Explanation. Cambridge: Cambridge
University Press.
Leaver, B.L., Ehrman, M., and Shekhtman, B. 2005. Achieving Success in Second Language Acquisition. New York:
Cambridge University Press.
Oxford, R.L. 1990. Language Learning Strategies: What Every Teacher Should Know. Boston, Mass.: Hainle & Hainle
Publishers
Pateda, M. 1990. Aspek-aspek Psikolinguistik. Ende-Flores: Nusa Indah.
Pringgowidagdo, S. 2002. Strategi Penguasaan Berbahasa. Yogyakarta: Adi Cita.
Slobin, D.I. 1991. Ilmu Psikolinguistik. Terjemahan Ton Ibrahim. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Luluk Isani Kulup Rahayu Pujiastuti
Institusi : Universitas PGRI Adi Buana Universitas PGRI Adi Buana
Riwayat Pendidikan : S2 Universitas Negeri Surabaya S2 Universitas Negeri Surabaya
S1 Universitas PGRI Adi Buana S1 IKIP Negeri Surabaya
Minat Penelitian : Psikolinguistik Psikolinguistik

165
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
PENGARUH APLIKASI METODE BERNYANYI TERHADAP PENGUASAAN KOSAKATA
BAHASA ANAK KELOMPOK A DI TK ASSAADAH LIMO DEPOK

Ana Widyastuti
Universitas Indraprasta PGRI
anawidyastuti35@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan ada tidaknya peningkatan kemampuan penguasaan kosakata bahasa
Indonesia anak kelompok A TK Assaadah Limo Depok.dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
kepada semua fihak pada umumnya dan khususnya Tk Assaadah Limo Depok sendiri sebagai tempat dilaksanakannya
penelitian ini. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) atau classromm action research yang
menggunakan metode bernyanyi untuk meningkatkan kosakata Bahasa Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan dengan
dua siklus, yaitu siklus I mengenai tema tanaman dan siklus ke II mengenai binatang. Disetiap siklusnya peneliti
menyampaikan materi dengan metode bernyanyi yang divariasikan dengan strategy active learning lainnya, sehingga
pembelajaran menarik anak-anak pun aktif dalam belajar. Disamping itu, anak-anak juga dapat dengan mudah
memahami materi yang disaampaikan peneliti. Hasi penelitian menunjukkan bahwa ada peningkatan yang signifikan
disetiap siklusnya, yaitu anak-anak mampu menjawab pertanyaan dengan baik. Anak-anak lebih antusias, gembira,
bersemangat dan sangat mudah menyerap pengetahuan dengan sangat baik. Metode bernyanyi adalah salah satu
metode untuk meningkatkan kosakata baru dalam bahasa Indonesia.sekaligus menjadi salah satu alternatif metode
pembelajaran pada peserta didik diusia dini.
Kunci kata: penguasaan kosakata, Bahasa Indonesia, menyanyi

PENDAHULUAN
Berdasarkan observasi peneliti, penguasaan kosakata anak kelompok A di TK belum optimal . Hal ini
terlihat dari penyampaian antara guru, seperti anak belum mampu menjawab penjelasan tema yang telah
dijelaskan oleh guru, sehingga tujuan pembelajaran banyak yang belum tercapai. Masa ini merupakan masa
untuk meletakkan dasar pertumbuhan dalam mengembangkan kemmampuan fisik, kognitif, bahasa, sosial,
emosional, konsep diri, disiplin, kemandirian, seni, moral, dan nilai-nilai keagamaan. (Depdiknas, 2004:1).
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 58 tahun 2009 pasal 1 angka 14 Undang-
Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa
pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai
dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangan jasmani memasuki pendidikan lebih lanjut (Aisyah, dkk, 2008:13).
Bahasa Indonesia dipakai sebagai alat untuk mengantar dan menyampaikan ilmu pengetahuan ilmu
pengetahuan kepada berbagai kalangan dan tingkat pendidikan (A, Alek & H. Achmad H.P,2010:22).
Keterampilan berbahasa memiliki empat komponen ialah: keterampilan menyimak/mendengar
(listening skills), keterampilan berbicara (speaking skills), keterampilan membaca (reading skills),
keterampilan menulis (writing skills).
Pembelajaran kosakata dalam bahasa Indonesia bertujuan untuk memperkaya perbendaharaan kata
anak sehingga anak tidak harus menghafal kata, tetapi yang terpenting dalam menggunakan kalimat. Adapun
tujuan utama dalam pembelajaran kosakata adalah mengenal dan memahami makna dan arti dari suatu kata
(Depdiknas, 2004:10)
Ciri tahapan perkembangan anak usia dini berdasarkan aspek perkembangan anak prasekolah
(Patmonodewo, 2003:24) sebagai berikut:
a. Perkembangan Jasmani c. Perkembangan Bahasa
b. Perkembangan Kognitif d. Perkembangan Emosi dan Bahasa
Salah satu metode alternatif mengajar yaitu metode bernyanyi. Metode bernyanyi adalah kegiatan
musik yang fundamental, karena anak dapat mmendengar melalui indranya sendiri, menyuarakan beragam tinggi
nada, dan irama musik dengan suaranya sendiri (Rasyid, 2010:211). Metode bernyanyi adalah salah satu bentuk
metode bagi kita untuk bisa mengontrol dan mengamati setiap hari dari perkembangan anak. Seperti
perkembangan verbalnya, pendengaran, daya tangkap, motorik, peniruan dan lain sebaganya (Rasyid, 2010:185).
Bernyanyi merupakan kegiatan yang sangat disukai anak-anak. Menyanyi dapat memberikan
kepuasan, kegembiaraan, dan kebahagiaan bagi anak sehingga dapat mendorong anak untuk belajar lebih
giat (joyfull learning) (Rasyid, 2010:149). Nyanyian adalah salah satu perwujudan bentuk pernyataan, atau
pesan yang dimiliki dan menggerakkan hati dan berwawasan cita rasa keindahan (Rasyid, 2010:210). Pada
hakikatnya nyanyian bagi anak-anak adalah berfungsi sebagai berikut (Rasyid, 2010:148):
a. Bahasa emosi b. Bahasa nada c. Bahasa gerak

166
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Banyak sekali manfaat bernyanyi seperti yang dipaparkan (Rasyid, 2010:160) sebagai berikut:
a. Mendengar dan menikmati nyanyian h. Memperkenalkan pemahaman sisi kemanusiaan
b. Mengalami rasa senang ketika bernyanyi i. Kepekaan rasa
c. Mengungkapkan pikiran, perasaan, dan suasana hati j. Konsentrasi yyang terarah
d. Belajar mengendalikan suara k. Menanamkan kreativitas
e. Mengekspresikan rasa dalam diri l. Menambanh perbendaaharaan kata
f. Kemampuan memperagakan m. Dapat menyehatkan
g. Kemampuan berkreativtas n. Bisa mengontrol perkembangan
Menurut Rasyid (2010:13) musik adalah bunyi yang diterima oleh individu yang berbeda-beda
berdasarkan sejarah, lokasi, budaya dan selera seseorang. Definisi sejati tentang musik juga bermacam-
macam, diantaranya:
a. Bunyi atau kesan terhadap sesuatu yang ditangkap indera pendengar.
b. Suatu karya seni dengan segenap unsur pokok dan pendukungnya.
c. Segala bunyi yang dihasilkan secara sengaja oleh seseorang atau kumpulan dan disajikan sebagai musik.
Dalam lingkup perkembangan B. Mengungkapkan Bahasa, Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak usia 4-
6 tahun yaitu menjawab pertanyaan sesuai pertanyaan (Kemendikbud, 2015:61). Sedangkan lingkup
perkembangan VI. Seni, A. Anak mampu menikmati berbagai alunan lagu atau suara, Tingkat pencapaian
perkembangan anak usia 4-5 tahun yaitu senang mendengar berbagai macam musik atau lagu kesukaannya
(Kemendikbud, 2015:63).
Metode bernyanyi mempunyai kelebihan untuk meningkatkan perbendaharann kosakata yaitu:
a. Dapat membangkitkan semangat belajar bagi anak
b. Menambah kepercayaan diri anak
Tarigan (1982:22) mengatakan bahwa perkembangan kosakata mengandung pengertian lebih daripada
penambahan kata-kata baru ke dlam perbendaharaan pengalaman kita. Perkembangan kosakata berarti
menmpatkan konsep-konsep baru dalam tatanan yang lebih baik atau kedalam urutan-urutanatau susunan-
susunan tambahan.
Metode bernyanyi banyak manfaatnya. Salah satunya adalah membuat anak gembira. Menyanyikan
satu lagu dalam rentang waktu tertentu , anak mengalami proses mengenali, mencerna, dan menghafal secara
tak langsung akan banyaknya kata-kata pada lirik lagu yang diajarkan guru.

PEMBAHASAN
Menurut Arikunto, dkk (2010:3) Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom research action)
penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan,
yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama.perncanaan tindakan tersebut
seperti membuat Rencana Program pembelajaran (RPPH). Dalam penelitian tindakan kelas ini peneliti
menggunakan analisis deskriptif kualitatif yaitu yang menggambarkan keadaan perkembangan kosakata
bahasa di TK Assaadah. Subyek penelitian dalam PTK ini adalah anak kelompok usia 4-5 tahun (kelompok
A). Pertama, peneliti membuat jadwal penelitian siklus I yaitu menyiapkan lagu yang akan diajarkan anak,
membuat tabel penelitian dalam proses kegiatan belajar mengajar. Adapun tempat penelitian dilaksanakan di
TK Assaadah yang beralamat di JL. H. Midi II no 7, Limo Depok. Tepatmya di kelas A yang berjumlah 20
orang anak.Waktu penelitian dilaksanakan di semester II th ajaran 2013-2014.
Teknik pengumpulan data tersebut antara lain: observasi. Menurut Hadi (dalam Sugiyono, 2009: 203)
bahwa observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses
biologis dan psikologis. Dua diantara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan. Teknik
pengumpulan data dengan perilaku manoses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden yang diamati tidak
terlalu besar. Teknik pengumpulan data adalah metode observasi dengan lembar observasi kegiatan anak,
lembar observasi kegiatan guru dan kemampuan anak dalam menjawab pertanyaan sesuai tema.
Hasil siklus I dengan lagu tema tanaman adalah sebagai berikut;
1. Hasil observasi kegiatan guru adalah 70%
2. Hasil observasi kegiatan anak adalah 61%
3. Kemampuan anak dalam menjawab pertanyaan adalah 62%
Pada siklus I hasilnya belum optimal. Anak baru menghafal sebagian lagu yang diajarkan. Anak bisa
menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan guru (kosakata bertambah sedikit).
Hasil siklus ke II dengan lagu tema binatang adalah sebagai berikut:
1. Hasil observasi kegiatan guru adalah 80%
2. Hasil observasi kegiatan anak adalah 75%
3. Kemampuan anak dalam menjawab pertanyaan adalah 79%

167
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Pada siklus ke II mengalami peningkatan nilai, anak sudah sudah mampu menghafal lagu dengan baik,
sehingga anak hampir mampu menjawab semua pertanyaan guru dengan tema binatang (kosakata bertambah
banyak atau meningkat).

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas dan analisis data yaitu siklus I ke siklus ke II, metode bernyanyi
merupakan metode yang sangat bermanfaat, disamping menambah perbendaharaan kosakata juga membuat
anak lebih semangat serta gembira dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Simpulannya bahwa aplikasi
metode bernyanyi akan meningkatkan kemampuan penguasaan kosakata anak kelompok A di TK Assaadah
Limo Depok.

DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2004. Kurikulum TK dan RA. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Dasar danMenengah Direktorat
Pendidikan TK dan SD.
A, Alek & H. Achmad H.P. 2010. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Kencana
Arifin, E. Zaenal dan Amran Tasai. 2008. Cermat Berbahasa Indonesia Untuk Sekolah Menengah Pertama. Jakarta:
Akademi Pressindo.
Badudu, J.S. 1993. Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar II. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Badudu, J.S. dan Sutan Mohammad Zain. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Hidayat, Otib Satibi. 2008. Metode Pengembangan Moral dan Nilai – Nilai Agama. Jakarta :Universitas Terbuka.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2015. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 137 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini.Jakarta: Kemendikbud
Nana Sudjana. 2007. Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Oberlander. 2008. Slow and Steady Get Me Ready. Buku Pengembangan Anak Usia Dini. Jakarta: PM. Pustaka.
Patmonodewo, 2003. Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Rangkuti. 2005. Mawar I Menyanyi dan Mewarnai. Jakarta: Refira.
Rasyid, Fathur. 2010. Cerdaskan Anakmu dengan Musik. Jogjakarta: Diva Press.
Riduwan dan Sumarno. 2009. Pengantar Statistika untuk Penelitian: Pendidikan, Sosial, Komunikasi, Ekonomi, dan
Bisnis. Bandung: Alfa Beta.
Sadiman, Arif S. 2008. Media Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sanjaya. 2011. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Prenada Media Grup.
Seefeld, Carol dan Wasik. 2008. Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: PT Indeks.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfa Beta.
Suharso dan Ana Retnoningsih. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang: Widya Karya
Sujiono. Yuliani Nurani. 2009. Konsep Pendiikan Anak Usia Dini. Jakarta: PT Indeks.
Sukarna. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Surakarta: Media Perkasa.
Suyanto, suharso. 2005. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional,
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Direktorat Pembinaan Pendididkan Tenaga Kependidikan dan
Ketenagaan Perguruan Tinggi.
Tarigan. H.G. 1984. Pengajaran Kosakata. Bandung: Angkasa.
Iskandarwassid, dkk. 2009. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: Rosdakarya.
Zaenuddin, dkk. 2005. Metodologi dan Strategi Alternatif. Yogyakarta: Pustaka Rihlah Group.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Ana Widyastuti
Institusi : Universitas Indraprasta PGRI
Riwayat Pendidikan : S2 Pendidikan Bahasa Indonesia
S1 Bimbingan Konseling Universitas Indraprasta PGRI
D2 PGTK Universitas Negeri Jakarta
Minat Penelitian : • Pendidikan dan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
• Pendidikan dan Pengajaran Bahasa, Seni, dan Sastra untuk Anak Usia Dini

168
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
PELESAPAN DAN PERUBAHAN FONEM PADA BAHASA ANAK PRASEKOLAH DI TAMAN
KANAK-KANAK ISLAM TERPADU DOMPU NTB (TINJAUAN PSIKOLINGUISTIK)

Ratu Rohullah, Rozali Jauhari A., Wirman Hardi Gunawan


Universitas Mataram
raturohullah72@gmail.com; ratu.raohullah08@gmail.com

ABSTRAK
Pada dasarnya pemerolehan bahasa anak dimulai dengan pemerolehan fonologi, semantik, dan sintaksis dari segi itulah
penggunaan bahasa pada anak prasekolah seringkali mengalami pelesapan dan perubahan fonem terutama pada fonem-
fonem yang dapat mengubah makna suatu kalimat atau bahasa pada anak itu sendiri. Penggunaan bahasa pada anak
prasekolah yakni anak-anak usia 3- 4 tahun biasanya dipengaruhi oleh pemikiran dan bahasa itu sendiri yakni pertama,
semua fungsi mental memiliki asal-usul eksternal atau sosial. Anak-anak harus menggunakan bahasa dan
mengkomunikasikannya kepada orang lain sebelum mereka berfokus ke dalam proses mental. Kedua, anak-anak harus
berkomunikasi secara ekternal dan menggunakan bahasa selama periode waktu yang lain sebelum transisi dari
kemampuan berbicara secara ekternal ke internal berlangsung. Tujuan utama dilakukan penelitian ini adalah ingin
mendeskripsikan bentuk-bentuk pelesapan dan perubahan fonem yang terjadi pada bahasa anak prasekolah. Penelitian
ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, yakni memaparkan dan mengambarkan masalah sesuai fakta dan gambaran
apa adanya. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik rekam dan catat. Populasi yang digunakan dalam penelitian
ini adalah anak-anak prasekolah yakni anak-anak usia 3-4 tahun di Taman Kanan-kanak Islam Terpadu Dompu NTB.
Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa pelesapan dan perubahan fonem pada bahasa anak prasekolah atau anak-anak
usia 3- 4 tahun di Taman Kanan-kanak Islam Terpadu Dompu NTB memang sering terjadi yakni pertama, pelesapan
pada fonem /n/, /m/,/r/,/b/, /g/ pada awal suku kata, fonem // pada tengah kalimat, fonem /r/ pada akhir suku kata dan
kedua, perubahan pada fonem /k/→/t/, /s /→ /c/, /r/ → /l/, /c/ → /t/, /l/ → /y/ dan dampak dari pelesapan dan perubahan
fonem pada bahasa anak prasekolah yaitu terjadi perubahan makna kata dalam kalimat yang diujarkan atau bahasa pada
anak sehingga memberikan pemahaman yang berbedan bagi pendengarnya.
Kata kunci: pelesapan, perubahan, fonem, bahasa, anak prasekolah

PENDAHULUAN
Penggunaan bahasa pada anak prasekolah yakni anak-anak usia 3- 4 tahun biasanya dipengaruhi oleh
pemikiran dan bahasa itu sendiri yakni pertama, semua fungsi mental memiliki asal-usul eksternal atau
sosial. Anak-anak harus menggunakan bahasa dan mengkomunikasikannya kepada orang lain sebelum
mereka berfokus ke dalam proses mental. Kedua, anak-anak harus berkomunikasi secara ekternal dan
menggunakan bahasa selama periode waktu yang lain sebelum transisi dari kemampuan berbicara secara
ekternal ke internal berlangsung (Soetjiningsih, 2012:203).
Perkembangan berpikir anak-anak usia TK atau prasekolah sangat pesat. Perkembangan
intelektual anak yang sangat pesat terjadi pada kurun usia nol sampai usia prasekolah (Dhieni,
2011:1). Usia TK dapat disebut sebagai masa peka belajar, dalam masa-masa ini segala potensi
kemampuan anak dapat dikembangkan secara optimal, dengan bantuan orang-orang yang berada di
lingkungan anak-anak.
Salah satu kemampuan anak yang sedang berkembang saat usia TK adalah kemampuan
berbahasa, perkembangan bahasa anak usia TK memang belum sempurna (Dhieni, 2011:1). Hal ini
disebabkan karena kemampuan sistem tuturan belum sempurna. Kegagalan anak membunyikan
perkataan dengan betul merupakan hal yang wajar karena ini berkaitan dengan kemampuan sistem
tuturan. Sistem tuturan ini akan lebih mudah dilakukan setelah seorang anak bertambah umurnya dan
lebih dewasa (Jakobson dalam Dardjowidjojo, 2010:238).
Pelafalan tuturan anak yang tidak sempurna, misalnya dalam pelafalan terdapat pelesapan fonem
dan perubahan fonem. Pelesapan dan perubahan fonem terjadi karena anak-anak belum dapat
melafalkan fonem-fonem tertentu. Selain itu, pelesapan dan perubahan fonem terjadi karena orang
sekeliling anak menggunakan pengucapan dengan menirukan ucapan anak tersebut sebagai tanda sayang.
Misalnya, “susu” diucapkan “cucu”, kebiasaan seperti ini akan mempengaruhi penerimaan anak dan
berakhir pada pemerolehan ujaran yang tidak sempurna dan dapat mengubah fonem dan mempunyai
makna yang berbeda.
Anak TK termasuk dalam kelompok umum prasekolah (Riyanto, 2005:13). Penyampaian
materi dilakukan dengan kegiatan bermain sambil belajar.

169
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
METODE PENELITIAN
Pelaksanaan kegiatan dari persiapan sampai dengan penulisan artikel ini di lakukan hanya sekitar dua minggu.
Objek penelitian ini berupa pelesapan dan perubahan fonem yang terjadi pada anak-anak khususnya anak
prasekolah usia 3-4 tahun tahun di TK IT Dompu NTB serta dampak pelesapan dan perubahan fonem
terhadap makna bahasa itu sendiri. Teknik analisis data mengunakan metode padan dan metode agih.
Tujuan utama dilakukan penelitian ini adalah ingin mendeskripsikan bentuk-bentuk pelesapan dan perubahan
fonem yang terjadi pada bahasa anak prasekolah. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif,
yakni memaparkan dan mengambarkan masalah sesuai fakta dan gambaran apa adanya. Teknik pengumpulan
data menggunakan teknik rekam dan catat. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah anak-anak
prasekolah yakni anak-anak usia 3- 4 tahun di Taman Kanan-kanak Islam Terpadu Dompu NTB.

PEMBAHASAN
Gambaran Umum TK IT Dompu
Tempat penelitian ini dilakukan di Taman Kanak-kanak Islam Terpadu, berada di Desa Wera, Kecamatan Pajo,
Kabupaten Dompu NTB. Taman Kanak-Kanak ini berdiri sejak 2012. TK ini mempunyai 2 ruang, 1 ruang
untuk kelas dan 1 ruang untuk ruang baca sekaligus untuk menerima tamu. Banyak anak terdapat 20 anak
usia 3- bahkan 5 tahun. TK ISLAM TERPADU ini tergolong TK ISLAM pertama di Desa Wera tersebut dan
juga termasuk TK yang banyak diminati oleh anak-anak sebab selain tempatnya strategis TK ini pun memiliki
fasilitas bermain yang cukup, sebab usia anak-anak adalah usia yang masih sangat erat dengan bermain.
Perkembangan Bahasa yang Telambat
Sehubungan dengan judul makalah yang dibahas ini, sekitar tiga persen anak usia prasekolah mengalami
keterlambatan bahasa atau bicara, walaupun tingkat kecerdasannya normal atau lebih baik. Masih belum
jelas mengapa sebagian anak-anak mengalami keterlambatan ini. Dibanding dengan anak perempuan, anak
laki-laki cenderung mengalami late talker. Perekembangan bahasa yang terlambat dapat memengaruhi
perkembangan kognitif, social, dan emosiaonal yang lebih luas karena mereka cenderung dinilai negatif oleh
orang-orang di sekelilingnya. Salah satu cara untuk mengatasi keterlambatan bahasa ini adalah dengan
dialogic reading (membaca buku bersama-sama). Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa anak
yang memiliki ibu telah dilatih menggunakan dialogic reading mengalami peningkatan yang lebih banyak
dalam bicaranya ketimbang kelompok yang dilatih dengan cara mirip dialogic reading tetapi tanpa buku.
Cara ini lebih efektif karena membaca bersama-sama meningkatkan peluang alamiah untuk menambah
informasi dan meningkatkan kosakata, memberi kesempatan untuk lebih perhatian, bertanya, dan merespon
pertanyaan. Selain itu, cara ini juga akan menguatkan ikatan emosional dan meningkatkan perkembangan
kognitif pada anak khususnya anak prasekolah (Papalia dkk dalam Soetjiningsih 2012:212). Akibat dari
hambatan berbicara pada anak-anak, yaitu dapat mengalami peningkatan risiko menglami problem-problem
perilaku (khususnya attention deficit disorder atau ADHD), academic difficulties, lerning disabilities, rasa
malu, dan gangguan kecemasan juga anak-anak ini mengalami kesulitan berteman dan bergaul dengan
orang-orang di luar keluarganya (Phalkivala dalam Soetjiningsih, 2012: 213).
Pelesapan dan Perubahan Fonem
Berdasarkan abstrak di atas, maka akan dibahas beberapa fonem yang mengalami pelesapan dan perubahan
pada bahasa anak prasekolah.
1. Pelesapan fonem vokal
a. Fonem /i/ pada tengah kata
- Pelesapan fonem /i/ pada tengah kata ini dialami anak pada saat mengucapkan kata [Indonesia], yang pada
anak melafalkannya [indonesa], dan juga pada kata [lim] dilafalkan [elem].
2. Pelesapan fonem konsonan
Pelesapan fonem konsonan ini sangatlah banyak sekali ditemukan pada bahasa-bahasa anak prasekolah
diantaranya:
a. Fonem /b/ pada awal kata
- Pelesapan fonem /b/ pada awal kata ini terjadi pada saat anak mengucapkan kata [baju] dilafalkan [aju]
- Pelesapan fonem /b/ pada awal kata ini terjadi pada saat anak mengucapkan kata [bola] dilafalkan [ola]
b. Fonem /n/ pada awal kata
- Pelesapan fonem /n/ pada awal kata ini terjadi pada saat anak mengucapkan kata [nasi] dilafalkan [aci]
- Pelesapan fonem /n/ pada awal kata ini terjadi pada saat anak mengucapkan kata [nangis] dilafalkan [angis]
- Pelesapan fonem /n/ pada awal kata ini terjadi pada saat anak mengucapkan kata [nama] dilafalkan [ama]

170
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
c. Fonem /m/ pada awal kata
- Pelesapan fonem /m/ pada awal kata ini terjadi pada saat anak mengucapkan kata [makan] dilafalkan [akan]
- Pelesapan fonem /m/ pada awal kata ini terjadi pada saat anak mengucapkan kata [minum] dilafalkan [inum]
d. Fonem /r/ pada awal kata
- Pelesapan fonem /r/ pada awal kata ini terjadi pada saat anak mengucapkan kata [rumah] dilafalkan [uma]
- Pelesapan fonem /r/ pada awal kata ini terjadi pada saat anak mengucapkan kata [rakyat] dilafalkan [ayat]
e. Fonem /r/ pada akhir kata
- Pelesapan fonem /r/ pada akhir kata ini terjadi pada saat anak mengucapkan kata [mahar] dilafalkan [maha]
f. Fonem /g/ pada awal kata
- Pelesapan fonem /g/ pada awal kata ini terjadi pada saat anak mengucapkan kata [gatal] dilafalkan [atal]
- Pelesapan fonem /g/ pada awal kata ini terjadi pada saat anak mengucapkan kata [guru] dilafalkan [uyu]
g. Fonem /i/ pada tengah kata
- Pelesapan fonem /i/ pada tengah kata ini dialami anak pada saat mengucapkan kata [Indonesia], yang pada
anak melafalkannya [indonesa], dan juga pada kata [lim] dilafalkan [elem].
3. Perubahan pada fonem
Selain adanya pelesapan diuraikan di atas pada bahasa anak prasekolah khususnya anak di TK ISLAM
TERPADU DOMPU ini juga mengalami adanya perubahan pada fonem-fonem dalam percakapan atau
bahasanya.
a. Perubahan fonem /k/ menjadi fonem /t/ pada awal kata
Pada data 1 terjadi perubahan yang dilakukan oleh anak yaitu pada kata [kaka?] menjadi [tata]. Selain
data 1, perubahan fonem /k/ menjadi /t/ juga terdapat pada data 2 yaitu pada kata [kantor] menjadi
[tantor].
b. Perubahan fonem /s/ menjadi fonem /c/ pada awal kata dan juga pada tengah kata
Pada data selanjutnya terjadi perubahan yang dilakukan oleh anak yaitu pada kata [susu] menjadi
[cucu]. Perubahan fonem /c/ menjadi /t/ juga terdapat pada kata [siram] menjadi [cilam] dan kata [sila]
menjadi [cila].
c. Perubahan fonem/r/ menjadi fonem /l/ pada tengah kata
Perubahan fonem/r/ menjadi fonem /l/ pada tengah kata terjadi perubahan fonem yang dilakukan oleh
anak yaitu pada kata [lari] menjadi [lali]. Selain itu, perubahan fonem /r/ menjadi /l/ juga terdapat
pada kata [rambu-rambu] menjadi [labu-labu] yang terjadi pada awal kata juga mengalami pelesapan
fonem /m/.
d. Perubahan fonem /c/ menjadi fonem /t/ pada awal kata
Pada data terjadi perubahan yang dilakukan oleh anak yaitu pada kata [cahaya] menjadi [tahaya].
Selain itu, perubahan fonem /c/ menjadi /t/ juga terdapat pada kata yaitu kata [cantik] menjadi [tantik].
e. Perubahan fonem /l/ menjadi /y/
Perubahan fonem/l/ menjadi fonem /y/ pada tengah kata terjadi perubahan fonem yang dilakukan oleh
anak yaitu pada kata [celana] menjadi [ceyana]. Selain itu, perubahan fonem /l/ menjadi /y/ juga
terdapat pada kata [celaka] menjadi [ceyaka]
f. Perubahan fonem /r/ menjadi fonem /y/
Perubahan fonem/r/ menjadi fonem /y/ pada tengah kata terjadi perubahan fonem yang dilakukan oleh
anak yaitu pada kata [guru] menjadi [guyu]. Selain itu, perubahan fonem /r/ menjadi /y/ juga terdapat
pada kata [darah] menjadi [daya] yang terjadi pada tengah kata. Terdapat pula perubahan fonem /r/ pada
tengah kata menjadi fonem /l/ yaitu kata [lurus] menjadi [lulus].
4. Dampak pelesapan dan perubahan fonem
Pada bahasa anak yang mengalami pelespan bahkan perubahan fonem ini ternyata memiliki dampak
tersendiri pada bahasa tersebut, sebab pelesapan dan perubahan fonem ini akan memunculkan atau
menimbulkan makna yang berbeda dari kata yang sebenarnya sehingga dapat menimbulkan kebingungan
pada pendengar dan berbeda pemaknaan pada kata atau kalimat yang diucapkan oleh anak.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dijelaskan di atas, maka dapat ditarik sebuah simpulan yakni:
1. Anak-anak prasekolah khususnya pada TK ISLAM TERPADU DOMPU ini mengalami pelesapan dan
perubahan fonem pada saat berdialog terhadap guru dan juga teman sebayanya yakni mengalami
Pelesapan fonem vokal yakni Fonem /i/ pada tengah kata, Pelesapan fonem konsonan yakni pada fonem
/b/, /m/, /n/, /i/, /g/, dan /r/ yang semua fonem tersebut berada pada awal kata.
2. Terdapat perubahan fonem pada bahasa anak yakni /k/→/t/, /s /→ /c/, /r/ → /l/, /c/ → /t/, /l/ → /y/, yang
berdampak pada perubahan makna.
171
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian ini tentu masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, diharapkan ada
penelitian lanjutan yang sekiranya dapat memambah data yang ada dan juga memperbaiki kemungkinan
kekeliruan dan kesalahan yang terjadi di dalam penelitian ini sehingga dapat menghasilkan sebuah penelitian
yang akurat dan berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dardjowijojo, Soenjono. 2010. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Edisi Keempat. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Dhieni, Nurbiana. dkk. 2011. Metode Pengembangan Bahasa. Jakarta: Universitas Terbuka.
Masitoh. Dkk. 2011. Strategi Pembelajaran TK. Jakarta: Universitas Terbuka.
Riyanto, Theo dan Martin Handoko. 2005. Pendidikan pada Usia Dini. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Soetjiningsih, Christiana Hari. 2012. (Seri Psikologi Perkembangan) Perkembangan Anak Sejak Pembuahan Sampai
dengan Kanak-kanak Akhir. Jakarta: Prenadamedia Group.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Ratu Rohullah Rozali Jauhari Alfanani Wirman Hardi Gunawan
Institusi : Universitas Mataram Universitas Mataram Universitas Mataram
Riwayat Pendidikan : S1 Universitas Hasanuddin S1 Universitas Mataram S1 Universitas Mataram
Minat Penelitian : • Psikolinguistik • Sosiolinguistik • Pendidikan Bahasa
• Bahasa • Analisis Wacana • Pendidikan Sastra
• Sosiolinguistik • Pendidikan Bahasa Indonesia • Sosiolinguistik

172
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
IMPLIKASI PRINSIP IRONI DALAM BAHASA JEPANG (KAJIAN PRAGMATIK)

Dinda Puteri Alhumaira


Universitas Padjadjaran
dindaputeri2011@gmail.com

ABSTRAK
Dalam proses komunikasi, pragmatik turut berperan serta dalam memaknai tuturan. Pragmatik merupakan salah satu
cabang ilmu linguistik yang mempelajari tentang makna dalam hubungannya dengan situasi – situasi ujar (Leech,
1993:8). Situasi – situasi ujar disebut konteks. Makna sebuah tuturan tidak sebatas apa yang diungkapkan. Ada makna
tersirat antara tuturan dengan yang dimaksudkan. Hal tersebut dapat dijelaskan melalui implikasi – implikasi
percakapan. Implikasi dapat diartikan sebagai maksud, pengertian, keterlibatan atau ungkapan – ungkapan hati yang
terselubung dalam suatu proses komunikasi. Di dalam percakapan, terdapat unsur yang disebut prinsip dan maksim
yang bersifat mengatur sebuah tuturan. Ada dua prinsip utama dalam percakapan yaitu prinsip sopan santun dan
prinsip kerjasama. Di antara kedua prinsip tersebut, terdapat sebuah prinsip yang bersifat parasit, yaitu prinsip ironi.
Ironi memungkinkan seseorang untuk bertindak tidak sopan melalui sikap yang seakan – akan sopan sehingga disebut
bersifat parasit. Ada ketidaktulusan di dalam prinsip ironi yang kadang – kadang tampak dengan jelas dan dapat
berupa pelanggaran maksim kuantitas atau maksim kualitas (Leech, 1993:225). Menurut Black (2001) implikasi pada
prinsip yang bersifat parasit ini memiliki implikasi atau maksud terselubung. Implikasi tersebut dapat berupa
mengkodekan komentar kasar terhadap lawan bicara, menyatakan rasa tidak setuju, upaya untuk menghidupkan
sebuah komentar, mengekspresikan sikap acuh saja, mengomentari sebuah situasi, dan memberikan kritik secara
samar. Sedangkan ciri ironi menurut Leech (1993) ditandai oleh pernyataan yang berlebihan (exaggeration),
pernyataan yang mengecilkan arti (understatement) dengan menggunakan penyangkalan (negation) penutur
mengemukakan sebuah pendapat yang jauh lebih lemah daripada yang sebetulnya dapat dibuatnya, menggunakan
proposisi yang tidak benar atau proposisi yang tidak informatif. Pada penelitian ini, penulis akan memaparkan bentuk
implikasi pada tuturan yang menggunakan prinsip ironi di dalam bahasa jepang. Data yang penulis gunakan berasal
dari Komik Kocchi Muite Mikko Vol. 11 – 16. Peneltian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengklasifikasikan
bentuk implikasi di dalam tuturan yang menggunakan prinsip ironi serta menjelaskan ciri ironi dalam tuturan tersebut.
Penulis menggunakan metode simak catat, yaitu menyimak komik Kocchi Muite Miiko Vol. 11 – 16, kemudian mencatat
tuturan – tuturan yang menggunakan prinsip ironi. Setelah melakukan simak catat, data – data kemudian
diklasifikasikan berdasarkan bentuk implikasi prinsip ironi lalu mendeskripsikannya. Untuk melakukan hal tersebut,
penulis menggunakan teori yang diungkapkan oleh Black (2001). Selanjutnya, penulis menganalisis ciri ironi dengan
menggunakan teori yang dikemukakan oleh Leech (1993). Pada akhir bab, penulis menarik kesimpulan dari hasil
analisis. Penelitian ini memiliki kesimpulan bahwa terdapat makna terselubung (implikasi) di dalam tuturan yang
menggunakan prinsip ironi. Dengan alasan mempertahankan kesantunan, penutur menggunakan ironi di dalam
menolak pendapat, mengkritik, atau hanya sekedar untuk menghidupkan suasana.
Kata kunci: pragmatik, implikasi, dan prinsip ironi

Pendahuluan
Pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu bidang linguistik. Dalam proses komunikasi, pragmatik
berperan serta dalam memaknai tuturan. Pragmatik adalah studi tentang makna dalam hubungannya dengan
situasi – situasi ujar (Leech, 1993:8). Situasi – situasi ujar disebut konteks, sehingga untuk memaknai
sebuah tuturan secara pragmatik perlu diperhatikan konteks dari percakapan tersebut. Makna sebuah tuturan
tidak sebatas yang diungkapkan, tetapi dapat dijelaskan melalui implikasi – implikasi percakapan. Implikasi
dapat diartikan sebagai maksud, pengertian, keterlibatan atau ungkapan – ungkapan hati yang terselubung
dalam suatu proses komunikasi.
Percakapan diatur oleh prinsip dan maksim. Ada dua prinsip utama dalam percakapan yaitu prinsip
sopan santun dan prinsip kerjasama. Di antara kedua prinsip utama tersebut, terdapat sebuah prinsip yang
bersifat parasit, yaitu prinsip ironi. Ironi memungkinkan seseorang untuk bertindak tidak sopan melalui
sikap yang seakan – akan sopan sehingga disebut parasit. Ada ketidaktulusan di dalam prinsip ironi yang
kadang – kadang tampak dengan jelas dan dapat berupa pelanggaran maksim kuantitas atau maksim kualitas
(Leech, 1993:225). Leech juga berpendapat bahwa ironi merupakan bentuk bela diri yang memadukan seni
menyerang dengan sebuah keluguan. Sehingga, jika situasi sudah mendekati konflik prinsip ironi dapat
menghindari agresi.
Peran konteks sangatlah penting di dalam memaknai sebuah tuturan yang menggunakan prisnip ironi.
Masyarakat jepang merupakan pengguna bahasa budaya konteks tinggi pada saat berkomunikasi.
Kesantunan bahasa jepang sedikit berbeda dengan konsep kesantunan di dalam bahasa asing lain. Mereka
merupakan masyarakat penganut groupisme yang sangat menjaga keutuhan kelompoknya. Oleh karena itu,
masyarakat jepang sangat memperhatikan hubungan antara penutur dan petutur.

173
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Dalam mempertahankan kesantunannya, tidak jarang mereka menggunakan prinsip ironi ketika
mengungkapkan perbedaan pendapat, kritik, atau bahkan hanya untuk humor belaka. Dengan menggunakan
prinsip ironi, penutur berusaha untuk mempertahankan kesopanan, meskipun terdapat implikasi yang
berkebalikan dengan fakta. Hal ini menyebabkan tuturan yang menggunakan prinsip ironi seringkali
melanggar prinsip kerjasama pada maksim kuantitas ataupun kualitas. Implikasi yang terdapat pada prinsip
ironi dalam bahasa Jepang ini melatarbelakangi penulis untuk menelitinya lebih lanjut dengan judul
‘Implikasi Prinsip Ironi dalam Bahasa Jepang’.

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEPTUAL


Penelitian ini menggunakan teori prinsip ironi yang dikemukakan oleh Black (2001) dan Leech (1993) untuk
menganalisis data. Secara umum, ironi didefinisikan sebagai ‘mengatakan sesuatu tetapi memaksudkan hal
yang lain’. Hal lain di dalam ironi dijelaskan melalui implikasi – implikasi percakapan. Maksud terselubung
atau implikasi tersebut dikaji melalui teori yang diungkapkan oleh Levinson (1983) dalam Lubis (1991).
Menurut Levinson implikasi dapat menjelaskan (1) makna atau fakta – fakta kebahasaan yang tidak
terjangkau oleh teori linguistik, (2) mendeskripsikan perbedaan lahiriah dari yang dimaksud pemakai bahasa,
(3) memberikan pemaknaan semantik yang sederhana tentang hubungan klausa yang dihubungkan dengan
kata penghubung yang sama, dan (4) memberikan berbagai fakta yang secara lahiriah kelihatan tidak
berkaitan, malah berlawanan (seperti metafora). Dalam menganalisis tuturan yang menggunakan prinsip
ironi, konteks percakapan berperan sangat penting. Penulis menggunakan konsep konteks yang
dikemukakan oleh Hymes. Menurutnya, konteks ditentukan oleh akronim SPEAKING.
Prinsip Ironi
Menurut Leech (1993:228) ironi adalah cara ramah untuk menyinggung perasaan orang (sopan santun yang
mengejek = mock-politeness). Ironi sangat tergantung pada kemampuan penuturnya untuk melihat sesuatu
dengan menggunakan perspektif yang bertentangan. Di dalam bahasa jepang ironi disebut dengan hiniku
(皮肉) .
Black (2001:237) mengatakan bahwa ironi biasanya didefinisikan sebagai ‘mengatakan sesuatu
tetapi memaksudkan hal yang lain’. Ironi sangat bergantung pada konteks dan penilaian kita terhadap
penutur dan pendengar, hubungan antara penutur dan pendengar, dan hubungan mereka dengan topik yang
dibahas untuk ditafsirkan. Kesenjangan yang mencolok antara apa yang dikatakan dengan situasi yang
terjadi menjadi salah satu indikasi terjadinya ironi. Di dalam bahasa lisan, intonasi bahkan ekspresi wajah
bisa menunjukan bahwa kita sedang berhadapan dengan sebuah ucapan yang ironis.
Leech mengungkapkan bahwa tuturan ironi dapat ditandai dengan pernyataan yang berlebihan
(exaggeration). Misalnya penutur berpura – pura bersikap ekstrem dengan mengatakan ‘That’s all the only
thing I wanted’ ‘Hanya itu yang saya inginkan’. Daya ironi ini tidak akan terasa jika penutur hanya
mengucapkan ‘That’s what I wanted’ ‘Itu yang saya inginkan’, sehingga, agar daya ironi terasa oleh petutur,
penutur melebih – lebihkan pernyataannya. Selain itu, secara ironis, pernyataan ‘That’s all the only thing I
wanted’ ‘Hanya itu yang saya inginkan’ dapat juga bermakna ‘Justru itu yang tidak saya inginkan’.
Kepalsuan pernyataan ini dapat dibuat lebih jelas bagi petutur bila disertai dengan nada tuturan yang
kontradiksi dengan tuturan, yaitu nada yang lebih banyak menunjukan ketidaksabaran. Pada tuturan tersebut
bukan proposisi yang tidak benar tetapi proposisi yang sangat tidak informatif. Tuturan yang menggunakan
prinsip ironi juga dapat menyinggung perasaan dengan menggunakan perintah – perintah sarkasme, seperti
pada tuturan imperatif ‘Don’t mind me’ ‘Jangan hiraukan aku’ yang ditujukan pada seseorang yang menyela
pembicaraan secara kasar. Pada tuturan di atas maksim kualitas juga dilanggar secara tidak langsung.
Implikasi Ironi
Black (2001) menyebutkan bahwa ironi dapat mengimplikasikan sebuah komentar kasar yang tidak
dikatakan secara langsung dan memberikan kritik secara samar. Selain itu, ironi sering kali melanggar
maksim kualitas (menyatakan pernyataan yang tidak sesuai fakta) dengan tujuan mempertahankan
kesopanan. Hal tersebut bersinggungan dengan teori white lies yang dikemukakan oleh Leech (1993:125).
Leech (1993:227) mengungkapkan bahwa prinsip ironi juga mempunyai fungsi yang positif, melalui
ironi sikap – sikap agresif dapat tersalurkan dalam bentuk verbal yang tidak seberbahaya serangan langsung
seperti kritik, penghinaan, ancaman dan sebagainya. Dari pernyataan Leech tersebut dapat disimpulkan
bahwa pertentangan yang diungkapkan melalui ironi tidak akan menimbulkan konflik sebesar pertentangan
yang diungkapkan secara langsung.
Prinsip ironi dapat pula mengimplikasikan humor. Tarigan (1990:96) berpendapat bahwa ironi
beraneka ragam dalam kekuatannya, mulai dari ironi komik sampai pada ironi yang lebih menyayat hati.

174
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Ironi ringan merupakan suatu bentuk humor sedangkan ironi berat atau keras biasanya merupakan sarkasme
atau satire. Ironi yang mengimplikasikan humor, tuturannya menjadi tidak langsung atau disamarkan atau
dapat pula diplesetkan dari arti sebenarnya, sehingga menimbulkan tawa bagi petuturnya.

TEMUAN DAN BAHASAN


1. Konteks: Dituturkan oleh Naoko (ketua murid kelas 5) kepada Moeta (teman sekelasnya) yang akan
meminjam tugas kanji. Teman – teman sekelasnya mengenal Naoko sebagai ketua murid yang
baik dan selalu dapat diandalkan. Akan tetapi di dalam hatinya, Naoko sering mengeluhkan
sikap teman – teman yang selalu memanfaatkan kebaikan dirinya.
なおこ :おはよっもえたん!
もえた :それでさー算数やってたら漢字の宿題忘れちゃって、悪いけどうつさせてくれるー?
なおこ :あははっまっかせて!(も~っすこしは自分でやりなさいよ!!)
Naoko : Ohayo… Moetan!
Moeta : Soredesa~ sansuu yattetara kanji no shukudai wasurechatte, waruikedo utsusasete kureru~?
Naoko : Ahaha… Makkasete! (Mo…sukoshi wa jibun de yarinasai yo!)
Naoko : Pagi Moeta!
Moeta : Oh ya, aku lupa bikin peer kanji, boleh pinjam, nggak?
Naoko : Hahaha, tentu saja boleh! (sekali – sekali bikin sendiri, dong!)
(Kocchi Muite Miiko Vol.13)
あははっまっかせて
Pada contoh (1), Naoko mengungkapkan ‘ !’ padahal yang ingin dituturkannya
adalah ‘も~っすこしは自分でやりなさいよ!! ’ yang artinya ‘Sekali – sekali bikin sendiri, dong!’.
Perbedaan antara yang dikatakan dengan maksud yang ingin disampaikannya ini sesuai dengan teori Leech.
Ungkapan di atas disebut dengan proposisi tidak informatif dan menjadi indikator terjadinya ironi. Selain itu,
ketidaksesuaian tuturan dengan fakta dalam ungkapan juga melanggar prinsip kerjasama pada maksim
kualitas. Prinsip ironi yang dituturkan oleh Naoko termasuk kedalam implikatur berbohong. Ketidaktulusan
ungkapan saat meminjamkan tugas kanjinya kepada Moetan sesuai dengan teori white lies yang
dikemukakan oleh Leech.
2. Konteks: Dituturkan oleh Mari (sahabat Miiko, kelas 5 SD) kepada Miiko yang baru mendapatkan
angpao dari pamannya. Mereka baru saja melihat ramalan nasib. Miiko dan Yukko
mendapatkan nasib baik sedangkan Mari mendapatkan ramalan nasib buruk. Miiko
beranggapan bahwa ramalan tersebut benar karena setelah itu ia mendapatkan angpao dari
pamannya.
みい子 わーっありがとうー!あのおみくじほんとに当たってる!
:
マリ :あたしだっておばーちゃんとおじーちゃんと、おじちゃんとおばちゃん二人からもら
ったもんね!!
みい子 :え...すごーい!
Miiko : Waa…tsk, arigatou…! Ano omikuji hontoni atatteru!
Mari : Atshidatte obaachan to ojiichan to, ojichan to obachan futari kara moratta mon ne!
Miiko : E… sugoi
Miiko : Waah, makasih! Ramalanku jitu looh!
Mari : Aku punya dua kakek, dua nenek, dua oom dan dua tante. Semuanya bakal kasih angpao!
Miiko : Eh, marah lagi…
(Kocchi Muite Miiko Vol.13:140)
あたしだっておばーちゃんとおじーちゃんと、おじちゃんと
Pada contoh (2), tuturan Mari ‘
おばちゃん二人からもらったもんね!!’ yang artinya ‘Aku punya dua kakek, dua nenek, dua om dan
dua tante. Semuanya bakal kasih angpao!’ mengimplikasikan bahwa dirinya tidak setuju dengan temannya
yang berpendapat bahwa ramalan tersebut jitu. Tuturan Mari yang menyebutkan seluruh anggota keluarga
yang akan memberinya angpao ini sesuai dengan ciri ironi yang diungkapkan oleh Leech, yaitu agar daya
ironi terasa oleh lawan bicara, penutur melebih – lebihkan pernyataannya. Selain menjadi indikator ironi,
pernyataan yang berlebihan yang dituturkan oleh Mari melanggar prinsip kerjasama pada maksim kuantitas,
karena informasi yang diutarakannya tidak dibutuhkan oleh lawan tutur.
Ironi dalam tuturan tersebut termasuk ke dalam implikatur pertentangan. Miiko yang mendapatkan
ramalan nasib baik, beranggapan bahwa angpao dari pamannya merupakan bukti bahwa ramalannya jitu
dengan mengatakan ‘ あのおみくじほんとに当たってる! ’ yang artinya ‘Ramalanku jitu looh!’.
Sedangkan Mari yang mendapatkan ramalan nasib buruk, beranggapan bahwa angpao tersebut tidak ada
175
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
hubungannya dengan ramalan. Kebalikan asumsi dalam tuturan Mari ini sesuai dengan teori pertentangan
yang dikemukakan oleh Keraf.
3. Konteks: Dituturkan oleh Mari kepada Miiko yang baru saja pulang menonton bersama Yoshida. Mama
mengira mereka baru saja berkencan. Mari kaget saat mendengar hal itu, lalu mengatakan
bahwa Miiko harus menunggu sepuluh ribu tahun lagi baru bisa kencan. Komentar tersebut
membuat teman – teman yang lain tertawa.
まり :そーよねーみい子にデートなんて1万年はやいわよー
たっぺい :100万年だよ!100万年!
みい子 :なっなによ!
Mari : Sou yo nee, Miiko ni de-to nante ichi man nen hayai wa yo!
Tappei : Hyaku man nen da yo! Hyaku man nen!
Miiko : Nannani yo!
Mari : Miiko sih harus nunggu sepuluh ribu tahun lagi, baru boleh kencan
Tappei : Bukan 10ribu 100 ribu!
Miiko : Jahat ah!
(Kocchi Muite Mikko, Vol.11:113)
Pada contoh (3), secara ironi tuturan Mari ‘そーよねーみい子にデートなんて1万年はやいわよ
ー ’ bertujuan untuk menyinggung perasaan Miiko karena mengimplikasikan bahwa temannya ini tidak
mungkin kencan. Hal itu sesuai dengan prinsip ironi yang diungkapkan oleh Leech.
Prinsip ironi dalam tuturan tersebut termasuk ke dalam implikatur humor. Mari menekankan bahwa
temannya ini tidak mungkin berkencan dengan mengatakan jangka waktu yang sangat lama untuk Miiko
dapat berpacaran, yaitu sepuluh ribu tahun. Penekanan terhadap ketidakmungkinan berkencan ini membuat
teman – temannya yang lain tertawa. Hal ini sesuai dengan teori humor yang dinyatakan oleh Freud. Seperti
yang dikemukakan oleh Leech bahwa tuturan ironi akan bersinggungan dengan prinsip percakapan lainnya.
Penekanan yang bertujuan untuk menciptakan humor ini merupakan hal yang tidak menyenangkan mengenai
temannya sehingga melanggar prinsip sopan santun pada maksim pujian.

KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat tiga implikasi prinsip ironi dalam Komik Kocchi Muite Miiko
Vol. 11–16, yaitu berbohong, pertentangan, dan humor. Pada implikasi berbohong, penutur mengungkapkan
tuturan yang berkebalikan dengan maksud hati. Ironi yang mengimplikasikan berbohong dengan jelas
melanggar prinsip kerjasama pada maksim kualitas. Ironi yang mengimplikasikan humor menimbulkan tawa
bagi para peserta percakapan. Penulis menemukan pelanggaran prinsip sopan santun pada maksim pujian di
dalam tuturan ironi yang mengimplikasikan humor. Sedangkan pada implikasi pertentangan, secara tidak
langsung penutur memiliki asumsi yang berkebalikan dengan petutur. Terdapat pelanggaran prinsip
kerjasama pada maksim kualitas dan kuantitas di dalam tuturan ironi yang mengimplikasikan pertentangan.
Hal tersebut terjadi karena penutur memberikan informasi yang tidak informatif atau ada pula yang
menuturkan penyataan yang berlebihan.

DAFTAR PUSTAKA
Black, E. 2001. Stilistika Pragmatis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Keraf, G. 1982. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: PT. Gramedia
Leech,G.N.1993. Prinsip – Prinsip Pragmatik.London, New York: Longman
Lubis, H.H. 1991. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung:Angkasa
Tarigan, H.G. 1990. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa
Sumber data: Kocchi Muite Miiko Vol. 11 – 16 karya Ono Eriko

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Dinda Puteri Alhumaira
Institusi : Universitas Padjadjaran
Riwayat Pendidikan : S1 Sastra Jepang Universitas Padjadjaran
Minat Penelitian : • Pragmatik
• Sosiopragmatik
• Psikolinguistik

176
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
STRATEGI PENGUASAAN KATA SERAPAN BAHASA INGGRIS DALAM BAHASA JEPANG
(WASEI-EIGO ) PADA PEMELAJAR BAHASA JEPANG ORANG INDONESIA

Vera Yulianti
Universitas Al Azhar Indonesia
vera.yulianti@uai.ac.id

ABSTRAK
Wasei-eigo adalah kata serapan bahasa Inggris dalam bahasa Jepang. Menurut Dalton ( 2009 ) sepuluh persen dari
bahasa Jepang yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari sekarang adalah wasei-eigo., baik dalam komunikasi
lisan maupun dalam komunikasi tulisan. Namun, meskipun wasei-eigo diserap dari bahasa Inggris, tidak berarti
penutur asli bahasa Inggris atau orang yang menguasai bahasa Inggris yang mempelajari bahasa Jepang memahami
dan menguasai wasei-eigo. Agar dapat mudah digunakan oleh orang Jepang, pelafalan dan penulisan bahasa Inggris
yang menjadi wasei-eigo mengalami penyesuaian . Penyesuaian ini membuat wasei-eigo menjadi sulit dipahami oleh
penutur asli atau pembelajar bahasa Inggris bukan orang Jepang. Dalam buku ajar bahasa Jepang untuk orang asing
pun wasei-eigo cukup banyak digunakan. Tidak sedikit pemelajar bahasa Jepang yang mengeluh kesulitan untuk
menguasai wasei-eigo ini karena pelafalan dan penulisannya yang sama sekali berbeda dengan bahasa Inggris. Oleh
karena itu, penelitian yang mempelajari strategi penguasaan wasei-eigo menjadi diperlukan. Penelitian ini bertujuan
untuk mempelajari strategi penguasaan kata serapan bahasa Inggris dalam bahasa Jepang (wasei-eigo) pada orang
Indonesia pemelajar bahasa Jepang. Responden dari penelitian ini adalah dua puluh orang Indonesia pemelajar
bahasa Jepang tingkat pemula yang sedang belajar bahasa Jepang di Universitas Al Azhar Indoesia. Kemampuan
bahasa Jepang responden penelitian ini adalah setara dengan N5 Ujian Kemampuan Bahasa Jepang JLPT (Japanese
Language Proficiency Test ) atau setara dengan standar A1 CEFR. Semua dari responden memiliki kemampuan
bahasa Inggris setara dengan TOEFL paper based di atas 450. Kepada mereka diperkenalkan sejumlah kosa kata
wasei-eigo dengan pendekatan aturan pelafalan dan aturan penulisan masing-masing kosakata tersebut. Untuk
mempermudah penguasaan wasei-eigo tersebut, pada saat latihan dasar juga diberikan contoh kalimat penggunaan
dan latihan-latihan penerapan. Di akhir, untuk memastikan pemahaman responden akan wasei-eigo yang sudah
diperkenalkan diadakan kuis yang berfokus pada penerapan penggunaan wasei-eigo dalam komunikasi. Dari hasil
analisis data terlihat bahwa pendekatan aturan penulisan ejaan wasei-eigo lebih membantu dalam penguasaan wasei-
eigo bagi responden dibandingkan dengan pendekatan aturan pelafalan wasei-eigo. Dapat dipertimbangkan bahwa
latar belakang responden yang juga bukan merupakan penutur asli bahasa Inggris dan juga bukan pengguna bahasa
Inggris sebagai bahasa kedua, menjadi alasan munculnya hasil penelitian ini.
Kata kunci: kata serapan, wasei-eigo, strategi penguasaan, pemelajar bahasa Jepang, orang Indonesia

PENDAHULUAN
Wasei-eigo adalah kata serapan bahasa Inggris dalam bahasa Jepang. Menurut Dalton (2009) sepuluh persen
dari bahasa Jepang yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari sekarang adalah wasei-eigo, baik dalam
komunikasi lisan maupun dalam komunikasi tulisan. Wasei-eigo atau Japanized English Words adalah
kosakata bahasa Jepang yang diserap dari bahasa Inggris, namun oleh orang Jepang lafal dan artinya
dimodifikasi sehingga seringkali penutur asli bahasa Inggris tidak dapat memahami kosakata tersebut.
Kosakata seperti デパート (department store), エアコン (air conditioner) dan lain-lain adalah contoh
wasei-eigo yang sulit dipahami oleh penutur asli bahasa Inggris. Kesulitan ini juga dialami oleh pemelajar
bahasa Jepang bukan penutur asli bahasa Inggris, meskipun ada kemungkinan bahasa Inggris adalah bahasa
kedua yang dipelajari sejak lama.
Berdasarkan pengalaman penulis sebagai pengajar maupun pembelajar bahasa Jepang, kesulitan
menghafal bentuk tulisan dan memahami makna waseieigo ini, disebabkan adanya modifikasi bentuk
morfologi dari kosakata asal dalam bahasa Inggris menjadi wasei-eigo. Ketidakpahaman akan pola
morfologi tersebut mengakibatkan tidak adanya acuan untuk menguasai wasei-eigo sebagai bagian dari
kosakata bahasa Jepang yang sering digunakan dalam komunikasi bahasa Jepang sehari-hari baik dalam
bentuk tulisan maupun lisan. Dalam buku ajar bahasa Jepang untuk orang asing pun wasei-eigo cukup
banyak digunakan. Tidak sedikit pemelajar bahasa Jepang yang mengeluh kesulitan untuk menguasai wasei-
eigo ini karena pelafalan dan penulisannya yang sama sekali berbeda dengan bahasa Inggris. Oleh karena itu,
penelitian yang mempelajari strategi penguasaan wasei-eigo menjadi diperlukan. Penelitian ini bertujuan
untuk mempelajari strategi penguasaan kata serapan bahasa Inggris dalam bahasa Jepang ( wasei-eigo ) pada
orang Indonesia pemelajar bahasa Jepang.

177
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
KAJIAN LITERATUR
Penelitian Tanabe Youji (1989) menunjukkan bahwa ciri-ciri morfologi wasei-eigo dapat diklasifikasikan
baik berdasarkan arti (imi) maupun pelafalan (hatsuon) kosakata asli dalam bahasa Inggris yang diserap oleh
wasei-eigo tersebut. Adapun ciri-ciri morfologi wasei-eigo dapat diklasifikasikan dalam empat belas
kelompok.
Namun demikian, berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh penulis, dari empat belas
ciri morfologi wasei-eigo tersebut, yang paling banyak muncul pada buku ajar bahasa Jepang tingkat
pemula “Minna no Nihongo“ hanyalah lima ciri. Kelima ciri wasei-eigo tersebut adalah “tango gata (bentuk
kosakata) – fukugou gata (bentuk frasa)“, “dougi gata (bentuk sinonim) – igi gata (bentuk antonim)”,
“ kanzen gata (bentuk utuh) – shyouryaku gata (bentuk singkatan)” dan “ onsei shakuyou gata (bentuk
serapan lafal) – moji shakuyou gata (bentuk serapan tulisan)“ (Yulianti, 2015) .
Pada studi pendahuluan tentang strategi penguasaan wasei-eigo ini, penelitian akan difokuskan pada
ciri morfologi wasei-eigo: “onsei shakuyou gata (bentuk serapan lafal) – moji shakuyou gata (bentuk
serapan tulisan). Alasan pembatasan in adalah karena responden adalah mahasiswa baru yang pengetahuan
akan linguistik bahasa Jepang masih sangat terbatas sehingga yang dianggap paling mudah untuk
diperkenalkan melalui pendekatan bunyi dan tulisan.
Adapun yang dimaksud dengan ciri “onsei shakuyou gata (bentuk serapan lafal) – moji shakuyou
gata (bentuk serapan tulisan) adalah sebagai berikut. Menurut Tanabe, wasei-eigo yang ditulis dengan
katakana berdasarkan cara pelafalan kata asal dalam bahasa Inggrisnya sebagai kategori “onsei shakuyou
gata“ bentuk serapan lafal) dan wasei-eigo yang ditulis dengan katakana berdasarkan cara penulisan kata
asal dalam bahasa Inggrisnya sebagai kategori “moji shakuyou gata“ (bentuk serapan penulisan). Contoh
wasei-eigo yang termasuk kelompok “bentuk serapan lafal” yang diungkapkan Tanabe adalah purinプリン
(pudding). Sedangkan contoh “bentuk serapan penulisan“ yang diungkapkan Tanabe adalah aiburouアイブ
ロウ (eyebrow) yang jika disesuaikan dengan pelafalannya seharusnya dituliskan aiburau アイブラウ .
Adapun mengenai strategi penguasaan wasei-eigo sebagai kata serapan bahasa Inggris dalam bahasa
Jepang, Okamoto (1997) dalam penelitiannya tentang proses pemelajar bahasa Jepang orang Cina menguasai
wasei-eigo mengemukakan sebagai berikut. Pertama adalah dengan memahami cara penulisan wasei-eigo
dalam huruf Katakana bahasa Jepang. Kedua adalah dengan memahami makna kata serapan tersebut dalam
bahasa Inggris. Ketiga adalah dengan mengingat pelafalannya dalam bahasa Inggris penutur asli. Keempat
adalah dengan mengingat pelafalannya dalam bahasa Jepang. Kelima, kembali memfokuskan pada
penulisannya dengan katakana. Lebih lanjut, Okamoto mengatakan pemelajar yang memiliki kemampuan di
atas pemelajar lain, hanya melalui tiga tahap saja yaitu tahap pertama dan kedua dilalui bersamaan, tanpa
melalui tahap ketiga langsung melalui tahap keempat dan akhirnya tahap keempat dan kelima dilakukan
bersamaan.
Berbeda dengan studi pendahuluan yang dilakukan penulis, responden penelitian ynag dilakukan
Okamoto memiliki kemampuan bahasa Inggris yang tinggi yaitu skor 600 ke atas untuk tes TOEFL karena
mereka adalah para peneliti yang sudah terbiasa membaca textbook berbahasa Inggris. Sedangkan pada
penelitian pendahuluan ini, responden adalah mahasiswa tingkat 1 yang mempunyai kemampuan TOEFL
berkisar antara 400-550. Pada bagian hasil dan diskusi akan dibandingkan hasil studi pendahuluan ini
dengan hasil yang diperoleh Okamoto.

TUJUAN DAN RUANG LINGKUP PENELITIAN


Tujuan penelitian yang berupa studi pendahuluan ini adalah bertujuan untuk mempelajari strategi
penguasaan kata serapan bahasa Inggris dalam bahasa Jepang (wasei-eig ) pada orang Indonesia pemelajar
bahasa Jepang. Adapun ruang lingkup penelitian dibatasi pada pemelajar bahasa Jepang di tingkat dasar
(sebagian besar setara dengan JLPT N5) yang memiliki kemampuan bahasa Inggris dasar menengah
(kemampuan TOEFL paper based berkisar antara 400-613).

METODE PENELITIAN
Responden dari penelitian ini adalah 25 orang Indonesia pemelajar bahasa Jepang tingkat pemula yang
sedang belajar bahasa Jepang di Universitas Al Azhar Indoesia. Kemampuan bahasa Jepang responden
penelitian ini adalah setara dengan N5 (22 orang) dan N3 (22 orang) Ujian Kemampuan Bahasa Jepang
JLPT (Japanese Language Proficiency Test) atau setara dengan standar A1 (JLPT N5) dan B1 (JLPT N3)
CEFR. Semua dari responden memiliki kemampuan bahasa Inggris setara dengan TOEFL paper based
berkisar antara 400-613. Pertama, kepada para responden diberikan tes awal berupa dikte kosakata wasei-
eigo yang pelafalannya dekat dengan bahasa Inggris dan wasei-eigo yang penulisannya dekat dengan
178
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
penulisan dalam bahasa Inggris yang diambil dari buku ajar bahasa Jepang tingkat pemula “ Minna no
Nihongo 1“. Kesepuluh kata tersebut adalah nyuusu (news), sakka (soccer), meetoru (meter), rasshu (rush),
pasupooto (passport), chiketto (ticket), eameeru (air mail), sandoicchi (sandwich), paatii (party), dan
daietto (diet). Kemudian, kepada mereka diperkenalkan sejumlah kosa kata wasei-eigo yang menjadi soal tes
awal, dengan pendekatan aturan pelafalan dan aturan penulisan masing-masing kosakata tersebut. Di akhir,
untuk memastikan pemahaman responden akan wasei-eigo yang sudah diperkenalkan diadakan tes akhir
berupa tes dikte yang sama dengan tes awal .

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil dan pengumpulan data studi pendahuluan ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu penguasaan
responden terhadap bunyi wasei-eigo dan penguasaan responden terhadap makna wasei-eigo.

Grafik 1. Hasil Tes Dikte Penguasaan Bunyi Grafik 2. Hasil Tes Dikte Pemahaman Makna
Grafik 1 adalah grafik yang menunjukkan hasil tes dikte ditinjau dari penguasaan bunyi wasei-eigo.
Dari sepuluh kosakata wasei-eigo yang diujikan, terdapat tujuh kosakata yang perolehan nilai pada tes awal
kurang dari 70 %. Berturut-turut kosakata yang urutan nilainya paling rendah adalah meetoru (13%), daietto
(28%), rasshu (32%), sandoicchi (40%), nyuusu (48%), paatii (52%) dan sakkaa (56%). Jika dillihat dari
ciri fonologinya, ketujuh kata tersebut dapat dikelompokkan kedalam dua kategori. Pertama adalah
kelompok kosakata yang memiliki vokal panjang pada suku kata pertama, yaitu meetoru, nyuusu dan paatii.
Kedua adalah kelompok kosakata yang memiliki konsonan rangkap sebelum akhir suku kata, yaitu pada
daietto, rasshu, sandoicchi dan sakkaa. Sedangkan dari hasil tes kedua, kosakata wasei-eigo yang tidak
menunjukkan perkembangan berarti dalam proses penguasaannya dibandingkan kosakata lain adalah rasshu
(4%) dan nyuusu (16%). Berbeda dengan kosakata lain, kedua kata ini selain memiliki vokal panjang atau
konsonan rangkap, juga memiliki ciri fonologi bahasa Jepang yang khas, yaitu silabi gabungan konsonan
dengan bunyi ya yo yo kecil (shi + yu kecil →shu dan ni + yu kecil→nyuu).
Meskipun pada penelitian ini tidak difokuskan pada keterkaitan ciri-ciri fonologi bunyi bahasa
Jepang dengan strategi penguasaan wasei-eigo, namun dari temuan di atas, dapat dipertimbangkan
keterkaitan antara penguasaan ciri-ciri fonologi bahasa Jepang dengan penguasaan wasei-eigo. Dalam
bahasa Indonesia sendiri tidak terdapat vokal panjang, konsonan rangkap dan gabungan silabi konsonan
dan ya yu yo kecil sehingga responden tidak terbiasa mendengar bunyi vokal panjang dan konsonan rangkap.
Grafik 2 adalah grafik yang menggambarkan hasil tes dikte ditinjau dari pemahaman makna wasei-
eigo. Dari sepuluh kosakata wasei-eigo yang diujikan hanya dua kosakata yang pada tes awal mendapatkan
nilai di bawah 70 %, yaitu rasshu ( rush ) dan eameeru ( air mail ). Dalam wawancara lanjutan responden
menjelaskan bahwa kedua kosakata tersebut meskipun dalam bahasa Inggrisnya jarang mereka gunakan
dalam percakapan sehari-hari sehingga sulit untuk segera mengaitkan bunyi wasei-eigo tersebut dengan
bahasa Inggrisnya. Sebaliknya kosakata lain, karena dalam bahasa Inggrisnya sering digunakan dalam
komunikasi sehari-hari sehingga mudah untuk segera mengaitkannya dengan bunyi wasei-eigonya.
Untuk mengetahui strategi menguasai wasei-eigo, dilakukan wawancara lanjutan terhadap
responden. Dari hasil wawancara lanjutan tersebut diperoleh jawaban sebagai berikut. Pertama adalah
berusaha mengingat aturan penulisan wasei-eigo dalam katakana. Kedua, mengingat cara melafalkan wasei-
eigo tersebut dalam bahasa Inggris. Ketiga berusaha menghubungkan wasei-eigo tersebut dengan bahasa
Inggris yang maknanya sepadan untuk memahami makna. Keempat, menghubungkan makna wasei-ego
bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Kelima, mengingat cara pelafalan wasei-eigo dengan lafal bahasa

179
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Jepang. Menariknya, responden yang mempunyai skor TOEFL tinggi, umumnya tidak melalui tahap
keempat, namun langsung pada tahap kelima.
Jika dibandingkan strategi yang digunakan responden penelitian ini dengan strategi yang digunakan
responden penelitian Okamoto, persamaannya adalah memulai tahapan dengan mengingat aturan penulisan
wasei-eigo tersebut dalam katakana bahasa Jepang. Perbedaan strategi upenguasaan wasei-eigo yang
digunakan responden penelitian ini dengan strategi yang digunakan oleh responden penelitian Okamoto
adalah jika responden penelitian ini setelah mengingat cara penulisan katakana wasei-eigo tersebut,
kemudian berusaha mengingat lafal dalam bahasa Inggrisnya terlebih dahulu baru mengaitkan dengan
makna dalam bahasa Jepang. Sebaliknya responden penelitian Okamoto mengaitkan dengan makna bahasa
Inggris terlebih dahulu baru mengingat kembali lafal dalam bahasa Inggris. Selain itu, responden Okamoto
tidak membutuhkan bahasa ibu sebagai pengantar untuk mengingat arti wasei-eigo tersebut.
Melihat persamaan dan perbedaan hasil strategi yang digunakan tersebut dan melihat latar belakang
masing-masing responden, agaknya dapat dipertimbangkan keterkaitan kemampuan bahasa Inggris dan
intersitas interaksi dengan bahasa Inggris dalam menguasai wasei-eigo. Semua responden penelitian
Okamoto adalah peneliti yang intensitas interaksinya dalam bahasa Inggris terutama untuk keperluan
membaca sangat tinggi dan memiliki kemampuan bahasa Inggris yang sangat baik. Mereka terlebih dahulu
mengaitkan makna dalam bahasa Inggris daripada melafalkan kembali wasei-eigo tersebut dalam bahasa
Inggris. Sementara responden penelitian ini yang intensitas interaksi dengan bahasa Inggris dan kemampuan
bahasa Inggrisnya lebih rendah dibandingkan responden penelitian Okamoto, mendahulukan mengingat
kembali lafal dalam bahasa Inggris, baru kemudian mengaitkan maknanya dalam bahasa Inggris. Oleh
karena itu, ada kemungkinan pula alasan responden penelitian ini juga membutuhkan bahasa ibu (bahasa
Indonesia) sebagai bantuan untuk mengingat makna wasei-eigo adalah karena kurangnya intensitas
penggunaan bahasa Inggris. Namun, karena responden penelitian Okamoto dan penelitian ini bukan penutur
asli bahasa Inggris, maka mengingat aturan penulisan wasei-eigo dalam Katakana dianggap strategi yang
lebih mudah daripada mengingat aturan pelafalannya.

SIMPULAN
Dari hasil analisis data terlihat bahwa pendekatan aturan penulisan ejaan wasei-eigo lebih membantu dalam
penguasaan wasei-eigo bagi responden dibandingkan dengan pendekatan aturan pelafalan wasei-eigo. Selain
itu, penguasaan bahasa Ingris dan kekerapan penggunaan bahasa Inggris sedikit banyak membantu dalam
penguasaan wasei-eigo yang bunyi dan penulisannya dekat dengan bahasa Inggris terutama dalam
mengaitkan makna. Dapat dipertimbangkan bahwa latar belakang responden yang juga bukan merupakan
penutur asli bahasa Inggris dan juga bukan pengguna bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, menjadi alasan
munculnya hasil penelitian ini.

USULAN PENELITIAN LANJUTAN DAN SARAN PENGAJARAN


Pada penelitian ini tidak difokuskan pada keterkaitan antara ciri fonologi bahasa Jepang dengan pelafalan
bunyi wasei-eigo kosakata. Oleh karena itu, tidak dapat diperoleh hasil penelitian yang menunjukkan
bagaimana proses pemelajar menguasai bunyi wasei-eigo yang tidak terdapat dalam bahasa ibunya dan tidak
mirip atau berbeda dengan bahasa Inggris. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lanjutan yang mengaitkan
ciri-ciri fonologi bahasa Jepang dengan penguasaan wasei-eigo. Selain itu, kepada pengajar bahasa Jepang
hendaknya juga mempertimbangkan untuk mengenalkan ciri-ciri fonologi tersebut pada saat mengenalkan
kosakata wasei-eigo.

REFERENSI
Daulton, Frank E. 2009. A Sociolinguist Explanation of Japan’s Prolific Borrowing of English. The Ryokoku Jounal of
Humanities and Sciences Vol.30 No.2
Irwin, Mark. 2011. Loanwords in Japanese. Amsterdam/Philadelphia : John Benjamins
Miller, Laura. 1997. Wasei eigo: English ‘loanwords’ coined in Japan. Language in Contact. In The Life of Language:
Papers in Linguistics in Honor of William Bright, edited by Jane Hill, P.J. Mistry and Lyle Campbell,
Mouton/De Gruyter: The Hague, pp. 123-139. Retrieved from https://www.academia.edu/174611/Wasei_eigo
_English_loanwords_coined_in_Japan
Nettowaku, Suriie . 1998. Minna no Nihongo 1. Tokyo : 3A Corporation.
Okamoto, Sachiko. 1997. Gairaigo no Shuutoku Sutoratejii: Chuugoku de Manabu Chuugoku jin Kenkyuusha ni Miru
Gairaigo no Chuukan Gengo. Bulletin of Japanese Language Center for International Students 23, 97-109,
1997-03
Stanlaw, James. 2004. Japanese English Language and Culture Contact. Hongkong: Hongkong University Press

180
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Tanabe, Youji. 1990. Wasei eigo no Keitai Bunrui. Bulletin of Center for Japanese Language, Waseda University 2,
1-26, 1990-03-25. Retrieved from http://ci.nii.ac.jp/els/110000470363.pdf?id=ART0000852166&type=pdf&
lang=en&host=cinii&order_no=&ppv_type=0&lang_sw=&no=1437390663&cp=
Yulianti, Vera. 2015. Analisis Karakteristik Morfologi Wasei-eigo ( Japanized-english Loanwords ) Pada Bahan Ajar
Bahasa Jepang Tingkat Pemula— Studi Kasus Pada Buku Ajar Minna no Nihongo 1—. Simposium Nasional
ASJI 2015, Universitas Airlangga

UCAPAN TERIMA KASIH


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Universitas Al Azhar Indonesia atas fasilitas “Seminar Grant”
yang diberikan melalui LP2M UAI hingga penelitian ini dapat selesai dan dipresentasikan pada KOLITA 14
tahun 2016 di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Vera Yulianti
Institusi : Universitas Al Azhar Indonesia
Riwayat Pendidikan : Linguistik Terapan Universitas Tohoku
Minat Penelitian : • Sosiolinguistik Jepang
• Pengajaran Bahasa Jepang

181
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
TINDAK MEMINTA MAAF DALAM BAHASA JEPANG DAN BAHASA INDONESIA OLEH
PEMBELAJAR SASTRA JEPANG, FAKULTAS ILMU BUDAYA, UNIVERSITAS BUNG HATTA

Diana Kartika
Universitas Bung Hatta
vincensia.alfa@gmail.com; diana.kartika67@gmail.com

Bahasa adalah salah satu alat komunikasi yang paling banyak digunakan oleh manusia. Manusia
berkomunikasi untuk menyampaikan maksud dan tujuannya kepada orang lain. Selain itu, dalam
berkomunikasi, banyak hal yang harus diperhatikan agar terjalin hubungan yang baik antar manusia,
contohnya dalam hal sopan santun. Sopan santun sangat diperlukan terutama untuk mengungkapkan
permohonan maaf, agar pihak yang merasa dirugikan tidak tersinggung. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui cara pembelajar Bahasa Sastra Jepang tingkat III Universitas Bung Hatta dalam menyampaikan
tindak tutur ungkapan meminta maaf dalam Bahasa Jepang dan Bahasa Indonesia dengan bahasa dan latar
belakang budaya yang berbeda. Penelitian ini memakai teori Pateda (1987) tentang delapan komponen yang
perlu diperhatikan ketika terjadi peristiwa tutur SPEAKING (Setting and Scene, Participant, End, Act
Sequence, Key, Instrumentalist, Norm of Interaction and Interpretation, and Genre). Teori ini juga didukung
Scollon dalam Bima Anggraini (2008) bahwa dalam tindak tutur meminta maaf Power (P) serta Distance (D)
antara penutur dan petutur juga berpengaruh dalam proses memohon maaf dalam Bahasa Jepang dan Bahasa
Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk mengungkapkan permohonan maaf dalam Bahasa
Indonesia, meminta maaf hanya menggunakan satu kata yaitu “maaf”. Kata “maaf” dalam Bahasa Indonesia
kadang juga disertai dengan alasan oleh penutur agar terlihat lebih sopan kepada orang yang telah dirugikan
olehnya. Sedangkan, dalam Bahasa Jepang yang digunakan dalam percakapan sangat tergantung pada
perasaan, kondisi dan kepada siapa permintaan maaf itu ditujukan, seperti “sumimasen” atau “sumimasen
deshita”, bahkan “moushiwake gozeimasen deshita” kepada dosen atau orang yang lebih dihormati, “gomen
ne”, “shikei” atau “shitsuresimashita” kepada sesama mahasiswa atau senior. Namun di dalam penelitian
ini juga ditemukan beberapa kesalahan dalam penggunaan kata ungkapan meminta maaf yang kurang sesuai
dengan tingkat kesopanannya dalam Bahasa Jepang.
Kata kunci: tindak tutur, kata ungkapan meminta maaf, tingkat kesopanan, pembelajar Indonesia, Bahasa Jepang

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Diana Kartika
Institusi : Universitas Bung Hatta
Riwayat Pendidikan : S2 dan S3 Pendidikan Bahasa Universitas Negeri Jakarta
S1 Sastra Asia Timur Fakultas Sastra Universitas Indonesia
Minat Penelitian : • Pragmatik
• Pendidikan

182
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
MEMAHAMI KARAKTER HAN DENGAN MENGASOSIASIKANNYA DENGAN BENDA-BENDA
ALAM

Uti Aryanti Assa Rahmawati Kabul Hana Nurul Hasanah


Universitas Indonesia
utiaryanti@yahoo.com assa_widhi@yahoo.com hana.nurulhasanah@gmail.com

ABSTRAK
Tujuan pengajaran bahasa secara umum tak lepas dari penguasaan empat kemahiran berbahasa, yakni kemahiran
menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Pengajaran Bahasa Mandarin sebagai bahasa asing pun memiliki
tujuan yang sama. Namun, karena Bahasa Mandarin memiliki sistem aksara yang berbeda dengan Bahasa Indonesia,
maka diperlukan pendekatan yang berbeda untuk mengajarkan penulisan karakter Han kepada pembelajar Bahasa
Mandarin yang bahasa pertamanya adalah Bahasa Indonesia. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini
adalah saat ini karakter Han dianggap sebagai bentuk-bentuk yang tidak bermakna oleh pembelajar Bahasa Mandarin
tingkat pemula, pada saat yang sama strategi pengajaran penulisan karakter Han yang digunakan tidak efektif untuk
mengajarkan kemaknawian dibalik bentuk-bentuk karakter Han. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk
mengungkapkan bahwa karakter Han merupakan bentuk-bentuk yang bermakna dan menemukan strategi pengajaran
penulisan karakter Han yang efektif. Untuk dapat mencapai tujuan penelitian, ditarik suatu hipotesa bahwa
pengajaran karakter Han yang efektif bagi pembelajar di Program Studi Cina adalah pengajaran yang memadukan
pendekatan karakter dan pendekatan makna. Dengan begitu, diharapkan pembelajar dapat mengetahui asal usul
pembentukan karakter Han sekaligus memahami maknanya melalui penggunaan karakter tersebut di dalam kata, frase,
klausa dan kalimat tunggal. Data dalam penelitian ini diambil dari buku ajar Bahasa Mandarin yang digunakan di
Program Studi Cina Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Buku ajar tersebut digunakan oleh
pembelajar semester pertama. Ada empat tahap analisis yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Pertama, analisis
dilakukan untuk menentukan komponen pembentuk makna (satuan bentuk). Komponen makna ini dibatasi pada benda-
benda alam. Kedua, mengelompokkan karakter Han berdasarkan komponen pembentuk makna yang sejenis. Tahap
selanjutnya, mencari relasi dari hasil analisis pada tahap kedua. Terakhir, mencari kolokasi dari setiap karakter Han
hasil analisis tahap kedua. Hasil kolokasi tersebut dapat berupa kata majemuk atau frase yang selanjutnya dapat
dibentuk menjadi klausa dan kalimat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan strategi pengajaran
penulisan bagi para pengajar Bahasa Mandarin. Selain itu, diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada
pembelajar Bahasa Mandarin bahwa karakter Han dibentuk berdasarkan makna tertentu.
Kata kunci: Karakter Han, hanzi, pengajaran hanzi, makna hanzi

PENDAHULUAN
Tujuan pengajaran bahasa secara umum tak lepas dari penguasaan empat kemahiran berbahasa, yakni
kemahiran menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Pengajaran Bahasa Mandarin sebagai bahasa asing
pun memiliki tujuan yang sama. Namun, karena Bahasa Mandarin memiliki sistem aksara yang berbeda
dengan Bahasa Indonesia, maka diperlukan pendekatan yang berbeda untuk mengajarkan penulisan karakter
Han kepada pembelajar Bahasa Mandarin yang bahasa pertamanya adalah Bahasa Indonesia. Sistem
penulisan Bahasa Indonesia bersifat alfabetis, sedangkan Bahasa Mandarin bersifat logograf yang
menggunakan karakter Han. Dalam sistem penulisan alfabetis, huruf hanya mewakili bunyi. Dalam sistem
penulisan logograf, satu karakter tidak hanya mewakili bunyi, melainkan juga mewakili makna dan bentuk.
Hal inilah yang menimbulkan kesulitan bagi pembelajar dalam memahami, mempelajari karakter Han. Oleh
karena itu, banyak penelitian dilakukan untuk mencari cara yang efektif untuk mempelajari karakter Han.
Ho (2011) mengemukakan secara umum terdapat dua pendekatan dalam mengajarkan karakter Han:
character-centered approach dan meaning centered approach. Pendekatan character-centered berfokus
pada “unsur-unsur fisik” karakter, sedangkan pendekatan meaning centered berfokus pada makna yang
terkandung dalam suatu karakter dan keterkaitan satu karakter dengan karakter lain dalam membentuk kata.
Pendekatan pengajaran karakter Han yang digunakan di institusi kami (Universitas Indonesia)
adalah character-centered. Karakter Han mulai diajarkan pada hari pertama para pembelajar mengikuti mata
kuliah menulis. Pengajaran penulisan karakter Han dimulai dengan memperkenalkan guratan dasar (jenis-
jenis guratan dasar dan cara menggoreskan setiap guratan), lalu diikuti dengan aturan penulisannya,
membedah karakter berdasarkan komponennya, serta menjelaskan langkah-langkah penulisannya. Terlihat
bahwa dalam pengajaran dengan pendekatan ini tidak menekankan makna karakter Han, hanya berfokus
pada karakter itu sendiri. Cara pembelajaran karakter Han yang seperti ini, nampaknya kurang efektif bagi
pembelajar yang sebagian besar masih sangat asing dengan konsep sistem penulisan logograf. Bagi mereka
karakter Han hanya dilihat sebagai kumpulan guratan tanpa makna. Hal ini terlihat dari hasil tulisan mereka,

183
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
pembelajar kurang memperhatikan ketepatan bentuk, padahal apabila suatu karakter salah tulis (karena
bentuknya tidak tepat), karakter itu dapat dikenali sebagai karakter lain, yang berarti memiliki makna lain.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah saat ini karakter Han dianggap sebagai
bentuk-bentuk yang tidak bermakna oleh pembelajar Bahasa Mandarin tingkat pemula, pada saat yang sama
strategi pengajaran penulisan karakter Han yang digunakan tidak efektif untuk mengajarkan kemaknawian
dibalik bentuk-bentuk karakter Han. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bahwa
karakter Han merupakan bentuk-bentuk yang bermakna. Dengan demikian untuk selanjutnya dapat dicoba
strategi pengajaran penulisan karakter Han yang mungkin lebih efektif, yaitu dengan menggunakan
pendekatan meaning centered.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada pembelajar Bahasa Mandarin
bahwa karakter Han dibentuk berdasarkan makna tertentu. Selain itu, diharapkan dapat memberikan masukan
untuk para pengajar Bahasa Mandarin dalam menemukan strategi pengajaran penulisan yang efektif.

DATA DAN LANDASAN TEORI


Penelitian ini memfokuskan diri pada kemahiran menulis dan membaca. Kemahiran menulis yang dimaksud
adalah menulis karakter Han yang akan dihubungkan dengan kemahiran membaca dalam bentuk kata
majemuk, frase, klausa, dan kalimat tunggal.
Penelitian ini menggunakan pendekatan linguistik kognitif yang berpandangan bahwa pikiran
berhubungan dengan bahasa. Bahasa merupakan hasil kognisi, bahasa dipandang sebagai hasil dari
pengalaman manusia terhadap dunia (lingkungan) serta cara manusia memahami dan mengungkapkannya.
Melalui pendekatan ini, suatu bentuk bahasa, misalnya nomina, dapat dideskripsikan dengan menyertakan
hasil penafsiran dan/atau kesan penggunanya terhadap benda itu.
Dalam pikiran terdapat dua satuan konseptual, yakni benda (things) dan relasi (relations). Benda
biasanya dinyatakan melalui kelas kata nomina, sedangkan relasi dinyatakan oleh verba, ajektiva, preposisi,
konjungsi, adverbia. Bila kita menyebut “ojek” maka yang muncul di pikiran adalah kelas kata nomina
(sepeda motor) dan kelas kata verba (mengendarai dengan tujuan mencari uang). Kedua kelas kata ini
merefleksikan pengalaman kita terhadap dunia bahwa kita memiliki pengalaman melihat benda berupa
sepeda motor dan kegiatan mengendarai yang memiliki tujuan khusus. Benda (things) merupakan satuan
konseptual yang hadir secara bebas dalam pikiran, sedangkan relasi juga merupakan satuan konseptual yang
kehadirannya bergantung pada benda (Radden 2007:41-42). Kedua satuan itu dibutuhkan untuk mewujudkan
pikiran kita. Satuan induk yang memuat benda dan relasi disebut inti konseptual (conceptual core).
Dengan demikian, konseptual inti terdiri atas benda—yang disebut juga maujud konseptual
(conceptual entities), dan relasi. Pada tingkat kalimat satuan benda terdiri atas satuan bentuk (figure entity)
dan satuan latar (ground entity). Dalam hubungan dengan karakter Han, karakter Han dipandang sebagai
konsep yang terdiri dari dua satuan konseptual: benda dan relasi. Karakter 吃
merupakan inti konseptual
yang terdiri atas satuan konseptual benda, yang terdiri dari 口
(satuan bentuk) dan 乞
(satuan latar) serta
relasi berupa perbuatan memasukkan sesuatu ke dalam mulut. Satuan konseptual benda masuk ke dalam
pikiran atas dasar pengalaman melihat benda berupa mulut yang oleh orang Tiongkok kuno digambarkan
menyerupai mulut, tetapi dalam perkembangan aksara gambar mulut berubah menjadi kotak . Satuan 口

latarnya merupakan bunyi qi yang mengalami perubahan bunyi menjadi chi.
Data dalam penelitian ini diambil dari buku ajar Bahasa Mandarin yang digunakan di Program Studi
Cina Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Buku ajar tersebut digunakan oleh
pembelajar semester pertama. Ada empat tahap analisis yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Pertama,
analisis dilakukan untuk menentukan komponen pembentuk makna (satuan bentuk). Komponen makna ini
dibatasi pada benda-benda alam. Kedua, mengelompokkan karakter Han berdasarkan komponen pembentuk
makna yang sejenis. Tahap selanjutnya, mencari relasi dari hasil analisis pada tahap kedua. Terakhir,
mencari kolokasi dari setiap karakter Han hasil analisis tahap kedua. Hasil kolokasi tersebut dapat berupa
kata majemuk atau frase yang selanjutnya dapat dibentuk menjadi klausa dan kalimat.

TEMUAN DAN BAHASAN


Dari 327 karakter yang terdapat dalam data, ada 155 karakter yang satuan bentuknya (komponen pembentuk
makna) merupakan benda-benda alam.4 Sebagai contoh, karakter 明
míng yang salah satu maknanya adalah

4
Dalam penelitian ini terdapat 40 satuan bentuk (komponen pembentuk makna) yang merupakan benda-benda alam, antara lain: 日

rì‘matahari’, 厂
yuè‘bulan’, 穴
chǎng ‘tebing’, 土
xué‘gua’, 王
tǔ ‘tanah’, yù ‘giok’田 tián ‘sawah’,山 shān ‘gunung’, dan 水
shuǐ‘air.
184
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
‘terang; cemerlang’ memiliki satuan bentuk 日 rì ‘matahari’. Contoh lainnya adalah坐 珠
zuò ‘duduk’ dan
zhū ‘mutiara’ yang masing-masing terdiri dari komponen pembentuk makna 土 王
tǔ ‘tanah’ dan yù ‘giok’.
Matahari, tanah, dan giok merupakan benda-benda alam.
Dari 155 karakter ada 80 karakter yang maknanya terkait dengan makna satuan bentuknya, 34
karakter yang maknanya sekarang tidak terkait dengan makna satuan bentuknya, tetapi makna awalnya
terkait dengan makna satuan bentuknya, dan 41 karakter yang maknanya tidak terkait dengan makna satuan
bentuknya . Berikut ini adalah penjelasan dari klasifikasi karakter-karakter tersebut.
Tabel 1. Karakter yang Maknanya Masih Terkait dengan Satuan Bentuknya
Radikal Karakter Makna
水 shuǐ, 氵 Air
(1) 水
shuǐ 1. air
2. sungai
3. (sebutan umum untuk sungai, danau, laut, samudra)
4. cairan
(2) 汤
tāng 1. air panas; air mendidih
2. sumber air panas
3. kuah; kaldu
4. sup
5. nama marga
(3) 济
jì 1. menyeberang sungai
2. menolong
3. bermanfaat
(4) 酒
jiǔ 1. arak; nama marga

Karakter 汤
shuǐ’, 济
tāng, jì, dan酒 jiǔ merupakan karakter-karakter yang satuan bentuknya
adalah水 shuǐ ‘air’. Makna yang dikandung oleh keempat karakter ini masih terkait dengan makna satuan
bentuknya. Karakter yang maknanya masih berkaitan dengan air ini bisa dibagi ke dalam tiga kategori yakni:
水 汤
air secara umum ( shuǐ ‘air’), benda cair yang dapat dikonsumsi manusia ( tāng’sup; kuah; kaldu’ dan
酒 济
jiǔ ‘arak’), dan perbuatan yang berkaitan dengan air ( jì’menyeberang sungai’).
Tabel 2. Karakter yang Makna Awalnya Terkait dengan Satuan Bentuknya
Radikal Karakter Makna
禾 hé padi-padian
利 lì 1. tajam; runcing
2. menguntungkan; bermanfaat; berfaedah
3. kebaikan; keuntungan; manfaat
4. laba; untung; bunga
5. mementingkan; menguntungkan; mendatangkan manfaat
程 chéng 1. peraturan
2. prosedur
3. perjalanan
4. jarak
5. suatu nama keluarga
Karakter利 lì dan 程 chéng merupakan dua karakter yang satuan bentuknya adalah 禾
hé ‘padi-

padian’. Karakter lì yang saat ini memiliki makna ‘tajam; runcing’, pada awalnya mengacu pada makna
‘menggunakan pisau membajak lahan pertanian untuk menanam tanaman pertanian’. Karena ada kata pisau
yang memiliki makna ‘tajam;runcing’, maka makna tersebut diambil untuk menggambarkan makna karakter
利 lì. Pembentukan makna yang sama juga terjadi pada karakter 程 chéng. Makna asli yang dikandung
karakter程 chéng adalah ‘sebutan umum untuk berat dan ukuran’. Terdapat radikal 禾
hé karena terkait
dengan kegiatan ‘menimbang tanaman pertanian’. Saat ini karakter 程 chéng memiliki banyak makna yang
terkait dengan makna ‘peraturan’, ‘prosedur’, dan lain-lain yang semuanya dapat dihubungkan dengan
makna ‘berat; ukuran; menimbang’. Dua karakter ini termasuk karakter yang maknanya sekarang tidak
terkait dengan makna satuan bentuknya, tetapi makna awalnya terkait dengan makna satuan bentuknya.

185
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Tabel 3a. Karakter yang maknanya tidak berkaitan dengan satuan bentuknya
Radikal Karakter Makna
木mù Pohon

zá 1. bermacam-macam; bermacam ragam; aneka macam
2. bercampur; bercampur aduk
Ada karakter-karakter yang memiliki satuan bentuk 木 mù, tetapi maknanya tidak memiliki kaitan
dengan makna pohon atau benda-benda yang dihasilkan dari kayu. Hal ini disebabkan karena satuan bentuk
dari karakter-karakter tersebut membawa bentuk 木 mù di dalamnya. Sebagai contoh adalah karakter 杂 zá
yang merupakan bentuk sederhana dari karakter kompleks 雜 zá. Karakter kompleks 雜zá pada awalnya
bukanlah merupakan satu karakter. Bentuk awal sudut kiri atas karakter 雜 zá adalah 衣 yī yang artinya
‘pakaian dengan bermacam-macam warna’. Komponen pembentuk bunyi dari karakter ini adalah 集 jí yang
merupakan gabungan dari 木 mù yang di sudut kiri bawah dan 隹 zhuī di sebelah kanan. Karakter kompleks
雜 záini mengalami penyederhanaan bentuk menjadi 杂 zá. Bentuk sederhana 杂zá ini merupakan bentuk

populer dari karakter . Jadi, tidak ada relasi langsung antara radikal木 mù yang memiliki makna ‘pohon’
atau ‘benda-benda yang dihasilkan dari kayu’ dengan 杂 zá yang bermakna ‘bermacam-macam; bermacam

ragam; beraneka macam’. Contoh lain yang termasuk dalam jenis karakter ini adalah yíng.
Tabel 3b. Karakter yang Maknanya Tidak Berkaitan dengan Satuan Bentuknya
Radikal Karakter Makna
艹艸 căo Rumput

yíng 1.mencari; mengusahakan
2. mengusahakan; menjalankan
3. perkemahan
4. batalyon
营 yíng adalah salah satu karakter yang satuan bentuknya adalah 艹căo, tetapi tidak memiliki
makna yang berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan. 营 yíng adalah bentuk karakter sederhana dari 營yíng.

Karakter kompleks yíng terdiri dari bagian atas yang sebenarnya berbentuk 熒
yíng dan bagian bawah
yang berbentuk 吕 熒
lǚ. Ketika karakter yíng menjadi radikal, maka bagian bawah yang berbentuk 火 huŏ
dihilangkan, dan bagian atas berubah menjadi 艹 营
căo. Jadi, makna karakter yíng tidak ada hubungannya
dengan makna ‘rumput’.
Setelah ditelusuri keterkaitan antara makna karakter dengan satuan pembentuknya, 155 karakter
dalam penelitian ini dicari kolokasinya. Kolokasi yang dilakukan terbatas pada kata majemuk dan frase.
水 氵
Berikut ini merupakan kolokasi dari karakter yang memiliki satuan bentuk shuǐ / (sāndiǎnshuǐ).
Radikal 水 ‘air’, 氵‘titik air’ Makna
Karakter (Kata) 汉 hàn 1. nama dinasti (206 SM-220 SM)
2. suku bangsa Han
3. bahasa Han
4. pria; laki-laki
Kata majemuk 1. 汉语 Hànyǔ 1. Bahasa Mandarin
2. 汉字 Hànzì 2. Karakter Han
Frase 1. 学习汉语 xuéxí Hànyǔ 1. belajar Bahasa Mandarin
2. 汉语书 Hànyǔ shū 2. buku Bahasa Mandarin
3. 谁的汉语书 Shéi de Hànyǔ shū 3. buku Bahasa Mandarin siapa
4. 汉语的发音 Hànyǔ de fāyīn 4. pelafalan Bahasa Mandarin
5. 汉语学院 Hànyǔ xuéyuàn 5. Institut Bahasa Mandarin
6. 汉语书 Hànyǔ shū 6. buku Bahasa Mandarin
7. 汉英词典 Hàn Ying cídiǎn 7. kamus Mandarin-Inggris
8. 英汉词典 Yīng Hàn cídiǎn 8. kamus Inggris-Mandarin
9. 写汉字 xiě Hànzì 9. menulis karakter Han

186
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
SIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat ditarik simpulan bahwa sebagian besar karakter Han merupakan bentuk-bentuk
bermakna yang maknanya dapat ditelusuri melalui makna satuan bentuknya. Dengan simpulan di atas, maka
dapat dicoba strategi pengajaran karakter Han dengan pendekatan meaning centered. Diharapkan dengan
memadukan pendekatan karakter (character-centered approach) dan pendekatan makna (meaning centered
approach), pembelajar dapat mengetahui asal usul pembentukan karakter Han sekaligus memahami
maknanya melalui penggunaan karakter tersebut di dalam kata, frase, klausa dan kalimat tunggal. Dengan
begitu, kemahiran menulis para pembalajar dapat meningkat.

PUSTAKA ACUAN
Chaer, A. 1994. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Gong, Y. 1995. 六書辨正 . Taibei: Taiwan Shangwu Yinshuguan.
Hiraga, M.K. 2005. Metaphor and Iconicity. New York: Palgrave Macmillan.
Ho, C.L. 2011. “A Critical Analysis of the Various Ways of Teaching Chinese Characters” dalam Electronic Journal
of Foreign Language Teaching Vol. 8, No.1, hlm. 57-70, Singapura: Centre for Language Studies National
University of Singapore.
Huang, W. dan Ao Qun (ed.). 2009. 汉字部首例解 Illustration of the Radicals of Chinese Characters. Beijing: The
Commercial Press.
Li, Y. 1999.汉字演变五百例 . Beijing: Beijing Yuyan Wenhua Daxue Chubanshe
Norman, J. 1988. Chinese. New York: Cambridge University Press.
Parera, J.D. 2004. Teori Semantik (edisi kedua). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Radden, Günter dan René Driven. 2007. Cognitive English Grammar. Amsterdam: John Benjamin Publishing
Company.
Sutami, H. 2001. Buku Latihan Bahasa Mandarin Dasar IV 基础汉语(四)的练习本 . Jakarta: Pusat Pengajaran
Bahasa Unika Atma Jaya.
Sutami, H. 2011. “Ikonisitas Dalam Metafora” dalam Seminar Forum Linguistik Pascasarjana, Depok: Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya UI.
Ungerer, F. dan H.J. Schmid. An Introduction to Cognitive Linguistics. London: Longman.
Widdowson, H.G. 1978. Teaching Language as Communication. London: Oxford University Press.
Xing, J.Z. 2006. Teaching and Learning Chinese as a Foreign Language: A Pedagogical Grammar. Hongkong:
Hongkong University Press.
Yang, J. 1999. 一年级教材汉语教程(第一册上 ). Beijing: Beijing Yuyan Wenhua Daxue Chubanshe.
Zhang, J. 1992.现代汉字教程 Xiandai Hanzi Jiaocheng. Beijing: Xiandai Chubanshe.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Uti Aryanti Assa Rahmawati Kabul Hana Nurul Hasanah
Institusi : Universitas Indonesia Universitas Indonesia Universitas Indonesia
Riwayat Pendidikan : S2 Universitas Indonesia S2 Universitas Indonesia S2 Universitas Indonesia
S1 Universitas Indonesia S1 Universitas Indonesia S1 Universitas Indonesia
Minat Penelitian : • Pragmatik • Morfologi • Linguistik Sinika
• Sosiolinguistik • Leksikologi – Leksikografi • Pengajaran Bahasa Asing
• Pengajaran Bahasa • Fonetik Eksperimental

187
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
KERUWETAN GRAMATIKAL DAN TINGKAT KEAKADEMIKAN KARYA TULIS

A. Djawad Mubasyir
Universitas Indraprasta PGRI
djawad.unindra@yahoo.co.id

ABSTRAK
Studi ini meneliti tingkat keakademikan karyatulis mahasiswa S-1 jurusan Bahasa Inggris Universitas Negeri Jakarta
dengan berfokus pada analisis tingkat keruwetan gramatikal (grammatical intricacy). Keruwetan gramatikal
merupakan indikasi tingkat keakademikan suatu tulisan. Semakin tinggi tingkat keruwetan gramatikal suatu tulisan
ilmiah maka semakin rendah tingkat keakademikan tulisan tersebut. Sebaliknya, semakin rendah tingkat keruwetan
gramatikal maka semakin tinggi tingkat keakademikan tulisan tersebut. Tingginya keruwetan gramatikal dapat dilihat
dari kecenderungan tulisan menerapkan ciri ragam bahasa lisan dalam karya tulis. Sampel penelitian adalah 42
paragraf dari Bab Pendahuluan skripsi mahasiswa S-1 program studi Pendidikan Bahasa Inggris yang diluluskan
antara tahun 2000-2006 dan kesemuanya ditulis dalam bahasa Inggris. Hasil analisis keruwetan gramatikal pada
paragraf-paragraf tersebut kemudian dibandingkan dengan keruwetan gramatikal dari paragraf-paragraf dari artikel-
artikel yang dianggap ideal sebagai tulisan akademik, yaitu dari jurnal-jurnal dalam bidang yang paralel dengan
program studi bahasa Inggris, memiliki reputasi tinggi, dan memiliki jangkauan internasional. Dua jurnal
internasional dipilih untuk pencarian sampel, yaitu jurnal RELC yang berfokus pada pengajaran dan penelitian
bahasa di Asia Tenggara, dan jurnal TESOL Quarterly yang berfokus pada pengajaran bahasa Inggris untuk penutur
bahasa lain dan standar bahasa Inggris sebagai dialek kedua. 21 sampel paragraf diambil dari masing-masing jurnal
dan dianalisis keruwetan gramatikalnya untuk dibandingkan dengan sampel dari skripsi mahasiswa. Penelitian ini
menggunakan pendekatan Linguistik Fungsional Sistemik (SFL) yang dikembangkan oleh Halliday (1985) dan
Halliday & Matthiessen (2004) dalam menganalisis kedua jenis sampel penelitian, baik skripsi-skripsi maupun artikel-
artikel jurnal. Analisis difokuskan pada unsur-unsur transitifitas yang mengungkapkan pengalaman yang meliputi
struktur dan fungsi kelompok verbal, kelompok nominal, kelompok adverbial, dan frasa preposisional. Hasil temuan
penelitian ini mengungkap bahwa rata-rata tingkat keruwetan gramatikal paragraf skripsi lebih tinggi daripada
paragraf artikel jurnal. Temuan tersebut menunjukkan bahwa pencapaian dalam proses belajar mengajar menulis
akademik salah satunya terletak pada usaha menurunkan tingkat keruwetan gramatikal tulisan mahasiswa dengan
mengurangi kecenderungan menggunakan bahasa lisan dalam karya tulis.
Kata kunci: Keruwetan gramatikal, kelompok verbal, kata penghubung, tulisan akademik

PENDAHULUAN
Kebanyakan mahasiswa memusatkan perhatian mereka masih pada unsur-unsur writing seperti gramatika,
gagasan, susunan kata, kohesi, dan kesatuan makna, namun perhatian pada faktor akademik serta ciri-ciri
bahasa tulis nyaris terlupakan. Permasalahan dalam karya tulis berbahasa asing, terutama bahasa Inggris,
telah diteliti oleh banyak pakar, antara lain Olsen (2008), Chan (2004), Darus dan Subramaniam (2009),
Yahya et al. (2012), Budiharso (2006), dan Abushihab et al. (2011). Masing-masing pakar memusatkan
perhatiannya pada jenis masalah yang berbeda, karena pandangan mereka tentang konsep ‘masalah’ dalam
karya tulis ilmiah juga berbeda-beda.
Penelitian terdahulu pada umumnya dimulai dari akar permasalahan dan teori pertama tentang
interferensi bahasa ibu (mother-tongue interference) yang dikembangkan oleh Lado (1957) yang
berpandangan bahwa dalam memahami dan menyusun teks dalam bahasa sasaran, siswa cenderung
dipengaruhi oleh kaidah bahasa ibu. Fokus perhatian Lado pada unsur kebahasaan bahasa ibu yang
mempengaruhi bahasa target yang dipelajari oleh penutur bahasa asing. Namun disisi lain, banyak juga bukti
yang ditemukan tentang masalah kebahasaan yang bukan berasal dari bahasa ibu, antara lain oleh Wardaugh
(1970) dan Johansson (1975), yang mengatakan bahwa penelitian sebaiknya dilakukan langsung pada
permasalahan atau kesalahan yang nyata dibuat oleh siswa dan bukan dari pengruh interferensi bahasa ibu.
Teknik penelitian ini disebut analisis kesalahan (Error Analisis) yang banyak dilakukan oleh para pakar
antara lain, Yahya, et al. (2012), Abushihab et al. (2011), dan Budiharso (2006), yang fokus penelitian
mereka juga masih mengenai unsur kebahasaan.
Penelitian tentang karya ilmiah kemudian berkembang pada masalah teks di atas kalimat, misalnya
oleh Sattayatham et al. (2008) yang meneliti tentang struktur paragraf tulisan mahasiswa. Almaden (2006)
yang menganalisis struktur topik dalam paragraf, dan Duran et al. (2007) yang menemukan penggunaan alat
kohesi temporal. Aspek lain dari karya tulis ilmiah yang saat ini sering diteliti adalah tentang unsur personal
dalam karya tulis ilmiah, misalnya oleh Petch-Tyson (1998), Gilquin & Paquot (2007), dan McCrostie (2008).
Pada perkembangan selanjutnya, penelitian tentang permasalahan dalam menghasilkan karya ilmiah
kembali dikaitkan dengan penyebab terjadinya kesalahan, sebagaimana telah dilakukan sebelumnya oleh
para peneliti yang percaya kepada teori mother-tongue interference oleh Lado (1957). Kebiasaan
188
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
menggunakan bahasa ibu cenderung akan diterapkan dalam belajar bahasa asing, yaitu fungsi kebiasaan
bertindak dan berpikir yang terdahulu (old habit) akan mempengaruhi proses pembentukan kebiasaan baru
(new habit) yang disebut transfer of learning (Simon, 1999). Sebagai suatu kebiasaan, kemampuan
menggunakan satu bahasa terbentuk secara perlahan-lahan dan makan waktu lama.
Teori pemindahan pola belajar tersebut dapat juga diterapkan sebagai asumsi bahwa ragam bahasa
lisan yang telah dikuasai siswa akan mempengruhi kegiatan menulis ilmiah. Bahasa dikenal manusia pada
mulanya dalam bentuk lisan yang disebut dengan konsep spontan (spontaneous concepts) oleh Vygotsky
(1978), sedangkan bahasa tulis pada umumnya mulai dikenal anak ketika dia masuk sekolah dan berfungsi
untuk pengembangan konsep-konsep ilmiah (scientific knowledge).
Halliday dengan teorinya SFL telah melahirkan teori tentang keruwetan gramatikal dan kepadatan
leksikal sebagai kriteria pembeda antara ragam bahasa lisan dan bahasa tulis. Menurut Halliday (1985)
tingkat keakademikan karya tulis ilmiah ditentukan oleh kepatuhannya menggunakan ragam bahasa tulis
ilmiah, yang sangat berbeda dari ragam bahasa lisan. Hal ini ditentukan oleh dua aspek dalam metafungsi
ideasional, yaitu tingkat keruwetan gramatikal dan kepadatan leksikal. Keruwetan gramatikal, yang menjadi
ciri teks lisan, ditandai oleh jumlah klausa yang tinggi. Kepadatan leksikal, yang menjadi ciri ragam bahasa
tulis ilmiah ditandai oleh jumlah unsur leksikal yang tinggi (Halliday, 2004). Eggins (1994) menemukan
bahwa kedua aspek tersebut memiliki hubungan terbalik: jika tingkat keruwetan gramatikal dalam teks
tinggi, maka tingkat kepadatan leksikalnya rendah, dan sebaliknya, jika keruwetan gramatikalnya rendah,
maka tingkat kepadatan leksikalnya tinggi.
Penelitian ini bertujuan mengukur tingkat keakademikan skripsi dilihat dari aspek tingkat keruwetan
gramatikal. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan kegiatan menulis ilmiah berbahasa
Inggris, menentukan tingkat kemampuan menulis akademik, melakukan penelitian lebih lanjut, dan sebagai
alat untuk melakukan analisis kebutuhan (needs analysis) terhadap proses belajar mengajar bahasa Inggris
terutama tentang menulis karya ilmiah.
Penelitian ini menggunakan teori linguistik fungsional sistemik (SFL). Teori ini mengatakan bahwa
tingkat keakademikan teks ilmiah berada dalam ranah metafungsi eksperiensial yaitu fungsi bahasa sebagai
alat untuk mengungkapkan pengalaman. Pengalaman yang terungkap dalam kata-kata adalah proses yang
dilakukan, dipikirkan, dirasakan, dinyatakan, dan dikaitkan (Halliday & Matthiessen, 2004). Klausa
merupakan satuan untuk menganalisis tingkat keruwetan gramatikal (Halliday, 1985).

METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penelitian ini, ukuran tingkat keakademikan bahasa yang digunakan dalam teks ilmiah tidak bersifat
mutlak, tetapi bersifat relatif dengan ukuran yang dianggap ideal oleh masyarakat ilmiah. Dengan
pertimbangan bahwa bentuk laporan penelitian yang layak diterbitkan dalam jurnal ilmiah adalah artikel
jurnal, dan bahwa jurnal ilmiah yang paling baik adalah yang telah berreputasi internasional, maka tolok
ukur yang digunakan untuk menentukan tingkat keakademikan bahasa Inggris dalam skripsi adalah bahasa
Inggris yang digunakan dalam artikel penelitian dalam jurnal internasional. Selaras dengan bidang studi
mahasiswa, artikel penelitian dan jurnal ilmiah juga berisi masalah pendidikan bahasa Inggris bagi penutur
bahasa lain. Kesenjangan antara tingkat keakademikan dalam skripsi dan dalam artikel jurnal dapat dijadikan
sebagai dasar untuk menentukan materi ajar yang perlu dicakup dalam mata kuliah yang terkait dengan
pengembangan kemampuan menulis akademik bagi mahasiswa S-1, yang titik kulminasinya adalah pada
penulisan skripsi.
Paragraf yang menjadi obyek penelitian ini adalah paragraf dalam skripsi mahasiswa S-1 program
studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Jakarta yang diujikan dalam jangka waktu tujuh tahun
mulai dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2006. Penelitian ini dilakukan di Universitas Negeri Jakarta
dengan mahasiswa jurusan bahasa Inggris program S-1 angkatan tahun 2000 – 2006. Data untuk penelitian
adalah paragraf yang diperoleh dari sumber data yang berupa bab pendahuluan dalam skripsi mahasiswa dan
bagian pendahuluan dari artikel jurnal internasional RELC dan TESOL Quarterly antara tahun 2000 – 2008.
Penghitungan tingkat keruwetan gramatikal dan kepadatan leksikal dilakukan dengan menggunakan
pendekatan linguistik fungsional sistemik atau lebih lazim dikenal dengan inisial istilah aslinya SFL
(systemic functional linguistics) yang dikembangkan oleh Halliday (1985) dan Halliday & Matthiessen
(2004). Fokus penelitian adalah analisis transitivitas, yaitu sistem yang melaksanakan metafungsi ideasional.
Sumber data penelitian ini adalah paragraf yang diambil dari skripsi yang diujikan dan lulus selama
kurun waktu tujuh tahun dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2006. Dari setiap tahun dipilih secara acak
tiga skripsi, sehingga berjumlah 21 skripsi, yang terdiri dari 114 paragraf. Dari setiap skripsi dipilih secara
acak dua paragraf yang digunakan sebagai sumber data, sehingga berjumlah 42 paragraf yang berisi dari
3644 kata.

189
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
TEKNIK DAN PROSEDUR PENGUMPULAN DATA
Identifikasi Klausa
Klausa menurut teori SFL (Halliday & Matthiessen, 2004) berfungsi sebagai representasi dari proses. Proses
terdiri dari tiga unsur, unsur proses itu sendiri, unsur partisipan yang terlibat dalam proses, dan unsur
sirkumstansi yang berkaitan dengan proses. Unsur proses diwujudkan dengan kelompok verbal, unsur
partisipan dengan kelompok nominal, dan unsur sirkumstansi dengan kelompok adverbial atau frasa
preposisional. Karena klausa berfungsi merepresentasikan proses, keberadaan unsur kelompok verbal (unsur
predikat dengan atau tanpa unsur finite) menjadi unsur wajib, dan sekaligus sebagai penentu status bahwa
suatu unit bisa disebut klausa atau bukan klausa. Kata penghubung adalah unsur yang menghubungkan satu
klausa dengan lainnya, bisa berupa konjungsi intra-kalimat (misalnya, and), konjungsi ekstra-kalimat
(misalnya, in addition), dan preposisi (misalnya, for).
Prosedur Analisis Data
Analisis Kuantitatif
Data penelitian ini dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif, keruwetan gramatikal dapat
ditentukan dengan cara pembagian sederhana untuk menentukan muatan jumlah rata-rata kejadian dalam
setiap unit yang dimaksudkan, misalnya, jumlah klausa setiap paragraf jumlah kata setiap klausa. Data yang
terkait dengan tingkat keruwetan gramatikal dari skripsi dan jurnal internasional dikategorisasikan
berdasarkan rata-rata frekuensi kejadian dari unsur klausa, kata, kata penghubung, dan sebagainya. Misalnya,
jika data mengatakan bahwa paragraf skripsi memiliki 121 kata penghubung dan 347 klausa, maka rata-
ratanya adalah 347 dibagi 121 = 2,87. Dengan kata lain, rata-rata kejadian dari kata penghubung adalah
bahwa setiap terjadi 2,87 klausa akan terjadi (muncul) satu kata penghubung. Begitu juga yang terjadi pada
paragraph artikel jurnal.
Analisis Kualitatif
Analisis kualitatif dilakukan menggunakan pendekatan sistemik funsional yang menekankan aspek
transitivitas dengan menggunakan teori proses. Data yang berupa klausa dianalisis berdasarkan fungsi
masing-masing unsur dari proses. Fungsi partisipan dari proses diungkapkan dengan bentuk sintaksis berupa
klausa nominal (nominal clause) bisa sebagai actor atau goal dari proses material, sebagai senser atau
phenomenon dari proses mental, bisa sebagai carrier atau attribute dari proses relasional, dan sebagainya.
Fungsi sirkumstansi dari proses diungkapkan dengan bentuk sintaksis berupa klausa adverbial (adverbial
clause) atau frasa preposisional. Fungsi klausa tertanam sebagai qualifier dari kelompok nominal
diungkapkan dengan bentuk sintaksis berupa klausa adjektival (adjectival clause).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Grafik 1. Rata-rata Jumlah Klausa per Paragraf dan Rata-rata Jumlah Kata per Klausa per Paragraf
Temuan tentang perbedaan jumlah klausa antara paragraf skripsi dan artikel jurnal adalah rata-rata 8
dibanding 7. Walaupun perbedaan tersebut tidak terlalu mencolok, perbedaan jumlah kata antara paragraf
skripsi dan artikel jurnal cukup signifikan (rata-rata 10,3 dibanding 18,9). Temuan tersebut mengungkap
bahwa tingkat keruwetan gramatikal bisa terlihat dari sudut jumlah kata pada setiap klausa disamping jumlah
klausa itu sendiri.
Writing membangun kesadaran, dan dengan proses yang sama, bahasa merubah moda semiotiknya
dari dinamis ke sinoptik: dari keadaan mengalir ke keadaan statis, dari keruwetan sintaktik ke kepadatan
leksikal (Halliday, 2003:132). Pada dasarnya, pada saat siswa memulai belajar menulis akademik, mereka
menggunakan bentuk bahasa yang wajar dan alamiah, dalam bentuk congruent. Artinya, mereka
menggunakan kata kerja dan adjectiva dalam keadaan normal dan tidak merubah bentuk menjadi kata benda
atau noun, suatu bentuk incongruent yang berupa proses nominalisasi dengan cara membangun metafora
gramatikal. Dalam perkembangannya siswa kemudian belajar menguasai bentuk bentuk incongruent,
nominalisasi, dan metafora gramatikal (Brook, 2010:35).
190
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Grafik 2. Rata-rata Jumlah Klausa sebagai Partisipan per Paragraf dan Jumlah Kata per Klausanya

Temuan memperlihatkan rata-rata jumlah klausa sebagai partisipan per paragraf dalam skripsi dan
artikel jurnal, yang dihitung dengan cara menjumlahkan semua klausa sebagai partisipan di 42 paragraf (57
klausa di skripsi dan 55 klausa di artikel jurnal) dan membaginya dengan angka 42. Hasilnya adalah 1,36
klausa di skripsi dan 1,31 klausa di artikel jurnal, dengan selisih hanya 0,05 klausa lebih banyak di paragraf
skripsi. Dilihat dari rata-rata jumlah kata per klausa, klausa sebagai partisipan dalam skripsi berisi 11,52 kata,
rata-rata berbeda sekitar lima kata lebih rendah dibandingkan dengan jumlah kata dalam klausa sejenis
dalam artikel jurnal, yaitu 16,13 kata. Angka-angka tersebut diperoleh dengan cara menjumlahkan semua
kata di 57 klausa sebagai partisipan yang ada di 42 paragraf skripsi dan diperoleh 657 kata, dan membaginya
dengan angka 57. Dalam 55 klausa sebagai partisipan di 42 paragraf artikel jurnal terdapat 887 kata yang
dibagi dengan angka 55. Walau perbedaan jumlah klausa sebagai partisipan antara paragraf skripsi dan
artikel jurnal tidak terlalu tinggi namun jumlah kata pada setiap klausa pada paragraf artikel jurnal tetap
lebih tinggi daripada paragraf skripsi. Hal ini memperkuat dugaan bahwa tingkat keruwetan gramatikal tidak
hanya bisa diukur dari jumlah klausa yang lebih banyak, namun juga dari ukuran klausa yang bisa lebih
panjang (memuat kata lebih banyak) atau lebih pendek (memuat kata lebih sedikit).
Keruwetan gramatika tidak hanya merupakan fungsi dari sejumlah klausa per klausa kompleks akan
tetapi hal itu muncul sebagai akibat dari cara kalusa klausa itu berhubungan secara sintaktik, baik membentuk
pola hipotaktik maupun parataktik (Lassen, 2003:13). Bahasa lisan dianggap memiliki tata gramatikal yang
ruwet (Halliday, 1985a:87) bila dibandingkan dengan bentuk bahasa tulis, yang secara relatif memiliki tingkat
keruwetan gramatikal sederhana (rendah). Dalam percakapan, orang bernegosiasi makna satu sama lain dalam
mengembangkan wacana melalui klausa klausa yang dikaitkan (Burns, 1996:53).
Grafik 3. Rata-rata Jumlah Klausa sebagai Sirkumstansi per Paragraf dan Jumlah Kata per Klausanya

Rata-rata jumlah klausa sebagai sirkumstansi per paragraf dalam skripsi dan artikel jurnal, yang
dihitung dengan menjumlahkan semua klausa sebagai sirkumstansi di 42 paragraf (83 klausa di skripsi dan
30 klausa di artikel jurnal) dan membaginya dengan angka 42. Hasilnya adalah 1,95 klausa di skripsi dan
0,71 klausa di artikel jurnal. Skripsi memiliki jumlah klausa sebagai sirkumstansi hampir 3 kali lebih banyak
daripada yang terdapat dalam paragraf artikel jurnal. Temuan ini menunjukkan letak terjadinya keruwetan
gramatikal dari paragraf skripsi, yaitu pada kecenderungan menggunakan klausa untuk merepresentasikan
sirkumstansi.
Dilihat dari rata-rata jumlah kata per klausa, klausa sebagai sirkumstansi dalam skripsi memiliki
rata-rata jumlah kata sekitar 2,5 kata lebih rendah dibandingkan dengan artikel jurnal. Jumlah rata-rata kata
per klausa sebagai sirkumstansi ini diperoleh dengan menjumlahkan semua kata di 83 klausa sebagai
sirkumstansi pada 42 paragraf skripsi yang diperolah sebanyak 843 kata dan kemudian dibagi dengan 83,
sehingga rata-ratanya adalah 10,15 kata. Dalam 30 klausa sebagai sirkumstansi di 42 paragraf artikel jurnal
terdapat 379 kata, sehingga rata-ratanya adalah 12,63 kata.
Pengamatan lebih mendalam terhadap jenis sirkumstansi yang terjadi dalam paragraf skripsi
mengungkap bahwa penyebab tingginya jumlah klausa sebagai sirkumstansi adalah penggunaan klausa yang
berfungsi menjembatani perpindahan makna ke klausa berikutnya (bridging clause), seperti klausa
concerning this matter (SKR4-1); in responding the issue (SKR4-3); in learning English as a foreign
language (SKR9-4). Klausa semacam itu terjadi sebanyak 11 kali dalam skripsi dan sebaliknya sama sekali
tidak terjadi dalam paragraf artikel jurnal.

191
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Grafik 4. Rata-rata Jumlah Klausa per Kata Penghubung

Penelitian ini menemukan bahwa jumlah kata penghubung dalam paragraf skripsi lebih tinggi
daripada artikel jurnal. Rata-rata setiap 2,87 klausa terjadi satu kata penghubung dalam paragraf skripsi yang
diperoleh dengan cara membagi 347 klausa dengan 121 kata penghubung. Rata-rata setiap 3,81 klausa
terjadi satu kata penghubung dalam paragraf artikel jurnal yang diperoleh dengan cara membagi 309 klausa
dengan 81 kata penghubung.
Konjungsi digunakan untuk menghubungkan klausa yang satu dengan lainnya dalam baik speech
maupun writing. Namun cara penggunaannya, antara speech maupun writing terdapat perbedaan. Dalam
wacana spoken, konjungsi parataktik biasanya tidak menentukan hubungan semantik antara klausa satu
dengan lainnya, tetapi makna berkaitan langsung ke rangkaian klausa yang terbuka antara pembicara dengan
pendengar. Dengan kata lain, speaker membubuhkan konjungsi karena ada respon langsung dengan
percakapan sebelumnya, jadi makna mulai ditangkap pada kegiatan percakapan dimulai. Sebaliknya, dalam
menulis akademik, penggunaan konjungsi hipotaktik sangat penting dalam menghubungkan makna karena
penulis tidak kenal siapa pembaca tulisan tersebut. Dengan demikian, penulis wajib menggunakan konjungsi
dengan cermat untuk menghubungkan kata benda, kata kerja, subjek, objek, frasa preposisional, dan tanda
tanda sintaktik lainnya dengan cara yang padat dan rapih (Halliday, 1989; Biber, 1995; Yuan, 2001).
Konjungsi merupakan representasi nonstruktural dari hubungan logical-semantic yang mungkin juga
diungkapkan secara stuktural, misalnya, on the other hand, secara semantic terkait dengan bentuk parataktik
but dan bentuk hipotaktik although (Halliday, 2002: 282).

SIMPULAN DAN SARAN


Pembahasan tentang keruwetan gramatikal ini tidak merupakan masalah yang berdiri sendiri dalam kaitannya
dengan tingkat keakademikan karya tulis ilmiah, tetapi masih berkaitan erat dengan tingkat kepadatan leksikal
yang merupakan hubungan terbalik, yakni, jika satu teks memiliki tingkat gramatikal tinggi maka dengan
sendirinya akan memiliki tingkat kepadatan leksikal rendah, begitu juga sebaliknya jika satu teks memiliki
tingkat gramatikal rendah maka dengan sendirinya akan memiliki tingkat kepadatan leksikal tinggi.
Masalah yang dihadapi mahasiswa pada saat mereka menulis adalah mengubah dari pilihan-pilihan
linguistik yang memiliki ciri-ciri bahasa lisan ke dalam unsur-unsur linguistik yang memiliki ciri-ciri bahasa
tulis yang efektif. Studi tentang perkembangan menulis menunjukkan perubahan yang perlahan-lahan, dari
menyusun rangkaian klausa yang kurang teratur menjadi susunan klausa yang lebih teratur dan lebih padat
dalam register akademik. Struktur gramatikal yang terbatas pada penulisan akademik menunjukkan jenis
jenis kompleksitas yang harus dipenuhi oleh mahasiswa writing yang sudah advance. Struktur ini cukup
tinggi tingkat kesulitannya yang memerlukan perencanaan, revisi, dan bahkan penutur asli juga belum tentu
bisa memenuhi persyaratan wacana yang memiliki struktur gramatikal tersebut (Biber, 2011:16)
Diharapkan bahwa temuan dalam penelitian ini dapat menggugah peneliti lain untuk menggali lebih
dalam isu perbedaan antara bahasa lisan dan bahasa tulis dalam kaitannya dengan tingkat keakademikan karya
tulis ilmiah. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai piranti untuk melakukan analisis kebutuhan (needs
analysis) terhadap proses belajar mengajar bahasa Inggris terutama tentang menulis karya ilmiah akademik,
memberi masukan untuk perbaikan proses belajar mengajar bahasa, dan bisa digunakan untuk menyusun
materi pengajaran menulis ilmiah akademik bahasa Inggris sebagai bahasa asing atau bahasa kedua.

DAFTAR PUSTAKA
Abushihab, Ibrahim, et al. “An Analysis of Written Grammatical Errors of Arab Learners of English as a Foreign
Language at Alzaytoonah Private University of Jordan.”European Journal of Social Sciences, Vol. 20, No,4,
2011: 543-552.
Almaden, Daisy O. “An Analysis of the Topical Structure of Paragraphs Written by Filipino Students.”The Asia-Pacific
Education Research, Vol. 15, No. 1, 2006: 127-153.
Biber, Douglas. Dimensions of Register Variation: across-linguistic comparison. Cambridge: Cambridge University
Press, 1995.
Biber, D. & Bethany Gray. Should We Use Characteristics of Conversation to Measure Grammatical Complexity in L2
Writing Development? Tesol Quarterly, 2011: 45 (1).

192
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Brooks, Wendy B. “An Analysis of Clause Usage in Academic Texts Produced by African American, Haitian, and
Hispanic Community College Students.” Ph.D. diss., University of Miami, 2010.
Budiharso, Teguh, “The linguistic features of English and Indonesian essays made by EFL undergraduate students.”
Bahasa dan Seni, Vol. 34, No. 1, 2006: 1-17.
Burns, A. ‘I see what you mean’: using spoken discourse in the classroom: a handbook for teachers. Macquarie:
Macquarie University, 1996.
Candlin, Christopher and Plum, Guenter. Engaging with chalenges of discursivity in academic writing: reseachers,
students and teachers. In writing: Texts, processes and practices. Edited by Chistopher Candlin and Ken
Hylend. London: Longman, 1999: 193-217.
Chan, A.Y.W. "Syntactic Transfer: Evidence from the Interlanguage of Hong Kong Chinese ESL learners.” Modern
Language Journal, Vol. 88, No. 8, 2004: 56-74.
Darus, Saadiyah and Kaladevi Subraniam. “Error Analysis of the Written English Essays of Secondary School Students
in Malaysia: A Case Study.”European Journal of Social Sciences, Vol. 8, No. 3, 2009: 483-495.
Duran, Nicholas. D., Philip M. McCarty, Art C. Graesser, and Danielle, S. McNamara. “Using temporal cohesion to
predict temporal coherence in narrative and expository texts.”Behavior Research Methods, Vol. 39, No. 2,
2007: 212-223.
Egbert, M. “Some interactional achivements ofother-initiated repair in multiperson conversation.” Journal of
Pragmatics, 1997: 27, 611-34.
Eggins, Suzanne. An Introduction to Systemic Functional Linguistics. London: Pinter, 1994.
Eggins, Suzanne. An Introduction to Systemic Functional Linguistics, second edition. London: Pinter, 2004.
Gilquin, Gaëtanelle and Magali Paquot. “Spoken Features in Learner Academic Writing: Identification, Explanation
and Solution.”Université catholique de Louvain: Fonds National de la Recherche Scientifique, Centre for
English Corpus Linguistics, 2007. Photocopied.
Halliday, Michael A.K. An Introduction to Functional Grammar, second edition. London: Edward Arnold, 1994.
Halliday, Michael A.K. On Language and Lnguistics. London: Continuum, 2003.
Halliday, Michael A. K. On Grammar. London: Continuum, 2002.
Halliday, Michael A.K. and Christian M. I. M Matthiessen. An Introduction to Functional Grammar, third edition.
London: Edward Arnold, 2004.
Halliday, Michael A. K. and Ruqaiya Hasan. Language, Text, and Context: Aspects of Language in a Social-Semiotic
Perspective. Oxford: Oxford University Press, 1985.
Halliday, Michael A.K. Spoken and Written Language. Geelong: Deakin University Press, 1985.
Johansson, Stig. “The Use of Error Analysis and Contrastive Analysis.”English Language Teaching Journal, Vol.
29,No. 4, 1975: 1-29.
Kridalaksana, Harimurti. Kelas kata dalam bahasa Indonesia, edisi kedua. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Lado, Robert. Linguistics Across Cultures. Ann Arbor: The University of Michigan Press, 1957.
Lassen, I. Accessibility and Acceptability in TechnicalManuals: A survey of style and grammatical metaphor.
Amsterdam: John Benjamins, 2003.
Petch-Tyson, Stephanie.“Writer/reader visibility in EFL written discourse.” In Learner English on computer, ed.
Granger, 107. London and New York: Longman, 1998.
Sattayatham A. and Pongrat Ratanapinyowong, “Analysis of Errors in Paragraph Writing in English by First Year
Medical Students from the Four Medical Schools at Mahidol University,” Silpakorn University International
Journal, Vol. 8, 2008: 17.
Simons, P.R.J. ”Transfer of learning: paradoxes for learners.” International Journal of Educational Researc, Vol. 31,
1999: 577 – 589.
Vygotsky, Lev Semenovic. Mind and Society. Cambridge, MA: Harvard University Press, 1978.
Wardaugh, Ronald. “The Contrastive Analysis Hypothesis.” TESOL Quarterly Vol. 4, No. 2, 1970: 123 – 130.
Yahya, Azizi, Harison B. T. Ishak, Zaidah Zainal, Ladan Javdan Faghat, dan Noordin Yahaya. “Error Analysis of L2
Learners’ writings, a Case Study.” International Conference on Language, Medias and Culture, IPRDR, Vol.
33, 2012: 114-118.
Yuan, Y. “An Inquiry into Emperical Pragmatics Data Gathering methods: Written DCTs, Oral DCTs, field notes, and
natural conversations.” Journal of Pragmatics, 33, 2001: 271–92.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Abdul Djawad Mubasyir
Institusi : Universitas Indraprasta PGRI
Riwayat Pendidikan : S3 Pendidikan Bahasa Universitas Negeri Jakarta
S2 Translation and Linguistics University of Western Sydney Macarthur
S1 Bahasa Inggris IKIP Negeri Semarang
Minat Penelitian : • Analisis Wacana
• Penerjemahan
• Pengajaran Bahasa

193
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
KONSTRUKSI RETORIKA YANG TEREFLEKSIKAN DALAM PROSES KREATIF PENULISAN
BAB TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN AJP BERBAHASA INDONESIA DI JURNAL
TERAKREDITASI BIDANG PENELITIAN BAHASA

Dian Eka Chandra Wardhana


Universitas Bengkulu
dian_eka09@yahoo.com

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui proses kreatif penulis ketika menulis bab temuan penelitian dan pembahasan
di bidang penelitian kebahasaan. Bab ini merupakan bab yang paling sulit ditulis seperti halnya menulis bab
pendahuluan karena di dalam menulis bab ini, penulis harus beragumentasi secara signifikan. Data penelitian ini
berupa tuturan tulis penulis ketika berargumentasi di dalam bab temuan dan pembahasan. Analisis data yang
dilakukan dalam kegiatan penelitian ini adalah; (1) mengkaji teks temuan dan pembahasan artikel di jurnal
terakreditasi bidang penelitian kebahasaan, (2) menemukan pola retorika artikel tersebut, (3) mengklasifikasi tahapan
dan langkah bab temuan dan pembahasan, (1) membahas temuan tahapan dan langkah dalam teks tersebut, (2)
menyimpulkan temuan atau hasil kajian penelitian. Temuan penelitian ini adalah 9 tahapan dan langkah penulis di
dalam menyusun bab temuan dan pembahasan. Tahapan tersebut adalah : Tahapan-1 (informasi tentang penelitian),
Tahapan-2 (pernyataan tentang hasil penelitan), dan Tahapan-4 (penggunaan referensi dari penelitian sebelumnya),
sedangkan lima tahapan lainnya: Tahapan-3 (pernyataan tentang hasil penelitian yang tak terduga), Tahapan-5
(penjelasan tentang hasil penelitian), Tahapan-6 (ilustrasi untuk mendukung penjelasan hasil penelitian), Tahapan-7
(penafsiran peneliti terhadap temuan penelitian), dan Tahapan-8 (saran peneliti sebagai implementasi praktis dari
temuan penelitian). Temuan ini mendukung temuan Swales (1997) dan penelitian yang relevan lainnya yakni
penelitian Safnil dan Wardhana, Dian Eka Chandra (2014). Adnan (2002) serta Miharyuni (2007). Simpulannya,
berdasar 9 tahapan yang ditemukan hanya ada dua tahapan yang paling penting untuk bahan argumentasi penelitian
lanjutan, yakni pernyataan tentang hasil atau temuan penelitian (Tahapan-2) dan tahapan ini dihubungkan dengan
temuan penelitian yang relevan atau penelitian yang terdahulu. Saran penelitian lanjutan yang dapat dilakukan
adalah pola argumentasi bab pembahasan, pola retorika bab simpulan dan kajian pustaka. Hal ini penting dilakukan
agar mahasiswa dan calon penulis lain dapat memperoleh gambaran tentang pola retorika jurnal terakreditasi, untuk
kepentingan awal kegiatan pembimbingan menulis artikel bagian pembahasan secara baik dan benar.
Kata kunci: proses kreatif, bab temuan dan pembahasan, tahapan, langkah, argumentasi, kajian, akreditasi

PENDAHULUAN
Menulis bagian pembahasan yang biasa ditemukan dalam tulisan penulis di jurnal terakreditasi mempunyai
kecenderungan menulis laporan dengan menyajikan semua hasil analisis dan memaparkan semua data. Hal
ini berakibat melelahkan pembaca, dan seringkali pembaca strees, sehingga pembaca menjadi malas
meneruskan pencarian informasinya pada artikel tersebut. Substansi laporanpun menjadi lemah, dan
sistimatika penulisannya yang masih belum sistimatis dapat melemahkan kualitas substansinya. Kondisi
tersebut didukung suatu teori, bahwa penulisan di bagian pembahasan ini merupakan tulisan yang (1)
menyajikan hasil penelitian yang sesuai dengan kaidah metode pengumpulan data, (2) menyajikan analisis
data penelitian sesuai metode yang digunakan, dan (3) bagi yang menggunakan metode kualitatif,
interpretasi hasil analisis data dan proses triangulasi bermanfaat untuk meningkatkan kepercayaan dan
kebenaran ilmiah (Avip Syaefullah, 2015:26). Berdasarkan fenomena tersebut bagian ini merupakan bagian
yang sangat sulit ditulis. Hal ini sejalan dengan pendapat Parkinson, 2011:164, sehingga berbagai
permasalahan yang ditemui pada saat menulis bab pendahuluan menjadi menarik dijadikan sebagai materi
penelitian.
Secara teoritis, bagian ini merupakan bagian yang ditulis secara persuasif dan argumentatif agar
menarik untuk dibaca (Syafnil 2014: 23). Hal ini disebabkan bagian ini merupakan bagian yang
menginformasikan pengetahuan atau informasi yang ada dalam literatur tentang topik yang terkait. Di bagian
ini penulis harus menjelaskan hasil atau temuan penelitian mereka, dan makna temuan tersebut (Hess, 2004
dan Hagin, 2009 dalam Safnil 2014, Budiarso, Teguh 2009:111, Dwiloka, Bambang dkk.2005, Brotowijoyo,
2011 ). Di samping itu, di bagian ini perlu tergambar juga komentar temuan atau hasil penelitian dari setiap
poin yang diajukan dalam pertanyaan atau hipotesis penelitian yang tertulis di bab pendahuluan atau di
dalam rumusan masalah (Thyer, 2008 dan Branson, 2004).
Berdasar ilustrasi tersebut, tampak ada kesenjangan. Kesenjangan yang muncul adalah (1) bagian
pembahasan masih ditulis berdasar hasil membaca artikel yang terbit sebelumnya, (2) belum ditulis dengan
belajar membaca teori yang ada, (3) belum ditulis secara kualitatif sekitar 80% dari jumlah keseluruhan
artikel (berdasar panduan dari editor gaya selingkung jurnal terakreditas). Oleh karena itu dirumuskan

194
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
masalah bagaimanakah tahapan dalam konstruksi retorika AJP bagian pembahasan dan penanda
linguistiknya pada artikel jurnal terakreditasi, dan bagaimana penanda linguistik yang mengikutinya?
Rumusan masalah tersebut menjelaskan hubungan antara pikiran dan bahasa, hal ini didukung Sapir
dalam Wahab (1998:38), Nurgiyantoro (2005:272), yang mengatakan bahwa bahasa merupakan salah satu
bentuk prilaku sosial, dan prilaku sosial tersebut merupakan rangkaian dari perilaku individu, sehingga
secara psikologis ada keterkaitan yang erat antara kesenangan seseorang terhadap keilmuan tertentu dengan
bahasa yang ia gunakan dalam konteks prilaku berbahasa, bahasa merupakan lambang dari pengalaman
manusia. Artinya ketika berbahasa, bahasa seseorang tidak dapat dipisahkan dari tindakan manusia.

METODOLOGI PENELITIAN
Data penelitian ini adalah tuturan penulis dalam teks bagian pembahasan artikel jurnal penelitian (AJP)
bidang ilmu kebahasaan yang berupa tahapan (move) dan langkah (steps) seperti yang dikemukakan Safnil
(2014). Sumber data adalah teks bagian pembahasan artikel jurnal penelitian (AJP) bidang ilmu kebahasaan
yang dipublikasikan pada jurnal “Bahasa dan Seni” IKIP Malang. Pengumpulan data penelitian ini adalah
inventarisasi bagian pembahasan AJP bidang ilmu kebahasaan yang dipublikasikan dalam jurnal “Bahasa
dan Seni” IKIP Malang. Pemilihan volume jurnal yang dianalisis, didasarkan pada volume sebelum IKIP
Malang belum berubah nama menjadi Universitas Negeri Malang dengan asumsi substansi ilmu bahasa
masih belum dijadikan domain pengembangan program secara signifikan. Analisis data dilakukan dengan
menggunakan model Problem Justifying Project (PJP) dengan langkah-langkah berikut : (a) Mengumpulkan
data artikel yang telah dipublikasikan dalam jurnal dengan menginventarisasi bagian pembahasan artikel
jurnal penelitian (AJP) bidang ilmu kebahasaan pada Jurnal “Bahasa dan Seni” IKIP Malang sebanyak 20
artikel. (b) mengelompokkan data sesuai dengan topic yang dikaji pada jurnal tersebut, kemudian (c)
dikodifikasi berdasar nomor edisi saat artikel dimuat, nomor urut pada daftar isi, dan nama penulis artikel,
dan alamat email. (d) Menganalisis data berupa tahapan (move) dan langkah (steps) dengan menggunakan
model Problem Justifying Project (PJP) pada bagian pembahasan tiap AJP bidang ilmu kebahasaan yang
dimuat dalam jurnal Bahasa dan Seni IKIP Malang untuk menemukan draf model konstruksi retorika bagian
pembahasan artikel yang dikaji. Catatan: Analisis data berupa tahapan (move) dan langkah (steps) dengan
menggunakan model PJP pada bagian pembahasan tiap AJP bidang ilmu kebahasaan ini dilakukan untuk
menemukan sistimatika pola konstruksi retorika pada AJP tersebut.(e) mengidentifikasi penanda kebahasaan
bagian pembahasan data penelitian. (f) Memaknai hasil analisis data yang telah dilakukan.

TEMUAN DAN PEMBAHASAN


Bab temuan atau hasil penelitian dan pembahasan mempunyai tujuan menyakinkan pembaca laporan hasil
penelitian yang kritis di dalam melihat kebenaran dan informasi terhadap gagasan yang dipublikasikan
dalam AJP (Safnil 2014). Di samping itu, bab temuan atau hasil analisis yang telah dilakukan peneliti tidak
terbantahkan oleh peneliti lain (Hunston, 1993 dalam Safnil 2015). Sehingga bagian ini tidak dapat ditulis
dalam narasi yang bersifat deskriptif informatif. Publikasi di dalam bab ini harus bersifat argumentatif dan
persuasif baik isi (content) maupun organisasi karangan (retoric). Sehubungan dengan penjelasan tersebut
dalam bab temuan dan pembahasan ini dideskripsikan hasil analisis data tentang; (a) tahapan dalam bagian
temuan dan pembahasan, dan (b) penanda kebahasaannya. Uraian rinci tentang hal tersebut dapat dibaca
pada detail berikut.
Tahapan dalam Bagian Pembahasan Artikel Jurnal Penelitian Berbahasa Indonesia dalam Bidang
Ilmu Sastra Bahasa dan Seni IKIP Malang
Temuan penelitian ini sejalan dengan penelitian Swales (2006 dalam Safnil 2014). Temuan penelitian ini
menunjukkan bahwa, ada delapan tahapan (moves) ketika penulis memaparkan bagian pembahasan. Namun
sekitar 67 % penulis menulis bagian pembahasan ini yang menggunakan 3 tahapan. Ketiga tahapan yang
dimaksudkan adalah: Tahapan-1 (informasi tentang penelitian), Tahapan-2 (pernyataan tentang hasil
penelitan), dan Tahapan-4 (penggunaan referensi dari penelitian sebelumnya), sedangkan lima tahapan
lainnya: Tahapan-3 (pernyataan tentang temuan penelitian yg tak terduga), Tahapan-5 (penjelasan tentang
hasil penelitian), Tahapan-6 (ilustrasi untuk mendukung penjelasan hasil penelitian), Tahapan-7
(menafsirkan pikiran peneliti terhadap temuan penelitian), sedangkan Tahapan-8 (saran peneliti sebagai
implementasi praktis dari temuan penelitian) hanya 05 % yang menulis tahapan ini. Selain Swales, temuan
penelitian ini mendukung penelitian yang relevan lainnya, yakni Safnil dan Wardhana, Dian Eka Chandra
(2014). Temuan penelitian ini mendukung suatu pernyataan bahwa bagian temuan dan pembahasan sesulit
menulis bagian pendahuluan karena penulisan bagian pembahasan memerlukan bukti bukti akurat atau data

195
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
yang dapat digunakan untuk berargumentasi untuk memperkuat suatu pernyataan atau temuan yang berupa
teori.
Selain hal tersebut temuan penelitian ini mendukung pernyataan, bahwa bagian Pembahasann AJP
seperti yang dikemukakan Safnil (2014:172-173) secara mikro mempunyai delapan tahapan (moves), atau
segmen teks yang memiliki tujuan komunikatif yang jelas untuk pembaca. Tahapan-tahapan yang
dimaksudkan adalah "... latar belakang informasi (background information), pernyataan-pernyataan thesis
(statement of results), temuan yang tidak terduga (un)expected outcome, hasil penelitian terdahulu (reference
to previous research), penjelasan (explanation), penyederhanaan (exemplification), deduktif (deduction),
hipothesis dan rekomendasi, (hypothesis and recommendation). Masing-masing tahapan tersebut digunakan
penulis untuk memposisikan dirinya dalam temuan keilmuan yang sudah dilakukan melalui kegiatan analisis
data. Beberapa contoh yang sudah dilakukan penulis untuk menulis bab pembahasan yang dimaksudkan
adalah:
a. menulis tentang latar belakang informasi (background information) dalam bab pembahasannya sudah
dilakukan oleh Wardhana, Dian Eka Chandra 2006, Anang Santoso, 2007 dalam Bahasa dan Seni
2007:5, Moh. Ainin dalam Bahasa Dan Seni,2007, dan penulis penulis lain seperti uraian berikut ini.
b. pernyataan-pernyataan thesis (statement of results) oleh Anang Santoso, 2007 dalam Bahasa dan Seni
2007:5. Penulis menulis pernyataan-pernyataan thesis di dalam tulisannya dengan memaparkan
gambaran atau sosok topik yang disebutnya sebagai suatu konsep baru. Konsep tersebut dipaparkan
dengan mengemukakan ilmu bahasa yang dapat memunculkan kesadaran kritis terhadap berbagai
penindasan kajian bahasa dan budaya. Langkah selanjutnya, penulis mengemukakan berbagai hipotesis
tentang kajian bahasa dan budaya. Konsep itu kemudian dirinci menjadi konsep tentang pecahan
pemahaman kajian bahasa dan budaya.
c. temuan yang tidak terduga (un)expected outcome oleh Moh. Ainin dalam Bahasa Dan Seni,2007:110.
Penulis memaparkan hasil penelitian dan memaparkan hasil analisis data yang telah dilakukannnya.
Namun dia agak terkejut karena ketika mengkaji data tersebut, ditemuan sesuatu yang diluar prediksinya
sebagai peneliti. Temuan kajiannya menunjukkan ada sesuatu hal yang lain, karena temuannya tidak
dibahas dalam kajian teori. Selanjutnya dia menginformasikan hal lain tersebut merupakan temuan yang
diluar dugaan atau hidden inovation dalam penelitian tersebut.
d. hasil penelitian terdahulu (reference to previous research), oleh I Ketut Seken, 2005. Penulis menulis
hasil penelitian terdahulu yang dijadikan acuan bahwa hasil penelitian yang ditemukannnya berbeda.
Hasil penelitian tedahulu menemukan suatu temuan bahwa kesantunan berbahasa itu bersifat universal,
sedangkan temuan penulis mengacu atau dipengaruhi oleh budaya lokal, karena konteks berbahasa
penutur dan mitra tutur berbeda pada saat berkomunikasi. Dengan demikian peran hasil penelitian
terdahulu dapat digunakan untuk memulai penalaran penulis di dalam memulai bab pembahasan.
e. penjelasan (explanation), Wardhana, Dian Eka Chandra 2006, memberi penjelasan di dalam isi bab
pengantar yang menjelaskan tenatang isi bab temuan dan pembahasan yang terdiri atas 18 temuan bentu
direktif penutur jawa pendatang di propinsi bengkulu dan kemudian membahasnya di bab pembahasan.
Gaya ini secara umum ada di dalam setiap disertasi yang dikeluarkan oleh Program Pendidikan
Pascasarjana Bahasa Indonesia Universitas Negri Malang.
f. penyederhanaan (exemplification),gaya ini telah dilakukan oleh banyak peneliti yang menulis bab
temuan dan pembahasan secara ringkas temuannya dalam bentuk tabel, grafik atau gambar singkat yng
menunjukkan adanya temuan dan kemudian membahasnya.
g. deduktif (deduction),ditulis oleh Suhartono, 2012. Penulis memaparkan data-data penelitian terlebih
dahulu di dalam penulisan bab pembahasan, kemudian membahas data tersebut di dalam sub bab temuan
dan pembahasan. Penulisan bab temuan dan pembahasan ini penting dilakukan untuk memberi
penjelasan tentang keterkaitan masing-masing variabel di dalam topik penelitian yang dilakukan.
Penelitian penulis mengarah pada penelitian kuantitaif dengan judul hubungan antara keterampilan
menulis dengan penguasaan tata bahasa mahasiswa semester 4 FKIP Universitas Bengkulu
h. hipothesis dan rekomendasi, (hypothesis and recommendation), model temuan penelitian ini biasa
dilakukan oleh penelitian yang berhubungan dengan perekonomian yang dihubungkan dengan kebijakan
politik. Penelitian semacam ini memberi saran kepada penentu kebijakan secara signifikan agar nilai
rupiah tidak semakin terpuruk tahun 2016, misalnya. Kajian-kajian pemberian rekomendasi banyak
dilakukan para peneliti yang sekaligus menjadi pengamat dan kemudian dipakai oleh media masaa untuk
menaikkan rating siaran mereka karena mereka telah pro atau kontr terhadap kebijakan pemerintah.
Data-data model bab temuan dan pembahsan yang telah dilakukan penulis tersebut menunjukkan
bahwa sebagian besar penulis AJP berbahasa Indonesia pada jurnal terakreditasi telah mendiskusikan hasil
atau temuan penelitian mereka dari sudut pandang temuan atau hasil penelitian terkait sebelumnya. Artinya,
sebagian besar penulis AJP Indonesia pada jurnal terakreditasi sudah berusaha memposisikan temuan
196
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
penelitian mereka pada khasanah informasi atau pengetahuan yang sudah ada. Dengan demikian, dapat
diketahui posisi temuan penelitian mereka, sehingga dapat menambah, memperjelas, atau mengoreksi
informasi yang sudah ada tentang topik yang terkait dengan penelitian mereka.
Temuan penelitian ini ditandai juga dengan penanda kebahasaan dalam teks wacana artikel jurnal
penelitian bagian pembahasan merupakan upaya penulis untuk menunjukkan adanya unit-unit komunikatif
yang unik dalam menenggarai suatu penanda struktur retorika. Penanda kebahasaan digunakan untuk
menguji teks guna dan dapat menggambarkan bentuk bahasa dan niat penulis dengan mengkaji unit
kebahasaan seperti yang sering digunakan oleh seorang penulis didalam menyampaikan pesannya. Unit
kebahasaan yang dimaksudkan ini adalah kalimat aktif, pasif, kata hubung (kohesi dan koherensi), kohesi,
koherensi, dan kata, frase atau klausa yang menandai adanya keterkaitan antara penalaran atau argumentasi
penulis dan perwujudan bahasa yang digunakan untuk menandai hal tersebut.
Hal tersebut dapat menandai digunakannya suatu bahasa untuk berpikir atau bernalar. Contoh dalam
suatu budaya yang memiliki bahasa, masing-masing benda diberi nama berdasar pada jenis penggolongan
tertentu. Hal ini dapat diungkapkan dengan satu kata yang memiliki nuansa makna yang sangat jelas dan
rinci, sedangkan dalam bahasa Iainnya harus diungkapkan dengan frase atau kalimat untuk menjelaskannya.
Dalam bahasa Jawa dikenal ada kata bluluk, cengkir, degan, dan krambil, sedangkan dalam bahasa Indonesia
hanya dikenal dengan sebutan kelapa. Untuk mengacu masing-masing benda itu, bahasa Indonesia
menggunakan frasa atau kalimat, yakni bluluk adalah (bakal) kelapa yang masih sangat muda, belum berisi
air,, dan belum bertempurung, dan be/um berdaging; cengkir adalah kelapa muda yang berair tapi be/um
manis, bertempurung lunak, dan belum berdaging; degan adalah kelapa muda yang sudah berair yang
rasanya manis, bertempurung agak keras, dan sudah berdaging lunak (lihat Wahab, 1993).
Hubungan bahasa dan pikiran dalam bahasa Jawa tersebut memberi penanda bahwa ada ada
hubungan antara bahasa dan pikiran. Bahasa mempengaruhi manusia, yakni cara orang berpikir ditentukan
oleh struktur bahasa pertamanya (Sapir-Whorf 1993; Sampson, 1980 dalam Wardhana, Dian Eka Chandra
2006). Dasar yang digunakan untuk menyusun teori itu adalah penelitian Sapir-Whorf, 1993 tentang struktur
bahasa Hopi dan struktur bahasa Inggris dihubungkan dengan perilaku masyarakat pemakainya. Hasil
penelitian Whorf menunjukkan bahwa penanda tense (yakni past dan present tenses) dalam bahasa Hopi
tidaklah termasuk kategori gramatikal seperti dalam bahasa Inggris. Penanda tense digunakan untuk
menyatakan kebenaran suatu kenyataan yang tidak dapat berubah (dalam bahasa Inggris sejajar dengan
Water is fluid), laporan suatu kejadian yang telah disaksikan oleh penutur (sejajar dengan I arrived
yesteday), atau hipotesis (sejajar dengan I assume that he'll be there tomorrow). Struktur bahasa Hopi
semacam itu dalam bahasa Inggris menekankan pada waktu terjadinya peristiwa. Perbedaan struktur dua
bahasa itu membedakan karakter masyarakat Hopi dan masyarakat Amerika. Masyarakat Hopi cenderung
bersyakwasangka, suka menerka, dan peka akan sumber informasi, sedangkan masyarakat Amerika Iebih
memperhatikan ketepatan waktu.

KESIMPULAN
Simpulan penelitian ini adalah, ada 9 tahapan yang ditemukan dalam struktur retorika bab pembahasan di
dalam data penelitian. Temuan ini mirip dengan temuan yang dilakukan oleh Nainggolan, Juliana. 2015, dan
Gusri, Hermen, 2015 ketika mereka menganalisis bab pendahuluan. Artinya baik di dalam retorika bab
pendahuluan maupun retorika bab pembahasan ditemukan pola atau tahapan dan langkah yang membangun
suatu retorika sehingga struktur suatu retorika dapat terumuskan. Berdasar 9 tahapan yang dapat
diidentifikasi, hanya ada dua tahapan yang paling penting untuk bahan argumentasi penelitian lanjutan,
yakni pernyataan tentang hasil atau temuan penelitian (Tahapan-2) dan tahapan ini dihubungkan dengan
temuan penelitian yang relevan atau penelitian yang terdahulu.

KENDALA PENELITIAN
Penelitian ini hanya dilakukan pada satu jurnal terakreditasi, sehinga temuan, pembahasan dan simpulan
yang tampak hanya merupakan sutu kasus yang tidak bisa digeneralisasi. Artinya simpulan yang diperoleh
pada saat penelitian dilakukan hanya berlaku untuk kasus data yang telah dipilih sebagai data penelitian dan
berlaku sangat terbatas.

SARAN PENELITIAN LANJUTAN


Penelitian lanjutan tentang pola retorika ini dapat dilakukan untuk pola argumentasi bab pembahasan, pola
retorika bab simpulan dan kajian pustaka. Hal ini penting dilakukan agar mahasiswa dan calon penulis lain

197
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
dapat memperoleh gambaran tentang pola retorika jurnal terakreditasi, untuk kepentingan awal kegiatan
pembimbingan menulis artikel secara baik dan benar.
Penelitian lanjutan yang dapat dilakukan adalah memasukkan kegiatan penulisan bab pembahasan
sebagai salah satu jenis teks atau wacana yang perlu dipelajari secara rutin di dalam kelas sebagai materi
rutin pembelajaran bahasa Indonesia baik di SMP, SMA maupun PT karena kebiasaan menuliskan laporan
yang disertai dengan penulisan temuan dan pembahasan akan menjadikan siswa dan mahasiswa lebih
memahami dan dapat menemukan lebih lanjut argumentasi tentang fakta, opini, dan data penelitian serta
pembahasan yang harus disertai dengan pemahaman terhadap kajian teori.

DAFTAR PUSTAKA
Darma, Y.A. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya.
Darma, Y.A. 2014. Analisis Wacana Kritis dalam Mulperspekstif. Bandung: PT. Refika Aditama.
Djajasudarma, T.F. 2010. Wacana Pemahaman dan Hubungan Antar Unsur (edisi ke-3), Bandung: PT. Refika Aditama.
Darma, Y.A. 2012. Wacana dan Pragmatik. Bandung: PT. Refika Aditama.
Eriyanto. 2012. Analisis Wacana (Pengantar Analisis Teks Media). Yogyakarta: LkiS Group.
Ihsan, D. 2011. Pragmatik Analisis wacana, dan Guru Bahasa (Pragmatics, Discourse Analysis, and Language
Teachers.) Palembang: Universitas Sriwijaya.
Jaafar, M.F. (tanpa tahun). Penanda wacana dalam Teks Melayu Lama Berunsur Sejarah. Malaysia: Pusat Pengajian
Bahasa dan Linguistik, Fakulti Sains Sosial. Universiti Kebangsaan Malaysia.
Keraf, Gorys. 2001. Komposisi. NTT: Nusa Indah.
Mahsun. 2014. Teks dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2013. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perssada.
Marta. 2014. Retorika (Edisi 2). Yogyakarta: Graha Ilmu.
Nainggolan, J. 2015. Analisis Struktur Retorika Problem Justifying Project pada Teks Bagian Pendahuluan Artikel
Jurnal Penelitian yang bersifat Deskriptif (Tesis). Bengkulu: Universitas Bengkulu.
Rohmadi dan Wijana. 2011. Analisis Wacana Pragmatik Kajian Teori dan Analisis (edisi ke-3). Surakarta: Yuma
Pustaka.
Safnil. 2010. Pengantar Analisis Retorika Teks (edisi ke-3). Bengkulu: FKIP Unib.
Safnil (Ed.). 2011. Jurnal Ilmiah BISA. Bengkulu: Program Pascasarjana (S2) Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Unib.
Safnil. 2014. Menulis Artikel Jurnal Internasional dengan Gaya Retorika Bahasa Inggris. Jakarta: Halaman Muk
Publishing dan Universitas Bengkulu.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D). Bandung: Alfabeta.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Dian Eka Chandra Wardhana
Institusi : Universitas Bengkulu
Riwayat Pendidikan : S3
S2
S1
Minat Penelitian : Analisis Wacana

198
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
PROFIL KOSAKATA PADA CERITA PILIHAN DI MAJALAH BOBO EDISI SEPULUH CERITA
TERAKHIR 2015

Afwin Sulistiawati
Universitas Airlangga
afwince@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa kebanyakan anak yang gemar membaca mengonsumsi bacaan-
bacaan dari Majalah Bobo. Konsumsi bacaan tersebut dapat diartikan sebagai input yang diperoleh oleh anak-anak.
Sedangkan input anak-anak harus benar-benar diperhatikan karena anak-anak merupakan generasi penerus bangsa
dan negara. Oleh karena itu penelitian mengenai profil kosakata yang ada di dalam Majalah Bobo perlu dilakukan
untuk mengetahui bacaan yang ada di dalamnya sesuai untuk pembaca anak-anak atau tidak. Tujuan penelitian ini
adalah mendeskripsikan profil kosakata yang ada dalam cerita pilihan di Majalah Bobo edisi akhir tahun 2015. Secara
akademik, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembang ilmu linguistik khususnya linguistik korpus, terlebih
bagi mereka yang sedang menganalisis kata-kata yang termasuk dalam Indonesian High Frequency List. Secara
praktis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan di bidang bacaan dan kesesuaian bacaan dari hasil
penganalisisan menggunakan linguistik korpus Ant Word Profiler. Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif
kualitatif. Data dari penelitian ini merupakan frasa atau kalimat yang didapat dari sumber data berupa Majalah Bobo
sehingga teknik yang digunakan ialah teknik dokumentatif. Data yang sudah diperoleh dianalisis menggunakan
software linguistik korpus Ant Word Profiler dan teknik analisis deskriptif sehingga hasil penelitian disajikan dalam
bentuk deskripsi. Dari rumusan masalah dapat diperoleh bahwa 10 cerita pilihan Majalah Bobo ini memiliki kata yang
termasuk dalam Indonesian High Frequency List lebih tinggi dibandingkan dengan kata yang tidak termasuk dalam
Indonesian High Frequency List. Dapat dikatakan pula bahwa jumlah persentase kata mudah lebih banyak
dibandingkan dengan kata susah yang ada di dalam teks cerita pilihan tersebut, yakni 573.9 : 426.1. Perbedaan jumlah
kata susah dan kata mudah itu termasuk signifikan berdasarkan uji signifikansi Chi Square. Tidak hanya itu, isi cerita
yang direpresentasikan melalui kosakata-kosakata yang digunakan di dalam cerita yang ada di dalam masing-masing
cerita pilihan juga sesuai bila ditujukan kepada pembaca anak-anak karena isinya berupa cerita-cerita mengenai
dunia anak dan pesan moral yang baik di dalamnya.
Kata kunci: profil kosakata, cerita pilihan, majalah bobo, Ant Word Profiler

PENDAHULUAN
Anak merupakan generasi penerus bahkan merupakan aset yang berharga bagi kelangsungan hidup di masa
yang akan datang. Jika dilihat dari sisi kemanusiaan, anak sebagai sumber daya manusia yang memegang
perjalanan bangsa beberapa tahun ke depan. Oleh sebab itu, input yang diterima anak harus benar-benar
diperhatikan demi kualitas hidup anak-anak. Input tersebut dapat berupa apa saja yang dikonsumsi, termasuk
apa yang dibaca. Buku bacaan anak-anak di Indonesia beragam wujudnya. Majalah merupakan salah satu
yang digandrungi karena di dalamnya terdapat paket all in one. Di antara majalah-majalah anak yang
berkembang di Indonesia, Majalah Bobo merupakan majalah anak berwarna yang pertama di Indonesia.
Sampai sekarang Bobo masih terus dapat mengembangkan eksistensinya. Buktinya pada tahun 2014
Majalah Bobo mendapatkan penghargaan IPMA (Indonesia Print Media Award).
Konten cerita pilihanlah yang akan diteliti dalam penelitian ini karena yang namanya pilihan pasti
cerita yang terpilih merupakan cerita yang dianggap bagus daripada cerita-cerita bagus yang telah
dieliminasi dari pihak Majalah Bobo. Cerita pilihan ini merupakan cerita pilihan dari beberapa penulis cerita
yang mengirim cerita dan ingin ceritanya dimuat di Majalah Bobo. Berdasar uraian alasan dan beberapa
fakta mengenai Majalah Bobo di atas, perlulah cerita pilihan di Majalah Bobo tersebut diteliti dari sisi
kebahasaan karena di dalamnya memang berisi cerita melalui bahasa verbal berbentuk narasi dalam bahasa
Indonesia. Oleh karena itu rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana profil kosakata dalam
cerita pilihan yang ada di dalam Majalah Bobo edisi akhir tahun 2015.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan profil kosakata yang ada dalam cerita
pilihan di Majalah Bobo edisi akhir tahun 2015. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara
akademis maupun secara pragmatis. Berbagai studi linguistik yang mengambil isu seputar linguistik korpus
tetap memberikan peluang lahirnya gagasan-gagasan baru. Secara akademik, penelitian ini diharapkan
bermanfaat bagi pengembang ilmu linguistik khususnya linguistik korpus, terlebih bagi mereka yang sedang
menganalisis kata-kata yang termasuk dalam Indonesian High Frequency List. Secara praktis, penelitian ini
diharapkan dapat menambah pengetahuan di bidang bacaan dan kesesuaian bacaan dari hasil penganalisisan
melalui linguistik korpus Ant Word Profiler.

199
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
METODOLOGI
Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh dosen
Universitas Negeri Padang, Yeni Hayati dengan judul Aspek Psikologis dalam Sastra Anak pada Majalah
Bobo edisi 2010 pada tahun 2010. Kesamaan dengan penelitian tersebut ialah sama-sama meneliti tentang
Majalah Bobo tetapi fokus penelitiannya berbeda, penelitian tersebut terfokus pada aspek psikologisnya
sedang penelitian ini terfokus pada pilihan katanya. Penelitian ini merupakan penelitian yang berjenis
penelitian kualitatif karena hasil akhir dari penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian kualitatif ialah
penelitian yang secara keseluruhan memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk
deskripsi (Ratna, 2004: 46). Bukan berarti dalam penelitian kualitatif tidak ada angka sama sekali,
melainkan bila ada angka tetap saja menyajian hasil penelitian dalam bentuk deskripsi. Adanya angka hanya
digunakan sebagai penguat data dan diikuti dengan deskripsi-deskripsi mengenai angka tersebut.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tertulis berupa Majalah Bobo.
Sedangkan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah kutipan dari teks cerita yang berupa kata, frasa,
penggalan kalimat, dan paragraf yang diambil dari cerita pilihan, yakni cerita yang dikirim oleh orang lain
(bukan pihak atau redaktur Majalah Bobo) dan dipilih oleh redaktur untuk diretbitkan. Teknik pengumpulan
data dalam penelitian ini adalah teknik dokumentatif menurut Suhadi, dkk (2003: 96), yakni teknik
dokumentatif tepat untuk digunakan sebagai pengumpul data apabila informasi yang dikumpulkan
bersumber dari dokumen: buku, jurnal, surat kabar, majalah, laporan kegiatan, notulen rapat, daftar nilai,
kartu hasil studi, transkrip, prasasti, dan sejenisnya. Oleh karena penelitian ini bersumber dari sumber data
majalah, buku teori, dan buku-buku yang lain. Penelitian ini menggunakan software atau alat linguistik
korpus yang berupa Ant Word Profiler 1.4.0w. untu menentukan profil kosakatanya.
Selain itu, penelitian ini juga menggunakan alat uji Chi Square untuk menentukan perbedaan antara
kata-kata yang termasuk dan yang tidak termasuk dalam Indonesian High Frequency List tersebut signifikan
atau tidak. Penentuan signifikansi itu juga dapat disebut sebagai uji normalitas menurut Sugiyono (2010: 79),
yakni pengujian normalitas data dengan chi-square dilakukan dengan cara membandingkan kurva normal
yang terbentuk dari data yang telah terkumpul dengan kurva normal baku atau ekspektasi. Perbedaan data
dikatakan signifikan atau tidak bila sesuai dengan rumus berikut. Signifikan < 0.05 < tidak signifikan.

PEMBAHASAN
Kata adalah alat penyalur gagasan yang akan disampaikan kepada orang lain. Kata-kata ibarat pakaian yang
dipakai oleh pikiran kita. Tiap kata memiliki jiwa (Keraf, 2010: 21). Setiap teks dibuat dengan berbagai
pertimbangan, pertimbangan tentang isi teks, bahasa yang digunakan, dan kata-kata yang dipilih demi
menuangkan ide si penulis. Kata-kata di dalam teks dipilih dan digunakan bukanlah hal yang kebetulan,
melainkan terjadi dan dilakukan proses pemilihan kata secara sadar oleh penulis. Plilihan kata atau diksi
mencakup pengertian kata–kata mana yang harus dipakai untuk mencapai suatu gagasan, bagaimana
membentuk pengelompokan kata–kata yang tepat atau menggunakan ungkapan–ungkapan, dan gaya mana
yang paling baik digunakan dalam suatu situasi (Keraf, 2010: 96). Dalam hal ini pilihan kata pada teks cerita
pilihan Majalah Bobo.
Oleh sebab itu, Keraf (2010: 23) menambahkan, adalah suatu kekhilafan yang besar untuk
menganggap bahwa persoalah pilihan kata adalah persoalan yang sederhana, persoalan dengan sendirinya
secara wajar pada setiap manusia. Kebanyakan orang berkomunikasi memang menggunakan bahasa verbal.
Akan tetapi penggunaan bahasa atau kata-kata yang digunakan tentu saja melalui proses berpikir secara
leksikal untuk menentuka kata mana yang dipilih atau digunakan untuk mewakili gagasan yang akan
disampaikan, begitu juga dalam penulisan sebuah teks. Dalam hal ini dikaitkan dengan kata-kata yang
dituangkan dalam cerita pilihan Majalah Bobo. Cerita pilihan Majalah Bobo merupakan cerita pilihan yang
diperuntukkan bagi pembaca yang masih tergolong anak-anak sehingga pilihan kata di dalamnya juga perlu
diperhatikan demi kesesuaian imput yang diterima anak-anak (pembaca). Bila menggunakan alat linguistik
korpus Ant Word Profiler maka akan ada dua kategori kata, yakni kata yang termasuk dan kata yang tidak
termasuk dalam Indonesian High Frequency List. Kata yang termasuk dalam Indonesian High Frequency
List berarti merupakan kata-kata yang berfrekuensi tinggi, kata yang banyak digunakan dalam bahasa
Indonesia, dan kata yang dianggap sebagai kata mudah (bukan kata susah).
Berdasar penjelasan di muka, berarti kata-kata yang termasuk dalam Indonesian High Frequency
List dianggap sebagai kata yang mudah sehingga sesuai bila ditujukan kepada pembaca anak-anak. Oleh
karena itu, dalam analisis ini seharusnya kata-kata yang termasuk Indonesian High Frequency List lebih
banyak dibandingkan dengan kata-kata yang bukan termasuk dalam Indonesian High Frequency List.
Berikut adalah langkah-langkah yang dilakukan untuk mengetahui profil kosa kata yang ada dalam 10 cerita
pilihan Majalah Bobo.
200
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14

Pertama yang harus dilakukan adalah memasukkan teks dalam bentuk txt ke dalam softwarenya
dengan cara klik Choose pada User File(s), cari file yang ingin diproses dan klik Open. Setelah itu klik
Start yang ada di bagian bawah dan hasilnya akan dapat dilihat seperti gambar di samping. Hal penting dari
hasil yang dapat dilihat adalah statistiknya. Dari situ dapat diketahui berapa persen kata-kata yang termasuk
dalam Indonesian High Frequency List, juga kata-kata yang tidak termasuk dalam Indonesian High
Frequency List. Agar lebih jelas, kata-kata dalam teks tersebut dapat dilihat langsung yang mana yang
merupakan Indonesian High Frequency List dan yang mana yang bukan dengan cara klik View pada User
File(s) maka teks akan muncul di window baru.
Pada window baru, klik tombol Level List Word di bagian bawah agar dapat mengetahui kata mana
yang termasuk dalam Indonesian High Frequency List dan beberapa kata yang muncul dalam bentuk teks
atau paragraf akan berwarna merah. Kata-kata yang berwarna merah itulah yang termasuk dalam Indonesian
High Frequency List. Selain dapat melihat secara manual kata-kata yang termasuk dalam Indonesian High
Frequency List di dalam teks, dari gambar tersebut juga dapat melihat persentase token coverage di bagian
kanan atas. Semakin tinggi angkanya semakin banyak kata-kata yang termasuk ke dalam Indonesian High
Frequency List.

201
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Dari gambar di atas, dapat dibaca bahwa teks yang berjudul Si Gendut Menjebak Tuyul terdiri atas
60.2 % kata yang termasuk Indonesian High Frequency List dan 39.8 % kata yang tidak termasuk dalam
Indonesian High Frequency List. Langkah-langkah yang sama juga dilakukan dengan memasukkan sembilan
teks atau objek yang lain dengan cara memprosesnya satu per satu. Berdasarkan proses dari masing-masing
teks, data-data penelitian dapat ditulis menjadi bentuk tabel berikut.
Persentase kata yang Persentase kata yang
termasuk dalam bukan termasuk
Nmr Judul Teks
Indonesian High Indonesian High
Frequency List Frequency List
1 AMBULAN YANG SOMBONG 72.0 28.0
2 AUOOO! TARZAN MAU MENYEBERANG 53.5 46.5
3 CERITA HANTU DI KASTIL CODLIN 55.8 44.2
4 GORI SI RAKSASA 59.1 40.9
5 LAYANG-LAYANG SAKTI 52.3 47.7
6 MISTERI CINCIN KERAMAT 45.3 54.7
7 PENGINAPAN PINTU SINGA 63.2 36.8
8 PENYU MENJADI PAHLAWAN 60.5 39.5
9 PUTRI CANGKUANG MEMBOLOS 52.0 48.0
10 SI GENDUT MENJEBAK TUYUL 60.2 39.8
Jumlah 573.9 426.1
Perbandingan angka persentase antara kata-kata yang termasuk dan tidak termasuk dalam
Indonesian High Frequency List adalah 573.9:426.1. Bila dilihat dari jumlah perbandingan tersebut maka
kata-kata yang termasuk dalam kategori kata mudah lebih tinggi dibandingkan dengan kata susah yang ada
dalam sepuluh cerita pilihan tersebut sehingga dapat dikatakan bahwa bacaan ini sesuai bila ditujukan
kepada pembaca anak-anak dilihat dari kata-kata yang digunakan. Sebagai tambahan pertimbangan
mengenai penyimpulan kesesuaian bacaan anak yang berupa cerita pilihan ini juga perlu dilihat dari sisi lain.
Misalnya dengan cara melihat makna atau maksud tersirat dari kata-kata yang digunakan. Maksud teks
tersebut dapat dilihat dari isi atau topik dari masing-masing cerita. Sebab Keraf (2010: 21) pernah
mengatakan bahwa tiap kata memiliki jiwa. Hal tersebut sama dengan tiap kata memiliki maksud atau isi di
dalamnya. Semua cerita dari 10 cerita pilihan di Majalah Bobo mengandung pesan moral yang bagus dan isi
cerita yang sesuai dengan dunia anak-anak. Hal tersebut terbukti dari analisis berikut ini.
Cerita yang berjudul Ambulan Yang Sombong bercerita tentang dunia mainan dengan topik
kesombongan membawa keburukan, Auooo! Tarzan Mau Menyeberang bercerita tentang kisah anak-anak
sekolah dengan topik keikhlasan dan tolong menolong, Cerita Hantu di Kastil Codlin bercerita tentang anak
kecil yang berteman dengan hantu dengan topik dongeng sebelum tidur, Layang-layang Sakti bercerita
tentang anak-anak yang sedang bermain layang-layang dengan tema kesombongan membawa keburukan,
Misteri Cincin Keramat bercerita tentang anak yang bermain dengan teman sekelas dengan topik ceroboh
membawa keburukan, Putri Cngkuang Membolos bercerita tentang anak yang berdharma wisata ke situs
sejarah dengan topik kemalasan membawa keburukan, Si Gendut Menjebak Tuyul bercerita tentang anak-
anak bermain bersama teman dengan topik kesombongan membawa keburukan, Gori Si Raksasa bercerita
tentang adanya raksasa nakal yang mengganggu masyarakat desa dengan topik penepatan janji, Penginapan
Pintu Singa bercerita tentang tamu-tamu yang ingin menginap di Penginapan Pintu Singa dengan topik
kesombongan membawa keburukan, dan Penyu Menjadi Pahlawan bercerita tentang perjuangan binatang-
binatang (cerita binatang atau fabel) dengan topik menghargai teman. Salah satu bukti dari analisis tersebut
adalah sebagai berikut.
“Milaka, yuk, kita pulang. Sebentar lagi hujan turun,” ajak Tante Sherry. Milaka
mengangguk dan berjalan mengikuti Tante Sherry menaiki getek untuk menyeberangi
danau. “Jangan sia-siakan apa yang kamu miliki, Milaka. Belajarlah yang rajin,” bisikan di
antara dedauan pohon cangkuang itu seperti bergema di dalam hati Milaka (Bestari dalam
Majalah Bobo Edisi 50/XXVI).
Dari kutipan tersebut cukup membuktikan pesan-pesan moral atau isi cerita yang terdapat dalam
cerita cukup tersurat dengan jelas tanpa menuntut pembaca anak-anak untuk meraba maksud dari kata-kata
dalam cerita. Begitu juga topik-topiknya sesuai dengan dunia anak-anak misalnya menggunakan topik
melakukan dharma wisata anak-anak, bermain layang-layang dengan teman, dan bermain apapun bersama
dengan teman yang di dalamnya bisa diselipkan pesan moral yang jelas. Dari topik yang membahas
mengenai dunia anak-anak maka pilihan kosakatanya pun tidak jauh dari dunia anak-anak itu sendiri.
Sebagai hasil penelitian, profil kosa kata dari cerita pilihan Majalah Bobo, jumlah data yang dirumuskan
202
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
dalam bentuk perbandingan di muka kemudian dilihat apakah perbedaan antarkeduanya termasuk signifikan
atau tidak signifikan menggunakan Chi Square di dalam Microsoft Excel. Menurut Sugiyono (2010: 79)
pengujian normalitas (signifikansi) data dengan chi-square dilakukan dengan cara membandingkan kurva
normal yang terbentuk dari data yang telah terkumpul dengan kurva normal baku atau standard (dapat
dikatakan sebagai nilai ekspektasi). Cara untuk melihat apakah signifikan atau tidak adalah sebagai berikut.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah memasukkan jumlah kata yang termasuk dan yang tidak
termasuk dalam Indonesian High Frequency List ke dalam masing-masing kolom. Membuat kolom baru di
sebelah kanan dan di deret terbawah dengan nama Grand Total. Dua Grand Total tersebut diadakan untuk
menemukan berapa nilai ekspektasi. Cara mengetahui ekspektasinya ialah dengan cara menyalin tabel di
halaman lain dan menghapus semua data dalam kolom kata yang termasuk dan yang tidak termasuk dalam
Indonesian High Frequency List kecuali hasil Grand Total. Setelah itu mengisi kolom yang sudah
dikosongkan tersebut dengan menulis rumus =hasil Grand Total bawah*hasil Grand Total samping
kanan/hasil Grand Total yang berada di pojok kanan bawah kemudian enter.
Nilai ekspektasi yang sudah didapat tersebut kemudian diproses di dalam program Microsoft Excel
yang biasa disebut Chi Square. Adapun rumus yang digunakan ialah dengan cara mengetik =CHITEST(hasil
blok semua data asli, hasil blok semua data ekspektasi) pada sel yang seharusnya berisi hasil Chi Square.
Hasil dari proses sesuai data di muka adalah 2.627E-99. Perbedaan data dikatakan signifikan atau tidak bila
sesuai dengan rumus berikut. Signifikan < 0.05 < tidak signifikan. Maka perbedaan data mengenai kata-kata
yang termasuk dan yang tidak termasuk dalam Indonesian High Frequency List di muka adalah signifikan
karena hasil angka yang didapat dari Chitest atau Chi Square adalah lebih kecil dari 0.5.
Berdasar analisis profil kosakata dan makna kata yang dapat dirumuskan sebagai isi yang ada pada
masing-masing cerita dari sepuluh cerita pilihan tersebut dapat dikatakan bahwa bacaan pada konten cerita
pilihan dalam Majalah Bobo merupakan bacaan yang sesuai dengan target pembaca, yakni anak-anak. Hal-
hal mengenai input anak-anak melalui bacaan tersebut sudah sesuai dan tidak perlu dikhawatirkan lagi
sehingga kelayakan teks tersebut dapat terbukti melalui penelitian ini.

SIMPULAN
Majalah Bobo merupakan majalah anak yang laris di Indonesia sehingga perlu diketahui bagaimana teks yang
ada di dalamnya. Melalui penganalisisan sepuluh cerita pilihan Majalah Bobo dapat dikatakan bahwa cerita
pilihan dalam Majalah Bobo merupakan bacaan anak yang layak dikonsumsi anak-anak dengan alasan jumlah
kata mudah atau kata-kata yang termasuk dalam Indonesian High Frequency List lebih tinggi dibandingkan
dengan kata-kata yang tidak termasuk Indonesian High Frequency List atau kata susah dengan hasil
perbandingan 573.9:426.1. Perbedaan jumlah kata susah dan kata mudah itu termasuk signifikan berdasarkan
uji signifikansi Chi Square. Tidak hanya itu, isi cerita yang direpresentasikan melalui kosakata-kosakata yang
digunakan di dalam cerita yang ada di dalam masing-masing juga sesuai bila ditujukan kepada pembaca anak-
anak karena isinya berupa cerita-cerita mengenai dunia anak dan pesan moral yang baik di dalamnya.

PUSTAKA ACUAN
Anthony, L. 2012. AntWordProfiler (Version 1.4.0) [computer software]. Tokyo, Japan: Waseda University. Retrieved
from http://www.antlab.sci.waseda.ac.jp
Hayati, Y. (2010). Aspek Psikologis dalam Sastra Anak pada Majalah Bobo edisi 2010. Bandung: Thesis tidak
diterbitkan.
Keraf, G. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.
Kwary, D A. 2013. The Indonesian High Frequency List (Version April 2013). Retrieved from http://kwary.net.iwl
Majalah Bobo. Edisi 50/XXVI (25 September 2015).
Ratna, N. K. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Denpasar: Pustaka Pelajar.
Reportasia edisi Kamis, 13 Februari 2014. (2014). Majalah Bobo Raih Penghargaan.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif & RND. Bandung: Alfabeta.
Suhadi, I. d. 2003. Dasar-dasar Metodologi Penelitian. Malang: Universitas Negeri Malang Press.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Afwin Sulistiawati
Institusi : Universitas Airlangga
Riwayat Pendidikan : S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya
Minat Penelitian : • Sosiolinguistik: Sikap Berbahasa (Inferioritas terhadap Penggunaan Suatu Bahasa)
• Linguistik Korpus: Profil Kosakata pada Suatu Media
• Bahasa dan Gender

203
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
KESANTUNAN INTEROGATIF DALAM INTERAKSI INSTRUKSIONAL GURU SD DI
SURABAYA

Agung Pramujiono, Nunung Nurjati, Taufik Nurhadi


Universitas PGRI Adi Buana
pram4014@yahoo.com

ABSTRAK
Dalam interaksi instruksional di kelas guru memunyai peran yang sangat penting. Salah satunya adalah menciptakan
suasana kelas yang kondusif sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik. Dalam kerangka menjaga
suasana belajar yang kondusif dan mencapai tujuan pembelajaran, guru menggunakan berbagai ragam tindak tutur.
Salah satunya adalah tindak tutur interogatif. Tindak tutur interogatif memiliki potensi untuk mengancam muka, baik
muka guru maupun muka peserta didik. Karena itu dalam melakukan tindak tutur interogatif, guru perlu menggunakan
bahasa yang santun untuk menjaga harmoni kelas. Ujaran guru tidak melukai baik muka negatif maupun muka positif
dirinya dan peserta didik. Fokus penelitian ini berkaitan dengan wujud verbal kesantunan interogatif dan ciri prosodi
kesantunan interogatif guru SD di Surabaya. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan (1) wujud verbal yang
merepresentasikan kesantunan interogatif dalam interaksi intruksional guru SD di Surabaya dan (2) ciri prosodi
kesantunan interogatif dalam interaksi instruksional guru SD di Surabaya. Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan ancangan etnopragmatik. Data penelitian ini berupa ujaran dalam interaksi instruksional guru SD
yang merepresentasikan wujud dan aspek prosodi kesantunan interogatif. Sumber data penelitian ini adalah wacana
interaksi instruksional delapan orang guru SD di Surabaya. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode simak
dengan teknik rekam. Data selanjutnya dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif dan analisis akustik dengan
menggunakan peranti PRAAT. Berdasarkan hasil analisis data ditemukan (1) wujud kesantunan interogatif
direalisasikan dalam tindak tutur direktif meminta penjelasan, memerintah, meminta izin, dan (2) ciri prosodi
kesantunan interogatif dalam interaksi instruksional di SD di Surabaya adalah sebagai berikut. Intensitas: rerata
76,84 dB; terendah 69,7 dB; tertinggi 80,82 dB. Durasi: rerata 3,22 detik; terendah 0,68 detik; tertinggi 9,63 detik.
Kecepatan suara: rerata 0,44/detik; terendah 0.104/detik; tertinggi 1,464/detik. Nada: rerata 247,26 Hz; terendah
147,8 Hz; tertinggi 440,7 Hz. Intonasi akhir menurun 91 (65%), intonasi akhir meninggi 30 (22%), intonasi akhir
mendatar 18 (13%).
Kata kunci: kesantunan interogatif, interaksi instruksional, wujud kesantunan, ciri prosodi

PENDAHULUAN
Dalam interaksi instruksional di kelas guru memunyai peran yang sangat penting. Salah satunya adalah
menciptakan suasana kelas yang kondusif sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan optimal
(Surya dalam Pramujiono, 2015a). Dalam kerangka menjaga suasana belajar yang kondusif dan mencapai
tujuan pembelajaran, guru menggunakan berbagai ragam tindak tutur. Salah satunya adalah tindak tutur
interogatif.
Dalam ujaran interogatif, penutur menanyakan sesuatu kepada mitra tuturnya dan mitra tutur
memberikan informasi (Pramujiono,2012; Rahardi, 2000; Alwi, dkk., 2000). Lebih lanjut dikemukakan
Pramujiono (2012) bahwa dalam wacana dialog, ujaran interogatif direalisasikan dalam berbagai ragam
tindak tutur direktif meminta penjelasan, mengonfirmasikan, meminta izin, dan menawarkan.
Tindak tutur interogatif memiliki potensi untuk mengancam muka, baik muka guru maupun muka
peserta didik. Karena itu dalam melakukan tindak tutur interogatif dalam interaksi intruksional perlu
digunakan bahasa yang santun untuk menjaga harmoni kelas. Hal ini sejalan dengan pandangan Brown dan
Levinson (1987) bahwa kesantunan berbahasa merupakan upaya untuk menjaga muka. Hal tersebut juga
sesuai dengan pandangan Leech (1993) bahwa kesantunan merupakan strategi untuk menghindari konflik.
Karena itu, ujaran guru tidak boleh melukai baik muka negatif maupun muka positif dirinya dan peserta
didik dalam pembelajaran di kelas.
Kesantunan berbahasa selain berkaitan dengan aspek verbal, juga tidak dapat dipisahkan dari aspek
nonverbal. Salah satunya adalah aspek prosodi ujaran. Menurut Culpeper (2003) dan Stadler (2006), aspek
prosodi sangat penting dijadikan sebagai bagian dari analisis ujaran dengan alasan tidak ada ujaran yang
dapat dilisankan tanpa prosodi. Ujaran dan prosodi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Prosodi
ujaran berkaitan dengan intensitas, durasi dan kecepatan suara, nada, dan intonasi akhir (Halim, 1984;
Gabriel, 1996).
Prosodi memunyai kaitan dengan kesantunan berbahasa. Wennerstrom (Stadler, 2006) menegaskan
bahwa prosodi dapat menunjukkan kesantunan berkaitan dengan paramater ketidaklangsungan suatu ujaran.
Strategi prosodi dapat digunakan untuk mengekspresikan emosi dan sikap Pn (Stadler, 2006), sedangkan

204
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
dalam pandangan Mita Ito (Pramujiono, 2015b) strategi prosodi dapat digunakan untuk mengekspresikan
formalitas suatu ujaran.
Fokus penelitian ini berkaitan dengan wujud verbal kesantunan interogatif dan ciri prosodi
kesantunan interogatif guru SD di Surabaya. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan (1) wujud verbal
yang merepresentasikan kesantunan interogatif dalam interaksi intruksional guru SD di Surabaya dan (2)
ciri prosodi kesantunan interogatif dalam interaksi instruksional guru SD di Surabaya.

METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif dengan ancangan perspektif etnopragmatik.
Etnopragmatik merupakan interdisipliner pragmatik dan etnografi komunikasi (Pramujiono, 2012). Data
penelitian ini berupa ujaran yang merepresentasikan wujud verbal kesantunan interogatif dan aspek
nonverbal ujaran yang menggambarkan intensitas suara, durasi dan kecepatan suara, nada, dan intonasi akhir
ujaran. Sumber data penelitian ini adalah wacana instruksional dalam pembelajaran empat SDN di Surabaya
dengan delapan guru sebagai model. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan dua cara, yaitu
metode simak dengan teknik rekam (Sudaryanto, 2015) dan teknik observasi nonpartisipasi (Kuswarno,
2008). Wujud kesantunan interogatif dilakukan dengan teknik deskriptif, sedangkan prosodi ujaran dinalisis
dengan teknik akustik menggunakan peranti PRAAT (Sugiyono, 2003).

PEMBAHASAN
Wujud Verbal Kesantunan Interogatif dalam Interaksi Instruksional (WKBUBInt) Guru SD di Surabaya
Ujaran bermodus interogatif memunyai maksud untuk menanyakan sesuatu kepada Pt. (Rahardi, 2000 dan
Alwi, dkk., 2000). WKBUBInt dalam interaksi intruksional guru SD di Surabaya direalisasikan dalam tindak
tutur direktif meminta penjelasan, memerintah, dan meminta izin. Masing-masing realisasi tindak tutur
dipaparkan sebagai berikut.
1. WKUBInt dalam Tindak Tutur Direktif Meminta Penjelasan
WKUBInt dalam tindak tutur direktif meminta penjelasan dalam interaksi instruksional di SD dapat
dilihat pada data berikut.
(1) Guru : Sehat semua?
Siswa : Sehat.
Guru : Semua belum sarapan?
Siswa : ...
Guru : Hayo ada yang belum sarapan? Kalau pagi harus…?
Siswa : Sarapan.
Guru : Harus sarapan dulu. Sudah makan mandi terus…? Sudah minum susu?
Siswa 1 : Belum.
Siswa 2 : Sudah.
Siswa 3 : Saya belum Bu.
Siswa 4 : Saya cuma sarapan.
Guru : Sehat semua? (STM.1.1.5-15)
(2) Guru : Asssalamualaikm wr. wb. Selamat pagi anak-anak. Bagaimana kabarnya hari ini?
Siswa : Selamat pagi. Luar biasa yes nomer 1. (SM.1.1.1-2)
Konteks ujaran (1) adalah guru mengawali pembelajaran dengan menanyakan keadaan siswa.
Bentuk interogatif dalam tindak tutur direktif meminta penjelasan dapat dilihat pada ujaran berikut. Sehat
semua?; Semua belum sarapan?; Hayo ada yang belum sarapan?; Sudah minum susu? Pertanyaan tersebut
mendapatkan respon dari para siswa. Dalam ujaran tersebut guru menggunakan strategi kesantunan positif.
Selain menggunakan kekuasaannya untuk mengondisikan kelas, guru membangun kedekatan kepada siswa
dengan memberikan perhatian berupa pertanyaan-pertanyaan tentang keadaan mereka. Upaya guru ini
mendapatkan respon positif dari anak-anak. Hal ini tampak dari keantusiasan mereka dalam menjawab
pertanyaan.
Seperti halnya (1), pada (2) konteks ujarannya adalah guru mengawali pembelajaran dengan
melakukan pengondisian kelas. Guru menanyakan keadaan siswanya. Ujaran, Bagaimana kabarnya hari ini?
merupakan bentuk ujaran bermodus interogatif dalam tindak tutur direktif meminta penjelasan. Pertanyaan
tersebut merupakan bentuk perhatian guru kepada siswa. Di sini guru menerapkan strategi kesantunan positif
dengan memberikan perhatian kepada siswa.

205
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
2. WKUBInt dalam Tindak Tutur Direktif Memerintah
Selain direalisasikan dalam tindak tutur direktif meminta penjelasan, WKUBInt dalam interaksi
instruksional di SD juga direalisasikan dalam tindak tutur direktif memerintah. Hal ini dapat dilihat pada
data berikut.
(3) Guru : Iya… sebelum kita buka bukunya, siapa yang berani maju menjelaskan kembali tentang hujan?
Siswa : (Siswa maju ke depan kelas dan menjelaskan kembali proses terjadinya hujan).
Guru : Iya pintar semua. Ayo siapa lagi yang berani maju? Ayo anak-anak dibuka bukunya hal 73. Di situ ada
3 gambar yaitu yang pertama gambar hujan, kedua menguap, gambar ketiga menjadi awan. Sekarang
bisakah anak-anak menempel 3 kejadian itu? Coba sekarang ada yang membawa gunting. Yang di
gunting mana anak-anak? Yang di gunting gambarnya. Karena banyak yang gak bawa gunting,
diurutkan saja nomernya saja. Ditandai nomer saja. (SM.1.2.23-25)
(4) Guru : Coba dengarkan. Tadi malam di tempatnya anak-anak hujan tidak?
Siswa : Hujan.
Guru : O hujan. Bisa nyanyikan lagu tik-tik-tik bunyi hujan?
Siswa : Bisa.
Guru : Yuk.. Kita semangat menyanyikan bersama! Sudah hafal lagunya?
Siswa : Sudah. (STM.2.1.84-91)
Konteks ujaran (3) adalah guru mengajarkan materi IPA tentang cuaca. Sebelum memulai
pembelajaran guru meminta salah satu siswa untuk menjelaskan tentang hujan. Pertanyaan tersebut
sebenarnya berfungsi sebagai perintah tidak langsung kepada siswa. Bentuk ujaran bermodus interogatif
dalam tindak tutur direktif memerintah dalam (3) dapat dilihat pada ujaran berikut. Siapa yang berani maju
menjelaskan kembali tentang hujan?; Ayo siapa lagi yang berani maju? Pada ujaran tersebut guru
menggunakan strategi langsung. Guru menggunakan kekuasaannya untuk mengatur dan memerintah siswa.
Namun demikian, guru memperlunak daya ilokusi imperative ujaran tersebut dengan menggunakan kata kita
dan hayo.
Pada (4), konteks ujarannya guru mengajak anak menyanyikan lagu Tik tik tik bunyi hujan.
Sebelumnya guru melakukan pengondisian dengan menanyakan apakah di tempat mereka tadi malam hujan.
Ujaran bermodus interogatif dalam tindak tutur direktif memerintah dapat dilihat pada ujaran, Bisa
nyanyikan lagu tik-tik-tik bunyi hujan? Pertanyaan tersebut berfungsi untuk memerintah secara tidak
langsung. Pada ujaran tersebut guru menggunakan kekuasaannya untuk mengatur kelas.
3. WKUBInt dalam Tindak Tutur Direktif Meminta Izin
WKUBInt dalam interaksi instruksional di SD dalam tindak tutur direktif meminta izin dapat dilihat
pada data berikut.
(5) Guru : Sebelum belajar, coba Bu Sri absen dulu ya…?
Siswa : Dalem Bu…
Guru : Alhamdulillah… Berarti anak-anak masuk semua ya.. Berarti anak-anak dalam keadaan sehat…
Siswa : Wal’afiaat.
Guru : Kita harus bersyukur kepada siapa?
Siswa : Allah. (STM.2.1.7-12)
Pada (5) konteks ujarannya adalah guru mengawali pembelajaran dengan mengecek kehadiran
siswa. Sebelum melakukan aktivitasnya tersebut guru meminta persetujuan siswa. Ujaran bermodus
interogatif dalam tindak tutur direktif meminta izin dapat dilihat pada ujaran, Sebelum belajar, coba Bu Sri
absen dulu ya…? Pada ujaran tersebut guru menggunakan strategi kesantunan positif dengan menggunakan
penanda kelompok berupa bentuk sapaan, Bu Sri. Penggunaan bentuk sapaan tersebut memberikan kesan
psikologis guru sangat dekat dengan siswanya.
Aspek Prosodi Kesantunan Interogatif dalam Interaksi Instruksional Guru SD di Surabaya
Contoh Spektogram Hasil Analisis PRAAT Kesantunan Interogatif
1.

206
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
2.

Pada spektogram (1) dapat diketahui aspek prosodi ujaran, Acara apa Mbak ke Jogya Mbak:
intensitas 71,87dB, durasi 1,47 detik, kecepatan suara 0,679/detik, nada 233,2 Hz, dan intonasi akhir
menurun. Pada spektogram (2) dapat diketahui aspek prosodi ujaran, Aldi mana bukunya Aldi? : intensitas
71,25dB, durasi 2,10 detik, kecepatan suara 0,456/detik, nada 249,1 Hz, dan intonasi akhir mendatar.
Berdasarkan hasil analisis akustik terhadap 139 ujaran terseleksi, ciri prosodi ujaran bermodus
interogatif adalah intensitas: rerata 76,84; terendah 69,7; tertinggi 80,82. Aspek Durasi: rerata 3,22; terendah
0,68; tertinggi 9,63. Kecepatan suara: rerata 0,44; terendah 0.104; tertinggi 1,464. Nada: rerata 247,26;
terendah 147,8; tertinggi 440,7. Intonasi akhir turun 91 (65%), intonasi akhir naik 30 (22%), intonasi akhir
datar 18 (13%).

SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan (1) wujud kesantunan interogatif dalam interaksi
instruksional guru SD di Surabaya direalisasikan dalam tindak tutur direktif meminta penjelasan,
memerintah, meminta izin, dan (2) ciri prosodi kesantunan interogatif dalam interaksi instruksional di SD di
Surabaya adalah sebagai berikut. Intensitas: rerata 76,84 dB; terendah 69,7 dB; tertinggi 80,82 dB. Durasi:
rerata 3,22 detik; terendah 0,68 detik; tertinggi 9,63 detik. Kecepatan suara: rerata 0,44/detik; terendah
0.104/detik; tertinggi 1,464/detik. Nada: rerata 247,26 Hz; terendah 147,8 Hz; tertinggi 440,7 Hz. Intonasi
akhir menurun 91 (65%), intonasi akhir meninggi 30 (22%), intonasi akhir mendatar 18 (13%).

DAFTAR PUSTAKA
Brown, P. dan Levinson, S.C. 1987. Politeness Some Universals in Language Usage. New York: Cambridge University Press.
Cullpeper, J. 2003. “Impoliteness revisited: with spescial reference to dynamic and prosodic aspects” dalam Journal of
Pragmatics. Volume 35 diunduh dari http://www.scribd.com/ 20 November 2010.
Gabriel, J.F. 1996. Fisika Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Halim, A. 1984. intonasi dalam hubungannya dengan sintaksis bahasa indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Leech, G. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. (Penerjemah M.D.D. Oka.) Jakarta: UI Press.
Pramujiono, A. 2012. Kesantunan Berbahasa dalam Wacana Dialog di Televisi (Disertasi tidak diterbitkan). Surabaya:
PPs Universitas Negeri Surabaya.
Pramujiono, A. 2015a. “Kesantunan Berbahasa dalam Interaksi Instruksional Guru SD di Surabaya” dalam Prosoding
KOLITA 13. Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
Pramujiono, A. 2015b. “Ciri Prosodi Kesantunan Berbahasa dalam Interaksi Instruksional Guru SD di Surabaya” dalam
Prosiding Seminar Nasional PRASASTI II Kajian Pragmatik dalam Berbagai Bidang. Surakarta: Program
Studi S3 Linguistik Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.
Rahardi, K. 2000. Imperatif dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Stadler, S.A. 2006. Multimodal (Im)politeness: The Verbal, Prosodic and Non-Verbal Realization of Disagreement in
German and New Zealand English. (Disertasi The Univesity of Auckland dan Universitat Hamburg, tidak
dipublikasikan).
Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sugiyono. 2003. Pedoman Penelitian Bahasa Lisan: Fonetik. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Agung Pramujiono Nunung Nurjati Taufik Nurhadi
Institusi : Universitas PGRI Adi Buana Universitas PGRI Adi Buana Universitas PGRI Adi Buana
Riwayat Pendidikan : S3 Universitas Negeri Surabaya S3 Universitas Negeri Surabaya S3 Universitas Negeri Surabaya
S2 Universitas Negeri Surabaya S2 Universitas Widya Mandala S2 Universitas Negeri Surabaya
S1 IKIP Malang S1 Universitas Airlangga S1 Universitas Gadjah Mada
Minat Penelitian : • Pragmatik dan Wacana • Pragmatik dan Penerjemahan • Psikolinguistik
• Pembelajaran Bahasa • Pengajaran Bahasa • Pragmatik dan Wacana
207
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
TEACHING GRAMMAR TO HETEROGENEOUS CLASS
(A CASE STUDY IN A NON-FORMAL ENGLISH COURSE IN BANDUNG)

Diana Nur Fathimah Muhammad Hasanul ‘Aqil


Indonesia University of Education
diananurfathimah@gmail.com aqilhasanul@gmail.com

ABSTRACT
A number of works in EFL field has shed light on whether grammar should be taught implicitly or explicitly. One of
them is Celce-Murcia’s work which states that the amount of grammar teaching should be determined by students’
variable, which can be age, level of proficiency, or educational background. The problem arises when, in reality,
teachers might be faced with various students in the same class. While most of the research focuses on teaching
grammar to students with heterogeneity in one variable only, the present research aims to discover teachers’ strategies
in teaching grammar to heterogeneous class with students being different in terms of age, educational background, and
level of proficiency. The research is a qualitative single case study, taking place in one non-formal course in Bandung.
The data were collected through interviews and classroom observations and interpreted based on the theories on
grammar pedagogy. The result shows that inductive method and explicit approach to teaching grammar is the most
preferable strategies that can accommodate heterogeneous class. Nevertheless, deductive method is also useful in some
specific cases. The suggestion will be that teachers should be able to negotiate with students and have the flexibility in
deciding the approach to teaching grammar.
Keywords: EFL teaching, grammar teaching, heterogeneous class, non formal course

INTRODUCTION
The debate on whether or not grammar needs to be taught in classroom had prevailed for quite some time
(See Ellis, 2006). However, along with the unanimity of the importance of grammar teaching in EFL
classroom, scholars agreed that there is no a single method of dealing with grammar that can be equally
applicable to every classroom with various learners (Larsen-Freeman, 2001; Ellis, 1990 cited in Nunan,
1992). Variables such as age, proficiency level, and educational background determine the role of grammar
teaching to learners which, later, can be the influential aspect for teachers to decide the amount of grammar
instruction in their classrooms (Celce-Murcia, 1991, cited in Brown, 2001). Considering the fact that these
variables can vary in every class, it will not be unusual to find differences on how teachers present grammar
teaching to their learners. Additionally, to deal with these different needs of the class, language teaching has
acknowledged several techniques that can be used to present grammar, ranging from conscious raising
technique in implicit grammar teaching to the inductive and deductive grammar delivery in explicit
grammar teaching (Thornbury, 2002; Brown, 2001; Larsen-Freeman, 2001; Harmer, 2007a).
A number of research has been done to investigate how the different methods of teaching grammar
are used in order to provide the most effective learning experience for students (Lin, 2010). Research also
shows that the choice of methods in giving grammar instruction depends closely on students’ variables and
teachers’ perspective on students’ learning difficulty (See Al-Mekhlafi, 2011, Lin, 2010). However, all the
aforementioned research on grammar instruction is mostly conducted in a classroom of which heterogeneity
lies only on students’ language proficiency. In a more complex situation, an EFL classroom might have
students with not only different language proficiency, but also different age and educational background,
which turn out to be the case faced by teachers in non formal course. Since there is not research focusing on
teaching methodology applied in non-formal course, the present research aims at investigating teachers’
strategy in dealing with grammar teaching in non-formal English course in Bandung. Thus, the present
research is geared toward answering the following research questions:
1. What strategies do the teachers use to teach grammar in heterogeneous class?
2. Why do the teachers implement particular way(s) of teaching grammar?

THEORETICAL FRAMEWORK
The approach to grammar teaching does not merely consist of two options –to teach implicitly or to
explicitly, but rather a combination of techniques that is considered suitable for students’ characteristics.
This view is in line with Brown’s (1991) suggestion that what matters is not about whether or not to teach
grammar, but what the optimal conditions for explicit grammar teaching are (p. 363). In relation to this,
Celce-Murcia (1991, in Brown, 2001) has provided six variables that can help teachers decide the role of
grammar in their teaching. Three of them are learners variable, consisting of age, proficiency level, and

208
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
educational background. The following image shows the role of grammar teaching that can help teachers
decide the amount of explicit grammar teaching.

Figure 1. Variables that determine the importance of grammar (Celce Murcia 1991:465)
The continuum above suggests that grammar teaching cannot be seen only as either explicit but
implicit. It is a continuum where the decision-making to give how much grammar focus in classroom should
be tailored based on distinctive learner variables that differ in each classroom situation. The more important
grammar is, the more suitable explicit grammar teaching for students. Teachers can use various techniques
following both explicit and implicit approach to teaching grammar in EFL classroom to accommodate
students with differences in those three variables.

METHODOLOGY
The research aims at gaining in-depth understanding on teachers’ strategies in teaching grammar in EFL
classroom and its underlying consideration. The qualitative approach is in line with the purpose of the
present research as it allows the researcher to comprehend social phenomenon from participant’s point of
view (Fraenkel et.al, 2012). The participants of the research were two teachers of one institutionalized non-
formal course in Bandung. The interviews and classroom observations were conducted to collect the
information regarding what strategies that they implement to present grammar teaching in classrooms and
the reasons why underlying their choice of strategy(s). The data collected were analyzed and triangulated
with observation data qualitatively. The data analysis follows the stages proposed by Maxwell (2005 cited
from Faris, 2015) namely organizing and familiarizing stage (reading/listening) in which interview were
transcribed, categorized based on learner variables taken into account by the teachers, then coding and
reducing stage (coding, memoing, categorizing, and connecting) in which the variables observed including
age, proficiency, and education are coded, and lastly interpreting and representing (reporting) stage by
presenting it along with the existing theories relevant with the coded data.

FINDINGS AND DISCUSSION


The findings obtained from interview sessions and observations aim to discover what strategies that the
teachers use in teaching grammar in a heterogeneous class in non-formal course and to reveal the underlying
beliefs and rationales on why the strategies are used. The first and second research questions are answered
simultaneously throughout this section.
Strategy 1: Teaching grammar through explanation, modeling, exercises, and practices
Generally, both of the teachers show the similar pattern of giving grammar instruction, regardless of the
different activities and techniques in carrying out the teaching. Grammar is presented through implicit
approach to explicit-inductive approach (Ellis, 2006) using modeling, grammar exercises, and practices to
apply the grammar knowledge learnt. In the pre-activity, class’ heterogeneity allows the teachers to present
the learning by allowing fast-learners students to come up with examples of the application of grammar rules,
and slow learners to reflect from their peers’ examples. When there is student who does not understand the
rules used in the given examples, explicit grammar teaching is given in a detailed explanation. In whilst-
activity, teachers come up with new grammar rule and provide stimuli and examples from which students
can infer the rules applied. Inductive- teaching is applied as it gives students with the application of rule and
allows them to discover the rule themselves. This is theoretically good for younger students, low achievers,
and students with low educational background. In practice, however, teaching grammar inductively is not
enough for them. Explicit grammar teaching is still needed because often time younger students, low
achievers, and students with low educational background find difficulties in inferring the rules and need
more elaboration on that point. Finally, exercises and practices are used to enhance students’ mastery on the
given grammar rules. These two activities are preferred by all the students.

209
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Strategy 2: Using inductive-explicit grammar teaching for heterogeneous learners
Age variable
In both of the classes observed, students’ age vary from adolescent to adult. According to Brown (2001),
adult learner can benefit more from explicit grammar teaching. However, both of the teachers do not give
specific treatments to either adolescent or adult or give different kind of instruction to adolescent learners
and adults. Teachers generalize their way of giving instruction to students, namely by giving them either
inductive-explicit grammar teaching. However, the finding is in contrasts with Brown’s (2001) statement. In
fact, teachers see that adults in their class seem to perform less well than the adolescence students. Adult
learners need relatively longer time to comprehend the rules, let alone discovering the rules themselves.
Indeed, generalization cannot be made. However, the result of the research shows that explicit grammar
teaching can accommodate both adult and younger students when they face difficulty in inferring the rules
when teachers use inductive method to grammar teaching.
Proficiency level variable
The two classes observed by the present research are in the same level of elementary class. Based on the
interview, teachers believe that grammar is somehow important in helping students to be fluent. Teachers
still involve grammar teaching as they see that grammar facilitate learners to communicate, which is the
basis for developing fluency skill. Instead of disturbing communicative fluency, teachers view grammar
teaching as the resource for the students to have a comprehensible communication (Al-Mekhlafi, 2011).
Moreover, the teachers use some strategies in teaching grammar in order to close the gap between these
students. The strategies employed are providing list of vocabularies and scaffolding the task, to
accommodate less proficient learners, and choosing students to give language modeling, to accommodate
more proficient learners.
Educational background variable
Students in both elementary classes range from high school students to master degree students. The teachers
take into account the background knowledge of learners to teach them better. In relation to grammar
teaching, these students can be categorized as highly educated students who, theoretically, can be more
receptive to grammar (Brown, 2001). Nevertheless, both teachers believe that the students should
understand the correct grammar use and should be able to apply it in communicative task. The teachers
believe that focus only on grammar will not be contributory toward students’ language proficiency. Thus, in
dealing with diversity in educational background, teachers choose the inductive-explicit approach to
grammar teaching in the beginning of the class, and then later, move to the communicative practices, which
give them space to habituate their use of grammar. This approach is the result of negotiation between ‘what
students want’ and ‘what teachers think students need’.
Strategy 3: Deductive-Explicit grammar teaching for specific cases
Deductive-explicit grammar for correction of errors/ feedback
Although both of the teachers promote learners’ autonomy by encouraging them to discover the rules –hence,
the implicit to explicit-inductive grammar teaching is chosen--, explicit grammar teaching is given when the
students make grammatical mistake when they speak. If students utter the grammatically incorrect sentence
when they ask or answer questions, teachers correct the sentence immediately by giving the explicit
explanation about the rules.
Deductive-explicit grammar for the unavailability of context
Deductive-explicit grammar teaching is employed when there are not many contexts or examples available
for teachers to give language modeling. In this case, explicit grammar teaching is used to complete their
understanding about the pattern and their understanding of the context.
Strategy 4: Understanding learners’ difficulty in learning grammar
Both teachers agree that deciding learners’ difficulty in learning grammar means locating the problem itself.
Meanwhile, theories acknowledge that students might have difficulty in learning grammar in three different
aspects: either in inferring grammar rules, working on grammar exercise, or translating the knowledge into
skill, i.e. applying the grammar in communication (see Ellis, 2006). The first problem might arise when
teachers give new grammar materials to students. When they cannot infer the rules, both teachers give
explicit grammar teaching to make them understand. Explicit approach is used since adolescent and adult
learners can benefit from this approach (Brown, 2001). Meanwhile, to solve the second problem, teachers
solve it by giving the students variety of grammar exercises.
However, for the third problem, teachers believe that in order for grammar rules to be internalized,
more communicative activities should be provided and more exposures should be given for them. This kind
of activity is chosen because teachers emphasizes that students should attend to meaning. Nevertheless, at
this point, the research finds that there is no justifiable rationale to assume that when teachers see students

210
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
successfully pass their communicative tasks well, students also pay attention to grammar, not only attend to
meaning.

CONCLUSION AND RECOMMENDATION


Based on the elaboration, some conclusions are drawn as follow:
• Teachers view grammar as a resource to facilitate successful communication rather than simply a set of
rules.
• Inductive-explicit approach is more preferable for teachers in teaching grammar in general.
• Deductive-explicit approach to teaching grammar is employed to correct grammatical mistakes, not errors.
Thus, teachers introduce new grammar rules in inductive-explicit approach. Meanwhile, deductive-explicit
approach is used only when teachers give feedback/correction or when they review the previously taught
grammar rules.
The research also finds some point noteworthy to be given further attention. The point addresses
teachers’ preference that students are prioritized to attend to meaning when they are in the communicative
activities. This preference also becomes the justification for why teachers give modeling and exposures on
grammar in use in the beginning of the session, instead of deliberately giving them the rules (deductive-
explicit approach). The problem emerges on the absence of measurement method on learners’ understanding.
The research notes that it is somehow impossible for the teachers to be sure if their students are successful in
communicating with them (in modeling session or communicative activities) because of their noticing the
rules applied in the language modeling instead of simply attending to the meaning. Further research needs to
be geared toward discovering the answer to this issue, as well as analyzing the effectiveness of modeling and
communicative task strategy to impart implicit knowledge of grammar to learners (See Ellis, 2006).

REFERENCES
Al-Mekhlafi, Abdu M. 2011. Difficulties in Teaching and Learning Grammar in EFL Context. International Journal of
Instruction, 4(2), 1308-1470. P-ISSN: 1694-609X.
Brown, H. Douglas. 2001. Teaching by Principles. An Interactive Approach to Language Pedagogy. Englewood Cliffs:
Prentice Hall.
Brown, J. D. 1996. The Elements of Language Curriculum: A Systematic Approach To Program Development. Boston,
Mass: Heinle & Heinle Publishers.
Ellis, Rod. 2006. Current Issues in the Teaching of Grammar: An SLA Perspective. TESOL Quarterly, Vol. 40, No. 1,
83 -107. Retrieved from http://www.personal.psu.edu/kej1/APLNG_493/readings/Week_13/Ellis.pdf
Faris, Ihsan N. I. 2015. What the Teacher of Senior High School in Rural Area of Cianjur Implements to Develop Her
Teachings, 13, p. 393-397. Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya Ketiga Belas : Tingkat Internasional
Indonesia. Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Unika Atma Jaya.
Fraenkel, J. R., Wallen, N. E., & Hyun, H. H. 2012. How to Design and Evaluate Research in Education (eight ed.).
New York: McGraw Hill.
Harmer, Jeremy. 2007. The practice of English Language Teaching. Malaysia: Pearson Education Limited.
Larsen-Freeman, Diane. 2001. Grammar. The Cambridge Guide to Teaching English to Speakers of Other Languages.
Cambridge: Cambridge University Press.
Lin, Hsiao-Chuan. 2010. A Case Study: AN ESL Teacher's Beliefs and Classroom Practices in Grammar Instruction
(Unpublished Material). Ohio: Ken State University.
Nunan, David.1992. Research Methods in Language. Cambridge: Cambridge University Press.
Thornbury, Scott. 2002. How to Teach Grammar. Malaysia: Longman.

CURRICULUM VITAE
Complete Name : Diana Nur Fathimah Muhammad Hasanul ‘Aqil
Institution : Indonesia University of Education Indonesia University of Education
Education : S1 Indonesia University of Education S2 Indonesia University of Education
S1 Sebelas Maret University
Research Interst : • Text Analysis • English Teaching
• English Teaching • Curriculum Analysis
• Pragmatics • Second Language Acquisition

211
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
SEEING GENRE-BASED APPROACH IMPLEMANTATION IN THE 2006 AND THE 2013
INDONESIA SECONDARY ENGLISH CURRICULUM

Erwin Rahayu Saputra Ronauli Sihombing


Indonesia University of Education
rs_erwin@yahoo.com ronaulisihombing@student.upi.edu

ABSTRACT
Though adopting systemic functional linguistic (SFL) theory, the 2006 and 2013 Indonesia secondary Curricula are
seen as different things due to the existence of different approach to teaching English namely genre-based approach
(GBA) in the 2006 Curriculum and scientific approach (SA) in the 2013 Curriculum. However, as several experts in
ELT claim that the concept of SA is not relevant to the language teaching, the people in charge attempt to
accommodate both GBA and SA. This is demonstrated through the training documents in which SA elements are
accommodated in the stages of GBA (see Agustien, 2014). Although a lot of studies have discussed the implementation
of GBA in Indonesia (e.g. Emilia, 2005; (Emilia, Hermawan, & Tati, 2008; Nisak, 2008; Hawa, 2008; Yosefa, 2009),
they do not include the implementation across the curricula. To that point, employing multiple case study qualitative
design, the study documented in this paper draws insights of the implementation of GBA in both the 2006 and the 2013
Curricula by involving two English teachers from two secondary schools in West Java applying each curriculum in
their practice. Data collected from non-participant classroom observations and semi-structured interviews toward the
teacher were analyzed using thematic analysis to follow Parker (2005) and Braun & Clarke (2006) based on the theory
of GBA from Callaghan & Rothery (1988), Derewianka (1990), Green (1992), Cornish (1992), Rothery (1996) and
Thai (2009). The valid and reliable data were systematically transcribed, organized, coded, thematically categorized,
synthesized, and interpreted to answer the research question of this study. The findings demonstrated that the teacher
applying GBA in the 2006 Curriculum conducted three of four stages of the approach suggested by the theory namely
building knowledge of the field, modeling of the text, and independent construction of the text, with various activities in
each step. Meanwhile, the teacher applying GBA in the 2013 Curriculum conducted all stages of GBA suggested by the
theory covering building knowledge of the field, modeling of the text, joint construction of the text, and independent
construction of the text. This variation supports the idea of flexibility of GBA as mentioned by Emilia (2010). It
therefore can be concluded that the teachers implemented GBA in different ways across the curricula.
Keywords: Genre based approach, the 2006 and 2013 Curriculum, implementation

INTRODUCTION
Almost every 10-year period, Education system in Indonesia seems to have been destined to have a new
curriculum. In 2003, the government through the Ministry of National Education (now known as Ministry of
Education and Culture) decided to induce a curriculum namely Competence-Based Curriculum which
mandated to focus on the competences. After two years of implementation, in 2006, the curriculum was
officially named as School-Based Curriculum. Meanwhile, the latest change in 2013, the government
released the 2013 Curriculum which is implemented in several schools. Yet again, in the recent time, it is
renamed as National Curriculum. In general, those curricula mandate different aspects in terms of approach
of teaching.
However, in English language teaching, those curricula actually adopt the same paradigm, systemic
functional linguistics, which views language as meaning making, interacting, and communicating (Agustien,
2014). Though adopting the same paradigm, the 2006 and 2013 English curricula are seen as different things
due to the existence of different approach to teaching English namely genre-based approach (GBA) in the
2006 Curriculum and scientific approach (SA) in the 2013 Curriculum. However, as several experts in ELT
claim that the concept of SA is not relevant to the language teaching because of the difference in the target
domain – target domains of SA are science skills whereas GBA target domains are communication skills –
the people in charge attempt to accommodate both GBA and SA. This is demonstrated through the training
documents in which SA elements are accommodated in the stages of GBA (see Agustien, 2014).
In terms of the theory of Genre-Based Approach (i.e. Callaghan & Rothery, 1988; Derewianka, 1990;
Green, 1992; Cornish, 1992; Rothery, 1996; Thai, 2009), the stages of genre-based pedagogy can be
synthesized into the four main stages. They cover (1) building knowledge of the field (BKOF), (2) modeling
of the text (MCOT), (3) joint construction of the text (JCOT), and (4) independent construction of the text
(ICOT). The aforementioned synthesized theory of the genre-based working cycle consisting four stages are
not a linear process. Regarding that, the stages can be conducted several times depending on the need of the
teacher in teaching. The teachers can move back to the previous stage if they think that it is needed to
provide a better teaching and learning (see Emilia, 2010). Therefore, the stages of the cycle can be illustrated
into the following figure.

212
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14

Figure 1. Genre-based working cycles


Those stages of Genre-Based Approach can be accommodated in Scientific Approach although it
still remains unclear (see Agustien, 2014). The first stage, building knowledge of the field (BKOF), and the
second stage, modeling of the text (MOT), can cover the stages of learning in Scientific Approach consisting
of observing, questioning, collecting data, analyzing, and communicating. Meanwhile, the third stage, joint
construction of the text (JCOT), and the fourth stage, independent construction of the text (ICOT) can cover
one learning stage in Scientific Approach which is creating.
In accordance to the aforementioned issues, the study documented in this paper tries to gain insights
of implementation of Genre-Based Approach in two different curricula, the 2006 and 2013 Curriculum.
Although a lot of studies have discussed the implementation of Genre-Based Approach in Indonesia (e.g.
Emilia, 2005; Emilia, Hermawan, & Tati, 2008; Nisak, 2008; Hawa, 2008; Yosefa, 2009), they do not
include the implementation across the curricula. It therefore makes conducting the study about the
implementation of Genre-Based Approach in different curricula will be worth doing to fill the gap and to
shed light about the real practice of English language teaching in Indonesia. Hence, it is for that reason this
study was carried out.

METHOD
A qualitative study embracing multiple-case study method was employed to guide this study. Since this
study focuses on two cases which were the implementation of Genre-Based Approach in different
curriculum, multiple-case study was seen as an ideal guiding framework as it is used in many situations that
focus on particular group or an individual (Berg, 2001; Yin, 2003) conducting particular educational
practices (Freebody, 2003). The participant involved in this study was two secondary school English
teachers from two different cities in West Java selected purposively based on the need of the study.
The secondary data from the researchers’ data bank collected through non-participant observation
and the primary data from semi-structured interview were analyzed using thematic analysis to follow Parker
(2005) and Braun & Clarke (2006) based on themes taken from the theory of Genre-Based Aproach from
Callaghan & Rothery (1988), Derewianka (1990), Green (1992), Cornish (1992), Rothery (1996) and Thai
(2009). The valid and reliable data were systematically transcribed, organized, coded, thematically
categorized, synthesized, and interpreted to answer the research question of this study.

FINDINGS AND DISCUSSIONS


The findings of the study are elaborated for both the different contexts of the teachers involved in this study
implementing different curriculum. In general, the teacher implementing Genre-Based Approach in the 2006
Curriculum (Participant 1 – P1) conducted three stages covering building knowledge of the field (BKOF),
modeling of the text (MOT), and independent construction of the text (ICOT). However, another teacher
implementing Genre-Based Approach in the 2013 Curriculum (Participant 2 – P2) conducted four stages
covering building knowledge of the field (BKOF), modeling of the text (MOT), joint construction of the text
(JCOT), and independent construction of the text (ICOT).

213
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Building Knowledge of the Field
The findings demonstrated that the teachers of both contexts of curriculum conducted the stage of building
knowledge of the field (BKOF). The teacher in the context of the 2006 Curriculum (P1) conducted the step
of building knowledge of the field through several relatively dynamic activities covering (1) establishing the
social purpose by asking the meaning of the text, (2) presenting the context through picture, (3) establishing
the social purpose through discussion/survey to the picture, and (4) presenting the social and cultural
context. P1 first established the social purpose of the text by asking the students about the definition of the
text. By conducting that, the students could understand what the text for, so that they could make meaning
about the text they were going to discuss and create. Then, P1 also presented the context through pictures on
the textbook. The picture was related to the text the students would deal with, so that the student could easily
understand about the context as well as the purpose of the text itself. P1 also established the social purpose
of the text through discussion, so that the students could have more understanding because they could ask
about the purpose of the text itself and could get the information directly from the teacher. P1 also compared
the text being discussed to another text in the same or contrasting types (e.g. spoof and narrative text). By
conducting that, the students could recall their background knowledge. The last activity is that P1 presented
the social and cultural context of the text. By conducting that, the students can easily understand the context
of the text. Therefore, the students can use their background knowledge to understand the new text because
they have known the other text being compared (Emilia, 2010).
Meanwhile, another teacher who implemented Genre-Based Approach in the context of the 2013
Curriculum (P2) conducted this stage in several relatively dynamic activities covering (1) presenting the
context of through audio and audio-visual media, (2) exploring general context of the text, (3) exploring
immediate context of the text, (4) establishing social purpose of the text, and (5) cross cultural activity. P2
first presented the context of the text through the recording and video which seemed to make the students
interested in learning. This activity was seen as very good introduction to motivate the students’ learning. P2
also explored the general context of the text by discussing the real use of the text, so that the students can
know how the text is used in reality. Another activity of exploring the immediate context of the text was also
conducted by P2 in order to develop the students’ understanding to the text discussed. P2 also discussed the
general purpose of the text which was an invitation at that time. P2 also discussed the culture of invitation in
different context in order to develop the students’ cultural knowledge.
In sum, the activities conducted in the building knowledge of the field stage are in line with the
theory suggested by Callaghan & Rothery (1988), Derewianka (1990), Green (1992), Cornish (1992),
Rothery (1996) and Thai (2009). Those activities aim to build the context or students’ background
knowledge about the topic the students are going to write (Emilia, 2010). By conducting those activities in
this stage, the students could have a context and were able to make meaning about the text they were going
to discuss and create.
Modeling of the Text
The next stage conducted by the teachers involved in this study is modeling of the text. The teacher from the
context of the 2006 Curriculum (P1) conducted several activities consisting of (1) introducing the model of
the text, (2) discussing the purpose of the text, (3) investigating the structural pattern and language features
of the text, (4) discussing the function of the stage or structure, (5) comparing the model with other text type,
(6) presenting and practicing activities relating to the grammatical features of the text (at the cause level),
and (7) practicing spelling for the use of text-type. P1 first introduced the model of the text in order that the
students became familiar with the appearance of the text itself, particularly the social function, supported by
the activity of discussing the purpose of the text. Then, P1 and students investigated the structural pattern
and language features of the text in order that the students could recognize the detail of the text they were
going to write. Moreover, they would understand deeply after they discussed the function of each stage of
the generic structure. In order to get different model of the text, P1 compared one text to another text in the
same type. This could enrich the students’ understanding about the text. The last one that could make them
fully understand was the activity of presenting and practicing the grammatical features and spelling related
to the text. This activity could enable the students’ writing ability in the case of accuracy. Therefore, if this
stage is implemented properly, it can be very beneficial for the students.
Meanwhile, another teacher implementing GBA in the context of the 2013 Curriculum (P2)
conducted several relatively constant activities of the stage of MOT covering (1) introducing the model of
the text, (2) discussing the purpose of the text, (3) identifying how the text is structured, (4) discussing the
function of the stage, (5) investigating the structural patterns and language features of the text, (6) presenting
and practicing activity related to the grammatical features of the text, and (7) practicing aural-oral mode of

214
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
the text. P2 introduced the model of the text both for spoken and written invitation text through visual,
audio, and audio-visual media. This was very good to add the students’ familiarity to the text. P2 also
discussed the purpose of the text about invitation in deep with several examples of the text, so that the
students became familiar with the text. P2 also identified the text structured with the students by breaking
down the model of the text. P2 then discussed the function of the stages along with the expression or
sentences used in every stage. P2 also investigated the structural patterns and language features of the text
being discussed with the students to make sure the students understand about those aspects. Then, P2
presented the grammatical features of the text and asked the students to practice them. After that, P2 asked
the students to practice the expression used in the text in both oral and written form.
All in all, the activities conducted in the modeling of the text stage are in line with the theory
suggested by Callaghan & Rothery (1988), Derewianka (1990), Green (1992), Cornish (1992), Rothery
(1996) and Thai (2009). The activities aim at making the students familiar with the text in term of the social
function, the generic structure and the language features through immersion of the genre and exploring the
sample texts (Derewianka, 1990). Therefore, the students become ready for having some practices dealing
with the text creation.
Joint Construction of the Text
The activity of JCOT or joint construction of the text was only conducted by the teacher implementing GBA
in the context of the 2013 (P2). The activity of this stage covered (1) researching topic, (2) pooling
information, (3) doing jigsaw and information gap, and (4) assessing the students’ progress. P2 together with
the students discussed the topic about the text that they would create. They also collected some information
dealing with the text in order to better understand the topic of the text. They sometimes also conducted the
activity of jigsaw and information gap to make sure the understanding of the text topic. Then, P2 assessed
the students’ progress for both oral and written text created.
The activities conducted in the joint construction the text stage are in line with the theory suggested
by Callaghan & Rothery (1988), Derewianka (1990), Green (1992), Cornish (1992), Rothery (1996) and
Thai (2009). The activities aim to make the students ready to create their own text through some
collaboration with teacher or with other students. Therefore, the students become ready for creating the text
of their own.
Independent Construction of the Text
The stage of independent construction of the text or ICOT was the last stage conducted by both teachers
involved in this study. The teacher implementing Genre-Based Approach in the context of the 2006
Curriculum (P1) conducted this stage in several activities covering (1) guiding in choosing topic and (2)
demanding students’ draft and presenting whole tasks. First, P1 guided the students to choose the topic. The
activity of guiding in choosing the topic still belongs to the independent construction although it seems like the
joint construction. It is because the guidance is limited only to the topic, not to the construction of the text.
After that, P1 asked the students to make a draft of their writing. Asking the students to make a draft first
follows the principle of the process of writing. However, the whole process of writing was not conducted.
Meanwhile, another teacher implementing Genre-Based Approach in the context of the 2013 Curriculum
(P2) conducted several activities of ICOT covering (1) guiding in choosing topic, (2) demanding students’ draft,
and (3) publishing student’s text. P2 guided the students to choose the topic based on the mandated theme.
Although the choice of topic was not various, the students were still benefitted from the choice presented. Then,
P2 also demanded the student’s draft in the following meeting, so that the students could have opportunity to
create the text well. After the students submitted the final draft, P2 then published the text in the classroom and
asked the other students to comment on that. Although this activity seemed to belong to joint construction
activity, the students’ text was not revised again. The teacher directly assessed the final draft from her own
assessment and the students’ peer assessment in order to make the students’ learn about their mistakes. This is
relevant to the concept of authentic assessment in the context of the 2013 Curriculum.
All in all, the activities conducted in independent construction of the text stage are relevant to those
suggested by Callaghan & Rothery (1988), Derewianka (1990), Green (1992), Cornish (1992), Rothery
(1996) and Thai (2009). The activities provide an opportunity for the students to practice individually
(Emilia, 2010). This is the application of their understanding obtained from the previous stages.

CONCLUSIONS
From the findings presented in the previous section, it can be concluded that the teachers involved in this
study varied in implementing GBA in their teaching practice. The first teacher implementing GBA in the

215
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
context of the 2006 Curriculum conducted three stages of the genre-based working cycles covering (1)
building knowledge of the field (2) modeling of the text, and (3) independent construction of the text.
Meanwhile, the second teacher implementing GBA in the context of the 2013 Curriculum conducted four
stages of the genre-based working cycles covering (1) building knowledge of the field (2) modeling of the
text, (3) joint construction of the text, and (4) independent construction of the text. All in all, the stages the
teacher conducted aims at the same thing. The first stage conducted by the teachers, building knowledge of
the field, aims at building up the context of the text in order to make the students familiar with the text and
its context. The second stage conducted by the teachers, modeling of the text, aims at introducing the detail
of the text including social function, generic structure and language features of the text. The third stage
conducted by one of the teachers involved in this study, joint construction of the text, aims at developing the
text together in order to prepare for creating own text. The last stage conducted by both teachers involved in
this study, independent construction, provides the students an opportunity to create their own text without
any support and guidance from the other including the teacher. Although, the context of curriculum played a
role in terms of the implementation of GBA for both teachers, the sake of teaching and the student current
situation played more roles to the activities the teachers conducted. Hence, the teachers are suggested to gain
insight about the situation of their teaching in order to better provide good learning experience to the
students.

BIBLIOGRAPY
Agustien, H. I. 2014. The 2013 English curriculum: The paradigm, intepretation, and implementation. In H. P. Widodo,
& N. T. Zacharias, Recent issues in English language education: Challenges and direction (pp. 39-64).
Surakarta: UNS Press.
Berg, Bruce L. 2001. Qualitative Research Methods for the Social Science: Fourth Edition. MA: Pearson Education
Company.
Braun, V., & Clarke, V. 2006. Using thematic analysis in psychology. Qualitative Research in Psychology, 3(2), 77-101.
Callaghan, M., & Rothery, J. 1988. Teaching factual writing: A genre-based approach. Sydney: Department School of
Education, Metropolitan East Disadvantaged School Program.
Cornish, S. 1992. Community access: Curriculum guidelines. Sydney: AMES.
Derewianka, B. 1990. Exloring how texts work. Newtown: PETA.
Emilia, E. 2005. Critical genre-based approach to teaching academic writing in a tertiary EFL context in Indonesia. A
Ph.D thesis submitted to the University of Melbourne
Emilia, E. 2010. Teaching writing: Developing critical learners. Bandung: Rizqi Press.
Emilia, E., Hermawan, B., & Tati, D. 2008. The genre-based approach in the 2006 curriculum of English:
Participatory action research in one junior high school in Bandung Indonesia. Bandung: FPBS UPI.
Freebody, P. 2003. Qualitative research in education. London: SAGE Publication, Inc.
Green, J. 1992. Making the links. Melbourne: AMES.
Hawa, K. 2008. Genre-based approach to teaching descriptive writing. A Master thesis submitted to Indonesia
University of Education.
Nisak, K. 2008. The genre-based approach to teaching writing a recount genre. A Master thesis submitted to Indonesia
University of Education.
Parker, I. 2005. Qualitative psychology: Introducing radical research. New York, NY: Open University.
Rothery, J. 1996. Making change: Developing educational linguistics. In R. Hasan, & G. William, Literacy in society.
New York, NY: Addison Wesley Longman Ltd.
Thai, M. D. 2010. Text-based language teaching. Cecil Hils, NSW: Mazmania Press.
Yin, R. K. 2003. Case Study Research Design and Method: Third Edition. USA: SAGE Publication, Inc.
Yosefa, R. 2009. An investigation on the implementation of genre-based approach. A Master thesis subitted to
Indonesia University of Education.

