Anda di halaman 1dari 19

TUGAS SOSIOLOGI HUKUM

KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM TENTANG KEPAILITAN TIDAK


MENGENAL ASAS NEBIS IN IDEM BERDASARKAN PUTUSAN MA NO.
480 K/PDS.SUS-PAILIT/2014

NUGRAHA HADI YULIANTO, S.H.

18/433071/PHK/10144

MAGISTER HUKUM BISNIS

UNIVERSITAS GADJAH MADA

2018
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara hukum, hal ini jelas dituliskan dalam Undang Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “
Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dengan adanya kesepakatan bahwa
Indonesia adalah adalah negara hukum menjadikan setiap kegiatan bernegara dan
pemerintahan di Indonesia harus berlandaskan dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Masyarakat mengatakan bahwa hukum adalah panglima tertinggi di Indonesia, semua
kegiatan lembaga negara dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus sesuai dan
berdasarkan hukum atau peraturan perundang-undangan yang ada.
Selain kegiatan yang dilakukan oleh lembaga Negara, hukum juga mengikat
terhadap semua kegiatan yang dilakukan oleh pihak swasta dalam hal ini perusahaan
dalam menjalankan bisnisnya, perusahaan tidak bisa semen-mena dalam menjalan kan
perusahaannya untuk mencapai tujuan profit, tapi tetap harus mengacu kepada
ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam hukum di Indonesia yaitu KUHPer(Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata), KUHD(Kitab Undang-Undang Hukum Dagang),
dan jika perusahaan tersebut berstatus badan hukum harus tunduk kepada Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Salah satu bentuk badan hukum yang kita kenal adalah PT(Perseroan terbatas).
Perseroan adalah persekutuan yang berbentuk badan hukum. Badan hukum ini tidak
disebut “persekutuan”, tetapi “perseroan”, sebab modal-modal badan hukum itu terdiri
dari sero-sero atau saham-saham. Istilah “terbatas” tertuju pada tanggung jawab
perseroan atau pemegang saham, yang luasnya terbatas pada nilai nominal semua
saham yang dimilikinya.1