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Erwin Rahayu Saputra Ronauli Sihombing
Institution : Indonesia University of Education Indonesia University of Education
Education : S2 Indonesia University of Education S2 Indonesia University of Education
S1 Siliwangi University S1 HKBP Nommension University
Research Interst : • Language Testing & Assessment • English Teaching & Material Development
• Language Curriculum Design • English for Spesific Purposes
• Language Teaching Methodology

216
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
STUDENTS PERCEPTION OF SELF-ASSESSMENT AND THE USE OF SELF-ASSESSMENT IN
ENGLISH WRITING SKILL

Theodora Rani
Indonesia University of Education
Theodora.raniadhella@gmail.com

ABSTRACT
Self-assessment has gained much attention in recent years to build students autonomy in learning, in this case to
improve their English writing skill. Unfortunately, self - assessment is rarely used in Indonesia whereas this kind of
assignment is quite important to build the students’ autonomy, as we know that the less - autonomy of students is one of
problems Teachers often face. What is Students’ perception about self - assessment? What are advantages and
disadvantages of self - assessment based on their perception? Have they used self - assessment in English writing skill?
This present study was an attempt to investigate what the Students’ perception about self-assessment and whether they
have used it in improving their English writing skill. To fulfill the purpose of the study, 30 participants who are
attending the 1st semester of English Education Master-Program in Indonesia University of Education were chosen to
fill in Questionnaire. The Questionnaire used to check the self - assessment of English Writing Skill used by learners
was ESLP 82 Questionnaire: “Self - Assessment of English Writing Skills and Use of Writing Strategies‟ which was
taken from the following Internet site of Marquette University on October, 20th (2011): www.marquette.edu/oie/
documentary/ESLPQuestionnaireFa08.pdf. Furthermore, the writer also chose 3 of the 30 participants as the
representative to answer some open questions. After that, qualitative approach method was used to analyze the data.
For the framework of text analysis, this study draws on the self - assessment theory developed by Brown (2003), and
Anne Dragemark Ocarson. This study reveals that almost all of the participants are able to use self-assessment of their
English Writing Skill even though they rarely use it in their daily learning process. It is suggested for the learners to
start implementing self-assessments in their learning process seriously to improve their English Writing Skill. At the
end of this study,, the writer suggest other researchers to investigate further about The Impact of Self - Assessment on
Learners’ Writing Skill (A Case Study of Particular School/ University).
Keywords: Self-assessment, Indonesia University of Education, Writing skill

INTRODUCTION
As students, we need to know what our abilities are, how much progress we are making, and what we can
(or can’t yet) do with the skills we have acquired. Without such knowledge, it wouldn’t be easy for us to
learn efficiently. If we can do it accurately enough, we do not have to depend completely on the opinions of
teachers, and at the same time, we can make teachers aware of our individual needs. As we know that any
test of actual language use can sample only a small proportion of that ability, John Upshur (1975), cited in
Heilenman, (1990) pointed out that learners have access to the entire gamut of their success and failure in
the use of the second language by using self – assessment. He was one of the first who provided a rationale
for the use of self-assessment in the measurement of the second language abilities. Since then, there has been
a growing interest in the use of self-report measures in the assessment of second language competencies.
Unfortunately, the implementation of self - assessment for learning in Indonesia is still rarely used
or rarely investigated by the researchers (Fulcher, 2010), cited in Self-Assessment of Ways of Learning
written by Rizma Yuansih in 2014. Why? It is may be because students in Indonesia are not familiar with
self – assessment yet or because the teachers haven’t introduced this kind of assessment. In the more specific
case, the writer is interested to investigate what is self - assessment viewed from the students’ perception and
how the use of the self - assessment in their English Writing Skill.
A highly motivated writer is self-determining and generates his own writing opportunities (Scott,
2005). This kind of writer knows what they want and choose to write with personal reasons. Motivated
students have already had their self-concept of writing. To find out the level of students writing behavior,
some researchers have conducted research in this field.
In line with the theories of learner autonomy, self-assessment is currently playing an important role
in language teaching. The procedure involves students in judging their own learning, particularly their
achievement and learning outcomes. Many have argued that teachers should help students construct
knowledge through active involvement in assessing their own learning performance, and that students are
empowered by gaining ownership of their learning and life-long learning skills (Chen, 2008). Teachers
should provide opportunities for students to assess their language level so as to help them focus on their own
learning (Oskarsson, 1989). Hunt, Gow, and Barnes (1989) argue that without learner self-evaluation and
self-assessment “there can be no real autonomy” (p. 207).

217
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
The assessment for learning approach shifts the focus from summative to formative assessment,
from making judgments to prove that students have learned to provide feedback to indicate that they are
making progress (Chen, 2008). Therefore, this study attempts to investigate whether learners’ self-
assessment of learning process influences the development of their writing skill.
Although some student are always happy to be able to write in English, other can be less keen. This
unwillingness may derive from anxiety they have about their handwriting, their spelling, or their ability to
construct sentences and paragraphs. And if these insecurities are reinforced because they are unable to
complete writing tasks successfully, then the students’ attitude to writing is likely to become more and more
negative. With students lack familiarity or confidence with writing (or indeed enthusiasm for it) we need to
spend some time building the writing habit – that is making them feel comfortable as writers in English.
Thus, actually writing is as an activity students can choose to do or not to do often so it requires behavior
and motivation (Harmer, 2014).
The study’s aim is to find out the use of the self - assessment in English Writing Skill and the
students’ perception towards the self-assessment, Therefore, the main focus of this research is students’
perception towards assessment and the use of self - assessment of the Ss’ English Writing Skill.

OBJECTIVES OF THE STUDY


Students are expected to answer some questions in ESLP 82 Questionnaire (See Appendix 1) to know the
students’ use of English Writing Skill. Instead of that, the writer also choose 5 of 30 participants to answer
some open - questions related to investigate what their perception towards self – assessment. The open
question offered to the participants consist of these following questions:
1. What is self - assessment based on the Students’ opinion?
2. Have the Students used self - assessment in improving their English writing skill?
3. What are advantages and disadvantages of using self – assessment based on the students’ perception?
In according to Brown (2003), assessment is divide into two kind of assessments, Traditional and
Authentic/ Alternative Assessment. Traditional assessment is an assessment which is provided by the teacher
to measure Students’ progress by giving them some choices (eg. True-false, matching, or multiple choices)
(Brown, 2006). On the other hand, Authentic/ Alternative assessment refers to a performance that ultimately
assessed by self, teacher, and possibly by other students (Brown, 2006).
Studies of self - assessment have mainly investigated the correlations between teacher assessment
and self-assessment intended to discover the accuracy of self – assessment (Blanche & Merino, 1989; Boud
& Falchikov, 1989; Carr, 1977). Unfortunately, Self - assessment may not be recognized well in Indonesia.
It is because both of the teachers and the learners haven’t had adequate knowledge about what advantages
and disadvantages of self - assessment in learning English as a foreign language, especially in writing skill.
According paper written by Abdel Salam and Abdel Khalek El-Koumy (2010), there are some advantages
using self-assessment:
1. It enhances students awareness of their own learning and thinking processes (Zohar, 2004)
2. It provides direction for future learning (Chamot and O’Malley, 1994)
3. It makes teachers aware of their students' needs and provides them with an additional lens through which
to view their achievement (Blanche, 1988)
4. It helps learners see gaps in their own learning and initiate self-repair to redirect their learning toward
the learning goal (Liang, 2006)
5. It stimulates learners to consider course content critically and helps them achieve a high level of
academic thinking skills (Teh, 2006)
6. It promotes learners' autonomy and brings a sense of responsibility and accountability to them
(Asadoorian and Batty, 2005)
7. It increases learners’ knowledge of their learning goals and thus enhances their motivation and goal
orientation (Liang, 2006)
8. It stimulates learners to exercise a variety of learning strategies and higher order thinking skills (Chamot
and O’Malley, 1994)
9. It develops appropriate study skills and strategies and fosters lifelong learning (Zohar, 2004)
10. It helps learners get better marks (Harris, 1997)
Moreover, they also found the disadvantages using self-assessment:
1. Students are unaware of what they do not know (Dunning, Johnson, Ehrlinger and Kruger, 2003)
2. Students tend to view themselves in desirable ways (Shrauger and Osberg, 1981)
3. Many students believe that the duty of assessment is the responsibility of the teacher (Falchikov, 2003)
4. There are doubts about the reliability of this form of assessment in formal education (Dickinson, 1987)

218
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
5. There are doubts about the confidentiality of the learners if self-assessment is used for high-stakes
decisions (Dickinson, 1987)
6. Instructors are reluctant to lose their control over assessment (Blue, 1988)
7. There may be a mismatch between the goals of assessment as conceived by the learner and the teacher
(Oscarson, 1997)
8. Students feel a sense of humiliation in reporting their own weaknesses (Liang, 2006)
9. Some students perceive self-assessment as irrelevant and inappropriate (Liang, 2006)
10. There is a confusion over the diverse functions of self-assessment (e.g., certification, diagnosis,
placement, feedback, etc.) (Liang, 2006).

METHODOLOGY
As Wyse (2011) argued that qualitative research is primarily exploratory research. It is used to gain an
understanding of underlying reasons, opinions, and motivations. It provides insights into the problem or
helps to develop ideas or hypotheses for potential quantitative research. Thus, the Data collected was
analyzed by using qualitative methodology in which the writer tried to analyze and draw conclusion about
what Students Perception towards Self-assessment is and whether or not they have implemented it in their
writing. Besides, the writer also use SPSS to know which questions are true/ not true for the students. The
result and findings of this study would be discussed further in the next chapter.

DISCUSSION & FINDING


The first step of data analysis was providing a questionnaire to participants and selected 10 questions out of
170 questions in ESLP82Questionnaire which were considered as the most related with the use of self –
assessment in English writing skill.
The writer use SPSS to analyze the questionnaire answers from the participants by using descriptive
statistics. Thus, the following table shows the result of the analysis. P1 means questions number 1, P2 means
questions number 2, etc. (see Table 1)
Table 1. Statistics
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10
N Valid 30 30 30 30 30 30 30 30 30 30
Missing 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Mean 3.57 3.87 3.40 3.40 3.13 3.63 3.57 3.13 3.23 3.03
Median 4.00 4.00 3.50 3.00 3.00 4.00 3.50 3.00 3.00 3.00
Mode 4 4 4 3 3 4 3 3 3 3
Std. Deviation .679 .900 .675 .563 .860 .490 .728 .629 .774 .964
Minimum 2 2 2 2 1 3 2 2 1 1
Maximum 5 5 4 4 5 4 5 4 5 5
Sum 107 116 102 102 94 109 107 94 97 91

From the Table 1 above, it can be inferred that from the 10 statements, all of the participants are
somewhat agree with the statements.
These are the detail of the data analysis by using descriptive statistic:
1. P1: I can use appropriate vocabulary and word forms to effectively communicate with the reader.
 It can be inferred that most of the participants are able to use appropriate vocabulary and word forms to
effectively communicate with the reader.
2. P2: I can use appropriate spelling, capitalization, and punctuation.
 It can be inferred that most of the participants are able to use appropriate spelling, capitalization, and
punctuation.
3. P3: I can write an accurate summary of information that I have read in English.
 It can be inferred that most of the participants are able to write an accurate summary of information that
I have read in English.
4. P4: I can write a good academic research paper.
 It can be inferred that most of the participants are somewhat able to write a good academic research
paper.
5. P5: I can write a good conclusion for an English essay.
 It can be inferred that most of the participants are somewhat able to write a good conclusion for an
English essay.
219
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
6. P6: I can effectively brainstorm to gather ideas before writing
 It can be inferred that most of the participants are able to effectively brainstorm to gather ideas before
writing.
7. P7: I can write quickly in English.
 It can be inferred that most of the participants are somewhat able to write quickly in English.
8. P8: I write for pleasure in my free time in English.
 It can be inferred that most of the participants are somewhat able to write for pleasure in their free time
in English.
9. P9: I give myself a reward when I have finished writing
 It can be inferred that most of the participants somewhat usually give themselves a reward when they
finished writing.
10. P10: I make notes or try to remember feedback I get so I can use it the next time I write.
 It can be inferred that most of the participants somewhat usually make notes or try to remember
feedback they get so they can use it the next time they write.

CONCLUSION AND RECOMMENDATION


We can draw some conclusions of the result both of the questionnaire and interview part:
1. The Participants or Students have known about self - assessment as one part of authentic/ alternative
assessment but they haven’t known deeply about it. They only know a glance of self - assessment,
2. The Participants rarely use the self – assessment in their learning process because they are not familiar
yet to use it,
3. The participants are able to use self – assessment on their English writing skill and motivated after
filling the questionnaire
4. These are some advantages and disadvantages of self – assessment:
ADVANTAGES DISADVANTAGES
1 learn to study independently Ss' are unconfident to asses themselves
2 knowing ourselves more Ss' are not familiar with the guideline of self -assessment
3 make ourselves be more motivated Ss' reflection is different one another
4 make Ss aware about their learning process
5. Almost all respondents agreed that self – assessment is rarely used in current testing condition in
Indonesia, and when there is a school/ institution which has implemented it, it is usually only focusing
on certain area
As we know that in Indonesia self-assessment is rarely used, it is recommended that every teacher
should teach their students to use self-assessment in their learning process since it can motivate the students
and make them aware of their learning process. Furthermore, the writer also suggest other researchers to
investigate further about The Impact of Self - Assessment on Learners’ Writing Skill (A Case Study of
Particular School/ University).

ACKNOWLEDGEMENTS
I would like to express my sincere gratitude to Prof. Didi Sukyadi who had guided me in making this
Research Based Paper and to 30 students of the 1st semester of Master Program - English Education in UPI
who had helped me fill the questionnaire and answer the open questions.

REFERENCES
Al- Shourafa, Areej.2012. The Effect of Motivation on Jordanian 10th Grade Students’ Writing Skill in English.
European Scientific Journal, October Edition vol. 8, No. 22
Baleghizadeh, Sasan and Atieh Masoun.2010. The Effect of Self-Assessment on EFL Learners’ Self-Efficacy. Canada:
TESL Canada Journal
Brown, H. Douglas.2006. Language Assessment Principles and Classroom Practices. UK: Pearson Longman
Davidson, Fred and Glen Fulcher. The Routledge Handbook of Language Testing. London: Routledge Handbooks
Fulcher, Glenn and Fred Davidson.2012. The Routledge Handbook of Language Teaching. UK: Routledge
Harmer, Jeremy.2004. How to teach writing. UK: Pearson Longman
(http://www.marquette.edu/oie/documents/ESLP82QuestionnaireFa08.pdf)
Javaherbakhsh, Mohammad Reza.2010. The Impact of Self-Assessment on Iranian EFL Learners’ Writing Skill. Vol.3,
No.2, June 2010

220
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Moheb, Narges and Mohammad S. Bagheri. 2013. Relationship between Multiple Intelligences and Writing Strategies.
Finland: Journal of Language Teaching and Research, Vol. 4, No. 4, pp. 777-784, July 2013 © 2013
ACADEMY PUBLISHER Manufactured
Oscarson, Anne Dragemark. Self – Assessment of Writing in Learning English as a Foreign Language (A Study at the
Upper Secondary School Level). Sweden: Goteborgs Universitet
Salam, Abdel and Abdel Khalek El-Koumy. 2010. Paper accepted for presentation at the CPLA Conference, October
29-30: Student self-assessment in higher education:Alone or Plus?. Lebanon: Lebanese American University
Scott, Marry.2005. Student writing, assessment, and the motivated sign: finding a theory for the times. UK: Routledge
Yuansih, Rizma. 2014. Penggunaan Penilaian Diri Dalam Belajar (Self- Assessment Of Ways Of Learning) Sebagai
Asesmen Alternatif untuk Mendiagnosis Kesulitan Belajar Siswa SMP Pada Materi Sistem Pernapasan.
Indonesia: Universitas Pendidikan Indonesia

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Theodora Rani
Institution : Indonesia University of Education
Education : S2 Indonesia University of Education
S1 Widyatama University
Research Interst : • Self – Assessment in English Writing Skill
• The Impact of Authentic Material in EFL
• Teaching English to Young Learner

221
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
CHOOSING VARIETIES OF ENGLISH FOR ENGLISH EDUCATION DEPARTMENT
STUDENTS OF UAD

Fauzia
University of Ahmad Dahlan
fauzia@pbi.uad.ac.id

ABSTRACT
One of the functions of language is as a communication tool. The process of communication between individuals in
question here is the achievement of the desired message from the speaker to the listener is concerned. The aim of this
research is to describe the choice of varieties in English language that taken by students of English Education
Department along with the reason why they used it. This research is in the realm of linguistics, which aims to describe
a wide selection of English used by students of English Education Department, University of Ahmad Dahlan (UAD) in
Yogyakarta. The varieties of English willThe data taken is the choice of words, phrases, sentences, dialogue, and
interviews in the form of oral speech (spoken text) or written language (written form) by using survey method.
Language selection will be limited to the shape of the British and Americans. Once the data collection process is
complete, researchers then conducted qualitative data analysis techniques. The process of data analysis is based on the
selected shape by the respondent either in terms of choice of pronunciation, vocabulary, and grammar. The results of
this study are researchers get an overview of the topic and the picture on a wide selection of English used by students
majoring in English Education Department, University of Ahmad Dahlan (UAD) as follows: 1) There is two varieties of
English that is controlled by PBI students, UAD, namely the English variety of British and American, 2) The selection
of variety of English that was done by students of PBI is caused by several factors, including: a) factors of learning
English that students get on the bench prior learning, namely junior and senior high school level that affect them in
choosing a variety of English, b) familiarity and ease of pronunciation. Familiarity, simplicity, and similarities with the
first language in pronunciation is a factor that cause students choose a variety of English language in the use of
English that their daily use, and c) the effect of reading materials and input provided by lecturers in English language
learning students who are currently running.
Keywords: selection, variety, English, students

BACKGROUND
The selection of the language used by the students can be observed and can be also used as interesting
material observations to be studied further. Students of UAD are a community that consists of many
speakers from various regions in Indonesia. Student diversity has also resulted in cultural and linguistic
diversity when they are studying in UAD. The diversity of students who come from different areas, and then
merge into one new community, the English Education Department, there is no doubt that there would be a
fundamental difference in the language used by the students. The differences seen in the choice of language
used to interact with the opposite ethics. This is in line with that expressed by (Wierzbicka: 1991) that
cultural differences may lead to differences of language and the differences in speech acts. Not only the
language diversity of the country - the diversity of languages in a variety of scientific fields which varies
greatly English language- but also the dialogue with native speakers of English will feel the difference when
compared with the English dialogue with someone who does not speak English as their mother tongue.
English dialect is different. Some use British English dialect and some are using American English dialect.
British English or American English has the difference respectively (Robins: 1980) and (Strevens: 1972).
Students of English Education Department at UAD is introduced to the two largest English language
varieties that are widely used by English speakers, the language diversity of British and American English.
Both of these will color the variety of language study program student in learning.

PSYCHOLINGUISTICS APPROACH
Some factors that affect the ability of mastering a second language (second language acquisition) is divided
into three main parts, namely: 1) psychological factors, 2) factor of social situations, and 3) other factors.
Furthermore (Steinberg: 2001) states that good pronunciation clearly an important part of learning a foreign
language. The better the pronunciation, the better the individual can communicate with others. Pronunciation
related to the ability to control the muscles that manipulate the organ talking / organ of speech. Motor skills
is a term used to describe psychologist muscle use in performing certain skills, such as walking from the
general to the good as writing and speaking. Motor skills is called articulator speak. This includes the mouth,
lips, tongue, vocal cords, which are all controlled by muscles that are under the common control of the brain.

222
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Articulators have to do the right thing at the right time (to open his mouth in a certain way, the position of
the lips and tongue in a certain way), if someone wants to say the sound accurately.

METHODOLOGY
This study aims to: 1) to know form a wide selection of English that can be found on a student majoring in
English Education UAD Yogyakarta and 2) to describe factors that cause students majoring in English
Education UAD Yogyakarta in choosing varieties of English. The first step taken by the researchers is to
determine a wide selection of English conducted by the students in the process of observation in the classes
taught by the researcher. Then a process which transactions are carried out after observing classes, namely
distributing questionnaires (Sudaryanto: 1988, 1993) and (Sutopo: 2006). The questionnaire is based on
literature review that researchers have been outlined, where the chapter contains a study of the theory
regarding to the selection of a variety of English that is widely used by a second language learners. Both the
language diversity is British and American English. Questionnaires were developed based on the indicators
contained in the theoretical study of the differences in the use of British and American English. Respondents
were then asked to fill out a questionnaire based on existing indicators, each of which includes election of
language diversity on the level: 1) spelling, 2) pronunciation, and 3) vocabulary, and 4) grammar. In addition
to distributing questionnaires, researchers also conducted interviews with some students, as a part of the
research conducted. Techniques interviews were conducted to determine the factors and cause a wide
selection of English conducted by students majoring in English Education, UAD.

RESULT AND DISCUSSION


Based on questionnaire the data obtained as following results:
Table 1.
No. Statement Yes
1 In learning English, I use variety of language American than British English, for example, when I 21
pronounce the letter "r" clearly.
2 In learning English, I use of British language diversity compared to American English, for example, I do 19
not pronounce the letter "r" clearly.
Respondent 40
The 40 (forty) respondents were asked to fill out a questionnaire, on the pronunciation, especially
the pronunciation of some words containing the letter 'r'. Many respondents chose to use American than
British English are compared. Some of the reasons put forward by the respondents are: 1) The letter 'R' in
the pronunciation is more often read and recite them, 2) Due to the use of American English is more clearly
to be heard and understood, 3) Because learners accustomed to using it since they were beginning to learn
English in elementary school.
In general, Americans pronounce the letter "r" with their tongues rolled back and squeeze them
together to the ceiling, while most British people do not pronounce the letter "r" in the word, especially if at
the end of the word. This causes makes more respondents choose American English as the Indonesian 'r'
always spoken clearly on every word. This similarity influences the choice of the respondent in this case. R-
colored rhotic is not consonant, vowel rhotic however, where the emphasis is more on vocals, rather than
consonants. This is denoted by / ɚ / or [ɚ] or (r). There are several ways honk / ɚ / this, one is to roll
backward tip of the tongue when pronouncing / r /. Basically, this sound is known at all when learners are
watching American movies, where the sound / r / characterizes the American English accent. R-colored has
become one of the strong characteristics in English, especially American accent. Many Indonesian students
who tried drilling pronounce / r / is the American way. In fact, some say that the success of pronouncing the
sound / ɚ /. This shows the success of English pronunciation is good and right. Actually it is hardly to be
said rhotic and is referred to as non-rhotic, where the sound / r / was virtually disappeared. In the science of
phonology and phonetics, non-ordinary rhotic denoted by /: / or symbolized. Rhotic non-uniqueness is that
there are sound / r / in a word that is almost or does not sound at all. This phenomenon is well known in
British English accent (UK). The simplest example is the words: 'Car', 'four', 'far', 'mother' and 'similar'
where the letter 'r' which represents the sound rhotic / r / or / ɚ / normally be rung in Indonesian, European
languages or English accent America was not rung and lost in a British accent. Suppose the word 'car' that
the American accent is pronounced / kɑr / would be pronounced / kaɑ: / in a British accent. Sound / r / is
also missing on the word 'four' are pronounced / fɔː /, the word 'far' which is pronounced / fɑː /, 'mother'
which is pronounced / mʌðə / and the word 'similar' pronounced / sɪmələ /. This is sometimes confusing for
people who are learning the English language to define the pronunciation of / r / a word. Actually simple,

223
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
sound / r / is pronounced when it was before the vowel. For example the word 'red' / red /, 'rush' / rʌʃ /,
'berry' / give /, 'route' / ru: t /, and 'pray' / leek /, and will disappear when placed after a vowel.
Table 2. The Differences between British and American English
No. British American Respondent
1 Centre 7 Center 33 40
2 Theatre 8 Theater 32 40
3 Programme 13 Program 27 40
4 Metre 5 Meter 35 40
5 Catalogue 15 Catalog 25 40
6 Neighbour 29 Neighbor 11 40
7 Grey 30 Gray 10 40
8 Practise 5 Practice 35 40
9 Cheque 3 Check 37 40
10 Advertise 32 Advertise 8 40
From the table above, it can be seen also that many of the respondents who prefer to use American
rather than British English. Some of the data is very striking difference, namely the word: ‘centre’/’center’,
‘theatre’/’theater’, ‘metre’/’meter’, ‘practise’/’practice’/,’cheque’/’check’. This is due to the possibility of
English language learners whose native language or the first language is Indonesian. The learners are more
likely to choose a vocabulary and pronunciation manner similar to the first language. What is meant here is
in the Indonesian language, it is very rare to find the pronunciation which is different from what is found in
written form, whereas in British English almost half of the respondents said tend to differ between
pronunciations with the written form. The English words such as ‘strong’ have the initial consonant cluster
/str/, meanwhile ‘asks’ has the final cluster /sks/.
Originally Indonesian has a very simple system of consonant clusters. It had phoneme /r/ which can
be preceded by /p/, /t/, /k/, /b/, /d/, /s/, or /g/. Thus there are some words such as praja, trasi, krupuk,
brengsek, drama, sri, and graha. Besides the cluster in either British English or American, where it is very
rare and hard to pronounce for Indonesian learners, for example on said ‘centre’/cluster-tr-, theater/cluster-
th-, metre/ cluster-tr-. In some instances of the word, students tend to choose ‘center’, ‘theater’, and ‘meter’,
in which the clusters do not appear. Some words in Indonesian with a consonant clusters in it usually only be
found at the beginning of a word or commonly referred to as initial consonant cluster. Initial consonant
clusters in Indonesian are also usually a loan word derived from Sanskrit, Dutch, and English (Soendjono,
2009). It is never found the consonant cluster which is located behind words in Indonesian. This is probably
affecting language learners to choose the ‘center’ than the ‘centre’; ‘theater’ than a ‘theatre’, and a ‘meter’
than the metre, in which the consonant cluster at the end of a word or a final consonant cluster do not found.
In spell ‘check’/‘cheque’; ‘catalog’/‘catalogue’; ‘program’/‘programme’, it can be said that there is no
correlation between sounds and letters or sounds and letters were written. So that the ‘cheque’ on the English
word that is pronounced in accordance with his writing feels a bit confusing for the user Indonesian
respondents where each word in the Indonesian language is pronounced according to the writings. This is
why respondents prefer to spell ‘check’ than ‘cheque’; ‘catalog’ than ‘catalogue’; and ‘program’ than
‘programme’. Here are some of the reasons given by respondents: 1) It is easier in pronunciation and word
often spoken / general said, because it is easier to remember, 2) Because the more frequently heard, 3)
Because it is easier to remember and in writing and it is not confusing.
Table 3. The Differences between British and American
No. British America Respondent
1 Autumn 15 Fall 25 40
2 Litter 19 Garbage 21 40
3 Crossroad 31 Crossing 9 40
4 Lift 31 Elevator 9 40
5 Flat 5 Apartment 35 40
From the data above, it can be concluded that the number of voters on election tends to be more
varied vocabulary with the same meaning, but it has diction/choice of different words. This is seen in some
data, such as the words ‘fall’, ‘garbage’ and ‘apartment.’ Many respondents who prefer to use a vocabulary
of American English. However, many respondents who prefer to separately use the vocabulary in British
English, as are found in the word: ‘crossroad’ and ‘lift.’ Here are some of the reasons given by respondents
in an open questionnaire given by the researchers: 1) It is easier to write and more often use the word, 2)
Because the words are easy to understand and easy to remember, 3) it is more often pronounced.

224
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Table 4. The Differences between British and American
No. British America Respondent
1 Behavior 24 Behavior 16 40
2 Colour 28 Color 12 40
3 Favour 31 Favor 9 40
4 Flavor 32 Flavor 8 40
5 Glamour 28 Glamor 12 40
6 Harbor 28 Harbor 12 40
7 Honour 6 Honor 34 40
8 Humour 8 Humor 32 40
9 Labour 15 Labor 25 40
10 Rumour 5 Rumor 35 40
Based on the above data, it appears that the respondents tend to prefer to use British English in
vocabulary such as ‘behavior’, ‘color’, ‘favor’, ‘flavor’, ‘glamor’, ‘harbor’. While the choice of respondents
in American English the word ‘honor’, ‘humor’, ‘labor’, and ‘rumors.’ Here are some reasons reported by
respondents: 1) It is more frequently used in writing, 2) Because it is more familiar with the words and
structure of the letter, 3) Because it is often found in the sample text and reading, so it is easier to remember.
Table 5. The Differences between British and American
No. British America Respondent
1 I’ve got a book about it, or Have you got the 5 I have a book... Or Do you have the 35 40
time? time?
2 Have you read her latest article yet? 9 Did you read her latest article yet? 31 40
In the grammar in which many respondents prefer to use American compared to British English. On
British English, Present Perfect is used to describe the events that had just occurred and are related to the
present. Example: ‘I've lost my books. Can you help me?’ At American English, use Simple Past can still be
received with the same purpose. Example: ‘I lost my books. Can you help me?’ American English prefers
the use of ‘just’, ‘already’, ‘yet’ to Present Perfect. Here are a few reasons: 1) It is easier to understand and
more frequent use, 2) Because it is easier to understand and the structure is used everyday, 3) the grammar is
more memorable. Data from interviews conducted by the researchers to some students note that there are
several factors that influence students to choose a variety of English, both the British and America as
summarized as follows: 1) the factor of learning English that students get on the bench prior learning, that is
level junior and senior high school that affect them in choosing a variety of English. These factors have a
strong influence in view of the process of learning English that students get before, a strong influence on the
type of spelling, pronunciation, and vocabulary they hear, know, and students mastered. The learning
process that students get at the previous level is the basis of diversity of languages student mastery mastered
today. The mean students get English since elementary school on up to a higher level that is high school.
Learning from the earliest stages until what is gained in college make a major contribution towards the
control and the selection of the variety of language students did as a student of English Education is taking
today. A further factor is 2) the familiarity and ease of pronunciation. Familiarity and ease of pronunciation
is here in after factors that cause students choose a specific variety of the English language in the use of
English that they use everyday. An easier pronunciation the tongue spoken by second language learners and
language similarities with the first controlled is also one of the main factors chosen by the student body to
make a selection of English that they will use. The last factor (3) as a form of a wide selection of English
conducted by students of English Education Department of UAD is the effect of reading materials, material
and inputs given by lecturers (teachers or lecturers) in learning English. Influence and input are then applied
to the students in the use of a variety of English that is chosen daily. Reading materials obtained by the
students also bring a very significant impact on a wide selection of English being used.

CONCLUSION
1. There is two varieties of English that is controlled by English Education Department students of UAD,
namely the English variety of British and American;
2. The selection of variety of English that was done by students of English Education Department is caused
by several factors, including:
a) factors of learning English that students get on the bench prior learning, namely junior and senior high
school level that affect them in choosing a variety of English,
b) familiarity and ease of pronunciation. Familiarity, simplicity, and similarities with the first language in
pronunciation are some factors that cause students choose a variety of English language in the use of
225
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
English in their daily life, and
c) the effect of reading materials and input provided by lecturers in English language teaching students
who are currently running.

REFERENCES
Dardjowidjojo, Soenjono. 2009. English Phonetics and Phonology for Indonesians. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mc.Carthy, Peter. 1960. English Pronunciation. A Practical Handbook for the Foreign Learner. W.Heffer and Sons
Ltd: Cambridge.
Robins, R.H. 1980. General Linguistics: An Introductory Surve. New York: Longman.
Strevens, Peter. 1972. British and American English.London: Cassel
Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik Bagian Kedua: Metode dan Aneka Teknik Pengumpulan Data. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara
Lingual. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sutopo, H.B. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press
Stenberg, Danny D. 2000. Psycholinguistics: Language, Mind, and World. New York: Pearson Longman.
Wierzbicka, Anna. 1991. Cross-Cultural Pragmatics. Berlin New York: Mouton de Gruyter.

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Fauzia
Institution : University of Ahmad Dahlan
Education : S2 University of Gadjah Mada
S1 State University of Yogyakarta
Research Interst : • Language Teaching
• Applied Linguistics

226
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
JENIS FEMINA YANG BERSIFAT SIMA’I (COMMON USAGE) DALAM NOMINA BAHASA
ARAB: ANALISIS MORFOLOGI

Muhammad Yunus Anis


Universitas Sebelas Maret
yunus_678@staff.uns.ac.id

ABSTRAK
Nomina dalam bahasa Arab berdasarkan gendernya dibagi menjadi dua yaitu mudzakkar (maskula) dan muannast
(femina). Namun bentuk mudzakkar dianggap sebagai bentuk asli dalam bahasa Arab. Ada beberapa nomina berjenis
femina yang hanya diketahui oleh penutur asli bahasa Arab (sima’i) dan terbebas dari penanda-penanda femina, hal ini
mengakibatkan para pembelajar bahasa Arab mengalami kesulitan dalam menentukan jenis nomina tersebut yang
berbentuk maskula namun bermakna femina. Selama ini kita telah memahami bahwa kata /al-ummu/ ‫ األم‬yang berarti ‘ibu’
adalah bentuk femina/ muannast dalam bahasa Arab dan kata /al-abbu/ ‫ األب‬yang berarti ‘ayah’ adalah bentuk maskula/
mudzakkar. Lalu kenapa kata /asy-syamsu/ ‫ الشمس‬yang berarti ‘matahari’ tergolong dalam bentuk femina, padahal tidak
memiliki penanda femina, sedangkan kata /al-qamaru/ ‫ القمر‬yang berarti ‘bulan’ termasuk dalam bentuk maskula dalam
bahasa Arab. Penanda atau pemarkah femina dalam bahasa Arab merupakan sebuah penanda yang berada di akhir
setiap nomina sebagai pembeda antara bentuk maskula dan femina. Oleh sebab itulah, pada akhirnya dapat disimpulkan
bahwa bentuk femina adalah kata-kata yang memiliki penanda femina dan bentuk maskula adalah kata-kata yang kosong
dari penanda femina tersebut. Namun hal ini tidaklah mutlak adanya. Masih ada beberapa permasalahan lainnya, yaitu:
penanda-penanda yang berupa rumus atau pola dalam banyak nomina bahasa Arab yang tidak memilki efek dalam
penentuan jenis nomina tertentu. Penanda bentuk femina yang paling penting dalam bahasa Arab adalah ta>’ (‫)التاء‬, alif
mamdudah (‫)األلف الممدودة‬, dan alif maqsurah (‫)األلف المقصورة‬, keseluruhan tanda tersebut berada di akhir nomina.
Permasalahan bentuk femina dan maskula dalam bahasa Arab ini mengalami proses percampuran atau pengrusakan oleh
cacatnya hubungan logis antara ‘kata’ sebagai simbol dan ‘referen' bentuk nyata dari kata tersebut. Hal ini disebabkan
oleh masih tersisa adanya dialek-dialek pada masa kuno bahasa Arab. Permasalahan mengenai bentuk maskula dan
femina ini telah mendapatkan perhatian yang cukup besar dari para ahli dan peneliti bahasa Arab pada umumnya.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kaidah pembentukan nomina femina yang bersifat konvensional
atau sima’i (common usage) tersebut. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mendeskripsikan jenis-jenis nomina
secara morfologis yang dapat dibentuk menjadi nomina berjenis femina. Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah nomina-nomina femina yang ada dalam Kamus Muannast Sima’i karya Qanibiy (1987). Metode yang digunakan
untuk mengurai masalah dalam penelitian ini adalah metode distribusional dengan memanfaatkan teknik dasar bagi
unsur langsung dan beberapa teknik lanjutan seperti teknik lesap dan teknik balik. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa pembentukan nomina femina dalam bahasa Arab secara morfologis memiliki pola-pola tertentu yang sejatinya
menjadi pemarkah untuk jenis femina itu sendiri.
Kata kunci: femina, nomina, sima’i (common usage), morfologi, pembentukan nomina

Latar Belakang Masalah


Jenis (gender) menurut Kridalaksana (2008:99) adalah klasifikasi kata yang kadang-kadang bersangkutan
dengan kelamin, kadang-kadang tidak. Jenis ini diungkapkan secara gramatikal pada bentuk nomina,
pronominal, ajektiva, atau partikel; misal: dalam bahasa-bahasa Indo-Eropa, atau secara leksikal, misal
dalam bahasa Indonesia. Ada bahasa yang tidak menghubungkan jenis ini dengan kelamin; misal dalam
bahasa Jerman: mädchen ‘gadis’ yang berjenis netral. Pembagian jenis dalam bahasa-bahasa berbeda satu
dengan yang lain: Bahasa Prancis membedakan dua jenis yaitu maskulin, misal le livre ‘buku’, dan feminin,
misal la table ‘meja’; Bahasa Jerman membedakan tiga jenis yaitu maskulin, misal der Tisch ‘meja’, feminin,
misal die Hand ‘tangan’, dan netral, misal das Mädchen ‘gadis’.
Adapun selanjutnya Kridalaksana (2008:99) juga memberikan definisi mengenai jenis bebas
(epicene) adalah jenis yang mempunyai satu bentuk untuk menandai jenis jantan dan betina; misal penjahat,
penari dan sebagainya. Kata “jantan” menurut Poerwadarminta (1976:402) berarti “laki-laki” (hanya untuk
binatang; di beberapa daerah dipakai juga manusia), lawan dari kata tersebut adalah betina. Adapun betina
adalah “perempuan” (biasanya hanya dipakai untuk binatang dan benda yang tidak hidup, lawan dari kata
jantan); misalnya anjing betina; ayam betina. Selain itu, kata betina juga berarti “yang perempuan” (tentang
binatang dan benda); misalnya: “rupa-rupanya kijang jantan itu sedang mencari betinanya (Poerwadarminta,
1976:133).”
Wright (1979:177) di dalam bukunya menyebutkan bahwa berdasarkan gender, nomina dalam
bahasa Arab dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) masculine (‫)المذكر‬, (2) feminine (‫)المؤنّث‬, dan (3) the common
gender, yang biasanya berbentuk maskula dan femina menjadi satu, atau dalam bentuk frase. Wright juga
menjelaskan lebih rinci bahwa dalam bahasa semit tidak ditemukan neuter gender.

227
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Adapun bentuk femina, menurut Wright, dapat berupa:
1. real atau natural (‫ي‬ ّ ‫ ) ُم َؤ ّنث َحقيق‬contohnya adalah: pada kata ٌ‫ إم َرأة‬atau wanita (a woman) dan kata ‫ ناقة‬atau
unta wanita (she-camel),
2. unreal atau unnatural (‫ي‬ ّ ‫)غير َحقيق‬, atau tropical (‫ازيﱞ‬
ِ ‫ )م َج‬contohnya pada kata ‫ الشمس‬atau matahari (the
sun), ‫ نعل‬atau sandal (sandal), ‫ ظلمة‬atau kegelapan (darkness), dan ‫ بُ ْشــ َرى‬atau kabar gembira (good news).
Kata benda yang berjenis femina dapat diketahui dari dua hal, yaitu (1) berdasarkan artinya (its
signification), dan (2) berdasarkan bentuknya (its form).
Qabawah (1998:179) membagi jenis femina (mu’annas\) dalam bahasa Arab ke dalam empat
kelompok: (1) h}aqi>qiyyu, (2) maja>ziy, (3) lafz}iy, (4) ma‘nawiy. Mu’annas h}aqi>qiyyu adalah satuan
kebahasaan yang berupa kata berjenis femina, baik dari kelompok manusia atau hewan, contoh kata: zainab,
su‘a>d, lailiy, ‘uqa>b, na‘a>mah, ata>n, ‘us}fu>rah, na>qah.
Adapun mu’annas\ maja>ziy adalah satuan kebahasaan yang menjalankan fungsi jenis femina, baik
dari kelompok manusia, hewan, ataupun di luar kedua jenis tersebut. Contoh: luqmah, waraqah, mil‘aqah,
s}ah}ra>’, z\ikra>, syakwa, busyra>, ’uz\unun, qadamun, h}arbun, na>run, syamsun, ’ard}un, sama>’un.
Mu’annas\ lafz}iy adalah kata yang menggunakan penanda jenis mu’annas\ namun secara semantis
dapat menunjukkan jenis maskula maupun femina. Contoh: h}amzah, ’usa>mah, zakariyya>’, t}alh}ah,
‘utbah, t}arfah, fa>t}imah, salwa>, khunasa>’, syajarah, da’wa>, s}ahra>’.
Selanjutnya, jenis femina yang terakhir dalam bahasa Arab adalah: mua’annas\ ma‘nawiy adalah
jenis femina dalam bahasa Arab yang dapat menunjukkan bentuk mu’annas\ h}aqi>qiy atau maja>ziy,
namun dalam jenis ini tidak ada penanda jenis feminanya. Seperti pada kata: Maryam, Zainab, Su‘a>d,
‘uqa>b, ata>n, uz\unun, qadamun, h}arabun, ard}un, syamsun. Ada pula kata-kata dalam bahasa Arab yang
dapat berjenis maskula dan berjenis femina, seperti kata: Sabi>lun, Farasun, T}ari>qun, ‘Unuqun, Dalwun,
Khamrun, Saki>nun, H}ayyatun, Sauqun, Sya>tun, Lisa>nun, Da>bbatun, Z|ira>‘un, Sakhlatun, Sila>h}un.
Menurut Qabawah, penanda jenis femina yang berada di setiap akhir nomina ada tiga macam, yaitu:
(1) ta>’ mutah}arikah marbu>t}ah, (2) alif maqs}u>rah, (3) alif mamdu>dah.Ta>’ ta’ni>s\ dapat digunakan
dalam sebuah sifat/adjektif yang berasal dari ism musytaq. Selain itu juga terdapat dalam ism ja>mid yang
menunjukkan ism z\a>t. Sifat yang menunjukkan bentuk maskula sebaiknya tidak perlu dibentuk menjadi
femina. Di dalam makalah ini akan dibahas perihal penanda atau pemarkah yang ada dalam nomina femina
tersebut. Metode yang digunakan adalah metode distribusional dengan menggunakan teknik dasar bagi unsur
langsung. Objek formal dalam penelitian ini adalah nomina femina yang bersifat common usage/
konvensioanl. Adapun objek materi dalam makalah ini adalah nomina-nomina femina yang ada dalam
Kamus Mu’annats Sima’i karya Qanibi.

PEMBAHASAN BENTUK FEMINA YANG BERSIFAT SIMA’I/ COMMON USAGE


Ism atau nomina dalam bahasa Arab berdasarkan gendernya dibagi menjadi dua yaitu mudzakkar dan
muannast. Namun bentuk mudzakkar dianggap sebagai bentuk asli dalam bahasa Arab. Qani>biy dalam
bukunya menjelaskan bahwa pemarkah kata jenis feminim ada lima macam, meskipun pada dasarnya semua
jenis penanda femina berikut kembali pada harakat fatha}h:
1. Alif maqs}urah, seperti pada kata-kata berikut: h}ubla>, kubra>, s}ugra>, laila>, busyra>. Penanda jenis
ini lebih tendensi kepada pola/ wazan “fu‘la>” yang menunjukkan bentuk tafd}i>l/ superlative. Seperti
kata kubra> merupakan bentuk femina dari kata akbaru.
Ditambahkan oleh Qani>biy bahwa bentuk femina ada yang mengacu pada proses fonologisnya,
dengan menekankan pada bunyi yang ada dalam kata tersebut, seperti pada kata-kata asing (foreign word):
su>riya>, afri>qiya>, ’i>t}a>liya>, u>ru>ba>, injiltira>, ’u>bira> (opera), li>ra>, ji>ulu>jiya>. Kata-kata
tersebut menurut Qani>biy berjenis femina karena alif maqs}u>rah berbentuk bunyi vokal fath}ah panjang
yang berubah ke bunyi ha>’ ketika waqaf atau berhenti dan kemudian berubah menjadi huruf ta>’ ketika
berada di ujung/tepi kata.
Oleh sebab itulah, terkadang satu kata diakhiri oleh tiga penanda, seperti: alif layyinah, ha>’, dan
ta>’, seperti pada kata-kata berikut:
• Su>riya>, su>riyah, su>riyah
• Afri>qiya>, afri>qiyyah, afri>qiyyah
• Li>ra>, li>rah, li>rah
Adapun lembaga bahasa di Damaskus menetapkan bahwa kata su>riya yang benar adalah kata yang
menggunakan penanda akhir ta>’ marbu>t}ah.

228
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
2. Alif mamdu>dah adalah vokal a (fath}ah) panjang yang diikuti oleh hamzah, seperti pada kata-kata
berikut: h}amra>’, baid}a>’, samra>’, khunfasa>’. Secara singkat dapat disimpulkan dengan bentuk
fu‘la>’ bentuk femina dari pola af‘ala yang digunakan untuk menunjukkan macam-macam warna dan
penyakit-penyakit badan. Kata h}amra>’ merupakan bentuk femina dari kata ah}mar dan kata ‘arja>’
merupakan bentuk femina dari kata a‘raj.
Namun, Qani>biy menegaskan bahwa terdapat beberapa kata yang menggunakan penanda alif
mamdudah tapi sebagai penanda maskula bukan femina, seperti pada kata: zakariya>’, ‘a>diya>’, dan
’irmiya>’. Beberapa kata-kata serapan yang sama dengan hal tersebut, seperti: baransa>’ dan baransa>,
kahruba>’ dan kahruba>, begitu pula dengan kata si>nima>. Bentuk femina pada kata-kata tersebut disebut
dengan “ta’ni>s\ lafz}iy”. Perlu diketahui bahwa setiap bentuk mamdu>d boleh dilakukan pemendekan
dengan cara analog/ qiya>s. Banyak perbedaan pendapat mengenai dibolehkannya pemanjangan/mad pada
maqs}u>r. Namun pada kenyataannya, harakat antara mamdu>d dan maqs}u>r tetap digunakan dalam
pemakaian bahasa. Dalam bukunya, Qani>biy mengutip dari sebuah buku bahwa penulisan kata “as\-
s\uraya>” dengan penulisan “as\-s\urayah”. Dalam proses penulisan kata tersebut terjadi perubahan dari alif
ta’nis\ menjadi ta>’ ta’ni>s\. Begitu pula pada kata “al-h}ubla>” menjadi “al-h}ublah”, dan pada kata “al-
h}amra>’” setelah dilakukan pemendekan menjadi “al-h}amrah”.
3. Ad}-d}ami>r yang kembali pada bentuk femina. Dalam bukunya, Qani>biy mengutip pendapat dari
Ibnu Hisya>m bahwa banyak sekali nomina dalam bahasa Arab yang diubah menjadi bentuk femina
dengan cara menambahkan “ta>’ muqaddarah”. Hal ini lebih dipertegas dengan adanya “d}ami>r
‘a>’id”/ d}amir sebagai penunjuk persona yang kembali kepada ta>’ muqaddarah tersebut. Contoh yang
tertera dalam Al-Qur’an:
• Al-H}aj ayat 72: ‫النا ُر َو َعدَھا ﷲُ الذين َكفَروا‬
Ada juga beberapa ayat yang menggunakan penunjuk kepadanya dengan memamnfaatkan ism isya>rah,
seperti pada ayat berikut:
• Ya>sin ayat 63: ‫ھذه جھنﱠم‬
4. Al-Mu’anas\ at-ta’wi>liy. Dalam hal ini, Qani>biy menjelaskan dengan awal statemen yang cukup
menarik, yaitu: mazhab muzakkar telah dieliminasi oleh mazhab muannas. Apa yang dimaksud oleh
Qani>biy dengan pendapatnya tersebut. Hal ini lebih diarahkan pada kenyataan bahwa ada beberapa
bentuk femina yang dimaksudkan untuk bentuk maskula bersandarkan pada proses ta’wil antara yang
satu kepada yang lain. Hal ini terjadi karena ada faktor balagah.
5. Ta>’ mutah}arikah adalah ta>’ yang ditambahkan di akhir sebuah nomina. Penandanya adalah dengan
merubah huruf ha>’ di akhir waqaf, seperti pada kata-kata berikut: khadi>jah, fa>t}imah, muwaz}afah,
dan mu’minah. Namun apabila tidak dirubah menjadi ha>’ di akhir waqaf maka ia termasuk asli atau
bentuk “munqalabah”/ hasil dari sebuah perubahan, seperti pada kata-kata berikut: ‘arafa>t, malaku>t,
ukhtun, bintun, huruf ta>’ pada kata ukhtun merupakan bentuk perubahan dari huruf waw, karena asli
kata dari kata ukhtun adalah ’akhawun.
Qani>biy menjelaskan bahwa ta>’ mutah}arikah secara khusus merupakan penanda yang cukup
dominan dalam membedakan antara bentuk maskula dan femina dari ism musytaq dalam bahasa Arab.
Definisi muannast sima>’i berikut diambil dari Kamus Muannast Sima>’i yang disusun oleh Qanibiy:
‫ و اإلعتماد فيھا على السماع‬.‫مؤنثات السماعية ھي ألفاظ تخلو من إحدى عالمات التأنيث التي سبق ذكرھا‬
Dari definisi tersebut dapat diuraikan beberapa hal mengenai muannast sima>’i, yaitu: muannast
sima>’i merupakan lafal-lafal yang terbebas dari salah satu penanda bentuk femina dalam bahasa Arab yang
telah dijelaskan sebelumnya. Bentuk muannast sima>’i ini bergantung pada proses mendengarkan/ ‫السماع‬
langsung dari penutur asli bahasa Arab. Sehingga bentuk ini merupakan kata yang bersifat konvensional
khusus dari para penutur asli bahasa Arab. Bentuk femina ini memiliki dua macam, yaitu bentuk yang wajib
ta’nistnya/ ‫ يجيب تأنيثه‬dan bentuk yang dibolehkan ta’nist dan tadzkirnya/ ‫يجوز تأنيثه و تذكيره‬.
Lalu apa sebab yang menyebabkan adanya muannast sima>’i. Dimungkinkan ada beberapa hal yang
menyebabkan munculnya bentuk muannast sima>’i ini. Permasalahan ta’nist dan tadzkir dalam bahasa Arab
ini mengalami proses percampuran atau pengrusakan oleh cacatnya/ disability hubungan logis antara kata
dan referen bentuk nyata dari kata tersebut. Hal ini disebabkan oleh masih tersisa adanya dialek-dialek pada
masa kuno bahasa Arab.
Selama ini kita telah memahami bahwa kata ‫ األم‬adalah bentuk femina/ muannast dalam bahasa Arab
dan kata ‫ األب‬adalah bentuk maskula/ mudzakkar. Lalu kenapa kata ‫ الشمس‬tergolong dalam bentuk femina,
sedangkan kata ‫ القمر‬termasuk dalam bentuk maskula dalam bahasa Arab. Perlu diingat bahwa kedua kata
tersebut merupakan benda luar angkasa/ celestial/heavenly body/ ‫ي‬ ّ ‫جرم سماو‬. Yang lebih mengundang
pertanyaan dibandingkan dengan hal tersebut adalah dalam penamaan sesuatu dengan menggunakan dua

229
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
kata berbeda, yang pertama berbentuk muannast dan yang kedua berbentuk mudzakkar, seperti pada
pasangan kata dengan satu makna berikut:
• ‫الدار و البيت‬
• ‫الشباك و النافذة‬
• ‫الدكان و المتجر‬
• ‫السباب و العلّة‬
• ‫الكھف و المغارة‬
• ‫الطريق و الدرب‬
Telah tampak sebelumnya bahwa ada keterputusan antara lafal bahasa Arab dengan maknanya/
meaning/significance secara umum sebagaimana telah dijelaskan pada contoh sebelumnya yang
menyebabkan getaran makna secara umum ‫ المدلول الجنسي‬pada para ahli dan pemakai bahasa. Dari contoh
getaran/gebrakan aneh tersebut adalah pada kata ‫الحرب‬, secara umum kata tersebut pada bahasa amiyyah
berjenis maskula (mudzakkar) namun dalam bahasa fusha kata ‫ الحرب‬berjenis femina/ muannast. Hal ini
dapat dilihat pada ayat Al-Qur’an berikut: ‫حتى تضع الحرب أوزارھا‬. Contoh lain adalah pada kata ‫ ال َس ْلم‬, kata
tersebut telah diketahui oleh banyak orang bahwa kata tersebut adalah mudzakkar. Namun pada dasarnya
kata tersebut adalah muannast/ femina. Hal ini dapat dilihat pada ayat al-Qur’an berikut:
‫و إن جنحوا للس ْﱠلم فاجنح لھا‬

KESIMPULAN
Telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya bahwa penanda femina dalam bahasa Arab merupakan
sebuah penanda yang berada di akhir setiap nomina sebagai pembeda antara bentuk maskula dan femina.
Oleh sebab itulah, pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa bentuk femina adalah kata-kata yang memiliki
penanda femina dan bentuk maskula adalah kata-kata yang kosong dari penanda femina tersebut. Namun hal
ini tidaklah mutlak adanya. Masih ada beberapa permasalahan lainnya, yaitu: penanda-penanda yang berupa
rumus bentuk (ramzun syakliy) dalam banyak lafal bahasa Arab yang tidak memilki efek dalam penentuan
jenis nomina tertentu.
Orang-orang Arab telah mengarahkan pandangannya pada banyak kata yang berasal dari bahasa
tetangga yang berdekatan. Orang Arab tidak menjauhkan lisan mereka dengan kata-kata tersebut. Mereka
juga tidak melarang pemakaiannya karena kata-kata tersebut memberikan makna-makna baru dalam
kehidupan mereka. Kata-kata yang berasal dari lughah muja>warah ini akan menjadi pembahasan penting
dalam tulisan ini. Perlahan-lahan orang Arab mulai melakukan Arabisasi baik dengan melakukan perubahan
bentuknya, wazannya, atau dengan mengikuti wazan aslinya. Namun bagian yang mengindikasikan adanya
keraguan/ tawahhum orang Arab dalam membentuknya menjadi bentuk femina untuk mengasosiasikannya
dengan pelafalan bunyi.
Oleh sebab itulah perhatian yang besar telah diarahkan pada pengumpulan data-data muanast
sima>’i ini. Dengan menggunakan metode distribusional dan teknik bagi unsur langsung, kita dapat
mengetahui bahwa, nomina yang dapat dibentuk oleh mua’anast sima’i, beberapa yang dominan berpola: (1)
af’a>lun atau if’a>lun, (2) fa’lun, (3) fa>’ilun, dan (4) fa’i>l.

DAFTAR PUSTAKA
Aronoff, Mark. dan Kirsten Fudeman. 2011. What Is Morphology? Second Edition. United Kingdom: Wiley-Blackwell.
Baalbaki, Rohi. 1995. Al-Mawrid: A Modern Arabic-English Dictionary. Beirut: Dar El-Ilm Lilmalayin.
Al-Farra>’, Abiy Zakariyya> Yah}ya Ibnu Ziya>d. 1989. Al-Muz\akkar wal-Muannas\. Kairo: Maktabah Da>rut-tura>s\.
Gaz\z\a>miy, ‘Abdulla>hi. 2006. Al-Mar’ah wal-Lugah. Beirut: Al-Markaz As\-S|aqa>fiy.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia Cetakan Kelima. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Qaba>wah, Fakhrud-di>n. 1998. Tas}ri>ful-Asma>’ wal-Af‘a>l At}-t}ab‘ah As\-s\a>lis\ah. Beirut: Maktabah Al-Ma‘a>rif.
Qani>biy, H}a>mid S}a>diq. 1987. Mu‘ja>mul-Mu’annas>at As-sima>‘iyyah: Al-Arabiyyah wad-Dakhi>lah. Beirut:
Da>run-Nafa>tis.
Wehr, Hans. 1976. A Dictionary of Modern Written Arabic. New York: Spoken Language Services, Inc.
Wright, W. 1979. A Grammar of The Arabic Language. Great Britain: University Press, Cambridge.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Muhammad Yunus Anis
Institusi : Universitas Sebelas Maret
Riwayat Pendidikan : S1 dan S2 Universitas Gadjah Mada
Minat Penelitian : Linguistik dan Penerjemahan Arab

230
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
ARUS MODERNISASI DALAM ABREVIASI KULINER JAWA BARAT: TELAAH MORFOLOGI

Dike Febianti Mahmud Fasya


Universitas Pendidikan Indonesia
jumina.am1@gmail.com mahmud_fasya@upi.edu

ABSTRAK
Abreviasi (pemendekan) ibarat jamur di musim hujan. Maksudnya, penggunaan abreviasi sebagai salah satu bentuk
kemudahan berbahasa telah mengeluarkan sejumlah produk kebahasaan yang inovatif di setiap zaman. Kridalaksana
(2010: 159) merumuskan abreviasi (pemendekan) sebagai proses penanggalan satu atau beberapa bagian leksem atau
kombinasi leksem sehingga jadilah bentuk baru yang berstatus kata. Tulisan ini didasari pada fenomena bahwa arus
modernisasi telah menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat, tak terkecuali di bidang kuliner yang menjadi
primadona wisatawan mancanegara ataupun wisatawan lokal. Masyarakat begitu jenius dalam membuat sebuah produk
abreviasi yang berkenaan dengan gejolak sosial yang sedang terjadi pada masa tertentu. Provinsi Jawa Barat merupakan
salah satu provinsi dengan komoditas kuliner yang kaya di Indonesia. Hal ini menarik untuk diteliti khususnya berkaitan
dengan bagaimana masyarakat menggunakan strategi bahasa di bidang kuliner yang acapkali memanfaatkan marwah
bahasa untuk menarik konsumen dan meningkatkan kapasitas produksi. Topik ini melibatkan morfologi sebagai bidang
yang membahas bagaimana pembentukan kata suatu bahasa, termasuk proses pemendekan dalam suatu bidang tertentu
berdasarkan kaidah yang ada. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif.
Sumber penelitian ini melibatkan beberapa informan yang merupakan representasi masyarakat Jawa Barat di bidang
kuliner. Adapun rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini meliputi: (1) bagaimana bentuk dan pola
abreviasi di bidang kuliner Jawa Barat; (2) bagaimana jenis dan karakteristik abreviasi dalam ranah kuliner di Jawa
Barat. Untuk mengungkap rumusan masalah tersebut, penelitian ini dimulai dengan melakukan wawancara terhadap
informan melalui teknik rekam libat catat. Data yang diperoleh kemudian dikumpulkan dan dianalisis berdasarkan bentuk
dan pola abreviasinya, serta jenis dan karakteristik abreviasi kuliner di Jawa Barat. Penarikan simpulan didasarkan atas
intisari-intisari dalam hasil analisis data. Temuan penelitian ini menunjukkan adanya kreativitas dan pengaruh
modernisasi dalam pemakaian abreviasi di bidang kuliner yang diwujudkan melalui akronim dan singkatan. Adapun pola
abreviasi yang terbentuk cenderung didominasi oleh kategori nomina dengan kombinasi dengan kategori lainnya yang
merujuk pada bagaimana karakteristik dari abreviasi kuliner tersebut.
Kata kunci: bentuk dan pola, abreviasi, morfologi

PENDAHULUAN
Abreviasi (pemendekan) ibarat jamur di musim hujan. Maksudnya, penggunaan abreviasi sebagai salah satu
bentuk kemudahan berbahasa telah mengeluarkan sejumlah produk kebahasaan yang inovatif pada setiap
zaman. Kridalaksana (2010: 159) merumuskan abreviasi (pemendekan) sebagai proses penanggalan satu
atau beberapa bagian leksem atau kombinasi leksem sehingga jadilah bentuk baru yang berstatus kata.
Tulisan ini didasari oleh fenomena bahwa arus modernisasi telah menyentuh berbagai aspek
kehidupan masyarakat, tidak terkecuali di bidang kuliner yang menjadi primadona wisatawan mancanegara
atau pun wisatawan lokal. Masyarakat begitu genius dalam membuat sebuah produk abreviasi yang
berkenaan dengan gejolak sosial yang sedang terjadi pada masa tertentu.
Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi dengan komoditas kuliner yang kaya di
Indonesia. Hal ini menarik untuk diteliti, khususnya yang berkaitan dengan bagaimana masyarakat
menggunakan strategi bahasa di bidang kuliner yang acapkali memanfaatkan muruah bahasa untuk menarik
konsumen dan meningkatkan kapasitas produksi. Topik ini melibatkan morfologi sebagai bidang yang
membahas bagaimana pembentukan kata suatu bahasa, termasuk proses pemendekan dalam suatu bidang
tertentu berdasarkan kaidah yang ada.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Sumber
penelitian ini melibatkan beberapa informan yang merupakan representasi masyarakat Jawa Barat di bidang
kuliner. Adapun rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini meliputi (1) bagaimana bentuk dan
pola abreviasi di bidang kuliner Jawa Barat; (2) bagaimana jenis dan karakteristik abreviasi dalam ranah
kuliner di Jawa Barat.
Untuk mengungkap rumusan masalah tersebut, penelitian ini dimulai dengan melakukan wawancara
terhadap informan melalui teknik rekam libat catat. Data yang diperoleh kemudian dikumpulkan dan
dianalisis berdasarkan bentuk dan pola abreviasinya, serta jenis dan karakteristik abreviasi kuliner di Jawa
Barat. Penarikan simpulan didasarkan atas pokok-pokok dalam hasil analisis data.

231
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
PEMBAHASAN
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), abreviasi adalah pemendekan bentuk sebagai pengganti
bentuk yang lengkap dan bentuk singkatan tertulis sebagai pengganti kata atau frasa. Kridalaksana (2010)
membagi bentuk abreviasi ke dalam lima klasifikasi sebagai berikut:
1) Singkatan
Singkatan ialah salah satu hasil proses pemendekan yang berupa huruf atau gabungan huruf, baik yang
dieja huruf demi huruf maupun yang tidak dieja huruf demi huruf. Salah satu contohnya ialah kata FPBS
yang disingkat dari Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra.
2) Akronim
Akronim ialah proses pemendekan yang menggabungkan huruf atau suku kata atau bagian lain yang
ditulis dan dilafalkan sebagai sebuah kata yang sedikit banyak memenuhi kaidah fonotaktik Indonesia.
Beberapa contohnya ialah ABRI /abri/ bukan /a/ /be/ /er/ /i/ dan UPI /upi/ bukan /u/ /pe/ /i/.
3) Kontraksi
Kontraksi ialah proses pemendekan yang meringkaskan leksem dasar atau gabungan leksem. Contohnya
ialah takkan (tidak akan), sendratari (seni drama dan tari), dan rudal (peluru kendali).
4) Penggalan
Penggalan ialah proses pemendekan yang mengekalkan salah satu bagian dari leksem. Contohnya ialah
prof (profesor), pak (bapak), bu (ibu), dan nak (anak).
5) Lambang Huruf
Lambang huruf ialah proses pemendekan yang menghasilkan satu huruf atau lebih yang
menggambarkan konsep dasar kuantitas, satuan, atau unsur. Contohnya ialah kg (kilogram), m (meter),
dan H (Hidrogen).
Sesuai dengan teori tersebut, dari 50 data yang dikumpulkan terdapat 44 data yang berupa akronim
dan 6 data yang berbentuk singkatan. Berikut ini disajikan analisis untuk beberapa temuan yang dianggap
dapat mewakili jawaban atas rumusan masalah. Leksikon basreng merupakan sebuah kata yang berkategori
nomina. Leksikon tersebut bermakna ‘bakso yang digoreng’. Berdasarkan proses abreviasinya, kata basreng
dibentuk dari gabungan kata bakso (N) + goreng (V). Kata bakso mengalami pemenggalan menjadi bas dan
kata goreng mengalami pemenggalan menjadi reng sehingga gabungan keduanya menjadi basreng.
Abreviasi seperti ini berjenis akronim.
Begitu pula halnya dengan leksikon cilok yang merupakan sebuah kata berkategori nomina.
Leksikon tersebut bermakna ‘aci dicolok’. Berdasarkan proses abreviasinya, kata cilok dibentuk dari
gabungan kata aci (N) + dicolok (V). Kata aci mengalami pemenggalan menjadi ci dan kata dicolok
mengalami pemenggalan menjadi lok sehingga gabungan keduanya menjadi cilok. Abreviasi ini pun berjenis
akronim.
Berikut ini adalah leksikon lain, yaitu gehu. Leksikon gehu merupakan sebuah kata berkategori
nomina. Leksikon tersebut bermakna ‘tahu yang diisi dengan taoge lalu diberi tepung, lalu digoreng dengan
minyak panas’. Berdasarkan proses abreviasinya, kata gehu dibentuk dari gabungan kata taoge (N) + tahu
(N). Kata taoge mengalami pemenggalan menjadi ge dan kata tahu mengalami pemenggalan menjadi hu
sehingga gabungan keduanya menjadi gehu. Abreviasi ini pun berjenis akronim.
Leksikon lainnya ialah molring. Leksikon ini merupakan sebuah kata berkategori nomina. Leksikon
tersebut bermakna ‘keripik cimol kering yang terbuat dari tepung tapioka dan tepung terigu yang dipadukan
dengan berbagai macam bumbu’. Berdasarkan proses abreviasinya, kata molring dibentuk dari gabungan
kata cimol (N) + kering (N). Adapun kata cimol sendiri merupakan hasil dari abreviasi, yaitu aci (N) +
digemol (V). Maksudnya aci atau tepung kanji yang dibulatkan. Kata cimol mengalami pemenggalan
menjadi mol dan kata kering mengalami pemenggalan menjadi ring sehingga gabungan keduanya menjadi
molring. Abreviasi ini pun berjenis akronim.
Leksikon yang satu ini adalah salah satu kuliner yang berasa manis, yaitu piscok. Leksikon piscok
merupakan sebuah kata yang berkategori nomina. Leksikon tersebut bermakna ‘pisang yang dilumuri
adonan kental yang terbuat dari campuran tepung, telur, sedikit garam, dan gula, lalu digoreng’. Berdasarkan
proses abreviasinya, kata piscok dibentuk dari gabungan kata pisang (N) + coklat (N). Kata pisang
mengalami pemenggalan menjadi pis dan kata coklat mengalami pemenggalan menjadi cok sehingga
gabungan keduanya menjadi piscok. Abreviasi ini pun berjenis akronim.
Berikutnya ada leksikon sukro. Leksikon sukro merupakan sebuah kata yang berkategori nomina.
Leksikon tersebut bermakna ‘makanan ringan yang disebut juga sebagai kacang atom atau suuk (baca: su'uk;
yang berarti kacang dalam bahasa Sunda); suuk di jero berarti 'kacang di dalam'’. Berdasarkan proses
abreviasinya, kata sukro dibentuk dari gabungan kata suuk (N) + di jero (FPrep). Kata suuk mengalami

232
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
pemenggalan menjadi suk dan frasa di jero mengalami pemenggalan menjadi ro sehingga gabungan
keduanya menjadi sukro. Abreviasi ini pun berjenis akronim.
Leksikon lainnya ialah mabasa. Leksikon mabasa merupakan sebuah kata yang berkategori nomina.
Leksikon tersebut bermakna ‘makaroni banyak rasa, merupakan merek lokal yang menyajikan makanan
ringan siap saji dengan enam pilihan sensasi rasa’. Berdasarkan proses abreviasinya, kata mabasa dibentuk
dari gabungan kata makaroni (N) + banyak (Num) + rasa (N). Kata makaroni mengalami pemenggalan
menjadi ma, kata banyak mengalami pemenggalan menjadi ba, dan kata rasa mengalami pemenggalan
menjadi sa sehingga gabungan keduanya menjadi mabasa. Abreviasi ini pun berjenis akronim.
Leksikon selanjutnya ialah cibicis. Leksikon cibicis merupakan sebuah kata yang berkategori
nomina. Leksikon tersebut bermakna ‘burger yang berisi sayuran dan mayones, juga berisi keju dan daging
ayam yang digoreng’. Berdasarkan proses abreviasinya, kata cibicis dibentuk dari gabungan frasa chicken
burger (FN) + with cheese (FPrep). Frasa chicken burger mengalami pemenggalan menjadi cibi dan frasa
with cheese mengalami pemenggalan menjadi cis sehingga keduanya menjadi cibicis. Abreviasi ini pun
berjenis akronim.
Gejala yang berbeda dapat ditemukan pada leksikon BTC. Leksikon BTC merupakan sebuah kata
yang berkategori nomina. Leksikon tersebut bermakna ‘bakso yang dicampur dengan tetelan dan ceker’.
Berdasarkan proses abreviasinya, kata BTC dibentuk dari penyingkatan kata bakso (N) + tetelan (N) + ceker
(N). Kata bakso disingkat dengan diambil huruf awalnya, yaitu B; kata tetelan diambil huruf awalnya, yaitu
T; kata ceker diambil huruf awalnya, yaitu C, sehingga gabungannya menjadi BTC.
Data lainnya ialah leksikon STMJ yang merupakan sebuah kata yang berkategori nomina. Leksikon
tersebut bermakna ‘minuman yang dibuat dari campuran antara susu, telur, madu, dan jahe’. Berdasarkan
proses abreviasinya, kata STMJ dibentuk dari penyingkatan kata susu (N) + telor (N) + madu (N) + jahe (N).
Kata susu disingkat dengan diambil huruf awalnya, yaitu S; kata telur diambil huruf awalnya, yaitu T; kata
madu diambil huruf awalnya, yaitu M; kata jahe diambil huruf awalnya, yaitu J, sehingga menjadi STMJ.
Data selanjutnya ialah leksikon CME yang merupakan sebuah kata yang berkategori nomina.
Leksikon tersebut bermakna ‘roti berisi mayones dan daging ayam yang digoreng juga telur mata sapi’.
Berdasarkan proses abreviasinya, kata CME dibentuk dari penyingkatan kata chicken (N) + muffin (N) +
with egg (N). Kata chicken disingkat dengan diambil huruf awalnya, yaitu C; kata muffin diambil huruf
awalnya, yaitu M; kata egg diambil huruf awalnya, yaitu E, sehingga menjadi CME.
Berbeda dengan data-data sebelumnya, data tersebut berkategori nomina dengan klasifikasi
makanan atau minuman. Leksikon berikut ini berklasifikasi nama tempat, yaitu warteg. Leksikon warteg
merupakan sebuah kata yang berkategori nomina. Leksikon tersebut bermakna ‘warung nasi khas Tegal;
salah satu jenis usaha gastronomi yang menyediakan makanan dan minuman dengan harga terjangkau’.
Berdasarkan proses abreviasinya, kata warteg dibentuk dari gabungan kata warung (N) + Tegal (N). Kata
warung mengalami pemenggalan menjadi war dan kata Tegal mengalami pemenggalan menjadi teg
sehingga gabungan keduanya menjadi warteg. Abreviasi seperti ini berjenis akronim.
Leksikon selanjutnya ialah warnas. Leksikon ini berklasifikasi nama tempat. Leksikon warnas
merupakan sebuah kata berkategori nomina. Leksikon tersebut bermakna ‘warung yang menjual nasi dan
lauk pauk, semacam rumah makan sederhana’. Berdasarkan proses abreviasinya, kata warnas dibentuk dari
gabungan kata warung (N) + nasi (N). Kata warnas mengalami pemenggalan menjadi war dan kata nasi
mengalami pemenggalan menjadi nas sehingga gabungan keduanya menjadi warnas. Abreviasi seperti ini
berjenis akronim.
Leksikon nama tempat selanjutnya adalah warkop. Warkop merupakan sebuah kata berkategori
nomina. Leksikon tersebut bermakna ‘warung yang menjual kopi dan kudapan, berbagai gorengan seperti
pisang goreng atau buah segar’. Berdasarkan proses abreviasinya, kata warkop dibentuk dari gabungan kata
warung (N) + kopi (N). Kata warkop mengalami pemenggalan menjadi war dan kata kopi mengalami
pemenggalan menjadi kop sehingga gabungan keduanya menjadi warkop. Abreviasi ini pun berjenis
akronim.

SIMPULAN
Temuan penelitian ini menunjukkan adanya kreativitas dan pengaruh modernisasi dalam pemakaian
abreviasi di bidang kuliner yang diwujudkan melalui akronim dan singkatan. Adapun pola abreviasi yang
terbentuk cenderung didominasi oleh kategori nomina dengan kombinasi beserta kategori lainnya yang
merujuk pada bagaimana karakteristik dari abreviasi kuliner tersebut.

233
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
REFERENSI
Admin. 2012. “Abreviasi”. [Online]. Tersedia: http://kelaskata.blogspot.co.id/2012/01/abreviasi.html [diakses 4 Desember 2015].
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: Balai Pustaka.
Kridalaksana, Harimukti. 1986. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kridalaksana, Harimukti. 2010. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Dike Febianti Mahmud Fasya
Institusi : Universitas Pendidikan Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia
Riwayat Pendidikan : S1 Universitas Pendidikan Indonesia S2 Universitas Gadjah Mada
S1 Universitas Pendidikan Indonesia
Minat Penelitian : • Morfologi • Linguistik
• Fonologi • Sosiolinguistik
• Linguistik Historis • Antropolinguistik

234
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
KESANTUNAN TUTURAN MAD’U DALAM DAKWAH DIALOGIS DI KOTA SURAKARTA
KAJIAN SOSIOPRAGMATIK

Miftah Nugroho, Sri Samiati Tarjana, Dwi Purnanto


Universitas Sebelas Maret
miftahnugroho@yahoo.co.id

ABSTRAK
Dakwah sebagai proses komunikasi dapat bersifat monologis dan bersifat dialogis. Bersifat monologis manakla
dakwah hanya berisi ceramah dari dai. Adapaun mad’u sebagai objek dakwah hanya mendengarkan ceramah dai atau
sesekali menjawab pertanyaan dai. Sebaliknya, dakwah bersifat dialogis manakala dakwah tidak hanya berisi ceramah,
namun juga berisi tanya jawab antara dai dan mad’u (Suparta dan Hefni, 2009). Dakwah sebagai komunikasi verbal
tidak hanya dituntut agar pesan yang disampaikan jelas, namun juga diharapkan agar pesan dakwah yang
disampaikan dapat menyejukkan mad’u. Dengan kata lain, dalam dakwah tidak hanya faktor kejelasan yang
diutamakan, namun faktor kenyamanan juga patut diperhatikan. Oleh karena itu, dai sebagai subjek dakwah, dituntut
agar dapat menyampaikan pesan dakwah secara jelas dan agar tuturannya menyejukkan, menyenangkan atau tidak
membuat mad’u sebagai mitra tuturnya merasa kehilangan muka. Selama ini penelitian perihal penggunaan bahasa
pada ranah dakwah banyak terdapat pada dakwah monologis dan hanya ditekankan pada penggunaan bahasa dai
(lihat Ma’ruf, 1999; Hidayat, 1999; Subagyo, 2000; Maksan, 2001; Atmawati ,2002; Hadisaputra, 2005; Sadhono,
2005; Gusneti, 2007; Atmawati, 2009; Abdullah, 2010; Sadhono, 2011). Adapun penelitian yang mengkaji dakwah
dialogis masih sedikit. Oleh karena itu, terdapat rumpang yang besar terhadap penelitian penggunaan bahasa pada
dakwah dialogis. Selain itu, jika dicermati secara seksama, ternyata masih sedikit pula penelitian yang mengkaji
tuturan mad’u dalam dakwah dialogis. Sebagaimana penjelasan di muka bahwa penelitian bahasa perihal dakwah
banyak menyinggung bahasa dai, seperti tindak tutur apa saja yang dikemukakan oleh dai atau bagaimana kesantunan
berbahasa dai. Hal ini dapat dipahami karena dai memang menjadi sosok sentral dalam sebuah dakwah layaknya guru
dalam proses belajar mengajar. Oleh karena sifat dialogis, tuturan mad’u menjadi layak pula untuk dikaji lebih
mendalam, terutama perihal kesantunan berbahasa. Artinya, tidak hanya dai yang diharapkan bertutur santun kepada
mad’u, namun juga mad’u diharapkan pula bertutur santun kepada dai pada saat memasuki sesi tanya jawab.
Penelitian ini mengambil data dari berbagai dakwah dialogis yang terjadi di kota Surakarta. Sumber data diambil dari
dakwah yang diselenggarakan oleh ormas Islam dan masjid-masjid yang tidak berafiliasi dengan ormas Islam. Setelah
data terkumpul, diklasifikasi, dan dianalisis dengan metode kontekstual dan metode heurestik. Dari data yang telah
terkumpul, ditemukan bahwa mad’u juga menggunakan berbagai strategi bertutur pada saat menyampaikan tindak
tutur kepada dai. Tentu saja kesantunan berbahasa mad’u dipengaruhi oleh budaya mereka tinggal yaitu budaya
Surakarta. Hal ini ditandai dengan ketidaklangsungan bertutur yang disampaikan mad’u. Namun terdapat pula
kelangsungan bertutur mad’u kepada dai. Meskipun terdapat faktor kekuasaan dan jarak sosial (Brown dan Levinson,
1987; Spencer Oatey, 2008), hal ini tampaknya tidak mempengaruhi mad’u untuk bertutur langsung kepada dai.
Kata kunci: dakwah dialogis, dai, mad’u, kesantunan

PENDAHULUAN
Kegiatan dakwah, terutama dakwah bi al-lisan atau ceramah agama Islam, dapat dikategorikan sebagai
sebuah peristiwa tutur. Dikatakan sebagai peristiwa tutur dikarenakan dalam dakwah lisan terdapat beberapa
komponen tutur seperti terdapat peserta tutur, latar tutur yang jelas, topik pembicaraan yang jelas. Sebagai
sebuah peristiwa tutur, dakwah adalah salah satu contoh perihal penggunaan bahasa yang memiliki
kekhasaan alih-alih peristiwa tutur yang lain. Apalagi dakwah yang bersifat dialogis, pastilah memiliki
kekhasaan tersendiri alih-alih dakwah yang bersifat monologis. Kekhasan yang menonjol adalah adanya
kesempatan mad’u sebagai mitra dai untuk berbicara. Kesempatan bicara ini tidak akan ditemukan pada
dakwah yang bersifat monologis. Pada dakwah dialogis, mad’u memiliki kesempatan berbicara yang agak
banyak jika dakwah memasuki sesi tanya jawab. Pada sesi tersebut, kecenderungan mad’u mengisi dengan
menyampaikan pertanyaan kepada dai.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa salah satu hal yang menarik untuk dikaji pada dakwah
dialogis adalah adanya kesempatan berbicara atau kesempatan bertutur mad’u yang tidak ditemukan pada
dakwah monologis. Tuturan mad’u menarik untuk dikaji karena selama ini penelitian yang berkisar pada
penggunaan bahasa pada ranah dakwah cenderung lebih menekankan pada bahasa atau tuturan dai. Hal ini
dapat diketahui dari beberapa penelitian terdahulu seperti penelitian yang dilakukan oleh lihat Ma’ruf (1999),
Hidayat (1999), Fakhrudin (2000), Subagyo (2000), Maksan (2001), Atmawati (2002), Hadisaputra (2005),
Sadhono (2005), Gusneti (2007), Atmawati (2009), Abdullah (2010), dan Sadhono (2011). Terkait dengan
bahasa atau tuturan mad’u, sepanjang penelusuran yang penulis lakukan belum ditemukan. Oleh karena itu,
penggunaan bahasa pada dakwah dialogis masih terdapat rumpang yang besar yang dapat digali lebih
mendalam sehingga didapat kajian yang lebih komprehensif.
235
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa mad’u memiliki kesempatan untuk berbicara pada
saat dakwah dialogis memasuki sesi tanya jawab. Sebelum sesi tanya jawab, mad’u tidak memiliki
kesempatan berbicara yang banyak dikarenakan sesi yang berlangsung adalah sesi ceramah. Pada sesi
ceramah, hanya dai yang memiliki kesempatan luas untuk berbicara dan menjelaskan perihal materi dakwah
yang disampaikan. Saat sesi tanya jawab, mad’u dapat berbicara banyak karena pada sesi tersebut mad’u
diberi kesempatan untuk menyampaikan pertanyaan kepada dai. Ihwal pertanyaan yang disampaikan dapat
menyangkut materi dakwah yang telah disampaikan atau dapat pula tidak berkaitan dengan materi dakwah
yang dai kemukakan. Selain pertanyaan, mad’u juga dapat menyampaikan tuturan lain seperti meminta, atau
memberi penjelasan perihal pertanyaan yang hendak disampaikan. Dengan kata lain, pertuturan mad’u tidak
hanya didominasi oleh tuturan pertanyaan, namun juga dapat tuturan lain seperti tuturan meminta atau
menjelaskan.
Di saat mad’u bertutur kepada dai, ujaran yang disampaikan diusahakan mad’u agar jelas sehingga
dai dapat memahami maksud mad’u. Namun, kejelasan saja tidaklah cukup pada komunikasi seperti dakwah
dialogis. Dikatakan tidak cukup dikarenakan posisi antara dai dan mad’u yang tampak tidak sejajar atau
setara. Ketidaksejajaran ini disebabkan status dai yang berperan sebagai guru dan mad’u yang berperan
sebagai murid menyebabkan posisi dai dapat disebut sebagai penutur superior dan mad’u sebagai penutur
inferior. Mengingat posisi tersebut, mad’u tentu saja tidak dapat bertutur sebebas dai. Dengan kata lain,
mad’u perlu juga mempertimbangkan aspek kepatutan atau kesantunan dalam bertutur.
Ihwal kesantunan tuturan mad’u, topik tersebut sejauh ini penulis belum menemukan peneliti yang
mengkaji. Penelusuran yang penulis temukan adalah kesantunan tuturan dai. Oleh karena itu, topik ini
memang menarik dan layak untuk dikaji lebih lanjut. Kesantunan lazimnya terkait dengan nosi tindak tutur
karena entitas yang menjadi dasar objek kajian pragmatik adalah tindak tutur. Pada dakwah dialogis yang
dikaji kali ini, terdapat banyak tindak tutur yang diujarkan oleh mad’u. Agar pembahasan yang tidak
melebar kemana-mana, hanya dua tindak tutur yang akan ditelaah, yaitu tindak tutur bertanya dan tindak
tutur meminta. Kedua tindak tutur tersebut termasuk tindak tutur direktif karena memiliki kesamaan titik
ilokusi (ilocution point) yaitu meminta orang lain (petutur) agar melakukan tindakan sesuai dengan yang
telah diujarkan oleh penutur. Ihwal kedua tindak tutur ini yang dipilih dikarenakan tindak tutur bertanya dan
tindak tutur meminta adalah tindak tutur yang banyak diujarkan mad’u manakal mad’u bertutur pada sesi
tanya jawab. Alasan lain adalah tindak tutur direktif merupakan tindak tutur yang rentan mengancam muka
petutur. Dengan kata lain, tindak tutur ini sepatutnya diujarkan secara hati-hati oleh penutur karena muka
petutur dapat terancam. Untuk memitigasi keterancaman muka petutur, penutur dalam hal ini mad’u perlu
melakukan berbagai strategi kesantunan mengingat posisi mad’u tidak setara atau di bawah dai.
Demi kepentingan makalah ini, data yang dicari dan digunakan berupa tuturan yang dikemukakan
mad’u pada dakwah dialogis di kota Surakarta. Tuturan yang digunakan untuk analisis adalah tuturan
bertanya dan tuturan meminta. Ihwal sumber data diambil dari lokasi dakwah dialogis yang diselenggarakan
oleh ormas Islam seperti Muhammadiyah, MTA, dan masjid-masjid yang berlokasi di kota Surakarta.
Setelah data diperoleh, langkah berikutnya adalah data diklasifikasi dan dianalisis secara kontekstual.
Dikarenakan pendekatan yang digunakan adalah sosiopragmatik, konteks budaya juga turut pula dilibatkan
dalam menganalisis data.

KERANGKA TEORETIS
Sosiopragmatik
Istilah sosiopragmatik lazimnya dioposisikan dengan istilah pragmalinguistik dalam kajian pragmatik. Istilah
ini dikenalkan pertama kali oleh Thomas (1981) dalam disertasinya yang berjudul Pragmatic Failure,
dieksplorasi Thomas (1983) dalam artikelnya yang berjudul Cross-cultural pragmatic failure (Marmaridou,
2011: 82). Kedua istilah tersebut ditegaskan oleh Leech (1983) di dalam buku Principles of Pragmatics.
Menurut Leech, pragmalinguistik dan sosiopragmatik adalah pendekatan yang dipayungi oleh pragmatik
umum. Pragmatik umum ini menurut Leech adalah kajian yang bersifat abstrak dan perlu diperinci lagi
dengan dua pendekatan yang ia kenalkan yaitu pragmalinguistik dan sosiopragmatik. Pragmalinguistik
adalah bidang yang banyak mengkaji aspek linguistik. Pragmalinguistik mengkaji sumber-sumber linguistik
tertentu yang disediakan oleh suatu bahasa untuk menyampaikan ilokusi-ilokusi tertentu. Sementara itu,
sosiopragmatik adalah deskripsi pragmatik yang dikaitkan dengan kondisi-kondisi sosial tertentu.
Sosiopragmatik diperlukan oleh karena terdapat kenyataan bahwa prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan
berlaku secara berbeda dalam kebudayaan-kebudayaan dan masyarakat bahasa yang berbeda serta dalam
situasi-situasi sosial yang berbeda.
Selaras dengan pendapat di atas, Marmaridou (2011: 77) menyatakan bahwa perbedaan antara
pragmalinguistik dan sosiopragmatik berkenaan dengan dua pendekatan metodologis terhadap analisis
236
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
pragmatik. Pragmalinguistik lazimnya berkenan dengan sumber-sumber tertentu yang disediakan oleh
bahasa untuk menyampaikan makna pragmatik (ilokusioner dan interpersonal). Adapun sosiopragmatik
berkaitan dengan makna pragmatik perihal penilaian jarak sosial partisipan (penutur dan petutur), aturan-
aturan sosial masyarakat bahasa, norma-norma kepatutan, praktik wacana, dan perilaku yang berterima.
Kesantunan Berbahasa
Kesantunan berbahasa atau kesantunan dalam kajian pragmatik merupakan salah satu tema sentral selain
tindak tutur dan implikatur. Kesantunan sendiri oleh berbagai pakar didefinisikan secara berbeda. Lakoff
mendefiniskan kesantunan sebagai usaha untuk mengurangi friksi atau perpecahan di dalam interaksi
personal. Sementara itu, Leech mengartikan kesantunan sebagai strategi menghindari konflik. Definisi
berbeda dikemukakan Brown dan Levinson yang menyatakan bahwa kesantunan sebagai strategi yang
bertujuan melunakkan tindak pengancam muka. Definisi berbeda dikemukakan oleh Ehlich sebagaimana
yang dikutip oleh Watts, Ide dan Ehlich (2005: 11) yang menyatakan bahwa “politeness is thus a dynamic
concept, alwas open to adaption and change in any group, in any age, and indeed, at any moment of time. It
is not a socio-anthropological given which can simply be applied in the analysis of social interacntion, but
actually arises otu of that interaction”.
Penelitian perihal kesantunan menurut Kádár dan Haugh (2013) meliputi dua pendekatan, yaitu
pendekatan gelombang pertama (first-wave approach) dan pendekatan gelombang kedua (second wave-
approach). Pendekatan gelombang pertama diwakili oleh Lakoff, Leech, dan Brown dan Levinson.
Kesantunan yang mereka paparkan terkait dengan nosi Prinsip Kerja Sama. Ciri utama dari pendekatan
gelombang pertama adalah penelitiannya sebagain besar terfokus pada penutur. Sementara itu, pendekatan
gelombang kedua yang diawali dengan kumpulan berbagai karangan yang disunting oleh Watts, Ide, dan
Konrad Ehlich serta ditegaskan dengan publikasi Gino Eelen yang berjudul A Critique of Politeness
Theories. Melalui karya Eelen sukses menarik perhatian pada peran partisipan di dalam kajian kesantunan
linguistik. Penelitian kesantunan setelah era 2000-an mulai memusatkan perhatian pada partisipan. Ihwal ciri
khas penelitian kesantunan linguistik pada pendekatan gelombang kedua adalah terdapat dua perspektif yang
berbeda yang dikenal dengan isitilah kesantunan urutan pertama (first-order politeness) dan kesantunan
urutan kedua (second-order politeness). Kesantunan urutan pertama mengacu pada cara yang dipahami oleh
pengguna itu sendiri, sedangkan kesantunan urutan kedua mengacu ke hal yang lebih abstrak, konsep ilmiah
dari beberapa fenomena. Watts, Ide, dan Konrad Ehlich berpendapat bahwa kesantunan urutan pertama
membicarakan pelbagai cara dimana perilaku santun dirasa dan dibicarakan sebagai anggota dari kelompok
sosial. Sementara itu, kesantunan urutan kedua adalah istilah teknis terkait dengan teori perilaku sosial dan
penggunaan bahasa. Kesantunan urutan kedua membicarakan cara-cara dimana kesantunan didefinisikan dan
dikonsep. Kesantunan urutan pertama dapat ditandai dengan penggunana bentuk standar atau tidak standar.
Sementara itu, kesantunan urutan kedua adalah konstruksi teoretis yang mengacu pada teori perilaku sosial
dan penggunaan bahasa. Penelitian yang terkait budaya sebagaimana yang dilakukan oleh Helen Spencer-
Oatey yang mengenalkan istilah menjaga hubungan (rapport management) dan Watts yang mengusulkan
istilah perilaku politik (politic behaviour).

TEMUAN DAN BAHASAN


Temuan
Pada bagian ini disajikan bentuk-bentuk kesantunan yang digunakan oleh mad’u pada saat bertutur di sesi
tanya jawab pada dakwah dialogis di kota Surakarta. Berdasarkan klasifikasi data yang dilakukan, temuan
yang didapat adalah bahwa tindak tutur bertanya dan tindak tutur meminta diekspresikan mad’u secara
formal.
1. Penanya 3: Makasih, ada dua Pak ya. Yang pertama dalam satu keluarga, itu masih hidup itu bapak dan
beberapa anak. Ketika itu berupa tanah dibagi sebagaimana Islam yang punya perempuan separonya
yang laki-laki dapat satu. Kemudian ada salah satu di antaranya yang .… itu, dibagi. Kemudian yang
satu laki-laki itu beragama lain. Kemudian ayahnya meninggal .… Tanah-tanah itu bukan wakaf bukan,
bukan notaris tapi dibagikan, dihibahkan. Nah, apakah yang anak yang berbeda agama atau agama
lain itu bisa dicabut kembali? Apakah menjadi haknya terus-menerus? Itu yang pertama. Yang
kedua, dalam satu keluarga ayah ibunya sudah meninggal kemudian meninggalkan anak-anak, laki-laki
dan perempuan. Itu rata-rata yang perempuan itu menghendaki didum padha. Lha itu cara hukum
Islam, … namanya agak kesulitan untuk diwujudkan kepada cara Islam. Caranya bagaimana? Yang
kedua itu.

237
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Konteks: Dakwah dialogis di PCM Jebres. Salah satu mad’u bertanya kepada dai dan mad’u tersebut
menjadi penanya 3 mengajukan pertanyaan kepada dai perihal hak waris anak yang berbeda
agama.
Pada (1) menggambarkan bagaimana perilaku santun mad’u yang menjadi penanya 3 pada saat
mengajukan pertanyaan atau menyampaikan tindak tutur bertanya kepada dai. Perilaku santun pada (1)
ditunjukkan dengan penggunaan bahasa formal yang ditandai dengan penggunaan kata tanya apakah alih-
alih apa dan kata tanya bagaimana alih-alih gimana.
Penggunaan bentuk formal pun juga dapat ditemui pada saat mad’u menyampaikan tindak tutur
meminta sebagaimana pada (2) di bawah ini.
2. Penanya 2: Ini saya bertanya pada bapak tentang mahar
Dai: Oo nggih
Penanya 2: Itu tadi dijelaskan bahwa mahar itu sesuatu yang mengandung nilai ekonomi.
Dai: Enggih
Penanya 2: ... kelihatannya sudah membudaya kalau mahar itu hanya seperangkat alat salat saja. Lha itu
kan semestinya tidak mengandung nilai ekonomi. Lha itu sah atau tidak? Saya minta penjelasan Pak!
Terima kasih, pak.
Konteks: Dakwah dialogis di PCM Jebres. Salah satu mad’u bertanya kepada dai dan mad’u tersebut
menjadi penanya 2 mengajukan pertanyaan kepada dai perihal mahar.
Pada (2), tindak tutur meminta meskipun disampaikan secara langsung dikarenakan disampaikan
dengan modus performatif eksplisit saya minta, terdapat usaha untuk memitigasi atau melunakkan daya
kelangsungan tindak tutur tersebut dengan menggunakan sapaan Pak kepada dai.
Bahasan
Dalam dakwah dialogis di kota Surakarta, mad’u sebagai mitra dan objek dakwah cenderung tampak
menggunakan tuturan formal kepada dai terutama pada saat menyampaikan tindak tutur bertanya dan tindak
tutur meminta. Namun demikian, bentuk-bentuk tidak formal pun juga ditemui pada saat mad’u
menyampaikan tindak tutur bertanya dan tindak tutur meminta. Hanya frekuensi kemunculan bentuk formal
dan bentuk tidak formal lebih banyak ditemukan bentuk formal. Hal ini dapat dipahami bahwa mad’u
ternyata memahami posisi atau kedudukan mereka pada peristiwa tutur berupa dakwah dialogis. Mengingat
bahwa dai adalah ustad atau guru yang tentu saja kedudukannya berada di atas mad’u yang berperan sebagai
murid, mad’u mengambil sikap untuk memilih bentuk formal alih-alih bentuk tidak formal pada saat
menyampaikan tindak tutur bertanya dan tindak tutur meminta. Apalagi kedua tindak tutur tersebut
tergolong tindak tutur direktif yang oleh Brown dan Levinson termasuk tindak tutur pengancam muka.
Dengan mempertimbangkan bahwa kedudukan atau relasi antara dai dan mad’u tidak setara dan tindak tutur
yang disampaikan adalah tindak tutur mengancam muka, mad’u memutuskan memilih bentuk formal alih-
alih bentuk tidak formal.
Yang menarik untuk dibahas juga adalah penggunan sapaan Pak dan Ustad untuk dai. Penggunaan
sapaan tersebut selain untuk menghormati dai, juga bertujuan untuk melunakkan daya kelangsung dari
sebuah tindak tutur. Pertimbangannya sama dengan penjelasan di atas, bahwa relasi atau kedudukan antara
dai dan mad’u yang tidak setara yang membuat mad’u memilih strategi penggunaan sapaan kepada dai.
Jika ditelaah dari perspektif kesantunan gelombang kedua, bentuk-bentuk kebahasaan yang
digunakan mad’u pada saat menyampaikan tindak tutur bertanya dan tindak tutur meminta tergolong pada
kesantunan urutan kedua (second-order politeness). Ihwal bentuk formal yang digunakan oleh mad’u selain
ditentukan oleh faktor kekuasaan dan jarak sosial,faktor budaya juga turut pula mempengaruhi pemilihan
bentuk tersebut. Mad’u yang merupakan warga Surakarta yang berbudaya Jawa, tentu saja mempunyai
pandangan bahwa dai sebagai seorang guru harus dihormati. Jika meminjam istilah Gunarwan (2005), mad’u
harus menggunakan prinsip kurmat kepada dai. Salah satu bentuk hormat adalah menggunakan tuturan
santun yang diwujudkan dengan memilih bentuk-bentuk formal. Jika dikaitkan dengan teori menjaga
hubungan (rapport management), usaha mad’u termasuk ke dalam orientasi memelihara hubungan (rapport
maintenance orientation).

PENUTUP
Makalah ditutup dengan simpulan bahwa mad’u cenderung bertutur santun kepada dai manakala
menyampaikan tindak tutur bertanya dan tindak tutur meminta. Perilaku santun ini diwujudkan dengan
menggunakan tuturan formal atau bahasa formal dan penggunaan sapaan Pak atau Ustad. Perilaku berbahasa
santun ini didasarkan pada 3 faktor, yaitu dua tindak tutur tersebut tindak tutur pengancam muka, relasi yang
tidak setara antara dai dan mad’u, dan aspek budaya. Terutama aspek budaya sangat mempengaruhi

238
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
kesantunan mad’u karena mereka adalah orang Surakarta yang berbudaya Jawa yang dituntut untuk
berperilaku santun kepada guru.

DAFTAR PUSTAKA
Atmawati, Dwi. 2002. “Register Dakwah: Studi Kasus Dakwah Islam oleh K.H. Zainudin, M.Z.: Kajian Sosiolinguistik.
Tesis. Program Studi LInguistik Jurusan Ilmu-Ilmu Humaniora. Universitas Gadjah Mada.
Atmawati, Dwi. 2009. “Wacana Dakwah Beberap Dai/Daiyah Terkemuka di Indonesia”. Disertasi. Program Studi
Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Brown, Penelope dan Stephen Levinson. 1987. Politeness Some Universal in Language Usage. Cambridge: Cambridge
University Press.
Gunarwan, Asim. 2005. “Beberapa Prinsip dalam Komunikasi Verbal: Tinjauan Sosiolinguistik dan Pragmatik” dalam
Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma
Gusneti. 2007. “Penggunaan Bahasa Mubaligh dalam Pengajian Ramadhan di Mesjid Cahaya Rohani Pasir Sebelah
Padang: Suatu Tinjauan Sosiolinguistik” dalam Kongres Linguistik Nasional XII. Surakarta, 3-6 Septemeber
2007.
Hadisaputra, Widada. 1994. “Gejala Interferensi dalam Bahasa Jawa: Studi Bentuk Tuturan Khotbah Agama Islam”
dalam Jurnal Jala Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Hidayat, Dudung Rahmat. 1999. “Pemakaian Bahasa Indonesia Ragam Lisan oleh Para Khotib di Kotamadya Bandung:
Studi Deskriptif Terhadap Ragam dan Fungsi Bahasa”. Tesis. Bandung: Program Pascasarjana Universitas
Pendidikan Indonesia.
Irawati, Lydia, 2004. “Interferensi Bahasa Sunda pada Dakwah Bahasa Indonesia K.H. Abdullah Gymnastiar (Aa
Gym)” dalam Metalingua Volume 2 No. 1 Juni 2004. Bandung: Balai Bahasa Bandung.
Leech, Geoffrey. 1983. The Principles of Pragmatics. New York: Longman Group Limited.
Maksan, Marjusman. 2001. “Alih Kode dalam Pengajian Ramadan” dalam Linguistik Indonesia. Jakarta: MLI dan
Yayasan Obor Indonesia.
Ma’ruf, Amir. 1999. “Wacana Khotbah Jumat: Studi Kasus Empat Masjid di Yogyakarta”. Tesis. Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada.
Marmaridou, Sophia. 2011. “Pragmalinguistics and sociopragmatics” dalam Wolfram Bublitz, Neal R. Norrick (eds.)
Foundations of Pragmatics. Berlin: De Gruyter Mouton.
Saddhono, Kundaru. 2005. “Analisis Wacana Khotbah Jumat: Pendekatan Mikrostruktural dan Makrostruktural”.
Laporan Penelitian. Universitas Sebelas Maret.
Sadhono, Kundaru. 2011. “Wacana Khotbah Jumat di Kota Surakarta Sebuah Kajian Sosiopragmatik”. Disertasi.
Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Spencer-Oatey, Helen (ed). 2008. Culturally Speaking Culture, Communication, Politeness Theory. Second edition.
Continuum International Publishing Group.
Subagyo, P. Ari. 2000. “Alih Kode sebagai Salah Satu Kunci Sukses Ceramah K.H. Zainudin, M.Z.” dalam Jurnal
Lembaga Penelitian Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Suparta, Munzir dan Harjani Hefni (editor). 2009. Metode Dakwah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Watts, Ide, and Ehlich (eds.). 2005. Politeness in Language Studies in its History, Theory, and Practice second revised.
Berlin: Mouton de Gruyer.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Miftah Nugroho
Institusi : Universitas Sebelas Maret
Riwayat Pendidikan : S2 Universitas Gadjah Mada
S1 Universitas Sebelas Maret
Minat Penelitian : • Pragmatik
• Sosiolinguistik
• Pemerolehan Bahasa

239
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
INTERAKSI MAHASISWA SUKU BANJAR DI LINGKUNGAN KAMPUS SEBAGAI UPAYA
PEMERTAHANAN BAHASA BANJAR (STUDI PEMERTAHANAN BAHASA BANJAR DALAM
INTERAKSI MAHASISWA BANJAR DI LINGKUNGAN KAMPUS DI BANDUNG)

Dede Fatinova Rezky Amelda


Universitas Pendidikan Indonesia
dedefatinova@student.upi.edu ameldarezky@student.upi.edu

ABSTRAK
Pemertahanan bahasa merupakan isu yang sudah lama di perbincangkan, khususnya pemertahanan bahasa daerah.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan para peneliti dan pemerhati Bahasa mengungkapkan bahwa salah satu
faktor bergesernya bahasa adalah kurangnya rasa bangga (language pride) dan kesetiaan (language loyality)
terhadap bahasa daerahnya yang implikasinya adalah tidak digunakannya bahasa daerah sebagai bahasa utama
dalam interaksi sehari-hari. Faktor lainnya dikarenakan kalangan anak muda yang sedang mengenyam pendidikan di
Kota (di luar daerah asalnya) lebih memilih untuk menggunakan bahasa yang lebih memiliki prestise (High Variety).
Berkaitan dengan fenomena tersebut, penelitian ini akan membahas mengenai pemertahanan salah satu Bahasa
daerah, yaitu Bahasa Banjar. Bahasa Banjar adalah bahasa daerah di Kalimantan Selatan. Fokus penelitian ini
adalah sikap dan pemilihan bahasa yang dilakukan oleh mahasiswa suku Banjar dalam interaksi sehari-hari di
lingkungan kampus yang berlokasi di Bandung. Dalam penelitian ini kampus dibatasi hanya sebanyak 3 kampus, yang
meliputi UPI, UNPAD, dan ITB. Responden yang dijaring dalam penelitian ini sebanyak 30 responden dan masing-
masing kampus diwakili oleh 10 responden yang dipilih secara acak. Data diperoleh melalui pengisian angket,
observasi, dan wawancara tidak terstruktur. Teknik yang digunakan adalah teknik SBLC (simak, bebas, libat, cakap)
dimana peneliti hanya bersikap sebagai pengamat dan hanya bertugas menyadap perilaku berbahasa tanpa terlibat
dalam proses tindak tutur tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pola interaksi mahasiswa Banjar
sebagai penutur asli Bahasa Banjar dan sebagai warga pendatang di lingkungan kampus di Bandung. Serta
mengamati pemilihan bahasa dalam proses alih kode dalam tindak tutur mahasiswa Banjar ketika berinteraksi di
lingkungan kampus baik dengan sesama suku Banjar maupun dengan suku yang berbeda. Data dianalisis dengan
menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Data dari hasil kuesioner kemudian akan diskorsing dengan proses
tabulasi dan setiap angket diskorsing dengan cara yang sama menurut kriterianya, kemudian hasilnya akan ditransfer
dalam bentuk yang lebih ringkas agar lebih mudah dilihat. Selanjutnya akan dilakukan analisis data dengan
menggunakan analisis deskripsi. Dari analisis data dapat diketahui bahwa pemertahanan Bahasa Banjar di kalangan
mahasiswa suku Banjar di Bandung masih sangat kuat, terlihat dari loyalitas mereka terhadap bahasa Banjar dan
pemilihan ragam bahasa dalam proses interaksi sehari-hari menggunakan Bahasa Banjar.
Kata kunci: Pemertahanan Bahasa, Bahasa Daerah, Bahasa Banjar, Suku Banjar

PENDAHULUAN
Kota Bandung merupakan salah satu pusat pendidikan terbesar di Indonesia yang memiliki empat perguruan
tinggi negeri dan berbagai perguruan tinggi swasta. Mahasiswa di kota Bandung berasal dari berbagai etnis
mulai dari etnis besar seperti Sunda dan Jawa, serta etnis lainnya seperti etnis Banjar. Keberagaman berbagai
etnis tersebut sangat memungkinkan terjadinya interaksi sosial dan budaya yang sudah pasti melibatkan
kontak bahasa.
Bahasa Banjar adalah bahasa Ibu yang berasal dari bahasa Austronesia dari rumpun bahasa
Melayuk yang dipertuturkan oleh suku Banjar di Kalimantan Selatan, Indonesia. Di tanah asalnya di
Kalimantan Selatan, bahasa Banjar yang merupakan bahasa sastra lisan terbagi menjadi dua dialek besar
yaitu Banjar Kuala dan Banjar Hulu. Dikutip dari (Wikipedia.org) di Kalimantan Tengah tingkat
pemertahanan bahasa Banjar cukup tinggi tidak hanya bertahan di komunitasnya sendiri, bahasa Banjar
bahkan menggeser (shifting) bahasa-bahasa orang Dayak. Pemakaian bahasa Banjar dalam percakapan dan
pergaulan sehari-hari di Kalimantan Selatan dan sekitarnya lebih dominan dibandingkan dengan bahasa
Indonesia. Berbagai suku di Kalimantan Selatan dan sekitarnya berusaha menguasai bahasa Banjar, sehingga
dapat pula dijumpai bahasa Banjar yang diucapkan dengan logat Jawa atau Madura yang masih terasa kental
seperti yang terlihat di kota Banjarmasin. Bahasa Banjar berada dalam kategori cukup aman dari kepunahan
karena masih digunakan sebagai bahasa sehari-hari oleh masyarakat Banjar maupun oleh warga pendatang.
Walaupun terjadi penurunan penggunaan bahasa Banjar namun penurunan tersebut tidak begitu terlihat. Saat
ini bahasa Banjar telah diajarkan di sekolah-sekolah sebagai muatan lokal.
Berbeda dengan bahasa Banjar, beberapa bahasa daerah dewasa ini secara perlahan mulai
ditinggalkan oleh para penggunanya. Salah satu contohnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Sitorus
Nurhayati (2014) mengenai pemertahanan bahasa Pakpak Dairi yang menunjukkan bahwa bahasa Pakpak
dairi perlahan-lahan mulai ditinggalkan oleh penutur aslinya khususnya penutur dari kalangan pemuda dan
akademis. Tidak hanya bahasa Dairi, bahasa Muna di Kabupaten Muna daerah Sulawesi Tenggara pun
mengalami kasus yang sama, dimana bahasa Muna mulai ditinggalkan, kalangan anak muda mulai
240
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
berpindah menggunakan bahasa Indonesia, dan perlahan meninggalkan bahasa Muna. Berkaitan dengan hal
ini, masyarakat biasanya memang lebih memilih untuk menggunakan bahasa yang memiliki status tinggi (T)
dibanding menggunakan bahasa berstatus rendah (R). Bahasa daerah ragam R memang mudah tergerus
bahasa lain, karena sebagai masyarakat bilingual/multilingual yang senantiasa melakukan kontak dengan
bahasa lain penyerahan penggunaan bahasa dikembalikan kepada para pengguna bahasa itu sendiri, apakah
akan tetap menggunakan B1 atau bahasa lain yang mereka anggap lebih memiliki prestise.
Dalam situasi pemertahanan bahasa, kalangan anak muda merupakan generasi utama yang
diharapkan dapat mempertahankan bahasa daerah, salah satunya bahasa Banjar. Walaupun status bahasa
Banjar masih terbilang kuat di daerah asalnya, Kalimantan Selatan, status yang sama belum tentu ditemukan
di daerah lain sebagai daerah multilingual, artinya daerah yang dihuni oleh ribuan masyarakat dari berbagai
daerah dan bahasa yang berbeda, contohnya di lingkungan kampus. Dalam interaksi mahasiswa suku Banjar
yang merantau di kota Bandung mereka akan melakukan komunikasi antarbudaya artinya mereka akan
melakukan penyesuaian bahasa sesuai dengan lingkungan di mana mereka berada.
Melihat fenomena tersebut, bahasa Banjar sebagai bahasa yang digunakan oleh suku Banjar sebagai
etnis kedua terbesar di Indonesia setelah Jawa belum tentu terhindar dari adanya pergeseran bahasa. Terbukti
dari masyarakat Banjar sendiri yang kurang memahami sistem undak usuk yang ada dalam bahasa Banjar
dan kurang menyadari bahwa bahasa Banjar merupakan bagian dari budaya dan identitas masyarakat Banjar.
Widayati dan Masdiana Lubis (2014:95) pun mengungkapkan hal yang sama, bahwa bahasa sejatinya adalah
lambang yang menunjuk identitas seseorang sebagai penutur bahasa. Jendra (2010: 144-146) mengatakan
bahwa faktor-faktor yang mempertahankan bahasa dalam masyarakat monolingual, bilingual atau
multilingual adalah jumlah penutur, tempat tinggal, identitas dan kebanggaan budaya, dan kondisi ekonomi
yang lebih baik. Walaupun bahasa Banjar mulai ada yang meninggalkan, bukan berarti masyarakat Banjar
tidak mempertahankan bahasa mereka. Pemertahanan bahasa tergantung kepada pilihan bahasa yang mereka
pilih untuk dipakai dalam berkomunikasi, sikap bahasa juga menentukan pemertahanan bahasa mereka.
Masyarakat Banjar merupakan masyarakat bilingual. Masyarakat bilingual adalah masyarakat yang
mampu menggunakan dua bahasa atau lebih dalam pergaulannya (Suandi, 2014: 12). Bahasa-bahasa yang
digunakan oleh masyarakat asli bersuku Banjar di lingkungan kampus di Bandung adalah bahasa Banjar dan
bahasa Indonesia. Sejatinya bahasa mereka akan bertahan jika bahasa ini tidak dipengaruhi oleh adanya
bahasa lain yang merembes masuk ke dalam bahasa Banjar.

KERANGKA TEORETIS
Sosiolinguistik merupakan bidang kajian ilmu yang membahas antara perilaku berbahasa dan perilaku sosial
(kamus linguistik, 2008:225). Sosiolinguistik adalah ilmu yang membahas mengenai hubungan antara
bahasa dengan masyarakat sosial agar bahasa itu berfungsi dalam sebuah proses komunikasi (Holmes,
2001:1). Jendra (2012:9) menjelaskan bahwa sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang mana objek
utamanya adalah bahasa itu sendiri, dan peran bahasa tersebut dalam masyarakat. Sosiolinguistik tidak
hanya perpaduan antara ilmu bahasa dengan sosiologi, ia pun mencakup prinsip-prinsip setidaknya aspek
struktur dan penggunaan bahasa yang berkaitan dengan fungsi sosial dan kultural (Pride dalam Sumarsono,
2014: vii). Wardaught (1992:13) mengungkapkan bahwa sosiolinguistik terfokus kepada hubungan antara
bahasa dan sosial dan bagaimana pada akhirnya bahasa dapat dipahami dalam sebuah proses komunikasi.
Sejalan dengan itu Gumperz (dalam Wardaught, 1992:11) mengatakan bahwa sosiolinguistik mencoba
menemukan hubungan antara struktur sosial masyarakat dan struktur bahasa yang kemudian akan diteliti
seperti apa perubahannya.
Sikap menurut Triandis (dalam Chaer, 1995:198) adalah kesiapan bereaksi terhadap suatu keadaan
atau kejadian yang dihadapi. Kesiapan ini mengacu kepada sikap mental atau kepada sikap perilaku. Sikap
terbagi kepada dua macam; (1) sikap kebahasaan (2) sikap nonkebahasaan, seperti sikap politik, sikap sosial,
sikap estetis, dan sikap keagamaan (Anderson dalam Chaer, 1995:200). Maka dari itu sikap bahasa adalah
tata keyakinan atau kognisi yang relative berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek
bahasa, yang membuat seseorang cenderung untuk bereasksi dengan tata cara tertentu yang disukainya.
Sikap itu bisa bersifat positif dan negative, begitu pula halnya terhadap sikap bahasa. Misalnya banyak
orang yang masih memandang sebelah mata terhadap suatu bahasa disamping mereka yang bersifat positif.
Garvin dan Mathiot (dalam Chaer, 1995:201) merumuskan tiga ciri sikap bahasa, (1) kesetiaan bahasa
(language loyality), (2) kebanggaan bahasa (language pride), dan (3) kesadaran akan adanya norma bahasa
(awareness of the norm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun. Jika
ketiga ciri sikap bahasa itu sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang atau dari diri sekelompok
masyarakat tutur, maka berarti sikap negate terhadap suatu bahasa telah melanda diri seorang atau
sekelompok masyarakat tutur tersebut.
Dalam hal pemertahanan bahasa, Jendra (2012:144) mengatakan bahwa dalam pemertahanan bahasa
masyarakat diberi kuasa penuh, apakah akan meneruskan menggunakan bahasa yang telah dipakai turun
temurun dari generasi ke generasi ataukah beralih ke bahasa lain yang lebih memiliki prestise dan lebih

241
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
disukai. Dalam mengupayakan pemertahanan sebuah bahasa adalah adanya pemilihan bahasa. Menurut
Fasold (dalam Chaer, 1995:203) dalam masyarakat bilingual atau multilingual yang memang dalam bertutur
menggunakan lebih dari satu bahasa harus bisa menentukan bahasa mana yang harus digunakan. Ada tiga
jenis pemilihan, (1) dengan alih kode, artinya menggunakan satu bahasa pada satu keperluan, dan
menggunakan bahasa yang lain pada keperluan yang lain. Kode adalah istilah yang netral yang dapat
mengacu kepada bahasa, dialek, sosiolek, atau ragam bahasa (Sumarsono, 2014:201), (2) dengan melakukan
campur kode (code-mixing), yaitu menggunakan satu bahasa dan memasukan kosakata-kosakata dari bahasa
lain. Menurut Sumarsono (2014:202) campur kode ini sebenarnya serupa dengan interferensi dari bahasa
yang satu ke bahasa yang lain. Artinya penutur menyelipkan unsur-unsur bahasa lain ketika sedang memakai
bahasa tertentu, dan unsur-unsur tersebut tidak hanya berupa kata, bisa juga berwujud frase atau kelopok
kata, dan (3) dengan memilih satu variasi bahasa yang sama (variation within the same language). Dalam
hal ini, seorang penutur harus memilih ragam mana yang harus dipakai dalam situasi tertentu (Sumarsono,
2014:203).
Dalam hal pemertahanan bahasa sikap dan pilihan bahasa pada masyarakat sangatlah menentukan
apakah bahasa tersebut akan bertahan ataukah bergeser dan pada akhirnya akan mengalami kepunahan.
Diperlukan adanya rasa nasionalisme dan rasa bangga terhadap bahasa tersebut.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian survey. Sebenarnya penelitian survey ini lebih tepat dikatakan sebagai
penelitian dari jenis penelitian deskriptif (Cohen dan Nomion, 1982 dalam Rahayu, 2010:123). Penelitian ini
bertujuan mendeskripsikan situasi pemakaian bahasa Banjar di linngkungan kampus di Bandung pada saat
penelitian ini dilakukan. Penulis menggunakan tiga langkah dalam penelitian survey ini.
Subjek dalam penelitian ini adalah kalangan anak muda bersuku Banjar yang berkuliah di tiga
kampus di Bandung,tiga kampus meliputi UPI, ITB dan STKS. Dipilihnya tiga kampus tersebut dikarenakan
tiga kampus tersebut merupakan kampus yang dimana setiap tahunnya selalu menerima jumlah mahasiswa
yang banyak. Berdasarkan hal itu, keragaman bahasa akan lebih banyak ditemukan di lingkungan ketiga
kampus tersebut. Selain itu kampus tersebut mudah dijangkau oleh penulis yang berstatus sebagai
mahasiswa UPI.
Dari seluruh populasi, yaitu kalangan mahasiswa bersuku Banjar di tiga lingkungan kampus tersebut,
diambil sample sebanyak 10 mahasiswa dari masing-masing kampus. Jumlah yang terkumpul adalah
sebanyak 30 responden mahasiswa yang dipilih secara acak dari tiga kampus tersebut.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini ialah kuesioner, hasil rekaman dan wawancara tak
terstruktur. Data utama dalam penelitian ini ialah hasil kuesioner yang disebarkan kepada para responden,
selanjutnya data hasil rekaman dan wawancara tak terstruktur merupakan data pendukung. Dari kuesioner
tersebut penulis akan menyimpulkan fenomena sikap dan pilihan bahasa pada kalangan anak muda suku Banjar
dalam interaksi dan implikasinya terhadap pemertahanan bahasa Banjar di lingkungan kampus Bandung.

TEMUAN DAN ANALISIS DATA


Pilihan Bahasa dan Sikap Bahasa Interaksi Mahasiswa Suku Banjar di Lingkungan Kampus
Dari tabulasi angket yang diperoleh di UPI, STKS, dan ITB pilihan bahasa yang digunakan ketika
berkomunikasi ataupun berinteraksi dengan kalangan dosen, teman, dan staff kampus sebesar 80%
menyatakan memilih bahasa Indonesia dan 20% memilih bahasa Banjar. Dari tabulasi angket yang diperoleh
mengenai sikap bahasa sebesar 80% menyatakan sangat setuju bahwa mahasiswa suku Banjar harus
menggunakan bahasa banjar ketika berinteraksi, 10% setuju, dan 10% menyatakan kurang setuju untuk
selalu menggunakan bahasa Banjar dalam berinteraksi. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak
mahasiswa yang memahami bahwa bahasa Banjar adalah bagian dari budaya Banjar.
Dari tabulasi data yang ada, diperoleh sebesar 50% mahasiswa menunjukkan lebih sering
menggunakan bahasa Banjar, 40% penggunaan bahasa Indonesia, dan 10% penggunaan bahasa Sunda dalam
komunikasi maupun interaksi dalam lingkungan kampus. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas
penggunaan bahasa Banjar dalam interaksi di Kampus masih tinggi.
Dari tabulasi data, hasil yang diperoleh, sebanyak 70% mahasiswa selalu memperhatikan undak
usuk dalam berinteraksi di Lingkungan kampus di Bandung, 10% tidak memperhatikan undak usuk, dan
sisanya sebanyak 20% menyatakan kadang-kadang mengaplikasikan undak-usuk. Hal ini mengindikasikan
bahwa mahasiswa suku Banjar di lingkungan Kampus di Bandung masih memperhatikan undak usuk dalam
komunikasi maupun interaksi mereka.
Dari tabulasi data yang ada diperoleh angka sebesar 80% mahasiswa suku Banjar lebih memilih
bahasa Banjar dibandingkan bahasa Indonesia, sebagian memilih bahasa Banjar dikarenakan nasionalisme
terhadap bahasa daerah dan 20% memilih bahasa Indonesia dengan alasan bahwa bahasa Indonesia
merupakan bahasa nasional. Ini artinya bahwa mahasiwa di kalangan kampus di Bandung masik menyukai

242
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
bahasa Banjar dalam berkomunikasi maupun berinteraksi dan tidak melupakan bahasa Ibu mereka, karena
dengan tetap menggunakan baahsa Banjar kita tetap menjaga warisan budaya daerah, inilah bentuk kesetiaan
mereka terhadap bahasa Banjar (language pride and language loyality).
Dari tabulasi yang diperoleh, sebesar 90% mahasiswa menyatakan pemertahanan bahasa Banjar
sangat lah penting, dan 10% menyatakan tidak penting. Hal ini menunjukkan bahwa para mahasiswa sadar
bahwa merekalah tonggak utama penerus budaya dan bahasa.
Dari tabulasi data yang diperoleh, sebesar 100% menyatakan bahwa peran mahasiswa dalam
pemertahanan sebuah bahasa sangat besar. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa sadar sebagai kaum
intelektual harus turut andil dalam menjaga warisan budaya daerah. Karena dalam proses pemertahanan
bahasa diperlukan anak-anak sebagai ahli waris yang akan mempertahankan suatu bahasa.
Upaya Pemertahanan Bahasa Banjar di Lingkungan Kampus di Bandung
Sikap dan pilihan bahasa pada interaksi mahasiswa suku Banjar di lingkungan kampus sebagai upaya
pemertahanan bahasa Banjar bisa dikatakan sangat membantu pemertahanan bahasa Banjar di lingkungan
kampus di Bandung. Berdasarkan beberapa kasus, bahasa yang mulai ditinggalkan adalah bahasa yang
memang bisa dikatakan tidak lagi menarik perhatian masyarakat asli khususnya kalangan mahasiswa yang
menempuh pendidikan di luar daerah.
Meskipun penggunaan bahasa Banjar masih terbilang merata dalam interaksi suku Banjar di
lingkungan kampus di Bandung, akan tetapi banyak di antara mereka tidak paham bagaimana seharusnya
berbahasa Banjar yang baik dan benar, dalam artian menggunakan undak usuk yang tepat. Bahkan mayoritas
dari mereka tidak paham mengenai undak usuk bahasa Banjar, adapula yang tidak mengetahui apa itu undak
usuk. Artinya mereka hanya mempelajari bahasa Banjar secara otodidak, entah itu di rumah, ataupun dalam
lingkungan pergaulan sehari-hari.
Mahasiswa bersuku Banjar di lingkungan kampus di Bandung pun menyadari bahwa perlu adanya
pemertahanan bahasa Banjar, karena bahasa Banjar adalah bahasa asli suku Banjar. Sebagian lagi merasa
perlu menggunakan bahasa Indonesia karena dirasa lebih akrab, lebih sopan, dan lebih ramah, dan lebih
halus untuk didengar. Adapula yang memilih bahasa Banjar karena menurutnya sebagai orang Banjar yang
memiliki logat tersendiri yang kemudian dirasa tidak cocok ketika berbicara menggunakan bahasa Indonesia.
Faktor tingkat kemahiran dalam bahasa Banjar pun menyebabkan seseorang lebih memilih untuk
menggunakan bahasa Banjar. Beberapa juga merasa bahwa bahasa Banjar adalah ciri ataupun identitas dari
suku Banjar.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa pemertahanan bahasa Banjar di kalangan
Mahasiswa suku Banjar di Bandung masih sangat kuat, terlihat dari loyalitas mereka terhadap bahasa Banjar
dan pemilihan ragam bahasa dalam proses interaksi sehari-hari yang menggunakan bahasa Banjar.

DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Cetakan ke-1. Jakarta: Rineka Cipta.
Djajasudarma, T. Fatimah. 2010. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Jakarta: Refika Aditama.
Jendra, Made Iwan Irawan. 2012. Sociolinguistics: The Study Of Societies’ Language. Edisi ke-1. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Holmes, Janet. An Introduction to Sociolinguistics. Edisi ke-2. Harlow: Pearson-Longman.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Edisi ke-4. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum.
M.S. Mahsun. 2014. Metode Penelitian Bahasa. Cetakan ke-8. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Rahayu, Yayuk Eny dan Ari Listiyorini. 2010. Sikap bahasa wanita karir dan implikasinya terhadap pemertahanan
bahasa Jawa di Wilayah Yogyakarta. Litera. Vol 9, 122-133.
Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
Sitorus, Nurhayati, dkk. 2014. Pemertahanan bahasa Pakpak Dairi di Kabupaten Dairi. Kajian Linguistik. Vol 12, 94-107.
Suandi, Nengah. 2014. Sosiolinguistik. Cetakan ke-1. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sumarsono. 2014. Sosiolinguistik. Cetakan ke- 10. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wardaugh, Ronald. 1992. An Introduction to Sosiolinguistics. Second edition. Oxford: Blackwell Publishers.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Dede Fatinova Rezky Amelda
Institusi : Universitas Pendidikan Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia
Riwayat Pendidikan : S2 Universitas Pendidikan Indonesia S2 Universitas Pendidikan Indonesia
S1 Universitas Padjadjaran S1 Universitas Lambung Mangkurat
Minat Penelitian : Sosiolinguistik Sosiolinguistik

243
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
PENGGUNAAN BAHASA JAWA PADA WIKIPEDIA: UPAYA PENGENALAN DAN
PELESTARIAN BAHASA DAERAH MELALUI INTERNET

Eni Sugiharyanti
Universitas Brawijaya
e.suguharyanti@ub.ac.id; enihadinoto@gmail.com

ABSTRAK
Sebagai upaya untuk mengenalkan sekaligus melestarikan bahasa-bahasa yang ada di dunia, internet dapat
mendukung hal ini (Sallabank, 2010: 199). Wikipedia, sebagai salah satu website yang cukup dikenal sebagai penyedia
informasi, berusaha menggunakan bahasa-bahasa yang mungkin tidak begitu dikenal secara luas pada laman yang
dimilikinya. Salah satu dari bahasa-bahasa yang dicoba untuk dilestarikan dengan memanfaatkan teknologi informasi
berbasis internet itu adalah Bahasa Jawa. Di dalam lamannya yang menggunakan Bahasa Jawa, Wikipedia
mengambil kebijakan berupa pemanfaatan dua ragam yang dikenal dalam bahasa Jawa, yaitu ragam kromo dan
ragam ngoko. Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan penggunaan kedua ragam dalam bahasa Jawa tersebut pada
laman Wikipedia. Pembahasan mengenai ragam bahasa Jawa ini akan ditinjau dari sudut pandang sosiolinguistik
sehingga pendekatan kualitatif dianggap cukup tepat untuk menjelaskan bagaimana kedua ragam bahasa Jawa itu
digunakan dalam laman Wikipedia. Data untuk keperluan penelitian dikumpulkan melalui observasi. Selanjutnya, data
yang berupa kalimat dan kata-kata tersebut didokumentasikan dan dicatat untuk kemudian dikelompokkan. Karena
media yang digunakan adalah internet maka pengelompokan dilakukan berdasarkan pada ragam bahasanya dan jenis
tautan dan laman yang memuat ragam tersebut. Setelah pengelompokan, kata-kata dan kalimat tersebut dianalisis
untuk melihat penggunaannya, yang mencakup kapan sebuah ragam digunakan dan kemungkinan adanya alih atau
campur kode dengan bahasa lain. Temuan yang dihasilkan dari pengamatan menunjukkan bahwa bahasa Jawa ragam
Ngoko lebih sering digunakan apabila laman itu memuat informasi mengenai laman Wikipedia itu sendiri. Selain itu,
ragam Ngoko juga digunakan ketika administrator situs berupaya melakukan interaksi dengan pengunjung situs
tersebut untuk mendapatkan tanggapan balik. Adapun ragam Kromo digunakan terutama ketika laman itu memuat
definisi serta penjelasan lain yang terkait dengan sebuah topik atau kata kunci yang dipilih oleh pengguna situs ketika
melakukan pencarian. Alih kode atau campur kode dapat terjadi ketika sebuah kata kunci atau topik bahasan tidak
memiliki padanan dalam bahasa Jawa, atau ketika kata tersebut memang berupa kata atau istilah yang sudah diterima
secara umum.
Kata kunci: Wikipedia, ragam Kromo, ragam Ngoko, penggunaan bahasa

PENDAHULUAN
Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa ini digunakan oleh
sejumlah penutur yang mencapai 63.921.871 yang daerah persebaran penuturnya meliputi Jawa Tengah,
Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur. Bahasa Jawa juga memiliki penutur di beberapa daerah seperti
Jakarta, Lampung, Sumatra Selatan, bahkan di daerah yang terletak di luar Indonesia seperti di Suriname
(Suryadi, 2010: 191).
Melihat kenyataan tersebut, mungkin kita khususnya yang sehari-hari adalah sebagai penutur bahasa
Jawa, merasa bahwa bahasa Jawa tidaklah dalam situasi yang mengkhawatirkan untuk diselamatkan dari
semakin menurunnya jumlah penutur yang kemudian mengarah pada kepunahan.
Tetapi benarkah demikian? Berdasarkan Atlas of the World’s Languages in Danger yang membagi
tingkatan keterancaman bahasa menjadi enam (lihat tabel 1.) maka bahasa Jawa dapat dimasukkan ke dalam
tingkatan definitely endangered (benar-benar terancam).
Tabel 1. Tingkatan Ancaman Kepunahan Bahasa (Sumber: UNESCO, 2010)
Degree of endangerment Intergenerational Language Transmission (transmisi bahasa antargenerasi
(tingkat keterancaman)
Safe (aman) Bahasa dituturkan oleh semua generasi; transmisi antargenerasi tidak terganggu
Vulnerable (rentan) Kebanyakan anak berbicara menggunakan bahasa itu, tetapi terbatas pada lingkup tertentu
(misalnya di rumah)
Definitely endangered Anak sudah tidak mempelajari bahasa tersebut di rumah sebagai bahasa ibu
(benar-benar terancam)
Severely endangered Bahasa dituturkan oleh kakek-nenek dan generasi yang lebih tua; sedangkan generasi
(sangat terancam) sesudahnya (generasi ayah-ibu) mungkin memahaminya namun tidak menggunakannya
kepada anak-anak atau di antara mereka sendiri
Critically endangered Penutur termuda adalah kakek-nenek dan generasi sebelumnya. Bahasa tersebut jarang
(kritis) digunakan atau digunakan tetapi hanya sebagian
Extinct (punah) Sudah tidak memiliki penutur

244
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Senada dengan data yang dikeluarkan oleh UNESCO, Purwoko (2011) juga mengungkapkan bahwa
bahasa Jawa dapat dimasukkan pada tingkat terancam kepunahan (yang berarti bahwa bahasa itu tidak
diteruskan secara efektif ke generasi yang lebih muda). Melihat kenyataan di atas, sudah saatnyalah
dilakukan aksi untuk melestarikan bahasa Jawa dan juga bahasa-bahasa daerah lain yang sudah mengalami
jumlah penutur. Banyak hal yang dapat dilakukan sebagai upaya pelestarian bahkan mungkin penyelamatan
bahasa-bahasa yang menuju arah kepunahan (Walsh, 2005). Salah satu bentuknya adalah memanfaatkan
teknologi yang saat ini sedang berkembang sangat pesat yaitu internet. Melalui makalah inilah kemudian
penulis mencoba membahas tentang bagaimana pelestarian sebuah bahasa dengan pemanfaatan teknologi
informasi berbasis internet. Secara lebih khusus, di dalam makalah ini akan dibahas tentang bahasa Jawa
yang digunakan pada sebuah laman internet yang mengkhususkan dirinya sebagai penyedia bahan rujukan
sejenis dengan ensiklopedi.

BAHASA JAWA PADA WIKIPEDIA; VARIASI DAN PENGGUNAANNYA


Teknologi informasi mengalami perkembangan sedemikian pesatnya. Era internet mengubah cara kita dalam
mencari atau menyebarkan informasi. Hal ini sangat dimungkinkan karena dengan media internet, informasi
yang ada dapat diperbaharui setiap saat. Terdepan dalam mendapatkan informasi terbaru menjadikan
peselancar internet sebagai orang yang lebih dahulu tahu, terlepas dari bisa tidaknya informasi yang
didapatkannya tersebut untuk dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Perkembangan teknologi informasi yang semakin maju melalui internet bisa dimanfaatkan untuk
hal-hal krusial seperti pelestarian bahasa-bahasa yang mengalami penurunan jumlah penutur. Internet
sebagai media yang saat ini sangat bisa diandalkan (karena hampir semua sisi kehidupan yang kita jalani saat
ini berhubungan atau dihubungkan olehnya) semestinya bisa menjadi alat ampuh bagi usaha pelestarian
bahasa-bahasa yang terancam itu.
Mengapa demikian? Menurut Sallabank (2010: 198-199), meskipun bagi penutur yang berasal dari
generasi tua internet mungkin bukan pilihan untuk digunakan sebagai sumber informasi maupun sebagai
media berkomunikasi, tetapi untuk generasi muda internet telah menjadi bagian fundamental dari hidupnya.
Melihat yang terjadi saat ini berupa semakin menurunnya jumlah penutur bahasa daerah karena usaha
mentransmisikan bahasa dari generasi tua ke generasi berikutnya tidak atau kurang berhasil maka jalan yang
mungkin dipandang akan cukup efektif adalah dengan memanfaatkan internet. Generasi muda yang saat ini
selalu berkutat dengan internet bisa termotivasi untuk menjaga dan melestarikan bahasa daerah yang
terancam keberadaannya. Internet mungkin dapat menjadi salah satu benteng pertahanan agar bahasa daerah
bisa terus dapat digunakan atau paling tidak dikenal dan bukan menjadi sesuatu yang asing bagi generasi
muda penerus peradaban sebuah bangsa.
Di Indonesia sendiri jumlah pengguna internet 80% nya adalah generasi muda berusia 15-19 tahun
(sumber:
http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3980/Kemkominfo%3A+Pengguna+Internet+di+Indonesia+C
apai+82+Juta/0/berita_satker#.Vujph09WX6g). Masih bersumber dari laman web Kementerian Komunikasi
dan Informatika, terungkap bahwa internet adalah media utama yang digunakan untuk mengakses berita dan
informasi.
Di internet banyak terdapat laman web yang sering menjadi rujukan untuk mendapatkan informasi.
Salah satu penyedia informasi yang cukup dikenal di masyarakat adalah Wikipedia. Dalam laman webnya
sendiri, Wikipedia (sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Wikipedia:Perihal) menggambarkan dirinya
sebagai ensiklopedia berbasis internet yang siapa saja bisa mengakses, menyunting, maupun menyalin secara
bebas. Wikipedia pun masuk dalam peringkat laman web yang paling sering digunakan sebagai rujukan
mendapatkan informasi.
Sebagai tempat rujukan mendapatkan informasi dengan pengguna yang sangat banyak, Wikipedia
kemudian menyajikan lamannya dalam berbagai bahasa termasuk bahasa-bahasa yang penuturnya sudah
mulai banyak berkurang. Bahasa Jawa menjadi salah satu bahasa daerah yang digunakan oleh Wikipedia
sebagai bahasa pengantar untuk menyebarkan informasi yang beragam. Laman berbahasa Jawa pada
Wikipedia dapat ditemukan pada kaca https://jv.wikipedia.org/wiki/Wikipédia. Laman kaca yang disajikan
dalam bahasa lain, laman Wikipedia berbahasa Jawa pun juga memiliki beragam tautan yang
dinamai/dipadankan ke dalam bahasa Jawa. Dalam laman Wikipedia, bahasa Jawa sudah digunakan pada
nama tautannya yaitu https://jv.wikipedia.org/wiki/Wikipédia. Unsur yang berasal dari bahasa Jawa dapat
kita lihat pada tulisan Wikipédia. Di situ terdapat bunyi [æ] yang diwakili huruf Latin berupa e dengan
penanda diakritik berupa aksen tajam/acute (´). Pemberian tekanan pada huruf e menunjukkan cara
pengucapan kata Wikipedia dalam bahasa Jawa. Pemberian tekanan pada huruf e tersebut diperlukan karena
laman Wikipedia itu sendiri beserta judul/nama tautannya tidak disajikan dengan menggunakan aksara Jawa,

245
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
walaupun sesekali aksara Jawa dapat muncul terutama apabila kata atau istilah yang dibahas memang
berasal dari bahasa Jawa.
Berdasarkan pengamatan yang mengambil fokus pada kalimat-kalimat dan kata-kata yang terdapat
pada laman Wikipedia berbahasa Jawa, dapat diketahui bahwa bahasa Jawa yang digunakan terdiri dari dua
ragam yaitu bahasa Jawa kromo dan ngoko. Rahardi (2001: 52) menyebut ragam Jawa kromo dan ngoko
tersebut sebagai varian bahasa yang berupa undha-usuk atau tingkat tutur. Dalam bahasa Jawa, sebenarnya
terdapat tiga variasi yang dikenal yaitu ngoko, madya dan kromo. Wijana (2008: 249) mendefinisikan
ketiga variasi bahasa tersebut seperti berikut ini:
“Ngoko adalah variasi bahasa yang lazimnya digunakan oleh penutur bahasa dalam berbicara secara
akrab (intim) dengan lawan bicaranya. Variasi ini setara dengan ragam lainnya, yakni madya dan krama yang
masing- masing digunakan untuk berinteraksi dengan lawan bicara yang kurang begitu akrab dengan sedikit
penghormatan, dan orang yang (sangat) dihormati.”
Dari pendapat yang dikemukakan oleh Wijana tersebut terlihat bahwa variasi bahasa yang terdapat
laman Wikipedia dipisahkan kedalam ngoko dan kromo adapun varian madya yang tingkatnya di antara
ngoko dan kromo tidak digunakan. Adanya dua variasi yang digunakan di dalam laman tersebut dapat dilihat
berdasarkan kegunaannya masing-masing. Sesuai dengan teori yang dikemukakan Wijana, ngoko digunakan
oleh penutur bahasa (dalam hal ini administrator laman) untuk berbicara secara akrab (intim) dengan lawan
bicaranya (dalam hal ini adalah pengunjung laman). Ini dapat kita lihat pada contoh berikut ini yang diambil
dari https://jv.wikipedia.org/wiki/Departemen_ing_Prancis.
1. Departemen (basa Prancis:département pocapané [depaʁtǝˈmɑ̃]) iku unit administratif ing Prancis
lan tilas koloni Prancis, kira-kira mèh padha karo county ing negara Inggris, utawa kabupatèn ing
Indonesia.
‘Departemen (bahasa Prancis: department pengucapannya [depaʁtǝˈmɑ̃]) adalah unit administratif di
Prancis dan bekas koloni Prancis, kira-kira hampir sama dengan county di negara Inggris, atau
kabupaten di Indonesia’
2. Ana satus departemen ing Prancis diklompokaké jroning 22 metropolitan lan papat departemen lan
teritori sarta region ing jaban rangkah.
‘Ada seratus departemen di Prancis yang dikelompokkan ke dalam 22 metropolitan dan empat
departemen serta region di luar negeri’
3. Kabèh region nduwé status hukum kang padha, minangka bagéan integral saka Prancis. Kabèh
region nduwé status hukum kang padha, minangka bagéan integral saka Prancis.
‘Semua region memiliki status hukum yang sama, sebagai bagian integral dari Prancis’
Beberapa kalimat di atas diambil sebagai bagian dari sebuah paragraf yang memberikan definisi
terhadap kata departemen. Ketiga kalimat di atas ditulis dalam bahasa Jawa ragam ngoko. Ragam tersebut
dapat diketahui melalui beberapa unsur kebahasaan yang menunjukkan jenis variannya yaitu kosa kata dan
pilihan afiks/imbuhannya (Poedjosoedarmo, 1968). Seperti pada kalimat (1), unsur kebahasaan varian ngoko
ditunjukkan oleh kata-kata seperti iku, ing, lan, tilas, kira-kira, mèh, padha, karo, utawa, kabupatèn.
Kalimat (2) kata-kata yang menunjukkan penggunaan varian ngoko adalah ana, satus, ing, diklompokaké,
jroning, lan, papat, sarta, ing, jaban, rangkah adapun pada kalimat (3) kata-kata yang digunakan adalah
kabèh, nduwé, kang, padha, minangka, bagéan, saka.
Varian kromo yang digunakan pada laman ini juga dapat diidentifikasi melalui unsur kebahasaan
yang berupa kata. Melalui contoh-contoh berikut ini, akan terlihat unsur kebahasaan berupa kata yang
menunjukkan varian kromo:
4. Artikel perkawis kelurahan utawi désa ing Indonésia punika taksih arupi seratan rintisan.
‘Artikel mengenai kelurahan atau desa di Indonesia ini masih berupa catatan rintisan’
5. Panjenengan saged mbiyantu Wikipédia ngembangaken.
‘Anda dapat membantu Wikipedia mengembangkan’
6. Kaca punika pungkasan dipunéwahi nalika 05.48, 2 Maret 2016.
‘Halaman ini terakhir dimodifikasi pada jam 05.48, 2 Maret 2016’
Kalimat (4) unsur kebahasaan berupa kata yang menunjukkan ragam kromo ditunjukkan oleh
perkawis, utawi, ing, punika, taksih, arupi, dan seratan. Pada kalimat (5), ditunjukkan oleh kata-kata
panjenengan, saged, mbiyantu, ngembangaken.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, selain unsur yang berupa kata, imbuhan juga dapat digunakan
untuk mengindentifikasi varian kebahasaan sebuah unit bahasa. Dalam bahasa Jawa, imbuhan yang
menentukan sebuah unit bahasa sebagai bagian dari varian ngoko atau kromo itu adalah prefiks dan sufiks.
Poedjosoedarmo (1968: 58) lebih jauh membagi imbuhan bahasa Jawa menjadi tiga untuk
menunjukkan ragam ngoko atau kromo. Imbuhan tersebut berupa prefiks pasif, sufiks determinatif, dan
sufiks kausatif. Sedangkan untuk imbuhan yang lain yang tidak termasuk dalam tiga imbuhan di atas dapat
246
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
digunakan bersama dengan kata yang berasal dari kata yang berasal dari semua tingkatan tutur. Tabel berikut
ini menjelaskan tentang pembagian imbuhan dan peran yang dimilikinya:
Tabel 2. Pembagian Imbuhan Penanda Varian ngoko dan kromo dalam Bahasa Jawa
Jenis tingkat tutur Prefiks pasif Sufiks determinatif Sufiks kausatif
Ngoko di- -é -(a)ké
Kromo dipun- -ipun -aken

Melalui kalimat-kalimat di bawah ini akan terlihat bagaimana imbuhan-imbuhan di atas


dipergunakan untuk menunjukkan ragam bahasa yang digunakan dalam laman Wikipedia bahasa Jawa:
7. Puncak Gunung Merbabu bisa diparani saka Cunthel, Thekelan, (Kopèng / Salatiga) Wekas
(Kaponan / Magelang) utawa saka Selo (Boyolali).
‘Puncak Gunung Merbabu bisa dikunjungi dari Cunthel, Thekelan (Kopeng/Salatiga), Wekas
(Kaponan/Magelang) atau dari Selo (Boyolali)’
8. Kridha Wiki Mrebawani sampun dipun wiwiti kanthi bebungah laptop.
‘Kridha Wiki Mrebawani sudah dimulai dengan hadiah laptop'
9. Akeh gunung ing sakupengé Gunung Merbabu ya iku Gn. Merapi, Gn.Telomoyo, Gn.Ungaran.
‘Banyak gunung di sekitaran Gunung Merbabu yaitu Gn. Merapi, Gn. Telomoyo, Gn. Ungaran’
10. Wikipédia dipunlampahaken kanthi nganggé piranti alus MediaWiki déning server-server
kagunganipun Yayasan Wikimedia.
‘Wikipedia dijalankan dengan menggunakan piranti lunak MediaWiki oleh server-server milik
Yayasan Wikimedia’
11. Ambane kurang luwih 57 km² kang digunakake dadi taman nasional wiwit taun 2004.
‘Luasnya kurang lebih 57 km2 yang digunakan sebagai taman nasional sejak tahun 2004’
12. Sumangga menawi badhé ngregengaken.
‘Silahkan apabila ingin ikut meramaikan’
Imbuhan yang membedakan varian ngoko dan kromo masing-masing dapat dilihat pada kata di-
pada kata diparani, dipun- pada kata dipun wiwiti pada kalimat (7) dan (8), -é pada kata sakupengé, -ipun
pada kata kagungangipun pada kalimat (9) dan (10), serta –aké pada kata digunakaké, -aken pada kata
ngregengaken yang terdapat pada kalimat (11) dan (12).
Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa dalam satu tautan, varian ngoko maupun kromo
dipergunakan secara bersaaman. Penggunaan dua ragam yang berbeda dalam suatu tempat yang sama bisa
dipastikan terjadi mengingat masing-masing ragam tersebut memang memiliki kegunaan yang berbeda,
seperti yang diungkapkan oleh Wadji (2013: 13) bahwa ‘ngoko digunakan untuk memenuhi kebutuhan
komunikasi dengan para penutur akrab atau akrab dan status sama atau digunakan penutur atasan (superior)
kepada penutur yang statusnya lebih rendah (inferior) sedangkan kromo adalah variasi tinggi dengan kosa
kata atau afiks untuk digunakan berkomunikasi dengan penutur tidak akrab dan atau digunakan oleh penutur
berstatus rendah (inferior) kepada penutur yang memiliki status lebih tinggi’.
Dari hasil pengamatan seperti yang terlihat pada contoh-contoh di atas dapat disimpulkan bahwa
pada laman Wikipedia, variasi ngoko digunakan kepada penutur akrab yang dalam hal ini adalah
pengunjung laman yang dianggap setara kedudukannya dengan administrator laman. Usaha menjalin
komunikasi secara akrab tersebut juga ditunjukkan oleh laman mana yang dipilih oleh administrator sebagai
tempat ragam ngoko itu digunakan. Dari data yang ada, disimpulkan bahawa variasi ngoko dipergunakan
apabila laman itu memuat informasi mengenai laman Wikipedia itu sendiri dan ketika administrator situs
mencoba berinteraksi dengan pengunjung situs tersebut untuk mendapatkan tanggapan balik. Contohnya
seperti yang terdapat dalam rubrik Kaca Utama (https://jv.wikipedia.org/wiki/Kaca_Utama). Kaca Utama
adalah laman utama yang berisi gambaran tentang domain Wikipedia itu sendiri. Sebaliknya ragam kromo
digunakan terutama ketika laman itu memuat definisi serta penjelasan lain yang terkait dengan sebuah topik
terpilih. Penjelasan tadi dapat diperjelas melalui contoh-contoh kalimat berikut ini:
13. Sumangga wacana kaca FAQ (nganggo basa Inggris) bab proyèk iki kanthi wedharan pepak, lan kaca
Help (nganggo basa Inggris) bab cara nganggo saha cara urun ing Wikipédia. Kanggo njajal, coba
gawé artikel ing kéné.
14. Nami Wikipédia asalipun saking gabungan tembung wiki lan encyclopedia.

CAMPUR KODE DAN ALIH KODE DALAM WIKIPEDIA BAHASA JAWA


Perkembangan teknologi yang pesat juga mempengaruhi sebuah bahasa. Hal ini juga yang kiranya terjadi
pada bahasa Jawa. Kemungkinan terjadinya alih kode ataupaun campur kode ini semakin tinggi apabila
melihat media yang menjadi latar belakang penggunaan sebuah bahasa seperti yang dapat dilihat pada laman

247
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Wikipedia bahasa Jawa. Berdasarkan pengamatan, pada laman Wikipedia bahasa bentuk interaksi bahasa
memunculkan campur kode dan bukan alih kode. Campur kode yang terdapat dalam Wikipedia terjadi
misalnya ketika sebuah kata kunci atau topik bahasan tidak memiliki padanan dalam bahasa Jawa, atau
ketika kata tersebut memang berupa kata atau istilah yang sudah diterima secara umum.
Namun demikian, campur kode tidaklah selalu berupa kata tetapi bisa juga berupa klausa, baster,
bahkan idiom atau ungkapan. Melalui contoh-contoh berikut dapat dilihat bentuk campur kode yang terdapat
pada Wikipedia berbahasa Jawa.
15. Dilaporaké uga ing taun 1570 tau njeblug, nanging durung dikonfirmasi dèning panelitèn sabanjuré
‘Dilaporkan juga pada tahun 1570 pernah meletus, tetapi tidak dapat dipastikan melalui penelitian
sesudahnya’
16. Wikipédia (pangucapan: Wi·ki·pæ·di·a utawi Wi·ki·pi·di·a) punika proyèk ensiklopedia multibasa
salebetipun jaringan ingkang bébas lan terbuka, ingkang dipunlampahaken déning Wikimedia
Foundation, satunggiling organisasi nirlaba ingkang basisipun ing Amérika Sarékat. Wikipédia
dipunrilis nalika taun 2001 déning Jimmy Wales lan Larry Sanger.
‘Wikipedia (diucapkan: Wi·ki·pæ·di·a atau Wi·ki·pi·di·a) ini adlah proyek ensiklopedia multibahasa di
jaringan yang bebas dan terbuka, yang diawali oleh Wikimedia Foundation, salahsatu organisasi
nirlaba yang basisnya di Amerika Serikat. Wikipedia dirilis pada tahun 2001 oleh Jimmy Wales dan
Larry Sanger’
Pada kalimat (15) terdapat campur kode berupa baster seperti pada dilaporaké dan dikonfirmasi
yang merupakan percampuran antara konfiks bahasa Jawa di- dan –ké dengan kata ‘lapor’ yang berasal dari
bahasa Indonesia, serta campur kode berupa kata panelitèn yang merupakan kata serapan berasal dari bahasa
Indonesia yang sudah disesuaikan dengan ejaan bahasa Jawa. Adapun pada kalimat (16), campur kode
berupa kata seperti pada proyek, ensiklopedia, organisasi (berasal dari bahasa Inggris yang sudah diserap
dalam bahasa Indonesia), jaringan, terbuka, nirlaba (berasal dari bahasa Indonesia), serta campur kode
berupa baster yaitu basisipun yang merupakan percampuran dari kata dasar dari bahasa Inggris yang sudah
diserap oleh bahasa Indonesia yaitu basis dengan sufiks –ipun, dipunrilis yang merupakan percampuran
antara prefiks –dipun dan kata serapan rilis dan multibasa yang merupakan percampuran antara prefiks
multi- dari bahasa Inggris dan kata basa.

PENUTUP
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan terhadap bahasa Jawa yang digunakan pada laman Wikipedia,
dapat disimpulkan bahwa usaha untuk tetap mempertahankan kelestarian bahasa Jawa sudah cukup
dilakukan dengan baik. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal yaitu melalui tampilan laman itu sendiri yang
hampir seluruhnya menggunakan bahasa Jawa meskipun dalam laman tersebut terdapat percampuran kode
dengan bahasa lain seperti bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Percampuran kode tersebut tidak dapat
dihindari mengingat media penyampai informasi itu sendiri berasal dari bangsa lain sehingga banyak kata
dari bahasa lain digunakan karena belum atau tidak ada padanannya dalam bahasa Jawa.
Selain dari tampilan laman yang semaksimal mungkin disajikan dalam bahasa Jawa, usaha
pelestarian bahasa Jawa melalui Wikipedia dipandang sudah cukup baik dengan melihat banyaknya
pengunjung laman tersebut. Pengunjung situs itu bukan hanya peselancar yang ingin mencari rujukan tetapi
terdapat juga pengunjung yang memberi kontribusi tulisan maupun sebagai editor.
Melihat kenyataan di atas dapat dilihat bahwa usaha pelestarian bahasa daerah khususnya bahasa Jawa
optimis masih bisa terus dilakukan dan dikembangkan. Pemanfataan teknologi maju menjadi upaya yang
dipandang cukup efektif untuk melestarikan bahasa-bahasa daerah yang terancam keberadaanya. Internet
sebagai penyimpan data virtual dengan kemampuan yang handal dapat dimaksimalkan sebagai ‘penjaga’
dari warisan budaya manusia agar tersimpan dan terpelihara untuk diwariskan kepada generasi berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Poedjosoedarmo, Soepomo. 1968. Javanese Speech Levels. Indonesia. No. 6, hal 54-81.
Purwoko, Herudjati. 2011. If Javanese Is Endangered, How Should We Maintain It? Makalah disajikan dalam Seminar
Internasional Language Maintenance and Shift.
Rahardi, Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sallabank, Julia. 2010. The Role of Social Networks in Endangered Language Maintenance and Revitalization: The
Case of Guernesiais in the Channel Islands. Anthropological Linguistics. Vol. 52, hal. 184-205.
Suryadi, M. 2010. Konstruksi Leksikal Tuturan Jawa Pesisir yang Bertautan dengan Nilai Kesantunan. Makalah
disajikan dalam Seminar Nasional Pemertahanan Bahasa Nusantara.
Wadji, Majid. 2013. Sistem Kesantunan Masyarakat Tutur Jawa. Linguistika No. 20.38, hal. 1-34.
Walsh, Michael. 2005. Will Indigenous Languages Survive? Annual Review of Anthropology. Vol. 34, hal. 293-315.
248
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Wijana, I Dewa Putu. 2008. Kata-kata Kasar dalam Bahasa Jawa. Humaniora. Vol. 20, hal. 249-256.
https://jv.wikipedia.org/wiki/Wikipédia diakses pada tanggal 24 Februari 2016.
https://jv.wikipedia.org/wiki/Departemen_ing_Prancis diakses pada tanggal 24 Februari 2016.
http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3980/Kemkominfo%3A+Pengguna+Internet+di+Indonesia+Capai+82+Ju
ta/0/berita_satker#.Vujph09WX6g diakses pada tanggal 25 Februari 2016.
http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/5421/Kemkominfo%3A+Internet+Jadi+Referensi+Utama+Mengakses+B
erita+dan+Informasi/0/berita_satker#.VujqCU9WX6g diakses pada 25 Februari 2016.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Eni Sugiharyanti
Institusi : Universitas Brawijaya
Riwayat Pendidikan : S1, S2, dan S3 Universitas Gadjah Mada
Minat Penelitian : • Sosiolinguistik
• Pragmatik
• Analisis Wacana

249
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
UJARAN FATIS DALAM BAHASA BANJAR

Hestiyana
Balai Bahasa Kalimantan Selatan
hestiyana21@gmail.com

ABSTRAK
Ujaran fatis berfungsi untuk membentuk dan menjaga hubungan sosial dalam berkomunikasi di masyarakat. Penelitian
ini membahas tentang ujaran fatis dalam bahasa Banjar. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan ujaran
fatis dalam bahasa Banjar yang belum terlacak. Hal yang menarik dari penelitian ini adalah bahwa setiap bahasa
mempunyai cara tersendiri untuk mengungkapkan ujaran fatis, tak terkecuali dengan bahasa Banjar. Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Data dalam penelitian ini berupa ujaran fatis
yang didapatkan dari informan penelitian dari tiga kabupaten, yakni Kabupaten Banjar, Kabupaten Hulu Sungai
Tengah, dan Kabupaten Tanah Laut. Ketiga kabupaten ini dianggap sudah mewakili data penelitian yang dimaksud.
Sumber data penelitian ini adalah ujaran fatis dalam tuturan masyarakat Banjar. Metode pengumpulan data adalah
observasi dan wawancara dengan menggunakan teknik rekam, catat, dan elisitasi. Metode analisis data yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah mengidentifikasikan data yang diperoleh ke dalam suatu bahasa yang
mengandung ujaran fatis, mengklasifikasikan ujaran fatis dari data yang telah teridentifikasi, data yang telah diproses
ditranskripsikan ke dalam bahasa Indonesia dan dipaparkan dalam bentuk tulisan, dan menyimpulkan data yang telah
dipaparkan. Untuk mengukur keabsahan data digunakan triangulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ujaran fatis
dalam bahasa Banjar yang digunakan masyarakat Banjar, yaitu: (1) ujaran fatis ketika bertemu; (2) ujaran fatis ketika
berpisah; (3) ujaran fatis ketika berbasa-basi sewaktu makan dan minum; (4) ujaran fatis ketika menerima; (5) ujaran
fatis ketika menolak; (6) ujaran fatis ketika meminta maaf; (7) ujaran fatis ketika berduka cita; (8) ujaran fatis ketika
bersuka cita; (9) ujaran fatis ketika terkejut; (10) ujaran fatis ketika kesal. Temuan ini sangat penting untuk dipahami
dan dipedomani, hal ini didasarkan pada kajian masyarakat Banjar yang memiliki berbagai bentuk ujaran serta
variasi penggunaan ujaran fatis Dari ujaran fatis diketahui bagaimana karakter masyarakat Banjar yang menghargai
dan menghormati mitra tuturnya dengan menggunakan ujaran fatis sebagai salah satu bentuk menjalin komunikasi
serta mempertahankan hubungan sosial di masyarakat.
Kata kunci: Ujaran fatis, bahasa Banjar

PENDAHULUAN
Salah satu fungsi bahasa untuk menjaga hubungan sosial di masyarakat. Sumarsono (2014:20) mengemukakan
bahwa bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan bagian tak
terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk sosial atau budaya tentu bahasa merupakan wadah aspirasi
sosial, kegiatan, dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan
oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Oleh karena itu, bahasa mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya.
Hal yang sama dikemukakan oleh Sapir dalam Wijana (2013:8) yang menyatakan bahwa masyarakat,
budaya, dan bahasa tidak dapat terpisahkan. Seseorang tidak dapat memahami bahasa tanpa mengetahui
budayanya dan sebaliknya orang tidak dapat memahami budaya suatu masyarakat tanpa memahami
bahasanya.
Untuk menjaga agar kontak sosial di masyarakat berjalan dengan baik, salah satunya digunakan
ujaran fatis. Biasanya, ujaran fatis ini disertai dengan unsur paralinguistik, seperti senyuman, gelengan
kepala, gerak-gerik tangan, air muka, dan kedipan mata. Ujaran yang berfungsi fatis memiliki keunikan
karena pada dasarnya bersifat metafora dan harus diinterpretasikan secara nonliteral (Saville-Troike, 2003:
36). Kemudian, Chaer dan Agustina (2010:16) mengemukakan bahwa bila dilihat dari segi kontak antara
penutur dan pendengar maka bahasa berfungsi fatik, yaitu menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan
perasaan bersahabat, atau solidaritas sosial. Ungkapan-ungkapan yang digunakan biasanya sudah berpola
tetap, seperti pada waktu berjumpa, pamit, membicarakan cuaca, atau menanyakan keadaan keluarga.
Dalam memahami ujaran fatis diperlukan pengetahuan dan kebiasaan budaya dalam suatu
masyarakat, tak terkecuali masyarakat Banjar yang mempunyai cara tersendiri dalam mengungkapkan ujaran
fatis dalam bahasa Banjar. Wilayah tutur bahasa Banjar itu sendiri menurut Ideham, dkk (2015: 326) yang
menyatakan bahwa wilayah tutur bahasa Banjar dapat dipilih ke dalam tiga kesatuan wilayah tutur bertataran
dialek, yaitu wilayah tutur dialek Bukit, Banjar Hulu, dan Banjar Kuala. Banjar Hulu meliputi wilayah
Haruai, Tanjung, Kelua, Amuntai, Alabio, Paringin, Batu Mandi, Birayang, Barabai, Pantai Hambawang,
Kandangan, Negara, Rantau, dan Margasari. Banjar Kuala meliputi wilayah Pengaron, Astambul, Martapura,
Bati-Bati, Pelaihari, Takisung, Tabanio, Jorong, Asam-Asam, dan Banjarmasin. Selanjutnya, dialek Bukit
yang berwilayah tutur di Loksado. Wilayah tutur Margasari dan Pengaron merupakan wilayah peralihan
Banjar Hulu dan Banjar Kuala.
Sejauh ini, penelitian mengenai ujaran fatis dalam bahasa Banjar belum pernah dilakukan. Oleh
sebab itu, penting dilakukannya penelitian ini mengingat bahasa Banjar memiliki keunikan tersendiri dalam
250
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
mengungkapkan ujaran fatis. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah apa saja ujaran fatis yang
terdapat dalam bahasa Banjar? Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan ujaran fatis dalam bahasa
Banjar yang belum terlacak. Hal yang menarik dari penelitian ini adalah bahwa setiap bahasa mempunyai
cara tersendiri untuk menyampaikan ujaran fatis, tak terkecuali dengan bahasa Banjar.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Faizah
(2009:72) mengemukakan bahwa metode deskriptif yaitu dengan penggambaran atau pelukisan keadaan
subjek atau objek penelitian berdasarkan fakta atau fenomena yang ada. Penelitian kualitatif adalah prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan tentang orang-orang dan
perilaku yang diamati (Moleong, 2002:4).
Data dalam penelitian ini berupa ujaran fatis yang didapatkan dari informan penelitian dari tiga
kabupaten, yakni Kabupaten Banjar, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, dan Kabupaten Tanah Laut. Ketiga
kabupaten ini dianggap sudah mewakili data penelitian yang dimaksud. Sumber data penelitian ini adalah
ujaran fatis dalam tuturan masyarakat Banjar. Metode pengumpulan data adalah observasi dan wawancara
dengan menggunakan teknik rekam, catat, dan elisitasi. Metode analisis data yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah mengidentifikasikan data yang diperoleh ke dalam suatu bahasa yang mengandung
ujaran fatis, mengklasifikasikan ujaran fatis dari data yang telah teridentifikasi, data yang telah diproses
ditranskripsikan ke dalam bahasa Indonesia dan dipaparkan dalam bentuk tulisan, dan menyimpulkan data
yang telah dipaparkan. Untuk mengukur keabsahan data digunakan triangulasi.
Hal yang menarik dari penelitian ini bahwa ujaran fatis sering kali mengandung unsur-unsur daerah.
Dalam bahasa Banjar kemunculan ujaran fatis sangat sering ditemukan pada setiap tuturan. Ujaran-ujaran
fatis tersebut tentunya memiliki fungsi untuk menjalin komunikasi. Hal inilah yang melatarbelakangi
dipilihnya ujaran fatis sebagai objek penelitian, dengan fokus pada ujaran fatis dalam bahasa Banjar.

LANDASAN TEORI
Malinowski memperkenalkan fatis untuk pertama kali dalam tulisannya The Problem of Meaning in
Primitive Language dalam Ogden dan Richards (1923: 296) dengan istilah phatic communion, yaitu suatu
ujaran yang mengikat satu kesatuan yang diciptakan dengan pertukaran kata-kata belaka. Dalam komunikasi
kata-kata tersebut tidak membawa arti, akan tetapi untuk memenuhi suatu fungsi sosial.
Ujaran fatis akan membentuk kontak sosial dan sekaligus menjaganya sehingga dapat dikatakan
bahwa fatis berfungsi untuk membentuk dan menjaga kontak atau hubungan sosial dalam berkomunikasi.
Ujaran fatis tergantung pada situasi saat berkomunikasi berlangsung. Ujaran fatis tidak hanya untuk
penyampaian pikiran saja, akan tetapi berfungsi untuk memperlihatkan etika atau sopan santun kepada lawan
bicara atau mitra tutur. Dalam mempertahankan hubungan baik dalam berkomunikasi antara penutur dan
mitra tutur digunakan ujaran fatis.
Leech (1993:223) yang menyatakan bahwa fatis digunakan untuk menjaga sopan santun dengan
perilaku berbicara. Kemudian, Sutami (2004:50) menyatakan bahwa kategori fatis merupakan kata
gramatikal ataupun kata fungsional. Selanjutnya, Simatupang dalam Sutami (2004) menyatakan bahwa
ungkapan fatis mempunyai makna context sensitive atau terikat konteks. Saville-Troike (2003:36)
menyatakan bahwa linguistic routines merupakan ujaran yang bentuknya tetap atau relatif tetap dan harus
dianggap sebagai unit tunggal karena maknanya tidak dapat diambil dari sebagian kalimat, tetapi menurut
fungsi komunikasi yang disampaikannya secara keseluruhan. Makna bahasa rutin (ujaran fatis) tergantung
kepada kepercayaan bersama dan nilai-nilai dari masyarakat tutur tersebut yang dikodekan ke dalam pola-
pola komunikasi serta tidak bisa diinterpretasikan secara terpisah dari konteks sosial budaya. Selanjutnya,
menurut Saville-Troike (2003:36) yang termasuk bahasa rutin (ujaran fatis) tersebut adalah salam, ucapan
untuk berpamitan, kutukan, candaan, belasungkawa, doa, pujian, dan beberapa bahasa salam lainnya.
Menurut Kridalaksana (1990:111), kategori fatis bertugas memulai, mempertahankan, mengukuhkan,
atau mengakhiri pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara. Kategori fatis tidak dapat diucapkan
dengan monolog. Kategori fatis biasanya terdapat dalam konteks dialog atau wacana bersambutan, yaitu
kalimat-kalimat yang diucapkan oleh pembicara dan kawan bicara. Sebagian besar kategori fatis merupakan
ciri ragam lisan. Oleh karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam tidak baku, kategori fatis sangat
lazim dalam kalimat-kalimat tidak baku yang banyak mengandung unsur-unsur daerah.

PEMBAHASAN
Ujaran fatis yang menjadi kajian dalam penelitan ini adaah ujaran fatis yang digunakan ketika bertemu,
berpisah, berbasa-basi sewaktu makan dan minum, menerima, menolak, meminta maaf, berduka cita,
bersuka cita, terkejut, dan kesal.
Ujaran Fatis ketika Bertemu
Dalam bahasa Banjar, ujaran fatis yang digunakan ketika bertemu seperti di bawah ini.

251
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
a. Salam
(1) Assalamualaikum.“Keselamatan atas kamu.”
Ujaran ini digunakan masyarakat Banjar sebelum memasuki rumah ataupun ketika bertamu ke rumah
seseorang serta digunakan untuk menyapa seseorang.
b. Sapaan
Dalam bahasa Banjar juga digunakan ujaran fatis dengan berbagai variasi sapaan ketika bertemu
dengan seseorang seperti ditemukan pada data berikut.
(2) Singgahkah! “Ayo mampir”
(3) Kamanaan? “Mau kemana?”
(4) Yang. “Yang”
(5) Uey. “Uey”
(6) Cil. “Cil”
Ujaran (2) merupakan bentuk sapaan yang diucapkan oleh seseorang ketika bertemu dengan orang
lain yang lewat di depan di rumahnya. Ujaran (3) merupakan bentuk sapaan yang menanyakan kepada
seseorang ketika bertemu di jalan, di pasar, dan sebagainya. Ujaran (4) merupakan sapaan yang ditujukan
kepada seseorang yang sudah akrab. Ujaran (5) diucapkan kepada teman yang seumuran. Ujaran (6)
diucapkan oleh seseorang untuk memanggil orang yang lebih tua, baik laki-laki ataupun perempuan.
Ujaran Fatis ketika Berpisah
Dalam bahasa Banjar, ujaran fatis yang digunakan ketika berpisah seperti di bawah ini.
(7) Badahulu lah? “Duluan ya?”
(8) Bulik lah! “Pulang ya!”
Ujaran fatis (7) dan (8) diucapkan seseorang ketika akan berpamitan dengan seseorang. Ujaran itu
disampaikan seseorang yang ingin pulang lebih dahulu daripada orang lain. Hal ini diucapkan seseorang
untuk menghormati dan menjaga hubungan baik, serta untuk bersikap sopan santun terhadap orang lain.
Ujaran Fatis ketika Berbasa-Basi Sewaktu Makan atau Minum
Dalam bahasa Banjar, ujaran fatis yang digunakan ketika berbasa-basi sewaktu makan dan minum bisa
terjadi kapan dan di mana saja. Ujaran fatis tersebut diucapkan ketika sebelum makan atau minum, ketika
sedang makan, dan ketika selesai makan. Berikut hasil temuan datanya.
Sebelum makan atau minum
(9) Makankah? “Makan kah?”
(10) Baimbaian nah! “Sama-sama ya!”
Ketika sedang makan
(11) Tambah lah! “Tambah ya!”
(12) Sadikit lagi nah! “Sedikit lagi ya!”
Ketika selesai makan
(13) Badahulu nah! “Duluan ya!”
Ujaran fatis (9) diucapkan ketika berbasa-basi sebelum makan atau minum terhadap orang yang
berada dekat seseorang yang akan makan. Apabila, pada saat akan makan terdapat lebih dari satu orang yang
berada di dekat orang yang akan makan tersebut, maka ia menawari semua orang dengan menambahkan kata
berataan ‘semua’, yakni ujaran makan kah berataan?. Akan tetapi, jika hanya terdapat satu orang saja maka
cukup menawari dengan ujaran makan kah ‘makan kah’. Ujaran fatis (10) diucapkan oleh seseorang yang
mengajak makan bersama-sama.
Dalam masyarakat Banjar yang kedatangan tamu, baik dari keluarga sendiri ataupun teman dan
kerabat akan dilayani dengan baik karena tamu dianggap sebagai pembawa berkah. Ketika sedang makan,
tuan rumah yang kedatangan tamu akan berulang-ulang kali menyuruh tamunya untuk menambah nasi atau
lauk-pauk, seperti ujaran (11) dan (12). Etika saat makan pun begitu diperhatikan dalam masyarakat Banjar.
Ketika seseorang yang terlebih dahulu selesai makan daripada orang lain, ia juga harus mengucapkan ujaran
(13).
Ujaran Fatis ketika Menerima
Dalam bahasa Banjar, ujaran fatis yang digunakan ketika menerima, yakni ujaran fatis ketika menerima
barang atau jasa dan menyanggupi permintaan atau permohonan. Berikut hasil datanya.
Menerima barang atau jasa
(14) Makasih lah! “Terima kasih ya!”
(15) Alhamdulillah! “Alhamdulillah!”

252
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Ujaran (14) dan (15) diucapkan seseorang pada saat menerima barang atau jasa. Ujaran tersebut
diucapkan sebagai bentuk sopan santun orang yang menerima pemberian sesuatu.
Menyanggupi permintaan atau permohonan
(16) ih! “Iya”
(17) ayuha! “Iya!”
(18) ayuja! “Iya!”
(19) jadi ja! “Jadi saja!”
Dalam masyarakat Banjar, apabila seseorang menyanggupi permintaan atau permohonan seseorang,
ujaran fatis yang akan diucapkan antara lain seperti (16) ih! ‘iya’; (17) ayuha ‘iya’; (18) ayuja ‘iya’; dan (19)
jadi ja! ‘jadi aja’.
Ujaran Fatis ketika Menolak
Dalam bahasa Banjar, ujaran fatis yang digunakan ketika menolak seperti di bawah ini.
Menolak pemberian
(20) Kada! “Tidak!”
(21) Sudah, sudah! “Sudah, sudah!”
(22) Ada aja nih! “Ada saja nih!”
Ujaran fatis pada data (20), (21), dan (22) diucapkan untuk menolak pemberian seseorang yang
biasanya berupa barang. Ujaran fatis menolak pemberian tersebut digunakan sebagai bentuk penolakan
secara halus untuk menjaga hubungan baik dengan mitra tutur.
Menolak ajakan
(23) Koler! “Malas!”
(24) Insha Allah! “Kalau diizinkan Allah”
(25) Asa uyuh nah! “Rasa lelah nih!”
Ujaran fatis pada data (23) diucapkan untuk menolak ajakan seseorang, sedangkan ujaran fatis (24)
dituturkan sebagai ucapan menerima atau menolak suatu ajakan atau undangan. Kemudian, ujaran fatis (25)
merupakan penolakan secara halus terhadap ajakan atau undangan seseorang.
Ujaran Fatis ketika Meminta Maaf
Dalam bahasa Banjar, ujaran fatis yang digunakan ketika meminta maaf seperti di bawah ini.
(26) Maaf lah! “Maaf ya!”
(27) Ampun maaf, ulun! “Ampun maaf, saya!”
Ujaran fatis (26) dan (27) dituturkan seseorang sebagai permintaan maaf atas kekeliruan ataupun
kesalahan kepada seseorang.
Ujaran Fatis ketika Berduka Cita
Dalam bahasa Banjar, ujaran fatis yang digunakan ketika berduka cita seperti di bawah ini.
(28) Innalillah hi innalillahi rajioun! “Sesungguhnya kamu milik Allah dan kepada-Nya lah kamu kembali.”
(29) Sabar lah! “Sabar ya!”
(30) Balum sampai rejeki kita! “Belum sampai rejeki kita!”
Dalam masyarakat Banjar, apabila mendengar seseorang yang terkena musibah ataupun mendengar
kabar seseorang yang meninggal dunia maka akan mengucapkan seperti pada ujaran (28) Innalillah hi
innalillahi rajioun! “Sesungguhnya kamu milik Allah dan kepada-Nya lah kamu kembali.” Kemudian,
ujaran (29) dan (30) diucapkan seseorang terhadap orang yang mendapat masalah ataupun musibah beruntun.
Ujaran Fatis ketika Bersuka Cita
Dalam bahasa Banjar, ujaran fatis yang digunakan ketika bersuka cita seperti di bawah ini.
(31) Alhamdulillah! “Alhamdulillah!”
(32) Himung banar lah! “Senang sekali ya!”
Ujaran fatis (31) merupakan bentuk bersuka cita yang diucapkan sebagai bentuk syukur kepada
Tuhan, sedangkan ujaran (32) diucapkan seseorang kepada orang yang perasaannya sedang senang atau
bersuka cita.
Ujaran Fatis ketika Terkejut
Dalam bahasa Banjar, ujaran fatis yang digunakan ketika terkejut seperti di bawah ini.
(33) Astagfirullah alazim! “Ampuni aku ya Allah yang Maha Agung!”
(34) Laa illahaillallah! “Tiada sesembahan yang benar selain Allah!”
(35) Akai! “Waduh!”

253
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Ujaran fatis (33), (34), dan (35) merupakan ujaran yang sering kali diucapkan masyarakat Banjar
ketika merasa terkejut. Pada saat terkejut, masyarakat Banjar selalu teringat kepada Tuhan.
Ujaran Fatis ketika Kesal
Dalam bahasa Banjar, ujaran fatis yang digunakan ketika kesal seperti di bawah ini.
(36) Talalunya pang! “Terlalunya!”
(37) Purun banar! “Tega sekali!”
(38) Jahat banar pahatiannya! “Jahat sekali hatinya!”
Ujaran fatis (36), (37), dan (38) diucapkan seseorang yang perasaannya sedang kesal terhadap orang
lain. Ujaran tersebut merupakan sebuah ungkapan perasaan untuk mengungkapkan kekesalan kepada orang
yang telah membuat kesal tersebut.

SIMPULAN
Berdasarkan data penelitian yang telah dikaji terhadap ujaran fatis dalam bahasa Banjar ditemukan 38 ujaran
fatis yang digunakan dalam masyarakat Banjar. Ujaran fatis tersebut digunakan ketika bertemu, berpisah,
berbasa-basi sewaktu makan atau minum, menerima, menolak, meminta maaf, berduka cita, bersuka cita,
terkejut, dan kesal.

DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul, dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Faizah, Hasnah. 2009. Menulis Karangan Ilmiah. Pekanbaru: Cendikia Insani.
Ideham, M. Suriansyah, dkk. 2015. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Yogyakarta: Ombak.
Kridalaksana, Harimurti. 1990. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Leech, Geoffrey. Terj. M.D.D. Oka. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Terbuka.
Malinowski, B. 1923. “The Problem of Meaning in Primitive Language” dalam Ogden dan Richards The Meaning of
Meaning. London: Routledge dan Kegan paul ltd.
Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda.
Saville-Troike, Muriel. 2003. The Etnography of Communication. Basil Blackwell: England.
Sumarsono. 2014. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sutami, Hermina. 2004. Ungkapan Fatis dalam Pelbagai Bahasa. Depok: Fakultas Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia.
Wijana, I Dewa Putu dan M. Rohmadi. 2013. Sosiolinguistik Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Hestiyana
Institusi : Balai Bahasa Kalimantan Selatan
Riwayat Pendidikan : S1 dan S2 Universitas Lambung Mangkurat
Minat Penelitian : • Kebahasaan
• Kesastraan

254
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
PERBANDINGAN HASIL KEMAMPUAN MEMBACA PEMAHAMAN ANTARA STRATEGI
MEMBACA PEMAHAMAN OK4R DAN STRATEGI ECOLA PADA SISWA SEKOLAH DASAR

Y. Claudia Dhian Ariani


Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
yohanna_claudia@yahoo.com

ABSTRAK
Membaca pemahaman (reading for understanding) adalah jenis membaca untuk memahami standar-standar atau
norma-norma kesastraan, resensi kritis, drama tulis, dan pola-pola fiksi dalam usaha memperoleh pemahaman
terhadap teks sehingga pembaca menggunakan strategi tertentu (Tarigan, 2008). Pemilihan strategi membaca
berkaitan erat dengan faktor-faktor yang terlibat dalam pemahaman, yaitu konteks dan pembaca teks itu sendiri.
Strategi Overview, Key, Read, Recall, Reflect, Review (OK4R) dan Extending Concept throught Language Activities
(ECOLA) merupakan dua strategi membaca pemahaman yang dapat dilakukan pada pembelajaran membaca. Kedua
strategi itu meliputi kegiatan persiapan membaca (prabaca), membaca dalam hati (membaca), dan tindak lanjut
(pascabaca). Penelitian ini bertujuan membandingkan penerapan strategi Overview, Key, Read, Recall, Reflect,
Review (OK4R) dan Extending Concept throught Language Activities (ECOLA) dalam meningkatkan kemampuan
membaca pemahaman siswa SD. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas III dan V dari empat SD yang terletak di
Jakarta. Peneliti membandingkan efektivitas dua strategi tersebut yang memiliki tahapan membaca yang berbeda.
Setiap strategi diterapkan di kelas rendah (III) dan di kelas tinggi (V). Setiap strategi yang diterapkan pada masing-
masing tingkatan dilakukan dua kali dengan materi bacaan yang berbeda untuk melihat peningkatan yang terjadi.
Setelah hasil diolah, peneliti membandingkan hasil peningkatan yang terjadi pada dua strategi tersebut dan pada dua
tingkatan kelas yang berbeda. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif untuk mengolah hasil
tes dan kualitatif untuk deskripsi pelaksanaan strategi membaca. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah tes
berupa pertanyaan bacaan yang dibuat sesuai kurikulum Bahasa Indonesia SD dan aspek kognitif tingkat pemahaman
(C2) sesuai teori taksonomi Bloom. Teknik analisis data yang digunakan adalah statistik inferensial (uji-T). Hasil tes
membaca pemahaman siswa diolah dengan uji-T untuk melihat perbedaan hasil membaca pemahaman dengan strategi
OK4R dan strategi ECOLA.
Kata kunci: Hasil kemampuan membaca pemahaman, strategi membaca OK4R, strategi membaca ECOLA

PENDAHULUAN
Membaca pemahaman dapat dikatakan sebagai suatu proses untuk mendapatkan informasi yang terdapat di
dalam teks bacaan untuk memahami isi bacaan tersebut. Menurut Tarigan (2008) membaca pemahaman atau
reading for understanding adalah jenis membaca untuk memahami standar-standar atau norma-norma
kesastraan, resensi kritis, drama tulis, dan pola-pola fiksi dalam usaha memeroleh pemahaman terhadap teks.
Pembaca dapat menggunakan strategi tertentu untuk mencapai tujuan membacanya. Pemilihan strategi itu
berkaitan erat dengan faktor-faktor yang terlibat dalam pemahaman, yaitu pembaca teks dan konteks.
Strategi Overview, Key, Read, Recall, Reflect, Review (OK4R) dan Extending Concept throught Language
Activities (ECOLA) merupakan dua strategi membaca pemahaman yang dapat dilakukan pada pembelajaran
membaca. Kedua strategi itu meliputi kegiatan persiapan membaca(prabaca), membaca dalam
hati(membaca), dan tindak lanjut(pascabaca). Pada penelitian ini mengkaji perbandingan kedua metode
tersebut secara kualitatif dan kuantitatif.

MEMBACA PEMAHAMAN
Membaca pemahaman minimal akan melibatkan dua keterampilan dasar membaca, yaitu keterampilan visual
dan keterampilan kognitif. Keterampilan visual adalah keterampilan membaca lambing-lambang bahasa tulis
dalam teks. Sementara itu, keterampilan kognitif adalah keterampilan memaknai informasi dan pesan yang
terdapat di dalam teks tersebut. Kedua keterampilan itu akan berperan secara timbal balik selama proses
membaca terjadi.
Menurut Brown (dalam Abidin, 2012:63) ada beberapa prinsip dasar dalam mendesain pembelajaran
membaca pemahaman. Beberapa prinsip tersebut, antara lain.
1. Yakinkanlah bahwa kita tidak mengabaikan pentingnya merumuskan tujuan pembelajaran membaca
secara spesifik.
2. Gunakan strategi pembelajaran membaca yang mampu membangun motivasi intrinsik siswa.
3. Perhatikan keaslian (sesuaikan dengan konteks siswa) dan keterbacaan wacana yang kita pilih.
4. Terapkan strategi membaca yang paling tepat untuk setiap bahan bacaan.
5. Terapkan model baca interaktif selama proses pembelajaran membaca.
6. Laksanakanlah prosedur pembelajaran membaca dengan tiga tahapan.
7. Gunakan prinsip strategi membaca pemahaman berikut dalam pelaksanaan proses pembelajaran.

255
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
a. Identifikasi tujuan bacaan secara jelas dan nyata.
b. Gunakan teknik membaca dalam hati yang efisien serta kecepatan membaca yang fleksibel.
c. Gunakan strategi membaca skimming untuk menemukan ide pokok bacaan.
d. Gunakan strategi membaca skaning untuk menemukan informasi khusus/penjelas.
e. Gunakan peta konsep untuk memahami bacaan.
f. Gunakan tebak kata untuk mendefinisikan kata yang belum diketahui maknanya.
g. Analisislah lebih lanjut kosakata yang belum dipahami dengan bantuan kamus.
h. Bedakan makna literal dan makna implikatif.
i. Tandai penanda wacana yang menandakan keterkaitan ide yang satu dengan ide yang lain.
8. Kembangkan aspek-aspek evaluasi untuk menguji keberdayagunaan strategi baca yang dipilih.
9. Lakukan penilaian, baik penilaian proses maupun penilaian membaca.
Dalam memahami bacaan, skemata pembaca sangat menentukan keberhasilan memahami bacaan.
Skemata adalah gambaran psikologis yang telah dimiliki pembaca ketika akan melakukan kebiatan
membaca. Seseorang yang telah memiliki skemata terkait isi bacaan yang akan dibacanya akan lebih mudah
memahami bacaan tersebut. Oleh karena itu, di dalam pembelajaran membaca pemahaman guru tidak dapat
hanya sekadar memberikan siswa teks bacaan lalu membacanya di dalam hati, kemudian menjawab
pertanyaan bacaan. Terutama kegiatan membaca pemahaman di SD. Siswa SD adalah siswa dengan usia
operasional konkret sehingga untuk memahami sebuah teks guru perlu membimbing kegiatan tersebut. Ada
banyak strategi dalam membaca pemahaman yang dapat dipilih guru. Untuk siswa SD strategi Extending
Concept Through Language Activities (ECOLA) dan Overview, Key, Read, Recall, Reflect, Review (OK4R)
dapat menjadi salah satu pilihan strategi guru dalam mengajarkan membaca pemahaman kepada siswa SD.
Pada kegiatan membaca pemahaman baik ECOLA maupun OK4R perlu melalui tiga tahapan, yaitu
tahap prabaca, tahap membaca dan tahap pascabaca. Tahapan demi tahapan mengarahkan siswa untuk
memberikan pemahaman mengenai isi bacaan yang telah disajikan. Biasanya pada tahapan prabaca siswa
diajak untuk memperoleh skemata, yaitu pengetahuan awal siswa sebelum memulai membaca. Tahap ini
dapat digambarkan seperti kegiatan apersepsi sebelum siswa mulai membaca. Pada tahap berikutnya, yaitu
tahap membaca, siswa diberikan kesempatan untuk membaca bacaan yang telah disajikan oleh guru.
Terakhir pada tahap pascabaca, siswa mengevaluasi kegiatan membacanya dengan berbagai bentuk cara
pemberian evaluasi seperti menjawab soal-soal dari bacaan maupun merangkum bacaan yang telah dibaca.

PERBANDINGAN METODE ECOLA DAN OK4R


Metode Extending Concept Through Language Activities (ECOLA)
Metode membaca ECOLA merupakan salah satu metode membaca pemahaman yang bertujuan
memfokuskan siswa dalam membangun pola membaca secara alamiah dan kebutuhan untuk memonitor
interpretasi yang dihasilkan. Pembelajaran menggunakan metode ECOLA benar-benar memperhatikan
beberapa pengalaman belajar, yaitu: membaca dengan tujuan yang jelas, menulis respons atas isi utama
bacaan; mengontrol diri melalui pengakuan secara jujur kesulitan yang mereka alami selama pembelajaran,
komitmen dalam membuat interpretasi bacaan, dan mendiskusikan metode yang tepat untuk meningkatkan
pemahaman tentang isi bacaan (Abidin 2012: 82).
Metode ECOLA dilaksanakan dalam beberapa tahapan pembelajaran sebagai berikut :
a. Tahap Prabaca
Pada tahap ini guru menjelaskan tujuan baca yang harus dicapai siswa. Secara jelas guru juga harus
memberikan arahan kepada siswa tentang hal apa yang harus direspons oleh siswa, keputusan-keputusan
yang harus dibuat siswa, dan menjelaskan bagaimana cara siswa membahas ide-ide kunci (misalnya
melalui diskusi). Dengan kata lain pada tahap ini guru telah menentukan tugas-tugas yang harus
diselesaikan siswa setelah membaca wacana.
b. Tahap Membaca
1) Membaca dalam hati
Pada tahap ini siswa membaca dalam hati wacana sejalan dengan tujuan baca dan tugas-tugas baca yang
telah dijelaskan oleh guru.
2) Kristalisasi pemahaman melalui kegiatan menulis
Pada tahapan ini siswa menuliskan kesulitan-kesulitannya dalam memahami bacaan serta
mengemukakan ketidakpahamannya atas isi bacaan. Selanjutnya siswa membuat respons sejalan dengan
tugas-tugas yang diberikan guru pada tahap prabaca secara tertulis.
3) Mendiskusikan materi bacaan
Pada tahap ini siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil. Tugas mereka adalah untuk membuat
interpretasi atas wacana yang telah dibacanya sejalan dengan tujuan dan tugas yang diberikan guru. Pada
tahap ini, siswa yang tidak mampu membuat respons secara benar dapat berusaha menggali pemahaman
dari temannya sehingga mereka harus mampu membuat simpulan baru atas pemaknaan isi bacaan.

256
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
c. Tahapan Pascabaca
Pada tahap ini siswa secara individu menyusun interpretasi kedua atas isi wacana sebagai hasil diskusi.
Metode OK4R (Overview, Key, Read, Recall, Reflect, Review)
Metode OK4R adalah metode membaca pemahaman yang dapat membantu siswa untuk lebih mudah
memahami bacaan dengan menerapkan langkah–langkah seperti prabaca, membaca, dan pascabaca. Berikut
adalah paparan tujuan, rasional, tahapan metode OK4R dan kesesuaian tingkat. Menurut Abidin (2012: 98)
metode OK4R secara umum bertujuan untuk membantu siswa dalam:
a. Mengaktifkan dirinya dalam mempelajari sebuah konsep melalui kegiatan merencanakan, memonitor,
dan mengevaluasi tahapan belajar yang dilaksanakannya.
b. Menggunakan proses menulis sebagai alat untuk mempelajari teks bacaan.
Tahapan pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan metode OK4R adalah sebagai berikut.
a. Tahap Prabaca
1) Mempersiapkan bahan bacaan
Guru mempersiapkan bacaan yang akan dibaca siswa. Selanjutnya guru juga memperkenalkan wacana
tersebut secara sekilas.
2) Siswa membaca sekilas wacana(Overview)
Siswa membaca sekilas wacana yang diberikan guru.
3) Menyusun kata kunci (Key)
Berdasarkan hasil membaca sekilas yang dilakukannya, siswa menyusun beberapa kata kunci yang akan
dijabarkan setelah ia melaksanakan kegiatan membaca yang sesungguhnya. Kata kunci tersebut
selanjutnya dikembangkan menjadi pertanyaan-pertanyaan.
b. Tahap Membaca
1) Membaca dalam hati (Read)
Guna menjawab pertanyaan yang diajukannya, siswa membaca dalam hati wacana yang diberikan guru.
Kegiatan baca dilakukan dengan cara membaca cepat. Jika menemukan jawaban, siswa membaca lambat
pada bagian itu agar jawaban tersebut dapat diingat.
2) Menceritakan kembali (Recall)
Pada tahap ini siswa menyusun pertanyaan dan selanjutnya menceritakan kembali isi wacana tanpa
melihat wacana. Kata-kata kunci yang diajukan dapat dijadikan panduan dalam menceritakan kembali isi
wacana. Proses menceritakan kembali dilakukan dengan cara tertulis.
c. Tahap Pascabaca
1) Refleksi(Reflect)
Pada tahap ini siswa membandingkan informasi yang telah diperolehnya/skemata dengan informasi baru
yang didapatkan dari hasil membaca dan menceritakan kembali. Proses berpikir kreatif sangat berperan
dalam tahapan ini, yakni siswa harus mampu mengembangkan pengetahuan lama yang telah dimilikinya
dengan panduan pertanyaan.
2) Meninjau Ulang(Review)
Pada tahap ini siswa menceritakan kembali pemahaman isi wacana hanya melihat catatan yang
dihasilkannya pada tahap mengembangkan jawaban pertanyaan.

ANALISIS DATA
Penerapan metode ECOLA dan OK4R mampu meningkatkan hasil belajar siswa baik siswa di kelas III
maupun siswa kelas V. Kenaikan itu dapat dilihat dari rerata prasiklus ke siklus I yang mengalami
peningkatan cukup besar juga dari siklus I ke siklus II yang mengalami kenaikan sekitar 10-20 poin. Berikut
ini akan disajikan tabel hasil rerata nilai siswa pada metode ECOLA maupun metode OK4R, baik di kelas III
maupun kelas V.
METODE ECOLA METODE OK4R
Prasiklus Siklus I Siklus II Rerata Gabungan KELAS Prasiklus Siklus I Siklus II Rerata Gabungan
62 75 85 80 III 59 73 91 82
58 68 84 76 V 56 70 86 78
Berdasarkan analisis statistik menggunakan SPSS 22 melalui uji-t dua sampel independen pada
penerapan kedua metode tersebut ditemukan bahwa tidak ada perbedaan karena diperoleh p-value = 0,077
(kelas V) dan p-value = 0.523 sehingga Ho diterima. Dengan kata lain, asumsi kedua variabel sama besar
(equal variances assumed) terpenuhi, sehingga kita menggunakan asumsi variance sama. Ini artinya
penerapan metode ECOLA dan metode OK4R baik di kelas III dan kelas V tidak ada perbedaan hasil.
Berikut akan disajikan hasil penghitungan Independent Samples Test.

257
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016

Independent Samples Test


Levene's Test for
Equality of
Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence
Interval of the
Sig. (2- Mean Std. Error Difference
F Sig. t df tailed) Difference Difference Lower Upper
Kelas V Equal
variances 3,240 ,077 ,477 58 ,635 1,900 3,982 -6,071 9,871
assumed
Equal
variances
,477 54,647 ,635 1,900 3,982 -6,082 9,882
not
assumed
Independent Samples Test
Levene's Test for
Equality of
Variances t-test for Equality of Means
95% Confidence
Interval of the
Sig. (2- Mean Std. Error Difference
F Sig. t df tailed) Difference Difference Lower Upper
Kelas III Equal
variances ,413 ,523 1,077 58 ,286 2,633 2,445 -2,261 7,528
assumed
Equal
variances
1,077 52,818 ,286 2,633 2,445 -2,271 7,538
not
assumed

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penerapan metode membaca pemahaman dengan
ECOLA maupun OK4R dapat meningkatkan kemampuan membaca siswa. Hal ini dapat terlihat dari
peningkatan nilai rerata dari prasiklus ke siklus I dan dari siklus I ke siklus II. Penerapan metode ini
membuat siswa lebig mengerti isi wacana yang dibacanya. Namun, tidak ada perbedaan pada penerapan
kedua metode tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Abidin,Y. 2012. Pembelajaran membaca berbasis pendidikan karakter. Bandung: Refika Aditama.
Dalman. 2013. Keterampilan membaca. Jakarta: Rajawali Pers.
Hairudin, dkk. (2008). Pembelajaran bahasa Indonesia. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas.
Musfiqon. 2012. Panduan lengkap metodologi penelitian pendidikan. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Purwanto. 2011. Evaluasi hasil belajar. Jakarta : Pustaka Belajar.
Rahim,F.2005. Pembelajaran membaca di sekolah dasar. Jakarta: Bumi Aksara.
Uno, Hamzah B., Masri Kudrat Umar, Keysar Panjaitan. 2014. Variabel penelitian dalam pendidikan dan
pembelajaran. Jakarta: Ina Publikatama.
Uyanto, S. 2009. Pedoman analisis data dengan SPSS. Yogyakarta: Graha Ilmu.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Yohanna Claudia Dhian Ariani Harbelubun
Institusi : Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Riwayat Pendidikan : S2 Linguistik Universitas Indonesia
S1 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sanata Dharma
Minat Penelitian : • Pendidikan dan Pembelajaran Bahasa Indonesia
• Pembelajaran Sekolah Dasar

258
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
THE POWER STRUGGLE IN THE TESTIMONY OF SUDIRMAN SAID TO THE HOUSE
ETHICS COUNCIL (MKD)

Nurhayati
Universitas Diponegoro
noerhytwid@yahoo.com

ABSTRACT
In the reformation era, two institutions in Indonesia that always struggle for power are the executive and legislative
institution. Their struggle is mostly enacted through discourse produced by their members. Recently, media have
exposed news representing political conflict between the two institutions. It was triggered by the act of Sudirman
Said as Energy and mineral Resources Minister reporting Setya Novanto as Indonesian House Speaker to MKD for
allegation of ethical violation regarding a meeting among three people: Setya Novanto, Maroef Syamsoeddin (the
leader of PT Freeport Indonesia), and oil tycoon Reza Chalid. Responding to the conflict, members of the two
institutions produced discourse performing their power struggle. Their choice of lexicogrammatical aspects in the
discourse may represent the acts of reasserting, sustaining, and winnning power. This study concerns with political
discourse representing their conflict related to the Freeport case. It is the political event of uttering and listening to
the testimony of Sudirman Said to the members of MKD, clarifying his action to report Setya Novanto to MKD. The
study aims to uncover that the discourses of Sudirman Said and the members of MKD, represent the two opposing
institutions to exercise power. Using critical discourse analysis approach proposed by Fairclough (1989, 2003, 2010)
and van Dijk (1993, 1997, 2001), I want to answer two research questions: (i) what kinds of lexicogrammar forms are
chosen to represent the power relation between the two opposing institutions? and (ii) what is the relation between
the discourse practice and socio-cultural contexts? Data are the utterances of Sudirman Said’s testimony and of
members of MKD’s investigation. The data were collected from the recorded event of testimony uploaded in Youtube.
I downloaded the record and transcribed it into the written text. To analyze data, I use three stages of doing critical
disourse analysis, those are describing formal properties of the text, interpreting the discourse process, and explaining
the relationship between discourse and social context. The preliminary finding shows that MKD exercised their power
through (i) controlling the access of Sudirman said in giving information and clarification, (ii) asking non-essential
questions, (iii) using question tags for getting justification, and (iv) controlling shared knowledge through
manipulating presuppotions. On the other hand, Sudirman Said challenged the MKD’s power through (i) not
answering the question; (ii) avoiding to give detail explannation; and (iii) giving the unquestioned information. The
such discourses were produced because both institutions claim as having position that can not be intervened. On the
other hand, the ways of action (genre) in the discourse event may be shaped by other genre, that is the genre of
interrogation in court.
Keywords: unequal power relation, domination, sustaining power, challenging power, manipulating meaning

INTRODUCTION
One of the impacts of social change resulted from the freedom of the press in Indonesia is that common
people can consume political events in which they don’t have acces directly. This also increases the interest
of social scientists as well as linguists to study political discourses using a critical approach (see Amir,
2014; Santosa et al. ,2014; Wariyanti, 2014; Nurhayati, 2015a; 2015b; and Zifana and Wintarsih, 2015). The
increasing number of the critical studies about political discourses will keep continuing because of the
dynamic discourse practice in political domain.
In the end of 2015, there was a freeport gate involving the speaker of the Indonesian House of
Representative, Setya Novanto, and oil and gas tycoon Mohammad Riza Chalid. The gate came to public
after Minister of Energy and Mineral Resources, Sudirman Said (SS), reported Setya Novanto, to the Court
of Honor Council (MKD), for profiteering name of President and Vice President in the Freeport contract
extension and for asking the entire 20 percent divestment of the stake in Freeport Indonesia. The gate
became more popular after the recording of conversation in a meeting attended by Novanto, Chalid, and
Freeport Indonesia CEO Maroef Sjamsoeddin was known in media. The polemic became the conflict
between two institutions, legislative vs. executive institutions. There is a big narration constructed in the
conflict. One of them is the action of asking Sudirman Said, Ma’ruf Syamsudin, and Setya Novanto,
respectively for giving their testimony in the ethic tribunal hearing. Embeded in the hearing forum is the
discourse of power struggle between the two institutions which normatively have balanced power.
Through the paper, I want to analyse the discourse produced by SS and members of MKD in the
first ethic tribunal hearing. In the study, I purpose to uncover the way the two institutions exercise their
power through talk and text. To achieve the purpose of the study, I will answer three research questions: (i)
what linguistic expressions were used to exercise and to challenge power; (ii) what background knowledge
influenced the process of exercising and challenging power; and (iii) how power relationship determines
the discourse.
259
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
METHODOLOGY
This is qualitative research using the first ethics tribunal hearing as the source of data. The discourse
practice was being aired live on national television and then uploaded in Youtube. Data of the research are
utterances between Sudirman Said and 16 members of MKD in the hearing, downloaded from Youtube.
Using critical discourse analysis approach, I start analysing the data from describing formal properties of the
text covering lexical, grammatical, and textual level (Fairclough 2001: 92-93). The second stage is
interpreating the process of producing the text through situational context and background knowledge or
member’s resource (MR) (Fairclough 2001: 118). The third stage is explaining the way the power
relationship between the institutions shapes the discourse practice of the hearing.

POWER AND DISCOURSE


In critical discourse analysis, power is generally defined as the ability of control by one group over the
others (van Dijk 2008:9). In this case, we talk about groups or institutions rather than personal. In a society,
power relations can be built between social groupings such as between men and women, old and young,
government and citizens, doctor and patients (Fairclough 2001: 28). Power may be used in positive or
neutral way, such as to protect, to govern, or to teach other groups without producing negative impacts of the
power exercise. The such power is categorized as legitimate power. On the contrary, if power is used to
control other groups for the benefit of certain group and it causes other groups loss their social rights, the
power exercise is illegitimate and it is called power abuse (van Dijk 2008: 17). In fact, many groups
accidentally articulate illegitimate power to create unequal power relation. It is usually articulated by a
dominant group over dominated groups to sustain its position. From the differentiation, van Dijk (2008: 17)
differentiates ligitimate power use from illegitimate power abuse. Exercising power abuse or exercising
domination is violating fundamental norms and values to fulfill the needs of the dominant (van Dijk 2008:
18). CDA is, therefore, more interested in the latter. CDA gives priority to uncover the way certain group
produces their discourse to exercise their domination over other groups.
Power can be control over action, acces, minds, or discourse. Control over action means that a
group has a capacity to regulate, to command, or to constraint other groups to do something. Control over
acces can be seen for example in the way media decides what events are broadcasted, who is interviewed or
whose statements are cited. Control over minds is the practice of influencing the minds of group’s members
to make certain meaning rather than other meanings. Control over discourse means the capacity of one group
to control other groups in producing discourse. It covers what can or should be said, how events or
happenings can or should be expressed, which speech acts can or should be conducted, and how are the
speech acts organized (van Dijk 2008: 10-11).
The mentioned aspects that are goal of crontol are interelated. Hundred years ago, exercising power
might be more effective through controlling actions. However, at the present time, it is controlling mind that
becomes the most effective way because controlling mind has impacts of controlling discourse, actions,
acces, etc. In domination, controlling mind can be realized through communicative power abuse in the form
of manipulation, indoctrination, and disinfomation (van Dijk 2008: 18). It means that power relation in a
society is manifested in social interaction. The dominant group will select mode of interaction to practice
their controlling. In verbal mode of interaction, they will select certain language properties to exercise their
power. The dominated groups, accordingly, must know the dominant’s wishes, wants, preferences,
intentions (van Dijk 2008: 29). The dominant may exercise their discourse of power using direct commands
or indirectly through inferential process.

DISCUSSION
The first ethic tribunal hearing that invited Sudirman Said (SS) to give his testimony was conducted in the
parliament building, on December 2, 2015. The setting was like in the court room, in which there were 16
members of parliamentary ethics board. One of them was positioned as the chairman and SS was
positioned as a witness who has to give information and clarification in order to decide whether or not the
speaker of the House of Representative, Setya Novanto, is against the ethic. The genre of Discourse is in
the form of formal interview, in which the plaintiff would speak up only if he was asked to do it. The
physical context of situation and the type of genre represent an unequal power relation between the
interviwers and the witness. The interview limited the freedom of plaintiff in giving information. His
discourse is controlled by the board. On the other hand, outside the hearings, Sudirman Said and the board
represent the two insititutions that according to constitution have a relative equal power. It caused the board
could not exercise their domination absolutely and the witness didn’t always receiving the power domination
during the testimony. Sometimes SS also challenged the power. That is why the hearing session is the site
of power struggle.

260
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
LINGUISTIC PROPERTIES TO EXCHANGE POWER
I will divide the description in two parts, those are the linguistic properties used by the parliamentary ethics
board and the ones used by S S. I will not discuss all the properties, but only those which function
dominantly to exercise power. They are pronoun, mood system, modality, turn taking system, topic selection,
and rhetoric.
In the hearing session, the board addressed S S saudara pengadu and sometimes Anda or Bapak.
The terms of address are usually used to signal the formal distance between interactants. In interviewing,
instead of imperative mood, the board mainly used declarative or interrogrative mood. Clauses in
declarative mood are used to give information related to the questions asked. They are used as background
or co-text of the questions. Some of the information delivered in declarative clauses are new and some
others are old information. However, the board sometimes manipulated the declarative clauses to accuse S S.
Look at the excerpt of one of the board, Sufmi Dasco, in the following example.
(1) (i) Ada ketidakkonsistenan Bapak dalam hal masalah pembahasan soal pemburu rente, Pak. (ii) Jadi kalau
dilihat dari laporan dan tindakan Bapak, (iii) Bapak ada tebang pilih soal pemburu rente yang katanya harus
kita basmi. (iv) Kalau kita konsisten seperti tadi teman-teman bilang, (v) yang menggunakan kekuasaan
untuk memburu rente itu adalah pelanggaran hukum. (vi) Tentunya harus dilaporkan ke penegak hukum.
(vii) Dan kalau dilihat dari laporan, dari transkrip, dari rekaman yang ada, (viii) kan di sini Bapak
seharusnya punya kesimpulan, (ix) pemburu rentenya tidak hanya satu, seorang pejabat negara yang bisa
dilaporkan ke MKD. (x) Ada orang swasta yang tidak masuk ke ranah MKD. (xi) Kalau memang
konsisten, (xii) laporkan ke penegak hukum dua-duanya. (xiii) Sudah pasti kalau ada pelanggaran hukum
pasti ada pelanggaran etika. Jadi kita nggak kerja dua kali.
In the example, there are twelve declarative clauses and one imperative clause. The main function of
declarative is to give information, goods, or services. In clauses (i) and (iii), the speaker gives information
that subject, SS, conducted activties of doing inconsistent act and selecting a case of corruption that should
be eradicated. The information receiver is S S who is the subject of the clause. The two activities are
categorized into bad activities. Giving information to the interlocutor that he conducted bad activities is the
act of accusing him, instead of merely informing. There are many such declarative clauses that were
manipulated to accuse the plaintiff. The situational context of the discourse is that the two institutions were
in conflict because of previously Said’s report. Connected to the situational context, it is possible that MKD
may have taken revenge. In the situation, MKD had power to do that. That is why the such discourse may
represent their power abuse to accuse S S.
The dominant use of mood system in the hearing is in the form of interrogative mood. It is
appropriate with the discourse type, that is interview or interrogation. The board used their legitimate power
to ask for clarification related to the ethical problem of which S N was accused. The information asked was
about the chronology of the meeting between S S, R C, and M S; the originality of recording; and the
relationship between S S and PT Freeport Indonesia. The board used W-H questions, Yes/No questions, and
declarative clauses with rising intonation. Using those interrogative moods, the board actually excercised
their power to control S S’s freedom in giving the clarification or testimonies. He only gave the information
as required. Similar to the previous explanation, the board also articulated their power abuse not only
through asking for clarification, but also through doing accusation using a negative interrogative clause
“Kenapa tidak...?” (Why don’t you...?). Look at the examples of the excerpts below.
(2) Kenapa Anda tidak melaporkannya ke aparat hukum? (M. Prakosa)
(3) Kenapa Anda tidak berkoordinasi sementara ada pihak di sini disebutkan bernama Luhut B. Panjaitan,
atau Anda tidak mau mengambil resiko itu? (Akbar Faisal)
The context attached to the questions is that: (i) the interviewer assumed that S S has ability to
judge that the action of Setya Novanto intervening is aginst the law; (ii) the interviewers assumed that S S
had opportunity to take the case to court; (ii) the plaintiff only reported Setya Novanto to MKD, instead of
taking him to court. Therefore, the board accused that S S had opportunity to take Setya Novanto to court,
but he didn’t do it.
The members of the board also produced clauses that contain modalities such as harus, seharusnya,
dan mestinya. Those modal markers signal the authority owned by the board in giving judgement or
imposing obligation upon the subject of the propositions who is S S. The use of such modal markers
represents the unequal power relation between the two parties. Using the such modal markers, the members
of the board used their power over the plaintiff to give indirect command.
Another linguistic property that is exploited to articulate power is through controlling the turn
system. As the interviwers, the members of the board have dominant right to distribute the turn. They used
their authority to decide when they start dialogue, when they give the turn to S S, and when they stop his
utterance. Interrupting S S was conducted whenever the interviewer felt that S S didn’t give the required

261
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
information or when the interviwer wanted to change the topic. It means that the interviewer kept controlling
the flow of the dialogue for the interest of his institution.
During the hearing, there were some topics that were asked by the board. The topics are not merely
about the allegation of Setya Novanto, such as the originality of the recording, the chronological meeting
between Setya Novanto, Reza Chalid, and Maroef Syamsoeddin, or the relationship between S S and Setya
Novanto, but also about issues that don’t have direct relation with the ethical violation. The freedom of the
members of the board to ask various topics reveals the unequal power relation in the hearing. Below are the
examples of questions that don’t refer to the main topic.
(4) ... dari rekaman yang Saudara kutip ini, Pak Luhut pernah bicara dengan Jim Bob di Amerika. Apa yang
dibicarakan antara pak Luhut dengan Jim Bob? (Syarifudin Sudding)
(5) Kenapa Anda begitu patuh untuk menyerahkan ini (rekaman) kepada para pihak ? (Ridwan Bae)
(6) Apakah Anda melaporkan ini ke Presiden? (Akbar Faisal)
(7) Apa maksud dan tujuan Saudara menjawab surat (kepada Freeport) itu? (Guntur Sasono)
(8) Pak Ketua, S N, sudah memberikan maaf kepada Pengadu. Bagaimana menurut pengadu. Pemberian maaf
ini diterima atau tidak? (Guntur Sasono)
Now, it comes to describe the linguistic properties used by S S in responding the board’s questions. I
will start describing the addressing term used by S S. If the board has freedom to choose three alternations of
addressing him as mentioned previously, S S only used one form of addressing term, that is Yang Mulia
(Your Majesty). He was constrained by the norm of the court. Using the term, SS is forced to admid that
there was an unequal power relation between him and the interviewers.
During the testimony, SS used declarative mood to give information asked by the interviewer.
However, the domination of the board in interviewing was sometimes challenged by SS through several
ways. The first is the use of negative sentence “Saya tidak tahu”. As we know that in this ethical court,
some of the information asked had already been known by the interviewer from the letter of complaint, from
the part of the recording, and from the media. The questions were more intended to ask for clarification and
to know the consistency of the witness in giving testimony. The negative sentence “Saya tidak tahu” is used
to respons the board’s the questions that, according to SS, didn’t have relation with their complaint. The
negative sentence is an alternate of keep silence or not answering, because not answering the question in
court is accused contempt of court. Therefore, saying “Saya tidak tahu” may be thought as the effective
strategy of not answering the question. The second way of challenging the domination is by protesting that
the question is irrelevant. Another strategy to avoid answering the question is through violating maxim of
relevance. Here is the example.
(9) AF : Artinya, Anda membantah pernyataan kolega Anda di kabinet bahwa anda tidak melakukan
koordinasi dengan presiden dan wakil presiden ya? Iya atau tidak Pak?
SS : Presiden memberi arahan, para mentri tidak boleh berpolemik, tetapi saya menyatakan bahwa
semua informasi sudah saya sampaikan kepada Presiden dan Wakil Presiden.
The example shows that the interviewer, Ahmad Faisal, asked Yes/No question. It is stressed using
second clause, “Iya atau tidak Pak?”. The question is a form of inferencing produced by the interviewer.
Yes/No question was chosen to ask for clarification. On the other hand, giving direct clarification as required
may result a dilemmatic position. Therefore, instead of saying Yes or No, or of not answering, SS produced
a proposition that is less relevant “Presiden memberi arahan, para mentri tidak boleh berpolemik”. Uttering
the proposition implies that SS didn’t want to answer the question.
As mentioned before, the members of the board as the dominant participants controlled the turn
system of the hearing. SS took turn after the interviewer finished his utterance and gave a clue that he gave
the turn to him.This is the representation of power relation between the powerfull and the powerless. I have
also mentioned that the interviwers had power to interrupt the utterance of the witness. However, SS did not
accept the domination absolutely. In the hearing, there is an excerpt in that SS challenged the domination
through violating the turn system and a politeness norm. Look the excerpt below.
(10) KM 1 : Saudara kan tadi dengan gegap gempita “ada pemburu rente”. Di sini kalau saudara melakukan
kebijakan, melanggar Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pantas diduga,
pantas diduga, jangan-jangan yahh termasuk bagian itu. Ini Undang-Undang yang dilanggar ini
Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia.
SS 2: Saya keberatan dengan tuduhan yang mulia.
KM 3: Saya kan tidak menuduh, saya cuma bertanya
SS 4 : Yang mulia menuduh saya. Yang mulia menuduh saya. Dan menghakimi saya telah melanggar
hukum.
KM 5: Ya faktanya, Saya tanya jawaban saudara Ya.
SS 6 : Silahkan diulangi dan saya akan catat bahwa yang mulia menuduh saya melanggar hukum.

262
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
In the example, number without bracket refers to turn. Therefore, there are six turns started by Kahar
Muzakir. In the first turn, eventhough using hedges pantas diduga and jangan-jangan, he used declarative
clauses to make accusing. It is a form of power abuse because the session should be used to hear testimony
or asking for clarification from the witness, instead of accusing him. Realizing that he was accused of
violating the law, SS took turn to do complaining, eventhough there was no clue that KM would give him
the turn. Next, in turn (4), SS even grabbed or interrupted KM’s turn before he finished his turn. This is not
usual in the hearing. This is the struggle of power conducted by the dominated participant. The next
challenge was conducted by the witness, SS, through the threatening the dominant participant.

INTERPRETATION AND EXPLANATION


The place, the sitting organization, and the uniform worn by the board constructed that the discourse event
happened between two participants in unequal power. The board used their legitimate power to hear the
information from the witness relating to his understanding the case. However, the social change in
Indonesian politic from executive heavy to legislative heavy makes the members of the board tend to abuse
their power over the witness to sustain their position. They tried to find the facts that the complaint reported
by SS to MKD was illegitimate. On the contrary, SS, representing the executive institution, tried to struggle
the power abuse, so the genre in the discourse was not absolutely like an interview in court. SS exercised his
power to challenge the domination of the board.
Based on the interpretation, it comes to the explanation that the discourse in the hearing belongs to
the struggle between legislative and executive institution to sustain power. The discourse practice in court
and the reforming the function of legislative as ‘check and balance’ of the executive performance are the
major determinant of MKD in conducting the discourse.

CONCLUSION
Using the critical discourse analysis, We can ‘read’ the ethic tribunal hearing as a site to struggle for power
between two institutions. The dominant institution tried to exercise not only their legitimate power but also
the illegitimate power abuse to sustain the domination. They manipulated linguistic expressions to articulate
the power. On the other side, the executive institution as the dominated institution tried to challenge the
domination through violating the norms of ethical court.

REFERENCES
Amir, Johar. 2014. Permainan Kata-kata dalam Wacana Politik sebagai Wahana Meraih kekuasaan. In
KIMLI.2014. International Seminar Proceedings. MLI in collaboration with Universitas Lampung.
Fairclough, Norman. 2001. Language and Power . 2nd edn. London: Longman
Fairclough, Norman. 2003. Analysing Discourse: Textual Analysis for Social Research. London: Routledge.
Nurhayati. 2015a. Reviewing the Application of Critical Discourse Analysis on Seminar Papers. In KOLITA 13.
International Seminar Proceedings. PKBB, Atma Jaya University.
Nurhayati. 2015b. Political Discourse Analysis of Megawati's Speech in the Opening of the Fourth Congress of the
PDIP. In LAMAS IV. 2014. International Seminar Proceedings. Master Program in Linguistics, UNDIP in
collaboration with Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah.
Riyadi, et.al. 2014. Bahasa Demo Orasi. In KIMLI. 2014. International Seminar Proceedings. MLI in collaboration with
Universitas Lampung.
van Dijk, Teun A. 2008. Discourse and Power. New York: Palgrave Macmillan.
Wariyanti. 2014. Bahasa dan Kekuasaan: antara Bahasa, Moral, dan Hukum dalam Pemilihan Walikota Kediri 2013. In
KIMLI. 2014. International Seminar Proceedings. MLI in collaboration with Universitas Lampung
Zifana, Mahardika; Wintarsih. 2015. Representasi Ratu Atut Chosiyah pada Pemberitaan Kasus Korupsi Alat
Kesehatan Provinsi Banten dan Suap Pilkada Lebak di Portal Berita Vivanews dan Suara Karya. In KOLITA
13. International Seminar Proceedings. PKBB, Atma Jaya University

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Nurhayati
Institution : Universitas Diponegoro
Education : S2 dan S3 Linguistik Universitas Indonesia
S1 Sastra Inggris Universitas Diponegoro
Research Interst : • Descriptive Discourse Analysis
• Critical Discourse Analysis
• Pragmatics

263
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
LEKSIKON SEBAGAI SARANA MARJINALISASI: KAJIAN AWK DALAM BERITA KASUS
GAFATAR DAN TERORISME

Fransisca Dwi Harjanti


Universitas Wijaya Kusuma
fransisca_dwiharjanti@yahoo.com

ABSTRAK
Bahasa yang digunakan di media massa memiliki beberapa fungsi di antaranya sebagai alat untuk mengonstruksi
realitas sosial yang ada di masyarakat, sebagai alat yang digunakan untuk membangun hubungan sosial yang ada di
masyarakat, dan sebagai alat untuk membuat pernyataan. Pernyataan tersebut berasal dari berbagai kelompok yang
memiliki kepentingan dan tujuan tertentu. Kepentingan tersebut bisa berasal dari orang-orang yang memiliki
kepentingan dalam proses produksi berita, bahkan dari wartawan sendiri sebagai penulis berita. Hal ini disebabkan
wartawan merupakan bagian dari kelompok yang ada di masyarakat, yang memiliki tujuan yang hendak diperjuangkan.
Bahasa juga digunakan sebagai untuk membangun dan memelihara dan membangun hubungan social di masyarakat.
Hal ini di karenakan bahasa yang digunakan di media massa memiliki potensi yang besar untuk memengaruhi
pandangan masyarakat terhadap realitas yang sedang terjadi. Pandangan masyarakat terhadap realitas yang sedang
terjadi dan pandangan dalam menyikapi permasalahan dapat memengaruhi hubungan sosial. Begitu pentingnya
peranan bahasa di media massa, maka seharusnya penggunaannya perlu diperhatikan. Beberapa di antara kode etik
jurnalistik yang harus dipatuhi antara lain adalah bahwa pemberitaan di media massa perlu objektif. Objektif berarti
bahwa dalam pemilihan narasumber berita harus berimbang, tidak berat sebelah, dan tidak berpihak pada kelompok
atau golongan tertentu. Objektivitas dibutuhkan agar media dapat bersikap netral. Kenetralan dibutuhkan media
dalam menyampaikan fakta atau peristiwa kepada masyarakat. Bahasa dalam media massa perlu memperhatikan
kaidah yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar terhindar dari pemakaian bahasa yang tidak lazim. Dalam
kenyataannya masih terjadi ketidaknetralan dalam peliputan dan pelaporan berita. Hal ini tempak saat pemilihan
narasumber dalam peliputan berita dan penggunaan bahasa. Sebenarnya penggunaan bahasa di media massa tidak
jauh berbeda dengan wacana yang lain. Bahasa di media massa tidak hanya digunakan untuk mengomunikasikan
pesan kepada masyarakat namun juga digunakan untuk mengonstruksi realitas social. Ketidaknetralan dalam media
tampak dalam pemilihan strategi wacana. Satu di antara beberapa bentuk strategi yang digunakan wartawan dalam
peliputan maupun pelaporan berita adalah marginalisasi. Marjinalisasi merupakan strategi yang digunakan dalam
wacana media massa, khususnya dalam wacana berita. Marginalisasi berhubungan dengan pemburukan seseorang
dalam perbincangan publik. Mereka diperbincangkan dan dibicarakan, namun dipandang buruk. Marjinalisasi terjadi
di banyak tempat dan banyak sisi kehidupan ketika seseorang yang memiliki otoritas dan kemampuan menganggap
kelompok lain buruk. Ada beberapa praktik pemakaian bahasa sesuai strategi ini, di antaranya adalah eufemisme,
disfemisme, labelisasi, dan stereotipe. Makalah ini mengkaji praktik marjinalisasi dalam wacana berita, khususnya
berita yang saat ini sedang menjadi perbincangan publik, yakni kasus Gerakan Fajar Nusantara dan pengeboman di
Jakarta. Data bersumber dari wacana berita di media massa cetak, khususnya Jawa Pos dan Kompas. Pisau bedah
yang digunakan untuk mengkaji wacana teks media adalah analisis wacana kritis. Tujuan dari penulisan makalah ini
adalah untuk mendeskripsikan penggunaan strategi marjinalisasi yang meliputi eufemisme, disfemisme, labelisasi, dan
stereotipe. Data yang digunakan sebagai bahan analisis diambil dari berita yang dimuat di media massa cetak. Berita
yang dijadikan bahan analisis dikhususkan pada berita tentang pembubaran kelompok Gafatar atau Gerakan Fajar
Nusantara dan Pengeboman di Jakarta. Metode pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi. Metode
penganalisisan data menggunakan analisis wacana kritis yang bersumber dari teori Fairclaugh (1995) yang mencakup
tiga dimensi, yakni (a) teks, (b) praksis kewacanaan, dan (c) praksis sosio budaya. Proses analisisnya dilakukan dalam
tiga tahap, yakni (a) deskripsi, (b) penafsiran, dan (c) penjelasan. Hasil penelitian membuktikan bahwa dalam kasus
Gafatar dan terorisme leksikon-leksikon tertentu digunakan kelompok yang memiliki kekuasaan untuk melakukan
praktik marjinalisasi terhadap kelompok lain. Leksikon yang bermakna eufemisme digunakan untuk menyebut tindakan
yang dilakukan kelompok atas, misalnya pengamanan. Leksikon yang bermakna disfemisme digunakan untuk menyebut
tindakan yang dilakukan kelompok bawah, misalnya aksi teror, pengeboman. Dalam praktik labelisasi, beberapa
leksikon seperti teroris, terduga teroris, residivis teroris, kelompok aliran sesat, pengungsi, ormas sesat digunakan
untuk mendeskriminasikan kelompok tertentu yang berseberangan dengan pemerintah.
Kata kunci: Leksikon, Marjinalisasi, Analisis Wacana Kritis

PENDAHULUAN
Bahasa yang digunakan dalam berita memiliki fungsi yang sebagai alat untuk berkomunikasi. Hal ini sama
dengan fungsi bahasa secara umum, yakni sebagai alat untuk berkomunikasi. Sebagai alat komunikasi
bahasa dalam berita digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada komunikan. Pesan
yang ingin disampaikan komunikator kepada komunikan dalam berita bukanlah pesan yang bebas nilai,
tetapi pesan yang penuh dengan kepentingan dan tujuan. Meskipun pesan-pesan yang disampaikan dalam
wacana berita berisi realitas yang terjadi dalam masyarakat, namun realitas yang dibentuk melalui media
bahasa bukanlah yang bebas nilai. Realitas sosial yang dikonstruksi melalui media bahasa sangat ditentukan
264
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
oleh “penguasa” bahasa itu. Hal ini sesuai dengan pandangan kaum konstruktivistik yang menyatakan bahwa
dalam pembentukan realitas, bahasa telah membantu kelopmpok penguasa untuk melakukan penindasan
simbolik atas realitas yang tidak bebas nilai (Artha, 2002).
Dalam hal ini “penguasa” bahasa sebagai komunikator memiliki kekuatan untuk mengubah
komunikan sesuai dengan keinginannya. Siregar (2006) berpendapat bahwa setiap komunikasi yang terjadi
di media massa memiliki potensi untuk mengubah komunikan sesuai dengan keinginan komunikator.
Dengan demikian komunikan, dalam hal ini adalah pembaca surat kabar akan ditempatkan sebagai objek
yang pasif yang dengan mudah diubah sesuai dengan keinginan komunikator. Melalui media massa, bahasa
digunakan sebagai sarana untuk mewujudkan kepentingan komunikator. Kepentingan tersebut meliputi
politik, agama, sosial, ideologi, dan lain-lain.
Begitu pentingnya peranan bahasa di media massa, maka seharusnya penggunaannya perlu
diperhatikan. Beberapa di antara kode etik jurnalistik yang harus dipatuhi antara lain adalah bahwa
pemberitaan di media massa perlu objektif. Objektif berarti bahwa dalam pemilihan narasumber berita harus
berimbang, tidak berat sebelah, dan tidak berpihak pada kelompok atau golongan tertentu. Objektivitas
dibutuhkan agar media dapat bersikap netral. Kenetralan dibutuhkan media dalam menyampaikan fakta atau
peristiwa kepada masyarakat. Bahasa dalam media massa perlu memperhatikan kaidah yang berlaku. Hal ini
dimaksudkan agar terhindar dari pemakaian bahasa yang tidak lazim.
Dalam kenyataannya masih terjadi ketidaknetralan dalam peliputan dan pelaporan berita. Hal ini
tempak saat pemilihan narasumber dalam peliputan berita dan penggunaan bahasa. Peran wartawan sebagai
pelapor dan peliput berita juga turut menentukan keobjektifan sebuah berita. Wartawan sebagai penulis
berita, merupakan bagian dari anggota kelompok tertentu yang memiliki kepentingan yang hendak
diperjuangkan. Menurut Eriyanto (2005) wartawan merupakan bagian dari kelompok atau kelas tertentu
dalam masyarakat yang memiliki nilai dan ideology tertentu yang hendak diperjuangkan. Dengan demikian
akan terjadi pemihakan pada kelompok sendiri dan pemburukan pada kelompok lain.
Ketidaknetralan dalam media tampak dalam pemilihan strategi wacana. Satu di antara beberapa
bentuk strategi yang digunakan wartawan dalam peliputan maupun pelaporan berita adalah marjinalisasi.
Marjinalisasi merupakan strategi yang digunakan dalam wacana media massa, khususnya dalam wacana
berita. Marjinalisasi berhubungan dengan pemburukan seseorang dalam perbincangan publik. Mereka
diperbincangkan dan dibicarakan, namun dipandang buruk. Marjinalisasi terjadi di banyak tempat dan
banyak sisi kehidupan ketika seseorang yang memiliki otoritas dan kemampuan menganggap kelompok lain
buruk. Ada beberapa praktik pemakaian bahasa sesuai strategi ini, di antaranya adalah eufemisme,
disfemisme, labelisasi, dan stereotype (Eriyanto, 2005; Leeuwen, 2008).
Berdasarkan uraian di depan, makalah ini memaparkan penggunaan strategi atau praktik
marjinalisasi dalam berita di media massa cetak. Pisau bedah yang digunakan untuk membongkar adanya
praktik marjinalisasi dalam teks berita adalah analisis wacana kritis. Menurut Hikam (1999), dalam analisis
wacana kritis, bahasa yang dianalisis bukan hanya dilihat dari sisi kebahasaannya saja, melainkan juga
dihubungkan dengan konteks. Dalam analisis wacana kritis, bahasa digunakan untuk melihat ketimpangan
kekuasaan dalam masyarakat. Kartomiharjo (2000) mengatakan bahwa analisis wacana kritis menelaah
penggunaan bahasa yang tidak seimbang.
Data yang digunakan sebagai bahan analisis diambil dari berita yang dimuat di media massa cetak.
Berita yang dijadikan bahan analisis dikhususkan pada berita pengeboman di Jakarta. Metode pengumpulan
data menggunakan metode dokumentasi. Metode penganalisisan data menggunakan analisis wacana kritis
yang bersumber dari teori Fairclaugh (1995) yang mencakup tiga dimensi, yakni (a) teks, (b) praksis
kewacanaan, dan (c) praksis sosio budaya. Proses analisisnya dilakukan dalam tiga tahap, yakni (a) deskripsi,
(b) penafsiran, dan (c) penjelasan.

TEKS BERITA DALAM KAJIAN ANALISIS WACANA KRITIS


Cook (1989) mengemukakan konsep wacana sebagai penggunaan bahasa dalam komunikasi secara lisan
maupun tertulis. Samsuri (1987) memberikan contoh penggunaan bahasa dapat berupa iklan, berita, drama,
diskusi, debat, surat, makalah, dan lain-lain. Santoso (2009) menyandingkan sekaligus mengoposisikan
istilah wacana dengan teks. Menurutnya dua istilah ini sering digunakan secara tumpang tindih. Antara teks
dan wacana, keduanya dapat merujuk kepada hal yang berbeda, dapat juga merujuk pada hal yang sama.
Berita merupakan satu di antara beberapa bentuk wacana yang mendominasi tampilan di media
massa. Burton (2008) mengemukakan alasan pentingnya mengkaji berita di media massa. Menurutnya berita
merupakan sumber utama informasi tentang dunia. Masyarakat masih memercayai segala hal yang
diinformasikan dalam berita, meski tidak menutup kemungkinan adanya bias dalam pemberitaan.
Seperti yang telah dikemukakan di depan bahwa berita merupakan satu di antara beberapa bahan
yang mendominasi dalam setiap tampilan di media massa/koran. Bagi wartawan berita digunakan sebagai
media untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Menurut Roekhan (2009) berita merupakan
bentuk praktik berbahasa yang digunakan wartawan untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat,

265
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
dengan demikian teks berita dapat dikategorikan sebagai bentuk wacana. Dalam kaitannya dengan proses
peliputan dan pelaporan berita, ada strategi wacana yang digunakan wartawan. Satu di antara beberapa
strategi wacana yang digunakan wartawan dalam proses peliputan dan pelaporan berita adalah marjinalisasi.
Ada beberapa praktik pemakaian bahasa yang menggunakan strategi ini. Pertama, eufemisme atau
penghalusan makna. Dalam beberapa kasus, eufemisme banyak digunakan untuk menyebut tindakan yang
dilakukan kelompok dominan kepada masyarakat bawah, sehingga dalam banyak hal dapat menipu
masyrarakat. Kedua, disfemisme atau pengasaran. Berbeda dengan pemakaian bahasa eufemisme,
disfemisme digunakan untuk meyebut tindakan yang dilakukan kelompok bawah. Ketiga, lebelisasi yakni
perangkat bahasa yang digunakan kelompok atas untuk menundukkan lawan-lawannya. Labeling merupakan
pemakaian bahasa yang ofensif kepada individu, kelompok, atau kegiatan. Keempat, stereotype, yakni
penyamaan sebuah kata yang menunjuk sifat-sifat positit atau negative (umumnya negative) kepada orang,
kelas, atau perangkat tindakan.
Disiplin ilmu yang mengkaji penggunaan bahasa nyata dalam tindak komunikasi disebut analisis
wacana. Stubbs (1983) mengemukakan bahwa analisis wacana merupakan kajian yang meneliti bahasa
dalam penggunaan secara alamiah. Sedangkan Cook (1986) menegaskan bahwa analisis wacana merupakan
kajian yang membahas tentang wacana, sedangkan wacana adalah penggunaan bahasa dalam komunikasi,
baik secara lisan maupun tertulis.
Jorgensen (2007) mengemukakan bahwa analisis wacana kritis tidak bisa dipandang sebagai
pendekatan yang secara politis netral, namun sebagai pendekatan yang ditujukan bagi timbulnya perubahan
sosial. Analisis wacana kritis memihak pada kelompok-kelompok sosial yang tertindas. Pengkritik bertujuan
mengungkap peran praktik kewacanaan dalam melestarikan hubungan kekuasaan yang tidak seimbang untuk
mempercepat tercapainya perubahan sosial yang radikal.
Dalam perkembangan selanjutnya, analisis wacana tidak hanya dipakai untuk mencari keteraturan.
Bahasa yang dianalisis tidak semata menggambarkan aspek kebahasaan saja, namun juga dihubungkan
dengan konteks. Konteks berarti bahasa tersebut dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu , termasuk di
dalamnya praktik kekuasaan (Eriyanto, 2005). Wodak (2006) mengemukakan beberapa prinsip yang harus
dipenuhi dalam analisis wacana kritis. Beberapa prinsip tersebut antara lain sebagai berikut. Pertama, yang
dikhususkan dalam analisis wacana kritis adalah persoalan-persoalan sosial. Kedua, wacana memiliki
keterkaitan erat dengan kekuasaan. Ketiga, dalam pembentukan wacana, ditentukan oleh konteks sosial dan
budaya. Keempat, bahasa yang digunakan mengandung unsur ideologi tertentu. Kelima, ada keterkaitan
antara wacana dengan konteks sejarah. Keenam, interpretasi dan eksplanasi sangat dibutuhkan dalam proses
analisis.

PRAKTIK MARJINALISASI DALAM TEKS BERITA KASUS PENGEBOMAN DI JAKARTA


Praktik marjinalisasi digunakan dalam media untuk memburukkan kelompok lain. Strategi ini
menggambarkan pihak lain sebagai pihak yang buruk. Ada beberapa praktik pemakaian bahasa dalam
strategi ini. Praktik marjinalisasi dilakukan media antara lain penghalusan makna (eufemisme), pengasaran
(disfemisme), pemberian label (labelisasi), dan stereotype. Di bawah ini dipaparkan data yang menunjukkan
adanya praktik marjinalisasi.
Penggunaan Bahasa Eufemisme
Bahasa eufemisme sering digunakan dalam berbagai bidang kehidupan. Bahasa eufemisme digunakan untuk
menjaga kesantunan atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dalam kasus pengeboman di Jakarta
pada bulan Januari 2016 yang lalu istilah yang dimunculkan adalah penyadaran, pemberdayaan, baku
tembak, pengamanan.
(1) Identitas para pelaku teror di kawasan Sarinah mulai terungkap, ternyata mereka semua residivis kasus
terorisme. Fakta itu membuat fungsi lembaga pemasyarakatan sebagai lembaga penyadaran dan
pemberdayaan dipertanyakan (JP, 16 Januari 2016).
Istilah penyadaran dan pemberdayaan digunakan pemerintah untuk mengganti istilah lama dianggap
bermakna disfemisme. Pada awalnya lembaga pemasyarakatan sebagai lembaga yang memberikan hukuman
atau penghukuman bagi para narapidana. Kedua istilah ini dalam data (1) digunakan media untuk
memberikan evaluasi terkait fungsi lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Penyadaran berasal dari bentuk
dasar sadar. Sadar bernakna insaf. Dalam Tesarus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa penyadaran
bermakna pemberadaban, pendidikan, pencerahan. Pemberdayaan berasal dari bentuk dasar berdaya.
Berdaya mengandung makna berkemampuan atau berkekuatan. Lembaga Pemasyarakatan berfungsi sebagai
lembaga penyadaran dan pemberdayaan bagi mereka yang menjalani hukuman. Hal ini mengandung makna
bahwa Lembaga Pemasyarakatan sebagai tempat penddikan bagi para tahanan. Lembaga pemasyarakatan
menjadi tempat pendidikan bagi para tahanan agar mereka insaf dan dapat kembali menjadi anggota
masyarakat yang memiliki kemampuan. Namun pada kenyataannya lembaga pemasyarakatan belum mampu
menjalankan fungsinya sebagai lembaga penyadaran dan pemberdayaan para tahanan. Seperti yang terjadi
266
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
dalam kasus pengeboman di Jakarta, para pelaku adalah mereka yang pernah menjalani hukuman di lembaga
pemasyarakatan. Kedua istilah di depan digunakan untuk menutupi realitas yang sebenarnya, yang terjadi di
lembaga pemasyarakatan. Yang menjadi pertanyaan adalah pendidikan apa saja yang telah diberikan kepada
mereka yang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan? Atau apakah yang didapatkan para tahanan
saat mereka menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan?
Dalam kenyataanya, sering terjadi bahwa pelaku kejahatan adalah mereka yang pernah menjalani
hukuman di lembaga pemasyarakatan. Pelaku-pelaku kejahatan di masyarakat, seperti kasus pencurian,
perampokan, dan lain-lain bukanlah orang baru, melainkan pelaku lama yang pernah mendekam di lembaga
pemasyarakatan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua istilah di depan belum cukup efektif dilekatkan pada
fungsi lembaga pemasyarakatan di Indonesia.
Saat terjadi pengeboman aparat gabungan segera bertindak untuk melakukan penangkapan terhadap
pelaku. Istilah yang digunakan media untuk menggambarkan peristiwa yang terjadi pada saat itu adalah baku
tembak.
(2) Suasana yang seharusnya disambut ceria itu mendadak berubah mencekam, terjadi serangan bom oleh
sekelompok orang yang dilanjutkan dengan baku tembak (JP, 15 Jan 2016).
Dalam data (2) istilah yang digunakan media untuk mengambarkan peristiwa yang terjadi saat aparat
gabungan TNI/Polri melakukan tindakan pengamanan terkait kasus pengeboman di Jakarta adalah baku
tembak. Dalam istilah ini terkandung makna bahwa dua pihak yang berlawanan, dalam jumlah yang sama
saling berhadapan untuk melakukan tembakan. Yang menjadi pertanyaannya adalah apakah saat terjadi
peristiwa tersebut jumlah kedua pihak yang berlawanan sama? Apakah memang kedua pihak/kelompok yang
berlawanan saling berhadapan? Ataukah yang terjadi justru sebaliknya. Jumlah kedua pihak yang
berlawanan antara aparat Polri dan pelaku pengeboman terjadi ketidakseimbangan? Apakah memang mereka
berhadapan atau justru para pelaku pengeboman bersembunyi karena ketakutan mereka akan terkena sasaran
peluru aparat? Kenyataan yang terjadi adalah jumlah aparat Polri lebih banyak dibandingkan pelaku
pengeboman. Kemungkinan lain yang terjadi bahwa kedua pihak yakni antara aparat Polri dan pelaku
pengeboman tidak saling berhadapan. Kemungkinan yang terjadi justru pelaku lari ketakutan menghindari
tembakan peluru aparat.
Istilah di depan digunakan untuk membentuk opini masyarakat bahwa segala akibat yang terjadi
karena peristiwa di depan bukanlah kesalahan aparat. Dengan demikian masyarakat bisa memaklumi
tindakan yang dilakukan oleh aparat saat peristiwa pengeboman. Apabila terjadi korban saat peristiwa
berlangsung maka hal tersebut bisa dimaklumi.
Saat terjadi peristiwa yang dapat menimbulkan keresahan, maka tindakan yang harus dilakukan
aparat pemerintah adalah tindakan pengamanan. Istilah ini juga dipakai untuk menamai tindakan yang
dilakukan aparat Polri saat menangani kasus pengeboman di Jakarta.
(3) Terkait dengan serangan teror yang menyasar gerai kopi Star Bucks, dan pos polisi, Tito Karniavan
(Kapolda Metro Jaya) menuturkan bahwa pelaku teror saat ini memang ingin memberikan pesan,
karena itu pengamanan akan ditingkatkan di semua objek vital (JP, 15 jan 2016)
Istilah pengamanan dalam data (3) digunakan untuk menyebut tindakan yang dilakukan aparat saat
menangani kasus pengeboman di Plaza Sarinah, Jakarta. Leksikon ini digunakan untuk menyebut tindakan
yang dilakukan kelompok dominan terhadap kelompok bawah. Leksikon pengamanan berasal dari bentuk
dasar aman. Pengamanan bermakna segala usaha yang dilakukan untuk membuat jadi aman. Pengamanan
juga bermakna penjagaan, perlindungan, dan penyelamatan. Dalam kasus pengeboman yang terjadi di
Jakarta, tindakan pengamanan perlu dilakukan untuk memberikan perlindungan dan penyelamatan kepada di
semua objek vital yang menjadi sasaran pelaku pengeboman. Yang menjadi permasalahan adalah setiap
tindakan pengamanan yang dilakukan justru menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Tindakan
pengamanan yang sering dilakukan aparat dalam menangani setiap konflik justru sering menimbulkan
permasalahan baru. Hal ini dapat dicontohkan dalam dalam kasus unjuk rasa, tindakan pengamanan yang
dilakukan aparat sering menimbulkan bentrokan, bahkan kerusuhan. Istilah ini digunakan untuk melegalisasi
segala tindakan yang dilakukan aparat dalam menangani konflik yang terjadi di tanah air. Istilah ini juga
dijadikan pembenar atas segala tindakan yang dilakukan kelompok atas terhadap kelompok bawah.
Penggunaan Bahasa Disfemisme
Apabila penggunaan bahasa eufemisme dapat menyebabkan realitas yang buruk menjadi tertutupi,
disfemisme kebalikannya. Apabila eufemisme banyak dipakai untuk menyebut tindakan yang dilakukan
kelompok dominan, sedangkan disfemisme kebalikannya. Bahasa disfemisme banyak digunakan untuk
menyebut tindakan yang dilakukan kelompok bawah.
Dalam berita kasus pengeboman yang terjadi di kawasan Sarinah Jakarta pada bulan Januari 2016,
leksikon yang digunakan untuk mendeskreminasikan kelompok tertentu antara lain teror, kegiatan terorisme.
(4) Afif adalah pelaku teror yang tertangkap kamera bertopi dengan tulisan Nike, berkaus hitam, dan
berjelana jins, serta membawa ransel merah (JP, 16 Jan 2016).
267
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
(5) Ditemukan bendera ISIS dan sejumlah dokumen yang bertuliskan ayat-ayat yang dijadikan dasar
untuk melakukan teror (JP, 16 Jan 2016).
Dalam data (6) dan (7) leksikon yang digunakan untuk menggambarkan tindakan yang dilakukan
kelompok yang dianggap sebagai pelakuk pengeboman di Kawasan M.H. Thamrin dan Plaza Sarinah,
Jakarta adalah teror. Dalam Tesarus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa teror bermakna horror, ketakutan,
kepanikan, dan intimidasi. Dalam kasus pengeboman di Jakarta, tindakan yang dilakukan para pelaku
disebut sebagai teror. Hal ini dikerenakan tindakan tersebut dapat menimbulkan kepanikan dan ketakutan
pada korbannya. Dalam kasus pengeboman di Jakarta pelaku tindakan disinyalir para pengikut aliran ISIS
yang menjadi musuh dunia internasional. Kelompok ini oleh dunia internasional dianggap sebagai pelaku
kejahatan yang melakukan teror bagi siapapun yang dianggap menentang alirannya. Dalam beberapa
peristiwa, kelompok ISIS sering menayangkan aksi kejahatannya di dunia maya. Hal ini yang dapat
menimbulkan ketakutan massa. Karena para pelaku pengeboman diidentifikasi sebagai pengikut aliran ISIS,
maka segala tindakan yang dilakukan dianggap sama dengan tindakan yang dilakukan pengikut aliran ini.
Selain digunakan untuk menggambarkan tindakan yang dilakukan kelompok bawah, bahasa yang
bermakna disfemisme juga digunakan untuk menggambarkan tindakan yang dilakukan aparat keamanan.
Leksikon yang digunakan untuk menggambarkan tindakan yang dilakukan aparat pemerintah saat
menangani kasus pengeboman di Jakarta adalah perburuan dan memburu.
(6) Dari perkembangan perburuan jaringan kelompok teroris kawasan M.H. Thamrin-Sarinah, Polri
mengumumkan sudah menangkap 14 orang (JP, 15 Jan 2016).
(7) Meski seluruh teroris dalam aksi peledakan bom Thamrin telah tewas, petugas kepolisian terus
memburu otak di balik peristiwa maut tersebut (JP, 15 Jan 2016).
Dalam data (6) dan (7) leksikon yang digunakan untuk menggambarkan tindakan yang dilakukan
aparat pemerintah dalam rangka menangani kasus pengeboman di Jakarta adalah perburuan dan berburu.
Dalam Tesarus Bahasa Indonesia perburuan bermakna pengejaran, pencarian. Berburu bermakna mengejar,
mencari. Dalam pemakaiannya, leksikon ini kurang tepat apabila digunakan untuk manusia, melainkan
binatang. Dalam kedua data di depan leksikon-leksikon tersebut digunakan untuk menyebut tindakan aparat
pemerintah dalam rangka mencari para pelaku pengeboman.
Selain istilah berburu dan perburuan yang lebih cocok digunakan untuk menggambarkan tindakan
yang dilakukan untuk binatang, istilah berkeliaran juga dipakai untuk menggambarkan tindakan yang
dilakukan kelompok bawah.
(8) Menurut Kadivhumas Polri Irjen Anton Charliyan, upaya pengejaran pelaku teror terus
dikembangkan. Sebab sel-sel kelompok teror yang setidaknya mengetahui rencana aksi di Plaza
Sarinah masih ada dan bebas berkeliaran (Jp, 18 Jan 2016).
Leksikon berkeliaran dalam data (8) digunakan untuk menyebut tindakan yang dilakukan para
pelaku pengeboman di Jakarta. Leksikon berkeliaran berasal dari bentuk dasar liar. Dalam Tesarus Bahasa
Indonesia istilah ini bermakna buas, garang, berangasan, galak. Dengan demikian kata buas, garang lebih
tepat digunakan untuk mendeskripsikan sifat-sifat yang dimiliki oleh binatang. Istilah berkeliaran juga lebih
cocok digunakan untuk menyebut tindakan atau tingkah laku binatang. Leksikon di depan digunakan untuk
mendeskripsikan tindakan yang dilakukan para pelaku pengeboman, karena tindakan yang mereka lakukan
diidentikkan dengan binatang.
Penggunaan Labelisasi
Labelisasi adalah pemakaian kata-kata yang ofensif kepada individu, kelompok, atau kegiatan. Labelisasi
atau pemberian label terhadap individu, kelompok, atau kegiatan biasanya dilakukan oleh mereka yang
berada di kelas atas untuk menundukkan lawan-lawannya.
Dalam berita kasus pengeboman di Plaza Sarinah Jakarta beberapa leksikon yang digunakan untuk
memberikan label pada kelompok tertentu antara lain teroris, kelompok teroris, residivis teroris, terduga
teroris, musuh masyarakat.
(9) Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengakui, sebelum terjadi ledakan bom, polisi sudah memantau
pergerakan kelompok teroris yang didanai ISIS tersebut (JP, 23 Januari 2016).
Yang berbicara dalam data (9) adalah Kapolri Jenderal Badrodin Haiti. Dalam data di depan
leksikon yang digunakan untuk memberikan label kepada pelaku pengeboman di Jakarta adalah teroris atau
kelompok teroris. Teroris adalah orang yang melakukan teror. Teror merupakan tindakan yang sengaja
dilakukan seseorang atau kelompok untuk menakuti atau mengintimidasi orang lain. Dalam kasus
pengeboman di Jakarta tindakan yang dilakukan oleh kelompok orang disebut sebagai aksi teror, dan
pelakunya disebut sebagai teroris. Oleh media, bahasa digunakan sebagai alat untuk memberikan identitas
kepada seseorang atau kelompok orang. Indentitas ini (teroris) selalu dilekatkan pada seseorang atau
kelompok orang yang dianggap berperan dalam menciptakan kekacauan. Hal ini dapat dicontohkan dalam

268
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
kasus pengeboman yang pernah terjadi di Indonesia beberapa tahun sebelumnya. Kelompok yang dianggap
sebagai pelaku dikategorikan sebagai kelompok teroris.
Selain teroris, label yang dilekatkan kepada kelompok orang yang terlibat dalam kasus pengeboman
di Jakarta adalah residivis kasus terorisme dan terpidana kasus terorisme.
(10) Identitas para pelaku teror di kawasan Sarinah , Kamis siang (14/1) mulai terungkap, ternyata mereka
semua residivis kasus terorisme lima hingga sepuluh tahun lampau (JP, 16 januari 2016).
(11) Sejumlah terpidana kasus terorisme justru semakin radikal setelah menjalani masa pidana di lembaga
pemasyarakatan (K, 18 Januari 2016).
Dalam data (10) dan (11) istilah yang digunakan untuk memberikan label kepada para pelaku
pengeboman di Jakarta adalah residivis kasus terorisme dan terpidana kasus terorisme. Residivis adalah
pelaku kejahatan yang keluar masuk lembaga pemasyarakatan. Para pelaku kejahatan yang berulang-ulang
masuk lembaga pemasyarakatan disebut sebagai residivis. Dalam kasus pengeboman di Jakarta, para pelaku
disinyalir adalah pelaku lama yang sebelumnya pernah ditahan dalam kasus yang sama. Mereka disebut
residivis karena mereka berulang ulang keluar masuk Lembaga Pemasyarakatan karena kasus
terorisme/pengeboman. Dalam data (15) istilah yang digunakan untuk memberikan label kepada pelaku
pengeboman adalah terpidana kasus terorisme. Terpidana bermakna orang yang dipidana karena suatu
kejahatan. Dalam beberapa kasus pengeboman, label yang dilekatkan kepada mereka yang masih menjalani
hukuman adalah terpidana kasus terorisme. Dalam hal ini kedua frasa di depan digunakan oleh media dan
pemerintah memberikan identitas pada kelompok-kelompok yang dianggap berperan dalam pengeboman.
Praktik labelisasi yang lebih ekstrem lagi untuk menyebut para pelaku pengeboman adalah musuh
masyarakat.
(12) Lantas dari mana musuh masyarakat itu mendapat sumber dana untuk belanja senjata (JP, 16 Januari
2016).
Oleh media istilah yang digunakan untuk menyebut kelompok yang dianggap berperan dalam
pengeboman di Jakarta adalah musuh masyarakat. Musuh bermakna lawan. Musuh masyarakat berarti lawan
masyarakat. Para pelaku pengeboman dikategorikan sebagai musuh karena mereka dianggap sebagai pihak
yang harus dilawan. Mereka yang terlibat dalam kasus pengeboman, bukan hanya menjadi musuh
pemerintah, tetapi juga menjadi musuh masyarakat. Selain digunakan sebagai alat untuk memberikan
identitas kepada kelompok tertentu, bahasa juga digunakan sebagai alat untuk memberikan penilaian
terhadap golongan tertentu. Istilah di depan digunakan oleh pemerintah untuk memberikan penekanan
kepada masyarakat bahwa ada kelompok-kelompok tertentu yang perlu mendapat perlawanan.
Penggunaan Stereotipe
Stereotipe adalah penyamaan sebuah kata yang menunjukkan sifat-sifat negatif atau positif dengan orang,
kelas, atau perangkat tindakan. Stereotip merupakan praktik reprenstasi yang menggambarkan seseorang
dengan sifat-sifat yang buruk, penuh dengan prasangka, konotasi negatif, dan penuh prasangka.
(13) Kegeraman yang sama dilontarkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Wapres meminta Indonesia tidak
kalah oleh aksi keji teroris (JP, 15 jan 2016).
(14) Internal Mabes Polri mengatakan “ Yang jelas, sekarang pengamanan sangat ketat. Siapapun tidak
ingin teror yang keji itu terulang,”tegasnya (JP, 17 Jan 2016).
Dalam data (13) dan (14) leksikon yang digunakan untuk menunjukkan sifat-sifat negative pada
kelompok yang berperan dalam kasus pengeboman di Jakarta adalah keji. Kata keji mengandung makna
kejam, biadab, bengis, sadis, tidak berperikemanusiaan. Dalam hal ini bahasa digunakan sebagai alat
penilaian terhadap tindakan yang dilakukan oleh kelompok yang dianggap bertanggung jawab dalam
berbagai aksi pengeboman di Jakarta. Tindakan tersebut dikategorikan sebagai tindakan yang sadis, biadab
dan tidak berperikemanusiaan karena akibat dari tindakan tersebut sangat membahayakan masyarakat. Dari
beberapa kasus pengeboman yang pernah terjadi di Indonesia, yang banyak menjadi korban adalah
masyarakat sipil.
Dari uraian di depan, ada empat cara yang digunakan dalam praktik marjinalisasi. Cara-cara yang
digunakan antara lain eufemisme, disfemisme, labelisasi, dan stereotipe. Dalam berita kasus pengeboman
yang baru-baru ini terjadi di Jakarta beberapa leksikon yang bermakna eufemisme antara lain penyadaran,
pemberdayaan, dan pengamanan. Leksikon yang bermakna disfemisme antara lain aksi teror, kegiatan
terorisme, dan perburua atau berburu. Leksikon yang digunakan dalam praktik labelisasi antara lain teroris,
residivis terorisme, terduga teroris, dan musuh masyarakat. Leksikon yang digunakan untuk memberikan
stereotipe/sifat tertentu pada kelompok yang berperan dalam kasus pengeboman adalah keji.
Pada Umumnya leksikon-leksikon tersebut digunakan oleh media sebagai alat untuk menilai
sekaligus pemberian identitas terhadap tindakan yang dilakukan kelompok lain. Sebagaimana diketahui
bahwa fungsi berita di media adalah sebagai alat untuk menyampaikan realitas kepada masyarakat,
sedangkan realitas yang dibentuk melalui bahasa bukanlah realitas yang bebas nilai (Artha, 2002), maka
opini yang terbentuk di masyarakat sesuai dengan yang diinginkan oleh media (Pilang, 2001). Leksikon-
269
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
leksikon di depan dihadirkan dengan tujuan dan kepentingan tertentu, termasuk untuk penanaman ideologi.
Leksikon-leksikon tersebut di depan dihadirkan untuk membentuk opini dalam masyarakat.
Dalam hal ini media lebih berpihak pada satu bentuk kekuasaan dengan menampilkan satu wacana
dan mengeluarkan wacana yang lain. Wacana yang ditampilkan adalah wacana dari sudut pandang
pemerintah. Dalam konteks wacana seperti ini, media menggunakan strategi eksklusi atau ekskomunikasi
(Leeuwen, 2008) yakni strategi yang mengeluarkan kelompok tertentu dalam wacana. Mereka dibicarakan
tetapi dipandang buruk. Seperti dalam berita kasus pengeboman di Jakarta, Media lebih banyak
menampilkan wacana dari sudut pandang pemerintah. Mereka yang disebut teroris tidak diberi kesempatan
untuk berbicara dan menanggapi pernyataan dari kelompok yang memiliki kekuasaan.

SIMPULAN
Ada empat cara yang digunakan di media sebagai praktik marjinalisasi, yakni pemakaian eufemisme,
disfemisme, labelisasi, dan stereotip. Dalam kasus pengeboman di Jakarta leksikon yang bermakna
eufemsime antara lain penyadaran, pemberdayaan, pengamanan. Leksikon yang bermakna disfemisme
antara lain teror, kegiatan terorisme, memburu, berkeliaran. Leksikon yang digunakan dalam praktik
labelisasi antara lain teroris, kelompok teroris, residivis teroris, terduga teroris, musuh masyarakat.
Leksikon yang digunakan untuk menunjukan stereotipe tertentu antara lain keji.

DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan. Dkk. 2004. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Artha, Arwan Tuti. 2002. Bahasa, Wacana Demokrasi dan Pers. Yogyakarta: AK Group.
Cook, Guy. 1989. Discourse. Oxford: Oxford University Press.
Eriyanto. 2005. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS.
Fairclough, Norman. 1995. Critical Discaurse Analysis: The Critical Study of Language. London: Longman.
Fairclough, Norman. 2003. Language and Power: Relasi Bahasa, Kekuasaan dan Ideologi. England:Longman Group.
Hikam, Mohamad As. 1999. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES.
Jorgensen, Mariane W dan Loise J. Philips. 2007. Analisis Wacana: Teori dan Metode. Penerjemah: Imam Suyitno dkk.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kartomihardjo, Soeseno. 2000. Kekuasaan dalam Bahasa (Artikel dipublikasikan dalam Kajian Serba Linguistik) editor:
Bambang kaswanti Purwo. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Leeuwen, Theo Van. 2008. Discourse and Practice: New Tools for Critical Discourse Analysis. New York. Oxford
University Press.
Rani, Abdul. Dkk. 2004. Analisis Wacana: Sebuah Kajian Bahasa dalam Pemakaian. Malang: Bayu Media.
Roekhan. 2009. Kekerasan simbolik di Media Massa. (Disertasi tidak dipublikasikan). Malang: Universitas Negeri
Malang.
Samsuri, 1987. Analisis Wacana. Analisis Wacana. Malang: IKIP Malang.
Santoso, Anang . 2003. Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Wacana Politik. Disertasi tidak dipublikasikan. Malang:
Universitas Negeri Malang.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Fransisca Dwi Harjanti
Institusi : Universitas Wijaya Kusuma
Riwayat Pendidikan : S2 dan S3 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya
S1 Pendidikan Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia Universitas Wijaya Kusuma
Minat Penelitian : Analisis Wacana

270
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
PEMBERITAAN KORAN JP TENTANG PENERAPAN SYARIAH ISLAM DI ACEH:
SUATU ANALISIS WACANA

Nuryadi
Universitas Islam 45 Bekasi
nuryadilinguistics.45bgr@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini menganalisis pandangan Koran The Jakarta Post mengenai pemberlakukan Undang-Undang No. 11
tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Melalui UUPA, Pemerintahan Aceh diberi wewenang dan otonomi
luas di bidang hukum Islam. Wewenang itu tidak hanya mengurusi masalah ibadah, ahwal syakhsiyah (hukum), dan
muamalah (kemasyarakatan) tetapi juga mengurusi hukum pidana (jinayat). Penerapan syariat Islam di Aceh
menimbulkan kontroversi karena dipandang bertentangan dengan konsep Negara bangsa (nation state) dan
kebhinekaan yang dianut Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif artinya penelitian ini
bertujuan mengungkap dan memberi gambaran atau deskripsi mengenai pemberitaan Koran The Jakarta Post tentang
penerapan syariat Islam di Aceh melalui terbitnya perda syariah. Setelah UUPA diberlakukan, pemerintah
mengeluarkan peraturan daerah yang bertujuan mengatur ketertiban masyarakat berdasarkan pada status Aceh
sebagai daerah istimewa dengan nilai-nilai Islam. Data yang dianalisis adalah lima artikel Koran The Jakarta Post
yang mengulas seputar penerapan perda syariah. Kelima artikel tersebut berjudul (1) Aceh fully enforces sharia; (2)
Aceh mulls sharia for non-Muslims; (3) Sharia for non-Muslims: Between respect and coercion; (4) Aceh women,
activists slam latest sharia-based regulations; (5) Aceh Rape Victim to Be Caned, Shariah Official Insists. Data
dianalisis menggunakan teori Analisis Wacana Kritis dari Teun A van Dijk. Menurut Teun A van Dijk, teks terdiri dari
tiga bagian yaitu struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro. Struktur makro merupakan makna global sebuah
teks yang dapat dipahami melalui topiknya. Topik wacana direpresentasikan kedalam satu atau beberapa kalimat yang
merupakan gagasan utama atau ide pokok wacana. Van Dijk menyebut topic sebagai struktur makro makna. Hal
tersebut karena ketika berbicara mengenai topik atau tema dalam teks, kita akan berhadapan dengan makna dan
referensi atau acuan. Superstruktur merupakan struktur yang digunakan untuk mendeskripsikan skema, yang mana
topik atau isi global berita diselipkan. Superstruktur ini mengorganisasikan topik dengan cara menyusun kalimat atau
unit-unit berita berdasarkan urutan atau hierarki yang diinginkan. Menurut van Dijk, superstruktur merupakan
sejumlah kategori skema berita atau bagian-bagian yang membangun skema sebuah berita yaitu summary dan story.
Summary terdiri atas headline dan lead. Headline mendefinisikan sebuah urutan tertentu di dalam berita dimana topik
global diselipkan. Lead merupakan paragraf pembuka dari sebuah berita yang biasanya mengandung kepentingan
lebih tinggi. Struktur ini sangat tergantung pada ideologi penulis terhadap peristiwa. Berdasarkan hasil analisis,
Koran The Jakarta Post menolak penerapan syariat Islam di Aceh. Hal itu dilakukan dengan membangun tema atau
makna yang merujuk pada penolakan perda syariah, dengan memanfaatkan elemen wacana yang meliputi
pemanfaatan judul, pengembangan tema, pengembangan pola urutan, pemanfaatan aspek sintaksis, semantis, serta
pengembangan aspek retoris.
Kata kunci: Analisis Wacana Kritis, struktur makro, superstruktur, strukturmikro, tematik, skematik

PENDAHULUAN
Melalui Undang-Undang Pemerintahan Aceh No. 11 tahun 2006, Pemerintahan Aceh diberi wewenang dan
otonomi luas di bidang hukum Islam sebagai tindak lanjut dari kesepakatan damai antara pemerintah RI dan
GAM.Wewenang itu tidak hanya mengurusi masalah ibadah, ahwal syakhiyah, dan muamalah tetapi juga
mengurusi hukum pidana (jinayat) karena status Aceh sebagai daerah istimewa yang kental nuansa islamnya.
Dalam pelaksanaannya, Pemerintah Aceh mengeluarkan perda yang dikenal sebagai perda syariah Islam
untuk mengatur ketertiban masyarakat. Sebagian masyarakat Aceh tidak setuju dengan penerapan perda
syariah di Aceh karena berbagai alasan. Koran JP sebagai salah satu media massa memberitakan
pemberlakukan perda syariah yang menimbulkan perdebatan di masyarakat Aceh. Tulisan ini ingin
menyajikan bagaimana pemberitaan JP berkaitan dengan masalah tersebut.

MODEL ANALISIS WACANA VAN DIJK


Terdapat tiga hal penting yang mempengaruhi analisis wacana yaitu pengetahuan, wacana dan ideologi.
Ideologi mempengaruhi produksi wacana karena tidak ada wacana yang benar-benar netral dari ideologi
pembuatnya. Ideologi merupakan sistem kepercayaan kelompok masyarakat yang tersusun dari berbagai
kategori yang mencerminkan identitas, struktur sosial, dan posisi kelompok. Ideologi merupakan basis sikap
sosial kelompok.
Pengetahuan adalah kepercayaan yang diyakini kebenarannya oleh kelompok dan kepercayaan
menjadi pengetahuan bagi kelompok yang meyakininya. Dalam memproduksi wacana, struktur pengetahuan
akan mempengaruhi dan mengontrol makna dan perangkat wacana yang lain. Karena pengetahuan tidak

271
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
hanya berkaitan dengan penutur, tetapi juga berkaitan dengan pengetahuan yang dimiliki mitra tutur, peserta
tutur, dan pembaca atau pendengar, maka diperlukan suatu model mental yang kompleks dari peristiwa
komunikasi yang disebut konteks. Menurut van Dijk, wacana memilki tiga dimensi, yaitu teks, kognisi sosial,
dan konteks sosial. Analysis wacana kritis akan menggabungkan ketiga dimensi dalam satu kesatuan
sedangkan analisis wacana membatasi pada tataran teks saja. Dalam dimensi teks, yang diamati adalah
bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang digunakan penulis untuk menegaskan suatu tema tertentu.
Elemen Wacana van Dijk
Struktur Wacana Hal yang diamati Elemen
Struktur Makro Tematik topik
Makna umum dari suatu Tema/topik yang dikedepankan
teks yang dapat diamati dalam teks
dari topik/tema yang
diangkat oleh teks
Superstruktur Skematik skema
Kerangka suatu teks : Bagaimana bagian dan urutan berita
pendahuluan, isi, seperti bagian diskemakan dalam
penutup, dan kesimpulan teks berita utuh
Struktur Mikro Semantik
Makna lokal dari Makna yang ingin ditekankan dalam latar, detail,
teks yang dapat diamati teks berita seperti dengan memberikan maksud,
dari pilihan kata, kalimat detail pada suatu sisiatau mmbuat praanggapan,
dan gaya yang dipakai eksplisit satu sisi dan mengurangi nominalisasi
teks detail sisi lain
Sintaksis Bentuk kalimat,
Bentuk susunan kalimat koherensi,
yang dipilih dalam berita dan kata ganti
Stilistik leksikon
Pilihan kata yang dipakai dalam berita
Retoris grafis, metafora,
Cara ekspresi dilakukan ekspresi
Sumber: Eriyanto, 2006

ANALISIS DAN PEMBAHASAN


Artikel 1: Aceh fully enforces sharia (Aceh sungguh-sungguh memperkuat syariah)
Tematik
Tema yang diusung adalah bahwa pengesahan perda syariah itu menimbulkan pertentangan atau kontroversi.
JP menyatakan bahwa secara diam-diam DPRD dan Pemerintah Aceh telah mengesahkan Qanun Jinayat
(perda syariah) yang mewajibkan setiap orang yang berada di Aceh untuk mematuhi perda syariah ini tanpa
kecuali sedangkan pada periode pemerintahan sebelumnya memutuskan menunda. Hal ini penting
ditekankan karena sebenarnya JP ingin menyatakan bahwa perda ini masih menyisakan perdebatan sehingga
belum waktunya disahkan.
Skematik
Dibagian awal dikutip pernyataan dari anggota DPRD Aceh yang menjelaskan perda syariah ini diterapkan
bagi semua warga Aceh dan orang yang berkunjung di Aceh. Artinya pihak JP ingin menyatakan bahwa
sumber berita ini adalah anggota DPRD Aceh. Dibagian berikutnya dikutip pernyataan penolakan dari
aktivis HAM sehingga Gubernur Aceh ketika itu Irwandi Yusuf menolak mengesahkan tetapi
dipertimbangkan untuk direvisi dan disahkan oleh Gubernur Zaini Abdullah. Melalui pernyataan aktivis
HAM, JP ingin menyatakan bahwa perda syariah ini pada awalnya sudah mendapat penolakan karena
menimbulkan kontroversi saat pengesahan, namun Pemerintah Aceh periode berikutnya tetap mengesahkan
tanpa sosialisasi secara terbuka.
Berikutnya dikutip pernyataan anggota DPRD Aceh sebagai sumber berita bahwa apabila perda
syariah diterapkan bagi warga muslim saja maka menjadi tidak adil sehingga semua pelanggar akan diadili
dengan perda syariah apapun agamanya tetapi bagi warga non muslim akan diberi kebebasan memilih
pengadilan melalui KUHP atau perda syariah. Tetapi apabila jenis pelanggaran tidak diatur dalam KUHP
seperti minum-minuman keras, berduaan dengan yang bukan muhrimnya, maka pelanggar akan diadili
dengan perda syariah. Siapapun yang kedapatan minum minuman keras baik warga atau bukan akan
mendapat enam kali hukuman cambuk dan sembilan hukuman cambuk bagi yang tidak memakai jilbab.
Dibagian ini JP ingin memberi penekanan mengenai kontroversi itu yaitu penerapan bagi warga Aceh

272
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
apapun latar belakang agamanya. Disamping itu juga memperkenalkan hukuman cambuk bagi masyarakat
luas.
Selanjutnya dikutip beberapa pihak yang menentang pemberlakuan perda syariah ini. Seorang
keturunan Tionghoa dan penganut Budha yang tinggal di Aceh mempertanyakan alasan pemberlakukan
perda bagi mereka karena mereka menganggap tidak adil. Dikutip juga pernyataan dari pengamat hukum
Universitas Syah Kuala yang menyatakan bahwa merupakan kemunduran dan tidak adil jika diterapkan bagi
warga non muslim. Dia juga mempertanyakan prinsip penerapan perda syariah, apakah menggunakan
prinsip perseorangan atau kewilayahan, tapi sepertinya pemerintah Aceh menggunakan prinsip kewilayahan.
Disamping itu, juga dikutip tanggapan dari Kementerian Dalam Negeri melalui juru bicaranya, yang
menyatakan bahwa semua regulasi atau peraturan hukum harus sejalan dengan hukum nasional dan bahwa
semua peraturan akan diteliti terlebih dahulu oleh Kemendagri. Melalui pernyataan-pernyataan tersebut, JP
ingin menyatakan bahwa berbagai elemen masyarakat menolak, mulai dari penganut Budha yang juga
keturunan Tionghoa, pengamat hukum yang juga seorang dosen, dan bahkan pemerintah pusat pun belum
menyetujui pemberlakukan perda syariah ini karena dipandang ada hal-hal yang harus dibicarakan ulang.
Melalui aspek skematik, JP menyatakan tidak menerima penerapan perda syariah di Aceh. Hal
tersebut dapat dilihat dari kontroversi yang ditampilkan sejak perda syariah dibicarakan dan disahkan oleh
Pemerintah Aceh dan penolakan oleh beberapa elemen masyarakat dengan berbagai alasan. Sementara itu
pihak yang mendukung pelaksanaan perda syariah tidak ditampilkan. Sisi positif perda syariah juga tidak
ditampilkan dalam berita.
Artikel 2: Sharia for non-Muslims: between respect and coercion
(Syariah bagi non Muslim: antara rasa hormat dan keterpaksaan)
Tematik
Tema yang diusung adalah bahwa perda syariah masih menimbulkan perdebatan karena masih ada sebagian
masyarakat yang menolak. Perda syariah ini mengurusi hukum pidana yang mewajibkan semua orang tanpa
kecuali untuk mematuhinya. Melalui tematik, JP ingin menyatakan bahwa perda syariah menimbulkan
pertentangan karena berusaha memaksakan kehendak bagi warga minoritas di Aceh.
Skematik
Di bagian awal pemberitaan, dimulai dengan pernyataan bahwa Aceh secara umum diasosiasikan dengan
konflik, tsunami, perdamaian dan perda syariah. Dilanjutkan dengan menyebut bahwa perda syariah sebagai
topik yang menarik untuk didiskusikan, jika bukan sumber kontroversi bagi publik dan pembuat kebijakan.
Melalui pernyataan yang demikian, JP ingin menyatakan bahwa perda syariah merupakan sumber
kontroversi di Aceh.
Di bagian berikutnya, JP menyatakan bahwa pergolakan politik di Aceh selama tiga decade telah
menghasilkan otonomi khusus yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia dan diberi kekuasaan untuk
memperkuat perda syariah berdampingan denngan hukum nasional. Selanjutnya, diberitakan bahwa
penerapan syariah di Aceh dimulai 2002 pada masa pemerintahan Gubernur Abdulah Puteh dengan
disahkannya empat perda yaitu perda no.11/2002 tentang prinsip-prinsip Islam, sembahyang, dan praktek
beribadah, perda no 12/2003 tentang minuman keras, perda no 13/2003 tentang perjudian, dan perda no
14/2003 tentang berduaan laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya. JP menilai perda-perda itu
masih baik karena hanya mewajibkan umat muslim untuk melaksanakanya, sedangkan non muslim hanya
diminta untuk menghormatinya saja. Tetapi situasi itu berubah pada 13 Desember 2013 pada saat
pengesahan Tatacara Qanun Jinayat sebagai dasar pelaksanaan Qanun Jinayat yang mewajibkan setiap
orang di Aceh melaksanakannya.
Keempat perda yang disahkan tahun 2002 sampai 2003 dipandang masih toleran bagi minoritas
karena hanya mewajibkan umat muslim saja, sedangkan yang lainnya hanya diminta menghormatinya. Akan
tetapi setelah perda syariah diterapkan bagi semua orang Aceh tanpa kecuali, termasuk non muslim pada
tahun 2013, JP menyatakan tidak adil karena bagi non muslim ada ritual yang menggunakan minuman
beralkohol 2%. JP juga memuat ancaman hukuman bagi pelanggar non muslim, walaupun akan diminta
memilih menggunakan hukum syariah atau KUHP, tetapi bila tidak diatur dalam KUHP maka akan secara
otomatis diterapkan hukum syariah. Melalui pemberitaan ini, JP menilai bahwa perda syariah bertentangan
dengan keyakinan pemeluk agama lain, padahal agama adalah sesuatu yang bersifat pribadi. Dengan kata
lain, perda syariah memaksakan kehendak.
JP juga menyatakan perda syariah yang mewajibkan non muslim memakai jilbab tidak adil. Lebih
dari itu, dikatakan bahwa perda syariah akan berdampak mengurangi investasi asing di Aceh dan kunjungan
wisatawan karena dapat menyebabkan penilaian yang buruk tentang Aceh. Selanjutnya JP menyatakan
bahwa pemakaian jilbab bagi non muslim adalah tidak tepat karena Islam mengatur kehidupan secara pribadi
maupun secara kolektif sebagaimana perspektif ajaran Islam. JP juga menyatakan bahwa ada maksud
tertentu dibalik pengesahan perda syariah. Melalui pernyataan yang ditampilkan, JP ingin mengingatkan atau
bisa juga menakut-nakuti bahwa perda syariah dapat berdampak buruk bagi investasi dan pariwisata di Aceh.
JP juga menakut-nakuti bahwa DPRD Aceh akan dinilai kurang memahami pengetahuan dibidang
hukum berkaitan dengan penerapan dan pengesahan perda syariah, kalau itu hanya sekedar memenuhi target
273
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
legislasi dan untuk kepentingan politik menjelang pemilihan umum. Lebih lanjut JP juga menyatakan bahwa
hukum syariah bukan alat untuk meraih simpati publik, jika itu yang menjadi tujuan pengesahan perda
syariah. JP juga menyebut toleransi yang ada di Aceh sebagai toleransi semu karena banyak pembatasan
menghadang minoritas. JP juga menyatakan bahwa ada pembatasan jumlah rumah ibadah. Pembangunan
jumlah ibadah juga susah direalisasikan. Dibagian akhir, JP menyatakan bahwa jika perda syariah mendapat
penguatan akan susah membayangkan bagaimana non muslim akan bertahan meskipun mempunyai hak
yang sama di depan hukum. Melalui pernyataan yang demikian, JP meragukan keseriusan penguatan perda
syariah dan bahkan menyebutkan hanya sekedar untuk memenuhi target legislasi dan kepentingan politik
menjelang pemilu serta dapat berdampak buruk bagi pihak lain.
Melalui skematik, JP berusaha menjabarkan konsekuensi-konsekuensi yang buruk di masyarakat
bila perda syariah di berlakukan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa JP tidak menyetujui
pemberlakukan perda syariah.
Artikel 3: Aceh women, activists slam latest sharia-based regulations
(Wanita Aceh, para aktivis mengecam perda syriah)
Tematik
Tema yamg di usung adalah bahwa perda syariah mengatur masalah-masalah yang dianggap tidak penting
sehingga menimbulkan kecaman dari perempuan Aceh dan para aktivis. Melalui pernyataan ini, JP ingin
menyatakan bahwa perda syariah perlu ditinjau ulang karena berdampak bagi masyarakat.
Skematik
Dibagian awal, JP menyatakan bahwa pemisahan siswa laki-laki dan perempuan hanya berdasarkan
pemikiran laki-laki saja. JP mengutip pernyataan aktivis wanita mantan anggota Komnas Perempuan,
Samsidar, yang menyatakan bahwa kebijakan ini tidak penting. Pemisahan tidak akan menjamin bahwa
pendidikan di Aceh lebih baik dari pada daerah lain di Indonesia. Akan lebih baik kalau Pemerintah
mengeluarkan kebijakan pendidikan yang membantu orang-orang miskin di Aceh Utara. Sepanjang sejarah
juga belum pernah ada kebijakan pemisahan di sekolah. Pemisahan hanya dilakukan di sekolah islam
berasrama. Dia berharap Pemerintah Aceh berfikir dua kali sebelum mengeluarkan kebijakan yang dinilai
akan berpengaruh buruk terhadap generasi muda Aceh. Dia menambahkan tingkat kompetisi akan berkurang
dengan pemisahan. Ini juga akan berpengaruh terhadap kebijakan pembelajaran. Pemerintah Aceh Utara
juga melarang laki-laki dan wanita yang bukan muhrimnya berboncengan sepeda motor, menari atau
berdansa ditempat umum dan membonceng sepeda motor dengan kaki mengangkang. Menari di hadapan
publik dapat menimbulkan persepsi negatif. Melalui pemberitaan ini, JP ingin menyatakan bahwa perda
syariah mengurusi hal-hal yang kurang mendasar dan pertimbangan yang dijadikan dasar mengambil
keputusan kurang dalam. Disamping itu, yang dilihat dari sisi negatifnya saja di sekolah dan masyarakat.
Di sisi lain, JP juga mengutip pernyataan dari Ketua Dewan Ulama Aceh Utara, yang menyatakan
bahwa pelarangan berboncengan sangat mendesak karena pergaulan muda-mudi di Aceh sudah sampai pada
kondisi yang mengkawatirkan dan sudah menyimpang dari ajaran Islam. Dia menambahkan bahwa sudah
jelas laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya tidak boleh berboncengan karena menyimpang dari
ajaran Islam. Tetapi ada pihak yang melihat bahwa melarang berboncengan adalah menggannggu. JP juga
mengutip pernyataan dari mahasiswa yang menyatakan bahwa pelarangan berboncengan dengan yang bukan
muhrimnya akan menimbulkan kesulitan karena tidak setiap orang mempunyai motor. Larangan akan
membatasi gerakan perempuan. Hal lain yang dilarang termasuk memelihara anjing, mengelola tempat
hiburan. Melalui pernyatan ini, JP ingin menyatakan bahwa perda syariah tetap menimbulkan kesulitan-
kesulitan terutama bagi perempuan dan para remaja.
Melalui skematik, JP ingin menyatakan bahwa perda syariah mengurusi masalah-masalah yang tidak
bersentuhan dengan hal-hal yang dianggap penting dan bisa menyulitkan warga baik di masyarakat maupun
sekolah. Lebih dari itu, pertimbangan yang dijadikan dasar mengeluarkan perda syariah kurang dalam. Hal
itu dapat dimaknai bahwa JP ingin menyatakan sebaiknya perda syariah ditunda, ditolak atau dibatalkan.
Artikel 4: Aceh mulls sharia for non-Muslims
(Aceh mempertimbangkan pemberlakukan perda syariah bagi non Muslim)
Tematik
Tema yang diusung adalah bahwa hukuman bagi pelanggar perda syariah itu keras dan mengerikan dengan
menyebutkan jenis hukuman cambuk yang dapat mencapai seratus kali dan bahkan dapat menyebabkan
kematian. Melalui pernyataan ini, JP ingin menyatakan bahwa perda syariah menimbulkan efek yang
meresahkan masyarakat dan hukuman yang diterapkan sangat keras bahkan tidak manusiawi.
Skematik
Di bagian awal, dinyatakan bahwa kantor syariah sedang meningkatkan razia dijalan-jalan untuk
mengurangi pelanggaran perda syariah, termasuk yang dilakukan oleh penganut agama lain. Di Banda Aceh
dua perempuan pengendara sepeda motor distop karena tidak memakai jilbab. Kantor syariah juga
melakukan razia terhadap laki-laki yang memakai celana pendek di tempat-tempat umum. Jika sampai
melakukan pelanggaran sebanyak tiga kali maka akan dikenakan hukuman yang keras. Kemudian disusul

274
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
dengan pernyataan bahwa banyak penduduk yang tidak setuju kalau perda syariah diterapkan kepada yang
berlainan agama. Melalui pernyataan ini, JP ingin menyatakan menolak pemberlakuan perda syariah bagi
penganut agama lain. Disamping itu, hukumannya cukup menakutkan jika diberlakukan pada pemeluk
agama lain. Selanjutnya juga ditambahkan bahwa penganut agama lain seharusnya hanya menjadi subjek
hukum nasional saja.
Selanjutnya dikutip pernyataan ketua komnas perempuan yang menyatakan bahwa perda syariah itu
melanggar HAM. Dia menyatakan bahwa wanita mempunyai hak atas tubuhnya dan konstitusi menjamin itu
semua. Disamping itu, dinyatakan bahwa mengatur cara berpakaian dan berperilaku khususnya wanita
menjadi fokus perda syariah. Juga ditambahkan dalam pemberitaannya bahwa wanita dilarang memakai
celana pendek. Selanjutnya dikatakan bahwa aktivis HAM telah mengkritik perda syariah yang menghukum
pezina dengan hukuman cambuk 100 kali atau kematian. Di bagian akhir dinyatakan bahwa pemberlakukan
perda syariah berlebihan sampai ada seorang gadis remaja dipenjara karena berada di pertunjukan musik
saudara laki-lakinya dan dituduh melalukan tindakan asusila. Pernyataan tanpa bukti tersebut menyebabkan
remaja akan melakukan bunuh diri. Melalui pernyataan dan kutipan ini, JP ingin menyatakan bahwa perda
syariah menyasar perempuan sebagai objek, hukumannya terlalu mengerikan yaitu hukuman cambuk 100
kali bahkan mungkin dapat menyebabkan kematian, dan bersifat semena-mena karena dapat menuduh tanpa
disertai bukti-bukti yang kuat.
Skema pemberitaan yang disusun adalah gencarnya razia terhadap pelanggar perda syariah dan
diikuti pernyataan penolakan dengan alasan melanggar HAM, konstitusi, menyasar perempuan, dan semena-
mena dan hukuman yang mengerikan. Sementara itu, hal-hal yang positif atau yang mendukung
pemberlakukan perda syariah tidak ditampilkan.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis, JP edisi daring tidak setuju pemberlakuan perda syariah di Aceh. Alasan-alasan
yang dikemukakan adalah bahwa perda syariah lebih banyak menyasar perempuan, bertentangan dengan
HAM dan konstitusi, hukuman yang diberikan cukup keras dan kurang manusiawi, membuat kehidupan di
masyarakat menjadi susah, juga tidak adil karena juga diberlakukan terhadap pemeluk agama lain. Hal itu
dilakukan dengan membangun tema atau makna yang merujuk pada upaya peninjauan kembali perda
syariah, dengan memanfaatkan elemen wacana yang meliputi pemanfaatan judul, pengembangan tema, dan
pengembangan pola urutan dalam menyusun pemberitaan.

DAFTAR PUSTAKA
Brown, Gillian dan Yule, George. 1985. Discourse Analysis. London and New York: Cambridge University Press.
Depdikbud, 1998.Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS.
Fairclogh, Norman, 1995. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. London: Longman.
Faircloght, Norman. 1998. Language and Power.3rd ed. London : Longman.
Kridalaksana, Harimurti, 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Wodak, Ruth and Michael Meyer. Method Research in Critical Discourse Analysis.
Renkema, Jan, 2004. Introduction to Discourse Studies.Amsterdam : John Benjamin Publishing Company.
Sobur, Alex, 2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan analisis
Framing. Bandung: Remja Rosdakarya.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Nuryadi
Institusi : Universitas Islam 45
Riwayat Pendidikan : S2 Universitas Negeri Jakarta
S1 Universitas Gadjah Mada
Minat Penelitian : • Penerjemahan
• Analisis Wacana
• Semantik

275
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
THE EFFECT OF PROCESSING INSTRUCTION ON INDONESIAN LEARNERS’ ACQUISITION
OF THE ENGLISH PLURAL MARKER

Cindy Carla Djasmeini David Wijaya


Atma Jaya Catholic University of Indonesia
cindy.cdj@gmail.com david.wijaya@atmajaya.ac.id

ABSTRACT
Processing instruction is an alternative grammar teaching technique that aims to alter learners’ default processing
strategies and enhance form-meaning connections. The learning tasks in this instruction are comprehension-based, which
means learners are only required to identify the meaning of the target form. It has been believed that this instruction will
help learners convert input to intake before they prematurely use the target form. This paper reports the result of an
experimental study that investigated the effect of such instruction on the processing and acquisition of the English plural
marker. The present study took place at a senior high school located in Jakarta and the subjects participating were high
school learners who were in the tenth grade. They received processing instruction for forty minutes. The instruction
involved explicit information of the target form and two comprehension-based tasks to alter the way they process input
and assist them to strengthen the form-meaning mapping of the form. One interpretation and one production measures
were used in a pre- and post-test design (immediate effect only). The result showed that processing instruction had
positive effects only on the processing of the target form but not on the production. We discuss pedagogical implications of
these findings.
Keywords: processing instruction, Indonesian EFL learners, English plural marker, second language acquisition

INTRODUCTION
The role of input in language acquisition is considered essential because language acquisition begins from
input. The exposure of input is usually in the form of oral such as listening to the radio, watching television,
or having interaction with people, and in writing such as reading authentic texts (Nassaji and Fotos, 2011).
This way, learners are not required to produce the language. However, the exposure of grammar input itself
is not sufficient for learners to acquire the target grammar properly. Learners have to know the grammar’s
rules and structures of the target language so that they can use it correctly in context.
Input takes an important role as “the primary source of data for language acquisition” (Nassaji and
Fotos, 2011, p. 22) so it is important to expose learners to rich input. Input-based instruction is a kind of
instruction that makes learners focus on processing input and the meaning, and reciting them on the short-
term memory (Ellis, 2012). VanPatten (2007) proposed the principles of input processing (IP) to teach
grammar. These principles explain in what circumstances learners make form-meaning connections, why
some can make it but others cannot, what strategies learners use to understand the meanings, and how the
strategies possibly influence the acquisition of the target language.
Based on the principles, VanPatten designed a kind of input-based grammar teaching instruction
called processing instruction (PI), which focuses on changing learner’s default processing strategies and
enhancing form-meaning mappings (Morgan-Short and Bowden, 2006; Dekeyser and Botana, 2014). This
pedagogical technique has been investigated in various languages and linguistic features including Spanish,
Italian and English. One of the studies was Benati’s study (2005) on the acquisition of the English simple
past tense. In his study, he compared three types of instruction: PI, traditional instruction (TI), and meaning-
output instruction (MOI). The result of his study showed that PI enabled learners ‘to make form-meaning
connections for acquisition’ (p. 84). Therefore, PI is considered to be beneficial for learners to acquire
second language as it helps them to properly process the target form which leads to correct form-meaning
mappings. There are also other studies on the effectiveness of PI (such as Benati, 2001; Cadierno, 1995;
Cheng, 2002; VanPatten and Cadierno, 1993; and VanPatten and Oikkenon, 1996) showing the PI showed a
significant positive effectiveness to acquire the target language. However, there have not been any studies
investigating the effects of PI on the acquisition of the English plural marker –s.
Therefore, the purpose of this study is to investigate the effect of processing instruction on English
plural countable nouns with plural marker –s. The following research question is formulated for the purpose
of this study: What is the relative effect of PI on the acquisition of English plural countable nouns with
plural marker –s as measured on an interpretation task and a production task at sentence level?

276
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
REVIEW OF RELATED LITERATURE
Processing Instruction
Based on input processing principles, PI proposes processing strategies and structured input activities (SI)
along with the explicit grammar explanation (EI) to aid learners to overcome their incorrect processing
problems by practicing using the strategies. Therefore, learners are not required to produce target grammar
during PI. PI aims to change learner’s processing strategies, to support effective and suitable processing of
target forms, and to promote appropriate connection of the form and its meaning (Dekeyser and Botana,
2014).
Main Components of PI
There are three main components of PI that should be provided for learners: explicit grammar information
(EI), processing strategy information, and structured input activities (SI). These three components are
considered to be able to affect learners’ language input processing.
EI is a set of formal grammatical explanations of target form that consists of rules that are broken
down and examples based on the rules. EI should be given one at a time in the hope that learners are able to
process the information appropriately. According to some studies focusing on EI (VanPatten and Oikkenon,
1996; Benati and Lee, 2008), the existence of EI was not as necessary as the existence of SI in PI. Therefore,
EI is optional but it is necessary when the target grammatical form is complex (Henry, Culman, and
VanPantten, 2009; Culman, Henry, and VanPatten, 2009). When explaining the grammar rules, it is also
important to overtly explain the relationship between the form and its meaning (Dekeyser and Botana, 2014)
so that learners understand how the target form works.
Additionally, EI also provides information about processing strategies which are designed to push
learners away from incorrect form-meaning mappings. It aims to help learners avoid using the incorrect
strategies which often lead to misunderstanding and delays on acquiring the language (Russell, 2012).
Learners are told about what mistakes they mostly make and things they should pay attention to in order to
avoid making the mistakes explained before. Processing strategy information should be provided to learners
at the same time so that it is able to affect the processing of the target form during comprehension (Benati,
2005).
After providing EI and processing strategy information, learners are provided with a set of language
input activities or tasks called structured input activities (SI), the most vital component in PI (Benati and Lee,
2008). SI is designed purposefully to push learners’ focus to the target grammatical form and help learners
process it actively in meaningful context so that the form-meaning connections can be made (Benati, 2005).
Therefore, the sentences should not consist of any other grammatical elements and lexical redundancies so
that learners will process the meaning only from the grammatical marker (Benati and Lee, 2008; Russell,
2012). For instance, this sentence, she posted photos of dogs, has no numerical determiners and articles that
show the noun photo is plural. This way, learners will spontaneously notice the inflectional morpheme -s and
interpret the morpheme -s as plural.
There are two types of SI: referential and affective tasks. In referential activities, learners are
required to determine the meaning of the target form by relying on the form, presented in a set of sentences
or phrases which later will be assessed as correct or incorrect. For instance, to illustrate these activities using
English countable plural nouns briefly, learners hear or see a sentence I like oranges and have to decide the
object noun of the sentence oranges means one or more than one. After doing referential activities, learners
do affective activities that learners have to respond to a set of sentences or phrases containing the target form
based on their own experiences, opinions, and beliefs. For instance, to illustrate these activities using
English countable plural nouns briefly, learners hear or see a sentence I don’t have older sisters and have to
answer me too or no, I don’t. The answers for each sentence or phrase can vary among learners. Therefore,
there are no correct and incorrect answers for affective activities.

RESEARCH METHODOLOGY
The purpose of this study was to investigate the effect of PI on learners’ acquisition of the English plural
countable nouns. The data were obtained from a pre- and post-test. This study was conducted at a senior
high school located in the Central Jakarta area. The target participants for this study were 44 male and
female students of grade 10th (14-16 years old). The type of tests in this study was adapted from Benati’s
study (2005). The tests had two parts: interpretation and written production tasks. The interpretation task
consisted of 20 sentences, ten of them being distractor items in singular object nouns and the other ten being
in plural countable object nouns. In this task, participants listened to 20 sentences and had to determine

277
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
whether the object noun in each sentence they heard meant one or more than one. While in the written
production task, participants were required to produce ten sentences based on ten different pictures along
with the lists of verbs and nouns that assisted them in producing the sentences. The duration given to
complete both tasks in the test was 30 minutes. The pre-test was given to the participants one week before
beginning the treatment. The pre-test was used to screen the participants: only those who scored below 70
would be analyzed. The number of participants whose scores were analyzed became 10. The post-test was
given immediately to the students to find out whether there was any significant improvement after they
received the 40-minute treatment.
Separate scores were calculated for the interpretation and production tasks. In both the interpretation
and production tasks, the participants’ responses were scored by awarding one point for a correct response
and no point for an incorrect one. Then, the scores were analyzed quantitatively using paired sample t-tests
in the Statistical Package for the Social Science (SPSS) 20.0 software to calculate and see statistically
whether there were any significance differences between the mean score of the pre- and post-tests after the
treatment.
Target Grammar
The target form examined in this study is the English plural countable nouns with the plural marker -s. This
grammar feature was selected for several reasons. Firstly, although Indonesian L2 learners were in fact
familiar with plural countable nouns as this grammar feature had been taught since they were in elementary
school, plural countable nouns with plural marker -s present a number of difficulties for them: (1) learners
tend to forget to pluralize the noun with suffix -s/-es because marking plural nouns in Indonesian does not
require them to add any suffix but simply reduplicating the nouns such as ayam becomes ayam-ayam, pintu
becomes pintu-pintu, and mobil becomes mobil-mobil; and (2) learners seem to still be confused with the use
of singular-plural forms as learners precede plural countable nouns with indefinite articles a and an (for
example, pen becomes a pens) which is grammatically wrong. Secondly, the processing strategies
associated with this target grammar are the Lexical Preference Principle. According to the Lexical
Preference Principle, ‘if grammatical forms express a meaning that can also be encoded lexically (i.e., the
grammatical marker is redundant), then learners will not initially process those grammatical forms until they
have lexical forms to which they can match them’ (VanPatten, 2007, p. 118). For example, in the sentence
Anne broke two plates, the lexical item two and the plural marker -s on plates indicate the object noun is
more than one. Learners will initially identify the lexical item (the numerical determiner) and connect it to
the grammatical form -s on the object noun. This principle has been investigated in several PI studies on
other grammatical features such as Italian future tense (Benati, 2001), the English simple past tense (Benati,
2005), and Spanish past tense (Cadierno, 1995). However, as mentioned before, to the best of our knowledge
there have not been any studies investigating this grammar feature in PI. Therefore, this study can pioneer
the PI study on the English plural countable nouns.

FINDINGS AND DISCUSSION


In this section, the results of this study are presented in form of tables with brief description of the data. The
research used paired sample t-tests in SPSS 20.0 to see the significance of the interpretation task and written
production task of the PI group.
Table 1. Paired T-Test Results for the Interpretation Task of the PI Group
(n=10) Mean SD p
Pre-test 59.50 11.655 0.001
Post-test 84.50 10.659
As seen in table 1, the mean score of the interpretation pre-test was 59.50 and after the treatment, it
increased to 84.50 on the post-test. It showed that the PI group made a significant gain in the interpretation
task post-test, t (9) = -4.697, p= 0.001. The PI treatment was effectively able to aid learners to interpret the
utterances containing countable plural nouns with plural marker -s as they were able to notice the target
grammar feature.
Table 2. Paired T-Test Results for the Written Production Task of the PI group
(n=10) Mean SD p
Pre-test 15.00 15.092 0.64
Post-test 40.00 40.277
In table 2, the mean score of the written production task increased from 15.00 on the pre-test to 40.00 on the
post-test. However, the PI group did not make any significant gain (t (9) = -2.109, p = 0.064.) on the written
278
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
production task post-test though the mean scores from the pre-test to the post-test showed improvement.
This result revealed that the PI treatment could not alter learners’ processing default strategy because they
could not produce sentences in the target language correctly.
In sum, the PI group made a significant gain on the interpretation task and unexpectedly did not
make a significant improvement on the production task. PI could alter learners’ processing input and the PI
group made a significant gain on the interpretation task, but PI did not affect the way learners produce
sentences as the PI group did not make any significant improvement on the written production post-test.
These results are opposed to the findings from other studies on PI (VanPatten and Cadierno, 1993;
VanPatten and Oikkenon, 1996; Benati, 2001 and 2005) that proved the superiority of PI on both tasks over
traditional instruction. Thus, these findings show that PI only is not enough for learners to successfully
master the target form.
The findings demonstrate that in the case of learning the plural marker –s, instruction should also
include output practice after input practice so that the amount of practice learners received would be
balanced. That way, learners would perform better in producing sentences as well as in interpreting
sentences.

CONCLUSION
This study was conducted with the aim to investigate the effects of PI on learners’ acquisition of the English
plural countable nouns particularly with plural marker –s. Based on the analyses of findings, this study found
out that PI did bring effects on the way learners interpret sentences and help them make form-meaning
connection, but was not able to change the way learners produce sentences.
This study is not without its limitations. The researchers would like to make some suggestions for
further research on PI based on the limitations encountered in this study. Firstly, the instruction investigated
in this study is restricted to PI only. The study found out that PI only is not enough. Hence, the researchers
highly recommend further research to have more groups with different types of instruction such as
traditional instruction, meaning-output instruction, or a combination of PI and other output-based instruction
to verify whether the combination of PI and output practice leads to a significant improvement. Secondly,
the participants whose data were analyzed in this study were only 10. Therefore, it is recommended that in
further research, researchers should have more participants involved so that better analyses can be conducted.
Lastly, a delayed post-test was not included in this study because of the limitation of time given from the
school where the study took place. Thus, it is also suggested that conducting a delayed post-test will reveal
additional findings.

REFERENCES
Benati, A. 2001. A comparative study of the effects of processing instruction and output-based instruction on the
acquisition of the Italian future tense. Language Teaching Research, 5(2), 95-127.
Benati, A. 2005. The effects of processing instruction, traditional instruction and meaning—output instruction on the
acquisition of the English past simple tense. Language Teaching Research, 9(1), 67-93.
Benati, A. G., and Lee, J. F. 2008. Grammar acquisition and processing instruction: Secondary and cumulative effects
(Vol. 34). Multilingual Matters.
Cadierno, T. 1995. Formal instruction from a processing perspective: An investigation into the Spanish past tense. The
Modern Language Journal, 79(2), 179-193.
Cheng, A. C. 2002. The effects of processing instruction on the acquisition of ser and estar. Hispania, 308-323.
Culman, H., Henry, N., and VanPatten, B. 2009, The Role of Explicit Information in Instructed SLA: An On-Line
Study with Processing Instruction and German Accusative Case Inflections. Die Unterrichtspraxis/Teaching
German, 42, 19–31. doi: 10.1111/j.1756-1221.2009.00032.x
Dekeyser, R., and Botana, G. P. 2014. The effectiveness of processing instruction in L2 grammar acquisition: A
narrative review. Applied Linguistics, 1-17.
Ellis, R. 2012. Language teaching research and language pedagody. John Wiley & Sons.
Henry, N., Culman, H., and VanPatten, B. 2009. More on the effects of explicit information in instructed SLA. Studies
in Second Language Acquisition, 31, pp 559-575. doi:10.1017/S0272263109990027.
Morgan-Short, K., and Bowden, H. W. 2006. Processing Instruction and Meaningful output-based instruction: Effects
on second language development. Studies in Second Language Acquisition, 28(1), 31-65.
Nassaji, H., and Fotos, S. 2011. Teaching grammar in second language classrooms: Integrating form-focused
instruction in communicative context. New York: Routledge.
Russell, V. 2012. Learning complex grammar in the virtual classroom: A comparison of processing instruction,
structured input, computerized visual input enhancement, and traditional instruction. Foreign Language
Annals, 45(1), 42-71.

279
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Shintani, N. 2015. The effectiveness of processing instruction and production-based instruction on L2 grammar
acquisition: A meta-analysis. Applied Linguistics, 36(3), 306-325.
Van Lier, L. 1997. Interaction in the language curriculum: Awareness, autonomy, and authenticity. London: Longman.
VanPatten, B. 2007. Input processing in adult second language acquisition. In Theories in second language acquisition:
An introduction (pp. 115-135). New York, NY: Routledge.
VanPatten, B., and Cadierno, T. 1993. Explicit instruction and input processing. Studies in Second Language
Acquisition, 15, 225-243.
VanPatten, B., and Oikkenon, S. 1996. Explanation versus structured input in processing instruction. Studies in Second
Language Acquisition, 18, 495-510.

CURRICULUM VITAE
Complete Name : Cindy Carla Djasmeni David Wijaya
Institution : Atma Jaya Catholic University of Indonesia Atma Jaya Catholic University of Indonesia
Education : S1 Atma Jaya Catholic University of Indonesia S2 in TESOL Boston University
S1 LIA School of Foreign Language
Research Interst : • Language Teaching Methodology • Semantics
• Processing Instruction • Cross-linguistic analyses
• Language Teaching Methodology
• Cognitive Linguistics Approaches to English Teaching

280
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
RHETORICAL STRATEGIES OF FLOUTING MAXIM PADA PRINSIP KERJA SAMA DALAM
TALK SHOW SARAH SECHAN NET TV: KAJIAN PRAGMATIS

Yulia Helsi Mahgfirah Firdaus Soberatta


Universitas Padjadjaran
helsi_yulia@yahoo.com virasoberatta@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini mengenai rhetorical strategies yang terdapat dalam Talk Show Sarah Sechan yang tayang di NET TV
episode spesial Deddy Corbuzier. Pada flouting maxim itu sendiri terdapat teknik yang dikenal dengan nama
rhetorical strategies. Rhetorical strategies adalah suatu teknik pemakaian bahasa yang didasarkan pada pengetahuan
yang dimiliki oleh si penutur yang tersusun dengan baik. Tujuannya adalah untuk menerangkan suatu hal yang
menjadi landasan dari tulisan yang bersifat wacana lisan atau tulisan untuk mempengaruhi sikap dan perasaan
seseorang. Salah satu pengaplikasian teknik ini terdapat dalam sebuah percakapan. Dalam Talk show ini ada
beberapa teknik yang menggunakan rhetorical strategies sebagai dasar untuk meneliti cara penyampaian informasi
antara host dan bintang tamu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Teori yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teori Grundy dalam bukunya Doing Pragmatics (2000), disini Grundy
berangkat dari prinsip kerja sama dari Grice (1975). Prinsip kerja sama adalah sebuah komunikasi yang efektif dan
memerlukan kerja sama antara penutur dan petutur. Percakapan tidak hanya bergantung pada si penutur, tetapi juga
kepada si petutur. Prinsip kerja sama tersebut adalah maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevan dan maksim
cara. Lalu menurut Grice ada kalanya makna berasal dari pelanggaran yang disengaja. Teori inilah yang dijadikan
landasan bagi Grundy untuk membuat sebuah klasifikasi baru yang masih berhubungan dengan flouting maxim dari
Grice yaitu Rhetorical Strategies. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan kepada pembaca bahwa adakalanya
pelanggaran itu dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam penelitian ini penulis mendeskripsikan strategi
pelanggaran retorika menggunakan makna tersirat agar terciptanya kenyamanan dalam berkomunikasi antara penutur
dan petutur. Hasil yang diharapkan penulis dari penelitian ini adalah dapat memahami semua informasi yang
disampaikan dalam Talk Show Sarah Sechan dan dapat menyebutkan jenis-jenis rhetorical strategies apa saja yang
digunakan para tokoh dan menjelaskan maksud dari penggunaanya. Selanjutnya dihubungkan antara rhetorical
strategies dengan flouting maxim berdasarkan prinsip kerja sama. Sehingga kita melihat keterkaitan antara kedua
teori ini.
Kata kunci: Rhetorical strategies, Flouting Maxim, Talk Show Sarah Sechan, Teori Grice, Prinsip Kerja Sama

LATAR BELAKANG
Prinsip kerjasama atau Cooperative Principle adalah sebuah komunikasi yang efektif dan memerlukan
kerjasama antara si penutur dan si petutur. Percakapan tidak hanya bergantung pada si penutur, tetapi juga
kepada si petutur. Berangkat dari teori prinsip kerjasama Grice pada tahun 1975, Grundy dalam bukunya
menambahkan enam rhetorical strategies yang masih berhubungan dengan flouting maxim.
Menurut Grundy, flouting maxims merupakan cara yang penting khususnya agar petutur dapat
menarik kesimpulan sendiri sehingga dapat mengganti implikatur. Ada berbagai macam alasan orang
melakukan flouting maxims, terkadang seseorang dihadapkan untuk memilih maksim apa yang akan
digunakan dalam sebuah percakapan. Terkadang seseorang berada di posisi dimana dia sengaja atau tidak
sengaja melakukan pelanggaran maksim. Ketika seseorang melakukan flouting maxims maka orang tersebut
melakukan beberapa Rethorical Strategies yang disebut juga the concept of flouting maxim. Fenomena yang
terjadi pada “Talk Show Sarah Sechan” adalah munculnya strategi retorika pada percakapan antar tokoh.
Identifikasi Masalah dalam penelitian ini adalah 1) Jenis rhetorical strategies of flouting maxim apa saja
yang terdapat Talk Show Sarah Sechan? (2) Apa keterkaitan antara rhetorical strategies dengan flouting
maxim dalam Talk Show Sarah Sechan? Berdasarkan identifikasi masalah diatas, tujuan dari penelitian ini
adalah (1) Menganalisis jenis rhetorical strategies of flouting maxim apa saja yang terdapat dalam Talk
Show Sarah Sechan. (2) Menganalisis keterkaitan antara rhetorical strategies and flouting maxim dalam
Talk Show Sarah Sechan. Metodelogi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah : (1) Matrials :
Objek penelitian dalam penelitian ini yaitu pelanggaran yang terjadi dalam percakapan antara penutur dan
petutur yang mengandung Rhetorical Strategies on flouting maxim dalam Talk Show Sarah Sechan. Penulis
menganalisis data berdasarkan kajian Pragmatis. Data yang diperoleh akan dianalisis mengenai rhetorical
strategies dan keterkaitannya dengan flouting maxim. (2) Procedures Metode deskriptif yaitu penelitian
yang hanya terbatas pada usaha untuk mengungkapkan suatu masalah dan keadaan sebagaimana adanya
sehingga hanya merupakan pengungkapan fakta

281
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
LANDASAN TEORI
Pragmatik
Pragmatik adalah kajian tentang hubungan antara bahasa dengan konteks atau yang dikodekan pada struktur
bahasa. Pragmatics is the study of those relations between language and context that are grammaticalized,
or encoded in the structure of a language (Levinson, 1983: 9). Dapat kita simpulkan bahwa pragmatik
merupakan studi yang mempelajari tentang bahasa atau arti tuturan dan konteks.
Konteks
Teori Levinson yaitu “Pragmatics is the study of the relations between language and context that are basic
to an account of language understanding” (Levinson, 1983:21). Pragmatik adalah kajian tentang hubungan
antara bahasa dan konteks sebagai dasar pertimbangan untuk memahami dan mengerti bahasa. Konteks pada
penelitian ini digunakan untuk menggambarkan situasi saat percakapan berlangsung sehingga memudahkan
untuk menganalisis penyebab munculnya strategi retorika dalam Talk show Sarah Sechan. Konteks adalah
seluruh situasi dari luar teks yang mempengaruhi bahasa yang diproduksi. Itulah sebabnya makna teks
tergantung pada konteks.
Prinsip Kerjasama
H.P Grice dalam bukunya “Logic and Conversation” Cara seseorang berusaha membuat sebuah percakapan
disebut juga prinsip kerjasama (cooperative principle). Prinsip kerjasama bisa dijelaskan melalui empat
aturan maksim. Dikenal dengan maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality),
maksim relevan (maxim of relevance) dan maksim cara (maxim of manner). Empat maksim tersebut bisa
dijelaskan dalam sinopsis sebagai sesuatu yang singkat, benar, relevan dan jelas (Grundy, 2000:74 -75).
Maxim quantity
Usaha dari si penutur dalam memberikan kontribusi berupa memberikan informasi sesuai dengan kebutuhan
petutur. Informasi ini diharapkan tidak berlebih-lebihan dan tidak dikurang-kurangi , sehingga petutur
menjadi terbantu dan dapat memahami maksud dari si penutur.
Maxim of Quality
Usaha dari si penutur dalam memberikan kontribusi berupa informasi yang benar dan dapat dibuktikan.
Penutur dilarang memberikan opini atau pendapatnya saat menyampaikan informasi. Dengan adanya
maksim ini penutur diharapkan dapat memberikan informasi yang sesuai dengan fakta.
Maxim of Relevance
Usaha dari si penutur dalam memberikan kontribusi berupa tuturan yang masih terkait dengan tuturan
sebelumnya. Kontribusi penutur harus berhubungan dengan tujuan yang jelas dari pertukaran informasi,
maka informasi yang disampaikan harus relevan. Dengan adanya maksim ini, penutur diharapkan dapat
mengatur tuturan agar tetap berhubungan dengan tuturan penutur.
Maxim of Manner
Usaha dari si penutur yang harus memberikan informasi dengan singkat dan jelas sehingga tidak
menimbulkan makna ambigu dan ketidakjelasan saat lawan tutur menangkap maksud dari si penutur.
Dengan adanya maksim ini, penutur diharapkan dapat memberikan informasi dengan jelas tanpa berusaha
untuk membuat partisipan lainnya menjadi bingung.
Flouting Maxim
Kadang-kadang terdapat kondisi ketika sebuah makna berasal dari pelanggaran yang disengaja. Itu dikenal
dengan cooperative principle yang selalu menyediakan penutur, dimana penutur tersebut bermaksud supaya
petutur tidak melihat flouting maxim atau pelanggaran maksim yang dilakukan.
Flouting Maxim of Quantity
Seorang penutur dianggap melanggar maxim of quantity jika dia menjadi tidak informatif atau mengatakan
sesuatu yang lebih atau kurang dari yang dibutuhkan oleh petutur. Informasi tersebut dapat berupa informasi
yang memberikan dampak kebosanan pada lawan tuturnya serta informasi yang terlalu sedikit yang dapat
menimbulkan ketidakjelasan atau bahkan makna ambigu sehingga lawan tuturnya tidak menangkap apa yang
penutur sampaikan.
Flouting Maxim of Quality
Pertama, pelanggaran akan dilakukan oleh kebohongan penutur dengan mengatakan dan menyangkal sesuatu
yang diyakini salah agar tidak mendapatkan beberapa hukuman dari seseorang. Kedua, penutur
menggunakan pernyataan ironi ketika dia melanggar. Akhirnya penutur menyimpangkan informasi. Ini
berarti bahwa dia memberikan gambaran yang salah pada informasi nya untuk membuat petutur mengerti.

282
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Penutur dikatakan melanggar Maxim of Quality jika mereka berbohong atau mengatakan sesuatu yang
diyakini palsu. Mengatakan informasi atau membuat pernyataan yang berlebih-lebihan (hiperbola).
Flouting maxim of relevance
Para partisipan pelanggaran maxim of relevance karena mereka membuat percakapan yang tidak jelas atau
tidak sinkron. Pelanggaran ini biasanya digunakan untuk menyembunyikan sesuatu. Ini berarti para
partisipan percakapan menjaga rahasia atau sesuatu agar tidak ada satu orang pun yang mengetahui tentang
hal tersebut. Seorang penutur dikatakan melanggar Maxim of Relevance jika dia mengubah topik
pembicaraan secara tiba-tiba, memberikan komentar yang tidak relevan atau menghindari berbicara tentang
topik yang sedang dibahas.
Flouting Maxim of Manner
Seorang penutur melanggar maxim of manner ketika dia menggunakan bahasa yang ambigu. Penutur
menggunakan bahasa lain seperti bahasa asing yang membuat petutur tidak mengerti. Kadang-kadang
pelanggaran ini digunakan oleh penutur untuk membesar-besarkan suatu hal. Disini berarti bahwa penutur
merepresentasikan sesuatu secara berbelit-belit.
Dalam rhetorical strategies terdapat flouting maxim yang saling berkaitan. Grundy menyebutkan
dalam bukunya Doing Pragmatics yang berisi tentang rhetorical strategies on flouting maxim.
Rhetorical Strategies
Tujuan retoris ini adalah untuk menerangkan suatu hal yang menjadi landasan dari tulisan yang bersifat
wacana lisan atau tulisan untuk mempengaruhi sikap dan perasaan seseorang. Untuk mencapai tujuan
tersebut maka terkadang penutur harus melakukan pelanggaran maksim. Oleh karena itu, penutur melakukan
beberapa strategi yang disebut dengan strategi retoris.
Flouting maxim usually can be found on tautology, metaphor, overstatement, understatement, rhetorical
question and irony (Grundy, 2000: 760-77).
Tautology
Tautologi logika menggunakan penalaran melingkar dalam argumen atau pernyataan. Tautology mengatakan
hal yang sama lebih dari sekali dalam cara yang berbeda tanpa membuat salah satu yang artinya jelas atau
lebih kuat maknanya.
Contohnya: Women are women
Contoh diatas tidak menyampaikan ada informasi. Penutur tidak bisa menjelaskan apa definisi perempuan
dan Ia merasa sulit untuk menjelaskannya. Berdasarkan definisi ini, contoh diatas termasuk tautology dalam
rhetorical strategies karena ada pengulangan kata “Women” yang tidak mendefinisikan apa-apa.
Metaphor
Metaphor adalah salah satu pelanggaran yang paling sering dalam prinsip kerjasama Grice. Penutur
menggunakan kata-kata metafora untuk menunjukkan sesuatu yang berbeda dari arti yang sebenarnya.
Contohnya: Harry is a real fish
Ini berarti bahwa Harry meminum air kolam renang atau Harry berdarah dingin seperti ikan alias cuek dan
acuh tak acuh. Berdasarkan definisi, contoh di atas diklasifikasikan sebagai metaphor karena bukan kondisi
riil tapi menggunakan sebuah pemisalan.
Overstatement
Mengatakan sesuatu secara berlebih-lebihan itu adalah sebuah strategi retoris yang bisa disebut dengan
hiperbola (overstatement).
Contohnya: There were a million people in the room tonight.
Contoh ini dapat diklasifikasikan sebagai pernyataan yang berlebihan karena penggunaan pernyataan yaitu a
million people. Oleh karena itu, tuturan tersebut terlalu berlebihan sehingga tidak informatif.
Understatement
Menurut Leech (1983: 91) understatement) adalah bentuk frasa yang berisi ekspresi kekuatan yang kurang
dari apa yang diharapkan. Pada understatement, tingkat kesopanan diperlihatkan secara lebih keras atau
ofensif.
Contohnya: A: What do you think of Harry? B: Nothing wrong with him
Di sini terlihat penutur B tidak menjawab pertanyaan penutur A dengan jelas dan rinci. Sehingga informasi
yang diterima oleh penutur A tidak informatif. Dengan informasi sedikit itu bagaimana penutur A dapat
mengenali Harry.
Rhetorical Question
Rhetorical question biasanya menggunakan kata-kata yang membantu si penutur untuk memaksa munculnya
interpretasi pertanyaan atau memaksa mereka untuk mengingat pernyataan yang mereka buat.
Contohnya: How many times do I have to tell you?

283
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Penutur cuma ingin menunjukkan bahwa harus berapa kali dia memberitahu si petutur agar keinginan dari si
penutur dilaksanakan oleh si petutur. Rhetorical question ini juga dapat berupa sindiran halus yang bertujuan
baik dari si penutur ke si petutur.
Irony
Irony adalah ekspresi dari makna seseorang dengan mengatakan sesuatu yang merupakan kebalikan
langsung dari pikiran orang tersebut dan sering digunakan untuk mencemooh.
Contohnya: John is real genius (after John has done stupid act).
Berdasarkan pada definisi yang telah dijelaskan dan diuraikan diatas, kalimat ini adalah contoh yang
bisa kita klasifikasikan sebagai irony karena si penutur mengatakan sebuah hal yang sangat berlawanan
dengan apa yang terjadi dengan kata lain bukan kondisi riil.

CONTOH DATA
Hasil dan analisis ini diharapakan dapat membantu pembaca untuk dapat lebih mudah mengerti tentang
rhetorical strategies on flouting maxims. Jenis dan keterkaitan rhetrorical strategies and flouting maxim
adalah sebagai berikut:
Tautology dan Flouting Maxim Quantity
Data 1:
Sarah Sechan: Bagaimanapun dahsyatnya kecelakaan yang membuat tubuhmu harus berada diatas kursi roda
ini. Kamu adalah master mentalis yang sangat kuat. Deddy is deddy. Yes strong Deddy Corbuzier (lalu tepuk
tangan)
Analisis: Konteks percakapan diatas adalah ketika Sarh Sechan mencoba memberikan semangat dan
dukungan mental saat Deddy Corbuzier terkena musibah yang menyebabkannya harus duduk
dikursi roda dalam beberapa minggu. Tetapi dalam kalimat diatas Sarah Sechan sebagai penutur
menggunakan Tautology yaitu pengulangan kalimat Deddy is deddy. Kalimat pengulangan tetapi
mempunyai makna yang sama. Data 2 ini tergolong kedalam klasifikasi flouting maxim of quantity
karena penyampaian informasi yang terlalu banyak sehingga menimbulkan kebingungan pada
lawan.
Data 2:
Sarah Sechan: wow apakah yang terjadi dengan anda? Kenapa bisa datang ke acara saya memakai kursi
roda? This is your new style?
Deddy Corbuzier: ya saya senang sekali bisa datang ke acara ini dengan gaya lain dari yang lain.
Sarah Sechan: Tidak.. tidak.. anda harus menjalaskan kepada kami semua apa ada kecelakaan yang
menyebabkan anda memakai kursi roda ini?
Analisis: Konteks di atas terjadi ketika Sarah Sechan terkejut melihat bintang tamunya Deddy Corbuzier
dating dengan menggunakan kursi roda. Sehingga ia bertanya apakah yang sudah terjadi pada diri
bintang tamunya. Seperti biasa dengan sikap dingin dan angkuhnya Deddy Corbuzier menjawab
dengan kalimat ya saya senang sekali bisa datang ke acara ini dengan gaya lain dari yang lain.
Data 3 termasuk kedalam understatement dan dapat diklasifikasikan kedalam flouting maxim of quantity.
Hal ini diklasifikasikan kedalam flouting maxim of quantity karena informasi yang sedikit dan tidak
mendukung pertanyaan si petutur yang menyanyakan akibat dari dirinya menggunakan kursi roda.
Seharusnya si Deddy Corbuzier mengatakan alasan yang sebenarnya ia mengalami kecelakaan saat latihan
bela diri.
Methapor dan Flouting Maxim Quality
Data 3:
Sarah Sechan: sekarang keadaan anda tidak bisa beraktivitas seperti biasa, apa yang membuat anda tetap
semangat untuk sembuh? Terkadang kita saat sakit merasakan semangat yang hilang.
Deddy Corbuzier: jawab saya sederhana saja, anak saya. Otak saya ada pada dia. Saya merasa bahwa anak
saya masih membutuhkan saya.
Analisis: Konteks pada pembicaraan diatas adalah ketika Sarah Sechan menanyakan apa alasan Deddy
Corbuzier tetap semangat menjalani hidup walau haru duduk dikursi roda. Deddy Corbuzier
menjawab dengan sederhana bahwa alasan utamanya adalah karena anaknya. Saat mejawab
Deddy Corbuzier menggunakan strategi Methapor yaitu otak saya ada pada dia. Perumpaan ini
berarti bahwa semangat dia untuk bertahan dan tetap hidup adalah karena anaknya. Bukan makna
yang sebenarnya yang otak bagian tubuhnya ada pada tubuh anaknya. Strategi ini dapat
diklasifikasikan ke dalam flouting maxim of quality karena informasi yang diberikan tidak sesuai
fakta yang sebenarnya..

284
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Irony dan Flouting Maxim of Quality
Data 5:
Deddy Corbuzier: saya bilang ke anak saya kalau kamu disekolah ada yang jahilin, pukul saja temen kamu
itu.
Sarach Sechan: hahaha (tertawa) kamu adalah sosok ayah yang memberikan contoh sangat baik ya
kepada anaknya
Deddy Corbuzier: hahaha (tertawa) saya bercanda. Maksudnya saya mengajarkan anak saya untuk membela
diri jika ada yang jahat padanya.
Analisis: Konteks percakapan diatas adalah saat mereka berdua berdiskusi tentang bagaimana cara menjadi
contoh yang baik bagi anak laki-laki. Pada percakapan diatas Sarah Sechan menggunakan strategi
Irony yaitu kamu adalah sosok ayah yang memberikan contoh sangat baik ya kepada anaknya
kalimat Diklasifikasikan kedalam flouting maxim of quality. Penutur tidak memberikan informasi
sesuai fakta yang terjadi karena irony merupakan kata-kata yang digunakan untuk menyindir
seseorang.
Rhetorical Question dan Flouting Maxim Relevance
Data 7:
Sarah Sechan : penonton dirumah dan di studio sangat penasaran apakah yang sudah terjadi pada anda
kenapa duduk di kursi roda ini?
Deddy Corbuzier : siapa bilang saya tidak berdaya? (lalu mencoba berdiri walau gagal)
Analisis: Deddy Corbuzier kembali mengalihkan pembicaraan dan bertanya siapa bilang saya tidak
berdaya? sambil mencoba berdiri walau akhirnya dia gagal dan merasa sedikit sakit pada kakinya.
Data ini termasuk dalam Rhetorical Question yang tidak berhubungan dengan pertanyaan si
penutur, melainkan si petutur memberikan pertanyaan balasan yang tidak berhubungan dengan
pertanyaan sebelumnya. Hal inilah yang kenapa juga diklasifikasikan kedalam flouting maxim
relevance. Deddy corbuzier tidak menggunakan kata-kata yang berhubungan dengan tuturan
sebelumnya.

KESIMPULAN
Keterkaitan antara rhetorical strategies on flouting maxims terlihat sebagai berikut : a) tautolgy and flouting
maxim of quantity, b) methapor and flouting maxim of quality, c) overstatement and flouting maxim of
quality, d) understatement and flouting maxim of quantity, e) rhetorical question and flouting maxim of
relevance and f) irony and flouting maxim of quality. Selain itu pada film ini bisa dilihat dari kecenderungan
oleh dua orang yang mempunyai jiwa humoris tinggi sehingga sering terjadi ledekan atau cemoohan diantara
mereka dengan menggunakan pemisalan.

REFERENSI
Brown, P. and S. C. Levinson. 1987. Politeness: Some Universals in Language Use. Cambridge: Cambridge University
Press.
Grice, H.P. 2004. Conversational Implicatur; Cooperative Principle. Online: http://www.artscl.wustl.edu/~MindDict/grice.html.
Grundy, Pr.2000. Doing Pragmatics. New York: Oxford University Press.
Hughes, L. 2008. Grice’s Cooperative Principle, maxims of Conversation & Conversational Implicature.
Leech, G. 1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia.
Surakhmad,Winarno. 1989. Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar Metode dan Teknik. Bandung: Tarsito.
Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford New York : Oxford University Press.
Courtesy : Youtube “Talk Show Sarah Sechan – Special Deddy Corbuzier”

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Yulia Helsi Mahgfirah Firdaus Soebratta
Institusi : Universitas Padjadjaran Universitas Padjadjaran
Riwayat Pendidikan : S1 dan S2 Universitas Padjadjaran S2 Universitas Padjadjaran
S1 STBA Harapan, Medan
Minat Penelitian : • Pragmatik • Pragmatik
• Sosiolinguistik • Sosiolinguistik
• Sosiopragmatik • Sosiopragmatik

285
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
THE USE OF LOCAL SHORT STORY IN ENGLISH LANGUAGE LEARNING (A LITERARY
REVIEW ON THE USE OF LOCAL SOURCES AS AN ALTERNATIVE TEACHING MEDIA IN
EFL)

Aam Alamsyah
Atma Jaya Catholic University of Indonesia
alamsyah_expert@yahoo.com

ABSTRACT
The use of native English story in EFL, which has so far been a source for heated debate among the scholars due to the
possible intercultural conflict experienced by the learners and can possibly lead to the learners’ confusion during the
class, is basically driven by the long gone communicative competence theory, the paradigm which views that
incorporating cultural aspects (sociolinguistic element) of the native English speakers is inseparable in acquiring
communicative competence. Actually, the use of local short story for language learning, despite being absent in some
aspects such as; idioms, style, pragmatic, etc., can possibly incur a lot more motivating aspects, this is because the
learners can usually understand the overall learning process in a more comprehensive manner. Based on schemata
theory, the process of learning might greatly be affected by the learners’ prior knowledge due to the schemata that the
learners already had, thus the learning process involving the native English speakers’ paradigm might significantly
hamper the learners in understanding and enjoying the story smoothly especially when the story is relatively longer
and the teacher is not really competent in explaining the material or the learners who are still in the lower proficiency
level. This literary review aims at highlighting the issue on the use of local short stories which can probably provide
more psychological advantages compared with the foreign learning sources, as long as the materials are supported
with good layout, sufficient vocabulary and standardized grammar, this package will certainly enable the leaners to
learn the content and moral values, thus improving not only their linguistic aspects, e.g. vocabulary, grammar, etc., but
also their self –confidence in leading their life which is certainly very suitable to the way of life of the learners.
Keywords: The use, local short story, language teaching

THE IMPORTANCE OF SHORT STORY IN EFL


Short story (Poe as cited in Abrams, 1970, p. 158) is commonly known and defined as a narrative that can be
read in one sitting or approximately lasts within one half hour to two hours. Typically, short story tends to
emphasize to a certain character portrayal or single effect which can easily be understood by its readers.
Since short story is limited to some of the above aspects thus it doesn’t pay much attention into the details
which are considered as important elements in proses, novels, and the like.
Despite its shortness, Pardede (2011), nonetheless, believes that short story is one of the effective
media that can be used for EFL learning due to its unique characteristics, such as: its length, and simplicity.
He also believes that short story can possibly assist teachers in improving all students’ skills, e.g. reading,
writing, listening and even speaking.

A TUG OF WAR BETWEEN LOCAL AND NATIVE SHORT STORY


Despite the strong support for the use of short story in EFL context, the problems seem to persist due to the
following dilemmas:
The growing concern on the students’ cultural background
There is no denying the fact that culture is important for people, thus the learners who come to learn will
inevitably bring along his or her own previous learning experience which is also culturally embedded (see
e.g. Byram, & Morgan, 1994). Slavin, (2009), alike, argues that by the time children enter school, they have
absorbed various aspects of the culture (e.g. language, belief, attitude, ways of behaving, etc.) which they
have acquired from their previous upbringing. From the above concept, it is clear that those scholars
emphasize the importance of the learners’ cultural background in order to be wisely accommodated during
the EFL learning activities.
An endless yet an important issue: cultural diversity awareness
Before illuminating the issue of cultural diversity awareness, it is certainly important to grasp the meaning of
cultural diversity which is defined as (UNESCO, 2001) a principle for organizing sustainable cultural
plurality, both within and across society (p. 11).
Further, Brown E, L. (2004) consolidating the excerpts from various scholars e.g.: Banks (2001),
Brown, E, L. (2004), Gay, (1985) and Sleeter (1995), defining cultural diversity awareness as “ the
continuous modification of one’s belief system by: (1) seeking out and internalizing accurate knowledge of

286
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
one’s own cultural frames-of-reference and the culture of “others” (2) recognizing and respecting the
contribution of “other” (micro/macro) cultures to the progress of a society (3) valuing, understanding, and
participating in cross-cultural interactions, and (4) nurturing equitable behaviors in one’s “self” and “others”
(p. 5).
The importance of cultural diversity awareness in education field has also been proven through some
studies lending to the conviction that teachers with cultural diversity awareness tend to have more positive
influence leading to their students’ achievement (e.g. Banks, 1997; Gay 2000, as cited in Brown, E. L.
2004). Similarly, Quick and Nelson (2011, p. 51) argue that diversity is proven to be more effective in
promoting creativity and innovation which will certainly lead to better problem solving and improved
organizational flexibility.
Local short story vs. native speakers’ short story
While the survey conducted by Rodliyah, Imperiani, & Amalia, (2014) indicated that Indonesian students
could possibly accept both local and foreign sources in having their EFL reading materials. In EFL
scholarship, however, the use of local and native speaker’s sources in EFL has actually been a prolonged
issue to debate. While some scholars believe that the exposure of native English speakers might be positive
since it can significantly support the learning process (see e.g. Bachman, 1990, or Brown, 2001 on
“language- culture connection”).
Another scholar, take for example Alptekin (2002), on the contrary, believes that the newly adjusted
materials to local values should be done. He argues that the paradigm of the new language learning
nowadays is not for the sake of adopting a new culture, but merely for instrumental reason. With the
growing number of the English speakers in the expanding circle (see Kachru, 1998) the mere “prescriptive”
teaching method (see e.g. Merrison, et al. 2014) without incorporating local values or the learners’ cultural
background will be of less use since the instances of communication will probably happen more in non-
English countries rather than in the inner circles.
Other scholars who also seem to doubt of the efficacy of the incorporation of the target culture are
Jabeen & Shah (2011) who found that the Pakistanis’ students are found to have negative attitude when they
are exposed to the native English culture. Jambor, (2007) alike, believes that there are some problems
regarding the way English is taught in Korean context. Lastly, Hu (2002) postulates that the teaching of
English in China is considered not effective due to the fact that there is a possible cultural differences
between the philosophy adopted by Chinese and the concept applied in English teaching.

THE NATURE OF INDONESIAN CULTURE


As a multi- cultural and multi- lingual country (see e.g. Muamaroh, 2013; Murtiningsih, 2014) Indonesia
doesn’t seem to have problem in receiving the new language. This is because most Indonesians have also
learned other languages prior to the introduction of English in Indonesia take for example Arabic, thus
making them able to adopt the new language even easier although in some cases interference might arise
(see e.g. Madya, 2007). Additionally, Indonesia is also considered as an oral community, based on the fact
that there lie countless of local stories which have been passed down from generation to generation (Rahim,
& Rahiem, 2012).
Bunanta (2003 as cited in Rahim, & Rahiem, 2012) recount that there are more than 300 hundred
ethnic groups which have their own typical stories as well as their own means of storytelling. Through story
reading or storytelling activities, children become familiar not only with a variety of examples of good and
bad deeds, regulations and punishments, but also learn the reasons for taking action, problem solving,
empathy, etc. Commenting on the importance of local stories, Alwasilah (2007) urges language educators in
order to be aware of the importance of elevating the status of local literature to a higher and respected one,
due to the fact that these value- laden stories have so far been neglected. He also reiterates that presenting
cultural values accommodated in the local stories will not create “ethnocentric paradigm” in fact, it can
develop critical thinking through continuous self-introspection on their cultural identities.

THE EFFICACY OF LOCAL SHORT STORIES IN INDONESIAN EFL CONTEXT


What is “schemata”?
Based on psychologist (e.g. Slavin, 2009), schemata is the concept that is important and becomes the basis
of our understanding toward the newly succeeding concept. Thus students who previously don’t have the
basic knowledge or sufficient information on the second language culture or paradigm must have difficulty
in understanding this new concept. Supporting the above idea, Byram and Morgan (1994, p. 44) firmly

287
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
postulate that “learners need to become aware of their own cultural schemata in order to effect an
acknowledgement of those of a different culture.”
Preventing cultural conflict
Martin and Nakayama (2008, p. 211) define conflict as referring to intercultural conflict as “involving a
perceived or real incompatibility of goals, values, expectations, processes, or outcomes between two or more
interdependent individuals or groups”. William (1994, pp. 2-6) forwards that cultural conflicts usually
emerge due to the differences in values and norms or behavior of people from different cultures.
Specifically, Triandis (1994, p.18), coins the term “cultural distance “ in order to emphasize that the
intensity of conflict will usually depend on “how far the distance occurs”. Further, Palmer (2013, p. 4 as
citing Le Roux, 2002) reiterates that EFL teacher should be careful in accommodating “the cultural
component” in order to prevent some negative instances such as; “frustration, misapprehensions,
intercultural conflict, and school failure”.
Implanting cultural values and identities
Since most of local short stories are morally or value laden stories, e.g. the values adopted from religious
teaching, local customs, traditions, morals, heroic stories, etc., (Bunanta, 2003, as cited in Rahim, &
Rahiem, 2012), thus these kinds of stories will generally incur more benefits to the students since they can
provide not only cognitive or motoric aspects, namely English, but also a chance to preserve the values
which are closely relevant to the students’ identity, either as a person or as a citizen in this beloved country.
However the challenge regarding the use of local short story is also huge, some problems persist, e.g. the
low quality of the textbooks, teachers’ competence in presenting the short story, etc. Zacharia’s (2003)
study, for instance, reveals that many Indonesian teachers strongly prefer the teaching materials from
English speaking countries, especially for teaching pronunciation and listening skill and not many
Indonesian teachers use locally produced materials, due to the fact that there are many Indonesian ELT
books are of low quality. Secondly, the teachers’ performance in presenting the quality teaching method
regarding the use of short story remains a big issue to resolve this is because there are still many Indonesian
teachers who are under qualified (see, e.g. Ashadi, 2014).
Teaching material or media?
It has been common secret that most of prestigious schools tend to use native books which are luxuriously
packaged along with other supporting devices e.g. audio visual media, etc. The existence of locally produced
Indonesian English books which are commonly less expensive compared with foreign books (e.g. the ones
produced by Cambridge University Press, Longman, etc.) are still considered lower in quality due to the
facts that they are not properly produced e.g. the lay out, the picture, the proof reading, supplementary
materials, etc. Brinton, (2001), however, believes that media can be used to support the learning process
along with the textbook, and can be in the form of various sources either electric or non-electric, thus
allowing teachers to select the most suitable material or media for the learning process without having to
burden the students with such expensive devices.

CONCLUSIONS AND SUGGESTIONS


1. The use of local short story can possibly be used in EFL context, as long as the selection of the materials
are done carefully in order that the materials will suit the needs and the expectation of the students and
the other relevant stake holders (e.g. school administrators, teachers, parents, etc.).
2. The use of local short story can probably provide a much easier learning process due to the fact that they
contain more relevant schemata thus making it easier for students to understand the local story compared
with the other foreign books which are usually packaged with a more exposure on L2 culture.
3. The use of local short story can also be used as a means of comparison between local values and foreign
values so that the students can be more aware of the differences leading to cultural diversity awareness.
In this case the use of local short story can also be presented alternately after the presentation of native
short story in the next session depending on the time available, or vice versa. During the use of local
short story discussion or interactive learning method (see Brown on interactive learning, 2001) can be
performed by the teacher so that the students can get more involved in a discussion leading to their
critical thinking improvement (see e.g. Alwasilah, 2007, Larson, 2014).
4. The use of short story should also be considered based on certain categories such as; students’
proficiency, preference, the length of short story, etc. For some areas in which local values are highly
appreciated, the use of local short stories can also be used as an alternative in providing an English
material so that the students can be more familiar and be more spirited to learn thus preventing cultural

288
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
conflict due to the persistent distance between the students’ cultural background and the L2 cultural
paradigm.
5. The effectiveness of local short story will probably create a much greater impact on the lower
proficiency level due to the fact that most of Indonesian local short stories might lack the natural aspects
of English language, e.g. pragmatic components, idiomatic expressions, etc.
6. The use of teaching media can also compensate the moderate quality of the teaching materials produced
locally so that the teaching process will be more meaningful, the use of media like; wayang, gloves,
pictures, can be very interesting and can be an additionally effective package in English learning
process. This effort can also be beneficial due to the fact that not all schools in Indonesia are properly
equipped with modern facilities thus the use of expensive or luxurious materials might not be efficacious
due to the incompetence of the teachers, and the lack of necessary equipment to support such
sophisticated teaching materials.
7. The writer believes that there should be further study in order to know the general quality of Indonesian
English writing skills, teachers’ capacity and the possible implementation of local short stories in
educational EFL context, especially in formal school setting, if the short stories are still regarded
worthy-off to be maintained as Indonesian cultural inheritance. Besides the persistent problems
regarding local publication (e.g. funding) should also be thoroughly solved since the quality of
presenting teaching material will also depend on the quality teaching materials. Last but not least, the
English locally written materials can also be used as an introduction of Indonesian culture to those who
might be interested in knowing Indonesian culture.

REFERENCES
Abrams, M. H. 1970. A glossary of literary term. New York: Rinehart.
Alwasilah, A. C. 2006. From local to global: reinventing local literature through English writing classes. TEFLIN
Journal, 17, (1). 11-27. Retrieved from: http://journal.teflin.org/index.php/journal/article/view/56/51
Alptekin, C. 2002. Towards intercultural communicative competence in ELT. Oxford University Journal, 56. 57-64.
Retrieved from: eltj.oxfordjournals.org/content/56/1/57.short
Ashadi, A. 2014. Developing quality teachers in Indonesian public schools. Dissertation. Melbourne Graduate School
of Education. The University of Melbourne. Retrieved from: www. researchgate.net/publication/279058061
Bachman, L. 1990. Fundamental considerations in language testing. Oxford: Oxford University Press.
Byram, M., & Morgan, C. 1994. Teaching and learning Language and culture. Clevendon: Multilingual Matters.
Brinton, D. M. 2001. The use of media in language teaching. (In Marianne, C-M, Ed.). Teaching English as a Second or
Foreign Language. (pp. 459-476). Boston: Heinle & Heinle.
Brown, D., H. 2001. The Principles of language teaching: An interactive approach to language pedagogy. (2nd ed.).
New Jersey: Pearson.
Brown, E, L. 2004. The Relationship of self-concept to changes in cultural diversity awareness; Implications for urban teacher
educators. The Urban Review. 36 (2). 1-27. Accessed from: http://link.springer.com/article/10.1007%2Fs11256-004-0616-
0#page-1
Hu, G. 2002. Potential Cultural Resistance to Pedagogical Imports: The Case of Communicative Language Teaching in
China. Language, Culture and Curriculum, 15, (2). 93-105, DOI: 10.1080/07908310208666636
Jabeen, F. & Shah, S. K. 2011. The Role of Culture in ELT: Learners’ Attitude towards the Teaching of Target
Language Culture. European Journal of Social Sciences, 23, (4), 613-604.
Jambor, P. Z. 2007. Learner attitudes toward learner centered education and English as a foreign language in the
Korean university classroom. Unpublished Master Dissertation. School of Humanities of the University of
Birmingham. Master of Arts in Teaching English as a Foreign or Second Language (TEFL/SL)
Kachru, B.B. 1998. English as an Asian language. Links & letters, 5, 89-108. Retrieved from
http://ddd.uab.cat/pub/lal/11337397n5p89.pdf
Larson, K. R. 2014. Critical pedagogy (ies) for ELT in Indonesia. TEFLIN Journal, 25, (1). 122-138. Retrieved from:
http://journal.teflin.org/index.php/journal/article/view/186.
Madya, S. 2007. Curriculum innovations in Indonesia and strategies to implement them. (2nd vol.). In Yoon H, Choi, &
Bernard S. (Eds.). ELT Curriculum Innovation and Implementation in Asia. (pp.1-38). ASIA TELF Book
series. Retrieved from: http://www.asiatefl.org/main/main.php?main=3
Martin, J. N. & Nakayama, T. K. 2008. Experiencing intercultural communication. (3rd ed.) New York: McGraw hill.
Merrison, J, A., Bloomer, A., Griffiths, P., & Hall, J, C. 2014. Introducing language in use: A course book. (2nd ed.)
New Jersey: Routledge.
Muamaroh, 2013. Improving Indonesian university students’ spoken English using group work and cooperative
learning. Unpublished Ph. D. Dissertation Charles Darwin University, Darwin, Australia. Retrieved from ;
https://espace.cdu.edu.au/eserv/cdu.../Thesis_CDU_38908_Muamaroh_A.p
Murtiningsih, S. R. 2014. Indonesian student teachers’ beliefs and practices in teaching L2 reading. An unpublished dissertation for
the department of instructional leadership and academic curriculum. University of Oklahoma. Retrieved from: file

289
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
https://shareok.org/bitstream/handle/11244/10425/Sri%20Rejeki%20Murtiningsih_Indonesian%20Student%20Teachers'%
20Beliefs%20and%20Practices%20in%20Teaching%20L2%20Reading.docx?sequence=1
Palmer, B.M.W. 2013. Culture in the EFL classroom: Western instructors and Arab students in the UAE. Unpublished Master
Thesis. American University of Sharjah. College of Arts and Science. Teaching English to Speakers of Other Languages.
United Arab Emirates. Retrieved from: https://dspace.aus.edu/xmlui/bitstream/handle/11073/5989/29.232-2013.06%20-
%20Bridget%20Palmer.pdf?sequence=1
Pardede, P. 2011. Using short stories to teaching language skills. Journal of English Teaching, 1, (1). 14-27. Retrieved
from: http://jetuki.files.wordpress.com/2011/05/2-using-short-stories-to-teach-langauge -skills-pp-14-27.pdf.
Quick, J.C. & Nelson, D.L. 2011. Principles of organizational behavior: Realities and challenges. New York:
Cengage-Learning.
Rahim, H., & Rahiem, H.D.M. 2012. The use of stories as moral education for young children. International Journal of
Social Science and Humanity, 2, (6). 454-458.
Rodliyah, S. R., Imperiani. E. D. A.,&Amalia. L. L. 2014. Indonesian tertiary students’ attitudes towards the use of
local culture vs. target culture reading materials. Bahasa & Sastra,14, (1).109-120. Retrieved from:
ejournal.upi.edu/index.php/BS_JPBSP/.../714
Slavin, R. 2009. Educational Psychology. New York: Pearson.
Triandis, H.C. 2009. Culture and conflict. In Larry A, Samovar, Richard E, Porter & Edwin R, McDaniel. (Eds.).
Intercultural Communication. (pp. 18-27). Boston, MA: Cengage-Learning.
Williams, A. 1994. Resolving conflict in a multicultural environment. MCS Conciliation Quarterly, 2-6. Accessed from:
http://www.colorado.edu/conflict/peace/example/will5746.htm
UNESCO. 2001. Universal declaration on cultural diversity. Cultural Diversity Series, (1). Accessed from:
http://unesdoc.unesco.org/images/0012/001271/127162e.pdf
Zacharias, N.T. 2003. A Survey of Tertiary Teachers’ Beliefs about English Language Teaching in Indonesia with
Regard to the Role of English as Global Language. MA-ELT Thesis. Institute for English Language Education.
Assumption University of Thailand.

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Aam Alamsyah
Institution : Buddhi Dharma University
Education : S3 Atma Jaya Catholic University of Indonesia
S2 Jakarta State University
S1 Open University
Research Interst : • Language Teaching
• Culture
• Linguistics and Literature

290
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
TRANSTIVITY ANALYSIS OF EFL COLLEGE STUDENTS’ READER RESPONSES TO SHORT
STORIES

Iskhak, Ahmad Sofwan, Rudi Hartono


Galuh University, State University of Semarang
iskhak.said@yahoo.com

ABSTRACT
The present study reports on the usefulness of transitivity for scrutinizing EFL college students’ written responses to
short stories assigned as shown in their negotiated response journals. Under the spirit of the integration of Literary
Criticism and Halliday’s Systemic Functional Linguistics (SFL) (Beck and Jeffery, 2009; Moore, 2014), the study sees
the shared points between the two trends. The former is concerned with approaches to selecting teaching pedagogy, the
latter supports the ways of how to critically see the construing process of resulted discourses. Rosenblatt’s (2005)
reader response theory-based treatment in teaching literature class has potentially allowed students as readers to
aesthetically experience of being engaged in the process of transacting with the text. In addition, the study is also
driven by Vygotsky’s view on socio-constructivism in that sociocultural aspect of learning influences its nature. The
reader transaction process is socially constructed, contextually and culturally bounded, shaped by the state being of
the research site, and enhanced by their literacy (negotiated reading-speaking-writing events in classroom as a
community) experiences. Writing reader response journals then stimulated the readers as writers to use personal and
critical expressions as seen in their use of certain linguistic elements. Aesthetic stances normally include both personal
and critical accounts. Personally and critically speaking, writers’ reader response strategies embrace personal
responses in that the first person pronouns and mental processes are uniquely dominant in their responses (Feez and
Joyce, 1998). Owing to the limitedness of using traditional approach to categorize the used verbs in response journals,
the so-called transitivity analysis is then essential to uncover linguistic features and to determine the ‘process’ types.
The study took place in a reader response-based literature class in the English Education Program in a private college
of EFL teacher education in Ciamis, West Java, Indonesia. Twenty two third grade student teachers as an intact group
participated in the study. Along one semester course of study, they were trained how to personally and critically
respond to several short stories. They deserved freedom in expressing their own ideas, wants, and expectations in non-
threatening classroom atmosphere and actualized them in reader response journals (Parsons, 2001). Teacher’s
scaffolding strategy, small group and classroom discussions, and peer-feedbacks illuminated the response activities. In
addition, their medium literacy level was indicated by writing skills that still needs improving and their TOEFL-like
score with mediocre level from 450 to 475. The study focused on the successful student writers’ final written response
drafts after being peer-reviewed. The findings indicated that the more the responses represent their aesthetic
experiences, the more the first person pronouns and mental processes the writers use. The present study recommends
that further study explore on the gender effects on the ‘processes’ realized in their reader responses to literary works.
Keywords: reader response theory, aesthetic experience, systemic functional linguistics, transitivity, mental processes

INTRODUCTION
Classroom practices of literature across levels of education and countries in the spheres have been
dominated by New Criticism views that promoted text-oriented reading stance. Students, as readers, were
usually demanded to provide with right and fixed answers, retelling and summarizing the story (including
theme, plot, characters, and settings) (Rosenblatt, 2005), which has led to a passive learning process and
avoided aesthetic experiences and pleasure in reading (Sanchez, 2009). Contrast to New Criticism, Reader
Response Literary Theory, promoted by Rosenblatt, allows readers to freely interpret texts with their own
ideas, not necessarily getting right answers as the former expected. Literary criticisms, as the studies have
indicated, have much influenced literature instructions (Lynn, 2008; Tyson, 2006). The paradigm shifts in
teaching literature in EFL contexts have brought new changes in the trends and directions of researches (see
Citraningtyas, 2008; Iskhak, 2010a, 2010b, 2010c, 2011, 2013a, 2013b, 2014, 2015; Karolides, 2000).
Reader response teaching pedagogy of literature virtually offers readers freedom in expressing
critical and personal responses. As Rosenblatt (1978, 1990, 2005) argues, aesthetic stance in reading evokes
readers’ engagement in reading literary works in that they get involved in sharing ideas and feelings as
stimulated by transaction process between them and texts assigned. In transaction process readers have
rooms to self-empower their own cognitive and personal faculties. Their expressed responses can be orally
done or in written ways through linguistic representation, characterized by unique lexico-grammatical
features.
Reader response strategies normally include physically, mentally, emotionally empowering readers’
self-directed activities, such as drama performance/role playing, drawing, sharing ideas in group, and writing
journals. Readers deserve autonomy to express what they have in mind and feel during and after reading.
Reader Response Literary Journals (RRLJ) (Parsons, 2001) potentially allows typical variously produced
291
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
responses that indicate individual represented ideologies. RRLJ also promotes readers’ critical and personal
reflections. Critically, readers use their cognitive capacities to evaluate the quality of the story and interpret
the meaning behind the texts. Personally, readers can express their feelings or emotional capacities in
responding to literary works.
In practice, reader response-based literature pedagogy is illuminated by the socio-cultural
perspectives, as promoted by Vygotskian socio-constructivism. Learning reading to write (literacy events) is
socially negotiated in that classroom members (as ‘criticism community’) collaboratively participate in
literacy events whereby peer-feedbacks are given to improve their RRLJ. In addition, to support their
reading text understanding, the classroom members share their ideas in small group and classroom
discussions.
To judge the quality of students’ reader responses through journaling needs critical assessment.
Assessment of linguistic aspects of RRLJ is then central to response-based literature pedagogy to scrutinize
systemic interconnection among expressed meanings, ways of expressing, and contexts shaping. Halliday’s
(Martin and Rose, 2003) Systemic Functional Linguistics helps to identify linguistic aspects of language use
in certain contexts in more detailed paths as shaped by its own contexts. Practically, transitivity analysis
plays a fruitful tool to uncover the relationship between meanings and wording (see LaPolla, 2013; Nguyen,
2012).
Transitivity analysis refers to the notion that covers the structure of sentences which are represented
by processes, the participants involved in the processes and circumstances in which processes and
participants are involved (Nguyen, 2012). In addition, Halliday in Nguyen (2012) further argues that
“transitivity is the set of options whereby the speaker encodes his experience and transitivity is really the
cornerstone of the semantic organization of experience”. Transitivity analysis normally includes the
discussion of ideational, interpersonal, and textual meanings. Ideational meaning refers to experiential
meaning coming from the clause as representation. It is our experience of real world, as shown in the
expressions of the content of language. Interpersonal meaning has to do with ways of how to establish and
maintain social relations, which is concerned with modes of communication whether in verbal or written
ones. The textual meaning, then, relates to links between features of the text with elements in the context of
situation, and refers to the organization of text. In addition, Martin (2014) asserts that the texts analysts
should ‘move beyond the clause when considering text structure…” (p. 7).
Specifically, transitivity covers such kinds of representations as material processes, relational
processes, and mental processes. As the present study indicates, mental process is more dominant in its
analysis. Gerot and Wignell (1994) identify that mental processes refer to ways of sensing, including feeling
(affective or reactive), thinking (cognitive), and perceiving through the five senses (perceptive). Nguyen
(2012) also argues that mental process refers to process of doing, usually physical and tangible actions. The
notion usually associates with Actor (the doer) and the Goal, the person or entity affected by the process.
Mental processes are concerned with mental reactions such as perception, thoughts, and feelings. The
participants of the process usually include the Senser and the Phenomenon.
The nature of reader response strategies normally indicates personal engagement that promotes self-
reflection. Reader response strategies virtually embrace personal responses in that the first person pronouns
and mental processes are uniquely dominant in their responses (Feez and Joyce, 1998). The modes of
possible expressions construed by the reader writers may include the use of “I”, first personal pronoun, and
certain verbs (processes) such as “like”, “feel”, “perceive”, and other verbs belonging to mental process (see
also Butt et al. (2000).
Owing to the limitedness of traditional grammar in critically seeing systemic elements of language
in literary responses, SFL then plays an important role (see Bavali and Sadighi, 2008). It is admitted that
aesthetic approach to reading-writing in response-based literature pedagogy promotes free expressions that
are problematic in its assessment on the one hand, and, SFG offers more detailed grammar-oriented analysis,
on the other. The integration of Literary Criticism and Halliday’s Systemic Functional Linguistics (SFL)
(Beck and Jeffery, 2009; Moore, 2014) shows the usefulness of SFL in literary studies. Macken-Horarik
(2006) also advocates the use of SFL for exploring students’ achievements in writing. Macken-Horarik
further argues that “SFL provides powerful tools for analyzing language in context and language in text” “to
light the linguistic patterns that work together to produce particular fashions of meaning” (p. 103). Thus,
integration of literary reflection and Halliday’s (1985) SFL thus deserves serious attention.
Studies of the integration of conventional/traditional approach (i.e. Universal Grammar/GU of
Chomsky’s conception) to text analysis and SFL suggest theory-into-practice analysis among educators. For
example, Bavali and Sadighi (2008) saw that the use of SFL can be complementary in scrutinizing text.
They claimed that SFL offers the solutions of what UG lack in identifying specific elements of language
with reference to meaning construed and cultural context. Macken-Horarik’s (2006) study also proved that
292
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
SFL through transitivity could light the students’ literary responses to narrative texts. Yet, integration of UG
and SFG/L in the issues of reader response to literature has shown limited attention. The guiding question of
the present study is concerned with how transitivity analysis can reveal the types of mental processes as
represented in student writers’ peer-reviewed reader responses written in their RRLJs. Specifically, the
analysis was focused on the types of mental processes realized in three best selected journals as responses to
The Unicorn in the Garden.

METHODOLOGY
The study followed the principles of Critical Discourse Analysis with an emphasis on the use of SFL as
suggested by Halliday (1985). Transitivity is central to this study, which is concerned with process types of
verbs used/expressed (Gerot and Wignell, 1994). It is aimed at scrutinizing the functional elements of
language used to contextually and socially actualize the student writers’ written production, final draft of
reader response to short stories assigned as represented in their journals. The classification of certain mental
process was the main focus.
Data Collection
The data collection took place at a private college in Ciamis West Java Indonesia. The subjects involved
were the EFL student teachers taking Literary Criticism. They belong to intermediate level of language
growth as indicated by their TOEFL-like score with mediocre level from 450 to 475. The response-based
literature teaching by means of RRLJ enacted the subjects’ written reader responses improvement reflecting
process-based treatment from the first draft to the last/third one and indicating continuous refinement
through teacher and peer-group feedback. The non-threatening classroom condition brought the subjects into
a secure classroom interaction that enabled them to freely express and share ideas after enjoying assigned
short stories. The eight offered short stories include The Necklace (Guy de Maupassant), The Chaser (John
Collier), The Story of an Hour (Kate Chopin), The Misery (Anton Chekhov), The Tell-Tale Heart (Edgar
Allan Poe), The Spirit of Giving (Maxine Chernoff), The Man Who did not Smile (Kate Chopin) and The
Unicorn in the Garden (James Thurber). The first four short stories were assigned with regard to
conventional teaching strategies (merely on plot and characters analysis without personal engagements), and
the second four ones were given with regard to the treatment by means of RRLJ. Yet, the last short story,
James Thurber’s The Unicorn in the Garden, was the focus of the analysis. Twenty-two students of the
research site as the total number of the intact group participated the study, and 3 best-selected written works
of theirs deserved analysis.
Unit of Analysis
Each clause of expressions was analyzed under the framework of SFL, focusing on transitivity analysis to
identify mental processes. The determination of mental process normally comprises: Senser+Mental:
processes+phenomenon (Gerot and Wignell, 1994). The analysis was aimed to uncover the real use of
language as functioning as a tool for expressing ideas (ideology). The analysis the follows the following
samples:
Mental Process: Affection/Feeling
I Like the way the writer wrote the story.
Senser Pr: Mental: Affective Phenomenon
Mental Process: Cognition
I realize the difficulties.
Senser Pr: Mental: Cognition Phenomenon
I Know the man who called on you.
Senser Pr: Mental: Cognition Phenomenon
Mental Process: Perception
I perceived that the character is very polite.
Senser Pr: Mental: Perception Phenomenon Cir: manner

FINDINGS
RRLJ writing helped readers to autonomously express what they had in mind and their feelings about their
aesthetic reading experiences. The writers’ life experiences and schemata very much influenced the quality
of responses. In addition, intertextualization strategy or associating their ideas and experience with texts
enjoyed made their responses meaningful with reference to reader response nature. In responding to the short
stories, their use of selected certain verbs in construing meanings reflected their tendencies of mentally
293
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
getting involved and engaged in the stories. Instead of merely summarizing the story and telling the plot,
characters, and other textual elements of fictions, they were self-confidently trying to reflect her personal
responses by using the so-called ‘mental processes’, as personal accounts. The subjects’ wording strategy,
however, varied depending on their own reading process and perception.
Student 1: Ozira (Psedonym)
I think that the story is about marriage couple
Senser Pr: mental: cognition (1) Phenomenon: fact
I wonder why the character (husband) did it.
Senser Pr: mental: cognition (2) Phenomenon: fact
I feel/felt disappointed
Senser Pr: mental: affection (1)
I still don’t know who the right character on the story
Senser Pr: mental: cognition (3) Phenomenon: fact Circumstance: location
I Want to make the story more complicated
Senser Pr: mental: affection (2) Phenomenon Circumstance: manner
In that time I directly believe It
Cir: Time Senser Pr: mental: cognition (4) Phenomenon
The situation of the story reminds me
Phenomenon Pr: mental: cognition (5) Senser
I was aware that she lies/lay
Senser Pr: mental: affection (3) Phenomenon: fact
I really dislike the idea of the story
Senser Pr: mental: affection (4) Phenomenon
We know that the title of the story is…
Senser Pr: mental: cognition (6) Phenomenon: fact
After knowing the title
Pr: mental: cognition (7) Phenomenon
I thought the story was about the unicorn and focus on it
Senser Pr: mental: cognition (8) Phenomenon
But it is not as I expected
Senser Pr: mental: cognition (9)
I want to ask about the reason
Senser Pr: mental: affection (5) Pr: verbal Phenomenon
I want to suggest him
Senser Pr: mental: cognition (10) Pr: verbal Phenomenon
I want to believe each other
Senser Pr: mental: cognition (11) Phenomenon
I Also want to judge the other people quickly
Senser Pr: mental: affection (6) Pr: verbal Phenomenon Cir: manner
Student writer 1 seemed to be personally engaged in the story. Her reader responses reflect the more
frequently used mental processes with subject “I”, which included cognition and affection, respectively. The
analysis shows that there are 11 cognition processes and 6 affection processes. The evidence of less
frequently used affection processes, yet, indicates the pedagogical implications for the teacher to emphasize
more on stimulating more aesthetic reading practices with them in response activities.
Student 2: LILI (Pseudonym)
I felt sorry to her husband
Senser Pr: mental: affection (1) Phenomenon
I did not know
Senser Pr: mental: cognition (1)
I was sure that the husband did not lie
Senser Pr: mental: cognition (2) Phenomenon (fact)
I Saw the unicorn in the garden
Senser Pr: mental: perception (1) phenomenon Cir: location
I felt interested in it
Senser Pr: mental: affection (2) Phenomenon
I that it was too simple
Senser Phenomenon Cir: manner
294
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
I such the first time
Senser Cir: location (time)
I that the unicorn only appeared
Senser Phenomenon (fact)
I this story was lacking of challenges
Senser Phenomenon Cir: manner
I how if this story was developed
Senser Phenomenon Cir: manner
I that this story was not bad
Senser Phenomenon (fact) Cir: manner
I that the author tried to make the reader guessing
Senser Phenomenon (fact)
I felt surprised and could not believe that the wife would say rude words
Senser Pr: mental: cognition (8) Pr: mental: cognition Phenomenon (fact)
I knew that she was realistic person
Senser Pr: mental: cognition (9) Phenomenon (fact)
I dislike the wife
Senser Pr: mental: affection (4) Phenomenon
I thought that she had bad attitude
Senser Pr: mental: cognition (10) Phenomenon (fact)
I began to think that she was a greedy woman
Senser Pr: mental: cognition (11) Phenomenon (fact)
I wondered why she did it
Senser Pr: mental: cognition (12) Phenomenon
I was happy that this story was happy ending
Senser Pr: mental: affection (5) Phenomenon (fact) Cir: manner
I felt a little bit ridiculous
Senser Pr: mental: affection (6) Phenomenon
I could understand the content of the story
Senser Pr: mental: cognition (13) Phenomenon
It teaches Us to believe each other
Senser Pr: mental: cognition (14) Phenomenon
I Think that the prelude is effective
Senser Pr: mental: cognition (15) Phenomenon (fact) Cir: manner
I think the ending of the story is very unexpected
Senser Pr: mental: cognition (16) Phenomenon Cir: manner
I don’t think that the ending would be like that
Senser Pr: mental: cognition (17) Phenomenon (fact)
We understand the content and moral value well
Senser Pr: mental: cognition (18) Phenomenon
The student writer 2 was more aesthetically engaged in the story. Her reader responses include more varied
strategies: cognition (18), affection (6), and perception (3) mental processes. Her more total responses
indicatively suggest her sophistication in writing RRLJ.
Student 3: Evi (Pseudonym)
I wonder what this means?
Senser Pr: mental: cognition (1) Phenomenon
I began to think that there was a different way
Senser Pr: mental: cognition (2) Phenomenon (fact)
I know the character was telling lie
Senser Pr: mental: cognition (3) Phenomenon
I totally hate it
Senser Pr: mental: affection (1) Phenomenon
I felt interested in its story itself
Senser Pr: mental: affection (2) Phenomenon
I love the way the author ...
Senser Pr: mental: affection (3) Phenomenon
I noticed that the story teaches us

295
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Senser Pr: mental: perception (1) Phenomenon
We believe each other
Senser Pr: mental: cognition (4) Phenomenon
We are not allowed to think fast
Senser Pr: mental: cognition (5) Cir: manner
We have to think clearly
Senser Pr: mental: cognition (6) Cir: manner
Similar to the modes of the second text, the third student’s personal reflections indicated varied mental
processes. Her responses embraced three types: cognition (6), affection (3), and perception (1). Her total
engagement in the story, yet, still needs enhancing through her teacher’s/instructor’s scaffolding technique
by which types of questions and tasks should be reinforced.

DISCUSSION
The present study yielded the occupied reader response strategies that reflect the process of realizing
meanings through negotiated journaling that allowed varied possible mental processes as revealed by
transitivity analysis in the framework of SFL. The use of transitivity analysis sought to categorize each word
into functional meaning realization, of which traditional grammar cannot share (see Bavali, and Sadighi
(2008). The power of transitivity analysis seemingly played an important role in the realms of personal
responses to literature (cf. Macken-Horarik , 2006). The emerging improved reflections made by the three
successful student writers indicated interrelationship among language meaning, language use, and social
contexts shaping and shaped by (Martin, 2014). The reader responses expressed in journals represent what
readers do in their transactional process with the texts in the negotiated response-based literacy events in the
classroom (see Parsons, 2001). The types of mental processes of transitivity trends have been realized by
each individual writer as indicated in the state of being idiosyncratically critical and personal. As the study
indicated, the second writer then evidently occupied more total reader response strategies than the other two
ones.
The mental processes made by the three successful writers covered the three kinds of mental
processes: cognition, affection, and perception (cf. Gerot and Wagnell, 1994). ‘Perception’, yet, was the
least frequently used. It implies that to stimulate readers to aesthetically respond to short stories by
perceiving them through multiple lenses was relatively urgent.

CONCLUSION
It is admitted that transitivity analysis of the present study helped to uncover the reader writers’ meanings
that were socially constructed. The subjects’ process of construing the worldviews about what happened in
the story needed to be enhanced by the ‘more’ competent target language users or social milieu. This study
indicated that explicit ways of expressing ideas through specific use of language could be clearly identified.
More importantly, the subjects’ critical and personal reflections after enjoying short stories as enacted by
reader response-based teaching pedagogy have been evidently realized by means of their mental processes.
The present study recommends other studies integrate the response-based literature teaching pedagogy with
Genre-Based Approach in that the researchers can possibly see when and how treatment is given by
considering readers’ free secure in self-directed learning to read and to write (literacy).

REFERENCES
Bavali, M. and Sadighi, F. 2008. Chomsky’s universal grammar and Halliday’s systemic functional linguistics: An
appraisal and a compromise. Pan-Pacific Association of Applied Linguistics, 12(1), 11-28.
Beck, S.W. and Jeffery, J. V. 2009. Genre and thinking in academic writing tasks. Journal of Literacy Research, 41,
228-272.
Butt, D. et al. 2000. Using functional grammar: An explorer’s guide (2nd ed.). Sydney: National Centre for English
Language Teaching and Research, Macquarie University.
Citraningtyas, C.E.C. 2008. Literature course made interesting: The effect of reader response approach in teaching
Introduction to Literature of the English Department Universitas Pelita Harapan. Polyglot, 2(2), 28-37.
Feez, S. and Joyce, H. 1998. Writing skills: Narrative and non-fiction text types. Putney, Australia: Phoenix Education
Pty Ltd.
Gerot, L. and Wignell, P. 1994. Making sense of functional grammar. New South Wales: Gerd Stabler.
Halliday, M. A. K. 1985. An introduction to functional grammar (2nd ed.). London, Melbourne: Edward Arnold.

296
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Iskhak. 2010a. Pembelajaran sastra (Bahasa Inggris) berbasis response dan pemerolehan bahasa ke dua (Studi multi
kasus di SMA di Jawa Barat). KOLITA 8 (Konferensi Linguistik Tahunan Atmajaya 8 Tingkat Internasional).
Pusat Kajian Bahasa dan Budaya, Unika Atmajaya, Jakarta.
Iskhak. 2010b. Response-based literature teaching in English as a Foreign Language (EFL) context: A study of three
High School English teachers’ eliciting language use in classroom. National Conference on Language in the
Online and Offline World, Peta Christian University, Surabaya.
Iskhak. 2010c. Enhancing students’ freedom and enjoyment in response-centered literature curriculum. LLT (A journal
on language and language teaching), 13(2), 115-124.
Iskhak. 2011. Literary criticism and its significance to classroom practices in multicultural education n in EFL context:
A bridge to build democratic characters. International seminar, Applied and Multiculturalism, Faculty of
Culture Studies, Brawijaya University, Malang, Indonesia.
Iskhak. 2013a. Catering for students’ needs to promote aesthetic experience in EFL literature class with reference to
response-centered curriculum. CELT ( A journal of culture, English language teaching and literature), 13(1),
66-86.
Iskhak. 2013b. Literature studies curricula for EFL teacher education: Revisited for catering for pre- and inservice
teachers’ needs. TIE-ALLSAW (The first international seminar on English Applied Linguistics), English
Education Department, Galuh University, Ciamis, West Java, Indonesia.
Iskhak. 2014. The application of reader response theory in EFL teacher education in an Indonesian context. The 12th
Asia TEFL International Conference-23rd MELTA International Conference 2014, Kuching, Serawak,
Malaysia, 28-30 August 2014.
Iskhak. 2015. The application of reader response theory in enhancing student teachers’ affective and linguistic growth:
A classroom action research in EFL teacher education in Indonesia. The English Teacher, 44(2), 43-55.
Karolides. N. (Ed.). Reader response in secondary and college classroom (2nd ed.). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum
Associates.
Kurdali, B. 2012. Systemic functional analysis of EFL university students’ writing across disciplines. GSTF
International Journal of Law and Social Sciences (JLSS), 2(1), 289-295.
LaPolla, R. J. 2013. Why systemic functional grammar isn’t just for those working in SFG (and vice versa). 40th
International Systemic Functional Congress (ISFG 40), Sun Yatsen University, Guangzhou, 15-19 July 2013.
Lynn, S. 2008. Texts and contexts: Writing about literature with critical theory (5th ed.). New York: Pearson Education,
Inc.
Macken-Horarik, M. 2006. Knowledge through “know how”: Systemic functional grammartics and symbolic reading.
English Teaching Practice and Critique, 5(1), 102-121.
Martin, J.R. 2014. Evolving systemic functional linguistics: Beyond the clause. Functional Linguistics, 1(3), 1-24.
Martin, J. R. and Rose, D. 2003. Working with discourse: Meaning beyond clause. London: Continuum.
Moore, J. P. 2014. Explicit and meaningful: An exploration of linguistic tools for supporting ELLs” reading and
writing in the English language arts. Unpublished Dissertation, Educational Studies of University of Michigan.
Nguyen, H. T. 2012. Transitivity analysis of “Heroic Mother” by Hoa Pham. International Journal of English
Linguistics, 2(4), 85-100.
Parsons, L. 2001. Response journal revisited: Maximizing learning through reading, writing, viewing, discussing, and
thinking. Markham, Ontario: Pembroke Publishers.
Rosenblatt, L. 1978. The reader, the text, the poem: The transactional theory of literary work. Carbondale, IL.:
Southern Illinois University Press.
Rosenblatt, L. 1990. Retrospect. In E. Farrel and J. Squire (Eds.), Transactions with literature: A fifty-year perspective
(pp.97-107). Urbana, IL.: NCTE.
Rosenblatt, L. 2005. Making meaning with texts: Selected essays. Portsmouth, NH.: Heinemann.
Sanchez, H. S. 2009. Building up literary reading responses in foreign language classrooms. ELTED, 12, 1-13.
Tyson, L. 2006. Critical theory today (2nd ed.). New York and London: Routledge.

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Iskhak Ahmad Sofwan Rudi Hartono
Institution : Galuh University State University of Semarang State University of Semarang

297
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
PEMBUKTIAN TERBALIK KASUS PENCEMARAN NAMA BAIK DALAM PERSPEKTIF
LINGUISTIK FORENSIK

Mahardhika Zifana
Universitas Pendidikan Indonesia
mahardhika.zifana@gmail.com

ABSTRAK
Sepanjang tahun 2013, direktori pencarian pada situs Mahkamah Agung RI mencatat ada 791 kasus pencemaran nama
baik di seluruh Indonesia yang telah diputuskan di berbagai tingkat pengadilan, mulai dari Pengadilan Negeri hingga
Mahkamah Agung. Keputusan Hakim dalam perkara pencemaran nama baik tersebut seringkali didasarkan kepada
makna-makna leksikal dalam kalimat-kalimat yang diduga sebagai ‘pencemaran’, kemudian merangkainya dalam satu
keputusan pengadilan, tanpa memperhitungkan makna kontekstual yang melingkupi “teks” pencemaran yang
diperkarakan. Kajian ini adalah kajian kebahasaan dalam konteks hukum (linguistik forensik) yang mencoba untuk
mengkaji kemungkinan melakukan pembuktian terbalik dalam pemutusan perkara pencemaran nama baik. Ini
dilandasi oleh fakta bahwa sejauh ini belum ada metode pembuktian terbalik untuk kasus pencemaran nama baik yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Data dalam penelitian ini diambil dari dua teks salinan keputusan
pengadilan di Indonesia yang menyidangkan perkara kasus pencemaran nama baik pada tahun 2013 dan 2014. Data
berupa landasan pemutusan perkara yang ditempuh oleh hakim dalam perbandingannya dengan teks dan konteks
pencemaran nama baik yang disidangkan. Analisis data pada penelitian ini menggunakan kerangka pemahaman
wacana yang meliputi pemahaman struktur, semantik, dan tindak tutur wacana secara kritis. Teknik analisis dilakukan
dalam kaitannya dengan keputusan perkara yang dibuat oleh hakim. Interpretasi data dan simpulan akhir penelitian
ini mengungkapkan kesenjangan antara prosedur linguistik dengan prosedur pengambilan keputusan hakim dalam
mengurai konsep pencemaran nama baik, serta kemungkinan model pembuktian terbalik dalam pembuktian kasus
pencemaran nama baik dalam persidangan pengadilan.
Kata kunci: Linguistik Forensik, Pembuktian Terbalik, Hukum, Hakim

PENDAHULUAN
Di antara jenis-jenis kejahatan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Indonesia, Kejahatan pencemaran nama baik mungkin merupakan jenis kejahatan yang paling menyita
perhatian linguis. Pencemaran nama baik, beserta penghinaan dan pengancaman, adalah tindak pidana yang
menjadikan bahasa sebagai ‘alat kejahatan’. Lazimnya suatu kejahatan, hukum Indonesia mengaturnya
secara rinci dan seksama, sebagaimana kelaziman bahwa bahasa hukum tidak boleh memberikan celah untuk
munculnya interpretasi ganda. Hampir pada setiap periode, perhatian masyarakat juga tercurah kepada
berbagai kasus pencemaran yang melibatkan berbagai kalangan. Sekedar ilustrasi, pada sepanjang tahun
2013, direktori pencarian pada situs Mahkamah Agung RI memberikan angka 791 kasus pencemaran nama
baik di seluruh Indonesia yang telah diputuskan di berbagai tingkat pengadilan, mulai dari Pengadilan
Negeri hingga Mahkamah Agung.
Salah satu kasus yang paling menyita perhatian masyarakat mungkin adalah kasus Prita Mulyasari
pada tahun 2009. Prita Mulyasari, seorang ibu rumah tangga dari Tangerang dan ibu biologis dari dua anak,
kalah dalam gugatan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh pihak rumah sakit. Kasus ini tergolong
menyentak karena memicu publik mempertanyakan berbagai klausul dalam Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU-ITE) serta teknik dan cara pembuktian jenis kasus ini.
Di luar persoalan interpretasi aturan, kasus pencemaran nama baik juga tentunya meliputi berbagai
dimensi lain dalam dunia hukum, seperti pembuktian. Hukum pencemaran nama baik telah menjadi fokus
penelitian sejak lama. Penelitian sebelumnya pada hukum pencemaran nama baik telah menunjukkan
pentingnya menyeimbangkan dua masalah mendasar dalam hukum, yaitu, perlindungan reputasi dan
kebebasan berbicara (lihat Cheng dkk., 2016:203). Adanya dua aspek kebahasaan, penghinaan dan
kebebasan berbicara, dalam persoalan hukum pencemaran nama baik sebenarnya merupakan entry point
bagi linguistik dalam dunia hukum. Menariknya, pencemaran nama baik juga ternyata merupakan jenis
pelanggaran pidana Indonesia yang tidak memiliki konsep pembuktian terbalik. Padahal, jenis pidana
lainnya, seperti pencucian uang, memiliki aturan soal pembuktian terbalik dengan menggunakan prinsip-
prinsip disiplin ilmu terkait, misalnya akuntansi.
Beranjak dari latar belakang tersebut, kajian ini mencoba melihat kemungkinan sumbangsih yang
dapat diberikan oleh linguistik terhadap dunia hukum Indonesia. Kajian ini mencoba melihat realisasi
pembuktian pencemaran nama baik dengan membandingkan konsep hukum yang tampak dan konsep
linguistik.

298
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
LANDASAN TEORI DAN METODE
Proses pembuktian pencemaran nama baik di pengadilan dapat dikatakan sebagai proses kognitif yang
membentuk suatu wacana tersendiri (Gibbons & Turrel, 2008). Gagasan ini sebenarnya memiliki keselarasan
dengan gagasan linguistik tentang wacana. Wacana merupakan satuan lingual besar yang merupakan wujud
produksi bahasa (lihat Ge, 2015). Dalam hal ini, Coulthard & Johnson (2007) menjelaskan bahwa
pembuktian kasus di pengadilan merupakan wacana. Wacana ini ditandai rangkaian teks yang memiliki
‘complex genre’. Ini tampak melalui berbagai pokok pembahasan di dalamnya, maupun yang terjadi selama
proses pengadilan itu berlangsung. Dari benang merah ini, kajian ini mencoba memandang pembuktian
pencemaran nama baik dari perspektif linguistik dengan menggunakan konsep wacana sebagai teropongnya.
Sepanjang sejarah perkembangan kajian wacana, persoalan pemahaman wacana umumnya dianggap sebagai
elemen penting yang dapat menjadi landasan bagi arah dan bahkan akhir wacana itu sendiri (Yeari & van
den Broek, 2011:636). Dalam penjelasan Sherrin (2015), persoalan kognitif dalam memahami wacana dalam
bidang apapun, termasuk hukum, perlu dikonfirmasi untuk menilai akhir dari wacana itu sendiri.Dalam hal
ini, persoalan yang paling mendasar berkisar pada cara seseorang dalam memahami wacana. Dalam konteks
hukum, ini dapat diterjemahkan sebagai pemahaman individu-individu yang berkecimpung dalam bidang
hukum, misalnya hakim yang bertugas untuk memutus persoalan pencemaran nama baik. Pemahaman
wacana hakim, sebagaimana dijelaskan dalam Zifana (2015:557) akan sangat menentukan pemutusan
perkara pencemaran nama baik di pengadilan.
Zifana (2015:555-560) telah menunjukkan bagaimana pemahaman wacana hakim dalam pemutusan
perkara pencemaran nama baik ternyata lebih condong kepada tiga pokok, yakni (1) pemaknaan leksikal atas
teks pencemaran, (2) penerimaan hakim terhadap naskah penuntutan jaksa dan/atau pembelaan penasihat
hukum, (3) Batasan menurut peraturan perundang-undangan (dalam hal ini: KUHP dan/atau UU ITE).
Selain itu, terdapat kesenjangan yang signifikan di antara metode pemahaman wacana hakim yang menjadi
landasan pengambilan keputusannya, dengan prosedur linguistik dalam memaknai suatu kalimat yang
tergolong penghinaan atau pencemaran nama baik. Kesenjangan tersebut di antaranya meliputi beberapa hal
teknis, seperti pertimbangan konteks dan situasi tuturan/tulisan yang dapat memengaruhi makna, serta input
pemahaman wacana yang didasarkan kepada keseimbangan sumber pemahaman wacana (antara penuntut
dan pembela).
Kajian ini akan mencoba melihat dua teks salinan keputusan pengadilan di Indonesia yang
menyidangkan perkara kasus pencemaran nama baik pada tahun 2013 dan 2014. Data berupa landasan
pemutusan perkara yang ditempuh oleh hakim dalam perbandingannya dengan teks dan konteks pencemaran
nama baik yang disidangkan. Analisis data pada penelitian ini menggunakan kerangka pemahaman wacana
yang meliputi pemahaman struktur dan semantik yang tampak pada teks salinan keputusan. Teknik analisis
dilakukan dalam kaitannya dengan keputusan perkara yang dibuat oleh hakim. Interpretasi data dan
simpulan akhir penelitian ini mengungkapkan kesenjangan antara prosedur linguistik dengan prosedur
pengambilan keputusan hakim dalam mengurai konsep pencemaran nama baik. Fokus akhir kajian ini adalah
melihat kemungkinan adanya model pembuktian terbalik dalam pembuktian kasus pencemaran nama baik
dalam persidangan pengadilan.

TEMUAN DAN ANALISIS


Temuan kajian ini menunjukkan adanya beberapa pola kesamaan yang menjadi landasan Hakim dalam
memutus persoalan pencemaran nama baik. Pada kedua salinan keputusan, sekurangnya beberapa hal yang
dapat dikemukakan sehubungan dengan aspek pemahaman struktur, semantik, dan tindak tutur wacana yang
menjadi fokus kajian ini.
Pemahaman Struktur
Kajian ini mengulangi temuan yang dikemukakan dalam Zifana (2015) di mana hakim sangat bertumpu pada
pemaknaan leksikal atas teks pencemaran dengan interpretasi pribadi hakim. Pola ini ditemukan pada kedua
salinan keputusan yang diamati. Misalnya, dalam pertimbangan amar putusan dalam data nomor (1), hakim
menyatakan “Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan mendistribusikan sesuai kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah menyalurkan atau menyebarkan…”.
Kesenjangan yang dapat mengemuka dari pola pemahaman wacana yang berlandaskan kepada
makna leksikal saja adalah kemungkinan-kemungkinan lain dalam situasi komunikasi yang dapat
memengaruhi makna dari suatu tuturan atau tulisan. Dalam hal ini, pemahaman wacana hakim dibentuk oleh
konteks tekstual yang bersifat netral (kamus) dan tidak terkait dengan peristiwa yang dianggap mengandung
unsur penghinaan/pencemaran nama baik.

299
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Semantik
Kajian ini menemukan adanya kecenderungan hakim menerima begitu saja naskah penuntutan dan/atau
pembelaan. Ini menjadi sangat krusial karena mencerminkan pemahaman wacana atas kasus menjadi
landasan keputusan yang diambil oleh hakim dalam memutus masing-masing perkara. Perlu diperhatikan
bahwa fakta ini menunjukkan kemungkinan majelis hakim tidak memperhatikan persoalan Prefatory
Condition (Syarat Kewenangan). Beberapa kasus menunjukkan bahwa peroalan ini cukup dilematis karena
inilah merupakan prasyarat yang sebenarnya tergolong ilmiah dalam perspektif linguistik. selain itu,
persoalan input pemahaman yang juga tidak berimbang ialah masalah besar jika ditelaah dari perspektif
Analisis Wacana Kritis (AWK) yang menekankan kesalahan dalam memaknai dan menjalankan kuasa dalam
menerima atau memproduksi teks tertentu.

PEMBAHASAN
Dari bagian temuan dan analisis di atas, tampak ada kesenjangan yang sangat berarti di antara prosedur
pembuktian terbalik dengan konsep linguistik. Pada kenyataannya, penyelesaian kesenjangan antara
prosedur umum dan prosedur ilmiah linguistik adalah masalah pilihan. Majelis hakim sebagai tiga individu
yang memiliki kewenangan besar di dalam ruang sidang dapat memilih untuk menyelaraskan diri dengan
semua prosedur hukum yang umum dan telah digunakan selama ini atau membuat terobosan dengan
mengakses cara mengambil pemahaman yang lebih ilmiah dan tidak terlalu memiliki kesenjangan dengan
prosedur linguistik.
Beberapa prosedur linguistik berikut sebenarnya memiliki potensi nuntuk menyelesaikan
kesenjangan di antara kedua aspek pemahaman struktur dan semantik yang telah dikemukakan pada bagian
sebelumnya. Carney (2014:325) sebenarnya pernah menjelaskan kemungkinan adanya cara untuk melihat
pembuktian pencemaran nama baik dengan menggunakan salah satu konsep pragmatik, yakni konsep face-
threatening act. Interpretasi pengadilan dalam perkara pencemaran nama baik sebenarnya terbuka untuk
dapat dilengkapi dengan menggunakan perangkat linguistik, terutama pragmatik.
Penggunaan perangkat linguistik untuk menganalisis adalah pendekatan yang lebih dapat dipercaya
dibandingkan dengan hanya mengandalkan pada persepsi subjektif hakim. Analisis dari ucapan yang
disengketakan akan membantu menentukan makna semantik yang benar (Carney, 2014: 539). Selain itu,
pengadilan juga perlu memperhatikan nada suara dan bahasa tubuh dengan mengambil aspek-aspek
semacam ini menjadi pertimbangan ketika memutuskan apakah seseorang bersalah.
Dari senarai pembahasan ini, pembuktian dalam perspektif linguistik sekurangnya dapat meliputi
perangkat-perangkat (1) pragmatik (melihat kemungkinan dengan perspektif face-threatening act); (2)
fonologi (bahasa teks pencemaran dari perspektif tinggi-rendahnya suara, nada suara, dsb.); dan (3) wacana
(melihat kemunculan teks pencemaran nama baik secara kronologis, jalinannya, strukturnya, dsb.). Inilah
yang dapat menjadi kerangka utama pembuktian terbalik untuk kasus pencemaran nama baik.

SIMPULAN
Dari pemaparan pada bagian temuan dan analisis serta pembahasan, kajian ini dapat mengambil beberapa
simpulan. Pertama, ada kesenjangan yang signifikan di antara prosedur npemutusan perkara pencemaran
nama baik dengan prosedur dan konsep linguistik terkait pencemaran nama baik. Ini tampak dari dua aspek
yang difokuskan dalam kajian ini. Pada pemahaman struktur, hakim membentuk pemahaman wacana hanya
dengan konteks tekstual yang bersifat netral (makna di kamus) tanpa melihat keterkaitan kemunculan teks
dengan peristiwa yang dianggap mengandung unsur penghinaan/pencemaran nama baik. Kemudian, secara
semantik, hakim biasanya menduplikasi naskah penuntutan, menunjukkan adanya pemahaman makna yang
diambil begitu saja dari penuntutan dan/atau pembelaan.
Kedua, kemungkinan adanya konsep pembuktian terbalik untuk kasus pencemaran nama baik
sebenarnya sangat terbuka dan ini dapat menjadi entry point yang penting untuk sumbangsih disiplin
linguistik pada dunia hukum Indonesia. Pembuktian terbalik, sekurangnya dapat meliputi beberapa aspek
linguistik dari cabang-cabang pragmatik, fonologi, dan wacana.
Kajian ini juga dapat memberikan beberapa saran sekaitan dengan pokok bahasan ini. Pertama, peraturan
perundang-undangan perlu membuatkan prosedur dan pembatasan yang jelas untuk masuknya konsep
linguistik dalam konsep pembuktian terbalik dalam perkara pencemaran nama baik. Ini merupakan suatu
keniscayaan karena tindak piudana ini menjadikan bahasa sebagai alat kejahatan. Kedua, beberapa instrumen
dalam pembuktian terbalik perkara pencemaran nama baik perlu diarahkan secara tegas kepada cara-cara
yang ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan secara logis, dalam hal ini secara linguistik.

300
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
REFERENSI
Carney, T., 2014. Being (im) polite: A forensic linguistic approach to interpreting a hate speech case. Language
Matters, 45(3), pp.325-341.
Cheng, L., Cheng, W., & Li, J. (2016). Defamation case law in Hong Kong: A corpus-based
study. Semiotica, 2016(208), 203-222.
Coulthard, M., & Johnson, A. (2007). Introducing Forensic Linguistics: Language in Evidence. London: Routledge.
Gibbons, J., & Turell, M. T. (Ed.). (2008). Dimensions of forensic linguistics (Vol. 5). London: John Benjamins
Publishing.
Ge, Y. (2015). Sensationalism in media discourse: A genre-based analysis of Chinese legal news reports. Discourse &
Communication, DOI: 1750481315602395.
Sherrin, C. (2015). Earwitness Evidence: The Reliability of Voice Identifications. Osgoode Legal Studies Research
Paper, (27).
Yeari, M., & van den Broek, P. (2011). “A cognitive account of discourse understanding and discourse interpretation:
The Landscape Model of reading.” Discourse Studies, 13(5). Hlm. 635-643.
Zifana, M. (2015). “Pencemaran Nama Baik dalam Perspektif Hakim: Analisis Linguistik Forensik terhadap
Pemahaman Wacana Hakim dalam Memutus Perkara Pencemaran Nama Baik”. Dalam Yanti (ed.). (2015).
Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya Ketiga Belas. Jakarta: PKBB Unika Atma Jaya. Hlm.
555-560.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Mahardhika Zifana
Institusi : Universitas Pendidikan Indonesia
Riwayat Pendidikan : S1, S2, dan S3 Universitas Pendidikan Indonesia
Minat Penelitian : • Analisis Wacana Kritis
• Etnolinguistik
• Linguistik Forensik

301
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
ANALISIS SEMIOTIK MEME POLITIK DALAM KAMPANYE PEMILU PRESIDEN AMERIKA
SERIKAT 2015

Ria Saraswati Rr. Astri Indriana Octavita


Universitas Indraprasta PGRI
riri.saraswati21@gmail.com mrs.astriindriana@gmail.com

ABSTRAK
Bahasa merupakan alat komunikasi yang efektif bagi manusia. Bahasa digunakan untuk menyampaikan gagasan, pikiran,
dan perasaan terhadap lawan bicaranya. Pemakaian bahasa sangat bervariasi karena masyarakat bersifat heterogen.
Variasi bahasa yang dimaksud adalah pemakaian bahasa yang bermacam-macam berdasarkan gaya berbicara seseorang
atau kelompok yang dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial. Salah satu contoh variasi bahasa dapat ditemukan pada meme
di media sosial. Meme merupakan suatu bentuk tulisan yang sering kali disertai dengan gambar, foto, dan karakter
tertentu yang digunakan untuk menyindir suatu fenomena sosial dan politik, menimbulkan kesan lucu atau humor,
mengekspresikan diri dan percintaan, atau memberi informasi dan motivasi. Kemunculan sebuah meme biasanya diambil
dari kejadian menarik, ucapan yang lucu, khas, bahkan kesalahan pengejaan. Penyebarannya pun melalui berbagai
macam media, seperti social network, blog, milis, bahkan news platform. Fitur unik internet mengubah difusi meme
menjadi rutinitas yang sangat jelas terlihat dan ada di mana-mana. Secara singkat, internet meme dapat diartikan
sebagai fenomena budaya yang disebarkan dari satu orang ke orang lain secara online. Internet meme yang menjadi
bahasan dalam penelitian ini adalah produk dari perkembangan budaya siber yang bersifat visual, yaitu dalam bentuk
gambar. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa bagaimana hubungan antara gambar, teks, dan makna terhubung
dengan satu sama lain untuk membentuk kritik politik dalam meme politik yang tersebar di virtual pinboard Pinterest
pada masa kampaye pemilu President Amerika Serikat 2015. Fenomena meme ikut berkembang bersama fenomena yang
ada dimasyarakat, penelitian ini lebih jauh, akan memfokuskan pada meme bertema politik yang tengah beredar di dunia
maya, terutama di virtual pinboard Pinterest pada masa kampaye pemilu President Amerika Serikat 2015. Meme politik
yang mengindikasikan kritik semakin banyak dijumpai mengingat meme ikut bermunculan bersama reportase jurnalistik
media massa mengenai isu dan peristiwa politik terkini. Dengan kekuatan format visualnya serta penggunaan verbal yang
mudah dicerna, meme memunculkan citra tersendri terkait tokoh-tokoh politik populer Amerika Serikat yang sering
muncul di jagat maya serta berbagai kritikan mengenai peristiwa-peristiwa politik. Pesan dalam bentuk meme politik
dikaji dengan menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dan metode semiotika oleh Roland Barthens yang dimana
setiap tanda-tanda di dalamnya menyiratkan sebuah makna dalam bentuk simbolik yang kemudian digunakan untuk
merepresentasikan kritik pada meme politik yang tersebar di dunia maya, terutama di virtual pinboard Pinterest. Peneliti
akan menganalisa meme dengan mengambil 10 sampel meme yang terdapat di virtual pinboard Pinterest untuk melihat
hubungan antara gambar, teks, dan makna menggunakan semiotika terutama makna konotatif dan denotatif.
Kata kunci: Meme, Politik, Analisis Semiotik, Konotatif, Denotatif

PENDAHULUAN
Teknologi komunikasi dan informasi telah berkembang secara luar biasa dan membawa masyarakat dunia
untuk memasuki era baru yang mempermudah segala kegiatan manusia dalam berkomuniksi. Era baru yang
disebut globalisasi ini mengakibatkan mobilitas manusia yang meningkat dan membuat dunia seakan
menyempit sehingga jarak dan waktu bukanlah lagi menjadi sebuah hambatan untuk berkomunikasi maupun
mendaptkan serta berbagi informasi.
Globalisasi yang merupakan bentuk modernitas merupakan pertanda dari berkembangnya
masyarakat. Dunia glokal yaitu “global lokal” seperti yang diperkenalkan Ronald Robetson menjelaskan
kehidupan masyarakat dalam planet bumi yang akan datang tidak lagi dibatasi pada persoalan global ataupun
persoalan lokal, tetapi kedua persoalan itu menjadi satu, yaitu dunia ini terdiri dari bagian-bagian kecil yang
berinteraksi secara global melalui tata hubungan informasi, membentuk cybernetic raksasa (Bungin,
2008:185-186). Kemajuan-kemajuan teknologi menyebabkan perubahan mental dan sikap sosial masyarakat
secara drastis (Bungin, 2008:187). Perubahan sikap ini dipengaruhi oleh segala kemudahan yang disuguhkan
oleh teknologi yang hadir dalam kehidupan masyarakat, yaitu internet. Internet memberikan akses untuk
berkomunikasi dan berbagi informasi dengan mudah, sehingga ikut mengubah pola komunikasi manusia.
Pola komunkasi ini termasuk penggunaan media baru, yaitu internet sebagai media dalam menakses jejaring
sosial dalam proses komunikasi yang kemudian ikut serta dalam mengubah pola hidup dan pola pikir
masyarakat. Dengan internet, masyarakat bisa bebas menggunakan platform media baru yaitu sosial media
sebagai wadah suara publik yang dulu terkandala media tradisional.
Penggunaan humor dan satir dalam komentar serta kritik politik bukanlah menjadi hal baru dalam
kehidupan politik. Humor satir telah banyak terlihat sebelumnya dalam bentuk visual lain dan dengan
konvergensi media, humor politikpun menemukan bentuk barunya. Dengan digitasisasi pesan ini humor
politik hadir dalam bentuk digital, yaitu meme. Internet meme dapat diartikan sebagai segala hal yang
302
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
tersebar dalam masyarakat siber sehingga menjadi budaya bagi khalayaknya di dunia maya. Kemunculan
sebuah meme biasanya diambil dari kejadian menarik, ucapan yang lucu, khas, bahkan kesalahan pengejaan.
Penyebarannya pun melalui berbagai macam media, seperti social network, blog, milis, bahkan news
platform. Secara singkat, internet meme dapat diartikan sebagai fenomena budaya yang disebarkan dari satu
orang ke orang lain secara online. Internet meme yang menjadi bahasan dalam penelitian ini adalah produk
dari perkembangan budaya siber yang bersifat visual, yaitu dalam bentuk gambar. Penggunaan meme
sebagai humor politik dalam wacana politik tampak memvalidasi teori konvergensi budaya serta konsep
determinasi teknologi, dimana wacana informal dari dunia maya berubah memiliki potensi politis, baik
dipandang sebagai modal politik bagi para aktor politik, maupun sebagai media kritik bagi khalayak
terutama di kalangan muda pengguna internet.
Fenomena meme ikut berkembang bersama fenomena yang ada dimasyarakat, penelitian ini lebih
jauh, akan memfokuskan pada meme bertema politik yang tengah beredar di dunia maya, terutama di virtual
pinboard Pinterest pada masa kampaye pemilu President Amerika Serikat 2015. Meme politik yang
mengindikasikan kritik semakin banyak dijumpai mengingat meme ikut bermunculan bersama reportase
jurnalistik media massa mengenai isu dan peristiwa politik terkini. Dengan kekuatan format visualnya serta
penggunaan verbal yang mudah dicerna, meme memunculkan citra tersendri terkait tokoh-tokoh politik
populer Amerika Serikat yang sering muncul di jagat maya serta berbagai kritikan mengenai peristiwa-
peristiwa politik. Pesan dalam bentuk meme politik dikaji dengan menggunakan pendekatan kualitatif
deskriptif dan metode semiotika oleh Roland Barthens yang dimana setiap tanda-tanda di dalamnya
menyiratkan sebuah makna dalam bentuk simbolik yang kemudian digunakan untuk merepresentasikan
kritik pada meme politik yang tersebar di dunia maya, terutama di virtual pinboard Pinterest. Peneliti akan
menganalisa meme dengan mengambil 10 sampel meme yang terdapat di virtual pinboard Pinterest untuk
melihat hubungan antara gambar, teks, dan makna menggunakan semiotika terutama makna konotatif dan
denotatif.

TINJAUAN PUSTAKA
Meme
Meme memberikan cara baru yang ampuh untuk menggabungkan beberapa hal seperti, kreativitas, seni,
pesan, dan humor di internet. Meme merupakan kata yang dipopulerkan oleh Richard Dawkins yang
digunakannya untuk menceritakan bagaimana prinsip Darwinian untuk menjelaskan penyebaran ide ataupun
fenomena budaya. Brodie (1996) menyebutkan bahwa Meme adalah suatu unit informasi yang tersimpan di
benak seseorang, yang mempengaruhi kejadian dilingkungannya sedemikian rupa sehingga makin tertular
luas di benak orang lain. Walaupun tidak selalu berbentuk gambar, secara spesifik, meme adalah istilah
yang digunakan di cyberspace untuk mendeskripsikan gambar - gambar yang telah melalui proses
pengeditan dari penggalan - penggalan video maupun foto yang tersebar melalui internet. Meme tidak hanya
mengandung humor tapi juga sentilan, kritik serta ungkapan akan gagasan - gagasan mengenai fenomena
terkini yang sedang hangat. Meme dikemas sedemikian rupa untuk memunculkan makna akan kritik netizen
mengikuti tema yang diusung oleh kreatornya sebagai bentuk menyampaikan gagasan maupun bentuk kritik
terhadap peristiwa politik serta kebijakan pemerintah yang kini marak tersebar di dunia maya, terutama di
virtual pinboard “Pinterest”.
Semiotika
Semiotika berasal dari bahasa Yunani yaitu, semeion yang berarti tanda. Semiotika adalah metode kajian
kedalam berbagai cabang keilmuan ini dimungkinkan karena adanya kecenderungan untuk memandang
berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Analisis semiotika modern dipopulerkan oleh dua tokoh,
Ferdinand de Saussure, ahli linguistik dari Swiss (1858-1913) dan Charles Sanders Pierce, seorang filsuf
Amerika (1839 - 1914). Ferdinand de Saussure (1916)menyatakan bahwa tanda terdiri atas dua elemen tak
terpisahkan yaitu sebagai signifiant yang memiliki makna dan diserap dalam kognisi manusia (penanda), dan
signifie ('berarti' atau konten tanda). Kemudian Barthes (2009) mengembangkan teori Saussure's dengan
mengatakan bahwa karakteristik tanda didasarkan pada hubungan antara dua aspek; bentuk (penanda yang
disebutnya sebagai ekspresi) dan isi (ditandakan bahwa ia disebut sebagai Contenu). Barthes (2009)
berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu
masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Barthes kemudian membangun sistem yang disebut dengan
konotatif, yang didalam Mytologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem tataran pertama.
Kemudian Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja (Barthes, 1991).

303
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016

Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2).
Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal
tersebut merupakan unsur material: hanya jika mengenal tanda “singa”, barulah muncul konotasi harga diri,
kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin (Cobley & Janzs, 1999). Pada peta tanda Roland Barthes
tersebut diatas dapat diuraikan secara lebih sederhana bahwa munculnya sebuah makna denotasi tidak
terlepas dari adanya sebuah penanda dan juga petanda. Namun tanda denotasi juga dapat membuat persepsi
kepada sebuah penanda konotasi. Tetapi jika dapat mengenal adanya bentuk seperti “bunga mawar” . maka
persepsi petanda konotasi yang akan muncul dari bunga mawar adalah cinta, romantis, dan kelembutan. Itu
karena sudah adanya kesepakatan pada sebagian masyarakat tertentu. Dengan demikian, semiotik dapat
meneliti bermacam-macam teks seperti berita, film, fiksi, puisi, drama, fashion dan iklan.Dalam pembahasan
penelitian ini yang akan digunakan untuk mencari pemaknaan dalam meme ini yaitu menggunakan
pendekatan pada pemikiran Barthes yang merupakan salah satu tokoh semiotika ternama. Karena dalam
konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua
bagian makna denotatif yang melandasi keberadaanya. Acuan yang digunakan yakni melakukan penelitian
berdasarkan denotatif dan konotatif. Dimana nantinya pada kajian meme politik pemilu Amerika ini akan
dibagi kedalam pemaknaan terhadap bagian-bagian mana yang merupakan denotatif dan mana pemaknaan
yang berupa konotatif dari gambar-gambar meme tersebut juga berinterpretasi terhadap pemaparan pada
kandungan arti mimik wajah pada meme politik pemilu Amerika.
Makna Denotasi dan Konotasi
Barthes berpendapat bahwa kita dapat berbicara tentang dua sistem pemaknaan yaitu denotasi dan konotasi.
Menurut Barthes, denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara signifier dan
signified, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung,
dan pasti, sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara signifier dan
signified, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti artinya
terbuka bagi segala kemungkinan. Dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak hanya memiliki makna
tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Di dalam
semiologi Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara
konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan
makna atau sensor. Hal ini merupakan reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi yang
bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi
semata-mata.
Denotasi menunjukkan hubungan yang digunakan dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang
secara bebas memegang peranan penting dalam suatu ujaran. Makna denotasi bersifat langsung, yaitu makna
khusus yang terdapat dalam sebuah tanda dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah pertanda
(Wibowo, 2011:174). Konotasi adalah istilah yang digunakan berthes untuk menunjukkan signifikasi tahap
kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari
pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaanya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak
intersubjektif. Dengan kata lain, konotasi bekerja dalam tingkat intersubjektif sehingga kehadirannya tidak
disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif. Karena itu, salah satu
tujuan analisis semiotika adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir dan mengatasi
terjadinya salah baca (misereading) aatau salah dalam mengartikan makna suatu tanda (Wibowo, 2011: 174).
Dapat disimpulkan Denotasi memiliki makna yang bersifat secara langsung, yaitu makna khusus yang
terdapat pada tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran petanda.makna ini didasarkan atas
penunjukan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu; memiliki
sifat objektif. Sedangkan Konotasi diartikan sebagai aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang
didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara dan pendengar selain itu
juga memiliki makna subjektif dan berhubungan dengan emosional.

304
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Representasi Kritik dalam Meme Politik di Kampanye Presiden Amerika Serikat 2015
Representasi kritik terkait peristiwa politik di masa kampanye presiden Amerika Serikat 2015 tersaji dalam 6
korpus yang dianalisis melalui metode semiotika oleh Roland Barthens terutama makna konotatif dan
denotatif . Konten meme yang tersebar selalu berkembang bersama fenomena yang menjadi perbincangan
hangat khalayak yang juga hadir dalam reportase jurnalistik serius atau dalam berita media massa. Pesan
digital ini hadir juga dalam bentuk meme sebagai salah satu bentuk keterlibatan politik khalayak dunia maya.
Seringkali meme merupakan bentuk parodi dari peristiwa politik yang ada, karena itu penafsir harus
memahami objek serta peristiwa yang diparodikan agar dapat menikmati humor yang ditawarkan serta
memahami pesan yang tersembunyi di dalamnya. Salah satu contoh meme yang diteliti dalam penelitian ini
ditunjukkan oleh meme 1 sampai 6 sebagai berikut:
No. Gambar Makna Denotasi Makna Konotasi
1. Dalam kampanye politiknya Donald Meme 1 merupakan bentuk sinisme
Trump mengatakan akan membangun terhadap calon presiden dari Partai
dinding besar di sepanjang perbatasan Republik. Pada 16 Juni 2015 Trumps
3.000 kilometer antara AS dan melontarkan pernyataan berbau rasis
Meksiko untuk mencegah para imigran terhadap imigran Mexico. Dengan
masuk. Pertanyaan yang kemudian mengatakan ia akan membangun
muncul siapa yang akan dinding besar sepanjang perbatasan
membangunnya? 3.000 kilometer antara AS dan Meksiko
untuk mencegah para imigran masuk.
Siapa yang akan membangunnya?
Tentu saja imigran mexico dengan
senang hati membuatnya.
2. Pada meme disamping foto Trumps Meme 2 menunjukkan sindiran netizen
dengan rambut yang tertiup angin terhadap calon presiden AS Donald
disertai dengan kata-kata wants to Trumps. Dengan penampilannya yang
control the country ingin menjadi meledak-ledak dan rambut pirang yang
penguasa sebuah negara dan can’t even sangat khas Trump sudah menjadi
control his hair dia bahkan tidak bisa fenomena tersendiri. Warga Amerika
mengatur rambutnya. tidak menganggap serius pencalonan
Trumps terlebih dengan pendapatnya
yang penuh kontroversi dan bicara apa
adanya. Karena Trumps bahkan tidak
bisa mengatur rambutnya bagaimana
dia akan mengatur sebuah negara besar
seperti AS.
3 Meme disamping mengambarkan Meme 3 menunjukkan sindiran netizen
seorang wanita dengan wajah terhadap calon presiden dari Partai
tersenyum mengejek disertai kata-kata Demokrat Hillary Clinton. Hillary
the face you make when someone says dianggap gagal sebagai Menteri Luar
they think Hillary Clinton would be a Negeri terkait serangan mematikan
good president wajah yang anda buat yang dialami Konsulat AS di Libya. Ini
ketika seseorang mengatakan bahwa membuktikan ketidakmampuan Hillary
Hillary Clinton akan menjadi Presiden dalam memimpin. Bagaimana ia akan
yang baik. memimpin sebuah negara Adidya jika
menjadi Menteri saja sudah gagal.
4. Pada meme ini digambarkan Presiden Meme 4 sindirian ini memperlihatkan
Obama sedang berbicara dengan mimik bahwa Presiden Obama sama sekali
serius bersama seorang koleganya tidak ingin Trump yang memenangkan
seperti how do I stop Trump, makna pemilihan presiden nanti. Pemikiran ini
dari kalimat di atas tentang bagaimana didasari karena sifat Trump yang
cara dia menghentikan langkah Trump. terkenal rasis dan amat bertentangan
Kemudian dia berkata lagi I don’t want sekali dengan paham Obama.
him to deport me when he wins,
maksud dari perkataannya di atas
adalah Saya tidak mau dia mengusir
saya jika dia menang.

305
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
5. Pada foto meme disamping Steve Meme 5 merupakan sebuah sindiran
Harvey dengan senyum yang lebar Harvey kepada Hillary bahwa apabila
mengatakan made a mistake, admitted melakukan kesalahan harus berani
his fault and apologizes got mocked mengakui dan meminta maaf atas
maksud dari kalimat tersebut adalah dia kesalahan yang sudah dilakukan bukan
melakukan kesalahan dan mau membantah kemudian melupakan
mengakui kesalahannya dan meminta semuanya. Dan bagi para pemilih
maaf tapi tetap saja diolok-olok dan seharusnya tidak melakukan hal yang
lied several times, denied everything. bodoh dengan mengajak orang-orang
Okay, let’s vote for her biarpun Hillary untuk memilih Hillary karena dia selalu
sering berbohong berkali-kali dan berbohong dan melupakan segalanya.
membantah semuanya, orang-orang
diajak untuk memberikan suara
kepadanya.
6. Meme disamping adalah ketika Trump Meme 6 dijelaskan bahwa seorang
berkampanye dan mengatakan we used Trump saat ini bagaikan seorang
to laugh at comedians and listen to pelawak yang tingkah lakunya sering
politicians kita biasa menertawakan ditertawakan orang. Sekarang ini kita
pelawak dan mendengarkan politisi lebih sering tertawa apabila melihat
kemudian pria ini mengatakan how we para politisi layaknya seorang pelawak
laugh at politicians and listen to dan mendengarkan para pelawak
comedian bagaimana kita layaknya seorang politisi.
menertawakan politisi dan
mendengarkan pelawak.

DAFTAR PUSTAKA
Barthes, Roland. 1991. Mythologies. New York: The NoonDay Press
Barthes, Roland. 2009. Mitologi. Jogjakarta: Kreasi Wacana
Bungin, Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana
Brodie, Richard. 1996. Virus of the Mind: The New Science of the Meme. London: Hay House
Cobley , Paul dan Litza Jansz. 1999. Introducing Semiotics. NY: Totem Books
Saussure, Ferdinand de. 1916. Course in General Linguistics, edited by Charler Bally and Albert Sechehaye in
collaboration with Albert Riedlinger, translated by Wade Baskin. New York: McGraw-Hill Book Company.
Wibowo, Indiwan. 2011. Semiotika Komunikasi-Aplikasi Praktis bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta :
Mitra Wacana Media

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Ria Saraswati Rr. Astri Indriana Octavita
Institusi : Universitas Indraprasta PGRI Universitas Indraprasta PGRI
Riwayat Pendidikan : S2 Universitas Indraprasta PGRI S2 Universitas Gunadarma
S1 dan S2 Universitas Gunadarma S1 STBA Yapari
Minat Penelitian : • Penerjemahan • Penerjemahan
• Linguistik • Linguistik
• Pendidikan Bahasa Inggris • Pendidikan Bahasa Inggris

306
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
PERIBAHASA INDONESIA YANG MENGGUNAKAN KATA KERBAU (BOS BUBALUS):
ANALISIS SEMANTIK KOGNITIF

Bambang Widiatmoko
Universitas Islam “45”
bangwidi_66@yahoo.com

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan kategori peribahasa Indonesia yang menggunakan kata kerbau serta
mendeskripsikan mekanisme kognitifnya. Untuk mencapai tujuan ini dilakukan analisis tafora dan metonimi dalam
kerangka teori semantik kognitif. Metafora pokok MANUSIA ADALAH HEWAN, yang dikemukakan oleh Lakoff dan
Johnson digunakan sebagai acuan.
Kata kunci: MANUSIA ADALAH HEWAN, metafora, metonimi, mekanisme kognitif

PENDAHULUAN
Setiap bangsa memiliki peribahasa bercitra hewan (animal proverbs) dengan ciri khas masing-masing.
Ditinjau dari segi bentuk dan isinya, peribahasa jenis ini memiliki kedudukan yang unik. Dalam bahasa
Indonesia juga dikenal peribahasa bercitra hewan. Salah satu di antaranya adalah peribahasa yang
menggunakan kata kerbau (bos bubalus).
Sejumlah peneliti telah melakukan penelitian tentang peribahasa bercitra hewan (animal proverbs)
dengan fokus bahasan tertentu. Kurnia (2013) membahas penggunaan leksem binatang dalam peribahasa
Jawa. Kurnia menyimpulkan bahwa peribahasa Jawa berleksem hewan menunjukkan beberapa jenis
hubungan makna, yaitu: 1) hukum alam; 2) penyangatan; 3) perumpamaan; 4) pedoman hidup; 5) larangan,
6) lukisan kasus khusus. Mohammad Ali Fatemi dkk. (2015) melakukan analisis kontrastif peribahasa
bercitra hewan dalam peribahasa Inggris dan peribahasa Persia. Peneliti menyimpulkan bahwa jarang
terdapat peribahasa Inggris bercitra hewan yang sepadan dengan peribahasa Persia. Sehubungan dengan itu,
untuk menafsirkan pesan tidak langsung yang terdapat dalam sebuah peribahasa seseorang perlu mengenal
budaya masyarakat. Jika hal ini diabaikan, akan timbul kesalahfahaman. Sabariah Md Rashid dkk. (2012)
mengadakan penelitian tentang metafora bercitra hewan dalam bahasa Melayu dan bahasa Arab. Peneliti
menyimpukan bahwa terdapat kesamaan dan juga perbedaan bentuk metafora bercitra hewan dalam bahasa
Melayu dan bahasa Arab. Salah satu faktor penyebab adanya perbedaan tersebut adalah perbedaan sosial
budaya. Estaji (2011) melakukan penelitian tentang derogasi semantik peribahasa Persia bercitra hewan.
Peneliti menyimpulkan bahwa dalam konteks derogasi semantik, banyak ditemukan peribahasa bercitra
hewan-betina yang mengandung konotasi negatif dibandingkan dengan hewan-jantan. Imran Ho-Abdullah
(2011) menganalisis peribahasa Melayu bersumberkan anjing (canisfamiliaris).Peneliti menyimpulkan
bahwa dalam peribahasa Melayu, anjing lazimnya dipetakan pada orang yang lemah, hina, jahat, serta tidak
berilmu, Sebaliknya, dalam peribahasa Inggris, anjing sering dipetakan kepada manusia yang taat dan setia.
Topik penelitian ini adalah peribahasa Indonesia yang menggunakan kata kerbau. Di satu sisi,
entitas kerbau mengandung konotasi positif sebagai satwa yang dimanfaatkan tenaga, susu, maupun
dagingnya. Satwa ini khususnya dikenal sebagai hewan penarik bajak di sawah. Namun, di sisi lain, entitas
kerbau juga mengandung konotasi negatif, misalnya, tercermin dari ungkapan kiasan bahasa Indonesia
kerbau yang berarti “orang bodoh”.
Penelitian ini berada dalam domain semantik, khususnya semantik kognitif. Dengan pilihan teori ini
akan tercakup pula aspek kognisi manusia. Rumusan masalah penelitian ini adalah: (a) Bagaimanakah
kategori peribahasa Indonesia yang menggunakan kata kerbau? (b) Bagaimanakah mekanisme kognitif
peribahasa Indonesia yang menggunakan kata kerbau? Sesuai dengan pertanyaan penelitian, tujuan
penelitian ini adalah: (a) Mendeskripsikan kategori peribahasa Indonesia yang menggunakan kata kerbau; (b)
Mendeskripsikan mekanisme kognitif peribahasa Indonesia yang menggunakan kata kerbau.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan teori semantik kognitif. Objek
penelitian adalah peribahasa Indonesia yang menggunakan kata kerbau. Data diperoleh dari lima sumber,
yaitu sebagai berikut:
1. Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Departemen Pendidikan Nasional, edisi tahun 2013.
2. Kamus Umum Bahasa Indonesia karya W.J.S. Poerwadarminta, cetakan kedua, tahun 1954.
3. Bidal Melajoe Djilid Kedoea karya Soetan Machoeddoem dan B. Dt. Seri Maharadja, terbitan Balai
Pustaka, tahun 1921.
307
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
4. Peribahasa karya St. Pamuntjak, Nur St. Iskandar dan A. Dt. Madjoindo, terbitan Balai Pustaka, Jakarta
tahun 2004.
5. 500 Pepatah karangan Aman, terbitan Balai Pustaka, Jakarta, tahun 1978.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kategori Peribahasa
Arvo Krikmann (2001) membagi peribahasa tentang hewan (animal proverbs) dalam empat kategori utama,
yaitu: (a) Peribahasa yang menggambarkan identitas atau ciri-ciri hewan; (b) Peribahasa yang menunjukkan
hubungan manusia dengan hewan; (c) Peribahasa yang menunjukkan hubungan antara sesama hewan; (d)
Peribahasa yang menunjukkan hubungan hewan dengan sifat/dimensi yang bersifat nonzoologis.
Temuan peribahasa tentang kerbau dengan mengacu kepada kategorisasi oleh Kirkmann dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Kelompok peribahasa yang menggambarkan identitas atau ciri-ciri kerbau.
Terdapat dua peribahasa dalam kategori ini:
a. Kerbau runcing tanduk.
b. Jangan buat kerbau tanduk panjang.
2. Kelompok peribahasa yang mengaitkan kerbau dengan manusia.
Terdapat empat peribahasa dalam kategori ini:
a. Kerbau dipegang talinya, manusia dipegang mulutnya.
b. Kerbau seratus dapat digembalakan, manusia seorang tiada terkawal.
c. Kerbau tahan palu, manusia tahan kias.
d. Berkerbau seperempat ekor, berkandang sebagai orang.
3. Kelompok peribahasa yang mengaitkan kerbau dengan hewan lain
Terdapat lima peribahasa dalam kategori ini, yaitu:
a. Kerbau diberi pelana, kuda diberi berpasangan.
b. Kerbau punya susu, sapi punya nama.
c. Kerbau jangan dimaling orang, ayam jangan dimusang.
d. Kerbau sakit sapi beroleh nama
e. Menolong kerbau ditangkap harimau.
4. Kelompok peribahasa yang mengaitkan kerbau dengan sifat-sifat atau dimensi lain yang nonzoologis
Terdapat tujuh belas peribahasa dalam kategori ini:
a. Seekor kerbau berkubang, semua kena luluknya.
b. Bermain-main dengan kerbau, dilontarnya muka dengan ekor.
c. Kerbau turun berendam.
d. Kerbau menanduk anaknya..
e. Membeli kerbau di padang.
f. Menghambat kerbau melabuh.
g. Emas berpeti kerbau berkandang.
h. Tiada akan rintang kerbau oleh tanduknya.
i. Masuk kandang kambing mengembik masuk kandang kerbau menguak.
j. Terumbau kerbau karena rumput muda.
k. Terbeli kerbau bertuntun.
l. Hidup berkerbau-kerbau saja.
m. Kerbau menanduk, kerbau pergi.
n. Kerbau bertanduk, rotan beronak.
o. Kerbau pembulang tali.
p. Kerbau berkandang, emas berpura.
q. Dimana kelintung berbunyi, di situ kerbau makan.
Ho-Abdullah (2011) membedakan peribahasa bercitra hewan dalam bahasa Melayu dalam dua
kelompok besar. Kelompok pertama adalah kelompok peribahasa, bidal atau pepatah; kelompok kedua
adalah perumpamaan. Kelompok pertama bercorak metaforis maupun metonimis namun hubungan
perbandingannya dilakukan tidak secara langsung. Sebaliknya, perumpamaan menggunakan kata-kata yang
menunjukkan hubungan perbandingan secara langsung, seperti bagai, bagaikan, seperti, dan bagaikan.
Dengan mengacu kepada pola pembagian peribahasa tersebut, dalam penelitian ini ditemukan sembilan
peribahasa dengan kata kerbau yang tergolong dalam perumpamaan:
a. Bagai jelongok kerbau rumpung.
b. Seperti kerbau mandi.
308
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
c. Seperti kerbau terjepit leher, dihela tanduk panjang, dilalukan badan besar.
d. Seperti kerbau dicocok hidung.
e. Laksana kerbau, di mana rumput hijau, di sana terkumpul.
f. Seperti kerbau menanduk anak dengan kaparan tanduk, bukan dengan ujungnya.
g. Bagai kerbau terkejut oleh gong.
h. Cerdik bagai ekor kerbau.
i. Menjilat keluan bagai kerbau.
Aspek Kognitif
Aspek kognitif peribahasa Indonesia yang menggunakan kata kerbau dapat dianalisis melalui proses
mekanisme kognitif. Salah satu model adalah kerangka Ibanez-Moreno (dalam Imran Ho-Abdullah, 2011).
Kerangka ini dikembangkan dari teori metafora pokok MANUSIA ADALAH HEWAN oleh Lakoff dan
Johnson. Berdasarkan kerangka ini, dapat dibuat skema metaforis dengan beberapa contoh peribahasa
sebagai berikut.
SUMBER SASARAN
METAFORA

Kerbau ------ > Seseorang


menanduk melakukan kejahatan

kerbau pergi ------ > seseorang menerima


hukuman

Bagan 1. Skema metaforis Kerbau menanduk, kerbau pergi.

SUMBER SASARAN
METAFORA

Kerbau ------ >


Seseorang
menanduk ------ >
melakukan
anaknya tindakan pura-
pura
Bagan 2. Skema metaforis Kerbau menanduk anaknya.

SIMPULAN
Berdasarkan analisis terhadap peribahasa Indonesia yang menggunakan kata kerbau, ditarik simpulan
sebagai berikut:
1. Menurut kerangka rumusan Kirkman, peribahasa Indonesia yang menggunakan kata kerbau dapat
diklasifikasikan dalam empat kategori, yaitu: a. peribahasa yang menunjukkan identtas atau ciri-ciri
kerbau; b. peribahasa yang mengaitkan kerbau dengan manusia; c. peribahasa yang mengaitkan kerbau
dengan hewan lain; d. peribahasa yang mengaitkan kerbau dengan sifat-sifat atau dimensi lain yang
nonzoologis.
2. Makna peribahasa Indonesia yang menggunakan kata kerbau dapat dianalisis dengan menggunakan
kerangka teori semantik kognitif. Sehubungan dengan itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
tentang aspek metafora dan metonimi peribahasa ini dengan menggunakan teori mutakhir untuk
mendapatkan deskripsi yang terperinci.

DAFTAR PUSTAKA
Csabi, Szilvia. 2002. “Polysemous Words, Idioms and Conceptual Metaphors Cognitive Linguistics and
Lexicography.” Lexicogical Issues of Lexicographical Relevance. Euralex 2002 proceeding.
Departemen Pendidikan Nasional,2013. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas.
Estaji, Azam and Fakhteh Nakhavali. 2011. “Semantic Derogation in Persia Animal Proverbs”. Theory and Practice in
Language Studies, Vol. 1, No. 9, pp. 1213-1217, September 2011.
Evans, Vyvyan. “Metaphor, Lexical Concepts, and Figurative Meaning Construction” Journal of Cognitive Semiotics,
V (1-2), 73-107.
Fatemi, Mohammad Ali, Reza Tahmasebi and Hadi Aghabeigi. 2015. “Contrastive Analysis of English and Persian
Proverbs Related to Animals”. Greener Journal of Social Sciences, Vol. 5 (3), pp. 072-081, July 2015

309
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Imran Ho-Abdullah. 2011. “Analisis Kognitif Semantik Peribahasa Melayu Bersumberkan Anjing (Canis Familiaris).”
GEMA Online Journal of Language Studies. Vol. 11 (1).
Jie Fu. 2008. “The Conceptual Motivation of Animals Proverbs in English and Chinese.” C-C-essay in English
Linguistics. Autumn 2008. The School of Teacher Education, Kristianstad University College.
Krikmann, Arvon. 1994. “The Great Chain Metaphor: An Open Sesame for Proverb Semantics?” Proverbium 11, 1994,
pp. 117-124. http://www.folklore.ee/folklore/nr1/gcm.htm
Kurnia. Ermi Dyah. 2013. “Penggunaan Leksem Binatang dalam Peribahasa Jawa. Lingua IX (1) (2013)
http://Journal.unnes.ac.id/nju/index.php/lingua
Lakoff, George & Johnson, Mark. 2003. Metaphors We Live By. London: The University of Chicago Press.
Lakoff, George & Johnson, Mark.. 2003. “Conceptual Metaphors in Everyday Language. The Journal of Philosophy,
Vol. 77. Issue 8 (Aug 1980), 453-486.
Lakoff, George. 1980. “The Metaphorical Structure of the Human Conceptual System.” Cognitive Science 4, 195-208
(1980).
Machoeddoem, Soetan dan B. Dt. Seri Maharadja. 1921. Bidal Melajoe Djilid Kedoea. Weltevreden; Drukkerij
Volklektuur.
Martinengo, Alberto. 2010. “Metaphor and Canon in Paul Ricoeur: From an Aesthetic Point of View.” Proceeding of
the European Society for Aesthetics; Vol. 2, 2010.
Milicevic, Jasmina. 2006. “A Short Guide to the Meaning-Text Linguistics Theory.” Journal of Koralex, Vol. 8: 187-
233.
Nabifar, Nesa. 2013. “A Comparative Study of English and Persian Proverbs on Bases of Cognitive.” Technical
Journal of Engineering and Applied Sciences, 3 (18): 2287-2302, 2013.
Pamuntjak, K. St., N. St. Iskandar, A. Dt. Madjoindo. 2004. Peribahasa. Jakarta: Balai Pustaka.
https://books.google.co.id/
Pawelec, Andrzej. 2006. “The Death of Metaphor.” Studia Linguistica Universitatis Iagellonicae Cracoviensis 1 2 3
(2006).
Pitcher, Rod. 2013. “Applying Vygotskian Developmental Theory to Language Intervention.” Language, Speech and
Hearing Services in Schools. Vol. 27; April 1996.
Plemenitas, Katja. 2004. “Some Aspects of the Systemic Functional Model in Text Analysis.” English Language
Overseas Perspectives and Enquiries. Volume I/1-2, 2004. Ljubljana
Poerwadarminta,W.J.S. Cetakan kedua. 1954, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Perpustakaan Perguruan
Kementerian PP dan K.
Ruiz de Mendoza, F.J. and Galera-Masegosa, A. 2011. “Going beyond metaphtonymy: Metaphoric and metonymic
complexes in phrasal verb interpretation.” Language Value, 3 (1), 1-29. Jaume I University ePress: Castello,
Spain. http://www.e-revistes.uji.es/languagevalue
Schmitt, Rudolf. 2005 “Systematic Metaphor Analysis as a Method of Qualitative Research.” The Qualitative Report,
Vol. 10 Number2 June 2005; 358-394.
Song, Shenli. 2011. “Metaphor and Metonimy-A Tentative Research into Modern Cognitive Linguistics.” Theory and
Practice in Language Studies, Vol. I, No. 1, pp. 68-73, Januari 2011.
Steen, Gerard. 2005. “Metonymy Goes Cognitive-Linguistics.” Style, Vol. 39, No. 1, Spring 2005.
Velasco, Olga Isabel Diez, 2001. “Metaphor, Metonymy, and Image-Schemas: An Analysis of Conceptual Interaction
Patterns. Journal of English Studies, Vol. 3, (2001-2); 47-63
Virgirama, Reyhan dan Abdar Sulton S.,2012. 1800 Peribahasa Indonesia Memahami Arti, Kiasan, Peribahasa,
Pepatah dan Ungkapan. Penerbit Garda Media.
Zhang, Fachun & Hu, Jianpeng. 2009. “A Study of Metaphor and its Application in Language Learning and Teaching.”
International Education Studies. Vol. 2; No. 2, May 2009.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Bambang Widiatmoko
Institusi : Universitas Islam “45” Bekasi
Riwayat Pendidikan : S2 Universitas Islam “45” Bekasi
S1 Universitas Padjadjaran
Minat Penelitian : • Semantik Leksikal
• Pragmatik
• Analisis Wacana

310
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
PENOLAKAN MENGANCAM MUKA

Ramdan Sukmawan
Universitas Muhammadiyah Sukabumi
ramdansukmawan99@yahoo.com

ABSTRAK
Menolak pada realisasinya bukan hal yang mudah untuk dilakukan karena pada praktiknya menolak haruslah selaras
dengan prinsip-prinsip kesantunan yang dianut seseorang. Pada kenyataannya, penutur dapat melakukan penolakan
dengan mempertimbangkan terlebih dahulu aspek-aspek kebahasaannya agar dapat diterima dengan baik oleh mitra
tuturnya. Maksudnya bahwa penolakan yang diungkapkan tidak menyinggung perasaan mitra tuturnya. Sebenarnya,
ketika seseorang melakukan penolakan tindak tutur yang diutarakannya mengancam muka mitra tuturnya karena
penolakan merupakan sebuah upaya yang dilakukan penutur untuk tidak memenuhi apa yang diinginkan mitra
tuturnya (Sukmawan, 2014:180). Dengan tidak terpenuhinya apa yang diinginkan mitra tutur, maka penolakan yang
dilakukan dapat mengancam muka, baik muka negatif maupun muka positif. Berbicara mengenai muka, Brown dan
Levinson (1987) menyatakan bahwa muka negatif adalah keinginan individu agar setiap keinginannya tidak dihalangi
oleh pihak lain, sedangkan muka positif adalah keinginan individu agar dapat diterima olah pihak lain. Makalah ini
berusaha untuk mendeskripsikan penolakan tokoh-tokoh pewayangan yang dapat mengancam muka, baik muka negatif
maupun muka positif. Untuk pengumpulan data digunakan metode simak yang merupakan metode dalam penyedian
data yang dilakukan dengan cara menyimak penggunaan bahasa khususnya pada tuturan penolakan yang mengancam
muka, baik muka negatif dan muka positif dalam cerita wayang golek. Adapun untuk tekniknya dilakukan teknik sadap,
teknik rekam, dan teknik catat. Teknik sadap dilakukan dengan menyimak percakapan para tokoh dalam cerita wayang
golek yang diwujudkannya dengan penyadapan pembicaraan disertai teknik rekam dengan merekam percakapan para
tokoh pewayangan. Selanjutnya, data utama yang merupakan hasil rekaman dari percakapan para tokoh tersebut
diolah melalui proses transkripsi sehingga didapatkan data yang berupa teks yang berisi penggalan dialog-dialog
percakapan para tokoh pewayangan. Data inilah yang pada akhirnya dipakai dan menjadi bahan telaahan. Data yang
terkumpul dianalisis menggunakan jalur kerja metode padan subjenis kelima, yaitu alat penentunya mitra tutur
(Sudaryanto, 1993). Sumber data diambil dari cerita wayang golek yang bersifat pakem dan Sempalan. Pakem adalah
struktur cerita yang sesuai dengan standar cerita wayang dan sempalan adalah struktur cerita dalam wayang yang
jauh ke luar dari standar cerita pakem (Kuning, 2011). Untuk cerita pakem diambil dari cerita wayang golek yang
berjudul Trijaya Sakti, Sukma Sajati, dan Sayembara Dewi Kunti dan untuk yang bersifat sempalan diambil dari cerita
Dawala Jadi Raja dengan dalang Asep Sunandar Sunarya.
Kata kunci: Penolakan, muka, wayang golek.

PENGANTAR
Pada dasarnya manusia memiliki keinginan untuk dihargai. Sikap saling menghargai ini dapat terlihat pada
saat manusia melakukan interaksi komunikasinya. Namun, sering sekali dalam bertutur baik penutur dan
mitra tutur merasa tidak dihargai. Keinginan untuk dihargai ini disebut dengan istilah face want (Brown dan
Levinson, 1987).
Pada umumnya, peserta pertuturan berkepentingan untuk saling menjaga muka masing-masing
terutama karena sejumlah tindak tutur tertentu dapat mengancam muka. Pengancaman muka akan terjadi bila
penutur dan mitra tutur bertutur dengan tidak memperhatikan aspek kesantunan berbahasa. Pengancaman
muka ini sama artinya dengan menyebabkan kehilangan muka yaitu merasa malu atau terhina.
Suganda (2007:250) mengatakan bahwa konsep muka merupakan bagian dari prinsip kesopanan
yang menawarkan wujud yang berbeda-beda sesuai dengan situasi pembicaraan. Pada suatu saat muka dapat
berupa guru, teman dekat, musuh, atau peran-peran lain yang sering dijumpai dalam kehidupan. Peserta
percakapan harus memahami dan menafsirkan kata-kata yang diucapkan oleh lawan tutur sesuai dengan
muka yang ditawarkan.
Brown dan Levinson (1987) menyatakan bahwa konsep mengenai muka ini bersifat universal, yang
pada dasarnya ada berbagai tuturan yang merupakan kecenderungan suatu tindakan yang tidak
menyenangkan yang disebut dengan Face Threatening Act (FTA) atau tindakan mengancam muka.
Tindakan yang mengancam muka tersebut terdiri dari tindakan yang mengancam muka positif dan tindakan
yang mengancam muka negatif.
Tindakan yang mengancam muka negatif seperti ungkapan mengenai perintah, permintaan, saran,
nasihat, ancaman, tawaran, janji, pujian, perasaan negatif kebencian dan kemarahan yang kuat terhadap
lawan tutur. Tindakan yang mengancam muka positif yaitu ungkapan ketidaksetujuan, kritik, tindakan
merendahkan, tantangan, penghinaan, emosi yang tidak terkontrol yang membuat lawan tutur merasa takut,
tidak sopan, penyebutan hal-hal yang bersifat tabu, kabar buruk mengenai lawan tutur, tidak kooperatif dari
penutur terhadap lawan tutur, menyatakan hal-hal yang tidak gayut serta tidak menunjukan kepedulian, dan

311
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
sebutan yang menunjukkan status lawan tutur pada perjumpaan pertama (Brown dan Levinson, 1987:65-68;
Sukmawan dan Hestiana, 2015:170).
Seorang penutur dalam sebuah interaksi komunikasi memiliki sejumlah pilihan sebelum membuat
tuturan yang mungkin akan mengancam muka negatif atau pun muka positif mitra tuturnya. Misalnya,
penutur meminta mitra tuturnya melakukan sesuatu. Penutur ingin permintaannya tersebut itu dipenuhi, oleh
mitra tutur. Jika mitra tutur ternyata tidak memenuhi keinginan penutur. Maka dalam hal ini, mitra tutur
melakukan tindakan yang dianggap melukai perasaan penutur. Mitra tutur yang menyadari bahwa tuturannya
akan tidak menyenangkan penutur, mempunyai pilihan tertentu sebelum membuat tuturan tersebut. Pertama,
mitra tutur mau tidak melakukan tindakan yang mengancam muka penutur. Kalau tidak mau, berarti mitra
tutur akan memenuhi keinginan penutur tersebut, sehingga tidak akan ada pengancaman muka kepada
penutur. Seandainya mitra tutur memutuskan untuk melakukan tindakan yang mengancam muka penutur,
misalnya menolak keinginannya, maka dalam hal ini menolak dapat mengancam muka.
Adapun upaya yang dilakukan untuk meminimalkan tindakan pengancaman muka tersebut, mitra
tutur terkadang melakukan beberapa strategi penolakan kepada penutur sebelum akhirnya melakukan
penolakan secara langsung (Sukmawan, et al., 2014). Sangatlah mungkin suatu penolakan diungkapkan
dengan tindak tutur yang sangat bervariasi bentuknya, seperti: penolakan langsung, memberikan tanggapan,
penundaan dengan alasan ataupun penegasan (Sukmawan, 2015:24).
Bila dikaji dari sudut pandang teori tindak tutur, penolakan dapat dikategorikan sebagai tindak tutur
direktif yang mengancam muka negatif mitra tutur. Direktif adalah tindak tutur yang dilakukan penuturnya
dengan maksud agar mitra tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturannya tersebut (Leech,
1983:106). Penolakan dapat pula diklasifikasikan sebagai tindak tutur ekspresif yang mengancam muka
positif lawan tutur. Ekspresif adalah tindak tutur yang mengungkapkan sikap psikologis penutur terhadap
keadaan yang tersirat pada tuturan tersebut (Leech, 1983:106).
Berbicara mengenai muka berkenaan dengan penolakan dalam cerita wayang golek sangatlah
menarik untuk dicermati, tuturan-tuturan penolakan para tokoh pewayangan yang mengandung
pengancaman muka, baik muka negatif maupun muka positif. Untuk menjawab semua itu perlu kiranya
pengkajian pragmatik yang dirasa tepat untuk mengkaji tuturan-tuturan penolakan tokoh-tokoh pewayangan
dan memahami tuturan-tuturan tersebut sebagai tindakan yang mengancam muka, baik muka negatif
maupun muka positif didasarkan pada konteks tuturannya.
Kajian penolakan yang mengancam muka ini ditelaah menggunakan metode penelitian kualitatif
untuk memahami aspek muka berkenaan dengan penolakan dalam cerita wayang golek. Penelitian ini
bersifat deskriptif yang dilakukan dengan melihat fakta kebahasaan yang ada pada tuturan penolakan yang
mengancam muka negatif maupun muka positif. Perian bahasa ujaran yang sifatnya deskriptif ini tidak
dilihat dari benar salahnya penggunaan bahasa pada cerita wayang golek tetapi dianalisis seperti apa adanya
(Sudaryanto, 1992).

PENOLAKAN MENGANCAM MUKA


Penolakan adalah sebuah upaya yang dilakukan penutur untuk tidak memenuhi apa yang diinginkan mitra
tuturnya (Sukmawan, 2014:180). Dengan tidak terpenuhinya apa yang diinginkan mitra tutur, maka
penolakan yang dilakukan dapat mengancam muka. Dalam hal ini keinginan mitra tutur dihalangi dan tidak
mendapat kebebasan untuk melakukan sesuatu. Hal tersebut sesuai dengan rumusannya Brown dan Levinson
(1987) mengenai konsep muka negatif. Untuk lebih jelasnya mengenai konsep muka ini Brown dan
Levinson (1987:61) mendefinisikan muka yaitu citra diri yang bersifat umum yang diinginkan oleh setiap
anggota masyarakat, terdiri dari dua aspek yang saling berkaitan: (a) muka negatif: yang pada dasarnya
merupakan keinginan setiap orang untuk wilayah, hak perseorangan, hak untuk bebas dari gangguan, seperti;
kebebasan bertindak dan kebebasan dari melakukan sesuatu. (b) muka positif: citra diri kepribadian positif
yang konsisten yang dimiliki oleh anggota masyarakat yang berinteraksi (termasuk di dalamnya keinginan
agar citra diri dihargai dan diakui).
Dapatlah dikatakan bahwa muka negatif adalah keinginan individu agar setiap keinginannya tidak
dihalangi oleh pihak lain, sedangkan muka positif adalah keinginan individu agar dapat diterima olah pihak
lain. Untuk itu disajikan berikut ini data penggalan percakapan tokoh pewayangan yang mengandung
penolakan yaitu penolakan dengan menyatakan ketidaksetujuan yang mengancam muka negatif.
Konteks : Di Swarga Maniloka, di Keraton Bale Marcukonda, Semar menyuruh Astrajingga untuk
menjadi raja. Astrajingga menyatakan ketidaksetujuannya karena merasa tidak sanggup.
Semar : Tah di dieu Karajaan ku maneh pake, maneh jadi raja, raja dwiloka raja nu ngarajaan
raja.
Nah di sini Kerajaan oleh kamu, kamu jadi raja, raja dwiloka, raja yang merajai raja.
Tah dewa-dewa ge bakal sujud ka maneh.
Nah dewa-dewa juga akan sujud kepada kamu.

312
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Astrajingga : Aduh, tong sok kitu eta teh mamatahan teu baleg.
Aduh, jagan suka begitu itu mengajarkan tidak baik.
Semar : Naon teh?
Apa nya?
Astrajingga : Nya Bapa.
Iya Bapak.
Semar : Naon?
Apa?
Astrajingga : Lamun nitah kudu ka ahlina.
Kalau menyuruh harus kepada ahlinya.
Lamun nitah ka lain ahli tunggu karuksakannana.
Kalau menyuruh bukan kepada ahlinya tunggu kerusakannya.
Da bakal ruksak atuh, SMP, SMA abdi mah teu bisa.
Pasti akan rusak, SMP, SMA saya itu tidak bisa.
Data penggalan percakapan antara Semar dan Astrajingga mengandung penolakan terhadap suruhan
yang diwujudkan dalam penolakan dengan menyatakan ketidaksetujuan. Suruhan dinyatakan oleh Semar
kepada Astrajingga untuk menjadi raja di Swarga Maniloka dalam tuturan Tah di dieu Karajaan ku maneh
pake, maneh jadi raja, raja dwiloka raja nu ngarajaan raja. Tah dewa-dewa ge bakal sujud ka maneh ‘Nah
di sini Kerajaan oleh kamu, kamu jadi raja, raja dwiloka raja yang merajai raja. Nah dewa-dewa juga akan
sujud kepada kamu’. Secara implisit pernyataan Semar dalam tuturannya bertujuan menyuruh Astrajingga
untuk menjadi raja di Swarga Maniloka. Dalam hal ini, makna pragmatik suruhan tidak diungkapkan secara
langsung tetapi sudah terkandung dalam tuturan Semar.
Adapun Astrajingga menolak suruhan Semar tersebut dinyatakannya dengan secara tidak langsung
dalam tuturan Aduh, tong sok kitu eta teh mamatahan teu baleg ‘Aduh, jangan suka begitu itu mengajarkan
yang tidak benar’. Penolakan Astrajingga tersebut diwujudkan dalam menolak dengan menyatakan
ketidaksetujuanya. Astrajingga merasa tidak setuju atas suruhan ayahnya, Semar untuk menjadi raja.
Ketidaksetujuan Astrajingga dinyatakan secara eksplisit yang diungkapkan pertama kalinya dengan
interjeksi aduh. Selanjutnya, ditandai oleh pemakaian penanda tong ‘jangan’, dan diperkuat dengan kata
berikutnya sok kitu ‘suka begitu’.
Penolakan Astrajingga kepada Semar dengan menyatakan ketidaksetujuan mengandung tindakan
yang mengancam muka, yaitu muka negatif. Astrajingga menyatakan ketidaksetujuannya atas suruhan
ayahnya, Semar untuk menjadi raja di Swarga Maniloka dalam tuturan Aduh, tong sok kitu eta teah
mamatahan teu baleg ‘Aduh, jangan suka begitu mengajarkan tidak baik’. Konsep muka yang ditawarkan
oleh Astrajingga dengan menyatakan ketidaksetujuaannya kepada Semar adalah konsep muka negatif karena
Astrajingga ingin ayahnya untuk tidak menghalangi penolakannya menjadi raja di Swarga Maniloka.
Ketidaksetujuannya ini dipertegas oleh Astrajingga dengan pernyataannya agar dapat diterima oleh ayahnya,
Semar dalam tuturan Lamun nitah kudu ka ahlina. Lamun nikah ka lain ahli tunggu karuksakannana. Da
bakal ruksak atuh, SMP, SMA abdi mah teu bisa ‘Kalau menyuruh harus kepada ahlinya. Kalau menyuruh
bukan kepada ahlinya tunggu kerusakannya. Pasti akan rusak, SMP, SMA saya itu tidak bisa’.
Di samping penolakan mengancam muka negatif, penolakan juga dapat mengancam muka positif.
Data penggalan percakapan tokoh pewayangan selanjutnya adalah penolakan dengan menawarkan alternatif
pilihan yang mengancam muka positif. Hal ini dapat dilihat pada pembahasan data di bawah sebagai berikut.
Konteks : Percakapan Kala Nurgeni dan Arjuna di tempat peristirahan Pandawa. Kala Nurgeni
mengajukan permintaan kepada Arjuna untuk mendapatkan Semar Badranaya.
Kala Nurgeni : Tah kitu kaula dongkap ka dieu teh bade meredih, menta tulung ka salira nu kakasih
Arjuna.
Nah begitu saya datang ke sini itu ingin memohon, meminta tolong kepada Anda yang
namanya Arjuna.
Da gening Semar teh tara teubih ti Arjuna, bade disuhunkeun eta Semar Badranaya.
Semar itu kan tidak pernah jauh dari Arjuna, mau diminta Semar Badranaya itu.
Arjuna : Jadi menta Semar Badranaya?
Jadi minta Semar Badranaya?
Kala Nurgeni : Leres.
Benar.
Arjuna : Kumaha lamun digentian we ku sato, rek sapi, embe hideung, atawa hayam camani.
Bagaimana kalau diganti saja dengan binatang, mau sapi, kambing hitam, atau ayam
camani.
Kala Nurgeni : Teu ieu mah, tetep ku jelema hideung, teu ku hayam hideung.
Tidak, tetap oleh orang hitam, tidak dengan ayam hitam.

313
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Data penggalan percakapan antara Arjuna dan Kala Nurgeni mengandung penolakan terhadap
permintaan yang diwujudkan dalam penolakan dengan menawarkan alternatif pilihan. Permintaan diajukan
oleh Kala Nurgeni untuk mendapatkan Semar Badranaya dalam tuturan Tah kitu kaula dongkap ka dieu teh
bade meredih, menta tulung ka salira nu kakasih Arjuna. Da geuning Semar teh tara teubih ti Arjuna, bade
disuhunkeun eta Semar Badranaya ‘Nah begitu saya datang ke sini itu ingin memohon, meminta tolong
kepada Anda yang namanya Arjuna. Semar itu kan tidak pernah jauh dari Arjuna, mau diminta Semar
Badranaya itu’. Adanya permintaan dari Kala Nurgeni kepada Arjuna ditandai dengan kata disuhunkeun
‘diminta’.
Untuk penyebutan penolakan dengan menawarkan alternatif pilihan didasarkan pada tuturan
penolakan Arjuna yang menawarkan alternatif pilihan binatang dalam tuturan Kumaha lamun digentian we
ku sato, rek sapi, embe hideung, atawa hayam camani ‘Bagaimana kalau diganti saja dengan binatang, mau
sapi, kambing hitam, atau ayam camani’. Alternatif pilihan binatang ditawarkan Arjuna kepada Kala
Nurgeni karena Arjuna tidak bisa memenuhi permintaan Kala Nurgeni. Penolakan Arjuna ini bersifat
eksplisit dengan ditandai adanya kata digentian we ku sato ‘diganti saja dengan binatang’ sebagai penanda
lingual yang mengandung makna menawarkan alternatif pilihan binatang.
Penolakan Arjuna kepada Kala Nurgeni dengan menawarkan alternatif pilihan mengandung
tindakan yang mengancam muka, yaitu muka positif. Konsep muka yang ditawarkan oleh Arjuna dalam
melakukan penolakannya kepada Kala Nurgeni adalah konsep muka positif karena Arjuna menginginkan
agar alternatif pilihan binatang yang ditawarkan dapat diterima oleh Kala Nurgeni untuk menggantikan
Semar yang diinginkannya. Namun, Kala Nurgeni tetap tidak menerima apa yang ditawarkan Arjuna
kepadanya. Hal ini dapat dilihat pada tuturan Kala Nurgeni setelah Arjuna menolak permintaannya dalam
tuturan Teu ieu mah, tetep ku jelema hideung, teu ku hayam hideung ‘Tidak, tetap oleh orang hitam, tidak
dengan ayam hitam’.

SIMPULAN
Penolakan yang dilakukan pada dasarnya mengancam muka, baik muka negatif maupun muka positif.
Penolakan merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh penutur untuk tidak memenuhi apa yang
diinginkan mitra tuturnya. Dengan tidak terpenuhinya apa yang diinginkan mitra tutur, maka akan
menimbulkan adanya pengancaman muka negatif. Penolakan juga merupakan sebuah upaya penutur, agar
mitra tutur menerima apa yang diinginkan penutur. Keinginan penutur atas sesuatu agar diterima oleh mitra
tuturnya tersebut, akan menimbulkan adanya pengancaman muka positif. Dapatlah disimpulkan bahwa
sejatinya penolakan yang dilakukan dapat mengancam muka, baik muka negatif maupun muka positif.

DAFTAR PUSTAKA
Brown, P. and Stephen C.L. 1987. Politeness: some universals in language usage. Cambridge: Cambridge University Press.
Kuning, B. L. 2011. Atlas Tokoh-tokoh Wayang; dari Riwayat sampai Silsilahnya. Yogyakarta: Narasi
Leech, G.N. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman.
Sudaryanto, 1992. Metode Linguistik ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara
Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Suganda, D. 2007. “Pemanfaatan Konsep “Muka” (Face) dalam Wacana Wayang Golek: Analisis Pragmatik”.
Humaniora Vol. 19, No. 3, 248 - 260.
Sukmawan, R. Wahya, and Nani D. 2014. “The Expression of Refusals in the Utterance of West Java Sundanese
Society”, International Journal of Language Learning and Applied Linguistics World, vol. 5, No. 1, 266-274.
Sukmawan, R. 2014. Tindak Tutur Penolakan pada Pertunjukan Wayang Golek dalang Asep Sunandar Sunarya: Suatu
Kajian Pragmatik. Tesis. Bandung: Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Sukmawan, R. 2015. Penolakan Sebagai Cerminan Identitas Masyarakat Sunda Sukabumi. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Ilmu Administrasi dan Humaniora. Vol. 5, No.1, 24-35.
Sukmawan, R, and Siska H. 2015. Face Threathening Acts in Wayang Golek. International Journal of Linguistics, 7(5).
http://dx.doi.org/10.5296/ijl.v7i5.8330.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Ramdan Sukmawan
Institusi : Universitas Muhammadiyah Sukabumi
Riwayat Pendidikan : S2 Universitas Padjadjaran Bandung
S1 Universitas Muhammadiyah Sukabumi
Minat Penelitian : Pragmatik dan Pembelajaran Bahasa

314
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
MEDAN MAKNA CINTA DAN SAYANG SERTA PADANANNYA DALAM BAHASA INGGRIS:
ANALISIS DATA KORPUS

Mohamad Suhaizi Bin Suhaimi Nur Jannah Ab Rahman Masitah Mad Daud
Universiti Kebangsaan Malaysia
suhaizisuhaimi@yahoo.com nurjannahabrahman@gmail.com masitahmaddaud@gmail.com

ABSTRAK
Makalah ini bertujuan meneliti medan makna kalimat cinta dan sayang serta padanannya dalam bahasa Inggris.
Selain itu, padanan yang diperoleh turut dipertimbangkan apakah terkandung dalam kategori makna denotasi maupun
makna konotasi. Denotasi dikenal sebagai makna referensi yang mengacu pada makna, makna absolut atau makna
dasar sesuatu kata sedangkan konotasi pula merupakan makna tersirat atau makna bukan harfiah yang mengacu pada
konteks dan mementingkan nilai komunikatif. Metode kualitatif deskriptif dalam penelitian ini mengarahkan pada tiga
langkah dalam akuisisi data yakni pengumpulan data, analisis data dan pemaparan data. Ulasan ini menggunakan
Kamus Melayu Inggeris Dewan dan Kamus Dwibahasa Oxford Fajar. Temuan penelitian menampakkan bahwa medan
makna kalimat cinta dibagi menjadi tiga yakni pertama perasaan sayang dan kasih kepada sesuatu; kedua yaitu
perasaan sensual dan yang ketiga yaitu perasaan terlalu ingin atau terlalu minat akan sesuatu. Bagi kalimat sayang
pula menampakkan empat medan makna yaitu pertama rasa suka dan kasih kepada sesuatu; kedua merasa kasih, cinta
atau suka akan; ketiga rasa rugi jika melepaskan sesuatu peluang dan akhirnya yang keempat mengacu pada
panggilan mesra. Dari analisis penelitian ini memperlihatkan bahwa kalimat cinta memiliki tiga makna denotasi serta
tiga makna konotasi dan kalimat sayang memiliki tiga makna denotasi serta empat makna konotasi. Padanan bagi
kedua kalimat memperlihatkan satu kesamaan yakni padanan kalimat love. Justru, dengan menggunakan data korpus
yang dikembangkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP), studi ini menyoroti lagi temuan yang diperoleh dari
ruang koran seperti Utusan Malaysia, Berita Harian dan Harian Metro yang berisi data penulisan bahasa Melayu.
Kata kunci: medan makna, makna denotasi, makna konotasi, padanan, data korpus

PENDAHULUAN
Medan makna adalah sesuatu hubungan paradigma terhadap beberapa kata yang memiliki pertalian di antara
satu dengan yang lain. Ini merupakan himpunan beberapa leksikal yang maknanya saling berhubungan
karena keberadaan masing-masing dalam konteks yang serupa. Dalam sistem semantik, tatabahasa dan
ekspresi telah membingkai atau mengungkung seseorang untuk berpikir, merasakan sesuatu, bersikap
atau bertindak dan berkeyakinan terhadap sesuatu. Dengan kata lain, bahasa telah membingkai kognisi,
emosi, sikap, dan unsur spritual seseorang dalam memahami alam semesta.Setiap bahasa memiliki sistem
semantik, tatabahasa dan ekspresi yang unik di samping keuniversalan bahasa yang membedakan satu
bahasa dengan yang lain.
Medan makna mengandung kata yang mengelilingi satu kata kunci tertentu sebagai pusatnya yaitu
dinamakan sebagai kata fokus. Kata kunci adalah sejumlah kata dalam kosakata suatu bahasa yang sangat
kuat mempengaruhi pikiran konsepsi masyarakat tentang keberadaan, alam realitas dan kehidupan mereka.
kata kunci bertindak sebagai kata fokus ketika kata itu menampakkan medan makna yang kentara dan
penting serta sangat erat hubungannya dengan makna pusat kosakata bahasa itu.
Hal ini berimplikasi bahwa pengalaman atau pemahaman tentang realitas yang dibentuk dengan
suatu bahasa berbeda dengan pengalaman atau pemahaman yang dibentuk dengan bahasa lain. Bahasa
merupakan sarana pembentukan jati diri seseorang atau suatu bangsa. Satu bangsa berbeda dengan yang lain
karena persepsi bangsa itu terhadap alam dan sosial semesta berbeda dengan persepsi yang lain dan
perbedaan persepsi itu akibat perbedaan bahasa. Semantik merupakan salah satu komponen dalam cabang
ilmu linguistik yang mengkhusus dalam pengkajian makna.
Makna bahasa terutama makna kata dapat kita petakan menurut komponennya. Pandangan seperti
ini, dapat dilihat dalam teori medan makna yang menyatakan bahwa kosakata dalam suatu bahasa terbentuk
dalam kelompok-kelompok kata yang menunjuk kepada satu perkongsian makna tertentu, misalnya apabila
kita mendengar seseorang menyebut buah-buahan, tentunya kita terbayang bermacam-macam jenis buah-
buahan.

OBJEKTIF KAJIAN
Perincian mengenai tujuan amat penting dalam membentuk sesebuah kajian. Hal ini bukan sahaja diperlukan
oleh pihak lain, tetapi berguna kepada penyelidik sebagai ingatan balik tentang tujuan asal penyelidikan
(Mohd Sheffie Abu Bakar, 1987: 22). Jadi , berikut adalah objektif dalam pelaksanaan penelitian ini:
1. Mengenali medan makna bagi kalimat cinta dan sayang berdasarkan Kamus Melayu-Inggeris Dewan
2. Menganalisis jenis makna terhadap padanan kalimat cinta dan sayang dalam bahasa Inggris

315
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
DEFINISI KONSEP
Bagian ini menguraikan definisi-definisi istilah yang digunakan dalam makalah seperti medan makna,
denotasi, konotasi, padanan, cinta dan sayang.
Medan Makna
Medan makna menurut Kamus Linguistik (1997) merupakan kumpulan butir leksikel yang maknanya saling
berhubung kait disebabkan kehadiran masing-masing dalam konteks yang serupa. Untuk menggambarkan
hubungan sesuatu butir leksikel, kata atau antarkata melalui satu medan makna yang dikongsi oleh kata yang
lain dalam suatu bidang tertentu dapat diungkapkan melalui komponen makna yang terdapat dalam kata-kata
dalam suatu bidang tertentu.
Harimurti (1982) menyatakan bahwa medan makna adalah bagian dari sistem semantik bahasa yang
menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu dan yang
direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan. Kata-kata atau leksem-leksem
dalam setiap bahasa dapat dikelompokkan atas kelompok-kelompok tertentu berdasarkan kesamaan ciri
semantik yang dimiliki kata-kata itu.
Denotasi
Denotasi dikenali sebagai makna rujukan. Hal ini kerana ia akan merujuk kepada makna sebenar, makna
mutlak atau makna dasar sesuatu kata. Ia juga merupakan makna bagi perkataan yang ditanggap atau
dibayangkan dalam minda penutur atau pendengar (Norizah Ardi et. all, 2011: 79).
Konotasi
Konotasi pula merupakan makna tersirat atau makna bukan literal. Makna ini lebih merujuk kepada konteks
dan mengutamakan nilai komunikatif. Makna sesuatu perkataan itu ditentukan oleh konteks penggunaannya
dan satu perkataan itu mempunyai makna tambahan. Makna ini terhasil daripada penilaian komunikatif suatu
ungkapan oleh penutur sesuatu bahasa (Norizah Ardi et. all, 2011: 79).
Padanan
Menurut Kamus Dewan Edisi Keempat (2010:1110), padanan didefinisikan kepada tiga maksud yaitu:
1) Bandingan, imbangan, persamaan, keadaan seimbang. 2) Perihal padan, persesuaian, persamaan. 3) Kata
atau rangkai kata dalam sesuatu bahasa yang sama maknanya dengan kata atau rangkai kata dalam sesuatu
bahasa yang lain.
Cinta
Menurut Kamus Melayu Inggeris Dewan (2012: 296), cinta didefinisikan kepada tiga maksud yaitu:
1) Perasaan sayang dan kasih kepada sesuatu dan sangat menghargainya serta memandangnya sebagai
penting atau utama 2) perasaan berahi 3) perasaan terlalu ingin atau terlalu minat akan sesuatu
Sayang
Menurut Kamus Melayu Inggeris Dewan (2012: 1332), sayang didefinisikan kepada empat maksud yaitu:
1) rasa suka dan kasih kepada sesuatu 2) berasa kasih, cinta atau suka akan 3) rasa rugi jika melepaskan
sesuatu peluang 4) panggilan mesra

HASIL DAN PEMBAHASAN


Medan Makna Cinta
Medan makna Nombor Rekod Data bahasa Melayu Terjemahan Sumber
60581#0 Didedahkan kepada kesenian Exposed to culture Rashidah Md. Dahan.
bangsa agar berminat dan for making interest Endon: kita harus
timbul cinta terhadapnya. and keen on it. semai nilai murni.
Wanita. 2004
98201#14 Aku rasa tentu kau cinta Definitely, I think Radzemah. Nilai
1 akan Yusman. you like Yusman. sebuah
pengertian. Sastera.
2001
79871#0 Sejak kecil, Prof Ismawi Since childhood, Hasliza
sudah jatuh cinta dengan Prof. Ismawi already Hassan. Ismawi mahu
keindahan alam fallen in love with bangunkan
the beauty of nature desa. Nasional, 2005
98249#0 Tetapi persoalan seks, cinta In sex issues, Bahan lama (baris
dan kemahuan bukanlah amorous and desire #98249)
316
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
persoalan yang mudah are not something
diselesaikan that easy to handle.
2 97180#212 Sekiranya dia bahagia dengan If he happy with his Dr. Tuah Iskandar Al-
cinta baru, mungkin dia akan new passion, maybe Haj. Membina hati
meneruskan hubungan itu. he will proceed with bahagia. Psikologi.
the relationship. 1990
3 20012#1 Cinta kepada muzik tetap The interest of Kisahmu belum
tersemat di hati… music still remain in berakhir bolot
heart… RM50,000. Hiburan.
2001
Berdasarkan tabel di atas, kalimat cinta telah diberi padanan dalam bahasa Inggris bagi medan
makna pertama yaitu keen, like dan love. Keen membawa maksud sangat berminat, tajam penglihatan, hebat
dan sengit (Kamus Dwibahasa Bahasa Inggeris-Bahasa Melayu: 648), like berarti serupa, seperti, suka atau
menggemari, kemungkinan (Kamus Dwibahasa Bahasa Inggeris-Bahasa Melayu: 694) dan love membawa
maksud mempunyai perasaan sangat berahi serta kasih terhadap seseorang, benar-benar menghendaki,
sangat gemar (Kamus Dwibahasa Bahasa Inggeris-Bahasa Melayu: 717). Justeru kalimat keen dan like
merupakan makna konotasi kerana membawa makna yang literal. Hal ini dapat ditentukan oleh konteks
penggunaan dan satu perkataan itu mempunyai makna tambahan. Bagi kalimat love dikategorikan dalam
makna denotasi kerana membawa makna yang tersurat dan mempunyai makna yang sama dengan medan
makna pertama kalimat cinta.
Seterusnya, kalimat cinta telah diberi padanan dalam bahasa Inggris bagi medan makna kedua yaitu
amorous dan passion. Amorous membawa maksud penuh berahi (Kamus Dwibahasa Bahasa Inggeris-
Bahasa Melayu: 40) manakala passion berarti keghairahan, kesukaan, berang (Kamus Dwibahasa Bahasa
Inggeris-Bahasa Melayu: 877). Kalimat amorous dikategorikan dalam makna denotasi kerana membawa
makna yang tersurat dan mempunyai makna yang sama dengan medan makna kedua kalimat cinta. Bagi
kalimat passion pula merupakan makna konotasi kerana membawa makna yang literal. Hal ini dapat
ditentukan oleh konteks penggunaan dan satu perkataan itu mempunyai makna tambahan.
Akhir sekali, kalimat interest merupakan padanan dalam bahasa Inggris bagi medan makna ketiga.
Interest berarti menarik perhatian, keinginan, bayaran yang dikenakan atas pinjaman atau faedah (Kamus
Dwibahasa Bahasa Inggeris-Bahasa Melayu: 629). Justeru, kalimat ini merupakan makna konotasi kerana
membawa makna yang literal. Hal ini dapat ditentukan oleh konteks penggunaan dan satu perkataan itu
mempunyai makna tambahan.
Medan Makna Sayang
Medan Makna Nombor Rekod Data Bahasa Melayu Terjemahan Sumber
64839#0 Tunjukkan rasa sayang dan Show love and Dr Juanda Jaya.
1 hormat kepadanya sebagai respect her as a Panduan tingkat
ibu. mother. khusyuk dalam solat.
Agama. 2005
49689#0 Dia amat sayang akan He is very fond of to Hassan Omar. Hashim
budaya bangsanya. the culture of his sara keluarga hasil
people. karya kreatif. Sastera
dan Budaya. 2004
2 81769#0 Umno adalah parti yang Umno is a party that Menjana Melayu
sentiasa sayang dan prihatin always devoted and Glokal berteras Islam,
terhadap generasi. concern for bertunjang budaya
generations. bangsa. Nasional.
2005
88864#0 tetapi sayang seribu kali it is a great pity that Suhaimilua. Pengaruh
sayang, set yang begitu the set was so drama TV dalam
menarik gagal… interesting failed… teater Landasan.
Sastera dan Budaya.
1999
3 94603#0 sumber tenaga ke arah itu energy resources in Pelanggan Tetap.
adalah makanan tetapi that direction is food Keracunan makanan
sayang kebersihan dan cleanliness and safety wajar dibendung.
keselamatannya tidak but it is a shame to Surat Pembaca. 1997
diambil kira. not taken into
account
192417#0 Benar tu, sayang. It’s true, dear. Sistem Kad Bahan
Perkamusan

317
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
97850#5 “Katakanlah sayang.” “Say it, darling” WANITA. Februari
4 Karman mengucup telinga Karman kissed his 1981. Wanita. 1981
isterinya. wife’s ear
97522#12 Sayang, andaikata kau sweetheart, if you REMAJA 15 Mei
terbaca coretan usang ini… read this obsolete 1996. 1996
streak…
Berdasarkan tabel di atas, kalimat sayang telah diberi padanan dalam bahasa Inggris bagi medan
makna pertama yaitu love. Love membawa maksud mempunyai perasaan sangat berahi serta kasih terhadap
seseorang, benar-benar menghendaki, sangat gemar (Kamus Dwibahasa Bahasa Inggeris-Bahasa Melayu:
717). Justeru, kalimat ini merupakan makna denotasi kerana membawa makna yang tersurat dan mempunyai
makna yang sama dengan medan makna pertama kalimat sayang.
Seterusnya, kalimat sayang telah diberi padanan dalam bahasa Inggris bagi medan makna kedua
yaitu fond dan devoted. Fond membawa maksud suka memanjakan seseorang, penuh rasa sayang, sesuatu
yang tidak mungkin tercapai (Kamus Dwibahasa Bahasa Inggeris-Bahasa Melayu: 467) manakala devoted
bermaksud amat menyayangi dan mengambil berat tentang sesuatu (Kamus Dwibahasa Bahasa Inggeris-
Bahasa Melayu: 325). Justeru, kalimat fond merupakan makna konotasi kerana membawa makna yang literal.
Hal ini dapat ditentukan oleh konteks penggunaan dan satu perkataan itu mempunyai makna tambahan. Bagi
kalimat devoted, merupakan makna denotasi kerana membawa makna yang tersurat dan mempunyai makna
yang sama dengan medan makna kedua kalimat sayang.
Kalimat sayang telah diberi padanan dalam bahasa Inggris bagi medan makna ketiga yaitu pity dan
shame. Pity membawa maksud berasa belas kasihan dan simpati, sesuatu yang dikesali (Kamus Dwibahasa
Bahasa Inggeris-Bahasa Melayu: 908) manakala shame bermaksud memalukan, perasaan malu kerana
membuat salah dan sesuatu yang tidak sopan (Kamus Dwibahasa Bahasa Inggeris-Bahasa Melayu: 1126).
Justeru, kalimat pity dan shame merupakan makna konotasi kerana membawa makna yang literal. Hal ini
dapat ditentukan oleh konteks penggunaan dan satu perkataan itu mempunyai makna tambahan.
Akhir sekali, padanan dalam bahasa Inggris bagi medan makna keempat yaitu dear, darling dan
sweetheart. Dear membawa maksud yang disayangi, sebagai tegur sapa dalam memulakan surat, yang
sangat dihargai, mahal (Kamus Dwibahasa Bahasa Inggeris-Bahasa Melayu: 295), darling bermaksud yang
amat dikasihi, menarik dan comel, panggilan untuk orang yang disayangi (Kamus Dwibahasa Bahasa
Inggeris-Bahasa Melayu: 291) dan sweetheart bermaksud kekasih, panggilan manja (Kamus Dwibahasa
Bahasa Inggeris-Bahasa Melayu: 1278). Justeru, kalimat dear, darling dan sweetheart merupakan makna
konotasi kerana membawa makna yang literal. Hal ini dapat ditentukan oleh konteks penggunaan dan satu
perkataan itu mempunyai makna tambahan.

PENUTUP
Berdasarkan analisis yang dilakukan, ada tiga medan makna bagi kalimat cinta sementara empat medan makna
bagi kalimat sayang. Semua medan makna ini telah memberi padanan yang berbeda dalam bahasa Inggris.
Namun begitu, padanan bagi kedua kalimat memperlihatkan satu kesamaan yakni padanan kalimat love.
Analisis ini juga tersedia ada makna kata yang menunjukkan makna dan ada juga kata yang tidak
menunjukkan makna berdasarkan padanannya dalam bahasa Inggris. Melalui analisis ini, ada makna denotasi
dan konotasi dalam padanan yang diberikan. Kedua makna ini ditentukan berdasarkan konteks ayat masing-
masing. Dapat dilihat juga makna konotasi lebih banyak dari makna denotasi terhadap dua kalimat yang dikaji.