1
H.M.N. Purwosutjipto, 2007, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan, Jakarta, hlm
89
Dalam susunan peraturan perundang-undangan di Indonesia kita menganut prinsip
yang di gagas oleh Hans Kelsen yaitu hierarki peraturan perundang-undangan yang
dikenal dengan Stufenbau theory, yang kemudian di adopsi dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, peraturan perundang-
undangan dibuat berjenjang dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah, yaitu
dari UUD NRI Tahun 1945 hingga Perda(Peraturan daerah Kabupaten/Kota) kemudian
dengan perkembangan masyarakat dan hukum di Indonesia sekarang juga diakui
Perdes(Peraturan Desa) berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang
Desa.
Teori tentang hierarki peraturan perundang-undangan ini menafsirkan bahwa
peraturan perundang-undangan yang paling tinggi adalah arwah bagi pembentukan
peraturan perundang-undangan di bawahnya, sehingga peraturan yang di bawah harus
sesuai dengan peraturan yang ada di atas nya, dalam artian ketentuan-ketentuan
peraturan perundang-undangan yang di bawah tidak boleh menyimpangi peraturan
perundang-undangan yang di atasnya. Jika dibentuk dalam skema peraturan dalam
Undang-Undang tidak boleh menyimpangan perturan dalam UUD NRI Tahun 1945,
karena pada marwahnya Undang-Undang adalah penafsiran untuk melaksanakan
ketentuan yang adalah dalam UUD NRI Tahun 1945, begitu pun terhadap peraturan
yang ada di bawah Undang-Undang.
Hierarki peraturan perundang-undangan membentuk pemahaman bahwa
peraturan yang paling bawah bersifat pelaksanaan atau praktek dari perturan
perundang-undangan di atas, sehingga peraturan perundang-undangan yang di atas
khususnya Undang-Undang seharusnya brsifat umum, karena kalau dari Undang-
Undang sudah khusus berarti sudah terjadi penyetaraan terhadap ketentuan yang di
bawahnya, menurut penulis itu kurang tepat karena penerapatan Undang-Undang di
masyarakat akan berbeda caranya sesuai dengan ke khususan daerah-daerah di
Indonesia yang sangat beragam, yang menyebabkan jika penyeragaman sudah sejak
dari ketentuan Undang-Undang membuat mungkin masyarakat daerah melukai ke
khasannya kerana belum tentu peraturan tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang mereka
anut, sehingga sebaiknya Undang-Undang bersifat umum, dan Perda lah yang
menyesuaikan nilai dalam Undang-Undang tersebut sesuai dengan nilai di masyarakat
suatu daerah.
Berbeda dengan hal tersebut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang
Perseroan Terbatas berbentuk sangat prinsip dan tertutup, dalam Undang-Undang ini
di atur secara khusus mengenai pendirian PT, bekerjanya PT, tanggung jawab PT, dan
pembubaran PT. Menurut hemat penulis hal tersebut terjadi karena PT sangat butuh
kepastian hukum dalam dirinya sendiri, karena perusahaan ini memiliki keistimewaan
yang mana jika tidak diatur khusus dalam Undang-Undang akan membuat masalah-
masalah ke depannya, masalah itu berhubungan jika terjadi wanprestasi atau perbuatan
melawan hukum. Karena hakim membutuh pembuktian yang sangat jelas dalam hal
itu, sehingga kalau Undang-Undang tidak mengatur secara jelas bisa saja terjadi ke
tidak jelasan dalam penyelesaian sengketa di pengadilan.
PT bisa ditafsirkan sebagai lembaga yang kedudukannya sama dengan lembaga
negara karena PT adalah badan hukum yang berkedudukan sebagai subjek hukum.
Bedanya lembaga pemerintahan tidak bisa dibubarkan kecuali dengan peraturan
perundang-undangan. Akan tetapi PT bisa dibubarkan salah satunya dengan pengadilan
memutus PT Pailit(bangkrut) karena wanprestasi dan tidak bisa mengganti rugi.
Pada dasarnya, PT yang didirikan harus sesuai dengan maksud dan tujuannya serta
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan/atau
kesusilaan2. Sehingga pembubaran dan ketentuan lain dari berjalannya PT harus sesuai
dengan ketentuan-ketentuan tersebut.
Bisa di bayangkan akan sangat teliti dan benar-benar dengan data yang kuat untuk
dapat mempailitkan PT, karena di PT juga dipekerjakan pegawai yang tidak sedikit,
asset-aset dan kekayaan PT juga sangat banyak untuk di hitung sacara sederhana.

2
Johannes Ibrahim, 2006, Hukum Organisasi Perusahaan-Pola Kemitraan dan Badan Hukum, Refika
Aditama, Bandung, hlm 49
Sehingga wajar jika UUPT mengatur secara spesifik tentang kegiatan PT agar tidak
terjadi kesemerautan masalah di kemudian hari.
Beberapa waktu yang lalu muncul Putusan Mahkamah Agung Nomor 480 Tahun
2014(Putusan MA Nomor 480 K/pdt.Sus-Pailit/2014) yang menyebutkan bahwa Asas
Nebis In Idem yang mengatakan perkara yang sama setelah mendapat putusan hakim
yang in kracht tidak dapat lagi di ajukan di tingkat pengadilan yang sama, asas ini
tidak berlaku dalam perkara Kepailitan. Kemudian hal ini menjadi perubahan dalam
pendangan hukum keperdataan di Indonesia dan menjadi rujukan atau yurisprudensi
bagi hakim dalam memutus terhadap perkara dalam perkara kepailitan di PT dalam
pengadilan niaga.
Sangat jelas putusan MA tersebut sangat menyimpangi dari pembahasan penulis
dalam bagian-bagian sebelumnya, bahwa semua kegiatan dalam bernegara termasuk
dalam kegiatan swasta harus sesuai dengan hukum yang berlaku, kemudian muncul
putusan MA yang menyimpangi asas yang diserap dalam KUHPer yang merupakan
peraturan yang berlaku secara umum untuk ketentuan-ketentuan dalam peraturan lain
yang berhubungan denga kegiatan perdata termasuk dalam UUPT, yang dalam
KUHPer sendiri yaitu ketentuan Pasal 1917 KUHPer ada ketentuan mengenai asas
nebis in idem yang seharusnya di gunakan dalam PT dan dalam UU No 37 Tahun 2014
Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang dapat dipakai
sebagai asas yang diakui ketika beracara di pengadilan niaga.
Oleh karena penyimpangan asas tersebut penulis tertarik membahas secara
sosiologi hukum mengapa hakim mengambil keputusan untuk menolak asas nebis in
idem dalam perkara tersebut, dalam hal ini pembahasan penulis akan didasarkan
kepada putusan MA Nomor 480 K/Pds.Sus-Pailit/2014 yang merupakan perkara antara
PT Multi Structure melawan PT. Hidup Baruna, dalam hal kepailitan.
I.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana Kajian Sosiologis Terhadap Putusan MA Nomor 480 K/Pds.Sus-