DAFTAR PUSTAKA
Harimurti Kridalaksana. 1983. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia
Kamus Dewan Edisi Keempat. 2010. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Kamus Melayu Inggeris Dewan. 2012. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Mohd Sheffie Abu Bakar. 1987. Metodologi Penyelidikan. Bangi: Penerbit UKM
Norizah Ardi, Midiyana Mohamad, Rozaimah Rashidin & Zuraidah Jantan. 2011. Asas dan Kemahiran Menterjemah.
Selangor: August Publishing.
Ramli Md Salleh et al. 1997. Kamus Linguistik. Kuala Lumpur Dewan Bahasa dan Pustaka

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Mohamad Suhaizi Bin Suhaimi, Nur Jannah Binti Ab Rahman, Masitah Binti Mad Daud
Institusi : Universitas Kebangsaan Malaysia
Riwayat Pendidikan : S2 Universiti Kebangsaan Malaysia
S1 Universiti Teknologi MARA
Minat Penelitian : Semantik dan Pragmatik

318
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
PEMEROLEHAN KALIMAT BAHASA INDONESIA ANAK USIA 2-5 TAHUN PADA PAUD
PERTIWI KOTA MATARAM (KAJIAN PSIKOLINGUISTIK)

Nursyahidah, Nurfatuhiyah, Miftahul Jannah


Universitas Mataram
Nursyahidah_07@yahoo.co.id; nursyahidahidut@gmail.com

ABSTRAK
Pada dasarnya kemampuan berbahasa anak sudah dibekali dari awal manusia itu lahir dan kemampuan itu
berkembang karena pengaruh dari lingkungan tempat mereka berinteraksi. Anak mulai mengenal komunikasi dengan
lingkungannya secara verbal atau disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama anak
terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa.. Pemerolehan bahasa anak bisa
melalui proses kemampuan, performa, peniruan, latihan, frekuensi. Antara usia 0 sampai 1,5 tahun (0:0 – 1:6) kanak-
kanak mengembangkan pola-pola aksi dengan cara bereaksi terhadap alam sekitarnya. Pada tahun kedua
kehidupannya, anak-anak mulai meniru kata-kata yang mereka dengar dari lingkungan sekitarnya. Tahun ketiga ,
kata-kata yang mereka hasilkan sudah mulai bertambah dan berubah dari kalimat satu kata menjadi kalimat dua kata,
dan seterusnya. Berdasarkan fenomena perkembangan pemerolehan bahasa anak tersebut, peneliti melakukan
penelitian tentang pemerolehan kalimat berdasarkan jenisnya, pemerolehan kalimat berdasarkan struktur/ pola, dan
faktor yang mempengaruhi pemerolehan kalimat anak usia 2-5 tahun. Metode penelitian yang digunakan dalam
pengumpulan data adalah metode simak, metode cakap, metode rekam, dan metode cakap. Sedangkan metode analisis
data yang digunakan adalah metode padan. Hal ini didasarkan pada data penelitian yang diperoleh berupa bahasa
lisan. Berdasarkan hasil analisis data bahwa umumnya anak usia 2-5 tahun menggunakan jenis kalimat
deklaratif/berita, interogatif/ Tanya, dan imperatif/ perintah dalam proses komunikasi. Jenis kalimat yang paling
sering muncul adalah kalimat berita. Pemerolehan kalimat berdasarkan struktur/ pola ditemukan sebanyak 7 struktur/
pola kalimat, yaitu, struktur/ pola yang menduduku fungsi S, fungsi P, fungsi K, fungsi S-P, fungsi S-P-O, fungsi S-K,
fungsi P-K, fungsi K-P. Pemerolehan bahasa Indonesia dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor alamiah, faktor
kognitif, dan faktor latar belakang sosial (lingkungan).
Kata kunci: pemerolehan kalimat, jenis, struktur, factor

PENGANTAR
Pada dasarnya kemampuan berbahasa anak sudah dibekali dari awal manusia itu lahir dan kemampuan itu
berkembang karena pengaruh dari lingkungan tempat mereka berinteraksi.Anak mulai mengenal komunikasi
dengan lingkungannya secara verbal atau disebut dengan pemerolehan bahasa anak.Pemerolehan bahasa
pertama anak terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa.Pada masa
pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya.
Pemerolehan bahasa anak-anak dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian
kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit.
Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa.Pembelajaran bahasa
berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua
setelah dia memperoleh bahasa pertamanya.Pemerolehan bahasa pertama erat sekali kaitannya dengan
perkembangan sosial anak dan karenanya juga erat hubungannya dengan pembentukan identitas
sosial.Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota
penuh suatu masyarakat.
Pemerolehan bahasa anak bisa melalui proses kemampuan, performa, peniruan, latihan, frekuensi.
Kemampuan menghasilkan performa, di dalam peniruan terdapat latihan, dan di dalam latihan pasti
membuthkan frekuensi untuk melakukan proses latihan dan dilakukan secara berulang-ulang. Dengan proses
seperti itu si anak akan menghafal kosakata tersebut. Mereka sering mengulangi kosakata yang baru dan
unik sekalipun mereka mungkin belum memahami artinya. Dalam mengembangkan kosakata tersebut, anak
mengggunakan fast mapping, yaitu suatu proses di mana anak menyerap arti kata baru setelah
mendengarnya sekali atau dua kali dalam percakapan. Pada masa kanak-kanak awal inilah anak mulai
mengkombinasikan suku kata menjadi kata dan kata menjadi kalimat.Mereka lebih mementingkan makna
(semantik) dibandingkan struktur gramatikalnya.Mereka tidak mau tahu apakah yang mereka katakana itu
salah atau benar, yang penting maksud dan tujuannnya tersamapaikan dan dipahami oleh lawan tuturnya.
Pada usia sekitar tiga tahun anak-anak bisa mencerna kuantitas masukan linguistik yang luar biasa.
Kemampuan wicara dan pemahaman mereka meningkat pesat ketika mereka mejadi produsen ocehan
nonstop dan percakapan tiada henti.Secara tidak sadar mereka sudah pandai mengucapkan kalimat yang
kompleks.
Keunikan dalam pemerolehan bahasa anak merupakan sebuah fenomena yang layak menjadi kajian.
Apakah pemerolehan kalimat bahasa Indonesia anak sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa anak usia

319
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
2-5 tahun? Tentu saja hal ini akan dapat dijawab dengan melakukan kajian terhadap pemerolehan kalimat
bahasa anak usia 2-5 tahun pada PAUD Pertiwi kota Mataram.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis akan melakukan penelitian mengenai pemerolehan bahasa
anak usia 2-5 tahun. Penelitian ini akan ditekankan pada pemerolehan kalimat bahasa Indonesia anak usia 2-
5 tahun pada PAUD Pertiwi di kota Mataram dalam aktivitas tindak tutur (bahasa lisan).

KAJIAN TEORI
Pemerolehan Bahasa
Chaer(2009: 167) menyatakan bahwa pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang
berlangsung di dalam otak seseorang kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa
ibunya. Ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak sedang memperoleh bahasa pertamanya,
yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang
berlangsung secara tidak disadari. Proses kompetensi ini menjadi syarat untuk terjadinya proses performansi
yang terdiri dari dua proses, yakni proses pemahaman dan proses penerbitan atau proses menghasilkan
kalimat-kalimat. Kedua jenis proses kompetensi ini apabila telah dikuasai kanak-kanak akan menjadi
kemampuan linguistik kanak-kanak itu.
Psikolinguistik
Secara etimologi sudah disinggung bahwa kata Psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan kata
linguistik, yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang masing-masing berdiri sendiri, dengan prosedur dan
metode yang berlainan. Namun, keduanya sama-sama meneliti bahasa sebagai objek formalnya. Hanya
objek materianya yang berbeda, linguistik mengkaji struktur bahasa, sedangkan psikologi mengkaji perilaku
berbahasa atau proses berbahasa. Dengan demikian cara dan tujuannya juga berbeda (Tarigan, 2015: 15).
Jadi, kemampuan linguistik terdiri dari kemampuan memahami dan kemampuan melahirkan atau
menerbitkan kalimat-kalimat baru yang dalam linguistik transformasi generatif disebut perlakuan, atau
pelaksanaan bahasa, atau performansi.
Perkembangan Bahasa Anak
Teori Perkembangan Bahasa Anak
Menurut Chaer, (2015: 221-224) ada tiga pandangan atau teori dalam perkembangan bahasa anak. Dua
pandangnyang kontroversial dikemukakan oleh pakar dari Amerika, yaitu pandangn Nativisme yang
berpendapat bahwa penguasaan bahasa pada kanak-kanak bersifat alamiah (nature), dan pandangan
behaviorisme yang berpendapat bahawa penguasaan bahasa pada kanak-kanak bersifat “suapan” (nurture).
Pandangan ketiga muncul di Eropa dari Jean Piaget yang berpendapat bahawa penguasaan bahasa adalah
kemampuan yang berasal dari pematangan kognitif, sehingga pandangannya disebut kognitivisme.
Menurut Brown ada tiga teori pemerolehan bahasa: pendekatan Behavioristik, pendekatan nativis,
dan pendekatan fungsional. Pandangan Nativisme diwakili oleh Naom Chomsky , pandangan behaviorisme
diwakili oleh Skinner dan pandangan kognitivisme oleh Jean Piaget (Brown, 28-36).
Perkembangan Motorik
Perkembangan motorik merupakan perkembangan bayi sejak lahir yang paling tampak, yakni sebuah
perkembangan yang bertahap dari duduk, merangkak, sampai berjalan. Tak lama sesudah lahir, seorang bayi
akan menghabiskan waktunya antara 14 samapai 18 jam untuk tidur, dan kmudian berangsur-angsur menjadi
berkurang. Pada usia 3 atau 4 bulan bayi sudah mampu duduk sebentar (sekitar 1 menit) dengan bantuan
orang dewasa. Pada usia 7 atau 8 bulan bayi sudah mampu duduk sendiri tanpa bantuan; dan menjelang usia
9 bulan banyi mampu duduk selama 10 menit atau lebih. Kemampuan merangkak terjadi pada usia 7 bulan
dan sebulan kemuadia mulai tampak kemampuan berdiri sendiri dan sebulan kemudian mulai tampak
kemampuannya berdiri sambil berpegangan pada kursi. Pada usia sebelas bulan anak dapat berdiri sendiri,
dan sekitar usia13 bulan dia sudah mampu berjalan sendiri (Chaer, 2009: 225).
Perkembangan Sosial dan Komunikasi
Ada pendapat bahwa bayi sejak lahir sampai usia sekitar 1 tahun dianggap belum punya bahasa atau belum
berbahasa (Poerwo, 1989 (dalam Chaer, 2015: 225). Kiranya anggapan ini belum mencerminkan perilaku
bayi yang sesungguhnya, sebab meskipun dikatakan belum mempunyai bahasa, tetapi sebenarnya bayi itu
sudah berkomunikasi. Menangis merupakan salah satu cara pertama untuk berkomunikasi dengan dunia
sekitarnya.
Sesungguhnya semenjak lahir bayi sudah “disetel” secara biologis untuk berkomunikasi; dia akan tanggap
terhadap kejadian yang ditimbulkan oleh orang sekitarnya (terutama ibunya) (Chaer, 2015: 225-226).

320
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Perkembangan Kognitif
Istilah kognisi berkaitan dengan peristiwa mental yang terlibat dalam proses pengenalan tentang dunia, yang
sedikit banyak melibatkan pikiran atau berpikir. Oleh karena itu, secara umum kata kognisi bisa dianggap
bersinonim dengan kata berpikir atau pikiran (Chaer, 2015: 228).
Dari sekian banyak kajian tentang proses berpikir pada anak anak dalam usia yang berbeda-beda,
Piaget menyatakan adanya beberapa tahap dalam perkembangan kognitif anak. Tahap-tahap itu adalah: (1)
tahap sensometorik, (2) tahap praoperasional, (3) tahap operasional konkret, (4) dan tapah operasional
formal (Morgan, 1986 (dalam Chaer, 2015: 228).
Perkembangan Bahasa
Bayi baru lahir samapi usia satu tahun lazim disebut dengan istilah infant artinya ‘tidak mampu berbicara’.
Istilah ini memang tetap kalau dikaitkan dengan kemampuan berbicara atau berbahasa.Namun, kurang tepat
atau tidak tepat kalaudikaitkan dengan kemampuan berkomunikasi, meskipun “tanpa bahasa” bayi sudah
dapat atau melakukan komunikasi dengan orang yang memeliharanya; misalnya dengan tangisan, senyuman,
atau gerak-gerik tubuh.Oleh karena itu, barang kali dalam tahap perkembangan bahasa bayi (kanak-kanak)
dapat dibagi dua, yaitu (1) tahap perkembangan artikulasi, (2) tahap perkembangan kata dan kalimat
(Poerwo, 1989 (Chaer, 2015: 229-230).
Kalimat Bahasa Indonesia
Kalimat Deklaratif
Kalimat deklaratif ini dibangun oleh sebuah klausa, dua buah klausa, tiga buah klausa, atau lebih; atau dalam
wujud kalimat sederhana, kalimat rapatan, kalimat luas setara, kalimat luas bertingkat, maupun kalimat luas
kompleks; sesuai dengan besarnya atau luasnya isi pernyataan yang ingin disampaikan. Begitupun bisa juga
dalam bentuk kalimat pasif maupun kalimat negative, kalimat aktif maupun kalimat pasif. Kalimat deklaratif
diucapkan oleh seseorang kepada orang lain untuk menyatakan sesuatu (Chaer, 2015:187)
Kalimat Interogatif
Kalimat interogatif adalah kalimat yang mengharapkan adanya jawaban secara verbal.Jawaban ini dapat
berupa pengakuan, keterangan, alasan atau pendapat dari pihak pendengar atau pembaca (Chaer, 2015:189).
Kalimat Imperatif
Kalimat imperative adalah kalimat yang meminta pendengar atau pembaca melakukan sesuatu
tindakan.Kalimat imperatif ini dapat berupa kalimat perrintah, kalimat himbauan, dan kalimat larangan
(Chaer, 2015:197).
Kalimat Interjeksi
Kalimat interjeksi adalah kalimat untuk menyatakan emosi, seperti karena kagum, kaget, terkejut, takjub,
heran, marah, sedih, gemas, kecewa, tidak suka.Kalimat interjeksi disusun dari sebuah klausa diawali
dengan kata seru, seperti wah, nah, aduh, ah, hah, alangkah (Chaer, 2015:199).
Metode penelitian yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode simak, metode cakap,
metode rekam, dan metode cakap. Sedangkan metode analisis data yang digunakan adalah metode padan.

PEMBAHASAN
Pemerolehan Kalimat Berdasarkan Jenisnya
Berdasarkan data yang terkumpul pada penelitian ini, peneliti mengkaji 3 jenis kalimat yang dihasilkan anak
usia prasekolah 2-5 tahun pada PAUD Pertiwi ditinjau dari bentuk kalimat. ketiga kalimat tersebut adalah
kalimat deklaratif / berita, kalimat interigatif/ tanya, dan kalimat imperatif/ perintah.
Pertama, kalimat deklaratif/ berita ditemukan sebanyak 23 kalimat, berikut ini peneliti sajikan
beberapa contoh kalimat diantaranya.
1) Nanti dijemput papa.
2) Tia mau minun.
3) Kita main ayunan.
Kedua, kalimat interogatif/ Tanya ditemukan 7 kalimat, di bawah ini disajikan 2 contoh diantaranya.
1) Mau ngapain?
2) Ngapain itu?
Ketiga, kalimat imperatif berupa larangan, perintah, dan suruhan ditemukan sebanyak 2 diantaranya kalimat
imperatif perintah/ suruhan, yaitu sebagi berikut.
1) Bu guru, bukain!
2) Bu guru, tolong bukain!

321
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Pemerolehan Kalimat Berdasarkan Strukturnya
Struktur kalimat ditinjau dari fungsi sintaksis yang diperoleh anak usia 2-5 tahun pada PAUD Pertiwi kota
Mataram yang ditemukan dalam data penelitian ini adalah sebanyak 7 struktur/ pola kalimat. Setiap
struktur/pola kalimat terdiri atas beberapa kalimat.Dalam proses analisis kalimat-kalimat tersebut peneliti
berpegang pada prinsip bahwa apa yang diucapkan oleh anak-anak merupakan kalimat lisan yang sudah
sempurna untuk pemahaman mereka. Kalimat-kalimat tersebut peneliti menganalisis sesuai dengan konteks
kalimat.
Faktor yang Mempengaruhi Pemerolehan Kalimat Bahasa Indonesia Anak Usia 2-5 Tahun
Faktor dasar yang mempengaruhi pemerolehan bahasa berupa kalimat pada anak usia prasekolah 2-5 tahun
adalah pemerolehan bahasa secara informal untuk dapat berkomunikasi dengan orang yang ada di
sekelilingnya. Seorang anak dalam memperoleh bahasa pertama dalam bentuk kalimat bervariasi, ada yang
lambat, sedang, bahkan ada yang cepat.Demikian pula dengan pemerolehan bahasa kedua.hal ini tentu
sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor alamiah, faktor kognitif, dan fakto latar belakang sosial
sosial (lingkungan).

KESIMPULAN
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian dan analisis data pemerolehan kalimat bahasa Indonesia
anak usia 2-5 tahun di PAUD Pertiwi kota Mataram, kesimpulan yang dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Pemerolehan kalimat bahasa Indonesia anak usia 2-5 tahun pada PAUD Pertiwi berdasarkan jenisnya, yaitu
deklaratif/berita berjumlah 23 kalimat, kalimat intogatif/ Tanya berjumlah 7 kalimat, dan kalimat imperatif/
perintah sebanyak 3 kalimat. kalimat yang paling dominan di ujarkan anak adalah kalimat deklaratif dan
kalimat yang paling sedikit ditemukan adalah kalimat imperatif. Hal ini terjadi karena faktor alamiah dan
sosial, dimana anak lebih sering dan lebih biasa mengungkapkan apa yang ia alami dan rasakan di
lingkungan sekitarnya kepada orang lain daripada mengungkapkan kalimat intrerogatif dan imperatif.
2. Pemerolehan kalimat bahasa Indonesia yang berusia 2 tahun rata-rata hanya menghasilkan kalimat
deklaratif/berita, pemerolehan kalimat bahasa Indonesia anak usia 3 tahun rata-rata menghasilkan kalimat
berita dan kalimat introgatif /Tanya, dan pemerolehan kalimat bahasa Indonesia anak usia 4-5 tahun rata-
rata menghasilkan kalimat deklaratif/berita, kalimat introgatif/tanya, dan kalimat imperatif/ perintah.
3. Pemerolehan kalimat bahasa Indonesia anak usia 2-5 tahun pada PAUD Pertiwi kota Mataram
berdasarkan struktur/ pola kalimat, yaitu struktur kalimat dengan1 unsur fungsi, seperti S terdiri atas 10
kalimat, fungsi P 8 kalimat, dan fungsi K terdiri atas 2 kalimat. struktur kalimat dengan 2 fungsi atau
lebih , seperti S-P sebanyak 6 kalimat, S-P-O sebanyak 2 kalimat, -S-K sebanyak 5 kalimat, P-K
sebanyak 2 kalimat, dan K-P sebanyak 2 kalimat.
4. Pemerolehan bahasa anak dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor alamiah, faktor kognitif, dan faktor
latar belakang sosial (lingkungan).

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. Agustina, Leonie.2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul.2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
-----------------. 2015. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
-----------------. 2015. Sintaksis Bahasa Indonesia Pendekatan Proses. Jakarta: Rineka Cipta.
Douglas, H. Brown. Edisi Kelima Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. Bandung: Rosda.
Mahsun. 2010. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Rajawali Pers.
Mar’at, Samsunuwiyati. 2011. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Bandung: Refika Aditama.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
----------- 2014. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.
Riyanto, Yatim. 2001. MetodeloginPenelitian Pendidikan. Surabaya: SIC.
Zuriah, Nurul. 2009. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan Teori-Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Nursyahidah Nurfatuhiyah Miftahul Jannah
Institusi : Universitas Mataram Universitas Mataram Universitas Mataram
Riwayat Pendidikan : S1 Universitas Negeri Yogyakarta S1 Universitas Mataram S1 Universitas Muhammadiyah Mataram
Minat Penelitian : Bahasa dan Budaya Bahasa dan Budaya Bahasa dan Budaya

322
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
KARAKTERISTIK FONOLOGIS TUTURAN PEMAIN KOMEDI SITUASI KELAS
INTERNASIONAL DI NET TV

Cahya Ningrum Laila Kusuma Wardani Cendana Kurnaesih


Universitas Pendidikan Indonesia
cahyaningrum443@gmail.com cendanatralali@gmail.com

ABSTRAK
Maraknya migrasi yang terjadi belakangan ini begitu berpengaruh terhadap negara yang ditujunya, tidak terkecuali
Indonesia. Kemunculan komedi situasi (sitkom) Kelas Internasional di Net Tv merupakan salah satu contoh dampak
migrasi. Kelas Internasional merupakan acara komedi situasi yang bercerita tentang proses belajar mengajar bahasa
Indonesia. Sitkom ini melibatkan beberapa orang asing yang berasal dari Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, Kolombia,
India, Australia, Nigeria, Perancis, dan Brasil. Keberagaman tersebut menimbulkan adanya karakteristik fonologis
yang khas saat pemain sitkom tersebut berbahasa Indonesia. Karakteristik fonologis yang tampak dalam sitkom ini
adalah perubahan pelafalan bunyi bahasa Indonesia yang dipengaruhi oleh bahasa ibu pemainnya. Misalnya
pelafalan [giriran] oleh tokoh yang berasal dari Jepang masih dipahami oleh tokoh lain sebagai kata [giliran]. Dalam
bahasa Jepang, bunyi [r] merupakan bunyi yang bersifat nondistingtif, sedangkan dalam bahasa Indonesia bunyi [r]
merupakan bunyi yang bersifat distingtif. Penelitian kasus gejala perubahan bunyi dalam sitkom Kelas Internasional di
Net Tv belum ada yang mengeksplorasi secara khusus dan mendalam. Fokus penelitian ini adalah aspek perubahan
bunyi bahasa. Gejala yang muncul di antaranya perubahan bunyi, penambahan bunyi, dan pengurangan bunyi. Hal ini
terlihat dari percakapan dalam sitkom Kelas Internasional di Net Tv. Penelitian ini mengangkat dua rumusan masalah
yang akan dikaji, yaitu (1) perubahan bunyi yang terjadi dalam sitkom Kelas Internasional di Net Tv; (2) faktor
perbedaan sistem fonologis antara bahasa Indonesia dan bahasa pertama pemain sitkom Kelas Internasional di Net
Tv. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan linguistik formal untuk menjawab
rumusan masalah. Metode ini dipilih karena terdapat beberapa bunyi atau bunyi bahasa ibu penutur asing yang tidak
membedakan makna, sedangkan dalam bahasa Indonesia, bunyi tersebut membedakan makna. Teknik pengumpulan
data menggunakan teknik simak dan catat. Percakapan-percakapan yang mengalami gejala perubahan bunyi
dikumpulkan lalu dianalisis secara fonetis. Penelitian ini menghasilkan 60 data penelitian yang diambil dari 9 episode
yang dipilih secara acak. Hasil penelitian menunjukan adanya gejala perubahan bunyi bahasa yang terjadi dalam
penuturan berbahasa Indonesia yang dipengaruhi oleh bahasa pertama pemain sitkom Kelas Internasional di Net Tv.
Kata kunci: karakteristik fonologis, perubahan bunyi bahasa, bahasa pertama

PENDAHULUAN
Maraknya migrasi yang terjadi belakangan ini begitu berpengaruh terhadap negara yang ditujunya, tidak
terkecuali Indonesia. Dampak migrasi yang terjadi di Indonesia menyebabkan orang-orang asing mulai
mempelajari bahasa Indonesia. Dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia sering kali terdapat kesalahan-
kesalahan ucap yang dilakukan oleh penutur asing. Fenomena kesalahan ucap inilah yang membuat orang
Indonesia merasa “lucu” saat mendengarnya. Berawal dari kelucuan-kelucuan yang ditimbulkan oleh
kesalahan ucap para penutur asing ini, akhirnya diangkat menjadi salah satu acara televisi bergenre komedi
situasi. Kelas Internasional merupakan acara komedi situasi yang bercerita tentang proses belajar mengajar
bahasa Indonesia. Sitkom ini melibatkan beberapa orang asing yang berasal dari Jepang, Tiongkok, Korea
Selatan, Kolombia, India, Australia, Nigeria, Perancis, dan Brasil. Keberagaman tersebut menimbulkan
adanya karakteristik fonologis yang khas saat pemain sitkom tersebut berbahasa Indonesia. Karakteristik
fonologis yang tampak dalam sitkom ini adalah perubahan pelafalan bunyi bahasa Indonesia yang
dipengaruhi oleh bahasa ibu pemainnya. Penelitian ini difokuskan pada kajian perubahan bunyi dalam
pelafalan kata berbahasa Indonesia oleh penutur asing sitkom Kelas Internasional. Kajian perubahan bunyi
ini menjadi bagian dari pendekatan fonetik karena tidak membedakan makna sebagai upaya memahami
variasi pelafalan tiap penutur asing khususnya oleh penutur asing dalam sitkom Kelas Internasional.

PEMBAHASAN
Faktor yang memengaruhi perubahan bunyi ialah alat ucap dalam membentuk bunyi bahasa yang satu
dengan alat ucap dalam membentuk bunyi bahasa yang lain saling pengaruh, baik pada kegiatan alat ucap
dalam membentuk bunyi yang mendahului maupun yang mengikutinya. Tidak hanya itu, bahkan distribusi
pun akan berpengaruh terhadap pelaksanaan bunyi (Marsono, 1999: 107). Teori tersebut terbukti dalam
penelitian ini sebagaimana terdapat dalam pembahasan berikut.
Dalam melafalkan kata <lupa> yang seharusnya dilafalkan [lupa], pemain sitkom Kelas
Internasional yang berasal dari Jepang ternyata melafalkan [rupa]. Dalam kasus ini, bunyi [l] yang berjenis
apikoalveolar sampingan malah dilafalkan menjadi bunyi [r] yang berjenis apikoalveolar getar. Secara
323
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
fonetis kedua bunyi tersebut sangat mirip karena memiliki kesamaan tempat artikulasi (place of articulation).
Namun, keduanya memiliki perbedaan cara artikulasi (manner of articulation). Ternyata kedua bunyi yang
mirip secara fonetis ini tidak difungsikan sebagai pembeda makna dalam bahasa Jepang (nondistingtif)
sehingga pemain sitkom Kelas Internasional yang berasal dari Jepang mengalami kesulitan dalam
membedakan bunyi [l] dan [r]. Artinya, perbedaan bunyi [l] dan [r] dalam bahasa Jepang dianggap tidak
penting karena bersifat nondistingtif. Hal ini sangat berbeda dengan bahasa Indonesia yang memperlakukan
bunyi [l] dan [r] sebagai pembeda makna (distingtif).
Pada kasus pemain sitkom Kelas Internasional yang berasal dari Tiongkok, kata <terus> yang
seharusnya dilafalkan [terus] ternyata dilafalkan [təlus]. Kasus pelafalan ini memiliki jenis yang sama
dengan kasus pelafalan bunyi pada pemain yang berasal dari Jepang, yaitu sulit dalam membedakan bunyi [l]
dan [r] yang bersifat nondistingtif. Namun, pemain sitkom Kelas Internasional yang berasal dari Tiongkok
lebih mengalami kesulitan dalam pelafalan bunyi [r] dibandingkan pelafalan bunyi [l] karena dalam bahasa
Mandarin tidak mengenal bunyi [r]. Dalam bahasa Indonesia, kasus kesulitan melafalkan bunyi [r] disebut
cadel.
Pada pemain sitkom Kelas Internasional yang berasal dari Korea Selatan terdapat dua kasus
kesulitan dalam pelafalan bahasa Indonesia. Kasus pertama terjadi dalam pelafalan kata <botak> yang
seharusnya dilafalkan [botak] malah menjadi [photak]. Pada kasus ini terjadi proses aspirasi yang berarti
konsonan hambat yang disertai letupan napas yang cukup keras sehingga dapat didengar. Bunyi [b] yang
berjenis bilabial hambat bersuara malah dilafalkan menjadi bunyi [p] yang berjenis bilabial hambat tak
bersuara dan mengalami proses aspirasi. Kedua bunyi tersebut memiliki kemiripan secara fonetis karena
memiliki kesamaan tempat artikulasi (place of articulation), yaitu bunyi bilabial. Namun, keduanya
memiliki perbedaan cara artikulasi (manner of articulation), yaitu bunyi hambat bersuara dan bunyi hambat
tak bersuara. Kasus pemain dari Korea Selatan yang kedua ialah pelafalan kata <belajar> yang seharusnya
dilafalkan [bəlajar] menjadi [belajarə]. Dalam kasus ini, pemain melafalkan bunyi [b] tanpa hambatan dan
menambahkan bunyi vokal [ə] pada akhir kata. Berdasarkan data yang didapatkan, pemain sitkom Kelas
Internasional yang berasal dari Korea Selatan hanya mengalami hambatan saat melafalkan bunyi [b] yang
dihadapkan dengan bunyi vokal [o]. Namun, hambatan tersebut tidak terjadi ketika pelafalan bunyi [b] pada
saat dihadapkan dengan bunyi vokal [ə].
Pada pemain sitkom Kelas Internasional yang berasal dari negara Nigeria ditemukan beberapa kasus
kesulitan dalam pelafalan bunyi bahasa Indonesia. Kasus pertama ialah dalam melafalkan kata <pakaian>
yang seharunya dilafalkan dengan bunyi [pakayan] ternyata dilafalkan dengan bunyi [phakayan]. Pada kasus
ini terjadi proses aspirasi pada bunyi [p]. Kasus selanjutnya ialah pada pelafalan kata <toilet> yang harusnya
dilafalkan <toilet> ternyata dilafalkan dengan bunyi [tolet]. Selain itu, pada pelafalan kata <terima kasih>
yang seharusnya dilafalkan dengan bunyi [terima kasih] ternyata dilafalkan dengan bunyi [terima kasi]. Pada
kasus ini terjadi proses penghilangan bunyi [i] pada kata <toilet> dan bunyi [h] pada kata <terima kasih>.
Pada kata <toilet> terjadi proses penghilangan bunyi di tengah-tengah kata yang disebut dengan istilah
sinkop, sedangkan pada kasus kata <terima kasih> mengalami kehilangan bunyi di akhir katanya yang
disebut dengan istilah apokop.
Pada pemain Kelas Internasional yang berasal dari negara India, kata <dahulu> yang seharusnya
dilafalkan dengan bunyi [dahulu] ternyata dilafalkan menjadi [dahuhu]. Pada kasus ini bunyi [l] yang
berjenis apikoalveolar sampingan malah dilafalkan dengan bunyi [h] yang berjenis laringal geseran bersuara.
Kedua bunyi tersebut memiliki perbedaan bunyi bedasarkan tempat dan cara artikulasimya.
Selanjutnya, pada pemain Kelas Internasional yang berasal dari Brazil terjadi beberapa kasus, di
antaranya pelafalan kata <puisi> yang seharusnya dilafalkan [puisi] menjadi [puizi]. Bunyi [s] berjenis
laminopalatal geseran tak bersuara, sedangkan bunyi [z] berjenis laminoalveolar geseran bersuara. Kedua
bunyi tersebut memiliki persamaan artikulator aktif (lamino), tetapi memiliki perbedaan pada artikulator
pasif (alveolar dan palatal). Kasus kedua ialah pada pelafalan kata <bayar> yang seharusnya dilafalkan
[bayar] ternyata menjadi [bayaru]. Pada kasus ini terdapat proses penambahan bunyi [u] di akhir katanya.
Kasus berikutnya terjadi pada pemain Kelas Internasional yang berasal dari negara Kolombia.
Dalam kasus ini pemain melafalkan kata <apapun> yang seharusnya dilafalkan dengan bunyi [apapun],
malah menjadi bunyi [apapuŋ]. Bunyi [n] berjenis apikoalveolar nasal, sedangkan bunyi [ŋ] berjenis
dorsovelar nasal. Kedua bunyi tersebut memiliki persamaan cara artikulasi (nasal) dan perbedaan tempat
artikulasi (apikoalveolar dan dorsovelar).
Pemain sitkom Kelas Internasional yang berasal dari Australia pelafalan <segera> yang seharusnya
dilafalkan dengan bunyi [segera] malah dilafalkan dengan bunyi [sedera]. Bunyi [g] berjenis dorsovelar
hambat bersuara, sedangkan bunyi [d] berjenis apikoalveolar hambat bersuara. Kedua bunyi tersebut
memiliki persamaan pada acara artikulasi (hambat besuara) dan memiliki perbedaan pada tempat artikulasi
(dorsovelar dan apikovelar).
324
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
SIMPULAN
Pada penelitian ini ditemukan beberapa proses perubahan bunyi yang terjadi dalam sitkom Kelas
Internasional. Proses perubahan pelafalan bunyi yang terjadi bisa dilihat dari cara artikulasi dan tempat
artikulasinya. Selain itu, perbedaan pelafalan bunyi juga disebabkan oleh proses aspirasi, penambahan bunyi,
serta pengurangan bunyi (apokop dan sinkop). Hasil penelitian menunjukkan adanya gejala perubahan bunyi
bahasa yang terjadi dalam penuturan berbahasa Indonesia yang dipengaruhi oleh bahasa pertama pemain
sitkom Kelas Internasional di Net Tv yang berasal dari Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, India, Brazil,
Kolombia, dan Australia.

DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Chaer, Abdul. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Marsono. 1999. Fonetik. Yogyakarta: Gadjah Mada Unversity Press.
Muslich, Masnur. 2008. Fonologi Bahasa Indonesia: Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Malang:
Bumi Aksara.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Cahya Ningrum Laila Kusuma Wardani Cendana Kurnaesih
Institusi : Universitas Pendidikan Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia
Riwayat Pendidikan : S1 Universitas Pendidikan Indonesia S1 Universitas Pendidikan Indonesia
Minat Penelitian : • Fonologi • Fonologi
• Morfologi • Kajian Tradisi Lisan
• Semantik • Telaah Naskah

325
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
ANALISIS PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA SISWA SMA DALAM MEDIA SOSIAL

Imas Mulyati
SMA Negeri 1 Ciparay Kab. Bandung
imasmulyati1@gmail.com

ABSTRAK
Globalisasi semakin pesat dan memunculkan berbagai kondisi, baik yang bersifat positif maupun negatif. Dari
berbagai kondisi yang ditimbulkan, dampak negatif muncul dalam berbagai segi kehidupan. Hal ini terasa pula
pengaruhnya terhadap bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia telah terkontaminasi oleh perbendaharaan kata asing
yang dianggap dapat mengancam eksistensi bahasa Indonesia. Akibatnya, terjadi pula berbagai bentuk kesalahan
berbahasa yang dilakukan oleh berbagai kalangan, terutama kaum muda, para siswa SMA. Kesalahan berbahasa
itu pun terjadi dalam berbagai media, baik formal maupun nonformal, seperti media sosial. Untuk menangani
masalah tersebut, diperlukan berbagai upaya. Penelitian yang berjudul ‘Analisis Penggunaan Bahasa Indonesia
Siswa SMA pada Media Sosial’ ini bertujuan untuk mendata jenis kesalahan berbahasa siswa SMA pada media sosial;
mengelompokkan setiap jenis kesalahan berbahasa yang dilakukan siswa SMA pada media sosial; mengidentifikasi
faktor penyebab terjadinya kesalahan berbahasa siswa SMA; dan menemukan solusi untuk memperbaiki perilaku
kesalahan berbahasa. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode studi
dokumentasi dan observasi. Studi dokumentasi digunakan untuk mendata berbagai jenis kesalahan berbahasa dan
mengelompokkan jenis-jenis kesalahan berbahasa tersebut. Dokumen yang diteliti berupa media sosial yang sering
digunakan oleh para siswa sebagai sarana untuk berkomunikasi dan berekspresi: facebook, blackberry messenger,
instagram, tweeter, dan sebagainya. Data dikumpulkan dengan teknik screenshoot dari media sosial-media sosial yang
digunakan oleh para siswa. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh benar-benar menunjukkan kondisi yang
sebenarnya, tanpa diketahui oleh yang bersangkutan. Observasi digunakan untuk mengidentifikasi berbagai alasan
yang melatarbelakangi kesalahan berbahasa para siswa SMA. Observasi dalam penelitian ini dilakukan secara tertulis
dengan teknik angket/ kuesioner. Penelitian ini dilakukan terhadap para siswa SMA Negeri 1 Ciparay Kabupaten
Bandung. Dari tiga puluh dua kelas di sekolah ini, hanya beberapa siswa yang dijadikan sampel. Penyampelan
dilakukan secara berjenjang, yakni penyampelan yang diambil berdasarkan daerah, dalam hal ini ‘kelas’. Dari setiap
kelas, diambil lima siswa yang berada dalam kontak media sosial.
Kata kunci: kesalahan berbahasa, siswa, media social

PENDAHULUAN
Pranata pendidikan dan pengajaran pada dasarnya timbul karena keperluan untuk memenuhi berbagai
kebutuhan. Demikian pulalah pendidikan dan pengajaran bahasa. Pendidikan dan pengajaran bahasa timbul
karena keperluan untuk memenuhi kebutuhan, baik individu maupun masyarakat. Pemenuhan itu pada
mulanya dilakukan secara alamiah saja, akan tetapi kemudian dilakukan melalui lembaga-lembaga yang
sengaja didirikan. Tuntutan keperluan itu mengalami perubahan dan karena itu juga terjadi penyesuaian-
penyesuaian agar pengajaran bahasa tetap dapat memenuhi keperluan yang berubah itu.
Struktur kurikulum mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA mencakup empat aspek
keterampilan berbahasa. Keempat keterampilan berbahasa tersebut adalah keterampilan menyimak,
keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Bila kita membuat sebuah
klasifikasi untuk keempat keterampilan berbahasa tersebut, maka diperoleh kesimpulan bahwa keempat
keterampilan berbahasa tersebut ada yang bersifat reseptif (bersifat menyerap informasi) dan ada yang
bersifat produktif (bersifat memberikan informasi). Keterampilan berbahasa yang bersifat reseptif adalah
menyimak dan membaca, sedangkan keterampilan berbahasa yang bersifat produktif adalah berbicara dan
menulis (Suhendar 1992:1).
Sesuai dengan tuntutan kurikulum, idealnya setiap siswa SMA mampu menguasai keempat
keterampilan berbahasa, baik secara teori maupun secara praktis. Namun, pada umumnya tidak semua siswa
mampu menguasai keempat keterampilan berbahasa secara total. Bahkan, untuk keterampilan berbahasa
tertentu siswa tidak termotivasi dengan baik sehingga ada kecenderungan siswa tidak mau melakukan
aktivitas berbahasa.
Keterampilan menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang tidak diminati oleh para
siswa. Seiring perkembangan zaman, pesatnya globalisasi telah mampu menciptakan media tulis-menulis
bagi para siswa. Tersedianya berbagai bentuk media sosial telah mampu mencetak para penulis baru. Sayang
sekali, ketersediaan media sosial ini juga diikuti dampak negatif, tak terkecuali bagi bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia telah terkontaminasi oleh perbendaharaan kata asing yang dapat mengancam eksistensi
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara. Hal ini terlihat pada munculnya
berbagai bentuk kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh berbagai kalangan, terutama kaum muda, para

326
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
siswa SMA. Kesalahan berbahasa itu terjadi dalam berbagai media, baik formal maupun nonformal,
seperti media sosial.
Berbagai jenis kesalahan berbahasa Indonesia dapat terjadi karena beberapa hal: penguasaan
terhadap berbagai bahasa (bilingualism dan multilingualism), kurangnya kesetiaan berbahasa (language
loyalty), kurangnya kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia (language pride), dan kurangnya
kesadaran akan adanya aturan/ norma berbahasa (awareness of the norm). Kesalahan berbahasa dapat
terjadi dalam berbagai bentuk kegiatan berbahasa. Kesalahan berbahasa dapat terjadi dalam peristiwa tutur,
dapat pula terjadi dalam bahasa tulis.
Dalam menyikapi fenomena di atas, diperlukan berbagai solusi. Penelitian ini menyajikan sebuah
tinjauan deskripstif tentang penggunaan bahasa Indonesia dalam media sosial: kesalahan apa yang
dilakukan para siswa dalam berbahasa pada media sosial; dan apa yang menyebabkan para siswa
melakukan kesalahan berbahasa pada media sosial. Selain mengkaji dan mendeskripsikan prilaku
berbahasa siswa SMA, hasil penelitian juga diharapkan dapat menjadi umpan balik bagi pihak terkait
sehingga ditemukan solusi terbaik untuk mengembalikan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, seperti
diamanatkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009.

PROSEDUR PENELITIAN
Medote Penelitian
Penelitian ini merupakan sebuah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode studi dokumentasi dan
observasi. Studi dokumentasi digunakan untuk mendata berbagai jenis kesalahan berbahasa dan
mengelompokkannya berdasarkan kriteria tertentu, sedangkan observasi digunakan untuk mengidentifikasi
berbagai alasan yang melatarbelakangi kesalahan berbahasa para siswa SMA.
Tujuan Penelitian
Penelitian yang berjudul Analisis Penggunaan Bahasa Indonesia Siswa SMA pada Media Sosial ini
bertujuan untuk:
1. mendata jenis kesalahan berbahasa siswa SMA pada media sosial;
2. mengelompokkan setiap jenis kesalahan berbahasa yang dilakukan siswa SMA pada media sosial;
3. mengidentifikasi faktor penyebab terjadinya kesalahan berbahasa siswa SMA; dan
4. memberikan umpan balik bagi pihak terkait sehingga fenomena kebahasaan dapat dicarikan solusinya.
Langkah-Langkah Penelitian
Secara umum, penelitian dilakukan dengan menggunakan dua teknik: studi dokumentasi dan observasi.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Pemilihan populasi dan sampel
Penelitian ini dilakukan terhadap para siswa SMA Negeri 1 Ciparay Kabupaten Bandung tahun ajaran 2015-
2016. Sekolah ini terdiri atas terdiri atas 32 kelas: 20 kelas Program MIPA, 9 kelas Program IPS, dan 3 kelas
Program Bahasa. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X, XI, dan XII. Dari 32 kelas di
sekolah ini, hanya beberapa siswa yang dijadikan sampel. Penyampelan dilakukan secara berjenjang, yakni
penyampelan yang diambil berdasarkan daerah, dalam hal ini ‘kelas’. Dengan demikian diperoleh 160 siswa
sebagai sampel.
Seratus enam puluh siswa yang dijadikan sampel adalah siswa-siswa yang tergabung dalam media
sosial dan berteman dengan penulis dalam media sosial tersebut. Dengan demikian, penulis dapat mengikuti
perilaku berbahasa siswa tersebut secara rutin.
2. Pengumpulan data
Studi Dokumentasi
Menurut Sugiyono (2012: hlm 82), dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen
bisa berupa tulisan, gambar, atau karay-karya monumental dari seseorang. Dalam penelitian ini dokumen
yang digunakan adalah dokumen berupa tulisan. Tulisan yang diteliti berasal dari media sosial yang sering
digunakan oleh para siswa sebagai sarana untuk berkomunikasi dan berekspresi: face book, blackberry
messenger, instagram, tweeter, dan sebagainya. Data dikumpulkan dengan teknik screen shoot terhadap
media sosial yang digunakan oleh para siswa. Dari setiap siswa sampel, diperoleh dua item berupa frase,
kalimat, atau paragraf. Dengan demikian, dokumen berupa tulisan dalam penelitian ini berjumlah 320 item.
Observasi
Observasi dalam penelitian ini dilakukan secara tertulis dengan teknik angket/ kuesioner. Kuesioner
digunakan untuk menjaring informasi tentang penyebab kesalahan berbahasa yang dilakukan oleh siswa.

327
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Kuesioner dikembangkan dengan mengacu ada konsep bilingualism, multilingualism, dan tiga ciri sikap
berbahasa yang dikemukakan oleh Garvin dan Mathiot (1968) dalam Chaer dan Agustina (2004).
3. Pengolahan data
Data yang terkumpul diolah dengan dua cara sesuai dengan jenis data: dokumen dan hasil kuesioner. Setiap
jenis data diolah dengan teknik yang berbeda, sesuai dengan karakteristiknya.
Pengolahan data dilakukan dengan langkah-langkah yang dikemukakan oleh Milles and Huberman
(1984) dalam Ali (2010). Langkah-langkah yang dimaksud adalah data reduction, data display, dan
conclusion drawing/ verification. Data berupa dokumen dianalisis dan ditentukan jenis kesalahannya. Setiap
jenis kesalahan berbahasa kemudian disajikan dalam bentuk pengelompokkan/ klasifikasi data. Teknik
klasifikasi data ini ditempuh untuk mengelompokkan jenis kesalahan berbahasa. Berdasarkan data yang
tersaji dalam bentuk klasifikasi, kesimpulan dirumuskan dan dilakukan verifikasi.
Data berupa hasil kuesioner dianalisis dengan teknik persentase. Hal ini dilakukan untuk mendata
persentase faktor penyebab kesalahan berbahasa siswa. Item kuesioner yang menjadi objek adalah
penguasaan terhadap berbagai bahasa (bilingualism dan multilingualism), kurangnya kesetiaan berbahasa
(language loyalty), kurangnya kebanggaan menggunakan bahasa (language pride), dan kurangnya
kesadaran akan adanya aturan/ norma berbahasa (awareness of the norm).

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN


Bilingualism, Multilingualism, Pemilihan Bahasa, dan Sikap Bahasa.
Secara harfiah, sudah dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualism, yaitu berkaitan dengan penggunaan
dua bahasa atau dua kode bahasa. Mackey (1962: 12) dan Fishman (1975: 73) dalam Chaer (2004)
mendefinisikan bilingualism sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya
dengan orang lain secara bergantian.
Alwasilah (1993) menyimpulkan bahwa tingkat kemampuan bilingualism atau bahkan
multilingualism sangat bervariasi pada setiap individu. Oleh karena itu, konsep bilingualism bersifat relatif
karena kemampuan berbahasa seseorang sulit diukur. Untuk mempermudah pembahasan tentang
bilingualism ini, Alwasilah mengutip pengertian bilingualism yang dikemukakan oleh Mackey dan
Fishmann (1968) yang menyatakan bahwa bilingualism adalah pemakaian yang bergantian dua bahasa atau
lebih.
Keanekabahasaan (multilingualism) mengacu pada kemampuan berbahasa seorang penutur atau
masyarakat tutur dalam menggunakan lebih dari dua bahasa. Menurut Fasold (1984: 8), multilingualism
dapat dipandang sebagai solusi sementara terhadap konflik nationist-nationalist dalam kebijakan bahasa
(language policy). Dalam bidang pendidikan, misalnya, konflik antara pemakaian bahasa-bahasa kelompok
etnik sebagai bahasa pengantar karena alasan-alasan efisiensi kebangsaan dengan pemakaian bahasa
nasional karena alasan persatuan kenegaraan, kadang-kadang dapat diselesaikan dengan menggunakan
bahasa etnik untuk pendidikan awal, dan kemudian diganti dengan bahasa nasional untuk pendidikan yang
lebih tinggi.
Pada level individu, multilingualism berfungsi sebagai sumber interaksi bagi para penutur
multilingual. Khususnya, masyarakat multilingual cenderung menggunakan bahasa-bahasa atau ragam-
ragam bahasa berbeda dalam tugas-tugas atau kegiatan-kegiatan berbeda. Suatu bahasa, misalnya, biasanya
digunakan sebagai bahasa pada lingkungan rumah dan untuk brbicara dengan temn akrab, sedangkan bahasa
lainnya digunakan untuk melakukan bisnis dengan lembaga-lembaga pemerintahan (Fasold, 1984: 8).
Dalam masyarakat bilingual atau pun multilingual, pemilihan bahasa merupakan alternative dalam
berkomunikasi, baik lisan maupun tertulis. Dalam masyarakat bilingual dan multilingual, kontak bahasa
antara satu bahasa dengan bahasa lainnya tidak terelakan. Fasold (1984) mengemukakan empat macam
pemilihan bahasa: alih kode (code-switching), campur kode (code-mixing), peminjaman bahasa (borrowing),
dan variasi dalam bahasa yang sama (variation within the same language).
Dalam peristiwa tutur, kontak bahasa dapat berupa perubahan bahasa atau ragam bahasa (code
switching) misalnya perubahan dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris atau perubahan yang terjadi dalam
bahasa yang sama dari ragam bahasa santai menjadi ragam bahasa resmi atau sebaliknya. Berkaitan dengan
alih code (code switching) ini, Hymes menjelaskan, “code switching has become a common term for
alternate us of two or more language, varieties, or even speech styles” (1972:103).
Sikap bahasa dapat diamati melalui perilaku berbahasa berbahasa atau perilaku bertutur (Aslinda
dan Syafyahya, 2007: 10). Chaer dan Agustina (2004: 149) menjelaskan bahwa sikap bahasa merupakan
salah satu variabel yang menentukan pemilihan kode yang bergantung pada partisipan, situasi, topik, dan
tujuan pembicaraan.

328
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Garvin dan Mathiot (1968) dalam Chaer dan Agustina (2004) merumuskan tiga ciri sikap bahasa,
sebagai berikut.
1. Kesetiaan bahasa (language loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan
bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain. Kesetiaan terhadap bahasa
(loyalitas bahasa) muncul pada msyarakat yang mendukung dan merasa bangga terhadap bahasa yang
dimilikinya serta ingin mengangkat derajat bahasa tersebut pada statuus yang lebih tinggi. Loyalitas
bahasa diartikan oleh Weinreich (1985) dalam Aslinda dan Syafyahya (2007:103) sebagai kegiatan
orang untuk mengajak orang lain dalam memperjuangkan bahasanya agar diangkat menjadi bahasa
resmi dalam suatu masyarakat bahasa.
2. Kebanggan bahasa (language pride), yang mendorong orang mengembangkan bahasanya dan
menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat.
3. Kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm), yang mendorong orang menggunakan
bahasanya dengan cermat dan santun; dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap
perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use).
Hasil Penelitian
1. Analisis Penggunaan Berbahasa Indonesia dalam Media Sosial
Data hasil penelitian menunjukkan adanya berbagai bentuk kesalahan berbahasa, baik pada tataran
morfologis, sintaktis, maupun semantik. Kesalahan berbahasa pada media sosial yang dilakukan oleh para
siswa terjadi karena adanya pemilihan bahasa. Pemilihan bahasa yang dilakukan para siswa di antaranya
adalah alih kode, campur kode, dan peminjaman bahasa. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh persentase
dalam tabel sebagai berikut.
Tabel 1. Analisis Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Media Sosial Berdasarkan Pemilihan Bahasa
No. Jenis/Bentuk Pemilihan Bahasa Jumlah Item Persentase
1 Alih kode 168 52,5 %
2 Campur kode 57 17,8 %
3 Peminjaman bahasa 95 29,7 %
Jumlah 320 100 %
Tabel 2. Analisis Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Media Sosial Berdasarkan Tataran Kebahasaan
No. Jenis/Bentuk Pemilihan Bahasa Jumlah Item Persentase
1 Morfologis 159 49,7 %
2 Sintaktis 154 48,1 %
3 Semantis 7 2,2 %
Jumlah 320 100 %
Tabel 3. Analisis Kesalahan Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Media Sosial Berdasarkan Jenis Kesalahan
No. Jenis Kesalahan Berbahasa Jumlah Item Persentase
1 Ejaan 74 23,12 %
2 Penggunaan kata tugas 58 18,13 %
3 Penggunaan kata baku 102 31,87 %
4 Penggunaan imbuhan 59 18,44 %
5 Kesalahan ganda 27 8,44 %
Jumlah 320 100 %
2. Analisis Faktor Penyebab Kesalahan Berbahasa Indonesia dalam Media Sosial
Pada umumnya para siswa melakukan kesalahan berbahasa dengan alasan tertentu. Berdasarkan hasil
penelitian, diperoleh persentase dalam tabel sebagai berikut.
Tabel 4. Analisis Faktor Penyebab Kesalahan Berbahasa Indonesia dalam Media Sosial
No. Alasan Jumlah Siswa Persentase Total
1 Para siswa adalah dwibahasawan (bilingualist) 145 orang 90,63 % 160
2 Para siswa adalah multibahasawan (multilingualist) 15 orang 9,37 % (100 %)
3 Kurangnya kesetiaan terhadap bahasa Indonesia (language loyalty) 36 orang 22,5 %
4 Kurangnya kebanggaan berbahasa Indonesia (language pride) 78 orang 48,75 % 160
Kurangnya kesadaran akan adanya norma dalam bahasa Indonesia (100 %)
5 46 orang 28,75 %
(awareness of the norms)

329
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
KESIMPULAN
Penggunaan bahasa Indonesia siswa SMA ternyata masih belum memenuhi tuntutan kurikulum, terutama
mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia dalam media sosial pun
menunjukkan kondisi yang cukup memprihatinkan. Pada berbagai tataran kebahasaan, para siswa SMA
masih melakukan berbagai bentuk kesalahan berbahasa. Demikian juga padaaspek yang lebih spesifik,
seperti penggunaan ejaan, penggunaan konjungsi, penggunaan kata baku, dan penggunaan imbuhan. Bahkan,
pada beberapa kasus, para siswa SMA masih melakukan kesalahan ganda pada aspek-aspek spesifik
tersebut.
Banyak faktor yang memicu terjadinya kondisi tersebut. Beberapa di antaranya adalah
kedwibahasaan, keanekabahasaan, dan sikap bahasa yang masih negatif: kesetiaan terhadap bahasa
Indonesia, kebanggan menggunakan bahasa Indonesia, dan kesadaran akan adanya norma/ aturan dalam
menggunakan bahasa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad. 2010. Metodologi dan Aplikasi Riset Pendidikan. Bandung: Pustaka Cendekia Utama.
Alwasilah, Chaedar. 1993. Pengantar Sosiologi Bahasa. Bandung: PT Angkasa.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Fasold, Ralph. 1984. The Linguistics of Society. New York: basil Blackwell Inc.
Fishman, A. Joshua. 1972. The Sociology of Language. Massachusetts: Newburryhouse Publisher.
Hymes, Dell. 1972. The Ethnography of Speaking. Paris: Mouton.
Hymes, Dell. 1974. Foundation of Sociolinguistics: An Etnographic Approach. Philadelphia: U of Pennsylvania P.
melalui http://wwwl.appstate.edu/~mcgowant/ hymes.htm.
Milles Mathew, B and Huberman Michael, A. 1984. Qualitative Data Analysis: A Sorccebook of New Methods.
London: Sage Publications, International Educational.
Sugiyono, 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Suhendar, M.E. 1992. MKDU Bahasa Indonesia. Bandung: Pionir Jaya.
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lagu Kebangsaan.
Salinan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia terkait Kurikulum 2013:
Nomor 64 Tahun 2013 tentang Standar Isi
Nomor 59 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 SMA/ MA

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Imas Mulyati
Institusi : SMA Negeri 1 Ciparay
Riwayat Pendidikan : S2 Universitas Pendidikan Indonesia
S1 IKIP Bandung
Minat Penelitian : • Kebahasaan
• Kesastraan
• Pembelajaran Bahasa dan Sastra

330
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
KEKERASAN SIMBOLIK DALAM WACANA MOB PAPUA

Aleda Mawene
Universitas Cenderawasih
aihinyan@gmail.com

ABSTRAK
Bahasa merupakan sebuah produk budaya yang tidak dapat dipisahkan dari konteks sosialnya (Martono, 2012).
Bahasa menjadi media interaksi sosial yang di dalamnya terdapat dominasi kekuasaan. Praktik kekuasaan selalu
ditandai oleh pola-pola kekerasan yang memiliki mekanisme objektif sehingga kelompok sosial yang dikuasai patuh
menerima kekerasan tersebut. Fenomena itu dikenal sebagai kekerasan simbolik (symbolic violence). Jadi, kekerasan
simbolik adalah sebuah bentuk kekerasan yang halus dan tidak tampak, yang di baliknya terdapat praktik dominasi
(Santoso, 2011; Thompson, 2014). Mob adalah wacana humor yang lazim disampaikan dalam bahasa Melayu Papua.
Penuturan Mob mencerminkan bentuk praktik penggunaan bahasa secara kontekstual dan mampu menyatukan
beragam masyarakat yang berdomisili di Papua. Mob pada umumnya disajikan dalam bentuk verbal dengan
memanfaatkan kata, kalimat, dan wacana. Isinya mengandung asosiasi makna tertentu yang menimbulkan kelucuan
dan mengundang tawa dan senyum pendengarnya. Meskipun demikian, wacana Mob Papua menyimpan praktik
dominasi seksisme terhadap partisipannya. Kajian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk dan makna kekerasan
simbolik dalam wacana Mob Papua. Untuk tujuan itu, digunakan pendekatan analisis wacana kritis menurut
pandangan Norman Fairlough (Eriyanto, 2001). Fairlough membagi wacana dalam tiga dimensi, yakni teks,
discourse practice, dan sociocultural practice. Dalam konteks ini, wacana Mob Papua adalah adalah kreasi sosial
masyarakat Papua yang berkenaan dengan perspektif tertentu dan merefleksikan kepentingan kelompok tertentu. Oleh
sebab itu, diperlukan interpretasi bagaimana wacana tersebut diproduksi dan dikonsumsi oleh masyarakat Papua.
Datanya berupa kata, idiom, istilah, dan kalimat kutipan wacana Mob Papua yang mengandung kekerasan simbolik.
Data bersumber pada buku kumpulan Mob, harian Cenderawasih Pos, Mob cyber, dan tayangan televisi Papua
melalui teknik studi dokumentasi. Data yang telah dikumpul kemudian dipilah dan disajikan sesuai dengan tujuan
penelitian. Data itu kemudian dianalisis secara induktif melalui proses deskripsi, interpretasi, dan eksplanasi. Terakhir,
dibuat simpulan deskripsi bentuk dan makna kekerasan simbolik dalam wacana Mob Papua. Contoh teks dan konteks:
seorang kakek yang tidak bisa tidur berkata kepada istrinya: ...Mace kitong dua maen dolo eeee...mungkin habis itu sa
bisa tidur kapa… Makna: Si kakek ingin berhubungan badan dengan istrinya agar ia dapat tidur. Tuturan di atas
dianggap sebagai kekerasan simbolik berbentuk kalimat permintaan (direktif). Meskipun menggunakan eufemisme
‘main’, tuturan kakek ini bertujuan mendorong istrinya agar segera melayaninya. Bahkan dilanjutkan dengan kalimat:
Mungkin habis itu sa bisa tidur kapa… seakan-akan ‘kepuasan’ setelah hubungan seks itu belum pasti. Padahal si
kakek yakin apa yang diinginkannya. Jadi, dalam konteks ini terjadi dominasi si kakek terhadap si nenek.
Kata kunci: Mob Papua, Kekerasan Simbolik, Analisis Wacana Kritis

PENDAHULUAN
Bahasa menjadi media interaksi sosial yang di dalamnya terdapat dominasi kekuasaan. Praktik kekuasaan
selalu ditandai oleh pola-pola kekerasan yang memiliki mekanisme objektif sehingga kelompok sosial yang
dikuasai patuh menerima kekerasan tersebut. Fenomena itu dikenal sebagai kekerasan simbolik (symbolic
violence). Jadi, kekerasan simbolik adalah sebuah bentuk kekerasan yang halus dan tidak tampak, yang di
baliknya terdapat praktik dominasi (Santoso, 2011; Thompson, 2014). Galtung (dalam Baryadi, 2012:35)
menyebutnya sebagai kekerasaan budaya (cultural violence).
Kekerasan simbolik dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu kekerasan yang dilakukan melalui
simbol nonverbal dan kekerasan yang dilakukan melalui simbol verbal. Baryadi (2012:35--36) menegaskan
bahwa kekerasan simbolik nonverbal adalah kekerasan yang dilakukan terhadap simbol-simbol verbal suatu
budaya tertentu. Selanjutnya, kekerasan verbal adalah kekerasan yang menggunakan bahasa, yaitu kata-kata,
kalimat, dan unsur-unsur bahasa lainnya. Kekerasan verbal terwujud dalam tindak tutur yang dapat disebut
sebagai tindak tutur kekerasan, yang ditandai oleh pelampiasan emosi melalui kata-kata kasar, jorok, atau
merendahkan. Contohnya orang tua memerintah anaknya, atasan memarahi bawahannya, dosen meremehkan
mahasiswanya, komandan memaksa anak buahnya, dan suami mengintimidasi istrinya.
Mob adalah wacana humor yang lazim disampaikan dalam bahasa Melayu Papua. Penuturan Mob
mencerminkan bentuk praktik penggunaan bahasa secara kontekstual dan mampu menyatukan beragam
masyarakat yang berdomisili di Papua. Mob pada umumnya disajikan dalam bentuk verbal dengan
memanfaatkan kata, kalimat, dan wacana. Dalam praktiknya, Mob cenderung ditampilkan oleh seorang
pencerita dengan logat atau aksen kedaerahan yang didukung oleh kinesik-kinesik khas Papua. Mob
mengandung asosiasi makna tertentu yang menimbulkan kelucuan dan mengundang tawa dan senyum
pendengarnya. Terkadang justru unsur kelucuan Mob lebih dipengaruhi oleh gaya berbahasa dan kinesik
penceritanya daripada isi Mob itu sendiri. Unsur-unsur kelucuan tersebut menutupi praktik dominasi yang
seksisme dan personal terhadap partisipan wacana Mob.

331
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Wacana Mob merupakan kreasi seni berbahasa yang lahir berdasarkan pengalaman individu atau
kelompok si kreator Mob. Danandjaya (2002:118) menegaskan bahwa humor adalah sesuatu yang
menggelitik orang lain untuk tertawa dengan menjadikan diri atau kelompok si pembawa cerita sebagai
sasarannya. Konsep ini menunjukkan bahwa wacana Mob Papua adalah adalah kreasi sosial masyarakat
Papua yang berkenaan dengan perspektif tertentu dan merefleksikan kepentingan kelompok tertentu. Dalam
pandangan wacana kritis, terdapat unsur-unsur kekerasan simbolik (budaya) dalam wacana ini. Oleh sebab
itu, diperlukan interpretasi bagaimana wacana Mob diproduksi dan dikonsumsi oleh masyarakat Papua.
Kajian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk dan makna kekerasan simbolik dalam wacana Mob
Papua. Sejalan dengan itu, pendekatan analisis wacana kritis menurut pandangan Norman Fairlough
dianggap tepat untuk membedah wacana ini. Fairlough (Eriyanto, 2001) membagi wacana dalam tiga
dimensi, yakni teks, discourse practice, dan sociocultural practice. Pendekatan ini lebih memusatkan
perhatian pada wacana dan perubahan sosial. Bahasa dilihat sebagai suatu praktik kekuasaan dan praktik
sosial. Jika dikaitkan dengan pemahaman Fairlough, wacana Mob Papua mempunyai tiga efek terhadap
pencerita dan pendengarnya. Pertama,memberikan andil dalam mengonstruksi identitas sosial dan posisi
subjek atau partisipan cerita. Kedua, membantu merekonstruksi relasi sosial di antara partisipan. Ketiga,
memberikan kontribusi dalam merekonstruksi sistem pengetahuan dan kepercayaan suatu masyarakat.
Sejalan dengan itu, data kajian ini berupa kata, idiom, istilah, dan kalimat kutipan wacana Mob
Papua yang mengandung kekerasan simbolik. Data bersumber pada buku kumpulan Mob, harian
Cenderawasih Pos, Mob cyber, dan tayangan televisi Papua melalui teknik studi dokumentasi. Data yang
telah dikumpul kemudian dipilah dan disajikan sesuai dengan tujuan penelitian. Data itu kemudian
dianalisis secara induktif melalui proses deskripsi, interpretasi, dan eksplanasi. Terakhir, dibuat simpulan
deskripsi bentuk dan makna kekerasan simbolik dalam wacana Mob Papua.

BENTUK DAN MAKNA KEKERASAN SIMBOLIK DALAM WACANA MOB PAPUA


Berdasarkan hasil kajian terhadap 10 wacana Mob Papua, ditemukan bahwa kekerasan simbolik yang
dilakukan para partisipan dinyatakan dalam bentuk tindak tutur kompetitif, konfliktif, dan kolaboratif.
Makna kekerasan simbolik tersebut berkaitan dengan budaya yang selama melekat dalam masyarakat
patriarki, yakni fungsi dan peran laki-laki dan perempuan. Selain itu, wacana Mob memiliki makna yang
berkaitan dengan konstruksi identitas sosial dan posisi subjek, rekonstruksi relasi sosial di antara partisipan,
dan rekonstruksi sistem pengetahuan masyarakat.
Wacana Mob Obat Tidur
Pace satu dia mo tidur, tapi tra bisa..su bolak-balik kesana kamari..tapi tetap mata tra bisa tatutup.
Jadi dia bilang dia pu maitua
Pace : Mace kitong dua maen dolo eeee...mungkin habis itu sa bisa tidur kapa…
Mace : Yoooo..ko kira sa pu kabong spanggal itu obat tidur kah?
Konteks : Seorang kakek tidak bisa tidur karena gelisah, mengajak istrinya berhubungan intim.
Teks (1) : ...Mace kitong dua maen dolo eeee...mungkin habis itu sa bisa tidur kapa…
(Istriku, kita ‘main’ yuk.. Mungkin dengan begitu saya dapat tidur)
Teks (2) : Yoooo..ko kira sa pu kabong spanggal itu obat tidur kah?
(O, begitu.. Kamu mengira kebun sepenggal saya ini adalah obat tidurmu?)
Makna : Si kakek ingin berhubungan badan dengan istrinya agar ia dapat tidur.
Namun, keinginan itu ditolak sang istri dengan sindiran ‘kebun sepenggal’
(organ reproduksi) sang istri ibarat obat tidur bagi si kakek.
Tuturan di atas dianggap sebagai kekerasan simbolik berbentuk tindak tutur kompetitif yang bersifat
memerintah (1) dan menyindir (2) secara halus oleh kedua partisipan. Meskipun menggunakan eufemisme
‘main’, tuturan kakek (1) bertujuan meminta istrinya agar segera melayaninya. Bahkan dilanjutkan dengan
kalimat: Mungkin habis itu sa bisa tidur kapa, seakan-akan ‘kepuasan’ setelah hubungan seks itu belum
pasti. Padahal si kakek yakin itulah yang membuatnya tidak dapat tidur. Kalimat pernyataan sa bisa tidur
kapa menunjukkan bahwa si kakek hanya mempertimbangkan kebutuhan pribadinya dan mengabaikan
kebutuhan istrinya. Jadi, dalam Wacana Mob di atas tersimpan kekerasan budaya patriarkhi yang
merepresentasikan bagaimana seharusnya seorang istri melayani suaminya.
Piranti kalimat yang mengandung kelucuan ditandai oleh tuturan si nenek (2). Ia menggunakan
metafora ‘kabong spanggal’ untuk menandai alat reproduksinya. Organ itu diibaratkan ‘obat tidur’ yang
mujarab mengatasi masalah insomnia suaminya. Hal ini sejalan dengan pendapat Thomas dan Wareing
(2007:128) bahwa perempuan cenderung menggunakan hedges dan epistemic modal form daripada laki-laki.
Menurut Leech (dalam Baryadi, 2012), tuturan (2) dikategorikan sebagai tindak tutur kompetitif yang
bersifat sindiran. Dari sudut pandang budaya, tuturan itu merepresentasikan bagaimana seorang perempuan
mengkritisi pandangan patriarkat yang menganggap organ reproduksi perempuan sebagai suatu alat untuk
menyenangkan laki-laki.
332
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Wacana Mob Pulang Sekolah Lapar Hancor
Satu kali nih napi kecil deh pulang sekolah dalam keadaan lapar hancor.
Anak : Mamaaa..!! Sa lapar..
Mama : Yoo mama ambil ko pu makan ee..
Anak : (Sambil mengeluh) Mama nih makan apa kaa... Masa cuma sayur dengan ikan asin saja
tuh...? Kenapa tidak makan telur, kerupuk, tempe, kapa kaa...
Mama : (Menjawab di telinga anaknya pelan-pelan sambil pegang kayu bakar)
Anak ko makan saja sudah...! Ini bukan warung Jawa Timur... Ini warung Biak Timur.
Jadi... Ko pikir ko pu kata-kata ulang ee..."
Konteks: Seorang anak laki-laki pulang sekolah dalam keadaan sangat lapar dan meminta makan pada ibunya.
Teks 1 : Mamaaa..!! Sa lapar (Mama, saya lapar)
Teks 2 : Yoo mama ambil ko pu makan ee.. (Ya, mama ambilkan makananmu, ya!)
Teks 3 : Mama nih makan apa kaa... Masa cuma sayur dengan ikan asin saja, tuh...?
Kenapa tidak makan telur, kerupuk, tempe, kapa kaa...
Teks 4 : Anak ko makan saja sudah...! Ini bukan warung Jawa Timur... Ini warung Biak Timur.
Jadi... Ko pikir ko pu kata-kata ulang ee..."
(Makanlah, nak! Ini bukan warung Jawa Timur. Ini warung Biak Timur.
Jadi, pikirkan kembali kata-katamu itu).
Makna: Seorang anak laki-laki kecil yang kelaparan sepulang sekolah menginginkan menu
makanan yang bervariasi. Ternyata keinginannya tidak terpenuhi karena sang ibu hanya
menyiapkan menu sederhana. Protes yang dilakukan si anak ditanggapi ibunya dengan hardikan
bahwa si anak harus menyadari bahwa sekarang ia berada di rumah, bukan di warung.
Wacana Mob di atas sebenarnya merepresentasikan bagaimana budaya lokal (Papua) berakulturasi
dengan budaya Jawa. Kreatornya sengaja mengambil setting wacana Mob ini di daerah Biak untuk
membandingkan menu makanan Biak, khususnya Biak Timur dengan menu makanan Jawa Timur. Konteks
tuturan di atas menandai cara pandang yang berbeda antara si anak dan ibunya tentang menu makanan. Si
anak yang telah mengenal budaya ‘luar’ menginginkan lauk yang bervariasi seperti yang ditemukan di
warung. Hal itu berbeda dengan pandangan sang Ibu. Ia menginginkan si anak menikmati makanan dengan
lauk sederhana yang telah disiapkan di rumah. Tuturan-tuturan di atas dianggap sebagai bentuk kekerasan
simbolik verbal dan nonverbal, baik ibu terhadap anaknya maupun sebaliknya.
Pernyataan partisipan tersebut diklasifikasikan sebagai tindak tutur kompetitif yang bersifat
memrotes (3) dan tindak tutur konfliktif yang bersifat menghardik (4). Keinginan si anak yang dinyatakan
dalam bentuk protes (3) ditanggapi ibunya dalam bentuk hardikan (4). Meskipun kalimat (4) disampaikan
secara ‘pelan-pelan’, isinya dianggap sebagai ancaman atau intimidasi karena disampaikan oleh sang ibu
sambil ‘memegang kayu bakar’. Implikaturnya, jika si anak tidak segera menyadari kesalahannya, maka ia
akan dihajar ibunya dengan kayu bakar.
Di satu pihak, ungkapan Ini bukan warung Jawa Timur, ini warung Biak Timur merupakan antitesis
dua budaya yang berbeda. Si kreator Mob ini menginginkan pendengarnya menyadari bahwa setiap budaya
memiliki karakteristik tersendiri. Itulah sebabnya, kalimat (4) dianggap sebagai kontrol bagi si anak untuk
menyadari posisinya sebagai anak Biak Timur. Sebagai anak adat, ia harus memelihara budayanya dengan
baik. Di pihak lain, pernyataan humoris di atas dianggap memberikan kontribusi dalam merekonstruksi
sistem pengetahuan budaya, khususnya tentang nilai gizi makanan. Walaupun tampak kekerasan verbal dan
nonverbal ibu terhadap anaknya, secara tersirat ditemukan adanya kekerasan simbolik si anak terhadap
ibunya. Makna yang dapat diambil dari Mob tersebut yaitu bahwa si ibu dapat mengambil pengetahuan
tentang makanan bergizi dari budaya lain yang sesuai selera makan anaknya.
Wacana Mob Pipa Ledeng Bocor
Pipa ledeng di dokter pu rumah bocor. Jadi, dokter pi panggil tukang ledeng untuk datang perbaiki jadi de
bawa peralatan semua. Setelah perbaiki pipa yang bocor, pace tukang ledeng kasih nota tagihan ke dokter.
Dokter : Rp 200.000,-?
Tukang Ledeng : Iya, dok, materinya Rp 50.000,- dan ongkos kerjanya Rp 150.000,-
Dokter : Mama, mahal sampe! Sa ini dokter professional tapi belum pernah ada
orang yang minta seperti ini.
Tukang Ledeng : sama, dok saya juga… kalau dulu sa ke dokter … belum priksa bae-bae lagi
su langsung taru harga seperti ini to! Jangan ko tipu.
Konteks: Seorang tukang ledeng menyindir dokter yang menganggap ongkos kerja yang terlalu mahal.
Teks 1 : Rp 200.000,-?
Teks 2 : Iya, dok, materinya Rp 50.000,- dan ongkos kerjanya Rp 150.000,-
Teks 3 : Mama, mahal sampe! Sa ini dokter profesional tapi belum pernah ada
orang yang minta seperti ini.

333
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Teks 4 : Sama, dok saya juga… kalau dulu sa ke dokter … belum priksa bae-bae lagi
su langsung taru harga seperti ini to! Jangan ko tipu.
Makna : Secara tersirat wacana mob di atas menggambarkan bagaimana seharusnya setiap orang
melakukan tugas keprofesionalannya dengan benar berdasarkan kode etiknya masing-masing.
Dengan demikian, upah yang diterimanya pun seimbang dengan jasa yang diberikannya.
Tuturan kedua partisipan di atas menunjukkan adanya kekerasan simbolik yang dilakukan oleh
dokter terhadap tukang ledeng dan sebaliknya. Tuturan tersebut dikelompokkan sebagai tindak tutur
kompetitif yang bersifat memrotes (1) dan menyindir (3 dan 4) serta tindak tutur kolaboratif yang bersifat
menjelaskan (2).
Dokter memrotes ongkos kerja tukang ledeng yang dianggap terlalu mahal (1). Tukang ledeng
melakukan tindak kolaboratif (2) dengan menjelaskan rincian pembelian alat dan bahan serta ongkos jasa
yang diberikannya. Dokter menganggap profesi tukang ledeng bukan pekerjaaan profesional sehingga ia
menyindir (3) bahwa kendati profesional, ia belum pernah membayar semahal ini. Sebagai balasannya, si
tukang ledeng menggunakan strategi ‘senjata makan tuan’ terhadap sindiran di dokter (4).
Wacana Mob di atas dianggap sebagai suatu cara membantu merekonstruksi relasi sosial di antara
partisipan. Kekerasan simbolik yang dilakukan dokter terhadap si tukang ledeng menunjukkan paktik
kekuasaan kelompok yang lebih tinggi terhadap kelompok yang rendah. Dengan cara ini diharapkan setiap
orang harus menghargai orang lain yang memberikan layanan jasa kepada mereka. Selain itu, wacana ini juga
diharapkan menjadi kontrol sosial agar setiap orang melakukan tugas keprofesionalannya dengan benar.

PENUTUP
Wacana Mob Papua adalah adalah kreasi sosial masyarakat Papua. Wacana ini mencerminkan perspektif
tertentu dan merefleksikan kepentingan kelompok tertentu. Mob cenderung ditampilkan oleh seorang
pencerita dengan logat atau aksen kedaerahan yang didukung oleh kinesik-kinesik khas Papua. Mob
mengandung asosiasi makna tertentu yang menimbulkan kelucuan dan mengundang tawa dan senyum
pendengarnya. Unsur-unsur kelucuan tersebut menutupi praktik dominasi yang seksisme dan personal
terhadap partisipan wacana Mob.
Kekerasan simbolik yang dilakukan para partisipan berupa kekerasan verbal dan nonverbal.
Kekerasan verbal dinyatakan dalam bentuk tindak tutur kompetitif, konfliktif, dan kolaboratif. Kekerasan
nonverbal dinyatakan dalam bentuk pengedepanan benda-benda budaya dan kebiasaan masyarakat, seperti
kebun, parang, kayu bakar, dan warung. Kekerasan simbolik tersebut memiliki makna yang berkaitan
dengan konstruksi identitas sosial dan posisi subjek, rekonstruksi relasi sosial di antara partisipan, dan
rekonstruksi sistem pengetahuan masyarakat.
Karakteristik wacana Mob Papua hendaknya dapat dipahami dengan baik. Meminjam batasan
Dananjaya (2002) terkadang dalam praktik penuturannya Mob Papua menjurus ke arah lelucon. Pengalihan
humor ke lelucon dapat menyebabkan konflik, terutama penggunaan metafor yang bersifat
mendreskriminasikan suku, agama, atau kelompok tertentu. Dengan demikian, wacana interaksi sosial yang
sangat kreatif ini sebaiknya dipergunakan secara tepat, agar dapat menciptakan hubungan sosial yang
harmonis di masyarakat Papua yang sangat beragam suku, bahasa, dan kebiasaannya.

DAFTAR PUSTAKA
Baryadi, Praptomo I. 2012. Bahasa, Kekuasaan, dan Kekerasan. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Danandjaya, James. 2002. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana. Yogyakarta: LKiS.
Martono, Nanang. 2012. Kekerasan Simbolik di Sekolah: Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Santosa, Anang. 2011. Bahasa Perempuan: Sebuah Potret Ideologi Perjuangan. Jakarta: Bumi Aksara.
Thomas, Linda dan Shan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Thompson, John B. 2014. Analisis Ideologi Dunia. Yogyakarta: IRCiSoD.
Warami, Hugo. 2009. Mob Melayu Papua. Manokwari: Unipa Press.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Aleda Mawene
Institusi : Universitas Cendrawasih
Riwayat Pendidikan : S2 dan S3 Universitas Negeri Malang
S1 Universitas Cendrawasih
Minat Penelitian : • Bahasa dan Budaya
• Pengajaran Bahasa dan Sastra

334
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
TINDAK TUTUR MEMERINTAH PADA DIALOG FILM LASKAR PELANGI

Haryadi
Universitas Muhammadiyah Palembang
haryadi_fkipump@yahoo.co.id

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tindak tutur memerintah pada dialog film Laskar Pelangi. Data yang
menjadi kajian berupa tuturan memerintah para pemain dalam film Laskar Pelangi. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, yaitu metode penelitian yang menghasilkan data deskripstif berupa kata-kata
atau kalimat, baik tertulis maupun lisan dari pemain dalam film Laskar Pelangi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tuturan memerintah yang muncul dilakukan dengan dua cara, yaitu perintah langsung dan perintah tidak langsung.
Temuan tuturan perintah langsung terdiri dari: (1) perintah biasa ditandai dengan kata kerja dasar; (2) perintah
permintaan ditandai dengan penanda coba, mau, dan mohon; (3) perintah ajakan ditandai dengan penanda perintah ayo,
ayolah, dan yuk; (4) peerintah suruhan ditandai dengan perintah biar; (5) perintah desakan ditandai dengan penanda
cepat dan harus; (6) perintah larangan ditandai dengan perintah jangan, tidak usah, tidak boleh, tidak kurang, dan
janganlah. Temuan perintah tidak langsung dengan modus: (1) bertanya digunakan penutur untuk menjawab keraguan
perintah yang dituturkannya dan memberi pilihan kepada mitra tutur tentang perintah yang dituturkan oleh penutur; (2)
meminta digunakan penutur untuk meyakinkan mitra tutur ketika perintah yang dituturkan mendapat tanggapan negatif;
(3) menolak digunakan penutur untuk mempertimbangkan perintah yang akan dituturkannya; (4) mensihati digunakan
penutur untuk memberikan motivasi terhadap perintah yang akan dituturkan dan menjaga hubungan antara penutur dan
mitra tutur sehingga komunikasi tetap berjalan dengan baik; (5) menyatakan fakta digunakan penutur untuk menuturkan
keadaan yang sebenarnya sehingga tuturan tersebut mendukung perintah yang akan dituturkannya; (6) melibatkan orang
sekitar digunkan penutur untuk mendukung perintah yang dituturkannya saat penutur akan memerintah mitra tutur; dan
(7) memuji digunakan penutur untuk memuji mitra tutur sehingga perintah yang dituturkannya mendapat tanggapan yang
positif. Implikasinya siswa dalam belajar mengenai drama dapat memanfaatkan dialog memerintah dalam film Laskar
Pelangi, yaitu dalam bermain peran.
Kata kunci: tindak tutur, memerintah, dialog, film Laskar Pelangi

PENDAHULUAN
Fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi (Keraf, 2004:2). Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan
saluran perumusan maksud seseorang, melahirkan perasaan, dan memungkinkan seseorang menciptakan
kerja sama dengan sesamanya. Bahasa digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama,
berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (Depdiknas, 2008:116). Oleh karena itu, dengan bahasa informasi
yang disampaikan dapat diketahui, ditanggapi, dan diberi reaksi oleh individu-individu lain sebagai anggota
masyarakat. Wujud penyaluran itu dapat berupa bahasa lisan dan bahasa tulis. Bahasa lisan diungkapkan
dengan bunyi-bunyi bahasa, sedangkan bahasa tulis diungkapkan dengan huruf-huruf atau abjad.
Sebagai alat komunikasi, bahasa digunakan oleh penuturnya untuk menjalin hubungan dengan
anggota masyarakat yang lain. Bahasa sebagai alat komunikasi digunakan untuk berdiskusi atau membahas
suatu persoalan yang dihadapi. Pihak yang terlibat dalam komunikasi ada dua orang, yaitu penutur dan mitra
tutur. Informasi yang disampaikan berupa ide, gagasan, dan pesan. Salah satu wahana penyampaian ide,
gagasan, pesan, pikiran, perasaan, dan keinginan pribadi adalah media audio visual berupa film.
Film adalah gambar hidup disebut movie. Film secara kolektif disebut sinema. Sinema bersumber
dari kinematik atau gerak. Film juga sebenarnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa biasa dikenal di
dunia para sineas sebagai seluloid. Film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar
negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk tempat positif (yang akan dimainkan di bioskop) (Depdiknas,
2008:392). Dalam dialog sebuah film sering menggunakan bahasa tidak resmi karena pemeran
menyesuaikan konteks dengan situasi tutur. Salah satu contoh film yang tidak menggunakan bahasa resmi
adalah Laskar Pelangi. Laskar Pelangi merupakan film yang mendidik karena lewat film dapat memberikan
inspirasi bagi generasi penerus bangsa. Hal ini untuk memeberikan motivasi dan tekad yang kuat untuk
belajar serta untuk para pendidik, dapat karakter mau mengabdi (Rawung, 2013:1). Di samping itu, film ini
sesuai dengan kriteria bahan pengajaran sastra, yaitu sesuai bahasa, tingkat perkembangan siswa dan latar
belakang siswa (Aini, 2013:86). Pengaruh bagi pendidik secara umum adalah mewujudkan pendidik yang
mendidik dengan hati, mengedepankan pendidikan humanis, dan meninggalkan konsep pendidikan
dehumanisasi. Hadirnya film Laskar Pelangi memberikan contoh bagaimana menyelenggarakan pendidikan
dengan menanggalkan pendidikan gaya bank, siswa hanya menyimpan pengetahuannya tanpa ditindaklanjuti
dan didasari praktik (Sutri, 2014:56).

335
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif, yaitu metode penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau kalimat tertulis, baik lisan maupun tertulis dari orang-
orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor, 1998:3). Penggunaan metode deskriptif
diharapkan dapat memberikan bentuk tuturan memerintah pada dialog film Laskar Pelangi.
Sumber data dalam penelitian ini berupa tuturan dari aktor dan aktris para tokoh dalam film Laskar
Pelangi yang disutradari oleh Riri Reza. Mereka adalah (1) Ikal, (2) Lintang, (3) Sahara, (4) Mahar, (5) A
Kiong, (6) Syahdan, (7) Kucai, (8) Borek, (9) Trapani, (10) Harun. Tokoh lainnya adalah (1) Flo, (2) Bu
Muslimah, (3) Pak Harfan, (4) A Ling, (5) Pak Bakri, dan lain-lain.
Instrumen data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik simak dan pencatatan. Dikatakan
teknik simak karena dilakukan dengan menyimak, yaitu menyimak semua dialog film Laskar Pelangi yang
berdurasi 116 menit 40 detik. Teknik selanjutnya adalah teknik pencatatan, yaitu catatan transkrip data.
Catatan transkrip data dilakukan untuk mencatat tuturan yang disampaikan penutur kepada mitra
tutur dari setiap pemeran dalam film Laskar Pelangi. Catatan tersebut berupa catatan deskriptif dan reflektif.
Catatn deskriptif berupa catatan semua ujaran dari setiap pemeran dalam film Laskar Pelangi termasuk
konteks yang melatarinya. Catatan reflektif berupa interpretasi atau penafsiran peneliti terhadap tuturan yang
disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur.
Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut. (1) Menyimak dan
mencatat semua tuturan yang muncul dalam dialog film Laskar Pelangi termasuk konteks tuturan. (2) Data
yang didapat dianalisis dengan menggunakan catatan deskriptif dan catatan reflektif serta menggunakan
analisis heuristis. Analisis heuritis digunakan apabila ada tuturan memerintah. (3) Mengidentifikasi tuturan
yang di dalamnya terdapat tindak tutur memerintah. (4) Mengklasifikasikan data tuturan memerintah, yaitu
perintah langsung dan perintah tidak langsung berdasarkan konteks. (5) Berdasarkan hasil identifikasi dan
klasifikasi data, dilakukan kegiatan penarikan simpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tuturan memerintah yang terdapat pada dialog film Laskar Pelangi
dilakukan dengan dua cara, yaitu perintah langsung dan printah tidak langsung. Perintah langsung yang
ditemukan terdiri dari: (1) perintah biasa, (2) perintah permintaan, (3) perintah ajakan, (4) perintah suruhan,
(5) perintah desakan, dan (6) perintah larangan. Perintah tidak langsung dengan modus terdiri dari: (1)
bertanya; (2) meminta; (3) menolak; (4) menasihati; (5) menyatakan fakta; (6) melibatkan orang ketiga; dan
(7) memuji. Konteks yang dimanfaatkan dalam tuturan dialog film Laskar Pelangi untuk mendukung
perintah yang dituturkan terdiri dari: (1) konteks tempat, (2) konteks waktu, (3) konteks situasi, dan (4)
konteks keberadaan orang ketiga.
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian, bentuk tuturan memerintah pada dialog film Laskar Pelangi, adalah tuturan
perintah langsung. Pada bagian ini juga disajikan pembahasan pemanfaatan konteks yang melatari tuturan
tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan enam macam perintah langsung, yaitu (1) perintah biasa, (2)
perintah permintaan, (3) perintah ajakan, (4) perintah suruhan, (5) perintah desakan, dan (6) perintah
larangan.
Perintah Biasa
Perintah biasa dapat berkisar antara perintah yang sangat halus sampai dengan perintah yang sangat kasar.
Berikut contoh perintah biasa.
Trapani : “Enak dagangan aku coba sajalah Buk!” (dengan memperlihatkan makanan yang dibawanya).
Ikal : “Lihat laku habis! (sambil memperlihatkan tampah yang dibawanya pada Trapani).
Pada dialog Trapani (penutur) dan Ikal (mitra tutur), perintah langsung terdapat pada tuturan Lihat
laku habis! Tuturan ini disampaikan di pasar. Penutur menyampaikan tuturannya kepada mitra tutur dengan
suasana senang dan bangga karena dagangannya telah habis terjual. Saat itu, penutur masih melihat mitra
tutur menjajakan dagangannya. Dengan senyum yang lebar dan penuh kebahagaiaan penutur
memperlihatkan wadah isi makanan yang ia bawa telah kosong.

336
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Perintah Permintaan
Kalimat perintah permintaan adalah kalimat permintaan dengan kadar suruhan sangat halus. Lazimnya,
kalimat perintah disertai dengan sikap penutur yang lebih merendah dibandingkan dengan sikap penutur
pada waktu menuturkan kalimat perintah biasa. Kalimat perintah permintaan ditandai dengan perintah
berupa coba, tolong, mohon, dan harap. Berikut contoh perintah permintaan.
Ikal : “Kiyong, A Kiong betul A Ling sepupu kau Yong? ” (saat memaksa A Kiong untuk mengaku).
A Kiong : (mengangguk)
Ikal : “Bantulah aku untuk ketemu die Yong, aku mohon A Kiyong, hampir gile aku dibuatnye, Yong”
(sambil merengek).
Pada dialog Ikal dan Kiong, tuturan perintah permintaan terdapat pada tuturan Bantulah aku untuk
ketemu die Yong, aku mohon Akiyong, hampir gile aku dibuatnye, Yong. Pada data ini terdapat penggunaan
penanda perintah permintaan, yaitu kata mohon. Kata mohon yang digunakan penutur bermaksud agar mitra
tutur mau mengabulkan permintaan penutur. Perintah yang dituturkan tidak hanya menggunakan penanda
mohon, tetapi penutur juga menggunakan tuturan hampir gile aku dibuatnye, Yong. Tuturan ini digunakan
penutur supaya mitra tutur melakukan tindakan mempertemukan penutur (Ikal) dengan mitra tutur (A Ling)
dan akan benar-benar gila apabila tudak bertemu dengan pujaan hatinya itu.
Perintah permintaan yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur dengan klasifikasi hubungan
sangat dekat sebab, mereka adalah teman sepermainan dan seusia yang sering bersama-sama, baik di sekolah
maupun ketika bermain. Penutur tidak merasa terbebani untuk menyampaikan perintah langsung kepada
mitra tutur.
Perintah Ajakan
Perintah ajakan adalah kalimat perintah yang menyatakan ajakan. Biasanya digunakan penanda perintah
ajakan seperti ayo, mari, harap, dan hendaknya. Berikut ini contoh perintah ajakan.
Lintang : “Lame kau Kal.” (saat menunggu Ikal ke luar kelas).
Ikal : “Tang, ayolah kau temeni aku balik pergi Manggar—Gantong!” (saat pulang sekolah)
Lintang : “Har, Kau saje yang kawani Ikal ke Manggar. Kau ni keliatan lebih paham masalah die.” (saat
mahar menghampiri Ikal dan Lintang).
Mahar : “Tenang Boy, kebetulan aku nak nyari ide untuk Karnaval. Sekarang kau naik!” (sambil menoleh
ke belakang boncengan sepedanya).
Ikal : “Tancap, Boy!” (saat akan pergi).
Pada dialog Lintang, Ikal, dan Mahar termasuk perintah ajakan yang disampaikan oleh penutur
kepada mitra tutur. Perintah ajakan ditandai dengan penanda ayolah. Penggunaan penanda perintah ayolah
bermakna perintah ajakan yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur supaya mitra tutur bersedia
menemani penutur pergi ke Manggar untuk membeli kapur dan kembali lagi ke Gantong (daerah asal
mereka). Keakraban dan kedekatan hubungan antarteman sejawat membuat penutur tidak merasa
terbebabani untuk memerintah mitra tuturnya secara langsung.
Perintah Suruhan
Perintah suruhan adalah perintah yang mengandung makna suruhan untuk melakukan sesuatu. Perintah
suruhan termasuk perintah permintaan, hanya ada bagian yang ditambahkan sebagai tanda perintah suruhan
seperti biar, harap, hendaklah, silakan.
Borek: “Buka baju kau dulu biar ku jadikan kau laki-laki sejati pujaan kaum hawa!” (sambil menarik baju
Ikal).
Ikal : (menggelengkan kepala)
Perintah suruhan pada dialog di atas terdapat pada tuturan Buka baju kau dulu biar kujadikan kau laki-
laki sejati pujaan kaum hawa! Penutur (borek) menghendaki mitra tutur (Ikal) supaya membuka bajunya.
Perintah yang dituturkan penutur termasuk perintah suruhan yang ditandai dengan penanda perintah biar.
Hubungan antara penutur dan mitra tutur ialah teman sepermainan, usia merekapun hampir sama. Tingkat
keakraban yang tinggi membuat penutur tidak merasa terbebani memerintah mitra tutur secara langsung.
Perintah Desakan
Kalimat perintah desakan adalah kalimat perintah untuk mendesak mitra tutur melaksanakan sesuatu sesuai
yang diinginkan mitra tutur. Kalimat desakan ditandai dengan kata ayo, mari. Untuk memberi penekanan
maksud desakan digunakan kata harap dan harus. Intonasi yang digunakan untuk menuturkan perintah jenis
ini cenderung lebih keras dibandingkan dengan intonasi pada tuturan perintah yang lainnya. Data perintah
desakan terlihat pada contoh berikut ini.
Mahar : “Buka baju kau! Buka baju kau! (memaksa Ikal).
Ikal : Kau tunggu aku situ, ye!” (sambil menunjuk ke suatu tempat)
Lintang : “Iye...”
337
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016

Pada dialog Mahar dan Lintang, perintah desakan terdapat pada tataran Buka baju kau! Buka baju
kau! Pada peristiwa tutur sebelumnya penutur (Mahar) telah menyampaikan perintah untuk melepaskan baju
mitra tutur (Ikal), tetapi mitra tutur menolak perintah penutur dengan menggelengkan kepala. Sehingga
penutur merasa perlu menegaskan kembali perintahnya untuk melepaskan baju.
Tuturan memerintah yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur (Ikal) merupakan teman
sepermainan penutur (Mahar) yang menbuat penutur berani mengajukan perintah langsung. Kedekatan
hubungan antara keduanya membuat penutur berani memerintah secara langsung. Hal ini sesuai dengan
semakin dekat atau akrab hubungan antara penutur dan mitra tutur semakin langsung sebuah tuturan
disampaikan. Begitu juga sebaliknya, semakin jauh tingkat keakraban antara penutur dan mitra tutur
semakin tidak langsung sebuah tuturan yang digunakan.
Perintah Larangan
Perintah larangan yaitu perintah melarang seseoran melakukan sesuatu hal. Perintah larangan bersifat
negatif. Makna larangan dalam bahasa Indonesia ditandai oleh pemakaian kata jangan. Perintah larangan
dapat dilihat pada contoh berikut ini.
Ibu Musliah : “Aku ndak suke Pak, mereke begitu ngeremehin Harun.” (sambil memperhatikan siswanya).
Pak Harfan : “Ndak usah terlalu kau pikirkan, Mus. Kau siapkan rapor anak-anak itu lalu, biarkan mereke
berlibur! (saat melihat Ibu Muslimah berdiri di teras sekolah).
Ibu Muslimah : (diam)
Perintah larangan pada dialog di atas terdapat pada tuturan Ndak usah terlalu kau pikirkan, Mus.
Kau siapkan rapor anak-anak itu lalu, biarkan mereke berlibur! Perintah larangan yang dituturkan oleh
penutur (Pak Harfan) kepada mitra tutur (Ibu Muslimah) ditandai dengan penggunaan penanda perintah
larangan, yaitu ndak usah. Selain perintah larangan penutur juga menuturkan perintah permintaan, yaitu
perintah untuk menyiapkan rapor anak-anak didiknya. Penutur tidak merasa terbebani memerintah mitra
tutur secara langsung karena kekuasaan penutur lebih tinggi daripada mitra tutur selain itu usia antara
penutur dan mitra tutur terlampau jauh. Hal ini yang membuat penutur menuturkan perintahnya secara
langsung.

PENUTUP
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut. (1) Perintah permintaan yang
dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur dengan klasifikasi hubungan sangat dekat. Mereka adalah teman
sepermainan dan seusia yang sering bersama-sama, baik di sekolah maupun ketika bermain. Penutur tidak
merasa terbebani untuk menyampaikan perintah langsung kepada mitra tutur. (2) Keakraban dan kedekatan
hubungan antarteman sejawat membuat penutur tidak merasa terbebabani untuk memerintah mitra tuturnya
secara langsung. (3) Semakin dekat atau akrab hubungan antara penutur dan mitra tutur semakin langsung
sebuah tuturan disampaikan. Begitu juga sebaliknya, semakin jauh tingkat keakraban antara penutur dan
mitra tutur semakin tidak langsung sebuah tuturan yang digunakan. (4) Pemanfaatan konteks dalam tindak
tutur memerintah terdiri: (a) pemanfaatan konteks waktu; (b) pemanfaatan konteks situasi; (c) pemanfaatan
konteks tempat; dan (d) pemanfaatan konteks keberadaan orang sekitar. (5) Dialog memerintah dalam film
Laskar Pelangi dapat dijadikan sebagai sumber pembelajaran drama. Oleh karena itu, siswa dapat
memperoleh gambaran secara langsung dalam bermain peran dan menulis naskah drama.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, HP. 2006. “Wacana dan Pengajaran Bahasa”. Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Pengajaran
Bahasa pada Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta. Jakarta: UNJ.
Aini, Alfiah Nurul. 2013. “Analisis Semiotik terhadap Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata sebagai Alternatif
Bahan Pengajaran Sastra di SMA”. Jurnal Nosi. 1 (2) 80—86.
Alwi, Hasan, dkk. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Bogdan, R.C. & Taylor. 1998. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston:
Allyn & Bacon.
Depdiknas. 2006. Panduan Pengembangan Silabus Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Direktur Jenderal
Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hirata, Andrea. 2008. Laskar Pelangi. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Keraf, Gorys. 2004. Komposisi. Ende-Flores: Nusa Indah.
Rawung, Lidya Ivana. 2013. “Analisis Semiotika pada Film Laskar Pelangi”. Jurnal Acta Diura. http://ejournal.unsrat.ac.id/actadi. 2
(1) 1--5. (Diakses, 11 Maret 2016, Pukul 21:25).
Schiffrin. 1994. Approach to Discourse. Cambridge, Massachusetts, USA: Blackwell Publisher.
338
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Sutri. 2014. “Paradigma Pendidikan Kaum Marginal, Andrea Hirata dalam Karya-karyanya (Kajian Strukturalisme
Genetik)”. Jurnal Pendidikan Unsika. 2 (1) 47—58.
Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2010. Analisis Wacana Pragmatik: Kajian Teori dan Analisis.
Surakarta: Yuma Pustaka.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Haryadi
Institusi : Universitas Muhammadiyah Palembang
Riwayat Pendidikan : S3 Universitas Negeri Jakarta
S2 Universitas Sriwijaya
S1 Universitas Muhammadiyah Palembang
Minat Penelitian : • Pendidikan
• Bahasa
• Sastra

339
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
PENGARUH MODEL MIND MAPPING KONSTRUKTIF IMAJINATIF TERHADAP
KEMAMPUAN MENULIS CERPEN DAN SIKAP SISWA SMA N 13 PALEMBANG

Ernalida Adenan Ayob


Universitas Sriwijaya Universitas Pendidikan Sultan Idris Malaysia
ernalidapurnama@yahoo.co.id adenanayob@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model Mind Mapping Konstruktif Imajinatif (MMKI) terhadap
kemampuan menulis cerpen dan sikap siswa SMA Negeri 13 Palembang. Metode penelitian yang digunakan adalah
metode eksperimen semu. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI SMA Negeri 13 Palembang. Sampel
penelitian terdiri dari dua kelas yaitu kelas kontrol dan kelas eksperimen. Kelas kontrol yaitu kelas XI MIA 2 yang
berjumlah 32 orang dan kelas eksperimen kelas XI MIA 3 yang berjumlah 38 orang. Instrumen yang digunakan untuk
mengumpulkan data adalah tes kemampuan menulis cerpen dan angket sikap. Tes digunakan untuk memperoleh data
kemampuan menulis cerpen dan uji korelasi Pearson digunakan untuk melihat hubungan subskala sikap keyakinan,
kesukaan , dan usaha akademik. Analisis data menggunakan SPSS 20. Berdasarkan hasil analisis data pada kelas
kontrol terdapat rata-rata tes awal yaitu 72,62 dan tes akhir 76. Sementara itu, tes awal pada kelas eksperimen 68.05
dan tes akhir 79.31. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran keterampilan menulis cerpen dengan
menerapkan model Mind Mapping Konstruktif Imajinatif (MMKI) mempunyai pengaruh yang signifikan dibandingkan
dengan pembelajaran konvensional. Hal ini terbukti dari hasil uji t yaitu t hitung lebih besar dari t tabel ( 2,00 >
1,999) dengan sig.0,05. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara sikap
keyakinan, kesukaan, dan usaha akademik terhadap kemampuan menulis cerpen. Ini berarti bahwa model MMKI dapat
digunakan oleh guru-guru bahasa Indonesia terutama dalam pembelajaran menulis cerpen.
Kata kunci: mind mapping, konstruktif, imajinatif, menulis cerpen

PENDAHULUAN
Pembelajaran bahasa Indonesia merupakan salah satu pembelajaran yang harus dilalui oleh siswa dari setiap
jenjang pendidikan (SD, SMP, SMA). Namun kenyataan menunjukkan bahwa pembelajaran bahasa
Indonesia belum mencapai harapan. Salah satu materi pembelajaran bahasa Indonesia dalam kurikulum 2013
adalah menulis (memroduksi) cerpen. Pada kenyataannya khususnya pembelajaran menulis cerpen selama
ini dilihat masih kurang sehingga belum menunjuKkan hasil yang diharapkan. Kemampuan siswa selama ini
yang terlihat masih kurang yaitu kemampuan menulis cerpen yang masih rendah. Hal ini disebabkan guru
belum menggunakan teknik yang tepat dalam pembelajaran. Teknik yang digunakan guru dalam
pembelajaran kurang inovatif atau masih konvensional sehingga siswa menjadi bosan. Apabila pembelajaran
tersebut dilakukan secara terus menerus akan mengakibatkan kemampuan menulis cerpen yang dimiliki
siswa semakin berkurang. Pada hal di dalam kurikulum 2013 salah satu kompetensi dasar yang harus dicapai
dalam pembelajaran bahasa Indonesia di kelas XI adalah “Memroduksi teks cerita pendek, yang koheren
sesuai dengan karakteristik teks yang akan dibuat baik secara lisan mupun tulisan” (KD 4.2). Kompetensi ini
harus dicapai oleh siswa, sementara kenyataannya kompetensi ini kurang dikuasai oleh siswa. Oleh karena
itu, guru perlu menerapkan teknik yang tepat dalam pembelajaran terutama dalam hal memroduksi atau
menulis cerpen.
Salah satu teknik pembelajaran yang telah terbukti mampu mengoptimalkan hasil belajar adalah
mind mapping (peta pikiran). Konsep mind mapping asal mulanya diperkenalkan oleh Tony Buzan tahun
1970-an. Teknik ini dikenal juga dengan nama Radiant Thinking. Mind mapping sangat efektif bila
digunakan untuk memunculkan ide terpendam yang dimiliki dan membuat asosiasi di antara ide tersebut.
Mind mapping juga berguna untuk mengorganisasikan informasi yang dimiliki. Mind mapping adalah
sebuah diagram yang digunakan untuk memresentasikan kata-kata, ide-ide (pikiran), tugas-tugas atau hal-hal
lain yang dihubungkan dari ide pokok otak.
Menurut Hernowo (2003:25) mind mapping membuat anda berhubungan dengan pikiran bawah-
sadar sebelum menulis; tulisan menjadi lebih beremosi, lebih berwarna, lebih berirama. Tulisan, nantinya,
mencerminkan ciri khas pribadi secara lebih akurat. Mind mapping juga digunakan untuk
menggeneralisasikan, memvisualisasikan serta menglasifikasikan ide-ide dan sebagai bantuan dalam belajar,
berorganisasi, pemecahan masalah, pengambilan keputusan serta kemampuan dalam menulis. Dalam mind
mapping, sistem bekerja otak diatur secara alami. Otomatis kerjanya pun sesuai dengan kealamian cara
berpikir manusia. Mind mapping membuat otak manusia ter-eksplor dengan baik, dan bekerja sesuai
fungsinya.
Seperti kita ketahui, otak manusia terdiri dari otak kanan dan otak kiri. Dalam mind mapping, kedua
sistem otak diaktifkan sesuai porsinya masing-masing. Kombinasi warna, gambar, dan cabang-cabang
340
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
melengkung, akan merangsang secara visual, sehingga informasi dari mind mapping mudah untuk diingat.
Dari uraian di atas, dapat diambil sebuah definisi bahwa mind mapping adalah suatu cara memetakan
sebuah informasi yang digambarkan ke dalam bentuk cabang-cabang pikiran dengan berbagai imajinasi
kreatif. Teknik ini dinamakan Mind Mapping Konstruktif Imajinatif (MMKI) adalah karena teknik ini dapat
mengonstruksi imajinasi-imajinasi kreatif terutama dalam menulis cerpen yang sangat mementingkan
imajinasi kreatif untuk menuangkan gagasan ke dalam bentuk cerpen.

MIND MAPPING KONSTRUKTIF DAN SIKAP


Teknik pembelajaran yang dipilih guru untuk mengajarkan materi kepada siswa merupakan hal yang sangat
penting. Pentingnya teknik yang tepat karena dalam pembelajaran, banyak hal yang menentukan
keberhasilan pembelajaran, salah satunya adalah pemilihan teknik pembelajaran yang digunakan oleh guru.
Seorang guru harus cerdas memilih teknik pembelajaran dan mampu menerapkannya dalam pembelajaran
agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Teknik MMKI sebagai salah satu teknik pembelajaran dapat
dijadikan alternatif dalam pembelajaran menulis cerpen. Hal ini sesuai dengan namanya, mind mapping
dapat melatih dan menggali kemampuan siswa berekspresi sesuai dengan kemampuannya.
Mind mapping dapat memberi kebebasan berekspresi tentang apa yang akan mereka tulis dalam
bentuk mind mapping yang dituangkan dalam bentuk gambar. Setiap cabang dalam gambar berisi tentang
penataan sub-subtopik. Penataan subtopik ini dapat dilakukan dengan pemetaaan pikiran. Buzan (2008:10)
dan Buzan (2009:15) mengemukakan pemanfaatan pemetaan pikiran dalam menulis dapat memunculkan
kreativitas tanpa batas. Selanjutnya Buzan (2007b:4) mengemukakan bahwa pemetaan pikiran merupakan
(1) cara mudah menggali informasi dari dalam dan luar otak, (2) cara baru untuk belajar dan berlatih dengan
cepat dan ampuh, (3) cara membuat catatan yang tidak membosankan, dan (4) cara terbaik untuk
mendapatkan ide baru dan merencanakan proyek. Oleh sebab itu, dalam pembelajaran menulis cerpen, mind
mapping yang dapat memunculkan kreativitas siswa ini disebut sebagai mind mapping konstruktif imajinatif.
Hal ini diperkuat oleh Hernowo (2003:25) bahwa pemetaan pikiran adalah cara yang sangat baik untuk
menghasilkan gagasan sebelum mulai menulis. Pemetaan pikiran bisa dikatakan jaminan hilangnya
rintangan yang dihadapi penulis.
Biasanya ketika siswa diminta menulis, hal yang paling sulit adalah menentukan temanya dan
bagaimana cara memulainya. Dengan menggunakan pemetaan pikiran akan memudahkan untuk menemukan
apa yang akan ditulis. Dengan demikian, pemetaan pikiran akan membantu siswa menemukan pikiran (topik
atau sub-subtopik yang akan ditulis).
Mahamod (2012:201) mengemukakan 10 kelebihan penggunaan mind mapping dalam pengajaran
dan pembelajaran bahasa Melayu. Kelebihan-kelebihan yang dimaksud ialah (1) meningkatkan pemahaman,
minat dan kreativitas tentang bahan yang diajarkan, (2) menarik perhatian siswa terhadap pengajaran guru
karena mind mapping akan memacu pemikiran siswa tentang bahan yang akan diajarkan guru, (3)
meningkatkan pemahaman serta pemikiran kritis siswa dalam memahami suatu topik, (4) membantu
pengajaran guru menyusun gagasan dengan jelas dan teratur, (5) memotivasi siswa berpikir dahulu sebelum
menyusun gagasan dengan tepat dalam mind mapping, (6) mengaitkan daya ingat siswa, (7) mengaktifkan
penggunaan otak kanan dan kiri secara seimbang, (8) menarik minat siswa mengikuti pengajaran dan
pembelajaran jika ia diberikan simbol, warna, dan gambar. Faktor warna, gambar dan sebagainya ini lebih
cepat diterima otak siswa apa lagi dibuat dalam bentuk mind mapping, (9) membantu siswa mengaitkan
konsep baru dengan konsep lama, (10) memudahkan siswa merumuskan gagasan lebih mudah, tepat, dan
jelas.
Menurut Buzan (2008:4) dan Buzan (2010:147) mind mapping (pemetaan pikiran) dapat dilakukan
dengan sederhana, mudah dan menyenangkan. Penggunaan mind mapping (pemetaan pikiran) ini dapat
menggali dan meningkatkan kemahiran siswa berpikir secara kreatif karena siswa tidak hanya menggambar,
mewarnai, tetapi juga harus memikirkan sub-subtopik yang akan ditulis di gambar mind mapping secara
kreatif. Langkah-langkah kreatif tersebut dapat mengikuti langkah yang ditawarkan Buzan sebagai berikut.
a. Mulailah di tengah-tengah sebuah kertas kosong dengan sisi terpanjangnya diletakkan mendatar.
b. Pilihlah sebuah gambar sebagai gagasan sentral.
c. Gunakan warna selama proses ini.
d. Hubungkan cabang-cabang utama dengan gambar sentral dan hubungkan anak cabang kedua dan ketiga
dengan anak cabang pertama dan kedua, dan seterusnya.
e. Buatlah cabang yang melengkung, bukan garis lurus.
f. Gunakan satu kata untuk setiap cabang
g. Gunakan gambar di seluruh proses tersebut.

341
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Dengan mengikuti langkah-langkah di atas, seorang siswa dapat mengekspresikan dan
menyelesaikan sebuah mind mapping untuk menulis cerpen.
Berdasarkan langkah-langkah yang dikemukakan Buzan dalam mind mapping di atas, maka penulis
menyusun langkah-langkah pembelajaran dengan mengaplikasikan mind mapping konstruktif imajinatif
(MMKI) dalam pembelajaran menulis cerpen sebagai alternatif teknik pembelajaran. Langkah-langkah
tersebut sebagai berikut.
Kegiatan Awal ( 5 menit)
a. Siswa dimotivasi dengan menyampaikan manfaat mempelajari materi menulis cerpen.
b. Siswa diberi apersepsi dengan cara mengajukan pertanyaan “Apakah siswa pernah menulis cerpen dan
apakah ada kesulitan dalam menulis cerpen?
c. Siswa diinformasikan tentang tujuan mempelajari menulis cerpen dengan menerapkan mind mapping.
Kegiatan Inti (70 menit)
a. Siswa diberi penjelasan tentang menulis cerpen.
b. Siswa mengamati contoh gambar mind mapping yang belum lengkap.
c. Siswa dibagikan contoh karangan cerpen.
d. Siswa dibagi dalam beberapa kelompok yang heterogen.
e. Setelah membaca contoh cerpen, siswa berdiskusi dalam kelompoknya untuk menentukan struktur
cerpen.
f. Siswa melengkapi gambar mind mapping yang ada dalam LKS dan memberi warna pada gambar
tersebut.
g. Siswa memresentasikan gambar mind mapping yang sudah mereka buat dalam kelompok.
h. Siswa atau kelompok lain menanggapi hasil kerja yang dipresentasikan.
i. Siswa dan guru membahas hal-hal (materi) yang belum dipahami siswa.
j. Siswa kembali ke tempat duduk masing-masing.
k. Siswa ditugaskan membuat mind mapping tentang cerpen yang akan mereka tulis yang diawali dengan
memperhatikan langkah menulis cerpen, struktur cerpen, dan cara membuat mind mapping dengan baik.
l. Setelah selesai membuat mind mapping, siswa menulis cerpen berdasarkan mind mapping tersebut
secara individu.
Kegiatan Akhir (10 menit)
a. Siswa dibimbing guru menyimpulkan materi pembelajaran.
b. Siswa diberi beberapa pertanyaan tentang menulis cerpen.
c. Siswa diberi tindak lanjut dengan menugaskan untuk membaca sebuah cerpen dan membuat mind
mapping cerpen yang dibaca.
Langkah-langkah pembelajaran dengan menerapkan mind mapping ini dapat dimodifikasi sesuai
dengan kebutuhan pembelajaran di kelas. Namun yang sangat penting diperhatikan adalah aktivitas-aktivitas
yang dirancang memungkinkan untuk menggali dan meningkatkan kemahiran menulis cerpen di sekolah.
Sikap merupakan kecenderungan untuk bertindak secara positif terhadap objek tertentu, institusi,
konsep atau seseorang (Aiken, 1996). Dalam penelitian ini sikap siswa berkaitan denga penggunaan mind
mapping konstruktif imajinatif dalam pembelajaran penulisan cerpen.
Dalam penelitian ini, sikap merupakan reaksi tindakan dan tingkah laku yang menurut dan
menerima segala fenomena yang melibatkan kaedah penulisan yang digunakan. Subskala sikap keyakinan,
kesukaan,dan usaha akademik dengan menggunakan mind mapping konstruktif imajinatif. Pengukuran sikap
yakin, suka, berusaha secara akademik dalam pelajaran merupakan hal yang penting.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah terdapat pengaruh mind mapping konstruktif
imajinatif (MMKI) terhadap kemampuan menulis cerpen dan sikap siswa SMA Negeri 13 Palembang.
Penelitian ini dilakukan untuk menguji hipotesis yaitu Ha dan Ho. Ha terdapat pengaruh mind mapping
konstruktif imajinatif (MMKI) terhadap kemampuan menulis cerpen dan sikap siswa, sedangkan Ho tidak
terdapat pengaruh mind mapping konstruktif imajinatif (MMKI) terhadap kemampuan menulis cerpen dan
sikap siswa. Penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi guru, khususnya guru Bahasa Indonesia yang
dapat menjadikan mind mapping konstruktif imajinatif (MMKI) ini sebagai alternatif teknik pembelajaran
dalam mengajarkan menulis cerpen bagi siswa khususnya siswa SMA.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen semu (quasi-exsperimental research). Metode ini
menggunakan kelas-kelas yang sudah ada atau tidak membentuk kelas-kelas baru sebagai kelompok kelas
eksperimen dan kelas kontrol.
342
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas XI SMA Negeri 13 Palembang tahun ajaran
2014/2015. Sampel penelitian adalah kelas XI MIA 3 sebagai kelas kontrol dengan jumlah siswa 32 orang
dan kelas XI MIA 2 sebagai kelas eksperimen dengan jumlah siswa 38 orang. Kedua kelas ini diasumsikan
memiliki kemampuan belajar yang sama bukan kelas unggulan dan merupakan kelas paralel dan diajar oleh
guru yang sama, jumlah jam yang sama, dan kurikulum yang sama. Hal ini untuk menunjukkan kedua kelas
ini representatif.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan tes. Tes digunakan untuk mengetahui kemampuan
siswa menulis cerpen. Tes dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan (Creswel, 2005:340). Siswa diminta
menulis cerpen dengan terlebih dahulu membuat mind mapping. Data untuk sikap siswa diolah dari angket
yang diberikan kepada siswa. Angket berisi 45 pertanyaan yang terdiri dari 15 tentang keyakinan, 15 tentang
kesukaan, dan 15 tentang usaha akademik. Data diolah dengan menggunakan SPSS 20 pada taraf
signifikansi 0.05.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Hasil Penelitian
Untuk data hasil penelitian, dilakukan tes menulis cerpen di kelas eksperimen dan di kelas kontrol. Tes
dilaksanakan dua kali yaitu pretes dan postes baik di kelas eksperimen maupun di kelas kontrol. Postes di
kelas eksperimen dilakukan setelah diberikan perlakuan dengan menggunakan mind mapping konstruktif
imajinatif (MMKI). Sementara itu, untuk kelas kontrol pembelajaran menulis cerpen dilakukan dengan
menggunakan teknik konvensional.
Hasil Pretes dan Postes di Kelas Kontrol dan Kelas Eksperimen
Tes awal pada kelas eksperimen dilakukan sebelum perlakuan dengan menggunakan mind mapping
konstruktif imajinatif. Dari hasil tes awal terlihat bahwa terdapat perbedaan rata-rata kelas kontrol dengan
kelas eksperimen. Pada tes awal siswa diminta menulis cerpen dengan tema sosial. Adapun hasil tes awal
pada kelas eksperimen dan kelas kontrol dapat dilihat pada tabel 1 berikut.
Tabel 1. Tes Awal Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Kelompok Jumlah Rata-rata Varian Minimum Maksimum sig
Kontrol 32 72.62 41.91 54 82 0.00
Eksperimen 38 68.05 120.75 46 86 0.00

Dari tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan rata-rata tes awal kelas kontrol dan
kelas eksperimen yaitu 72.62 kelas kontrol dan 68.05 kelas eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat selisih nilai rata-rata sebesar 4.57. Dari hasil tes juga menunjukkan kelas kontrol memiliki rata-rata
yang lebih tinggi dibanding kelas eksperimen. Di samping itu, varian dari kelas eksperimen 120.75
sedangkan kelas kontrol 41.91. Hal ini menunjukkan bahwa kedua kelas penelitian menunjukkan varian
yang berbeda. Dari nilai minimum dan maksimum kelas kontrol dan kelas eksperimen juga terlihat
perbedaan yaitu nilai minimum kelas kontrol 54 sedangkan kelas eksperimen 46. Jadi terdapat selisih 8
angka. Sementara jika dilihat nilai maksimum kedua kelas kontrol dan kelas eksperimen pada pretes terdapat
selisih nilai 4 angka yaitu 82 untuk kelas kontrol dan 86 untuk kelas eksperimen.
Tes akhir dilakukan setelah perlakuan pada kelas eksperimen dengan mind mapping konstruktif
imajinatif. Sementara pada kelas kontrol digunkan teknik konvensional. Adapun hasil postes pada keldua
kelas penelitian dapat dilihat pada tabel 2 berikut.
Tabel 2. Tes Akhir Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Kelompok Jumlah Rata-rata Varian Minimum Maksimum sig
Kontrol 32 76 22.19 64 84 0.000
Eksperimen 38 79.31 24.70 70 92 0.000

Dari tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan rata-rata tes akhir kelas kontrol dan
kelas eksperimen yaitu 76 kelas kontrol dan 79.31 kelas eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
selisih nilai rata-rata sebesar 3.31. Dari hasil tes juga menunjukkan kelas kontrol memiliki rata-rata yang
lebih rendah dibanding kelas eksperimen. Di samping itu, varian dari kelas eksperimen 24.70 sedangkan
kelas kontrol 22.19. Hal ini menunjukkan bahwa kedua kelas penelitian menunjukkan varian yang berbeda.
Dari nilai minimum dan maksimum kelas kontrol dan kelas eksperimen juga terlihat perbedaan yaitu nilai
minimum kelas kontrol 64 sedangkan kelas eksperimen 70. Jadi terdapat selisih 6 angka. Sementara jika
dilihat nilai maksimum kedua kelas kontrol dan kelas eksperimen pada postes terdapat selisih nilai 8 angka
yaitu 84 untuk kelas kontrol dan 92 untuk kelas eksperimen. Jika dilihat dari signifikansi dari hasil analisis
343
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
menunjukkan bahwa perbedaan nilai postes kelas eksperimen dan kelas kontrol sangat signifikan yaitu p=
0.000
Gain skor kedua kelas penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan.
Perbedaan gain skor kelas eksperimen dan kelas kontrol menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan
dengan p=0, 00000147. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel 3 berikut.
Tabel 3. Perbedaan Gain Skor Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Gain skor
Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Mean 11,26315789 3,375
Variance 63,87482219 21,27419355
Observations 38 32
Hypothesized Mean Difference 0
df 61
t Stat 5,15034271
P(T<=t) one-tail 1,47374E-06
t Critical one-tail 1,670219484
P(T<=t) two-tail 2,95E-06
t Critical two-tail 1,999623567
Berdasarkan tabel 3 dapat dijelaskan bahwa perbedaan gain skor kelas eksperimen dan kelas kontrol
sangat signifikan. Gain skor kelas eksperimen lebih tinggi dibanding kelas kontrol yaitu dengan p= 0,
00000147. Hal ini menunjukkan bahwa mind mapping konstruktif imajinatif berpengaruh terhadap
kemampuan menulis cerpen siswa SMA 13 Palembang.
Hasil Angket Sikap Siswa dalam Pembelajaran Menulis Cerpen dengan Mind Mapping Konstruktif
Imajinatif
Angket diberikan kepada siswa untuk mengetahui pengaruh mind mapping konstruktif imajinatif terhadap
sikap siswa dalam pembelajaran menulis cerpen. Pertanyaan angket sikap terdiri dari tiga subskala sikap
yaitu subskala sikap keyakinan, kesukaan, dan usaha akademik yang terdiri dari 45 pertanyaan. Angket
sikap ini diberikan sebelum dan sesudah perlakuan pada kelas eksperimen. Data angket juga digunakan
untuk melihat perbedaan yang signifikan antara skor angket sebelum dan sesudah perlakuan. Disamping itu
juga untuk melihat apakah perlakuan mempengaruhi semua subskala sikap. Di samping itu, data angket juga
digunakan untuk melihat adakah korelasi antara ketiga subskala sikap dengan skor akhir siswa dalam
penulisan cerpen dengan teknik mind mapping konstruktif imajinatif. Untuk melihat hasil analisis data
angket secara rinci dapat dilihat pada tabel 4 berikut.
Tabel 4. Korelasi antara Skor Angket Sebelum(Pra) dan Sesudah Perlakuan(Pasca)
Mean N Std. Dev. Std. Error Mean Correlation Sig
Pair 1 Keyakinan Pra 54.87 38 5.586 .906 .286 .082
Keyakinan Pasca 59.05 38 7.791 1.264
Pair 2 Kesukaan Pra 54.76 38 5.851 .949 .158 .342
Kesukaan Pasca 57.74 38 6.669 1.082
Pair 3 Usaha Akademik Pra 54.87 38 5.586 .906 .905 .000
Usaha Akademik Pasca 58.63 38 6.082 .987

Berdasarkan tabel 4 dapat dijelaskan bahwa usaha akademik antara pra dan pasca sangat signifikan
yaitu 0.000. Namun jika dilihat dari uji perbedaan skor angket pra dan pasca, semuanya berbeda secara
signifikan, artinya perlakuan mempengaruhi semua subskala sikap. Dari hasil analisis data dengan koefisien
regresi subskala sikap dan skor akhir menunjukkan bahwa tidak tampak hubungan yang signifikan antara
ketiga subskala sikap keyakinan, kesukaan, dan usaha akademik dengan skor akhir siswa.

PEMBAHASAN
Berdasarkan analisis data dan hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa terdapat perbedaan nilai antara
siswa yang diajarkan dengan teknik mind mapping konstruktif imajinatif dan teknik konvensional. Nilai rata-
rata postes di kelas eksperimen yaitu 79.31 sedangkan di kelas kontrol yaitu 76. Dengan demikian terdapat
selisih sebesar 3.31 antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan

344
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
kemampuan menulis cerpen antara siswa yang diajarkan dengan menerapkan teknik mind mapping
konstruktif imajinatif (MMKI) dan teknik konvensional.
Kemampuan menulis cerpen pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol mengalami
peningkatan. Namun peningkatan nilai yang dicapai oleh siswa terdapat perbedaaan. Pada kelompok
eksperimen nilai pretes yaitu 68.05 dan postes 79.31. Dengan demikian, antara pretes dan postes kelompok
eksperimen dengan menggunakan mind mapping konstruktif imajinatif (MMKI) meningkat sebesar 11.26.
Sementara, pada kelompok kelas kontrol nilai rata-rata pretes yaitu 72.62 dan postes 76. Dengan demikian,
antara pretes dan postes kelompok kelas kontrol dengan menggunakan teknik konvensional hanya meningkat
sebesar 3.38.
Keberhasilan pembelajaran dengan menggunakan mind mapping konstruktif imajinatif (MMKI) ini
dapat meningkatkan kemampuan menulis cerpen siswa SMAN 13 Palembang disebabkan langkah-langkah
pembelajaran yang jelas, terarah, dan kreatif. Di samping itu, langkah-langkah kreatif yang ditawarkan
Buzan digunakan sebagai langkah untuk membuat mind mapping tentang cerpen yang akan ditulis. Langkah-
langkah tersebut sebagai berikut.
a. Mulailah di tengah-tengah sebuah kertas kosong dengan sisi terpanjangnya diletakkan mendatar.
b. Pilihlah sebuah gambar sebagai gagasan sentral.
c. Gunakan warna selama proses ini.
d. Hubungkan cabang-cabang utama dengan gambar sentral dan hubungkan anak cabang kedua dan ketiga
dengan anak cabang pertama dan kedua, dan seterusnya.
e. Buatlah cabang yang melengkung, bukan garis lurus.
f. Gunakan satu kata untuk setiap cabang
g. Gunakan gambar di seluruh proses tersebut.
Langkah-langkah menulis cerpen yang didahului dengan membuat mind mapping tentang cerpen
yang akan ditulis sangat membantu siswa dalam mengembangkan gagasan. Mind mapping membantu
mereka mengembangkan alur cerita dengan baik. Di samping itu, membuat mind mapping membantu
mengembangkan berpikir kreatif karena mind mapping dapat terwujud melalui proses pemikiran yang kreatif.
Di samping itu, sikap juga dapat mempengaruhi kemampuan menulis cerpen walaupun tidak terlalu
signifikan. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dikemukakan bahwa Mind Mapping Konstruktif Imajinatif
yang digunakan dalam pembelajaran menulis cerpen juga dapat mempengaruhi sikap terutama subskala
sikap usaha akademik. Hal ini mendukung hasil penelitian Ayob (2012) tentang sikap kesukaan dan
keyakinan belia universitas terhadap penggunaan multimedia.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa teknik pembelajaran mind mapping konstruktif imajinatif
(MMKI) ini dapat meningkatkan kemampuan menulis cerpen siswa SMAN 13 Palembang. Hasil penelitian
ini juga mendukung apa yang dikemukakan oleh Buzan (2010), Mahamod (2012), Hernowo (2003), Holiah
(2008), Ernalida (2013), dan Ernalida dan Ayob (2015), Hariri (2013) bahwa mind mapping dapat
digunakan dalam pembelajaran dan dapat meningkatkan kreativitas siswa dalam belajar.

SIMPULAN DAN SARAN


Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan menulis cerpen pada siswa yang
diajarkan dengan teknik mind mapping dengan teknik pembelajaran konvensional. Dengan demikian, mind
mapping konstruktif imajinatif memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan menulis cerpen
dan sikap siswa.
Guru-guru disarankan untuk menggunakan teknik mind mapping konstruktif imajinatif (MMKI)
sebagai alternatif dalam pembelajaran menulis cerpen di SMA. Untuk teknik mind mapping sendiri dapat
dimodifikasi oleh guru sesuai dengan situasi dan kondisi di kelas atau di sekolah masing-masing. Di
samping itu, mind mapping konstruktif imajinatif (MMKI) ini dapat pula digunakan untuk meningkatkan
keterampilan berbahasa lain seperti keterampilan menyimak, membaca, dan berbicara dengan memodifikasi
langkah-langkah pembelajaran sesuai dengan keterampilan berbahasa yang diajarkan kepada siswa di
sekolah.

DAFTAR PUSTAKA
Ayob, Adenan.2012.” Sikap Kesukaan dan Keyakinan Belia Universiti Terhadap Penggunaan Multimedia”. Malaysian
Journal of Youth Studies. Volume 7 Desember 2012.
Buzan, Tony.2007(b). Buku Pintar Mind Map. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Buzan, Tony. 2008. Sepuluh Cara Jadi Orang Jenius Kreatif. Jakarta: PT Gramedia.
Buzan, Tony.2009. Buku Pintar Mind Mapping. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

345
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Buzan, Tony.2010. Panduan Kemahiran Belajar Buzan. Cara Mudah Mencapai Kejayaan dalam Pengajian Anda,
Dengan Teknik Peta Minda, Bacaan Laju dan Penguasaan Daya Ingatan.Kuala Lumpur:Utusan Publication
&Distributors Sdn Bhd..
Creswel, W.J.2005. Research Design: Qualitative and Quantitative Approach. California: Sage Publications Inc.
Ernalida.2013. Aplikasi Mind Mapping dalam Pembelajaran Menulis Naratif: Menggali dan Meningkatkan Kemahiran
Berpikir Kreatif. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan 2013 Membangun SDM Indonesia Melalui
Pendidikan yang Membebaskan
Ernalida dan Adenan Ayob.2015. Pengaruh Mind Mapping Terhadap Kemampuan Menulis Cerpen Siswa SMA Negeri
19 Palembang. Logat: Jurnal Bahasa Indonesia dan Pembelajaran Edisi Desember 2015.
Hernowo. 2003. Quantum Writing: Cara Cepat nan Bermanfaat untuk Merangsang Munculnya Potensi Menulis.
Bandung: MLC.
Holiah, M.E. Purnomo, Sri Indrawati. 2008. “Kefektifan Model Pemetaan Pikiran dalam Pembelajaran Membaca
Pemahaman Siswa Kelas X SMA Negeri 3 Palembang”. Lingua: Jurnal Bahasa dan Sastra. Volume 10, no. 1
Palembang Unsri.
Hariri, Mahsa. 2013. “The Attitude of EFL Learner Toward Using Mind Mapping Software on Their Reading
Comprehension”. International Journal of Language Learning and Applied Linguistics World. Volume 4 (4)
Desember 2013.
Mahamod, Zamri.2012. P&P dalam Pendidikan Bahasa Melayu. Tanjung Malim:UPSI.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Ernalida Adenan Ayob
Institusi : Universitas Sriwijaya Universitas Pendidikan Sultan Idris Malaysia
Riwayat Pendidikan : S2 Universitas Gadjah Mada S1, S2, dan S3 Universiti Putra Malaysia
S1 Universitas Negeri Padang
Minat Penelitian : • Linguistik • Metodologi Penelitian Bahasa
• Pengajaran Bahasa Indonesia • Computer Assisted Language Learning
• Pedagogi

346
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
MEMAHAMI MAKNA DAN PENGGUNAAN KATA MAJEMUK DALAM BAHASA MANDARIN
MELALUI MAKNA TIAP MORFEM YANG MEMBENTUKNYA

Hatmi Idris
Universitas Indonesia
yihemei@yahoo.com

ABSTRAK
Tidak sedikit kata-kata majemuk dalam bahasa Mandarin memiliki kemiripan makna. Dalam kamus Mandarin-
Indonesia (1997), kata-kata majemuk tersebut diterjemahkan menjadi satu kata yang sama atau diterjemahkan menjadi
kata yang bersinonim dalam bahasa Indonesia. Kemiripan makna ini menjadi suatu kesulitan tersendiri bagi
pembelajar Indonesia dalam memahami dan menggunakan kata-kata majemuk tersebut. Walaupun memiliki kemiripan
makna, namun ada kata-kata majemuk yang sama sekali tidak dapat dipertukarkan penggunaannya di dalam kalimat
yang sama, atau dengan kata lain, penggunaan kata-kata majemuk tersebut memiliki perbedaan di dalam kalimat.
Sementara itu, ada juga kata-kata majemuk yang dapat dipertukarkan penggunaannya dalam kalimat yang sama.
Namun karena pada hakikatnya kata-kata majemuk tersebut memiliki makna yang berbeda, maka pesan atau gagasan
yang disampaikan melalui kalimat tersebut pun akan memiliki perbedaan. Hal-hal inilah yang menyebabkan
pembelajar Indonesia menemui kesulitan dalam memahami dan menggunakan kata-kata majemuk yang memiliki
kemiripan makna tersebut. Contoh-contoh kata majemuk yang memiliki kemiripan makna dalam bahasa Mandarin
adalah xiangxin dan xinren; queshi dan shizai, dsb. Xiangxin diterjemahkan menjadi “percaya,yakin”,dan xinren
diterjemahkan menjadi “kepercayaan,percaya, mempercayai”; queshi diterjemahkan menjadi “benar-benar, memang”,
dan shizai diterjemahkan menjadi “betul-betul,sungguh, benar-benar”, dsb. Bahasa Mandarin termasuk bahasa
morfemis. Kata-kata dalam bahasa Mandarin terdiri atas satu atau beberapa morfem. Untuk memahami makna dan
penggunaan kata-kata majemuk yang memiliki kemiripan makna ini, artikel ini akan menganalisa makna dari tiap
morfem yang membentuk kata-kata majemuk tersebut, baik maknanya di dalam bahasa Mandarin modern, maupun
maknanya di dalam bahasa Mandarin klasik. Diharapkan dengan memiliki pemahaman terhadap makna tiap morfem
yang membentuk kata-kata majemuk, pembelajar Indonesia dapat memahami dan menggunakan kata-kata majemuk
dalam bahasa Mandarin dengan baik dan benar.
Kata kunci: kata majemuk, bahasa Mandarin, bahasa morfemis, morfem

PENDAHULUAN
Bagi pembelajar, makna dan penggunaan kata-kata dalam bahasa Mandarin bukanlah hal yang mudah untuk
dikuasai, tidak terkecuali kata-kata majemuk. Dalam bahasa Mandarin, ada kata-kata majemuk yang
memiliki kemiripan makna. Untuk memahami makna dan penggunaan kata-kata majemuk tersebut,
pembelajar sudah seharusnya terlebih dahulu memahami bagaimana sebuah kata majemuk dalam bahasa
Mandarin terbentuk, kemudian harus memahami bahwa bahasa Mandarin merupakan bahasa morfemis,
dimana tiap morfemnya diwakilkan oleh satu karakter Han yang memiliki makna.
Dalam mempelajari satu kata majemuk baru, pembelajar tidak bisa hanya mengandalkan
pemahaman terhadap makna kata majemuk tersebut secara keseluruhan atau satu kesatuan. Dengan kata lain,
pembelajar tidak bisa hanya mengandalkan padanan kata yang diberikan buku ajar atau kamus untuk kata
majemuk. Pembelajar harus terlebih dahulu mengetahui makna tiap morfem yang terkandung dalam kata
majemuk, kemudian secara bertahap menghubungkannya dengan makna dari padanan kata yang diberikan
oleh buku ajar atau pun kamus.
Artikel ini akan membahas pentingnya memahami makna tiap morfem yang membentuk satu kata
majemuk baik terhadap makna dan penggunaan kata majemuk tersebut, maupun perbedaan makna dan
penggunaannya dengan kata majemuk lainnya.

PEMBAHASAN
Definisi Kata Majemuk
Jika ingin memahami makna sebuah kata, maka harus memahami terlebih dahulu bagaimana kata tersebut
terbentuk. Selain itu, juga harus memahami komponen apa saja yang membentuk kata tersebut. Oleh karena
itu, diperlukan pembahasan mengenai studi gramatikal yang membahas pembentukan kata atau yang dikenal
dengan morfologi.

347
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Janet (2006:117) menyatakan bahwa kira-kira 80 persen kata dalam bahasa Mandarin adalah kata
majemuk (compound words). Berikut adalah contoh beberapa cara dalam membentuk kata majemuk dalam
bahasa Mandarin yang dipaparkan oleh Janet (2006:117)5:
1. nomina+nomina: diannao 5. nomina+ajektifa: nianqing
listrik-otak tahun-muda
‘komputer’ ‘muda’
2. adjektifa+nomina: laoshi 6. verba+verba : guankan
tua-ahli memandang-melihat
guru ‘menonton’
3. verba+nomina : xuesheng 7. verba+ajektifa : piaoliang
belajar-murid mengapung-terang
murid cantik
4. nomina+verba : riji 8. ajektifa+verba : haokan
hari-mencatat bagus-melihat
‘buku harian’ 9. ajektifa+ajektifa: ganjing
kering-bersih
‘bersih’
Melihat contoh kata-kata majemuk di atas, dapat terlihat bahwa kata majemuk adalah kata yang merupakan
hasil gabungan dua morfem. Chao (1968:189) menyatakan bahwa kata majemuk terdiri dari satu atau lebih
kata, dan unsur pembentuk kata majemuk tersebut adalah root morpheme 词根
. Chao menambahkan, kata
di dalam kata majemuk tersebut tidak harus merupakan kata bebas free word 独用词 (baca: morfem bebas)6,
misal chicun ‘ukuran’, walau chi dan cun bukanlah morfem bebas, namun chi dan cun bergabung dan
membentuk kata majemuk chicun.
Dengan demikian, dapat disimpulkan, bahwa kata majemuk dalam bahasa Mandarin adalah kata
yang merupakan hasil dari proses penggabungan (minimal 7 ) dua morfem, baik morfem bebas ataupun
morfem terikat.
Makna Kata Majemuk dalam Bahasa Mandarin
Li,Thompson (1983:49) menyatakan bahwa hubungan antara makna kata majemuk dengan tiap makna yang
dimiliki oleh unsur pembentuk kata majemuk tersebut mencakup:
1. Makna kata majemuk dengan makna komponen pembentuknya mungkin tidak ada hubungan yang
mencolok, atau biasa disebut dengan makna idiomatis, contoh: xinshui ‘gaji’ yang terdiri dari xin ‘kayu
bakar’ dan shui ‘air’.
2. Makna kata majemuk yang mungkin mengandung makna pengandaian, metafora atau suatu bentuk
penyimpulan (deduksi), contoh: dianying ‘film’yang terbentuk dari pengandaian makna dian ‘listrik’
dan ying ‘bayangan’.
3. Makna kata majemuk tersebut berasal dari makna-makna komponen pembentuknya, contoh: manzu
‘puas’,yang terbentuk dari gabungan makna man ‘penuh’ dan zu ‘puas’.
Artikel ini akan membahas makna kata majemuk pada kategori ketiga, yaitu makna yang berasal
dari makna-makna komponen pembentuknya, atau dengan kata lain, makna kata tersebut merupakan hasil
dari penggabungan makna dari tiap morfem yang membentuknya. Contoh-contoh kata-kata majemuk yang
akan dibahas adalah: verba xiangxin ‘percaya, yakin’, verba xinren ‘percaya, mempercayai’, adverbia queshi
‘benar-benar, memang’, adverbia shizai ‘betul-betul; sungguh; benar-benar’, ajektifa manyi ‘puas’, dan
ajektifa manzu ‘puas’.
Terlihat, ada pasangan kata-kata majemuk tersebut di atas yang memiliki kemiripan makna, yaitu
verba xiangxin dan xinren, adverbia queshi dan shizai, ajektifa manyi dan manzu. Dalam kamus Mandarin-
Indonesia (1997). Kata-kata majemuk yang memiliki kemiripan makna tersebut diterjemahkan menjadi satu
kata yang sama atau diterjemahkan menjadi kata yang bersinonim dalam bahasa Indonesia.
Walaupun memiliki kemiripan makna, apakah kata-kata majemuk tersebut dapat dipertukarkan
penggunaannya di dalam kalimat yang sama? Jika dapat dipertukarkan, apakah pesan atau gagasan yang
disampaikan melalui kalimat tersebut sama? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, mari kita analisa

5
Terjemahan ke bahasa Indonesia mengacu pada terjemahan dalam Kamus Mandarin – Indonesia (1997) .
6
Dalam bahasa Mandarin satu kata bebas berasal dari satu morfem bebas.
7
Artikel ini hanya membahas kata majemuk yang terbentuk dari dua morfem, dan tidak membahas kata majemuk yang
terbentuk dari lebih dari dua morfem, misalnya tushuguan ‘perpustakaan’, gonggong qiche ‘bis umum’, dsb.
348
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
makna tiap morfem yang membentuk kata majemuk tersebut yang terdapat di dalam kamus bahasa Mandarin,
baik kamus bahasa Mandarin modern, maupun kamus bahasa Mandarin klasik8.
Makna dan Penggunaan Verba Xiangxin dan Xinren
Pertama-tama, kita akan membahas makna kata majemuk xiangxin ‘percaya, yakin’ dan xinren ‘percaya,
mempercayai’. Xiangxin terdiri dari morfem xiang dan xin. Xinren terdiri dari morfem xin dan ren.
Sekarang, mari kita lihat tabel.1 yang berisikan makna9 tiap morfem yang membentuk dua kata majemuk ini.
Tabel.1 Makna xiang, xin, dan ren
Xiang Xin Ren
Agak, cukup; menunjukkan Bonafiditas, kepercayaan; dapat dipercaya, Memikul tanggung jawab, beban;
arah gerakan, dari satu percaya, menyatakan percaya, menganut pada, dapat, mampu, dapat menahan, dapat
pihak ke pihak lain. percaya kepada, menuruti karena percaya, mengatur; memberi kuasa,
menuruti hati, sesuka hati. mempercayakan, menunjuk.
Salah satu makna xiang yang terdapat dalam kamus Bahasa Mandarin Klasik adalah ‘agak, cukup’.
Ketika makna ‘cukup’ ini digabungkan dengan makna “percaya”, maka akan menghasilkan makna ‘cukup
percaya’ . Terlihat tingkat kepercayaan yang terkandung dalam kata majemuk xiangxin adalah hanya
“cukup”. Gabungan makna xiang dan xin ini sejalan dengan makna verba xiangxin yang dipaparkan di dalam
Kamus Mandarin-Mandarin (2010), yaitu ‘menganggap tepat sesuatu atau seseorang dan tidak menaruh rasa
curiga/ragu terhadap suatu hal atau seseorang tersebut’. Kepercayaan yang dimaksud adalah tidak menaruh
rasa curiga, jadi makna yang ditekankan adalah “cukup percaya” atau “sekedar percaya” . Hal ini berbeda
dengan makna yang terkandung dan ditekankan oleh kata majemuk xinren.
Ketika makna xin dan makna ren digabung, maka akan menghasilkan makna ‘mempercayai atau
meyakini seseorang/suatu kelompok/lembaga, pemerintah, dsb mampu memikul tanggung jawab, ataupun
beban, sehingga dapat diberi kuasa atau ditunjuk untuk menangani suatu urusan tertentu’. Gabungan makna
ini sejalan dengan makna verba xinren yang dipaparkan di dalam Kamus Mandarin-Mandarin (2010), yaitu
‘percaya/yakin dan berani memasrahkan atau menyerahkan sesuatu kepada seseorang’. Kata “menyerahkan
atau memasrahkan” ini muncul karena adanya keyakinan dan kepercayaan terhadap seseorang/suatu
kelompok/lembaga, pemerintah, dsb tersebut yang dianggap mampu menangani atau mengatasi suatu hal.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa xinren mempunyai tingkat kepercayaan/keyakinan yang lebih
dalam/tinggi daripada xiangxin.
Selain mengandung makna ‘cukup, agak’, morfem xiang juga mengandung makna ‘menunjukkan
arah gerakan, dari satu pihak ke pihak lain’, dengan kata lain xiang mengandung makna ‘satu arah’. Ketika
digabungkan dengan makna xin dan menjadi xiangxin, maka akan dihasilkan makna ‘mempercayai yang
terjadi hanya pada satu arah’, yaitu kepercayaan yang dimiliki subjek terhadap objek. Verba xinren tidak
memiliki makna “satu arah” ini. Untuk membahas perbedaan makna dan penggunaan xiangxin dan xinren ini,
mari kita lihat contoh penggunaan kata majemuk xiangxin dan xinren berikut ini.
Verba xiangxin dalam kalimat wo xiangxin ta ‘saya mempercayai dia’ dapat dipertukarkan dengan
verba xinren, tetapi mengandung makna yang berbeda. Perbedaan maknanya terletak pada 2 hal, yaitu:
1. Dalam kalimat wo xinren ta mengandung makna subjek wo ‘saya’ mempercayakan atau membebani
tanggung jawab pada objek ta ‘dia’, karena objek ta ‘dia’ dianggap mampu mengatasi, mengatur suatu
urusan/hal. Anggapan atau kepercayaan subjek terhadap objek ta ini tentunya disebabkan oleh adanya
hubungan (pemahaman) antara kedua belah pihak, dan bukan hanya satu pihak atau satu arah saja.
Sementara makna kalimat wo xiangxin ta tidak mengandung makna objek ta ‘dia’ yang dibebani atau
diberi kuasa oleh subjek wo‘saya’, dengan kata lain objek ta ‘dia’ tidak memikul beban atau tanggung
jawab terhadap subjek wo‘saya’. Terlihat, dalam kalimat wo xiangxin ta tersirat makna ‘satu arah, atau
kepercayaan dari satu pihak ke pihak yang lain, sementara pihak lainnya tersebut tidak dibebani atau
diberi kuasa apapun’.
2. Tingkat kepercayaan subjek wo ‘saya’ terhadap objek ta ‘dia’ dalam kalimat wo xinren ta ‘saya
mempercayai dia’ lebih tinggi atau lebih dalam dibandingkan dengan tingkat kepercayaan subjek wo
‘saya’ terhadap objek ta ‘dia’ dalam kalimat wo xiangxin ta ‘saya mempercayai dia’;
Namun, berbeda halnya dengan kalimat wo xiangxin ta hui zuo de hen hao ‘saya percaya dia dapat
melakukannya dengan baik’ . Penggunaan verba xiangxin dalam kalimat ini tidak bisa dipertukarkan dengan

8
Lihat Daftar Pustaka
9
Makna yang dipaparkan di sini hanyalah makna yang berhubungan dengan makna yang sedang dibahas, misalnya
makna ‘percaya’, sehingga makna lain yang dinilai tidak berhubungan dengan makna ‘percaya’ maka tidak akan
dipaparkan.
349
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
verba xinren. Kalimat wo xiangxin ta hui zuo de hen hao tidak bisa diubah menjadi wo xinren ta hui zuo de
hen hao. Kalimat yang terterima adalah wo xinren ta. Makna kata majemuk xinren dalam kalimat wo xinren
ta sudah mengandung makna yang merujuk pada subjek yang mempercayai, memberi kuasa pada ta ‘dia’,
karena kemampuan ta ‘dia’ dalam memikul tanggung jawab, atau dengan kata lain kalimat wo xinren ta
sudah mengandung makna bahwa ta dianggap “ dapat melakukan tugasnya dengan baik”. Jadi, objek untuk
kata majemuk xinren hanyalah ta, dan bukan ta hui zuo de hen hao ‘dia dapat melakukan (tugas)nya dengan
baik’.
Makna dan Penggunaan Adverbia Queshi dan Shizai
Queshi ‘benar-benar, memang’ terdiri dari morfem que dan shi. Shizai ‘betul-betul; sungguh;benar-benar’
terdiri dari morfem shi dan zai. Sekarang, mari kita lihat tabel.2 yang berisikan makna tiap morfem yang
membentuk dua kata majemuk ini.
Tabel.2 Makna que, shi, dan zai
Que Shi Zai
Benar, sungguh, sesuai dengan kenyataan, nyata; Benar, tepat, memang (penanda Ada; menunjukkan
teguh, mantap, kuat, kokoh; handal; benar-benar, penegasan); nyata, kenyataan, perhatian, bersimpati;
memang; jujur; dipercaya, dapat dipercaya; kritik fakta; ada, terdapat; penuh, padat, memberikan salam.
dan protes yang tepat. berisi.
Que dan shi memiliki makna yang mirip, yaitu “fakta, nyata, dapat dipercaya”, sehingga ketika
makna que dan makna shi digabung, maka akan menghasilkan makna “suatu fakta yang sangat bisa
dipercayai kebenarannya”. Dari sini terlihat, bahwa kata majemuk queshi ‘benar-benar, memang’ memiliki
objektifitas yang sangat tinggi. Sementara makna yang terkandung dalam morfem shi dan morfem zai saat
digabungkan tidak demikian.
Zai mengandung makna yang melibatkan perasaan, yaitu memberikan perhatian, bersimpati,
memberi salam. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia10 “perasaan” yang kata dasarnya adalah “rasa”,
merupakan tanggapan/pertimbangan hati terhadap sesuatu. Terlihat, makna yang terkandung dalam morfem
zai bersifat subjektif, sehingga jika makna zai digabung dengan makna shi akan menghasilkan makna ‘fakta
yang didasarkan pada pandangan (perasaan) sendiri’. Dengan kata lain, makna shizai ‘benar-benar,
sungguh-sungguh’ memiliki makna subjektifitas si pembicara terhadap sesuatu atau seseorang (merupakan
sebuah fakta) yang sedang dibicarakan. Karena shizai memiliki makna subjektifitas, maka shizai tidak dapat
digunakan dalam kalimat yang menyampaikan gagasan atau pikiran yang bersifat objektif, dengan kata lain
shizai tidak bisa digunakan untuk menyampaikan gagasan atau pikiran yang berhubungan dengan kebenaran
sebuah fakta yang harus dipertanggungjawabkan dan tidak bisa hanya berdasarkan tafsiran atau perasaan
semata. Jadi, kita tidak bisa mengatakan ta shizai yijing jiehun le ‘dia benar-benar sudah menikah’, karena
ta yijing jiehun le seharusnya adalah sebuah fakta yang bisa dipertanggungjawabkan, bukan hanya
berdasarkan tafsiran atau perasaan semata yang bersifat subjektif. Kita harus mengatakan ta queshi yijing
jiehun le ‘dia benar-benar telah menikah’.
Namun, penggunaan queshi dan shizai dapat dipertukarkan dalam kalimat yang sama, contoh: ta
shizai hen congming atau ta queshi hen congming. Kedua kalimat ini berarti ‘dia benar-benar sangat pintar’.
Ta hen congming “dia sangat pintar” adalah suatu fakta yang bisa dinilai berdasarkan pandangan seseorang,
atau dengan kata lain, bisa dinilai secara subjektif. Namun, “dia sangat pintar” ini juga bisa dinilai dengan
berdasarkan fakta yang sebenarnya dan bisa dipertanggungjawabkan. Jadi perbedaan dua kalimat tersebut
adalah pada maknanya, ta shizai hen congming mengandung makna penilaian, pendapat pembicara terhadap
ta ‘dia’ secara subjektif. Sementara, ta queshi hen congming mengandung makna penilaian, pendapat
pembicara terhadap ta secara objektif.
Makna dan Penggunaan Ajektifa Manyi dan Manzu
Manyi ‘puas’ terdiri dari morfem man dan yi. Manzu ‘puas’ terdiri dari morfem man dan zu. Sekarang, mari
kita lihat tabel.3 yang berisikan makna tiap morfem yang membentuk dua kata majemuk ini.
Tabel 3. Makna Manyi dan Manzu
Man Yi Zu
Memenuhi, penuh; mengisi; puas, Maksud; pendapat, pikiran, aspirasi, Kaki; cukup, puas;
memuaskan, puas diri, sombong; keinginan, harapan; dugaan,sangkaan; pantas,layak, mendesak,
seluruh; berhasil, selesai. pertanda, isyarat, kesan. mendekati.

10
Lihat http://kbbi.web.id/rasa
350
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Penggunaan ajektifa manyi dalam kalimat you le zhe fen gongzuo, wo gandao hen manyi ‘saya
merasa puas memiliki pekerjaan ini’ bisa dipertukarkan dengan penggunaan ajektifa manzu. Namun, makna
dua kalimat tersebut memiliki perbedaan.
Makna man ‘memenuhi, puas’ digabung dengan makna yi ‘harapan, keinginan, aspirasi’ akan
menghasilkan makna puas yang muncul karena terpenuhinya suatu keinginan, harapan atau berhasil
terwujudnya suatu pikiran, aspirasi. Sementara makna man ‘memenuhi’ jika digabung dengan makna zu
‘cukup, puas, mendekati’ akan menghasilkan makna puas yang muncul karena pencapaian yang diperoleh
sudah cukup atau sudah mendekati dengan harapan, walau tidak sepenuhnya tercapai atau terpenuhi. Jadi,
bisa disimpulkan makna “rasa puas” yang terkandung dalam ajektifa manyi lebih tinggi dari makna “rasa
puas” yang terkandung dalam ajektifa manzu.
Ajektifa manyi dalam kalimat you le zhe fen gongzuo, wo gandao hen manyi ‘saya merasa puas
memiliki pekerjaan ini’ mengandung makna wo ‘saya’ sangat puas terhadap pekerjaannya karena
pekerjaannya tersebut sesuai dengan keinginan dan harapannnya. Sementara makna ajektifa manzu dalam
kalimat you le zhe fen gongzuo, wo gandao hen manzu ‘saya merasa puas memiliki pekerjaan ini’
mengandung makna puas karena sudah mempunyai pekerjaan, tanpa menekankan pekerjaan tersebut sesuai
atau tidak dengan keinginannya. Yang penting bagi wo ‘saya’ adalah saya mempunyai pekerjaan, dan itu
sudah cukup bagi wo ‘saya’ untuk merasa puas. Bisa dikatakan, manyi adalah rasa puas yang muncul karena
telah mencapai target sampai batas maksimal, sementara manzu adalah rasa puas yang muncul karena target
telah tercapai, keinginan telah terpenuhi, walaupun hanya mencapai batas minimal dari target atau keinginan
tersebut.

PENUTUP
Bahasa Mandarin termasuk bahasa morfemis. Kata-kata dalam bahasa Mandarin terdiri atas satu atau
beberapa morfem. Satu morfem adalah satu karakter Han, dan tiap karakter Han memiliki makna. Sebagai
pembelajar, sedini mungkin sebaiknya menyadari bahwa mempelajari makna sebuah kata majemuk, tidak
bisa hanya memahaminya sebagai satu kesatuan utuh sebuah makna. Sebagai pengajar, sudah seharusnya
membimbing dan mendorong pembelajar untuk mengetahui dan memahami makna tiap morfem yang
membentuk kata majemuk. Dengan demikian, tidak hanya dapat memahami makna dan penggunaan kata
majemuk tersebut dengan lebih baik, tapi juga dapat meningkatkan pemahamannya terhadap makna karakter
Han. Yang pada akhirnya, akan meningkatkan kemampuan bahasa Mandarin si pembelajar.

DAFTAR PUSTAKA
Chaofen Sun. 2006. Chinese linguistik Introduction. Cambridge University Press.
Djoko Kentjono. 1982. Dasar-Dasar Linguistik Umum: Morfologi. Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Francis Katamba. 1993. Morphology. The Macmillan Press LTD.
Janet Zhiqun Xing.2006.Teaching and Learning Chinese as a Foreign Language.Hong Kong University Press.
Kamus Mandarin – Indonesia disusun oleh Tim Perkamusan Universitas Indonesia. 1997. Penerbit Universitas
Indonesia
Kushartanti. Untung Yuwono, Multamia MRT. 2005. Pesona Bahasa:Langkah Awal Memahami Linguistik. PT.
Gramedia Pustaka Utama.Jakarta
汉语语法 文鹤出版有限公司
Li, Charles and Sandra Thompson. 1983. . .
Lyons, John. 1968. Introduction to Theoretical Linguistics. Cambridge University Press.
王力 王力古代汉语字典」北京:中华书局
Wang li .2009.
商务印书馆编辑部 辞源 北京:商务印书馆 .1992. .
中国社会科学院语言研究所词典编辑室编 现代汉语词典第 版 商务印书馆 .2010. 5 .

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Hatmi Idris
Institusi : Universitas Indonesia
Riwayat Pendidikan : The Graduate Institute of Teaching Chinese as A Second/Foreign Language,
National Taiwan Normal University , Taipei, Taiwan
S1 Sastra Cina Universitas Indonesia
Minat Penelitian : • Morfologi
• Sintaksis
• Pengajaran Bahasa
• Bahasa dan Budaya
• Penerjemahan
351
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
PEMEROLEHAN BAHASA IBU DALAM PERSPEKTIF PERKAWINAN CAMPUR
“BENGKULU-MINANG DAN BENGKULU-LOMBOK”

Arono
Universitas Bengkulu
dank_aron@yahoo.com

ABSTRAK
Setiap anak mengalami perkembangan pemerolehan bahasa yang berbeda dengan proses yang sama. Salah satunya
dipengaruhi oleh kedua orang tua yang berbeda daerah. Dalam hal ini pada anak usia dua tahun atau pemerolehan
satu atau dua kata. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan transformasi bahasa yang diperoleh pada anak yang
kedua orang tuanya berbeda daerah. Jenis penelitian ini, yaitu, deskriptif kualitaif dengan metode pengumpulan data
observasi, simak libat cakap, dan pencatatan. Adapaun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemerolehan bahasa
ibu pada anak yang kedua orang tuanya berbeda daerah mengalami transformasi tata bahasa yang diperolehnya, yaitu
penghilangan suku kata, penggunaan kata baru, penambahan huruf atau suku kata, dan ketepatan pengucapan atau
tuturan. Adapaun pemerolehan bahasa yang dominan digunakan, yaitu bahasa Indonesia, sedangkan bahasa
daerahanya lebih pada kata sapaan. Pemerolehan bahasa Indonesia pada anak akan dipengaruhi oleh tuturan kedua.
orang tuanya, lingkungan di mana anak tersebut berada, urutan dalam kelahiran, dan jenis kelaminnya.
Kata kunci: pemerolehan bahasa ibu; perkawinan campur; transformasi bahasa.
PENDAHULUAN
Fenomena pemerolehan bahasa pada anak sangat tergantung pada proses nurture dan nature
(Dardjowidjojo, 2012:237). Nature diperlukan karena tanpa bekal kodrati makhluk tidak dapat berbahasa.
Nurture juga diperlukan karena tanpa adanya input dari alam sekitar bekal yang kodrati itu tidka akan
terwujud. Artinya, keduanya sangat diperlukan dalam pemerolehan bahasa. Unsur nurture di sini salah
satunya sangat tergantung dengan pola asuh orang tua. Orang tua dari seorang ibu dan ayahnya atau orang
yang berada di sekitar di mana serang anak tumbuh dan berkembang. Kondisi ini didukung juga dengan
masyarakat Indonesia yang multikultural, yang memungkinkan adanya perbedaan bahasa dalam
penggunannya dalam lingkup keluarga sehingga keduanya menggunakan bahasa yang mereka sepakati atau
kuasai, salah satunya dengan menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasinya. Hal tersebut akan
berpengaruh terhadap pemerolehan bahasa yang anak gunakan. Kondisi ini dikenal dengan kawin campur.
Penelitian ”kawin campur” Jawa-Sunda atau Sunda-Jawa (Lumintaintang dalam Sumarsono dan
Partana, 2002:127-128) menunjukkan bahwa (1) Suami Sunda cenderung lebih positif dalam pemakaian
bahasa Indonesia, (2) Anak pasangan suami-istri (Sunda-Jawa) lebih positif terhadap pemakaian bahasa
Indonesia. Ini berarati faktor etnik ikut mempengaruhi sikap laki-laki terhadap bahasa atau mungkin laki-laki
bisa menjadai faktor pendorong pemakaian bahasa. Arono (2014:258-267) juga mengemukakan bahwa
kedua orang tua yang berbeda daerah sangat menentukan terhadap pemerolehan bahasa pada anaknya
terutama pada anak usia dua tahun atau pemerolehan satu atau dua kata. Pemerolehan bahasa ibu pada anak
yang kedua orang tuanya berbeda daerah mengalami transformasi tata bahasa yang diperolehnya, yaitu
penghilangan suku kata, penggunaan kata baru, penambahan huruf atau suku kata, dan ketepatan
pengucapan atau tuturan. Pemerolehan bahasa Indonesia pada anak akan dipengaruhi oleh tuturan kedua
orang tuanya (Minang-Besemah) dan lingkungan di mana anak tersebut berada, yaitu bahasa Bengkulu,
Bahasa Besemah, dan bahasa Minang.
Hal itu juga diperkuat bahwa bahasa ibu sudah dimulai sejak dalam kandungan. Sesuai dengan
pendapat Kent dan Miolo bahwa bahasa anak sudah dimulai sebelum dia dilahirkan, yaitu melalui saluran
intrauterine anak telah terekspos pada bahasa manusia waktu dia masih janin (dalam Dardjowidjojo,
2008:268). Oleh karena itu, bahasa ibu itu sangat memengaruhi bahasa pertama yang dikuasi atau diperloleh
anak. Selain itu, bahasa yang diperoleh oleh anak juga sangat tergantung oleh pemahaman bahasa yang dia
terima. Dalam pemerolehan bahasa disebut dengan teori hipotesis input. Teori hipotesis input merupakan
aktivitas berbicara dari hasil pemerolehan dan bukan penyebabnya. Ujaran tidak dapat diajarkan secara
langsung, tetapi muncul sendiri sebagai hasil pembentukkan kompetensi melalui masukkan terpahami. Jika
masukkan dimengerti dan tata bahasa tersedia cukup, tata bahasa yang dibutuhkan diberikan secara otomatis
(Krashen dalam Tiranto, 2001:32-33).
Selain itu, ayah adalah orang atau pihak suami orang yang paling dekat atau dominan berkomunikasi
dengan seorang ibu. Komunikasi itu akan sangat memengaruhi dalam pemerolehan bahasa seorang anak.
Seperti yang dikemukakan bahwa bahasa seorang ayah akan memakai bahasa lebih pendek, lebih banyak
memakai kalimat inperatif dan direktif, dan banyak meminta penjelasan dari anak (Manle dan Tomaselo
dalam Dardjowidjojo, 2008:242). Sebaliknya, bahasa ibu amburadul atau tidak selamanya apik. Akan tetapi,
dari input yang tidak apik ini akan dapat menyaringnya menjadi sistem apik, berbeda dengan Chomsky
352
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
bahasa ibu lebih banyak baiknya daripada amburadulnya (Snow, 1997). Itu artinya, bahwa bahasa tersebut
dipengaruhi jenis kelamin seseorang. Wanita mempunyai sikap hiperkorek, suara alto dan sopran, suara
lebih lembut, lebih banyak mempermainkan bibir dan mata, sedangkan pada bahasa lebih lugas dan apa
adanya, dan suara tenor yang dihasilkannya ( Sumarsono dan Partana, 2002: 98-105).
Tulisan ini merupakan kelanjutan dan pengembangan tulisan dalam seminar sebelumnya. Pada
kesempatan ini mengkaji pemerolehan bahasa anak dari perkawinan silang antarbahasa yang berbeda, yaitu
bahasa Lombok (Sasak) dengan bahasa Serawai, serta Bengkulu dan bahasa Minang dengan bahasa
Besemah (Bengkulu). Pihak suami berasal dari Bengkulu dan pihak istri berasal dari luar Bengkulu sehingga
bahasa yang digunakan dalam keluarga menggunakan bahasa Indonesia. Alasan penggunaan bahasa
Indonesia ini karena pihak istri kurang memahami dalam pemakaian bahasa Bengkulu dan begitu juga
dengan pihak suami juga kurang memahami penggunaan bahasa Bengkulu. Untuk itu, bahasa dalam
keseharian anak-anak yang digunakan menggunakan bahasa Indonesia. Saat anak-anak masih dalam
bimbingan orang tua atau sebelum umur empat tahun, anak-anak tersebut masih dalam pengaruh bahasa Ibu.
Anak-anak yang sudah sekolah atau prasekolah menggunakan bahasa yang digunakan di lingkungan
sekolahnya. Tulisan ini akan mengupas permasalahan yang ditemui dan dialami oleh penulis dalam
perspektif perkawinan campur dalam pemerolehan bahasa khususnya pemerolehan transformasi tata bahasa
dalam hal ini bahasa Indonesia.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini mengunakan penelelitian jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi
kasus. Secara deskriptif penelitian ini dilakukan semata-mata berdasarkan pada fakta yang ada atau
fenomena yang memang secara empiris dilakukan oleh penuturnya, sedangkan secara kualitatif bertujuan
mengungkapkan isi dan pesan-pesan atau maksud yang terkandung pada tuturan anak dan memberi makna
pesan yang terkandung di dalamnya (Mardalis, 1995:26 dan Muhadjir, 1996:49). Pendekatan studi kasus
merupakan penelitian yang menempatkan suatu objek yang diteliti sebagai ‘kasus’, yaitu pemerolehan
bahasa anak pada perkawinan campur antara Lombok dengan Bengkulu dan Minang dengan Besemah
Bengkulu yang menerapkan penggunaan bahasa Indonesia. Metode studi kasus menurut Creswell adalah
suatu penelitian yang dilakukan secara mendalam dan menyeluruh terhadap kasus yang diteliti, serta
mengikuti struktur studi kasus (Lincoln dan Guba dalam Heigham and Croker, 2009), yaitu permasalahan,
konteks, isu, dan pelajaran yang dapat diambil. Sumber data pada penelitian ini, yaitu tuturan pada anak
yang berusia satu sampai dua tahun yang bernama Zahra (1 thn. 10 bln.; ZH), Naisyah Al Qowiyah (1thn. 2
bln./NQ), dan Furqan Al Qowi (2 thn./FQ). Data diperoleh menggunakan observasi, simak libat cakap, dan
pencatatan.

PEMBAHASAN
Pemerolehan pada kata atau leksikon ini lebih pada pemerolehan suku kata yang terakhir. Hal ini sesuai
dengan prinsip umum yang lebih menitikberatkan pada peran yang ada pada ujaran (Dardjowidjojo,
2008:258). Begitu juga yang terjadi pada pemerolehan bahasa pada FQ bahwa tuturan suku kata atau satu
dua kata untuk pengucapan dalam setiap maksud ujaran dengan mengggunakan akhir setiap kata tersebut,
seperti ndis ndo yang berarti dia mau menulis dengan menggunakan spidol. Berbeda dengan ZH sudah lebih
jelas dalam pemerolehan katanya, seperti pada nenek tuo yang artinya nenek tua. Nenek tua ini diujarkan
saat menakuti-nakuti saudaranya. Dalam bahasa Bengkulu tuo itu berarti tua.
Cara anak menguasai makna kata dilakukan dengan cara referensi, cakupan objek, strategi perluasan,
cakupan kategori, nama baru-kategori tak bernama, dan konvensionalitas (Dardjowidjojo, 2008:262-264).
Strategi referensi dikemukakan FQ dalam menuturkan sesuatu lebih mengacu pada bendanya, seperti cici
ayang berarti sisir atau dia menginingkan minta rambutnya disisir. Startegi cakupan kategorian, seperti pada
turuan FQ setiap mainan atau kendaraan dituturkan dengan bumbum yang artinya mobil-mobilan atau
motor-motoran. Stragei kategorial, Furqan mengemukakan bahwa da atau yang berarti roda merupakan
semua jenis mainan atau kendaraan. Strategi nama baru-kategori tak bernama, Furqan di sini sudah
menguasai penggunaan beberapa kata kerja, seperti ndis yang berarti menulis, njam yang berarti pinjam,
embi yang berarti ambil, ikin yang berarti buatkan atau bikin susu, dan amba yang berarti tambah. Strategi
konvensionalitas, strategi ini masih digunakan pada kata ini yang menenujuk pada semua benda yang
diinginkannya, seperti pada ni aut ayang bararti ini laut, ni awang yang berarti ini gambar awan, dan ni ayun
yang berarti ini payung. Startegi perluasan, Furqan dalam hal ini menuturkan bola dengan tuturan ola pada
benda yang bulat sehingga jeruk yang dipegangnya dia katakan bola begitu juga dengan balon.

353
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Kesulitan penguasaan bunyi /r/ dan /s/ masih ditemui dalam tuturan yang diucapkan oleh FQ.
Kejelasan pengucapan bunyi /r/ dan /s/ berkisar pada usia dua tahun delapan bulanan. Kesulitan tersebut
terlihat ketika dia mengemukakan bunyi /r/ pada kata sisir yang dituturkannya dengan cici dan bunyi /s/ pada
kata susu yang dituturkan dengan cucu. Hal itu juga dialami oleh ZH dalam ujaran picang yang berarti
pisang. Hal yang sama ditemukan pada Razzaq (MQ) yang sudah berusia 6,5 tahun masuh belum fasih
mengucapkan /s/ seperti pada kata sdsudsu (sdyah dalam bahasa Arab). Kesulitan ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Sumarsono dan Partana (2002: 138) bahawa bunyi /r/ dan /s/ adalah bunyi paling sulit
diproduksi sehingga bunyi itu baru dikuasai anak setelah berusia beberapa tahun bahkan pada usia tiga tahun
masih belum lancar pengucapannya. Hal tersebut karena bunyi-bunyi dilafalkan sesuai dengan daya kerja
alat ucap mereka.
Pemerolehan bahasa pada usia anak dua tahun hingga dua tahun dua bulan ini disebut dengan tahap
pemerolehan periode kombinasi kata pertama atau dua kata (1:6 – 3:0). Masa ini anak-anak sudah
mengucapkan dua buah kata (Nababan, 1992: 80). Hal ini mungkin saja gabungan dari dua buah holofrasa,
seperti /nda cucu/ yang berarti ”Bunda tolong buatkan susu untuk saya!”. Penguasaan Pemerolehan bahasa
pada anak dua tahun berada pada pemerolehan satu kata atau dua kata. Tahap ini anak sudah dapat mengerti
dan menunjukkan alat-alat tubuh. Ia sudah dapat mulai berbicara beberapa patah kata (kosakatanya dapat
mencapai 200-300 buah kata). Tahap ini juga disebut sebagai tahap protolinguistik, yaitu usia satu tahun
hingga dua tahun (Lundsteen dalam Lazuardi, 1991:99). Adapun pemerolehan bahasa pada transformasi tata
bahasa yang diperoleh dapat diuraikan pada penjelasan berikut ini.
Saat itu, situasinya sedang bermain mobil-mobilan pada ruang keluarga. Ayahnya memegang roda
mobil-mobilan. Lalu FQ mengatakan ”njam” yang berarti pinjam atau minta. Pada tuturan ini terjadi
penghilangan beberapa konsonan dari kata pinjam, yaitu pi. Begitu juga pada kata sudah yang diucapkan
dengan tuturan dah yang artinya sudah saat ayahnya menannyakan apakah FQ sudah makan, kemudian
Furqan menjawab ”dah”.
Saat itu, Furqan sedang bermain ikat pinggang kemudian ayahnya memegang makanan agar-agar.
FQ berujar aga-aga sambil menengadahkan tangan. FQ berusaha meminta agar-agar yang dipegang ayahnya.
Kata ni uta berarti ini roda berputar. Kata tersebut terjadi pengilangan huruf i dan suku kata awal dan huruf
akhir, yaitu pu dan huruf r. Selain kata-kata tersebut juga pada kata rusak yang diturukan dengan kata sak.
Da dari kata roda, atu dari kata jatuh, num dari kata minum, pah dari kata tumpah, beda dari kata sepeda,
agul dari kata bagus, ndak dari tuturan tidak, awa-awa berarti awas. Tuturan atau kata awa-awa ini
digunakan FQ saat bermain mobil-mobilan supaya tidak menabrak mobilan yang lainnya.
Ndak dari kata tidak. Hal itu dituturkan FQ saat ayahnya memberikan sesuatu, tetapi FQ berujar
ndak. Ndak dalam bahasa bengkulu berarti mau, tetapi FQ di sini menggeleng sambil berlari mejauhi
ayahnya. Hal itu berbeda dengan yang dialami ZH yang sudah jelas pemerolehan bahasanya dalam satau
atau dua kata. ZH sebagai anak ke dua yang lebih cepat dan jelas memeroleh bahasa dibandingkan dengan
FQ anak tertua. Selain itu, jenis kelamin juga memengaruhi kecepatan dalam pemerolehan bahasa pada ZH.
Namun, ada beberapa kata yang ditemui, seperti pada kata takut yang diucapkan ZH dengan kata atut dan
talok berarti letakkan, .
Saat itu, FQ mengajak kakaknya (ayuk dalam bahasa Bengkulu, kakak perempuan) dengan tuturan
mak yang artinya mari kita bermain. Selain itu, memunculkan kata atau istilah baru dari kata pada konteks
yang sebenarnya, yaitu mak. Mak di sini mengungkapkan bahwa FQ mengajak bermain pada kakanya,
sedangkan dalam bahasa Besemah, mak itu merupakan tuturan pada orang tua perempuan yang dipakai
ayahnya dalam menyapa atau memanggil orang tuanya. Kemungkinan yang terjadi saat berkomunikasi
antara ayahnya dan bundaya kepada orang tua pihak ayahnya untuk menyapa ibunya dengan sebutan mak.
Hal ini memungkinkan FQ mencerna dan memahami bahwa orang selain ayah disapanya dengan sebutan
mak.
Pemunculan kata baru ini disebabkan suara yang dihasilkan dari benda tersebut, seperti pada kata
bembem. Dalam bahasa Bengkulu bahawa mainan itu terutama mobil-mobilan disebut dengan bebem.
Bebem ini diperoleh dari tuturan neneknya yang dari bahasa Besemah. FQ dalam kesehariannya dari pagi
sampai sore lebih banyak bersama nenek karena kedua orang tuanya berangkat kerja. Itu menunjukkan
bahwa setiap anak sejak lahir sudah dilengkapi dengan seperangkat peralatan (device) yang memungkinkan
memeroleh bahasa pertama sehingga anak mampu mengadakan respon dari rangsangan di lingkungannya
(Chomsky dalam Nababan, 1992:76). Hal ini dialami pada NQ pada kata ba-ba yang berarti dia mau
diputarkan lagu Baba Black pada tablet. Hal berbeda jika NQ memegang telepon. Dia akan meletakkan
teleponnya ke telinga dengan berujar ah-ah-ah. Itu artinya dia sedang menelpon atau ingin berbicara melalui
telepon.
Penambahan suku kata baru ini terjadi pada kata bagus. Saat itu ayahnya bertanya kepada FQ bahwa
apakah mobilan ini bagus, kemudian FQ menjawan agul, artinya bagus. Begitu juga pada kata rambut yang
354
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
dituturkan dengan ambuk. Saat itu ayahnya menanyakan mana rambut FQ, kemudian FQ menjawab ini
ambuk atau ambu sambil memegang kepalanya. Begitu juga saat mengatakan ”ambuk cici..” artinya dia
meminta rambutnya disisir. Begitu juga pada kata yap dari kata lap, tutuk dari kata tutup, dan abih dari kata
habis.
Begitu juga pada saat minta dilepaskan sesuatu pada mainannya, FQ akan berujar ah...ah yang
artinya minta dilepaskan. Hal yang sama diujarkan oleh NQ menandakan dia belum mau digendong atau
diambil dari ayunan atau ketika NQ tidak mau mainannya diambil. NQ dalam mengungkapkan itu diiukuti
dengan gerakan tangannya ke kiri-dan ke kanan dan menggeleng-gelengkan kepalanya.Ada juga beberapa
suku kata untuk pengucapan beberapa kata, misalnya ba...mah berarti mengajak untuk membuat rumah-
rumahan. Hal yang sama diujarkan oleh NQ untuk penggunaan penggalan suku kata ini. NQ dalam
mengungkapkan itu diiukuti dengan gerakan tangannya memukul-mukul lantai. Hal itu menunjukkan bahwa
NQ sudah mengeluarkan bunyi yang dapat diidentifikasi sebagai kata. Lebih pada suku kata yang akhirnya
atau belum lengkap. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa NQ sudah memahami bahasa orang dewasa,
seperti merespon saat namanya dipanggil, mencium pipi saat dikatakan sayang, menggeleng ketika diberikan
makan yang dia tidak menyukainya atau mendorongnya dengan tangan, serta melambaikan tangan atau da-
da saat abang atau orang tuanya bepergian.
Selain itu, terdapat kata akak aju berarti FQ meminta dibukakan bajunya. Pada penambahan huruf
dalam bentuk bebrapa kata ini menunjukkan bahwa anak sudah memunyai perkembangan kognitif, artinya
anak sudah mengungkapkan perasaan dan keinginan. Pada kata-kata tertentu ada penggunaannya belum
tepat, tetapi pada saat-saat tertentu sudah tepat penggunaannya, seperti pada kata tutup. Hal yang sama
dialami oleh ZH yang sudah mampun mengungkapkan keinginannya, seperti tidul dekat Abi berarti ZQ
mengajak abinya untuk tidur dekanya, ke masjid yo berialami oleh ZH yang sudah mampun mengungkapkan
keinginannya, seperti tidul dekat Abi berarti ZQ mengajak abinya untuk tidur dekanya, ke masjid yo berararti
mengajak abinya pergi ke masjid, hadap mana berarti apakah benar baju yang dipasangnya, dan belanja
malet bebarti mengajak umi dan abinya belanja ke Indomaret, serta macak berarti memasak.
Ini kaki merupakan penggunaan ketepatan tuturan yang dikemukakan oleh FQ. Saat itu ayahnya
menanyakan mana kaki FQ, kemudian FQ menjawab sambil memegang kakinya sendiri ini kaki. Begitu juga
pada tuturan yang lain, yaitu pipi, ayah dari kata ayah saat memanggil ayahnya, amin dituturkan saat dia
belajar solat saat selesai berdoa. Namun, ketepatan pipi pada konteks tertentu berarti mengatakan topi,
bahwa FQ ingin dipasangkan topi dalam berujar pipi.
Anak usia dua tahun telah mengalami transformasi bahasa atau tata bahasa dalam pemerolehan
bahasanya. Itu juga dialami oleh ZH, seperti pada kata mobil, papuk (nenek dalam bahasa Sasak, Lombok),
datuk, nenenk, mandi, kakak mano, dan kakak ciciak. ZH pada usianya sudah lebih tepat dan banyak
perbendaharaan kata yang diperoleh. Hal ini karena ZH anak yang kedua dari dua bersaudara. ZH intensitas
berbahasanya lebih sering dengan adanya kakaknya sebagai teman bermain selain dengan pengasuhnya.
Berdasarkan hal ini dalam pemerolehan bahasa pada anak tersebut ada andil orang lain selain kedua
orangtuanya atau saudaranya, yaitu pengasuhnya. Bagaimanapun penggunaan bahasa pengasuh akan
berpengaruh terhadap bahasa yang digunakan oleh si anak, seperti pada kasusnya ZH yang selalu
menggunakan yo pada setiap kata-kata yang dituturkan. Hal itu dapat dilihat pada kata-kata ZH pada mandi
yo, ke masjid yo, makan yo, dan tidur yo. Yo dalam bahsa Serawai dialek o itu artinya menegaskan setiap
pembicaraan yang artinya ya dalam bahasa Indonesia. Kata-kata yo ini ZH lebih banyak dapatkan dari
pengasuhnya yang dari penutur Serawai dialek O. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Bloom (1973) bahwa
langkah-langkah anak dalam pengembangan tata bahasanya adalah rote dan combination. Rote maksudnya
kalimat pertama anak sederhana saja dengan mengikuti bahasa orang dewasa. Secara mekanis bahwa rote
memunyai peranan penting dalam bentuk memori atau idiom yang diperolehnya dari orang dewasa.
Combination, yaitu prinsip anak mulai dapat menggabungkan beberapa kata. Adapaun pengaruh terdapat
kombinasi urutan kata, yaitu informatifines (menambah keterangan), complexity (kata yang pendek menjadi
panjang), agency (menciptakan peran baru), dan perspektif (sang anak mengidentifikasi tentang benda yang
disebutkan).

SIMPULAN
Lingkungan di mana anak tersebut berada salah satu penentu dalam pemerolehan bahasa pada anak selain
peralatan pemerolehan bahasa yang dimilikinya, seperti orang tua terutama ibu, ayah, kakak, adik, dan
teman bermainnya. Beberapa penggunaan bahasa yang digunakan oleh orang dewasa akan menjadi
penggunaan bahasa yang akan digunakannya sehingga orang yang terdekat dengannya, seperti kedua orang
tua yang berbeda daerah sangat menentukan terhadap pemerolehan bahasa pada anaknya terutama pada anak
usia dua tahun atau pemerolehan satu atau dua kata. Pemerolehan bahasa ibu pada anak yang kedua orang

355
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
tuanya berbeda daerah mengalami transformasi bahasa yang diperolehnya, yaitu penghilangan suku kata,
penggunaan kata baru, penambahan huruf atau suku kata, dan ketepatan pengucapan atau tuturan. Adapaun
pemerolehan bahasa yang dominan digunakan, yaitu bahasa Indonesia, sedangkan bahasa daerahanya lebih
pada kata sapaan. Pemerolehan bahasa Indonesia pada anak akan dipengaruhi oleh tuturan kedua orang
tuanya (Minang-Besemah) dan lingkungan di mana anak tersebut berada, yaitu bahasa Bengkulu, Bahasa
Besemah, dan bahasa Minang; bahasa Bengkulu, Serawai, dan Sasak; jenis kelamin; urutan dalam kelahiran
anak; pertumbuhan dan perkembangan anak.

DAFTAR PUSTAKA
Arono. 2014. “Pemerolehan Bahasa Ibu dalam Perspektif Kawin Campur” dalam Prosiding Bahasa Ibu: Pelestarian dan
Pesona Bahasanya. Bandung: Unpad Press.
Bloom, Lois. 1973. One Word At a Time. The Hague: Mouton.
Cahyono, Bambang Yudi. 1995. Kristal-kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga University Press.
Dardjowidjojo, Soejono. 2008. Echa: Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Dardjowidjojo, Soejono. 2012. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Heigham, J. and Croker, R.A. 2009. Qualitative Research in Applied Linguistics A Practical Introduction. Great
Britain: Palgrave MacMillan.
Lazuardi, Samuel. 1991. ”Perkembangan Otak Anak sesuai dengan Kemampuan Berbahasanya”. Pellba 4, lembaga
Bahasa Unika Atmajaya. Jakarta: Kanisus.
Mardalis. 1995. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Nababan, Sri Utari Subyakto. 1992. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.
Trianto, Agus. 2001. Belajar Bahasa Kedua. Bengkulu: FKIP Universitas Bengkulu.
Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sumarsono dan Piana Partana. 2002. Sosiolingistik. Yogyakarta: Sabda.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Arono
Institusi : Universitas Bengkulu
Riwayat Pendidikan : S3 Universitas Pendidikan Indonesia
S1 dan S2 Universitas Negeri Padang
Minat Penelitian : • Pragmatik
• Analisis Wacana
• Psikolinguistik
• Pengajaran Bahasa dan Sastra

356
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
MELAWAN LEGALISASI KEKERASAN BAHASA PADA ANAK; TELAAH ANALISIS
WACANA KRITIS TERHADAP BUKU ANAK ISLAM SUKA MEMBACA

Mohammad Andi Hakim


UIN Walisongo
andyhachim@gmail.com

ABSTRAK
Kekerasan selalu erat kaitanya dengan peristiwa yang mengerikan, menakutkan, menyakitkan dan bahkan mematikan.
Tindak kekerasan selalu mewarnai segala sendi kehidupan manusia dalam berbagai bidang seperti sosial, politik,
ekonomi, budaya dan bahkan sampai pada aspek pendidikan, seperti pada muatan buku ajar. Oleh Karena itu
penelitian ini menguak kekerasan bahasa, khususnya kekerasan simbolik dalam buku Metode Belajar Membaca Praktis
pada bagian Anak Islam Suka Membaca untuk siswa Taman Kanak-Kanak (TK) karya Murani Musta’in terbitan
Pustaka Amanah. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana praktik kekerasan simbolik dalam
pendidikan dan bagaimana bahasa serta kuasa simbolik yang terkandung dalam buku mata pelajaran tersebut.
Pandangan Pierre Bourdieu tentang kekerasan simbolik yang berhubungan dengan habitus, ranah dan modal
dijadikan sebagai landasan teoretis. Pandanganya yang menggelitik bahwa bentuk simbolik memiliki kekuatan untuk
menstrukturkan dan membentuk realitas. Selain itu bentuk-bentuk simbolik juga merupakan wilayah pertarungan,
pergulatan dan dominasi karena setiap kelompok akan mendefinisikan kondisi sosial sesuai kepentinganya. Lebih dari
itu, penelitian ini berupaya untuk memberikan pemahaman baru tentang konsep pendidikan agama nir kekerasan.
Analisis Wacana Kritis yang dikembangkan oleh Fairclough menjadi teori yang juga digunakan untuk membedah
permasalahan dalam penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Data penelitan berasal
dari uraian buku tersebut. Tahapan dalam analisis data yang dilakukan diantaranya studi literatur tentang kekerasan
simbolik dan Analisis Wacana Kritis, membaca teks dalam buku yang dikaji, mengidentifikasi kekerasan simbolik
dalam teks, dan menganalisis kekerasan simbolik didalam teks dengan menggunakan Analisis Wacana Kritis. Hasil
telaah yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat 32 kata dan rangkaian kata yang mengarah pada praksis
kekerasan simbolik dalam pendidikan. Selain itu, bahasa teks yang digunakan memuluskan suburnya upaya
penanaman benih-benih kekerasan dalam beragama. Hal tersebut telah dianalisis melalui identifikasi dengan
menggunakan analisis tekstual, analisis praksis wacana dan analisis sosiokultural sebagai keniscayaan dari teori
analisis wacana kritis. Selain itu, melalui analisis kekerasan simbolik menggunakan konsep habitus, arena dan modal
yang muncul pada analisis praksis wacana dan sosiokultural.
Kata kunci: Kekerasan, Simbolik, sosiokultural

PENDAHULUAN
Kekerasan erat kaitanya dengan peristiwa yang mengerikan, menakutkan, menyakitkan dan bahkan
mematikan. Tindak kekerasan selalu mewarnai segala sendi kehidupan manusia dalam berbagai bidang
seperti sosial, politik, ekonomi, budaya dan bahkan sampai pada aspek pendidikan. Fenomena kekerasan
tersebut tumbuh subur pada semua aspek kehidupan manusia, baik fisik, psikis maupun simbolik. Salah satu
tindak kekerasan yang meresahkan adalah kekerasan yang terjadi pada lembaga pendidikan. Pendidikan
yang hakikatnya sebagai media membentuk manusia yang berbudi luhur dan humanis, kini menjadi sasaran
utama bagi bersemainya bibit manusia yang sepakat dengan kekerasan.
Bourdieu (1992) menyatakan bahwa kekerasan dalam pendidikan sendiri dapat diklasifikasikan
dalam beberapa macam, di antaranya kekerasan fisik, psikis dan simbolik. Diantara ketiganya, kekerasan
simbolik merupakan bentuk kekerasan yang tidak nampak, namun berdampak besar. Pada umumnya konsep
kekerasan simbolik digunakan untuk menjelaskan mekanisme kelompok elit yang mendominasi struktur
sosial untuk memaksakan kehendak terhadap kelompok kelas bawah. Dominasi yang dilakukan adalah pada
bentuk pemaksaan ideologi, budaya, kebiasaan atau gaya hidup.
Studi tentang kekerasan simbolik ditinjau dari perspektif linguistik masih belum menjadi kajian
yang populer. Kajian yang relevan dengan pembahasan tentang kekerasan simbolik dapat ditemukan pada
karya Fatimah (2015) yang mengangkat tema mengenai Strategi Pertarungan Simbolik dalam Rubrik
Indonesia Satu Harian Kompas. Tulisan tersebut berakar pada upaya untuk mengungkapkan bentuk
pertarungan simbolik dan strateginya yang dianalisis dengan analisis wacana kritis Fairclough. Berbeda
dengan karya tulis Aunullah (2006) berjudul Bahasa dan Kuasa Simbolik dalam Pandangan Pierre Bourdieu.
Tulisan tersebut memguraikan pandangan Bourdieu dan hubunganya dengan kuasa simbolik. Beberapa
tulisan tersebut memiliki relevansi terhadap kajian tentang kekerasan simbolik dan pandangan Bourdieu
dalam memaknai term of symbolic violence. Selain itu riset yang pernah dilakukan oleh Hakim (2015)
berjudul Membongkar Akar Kekerasan Simbolik dalam Bahasa Teks; Studi Analisis Wacana Kritis
Tergadap Buku PAI dan Budi Pekerti SMA. Dalam penelitian tersebut, penulis menguraikan relevansi teori

357
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Bourdieu tentang kekerasan simbolik dengan analisis CDA Van Dijk terhadap isi buku. Hasilnya adalah
temuan-temuan penggunaan bahasa teks sebagai media kekerasan simbolik.
Kemudian, pada level inilah masih terbatas menemukan studi yang lebih mendasarkan pemikiranya
menggunakan kajian linguistik, khususnya menggunakan analisis wacana kritis. Analisis wacana kritis
merupakan kajian tentang relasi-relasi antara wacana, kuasa, dominasi, ketidaksamaan sosial, dan menelaah
permasalahan-permasalahan sosial (Fairclough dan Wodak, 1997). Dalam tulisan ini pendekatan analisis
wacana kritis yang digunakan adalah teori yang dikembangkan oleh Fairclough. Teori tersebut
mengamanatkan adanya analisis tekstual, analisis praksis wacana dan analisis sosiokultural sebagai
keniscayaan dari analisis wacana kritis. Selanjutnya analisis tersebut digunakan untuk membedah konten
buku Anak Islam Suka Membaca (Metode Belajar Membaca Praktis) untuk siswa Taman Kanak-Kanak (TK)
karya Nurani Musta’in terbitan Pustaka Amanah.
Kekerasan Bahasa Simbolik
Fenomena kekerasan dalam pendidikan tersebut tentu tidak asing terngiang dalam pola fikir dan pengamatan
civitas akademika. Selain klasifikasi diatas, Supraptio (2013:78) menguraikan beberapa bentuk kekerasan
dalam pendidikan seperti kekerasan fisik yang mengarah pada perilaku mencederai, dan merupakan tindakan
kekerasan yang berat. Selanjutnya adalah kekerasan psikis yang biasanya terjadi melalui tutur kata yang
kasar, sinis, hingga penghinaan yang dapat menyembabkan peserta didik merasa rendah diri dan pasif.
Kemudian kekerasan yang tidak kasat mata dan memiliki dampak yang signifikan adalah kekerasan simbolik.
Seperti diungkapkan oleh Martono (2012:5) bahwa konsep kekerasan simbolik pada dasarnya digunakan
untuk menjelaskan mekanisme yang digunakan kelompok elit atau kelompok kelas atas yang mendominasi
struktur sosial untuk “memaksakan” ideologi, budaya, kebiasaan, atau gaya hidupnya kepada kelompok
kelas bawah yang didominasinya.
Kekerasan simbolik dalam pandangan Bourdieu berhubungan dengan habitus, ranah dan modal.
Bourdieu (1995a: 86) dalam Aunullah (2006:100) menguraikan bahwa habitus bahasa berkaitan erat dengan
cara menggunakan tubuh dalam berbahasa, kemampuan untuk menghasilkan sekaligus menilai bahasa,
dialek, gaya bahasa, diksi, gaya pengucapan, intonasi, logat, aksen, dan mimik. Habitus bahasa tersebut
diperoleh oleh seseorang untuk menginterpretasikan struktur sosial dimana dia berasal dan hidup serta
bergantung pada kondisi pembentukanya. Dengan kata lain, habitus merupakan nilai-nilai sosial yang
dihayati oleh manusia yang tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama dan menjadi
pola fikir dan perilaku seseorang.
Bourdieu membuat sintesis untuk menggambarkan kuasa atau kekerasan simbolik. Pandanganya
bahwa bentuk simbolik memiliki kekuatan untuk menstrukturkan dan membentuk realitas. Selain itu bentuk-
bentuk simbolik juga merupakan wilayah pertarungan, pergulatan dan dominasi karena setiap kelompok
akan mendefinisikan kondisi sosial sesuai kepentinganya. Melalui bentuk simbolik pula kekuasaan dan
dominasi difahami dengan keliru, serta diakui sebagai sesuatu yang absah, akibatnya hal tersebutlah yang
membuatnya efektif (1995a: 166-8) dalam Ainullah (2006:105).
Praktik berbahasa tidak terlepas dari kehendak kuasa dari kelompok yang berasal dari habitus
tertentu untuk melakukan pemaksaan secara halus terhadap kelompok yang lain. Dalam keadaan seperti ini
kekuasaan yang mendominasi dikenali secara salah sebagai sesuatu yang baik, absah, terberi dan alamiah,
sehingga tidak disadari oleh objek kuasa. Oleh karenanya kekerasan simbolik merupakan kekerasan yang
dilakukan untuk mengubah dan menciptakan realitas sehingga membuatnya menjadi sesuatu yang absah dan
diterima.
Kekeraan simbolik tersebut berorientasi pada upaya mengubah pandangan dan kepercayaan
masyarakat terhadap sesuatu yang diingnkan oleh kelompok kuasa. Kaitanya dengan ranah penggunaan
bahasa yang mengarah pada kekerasan simbolik, bahasa digunakan sebagai modal yang dapat
mempengaruhi bahkan memaksakan cara pandang masyarakat. Dalam arti ini, kuasa simbolik benar-benar
berada dalam bahasa. “Kuasa simbolik adalah kuasa untuk membuat benda-benda dengan kata-kata”
(Bourdieu 1994: 138 dalam Ainullah 2006:114).
Lebih dari itu kekerasan simbolik terjadi pula pada content kurikulum dan materi ajar yang
digunakan. Buku-buku pelajaran disekolah acap kali condong memberikan contoh budaya kelas dominan
saja. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Martono (2012) terhadap buku jenjang pendidikan dasar yang
membuktikan adanya kesenjangan sosial antara kaya dan miskin dan penggunaan budaya kelas dominan
yang massif. Selain itu, kekerasan yang tidak disadari tersebut terjadi melalui bahasa, kegiatan ekstra
kulikuler dan mekanisme lainya. Bahasa sebagai salah satu sarana penyampai pesan menjadi fasilitas yang
memadai untuk melanggengkan hegemoni dan kekuasaan suatu kelompok.

358
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Analisis Fairclough
Analisis wacana kritis merupakan bagian penting dari perkembangan proses mengidentifikasi discourse
secara komprehensif dan radikal. Sementara Fairclough mendefiniskan Analisis Wacana Kritis sebagai
upaya untuk menguraikan dan memberi penjelasan dari sebuah teks yang bersumber dari seseorang atau
kelompok yang memiliki tujuan tertentu untuk mewujudkan keinginanya tersebut. Analisis wacana tiga
dimensi yang melekat pada kerangka teori Fairclough dalam Idris (2006:75) antara lain 1) Analisis teks,
yang berisi deskripsi tentang teks atau dikenal dengan analisis mikro. 2) Analisis discourse practice yang
berisi interpretasi proses produksi wacana dengan teks. 3) Analisis sosial budaya yang berisi penjelasan
antara proses wacana dengan proses sosial, atau dikenal sebagai analisis makro.
Beberapa dimensi diatas diuraikan Fairclough (1995a:57; 2000:311) untuk melakukan identifikasi
secara komprehensif terrhadap muatan yang terkandung didalam teks. Analisis linguistik sebagai analisis
teks menguraikan telaah terhadap kosa kata, semantik, tata bahasa dan unit-unit terkecil lainya dari sistem
tulisan. Hal tersebut menjadi dasar untuk menguraikan secara lebih memadai konten kebahasaan yang diteliti.
Dimensi praksis wacana berkaitan dengan pengolahan wacana yang meliputi beberapa aspek seperti
penghasilan, penyebaran dan penggunaan teks. Dimensi ini juga berkaitan dengan proses-proses institusional,
berkaitan dengan prosedur-prosedur editor yang dilibatkan dalam penghasilan sebuah teks (Mayasari et all,
2013:3).
Dimensi berikutnya adalah praksis sosial budaya yang dapat dianalisis berdasarkan keyakinan
bahwa konteks sosial yang ada diluar teks sebenarnya mempengaruhi wacana yang berkembang dalam
sebuah teks. Hal ini berkaitan pula dengan nalar penulis secara individu yang sesungguhnya tidaklah steril,
karena dipengaruhi oleh faktor-faktor diluar ruang teks yang dihasilkan. Fairclugh (1992a:67) menganggap
bahwa praksis sosial memiliki beragam orientasi antara lain; ekonomi, politik, sosial, budaya, ideologi dan
sebagainya yang dilokalisir melalui wacana yang dihasilkan. Idris (2006, 2006:81) dalam (Mayasari et all,
2013:3) menyatakan bahwa analisis dimensi praksis sosial merujuk pada usaha menjelaskan persoalan yang
berorientasi pada beberapa hal seperti nilai, kepercayaan, ideologi, filosofi, budaya, dan sebagainya yang
terdapat dalam wacana.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Seperti diungkapkan Donald (2005:137) dalam
Hakim (2013) bahwa penelitian kualitatif bertujuan untuk menggambarkan dan mengklarifikasi pengalaman
manusia didalam kehidupanya. Sehingga dalam penelitian ini, data yang diperoleh bersumber dari buku
Anak Islam Suka Membaca dan diidentifikasi, serta dianalisis melalui isi yang terkandung didalamnya.
Setelah mengidentifikasi data literatur yang memadai tentang kekerasan simbolik dan studi analisis wacana
kritis, penulis menjabarkan permasalahan secara sistematis menggunakan analisis wacana kritis Fairclough
dalam mengungkap kekerasan simbolik yang terkandung didalam buku tersebut. Penulis juga memberikan
analisis yang akurat terhadap fokus penelitian.

PEMBAHASAN
Analisis Tekstual
Data 1 Sabotase, granat, bom, golok
Data 2 gelora hati ke Saudi, syahid di medan jihad, selesai raih bantai Kiai, rela mati bela agama, gegana
ada dimana, bila agama kita dihina kita tiada rela, basoka dibawa lari, kenapa fobi pada agama,
Kafir harbi memusuhi muslimin.
Data di atas dikategorisasikan berdasarkan kata dan rangkaian kata. Data 1 dan 2 kurang tepat jika
digunakan sebagai bahasa yang diajarkan pada siswa TK. Pemilihan diksi tersebut mengarah pada
penggunaan istilah-istilah yang mengarah pada term kekerasan. Kata sabotase, golok, granat dan bom
merupakan kata yang berdiri sendiri, dan tidak berkaitan langsung dengan kata yang lain. Sehingga dapat
menimbulkan pemaknaan kata yang bias terhadap subjek dan objeknya. Disisi lain, pemilihan kata-kata
tersebut oleh penulis menyajikan data semantis bahwa anak lebih banyak dikenalkan dengan istilah-istilah
yang lazim digunakan dalam peperangan.
Data ke 2 dapat diuraikan seperti pada kalimat gegana ada dimana dan kafir harbi memusuhi
muslimin yang mengacu pada entitas gegana dan kafir harbi. Keduanya merujuk pada satuan institusi
kepolisian yang lekat sebagai musuh dari terorisme berlabel agama. Semenara Kafir Harbi merupakan
generalisasi bagi umat non muslim yang dianggap memusuhi orang Islam. Selain itu pada kalimat syahid di
medan jihad, selesai raih bantai Kiai dan rela mati bela agama, dominasi kalimat aktif yang muncul
mengandung interpretasi bahwa buku tersebut sebagai media belajar anak sudah berada pada konsep
359
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
pemikiran yang benar dalam berislam. Sehingga pemahaman penulis tersebut sangat ditonjolkan pada teks
tersebut. Kalimat-kalimat tersebut juga diidentifikasi sebagai kalimat imperatif, yang berarti hal tersebut
merupakan sebuah keharusan.
Sementara pada kalimat bila agama kita dihina kita tiada rela, dan basoka dibawa lari
menggunakan hukum kalimat pasif. Hal tersebut memberikan uraian bahwa pada teks buku terdapat
dominasi kalimat pasif yang digunakan. Pada kata dihina, dibawa tidak menjelaskan secara eksplisit siapa
partisipan yang dimaksud. Artinya pelaku atau sasaran yang dituju tidak disebutkan secara jelas. Selain itu
pada kalimat kenapa fobi pada agama juga tidak menjelaskan secara eksplisit partisipan yang dikehendaki.
Sehingga mengarah pada pemaknaan yang bias.
Analisis Praksis Wacana
Analisis praksis wacana dari data diatas dapat diuraikan melalui bebera hal; Pertama, representasi teks.
Analisis ini menunjukkan bahwa bahwa penulis merepresentasikan pemikiran dan ideologi beragamanya
didalam teks yang diproduksi. Selain itu, pemilihan diksi pada buku tersebut merepresentasikan entitas,
kelompok masyarakat, dan tempat yang dianggap bersalah dan suci. Hal tersebut menujukkan keberpihakan
penulis dalam merepresentasikan keyakinanya melalui bahasa teks, atau diidentikan sebagai habitus penulis.
Kedua, institusionalisasi bahasa. Dalam konsep Bourdieu dikenal dengan modal (capital) yang
menguraikan bahwa penulis memiliki modal sosial sebagai seorang pendidik dan penulis buku. Sehingga
dirinya memiliki bekal untuk melakukan penanaman terhadap ideologi yang diyakininya melalui bahasa teks.
Selain itu, ruang redaksi Pustaka Amanah sebagai penerbit melalui editor-editornya memberikan peranan
secara kelembagaan untuk menganggap buku tersebut layak dikonsumsi oleh siswa TK. Melalui modal
inilah kemudian buku tersebut mampu bertahan dan menyebar luas di Indonesia.
Analisis Sosiokultural
Analisis praksis sosial yang dilakukan mengarah pada tiga hal, antara lain: Pertama, berkaitan dengan
penulis secara individual yang tidak bersih dari segala sesuatu diluar teks. Penulis sebagai bagian penting
dari komponen masyarakat yang mampu memproduksi bahan ajar merepresentasikan ideologi dan
paradigma beragamanya melalui buku tersebut. Ideologi yang direpresentasikanya dalam pandangan
Boudieu didefinisikan sebagai habitus. Artinya, penulis berkeinginan kuat agar ideologi beragamanya
mampu diajarkan dengan samar melalui buku yang dihasilkanya. Representasi ideologi tersebut merupakan
bentuk kekerasan simbolik, karena siswa dipaksa untuk mengikuti secara tidak sadar ideologi yang diyakini
oleh penulis.
Kedua, orientasi penulis. Berakar kuat dari ideologi yang dimilikinya dalam beragama justru tidak
hanya berhenti pada orientasi ekonomi, melainkan ideologi. Buku yang telah tersebar hampir di seluruh
wilayah di Indonesia tersebut tentu bernilai ekonomis, namun disisi lain mendatangkan upaya transformasi
ideologi kepada siswa TK sebagai konsumen buku tersebut. Hal tersebut nampak dalam kata dan rangkaian
kata yang dipilih penulis sebagai media belajar anak dalam membaca.
Ketiga, budaya pendidikan. Pendidikan diposisikan sebagai arena bagi penanaman nilai-nilai dan
ideologi penulis melalui karya yang dihasilkan. Pendidikan menjadi arena paling efektif yang digunakan
penulis untuk melakukan transformasi ilmu dan ideologi kepada masyarakat, khususnya siswa TK. Melalui
buku ajar sebagai bagian penting dalam penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran, akan memudahkan
proses ideologisasi dengan modal bahasa.

KESIMPULAN
Kekerasan simbolik merupakan salah satu dari beberapa jenis tipologi kekerasan. Kekerasan tersebut terjadi
melalui bentuk pemaksaan ideologi maupun kebiasaan dari kaum dominan kepada kaum yang tertindas.
Tujuanya adalah agar sebuah tradisi, kepercayaan dan ajaran dari suatu kelompok maupun personal dapat
memiliki kelanggengan didalam kultur masyarakat. Salah satunya adalah bahasa, yang digunakan sebagai
modal untuk melakukan hegemoni kuasa terhadap sesuatu. Bahasa yang diproduksi baik lisan maupun
tulisan merupakan representasi dari pengetahuan seseorang yang dipengaruhi oleh struktur sosial yang
membentuknya. Oleh karenya, bahasa lekat dengan bentuk simbolik yang dapat mengarah pada upaya
kekerasan untuk mempertahankan kekuasaan. Analisis yang dilakukan terhadap buku Metode Belajar
Membaca Praktis dengan menggunakan telaah teori Fairclough memberikan gambaran tentang pesan dan
unsur-unsur pembentuk wacana dalam buku tersebut. Bahasa yang diproduksi oleh pengarang buku secara
jelas menunjukan keberpihakanya terhadap pemahaman ideologi Islam tertentu.

360
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
DAFTAR PUSTAKA
Aunullah, Indi. 2006. “Bahasa dan Kuasa Simbolik dalam Pandangan Pierre Bourdieu”. (Skripsi S1). Yogjakarta:
Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada
Bourdieu. 1995 dalam Aunullah. 2006. “Bahasa dan Kuasa Simbolik dalam Pandangan Pierre Bourdieu” (Skripsi S1).
Yogjakarta: Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada
Mustain, Nurani. 2015. Metode Belajar Membaca Praktis. Surakarta: Pustaka Amanah.
Hakim, Andi. 2016. “Membongkar Akar Kekerasan Simbolik dalam Bahasa Teks; Studi Analisis Wacana Kritis
terhadap Buku PAI dan Budi Pekerti SMA”. Prosiding ICLCS 2015. Jakarta:LIPI
Fairclough Norman. 1989. Language and Power. USA: Longman
Mayasari. 2013. “Analisis Wacana Kritis Pemberitaan “Saweram untuk Gedung KPK” di Harian Umum Media
Indonesia”. Bandung: Universitas Padjajaran
Martono (2012) dalam Supraptio (2013). “Membongkar Kekerasan Simbolik dalam Pendidikan”. Jurnal Edukasi
Volume X September 2013
Supraptio, Eko (2013). “Membongkar Kekerasan Simbolik dalam Pendidikan” dalam Jurnal Edukasi Volume X
September 2013

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Mohammad Andi Hakim
Institusi : UIN Walisongo
Riwayat Pendidikan : S2 Universitas Diponegoro
S1 UIN Walisongo
Minat Penelitian : • Analisis Wacana Kritis
• Sosiolinguistik
• Pengajaran Bahasa

361
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
DISCOURSE FEATURES OF FRAUD AND DECEPTION LETTERS

Clara Herlina Karjo


Bina Nusantara University
claraherlina@yahoo.com

ABSTRACT
Internet has made it possible for people all around the world to get connected, especially through text-based computer
mediated communication (e-mails). Unfortunately, some of these e-mails are intended to deceive or to take advantage
of the receivers. This kind of e-mails can be considered as fraud and deception letters (FDL) since their main objective
is to trick people into believing that they will get financial advantage from the senders. While a number of previous
researches focus on how to detect lying in oral communication, this study offers the possibility of detecting lies in text-
based computer mediated communication, or in other words, in fraud and deception e-mails. Lying often involves
creating a story that never happens, thus liars need to fabricate their languages to make their lies believable. There are
two objectives that will be addressed in this study. The first one is to find out the common linguistic cues shared in the
letters, and secondly, to display the discourse structures of FDLs. Data will be collected from the writer’s personal e-
mails which can be categorized as fraud and deception letters. There are five letters used in this study, each letter
ranges between 102 until 552 words, amounting to a total of 1903 words. The data will first be analyzed with a
concordancer program for their linguistic cues such as word quantity, pronoun use, emotion words and markers of
cognitive complexity (Pennebaker, et al., 2003). After finding the linguistic cues of deception in the data, all letters will
be compared part by part to find out the common discourse structure shared by those letters. Analysis will be done
using theories of forensic linguistic, discourse analysis, and Grice’s maxims of conversation. The results of this study is
expected to shed light on the discourse features of fraud and deception letters and hopefully to increase readers’
awareness in detecting lies in language.
Keywords: fraud and deception, discourse feature, forensic linguistics, e-mails

INTRODUCTION
Galasinski (2000) defines ‘deception’ as ‘a communicative act that is intended to induce in the addressee a
particular belief, by manipulating the truth and falsify of information’. He also added that deception is
intentional, because unintentionally misleading messages are described as mistakes, gaffes, and the like
(2000: 18). Creating a deception, or telling a false story, requires describing events that did not happen or
attitudes that do not exist. In addition to creating a convincing story, liars also must present it in a style that
appears sincere (Friedman & Tucker, 1990).
The act of lying can not only be done directly in face to face interaction, but also through computer
mediated communication, i.e. through e-mail. E-mail users must have received certain e-mails that offer
them a large amount of money and most people will immediately identify the e-mails as fraudulent scam and
delete them right away. These e-mails are usually considered as Nigerian Bank Scam since most of them are
originated from African countries (Eggington, 2008). However, there are some recipients who can still be
victims of their scam. The main problem is that the ‘victims’ cannot identify the linguistic cues of deception
in the letters.
Previous studies on deception focused primarily on features ‘accompanying language’ (Shuy, 1988)
or non-verbal indicators such as physiological arousals (Schafer, 2007). What is needed is actually the
examination of the language itself because language is a ‘key component of deceptive behavior’. Yet,
relatively little attention has been given to studying language used in deceptive communication (Hancock,
Curry, Goorha, & Woodworth, 2007).
Moreover, the use of communication media also has important implications for the study of
deception (Carlson, George, Burgeon, Adkins, & White, 2004; Hancock, 2007). How does deception affect
language use in text-based interactions such as e-mail and instant messaging: that is can linguistic patterns
differentiate between deceptive and truthful electronic communication?
Surprisingly, one linguistic cue to differentiate truthful from deceptive accounts is the number of
words used. Some research suggests that deceptive accounts will involve fewer words than truthful account
because liars need to avoid turning the focus on themselves. However, a study examining word production in
asynchronous CMC (i.e. e-mail) reported that liars produced significantly more words when lying then when
telling the truth (Zhou, Burgoon, Nunamaker, & Twitchell, 2004).
Zhou et al. (2004) mention that there are several factors why deceptive e-mails have more words.
First, because the communication medium was text-based, then the authors may have taken more time to
plan and edit their messages (Hancock & Dunham, 2001). Second, the majority of previous research on

362
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
deception has involved lies about verifiable facts in which the liars want to avoid contradicting the fact. And
the last factor is because the communication format is monologue, such as autonomously describing an event.
Besides word quantity, there are others linguistic cues such as pronoun use, negative emotion words
and markers of cognitive complexity (Newman, Pennebaker, Berry, & Richards, 2003) which are specific to
deceptive accounts. Moreover, deceptive letters also have typical discourse structure. Thus, in this study, the
writer will analyze the linguistic dimensions as well as the discourse structure of five e-mails which can be
categorized as fraud and deception letters (FDL).

METHODOLOGY
Data. The data for this study are taken from the writer’s personal e-mails, consisting of five scam e-mails,
ranging from 102 up to 552 words. Those e-mails were compiled into a corpus of 1903 words in total.
Data analysis. The data were analyzed in two ways. First, by utilizing AntConc concordance
program, the writer was looking for three language dimensions that are usually related with deception, i.e.
self-reference (pronoun use), negative emotion words and cognitive markers (Newman et.al., 2003).
Furthermore, the analysis of discourse structures was done by following Swales’ (2004) CARS
(Create A Research Space as described and exemplified by Eggington (2008).

RESULTS AND DISCUSSION


Linguistic Cues of FDLs
Table 1. Language Category of Deception Letters
Linguistic cues Text 1 Text 2 Text 3 Text 4 Text 5 Total
Rajwa Vanessa Veronica Rashid K Justina 4 women, 1
Sender’s name
Jbelly Kabore Oedrago Ghazi Savadogo man
Word quantity 552 524 368 102 357 1903
Pronoun use
First person 24 16 19 6 17 82
Second person 20 20 15 6 18 79
Third person - - 4 - 6 10
Emotion words 10 - 1 - 2 13
Cognitive
2 4 5 1 12 24
markers
Although the name of the author is not included in the linguistic dimension, it seems that the authors
of deception letters prefer to use women’s names as the senders. Women might be considered more ‘honest’,
thus increasing the truth value of the content of the letters.
The word quantity of the data ranges from 102 to 552 words, thus making the average of 380 words
each. For e-mail communication, this is quite long. This study confirms Zhou et al.’s (2004) study that liars
tend to produce more words when lying than when telling the truth because they have to create narratives
which look believable.
The next language dimension involves the use of pronoun. Previous research maintains that liars
tend to use more second and third person pronouns rather than first person pronouns. This is done to shift the
focus to others rather than to themselves. However, in these e-mails, the difference in the use of first person
pronouns with second and third person pronouns is not too significant. The difference is only 7 samples (89
– 82). In these letters, the authors mostly use the first person pronouns to build the story about them.
Surprisingly, there are not many negative emotion words in these letters. Among the data, there are
only 13 negative emotion words such as abuse, sickness, hopelessness, suffering and dead. Newman et al.
(2003) posit that deceivers use negative emotion words than truth tellers. The use of negative emotion words
indicate that liars may feel guilty about lying or about the topic they are discussing.
The last language dimension is cognitive markers such as because, knows, but and without. There
are only 24 words of this category. The process of creating a false story should consume cognitive resources
(Richards & Gross, 2000). Thus, if deceptive communications are less cognitively complex, liars should use
more motion verbs and fewer exclusive words (Newman et al., 2003).
Discourse Analysis of FDLs
The data show similar discourse features of formal letters. However, the existence and the order of the
features may vary in one letter to another. The analysis will focus on the salutation and the body of the
letters. The body of the letters is discussed by adapting Swales’ Create a Research Space (CARS) model as
exemplified by Eggington (2008).
363
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Salutation. As usual, all letters should begin with salutation to the recipient. In formal letter, the words used
are dear sir, dear madam, dear Mr. Jones, etc. In the data, it is found that two texts only use ‘dear’ without
mentioning the recipients. This indicates that the senders do not know the recipients. Two others tried to
appeal for the addressees’ trust by using ‘dear/dearest friend’. The last one used ‘dear God’s select’. This
kind of salutation is used as an appeal to the ego of the ‘victim’ that he/she is specifically selected by God to
help other people.
Step 1 (opening) in the “Create a fraudulent narrative” move by identifying who the sender is and why they
want to need the assistance. This is the most important part in which the authors try to convince the
recipients that their narratives are true. To avoid infringing the quality maxim (a bias toward the truth), the
authors created their stories based on the facts that can be verified from the internet. They even gave the
links of the related facts. In one of the letters, Miss Rajwa Jbeily Daoud from Homs Syria claimed to be a
surviving daughter of Syrian Army General Daoud and became the victims of Syria war conflict. She
inserted the link of the news from www.dailymail.co.uk and she even attached her passport and pictures of
her family. The authors of two other letters, Mrs. Veronica Oudrago and Mrs. Justina Savadoogo, had
similar stories. They claimed to be the surviving spouses of Tunisian and Australian ambassadors in Burkina
Faso. Both admitted that they had been married for 11 years without a child. Moreover, they also said that
they had cancer and they only had a few months left to live. This story aims to arouse the sympathy of the
recipients for the writers of the letters. The last two authors asserted that they were bank managers in
Burkina Faso who were in charge of some unclaimed money. They said that the money is in the ‘escrow
transit account’ belonging to no one in the bank.
Step 2 consists of establishing the relationship between the senders and the recipients and they state the
reasons why they have contacted the recipients. In normal situation, it is highly unlikely that a person is
willing to give money to a stranger, someone whom he has never met or known before. Thus, in this step the
senders should tell how they found the recipients. From the data, only two letters mentioned that they found
the recipients’ emails from business directory or from the chamber of commerce/industry database. The
other tree letters did not specify how they choose the recipients.
Step 3 includes the detailed narratives on how the funds were constructed. The narratives in this step were
related to the stories built in step 1. For example, two women who claimed to be the widows of the
ambassadors said that their husbands left them a sum of deposited money in the banks. The one who claimed
to be the victim of Syrian war asserted that her family had deposited some money in Syrian bank. Two other
authors who admitted to be bank managers claimed that they had control of some unclaimed funds in their
banks. The amount of money is given in numerals and then ‘spelled out’ to enhance the official and financial
nature of the texts. To tempt the ‘victims’, the senders provided a range of US$ 3.3m up to US$ 10.2m.
Step 3a follows step 3 by showing the problem regarding the funds. The bank managers said that the money
was kept in an ‘escrow transit’ account belonging to no one in the bank and the bank did not know the
beneficiary of the fund. The bank managers can help release the fund if the recipient claims as the
beneficiary. Miss Jbely, the Syrian war victim stated that she could not take out the money because the
Syrian government banned the transfer of money out of Syria through bank, so she would move the money
through UN delivery agent or diplomat to the recipient’s country. The other two women (the ambassadors’
wives) did not have anyone to take care of their money.
Step 4 contains the plea for help from the reader in the form of a request for assistance. In this step the
senders set the readers as the rescuer. This step is usually followed by promising the reward for the
recipients. Let’s start with the widows of the ambassadors. They said that they will die shortly because of
cancer and they want to give their money so that God will forgive their sins. Thus, they need the readers’
assistance in managing their money. They told the recipients to take 30% of the money and give 70 % for
charity. The other said 60 % for the recipient and 40% for charity. In these two samples, the senders did not
want the money for themselves. On the other hand, the senders of the other letters still kept some of the
money for themselves. The first bank manager who wanted to retire said that she will share the fund 50%
for her, 40 % for the recipient and 10 % for charity. The second manager will split the money 50 % for him
and 50 % for the receiver. The Syrian war victim did not mention the money arrangement.
The next step, step 5 is a plea for sensitivity and trust, assuring that there is no risk in the money
transfer. Not all the letters use this step. Only two authors, both of whom claimed to be bank managers,
employed this step. Here’s the sentence used: “Please know that there is no one that is going to question you
about the fund if you will comply with me and follow my instruction which will help us a lot to achieve this
goal.” This step is followed by step 5a which solidifies the trust step and calls the victim to make contact

364
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
through email. To solidify the trust, the sender of text 1 attached a copy of passport and her family pictures.
While all letters ask the recipient to indicate her/his interest by replying through e-mail, only the author of
text 1 who clearly demanded the information of full name, age, sex, active mobile phone, current address, ID
copy. The others will wait until the receiver reply their e-mails.
Step 6 Closing. All the authors sign off with normal business closing such as Regards, Best Regards, Best
With or Yours followed by the authors’ full names. Author of text 4 even added his telephone number.

CONCLUSION
Deception can be done directly in face to face interaction or through computer mediated communication
such as e-mails. In direct interaction, deception can be detected from verbal as well as non-verbal signs such
as gesture, eye movement, etc. However, in text-based accounts like e-mails, linguistic cues are the only way
to differentiate deceptive accounts from truthful ones. The analysis of five deceptive e-mails in this study
reveals that the four language dimensions as stated by Newman et.al (2003): word quantity, use of pronouns,
negative emotion words, and cognitive markers occur in the e-mails. However, the occurrence of each cue in
this study differs from that of the previous studies. The second finding of this study also confirms
Eggington’s (2008) analysis that deceptive e-mails follow certain discourse structure. In this case, creating
deceptive accounts can be likened to creating research paper which consists of step 1 until step 6 as
formulated by Swales (2004). Thus, it can be concluded that creating deceptive accounts is not as easy as it
seems to be because telling lies is draining the liar’s cognitive resources.

REFERENCES
Carlson, J. R., George, J. F., Burgoon, J. K., Adkins, M., & White, C. H. (2004). Deception in computer-mediated
communication. Group Decision and Negotiation, 13, 5–28.
Friedman, H. S., & Tucker, J. S. (1990). Language and deception. In H. Giles & W. P. Robinson (Eds.), Handbook of
language and social psychology. New York: John Wiley.
Galasinski, D. 2000. The Language of Deception: A Discourse Analytical Study. London: Sage Publications.
Hancock, J. T., Curry, L. E., Goorha, S., & Woodworth, M. (2007). On Lying and Being Lied To: A Linguistic
Analysis of Deception in Computer-Mediated Communication. Discourse Processes, 45(1), 1–23.
http://doi.org/10.1080/01638530701739181
Hancock, J. T.,&Dunham, P. J. (2001). Language use in computer-mediated communication: The role of coordination
devices. Discourse Processes, 31, 91–110.
Newman, M. L., Pennebaker, J. W., Berry, D. S., & Richards, J. M. (2003). Lying words: predicting deception from
linguistic cues. Personality and Social Psychology Bulletin, 29(5), 665–675.
http://doi.org/10.1177/0146167203251529
Schafer, J.R. 2007. ‘Grammatical Differences Between Truthful and Deceptive Written Narratives’. Available at:
http://www.psychologytoday.com/files/attachments/49599/dissertation-pdf.pdf
Zhou, L., Burgoon, J. K., Nunamaker, J. F.,&Twitchell, D.Hancock, J. T., Curry, L. E., Goorha, S., & Woodworth, M.
(2007). On Lying and Being Lied To: A Linguistic Analysis of Deception in Computer-Mediated
Communication. Discourse Processes, 45(1), 1–23. http://doi.org/10.1080/01638530701739181

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Clara Herlina Karjo
Institution : Bina Nusantara University
Education : S1, S2, and S3 Atma Jaya Catholic University of Indonesia
Research Interst : Discourse Analysis

365
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
CHOOSE TO SPEAK ENGLISH AT HOME:
FAMILY LANGUAGE POLICY OF THREE NATIVE INDONESIAN FAMILIES

Rebecca Urip Wattimena


Universitas Indonesia
rebekka.wattimena@gmail.com

ABSTRACT
English has been selected as the world’s global language therefore it is obvious that many parents from non-English
speaking countries attempt to have their children acquiring English as early as possible. However, raising English
bilingual children for non-native English speakers while living in their homeland, in particular for whom whose home
countries treat English as a foreign language such as Indonesia, could be a challenge and would need a special
language approach. This study explored family language policy of three native Indonesian families who have been
successfully bringing up their children in English as their home language while living in Jakarta. The intention of the
study is simply to reveal their language practices and the factors that promote these families choosing English as
language of their family as this language practice is not the natural practices of families in the wider community.
Through interviews and questionnaires to the parents and the children, the study was able to reveal how both
languages were used in these families in which there were predominant usage of English and a very limited usage of
Indonesian. Although all families admitted that they did not implement any conscious language policy nor specific
strategy at home, the parents had made decision before the children were born to use English as the language they
speak to their children, and also all parents have been exposing their children only to English environments. The
children speak Indonesian only to their non-English speaking extended families for example to their grandma and
cousins, and also to domestic staffs such as maids and drivers. The families have shifted their historical family
language from Indonesian only to English-Indonesian bilingual, however the third generation is potentially loosing
their Indonesian and shift into English only speakers.
Keywords: World/Global English, Bilingualism, Family language policy, Language Attrition

INTRODUCTION
As the present lingua franca, English is an essential language to be acquired as it is used for transnational
communications worldwide. Therefore, people from non-English countries feel the urge to master English
language because of a general understanding that English will give them access to connect with more people
in the world (Crystal, 2003). Despite the fact that acquiring English is very important, English status in
Indonesia up to present is still considered by the Government as a foreign language although the
Government reinforces English as a compulsory subject at school. Dardjowidjojo (2003) argues that the use
of English for international communication is less promoted and majority people in Indonesia have “less-
than-adequate knowledge of English.” Therefore, only few people of the population in Indonesia can use
English in real fluency (Kirkpatrick, 2010). Notwithstanding the least use of English in Indonesia, some
local parents have adopted English as their language to raise their children. This phenomenon was reviewed
in New York Times magazine posted by Norimitsu Onishi (2010). The article describes some upper-middle-
class Indonesian children who speak English rather than Indonesian, their own native language, while
residing in Indonesia. Native Indonesians who successfully bring up English bilingual children while living
in their homeland is plausible because English is not widely spoken in Indonesia, so there is no community
support in practicing the language. Therefore, such families should have a strong language policy and
management to have the expected outcomes.
Various case studies on bilingual families were conducted and these studies have revealed the
aspects that play key roles in the development of bilingual children such as parental input pattern,
frequencies of the languages use and the parents’ interactional strategies in communication with the children
and the attitude of the environment (Lanza, 2007). The latest issue that has attracted researchers on
bilingualism is on the current globalizing and international trend where English has invaded the non-English
speaking countries’ language ecology particularly in the area of socio-economics, education and media. As
a result, more of these non-English speaking countries’ citizens have adopted English as their dominant
language and have become English bilinguals (De Mejia, 2002). There are numerous studies exploring
English bilinguals in the non-English speaking countries such as English bilinguals in South Africa,
HongKong, China, Singapore and Malaysia (Vaish, 2008, Tsui, 2007, Li, 1996), however only few studies
explored the role of English in Indonesia and English bilinguals in Indonesia. Most of the studies on
English role in Indonesia discuss about English teaching and learning in Indonesia or investigate English
code switching phenomena of English bilinguals as result of mix-marriage or overseas returnees. This
study tried to fill in the gap by enriching the studies of English role in Indonesia. It attempted to investigate
366
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Family Language Policy (FLP) of typical families who are native Indonesians and living in Jakarta,
Indonesia, but using English as their home language. The study aimed to reveal how they practice the
languages.
Family language policy (FLP) is a linguistics study initially to examine pattern of language use
within home and among family members. The goal of FLP study is to provide an integrated overview of
how languages are implemented within the families in which how languages are managed, learned and
negotiated (King in Ren and Hu, 2013). Curdt-Christiansen (2013) points out that researchers who studied
FLP tried to understand questions such as why and how do some transnational families maintain their native
language while other families lose their language. They also questioned how are children of transnational
families growing up in monolingual society become bilinguals while other children growing up in bilingual
society become monolinguals.
This study investigated 3 (three) native Indonesian families who rear English bilingual children
while living in Jakarta focusing on finding out how these families use the languages with all its implications,
the research questions for this study are as follows:
1) What is the actual language practices of the native Indonesian families who adopt English as the home
language while living in Jakarta?
2) To what extent are both languages used within the family?
Family Language Policy
Family is the most important domain in language policy study because family has a critical role in forming
the child’s linguistic environment therefore family is the start of language policy (Schwartz and Verschik,
2013, Caldas 2012). Every family has its own language policy whether the policy is explicitly made or it is
implicit in the do’s and don’s of the family’s social policy. Some parents will not allow their children to use
particular words that they think are not appropriate to say in certain situations and parents may implicitly
established policy to make sure children will say the ‘proper’ words. Therefore, parents will have their own
standard of speech that their children have to follow when they are at home. Naturally, family uses the
native language or languages of the parents or language that is used by their big community that determined
by government as national and/or official language. This points out by Caldas (2012, p.351) that “the default
home language policy is predetermined by history and circumstances beyond the family’s control such as it
is determined by the parents’ native languages and or by regulatory,” for example Indonesians who has their
own ethnic inheritance will speak their ethnic language and/or Indonesian, the language of the nation. On
the other hand, some families may make overt and explicit choices of which languages to speak at home and
make plans and strategies to raise children using the languages (Caldas, 2012). This is the case of the
present study that families explicitly has chosen English as their home language in fact English has no
ethnicity or heritage roots in the family history.
FLP is an integrated research field that examines how languages are managed, learned and
negotiated within family members (King, 2008). This field is an integration of several studies such as
bilingualism, sociolinguistics, psycholinguistics and language policy and planning as it seeks explanation on
language choices and its implications in the families level. There are three major components to analyze
FLP suggested by Spolsky (2004, 2009) that are language practices, language belief or ideology and
language planning and management. By analyzing these three components, we can understand how some
families do succeed in holding on to their preferred language (s) and how the others fail and loss the
language. In order to fully understand these three components Spolsky (2004, 2009) further defines those
as follows:
1) Language practices: the habitual pattern of selecting among language varieties that make up its linguistic
repertoire;
2) Language beliefs or ideology: the beliefs about language and language use;
3) Language management: any specific efforts to modify or influence that practice by any kind of language
intervention, planning or management
To show how family language practices Schwartz (2013) suggests two models of researching and
analyzing parent-child language practices resulted from case studies conducted by Dopke (1988, 1992) and
Lanza (1997, 2004). Dopke (1988, 1992)’s model of research focused on in-depth analysis of parent-child
conversational interaction. Dopke investigated 6 (six) German-English speaking families in Australia who
are successful or fail to transmit intergenerational minority language to their children. It is discovered that
successful inter-generational transmission of the minority language is strongly related to the child-centered
during parent-child interaction. Lanza (1997, 2004)’s model of research focused on analyzing discourse
strategies applied by parents in their interaction with children. Lanza investigated English-Norwegian
bilingual first-born children and discovered that the discourse strategy where one parent strictly speak only

367
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
the minority language to the children while the other parent speak the minority language in addition to the
majority language was very effective to the children’s acquisition of the minority language. These two case
studies employed qualitative approach to gain insight into the role of interactions by all family members to
reveal actual multilingual practices (Schwartz, 2013).

METHODOLOGY
This report is part of a larger qualitative descriptive FLP case study to find out language family policy
practices and its implications to the language life in the families. The case study is utilize because,
according to Berg (2004), case study is a research method to effectively understand how the subject of the
study operates or functions. The data was collected through open ended questions interviews to enable the
participants to tell spontaneously about their language experiences and also through questionnaires. The data
results from the questionnaires were mostly used to find answers on language choice and to what extend
both languages are used by the participants, and also their language beliefs. Observations on the language
used in the families also were conducted as well to have more in-depth findings and experiences on the
families’ language practices.
Participants
The subjects of this study are three Indonesian-English bilingual families consisting of three couples and
eight children. When selecting which families were able to represent the language phenomena that this study
would like to reveal, the following three criteria were taken into account:
(1) The family is Indonesian citizens who both parents are native Indonesians;
(2) The family lives in Indonesia and makes a living in Indonesia;
(3) Both parents’ native language is Indonesian but raise their children in English.
The three families are upper-middle class Indonesian citizens who live in Jakarta. All of the
mothers are fulltime house makers. The fathers’ occupations are varied, owner of some companies, high
level executive in a reputable national company and a pastor of an English church. Most of the parents had
lived and had their education in an English speaking country, however all of the children are raised up in
Jakarta. The children have been abroad only for vacations.
Findings
From the interview it was found out that all of the participating families have had socializing English to their
children since they were born and have been continuing using English as parent-child-parent language and
language among siblings at home. The children speak Indonesian most of the time to the domestic helpers,
the drivers and also to the non English speaking grandparents and relatives. All children are studying in an
International school where language of for medium of instruction is only English.
To describe the pattern of language use of the three families, this study has adopted Harding-Esch
and Riley (2003) diagram. The model of diagram was developed by Harding-Esch and Riley (2003) in his
attempt to describe 17 types of bilingual family pattern of language choice. The diagram is structured using
four criteria: language used by the parents together, language used by the father and mother when addressing
the children, language used between the children and language used to others in the community. Data was
taken from the questionnaires and the interviews.
Family A
The two languages, English and Indonesian, are existed in the landscape of Family A’s language use
however it shows domination of English spoken by members of the family, except, only when the Father
communicates with the big community, English and Indonesian both equally dominant. It is showed also
that the children’s never speak Indonesian with their parents although the parents occasionally speak
Indonesian to the children. The children use very limited Indonesian. Son A declared during the interview
that he is more comfortable using English when socializing with friends because he speaks English much
better than Indonesian. He doesn’t know how to speak formal Indonesian. Daughter A also declared she is
more comfortable using English when socializing with friends because she has better vocabulary in English
language compared to Indonesian. She stated that she has more freedom to speak using English.

368
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14

Diagram 1. Language Pattern of Family A


Family B
The pattern of Family B’s language use is illustrated in the following Diagram 2. Comparing to Family A,
there is one additional existence of strong language, which is Mandarin but it is spoken only between parents.

Diagram 2. Language Pattern of Family B


The diagram showed that the language dominantly spoken in the family is English while Indonesian
is spoken by Father B for business purposes and Mother B in some of her social group such as Indonesian
bible study group. Mandarin is spoken between the parents however the children do not speak Mandarin.
Mother B said they understand Mandarin but do not speak the language. The children speak limited
Indonesian mostly to the domestic helpers such as to the maids and the drivers. Mother B admitted that all
of her children are very poor in their Indonesian although they have a private Indonesian tutor train their
Indonesian. This shows that Parents B actually want their children to also acquire Indonesian.
Family C
The diagram showed that both Parents C use both languages, English and Indonesian equally dominant to
communicate between themselves as well as to outside community, however, only Mother C speaks
Indonesian to the children while Father C only speaks English to his children. During the interview Mother
C stated that her first daughter speaks only English but lately she has started speaking in Indonesian
although with a very strong accent that similar to a foreigner child accent. The second daughter (Child C2)
does not understand Indonesian at all. Mother C frequently spoke in Indonesian for example she said “Baby,
tolong ambilin itu dong buat mami,” (Baby please get that for mommy). Mother C said that Child C-2
understood her request. Both Children C speak English with their grandparents from both sides, and the
grandparents tend to accommodate them as much as possible. In the interactions with their cousins, in
which not all of the cousins speak English, Both Children C talk to domestic helpers mostly in English and
sometimes did code-switching such like “Mbak why you nggak ikut?” (Mbak, why you don’t come along?).

369
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016

Diagram 3. Language Pattern of Family C

CONCLUSION
A Predominant English and Undeveloped Indonesian
The three families’ language patterns similarly have shown a predominant use of English for parents and
children communications. Although Indonesian is used in the Family A and Family C between parents-
children however the children use Indonesian in a very limited way. Family B does not use Indonesian to
speak within the direct family members however both Parents B and Children B use Indonesian to interact to
other than direct family members.
The level of the Indonesian language used by the children is less dominant. Most of the children
admitted that they need Indonesian only for communicating to their maids and drivers. At this stage the
children felt that their Indonesian is within a ‘survival’ level. This shows that the children’s Indonesian are
not developed. Myers-Scotton (2002) points out that even when children are exposed with two languages,
when bilinguals do not maintain equality of the two languages, the children will shift away from one
language and become monolingual of the other language. Therefore if there is no effort from the parents to
encourage their children using Indonesian, the risk of loosing their Indonesian proficiency is great and
potentially they will shift away from Indonesian and become monolingual English.
This study has an enormous limitation as the number of participants was very few to consider it as
representation of a particular population, however with massive invading of English in the social media,
gaming, and English movies to Indonesia particularly to big city as Jakarta, the typical Indonesian-English
speaking children such as the participants of this study are burgeoning and this particular speech group
become an interesting subject for bilingualism or FLP studies. The fact that English status in Indonesia is a
foreign language and only few people speak English do not make impossible for native Indonesian parents to
raise English bilingual children however it can be at the cost of their Indonesian language as indicated by the
three families children’s lack of Indonesian proficiency.

REFERENCES
Berg, B.L.,2004. Qualitative research methods for the social science. (5th Ed.). Boston: Pearson
Caldas, S.J., 2012. Language policy in the family. In Spolsky, B. (Ed.), The Cambridge handbook of language policy
(pp. 351-373). Cambridge: Cambridge University Press.
Crystal, D., 2003. English as a global language. (2nd Ed.). Cambridge: Cambridge University Press.
Curdt-Christiansen, X.L., 2013. Family language policy: Sociopolitical reality versus linguistic continuity. Language
Policy, 12, 1-6.
Dardjowidjojo, S., 2003. The Role of English in Indonesia: A Dilemma. K.E. Sukamto (Ed), Rampai Bahasa,
Pendidikan, dan Budaya: Kumpulan Esai Soenjono Dardjowidjojo, 41-50. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
De Meija, A., 2002. Power, prestige and bilingualism: International perspective on elite bilingual education. Clevedon:
Multilingual Matters Ltd.
Harding-Esch, E., & Riley, P., 2003. The Bilingual family: A handbook for parents. (2nd Ed.). Cambridge:
Cambridge University Press
King, K.A., Fogle, L., & Logan-Terry,A., 2008. Family language policy. Language and Linguistics Compass, 2(5),
907-922.
King, K.A., & Fogle, L. (2006). Bilingual parenting as good parenting: Parents’ perspective on family language policy
for additive bilingualism. The International Journal of Bilingual Education and Bilingualism, 9(6), 695-712.
Kirkpatrick, A., 2010. English as a lingua franca in Asean: A multilingual model. HongKong: HongKong University
370
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Press.
Lanza, E. (2007). Multilingualism and the family. In Auer, P. & Wei.L. (Ed.), Handbook of multilingualism and
multilingual communication (pp. 45-67). Berlin: Walter de Gruyter GmbH.
Myers-Scotton, C., 2006. Multiple voices: An introduction to bilingualism. Oxford: Blackwell Publishing.
Onishi, N., 2010, July. As English spreads, Indonesians fear for their language. The New York Times.
Retrieved from: http://www.nytimes.com/2010/07/26/world/asia/
Schwartz, M., 2010. Family language policy: Core issues of an emerging field. Applied Linguistics Review. (1).1,
171–192.
Schwartz, M. & Vershick, A., 2013. Achieving success in family language policy: Parents, children and educators in
interaction. In Schwartz, M, & Versschick, A. (Eds.), Successful family language
policy: Parents, children and educators in interaction (pp. 1-20). Dodrecht: Springer Science+Business Media.
Schwartz, M., 2008. Exploring the relationship between family language policy and heritage language knowledge
among second generation Russian-Jewish immigrants in Israel. Journal of
Multilingual and Multicultural Development, 29(5), 400-418.
Spolsky, B., 2004. Language policy. Cambridge: Cambridge University Press
Spolsky, B., 2007. Towards a theory of language policy. Working Papers in Educational Linguistics (WPEL), 22,
Retrieved from http://www.gse.upenn/edu
Spolsky, B., 2009. Language management. Cambridge: Cambridge University Press.
Spolsky, B. (2012). Family language policy–the critical domain. Journal of Multilingual and Multicultural
Development, 33(1), 3–11.
Spolsky, B. (Ed.)., 2012. The Cambridge handbook of language policy. Cambridge: Cambridge University Press.

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Rebecca Urip Watimena
Institution : University of Indonesia
Education : S2 Applied Linguistics Atma Jaya Catholic University of Indonesia
S1 State University of Jakarta
Research Interst : • English as the Global Language
• Bilingualism and Multilingualism
• Sociolinguistics

371
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
GENDER DIFFERENCES IN THE REALIZATION OF COMPLAINTS BY INDONESIAN
LEARNERS: A CASE STUDY

Marina Christifani
Atma Jaya Catholic University of Indonesia
marina_christifani@yahoo.com

ABSTRACT
People as human beings cannot live alone because they need somebody else to complement each other. They
communicate as a basic need through the language as a tool. People share knowledge and information. Additionally,
people express their feeling either good or bad. However, people should consider politeness when interacting in order
to avoid the conflict. Therefore, the interlocutor tries to soften the utterances to sound polite and protect other’s face.
Brown and Levinson (1978) break down the face into two types which are positive face and negative face. Positive face
is the want of human being to be desired, liked, or accepted in one community. In contrast, negative face is the want of
human not being to be imposed or freedom from the action. Thus, both faces need to be maintained or protected.
Complaint according to Trosborg (1995) is the expression of the negative feeling or disapproval. The aim of this study
is to investigate what kinds of complaint strategies and complaint modifications were produced by male and female
learners. The data of this study are obtained from Indonesian 25 males and 25 females of STBA LIA’s students Jakarta
by filling in the DCT (Discourse Completion Test) form which consists of nine different scenarios. The results of this
study show that both groups of learners tend to employ quite similar strategies. In terms of complaint strategies, male
and female students prefer employing the modified blames. Yet, female learners produce more modified blames
compared to male learners. Related to complaint modifications, male and female learners tend to upgrade their
complaints. In addition, male and female learners prefer to produce the substantiations of the external modifications.
Interestingly, the data obtained show that there are some learners producing more than one complaint modification
types with low number of occurrences. The last results show some male and female learners prefer to be silent.
Keywords: complaint, complaint strategies, complaint modifications, internal modifications, and external modification

INTRODUCTION
People complain because they do not feel satisfied for what happens around them. It could be because of
someone or something. However, complaining must consider the audiences since it may trigger conflict. In
addition, proper complaint can maintain the relationship. Interlocutors must consider politeness when they
interact. So, people can achieve smooth community without conflict. Politeness is different from one culture
to another. For example, in Indonesia commonly we should not address the older by his or her name. In
contrast, it is appropriate to address the older by his or her name in most western countries. Thus, people are
well- advised to know and understand culture well where they live. Furthermore, Brown and Levinson (1978)
divide the politeness into two types: positive face and negative face. Positive face is human need to be liked,
complimented, or be accepted as a member in one group or society while negative face is human need not to
be imposed or ordered by others. Both faces must be maintained. However, people who fail maintain their
face can result face threatening.
Moreover, gender is believed to make distinction when males and females interact. Generally
females converse more politely compared to males (Holmes, 1992). Lakoff (2003) argues females prefer to
converse indirectly. Yet, males prefer to speak more directly. Beeching (2002) argues that females avoid
using swear words in order to be polite while males tend to use swear words when they speak. Lakoff adds
that females’ speech style tend to use hyper correct language, super polite form, tag questions, hedging (as
cited in Mills, 2003, p.2).Therefore, females are able to posses opportunity to higher status (Romaine, 2003).
Related with gender, this study attempts to see the differences between males and females in
complaining using Trosborg’s frameworks which are complaint strategies and complaint modifications.
Trosborg (1995) defines complaints as the negative feeling expressed by the speaker or complainer toward
the hearer or complainee including disagreement, disapproval, annoyance, etc. Furthermore, Boxer (1989)
categorizes complaint into two types. They are direct and indirect complaints.
This study involves 50 respondents consisting of 25 males and 25 females of STBA LIA Jakarta. In
addition, the respondents are from three different majors: teaching, journalist, translation. They are expected
to fill in nine different questionnaires in the form of DCT (Discourse Completion Test) as if they were in the
real situations.

372
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
THEORETICAL FRAMEWORKS
In analyzing the data, there are two frameworks used in this study proposed by Trosborg (1995) specifically
complaint strategies and complaint modifications. Complaint strategies are divided into 8 types:
a. No explicit reproach
1. Hints, for example: ‘I study well was okay before you come’.
b. Expression of disapproval
1. Annoyance, for example; see now what have you done, I’m so disappointed
2. Ill consequences, for example: ’look what you have done now I can’t use this phone anymore’.
c. Accusation
1. Direct, for example: you borrowed my clothes without even saying anything.
2. Indirect, for example: you used my hand phone, didn’t you?
d. Blame
1. Modified blames, for example: you know it’s very important for me, now you should fix it as soon as
possible.
2. Explicit blames (behavior), for example: Hey dude, please turn down your stupid music. Don’t you see
I’m struggling here.
3. Explicit blames ( person),for examples: send my thing dick
The second framework is complaint modifications:
1. Internal modifications are characterized by the use of modality markers of linguistic device.
a. Downgraders are meant to weaken or lessen the complaint in order to reduce the impact of the complaint
on the hearer side.
1. Downtoners, the markers are: ’maybe, perhaps, possibly, probably’, etc.
2. Understaters, such as ’a little bit, a second, not very much’, etc.
3. Hedges, such as ’kind of, short of, somehow’, etc.
4. Subjectives, ’I think, I suppose, I’m afraid, in my opinion,’ etc.
5. Cajolers, such as ’you know, I see, I mean’, etc.
6. Appealers, including tags, such as ’okay, right and don’t you think’, etc.
b. Upgraders are meant to increase or strengthen the impact of the complaints on the hearer.
1. Intensifiers, such as ’such, so, very, quite, really, terribly, awfully, frightfully and absolutely’, etc.
2. Commitment upgraders, such as, ’I’m sure, I’m certain, I ‘m positive, it’s obvious’, etc. and adverbials
such as ’surely, certainly, obviously, and unfortunately’, etc.
3. Lexical intensification, for example : ’You cut the line’ and ’What the hell are you doing?’
2. External modifications
External modifications or supportive moves are characterized by using a low level of directness.
a. Preparators, for example: ’Listen, I’d like to say something very important. You borrowed my books,
don’t you? ’
b. Disarmers, for example: ’I don’t want horrible about it’.
c. Providing evidences, for example: ’This is not my order’.
d. Substantiations, for example: ‘People are queuing’.

METHOD
The method used in this study was a qualitative research. Furthermore, simple statistic was used to present
the number of the findings. Before the data were collected, the researcher did the pilot project to ensure the
participant would not find the difficulties in completing questionnaires which consisted of nine different
scenarios. There are several steps in analyzing the data collections:
1. The data were classified into complaint strategies
2. The data were carefully classified into complaint modifications and see whether the combinations of
complaint modifications were involved in this study.
3. The conclusions were drawn.

FINDINGS AND DISCUSSIONS


The result reveals other than complaint strategies and complaint modifications in which the researcher finds
four combinations of complaint modification. Moreover, several male and female learners prefer to be silent.
The tables below present the result of the study.

373
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Table 1. Complaint strategies Produced by Male Learners

Table 2. Complaint Strategies Produced by Female Learners

Table 3. Internal Modifications Produced by Male Learners

Table 4. Internal Modification Produced by Female Learners

374
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Table 5. External Modifications Produced by Males and Females
Scenarios Males Females
P D PE S P D PE S
1 9 4 1 2 8 2
2 6 4
3 10 1 8
4 1 1 7
5 5 1 6
6 17 17
7 10 13
8 3 1 1 13 7 13
9 4 2 15 5 17
Total 22 6 21 56 20 8 17 66
Table 6. Combination of Complaint Modification
Scenarios The combinations of Complaint Modification
Internal and External Downgraders & Upgraders Double Downgraders Double Ugraders
Males Females Males Females Males Females Males Females
1 1 3
2 2 1
3 1 2
4 1 1 2
5 1
6 1 3 1
7
8
9 1
Total 3 5 3 8 1 1
Table 7. Silent Learners
Silent Learners
Scenario Males Females
1 1
2
3 3
4 1
5 5 5
6 1
7 1
8
9 2
Total 14 5
In terms of complaint strategies, the data above show only small significance between males and
females in employing complaint strategies. The data above shows that both males and females tend to
produce similar strategies with a different number of occurrences. They are: modified blames, ill
consequences and hints. Another slight difference in distribution of internal modification can be found in
internal modifications. The top two modifications are: lexical intensifications and intensifiers. In addition,
the third most common modifications produced by males are appealer. Yet, females produce downtoners. In
connection with external modification, the data show that males and females prefer to employ the similar
modifications which are substantiations, preparators and providing evidences
The data reveals that four combinations of complaint modification. They are: combination of
internal and external modifications, combination of downgraders and upgraders, combinations of double
downgraders and combination of double downgarders. Interestingly, the data show that several males and
females prefer to be silent.
From the findings, it shows that males and females tend to generate more or less similar strategies
and complaint modifications. The tendency shows that females’ speech style tends to be direct when
complaining with a small significance. This directness usually belongs to males’ speech style.
Furthermore, the combination of complaint modification has different functions: to make the
utterances even more strengthen or soften and to make the utterances weak and strong at the same time. It
seems that several males and females are conscious to avoid conflict by remaining silent.
375
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
CONCLUSIONS
Producing complaints are complex or difficult because we want to express negative feelings but at the same
time we must keep polite in order not hurt others. The results of this study show that both males and females
must be more aware about politeness when complaining. Thus, the relationship between the interlocutors can
be harmonious without conflict. However, remaining silent might be the best solution to keep good
relationship. The data also reveal that most males are less responsive compared to females learners.

SUGGESTIONS
To obtain more illuminating data, a researcher can involve more participants in the research especially
contrasting Indonesian and other languages. In addition, the variations of the scenarios can be added.

REFERENCES
Beeching, K. 2002. Gender, politeness, and pragmatic particles in French. Amsterdam, Philadelphia: John Benjamins
Publishing Company.
Boxer, D. 1989. Building Rapport through indirect complaint: implication language learning. Retrieved from
https://www.gse.upenn.edu/wpel/sites/gse.upenn.edu.wpel/files/archives/v5/v5n2Boxer.pdf
Brown, P., & Levinson, C., S. 1978. Politeness some universal language use. Cambridge: Cambridge University Press.
Holmes, J. (1992). An introduction to sociolinguistics. London and New York: Longman.
Lakoff, R. 2003. Language, gender, and politics putting women and power in the same sentences. In J. Holmes & M.
Meyerhoff (Eds), The handbook of language and gender (pp.159-177). United Kingdom: Blackwell
Publishing Ltd.
Mills, S. 2003 .Gender and Politeness .Cambridge: Cambridge University Press.
Trosborg, A. 1995. Interlanguage pragmatic: requests, complaints, and apologies. Mouton De G ruyter.

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Marina Christi Fani
Institution : Atma Jaya Catholic University of Indonesia
Education : S2 Applied Linguistics Atma Jaya Catholic University of Indonesia
S1 STBA LIA Jakarta
Research Interst : • Sociolinguistics
• Pragmatics
• Translation
• Teaching

376
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
INVESTIGATING LANGUAGE FUNCTIONS IN THE ONLINE REVIEWS OF TOURIST
RESORTS IN INDONESIA THROUGH THE USE OF KEYWORDS

Rika Mutiara
Universitas Mercu Buana
rikamutiara.1205@gmail.com

ABSTRACT
The growth of technology especially internet gives wider opportunity to all persons to produce writings accessible by
other. One of the ways is through the use of online review writings on the websites. Online reviews cover some topics
such as movies, books, food, tourist resorts, etc. Online review is a new register and the texts in this register have not
been studied deeply. The study aims to investigate language functions in the online reviews of tourist resorts on the
tripadvisor website through analyzing the keywords in the texts. Baker (2004) mentioned that keywords convey
essential ideas in the texts. Therefore, analysing the keywords will give a clear view of what the writers intended. In the
present study, the corpora contain of reviews of tourist resorts in Bali, Lombok, and Yogyakarta written by
international traveler by the middle of 2015 to January of 2016. Each corpus represents the reviews of tourist resorts
in one city. Therefore, there will be three corpora that have equal sizes (around 10,000 words for each corpus). Next,
the keywords will be identified by using lextutor (a free online program to identify keywords, concordance, etc). Words
that are mentioned as keywords are those who have significant frequencies compared to the reference corpus. Brown
corpus will be chosen as the reference corpus because it was made up by written texts. Then, not all keywords will be
analysed. They will be selected based on some criteria. First, they must occur in at least 2 corpora. Second, the
minimum frequency in all corpora is 10. A close concordance analysis will be conducted to investigate language
functions. The language functions will be categorized as describing, telling experiences, stating feeling, and giving
advice and opinion. It is expected that the present research will give contribution to the study of online review register.
Keywords: language functions, online review, keywords

INTRODUCTION
Nowadays, information is easily shared and accessed by others through the internet. It helps people all over
the world to look for information. Everyone has opportunity to share knowledge and experience. Some
websites mainly focus on facilitating persons to share and get information. One of them is a website where
people review particular products or services based on their experiences and others get information by
reading the reviews. The readers are willing to know what reviewers experienced and their opinions towards
the products or services. This type of text is an online review. Usually the reviews focus on the particular
category of products or services like movie, book, or travel. This study concerns with the online reviews of
tourist resorts.
Some studies that deal with online reviews has been done. Marza (2013) studied the use of
evaluative adjectives in the online reviews of hotels written by travelers come from English speaking
countries in Tripadvisor website. Through the use of evaluative adjectives, the study reveals how the writers
potray the hotels. Marza scrutinized the concordance lines and collocations of some words related to value,
room, location, cleanliness, and service. It helps readers to see whether what the hotels present match to
what customers experience. It is found that there are lexical variations used in the reviews. The writers tend
to give positive opinions. The adjectives also appear as the titles of the reviews and these titles give
summary of the reviews.
Another study has been conducted by Taboada (2011). This study deals with online movie reviews.
The purpose of the study is investigating the stages of online movie review. Main parts of the reviews are the
general summary, description, and evaluation. Summary and evaluation appear in most reviews. In the
description, the reviewers described the characters, plot, and background information. The language use is
characterized by informal language. Temporal marker such as after, since, then was usually found in
description and causal marker such as but, cause, and if in evaluation.
Based on the discussion above, the previous studies are related to online reviews that focus on hotel
and movie reviews. There has not been a study discussed the tourist resort reviews particularly the language
functions use in the reviews. The study aims at investigating the language functions in the online reviews of
tourist resorts. This investigation helps us to see what messages actually intended to convey by the writers.
Doing manual text analysis with around 30,000 words takes more time. Therefore, the study applied
corpus method to conduct the analysis. In a corpus, some words are keywords. Keywords are words that are
more significant in a corpus compared to a reference corpus. Keywords show significant lexis in the corpus
and it might be analysed to uncover what topics or issues the writers concern. It is necessary to set up cut off
point to make sure that the keywords are representative of the texts. It might be done by setting up the
377
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
minimal frequency and occurences in each text. Therefore, only keywords that match to the criteria that will
be studied (Baker, 2004).

METHODOLOGY
The data were taken from Tripadvisor website in January 2016. Tripadvisor is a web in which readers can
write and read reviews of tourist resorts. The reviews used in the current study were reviews of tourist
resorts in three cities i.e. Bali, Lombok, and Yogyakarta written in English by international travelers by the
middle of 2015 to the middle of January 2016.
To make the corpora, the texts were copied and pasted into txt.file because both tools used to find
the keywords (Antconc and Lextutor) only process the files in the form of txt. There were three corpora.
Each corpus represents reviews in one city. The size of each corpus is around 10,000 words. The three
corpora consist of 31,518 words. To get the list of keywords, the files of corpora were run into lextutor
online program. This is a free program that can be accessed in lextutor website. Brown corpus was chosen as
a reference corpus because it consists of written language only like the reviews. It resulted in 140 keywords.
These keywords were selected again based on two criteria. First, it must occur in at least 2 corpora. Second,
the minimum frequency in the corpora is at least 10. There are only 25 keywords that fulfill these criteria.
The concordance lines and collocations were analysed to find the language functions. In
investigating the concordance and collocations, a piece software named Antconc was used. It is free
software downloaded from the Anthony Laurence’s website. In searching the collocations, the span is 4
words to the left and 4 words to the right. The collocations which are content words (nouns, verbs, adjectives,
and adverbs) were observed.
The language functions were categorized into describing, giving advice and suggestions, telling
activities, and stating feelings. To search the language function of giving advice and suggestions, some
phrases those are best to …, and you should/can/could were run into Antconc. These phrases were selected
from the concordance lines observation of keywords. It was found these phrases convey the messages of
giving advice and suggestions. Therefore, searching the language functions of giving advice and suggestions
is by examining concordance lines that have these phrases.

FINDINGS AND DISCUSSION


There are 25 keywords extracting from 3 corpora. The table below shows the keywords and their frequencies.
List of keywords
Keywords
trek swim temple cave stun
volcano beach especially sunset monkey
bike tour breathtaking climb souvenir
waterfall guide disappoint vendor amaze
lava sunrise rubbish motorbike hindu
For nouns, both singular and plural forms occur in the corpora such as bike and bikes. For volcano,
both plural forms, volcanos and volcanoes exist in the corpora. Some adjectives occur in the forms of past
participle and present participle such as amazed and amazing. There are only two keywords belong to verbs,
climb and swim. It is only climb that occurs in the form of present and past participles. The next part of the
paper presented the language functions in the reviews based on keywords analysis.
Describing
In their reviews, the writers described views, places, activities, time, objects, trips, persons, food,
experiences, and animals. The following is the concordance lines that show how the writers described
temple.

378
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
In this example, the keyword is temple. The description of the temple is related to for what religion
the temple was made (line 1). Besides, other physical descriptions such as size (lines 8-9) and style (lines 4-5)
appear in the texts. It was found that temple collocates with very, beautiful, Bali, small, Sewu, Prambanan,
etc. Besides using adjectives, intensifier very sometimes occur before adjectives as can be seen in the
concordance lines. Collocation between beautiful and small to temple shows that the writers described the
object as what they perceived. The collocation to Bali reveals that the writers described the location of the
object. From the occurrences of names such as Sewu and Prambanan, the writers gave information about the
names of the temples.
Besides describing an object like temple, the writers described activities they have done such as trek.
When they described trek, they mentioned the duration (lines 1,5 and 6), location (line 5), and gave their
opinions towards the trek such as stunning, hard, beautiful, toughest, and amazing (lines 1-5) as in the
following concordance lines.

Two keywords those are breathtaking and stunning were used. Breathtaking was intended to
describe experience (line 3), object i.e. water (line 5) and view (line 2). Stunning was used to describe view
(line 1), places (line 2 and 5), and location (line 3).
According to Macmillan dictionary, breathtaking and stunning were labeled as words with one red
star. It means that these words are not frequent in English. The pictures below show the words label.
One of the keywords is Hindu. Based on collocation investigation, there is a high collocation
frequency between Hindu and temple compared to other words. Hindu is mostly used to describe temple.
Sometimes the writers also mentioned the name of the Hindu temple, Prambanan as might be seen in the
following concordance lines.

GIVING ADVICE AND SUGGESTIONS


To give advice, some words such as recommend, recommended, should, and best to appear in the corpora.
Recommended sometimes occur in the negative form as in not recommended. Recommended is also
sometimes proceeded by adverbs such as strongly, very much and highly. While the adverbs that appear with
recommend are very and highly. The writers encouraged the readers to try some activities, join the tours, and
prepare the equipments such as trekking shoes. In addition, they told what types of travelers suitable for
particular activities. The writers tried to be as informative as possible so the readers might anticipate the
situation. The concordance lines bellow show how the writers wrote what they recommended.

379
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Other advice appears in phrases best + present participle. The examples bellow show that the main
message of advice is time of visit. Some advice occurs with should and sometimes adverbs such as
definitely and seriously follow should.

Besides patterns discussed above, some advice was written in the form of imperative sentences as follows:
1. Try the jeep tour.
2. A small tip - bring some food for breakfast up & share the bread provided by the tour agency with the
monkeys instead!
3. Check the weather and ensure to have your gear - especially the right footwear.
The imperative sentences might come directly (examples 1 and 3) or it was preceded by a phrase (a small tip)
that make readers more aware like in example 2. The use of a small tip causes the readers that what was
mentioned is helpful for them.
The writers also mentioned possible activities to do. Usually this feature begins with the phrase you could or
you can as follows.

Through these expressions, the writers gave ideas possible activities to be done by the readers in the tourist
resorts.
Telling activities

In this part of review, the writers narrated the trip, told the sequence of activities based on their
experiences. A part of review below shows sequences of activities i.e. swim, move back to the coast, and eat.

Sometimes they narrated what others did based on what they saw. In the first line of the concordance,
the writer narrated what the local man did. In the second line, the writer told his group’s activity, climbing.
Another character that commonly told in the review is guide. Guide is also a keyword. It seems that
the writers did a number of activities with the assistance of guides. What guide did was written in the review
as follows:

To know some activities that the writers told, keywords which are verbs were observed. One of them is
swim. When the writers stated this activity, they also described water in those swimming using the
adjectives fresh, calm, and deep enough as might be seen in the concordance lines below.

Besides investigating keywords that belong to verbs, some keywords that are nouns such as cave and
volcano were examined to see what verbs collocate to these nouns. It was found that cave collocates with
lowered. Volcano collocates with overlooking. The concordance lines can be seen as follows:

380
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14

Stating feelings
Both positive and negative feelings were expressed in the reviews. The writers expressed their positive
feeling through the use of amazed while negative feeling appears as disappointed.

An occurrence of disappointed also appear with not that gives positive feeling such as in the example below.

CONCLUSION
The current study shows that keywords analysis can be applied to investigate what the online reviewers
intended to tell. The language in the tourist resort online reviews has some functions i.e. describing, giving
advice and suggestion, telling activities, and stating feelings. In describing, the writers mostly described
places of interest such as beach, volcano, and mountain, objects such as temple, and nature such as sunset
and sunrise. The writers tried to give advice and suggestions using some modal phrases such as you
should/could/can. The phrase best to … is another variation of writers’ language. Besides, the lemma
recommend is commonly found in this section. In telling activities, the writers told what they or their groups
did and what other persons that did not belong to them did. Writers’ feeling were expressed through the use
of amazed and disappointed.
This study used small corpora in the short period of time. Moreover, it only covers the reviews of
tourist resorts in three cities. Future study may extend the research by using larger data that includes more
various cities to enrich the results of the study.

REFERENCES
Anthony, Laurence. 2014. AntConc (Version 3.4.3) [Computer Software]. Tokyo, Japan: Waseda University.
Available from http://www.laurenceanthony.net/
Baker, Paul. 2004. Querying keywords: Questions of difference, frequency, and sense in keywords analysis. Journal of
English Linguistics, 32(4), 346-359.
Cobb, Tom. [Keywords Extractor] Acessed 5 March 2015 at http:// http://www.lextutor.ca/key/
Macmillan dictionary. (n.d.). Retrieved March 16, 2016, from Macmillan online dictionary,
http://www.macmillandictionary.com/dictionary/british/breathtaking
Macmillan dictionary. (n.d.). Retrieved March 16, 2016, from Macmillan online dictionary,
http://www.macmillandictionary.com/dictionary/british/stunning
Marzá, Nuria Edo. 2013. The formation of the image of top-ranked hotels through real online customer reviews: A
corpus-based study of evaluative adjectives as image-formers/ providers. International Journal of English
Linguistics, 3(4), 15-35.
Taboada, Maite. 2011. Stages in an online review genre. Text and Talk, 31(2), 247-269.

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Rika Mutiara
Institution : Universitas Mercu Buana
Education : S2 Applied Linguistics Atma Jaya Catholic University of Indonesia
S1 State University of Jakarta
Research Interst : • Pemerolehan Bahasa
• Linguistik Korpus

381
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
ADJUNG DALAM BAHASA MELAYU BERDASARKAN PENELITIAN ROLE AND
REFERENCE GRAMMAR

Fatihah Md Dom Nirwana Sudirman Nur Atikah Ibrahim


Universiti Kebangsaan Malaysia
fatihahmddom@gmail.com nirwanasudirman08@gmail.com nuratikahibrhim@gmail.com

ABSTRAK
Ulasan sebelum ini mengenai adjung kebanyakannya hanya dilihat secara umum oleh peneliti bahasa terdahulu yakni
sebagai penerang kalimat. Ulasan tentang adjung amat jarang dilakukan karena perannya yang dianggap sipi sahaja
dalam kalimat. Namun begitu, makalah ini akan melihat peran adjung dengan lebih menyeluruh. Adjung adalah unsur
tambahan dalam kalimat yang kehadirannya bersifat opsyenal yakni hadir atau tidak, ia tidak akan menjejaskan
binaan sesebuah struktur kalimat. Kehadiran adjung dapat dilihat pada pelbagai posisi di dalam kalimat. Walau
bagaimanapun, adjung dikatakan mampu mengubah berbagai tingkat sama ada pada tingkat klausa, inti ataupun
nukleas. Untuk itu, penelitian ini akan memperlihat peran adjung dalam mengubah Struktur Berlapisan Klausa (SBK)
bahasa Melayu. Maka, dalam karya ini teori Role and Reference Grammar akan coba diaplikasikan bagi memperlihat
bagaimana adjung bisa mengubah setiap tingkat dalam Struktur Berlapisan Klausa (SBK). Sesuatu kajian semestinya
akan lebih teratur jika batas dan tujuan penelitian dijadikan sebagai garis panduan kajian (Mohd. Shaffie Abu
Bakar, 1991). Oleh karena itu, ulasan ini akan coba disandarkan pada dua tujuan yang ingin dicapai yakni
mengidentifikasikan kehadiran adjung dalam Struktur Berlapisan Klausa (SBK),menganalisis sama ada adjung wujud
atau tidak dalam ketiga-tiga SBK dan membuktikan bahawa adjung sememangnya mampu mengubah ketiga-tiga SBK.
Metode penelitian yang diguna pakai ialah uraian secara deskriptif dan daftar pustaka yakni bahan-bahan semacam
buku-buku, makalah, disertasi dan seumpamanya. Data dalam ulasan ini diperolehi melalui penelitian beberapa
penelitian lalu seperti ulasan menurut Emma L. Pavey (2010) dalam bukunya yang berjudul The Structure of
Language: An Introduction to Grammatical Analysis. Penghuraian berdasarkan pandangan Pavey (2010) akan coba
diaplikasikan ke dalam bahasa Melayu. Oleh karena itu, dengan adanya karya semacam ini diyakini dapatlah
menambahkan lagi korpus Linguistik Melayu serta menyumbangkan temuan yang berbeda dalam ulasan berkaitan
adjung. Moga-moga ulasan ini juga bisa memberi sumbangan yang berarti khususnya dalam bidang Nahu
Kontemporer, yakni berdasarkan Role and Reference Grammar.
Kata kunci: adjung; opsyenal; role and reference grammar; struktur berlapisan klausa; bahasa Melayu

PENDAHULUAN
Penahu bahasa Melayu kebanyakannya menganggapi frasa preposisi mempunyai fungsi sebagai unsur
keterangan atau adjung (Nik Safiah Karim et. al 2010 dan Arbak Othman 1981) atau adverba (Asmah Hj.
Omar 1988, Liaw Yock Fang dan Abdullah Hassan 1994). Fungsi preposisi sebagai keterangan atau
adverba memperlihat bahawa kehadiran frasa preposisi dianggap tidak penting atau sebagai opsyenal sahaja.
Malah Arbak Othman (1981: 175) menegaskan bahawa “tiap-tiap rangkai kata depan ini akan sentiasa
berfungsi sebagai keterangan (adverba) dalam kalimat-kalimat tertentu bahasa Malaysia. Ternyata
berdasarkan kajian lepas juga, kajian mengenai adjung belum lagi dilakukan secara menyeluruh. Hal ini
kerana, adjung hanya dianggap remeh dan hanya unsur minor dalam sesebuah kalimat. Oleh itu, dalam
makalah ini pengkaji cuba untuk membuktikan bahawa adjung sememangnya memainkan peranan penting
dalam struktur berlapisan klausa dan kehadirannya berupaya mengobah ketiga-tiga tahap kalimat berkenaan.
Teori Role and Reference Grammar diguna pakai sebagai panduan utama bagi menganalisis ketiga-tiga
kalimat pada peringkat berkenaan dalam teori Role and Reference Grammar (RRG) representasi
sintaksisnya digambarkan melalui Struktur Berlapisan Klausa (SBK). Terdapat dua komponen penting
dalam SBK, iaitu representasi konstituen dan unjuran operator. Kehadiran adjung dikatakan boleh
dibuktikan dengan representasi konstituen.
Struktur Berlapisan Klausa (SBK) terdiri daripada nukleus, inti, sipian, slot prainti (SPrI) dan juga
slot pascainti (SPaI). Slot prainti dan pascainti berada dalam komponen klausa tetapi berada di luar posisi
inti. SBK juga turut mempunyai dua elemen yang lain iaitu posisi berasingan kiri (PBK) dan posisi
berasingan kanan (PBKn). Kedua-dua posisi ini mengandungi unsur-unsur seperti adverba dan frasa
preposisi yang biasanya dipisahkan oleh kesenyapan atau hentian intonasi. Kesemua komponen ini menjadi
unsur-unsur penting yang membina struktur kalimat berkenaan. Berdasarkan tinjauan kajian lepas, kajian
mengenai adjung jarang sekali dibahas kerana penahu-penahu hanya menganggap isu mengenai adjung
adalah remeh-temeh dan hanya unsur sipi sahaja dalam sesebuah kalimat. Sekalipun, ada perbincangan
berkenaan adjung namun adjung biasanya dibincangkan sebagai adverba atau modifiers. Antara sarjana
tempatan yang terlibat ialah Asmah Haji Omar (1980), Liaw Yock Fang dan Abdullah Hassan (1994), Nik
Safiah Karim et.al (2008) dan juga Ardiana Ali & Maslida Yusof (2011). Adjung juga dikenali sebagai

382
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
sipian yakni berada di luar inti yakni elemen opysenal disebabkan kemampuannya untuk dikekalkan atau
digugurkan dalam sesebuah kalimat. Adjung boleh jadi sama ada adverba atau modifiers. Juga diperlukan
oleh predikat serta merupakan unit sintaksis (Ardiana Ali & Maslida Yusof, 2011). Terdapat juga sarjana
Barat yang membincangkan mengenai adjung dalam bahasa Inggeris. Antaranya, Emma L.Pavey (2010) ada
membincangkan mengenai adjung bahasa Inggeris yang dikatakan boleh modifikasi pada ketiga-tiga tahap
dalam SBK, iaitu nukleus (nucleus), inti (core) dan klausa (clause). Oleh itu, berdasarkan definisi oleh para
sarjana tempatan jelas menunjukkan bahawa adjung dalam bahasa Melayu dibincangkan sebagai kata
adverba dalam kajian tempatan dan hanya Emma (2010) sahaja yang memperlihat peranan adjung dalam
SBK namun perbincangan Emma hanya mengenai adjung dalam bahasa Inggeris. Atas sebab tersebutlah,
perlunya perbincangan mengenai adjung dalam Bahasa Melayu diteliti peranannya dengan mengaplikasi
teori Role and Reference Grammar. Dalam SBK, adjung berada di bawah nodus periferi atau sipian. Maka,
dalam konteks makalah ini, adjung akan dirujuk sebagai unsur yang bukan argumen kepada predikat.

PERMASALAHAN DAN OBJEKTIF KAJIAN


Ulasan mengenai adjung di Malaysia masih tidak menyeluruh kerana masih tiada penahu yang
mendiskusikan secara mendalam mengenai perihal adjung. Kebanyakan pengkaji lebih banyak menyentuh
aspek adverba, iaitu salah satu unsur dalam adjung. Misalnya, kajian oleh Nik Safiah Karim et.al (2008)
menjelaskan adverba adalah sebagai penerang kepada 4 frasa iaitu: Frasa Nama, Frasa Kerja, Frasa Adjektif
dan Frasa Preposisi.Abdullah Hassan (2009) pula, membicarakan bahawa adverba menerangkan kata, frasa
dan klausa kerja,adjektif dan adverba sendiri. Pengkaji yang membincangkan mengenai adjung hanyalah
Asmah Hj.Omar (2009). Namun demikian, penerangan Asmah hanya berfokus kepada adverba kerana
menurut Asmah kata adverba berfungsi pada adjung kalimat. Hal ini membuktikan kajian mengenai adjung
tidak lengkap. Bertitik tolak itulah, maka ulasan ini perlu dijalankan bagi membuktikan bahawa adjung
berperanan sebagai penerang dan mampu mengobah ketiga-tiga Struktur Berlapisan Klausa. Jika dilihat
kajian mengenai SBK dalam Bahasa Melayu hanya pernah dilakukan mengenai operator oleh Ardiana Ali
dan Maslida Yusof (2011) yang boleh mengobah SBK. Namun, kajian ini akan mengenal pasti sama ada
adjung wujud atau tidak dalam ketiga-tiga struktur berlapiskan klausa sekali gus membuktikan adjung juga
mampu mengobah ketiga-tiga tahap dalam SBK Bahasa Melayu.
Untuk itu, sesuatu kajian semestinya akan lebih teratur jika batas dan objektif kajian
dijadikan sebagai garis panduan kajian (Mohd. Shaffie Abu Bakar, 1991). Oleh itu berdasarkan
permasalahan kajian yang telah dikemukakan, kajian ini disandarkan pada dua objektif yang ingin
dicapai. Salah satu objektif kajiannya ialah mengenal pasti kehadiran adjung dalam Struktur Berlapisan
Klausa (SBK) dan menganalisis sama ada adjung wujud atau tidak dalam ketiga-tiga SBK serta mampu
membuktikan bahawa adjung sememangnya mampu mengobah ketiga-tiga SBK.

ANALISIS PERANAN ADJUNG DALAM BAHASA MELAYU


Berdasarkan perbicaraan awal sebelum ini telah dijelaskan bahawa adjung bisa menduduki tiga kategori,
iaitu pada peringkat klausa, inti dan nukleus. Berdasarkan analisis yang telah dibuat, adjung dikatakan
mampu mengobah setiap lapisan klausa dalam bahasa Melayu, iaitu adjung bisa memodifikasikan klausa,
adjung boleh memodifikasikan inti serta adjung juga boleh memodifikasi nukleus. Kesemua adjung ini hadir
pada posisi sipian (periphery) dalam Struktur Berlapisan Klausa (SBK). Sebagai pembuktian, beberapa
pewajaran akan diberikan melalui representasi sintaksis bahawa adjung sebenarnya turut mengobah SBK
dalam bahasa Melayu.
Adjung Memodifikasikan Klausa
Adjung yang bisa memodifikasi klausa merupakan adjung yang hadir di bawah nodus sipian yang
dipancangkan pada bahagian klausa dalam SBK. Emma L. Pavey (2010) menyatakan bahawa adjung yang
boleh mengubah suai pada tahap klausa dalam bahasa Inggeris melibatkan dua operator, iaitu epistemik
(kemungkinan) dan evidential (pembuktian). Operator yang dimaksudkan ialah kategori-kategori kata yang
biasanya dilihat seperti aspek dan kala dan juga unsur yang jarang-jarang diketahui seperti pembuktian atau
evidential. Epistemik merupakan kemungkinan atau kebarangkalian sesuatu maklumat atau hal yang
diujarkan manakala evidential atau pembuktian pula merujuk kepada pembenaran atau kesahihan sesuatu
maklumat atau peristiwa. Selalunya dalam bahasa Inggeris, operator dikelaskan dalam golongan kata bantu
(Ardiana Ali dan Maslida Yusof, 2011: 8).
Dalam bahasa Melayu, adjung yang bisa memodifikasikan klausa turut melibatkan operator
epistemik dan evidential, namun terdapat satu lagi adjung yang boleh mengobah suai pada peringkat ini,
iaitu penerang lokasi. Berikut adalah contoh bagi adjung yang terlibat pada tahap klausa.
383
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Berikut merupakan contoh kalimat yang mengandungi adjung dan boleh memodifikasi atau
mengobahsuai klausa bahasa Melayu ialah:
1. Barangkali dia memenangi larian itu. (epistermik)
2. Adam benar-benar meminati seni lakon. (evidential)
3. Atikah membaca buku di perpustakaan. (lokasi)
Sehubungan dengan hal itu, merujuk dengan ayat 1, 2, dan 3 di atas, ketiga-tiga adjung tersebut telah
mengobah suai struktur klausa. Perkara ini dapat dibuktikan dengan representasi SBK seperti berikut, iaitu
berdasarkan ayat 5:

RAJAH 3. Adjung pada Peringkat Klausa dalam SBK


Berdasarkan rajah 3, dapat dilihat bahawa barangkali merupakan unsur penerang kepada
keseluruhan klausa dia memenangi larian itu. Hal ini demikian karena barangkali telah membawa
perubahan kepada keseluruhan klausa dia memenangi larian itu. Di samping itu, dengan kehadiran adjung
epistemik ini, maka ia telah menghasilkan ketaksaan makna bagi kalimat tersebut, iaitu kemungkinan dia
menang atau tidak memenangi larian. Oleh sebab itu, adjung epistemik barangkali ini telah hadir dalam
nodus sipian yang telah dipancangkan pada tingkat klausa.
Adjung Memodifikasikan Inti
Menurut Pavey (2010), adjung yang bisa mengobah pada peringkat tingkat inti pula dapat diungkapkan
melalui 3 makna. iaitu adverba masa (masa atau waktu peristiwa itu berlaku), kadar (ukuran bagi sesuatu
peristiwa) dan cara (kaedah atau cara yang digunakan bagi menerangkan sesuatu peristiwa). Adjung ini
hadir di bawah nodus sipian yang dipancangkan pada tingkat inti dalam SBK. Dalam Bahasa Melayu,
ketiga-tiga jenis adverba ini turut mengobah SBK pada tingkat inti. Berikut merupakan contoh bagi abverba
ini. Selanjutnya, merupakan contoh kalimat yang memperlihatkan kemunculan adverba sebagai penerang
jenis ini seperti:
4. Semalam Kak Lia menerima panggilan telefon daripada suaminya. (masa)
5. Itah mengepos surat itu tadi. (masa)
6. Dia melintas jalan dengan berhati-hati. (cara)
7. Dengan laju Fazura memecut kereta. (kadar)
Merujuk dengan ayat 4, 5, 6 dan 7, adverba-adverba tersebut telah mengobah suai struktur inti. Perkara ini
dapat dibuktikan melalui representasi SBK berdasarkan ayat 4 seperti:

RAJAH 4. Adjung pada Peringkat Inti dalam SBK

384
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Berdasarkan rajah 4, semalam yang merupakan unsur penerang kepada bahagian inti, iaitu menerima
panggilan telefon daripada suaminya. Hal ini demikian karena semalam menerangkan masa berlakunya
peristiwa menerima panggilan telefon. Dengan kehadiran kemunculan adverba masa ini, maka ia telah
memberi penerangan masa terhadap inti. Oleh sebab itu, adjung semalam hadir pada nodus sipian yang
dipancangkan pada tahap inti sekaligus ia telah mengubah suai tahap inti.
Adjung Memodifikasikan Nukleus
Selanjutnya, diskusi mengenai adjung yang boleh memodifikasikan nukleus. Pavey (2010) menyatakan
bahawa sipian adjung pada tingkat nukleus biasanya membekalkan informasi tempoh masa atau selesainya
sesuatu peristiwa. Sementara itu, dalam bahasa Melayu pula, sipian adjung turut melibatkan informasi
tentang tempoh masa atau selesainya sesuatu peristiwa seperti yang diperkatakan oleh Pavey. Walau
bagaimanapun, terdapat unsur penerang lain yang boleh mengubah suai nukleus bahasa Melayu, iaitu
penerang adjektif (penerang sifat bagi peristiwa itu biasanya melibatkan perasaan) dan penerang penegasan
(penegasan bagi sesuatu peristiwa). Berikut adalah senarai adjung yang boleh mengobah suai nukleus seperti:
Berikut adalah contoh bagi kalimat yang memperlihatkan kehadiran penerang yang boleh
mengubah pada peringkat nukleus dalam SBK, misalnya:
8. Su Teck jarang-jarang ponteng kuliah (jangka masa)
9. Saya selesai menyiapkan tugasan itu. (selesainya peristiwa)
10. Fatihah ketawa besar. (adjektif)
11. Azli benar-benar menyayangi isterinya. (penegasan)
Berdasarkan kalimat di atas, kesemua penerang tersebut telah mengubahsuai kalimat pada tingkat nukleus.
Perkara ini dapat dibuktikan melalui representasi SBK seperti yang ditunjukkan dalam rajah di bawah
berdasarkan ayat 13, iaitu:

RAJAH 5. Adjung pada Peringkat Nukleus dalam SBK


Merujuk kepada rajah 5, selesai merupakan unsur penerang kepada bahagian nukleus, iaitu
menyiapkan. Selesai hanya mengobahsuai peringkat nukleus tanpa melibatkan tingkat lain. Oleh sebab itu,
adjung bagi selesai, iaitu penerang selesainya sesuatu peristiwa ini hadir pada nodus sipian yang
dipancangkan pada peringkat nukleus sekaligus ia boleh mengobai suai pada peringkat nukleus.
Untuk itu, didapati ketiga-tiga adjung yang berada pada tingkat klausa, inti dan nukleus boleh hadir
secara serentak dalam satu ayat yang sama, sekaligus masing-masing mengobah suai peringkatnya dalam
SBK. Hal ini dapat dilihat dalam contoh kalimat 12 seperti berikut:
12. Dia selesai menghadiri mesyuarat di Putrajaya kelmarin.
Merujuk kepada kalimat 16 di atas, didapati terdapat tiga adjung yang hadir pada tiga peringkat,
iaitu klausa, inti dan nukleus. Adjung berkenaan ialah adjung selesainya sesuatu peristiwa (selesai) yang
telah mengubah suai nukleus, iaitu menghadiri, serta adjung yang merujuk kepada adverba masa (kelmarin)
yang telah mengobah suai peringkat inti, iaitu menghadiri mesyuarat di samping adjung (penerang lokasi)
yang mengubahsuai klausa. Ini dapat dilihat dalam SBK seperti berikut

385
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016

Rajah 6. Adjung Mengubah Suai Ketiga-tiga Peringkat dalam SBK


Merujuk dengan rajah 6, adjung berupaya untuk hadir secara serentak dalam kalimat yang sama
sekaligus mengobah suai setiap tingkatnya. Hal ini dapat diihat dalam rajah di atas apabila adjung mengobah
suai klausa akan hadir di bawah nodus sipian dipancangkan pada tingkat klausa, sementara adjung yang
mengobah suai inti akan hadir di bawah nodus sipian yang dipancangkan pada peringkat inti serta adjung
yang mengobah suai nukleus akan hadir di bawah nodus sipian yang dipancangkan pada tingkat nukleus.

KESIMPULAN
Konklusinya, berdasarkan temuan yang diperoleh dalam Kajian Peranan Adjung Dalam Bahasa Melayu:
Satu Analisis Role and Reference Grammar. Jelas menunjukkan bahawa, adjung dalam Bahasa Melayu
sememangnya wujud dalam ketiga-tiga tingkat dalam Struktur Berlapisan Klausa (SBK) dan seterusnya
mampu memodifikasi setiap tingkat klausa berkenaan. Berdasarkan ulasan ini juga, jelas membuktikan
bahawa peranan adjung dalam bahasa Melayu mempunyai persamaan dengan peranan adjung yang
diperkatakan oleh Emma Palvey dalam bahasa Inggeris.. Walau bagaimanapun, dalam kajian ini beberapa
temuan baru telah ditemui. Yakni dalam bahasa Melayu, turut memperlihatkan bahawa pada tingkat klausa,
penerang lokasi juga berperanan dalam mengubah SBK. Penemuan seterusnya, dalam kajian ini turut
membuktikan bahawa penerang adjektif dan penerang penegasan pada peringkat nuklues juga, mampu
mengobah SBK dalam bahasa Melayu. Berdasarkan temuan baru ini, jelas menunjukkan dalam bahasa
Melayu penerang lokasi, penerang adjektif dan peranan penegasan juga merupakan, adjung yang mampu
mengobah SBK dalam bahasa Melayu.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Hassan. 2008. Tatabahasa Pedagogi untuk Sekolah Menengah. Kuala Lumpur: PTS Professional Publishing.
Abdullah Hassan. 2006. Morfologi. Kuala Lumpur: PTS Professional Publisihing.
Arbak Othman. 1981. Tatabahasa Bahasa Malaysia: Suatu Pembaharuan. Kuala Lumpur: Sarjana Enterprise.
Ardiana Ali Amat & Maslida Yusof. 2011. Representasi sintaksis operator bahasa Melayu berdasarkan pendekatan
tatabahasa peranan dan rujukan. Jurnal Bahasa. 11(1): 1-26.
Asmah Haji Omar. 1980. Nahu Melayu Mutakhir. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Dowty, R. D. 1979. Word Meaning and Montague Grammar: the Semantik of Verbs and Times in Generatives
Semantics and in Montague’s. PTQ Hotland: D. Reidel Publishing Company.
Fang, L.Y & Abdullah Hassan. 1994. Nahu Melayu Moden. Kuala Lumpur: Penerbit Fajar Bakti Sdn. Bhd.
Foley dan Van Valin. 1984. Functional Syntax and Universal Grammar. Cambridge. England: Cambridge University
Press.
Kamus Dewan. 2002. Edisi Ketiga. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Maslida Yusof. 2006. Representasi semantik preposisi dalam kata kerja bahasa Melayu. Jurnal Pengajian Melayu . 17:
112-135.
Maslida Yusof. 2012. Kata kerja bahasa Melayu: Klasifikasi berdasarkan kelas aktionsart. Dlm. Fazal Mohamed
Mohamed Sultan, Harishon Radzi & Norsimah Mat Awal (pnyt.). Pemantapan dan Pembinaan Ilmu Lingustik
Berasaskan Korpus, hlm. 263-276. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia.
Maslida Yusof. t.th. Fungsi Frasa Preposisi: Predikatif lwn Non-Predikatif. t.tp.t.pt.
Nik Safiah Karim, Farid M. Onn, Hashim Haji Muda & Abdul Hamid Mahmood. 2010. Tatabahasa Dewan Edisi
Ketiga. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

386
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Pavey, E.L. 2010. The Structure of Language: An Introduction to Grammatical Analysis. Amerika Syarikat: Universiti
Cambrige. Quirk, R. & Greenbaum, S. 1973. A Universitu Grammar of English. England: Longman Publishing
Group.
Sew, Jyh. Wee. 1999. Kata kerja: mempelopori suatu penilaian semantik baru. Jurnal Dewan Bahasa. 43(6): 530-537
Thomson, A.J & Martinet, A.V. 1980. A Practical English Grammar Third Edition. England: Oxford University Press.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Fatimah binti Md Dom Nirwana Binti Sudirman Nur Atikah Ibrahim
Institusi : Universiti Kebangsaan Malaysia Universiti Kebangsaan Malaysia Universiti Kebangsaan Malaysia
Riwayat Pendidikan : S1 dan S2 UKM S1 dan S2 UKM S1 dan S2 UKM
Minat Penelitian : Sintaksis, Morfologi, Semantik Psikolinguistik, Falsafah Bahasa Pragmatik, Semantik

387
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
KESANTUNAN WANITA SUKU SASAK DALAM MERESPONS PUJIAN BAHASA SASAK

Muh. Ardian Kurniawan


STKIP Hamzanwadi Selong
muhardika88@yahoo.co.id

ABSTRAK
Dalam kehidupan sehari-hari, wanita Sasak lebih sering mendapatkan pujian dibandingkan laki-laki. Penampilan
fisik/dandanan busana, keahlian/kepintaran, serta prestasi menjadi keunggulan yang umumnya mendatangkan pujian
kepada wanita. Namun, ketika mendapatkan pujian tersebut, wanita Sasak terbentur oleh batas budaya (gender) yang
menempatkan mereka pada posisi lebih inferior dibandingkan laki-laki. Ini berpengaruh pada respons pujian yang
muncul oleh wanita Sasak. Tuturan-tuturan sebagai respons pujian yang digunakan merupakan wujud negosiasi
budaya yang dilakukan oleh wanita Sasak dalam berinteraksi. Tuturan ini sarat strategi kesantunan sehingga menarik
untuk dikaji secara lebih komprehensif dengan menggunakan teori kesantunan dan pragmatik. Makalah ini membahas
ihwal kesantunan wanita suku Sasak dalam merespons pujian. Tujuan tulisan ini adalah untuk melihat bentuk respons
pujian dan prinsip kesantunan dalam respons yang digunakan wanita suku Sasak tersebut. Penghimpunan data
menggunakan instrumen discourse completing test (DCT) sejumlah 20 pertanyaan yang diajukan kepada 30 orang
wanita suku Sasak dari rentang usia 17-40 tahun. Data yang terhimpun dianalisis dengan menggunakan Teori Respons
Pujian yang ditawarkan oleh Herbert (1990) dan Prinsip Kesantunan Leech (1983). Dari penelitian ini, dapat
disimpulkan bahwa wanita suku Sasak merespons pujian dalam bentuk tuturan penolakan (reassignment, scale down,
question, disagreement, qualification, dan request interpretation), penerimaan (appreciation token, comment
acceptance, praise upgrade, comment history, dan return), dan gabungan antara penolakan dan penerimaan.
Sementara itu, prinsip kesantunan yang diterapkan dalam respons tersebut menggunakan maksim-maksim Leech, yaitu
maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kemurahan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan, dan
maksim kesimpatian.
Kata kunci: Kesantunan, wanita, merespons pujian, bahasa Sasak

PENDAHULUAN
Dalam aktivitas keseharian masyarakat, ujaran-ujaran yang diucapkannya sering kali juga mengandung
makna tindakan tertentu. Austin menyatakan ini sebagai bentuk tindak tutur performatif. Searle
memperbaharui konsep Austin ini dan mengganti tindakan performatif menjadi tindak tutur ilokusi yang
selanjutnya ia nyatakan dalam lima wujud: tindak tutur deklaratif, representatif, komisif, direktif, dan
ekspresif (Cutting, 2008: 14-15; Nadar, 2009: 16). Namun dalam masyarakat bahasa tertentu, ujaran-ujaran
ini tidak selamanya merupakan wujud dari tindakan yang ingin disampaikan penuturnya. Misalnya, dalam
beberapa bahasa di Pantai Gading, tindak tutur berjanji bukanlah bentuk dari tindakan berjanji, melainkan
bentuk kesopanan pengujarnya. Sebab, meskipun penuturnya tahu bahwa ia tidak akan menepati janjinya, ia
tetap akan mengucapkan janji tersebut. Sementara bagi orang-orang Barat, tindak tutur berjanji merupakan
bentuk tindakan berjanji itu sendiri dan penuturnya terikat oleh janji yang ia ucapkan sehingga
mengharuskannya untuk menepati janji tersebut. Oleh karena itu, perilaku tindak tutur harus juga dikaitkan
dengan studi tentang kesantunan yang berlaku pada masing-masing budaya.
Holmes (1992) menyatakan bahwa merespons pujian sewajarnya merupakan aspek kompetensi
komunikatif yang berbeda variasi dan caranya dari satu budaya ke budaya lain. Respons, dalam berbagai
segi (tergantung konteks sosialnya), akan mengarah kepada kesantunan berbahasa karena respons tersebut
belum dapat diprediksi akan berupa bentuk persetujuan, penolakan, atau pun bentuk netral (tidak menyetujui
atau pun menolak). Sehingga, dalam menanggapi tindak tutur seseorang, peran budaya juga menentukan.
Dalam budaya suatu masyarakat, ada kalanya wanita mendapat ruang ekspresi yang lebih kecil
dibandingkan dengan laki-laki. Penelitian di bidang sosiolinguistik telah menunjukkan bahwa beberapa
bahasa di daerah tertentu membedakan tuturan laki-laki dan perempuan, baik dalam skala fonologi,
morfologi, sampai ke tataran sintaksis (periksa Sumarsono, 2011; Holmes, 1992). Lebih jauh lagi, wanita
sering kali dijadikan objek seksisme bahasa sehingga kerap menjadi korban perilaku berbahasa masyarakat.
Di Indonesia, pemakaian kata digagahi, diperkosa, atau dipreteli dalam bentuk metaforis selalu berkonotasi
kepada wanita sebagai korban pelakunya. Perilaku ini secara tidak langsung membentuk ruang isolasi
kepada wanita untuk dapat menuangkan perilaku berbahasanya secara bebas. Wanita sering menyampaikan
ucapannya secara tidak langsung dan samar-samar bila dibandingkan dengan laki-laki. Oleh karena itu,
perhatian terhadap perilaku berbahasa wanita perlu juga mendapat tempat dalam kajian pemerhati bahasa.
Ditambah lagi oleh “pandangan” bahwa wanita harus menjaga ucapannya agar selalu terlihat sopan.
Kajian pragmatik tentang tindak tutur telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Di antaranya adalah
Nadar (2005) yang meneliti penolakan dalam perspektif bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Al Khatib

388
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
(2006) meneliti tindak tutur mengundang dan respons atas tuturan mengundang dalam masyarakat Yordania.
Sementara yang berkaitan dengan penelitian ini adalah kajian Mukminiatien dan Wisnu (2005) dan Refnaldi
(2009). Keduanya meneliti respons pujian hanya saja sasarannya adalah penutur dwibahasawan Indonesia-
Inggris untuk nama pertama dan transfer pragmatik atas respons pujian pada bahasa Indonesia dan Inggris.
Diharapkan kajian ini bisa memperkaya hasil kajian-kajian sebelumnya.
Alasan-alasan ini juga yang mendasari penulis untuk mengambil kajian ihwal respons pujian yang
ditekankan kepada kelompok wanita suku Sasak di Pulau Lombok sebagai representasi. Wanita sendiri
umumnya, bila dibandingkan dengan laki-laki, lebih sering mendapat perlakuan tindakan memuji. Dengan
kata lain, wanita lebih sering dipuji dibandingkan dengan laki-laki. Kekerapan ini tentunya akan
mencerminkan juga variasi respons pujian tersebut yang tentunya akan sangat dikaitkan dengan faktor sosial
masyarakat. Wolfson (1983) juga menambahkan dalam tulisannya bahwa faktor sosial seperti seks, status
sosial, kedekatan, dan latar belakang budaya harus benar-benar diperhatikan ketika menganalisis pujian.
Bertolak dari penjelasan tersebut, makalah ini bertujuan untuk mengetahui wujud kesantunan wanita
suku Sasak dalam merespons pujian dan prinsip kesantunan yang digunakan oleh wanita suku Sasak dalam
merespons pujian.

LANDASAN TEORI
Memuji dan Respons atas Pujian
Sebagaimana klasifikasi yang telah dirumuskan oleh Searle, memuji termasuk bagian dari tindak tutur
ekspresif, yaitu tindak tutur yang menyatakan apa yang penuturnya rasakan (Cutting, 2008: 14). Pujian dapat
menyangkut hal ihwal fisik, sifat (perilaku), keterampilan atau sesuatu yang menjadi keunggulan yang
dimiliki oleh seorang lawan tutur.
Respons terhadap pujian dalam penelitian pragmatik berkaitan dengan prinsip-prinsip kesantunan
berbahasa pada penuturnya. Namun, yang patut diperhatikan di sini pernyataan Holmes (1992) bahwa
merespons pujian merupakan aspek kompetensi komunikatif yang berbeda variasi dan caranya dari satu
budaya ke budaya lain. Untuk itu, menarik untuk dipelajari bagaimana wanita suku Sasak merealisasikan
kesantunan berbahasa mereka dalam merespons pujian.
Sejalan dengan penelitian respons pujian wanita suku Sasak ini, penulis juga mengacu kepada
Herbert (1990) yang telah merumuskan 12 macam respons pujian sebagai berikut.
1. Appreciation token, yaitu respons verbal yang menunjukkan menerima pujian, tetapi tidak secara
langsung setuju dengan isi pujian tersebut. Misalnya dengan ucapan “terima kasih” atau gestur
tersenyum.
2. Comment acceptance, yaitu menerima pujian yang diberikan dan memberikan komentar yang pantas
tentang topik yang dibicarakan. Misalnya, “Terima kasih. Saya suka model baju ini.”
3. Praise upgrade, yaitu menerima, menyetujui, dan menambahkan komentar yang menunjukkan bahwa
pujian memang pantas diterima. Misalnya, “ Tentu saja. Saya adalah juru masak terbaik.”
4. Comment history, yaitu pengalihan pujian pada objek dengan menceritakan kisah tentang objek tersebut.
Misalnya, “Saya membelinya di Paris.”
5. Reassignment, yaitu menerima pujian, kemudian mengalihkannya pada orang ketiga atau pada objek itu
sendiri. Misalnya, “Ini punya ibu saya.”
6. Return, yaitu menerima pujian, tetapi kemudian mengembalikannya kepada pemberi pujian. Misalnya,
“Kamu juga sangat rapi.”
7. Scale down, yaitu menolak pujian dengan cara memberikan komentar yang menunjukkan bahwa pujian
itu tidak sesuai. Misalnya, “Saya cuma beruntung.”
8. Question, yaitu menanyakan kebenaran kepada yang memuji. Misalnya, “Ah, yang benar?”
9. Disagreement, yaitu menolak pujian dengan memberi komentar yang menunjukkan bahwa pujian itu
tidak tepat. Misalnya, “Saya malah tidak nyaman dengan ini.”
10. Qualification, yaitu menolak dengan memberikan perkecualian. Misalnya, “Tapi, yang lain banyak yang
lebih hebat.”
11. No acknowledgment, yaitu tidak memberikan respons apa pun, baik verbal maupun nonverbal.
12. Request interpretation, yaitu penerima pujian menginterpretasikan bentuk pujian yang diberikan lawan
bicara sebagai permintaan. Misalnya, “Ayo, tambah yang banyak.”
Teori Kesantunan
Selain untuk menyatakan tindakan, setiap ujaran seseorang juga merupakan bentuk interpersonal. Oleh
karena itu, dibutuhkanlah kesantunan (periksa Wijana, 1996: 55) yang berfungsi menandai hubungan
interpersonal tersebut.

389
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Leech (1983; Wijana, 1996: 55; Nadar, 2009: 29) menyebutkan enam maksim yang tergolong prinsip
kesantunan, yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim
penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kecocokan
(agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim). Cutting (2008) menyatakan bahwa dua
maksim pertama (maksim kebijaksanaan dan maksim kemurahan) dan dua maksim kedua (maksim
penerimaan dan maksim kerendahan hati) adalah maksim-maksim yang berpasangan, sementara maksim
kelima (maksim kecocokan) dan keenam (maksim kesimpatian) berdiri sebagai entitas tersendiri.

PEMBAHASAN
Penelitian ini tidak bermaksud melihat kesantunan wanita suku Sasak dalam merespons jawaban dari segi
kuantitas ujarannya, tetapi perilaku tuturan yang digunakan olehnya. Penelitian ini lebih menekankan pada
bagaimana wujud kesantunan tuturan yang digunakan wanita suku Sasak dalam merespons pujian terhadap
dirinya. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dibicarakan dua hal, yaitu bentuk lakuan tutur yang
mencerminkan wujud kesantunan wanita suku Sasak dalam merespons pujian dan prinsip kesantunan yang
diterapkan oleh wanita suku Sasak dalam merespons pujian.
Wujud Respons Pujian Wanita Sasak
Realisasi respons pujian oleh wanita suku Sasak berwujud tiga cara, yaitu menolak pujian, menerima pujian,
dan bersikap netral. Namun, pada tipe yang ketiga, bentuk netral tidak dibicarakan sebab tidak termasuk
dalam kerangka masalah dalam penelitian ini. Dari kedua cara merespons ini, diperoleh tiga klasifikasi
wujud respons wanita suku Sasak, yaitu (a) respons dengan cara menolak pujian, (b) respons dengan cara
menerima pujian, dan (c) respons dengan cara menggabungkan kedua bentuk respons menerima dan
menolak pujian. Ketiga wujud respons dapat dilihat dalam tabel 1.
Tabel 1. Wujud Respons Pujian Wanita Suku Sasak
No. Wujud Respons Tipe Respons Konteks
1. Ye ketepaqan no. Aku aget-agetan. Ndeq ape bagus-bagus laloq Scale down Teman, informal, kantin
tulisank. Solahan bae tulisan side. Angkaq lemaq nyobaqan bae sekolah
aneh ngirim.
‘Hanya kebetulan saja. Saya beruntung. Tulisan saya tidak bagus-
bagus amat. Lebih bagus tulisanmu. Makanya, besok cobalah
mengirim juga.’
2. Segerah? Question Tamu dewasa, belum
‘Masa sih?’ dikenal, informal,
ruang tamu
3. Ape jaq juluq maksud Bapak ne? (sambil tersipu malu) Question Bapak, informal, rumah
‘Apa sih maksud Bapak [bicara seperti ini]?’
4. Ndek bae. Ngene-ngene doang perasaq ntante.... Disagreement Kekasih, informal,
‘Tidak kok. Perasaan, saya selalu dandan begini....’ ruang tamu
5. Lueq dengan bedoe saq solahan malik. Ne jaq wah laeqte ngadu Qualification Sahabat, informal, kelas
laguk tumben tejauqn jok te.
‘Sudah banyak yang orang lain miliki lebih bagus dari ini. Kalau
yang ini sudah lama saya pakai, tetapi baru saya bawa ke sini.’
6. Leq toko X taoqk belin wiq pas araq obral. Kan lueq tejual aji Comment Teman, infromal, lokasi
muraq-muraq to piran (sambil tersenyum). history arisan
‘Saya membelinya sewaktu ada obral di toko X. Di sana banyak
(barang) dijual dengan harga murah waktu itu.’
7. Aok. Tengerubah gaye juluq sekali. Oneqk meleng bulu ne leq Comment Teman, informal, di
salon X. Solahn ndeh? acceptance jalan pulang
‘Ya. Tadi saya potong di salon X. Bagus kan?’
8. Lasing.... Ye mule lain baunte minaq ite jaq (sambil tersenyum) Praise upgrade Tamu dewasa, dikenal,
‘Tentu.... Memang paling lain [enak] hasil buatan saya.’ informal, ruang tamu
9. Side bae tie endah solahn. Return Teman, ruang kelas
‘[punya] Kamu juga bagus kok.’
10. Ndek bae. Maiqan bae baun side timbang ite jaq. Gabungan
‘Tidak kok. Lebih enak buatan Anda daripada saya.’
11. Aok. Laguk lelahte jarin isiqn. Gabungan
‘Ya. Tetapi, ternyata melelahkan [menjadi pegawai itu]’
Berdasarkan tabel 1 di atas, dapat dirumuskan bahwa wanita suku Sasak merespons pujian dalam
tiga bentuk, yaitu menerima pujian, menolak pujian, dan gabungan keduanya. Respons menerima pujian

390
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
dilakukan manakala mitra tutur yang dihadapi adalah orang yang dikenal baik, dalam suasana yang akrab,
dan situasi informal. Respons menolak lebih cenderung digunakan ketika menghadapi orang yang tidak
dikenal/dihormati, belum akrab, dan dalam situasi baik formal maupun informal. Respons gabungan
digunakan kepada orang yang sudah dikenal, akrab, dihormati, dan dalam situasi informal.
Prinsip Kesantunan Wanita Suku Sasak dalam Merespons Pujian
Tabel 2. Penerapan Prinsip Kesantunan Pujian Wanita Suku Sasak
No. Tuturan Kesantunan Keterangan
1. “Side bae endah solahn” Maksim
Kebijaksanaan
2. “Kan lueq saq solah tejual aji muraq-muraq to piran.” Maksim
Respons
Penerimaan
Menerima
3. a.) “Ye lain taoqte nendak lasing tie. Ye baru.” Maksim
b.) “Leeq toko X taokq belin wiq pas araq obral.” Kecocokan
c.) “Aoq.”
4. “Angkaq lemaq nyobaqan bae ngirim” Maksim
Kebijaksanaan
5. “Ndek ape bagus-bagus laloq tulisank. Solahan bae tulisan side” Maksim
Penerimaan
6. “Padahal pade bae ntante maraq dengan-dengan.” Maksim
Respons
Kemurahan
Menolak
7. a.) “Aget doang no.” Maksim
b.) “Ye ketepaqan no. Aku aget-agetan.” Kerendahan
c.) “Ndeq bae. Ngene-ngene doang perasaq ntante.” Hati
d.) “Lueq dengan saq solahan malik. Ne jaq wah laeqte ngadu, laguk
tumben tejauqn jok te.”
8. “Ndek bae. Maiqan bae baun side timbang ite jaq.” Maksim
Kemurahan Respons
9. “Aoq. Laguk lelahte jarin.” Maksim Gabungan
Kecocokan
Wanita suku Sasak menerapkan prinsip kesantunan Leech dalam merespons pujian kepada mitra
tuturnya. Maksim-maksim kesantunan Leech digunakan baik dalam respons menerima pujian, menolak
pujian, atau respons gabungan keduanya. Namun, di samping menerapkan maksim kesantunan, wanita suku
Sasak juga ditemukan melanggar maksim-maksim Leech dalam menolak pujian. Ini tampak pada respons
tuturan berikut: “Lasing.... Ye mule lain baunte minaq ite jaq.” (‘Memang lain ( rasa kopi) buatan saya itu.’).
Namun, apabila dilihat hubungan kedekatan antara kedua partisipan dalam tuturan tersebut, A dan B
merupakan anak (B) dan ayah (A) sehingga pelanggaran ini tidak lantas membuat A kehilangan muka
(mengutip istilah Brown dan Levinson). Bentuk pelanggaran ini justru memperlihatkan hubungan kedekatan
para partisipan tersebut. Pelanggaran maksim juga terjadi dalam respons penerimaan. Pelanggaran yang
dimaksud adalah pelanggaran pada maksim kecocokan, seperti bentuk-bentuk penyangkalan. Hal ini tampak
pada bentuk respons berikut: (a) “Segerah?” (‘Masa?’), “Ape juluq maksud Bapak ne?” (‘Apa sih maksud
Bapak?’), dan “Side jaq araq-araq bae.” (Anda ini ada-ada saja.’).

SIMPULAN
Berdasarkan uraian pada bagian pembahasan, dapat disimpulkan bahwa wanita suku Sasak merespons pujian
dengan tiga cara, yaitu menggunakan bentuk penerimaan, penolakan, dan gabungan keduanya. Bentuk-
bentuk respons yang digunakan itu adalah comment acceptance, comment history, praise upgrade, return,
reassignment, scale down, question, qualification, disagrement.
Adapun dalam hal prinsip kesantunan, bentuk respons pujian wanita suku Sasak juga mencerminkan
maksim-maksim kesopanan yang diusulkan Leech, yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim
penerimaan (generosity maxim), maksim kemurahan (approbation maxim), maksim kerendahan hati
(modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim).
Selain menerapkan maksim-maksim Leech, respons pujian yang dilakukan wanita suku Sasak juga
memperlihatkan bentuk pelanggaran maksim tersebut. Maksim-maksim yang dilanggar adalah maksim
kebijaksanaan (pada respons berbentuk penolakan) dan maksim kecocokan (pada respons berbentuk
penerimaan). Namun, pelanggaran maksim-maksim tersebut demi memperlihatkan respons yang berbentuk
kesantunan.

391
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khatib. 2006. “The Pragmatics of Invitation Making and Acceptance in Jordan Society” dalam Journal of Language
and Linguistics, Vol. 5, No. 2, Th.2006, Hal. 272-294.
Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words. Oxford: Oxford University Press.
Cutting, Joan. 2008. Pragmatics and Discourse. New York: Routledge.
Herbert, R. Clarck. 1990. Language in Society. Cambridge: Cambridge University Press.
Holmes, Janet. 1992. An Introdunction to Sociolinguistics. London: Blackwell.
Levinson, Stephen C.. 1983. Pragmatics. London: Cambridge University Press.
Leech, Geofreey. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman.
Mukminatien, Nur dan Patriana Andhina Wisnu. 2005. “Respons Pujian dalam Bahasa Indonesia oleh Dwibahasawan
Indonesia-Inggris”. Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 33, Nomor 2.
Nadar, dkk. 2005. “Penolakan dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia” dalam Jurnal Humaniora, Volume 17,
Nomor 2, Juni 2005.
Nadar, F.X.. 2009. Pragmatik & Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Rahardi, Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Refnaldi. 2009. “Transfer Pragmatik dalam Respons terhadap Pujian dari Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris”
dalam Jurnal Linguistik Indonesia, Tahun ke-27, No. 2, Hal. 175-196.
Sumarsono. 2011. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit ANDI.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Muh. Ardian Kurniwan
Institusi : STKIP Hamzanwadi Selong
Riwayat Pendidikan : S2 Universitas Gadjah Mada
S1 Universitas Mataram
Minat Penelitian : • Sosiolinguistik
• Dialektologi
• Pragmatik

392
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
VARIASI BAHASA PADA RITUAL ADAT BUANG AU DI DESA BAYAN KABUPATEN
LOMBOK UTARA: KAJIAN SOSIOLINGUISTIK

Suliadi
Universitas Mataram
suliadiabet@yahoo.com

ABSTRAK
Bahasa dijadikan sebagai alat komunikasi dalam setiap interaksi manusia. Dalam tradisi ritual adat pun bahasa tetap
digunakan sebagai media seperti pada ritual adat buang au yang dilakukan oleh komunitas adat desa Bayan
Kabupaten Lombok Utara. Bahasa yang digunakan dalam setiap proses pada ritual adat buang au di desa Bayan
Kabupaten Lombok Utara adalah bahasa Sasak dialek kuto-kute. Bahasa Sasak yang digunakan antara penutur dan
mitra tutur pada ritual adat buang au ini memiliki variasi. Variasi-variasi penggunaan bahasa pada ritual adat buang
au ini dapat dilihat pada setiap proses kegiatan dan varias-variasi bahasa inilah yang menjadi sasar kaji dalam
penelitian ini dengan rumusan masalah: 1) bagaimanakah bentuk variasi bahasa pada ritual adat buang au di desa
Bayan Kabupaten Lombok Utara?; 2) faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya penggunaan variasi bahasa
pada ritual adat buang au di desa bayan Kabupaten Lombok Utara?. Selaras dengan permasalahan tersebut , tujuan
dilakukannya penelitian ini adalah 1) untuk mendeskripsikan bentuk variasi bahasa pada ritual adat buang au di desa
Bayan Kabupaten Lombok Utara; 2) untuk mendeskripsikan faktor-faktor penyabab penggunaan variasi bahasa pada
ritual adat buang au di desa Bayan Kabupaten Lombok Utara. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan metode observasi dan wawancara yang dibantu dengan teknik rekam dan catat. Analisis data
dilakukan dengan menggunakan metode deskriftif kualitatif. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa variasi bahasa
pada ritual adat buang au berupa variasi penggunaan pronomina persona seperti ku, ciang, epe dan variasi
penggunaan lingual yang menyatakan persetujuan seperti kata aoq dan nggih. Adapun faktor penyebab digunakannya
variasi bahasa pada ritual buang au ini adalah adanya perbedaan-perbedaan antarpengguna bahasa diantaranya
adalah 1) adanya perbedaan status sosial. Bagi masyarakat Bayan Kabupaten Lombok Utara bahwa status sosial
sebagai Kiai merupakan pangkat tertinggi. 2) adanya perbedaan umur. perbedaan umur dan status sosial
menyebabkan adanya variasi penggunaan bahasa atau pemilihan bahasa yang digunakan dengan tujuan untuk saling
menghormati dan menunjukkan adanya kesopanan dalam berbahasa.
Kata kunci: Bahasa, Variasi Bahasa, Ritual Buang Au

PENDAHULUAN
Dalam kehidupan manusia di dunia ini, bahasa dijadikan sebagai alat utama dalam berkomunikasi, baik
bahasa lisan maupun tulisan. Penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi digunakan oleh manusia bahkan
sebelum manusia menempati bumi yaitu ketika manusia (Adam dan Hawa) berada di tempat yang penuh
kenikmatan yaitu Syurga. Pada waktu di Syurga, Adam dan Hawa diajarin oleh Allah SWT mengenai nama
buah-buahan menggunakan bahasa. Dalam pada itu, bukti ini menunjukkan bahwa tanpa bahasa, seolah-olah
kehidupan manusia di dunia ini layu, artinya bahwa manusia tidak akan dapat berinteraksi dengan sesama
bahkan dengan Tuhan tanpa adanya bahasa.
Bahasa yang digunakan oleh manusis ternyata memiliki variasi baik dari segifonologi maupun
morfologinya. Misalnya, Penggunaan bahasa Sasak dialek Petung Bayan yang digunakan oleh masyarakat
Lombok Utara selama ini menunjukkan adanya variasi seperti variasi penggunaan pronomina persona,
variasi dalam penggunaan kata yang menyatakan persetujuan dan lain-lain. Kevariasian penggunaan bahasa
ini disebabkan oleh adanya konteks pemakaian bahasa atau adanya faktor sosial terutama faktor situasi.
Variasi penggunaan bahasa Sasak oleh masyarakat Kabupaten Lombok Utara (selanjutnya disingkat
KLU) ditunjukkan dalam setiap interaksi baik interaksi dalam situasi umum maupun khusus. Dalam situasi
khusus seperti dalam Ritual Adat Buang Au (selanjutnya disingkat RABA). RABA dilaksanakan setiap
kelahiran anak dan tepatnya 7 hari setelah kelahiran anak. Pengkajian ritual adat ini untuk mengungkap
variasi pengguanaan bahasa yang digunakan oleh setiap penutur yang memiliki perbedaan status sosial.
Variasi penggunaan bahasa dalam RABA ini dapat dilihat pada proses penyilaan (mengundang), penyerahan
bayi oleh ibu bayi kepada belian (dukun yang mengurus proses kelahiran bayi), penyerahan bayi oleh belian
kepada kiai (lebeh, pengulu, ketif dan mudif), penyerahan kembali bayi dari kiai ke belian setelah diberi
nama, peyerahan bayi dari belian ke ibu bayi, sampai proses terakhir yaitu “buang au” (membuang abu).
Rumusan Masalah
Masalah yang di angkat pada kajian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah bentuk variasi bahasa pada tuturan RABA di desa Bayan KLU ?;
2. faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya penggunaan variasi bahasa pada tuturan RABA di
desa Bayan KLU?
393
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Manfaat
Secara teoretis penelitian ini dapat memberikan sumbangsih terhadap pengembangan dan penerapan teori
bahasa terutama teori sosioliguistik. Sementara secara praktis, kajian ini memberikan pengetahuan kepada
khalayak akan variasi bahasa-bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi dalam RABA oleh masyarakat
Bayan KLU dan sebagai pengejawantahan dalam melestarikan bahasa-bahasa daerah yang digunakan dalam
berkomunikasi terutama bahasa Sasak dialek Kuto-Kute.

LANDASAN TEORI
Bahasa adalah milik manusia yang merupakan anugrah Tuhan. Bahasa hanya dimiliki manusia karena
manusia diberikan akal budi yang mampu membimbing manusia mengembangkan kemampuan bersuara
menjadi kemampuan berbahasa atau berkomunikasi (Fauzan, 2014: 2). Dalam pengembangannya, bahasa
menjadi warisan manusia secara turun temurun. Generasi demi generasi melakukan estapet pewarisan
bahasa sehingga bahasa itu tetap bertahan sampai sekarang. Bahasa bukan hanya sekedar sebagai warisan,
melainkan juga melestarikan warisan-warisan manusia yang lain seperti budaya dan ilmu. Duranti (1997:27)
bahkan secara tegas mengatakan bahwa mendeskripsikan suatu budaya sama halnya dengan bahasa.
Bahasa mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat baik bahasa
verbal maupun bahasa nonverbal. Tanpa bahasa, manusia akan mengalami kesulitan dalam berinteraksi.
Selain itu, bahasa dapat mengembangkan dan melestarikan budaya bahkan beberapa ahli berpandangan
bahwa bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Hal ini sejalan dengan Masinambouw (1998:14) bahwa
kebudayaaan merupakan suatu keseluruhan yang kompleks menyangkut semua yang dapat kita amati pada
manusia sebagai mahluk sosial dan dengan sendirinya termasuk bahasa didalamnya. Penggunaan bahasa
dapat mengembangkan dan melestarikan budaya dikarenakan realita budaya dapat disuguhkan dan
dimengerti oleh orang lain hanya dengan bahasa. Hal ini sejalan dengan pendapat Keesing (1992), bahwa
bahasa mengkodifikasi realitas yang ada dalam suatu masyarakat. Suatu realita dapat disuguhkan secara
mutlak kepada mayarakat melalui bahasa. Realita yang dimaksud disini adalah semua kebiasaan yang
dilakukan oleh manusia termasuk ritual-ritual adat.
Dalam menjalankan kebiasaan-kebiasaan yang berupa kepercayaan atau ritual-ritual tersebut
manusia tidak lepas dari bahasa. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa digunakan dalam konteks sosial.
Penggunaan bahasa dalam konteks sosial ini memunculkan kevariasian. Kevariasian bahasa ini dapat dilihat
pada saat penggunaan bahasa oleh setiap penutur dengan mitra tutur. Oleh karena itu, kajian yang
mempelajari hubungan bahasa atau variasi bahasa dalam konteks sosial ini adalah sosiolinguistik (lihat Yule:
2015: 382). Sosiolinguistik merupakan gabungan antara bahasa dan sosologi yang mengkaji penggunaan
bahasa di masyarakat, seperti yang dikatakan oleh Holmes (1992: 1) bahwa “Sociolinguists study the
relationship between language and society. They are interested in explaining why we speak differently in
different social contexts and they are concerned with identifying the social functions of language and the
ways it is used to convey social meaning” (Sosiolinguistik adalah ilmu yang mengkaji hubungan bahasa
dengan masyarakat. Ilmu ini menjelaskan mengapa kita memiliki perbedaan dalam berbicara ketika berada
pada konteks sosial dan mengidentifikasi fungsi dan cara penggunaan bahasa dalam menyampaikan makna
sosial).
Pengertian sosiolinguistik menurut Holmes di atas memberi gambaran bahwa dalam memahami
masyarakat tidak bisa dilepaskan dari memahami bahasa, begitupun sebaliknya bahwa bahasa tidak bisa
dipahami secara tuntas tanpa memahami masyarakat dan budayanya (lihat Fishman dalam Raharjo, 2004: 2).
Rene Appel (1976: 10) (dalam Pateda, 1987: 3) menyatakan bahwa sosioinguistik adalah ilmu yang
mempelajari bahasa dan pemakaian bahasa dalam konteks sosial dan kebudayaan” (bandingkan dengan
Labov dalam Jendra, 2007: 6). Pengertian ini pun senapas dengan J.A Fishman (dalam Chaer, 2010: 3)
bahwa sosiolinguistik adalah kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa dan
pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah dan saling mengubah satu sama lain
dalam satu masyarakat tutur. Pengkajian sosiolingistik tentang penggunaan bahasa di masyarakat yang
berhubungan dengan konteks sosial dipengaruhi oleh faktor sosial, seperti yang dikatakan oleh Wijana
(2013: 7) bahwa sosioinguistik menggarap masalah kebahasaan dan hubungannya dengan faktor sosial,
situasional dan kulturalnya (bandingkan dengan Mahsun, 2013: 229). Dalam pada itu, faktor sosial sebagai
pemicu munculnya variasi bahasa antara penutur dan lawan tutur, sebagaimana telah dinyatakan oleh
Fishman (1975: 15 dalam Wijana: 2013: 7) bahwa “who speaks what language to whom and when” (siapa
berbicara, menggunakan bahasa apa, kepada siapa dan kapan). Faktor sosial yang memengaruhi adanya
perbedaan bahasa juga dikemukakan oleh Holmes (1992:11-12) bahwa adanya variasi penggunaan bahasa
dipengaruhi oleh partisipan yaitu siapa berbicara dan kepada siapa ditujukan pembicaraan itu, setting yaitu

394
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
tempat berlangsungnya pembicaraan, topik yaitu bahan pembicaraan dan fungsi yaitu alasan adanya
pembicaraan (bandingkan dengan Chaer, 2010; 62-72; Pateda, 1987: 53-75).
Berdasarkan penjelasan para ahli di atas, bahwa faktor sosial mempunyai peranan yang dominan
dalam menentukan adanya variasi penggunaan bahasa. Adanya faktor sosial ini memungkinkan pembicara
memilih variasi bahasa yang akan digunakan sesuai dengan situasi (lihat Fasold, 1984: 208). Situasi
pemilihan bahasa antara pembicara dan lawan bicara disebabkan adanya perbedaan umur, jenis kelamin,
pekerjaan dan strata sosial (social class) (lihat Sumarsono, 2013: 43, 97, 135) dan bandingkan dengan
Thomas & Wareing (2007: 195).

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan. Lokasi penelitian dilakukan di desa Bayan Kabupaten
Lombok Utara (KLU). Pemerolehan data dilakukan dengan metode observasi dan wawancara dengan
informan-informan atau tetua-tetua adat yang memiliki pengetahuan tentang pelaksanaan RABA yang
dibantu dengan teknik rekam dan catat. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif.

DATA DAN PEMBAHASAN


Data Tuturan Ritual “Buang Au”
Data yang diperoleh pada penelitian ini berupa tuturan bahasa lisan. Penggunaan bahasa dalam ritual adat
“Buang Au” nampak pada setiap proses rangkaian acara. Diantaranya adalah: 1) proses penyilaan
(mengundang); 2) roahan selamatan; 3) pemberian nama bayi; dan 4) pembuangan au (abu).
Penyilaan (mengundang)
Penyilaq seumur dengan orang yang dipesila, seperti pada tabel 1 berikut.
Penutur Tuturan
Penyilaq Ciang mesilaq pelungguh dateng meroah buang au bija si....melemak jam...
Kiai Lebe Insya Allah mudahan tetap seger buger teger ku bau dateng
Penyilaq lebih dewasa dengan yang dipesilaq, seperti pada tabel 2 berikut.
Penutur Tuturan
Penyilaq Ku mesilaq dik dateng meroah buang au anak si....melemak jam...
Orang dipesilaq Insya Allah mudahan tetap seger buger teger ciang bau dateng
Roahan Selamatan, seperti pada tabel 3 berikut.
Penutur Tuturan
Orang Tua Bayi Silak kiai lebe silak pemangku, muah toak lokak silak periapan selametan buang au bija
ciang. Sang arak roga okon bija dait senina ciang niki teger lalo. tunas okon Allah teger bija
ciang tetep seger buger, tebeng panjang umur kance murak reseki.
Kiai Lebe Nggih
Pemberian Nama Bayi
Penyerahan Bayi oleh Ibu Bayi kepada Belian, seperti pada tabel 4 berikut.
Penutur Tuturan
Ibu bayi silaq inaq belian serahang bija ciang teger peaang aran sik kiai, niki aran-aran isik ciang
mele.
Belian aoq
Penyerahan Bayi oleh Belian kepada Kiai, seperti pada tabel 5 berikut.
Penutur Tuturan
Belian silaq kiai peaang bija………..(sebut orang tua bayi) niki aran
Kiai lebe aoq ku peta onyaq sorak arannya juluq.
Penetapan Nama Bayi, seperti pada tabel 6 berikut.
Penutur Tuturan
Kiai Lebe Bimillahirrahmanirrahim ni ciang taekang sembek okon epe beneng kadu aran….eleq
dunia sampe aherat berkat Lailahaillallah Muhammadurrasulullah.
Penyerahan Bayi oleh Belian kepada Ibu Bayi, seperti pada tabel 7 berikut.
Penutur Tuturan
Belian ni bija dik sawek peak arannya isik kiai, aran bija dik ni…. dait sawek ku tiongnya
Ibu Bayi Nggih
Buang Au (Abu) seperti pada tabel 8 berikut.
Penutur Tuturan
Ibu Bayi Bismillahirrahmanirrahim, ni ciang bung selapuk rogak eleq awaq ciang

395
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Pembahasan
Berdasarkan data di atas, maka dapat dipahami bahwa penggunaan bahasa pada ritual adat “buang au”
memiliki variasi. Variasi penggunaaan bahasa dapat dilihat pada setiap proses pelaksanaan RABA. Lebih
jelasnya dipaparkan sebagai berikut.
Variasi Penggunaan Bahasa pada Proses Penyilaaan dan Faktor Penyebabnya
Pada proses penyilaan terdapat variasi penggunaan bahasa yang digunakan oleh penyilaq dengn orang yang
di pesilaq. Variasi bahasa pada proses penyilaan ini diakibatkan oleh perbedaan umur dan kelas sosial.
Contoh tuturan pada tabel 1 terdapat variasi penggunaan pronomina persona yaitu kata [ciang] dan [ku].
Perbedaan tersebut terlihat pada penggunaan bahasa alus (halus) dan jamaq (biasa). Penyilaq walaupun
seumur dengan orang yang dipesilaq tetap menggunakan bahasa alus (halus). Penyilaq menggunakan bahasa
alus (halus) karena orang yang dipesilaq memiliki kelas sosial tinggi.
Menurut masyarakat adat Bayan, kiai lebe dianggap sebagai orang yang memiliki kelas sosial yang
paling tinggi. Seseorang yang memiliki kelas sosial di bawah kiai harus menggunakan bahasa alus (halus)
ketika berkomunikasi dengan kiai. Penggunaan bahasa jamaq (biasa) dengan seorang kiai dianggap
melecehkan dan menurunkan harga diri kiai. Selain itu, seseorang yang menggunakan bahasa jamaq (biasa)
pada saat berkomunikasi dengan kiai dianggap sebagai orang yang tidak memiliki akhlak berbicara dan
menurut keyakinan masyarakat Bayan seseorang yang menggunakan bahasa jamaq (biasa) pada saat
berkomunikasi dengan kiai akan mendapat tulah manuh (balaq).
Pada tabel 1 sangat jelas perbedaan penggunaan variasi bahasa penyilaq dengan kiai lebe. Penyilaq
menggunakan bahasa alus (halus) seperti kata [ciang] (saya) dan [pelungguh] (kamu/anda). Kiai lebe
menggunakan bahasa jamaq seperti kata [ku] (saya). Selanjutnya pada tabel 2, penyilaq menggunakan kata
[ku] (saya) karena penyilaq lebih dewasa daripada yang dipesilaq. Bentuk ujaran orang yang dipesilaq
menggunakan bahasa alus (halus) seperti kata [ciang] (saya) karena penyilaq lebih dewasa.
Variasi Penggunaan Bahasa pada Proses Roahan dan Faktor Penyebabnya
Pada proses roahan, orang tua bayi (ayah bayi) mempersilahkan kiai lebe memimpin roahan. Variasi tuturan
terlihat pada penggunaan pronominal persona yaitu kata ciang (saya), bija (anak) oleh orang tua bayi. Orang
tua bayi menggunakan bahasa alus (halus/tinggi) karena pembicaraan ditujukan kepada seorang memiliki
umur lebih dewasa dan kelas sosialnya pun berbeda yaitu seorang kiai. selain itu, terdapat variasi bahasa
yang menyatakan persetujuan yaitu penggunaan kata [aoq] (ya) oleh kiai karena orang tua bayi memiliki
kelas sosial dan umur yang lebih rendah.
Variasi Penggunaan Bahasa pada Proses Pemberian Nama Bayi dan Faktor Penyebabnya
Variasi Bahasa pada Penyerahan Bayi oleh Ibunya kepada Belian
Pada proses ini terlihat variasi penggunaan pronominal persona yaitu kata [ciang] (saya) dan [bija] (anak)
oleh ibu bayi dan variasi yang menyatakan persetujuan yaitu kata [aoq] (ya) oleh belian. penggunaan kata
[ciang] (saya) dan [bija] (anak) ini karena ibu bayi memiliki umur yang lebih rendah dan walaupun memiliki
umur yang sama dengan belian tetap menggunakan kata ciang (saya) dan bija (anak) untuk menghormati
belian yang telah berjasa mengurus proses melahirkan. Kata [aoq] (ya) yang digunakan oleh belian karena
lawan bicaranya memiliki umur dan kelas sosial yang lebih rendah. Dalam situasi lain, belian akan tetap
menggunakan bahasa alus (halus) jika berkomunikasi dengan orang yang lebih dewasa dan memiliki status
sosial yang lebih tinggi. Selain itu, belian pun akan menggunakan bahasa alus (halus) jika berkomunikasi
dengan lawan bicara yang seumur, namun memiliki status sosial yang lebih tinggi. Misalnya menggunakan
kata [nggih] (ya) untuk mengganti kata [aoq] (ya).
Variasi Bahasa pada Penyerahan Bayi oleh Belian ke Kiai Lebe
Pada proses ini dapat diidentifikasi variasi penggunaan bahasa seperti penggunaan pronominal persoana
yaitu kata [bija] (anak) oleh belian, [ku] (saya) oleh kiai lebe dan variasi yang menyatakan persetujuan yaitu
kata [aoq] (ya). Belian menggunakan kata [bija] mengganti nama bayi karena belian berkomunikasi dengan
kiai yang memiliki status sosial lebih tinggi. Kiai lebe pada tuturan ini tetap menggunakan bahasa jamaq
(biasa) seperti kata [aoq] (ya) dan [ku] (saya) karena lawan bicara memiliki status sosial yang lebih rendah.
Variasi Bahasa pada Penetapan Nama Bayi
Pada proses ini terdapat variasi penggunaan pronomina persona dengan bahasa alus yaitu kata [ciang] dan
[epe]. Penggunaan kata ini dengan alasan bahwa bayi tersebut adalah manusia suci yang belum ternodai
dosa dan supaya bayi tersebut memiliki tutur bahasa yang baik ketika dewasa.

396
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Variasi Bahasa pada Penyerahan Bayi oleh Belian ke Ibu Bayi.
Pada proses ini terdapat variasi penggunaan pronomina persona oleh belian dan ibu bayi. Belian
menggunakan bahasa alus (halus) yaitu kata [bija] (bayi) dan menggunakan bahasa jamaq yaitu kata [dik]
(kamu) dan ibu bayi menggunakan bahasa alus (halus) yaitu kata [nggih] (ya).
Variasi Penggunaan Bahasa pada Proses “Buang Au” (Pembuangan Abu) dan Faktor Penyebabnya
Pada proses ini, ibu bayi diantar suami, belian nganak dan keluarga membuang abu. Pada proses ini, ibu
bayi menggunakan bahasa alus (halus) pada saat meletakkan upek (wadah abu) di atas tanah. Ibu bayi
menggunakan bahasa alus seperti kata [ciang] (saya) walaupun ibu bayi berkomunikasi berkomunikasi.
Penggunaan kata [ciang] (saya) oleh ibu bayi ini karena berkeyakinan bahwa tanah sebagai tempat
pembuangan abu tersebut merupakan asal penciptaan manusia. Oleh karena itu, tanah walaupun diinjak oleh
kaki manusia, harus dihormati karena tanah sebagai awal dan akhir manusia.

SIMPULAN
Ritual adat “Buang Au” (RABA) merupakan ritual yang selalu dilaksanakan oleh suku Sasak terutama
masyarakat Sasak yang berada di desa Bayan Lombok Utara setelah kelahiran bayi tepatnya pada hari ke
tujuh. Ritual “Buang Au” sebagai bentuk ritual atas kelahiran bayi sehingga pada acara ini diadakan roahan
selamatan dengan memotong hewan. RABA dianggap sebagai upacara daur kehidupan manusia setelah
lahir. Adapun rangkaian prosesi acara yang dilakukan pada saat pelaksanaan RABA ini adalah penyilaan
(mengundang), pemberian nama bayi dan terakhir pembuangan abu dan setiap proses menunjukkan adanya
variasi penggunaan bahasa. Variasi penggunan bahasa pada ritual ini disebabkan adanya perbedaan faktor-
faktor sosial antarpenutur yang terlibat seperti perbedaan umur, strata sosial dan nilai kurtural. Berdasarkan
data yang diperoleh, bahwa tuturan bahasa Sasak yang digunakan dalam tuturan RABA memiliki variasi
yaitu variasi penggunaan pronomina persona ([ku], [ciang], [dik], [epe], [pelungguh]) dan variasi
penggunaan kata yang menyatakan persetujuan [aoq], [nggih].

DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul & Agustina, Leonie. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Duranti, A. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.
Fasold, Ralph. 1984. The Sociolinguistics of Society. New York: Blacwell.
Fauzan. 2014. Pengantar Filsafat Ilmu (Edisi Revisi). Lombok Barat: Arga Puji Pres Mataram Lombok.
Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Longman.
Jendra, I Wayan. 2007. Sosiolinguistik: Teori dan Penerapannya. Denpasar: Paramita.
Keesing, R.M. 1992. Cultural Anthropology A. Contemporary Perspective (alih bahasa Drs. Gunawan, S., M.A.).
Jakarta: Erlangga.
Mahsun. 2013. Metode Penelitian Bahasa: tahapan Strategi, Metode dan Tekniknya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Masinambouw, E.K.M.1998. Hubungan Timbal Balik antara Bahasa dan Kebudayaan (ceramah). Denpasar.
Pateda, Mansoer. 1987. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
Raharjo, Mudjia. 2004. Relung-Relung Bahasa: Bahasa dalam Wacana Politik Indonesia Kontemporer. Yogyakarta:
Aditya Media.
Sumarsono. 2013. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Thomas, Linda & Wareing, Shan. 2007. Language, Society and Power ((diterjemahkan oleh Sunoto dkk dengan judul
bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wijana, Dewa Putu & Rohmadi, Muhammad. 2013. Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Yule, George. 2015. The Study of Language (diterjemahkan oleh Astry Fajria dengan judul Kajian Bahasa).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Suliadi
Institusi : Universitas Mataram
Riwayat Pendidikan : S1 STKIP Hamzanwadi Selong
Minat Penelitian : Sosiolinguistik dan Dialektologi Sinkronis

397
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
MORPHOSYNTAX OF NEGERI SEMBILAN AND MINANGKABAU DIALECTS

Mohammad Fadzeli Jaafar, Idris Aman, Norsimah Mat Awal


Universiti Kebangsaan Malaysia
fadzeli@ukm.edu.my

ABSTRACT
There are studies that show the similarities between the dialect of Negeri Sembilan and Minangkabau, such as
phonology system (Reniwati, 1990) and greeting words (Reniwati & Ab. Razak, 2015). However, this paper is an
attempt to compare the morphosyntax of both dialects. It is the assumption of this study that the fact that there is
almost no morphosyntax was done on the dialect of Negeri Sembilan and Minangkabau. For that purpose, it is the aim
of this study to examine the grammatical category of the dialect of Negeri Sembilan and Minangkabau. In this study,
the grammatical category consists of the morphological and the syntactical aspects. The morphological aspect is
concerned on affixation and determiner. And, the syntax is focused on possessive and auxiliary. The research was
conducted in Kota Tinggi and Padang in Indonesia; and the districts of Rembau and Kuala Pilah in Negeri Sembilan.
The research samples are based on recordings in the study area. Sample conversation consists of 15 informants,
representing both dialect studied. Data were transcribed by research assistants who are native speaker of both
dialects. Data were tested for their authenticity, in terms of spelling and structure. It is found that the use of prefix of
nouns (perosak - parusak, kesudahannya - kasudahannyo, sesudah - sasudah), verbs (terjatuh – tajatuh, bersatu-
basatu/bertigo-batigo, menyapu - manyapu); circumfix (meN-,,,-kan, such as mambarasiahan membersihkan), and
possessive (punya, such as ‘Den punyo kodai’ – ‘Ambo punyo’/ ‘Punyo ambo) in Negeri Sembilan dialect different
from Minangkabau dialect. Similarities of both dialects were found in the use of auxiliary (sudah/bona, hendak, mau)
and causative (digunoan (digunakan), ditinggaan (ditinggalkan). This study contributes to the understanding of the
grammatical category of the two dialects have in common in terms of language and culture.
Keywords: morphosyntax, grammatical, syntactical aspects, morphological aspect Negeri Sembilan dialect,
Minangkabau dialect

INTRODUCTION
Negeri Sembilan dialect is a subdialect of the Malay language. As one of the subdialects of Malay, Negeri
Sembilan dialect has a specific phonological features, namely the final syllable of the word is pronounced as
[o], for example, [kito] we and [apo] what (see Ibrahim Mustapa & Ibrahim Daud, 1990; Idris Aman,
Norsimah Mat Awal & Mohammad Fadzeli Jaafar, 2015). Meanwhile, Minangkabau dialect is spoken in
West Sumatera province, Indonesia. Minangkabau dialect also has several variations. However, according
to Media Sandra Kasih (2002), the dialect spoken in Padang is considered as a common or standard dialect
of Minangkabau.
Some researchers argued that the Negeri Sembilan dialect is a variation of the Minangkabau dialect
(Asmah Haji Omar, 1985). This view is supported by historical fact that a substantial number of the
Minangkabau population migrated to Negeri Sembilan in the 14the century. However, Norhalim (1992)
claimed that “…, Negeri Sembilan dialect differs from the Minangkabau. It is very difficult for a Negeri
Sembilan dialect speaker to understand the Minangkabau dialect.” Norhalim adds that Negeri Sembilan
dialect is closer to Siak dialect. This view requires further study whether Negeri Sembilan dialect is different
or similar to Minangkabau dialect. In this context, this study will focus on morphosyntax aspects of both
dialects. Asmah (1985) noted that the similarity or dismilarity of dialect can be traced from the lexical or
grammatical aspects.

PREVIOUS STUDIES ON NEGERI SEMBILAN AND MINANGKABAU DIALECTS


The studies of Negeri Sembilan and Minangkabau dialects have been carried out by a number of researchers,
such as Ajid Che Kob (2002), Ramli Salleh (2002) and Reniwati (2015). However, the previous studies of
both dialects only concentrated on phonology, syntax and pronoun.
For example, Ajid Che Kob discusses the distinction between vowel [a] and [o] at the beginning of
syllable in both dialects. The word perut is pronounced as [paruit] in Minangkabau, and [poRot] among the
speakers in Negeri Sembilan. Based on this example, it is also found that vowel [u] for perut turned into [o]
and [ui] in each dialect. Ajid suggested further research on both dialects should be done and his study has
shown that both dialects are different phonologically.
Another study on Negeri Sembilan dialect was undertaken by Ramli Salleh. In his study, he
believed that the Negeri Sembilan dialect is influenced by Minangkabau dialect, especially in terms of
phonology and morphology. However, the aim of Ramli’s study was to investigate the usage of

398
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
adalah/ialah (is). Based on syntactic features, Ramli found that sentences in Negeri Sembilan dialect do not
use the word adalah/ialah. For example:
(1) Rumah den rumah batu. House my house stone My house is made of stone
(2) Dio cikgu den’ He teacher my He is my teacher
The Minangkabau dialect, on the hand, uses the word iolah in nominal predtcate (Moussay 1998) such as:
(3) Rumah ko iolah rumah batu. House you is house stone Your house is made of stone.
The use of terms address in Minangkabau and Negeri Sembilan dialects has also been discussed by
Reniwati and Ab. Razak (2015). This study focused on the use of terms address in semi-formal situations.
The study compared the terms of address used in Nagaro Batu Hampar, Padang with terms of address used
in Rembau, Negeri Sembilan. The results showed that there are several similar terms of address used in both
places such as such as datuak or tuak (grandfather) at Nagaro Batu Hampar, and datuk atau tuk in Rembau.
Combing through previous studies on both dialects, it showed that most studies only concentrated
on phonology, syntax and term of address. We have also not found studies that look at the morphosyntax
aspects in both dialects. It is also noted that most of previous studies do not based their analysis on natural
speech. Therefore, this study attemps to address those shortcomings by utilyzing bigger data of recorded
conversations. It is the view of this study that similarities and differences between two dialects can only be
ascertained and described through or based on bigger data.

METHODOLOGY
In this section, we will present the analysis of the data collected. We shall first begin with the research areas
of the study and followed by information on the informants and finally the transcription of the interviews.
This study was conducted in Negeri Sembilan, Malaysia and in Bukit Tinggi and Padang in
Indonesia. In Negeri Sembilan, the districts chosen to represent Negeri Sembilan dialect were Kuala Pilah
and Rembau. Correspondingly, Padang and Bukit Tinggi were chosen to represent the Minangkabau dialect.
The researchers have managed to record 15 conversations. A total of 7 informants from Negeri Sembilan,
and 8 informants from Padang dan Bukit Tinggi were interviewed. All informants aged over 50 years. Each
conversation lasted 10-20 minutes, depending on the topic selected. All the conversations were recorded. At
the beginning of every conversation, informents were required to a little information on their background.
We then proceeded with general topic such as the weather conditions in order to neutralize the situation and
to avoid anxiety on the part of the informant. The conversations took place at home, at their work place or at
public places such as the parks or mosques. The interviews were assisted by our research assistants who are
native speakers of the dialects studied. The interviews were later transcribed by the research assistants. To
enable readers to follow the discussion, we have provided the translations after each example. The following
example is how the data is presented and explained:
(4) Batugeh di siko sajak 2011” Working here since 2011. (I have been) working here since 2011.
In analyzing data, we are looked at the occurrences of prefix, such as ba in the Minangkabau dialect. The
word with prefix ba is indicated in bold and italic, such as batugeh. In this context, batugeh refers to
bertugas (working), siko means sini (here) and sajak means sejak (since). For the purpose of the discussion,
every sentence will be translated into English, such as ‘(I have been) working here since 2011’.

ANALYSIS AND DISCUSSION


In the following section, we will first discuss the morphological aspects of both dialects. Next, the
discussion will be on the syntactic aspects of both dialects based on the data collected.

MORPHOLOGY
Affixes
Morphologically, in the Malay language, the verbs are characterized by the presence of the following affixes,
namely me, ber and ter. In this case, Negeri Sembilan dialect applied the same affixes as the standard Malay.
However, it is noted that the verbs in Minangkabau dialect are characterized by affixies ma, ba and ta, for
examples, taraso {feel}, baranti (to quick) and mambarasiahkan (to wash). These indicate the difference
between Negeri Sembilan and Minangkabau dialect is influenced by the style of articulation or accent.
Negeri Sembilan dialect is using a standard local accent, while Minangkabau dialect is using a regional
accent, not Indonesian standard. In Indonesian, the prefix ter and ber are intransitive verbs, stating the
process of doing something or reflexive (Alieva, n. f. et al, 1991).

399
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
The same pattern also applies to nouns. In Negeri Sembilan dialect, the noun is marked by the
occurrence of pe, ke and se. Seemingly Minangkabau dialect consistenly used the same pronounciation as in
verb, where the prefix pe, ke and se will turn into pa, ka and sa, such as parosak (pest), kasudahannya (the
result) and sasudah (after).
Determiner
In Malay, a determiner is placed after noun, like rumah itu (that house). In this case, Negeri Sembilan
dialect applies the same rule with the standard Malay. Example (5) below illustrates that ini/itu in
Minangkabat dialect is pronounced as iko or ko:
(5) Bahaso Simalonggang ko agak unik Buk
Bahasa Simalonggang this quite unique Buk
This Bahasa Simalonggang is quite unique Buk
Structurally, the above example shows that ko applied the same rule as Negeri Sembilan dialect as it
occurs after noun phrase, Bahasa Simalonggang ko. In this context, ko is used to emphasise the noun phrase,
Bahasa Simalonggang. The speaker tried to confirm his statement that Bahasa Simalonggang is quite
unique compared to other dialects. Additionally, iko/ko also occurs at the beginning of sentence, such as:
(6) Iko ko Koto Nan Godang namonyo.
This this Koto Nan Godang called its
This is called Koto Nan Godang
In example (6), the speaker tried to stress that the town is called Koto Nan Godang, by repeating iko
ko twice at the beginning of the sentence. At a glance, the finding shows that ini/itu has similar funtions as
iko/ko.

SYNTAX
Possessive word
Possessive word has been discussed by Collins (1996). The study focused on Ambon Malay dialect. The
study found that Ambon and Malay dialect share similar possessive structure. For example:
(7) rumah Roslan house Roslan Roslan’s house
In example (7), OWNED is followed by OWNER, where rumah represents OWNED and Roslan as
the OWNER. In other words, structurally, general noun rumah will be followed by proper noun, Roslan.
The same structure is also applied to Negeri Sembilan dialect.
(8) Kodai Ali Shop Ali Ali’s shop
The same word order is found in the example (8) above, kodai (OWNED), is followed by Ali
(OWNER). However, Collins (1996) claimed that there are also other forms which may indicate OWNED,
such as:
(9) Thys punya rumah Thys memiliki rumah Thys has a home
The word punya in (9) above can be used as a sign of OWNED, which refers to the verb have
(memiliki), i.e. Thys has a home. The word order as illustrated above is considered common in Malay
language. Negeri Sembilan dialect also uses the same order:
(10) Ali punyo kodai Ali has shop Ali has a shop.
Similar as Thys in (9), the proper noun Ali also functions as the OWNER, who has a kodai (shop).
As such, there are two patterns that indicate the concept of ownership in Negeri Sembilan dialect:
(11) MILIK – PEMILIK OWNED - OWNER
(12) PEMILIK – MILIK OWNER – OWNED
First pattern in (11) signals that the relationship between OWNED and OWNER has happened
without the word punyo, while the second pattern in (12) applies the word punyo between the two phrases.
The data in this study showed different patterns for ownership in Minang dialect as shown in the example
below:
(13) ‘Sapo punyo kodai tu’? Den punyo kodai kodai den My shop
There are two answers to the above questions. The first answer used the word punyo, with pronoun den as
an OWNER and kodai as an OWNED. This answer is parallel with the first pattern. However, the second
answer applied OWNED – OWNER pattern, without the word punyo. Compare these data with the
following:
(14) ‘Sapo punyo kodai tu’? Ambo punyo kodai punyo ambo Ambo punyo My shop
The first answer is similar to the Negeri Sembilan dialect. However, the second and third answers
are different from Negeri Sembilan dialect. The second answer begins with the word punyo, while the third
begins with the word Ambo. The word kodai has been deleted in both answers. It is interesting to note the
400
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
existence of punyo ambo in Minangkabau dialect. In Negeri Sembilan dialect, this answer could be punyo
den. However, this pattern does not exist in Negeri Sembilan dialect. But, in Minangkabau dialect this
pattern is gramatically acceptable. For example:
(15) Buku itu saya punya?
Buku itu ambo punyo
Book the my owned
The book is mine.
Buku itu punyo ambo.
Book the owned my
The book is mine.
As described in the discussion above, we may notice that the word punyo precedes ambo in the
second answer. In Negeri Sembilan, sentence such as Buku itu punyo ambo (Buku itu punyo den) does not
exist. In other words, in Negeri Sembilan dialect, pronoun such as den must precede punyo.

AUXILIARY
In standard Malay, the auxiliary verb consists of two categories, the aspect and modal. Based on the data
collected, we have noticed differences between the two dialects, in terms of aspect of verbs, such as sudah,
hendak and mau. For examples:
(16) Sudah terlalu kurus’ Kuruih bona Very thin
(17) Sudah terlalu lamo lamo bona Very long
It is noted that the use of the word sudah has become bona in Negeri Sembilan dialect in both
examples (16) and (17) above. In Negeri Sembilan dialect, the word bona means sangat (very), such as
kurus bona (very thin) or lamo bona (very long). In other words, the adjectives kurus (thin) and lamo (long)
will precede the word bona (very), syntactically.
This is in contrast with the Minangkabau dialect as the word sudah is pronounced as lah or alah.
Examples are as follow:
(18) Sudah terlalu kurus Lah manjadi kuruih Very become thin Very thin
(19) Sudah terlalu lamo alah talalu lamo It is very long
Both of these variations lah and alah do not exist in Negeri Sembilan dialect. The word lah seems
to have become clitic of sudah in Minangkabau dialect. Next, consider the examples below:
(20) Den nak makan I want to eat
(21) Ambo nio makan I want to eat
(22) Kami nio mancaliak bahaso Minangkabau yang digunoan di siko Pak
We wanted to see the Minangkabau language which is used here Sir.
Both dialects applied the same rule for the word hendak in terms of word order. In these situations,
the verb precedes the word makan (eat). The difference noticed is the Negeri Sembilan dialect uses the clitic
nak whereas nio is used in Minangkabau dialect. Based on the data, nio is also used to replace mau as
shown in (22).

CONCLUSION
It was mentioned earlier that this study was motivated by the need to find the differences and similarities
between the two dialects. The following are the summaries of the results of this study, specifically the
morphological and syntactical aspects.
Table 1. The Morphosyntax of Negeri Sembilan and Minangkabau Dialects
Grammatical categories Negeri Sembilan dialect Minangkabau dialect
Noun with Prefixes pe- pa-
se- sa-
ke- ka
Verb with Prefixes be ba
te ta
me ma
Determiner Ini Iko/ko
Possessive word Den punyo Punyo ambo
Auxiliary verbs sudah lah/alah
hendak nio
mau nio

401
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
The table above showed that the formation of derived nouns and verbs in both dialects are
characterized by different sounds The formations of derived nouns of Negeri Sembilan dialect are marked by
prefixes pe, se and ke, while the Minangkabau dialect applied the prefixes pa, sa and ka. The same pattern is
used in the formation of derived verbs in both dialects. Negeri Sembilan dialect used prefixes be, te and me,
while Minangkabau dialect used ba, ta and ma. The only difference is the occurrence of vowel /e/ and /a/ in
the first syllable. In other words, the pattern of prefixes in Minangkabau dialect is predictable. However, the
data shows that the determiner in Minangkabau dialect using different form, such as iko or ko compared to
the word ini, in Negeri Sembilan dialect. In the data, we have found odd cases for possessive word.
Minangkabau dialect applied both patterns of possessive word order as discussed above, MILIK (OWNED)
– PEMILIK (OWNER) and PEMILIK (OWNER) – MILIK (OWNED), while Negeri Sembilan dialect only
used PEMILIK (OWNER) – MILIK (OWNED). Finally, as determiner, the auxiliary verbs in Minangkabau
dialect use different form compared to Negeri Sembilan dialect, such as ilah/lah and nio. This study is a
preliminary report on the morphosyntax aspects in both dialects. Further study on the morphosyntax is
needed to get a clearer picture on Negeri Sembilan and Minangkabau dialects.

BIBLIOGRAPHY
Alieva, n.f. et al. 1991. Bahasa Indonesia: deskripsi dan teori. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Ajid Che Kob 2002. ‘Dialek Melayu Negeri Sembilan: Beberapa aspek linguistik’. In Sastri Yunizarti Bakry dan
Media Sandra Kasih (editor). Menelusuri jejak Melayu – Minangkabau. Padang: yayasan Citra Budaya
Indonesia.
Asmah Haji Omar, 1985. Susur galur bahasa Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Collins. J.T. 1996. Khazanah dialek Melayu. Bangi: Penerbit UKM.
Ibrahim Mustapa & Ibrahim Daud, 1990; ‘Analisis dialek daerah Kuala Pilah daripada aspek fonologi’. Jurnal Dewan
Bahasa, Disember, 1990: 975-982.
Idris Aman, Mohammad Fadzeli Jaafar & Norsimah Mat Awal. 2015. Dialek Negeri Sembilan: sikap, kefahaman dan
jati diri. Bangi: Penerbit UKM.
Media Sandra Kasih. 2002. ‘Sistem sapaan kekeluargaan bahasa Minangkabau dan bahasa Melayu Malaysia: suatu
perbandingan’. In Sastri Yunizarti Bakry dan Media Sandra Kasih (editor). Menelusuri Jejak Melayu –
Minangkabau. Padang: yayasan Citra Budaya Indonesia.
Norhalim Haji Ibrahim. 1992. ‘Vanishing culture. of the Adat Perpatih’. In Nellie S. L. Ran Wong and Vipin Patel
(editors). Adat Perpatih: a matrilineal system in Negeri Sembilan, Malaysia and other matrilineal kinship
systems throughout the world. Kuala Lumpur: Wintrac Sdn. Bhd.
Ramli Salleh. 2002. ‘Sintaksis dialek Negeri Sembilan’. In Sastri Yunizarti Bakry dan Media Sandra Kasih (editor).
Menelusuri jejak Melayu – Minangkabau. Padang: yayasan Citra Budaya Indonesia.
Reniwati & Ab. Razak 2015. Kata sapaan separa rasmi dalam masyarakat Minangkabau di Kabupaten 50 Kota dan
Daerah Rembau: Suatu Kajian Perbandingan. International Journal of the Malay World and Civilization
(Iman). 3(2), 2015:63-70.

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Mohammad Fadzeli Jaafar, Norsimah Mat Awal, Idris Aman
Institution : Universiti Kebangsaan Malaysia
Education : Associate Professor and Professor
Research Interst : • Stylistics, Syntax, and Pragmatics
• Semantics, Translations, and Sociolinguistics
• Discourse Analysis, Dialectology, and Sociolinguistics

402
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
PERSEPSI PENGAJAR DAN PEMBELAJAR BAHASA KOREA TERHADAP BUKU ‘BAHASA
KOREA TERPADU TINGKAT DASAR UNTUK ORANG INDONESIA’

Usmi
Universitas Inha-Korea, Universitas Indonesia
usmijakarta@gmail.com

ABSTRAK
Buku teks merupakan salah satu unsur utama dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas dan dipandang sebagai sarana
penunjang keberhasilan proses kegiatan itu. Pada dasarnya hakikat buku teks memberikan informasi mengenai isi atau
materi pembelajaran kepada pengajar melalui bahan ajar berbentuk cetakan. Pemilihan buku teks yang baik, yang
akan digunakan di suatu lembaga pendidikan, tidak semudah memilih buku cerita di toko. Ada beberapa hal yang
harus diperhatikan, di antaranya kebutuhan pembelajar dan relevansinya dengan kurikulum yang berlaku di institusi
pendidikan tersebut. Namun, faktanya kedua hal tersebut kadang masih diabaikan. Pengajaran bahasa Korea sebagai
bahasa asing di Indonesia semakin marak. Tetapi sayangnya, masih belum ada ketersediaan buku teks yang layak di
dalam negeri, sehingga beberapa lembaga pendidikan khususnya perguruan tinggi masih mengandalkan buku teks
yang disusun dan diterbitkan di Korea. Buku teks yang saat ini digunakan oleh beberapa perguruan tinggi di Indonesia
adalah ‘Bahasa Korea Terpadu untuk orang Indonesia’ (selanjutnya disebut ‘BKDT’). Adanya perbedaan pendapat di
kalangan pengajar mengenai penetapan buku teks ini sebagai buku teks utama di kelas menjadi latar belakang
masalah penelitian ini. Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui persepsi pengajar dan pembelajar bahasa
Korea di Indonesia terhadap buku teks BKDT. Penelitian ini menggunakan metode survei yang menggunakan
kuesioner dan wawancara sebagai instrumen pengumpulan data. Ada tiga hal utama yang akan dibahas dalam
makalah ini, yaitu sejarah singkat pengajaran bahasa Korea sebagai bahasa asing, analisis kesesuaian materi buku
teks BKDT dengan kondisi belajar-mengajar di Indonesia, dan pembahasan persepsi pengajar dan pembelajar bahasa
Korea terhadap buku teks BKDT. Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberi kontribusi yang berarti bagi
penelitian dan perkembangan pengajaran bahasa Korea sebagai bahasa asing di Indonesia.
Kata kunci: bahasa Korea, buku teks, buku korea terpadu, persepsi pengajar, persepsi pembelajar

PENDAHULUAN
Sejarah pengajaran bahasa Korea (PBK) sebagai bahasa asing di lembaga resmi di Indonesia sebenarnya
sudah terbilang cukup lama, diawali dengan dibukanya kelas bahasa Korea (BK) sebagai mata kuliah pilihan
di Universitas Indonesia pada tahun 1986. Lima tahun kemudian, Universitas Nasional membuka program
diploma BK pada tahun 1994. Akan tetapi, program studi ini baru mendapat ijin resmi pada tahun 2005.
Setahun kemudian, Universitas Gadjah Mada juga membuka kelas BK sebagai mata kuliah pilihan pada
tahun 1995 dan pada tahun 2003 sampai sekarang membuka program diploma tiga tahun (di-akses dari
http://idn.mofa.go.kr/worldlanguage/asia/idn/about/bel/jur/index.jsp). Sementara itu, program sarjana
pertama kali diselenggarakan oleh Universitas Indonesia pada tahun 2006 dengan nama Program Studi
Bahasa dan Kebudayaan Korea, dan diikuti oleh Universitas Gadjah Mada dengan nama Program Studi
Bahasa Korea mulai tahun ajaran 2007-2008. Setelah itu, program sarjana pendidikan BK pertama, yang
bertujuan untuk mencetak guru-guru BK setingkat sekolah lanjutan menengah tingkat atas (SLTA), dibuka
di Universitas Pendidikan Indonesia pada bulan September tahun 2015. Rencananya, beberapa lembaga
resmi lain, seperti Universitas Padjajaran di Bandung, Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa, Universitas Hasanuddin,
juga akan membuka program studi bahasa Korea (PSBK)(Shin, 2008), tetapi sampai sekarang belum
terlaksana. Banyak faktor yang menjadi kendala belum terlaksananya rencana tersebut, di antaranya masih
kurangnya tenaga ahli lokal, baik di bidang pengajaran BK maupun bidang lain yang dapat menunjang
berdirinya program studi tersebut, dan belum adanya ketersediaan bahan ajar BK yang layak bagi pemelajar
Indonesia. Kedua faktor tersebut, sampai saat ini, masih menjadi kendala utama dalam perkembangan
pengajaran BK di Indonesia. Pada penulisan makalah ini, penulis akan lebih memusatkan penelitian pada
masalah ketersediaan bahan ajar BK di Indonesia.
Bahan ajar merupakan salah satu komponen penting dalam proses kegiatan belajar-mengajar dan
dipandang sebagai media penunjang keberhasilan kegiatan itu. Umumnya di awal persiapan, lembaga resmi
yang menyelenggarakan PSBK atau pengajar yang mengampuh mata kuliah BK dihadapi dengan dua
pilihan, yakni menyusun atau memilih bahan ajar yang akan digunakan di kelas. Dikarenakan faktor
pertimbangan waktu dan belum adanya tenaga ahli lokal yang mampu menyusun bahan ajar BK, sampai saat
ini faktanya mereka masih mengandalkan dan ‘memilih’ buku teks yang disusun dan dicetak di Korea
sebagai sumber belajar BK. Kendatipun buku teks itu disusun oleh tenaga ahli di Korea, belum tentu baik
dan tepat digunakan di Indonesia karena situasi dan tujuan pembelajaran BK di Korea dan Indonesia
berbeda. Seperti pernyataan Richards (2001: 2-3) berikut ini, ‘A book may ideal in one situation because it

403
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
matches the needs of the situation perfectly. … However, the same book in a different situation may turn out
to be quite unsuitable’. Sebuah buku teks bisa menjadi ideal digunakan dalam suatu situasi belajar tertentu
apabila secara menyeluruh sesuai dengan kebutuhan situasi itu. Namun, buku teks yang sama apabila
digunakan dalam situasi pembelajaran yang berbeda bisa menjadi tidak tepat. Yang menjadi pokok masalah
dalam pemilihan buku teks adalah apakah materi, tema atau isi yang disajikan dalam buku teks tersebut
sesuai dengan konteks pembelajaran BK di Indonesia; apakah sesuai dengan kebutuhan pembelajar
Indonesia?; apakah relevan dengan kurikulum yang berlaku? dan sebagainya. Pendek kata, pemilihan buku
teks yang baik dan tepat tidak semudah memilih buku cerita di toko. Pemilihan buku teks memerlukan
banyak pertimbangan yang tidak bisa diabaikan.
Saat ini buku teks yang digunakan di empat perguruan tinggi di Indonesia, yakni UI, UGM, UNAS,
UPI, adalah ‘Bahasa Korea Terpadu untuk orang Indonesia’ (selanjutnya disebut ‘BKT’). Berbeda dengan
UNAS dan UGM yang lebih lama menggunakan buku teks tersebut, UI baru memutuskan menggunakan
BKT pada mahasiswa angkatan 2014. Adanya perbedaan pendapat di antara kalangan pengajar di UI
mengenai penetapan buku teks ini sebagai buku pegangan utama di kelas menjadi latar belakang masalah
penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi pengajar dan pembelajar BK di Indonesia
terhadap buku BKT. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi
penelitian dan pengembagan bahan ajar BK di Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA
Pada hakikatnya, buku teks merupakan salah satu bentuk bahan ajar yang memberikan informasi mengenai
materi atau isi pembelajaran kepada pengajar melalui bahan ajar berbentuk cetakan (Tarigan & Tarigan,
1986; Prastowo, 2012, Seo & Lee, 2007). Pada bagian ini, pendapat dan teori yang terkait dengan penelitian
ini dipaparkan.
Buku teks digunakan karena memiliki beberapa fungsi dan peran penting dalam proses belajar-
mengajar. Buku teks berperan untuk menunjang suatu program pengajaran (Tarigan, 1986: 13). Sarem at al.
(2013: 372) berpendapat, ‘Nowdays, in educational practices throughout the world, textbooks plays a vital
role, since they are considered as the means of convey the required materials and knowledge between
teachers and students. Dewasa ini dalam praktek dunia pendidikan di seluruh dunia, buku teks memegang
peranan penting karena dianggap sebagai media penyampaian materi dan pengetahuan yang dibutuhkan oleh
guru dan siswa. Lebih lanjut, kehadiran buku teks dapat mengurangi beban tugas pengajar dalam mencari
atau menyusun bahan ajar sendiri sehingga mereka dapat memanfaatkan waktunya untuk kegiatan lain.
Khususnya bagi pengajar yang belum berpengalaman, buku teks juga memberikan dukungan agar mereka
memperoleh kepercayaan diri dalam mengajar (Richard, 2001; Cunningsworth, 1995; Ansary & Babaii,
2002). Dalam pada itu, Seo & Lee (2007) memaparkan fungsi dan peran buku teks secara lebih terperinci
dalam proses pembelajaran BK sebagai bahasa asing, yang dipaparkan dalam tiap tahap pembelajaran BK,
sebagai berikut: pada tahap persiapan, buku teks berfungsi sebagai sarana penyampaian tujuan pembelajaran,
implementasi kurikulum dan pemotivasi pembelajar; pada tahap pelaksanaan pembelajaran, buku teks tidak
hanya berfungsi memuat materi, bahan ajar, bahasa Korea baku, dan metode pengajaran, tetapi juga
berfungsi sebagai media/sarana interaksi pengajar dan pembelajar; pada tahap akhir buku teks berfungsi
sebagai bukti dan bahan persiapan evaluasi. Pendek kata, kehadiran buku teks dalam proses belajar-
mengajar memiliki fungsi dan peran yang tidak bisa diabaikan. Fungsi dan perannya dapat dilihat pada tiap
tahap proses pembelajaran. Namun, yang perlu dipahami secara utuh, dampak positif penggunaan buku teks
itu baru dapat terpenuhi apabila topik atau materi yang disajikan dalam buku teks itu memenuhi beberapa
aspek berikut ini: 1) memenuhi kebutuhan pengajar dan pembelajar, 2) sesuai dengan tujuan pembelajaran
dan kurikulum yang berlaku; 3) memuat topik-topik relevan dan menarik bagi pengajar dan pembelajar, 4)
disusun dengan memperhitungkan situasi pembelajaran, 5) dapat diadaptasi sesuai kebutuhan belajar.
Meskipun demikian, kehadiran buku teks di kelas juga mengundang kontra. Beberapa pakar
berpendapat penggunaan buku teks dalam proses belajar-mengajar tidak selalu memberikan dampak positif,
tetapi juga sebaliknya (Wiliam, 1983; Sheldon, 1988; Ur, 1996; Richard, 2001; Ansary, 2002). William
(1983: 251) menyatakan, ‘Any textbook should be judiciously, since it cannot cater equally to requirement of
every classroom setting’. Pendapat senada dikemukakan oleh Ur (1996: 185), ‘Coursebooks have their own
rationale. …They do not usually cater for the variety of levels of ability and knowledge, or of learning styles
and strategies that exist in most classes.’ Maksudnya, buku teks haruslah dipilih secara selektif dan penuh
pertimbangan karena setiap buku memiliki dasar pemikiran sendiri, dan tidak selalu memenuhi kebutuhan
pelbagai tingkat kemampuan dan pengetahuan, atau gaya dan strategi pembelajaran yang ada di sebagian
besar kelas. Buku teks berpotensi berdampak negatif karena bisa jadi, buku teks memuat bahasa yang tidak
autentik, mendistorsi isi sehingga gagal menyajikan isu sebenarnya, tidak merefleksikan kebutuhan

404
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
pembelajar, dan tidak mencerdaskan pengajar karena kehadirannya dianggap dapat menghambat kreatifitas
pengajar (Richard, 2001; Ansary & Babaii, 2002).
Dalam situasi pembelajaran BK di Indonesia, kenyataannya sebagian besar pengajar masih
bergantung penuh pada buku teks yang disusun dan diterbitkan di Korea, dan buku teks itu dijadikan satu-
satunya sumber dalam pembelajaran. Kondisi ini disebabkan oleh dua faktor utama: pertama karena
langkanya ketersediaan bahan ajar yang bermutu di dalam negeri; kedua karena sebagian besar pengajar BK
di Indonesia berlatar belakang non-pendidikan BK, sehingga memiliki keterbatasan kemampuan dan waktu
untuk menyusun bahan ajar sendiri. Dalam kondisi seperti ini, pemilihan buku teks yang baik menjadi sangat
penting karena menentukan benar-tidaknya pelaksanaan pembelajaran. Mengingat tidak semua buku teks
dapat memenuhi setiap kebutuhan dalam situasi belajar yang berbeda, maka pengajar haruslah selektif dalam
memilih buku teks. Banyak pakar mengemukakan kriteria buku teks yang baik, di antaranya Cunningsworth
(1995), Ur (1996), Seo & Lee (2007), Tarigan & Tarigan (1986). Berdasarkan pendapat mereka, dapat
disimpulkan bahwa buku teks yang baik harus memenuhi beberapa kriteria, di antaranya materi yang
disajikan haruslah sesuai dengan: 1) kebutuhan pengajar dan pembelajar; 2) tujuan pembelajaran dan
kurikulum yang berlaku; dan 3) situasi pembelajaran di mana buku itu dipakai. Tidak hanya itu, buku teks
yang baik juga harus 4) mampu menarik minat dan memotivasi pembelajar yang memakainya; dan 5) mudah
diadopsi dan dimodifikasi sesuai kebutuhan.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif-deskriptif yang menggunakan dua teknik, yakni tinjauan
pustaka dan survei. Tinjauan pustaka digunakan untuk memperoleh gambaran tentang pendapat atau teori
yang relevan dengan penelitian ini, sementara teknik survei digunakan untuk memperoleh informasi dari
responden dengan menggunakan kuesioner (Nazir, 2009). Populasi penelitian ini adalah pengajar dan
pembelajar BK yang sedang/pernah menggunakan BKT sebagai buku utama di kelas. Penyebaran kuesioner
dilakukan secara online, memanfaatkan fasilitas yang disediakan oleh google.doc.
Responden yang tersaring dalam penelitian ini berjumlah 225 orang, terbagi menjadi dua kelompok,
yakni responden pengajar (RPeng) dan responden pembelajar (RPem). RPeng yang berpartisipasi dalam
penelitian ini berjumlah 28 orang, terdiri dari 10 laki-laki dan 18 perempuan; 6 pengajar penutur asli (PPA)
dan 12 pengajar lokal (PL). Latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajar RPeng bervariasi. Di lihat
dari latar pendidikan: S3 14% (4 orang, 2 di antaranya PPA); S2 39% (11 orang, 3 di antaranya PPA); S1
47% (13 orang, 1 di antaranya PPA). RPeng yang berlatar belakang pendidikan S1 mayoritas lulusan
program studi BK yang sekarang aktif mengajar di lembaga bahasa, sedangkan pengajar yang berlatar
belakang pendidikan S2 dan S3 saat ini aktif mengajar di perguruan tinggi. Dari hasil angket, dapat diketahui
sebagian besar pengajar memiliki latar belakang non-pendidikan bahasa Korea, hanya 17% berlatar belakang
pendidikan Bahasa Korea. Dilihat dari pengalaman mengajar mereka: 50% di bawah 5 tahun, 35% 5-9
tahun, 11% 15-12 tahun, dan hanya 4% di atas 15 tahun. Lebih lanjut, RPem dibatasi pada pembelajar yang
sedang/pernah menggunakan BKT sebagai buku utama di kelas, berjumlah 156 orang. Dilihat dari asal
tempat belajar BK dari Universitas Indonesia (UI) 76 responden (49%); Universitas Nasional (UNAS) 34
responden (22%), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) 33 responden (21%), Universitas Gadjah Mada
(UGM) 4 responden (3%), dan dari lembaga bahasa 9 responden (5%).
Pertanyaan yang diajukan berkisar tentang persepsi pengajar dan pembelajar BK terhadap 1)
kepuasan menggunakan BKT; 2) komposisi dan isi buku; 3) bagian yang diterjemahkan; 4) keberadaan
rubrik materi budaya pada buku teks keterampilan berbahasa Korea; dan 5) bentuk latihan tata bahasa.
Pengukuran persepsi/pendapat responden menggunakan skala Likert (skor 1-5), yakni skala yang dapat
digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang suatu
gejala atau fenomena pendidikan (Djaali, 2008:28), dengan rumus indeks sebagai berikut: total skor/Y x
100 = indeks (%). Kriteria interpretasi skor dengan menggunakan rumus interval: I = 100/jumlah skor
(likert), yakni 100/5 = 20 (interval), sebagai berikut:
Tabel 1. Kriteria Interpretasi Skor Berdasarkan Interval (Likert)
Skala Interval Kriteria
0% - 19,99% Sangat tidak (puas, penting, perlu, membantu), atau sangat sedikit
20% - 39,99% Tidak (puas, penting, perlu, membantu), atau sedikit
40% - 59,99% Biasa/Cukup (puas, penting, perlu, membantu)
60% - 79,99% Puas, Penting, Perlu, membantu, atau banyak
80% - 100% Sangat (puas, penting, perlu, membantu), atau terlalu banyak

405
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
APAKAH BKT DIBUAT KHUSUS UNTUK PENUTUR BAHASA INDONESIA?
Pada bagian ini akan dipaparkan secara singkat mengenai hal ihwal BKT. BKT ini dibuat atas dukungan
dana dari Bank KB Kookmin dan diterbitkan oleh Korean Foundation (KF) pada tahun 2008. BKT dibuat
bukan hanya untuk orang Indonesia, tetapi juga untuk orang Vietnam, Monggolia, dan Kazakhstan
(http://ebook.kf.or.kr), perbedaan hanya terletak pada penerjemahan, nama karakter dan beberapa foto yang
disesuaikan dengan kondisi keempat negara. BKT terdiri atas 6 tingkatan. Tiap tingkat terdiri atas 15 unit.
Tiap unit terdiri atas 8 rubrik, yakni kosakata, tata bahasa, berbicara, menyimak, membaca, menulis,
kebudayaan dan kosakata baru. Khusus untuk BKT 1 dan 2, terdapat 9 rubrik, termasuk rubrik pelafalan.
Pada umumnya buku-buku pelajaran BK, yang diterbitkan di Korea, disusun oleh para pakar
pendidikan BK di masing-masing universitas yang membuka program pengajaran BK untuk orang asing.
Buku-buku teks tersebut tidak disusun khusus untuk memenuhi kebutuhan satu kelompok penutur bahasa
asing tertentu, tetapi disusun untuk kebutuhan orang asing yang ingin mempelajari BK sebagai bahasa kedua
di Korea. Oleh karena itu, tema-tema pembelajaran sangat difokuskan pada situasi berbahasa Korea di
negara itu (Kim, 2000; Lee, 2001; Yoo, 2015). Buku-buku tersebut biasanya disusun dalam enam tingkatan.
Tiap buku dirancang untuk pelatihan 200 jam belajar, total untuk menguasai sampai tingkat mahir
membutuhkan waktu pelatihan sekurang-kurangnya 1200 jam belajar (tingkat 1-2 dasar, 3-4 madya, 5-6
mahir). Seperti dikemukakan di atas, BKT juga disusun dalam 6 tingkatan. Baik pemilihan dan penentuan
tema, kosakata maupun item tata bahasa pada tiap unit-tiap tingkat pun tidak jauh berbeda dengan buku
terbitan Korea lainnya. Penyusunan buku ini memang melibatkan orang-orang dari keempat negara tersebut
di atas. Akan tetapi, mereka hanya dilibatkan dalam menerjemahkan beberapa bagian yang dianggap perlu.
Lebih lanjut, Latifah (2015:4) dalam makalahnya menyatakan,‘BKT disusun dengan menggunakan
pendekatan antarbudaya Korea-Indonesia. Pembelajar Indonesia dikenalkan budaya Korea sekaligus
dihadapkan dengan budaya Indonesia'. Namun kenyataannya, pada keseluruhan materi BKT 1-6 tidak
ditemukan adanya konten budaya Indonesia. Yang ada hanya kegiatan diskusi membandingkan situasi di
Korea dengan situasi di Indonesia sesuai tema yang dibahas di tiap rubrik kebudayaan. Misalnya, pada buku
1, unit 2 memuat teks yang membahas tentang Sistem Pendidikan di Korea, di bawah teks itu terdapat
instruksi, contohnya Bahaslah persamaan dan perbedaan sistem pendidikan di Korea dan di Indonesia.
Yang menarik, di BKT 1 dan 2, teks yang memuat informasi budaya dan kehidupan masyarakat korea itu
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, sedangkan pada BKT 3 – 6 dalam bahasa Korea. Pendek kata, terlalu
dini untuk menyimpulkan BKT disusun dengan menggunakan pendekatan antarbudaya. Berdasarkan
paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa BKT ini tidak dibuat secara khusus untuk penutur bahasa
Indonesia karena faktanya penyusunan buku ini tidak mempertimbangkan secara khusus kebutuhan
pembelajar Indonesia dan situasi berbahasa Korea di Indonesia.

PERSEPSI PENGAJAR DAN PEMBELAJAR TERHADAP BKT TINGKAT DASAR 1-2


Persepsi responden hanya dibatasi pada penggunaan BKT tingkat dasar (1-2). Pada bagian ini, peneliti hanya
memaparkan secara ringkas persepsi pengajar dan pembelajar BK yang dirangkai dalam penjelasan
paragraph-paragraf. Berdasarkan hasil perhitungan rumus indeks dan mengacu pada kriteria interpretasi skor
tiap respon, dapat disimpulkan sebagai berikut.
Pertama, persepsi terhadap penggunaan BKT sebagai buku utama. Sebagian besar RPeng merasa
‘cukup puas’, sedangkan RPem merasa ‘puas’ menggunakan BKT 1-2. Berkaitan dengan pernyataan ini,
peneliti juga menanyakan apa yang menjadi alasan kekurangpuasan menggunakan BKT. Respon pertanyaan
ini dihitung dengan persentase dari total RPeng dan RPem (184 orang, 100%). Sebagian besar responden
menjawab alasan ketidakpuasan karena BKT ‘tebal dan berat’ 32 orang (21,4%). Alasan lainnya, sebagai
berikut: ‘tema/materi kurang menarik’ 31 orang (16,9%), ‘sebagai buku tingkat dasar materinya terlalu
banyak’ 28 orang (15,2%), ‘terjemahan instruksi dan penjelasan tata bahasa kurang jelas 27 orang (14,7%),
‘menggunakan BKT tidak nyaman’ 17 orang (9,2%), ‘kegiatan latihannya kurang’ 10 orang (5,4%), ‘tata
bahasa, kosakata dan lafal kurang tepat’ dan, ‘tema/materi tdk sesuai dengan kebutuhan berbahasa Korea di
Indonesia’ masing-masing 5 orang (2,7%). dan yang tidak merespon 29 orang (15,7%).
Kedua, persepsi terhadap komposisi dan isi BKT yang terbagi menjadi 4 pertanyaan, yakni persepsi
terhadap jumlah unit, rubrik pembelajaran BKT, refleksi situasi berbahasa Korea di Indonesia dan bagian
lampiran. (1) Persepsi terhadap jumlah unit, sebagian besar pengajar berpersepsi bahwa jumlah unit BKT
‘terlalu banyak’, sementara para pembelajar berpersepsi tidak jauh berbeda dengan pengajar, yakni mereka
merasa jumlah unit BKT ‘banyak’. (2) Persepsi terhadap rubrik kegiatan pembelajaran yang terbagi atas
rubrik lafal, berbicara, menyimak, membaca, menulis, tata bahasa dan kosakata. Sebagian besar RPeng
berpersepsi bahwa rubrik lafal, berbicara, menyimak, membaca, tata bahasa dan kosakata ‘sangat penting’,
sedangkan persepsi mereka terhadap rubrik menulis berkategori ‘penting’. Sementara itu, semua RPem
406
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
berpersepsi seluruh rubrik pembelajaran BKT ‘sangat penting’. (3) Persepsi terhadap refleksi situasi
berbahasa Korea di Indonesia pada BKT 1-2, Sebagian besar RPeng berpendapat bahwa refleksi situasi
berbahasa Korea di Indonesia pada BKT ‘sangat penting’, RPem juga memiliki persepsi yang senada dengan
PPeng, yakni ‘sangat penting’. (4) Persepsi terhadap bagian lampiran, seperti kunci jawaban, transkrip
menyimak, terjemahan dialog, index kosakata dan index tata bahasa adalah sebagai berikut: sebagian besar
RPeng berpendapat bahwa lampiran transkrip menyimak, index kosakata dan tata bahasa, serta kunci
jawaban yang terdapat di BKT 1-2 ‘perlu’, sedangkan persepsi mereka terhadap lampiran terjemahan dialog
tergolong berkategori ‘cukup perlu’. Dalam hal ini, RPem memiliki pendapat yang agak berbeda dengan
RPeng. Untuk lampiran menyimak, index kosakata dan tata bahasa, sebagian besar RPem berpersepsi
lampiran tersebut ‘sangat perlu’, sedangkan terhadap lampiran kunci jawaban dan terjemahan dialog
persepsi mereka berkategori ‘perlu’ (lihat tabel 8, lampiran). Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa
sebagian besar pengajar berpendapat bahwa jumlah unit yang dipelajari dalam BKT 1-2 terlalu banyak,
sebagian besar pembelajar juga berpendapat serupa. Baik pengajar maupun pembelajar, mereka memandang
refleksi situasi berbahasa Korea di Indonesia pada buku teks pelajaran bahasan Korea sangat penting.
Sementara persepsi terhadap tujuh rubrik dan bagian lampiran, baik pengajar maupun pembelajar
berpendapat ketujuh rubrik dan bagian lampiran yang ada di BKT 1-2 penting. Namun, khusus untuk
lampiran terjemahan pengajar cenderung mengatakan cendeung kurang perlu karena nilai indeksnya
terendah.
Ketiga, persepsi terhadap bagian yang diterjemahkan. Sebagian besar RPeng berpendapat bahwa
bagian BKT yang ‘sangat perlu’ diterjemahkan ke bahasa Indonesia adalah penjelasan tata bahasa dan teks
budaya pada rubrik kebudayaan. Untuk bagian kosakata, instruksi latihan/kegiatan, dialog percakapan, lafal
dan transkrip menyimak hanya dianggap ‘perlu’. Sementara itu, sebagian besar RPem berpendapat bahwa
bagian penjelasan tata bahasa, kosakata dan teks budaya ‘sangat perlu’ diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia, sedangkan persepsi terhadap bagian penerjemahan dialog, intruksi latihan/kegiatan, lafal dan
transkrip menyimak dipandang ‘perlu’. Kemudian respon terhadap pertanyaan berikutnya, sebagian besar
RPeng berpendapat bahwa penerjemahan penjelasan tata bahasa ke dalam bahasa Indonesia ‘membantu’
proses belajar mengajar BK di kelas. Pendapat RPem juga tidak jauh berbeda, mereka berpendapat
penerjemahan itu ‘sangat membantu’. Lebih lanjut, pada bagian ini peneliti juga mengajukan pertanyaan
tertutup mengenai saran perbaikan apabila bagian penjelasan tata bahasa akan diperbaiki. Respon pertanyaan
ini dihitung dengan persentasi dari total masing-masing kelompok responden. Sebagian besar RPeng
berharap ‘tata bahasa dijelaskan dengan menggunakan bahasa Indonesia yang mudah dipahami, bukan
terjemahan dari bahasa Korea’ (16 orang, 57,1%), yang merespon dijelaskan dengan menggunakan kedua
bahasa 8 orang (28,6%), yang merespon ‘tidak perlu diterjemahkan’ 4 orang (14,3%). Berbeda dengan
respon RPeng, sebagian besar RPem berharap ‘materi tata bahasa dijelaskan dengan menggunakan kedua
bahasa’ (80 orang, 51,3%), yang merespon ‘tata bahasa sebaiknya dijelaskan dengan menggunakan bahasa
Indonesia yang mudah dipahami, bukan terjemahan dari bahasa Korea 74 orang (47,4%), yang merespon
‘tidak perlu diterjemahkan’ hanya 2 orang (1,3%).
Keempat, persepsi terhadap keberadaan rubrik budaya pada buku teks keterampilan berbahasa
Korea. Sebagian besar RPeng berpendapat bahwa ‘perlu’ adanya rubrik yang menyajikan informasi budaya
Korea, sedangkan sebagian besar RPem berpendapat ‘sangat perlu’. Berkaitan dengan hal ini, peneliti juga
mengajukan pertanyaan seberapa sering materi pada rubrik tersebut dibahas di kelas. Respon responden
dihitung dengan persentase dari total masing-masing kelompok responden. Sebagian besar RPeng menjawab
‘kadang-kadang’ 11 orang (39,3%), ‘jarang’ dan ‘tidak pernah’ masing-masing 6 orang (21,4%), ‘selalu’ 3
orang (10,7%), sering 2 orang (7,1%). Sebagian besar RPem menjawab ‘tidak pernah’ 68 orang (31,4%),
‘jarang’ (17,3%), ‘kadang-kadang’ 19 orang (15,3%), ‘sering’ 26 orang (16,7%), selalu 30 orang (19,2%).
Dari persentase jawaban responden dapat disimpulkan bahwa materi yang disajikan pada rubrik budaya
umumnya hampir tidak pernah dibahas di kelas. Yang menarik, sebagian besar RPeng berpendapat bahwa di
buku pelajaran keterampilan berbahasa Korea perlu adanya rubrik budaya. Di BKT 1-2, di tiap unit terdapat
rubrik budaya yang memuat teks berisi informasi budaya atau kehidupan masyarakat Korea. Namun,
berdasarkan paparan di atas, materi yang disajikan di rubrik budaya jusrtu cenderung tidak pernah dibahas di
kelas. Kondisi ini bisa jadi disebabkan oleh dua faktor, yakni karena faktor kekurangan waktu untuk
membahas bagian itu, dan/atau karena faktor materi di rubrik itu sendiri, misalnya karena materi yang
disajikan kurang menarik, atau karena tidak sesuai dengan kebutuhan, atau karena sudah diterjemahkan
kedalam bahasa Indonesia sehingga tidak perlu dibahas di kelas.
Kelima, persepsi terhadap bentuk latihan tata bahasa yang terbagi menjadi 6 kegiatan latihan, yakni
latihan pengulangan bentuk, menggunakan item tata bahasa dalam kegiatan berbicara, latihan membuat
kalimat, melengkapi kalimat dengan memilih item tata bahasa yang tepat, menerjemahkan dari Bind ke BK,
dan yang terakhir menerjemahkan dari BK ke Bind. Para RPeng berpendapat bahwa latihan pengulangan

407
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
bentuk, menggunakan item tata bahasa dalam kegiatan berbicara, latihan membuat kalimat, melengkapi
kalimat dengan memilih item tata bahasa yang tepat ‘sangat penting’, sementara persepsi terhadap latihan
menerjemahkan Bind dan BK, dan sebaliknya, dipandang ‘penting’. RPem juga memiliki persepsi senada.

PENUTUP
Penelitian ini merupakan kajian awal yang bertujuan untuk mengetahui persepsi pengajar dan pembelajar
bahasa Korea di Indonesia terhadap penggunaan ‘Buku Korea Terpadu untuk Orang Indonesia’, yang hanya
dibatasi pada persepsi terhadap BKT tingkat dasar (1-2). Berdasarkan interpretasi skor indeks tiap
pertanyaan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum baik pengajar maupun pembelajar cukup
puas menggunakan BKT 1-2. Akan tetapi, responden yang menyatakan ketidakpuasannya menggunakan
BKT 1-2 tidak sedikit. Yang menjadi alasan ketidakpuasan menggunakan BKT 1-2 ini (berdasarkan
persentase 3 terbesar) adalah: pertama, tema/materi yang disajikan di BKT 1-2 kurang menarik; kedua,
sebagai buku tingkat dasar materi yang disajikan terlalu banyak; dan ketiga, terjemahan instruksi dan
penjelasan tata bahasa kurang jelas.
Penelitian ini memiliki keterbatasan, yakni belum bisa memberikan gambaran secara utuh mengenai
kelayakan isi materi BKT. Masih banyak bagian dari BKT yang perlu dianalisis atau dievaluasi secara
menyeluruh. Ini membuka peluang bagi penelitian selanjutnya. Akhir kata, tidak ada gading yang tak retak.
Tidak ada buku teks yang secara sempurna dapat memenuhi semua kebutuhan belajar. Akan tetapi, seperti
yang telah dikemukakan di atas, setidaknya pemilihan buku teks baik harus dilakukan secara selektif karena
ini menentukan benar atau tidaknya pelaksanaan pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA
Ansary, H. & Babaii, E. 2002. “Universal Characteristics of EFL/ESL Textbooks: A Step Towards Systematic
Textbook Evaluation”. The Internet TESL Journal, Vol. VIII, No. 2, February 2002. Diakses 16 Februari
2015.
Cunningsworth, A. 1995. Choosing Your Coursebook. Oxford: Heinemann.
Diniah, S.N. 2013. “Teachers’s Perception Towards the Use of English Textbook in EFL Classrooms”. Journal of
English Education. Vol.1 No. 2, hlm. 185-195.
Djaali, H. dan Pudji Mulyono. 2008. Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan, Jakarta: PT Grasindo.
Kim, Jeong-eun. 2002. “Weoegug-eoloseoui hangug-eo chogeub gyojae bunseoggwa gyojae gaebal”(Analisis Buku
Teks Bahasa Korea untuk Penutur Asing). Korean Language Research, Vol. 7, hlm. 65-92.
Latifah, Eva. 2015. “Menggagas Pengajaran Bahasa Korea Berbasis Antar Budaya”, dalam Prosiding Seminar Nasional
Pengajaran Bahasa dalam Perspesktif Lintas Budaya. Departemen Linguistik FIB-UI, hlm. 1-17.
Lee, Hai-young. 2001. “Hangugeo gyojaeui eon-eo hwaldong yeon-gyeo bunseok”(Analisis Empat Keterampilan
Berbahasa di Buku Teks Korea. Journal of Korean Language Education, Vol. 12 No.2, hlm. 469-490
Lee, Jiyoung. 2008. “Hangug-eo Gyojae Gaebal-ui Yeogsajeog Byeoncheon“ (Sejarah Pengembangan Buku Teks
Bahasa Korea). Konferensi Pendidikan Bahasa Korea Internasional Ke-5. Vol.2004. hlm. 141-157
Nazir, M. 2009. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Prastowo, A. 2012. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Jogyakarta: Diva Press.
Seo, Jonghak dan Lee, Mihyang. 2007. Hangug-eo gyojaelon (Pengantar Buku Teks Pelajaran Bahasa Korea). Seoul:
Taehaksa.
Sheldon L. 1988.” Evaluating ELT textbooks and materials”. ELT Journal, 42(4), hlm. 237-246.
Shin, Y. J. 2008, “Indonesia hakmunjeok hangu-eogyoyug-ui jeonmangp-gwa ganeungseong” [Prospek Pendidikan
Bahasa Korea di Indonesia]. Prosiding-The Fifth Internasional Conference on Korean Language Education.
The International Association for Korean Language Education, hlm. 289-307.
Singarimbun, M. (2006). Metode Penelitian Survei. Jakarta: Pustaka, Cet.X.
Tarigan, H.G. 1986. Analisis Buku Teks. Bandung: Angkasa.
Tarigan, H.G. dan Djago Tarigan. 1986. Telaah Buku Teks Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa.
Williams, D. (1983). “Developing criteria for textbook evaluation”. ELT Journal, 37(3), 251-255.
Yoo, Hae-Jun. 2015. “Wegug-in yuhagsaeng-eul wihan daehag gyoyang hangug-eo gyojae gaebal bang-an”
(Pengembangan Buku Bahasa Korea untuk Penutur Bahasa Asing). Ratio et Oratio. Vol. 8, No. 1, hlm. 73-105.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Usmi
Institusi : Inha University, Universitas Indonesia
Riwayat Pendidikan : S3 Inha University
S2 Universitas Indonesia
S1 Universitas Negeri Jakarta
Minat Penelitian : Pengembangan Materi Ajar, Sosiolinguitik, Pengajaran Bahasa, dan Studi Komparatif
408
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
TERMS OF ADDRESS USED BY THE CHINESE-INDONESIAN IN TANGERANG:
A CASE OF CULTURAL ASSIMILATION

Irmala Sukendra
Atma Jaya Catholic University of Indonesia
iskn@yahoo.com

ABSTRACT
Term of address is the word or words used to address somebody in speech or writing. Terms of address refers to any
linguistic type to refer to address hearer(s) that can appear in the form of personal names, titles, kinship terms, or
personal pronouns that may be used separately or simultaneously. Many cross-cultural studies have been conducted on
terms of address. Terms of address in Chinese, for example, was investigated by Chen (2010). He said that in Chinese,
kinship address can be divided into two types: address of relatives and address of the non-blood. The extending of
kinship address is very common and the whole society can be related by kinship address. Similarly, Gao (2013)
asserted that Chinese people think highly of hierarchy, which stresses the distinction of different class levels, such as
the difference between the superiors and inferiors, the older and the younger. In modern Chinese, relative titles can
also indicate people’s status. On her study over the Chinese-Indonesian in Surabaya, Kuntjara (2009) found that
Chinese terms show more closeness and respect among the Chinese community but is lack of respect based on
profession. In Tangerang area, a variety of terms of address is used in accordance to the addressee and the context of
the conversation. Chinese-Indonesian people in Tangerang are known to be unable to speak Mandarin. They use
Bahasa Indonesia which is highly influenced by Tangerang-Sundanese. Some terms and words are mixed, blended,
borrowed, and adopted from either Hokkian or Tangerang-Sundanese. However, kinship terms are maintained in
Chinese-Hokkian and blended with Sundanese to reflect relatives' precise positions in a family structure (esp. in
nuclear family and between those under similar grandparents) in Chinese-Indonesian in Tangerang; whereas the
Sundanese in Tangerang use Sundanese, and thus address terms vary accordingly. This study aims to investigate how
culture (of Sundanese and Chinese) shaped the terms of address which are used by Chinese-Indonesian in Tangerang
inhabitants and to find out how the two cultures assimilated and affect the terms of address used. It is found that
Chinese-Indonesian in Tangerang use terms of address in Hokkian which are used to address the hierarchical order of
older siblings and mixed them with Sundanese to show the hierarchical order of younger siblings. The terms of kinship
used by Chinese-Indonesian in Tangerang is preferred as a means of sustaining their Chineseness at the same time to
blend with the Sundanese which can be seen in the way the kinship terms are a combination of Chinese and Sundanese
system of addressing the kinship. The concern taken to assign Chinese labeling for older relatives can also be
interpreted as their supposition that their ancestors were Chinese (usually from paternal side, which is then considered
to be higher) compared to relatives from mother’s side which are addressed using mixed term of Chinese-Hokkian and
Sundanese.
Keywords: terms of address, Chinese-Indonesian, Hokkian, Sundanese, kinship, family position

INTRODUCTION
The Chinese-Indonesian who live in Tangerang area or better known as Chinese Benteng (Cina-Benteng)
originally came from China Hokkian in1470, which is reflected in the family name such as: Tan, The, Ong,
Liem, Thio, and Kwe, when a group of people led by Tjen Tjie Lung landed on Cisadane river bank (Song,
2009: p.63). These people assimilated with local people through marriages which resulted in the different
features of their descendants from other Chinese-Indonesian. Chinese-Indonesian in Tangerang has darker
skin, bigger eyes, and other physical features that resemble to the native Indonesian. In addition to that,
Chinese-Indonesian in Tangerang are also known to be unable to speak Mandarin. They use bahasa
Indonesia which is highly influenced by Tangerang-Sundanese. Some terms and words are mixed, blended,
borrowed, and adopted from either Hokkian or Tangerang-Sundanese. Similarly, the culture of these people
is also influenced by the different cultures of their ancestors.
However, kinship terms are maintained in Chinese-Hokkian and blended with Sundanese to reflect
relatives' precise positions in a family structure (esp. in nuclear family and between those under similar
grandparents) in Chinese-Indonesian in Tangerang whereas the Sundanese in Tangerang use Sundanese, and
thus address terms vary accordingly. Dai (2002, p. 127) claimed, “an address term, or address form, refers to
the word or words used to address somebody in speech or writing.” In Tangerang, a variety of terms of
address is used in accordance with the addressee and the context of the conversation. Therefore this paper
would like to find out how address terms are used by the Chinese-Indonesian in Tangerang and how they are
formed.

409
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
TERM OF ADDRESS: DEFINITION AND STUDIES ON CHINESE-INDONESIAN
In Whorfian hypothesis: “the structure of a language determines the way in which speakers of that language
view the world” (Wardaugh, 1998, p.216). This is also supported by Goebel's study which concerned with
using linguistic anthropological explanations about ideology formation to understand the genesis and
recirculation of ideas about ethnicity in Indonesia from colonial times until the late 2000s. He concluded
that linguistic forms and region have been a constant and key component of this idea. The formula of
linguistic form + region + persons = ethnicity has become ubiquitous in Indonesian society and ethnicity as a
social category has been naturalized via the circulation of elements of this formula via one-to-many
participation frameworks (Goebel, 2013, p.23). To add on, Wardhaugh (1998, pp.267-268) stated that:
“a variety of social factors usually governs our choice of terms: the particular occasions; the social
status or rank of the other; sex; age; family relationship; occupational hierarchy; transactional status
(i.e., a service encounter, or a doctor-patient relationship, or one of priest-penitent); race; or degree
of intimacy. The choice is sometimes quite clear; when racial or caste origin is important in society,
that is likely to take preference; when family ties are extremely strong, that is likely to be preferred;
and so on.”
Thus, terms of address used in a society is highly determined by how the society is composed and
how the culture of that society is. A society which comprises of people from different cultures would likely
to have various types of terms of address. Address terms, as Bonvillain (2003, p.81) stated, includes several
linguistic types, all of which name, refer to, or address hearers which can be in the form of personal names,
titles, kinship terms, or personal pronouns that can be used separately or concomitantly.
Chen (2010) wrote that in Chinese, kinship address can be divided into two types: address of
relatives and address of the non-blood. In modern Chinese, relative titles can also indicate people’s status. In
Chinese, brothers and sisters often address each other according to the age, such as 二哥 (el ge: second older
brother) ,四妹 (shi mei: fourth younger sister). A considerable part of relative titles can address people
who have no blood relationship, such as 叔叔 (shu shu: father’s younger brother) ,爷爷 (ye ye: maternal
, 大哥
grandfather) (da ge: older brother) ,伯母 (bo mu: father’s older brother’s wife). The extending of
kinship address is very common and the whole society can be related by kinship address.
Similarly, Gao (2013) asserted that Chinese people think highly of hierarchy, which stresses the
distinction of different class levels, such as the difference between the superiors and inferiors, the older and
the younger. In Chinese kinship relationships, ascending generations are superior to descending generations.
The primary relationships are not the equal relationships that are between brothers and sisters, but
hierarchical, like those between parents and children. Kinship terms are terms for blood relationship and for
affine. They are rather complicated. One can apply a kinship term in direct address and two or more
referential forms when talking about the relatives. Kinship terms are of great value to the study of address
forms because kinship terms are a universal feature of different cultures and very important in the social
organization.
In addition to that, on her study over the Chinese-Indonesian in Surabaya, Kuntjara (2009) found
that Chinese terms show more closeness and respect among the Chinese community but is lack of respect
based on profession. She (ibid) points out that, the use of certain code also entails one’s perception of who
he/she is and how each feels about him/herself. Several possibilities could be traced, such as one’s feeling of
the importance of maintaining one’s Chinese identity. Another possibility is the importance of tracing the
generation. Those who do not feel the need of attaching to their ancestors’ culture think that the use of
Chinese language and the practice of any Chinese traditional activities are no longer necessary. Some even
feel it is advantageous for not being recognized or connected to China or being Chinese.

TERM OF ADDRESS USED BY THE CHINESE-INDONESIAN IN TANGERANG


In Mandarin, kinship terms are used to show hierarchical relationship which are also used to sign affinal
relationship. Different terms are used to address relatives from father’s and mother’s side as can be seen
from table 1 and 2.
Table 1. Kinship Term of Mandarin: Paternal Side
Han zi Pin yin Meaning Han zi Pin yin Meaning
父亲 fu qin Father 母亲 mu qin Mother
祖父 zu fu Grandfather 祖母 zu mu Grandmother
伯父 bo fu father's older brother 伯母 bo mu father’s older brother’s wife
叔父 shu fu father’s younger brother 婶母 shen mu father’s younger brother’s wife

410
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
堂哥 tang ge paternal elder male cousin 堂嫂 tang sao paternal elder male cousin’s wife
堂弟 tang di paternal younger male cousin 堂弟媳 tang di xi paternal younger male cousin’s wife
堂姐 tang jie paternal older female cousin 堂姐夫 tang jie fu paternal older female cousin’s husband

Table 2. Kinship Term of Mandarin: Maternal Side


Han zi Pin yin Meaning Han zi Pin yin Meaning
爸爸 ba ba Father 妈妈 ma ma Mother
外祖父 wai zu fu external grandfather 外祖母 wai zu mu external grandmother
舅父 jiu fu mother's brother 舅母 jiu mu mother’s brother’s wife
姨母 yi mu mother’s sister 姨父 yi fu mother’s sister’s husband
表哥 biao ge maternal elder male cousin 表嫂 biao sao maternal elder male cousin’s
wife
表弟 biao di maternal younger male cousin 表弟媳 biao di xi maternal younger male cousin’s
wife
表姐 biao jie maternal older female cousin 表姐夫 biao jie fu maternal older female cousin’s
husband
表妹 biao mei maternal younger female cousin 表妹夫 biao mei fu maternal younger female
cousin’s husband
Kinship terms of brothers/sisters are also influenced by hierarchical status where numbers are used
to signal the position of birth, as can be seen in the following example:
第一个孩子: 大哥 (da ge) /阿哥(a ge) First born child (son)
第二个孩子: 二哥 (el ge) /二弟 (el di) Second born child (son)
第三个孩子: 三哥 (san ge) /三弟 (san di) Third born child (son)
大家叫我: 四妹(shi mei) /四姐 (shi jie) Fourth born child (daughter)
第五个孩子: 五哥 (wu ge) /五弟 (wu di) Fifth born child (son)
第六个孩子: 六哥(liu ge) /六弟(liu di) Sixth born child (son)
第七个孩子: 七弟 (ji di) Seventh born child (son)
Older brother is called 哥哥 (ge ge), older sister is 姐姐 (jie jie), younger brother is 弟弟 (di di) and
younger sister is 妹妹 (mei mei). The first born son will be called 大哥 (da ge) or 阿哥 (a ge) by his younger
siblings. Similarly if the first born is a daughter, she is called 大姐 (da jie) or 阿姐 (a jie); and the second
and succeeding are called by adding number to 哥 (ge) or 姐 (jie) in accordance with their order of birth.
Kinship Terms in Sundanese appear to be much simpler where similar term is given to either
father’s or mother’s side, the difference only lies between older or younger sibling, as can be seen in the
following list:
Grandfather = aki/abah
Grandmother = nini/emak
Father's/mother's older brother = uwak
Father's/mother's older brother's wife = ibu uwak
Father's/mother's younger brother = mamang
Father's/mother's younger brother's wife = bibi
One’s older brother = a-a
One’s older sister = teteh
The choice between aki/nini or abah/emak relies fully on how the family prefers. Older sibling from
both parents is interchangeably called by uwak. Some families may prefer to call the wife as “ibu uwak”, but
it is not strictly used. For older brother and older sister, it is similar for any hierarchical order where ‘a-a’ is
used for older brother and ‘teteh’ for older sister.
Interestingly, the terms used by Chinese-Indonesian in Tangerang to address family relation are
adopted from both of Mandarin and Sundanese as can be seen in table 3 and 4.
Table 3. Kinship Term of Chinese-Indonesian in Tangerang: Paternal side
Relation Kinship Kinship Relation Kinship Kinship
Term Term Term Term
Father's oldest brother A-Pe A-Em Father's oldest Akoh Koh-Tioh
/wife sister/husband
Father's second Ji-Pe Ji-Em Father's second sister/ Ji-Koh Ji-Tioh
brother/wife husband
411
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Father's third brother/wife Sa-Pe Sa-Em Father's third sister/ Sa-Koh Sa-Tioh
husband
Father's fourth Si-Pe Si-Em Father's fourth sister/ Si-Koh Si-Tioh
brother/wife husband
Father's younger Ce-Cek Encim Father's younger O-De Koh-Tioh
brother/wife sister/husband
O-Nga
O-Cing
Table 4. Kinship Term of Chinese-Indonesian in Tangerang: Maternal side
Relation Kinship Kinship Relation Kinship Term Kinship Term
Term Term
Mother's oldest A-Kuh A-Kim Mother's oldest A-Ih Tua-Tioh
brother /wife sister/husband
Mother's second Ji-Kuh Ji-Kim Mother's second sister/ Ji-Ih Ji-Tioh
brother/wife husband
Mother's third Sa-Kuh Sa-Kim Mother's third sister/ Sa-Ih Sa-Tioh
brother/wife husband
Mother's fourth Si-Kuh Si-Kim Mother's fourth sister/ Si-Ih Si-Tioh
brother/wife husband
Mother's younger Ku-kuh EngKim Mother's younger Ih-De Ih-Tioh
brother/wife sister/husband
Ih-Nga
Ih-Cing
Ih-Cit
Chinese-Indonesian in Tangerang use the term ‘pe’ to show father’s older brother, ‘cek’ for younger
brother, ‘koh’ for older sister, and ‘o’ for younger sister. For mother’s side, the term ‘kuh’ is used for
mother’s brothers, whereas ‘ih’ is used for mother’s sisters. These terms then mixed with Hokkian, which
are used to address the hierarchical order of older siblings and with Sundanese to show the hierarchical order
of younger siblings as can be seen in the use of ‘a’ for oldest sibling and Hokkian numbering (it, ji, sa, si, …)
for older siblings and ‘de’ for the first younger sibling which refer to ‘gede’ or big in Sundanese, ‘nga’ for
tengah or middle, and ‘cit’ from kecit or little in Sundanese. Thus, the kinship terms of Chinese-Indonesian
in Tangerang are blended from Mandarin/Hokkian and Sundanese.
Term of address for self-addressing does not show any inference from either language or culture.
Term of Address (inferior to superior/ self-addressing means ‘I’) in Mandarin is 我
(wo). Chinese-
Indonesian in Tangerang use “oweh” to address self for male and “yayah” for female whereas the Sundanese
use “urang”. However, in addressing stranger, both Sundanese and Chinese-Indonesian in Tangerang have
similar pattern, that is they differentiate the address based on age of the addressee. This is not related at all
with terms of address in Mandarin which assign any female with 小姐 (xiao jie) and any male 先生
(sie shen)
regardless of their age.
Speaker in Tangerang address stranger according to gender, age, and ethnicity. To a female who is
considered to be older than the speaker and of Sundanese ethnicity, the speaker uses “ibu” or “teteh”,
depends on the appearance or the age gap. ‘Neng’ is used to address a younger female. To an older male,
“bapak” or “aa” is used and “kang” or “dik” (the abbreviation of adik/ a younger mate) is used. Thus, when
the addressee belongs to Chinese-Indonesian ethnicity, the term alters from “encim” for older female and
“cici” for younger female, and “encek” and “kokoh” for male as being influenced by Mandarin (/Hokkian)
and Sundanese. In terms that the terms use Mandarin/Hokkian words but are distinguished based on age to
adopt Sundanese pattern of addressing strangers.

CONCLUSIONS
Wardhaugh (1998, p. 268) concluded that ‘a whole society which is undergoing social change is also likely
to show certain indications of such change if the language in use in that society has (or had) a complex
system of address’. This is also shown in terms of address use by Chinese-Indonesian in Tangerang. It has
gone through some changes to amend the speakers’ need as a process of adapting the culture(s) it is in
contact with (of Sundanese). Thus the adjustment made is to pertain the Chinese-Indonesian with the native
local of Tangerang (Sundanese).
Mandarin terms of kinship show how people relate and the relationship they have. Listeners can
understand who the speaker and the addressee are by observing the kinship terms they use to address one
another; whereas the Sundanese are more flexible in addressing their kin. Thus, term of kinship used by
412
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Chinese-Indonesian in Tangerang is preferred as a means of sustaining their Chineseness at the same time to
blend with the Sundanese. This can be seen in the way the kinship terms are a combination of Chinese and
Sundanese system of addressing their kin. The consideration taken to assign Chinese labeling for older
relatives can also be interpreted as their supposition that their ancestors were Chinese (usually from paternal
side, which is then considered to be higher).
Although some Chinese-Indonesian in Tangerang who live in the central area of Tangerang are quite
versatile in which that they do not bother being addressed by more neutral terms such as oom and tante for
uncle and aunt, those of rural areas, prefer Chinese-Indonesian terms and feel offended when being
addressed otherwise.

REFERENCES
Bonvillain, N. 2003. Language, culture, and communication: the meaning of messages. NY: Pearson Education, Inc.
Dai, W. and He, Z. 2002. A concise course book on English linguistics. Shanghai: Shanghai Foreign Language
Education Press.
Gao, C. 2013. A contrastive study of Chinese and English address forms. Theory and practice in language studies. Vol.
3, No. 1, pp. 190-194, January 2013. Finland: Academy Publisher
Goebel, Z. 2013. The idea of ethnicity in Indonesia. Tilburg papers in culture studies, paper 71. LaTrobe University.
Kuntjara, E. 2009. Women and politeness: The hybrid language and culture of Chinese Indonesian women in Surabaya.
Saarbruch: VDM Verlag.
Wardhaugh, R. 1998. An introduction to sociolinguistics. (3rd ed.). Massachusetts: Blackwell Publishers, Inc.

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Irmala Sukendra
Institution : Atma Jaya Catholic University of Indonesia
Education : S2 and S3 Atma Jaya Catholic University of Indonesia
S1 Bina Nusantara University
Research Interst : • Language and Culture
• Syntax
• Language Learning

413
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
PREDIKAT KALIMAT IMPERSONAL BAHASA RUSIA

Sari Endahwarni
Universitas Indonesia
sarikasman@yahoo.com

ABSTRAK
Bahasa sebagai alat komunikasi digunakan untuk menyampaikan informasi atau untuk menerima informasi. Bahasa
adalah alat memahami pikiran dan perasaan, menyatakan pikiran dan perasaan. Kita dapat memahami pikiran dan
perasaan orang lain yang menggunakan bahasa yang sama, baik secara lisan maupun tulisan. Dalam berkomunikasi
kita menggunakan kata-kata yang disusun menjadi sebuah kalimat. Pengungkapan isi pikiran atau perasaan
merupakan salah satu sisi dari kalimat yaitu dari sisi semantik (makna). Namun kalimat sebagai satuan gramatikal
merupakan konstruksi sintaksis yang mengandung unsur predikasi. Dilihat dari segi struktur internalnya, kalimat
terdiri atas unsur subjek dan predikat, dengan objek atau tanpa objek, pelengkap, dan keterangan. Bahasa Rusia
memiliki bermacam-macam tipe kalimat yang masing-masing mempunyai struktur yang berbeda. Seperti bahasa yang
lain kalimat bahasa Rusia terdiri dari kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Salah satu tipe kalimat tunggal
berdasarkan anggota utama kalimat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: kalimat susun tunggal односоставное
предложение /odnosostavnoe predloženie/ dan kalimat susun ganda двухсоставное предложение /dvuxsostavnoe
predloženie/ (Rozental, 1984:457). Kalimat susun tunggal berdasarkan anggota utama yang dimilikinya, terdiri dari
dua tipe kalimat, yaitu kalimat susun tunggal subyek односоставное подлежашное предложение /odnosostavnoe
podležašcnoe predloženie/ dan kalimat susun tunggal predikat односоставное сказуемное предложение
/odnosostavnoe skazuemnoe predloženie/. Kalimat impersonal безличное предложение /bezlicnoe predloženie/ adalah
kalimat susun tunggal yang hanya mempunyai predikat dan tidak mengacu pada persona/pelaku. Sebagai contoh
adalah kalimat berikut: На дворе было ещё темно /na dvore bylo ešce temno/ ‘Di luar masih gelap’. Berdasarkan hal
tersebut masalah yang akan diteliti adalah verba atau non verba yang bagaimanakah yang digunakan sebagai predikat
dalam kalimat impersonal bahasa Rusia. Apakah terdapat makna persona sebagai pelaku kegiatan dalam kalimat
impersonal tersebut. Penelitian dibatasi hanya pada kalimat impersonal yang merupakan kalimat tunggal susun
tunggal. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tentang verba atau non verba yang digunakan sebagai predikat
dalam kalimat impersonal serta makna persona yang terkandung di dalam kalimat tersebut. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode deskriptif analisis dengan membatasi penelitian pada data. Untuk menganalisis data akan
digunakan teori sintaksis
Kata kunci: kalimat impersonal, predikat, verba, makna persona

PENDAHULUAN
Bahasa sebagai alat komunikasi digunakan untuk menyampaikan informasi atau untuk menerima informasi.
Bahasa adalah alat memahami pikiran dan perasaan, menyatakan pikiran dan perasaan. Kita dapat
memahami pikiran dan perasaan orang lain yang menggunakan bahasa yang sama, baik secara lisan maupun
tulisan. Dalam berkomunikasi kita menggunakan kata-kata yang disusun menjadi sebuah kalimat
Pengungkapan isi pikiran atau perasaan merupakan salah satu sisi dari kalimat yaitu dari sisi
semantik (makna). Namun kalimat sebagai satuan gramatikal merupakan konstruksi sintaksis yang
mengandung unsur predikasi. Dilihat dari segi struktur internalnya, kalimat terdiri atas unsur subjek dan
predikat, dengan objek atau tanpa objek, pelengkap, dan keterangan.
Bahasa Rusia memiliki bermacam-macam tipe kalimat yang masing-masing mempunyai struktur
yang berbeda. Seperti bahasa yang lain kalimat bahasa Rusia terdiri dari kalimat tunggal dan kalimat
majemuk. Salah satu tipe kalimat tunggal berdasarkan anggota utama kalimat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
kalimat susun tunggal односоставное предложение (odnosostavnoe predloženie) dan kalimat susun ganda
двухсоставное предложение (dvuxsostavnoe predloženie) (Rozental, 1984:457). Kalimat susun tunggal
berdasarkan anggota utama yang dimilikinya, terdiri dari dua tipe kalimat, yaitu kalimat susun tunggal
subjek односоставное подлежашное предложение (odnosostavnoe podležašcnoe predloženie) dan
kalimat susun tunggal predikat односоставное сказуемное предложение (odnosostavnoe skazuemnoe
predloženie). Kalimat impersonal безличное предложение (bezlicnoe predloženie) adalah kalimat susun
tunggal yang hanya mempunyai predikat dan tidak mengacu pada persona/pelaku. Sebagai contoh adalah
kalimat berikut: На дворе было ещё темно (na dvore bylo ešce temno) ‘Di luar masih gelap’
Bahasa Rusia termasuk dalam rumpun bahasa Slavia yang mempunyai sistem gramatikal yang
berbeda dengan bahasa Indonesia. Berdasarkan hal tersebut masalah yang akan diteliti adalah verba atau non
verba yang bagaimanakah yang digunakan sebagai predikat dalam kalimat impersonal bahasa Rusia. Apakah
terdapat makna persona sebagai pelaku kegiatan dalam kalimat impersonal tersebut. Penelitian dibatasi
hanya pada kalimat impersonal yang merupakan kalimat tunggal susun tunggal.

414
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tentang verba atau non verba yang digunakan sebagai
predikat dalam kalimat impersonal serta makna persona yang terkandung di dalam kalimat tersebut.

METODE PENELITIAN DAN TEORI


Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analisis dengan membatasi penelitian pada data.
Untuk menganalisis data akan digunakan teori sintaksis bahasa Rusia Modern.
Dalam bahasa Rusia unsur pembentuk kalimat yang terdiri atas subjek dan predikat disebut anggota
utama kalimat atau bagian inti kalimat. Unsur pembentuk yang terdiri dari objek, pelengkap, dan keterangan
disebut anggota sekunder kalimat atau bagian bukan inti kalimat. Namun tidak semua kalimat harus
mempunyai semua unsur tersebut sekaligus.
Predikat adalah anggota utama kalimat yang secara gramatikal tergantung hanya pada subjek dan
biasanya menunjukkan ciri-ciri benda yang disebut sebagai subjek. Predikat mengandung berbagai makna
yang luas, antara lain makna kegiatan benda, keadaan, kehidupan atau keberadaan, kualitas, ciri-ciri atau
tanda (Popov, 1978:303).
Predikat terdiri atas predikat verbal dan predikat nominal. Predikat verbal dinyatakan dengan verba
yang kemudian disebut predikat verbal tunggal atau frasa verba yang disebut predikat verbal majemuk.
Predikat nominal adalah predikat yang berupa nomina atau frasa nomina (Rozental, 2005:305). Predikat
nominal dapat dinyatakan oleh nomina, partisipal, atau frasa berbagai jenis kata. Penelitian ini hanya
dibatasi untuk predikat verbal karena itu predikat nominal tidak dibicarakan lebih lanjut.
Kalimat dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan antara lain: (1) tujuan komunikasi, yaitu: a)
kalimat berita, b) kalimat tanya, c) kalimat ajakan. (2) ungkapan yang berhubungan dengan kenyataan, yaitu:
a). kalimat afirmatif dan b) kalimat ingkar. (3) jumlah klausa yang terdapat dalam kalimat, yaitu: a). kalimat
tunggal dan b) kalimat majemuk. (4) jumlah anggota utama kalimat, yaitu: a). kalimat susun tunggal dan b)
kalimat susun ganda. (5) ada atau tidak adanya anggota sekunder kalimat, yaitu: a). kalimat perluasan dan b)
kalimat tanpa perluasan. (6) kelengkapan unsur kalimat, yaitu: a). kalimat lengkap (major) dan b) kalimat tak
lengkap (minor) (Rozental, 1984:457).
Kalimat susun tunggal subjek terdiri atas dua jenis kalimat yaitu kalimat nominatif (nominativnye
predloženija) dan kalimat imperatif dengan makna harapan (pobuditel’no poželatel’nye predloženija).
Kalimat susun tunggal predikat terdiri atas empat jenis kalimat yaitu kalimat personal takrif (opredelenno-
ličnye predloženija), kalimat personal tak takrif (neopredelenno-ličnye predloženija), kalimat personal
umum (obobscenno-ličnye predloženija), kalimat impersonal (bezličnye predloženija).
Kalimat impersonal adalah kalimat susun tunggal yang hanya mempunyai predikat dan tidak
mengacu pada persona/pelaku. Predikat kalimat impersonal biasanya dinyatakan dengan verba dalam bentuk
persona ketiga tunggal kala kini atau kala akan datang, atau bentuk persona ketiga jenis netral kala lampau
atau adverbia. Contoh:
na dvore bylo ešce temno
‘Di luar masih gelap’
bylo adalah verba bantu untuk persona ketiga tunggal kala lampau jenis netral, sedangkan temno adalah
adverbia.
sil’no kačaet
‘Bergoncang dengan kuat’
kačaet ‘bergoncang’ adalah verba untuk persona ketiga tunggal kala kini dari verba kačat’.
Dalam kalimat impersonal sering pula digunakan predikat yang diikuti oleh objek, yang menunjukkan
sebagai pelaku dari suatu kegiatan atau keadaan. Contoh:
studentu trudno čitat’
‘Mahasiswa sulit membaca’
Dalam contoh ini studentu ‘mahasiswa’ adalah nomina dalam kasus datif bukan sebagai subjek
melainkan pelaku dalam konsep semantik.
Dari contoh-contoh di atas terlihat bahwa terdapat kerancuan makna persona yang terdapat dalam
kalimat impersonal. Persona sebagai pelaku kegiatan atau sebagai objek pelaku. Perbedaan makna ini
berhubungan dengan predikat, karena itu perlu melihat macam predikatnya dan cara pengungkapannya
dalam kalimat impersonal.

TIPE KALIMAT IMPERSONAL


Menurut Popov (1978:313), kalimat impersonal dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan jenis predikat dan
cara mengungkapkannya, yaitu kalimat impersonal mutlak (sobstvenno-bezličnye predloženija) dan kalimat
infinitif (infinitivnye predloženija). Kalimat impersonal mutlak dibagi menjadi tiga yaitu predikat verbal
415
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
tunggal, predikat verbal majemuk, predikat nominal majemuk. Penelitian ini hanya dibatasi untuk predikat
verbal tunggal saja, karena itu predikat yang lain tidak dibicarakan lebih lanjut.
1. Predikat verbal tunggal menunjukkan keadaan alam, lingkungan sekitar, keadaan fisik atau psikis
manusia, pengaruhnya terhadap suatu kegiatan atau keadaan diungkapkan dengan (a) verba impersonal,
misalnya: svetaet ‘fajar menyingsing’, večereet ‘menjadi gelap’, znobit ‘demam’ dan (b) verba personal
dengan makna impersonal, misalnya: gremit ‘menggemuruh/menggema’, merešcit’sja ‘melamun’,
morosit ‘rintik-rintik’, dan lain-lain.
a. Verba impersonal tidak memiliki bentuk persona pertama dan persona kedua, hanya digunakan dalam
bentuk persona ketiga tunggal kala kini atau kala akan datang, atau bentuk persona ketiga tunggal jenis
netral kala lampau. Walaupun verba impersonal digunakan dalam bentuk persona ketiga tunggal, tetapi
tidak memiliki makna persona ketiga. Contoh:
morozit
‘menjadi lebih dingin’
Kalimat ini menyatakan suatu keadaan tanpa menunjukkan adanya pelaku kegiatan, dengan kata lain tidak
memiliki pelaku kegiatan atau tidak dapat diduga pelaku kegiatannya.
b. Verba personal dengan makna impersonal adalah verba yang dipakai dalam persona ketiga Contoh:
tebe pomerešcilos’
‘kamu melamun’
1. Predikat verbal tunggal menunjukkan suatu keadaan alam. Predikat ini diungkapkan dengan verba
personal dalam makna impersonal, misalnya voet ‘meratap/meraung’, kružit ‘berputar-putar’, lomaet
‘merusak/mematahkan’ dan lain-lain. Contoh:
vetrom sorvalo krešu doma
‘Angin menjatuhkan atap rumah-rumah’
2. Predikat verbal tunggal menunjukkan kegiatan objek pelaku dalam bentuk kasus instrumental, yang
ditujukan kepada objek langsung. Predikat ini diungkapkan dengan verba personal dalam makna
impersonal. Contoh:
sosnu slomalo vetrom
‘Angin mematahkan pohon cemara’
3. Predikat verbal tunggal yang berhubungan dengan panca indra, misalnya vejat’ ‘bertiup’, paxnut’
‘bau/berhembus’, tjanut’ ‘menghirup/menghisap’. Contoh:
v komnate vstgda paxlo kraskoj i lakom ot pozoloty
‘Di kamar selalu tercium bau cat dan vernis dari sepuhan’
4. Predikat verbal tunggal yang menunjukkan keberadaaan atau ketiadaan, kekurangan sesuatu, misalnya:
ne xvataet ‘(tidak) cukup’, nedostaet ‘kekurangan/tidak ada’, net ‘tidak ada. Predikat ini selalu diikuti
nomina dalam kasus genitif. Contoh:
nikogo ne bylo doma
‘Tidak ada seorang pun di rumah’
Dalam kalimat di atas terdapat objek dalam kasus genitif yaitu nikogo, yang menunjukkan ketiadaan orang.
Kalimat infinitif (infinitivnye predloženija) merupakan kalimat impersonal yang predikatnya
dinyatakan dengan verba bentuk infinitif. Kalimat infinitif ini memiliki ciri yang berbeda dengan kalimat
impersonal mutlak, biasanya digunakan untuk bahasa percakapan, lebih ekspresif dan singkat. Kalimat
infinitif memiliki makna modalitas, yaitu kebutuhan, kepastian, kemungkinan, keragu-raguan, keinginan,
harapan dan perintah. Contoh:
vidno byt’ groze
‘Pasti akan ada hujan badai’

ANALISIS DATA
Sumber data dalam penelitian ini diambil dari kumpulan cerita pendek yang berjudul Домашняя библотека
прозы – Антон Чеков (Domašcnjaja biblioteka prozy – Anton Cekov) karya Anton Chekov. Kumpulan
cerita pendek, yang merupakan karya sastra ini berisi 13 cerita pendek. Sebagai karya sastra kumpulan cerita
pendek ini menggunakan bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami. Dari 13 cerita pendek tersebut
dicari kalimat impersonal, kemudian diidentifikasikan predikatnya, lalu diklasifikasikan menjadi lima
kelompok sebagai berikut: kalimat impersonal mutlak predikat verbal tunggal, kalimat impersonal mutlak
predikat verbal majemuk dengan verba bantu, kalimat impersonal mutlak predikat verbal majemuk dengan
nominal bantu, kalimat impersonal mutlak predikat nominal majemuk, kalimat impersonal infinitif. Untuk
penelitian ini hanya kalimat impersonal mutlak yang memiliki predikat verbal tunggal saja yang akan
dibahas.

416
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Berdasarkan data terdapat 21 kalimat impersonal mutlak yang memiliki predikat verbal tunggal.
Kalimat-kalimat tersebut kemudian dipilah lagi menjadi kalimat impersonal yang memiliki makna persona
sebanyak 3 kalimat sedangkan sisanya 18 kalimat tidak memiliki makna persona.
1. ej stasno zaxotelos’ sada, temnoty, čisnogo, neba, zvezd (ST:243)
‘Dia sangat menginginkan taman, kegelapan malam, langit yang tidak berawan dan bintang-bintang’.
2. emu xotelos’ čego-to gigantskogo, neob”jatnogo, poražajušcego (RH:399)
‘Dia ingin sesuatu yang sangat besar, tidak terbatas, dan yang mengalahkan’.
Kalimat (1) dan (2) di atas sama-sama menyatakan suatu kegiatan yang memiliki makna modalitas,
yaitu keinginan dan kedua kalimat memiliki verba impersonal dalam kala lampau, yaitu zaxotelos’ dan
xotelos’. Perbedaannya hanya terletak pada aspeknya, verba zaxotelos’ adalah verba perfektif dari
zaxotet’sja, sedangkan xotelos’ adalah verba imperfektif dari xotet’sja. Kedua predikat tersebut disertai
objek dalam kasus genitif yaitu sada, temnoty, čisnogo, neba, zvezd dan čego-to, gigantskogo, neob”jatnogo,
poražajuscego. Makna persona dalam kedua kalimat ini ditunjukkan dengan adanya objek tak langsung
dalam kasus datif, yaitu pronomina persona ej dan emu yang menunjukkan pelaku kegiatan tersebut.
3. nikogo zdes’ net ……. nikogo! (RH:409)
‘Tidak ada seorang pun di sini ……. tak seorang pun!’
Kalimat (3) menyatakan ketiadaan orang dengan kata net sebagai predikatnya. Predikat net diikuti
objek tak langsung dalam kasus genitif, yaitu pronomina ingkar nikogo, yang mengungkapkan
ketidakhadiran orang, karena itu kalimat ini memiliki makna persona.
4. potomu cto u menja deneg net (AA:45)
‘Karena ……. karena saya tidak punya uang’.
Seperti kalimat (3) kalimat (4) juga memiliki predikat net yang dikuti oleh objek tak langsung kasus
genitif berupa nomina deneg. Makna ketiadaan sesuatu ditunjukkan oleh kata deneg sebagai benda yang
tidak dimiliki. Kalimat ini tidak memiliki makna persona walaupun terdapat pronomina posesif dalam kasus
genitif, yaitu menja. Hal ini karena preposisi u menunjukkan kepemilikan dari benda tersebut, karena itu
tidak ada makna persona dalam kalimat ini.
5. v kuxne ne okazyvaetsja ni kopejki (AA:46)
‘Ternyata tidak ada koin di dapur’
Partikel ne dalam kalimat (5) diikuti oleh verba okazyvaetsja yang merupakan predikat kalimat.
Verba okazyvaetsja dari verba okazyvat’sja dan merupakan verba personal dengan makna impersonal.
Kalimat impersonal inii menyatakan ketiadaan sesuatu. Predikat diikuti nomina kopejki dalam kasus genitif
sebagai objek tak langsung. Kalimat ini tidak memiliki makna persona dan hanya diperluas oleh keterangan
tempat, yaitu v kuxne.
6. serditsja, značit …….. (MBK:82)
‘Marah, jadi …….. ‘
Predikat kalimat (6) adalah verba serditsja berasal dari verba imperfektif serdits’ja yang merupakan
verba personal dalam makna impersonal. Kalimat ini menunjukkan keadaan psikis seseorang, tetapi tidak
mengacu kepada persona yang mengalaminya dan kalimat ini tidak memiliki makna persona.
7. s prezreniem na vse smotrit ……..(PA:88)
‘Melihat semuanya dengan jijik …….. ’
Dalam kalimat (7) predikat smotrit adalah verba personal dengan makna impersonal yang berasal
dari verba imperfektif smotrit’. Kalimat ini menyatakan suatu kegiatan tanpa menyebutkan pelakunya karena
tidak ada objek tak langsung kasus datif, tetapi diperluas dengan dengan objek tak langsung kasus
instrumental, yaitu s prezreniem disertai objek tak langsung kasus akusatif, yaitu na vse. Kalimat ini tidak
memiliki makna persona.
8. vyzonam ne bylo konca ………. (A:84)
‘Tantangan bukan suatu akhir ………. ‘
Kalimat (8) adalah kalimat yang menyatakan ingkar. Predikatnya adalah partikel ne yang diikuti
oleh verba bantu bylo yang tidak mempunyai makna hanya untuk meyatakan kala lampau. Objek tak
langsung kasus genitif yang mengikuti predikat adalah konca. Dalam kalimat ini terdapat nomina kasus datif
vyzonam, tetapi tidak menunjukkan makna persona karena bukan pronomina persona. Oleh karena itu
kalimat ini tidak mempunyai makna persona.
9. pod večer xorošo lovitsja …….. (PA:89)
‘Sebaiknya memancing sebelum matahari terbenam …….. ‘
Predikatnya adalah lovitsja yang merupakan verba personal dalam makna impersonal yang berasal
dari verba imperfektif lovit’sja. Kalimat ini menunjukkan suatu kegiatan. Kata xorošo sebelum verba adalah
adverbia. Kalimat ini tidak mamiliki makna persona dan hanya diperluas dengan keterangan waktu, yaitu
pod večer.

417
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
10. pridetsja! (PA:89)
‘Terpaksa!’
Kalimat (10) ini hanya terdiri dari satu kata, yaitu verba pridetsja sebagai predikat kalimat. Verba ini
berasal dari verba perfektif prijtis’ yang merupakan verba personal dengan makna impersonal. Kalimat ini
menyatakan suatu makna modalitas, yaitu keadaan ‘terpaksa’. Kalimat ini tidak mempunyai makna persona.
11. I za ljudej nas ne sčitaet! (PA:90)
‘Bahkan tidak menganggap kami sebagai manusia!’
Predikat kalimat ini adalah verba sčitaet yang didahului dengan partikel ne. Verba sčitaet berasal
dari verba imperfektif sčitat’ dan merupakan verba personal dengan makna impersonal. Kalimat ini
menyatakan suatu keingkaran dengan adanya partikel ne Objek langsung dalam kalimat ini adalah
pronomina nas dalam kasus akusatif. Kalimat ini tidak memiliki makna persona sebagai pelaku kegiatan.
12. paxlo ot nego xeresom i flerdoranžem (GK:91)
‘Tercium darinya bau anggur dan jeruk limau’
13. paxlo ot nego vetčinoj i kofejnoj gušcej (GK:91)
‘Tercium darinya bau daging babi dan kopi’
14. vo dvore uže sil’no paxlo gar’ju (RH:389)
‘Di luar tercium bau hangus’
15. paxlo kraskoj. (T:590)
‘Tercium bau cat’
Keempat kalimat di atas semuanya memiliki predikat verba paxlo kala lampau dari verba
imperfektif paxnut’. Kalimat-kalimat tersebut menyatakan kegiatan yang berkaitan dengan panca indra.
Verba paxlo adalah verba personal dalam makna impersonal yang diikuti oleh nomina kasus instrumental
sebagai objek tak langsung, yaitu xeresom, flerdoranžem, vetčinoj dan kofejnoj gušcej, gar’ju, kraskoj.
Keempat kalimat tersebut tidak memiliki makna persona sebagai pelaku kegiatan.
16. znobit (BN:98)
‘Demam ….. ‘
Predikat kalimat (16) adalah verba impersonal yaitu znobit. Kalimat ini menunjukkan keadaan fisik
seseorang. Kalimat ini tidak mempunyai makna persona, karena tidak diikuti oleh pronomina kasus akusatif
yang menunjukkan persona yang mengalami keadaan tersebut.
17. uže svetalo(K:132)
‘(Fajar) telah menyingsing’
Kalimat (17) hanya mempunyai predikat svetalo yang merupakan verba impersonal kala lampau dan
berasal dari verba svetat’. Kalimat ini mepunyai makna keadaan alam dan tidak menunjukkan adanya makna
persona. Kalimat ini disertai dengan adverbia uže bukan objek.
18. uže potemnelo , skoro noč’(G:546)
‘Sudah semakin gelap, malam segera tiba’
Kalimat (18) menyatakan keadaan alam dan predikatnya potemnelo merupakan verba personal
dengan makna impersonal. Verba potemnelo adalah verba kala lampau dari verba potemnet’. Kalimat ini
tidak tergantung pelaku kegiatan dan hanya diperluas oleh keterangan atau pelengkap saja, karena itu tidak
mempunyai makna persona.
19. sil’no kačaet (G:549)
‘Bergoncang dengan kuat’
Predikat kalimat (19) ini kačaet adalah verba personal dalam makna impersonal. Verba kačaet
berasal dari verba imperfektif kačat’. Kalimat ini meyatakan suatu kegiatan dan tidak memiliki makna
persona karena tidak disertai dengan objek, hanya terdapat adverbia, yaitu sil’no.
20. Poet (G:552)
‘Nyanyilah!’
Kalimat (20) menyatakan suatu kegiatan dan hanya terdiri dari predikat, yaitu poet yang merupakan
verba personal dalam makna impersonal. Verba poet berasal dari verba imperfektif pet’. Kalimat ini tidak
memiliki makna persona, karena tidak ada pelaku kegiatan.
21. polegčalo (G:553)
‘Merasa lebih baik …….’
Kalimat (21) menyatakan keadaan fisik dengan predikat polegčalo yang merupakan verba
impersonal berasal dari verbaa perfektif polegčat’. Kalimat ini tidak memiliki makna personal karena tidak
ada objek dalam kasus datif yang menunjukkan persona yang mengalami keadaan tersebut.

418
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
KESIMPULAN
Setelah menganalisis data, maka dapat disimpulkan bahwa kalimat impersonal memang tidak mempunyai
subjek tetapi dapat memiliki makna persona sebagai pelaku kegiatan atau yang mengalami keadaan tertentu.
Makna persona dinyatakan oleh pronomina dalam kasus genitif, datif dan akusatif. Dalam data tidak
ditemukan makna persona dalam kasus akusatif.
Kalimat impersonal mutlak yang mempunyai predikat verbal tunggal menunjukkan keadaan alam
atau lingkungan, keadaan fisik atau psikis seseorang, menyatakan suatu kegiatan yang berhubungan dengan
panca indra dan ketiadaan sesuatu atau keingkaran. Berdasarkan teori, kalimat impersonal yang menyatakan
keadaan fisik atau psikis seseorang memiliki makna persona yang dinyatakan dengan kasus akusatif persona.
Namun dalam data tidak ditemukan kalimat yang demikian. Berdasarkan data, kalimat impersonal yang
memiliki makna persona adalah kalimat yang menyatakan ketiadaan sesuatu dan yang memiliki makna
modalitas.

DAFTAR PUSTAKA
Akademi Nauk, USSR. 1982, Russkaja gramatika. Moskva: Izdatel’stvo Nauka.
Chekov, Anton. 1994, Domasnjaja biblioteka prozy. Sankt-Peterburg: Kul”tinform.
Krjuckova. L. S. 2004. Russkij jazyk kak inostransnnyj: sintaksis prostogo i složnogo predlozenija. Moskva: VLADOS.
Lekant, P.A. 2004, Sovremennyj literaturnyj jazyk. Moskva: Vyssaja Škola.
Pekhlivanova, K. I. And M. N. Lebedeva. 1991. Russian grammar in illustrations. Moscow: Russky Yazyk Publishers.
Popov, R.N., et al. 1978. Sovremennyj russkij jazyk. Moskva: Provescenie.
Rozental, D.E. 2005. Sovremennyj russkij literaturnyj jazyk. Moskva: Airis-press.
_______. 1985. Slovar’ – Spravocnik lingvisticeskix terminov. Moskva: Provescenie.
_______. 1984 Sovremennyj russkij jazyk. Moskva: Vyssaja Škola.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Sari Endahwarni
Institusi : Universitas Indonesia
Riwayat Pendidikan : S2 Antropologi Linguistik Universitas Indonesia
S1 Sastra Rusia Universitas Indonesia
Minat Penelitian : Morfologi, Sintaksis, Penerjemahan

419
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
THE MASTERY OF ENGLISH WORD ORDER BY INDONESIAN AND JAPANESE EFL
LEARNERS

Stella Novelina Lanny Hidayat


Atma Jaya Catholic University of Indonesia
novelinastella@gmail.com lannyhidayat@yahoo.com

ABSTRACT
This research is intended to investigate to which extent L1 transfer affects the mastery of English word order by
Indonesian and Japanese EFL learners.The idea for this research comes from the fact that different languages have
different features, one of which is word order. In the sentence-level, English and Standard Indonesian sentences employ
SVO word order, while Japanese is SOV. However, unlike English, Indonesian and Japanese have a more flexible word
order. In addition, in both Indonesian and Japanese, the verb constituents can be dropped freely. This research also
investigates the effect of L1 transfer on L2 learners’ mastery of the word order of English NPs. English and Japanese
NPs share the same word order, i.e. the nouns come after the adjectives. On the other hand, in Indonesian NPs, the
adjectives precede the nouns. In these three languages, the word order of NPs is generally rigid. According to the
Contrastive Analysis Hypothesis (CAH) by Lado (1957) and Gass & Selinker (1994), the learners’ native language (L1)
can facilitate the mastery of the target language (L2) if it is similar to L2. In accordance to CAH, this research
hypothesizes that Indonesian EFL learners will be able to master English word order better than Japanese EFL
learners in the sentence level. On the other hand, Japanese EFL learners will perform better than the Indonesian EFL
learners in the mastery of English NPs. The results of the research are also expected to give a light to whether the other
aspects of the languages understudy (i.e. flexibility and dropping) affect the EFL learners’ mastery of the word order in
English. To verify the above hypothesis, the present study will adapt the methodology of the research conducted by
Mede et al. (2014). The present study will test two groups of EFL learners—Indonesian and Japanese—to evaluate
their mastery of the English sentences and NPs word order by using the translation test and the Grammaticality
Judgment Test (GJT). The sentence patterns tested will be based on Hornby, Gatenby and Wakefield (1963). As this is a
research in-progress, the results are still tentative.
Keywords: L1 Transfer, Word order, Acquisition, Cross-lingustic, EFL

INTRODUCTION
One of the factors that hinder L2 learners from mastering the target language (TL) is L1 interference. The
notion of L1 interference begins with Lado’s (1957) Contrastive Analysis Hypothesis. According to Lado,
when the L2 learners’ native language (NL) and TL share similar features, the L2 learners will be facilitated;
on the other hand, it will be harder for L2 learners to master TL if there are many differences between NL
and TL. Correspondingly, Gass & Selinker (1994) argue that the similarities between NL and TL will create
positive transfer or language facilitation; while, the differences (or lack of similarities) between NL and TL
result in the negative transfer or L1 interference. L1 interference can cause L2 learners to misunderstand the
grammar of L2 or produce L2 inaccurately.
The effects of positive and negative transfer have been revealed in several studies. Ringbom (1987,
as cited in Ringbom 2007) found that Swedish-speaking EFL learners generally performed better than
Finnish-speaking EFL learners in various English tests. Swedish and English share many similar features in
terms of their structures and vocabularies; on the other hand, there are many differences between Finnish
and English structures and vocabularies. Ringbom concluded that the similarities between Swedish and
English facilitated the Swedish-speaking EFL learners; while, the differences between Finnish and English
resulted in the negative transfer for the Finnish-speaking EFL learners. In another study, Mede et al. (2014)
found that Turkish EFL learners at the beginner level tended to use their L1 knowledge when asked to
produce unfamiliar English phrases and sentences. Subsequently, they would produce English sentences
with wrong word orders since Turkish was an SOV language.
The present study is intended to investigate the effect of L1 interference on the EFL learners’ ability
to master English word order. The research was conducted on Indonesian and Japanese-speaking EFL
learners.

WORD ORDER IN DIFFERENT LANGUAGES


One of the features that distinguish languages from one another is the word order. Eifring and Theil (2005,
ch. 4, par.2) define basic word order as “the order of subject (S), object (O) and verb (V) in a typical
declarative sentence. Similarly, Dryer (1997: p.71) defines basic word order as “the most frequent order”.

420
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
According to Eifring and Theil (2005), there are six patterns of basic word order found in the world’s
languages, i.e. SVO, SOV, VSO, VOS, OVS and OSV.
English employs the SVO word order (Hengeveld, Rijkhoff & Siewierska, 2004). As shown in (1),
the NP the dog is the subject because it precedes the verb bites; while, the NP the man is the object because
it succeeds the verb. The verb assigns the agent role to the subject NP and the patient role to the object NP.
Accordingly, the dog is the one that bites, while the man is the one which is being bitten.
(1) The dog bites the man.
According to Kitic (2002), English word order is rigid and relatively fixed. Changing the word order of an
English sentence will change its meaning, as exemplified in (2), or cause it to become ungrammatical, as
exemplified in (3).
(2) The dog bites the man The man bites the dog
(3) John has given us the money  *John has given the money us .

Similarly to English, Indonesian is an SVO language (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
yang Disempurnakan 2000). In (4), the NP para ibu ‘the mothers’, which is before the verb mengunjungi ‘to
visit’, is the subject; while the NP Ibu Hasan, which is after the verb is the object. The subject NP is the
agent and the object NP is the patient; hence, the NP para ibu is the one who performs the visit and the NP
Ibu Hasan is the one who is being visited.
(4) Para ibu mengunjungi Ibu Hasan.
The mother meN-visit-I mother Hasan.
‘The women visited Hasan.’
Unlike in English, Indonesian word order is less rigid, in particular in the colloquial form, which is the more
preferred style in the daily conversation (Cole, Hermon & Tjung 2006; Hidajat 2010). In casual
conversations, non-SVO sentences are also deemed grammatical by Indonesian native speakers.
(5) Object + Subject + Verb
Bukunya lagi dia baca
book-DET PROGRESS 3sg read
lit. ‘The book, he is reading (it).’ (i.e. He is reading the book.)
(6) Verb + Object + Subject
Lagi baca bukunya dia
PROGRESS read book-DET 3sg
Lit. ‘Reading the book is what he is doing.’ (i.e. He is reading the book.)
Unlike English and Indonesian, Japanese is an SOV language (Sugisaki 2010). In (7), the NP John, which is
before the NP Yoko, is the subject; while the NP Yoko, which is before the verb mita ‘to see’ is the object.
The verb mita assigns the experiencer role to John and the theme role to Yoko. This means that John is the
one who is aware of Yoko’s existence, while Yoko is the one who is being seen.
(7) John-ga Yoko-o mita.
John-NOM Yoko-ACC see
‘John sees Yoko.’ (cited from Sugisaki 2010, p.9)
Similarly to Indonesian, Japanese also has a flexible word order (Wolff 2010). As shown in (8), Japanese
sentences can be in the non-SOV order:
(8) Object + Subject + Verb
Daijin-o hanji-ga maneita.
minister-ACC judge-NOM invite
‘The judge invited the minister.’ (cited from Wolff 2010, p.9)
In addition to having a flexible word order, Japanese and Indonesian also allow a verb to occur
without its constituent(s), as exemplified in (9) and (10), respectively. In other words, native speakers of
Indonesian and Japanese regard sentences in which the verb occurs without its subject and/or object
argument grammatical. Unlike Japanese and Indonesian, verb argument dropping is rarely found in English.
(9) Japanese transitive without subject NP
Hanako-o maneita.
Hanako-ACC invited ‘
‘[ ] invited Hanako.’ (cited from Wolff 2010, p.15)

421
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
(10) Indonesian transitive without subject NP
Ya, ikannya nanti beli.
yes fish-DET later buy
Lit. ‘The fish will be bought.’ (i.e. [ ] will buy the fish.) (cited from Hidajat 2010, p. 84)
To reiterate, in the sentence level, the basic word order of both English and Indonesian is SVO; in
contrast, Japanese is SOV. However, unlike English, Japanese and Indonesian allow more flexible word
order and verb argument dropping.
The present study also examines the Indonesian and Japanese-speaking EFL learners’ ability to learn
English word order at the phrase level; in particular the noun phrases (NPs) in which the noun is modified by
an adjective. As stated by Tang (1999), in English NPs, the adjective and/or numeral always precede the
noun, as in (11). Similarly to English, in Japanese NPs, the modifier always precedes the head noun (Saito,
Lin & Murasugi 2006), as in (12). Unlike English and Japanese NPs, Indonesian NPs employ head-initial
position; thus, the head-noun is placed before the modifier (Donohue 2007), as in (13).
(11) a blue car
(12) Aoi kuruma  ‘a blue car’
blue car
(13) mobil biru  ‘a blue car’
car blue
In accordance with the characteristics of the word order of the above three languages, the
researchers predicted that the effect of the L1 transfer on the Indonesian and Japanese-speaking EFL
learners’ ability to learn English word order would be as follow: at the sentence level, Indonesian EFL
learners would acquire English word order easier than the Japanese EFL learners; on the other hand, the
Japanese EFL learners would be more facilitated in the acquisition of English NP word order. The present
study was conducted to verify the aforementioned predictions.

RESEARCH METHODOLOGY
The data of this research were the subjects’ answers to the tasks which were designed to test the subjects’
knowledge of English word order of the simple and complex sentences and NPs. The subjects of this
research were ten Indonesian and ten Japanese EFL learners at low-intermediate level. To identify the
subjects’ level of English proficiency, the researchers adopted an entrance test administered in a private
English course in Central Jakarta. The test, which was consisted of 75 multiple choices items, evaluated the
subjects’ knowledge of English structure and vocabulary.
To test the subjects’ knowledge of English word order, the researchers used two types of tests:
translation task and grammaticality judgment task (GJT). The translation task, which was given first, was
used to investigate the subjects’ ability in producing English sentences in the correct word order. The
subjects were asked to translate 15 sentences in their respective L1 to English. The researchers selected the
following 5 (five) out of 25 English sentence patterns in Hornby, Gatenby and Wakefield’s (1963) book to
become the structures of sentences given in the translation task. Each structure occurred in 3 (three)
sentences.
VP1 (Vb x Direct Object) eg. He cut his finger.
VP3 (Vb x Noun or Pronoun x (not) to x Infinitive, etc.) eg. He wants me to be early.
VP11 (Vb x that-clause) eg. I hope (that) you will come.
VP12 (Vb x Noun or Pronoun x that-clause) eg. I told the man (that) he was mistaken.
VP15 (Vb x Conjunctive x Clause) eg. I wonder why he has not come.
Each of the above 15 sentences also contained one NP with adjective modifier to test the subjects’
knowledge of the word order of English NPs.
After the subjects did the translation task, they were asked to do the second task, i.e. GJT, which
was adapted from Mede et al. (2014). In this task, the subjects were asked to read 30 sentences and
determine whether the sentences were grammatical or not. The structures of the tested sentences in GJT
were similar to those in translation task. Each structure occurred in 6 (six) sentences; the word order of each
sentence represented one of the six possible patterns of basic word order: SVO, SOV, VSO, VOS, OVS and
OSV, as represented below:

422
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
VP1 • Sx Vb x Direct Object e.g. He cut his finger • Direct Object x Vb x S e.g. His finger cut he
• S x Direct Object x Vb e.g. He his finger cut • Vb x Direct Object x S e.g. Cut his finger he
• Direct Object x S x Vb e.g. His finger he cut • Vb x S x Direct Object e.g. Cut he his finger
VP3 • S x Vb x Noun or Pronoun x (not) to x Infinitive e.g. He wants me to be early
• S x Noun or Pronoun x Vb x (not) to x Infinitive e.g. He me wants to be early
• Noun or Pronoun x S x Vb x (not) to x Infinitive e.g. Me he wants to be early
• Noun or Pronoun x Vb x S x (not) to x Infinitive e.g. Me wants he to be early
• Vb x Noun or Pronoun x S x (not) to x Infinitive e.g. Wants me he to be early
• Vb x S x Noun or Pronoun x (not) to x Infinitive e.g. Wants he me to be early
VP11 • S x Vb x that-clause e.g. I hope (that) you will come • that-clause x Vb x S e.g. (that) you will come hope I
• S x that-clause x Vb e.g. I (that) you will come hope • Vb x that-clause x S e.g. Hope (that) you will come I
• that-clause x S x Vb e.g. (that) you will come I hope • Vb x S x that-clause e.g. Hope I (that) you will come
VP12 • S x Vb x Noun or Pronoun x that-clause e.g. I told him (that) he was mistaken
• S x Noun or Pronoun x Vb x that-clause e.g. I him told that he was mistaken
• Noun or Pronoun x S x Vb x that-clause e.g. Him I told that he was mistaken
• Noun or Pronoun x Vb x S x that-clause e.g. Him told I that he was mistaken
• Vb x Noun or Pronoun x S x that-clause e.g. Told him I that he was mistaken
• Vb x S x Noun or Pronoun x that-clause e.g. Told I him that he was mistaken
VP15 • S x Vb x Conjunctive x Clause e.g. I wonder why they have not come
• S x Conjunctive x Clause x Vb e.g. I why they have not come wonder
• Conjunctive x Clause x S x Vb e.g. Why they have not come I wonder
• Conjunctive x Clause x Vb x S e.g. Why they have not come wonder I
• Vb x Conjunctive x Clause x S e.g. Wonder why they have not come I
• Vb x S x Conjunctive x Clause e.g. Wonder I why they have not come

The subjects were also asked to read four simple sentences which contained an NP with adjective modifiers.
Two of the NPs were in the correct word order; the other two were in the reversed word order.

FINDINGS AND DISCUSSION


The results of the first task, i.e. the translation task, showed that both the Indonesian and Japanese speaking
participants were able to translate the given sentences into English accurately. Hence, the researchers will
not discuss the results of this task further.
The results of GJT are summarized in Table 1.

Table 1. Results of GJT


Number of mistakes per pattern
No Sentence Patterns (@ 6 sentences) Indonesian EFL (n=10) Japanese EFL (n= 10)
1 VP 1: S + V + O 3 out of 60 (5%) 5 out of 60 (8%)
2 VP 3: S + V + O + (not) to V-infinitive 2 out of 60 (3%) 4 out of 60 (8%)
3 VP 11: S + V + that-clause 2 out of 60 (3%) 4 out of 60 (8%)
4 VP 12: S + V + O + that-clause 3 out of 60 (5%) 6 out of 60 (10%)
5 VP 15: S + V + WH-word-clause 12 out of 60 (20%) 10 out of 60 (17%)
Total mistakes in sentences 22 out of 300 (7%) 29 out of 300 (10%)
Noun phrases (4 sentences)
6 NP : adj + N 2 out of 40 (5%) 0 out of 40 (0%)
As shown in Table 1, Japanese speaking participants made more mistakes in identifying the word
order of the English sentences than the Indonesian speaking ones. This finding is hardly surprising since
Japanese is an SOV language. What’s surprising is the fact that Indonesian speaking participants also made a
number of mistakes in identifying the word order of the English sentences. In fact, the number of mistakes
they made did not differ much from that of the Japanese speaking participants. This finding is unexpected
because, similarly to English, Indonesian is an SVO language. This finding suggests that there are some
other factors that can affect EFL learners’ ability to master English word orders in addition to the basic word
order of the learners’ native language. One of the factors that may have caused the Indonesian speaking
participants not to be able to perform better in the GJT is the feature of Indonesian grammar which allows
flexible word order.
Another important finding worth highlighting is that both Indonesian and Japanese speaking
participants made much more mistakes when identifying complex sentences with WH-word functions as a
relative pronoun (VP 15) compared to other types of complex sentences (VP 3, VP 11, and VP 12). The
increase is much more obvious in the Indonesian speaking participants since they had fewer mistakes than
the Japanese speaking participants in the other types of complex sentences. The researchers assume that the
participants got confused by VP 15 because of the presence of WH-words. Further investigation on the
participants’ responses to the GJT items is needed to verify this assumption.

423
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
With respect to the word order of English NPs, the Japanese speaking participants performed
accurately, while the Indonesian speaking participants made few mistakes. These results correspond to the
fact that the word order of Indonesian NPs is different from that of English, while Japanese and English NPs
share the same word order. It is possible that the Indonesian speaking participants did not make more
mistakes in identifying the word order of English NPs because NPs are shorter than sentences; therefore,
they are easier to process.
At this stage, the results of this research appear to correspond to the results of the research of
Ringbom (1987, as cited in Ringbom 2007) and Mede et al. (2014) which show that L2 learners’ ability to
master the target language could be hampered by the knowledge of their L1. The results of this research also
somewhat fit to the predictions of this research, which were based on the fact that Indonesian, Japanese and
English have some similarities and differences with respect to their word orders. However, there are some
findings which indicate that the L2 learners’ knowledge of their L1 word order is not the only contributing
factor. The researchers are still collecting more data and doing further analysis in order to get a better
picture of the effect of L1 interference on the L2 learners’ ability to master English word order.

CONCLUSION
This research is intended to investigate the effect of L1 interference on the ability of Indonesian and
Japanese speaking L2 learners to master English word order. So far, the results suggest that the Indonesian
and Japanese basic word order is not the only factor that hinders Indonesian and Japanese speaking L2
learners from mastering English word order. The length of the ‘chunk’ to process and the presence of WH-
words appear to contribute to the L2 learners’ failure to master English word order.
This research is still a work in progress. The researchers still need to get more data and do more analyses
before they can conclude their research findings. However, the researchers believe that this research is worth
studying because the results can give further insights of the effect of L1 knowledge on second language
acquisition.

REFERENCES
Cole, P. H. (2006). Is There Pasif Semu in Jakarta Indonesian? Oceanic Linguistics, 45(1), 64-90.
Donohue, M. (2007). Word order in Austronesian from north to south and west to east. Linguistic Typology, 11(2), 349-
391.
Dryer, M. (1997). On the six-way word order typology. Studies in Language, 21, 69-103.
Eifring, H. & Theil, R. (2005). Linguistics for Students of Asian and African Languages. Retrieved September 19, 2015, from
UiO: Universitetet i Oslo: http://www.uio.no/studier/emner/hf/ikos/EXFAC03-AAS/h05/larestoff/linguistics/
Gass, S.M., Selinker, L. (1994). Second Language Acquisition: An Introductory Course. Hillsdale, N.J.: Lawrence
Erlbaum Associates.
Hengeveld, K., Rijkhoff, J., & Siewierska, A. (2004). Parts-of-speech systems and word order. J.Linguistics, 40, 527-
570.
Hidajat, L. (2010). The Analysis of the Structure of Jakarta Indonesian Sentences in Oral Language. In Exploring
Issues in English Studies: Pelangi Pendidikan, Seri B (pp. 76-88).
Hornby, A. S., Gatenby, E. V. & Wakefiel, H. (1963). The Advanced Learner's Dictionary of Current English (2nd ed.).
Oxford University Press.
Kitić, S. (2002). On Function of Word Order in English and Serbian. Linguistics and Literature, 2(9), 303-312.
Lado, R. (1957). Linguistics Across Cultures: Applied Linguistics for Language Teachers. The University of Michigan
Press.
Mede, E. e. (2014). The effects of language transfer in Turkish EFL learners. ELT Research Journal, 3(2), 70-83.
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. (2000).
Ringbom, H. (2007, September). The importance of cross-linguistic similarities. The Language Teacher, 31(9), 3-5.
Saito, M., Lin, T.H.J., Murasugi, K. (2006). N’-Ellipsis and the Structure of Noun Phrases in Chinese and Japanese.
International Conference on East Asian Linguistics. Toronto.
Sugisaki, K. (2010, November 10). Case, Word Order, Grammatical Function and Information Structure in Japanese.
Tang, S. (1999). Some Speculations about the Syntax of Noun Phrases. (F. D. Gobbo, Ed.) UCI Working Papers in
Lingusitics, 5, 135-154.
Wolff, S. (2010). The interplay of free word order and pro-drop in incremental sentence processing:
Neurophysiological evidence from Japanese. Max Planck Institute for Human Cognitive and Brain Sciences.

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Stella Novelina, Lanny Hidayat
Institution : Atma Jaya Catholic University of Indonesia

424
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
PERGESERAN BAHASA REJANG KARENA PERKAWINAN BEDA SUKU DI TRANSMIGRAN
DESA PEKALONGAN KABUPATEN KEPAHIANG

Eli Rustinar
Universitas Muhammadiyah Bengkulu
elirustinar@ymail.com

ABSTRAK
Salah satu penyebab terjadinya pergeseran bahasa yaitu perpindahan penduduk. Artinya menyangkut masalah
penggunaan bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok penutur akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke
masyarakat tutur yang lain. Pergeseran bahasa bisa disebabkan oleh masyarakat yang menempati sebuah wilayah,
juga bisa oleh pendatang yang mendatangi sebuah wilayah. Penelitian ini merupakan penelitian pergeseran bahasa
pada bahasa Rejang di Kabupaten Kepahiang Kecamatan Ujan Mas Desa Pekalongan Dusun Empat, Dusun Lima, dan
Dusun Enam yang sebagian besar penduduknya merupakan transmigrasi dari Jawa. Kabupaten ini merupakan
kabupaten pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong. Mayoritas penduduk Kabupaten Kepahiang adalah suku Rejang
Kepahiang dengan bahasa daerah bahasa Rejang. Ranah keluarga dijadikan fokus informan dengan suami atau istri
menikah beda suku. Bahasa Rejang adalah alat komunikasi masyarakat Rejang dalam menyampikan maksud dan
tujuan baik secara lisan maupun tulisan. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui apakah terjadi pergeseran
bahasa Rejang ke bahasa Jawa dalam lingkup keluarga perkawinan beda suku di Desa Pekalongan Dusun Empat,
Dusun Lima dan Dusun Enam Kecamatan Ujan Mas Kabupaten Kepahiang. Metode penelitian yang digunakan adalah
metode deskriptif kualitatif. Data penelitian berupa percakapan di lingkup keluarga perkawinan beda suku. Sumber
data adalah informan yaitu Suku Rejang yang menggunakan bahasa Rejang dan menikah dengan orang Jawa dengan
syarat tertentu. Teknik Pengumpulan Data: a) teknik simak bebas libat cakap (SBLC), teknik rekam, dan teknik catat.
Pemeriksaan keabsaan data dalam penelitian ini hanya difokuskan pada: 1) perpanjangan keikutsertaan, (2) ketekunan
pengamatan, (3) trianggulasi, dan (4) pengecekan teman sejawat. Hasil penelitian menunjukkan terjadi pergeseran
bahasa dari bahasa Rejang ke bahasa Jawa di Desa Pekalongan karena perkawinan beda suku di masyarakat
transmigran Jawa Desa Pekalongan Dusun Empat, Dusun Lima, dan Dusun Enam.
Kata kunci: Pergesaran bahasa, bahasa Rejang, transmigran, desa Pekalongan

PENDAHULUAN
Salah satu penyebab terjadinya pergeseran bahasa adalah perpindahan penduduk (migrasi). Migrasi ini bisa
berwujud dua kemungkinan. Pertama, kelompok-kelompok kecil bermigrasi ke daerah atau negara lain yang
menyebabkan bahasa mereka tidak berfungsi di daerah baru. Kedua, gelombang besar penutur bahasa
bermigrasi membanjiri sebuah wilayah kecil dengan sedikit penduduk, menyebabkan penduduk setempat
terpecah dan bahasanya tergeser (Sumarsono, 2014: 142-146).
Menurut Rokhman (2013: 51) kalau seorang penutur atau sekelompok penutur pindah ke tempat lain
yang menggunakan bahasa lain, dan bercampur dengan mereka, maka akan terjadilah pergeseran bahasa ini.
Pendatang atau kelompok pendatang ini untuk keperluan komunikasi mau tidak mau, harus menyesuaikan
diri dengan menanggalkan bahasanya sendiri, lalu menggunakan bahasa penduduk setempat. Dalam
kelompok asal mereka memang dapat menggunakan bahasa pertama mereka, tetapi untuk berkomunikasi
dengan orang lain tentunya mereka tidak dapat bertahan untuk tetap menggunakan bahasa sendiri. Sedikit
demi sedikit mereka harus belajar menggunakan bahasa penduduk setempat.
Hasil observasi yang peneliti lakukan pada masyarakat transmigran yang menikah beda suku di
Kecamatan Ujan Mas Desa Pekalongan menunjukkan bahwa bahasa yang dipergunakan dalam keluarga
menggunakan bahasa Jawa bukan bahasa Rejang. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti ingin meneliti:
Apakah terjadi pergeseran bahasa Rejang karena perkawinan beda suku di transmigran Desa Pekalongan
Dusun Empat, Dusun Lima dan Dusun Enam Kecamatan Ujan Mas Kabupaten Kepahiang.

METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Data penelitian berupa percakapan
dalam bentuk wacana sedangkan sumber data adalah informan yang menikah berbeda suku (Suami/Istri
adalah transmigran Jawa-Rejang) dengan syarat tertentu. Penelitian dilakukan di Desa Pekalongan Dusun
Empat, Dusun Lima, dan Dusun Enam Kecamatan Ujan Mas Kabupaten Kepahiang. Pemilihan Kecamatan
tersebut sebagai lokasi penelitian didasarkan pada ada gejala terjadinya pergeseran bahasa Rejang pada
masyarakat transmigran. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik simak bebas libat cakap (SBLC)
dan teknik teknik pencatatan. Langkah-langkah dalam menganalisis data: data pegeseran bahasa yang telah
ditranskripsikan ke dalam bentuk tulisan, kemudian diidentifikasi sesuai dengan data yang diperlukan dalam
penelitian, selanjutnya dianalisis untuk dideskripsikan, lalu data diinterprestasikan, untuk ditarik simpulan.
Untuk menghindari kesalahan dalam penelitian, dipergunakan teknik pemeriksaan keabsaan data yaitu
perpanjangan keikutsertaan, ketekunan pengamatan, dan trianggulasi.
425
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian dari 13 informan diperoleh 24 percakapan dengan rincian 12 kk istri berasal dari suku
Rejang suami suku Jawa dan 1 kk yang suami berasal dari suku Rejang sedangkan istri suku Jawa. Di
Dusun Empat jumlah informan 7 kk menunjukkan pergeseran bahasa Rejang ke bahasa Jawa ditandai istri
berasal dari suku Rejang menggunakan bahasa Jawa dalam berbagai peristiwa tutur dengan suami yang
berasal dari suku Jawa. Di Dusun Lima jumlah informan 4 kk ditemukan data percakapan yang diambil
dengan waktu yang berbeda. Bahasa istri telah mengalami pergeseran bahasa Rejang ke bahasa Jawa. Pada
Dusun Enam jumlah informan 2 kk ditemukan pergeseran bahasa yang dilakukan oleh isteri dari bahasa
Rejang ke bahasa Jawa.
Berdasarkan data informan yang diperoleh, terjadi pergeseran bahasa yang dilakukan oleh isteri
dengan Bahasa Ibu (B1) bahasa Rejang bergeser ke bahasa Jawa (B2). Pergeseran bahasa yang dilakukan
isteri bertujuan untuk mendekatkan hubungan dengan suami agar semakin dekat, akrab, dan santai. Dalam
konteks ini, istri cenderung mengikuti bahasa yang digunakan oleh suami dalam setiap pertuturan di
keluarga karena istri menyadari bahwa penggunaan bahasa Rejang dalam keluarga itu cenderung akan
menghambat komunikasi, tidak akrab dan tidak santai.
Pergeseran bahasa terjadi di Desa Pekalongan pada keluarga yang menikah berbeda suku.
Masyarakat pemakai bahasa memilih suatu bahasa baru untuk menggantikan bahasa sebelumnya. Pergeseran
bahasa terjadi karena masyarakat bahasa Rejang beralih ke bahasa Jawa kaarena ada perasaan bahasa Jawa
lebih dominan dan berprestise.

PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa pergeseran bahasa terjadi manakala masyarakat bahasa
memilih suatu bahasa baru untuk mengantikan bahasa sebelumnya. Penyebab pergeseran bahasa Rejang ke
bahasa Jawa adalah disebabkan oleh perkawinan beda suku. Pegeseran ini terjadi agar komunikasi yang
terjadi dalam lingkup keluarga tersebut semakin akrab, santai dan nyaman serta maksud yang disampaikan
dimengerti oleh lawan tutur. Saran yang dapat dikemukakan adalah pemakai bahasa ibu harus memiliki
kesadaran bahwa bahasa pendatang atau kelompok pendatang dapat mengakibatkan pergeseran bahasa jika
kesadaran itu tidak dikembangkan. Pemerintah Daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi
bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat
sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Aslinda dan Leni Syafyahyah. 2014. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: Refika Aditima.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Bahasa Daerah di
Sumatera dan Sekitarnya. Badan Bahasa: Jakarta.
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Ekorusyono, 2006. Mengenal Budaya Enggano. Yogyakarta: Litera
Mulyana. 2012. Perubahan-pergeseran-dan-pemertahanan. Diakses 12 Mei 2014. 12:00. http://myblog003.blogspot.com/2012/11.
Pastika, I Wayan. Pendekatan Kedwibahasaan Sejak Usia Dini: Bahasa Daerah dan Bahasa Indonesia. Fakultas Sastra
Universitas Udayana Makalah Kongres Bahasa Indonesia X Hotel Grand Sahid Jaya, 28—31 Oktober 2013: Jakarta.
Rokhman, Fathur. 2013. Sosiolinguisti (Suatu Pendekatan Pembelajaran Bahasa dalam Masyarakat Multikultural).
Graha Ilmu: Yogyakarta.
Rustinar, Eli. 2015. Pergeseran Bahasa Enggano (Kasus Masyarakat di Desa Meok Dusun Pakuah Kecamatan
Enggano Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu. Hibah Dikti: Jakarta.
Rustinar, Eli. 2015. Pergeseran Bahasa (Language Shift). Jurnal Lateralisasi Vol.III No.02, Oktober 2015 ISSN: 2354-
936X: UMB Press: Bengkulu.
Sumarsono. 2014. Sosiolinguistik. SABDA (Lembaga Studi Agama, Budaya, dan Perdamaian bekerja sama dengan
Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Suyuthie, Hasmi. 2015. Pemertahanan dan Pergeseran Bahasa Melayu Bengkulu. Prosiding FSMR I. ISBN.978-602-
96897-7-8. UMB Press: Bengkulu.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Eli Rustinar
Institusi : Universitas Muhammadiyah Bengkulu
Riwayat Pendidikan : S2 Universitas Padjadjaran
S1 Universitas Muhammadiyah Bengkulu
Minat Penelitian : Sosiolinguistik

426
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
REDUPLIKASI VERBA BAHASA MELAYU DI DESA TELUK MEGA KECAMATAN TANAH
PUTIH KABUPATEN ROKAN HILIR RIAU

Tri Yuliawan
Universitas Islam Riau
triyuliawan@yahoo.com

ABSTRAK
Makalah ini berisi pembahasan tentang reduplikasi Bahasa Melayu di Desa Teluk Mega. Bahasa Melayu merupakan
bahasa daerah nusantara, tepatnya di Kabupaten Rokan Hilir Riau yang digunakan oleh masyarakat pemakainya
dalam berbagai kepentingan. Di samping berfungsi sebagai alat utama dalam menyampaikan pesan di kehidupan
sehari-hari, Bahasa Melayu di Teluk Mega juga dipakai sebagai bahasa pengantar dalam upacara adat, seperti
pernikahan, pemberian nama, pemberian gelar, serta khitanan. Selanjutnya, Bahasa Melayu di Desa Teluk Mega unik
jika dibandingkan dengan kosa kata Bahasa Indonesia, misalnya kata (sulup-sulup, Bahasa Teluk Mega) (arti dalam
Bahasa Indonesia adalah sendal-sendal). Selamjutnya, Bahasa Melayu banyak dijumpai di Desa Teluk Mega. Semua
penduduk menggunakan Bahasa Melayu. Mulai dari kalangan anak-anak sampai ke orangtua, semuanya
menggunakan Bahasa Melayu dalam berbagai keperluan dan kepentingan. Ini menandakan bahwa Bahasa Melayu di
Desa Teluk Mega terperhatikan dan mengalami pelestarian. Bahkan masyarakat pendatang juga menggunakan Bahasa
Melayu. Hal ini ditandai oleh Bahasa Melayu di Desa Teluk Mega dominan dibandingkan dengan bahasa lain. Akan
tetapi saat ini, pemakaian Bahasa Melayu di Desa Rantau mengalami pengurangan dan tidak terperhatikan. Bahkan
pemakaian Bahasa Melayu hanya dari kalangan orangtua saja. Alasan tersebut membuat peneliti tergugah untuk
meneliti fenomena tersebut, sehingga terjadi pelestarian dan pendokumentasian bahasa daerah. Penelitian ini
difokuskan pada proses, bentuk, dan makna gramatikal reduplikasi verba Bahasa Melayu di Teluk Mega. Selanjutnya,
tujuan penelitian dapat dideskripsikan; (1) menjelaskan bentuk-bentuk reduplikasi verba Bahasa Melayu di Teluk
Mega, (2) menjelaskan makna gramatikal reduplikasi verba Bahasa Melayu di Teluk Mega. Selanjutnya, penelitian
ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif ini menggunakan metode deskriptif, yang sifatnya hanya
memaparkan atau menggambarkan data yang ditemukan di lapangan. Penelitian ini dilakukan di Teluk Mega
Kecamatan Tanah Putih Kabupaten Rokan Hilir Riau. Data penelitian ini adalah kalimat (tuturan) dari informan yang
di dalamnya terdapat bentuk-bentuk reduplikasi verba Bahasa Melayu. Adapun instrumen dalam penelitian ini adalah
peneliti dan dibantu dengan sejumlah peralatan pengumpul data. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan teknik simak dan cakap. Teknik simak dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik dasar, yakni
teknik sadap, libat cakap, simak bebas libat cakap, rekam, dan catat. Selanjutnya, teknik cakap merupakan teknik yang
berbentuk percakapan yang melibatkan kontak peneliti dengan informan penelitian.
Kata kunci: reduplikasi, verba, dan bahasa Melayu

PENDAHULUAN
Bahasa daerah adalah suatu bahasa yang dituturkan di suatu wilayah dalam sebuah negara kebangsaan;
termasuk itu pada suatu daerah kecil, negara bagian federal atau provinsi, atau daerah yang lebih luas.
Bangsa Indonesia terdiri atas bermacam-macam suku atau kelompok etnis di tanah air. Tiap kelompok etnis
mempunyai bahasa masing-masing yang dipergunakan dalam komunikasi antaretnis atau sesama suku.
Selanjutnya, bahasa Melayu merupakan bahasa daerah nusantara, tepatnya di Kabupaten Rokan
Hilir yang digunakan oleh masyarakat pemakainya dalam berbagai kepentingan. Di samping berfungsi
sebagai alat utama dalam kehidupan sehari-hari, bahasa Melayu di Teluk Mega juga dipakai sebagai bahasa
pengantar dalam upacara adat, seperti pernikahan, pemberian nama, pemberian gelar, serta khitanan.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, penggunaan bahasa Melayu pada saat ini sudah berkurang,
bahkan yang menggunakan bahasa Melayu hanya dari kalangan orang tua. Di samping itu, Bahasa Melayu
juga digunakan pada saat acara adat, seperti pernikahan, khitanan, dan lain-lain. Semakin berkurangnya
pemakaian Bahasa Melayu mengungah penulis untuk meneliti lebih luas tentang Bahasa Melayu.
Syam (2013:38) menjelaskan bahwa sebagian kosa kata bahasa Melayu Sungai Rokan berasal dari
serapan Sangsekerta dengan variasi logat tuturan berbeda antara satu wiayah dengan wilayah yang lain,
bahkan antarkampung yang satu dengan kampung yang lainnya. Perbedaan logat Bahasa Melayu Rokan
dipengaruhi oleh letak kampung hulu dan hilir (Rokan Hilir dan Rokan Hulu). Posisi hulu dan hilir,
memunculkan logat orang hilir dan logat orang mudik.
Menurut Verhaar (2008:152), reduplikasi adalah proses morfemis yang mengulangi bentuk dasar
atau sebagian dari bentuk tersebut, selanjutnya Menurut Alwi, dkk (2003: 238), reduplikasi adalah proses
penurunan kata dengan perulangan, baik secara utuh maupun secara sebagian. Sedangkan Arifin dan
Junaiyah (2010:11) mengemukakan reduplikasi adalah proses morfologi yang mengubah sebuah leksem
menjadi kata, setelah mengalami proses morfologi reduplikasi, baik kelas kata nomina, verba, ajektiva,
numeralia, atau adverbia.
427
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Ramlan (2001:69-75), menjelaskan reduplikasi dibedakan menjadi empat bentuk. Berdasarkan cara
mengulang bentuk dasarnya, pengulangan dapat digolongkan menjadi empat golongan. Bentuk-bentuk
pengulangan tersebut ialah (1) pengulangan seluruh, misalnya sepeda-sepeda itu berjejeran di depan toko
(bentuk dasar sepeda). (2) pengulangan sebagian, misalnya lelaki itu sungguh gagah perkasa (bentuk dasar
laki). (3) pengulangan berkombinasi dengan pembubuhan afiks, misalnya kereta-keretaan dimodif
semedikian rupa dan (4) pengulangan perubahan fonem, misalnya gerak-gerik pencuri itu sudah kelihatan
(bentuk dasar gerak).
Menurut Muslich (2009:52-55) menyatakan jenis pengulangan didasarkan pada bagaimana bentuk
dasar reduplikasi itu diulang. Bentuk reduplikasi yang dimaksud ialah (1) Pengulangan seluruh adalah
pengulangan bentuk dasar secara keseluruhan, tanpa berkombinasi dengan afiks dan tanpa perubahan fonem.
Misalnya, Ibuku suka mengoleksi batu-batu permata (bentuk dasar batu). (2) Pengulangan sebagian adalah
pengulangan bentuk dasar secara sebagian, tanpa perubahan fonem, misalnya wanita cantik itu memanggil-
manggil namaku (bentuk dasar panggil). (3) Pengulangan yang berkombinasi dengan pembubuhan afiks
ialah pengulangan bentuk dasar disertasi dengan penambahan afiks secara bersama-sama atau serentak dan
bersama-sama pula mendukung satu arti, misalnya anak kecil itu bermain mobil-mobilan (bentuk dasar
mobil). Pengulangan dengan perubahan fonem adalah pengulangan bentuk dasar dengan disertai perubahan
fonem. Pengulangan jenis ini sudah produktif lagi dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, berdasarkan
perbandingan, masih dapat dibuktikan bahwa pengulangan jenis ini memang ada dalam bahasa Indonesia,
misalnya gerak-gerik orang itu sangat mencurigakan (bentuk dasar gerak).
Menurut Tarigan (2009:60), kata kerja adalah pembentukan kata yang menghasilkan kata kerja, jadi
titik berat diletakkan pada hasil pembentukan tersebut. Selanjutnya, Keraf (1984:64) kata kerja adalah semua
kata yang menyatakan perbuatan atau laku digolongkan dalam kata kerja. Berbeda yang diungkap oleh
Kridalaksana (2007:51), verba secara sintaksis sebuah satuan gramatikal dapat diketahui berkategori verba
dari perilakunya dalam satuan yang lebih besar; jadi sebuah kata dapat dikatakan berkategori verba hanya
dari perilakunya dalam frase, yakni dalam hal kemungkinannya satuan itu di dampingi partikel tidak dalam
kontruksi dan dalam hal tidak dapat di dampinginya satuan itu dengan partikel di, ke, dari, atau dengan
partikel seperti sangat, lebih, atau agak.
Menurut Kridalaksana (2007:51-52), verba dari bentuknya dapat dibedakan sebagai berikut. (1)
verba dasar bebas, dan (2) verba turunan. Verba dasar bebas adalah verba yang berupa morfem dasar,
sedangkan verba turunan adalah verba yang telah mengalami afiksasi, reduplikasi, gabungan proses atau
berupa paduan leksem. Selanjutnya Sobarna (1995:29) membedakan verba bahasa Sunda atas dua jenis,
yaitu (1) verba dasar, dan (2) verba turunan. Verba dasar adalah verba yang berupa morfem bebas tanpa
mengalami proses morfemis apapun. Verba turunan dalah verba yang telah mengalami proses morfemis baik
berupa hasil afiksasi maupun reduplikasi.
Menurut Kridalaksana (2007:94-97), makna gramatikal reduplikasi nomina menjadi beberapa bagian.
Pertama menyatakan jamak (rumah-rumah di Jakarta tidak teratur). Kedua menyatakan bermacam-macam
(pakaiannya warna-warni itu mengundang perhatian orang). Ketiga menyatakan jenis (jari-jarinya amat
lentik). Keempat menyatakan tidak tentu (coba kamu tanyakan siapa-siapa yang mau ikut). Kelima
menyatakan menyerupai (Langit-Iangit rumah kami sedang diperbaiki). Sedangkan Menurut Chaer
(2008:191-194), reduplikasi nomina juga dapat menimbulkan berbagai makna gramatikal. Hal tersebut
tergantung dari dasar nomina yang dinyatakannya baik akar, afiksasi, maupun gabungan kata. Makna
gramatikal yang dimaksud ialah menyatakan banyak (Murid-murid harus memakai seragam), dan
bermacam-macam (Buah-buahan banyak di jual di pasar minggu), banyak dengan ukuran tertentu (Bagunan
ini menghabiskan berton-ton semen) dan (Diangkutnya beras itu sekarung-sekarung), menyerupai atau
seperti (Anak laki-laki suka main perang-perangan), dan saat atau waktu (Pagi-pagi sekali dia sudah
berangkat kerja).
Dari penjelasan di atas, tujuan penulisan ini adalah (1) menjelaskan bentuk-bentuk reduplikasi
verba bahasa Melayu di Desa Teluk Mega Kecamatan Tanah Putih Kabupaten Rokan Hilir Riau, dan (2)
menjelaskan makna gramatikal reduplikasi verba bahasa Melayu di Desa Teluk Mega Kecamatan Tanah
Putih Kabupaten Rokan Hilir Riau.

METODE
Jenis penelitian ini tergolong penelitian kualitatif. Silalahi (2006:70) menjelaskan penelitian kualitatif
merupakan suatu strategi penelitian yang menekankan peyajian data pada kata-kata daripada angka
kuantitatif. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif, sifatnya hanya memaparkan data di
lapangan. Data penelitian ini adalah kalimat atau tuturan yang di dalamnya terdapat bentuk-bentuk
reduplikasi verba bahasa Melayu. Sumber data pada penelitian ini diperoleh dari data lisan. Adapun

428
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti dan dibantu dengan sejumlah peralatan pengumpul data. Data
yang diperlukan untuk menjawab pertanyaan penelitian diperoleh melalui instrumen. Alat pengumpul data
diantaranya recorder, alat tulis seperti buku dan pena. Selanjutnya, teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini menggunakan teknik simak dan cakap. Teknik simak juga dapat disejajarkan dengan teknik
pengamatan atau observasi, (Sudaryanto, 1993:133). Selanjutnya, Sudaryanto (1993:137) teknik cakap atau
percakapan merupakan terjadinya kontak antara peneliti selaku peneliti dan penutur selaku narasumber.
Kegiatan ini bisa disejajarkan dengan teknik wawancara atau interview. Sedangkan teknik analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode agih. Sudaryanto, (1993:15) menjelaskan metode agih
adalah cara menganalisis data yang alat penuturnya bagian dari bahasa itu sendiri. Analisis data ini
dilakukan untuk mengklasifikasikan, menyamakan, membedakan, dan menyisihkan data sesuai dengan
tujuan dan fokus penelitian. Kridalaksana (2007:68) mengelompokkan bentuk verba menjadi dua yaitu verba
dasar dan turunan. Selanjutnya, Ermanto (2010:73) menyatakan untuk mengetahui proses reduplikasi
langkah pertama dilakukan adalah menentukan bentuk dasar.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Bentuk-bentuk Reduplikasi Verba Bahasa Melayu
Pengulangan Seluruh Bentuk Dasar
Reduplikasi seluruh bentuk dasar terdapat dalam bahasa Melayu. Pengulangan seluruh dilakukan dengan
cara mengulang seluruh bentuk dasar tanpa perubahan fonem dan tidak berkombinasi dengan pembubuhan
afiks. Lebih rinci dijelaskan dalam uraian data berikut.
(1) Dai bakat ko te, dah tu tengok-tengok perkembangannyo.
dari bakat inilah, kemudian lihat-lihat perkembangannya.
‘Dilihat dari bakat kemudian lihat-lihat pula perkembangannya.’
Dari uraian data itu, dapat diketahui bahwa kata tengok-tengok merupakan reduplikasi kelas kata verba.
Tengok merupakan bentuk dasar, sedangkan hasil pengulangan seluruh adalah tengok-tengok. Tengok-
tengok dibentuk dengan mengulang bentuk dasar secara utuh. Bedasarkan keterangan di atas, dapat diketahui
bahwa kata tengok-tengok termasuk reduplikasi seluruh bentuk dasar.
Pengulangan Sebagian Bentuk Dasar
Reduplikasi sebagian bentuk kata dasar terdapat dalam bahasa Melayu. Pengulangan bentuk sebagian ini
dilakukan dengan cara mengulang sebagian bentuk dasar. Lebih rinci dijelaskan dalam uraian data berikut.
(2) Kalau dipikie-pikie banyak yang polu dipelajari ko.
kalau dipikir-pikir banyak yang perlu dipelajari ini.
‘Kalau dipikir-pikir banyak yang perlu dipelajari.’
Dari uraian data itu, dapat diketahui bahwa kata dipikie-pikie merupakan reduplikasi kelas kata verba.
Dipikie merupakan bentuk dasar, sedangkan hasil pengulangan sebagian yakni dipikie-pikie. Dipikie-pikie
dibentuk dengan mengulang sebagian bentuk dasar. Bedasarkan keterangan di atas, dapat diketahui bahwa
dipikie-pikie termasuk reduplikasi yang diproses dari pengulangan sebagian bentuk dasar.
Pengulangan Bentuk Dasar Berkombinasi dengan Pembubuhan Afiks
Reduplikasi kombinasi dengan pembubuhan afiks mu-kan terdapat dalam bahasa Melayu. Pengulangan
bentuk kombinasi dengan pembubuhan afiks mu-kan dilakukan dengan cara mengulang sebagian bentuk
dasar berkombinasi dengan proses pembubuhan afiks. Lebih rinci dijelaskan dalam uraian data berikut.
(3) Dah tu inyo beko muhadong-hadongkan tangan ko, beko tebayak lu tinta.
kemudian dia menyenggol-nyenggolkan tangan ini, nanti tertumpah pula tinta
‘Dia menyenggol-nyenggolkan tangan saya, tinta pun tertumpah.’
Dari uraian data itu, dapat diketahui bahwa kata muhadong-hadongkan merupakan reduplikasi kelas kata
verba. Hadong merupakan bentuk dasar dari muhadong-hadongkan. Proses pengulangan dan pembubuhan
afiks yakni mu + R (hadong) -kan, sedangkan muhadong-hadongkan merupakan hasil dari pengulangan
bentuk dasar berkombinasi dengan pembubuhan afiks mu-kan. Bedasarkan keterangan di atas, dapat
diketahui bahwa kata muhadong-hadongkan termasuk reduplikasi yang diproses dari bentuk dasar
berkombinasi dengan pembubuhan afiks mu-kan.
Pengulangan Bentuk Dasar Berubah Bunyi
Pengulangan bentuk dasar berubah bunyi dilakukan dengan cara bentuk dasar yang diulang disertai dengan
berubah bunyi. Berubah bunyi bisa dari vokal atau bunyi konsonannya. Lebih rinci dijelaskan dalam uraian
data berikut.

429
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
(4) Kadang gotok-goman awak munengoknyo nyo.
terkadang geram-geram saya melihatnya
‘Terkadang saya geram-geram melihatnya.’
Dari uraian data itu, terdapat reduplikasi kelas kata verba yakni pada kata gotok-goman. Gotok merupakan
bentuk dasar, pengulangan bentuk dasar berubah bunyi menjadi goman. Bentuk berubah bunyi bisa
menduduki unsur pertama, bisa juga menduduki unsur kedua. Berdasarkan keterangan di atas, dapat
dibuktikan bahwa kata gotok-goman termasuk reduplikasi yang diproses dari berubah bunyi dengan
mengulang bentuk dasar.
Makna Gramatikal Reduplikasi Verba Bahasa Melayu
Menyatakan Kejadian Berulang-Ulang
(5) Banyak uyang nyobuik-nyobuik macam itu lah.
banyak orang berkata-kata seperti itu
‘Banyak orang berkata-kata seperti itu.’
Selanjutnya, di bawah ini kata nyobuik-nyobuik akan diuraikan dengan tes dekomposisi leksikal dengan
teknik oposisi dua-dua. Teknik tersebut diuraikan sebagai berikut.
RV Bentuk Dasar Proses R
nyobuik-nyobuik (berkata-kata) >< nyobuik (berkata) R seluruh
( V kejadian berulang-ulang) (agen, tindakan)
Menyatakan Kejadian Berintensitas
(6) Moh ngapo do, jalan-jalan ke siko sambie-sambie belajar.
tidak ada masalah, berkunjung-berkunjung ke sini sambilan-sambilan belajar
‘Berkunjung-berkunjunglah ke sini sambilan-sambilan belajar.’
Selanjutnya, di bawah ini kata jalan-jalan akan diuraikan dengan tes dekomposisi leksikal dengan teknik
oposisi dua-dua. Teknik tersebut diuraikan sebagai berikut.
RV Bentuk Dasar Proses R
jalan-jalan >< jalan R seluruh
(berkunjung-berkunjung) (berkunjung)
(V kejadian berintensitas) (agen, tindakan, intensitas)
Menyatakan Tujuan untuk Santai
(7) Kadang anak murid ko jam limo dah baliklah, dapeklah bulega-lega di kampong ko.
terkadang anak murid ini jam lima sudah pulang, bisalah berkeliling-keliling di kampung ini
‘Murid jam lima sudah pulang, dapat saya berkeliling-keliling kampung.’
Selanjutnya, di bawah ini kata bulega-lega akan diuraikan dengan tes dekomposisi leksikal dengan teknik
oposisi dua-dua. Teknik tersebut diuraikan sebagai berikut.
RN Bentuk Dasar Proses R
bulega-lega >< bulega R sebagian
(berkeliling-keliling) (berkeliling)
( V tujuan untuk santai) (agen, tindakan santai)
Menyatakan Tindakan
(8) Paja haluih-haluih ko main bonang-bonang kojunyo.
anak kecil-anak kecil ini main berenang-berenang kerjanya
‘Anak kecil-anak kecil kerjanya berenang-berenang saja.’
Selanjutnya, di bawah ini kata bonang-bonang akan diuraikan dengan tes dekomposisi leksikal dengan
teknik oposisi dua-dua. Teknik tersebut diuraikan sebagai berikut.
RV Bentuk Dasar Proses R
bonang-bonang >< bonang R seluruh
(berenang-berenang) (berenang)
( V bermakna tindakan) (agen, tindakan)
Menyatakan Saling
(9) Bekoja-kojakan sesamu kawannyo.
bekejar-kejaran sesama temannya.
‘Dia bekejar-kejaran sesama temannya.’
Selanjutnya, di bawah ini kata bekoja-kojakan akan diuraikan dengan tes dekomposisi leksikal dengan
teknik oposisi dua-dua. Teknik tersebut diuraikan sebagai berikut.

430
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
RV Bentuk Dasar Proses R
bekoja-kojaan >< koja R kom be-an
(bekejar-kejaran) (kejar)
( V bermakna berbalasan) (agen, tindakan)
Menyatakan Pekerjaan Sedang Berlangsung
(10) Kadang gotok-goman awak munengoknyo nyo.
terkadang menggesek-gesekan gigi saya melihatnya
‘Saya menggesek-gesekan gigi melihatnya.’
Selanjutnya, di bawah ini kata gotok-goman akan diuraikan dengan tes dekomposisi leksikal dengan teknik
oposisi dua-dua. Teknik tersebut diuraikan sebagai berikut.
RV Bentuk Dasar Proses R
gotok-goman >< gotok R berubah bunyi
(menggesek-gesekan gigi) (menggesekkan gigi)
( V bermakna pekerjaan (agen, tindakan)
sedang berlangsung)

SIMPULAN
Berdasarkan bentuk-bentuk reduplikasi verba bahasa Melayu di Desa Teluk Mega, didapatkan bentuk-
bentuk reduplikasi; reduplikasi seluruh bentuk dasar, sebagian bentuk dasar, bentuk dasar kombinasi (mu-
kan, meN-kan, me-kan, me-nyo, be-kan, di-kan, di-nyo) dan pengubah bunyi. Selanjutnya, makna
gramatikal reduplikasi verba bahasa Melayu di Desa teluk Mega dijumpai makna kejadian berulang-ulang,
kejadian berintensitas, berbalasan atau saling, tujuan untuk santai, tindakan, dan pekerjaan sedang
berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Arifin, E Zainal dan Junaiyah. 2009. Morfologi: Bentuk, Makna dan Fungsi. Jakarta: Gramedia Jakarta.
Chaer, Abdul . 2008. Morfologi Bahasa Indonesia :Pendekatan Proses. Jakarta: Rineka Cipta.
Ermanto dan Emidar. 2011. Afiks Derivasi Per-/-An dalam Bahasa Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Morfologi
Derivasi dan Infleksi, Vol 12 No. 1 Tahun 2011. Diakses Maret 2016.
Ermanto. 2010. Morfologi Derivasi dan Infleksi:Perspektif Baru dalam Bahasa Indonesia. Padang: UNP Press.
Keraf, Gorys. 1984. Tata Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Nusa Indah.
Kridalaksana, Harimurti. 2007. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Muslich, Masnur. 2009. Tata Bentuk Bahasa Indonesia: Kajian Ke Arah Tata Bahasa Deskriptif. Jakarta: Bumi Aksara.
Ramlan, M. 2001. Morfologi: Satuan Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: Karyono.
Silalahi, Ulber. 2006. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Unpar Press.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa; Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara
Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Syam, Junaidi. 2013. “Menelusuri Kreativitas dalam Koba Panglima Awang, Aspek Pergelaran, Peristiwa Suara, dan
Mistivisme.” Tesis Tidak Diterbitkan. Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM.
Tarigan, Hendry Guntur. 2009. Pengajaran Morfologi. Bandung: Angkasa.
Verhaar, J.W.M. 2008. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Tri Yuliawan
Institusi : Universitas Islam Riau
Riwayat Pendidikan : S2 Universitas Negeri Padang
S1 Universitas Islam Riau
Minat Penelitian : • Fonologi
• Morfologi
• Sintaksis

431
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
POTRET PENGGUNAAN BAHASA BALI BAGI KOMUNITAS BALI DI KOTA MEDAN

I Wayan Dirgeyasa
Universitas Negeri Medan
wayandirgayasa@yahoo.com

ABSTRAK
Dalam konteks kekinian, eksistensi bahasa-bahasa daerah termasuk bahasa Bali telah terjadi penomena penurunan
intensitas dan frekuensi penggunaannya di tengah masyarakat yang modern dan multilingual khususnya di kota besar
seperti Jakarta, Surabaya, Makasar, Medan, dan sebagainya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan
mengungkap penggunaan Bahasa Bali oleh penutur Bahasa Bali di Medan dengan pilihan bahasa 1) Bahasa Bali (BB)
dan Bahasa Indonesia (BI), 2) dominasi Bahasa Bali (dBB) dan dominasi Bahasa Indonesia (dBI), dan 3) mengetahui
kemampuan dan keterampilan generasi ke dua komunitas masyarkat Bali di Medan berbahasa Bali. Penelitian ini
adalah penelitian deskriptif kualitatif. Responden penelitian ini adalah komunitas Bali yang tinggal di Medan dan
sekitarnya yang diambil secara porpusive cluster random sampling. Responden dibagi menjadi dua kelompok yaitu
generasi pertama dan generasi kedua. Data dikumpulkan dengan wawancara mendalam (in depth interview) and
angket. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Konteks penggunaan pilihan bahasa yang diteliti adalah tempat,
lawan mitra tutur, isi pembicaraan, situasi komunikasi. Indikator dominasi pilihan bahasa adalah rentangan antara
51-99%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi pilihan penggunaaan bahasa bagi komunitas Bali di
Medan. Pertama, pada umumnya komunitas masyarakat Bali di Medan tidak menggunakan pilihan bahasa baik
Bahasa Bali (BB) maupun Bahasa Indonesia (BI) secara penuh pada suatu persitiwa interaksi dan komunikasi. Kedua,
komunitas masyarakat Bali di Medan menggunakan campur kode (code mixing) dan alih kode (code-switching)
dengan pilihan bahasa dominanasi Bahasa Indonesia (dBI) pada semua kontek komunikasi. Dan ketiga, secara
khusus, generasi kedua komunitas masayarakat Bali di Medan sangat tidak menguasai berbahasa Bali baik lisan
maupun tulisan. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa secara umum pengunaan pililhan Bahasa
Bali (BB) oleh komunitas masyarakat Bali di Medan secara penuh dan utuh dalam semua konteks komunikasi tidak
terjadi baik. Hal ini menunjukkan bahwa suatu saat ke depan Bahasa Bali akan mengalami kepunahaan sedikit demi
sedikit terutama oleh generasi kedua dan seterusnya bagi komunitas Bali yang lahir di Medan.
Kata kunci: bahasa Bali, bahasa Indonesia, dominasi bahasa Bali, dominasi bahasa Indonesia

PENDAHULUAN
Dalam beberapa tahun terakhir ini, realitas di lapangan menunjukkan bahwa bahasa-bahasa daerah, termasuk
bahasa Bali telah mulai mengalami penurunan frekuensi dan intensitas penggunaannya oleh penuturnya.
Antara (2016) mengatakan bahwa dari pengamatan sederhana saja, anak-anak sudah jarang berbahasa Bali,
terlebih lagi di daerah perkotaan. Hal ini terjadi karena penutur Bahasa Bali merasa gengsi jika mereka
menggunakan bahasa Bali. Ini memperlihatkan rasa fanatisme terhadap bahasanya kurang” ujarnya, Lebih
lanjut dia juga mengatakan bahwa dari kajian hasil penelitian Fakultas Sastra Universitas Udayana, frekuensi
pemakaian bahasa Bali memang rendah, khususnya di daerah perkotaan. Bahkan ini sudah mulai menyebar
ke daerah pedesaan di Bali.
Kenyataan ini kelihatanya juga di alami oleh komunitas Bali yang ada di beberapa kota besar di
Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Makasar, Yogyakarta, Bandar Lampung dan Medan. Padahal menurut
pandangan umum, masyarakat Bali atau komunits Bali memiliki prinsip yang kuat dalam mempertahankan
dan mengembangkan budaya, tradisi dan juga bahasa di manapun mereka berada. Penggunaan Bahasa Bali
di tengah masyarakat seperti itu merupakan tantangan dan sekaligus peluang untuk mempertahankan dan
mengembangkan bahasa itu sendiri.
Berkaitan dengan penggunaan Bahasa Bali, Marjohan dkk (1992) dalam penelitiannya menemukan
bahwa (80,87%) anggota sampel mengunakan bahasa Bali dalam situasi tak resmi ketika berbicara dengan
keluarga, tetangga, kerabat sekitar rumah dengan topik kegiatan sehari-hari, (19,23%) menggunakan bahasa
Bali dalam situasi resmi dengan topik kedinasan dan pendidikan.Sehubungan dengan menurunya
penggunaan Bahasa Bali, Dirgeyasa, (2010) dalam penelitian mengatakan bahwa Bahasa Bali telah
mengalami pergeseran, perubahan mungkin juga degradasi dalam penggunaan variasi Bahasa Bali seperti
penggunaan ragam tinggi atau ragam rendah di daerah transmigrasi Lampung. Code-mixing atau code-
switching sangat intens terjadi ketika mereka berkomunikasi dan transaksi sehari-hari.
Sejumlah hasil penelitian tersebut merupakan fenomena pemakaian Bahasa Bali yang terkait dengan
konteks sosial budaya Bali. Dalam konteks komunitas Bali di Medan dan sekitarnya, intesitas dan
frekwuensi serta kuantitas penggunaan Bahasa Bali oleh warga komunitas Bali di Medan dan sekitarnya
secara tentatif menurun dan berkurang. Untuk mendapatkan informasi dan realitas yang terpercaya dan valid,

432
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
tulisan ini membahas potret penggunaan pilihan Bahasa Bali di Kota Medan dan Sekitarnya oleh komunitas
Suka Duka Dirgayusa Medan dan kemampuan generasi II dalam menguasai Bahasa Bali.

KAJIAN TEORI
Komunitas Bali di Medan
Secara historis, keberadaan komunitas Bali di kota Medan dan sekitarnya sudah terjadi sejak tahun 1974.
Sebagian besar dari mereka berasal dari Bali atau daerah lain di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya,
Lampung dan sebagainya. Mereka pada umumnya mampu dan terampil menggunakan Bahasa Bali baik
secara lisan maupun tulisan. Saat ini, jumlah komunits Bali di Medan dan sekitarnya mencapai 80-90 kepala
kepala keluarga atau setara dengan 250-350 orang. Jumlah tersebut setiap tahunnya berubah karena selalu
ada maysarakat yang datang dan pergi setiap tahun. Dari jumlahnya tersebut sudah ada yang menjadi
generasi kedua yang lahir di Medan dengan rentangan umur 1-25 tahun.
Dalam kehidupan sehari-hari, komunitas masyarkat Bali di Medan dan sekitarnya, secara umum
masih kuat dan teguh memegang tradisi dan budaya Bali baik secara individu maupun kolektif. Budaya
mereka masih relatif kuat dan dapat berkembang misalnya kehidupan beragama, kesenian, tatanan sosial
dalam bermasyarakat serta aturan (awig-awig) yang diterapkan untuk menjanga keberadaan dan
keberlangsungan komunitas Bali di Medan. Untuk itu, komunitas Bali di Medan dan sekitarnya mendirikan
paguyuban dan komunitas yang bernama Suka Duka Dirgayusa Medan (SDDYM) sejak tahun 1974.
Dalam kaitan penggunaan Bahasa Bali, komunitas Bali dalam berkomunikasi dan berinteraksi
sesame warga Bali relatif tidak sekuat aspek kesenian, tradisi, aturan-aturan (awig-awig) yang menjadi
indentitas ke-Baliannya. Padahal Bahasa Bali juga menjadi identitas masyarakat Bali di manapun mereka
berada.
Bahasa Bali
Bahasa Bali berasal dari kata “Bal” dalam bahasa Sansekerta yang artinya “kekuatan”, jadi kata “Bali”
berarti “pengorbanan” yang berarti supaya kita tidak melupakan kekuatan kita. Maka dari itu, secara
normatif, Bahasa Bali merupakan bahasa ibu yang digunakan sebagai alat komunikasi oleh semua
masyarakat Bali dalam setiap aktivitas baik secara langsung maupun tidak langsung termasuk pula dalam
kegiatan agama Hindu yang dianut sebagian besar masyarakat Bali.
Bahasa Bali merupakan bukti historis bagi masyarakat Bali. Sehubungan dengan itu, bahasa Bali
sebagai salah satu bagian dari kebudayaan Bali dan sekaligus pula berkedudukan sebagai wahana ekspresi
budaya Bali yang di dalamnya terekam pengalaman estetika, religi, sosial, politik dan aspek-aspek lainnya
dalam kehidupan masyarakat Bali. Bahasa Bali merupakan sebuah sistem kebahasaan dan budaya yang
berfungsi sebagai akar pelestari kebudayaan Bali itu sendiri.
Bahasa Bali dalam pemakaiannya memiliki sistem tingkatan-tingkatan yang dalam bahasa itu disebut
dengan Sor-Singgih Basa Bali (Sumitra, 2013) dalam http://balinesesudanglepet.blogspot.co.id/2013/08/bab-i-
pendahuluan-1.html/12/3/2016.
Dalam penggunaan Sor-Singgh Basa Bali dalam kehidupan bermasyarakat orang Bali, menurut
kamus bahasa Indonesia yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Bali (1990) menguraikan
bahwa kata Sor berarti bawah, singgih berarti halus atau hormat. Jadi Sor-Singgih Basa Bali berarti aturan
tentang tingkat-tingkatan atau tinggi rendah yang menyangkut rasa/perasaan yang merujuk pada rasa
solidaritas dengan saling hormat menghormati dalam menggunakan bahasa Bali terhadap lawan bicara. Di
samping itu, orang Bali dalam menggunakan Bahasa Bali juga memperhatikan konsep (desa) tempat, (kala)
waktu, dan (patra) situasi dan kondisi.
Campur Kode dan Alih Kode
Ada tiga jenis bahasa yang dikenal dalam sosiolinguistik. Pertama adalah alih kode (code switching). Kode
pada dasarnya adalah istilah netral yang dapat mengacu pada bahasa dialek, sosiolek, atau ragam bahasa.
Jika Si A mempunyai B1 (Bahasa Bali), dan B2 (Bahasa Indonesia) serta juga menguasai Bahasa Inggris, dia
dapat beralih kode dengan tiga bahasa itu. Pilihan bahasa yang kedua adalah campur kode (code mixing).
Campur kode ini serupa dengan interferensi dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Dalam campur kode,
penutur menyelipkan unsur – unsur bahasa lain ketika sedang memakai bahasa tertentu. Dan, ketiga adalah
variasi dalam bahasa yang sama (variation with in the same language). Dalam hal ini seseorang penutur
harus memilih ragam mana yang harus dipakai dalam situasi tertentu.
Berkaitan dengan hal itu, teori-teori yang digunakan sebagai acuan pada penelitian ini adalah adalah
Fishman (1976) yang menyatakan bahwa hal yang mendasar dalam kedwibahasaan adalah kedwibahasaan
masyarakat karena merupakan fenomena pemakaian dua bahasa atau lebih. Fasold (1984) menyatakan

433
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
bahwa walaupun sulit membedakan antara code mixing dan code switching, namun kedua bentuk ini masih
bisa dibedakan dan dikenal, misalnya melalui fenomena peminjaman kosakatanya. Penggunaan kata atau
frasa bahasa lain ke dalam suatu bahasa adalah peristiwa mencampur (mixing), penggunaan klausa dari suatu
bahasa ke dalam bahasa lain adalah peristiwa pertukaran (switching). Richards dkk. (1985) mengatakan
bahwa kode merupakan istilah netral sebagai pengganti bahasa, ragam tutur, atau dialek. Kemudian,
Wardhaugh (1998) dan Kachru (1978) menyatakanbahwa campur kode sebagai salah satu aspek
ketergantungan bahasa tidak dapat dihindarkan dalam tindak tutur dwibahasawan.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakasanakan di Medan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Populasi penelitian
adalah komunitas Bali di Medan dan sekitarnya yang terhimpun dalam paguyuban Suka Duka Dirgayusa
Medan (SDDY-Medan). Sampel penelitian diambil secara kluster bertujuan acak (purposive cluster random
sampling technique). Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 35 orang untuk generasi pertama dan 15
orang untuk generasi kedua. Jadi total sampel dalam penelitiaan ini mencapai 50 orang. Data dikumpulkan
dengan and angket dan wawancara mendalam (in depth interview) untuk masalah pertama dan kedua.
Sedangkan tes penguasaan kosa kata dalam bentuk menterjemahkan digunakan untuk menjawab masalah
ketiga. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Konteks pilihan bahasa yang diteliti adalah tempat, lawan
mitra tutur, isi pembicaraan, situasi komunikasi dan saluran atau bentuk komunikasi. Sedangkan indikator
kategori dominasi pilihan bahasa adalah rentangan antara (51-99%) dari bahasa yang digunakan dan
indikator kemampuan berbahasa (penguasan kosa kata) adalah rentangan nilai (0 – 100).

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Hasil Penelitian
Hasil penelitian dan pembahasan disajikan sesuai dengan masalah dalam penelitian yang meliputi 1) pilihan
penggunaan Bahasa Bali (BB) dan Bahasa Indonesia (BI), 2) pilihan dominanasi Bahasa Bali (dBB) dan
dominanasi Bahasa Indonesia (dBI), dan 3) kemampuan dan keterampilan generasi ke dua komunitas
masyarkat Bali di Medan berbahasa Bali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari segi tempat di mana
komunikasi itu berlangsung seperti rumah, pura, kantor atau tempat umumn, lawan bicara atau mitra tutur,
isi pembicaraan, situasi pembicaraan komunitas Bali bertemu mereka tidak menggunakan Bahasa Bali
ataupun Bahasa Indonesia secara utuh dan penuh.
Bila ditinjau dari penggunaan pilihan dominanasi Bahasa Bali (dBB) atau dominanasi Bahasa
Indonesia (dBI), komunitas Bali di Medan menggunakan dominasi pilihan bahasa cukup beragam tergantung
dengan tempat, lawan bicara atau mitra tutur, isi pembicaraan, situasi pembicaraan, tingkat keseriusan
pembicaraan, dan saluran atau bentuk komunikasi.
Pertama, berdasarkan tempat pembicaraan, komunitas Bali di Medan dan sekitarnya sebagian besar
menggunakan pilihan dominasi Bahasa Indonesia (dBI) di tiga tempat peristiwa komunikasi yaitu rumah,
tempat ibadah (Pura), dan tempat umum. Hasil penelitian juga menunjukkan tempat ibadah (Pura) yang
seyogyanya menjadi tempat bagi mereka untuk menggunakan dominasi Bahasa Bali dalam berkomunikasi,
kenyataanya mayoritas dari mereka menggunakan dominasi Bahasa Indonesia (dBI).
Kedua, bila ditinjau dari usia lawan mitra tutur, bila lawan mitra tutur lebih tua maupun lebih muda,
sebagian besar responden menggunakan dominasi Bahasa Indonesia masing-masing (97,14%) dan (77,14%).
Namun bila lawan mitra tuturnya dalam usia yang sama atau relatif sama, dominasi Bahasa Bali (dBB)
cukup banyak walaupun sebagian besar (57,14%) responden masing menggunakan bahasa dengan dominasi
Bahasa Indonesia. Bila lawan mitra bicara berasal dari wangsa dan status sosial yang ‘tinggi’ maupun lebih
‘rendah’, sebagian responden menggunakan pilihan bahasa dengan dominasi Bahasa Indonesia. Sedangkan
bila lawan mitra tutur berasal dari wangsa yang sama dan status sosial yang sama, besarnya responden yang
menggunakan dBB dan dBI relatif sama.
Hasil di atas, juga tidak jauh berbeda dengan penggunaan pilihan bahasa apakah dBB atau dBI bila
ditinjau dari isi pembicaraan. Secara umum komunitas Bali di Medan dan sekitarnya menggunakan dominasi
Bahasa Indonesia dalam segala isi pembicaraan seperti profesi pekerjaan, sosial-ekonomi, dan percakapan
sehari-hari. Namun topik agama dan ritual keagamaan, dominasi Bahasa Bali (dBB) dan dominasi Bahasa
Indonesia (dBI) hampir sama dengan persentase masing-masing sebesar (48,57%) dan (51,42%).
Keempat, pilihan dominasi Bahasa Indonesia (dBI) menjadi sangat dominan bagi komunitas Bali di
Medan dan sekitarnya dari berbagai situasi pembicaraan baik situasi formal, kurang formal, maupun tidak
formal, bahkan untuk situasi formal seperti rapat persentasenya hampir mencapai 100%.

434
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Kelima, situasi pembicaraan dikelompokan menjadi kategori melucu atau mengejek dan menggosip.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dominasi Bahasa Bali (dBB) relatif lebih tinggi atau intens dari pada
penggunaan dominasi Bahasa Indonesia (dBI) masing masing sebesar (61,29%) dan (51,42%) berbanding
(45,71%) dan (48,57%).
Dan, keenam, saluran atau pola pembicaraan juga mempengaruhi pilihan dominasi penggunaan
bahasa komunitas Bali di Medan dan sekitarnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua saluran atau
bentuk pembicaraan seperti dharma wacana, dharma gita, dan rapat sangat didomunasi oleh dominasi
Bahasa Indonesia dengan rata rata mencapai lebih dari (80%). Sedangkan saluran pembicaraan dalam bentuk
arisan walaupun masih didominasi Bahasa Indonesia, namum persentse tidak seintens tiga saluran
sebelumnya.
Dari 15 orang generasi ke dua yang menjadi sampel dalam penelitian ini, secara umum mereka tidak
menguasai Bahasa Bali. Kemampuan dan keterampilan Bahasa Bali mereka secara persentase hampir
semuanya berada Bada level (0 – 29). Hanya (6,66%) yang memiliki kemampuan menguasai Bahasa Bali
dengan persentase sebesar (50-59), dan hampir tidak ada responden yang mampu dan menguasai Bahasa
Bali hingga (50 -59).
Pembahasan
Merujuk hasil penelitian pada bagian sebelumnya, pada umumnya komunitas masyarakat Bali di Medan
tidak menggunakan pilihan bahasa baik Bahasa Bali (BB) maupun Bahasa Indonesia (BI) secara penuh pada
suatu persitiwa komunikasi namun mereka cenderung menggunakan dominasi Bahasa Indonesia (dBI)
daripada dominasi Bahasa Bali (dBB) dalam semua konteks pembicaraan seperti tempat, lawan bicara atau
mitra tutur, isi pembicaraan, situasi pembicaraan, tingkat keseriusan pembicaraan, dan saluran atau bentuk
komunikasi. Padahal, komunitas Bali secara umum biasanya dalam pertemuan tingkat adat, meminang, atau
upacara adat pertemuan warga, dan atau upacara dan upakara agama lainya, mereka harus menggunakan
Bahasa Bali (Dhana 1994; Wiana, 2007).
Kemudian, dalam konteks penguasaan kemampuan dan keterampilan berbahasa Bali, generasi II
komunitas Bali di Medan dan sekitarnya, secara umum tidak menguasai Bahasa Bali. Hanya (6,66%) yang
memiliki kemampuan menguasai Bahasa Bali dengan level sebesar (50-59) sedangkan sisanya dikategorikan
tidak mampu atau tidak menguasai.
Berbicara tentang tingginya dominasi penggunaan Bahasa Indonesia (dBI) dari pada dominasi
Bahasa Bali (dBB) oleh komunitas Bali di Medan sesungguhnya yang terjadi adalah campur kode (code
mixing). Kenapa dominasi Bahasa Indonesia menjadi sangat dominan bagi komunitas Bali di Medan
sesungguhnya tidak terlalu mengagetkan. Dalam masyarakat dwibahasa atau multibahasa hal ini merupakan
sesuatu yang wajar. Mereka cenderung menggunakan bahasa yang dianggap mudah digunakan dalam
berkomunikasi (Rokhman,2003; Garminah. 2005).
Faktor yang mungkin juga berpengaruh adalah tingkat penguasaan Bahasa Bali bagi penuturnya.
Faktor kebahasaan misalnya kurangnya kosa kata dalam bahasa Bali. Jumlah kosa kata dalam bahasa Bali
sangat sedikit. Dengan keterbatasan tersebut, maka dalam memperlancar komunikasi unsur bahasa yang
tidak ada dalam bahasa Bali digunakan dari unsur bahasa lain. Hal yang sama juga dikatakan oleh
(Rusyana, 1989; Buda, 1991) dalam http//:wwwf. woseda.jp/buda/texts/language.htm!/6/20/2009.
Penghindaran penggunaan bahasa Bali secara utuh disebabkan oleh kurangnya penguasaan bahasa tersebut.
Rendahnya dominasi Bahasa Bali (dBB) bagi komunitas Bali di Medan dan sekitarnya juga
mungkin disebakan sikap penutur terhadap bahasanya sendiri. Sikap berujung pada positif dan negatif
penutur terhadap bahasanya. Artinya semakin positif dan militant sikap penutur terhadap bahasanya,
semakin intens mereka menggunakan bahasa tersebut (Malini, 2012). Antara (2016) menambahkan bahwa
ada rasa gengsi jika mereka menggunakan bahasa Bali.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa secara umum
pengunaan pilihan Bahasa Bali (BB) oleh komunitas masyarakat Bali di Medan secara penuh dan utuh
dalam semua konteks komunikasi tidak terjadi baik. Dominasi penggunaan Bahasa Indonesia (dBI) sangat
intens dan meluas dalam segala aspek kehidupan dari pada dominasi Bahasa Bali (dBB). Sedangkan
generasi II tidak menguasai Bahasa Bali. Hal ini menunjukkan bahwa suatu saat ke depan Bahasa Bali akan
mengalami kepunahaan sedikit demi sedikit terutama oleh generasi kedua dan seterusnya bagi komunitas
Bali yang lahir di Medan.
Pemertahanan Bahasa Bali bagi komunitas Bali di Medan masih kurang dan cenderung lemah. Di
masa depan, bila generasi pertama telah tiada, keberadaan dan eksitensi Bahasa Bali bagi komunitas Bali di

435
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Medan diperkirakan akan punah dan mati. Hal ini terjadi karena generasi kedua tidak memiliki kemampuan
dan keterampilan dalam Bahasa Bali. Hal ini berbanding terbalik dengan pemertahanan seni dan budaya
yang masih bisa bertahan dan berkembang di Medan dan sekitarnya.Untuk itu, sangat disarankan kepada
orang tua untuk menggajarkan dan menggunakan Bahasa Bali kepada generasi penerusnya agar
kebertahanan Bahasa Bali bagi komunitas Bali dapat bertahan dan berkembang seperti seni dan budayanya.

DAFTAR PUSTAKA
Dhana I Nyoman. 1994. Pembinaan Budaya Dalam Keluarga Daerah Bali. Jakarta
Dirgeyasa, I Wy. 2010. Potret Penggunaan Bahasa Bali Pada Masyarkat Bali di Daerah Transmigrasi (Studi Kasus
Penggunaan Bahasa Bali Di Kecamatan Seputih Raman Lampung Tengah, Lampung) dalam proceeding
Internasional Seminar on Language, Literature, and Culture in South East Asia, in affiliation with Phuket
Rajabath Univesity Thailand dan Graduate School of Linguistics, State University of North Sumatera.
Fasold, Ralph. 1984. The Sociolinguistics of Society. England: Basil Blackwell
Garminah. Ni Nyoman. 2005. Campur Kode dalam Pemakian Bahasa Bali pada Etnik Jawa di desa Tegallingah
Bulleleng Bali. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Singaraja.no 2 th xxxviii april 2005.p 156.
Fishman, J.A. 1976. The Sociolinguistic of Society. New York : Basil Blackwell.
Kachru, Braj.B. 1978. Toward Structuring Code Mixing. Paris: Mouto.
Malini, Nih Luh Nyoman Seri. 2012. “Kebertahanan Bahasa Bali pada Transmigran Bali di Provinsi Lampung” dalam
Jurnal Linguistik Indonesia, Agustus 2012. Tahun ke-30 Nomor.2, 167—181. Jakarta: Masyarakat Linguistik
Indonesia.
Rokhman, Fathur. (2003). Pemilihan Bahasa pada Masyarakat Dwibahasa: Kajian Sosiolinguistik
Marjohan, Asril. 1992. Aspek Sosiokultural Pilihan Bahasa di desa Pegayaman. Laporan Penelitian. Singaraja: FKIP
UNUD Singaraja.
Buda. J.K. 1991. Language Choice. hhtp//wwwf.waseda.jp/buda/texts/language.html/6/20/2009.
Rusyana.Yus. 1989. Perihal Kedwibahasaan (Bilingualism). Jakarta: Depdikbud.
Sumitra (2013). Bahasa Bali Bukan Bahasa Feodal. http://balinesesudanglepet.blogspot.co.id/2013/08/bab-i-
pendahuluan-1.html
Tim Penyusun, 1990. Kamus Bali-Indonesia. Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
Wiana. 2007. Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu. Surabaya: Paramita

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : I Wayan Dirgeyasa
Institusi : Universitas Negeri Medan
Riwayat Pendidikan : S3 Universitas Negeri Jakarta
S2 Universitas Gadjah Mada
S1 Universitas Lampung
Minat Penelitian : • English for specific Purposes (ESP)
• Pengembangan Bahan Ajar
• Language Teaching
• Linguistik

436
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
SISTEM SAPAAN BAHASA DAYAK KENYAH

Widyatmike Gede Mulawarman


Universitas Mulawarman
widyatmikegedemulawarman@yahoo.co.id

Fokus penelitian ini adalah bentuk kata sapaan dan penggunaannya dalam Bahasa Dayak Kenyah Dialek
Lepo Tau digunakan oleh masyarakat Dayak Kenyah yang berdomisili di Desa Long Nawang Kecamatan
Kayan Hulu Kabupaten Malinau. Penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu penelitian yang mendeskripsikan
bentuk kata sapaan dan penggunaannya. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi,
wawancara dan dokumentasi. Adapun teknik analisis data dengan mencermati tuturan dan konteks tuturan.
Berdasarkan hasil analisis data, ditemukan bahwa bentuk kata sapaan dalam Bahasa Dayak Kenyah Dialek
Lepo Tau ada tiga yaitu, sapaan berupa suku kata, sapaan berupa kata dan sapaan berupa gabungan kata.
Contoh kata sapaan berupa (1) suku kata: fer, mat, bin, dan ta; (2) berupa kata: tuyang, ding, amai, we?,
pui, seken, sadin, cenganak, uyung, ampan, balu, mawak, utan, uyau, dan ilun dan (3) kata sapaan berupa
gabungan kata: amai bid, amai ding, we? ding, pui panye, pui pampang, dan amai gembala. Jenis kata
sapaan dalam Bahasa Dayak Kenyah Dialek Lepo Tau ada dua yakni kata sapaan nama diri dan kata sapaan
menurut kekerabatan. Contoh kata sapaan nama diri: lampang, jalung, bilung, usat, amai apui, sepai, dan
baun. Contoh kata sapaan kekerabatan: amai, we?, seken, sadin, tuyang, cenganak, pui, suh, ampan, balu,
uyung, mpui, buyu?, mawak, utan, uyau, dan ilun. Penggunaan kata sapaan dalam Bahasa Dayak Kenyah
Dialek Lepo Tau, digunakan untuk menyapa dan menegur orang kedua yang diajak bicara, serta
memperhatikan situasi dan kondisinya atau konteks penggunaannya pada saat berkomunikasi secara
langsung. Contoh penggunaan kata sapaan: [tuyang, tai ho? ubak ke ka? mpi ne?] ‘kawan, kamu mau pergi
ke mana?’
Kata kunci: sistem sapaan

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Widyatmike Gede Mulawarman
Institusi : Universitas Mulawarman
Riwayat Pendidikan : S3 Universitas Negeri Jakarta
S2 Universitas Gadjah Mada
S1 Universitas Diponegoro
Minat Penelitian : • Sosiolinguistik
• Sintaksis

437
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
PEMILIHAN BAHASA KANAK-KANAK ORANG ASLI SEMAI

Abd. Hadi Kudin, Karim Harun


Universiti Kebangsaan Malaysia
adilui1974@gmail.com; linguist@ukm.edu.my

ABSTRAK
Dalam masyarakat bilingual atau multilingual seseorang mampu berbicara dua bahasa atau lebih dan harus memilih
yang mana harus digunakan. Ada tiga jenis pilihan yang dapat dilakukan, iaitu alih kode, campur kode, dan memilih
satu variasi yang sama (Chaer &Augustina, 1995). Makalah ini akan membincangkan pemilihan bahasa dalam
kalangan anak-anak orang asli Semai. Orang asli semai adalah salah satu etnis pribumi yang tinggal di
Semenanjung Malaysia, terutama di bahagian Perak. Mereka adalah masyarakat multilingual yang menuturkan lebih
daripada dua bahasa. Mereka menguasai bahasa ibu, iaitu bahasa Semai dan juga bahasa Melayu yang menjadi
bahasa nasional dan bahasa rasmi Malaysia. Anak-anak daripada masyarakat Semai ini mengunakan bahasa Semai
dan bahasa Melayu dalam pertuturan mereka.. Bahasa Semai digunakan dalam lingkungan keluarga, manakala
bahasa Melayu dituturkan sewaktu persekolahan. Penggunaan bahasa Melayu dan bahasa Semai yang bercampur-
campur menghasilkan keputusan yang buruk dalam pelajaran. Justeru makalah ini akan membincangkan pemilihan
bahasa anak-anak orang asli Semai daripada konteks pendidikan. Untuk mendapatkan data, pendekatan Domain
Fishman (1972) akan digunakan, manakala Teori Sosiolinguistik Interaksi Gumperz (1982) pula akan digunakan untuk
menjelaskan alih kode yang berlaku dalam interaksi pelajar di sekolah. Hasil kajian mendapati pelajar orang asli di
sekolah ini memilih bahasa Semai sebagai bahasa pertuturan utama mereka kecuali apabila berada di dalam kelas
atau situasi formal. Dapatan mendapati pemilihan bahasa kanak-kanak orang asli Semai telah mempengaruhi
penguasaan bahasa Melayu seterusnya memberi kesan ke atas pencapaian pendidikan mereka.
Kata kunci: Pemilihan bahasa, bahasa Melayu, bahasa Semai, orang asli, pencapaian pendidikan

PENDAHULUAN
Di negara seperti Malaysia yang mempunyai masyarakat majmuk terdapat fenomena bahasa yang
multilingual. Dalam masyarakat bilingual atau multilingual seseorang itu mampu berbicara menggunakan
dua bahasa atau lebih dan harus memilih bahasa mana yang harus digunakan semasa berinteraksi. Seiring
dengan kebolehan berbahasa ini berlakulah fenomena penukaran kode akibat daripada proses
multilingualisme (Appel. R dan Musyken 1989; Asmah Haji Omar 1982). Menurut (Gumperz 1982)
penukaran kode ditakrif sebagai penyelitan dua sistem atau subsistem kenahuan yang berbeza ke dalam
suatu ujaran yang sama. Ada tiga jenis pilihan yang dapat dilakukan iaitu alih kode, campur kode dan
memilih satu variasi yang sama (Chaer 1995). Situasi multilingual ini juga terjadi dalam kalangan
masyarakat Orang Asli (OA) yang menjadi etnis minoriti di Malaysia.
Umumnya Orang Asli (OA) adalah etnis pribumi yang mempunyai tiga kelompok utama di
Malaysia iaitu Negrito, Senoi dan Melayu-Proto. Golongan minoriti ini mengamalkan cara hidup tradisional
berasaskan pertanian sara diri seperti bercucuk tanam, pertanian bukit, pertanian pindah, dan bertukar hadiah
(Dentan 1979). Mereka mengamalkan cara hidup bermasyarakat, sebahagian besarnya masih tinggal di
kawasan pedalaman. Di dalam sebuah penempatan biasanya terdapat 60 hingga 300 orang penduduk yang
diketuai oleh seorang Penghulu atau “Batin” yang dilantik dari golongan berpengaruh seperti pawang,
bomoh atau ketua adat (Bahagian Perancangan dan Pendidikan Orang Asli 2011).

TINJAUAN PUSTAKA
Kajian yang membincangkan penukaran kode Bahasa Melayu dengan bahasa minoriti tidak banyak
dilakukan (Karim Harun & Maslida Yusof 2015). Orang Asli Semai (OAS) merupakan etnis pribumi yang
tinggal di Semenanjung Malaysia terutama di negeri Perak. OAS adalah masyarakat minoriti di Malaysia
yang menuturkan lebih daripada satu bahasa (multilingual) iaitu bahasa Semai (BS) sebagai bahasa ibu
manakala bahasa Melayu (BM) sebagai bahasa nasional dan bahasa rasmi. Anak-anak daripada OAS
menggunakan BS dan BM dalam pertuturan mereka. Bahasa Semai digunakan dalam lingkungan keluarga
manakala BM digunakan dalam situasi formal seperti di sekolah. Kedudukan BM sebagai bahasa nasional
dan bahasa rasmi negara serta sebagai bahasa merentas kurikulum di sekolah kebangsaan menjadikan BM
sangat penting dikuasai oleh semua murid tidak terkecuali etnis OAS.
Keterampilan berbahasa harus dikuasai agar mampu berkomunikasi dengan baik yakni
mendengarkan atau menyimak kerana bahasa mempunyai fungsi sebagai alat komunikasi manusia baik lisan
mahupun bertulis (Chaer & Augustina 1995). Kegagalan dalam menguasai BM menyebabkan prestasi
pelajaran keseluruhan yang buruk dan memberi impak yang besar ke atas pendidikan OA. Kebanyakan

438
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
anak-anak OA masih tidak menguasai kemahiran 3M dan sukar memahami makna dalam ayat terutamanya
ayat majmuk dalam bahasa Melayu (Abdull Sukor Shaari et al. 2011). Justeru, makalah ini akan
membincangkan pemilihan bahasa anak-anak Orang Asli Semai (OAS) khususnya pada peringkat anak-anak
yang berada di sekolah rendah.

METODOLOGI
Penelitian yang dibuat dalam kajian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan kerangka sosiolinguistik.
Teknik rakaman perbualan dilakukan bagi mendapatkan data di lapangan berdasarkan domain seperti yang
dikemukakan oleh Fishman (1972). Data kemudiannya ditranskripsi dan dianalisis menggunakan Teori
Sosiolinguistik Interaksi Gumperz (1982).

KAWASAN KAJIAN
Kajian dilakukan terhadap anak-anak OAS yang berada di Sekolah Kebangsaan Batu 7, Batang Padang
Tapah, Bahagian Perak, Malaysia. Rakaman perbualan pertuturan anak-anak OAS telah diambil semasa
situasi formal iaitu didalam kelas / belajar dan rakaman yang dibuat pada situasi tidak formal iaitu di luar
kelas / di tepi padang perhimpunan.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Kajian ini dibuat berdasarkan pendekatan Gumperz iaitu membahagikan kode kepada dua jenis iaitu alih
kode situasi dan alih kode metafora. Alih kode situasi disebut juga sebagai diaglosia iaitu terjadi pada
ragam-ragam khusus berdasarkan jenis situasi atau latar tertentu seperti di rumah, di sekolah, atau di tempat
kerja dan jenis aktiviti yang berbeza seperti perundingan formal atau upacara khas. Alih kode metafora pula
adalah ragam yang biasanya digunakan hanya untuk satu jenis situasi dan juga situasi yang berbeza kerana
topiknya adalah yang biasanya timbul pada jenis situasi yang pertama. Pengkaji juga akan melihat kekerapan
penukaran kode yang terjadi dalam ujaran pertuturan anak-anak OAS dari segi jumlah perkataan dan frasa
bagi melihat sama ada BM atau BS yang lebih dominan.
Analisis Perbualan di dalam Kelas / Belajar
Perbualan pertama telah dirakam sewaktu pengajaran subjek matematik. Berdasarkan rakaman tersebut
pengkaji mendapati informan menggunakan BM dan BS silih berganti. Berikut adalah contoh satu segmen
perbualan rakaman pertuturan di dalam kelas semasa anak-anak OAS (Informan) bertanya kepada rakannya
tentang masalah matematik.
Contoh 1.
Informan 1 : /m´rib darab s´milan/
Informan 2 : /kira/ nar gEk dEh/
Informan 1 : /kira/ nar/
Informan 3 : /ooo r´¯ah/
Contoh 1 di atas memperlihatkan berlakunya penukaran kode dalam segmen pertuturan di dalam
kelas / semasa belajar. Dalam ayat tersebut penukaran kode berlaku kepada perkataan sahaja bukan pada
keseluruhan frasa. Penukaran kode silih berganti di antara perkatan BM dan BS menunjukkan berlakunya
penukaran kode jenis situasi iaitu ragam bahasa yang terjadi mengikut latar tertentu seperti di rumah, di
sekolah, atau di tempat kerja seperti yang dinyatakan Gumperz (1972). Ujaran-ujaran yang terkandung
dalam dialog di atas juga menunjukkan bahawa BS digunakan oleh anak-anak OAS dalam situasi formal.
Pertukaran kode antara BM kepada BS terjadi pada peringkat perkataan sahaja. Dalam ujaran Informan1 di
atas iaitu frasa /m´rib darab s´milan/ terdapat perkataan m´rib iaitu perkataan Semai yang bermaksud
‘berapa’ dalam BM.
Analisis dalam ayat di atas juga mendapati terdapat alih kode metafora iaitu pada ayat Informan 3:
/ooo r´¯ah/. Dalam situasi ini Informan 3 telah menggunakan penukaran kode jenis alih kode metafora iaitu
penggunaan ragam bahasa yang berbeza kerana topiknya adalah yang timbul pada jenis situasi yang pertama
iaitu ketika berlaku perbincangan antara informan 1 dan 2. Murid 3 ni merasa terganggu dengan
perbincangan yang dibuat oleh Informan 1 dan 2 sehingga mengatakan /r´¯ah/ iaitu bermaksud ‘bising!’
dalam BM. Sebagai dwilingual penukaran kode begini sering terjadi dalam interaksi anak-anak OAS
walaupun pada situasi formal seperti di dalam kelas. Situasi ini selaras dengan pernyataan Gumperz (1982)

439
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
yang menyatakan alih kode seringkali berlaku dalam satu-satu ayat yang pesertanya adalah dwibahasa atau
multi bahasa.
Pengkaji juga mendapati penggunaan bahasa ibunda juga kerap berlaku dalam proses PDP subjek
BM dan subjek lain. Analisis mendapati anak-anak OAS lebih suka menggunakan bahasa ibu kerana
terdapat hanya beberapa perkataan BM sahaja yang digunakan dalam perbualan mereka. Selanjutnya
pengkaji membahaskan data rakaman perbualan ini diambil pada waktu PDP subjek Bahasa Melayu. Lihat
segmen ayat di bawah.
Contoh 2.
Informan 4 : /mey ¯yu/ buku mazwin jeh/
Informan 5 : /jç/… jç/… jç//
*Informan 6 (Guru) : /Murid-murid cuba kamu s´butkan struktur dalam k´luarga/
Informan 7 : /ayah, pa/ci/, nEnek, atu/, abaN, kaka//
Informan 4 : /hEk ni/ ´mpatkah hEk/
Informan 5 : /eN mçN m´naN eN s´patutnya ´mpat tapi campur l´j ka anu dEh m´naN kral/
Informan 4 : /eN m´rib eN mçN nama nEh abil, a/ai, aril, surya, ajeh tadEh/
Lihat ayat Informan 4: /mey ¯yu/ buku mazwin jeh/ maksud dalam BM – “Hei bukan buku Mazuin
tu!”. Informan 4 telah membuat penukaran kode iaitu alih kode situasi apabila Informan 5 memberikan buku
yang sedang dibaca kepada Informan 7. Perkataan BM hanya digunakan pada ‘buku’ manakala kata
‘Mazuin’ menunjukkan nama orang Melayu. Dalam data perbualan di atas terdapat hanya beberapa patah
perkataan BM sahaja yang digunakan. Contohnya apabila guru yang mengajar bertanya tentang institusi
keluarga, informan terus berinteraksi dengan rakan-rakan dengan melakukan penukaran kode seperti ayat
Informan 5: /eN mçN m´naN eN s´patutnya ´mpat tapi campur l´j ka anu dEh m´naN kral/ maksudnya
ialah “Saya ada adik lagi, empat orang la semuanya, adik saya lelaki”. Informan dilihat membuat penukaran
kode metafora iaitu anak-anak OAS menggunakan BS untuk satu situasi yang berbeza selepas situasi guru
meminta murid menyatakan perkara tentang struktur keluarga, kerana topik perbualan atau perbincangan di
dalam kelas sebelum itu (situasi pertama) ialah tentang struktur keluarga. Data menunjukkan lebih banyak
perkataan BS berbanding BM.
Walaupun BM digunakan sebagai bahasa pengantar dalam kelas formal namun anak-anak OAS
kerap menggunakan BS dalam interaksi sesama mereka di kelas. Namun apabila berinteraksi dengan guru
BM informan akan menukar bahasa kepada BM. Lihat data segmen ayat Informan 7 semasa menjawab
pertanyaan guru BM tentang struktur dalam keluarga. Jawapan Informan 7: /ayah, pa/ci/, nEnek, atu/,
abaN, kaka// semua perkataan ini adalah perkataan kata nama BM. Informan 7 dilihat menggunakan kata
BM pada situasi formal selaras dengan pernyataan Gumperz (1972) tentang kriteria penukaran kode jenis
alih kode situasi. Data di atas menunjukkan anak-anak OAS lebih suka menggunakan bahasa ibu kerana
dalam setiap frasa atau ayat yang diujarkan oleh informan terdapat lebih banyak kata-kata BS berbanding
BM.Untuk mengukuhkan dapatan ini lihat pula perbualan yang berlaku di luar kelas seperti situasi di bawah.
Analisis Perbualan Luar Kelas di Tepi Padang Perhimpunan
Contoh 3.
Informan 8 : /hari nu s´lasa canok jah, melæsia lawan ru arab saudi/
Informan 9 : /s´lasa dEh/
Informan 8 : /yeap!!! s´l´paih adehlah kihinus kipani, put´ri… m´naN melæsia/
Informan 10 : /manch´st´r yunait´d pe/ nae p´rkalahka/, celsi nai kalahka /
Informan 9 : /ma bipe/ bi pakat he//
Informan 10 : /maneh/
Informan 9 : /tahamor madeh ka/
Informan 8 : /walah, inuN satu lagi r´but, eh nyi/nyu/ l´r d´mai/
Penukaran kode BS ke BM dalam interaksi di atas tidak banyak berlaku berbanding seperti di dalam
situasi formal atau dalam kelas dalam segmen ayat contoh 1 dan 2. Hanya terdapat beberapa perkataan
sahaja perkatan BM digunakan dalam perbualan di atas contohnya seperti perkataan hari, s´l´paih, kalah

440
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
dan m´nang. Gejala penukaran kode jenis alih kode metafora terjadi dalam perbualan ketika Informan 10
menukar tajuk perbualan daripada perlawanan Malaysia dengan Arab Saudi kepada perlawanan bola sepak
liga Inggeris iatu: /manch´st´r yunait´d pe/ nae p´rkalahka/, maksudnya “Manchester United tidak dapat
dikalahkan ke? Chelsea pun dikalahkannya”. Situasi yang berubah juga mempengaruhi alih kode iaitu situasi
apabila Informan 9 mengubah topik perbualan /ma bipe? bi pakat he// - kenapa dia orang tak ajak kamu?
Mengikut Teori Sosiolinguistik Gumperz (1982) perubahan kode boleh berlaku apabila berlakunya
perubahan topik.
Dalam transkripsi perbualan di atas terdapat kedua-dua gejala penukaran kode yang dinyatakan
Gumperz (1972) iaitu alih kode situasi dan alih kode metafora. Perbualan informan juga cenderung
menggunakan variasi bahasa yang sama iaitu BS. Keadaan ini dapat menonjolkan status identiti kelompok
mereka (Fishman 1972) sebagai etnik OAS. Interaksi di luar kelas pula dilihat lebih bebas atau santai kerana
tidak terikat dengan keformalitian. Dalam perbualan ini pengekalan variasi BS agak ketara seperti segmen
ayat Informan 9 iaitu /ma bipe/ bi pakat he//- bermaksud “Kenapa mereka tidak ajak kamu sekali?” dan
/tahamor madeh ka/ bermaksud “Entah kenapa, ke sini kah?”. Data tersebut menunjukkan penggunaan
variasi BS terjadi apabila perbualan semakin rancak.
Dalam interaksi ini juga pengkaji mendapati situasi penukaran kode kepada BM yang terjadi dalam
bentuk kata sahaja, hal ini menunjukkan pengaruh BS amat kuat dalam interaksi sosial OAS. Mereka suka
menggunakan BS termasuk dalam situasi formal, contohnya ayat 1 dan 2 tetapi hanya pada peringkat
perkataan sahaja. Dalam situasi tidak formal anak-anak OAS akan menggunakan BS seperti contoh 3. Data
menunjukkan penukaran kode berlaku pada peringkat perkataan dan frasa (kebanyakan ayat atau frasa yang
digunakan ialah dalam BS). Dapatan kajian ini adalah selaras dengan Teori Gumperz (1982) menyatakan
penukaran kode boleh ditakrifkan sebagai perbualan yang saling bertindih kepada seorang yang
bilingual/multilingual. Data juga menunjukkan dalam interaksi tersebut berlaku pertukaran ucapan yang
sama makna dengan petikan ucapan yang dimiliki oleh dua sistem tatabahasa yang berbeza atau sub-sistem
(Variasi). Paling kerap silih situasi ini terjadi kepada bentuk dua ayat yang berikutnya, contohnya apabila
komunikasi (perbualan peserta) yang menggunakan bahasa kedua.
Perbualan atau interaksi anak-anak yang terjadi di kawasan sekolah seperti di padang, di kantin, di
tapak perhimpunan malahan di dalam kelas kerap menggunakan BS. Pengaruh BS amat kuat dan kerap
digunakan ketika situasi formal atau semasa proses Pengajaran dan Pembelajaran (PDP) berlangsung
sehingga memberi kesan buruk kepada penguasaan BM mereka. Perkara ini berbeza dengan tanggapan awal
pengkaji kerana sebagai sebuah sekolah kebangsaan yang menjadikan BM sebagai bahasa pengantar
seharusnya para pelajar mengutamakan penggunaan BM dalam komunikasi (Abd. Hadi bin Kudin 2010).
Situasi penggunaan bahasa ibu ini sama dengan sekolah-sekolah yang bukan sekolah kebangsaan seperti
Sekolah Jenis kebangsaan Tamil (SJKT) atau Sekolah Jenis Kebangsaan Cina (SJKC) yang menggunakan
bahasa ibunda masing-masing sebagai bahasa pengantar (Abd. Hadi bin Kudin 2010).
Penggunaan BS secara meluas oleh anak-anak OAS semasa situasi tidak formal dan situasi formal
telah memberikan kesan yang buruk kepada penguasaan BM mereka. Sistem bahasa yang berbeza antara BS
dengan BM telah mewujudkan banyak kekeliruan dalam mempelajari BM sebagai bahasa kedua.
Penggunaan BS dan BM silih berganti memberi kesan ke atas penguasaan BM dan pendidikan OAS secara
keseluruhannya.

KESIMPULAN
Kajian ini mendapati pemilihan bahasa yang menjadi keutamaan anak-anak OAS ialah bahasa ibunda
mereka. OAS lebih suka menggunakan bahasa ibunda mereka berbanding BM. BM kerap digunakan dalam
situasi formal namun terdapat keadaan wujudnya gejala alih kode dan campur kode. Gejala ini lebih ketara
sekiranya situasi perbualan berlaku dalam suasana tidak formal seperti di padang atau di kantin sekolah.
Situasi campur kode dan alih kode sering terjadi terutama melibatkan pembelajaran yang tidak difahami
mereka apabila mereka berbincang bersama rakan-rakan. Justeru faktor pemilihan bahasa OAS ini telah
mempengaruhi pencapaian dalam pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA
Abd. Hadi bin Kudin. 2010. Analisis Sintaksis Dalam Penulisan Bahasa Melayu: Satu Kajian Perbandingan Antara SK
(Orang Asli), SJKT dan SJKC. Universiti Kebangsaan Malaysia.
Abdull Sukor Shaari. Nuraini Yusoff. Mohd Izam Ghazali dan Mohd Hasani Dali. 2011. Kanak-kanak minoriti orang
asli di malaysia: menggapai literasi bahasa melayu. Jurnal Pendidikan Bahasa Melayu-Malay Language
Journal Education (MyLEJ), 1(2), 59–70. doi:ISSN:2180-4842

441
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Appel. R dan Musyken, P. 1989. Language contact and bilingualism. Lingua, hlm.Vol. 79. London: Edword Arnold.
doi:10.1016/0024-3841(89)90072-7
Asmah Haji Omar. 1982. Language and society in Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Bahagian Perancangan dan Pendidikan Orang Asli. 2011. Pelan Strategik Kemajuan Orang Asli 2011-2015. Kuala
Lumpur: JAKOA.
Bloom, J. . and J. G. 1972. Social Meaning in Linguistic Structure : Code Switching in Norway in Direction in
Sociolinguistics. The Ethnography of Communication. (John Gumperz and Dell Hymes, Ed.).
Chaer, A. & L. A. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Dentan, R. k. 1979. The Semai:A Nonviolent People of Malaya. New York: Holt, RineHart and Winston.
Fishman, J. A. 1972. Language and Nationalism: Two Integrative Essays. Massachusetts: Newbury House.
Gumperz, J. J. 1982. Discourse Strategies. London: Cambridge University Press.
John J.Gumperz. 1982. Introduction:Language and Communication. John Wiley,.
http://www.isites.harvard.edu/fs/docs/icb.topic1270717.files/Gumperz_interviev.pdf
Karim Harun Dan Maslida Yusof. 2015. Komunikasi Bahasa Melayu-Jawa Dalam Media Sosial. Jurnal Komunikasi,
31(2), 617–629.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Abdul Hadi Bin Kudin
Institusi : Universiti Kebangsaan Malaysia
Riwayat Pendidikan : S3 Universiti Kebangsaan Malaysia
Minat Penelitian : • Sosiolinguistik
• Pendidikan

442
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
THE GRAMMATICAL ERRORS IN THE TRANSLATION OF INDONESIAN PASSIVE
CONSTRUCTIONS BY GOOGLE TRANSLATE

Christela Cindy Hilda Novita Suwarni Wijaya Halim


Atma Jaya Catholic University of Indonesia
christela48@gmail.com hildinza@yahoo.com suwarni.halim@gmail.com

ABSTRACT
In this technological era, Machine Translation (MT) has developed rapidly. One of the examples of such MT is Google
Translate (GT), which offers free, easily accessible, and quick translation service for anyone. Moreover, GT boasts
more than 80 language pairs, which in turn increases its popularity among users. However, GT has several limitations
when it is used in translating texts. Bar-Hillel (1953) and Karjo (2015) explained that one of the main problems
occurred when using GT is the rendition of syntactic construction, particularly when dealing with passives. Some
experts claimed that numerous errors can be identified in the result of translation by GT. However, the extent of those
errors remains unknown. The researchers, therefore, are interested in filling the gap by identifying the extent of
grammatical errors in the translation of Indonesian passive construction by GT. The researchers hope that this study
can give benefits to GT, GT users, and translators in general. The research questions that the researchers propose are
as follows: 1) How are Indonesian passive constructions translated by GT? 2) What are the grammatical errors in the
translation of Indonesian passive constructions by Google Translate?. To answer these research questions, the
researchers will employ qualitative approach by observing the translation of Indonesian passive constructions into
English by GT to identify and classify the grammatical errors. The researchers collected the Indonesian passive
constructions from a series of short stories based on the types of Indonesian passive constructions suggested by
McCune (1979), Fang (1996), Alwi, Dardjowidjojo, Lapoliwa, and Moeliono (2000), and Suprato (2013). The initial
findings focusing on the rendition of grammatical forms of Indonesian passive construction show that the percentage
for correct grammatical transfer is much higher than the incorrect transfer, and the most typical grammatical errors
occur because of missing be (e.g. Drupadi dicintai dan dihormati  Draupadi [was] loved and respected) and
incomprehensible translation (e.g. Ibu Riri telentang ditunggui Ayah Riri  Mother father guarded his back Riri Riri).
Keywords: Google Translate, Grammatical Errors, Translation, Passive Constructions

INTRODUCTION
Google Translate (henceforth, GT) translation is often questioned because of its word-to-word translations
and inaccurate rendition of the grammatical construction (Karjo, 2015). Hutchins and Somers (1992) stated
that one of the most common grammatical problems in MT is the translation of passive constructions since
they differ from one language to another. Karjo (2015) investigated the translation of two Indonesian texts
by GT and discovered that the translation had one common error, which is the passive construction.
Nevertheless, no further explanations were given about the errors in the translation of Indonesian passive
constructions into English.
The writers have reviewed some studies related to the translation of passive constructions by GT in
Indonesia. However, to the best of the writers’ knowledge, there has been no study to find out the extent of
the problems in the translation of passive constructions from Indonesian to English. Therefore, this study
attempts to fill the research gap by examining the translation of Indonesian passive constructions into
English by GT (. This study is designed to answer the following research questions: (1) What is the
percentage of erroneous GT translation of the Indonesian passive construction sentences into English? and (2)
What are the types of grammatical errors in the translation of Indonesian passive construction sentences into
English made by GT?

LITERATURE REVIEW
Google Translate (GT)
Hutchins and Somers (1992, p.3) defines Machine Translation (MT) as “the standard name for computerized
systems responsible for the production of translations from one natural language into another, with or
without human assistance.” One example of such technology is Google Translate (GT). GT is a free
multilingual machine translation service provided by Google that can be used to translate texts from
different languages (“Inside Google Translate”, n.d). Some experts (Aiken, Ghosh, Wee and Vanjani, 2009;
Aiken and Balan, 2011) claim that GT exhibits the best performance compared to other online translation
tools. In spite of its popularity and usefulness, it still shows many deficiencies and the results of the GT
translation are still varied. This can be seen from the translations of European language by GT which are

443
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
generally good as opposed to poor translations for Asian languages and Hebrew (Aiken & Balan, 2011;
Balk, Chung, Hadar, Patel, Yu, Trikalinos, & Chang, 2012).
In Indonesian context, there are only a few studies conducted on GT and one of the focuses is on the
evaluation of the grammatical accuracy. Arifatun (2012, p.4) concluded that there were a lot of syntactical
errors in the translation of Indonesian texts to Arabic language by GT. Santoso (n.d) also revealed that the
translation from Indonesian sentences to German by Google Translate resulted in sentences with numerous
errors and syntactical errors were the most severe ones. Rahmawati (2013) and Karjo (2015) also confirmed
this finding in their studies by mentioning that GT translations from Indonesian to English had a lot of
inaccuracies, especially in syntactic construction. One example of the grammatical problems in GT
translation is the passive constructions (Hutchins & Somers, 1992; Karjo, 2015).
Passive Constructions
Before collecting Indonesia passive sentences as the source of data, we collected all classifications of
Indonesian passive constructions proposed different scholars (McCune, 1979; Alwi, Dardjowidjojo,
Lapoliwa, & Moeliono, 2000; Fang, 2001; and Suprato, 2013) to find out different types of Indonesian
passive constructions. We concluded that the types are as follow: (1) Passives with di- + oleh with its
variations (di- + oleh, di- + -i + oleh and di- + -kan + oleh); (2) Passives with di- without oleh with its
variations (di-, di- + -i, di- + -kan, di- + -nya, di- + -i + -nya, and di- + -kan + -nya); (3) Passives with
first/second/third person subject + verb as predicate; (4) Passives with reduced subject pronoun ku-; (5)
Passives with ter-; (6) Passives with ke- and –an; and (7) Passives using kena.
Azar (2002) classified English passive constructions into several types: (1) Passive form with by; (2)
Passive form without by; (3) Passive form with to (when a direct object becomes a subject, to is usually used
in front of the indirect object); (4) Passive form with modal; (5) Stative Passive (to describe an existing
situation or state); and (6) Passive with get (to indicate change).
Types of Grammatical Errors
As the basis of our types of grammatical errors, we chose to use the grammatical error classification
proposed by James (1998). He explains there are five types of grammatical errors: (1) Addition or the
presence of an ‘unwanted’ item in sentences; (2) Omission or the absence of certain item that must appear in
sentences; (3) Misinformation or the use of wrong forms of certain morphemes or structures; (4)
Misordering or the incorrect placement of certain morphemes; (5) Blends or when two or more morphemes
that have the same function appear in a sentence.

METHOD
This research uses as a mixed method approach since it begins with statistically calculating the results of the
translation (quantitative) to find out the percentage of grammatically incorrect and correct translation and
then continues with the observation of the translation to find out the types of errors made. The occurrence of
types of errors is again statistically calculated to see which errors have the highest and lowest frequency.
The sources of data are fictional texts, particularly anthologies and novels. The writers decided to
use fictional texts because the writers expected to find more varieties of grammatically correct Indonesian
passive construction sentences. The titles of the anthologies and novels are Jejak Tanah (JT), Lelaki Kabut
& Boneka (LKB), Senja Singosari (SS), Langit Merah (LM), Kumpulan Cerpen Kompas Online (KCKO),
Kumpulan Solidaritas Suami Hilang (KSSH), Bunga Rampai (BR), and Lupus: Kutukan Bintik Merah
(LKBM).
From these sources, the writers manually identified 10 occurrences for each type passive
construction type based on the classification by McCune (1979), Alwi, Dardjowidjojo, Lapoliwa, and
Moeliono (2000), Fang (2001), and Suprato (2013). The passive constructions were then simplified into their
simplest passive sentences (1 Subject + 1 Predicate) since the writers acknowledged that the longer and the
more complex the inputted sentences, the more inaccurate the translation would be. Then those passives
were put into GT on 1st – 6th March 2016 (GT technology is updated on regular basis. Hence, different
results will be produced when data are inputted on different times), and the translations were noted down
and arranged side-by-side in tables. The GT translations were analyzed to see whether they were
grammatically correct or not and the grammatical errors made are classified into types as proposed by James
(1998). However, the researchers are open to the possibility that the grammatical errors found from the data
might not belong to any of the types proposed by James (1998). Therefore, the writers might add more types
into the classification.

444
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
DATA FINDINGS AND DISCUSSION
The data findings show that out of 140 sentences, 71 sentences (51%) of the GT translation is grammatically
correct and 69 sentences (49%) is grammatically incorrect. The details can be seen in the table and chart
(blue for grammatically correct and red for grammatically incorrect) below.
Table 1. Percentage of grammatically correct and incorrect translation by GT
Chart 1. Detailed calculation of grammatically correct and incorrect translation by GT
Passive Correct Incorrect
Constructions
prefix di- + oleh & 60% 40%
variations
prefix di- without 43% 57%
oleh & variations
first / second / third 40& 60%
person subject
reduced subject 90% 10%
pronoun ku-
prefix ter- 70% 30%
prefix ke- and suffix 40% 60%
–an
kena 30% 70%

As seen in the chart above, the number of grammatically correct and incorrect translation varies. The
writer found 7 correct and 3 incorrect translation in the type of passive using prefix di- + oleh; 5 correct and
5 incorrect for prefix di- + suffix –i + oleh; 6 correct and 4 incorrect for prefix di- + suffix –kan + oleh; 6
correct and 4 incorrect for prefix di- without oleh; 5 correct and 5 incorrect for prefix di- + suffix –i without
oleh; 3 correct and 7 incorrect for prefix di- + suffix –nya without oleh; 2 correct and 8 incorrect for prefix
di- + suffix –i + suffix –nya without oleh; 6 correct and 4 incorrect for prefix di- + suffix –kan without oleh;
4 correct and 6 incorrect for prefix di- + suffix –kan + suffix –nya without oleh; 4 correct and 6 incorrect for
first/second/third person subject; 9 correct and 1 incorrect for reduced subject pronoun ku-; 7 correct and 3
incorrect for prefix ter-; 4 correct and 6 incorrect for prefix ke- and suffix –an; and 3 correct and 7 incorrect
for the usage of kena. In total, slightly more than half of the results (71 sentences) are grammatically correct
and the other half (69 sentences) are grammatically incorrect.
The percentages show that some patterns of Indonesian passive constructions are recognized by GT
as passive constructions and translated as such. Some are recognized by GT but translated into different
constructions. For example, the passive construction disebabkan oleh is translated into is due to (be + a
connective) by GT and dilihatnya is translated into he saw all (active construction). Some passive
constructions are not recognized at all or not translated. For example, the passive construction direguknya is
not translated by GT. Some grammatically incorrect translations even undergo change of agents. For
example, mereka tidak kena musibah is translated by GT into they never hit the disaster instead of they are
never hit by disaster. The results also show that out of the six types of English passive construction, GT only
uses three types which are passive with or without by and passives with modals.
The writers also classify the grammatically incorrect translation based on the types of grammatical
errors proposed by James (1998). The writers, however, decided to add three more types since there are
cases that do not fit into the James’s types. Those additional types are Combination (involves more than one
type of errors), Non-Translation (involves elements that are not translated by GT), and Incomprehensible
Translation (involves results of translation that are incomprehensible or difficult to reconstruct). The result
of the error type analysis can be seen in the chart below.

The chart shows the number and type of


grammatical errors found in the process of data
analysis. As described in Chart 2 below, there are no
instances for Addition, 40 instances for Omission,
17 instances for Misordering, 2 instances for
Misinformation, no instances for Blends, 2 instances
for Combination, 2 instances for Non-translation,
and 4 instances for Incomprehensible.

Chart 2. Number and Types of Grammatical Errors


445
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
The type of grammatical errors that occur most often is Omission, which means that GT often omit
several components which are necessary to construct English passive constructions. The components that are
most commonly omitted are be, by, and the subjects of the sentences. For instance, the sentence hal ini
dilakukan Pak Jassin is translated into this is done Pak Jassin by GT, and this shows that GT omitted the
preposition by (this is done by Pak Jassin). The second most frequent type of errors is Misordering, in which
the components in the sentences are placed incorrectly. For example, the sentence mereka tidak pernah kena
musibah is translated into they never hit the disaster whereas the correct translation is they are never hit by
the disaster. In this case, we can see that the subject and the object are in incorrect position for passive
constructions. The third most common type of errors is Incomprehensible, in which the translation by GT
cannot be understood. For example, ibu Riri telentang ditunggui ayah Riri is translated into mother father
guarded his back Riri.
The other types of errors are Misinformation, Combination, and Non-translation. The example of
Misinformation is the translation of ada yang disembunyikannya into no hiding as opposed to there are
things hidden. The translation has a totally different meaning. The example of Combination is dia pasti akan
kena pecat, which is translated into he must be subject to fire (addition of the word subject to and omission
of the morpheme –ing on the word fire). Lastly, the examples of Non-translation are the words direguknya,
dicintainya, and ditanggapinya, which are left untranslated by GT.
In a nutshell, the result of this research is consistent with the claim by Aiken and Balan (2011) and Balk et
al. (2012) who stated that GT usually produces poorer quality of translation for Asian languages.
Furthermore, the findings also support the result of research conducted by Arifatun (2012), Santoso (n.d),
Rahmawati (2013), and Karjo (2015) which stated that the result of translation by GT contains many
syntactical or grammatical errors.

CONCLUSION AND SUGGESTION


From the results yielded, the writers conclude that GT can actually recognize some Indonesian passive
constructions and translated them as such, but not others. One of the possible reasons is because GT does not
have sufficient input of data on different forms of Indonesian passive constructions. However, it can be seen
that one type of errors, i.e. Omission, is more dominant than the others. Once GT researchers and users are
aware of this type of error, it would be easier for them to identify and correct the errors accordingly.
In addition, the writers would like to give suggestions for future researchers. Since this study only covers the
syntactical aspect, it is suggested that further studies investigate the semantic meaning of Indonesian passive
construction by Google Translate so that the extent of errors can cover a wider scope.

REFERENCES
Aiken, M. & Balan, S. 2011. An analysis of Google Translate accuracy. Translators and Computers, 16(2). Retrieved
from: http://www.bokorlang.com/journal/56google.htm on 21st September 2015.
Aiken, M., Ghosh, K., Wee, J., and Vanjani, M. 2009. An evaluation of the accuracy of online translation systems.
Communications of the IIMA, 9(4), 67-84.
Arifatun, N. 2012. Kesalahan penerjemahan teks bahasa Indonesia ke bahasa Arab melalui Google Translate. Retrieved
from:journal.unnes.ac.id/sju/index.php/1506-2888-1-SM%20(5).pdf on 24th September 2015.
Azar, B.S. 2002. Understanding and using English grammar. White Plains, NY: Pearson Education.
Balk, E. M., Chung, M., Hadar, N., Patel, K., Yu, W. W., Trikalinos, T.A. & Chang, L. K. W. 2012. Accuracy of data
extraction of non-English language trials with Google Translate. Boston, MA: Tufts Evidence-Based Practice
Center.
Bar-Hillel, Y. 1953. Some linguistics problems connected with machine translation. In Philosophy of Science, 20, 217-
225.
Bunga rampai. Retrieved from https://issuu.com/the.indonesian.freedom.writers/docs/rampai_cerpen_minggu
_vii_agustus_2012?e=5476111/2744099 on 20th January 2016.
Fang, L. Y. 2001. Indonesian grammar made easy. Singapore: Times Book International.
Hilman. 2007. Lupus: Kutukan Bintik Merah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Hutchins, W. J. & Somers, H. L. 1992. An introduction to machine translation. London: Academic Press.
“Inside Google Translate,” n.d.
James, C. 1998. Errors in language learning and use: Exploring error analysis. New York: Longman.
Karjo, C. H. 2015. Toward a better use of Google Translate. Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya Ketiga Belas
Tingkat Internasional (pp. 357-360).
Klub solidaritas suami hilang: Cerpen pilihan Kompas 2013. Jakarta: PT. Kompas, Media Nusantara.
Kumpulan cerita Kompas online 2007. Retrieved from http://www.scribd.com/doc/257852951/Kumpulan-Cerpen-
Kompas-2007#scribd on 24th January 2016.

446
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Mardianto, H. & Ratnawati, V. R. (Eds.). 2012. Senja Singosari: Antologi cerpen dan esai Bengkel Bahasa dan Sastra
Indonesia 2012. Yogyakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, Balai Bahasa Yogyakarta.
McCune, K. 1979. Passive function and the Indonesian passive. Oceanic Linguistics, 18(2), 119-169.
Nurhan, K. (Ed.). 2002. Jejak tanah: Cerpen pilihan Kompas 2002. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Rahmawati, S. 2013. Error analysis on Google Translation output in translating narrative text from Indonesian to
English (undergraduate thesis). Universitas Negeri Gorontalo, Gorontalo.
Rosa, H. T. 2002. Lelaki kabut & boneka. Kiaracondong: PT. Syaamil Cipta Media.
Santoso, I. n.d. Analisis kesalahan kebahasaan hasil terjemahan Google Translate teks bahasa Indonesia ke dalam
bahasa Jerman. Retrieved from:
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Drs.%20Iman%20Santoso,%20M.Pd./ANALISIS%20KESA
LAHAN%20KEBAHASAAN%20HASIL%20TERJEMAHAN.pdf on 1st December 2015.
Satiyoko, Y. A. (Ed.). 2011. Langit merah: antologi cerpen dan esai pemenang lomba tahun 2011. Yogyakarta: Balai
Bahasa Yogyakarta.
Suprato, D. 2013. Analisis penerjemahan kalimat pasif bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia pada novel Morning,
Noon and Night karya Sidney Sheldon. Jurnal Lingua Cultura, 7(1), 49-56.

CURRICULUM VITAE
Complete Name : Christela Cindy Hilda Novita Suwarni Wijaya Halim
Institution : Atma Jaya Catholic University of Indonesia Atma Jaya Catholic University of Indonesia Atma Jaya Catholic University of Indonesia
Education : S2 Atma Jaya Catholic University of Indonesia S2 Atma Jaya Catholic University of Indonesia S2 Atma Jaya Catholic University of Indonesia
S1 Atma Jaya Catholic University of Indonesia S1 Intitut Teknologi Sepuluh November S1 Universitas Bunda Mulia
Research Interst : • Sociolinguistics • Translation Translation
• English Teaching • English Teaching
• Translation

447
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
STRATEGIES OF TRANSLATING NOTICES:
TERMINOLOGY TRANSLATION FROM ENGLISH INTO INDONESIAN

Ade Mulyanah
Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat
ad_ariell@yahoo.com

ABSTRACT
This study is aimed at determining the translation strategies used in translating terminologies in notice from English
to Bahasa Indonesian. It is intended to get the accuracy of translation (Newmark, 1988). This study uses a qualitative
approach with descriptive analysis. The source of data were taken from notices in mall, shopping center, and factory
outlet in Bandung. The analysis of data is based on Pedoman Umum Pembentukan Istilah ( Pusat Bahasa, 2007) and
Senarai Bentuk Asing dan Padananannya dalam Bahasa Indonesia (2015). Based on the guidance the analysis is
conducted by applying five strategies used in translating the terms. The analysis is done by seeking the standard
equivalence in Indonesian great dictionary (KBBI) and Indonesian glossary. The result of the research reveals that
(1) direct or literal translation (exit-- keluar), (2) direct translation by maintaining the concept of source language
citiwalk- mal saba/mal pedestrian), (3) absorption translation with adjustments spelling and pronunciation (mall
lobby- lobi mal), (4) Absorption of the term without adjustment spelling and pronunciation (lift-lift, elevator-
elevator), and (5) direct and absorption translation (free wifi- wifi gratis/bebas).
Keywords: Notice, terminology, direct /literal translation, absorption translation, mall

INTRODUCTION
At the recently, many expressions in English have appeared in notices at malls. However, the phrases are
not equipped with Indonesian translation. A widespread use of foreign terms in Indonesia in various
domains shows disorder of language use in public places in Indonesia.
Regarding the fact, Balai Bahasa Jawa Barat conducted observations of language use in public
places in 27 districts in West Java. The results are truly remarkable that the majority of the use of language
in public places uses English without translation into Indonesian.
The facts have made the team of researchers of Balai Bahasa Jawa Barat carry out a research to
translate the terms used in the public places in various domains : business, tourism, industry, health, public
services, and culinary . The result of the study is in form “Senarai Bentuk Asing Padanannya dalam
Bahasa Indonesia: Hasil Pemantauan Bahasa di Ruang Publik”- lists of terminology. The list consists of
English terms translated into Indonesian. The list is intended to give information for those who need them as
source in translating notices. The writer as one of the teams from the translation of foreign terms considers
to describe the process and the strategy in translating them. To specify the scope of writing, in this article
the writer only concerns on language use in malls in Bandung .
Problems of the Research
Based on the above explanation, the problems created as the following:
(1) what is the process of translating notices in malls?
(2) what is the strategy in translating notices in malls?
Objectives of the Research
The objectives of this research are to answer the problems as what have been mentioned in the previous
point.
(1) To describe the process of translating notices in malls.
(2) To describe the strategy in translating notices in malls.

METHODOLOGY
This research applies a qualitative descriptive. There are 50 data taken for this writing. The source taken
from the primary data and Senarai Bentuk Asing dan Padananannya dalam Bahasa Indonesia. The data was
analyzed by performing the translation process and the strategy. There are two parts in this writing: the
process and the strategy. The process of translation is described how to find the equivalence and the search
history of language in translating the data. While the strategy is to group entries into six categories, namely,
(1) direct translation, (2) direct translation by maintaining the concept of source (3) absorption translation
with adjustments spelling and pronunciation (4) absorption translation with adjustments spelling only (5)
absorption of the term without adjustment spelling and pronunciation (6) direct and absorption translation
448
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Theoretical Framework
Translation terminology is not easy to do. It contains sets of message that are given to readers. Therefore, it
needs a good skill of translating them into a proper equivalence. According to the Language Center of
Ministry of Education and Culture (2007) a terminology is a word or phrase used as a name or a symbol
carefully revealing concepts, processes, state, or properties that are typical in the field of science, technology,
and art. The rule of making terminology is principles and provisions laid formation of terms as well as a
collection of terms that are resulted.
The theories support this writing is Principles of translating terminology (Language Center of
Ministry of Education and Culture (2007), Larson (1998:3), Nida and Taber (1982:12), Catford, in Machali
(2000:5), and Newmark (1988)
Here are theories supporting the writing.
Translation Theory
Translation, according to Larson (1998:3), is simply defined as a process to transfer meaning of a source
language (SL) into meaning in a target language (TL). He further describes that translation involves studying
lexicon, grammatical structure, communication situation, and cultural context of a SL text, analyzing the
meaning of those aspects, and then reconstructing the meaning in appropriate form in TL. In a similar sense,
Nida and Taber (1982:12) state another definition of translation. According to the two experts, “Translating
consisting of reproducing in the receptor language the closest natural equivalence of source language
message, first in terms of meaning and secondly in terms of style.”
The definition proposed by Larson has an implication that in translating, translators should bear in
mind that they not only transfer a message but also reconstruct meaning in TL. Meanwhile, the definition
proposed by Nida and Taber contains some elements that should be taken into account by translators in
performing their task namely reproducing the natural message, closest equivalence, meaning priority and
also translation style.
Translation is the replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual
material in another language (TL) (Catford, in Machali 2000:5). It means that the translation is changing of
the text material of the source language (SL) to the target language (TL) which in the target language the
text has the equivalence in the source language. Translation means rendering the meaning of a text into
another language in the way that the author intended the text (Newmark, 1988). It means that the translation
is the work to transfer a text to another language.
Translation involves the rendering of a source language (SL) text into the target language (TL) to
ensure that (1) the surface meaning of the two texts will be approximately similar and (2) the structures of
the SL will be preserved as closely as possible but not so closely that the TL structures will be seriously
distorted (Basnett, 1980 : 2)
Nida and Taber (1982:12) elaborate a rather complete definition of translation. According to the two
experts, translating consists of reproducing in the receptor language the closest natural equivalence of source
language message, first in terms of meaning and secondly in terms of style. The definition given by Nida and
Taber contains some elements that should be taken into account by a translator in performing his/her task:
reproducing the message, equivalence, natural equivalence, closest equivalence, priority on meaning, and
style.
Principles in Translation Terminology
Principles of translating terminology are stated by the Language Center of Ministry of Education and
Culture (2007). According to the book, the strategy can be divided into two parts:
Literal Translation Strategy
Literal translation consists of two types:
(1) direct translation
e.g supermarket -pasar swalayan
merger --gabungan usaha
(2) direct translation by maintaining form and meaning
e.g Bonded zone -kawasan berikat
Skyscraper --pencakar langit
Absorption
Absorption of foreign terms into Indonesian can be done under the conditions as follows:
(1) foreign terms are absorbed to get a proper equivalence Indonesian reciprocal (inter translatability) in
order to be use them in the future

449
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
(2) foreign terms are absorbed to facilitate the understanding of foreign text by
Indonesian readers because they have been known in advance.
(3) foreign terms are absorbed because they are simpler than Indonesian translation
(4) foreign terms are absorbed to facilitate agreement between linguists/experts if
the equivalences have too many synonyms
(5) foreign terms are absorbed because they are considered more appropriate and they do not contain bad
connotation.
The strategy in the process of translation also considers the following rules:
(1) direct or literal translation
(2) direct translation by maintaining the concept of source language
(3) absorption translation with adjustments of spelling and pronunciation
(4) absorption translation with adjustments of spelling
(5) absorption of the term without adjustment of spelling and pronunciation
(6) direct and absorption translation
Translation Strategy and Process
Mona Baker (1992: 26-42) lists eight strategies in translation process, which have been used by professional
translators, to cope with the problematic issues while doing a translation task. Here are the translation
strategy and process cited in Owji (2013):
1. Translation by a more general word
This is one of the most common strategies to deal with many types of nonequivalence. As Baker
believes, it works appropriately in most, if not all, languages, because in the semantic field, meaning is
not language dependent.
2. Translation by a more neutral/ less expressive word
This is another strategy in the semantic field of structure.
3. Translation by cultural substitution
This strategy involves replacing a culture-specific item or expression with a target language item
considering its impact on the target reader. This strategy makes the translated text more natural, more
understandable and more familiar to the target reader. The translator's decision to use this strategy will
depend on: The degree to which the translator is given license by those who commission the translation
and The purpose of the translation
4. Translation using a loan word or loan word plus explanation
This strategy is usually used in dealing with culture-specific items, modern concepts, and buzz words.
Using the loan word with an explanation is very useful when a word is repeated several times in the text.
At the first time the word is mentioned by the explanation and in the next times the word can be used by
its own.
5. Translation by paraphrase using a related word
This strategy is used when the source item in lexicalized in the target language but in a different form,
and when the frequency with which a certain form is used in the source text is obviously higher than it
would be natural in the target language.
6. Translation by paraphrase using unrelated words
The paraphrase strategy can be used when the concept in the source item is not lexicalized in the target
language.
When the meaning of the source item is complex in the target language, the paraphrase strategy may be
used instead of using related words; it may be based on modifying a super-ordinate or simply on making
clear the meaning of the source item.
7. Translation by omission
This may be a drastic kind of strategy, but in fact it may be even useful to omit translating a word or
expression in some contexts. If the meaning conveyed by a particular item or expression is not necessary
to mention in the understanding of the translation, translators use this strategy to avoid lengthy
explanations.
8. Translation by illustration
This strategy can be useful when the target equivalent item does not cover some aspects of the source
item and the equivalent item refers to a physical entity which can be illustrated, particularly in order to
avoid over-explanation and to be concise and to the point.
As it is very clear, each theorist offers his/her own strategies based on his/ her perspective;
nevertheless, Baker’s (1992) taxonomy of translation strategies contains the most applicable set of strategies
since it shows the strategies which are used by professional translators. Therefore, this definition shows the
450
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
applicability of these strategies, i. e. not only is it a set of strategies but it can also be tested by professional
translators to see to what degree they work if at all (Owji, 2013).
Notices
Based on Webster dictionary, notice is information that tells you or warns you about something that is going
to happen; a statement telling someone that an agreement, job, etc., will end soon; attention that people give
to someone or something. (http://www.merriam-webster.com/dictionary). Notice is also defined a legal
concept describing a requirement that a party be aware of legal process affecting their rights, obligations or
duties. There are several types of notice: public notice (or legal notice), actual notice, constructive notice,
and implied notice. )

DISCUSSION AND FINDINGS


Translation Process
Translating terminology found in malls in Bandung reveals new Indonesian terms. The writer as one of team
in translating those terms reviews some of new terminologies done in the research. The translation of the
terminologies by maintaining the concept of source language. They are some new words mostly found in
the data. Here is translation description of some terminologies taken from data. The data is divided into two
parts:
Translation words by maintaining concept
1. Data no 27: food street
The translation of the phrase is taken from the etymology of the phrase food street . Food street is a
street that has been designated for eating out. The words are often found in Pakistan, Turkey, etc. The
terminology emphasizes on the street used for eating. The process of translation tries to find positive
meaning of the word. So the translation of street food is marga boga. Based on The great Indonesian
dictionary (KBBI): marga means jalan,while boga means makanan/santapan/hidangan.
2. Data no 28: street food
Street food is ready-to-eat food or drink sold by a hawker, or vendor, in a street or other public place,
such as at a market or fair. It is often sold from a portable food booth, food cart, or food truck and meant
for immediate consumption. Some street foods are regional, but many have spread beyond their region
of origin. Most street foods are classed as both finger food and fast food, and are cheaper on average
than restaurant meals. The process of translation tries to find positive meaning of the word. So the
translation of street food is makanan kaki lima.
3. Data no 38: citywalk
The word citywalk refers to walking area in malls where people can walk while do shopping in mall
area. Based on the definition of the word, the translation is mal saba/mal pedestrian (maldes). Based on
The Great Indonesian Dictionary (KBBI): mal saba is taken from the word saba which means
bepergian ke luar rumah. Maldes/ mal pedestrian taken from pedestrian which means pejalan kaki.
4. Data no 41: skybridge
The word skybridge is originally taken from the word sky+bridge. The word means bridge like structure
for pedestrians built to link one building with another over a public alley or street. It is also called flying
bridge, walkway. a similar overhead structure built across an atrium space within a building. By
considering the etymology of the word, the translation of the word is mal jembatan saba.
5. Data no 42: skywalk
The word skywalk (also known as a skyway, catwalk, skybridge, or skywalk) is a type of pedway
consisting of an enclosed or covered bridge between two or more buildings. This protects pedestrians
from the weather. These skyways are usually owned by businesses, and are therefore not public spaces
(compare with sidewalk). However, in Asia, such as Bangkok's skywalks, they are built and owned
separately by the city government, connecting between privately run rail stations or other transport with
their own footbridges, and run many kilometers. Skyways usually connect on the first few floors above
the ground-level floor, though they are sometimes much higher, as in Petronas Towers, SWFC, and
Kingdom Centre. A notable exception in North America are the Saint Paul skyways, which are publicly
owned, unlike most skyways in North America. The space in the buildings connected by skyways is
often devoted to retail business, so areas around the skyway may operate as a shopping mall. Non-
commercial areas with closely associated buildings, such as university campuses, can often have
skyways and/or tunnels connecting buildings (https://en.wikipedia.org/wiki/Skyway). The translation of
skywalk is mal langit saba.

451
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Translation words based on the description
1. Data no 22: drive through
A business (such as a bank or restaurant) that is designed so that customers can be served while
remaining in their cars (www.merriam-webster.com/.../drive–through)A drive-through, or drive-thru, is a
type of service provided by a business that allows customers to purchase products without leaving their
cars. The format was pioneered in the United States in the 1930s by Jordan Martin,[1] but has since
spread to other countries. The first recorded use of a bank using a drive-up window teller was the Grand
National Bank of St. Louis, Missouri in 1930. The drive-up teller allowed only deposits at that time
(https://en.wikipedia.org/wiki/Drive-through). From the definition of the phrase drive through means
layanan tanpa turun (dari kendaraan). To form the terminology taken from description can be made
into acronym : lantatur.
2. Data 35: food court
Food court by definition means a large area or room, for example inside a shopping centre. Based on
the concept, food court means pusat jajanan serba ada. To form the terminology taken from description
can be made into acronym : pujasera.
Translation Strategy
The following part is described how the translation strategy is conducted.
(1) Direct /literal translation strategy
The translation can be done based on the suitability of form and meaning
Data English Indonesian
No.17 shop house rumah toko
No 12 factory outlet gerai manufaktur/gerai pabrik
No10 exit/out keluar
No 05 enter/in masuk
No 19 special price harga khusus
No 23 big sale diskon besar
No 04 buy one get one free beli 1 gratis 1
No 07 non smoking area area bebas rokok
No 13 website situs web
No 18 cash back kembalian tunai
(2) Direct translation by maintaining the concept of source language
Indonesian terms can be formed through translation based on the suitability of the meaning but not their
forms. The forms can be translated in the form of creation based on the context of the English language.
Here are examples of words and phrases commonly found in the data
Data English Indonesian
No 39 citiwalk mal saba/mal pedestrian (maldes)
No 01 department store toko serba ada; pasaraya
No 27 food street marga boga
No 28 street food makanan kaki lima
No 42 skywalk mal langit saba
No 41 skybridge mal jembatan saba
No 22 drive thro layanan tanpa turun (lantatur)
No 35 food court pujasera (pusat jajanan serba ada)
No 50 wireless nirkabel
No 44 take away Makanan bungkus
No 47 hot line Layanan salur siaga
No 48 square Anggana/sentra
(3) Absorption translation with adjustments of spelling and pronunciation
Data English Indonesian
No 36 vallet valet
No 34 camera kamera
No 26 cashier kasir
No 30 basement basemen,
No 14 icon ikon
No 11 discount diskon
No 15 mall mal

452
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
(4) Absorption translation with adjustments of spelling
Translation strategy is done with adjustment of spelling, but the pronunciation is based on source
language.
Data English Indonesian
No. 06 design desain
No. 45 villa vila
No. 25 jeans jins
No 03 café kafe
No 20 business bisnis
No. 09 lobby lobi
(5) Direct and absorption translation without adjustments of spelling but the pronunciation is in
Indonesian.
This strategy is done by absorption without adjustment spelling, but with the adjustment of
pronunciation (words taken from the source language but they are pronounced in Indonesian
pronunciation
Data English Indonesian
(with Indonesian pronunciation)
No 46 wifi wifi
No 02 AC AC
No 09 TV, TV
(6) Absorption of the term without adjustment spelling and pronunciation
Data English Indonesian
No 24 elevator elevator
No.08 internet internet
No31 lift lift
No 39 plaza plaza

CONCLUSION
The result of the research indicates that
1) The process of translation reveals that there are types: translation words by maintaining concept and
translation words based on the description.
2) The strategy of translation consists of six findings:
a. direct or literal translation (e.g, exit-- keluar, pulltarik, pushdorong),
b. direct translation by maintaining the concept of source language (e.g, citiwalk- mal saba/mal
pedestrian, wirelessnirkabel, food street-marga boga, sky walkmal langit saba),
c. absorption translation with adjustments spelling and pronunciation (e.g, mallmal,iconikon,
valletvalet),
d. absorption translation with adjustments spelling ( lobbylobi, café kafe, businessbisnis),
e. absorption of the term without adjustment spelling and pronunciation (e.g lift-lift, elevator-
elevator), and
f. (direct and absorption translation (free wifi- wifi, laserlaser, AcAc).

REFERENCE
Barnwell, Katherine G.L. 1984. Introduction to Semantics and Translation. England:Summer Institute of Linguistics
Baker, M.1992. In other words: A course book on translation. London: Routledge.
Bassnett, Susan. 1980. Translation Studies. Revised Edition. London and New York: Routledge
Bell, Roger.T. 1991. Translation and Translating: Theory and Practice. London and New York: Longman.
Catford, J.C. 1965. A Linguistic Theory of Translation. London: Oxford University
Press Loescher, W. 1991. Translation performance, translation process and translation strategies. Tuebingen: Guten
Narr
Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 2008. Edisi luring. Jakarta: Pusat
Bahasa Depdiknas.
Indonesia. Pedoman Umum Pembentukan Istilah. 2007. (Edisi III Cetakan IV). Jakarta:
Pusat Bahasa Depdiknas
Larson, M. L. (1998). Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-Language Equivalence (2nd ed.). UnitedStates:
Oxford University Press, (Chapter 1 and 2).
Munday, J. (2010). Introducing Translation Studies: Theories and Applications (2nd ed.). London & New
York:Magetsari,
Nurhaidi. Istilah Perpustakaan dan Dokumentasi. 1992. Jakarta: Pusat

453
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Machali, Rochayah. 2000. Pedoman Bagi Penerjemah.Jakarta: Grasindo Newmark, P. 1988. A Textbook of Translation.
Hertfordshire: Prentice Hall.
Newmark. 1988. Approaches to Translation. Hertfordshire: Prentice Hall.
Newmark. 1991. About Translation: Multilingual Matters. Clevedon, Philadelphia, Adelaide: Multilingual Matters Ltd.
Nida, E. A.1964. Towards a science of translation, with special reference to principles and procedures involved in
Bible translating. Leiden: Brill. Owji, Zohre. 2013. Translation Strategies: A Review and Comparison of
Theories.Translation Journal. URL http://translationjournal.net/journal/63theory.htm
Last updated on: 05/20/2014 07:40:03
Richards, et al .1985. Longman dictionary of applied linguistics. UK: Longman.
Seguinot, C .1989. The translation process. Toronto: H.G. Publications.
Senarai Bentuk Asing dan Padananannya dalam Bahasa Indonesia. (2015). Tim Sepuluh. Balai
Bahasa Jawa Barat. Venuti, L.1998. Strategies of translation. In M. Baker (Ed.), Encyclopedia of translation studies
(pp. 240-244). London and New York: Routledge.
Zhongying, F. 1994. An applied theory of translation. Beijing: Foreign Languages Teaching &Research Press.

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Ade Mulyanah
Institution : Balai Bahasa Propinsi Jawa Barat
Education : S2 Universitas Padjadjaran
Research Interst : • Applied Linguistics
• Sociolinguistics
• Pragmatics

454
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
REKONSTRUKSI PROSES PENERJEMAHAN DENGAN METODE THINKING-ALOUD
PROTOCOL

Julyan Adhitama Harris Hermansyah Setiajid


Universitas Sanata Dharma
julyanadhitama@yahoo.co.id harris@usd.ac.id

ABSTRAK
Dalam komunikasi bilingual, penerjemah adalah aktor utama yang menjembatani komunikasi tersebut. Kesalahan
menangkap pesan bahasa sumber dan kemudian mengalihkannya menjadi bahasa sasaran akan merusak komunikasi
tersebut. Penerjemah harus memiliki kompetensi yang memadai untuk bisa mengalihkan bahasa sumber ke bahasa
sasaran dengan benar. Penerjemahan secara kasat mata terlihat sebagai aktivitas yang sederhana: mengubah satu
bahasa (bahasa sumber) ke dalam bahasa lain (bahasa sasaran). Namun, yang terjadi sebenarnya adalah sebuah
proses kognisi yang rumit. Dalam sebuah proses penerjemahan, seorang penerjemah mendapati beragam masalah
terkait dengan pencarian makna yang sepadan ke dalam bahasa sasaran. Selain itu, penerjemah juga harus bisa
mengambil keputusan dengan tepat untuk menghindari pendistorsian makna yang terlalu lebar. Begitu pentingnya
peran penerjemah dalam komunikasi bilingual menuntut metode perekonstruksian proses penerjemahan agar bisa
dilakukan rekomendasi pada tahap tertentu yang memerlukan perbaikan. Salah satu metode untuk merekonstruksi
proses penerjemahan adalah thinking-aloud protocol (TAP). TAP adalah metode introspektif yang menuntut subjek
untuk memverbalisasi proses kognisi saat mereka menerjemahkan. Makalah ini berfokus pada pengamatan proses
yang terjadi saat penerjemahan berlangsung. Dua penerjemah diminta menerjemahkan dua jenis teks dan mengatakan
yang ada dalam pikiran mereka saat menerjemahkan. Aktivitas tersebut direkam dengan metode screen recording,
untuk kemudian ditranskripsi dan dianalisis secara mendalam untuk mencari pada tahap mana terjadi diskrepansi
antara bahasa sumber dan bahasa sasaran.
Kata kunci: proses penerjemahan, metode thinking-aloud protocol, metode screen recording

PENDAHULUAN
Sebagai sarana komunikasi, penerjemahan berperan penting dalam mentransfer gagasan manusia. Dari
waktu ke waktu, sering semakin banyaknya diperoleh pengetahuan, penerjemahan secara konsisten
dikembangkan dan dilakukan dalam berbagai hal: dilisankan, dicetak, diterbitkan, diproyeksikan pada layar,
dan lain-lain. Sejalan dengan itu semakin banyak ditemukan berbagai jenis buku, novel, majalah, koran,
artikel, jurnal, dan lain-lain. Alhasil, penerjemahan digunakan secara luas sebagai alat bantu menjembatani
kegiatan komunikasi bahasa-bahasa yang berbeda oleh orang-orang yang berbeda di seluruh dunia dalam era
globalisasi ini.
Newmark mendefinisikan penerjemahan sebagai “a craft consisting in the attempt to replace a
written message and/or statement in one language by the same message and/or statement in another
language” (1981:7). Ini menyiratkan adanya aktor di belakang produk terjemahan (disebut penerjemah),
yang menyampaikan pesan tertulis/lisan yang diucapkan dalam bahasa sumber (BSu) dengan
menyediakannya dalam bentuk bahasa sasaran (BSa). Banyak orang seperti penerjemah ahli, guru
penerjemahan, dosen penerjemahan, mahasiswa penerjemahan, dan lain-lain telah melakukan craft semacam
ini.
Ketika seorang penerjemah mengalihbahasakan suatu teks, mereka menghadapi masalah terjemahan
yang muncul baik di tengah-tengah proses menerjemahkan dan/atau sesudahnya. Masalah yang muncul bisa
terkait dengan perbedaan latar belakang budaya, yang menurut Larson, salah satu masalah paling sulit yang
dihadapi penerjemah karena perbedaan geografi, adat istiadat, kepercayaan, pandangan dunia, dan berbagai
faktor lainnya (1984:163). Oleh karena itu, dalam memecahkan masalah kesulitan memahami pesan dalam
teks sumber, para penerjemah dapat menggunakan beberapa strategi. Dengan latar belakang dan pengalaman
yang berbeda, penerjemah mungkin menerapkan strategi yang berbeda meskipun masalah yang dihadapi
sama. Oleh sebab itu, bagaimana orang yang berbeda dengan latar belakang yang berbeda menerjemahkan
sebuah teks adalah topik yang sangat menarik untuk diteliti.
Dalam upaya mendapatkan terjemahan yang baik, teks BSu harus diterjemahkan ke dalam BSa
dengan menggunakan transfer informasi yang benar dilihat dari pilihan kosa kata, idiom, terminologi, dan
strategi penerjemahan tertentu yang sesuai. Teks terjemahan harus tidak bertentangan dengan budaya BSa
karena setiap masyarakat akan menafsirkan pesan yang dapat dipengaruhi oleh budayanya sendiri. Oleh
karena itu, jika strategi tersebut dilakukan dengan baik, makna ide atau pesan BSu dapat disampaikan ke
BSa dengan baik pula.
Dua subjek penelitian ini adalah mahasiswa semester 7 dari Program Studi Sastra Inggris
Universitas Sanata Dharma dan mahasiswa semester 7 dari Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris
455
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Universitas Negeri Yogyakarta. Masing-masing dari mereka memiliki beberapa pengalaman menerjemahkan
teks-teks sastra. Meskipun demikian, tidak satupun dari mereka memiliki pengalaman menerjemahkan teks-
teks hukum. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba mengeksplorasi perbedaan proses ketika mereka sedang
menerjemahkan teks yang dapat disebabkan oleh perbedaan latar belakang kedua subjek.
Dua objek penelitian ini adalah proses pemecahan masalah oleh dua subjek tersebut dalam
menerjemahkan teks sastra dan teks hukum. Teks sastra dikutip dari sebuah cerita pendek berjudul A Clean,
Well-Lighted Place karya Ernest Hemingway. Sementara itu, teks hukum dikutip dari kelas penerjemahan
hukum oleh Evand Halim, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta.
Penelitian ini mencoba menjelaskan beberapa masalah penerjemahan yang mungkin dialami oleh
penerjemah dalam proses menerjemahkan kedua teks. Penelitian ini bermanfaat untuk dipelajari guna
mempelajari cara pemecahan masalah penerjemahan dan memahami proses mental seseorang saat dia
sedang menerjemahkan teks.

LANDASAN TEORI
Beberapa teori diperlukan dan diterapkan dalam memecahkan masalah penelitian ini. Definisi terjemahan
dan teori proses penerjemahan diperlukan untuk memberikan pemahaman dasar tentang konsep
penerjemahan dan hal-hal yang harus diperiksa dalam penelitian proses penerjemahan. Teori TAP dan
metode screen recording memberikan gambaran tentang cara penerapan metode ini untuk pengumpulan data
sebagai bahan analisis sehingga dapat menjawab rumusan masalah pertama dan kedua. Kemudian, definisi
dan kategorisasi masalah penerjemahan juga diperlukan untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi masalah
penerjemahan yang dialami masing-masing subjek selama percobaan.

TEORI PENERJEMAHAN
Catford menyatakan bahwa penerjemahan adalah “proses mengganti teks dari bahasa sumber ke dalam
bahasa sasaran” (Catford, 1965:20). Artinya, penerjemahan adalah tindakan penggantian yang dilakukan
dalam dua bahasa, bahasa sumber dan bahasa sasaran, dan berfokus pada teks. Oleh karena itu,
penerjemahan bukan hanya proses penggantian satu bahasa tekstual ke dalam bahasa tekstual lain. Ada dua
nama yang berbeda antara bahasa yang diterjemahkan dan bahasa yang menjadi hasil setelah bahasa pertama
diterjemahkan. Yang pertama adalah bahasa sumber dan yang kedua adalah bahasa sasaran.
Kesimpulannya, penerjemahan dapat didefinisikan sebagai proses mentransfer pesan tertulis atau
lisan dari BSu ke BSa oleh penerjemah dengan teks yang diterjemahkan. Hal ini menunjukkan bahwa
penerjemah harus memperhatikan tidak hanya pada BSu tetapi juga pada BSa karena ada perbedaan antara
dua bahasa. Perbedaannya dapat berkaitan dengan budaya atau adat istiadat, atau seperti penjelasan Hatim
dan Munday bahwa penerjemahan adalah tindakan menggantikan bahasa dari teks sumber (TSu) ke dalam
bahasa lain dari teks sasaran (TSa) dalam konteks sosial-budaya tertentu (2004:6).
Teori Proses Penerjemahan
Sesuai yang didefinisikan oleh Hansen, proses penerjemahan adalah segala sesuatu yang terjadi dari saat
penerjemah mulai bekerja pada TSu sampai dia menyelesaikan TSa. Ini mencakup semua, dari setiap
gerakan pensil dan tombol, penggunaan kamus, penggunaan internet dan seluruh proses berpikir yang
terlibat dalam memecahkan suatu masalah atau membuat koreksi, singkatnya segala hal yang penerjemah
harus lakukan untuk mengubah TSu ke TSa (2003:26).
Dengan kata lain, proses penerjemahan adalah proses yang melibatkan semua hal yang terjadi saat
seorang penerjemah sedang melakukan tugas terjemahan, yaitu proses kognitif yang kompleks dan
membutuhkan proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Bahkan, karakteristiknya bervariasi
sesuai dengan jenis terjemahan, yaitu tertulis, lisan, audiovisual, dan lain-lain.
Selain itu, Bell (2001:187) menyebutkan bahwa ada tiga tahap dalam proses penerjemahan, yaitu
“analisis, sintesis dan revisi”. Analisis adalah tahap ketika penerjemah mempersiapkan bahan, yang
melibatkan proses membaca atau mendengarkan Tsu (teks sumber) dan mempelajari konteksnya. Dia
menambahkan bahwa analisis “membutuhkan pengolahan di tingkat sintaksis, semantik dan pragmatik".
Sintesis adalah tahap ketika penerjemah menghasilkan Tsa (teks sasaran), yaitu ditulis, diketik, atau
berbicara, yang didasarkan pada niat penerjemah dan interpretasi teks dan kebutuhan pengguna. Revisi
merupakan tahap akhir dari proses penerjemahan. Hal ini hanya tersedia dalam terjemahan tertulis. Tahap ini
adalah ketika penerjemah melakukan pemeriksaan atau membuat koreksi pada TSa untuk membuat TSa
akhir sepenuhnya diterima oleh pembaca sasaran.

456
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Teori Masalah Penerjemahan
Bell mendefinisikan masalah penerjemahan sebagai hal yang terjadi dalam proses penerjemahan, ketika
penerjemah menganalisa TSu atau menghasilkan TSa, yang membuat pesan dari BSu tidak dapat ditransfer
secara spontan ke BSa (2001:188). Singkatnya, masalah penerjemahan adalah hal yang membuat seorang
penerjemah mengalami kesulitan dalam menerjemahkan teks.
Selama pemecahan masalah terjemahan tertentu, penerjemah mencari cara untuk mencapai tujuan
melalui solusi yang mereka anggap paling memadai. Untuk itu, pemecahan masalah dalam penerjemahan
dapat didefinisikan sebagai unsur utama yang terdiri dari semua prosedur yang digunakan untuk kepentingan
penerjemahan TSu ke TSa.
Grup PACTE (Process in the Acquisition of Translation Competence and Evaluation) (2011: 327)
mengakui lima kategori masalah penerjemahan, yaitu:
a. Masalah Linguistik
Masalah linguistik adalah leksikal (non-khusus) dan masalah morfosintaktis yang dihadapi dalam
melaksanakan tugas terjemahan, yang terjadi karena kesulitan baik pemahaman dan re-ekspresi.
b. Masalah Tekstual
Masalah tekstual adalah masalah penerjemahan yang berkaitan dengan koherensi, kohesi, jenis teks,
genre teks, gaya, intertekstualitas, dan perbedaan cara pada teks yang berfungsi dalam setiap bahasa.
Jenis masalah ini juga dapat terjadi karena kesulitan baik pemahaman dan re-ekspresi.
c. Masalah Ekstralinguistik
Masalah ekstralinguistik adalah masalah penerjemahan yang terjadi karena perbedaan budaya. Masalah
dalam kategori ini juga dapat terjadi ketika penerjemah kekurangan pengetahuan bidang tertentu atau
kekurangan pengetahuan budaya ensiklopedis. Masalah penerjemahan dapat dikategorikan sebagai
masalah ekstralinguistik hanya jika penerjemah memiliki kesulitan memahami istilah di TSu. Jadi, jika
penerjemah hanya memiliki kesulitan dalam menemukan istilah yang tepat untuk TSa, masalah
penerjemahan masih diklasifikasikan sebagai masalah linguistik.
d. Masalah Intensionalitas
Masalah intensionalitas adalah masalah penerjemahan yang terjadi ketika penerjemah memiliki kesulitan
dalam memahami informasi yang terkandung di dalam TSu. Ini mungkin terjadi karena penerjemah
tidak dapat memahami referensi intertekstual, tindak tutur, prasangka, dan implikatur.
e. Masalah yang Berkaitan dengan Terjemahan Singkat dan/atau Pembaca Teks Sasaran
Masalah-masalah ini adalah masalah penerjemahan yang berkaitan dengan fungsi teks terjemahan,
berdasarkan pada terjemahan singkat, dan/atau pembaca sasaran.
Terlepas dari kategorisasi tersebut, Nord, seperti yang dikutip oleh grup PACTE, berpendapat
bahwa tidak semua masalah yang ditemukan penerjemah dalam proses penerjemahan dapat dianggap
sebagai masalah penerjemahan. Beberapa masalah disebut sebagai kesulitan menerjemahkan (2011: 326).
Dia mendefinisikan masalah penerjemahan sebagai “masalah objektif yang harus dipecahkan oleh setiap
penerjemah (terlepas dari tingkatan kompetensinya dan tingkatan kondisi teknis dari karyanya) selama tugas
terjemahan tertentu” (dikutip di PACTE, 2011:326).
Kesulitan dalam penerjemahan adalah “subjektif dan harus dilakukan dengan penerjemah sendiri
dan kondisi kerja yang khusus” (dikutip di PACTE, 2011:326). Jadi, menurut definisi Nord, masalah yang
dihadapi dalam proses penerjemahan disebabkan oleh kesulitan penerjemah dalam pemahaman dan re-
ekspresi, seperti masalah linguistik, masalah tekstual, masalah intensionalitas, dan masalah yang berkaitan
dengan terjemahan singkat dan/atau pembaca TSa, seharusnya tidak dikategorikan sebagai masalah
penerjemahan karena mereka kesulitan dalam menerjemahan. Selain itu, masalah-masalah ekstralinguistik
dapat dianggap sebagai masalah penerjemahan ketika mereka muncul karena perbedaan budaya dan sebagai
kesulitan menerjemahan saat mereka muncul karena kekurangan pada pengetahuan penerjemah dari konsep
khusus dalam bidang tertentu, budaya, dan lain-lain.
Metode Thinking-Aloud Protocol (TAP)
TAP seperti yang didefinisikan oleh Alvstad, Hild, dan Tiselius adalah “metode yang awalnya dipinjam dari
psikologi kognitif (Ericsson dan Simon, 1984). Ini adalah metode introspektif di mana subjek diharapkan
untuk memverbalisasi proses mentalnya saat mereka melakukan tugas” (2011:1). Oleh karena itu, dalam
menerapkan metode ini pada penelitian proses penerjemahan, subjek pada dasarnya diminta untuk
menerjemahkan teks dan mengungkapkan yang dia pikirkan dengan memverbalisasi pikirannya sebanyak
mungkin pada saat yang sama, yang kemudian direkam dan ditranskrip. Transkrip tertulis dari rekaman
kemudian dianalisis untuk memeriksa yang terjadi di pikiran subjek dalam proses penerjemahan.

457
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Metode Screen Recording
Screen recording, sesuai yang dijelaskan oleh Hansen, adalah metode yang menggunakan perangkat lunak
untuk merekam semua perubahan pada layar komputer, yaitu gerakan kursor, klik, koreksi, penggunaan
internet dan alat bantu elektronik seperti kamus, dan bahkan panjang tahapan dan jeda, selama pelajaran
proses penulisan oleh subjek. Setelah proses rekaman, proses penulisan ditampilkan secara dinamis pada
layar dengan ‘fungsi ulangan’. Metode ini memberikan peneliti kesempatan untuk memantau proses
penerjemahan tanpa banyak dampak pada perilaku biasa subjek dalam mengerjakan tugas terjemahan (2013:
91-92).
Dengan menggunakan metode ini, peneliti mampu mengeksplorasi cara kedua subjek memecahkan
masalah yang ditemukan dalam menerjemahkan kedua teks dengan menganalisis segala sesuatu yang terjadi
selama proses penerjemahan, termasuk setiap ketikan pada papan tombol, gerakan kursor, klik, penggunaan
internet, penggunaan kamus elektronik, dan bahkan pikiran mereka melalui TAP.
Metode introspeksi kualitatif sering dikombinasikan dengan screen recording untuk mendapatkan
data kuantitatif tentang proses, karena data yang terdaftar pada log file dapat dihitung dan dievaluasi
(Hansen, 2013: 91).
Hipotesis
Pada bagian ini, peneliti memberikan penjelasan tentatif dari masalah penelitian dan kemungkinan hasil
penelitian atau dugaan cerdas tentang hasil penelitian yang dikemukakan oleh pengetahuan atau pengamatan
yang belum terbukti. Selain itu, hipotesis mencakup prosedur-prosedur sebagai platform untuk mencapai
penelitian ini dengan cara yang sistematis.
Dalam upaya mengumpulkan data untuk menganalisis proses penerjemahan, mahasiswa semester 7
Prodi Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma dan mahasiswa semester 7 Prodi Pendidikan Bahasa Inggris
Universitas Negeri Yogyakarta yang telah mengambil kelas mata kuliah terjemahan dipilih untuk menjadi
subjek penelitian. Penelitian ini menerapkan metode campuran, yakni TAP yang diintegrasikan dengan
screen recording. Dengan demikian, masing-masing subjek diminta untuk menerjemahkan dua teks pada
komputer dan, pada saat yang bersamaan, untuk memverbalisasi apa pun yang ada ke pikiran mereka. Teks
sastra terdiri dari sepuluh nomor dan teks hukum terdiri dari enam nomor. Setiap nomor terdiri dari satu,
dua, atau tiga kalimat. Oleh karena kedua teks tersebut cukup panjang, masing-masing subjek tidak
menerjemahkan semua teks pada hari yang sama. Sebelum subjek mengerjakan tugas terjemahan, peneliti
menjelaskan prosedur eksperimen dan memverifikasi bahwa subjek memahami dengan jelas yang dia
lakukan. Selama percobaan, peneliti duduk jauh dari subjek dengan tenang untuk menghilangkan interaksi
antara subjek dan peneliti sehingga proses penerjemahan oleh subjek tidak terganggu. Namun, untuk
meningkatkan data verbalisasi, peneliti kadang-kadang mengingatkan subjek untuk terus berbicara ketika
subjek berhenti berbicara untuk waktu yang lama.
Peneliti menginstal perangkat lunak bernama Blueberry (BB) Flashback Express Recorder pada
komputer yang digunakan dalam percobaan. Perangkat lunak ini mencatat verbalisasi subjek dengan
perekam suara, aktivitas yang subjek lakukan dengan perekam kamera web, dan semua perubahan pada layar
komputer (yaitu gerakan kursor, klik, koreksi, penggunaan internet dan alat-alat elektronik seperti kamus,
dan bahkan panjang tahapan dan jeda) dengan perekam layar. Oleh karena itu, para subjek hanya
diperbolehkan menggunakan sumber-sumber elektronik atau alat-alat pada komputer sehingga segala
sesuatu yang terjadi dalam proses penerjemahan dapat direkam. Dua kamus elektronik pun juga dipasang di
komputer, yaitu Cambridge Advanced Learner’s Dictionary Third Edition dan Kamus 2.04, yang dapat
digunakan oleh masing-masing subjek. BB Flashback Express Recorder bekerja pada latar belakang
komputer sehingga tidak mengganggu konsentrasi subjek karena mereka tidak melihat ikon perangkat lunak
pada layar.
Untuk mengidentifikasi masalah penerjemahan yang subjek temui dalam menerjemahkan setiap teks
dan untuk mengeksplorasi cara-cara mereka memecahkan masalah, transkrip tertulis dari rekaman dianalisis.
Metode TAP dan screen recording saling melengkapi untuk memberikan laporan rinci tentang proses
penerjemahan. Ketika subjek berhenti berbicara sehingga membuat hal-hal yang mereka pikirkan tidak dapat
diketahui, peneliti dapat menginterpretasi dengan melihat log file dari proses screen recording.
Selain itu, peneliti memberikan ruang yang sangat kondusif dan nyaman, yaitu Laboratorium
Jurnalistik Sastra Inggris Universitas Sanata Dharma, untuk kedua subjek ketika mereka sedang
mengerjakan tugas terjemahan. Hal ini bertujuan untuk menghindari gangguan yang mungkin mereka akan
temui. Mereka tentu saja bekerja pada eksperimen di tempat dan kondisi yang sama, tetapi pada waktu yang
berbeda.

458
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Di bawah ini adalah contoh terjemahan teks sastra dan hukum oleh kedua subjek.
Teks Sumber Teks Sasaran
(Bahasa Inggris) (Bahasa Indonesia)
Teks Sastra (Nomor 2)
In the day time the street was dusty, but at (subjek pertama):
night the dew settled the dust and the old Di siang hari, jalanan berdebu, tetapi di malam hari, embun
man liked to sit late because he was deaf menyapu debu dan si pak tua senang duduk berlama-lama
and now at night it was quiet and he felt the karena dia tuli dan sekarang di kala malam, suasana sepi dan
difference. dia merasakan perbedaannya.
(subjek kedua):
Pada siang hari, jalanan itu nampak berdebu, namun pada
malam hari embun membuatnya sirna dan pria tua itu sangat
menyukai duduk termenung di sana hingga larut karena ia
seorang yang lain dari manusia normal lainnya, ya dia tidak
bisa berbicara seperti layaknya orang lain. Malam itu sangat
meneduhkan dan ia merasa malam itu berbeda dari biasanya.
Teks Hukum (Nomor 3)
The Debtor represents that no assignment (subjek pertama):
nor conveyance of the Debtor’s assets has Pengutang menyatakan bahwa tidak ada penugasan atau
been made as of the execution date. sertifikat kepemilikan dari aset pengutang yang sudah dibuat
jatuh tempo.
(subjek kedua):
Debitur merepresentasikan tidak adanya penyerahan hak
milik ataupun surat kepemilikan lahan atau properti dari asset
yang dimiliki debitur, hal ini dilakukan sebagai bentuk
pelaksanaan hukum.
Berikut ini adalah contoh hasil transkrip dari proses rekaman.
Waktu Video Tahap
Audio
(Detik) Layar Komputer Kamera Web (Kode)
Direction: Translate the
following sentences into good
Indonesian. You are
ALLOWED to use any printed
and online sources. However,
you are STRONGLY NOT
ALLOWED to use any kinds of
25 A1/1
machine translation (i.e.
Google Translate, Sederet,
Bing Translator, etc.). During
the process of translating, you
have to talk everything that
comes in your mind clearly.
Time allotment: 60 minutes
4 Masih melihat layar A1/2
It was late and every one had
left the café except an old
13 man who sat in the shadow A1/3
the leaves of the tree made
against the electric light.
5 Tidak melihat layar A1/4
2 Late late late A1/5
2 Weh weh… A1/6
Berpindah ke jendela
1 A1/7
aplikasi Kamus2
4 Well… Memindahkan kursinya A1/8
4 Masih melihat layar A1/9
ITU, HARI SUDAH LARUT Mengetik “Itu”, tetapi
kemudian mengubahnya
9 S1/1
menjadi “Hari sudah
larut”

459
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
di mana,
untuk kolom ‘audio’:
kata-kata bercetak tebal : kata-kata dari TSu dan TSa
KATA-KATA DALAM HURUF KAPITAL : kata-kata dari TSa
kata-kata bergaris bawah : kata-kata dari TSu atau untuk TSa yang salah baca
kata-kata bercetak miring : kata-kata yang dibaca secara tidak jelas
untuk kolom ‘tahap (kode)’:
A1/1 : Data pertama untuk tahap analisis no. 1 oleh subjek
A1/2 : Data kedua untuk tahap analisis no. 1 oleh subjek, dan seterusnya
S1/1 : Data pertama untuk tahap sintesis no. 1 oleh subjek
S1/2 : Data kedua untuk tahap sintesis no. 1 oleh subjek, dan seterusnya
R1/1 : Data pertama untuk tahap revisi no. 1 oleh subjek
R1/2 : Data kedua untuk tahap revisi no. 1 oleh subjek, dan seterusnya
Segala hal yang diverbalisasi oleh subjek dan semua perubahan pada layar komputer ditranskripsi.
Namun, untuk hasil proses rekaman kamera web, hal-hal yang ditranskripsi adalah hal-hal signifikan yang
dilakukan oleh kedua subjek selama proses penerjemahan.
Untuk menilai produk terjemahan, data dari TSu dan TSa dikumpulkan dan dikode sebagai berikut.
Kode Teks Sumber Kode Teks Sasaran
1/ST/L It was late and every one had 1/TT1/ Hari sudah larut dan setiap orang telah meninggalkan kafe,
iT/1 left the café except an old man LiT/1 kecuali si pak tua yang duduk di bawah bayang dedaunan
who sat in the shadow the dari pohon yang berlawanan dengan cahaya lampu.
leaves of the tree made against 1/TT2/ Sudah terlalu larut dan semua orang telah meninggalkan
the electric light. LiT/1 kafe itu kecuali pria tua seorang diri yang terdiam di
antara bayang-bayang daun yang membias lampu.
di mana,
1 : nomor data dari data keseluruhan
ST : Source Text
TT1 : Target Text dari subjek pertama
TT2 : Target Text dari subjek kedua
LiT : Literary Text (dalam kasus lain, LeT: Legal Text)
1 : nomor data dari masing-masing teks
Studi ini mengidentifikasi masalah penerjemahan yang setiap subjek temui dengan menggunakan
indikator masalah yang diajukan oleh Krings. Kemudian, masalah penerjemahan untuk tiap nomor dari
kedua teks diklasifikasikan menurut kategorisasi masalah penerjemahan oleh grup PACTE sebagai berikut.
Permasalahan dalam Menerjemahkan Teks Sastra Nomor 2
PRTB/
LP TP EP PI
TTR
S1 - - - - -
S2
settled (A2/12-A2/14) - - - -

di mana,
S1 : Subjek 1
S2 : Subjek 2
LP : Linguistic Problems
TP : Textual Problems
PI : Problems of Intentionality
PRTB/TTR : Problems Relating to the Translation Brief and/or the TT Reader
Kode-kode dalam kurung untuk setiap masalah adalah kode-kode segmen tertentu dalam transkrip
sebagai sesuatu yang menunjukkan bahwa subjek menghadapi masalah tertentu dalam proses penerjemahan.
Untuk teks sastra, kode S1 mengacu pada transkrip LiTI, sedangkan kode S2 mengacu pada transkrip LiTII.
Sementara itu, untuk teks hukum, kode S1 mengacu pada transkrip LeTI, sedangkan kode S2 mengacu pada
transkrip LeTII.
Setelah mengidentifikasi masalah penerjemahan, penelitian ini mengeksplorasi proses pemecahan
masalah oleh masing-masing subjek dengan memeriksa cara-cara mereka memecahkan setiap masalah
sebagai berikut.
460
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Waktu
Kode Kegiatan
(Detik)
Dia berpikir bahwa “girl” berarti “gadis”. Kemudian, dia mencari arti kata “girl”
di Kamus2.
16 A5/7-A5/10
Dia mendapatkan 5 ekuivalensi (‘anak perempuan’, ‘gadis’, ‘pemudi’, ‘putri’, dan
‘pacar’).

9 A5/11- A5/13 Dia mencoba membandingkan “anak perempuan” dan “gadis” dan memilih “gadis”.

10 S5/5 Dia mengetik “gadis”.

Kode untuk setiap kegiatan adalah kode segmen tertentu dalam transkrip juga.

KESIMPULAN
Studi ini menemukan bahwa para penerjemah yang berasal dari latar belakang budaya, agama, dan akademik
yang berbeda sekaligus mempunyai perbedaan pengalaman menerjemahkan teks baik sastra maupun hukum
memiliki kinerja yang berbeda dalam menerjemahkan teks-teks sastra dan hukum yang sama. Sehubungan
dengan latar belakang yang berbeda, dapat disimpulkan bahwa subjek pertama dapat memecahkan masalah
terjemahan dalam teks sastra lebih baik daripada subjek kedua. Hal ini dibuktikan dengan hasil penilaian
produk terjemahan dalam tabel di atas.
Dalam proses penerjemahan, penerjemah mungkin cenderung menghasilkan solusi sementara untuk
masalah penerjemahan yang dihadapi sebelum mereka sampai pada solusi akhir dikarenakan oleh beberapa
pertimbangan. Selain masalah penerjemahan, tingkat pengalaman juga dapat memengaruhi jenis masalah
penerjemahan yang penerjemah hadapi.

REFERENSI
Alvstad, Cecilia, Adelina Hild, and Elisabet Tiselius. Methods and Strategies of Process Research. Amsterdam: John
Benjamins Publishing Company, 2011.
Bell, Roger T. “Psycholinguistic/Cognitive Approaches” in Routledge Encyclopedia of Translation Studies. ed. Mona
Baker. London: Routledge, 2001.
Catford, J. C. A Linguistic Theory of Translation. Oxford: Oxford University Press, 1965.
Hansen, Gyde. “Controlling the Process: Theoretical and Methodological Reflections on Research into Translation
Processes” dalam Triangulating Translation: Perspectives in Process Oriented Research. ed. Fabio Alves.
Amsterdam: John Benjamins Publishing Company, 2003.
Hansen, Gyde. “The Translation Process as Object of Research” in The Routledge Handbook of Translation Studies.
eds. Carmen Millán and Francesca Bartrina. New York: Routledge, 2013.
Hatim, Basil and Jeremy Munday. Translation: An Advanced Resource Book. New York: Routledge, 2004.
Larson, Mildred L. Meaning-Based Translation: A Guide to Cross-Language Equivalence. Lanham: University Press
of America, 1984.
Newmark, Peter. Approaches to Translation. Oxford: Pergamon Press, 1981.
PACTE. “Results of the Validation of the PACTE Translation Competence Model: Translation Problems and
Translation Competence” dalam Methods and Strategies of Process Research. eds. Cecilia Alvstad, Adelina
Hild and Elisabet Tiselius. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company, 2011: pp. 326-327.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Julyan Adhitama Harris Hermansyah Setiajid
Institusi : Universitas Sanata Dharma Universitas Sanata Dharma
Riwayat Pendidikan : S1 Universitas Sanata Dharma S2 Universitas Sebelas Maret
S1 Universitas Gadjah Mada
Minat Penelitian : • Translation Studies • Translation Studies
• Linguistics • Discourse Analysis
• Systemic Functional
• Linguistics

461
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
BENTUK POTENSIAL DALAM MORFOLOGI BAHASA INDONESIA

Furi Rachmah Nifira, Nissa Kustianita, Eka Rahmawati


Universitas Pendidikan Indonesia
nifira.furi@gmail.com; nissakustianita@student.upi.edu

ABSTRAK
Dalam teori morfologi generatif, inovasi adalah sifat dari sebuah bahasa untuk menghasilkan kemajemukan kosakata.
Bentuk potensial adalah salah satu contoh dari inovasi bahasa yang dimaksud. Hal ini timbul karena bentuk potensial
menghasilkan berbagai bentukan kata baru dalam bahasa termasuk bahasa Indonesia. Secara deskriptif keberadaan
bentuk potensial ini tentunya dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia terutama dalam ranah morfologi. Akan
tetapi, pada realitasnya, keberadaan bentuk potensial seringkali diabaikan, bahkan diasumsikan sebagai kejanggalan
bahasa. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkapkan dua hal berikut: 1) analisis pembentukan kata yang meliputi
empat komponen, yaitu daftar morfem, kaidah pembentukan kata (KPK), saringan, dan kamus (Hale, 1973); 2)
penggunaan bentuk potensial dalam komunikasi lisan dan tulisan baik melalui media massa maupun media elektronik.
Pengkajian masalah ini dilakukan melalui metode kualitatif dengan model analisis deskriptif. Secara metodologis,
pendekatan ini dipusatkan pada kajian literatur yang membahas teori morfologi generatif, morfologi dalam bahasa
Indonesia, dan bentuk potensial. Melalui kajian literatur, bentuk potensial dalam bahasa Indonesia tersebut dianalisis
merujuk pada teori Katamba (2006). Dari hasil kajian tersebut, penulis melakukan observasi melalui bantuan mesin
pencari google untuk mengumpulkan korpus-korpus kosakata sebagai pembuktian ada tidaknya bentuk potensial yang
digunakan dalam komunikasi lisan maupun tulisan. Berdasarkan hasil penelitian, penulis menemukan beberapa hal
yang disajikan secara ringkas sebagai berikut. Pertama, melalui analisis pembentukan kata, bentuk potensial dapat
diketahui pada tahap saringan yang menandakan kata tersebut berterima atau tidak sehingga menentukan proses input
pada kamus. Kedua, bentuk potensial dalam komunikasi baik lisan maupun tulisan dapat ditemukan melalui mesin
pencari google hanya pada frekuensi yang terbatas. Meskipun secara morfologis bentuk potensial memenuhi
persyaratan, penggunaan bentuk potensial dalam konteks komunikasi tampaknya masih dianggap tidak lazim. Padahal,
ketidaklaziman tersebut dapat menghambat perkembangan bahasa, dalam hal ini bahasa Indonesia. Oleh karena itu,
kajian mengenai bentuk potensial ini diharapkan tidak hanya menambah wawasan linguistik, tetapi juga dapat
menjawab berbagai pertanyaan dari pengguna bahasa yang sering kali merasa janggal ketika muncul bentukan kata
baru dalam komunikasi baik lisan maupun tulisan.
Kata kunci: bentuk potensial, morfologi bahasa Indonesia, morfologi generative

PENDAHULUAN
Bahasa Indonesia memiliki berbagai macam problematik. Bentuk potensial adalah salah satunya. Bentuk
potensial ini ialah bentuk-bentuk atau kata yang memiliki potensi untuk digunakan atau dituturkan; bentuk-
bentuk seperti ini merupakan bentuk satuan lingual yang belum ada di dalam realitas, tetapi berpotensi ada
karena sebenarnya bentuk-bentuk ini memenuhi persyaratan Kaidah Pembentukan Kata (KPK) dalam
morfologi. Jadi, bentuk potensial adalah bentuk-bentuk yang memenuhi persayaratan KPK, tetapi dalam
fenomena kebahasaan bentuk tersebut belum digunakan oleh penutur bahasa.
Untuk alasan itulah, penelitian ini berfokus pada problematik bahasa Indonesia khususnya bentuk
potensial yang dikaji dengan teori morfologi generatif. Artinya, bentuk potensial akan dieksplorasi dengan
sudut pandang KPK. KPK ini memiliki empat komponen, yaitu 1) daftar morfem (DM), 2) kaidah
pembentukan kata, 3) saringan (filter), dan 4) kamus. Bentuk potensial ini akan dianalisis melalui empat
komponen tersebut. Di tengah perkembangan bahasa, penelitian ini berupaya memperkenalkan kepada
penutur bahasa yang cenderung merasa janggal dengan kata-kata baru yang dianggap tidak lazim digunakan
dalam komunikasi. Padahal, kata-kata tidak lazim itu berpotensi digunakan karena memenuhi persyaratan
dalam KPK sehingga dapat memperkaya khazanah kosakata dalam bahasa Indonesia sebagai kreasi inovatif
manusia dalam berbahasa. Oleh karena itu, penelitian ini dianggap penting sebab pengkajian bentuk
potensial dalam bahasa Indonesia hanya dilakukan oleh sebagian orang sehingga bentuk potensial kurang
mendapatkan tempat dalam penggunaan bahasa. Hal ini membuat perkembangan bahasa menjadi terhambat.

METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dalam proses pengumpulan dan penganalisisan data.
Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari media cetak dan media elektronik.

462
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
PEMBAHASAN
Bentuk potensial memiliki kaidah pembentukan kata secara struktural. Hanya saja bentuk potensial tidak
lazim digunakan, bahkan hanya menjadi kata aktual. Hal ini serupa dengan apa yang dikatakan Katamba dan
Stonham (2006: 67), until recently, word-formation rules have tended to be seen as being largely passive in
the sense that they are basically used to analyse existing words rather than to create new ones. Dari
penjelasan tersebut, pemahaman mengenai kaidah pembentukan kata secara tujuan sebagian besar memiliki
arti bahwa pada dasarnya kaidah ini digunakan untuk menganalisis kata-kata yang telah ada daripada
membuat kata-kata yang baru dan hal itu masih berlaku hingga sekarang.
Sehubungan dengan pernyataan Katamba di atas, Chomsky pun menaruh perhatian yang sama pada
bentuk potensial dalam teori morfologi generatifnya. Teori morfologi generatif memiliki perangkat kaidah
untuk membentuk kata-kata baru atau kalimat-kalimat baru dengan kaidah transformasi. Jadi, morfologi
generatif memiliki predictive power, yaitu dapat membentuk kata potensial yang belum digunakan oleh
penuturnya. Pemilihan pada teori morfologi generatif dilakukan mengingat teori yang ada sebelumnya, yaitu
teori struktural, dianggap tidak mampu lagi mengakomodasi fenomena kebahasaan bagi pembentukan kata
bahasa Indonesia yang ada pada saat ini. Menurut morfologi generatif, pembentukan kata terdiri atas empat
komponen, yaitu (1) daftar morfem (2) kaidah pembentukan kata, (3) saringan (filter), dan (4) kamus
(Zainuddin, tanpa tahun).
Permasalahan utamanya adalah penutur cenderung lebih jauh merasa segan atau malas menerima
kata-kata baru karena mereka (penutur) jarang sekali menemukan kata-kata baru tersebut dalam kehidupan
sehari-hari. Kata-kata seperti berkantor, berbus, dan bercoba dipandang sebagai kata-kata bahasa Indonesia
yang dimungkinkan berterima walaupun tidak seorang pun akan menggunakannya dalam contoh kalimat
seperti ini:
(1) Ayah saya pergi berkantor.
(2) Kami berbus mengelilingi Kota Jakarta.
(3) Adik saya bercoba membuat pisang goreng.
Kata-kata yang bercetak miring di atas jarang sekali ditemukan pada percakapan sehari-hari, padahal
kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang memenuhi kaidah pembentukan kata. Bila dipadankan dengan
bentukan lainnya, kata *berbus sama halnya dengan kata bersepeda, kata *berkantor sama halnya dengan
kata bertani, kata *bercoba sama halnya dengan kata bermain. Selanjutnya, bila dianalisis berdasarkan
empat komponen kaidah pembentukan kata, hasilnya akan tampak seperti pada tabel di bawah ini.
Komponen Korpus
Pembentukan Kata berkantor berbus bercoba
DM kantor (n) bus (n) coba (v)
ber- (pref) ber- (pref) ber- (pref)
*terdiri atas 2 morfem *terdiri atas 2 morfem *terdiri atas 2 morfem
KPK [#[ber-] pref+[kantor] n#] [#[ber-] pref+[bus] n#] [#[ber-] pref+[coba] v#]
*berterima karena *berterima karena *berterima karena
memenuhi persyaratan memenuhi persyaratan memenuhi persyaratan
KPK, namun belum ada KPK, namun belum ada KPK, namun belum ada
dalam realitas dalam realitas dalam realitas
Saringan Idiosinkresi leksikal, Idiosinkresi leksikal, Idiosinkresi leksikal,
karena tidak pernah karena tidak pernah karena tidak pernah
muncul pada struktur muncul pada struktur muncul pada struktur
lahir. lahir. lahir.
Kamus Tidak terdapat dalam Tidak terdapat dalam Tidak terdapat dalam
kamus kamus kamus
Bentuk-bentuk di atas adalah proses pembentukan bentuk potensial. Terlihat bahwa bentuk potensial
tersebut tertahan pada komponen filter sehingga hanya menjadi idiosinkresi leksikal, yaitu kata bentukan
yang telah melalui KPK, tetapi dalam kenyataan tidak ada, hanya secara potensial ada.
Untuk alasan inilah, kebanyakan ahli morfologi tertarik dalam kata-kata aktual dan sebagian orang
mempelajari pembentukan kata baru yang diperhatikan di dalam bahasa kontemporer. Sebagaimana tujuan
morfologi yang diungkapkan Katamba dan Stonham (2006:67), one of the goals of morphological theorising
is to account for the ways in which speakers both understand and form, not only “real” words that occur in
their language, but also potential words that are not instantiated in use in utterances. Berdasarkan kutipan
tersebut, dapat diketahui bahwa tujuan morfologi adalah menilai bagaimana cara penutur memahami dan
membentuk kata tidak hanya dalam bahasa mereka, tetapi membentuk kata potensial yang tidak serta-merta

463
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
digunakan dalam ujaran. Yang menjadi catatan penting di sini, kata-kata aktual adalah kata yang pernah
digunakan paling tidak sekali, tetapi jika kata itu tidak pernah digunakan lagi maka hampir tidak cukup
alasan untuk mengatakan bahwa kata-kata itu telah menjadi bagian dari bahasa.
Berbicara tentang bentuk-bentuk potensial (potencial word) berarti juga berbicara tentang
pembentukan kata-kata baru. Secara tipikal, penutur suatu bahasa tidak semata-mata mengembalikan
(recycle) kalimat-kalimat yang sudah dihafal dari percakapan sebelumnya, tetapi lebih dari itu mereka yakin
untuk membentuk kalimat baru (fresh sentences) dengan maksud mengarahkan tujuan percakapan dan bisa
saja kata-kata tersebut diperoleh dari pengetahuan bahasa asing seperti pada kutipan majalah berikut: ....Oleh
karena itu dalam mabhas majalah dipaparkan sejumlah perbedaan antara asuransi konvensional dan
taawun (Majalah As-Sunnah, Hal.1, Edisi 08/tahun XII/1428 H/2007 M). Kata mabhas dan adalah bentuk-
bentuk potensial dan telah menjadi kata-kata aktual yang terbukti telah digunakan oleh penutur bahasa
Indonesia yang digunakan secara tertulis dalam majalah As-Sunnah. Hal ini membuktikan bahwa apa yang
dikatakan Katamba memang benar bahwa salah satu tujuan teori morfologi adalah tidak hanya memahami
dan membentuk kata yang ada (real) dalam bahasa mereka, tetapi bagaimana juga mereka membentuk kata-
kata potensial yang tidak mereka gunakan pada saat mereka berujar. Ia menambahkan bagaimana pun
penutur suatu bahasa memiliki kemampuan untuk memperluas jumlah stok kata-katanya secara idiomatik
dengan menyusun kata-kata tanpa mengikuti dengan cermat aturan standar pembentukan kata.
Salah satu usaha untuk mengembangkan dan membina bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan
dan bahasa ilmu pengetahuan seiring dengan perkembangan dan kebutuhan pemakaian bahasa diusulkan
bentuk-bentuk potensial bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa asing yang akan diluluskan di saringan
seperti contoh berikut: (1) bertaawun ‘tolong menolong’, dalam kalimat: Kita harus bertaawun untuk
mencapai kesuksesan bersama; (2) bertaawuz ‘minta perlindungan’, dalam kalimat: Mari kita bertaawuz
kepada Allah dari segala macam cobaan; (3) Tausiahan, ‘memberi pesan keagamaan yang disampaikan
oleh seseorang (da‘i), dalam kalimat: Pelaksanaan tausiahan atau memberi pesan keagamaan Zainudin MZ
sedang berlangsung di Majid Raya Medan. Kata bertaawun, bertaawuz, dan tausiahan merupakan bentuk
potensial yang suatu saat akan digunakan oleh penutur bahasa yang disampaikan oleh seseorang pemuka
agama karena berdasarkan pada KPK (Kaidah Pembentukan Kata) kata-kata tersebut memenuhi syarat
kaidah pembentukan. Hanya saja mungkin kata-kata ini belum banyak dipakai di kalangan penutur bahasa
Indonesia. Fakta-fakta kebahasaan di atas ini terlahir secara spontan melalui media bahasa tulis dan lisan dan
sebagian dari kata-kata tersebut kedengarannya lebih santun. Hal ini memang sudah menjadi sifat bahasa
yakni selalu berkembang.
Selain contoh-contoh bentuk potensial yang terdapat di media massa, bentuk-bentuk potensial juga
terdapat dalam akun media sosial yang diunggah oleh penggunanya melalui media elektronik atau seluler
seperti pada kutipan kalimat di bawah ini:
(1) Persedikit makan, karena bisa menurunkan konsentrasi
(2) Tujuan karir adalah mempersedikit orang yang memerintah kita
(3) Bercoba tuk bertahan meski kau menyakitiku
Kata-kata bercetak miring di atas adalah bentuk potensial yang telah terbukti keberadaannya melalui
kiriman beberapa pengguna media sosial. Bentuk-bentuk di atas belum ada dalam komponen kamus, tetapi
secara morfologis memenuhi kaidah pembentukan kata. Keluarnya kata-kata tersebut sebagai suatu
kenyataan bahasa bisa dipengaruhi oleh hal-hal seperti (1) penutur asli mampu menghasilkan dan memahami
kalimat-kalimat baru atau mampu membuat pertimbangan mengenai keberterimaannya; (2) intuisi tentang
bahasanya, utamanya pertimbangannya menyangkut kalimat mana yang gramatikal dan mana yang tidak
gramatikal, serta pertimbangannya tentang keterkaitan kalimat, artinya kalimat mana yang mengandung
makna yang sama. Dapat dikatakan pengguna bahasa menggunakan kata-kata bercetak miring tersebut
karena kecenderungan memadankan dengan kata lainnya yang selaras dengan kata-kata tersebut seperti
perbanyak dan memperbanyak. Oleh karena itu, keluarlah kata persedikit dan memperbanyak. Begitu pula
dengan kata bercoba yang mungkin pengguna bahasa menggunakannya karena adanya bentukan coba,
mencoba, dan percobaan.

SIMPULAN DAN SARAN


Dalam kajian ini terungkap bahwa bentuk potensial adalah bentuk-bentuk yang berpotensi untuk diujarkan
dalam kenyataan berbahasa. Bentuk potensial dieksplorasi melalui sudut pandang kaidah pembentukan kata
yang terdiri atas empat komponen, yaitu (1) daftar morfem; (2) kaidah pembentukan kata; (3) saringan; (4)
kamus. Namun, bentuk potensial ini tertahan di komponen saringan sehingga tidak keluar pada komponen
kamus. Padahal, bentuk potensial ini memenuhi segala kaidah pembentukan kata. Dalam kenyataan
berbahasa, terdapat pula keberadaan bentuk potensial baik melalui media massa maupun media elektronik.

464
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Selain itu, sebagai usaha perkembangan bahasa, bentuk potensial ini juga bisa lahir dari kata serapan bahasa
asing yang kemudian dilekati afiks.
Penutur yang tidak menggunakan bentuk potensial dalam ujarannya dipengaruhi oleh
ketidaklaziman penggunaan atau dengan kata lain akan terdengar aneh ketika diujarkan. Akan tetapi, tidak
dimungkiri ada juga penutur yang menggunakan bentuk potensial. Hal ini dipengaruhi oleh intuisi bahasanya
tentang padanan bentuk potensial yang digunakannya dengan bentuk lainnya yang selaras. Artinya,
pernyataan bahwa penutur mampu menghasilkan dan memahami kalimat-kalimat baru berbanding lurus
dengan pernyataan Katamba bahwa salah satu tujuan teori morfologi adalah tidak hanya memahami dan
membentuk kata yang ada (real) dalam bahasa mereka, tetapi bagaimana juga mereka membentuk kata-kata
potensial yang tidak mereka gunakan pada saat mereka berujar dan penutur suatu bahasa memiliki
kemampuan untuk memperluas jumlah stok kata-katanya secara idiomatik dengan menyusun kata-kata tanpa
mengikuti dengan cermat aturan standar pembentukan kata.

DAFTAR PUSTAKA
Dardjowidjojo, Soenjono. 1988. “Morfologi Generatif : Teori dan Permasalahannya” dalam PELLBA I, Soejono
(Peny.). Jakarta: Lembaga Bahasa Atma Jaya.
Halle, Moris. 1973. “Prolegomena To A Theory of Word-Formation” dalam Linguistic Inquiry, Vol. IV No.1.
Katamba, Francis & John Stonham. 2006. Modern Linguistic: Morphology. New York: Palgrave MacMillan.
Zainuddin. Tanpa Tahun. Morfologi Generatif: Suatu Tinjauan Teoritis. Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri
Medan.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Furi Rachmah Nifira, Nissa Kustianita, Eka Rahmawati
Institusi : Universitas Pendidikan Indonesia
Riwayat Pendidikan : S1 Universitas Pendidikan Indonesia
Minat Penelitian : Morfologi

465
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
MASIH PERLUKAH TES-FORMATIF DALAM PEMBELAJARAN BAHASA ASING?

Endang K. Trijanto
Universitas Negeri Jakarta
endangkt@yahoo.de

ABSTRAK
Bagi pengajar bahasa asing, pertanyaan tersebut di atas mungkin diajukannya, ketika menghadapi pemelajar yang
masih mengalami kesulitan, padahal seharusnya sudah mencapai tingkat kebahasaan asing bukan lagi pemula, yakni
pemelajar telah mencapai tingkat kebahasaan menengah. Penulis ketika menghadapi pemelajar sebagaimana kondisi
tersebut, yaitu masih mengalami kesulitan yang sangat mendasar, namun tidak tahu cara menanggulanginya sendiri;
penulis kemudian berasumsi bahwa pemelajar belum pernah mengalami tes formatif selama belajar bahasa asing ,
yang kemudian ternyata dibenarkan oleh pemelajar. Oleh karena itu peneliti kemudian melakukan penelitian kecil ini
dengan tujuan agar keberhasilan belajar bahasa asing, dalam hal ini belajar bahasa Jerman di kelas, memang dapat
dicapai melalui rajin belajar dan mengulang apa yang masih belum dikuasai pemelajar. Penelitian dilakukan secara
kuantitatif, dengan menerapkan analisis inferensial, dan tes formatif yang dikerjakan sesuai dengan pembelajaran
yang sedang berlangsung (atau sesuai Einheiten yang sedang berlangsung pada buku studio d B1). Menerapkan tes
formatif, memang cukup menguras tenaga dan pikiran pengajar, dan bagi pemelajar adalah rajin belajar, dan segera
memperbaiki kesalahan setelah tes dibagikan dan dibahas. Selain tes formatif, dilakukan juga tes sumatif yaitu Ujian
Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS). Dari hasil penelitian ternyata peningkatan keberhasilan
belajar tercapai secara signifikan, sekalipun ada pemelajar yang tidak dapat mencapai standar kelulusan. Hasil
penelitian menyarankan, bahwa perlu secara rutin namun membina pemelajar melalui tes formatif.
Kata kunci: belajar bahasa asing/Jerman, perlu rutin, tes formatif

PENDAHULUAN
Hari-hari pertama mengajar mata kuliah kebahasaan, perlu pengajar mengenal penguasaan bahasa
asing pemelajar. Namun apabila pemelajar tidak memenuhi kualifikasi tingkat kebahasaan Jerman tertentu,
sekalipun telah mencapai batas nilai untuk lulus ke tigkat kebahasaan di atasnya, perlu hal itu dipertanyakan,
kemudian dicari penyebab masalah, serta dicari cara penanggulangan masalah tersebut.
Hal yang penulis alami adalah, pada suatu semester, penulis mendapat kelas kebahasaan tingkat B1
dan B2 GER / CEFR. Namun pada saat (awal) mengajar ternyata kemampuan pemelajar belum mencapai
tingkatan kebahasaan yang seharusnya pemelajar capai. Untuk memecahkan masalah serta menanggulangi
yang penulis hadapi, awalnya penulis akan melakukan remedial, akan tetapi banyak sekali kendala yang
akan penulis hadapi. Oleh karena itu upaya lain yang akan penulis lakukan adalah menambahkan bentuk
evaluasi yang dapat disisipkan pada pembelajaran, namun tanpa mengubah alur pembelajaran.
Pilihan itu jatuh pada formatif-tes, alasannya adalah: setelah pemelajar penulis beri tes awal, baik lisan
maupun tulisan; ternyata masih banyak sekali kesalahan mendasar setingkat A1 dan A2 yang pemelajar
lakukan, dan pemelajar tidak tahu apa dan bagaimana yang harus dilakukan untuk secara mandiri
memperbaiki kesalahan tersebut. Dengan demikian penulis berasumsi bahwa pada tingkatan kebahasaan
atau pada kelas sebelum penulis mengajar, pemelajar belum pernah mendapat latihan atau formatif-tes.
Berarti latihan dan pengecekan setelah satu pelajaran (Einheit)
selesai, tidak dan belum pernah pemelajar peroleh. Dan hal itu dibenarkan para pemelajar bahwa mereka
memang tidak diperkenalkan pada bentuk latihan formatif-tes.
Dengan demikian masalah pada kegiatan ini adalah : (1) Apakah pemberian formatif-tes dapat
meningkatkan hasil belajar pemelajar? (2) Apakah dengan pemberian formatif-tes pemelajar dapat secara
mandiri memperbaiki kesalahannya?

PEMBAHASAN
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, hal berikut akan dilakukan:
(1) Alasan pemberian formatif-tes. Beberapa akhli telah mengutarakan pernyataan mereka, di antaranya
(Winkel, 1984) menyatakan bahwa: formatif-tes sebaiknya diberikan setelah satu pelajaran berakhir, ...
karena tidak hanya pemelajar melainkan juga pengajar memerlukasn informasi tentang proses pembelajaran,
yaitu feedback tentang kemajuan belajar, terutama hasil belajar. Lebih lanjut Carey & Carey (2001):
formative evaluation is a judgement of the strengths and weakness of instruction in its developing stages, for
purpose of revising the instruction to improve its effectiveness.
Lebih lanjut menurut Carey & Carey , bahwa ada tiga alasan pemberian formatif-tes, yaitu one-to-
one adalah sebagai suatu clinical evaluation, yang artinya adalah untuk mengontrol seberapa dalam dan

466
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
intensif setiap pemelajar menguasai materi yang dibahas. Kedua, apakah keberhasilan belajar pada
kelompok kecil sudah benar- benar terukur. Ketiga, pengukuran ini adalah bagian dari tujuan belajar, yang
ditentukan pada proses pembelajaran . Sesuai dengan teori-teori ini dilakukan lah hal berikut:
Pertama-tama, pembelajaran berlangsung secara normal, artinya pembelajaran pada minggu pertama
sampai dengan minggu ketiga adalah pembelajaran untuk Einheit satu dan dua dengan buku pelajaran
(Lehrbuch) dan buku latihan (Sprachtraining) studio d B1. Pelajaran dan latihan-latihan dikerjakan bersama
di kelas, juga latihan-latihan tertentu dikerjakan oleh pemelajar sebagai pekerjaan rumah. Dan pada minggu
terakhir tersebut ternyata bahwa banyak pemelajar tidak mengalami kemajuan belajar, sehingga pemelajar
diminta untuk selalu mempersiapkan diri, mengulang di rumah, dan mempelajari yang sudah diperoleh di
kelas. Selain itu juga diumumkan bahwa akan ada pemberian tes, setelah satu pelajaran berakhir, untuk
melihat kemajuan belajar pemelajar. Ketika pelajaran dua berakhir, maka diberikanlah tes untuk menguji
kemampuan pemelajar dengan diberikan tes E1+2, ternyata hasil rata-rata kelas adalah 4,7. Setelah hasil tes
dibagikan dan kesalahan-kesalahan dibahas, diterangkan serta upaya perbaikan dikerjakan. Pemelajar
diminta untuk kembali belajar di rumah dan bertanya kepada pengajar, kalau masih belum memahami bahan
pelajaran.
Namun waktu berjalan terus, dan pembelajaran harus tetap berlangsung. Setelah pelajaran ketiga,
diberikanlah tes E-3, dan ternyata hasilnya membaik, hasil rata-rata kelas adalah 8,3, diperkirakan bahwa
pemelajar telah berusaha degan giat belajar di rumah dan mengulang pelajaran. Setelah satu setengah
minggu kemudian, tes E-4 dilaksanakan, namun hasil belajar kembali turun dengan hasil rata-rata kelas
adalah 4,9. Bila hasil belajar dari tiga tes formatif tersebut dicermati (lihat grafik-1 / rerata kelas di bawah
ini) ternyata telah terjadi kenaikan yang cukup signifikan, yaitu dari 4,7 menjadi 5,9.

Keterangan:
1 : rerata hasl tes E-1+2
2 : rerata hasil tes E-3
3: rerata hasil tes E – 4
4 : rerata hasil tes 1,2,3

Grafik – 1
Apabila hasil rata-rata dari masing-masing pemelajar diamati, dapat diperoleh berbagai informasi di
antaranya: apa penyebab perbedaan hasil, dan mengapa tidak semua pemelajar memperoleh hasil yang
rendah, sebagai contoh beberapa sampel selalu memperoleh skor yang tinggi. Apakah karena pemelajar ini
rajin dan dengan secara teratur mengulang dan belajar di rumah. (lihat Grafik-2, pada Sampel 4, 10, 12, 13.
Jadi bagaimana dengan pemelajar yang lain?

Keterangan:
Pertama = E-1+2
Kedua = E - 3
Ketiga = E – 4
Rerata = 1,2,3 dibagi 3

Grafik - 2

467
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Ketiga, apabila sebelum ini yang dibahas adalah jalannya pembelajaran, pem-berian tes, dan hasil
pemelajar; perlu juga sedikit diulas tentang jalannya penelitian kecil ini. Sekalipun penelitian ini adalah
penelitian kecil, namun segala sesuatu telah dipersiapkan secara ilmiah, yaitu validitas dan reliabilitas
instrument telah teruji secara kuantitatif.
Berikut yang dibahas adalah pertanyaan kedua, (2) Apakah dengan pemberian formatif-tes
pemelajar dapat secara mandiri memperbaiki kesalahannya? - Ketika pada awalnya penelitian kecil ini
berhenti pada rerata hasil belajar dari E- 1+2, E-3, dan E-4, hasil yang diperoleh memang ada kemajuan
belajar secara signifikan. Namun kemudian peneliti meneruskan penelitian ini dengan Einheit lanjutan, juga
dengan memberikan tes formatif lanjutan, serta tes sumatif yaitu UTS dan UAS sampai waktu pembelajaran
berakhir, karena semester juga berakhir.
Tambahan data adalah E-5+6 dengan rerata 5,6, E-7+8 dengan rerata 7,01., untuk tambahan dari
dua formatif tes ( E-5+6, dan E-7+8) tersebut reratanya adalah 6,3. Sedangkan tes sumatif dalam bentuk
UTS dengan rerata kelas adalah 6,58 , dan UAS dengan rerata kelas 5,87; maka rerata hasil ujian sumatif
adalah 6,23. Dengan demikian hasil dari pengumpulan skor baik dalam formatif tes dan sumatif tes, telah
dapat menaikkan skor hasil belajar pemelajar sekalipun dengan susah payah hal itu dicapai.

PENUTUP
Pembelajaran bahasa asing membutuhkan keajegan evaluasi, agar keajegan belajar terpenuhi, terutama
membina kemandirian dan kedisiplinan dalam belajar. Diharapkan dengan disiplin belajar, maka pemelajar
akan rajin dan terus menerus belajar untuk menepis kesalahan yang dibuat. Oleh karena itu perlu disiplin
dalam belajar diterapkan, dengan demikian pemelajar dari kenal, terbiasa dan otomatis mandiri dalam
belajar. Hal itu ditunjang oleh pemberian tes, baik yang berbentuk formatif maupun sumatif. Hasil kerja
keras dari pengajar dan pemelajar telah membuktikan teori-teori yang diacu. Jadi formatif-tes masih
diperlukan untuk menunjang keberhasilan belajar. Berarti meningkatkan hasil belajar yang kurang memadai,
memang membutuhkan berbagai upaya baik dari pengajar, terutama dari pembelajar, karena yang akan
memetik hasilnya adalah pemelajar. Kali ini penulis kebagian pekerjaan yang seharusnya sudah menjadi
kebiasaan pemelajar, yaitu belajar apalagi penguasaan kebahasaan asing yang belum pernah diselesaikan
dengan benar. Penulis ikut merasakan pahitnya belajar oleh pemelajar yang telah penulis dorong untuk ikut
ambil bagian dalam kegiatan menaikkan hasil belajar bahasa Jerman mereka. Jadi belajar bahasa asing
memang pemelajar perlu ikut aktif belajar dan bersaing dengan sesama pemelajar. Untuk itu penulis
mengucapkan selamat kepada pemelajar yang telah bersusah payah namun dengan semangat tinggi telah
menyelesaikan pembelajaran pada semester tertentu tersebut. Segala upaya pasti membuahkan hasil, dan
dengan formatif tes - upaya meningkatkan hasil belajar dapat dicapai. Dengan demikian “formatif tes”
memang perlu dintegrasikan dalam pembelajaran bahasa asing.

DAFTAR RUJUKAN
Atwi Suparman. 2004. Desain Instruksional. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
Dick, W., Lou Carey & Carey, James (5.th ED). 2001. The Systematic Desain of Instruction. Longman Publisher.
Stein, Margit. 2009. Allgemeine Pädagogik. München: Ernst Reinhardt Verlag.
Trijanto, Endang K. 2015. Die Leistungsmessung im Fremdsprachennterricht. Makalah disajikan pada Seminar di
Jurusan Bahasa Jerman, tanggal 28 Oktober 2015.
W.S. Winkel S.J. 1984. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta: Pt Gramedia.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Endang K. Trijanto
Institusi : Universitas Negeri Jakarta
Riwayat Pendidikan : S3 Pendidikan
S2 Pendidikan Bahasa
S1 Pendidikan Bahasa Jerman
Minat Penelitian : • Linguistik Terapan
• Metodologi Pengajaran
• Bahasa dan Budaya
• Penelitian dan Pengajaran Bahasa

468
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
EFEKTIVITAS PENERAPAN METODE GUIDED DISCOVERY DALAM PEMBELAJARAN TEKS
CERITA BAGI CALON PENDIDIK

Idhoofiyatul Fatin
Universitas Muhammadiyah Surabaya
idho_sukses@yahoo.co.id

ABSTRAK
Berubahnya kurikulum membawa dampak pada berubahnya muatan pelajaran, khususnya pelajaran Bahasa Indonesia.
Menurut Mahsun (2014:97), muatan pelajaran Bahasa Indonesia, khususnya teks pada Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) berstruktur tunggal, yaitu pembuka, isi, dan penutup. Sebaliknya, teks dalam Kurikulum 2013
berstruktur majemuk sesuai dengan fungsi sosial yang diemban setiap teks. Meskipun memiliki muatan yang berbeda,
kedua kurikulum tersebut digunakan secara bersamaan di Indonesia. Hal tersebut terjadi karena ada sekolah yang
belum siap untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013 sehingga tetap menggunakan KTSP. Dalam menyikapi hal
tersebut, dilakukanlah pembelajaran mengenai muatan dalam kedua kurikulum tersebut bagi calon pendidik, dalam hal
ini mahasiswa semester VI jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Surabaya (PBSI FKIP UMSby). Muatan yang diajarkan difokuskan pada teks dalam
Kurikulum 2013 sebab dianggap baru dan belum pernah dipelajarai calon pendidik sewaktu sekolah. Dalam Kurikulum
2013, terdapat beberapa istilah teks yang tergolong baru dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Istilah tersebut didominasi
pada ragam teks cerita sehingga pada penelitian ini difokuskan pada teks cerita, yaitu cerita ulang, anekdot, eksemplum,
dan narasi. Agar efektif, keempat ragam teks cerita tersebut diajarkan pada calon pendidik dengan menggunakan
metode guided discovery yang dirumuskan Eggen. Eggen (2012:190) merumuskan langkah-langkah metode guided
discovery dalam empat fase, yaitu (1) pendahuluan, (2) penerbukaan, (3) pengonvergenan, dan (4) penutupan dan
penerapan. Berdasarkan hal tersebut di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan efektivitas penerapan
metode guided discovery dalam pembelajaran teks cerita yang ada pada Kurikulum 2013 bagi calon pendidik dalam hal
ini mahasiswa semester VI jurusan PBSI FKIP UMSby. Untuk dapat mengetahui efektivitas metode guided discovery
dalam mempelajarai teks cerita, digunakan metode penelitian pre-eksperimen dengan one-group pretest-posttest design.
Dikatakan pre-eksperimen karena desain ini belum merupakan eksperimen sungguh-sungguh, artinya tidak terdapat
variabel kontrol dan sampel tidak dipilih secara random (Sugiyono, 2015:109). Dikatakan one-group pretest-posttest
design karena terdapat pretest sebelum perlakuan dan posttest setelah perlakukan untuk dapat mengetahui tingkat
keakuratan perlakuan (Sugiyono, 2015:110-111). Berdasarkan hasil analisis data, dapat disimpulkan bahwa metode
guided discovery efektif digunakan dalam mempelajari teks cerita bagi calon pendidik.
Kata kunci: teks cerita, kurikulum 2013, metode guided discovery, calon pendidik

PENDAHULUAN
Perubahan kurikulum di Indonesia bukanlah hal yang baru. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis
dari kebutuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Meski demikian, pengubahan tersebut
tentu disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan pendidikan nasional. Jika dilihat dari sejarah, berdasarkan
pernyataan Haryanto (2010:2) kurikulum di Indonesia mulai lahir pada tahun 1947 yang dikenal dengan
nama Leer Plan. Kurikulum tersebut terus mengalami pengubahan dan penyempurnaan hingga akhirnya
pada perkembangan terakhir, yaitu pada tahun 2013, diberlakukannya Kurikulum 2013. Meski demikian,
Kurikulum 2013 tidak sampai digunakan secara penuh di seluruh sekolah di Indonesia. Saat ini, ada
sebagain sekolah yang menggunaan Kurikulum 2013 dan ada sebagian sekolah yang tetap atau kembali
menggunakan KTSP. Hal tersebut disebabkan oleh ketidaksipan sebagian sekolah dalam mengimplementasi
Kurikulum 2013.
Meskipun diberlakuan secara bersamaan, namun muatan dalam kedua kurikulum tersebut berbeda.
Jika dibandingkan dengan KTSP, terdapat hal yang menonjol pada Kurikulum 2013, yaitu diperkenalkan
dan diberlakukannya pendekatan ilmiah (saintifik) pada semua mata pelajaran. Di samping itu, terdapat
istilah yang mengalami perubahan, yaitu Standar Kompetensi (KD, istilah dalam KTSP) menjadi
Kompetensi Inti (KI). Kompetensi Inti merupakan induk atau payung dari Kompetensi Dasar yang meliputi
aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang harus dipelajari peserta didik. KI tersebut terbagi dalam
empat bagian, yaitu sikap spiritual pada KI-1, sikap sosial pada KI-2, pengetahuan pada KI-3, dan
keterampilan pada KI-4. KI tersebut kemudian dijabarkan lebih rinci pada kompetensi dasar (KD).
Jika dilihat berdasar KI dan KD dalam Kurikulum 2013, dapat diketahui bahwa pelajaran Bahasa
Indonesia ditekankan pada pembelajaran teks. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Mahsun (Sufanti,
2013:39) bahwa semua pelajaran bahasa Indonesia mulai jenjang sekolah dasar (SD) sampai dengan sekolah
menengah atas (SMA) berbasis teks. Dinyatakan pula bahwa terdapat 30 jenis teks pada jenjang SD, 45 jenis
pada jenjang SMP, dan 60 jenis pada jenjang SMA.
Konsep teks dalam Kurikulum 2013 dan KTSP berbeda. Teks yang dimaksud dalam KTSP
merupakan teks tertulis, sedangkan teks dalam Kurikulum 2013 merupakan teks dalam pengertian luas yang
469
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
tidak hanya berbentuk bahasa tulis namun juga lisan, bahkan multimodal seperti gambar. Dilihat dari segi
struktur, Mahsun (2014:97) menyatakan bahwa teks pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
berstruktur tunggal, yaitu pembuka, isi, dan penutup. Sebaliknya, teks dalam Kurikulum 2013 berstruktur
majemuk sesuai dengan fungsi sosial yang diemban setiap teks.
Perbedaan muatan dalam KTSP dan Kurikulum 2013 tersebut disikapi dengan memberikan
pembelajaran mengenai muatan dalam kedua kurikulum tersebut bagi calon pendidik. Calon pendidik yang
dimaksud adalah mahasiswa semester VI jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya (PBSI FKIP UMSby). Perlu diberikannya
pembelajaran mengenai muatan tersebut karena mahasiswa tersebut sedang menempuh mata kuliah
penelitian pengajaran yang terkait erat dengan muatan kurikulum. Di samping itu, mereka akan
melaksanakan program praktik lapangan (PPL) pada semester VII sehingga perlu memperoleh pendalaman
materi mengenai muatan kurikulum. Muatan yang diajarkan difokuskan pada teks dalam Kurikulum 2013
sebab dianggap baru dan belum pernah dipelajarai calon pendidik sewaktu sekolah.
Dalam Kurikulum 2013, terdapat beberapa istilah teks yang tergolong baru dalam pelajaran Bahasa
Indonesia. Istilah tersebut didominasi pada ragam teks cerita. Berdasarkan hal tersebut, agar lebih terarah,
penelitian ini difokuskan pada teks cerita, yaitu cerita ulang, anekdot, eksemplum, dan narasi.
Menurut Macken (1991:13), jenis teks cerita terdiri atas teks narasi, teks berita dramatis, teks
eksemplum, teks anekdot, dan teks cerita ulang. Teks naratif adalah jenis teks cerita yang berfungsi untuk
menghibur. Teks berita dramatis adalah teks cerita dalam surat kabar yang memberitakan secara dramatis
kejadian penting hari itu. Teks eksemplum adalah teks cerita yang berfungsi menyatakan insiden. Teks
anekdot adalah teks cerita tentang sesuatu di luar kebiasaan. Teks cerita ulang adalah teks cerita yang
berfungsi menyatakan kembali kejadian-kejadian yang telah berlalu. Sejalan dengan hal tersebut, Martin
(2008: 47) membagi jenis teks cerita menjadi cerita ulang, anekdot, eksemplum, observasi, dan narasi.
Kelima jenis teks tersebut dibedakan berdasarkan jenis kejadian yang diceritakan dan respon dari
pengalaman tersebut yang memunculkan perbedaan perilaku. Cerita ulang hanya menceritakan rekaman
kejadian. Anekdot menceritakan kejadian diluar kebiasaan yang direspon dengan reaksi dari tokoh. Reaksi
tersebut merupakan emosi yang ingin dibagiakan penulis pada pembaca yang mengundang empati.
Eksemplum menceritakan insiden yang direspon dengan intepretasi atau penilaian. Deskripsi menceritakan
deskripsi kejadian yang direspon dengan komentar. Narasi menceritakan konflik yang direspons dengan
evaluasi atau penyelesaian masalah. Lebih lanjut, Mahsun (2014:23―28) menyatakan bahwa beberapa teks
genre sastra yang termasuk dalam jenis teks tunggal (mikro) adalah cerita ulang, naratif, anekdot, dan
eksemplum. Teks cerita ulang memiliki tujuan sosial menceritakan kembali peristiwa yang perbah dialami,
sehingga struktur teksnya adalah judul^orientasi^rekaman kejadian. Anekdot menampilkan peristiwa yang
membuat partisipan merasa konyol atau jengkel, sehingga struktur teksnya adalah judul^orientasi^krisis^reaksi.
Eksemplum memiliki tujuan sosial menilai perilaku atau karakter dalam cerita, sehingga struktur teksnya
adalah judul^orientasi^insiden^intepretasi. Naratif menceritakan masalah dan pemecahan masalah, sehingga
struktur teksnya adalah judul^orientasi^komplikasi^pemecahan masalah.
Agar efektif, keempat ragam teks cerita tersebut diajarkan pada calon pendidik dengan
menggunakan metode guided discovery yang dirumuskan Eggen. Metode tersebut dipilih sebab dapat
digunakan untuk mempelajari beberapa konsep sekaligus dengan waktu yang relative singkat. Hal tersebut
dapat dilakukan dengan membandingkan beberapa contoh konsep sehingga mahasiswa mampu mempelajari
beberapa konsep yang dicontohkan tersebut. Eggen (2012:190) merumuskan langkah-langkah metode
guided discovery dalam empat fase, yaitu (1) pendahuluan, (2) penerbukaan, (3) pengonvergenan, dan (4)
penutupan dan penerapan. Kegiatan yang dilakukan dalam fase pendahuluan adalah usaha untuk menarik
perhatian mahasiswa dan penetapan fokus pembelajaran. Kegiatan dalam fase penerbukaan adalah
pemberian contoh dan pengintruksian pada mahasiswa untuk mengamati dan membandingkan contoh-
contoh yang diberikan. Kegiatan dalam fase pengonvergenan adalah pemberian pertanyaan-pertanyaan yang
lebih spesifik yang dirancang untuk membimbing siswa mencapai pemahaman tentang konsep. Kegiatan
dalam fase penutup dan penerapan adalah pembimbingan pada mahasiswa dalam memahami konsep secara
utuh dan penerapan pemahaman mahasiswa pada konteks yang baru.
Berdasarkan hal tersebut di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan proses dan
efektivitas penerapan metode guided discovery dalam pembelajaran teks cerita yang ada pada Kurikulum
2013 bagi calon pendidik dalam hal ini mahasiswa semester VI jurusan PBSI FKIP UMSby. Hipotesis yang
diambil adalah penerapan metode guided discovery dalam pembelajaran teks cerita yang ada pada
Kurikulum 2013 bagi calon pendidik efektif digunakan dengan signifikansi 5% atau t0,05.

METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pre-eksperimen dengan one-group pretest-posttest
design. Dikatakan pre-eksperimen karena desain ini belum merupakan eksperimen sungguh-sungguh, artinya
tidak terdapat variabel kontrol dan sampel tidak dipilih secara random (Sugiyono, 2015:109). Dikatakan

470
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
one-group pretest-posttest design karena terdapat pretest sebelum perlakuan dan posttest setelah perlakukan
untuk dapat mengetahui tingkat keakuratan perlakuan (Sugiyono, 2015:110-111). Untuk menghitung
efektifitas metode guided discovery digunakan uji t dengan rumus sebagai berikut.

t=

Keterangan:
Md : mean dari deviasi (d) antara post-test dan pre-test
xd : perbedaan deviasi dengan deviasi
N : banyaknya subyek
df : atau db adalah N-1
(Arikunto, 2010:125)

PEMBAHASAN
Proses Penerapan Metode Guided Discovery dalam Pembelajaran Teks Cerita bagi Calon Pendidik
Pembelajaran teks cerita bagi calon pendidik diterapkan dengan menggunakan metode guided discovery
yang dirumuskan Eggen. Terdapat empat fase, yaitu (1) pendahuluan, (2) penerbukaan, (3) pengonvergenan,
dan (4) penutupan dan penerapan. Kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode guided discovery
dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 2016 pukul 08.00―09.40 WIB. Sebelumnya, pada tanggal 29 Februari
2016 dilaksanakan prettest. Jumlah keseluruhan mahasiswa yang terdaftar adalah 15, namun terdapat 3
mahasiswa yang tidak hadir saat pretest. Berdasarkan hal tersebut, julah mahasiswa yang akan dinilai hasil
belajarnya adalah 12 mahasiswa.
Kegiatan dalam fase pendahuluan diawali dengan doa kemudian pemberian motivasi pada calon
pendidik untuk terus belajar, khususnya muatan dalam kurikulum 2013. Motivasi tersebut dikaitkan dengan
hasil pretest dan kebutuhan mereka untuk mempelajari muatan dalam kurikulum, baik KTSP maupun
Kurikulum 2013. Setelah itu, barulah dipaparkan fokus atau tujuan dari kegiatan pembelajaran yang akan
dilaksanakan, yaitu mahasiswa dapat memahami jenis, fungsi, dan struktur teks serta cerita mampu
mengaplikasikannya dalam bentuk tulisan sederhana. Dalam kegiatan tersebut, tampak mahasiswa sangat
antusias untuk mempelajari muatan dalam Kurikulum 2013, khususnya teks cerita. Fase ini dilakukan
selama 10 menit.
Kegiatan dalam fase penerbukaan dilakukan dengan memberikan contoh jenis teks cerita yang
diadaptasi dari cerita Lebai Malang dalam buku yang ditulis Mahsun (2014:23―28). Seluruh jenis teks
cerita memiliki cerita yang sama, yaitu tentang Lebai Malang tetapi dengan struktur dan fungsi bahasa yang
disesuaikan dengan jenis teks masing-masing. Hal tersebut dilakukan agar mahasiswa dapat lebih mudah
dalam mengamati dan membandingkan persamaan dan perbedaan antarteks. Namun, sebelum teks tersebut
diberikan, mahasiswa dibagi dalam kelompok berpasangan. Fase ini dilaksanakan selama 15 menit.
Kegiatan dalam fase pengonvergenan dilakukan dengan memberikan serangkaian panduan
pertanyaan pada masing-masing kelompok. Pertanyaan tersebut dapat dijawab setelah melakukan
pengamatan terhadap teks dan berdiskusi dengan pasangannya. Mahasiswa diberi waktu 20 menit menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Kegiatan dalam fase penutup dan penerapan dilakukan dengan membahas hasil pekerjaan masing-
masing kelompok untuk dapat menyimpulkan konsep yang tepat dari seluruh jenis teks cerita. Setelah
mahasiswa memahami konsep tersebut, mahasiswapun menerapkan konsep yang dimilikinya dengan
membuat tulisan atau karangan berdasarkan salah satu jenis teks. Fase ini dilaksanakan selama 35 menit.
Setelah melakukan kegiatan dalam fase penutup dan penerapan, mahasiswa diberi soal post test.
Post test dilaksanakan selama 15 menit dengan 10 pertanyaan, yaitu 8 pertanyaan mengenai pengertian dan
struktur masing-masing teks dan 2 pertanyaan mengenai aplikasi salah satu jenis teks. Setelah itu, dilakukan
refleksi. Refleksi tersebut digunakan untuk melihat penilaian mahasiswa terhadap kegiatan pembelajaran
yang telah dilakukan secara lisan. Berdasarkan hasil refleksi diketahui bahwa mahasiswa menyukai
melakukan pembelajan teks cerita dengan mengguakan metode guided discovery. Bahkan, mahasiswa
memberikan usulan untuk mempelajari teks yang lain dengan metode tersebut.
Efektifitas Metode Guided Discovery dalam Pembelajaran Teks Cerita bagi Calon Pendidik
Efektifitas metode yang digunakan diketahui dengan menggunakan uji t yang membandingkan antara pretest
dan posttest. Pretest dilakukan untuk mengetahui kemampuan mahasiswa sebelum mendapatkan perlakuan,
yaitu penerapan metode guided discovery. Posttest dilakukan untuk mengetahui kemampuan mahasiswa
setelah mendapat perlakuan. Hasil pretest menunjukkan bahwa mahasiswa masih terpengaruh dengan
konsep pada teks yang berstruktur tunggal pada KTSP. Mahasiswa belum bisa membedakan jenis struktur
teks. Hal tersebut tampak pada kesamaan jawaban pada penyebutan struktur teks masing-masing teks.

471
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Meskipun jenis teks yang ditanyakan berbeda, namun mahasiswa menjawab struktur seluruh teks tersebut
dengan awal cerita^tengah cerita^akhir cerita atau pembuka^isi^penutup. Di samping itu, mahasiswa juga
belum bisa mendefinisikan pengertian masing-masing teks. Bahkan, banyak soal yang tidak diisi oleh
mahasiswa. Hal tersebut tampak pada salah satu jawaban mahasiswa tentang pengertian dan struktur teks
cerita ulang berikut.
Teks yang menceritakan suatu pengalaman berdasarkan kronologis. (Pr/1/M1)
Judul: inti dari cerita berupa susunan kalimat yang diletakkan di awal
Awal cerita: bagian awal cerita yang menceritakan kejadian awal, kondisi tokoh, atau latar cerita.
Tengah cerita: kronologi dari cerita tersebut, klimaks
Akhir cerita: bagian akhir cerita, simpulan cerita (Pr/2/M1)
Setelah memperoleh perlakuan dengan menggunakan metode guided discovery, mahasiswa mampu
memahami pengertian dan struktur dari teks cerita. Hal tersebut tampak pada salah satu jawaban mahasiswa
mengenai definisi dan struktur teks cerita ulang berikut.
Teks yang menceritakan suatu kejadian yang pernah dialami sebelumnya secara biasa. (Ps/1/M1)
Orientasi: pengenalan tokoh dan latar kejadian
Rekaman kejadian: kronologi cerita dari kejadian yang pernah dialami (Ps/2/M1)
Hasil belajar mahasiswa pada saat pretest dan posttest dinilai dan dirata-rata. Hasil penilaian tersebut
menunjukkan bahwa rata-rata nilai pretest mahasiswa adalah 33 yang menunjukkan bahwa pemahaman
mahasiswa mengenai teks cerita masih rendah. Rata-rata nilai posttest mahasiswa adalah 75 yang
menunjukkan bahwa adanya peningkatan pemahaman mahasiswa mengenai pengertian dan struktur teks
cerita. Jika dihitung dengan menggunakan uji-t diketahui bahwa harga t 9,4 Harga t tersebut diintepretasikan
sesuai skor tabel t dengan t0,05 dan derajat kebebasan 12 (d.b. = N-1 = 12-1 = 11) yaitu sebesar 1,796. Hasil
intepretasi menunjukkan harga t lebih besar dari tabel, yakni 9,4>1,796. Berdasarkan uji t yang dilakukan,
diketahui terdapat perbedaan yang signifikan pada pembelajaran teks cerita sebelum dan sesudah penerapan.

PENUTUP
Simpulan
Hipotesis yang berbunyi “penerapan metode guided discovery dalam pembelajaran teks cerita yang ada pada
Kurikulum 2013 bagi calon pendidik efektif digunakan dengan signifikansi 5% atau t0,05” diterima. Harga t
lebih besar dari tabel, yaitu 9,4>1,79.
Saran
Berdasarkan pembahasan dan simpulan diketahui bahwa metode guided discovery efktif untuk
membelajarkan beberapa konsep dasar sekaligus dengan waktu yang relatif singkat. Oleh karena itu,
disarankan untuk menggunakan metode tersebut untuk kasus serupa, khususnya untuk pembelajaran jenis
teks yang lain.

DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Eggen, Paul. 2012. Strategi dan Model Pembelajaran. Jakarta: Indeks.
Macken, Mary. 1991. Book 1: An Introduction to Genre-Based Writing. Australia: Common Ground.
Mahsun. 2014. Teks dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Raja grafindo Persada.
Martin, J.R. dan David Rose. 2008. Genre Relation: Mapping Culture. London: Equinox Publishing Limited.
Sufanti, Main. 2013. “Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Teks: Belajar dari Ohio Amerika Serikat”. Dalam
publikasiilmiah.ums.ac.id. 3 November.
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Idhoofiyatul Fatin
Institusi : Universitas Muhammadiyah Surabaya
Riwayat Pendidikan : S1 dan S2 Universitas Negeri Surabaya
Minat Penelitian : • Bahasa dan Sastra Indonesia
• Linguistik

472
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
PROGRAM TUTORIAL BAHASA INGGRIS DI PUSAT BAHASA UBAYA:
DARI DAN OLEH MAHASISWA

Yenny Hartanto
Politeknik Universitas Surabaya
Yennychen05@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji tentang pelaksanaan program tutorial bahasa Inggris di Pusat Bahasa Ubaya dari dan oleh
mahasiswa dengan tujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri mahasiswa fakultas
Farmasi dalam berbahasa Inggris melalui program tutorial bahasa Inggris di Pusat Bahasa Ubaya. Subyek penelitian
ini adalah mahasiswa fakultas farmasi yang menempuh matakuliah bahasa Inggris akademik pada semester genap
tahun 2014/ 2015. Sedangkan teknik yang digunakan adalah convenience atau opportunity sampling. Untuk
mengetahui adanya peningkatan kemampuan berbahasa Inggris mahasiswa fakultas Farmasi, peneliti mengadakan tes
(pre-test dan post-test). Sedangkan angket dan wawancara diadakan untuk mengetahui adanya peningkatan rasa
percaya diri pada mahasiswa dalam berbahasa Inggris. Hasil pemelitian ini berguna bagi Universitas Surabaya, Pusat
Bahsa Ubaya dan mahasiswa sendiri. Universitas Surabaya akan merasakan manfaat secara langsung maupun tidak
langsung karena dengan meningkatnya kemampuan berbahasa Inggris dan rasa percaya diri mahasiswa, maka nilai
lulusan Ubaya akan menjadi ebih tinggi di dunia kerja. Selanjutnya, jika terbukti program tutorial bahasa Inggris dari
Pusat Bahasa bisa meningkatkan kemapuan berbahasa dan rasa percaya diri, maka program ini akan bisa diterapkan
pada semua fakultas di Ubaya. Dan bagi mahasiswa, jika terbukti berhasil, maka mahasiswa akan merasakan
manfaatnya dalam jangka pendek yaiutu di dunia akademik maupun jangka panjang atau di dunia kerja.
Kata kunci: program tutorial bahasa Inggris, peningkatan kemampuan mahasiswa, rasa percaya diri mahasiswa

PENDAHULUAN
Sampai saat ini pengajaran bahasa Inggris masih menjadi masalah dalam dunia pendidikan. Menurut
Dardjowidjojo (2003) pengajaran bahasa Inggris di Indonesia masih bermasalah dikarenakan dua faktor
yaitu faktor akademik dan faktor non akademik. Kendala dalam faktor akademik meliputi meliputi lima hal,
yaitu: silabus, kurikulum nasional, kualifikasi guru, buku teks serta peranan guru dan siswa. Sedangkan
faktor non akademik juga meliputi lima hal yakni: ukuran kelas dan pengaturan tempat duduk, motivasi
siswa, motivasi guru dan pendapatan,ketersediaan buku teks serta fasilitas yang mendukung.
Ubaya pun tidak terlepas dari masalah di atas. Berikut adalah hasil tes TOEFL mahasiswa baru
fakultas Farmasi semester gasal 2013/ 2014 sebagai salah satu buktinya
Tabel 1. Sumber Data Diambil dari Pusat Bahasa Ubaya
KP Jumlah Mahasiswa Nilai TOEFL Tertinggi Nilai TOEFL Terendah Nilai Rata-rata TOEFL
A 57 557 310 395
B 41 543 310 392
C 52 567 310 399
D 54 563 310 378
E 47 517 310 382
F 45 553 310 363
G 46 530 310 392
H 52 533 310 384
I 48 397 310 340
J 43 393 310 344
K 43 573 310 418
L 44 560 310 400
Adapun nilai skor TOEFL tertinggi jika jawaban betul semua adalah 677 sedangkan jika jawaban
salah semua / nilai terendah adalah 310. Sedangkan tabel di atas menunjukkan masih ada mahasiswa yang
mendapat nilai 310, dan rata-rata dari kedua belas KP tidak mencapai 450, yang merupakan syarat kelulusan
sebagai sarjana Farmasi fakultas Ubaya. Hal ini dapat dimaklumi setelah mendapatkan fakta bahwa sebagian
besar mahasiswa baru fakultas Farmasi adalah lulusan dari Sekolah Menengah Farmasi dan perlu diketahui
jurusan tersebut tidak menekankan penguasaan bahasa Inggris pada siswa-siswanya.
Oleh karena itu, Pusat Bahasa Ubaya sebagai salah satu supporting center/ unit penunjang
mengadakan program tutorial bahasa Inggris. Program ini mulai diadakan sejak tahun 2010. Tujuan
diadakan program ini karena jam mata kuliah bahasa Inggris tidak mencukupi dalam memberikan
ketrampilan berbahasa Inggris maupun untuk meningkatkan kompetensi . Beberapa mahasiswa yang
dipertimbangkan berkompeten ( nilai skor TOEFL minimal 500) dalam bahasa Inggris ditunjuk sebagai tutor.
473
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Sejak tahun 2013 program ini menambahkan ketrampilan presentasi untuk meningkatkan ketrampilan soft
skill mahasiswa.
Berdasarkan fakta di atas maka peneliti mengadakan suatu riset karena selama ini belum ada survey
mengenai pelaksanaan program tutorial bahasa Inggris di Pusat Bahasa Ubaya.

LANDASAN TEORI
Menurut Vygotsky (dalam Slavin, 2000) ada empat prinsip berkaitan dalam pembelajaran:
a. Social learning (pembelajaran social), dalam prinsip ini pendekatan pembelajaran yang dipandang
sesuai adalah pembelajaran kooperatif dimana siswa belajar melalui interaksi bersama dengan orang
dewasa atau teman yang lebih cakap.
b. Zone of Proximal Development (ZPD). Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan
masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalahnya setelah mendapat bantuan orang dewasa atau
temannya (peer)
c. Cognitive apprenticeship (masa magang kognitif) yaitu suatu proses yang menjadikan siswa sedikit
demi sedikit memperoleh kecakapan intelektual melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang
dewasa atau teman yang lebih pandai.
d. Mediated learning (pembelajaran termediasi). Vygotsky menekankan pada scaffolding di mana siswa
diberi masalah yang kompleks, sulit, dan realistik dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam
memecahkannya.
Dapat disimpulkan Vygotsky menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan sekitar pembelajar
yang oleh Salvin (dalam Ratumanan, 2004) diimplementasikan dalam dunia pendidikan, yaitu:
a. Pengelolaan pembelajaran
Menurut Vygotsky (dalam Slavin, 2000) interaksi sosial individu dengan lingkungannya sangat
mempengaruhi perkembangan belajar seseorang, sehingga perkembangan sifat-sifat dan jenis manusia
akan dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut. Peserta didik melaksanakan aktivitas belajar melalui
interaksi dengan orang dewasa dan teman sejawat yang mempunyai kemampuan lebih. Interaksi sosial
ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual peserta didik.
b. Pemberian bimbingan
Menurut Vygotsky (dalam Wertsch, 1985) pada saat peserta didik melaksanakan aktivitas di dalam
daerah perkembangan terdekat mereka, tugas yang tidak dapat diselesaikan sendiri akan dapat mereka
selesaikan dengan bimbingan orang lain.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran bahasa Inggris di luar jam kelas
yaitu dalam program tutorial . Penelitian merupakan penelitian deskriptif kualitatif dalam bentuk best
practice. Subyek penelitian ini adalah 51 orang mahasiswa fakultas Farmasi yang menempuh matakuliah
Bahasa Inggris Akademik pada semester genap 2014/2015.
Dalam mengambil data, peneliti menggunakan teknik convenience atau opportunity sampling
(Dornyei, 2007:98). Alasannya adalah kajian ini sejalan dengan program Fakultas Farmasi yakni
meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam berbahasa Inggris khususnya mencapai nilai TOEFL minimal
450 (dengan rentang nilai 310-677). Selain itu, peneliti juga menjadi dosen pengampu pada mata kuliah
yang bersangkutan.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang diberikan kepada 51 orang
mahasiswa Fakultas Farmasi yang pada saat itu menempuh matakuliah bahasa Inggris akademik untuk
mengetahui adanya peningkatan rasa percaya diri dan kemampuan mahasiswa dalam berbahasa Inggris.

TEMUAN PENELITIAN
Tabel 2. Nilai Rata-rata Tes Bahasa Inggris pada Program Tutorial Bahasa Inggris
No. NRP Pra-UTS Post UTS Keterangan
Sesi 1 Sesi II Sesi III Sesi IV
1 1090049 - - - - tidak tuntas
2 1090163 - - 60 - tidak tuntas
3 1090820 59 100 tidak tuntas
4 1100108 68 79,2 72 66 tuntas
5 1100860 84 76 77,1 48 tuntas
6 1110046 100 100 77,1 - tidak tuntas
7 1110057 100 95 65 66 tuntas
8 1110088 75.6 100 60 52,8 tuntas
9 1110103 25,2 100 77,1 88 tuntas

474
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
10 1110110 100 100 77,1 32 tuntas
11 1110135 84 62 70 52,8 tuntas
12 1110158 - 72 65 80 tidak tuntas
13 1110176 100 86 70 59,4 tuntas
14 1110184 50,4 100 77,1 88 tuntas
15 1110196 68 80 - 23 tidak tuntas
16 1110204 75,6 - - - tidak tuntas
17 1110207 100 100 75,4 80 tuntas
18 1110209 81 13 - 27 tidak tuntas
19 1110212 84 53 70 66 tuntas
20 1110221 - - 65 39 tidak tuntas
21 1110225 92,4 100 75,4 86 tuntas
22 1110226 92,4 92,4 81.2 48 tuntas
23 1110234 77 6 - - tidak tuntas
24 1110247 84 100 60 52,8 tuntas
25 1110329 72 72 70 80 tuntas
26 1110335 68 67 67 80 tuntas
27 1120011 75,6 80 77,1 72,6 tuntas
28 1120012 92,4 80 87 58 tuntas
29 1120013 84 80 63,8 66 tuntas
30 1120026 58,8 43,2 75 83,3 tuntas
31 1120030 75,6 92,4 77,7 100 tuntas
32 1120080 76 100 75 82,5 tuntas
33 1120090 60 71 65 79,2 tuntas
34 1120120 67,2 64,8 66,7 55,1 tuntas
35 1120145 84 79,2 72 - tidak tuntas
36 1120188 58,8 43,2 75 83.3 tuntas
37 1120201 92,4 100 - - tuntas
38 1120204 92,4 100 89,9 75 tuntas
39 1120242 100 100 53 56 tuntas
40 1120248 94 100 60,9 90 tuntas
41 1120253 81 33 - 43 tidak tuntas
42 1120257 64 100 84,1 75 tuntas
43 1120259 84 80 77,1 60,9 tuntas
44 1120261 36 46 - 76 tidak tuntas
45 1120267 68 40 75 66 tuntas
46 1120321 64 100 75,4 72,6 tuntas
47 1120322 93 100 58 66 tuntas
48 1120327 67,2 100 77,7 100 tuntas
49 1120374 93,5 64,8 75,4 58 tuntas
50 1120383 67,2 64,8 69,6 60,9 tuntas
51 1120391 92,4 100 30 72,6 tuntas
Dari tabel di atas bisa disimpulkan jumlah mahasiswa Fakultas Farmasi yang tidak tuntas dalam
program tutorial Bahasa Inggris sebanyak 13 orang (26%). Jumlah kehadiran (dua kali sebelum Ujian Tengah
Semester dan dua kali setelahnya) memang merupakan syarat mutlak ketuntasan tutorial. Beberapa orang di
antaranya dinyatakan lulus meski nilai tes kurang dari 60. Program tutorial sendiri mempunya bobot angka
20% dari nilai secara keseluruhan. Dengan kata lain, mahasiswa yang tidak tuntas dalam program tutorial
tersebut harus rela kehilangan 20 poin dan sebagai gantinya, dia harus belajar keras demi mendapatkan nilai
UTS/ UAS yang optimal dengan tujuan akhir lulus dari matakuliah Bahasa Inggris akademik.
Tabel 3. Lembar Evaluasi Pembelajaran
A MATERI Sangat buruk Sangat baik
1 2 3 4 5 6 7
1 Materi sesuai dengan tingkat kemampuan saya - - - 2% 17% 48% 33%
2 Materi 475memberi banyak manfaat - - - - 6% 38% 56%
B WAKTU BELAJAR
3 Waktu sesuai dengan kebutuhan / kondisi saya - - 4% 4% 10% 31% 52%
C TUTOR
4 Menguasai materi dengan baik, sistematis dan mudah dipahami - - - 2% 6% 46% 46%
5 Mengajar dengan suara jelas - - - - 8% 40% 52%
6 Membagi perhatian secara merata kepada semua peserta tutorial - - - - 12% 46% 42%
475
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
7 Menjawab semua pertanyaan dengan jelas - - - - 6% 40% 54%
8 Menggunakan fasilitas kelas dengan baik - - - - 2% 44% 54%
9 Bersikap ramah dan berpenampilan profesional - - - - 2% 35% 63%
10 Mengawali dan mengakhiri proses tutorial tepat waktu - - - - 8% 33% 60%

Ya Tidak
Apakah Anda puas dengan kegiatan tutorial ini? 100% -
Apakah kemampuan Bahasa Inggris Anda meningkat? 75% 25%
Apakah rasa percaya diri Anda dalam berbahasa Inggris meningkat 73% 27%
Dari tabel 3 di atas, bisa disimpulkan ada tiga aspek yang menjadi faktor penilaian dalam kuesioner:
materi tutorial, waktu belajar dan tutornya sendiri.
Yang pertama adalah materi tutorial. Materi yang disajikan bukanlah materi yang sama sekali baru
melainkan materi bahasa Inggris dalam hal ini grammar atau tata bahasa. Satu topik disajikan dalam jangka
waktu seminggu, dan minggu ke-2 akan berganti topik dan seterusnya. Ada pun topik yang ditawarkan
adalah: Minggu I: Comparatives and Superlatives, minggu II: Simple Present Tense, minggu III: Present
Continuous Tense, minggu IV: Simple Past Tense. Materi yang disajikan bergradasi dari paling mudah ,
sedang dan yang sulit.
Selanjutnya, mengenai waktu/ jam tutorial. Sebelum tutorial diselenggarakan, para tutor yang terdiri
dari empat orang mengumpulkan jadwal kuliah dan kegiatan ekstra untuk ditabulasi, kemudian didapatkan
jam kosong, dan seterusnya jam-jam kosong tersebut dijadikan jam tutorial. Dari hasil kuesioner ada 8%
atau sekitar 16 orang mahasiswa yang menyatakan waktu tutorial tidk sesuai dengan kondisi mereka. Hal ini
bisa dimaklumi mengingat sebagai mahasiswa Farmasi, mereka mempunyai jadwal kuliah dan jadwal
pratikum yang cukup padat.
Penilaian terhadap tutor menjadi hal yang krusial dalam penelitian ini. Sebanyak 4 orang
menyatakan tutor kurang menguasai materi dengan baik/ kurang sistematis/ kurang bisa dipahami. Hal ini
menjadi catatan penting dan bisa dijadikan bahan evaluasi untuk perekrutan tutor yang akan datang.
Sedangkan faktor-faktor lain cukup baik meski belum bisa mencapai hasil optimal (100%). Dengan kata lain,
para tutor perlu dibina dan program tutorial masih perlu dibenahi.
Penemuan lain yang menggembirakan adalah semua peserta program tutorial merasa puas dengan
adanya kegiatan ini. Namun ada 13, 14 orang yang masih merasa kurang percaya diri dalam berbahasa
Inggris dan berpendapat kemampuan bahasa Inggris mereka belum meningkat.

SIMPULAN DAN SARAN


Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa program tutorial bahasa Inggris di Ubaya dapat
meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris dan rasa percaya diri mahasiswa Fakultas Farmasi.
Sedangkan saran untuk program yang sudah berjalan dengan baik selama ini perlu diperhatikan
waktu tutorial, mungkin bisa ditambahkan jam tutorial di luar jam yang sudah ada. Selain itu perlu adanya
peningkatan kemampuan mengajar para tutor sendiri, bisa dilakukan dengan cara memberikan pelatihan atau
micro-teaching .

REFERENSI
Dardjowidjojo, Soejono. 2003. Rampai Bahasa, Pendidikan dan Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Dornyei, Zoltan.2007. Research Methods in Applied Linguistics.Oxford University Press
Ratumanan, T.G dan Lourens. 2004. Belajar dan Pembelajaran Edisi Kedua. Surabaya: Unesa University Press.
Slavin, Robert E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon
Wertsch, J.V. 1985. Vygotsky and the Social Formation of Mind. Cambridge,MA: Harvard University Press.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Yenny Hartanto
Institusi : Pusat Bahasa Politeknik Universitas Surabaya
Riwayat Pendidikan : S2 Pendidikan Unika Widya Mandala
S1 Sastra Universitas Negeri Jember
Minat Penelitian : • Pengajaran Bahasa Indonesia dan Bahasa Asing
• Pemahaman Lintas Budaya (Cross Culture Understanding)
• Fonetik/Fonologi

476
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
GRADING SPEAKING PERFORMANCE: TEACHERS’ ATTITUDES TOWARDS TWO RATING
SCALES AND SUBJECTIVITY ISSUES

Nurfitri Habibi
Indonesia University of Education
nurfitrihabibi@gmail.com

ABSTRACT
It is stated that many teachers avoid the implementation of speaking test, or if any, they might be confused. This
situation might be by virtue of difficulty in conducting the test leading to bias judgment in scoring speaking
performance. The bias judgment might be influenced by how teachers perceive the rating scale used as well. In
accordance with the issue, this study aims at investigating teachers’ perception towards two rating scales—a
performance data driven scale (analytical scale) and a rating checklist scale (holistic scale), and subjectivity factors
influencing in scoring speaking performance. This study involves four teachers of senior high school in Bandung. The
questionnaire and interview are used to collect necessary information towards the investigated issue, which is speaking
test. The data from those instruments are coded and analyzed descriptively. The findings reveal that teachers perceive
differently on the performance data-driven scale, while the homogenous attitudes towards the rating checklist scale can
be portrayed. Moreover, it seems that there are several factors influencing teachers’ subjectivity in marking students’
speaking scores—socio-cultural, accent, the way of expressing idea and communication style. Further research on
different perspective with more representative sample is recommended.
Keywords: Speaking test, subjectivity, bias judgment, and rating scales

INTRODUCTION
Speaking test is considered as the most difficult aspect to test by some teachers since it involves various
criteria to be measured, such as vocabulary, pronunciation, grammar, fluency, pragmatic, and some other
aspects (Lasito, 2015; Babaii, Taghaddomi, & Pashmforoosh, 2015), and it takes substantial time and effort
to attain the valid and reliable results (Li, 2011). Owing to its difficulty, teachers tend to avoid the
implementation of speaking test, or if any, they must be confused. Knight (1992) supports that the
difficulties faced by teachers in testing speaking skill, frequently, direct them to use inappropriate speaking
test or even not to conduct speaking test at all.
However, speaking test difficulty is not only caused by the aforementioned factors, but also by the
subjectivity factor in grading students’ performance. Teng (2007, p. 3) claims that “one of problems
associated with speaking test is it is subjective in nature”. The subjectivity factor, in this case, means
teachers or raters might have various perspectives in scoring students’ speaking ability. This different
interpretation leads to the unfairness in testing and scoring speaking skill since it triggers biased judgment
(Kim, 2006; Chou, 2013). The bias judgment might also be caused by the rating scale or scoring rubrics,
whether it is holistic or analytical scale, used by the teachers in assessing speaking. It is stated that the
method used might influence teachers’ attitude towards the decision of students’ speaking ability (Chou,
2013). Kim (2006) further argues that speaking assessment can be affected by a rating scale, since there
might be an interaction effect between the rating criteria and raters’ performance.
In regards to aforementioned issues, this study attempts to discover subjectivity and rating scale in
assessing speaking. In fact, issues of subjectivity and rating scale in assessing speaking are by no means new.
Some studies have been conducted investigating teachers’ interpretation and rating scales, such as Orr
(2002), Oscarson & Apelgren (2011), Wang (2010), Kim (2006), Tuan (2012), and Chou (2013). All of
aforementioned works focus on the validity and reliability of speaking assessment. However, recent works
focusing on teachers’ attitude of two rating scales in speaking test and factors affecting their decision in
grading speaking ability may have been very few. Therefore, this study aims at investigating teachers’
perspective on a performance data-driven scale (analytical scale) and a rating checklist (holistic scale) in
grading speaking performance as well as their consideration factors influencing their subjectivity judgment
in scoring students’ speaking ability by answering the following questions:
1. How do teachers perceive a performance data-driven scale (analytical scale) and a rating checklist
(holistic scale) in grading speaking performance?
2. What factors do influence teachers’ subjectivity in testing speaking in Indonesia context?
In accordance with those questions, this present study is expected to provide a meaningful
contribution to the practice of speaking assessment. Understanding the factors influencing teachers’
subjectivity in grading speaking and teachers’ perspective on rating scales will allow educators to minimize

477
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
the raters’ bias in giving score and to adjust their rating scales that will facilitate a more fair judgment of
students speaking performance.

LITERATURE REVIEW
Analytical vs. Holistic Rating Scale
Speaking is a productive skill, which does not only involve the production, but also the comprehension
(Karim & Haq, 2014).When it is tested, some considerations need to be taken into account, such as the goal
of skill development and the measurement of the skill as well (Li, 2011; Karim & Haq, 2014). Karim & Haq
(2014) argue that speaking skill is developed to communicate successfully by using particular language in
various context and situations; thus, every speaking testing should be able to measure how language is used
effectively to maintain interaction between speakers (Li, 2011).
To assess the speaking skill, teachers should be able to provide appropriate and suitable rating scale.
By developing scoring rubric or rating scale, it will standardize the grading process (Pufpaff, Clarke, &
Jones, 2014); thus the bias can be minimized if it is seriously followed (Hitt & Helms, 2009). In addition, it
will help teachers in achieving the goal setting of the language test (Lasito, 2015). There are two approaches
of creating rating scale—analytical approach and holistic approach.
An analytical scale or a performance data driven scale is a method of assessment in which it
involves various features of performance to be assessed separately by using several subscales (Carr, 2000;
Tuan, 2012 ; Wiseman, 2012; Iwashita & Grove, 2003). It provides more information about test taker’s
competence (Tuan, 2012 ; Wiseman, 2012) by describing various level of ability across different features of
the students’ speaking performance (Carr, 2000; Iwashita & Grove, 2003). The analytical scale has been
found useful particularly for teachers or raters who are not well experienced (Tuan, 2012 ). In addition, it is
considered a more reliable rating scale (Wiseman, 2012; Iwashita & Grove, 2003; Tuan, 2012 ) since the
result is more consistence (Iwashita & Grove, 2003; Carr, 2000). However, Tuan (2012; Chou, 2013) shows
that the analytical scale has some disadvatages in terms of its practicality, which are time consuming and
expensive. It means that it is difficult for raters to observe test taker’s performance, read all of detailed
descriptions, and mark everything at the same time.
On the other hand, a holistic scale or a rating checklist is a method using a single global numerical
rating to assess and examine test takers’ performance (Iwashita & Grove, 2003; Wiseman, 2012). It does not
consist of a long description of various criteria (Chou, 2013; Wiseman, 2012), but it sometimes only consists
of dual choices. The advantage of using the holistic scale is the simplicity and efficiency in its
implementation (Carr, 2000; Iwashita & Grove, 2003; Wiseman, 2012), in which it takes less time in
marking test taker’s performance, it is easier to be conducted, and it is more economical. However, Carr
(2000) and Iwashita & Grove (2003) find that the main problem of holistic scale lies in its validity, in which
it is still confusing what is that actually holistic score measures and whether the holistic score are able to
capture adequately the whole test taker’s performance.
Subjectivity Issues
As stated in the introduction, speaking test is subjective in nature (Teng, 2007). It is very significant to know
the nature of speaking since the understanding of the nature of speaking test does not only help describing
the construct in question, but also makes it possible to identify factors influencing speaking assessments
(Babaii, Taghaddomi, & Pashmforoosh, 2015). Therefore, it can be stated that in assessing speaking test,
raters’ or teachers’ interpretation might be different because every raters or teachers might have their own
perception. Hsu (2015) states raters’ knowledge and perception might influence their scoring judgments in
assessing speaking.
This situation is proved by some studies investigating raters’ interpretation in speaking performance.
It is found that teachers are difficult to score students ability (Oscarson & Apelgren, 2011) and they seem to
focus on different aspects of assessment criteria when assessing speaking ability (Orr, 2002), leading to
unfair judgment. Therefore, to comply with the need of the accuracy and appropriateness of the
interpretation of test takers’ performance, the raters’ fairness and unbiased judgment on speaking ability are
required (Chou, 2013).
In order to provide a fairness and unbiased judgment on speaking ability, some factors influencing
raters’ subjectivity in scoring speaking performance should come to the fore. Wang (2010) finds that raters
aspects—variability and tendency, are considered as the factors influencing their judgment in giving score of
speaking performance. Moreover, Taylor (2009; in Chou, 2013) reveals socio-cultural sensitivities and
subject to preconception seem influence the decision made by raters or teachers while scoring. In spite of

478
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
those factors, there might be another factors which will influence raters’ subjectivity in scoring speaking
performance, as will be revealed in this present study.

METHODS
To answer the research questions, which are (1) “How do teachers perceive a performance data-driven scale
(analytical scale) and a rating checklist (holistic scale) in grading speaking performance?”, and (2) “What
factors do influence teachers’ subjectivity in testing speaking in Indonesia context?”, four teachers are
chosen purposively to provide a specific intention (Yin, 2011), which is, figuring out the teachers’
perception and subjectivity factors influencing assessing speaking performance. These teachers are selected
due to some reasons—(1) they are still contributing in teaching life, and (2) have enough knowledge in
assessing speaking (Sugiyono, 2013) since they have already used analytical and holistic rating scales in
scoring speaking.
All of the data were collected through a close-ended questionnaire and a semi-structure interview.
The questionnaire was used for gaining information about teachers’ perception towards two rating scales— a
performance data-driven scale (analytical scale) and a rating checklist (holistic scale). The questionnaire
consists of 14 questions adapted from Chou (2013).In addition, the semi-structure interview was conducted
in order to find out factors influencing in assessing students’ speaking performance.
After all of necessary data were collected, the data from the questionnaire were categorized based on the
questions; while the data from the interview were transcribed and classified based on the answer. Next, those
data, both the questionnaire and the interview data were analyzed and interpreted by using relevant theories
underlying speaking assessment.

FINDINGS AND DISCUSSION


Since this study aims at answering research questions proposed in the Introduction, the findings and
discussion will cover those instances—teachers’ attitude towards two rating scales; a performance data-
driven scale (analytical scale) and a rating checklist (holistic scale), and the subjectivity factors influencing
students’ speaking scores.
Teachers’ attitudes towards a performance data-driven scale (analytical scale) and a rating checklist
(holistic scale)
Teachers or raters’ attitude toward rating scales will determine the way they score speaking
performance, hence it is crucial knowing their attitude towards the two rating scales The findings of teachers’
perception on two rating scales are presented in Table 1, which are as the result of close-ended questionnaire.
Table 1. Teachers’ Attitude towards Two Rating Scales
Questions Answers
Yes No
Performance Data Scale (Analytical method)
1 4 teachers -
2 4 teachers -
3 4 teachers -
4 2 teachers 2 teachers
5 4 teachers -
6 1 teachers 3 teachers
7 - 4 teachers
Checklist Scale (Holistical method)
8 1 teacher 3 teachers
9 4 teachers -
10 4 teachers -
11 - 4 teachers
12 3 teachers 1 teacher
13 4 teachers -
14 4 teachers -
Based on Table 1, it is found that there are various perceptions towards those two scales—some of
the responses are similar, some of them are different. It can be seen that both analytical and holistic scale are
considered easy and helpful. It seems that they think that both of rating scales can be used in assessing
students’ speaking ability.

479
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
In regards to Teachers’ attitudes towards a performance data-driven scale (analytical scale),as it is
shown on Table 1, most of the teachers state the performance data driven scale provides more details and
comprehensive description, so it is easier for them to score students’ speaking performance more accurately
in different context. This findings indicate that the performance data driven scale (analytical scale) provides
more information about test taker’s competence (Tuan, 2012 ; Wiseman, 2012) by describing various level
of ability across different features of the students’ speaking performance precisely (Carr, 2000; Iwashita &
Grove, 2003). Moreover, there is still a prominent debate on the issues of its practicality. In terms of time,
only two out of four respondents argue that the performance data driven scale is time consuming. It seems
the issues of practicality of time, in which some pervious research stated that “this scale is time consuming”
(Chou, 2013; Tuan, 2012 ) are still debatable. The other two teachers investigated claim that the
performance data driven scale does not take much time in assessing speaking performance. Furthermore, in
terms of cost, three of them state the performance data driven scale is cheap to be applied, while one out of
four articulates that this scale is expensive to be used. It seems that the finding almost rejects Chou’s (2013)
and Tuan’s (2012) work stating that the performance data driven scale is an expensive method of scoring.
Concerning a rating checklist (holistic scale), as it is presented on Table 1, all of investigated teachers
claim that checklist scale contains subjectivity in grading students speaking performance. This finding is
relevant to Carr’s (2000) and Iwashita & Grove’s (2003) works stating that checklist scale trigers some
confusions on what is that actually checklist score measures and whether the checklist score are able to capture
adequately the whole test taker performance. In addition, they all agree that a rating checklist contains simpler
and short description, so it does not take much time in observing and marking the students’ speaking
performance; hence it needs less cost in its implementation. This finding indicates that a rating checklist,
according to Carr (2000); Iwashita & Grove (2003); Wiseman (2012), is efficient in terms of time and cost.
Teachers’ Subjectivity Factors
Finding out teachers’ subjectivity factors might reduce unfair judgment in assessing the speaking test. The
finding in this present study reveals that there are several subjectivity factors influencing students’ speaking
score—which are socio-cultural, accent, strategy of communication, and expressing idea. Those findings are
shown in Table 2.
Table 2. Teachers’ Subjectivity Factors
Questions Answers Further information (Teachers’ Response)
Yes No
1 2 2 Teacher “As teachers we have to consider students’ social cultural background.
teachers teachers 1 Students’ ability in mastering the language will be different, sometimes
student’s social cultural background will be shown in the way they
express their arguments. Since I teach in a vocational high school,
students will have different social cultural background and as a teacher it
will be fair for them if I also consider their condition based on their
social cultural background.”
Teacher “It is because social cultural background is one factor that influence
2 students’ performance. I can consider in students performance score.”
2 2 2 Teacher “As long as their English is eligible I will consider that they have
teachers teachers 1 achieve the basic competence that stated in the syllabus.”
Teacher “It is because each students has different and has their own
2 characteristics. By considering when their performance.”
3 2 2 Teacher “Because the way we communicate means the way we think. We know
teachers teachers 3 who they are through how they communicate with us. So, it affect to
their score.”
Teacher “It is because the way of people in using language and in communicating
2 determine their level in thinking and education level. It is often influence
my grading system.”
Teacher “Although it is important, I will not give much attention to it.”
1
Teacher “It is necessary, but my attention to this aspect is not big enough.”
2
4 2 2 Teacher “It is because when a student is able to articulate his or her idea
teachers teacher 4 smoothly and fluently, it indicates something right? Of course I will give
different score to students who are able to say what they have in minds
clearly and fluently.”
Teacher “I will not give big attention to this aspect, but it is still crucial.”
3

480
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Teachers “there is very limited students who are brave to deliver their idea, so it
2 becomes one of my attention, but I will not give higher weight on this
aspect.”
Teacher “If my students can elaborate something properly and it is not out of
1 context I will consider that their capability is accaptable.”
5 4 - All All of them agree that it is important aspects in assessing speaking since
teachers teachers it is one of indicators that distinct low achiever and high achiever.
As it is presented on Table 2, two out of four teachers state that social-cultural might influence their
decision of grading. One of them thinks students have different background, which influence the way they
communicate in English. On the other hand, the others two do not considered this aspect. This different
opinion clarifies that socio-cultural background leads to teachers’ subjectivity in grading students speaking
ability (Taylor, 2009; in Chou, 2013). It is because some of them argue that there is no relationship between
social background and speaking performance, while some of them have another opinion.
The debatable opinion also appears in terms of accent of the speaking. Some of them think the
accent the students possess might influence the way they pronounce the words, while others argue that the
accent do not influence students’ performance as long as it is intelligible. In addition, it is found that
teachers give different scores in terms of the way students communicate and articulate the ideas. Two out of
four teachers argues that the communication style and expressing idea logically represent students’ level of
intelligence, so they might give a higher weight for this part; while others claim it is important knowing
students’ communication style and how the articulate their idea; yet, they will not give much attention to it.
Those debatable decisions in scoring students’ speaking performance, according to Chou (2013) and Wang
(2010), indicate raters’ variability and tendency in perceiving something lead to prejudice judgment.

CONCLUSION
From the discussion elaborated, it can be seen that every teacher has their own attitude towards two rating
scales; however, it seems that their attitude towards a performance data-driven scale (analytical scale) is
more debatable than a rating checklist (holistic scale). In addition, it seems that subjectivity factors
influencing teachers’ decision is caused by some factors, yet the most influential factors affecting teachers’
subjectivity are social- cultural background, accent, the way of expressing idea and communication style. It
is because teachers have their own perception towards those factors.
Furthermore, this study serves several implications to the practice of testing speaking and other
researchers who want to conduct similar study. In terms of testing speaking practice, it is imperative for
teachers understand the nature of speaking and the rating scales that will be used, hence the more fair
judgments can be created. In regards to further study, it is better if the further study could give more
comprehensive on different perspective and focuses with more representative sample in investigating the
practice of speaking.

REFERENCES
Babaii, E., Taghaddomi, S., & Pashmforoosh, R. 2015. Speaking self-assessment: Mismatches between learners’and
teachers’ criteria. Sage, 43, 1-27.
Carr, N. T. 2000. A Comparison of the effects of analytic and holistic rating scale types in the context of composition
tests. IAL.
Chou, M.-h. 2013. Teacher interpretation of test scores and feedback to students in efl classrooms: A comparison of
two rating methods. Higher Education Studies, 3(2), 86-95.
Hitt, A. M., & Helms, C. E. 2009. Best in show: Teaching old dogs to use new rubrics. The Professional Educator,
33(1).
Hsu, T. H.-L. 2015. Removing bias towards world englishes: the development of a rater atituted instruemnt using
indian english as a stimulus. SAGE, 1-23.
Iwashita, N., & Grove, E. 2003. A comparison of analytic and holistic scales in the context of a specific purpose
speaking test. Prospect ,18(3), 25-35.
Karim, S., & Haq, N. 2014. An assessment of IELTS speaking test. International Journal Of Evaluation And Research
In Education (IJERE), 3(3),152-157.
Kim, H. J. 2006. Issues of rating scale in speaking performance assessment .Teachers College, Columbia University
Working Papers in TESOL & Applied Linguistics, 6(2), 1-3.
Knight, B. 1992. Assessing speaking test: A workshop for teacher development. ELT Journal Oxford University, 46(3),
294-302.
Lasito. 2015. Speaking test for medical internship program: A Construct analysis and test development. The 7th
COTEFL International Conference (pp. 81-84). Purwokerto : Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Li, W. 2011. The validity considerations in designing an oral test. Academy Publisher, 2(1), 267-269.
481
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Orr, M. 2002. The FCE speaking test: Using rater reports to help interpret test scores. System, 143-154.
Oscarson, M., & Apelgren, B. M. 2011. Mapping language teachers’ conceptions of student assessment procedures in
relation to grading: A two-stage empirical inquiry. System, 2-16.
Pufpaff, L. A., Clarke, L., & Jones, E. R. 2014. The Effects of rater training on inter-rater agreement. Mid-Western
Educational Researcher.
Sugiyono. 2013. Metode penelitian pendidikan: pendekatan kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Teng, H.-C. 2007. A study of task type for L2 speaking assessment. Honolulu: Eric.
Tuan, L. T. 2012. Teaching and assessing speaking performance through analytic scoring approach. Academy Publisher,
2(4), 673-679.
Wang, B. 2010. On rater agreement and rater training . English Language Teaching, 3(1) 108-112.
Wiseman, C. S. 2012. A comparison of the performance of analytic vs. holistic scoring rubrics to assess l2 writing.
Iranian Journal of Language Testing, 2 (1), 59-92.
Yin, R. K. 2011. Qualitative research from start to finish. United States of America: The Guilford Press.