Pailit/2014 Yang Menjadi Yurisprudensi Tidak Berlakunya Asas Ne Bis In
Idem Dalam Kepailitan?

2. Apa Dampak Asas Ne Bis In Idem Tidak Berlaku Dalam Perkara Pailit
Berdasarkan Putusan MA Nomor 480 K/Pds.Sus-Pailit/2014 Bagi
Masyarakat?
BAB II

PEMBAHASAN

II.1.1 Hukum Kepailitan di Indonesia


Untuk dapat memahami bagaimana Asas Ne Bis In Idem tidak berlaku dalam
perkara kepailitan, perlu kiranya dipahami terlebih dahulu mengenai dasar dari hukum
kepailitan di Indonesia dan juga mengenai keberlakuan asas Ne Bis In Idem dalam
perkara perdata dan juga ketentuan-ketentuan mengenai Asas Ne Bis In Idem dalam
Hukum Perdasa di Indonesia, untuk itu penulis menjabarkan penjelasan mengenai
Kepailitan dan Asas Ne Bis In Idem yang berlaku dalam hukum Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri perkembangan hukum kepailitan di Indonesia juga
dipengaruhi oleh perkembangan hukum kepailitan yang ada di negara-negara lain, yang
pada awalnya tidak hanya berhubungan dengan company atau perusahaan tapi juga
menyangkut dengan pribadi seseorang yang dalam artian jika seseorang memiliki
hutang dan tidak dapat membayar hutangnya dianggap pailit, dan orang tersebut
menjadi budak kepada kreditur hingga hutangnya terlunasi.
Pada awalnya, mekanisme yang berlaku di dalam hukum kepailitan melegalkan
penyanderaan fisik seseorang yang berhutang jika yang berhutang meninggal dunia
sampai keluarganya mau menebus hutang-hutangnya. Hal ini terutama terlihat dari
prinsip hukum kepailitan yang dulunya berlaku di negara Romawi3. Begitu sensitif nya
dunia kepailitan sehingga permasalahannya bisa berkembang dan selesai dalam waktu
yang lama. Hal ini karena pada dasarnya kepailitan adalah penundaan pembayaran
prestasi oleh debitur dan dengan peringatan berkali-kali tetap melakukan wanprestasi
atau perbuatan melawan hukum, sehingga cara yang terakhir yang paling efektif
Ultimum Remidium adalah dengan melakukan pailit kepada pihak yang melakukan
kerugian.

3
Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S. dan Sularto, S.H., CN., M.Hum, 2017, Hukum Kepailitan Dan
Keadilan Pancasila, Andi, Yogyakarta, hlm 65
Kepailitan berasal dari kata dasar pailit artinya bangkrut dan bangkrut sendiri
mengandung arti menderita kerugian besar hingga jatuh4. John M. Echols da Hassan
Shadily dalam Kamus Inggris-Indonesia terbitan gramedia Jakarta, menyebutkan
bahwa pailit berasal dari kata bangkruptcy artinya kebangkrutan atau kepailitan dan
bangkrupty mengandung arti bangkrut atau keadaan tidak mampu membayar hutang5.
Bahasa Prancis memaknai kata pailit dengan “failite” yang memiliki arti kemacetan
pembayaran, dan dalam bahasa Belanda digunakan istilah “failliet” serta dalam hukum
anglo America dalam undang-undangnya dikenal dengan istilah Bangkruptcy Act6.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang dimaksud dengan
kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas
sebagaimana diatur dalam UndangUndang ini. Kepailitan tidak serta merta dilakukan
atas keinginan pihak yang dirugikan saja untuk mengajukan pailit tapi juga ada syarat-
syarat yang harus di penuhi untuk menjadikan suatu keadaan bisa dinyatakan pailit.
Dilihat dari Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, terdapat 4 syarat-syarat
dapat di ajukannya pailit, yaitu:
a) Syarat adanya dua kreditor atau lebih,
b) Sayarat harus ada utang,
c) Syarat cukup satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
d) Syarat pemohon pailit.
Adanya dua kreditur ini berdasarkan atas tujuan yang terdapat dalam UU Tentang
KPKPU adalah untuk menghindari perebutan harta debitur apabila dalam jangka waktu
yang sama ada beberapa kreditur yang menagih piutangnya. Karena jika debitur hanya
memiliki satu orang kreditur, tentunya tidak terlalu sulit bagi kreditur untuk

4
WJS Poerwadarminta, 1999, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta
5
John M. Echols dan Hasan Shadily, 1979, Kamus INggris Indonesia, Gramedia, Jakarta
6
Prof. Dr. Sri Redjeki Hartono, 2007, Hukum Kepailitan, UMM press, Malang, hlm. 4
memperjuangkan hak dalam mendapatkan piutangnya. Dalam perjalanan pembayaran
utang, seluruh harta kekayaan debitur secara otomatis akan menjadi jaminan atas
terpenuhinya piutang kreditur tersebut berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata.
Dari pembahasan tersebut dapat dipahami bahwa begitu pentingnya ketelitian
dalam hal pelaksanaan pailit terhadap suatu PT sebagai badan hukum, karena
menyangkut pembayaran terhadap prestasi yang di utangkan debitur kepada kreditur.
Tentunya pelaksanaan pailit harus dilandasi dengan nilai-nilai yang dibentuk menjadi
asas dalam hukum, dalam kepailitan dikenal beberapa asas diantaranya, asas
keseimbangan, asas kelangsungan usaha, asas keadilan, dan asas integrasi, yang
kesemua asas ini menyimpulkan bahwa harus ada suatu hasil yang dapat melindungi
semua kepentingan pihak yang terlibat dalam permasalahan kepailitan, baik pemohon
maupun termohon pailit.
Kepailitan diadili di Pengadilan Niaga yang terdapat di pengadilan negeri wilayah
kabupaten/kota, jika suatu PT dinyatakan pailit tidak serta merta menjadikan hapusnya
seluruh kewenangan organ PT yaitu RUPS, Dewan Komisaris, dan Direksi. Direksi
masih memiliki kewanangan untuk mewakili PT untuk urusan tertentu diluar harta
kekayaan PT. 7
Ketika PT sudah dinyatakan pailit oleh pengadilan tepat pukul 00.00 WIB sesudah
putusan dibacakan, semua harta kekayaan debitur pindah untuk di lakukan pailit
dengan mekanisme nya oleh kurator sebagai pihak yang di beri mandat berdasarkan
UU tentang KPKPU, tapi dalam masa berikutnya keputusan pailit masih bisa dilakukan
upaya hukum yaitu kasasi ke Mahkamah Agung, karena di upaya hukum pailit tidak
dikenal dengan upaya hukum banding, itulah ke khususan pengadilan niaga dalam
kasus pailit. Selain upaya hukum kasasi, dalam perkara pailit juga di mungkinkan
upaya hukum peninjauan kembali (PK), dengan memenuhi 2 alasan yakni terdapat
bukti baru yang ditemukan setelah putusan diucapkan oleh hakim, dan/atau terdapat