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Nurfitri Habibi
Institution : Indonesia University of Education
Education : S1 Indonesia University of Education
Research Interst : • Teaching English to Young Learners
• Systemic Functional Linguistics
• English Language Assessment

482
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
KESANTUNAN KRITIK DALAM MASYARAKAT BUDAYA AREK:
KAJIAN SOSIOPRAGMATIK

Edy Jauhari, Djatmika, Riyadi Santosa


Universitas Sebelas Maret
edy_jhr@yahoo.com

ABSTRAK
Kritik dikenal sebagai tindak tutur yang rawan mengancam muka (Brown dan Levinson, 1987). Dikatakan demikian
karena tindak tutur ini pada umumnya dilakukan dengan cara memberikan penilaian negatif atau penilaian buruk
terhadap perilaku, perbuatan, atau tindakan seseorang yang menjadi sasaran kritik (Nguyen, 2005). Oleh karena itu,
kritik dalam berbagai budaya sering harus dikemukakan dengan hati-hati, dengan strategi kesantunan yang tepat,
dengan formula semantik yang tepat, dengan modifier yang sesuai, dan dikemukakan dalam konteks yang tepat sesuai
dengan norma-norma sosiobudaya yang berlaku. Jika hal ini diabaikan, maka kritik rawan memicu ketegangan atau
bahkan konflik di antara pelaku kritik dan penerima kritik. Makalah ini bermaksud mengkaji kesantunan kritik dalam
masyarakat budaya Jawa Arek di Jawa Timur. Kajian dilakukan dari perspektif sosiopragmatik. Kritik yang dikaji
adalah kritik yang dikemukakan secara lisan dalam interaksi yang bersifat face- to face interaction. Tujuan yang
hendak dicapai adalah memahami alat-alat kesantunan kritik yang lazim digunakan dalam masyarakat budaya Arek
untuk membangun kesantunan kritik. Data dikumpulkan dengan menggunakan Discouse Completion Task (DCT).
Konteks kritik yang digunakan untuk merumuskan DCT ditentukan berdasarkan interaksi dari tiga parameter, yaitu
(±Power), (±social Distance), dan (±Public). DCT disebarkan kepada 50 informan di lingkunagn masyarakat budaya
Arek untuk mendapatkan pengisian. Analisis data dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagaimana yang
dikemukakan Spreadly (1997), yaitu analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponensial, cultural value. Kritik
dalam masyarakat budaya Arek sangat menarik dikaji. Hal ini dilandasi oleh dua hal. Pertama, di satu sisi masyarakat
budaya Arek (yang merupakan bagian dari masyarakat Jawa) secara kultural sangat menjunjung tinggi prinsip
kerukunan dan prinsip hormat (Magnis-Suseno, 1988), di sisi lain kritik merupakan tindakan linguistik (linguistic
action) yang rawan menimbulkan konflik dan ketegangan sosial. Oleh karena itu, bagaimana masyarakat budaya Arek
melakukan kritik dengan tetap menjaga prinsip kerukunan dan prinsip hormat merupakan sesuatu yang sangat menarik
diamati. Kedua, masyarakat budaya Arek memiliki karakteristik yang khas. Masyarakat budaya Arek dikenal terbuka,
egaliter, dan terus terang. Karakter masyarakat budaya Arek ini agak berbeda dengan karakter masyarakat Jawa
Timur lainnya, khususnya Jawa Timur bagian Barat seperti Kediri, Telungagung, Trenggalek, Madiun, dan lain-lain.
Karakter masyarakat Jawa Timur yang disebutkan terakhir ini dapat dikatakan hampir sama dengan masyarakat Jawa
Tengahan misalnya Surakarta dan Yogyakarta. Bahasa Jawa yang digunakan sehari-harinya juga lebih mirip dengan
bahasa Jawa yang digunakan di wilayah budaya Mataraman, tidak seperti masyarakat budaya Arek yang cenderung
menggunakan bahasa Suroboyoan. Oleh karena itu, menarik dipahami apakah perilaku kritik masyarakat budaya Arek
juga merefleksikan karakteristiknya yang khas tersebut, yaitu bersifat terbuka, egaliter, dan terus terang? Jika jawaban
atas pertanyaan ini benar, maka mestinya perilaku kritik masyarakat budaya Arek agak berbeda dengan perilaku kritik
masyarakat budaya Mataraman yang notabene lebih mengedepankan rasa, seperti rasa sungkan, ewuh-pekewuh, ora
kepenak, dan lain-lain.
Kata kunci: kritik, masyarakat budaya Arek, strategi kesantunan kritik, sosiopragmatik, alat-alat kesantunan kritik

PENDAHULUAN
Makalah ini bermaksud mengkaji kesantunan kritik dalam masyarakat budaya Arek. Masyarakat Budaya
Arek (MBA) merupakan subkultur dari masyarakat Jawa di Jawa Timur yang secara geografis tersebar di
wilayah Surabaya dan beberapa kota di sekitarnya. Pendekatan yang digunakan adalah sosiopragmatik
(Leech, 1993; Leech, 2014). Tujuannya adalah memahami bagaimana strategi kesantunan kritik itu
diwujudkan dalam MBA sesuai dengan konteks dan nilai-nilai sosiobudaya yang berlaku. Data dikumpulkan
dengan menggunakan DCT (Discourse Completion Task). Konteks kritik ditentukan berdasarkan parameter
+Power (+P), ± Distance (±D), dan ± Public (±Pu). DCT disebarkan kepada 50 informan untuk
mendapatkan pengisian. Pengisi DCT dalam makalah ini adalah para pegawai di lingkungan kantor
pemerintah di wilayah budaya Arek. Oleh karena itu, materi kritik yang disodorkan kepada informan dalam
DCT juga mengenai hal-hal yang terjadi di lingkungan perkantoran (misalnya mengenai masalah disiplin
pegawai). Ranah perkantoran ini dipilih karena ranah ini memiliki struktur power (atasan-bawahan) yang
jelas sehingga memudahkan penulis dalam menganalisis data, khususnya yang menyangkut penggunaan
strategi kritik yang dipengaruhi oleh struktur power.

483
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
KESANTUNAN KRITIK DALAM MASYARAKAT BUDAYA JAWA AREK
Kesantunan Kritik dalam Konteks (+P+D+Pu) dan (+P+D-Pu)
Kesantunan kritik pada seksi ini dilihat berdasarkan dua jenis konteks, yaitu (+P+D+Pu) dan (+P+D-Pu).
Kedua jenis konteks ini dibahas bersama-sama karena bersumber dari DCT yang sama, yaitu DCT-1 di
bawah. Walaupun kedua jenis konteks ini memiliki kemiripan (karena hanya berbeda pada parameter ±Pu),
namun kedua jenis konteks ini bisa menuntut ketepatan penggunaan strategi yang tidak sama. Untuk
memahami strategi kritik seperti apa yang dipandang tepat dan santun dalam konteks (+P+D+Pu) dan
(+P+D-Pu) tersebut, informan dalam makalah ini disodori sebuah kasus yang dirumuskan dalam DCT-1
berikut.
DCT-1
Pak Hartono adalah atasan Anda (informan) di kantor. Dia sering tidak berkenan dan marah kepada pegawai
yang tidak disiplin. Masalahnya adalah Pak Hartono tidak konsekuen karena dia sendiri selaku atasan juga
tidak disiplin dan tidak memberikan contoh disiplin yang baik kepada bawahan. Sikap Pak Hartono itu,
menurut penilaian para pegawai, termasuk Anda, tidak seharusnya dilakukan sebagai seorang atasan.
Pertanyaan:
Sebagai bawahan Pak Hartono, apa yang akan Anda lakukan terhadap Pak Hartono? (Ingat, hubungan Anda
dengan Pak Hartono tidak akrab).
(a) Melakukan kritik kepada Pak Hartono secara terbuka (+Pu) dalam rapat kantor yang
berbunyi ……………………………………………………………………………………………………
(b) Melakukan kritik kepada Pak Hartono secara pribadi (-Pu) yang berbunyi ……………………
Jika dicermati, DCT-1 di atas jelas menggambarkan konteks (+P+D). Kritik itu dikemukakan oleh
bawahan (informan) kepada atasannya di kantor (Pak Hartono) dalam relasi yang tidak akrab (+D). Jika
informan dalam DCT-1 di atas memilih opsi (a), hal ini berarti informan tersebut mengemukakan kritiknya
dalam konteks (+P+D+Pu). Sebaliknya, jika informan lebih memilih opsi (b), hal ini berarti informan
tersebut lebih memilih mengekspresikan kritiknya dalam konteks (+P+D-Pu). Hasil analisis data
menunjukkan bahwa dari antara 50 informan yang mengisi DCT-1 di atas, ternyata 40 informan lebih
memilih opsi (a) dan hanya 10 informan yang memilih opsi (b). Hal ini menunjukkan bahwa dalam MBA
melakukan kritik dalam konteks (+P+D+Pu) dipandang lebih save (santun) daripada melakukan kritik dalam
konteks (+P+D-Pu).
Karena informan yang memilih melakukan kritik dalam konteks (+P+D+Pu) dalam DCT-1 di atas
berjumlah 40 orang, maka hal ini berarti tuturan kritik yang masuk dalam konteks tersebut juga berjumlah
40 tuturan (satu informan=satu tuturan). Yang menarik adalah dari 40 tuturan kritik tersebut, ternyata 25
tuturan di antaranya mencerminkan penggunaan strategi IC (Indirect Criticism) dan hanya 15 tuturan yang
mencerminkan penggunaan strategi DC (Direct Criticism). Berikut ini adalah contoh tuturan kritik dengan
strategi IC (1a) dan DC (1b) yang digunakan oleh informan untuk melakukan kritik kepada Pak Hartono
dalam konteks (+P+D+Pu) dalam DCT-1 di atas.
a. Kita semua sangat setuju bahwa kita harus menjaga sikap disiplin. Akan tetapi, persoalannya adalah
selama ini Pak Hartono tampaknya kurang memberikan contoh disiplin yang baik kepada bawahan
sehingga sikap disiplin ini menjadi agak sulit diwujudkan. Karena, bawahan biasanya mengambil contoh
dari pimpinan.(DC)
b. Kami sangat mendukung keinginan Bapak agar kita semua disiplin dalam bekerja. Tapi kami mohon
dengan sangat agar Pak Hartono selaku pimpinan juga memberikan contoh disiplin yang baik kepada
kami. (IC)
Jika disimak dengan baik, kritik (1a) di atas jelas mencerminkan penggunaan strategi DC karena
penilaian negatif yang menjadi substansi kritik oleh penuturnya dikemukakan secara jelas dan transparan
(seperti terlihat dalam head act bergaris bawah). Sebaliknya, kritik (1b) jelas menggunakan strategi IC
karena penilaian negatif tidak dikemukakan secara jelas, tetapi justru dikemukakan dengan menggunakan
permohonan (bergaris bawah). Secara lingual, permohonan itu ditandai oleh hadirnya kata mohon dalam
tuturan tersebut. Di atas dijelaskan, dalam konteks (+P+D+Pu) pemakaian strategi IC (seperti tercermin pada
data 1b) dalam MBA ternyata lebih tinggi daripada pemakaian strategi DC (seperti tercermin pada data 1a),
dengan perbandingan (25:15). Hal ini memberikan pengertian bahwa dalam MBA melakukan kritik dengan
strategi IC dalam konteks (+P+D+Pu) dipandang lebih lazim atau lebih santun daripada menggunakan
strategi DC. Namun demikian, sesuai dengan wawancara kepada informan, srategi DC dalam konteks
tersebut tetap dapat digunakan dan masih dipandang sebagai hal yang wajar dan normal asalkan disertai
dengan modifier yang dapat memperlunak daya sengat kritik. Dalam kritik (1a) di atas, modifier itu berupa
ungkapan persetujuan yang dikemukakan sebelum head act (inti kritik).

484
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Selanjutnya, dalam DCT-1 di atas, hanya terdapat 10 informan (dari 50 informan) yang memilih
melakukan kritik dalam konteks (+P+D-Pu). Karena yang memilih melakukan kritik dalam konteks (+P+D-
Pu) dalam DCT-1 di atas hanya 10 informan, maka tuturan kritik yang masuk dalam konteks tersebut juga
berjumlah 10 tuturan (satu informan=satu tuturan). Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap 10 tuturan
kritik tersebut, diketahui ternyata tidak terdapat satu tuturan pun yang merefleksikan penggunaan strategi
DC. Dengan kata lain, semua tuturan kritik yang dikemukakan dalam konteks (+P+D-Pu) tersebut
mencerminkan penggunaan strategi IC. Hal ini menunjukkan bahwa dalam MBA melakukan kritik dengan
strategi DC dalam konteks (+P+D-Pu) dipandang rawan mengancam muka (derajat kesantunannya rendah).
Oleh karena itu, strategi IC lebih cenderung digunakan. Data (2a) dan (2b) berikut merupakan contoh tuturan
kritik dengan strategi IC yang digunakan informan untuk melakukan kritik kepada Pak Hartono dalam
konteks (+P+D-Pu) dalam DCT-1 di atas. Dalam data (2a) dan (2b) berikut kritik dikemukakan dengan
formula semantik yang berupa saran. Secara lingual, saran itu ditandai oleh hadirnya kata sebaiknya (2a) dan
ungkapan barangkali lebih …kalau ….
a. Maaf ya Pak Hartono, soal disiplin itu, mungkin sebaiknya para karyawan itu langsung saja diberikan
contoh. Kalau hanya diperingatkan saja mereka suka nggak mempan. (IC)
b. Pak Hartono, berbicara soal disiplin pegawai, barangkali lebih efektif kalau ada contoh langsung dari
Bapak. Kalau hanya diperingatkan saja, mereka biasanya disiplin hanya sementara, tapi setelah itu akan
kembali lagi seperti semula. (IC)
Berdasarkan data yang diperoleh dari DCT-1 di atas, kesantunan kritik dalam konteks (+P+D+Pu)
dan (+P+D-Pu) dalam MBA secara ringkas dapat dikemukakan dalam tabel 1 berikut.
Tabel 1. Kesantunan Kritik dalam Konteks (+P+D+Pu) dan (+P+D-Pu) dalam MBA
No. Jenis Strategi Konteks Jumlah Penggunaan Strategi Kadar Ancaman
1 IC (+P+D+Pu) 25 (*)
2 DC (+P+D+Pu) 15 (**)
3 IC (+P+D-Pu) 10 (***)
4 DC (+P+D-Pu) 0 (****)
Tabel 1 di atas dapat dipahami sebagai berikut. Kritik dengan strategi apa pun, baik IC maupun DC,
selalu mengancam muka. Tidak ada kritik yang tidak mengancam muka sampai pada titik nol. Dalam tabel 1
di atas, penggunaan strategi dengan ancaman yang paling rendah (yang berarti nilai kesantunannya tinggi)
diberi tanda asterisk satu (*), sedangkan penggunaan strategi dengan ancaman yang paling tinggi (yang
berarti nilai kesantunannya rendah) diberi tanda asterisk empat (****). Sebuah strategi dalam konteks
tertentu dikatakan memiliki ancaman yang tinggi manakala dalam konteks tersebut tidak banyak dipilih oleh
informan. Sebaliknya, sebuah strategi dalam konteks tertentu dikatakan memiliki ancaman yang rendah
manakala dalam konteks tersebut banyak dipilih dan disukai oleh informan. Semakin banyak dipilih dan
disukai, semakin rendah kadar ancamannya (semakin santun). Sebaliknya, semakin tidak disukai dan tidak
dipilih (atau bahkan dihindari), semakin tinggi kadar ancamannya (semakin tidak santun).
Dalam tabel 1 di atas terlihat bahwa strategi IC dalam konteks (+P+D+Pu) (sesuai dengan data
dalam DCT-1) paling banyak digunakan oleh informan, yaitu 25 informan. Urutan di bawahnya adalah
penggunaan strategi DC dalam konteks yang sama, digunakan oleh 15 informan. Urutan di bawahnya lagi
adalah penggunaan strategi IC dalam konteks (+P+D-Pu), yang digunakan oleh 10 informan, dan yang
paling rendah adalah penggunaan strategi DC dalam konteks (+P+D-Pu), tidak ada satu pun informan yang
menggunakan. Hierarkhi ini menunjukkan bahwa penggunaan strategi IC dalam konteks (+P+D+Pu) dalam
MBA memiliki kadar ancaman yang paling rendah (bertanda asterisk (*)), penggunaan strategi DC dalam
konteks yang sama memiliki kadar ancaman yang lebih tinggi (bertanda asterisk (**)), penggunaan strategi
IC dalam konteks (+P+D-Pu) memiliki kadar ancaman yang lebih tinggi lagi (bertanda asterisk (***)), dan
yang paling tinggi kadar ancamannya adalah penggunaan strategi DC dalam konteks (+P+D-Pu) (bertanda
asterisk (****)). Tentu saja melakukan kritik dengan kadar ancaman yang tinggi sangat riskan menimbulkan
ketegangan atau bahkan konflik di antara pelaku kritik dan penerima kritik.
Kesantunan Kritik dalam Konteks (+P-D+Pu) dan (+P-D-Pu)
Kesantunan kritik dalam seksi ini dilihat berdasarkan konteks (+P-D+Pu) dan (+P-D-Pu). Kedua jenis
konteks ini juga cukup mirip karena perbedaannya hanya terdapat pada fitur (±Pu). Untuk memahami
bagaimana kesantunan kritik itu diwujudkan dalam konteks (+P-D+Pu) dan (+P-D-Pu) ini, informan
disodori sebuah kasus yang dirumuskan dalam DCT-2 berikut.

485
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
DCT-2
Pak Gunawan, kepala kantor Anda (informan), dikenal tidak tegas. Dia sering membiarkan tindakan tidak
disiplin yang dilakukan oleh bawahannya, misalnya datang terlambat, membolos, keluyuran pada jam kerja,
dan lain-lain. Akibatnya, pekerjaan kantor terganggu dan tidak beres. Anda (informan) sebagai pegawai
yang baik menganggap tidak seharusnya Pak Gunawan selaku kepala kantor membiarkan bawahannya tidak
disiplin seperti itu. (Ingat, hubungan Anda dengan Pak Gunawan cukup baik dan akrab)
Pertanyaan:
Sebagai bawahan yang kenal baik dengan Pak Gunawan, apa yang Anda lakukan terhadap Pak Gunawan?
a. Melakukan kritik kepada Pak Gunawan secara terbuka (+Pu) dalam rapat kantor atau pertemuan yang
lain, yang berbunyi ………………………………………...........................................
b. Melakukan kritik kepada Pak Gunawan secara pribadi (-Pu), yang berbunyi…. ………………
DCT-2 di atas menggambarkan konteks (+P-D). Kritik itu dikemukakan oleh bawahan (informan)
kepada atasannya di kantor (Pak Gunawan) dalam relasi yang akrab (-D). Jika informan dalam DCT-2 di
atas memilih opsi (a), hal ini berarti informan tersebut mengemukakan kritiknya dalam konteks (+P-D+Pu).
Sebaliknya, jika informan lebih memilih opsi (b), hal ini berarti informan tersebut lebih memilih
mengekspresikan kritiknya dalam konteks (+P-D-Pu). Hasil analisis data menunjukkan bahwa dari antara 50
informan yang mengisi DCT-2 di atas, ternyata 42 informan lebih memilih opsi (b) dan hanya 8 informan
yang memilih opsi (a). Hal ini menunjukkan bahwa dalam MBA melakukan kritik dalam konteks (+P-D-Pu)
dipandang jauh lebih save (santun) daripada melakukan kritik dalam konteks (+P-D+Pu).
Karena informan yang memilih melakukan kritik dalam konteks (+P-D-Pu) dalam DCT-2 di atas
berjumlah 42 orang, maka hal ini berarti tuturan kritik yang masuk dalam konteks tersebut juga berjumlah
42 tuturan (satu informan=satu tuturan). Berdasarkan analisis data yang dilakukan, dari antara 42 tuturan
kritik tersebut, ternyata 31 tuturan di antaranya mencerminkan penggunaan strategi IC dan hanya 11 tuturan
yang mencerminkan penggunaan strategi DC. Tuturan kritik berikut merupakan contoh tuturan kritik dengan
strategi IC (3a) dan DC (3b) yang digunakan oleh informan untuk melakukan kritik kepada Pak Gunawan
dalam konteks (+P-D-Pu) dalam DCT-2 di atas.
a. Pak Gunawan, sepertinya njenengan terlalu lunak kepada karyawan sehingga mereka seenaknya kalau
bekerja. Mungkin sekali-kali mereka perlu diketati Pak supaya semangat kerja mereka tidak kendor.
b. Pak Gun, kalau saya rasakan, sepertinya kinerja pegawai akhir-akhir ini agak kendor. Mereka kurang
disiplin. Barangkali tidak ada salahnya njenengan selaku pimpinan menegur mereka yang tidak disiplin.
Biar mereka tidak seeneknya.
Jika dicermati, tuturan kritik (3a) di atas jelas menggunakan strategi DC karena penilaian negatif
yang menjadi substansi kritik dikemukakan secara jelas dan transparan (seperti terlihat dalam head act-nya,
bergaris bawah). Sebaliknya, tuturan kritik (3b) jelas menggunakan strategi IC karena penilaian negatif tidak
dikemukakan secara transparan, tetapi dikemukakan dengan saran (bergaris bawah). Secara lingual saran itu
ditandai oleh ungkapan tidak ada salahnya. Di atas dijelaskan, dalam konteks (+P-D-Pu) pemakaian strategi
IC (seperti tercermin dalam data 3b) dalam MBA ternyata lebih tinggi daripada pemakaian strategi DC
(seperti tercermin data 3a), dengan perbandingan (31:11). Hal ini memberikan pengertian bahwa dalam
MBA melakukan kritik dengan strategi IC dalam konteks (+P-D-Pu) dipandang lebih lazim atau lebih santun
daripada menggunakan strategi DC. Namun demikian, sesuai dengan wawancara kepada informan,
penggunaan srategi DC dalam konteks (+P-D-Pu) dalam MBA masih dipandang sebagai hal yang wajar
asalkan disertai dengan modifier yang dapat memperlunak daya sengat kritik.
Selanjutnya, dalam DCT-2 di atas, hanya terdapat 8 informan (dari 50 informan) yang memilih
melakukan kritik dalam konteks (+P-D+Pu). Karena yang memilih melakukan kritik dalam konteks (+P-
D+Pu) dalam DCT-2 di atas hanya 8 informan, maka tuturan kritik yang masuk dalam konteks tersebut juga
berjumlah 8 tuturan (satu informan=satu tuturan). Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap 8 tuturan
kritik tersebut, diketahui ternyata tidak terdapat satu tuturan pun yang merefleksikan penggunaan strategi
DC. Dengan kata lain, semua tuturan kritik yang dikemukakan dalam konteks (+P-D+Pu) tersebut
mencerminkan penggunaan strategi IC. Hal ini menunjukkan bahwa dalam MBA melakukan kritik dengan
strategi DC dalam konteks (+P-D+Pu) dipandang rawan mengancam muka (derajat kesantunannya rendah).
Oleh karena itu, strategi IC lebih cenderung digunakan. Data (4a) dan (4b) berikut merupakan contoh tuturan
kritik dengan strategi IC yang digunakan informan untuk melakukan kritik kepada Pak Gunawan dalam
konteks (+P-D+Pu) dalam DCT-2 di atas.
a. Pak Gun, kalau boleh saya usul agar pegawai yang tidak disiplin ditegur dan diperingatkan. Sebab akhir-
akhir ini saya melihat banyak pegawai yang mulai seenaknya dalam bekerja. (IC)
b. Sebelumnya saya mohon maaf Pak Gunawan. Kita semua kan wajib menjaga disiplin kerja. Jadi, kalau
ada karyawan yang tidak disiplin, saya mohon Pak Gunawan bisa berditindak tegas. (IC)

486
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Berdasarkan data yang diperoleh dari DCT-2 di atas, kesantunan kritik dalam konteks (+P-D+Pu) dan (+P-
D-Pu) dalam MBA secara ringkas dapat dikemukakan dalam tabel 2 berikut.
Tabel 2. Kesantunan Kritik dalam konteks (+P-D+Pu) dan (+P-D-Pu) dalam MBA
No. Jenis Strategi Konteks Jumlah Penggunaan Strategi Kadar Ancaman
1 IC (+P-D-Pu) 31 (*)
2 DC (+P-D-Pu) 11 (**)
3 IC (+P-D+Pu) 8 (***)
4 IC (+P-D+Pu) 0 (****)
Tabel 2 di atas memberikan pemahaman bahwa strategi IC dalam konteks (+P-D-Pu) paling banyak
digunakan oleh informan, yaitu 31 informan. Urutan di bawahnya adalah penggunaan strategi DC dalam
konteks yang sama, digunakan oleh 11 informan. Urutan di bawahnya lagi adalah penggunaan strategi IC
dalam konteks (+P-D+Pu), yang digunakan oleh 8 informan, dan yang paling rendah adalah penggunaan
strategi DC dalam konteks (+P-D+Pu), tidak ada satu pun informan yang menggunakan. Hierarkhi di atas
memberikan pemahaman bahwa penggunaan strategi IC dalam konteks (+P-D-Pu) memiliki kadar ancaman
yang paling rendah (bertanda asterisk satu (*).Urutan berikutnya adalah penggunaan strategi DC dalam
konteks yang sama (+P-D-Pu) yang memiliki kadar ancaman yang lebih tinggi (bertanda asterisk dua (**).
Selanjutnya, penggunaan strategi IC dalam konteks (+P-D+Pu) memiliki kadar ancaman yang lebih tinggi
lagi (bertanda asterisk tiga (***), dan yang paling tinggi kadar ancamannya adalah penggunaan strategi DC
dalam konteks (+P-D+Pu) (bertanda asterisk empat (****).

SIMPULAN
Berdasarkan analisis data dan pembahasan di atas, kesantunan kritik dalam masyarakat budaya Arek dapat
disimpulkan sebagai berikut.
Dalam MBA penggunaan strategi IC dalam konteks (+P+D+Pu) dipandang lebih santun
(mempunyai kadar ancaman yang lebih rendah) daripada penggunaan strategi DC dalam konteks yang sama.
Namun, penggunaan strategi DC dalam konteks (+P+D+Pu) dipandang lebih santun (mempunyai kadar
ancaman yang lebih rendah) daripada penggunaan strategi IC dalam konteks (+P+D-Pu). Sementara itu,
penggunaan strategi DC dalam konteks (+P+D-Pu) cenderung dipandang tidak santun dan cenderung
dihindari karena memiliki kadar ancaman sangat tinggi.
Penggunaan strategi IC dalam konteks (+P-D-Pu) dipandang lebih santun (memiliki kadar ancaman
yang rendah) daripada penggunaan strategi DC dalam konteks yang sama. Namun, penggunaan strategi DC
dalam konteks (+P-D-Pu) dipandang lebih santun daripada penggunaan strategi IC dalam konteks (+P-
D+Pu). Yang dipandang paling tidak santun (kadar ancamannya sangat tinggi) adalah penggunaan strategi
DC dalam konteks (+P-D+Pu). Penggunaan strategi DC dalam konteks ini cenderung dihindari.Tentu saja
melakukan kritik dengan kadar ancaman yang tinggi sangat riskan menimbulkan ketegangan atau bahkan
konflik di antara pelaku kritik dan penerima kritik.

DAFTAR PUSTAKA
Blum-Kulka, Shoshana, Juliane House, & Grabriele Kasper (eds). 1989. Cross-Cultural Pragmatics: Request and
Apologies. New Jersey. Ablex Publishing Corporation Norwood
Brown, Penelope dan S.C. Levinson. 1987. Politeness: Some Universals in Language Usage. Cambridge: Cambridge
University Press.
Gunarwan. 1996. “The Speech Act of Criticizing among Speakers of Javanese”. Makalah Dipresentasikan dalam
Pertemuan ke-6 South East Asian Linguistiks Society. Tidak diterbitkan.
Hoang Thi Xuan Hoa. 2007. “Criticizing Behaviors by the Vietnamese and the American: Topics, Sosial Fators, and
Frequency”. VNU Journal of Science. Foreign Languages, 133-146
Leech, Geoffrey. 1993. Prinisip-Prinsip Pragmatik. Diterjemahakan oleh M.D.D. Oka. Jakarta: Universitas Indonesia.
Leech, Geoffrey. 2014. The Pragmatics of Politeness. New York: Oxford University Press.
MIN Shang-chao. 2008. “Study on tne Differences of Speech Act of Criticism in Chinese and English” dalam US-
China Foreign Language, Maret 2008, Volume 6, No. 3 (Serial No.46).
Mulac, Anthony, David R. Seibold, & Jennifer Lee Farris. 2000. “Female and Male Managers’ Criticism Giving:
Differences in Language Use and Effects” dalam Journal of Language and Psycology. Vol 19. N0 4.
Desember. 2000.
Nguyen, Minh Thi Thui. 2005. “Criticizing and Responding to Criticism in A Foreign Language: A Study of
Vietnamese Leaners of English”. A Thesis Submitted for the Degree of Doctor of Phillosophy in Language
Teaching, The University of AucDCand.

487
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Tracy, K and Eisenberg. 1990. “Giving Criticism: A Multiple Goals Case Study” dalam Research on Language and
Sosial Interaction.
Tracy, Karen, Donna Van Dussen, & Susan Robinson. 1987. “Good and Bad Criticism: A Descriptive Analysis” dalam
Journal of Communication.
Toplak, M. and Katz, A. 2000. “On the Uses of Sarcartic Irony” dalam Journal of Pragmatic.
Wajnryb, R. 1985. “Strategies for the Management and Delivery of Criticism” dalam EA Journal.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Edy Jauhari, Djatmika, Riyadi Santosa
Institusi : Universitas Sebelas Maret

488
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
REGISTER TIFAR MAYANG DI KECAMATAN LEITIMUR SELATAN KOTA AMBON
DAN KECAMATAN PIRU KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT PROPINSI MALUKU
(SUATU KAJIAN ETNOLINGUISTIK)

Leonora Farilyn Pesiwarissa


Universitas Pattimura Ambon
lpesiwarissa@gmail.com

ABSTRAK
Tifar Mayang (penyadapan nira) adalah proses pengambilan getah pada pohon mayang (Arenga Pinnata) yang biasa
dilakukan oleh kaum lelaki dewasa sebagai salah satu mata pencaharian sejak zaman leluhur di Propinsi Maluku. Seiring
perkembangan waktu, ditemukan perbedaan beberapa leksikon yang sering dipakai dalam proses penyadapan nira pada
beberapa daerah di Propinsi Maluku. Dengan demikian, penelitian ini akan mendeskripsikan perbedaan register dalam
proses penyadapan nira yang dipakai di desa-desa yang berada di Kecamatan Leitimur Selatan Kota Ambon dengan
desa-desa di Kecamatan Piru, Kabupaten Seram Bagian Barat Propinsi Maluku, serta latar belakang kultural yang
mendasari perbedaan register tifar mayang pada kedua daerah ini. Penelitian bersifat kualitatif dengan menggunakan
pendekatan etnolinguistik, yang menitikberatkan pada bentuk-bentuk register yang digunakan, serta latar belakang
kultural pemakaian register tifar mayang di Kota Ambon dan Kabupaten Seram Bagian Barat, Propinsi Maluku. Metode
yang digunakan adalah observasi partisipatif, dengan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi untuk pengumpulan
data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk-bentuk register tifar mayang di dua lokasi ini dapat diklasifikasikan
berdasarkan: (1) bentuk lingual, (2) sumber leksikon, (3) aktivitas, dan (4) alat/bahan. Latar belakang kultural pemakaian
register tifar mayang adalah berdasarkan faktor situasi, serta tipologis lingkungan tempat tinggal.
Kata kunci: Register, Tifar Mayang, Etnolinguistik

PENDAHULUAN
Bahasa adalah media bagi manusia untuk berkomunikasi, untuk mengekspresikan segala yang ada dalam
alam pikirannya, dan untuk mengungkapkan jati dirinya. Tidak ada aktivitas manusia yang tidak
menggunakan bahasa.
Setiap komunitas atau kelompok bahasa mempunyai kekhasan tersendiri dalam berbahasa. Hal ini
berkaitan dengan hakikat bahasa yaitu arbitrer dan konvensional. Arbitrer artinya tidak ada hubungan wajib
antara lambang bahasa yang berwujud bunyi dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang
tersebut. Konvensional berarti makna yang terkandung dalam sebuah kata bergantung pada kesepakatan
masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan (Chaer, 2007: 45). Hal tersebut bertujuan agar masyarakat
tidak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan bahasa. Selain itu, faktor-faktor di luar kebahasaan
di antaranya kondisi demografis lingkungan, kondisi sosial dan budaya, jenis kelamin, pekerjaan, dan tingkat
perekonomian turut memengaruhi variasi bahasa yang digunakan dalam masyarakat. Oleh karena itu, untuk
mengetahui dengan baik bentuk-bentuk bahasa yang digunakan dalam suatu komunitas atau kelompok
bahasa, kita tidak bisa hanya menelaah dari segi bahasa saja. Sapir dalam Wardaugh (1993) menyatakan
bahwa seseorang tidak dapat memahami bahasa tanpa mengetahui budayanya dan sebaliknya orang tidak
dapat memahami budaya tanpa memahami bahasanya.
Salah satu wujud variasi bahasa yaitu register yang digunakan oleh masyarakat Propinsi Maluku
ditemukan pada mereka yang berprofesi sebagai petani sopi. Petani sopi adalah masyarakat yang sehari-hari
bekerja sebagai penghasil sopi dengan cara menyadap pohon aren atau nira (arenga Pinata) untuk diambil
getahnya dan kemudian diolah menjadi sopi (minuman keras khas Maluku). Proses penyadapan nira dikenal
dengan istilah tifar mayang. Prosesi tifar mayang dapat ditemukan hampir di semua desa di Maluku. Selain
untuk memenuhi tuntutan ekonomi, latar belakang sosial budaya orang Maluku yang selalu membutuhkan
hasil penyulingan air nira tersebut yang menyebabkan kegiatan ini selalu dilakukan. Meskipun demikian,
kegiatan tifar mayang ternyata memiliki kecenderungan pemakaian register yang berbeda pada beberapa
daerah di Propinsi Maluku. Contohnya, istilah ade tema, kaka talai, ade talai yang dikenal di desa-desa di
Pulau Ambon, yaitu sebutan untuk bunga atau buah aren yang muncul setelah bunga yang pertama (mayang
tema), tidak dikenal di desa-desa di Pulau Seram. Istilah kolbasa/kalabasa (buah maja) yang sering dipakai
di desa-desa di Pulau Ambon sebagai wadah penampung air nira tidak dikenal di desa-desa di Pulau Seram
dikarenakan mereka menggunakan wadah lain untuk menampung air nira. Selain itu, perbedaan prosesi tifar
dan latar belakang filosofi budaya juga turut mempengaruhi perbedaan register di kedua daerah ini.
Register adalah bentuk variasi bahasa yang disebabkan oleh sifat-sifat khas kebutuhan pemakaian
bahasa (Suwito dalam Sujarwanto dan Jabrohim, 2002: 3). Dengan kata lain, setiap bidang yang dikerjakan
oleh manusia lama kelamaan sesuai dengan perkembangan bidang yang dimaksud, membutuhkan suatu
bahasa tertentu demi kelancaran komunikasi dalam bidang tersebut. Hal ini menimbulkan suatu ciri khas
bahasa yang dipakai, sehingga diharapkan setiap orang yang mendengar variasi bahasa mereka dapat

489
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
langsung mengetahui bahwa bahasa yang dipakai itu berasal dari pekerjaan yang dimaksud. Halliday dalam
Purwanto (2009) menjelaskan bahwa register adalah suatu bentuk prediksi dalam arti untuk mengetahui
situasi dan konteks sosial pemakaian bahasa, bahasa yang akan terjadi dan dipakai. Dengan demikian,
fenomena pemakaian register tentunya akan mengalami suatu perkembangan, baik dari khasanah kosakata
dan ungkapan-ungkapannya, maupun perkembangan dalam pengacuan maknanya, yang dipengaruhi oleh
faktor-faktor nonkebahasaan seperti unsur filosofis, sosial budaya, perekonomian, dan sebagainya.
Berdasarkan hal di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (1) bagaimanakah
deskripsi dan klasifikasi bentuk-bentuk register tifar mayang di Kecamatan Leitimur Selatan Kota Ambon
dengan di Kecamatan Piru Kabupaten Seram Bagian Barat Propinsi Maluku? (2) bagaimanakah latar
belakang kultural yang mendasari perbedaan register tifar mayang di Kecamatan Leitimur Selatan dan di
Kecamatan Piru Kabupaten Seram Bagian Barat?

METODOLOGI
Penelitian register tifar mayang ini bersifat kualitatif dengan menggunakan pendekatan etnolinguistik.
Metode yang digunakan adalah observasi partisipatif, di mana peneliti turun langsung di lapangan untuk
mengamati, merekam, dan mendokumentasikan data serta turut berpartisipasi dalam kegiatan yang
diobservasi, dideskripsi, dan dianalisis (Sibarani, 2004: 54).
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil lokasi penelitian pada beberapa desa di Pulau Ambon,
tepatnya di Kecamatan Leitimur Selatan Kota Ambon (yakni Desa Hatalae, Desa Naku, Desa Kilang),
dengan beberapa desa di Pulau Seram, tepatnya di Kecamatan Piru, Kabupaten Seram Bagian Barat (yakni
Desa Eti, Dusun Mata Ampat). Informan yang digunakan adalah mereka yang berprofesi sebagai petani sopi
di kedua lokasi penelitian tersebut. Data penelitian berupa bentuk-bentuk register tifar mayang yang
diucapkan dalam tuturan verbal para petani sopi yang berdomisili di kedua lokasi penelitian. Untuk
mengumpulkan data dilakukan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian dikaji secara
deskriptif dengan pisau bedah etnolinguistik, yang menitikberatkan pada bentuk-bentuk register yang
digunakan, serta latar belakang kultural pemakaian register tifar mayang di Kecamatan Leitimur Selatan
Kota Ambon dan Kabupaten Seram Bagian Barat, Propinsi Maluku.

PEMBAHASAN
Berdasarkan temuan, bentuk-bentuk register tifar mayang di Kecamatan Leitimur Selatan Kota Ambon dan
Kecamatan Piru Kabupaten Seram Bagian Barat dapat diklasifikasikan berdasarkan: (1) bentuk lingual, (2)
sumber leksikon, (3) aktivitas, dan (4) alat/bahan.
Register Tifar Mayang Berdasarkan Bentuk Lingual
Berdasarkan bentuk-bentuk lingual, register tifar mayang di kedua lokasi penelitian ini (Kecamatan Leitimur
Selatan Kota Ambon dan Kecamatan Piru Kabupaten Seram Bagian Barat) terdiri dari kata dan frase. Bentuk
register tifar mayang yang merupakan kata berprefiks hanya ditemukan satu buah yaitu pansarong
‘sarung/rumah pisau atau parang yang digunakan untuk mengiris batang mayang dan dipakai di Desa Eti dan
Dusun Mata Ampat Kecamatan Piru Kabupaten Seram Bagian Barat. Bentuk register yang berupa kata
berkategori nomina dan verba, antara lain, sageru, kolbasa, gen, pansarong, gamutu, bua, bunga, martelu,
sahani, lombar, talai, minya berkategori nomina, sedangkan latar, palatar, tongka, pukul, toki, kupas, iris,
ika, bungkus, dan tada berkategori verba.
Sementara itu bentuk register tifar mayang yang berupa frase sebagian besar berkategori nominal,
antara lain, piso tifar, sarong tifar, mayang tema, mayang laki-laki, mayang parampuang, bua aer, bua batu,
ade tema, kaka talai, ade talai, mayang talai, lombar mayang, daong kapas utang, daong aseu, daong kora-
kora, luka mayang, bunga mayang, luka karing bua, tai mayang. Bentuk frase yang berkategori nominal
hanya beberapa bentuk, yaitu palatar mayang, putus rambu, buka gamutu, iris pagi sore, pica bua, dan
pukul deng goyang.
Register Tifar Mayang Berdasarkan Sumber Leksikon
Berdasarkan sumber leksikonnya, sebagian besar bentuk register tifar mayang berasal dari bahasa Melayu
Ambon, hanya beberapa kosakata yang berasal dari kosakata bahasa daerah, yakni palatar, latar, talai, dan
sahani.
Register Tifar Mayang Berdasarkan Aktivitas
Berdasarkan aktivitas tifar mayang yang biasa dilakukan oleh para penyadap nira/mayang di kedua daerah
ini, bentuk register yang ditemukan memiliki perbedaan. Bentuk-bentuk register berdasarkan aktivitas tifar
mayang di daerah Kecamatan Leitimur Selatan sebagai berikut: palatar mayang, tongka, kupas lombar,
pukul di buku, pukul deng goyang, bunga babou, minya karing, bungkus la ika, iris pertama, tada sageru.
Bentuk-bentuk register berdasarkan aktivitas di daerah Kecamatan Piru Kabupaten Seram Bagian Barat
490
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
sebagai berikut: latar, buka gamutu, tongka mayang, kupas sahani, cincang batang, toki ampa kali, luka
karing bua, minya kabor, pica bua, iris pagi sore, tada gen. Perbedaan bentuk register pada kedua daerah
disebabkan perbedaan prosesi tifar mayang yang biasanya dilakukan para penyadap nira/mayang di kedua
daerah ini.
Register Tifar Mayang Berdasarkan Alat/Bahan
Alat atau bahan yang digunakan dalam prosesi tifar mayang di Kecamatan Leitimur Selatan Kota Ambon
agak berbeda dengan di Kecamatan Piru Kabupaten Seram Bagian Barat. Hal ini menyebabkan perbedaan
bentuk register yang ditemukan. Bentuk-bentuk register berdasarkan alat/bahan di Kecamatan Leitimur
Selatan antara lain: kolbasa, sageru, piso tifar, sarong, sabong, pamukul, daong balender, daong kora-kora.
Sementara itu, di Kecamatan Piru Kabupaten Seram Bagian Barat, bentuk register yang ditemukan antara
lain: gen, cirigen, bambu, sageru, piso tifar, pansarong, dan martelu.
Latar Belakang Kultural Pemakaian Register Tifar Mayang
Berdasarkan hasil penelitian, latar belakang kultural yang memengaruhi bentuk-bentuk register tifar mayang
di Kecamatan Leitimur Selatan Kota Ambon dengan di Kecamatan Piru Kabupaten Seram Bagian Barat,
yang pertama adalah tradisi tifar yang agak berbeda di kedua daerah ini.
Pada prosesi awal (membersihkan pohon nira/mayang sekaligus membuat tempat pijakan kaki untuk
memanjat) masih terdapat kesamaan, namun pada langkah selanjutnya ditemukan perbedaan. Langkah kedua,
di Kecamatan Piru Kabupaten Seram bagian Barat, semua dahan/pelepah dibersihkan atau dipotong
sehingga hanya tinggal buah yang akan disadap. Serabut yang timbul dari pelepah pohon juga harus
dipotong. Di Kecamatan Leitimur Selatan, pemotongan gamutu tidak pernah dilakukan. Hal ini didasari
filosofi yang dianut oleh maasyarakat setempat yang menganggap bahwa gamutu adalah rambut perempuan
yang adalah pohon nira itu sendiri. Dahan-dahan pohon nira juga tidak banyak yang dipotong karena asumsi
mereka, jika banyak dahan yang dipotong akan menimbulkan ‘’kesakitan’ pada pohon tersebut yang akan
berimbas pada kurangnya air nira. Langkah ketiga, setelah pembersihan, tunggul buah mayang yang akan
disadap airnya kemudian ditopang menggunakan kayu. Untuk memilih tunggul buah yang akan disadap,
mereka harus mengetahui buah mana yang mengandung banyak air. Di Kecamatan Piru dikenal dengan
istilah bua aer dan bua batu. Bua aer untuk menyebutkan buah yang banyak mengandung air dan bisa
disadap, sedangkan bua batu untu menyebutkan buah yang tidak bisa disadap. Di Kecamatan Leitimur
Selatan, dikenal dengan istilah mayang laki-laki dan mayang perempuan. Hal ini juga didasari filosofis yang
memandang pohon nira sebagai (manusia) perempuan. Langkah keempat, adalah mengupas pelepah untuk
mencari posisi yang tepat untuk pengirisan. DI Kecamatan Piru, langkah ini diawali dengan mencincang
batang pohon mayang agar pelepah dapat dengan mudah terlepas. Hal ini berbeda dengan Kecamatan
Leitimur Selatan yang tidak melukai batang pohon nira. Pelepah itu akan dilepas secara perlahan sehingga
tidak menimbulkan luka di batang pohon. Langkah kelima, ditemukan perbedaan cara pada kedua daerah ini.
Di Kecamatan Piru, batang pohon hanya diketuk-ketuk menggunakan martelu sebanyak empat kali selama
kurang lebih dua minggu. Setelah luka karing bua (buah yang tunggulnya diiris mulai mengering dan
buahnya mulai pecah ‘pica bua’), atau minya kabor (minyak atau air dari buah kelihatan kabur) menandakan
air nira akan mulai mengalir keluar. Penyadap harus menyediakan wadah ‘gen/cirigen’ untuk menampung
air nira. Berbeda dengan Kecamatan Piru, di Kecamatan Leitimur Selatan, batang pohon dipukul dan
digoyang-goyang sebanyak duabelas kali selama tiga sampai empat minggu. Hal ini bertujuan agar air nira
‘masak’ dan lebih banyak keluar. Setelah bunga babou (buah yang tunggulnya diiris mulai mengeluarkan
bau khasnya), dan minyak dalam buah tersebut sudah kering, menandakan air nira sudah akan keluar. Dalam
hal ini, juga terdapat perbedaan dalam cara membungkus bekas irisan. Di Kecamatan Piru, bekas irisan
ditutup menggunakan plastik dan diikat dengan tali, sedangkan di Kecamatan Leitimur Selatan
menggunakan daun kapas hutan atau daun aseu, yang ditutup lagi dengan daun kora-kora ‘daun seribu’.
Kolbasa diletakkan dengan cara digantung pada pelepah pohon dan ditutup atasnya dengan gamutu ‘ijuk’.
Faktor lain yang mempengaruhi perbedaan register tifar mayang di Kecamatan Leitimur Selatan dan
Kecamatan Piru adalah unsur filosofi yang dianut masyarakat di kedua daerah dalam mengambil hasil dari
alam atau lingkungan tempat tinggal mereka, khususnya dalam mengambil air nira. Pada desa-desa di
Kecamatan Leitimur Selatan (Desa Hatalae, Naku, dan Kilang) dikenal unsur filosofi yang memandang
pohon mayang sebagai seorang perempuan (ibu) dan air nira dipandang sebagai air susu ibu. Jadi, prosesi
tifar mayang dianggap sebagai seorang anak yang akan menyusu pada ibunya, atau ayah yang akan
mengambil air susu dari ‘istrinya’ untuk anak-anaknya. Oleh karena itu, prosesi tifar tidak boleh dilakukan
dengan sembarangan. Berdasarkan wawancara dengan informan, terkadang dalam melakukan prosesi tifar,
pohon mayang harus ‘dibujuk’ dengan menggosok-gosok batang pohonnya disertai dengan ‘bicara-bicara’11

11
‘bicara-bicara’ dapat berupa kata-kata bujukan atau rayuan, misalnya: “mengalir banya-banya supaya beta dapa
kase makang anana dar se aer” (terjemahan bebas: “mengalirlah dengan berlimpah supaya saya dapat memberi makan
anak-anak (saya) dari airmu”)
491
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
agar pohon tersebut dapat menghasilkan air nira yang baik dan berlimpah. Selain itu, proses penyadapan nira
pun harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian sebagaimana seorang laki-laki memperlakukan pasangan
perempuannya. Mereka memercayai bahwa bila mereka memperlakukan pohon nira/mayang mereka dengan
baik, maka air nira yang diperoleh akan lebih baik, lebih banyak dan berlimpah.
Sementara itu, di Kecamatan Piru Kabupaten Seram Bagian Barat, unsur filosofi tersebut hampir
tidak lagi dikenal oleh masyarakat di sana. Asumsi penulis berdasarkan hasil wawancara dengan informan di
daerah tersebut, hal ini dikarenakan kondisi lingkungan yang berada di dekat sungai, sehingga
memungkinkan pohon nira banyak tumbuh di sana. Keberadaan pohon nira yang banyak ini mendorong
penduduk di sana menjadikan nira sebagai mata pencaharian mereka, sehingga dalam perkembangan waktu,
prosesi tifar mayang menjadi hal yang biasa bagi mereka. Tidak ada lagi unsur atau ‘rasa’ yang ‘mengikat’
antara penyadap dengan pohon nira.
Selain hal di atas, pengaruh kemajuan teknologi juga turut memengaruhi pemakaian register dalam
prosesi tifar mayang di Kecamatan Piru Kabupaten Seram Bagian Barat. Dalam perkembangan waktu,
banyak alat-alat atau bahan dari alam yang dulunya digunakan dalam tifar mayang diganti dengan alat-alat
buatan pabrik. Misalnya, wadah yang digunakan untuk menampung air nira yang dulunya terbuat dari
bambu, sekarang diganti dengan gen/cirigen ‘wadah bekas penampung minyak’. Hal yang berbeda
ditemukan di Kecamatan Leitimur Selatan, alat-alat atau bahan untuk prosesi tifar yang berasal dari alam
masih banyak digunakan, seperti kolbasa (buah kalabasa atau buah maja) untuk menampung air nira, daong
kapas utang ‘daun kapas hutan’, daong aseu ‘daun aseu’ yang digunakan untuk merangsang keluarnya getah
nira, dan daong kora-kora ‘daun seribu’ yang digunakan untuk menutup bekas irisan pada batang nira agar
airnya tidak tumpah keluar dari wadah penampung.

SIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa register tifar mayang di Kecamatan Leitimur
Selatan Kota Ambon dan di Kecamatan Piru Kabupaten SBB dapat diklasifikasikan berdasarkan bentuk
lingual, sumber leksikon, aktivitas atau prosesi tifar mayang, dan alat atau bahan yang digunakan dalam
prosesi tifar mayang. Data yang ditemukan di lapangan menunjukkan perbedaan pemakaian register di kedua
daerah tersebut yang ternyata dipengaruhi oleh (1) faktor situasi, dalam hal ini unsur filosofi yang mendasari
pengambilan hasil-hasil alam, yang pada kenyataannya sudah mulai memudar di Kecamatan Piru kabupaten
Seram Bagian Barat, sehingga prosesi tifar mayang dianggap sebagai suatu rutinitas biasa tanpa ada ‘rasa’
yang mendasari prosesi tersebut. Hal ini berpengaruh pada prosesi tifar serta pemakaian alat atau bahan
dalam prosesi tifar mayang; (2) faktor kondisi tipologis lingkungan, yang mana letak Kecamatan Piru
(khususnya Desa Eti dan Dusun Mata Ampa) yang berdekatan dengan sungai, sehingga menyebabkan
banyak pohon nira yang tumbuh di daerah itu. Banyaknya pohon nira yang tumbuh mendorong masyarakat
untuk menjadikan tifar mayang sebagai mata pencaharian mereka sehingga dalam perkembangan waktu,
prosesi tifar mayang menjadi hal yang biasa bagi mereka. Tidak ada lagi unsur atau ‘rasa’ yang ‘mengikat’
antara penyadap dengan pohon nira. Kondisi tipologis lingkungan Kecamatan Leitimur Selatan yang berupa
pegunungan menyebabkan lebih sedikit pohon nira yang tumbuh, sehingga bagi masyarakat di daerah
tersebut, prosesi tifar mayang masih merupakan profesi yang ‘melibatkan perasaan khusus’ antara mereka
dengan pohon nira/mayang; (3) kemajuan teknologi mengakibatkan alat atau bahan-bahan yang digunakan
untuk proses tifar mayang diganti dengan alat-alat buatan pabrik, sehingga turut memengaruhi pemakaian
register di Kecamatan Piru Kabupaten SBB.

DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta
Chaer, Abdul, dan Leoni Agustina. 2008. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta
Duranti, Alessandro. 1997. Linguistics Anthropology. New York: Cambridge University Press
Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Sudaryanto, 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press
Spradley, James. Metode Etnografi. Jakarta: Tiara Wacana
Ufi, Antonius Josep, ed. 2012. Menggali Sejarah dan Kearifan Lokal Maluku. Jakarta: Cahaya Pineleng
Wardaugh, 1992. An Introduction to Sosiolinguistics. Cambridge: Blackwell Publishers
Purwanto, Dwi. 2009. “Etnografi Komunikasi dan Register”. Dengan link (dwipur_sastra.staff.uns.ac.id/2009/06/03/
etnografi-komunikasi-dan-register) diakses pada tanggal 08 Maret 2016 pukul 23.15 WIT.

492
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
No. Bentuk Register Makna
Kec. Leitisel* Kec. Piru
1. Piso tifar Piso tifar Pisau yang digunakan
dalam proses tifar, untuk
membersihkan dan
mengiris mayang
2. Sarong tifar pansarong Sarung/ rumah pisau
3. pamukul martelu Benda yang terbuat dari
kayu yang berfungsi untuk
memukul/mengetuk
batang mayang
4. sageru sageru Air mayang/nira
5. kolbasa Gen, cirigen Wadah untuk menampung
air mayang/nira
6. Mayang tema Mayang tema Bunga atau buah mayang
yang keluar pertama kali
7. Ade tema talai Bunga atau buah yang
keluar kedua kali atau
setelah mayang tema
8. Kaka talai talai Bunga atau buah yang
keluar ketiga atau setelah
ade tema
9. Ade talai talai Bunga atau buah yang
keluar keempat atau
setelah kaka talai
10. talai talai Bunga atau buah yang
keluar kelima dan
seterusnya
11. sabong - Sabun, digunakan untuk
membersihkan batang
mayang yang akan diiris,
biasanya menggunakan
sabun merek Sunlight
12. Palatar mayang latar Kegiatan membersihkan
pohon mayang dari
kotoran atau daun-daun
mayang kering, serta
membuat tempat pijakan
kaki
13. lombar sahani Pelepah mayang
14. Mayang parampuang Bua aer Buah mayang yang dapat
diproses untuk
menghasilkan air nira
karena memiliki banyak
kandungan air
15. Mayang laki-laki Bua batu Buah mayang yang tidak
dapat diproses untuk
menghasilkan air nira
16. pukul toki Proses memukul atau
mengetuk-ngetuk batang
mayang
17. goyang - Proses menggoyang
batang mayang dengan
tujuan supaya air nira
masak

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Leonora Farilyn Pesiwarissa
Institusi : Universitas Pattimura
Riwayat Pendidikan : S2 Universitas Gadjah Mada
S1 Universitas Pattimura
Minat Penelitian : Linguistik Murni dan Terapan, Tradisi Lisan
493
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
PERGESERAN BAHASA LUANG (LTERI LGONA) PADA TATARAN KATA

Kalvin Karuna
Universitas Pattimura
kievkaruna214@yahoo.com

ABSTRAK
Bahasa daerah sebagai warisan leluhur tidak hanya menjadi pemersatu tetapi juga sekaligus menjadi identitas suku
atau masyarakat pemakainya. Salah satu bahasa daerah yang ada di Maluku adalah bahasa Luang (Lteri Lgona)
dengan jumlah pemakai bahasa tersebut 24.000 orang, (Atlas Bahasa Tanah Maluku; 1996:111). Walaupun
demikian keberadaan bahasa tersebut cukup mencemaskan karena adanya fenomena-fenomena pergeseran yang
dapat merujung pada kepunahan. Oleh karena itu dirasakan perlu dilakukan penelitian sebagai upaya mencegah
kepunahan bahasa tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan data tentang pergeseran bahasa Luang
pada tataran kata, serta factor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pergeseran tersebut. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode deskrisptif, dengan fokus utamanya bahasa dalam lingkup mata pencaharian dan
subfokusnya adalah (a) kata-kata yang berkaitan dengan peralatan nelayan, (b) alat trasportasi tradisional, (c)
nama-nama ikan di pesisir pantai. Instrumen penelitian ini adalah peneliti sendiri. Data diperoleh dengan teknik
observasi partisipan dan wawancara tak terstruktur. Sumber data penelitian tersebut adalah remaja usia 15 – 17 yang
lahir dan besar di pulau Luang. Pengujian keabsahan data penelitian dilakukan melalui proses validasi yang
melibatkan orang – orang tua yang masih fasih menggunakan bahasa tersebut. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
(1) bahasa Luang secara leksikal sedang mengalami pergeseran yang sangat signifikan tetapi tidak disadari oleh
masyarakat Luang pemakai bahasa tersebut. Kesimpulan tersebut didasarkan atas kenyataan bahwa sebagaian besar
responden tidak dapat menyebutkan nama bagian-bagian alat tangkap ikan tradisonal, bagian-bagian alat
transportasi (bero/loi) yang telah digunakan secara turun temurun bahkan nama-nama ikan di pesisir pantai
sekalipun telah dilupakan. (2) Pergeseran tersebut diakibatkan oleh pergeseran mata pencaharian, dari nelayan
pemanah ikan menjadi nelayan budi daya rumput laut. Dalam konteks ini peralatan “panah ikan” (Poka) tidak lagi
digunakan sehingga kata-kata bahasa Luang yang berkaitan dengan peralatan tersebut secara perlahan terendap dan
dapat mengalami kepunahan, (3) adanya perubahan perilaku masyarakat terhadap bahasa Luang juga diakibatkan
oleh peningkatan ekonomi masyarakat sehingga mampu membeli alat transpotasi yang lebih modern. Sejalan dengan
perubahan tersebut, kini muncul istilah-istilah baru yang berkaitan dengan alat-alat transportasi modern, misalnya :
Bero/Loi = Perahu bercadik yang telah digunakan secara turun temurun, kini praktis tidak digunakan tetapi muncul
istilah “jolor” sebutan baru bagi alat transport yang lebih modern karena menggunakan mesin penggerak. (Kata
“jolor” tidak pernah ada sebelumnya dalam bahasa Luang).
Kata kunci: Pergeseran Bahasa, Tataran Kata

LATAR BELAKANG
Bahasa daerah merupakan peninggalan atau produk kelompok masyarakat tertentu di tempat tertentu yang
dapat digunakan untuk memprediksi kehidupan sosial masyarakat penutur bahasa tersebut bahkan dapat
digunakan sebagai petunjuk untuk menelusuri identitas atau asal usul kelompok masyarakat penuturnya.
Taber, dkk., (1996 : x) mengemukakan bahwa di daerah Maluku terdapat 117 bahasa, dengan jumlah
penutur yang bervariasi baik dari sisi jumlah maupun lingkup daerah penuturnya. Salah satu bahasa daerah
yang memiliki penutur yang cukup banyak , dan lingkup penutur yang cukup luas adalah bahasa Luang,
yang oleh penuturnya disebut “Ltiery/Ltery Lgona”. Lgona adalah sebutan bahasa daerah untuk pulau Luang.
Luang adalah nama pulau yang terletak di Kabupaten Maluku Barat Daya, tepatnya di Kecamatan
Mdona Hiera. Pulau ini dikenal sebagai pusat sejarah dan penyebar kebudayaan di beberapa wilayah di
Maluku terutama di Kabupaten Maluku Barat Daya. Oleh karena itu bahasa dan kebudayaan Luang terkenal
sangat dominan di wilayah Kabupaten Maluku Barat Daya.
Dalam pengamatan penulis, kehidupan masyarakat di Pulau Luang mengalami perkembangan yang
sangat cepat, sehingga mengakibatkan perubahan dari kehidupan traditional menjadi masyarakat modern
tidak terhindarkan, baik dari sisi mata pencaharian, cara pandang, pola hidup bahkan sikap bahasa. Awal
kehidupan masyarakat tradisional di pulau Luang hanya di kenal bahasa Luang sebagai alat komunikasi
utama, kemudian dalam perkebangan selanjutnya muncul juga bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di
sekolah, sehingga mengakibatkan fenomena diglosia. Dalam hal ini bahasa Luang digunakan dalam
masyarakat dan bahasa Indonesia dengan jumlah penutur yang terbatas digunakan di sekolah dan di gereja
sebagai bahasa pengantar. Walaupun demikian sejalan dengan waktu penggunaan bahasa Indonesia mulai
lebih dominan, karena bahasa Indonesia lebih banyak digunakan dalam percakapan sehari-hari, sementara
bahasa Luang hanya digunakan dalam upacara-upacara adat. Penggunaan bahasa Luang dalam upacara
adatpun tidak murni lagi karena sering diselingi dengan campur kode (code mixing). Dalam kasus ini,
bahasa Luang dalam posisi tergeser (terendap, pasif) sehingga terancam punah. Fenomena inipun sesuai
494
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
dengan penjelasan Sumarsono (2013 : 200) bahwa pergeseran bahasa terjadi karena dalam banyak hal suatu
bahasa mendominasi bahasa lain yang semula dikuasai sehingga tidak digunakan lagi, tidak lagi dituturkan
kepada generasi berikutnya sehingga mengakibatkan kepunahan. Artinya, pergeseran bahasa (language shift)
dapat mengakibatkan kepunahan bahasa (language death).
Atas dasar latar belakang tersebut di atas, maka penulis mencoba untuk mengamati penggunaan
kata-kata dalam bahasa Luang yang telah mengalami pergeseran, mendeskripsikan fenomena serta faktor-
faktor yang penyebab pergeseran tersebut. Mengingat luasnya lingkup kosakata dalam bahasa tersebut, maka
makalah ini dibatasi dengan memfokus bahasa dalam lingkup mata pencaharian dengan subfokusnya adalah
(a) kata-kata yang berkaitan dengan peralatan nelayan, (b) alat trasportasi tradisional, (c) nama-nama ikan
di pesisir pantai.

PERTANYAAN PENELITIAN
Berdasarkan subfokus pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian
sebagai berikut :
(a) Bagaimana pergeseran bahasa Luang terkait dengan kata-kata dalam lingkup mata pencaharian
masyarakat penutur bahasa Luang?
(b) Faktor-Faktor apa yang menjadi penyebab pergeseran tersebut ?
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena pergeseran bahasa Luang pada tataran kata serta
faktor-faktor penyebabnya. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukkan bagi para tokoh adat di Pulau
Luang sekaligus sebagai peringatan dini terhadap ancaman kepunahan bahasa Luang, sehingga dapat
membangkitkan kembali semangat dan kesadaran masyarakat penutur bahasa Luang untuk
mempertahankan bahasa tersebut sebagai warisan leluhur.
Deskripsi Singkat Lokasi Penelitian
Bahasa Luang digunakan oleh masyarakat pulau Luang. Pulau tersebut terletak di kecamatan Mdona Hiera
Kabupaten Maluku Barat Daya, Propinsi Maluku. Secara geografis Kabupaten Maluku Barat Daya terletak
di wilayah terselatan propinsi Maluku, berbatasan langsung dengan Negara Demokratik Timor Leste di
bagian barat dan Benua Australia di bagian selatan. Terdiri dari 48 pulau. 98% pulau-pulau di wilayah
Maluku Barat Daya hanya dapat dicapai dengan alat transportasi laut.
Salah satu pulau yang menggunakan bahasa Luang adalah pulau Luang. Pulau ini merupakan salah
satu pulau terluar karena berbatasan langsung dengan benua Australia. Pulau Luang memiliki dua desa
induk, yaitu desa Luang Timur dan Desa Luang Barat.
Mata pencaharian masyarakat ke dua desa tersebut adalah nelayan pesisir sehingga pulau ini dikenal
dengan lumbung ikan di daerah Maluku Barat Daya. Dalam melaksanakan aktivitasnya masyarakat
menggunakan alat-alat tangkap tradisional (alat panah ikan : poka) dan alat transportasi tradisonal (Semacam
perahu bercadik : loi). Walaupun demikian sejak dua puluh tahun terakhir terjadi perubahan fokus garapan
terhadap sumber daya alam yang dimiliki, dalam hal ini masyarakat tidak lagi terfokus sebagai nelayan
penangkap ikan tetapi beralih menjadi pembudi daya rumput laut, karena rumput laut memiliki pasar yang
jelas dan nilai ekonomiyang lebih baik. Pulau ini kemudian menjadi salah satu penghasil rumput laut
terbanyak di Wilayah Maluku Barat Daya. Pada sisi lain pertumbuhan penduduk terus bertambah sehingga
masyarakat membutuhkan tempat pemukiman yang lebih luas. Akibatnya, masyarakat melakukan reklamasi
(pengeringan) pantai. Gambaran singkat di atas mempresentasikan adanya pergeseran fokus mata
pencaharian yang memiliki nilai ekonomi yang lebih baik, serta adanya perubahan perilaku masyarakat
terhadap lingkungannya.
Perubahan-perumahan tersebut pada satu sisi memberikan nilai tambah bagi masyrakat setempat
bahkan di sekitarnya tetapi pada sisi lain berdampak pada kehidupan sosial budaya terutama yang terkait
dengan pemertahanan bahasa dan budaya setempat.

KAJIAN TEORI
Bahasa Luang
Bahasa dan kebudayaan Luang cukup dikenal bahkan dominan terutama di daerah Maluku Barat Daya.
Bahasa Luang termasuk diklasifikasi bahasa Austronesia yang memiliki 3 dialek utama yaitu Luang, Leti di
Pulau Leti dan Wetang di Pulau Wetang dan beberapa desa di Pulau Babar. Masing-masing dialek utama
dapat dibagi ke dalam beberapa sub-dialek tetapi masih diperlukan penelitian lanjut untuk menentukan

495
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
batas-batasnya (Taber, dkk. 1996:111). Bahasa-bahasa tersebut merupakan dialek karena memenuhi syarat
mutually intelligible (saling memahami) (Wardhaugh, 1986:27).
Salah satu keunikan bahasa Luang adalah verba tidak bisa digolongkan sebagai morfem. Verba
dalam bahasa Luang tidak memiliki bentuk dasar, sehingga hanya dipahami jika disatukan langsung dengan
pelaku. Misalnya a’una = saya makan// o-mu-una = kau makan//, ita-ana = kita makan, // ir-ana = mereka
makan,// Mim-ina = kalian makan// e-na-ana. Kalaupun ada yang mengatakan bahwa dasar kata makan
dalam bahasa Luang adalah “ana”, mungkin betul tetapi kata “ana” ini sendiri tidak pernah berdiri sendiri,
karena tidak bermakna apapun.
Bahasa Luang juga dibedakan antara bahasa bahasa sehari-hari dan bahasa adat “lirmarna” = bahasa
para raja. Bahasa Luang sehari-hari pada umumnya dituturkan oleh orang tua tetapi diselingi juga dengan
campur kode (code mixing), sementara penggunaan bahasa Luang dikalangan remaja masih sangat terbatas
dan masih lebih banyak didominasi oleh campur kode . Tingginya frekuensi penggunaan campur kode di
kalangan pemuda remaja diakibatkan oleh penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dan ada
kecenderungan orang tua yang melakukan alih kode (code switching) ketiga menyapa menyapa anak-anak.
Bahasa adat “lirmarna” hanya digunakan dalam upacara-upacara adat. Penutur bahasa adat
didominasi oleh orang tua tetapi juga dalam jumlah yang terbatas. Makin berkurangnya jumlah warga
masyarakat yang menggunakan bahasa adat disebabkan antara lain oleh minimnya frekuensi upacara adat,
upacara adat dikalangan pemuda dianggap kuno atau identik dengan orang desa. Dalam hal ini sikap pemuda
remaja terhadap bahasa Luang masih negatif, baik bahasa sehari-hari maupun bahasa adat.
Pergeseran Bahasa
Pergeseran bahasa sering ditejemahkan dengan language shift dalam bahasa Inggris. Menurut Ravindranath
(2009:1) Language shift ist the process by which a speech community in a contact situation gradually stops
using one of its two language in a favor of the other. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh
Sumarsono (2013 : 231) bahwa pergeseran bahasa ditandai dengan adanya perilaku suatu komunitas yang
meninggalkan suatu bahasa sepenuhnya untuk memakai bahasa lain. Sementara Holmes (2001 : 68)
mengemukakan language shift generally refers to the process by which one language displaces another in
the linguistic repertoire of a community. It also refers to the result of this process. Ketiga kutipan di atas
memberi ketegasan bahwa pergeseran bahasa terjadi dalam konteks adanya peralihan dari satu bahasa ke
bahasa yang lain. Pergeseran bahasa terjadi dalam masyarakat yang bilingual atau multilingual, bukan
masyarakat monolingual. Hal inipun disampaikan oleh Borbely (2000:2) bahwa in a bilingual setting two
or more languages, bilingual speakers as in many Langauge community, have a repertoire of speech
alternatives which may shift depending on the given situation.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa terjadi pergeseran bahasa. Bertolak dari pengertian
tentang pergeseran bahasa, maka dapat dikatakan bahwa salah satu faktor penyebab pergeseran bahasa
adalah kehadiran bahasa kedua atau ketiga dalam suatu masyarakat. Sumarsono menyebutnya
kedwibahasaan masyarakat. Walaupun demikian perlu dipahami bahwa kehadiran bahasa lain dalam suatu
komunitas tidak terjadi serta merta tetapi merupakan hasil dari suatu proses yang panjang, bahkan lintas
generasi. Holmes (2001:52) mengemukakan bahwa terdapat banyak faktor sosial yang menjadi penyebab
pergeseran bahasa. Untuk memperjelas pernyataannya, Holmes memberikan beberapa contoh perilaku
bahasa kaum migrant minoritas yang terpaksa secara perlahan meninggalkan bahasanya karena tunutan
kebutuhan pekerjaan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa faktor migrant tidak selalu menjadi penyebab
pergeseran bahasa, tetapi ada juga faktor perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Misalnya kasus Oberwart
di perbatasan Hungaria dan Austria (bandingkan dengan Holmes, 2000:53–55, Sumarsono, 2013:238–240).
Dalam berbagai kasus pergeseran bahasa dapat diidentifikasi beberapa faktor pemicu pergeseran bahasa
antara lain, faktor ekonomi, politik bahasa dan perubahan sosial. Bertolak dari contoh kasus-kasus
pergeseran bahasa, maka dapat dikatakan bahwa pergeseran bahasa dapat dianggap sebagai awal kepunahan
bahasa, jika tidak diantisipasi sejak dini.

METODOLOGI
Data penelitian ini diperoleh dari melalui wawancara tak terstruktur. Peneliti berbincang-bincang dengan
pemuda atau remaja desa tersebut di atas sebuah perahu tradional yang tertambat dipantai, ketika peneliti
menduga bahwa responden mengalami kesulitan menyebutkan beberapa kata dalam bahasa Luang, peneliti
mencoba untuk mempersempit fokus pembicaraan dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan
keberadaan alat transportasi tradisonal (Loi) dan alat penangkap ikan tradisional (Poka), serta nama-nama
ikan yang hidup di pisisir pantai pada saat air pasang.

496
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Data-data tersebut kemudian dicatat dalam bentuk daftar kata dan dicek kebenarannya dengan orang
tua dan tokoh masyarakat dalam bentuk trianggulasi pakar.

HASIL PENELITIAN
Dalam berbagai percakapan peneliti berhasil mengelompokan kata-kata bahasa Luang yang dapat
dideskripsikan sebagai berikut;
− Alat Transportasi Tradiosional = Loi. (jenis perahu bercadik)
Pada umumnya responden dapat menyebutkan alat transportasi tersebut, karena masih ada beberapa
buah yang digunakan di kedua desa penutur bahasa tersebut. Walaupun demikian secara umum
responden mengalami kesulital (lupa) nama-nama bagian-bagian dari alat transportasi tersebut, yang
dapat digambarkan dalam sketsa berikut ini:

− Alat Pengkap Ikan Tradisonal


Alat ini disebut “poka” berbentuk harpun yang dilengkapi besi berukuran kecil sebagai isi panah
(pokihi), karet pendorong (getaa), kawat pengait (tat’ara)

− Nama Ikan
Nama-nama dan deskripsi ikan yang sering berbaris di pesisir pantai meliputi ; Tototan laknoa : ikan ini
berwarna hitam putih kuning, berukuran 10 – 20 cm. Metmatlina : jenis ikan bulana ukuran kecil 10 –
20 cm, berwarna putih biasanya hidup berkelompok. Troa-Troa : jenis ikan ini berwarna perak,
berukuran 5 – 15 cm, biasanya bergerombol berbaris menelusuri pantai terutama di musim hujan. Jenis-
jenis ikan tersebut telah menghilang sehingga nama-namanya telah dilupakan.

PEMBAHASAN
Data penelitian di atas memperlihatkan ada sekelompok kata terutama yang berkaitan dengan alat-alat
tradisional yang terancam hilang. Dalam pengamatan peneliti, kata-kata tersebut belum bisa dikatakan hilang
tetapi “menepi/dipasifkan” karena sudah sangat jarang digunakan dalam pembicaraan sehari-hari.
Penggunaan “Loi” sebagai alat transportasi nelayan tradisional terdesak oleh kehadiran alat transportasi
modern yang disebut jolor (perahu bermotor). Sejalan dengan kehadiran jolor tersebut, masyarakat secara
perlahan menginggalkan penggunaan “Loi”. Peralihan tersebut berdampak pada penggunaan bahasa
terutama pada tataran kata. Kata “Loi dan sebutan bagi bagian-bagiannya secara perlahan digantikan oleh
497
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
sebutan JOLOR dan bagian-bagiannya seperti “engkol, oli, busi, baling-baling” untuk menggambarkan jenis
angkutan laut yang lebih modern. Pada kondisi seperti ini kata-kata atau nama bagian-bagian dari Loi tidak
lagi digunakan sehingga pasif. Kata-kata yang dipasifkan tersebut lambat laun dapat dilupakan dan tidak
tertutup kemungkinan akan hilang. Dalam pengamatan peneliti, kepemilikan jolor sebagai sarana
transportasi modern memberikan gambaran status sosial dan kebanggan pemiliknya terutama di kalangan
pemuda. Oleh karena itu setiap orang berlomba untuk memiliki jolor. Selain itu, jolor dianggap lebih cepat
dan praktis, tidak menguras tenaga karena memiliki mesin.
Fenomena “pasif” kata-kata yang berkaitan dengan Loi berbeda dengan pasifnya penggunaan kata
dan bagian-bagian panah tradisional nelayan “poka”. Pasifnya penggunaan kata-kata yang berkaiatan dengan
alat tangkap tradisonal “poka” diakibatkan oleh perubahan fokus mata pencaharian, dari nelayan penangkap
ikan menjadi pembudidaya rumput laut. Masyarakat berlomba-lomba membuat budi daya rumput laut
karena secara ekonomis lebih menguntungkan. Keuntungan secara ekonomis tersebut turut meningkatkan
taraf hidup masyarakat, sehingga juga berpengaruh terhadap pola hidup masyarakat setempat, baik dari sisi
konsumsi maupun cara berpikir. Perubahan cara hidup yang berkiblat pada kehidupan kota, mengakibatkan
perubahan perilaku berbahasa. Dalam kondisi seperti ini pengabaian terhadap penggunaan bahasa daerah
dianggap wajar karena lebih modern.
Fenomena lainnya adalah perilaku masyarakat terhadap lingkungan. Hilangnya jenis-jenis ikan yang
ramah dengan manusia di pesisir pantai merupakan akibat dari perubahan perilaku tersebut. Pantai berpasir
yang landai kini menjadi pantai beton, karena kegiatan reklamasi pantai untuk tempat pemukiman. Sejalan
dengan hilangnya ikan-ikan maka dari sisi lingkungan ada pengurangan jenis ikan pesisir tetapi dari sisi
bahasa akan hilang sekian kosa kata bahasa Luang yang berhubungan dengan nama-nama ikan tersebut.

KESIMPULAN
Dengan memperhatikan data dan fenomena yang dideskripsikan di atas serta teori-teori pendudukungnya,
maka secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa bahasa Luang terutama pada tataran kata berada dalam
fenomena pergeseran, dari kata-kata aktif menjadi pasif. Pergeseran tersebut dapat mengakibatkan kata-
kata tersebut dilupakan kemudian hilang atau akan muncul istilah-istilah baru atau bahkan bahasa lain
(language change).
Terjadinya pergeseran bahasa Luang diakibatkan oleh beberapa faktor antara lain faktor ekonomi.
Tuntutan kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi mendorong mereka untuk mengalihkan fokus mata
pencaharian yang lebih bernilai ekonimis yaitu dari nelayan penangkap ikan menjadi pembudidaya rumput
laut. Peningkatan ekonomi masyarakat memungkin adanya komunikasi dengan dunia luar, terjadi
perubahan pola konsumsi masyarakat serta merubah cara pandang masyarakat terhadap dirinya, dan orang
lain sehingga memunculkan perilaku berbahasa sebagai symbol status sosialnya.

DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Holmes, Janet. 2001. An Introduction To Sosiolinguistiks (Second Edition). Penerbit : Pearson Education Limited,
London.
Taber Mark. 1996. Atlas Bahasa Tanah Maluku. Penerbit Summer Institut of Linguistics, Ambon.
Sumarsono. 2013. Sosiolinguistik (edisi IX). Penerbit : SABDA : Lembaga Studi Agama, Budaya dan Perdamaian,
Yogyakarta.
Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Penerbit : Basil Blackwell Inc. New York. USA.
Yule, George. 2015. Kajian Bahasa (Edisi ke Lima) Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Maya Ravindranath, 2009 . Language Shiftand the speech Community: Sociolinguistic Changein a Garifuna
Community in Belize. Penlibraries, University of Pensilvania repository.upenn.edu/cgi/viewcontent.
Ana Borbely. 2000. The Process and the factors of language Shift and Maintenance: Research Support Scheme.
http://rss.archives.ceu.hu/archive/00001155/01/167.pdf

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Kalvin Karuna
Institusi : Universitas Pattimura
Riwayat Pendidikan : S2 dan S3 Universitas Negeri Jakarta (IKIP Jakarta)
S1 Universitas Pattimura
Minat Penelitian : • Pendidikan Bahasa
• Sosiolinguistik/Pragmatik
• Pemahaman Lintas Budaya

498
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
SISTEM POLA SAPAAN PAKDAENGANG DALAM BUDAYA MASYARAKAT ETNIK
MAKASSAR

Munira Hasyim
Universitas Hasanuddin
munirasyim@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penggunaan sistem pola sapaan daeng yang digunakan dalam budaya
masyarakat etnik Makassar, yang seringkali penggunaan sistem pola sapaannya tidak sesuai dengan tatanan budaya
yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini dapat menimbulkan masalah sosial dan budaya dikalangan masyarakat etnik
Makassar apabila bentuk-bentuk sapaan ini tidak digunakan secara tepat, terutama bagi masyarakat pendatang di
Makassar yang belum mengetahui sistem pola sapaan nama daeng yang sering kali asal menggunakan sapaan daeng
pada sesuai situasi dan kondisi yang tidak tepat pemakaiannya. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode grounded reseach dengan menggunakan pendekatan kualitatif, berjenis deskriptif-analitik, berstrategi
fenomenologi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di kalangan masyarakat etnik Makassar, sistem sapaan yang
digunakan berpola penyebutan nama Pakdaengang yang sertai nama diri, penyebutan nama pakdaengang yang tidak
disertai nama diri, penyebutan nama diri yang tidak disertai nama Pakdaengang-nya, penyebutan nama Pakdaengang-
nya tanpa menyertakan Daeng di depan nama Pakdaengang-nya. Pola ini sangat ditentukan oleh komponen-komponen
yang terlibat dalam suatu peristiwa tutur.
Kata kunci: Sistem, Pola Sapaan, Daeng, Budaya, Etnik Makassar

PENDAHULUAN
Kota Makassar selain terkenal sebagai ibukota Sulawesi Selatan, juga terkenal dengan julukan “Kota Daeng”.
Dengan penanda identitas tersebut, masyarakat cenderung saling menyapa dengan menggunakan kata
“Daeng” mengawali nama dirinya dan Pakdaengangnya.
Fenomena yang berkembang saat ini memperlihatkan adanya gejala penggunaan Pakdaengang yang
tidak didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sosiokultural. Kecenderungan seseorang menggunakan
Pakdaengang hanya sebatas wujud pengintegasian diri dalam komunitas etnik Makassar tanpa mengerti
sistem dan pola penamaan tersebut.
Pakdaengang merupakan proses pemberian nama secara sosial budaya setelah nama diri baik
sebagai gelar, penghormatan, maupun sapaan dalam wujud realisasi interaksi pada masyarakat etnik
Makassar yang dipandu oleh nilai-nilai budaya masyarakat etnik Makassar. Dengan demikian, Pakdaengang
dapat menjadi penanda identitas dalam sistem sosial masyarakat. Pakdaengang ini pulalah yang kelak
menjadi nama sapaan kehormatan pada orang yang menyandang Pakdaengang tersebut.
Banyak pendatang di Makassar berupaya untuk memberikan nama “daeng” setelah nama dirinya
sebagai wujud integritas di dalam komunitas Makassar sebagaimana orang Jawa dengan sapaan ”Mas”,
orang Betawi dengan sapaan “Abang”, orang Sunda dengan sapaan “Akang”. Namun dalam perjalanan
waktu, penempatan bentuk sapaan daeng itu berbeda dengan sistem pemberian nama Daeng yang
diistilahkan dengan Pakdaengang. Misalnya untuk sebutan Daeng Becak, Daeng Bentor dan Daeng Sayur.
Sapaan-sapaan Daeng ini tidak menunjukkan identitas masyarakat Makassar, tetapi sebatas pada wujud
integritas komunitas dalam membangun relasi sosial di masyarakat.
Apabila kita menilik sejarah, dahulu masyarakat Sulawesi Selatan merupakan wilayah kerajaan.
Salah satu kerajaan besar yang memiliki pengaruh di nusantara ini yakni kerajaan Gowa. Puncak kejayaan
kerajaan Gowa ketika Sultan Hasanuddin sebagai raja. Di masa itu, masyarakat etnik Makassar terklasifikasi
menjadi empat strata sosial yaitu:
1. Karaeng: Raja atau Bangsawan
2. Kare: Ulama atau Tokoh Religi
3. Daeng: ‘tu Maradeka’ dan ‘tu Bajik’ (orang merdeka dan orang berpengaruh)
4. Ata : Budak
Berdasarkan status sosial itulah, seseorang berhak menggunakan nama Daeng setelah nama dirinya
yang diberikan oleh orang-orang yang memiliki otoritas khusus, seperti kakek, nenek, paman, ulama,
pemangku adat, atau tokoh yang terpandang.
Saat ini penggunaan Pakdaengang telah mengalami perubahan fungsi dari fungsi semula sebagai
gelar penanda status sosial. Dalam perkembangannya, paggilan “Daeng” saat ini memiliki makna yang
beragam. Bisa berarti kakak, bisa pula bermakna sapaan hormat. Namun demikian, penggunaannya harus
berhati-hati. Apalagi saat ini, penggunaan kata Daeng untuk memanggil seseorang sering ditujukan untuk

499
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
masyarakat dengan kelas sosial tertentu. Anak-anak muda etnik Makassar mungkin masih tetap mendapat
Pakdaengang dari orang tua mereka, akan tetapi hanya sedikit yang mau menggunakan setelah nama dirinya.
Alasan utamanya karena Pakdaengang terkesan ketinggalan zaman atau jadul istilah anak sekarang. Apalagi
karena Pakdaengang saat ini identik dengan masyarakat golongan kelas bawah di kota Makassar, misalnya
tukang becak, tukang batu, pedagang sayur keliling (daeng sayur), pedagang ikan keliling (daeng sambalu)
dll.
Selain itu, penggunanya adalah orang-orang yang punya hubungan sangat dekat atau kekeluargaan
dengan orang mitra bicaranya dan penggunannya sebatas dalam forum bersifat non-formal. Bila dua
ketetuan ini dilanggar, nama 'Daeng' jadi bermakna ejekan.
Wujud nama sebagai sebuah sistem sapaan tidaklah dapat dipisahkan dengan komponen-komponen
tutur yang digunakan oleh masyarakat dalam berkomunikasi. Setiap tuturan atau ujaran manusia dalam
berkomunikasi selalu berkaitan erat dengan komponen-komponen tutur. Hal ini terlihat dikala manusia
saling menyapa dengan menyebut atau memanggil nama-nama orang yang terlibat dalam kegiatan tuturan.
Namun demikian, yang penting diketahui adalah dalam situasi dan kondisi yang bagaimanakah
Pakdaengang ini disebut dan digunakan sebagai sebuah sistem sapaan yang dapat diketahui oleh orang
tersebut, mengingat di dalam masyarakat etnik Makassar, seringkali mereka menggunakan nama diri yang
sama, Pakdaengang yang sama, bergantung pada rumpun keluarga di mana orang tersebut diberikan nama
diri ataupun Pakdaengang. Dikalangan masyarakat etnik Makassar, sering pula menggunakan Pakdaengang
yang sertai nama dirinya, nama diri yang tidak disertai Pakdaengang-nya, atau menyebut Pakdaengang-nya
tanpa menyertakan Daeng di depan Pakdaengang-nya.
Pakdaengang bagi masyarakat golongan Tu Maradeka ini merupakan suatu keharusan adat. Oleh
karena itu, orang-orang etnik Makassar dari keluarga yang berstrata B atau ‘Tu Baji’ selalu memakai gelar
Daeng atau Pakdaengang di belakang nama diri atau pada "Arengkalenna". Jadi, nama orang ini ada dua,
yakni: nama diri atau "Arengkalenna" dan "nama Pakdaengang-nya”. Oleh karena itu, orang baik-baik atau Tu-
Baji di dalam bahasa Makassar sering pula disebut "Tau rua arenna" artinya orang yang dua namanya.
Dari hasil analisis data pada penelitian ini ditemukan sedikitnya ada Tiga fungsi Pakddaengang
dalam sistem penamaan masyarakat etnik Makassar tradisional, yaitu:
1. Mengidentifikasi kelompok sosial tertentu dengan menunjukkan stratifikasi sosial seseorang.
Pakdaengang kelompok masyarakat Karaeng dan Tumabaji berbeda dengan Pakdaengang kelompok
masyarakat Tu-Samara’ dan turunan Ata.
2. Memilah jenis kelamin seseorang. Pakdaengan laki-laki berbeda dengan kaum perempuan. Contohnya:
Daeng Bau, Daeng Baji, Daeng Ngalusu (untuk kaum perempuan) dan Daeng Naba, Daeng Rani, Daeng
Sangkala (untuk kaum Laki-laki).
3. Menentukan wilayah pemerintahan atau daerah kekuasaan seseorang sekaligus menjadi gelar.
Pakdaengang itu memiliki makna(sense) berupa harapan dan doa yang baik. Bagi laki-laki biasanya
dipergunakan nama-nama seperti: Daeng Mappuji yang maknanya (sense) terpuji, Daeng Mangemba yang
memiliki makna (sense) menghalau, Daeng Ngerang yang memiliki makna(sense) membawa, maksudnya
tentunya yang membawa kebaikan dan kebajikan, Daeng Matutu yang makna (sense) orang yang berhati-hati
dan sebagainya.
Bagi perempuan biasanya dipergunakan nama-nama Pakdaengang seperti: Daeng Bau' yang memiliki
makna harum semerbak, Daeng Baji' yang memiliki makna baik sifatnya, Daeng Tajammeng yang memiliki
makna tidak mati atau selalu hidup, Daeng Carammeng yang memiliki makna tempat bercermin atau
instrospeksi diri, dan sebagainya. Pakdaengang biasa juga disebut "Areng Pamana" artinya nama tambahan.
Hymes mengemukakan bahwa tidaklah semua komponen tutur itu muncul sekaligus dalam sebuah
peristiwa sapaan. Adakalanya sebuah komponen muncul dalam tuturan tertentu. Hal demikian disebabkan
oleh setiap komponen tutur itu memiliki peran dan fungsi sendiri-sendiri yang tidak dapat begitu saja
disamakan dengan yang lainnya dalam membentuk sebuah tuturan. Perlu juga disampaikan bahwa tuturan
seseorang mencerminkan masyarakat tuturnya, oleh karena itu, tuturan berkaitan erat dengan norma dan
nilai sosial budaya dari masyarakatnya. Penelitian ini akan membuktikan bahwa melalui nama diri dan
Pakdaengang dalam masyarakat etnik Makassar, keterkaitan yang bersistem antara struktur bahasa dengan
struktur pemakai bahasa akan terlihat dengan jelas. Dalam hal ini berarti bahwa sosiolinguistik tidak hanya
memfokuskan perhatiannya terhadap bahasa itu sendiri, tetapi juga memperhatikan tingkah laku verbal yang
meliputi latar belakang sosial kemasyarakatan dan fungsi interaksi masyarakat yang terdapat dalam wujud
nama diri dan Pakdaengang.
Makalah ini diharapkan dapat memberikan penjelasan menganai sistem pola sapaan Pakdaengang di
kalangan masyarakat etnik Makassar agar permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan Pakdaengang
atau nama daeng dapat digunakan sesuai tatanan budaya masyarakat etnik Makassar.

500
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, berjenis deskriptif-analitik, berstrategi fenomenologi.
Pada penelitian kualitatif, peneliti sendiri yang merupakan alat pengumpul data utama (Moleong, 1998: 4,
Handayani & Sugiarti, 2002: 56).
Kegiatan ini dilakukan di Kabupaten Gowa, Takalar, Kota Makassar yang merupakan tempat tinggal
dengan populasi orang dengan Etnik Makassar di provinsi Sulawesi Selatan.
Sumber data di dalam penyelidikan ini ialah Pakdaengang yang diperoleh dari responden, secara
purposif dan merupakan sumber bukti yang dapat memberikan data verbal dan dapat diperoleh melalui cara
wawancara mendalam. Selain responden, dokumen nama-nama merupakan sumber bukti yang sangat
penting, utama, dan strategis. Dalam konteks kajian ini sumber data dokumen, yaitu: KTP, Akte lahir,
prasasti, dan dokumen sejarah. Meskipun demikian, wawasan konsepsional teoritik sosiolingistik–
onomastis–antropologi dan Sosiologi dalam perspektif dinamika budaya masyarakat, yakni perspektif
struktural fungsional menjadi dasar dalam mengurai permasalahan-permasalahan yang ada. Tujuannya
adalah untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah dalam perspektif Linguistik.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sistem Pola Sapaan Pakdaengang dalam Budaya Masyarakat Etnik Makassar
Secara sosiokultural, sistem sapaan dalam budaya masyarakat etnik Makassar tidak diatur secara ketat
sehingga ada kecenderungan masyarakat khususnya pendatang dalam upaya meleburkan diri sebagai bagian
dari komunitas etnik Makassar berupaya menggunakan sapaa-sapaan yang sering didengar tanpa mengetahui
norma-norma yang secara verbal berlaku sebagai etika dalam bertegur sapa.
Sistem sapaan yang menggunakan Pakdaengang dalam masyarakat etnik Makassar dalam berbagai
domain dapat dipolakan berdasarkan bentuk-bentuk penggunaan Pakdaengang dalam sistem sapaan sehari-
hari menurut konsep komponen tutur Hymes. Namun demikian, dalam makalah ini hanya ditampilkan
sistem pola sapaan berdasarkan setting (tempat) yang melatari penggunaan Pakdaengang dalam proses
interaksi sebagai berikut ini.
Setting dan scene berhubungan dengan latar tempat peristiwa tutur terjadi. Tempat peristiwa tutur
berkaitan dengan where dan when ‘waktu bicara dan suasana, kapan dan suasana yang tepat untuk
menggunakan Pakdaengang. Penggunaan nama diri dan Pakdaengang oleh masyarakat etnik Makassar di
masa tradisional sangat ditentukan oleh tempat di mana orang sering bertegur sapa. Meskipun demikian,
nama diri (Areng Kale) ini tidak dapat lagi disebut-sebut apalagi dijadikan nama sapaan apabila telah
memiliki areng Pakdaengang. Menurut Abbas (2012), Menyebut Areng Kale adalah simbol penghinaan
secara kultural kepada yang bersangkutan, sekalipun dia masih kecil. Oleh karena itu, masyarakat etnik
Makassar di masa tradisional sangat memperhatikan tempat (setting) dalam bertegur sapa agar tidak terjadi
ketersinggunan.Tabel 1. memperlihatkan pola penggunaan nama diri dan Pakdaengang di masa tradisional
dikalangan masyarakat etnik berdasarkan siapa penyapa dan tersapanya menurut tempat berlangsungnya
proses tegur sapa tersebut.
Tabel. Pola Penamaan Pakdaengang Masyarakat Etnik Makassar Tradisional Berdasarkan Setting
Pesapa/ Sawah/
Kantor Rumah Sekolah Pasar Toko Mesjid Jalan RS
Tersapa Kebun
DG Bpk
Bpk+ Tetta, Tata, Bapak, Bpk+ DG atau
Ayah atau PD PD PD +
ND NPD cumbuan NPD NPD
NPD ND
DG
Ibu+ Ammana,Amma, Ibu+ DG atau Ibu+
Ibu atau PD PD PD
ND NPD cumbuan NPD NPD ND
NPD
ND/ ND atau
Anak NPD ND PD PD PD PD ND
NPD PD
ND/ ND atau
Kakak NPD atau DG ND PD PD PD PD ND
NPD PD
ND/ NDD
Adik NDD/ND ND PD PD PD PD ND
NPD atau PD
Bpk+
ND/ NPD NPD /
Paman PD PD PD PD PD ND
NPD cumbuan Bpk+
ND
Ibu+
ND/NP NPD
Tante PD / Ibu+ PD PD PD PD PD ND
D cumbuan
ND

501
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Keterangan: ND = Nama Diri NPD =Nama Pakdaengang PD =Pakdaengang
DG =Daeng NDD=Nama Dondo-Dondo
Wujud Penggunaan Sistem Pola Sapaan dalam Budaya Masyarakat Etnik Makassar
Berdasarkan pola-pola yang telah telah diperlihatkan di atas, wujud penggunaan sapaan Daeng kepada
seseorang dalam tatanan budaya masyarakat etnik Makassar, dapat dijelaskan melalui contoh di bawah ini.
1) X: I katte daeng Timung arengna todong towakta nisareangki?
(Apakah nama Anda Daeng Timung juga dari nama kakek Anda?)
Y: Iye (iya)
Dialog antara X kepada Y di atas, memperlihatkan suatu tuturan di mana X adalah pihak yang
bertanya dan Y adalah pihak yang ditanyai. Berdasarkan makna dari konteks kalimatnya, antara X dan Y
memiliki status sosial yang berbeda. Hal ini ditandai oleh penggunaan pronomina persona ke-2 tunggal
/katte/ “anda” penanda kesantunan; Pakdaengang /Daeng Timung/, pronominal persona posesif ke-2 tunggal
enklitik /-ta/ pada kata /towakta/ ”kakek Anda” dan /-kik/ pada kata /nisareangkik/ “diberikan kepada Anda”.
Pronomina persona ke-2 tunggal Klitik /katte/ “engkau” dalam budaya masyarakat etnik Makassar
digunakan sebagai “kita” dan digunakan kepada orang-orang tertentu agar terdengar lebih halus atau sopan.
Sementara itu, penggunaan Pakdaengang /Daeng Timung/ juga digunakan kepada orang yang statusnya
sebagai kakak dari seorang adik, dari seorang istri kepada suaminya, atau sapaan biasa penanda hormat
kepada seseorang. Demikian halnya pada penggunaan pronominal persona posesif ke-2 tunggal enklitik /-ta/
“engkau” pada kata /towakta/ “kakek engkau” dan /-kik/ “kau/anda” pada kata /nisareangkik/ “diberikan
kepada kau/Anda”. Enklitik /-ta/ dan /-kik/ sebagai pronomina persona posesif ke-2 tunggal merefer pada
kata /Daeng Timung/
Interpersonal meaning dari bentuk penggunaan pronominal persona ke-2 tunggal enklitik /-ta/ dan /-
kik/ dapat digunakan oleh orang yang memiliki status sosial yang sama atau lebih tinggi dari posisi yang
diajak berbicara. Misalnya, usia X lebih tua dari Y, atau antara X dan Y memiliki usia yang sama dan relasi
sosialnya tak berjarak atau pun berjarak.
Apabila digunakan oleh orang atau kontak yang usianya lebih muda, maka orang tersebut akan
dianggap tidak memiliki sopan santun atau tidak beretika. Efek sosial dan budaya yang ditimbulkan dari hal
tersebut adalah negatif. Masyarakat akan mengatur jarak interaksi dan sosialisasi kepada orang tersebut
karena dirinya dianggap kurang sopan, kurang beretika, dan tidak mengerti tata karma yang dipergunakan
oleh masyarakat. Konfigurasi penggunaan pronominal persona ke-2 tunggal enklitik /-ta/ dan /-kik/ sebagai
tenor dalam medan makna interpersonal dapat digambarkan seperti di bawah ini.

Apabila kalimat (1) di atas diubah konteks kalimatnya menjadi kalimat (1a), (1b), (1c), dan (1d) seperti di
bawah ini:
1a) X: I kau daeng Timung arengna todong towaknu nisareangko? Y: IYE
1b) X: I kau Timung arengna todong towaknu nisareangko? Y: IYE
1c) X: I katte daeng Timung arengna todong towaknu nisareangko? Y: IYE
1d) X: I katte Timung arengna todong towakta nisareangki? Y: Iyo
Atau bentuknya seperti bagan di bawah ini.

502
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Berdasar pada pengelompokan kata dan frasa di atas terlihat bahwa kata /Ikau/ dan /Ikatte/ pada
kelompok A dibedakan oleh nilai keberterimaan kata tersebut dalam budaya masyarakat yang membedakan
antara bentuk tuturan biasa dan bentuk tuturan santun. Semakin santun bentuk bahasa yang digunakan oleh
seseorang, maka semakin tinggi pula derajat sosial orang itu di masyarakat.
Kelompok frasa B, Daeng Timung digunakan untuk mengacu pada sesorang yang dituakan
dihormati, atau dalam kondisi tertentu digunakan kepada orang yang lebih muda usianya dengan tujuan
mengajari anak tersebut bertatakrama. Daeng Timung dapat bermakna kakak bagi seorang istri kepada
suaminya, dapat bermakna kakak bagi seorang adik, dapat pula digunakan sebagai sapaan kepada siapa saja
yang bernama Daeng Timung. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat bagan di bawah ini.
Di samping itu, kata Timung yang /ØDaeng/ hanya dapat diucapkan oleh orang tua kepada anaknya
yang bernama Daeng Timung, atau oleh kakek, nenek, paman, bibi. Sebaliknya, dapat pula diucapkan oleh
anak kepada bapaknya, kemenakan kepada pamannya. Penggunaan nama Timung yang /ØDaeng/
menunjukkan hubungan kekerabatan yang sangat dekat dan akrab.

PENUTUP
Sistem pola sapaan dalam interaksi sosial dikalangan masyarakat etnik Makassar diatur oleh norma-norma
social yang salah satunya tertuang dalam penggunaan Pakdaengang yang sesuai dengan tatanan sosial
masyarakat. Pakdaengang diberikan kepada seseorang berdasarkan status dan startifikasi sosial orang
tersebut di dalam masyarakat. Dengan demikian, pola sapaan dalam interaksi berdasarkan makna sosial
budaya patut menjadi perhatian masyarakat khususnya masyarakat etnik Makassar agar penggunaan sapaan
Daeng ini tidak melenceng dari tatanan dan norma-norma sosial budaya.

DAFTAR PUSTAKA
Abbas. 2012. Sistim Tradisional Penamaan Diri Orang-Orang Makassar Indonesia. (Makalah).Disajikan dalam
Kongres Bahasa Dan Budaya Sulawesi Selatan. Makassar.
Agha, Asif. 2007. Language And Social Relations. New York: Cambridge University Press.
Alford. R. D. 1987. Naming and Identity (A cross-culural study of personal naming practices). New Haven,
Connectitut: USA
Chabot, H.Th. 1996. Kinship, Status and Gender In South Celebes. Leiden: KITLV Press.
Chaer, Abdul., Leoni Agustin. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta : Rineka Cipta.
Danesi, Marcel. 2011. Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi.
Yogyakarta: Jalasutra.
Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge UniversityPress
Foley, William A. 1999. Antopologic Linguistics. An Intoduction. Oxford USA: Blackwell Publishers Ltd.
Frege . 2004. On Sense and Reference. Cornell University: JSTOR (e-book)
Halliday, M.A.K. 2004. An Introduction to Functional Grammar (Third Edition). London: Edward Arnold.
Holmes. Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. London: Longman
Hymes, Dell. 1972. Language in Culture and Society, A Reader in Linguistics and Anthropology. New York: Harper
and Row Publishing, Inc.
Maleong, L. 1998. Metodologi Kualitatif. Cet. Ke-18. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulya, Abdul Kadir. 2005. Sistem Sapaan Bahasa Makassar dalam Jurnal Sawerigading. Nomor 20. Hlm. 1-20
Makassa. Balai Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Yatim, Nurdin. 1982. Subsisem honorifik Bahasa Makassar: Sebuah Analisis Sosiolinguistik. Disertasi. Makassar:
program Studi Ilmu Linguistik Pascasarjana Universitas Hasanuddin

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Munira Hasyim
Institusi : Universitas Hasanuddin
Riwayat Pendidikan : S3 Universitas Hasanuddin
S2 Universitas Gadjah Mada
S1 Universitas Hasanuddin
Minat Penelitian : • Sosiolinguistik
• Pragmatik
• Semiotik
• Antropolinguistik
• Penerapan Model Pembelajaran Bahasa

503
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
LANGUAGE FUNCTIONS IN INDONESIAN JUNIOR SECONDARY SCHOOL (SMP)
TEXTBOOKS OF ENGLISH

Nurdiana
Universitas Bunda Mulia
nurdiana@bundamulia.ac.id; nurdiana.usman@gmail.com

ABSTRACT
One of the materials discussed in local English textbooks for Indonesian Junior Secondary School (SMP) students is
language functions. They cover speech acts such as making invitations, requests, or giving opinions. These speech acts
should be performed based on meta-pragmatic information—that is when, where, and to whom it is appropriate to
perform a particular speech act and what expression would or would not be appropriate in a particular context of
culture and context of situation. Meta-pragmatic information itself is part of pragmatic kowledge which results in
pragmatic competence. Myriad studies on pragmatic competence in language teaching and learning have been
conducted. The studies show that EFL (English as a Foreign Language) learners are grammatically competent, yet
they are pragmatically incompetent. This paper, thus, discusses whether or not the speech acts or the language
functions are realized based on meta-pragmatic information. In addition, it talks about the types and the frequencies of
speech acts based on Searle’s (1976) speech acts taxonomy.The research method used in this study is text analysis—
that is the language functions discussed in several local (Indonesian) English textbooks for Indonesian Junior
Secondary School (SMP)vstudents are observed and analysed to examine the types and the the frequencies of the
speech acts and how they are realized in the dialogues or conversations in the textbooks. One of the findings of this
research is based on Searle’s speech act taxonomy, most of the language functions covered in the textbooks are
directives and expressives. Regarding the realization of the speech acts, however, they lacked of meta-pragmatic
information. For example, there was no explicit information about the relationship between the speakers, for instance,
how close they feel to one another. Since all of the local English textbooks analysed contain inadequate meta
pragmatic information, the language expressions used in each function are inapproriately used. In other words, the
realization of the language functions or the language use is pragmatically inadequate. This is line with the previous
studies on pragmatic knowledge in English textbooks stating that local English textbooks lack of pragmatic information
and consequently, learners can not gain pragmatic competence through ELT (English Language Teaching) materials.
Keywords: speech acts, language functions, pragmatic competence, ELT materials

INTRODUCTION
Being able to use a language appropriately is one of the objectives of learning a language. In other words,
learners should be able to reach a certain competence called communicative competence. The term
communicative competence was first introduced by Dell Hymes in 1967 and was later on developed by
Canadian linguists, Canale and Swain in 1980 (Jedynak, 2011) and Bachman in 1990 (Kumaravadivelu,
2006). Canale and Swain’s framework of communicative competence encompasses grammatical
competence, sociolinguistic competence, and strategic competence while Bachman’s includes organizational
competence and pragmatic competence.
In general, as previously stated, the emphasis of communicative competence is language learners
can use the language they learn appropriately. Appropriately in this context refers to all aspects of language.
Thus, English language learners, for example, should not only be knowledgeable of how to speak and write
English accurately, but they should also be able to understand the culture, to whom they speak, the setting or
the situation, and the topic they are discussing in order to avoid misunderstanding when communicating with
speakers of English. This is in line with what Dell Hymes proposed regarding communicative competence—
“appropriateness of sociocultural significance of utterance”. Therefore, it also represents Canale and
Swain’s framework of communicative competence (particularly sociolinguistic competence) and Bachman’s
(pragmatic competence). Hinkel (www.elihinkel.org) underlines that it is imperative for English language
learners to be linguistically proficient, yet they need to be socio-culturally competent in order to be effective
and proficient communicators. For example, being able to say “thank you” does not mean the learners know
when to say “thank you”, or how often to say “thank you”.
Blundell et al(1982) state that to avoid misunderstanding when communicating with speakers of
English, “it is important to know saying the right thing at the right time.” This is what the language functions
are for. Blundell et al (1982) further say that “language functions are the purposes for which people speak or
write.” He further says “different languages express these functions differently.” Thus, the expressions of the
function “Greeting people” are “good morning”, “hello”, “hi”, etc. The language used is determined by the
situation called formal, informal, and neutral. There are four factors used to decide whether the situation is

504
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
formal, informal, or neutral: setting, topic, social relationship, and psychological attitude. Let’s have a look
at the following situation.
Situation
Debby and Jill are friends. On one informal occasion, Debbie says, “I”m sorry, Jill.” Jill replies, “Apologies
are quite necessary.” In this situation, the way Jill replies Debby’s seems to be over-formal and ridiculous.
Perhaps, the more approriate expression is “Oh, don’t worry. That’s allright.” (Blundell, et.al., 1982).
Language functions basically reflect communicative approach which aims to reach communicative
competence. Therefore, all the language expressions used in the language functions should take the four
factors mentioned above into account. Therefore, it is imperative to learn how English-speaking people use
formal and informal language. In Pragmatics, language functions are the practice of speech act. Yule (1996)
defines speech act as “actions performed via utterances”. In other words, speech act is doing things with
words. He further says that speech act can be labeled as apology, complaint, compliment, invitations, or
request. Austin (as cited in Cutting, 2002) states that speech act is “the actions performed in saying
something” while Griffith (2006) says that speech act is basic units of linguistic interactions, such as giving
a warning to, greeting, or confirming an appointment.
According to Yule (1996), there are five types of general functions performed by speech acts namely
declarations, representatives, expressives, directives, and commisives. Declarations refer to speech acts
which change the world via their utterances; Representatives are the speech acts stating what speakers
believe regarding whether a statement is a case or not; Expressives are those speech acts describing
speakers’ feeling about something; Directives function to get someone to do something. The last
classification, commisives, are the speech acts containing promises to do an action in the future. In other
words, the speakers intend to do something some time in the future.
As learning language functions is imperative in order to be able to communicate appropriately with
speakers of English, they should be presented properly in the textbooks so that English learners understand
how to use the language functions. However, problems reveal because they are not realized without meta-
pragmatic information. That means pragmatic information such as when, where, and to whom the speech
acts are used is not found (Nguyen, 2011). The study on language functions in English textbooks conducted
by Nguyen (2011) shows that the textbooks lack of an accurate and adequates source of pragmatic
information.
Another research on language functions was done by Vellenga (2004). Findings show that the
textbooks she observed lacks of explicit metapragmatic information, and teachers’ manuals rarely
supplement adequately. In addition, the survey she conducted in the classroom indicates that teachers seldom
make use of outside materials related to pragmatics. As a result, learning pragmatics from textbooks is
highly unlikely.
To conclude, most studies on textbook evaluation of speech acts or language functions indicate that
both ESL/EFL and local English textbooks do not always constitute adequate pragmatic information as they
do not provide authentic samples of speech acts and thus, learners can not gain pragmatic competence from
the textbooks.
Based on what has been described above, this paper discusses how language functions in Indonesian
Junior Secondary School (SMP) Textbooks of English are pragmatically realized. In addition, it examines
the types and the frequencies of the speech acts using Searle’s speech acts taxonomy.

RESEARCH METHOD
Three local English textbooks (for 7th, 8th, and 9th graders taken from “KTSP 2006”) were observed and
analysed to examine the types and the frequencies of the speech acts and to investigate whether or not the
language functions in the textbooks were pragmatically realized. Searle’s speech acts taxonomy was
deployed to find out the types and the frequencies of language functions/speech acts in the local textbooks
while previous studies on speech acts in language coursebooks conducted by Vellenga (2004) and Nguyen
(2011) were used to investigate the realization of speech acts in English textbooks.

FINDINGS AND DISCUSSION


Using Searle’s speech acts taxonomy, the types and the distribution of speech acts are as follows.

505
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016

Table 2. List of Language Functions in the Textbook for 7th Graders


Functions Searle’s taxonomy of speech acts
Greeting Expressives
Leave taking Expressives
Introducing oneself and others Assertives
Asking for and giving information Directives
Asking someone to do something Directives
Forbidding someone to do something Directives
Apologizing Expressives
Expressing politeness Expressives
Gratitude Expressives
Expressing likes/dislikes Expressives
Asking for and giving facts Directives
Asking for and giving services Directives
Clarification Assertives
Asking and expressing opinions Directives/Expressives
Giving personal responses Expressives
Table 3. List of Language Functions in the Textbook for 8th Graders
Functions Searle’s taxonomy of speech acts
Admitting and changing a fact Assertives
Asking, giving, and rejecting items Directives/Commisives
Asking and giving opinions Directives
Agreement and disagreement Assertives
Accepting and declining an invitation Directives
Congratulations Expressives
Compliment Assertives
Asking, giving, declining opinions Directives/Commisives
Asking, offering, giving, and rejecting things Directives/Commisives
Starting, extending, and ending a conversation on the phone Directives
Giving attention to speaker Directives
Asking, giving, denying information Directives/Commisives
Starting, extending, and ending a conversation Directives
Table 4. List of Language Functions in the Textbook for 9th Graders
Functions Searle’s taxonomy of speech acts
Asking for and showing certainty Directives/Expressives
Expressing and responding to doubt Expressives
Asking for repetition Directives
Showing concern Expressives
Showing surprise/wonder Expressives
Giving and responding to bad news Directives/Expressives
Expressing happiness to receive good news Expressives
Expressing politeness in showing opinions Expressives
As shown on the table, the most dominant categories of speech acts revealed in the textbooks are
directives and expressives. This means the speech acts discussed in the local English textbooks are not
equally distributed. In addition, the majority of speech acts were taught and practiced out of context (see the

506
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
following examples). That is, “there was no explicit information about the relationship between the speakers,
for example, how close they feel to one another, or how likely can one impose what one wants on the other.”
(Nguyen, 2011).
To ask for someone’s help, you could use these expressions:
• Can you help me, ...?
• Please, help me.
• Can you do me a favour, please?
• Would you be so kind as to ...?
To reject someone’s help, you could use these expressions:
• No, it’s not necessary.
• Thank you for offering, but ....
Dialogue 1
Nina : Niko, can you do me a favour, please?
Niko : Of course, what can I do for you?
Nina : Would you be so kind as to take care of my cat.
I’m going to Bogor tomorrow to visit my uncle, he is sick. I’ll be there for about two days.
Niko : I’d be very happy to take care of your cat. I love cats.
Nina : Great. Thanks.
Niko : Should I bathe it?
Nina : No, it’s not necessary.
The use of language expressions in the conversations (see the italicized expressins) does not take
setting and the social relationship into account. Indeed, the relationship between the speakers could be
inferred from their roles (e.g. customer and salesperson, father and son, patient and doctor) or the utterances
in the dialogues. Thus, the samples above show inadequate amount of meta-pragmatic information—when,
where, and to whom it is appropriate to perform a particular speech act and what expression would or would
not be appropriate in a particular context of culture and context of situation. (Vellenga, 2004; Nguyen, 2011).

CONCLUSION
To conclude, the most dominant categories of speech acts in the textbooks are directives and expressives.
That means they are not equally distributed. The realization of language functions in the textbooks shows
that the language functions are taught without considering the setting and the relationship between the
speakers in the conversations. Therefore, the use of language expressions for each function is pragmatically
inappropriate.

REFERENCES
Blundell, J., J. Higgens, Nigel M. 1982. Function in English. Oxford: Oxford University Press.
Cutting, J. 2002. Pragmatics and Discourse. London: Routledge.
Griffiths, P. 2006. An Introduction to English Semantics and Pragmatics. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Hinkel, E. Culture and Pragmatics in Language Teaching and Learning. Retrieved from elihinkel.org August 2015.
Jedynak, M. 2011. The Attitudes of English Teachers Towards Developing Intercultural Communicative Competence.
In Arabski, J and Wojtaszek, A. (Eds.), Aspects of Culture in Second Language Acquisition and Foreign
Language Learning. London: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.
Kumaravadivelu, B. 2009. Understanding Language Teaching: From Method to Postmethod. New York: Routledge.
Nguyen, Minh Thi Thuy. 2011. Learning to communicate in a globalized world: To what extent do school textbooks
facilitate the development of intercultural pragmatic competence? RELC Journal, 42(1), 17-30 Published by
SAGE Publications.
Vellenga, H. 2004. Learning pragmatics from ESL & EFL textbooks: How likely? TESLEJ, 8(2). Retrieved June 2015,
from http://www-writing.berkeley.edu/TESL-EJ/ej30/a3.h.
Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.

CURRICULUM VITAE
Complete Name : Nurdiana
Institution : Bunda Mulia University
Education : S2 Linguistik Terapan Universitas Indonesia
S1 Psikologi Universitas Persada YAI
Research Interst : • Pragmatik dan Kebudayaan serta Tes dan Asesmen dalam Pengajaran Bahasa Asing
• Pengembangan Bahan Ajar

507
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
READABILITY OF WRITTEN PASSAGES IN 2013 CURRICULUM ENGLISH TEXTBOOK USED
BY FIRST YEAR STUDENTS OF SENIOR HIGH SCHOOL

Sakilah Bewafa, Ana Utami Fatoni, Sri Nurul Yuni Alfamery


Jakarta State University
shaqiemaguire@gmail.com

ABSTRACT
The purpose of this paper is to investigate lexical density in the written passages of the English textbook used by first
year students of senior high school. The researchers are interested in doing this analysis as a critic and suggestion
toward the first edition of English textbook used in the implementation of 2013 curriculum. The result of this analysis is
expected to be a useful contribution for the betterment and perfection of the next edition of the book.The researchers do
the analysis of the English textbook by describing the lexical density connected with the text readability. Adopting a
nonrandom purposive sampling, the researchers select 8 written passages found in the textbook. The researchers
describe the chosen data and analyze them based on Halliday’s theory of lexical density and Flesch’s reading ease
scale. From the finding, the researchers find 8 lexical density of English written passages which have different result.
Four of the eight written passages have appropriate level of readability for senior high school students. However, three
of written passages have quite high level of readability which may cause difficulty for students to understand the
content of them. In addition, one of the written passages which is categorized as standard is also less appropriate since
it may be too easy for senior high school students to comprehend. Therefore, the researchers suggest that the next
edition of the English textbook for first year students of senior high school should get more attention in the selection of
the texts or written passages to be presented in the textbook.
Keywords: Readability; Written Passages; English textbook; Lexical density

INTRODUCTION
Textbook is a teaching tool (material) which presents the subject matter defined by the curriculum.
According to Seguin, a textbook can be conceived as a working tool either for the teacher or for the pupil.12
It tends to be the main resource which the teachers use in deciding what to teach. The 2013 curriculum
English textbooks used by the first year students of senior high school are presented with the text-based
learning approach. It means that there are some texts presented in the textbook, especially written texts or
passages.
The passages presented in a textbook should be understood well by the students. One of the
important things that can make the students hard or easy to understand English texts is lexical density.
Johansson defines lexical density as a measure of the proportion of lexical items (i.e. nouns, verbs,
adjectives and some adverbs) in the text.13 It is in line with the definition from Halliday that lexical density
(LD) is the number of lexical items as proportion of the number of running words.14 Lexical items consist of
words such as nouns, verbs, adjectives, and adverbs. Grammatical words (functional words), on the other
hand, come from closed set of options. There are words such as preposition, conjunction, auxiliary verbs,
modal verbs, pronouns, and articles.
The lexical density as explained above is used by the researchers to measure the readability of the
passages found in the textbooks. Richards, et al. explained that readability depends on several factors
including the average length of sentences, the number of new words contained, and the grammatical
complexity of the language used in a passage.15 The passages in the book are mostly taken from selected
websites, books, and authentic documents. Hence, the researchers consider that those passages were written
carefully. Lewis stated that the process of producing written text is highly self-conscious, reflective, and
non-spontaneous.16 Therefore, we do not need to worry much about the grammatical structure and content
anymore. The problem then lies on the lexical density that is whether the lexical density of the passages
presented is already appropriate with the readability level of the first year students of senior high school.

12
Roger Seguin, The Elaboration of School Textbooks Methodological Guide, (Unesco: Division of Educational
Sciences, Contents and Methods of Education, 1989), p. 23.
13
Victoria Johansson, Lexical Diversity and Lexical Density in Speech and Writing: A Developmental Perspective, (Lund
University: Department of Linguistics and Phonetics Working Papers, 2008), p. 65.
14
Halliday, M.A.K., Spoken and Written Language, (Victoria: Deakin University Press, 1985), p. 64.
15
Richards, J.C., Platt, J., & Platt, H., Longman Dictionary of Language Teaching and Applied Linguistics, (London:
Longman, 1992).
16
Michael Lewis, The Lexical Approach, (UK: Heinle, 2002), p. 101.
508
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
The purpose of this paper is to investigate lexical density in the passages of the English textbook
used by first year students of senior high school. The researchers think that by investigating the lexical
density, the researchers do the analysis of the English textbooks by describing the lexical density connected
with the text readability.
The researchers are interested in doing this analysis as a critic and suggestion toward the first edition
of the English textbooks used in the implementation of 2013 curriculum. The result of this analysis is
expected to be a useful contribution for the betterment and perfection of the next edition of the textbooks.

RELATED WORKS
In the past decade much research has focused on analyzing the relationship between lexical density and
readability of written texts as well as spoken texts. Khanifah (2013) reports her study on the Analysis of
Nominal Group and Lexical Density in ‘Introductions’ of the Articles Found in TEFLIN Journal Volume 23
Number 2 July 2012. It was found that the introduction of the sixth article found in TEFLIN Journal Volume
23 Number 2 July 2012 is the easiest text to be understood because it has lowest lexical density. While the
hardest text to be understood is the introduction of the fourth article because it has highest lexical density.
This implies that the higher lexical density, the harder text to be understood.
Focusing on lexical density, Pratiwi (2014) reports that the number of lexical density is not
influenced by the number of nominal groups, but it is influenced by the number of clauses per sentence,
number of lexical items per clause, and grammatical metaphor.
Nesia and Ginting (2014) found that explanation text is the most difficult text to be comprehended in
the textbook. Hence, it is suggested that further textbook writers to concern with the lexical density of the
reading texts so that the textbook can be used and understood by the teacher and the students.
Alami, et al. (2013) conducted a study on the male-female discourse difference in terms of lexical
density. One of the results shows that there is a negative relationship between the lexical density of discourse
and discourse length. Therefore, considering the length of a text only is not enough. The writers of a book
should also consider the lexical density of each passage chosen.

METHOD
This analysis focuses on lexical density concerning the passages of two English textbooks. The data of this
analysis are the passages taken from the English textbooks of first year students of senior high school,
published by the Ministry of Education in 2014. Adopting a nonrandom purposive sampling, the researchers
select 15 passages found in the textbooks. The passages were selected because they have 150 to 600 hundred
words which are the recommended length of a text for various online text analyzers used in this study, they
are online-utility.org, usingenglish.com, and seobook.com. The researchers decided to use those multiple
text analyzers to ensure the reliability of the calculation.
The text analyzers used by the researchers calculate the data based on the Halliday’s theory of
lexical density. The lexical density is calculated by dividing the number of lexical items (different words) by
the total number of words in each written passage.
Halliday’s Lexical Density Formula
Number of Lexical Items * 100
Lexical Density
Total Number of Words
(Halliday, 1985)
By taking Flesch’s reading ease scale into consideration, the higher the density, the more
complicated the passage is. The outline of the method concerning readability is given below.
Flesch’s Reading Ease Scale
Flesch’s Reading Ease Description of Style Educational Attainment Level (USA)
0-10 Very easy Grade 5
10-20 Easy Grade 6
20-30 Fairly easy Grade 7
30-40 Standard Grade 8-9
40-50 Fairly difficult Grade 10-12
50-70 Difficult Undergraduate
70-100 Very Difficult Postgraduate
(Flesch, 1948)

509
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
The researchers analyze the data through some steps: reading every of selected passage, counting the
number of lexical items and total number of words, determining the lexical density of the passages,
interpreting the data in terms of readability, and drawing the conclusion.

FINDING AND DISCUSSION


The finding on lexical density and readability of 15 passages of the 2013 curriculum English textbooks used
by the first year students of senior high school is presented in the following tables.
Table 1. Lexical Density (LD) of 15 Passages of English Textbooks of First Year Students of Senior
High School
Lexical Density
No. Title Average
online-utility.org usingenglish.com seobook.com
1 An Email from Hannah 60.31 57.36 63.61 60.42
2 A letter from Saidah 65.39 62.96 67.51 65.28
3 Congratulations 51.58 51.79 57.75 53.70
4 My Best Friend 59.11 57.89 60.46 59.15
5 Tanjung Puting National Park 56.32 55.98 60.46 57.58
6 Cuban Rondo 52.33 52.52 52.72 52.52
7 Visiting Niagara Falls 49.48 49.58 40.62 46.56
8 The Secrets of Stonehenge 55.21 55.23 54.79 55.07
9 Meeting My Idol 52.19 49.73 53.75 51.89
10 Didi's Diary 49.09 47.27 51.52 49.29
11 B.J. Habibie 55.95 57.64 56.38 56.65
12 Cut Nyak Dhien 45.79 46.86 44.42 45.69
13 Issumboshi 44.14 43.36 46.12 44.54
14 The Legend of Malin Kundang 44.25 43.55 45.85 44.55
15 Strong Wind 37.17 35.80 35.16 36.04
Table 2. Readability Appropriateness Measured with Flesch’s Reading Ease Scale
No. Title LD Readability Remarks
1 An Email from Hannah 60.42 Difficult Inappropriate
2 A letter from Saidah 65.28 Difficult Inappropriate
3 Congratulations 53.70 Difficult Inappropriate
4 My Best Friend 59.15 Difficult Inappropriate
5 Tanjung Puting National Park 57.58 Difficult Inappropriate
6 Cuban Rondo 52.52 Difficult Inappropriate
7 Visiting Niagara Falls 46.56 Fairly Difficult Appropriate
8 The Secrets of Stonehenge 55.07 Difficult Inappropriate
9 Meeting My Idol 51.89 Difficult Inappropriate
10 Didi's Diary 49.29 Fairly Difficult Appropriate
11 B.J. Habibie 56.65 Difficult Inappropriate
12 Cut Nyak Dhien 45.69 Fairly Difficult Appropriate
13 Issumboshi 44.54 Fairly Difficult Appropriate
14 The Legend of Malin Kundang 44.55 Fairly Difficult Appropriate
15 Strong Wind 36.04 Standard Inappropriate

Figure 1. Figure 2.
Readability Level of the 15 Passages Readability Appropriateness of the 15 Passages
From the finding, the researchers find that the lexical density of the 15 English passages have
different result. Five of the fifteen passages (33%) are categorized as fairly difficult which match the level of
510
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
readability for senior high school students. However, nine of the passages (60%) are categorized as difficult
which may cause difficulty for students to understand the content of them, and one of the passages (7%) is
categorized as standard which may be too easy for senior high school students to comprehend. These
findings show that the majority of the passages do not match the right level of readability of the students.
Whereas, Nuttal emphasized that obviously a text should be at the right level of difficulty for the students.17
In addition, 34% of the passages are considered as appropriate for senior high school students while 66% of
the passages are considered as inappropriate. This shows that most of the passages should be reconsidered to
be presented in the textbooks.

CONCLUSION
From the finding and discussion above, the researchers conclude that analyzing the lexical density in
connection to the passage readability is highly important. It is not merely intended to judge whether a
passage is difficult or easy. Instead, as stated by Zamanian and Heydari, it is useful to control the passage
difficulty to ensure that it matches student’s readability level.18 Therefore, the researchers suggest that the
next edition of the 2013 curriculum English textbooks for first year students of senior high school should get
more attention in the selection of the texts or passages to be presented in the textbooks.

REFERENCES
Alami, M., Sabbah, M., & Iranmanesh, M. 2013.Male-Female Discourse Difference in Terms of Lexical Density.
Research Journal of Applied Sciences, Engineering, and Technology.
Flesch, R. F. 1948. A New Readability Yardstick. Journal of Applied Psychology.
Halliday, M.A.K. 1985. Spoken and Written Language. Victoria: Deakin University Press.
Johansson, Victoria. 2008. Lexical Diversity and Lexical Density in Speech and Writing: A Developmental Perspective.
Lund University: Department of Linguistics and Phonetics Working Papers.
Khanifah, Siti. 2013. An Analysis of Nominal Group and Lexical Density in ‘Introductions’ of the Articles Found in
TEFLIN Journal Volume 23 Number 2 July 2012. Skripsi. Kudus: Muria Kudus University.
Lewis, Michael. 2002. The Lexical Approach. UK: Heinle.
Nesia, Barsyebah Herljimsi and Siti Aisyah Ginting. 2014. Lexical Density of English Reading Texts for Senior High
School. UNIMED: English Language and Literature Department.
Nuttal, Christine. 1982. Teaching Reading Skills in a Foreign Language. Oxford: Heinemann International.
Pratiwi, Astri Harta. 2014. Lexical Density of English Textbook of Second Year of Senior High School. Skripsi.
Semarang: Dian Nuswantoro University.
Richards, J.C., Platt, J., & Platt, H. 1992. Longman Dictionary of Language Teaching and Applied Linguistics. London:
Longman.
Roger Seguin, 1989. The Elaboration of School Textbooks Methodological Guide. Unesco: Division of Educational
Sciences, Contents and Methods of Education.
Widyati, et al. 2014. Bahasa Inggris. Ministry of Education of Republic of Indonesia.

CURRICULUM VITAE
Complete Name : Sakilah Bewafa Ana Utami Fatoni Sri Nurul Salamin Alfamery
Institution : Universitas Negeri Jakarta Universitas Negeri Jakarta Universitas Negeri Jakarta
Education : S1 Universitas Negeri Jakarta S1 Universitas Negeri Jakarta S1 Universitas Negeri Jakarta
Research Interst : • Linguistics • Linguistics • Learning Difficulty
• Evaluation and Assesment • Evaluation and Assesment • Emotional Intelligance
• English Teaching

17
Nuttal, 1982, op. cit., p. 25.
18
Mostafa Zamanian and Pooneh Heydari, Readability of Texts: State of the Art, (Finland: Academy Publisher, 2012),
p. 7.
511
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
REVITALIZING SOCIOLINGUISTIC COMPETENCE AS PERIPHERAL LEARNING
OUTCOME IN INDONESIAN EFL CONTEXT

Edi Ramawijaya Putra


Atma Jaya Catholic University of Indonesia
edi.ramawijayaputra@gmail.com

ABSTRACT
The notion of sociolinguistic competence is explicitly written in the document of Indonesian EFL curriculum as one of
standard competence that must be achieved by learners. However, the practices conducted by EFL teachers in
enhancing and promoting sociolinguistic competence especially in classroom activities do not perform as it supposed
to be i.e. providing opportunity to improve sociolinguistic competence. As emergence of CLT approach has been widely
known by Indonesian English teachers, the significance of sociolinguistic competence must be emphasized to cover all
aspects of competence in CLT requirements. In fact, the EFL teaching and learning processes is inclined to be more on
the achievement of language components such as structures and vocabulary. As results, Indonesian EFL learners posed
well-built grammar and lexical competence but rare to actively communicate either with teacher and classmate.
Contrastively, many scholars had conducted research in the area EFL setting by goal to improve sociolinguistic
competence under variety of scopes. Zayed (2014) for instance, investigating Jordanian EFL teachers’ and students’
practice of five speech acts. He found that EFL teachers and students had no proper practice of any of the speech acts
although the teachers practiced the speech acts of greeting, request, and thanking better than the speech acts of
apology and compliment, and the students practiced the speech act of greeting better than the other speech acts. Other
researchers such as Juppe (1997), Selin (2014), Yu (2005) and Regan (2012) shared the same signal that the
significance of sociolinguistic competence is one of the key in determining the successfulness of English learning either
in EFL or ESL context. The aim of this paper is to discuss relevant theories both from empirical finding from
researchers and discussion of literatures of sociolinguistic competence. The literature study is used as method in this
study. The literatures were collected to select the most relevant and latest studies in order to address the significance of
revitalizing sociolinguistic competence as one of learning outcome in Indonesian EFL context.
Keywords: sociolinguistic competence, Indonesian EFL, learning outcome

INTRODUCTION
The notion of sociolinguistic competence (SC) is explicitly written in the document of Indonesian EFL
curriculum as standard competence that must be achieved by learners. However, pedagogical context that
built by EFL teachers including classroom practices, method and tasks are not associated with efforts in
enhancing and promoting sociolinguistic competence. Almost whole classroom activities do not perform as
it supposed to be i.e. provide opportunity to practice speech appropriateness, cultural values and turn-taking
in real communication. The emergence of CLT approach has been widely known by Indonesian EFL
teachers and it is mostly widely-discussed among curriculum designers. Theoretically, significance of
sociolinguistic competence must be emphasized to cover all aspects of competence in CLT requirements.
Contrastively, the EFL teaching and learning processes inclined to be more on the achievement of language
components such as grammar and vocabulary. As results, Indonesian EFL learners posed well-built grammar
and lexical competence but rare to actively communicate either with teacher and classmate.
A number of researchers such as Compernolle (2012), Selin (2014), Yu (2005) and Regan (2012)
had found and shared the same signal that significance of sociolinguistic competence is one of the key in
determining the successfulness of English learning either in EFL or ESL context. This paper aims to discuss
relevant theories both from empirical findings and literatures on sociolinguistic to show the status of
significance to revitalize sociolinguistic competence as learning outcome in Indonesian EFL context.

INDONESIAN EFL OVERVIEW


Indonesia is one of the largest multiethnic in the world. This sociocultural richness cannot be seen as partial
entity separately from any aspect of life, including education. National education policy made English is one
of the compulsory content that must be learned by millions of learners ranging from elementary until senior
high school. This language policy aims to prepare incoming regional and global partnership in which
communication becomes a key determiner. To communicate effectively learners are expected to be able to
improve their global competitiveness by foreign language proficiency. However, the output of English as
Foreign Language learning (EFL) in Indonesia seems to be off-target. There are many factors that affect
EFL successfulness such as learning resources, curricular content and method. Authority, through Ministry
of Education and Culture (Kemendikbud) has designed core-competences in English that must be achieved

512
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
by learners to support national development. The competences cover whole aspects of language skills
(speaking, reading, listening and writing). Yet, the implementation in classroom level must be reviewed
since many of practices deviates from what it should be. The expectation on excellent learning outcome also
does not always correlate with the system used, Lie (2007:1) for instance, states that sense of “failure” in the
teaching English as a foreign language indicated in Indonesia by few high school graduates are able to
communicate intelligibly in English. It is strongly believed that it is caused by insufficiency on speaking
practices during high schools. This condition is contrastive with the achievements of standardized-test such
as TOEFL, TOEIC, IELTS and others. Learners can gain high score, many of those passed the requirements
but low in using the target language actively. In fact, learning a language aimed to be able to use it in real
communication context, exchange the ideas and interact with others. To be able to communicate and interact
successfully learners need sociolinguistic competence not grammatical rules.
Sociolinguistic competence is a given competence that highly related with appropriateness, cultural
behavior and conditioned sociocultural context in target culture (Yu, 2014: 6). In the era of task-based
instruction in EFL learning, our specific challenges in Indonesian context is to set the best way to facilitate
learning and it becomes exclusively prevailing constraints shared by several other countries where English is
taught as a foreign language (Lie, 2007). This paper proposes to strengthen sociolinguistic competence as
peripheral learning outcome. In order to do so, EFL teachers must facilitate classroom practices to make
sociolinguistic competence such as speech and appropriateness in cross-setting take place. Sociolinguistic
competence also must be viewed as fundamental outcome achieved to master whole skills required in EFL
curriculum

REVISITING CLT
The term CLT (communicative language teaching) is the most well-known approach among EFL teachers.
This approach enables learners to engage actively communicating using target language within the whole
processes of teaching and learning. The foundation of CLT was clearly described that to use target language
successfully, it cannot be relied merely on grammatical competence only but also sociolinguistic, discourse
and strategic competence (Canale &Swain, 1983: 53). However, language teachers described their own
model to cover those four competencies commonly referred to grammatical competence, sociolinguistic
competence, discourse competence and strategic competence (Alptekin, 2002:57). Consequently, our
pedagogic context has deviated from the requirements stated in theoretical framework of CLT concept. It
can be seen through task-based model, classroom practices and method used by language teachers who put
grammar and vocabulary as the top of requirement and ignore the vital of sociolinguistic competence. The
completion on memorizing series of words and set of grammatical rules is “sexier” than be able to speak and
interacts using target language in the classroom. As result, students are reluctant to participate in interaction
or given communication task and other similar types.
Another aspect that mostly neglected is learner’s strategy and activity made during or after
classroom activities. Should learners let to be autonomous, they will create efforts to practice target language
they learn. The era of sophisticated technology of social media and network that connect with internet enable
EFL learners to communicate virtually at real-time. More active learner may also create an active learning
group to practice what they have comprehended in the classroom and when they come to real classroom
practice they assume that to be ready. Considering these sorts of creativity performed by EFL learners, the
issues of emerging sociolinguistic competence is highly significant.
Given the social role of language, it stands to reason that one strand of language study should
concentrate on the role of language in society. Sociolinguistics has become an increasingly important and
popular field of study, as certain cultures around the world expand their communication base and intergroup
and interpersonal relations take on escalating significance. The basic notion underlying sociolinguistics is
quite simple. Language use symbolically represents fundamental dimensions of social behavior and human
interaction. The notion is simple, but the ways in which language reflects behavior can often be complex and
subtle (McKay, 2008). Furthermore, the relationship between language and society affects a wide range of
encounters from broadly based international relations to narrowly defined interpersonal relationships.
Revitalizing the Status of Sociolinguistic Competence
Foreign language proficiency is an investment for future outlook. Study abroad, for instance, Mizne (1997)
had found that learners who are capable with sociolinguistic competence are easier to interact with locals,
absorb information easily and builds the exposure quickly. In the sense of today’s global society the ability
to adjust one’s speech to fit the situation is very helpful. If the objectives of our language policy are to do so,
then we need to reform the way we view our EFL learning outcome. The outcome is not suitable with the

513
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
spirit of English as lingua-franca and to fit the future outlook of preparing generation as a part of global
citizenship. This situation remains as a serious thought that needs to be resolved. Moreover, the gap between
the commitments of CLT theories that included sociolinguistic competence to on-going pedagogical model
used by Indonesian EFL teachers must be minimized. The challenge faced by EFL stakeholders is on how to
make learners actively speak. Proficiency which may take high portion in communication rely on
sociolinguistic competence rather than grammatical. This situation may answers the question that frequently
asked by lecturer in higher education about why university students has poor performance on communicative
competence.
Generally, the culture and context of the learner and the native user of English may differ very
contrastively. The traditional native speakers of English have their own cultural and contextual setting and it
creeps into the language that they use. It should not be surprising thus, that the English used in non-native
setting has the particular purpose without much cultural interference. But can English have the same purpose
if it were to only transfer the cultural and contextual nature of the target language? In order to make English
learning a holistic experience, it is important that culture and local context are integrated so the learner has a
more comprehensive grasp of the language. As a multicultural country with almost millions of cultural items,
and many more haven’t discovered. Thus, EFL classroom is seen as potentially to have its typical shape of
combining local cultures and global culture. Moreover, since Indonesia has rich and large varieties of
cultural item from one province to another province it will enhance teacher to have different approaches. In
fact, teachers still do not have enough courage to implement such approach in their classroom instruction
and activities.
Indonesian learners have their own sociocultural background whichh vary from one place to others.
This cultural background is deeply rooted influencing learner’s mental perception and how they see the
world including what they learn. Politeness, for example, learners would vividly too doubt to talk and
practice to talk because they considering whether expressions produce will be either politely or impolitely
accepted. Having this constraint, EFL teachers must not to teach sociolinguistic competence on native-based
instead of using real sociolinguistic context in Indonesia context, again it can be different from one
provinces to another provinces. Sociolinguistic competence, on this basis, is very essential to be revisited in
our recent foreign language learning situation. Learners are forced to engage fully in native-speaker cultural
context instead of natural setting of present sociolinguistic context. It can be seen through textbook, learning
materials and media, context building. As result, learners may successfully practicing the artificial situation
but fail to achieve competence for real communication setting. Therefore, EFL pedagogical setting must be
fulfilled enculturation criteria. Alptekin (2002: 58) stated that conventional communicative model in EFL
with its strict to adherence to native speaker based is invalid in accounting language in international cross-
culture setting.
Luckily, the notion of sociolinguistic competence is explicitly mentioned in the document of
Indonesian EFL curriculum. It is stated that learners are required to be able to express sentences
grammatically and culturally accepted. Classroom interaction also must be meaningfully and socially
accepted in our existing curriculum. There are some reasons why sociolinguistic competence must
revitalized in order to revise recent pedagogical context and strengthened it as learning outcome. English is
the most spoken language used in many aspects such as international conferences, trading correspondences
and intercultural communication. As a mean of communication and interaction it is generally accepted that
English nowadays does not belong to any countries, it is consolidated as the global lingua franca.
Henceforth, EFL consequently must strive to prepare learners not only for short term educational and
institutional objectives but also global competitiveness. Considering that English become vehicular language
for communication among non-natives the outcome of EFL must be able to cover both grammatical
competence and sociolinguistic competence.
The process of building sociolingusitic competence requires learners to take personal responsibility
for seeing the dimension that what language they learn is not a separate entity from its social values.
Broersma (2004) suggested that to gain good relationship with the social values, learners must develop well-
understanding of how to communicate efficiently. Having a good sociolinguistic competence means to know
when to be quiet, take turn to respond, when to give compliments, when to apologize and others. Being
sociolinguistically-competent means to know rightful situations and know what is right thing to say and then
saying it appropriately (Broersma, 2004).

CONCLUSION
The successful foreign language learning model that accounting communicative competence in Indonesia
would be invalid if sociolinguistic competence is not covered within. Or, if it is there, the sufficiency must

514
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
fits its proportion in order to achieve the goals of communicative language teaching approach. A borderless
livelihood, global communication and multiethnic interaction would make English proficiency not only to
master structural components but also sociolinguistic as means of international and intercultural
communication. In line with this, the model in pedagogical context must be renewed. The urgently to
accommodate sociolinguistic competence as learning outcome seems to be vital to answer those challenges.

REFERENCES
Alptekin, Cem. 2002. Towards Intercultural Communicative Commpetence in ELT. ELT Journal Volume 56/1 January
2002. Oxford University Press, pp.58-62
Anita, Lie. 2007. Education Policy and EFL In Indonesia. Teflin
Broersma, D.H. 2002. Helping Learners Develop Sociolinguistic Competence?. ICCT Coachnotes. Wheaton College.
Yu, Ming-chung. 2014. On the Teaching and Learning of L2 Sociolinguistic Competence
in Classroom Settings. Asian EFL Journal p.1-24.
Regan, Vera. 2012. Sociolinguistic Competence, Variation Patterns And Identity Construction In L2 And Multilingual
Speakers. EUROSLA Yearbook 10 (2010), pp.21–37.
Compernolle, R.A.V. Williams, L. 2012. Teaching, Learning, and Developing L2 French Sociolinguistic Competence.
Applied Linguistics 33/2. Pp182-205.
Mizne, Claire Ann, "Teaching Sociolinguistic Competence in the ESL Classroom" (1997). Senior Thesis Projects,
1993-2002. http://trace.tennessee.edu/utk_interstp2/20.
McKay, SL. 2008. :It’s certainly been nice to meet you”: Using Plays to Develop Sociolinguistic Competence. Teacher
Talk 35. P 1-7.
Regan. V. 2010. Sociolinguistic Competence, variation patterns and identity construction in L2 and Multilingual
speakers. Jhon Benjamins Publishing Company.
Yu, M. 2005. Sociolinguistic Competence in Complimenting Act of Native Chinese and American Native Speakers; A
Mirros of Cultural Value. Language and Speech 2005. 48/1 pp 91-119.
Yu, M. 1998. On the Teaching and Learning Of L2 Sociolinguistic Competence in Classroom Settings. Asian EFL
Journal, 1, pp.1-13. http://www.linguisticsociety.org/resource/sociolinguistics

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Edi Ramawijaya Putra
Institution : Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten
Education : S2 Universitas Prof. Dr. Hamka
S1 Universitas Mataram
Research Interst : • English Teaching Methodology
• EFL Professional Development
• Sociolinguistic

515
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
IMPLEMENTING TASK-BASED LEARNING IN TEACHING ENGLISH SPEAKING SKILL FOR
SPECIFIC PURPOSES OF MARKETING

Audi Yundayani Dian Kardijan


STKIP Kusuma Negara Universitas Siliwangi
audi.yundayani@gmail.com diankardijan@unsil.ac.id

ABSTRACT
This article discusses how the process and goals of implementing task-based learning in teaching English speaking
skill for specific purposes of marketing at Polytechnic of Akademi Pimpinan Perusahaan (APP) Jakarta. The
contribution of this article is to provide the conceptual and the practical guide for the teacher who engages teaching
technique, task-based learning specifically to be reached students’ speaking ability. Research methodology used a
qualitative descriptive with an ethnography method as empirical and theoretical approaches. It aims to get a
description and an analysis deeply of culture based on field note intensively. The final result of a comprehensive study
of ethnography is a descriptive narrative accompanied by thorough interpretations interprets all aspects of life and
describe the complexity of life. Research procedures using Spradley cycle starting as follows 1) the selection of a
research project, 2) asking questions, 3) the collection of data, 4) making of an ethnographic recordings, 5) analysis of
data, 6) writing an ethnography. The data were collected through participants using questionnaire, observation sheet
and document study which is the way of collecting data through looking, listening and taking note about the indications
accur in teaching learning process using task-based learning. The data analysis and interpretation indicates that 1)
there are two objectives of teaching English speaking skill for specific purposes in marketing, first is the general
objective, this subject is directed toward marketing student in promoting their developmental skills on English speaking
skill and the second is the instructional objectives, after courses, marketing students will interact to demonstrate: a) an
understanding in a focus on standardize marketing language, b) comprehency in communicating orally in marketing
context, c) ability in applying English speaking ability for marketing activity and its situation related with it; and 2) the
used of teaching technique is task-based learning.
Keywords: Task-based learning, English speaking skill, and ethnography

INTRODUCTION
Speaking is one of the language skills that should be learnt and mastered by students. In learning speaking,
there is a problem faced by the students. Nothing to say. Even they are not inhibited, you often hear learners
complain that they can not think of anything to say: they have no motivation to express themselves beyond
the guilty feeling that they should be speaking (Penny, 1991). It shows that the lack of idea influence on the
students’ fluency in speaking. They can not talk a lot. It can be said that they are lack of ideas to express
their opinions or feelings. Why are students suffering in expressing themselves orally? In addition to the
disregard of this skill in the teaching and learning program of teaching English as a foreign language, there
are many other reasons. Poor self-confidence, lack of ideas, inability to arrange ideas, poor vocabulary, poor
structure, lack of oral practice, shyness, are some of the hindrances of communicating orally.
Teaching English for specific purposes is teaching to see and focus based on the students’ needs in
their profession which is begun in analyzing of need and situation of students. As graduated students of
Polytechnic of Akademi Pimpinan Perusahaan (APP), Jakarta, English speaking skill for specific purposes
of marketing is one of the crucial competencies that must be mastered to plan and execute the sale of the
plant (goods and services), the competence to conduct marketing research, motivation achievement and
competence to provide and supervise the sales force as well as entrepreneurial competence in ASEAN
region. Therefore, they should be well-equipped with English speaking in order to communicate well. For
being able in applying English effectively in their real life will be related with the lecturers, students,
teaching method or technique and instructional materials in English learning process. In designing
instructional material in speaking activities, it is necessary to recognize speaking in daily communications.
There are recommendations as elements to aid acquisition, storage, retrieval and use of information which
have been proved to make learning process easier, faster, enjoyable, self-directed, effective and transferable
to new situations.
Task-based learning is a natural extension of the constructivist and situated approaches to learning
process. The essence of task-based learning is to actively engage learners in authentic learning activities and
to put learners in the kinds of situations in which they need to use language skill. A task is an activity which
learners carry out using their available language resources and which might lead to a real outcome.
Examples of tasks are playing a game, solving a problem, or sharing and comparing experiences. In carrying
out tasks, learners are said to take part in such processes as negotiation of meaning, paraphrase, and
experimentation, which are thought in leading successful language development (Richards and Renandya,
516
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
2002). Furthermore, Task-based language teaching is an approach seeking to provide learners with a natural
context for language use. As learners work to complete a task, they have abundant opportunity to interact.
Such interaction is thought to facilitate language acquisition as learners have to work to understand each
other and to express their own meaning (Larsen and Freeman, 2000). Task-based learning is a teaching
approach that meaningful, lecturers no longer directly provide instruction related to language skills, but
provide various assignments that connected with the target instruction.

LITERATURE REVIEW
Speaking is a productive skill in delivering the message both feelings, opinions or thoughts of the language.
Speaking is the use of verbal language to communicate (Fulcher, 2003: 23). Speaking is the process of
developing interaction and sharing of meaning through the use of verbal and non-verbal symbols in diverse
contexts. Essentially, speaking has some terms of reference, including: First, speaking should contain the
characteristic of communicative competence, including (a) knowledge of grammar and vocabulary, (b)
knowledge of the rules of speaking, (c) knowing how to use and responds a variety of different types of
speech acts, such as; request, apologies, thanks, and (d) knowing how to use appropriate language. Second,
speaking was contrasted discourse with dialogue, so that; the interaction in discourse or dialogue without
misunderstanding. Third, speaking was distinguished on transactional and interactional. Transactional a
conversation generated in order to get something, while interactional is devoted to the social language.
Fourth, speaking has a purpose, in usually 1) information routines that include telling a story, describing
something, giving a set of instructions and making a comparison, 2) interactional routines that included a job
interview, a dinner party, a coffee break at work, etc. Fifth, speaking has particularly genre. One of the most
commons is the recount that started from the introduction and followed by orientation (Nunan, 1999: 226-
230). Based on the description above, it can be concluded that speaking is a form of verbal communication
that is dialogical, interactive and productive, aims to convey the message that has elements of language
(usage), contains attitude communicative (use) and to understand each other for the purpose of transactional
(destination information) and interactional (social purpose) which contains elements of language, acceptable
and meaningful.
Teaching is a process in giving guidance to the students to reach the goals (Scrivener, 1994: 1-2).
Furthermore, Teaching is showing or helping someone to learn how to do something, giving instruction,
guiding in the study of something, providing with knowledge, causing to know or understand (Brown, 1994:
7). It can be concluded that teaching is a systematic way in which the teacher serves as an organizer that
must be creative, so that students become interested in the learning process. There are three main reasons for
teaching speaking skills: 1) the students practice the ability by applying directly in real life. Giving students
the opportunity to discuss freely and giving them the opportunity to practice the discussion on the actual
situation, so that students are accustomed (Harmer, 2007: 123). Speaking is a complex ability that required
the simultaneous use of different capabilities. Speaking is an analytical process that involved speaking
pronunciation, grammar, vocabulary, fluency and comprehension (Heaton, 1990: 70-71).
English for Specific Purposes (ESP) is English teaching with the objectives set on the students based
on their specific needs (Richards, 2001: 28). ESP becomes a demand for technology development, social
affairs and world trade, so many people who want to learn English is not only for priding, but also as the key
to involve themselves in the development of the world, so in the next development comes the need to master
English for the purpose more specifically based on the needs of each individual. Teaching English should
relevance with the needs and desires of learners (Hutchinson and Waters, 1986: 6-8). English for special
purposes of marketing (English for Marketing) is part of the English language for business and economics or
English for Business and Economics (EBE). The current development has been demanding professional
sales force (marketing) to continuously improve the competence itself. English teaching materials on
marketing devoted to the language and culture as the expertise to plan various activities related to marketing,
as do campaigns, exhibitions and other. (Robinson, 2001).
The concept of task-based learning has varied terminology and understanding, even though many of
the researchers or experts give the same conclusions against an object. The task is a work plan for the
activities of learners who require cognitive process and involves four language skills (Ellis, 2002: 9-10). It
illustrates that the task is a tool in teaching students' cognitive abilities to optimize and integrate the ability
to listen, speak, read and write. By task-based approach, language is learned through negotiations among
students by focusing on meaning and not grammar (Nunan, 2004: 80). Task-based learning has eight
characters, as follows; 1) Students make a decision on a framework; 2) The existence of problems or
challenges attitude to the students; 3) Students design the process to determine the solution on the problems
or challenges attitude; 4) Students are collaboratively responsible for accessing and processing information

517
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
to solve problems; 5) The evaluation process is run continuously; 6) Students periodically to reflect on
activities that are already to do; 7) The final product learning activities will be evaluated qualitatively, and; 8)
The situation of teaching is very tolerant to errors and changes.

METHOD
This study describes and interprets the purpose and process of teaching English speaking skill for specific
purposes of marketing by using task-based approach at Polytechnic of Akademi Pimpinan Perusahaan
(APP), Jakarta. This research used a qualitative approach based on the assumption of the participants reality
by ontological assumptions, epistemological assumptions, prioritizing the perspective of participants (emik)
rather than the perspective of the researcher (etik), definitions limited used (rhetoric assumptions), inductive
logic, and the research design flexible or it can be changed (methodological assumptions) (Creswell, 1994:
17). The method was used ethnographic methods which include intensive study of culture and language with
three types of data collection through interviews, observation and documents that will be produced three
types of data: quotations, descriptions and quotes the document, resulting in a narrative description of the
product (Emzir, 2010: 144-145). Spradley ethnographic procedures and the cycle are started from: 1) the
selection of ethnographic research project, 2) asking questions ethnography, 3) the collection of
ethnographic data, 4) ethnographic recordings, 5) analysis of ethnographic data and 6) ethnography note.
Data analysis was performed four stages; domain analysis, taxonomic analysis, component analysis, and the
analysis of the theme.

FINDINGS AND DISCUSSION


The research result through observation, questionnaires and interviews show the goals of Engllish speaking
learning process for the specific purpose of marketing are comprised of general purpose and specific
purpose. The general objective of English speaking learning process for the specific purpose of marketing is
to increase the development of English speaking skills, especially related to their profession as a marketing
force. Instructional materials delivered through meaningful tasks given, it means giving tasks related to the
students’ needs to speak English in marketing field. Task-based learning given by lecturer appropriated to
the conditions and situation of students, through presentation techniques varied, creating a situation
conducive and active teaching, positioning students as teaching subjects. This was seen when the teaching
process by the topic of material business proposal. At that time lecturer using the language of instruction in
English, learners are conditioned in such a way to push themselves in using English based on their ability, so
they can increase their English speaking ability and be confidence in English speaking. Steps being taken in
applying task-based approach are the stage of pre-task, in this phase, lecturer conducts brain storming of
topics with students and underline words, phrases that are useful, helping students understand instruction
duties. This phase is the stage where the lecturer gives an overview of assignment background, including
knowledge and related to procedures. Lecturer also explains the topics and tasks given. The next stage is
cycle task, learners do its work with a partner or group and lecturer supervises these activities. In this phase,
students focus on meaning than grammatical rule. Last stage is focus language review part, learners examine
and discuss the special features that appear in the task given by the lecturer. In this stage, lecturer fixes the
mistakes made by learners. Teaching process does not happen in one direction, but the students were
actively involved in delivering their opinions or ask for things in English. Communication in the classroom
is required by using English, in the form of dialogue, ask questions and express something as successful
ways of conditioning classes. It means that the above activities can give a positive “preasure” for the student
in practicing their English speaking ability, including their vocabulary mastery , fluency and the most
important thing is they improve their self confidence which is as a basic resource of speaking ability,
especially in foreign language.

CONCLUSION
Based on the findings and discussion of research, it can be formulated some conclusions of the applying
task-based learning purpose in teaching English speaking skill for specific purposes of marketing at
Polytechnic of Akademi Pimpinan Perusahaan (APP), Jakarta. First, students can improve their English
speaking skill, both for academic and special needs related to their profession as a marketing force in
carrying out the functions and profession. Second, the task-based learning focuses on students’ interaction in
acquiring meaning according with the learning subject. Task-based learning has a role in developing
communicative competence, so the lecturer tends to explore the students’ ability in using English as a
communication means in the "real world", and the students are given a stimulus and an opportunity to use

518
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
English in the actual function, in order to achieve students’ communication competence. Teaching process
was developed by giving questions and answers based on the existing situation and the students’ evaluation
can be done directly in the teaching process.

REFERENCES
Brown, H. Douglas. 1994. Principles of Language Learning and Teaching. San Fransisco: Prentice hall Regents
Englewood Cliffs.
Brown, H. Douglas. 2001. Teaching by Principles: An Interactive Approach to language Pedagogy. New York:
Pearson Education Inc.
Ellis, R. 2002. Task-Based Language Learning and Teaching. British: Oxford University Press.
Fulcher, Glenn. 2003. Testing Second language Speaking. England: Essex Pearson Education Limited.
Grounland, E. Norman. 1995. Measurement and Assessment in Teaching. USA: Prentice-Hall, Inc.
Harmer, Jeremy. 2001. The Practice of EnglishLanguage Teaching. London: Longman.
Harmer, Jeremy. 2007. How to Teach English. England: Pearson Longman.
Heaton, J.B. 1990. Classroom Testing: Keys to language Teaching. New York: Longman.
Hutchinson, Tom and Alan Waters. 1986. English for Specific Purposes. New York: Cambridge.
Kumaradivelu, B. 2006. Understanding Language Teaching. London: Lawrence Eribaum Associates.
Larsen and Freeman, Diane. 2000. Technique and Principle in Language Teaching. (second edition). New York :
Oxford University Press.
Nunan, David. 1999. Second Language Teaching and Learning. Boston: Heinle and Heinle Publishers.
Nunan, David. 2004. Practical English Language Teaching. New York: Mc Graw-Hill.
Richards, Jack C. 2001. Curriculum Development in Language Teaching. New York: Cambridge University Press.
Richard, Jack C. and Willy A. Renandya. 2002. Methodologhy in Language Teaching. New York: Cambridge
University Press.
Richards, Jack C. and Rodgers. 2003. Approaches and Methods in Language Teaching. New York: Cambridge
University Press.
Robinson, Nick. 2001. Cambridge English for Marketing. New York: Cambridge.
Scrivenan, Jim. 1994. Learning Teaching: A Guidebook for English Language Teachers. Great Britain: Heinemann
ELT.
Skehan, Peter. 1996. A Framework for the Implementation of task-Based Instruction Applied Linguistics. British:
Oxford University Press.
Ur, Penny. 1991. A Course in Language Teaching: Practice and Theory. New York: Cambridge University Press.
Widdowson, H.G. 1989. Knowledge of London and Ability for Use, Applied Linguistics. Volume 110, Number 2.
London: Oxford University Press.

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Audi Yundayani Dian Kardijan
Institution : STKIP Kusuma Negara Universitas Siliwangi
Education : S2 Universitas Negeri Jakarta S2 Universitas Negeri Jakarta
S1 STKIP Kusuma Negara S1 Universitas Siliwangi
Research Interst : • Speaking • English for Spesific Purposes
• English for Spesific Purposes • Sociolinguistics
• Text Analysis • Text Analysis

519
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
PORTRAYING STUDENTS’ PERCEPTION TOWARDS ENGLISH ASSESSMENT
EXPERIENCES: AFFECTIVE RESPONSES, SUMMATIVE AND FORMATIVE ASPECTS USING
VISUAL ANALYSIS

Fitria Kamelia
Indonesia University of Education
fitriakamelia@ymail.com

ABSTRACT
The power of assessment will have impact on students’ motivation and behavior in the learning process. Knowing
students’ perspective is precisely useful to build a huge understanding about them. This research aims to portray
students’ perceptions towards English assessment. The participants are thirty 10th grade students of a private high
school in Bandung. The students express their perceptions of assessment through drawings (draw-a-picture technique),
which means that there will be a visual analysis. Draw-a-picture technique involves students drawing pictures to
illustrate aspects of their school assessment experience. The data are discussed qualitatively and descriptively. The
finding reveals that assessment could bring up certain feelings which comprise affective response (positive, negative),
formative aspects (test results, test procedures, and test limitations), and summative potentials (teachers’ support, peer-
feedback, students’ follow-up) from each student. This paper plays a role in understanding how assessment is viewed
differently, and is having impacts on students’ progress. In a word, if students’ perspectives toward assessment are
taken into account, a significant improvement of language testing and evaluation in every language skill will be earned.
Teachers and educational institution are expected to be more aware of the emotional, social, and intellectual impacts
which might happen to students after classroom assessment.
Keywords: Assessment, perception, visual analysis

INTRODUCTION
Knowing beliefs, responses, and attitudes students have is precisely useful to build a huge understanding
about them. In this case, perspectives of English assessment turn out to be the issue. Each student may have
different point of view and ways in reacting to certain aspects in assessment. As we know, the power of
assessment will have impact on students’ motivation and behavior in the learning process, because of that,
students’ perspectives toward assessment are principally essential to be taken into consideration.
Furthermore, Ajzen (2005) proposes that what a person believes about a phenomenon (i.e., their conceptions)
influences the intentions or goals they have (e.g., believing assessment is for improvement allows a student
to self-regulate and use errors or mistakes as a mechanism for improved learning). Gipps (2012) explaines
that assessment has taken into a high profile and is required to achieve a wide range of purposes, it has to
support teaching and learning, provide information about pupils, teachers and schools, act as a selection and
certificating device, as an accountability procedure, and drive curriculum and teaching. Besides, Shaomy
(2007) argues that it has been recognized for a number of decades that assessment has a profound impact on
how students experience schooling and how they perceive themselves as language learners and as
individuals.
In line with that, Annie (2011) in her study shows that students have multifaceted conceptions of
assessment and approach assessment situations with their own purposes and intentions. Assessment and
feedback could be seen by some of the students as a strong motivator for learning, while, on the other hand,
a few students do not value informal feedback, but only consider summative evaluations as worthwhile;
some others totally disregard feedback. What teachers must think is how to be acquainted with students’
perspectives and demands. The more teachers understand the differences, the better they are in evaluating,
understanding and meeting the diverse learning needs of their students.
In a word, if the students’ perspectives toward assessment are taken into account, a significant
improvement of language testing and evaluation will be earned. The aim of this research is to portray
students’ perceptions of their experiences of English language assessment. The participants are 10th grade
students in a private senior high school in Bandung. The students express their perceptions of assessment
through drawings (draw-a-picture technique). Draw-a-picture technique involves students drawing pictures
to illustrate aspects of their school assessment experience. Hence, this study has attempted to answer a
research question: What are EFL students’ perceptions on English assessment viewed from their drawing?

LITERATURE REVIEW
According to Allen (2004) assessment involves the use of empirical data on student learning to refine
programs and improve student learning. As we know, to determine students’ learning progress and
520
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
improvement, teachers ought to conduct a variety of assessments. When conducting assessment, teachers
gather information about their students using certain method and approach to measure students’ knowledge,
behaviors, skills, and so on. Huba and Freed (2000) states assessment is the process of gathering and
discussing information from multiple and diverse sources in order to develop a deep understanding of what
students know, understand, and can do with their knowledge as a result of their educational experiences; the
process culminates when assessment results are used to improve subsequent learning. Crooks (1988) as
stated in Gipps (2012) argues that the impact of classroom assessment on students deals in detail with
motivation and classroom evaluation, but in essence the argument seems to be that students with high self-
efficacy tend to make more use of deep learning strategies than other students that they tend to persist in the
face of failure or difficult tasks. The impacts of assessment have something to do with students’ motivation.
Crooks (1988) as stated in Gipps (2012) elucidates that the response of individual pupils to educational
experiences and tasks are a complex function of their ability, personality, past educational experience,
current attitude, self-perception and motivational state, together of the nature of the current tasks.
In line with the objective and analysis of the study, the literature review is narrowed into these
following points:
Affective Responses
Affective response is all about ‘feeling’. It refers to how people react to certain stimuli. Kantor (1993)
explains that affective responses are always aroused by specific stimuli, although we must admit that
frequently we experience great difficulty in distinguishing from one another the details of different affective
stimuli as well as their corresponding reactions. Further he discussed that feeling reactions constitute a
distinct type of behavior segment in which the responses, though always morphologically overt, do not,
however, effect any immediate change in the stimulus objects as in the case of most of the other overt forms
of activity. Only one exception is possible, and that is when both the stimulus and the responding individual
happen to be the same person.
Summative and Formative Assessment
There are two types of assessment discussed in this study: formative, and summative. There are distinct
differences between the two. According to Brown (2004), summative assessment, as its name suggests,
summarizes what the students learnt during a course and it is usually done at the end of the semester. This
kind of assessment shows what objectives have been accomplished, but it lacks feedback or any suggestion
to improve performance. Final exams or proficiency tests are examples of summative assessment. Hanna and
Dettmer (2004) added that summative assessment is more product-oriented and assesses the final product,
whereas formative assessment focuses on the process toward completing the product. Once the project is
completed, no further revisions can be made. If, however, students are allowed to make revisions, the
assessment becomes formative, where students can take advantage of the opportunity to improve.
Gattullo (2000) characterized formative assessment as “(a) it is an ongoing multi-phase process that
is carried out on a daily basis through teacher–pupil interaction, (b) it provides feedback for immediate
action, and (c) it aims at modifying teaching activities in order to improve learning processes and results.
Furthermore, Hanna and Dettmer (2004) discussed that formative assessment has several types: observations
during in-class activities; of students non-verbal feedback during lecture, homework exercises as review for
exams and class discussions, reflections journals that are reviewed periodically during the semester, question
and answer sessions, both formal—planned and informal—spontaneous, conferences between the instructor
and student at various points in the semester, in-class activities where students informally present their
results, and student feedback collected by periodically answering specific question about the instruction and
their self-evaluation of performance and progress.
Visual Analysis and Draw-a-Picture Technique
Knoublach et al (2008) explains that the use of visual research methods has become increasingly widespread
throughout the social sciences. From their origins in disciplines like social anthropology and sociology,
visual research methods are now firmly entrenched in major fields of inquiry, including sociology, health
and nursing studies, educational research, criminology, human and cultural geography, media and cultural
studies, discursive and social psychology, management and organisation studies, political science and policy
analysis. Kolb (2008) argues that in visual data material we could find the potential for an integrative
approach to social reality. In this cases, the visual analysis is associated with draw-a-picture technique
which will be used to obtain the data. Clarebout (2007) argued that drawings can be used to identify nuances
and ambivalences within a person’s belief system, indicating they would be useful when studying pupil
conceptions. Besides, Diem-Wille (2001) suggested that, pictures, drawings, and metaphors show a person’s
emotional state of mind much better than verbal definitions or descriptors. This technique has been found

521
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
particularly useful in allowing children to share their personal feelings about schooling (Freeman and
Mathison, 2009).
Previous Studies
The ways students react assessment are varied. Associated with this issue, there were many previous studies
established. Xiao and Carless (2013) found that students’ negative perceptions of assessment exceeded
positive ones. Negative feelings mainly arise from three aspects: pressurized school life and heavy workload;
perceived negative sentiments following from unsatisfactory or disappointing results; and discouraging
conversations with teachers. It was also noteworthy that there were a number of positive reactions to
assessment. Positive affect mainly arises from satisfaction with attainment, such as high marks and teacher
praise, and feelings of being supported or encouraged by teachers and peers.
Brown (2008) proposed Student Conceptions of Assessment (SCoA) which contains four major
aspects: (1) assessment leads to improved teaching and learning; (2) assessment relates to external factors
such as school quality and student futures; (3) assessment has a positive emotional and social impact on
students, and (4) assessment is irrelevant because it is bad and can be ignored.
Moreover, there are several studies in the area of students’ perception which utilized draw-a-picture
technique. For instance, Brown and Wang (2014) found that from 26 images which were classified into eight
major categories, the results were pride and pleasure (i.e., positive affect in relation to achievement),
negative emotions (i.e., emotions such as fear or anxiety), being monitored (i.e., a sense of being watched or
controlled), competitive images (i.e., athletic images to do with persistence, effort, and exertion), lifelong
(i.e., the experience that assessment begins at an early age and continues throughout the life-course), marks
(i.e., the use of numeric scores to indicate proficiency), inaccuracy (i.e., the inability of assessment to
accurately evaluate a person), and burden (i.e., the pressure of assessment upon the learner). Another
research came from Xiao and Carless in 2013. They explored students’ views of English language
assessment in a Chinese high school in Hubei province through ‘draw-a-picture technique’. Their result
showed that assessment could invoke both positive and negative feelings; and that tests carried both
summative and formative messages. When analyzing the data, they classified the drawings based on 3
categories: (1) affective responses; (2) summative aspects; and (3) formative potential. This classification
will be adapted as a guideline in this present research to analyze the data visually.

METHOD
This study uses descriptive method and qualitative approach. The descriptive method is used to describe
students’ perception. Seliger and Shohamy (1989) states that descriptive research involves a collection of
technique used to specify, delineate, or describe naturally occurring phenomena. Besides, this study uses
qualitative approach. Qualitative research is concerned with structures and patterns, and how something is
(Litosseliti, 2010). Draw-a-picture technique is used, it means that students share their perception toward
English assessment by drawing pictures. Clarebout (2007) argues that drawings can be used to identify
nuances and ambivalences within a person’s belief system, indicating they would be useful when studying
pupil conceptions.
By using random sampling, 30 tenth grade students of a private senior high school in Bandung were
involved in this study. To investigate the students’ perception of English assessment, they were asked to
draw a picture, and its caption showing their point of view of English assessment they have experienced in
the classroom. The study was conducted on Thursday, November 26, 2015. It took about 60 minutes for the
students to finish the drawing. Finally, the drawings were collected and analyzed by the researcher. The
researcher by herself interpreted all drawings to reach the aim of this study which is to portray students’
perception of English assessment in the classroom. The drawings then were classified into three categories
adapted from Xiao and Carless studies in 2013: (1) affective responses (negative, and positive); (2)
summative aspects (test results, test procedures, and test limitations); and (3) formative potential (teacher
support, peer feedback, student follow-up, others). Afterwards, the findings were further discussed
comprehensively. Lastly, the researcher drew some conclusions, and gave suggestion.

FINDING AND DISCUSSION


Based on the data obtained, the students were exceedingly creative in putting their ideas into a drawing. The
researcher found 30 images produced by 30 participants. The drawings were classified into three major
categories: (1) 14 pictures of affective responses (2 negative items, and 12 positive items); (2) 8 pictures of
summative aspects (5 test results items, 1 test procedures, and 2 test limitations items); and (3) 8 pictures of

522
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
formative aspects (1 teacher support item, 1 peer feedback item, 6 student follow-up items). These categories
have represented students’ perception toward English language assessment based on their experience.
Affective Response
There are 14 drawings which indicate the existence of affective response among students when perceiving
English assessment in the classroom. 12 pictures of them are found as the indication of positive affective
response, and 2 pictures else are coded as indicating negative affective responses. Positive affective
responses of students are the most frequent perception confirmed by the students in the data. Images of
positive emotions include smile, confidence, excitement, and so on. These symbols often occurred together
with indicators of teacher’s kindness, high scores, and compliments when the assessment process occured.
On the other hands, images of negative emotions include tears, unhappy facial expression, unconfidence, etc.
These symbols often occurred together with the indicators of low marks, teachers’ criticism, failure, and
nervousness when assessment process accomplished.
Positive Response

Figure 1. Positive Response


The picture above describes student’s positive response towards English assessment in the
classroom. The aspect of assessment covered in this picture is feedbacks. As can be seen in the picture, the
student shows his/her good feeling when the teacher delivers his/her feedbacks, and comments kindly,
without any anger or pressure. It means that a kindness when delivering assessment such feedbacks and
comments is necessary to build up students’ motivation and positive response.
Negative Response

Figure 2. Student’s Negative Response


Figure 2 also indicates a negative affective response of students toward English assessment. This
picture implies that students hate a sudden exam. It is implied that when teachers want to conduct a test, they
should tell the students several days earlier so they can get prepared for the exams. The reason of why
students hate a suddenness is probably because they could feel anxious, worried, and unconfident when
accomplishing the test given.
Summative Aspects
The indication of summative aspects is when students mostly perceive an assessment as the representation of
final results such as grades, scores, and learning procedures. In a word, this aspect refers to final product-
oriented. 5 pictures were found as the indication of test results, and 1 picture were coded as indicating test

523
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
procedures, and 2 pictures were referred to test limitation.. Test results responses of students were the most
frequent perception confirmed by the students in this category.
The following pictures are reflecting students’ summative aspects (test results, test procedures, and
test limitation) towards English assessment they have experienced in the classroom.
Test Results

Figure 3. Student’s Summative Response to Test Result


Figure 3 describes students’ feeling when obtaining scores. Somehow, this picture can be referred to
affective response, but in this moment the researcher prefers to relate it to summative aspects from students
since they more likely emphasize the scores when assessment process is conducted. The picture implies that
the students usually compare their scores to other students. The emphasis of scores, grades, or a final product
of a test is extremely referred to summative aspects. In this case students are only concerning on the result
rather than the process. Figure 3 implies that the student puts a great emphasis in obtaining a good final
result for his/her own satisfaction. This kind of student perceives assessment as a cumulative process that
can lead him/her to a satisfying final result and judgment.
Test Limitations

Figure 4. Student’s Summative Response to Test Limitation


The picture above implies how students react to the limitation within themselves. They feel reluctant
and worried when they have to practice their knowledge in the real life. That kind of assumption refers to
summative aspects because they more likely put a great emphasis on a final judgment of themselves. It can
be seen that this kind of students can easily get worried when they get bad scores, because “a judgement’’
means a lot to them.
Formative Aspects
As we know, formative assessment focuses on the process toward completing the product. It may be in the
form of feedbacks, compliments, even a teachers’ support. 1 picture was found as the indication of teachers’
support, and 1 picture was coded as indicating peer-feedback, and 6 pictures were referred to students’
follow-up. Students’ follow-up responses of students were the most frequent perception confirmed by the
students in this category.
The following pictures are reflecting students’ formative aspects (teachers’ support, peer-feedback,
and students’ follow-up) towards English assessment they have experienced in the classroom.

524
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Teacher Support

Figure 5. Student’s Formative Potentials of Teacher Support


When the researcher took a look at this picture, she referred it to summative aspects, but when she
looked closer, this picture is referred to formative aspects. Why? The caption of this picture implied that their
teacher’s motivation is very meaningful. They perfectly implicate it in the real life to improve their confidence
and competence. This case is in accordance with teachers’ support which belong to formative aspects.
Peer-feedback

Figure 6. Student’s Formative Response to Peer-Feedback


Feedback is very important in the process of learning. It is able to build up students’ motivation. As
can be seen from Figure 6, students love compliments which are interconnected with feedbacks which are
done by their peer. Feedback and compliment may not only come from teachers, but also friends. This kind
of peer feedback promotes emotional support, especially when peers have good relationships with each other.
Students’ Follow-up

Figure7. Student’s Formative Response to Students’ Follow-Up

525
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
From this last picture, it can interpreted that students’ follow-up carries potential to support a
formative orientation within the process of summative assessment. This picture represents their struggle
become fruitful in improving and developing their competence and capability in English. What triggers them
to do such follow-up is their former achievement which was bad, so they were motivated to get a better
achievement.
As can be seen from the result, students’ positive affective response is the most frequent perceptions
which drawn by students. The students feel happy when they get high scores, compliment, and support from
their peer and teachers. It is in line with the study of Xiao and Carless (2013) which revealed that positive
affect mainly arises from satisfaction with attainment, such as high marks and teacher praise, and feelings of
being supported or encouraged by teachers and peers. Accordingly, the result of this study is generally in
accordance with several previous studies like: Annie (2011) who revealed that students have multifaceted
conceptions of assessment and approach assessment situations with their own purposes and intentions, Xiao
and Carless (2013) who found that negative feelings mainly arise from three aspects: pressurized school life
and heavy workload; perceived negative sentiments following from unsatisfactory or disappointing results;
and discouraging conversations with teachers. Furthermore, it can be seen from the data that what Clarebout
(2007) and Diem-Wille (2001) stated about ‘students’s drawing’ is right. They argued that drawings can be
used to identify nuances and ambivalences within a person’s belief system, indicating they would be useful
when studying pupil conceptions, and show a person’s emotional state of mind much better than verbal
definitions or descriptors. The researcher once has investigated people perception on something through
questionnaire and interview, then she is assuming now that analyzing perception in the form of drawing is
way more interesting and informative.

CONCLUSION AND SUGGESTION


This research has discussed the perception of assessment from students from a private high school in
Bandung. The research found that there were a variety of perceptions expressed by the students through their
drawings. She found 30 images. The drawings were classified into three major categories: (1) 14 pictures of
affective responses (2 negative items, and 12 positive items); (2) 8 pictures of summative aspects (5 test
results items, 1 test procedures, and 2 test limitations itesms); and (3) 8 pictures of formative aspects (1
teacher support item, 1 peer feedback item, 6 student follow-up items. Furthermore, what this study has done
differently from previous ELT researches its data collection which used draw-a-picture technique as the
major point of students’ expression of their perceptions on English language assessment. Drawing pictures
allows them to express their thoughts in their own way with less limitation.
Finally, teachers and educational institution are expected to be more aware of the emotional, social,
and intellectual impacts which might happen to students after classroom assessment. Future researchers are
suggested to conduct wider studies regarding to students’ perception on language assessment in order to
make teaching and learning process becomes more profitable. The researcher suggests that there should be
sincere attempts from the teachers and academic institution to improve the quality and process of English
assessment in detail. Designing assorted assessments and tasks should be taken into consideration. Teachers
should care about what students perceive about assessment. Do not let them take that assessment result for
granted. This study has a number of limitations which need to be addressed in future research. The sample of
this study only involves students from a private high school, future research is recommended to investigate
students in other school level like vocational high school, elementary school, or even university. Extra
variables like cultural background, and psychological factors related to students’ perception are also
recommended to further research.

REFERENCES
Ajzen, I. 2005. Attitudes, personality and behavior (2nd ed.). New York: Open University Press.
Allan, M. 2004. Assessing academic programs in higher education. Bolton, MA: Anker.
Annie, T. 2011. Exploring students’ perception of and reaction to feedback in school–based assessment. Malaysian
Journal of ELT Research, 7(2), 104-147.
Brown, H.Doughlas. 2007. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy. New York:
Longman, Inc.
Brown, G. T. L. 2008. Conceptions of assessment: Understanding what assessment means to teachers and students.
New York: Nova Science Publishers.
Brown, G. T. L, & Wang, Z. 2014. Illustrating assessment: How Hongkong university students conceive of
assessment’s purposes. Studies in higher education, 39(2), xx-xx.
Brown, S. & Smith, B. 1997. Getting to Grips with Assessment, Birmingham: SEDA Publications.

526
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Clarebout, G., Depaepe, F., Elen, J., & Briell, J. 2007. The use of drawings to assess students' epistemological beliefs.
Paper presented at the Biannual Conference of the European Association for Research on Learning and
Instruction, Budapest, Hungary, August.
Diem, Wille G. 2001. A therapeutic perspective: The use of drawings in child psychoanalysis and social science. In T.
V. Leeuwen, & C. Jewitt (Eds.), Handbook of visual analysis (pp. 119-133). London: Sage.
Freeman, M. & Mathison, S. 2009. Researching children’s experiences. New York: Guilford Press.
Gipps, Caroline, V. 2012. Beyond testing: Towards a theory of educational assessment. Great Britain: TJ International
Ltd.
Hanna, G. S., & Dettmer, P. A. 2004. Assessment for effective teaching: Using context-adaptive planning. Boston, MA:
Pearson A&B.Kolb, Bettina (2008). Involving, Sharing, Analysing—Potential of the Participatory Photo
Interview. Forum Qualitative Sozialforschung / Forum: Qualitative Social Research, 9(3), Art. 12
Huba, M.E. & Freed, J.E. 2000. Learner-centered assessment on college campuses: Shifting the focus from teaching to
learning. Needham Heights, MA: Allyn & Bacon.
Kantor, Jacob Robert. 1923. The Psychology of Feeling or Affective Reactions. American Journal of Psychology 34,
433-463.
Kolb, Bettina 2008. Involving, Sharing, Analysing—Potential of the Participatory Photo Interview. Forum Qualitative
Sozialforschung / Forum: Qualitative Social Research, 9(3), Art. 12
Litosseliti, Lia. 2010. Research method in linguistics. Great Britain : MPG Books Group M.F,
Seliger, Herbert.W., & Shaomy, Elana. 1989. Second language research methods. Oxford English : Oxford English
Press.
Shohamy, E. 2007. The power of language, the power of English language and the role of ELT. New York: Springer.
Xiao, Yangyu, & Carless, David Robert. 2013. Illustrating students’ perceptions of English language assessment:
Voices from China. RELC Journal, 44(3), 319-340.

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Fitria Kamelia
Institution : Universitas Pendidikan Indonesia
Education : S2 Universitas Pendidikan Indonesia
S1 Universitas Lambung Mangkurat
Research Interst : • Error analysis of students’ language production
• Morphology, syntax, semiotics, systemic functional linguistics
• Students’ belief and attitude in EFL context

527
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
STUDENTS’ PERCEPTION TOWARDS ORAL AND WRITTEN TESTS AS SUMMATIVE
ASSESSMENT: A STUDY IN AN ISLAMIC BOARDING SCHOOL IN SUBANG, WEST JAVA

Zahra Faula Sinan


Indonesia University of Education
zalfatar@gmail.com

ABSTRACT
A written test is broadly used as a form of summative assessment for any subjects at schools. An oral assessment tends to
be neglected by teachers or test developers. It is because the oral test is considered to be less practical without
considering the benefit it can give to the students. In the school where this study takes place, a summative assessment is
conducted in both oral and written forms. Since this kind of summative assessment is rarely conducted, this study is trying
to investigate new students’ perceptions toward oral and written tests. 50 tenth-grade students are involved in this study. A
descriptive study is implemented to find out what the students’ perceptions toward oral and written tests are. A
questionnaire is used to gather the data and then the students’ results of both oral and written test are compared to see
how their perception affects their performance. The questionnarie consists of two parts; the first is direct comparison
between oral and written test and the second is investigation of students’ perception towards oral and written tests in the
form of Likert scale. The result shows that the students have positive perception of both oral and written tests in different
dimensions: anxiety, familiarity, time allotment, reflecting truer knowledge, examiner participation, academic dishonesty,
and correcting mistake. It also proves that the students prepared themselves better for the oral test becaue of anxiety. It is
suggested to conduct oral test in summative assessment.
Keywords: oral test, written test, summative assessment

INTRODUCTION
A summative assessment or a final examination in Indonesia is mostly conducted in the form of written
examination, a paper-pencil based test. Every subject that the students have in the classroom is tested in
written form, even for testing students’ communicative competency of English. The students learn how to
communicate in English in the classroom but they never get assessment orally in their final examination. In
English exam, what the students have to do is generally to choose suitable response or expression to fill in
the blank spaces of some short conversations. In addition, the questions are in the form of multiple choices,
so the students can possibly answer each question even though they do not understand what it is. Out of 50
questions of English, there are commonly only 5 essay questions.
In the school where this study took place, a summative assessment is conducted in two forms, oral
and written examinations. Those two examinations are usually conducted in two weeks, one week for each
examination. Materials for both exams are the same but different in forms. The exams aim to examine
students’ four language skills, listening, reading, speaking and writing, and their comprehension about
subject materials.
First year students in the school who have not ever had an oral examination in a summative
assessment tend to be afraid of being disadvantaged by the examination. From an informal talk that the
researcher had with the students two weeks before the exam, most of the students said that they were afraid,
anxious, less confident, and nervous toward the exam. They were afraid of being not able to answer
questions because of anxiety and nervousness. On the other hand, they gave different opinion about the
written exam because they used to have it in their previous school.
Since oral examinations are rarely conducted in schools, researches under the same topic are hardly
found. It is because oral assessment is considered as alternative assessment in school (Joughin, 1998) and
less practical because it takes a long time to conduct, time consuming and burden-some (Huxham, Campbel,
& Westwood, 2012; Thomas, Raynor & McKinnon, 2014). The characteristic of oral assessment is its
complexity, interaction and exchanges between examiners and examinees and it is a right tool to assess
students’ knowledge (Badger, 2010). It is believed that oral assessment can reduce academic dishonestly or
cheating during the exam and it can help validate the originality of the students’ work (Thomas, et. al, 2014).
According to Joughin (1998), there are six dimensions of oral assessments; they are primary content
type, interaction, authenticity, structure, examiners, and orality. Primary content type concern on what is
tested by the oral assessment that has four categories. The oral test in the school is used to test one of the
four categories; that is knowledge and understanding. The oral test along with written test is used to assess
the students’ knowledge and understanding of the subject matters. It is in line with the purpose of conducting
summative test (Brown, 2004). Interaction is related to exchanges of examiners and the students as
examinees. The interaction that the students and teachers have during the summative assessment is

528
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
considered as a dialogue pole which provides high level of interaction without written form. The oral test
that is conducted in the school is a closed structure pole in which the examiner asks a series of set questions
in a given order. The examiners are teachers or senior students who are given authority to assess the
students. In term of orality, the oral test is a purely oral without other medium because the written form of
assessment is conducted in different week.
There are limited numbers of study concerning students’ perception on oral and written tests. One of
the studies was conducted by Zeidner and Bensoussan (1988). The study focused on the college student’
attitudes toward written versus oral tests of English. It was conducted in Northern Israel and involved 117
female and 53 male first-year students. The study showed that the students tend to evaluate the written test
somewhat more favorably than they did in the oral test. For them, the oral test is considered as low-anxiety
and pleasant experience which is contrast from the nature of oral assessment.
Anxiety seems intuitively inhibit the learning or production of a second language and it has
complicated relationship with students’ achievement in the language learning (Horwitz, 2010). A study
conducted by Hancock (2001) proved that the test-anxious students performed poorly and were less
motivated than the low or medium when they perceive the high threat of evaluation. Besides, it is also
believed that anxiety and depression are linked to lower academic performance (Owens, Stevenson, Hadwin
& Norgate, 2012; Iannone & Simpson, 2015). The anxiety in the oral assessment may be related to its
unfamiliarity (Huxham, et. al, 2012). Students become anxious because they never have oral assessment.
Scott (1986) revealed that anxiety is an emotional state in which influence students’ affective reaction to
tests.
This study is going to investigate first year students’ perception towards oral and written tests and to
see whether there are any differences between their score of oral and written test in the summative
assessment.

METHOD
A descriptive study was used in conducting the present study. This kind of study set out to describe and
interpret what thing is about and what event has influenced and affected a present condition (Cohen, et. al,
2007). It meant that this study presented what happened in the real situation without giving any treatments or
interventions to the subjects. It was in line with the purpose of this research that was trying to investigate
students’ perception toward oral and written test.
Sample
There were 50 tenth grade students involved in this study. The students were in their first year in the school.
It was their first time of having both oral and written tests as summative assessement of English.
Instrument
The instrument of this study was questionnaire. The questionnaire was adapted from Zeidner & Bensoussan
(1988) study. The questionnaire is divided into two part, the first part was a direct comparison between the
oral and written assessment and the second was investigating students’ attitudes in the form of Likert scale
with five scales of agreements, strongly agree, agree, neutral, disagree, and strongly disagree. The
questionnaire was presented in Bahasa Indonesia. The direct comparison consisted of 11 items in the form of
questions and statemetns. The attitude investigation consisted of 16 statements. The students’ oral and
written test results of English were also used to confirm their perception on oral and written tests.
Procedure
The data were gathered from the questionnaire that was given to the students by the end of the examination
weeks. Students’ responses to the questionnaire were presented in the form of simple descriptive statistic,
frequency and percentage. The results of the students’ oral and written test were examined to see the
differences of the students’ performance in the summative assessment.

RESULTS AND DISCUSSION


Direct Comparison of Oral vs Written Test
Direct comparison of students’ perception between oral and written test covered two main foci; those are
advantages and disadvantages of both oral and written tests. It covered preference, level of difficulty,
fairness, anxiety, time allotment, tension, and motivation.

529
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Table 1. Students’ Perception on Direct Comparison between Oral and Written Test
Oral Written
No. Question/Statement
f % f %
1. Which examination do you prefer? 35 70 15 30
2. Which test best reflect your knowledge of English? 38 76 12 24
3. In which exam do you have better chances of success? 27 54 23 46
4. Which examination form is more appropriate/fair? 38 76 12 24
5. Which type of exam evokes more tension and anxiety? 41 82 9 18
6. Which exam is more difficult? 22 44 28 56
7. I feel more relax on ………… test. 12 24 38 76
8. I feel less tension on ………… test.. 14 28 36 72
9. I feel more anxious on ………… test.. 40 80 10 20
10. I feel more motivated to learn and have better preparation
42 84 8 16
on ………… test..
11. I am sure that I will get better score on ………… test. 37 74 13 26
From the table above, we can see that most students (70%) preferred oral test over written test. Their
reasons were implied in the next result of this direct comparison. The students viewed oral test as more valid
and appropriate type of test than written test in testing English, which was chosen by 76% (f: 38) of the
students. This result did not support the previous study conducted by Zeidner & Bensoussan (1988).
In term of chances of success, there was no significant difference between oral and written test. The
students’ perception of these two tests was almost fair. The difference was only 4 respondents.
Most of the students (81%) viewed oral test as having more tension and anxiety. It was also
supported by the next statement that the students (80%) felt more anxious on the oral exam. The good point
of their anxiety was they prepared themselves better to face the oral test. 84% students admitted that they
were more motivated to study and had better preparation in the oral test. No wonder that 74% students were
confidents to have better score on the oral test because they prepared it better.
Most of the students (76%) felt more relax in the written test. They also agreed that written test had
less tension compared to the oral test, which was agreed by 72% of the students. In term of difficulty, the
students (56%) thought that written test was more difficult than the oral test. It was not significantly
different. It was probably because they did not prepare the written test well, which had been discussed
earlier that the students felt more motivated and had better preparation in the oral test.
From this direct comparison between oral and written test, it can be seen that tension and anxiety
that the students had toward oral examination raised their motivation to learn. It also raised their confidents
about the result of their exam.
Students’ Perception on Oral and Written Examination
A questionnaire in the Likert scale form was used to explore more about the students’ perception and
attitude toward oral and written tests. Items of the questionnaire were mainly based on the advantage and
disadvantages of oral and written tests that were found by Zeidner & Bensoussan (1988) in their study. It
focused on anxiety, familiarity, time allotment, reflecting truer knowledge, examiner participation, cheating,
and correcting mistake. Since the responses were in 5 levels of agreements, the result will be presented in
three categories, agree, neutral and disagree. Further explanation about degree of the agreement or
disagreement will be given as needed.
From the students’ responses on the questionnaire, it was found that written was easier in term of
anxiety because the test gave less tension and anxiety to them. It was supported by 43% of the respondents.
It was in line with their response to time allotment for the written test. 84% of the students agree that the
written test gave them more time to think and concentrate on the questions. In addition, 56% of the students
agree that they were more relax in doing the written exam because they had a lot of time to answer the
questions. In contrast, oral test gave anxiety and tension to the students because they had a face-to-face
session with the examiner. 50% of them agreed and 46% gave neutral response. It indicated that the students
were anxious. Besides, the students had not enough time to think during the oral test, which was supported
by 38%. It was probably related to the familiarity of the test (Huxham, et. al, 2012). 38% of the students
hardly concentrated because they were not familiar with this format of test. The written test was viewed as
an easier test because most of the students (52%) were more familiar with it
In term of reflecting truer knowledge, most of the new students agreed that oral test was the truer
test in reflecting their knowledge of English. It was agreed by 96% of the students, in which 4% of them
were neutral. In addition, the most of the students (90%) believed that oral test trained them to think fast and
correctly. Oral test was considered as a difficult test because the students need to understand direct questions

530
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
which were given by the examiner. This statement was agreed by 32% of the students. In contrast, the
written test was viewed by 88% respondent as less reflecting the students’ true knowledge because they were
able to correct the mistakes during the exam. The students (44%) viewed written test as a rigid test because it
limited them to clarify their answer. Unlike oral test that allows clarification of questions by the examiners.
80% of the students agreed that examiner participation help them to get clearer understanding of the
questions and allow them to clarify their answers.
Most of the students (78%) agreed that oral test did not give any chance to cheat (Thomas, et. al,
2014). It was because the oral test was conducted individually, a face-to-face session with the examiner.
76% of the students did not think that written test gave them chance to cheat either. It meant that both
written and oral exams were conducted fairly in the school.
The result of the written and oral assessment showed that the students gave better performance in the
oral test. The means of the score for each test are presented below:
Summative assessment Mean
Oral test 89.88
Written test 73.44
The result was in line with the students’ prediction of the tests, they believed to get better score in the oral
test. It was probably because anxiety and tension of the oral test lead the students to prepare themselves for
the oral test better.

CONCLUSION
From the result and discussion, it can be said that the students’ perception on both oral and written test was
varied. It depends on the focus of the criteria under investigation. The students gave a positive perception to
the oral test because it reflects their truer knowledge of English and it viewed as a valid test in assessing
their English. They also gave positive attitude toward the written test because it gave them more chance to
think and concentrate during the exam because there was more time and less or no participation of the
examiner during the exam. The disadvantages of written exam were the limitation of asking clear instruction
and clarification during the exam. Although the students viewed oral examination as a difficult test, it is
beneficial for both teachers and students.
In term of practicality, the school where the study takes place has proven that conducting both oral
and written tests as summative assessment is possible. Besides, from this present study we can see that the
first-year students have positive perception towards oral tests. Even though it rises their anxiety but it
motivates them to prepare themselves better for the oral test.

REFERENCES
Badger, J. 2010. Assessing reflective thinking: Pre-service teachers’ and professors’ perceptions of an oral
examination. Assessment in Education: Principles, Policy and Practice, 17(1), 77-89 doi:
10.1080/09695940903076022
Brown, H. D. 2004. Language assessment: Principles and classroom practices. New York: Pearson Education.
Cohen, L. Manion, L., & Morrison, K. 2007. Research method in Education – 6th Ed. New York: Routledge
Hancock, D. R. 2001. Effects of test anxiety and evaluative threat on students’ achievement and motivation. The
Journal of Education Research, 94(5), 284-291 doi: DOI: 10.1080/00220670109598764
Horwitz, E. K. 2010. Foreign and second language anxiety. Language teaching, 43, 154-167 doi:
10.1017/S026144480999036X
Huxham, M., Campbell, F., & Westwood, J. 2012. Oral versus written assessments: a test of student performance and
attitude. Assessment & Evaluation in Higher Education, 37(1), 125-136, doi: 10.1080/02602938.2010.515012
Iannone, P. & Simpson, A. 2015. Students’ views of oral performance assessment in mathematics: straddling the
‘assessment of’ and ‘assessment for’ learning devide. Assessment & Evaluation in Higher Education. 40:7,
971-987, doi: 10.1080/02602938.2014.961124
Joughin, G. 1998. Dimensions of oral assessment. Assessment & Evaluation in Higher Education, 23 (4), 367-378 doi:
10.1080/0260293980230404
Owens, M., Stevenson, J., Hadwin, J. A., & Norgate, R. 2012. Anxiety and depression in academic performance: An
exploration of the mediating factores of worry and working memory. School Psychology International , 33(4),
433-449 doi: 10.1177/0143034311427433
Scott, M. L. 1986. Students’ affective reactions to oral language test. Language Testing, 3(1), 99-118 doi:
10.1177/026553228600300105
Thomas, J., Raynor, M., & McKinnon, M. 2014. Academic integrity and oral examination: An Arabian Gulf perspective.
Innovations in Education and Teaching International, 51(5), 533-543, doi: 10.1080/14703297.2013.796724

531
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Zeidner, M. & Bensoussan, M. 1988. College students’ attitude toward written versus oral test of English as foreign
language. Language Testing, 5(1), 100-114 doi: 10.1177/026553228800500107

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Zahra Faula Sinan
Institution : Universitas Pendidikan Indonesia
Education : S1 dan S2 Universitas Pendidikan Indonesia
Research Interst : • Teaching English for Foreign Language
• Language Test

532
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
STUDENTS’ PERCEPTION ON ASSESSMENT FEEDBACK IN WRITING

Intan Septia Latifa


Indonesia University of Education
intan.latifa22@yahoo.com

ABSTRACT
The voice of students has been silent in the area of assessment feedback. There is no certainty whether assessment
feedback they received especially in writing has met their need or not. Due to the importance of assessment which aims
to improve learning, to certify that learning has taken place and to evaluate the quality of instruction (Brown, 2008), it
is considered chiefly essential to know how the learners perceive the assessment feedback. Among some related studies
regarding assessment, one study had discovered that students got most influenced from assessment rather than
teaching. Therefore, conducting this study will hopefully assist teachers to understand the students’ perception on
assessment feedback in order to improve the quality of assessment feedback itself. According to statement above, this
study is objected to find out students’ perception on assessment feedback especially in writing task. It employs
qualitative method by collecting qualitative data from questionnaire. 30 students of undergraduate study completed
AQE (assessment questionnaire experience). The questionnaire contains 27 Liker scale items including two positive
options (i.e. strongly agree and agree), two negative options (i.e. strongly disagree and disagree) and one neutral
option (i.e. no idea). The finding revealed that the majority of participants showed positive responses to the assessment
feedback in writing task calculated at 67.2% of the participants answered positively on assessment feedback they
received in writing task. However, the teachers should still improve the quantity and quality of the feedback since in
those two criteria, the learners tended to show low percentage. Furthermore, among some factors such as effort,
syllabus, goals and standards, approach, examination and satisfaction, it discovered that goals and standard gave high
influence on how students saw writing assessment feedback. The implication of the study offer suggestion for the
English teachers to make necessary changes in the method to deliver the feedback to get students’ attention of the
importance of assessment feedback for the successful of their writing development.
Keywords: assessment feedback, writing, perception, goals and standards

INTRODUCTION
Assessment runs an important role in education. It is considered as the way to evaluate and to know how far
students understand and comprehend the materials which have been taught to them. The utilization of the
assessment itself can be found from the lowest level to the highest level of education in which the difference
might be seen from the demand of each level. The aims of the assessment are divided into three major
purposes which are to improve learning, certify that learning has taken place and evaluate the quality of
instruction (Brown, 2008).
Assessment also can influence the way students learn. In the beginning of 1970s, Snyder and Parlet
cited in Graham Gibbs (2010) found that students get most influenced from assessment rather than teaching.
Students illustrate their study like how much they get from the learning process and how much exercise they
have done is dominated by the demand of the assessment system. From this finding, it seems that assessment
considered essential for the successful learning of the students.
A section of assessment would not be completed without consideration of giving feedback.
Numerous studies have revealed that feedback serves the most powerful influence to student achievement
(Hattie and Hattie & Timperley cited in Gibbs: 2010). However, how well the feedback will work mainly
relying on whether the feedback is considered helpful for the students or not. Previous study conducted by
Maclellen (2001) drew a conclusion that based on the teachers’ responses, majority of them agreed that
feedback is helpful in details, assisting student to learn and understand. However, according to students’
perception, feedback is not fully helpful proving by nearly one-third reported feedback never help them to
understand. Moreover, while teachers assume that feedback frequently encourage discussion with tutors,
only two percent of students agreed with this purpose and half of them disagreed. The finding above shows
that there is still difference perception of how teachers and students see the use of feedback in teaching and
learning process.
Bookhart (2003: 6) acknowledges that “student perceptions are inextricably tied to the classroom
assessment experience and ultimately the meaning and use of the information it affords”. In the other words,
as long as the assessment in general and feedback in specific can work to the students while (at the same
time) they know the meaning of it for them, it will result in the use of assessment feedback as a purpose of
learning and evaluation.
Furthermore, besides knowing the perspective of students on assessment and feedback can assist the
students successful in their learning, it also aims to help teachers to provide comprehensive and useful
feedback which meet their students’ need. As consequence, it will lead to the successful teaching and
learning process for both teachers and students.

533
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Learning from the issue above, this study investigated students’ perception of assessment feedback
in writing competency.
Maryan, Seyyed & Maryam (2013) state that one factor considered essential dealing with feedback
is that feedback assist students to reconstruct their knowledge or ability what is desired. This idea has
brought to the main purpose of the study which emphasized in the importance of knowing what students
desired and perceived from assessment feedback especially in writing competency. It had also investigated
the relations of the way students deal with their learning to their perception of assessment feedback in
writing.
Based on purposes above, the research questions examined were:
1. What is students’ perception of assessment feedback?
2. Is there any relation between feedback and factors influencing it?
(Factors influencing feedback are asked in questionnaire, they are effort, syllabus, goals and standards,
approach, examination and satisfaction.)

LITERARY REVIEW
Assessment Feedback
Assessment feedback runs an important role in teaching and learning process. It provides critics and
motivation which is useful for both teachers and students in term of improving and developing the learning
and teaching cycle. McCann (2009) believes that “feedback has a significant impact on the way lecturers and
students communicate core values of learning”. As a result, the process of giving feedback becomes
indicative measurement of how well the learners are doing in their learning process.
In line with the theory above, Brown (2001) acknowledges feedback as information and/or
communication which can be delivered in numerous ways, either in individual or group. With the purpose of
motivating students, for instance the students themselves will know how well they have done and how to
improve it. In terms of how to improve, students and teachers can consider feedback as ‘feed-forward’
assisting students to plan what to do to improve (Race, 2005).
However, there are some cases proved that both teachers and students fail to meet the successful
feedback regarding unclear and unmotivated assessment feedback itself. Swan (2005) claimed although the
feedback is given, there is still lack guidance on how to improve it. Duncan (2007) also adds the factor on
students influencing the ineffectiveness the assessment feedback, since the students do not read the teachers’
comments.
In term of the cases above, Brown (2001) suggested some factors to create effective feedback.
Initially, the feedback has to be ‘timely’ (sustainable given to the students), ‘relevant’ (meet students’ need),
‘meaningful’ (students can be perceivably beneficial) and ‘realizable’ (be able to be achieved). The
supporting factor is that the feedback also need to be ‘personalized’ or specifies for each individual in order
to suit their personal need. Moreover, knowing what perspective of students on assessment feedback has also
to take into account to give input to the teachers in terms of how to improve the assessment feedback.
In order to understand how well students receive the assessment feedback, the teachers have to know
four different constrains that students face in understanding academic task. It is divided into students’
conceptions of task and learning.
a) Students’ conceptions of task
“Students have to make sense of what kind of a task they have been set when they tackle an
assignment”, (Gibbs: 2010). Sometimes students will easily misunderstand while the feedback is given.
Mostly, how they see the feedback more or less relies on what teachers want and how the task consists
of. So, the clearer the tasks are, the easier students will get the feedback, because they will reflect to the
task whether they do it appropriately or not.
b) Students’ conceptions of learning
Saljo cited in Gibbs (2010) correlate how students see assessment with five conception of learning. They
are (1) Learning as passive receipt of information; (2) Learning as active memorization of information
(3) Learning as active memorization of information or procedures, to be used at some time in the future
(4) Learning as understanding (5) Learning as a change in personal reality: seeing the world differently.
Student with 1, 2, or 3 might have difficulties in interpreting feedback. Dealing with this case, feedback
has to be sensitive in order to suit whatever conceptions of feedback students owned.
There have been several researches conducted to find out how students receive and act upon the
assessment feedback. Dweck (2000) found that individual differences influence the way students perceive
the feedback. For instance, students, who believe intelligence is fixed quality, will take less attention to
feedback. Otherwise, students, who see intelligence gives less influence and rely most on their effort in order
to get better outcomes, will take the feedback as the way to improve their performance.
The other study conducted by Bohnacker & Bruce (2013) revealed that students only consider
feedback timely if it is returned within two weeks. Feedback given within two weeks seems to increase
534
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
students’ satisfaction with feedback provision, while not, however, necessarily making the feedback more
effective. The other finding from McCann (2009) showed that students get advantage if they received one-
to-one feedback. It is considered useful since it provide personal element which explain the ideas to improve
future assignment.
Assessment Feedback in Writing
Taking a look at writing assignment, the role of assessment feedback is very important. In the concept of
assessment feedback in writing, there are two focuses which can be taken into account, form-focused
feedback and content-focused feedback.
Form-focused feedback has been developed in 1980s. It emphasizes to correct students’ works on
grammatical accuracy which covers grammar, vocabulary and mechanics (Ferris, 2003; Alroe, 2011).
Moreover, Harris & Rowan (1989) explained some linguistics features related to criteria of a good grammar.
Those features are article, verb tense, verb form, subject verb agreement, sentence structure and pronoun.
While, dealing with vocabulary, the teacher should focus on word choice and word form used by the
students in their writing assignment (Hedgcock & Lefkowits, 1994). Furthermore, Hedgcock & Lefkowits
(1994) also acknowledged that in correcting the mechanics of the writing, punctuation, capitalization and
spelling are important. Applying form-focused feedback will assist students improving their writing
accuracy which results in communicative development of writing (Ashwell, 2000), since their attention will
bring them to particular linguistics aspects.
In addition, content-focused feedback is going to generate, develop and organize the ideas of
students’ writing (Hyland, 2003). This type of feedback is very relevant to be utilized especially on the early
stage of students’ writing development. It is because students will learn how to express their idea with
considering whether the writing is coherent and cohesive or not. Through this feedback, students will aware
of grammatical correctness since they will learn how to provide fixed idea with considering the grammar as
well.

METHODOLOGY
The study used qualitative method by collecting qualitative data from questionnaire. Initially the data was
collected through survey and then end up with describing the data qualitatively. “The standard used in
choosing participants and sites is whether they are information rich” (Patton cited in Creswell, 2008: 214).
Based on the argument, researcher used Purposive sampling for this study.
The participants of the study were 33 undergraduate students of one of state university in Bandung.
Students were selected from two different semester, semester I and VII. The study utilized questionnaire as
an instrument. Initially, participant completed Assessment Experience Questionnaire (AEQ) by Gibbs &
Dunbar-Goddet cited in Gibbs (2010). The questionnaire examined the students’ perception of assessment
feedback and other factors influencing the feedback such as quantity of effort, coverage of syllabus,
feedback, clear goals and standards, approach, learning from examination and satisfaction.
The questionnaire contains 27 Liker scale items including two positive options (i.e. strongly agree
and agree), two negative options (i.e. strongly disagree and disagree) and one neutral option (i.e. no idea).
The classification of the items can be seen in table 1.
Table 1. The Classification of the Items
Item numbers Sample of items
 The way the assessment worked, you had to put the hours in
Quality of effort 6, 13, 17
regularly every week.
 The way the assessment worked on the courses you had to study
Coverage of syllabus 4, 5, 11, 16
every topic.
 I received hardly any feedback on my work.
Feedback 3, 14, 15, 1, 2, 8  I used the feedback I received to go back over what I had done in
my work.
Clear goals and
7, 9, 12  It was always easy to know the standard of work expected.
standards
 I find I have to concentrate on memorizing a good deal of what we
Surface & deep 18, 22, 23, 19, 20, have to learn.
approach 21  I often found myself questioning things that I heard in classes or
read in books.
Learning from
24, 25  Doing the exams brings things together for me.
examination
Satisfaction 26, 17  Overall I am satisfied with the teaching on this course.
27 item of Assessment Experience Questionnaire (AEQ) was distributed among participants. The
questionnaire required students to respond using a five-point, positively and negatively packed, agreement,
535
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
disagreement and neutral rating scale (i.e., strongly disagree, disagree, no idea, agree and strongly agree). Of
the 40 questionnaires distributed, 30 were returned. The study was conducted on 13th to 14th of December
2015. After data collection, the qualitative data were analyzed by using SPSS 16.0. Descriptive statistics and
Pearson correlation coefficient were used.

FINDING
RQ #1: Students’ perception of assessment feedback
The finding regarding the results of participants’ responses to the AEQ questionnaire for feedback is
described by considering some factors like quality of effort, syllabus, feedback, goals and standards,
approach, examination and satisfaction.
From the questionnaire data, it revealed that the participants showed positive response to feedback
proved by more than two third of the participants choose agree and strongly agree in percentages of 50.5%
and 16.7% respectively. It can be assumed that the feedback received by students assist them to evaluate
their works although the quantity and quality of the feedback is considered low. Furthermore, the other two
options such as negative response and neutral were calculated less than a fifth of total percentages.
Moreover the above result was also influenced by participants’ perspective on other factors. Quality
of effort as well as coverage of syllabus for instance, as general, both factors gained higher positive
responses from the participants which was showed on the percentages counted at 53.5% and 50%
respectively. The next factor is clear goals and standards. This factor assists students to achieve high
competency in writing as long as they get clear goals and standard from their lecturer. Nearly a half of
participants agreed that the clearer goals and standards delivered by lecturer from the beginning, the easier
process of learning they expect from the writing course.
Whereas, regarding the approach which lecturer utilized in the classroom, three-forth of the students
argued that it had been deep enough. Furthermore, in terms of how they learn from examination, they come
to the agreement that they got positive outcomes since they put effort in preparing for better result. Finally,
as a whole, the students were satisfied with writing course. However, in the last part of the questionnaire,
they agreed that they were more interested in mark rather than feedback given by the lecturer. Although this
negative attitude toward feedback had been shown when it was compared to the mark, but one thing
important is that the participants still have positive perception on feedback in the general term.
RQ#2: Perception on feedback and factors influencing it
The second research questions looked for the correlation between students’ perception on writing assessment
feedback and other factors influencing it, such as effort, syllabus, goals and standards, approach,
examination and satisfaction. From those factors, the writer tried to figure out which factor gave high
correlation to the perception of feedback given to the students.
In order to investigate the correlation, Pearson correlation coefficient was utilized. The result shows
clear goals and standards which got r= 0.434 meaning that there was a correlation between feedback and
clear goals and standards. The level of significant sig= 0.012 represented that this correlation was
meaningful. Number of significant sig (0.012) was smaller than 0.05 representing high correlation between
feedback and clear goals and standards. In the other words, as goals and standards are clearer, the students
would have positive attitude in feedback given to them. The reason may probably originate from a change in
students’ views as they acquire clearer goals and standards from the writing course from early stage, it will
contribute to positive perspective of feedback they got which is evidenced on assisting them succeed in the
writing course. However, there is no meaningful correlation with regard to feedback and the rest of factors
such as effort, syllabus, approach, examination and satisfaction.

CONCLUSION AND RECOMMENDATION


The results of the study have provided some insights into the understanding of how students saw writing
assessment feedback and what factor gave more correlation to the writing assessment feedback itself. It
might be concluded that students mostly saw writing assessment feedback positively. Moreover, compared
to all factors asked in the questionnaire such as effort, syllabus, goals and standards, approach, examination
and satisfaction, it discovered that goals and standard gave high influence on how students saw writing
assessment feedback.
Even though the results above positively showed good perspective on assessment feedback in
writing, still teachers have to provide students with further knowledge in terms of strengthening their writing
skills and ensuring them to take as many advantages as possible from the feedback. In this way teachers can

536
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
make the necessary changes in the methods in delivering the feedback in order to get full attention from the
students.
Though the present study managed to successfully implement a qualitative method, there were still
limitations. The data was only based on the questionnaire, consequently, less information gathered from the
data. There was no further explanation on why the participants chose certain answer instead of the others.
Therefore, gathering additional data from qualitative interview is chiefly essential in terms of supporting the
initial quantitative result of questionnaire. Furthermore, it is also suggested that by gathering a more
extensive sample from other students who are in different levels of study as well as focusing in other courses
will show the exact view of students’ perspective on assessment feedback.

REFERENCES
Alroe, M.J. 2011. Error correction of L2 students’ texts: theory, evidence and pedagogy. Asian EFL Journal
Professional Teaching Articles, 50, 37-71.
Ashwell, T. 2000. Patterns of teacher response to student writing in a multiple draft composition classroom: is content
feedback followed by form feedback the best method. Journal of Second Language Writing, 9 (3), 227-257.
Bohnacker, Sabine, & Bruce. 2013. Effective feedback: the Student perspective. Retrieved: November 28, 2015 from
www.winchester.ac.uk/Studyhere/ExcellenceinLearningandTeaching/research/e-
journals/Documents/Effective%20feedback%20The%20student%20perspective.pdf
Brookhart, S. 2003. Developing measurement theory for classroom assessment purposes and uses. Educational
Measurement: Issues and Practice, 22(4), 5-12.
Brown, G. 2001. Assessment: a guide for lecturers. LTSN Generic Centre. Retrieved: November 28, 2015 from
www.cebe.heacademy.ac.uk/learning/assess/index.php
Brown, G. T. L. 2008. Conception of assessment: understanding what assessment means to teachers and students. New
York: Nava Science.
Creswell, John W. 2008. Educational research: planning, conducting, and evaluating quantitative and qualitative
research. Third Edition. New Jersey: Pearson Education International.
Duncan, N. 2007. Feed-forward: improving students’ use of tutor comments. Assessment & Evaluation in Higher
Education, 3, 271-283.
Dweck, C. S. 2000. Self-theories: their role in motivation, personality, and development. Hove: Psychology Press.
Ferris, D.R. 2003. Response to student writing: implication for second language students. Mahwah, NJ; Lawrence
Erlbaum associates, Inc.
Gibbs, Graham. 2010. Using assessment to support student learning.UK: Leeds metropolitan university.
Harris, M & Rowan, K.E. 1989. Explaining grammatical concept. Journal of Basic Writing, 8(2), 21-41.
Hedgock, J & Lefkowitz, N. 1994. Feedback on feedback: assessing learners’ receptivity to teacher response in L2
composing. Journal of Second Language Writing, 3(2), 141-163.
Hyland K. 2003. Second language writing. Cambridge: Cambridge University Press.
MacCann, Liam. 2009. Exploring student perceptions of assessment feedback. SWAP report.
Maclellen, E. 2001. Assessment for learning: the different perceptions of tutors and students. Assessment and
Evaluation in Higher education, 16, 60-70.
Maryan, B., Seyyed., & Maryan, S. 2013. Peer feedback in learning English writing: advantages and disadvantages.
Journal of Studies in Literature, 3, 91-97.
Race, P. 2005. Making learning happen: a guide for post-compulsory education. Second Edition. London, Routledge
Falmer.
Swan, K. 2005. Interpretation of criteria-based assessment and grading in higher education. Element of Quality Online
Education Engaging Communities. Needhan, MA: Sloan-C.

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Intan Septia Latifa
Institution : Universitas Pendidikan Indonesia
Education : S2 Universitas Pendidikan Indonesia
S1 Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim
Research Interst : • Teaching and Learning in EFL
• ICT in Language Studies
• Second Language Acquisition

537
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
THE ENGLISH PRONUNCIATION TEACHING: A PORTRAIT AT THE ENGLISH EDUCATION
DEPARTMENT OF SILIWANGI UNIVERSITY

Fuad Abdullah Lulita


Siliwangi University SMA Ibnu Siena
fuad.abdullah182@gmail.com lita.adya77@gmail.com

ABSTRACT
Even though the current issues of pronunciation teaching have shifted significantly from the nativeness principle to the
intelligibility principle and from the traditional phonemic-based view to the discourse-based view, the paradigm of
pronunciation teaching at the English Education Department of Siliwangi University might still adhere the old-
fashioned one. This study was aimed at scrutinizing how the teaching of English pronunciation at the English
Education Department of Siliwangi University is. The participants of this study were two English Education
Department teachers, namely the Pronunciation Practice 3 and Speaking 3 teachers. The data were collected through
the classroom observations, notably focused observations (Hopkins, 2008). The data were analyzed based on the types
of pronunciation teaching techniques categorized by Tergujeff (2013). On the one hand, the findings revealed that there
were ten pronunciation teaching techniques commonly used by the Pronunciation Practice 3 teacher during teaching in
the classroom, namely imitation and drilling, corrective feedback, reading aloud, awareness-raising tasks, phonetic
training, minimal pair drills, contextualized minimal pairs, the use of technology (e.g. LCD projector), the use of tools
(e.g. Whiteboard), the use of materials (e.g. Pronunciation Practice 3 module) and ear training. On the other hand, the
Speaking 3 teacher tended to employ awareness-raising tasks, imitation and drilling, the use of technology and reading
aloud when teaching English pronunciation. These indicate that the teaching of English pronunciation at the English
Education Department of Siliwangi University may still hold the traditional pronunciation teaching paradigm, teacher-
centered instruction and nativeness principle. For these reasons, promoting intelligibility principle, learner-centered
approach, research-based approach and optimal use of technology would be a valuable breakthrough in attaining a
more achievable goal in pronunciation teaching and learning, namely intelligibility. Briefly stated, this study suggests
that the teaching of English pronunciation at the English Education Department of Siliwangi University should be led
to the integration of accuracy-oriented exercises with fluency-building activities as a new direction of pronunciation
teaching currently (Celce-Murcia, et. al., 1996).
Keywords: Teaching of English pronunciation; Pronunciation teaching techniques; Intelligibility

INTRODUCTION
Although pronunciation has regained much attention and occupied a central position in English language
teaching in the last decades (Tominaga, 2009; Tergujeff, 2012; Kanoksilapatham, 2014; Saito, 2014), the
perspectives of implementing traditional approaches to pronunciation teaching plausibly seem to marginalize
its role in ELT (Pennington & Richards, 1986). For instances, in the era of Direct Method (1800s-1900s),
pronunciation was taught through intuition and imitation (Celce-Murcia et. al. 1996:3). Besides, the
linguistic or analytic view on pronunciation teaching emerged in the Reform Movement era. This method
was closely associated with the appearence of International Phonetic Alphabet (IPA) as the reference to
accurately sounds production (Celce-Murcia et. al. 1996:3; IPA, 1999). Moreover, in the 1940s and 1950s
where the importance of oral communication had become a centre of attention, Audiolingual Method
emerged as a mainstay in teaching and learning pronunciation (Brown, 2007:339). In this era, pronunciation
was taught explicitly in commencement of the course (Zakia, 2014:88). On the other hand, in the late 1960s,
pronunciation did not become the priority in English language teaching since the advent of the Cognitive
Approach. Based on this view, the native-like pronunciation was presupposed to be unrealistic and
unattainable goals of language teaching (Celce-Murcia et. al. 1996:4-5). Thus, pronunciation was not overtly
taught except vocabulary and grammar (Zakia, 2014:88). Briefly stated, pronunciation teaching tends to be
based on accuracy-oriented exercises (Celce-Murcia et. al. 1996:290).
Different from the previous eras in which pronunciation was based on the accuracy of producing
sounds, teaching pronunciation has been regarded as a crucial aspect in Communicative Approach in the
1980’s (Celce-Murcia et. al. 1996:5; Larsen-Freeman, 2000; Lee, 2008). To illustrate, the primary goal of
this method is to promote the importance of communication in language teaching and learning, including
pronunciation (Celce-Murcia et. al. 1996). Thus, pronunciation teaching in this era may primarily accentuate
on fluency-building activities in which the systematic use of communicative activities in the pronunciation
classes would enable the students to have a chance to practice pronunciation in the real communication
(Celce-Murcia, 1983: 3; Celce-Murcia et. al. 1996:290).
Empirically, there have been various studies focusing on teaching and learning English
pronunciation. To illustrate, Baker (2011) investigates the dynamic relationships between L2 teachers’

538
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
cognitions and their actual pedagogical practices. In addition, Kissling (2013) describes the importance of
explicit phonetic instruction to the Spanish FL (Foreign Language) learners. Kang (2015) scrutinizes
learners’ perceptions toward pronunciation instruction in three circles of world Englishes. Subsequently,
Waniek-Klimczak. et. al. (2015) explore the students’ attitudes on Polish English in terms of the elements
of Polish features in their pronunciation. Additionally, Cunningham (2015) studies the teaching English
pronunciation online to Swedish primary-school teachers. However, the studies highlighting the English
pronunciation teaching at the English Education Department of Siliwangi University might be still relatively
under-researched (Abdullah, 2015), notably in terms of the use of pronunciation teaching techniques
proposed by Tergujeff (2013). Such techniques encompass imitation and drilling, corrective feedback,
reading aloud (other tasks), awareness-raising tasks, phonetic training, minimal pair drills, contextualized
minimal pairs, the use of technology, the use of tools, the use of materials, ear training and creative
techniques. For these reasons, the present study investigates how the English pronunciation teaching at the
English Education Department of Siliwangi University is, viewed from Tergujeff’s pronunciation teaching
techniques.

METHODS
The present study employed qualitative research design. In particular, this study utilized case study as the
research method since it is considered as “the in-depth study of instances of a phenomenon in its natural
context and from the perspective of the participants involved in the phenomenon ” (Gall, et. al.2007:447).
Hence, case study can plausibly help the researcher gain rich contextualization and information of
complexities in the second language teaching and learning process (Mackey & Gass, 2005:171).
This study was conducted at the English Education Department of Siliwangi University Tasikmalaya,
particularly in Pronunciation Practice 3 and Speaking 3 courses. Besides, the participants of this study were
two teachers of English Education Department of Siliwangi University, namely the Pronunciation Practice 3
& Speaking 3 teachers. The Pronunciation Practice 3 teacher is a senior teacher at the English Education
Department with more than 20 years experience in teaching English pronunciation at Siliwangi University.
She is about 54 years old and holds M.Pd. degree. Meanwhile, the Speaking 3 teacher is an experienced
teacher in Speaking 1, 2 and 3 courses at the English Education Department. He is about 37 years old and
holds M.Hum. degree. Currently, he is the head of English Education Department of Siliwangi University.
Technically, focused observation was used to collect the data since it enables the researchers to
enhance their views on a case being observed due to it helps them obtain what they are looking for
accurately (Hopkins, 2008:88-89). Likewise, the observer acted as the non-participant observer due to he
only visited a site and recorded the information without taking part in the activities of the participants
(Creswell, 2012:214-215).
To analyze the data, the researcher applied Tergujeff’s classification of pronunciation teaching
techniques (e,g. imitation and drilling, corrective feedback, reading aloud (other tasks), awareness-raising
tasks, phonetic training, minimal pair drills, contextualized minimal pairs, the use of technology, the use of
tools, the use of materials, ear training and creative techniques) (Tergujeff, 2013) to identify what
pronunciation teaching techniques were regularly applied by the Pronunciation Practice 3 and Speaking 3
teachers in the classrooms.

FINDINGS AND DISCUSSION


An examination of the pronunciation teaching techniques has identified 10 teaching techniques commonly
employed by the teacher in Pronunciation Practice 3 Course. Those techniques are imitation and drilling,
corrective feedback, reading aloud (other tasks), awareness-raising tasks, phonetic training, minimal pair
drills (other tasks), contextualized minimal pairs (other tasks), the use of technology (e.g. LCD projector),
the use of materials (e.g. Pronunciation Practice 3 module) and ear training. Nevertheless, creative
techniques were plausibly not applied throughout the classroom activities of English pronunciation in this
course (Pronunciation Practice 3 course).
Imitation and Drilling
First of all, in Pronunciation Practice 3 course, there were 158 occurrences identified as the use of imitation
and drilling during the observed classroom activities. In other words, the findings suggest that the teacher
tends to employ such a technique dominantly in the classroom, particularly during the process of teaching
English pronunciation. This supports the findings of Yates (2002:1) illustrating that drills could give the
students a chance to enable their tongues to reach new languages without excessive anxiety of trying to
communicate. Presumably, this notion is relevant to the findings identified in the present study, as follows:

539
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
The Excerpts of Video 1 of Pronunciation Practice 3 (Observation 2 on 01-10-2015)
(1) Student 5 : Soap-soap. Wash your hand with that soap. This soup is very delicious.
Teacher : Yah, ask your students then!
Student 5 : Say together!
Students : Wash your hand with that soap. This soup is very delicious.
The student 5 might be guided to read aloud her own sentences and asked the other students (their colleagues)
to imitate what she (the student 5) read chorally. Typically, the imitation and drilling might be signified by
the command expressions, such “Ya, Ask your students! Say together! All of you!” (sentence 1). By doing so,
imitation and drilling (listen and repeat) likely allow the students to enhance not only their oral production
but also their auditory perception like a two way street. (Pennington as cited in Jones, 1997:106).
Corrective Feedback (CF)
Second, corrective feedback (CF) likely has become the second most frequent technique in Pronunciation
Practice 3 course with 70 occurrences. This designates that the teacher might believe in corrective feedback
(CF) which could give a positive effect in form-focused instruction (Saito & Lyster, 2012). The following is
an example of corrective feedback in Pronunciation Practice 3 course (the excerpt of video 1, observation 2
on October 1st 2015):
(6) Student 26 : //Miss Brown is a timid person, but she is exceptionally//patient with her pupils//
Teacher : Jangan dipotong nak, jangan dipotong!. Kenapa sih tangannya begini-begini kok
panik? Guru mah ga ada yang panik didepan siswanya yah, kita yakinkan dulu kita
bulat dulu, baru kita sampaikan kepada siswa yah. Kita relax loh didepan kelas ga
boleh yang panik-panik nanti anak-anak nurutan yah, ya. All of you repeat after me!
Miss Brown is a timid person, but she is exceptionally patient with her pupils.
Students : //Miss Brown is a timid person, but she is exceptionally patient with her pupils//
Reading Aloud (RA)
Although reading aloud (RA) does not belong to the techniques listed explicitly in this study, it is actually
included into the other tasks. In this case, it becomes the third most frequent pronunciation teaching
technique in Pronunciation Practice 3 course with 43 occurrences. On the contrary, this differs from
Speaking 3 course indicating only 1 occurrence. Technically, one of the students (student 1) in
Pronunciation Practice 3 course was requested to read loudly a paragraph of a text. The text employed was
taken from the student 1’s own assignment given in the previous meeting. It was entitled ‘Why Cats & Dogs
always Fight.’
The Excerpts of Video 1 of Pronunciation Practice 3 (Observation 3 on October 8th 2015)
(9) Student 1 : Long, long ago, in northern Taiwan, there lived a farmer and his wife. They had a
ring of gold. They did not know that it was a lucky ring. Whoever owned it would
have enough to eat. The farmer and his wife sold it to a jeweler. Soon afterwards,
they grew poorer and poorer. They did not even have enough money to buy food.
In this respect, the teacher possibly acted as the organizer supervising that the reading aloud activities could
run properly.
Awareness-Raising Tasks
In relation to awareness-raising tasks, 38 occurrences were identified in Pronunciation Practice 3 course
and 34 occurrences were discovered in Speaking 3 course. This implies that such a technique might be
noticed sufficiently by both the Pronunciation Practice 3 and Speaking 3 teachers. In other words, they may
prefer to use that technique while teaching English pronunciation as illustrated in the following example:
The Excerpt of Video 1 of Speaking 3 (Observation 1 on 22-09 –2015)
(17) Teacher : Lovers
Students : Lovers
Teacher : Not laper! Remember that. That’s not laper but it’ s lovers. Do you know the
meaning of lovers? Ya… okay when you talk about lovers of course you talk
about partner in life, right?
Students : Yes...
Initially, the teacher demonstrated how to pronounce the word ‘lovers’ accurately and asked his students to
imitate what he pronounced. Then, he said “Not laper! Remember that. That’s not laper but it’s lovers
[ˈlʌvə(r)z].” This indicates that the teacher probably tried to raise the students’ phonological awareness by
reminding that the word ‘laper’ and ‘lovers’ evidently differ. Konza (2011: 1) favours this assumption by

540
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
considering that phonological awareness tends to emphasize on the ability to distinguish sounds of speech
and their meanings, like the difference on intonation, rhythm, typical words rhyme and individual sounds.
Phonetic Training
The Excerpt of Video 2 of Pronunciation Practice 3 (Observation 3 on 08-10 –2015)
(12) Students : Purred
Teacher : Purred [pɜː(r)d], ya boleh... apa itu sudah buka? Awas nih.. saya punya
beberapa yang berkaitan dengan ini, bawa kamusnya boleh!
(Writing on the whiteboard the word Purred), /ɜː/ nya panjang tidak?
Students : Panjang!
Essentially, the teacher seemingly directed the students to identify the phonetic transcription of the
word purred. In particular, she suggested the students to consult to their own dictionaries (e.g. Oxford
Learner’s Pocket Dictionary) and write its phonetic transcription on the whiteboard. Moreover, she gave the
students the other words (e.g. poor and pour) to enable them differentiate such words phonetically. As
reported by Wells (1996), phonetic training could help the students gain accurate and explicit information on
pronunciation from a monolingual or bilingual dictionary and overcome the problems about the ambigous
spellings and English sounds.
Minimal Pair Drills and Contextualized Minimal Pairs
Next, minimal pair drills and contextualized minimal pairs designate equal findings, namely seven
occurrences. On the one hand, the students were probably asked to search for the minimal pairs of the words
they would learn. For instance, the teacher of Pronunciation Practice 3 said
Find out the minimum pairs. Ya… as many as possible. Begitu ya… Ada lagi? Jadi ini yang
membuat anda bisa berlatih sendiri… ya… tidak bisa terus menerus didikte harus bikin ini
harus bikin itu tapi akan cepat berkembang, seperti itu… ya…
(Observation 1 on September 9th 2015, video 1)
As a matter of fact, the teacher suggested the students to initially discover the minimal pairs of the
English words before they learned to pronounced them. By doing so, the students could learn to discriminate
and pronounce the English words autonomously. Harmer (2002:24) argues that one of the ways to promote
autonomous learning is learner training.
In accordance with contextualized minimal pairs, the teacher may guide the students not only to
learn minimal pairs in non-contextualized English words but also contextualized ones. As an example, the
teacher asserted “Try to find out the minimum pairs first, right. Misalnya pen-pan and then you write the
sentences consist of these words, yah bisa boleh. May I? Boleh may I borrow your pan, please?” (excerpt of
video 1 of Pronunciation Practice 3 observation 2 on October 1st 2015). The teacher seemingly asked the
students to find out the minimal pairs first and make a sentence of them. The teacher plausibly enables the
students to learn English pronunciation contextually and meaningfully.
The Use of Tool (s), Technology & Material (s)
Even though, whiteboards (the use of tool) may be deemed as one of the traditional instructional media, they
still become the most versatile teaching tool in the classroom (Harmer, 2007:137). As reported in the present
study, there were six occurrences detected as the use of whiteboard in Pronunciation Practice 3 course. For
instance, the teacher tried to explain the distinction between the fricatives /v/ and /f/ with the words ‘very’
and ‘ferry’. Also, she reminded her students that plosive /p/ and fricative /v/ differ each other by asserting
“Yaa kalo saya kurang setuju masalah give dengan /v/ yahh kan berat [giv] yaa bukan [gip].” Still, the use
of whiteboards is assumed to be able to facilitate the teachers in elaborating the learning materials
effectively apart from its stereotypes as the traditional instructional medium.
The notion that the classroom activities of English pronunciation currently may be affected by the
advent of information, communication and technology (ICT) (Celce-Murcia, 1996:311; Tergujeff, 2013:34;
Goodwind, 2013:7) may have been proven by the findings of this study. There were six occurrences in
Pronunciation Practice 3 course and 3 occurrences in Speaking 3 course identified as the activities of using
technology in the teaching and learning process, notably English pronunciation. It is worth noting that the
observed technology investigated in this study is LCD projector. Technically, it functions to help the
teachers convey the learning materials, such as to show a reading aloud passage in both Pronunciation
Practice 3 and Speaking 3 courses. Likewise, it may be utilized to substitue the Speaking 3 module
momentarily during the process of printing. For instance, the teacher said “Just arrange it 1, 2, 3, 4 like that.
The module is actually in the process of printing so it might ya..it’s about 2 weeks later you can get the
541
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
module or even 3 weeks. Okay?” (the excerpt of video 1 of Speaking 3 while observation 1 on September
22nd 2015).
Since the Pronunciation Practice 3 teacher used only Pronunciation Practice 3 module as the main
source for teaching and learning process, it can plausibly make her a reliant teacher on such a single source
and leave the other teaching sources (e.g. textbooks, sophisticated instructional media) helping them to
determine the major instructional decisions (Richards, Undated:2). Likewise, Johansson (2006) points out
that the single employment of coursebooks may lead the students to an unexciting teaching and learning
process in the classroom. For these reasons, the integrated use of both coursebooks and alternative materials
would give more advantages, such as complementary learning materials, interesting stories and linguistic
challenges (Lundahl as cited in Johansson, 2006:6).
Ear Training
Ear training seems to have the least attention among the other pronunciation teaching techniques in this
study. Such a technique only occurred once viewed from the observation results (observation 1, 2 and 3). For
example, the teacher asked a student (Student 9) to pronounce the sentence “How many chapters have you
read in your history book?” (excerpt of video 3 of Pronunciation Practice 3 observation 3 on October 8th
2015). This might be aimed at exemplifying the other students how to pronounce it correctly, particularly
based on the use of appropriate intonation in Yes/No and WH-Word Questions. Similar to this finding,
Hancock (2012:1) assumes that pronunciation is not only related to mouth but also ears.
Creative Technique
Last of all, creative technique lies on the most bottom position viewed from the most frequent to the most
infrequent techniques employed by the teachers during teaching English pronunciation, notably in
Pronunciation Practice 3 and Speaking 3 courses. Indeed, no occurrences were identified on the use of this
technique. Even though the aforementioned pronunciation teaching techniques (e.g. imitation and drilling,
corrective feedback, reading aloud, awareness-raising tasks, phonetic training, minimal pair drills,
contextualized minimal pairs, ear training, and the use of materials and tools) are assumed to help the
students learn English pronunciation easily, they, in fact, might still face difficulties. Thus, the use of
innovative techniques should be given more attention in teaching and learning English pronunciation,
including creative techniques and the use of technology (Hismanoglu & Hismanoglu, 2010:985). One of the
creative techniques mainly used to teach English is drama (Güleç & Macan, 2014).