7
Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S. dan Sularto, S.H., CN., M.Hum, Op.Cit., hlm. 89
kekeliruan dalam yang nyata pada putusan hakim atau hakim telah melakukan
pelanggaran berat dalam penerapan hukum.

II.1.2 Asas Ne Bis In Idem Dalam Hukum Perdata

Asas Ne Bis In Idem dapat dipahami sebagai asas yang menjunjung tinggi tentang
adanya kepastian hukum, asas ini berpendapat bahwa tidak boleh ada persilangan
pendapat tentang putusan hukum oleh hakim yang menyebabkan bisa nya diajukan lagi
gugatan yang sama untuk kasus yan sama dalam peradilan yang sama, jika suatu
putusan sudah di bacakan hakim, tidak ada lagi upaya hukum untuk di peradilan yang
sama, tapi tetap ada upaya hukum di tingkat pengadilan di atasnya.
Asas Ne Bis In Idem di sebut juga dengan Exception res judicata atau exceptie
van gewijsde zaak, yang artinya terhadap perkara yang sama tidak dapat diperkara dua
kali. Hukum perdata Indonesia yaitu KUHPer menangkap asas ini dalam salah satu
pasalnya, yang menjadikan dasar dalam pelaksnaan asas Ne Bis In Idem dalam hukum
perdata di Indonesia termasuk dalam perkara kepailitan yaitu Pasal 1917 KUHPer yang
berbunyi “ Kekuatan suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum
yang pasti hanya mengenai pokok perkara yang bersngkutan.
Untuk dapat menggunakan kekuatan itu, soal yang dituntut harus sama; tuntutan harus
didasarkan pada alasan yang sama; dan harus diajukan oleh pihak yang sama dan
terhadap pihak-pihak yang sama dalam hubungan yang sama pula”.
Berdasarkan penjabaran dari Pasal 1917 tersebut dapat kita jabarkan unsur-unsur
dari Ne Bis In Idem dalam perkara perdata meliputi:
a) Objek dari perkara harus sama;
b) Pihak yang menajukan harus sama;
c) Dan dengan dalil dalam gugatan yang sama.
Tiga unsur tersebut adalah dasar berlakunya Asas Ne Bis In Idem dalam perkara
perdata termasuk perkara kepailitan. Ke tiga unsur-unsur tersebut tidak dilihat
berdasarkan satu unsur saja,tapi diliht secara keseluruhan sebagai satu kestuan yang
utuh. Hal ini ditegaskn dalam Putusan MA No. 647/SIP/1973 yang menyatakan: “ ada
atau tidaknya asas Ne Bis In Idem tidak semata-mata ditentukan oleh para pihak saja,
melaikan terutama bahwa objek dari sengketa sudah diberi status tertentu oleh
Keputusan Pengadilan Negeri yang lebih dulu dan telah mempunyai kekuatan pasti dan
alasannya adalah sama”. Hal ini beralasan yang kuat karena bisa saja subjek hukum
memiliki banyak hubungan hukum dengan subjek yang sama namun dengan objek
hukum yang tidak sama.
Dalam pembahasan sebalumnya sudah dikatakan bahwa unsur-unsur dalam Ne
Bis In Idem terikat satu sama lain, sehingga jika satu saja unsur yang tidak terpenuhi
maka tidak dikatakan sebagai gugatan yang mengandung Ne Bis In Idem. Putusan yang
dapat menjadi contoh mislanya Putusan MA No. 102 K/Sip/1972, yang menyatakan:
“Apabila dalam perkara baru ternyata para pihak berbeda dengan pihak-pihak dalam
perkara yang sudah diputus lebih dulu, maka tidak ada ne bis in idem. Selain itu ada
juga Putusan MA No. 1121 K/Sip/1973 yang menyatakan: Perkara ini benar objek
gugatannya sama dengan perkara No. 597/Perd/1971/P.N. Mdn, tetapi karena pihak-
pihaknya tidak sama tidak ada Ne Bis In Idem.

II.1.3 Tidak Berakunya Asas Ne Bis In Idem Dalam Perkara Pailit Berdasarkan
Putusan MA No. 480 K/Pds.Sus-Pailit/2014

Dalam memutus hakim hanya terpaku terhadap apakah ada utang dan apakah
utang tersebut telah jatuh tempo. 8 Sehingga dapat dikatakan dalam perkara pailit hakim
melihat pembuktian secara sederhana, memang agak sedikit tidak sesuai dengan apa
yang terjadi dengan permasalahan pailit yang sebenarnya, pailit adalah sengketa
dengan mekanisme pembuktian yang kompleks dalam artian memiliki kesulitan yang
tinggi dalam membuktikan unsur-unsur yang dilanggar karena berhubungan dengan
kekayaan perusahaan yang memiliki aset dan kekayaan lainnya yang sangat kompleks
dalam penghitungannya. Tapi di sisi lain hakim meminta pembuktian yang sederhana,

8
Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S. dan Sularto, S.H., CN., M.Hum, Op.Cit., hlm. 325
hal ini menjadikan pihak yang dirugikan harus bekerja dengan sangat teliti untuk
membuktikan bahwa debitur benar-benar bisa dinyatakan pailit dengan pembuktian
yang sederhana.
Putusan MA No.480 K/Pds.Sus-Pailit/2014 adalah putusan Mahkamah Agung
mengenai sengketa pailit antara PT. Multi Structure sebagai Pemohon Kasasi I juga
Termohon Kasasi II dahulu Termohon Pailit melawan PT. Hidup Baruna sebagai
Termohon Kasasi I juga Pemohon Kasasi II dahulu Pemohon Pailit.
Sebelum sampai ke tahap kasasi, telah terjadi permohonan pailit yang diajukan
oleh PT. Hidup Baruna sebagai pemohon, kepada PT. Multi Structure sebagai
termohon, ke pengadilan niaga, pada pengadilan negeri Jakarta Barat. Permohonan
diajukan karena dalam praktek pelaksanaan perjanjian PT.Multi Structure telah
melakukan wanprestasi berkali-kali terhadap peranjian yang dibentuk bersama, yaitu
perjanjian sewa menyewa alat compactor dan perlengkapan lainnya untuk menunjang
kerja compactor. Yang mena perjanjiannya telah dibentuk sedemikian rupa dan
disepakati bersama oleh kedua belah pihak. Dalam perjanjian pembayaran dilakukan
30 hari kalender sejak invoice diterima dan dinyatakan lengkap oleh termohon yaitu
dengan dibuktikan dengan diberikannya Tanda Terima Kwitansi (TTK), tetap setelah
beberap kali dilakukan pengiriman alat compactor dan kelengkapannya dan telah
masuk waktu pembayaran tetap saja PT.Multi Structure tidak membayar sewa alat
tersebut.
Setelah beberaa waktu PT. Hidup Baruna menghitung kerugiannya karena
perbuatan PT. Multi Structure yang tidak membayar sewa, setalah di hitung utang dari
MT. Multi Structure berjumlah Rp. 725.678.216.67(tujuh ratus dua puluh lima juta
enam ratus tujuh puluh delapan ribu dua ratus enam belas rupiah enam puluh tujuh
sen). Dengan utang sejumlah tersebut pemohon telah berkali-kali mencoba menagih
kepada termohon untuk membayar utangnya tapi tagihan dari pemohon tidak di
indahkan oleh termohon, tagihan secara baik-baik tidak di indahkan termohon
kemudian pemohon atas tagihan tersebut melayangkan somasi kepada termohon
namun termohon masih juga tida membayar utangnya kepada pemohon.
Setelah memberikan somasi sebanyak tiga kali akhirnya pemohon mengambil
langkah untuk mengajukan permohonan pailit termohon ke Pengadilan Niaga, pada
Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU 37 Tahun 2004