CONCLUSIONS
These findings indicated that the English pronunciation teaching at the English Education Department of
Siliwangi University may still adhere the traditional pronunciation teaching techniques, such as imitation
and drilling, corrective feedback, reading aloud, phonetic training, minimal pair drills and contextualized
minimal pairs (Celce-Murcia, 1996 & Tergujeff, 2013), although some current techniques (e.g. awareness-
raising tasks and the use of LCD projectors) have been also utilized. In addition, the Pronunciation Practice
3 and Speaking 3 teachers might still adopt teacher-centered instruction during conducting the classroom
activities of English pronunciation. This means that the students’ opportunity to develop their phonological
awareness was not likely prioritized. Lastly, the Pronunciation Practice 3 teacher may still hold nativeness
principle instead of intelligibility one. Levis (2005:375) has claimed that a number of teachers may not
tolerate their students who have not attained a native-like accent since they might have not dealt with the
development of pronunciation research currently. Hence, promoting intelligibility principle, learner-centered
approach, research-based approach and optimal use of technology would be a valuable breakthrough in
attaining a more achievable goal in pronunciation teaching and learning, namely intelligibility.

REFERENCES
Abdullah, Fuad. 2015. The English Pronunciation at the English Education Department of Siliwangi University: A
Case Study of The Students’ English Pronunciation, the Classroom Activities and the Learning Materials. The
Unpublished Master Thesis at the State University of Jakarta, Jakarta.
Baker, A. A. 2011. ESL teachers and pronunciation pedagogy: Exploring the development of teachers’ cognitions and
classroom practices. In. J. Levis & K. LeVelle (Eds.). Proceedings of the 2nd Pronunciation in Second
Language Learning and Teaching Conference, Sept. 2010. (pp. 82-94), Ames, IA: Iowa State University.
Celce-Murcia, M., et. al.1996. Teaching pronunciation: A Reference for Teachers of English to Speakers of Other
Languages. Cambridge, England: Cambridge University Press.

542
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Cunningham, Una. 2015. Teaching English Pronunciation Online to Swedish Primary-School Teachers. In Ewa
Waniek-Klimczak & Mirosław Pawlak (Ed.), Teaching and Researching the Pronunciation of English (pp. 63-
76). Switzerland: Springer International Publishing Switzerland.
Hopkins, David. 2008. A Teacher’s Guide to Classroom Research Fourth Edition. England: Open University Press.
Levis, John M. 2005. Changing Contexts and Shifting Paradigms in Pronunciation Teaching. TESOL Quarterly, 39 (3),
369-377.
Mackey, Alison & Gass, Susan M. 2005. Second Language Research: Methodology and Design. New Jersey:
Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Pennington, M. C., & Richards, J. 1986. Pronunciation Revisited. TESOL Quarterly, 20, 207–26.
Tergujeff, Elina. 2013. English Pronunciation Teaching in Finland. The Unpublished Dissertation at the University of
Jyvaskyla, Jyvaskyla.
Waniek-Klimczak, Ewa, et. al. 2015. ‘Polglish’ in Polish Eyes: What English Studies Majors Think About Their
Pronunciation in English. In Ewa Waniek-Klimczak & Mirosław Pawlak (Ed.), Teaching and Researching the
Pronunciation of English (pp. 23-34). Switzerland: Springer International Publishing Switzerland.
Yates, Lynda. 2002. Fact Sheet- Teaching Pronunciation: Approaches and Activities. Adult Migrant English
Pronunciation Research Centre.
Zakia, Djebbari. 2014. Self Confidence and Pronunciation Training to Enhance the EFL Speaking Competence: A
Classroom Oriented Research on First-Year LMD Students at Abu Bekr Belkaid University, Tlemcen.
Unpublished Applied Linguistics and TEFL Doctoral Dissertation at Abu Bekr Belkaid University.

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Fuad Abdullah
Institution : Universitas Siliwangi
Education : S2 Universitas Negeri Jakarta
S1 Universitas Siliwangi
Research Interst : • Second Language Phonology
• Pragmatics
• Text Analysis

543
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
EFL TEACHERS’ BELIEF AND PRACTICE ON MULTIPLE ASSESMENT IN 2013
CURRICULUM

Reti Wahyuni
Indonesia University of Education
reti_sepatu@yahoo.com

ABSTRACT
The changes of curriculum impact on the teachers’ comprehending and practices. The teachers’ understanding on
assessment is needed to ensure. When teachers are able to teach, they should be also to evaluate their teaching and
know their students’ progress in learning. Dealing with the teaching and learning, curriculum has a big role to
determine as guideline for education and all aspects including teachers, students, teaching and learning process.
Currently, Indonesian government decides 2013 curriculum as the curriculum for schools in Indonesia. That makes
teachers need to comprehend all elements in 2013 curriculum including the assessment. This study is aimed at finding
out the teachers’ belief and practice on multiple assessments in 2013 curriculum. It was conducted to get detailed
information about teachers’ belief and practice teachers with 30 EFL English teachers. To be specific, this study is
driven by two research questions. They are what EFL teachers’ beliefs of multiple assessments and what assessment
types frequently applied by EFL teachers. This study employed as a qualitative study which used one data collection
techniques; close-ended questionnaire. Participants complete a questionnaire on their beliefs and practices of multiple
assessments which is adopted from Chang (2007). After being analyzed, the study found that the EFL teachers had a
better understanding of the concepts of assessment and multiple assessments. Most of the respondents believed that
multiple assessments were more practical than the traditional paper-and-pencil tests. Many EFL teachers not only had
strong beliefs of multiple assessments, but also applied most of the multiple assessments in their teaching. The next
study can conduct by looking at another aspect in large scope of research and comparing between teachers’ belief and
practice with their different culture and educational background.
Keywords: teachers’ belief, multiple assessments, 2013 curriculum

INTRODUCTION
The teachers’ understanding on assessment is needed to ensure. When teachers are able to teach, they should
be also to evaluate their teaching and know their students’ progress in learning. Dealing with the teaching
and learning, curriculum has a big role to determine as guideline for education and all aspects including
teachers, students, teaching and learning process. The changes of curriculum impact on the teachers’
comprehending and practices. Currently, Indonesian government decides 2013 curriculum as the curriculum
for schools in Indonesia. That makes teachers need to comprehend all elements in 2013 curriculum including
the assessment.
One of ways to know achievement of English learners is about conducting assessment. In local
context, many researchers and practitioners try the appropriate or effective assessment methods to evaluate
and monitor the learners’ progress in learning (Chen 2003; Chern, Ruan, & Yeh, 2001; Gattullo, 2000;
Hasselgren, 2000; Hsu, 2000, 2003; Johnstone, 2000 cited in Chang, 2007). Dealing with those burning
issues, this study is aimed to find out (1) EFL teachers’ beliefs and practices of multiple assessments, (2)
assessment types are frequently applied by EFL Teachers. This study is expected that this study will
contribute to the theory development in English language assessment, particularly in assessment of 2013
curriculum. Furthermore, it is also expected to practically give contribution to the teacher who became the
sample of this study.
Research Question
1. What are EFL teachers’ beliefs of multiple assessments?
2. What assessment types were frequently applied by EFL teachers?

LITERATURE REVIEW
Assessment refers to process to get information before deciding a specific educational decision which is
used for making the decision about the learners (American Federation of Teachers, National Council on
Measurement in Education and National Education Association, 1990 cited in Nitko and Brookhart, 2007). It
should support of learning rather than indicating late achievement. Moreover, assessment has to present the
performance of learner models which emulate and indicate the experiences, forms and assistance of practice
required (Glaser, 1990).

544
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Specifically, the assessment has the purposes and functions which are to know the strengths and
weaknesses of learning ability of students, to assist teachers in monitoring student learning progress, to
evaluate students’ learning, and to place students in learning groups based on given institutional standards
(Heaton, 1990; Popham, 1995 cited in Yu-Chin Chang, 2007 ).
A multiple-assessment strategy integrates the result from several different types of assessment (such
as homework, class performance, quizzes, projects and tests) to improve the validity of your decision about a
student’s achievement (Nitko and Brookhart, 2007). In addition, the recent changes in curriculum theory
have clear implication for classroom assessment. Curriculum is based on the premise that all students can
learn that standard for learning need to be high for all students and that equal opportunity is essential. It
needs to show students how learning is connected to the world outside of school. Although the changes in
principles of curriculum are well established (McMillan, 2007)
In Indonesia, ministry of education introduced the 2013 curriculum as recent curriculum used in the
schools. In 2013 curriculum, English is not a compulsory subject but as local content as a secondary
curriculum. As the result, to answer the question from parental demands in effect, English is taught in many
primary schools even though Indonesia as the only one among ASEAN countries that doesn’t not use
English as compulsory subject (KirkPatrick, 2012). Placing education as a mean of guidance and facilitation
for learners to obtain knowledge during teaching-learning process is as the primary concern on the revision
of school-based curriculum (KTSP) and the development of 2013 curriculum. There are three essential
dimensions in learning in the concept of 2013 curriculum such as sikap (attitude or values), pengetahuan
(knowledge) and keterampilan (skill). Therefore, that address us to the 2013 curriculum is as the result of
basic revision of School Based Curriculum concerning on fur National Education Standard (Standar
Nasional Pendidikan); Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Standar Isi (SI), Standar proses (SP) and
Standar Penilaian (Mistar, 2014 in Budianto, 2015). The primary purpose of 2013 curriculum is that
shaping the individuals who are faithful of God, good in characters, confident, good in learning, responsible
citizen and positive contribution to civilization (Ministry of Education and culture, 2012 in Budianto, 2015).
The 2013 curriculum emphasizes on the spiritual and social competence (affective domain), cognitive and
psychomotor competence through certain approach and authentic assessment in all subject while the
previous curriculum is about competence, performance and genre-based approach for English subject
(Hapsari, 2013).
There are four basic changed elements in module of teacher training material of 2013 curriculum
implementation, such as graduate’s competency standard (SKL), content standards (SI), process standard
(SP) and assessment standards. In term of assessment, there are assessment of process which is conducted
during teaching learning process and assessment of product which is conducted after teaching learning
process (Permendikbud 81A Tahun 2013). There are some principles, approaches and characteristics to be
considered when conducting assessment according to Permendikbud 81A Tahun 2013. Dealing with
characteristics of assessment, there are 4 points
1. mastery learning which students have to achieve the learning competencies in knowledge aspect (KI3)
and skill aspect (KI4)
2. authentic is that there is integrating between the process of learning and assessment
3. Continuous is about the goals in capturing the students’ achievement as a whole, observing the process,
escalation and alteration based on the assessment of process and another assessment
4. Variety of assessment techniques; there are some techniques in assessment like written test, oral test,
product, portfolio, performance, project, observation, and self-assessment.
Authentic assessment according to the module of teacher training material of 2013 curriculum
implementation refers to context or situation requiring various approaches to solve problem. During the
learning process, it evaluates and controls the outcomes in all aspects including cognitive, affective and
psychomotor aspect which appears to be both in the result of the end of learning process and the acquisition
of learning during the process inside and outside of the classroom. There are four types of authentic
assessment such as project assessment, portfolio and written assessment which will be elaborated more later
on.
Djuwairiah Ahmad (2014) in her study agreed that 2013 curriculum has recommended the use of
various types of authentic assessment such as performance assessment, attitudinal assessment, self-
assessment and portfolio assessment. The teachers can choose the assessment type that suits their teaching
design and teachers mostly used the three types of the assessment with the technique and instruments are
attitude observation, performance test, oral/written test, assignments, and portfolio and the instruments that
are check-list, rating scale, notes, and various types of objective test. According to O’Malley and Pierce
(1996, p.4) that authentic assessment deals with the multiple forms of assessment which reflects students’
learning, achievement, motivation, and attitudes toward classroom instructional activities. Therefore, we can

545
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
conclude that the assessment in 2013 curriculum refers to the use of multiple assessments regarding no
single assessment covering the students’ achievement and the process of learning.
Dealing with multiple assessments, portfolio assessment comes as the first term. According to
McMillan (2007, p. 269), it is an intended and systematic process of collecting and evaluating students
product to document progress toward the attainment of learning targets or show evidence that a learning
target has been achieved. In portfolio assessment, the students are involved in self-evaluation and self-
reflection (Borich &Tombari, 2004; Hebert, 1998; Wolf; 1989 cited in McMillan, 2007). It is also a
collection of students’ work to present and demonstrate their educational growth (Nitko & Brookhart, 2007).
Portfolio assessment has several characteristics such as a clear reason about why and how the portfolio used,
systematic and organized collection of students product, pre-established guidelines, students selection of
what will be included, student self-reflection and self-evaluation, progress documented, clear and
appropriate criteria for evaluating and portfolio conference between students and teachers ( Arter, J and
Spandel, V, 1992 cited in McMillan, 2007).
Performance assessment refers to observation and judgment made by teachers to demonstrate
students’ skill and competency to create product, construct response or make presentation. There are two
parts of performance assessment such as a task and a systematic procedure for evaluation. This performance
assessment underlines the students’ ability to perform task by producing their work using their knowledge
and skills (McMillan, 2007). It also presents a task which students should do it and are required to use the
skills and knowledge such as making something, producing a report and demonstrating the process (Nitko
and Brookhart, 2007). They also proposed that performance task formats are like structured on demand task
(paper-and-pencil), portfolio, project, demonstration and simulation. The characteristics of performance
assessment are that students create or perform their work, deep understanding which is needed, sustained
work, calling students’ explanation, engaging the ideas, relying on trained assessor’ judgment and scoring,
multiple criteria and standard, no single correct answer and the performance grounded in context and
constraints (McMillan, 2007).
Furthermore, test-based assessment is generally a paper-and-pencil test or an oral test, often
containing discrete-point and integrative tests (Yeh, 2001). This focus of assessment on students’ ability is
about conveying the meaning for authentic purposes in an interactive context (Chen, 1999; Chen, 2001; Shih
et al., 1999; Chen, 2003 in Chang, 2007). This is similar to structured demand task (paper-and-pencil) in
performance assessment. Different with test-based assessment, task-based assessment refers to teacher-
prepared, involving teacher-student interaction, student-student interaction, body movement and teamwork.
Its forms is like role-plays, chanting, oral presentation, games, station running, problem solving tasks, and
group discussion (Mitchell & Parker, 2002 in Chang, 2007).
Therefore, in 2013 curriculum there can be summarized in this form of multiple assessment type.
Type Content
Summative assessment Task-based assessment, Test-based assessment
Task-based assessment, Classroom observation, Portfolio assessment, Performance
Formative assessment
assessment, Test-based assessment
In sum, the changes of 2013 curriculum brings new atmosphere for Indonesian EFL teachers. Therefore, it is
necessary to find the belief and practices of assessment in the new curriculum and seems fewer on EFL
teachers’ belief on multiple assessments in 2013 curriculum. Thus, the current study aims to find out EFL
teacher’s belief and practice on multiple assessments in the 2013 curriculum, the most frequent assessment
used by teachers.

METHOD
The study is a qualitative study. There are 30 EFL teachers who participate in the study. The EFL teachers
are taking master degree program of English education in the school of postgraduate study in one of state
university in Bandung in the first semester that consists of male and female teachers and have different
background. Participants complete a questionnaire on their beliefs and practices of multiple assessments.
The questionnaire is adopted from Chang (2007) from National Taipe University of Education that used the
questionnaire to find the elementary school teachers’ belief and practice in assessment. The validity and
reliability analysis which yielded a Cronbach’s of .85, for the questionnaire items have been conducted it.
The contents are following that questionnaire consist of 55 questions.

546
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Item Content
1–7 Personal Personal Gender, age, educational background, under information graduate major,
Information number of years of English teaching, average class size, city/country of work
EFL teachers’ 1. Understanding of concepts of multiple assessment
10–19 perception 2. Knowledge of key points of multiple assessment questions implementation
35–37 EFL teachers’ Teachers’ beliefs in assessment
38–43 EFL teachers’ Teacher’s beliefs in impact of assessment questions on teaching
44–47 belief Teachers’ beliefs in effects of assessment on students’ learning
48–49 Teachers’ beliefs in parents’ attitudes towards students’ learning
20–23 Assessment practice
EFL teachers’
1 Purposes of assessment practices Fixed-alternative and multiple assessment
practice,
2. Teachers’ assessment practices questions and training
difficulties and
50–56 3. Difficulties of applying multiple assessment multi-multiple needs
MA training
4. Reasons for not using multiple assessment
needs
33–34 Teachers’ needs for MA workshops and Fixed-alternative training programs
57 Teachers’ opinions about multiple assessment
Procedure of data collection is that delivery the assessment questionnaire to the English teachers in
break time during lecturing and waiting them until finishing fulfill the questionnaire. Data analysis in this
research is to count the frequency using percentage analysis.

RESULT AND DISCUSSION


Research Question 1 What are EFL Teachers’ beliefs of multiple assessments?
According to the data from the questionnaire, the all of the respondents (100%) agreed that the ability to
implement assessment is an important resource of a teacher. More than a half or total respondents (70%)
reported that they disagree with the notion that traditional tests are more effective than alternative
assessment of the four language skills. In term of the tension between EFL teachers and students, 83,3%
respondents agreed with the idea of increased tension between students and teacher, resulting from multiple
assessments. EFL teachers also have a positive opinion and strong beliefs in the implementation of multiple
assessments. They believe that use of multiple assessment leads to a more focused instruction, increased
reflection of teaching practices, diagnosis of students’ learning difficulties, and planning for more engaging
classroom activities. Data from answers to Questions 35-38 indicated that EFL teachers believed use of
multiple assessments lead to the development of more practical scenarios for using English. From the
finding, the most EFL teacher believe that teachers should have the ability to implement the assessment
because by having that ability it will leads teacher to have more focused on instruction , teaching practices,
diagnosing the learners’ need and difficulties on assessment.
Research Question 2 What assessment types are frequently applied by EFL teachers ?
The majority of the respondents reported that they used task-based assessment less than traditional paper-
and-pencil assessment (43,3%–agreed; 3,3%– strongly agreed). The respondents reported that they
integrated formative assessment into their teaching activities (70%). Moreover, 62,4% indicated that they
used more alternative assessments than traditional tests (Question 15). Similarly, responses to Question 16
constituted 66,7% of EFL teachers who reported that they applied multiple assessments. Lastly, concerning
EFL teachers’ need for workshops or programs related to multiple assessments, almost all respondents
(93,3%) expressed the necessity to attend such events, supporting their strong perceptions of the salience of
multiple assessments. Considering the recent inception of EFL in the schools this intention to attend events
promoting multiple assessments indicates a desire to develop the use of MA alongside classroom instruction
Other findings on EFL teachers’ practices of MA
Results showed that all the EFL teachers reported that the two most important purposes of assessment were
to understand students’ learning achievement and to understand students’ progress. Nearly all the
respondents thought that the purposes of assessment practices were to evaluate teaching effectiveness and to
evaluate whether teaching activities achieve their objectives. These results revealed that for most of the
respondents their assessment practices had multiple purposes. Respondents reported that they preferred (a)
alternative assessments (30%) and (b) both traditional and alternative (70%), while none chose traditional
tests as the main assessment type. It was obvious that alternative assessments were the main choice, but
traditional tests were not abandoned by some of the respondents.
From those findings it could be implied that the assessment in 2013 curriculum refers to the use of
multiple assessments regarding no single assessment covering the students’ achievement and the process of
547
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
learning. A multiple-assessment strategy integrates the result from several different types of assessment (such
as homework, class performance, quizzes, projects and tests) to improve the validity of your decision about a
student’s achievement (Nitko and Brookhart, 2007) and the use of various types of authentic assessment such
as performance assessment, attitudinal assessment, self-assessment and portfolio assessment. The teachers can
choose the assessment type that suits their teaching design and teachers mostly used (Djuwairiah Ahmad,
2014). The teachers also chose and used practically based on what they mostly believed.

CONCLUSION AND RECOMMENDATION


Regarding EFL teachers’ perceptions of multiple assessments, the study found that the EFL teachers had a
better understanding of the concepts of assessment and multiple assessments. The study also found that EFL
teachers had strong beliefs of multiple assessments. Most of the respondents believed that multiple
assessments were more practical than the traditional paper-and-pencil tests. All of them believed that EFL
teachers will find it easier to assess students’ learning achievement in listening, speaking, reading, and
writing. They believed that teachers can easily diagnose students’ difficulties in learning. All of them
believed that students will effectively develop strategies on using English if multiple assessments are used.
In addition, results revealed that in general EFL teachers applied multiple assessments or used alternative
assessment. The study found that many EFL teachers not only had strong beliefs of multiple assessments,
but also applied most of the multiple assessments in their teaching. Many weaknesses and limitation in this
research require better further research. The future researcher can conduct the better research by looking at
another aspect in large scope of research and comparing between teachers’ belief and practice with their
different culture and educational background.

REFERENCE
Ahmad, Djuwairiyah. 2014. Understanding the 2013 Curriculum of English Teaching through the Teachers‟ and
Policymakers‟ Perspectives. International Journal of Enhanced Research in Educational Development
(IJERED), Vol. 2, Issue 4, July-August, 2014, pp: (6-15).
Budianto, Denis E. 2015. EFL Teachers’ Pedagogical Competence in the Context of English Curriculum 2013:
Implication for Classroom Activities. Bandung: Indonesia University of Education. (Unpublished thesis)
Chan, Yu-chin. 2007. Elementary School EFL Teachers’ Belief and Practices of Multiple Assessment. Reflections on
English Language Teaching, Vol. 7, No. 1, pp. 37–62
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2013. Kurikulum 2013
Glaser, R. (1990). Testing and assessment: O tempora! O mores! Pittsburgh, PA: University of Pittsburgh,Learning
Research and Development Center.
Government Regulation 32. 2013. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Hamidi, Ismaeel. 2010. Fundamental Issues in L2 Classroom Assessment Practices volume 8 Issue 2 Spring. Retrieved
on December 4th 2015 from http://www.sisd.net/cms/lib/tx01001452/centricity/domain/2073/alj_issn1533-
7812_8_2_444.pdf
Hapsari, A. 2013. Making Sense the Character Building in the Curriculum Framework: Conceptualizing Culture as A
Local Wisdom and Culture as the Product of Interaction. Proceeding 60th TEFLIN International Conference:
Achieving International Standards in Teacher Education, pp.360-364
KirkPatrick, A. 2012. English as an International Language in Asia:Implication for language education. New York:
Springer.
McMillan, James H. 2007. Classroom assessment: Principles and Practice for Effective Standard-Based Instruction.
United Stated of America: Pearson.
Nitko, Anthony J. and Brookhart, Susan M. 2007. Educational Assessment of Students. New Jersey : Pearson Merril
Prentice Hall.
O’Malley, J.M., and Pierce, L. Valdez. 1996. Authentic Assessment for English Language Learners: Practical
Approaches for Teachers. New York: Addison-Wesley Publishing Company

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Reti Wahyuni
Institution : Universitas Pendidikan Indonesia
Education : S2 Universitas Pendidikan Indonesia
S1 Universitas Lampung
Research Interst : • English language teaching and assessment
• Technology integration in EFL classroom
• EFL teaching and Learning
• Second Language Acquisition

548
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
AN ANALYSIS OF THE SUMMATIVE ENGLISH TEST ITEMS ON DIFFICULTY LEVEL AND
DISCRIMINATION INDEX FOR EFFECTIVE TESTING IN THE SECOND SEMESTER OF THE
TENTH GRADE STUDENTS

Friscilla Wulan Tersta


Indonesia University of Education
friscillawulant@gmail.com,

ABSTRACT
The quality of the teacher-made test is questionable. The test that is made by the teacher is commonly not to be tried
out and analyzed before it is delivered to the students. This problem makes the existence of the good English test items
should be revised and rechecked. However, research reports that test is a part of assessment in determining students’
achievement. To acknowledge whether the test has accomplished the standards of a good test, the teacher should
evaluate the quality of the test item. This study aims to analyze the summative English test items in the tenth grade
students in one of the school in Jambi province. The researcher used quantitative method with descriptive approach. A
document analysis was utilized in this research. The results revealed that not all English test items for the second
semester had met the criteria of good test item based on the level of difficulty, discrimination power and the
effectiveness of distractor. The implication of this research for teaching and learning will guide the teachers to design
the good quality of the English test items.
Keywords: item difficulty, discrimination power, and distractor

INTRODUCTION
Assessment is an essential part in measuring the students whether they understand about the materials that
the teachers have been given in the classroom or not. Assessment is also an indicator of success or failure of
students in absorbing material. According to Allen (2004) assessment involves the use of empirical data on
students learning to refine programs and improve students’ learning. Taras (2005) defines assessment as
judgment which can be justifying weighted set goals, yielding either comparative or numerical ratings. It is
also in line with Scriven (1967) as cited in Taras (2005) states that there are three components in order to
justify the judgment, such as: (a) the data-gathering instruments or criteria, (b) the weightings and (c) the
selection of goals.
Assessment is a part of reflections; it is not only for students but also for a teacher. For teacher the
function of assessment is as a medium to see whether the targets set in syllabus have successfully obtained
or not. In the learning process, the main goal of the assessment is to obtain accurate information about the
level of students’ academic achievement. It is supported by Gardiner (1994) which describes assessment as
an essential component, not only to guide the development of individual students but also to monitor and
continuously improve the quality of programs, inform prospective students and their parents, and provide
evidence of accountability.
In order to assess the students and to collect the data from the students after learning process, the
teachers use test that consist of some questions as a “tool” to collect the data. According to Richards, Platt
and Platt (1992:377), test is “any procedure for measuring ability, knowledge, or performance”. Ur (1991:33)
defines test as “an activity whose main purpose is to convey how well the test takers knows or can do
something”. In addition, Brown (2001:384) defines test as “a method of measuring a person’ ability or
knowledge in given the domain.
The English test is developed by teachers. Analyzing final test items is an activity that must be
conducted to improve the quality of final test items that have been written by the teachers (National
Standardization Agency). Teacher made test is constructed from the items that are commonly not tried out,
analyzed, and revised first. Therefore, based on that case, the quality of the teacher-made test is questionable.
Regarding the quality of the teacher-made test, it is obvious that the teacher made-test needs to be tried out
and analyzed. The results of the analysis showed the comparison between the good quality items and the bad
ones.
To acknowledge whether the test has accomplished the standards of a good test or not, the teacher
should evaluate the quality of the test item. The investigation that teacher did in order to know the quality of
each item test is called item analysis. Item analysis is helpful for improving teachers' skills in test
construction and recognizing specific areas of course content that need a greater emphasis. The
characteristics that determine an item analysis test are item difficulty, item discriminator, and item distracter.
The item difficulty means the rank of difficulty for each item test for students. The item discriminator tells
how well each item test differentiates the comprehension ability among the higher and the lower student.
Lastly, item distracter indicates how effective each alternative or option for an item on multiple choice
questions.

549
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
This research is going to analyze the English test item in one of the senior high schools in Jambi
province. The existence of that condition above triggered the researcher to conduct the research entitled: An
Analysis of the Summative English Test Items on Difficulty level and Discrimination Index for Effective
Testing in the Second Semester of the Tenth Grade Students.
Objective of the Research
The objectives of this research are to analyze and describe the level of difficulty, the discriminating power,
and the effectiveness of each distractor in the English test items for the second semester of tenth grade
students at a public school in Jambi province.
Formulation of the Research
To achieve the objective of the research, one main research question guided this research:
1. To what extend have the English test items for the second semester of the tenth grade students at a
public school in Jambi province met the criteria of a good test item based on the level of difficulty,
discrimination power and the effectiveness of distractor?

REVIEW OF THE LITERATURE


Assessment
Assessment is the process in gathering the data. Assessment is the ways instructors gather data about their
teaching and their students’ learning (Hanna &Dettmer, 2004).
Assessment is central important in education. According to Shepard (2006) as cited in (Elise
Trumbull and Andrea Lash, 2013) states that the last purpose of school accountability has been dominating
assessment use for more than a quarter of a century (Shepard, 2006). Assessment refers to a judgment of
students’ works. Scriven (1967, p. 40) cited in (Taras, December 2005) defines assessment as a judgment
which can be justified according to specific goals, numerical and comparative ratings. For him it is necessary
to justify (a) the data-gathering instruments or criteria, (b) the weightings and (c) the selection of goals
(Scriven, 1967, p. 40). This is also can be seen in Indonesia Educational policy in the last decade which
giving an assessment as a way in measuring the students achievement. Assessment is needed in order to
helping students meet certain standards like, using the assessment data to identify strengths and weaknesses
in student performance.
According to Swearingen (2002) as cited in (William, 2011) mentions seven purposes of assessment,
such as: To assist student learning, to identify students’ strengths and weaknesses ‘to assess the effectiveness
of a particular instructional strategy, to assess and improve the effectiveness of curriculum programs, to
assess and improve teaching effectiveness, to provide data that assist in decision making, to communicate
with and involve in communication. There are three types of assessment, diagnostic assessment, formative
assessment and summative assessment.
The Construction of Multiple-Choice Test Item
One of the most popular test item that chosen by the teacher in assessing the students is multiple-choice. It is
an appropriate way for the teacher in giving the multiple-choice to the students when the objective of
learning can be measured by having students choose his or her response from several alternatives. According
to Harmer (2007) states that multiple choice is the simplest kind of item to construct, but it is difficult to
design correctly. Hughes (2003, pp.76-78) mentions some weaknesses of multiple choice items, like the
techniques test is only recognition knowledge, guessing may have a considerable effect on the test scores,
the technique severely restricts what can be tested, it is very difficult to write successful items, wash back
may be harmful, and cheating may be facilitated.
Kinds of Item Analysis
Item Difficulty
The number of test takers who answer the test item correctly called as item difficulty. The higher the
proportion, the lower difficulty is. Item difficulty commonly known as p- value refers to the proportion of
examines that responds to item correctly. The p- value is calculates using the following formula:
p = R/T (p = item difficulty index), (R = the number of correct responses to the test item),
(T = the total number of responses compromises both correct and incorrect responses).
The smaller index of the level difficulty, the more difficult the questions are and the higher index of
the level difficulty, the easier the questions are. The p-value ranges from 0.0 to 1.00. A high p-value
indicates an easy item. Instructional Assessment Resources (IAR) acknowledged values of difficulty index
and their evaluation as tabulated in table 1.

550
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Evaluation of Item Difficulty for Item Analysis
Item Difficulty Index (p) Item Evaluation
Above 0.90 Easy
0.20-0.90 Moderate
Below 0.20 Difficult
Source: Instructional Assessment Resources (IAR 2011)
Discrimination Power
Matlock-Hetzel, Si-Mui and Rasiah (2006) cited in Sabri (2013) define item discrimination as a measure
used to determine between students in the top with the low group who obtained the correct response. In
short, item discrimination is a way to know which students who are knowledgeable and who are not,
between top scorers and low scorers. The value of discrimination index ranges between -1.0-.1.0.
Table 2. Evaluation of Discrimination Indices’ for Item Analysis
Index of Discrimination Item Evaluation
0.40 and above Very good items: accept
0.30-0.39 Reasonably good but subject to improvement
0.20-0.29 Marginal items usually need and subject to improvement
Below 0.19 Poor items to be rejected or improved by revision
Source: Ebel (1972) in Ovwigho (2013) as cited in Sabri 2013
The formulation of discrimination index as shown below:
DI= U R/Nu – LR/NL= Pu-PL (DI = discrimination index), (UR = the number of pupils who answered the item
correctly in the upper group), (LR = the number of pupils who answered the item correctly in the lower group),
(Nu= the number of pupil in the upper group), (NL = the number of pupil in the lower group).
Distractor
Distractors are the multiple choice response options that are not the correct answer. Distractors are
developed based upon students’ common misconceptions or miscalculations. Harmer (2007) explains that
distractors are a part of multiple-choice, which multiple choice consists of, stem (the text of the question),
options (the choices provided after the stem), key (the correct answer in the list of options), and distracters
(the incorrect answers in the list of options).
Previous Research
The study which analyzed the test item on difficulty level and discrimination index has been conducted by
many researchers. One of the research is conducted by Boopathiraj and Chellamani (2013), they analysis the
test items on difficulty level and discrimination index in the test for research in education. The aim of this
research is to analyze test items of a researcher made test in the subject of Research in Education for the
students-teachers of Master of Education. It involves the item difficulty and item discrimination. The
findings of this study show that most of the items were falling in acceptable range of difficulty and
discrimination level; however some items were rejected due to poor discrimination index.
From the previous studies, it can be concluded that, even the multiple choice is the easier way for
the teacher in assessing the students, but by using multiple choice it has a big possibility in making a poor
question or unacceptable question in each item. Therefore, it is needed to analyze each item on the test
especially in English test to reduce and to evaluate the way how the teacher or the test makers making a
question especially by using multiple choice.

METHODS
Research Design
In this research, the researcher used quantitative method with descriptive approach. Johnson and Christensen
(2008:377) state that “descriptive research focused on providing an accurate description or picture of the
status or characteristics of a situation or phenomenon”. The researcher examined and described the level of
difficulty, discrimination power and the effectiveness of distractor of English final test items. The research
site was conducted in Titian Teras Boarding High School, in Jambi province. The object that was analyzed
in this research is English test items and answer sheets for tenth grade students at a public school in Jambi
province, in order to analyze the quality of English test items based on the students' answers on the answer
sheet.
Data Collection Technique
The data collection technique that was used for collecting data in this research is secondary data
(documentation). The analysis of this research is documentation-based. To gather all information needed, the
researcher collected all suitable documents that is available. Johnson and Christensen (2008:217) support
that secondary data is collecting the data that are already available or existing data. The researcher will take
551
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
the data of final exam test in the second semester. The researcher will apply documentary research technique
by collecting the students’ answer sheets and the test question paper. In this research, the document is in the
form of English final test items and students’ answer sheets of the second semester for tenth grade students
at a public school in Jambi province.
Data Analysis Technique
To make the analysis easier, the data in this research was calculated by using a computer program. To
analyze test items the researcher used the program Anates version 4.0.9. Anates is a computer application
program that aims to analyze test items. This program is very useful especially for the observer of the
evaluation of education. The features in the Anates program in scoring the data include: entering data from
test scores, counting the scores of data as needed, while the data processing include: the level of difficulty,
discrimination power and the distractor.

FINDINGS AND DISCUSSION


Level of Difficulties
The difficulty of an item is defined as the total number of students who answer a test item correctly. The
more correct answer that produce by students, the more it indicates that the test item is far from the level of
difficulty. In the final test semester, the result of students’ achievement is utilized to determine the quality of
each particular item in terms of item facility.
According to Wood (1960) as cited in Backhoff, E., Larrazolo, N., & Roses, M (2000) explained
that the greater the difficulty of an item, the lower its index is. For instance, from the analysis, there are 36
items which have an uncomplicated answer by the students, specifically in the item number 16 which all of
the students answered correctly, or about 100 % students chose an accurate answer; this means that it is
categorized to the level of easy for difficulty items.
From the analysis, it reveals that seven tenth items are unproblematic for the students who answered
those types of questions. While, approximately a quarter of items is categorized as moderate and one
twentieth items are classified into difficult items and others items is invalid because they are incorrectly
constructed by the teacher or the teachers’ mistake. All in all, the level of difficulty in the English test items
for the second semester test of 50 tenth grade students are not good English test, it is because most of the test
is designed easier for the students.
Item Discrimination
Matlock-Hetzel, Si-Mui and Rasiah (2006) Mitra, Ngaraja, Ponnudurai and Judson (2009) and Boopathiraj
and Chellamani (3013) as cited in Sabri (2013) said that item discrimination defines as a measurement that is
used to discriminate between students in the top with the low group who obtained the correct responses.
Fundamentally, item discrimination is to determine how far each item can differentiate between students
who are knowledgeable and those who are not in each of the criteria of the items. The higher discrimination
of the item is, the more capable the discrimination of the item to distinguish among the students who have
comprehensive well with the students who are not.
From the data analysis, it describes that roughly over a quarter of the items are classified into very
good items, it points out that a highly discriminating item exposes that students with high score got the item
right and students with low score answer the item incorrectly.
Based on Ebel (1972) in Sabri (2013), the levels of discrimination are categories into four levels,
there are very good, reasonably good, marginal, and poor. The data reveals that almost a half (52%) of the
English test items is categorized into poor items which means that the item needs improvement to be revised,
20% items are organized as marginal which is needed in the subject of improvement, and a quarter of
English test items is categorized into very good items which means that the items are accepted, while 3 items
from English test items are indicated reasonably good and three items are not valid.
Distractor Analysis
In multiple-choice, the alternative of the answer or an option of the questions consists of right answer and
another option which called as distractor. On the other word, distractor means incorrect options and it should
be actually distracting. The distractor for good test item will be chosen spread evenly by the test takers who
answered the wrong answer. Vice versa, the distractor for the bad test item will not be chosen by the test
takers or the test takers dispose to answer in one item distractor.
The data figures out that the effectiveness of the distractor that is made by the teacher is not run
efficiently. It presents that in the item number 1, most of the students answer correctly in the option A, and
also with the option E, while none of the students answer in option C. The significant differences can be
shown in the items number 3, 5, and 8 which most of the students answered correctly based on the key
answer. The effectiveness of the key answer A is an effective distractor, while distractor E is categoried into
552
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
good distractor, because the data shown that 27% items which indicate effective distractor. On the other
hand, the item distractors number 3.5 and 8 are not effectively or poorly because most of the students
answered correctly based on the key answer and only a few of the students chose the distractor.

CONCLUSION
The result of the analysis in this research found based on statistical calculation using computer program
(Anates) with guidelines by some other journal, and also it rechecked by manual calculation. The analysis of
English test item for second semester ten grader students is an important part of the evaluation that the
teacher should do in the learning process. In order to achieve the objective of the lesson and to measure the
students’ achievement the test should be delivered by the teacher to the students. Multiple-choice is the
easiest way of assessment in assessing the student. In general, not all English test items for the second
semester had met the criteria of good test item based on the level of difficulty, discrimination power and the
effectiveness of distractor. This means that the teacher should improve the quality of the English test items
in order to provide accurate information for the students’ academic achievement. How to revise the test item
was by following the format of the structure. But it must be considered with the rules of constructing a good
test item.

REFERENCES
Allen, M. 2004. Book Review: Assessing academic programs in higher education. Bolton, MA: Anker.
Backhoff, E., Larrazo, N., & Rosas, M. 2000. The level of difficulty and discrimination power of the Basic Knowledge
and Skill Examination (EXHOBA).Revista Electronica de Investigacion Educativa, 2(1). Retrieved month
day, year from: http://redie.uabc.mx/vol2no1/contents-backhoff.html
Boopatharaj, C., DR. K. Chellamani. 2013. Analysis of Test Items of Difficulty Level and Discrimination Index in the
Test for Reserch in Education. International Journal of Social Science & Interdisciplinary Research , 189-193.
Elise Trumbull and Andrea Lash. 2013, April. Understanding Formative Assessment. Insight from Learning Theory
and Measurement Theory , p. 1-20.
Gardiner. Lion. F, Redesigning Higher Education: Producing Dramatic Gains in Student; ASHE-ERIC Higher
Education Report ,Vol. 23, No. 7, p. 109
Hanna, G. S., & Dettmer, P. A. 2004. Assessment for effective teaching: Using context-adaptive planning. Boston, MA:
Pearson A&B.
Harmer, Jeremy. 2007.The practice of English language teaching. Malaysia: Pearson Education Limited.
Hughes, A. 2003. Testing for language teachers (2nd edition). Cambridge: Cambridge University Press.
Johnson, B. & Christensen, L. B. 2008. Educational research: Quantitative, qualitative, and mixed approaches. (3rd ed.).
Los Angeles: Sage.
Kenneth D. Moore, Effective Instructional Strategies: From Theory to Practice,
(Washington DC: SAGE Publication Ltd., 2012), pp. 270-271.
Richards, J. C., Platt, J. T., & Platt, H. K. (1992).Longman dictionary of language teaching and applied linguistics.
Essex, England: Longman.
Sabri, S. 2013. Item Analysis of Student Comprehensive Test for rResearch in Teaching Beginner String Ensemble
Using Model BAsed teaching Among Music Students in Public Universities. Interantional Journal of
Education and Research , 1-14.
Taras, M. 2005. Assessment Summative and Formative Some Theoritical Reflections. British Journal of Educational
Studies, 53, 466-0478.
Ur. 1991. A course in language learning: Practice and theory. Cambridge University Press
William, D. 2011. What is assessment fo learning? Elsevier , 1-12.

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Friscilla Wulan Tersta
Institution : Universitas Pendidikan indonesia
Education : S2 Universitas Pendidikan Indonesia
S1 Universitas Jambi
Research Interst : • Teachers’ perspective about English teacher professionalism
• Students with special needs
• English for specific purposes

553
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
INTRODUCING LITERARY WORK TO THE STUDENTS IN EFL

Agung Diah Wulandari


Atma Jaya Catholic University of Indonesia
agungdiahw@yahoo.com

ABSTRACT
The use of literary work in foreign language teaching has been considered as one of the prerequisite in sociolinguistic
element in EFL setting. This is because in foreign context the use of written media or literary reading text showing the
cultural aspects of native speaker is the only means for students to access the sociolinguistic aspect. Quite different
from those who can travel abroad the direct contact that the learners have with native speakers might be one of the
sources to introduce the learners to sociolinguistic aspects however, for foreign language learners the use of literary
work might be useful to serve the above purpose. However the introduction of literary work in language teaching is not
without problem, there are some possible problems that the students have when they start learning using literary work
in their EFL. Firstly is the concept of learning language as communication has usually prevented the teacher or the
learner to seriously learn the literary content seriously. Thus the use of literary work if this is done will never be
explained thoroughly or will just be the one to be the point of simple chat to improve the students’ communicative
ability. The other serious and not less important is the way local teacher explains the material is also still a big hurdle
to overcome, especially for those who are not really qualified introducing literary work will mean difficult and
exhaustive effort to make the students sit quietly to understand its message hidden inside the book. Not to mention the
huge class attendance is also a big problem for those who teach literary work, this is because most of the learners will
usually behave in disruptive manner when they have to sit for hours concentrating to its intricate message. In this
literary work the writer tries to highlight the issue on the use of literary work, its’ possible solution and benefits to the
learners. One of the ways is to provide simplified version or being tailored based on the students’ need which is
certainly in need of the teacher’s great care in handling matter.
Keyword: Introducing literary work to the students in EFL

INTRODUCTION
The use of literary works has been common in EFL setting. The use of literary works has been proven to be
potent in supporting the students’ motivation and improving the learning process. Some research has been
conducted regarding the use of literary works some of them are; Hismanoglu, (2005); Vural (2013), etc.
This research is a review which aims at analyzing short story as part of literary works and its
importance in supporting the learning process in EFL classroom, ranging from: benefits, constraints and
challenges as well as possible teaching method which can possibly be used, namely interactive teaching
method proposed by Brown (2007). This review also proposes some things to be recommended and for
further research.
The Reason for Using Short Story in EFL Context
As part of literary work, short story is defined as (Poe as cited in Abrams, 1970, p. 158) a narrative that can
be read in one sitting and approximately range between one half hour to two hours, besides being limited to
a certain character or single effect thus disregarding the importance of details which are mostly considered
important in novels or other long stories. Colllie and Slater (1990, p. 3) confirm that there are some reasons
of using literary works in EFL such as; a) Valuable authentic materials. Basically literary works will usually
provide a much more authentic material due to the fact that they mostly contain contextual materials related
to the life of the native speakers. Thus learners are possibly exposed by the actual language sample of real
life. Besides, the use of these materials might also help learner to provide a more natural exposure instead of
merely written material to be read in the classroom context. b) Cultural enrichment. Literary work can
possibly enrich the students on their knowledge toward other cultures, in this case the culture which is
learned through language. Specifically, the learners can discover the ways the natives presented in literary
works (e.g. their thought, feeling, custom, etc.). c) Language enrichment. This concept is related to the
benefit that the learners can possibly grasp when learning literary works such as; a more varied individual
lexical or syntactic items in the form of written language, etc. d) Personal involvement. In this case, literary
works can possibly involve the readers in order to get more attentive in the story as well as in their possible
development of the story. e) Enhancing students’ motivation to learn natural sources of English. For
students, the use of literary work can greatly affect their motivation since the learning process will be more
entertaining and amusing this is because the story might provoke their curiosity toward the differences
which exist between the different culture as well as the story which can be seen from different point of view.
f) Improving students’ English skill through the practice in class based on the literary work presented.
554
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Pardede (2011) believes that literary works can be used for teaching all learners’ skills (e.g. Reading,
Writing, Listening and Speaking). However he strongly proposes that the one used for learning process
should be in the form of shorter story due to the fact the time available in learning process is very limited.
Besides he also suggests that the teachers consider some of the criteria such as; the length of the story, the
students’ preferences, etc.
1. Challenges in applying literary works in EFL.
a) The notion of communicative competence as the objective of learning foreign language. Since the notion
of communicative competence is considered as more reliable compared with other approach, thus
learning English for communicative activities is finally considered as the most ideal learning process.
This concept will certainly disregard too much reading too this is because most of the activities are
geared toward the communicative activities just what Brown (2007) argues that in CLT the learners’ role
is mainly to negotiate, interact or to give as well as to take. The activities can be in the form of engaging
learners in communication involving process such as; information sharing, negotiation of meaning and
interaction.
b) The complexity of literary works.
Alemi (2011) points out that literary works are long considered as “difficult”, “hard to understand”, and
“not relevant” to students. This long held perspectives. For instance; a stanza of Poem of Shakespeare’s
work is certainly not an easy task for a student to understand.
c) The nature of foreign culture which is different from the learners’ cultural background.
Duff and Maley (1990, p. 7 as cited in Alemi, 2011) forward that that one f the problems linger in the
teaching of literary works is cultural factors which are usually very different from the learners.
Regarding this problem, Brown (2007) also cautiously suggests the teacher in order to present the
material carefully this is because sometimes the cultural concept of the story is not really suitable to the
learners.
d) Teacher’s competence in presenting the material.
With regard to the teacher’s competence, Brown (2007) confirms that the teacher, ideally, should
acquire what he terms as “technical knowledge” the term which is related to the ability of the teacher in
presenting the material in front of the students. Specifically Brown postulates that the teacher should
have basic ability in linguistic system of English phonology, grammar and discourse which is certainly a
necessity in presenting a literary work in front of the students, e.g. reading aloud to the students, etc.
besides, the understanding of the students’ cultural background is also important to enable the learner to
have a positive attitude toward the story. Specifically Brown (2007) terms this “competence” as the
understanding the close connection between language and culture.
e) Large class.
Large classes basically are considered as the most difficult aspects that usually create hurdles for the
Gibbs & Jenkins (1992 as cited in Saejew, 2013) points out six aspects of large class problem to
teachers. There are relationship building, class management, teaching methods, evaluation, resources,
and health problem. Todd (2006, as cited in Saejew, 2013) concludes the problem from teaching in large
classes in 7 aspects; learning problem, class management and activities in class, physical problem,
mental factor, students’ reaction problem, evaluation and students’ acceptance, and other problem.
2. Important aspects to consider in teaching short story.
Since, there are various methods or techniques that can possibly be used as the possible learning process
can be chosen by the teacher. The writer choose one of the ones considered as the most practical ways in
teaching literary works to students.
a. The use of interactive learning process.
Brown (2007, p. 212) defines interaction as the collaborative exchange of thoughts, feelings or idea
between two or more people, resulting in a reciprocal effect on each other. Brown (2007, pp. 212 -213)
argues that basically theory of communication emphasizes the importance of interaction as human
beings use of language in various context to “negotiate” meaning or simply stated, to get idea out of one
person’s head and into the head of another person and vice versa.
b. The principles to be considered in interactive learning process.
In terms of applying the interactive learning process, Brown (2007) proposes some things to be taken
into consideration such as; a) Automaticity. Automaticity means that interaction is important so the
focus of the teacher’s and students’ attention in leaning should heavily emphasize the result of oral
message instead of grammar. This is important since the emphasis on grammar in foreign literary work
will usually spend more hours rather than guessing its meaning. b) Intrinsic motivation. This concept is
related the engagement of the students in their learning process. This concept highly emphasizes the
active involvement of the students since this can improve the students self -rewarding system with which

555
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
the students can feel more accomplished or fulfilled toward anything they have spent. c) Strategic
investment. This concept means that interaction usually requires the use of strategic language
competence, thus teacher might also some repairs when communication pathways are blocked. d)
Willingness to communicate. The importance of willingness to communicate places importance attitude
on the part of the learners who sometimes might be at risk of being laughed or criticized due to their
mistakes when they practice their new language. e) The language-culture connection. This concept
emphasizes that the learners’ awareness of the culture with which the language is presented. This is
important because the students’ unfamiliarity with the cultural aspects presented in the story will prevent
the students to understand the story thoroughly. f) Interlanguage. This concept is related to the
complexity of interaction which entails a long developmental process of acquisition. Since there are
possibly numerous errors of production and comprehension in this process the role of teacher in
providing feedback is important. g) Communicative competence. Brown (2007) believes that since there
are some elements interconnected in the process of human interaction (e.g. grammatical, discourse,
sociolinguistic, pragmatic and strategic). He believes that all aspects should also be considered in order
to make communication to run smoothly.
c. The role of teacher in interactive learning process.
Brown (2007) also proposes some the roles that should be done with regard of the use of interactive
learning process, such as: a) The teacher as controller. In this concept the teacher plays his/her
traditional function of teacher that is to control the learning process. b) The teacher as director. This role
requires the teacher to manage or structure the learning process in such a way in order that the learning
process runs well. c) The teacher as manager. This role is still similar to the process of learning in which
there should the one who manages the learning process, while the function of director will be meant to
the duty of leading to the same direction, managing means making sure that the learning process run
well d) The teacher as facilitator. Due to the fact that not all learners have the same capacity, thus
requiring the teacher to play his role as “:facilitator” the one in charge in helping learners to grasp the
things learned in the classroom learning e) The teacher as resource. Since the teaching process must
also rely to the material, information, knowledge to be transferred thus teacher should also be the one
who masters technical knowledge and later on transfer it to the students, this role is also termed as
resource in which the teacher might transfer what his learned to the students in their learning process.

CONCLUSIONS AND RECOMMENDATIONS


Conclusions
a) The use of literary works is important to support the students’ motivation due to the fact that it can
improve students’ interest toward the story which is presented during the EFL class.
b) The use of literary works might improve the students’ awareness of the different culture which exist in
the world.
c) The use of literary works helps learners to learn more natural paradigm of the native speakers.
d) The use of literary works helps learners to understand more complex expressions, idioms, vocabulary.
Recommendations
a) The choice of material to be taught should be carefully considered.
Tseng, (2010) strongly recommend that the use of literary works, e.g. poem, or short stories should be
carefully planned so that it will be relevant to the needs of the students or relevant to the characteristics
of the students. Another scholar cautioning this matter is Mackay (1982) who believes that the selection
of literary works for students is of crucial issue to heed by the teacher. Further Tseng (2010, p. 53)
suggests that the choice of literary works should partially accommodate the students’ need, preferences,
tastes, interests and hobbies. Other things that are also of importance to be considered are the students’
linguistic proficiency, cultural background, and literary background (e.g. Brumfit, 1981; Collie & Slater,
1987; Lazar, 1993; Marckwardt, 1981 as cited in Tseng, 2010, p. 53). The above consideration should
also cover as; length, themes, genres, classic status, availability of the printed text, etc. (e.g. Brumfit,
1981; Carter & Long, 1991; Mckay, 1982, as cited in Tseng, 2010, p. 53).
b) Cultural aspects should also be taken into account by the teachers.
Brown (2007) states that “culture is the way of life” (p. 132),thus confirming that culture is the context
within which people will generally think, feel and relate to the others, including in appreciating the
concept available in written media. Therefore, it is necessary for a teacher to heed to the students’
cultural background before presenting the material to the students in order not to create confusion and

556
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
disappointment. This is possible since the native speaker’s perspective might not be all suitable to the
learners’ perspective.
c) The use of interactive learning activity can be done to support the effectiveness of the learning process.
Brown (2007, p. 213) further proposes some principles in making the class more interactive as by
adopting the important aspects as follows: The use of relevant media might corroborate the effect since
students will be more interested in listening and enjoying the literary works.
d) Teaching media can be incorporated to magnify the effect of learning.
Brinton (p. 460) defines that media are anything used by the teacher with regard to their teaching
activities inside the classroom e.g. mechanical or non-mechanical, glossy or non-glossy, commercially
available or teacher – made. Brinton (2001) further categorizes some of the benefits of using media,
such as; increasing motivation, possibility to provide more complete materials, in terms of content,
meaning, and guidance which can be contextualized to learning process. media can also lend
authenticity to the classroom, thus reinforcing learning process, media can also help those having
different learning styles (provide both auditory and visual way of learning), the role of input (which is
deemed very important by Krashen, 1987 as cited in Brinton, 2001) will certainly be very superior so
that they cannot be challenged by other form of presentation, etc. from the above concept it is clear that
the use of media can even magnify the learning process with which the learners can be more attracted
and interested in the portrayal of the vivid or pictorial forms thus enhancing learners interest.

REFERENCES
Alemi, M. 2011. The use of literary works in an EFL class. Theory and Practice in Language Studies, 1, (2). 177-180.
Brinton, D. M. 2001. The use of media in language teaching. (In Marianne, C-M, Ed.). Teaching English as a Second or
Foreign Language. (pp. 459-476). Boston: Heinle & Heinle.
Brown, H. D. 2007. Teaching by Principles: An interactive approach to language pedagogy. New York: Pearson
Education, Inc.
Collie, J., & Slater, S. 1990. Literature in the language classroom: A resource book of ideas and activities. Cambridge:
Cambridge University Press.
Hismanoglu, M. 2005. Teaching English through Literature. Journal of Language and Linguistic Studies, 1, (1). 53-66
Saejew, B. 2013. Opinions on English teaching large classes as perceived by English teacher at Burapha University.
The Official Proceeding of The Asian Conference on Language Learning, Osaka, Japan. Retrieved from:
Tseng, 2010. Introducing literature to an EFL classroom: Teacher’s presentations and students’ perceptions. Journal of
language teaching and research, 1, (1). 53-65.
Vural, H. 2013.Use of literature to enhance motivation in ELT classes. Melvana International Journal of Education, 3
(4). 15-23. Retrieved from: http://dx.doi.org/10.13054/mije.13.44.3.4

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Agung Diah Wulandari
Institution : Atma Jaya Catholic University of Indonesia
Education : S1 Pakuan University
Research Interst : • Sociolinguistics
• Teaching

557
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
FACTORS INFLUENCING SOUTH KOREAN STUDENTS’ ACADEMIC PERFORMANCE IN
LEARNING ENGLISH

Marti Fauziah Ariastuti Lucia Lusi Ani Handayani


University of Indonesia
marti_fauziah@yahoo.com lusidua@gmail.com

ABSTRACT
In the past fifteen years the economic relationship between Indonesia and South Korea has grown rapidly. There are
many Koreans who set up their businesses in Jakarta. Many of them bring their family with them and send their
children to schools or universities in Jakarta. A large number of Korean students have joined BIPA (Indonesian as a
Foreign Language) program at the Faculty of Humanities, the University of Indonesia to study Indonesian language.
Since 2008 some of these BIPA students have enrolled English Study Program after completing one year BIPA
program. It requires a good command of English to study in this program because the medium of instructions and
subject content are in English. Unfortunately, most of these students have been reported to experience considerable
difficulty in their studies in general, particularly in their English language class, which, because of university
regulations, impacts on other courses they take in the study program. Some of them have also been reported to lack
motivation in their studies. This research examines the aspects affecting South Korean students’ achievement in
learning English in English Study Program at the Faculty of Humanities, the University of Indonesia. The data are
obtained from questionnaires, interviews and classroom observations. The results reveal that the factors influencing
the students’ achievement are prior learning experiences and students’ ability to adapt with the new environment. It is
hoped that the outcomes of this research will give valuable input to teaching staff, academic administrators, and
institutions dealing with international students.
Keywords: South Korean students, academic performance, English language, prior learning experiences, adaptation

ABSTRAK
Dalam lima belas tahun terakhir hubungan ekonomi antara Indonesia dan Korea Selatan telah berkembang dengan
pesat. Ada banyak orang Korea yang membangun bisnis mereka di Jakarta. Kebanyakan dari mereka membawa
keluarga mereka bersama mereka dan mengirim anak-anak mereka ke sekolah atau universitas di Jakarta. Sejumlah
besar mahasiswa Korea telah mengikuti program BIPA (Bahasa Indonesia sebagai Penutur Asing) di Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia (UI), untuk belajar bahasa Indonesia. Sejak tahun 2008, beberapa
siswa BIPA ini mendaftar Program Studi Bahasa Inggris setelah menyelesaikan program BIPA satu tahun. Untuk
belajar di Program Studi Bahasa Inggris, kemampuan berbahasa Inggris yang baik sangat dibutuhkan. Ini karena
media dan materi pembelajarannya disampaikan dalam bahasa Inggris. Sayangnya, sebagian besar mahasiswa Korea
mengalami banyak kesulitan dalam studi mereka secara umum terutama di kelas bahasa Inggris mereka yang akhirnya
berdampak pada pencapaian mata kuliah lain yang mereka ambil di program studi. Beberapa dari mereka juga kurang
termotivasi dalam studi mereka. Penelitian ini mengkaji aspek-aspek yang mempengaruhi prestasi akademik
mahasiswa Korea Selatan dalam belajar bahasa Inggris di Program Studi Bahasa Inggris di FIB UI. Data diperoleh
dari kuesioner, wawancara dan observasi kelas. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi adalah prestasi akademik pengalaman belajar sebelumnya dan kemampuan mahasiswa untuk
beradaptasi dengan lingkungan baru. Diharapkan bahwa hasil penelitian ini akan memberikan masukan yang
berharga untuk staf pengajar, administrator akademik dan institusi menangani mahasiswa internasional.
Kata kunci: Mahasiswa Korea Selatan, prestasi akademik, bahasa Inggris, pengalaman belajar sebelumnya, adaptasi

PENDAHULUAN
Pada tahun 2008 FIB UI membuka kesempatan bagi mahasiswa asing mengambil program S1. Hingga tahun
2015 tercatat sejumlah mahasiswa asing yang belajar di FIB UI. Di antara mahasiswa asing tersebut terdapat
21 mahasiswa dari Korea Selatan yang sebagian besar dari mereka memilih menjadi mahasiswa S1 di
program studi Inggris. Dari hasil pemantauan selama 5 tahun terakhir ditemukan kenyataan bahwa prestasi
akademik mahasiswa Korea Selatan tidak menonjol bahkan sebagian besar di bawah rata-rata kemampuan
mahasiswa Indonesia.
Sejauh ini belum dilakukan penelitian terhadap apa yang menyebabkan rendahnya prestasi belajar
mereka. Secara teoritis ada dua faktor besar yang dapat menyebabkan rendahnya prestasi belajar mahasiswa
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi usia, kepribadian, motivasi internal,
pengalaman, kognisi, dan bahasa ibu. Faktor eksternal meliputi kurikulum, teknik mengajar, budaya dan
status sosial, motivasi eksternal, dan kesempatan untuk berinteraksi dengan penutur asli. Dua faktor tersebut
dapat dijadikan landasan untuk meneliti prestasi belajar mahasiswa Korea Selatan di program studi Inggris.
Namun penelitian ini hanya akan terfokus pada faktor – faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Faktor-

558
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
faktor tersebut berkaitan erat dengan prestasi belajar (Deci, 2000). Mahasiswa yang suka belajar bahasa dan
bangga dengan keberhasilannya akan lebih berprestasi dibandingkan dengan mereka tidak. Motivasi juga
menjadi faktor penentu keberhasilan. Mahasiswa yang terus menerus mendapat penguatan (reinforcement)
dari pengajar dan lingkungan akan lebih berprestasi daripada yang tidak (Brophy, 2004).
Melihat rendahnya prestasi akademik mahasiswa S1 Korea Selatan yang belajar di program studi
Inggris FIB UI, peneliti tertantang untuk melihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi prestasi
akademik mahasiswa. Penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran tentang hal-hal yang
menyebabkan rendahnya motivasi sehingga dapat diambil langkah-langkah untuk membantu mahasiswa
tersebut dalam meningkatkan keterampilan berbahasa Inggris dan prestasi akademik mereka secara
keseluruhan serta memberikan masukan bagi institusi dalam perencanaan penerimaan mahasiswa asing.

TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang mempelajari bahasa telah
banyak dilakukan oleh para peneliti dari berbagai disiplin ilmu dengan perspektif yang berbeda. Di tahun
1950an, Wallace Lambert dan Robert Gardner memulai penelitian tentang faktor penentu keberhasilan
pemelajar bahasa dari perspektif psikologi sosial. Berbeda dengan peneliti sebelumnya yang menekankan
pada faktor kognitif sebagai faktor penentu kesuksesan, Gardner dan Wallace menekankan pada faktor non-
kognitif, terutama faktor motivasi, sebagai faktor penting yang membedakan keberhasilan seseorang dalam
mempelajari bahasa (Dornyei dan Ushioda, 2011: 40). Gardner (1959) mengajukan teori orientasi integratif
dan instrumental sebagai faktor penentu keberhasilan. Orientasi integratif adalah sikap positif terhadap
masyarakat penutur bahasa kedua dan keinginan untuk berinteraksi sosial dengan mereka. Orientasi
instrumental berkaitan dengan tujuan pragmatis dari penguasaan bahasa kedua, misalnya, untuk memperoleh
pekerjaan atau penghasilan yang lebih besar. Konsep Gardner ini dikembangkan lagi oleh Gardner dan
MacIntry (1993:159) menjadi integrative motive yang mencakup 3 aspek: integrativeness, yaitu ketertarikan
mempelajari bahasa asing, sikap terhadap masyarakat penutur asli, dan keinginan untuk berinteraksi sosial
dengan masyarakat penutur bahasa tersebut; attitudes towards the learning situation, yaitu sikap terhadap
pengajar dan kelas bahasa; motivation, yaitu usaha, keinginan dan sikap terhadap pemelajaran.
Dari perspektif psikologi pendidikan, Deci dan Ryan (1985) mengajukan teori motivasi intrinsik dan
ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah perilaku yang dilakukan semata-mata untuk mendapatkan kesenangan
dan kepuasan, misalnya, kesenangan melakukan kegiatan tertentu atau kepuasan karena berhasil memenuhi
keingintahuan akan sesuatu hal. Motivasi ekstrinsik adalah perilaku yang digunakan sebagai alat untuk
mendapatkan sesuatu, misalnya, untuk mendapatkan penghargaan dari luar atau untuk menghindari
hukuman. Di samping itu, ada pula motivasi ketiga, yaitu ketiadaan motivasi, yang mengacu pada tidak
adanya kedua motivasi, baik intrinsik maupun ekstrinsik. Teori motivasi intrinsik dan ekstrinsik kemudian
dikembangkan lagi oleh Ryan dan Deci (2000) menjadi self-determination theory (SDT). Berdasarkan teori
ini, motivasi ekstrinsik dapat diletakkan dalam sebuah kontinum yang merepresentasikan tingkat kontrol
eksternal atau pengaturan internal (self-determination) yang berbeda, tergantung pada seberapa
terinternalisasi motivasi ekstrinsik tersebut. Motivasi ekstrinsik yang sepenuhnya terinternalisasi dalam
konsep diri seseorang, misalnya, makna dari kemampuan berbicara bahasa asing bagi seseorang, dapat
berjalan seiring dengan motivasi intrinsik, seperti kesenangannya mempelajari bahasa tersebut.
Pada tahun 1990an terjadi pergeseran dalam orientasi penelitian tentang motivasi dalam pemelajaran
bahasa dari penelitian yang berorientasi pada psikologi sosial menjadi penelitian yang berorientasi pada
pendidikan. Hal ini disebabkan oleh adanya keyakinan bahwa lingkungan kelas pemelajar mempunyai
dampak yang besar terhadap motivasi. Crookes dan Schmidt (1991) mensitesiskan penelitian tentang
motivasi dari perpektif psikologis dan mengaplikasikannya ke dalam konteks kelas. Mereka mengajukan 4
komponen yang berkaitan dengan motivasi pemelajar dalam konteks pendidikan (Dornyei dan Ushioda,
2011: 40):
1) interest, yaitu motivasi intrinsik yang berpusat pada keingintahuan individu tentang diri dan
lingkungannya;
2) relevance, yaitu apakah pemelajar merasa bahwa pelajaran yang didapat relevan dengan kebutuhan dan
tujuan. Pada tingkat makro, komponen ini berkaitan dengan instrumen. Pada konteks kelas, komponen
ini berkaitan dengan apakah proses dan konten pembelajaran sudah kondusif untuk mencapai tujuan
menguasai bahasa kedua;
3) expectancy, yaitu kepercayaan akan keberhasilan yang berkaitan dengan kepercayaan diri dan
kemampuan diri pemelajar pada umumnya. Pada konteks kelas, komponen ini berkaitan dengan apakah
tingkat kesulitan tugas yang diberikan, upaya yang diperlukan, ketersediaan bantuan dan bimbingan,

559
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
bagaimana pengajar menjelaskan tugas serta keterbiasaan pemelajar terhadap jenis tugas, sudah sesuai
harapan pemelajar;
4) satisfaction, yaitu hasil dari kegiatan yang mengacu pada kombinasi antara penghargaan ekstrinsik,
seperti pujian atau nilai yang baik, dan penghargaan intrinsik seperti kesenangan dan kebanggaan.
Dalam penelitian ini, kami menggunakan kerangka teori yang dikemukakan Crookes dan Schmidt
(1991) untuk menelaah faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi akademik mahasiswa Korea Selatan
dalam mempelajari bahasa Inggris di program studi Inggris FIB UI. Keempat komponen yang dikemukan di
atas kami gunakan sebagai acuan dalam pembuatan butir pertanyaan kuesioner dan wawancara semi-
terstruktur. Meskipun demikian, kami tidak menutup kemungkinan adanya perbedaan antara teori dan
temuan di lapangan.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Instrumen penelitian yang digunakan
mencakup kuesioner, wawancara semi terstruktur, dokumen universitas dan observasi kelas. Data yang
diperoleh dari kuesioner akan diinterpretasi secara kualitatif. Hasil wawancara testruktur akan
ditranskripsikan dan ditriangulasikan dengan dokumen universitas, hasil observasi kelas dan data yang
diperoleh dari kuesioner.
Pengambilan Data Dokumen Universitas
Subjek penelitian adalah 4 mahasiswa Korea Selatan yang sedang belajar di semester 4 dan1 mahasiswa
semester akhir yang akan menyelesaikan program S1 di program studi Inggris FIB UI pada bulan Agustus
2015. Empat mahasiswa yang sedang belajar di semester 4 adalah KJH, PJW, SBK dan LRD. Sementara,
mahasiwa yang sedang belajar di semester 6 adalah SSH. Kami mengumpulkan data akademis kelima
mahasiswa dari dokumen universitas untuk mendapatkan profil lengkap mahasiswa, terutama yang berkaitan
dengan riwayat akademis mereka dari semester pertama hingga saat dilakukannya penelitian. Data yang
diperoleh berupa nilai kelima mahasiswa untuk mata kuliah Bahasa Inggris 1sampai dengan 6, yang
mencakup keterampilan menyimak dan berbicara, keterampilan membaca, keterampilan menulis dan tata
bahasa.
Kuesioner
Kelima mahasiswa mengisi kuesioner yang bersifat terbuka. Bagian pertama kuesioner berupa isian data
pribadi mahasiswa, seperti nama, tempat dan tanggal lahir, alamat, tahun masuk dan tahun keluar program
studi. Bagian kedua terdiri atas 12 pertanyaan mengenai pengalaman mereka belajar bahasa Inggris,
pengalaman mereka berinteraksi sosial atau berkomunikasi dengan pengajar atau pemelajar lain, serta
pengalaman yang berkaitan dengan proses pembelajaran di kelas dan materi ajar. Meskipun kuesioner ini
menggunakan bahasa Inggris, mahasiswa dapat menjawab pertanyaan dalam bahasa Inggris, Indonesia atau
Korea. Pilihan ini diberikan untuk mempermudah mereka menjawab pertanyaan. Peneliti menggunakan jasa
penerjemah yaitu rekan dosen dari Program Studi Bahasa Korea FIB UI untuk menerjemahkan jawaban
yang diberikan dalam bahasa Korea. Jawaban mahasiswa terhadap 12 pertanyaan ditabulasikan untuk
kemudian dianalisa.
Wawancara Semi-terstruktur
Setelah mempelajari jawaban kuesioner, peneliti membuat janji untuk melakukan wawancara semi-
terstruktur dengan kelima mahasiswa. Wawancara ini ada yang dilakukan secara perorangan, seperti yang
dilakukan terhadap SSH, SBK dan LRD, tetapi ada pula yang bersamaan, seperti yang dilakukan terhadap
KJH dan PJW. Wawancara ini dilakukan di luar waktu perkuliahan di kampus FIB UI dalam suasana yang
santai untuk menghindari ketegangan mahasiswa yang diwawancara. Dalam sesi wawancara ini peneliti
mengkonfirmasi jawaban tertulis yang diberikan mahasiswa dalam kuesioner dan menggali jika ada hal-hal
lain yang belum tersampaikan di dalam jawaban mereka. Peneliti juga menanyakan alasan mahasiswa yang
tidak menjawab beberapa pertanyaan. Sesi wawancara ini bertujuan menggali lebih dalam lagi faktor-faktor
yang dianggap menghambat keberhasilan belajar mereka, yang mungkin saja lupa sampaikan, terlalu
panjang atau tidak nyaman untuk mereka sampaikan secara tertulis. Sesi wawancara ini direkam dengan
menggunakan alat perekam audio Sony. Hasilnya ditranskripsikan untuk dianalisa lebih lanjut.
Observasi Kelas
Peneliti melakukan observasi kelas terhadap kelima mahasiswa untuk melihat bagaimana mereka
berinteraksi di kelas dengan pengajar dan sesama pemelajar lain. Observasi ini juga dilakukan untuk melihat

560
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
reaksi mereka terhadap proses pembelajaran, materi ajar dan tugas yang diberikan pengajar di kelas. Peneliti
melakukan observasi kelas secara acak dan tanpa pemberitahuan kepada mahasiswa yang diteliti. Peneliti
tidak melakukan intervensi dalam bentuk apapun terhadap kelas yang diobservasi. Masing-masing
mahasiswa diobservasi sebanyak satu kali di kelas yang diajar oleh pengajar yang berbeda. Hasil observasi
berupa catatan mengenai perilaku mahasiswa selama kelas berlangsung, seperti bagaimana mereka
berinteraksi dengan pengajar dan mahasiswa lain, bagaimana reaksi mereka terhadap pemaparan pengajar
atau bagaimana mereka menyikapi tugas yang diberikan. Catatan perilaku mahasiswa ini akan
ditriangulasikan dengan data yang diperoleh dari dokumen akademik universitas, jawaban tertulis kuesioner
dan hasil wawancara.

ANALISIS DAN HASIL PENELITIAN


Analisis Data Dokumen Universitas
NAMA 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
2008

C C+ C- D C
SSH B- C C+ C- X X X (BI 4) X X (BI 5) (BI 6) X (BI 6) X (BI 6)
2012
C D ulang
SBK (TK) C C D X (BI 4) X BI 4
2012
B- D C ulang
LRD C+ C- D (BI 2) (BI 3) X (BI 3) BI 4
2013
KJH B B- C+ C+ D
2013
PWJ B B- C+ C+ C

Pada umumnya prestasi akademik kelima mahasiswa tersebut dalam mata kuliah kemahiran bahasa
Inggris di semester 1 adalah cukup baik dan cukup. Pada semester 1 terdapat dua mahasiwa yaitu KJH dan
PWJ memperoleh nilai B, satu mahasiswa yaitu SSH mendapatkan nilai B-, dan dua orang mahasiswa yaitu
SBK dan LRD mendapatkan nilai C. Pada semester kedua prestasi akademik yang dicapai oleh kelima
mahasiswa tersebut menurun. SSH memperoleh nilai C, SBK memperoleh nilai C, LRD memperoleh nilai
C- yang berarti tidak lulus, sedangkan KJH dan PWJ memperoleh nilai B-. Pada semester ketiga SSH
memperoleh nilai C+, SBK memperoleh nilai C, LRD memperoleh nilai D yang berarti tidak lulus, KJH
memperoleh nilai C+, dan PWJ memperoleh nilai C+. Pada semester 4 SSH tidak lulus mata kuliah
kemahiran berbaha Inggris, SBK juga tidak lulus mata kuliah tersebut, LRD harus mengulang kelas
kemahiran berbahasa Inggris semester 2 tersebut pada saat ia memasuki semester 4. Hasil yang LRD peroleh
adalah B-. KJH dan PWJ memperoleh nilai C+. SSH memperoleh nilai C+ untuk kleas kemahiran berbahasa
Inggris 5 pada semester 11, dan nilai C- pada semester 12 dan D pada semester 14 dan nilai lulus C pada
semester 16. LRD dan nilai C pada semester 7. Data menunjukkan bahwa SSH memerlukan 16 semester
untuk menyelesaikan mata kuliah kemahiran berbahasa Inggris 1-6. SBK dan LRD yang sudah memasuki
semester 8 ini masih berjuang untuk lulus mata kuliah kemahiran berbahasa Inggris 4. KJH masih harus
menunggu 1 semester sebelum ia dapat mengulang mata kuliah kemahiran berbahasa Inggris 5. Tanda (X)
dalam tabel adalah tanda mahasiswa tersebut tidak mengambil mata kuliah kemahiran bahasa Inggris.
Analisis Data Kuesioner dan Wawancara
Berdasarkan jawaban kuesioner diketahui bahwa kelima mahasiswa Korea Selatan ini sudah belajar bahasa
Inggris paling tidak 4 tahun sebelum mendaftar di program studi Inggris FIB UI (SSH-sejak kelas 3 SD;
SBK - 4 tahun; KJH – sejak kelas 3 SMP; PWJ – sejak kelas 1 SD; LRD – sejak usia 8 tahun). Kenyataan ini
tidak jauh berbeda dengan rekan-rekan mereka mahasiswa Indonesia yang umumnya sudah belajar bahasa
Inggris di kelas 1 SMP.
Di dalam kuesioner, KJH, SBK, dan PWJ menyatakan bahwa alasan mereka memilih belajar di
program studi Inggris adalah untuk meningkatkan kemampuan bahasa Inggris mereka yang dianggap
kurang baik. Sementara itu SSH dan LRD memilih program studi ini karena bahasa Inggris adalah bahasa
global. Dari wawancara dengan KJH, SBK dan PWJ terungkap bahwa bahasa Inggris dianggap penting
untuk masa depan mereka karena di Korea Selatan orang yang pandai berbahasa Inggris lebih mudah
mendapatkan pekerjaan. Fakta ini menarik untuk KJH dan SBK karena dalam wawancara terungkap bahwa
belajar di program studi Inggris bukan pilihan utama KJH dan bukan pula pilihan SBK. KJH sebenarnya
lebih tertarik belajar hukum, tetapi karena ia tidak bisa mendaftar di fakultas Hukum UI, ia mengambil

561
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
program studi Inggris di FIB UI. Meskipun tidak sesuai dengan keinginannya, KJH tetap menganggap
belajar bahasa Inggris sebagai bahasa global sangat penting dikuasai untuk masa depannya. SBK
menyatakan bahwa dorongan untuk mengambil program studi bahasa Inggris berasal dari orangtuanya bukan
dari dirinya sendiri. Ia hanya menuruti keinginan orang tuanya, yang sedang bekerja di Indonesia. Sementara
itu LRD mempunyai keinginan bekerja di bidang broadcasting yang tentunya memerlukan keterampilan
berbahasa Inggri yang baik.
Dari 8 jenis kesulitan yang ditanyakan dalam kuesioner, kelima mahasiswa mengatakan bahwa
mereka mengalami kesulitan berinteraksi atau berkomunikasi dengan teman sekelas. SSH menulis, “It took
much time (minimum one semester) to socialize with classmates. It was hard to communicate with new
friends in new subject.” SBK mengatakan, “It is hard to get close with classmates. I do not know how they
think about be a friend with foreigner.” Sementara itu, KJH menyatakan dalam bahasa Korea bahwa kadang
terjadi salah paham karena perbedaan budaya. Ia tidak menjelaskan lebih lanjut kesalahpahaman yang
dialami. Selain masalah perbedaan budaya, PWJ merasa bahwa faktor perbedaan usia juga menghambat
interaksi dia dengan teman sekelas: “the difference of culture and gap of age with classmate.”
Komunikasi dengan pengajar juga menjadi menjadi masalah bagi SSH dan PWJ. SSH mengatakan,
“It was little hard to make lecturers understand if I have some problem or ask excuse.” PWJ tampaknya
menyalahkan dirinya sendiri karena pengajar sudah berusaha menjelaskan dalam bahasa Inggris dan
Indonesia, tetapi ia masih belum paham: “when I didn’t understand, they explained with English or
Indonesian, and I still can’t understand. But this is my problem.” Sementara itu LRD mengakui menemui
kesulitan berkomunikasi baik dengan teman kuliah maupun dosen karena penguasaan bahasa Inggris dan
bahasa Indonesia sama-sama kurang baik.
Mata kuliah yang disukai mahasiswa Korea beragam. SSH menyukai main teater dan kajian film
karena senang diskusi dengan teman-teman. KJH menyukai tata bahasa karena paling bisa dipelajari sendiri.
Sementara itu, PWJ memberi jawaban yang diplomatis: “All lesson is same to me. I can’t choose best or
worst because all things are the process of learning.”
Mata kuliah yang dirasakan sulit oleh mahasiswa Korea berbeda-beda. SBK merasa terbebani
dengan mata kuliah bahasa Inggris yang bobotnya 4 SKS, tetapi pelaksanaannya seperti 8 SKS: “What I
found most problematic lesson is that Inggris 1 to 6. This is really big burden lesson that I have now. This
course is only 4 sks but we have to do 4 different lessons in 2 hours each. This lesson should be 8 sks. I
always wonder why how come this course is 4 sks.” KJH merasa mata kuliah PKKA sulit. Sementara, PWJ
mempermasalahkan mata kuliah puisi: “The most problematic subject is literature specially poetry because I
can’t find the hidden meaning.” Dari hasil wawancara, kedua mahasiswa ini juga mempermasalahkan mata
kuliah keterampilan menulis yang mereka anggap sulit karena mereka tidak punya dasar menulis yang kuat
dan penguasaan kosakata terbatas. Selain itu, mereka juga menganggap mata kuliah keterampilan menyimak
dan berbicara sangat sulit. PWJ mengatakan “sangat susah untuk bicara di depan kelas dalam bahasa Korea
susah apalagi dalam bahasa Inggris, malu.” KJH menyampaikan hal serupa, “takut salah, malu karena
teman-teman Indonesia pasti berharap lebih tinggi terhadap orang asing dalam bahasa Inggris.” LRD
menyampaikan bahwa pelajaran bahasa Inggris di Korea terfokus pada Reading dan Grammar. Ia pertama
kali belajar Writing, Listening dan Speaking di Indonesia. Berikut ini pendapatnya tentang mata kuliah
keterampilan menulis dan keterampilan menyimak dan berbicara: “(Kalau mengerjakan tugas) writing
pikiran bahasa Korea dulu baru di bahasa Inggris. Bahasa Koreanya betul, tapi bahasa Inggrisnya aneh
(menurut dosen Writing). (Mata kuliah) listening ga papa (tidak bermasalah), speakingnya saya kurang
berani, suaranya kecil (suara LRD ketika berbicara), hatinya deb-deb (berdebar).
Menanggapi pertanyaan tentang apakah teman Indonesia mereka mau membantu ketika mereka
menemui kesulitan dalam belajar, SSH mengatakan: “Yes, I did. I usually asked my classmates or
Indonesian friends for help if I didn’t understand an assignment or need for correction.” Namun ketika
dikonfirmasi dalam sesi wawancara SSH juga mengungkapkan, “banyak yg membantu, ada yg menolak.”
SBK menjawab: “When I have problems, I ask my friends to recommend website, topic to write a paper.
Sometimes I ask friends to explain some chapters that I missed.” KJH menyatakan dalam bahasa Korea yang
diterjemahkan: “Semester awal saya belajar bersama teman sekelas, mulai semester 3 saya belajar sendiri di
rumah.” Sementara PJW mengatakan: “ Yes. I always ask them. They are more smart than me.” LRD
mempunyai pengalaman yang agak berbeda karena ada 2 orang teman di kelasnya yang bisa sedikit bahasa
Korea. Ketika ia kesulitan memahami pelajaran, kedua orang ini berusaha membantu dengan menggunakan
bahasa Korea.
Menjawab pertanyaan apakah mereka sering belajar dalam kelompok, kelima mahasiswa
mengatakan bahwa mereka sering belajar kelompok. Meskipun demikian mereka punya pengalaman yang
berbeda tentang belajar kelompok. SSH mengatakan bahwa ia biasa belajar kelompok di luar kelas; “I
usually study in group outside class, I don’t know why but it was more comfortable for me to study.”
562
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Sementara SBK tidak pernah bekerja dalam kelompok jika tugas yang diberikan bukan tugas kelompok: “I
never studied in group if homework is not for group.” KJH mengatakan (terjemahan), “biasanya belajar
(kelompok) di luar. Kadang-kadang kalau ada sesuatu yang tidak tahu merasa tertekan karena harus
memecahkan kesulitan itu sendiri, jadi segalanya terasa berat.” PJW: “I often study in outside class and I feel
nothing about that.” Namun dalam sesi wawancara PJW mengungkapkan bahwa tugas kelompok membuat
malas karena “teman-teman (Indonesia) hanya mau kerja 1-2 hari saja, padahal waktunya panjang; untuk
teman-teman lain mudah dikerjakan dalam waktu singkat untuk saya sulit; kadang tidak ada diskusi hanya
bagi-bagi tugas.” LRD lebih suka bekerja sendiri dan mempunyai pengalaman berbeda tentang kerja
kelompok: “sukanya sendiri karena ketika harus ketemu teman-teman Indonesia kalau janji jam 12,
biasanya datang jam 2. Jadi harus menunggu 2 jam.”
Menanggapi pertanyaan tentang mana yang lebih nyaman antara bekerja kelompok dengan teman
Indonesia atau dengan teman Korea, umumnya mereka lebih nyaman bekerja dengan teman Korea karena
tidak ada hambatan dalam berkomunikasi, tetapi ada kelebihan lain dalam bekerjasama dengan mahasiswa
Indonesia. Berikut ini tanggapan kelima mahasiswa. SSH: “Today, I feel more convenient to work or study I
group with Indonesia. Indonesian culture (pelan-pelan) is more familier and comfortable for me to proceed
something than Korean culture (cepat-cepat).” SBK: “I prefer to do with Indonesian friends to talk in
Indonesian.” KJH (terjemahan): “Sama-sama enak, tapi kalau dengan orang Korea karena lebih komunikatif
jadi lebih enak atau baik (lebih nyambung.” PJW: “I think it depends on the work or study, but usually with
Korean students are easier than Indonesian students because of the communication of language.” LRD:
“Memilih (belajar kelompok) dengan teman korea karena lebih gampang komunikasi, tapi tidak pernah (ada
kesempatan seperti itu)”. Ada hal yang menarik terungkap dalam sesi wawancara dengan PJW. Ia
mengatakan, “tugas paper bersama biasanya dibantu teman-teman (Indonesia). Sulit bekerja sama dengan
teman-teman (Indonesia) karena susah berkomunikasi. Sesama Korea komunikasi mudah tapi perlu bantuan
teman-teman Indonesia karena mereka lebih pintar.”
Ketika ditanyakan mana yang lebih disukai kerja dalam kelompok atau perorangan, SSH dan LRD
memilih bekerja sendiri. Berikut ini pernyataan mereka. SSH: “Individually, although the idea would not be
creative. I more like to study or work individually without disturbing, so I can more concentrate with my
work.” LRD: Pilih belajar sendiri karena “komunikasi susah, janji juga.” Sementara itu SBK, KJH dan PJW
memilih bekerja dalam kelompok. SBK: “I prefer in group. If I do it myself, it can be wrong or something is
not complete. If I work in group, I could get the ideas that something different with my idea.” KJH
(terjemahan): “Lebih suka dengan grup karena bisa saling membantu, lebih efektif karena bisa memudahkan
belajar .” PJW: “Group. I can get help from group about what I don’t understand and information.”
Hanya 3 mahasiswa Korea yang menjawab pertanyaan apakah mereka termotivasi dengan cara
dosen mengajar. Berikut ini jawaban mereka. KJH (terjemahan): “Ya. Jika ada dosen menggunakan PPT
karena ketika mencatat bisa melihat, bisa belajar lagi di rumah melalui handout PPT.” PJW: “When they
teach students with great passion and interest.” LRD: “Dosen-dosennya semua baik. Suka dosen yang aktif
sama yang pakai PPT (PowePoint presentation) dan pakai buku. Tidak suka dosen yang bicara saja (drama),
bukunya ada tapi ga pakai. Ketika mau ujian tanya teman-teman, cari di internet dan fotokopi catatan teman-
teman sekelas.” Dalam sesi wawancara terungkap bahwa suara dosen juga mempengaruhi daya tangkap
mereka. KJH dan PJW menyukai dosen yang bersuara keras (lantang). Sebaliknya mereka tidak suka dosen
yang bersuara rendah karena mereka sulit menangkap apa yang dikatakan. Kedua mahasiswa ini juga suka
dengan dosen yang “pakai bahasa Indonesia” dan dosen yang “berbicara pelan-pelan” (berbicara dengan
tempo yang lambat) karena hal itu membantu mereka memahami apa yang diterangkan.
Kelima mahasiswa Korea menyukai dosen yang mengajar dengan alat bantu audio dan visual, serti
gambar, slides show, audio atau film. Kegiatan atau tugas dalam bentuk diskusi, prensentasi dan pertunjukan
kurang disukai karena umumnya mereka malu atau tidak percaya diri berbicara di depan kelas. Berikut ini
pendapat LRD mengenai kegiatan diskusi, presentasi dan pertunjukan drama. LRD: “Ga suka susah
ngomong, ketika diskusi saya hanya diam; (Presentasi) lumayan (suka), presentasinya sebenarnya tidak suka
karena deb-deb (berdebar); Drama suka, tapi ga bisa acting.” Sementara itu, tugas dalam bentuk makalah
lebih disukai daripada ujian esei di kelas. LRD mengatakan, “lebih suka paper karena langsung ujian (ujian
jenis esei) saya bingung karena langsung pikir, informasinya campur, kalau paper (ada waktu) bisa cari di
internet, vocabulary bisa lihat dictionary.” KJH juga tidak suka ujian jenis esei karena alasan yang kurang
lebih sama: “tidak suka menulis esei karena kecepatan menulis lebih lambat dari teman-teman Indonesia.”
Menanggapi pertanyaan tentang apakah dosen mereka berlaku adil dalam memberikan evaluasi,
kelima mahasiswa mempunyai pengalaman yang berbeda. Ada yang merasa dicurigai tidak menulis sendiri
makalah yang dikumpulkan, seperti yang dikemukakan SSH: “I don’t think so. I understand that there must
be a result if there is reason. I experienced several times to prove that it is my work. From the lecturer’s
point of view, it is right to ask students to prove it. However, I’ve seen only some of Korean students doing

563
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
that. Generally, many Koreans are good marks for writing, bad marks for speaking.” Ada yang merasa tidak
mendapat informasi tentang nilai mereka sebagaimana seharusnya, seperti yang dialami SBK: “Sometimes
we ended a semester with curious about score. Some lecturers did not gave a UTS and UAS score. So that
we have to wait until final day of SIAKNG that upload our score before holiday starts.” Sementara KJH dan
LRD merasa diperlakukan adil, bahkan PJW merasa evaluasi yang diberikan lebih baik dari yang
seharusnya. Berikut tanggapan mereka. KJH: “Tidak ada diskriminasi dalam pemberian nilai/fair.” PJW:
“Yes, they had given me fair evaluation. But sometimes they gave me better evaluation than I did, and I’m so
appreciated that because they understand the situation of foreign students.” LRD: “Cukup adil, harapnya
nilai tinggi (saya berharap dapat nilai tinggi), tapi saya masih kurang.”
Analisis Hasil Observasi Kelas
Data observasi kelas menunjukkan bahwa kelima mahasiswa tersebut kurang aktif berpartisipasi dalam
kegiatan belajar di kelas. Mahasiswa cenderung diam dan duduk menyendiri. Jika ada teman sesama Korea
mereka akan duduk bersama. Mereka hanya menjawab pertanyaan atau melakukan kegiatan tertentu jika
diminta. Mereka tampak tidak percaya diri di kelas. Hal ini tampak pada suara yang lemah (kurang
terdengar) dari lima mahasiswa tersebut ketika menjawab pertanyaan dan ketika melakukan tugas yang
diberikan. KJH dan PWJ tampak lebih aktif dari tiga mahasiswa yang lain. Mereka sesekali bertanya kepada
dosen ketika ada hal yang tidak dimengerti. Namun mereka biasanya bertanya di akhir waktu perkuliahan
ketika teman-teman mereka sudah meninggalkan kelas. Ketika bekerja dalam kelompok, kedua mahasiswa
ini lebih berani mengambil inisiatif dalam menyelesaikan tugas kelompoknya.

SIMPULAN
Trianggulasi data menunjukkan adanya pengaruh motivasi intrinsik, kepercayaan diri individu, proses dan
konten pembelajaran. Namun mereka merasa kurang puas dengan hasil belajar mereka dan mereka kurang
percaya akan keberhasilan yang berkaitan kemampuan diri pada umumnya. Hal ini karena faktor-faktor lain,
yaitu: pengalaman belajar sebelumnya dan kemampuan mahasiswa untuk beradaptasi dengan lingkungan
baru. Ketika mereka belajar bahasa Inggris di tingkat dasar dan menengah di Korea, guru mereka tidak
mengajarkan bahasa Inggris aktif (kemahiran berbicara dan menulis). Sementara itu, ketika mereka belajar
bahasa Inggris di UI, mereka dituntut untuk belajar bahasa Inggris aktif. Mereka tidak memelajari
bagaimana cara berbicara dan menulis di dalam bahasa Inggris di jenjang pendidikan sebelumnya. Dengan
demikian, terdapat perbedaan dalam proses pembelajaran di Korea dan di UI sehingga mereka harus
beradaptasi dengan proses pembelajaran di UI. Mereka tidak hanya harus beradaptasi dengan proses
pemelajaran di UI tetapi mereka juga harus beradaptasi dengan teman-teman sekelas yang mereka anggap
kemampuan berbahasa Inggrisnya lebih baik dari mereka. Di samping itu, mereka juga harus beradaptasi
dengan gaya mengajar setiap dosen. Permasalahan ini menyulitkan lima mahasiswa Korea tersebut dalam
belajar di UI dan prestasi akademik mereka kurang baik.

DAFTAR PUSTAKA
Brophy, J. 2004. Motivating Students to Learn. New Jersey: Lawrence Erbaum Associates.
Deci, E. 1975. Intrinsic Motivation. New York: Plenum
Dorney, Z and Peter Skehan. 2003. Individual Differences in Second Language Learning. Oxford: OUP
Oletic, Aleksandra dan Nina Ilic. 2014. Intrinsic and Extrinsic Motivation for Learning English as A Foreign
Language. ELTA Journal. December. Vol 2, No. 2.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Marti Fauziah Ariastuti Lucia Luci Ani Handayani
Institusi : Universitas Indonesia Universitas Indonesia
Riwayat Pendidikan : S2 Universitas Indonesia S2 Sydney University
Minat Penelitian : • Pengajaran Bahasa • Pengajaran Bahasa
• Fonetik – Fonologi • Fonetik – Fonologi
• Semantik • Morfologi – Sintaksis
• Penerjemahan

564
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
HOW DO YOU LIKE YOUR TEA? THE LEXICOGRAMMAR OF <ADJ + TEA>
CONSTRUCTION IN THE CORPUS OF CONTEMPORARY AMERICAN ENGLISH

Prihantoro
Universitas Diponegoro
prihantoro2001@yahoo.com

ABSTRACT
One of the functions of adjectives is attributive to its head. This study is aimed at describing the adjectives that
frequently co-occur with TEA. Tea is one of the beverages that are familiar with people all around the world.
Adjectives here take a crucial role in describing the TEA. I here retrieved the top 100 adjectives that collocate with
TEA in the corpus of Contemporary American English (COCA), and mapped their semantic and grammar class. The
results are thematically divided into three parts. In terms of frequency, the phrase <iced tea> is the most frequent
pattern, which took 860 hits. The last (100th) pattern is <giant tea>, which only got 4 hits. In terms of grammar, the
retrieval indicates that adjectives in <ADJ + TEA> construction may take the following forms: stem, derivates,
hyphenated and spaceless compound. And the last, in terms of semantic categorization, +MANIPULATION, +TASTE,
and +ORIGIN are some of the most frequent classes, which are shown by the following examples resepectively; <iced
tea>, <mint tea>, <EnglishTea>. This authentic data driven result might assist learners of English as a Foreign
Language as adjectives that co-occur with tea in their native languages might be different to some extent.
Keywords: COCA, tea, adjective, attributive, lexicogrammar

INTRODUCTION
One of the widespread commodities around the world is tea. Tea is originally from Asia (Hasimoto, 2001),
but consumed by people all around the world. Although it seems to be a universal beverage, tea processing
and the way people enjoy tea these days may vary all around the world. Language as a cultural artifact takes
crucial importance here to communicate how people process and taste tea.
This research is centralized on lemma TEA. The focus of this research is to reveal how TEA is
described by English speakers (spoken or written). Readers will be presented by common and frequently
used expressions on how English speakers describe TEA.
I here look into how TEA is attributively described in the Corpus of Contemporary American
English (COCA) by means of adjectives. In the retrieval, I employed <ADJ + TEA> construction and the top
100 results were analyzed. Morphological and semantic categorizations will be presented in the discussion
section in this paper.

PREVIOUS STUDIES
There are other languages, where the equivalent of ‘tea’ is similar; teh (Hebrew, Indonesian, Malay), thee
(Dutch), te (Danish) and etc. Another form, very different but also widespread is ‘chai’; shai (Arabic), cha
(Chinese, Korean), chai (Azerbaijani) and etc. See the distribution in figure 1:

Figure 1. The Distribution of tea and chai Similar Forms


(http://www.languagesoftheworld.info)
Figure 1 illustrates the distribution of similar forms of tea and chai around the world. The blue
(darker dot) is similar to tea and the red ones (brighter) are similar forms to chai. The survey, however, do
not focus on analyzing the word specifically in each language. However, it is useful to understand how the
word was adopted from one language to another.
Sarmah (2015) in his paper about language maintenance shows how the presence of tea
pickers/gardeners is influential in maintaining one of the vernacular languages in India. The decreasing
number of tea pickers positively correlates to the worsening vitality of the language maintenance.

565
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Ludeling & Kyto (2009) illustates ‘strong tea’ as a frequent phrases from corpus processing
perspectives. They believe that the more frequent the collocates, the higher MI (Mutual Information) score
will be. MI is on of the scores used in statistical machine translation to provide automatic translation and
other natural language processing functions.
The closest to this study in terms of object and method is the work of Laybutt (2009). He compared
two expressions ‘a (cup|mug) of tea’. By using corpus approach to 13 corpora and several representative
english dictionaries, he argued that the two expressions are different in terms of semantic and syntactic. The
use of ‘cup’ seems to be more natural and created by culture/habit, while ‘mug’ is more on the
grammaticalization and syntactic force.
Unlike Laybutt, in this study I focus on COCA (American English). It must be understood that either
the driving force is culture or syntax, they are under the frame of American English speakers. Different from
Laybutt who focused on the noun (specifically containier), my study is focused on adjectives that is used
attributively to describe TEA. How Laybutt’s and my study can complement one and each other will be
discussed in the discussion.

METHODOLOGY
This research focuses on COCA (Davies, 2008) data for some reasons. As it is well understood, in the world
of corpus linguistics, data representativeness is an important issue. As for COCA, it is claimed to be one of
the most representative, well balance over text types and largest corpora so that reliable to be a monitor
corpus. Second, corpus data in COCA is already annotated allowing POS based retrieval. Three, COCA
interface allows the results to be presented by means of hits (number) or visualization (graphics, chart etc).
And the last one is its access. COCA is freely accessible as long as you have internet connection. You do not
have to pay.
In the retrieval box, I wrote <ADJ + TEA> regular expression, which correspond to COCA interface
syntax. The interface then computed the data, retrieving all <ADJ + TEA> strings. It retrieved the
orthographic form of TEA (which happens to be the same ‘tea’) preceded by any token marked as adjective
(ex: sweet/A, bitter/A, nice/A). Each adjectives is presented by its frequency. I extracted the top 100 (100
most frequent) adjectives that collocate with tea. These adjectives were then categorized morphologically
and semantically. They are discussed in the next section.

DISCUSSION
Morphology
While the basic function of adjectives here is clearly for attribution (Azar, 2002), the morphology vary. A
word might come as a result of inflection, derivation, compounding, or other word formation process
(Aranoff & Fudeman, 2011). Simple adjectives are highest in frequency in the result of the retrieval (57).
Some of the examples are <hot, cold, sweet, black>. Other adjectives, which are also significant in
frequency is derived adjectives, which originated from other word class, and derived by suffixation such as
verb <poured-pour> and noun <traditional-tradition>. Some of the affixed adjectives are complex such as
<decaffeinated, unsweetened>. Note that although suffix –ed is attached, but the function is not inflectional
but derivational. Also not all suffixes change the word class (de-, un-). They are, however, derivational in
function .
By using <ADJ + TEA> construction, I did not expect to obtain any compound. However, six
compounds were included in the result. If we understand the way COCA interface works, it actually makes
sense. The syntax I wrote retrieved two token. In English, token is defined as character strings separated by
space (simply say). Therefore, hyphenated and spaceless compound adjectives like anti-tax or lukewarm
were also included in the retrieval. As a human, we understand that although each token is simple in form,
but they are actually multi-word units (Paumier, 2014) or compounds. The machine does not understand this
and go straight with what is programmed. Table 1 summarize the adjectives forms:
Table 1. Word Formation Statistic of top 100 Adjectives in <Adj + Tea> Construction
Adjective Stems 57
Derivational Adjectives 37
Compound Adjectives Spaceless 1
Hyphenated 5

566
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Semantic
The meaning of the construction is divided into two: compositional and uncompositional. Sinclair’s Reading
Concordance (2003) has shown the reading of multiword units corpus database into two. One is where the
meaning is predictable via each word. And another is when we have to consider the words as one unit, where
meaning is unpredictable via its constituents.
Compositional Meaning
Compositional here is defined in terms of the shift. For instance, sweet tea is compositional where it refers to
a cup of tea that is sweet in taste. Therefore, the meaning is deductible from the each lexical item, which
composes the pattern. For instance, Sweet, in ‘sweet tea’, does not refer to attitude as in ‘how sweet of you
to pay a visit’. It can be traced compositionally as flavor.
Table 2. Compositional Meaning of <Adj + Tea> Construction
Hot tea
Sweet
Mint
National
Chinese
decaffeinated
Table 2 shows the some common modifiers distribution for <tea> in COCA. Although the meaning
is deductible from the composition, relation of head and modifier may vary. <hot tea> is <tea> THAT IS
<hot>. This may apply for <sweet> although the first one refers to temperature and another one refers to
flavor. As for <mint> the relation is <tea> MADE OF <mint> indicating also flavor. The flavor however is
specified to resemble mint. <national tea> specifies national identity, while <Chinese> is the ORIGIN.
<decaffeinated> refers to PROCESS.
However, delineating the meaning shift is not easy. Consider <green tea> for example. Tea is
normally brown in color, as it has undergone several processes. They are green only when they are still in
plant form. A cup of green tea is also not green. The spectrum would still categorize it as brown, but a little
lighter than common tea. Another example is herbal tea. We are aware that tea is also one of the herbs. The
naming of herbal tea is based on the fact that other ingredient is also added.
On above cases, meanings shift is not absent. They are present, but very soft, and people can still
understand the literal meaning of the constituents that compose the construction. Therefore, the construction
is still categorized as compositional.
Uncompositional Meaning
A <white house> can mean a house that is white, or the office of US president. Meaning is compositional in
the first, but uncompositional by the later. The meaning of ‘white house’ as the office of US president is not
constructed by the relation of each lexical meaning, but by social convention first, then acknowledged later
by language science under the name of compound.
Some of the expressions are not compositional; but they are not many. Take a look at mad tea and
pretend tea. The phrase mad tea actually refers to one of the facilities in the amusement park, where children
ride big swinging teacup. Pretend tea is a part of pretend tea party where kids are pretending to be a tea
maker.

Figure 2. Mad Tea Party in an Amusement Park

567
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Most Frequent Adjectives
Table 3. Top Ten Adjectives in <Adj + Tea> Construction
ADJECTIVES NODE FREQ SEMANTIC
Iced Tea 860 +Temperature
Green Tea 708 +Color
Hot Tea 249 +Temperature
Herbal Tea 190 +Manipulation
Black Tea 174 +Color
Sweet Tea 121 +Taste
High Tea 95 +Measurement
Mint Tea 78 +Taste
Japanese Tea 56 +Origin
Hybrid Tea 39 +Manipulation
Table 3 shows the adjectives that collocate with tea. First column serves top ten adjectives that
collocate with the node, <tea>. Frequency is presented on the third column. Semantic classification of the
adjectives are served on the last column
The descending hits shown by the table is an indication that <iced tea> and <green tea> have shown
significant statistic; 860 and 708 respectively. Between 100-250, we have <hot, herbal, black, sweet + tea>.
Other lexical items such as <sweet, high, mint, Japanese, hybrid> are lower than 100 hits.
Among the top ten adjectives, none of them is attributing quality in general like ‘good’, ‘nice’ or
‘bad’; which means that not all adjectives may collocate with <TEA>. They are specific to special adjective
classes such as +TEMPERATURE (iced, hot), +COLOR (green, black), +MANIPULATION (herbal,
hybrid), +TASTE (mint, sweet), +ORIGIN (Japanese), +MEASURE (high).
While the lexical aspect suggests that certain semantic classes adjectives tend to collocate with
<TEA>, the morphology of the lexical items is also unique. Besides, canonic adjective stems (green, sweet),
some of the adjectives are derived (iced, herbal). However, compounding is absent in the top ten adjectives.
The closest one is lukewarm tea, which is on 57th place.
Of the top ten <adj+tea>, most of the meaning are compositional; the meaning is deductible by the
constituents. However, there is a construction where the meaning is not compositional, which is high tea.
High tea might refer to refreshments (Brooks, 2014) served in the afternoon, or sometimes called afternoon
tea.

CONCLUSION
Adjective is a very strong modifier for a noun, as it may describe the quality of the noun, as its head. As the
node of the construction studied in this research is <tea>, the results are <Adj + tea> construction.
Adjectives that collocate with <tea> might be categorized as simple adjectives (the canonic/lemmatic form),
inflected adjectives, and derived adjectives (including ones that are derived from another word class).
Queries designed to obtain <adj+tea> construction in this study retrieved also compound adjectives. This
came as a result that compounding might be performed without space, or with hypen {-}. COCA
tokenization module, as common as another English module, use space to mark token. Although they are
compound, the are not separated by space, therefore analyzed as a token. But in fact, English speakers
understand that they are multiword unit.
The adjectives are also categorized to different semantic classes. In terms of meaning, almost all of
the construction are compositional; the meaning is deductible from the constituents. There are some fixed
expressions where the semantic is not compositional. However, these expressions are not high in terms of
frequency, except for high tea. High tea , which is afternoon refreshment, rank 7, which is in top ten most
frequent adjectives.

REFERENCES
Aranoff, M., & Fudeman, K. 2011. What is Morphology. Cambridge: Cambridge University Press.
Azar, B. S. 2002. Understanding and Using English Grammar 3rd Edition. New York: Longman.
Brooks, J. 2014. High Tea: A Delicious Collection of Classic Afternoon Treats. Chicago: New Hollands.
Davies, M. 2008. American Corpus. Retrieved August 9, 2014, from The corpus of contemporary American English
COCA: http://www.americancorpus.org
Davies, M. 2010. The Corpus of Contemporary American English as the First Reliable Monitor Corpus of English.
Language and Literary Computing, 447-464.

568
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Hasimoto, M. 2001. The origin of the tea plant. . In Proceedings of 2001 International Conference on O–Cha Tea
Culture and Science Session II,, pp. 5-8.
Laybutt, B. 2009. A Cup of Tea or A Mug of Tea. Module 6 Corpus Linguistics Course, 1-33.
Ludeling, A., & Kyto, M. 2009. Corpus Linguistics: An International Handbook. Berlin and New York: Walter de
Gruyter.
Paumier, S. 2014. Unitex Manual ver 3.1. Paris: Universite Paris Est Marne La Valee & LADL.
Pereltsvaig, A. 2016, 01 04. Languages of the World. Retrieved from What Will You Have Tea or Chai:
http://www.languagesoftheworld.info/etymology/will-tea-chai.html
Sinclair, J. 2003. Reading Concordance. London: Pearson & Longman.

CURRICULUM VITAE
Complete Name: Prihantoro
Institution : Universitas Diponegoro
Education : S2 Hankuk University of Foreign Studies
S1 Universitas Diponegoro
Research Interst : Corpus Linguistics

569
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
A COGNITIVE LINGUISTICS APPROACH TO LEARNING ENGLISH PREPOSITIONS:
EXPERIMENTAL EVIDENCE

Gabriella Ong David Wijaya


Atma Jaya Catholic University of Indonesia
ggab722@gmail.com david.wijaya@atmajaya.ac.id

ABSTRACT
In the English Language, prepositions are considered one of the language features that is the most difficult for second
language learners to acquire. For Indonesian EFL learners, the prepositions in, on, and at may cause difficulties
particularly due to the polysemous nature of prepositions and negative learning transfer from the learners’ first language.
As an emerging field of study, cognitive linguistics offers a new perspective on the teaching and learning of prepositions.
This paper reports a study that examines the effects of cognitive linguistics on the teaching of the prepositions in, on, and
at on 35 tenth grade senior high school students in Jakarta. The study used a one group pre-test post-test design.
Statistical analysis finds that between the pre-test and the post-test, the participants gained a significant amount of score
(p value = .033). An individual analysis on each of the senses was also conducted. No significant score gain took place in
the spatial sense. However, in the temporal and abstract senses, the participants experienced a significant gain of scores.
This result showed that cognitive linguistics was able to improve the participants’ ability to use the prepositions in, on,
and at significantly as a whole, and especially in their ability to use the prepositions in their temporal and abstract senses.
Keywords: cognitive linguistics, English prepositions, Indonesian EFL learners, semantics

INTRODUCTION
Prepositions appear simple and are essential to the English Language, making up 10-13% of the language
(Leech, Rayson, and Wilson, 2014). However, they have been identified as a problematic structure for EFL
learners to acquire, to the point of learners never attaining them in a native-like manner (Yates, 1999;
Watcyn-Jones and Allsop, 2000; Tyler, 2012).
Prepositions seem to be particularly difficult due to the polysemous network they carry. A single
preposition may carry a varying array of meanings, seemingly unrelated to each other – a single preposition
can describe time, location, and manner, among other things. In grammar books, prepositions are commonly
presented through rules such as “We use the preposition on to refer to days and dates.” As the preposition on
has more than one function, the learner will have to memorize numerous rules to be able to ideally use the
preposition on. The task of internalizing these rules may be additionally trying for the learner, as there seems
to be no way to connect one rule to the other, obligating them to commit each individual rule to memory.
Additionally, learners are further inhibited by their first language mind frame. English prepositions
do not have precise equivalents in other languages (Yates, 1999). This difference in conceptualizing
prepositions may result in a negative language transfer in the learners. For instance, Indonesian EFL learners
tend to confuse the English prepositions in, on, and at with each other as in casual Indonesian, all three
prepositions can be translated into either di for most uses or pada for temporal uses (Sneddon, Adelaar,
Djenar, and Ewing, 2010). Alternatives to the traditional way to learn prepositions are therefore necessary.
Recently, cognitive linguists have come up with a new way of viewing prepositions. Research in
cognitive linguistics suggest that the multiple meanings of a preposition are connected logically, with its
spatial sense providing the core meaning that connects all the other senses (Tyler and Evans, 2003; Radden
and Dirven, 2007). A further advantage is that the study of prepositions in cognitive linguistics makes use of
diagrams, which may help students to learn more meaningfully. However, as this field of study is still
relatively new, a greater number of empirical evidence is needed to gauge the effectiveness of this teaching
approach. In this paper, we present the result of an experiment of teaching prepositions using a cognitive
linguistics approach.
Viewing Prepositions through Cognitive Linguistics
In cognitive linguistics, a preposition is a word that describes the relationship between two objects: a figure
or a trajector, which is the smaller and more moveable object that becomes the focus of our attention, and a
ground or a landmark, which is the bigger and less moveable object that serves as a point of reference for
the figure or trajector (Tyler and Evans, 2003; Radden and Dirven, 2007). As an example, in the sentence “I
put the book on the table”, the book is the figure and the table is the ground. The relationship of the figure
and the ground is described spatially, and the extended meanings (such as the temporal and abstract
meanings) are derived from the spatial meaning.

570
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
The prepositions in, on, and at were chosen for this study as they are high frequency prepositions: in
is the second most used preposition, on is the sixth, and at is the eighth according to Leech, Rayson, and
Wilson’s (2014) corpus research. Another reason is that these three prepositions are often presented together
in grammar lessons, and because or maybe in spite of it, learners often confuse the three prepositions with
each other. Below is a summary of the cognitive analyses of the prepositions in, on, and at, as assembled
from Tyler and Evans (2003) and Radden and Dirven (2007).
A Brief Cognitive Analysis of the Preposition At, On, and In
The preposition at is seen as zero-dimensional. As the geometrical description suggests, the spatial
representation of the preposition at is a point in space. As it is when we point and say, “The ball is at the
goalpost,” what we actually mean is that the point represents co-location – that the figure and the ground are
occupying the same space, or are located so closely to each other that they are considered to be in the same
space. In its temporal and abstract meanings, the preposition at represents points in time and points (or
targets) in situations, respectively.
The preposition on can be seen as one- or two-dimensional, depending on our vantage point. It
represents contact and/or support. Spatially, contact means that the figure and the ground are touching each
other physically, whereas support means that the ground is supporting the figure. In the sentence, “The
jacket is on the chair,” both meanings are present. Temporally, the basic concept of contact/support in the
preposition on extends to mean covering a stretch of time. In situations that are more abstract, the
preposition on is generally used to represent abstract contact and support.
The preposition in is three-dimensional and represents containment, that is, that the figure is inside
the ground. The concept of containment suggests the presence of boundaries or protection from the ground
that surrounds the figure. For instance, consider the sentence, “Ali is hiding in the cupboard.” In this
situation, the figure Ali is not only contained inside the cupboard, but there are also boundaries that the
surrounding presence of cupboard gives, such as not being able to move easily while he is inside, and
protection given by the cupboard, such as not being seen from outside. In its temporal meaning, the
preposition in represents time spans, as time spans have boundaries. In its abstract meaning, the preposition
in represents figurative containment or boundaries.

PREVIOUS STUDIES
There has been some research that investigated the effects of cognitive linguistics in learning the
prepositions in, on, and at, including the following studies:
Matula (2007) compared two ESL classes of adult students in the United States in her dissertation.
One class was assigned to be the cognitive group, while the other class was assigned to be the traditional
learning group. The study found no significant differences between the post-test results of the two groups,
but her findings showed that the cognitive group students were more consistent in analysing and choosing
the correct prepositions.
Song (2013) studied 133 seventh-grade grammar school students and 85 seventh-grade
comprehensive school students in different schools in Germany. Similar to Matula, Song divided the
students into two groups: a cognitive group and a traditional learning group. However, Song divided the two
groups further: each group was divided into a higher track (grammar school students) and a medium track
(comprehensive school students). Song found that cognitive treatment was more effective in the higher
track; however, traditional learning worked better for students in the medium track.
Research Question and Objective
The previous studies in this field have posed different results as to the effectiveness of the cognitive
linguistics approach in teaching the prepositions in, on, and at. As such, this study aimed to answer the
following question: does cognitive linguistics result in a significant improvement in learning the prepositions
in, on, and at?
Existing results have showed that cognitive linguistics often has benefits over the traditional method
of instruction despite not always resulting in a more significant progress compared to the traditional learning
method. Thus, this research operated on the following hypothesis: that cognitive linguistics will be effective
for learning the prepositions in, on, and at.
Research Method
The study we conducted was in accordance with the one group pre-test post-test design. Two classes, in a
sum of 35 tenth-grade students, participated in the research. Consent was obtained from the class teacher,

571
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
although she did inform the students that the tests they took during the treatment were part of research. A
research assistant (as opposed to either of the researchers) performed the instruction.
The tests in this study were adapted from Song’s (2013). Each test consisted of 30 forced-choice,
fill-in-the-blanks items, in which the students were asked to complete sentences with in, on, at, or Ø (to
indicate that no preposition was needed to complete the sentence). Among the 30 items, 27 were scored
items and 3 were distractors. All three senses (spatial, temporal, and abstract) of all three prepositions were
tested, following the proportions designed in Song’s tests.
The treatment materials consisted of presentation slides, handout notes, and exercise sheets. The first
was used by the instructor as a teaching aid, while the latter two were distributed to the students. The
presentation slides contained an explanation of the figure-ground relationship and an explanation of each of
the individual senses of each preposition. Diagrams and pictures accompanied each sample sentence. The
handout notes contained a summary of the presentation slides in tables, diagrams, and examples. There were
three parts in the exercise: the first part dealt with the spatial sense, the second dealt with the temporal sense,
and the third dealt with the abstract sense. In each exercise, the students had to draw a cognitive diagram that
corresponds to the sentence given, decide on the core meaning of the preposition used in the sentence, and
write a new, similar sentence.
The treatment began with the pre-test, with a time allocation of 20 minutes. A week after the pre-
test, the cognitive instruction of the prepositions was administered, followed by an immediate post-test. The
instruction took 70 minutes, and the post-test had to be finished in the 20 minutes directly after the
treatment.
The instruction began with an explanation about the figure, the ground, and their relationship. Then,
the instructor explained the function of the preposition (“to describe the relationship between the figure and
the ground”). After the introductions, the instructor explained all three prepositions in detail, in three parts:
the spatial sense, the temporal sense, and the abstract sense. For each preposition in each sense, the
instructor explained the core meaning before moving on to explain examples. Each explanation was
followed by the corresponding exercise.

FINDINGS AND DISCUSSION


The test results of this study were statistically. The general findings are summarized in the following table:
Table 1. Paired t-test of the pre-test and post-test results (significance value at p<0.05)
Pre-test Post-test p
Mean 60.74 65.50
0.03
Standard Deviation 13.42 16.50
Paired t-test results show that between the pre-test and the post-test, the students gained 4.76 points
in average, which is considered a significant increase at p=0.03.
We also divided the test results in accordance with the three senses and analysed them:
Table 2. Paired t-test results for the spatial sense (significance value at p<0.05)
Pre-test Post-test p
Mean 66.29 67.43
0.73
Standard Deviation 19.11 19.61
In the spatial sense, the students did not make a significant progress, gaining only 1.14 points in
average.
Table 3. Paired t-test results for the temporal sense (significance value at p<0.05)
Pre-test Post-test p
Mean 65.71 72.70
0.04
Standard Deviation 16.69 17.54
However, in the temporal sense, the students progressed significantly, gaining 6.99 points in
average, resulting in a t-value of 0.04.
Table 4. Paired t-test results for the abstract sense (significance value at p<0.05)
Pre-test Post-test p
Mean 48.89 56.83
0.04
Standard Deviation 17.09 23.61

572
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
The students also gained a significant amount of scores in the abstract sense, with a score increase of
7.94 points (t=0.04).
From the findings above, we may see that the cognitive treatment has resulted in quite an effective
improvement in the students’ ability to use prepositions. Overall, the students made a significant
improvement. The students also gained a significant amount of scores in two of the three senses – the
temporal and abstract senses – although they did not make a significant progress in the spatial sense. This
finding answers the research question we have posed above: cognitive linguistics does result in a rather
significant improvement in the students’ performance in learning the prepositions in, on, and at.
This may also prove the cognitive linguistics theory suggesting that learners understand more when
their cognitive tools are utilised (Evans and Green, 2007; Langacker, 2008; Littlemore, 2009). As
prepositions are used as tools of describing relationships between two objects, it makes sense that learners
will benefit from an elaboration of how these relationships work. Besides, the utilisation of pictures and
diagrams may have helped the students visualise the situations in which the prepositions are used.

CONCLUSION
Prepositions are difficult to acquire, yet (and because) an effective teaching method of instruction has not
truly been discovered (Tyler, 2012). The question of whether cognitive linguistics is the effective method
has been raised, but no conclusive answer has been reached. This study has been conducted to see the
amount of improvement that cognitive treatment causes, and here we have discovered that in all aspects but
the spatial sense, the cognitive treatment seems to be quite effective.
Due to time limitations, the tests used in this study only included forced-choice items. As a result,
this study may not have accurately measured the effect of the treatment on the learners’ comprehension and
on their ability to produce sentences freely. A future study that evaluates these aspects will add a very
important insight to the field of cognitive linguistics, grammar instruction, and specifically the area of
teaching prepositions.
There may also be a need for more input in the spatial sense part of the treatment. This is because
the spatial sense is the only aspect in which the students did not make a significant progress, in spite of the
fact that the spatial sense is the core sense of the prepositions.
In sum, this study has revealed that the cognitive linguistics approach applied in this study has
resulted in quite significant improvements. But most importantly, it has added empirical evidence to the
effectiveness of cognitive linguistics as a method of teaching prepositions. Therefore, schoolteachers may
consider using this approach as an alternative to the traditional way of teaching prepositions through rules
and rote memorization.

REFERENCES
Evans, V., & Green, M. 2006. Cognitive Linguistics: An Introduction. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Langacker, R. 2008. Cognitive Grammar: A Basic Introduction. Oxford: Oxford University Press.
Leech, G., Rayson, P., & Wilson, A. 2014. Word Frequencies in Written and Spoken English. Oxon: Routledge.
Littlemore, J. 2009. Applying cognitive linguistics to second language learning and teaching. Hampshire: Palgrave
Macmillan.
Matula, S. 2007. Incorporating a cognitive linguistic presentation of the prepositions on, in, and at in ESL instruction:
A quasi-experimental study. (Unpublished doctoral dissertation). Georgetown University, Washington D.C.,
United States of America.
Radden, G., & Dirven, R. 2007. Cognitive English Grammar. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.
Sneddon, J., Adelaar, A., Djenar, D., & Ewing, M. 2010. Indonesian Reference Grammar (2nd ed.). New South Wales:
Allen & Unwin.
Song, X. 2013. A Cognitive Linguistics Approach to Teaching English Prepositions. (Unpublished doctoral
dissertation). University of Koblenz-Landau, Landau, Germany.
Tyler, A. 2012. Cognitive Linguistics and Second Language Learning. New York: Routledge.
Tyler, A., & Evans, V. 2003. The Semantics of English Prepositions. Cambridge: Cambridge University Press.
Watcyn-Jones, P., & Allsop, J. 2000. Test Your Prepositions. Essex: Pearson Education Limited.
Yates, J. (1999). The Ins and Outs of Prepositions. New York: Barron's.

573
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
APPENDICES
Appendix A
Look at the table below to see the differences between the three prepositions:
Preposition Diagram Core Meaning Extended meaning
AT • Zero-dimensional • Point in time
• Point/pointing • Pointing an abstract
concept
• Target

ON • One-dimensional • Covering a stretch of


• Contact and support time
• Covering an abstract
surface

• Two-dimensional
• Contact and support

IN • Three-dimensional • Time span


• Containment • Enclosed by a certain
situation

Appendix B
Exercise 1
There are ten sentences below. For each sentence, draw the preposition diagram that represents the sentence.
Then, label the figure and the ground in the diagram. Write the meaning represented by the sentence. Finally,
make a sentence similar to each sentence. The first one has been done for you.
No. Sentence Diagram Meaning New Sentence
1. Ms. Jenny is at the Point/Pointing The stranger is at the gate.
door. Ms. Anna
Door

2. Your jacket is on
the sofa.
3. Bart is diving in
the lake.

CURRICULUM VITAE
Complete Name : Gabriella Ong David Wijaya
Institution : Atma Jaya Catholic University of Indonesia Atma Jaya Catholic University of Indonesia
Education : S1 Atma Jaya Catholic University of Indonesia S2 in TESOL, Boston University
S1 LIA School of Foreign Languages
Research Interst : • Language Teaching Methodology • Semantics
• Cognitive Linguistics Approaches to • Cross-linguistics analysis
English Language Teaching • Language Teaching Methodology
• Cognitive Linguistics Approaches to
English Language Teaching

574
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
LEARNING TO DESCRIBE PAIN PROPERLY IN ENGLISH:
A CROSS-LINGUISTIC PERSPECTIVE

David Wijaya
Atma Jaya Catholic University of Indonesia
david.wijaya@atmajaya.ac.id

ABSTRACT
That the concept of pain in English is not universal and culturally bounded, and yet it has not been made clear to
second language learners. Learners are usually taught different expressions to talk about pain, however the meanings
remain obscure. Problems arise when they think about a certain kind of pain that has no equivalence in English or
when they simply do not know which expression to use. As a result, when they try to tell people about their pain or look
for medical care in an English speaking country, miscommunication occurs and the costs are immense. Explicit
information about the concept of pain in English is therefore of paramount importance. Using a natural semantic
metalanguage technique, Wierzbicka (2012) presented explications that allow us to see the underlying semantics of
phrases to talk about pain, such as in pain, it hurts, ache, and sore. This paper is aimed at addressing the cross-
linguistic problems that Indonesian learners encounter when describing pain in English by providing an overview of
the explications and proposing ideas for developing learning activities. It is expected that this paper could be useful for
English teachers to instruct their language learners about the concept meaningfully and hence assist them to describe
pain properly in English.
Keywords: pain, cross-linguistic perspective, natural semantic metalanguage, language teaching

INTRODUCTION
Every mortal in the world often experiences what in English is called pain. Pain is experienced subjectively
by the individual and thereby cannot be measured objectively by means of medical devices. When someone
would like to let other know his experience of pain, he will rely heavily on language (Strong, et al., 2009).
However, given that pain is an emotion and subjective experience (Wierzbicka, 2009), the language to
convey it varies greatly from language to language and culture to culture. English language learners have a
different conceptualization of pain because their culture thinks differently about pain. As a consequence, the
words and phrases to talk about it in one’s first language do not match in meaning with English.
Nevertheless, as is obviously demonstrated in ELT textbooks and other learning materials, pain-related
lexicons such as ache, sore, pain and hurt are introduced and taught as fixed expressions, such as have a
stomach ache, have a sore throat, and it hurts but the semantics that underlies these lexicons is barely
addressed. As a result, learners may have difficulty when talking about pain that is experienced in other parts
of the body. As a result, when they try to tell people about their pain or look for medical care in an English
speaking country, miscommunication occurs and the costs are immense. Arguably, it is necessary to present
the semantics of the concept of pain in English to learners. Research in Natural Semantic Metalanguage
(NSM) has provided semantic explications of the aforementioned pain-related lexicons (Wierzbicka, 2012).
The aim of this paper is to use the explications to help Indonesian ESL learners describe pain properly.
Additionally, to address the crosslinguistic issue resulted from the different conceptualizations in the
learners’ first language, I will present semantic explications of four commonly used pain-related lexicons in
Indonesian, sakit, nyeri, perih and pegal. These explications of the same concept in the two languages will
be the tools for learners to use the appropriate lexicons to talk about pain.
A brief look at Wierzbicka’s NSM analyses of pain and its related concepts in English
To begin with, Wierzbicka (2012) conceived the concept of pain “in terms of a process, or event, concurrent
with the bad feeling” (p. 311). When someone feels pain, he undergoes a process in which he feels
something bad in a part of his body. He also thinks that something bad is happening to this part. At the same
time, he also keeps thinking, “I do not want this (feeling of pain)”. This is not the same with uncomfortable
feelings, however. When someone feels uncomfortable, he also feels something bad in a part of his body and
he does not want that, but he does not think that something bad is happening to that part. Hence, Wierzbicka
(p. 311) proposes her explication of the word “pain” in English as follows:
(A) She felt pain.
a. she felt something bad at that time
b. like someone can feel when it is like this:
c. something bad is happening in a part of this someone’s body
d. this someone feels something bad in this part of the body because of this
e. this someone cannot not think like this at this time: “I don’t want this”

575
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
As can be seen from the format, Wierzbicka employed a Natural Semantic Metalanguage
(henceforth NSM) technique to explicate the concept. The NSM theory posits that all natural languages
share a small set of vocabulary and grammar, which is called semantic primes. Semantic primes are used to
create reductive paraphrase (i.e. saying the same thing in a much simpler way). Reductive paraphrase is the
technique that NSM researchers use to explicate the concept of a certain grammar or word, such as pain, in
simple words or phrases that carry the same human concepts across languages. Supported by crosslinguistic
evidence, NSM researchers argue that you, people, feel, know, think, part, body, bad, want, this, like, be, and
inside are English words whose semantic concepts are universal and can be found in all languages (Goddard
& Wierzbicka, 2002).
In reflecting on the meaning of the word pain and its use in English, Wierzbicka (p. 313) noticed
that English-speaking children do not typically use the word when talk about pain. Instead, they use the
phrase “It hurts”. On its face, hurt may seem a synonym to pain, however, they are two distinct concepts.
When pain is used the speaker is not referring to a localized feeling; rather, it is a global condition. For
example, when someone says she is in pain, we do not know which part of her body in which she feels
something bad. It hurt, on the other hand, implies that the hearer is able to identify the part of the body that
hurts due to the presence of the dummy subject It. Another important observation is that hurt refers to a
more short-term feeling, with an identifiable cause. A perfect example would be when someone is injected
by a needle. An injection hurts only in the place where, and at the time when, the needle goes in.
(B) It hurts!
a. something bad is happening in a part of my body
b. I feel something bad in this part of my body because of it
c. I don’t want this (p. 314)
There are other pain-related concepts, such as ache and soar, used to describe localized bad feelings.
These words are usually introduced to learners as expressions, such as I have a stomachache and I’ve got a
sore throat. At first sight, the two words may not be too different because they both present bad feelings.
However, each word tells us if the bad feelings take place inside or on the outer part of the body. The word
ache signals the bad feelings happening inside a part of the body, in this case, the stomach, and the causes
are internal (presumably, harmful bacteria in the intestines). Sore, on the other hand, suggests that the outer
part of the body experience bad feelings. In the case of sore throat, the bad feeling is experienced in a body
part, which is the neck, however, it appears on the outer throat, not inside the throat. Below are the
explications for I have a stomachache and I’ve got a sore throat that I have adapted from Wierzbicka
(2012:314):
(C) I have a stomachache.
a. I feel something bad inside my stomach
b. like someone can feel when it is like this:
c. something is happening inside someone’s stomach for some time
d. this someone feels something bad inside this someone’s stomach for some time
e. this someone thinks like this at this time: “I don’t want to feel something like this”
(D) I’ve got a sore throat.
a. I feel something bad in one part of his body (i.e. my throat)
b. like someone can feel when it is like this:
c. this someone feels something bad in a part of their body for some time (e.g. throat, leg, etc.)
d. because something bad happened to this part of this someone’s body some time before
e. when this someone thinks about this part of the body, this someone thinks like this: “I don’t want to feel
something like this in this part of my body”
NSM analyses of sakit and its related concepts in Indonesia
While people around the world experience what English speakers feel as “pain”, those from other cultures
and societies think and talk differently about pain, making the word pain very difficult to translate into other
languages (Wierzbicka, 2012), including Indonesian. In Indonesian, the experience is called sakit. Sakit is an
adjective word and, according to KBBI online (2016), it is the uncomfortable feelings in a part of the body
due to something bad. Some related concepts include nyeri, perih, and pegal. Both nyeri and perih are
defined as painful feelings. KBBI only elaborates the two words using examples. Nyeri is illustrated further
as the feeling you get when a part of your body is being pierced several times while perih (or pedih) is
defined as the kind of feeling you get when your wound is washed with liquid medicine. Pegal is described
as feeling stiff in a part of your body. While the KBBI definitions are not out of touch with the English pain,
they do not completely capture what Indonesian speakers mean when they use the words since the
576
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
definitions rely on illustrations of specific examples. For example, would one describe the nyeri he
experiences on his muscles? Would he say “It feels like my muscles are being pierced”? Moreover, simply
defining sakit as feeling uncomfortable would be too vague as someone can feel uncomfortable but it is not
perceived as sakit. Therefore, in this section I will endeavor to offer more complete definitions that can
capture the intended meaning of each word by using an NSM technique.
Most Indonesians would translate pain into sakit. However, the word sakit itself is not an exact
counterpart of pain. In fact, when it is used as an exclamation, Sakit!, the closest counterpart is It hurts!
Similar to It hurts!, sakit! is localized and the feeling is typically short-term, with an identifiable cause.
(E) Sakit!
a. something bad is happening in a part of my body
b. I feel something bad in this part of my body because of this
c. I don’t want this
Sakit can also be used to describe both general (as in pain) and specific (as in ache) feelings. When
someone says, “Dia sedang kesakitan” (She is in pain), the speaker is not referring to any particular body
part. Rather, the speaker is talking about the general or global condition that is as a result of his feeling
something bad in a part of his body. It is worth noting that when it is used to describe a global feeling, sakit
can be prolonged, even resulting in death. To talk about a more localized condition, the word sakit is
followed by the name of the body part in which someone feels something bad. For example, if the body part
is perut (the stomach), then one says sakit perut (stomachache).
(F) Dia kesakitan.
a. something bad is happening in a part of her body
b. she feels something bad in that part of her body because of it
c. she cannot not think like this at the same time: I don’t want this
(G) Dia sedang kesakitan.
a. something bad is happening in a part of her body
b. she feels something really bad in that part of her body because of it
c. she cannot not think like this at the same time: I don’t want this
(H) Dia sedang sakit perut.
a. something bad is happening in a part of her body (i.e. her stomach)
b. she feels something something bad in that part of her body because of it
c. she cannot not think like this: I don’t want this.
The basic concept of nyeri, perih and pegal seem to correspond to hurt in a sense that they suggest
strictly localized feelings. However, as defined by KBBI, the differences among these three words are rather
subtle and thereby are not interchangeable. Nyeri is experienced inside one part of the body, as in
“Menstruation causes the feeling of nyeri”. Perih, on the other hand, is felt outside and used to describe the
feeling that is experienced on an open wound, as in “The wound feels perih”. Pegal is different from both
nyeri and perih; it is usually felt in the joint or muscles due to excessive movement, as in “After writing for
two straight hours, my hand feels pegal”.
(I) Menstruation causes the feeling of nyeri.
a. something bad is happening inside a part of someone’s body
b. this someone feels something bad inside the part of this someone’s body because of it
c. this someone thinks like this at this time: “I don’t want to feel something like this”
(J) The wound feels perih.
a. something bad happened to one part of someone’s body before now
b. something else is touching this part of this someone’s body
c. this someone thinks like this at this time: “I don’t want to feel something like this”
(K) My hand feels pegal.
a. I feel something bad in a part of my body (i.e. my hand)
b. because something bad happened to this part of my body
c. when I think about this part of my body, I think like this: “I don’t want to feel something like this in this
part of my body
Implications for learning to describe pain in English
From the explications above, it is obvious that Indonesian-speaking people feel, think and talk differently
about the feelings. This makes the concepts of sakit, nyeri, perih, and pegal do not translate easily into
English. When an Indonesian EFL learner experiences one of the feelings, how should he convey it in
English? One way to do this, I would suggest, is to go through the following steps of conceptualization:
577
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
1. Is something bad happening to a part of your body now? Did it happen to a part of your body before
now?
2. As a result, do you feel something bad inside or on the outside of that part of your body?
3. Do you think “I don’t want to feel something like this” at the same time or when you think about that
body part?
4. Finally, do you want to let your interlocutor know that specific body part?
If something bad is happening now, then the appropriate lexicons would be ache and hurt. If you
feel it inside a part of your body, you should use ache. Sakit perut is pain that is experienced inside the
stomach so it is acceptable to say stomach ache. However, pain in the stomach can also be felt on the
outside. For example, when someone has just undergone an operation in the stomach, he may feel pain.
Saying “stomach ache” would be odd since the pain is caused by the stitches on the stomach. In this case,
sore would convey more accurate meaning since it is used to describe pain that comes after something bad
happened to a part of the body and is not experienced inside that body part. Pegal is also happening outside
a body part. Therefore, this feeling could be expressed with the word sore.
If you think “I don’t want this” even without thinking of the body part at the same time, sore would
not be appropriate to use. The feeling of nyeri, therefore, would be better conveyed through the words ache,
painful and hurt. However, when the thought comes only when you think of the body part, sore should be
used. Perih would be a good equivalence for sore in this case. Perih is felt on the outside of the body part
and the feeling is experienced when you think of it. Another good equivalence is hurt since the core meaning
is still similar to that of perih.
Finally, if you decide to describe the feeling in general (i.e. without referring to any specific part of
the body), “in pain” or “feel pain” should be used. It would sound odd to say *My stomach feels pain. If you
decide to let your interlocutor know which part of the body the feeling of pain is experienced, you could use
hurt, ache, or soar, depending on whether or not it is experienced inside a part of the body and whether
something bad is happening or happened before now to that body part.

CONCLUSION
This paper is aimed at helping Indonesian ESL learners convey the feelings of pain in English properly. I
have attempted to achieve this purpose by providing a brief look at NSM explications of pain by Wierzbicka
(2012), my own NSM explications of the similar concepts in Indonesian and steps to describe the feelings in
English. There are, obviously, other lexicons in both English and Indonesian that are commonly used to
convey the feelings that are conceptualized as pain and sakit. Future research should attempt to explicate
those lexicons and compare and contrast them crosslinguistically and to investigate which lexicons do not
translate at all in the target language. Finally, simply providing the translations for the concepts, such as
sakit perut for stomach ache and sore throat for sakit tenggorokan is less than insightful and too simplistic.
Therefore, the explications above could be useful for ELT textbooks to teach learners how to describe their
pain properly in English.

REFERENCES
Goddard, C. (Ed.). 2008. Cross-linguistic semantics. Amsterdam, The Netherlands: John Benjamins.
Goddard, C., & Wierzbicka, A. (Eds.). 2002. Meaning and universal grammar: Theory andempirical findings.
Amsterdam, The Netherlands: John Benjamins.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi
Daring. Accessed on March 10th, 2016
Strong, J., Mathews, T., Sussex, R., New, F., Hoey, S., & Mitchell, G. 2009. Pain language and gender differences
when describing a past pain event. Pain, 145, 86–95.
Wierzbicka, A. 2007. Bodies and their parts: An NSM approach to semantic typology. LanguageSciences, 29, 14–65.
Wierzbicka, A. 2012. Is pain a human universal? A cross-linguistic and cross-cultural perspective on pain. Emotion
Review, 4(3), 307-317.

CURRICULUM VITAE
Complete Name: David Wijaya
Institution : Atma Jaya Catholic University of Indonesia
Education : S2 in TESOL, Boston University
S1 LIA School of Foreign Languages
Research Interst : • Semantics
• Cross-linguistics analysis
• Language Teaching Methodology
• Cognitive Linguistics Approaches to English Language Teaching
578
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
ERRORS AND VARIATIONS OF ENGLISH EXPRESSIONS ON BEMO19 AS THE KUPANG
CITY’S MODE OF PUBLIC TRANSPORTATION

Marcelinus Yeri Fernandez Akoli


Universitas Nusa Cendana
akolimarcel@yahoo.com.au

ABSTRAK
Dalam 10 tahun terakhir, bemo-bemo di kota Kupang sebagai moda transportasi publik mungkin menjadi suatu daya
tarik linguistik-kultural yang mudah diamati dan telah menjadi suatu daya tarik visual tidak hanya bagi para
wisatawan melainkan juga buat penduduk lokal, layaknya penulis. Pada kenyataannya, dari sekitar 500 moda
transportasi publik di kota Kupang, penggunaan gambar-gambar maupun ekspresi-ekpresi verbal ditemukan pada
sekitar 95 persen kendaraan publik tersebut (Pos Kupang, 2/12/2015). Dalam pengamatan penulis, ada sekurang-
kurangnya empat tema umum yang selalu disampaikan oleh bentuk-bentuk bahasa tersebut, yaitu tema religius, tema
pornografi, tema kehidupan sosial dan tema estetik (Akoli,2015a). Dari penggunaan frase, ungkapan maupun kalimat-
kalimat di angkot tersebut, penulis menemukan banyak sekali ekspresi-ekspresi bahasa Inggris. Menariknya, bentuk-
bentuk bahasa Inggris itu tidak semuanya benar atau sesuai dengan bahasa Inggris yang diajarkan di sekolah
(Akoli,2015a). Ada kecendrungan untuk menggunakan ekspresi-ekspresi bahasa Inggris yang salah ataupun bentuk-
bentuk itu telah dimodifikasi untuk menyesuaikan diri dengan bentuk-bentuk yang dianggap baik atau benar menurut
pembuatnya atau para penikmatnya. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengklasifikasi bentuk eror dan variasi ekspresi
bahasa Inggris yang terdapat pada bemo-bemo sebagai moda transportasi publik di kota Kupang dan (2) menberikan
komentar-komentar linguistik, semiotik dan kultural seputar penggunaan ekpresi-ekpresi bahasa Inggris pada angkot
tersebut. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Di dalam proses pengambilan data, peneliti menggunakan teknik
pengambilan gambar dan interview. Kegiatan pengumpulan data ini dilakukan secara selektif-acak dan bergantung
pada seberapa penting pengaruh data-data yang tersedia tersebut dalam proses analisis data. Dalam proses
menganalisa data, penulis menggunakan dasar-dasar teoretis yang diungkapkan oleh Barthes (1986), Krashen (2002)
serta Odgen dan Richard (1989). Hal ini bertujuan untuk mempresentasikan suatu deskripsi yang memadai akan data
tersebut. Selanjutnya, data yang telah diklasifikasi akan dipresentasikan menurut tipe-tipe ekspresi linguistiknya. Hasil
menunjukkan bahwa ada lima tipe kesalahan maupun variasi bentuk-bentuk bahasa Inggris pada bemo-bemo di kota
Kupang. Lima tipe kesalahan maupun variasi itu adalah (1) Kesalahan Ejaan, (2) Kesalahan Kosakata, (3) Kesalahan
Gramatikal, (4) Variasi Lokal, dan (5) Variasi Semiotik. Secara umum, kesalahan pada ejaan, kosakata maupun
gramatikal sangat dipengaruhi oleh Keberadaan Bahasa Pertama (L1 interference). Variasi lokal muncul sebagai
hasil kombinasi bentuk bahasa lokal maupun bahasa Indonesia terhadap bahasa Inggris. Lebih jauh, variasi lokal juga
mengindikasikan bentuk-bentuk bahasa Inggris yang khas ala kota Kupang. Akhirnya, variasi semiotik adalah bentuk
bahasa Inggris yang telah meninggalkan bentuk biasa dan lebih tertuju pada bentuk jadian yang lebih berorientasi
pada kesenangan atau keindahan dalam bentuk ungkapan ketimbang pesan yang mau disampaikan.
Kata kunci: Error, Variasi, Bahasa Inggris, Bemo/Angkot

INTRODUCTION
The writer’s interest to discuss the English expressions on this public transportation started two years ago
when the writer realized that there must have been something or a message lying behind all of the words,
statements, terms and prayers which written on the local public transports called bemos in Kupang. In fact,
of around 500 bemos in Kupang city (Pos Kupang,2/12/2015), almost all of them are bumpered-stickered
with either visual or written expressions (Khoiri,2012). In the writer’s observation (Akoli,2015a), the bemos
in Kupang city in some cases behave similarly like Billboard or advertising boards in which they have a
purpose to transfer a number of messages to readers, passangers and pedestrians in an artistic way even
though they are mobile. Thoroughly observing, there are a number of values which can be extracted from the
statements, sentences, phrases and words on the bemos which contain religious, social, pornographic,
aesthetic and linguistic ones.

METHODOLOGY
In order to have a robust basis for the analysis, this research employs qualitative method in which the
process of collecting the data for this study was done by taking photos and interview techniques. The
activities for taking photos and interviews were taken selectively and it depended on how important the data
are and the needs for data clarification.

19
I understand Bemo as minivans which are painted with bright colors and covered with stickers of rock stars, soccer
players and Jesus which move around Kupang city according to their routes.
579
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
In the process of analysing the data, the writer combined his interpretation with a number of related
theoretical explanations by some linguistic experts such as Barthes (1986) , Krashen (2002) and Odgen and
Richards (1989). This aims at presenting an adequate quality of data description.
The data were classified and presented according to their linguistic types and described based on the
organized types.

RESULT AND DISCUSSION


English expressions at the Kupang city’s Bemos in terms of their errors and variations, in the writer’s
perspective, can be grouped into 5 types, that is, (1) Spelling Errors, (2) Lexical Errors, (3) Grammatical
Errors, (4) Local Variation and (5) Semiotic Variation. Although Spelling Errors, Lexical Errors and
Grammatical Errors may generally be accepted as just ‘linguistic errors’ or ‘grammatical errors’, the writer
thinks that perhaps by classifying the points in detail it could assist to evaluate and present them clearly and
precisely. Otherwise, the analysis process would only touch the general surface of the ‘grammatical errors’
and lose its logical strength to carefully dig the exact situation where some particular types of errors really
exist.
Spelling Errors
(1) Simple Bat Strong Correct : Simple But Strong
In English it is a common knowledge that phoneme /a/ in the word ‘bat’ is unacceptable and should be
replaced with phoneme /u/. Although we know that the writer of this expression might not know the
exact spelling for the word ‘but’, it is clear that there is a sort of phonemically-driven adaptation which
resulted from the interfering understanding of Indonesian-based spelling that it was unlikely to have the
phoneme /u/ spelt as /a/ (Akoli,2015a).
(2) Five Sisther Correct : Five Sisters
The existence of phoneme /h/ in the middle of the word ‘sisther’, according to the informant, is
motivated by a perception that the word ‘sister’ would sound more attractive if the phoneme /h/ was
inserted in the second syllable. Thus, at the time the word was pronounced, the word ‘sisther’ will be
more appealing to pronounce rather than just ‘sister’. Furthermore, the writer of this statement did not
realise that he made a mistake when he did not put plural marker –s in the final position of the word.
Please look at ‘the grammatical errors’ section for an explanation about lack of bound morphemes which
is motivated by the role of L1 as ‘a substitute utterance initiator’ (Krashen,2002:64).
Lexical Errors
(3) I can’t sleep along anymore, need you here with me
Correct : I can’t sleep alone anymore, need you here with me
The expression above is actually a piece of lyrics from a song entitled ‘Nightmare’ which was sang by
‘The Mcauley Schenker Group’. However, it is a mistake to use the word ‘along’ as the actual one is
‘alone’. In my viewpoint, the person who put the statement on the vehicle might have been distracted by
nasalisation process that exists in the final position of the word. That is why he considers ‘alone’ as
‘along’.
(4) Don’t live me alone Correct : Don’t leave me alone
It is not suprising to see that the vehicle confidently uses the word ‘live’ instead of ‘leave’. Phonetically,
the pronunciation of ‘live’ and ‘leave’ is basically the same except for the word ‘leave’ which has longer
vowel articulation due to suprasegmental marker [ː] attached to right after the near high-near front
vowel. However, the driver of the angkot also said that the only thing he knows is the word ‘live’. He
had no idea that there is other similarly-pronounced word like ‘leave’.
Grammatical Errors
Learning the three examples below more carefully, there were three mistakes in those sentences which
primarily due to lack of bound morphemes in the final positions of verbs or nouns except for example (7).
Krashen (2002:67) argued that instead of totally blaming on the ‘first language interference’ (L1
interference) as the main cause for these mistakes, it is safe to say that the capacity of L1 in this case only
functions as a ‘substitute utterance initiator’ which usually exists anytime when a performer reveals an
expression in a target language (TL) while at the same time acquiring the TL expression either imprefectly
or weakly. As a result, the performer may substitute the expression into his/her L1 as an utterance initiator.
In the context of Kupang Malay variety as the L1 of the performers, the substitution like the
examples below appears when it is known that :

580
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14

1. The owner of the minivans might not have good English background.
2. Either the driver or the assistant to the driver might not have good English background.
3. The performer/writer of the expressions might not have good English background.
Consequently, they substitute the way English nouns and particularly verbs into the way Kupang
Malay nouns and verbs behave. In this case, due to the lack of bound morphology and the imperfect
acquisition of English, they tend to consider the expressions (5) and (6) they use as correct ones.
(5) Love need a time Correct : Love needs time
(6) Passanger love money Correct : A passanger loves money / Passangers love money
(7) God blessing you Correct : God bless you
However, the structurally-incorrect form of ‘blessing’ in the example (7) is not by virtue of lack of bound
mophemes as been exemplified above. The writer argues that the imperfection of English acquisition as well
as the lack of English knowledge are the causes for this error.
Local Variations
(8) Bahodeng is come back
A combination of local language – English expressions appeared as a Kupang Malay word was mixed
with an English verb clause ‘is come back’. The word ‘bahodeng’ for people of Kupang can be
conceived as ‘being dressy’ or ‘being swanky’. According to the grammar usage of Simple Present, it is
incorrect for an auxiliary verb ‘is’ to exist together with the verb ‘come’. Therefore, the sentence above
is not only coloured by local variation but also grammatical mistake. If we assume that ‘bahodeng’ can
stand as a noun, a good English user would say, ‘Bahodeng is back’ or ‘Bahodeng comes back’.
(9) Vafitick Community
The phrase ‘Vafitick Community’ is lexically made of a Kupang Malay word ‘Vafitick’ and an English
word ‘community’. The actual spelling of the Kupang Malay word is ‘fafitik’. ‘Fafitik’ means ‘to act as
a busy-like person’. It is spelt as ‘Vafitick’ in order to make the whole phrase English-like. Semantically,
the phrase ‘Vafitick Community’ can be understood as ‘a group of people who like to make themselves
busy or look busy so other people admire them for what they do’.
What is interesting from the phrase is when a Kupang Malay word and an English word are put
together, instead of looking like a Kupang Malay phrase, the performer maintains the English feature of the
expression, even by modifying the spelling of the word ‘Fafitik’ into ‘Vafitick’. Thus, the consequence of
putting two words, each from Kupang Malay and English is never one single sided, but two sided. On one
side, it can create errors due to L1 substitution, but on the other side, it becomes more English-like. While
‘Passanger love money’ is an example for the first side, ‘Vafitick Community’ is the perfect example of the
other side.
(10) Cewe Bluetooth
The phrase ‘Cewe Bluetooth’ consists of an Indonesian word ‘cewe’ or ‘cewek’ and an English word
‘bluetooth’. The word ‘cewek’ is a term which addresses to a young woman or a girl,
(KBBI,2012:266), while ‘bluetooth’ can be understood as ‘a way of exchanging data wirelessly over
short distance, and is an attempt to do away with your computer’s jungle of wiring’. Semantic meaning
of ‘cewe bluetooth’ is somewhat negative, if it is not pejorative. ‘Cewe Bluetooth’ means ‘a girl whose
pictures or videos can be accessed using bluetooth from a mobile phone to another mobile phone’.
Semiotic Variations
(11) X-Send
Anytime when ‘X-Send’ is pronounced, it strongly reminds the writer of an English word, ‘action’. In
fact, that is exactly the creator’s expectation toward this expression. The creation of ‘X-Send’ was
stimulated by an idea to present the word ‘action’ in a more attractive way.
Although ‘X-Send’ and ‘action’ have quite similar pronunciation, it is obvious that they are
semantically different. Semiotically, Barthes (1986:64) called this situation as ‘discontinuity’. It means that
there is no direct connection between syntagmatic unit (spoken form) and speech (meaning). Furthermore,
it is human creativity that should be responsible to link the unrelated things to get connected. In postmodern
culture, form of verbal expressions usually follows fun or pleasure (Piliang,2003:182). It is not surprising
that we like to connect things that are not linked to get related. Therefore, when ‘X-Send’ is made to
semiotically link the expression to the word ‘action’, the creator basically intends to show the pleasing side
of twisting the word ‘action’ with another form which has almost the same way of pronunciation, in this
case, ‘X-Send’.

581
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Combining Barthes’ way of thingking above with the semantic triangle proposed by Odgen and
Richard (1989:10-11), the relationship between ‘X-Send’ and ‘action’ can be visualised as follows :
‘Action’

Phonemic
Discontinuity

‘X-Send’ ‘(1). process of doing something, typically to achieve an


aim’ Semantic
(2). A way of moving’ Discontinuity
As can be seen from the semantic triangle above, there is no clear link among semantic elements,i.e.
form ‘X-send’, thought ‘action’ and referent ‘(1) process of doing something typically to achieve an aim ; (2)
a way of moving’. Therefore, the semiotic disjuncture between form ‘X-Send’ and thought ‘Action’, in the
writer’s perspective, can be called as ‘Phonological Discontinuity’, while no relationship between form ‘X-
Send and referent can be conceived as ‘Semantic Discontinuity’.
(12) No Stres No Crasy
Since one of Bob Marley’s hit songs entitled ‘No Woman No Cry’ was released, Kupang people started
to be familiar with this parallelism although there are also some similar English expressions such as No
Pain No Gain, No Money No Honey and No Ball No Life. In one of the Kupang’s public transports, the
writer found the statement ‘No Stress No Crasy’.
The semiotic relationship between ‘No Stres No Crasy’ and ‘No Woman No Cry’, lies in what we
call parody which in Kristeva’s viewpoint (Budiman,2004:86-87), can be understood as ‘Intertextuality’. In
this case, parody is a part of intertextuality20. In the writer’s viewpoint, the minivan shows ‘No Stres No
Crasy’ to parodize the semantically-related concepts of ‘being stress’ and ‘being crazy’ in the same way as
‘No Woman, No Cry’.
(13) My Trip My Tapaleuk
Similarly, ‘My Trip My Tapaleuk’ is an intertextualized form for a TV program entitled ‘My Trip My
Adventure’ which is usually broadcasted on Saturdays and Sundays at Trans TV channel. Its
merchandise in the form of T-shirts is widely-spread and popular among youngmen.
To see a connection between ‘My Trip My Adventure’ and ‘My Trip My Tapaleuk’, it is clear that
people should understand the meaning of ‘tapaleuk’ for Kupang people in order to get the humorous sense
behind the word. In fact, ‘tapaleuk’ in Kupang Malay variety means ‘to walk about or to go somewhere
without any clear purposes’. So, the significance of ‘adventure’ seems to be pejoratively changed into
‘tapaleuk’. On the other hand, the word ‘tapaleuk’ in the phrase ‘My Trip My Tapaleuk’ resulted in a
semantic situation closer to ‘trip’ rather than ‘adventure’.

CONCLUSION
After discussing the classification of English errors and variations which are found on the public transports
of Kupang city, it is necessarily stated again that there are five kinds of errors and variations of English
expressions. They are (1) Spelling Errors, (2) Lexical Errors, (3) Grammatical Errors, (4) Local Variations,
and (5) Semiotic Variations. However, of the 14 presented data, it should be acknowledged that some of the
data have overlapping characteristics in their classification. For instance, ‘Five Sisther’ is an example in
which it has two kinds of errors, that is, Spelling and Gramatical Errors. Next, the sentence ‘Bahodeng is
come back’ does not only show the feature of local variation, but also grammatical error. Furthermore, the
parallelism ‘No Stres No Crasy’ does not only exhibit the type of local variation, but also spelling error.
Also, ‘Vafitick Community’ does not only indicate the feature of local variation, but also a spelling error.
From the language acquisition perspective, it is clearly observed that the language attitude of
Kupang people toward English is highly positive. It can be found in the way they use English expressions in
public spaces regardless whether or not they are accurate. It is likely that the performers of English do not

20
Parody itself is conceived as ‘a copy or reproduction of an expression that looks somewhat different from the original
reference’, while the term ‘intertextuality’ is understood as ‘a relationship of a text to another text in which this second
text still has a quality inherited from the first one’(Budiman,2004:86-89).
582
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
really take into account the correctness of the expressions. Instead, they consider that the ability to express
something in English is correlated with intelligence, prestige and superiority.
By looking at this enthusiasm in using English and by considering the increasing numbers of local
variations of English expressions in many modes of public transportation in Kupang city, a question appears
in my mind is ‘Do these phenomena eventually lead into the emergence of a new trend in using English for
Kupang people ?’ To be quite honest, it is quite far to confidently state that people of Kupang are currently
developing a new style of English in their daily communication which can be reflected from the expressions
which are showed on the minivans. However, rest assured that Kupang people are passively innovating a
typically new style of codeswitching which is a combination of local vocabulary and English words.

BIBLIOGRAPHY
Akoli, Marcelinus Y.F. 2015. Mencermati Penggunaan Bahasa Inggris di Angkot Kupang. Sebuah Opini yang terbit
pada Harian Timor Express, 1 Juni 2015.
Barthes, Roland. 1986. Elements of Semiology. Hill and Wang, New York. A Division of Farrar, Straus and Giroux.
Budiman, Kris. 2004. Semiotika Visual. Penerbit Buku Baik & Yayasan Seni Cemeti, Yogyakarta.
Khoiri,Much. 2012. Catatan Budaya dari Kupang : Angkot Artistik Yang Gaduh. Kompasiana. Dikunjungi pada 12
Desember 2015. http://www.kompasiana.com/much-khoiri/catatan-budaya-dari-kupang-angkot-artistik-yang-
gaduh_5518af31a333117807b66703
Krashen,
Stephen D. 2002. Second Language Acquisition and Second Language Learning. (internet version). Universit
y of Southern California.
Odgen,C.K & Richards,I.A. 1989. The Meaning of Meaning : a study of the influence of language upon thought and of
the science of symbolism. Harcourt-Brace Company,Inc. New York.
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika ; Tafsir Cultural Atas Matinya Makna. Penerbit Jalasutra, Yogyakarta.
Pos Kupang. 2 Desember 2015. Dishub Kota Kupang Gandeng Undana. Versi Online dikunjungi pada 11 Desember
2015 di http://kupang.tribunnews.com/2015/12/02/dishub-kota-kupang-gandeng-undana

CURRICULUM VITAE
Complete Name : Marcelinus Yeri Fernandez Akoli
Institution : Universitas Nusa Cendana
Education : S2 Monash University
S1 Universitas Nusa Cendana
Research Interst : • Microlinguistics
• Language Acquisition, Anthropological Linguistics
• Sociolinguistics, Semiotics, Language Decumentation

583
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
DIFTONGISASI DAN ZEROISASI DALAM BAHASA MELAYU RIAU DIALEK KAMPAR

Ermawati
Universitas Islam Riau
ermawati.s@edu.uir.ac.id

ABSTRAK
Makalah ini mencoba memperlihatkan satu kajian mengenai gejala yang terjadi dalam bahasa Melayu Riau Dialek
Kampar. Gejala yang dimaksud adalah diftongisasi dan zeroisasi. Diftongisasi merupakan perubahan bunyi vokal
tunggal menjadi bunyi vokal rangkap secara berurutan sedangkan zeroisasi merupakan penghilangan bunyi fonemis
sebagai akibat upaya penghematan atau ekonomisasi. Masalah yang diangkat dalam makalah ini adalah
bagaimanakah diftongisasi dan zeroisasi yang terjadi dalam bahasa Melayu Riau dialek Kampar? Tujuan dilakukan
kajian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis diftongisasi dan zeroisasi yang terjadi dalam bahasa
Melayu Riau dialek Kampar. Kajian ini menggunakan metode deskriptif dengan beberapa tahap yang diperlukan di
antaranya adalah tahap penyediaan data, tahap analisis data dan tahap penyajian hasil analisis data. Tahap
penyediaan data merupakan tahap awal yang perlu dilakukan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam
melakukan kajian ini. Selanjutnya, dilakukan tahap kedua yakni tahap analisis data, pada tahap ini dikenali dan
diketahui mana data yang dapat dilanjutkan untuk dianalisis. Terakhir, barulah dilakukan tahap penyajian hasil
analisis data. Teori yang digunakan dan dimanfaatkan dalam kajian ini antara lain teori yang dikemukakan oleh
Muslich (2011), Chaer (2009), dan Ahmad dan Teoh Boon Seong (2006) serta beberapa teori lain yang cukup penting
dan mendukung kajian yang dilakukan. Berdasarkan analisis yang dilakukan, ditemukan beberapa diftongisasi yang
terjadi dalam bahasa Melayu Riau dialek Kampar, antara lain [au], [io], [ui], dan [uo]. Misalnya, kata pasar dalam
bahasa Indonesia mengalami diftongisasi [au], dalam bahasa Melayu Riau dialek Kampar menjadi pasau. Kata takut
dalam bahasa Indonesia mengalami diftongisasi [ui], dalam bahasa Melayu Riau dialek Kampar menjadi takuik.
Kata bilik dalam bahasa Indonesia mengalami diftongisasi [io], dalam bahasa Melayu Riau menjadi biliok. Kata jatuh
dalam bahasa Indonesia mengalami diftongisasi [uo], dalam bahasa Melayu Riau menjadi jatuo. Selanjutnya,
zeroisasi yang terjadi dalam bahasa Melayu Riau dialek Kampar antara lain aferesis hitam ---> itam, apokop gadis ---
> gadi, sinkop baru ---> baru dan proses penghilangan satu atau lebih fonem pada awal dan akhir kata sekaligus
rumah ---> uma.
Kata kunci: diftongisasi, zeroisasi,dialek Kampar

PENDAHULUAN
Bahasa merupakan satu objek yang tidak henti-hentinya dikaji dan ditelaah oleh berbagai kalangan baik
pakar bahasa (linguis), pemerhati maupun peminat bahasa itu sendiri. Hal itu penting dilakukan mengingat
bahasa memiliki sifat dinamis (berubah-ubah) dan selalu berkembang sesuai dengan perkembangan
masyarakat pemakainya. Sebagaimana dinyatakan Chaer (2012:53) “Bahasa adalah satu-satunya milik
manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu,
sebagai makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat”.
Bahasa dipandang oleh orang Melayu sebagai pancaran budi pekerti. Pandangan yang menempatkan
bahasa sejajar dengan budi pekerti menyebabkan orang Melayu memelihara bahasa demikian rupa.
Kekacauan bahasa dicemaskan akan merusak budi pekerti, yang pada muaranya merendahkan martabat
manusia. Inilah salah satu pertimbangan, mengapa para ulama dan pengarang Melayu di Riau, telah
berupaya begitu rupa membina dan memelihara bahasa Melayu, sehingga akhirnya menjadi bahasa Melayu
tinggi (Hamidy, 2012:12).
Berbicara mengenai bahasa khususnya bahasa daerah, penulis tertarik untuk memperkenalkan dan
menunjukkan keunikan yang terjadi dalam bahasa Melayu Riau dialek Kampar. Riau sebagai tonggak
lahirnya bahasa Indonesia (awalnya dikenal dengan nama bahasa Melayu21) memiliki dialek yang khas dan
ciri khusus yang membedakannya dengan dialek lainnya yang ada di Indonesia. Seperti yang ditegaskan oleh
Hamidy (2010:119) “Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu yang tidak dapat dipungkiri lagi. Hal ini
disepakati dalam kongres bahasa Indonesia di Medan tahun 1954”. Sebagaimana telah dikemukakan
sebelumnya, yang menjadi perhatian penulis kali ini adalah gejala dan fenomena yang terdapat dalam bahasa
Melayu Riau dialek Kampar. Dialek Kampar merupakan salah satu dialek yang terdapat di Riau, lebih
tepatnya dialek ini terdapat di salah satu kabupaten di Riau yakni di Kabupaten Kampar. Salah satu dari
banyak hal yang menjadi ciri khas dialek ini adalah dari segi bunyi bahasa. Kabupaten Kampar merupakan
salah satu kabupaten di Provinsi Riau, Indonesia. Di samping julukan Bumi Sarimadu, Kabupaten Kampar

21
Sesuai kesepakatan rakyat Indonesia kala itu bahasa Melayu (Riau) diubah menjadi bahasa Indonesia, untuk
menghindari adanya unsur kedaerahan yang melekat pada kata Melayu tersebut.
584
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
yang beribukota di Bangkinang ini juga dikenal dengan julukan Serambi Mekah di Provinsi Riau.
https://id.wikipedia.org/wiki/kabupaten_Kampar.

TEORI & METODOLOGI


Fonologi merupakan satu bidang linguistik yang fokus kajiannya terhadap bunyi suatu bahasa. Menurut
Chaer (2009:1) “Fonologi lazim diartikan sebagai bagian dari kajian linguistik yang mempelajari, membahas,
membicarakan dan menganalisis bunyi-bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat-alat ucap manusia”.
Selanjutnya, Muslich (2011:1) menegaskan bahwa “Kajian mendalam tentang bunyi-bunyi ujar ini diselidiki
oleh cabang linguistik yang disebut fonologi”. Ketika melakukan analisis fonologi kita dihadapkan dengan
pilihan tentang cara memerikan suatu fenomena (Ahmad dan Teoh Boon Seong, 2006:8).
Muslich (2011:125) menyebutkan diftongisasi adalah perubahan bunyi vokal tunggal (monoftong)
menjadi dua bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong) secara berurutan. Perubahan dari vokal tunggal ke
vokal rangkap ini masih diucapkan dalam satu puncak kenyaringan sehingga tetap dalam satu silaba.
Kata anggota [anggota] diucapkan [aηgauta], sentosa [səntosa] diucapkan [səntausa]. Perubahan ini
terjadi pada bunyi vokal tunggal [o] ke vokal rangkap [au], tetapi tetap dalam pengucapan satu bunyi puncak.
Hal ini terjadi karena adanya upaya analogi penutur dalam rangka pemurnian bunyi pada kata tersebut.
Bahkan, dalam penulisannya pun disesuaikan dengan ucapannya, yaitu anggauta dan sentausa.
Contoh lain : teladan [teladan] menjadi tauladan [tauladan] vokal [e] menjadi [au ]
topan [tOpan] menjadi taufan [taufan] vokal [O] menjadi [au].
Selain itu, Muslich (2011:123-124) juga menyatakan zeroisasi adalah penghilangan bunyi fonemis
sebagai akibat upaya penghematan atau ekonomisasi pengucapan. Peristiwa ini biasa terjadi pada penuturan
bahasa-bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia, asal saja tidak mengganggu proses dan tujuan
komunikasi. Peristiwa ini terus berkembang karena secara diam-diam telah didukung dan disepakati oleh
penuturnya.
Dalam bahasa Indonesia sering dijumpai pemakaian kata tak atau ndak untuk tidak, tiada untuk
tidak ada, gimana untuk bagaimana, tapi untuk tetapi. Padahal, penghilangan beberapa fonem tersebut
dianggap tidak baku oleh tatabahasa baku bahasa Indonesia. Tetapi, karena demi kemudahan dan kehematan,
gejala itu terus berlangsung.
Dalam bahasa Inggris, zeroisasi ini sudah merupakan pola sehingga ‘bernilai sama’ dengan struktur
lengkapnya. Misalnya:
shall not disingkat shan’t
will not disingkat won’t
is not disingkat isn’t
are not disingkat aren’t
it is atau it has disingkat it’s
Zeroisasi dengan model penyingkatan ini biasa disebut kontraksi.
Apabila diklasifikasikan, zeroisasi ini paling tidak ada tiga jenis, yaitu aferesis, apokop, dan sinkop.
1. Aferesis adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada awal kata. Misalnya:
tetapi menjadi tapi
peperment menjadi permen
upawasa menjadi puasa
2. Apokop adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada akhir kata. Misalnya:
president menjadi presiden
pelangit menjadi pelangi
3. Sinkop adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada tengah kata. Misalnya:
baharu menjadi baru
dahulu menjadi dulu
utpatti menjadi upeti
Kajian ini menggunakan metode deskriptif. Menurut Ismawati (2012:29) “Penelitian yang bersifat
deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok
tertentu…”. Lebih lanjut, Iskandar (2008:102) menyatakan “Metode deskriptif digunakan untuk membantu
peneliti mendeskripsikan ciri-ciri variabel yang diteliti atau merangkum hasil penelitian yang dilakukan…”.
Selain itu, kajian ini disesuaikan dengan pandangan Mahsun (2007:141) mengenai syarat-syarat informan.
Selanjutnya, dilakukan dengan beberapa tahap di antaranya adalah tahap penyediaan data, tahap analisis
data dan tahap penyajian hasil analisis data. Tahap penyediaan data merupakan tahap awal yang perlu
dilakukan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam melakukan kajian ini. Selanjutnya, dilakukan
tahap kedua yakni tahap analisis data, pada tahap ini dikenali dan diketahui data mana yang dilanjutkan
untuk dianalisis. Terakhir, barulah dilakukan tahap penyajian hasil analisis data.
585
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
RUMUSAN MASALAH
Masalah yang diangkat dalam kajian ini adalah:
1. Bagaimanakah diftongisasi yang terjadi dalam bahasa Melayu Riau dialek Kampar?
2. Bagaiamanakah zeroisasi yang terjadi dalam bahasa Melayu Riau dialek Kampar?
Tujuan
Tujuan dilakukan kajian ini adalah:
1. Mengetahui dan menganalisis diftongisasi yang terjadi dalam bahasa Melayu Riau dialek Kampar.
2. Mengetahui dan menganalisis zeroisasi yang terjadi dalam bahasa Melayu Riau dialek Kampar.

TEMUAN DAN PEMBAHASAN


Berikut temuan (data) yang mengalami diftongisasi dan zeroisasi dalam bahasa Melayu Riau dialek Kampar.
No. Bahasa Melayu Riau Bahasa Indonesia No. Bahasa Melayu Riau Bahasa Indonesia
Dialek Kampar Dialek Kampar
1 abi ‘habis' 19 ijau ‘hijau’
2 adiok ‘adik’ 20 itam ‘hitam’
3 alio ‘alih’ 21 jatuo ‘jatuh’
4 antau ‘hantar’ 22 jopuik ‘jemput’
5 ambiok ‘ambil’ 23 kojo ‘kerja’
6 antu ‘hantu’ 24 kudi ‘kudis’
7 antau ‘hantar’ 25 lumpu ‘lumpur’
8 anyuik ‘hanyut’ 26 mani ‘manis’
9 bau ‘baru’ 27 pagau ‘pagar’
10 batiok ‘batik’ 28 pasau ‘pasar’
11 biliok ‘bilik’ 29 putio ‘putih’
12 cakau ‘cakar’ 30 sambuik ‘sambut’
13 campu ‘campur’ 31 sobuik ‘sebut’
14 cito ‘cerita’ 32 sotu ‘sabtu’
15 dapu ‘dapur’ 33 subuo ‘subuh’
16 datau ‘datar’ 34 tabu ‘tabur’
17 gadi ‘gadis’ 35 ujan ‘hujan’
18 gomuok ‘gemuk’ 36 uma ‘rumah’
Sumber: informan setempat
Diftongisasi merupakan satu proses perubahan bunyi yang terjadi dalam bahasa Melayu Riau dialek
Kampar. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, diftongisasi adalah perubahan bunyi vokal tunggal
(monoftong) menjadi dua bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong) secara berurutan. Perubahan dari vokal
tunggal ke vokal rangkap ini masih diucapkan dalam satu puncak kenyaringan sehingga tetap dalam satu
silaba. Data yang termasuk ke dalam diftongisasi dalam bahasa Melayu Riau dialek Kampar antara lain data
2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 11, 12, 13, 16, 18, 21, 22, 23, 27, 28, 29, 30, 31, dan 33.
Berdasarkan data yang diperlihatkan dalam tabel di atas, 21 di antaranya termasuk ke dalam
diftongisasi yang terjadi dalam bahasa Melayu Riau dialek Kampar yang terbagi atas beberapa diftong
antara lain [au], [io], [ui], dan [uo]. Kata-kata yang berakhir dengan bunyi [r] dan berada satu silaba dengan
bunyi [a] dalam bahasa Melayu Riau dialek Kampar akan mengalami diftongisasi atau perubahan bunyi
menjadi [au] untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada antau ‘hantar’, cakau ‘cakar’, datau ‘datar’, pagau
‘pagar’, pasau ‘pasar’ dan tampau ‘tampar’. Berdasarkan data yang diperlihatkan dapat penulis jelaskan
bahwa diftongisasi [au] akan terjadi apabila kata-kata yang berakhir dengan bunyi [r] dan berada satu silaba
dengan bunyi [a]. Misalnya, bunyi [r] pada hantar, cakar, datar, pagar, pasar dan tampar dalam bahasa
Indonesia berubah menjadi diftong [au] jika bunyi [r] tersebut berada sesudah bunyi [a] dalam bahasa
Melayu Riau dialek Kampar sehingga terbentuklah antau, cakau, datau, pagau, pasau dan tampau. Apabila
dikaitkan dengan tingkat sonoritasnya, maka diftongisasi itu termasuk diftong menurun (falling diphthong)
yakni diftong yang ketika perangkapan bunyi vokoid itu diucapkan, vokoid pertama bersonoritas, sedangkan
vokoid kedua kurang bersonoritas bahkan mengarah ke bunyi nonvokoid.
Fenomena lain diftongisasi yang terlihat dalam bahasa Melayu Riau dialek Kampar yakni apabila
kata-kata yang berakhir dengan bunyi [h], [k] dan [l] yang berada satu silaba dengan bunyi [i] maka
terjadilah diftongisasi [io]. Seperti yang dapat dilihat dalam adiok ‘adik’, alio ‘alih’, ambiok ‘ambil’, batiok
‘batik’, biliok ‘bilik’ putio ‘putih’ . Terjadinya diftong [io] juga tidak terlepas dari pengaruh fonem tertentu
yang berada satu silaba dengannya seperti bunyi [h], [k] dan [l]. Misalnya, bunyi [h], [k] dan [l] pada adik,

586
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
alih, ambil, batik, bilik dan putih dalam bahasa Indonesia mengalami diftongisasi [io] jika bunyi [h], [k] dan
[l] tersebut berada sebelum bunyi [i] dan masih lagi dalam satu satu silaba sehingga terbentuklah adiok, alio,
ambiok, batiok, biliok dan putio. Jika dikaitkan dengan sonoritasnya, maka diftong yang terjadi tersebut
termasuk diftong menurun (falling diphtong) yakni diftong yang ketika perangkapan bunyi vokoid itu
diucapkan, vokoid pertama bersonoritas, sedangkan vokoid kedua kurang bersonoritas bahkan mengarah ke
bunyi nonvokoid.
Dalam bahasa Melayu Riau dialek Kampar, kata-kata yang berakhir dengan bunyi [t] dan berada
satu silaba dengan bunyi [u] akan mengalami diftongisasi [ui] seperti yang tampak pada jopuik ‘jemput’,
umpuik ‘rumput’ sobuik ‘sebut’ dan takuik ‘takut’. Sama halnya dengan apa yang berlaku dengan diftong
[au], terjadinya diftong [ui] juga tidak terlepas dari pengaruh fonem tertentu yang berada satu silaba
dengannya yakni bunyi [u]. Misalnya, bunyi [t] pada jemput, rumput, sebut, dan takut dalam bahasa
Indonesia berubah menjadi diftong [ui] jika bunyi [t] tersebut berada sebelum bunyi [u] dalam bahasa
Melayu Riau dialek Kampar sehingga terbentuklah jopuik, umpuik, sobuik, dan takuik. Jika dikaitkan dengan
sonoritasnya, maka diftong yang terjadi tersebut termasuk diftong menaik (rising diphthong) yakni diftong
yang ketika perangkapan bunyi vokoid itu diucapkan, vokoid pertama kurang atau menurut sonoritasnya,
sedangkan vokoid kedua menguat sonoritasnya.
Selanjutnya, gejala diftongisasi dapat juga ditemukan pada kata-kata yang berakhir dengan bunyi [h]
dan [k] yang berada dalam satu silaba dengan bunyi [u] maka terjadilah diftongisasi [uo] seperti yang
tampak pada gomuok ‘gemuk’, jatuo ‘jatuh’ dan subuo ‘subuh’. Artinya, diftong yang terjadi tersebut
termasuk diftong menurun (falling diphtong) yakni diftong yang ketika perangkapan bunyi vokoid itu
diucapkan, vokoid pertama bersonoritas, sedangkan vokoid kedua kurang bersonoritas bahkan mengarah ke
bunyi nonvokoid.
Proses lain yang juga ditemukan dalam bahasa Melayu Riau dialek Kampar adalah zeroisasi.
Zeroisasi merupakan penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya penghematan atau ekonomisasi
pengucapan. Berdasarkan tabel yang sudah diperlihatkan, yang tergolong dalam zeroisasi antara lain data 1,
6, 9, 14, 15, 17, 19, 20, 23, 24, 26, 32, 34, 35, dan 36. Zeroisasi yang terjadi dalam bahasa Melayu Riau
dialek Kampar antara lain aferesis yakni proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada
awal kata misalnya bunyi [h] dalam bahasa Indonesia mengalami aferesis dalam bahasa Melayu Riau dialek
Kampar antu ‘hantu’, anyuik ‘hanyut’, ijau ‘hijau’, itam ‘hitam’, dan ujan ‘hujan’. Tiap kata yang diawali
dengan bunyi [h] dan diikuti bunyi [a] dan [i] akan mengalami aferesis. Artinya, bunyi [h] akan digugurkan
atau dihilangkan. Misalnya, hanyut ---> anyuik, hijau ---> ijau, hitam ---> itam, dan hujan ---> ujan.
Selain itu, proses lain yang termasuk bagian dari zeroisasi yang juga terjadi dalam bahasa Melayu Riau
dialek Kampar adalah apokop yakni proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada akhir
kata misalnya bunyi [s] yang berada satu silaba dengan bunyi [i] dalam bahasa Indonesia akan mengalami
apokop dalam bahasa Melayu Riau dialek Kampar seperti yang tampak pada gadis ---> gadi, kudis ---> kudi,
dan manis ---> mani. Begitu juga, apabila bunyi [r] yang berada satu silaba dengan bunyi [u] akan mengalami
apokop misalnya campur ---> campu, dapur ---> dapu, lumpur --->lumpu dan tabur ---> tabu.
Zeroisasi lain yang juga terjadi dalam bahasa Melayu Riau dialek Kampar adalah sinkop yakni
proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada tengah kata. Misalnya, kata baru, cerita,
kerja dan Sabtu dalam bahasa Indonesia sudah mengalami sinkop dalam bahasa Melayu Riau dialek Kampar.
Bunyi [r] pada kata baru dalam bahasa Indonesia sudah mengalami sinkop dalam bahasa Melayu Riau
dialek Kampar menjadi bau. Begitu juga halnya yang terjadi pada cerita ---> cito, kerja ---> kojo, dan sabtu
---> sotu.
Terakhir, proses penghilangan satu atau lebih fonem pada awal dan akhir kata sekaligus, juga
ditemukan dalam bahasa Melayu Riau dialek Kampar misalnya bunyi [h] di awal kata dan bunyi [s] di akhir
kata akan dihilangkan, habis dalam bahasa Indonesia menjadi abi dalam bahasa Melayu Riau dialek
Kampar misalnya habis ---> abi. Contoh lain, bunyi [r] di awal dan bunyi [h] di akhir kata rumah dalam
bahasa Indonesia juga mengalami zeroisasi menjadi uma dalam bahasa Melayu Riau dialek Kampar
misalnya rumah ---> uma.

KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa diftongisasi yang terjadi dalam bahasa
Melayu Riau dialek Kampar terbagi atas empat diftong yakni [au], [io], [ui], dan [uo]. Misalnya, [au] pada
pasau ‘pasar’, [io] pada biliok ‘bilik’, [ui] pada jopuik ‘jemput’ dan [uo] pada jatuo ‘jatuh’. Selanjutnya,
zeroisasi yang terjadi dalam bahasa Melayu Riau dialek Kampar antara lain aferesis hitam ---> itam, apokop
gadis ---> gadi, sinkop baru ---> baru dan proses penghilangan satu atau lebih fonem pada awal dan akhir
kata sekaligus rumah ---> uma.

587
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
https://id.wikipedia.org/wiki/kabupaten_Kampar diakses 12 Maret 2016.
Iskandar. 2008. Metode Penelitian Pendidikan dan Sosial (Kualitatif dan Kuantitatif). Jakarta: Gaung Persada Press.
Ismawati, Esti. 2012. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa dan Sastra.
Mahsun, M.S. 2007. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Muslich, Masnur. 2011. Fonologi Bahasa Indonesia: Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia.
Jakarta:Bumi Aksara.
Hamidy, UU. 2012. Jagad Melayu dalam Lintasan Budaya di Riau. Pekanbaru:Bilik Kreatif.
Ahmad, Zaharani dan Teoh Boon Seong. 2006. Fonologi Autosegmental : Penerapannya pada Bahasa Melayu. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Ermawati S.
Institusi : Universitas Islam Riau
Riwayat Pendidikan : S2 Linguistik Universiti Kebangsaan Malaysia
S1 Pendidikan Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia Universitas Riau
Minat Penelitian : • Sintaksis
• Fonologi
• Morfologi

588
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
BENTUK SAPAAN KEKERABATAN DALAM BAHASA RAWAS DI KECAMATAN RAWAS ILIR
DESA TANJUNG RAJA

Sastika Seli, Dewi Syafitri


STKIP-PGRI Lubuklinggau
rshellee@yahoo.com; dewistkipllg@gmail.com

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya tentang struktur bahasa Rawas, peneliti
tertarik untuk meneliti penggunaan bahasa Rawas dari segi sapaan kekerabatannya. Penelitian ini bertujuan
untuk mendeskripsikan kaidah dan bentuk sapaan kekerabatan dalam bahasa Rawas yang digunakan oleh
masyarakat desa Tanjung Raja Kecamatan Rawas Ilir, kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. Teknik
pengumpulan data menggunakan teknik rekam, teknik wawancara dan teknik sadap-catat untuk memperoleh
keabsahan data. Data diperoleh langsung dari informan yang berada di desa Tanjung raja yang merupakan
penutur asli bahasa Rawas untuk mengetahui kaidah-kaidah serta bentuk-bentuk sapaan kekerabatan yang
digunakan dalam bahasa Rawas di desa Tanjung Raja. Pada tahap analisis dilakukan penyimakan, klasifikasi
dan deskripsi data berdasarkan kaidah-kaidah dan bentuk-bentuknya. Klasifikasi sapaan berdasarkan kaidah-
kaidah sapaan kekerabatan bahasa Rawas di desa Tanjung Raja meliputi kaidah alternasi berdasarkan ciri-
ciri orang yang disapa, kaidah kookurensi berdasarkan penggunaan kata tertentu, dan kaidah sekuensi
berdasarkan unsur pembentuk sapaan. Berdasarkan bentuknya, penggunaan sapaan berdasarkan garis
keturunan dan perkawinan berlaku pada garis horizontal dan vertical. Namun, sapaan dalam garis keturunan
lebih beragam dibandingkan sapaan berdasarkan tali perkawinan. Sapaan berdasarkan tali perkawinan yang
digunakan sama saja dengan bentuk sapaan umum yang digunakan di desa tersebut. Beberapa sapaan yang
digunakan mengandung pemarka gender untuk mengindikasikan jenis kelamin yang berbeda dikarenakan
bentuk kata dasar sapaan yang digunakan sama. Hal yang dianggap unik dalam bentuk sapaan bahasa Rawas
di desa Tanjung Raja ini adalah adanya bentuk sapaan berdasarkan ciri fisik seseorang ketika menyebut adik
atau kakak dari ayah ego. Sebagai contoh, urutan saudara serta ciri fisik dapat berupa ciri seperti tinggi
badan, warna kulit, atau berat badan. Berdasarkan analisis kaidah, ditemukan bahwa penggunaan sapaan
kekerabatan mempertimbangkan perbedaan jenis kelamin, ciri fisik dan juga kesopanan (politeness).
Masing-masing bentuk harus digunakan dengan semestinya agar tidak melanggar norma kesopanan.
Penelitian ini diharapkan dapat menarik minat peneliti lain untuk meneliti bahasa yang ada di daerah
terutama wilayah kabupaten Musi Rawas dan sekitarnya yang tercatat sebagai daerah tertinggal.
Keywords: Sapaan, Kekerabatan, Kaidah Sapaan, Bentuk Sapaan, Sosiolinguistik

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Sastika Seli Dewi Syafitri
Institusi : STKIP PGRI Lubuk Linggau STKIP PGRI Lubuk Linggau
Riwayat Pendidikan : S2 Universitas Gadjah Mada S2 Universitas Sriwijaya
S1 Universitas Ahmad Dahlan S1 Universitas Jambi
Minat Penelitian : • Sosiolinguitik • EYL
• Psikolinguistik • Language Teaching Based on ICT

589
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
ANALISIS PERCAKAPAN TERHADAP WAWANCARA ANTARA OPRAH WINFREY, BARACK
OBAMA, DAN MICHELLE OBAMA DALAM ACARA THE OPRAH WINFREY SHOW

Khusnul Khatimah
STKIP Taman Siswa Bima
khatimah19@gmail.com

ABSTRAK
Karya ini berjudul Analisis Percakapan terhadap Wawancara antara Oprah Winfrey, Barack Obama, dan Michelle
Obama dalam Acara The Oprah Winfrey Show. Terdapat tiga tujuan dalam penelitian ini, yaitu pertama,
mendeskripsikan struktur percakapan dalam wawancara antara Oprah Winfrey, Barack Obama, dan Michelle Obama
di dalam acara The Oprah Winfrey Show (TOWS). Kedua, mendeskripsikan pelanggaran prinsip kerjasama serta
implikaturnya pada percakapan yang dilakukan oleh Oprah Winfrey, Barack Obama, dan Michelle Obama dalam
acara TOWS. Ketiga, mendeskripsikan fenomena-fenomena yang tampak dalam percakapan sebagai pengaruh dari
sosial budaya para partisipan percakapan. Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mencatat tuturan-tuturan
dalam percakapan. Guna mendapatkan catatan percakapan secara lengkap, teknik rekam juga turut digunakan. Oleh
karena itu, data dalam penelitian ini terdiri dari rekaman percakapan dan transkripsi percakapan alami yang terjadi
dalam acara TOWS. Dari rekaman dan transkripsi tersebut yang akan dianalisis tidak hanya dari sisi bentuk ujaran
yang dihasilkan oleh para peserta percakapan, tetapi juga hal-hal lain terkait sosial budaya yang mempengaruhi
ujaran-ujaran yang dihasilkan. Setelah dilakukan analisis, ditemukan beberapa hal terkait struktur percakapan,
implikatur pelanggaran maksim, dan dimensi sosial budaya. Pertama, rangkaian pembuka dan penutup percakapan
ditemukan lebih dari satu. Hal tersebut merupakan akibat dari adanya jeda iklan komersil dan sekaligus merupakan
kekhasan dari percakapan yang disiarkan melalui media televisi. Kedua, ditemukan juga bahwa tumpang tindih dalam
percakapan yang melibatkan lebih dari dua partisipan dapat diminimalisir oleh topik pembicaraan yang berhubungan
dengan partisipan. Ketiga, implikatur pelanggaran prinsip kerja sama tidak hanya ditemukan dalam bentuk sopan
santun dan humor, tetapi juga dilakukan penutur untuk memberi penjelasan, memperhalus tuturan kepada lawan tutur,
serta membantah dan melakukan sindiran terhadap pihak ketiga, yaitu pihak yang tidak terlibat langsung dalam
percakapan. Keempat, peristiwa percakapan tidak lepas dari pengaruh sosial budaya, satu di antaranya, yaitu
pandangan terhadap pujian. Dari analisis yang dilakukan, ditemukan bahwa orang Amerika menggunakan pujian
sebagai sarana untuk menyenangkan hati orang yang dipuji, sehingga siapapun dapat memberi pujian kepada siapa
saja tanpa melihat status sosialnya.
Kata kunci: analisis percakapan, The Oprah Winfrey Show, implikatur pelanggaran prinsip kerja sama,
sosiolinguistik, pragmatik

PENDAHULUAN
Struktur percakapan, pelanggaran prinsip kerjasama dan implikaturnya, serta latar belakang sosial budaya
yang mempengaruhi bentuk percakapan ditemukan pada acara The Oprah Winfrey Show (TOWS). TOWS
merupakan sebuah program talkshow yang ditayangkan melalui televisi di Amerika Serikat. Sebagaimana
judulnya, TOWS dipandu oleh seorang perempuan yang berasal dari ras kulit hitam bernama Oprah Winfrey.
Acara ini menghadirkan bintang tamu dari berbagai kalangan dalam setiap episodenya. Bintang tamu yang
pernah dihadirkan antara lain adalah Presiden Amerika Barack Obama dan istrinya Michelle Obama.
Episode yang menghadirkan Barack Obama dan Michelle Obama inilah yang akan menjadi objek dalam
penelitian ini.
Terdapat tiga permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini. Tiga permasalahan tersebut adalah 1)
struktur percakapan yang terdapat dalam percakapan, 2) pelanggaran atas prinsip kerjasama serta
implikaturnya pada percakapan 3) fenomena-fenomena yang tampak dalam percakapan sebagai pengaruh
dari sosial budaya para partisipan percakapan.

STRUKTUR PERCAKAPAN
Giliran Bicara
Pengambilan Giliran Bicara
Terdapat tiga strategi dalam pengambilan giliran bicara; memulai (starting up), mengambil alih (taking
over), dan menyela (interrupting) (Stenstrom, 1994:69).Dalam data percakapan ditemukan bahwa ketiga
strategi pengambilan giliran bicara tersebut digunakan oleh para partisipan. Berikut ini adalah contoh yang
ditemukan dalam pada beberapa petikan percakapan dalam acara TOWS;
1. Oprah melakukan sebuah usaha untuk membuka percakapan dengan menggunakan salam. Salam
tersebut ia tujukan kepada bintang tamu yang hadir pada saat itu sebagai sebuah sambutan. Hal ini

590
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
sangat wajar ia lakukan mengingat bahwa posisi Oprah dalam acara ini adalah sebagai tuan rumah.
Kemudian, tuturan tersebut dibalas oleh Obama dan Michelle dengan ungkapan salam juga. Usai
membalas salam, Obama kembali mengambil giliran bicara dengan menyatakan perasaan bahagianya
karena bisa hadir dalam acara tersebut.
2. Oprah sebagai partisipan yang sedang berbicara memberikan tanda bahwa tuturannya akan segera
berakhir dengan menaikkan intonasi tuturannya yang merupakan kalimat tanya. Menaikkan intonasi
nada di akhir tuturan merupakan salah satu cara yang digunakan penutur untuk menandakan bahwa
giliran bicaranya akan selesai.Selanjutnya, Obama segera mengambil alih giliran bicara dengan langsung
mengeluarkan tuturan yang menjadi jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan Oprah.
3. Oprah melakukan interupsi, yaitu dengan langsung menyela tuturan Obama yang semestinya belum
tuntas.
Penangguhan Giliran Bicara
Stenstrom menjelaskan bahwa terdapat empat strategi untuk menangguhkan giliran bicara, yang keempat-
empatnya juga tampak digunakan oleh para partisipan percakapan dalam TOWS. Pertama berupa pemberian
jeda di tempat yang strategis secara sintaktis dan semantis, sehingga partisipan lain dapat memahami bahwa
jeda tersebut bukan merupakan akhir tuturan. Kedua, strategi tersebut berupa jeda yang diiringi bunyi-bunyi
tertentu, misalnya a::, ə:m, dan sebagainya.
Pada suatu petikan percakapan tampak banyak sekali jeda-jeda pada tuturan Obama yang merupakan
tanggapan atas pertanyaan Oprah. Jika diamati, jeda pada tuturan Obama terdapat pada tempat yang
bervariasi, misalnya jeda yang terdapat setelah menuturkan subyek kalimat. Jeda juga ditemukan pada
tuturan yang berbentuk klausa. Tampaknya, jeda yang banyak terdapat pada tuturan Obama ini dapat
dipahami oleh partisipan lain sehingga mereka tetap menunggu hingga tuturan Obama tuntas dengan tidak
membuat usaha untuk mengambil giliran bicara. Selain jeda, Obama juga menggunakan cara lain untuk
menangguhkan giliran bicaranya, yakni dengan memanjangkan pelafalan bunyi vokal di akhir tuturan,
misalnya berupa bunyi vokal “a::”. Cara-cara tersebut tidak lain digunakan Obama sebagai pemberitahuan
dan seruan kepada partisipan lain bahwa ia sedang merencanakan suatu tuturan dan giliran bicara masih
miliknya . Dengan kata lain, secara tersirat ia mengatakan bahwa “harap tunggu sebentar karena saya masih
ingin bicara, jadi tolong dengarkan.”
Ketiga, tindakan menangguhkan giliran bicara juga terwujud dalam bentuk pengulangan unsur
leksikal tertentu. Obama melakukan beberapa pengulangan pada kata dan klausa. Pengulangan tersebut
terjadi pada kata yang digarisbawahi dalam contoh, yaitu it, the, so, or, and dan pada klausa when I was.
Seperti yang telah dijelaskan, fenomena ini juga menunjukkan bahwa penutur memerlukan waktu sejenak
untuk menyusun tuturannya.
Untuk menyiasati tuturan yang belum usai, cara keempat yang dapat dilakukan adalah dengan segera
membuat tuturan baru. Cara ini merupakan alternatif lain untuk menangguhkan giliran bicara, seperti pada
suatu percakapan berikut; di tengah menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Oprah, Obama tampak
mengubah apa yang ingin ia katakan. Di awal tuturannya, ia mencoba memberi penekanan terhadap
jawabannya, yaitu dengan mengungkapkan “Well, keep in…” yang tidak ia lanjutkan dengan kata “mind”
yang pada umumnya menjadi lanjutan dari ujaran tersebut. Tampaknya, Obama menyadari bahwa ungkapan
“keep in mind” merupakan ungkapan yang mengandung peringatan dan kurang sopan jika digunakan dalam
konteks ini. Menyadari hal tersebut, tuturannya menjadi tersendat lalu ia segera berpikir untuk mengganti
ungkapan yang lebih pantas digunakan. Akhirnya Obama memulai tuturan baru dengan mengungkapkan
“Oprah, I've got to tell you” yang maknanya kurang lebih sama dengan tuturan sebelumnya, tetapi terasa
lebih halus.
Penyerahan Giliran Bicara
Partisipan yang sedang berbicara akan menyerahkan giliran bicara kepada partisipan lain ketika ia merasa
bahwa pesan yang ingin disampaikan telah tuntas dan tidak ada lagi yang ingin ia utarakan. Dalam
percakapan TOWS, ditemukan dua strategi peyerahan giliran bicara, yaitu pertama, partisipan yang sedang
berbicara menuturkan tuturan yang memaksa interlokutor untuk segera memberi tanggapan atas tuturan
tersebut.
Kedua, partisipan yang sedang berbicara menyerahkan giliran bicara dengan cara membuat tuturan
yang menarik interlokutor untuk sesegera mungkin memberi tanggapan setelahnya. Strategi ini biasanya
menggunakan kata-kata seperti, right, okey, you know atau bentuk-bentuk question tags untuk menandakan
bahwa partisipan yang sedang berbicara mengundang partisipan lain untuk berbicara (Stenstrom, 1994:79).

591
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Pasangan Berdampingan
Dalam peristiwa percakapan pasti akan selalu ada bentuk pasangan berdampingan karena percakapan
merupakan hal yang dilakukan secara minimal dua arah, sehingga setiap kali ada tuturan, lazimnya akan
diikuti oleh respon mitra tutur. Adapun dalam acara TOWS, ditemukan lima pasangan berdampingan, yaitu
berupa pasangan berdampingan salam – salam, pertanyaan – jawaban, pujian – penerimaan, permintaan
maaf - penerimaan, dan terima kasih – penerimaan. Sebagai akibat dari bentuk percakapan yang berupa
wawancara, pasangan perdampingan yang paling banyak ditemukan adalah berupa pertanyaan – jawaban.
Rangkaian Percakapan
Rangkaian Pembuka
Saat melakukan pembukaan, Oprah sebagai pemandu cara membuka acara tersebut dengan cara bermonolog
yang bertujuan untuk berkomunikasi dengan penonton di studio dan pemirsa yang menonton melalui
televisi. Peristiwa ini merupakan salah satu ciri khas dari acara talk show yang ditayangkan melalui media
televisi.
Setelah menyapa penonton di studio dan pemirsa di rumah melalui monolog, tibalah saatnya Oprah
memanggil kedua tamunya pada episode tersebut. Kemudian, Oprah menyambut tamunya dengan
mengungkapkan salam yang membentuk pasangan berdampingan salam-salam berkat respon dari kedua
tamunya tersebut.
Setelah rangkaian pembuka, percakapan masuk ke dalam inti percakapan.Bagian inti dalam
percakapan terdiri dari topik, yaitu sesuatu yang dibicarakan oleh para partisipan (Stenstrom, 1994:150).
Lebih lanjut Stenstrom menjelaskan bahwa beberapa jenis percakapan hanya mengandung satu topik, tetapi
umumnya percakapan terdiri dari beberapa topik.Adapun TOWS merupakan percakapan yang terdiri dari
beberapa topik.Dalam episode yang melibatkan Oprah, Obama, dan Michelle ini, topik-topik tersebut adalah
seputar tugas kepresidenan, kehidupan pribadi dan keluarga, serta terkait isu-isu mengenai dirinya menjelang
pemilihan presiden periode selanjutnya.
Percakapan yang berlangsung dalam acara TOWS terbagi ke dalam segmen-segmen yang dipisahkan
oleh jeda iklan komersial. Dampaknya, ketika suatu segmen akan di mulai, Oprah kembali memulai
tuturannya dengan rangkaian pembuka sebelum masuk ke inti percakapan
Rangkaian Penutup
Sebelum masuk pada rangkaian akhir percakapan, ditemukan adanya rangkaian penutup sementara, yaitu
tuturan penutup yang bersifat sementara untuk menandakan bahwa percakapan pada sebuah segmen akan
selesai. Bentuk ini muncul karena TOWS merupakan acara yang ditayangkan di televisi, acara ini terbagai ke
dalam beberapa segmen dan segmen tersebut dipisahkan oleh pesan komersial (iklan). Dampaknya, setiap
kali suatu segmen akan berakhir, Oprah selalu menuturkan tuturan penutup tersebut.
Di akhir acara, Oprah mengucapkan terima kasih kepada sahabat-sahabatnya yang telah memberikan
testimoni mengenai dirinya di dalam video yang ditayangkan sebelumnya. Kemudian, Oprah juga
mengucapkan rasa terima kasih kepada Obama dan Michelle atas kesediaannya untuk datang sebagai
bintang tamu pada episode tersebut. Obama pun menanggapi ucapan terima kasih itu dengan memberikan
pujian dan menyatakan bahwa dirinya dan Michelle bersyukur memiliki sahabat seperti Oprah. Ketiga
partisipan saling mengucapkan rasa terima kasih dan tidak lupa Oprah juga menyampaikan terima kasih dan
salam perpisahan kepada penonton di studio serta pemirsa di rumah. Dengan demikian, berakhirlah
rangkaian acara TOWS pada hari itu.

PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA DAN IMPLIKATUR


Pelanggaran Maksim Kuantitas
Penutur dikatakan melanggar maksim kuantitas ketika ia memberikan informasi yang terlalu banyak atau
terlalu sedikit dari yang dibutukan. Dalam percakapan di acara TOWS ditemukan adanya pelanggaran
maksim kuantitas. Dua di antaranya dilakukan oleh dua partisipan, yakni Michelle dan Obama. Pada suatu
petikan percakapan, Michelle mengeluarkan tuturan meskipun ia tidak diminta untuk itu. Tindakan tersebut
ia lakukan untuk menyindir pihak yang telah meragukan kewarganegaraan Obama. Dari interpretasi ini,
maka tuturan Michelle tersebut merupakan pelanggaran atas maksim kuantitas. Adapun implikaturnya yaitu
menyindir pihak partai oposisi yang meragukan kewarganegaraan Obama.
Pelanggaran Maksim Kualitas
Pelanggaran terhadap maksim kualitas adalah ketika penutur menuturkan hal yang tidak sesuai dengan
kenyataan atau tidak berdasar pada bukti-bukti yang memadai, misalnya:

592
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Oprah : he handle stones being thrown better than you?
‘Dia menangani batu yang dilemparkan lebih baik dari anda?’
Apa yang dimaksud Oprah dengan “stones being thrown” adalah sebuah metafora untuk menggambarkan
suatu cobaan dalam bentuk hinaan atau perlakuan tidak terpuji yang dilakukan orang lain kepada
mereka.Pelanggaran tersebut dilakukan Oprah untuk tujuan memperhalus tuturan.
Pelanggaran Maksim Relevansi
Pelanggaran maksim relevansi adalah ketika peserta percakapan memberikan kontribusi yang tidak relevan
dengan masalah pembicaraan. Pada saat Opah melontarkan sebuah pertanyaan, jawaban Michelle tampaknya
tidak relevan dengan pertanyaan yang diberikan. Ia menuturkan bahwa ketika ia mendengar Obama
dikarakterisasikan sebagai seorang yang suka menyendiri, ia justru bertanya “siapa yang sedang anda
bicarakan?” dan seolah tidak mengenal siapa sosok yang sedang dibicarakan. Dengan menuturkan hal-hal itu
Michelle ingin membantah bahwa Obama jauh dari karakter penyendiri sebagaimana dikatakan tersebut.
Dengan demikian, implikatur dari pelanggaran maksim ini adalah bentuk bantahan.
Pelanggaran Maksim Cara
Penutur dikatakan melanggar maksim cara ketika mengungkap tuturan secara kabur, ambigu, dan/atau tidak
runtut. Dalam suatu petikan percakapan, Oprah menyatakan bahwa sebelum hadir di acara ini, Obama
melakukan konferensi pers dan memperlihatkan akta kelahirannya ke publik. Secara sepintas, tuturan Oprah
ini tidak bermuatan apa-apa selain menyatakan suatu hal. Namun, dibalik tuturan tersebut sebenarnya Oprah
bermaksud untuk bertanya atau meminta penjelasan mengenai hal yang ia nyatakan dalam bentuk
pernyataan tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Oprah melakukan pelanggaran terhadap
maksim cara yang menginginkan penutur untuk menyampaikan tuturannya secara langsung. Isu pembicaraan
mengenai hal ini tampaknya sangat sensitif, sehingga Oprah sebisa mungkin menyampaikannya dengan cara
tak langsung dengan harapan bahwa baik mitra tuturnya, maupun orang-orang yang menonton acara tersebut
dapat memahami maksudnya dan tidak ada pihak yang tersinggung atas pembicaraan tersebut. Secara
keseluruhan, pelanggaran ini dapat dikatakan mengandung implikasi bertindak sopan.

DIMENSI SOSIAL BUDAYA


Dari pengamatan yang dilakukan, ditemukan sejumlah fenomena dalam percakapan yang muncul sebagai
pengaruh sosial budaya para partisipan percakapan;
1) jeda antara penyerahan giliran bicara dengan tanggapannya adalah tidak lebih dari tiga detik atau dengan
kata lain, tidak ditemukan jeda panjang dalam pergantian giliran bicara antar partisipan. Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa dalam budaya masyarakat Amerika, berilah tanggapan sesegara mungkin tepat
setelah giliran bicara diserahkan sehingga tidak menimbulkan interpretasi lain terhadap durasi jeda lebih
dari yang lazim bagi mereka. Sementara itu, jika didapati jeda panjang disertai dengan bunyi vokal ‘a:’
atau bunyi-bunyi vokal panjang lainnya diakhir kata, sebaiknya tidak mengambil alih giliran bicara
karena jeda tersebut bukan dimaksudkan untuk menyerahkan giliran bicara, tetapi penutur tersebut
masih ingin melanjutkan giliran bicaranya.
2) rangkaian pembuka dan penutup percakapan berbentuk singkat. Partisipan percakapan tidak bertele-tele
dan segera masuk ke inti percakapan. Kemudian, sesegera mungkin mengakhiri percakapan apabila
percakapan inti usai dibicarakan.
3) interupsi merupakan hal yang tidak tabu untuk dilakukan jika dirasa perlu.
4) pujian merupakan sarana untuk saling mengakrabkan diri, sehingga boleh diberikan oleh siapa saja dan
kepada siapapun. Adapun dalam merespon pujian, dilakukan dengan cara memberi apresiasi terhadap
pujian tersebut.
5) ditemukan adanya istilah sapaan untuk menunjukkan rasa hormat kepada mitra tutur. Selain itu, nama
depan digunakan kepada seseorang untuk menunjukkan keakraban dan meminimalkan jarak sosial.

PENUTUP
Analisis percakapan antara Oprah, Obama, dan Michelle telah dilakukan. Dari hasil analisis terhadap tiga
permasalahan dalam penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, struktur percakapan ini
berbeda dengan struktur percakapan lainnya.Format acara dalam bentuk wawancara memberi pengaruh pada
tingginya frekuensi kemunculan pasangan berdampingan berupa pertanyaan-jawaban.Selain itu, dalam
pergantian giliran bicara tidak banyak ditemukan tumpang tindih karena topik percakapan turut berperan
dalam penentuan pembicara selanjutnya.Adapun dalam rangkaian percakapan, ditemukan lebih dari satu
rangkaian pembuka dan penutup.Hal tersebut merupakan akibat dari adanya jeda iklan komersial di tengah-
593
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
tengah percakapan sehingga ini sekaligus merupakan kekhasan dari percakapan yang disiarkan di media
televisi.
Kedua, para partisipan percakapan melakukan pelanggaran terhadap prinsip kerja sama, yaitu
terhadap maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara. Adapun maksim yang paling banyak dilanggar
adalah maksim kuantitas.Pelanggaran yang dilakukan oleh para partisipan tidak dimaksudkan untuk
menjatuhkan lawan tutur, tetapi dilakukan untuk mengimplisitkan maksud-maksud tertentu. Dari
pengamatan yang dilakukan, implikatur tersebut muncul berupa sopan santun terhadap lawan tutur,
menciptakan humor, memberi penjelasan, memperhalus tuturan, serta untuk menyindir dan membantah
pihak ke tiga.
Ketiga, dari hasil tinjauan sosial budaya dapat disimpulkan bahwa dalam memulai dan mengakhiri
percakapan, orang Amerika cenderung melakukannya dengan ujaran yang tidak bertele-tele atau langsung
masuk ke dalam inti percakapan.Ketika percakapan berlangsung, pergantian giliran bicara dilakukan dengan
segera dan tidak memerlukan jeda yang lama untuk memberi tanggapan terhadap mitra tutur. Selain itu,
orang Amerika menggunakan pujian sebagai sarana untuk menyenangkan hati orang yang dipuji, sehingga
siapapun boleh memberi pujian kepada orang lain tanpa melihat status sosialnya. Meskipun demikian, orang
Amerika juga saling menghormati dengan adanya istilah sapaan khusus kepada orang yang lebih dihargai
karena status sosialnya yang lebih tinggi.
Secara keseluruhan, dari analisis yang telah dilakukan, diperoleh gambaran bahwa masyarakat
Amerika merupakan masyarakat yang menganut paham egaliter. Mereka berpandangan bahwa setiap orang
adalah sama atau sederajat. Oleh sebab itu, mengundang orang-orang dengan posisi tinggi dalam
pemerintahan untuk ikut dalam program televisi berupa talkshow, serta membicarakan hal-hal di luar
jabatannya tersebut tidak tabu untuk dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. Agustina, Leonie. 2010. Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta
Cutting, Joan. 2008. Pragmatics and Discourse: A Resource Book for Students. New York: Routledge.
Finegan, Edward., Niko Besnier, David Blair, dan Peter Collins. 1992. Language: It’s Structure and Use. Australia:
Harcourt Brace Javanovich Group.
Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. London: Longman.
Horn, Laurence R., Ward, Gregory. 2006. The Handbook of Pragmatics. Oxford: Blackwell Publishing
Hymes, Dell. 1974. Foundation in Sociolinguistics: An Ethnographic Approach. Philadelphia: University of
Pennsylvania Press.
Leech, Geofrey. 1993. Prinsip – prinsip Pragmatik. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
Levinson, Stephen C. 1993. Pragmatics. London: Cambridge University Press.
Liddicoat, Anthony J. 2007. An Introduction to Spoken Interaction. London: Continuum.
Malmkjær, Kirsten. 2006. The Linguistics Encyclopedia. New York: Routledge.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Mey, Jacob. L. 1994. Pragmatics: An Introduction. USA: Blackwell.
Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Nugroho. 2002. Analisis Percakapan di dalam Chatting. Tesis (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: UGM.
Sari, Noni Permata. 2012.Analisis Wacana Percakapan pada Twitter. Tesis (Tidak diterbitkan). Yogyakarta: UGM.
Stenstrom, Anna Brita. 1994. An Introduction to Spoken Interaction. New York: Longman Publishing.
Wardaugh, Ronald. 1988. An Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell. Ltd.
Wooffit, Robin. 2005. Conversation Analysis and Discourse Analysis. London: Sage Publications.
http://projects.washingtonpost.com/obama-speeches/

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Khusnul Khatimah
Institusi : STKIP Taman Siswa Bima
Riwayat Pendidikan : S2 Universitas Gadjah Mada
S1 Universitas Ahmad Dahlan
Minat Penelitian : • Pragmatik
• Sosiopragmatik
• Sosiolinguistik

594
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
KESADARAN MORFOLOGIS DAN SINTAKSIS ANAK USIA DINI:
STUDI KASUS DI PAUD BANDUNG

Eri Kurniawan, Teja Komara, Mochamad Salim Maridi Nurdiansyah


Universitas Pendidikan Indonesia
erikurn@gmail.com

ABSTRAK
Perkembangan bahasa anak merupakan bagian integral dalam pendidikan anak usia dini seperti yang ditegaskan
dalam Permendiknas No. 58/2009. Penelitian ini bertolak dari asumsi bahwa kesadaran linguistik yang mencakup
kesadaran akan unit bunyi (fonologis), unit kata (morfologis), dan kalimat (sintaksis) memegang peranan penting
dalam mendukung keberhasilan kemampuan membaca anak di sekolah (lihat, misalnya, Menn & Stoel-Gamon, 2005;
Tong, dkk., 2014). Penelitian ihwal ini baru berkenaan dengan kesadaran fonologis pada anak PAUD (Mazka, 2014).
Penelitian ini difokuskan untuk menggali, memaparkan dan menganalisi tingkat kesadaran morfologis dan sintaksis
anak prasekolah yang berusia 5-6 tahun di salah satu TK di wilayah Bandung Utara. Kedua jenis kesadaran di atas
merujuk pada kemampuan anak untuk mengidentifikasi struktur kata/kalimat, merangkai bagian kata atau kata dan
memperbaiki kata dan kalimat yang tidak gramatikal. Rumpang yang diisi oleh penelitian ini begitu jelas mengingat
belum adanya hasil penelitian kesadaran morfologis dan sintaksis anak prasekolah dalam konteks pemerolehan bahasa
Indonesia sehingga penelitian ini menjadi penting dan urgen untuk dilaksanakan. Penelitian ini menggunakan
pendekatan deskriptif kualitatif. Data diperoleh melalui teknik observasi aktivitas pembelajaran di kelas, wawancara
dengan guru pengajar serta data empat jenis tes unjuk kerja berupa penugasan (morfologis dan sintaksis) kepada
siswa. Tes yang diberikan untuk mengukur kesadaran morfologis berupa tes pengisian rumpang dalam kalimat dengan
pilihan kata berimbuhan dan tes produksi di mana anak ditanya bentuk imbuhan dari kata dasar yang diberikan. Untuk
mengukur kesadaran sintaksis, tes yang diberikan berupa pemilihan kalimat berdasarkan gambar dan pemilihan
gambar berdasarkan stimuli audio berupa kalimat tidak gramatik. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa anak-
anak TK di sekolah yang diteliti secara umum sudah memperlihatkan kesadaran morfologis dan sintaksis walaupun
tingkat kesadaran sintaksis mereka jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kesadaran morfologisnya. Dari dua jenis tes
morfologis, hasil unjuk kerja tes pertama (visual) lebih tinggi dibandingkan hasil tes kedua (produksi), yang
nampaknya selaras dengan temuan selama ini bahwa pemahaman (comprehension) akan lebih cepat diperoleh oleh
anak dibandingkan produksi (production). Guru sekolah memiliki kesadaran akan pentingnya perkembangan linguistik
dan memberikan sejumlah aktivitas pembelajaran khusus yang diharapkan mampu meningkatkan kemampuan
linguistik anak.
Kata kunci: kesadaran morfologis, kesadaran sintaksis, kemampuan membaca, anak prasekolah

PENDAHULUAN
Bahasa memegang peran sentral karena proses pemerolehan bahasa anak berbarengan dengan dan
dipengaruhi oleh perkembangan sosial, kognitif dan fisiologis (Shatz, 2007). Oleh karena itu, perkembangan
bahasa dijadikan salah satu komponen penting pembelajaran anak baik di taman kanak-kanak maupun
sekolah dasar. (lih. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 58 tahun 2009
tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang menekankan pentingnya pembelajaran bahasa
teristimewa dalam pendidikan anak usia dini).
Secara definisi, pemerolehan bahasa anak, menurut Gracia (dalam Krisanjaya, 1998), dicirikan
dengan penguasaan serangkaian kesatuan unit bahasa, yang dimulai dengan penguasaan unsur bunyi
(fonologis), struktur kata (morfologis), dan struktur kalimat (sintaksis). Implikasinya, proses pendidikan
anak usia dini pun harus diselaraskan dan bahkan diorientasikan untuk menunjang tahapan pemerolehan
bahasa mereka.
Membaca menjadi keterampilan dasar berbahasa yang mendapatkan sorotan utama dari para
pendidik dan orang tua karena keterampilan ini menjadi prasyarat bagi anak untuk menyerap ilmu
pengetahuan (khususnya dalam buku) bahkan keberhasilan anak dalam interaksi sosial (Tong, dkk., 2014).
Keterampilan ini pun dipandang penting oleh para orang tua, sehingga anak diajarkan bahkan diikutkan ke
kursus pelatihan membaca. Para pendidik PAUD pun melihat tuntutan ini sehingga mereka mempersiapkan
berbagai aktivitas pembelajaran membaca yang runtut dan serius. Namun, hal ini dapat menimbulkan efek
psikologis yang tidak diinginkan karena pada usia tersebut, proses pembelajaran anak harus menyenangkan
dan penuh keriangan agar potensi anak berkembang (Solehuddin & Hatimah, 2007).
Secara linguistik, keterampilan membaca diyakini oleh para ahli, seperti yang tersaji di bawah ini,
akan muncul ketika ditopang oleh kemampuan-kemampuan lain yakni kesadaran akan unit bunyi (fonologis),
unit kata (morfologis) dan kalimat (sintaksis). Kemampuan-kemampuan linguistik ini bisa menjadi prasyarat
yang akan menentukan keberhasilan keterampilan membaca anak.

595
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Kesadaran fonologis dipandang penting sebagai salah satu prasyarat kemampuan membaca (lihat,
misalnya, Mazka, 2014; Menn L. & Stoel-Gamon, 2005). Penelitian ihwal kesadaran fonologis anak sudah
diteliti oleh Mazka (2014) yang menunjukkan bahwa anak sudah memiliki kesadaran fonologis muncul pada
level suku kata, kata dan irama. Sementara, mereka masih menghadapi kesulitan dalam level onset-rime dan
fonemik.
Kesadaran gramatik meliputi kesadaran morfologis dan sintaksis yang ditunjukkan dengan
kemampuan metalinguistik untuk memanipulasi dan merefleksikan struktur bahasa meliputi menyusun ulang
kata acak dan memperbaiki kesalahan gramatik pada kalimat (Cain, 2007; McBride-Chang, 2004; Tong,
dkk., 2014). Nagy, Diakidoy & Anderson (1993 dalam Guo, Roehrig & Williams, 2011) menuturkan bahwa
kesadaran morfologis dan sintaksis berkembang selama proses persekolahan bahkan terlihat sejak anak
berusia tiga tahun (E.V. Clark, 1995 dalam Guo, Roehrig & Williams, 2011). Sejumlah peneliti memiliki
keyakinan bahwa kesadaran morfologis dan sintaksis berperan penting dalam menunjang kemampuan
membaca anak (Hiebert & Bravo, 2010; Carlisle, 2000; Nagy & Anderson, 1984; Tyler & Nagy, 1990;
White, Powder & White, 1989; Carlisle, 2003; Deacon, dkk., 2012; Rego & Bryant, 1993; Bowey, 1986;
Nagy & Scott, 2000).
Senarai penelitian di atas menyuguhkan potret kesadaran linguistik anak usia dini di negara Eropa
dan Amerika yang terbukti berkontribusi terhadap kemampuan membaca anak. Potret yang serupa dalam
konteks Indonesia tampaknya belum tersentuh. Penelitian yang relevan berfokus pada kajian deskriptif
kesadaran fonologis anak (Mazka, 2014). Maka dari itu, penelitian ini diarahkan untuk melihat potret
kesadaran gramatik anak pada konteks penutur Bahasa Indonesia.

METODE
Penelitian difokuskan di salah satu TK yang berlokasi di wilayah Bandung Utara. Penelitian ini
menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif karena tujuan sentralnya adalah untuk menggali dan
menggambarkan fakta-fakta atau fenomena-fenomena empiris yang terjadi di TK seputar kesadaran
morfologis dan sintaksis anak prasekolah yang berusia 5-6 tahun. Metode deskriptif berupa observasi,
wawancara dan unjuk kerja digunakan untuk mengungkap fenomena yang sedang diteliti. Data kualitatif
yang terkumpul dianalisis atau diinterpretasi berdasarkan teori atau hasil penelitian sebelumnya untuk
memastikan apakah temuan sudah menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan (Burton, 2002).
Subjek yang terlibat dalam penelitian ini terdiri atas dua kelompok: 12 anak TK (dengan rentang
usia 5-6 tahun), dan (b) 3 orang guru pengajar kelas. Kelompok (a), yakni siswa, berfungsi sebagai
responden primer yang akan menjadi target observasi dan unjuk kerja, sementara kelompok (b), yakni guru,
berperan sebagai responden sekunder untuk memberikan informasi tambahan yang akan berguna untuk
memberikan penjelasan terhadap data yang diperoleh dari kelompok (a).
Unjuk kerja berupa tugas yang didisain oleh peneliti yang menuntut anak untuk mendeteksi,
menyusun, memperbaiki kata dan kalimat dalam bahasa Indonesia. Lembar unjuk kerja dipegang oleh tim
peneliti untuk diberikan kepada siswa selama proses pengetesan, dengan bantuan dari guru kelas. Peneliti
menggunakan lembar observasi yang dibantu dengan alat perekam video untuk mengamati proses unjuk
kerja dan proses hadirnya kesadaran morfologis dan sintaksis pada siswa. Pada tahap ini, peneliti tidak
melakukan interaksi apapun dengan anak yang sedang diamati. Untuk mendukung data unjuk kerja dan
observasi, peneliti juga mewawancarai guru untuk mengungkap latar belakang linguistik mereka,
komunikasi mereka dengan anak, hubungan mereka dengan anak, aktivitas yang menunjang perkembangan
bahasa anak, fasilitas yang mendukung, dan lain sebagainya.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kesadaran Morfologis
Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, menurut Carlisle (1995), kesadaran morfologis ini merujuk
pada kesadaran akan struktur bahasa pada tingkatan kata dan melibatkan kemampuan untuk mengubah atau
memanipulasi struktur morfem kata, yang disajikan dalam bentuk pasangan kata, kerangka kalimat atau
analogi kata. Dalam penelitian ini, tingkat kesadaran morfologis diungkap dengan menggunakan tiga jenis
instrumen atau unjuk kerja: i) tes kata dasar, ii) tes visual, dan iii) tes produksi kata berprefiks pe-.
Tes Visual
Di dalam tes unjuk kerja visual, anak memilih salah satu kata berimbuhan dari tiga pilihan kata yang
diberikan untuk melengkapi rumpang pada kalimat sesuai dengan gambar yang anak lihat. Berikut adalah
hasil lengkap dari tes visual yang diberikan kepada 12 anak.

596
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Tabel 1. Hasil Kesadaran Morfologis Anak Berdasarkan Unjuk Kerja Visual
No. Kata Jenis Verba Jawaban Benar Persentase
1. Menangis taktransitif-aktif 10 83%
2. Memakan semitransitif-aktif 10 83%
3. Menggambar semitransitif-aktif 10 83%
4. Ngancurin dwitransitif-aktif 9 75%
5. Berenang taktransitif-aktif 9 75%
6. Memegang ekatransitif-aktif 8 67%
7. Dicubit ekatransitif-pasif 7 58%
8. Diberi dwitransitif-pasif 6 50%
Rata-rata 8.6 72%
Secara umum, berdasarkan hasil unjuk kerja visual ini, anak-anak TK ini sudah memiliki kesadaran
morfologis tingkat sedang seperti yang ditunjukan dengan rerata persentase jawaban benar yakni 72%.
Dalam tes ini, jenis kata yang diuji adalah verba karena verba memiliki keragaman kombinasi
imbuhan mulai dari prefiks taktransitif ber-, prefiks transitif meN- (ragam formal)/N- (ragam informal),
konfiks N-in dan prefiks pasif di-. Dari hasil di atas, terlihat jelas bahwa ada perbedaan cukup signifikan
antara nilai anak dalam mengidentifikasi verba berprefiks aktif (ber-, meN-/N-) dengan verba berprefiks di-.
Nilai mereka dalam mengindentifikasi kata berimbuhan kalimat aktif lebih besar dibandingkan nilai mereka
dengan kata berimbuhan pasif.
Tes Produksi
Dalam tes ini, anak pertama-tama diberikan penjelasan mengenai pola yang harus mereka perhatikan dan
diberikan contoh. Misalnya, anggota peneliti menyebutkan, “Kalau orang yang lari disebut pelari, orang
yang makan disebut apa?”
Tabel 2. Hasil Kesadaran Morfologis Anak Berdasarkan Tes Produksi
No Kata Dasar Kata Berimbuhan Persentase Jawaban Benar
1. Makan Pemakan 82%
2. Main Pemain 80%
3. Menang Pemenang 67%
4. Tulis Penulis 44%
5. Lukis Pelukis 50%
6. Laut Pelaut 67%
Rata-rata 65%
Tabel di atas menunjukkan bahwa anak-anak sudah memiliki sensitifitas terhadap adanya pola
penggunaan prefiks pembentuk nomina pe- dengan memadukan imbuhan tersebut dengan kata dasar,
walaupun secara rerata persentase tingkat sensitifas mereka masih relatif rendah di angka 65%. Sebagian
anak belum berhasil melihat pola kombinasi dan merespon pertanyaan dengan menyebutkan verba
berimbuhan aktif, misalnya untuk kata dasar makan responya bermakan, bukan pemakan.
Kesadaran Sintaksis
Kesadaran sintaksis ini merujuk pada kesadaran akan struktur kalimat dan melibatkan kemampuan untuk
memanipulasi struktur sintaksis kalimat atau benar-tidaknya kalimat (Bowey, 1986; Nagy & Scott, 2000).
Dalam penelitian ini, tingkat kesadaran sintaksis diukur dengan i) tes identifikasi kalimat berdasarkan
gambar, dan ii) tes identifikasi kalimat berdasarkan stimulus oral (input audio).
Tes Visual
Dalam tes unjuk kerja visual ini, anak diuji untuk memilih kalimat yang benar dari dua pilihan kalimat yang
disediakan sesuai dengan kejadian pada gambar yang mereka lihat. Anak akan ditanya apa yang dilihatnya
terlebih dahulu, kemudian diminta untuk menggambarkannya secara lisan untuk menakar sejauh mana
pemahaman mereka sekaligus kemampuan produksi bahasa lisan mereka terkait dengan apa yang mereka
lihat. Setelah itu, anak melihat tiga pilihan kalimat dan menempelkan stiker bintang pada kalimat yang,
menurut mereka, sesuai dengan kejadian yang terdapat dalam gambar.
Tabel 3. Hasil Kesadaran Sintaksis Anak Berdasarkan Unjuk Kerja Visual
No Jenis Konstruksi Jawaban Benar Persentase
1. Taktransitif 12 100%
2. Ekatransitif 11 92%
3. Semitransitif 12 100%
4. Dwitransitif 11 92%
Rata-rata 11.5 96%

597
Unika Atma Jaya, 6-8 April 2016
Tabel hasil unjuk kerja visual di atas menunjukkan hasil yang menggembirakan. Tingkat kesadaran
sintaksis anak tergolong sangat tinggi dengan rerata persentase jawaban benar yakni 96%. Artinya, dalam
hal ini, anak dapat dipandang sudah memiliki kemampuan untuk membedakan susunan kata atau kalimat
yang benar, yang mencerminkan gambar yang mereka lihat.
Tes Audio
Tes unjuk kerja ini diberikan kepada anak untuk mengukur sejauh mana sensitifitas mereka terhadap
konstruksi kalimat yang kata-katanya tersusun dengan yang acak. Secara teori, apabila anak memiliki tingkat
kesadaran sintaksis tinggi, maka mereka harus mampu merekonstruksi kalimat yang susunannya acak
sehingga bisa dipahami maksud kalimatnya. Dalam tes ini, anak diperdengarkan rekaman suara berbagai
jenis kalimat. Mereka disodori tiga pilihan gambar dan kemudian diminta untuk memilih gambar sesuai
dengan stimulus audio yang mereka peroleh.
Tabel 4. Hasil Kesadaran Sintaksis Anak Berdasarkan Unjuk Kerja Audio
No. Jenis Konstruksi Status Kalimat Jawaban Benar Persentase
Tersusun 11 92%
1. Taktransitif
Acak 10 83%
Tersusun 12 100%
2. Ekatransitif
Acak 10 83%
Tersusun 12 100%
3. Semitransitif
Acak 11 92%
Tersusun 12 100%
4. Dwitransitif
Acak 12 100%
Rata-rata 11.3 94%

Seperti halnya hasil tes unjuk kerja visual yang menunjukkan nilai yang tinggi, hasil tes unjuk kerja
audio pun memperlihatkan hasil yang relatif sama, di mana rerata persentase jawaban benar tes audio berada
pada angka 94%. Artinya, anak sudah memiliki tingkat sensitifas sintaksis yang tinggi sehingga tidak
terdapat perbedaan signifikan antara jawaban terhadap kalimat yang tersusun dengan yang acak. Mereka
sudah mampu merekonstruksi kalimat acak dan memahami maksudnya dalam pikiran mereka, kemudian
memilih gambar yang tepat sesuai maksud yang mereka terka.
Apabila dibandingkan hasil unjuk kerja morfologis dan sintaksis, terlihat bahwa secara umum anak-
anak di sekolah TK yang dijadikan objek penelitian sudah memiliki kesadaran gramatik (kesadaran
morfologis dan sintaksis), meskipun tingkat kesadaran sintaksis anak jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat
kesadaran morfologis mereka. Rerata hasil tes sintaksis berada pada 95%, sementara rerata hasil tes
morfologis berada pada angka 69%.
Proses Pembelajaran di Sekolah
Secara umum, guru-guru pada sekolah taman kanak-kanak yang dijadikan objek penelitian terbilang sudah
memiliki kesadaran akan pentingnya penguasaan kosa kata bagi anak-anak. Mereka secara terstruktur
melakukan berbagai upaya pembelajaran di kelas untuk membantu meningkatkan kesadaran gramatik
(morfologis dan sintaksis) anak. Walaupun, penekanan pembelajaran lebih pada upaya pengembangan
penguasaan kosa kata (pengetahuan morfologis) yang dipandang sebagai keterampilan dasar yang bisa
membantu anak dalam berkomunikasi.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, aktivitas pembelajaran yang secara langsung dapat
berdampak pada peningkatan kesadaran gramatik anak adalah aktivitas di dalam ruangan kelas yang terbagi
ke dalam tiga bagian: morning time, reading time, dan review. Pada aktivitas pagi, anak dikondisikan untuk
membaca pesan pagi, bernyanyi bersama dan melakukan apersepsi. Pesan pagi ditujukan untuk memberikan
pajanan anak pada konsep suku kata, sementara apersepsi lebih ditujukan untuk pengenalan tema yang akan
menjadi materi pembahasan. Yang menarik dalam proses ini adalah guru menuliskan agenda pembelajaran
harian di papan tulis setiap hari dan membacakannya sambil menunjuk pada setiap kata yang dibacakannya.
Aktivitas ini ditujukan untuk memperkenalkan kepada siswa bentuk suku kata dan kata-kata tertentu secara
tidak langsung. Aktivitas reading time berlangsung selama 15 menit, di mana guru membacakan cerita
kepada anak-anak. Setiap minggu, guru menceritakan satu cerita pendek. Ceritanya bisa bersumber dari
cerita yang sudah ada (seperti dari buku cerita) atau bahkan cerita dadakan yang didasarkan pada rangkaian
gambar yang tersedia di sekolah. Cerita bisa berupa cerita bersambung atau cerita pendek yang selesai untuk
satu kali baca. Tujuan utamanya lebih pada pemajanan siswa dan penguatan pada sejumlah kata-kata yang
menjadi target pembelajaran. Kata-kata tersebut akan diulang dalam beberapa cerita agar anak bisa
menguasai bentuk dan konsep kata-kata tersebut. Dalam aktivitas reviu, guru mengulas kembali sejumlah
materi inti yang dibahas dan bertanya kepada siswa untuk mengukur tingkat penguasaan mereka terhadap
materi yang baru saja dibahas.

598
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 14
Menurut penuturan guru, di antara beragam aktivitas yang dilakukan dalam konteks pembelajaran di
kelas yang diharapkan mampu meningkatkan kemampuan berbahasa anak meliputi:
- Pemajanan atau pengenalan serangkaian gambar (misalnya rangkaian gambar binatang, tumbuhan, benda-
benda di sekitar rumah atau sekolah) dalam flash card dengan teks nama gambar yang terkait;
- Aktivitas mencocokkan kata dengan gambar terkait;
- Aktivitas menyalin kata ke dalam kotak-kotak yang disediakan di bawah gambar;
- Pementasan wayang dengan cerita rekaan.
Intinya, guru sudah melakukan pelbagai upaya pembelajaran terutama di dalam ruangan kelas untuk
membantu siswa meningkatkan kemampuan bahasa mereka.

KESIMPULAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa anak prasekolah usia 5-6 tahun secara umum sudah memiliki kesadaran
gramatik (kesadaran morfologis dan sintaksis), walaupun tingkat kesadaran sintaksis anak ternyata lebih
tinggi dibandingkan tingkat kesadaran morfologisnya. Guru sudah memiliki kesadaran akan pentingnya
pengetahuan kosa kata (morfologis) dan sudah memberikan berbagai jenis aktivitas pembelajaran di kelas
yang berfokus pada penguasaan kosa kata dan pengenalan suku kata.

DAFTAR PUSTAKA
Bowey, J. A. 1986. Syntactic awareness in relation to reading skill and ongoing reading comprehension monitoring.
Journal of Experimental Child Psychology, 41(2), hlm. 282-299.
Burton, L. J. 2002. An interactive approach to writing essays and research reports in psychology. Milton, Queensland:
John Wiley and Sons Australia, Ltd.
Cain, K. 2007. Syntactic awareness and reading ability: Is there any evidence for a special relationship? Applied
Psycholinguistics, 28, hlm. 679-694.
Carlisle, J. F. 1995. Morphological awareness and early reading achievement. In L. Feldman (Ed.), Morphological
aspects of language processing (hlm. 189-209). Hillsdale, NJ: Erlbaum.
Carlisle, J. F. 2000. Awareness of the structure and meaning of morphologically complex words: Impact on reading.
Reading and Writing: An Interdisciplinary Journal, 12, hlm. 169- 190.
Carlisle, J. F. 2003. Morphology matters in learning to read: A commentary. Reading Psychology, 24, hlm. 291-322.
Deacon, S. H., Benere, J., & Pasquarella, A. 2012. Reciprocal relationship: Children’s morphological awareness and
their reading accuracy across grade 2 to 3. Developmental Psychology. Advance online publication. doi:
10.1037/a0029474
Guo, Y., Roehrig, A.D. & Williams, R.S. 2011. The relation of morphological awareness and syntactic awareness to
adult’s reading comprehension: is vocabulary knowledge a mediating variable? Journal of Literacy Research,
43(2), hlm. 159-183.
Hiebert, E.H., & Bravo, M., 2010. Morphological knowledge and learning to read in English. In D. Wyse, R. Andrews,
& J. Hoffman (Eds.), International handbook of English, language and literacy teaching (hlm. 87-97). Oxford,
UK: Routledge.
Krisanjaya. 1998. Teori belajar bahasa: pemerolehan bahasa pertama. Jakarta. IKIP Jakarta.
Mazka, F. 2014. Kajian kesadaran fonologi anak: studi deskriptif kualitatif pada anak-anak 5-6 tahun di TK Lab.
School UPI Bandung. Tesis. Universitas Pendidikan Indonesia.
McBride-Chang, C. 2004. Children's literacy development. London: Arnold.
Menn, L & Stoel-Gammon, C. (2005). Phonological development: learning sounds and sound patterns. In Berko
Gleason J (ed.) The development of language, 6th edn. Boston, MA: Pearson Education. 62–77
Nagy, W. E., & Scott, J. A. 2000. Vocabulary processes. In M. L. Kamil, P. B. Mosenthal, P. D. Pearson, & R. Barr
(Eds.), Handbook of reading research (Vol. 3, hlm. 269-284). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2009 tentang Standar Pendidikan Anak
Usia Dini.
Rego, L. L. B., & Bryant, P. E. 1993. The connection between phonological, syntactic and semantic skills and
children's reading and spelling. European Journal of Education, 8, hlm. 235-246.
Shatz, M. 2007. On the development of the field of language development. In E. Hoff & M. Shatz (Eds.), Blackwell
handbook of language development (hlm.1-15). London: Wiley-Blackwell.
Solehuddin, M. & Hatimah, I. 2007. Pendidikan anak usia dini. Bandung: Pedagogiana Press.
Tong, X., Deacon, S. H., & Cain, K. 2014. Morphological and syntactic awareness in poor comprehenders: another
piece of the puzzle. Journal of Learning Disabilities, 47, hlm. 22-33.

RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Eri Kurniawan, Teja Komara, Mochamad Salim Maridi Nurdiansyah
Institusi : Universitas Pendidikan Indonesia

599
Pusat Kajian Bahasa dan Budaya
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Jalan Jenderal Sudirman 51, Jakarta 12930
<pkbb@atmajaya.ac.id>

Anda mungkin juga menyukai