tentang PKPU pailit harus minimal 2 kreditur, dan tidak membayar lunas sediktnya 1
utang. Oleh karena itu pihak termohon mencari data mengenai pihak-pihak lain yang
mungkin di utangi oleh termohon, setelah mencari-cari akhirnya didapati bahwa
termohon memiliki utang lain kepada:
1. Azwar, beralamat di Pondok Mutiara Blok K-9, Pakanbaru, mempunyai tagihan
kepada Termohon sebesar Rp2.781.801.000,00 (dua miliar tujuh ratus delapan
puluh satu juta delapan ratus satu ribu rupiah) yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih namun Termohon sampai saat ini belum juga membayar kewajibannya;
2. Lay Herdiyanto dalam kedudukannya sebagai Pribadi (diri sendiri) yang beralamat
di Jalan Siak II km 17 Palas-Pekanbaru, mempunyai tagihan kepada Termohon
sebesar Rp2.009.670.642,00 (dua miliar sembilan juta enam ratus tujuh puluh ribu
enam ratus empat puluh dua rupiah) yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih namun
Termohon sampai saat ini belum juga membayar kewajibannya.
Dengan adanya lebih dari 1 kreditur yang di utangi oleh termohon berarti teah
dipenuhinya syarat pemohon untuk dapat menyatakan pailit pihak pemohon, kemudian
di ajukanlah permohonan ke pengadilan niaga pada pengadilan negeri Jakarta Barat.
Setelah melalui tahap demi tahap termasuk ada eksepsi oleh pihak termohon,
permohonan rekonvensi oleh pihak termohon pembuktian, jawab jinawab dan semua
proses beracara di pengadilan niaga, akhirnya hakim memutus untuk menolah
permohonan pailit yang diajukan oleh PT. Hidup Baruna sebagai pemohon I melawan
PT.Multi Structure sebagai termohon 1.
Jika dilihat dari apa yang terjadi terhadap permohonan tersebut dapat dilihat
bahwa terjadi putusan yang tidak sesuai dengan apa yang terjadi, karena jelas-jelas
dalam permohonan ini merugikan pihak pemohon yang nyata-nyata dirugikan atas
utang dari pihak termohon yang tidak dibayar dalam perjanjian sewa menyewa, tapi
dalam putusan hakim menolak permohonan tersebut, sungguh sesuatu yang sebenarnya
tidak dapat di terima dengan hati nurani.
Karena tidak dapat menerima hasil putusan pengadilan niaga tersebut, pihak
pemohon dalam hal ini PT. Hidup Baruna mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung,
Permohonan yang di ajukan oleh PT. Hidup Baruna adalah sama dengan yang diajukan
ke pengadilan niaga pada pengadilan negeri Jakarta Barat. Pihak termohon dalam hal
ini PT. Multi Structure juga mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung yang dalam
permohonannya mengokohkan putusan dari pengadilan niaga yang memutus menolak
permohonan tersebut sehingga PT. Hidup Baruna tidak dapat melakukan permohonn
baru ke pengadilan niaga karena putusan tersebut sudah bersifat in kracht.
Atas dua permohonan tersebut Mahkamah Agung memutus dalam Putusan MA
No.480 480 K/Pds.Sus-Pailit/2014 bahwa Mahkamah Agung menolak permohonan
kasasi dari kedua belah pihak, dengan alasan sebagai berikut:
• Bahwa alasan-alasan dalam memori kasasi dari Pemohon Kasasi I (PT Hidup
Baruna) tersebut tidak dapat dibenarkan dan Judex Facti telah tepat dan benar dalam
pertimbangannya karena perjanjian antara PT Multi Structure dan PT Hidup Baruna
adalah perjanjian sewa Compactor padfoot dan bukan perjanjian kredit/hutang
piutang sehingga bila salah satu pihak tidak dapat memenuhi/membayar harga
sewa maka tidak serta merta dapat mengajukan permohonan pailit tapi diperlukan
pembuktian melalui mekanisme persidangan perkara perdata umum terlebih dahulu;
• Bahwa sedangkan mengenai permohonan pemeriksaan kasasi pihak PT Multi
Structure mengenai pertimbangan hukum Judex Facti terkait eksepsi yang
diajukannya, menurut pertimbangan Majelis Kasasi, pertimbangan hukum Judex
Facti mengenai eksepsi dimaksud telah tepat dan benar, karena dalam
permohonan pernyataan pailit dapat saja terjadi pihak-pihaknya berbeda dalam
setiap pengajuan permohonan pernyataan pailit dimana kreditur dapat lebih dari satu
dan masing-masing kreditor tersebut dapat mengajukan permohonan pernyataan
pailit secara sendiri-sendiri sehingga komposisi pihak setiap pengajuan perkara
dapat saja menjadi berbeda-beda dan tidak tunduk dalam rezim ne bis in idem;
Putusan ini memiliki kesimpulan bahwa dalam permohonan tersebut hakim
memutuskan menolak Permohonan dari PT.Hidup Baruna untuk mempailitkan
PT.Multi Structure karena alasan tersebut. Dan mahkamah juga menolak permohonan
dari PT.Multi Structure yang memohonkan agar putusan ini tidak dapat dimohonkan
lagi untuk waktu berikutnya karena sudah memasuki rezim nebis in idem.
Dapat dilihat dalam putusan ini bahwa asas Ne Bis In Idem tidak berlaku pada
perkara pailit, karena pada konsep dasarnya perkara pailit ini adalah permohonan, jika
permohonan telah diputus bisa dimohonkan lagi. Kemudian dalam hal pembuktian,
putusan ini tepat sekali karena pada dasarnya pembuktian dalam permohonan pailit
sangat rumit karena menyangkut harta kekayaan yang mungkin bisa bertambah dan
berkurang sewaktu waktu, apalagi dalam kasus ini hubungan dari PT. Hidup Baruna
dengan PT. Multi Structure adalah hubungan dalam perjanjian sewa menyewa bukan
utang piutang, sehingga perlu dilakukan penyelesaian masalah berdasarkan aturan
dalam sewa menyewa terlebih dahulu yaitu persidangan melalui siding perdata umum
terlebih dahulu di pengadilan negeri.
Kemudian dimungkinkan juga suatu permohonan untuk pailit diajukan jika suatu
saat pembuktian yang sederhana bisa menjadi sederhana sehingga permohonan bisa
dilakukan lagi. 9 Sangat kompleks permasalahan dalam hukum pailit, pihak yang nyata-
nyata sudah dirugikan belum tentu bisa diputus menang karena memang mekanisme
dalam peradilan ini yang membutuhkan perhitungan yang matang dengan teliti akan
tetapi harus dapet dibuktikan dengan pembuktian yang sederhana.

9
Hukumonline.com, 2016, https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol14311/garuda-indonesia-lolos-dari-
ancaman-pailit, diakses pada tanggal 28 Oktober 2018 pukul 16.24 WIB
II.2. Dampak Asas Ne Bis In Idem Tidak Berlaku Dalam Perkara Pailit
Berdasarkan Putusan MA Nomor 480 K/Pds.Sus-Pailit/2014 Bagi Masyarakat

Berbeda dengan kasus pidana yang mana jika hakim telah memutus kasus dapat
dipastikan terdakwa akan dijatuhi pidana dan/atau denda yang sesuai dengan perbuatan
terdakwa sesuai dengan peraturan yang berlaku, sengketa dalam perdata khususnya
dalam permohonan pailit tidak dapat dilihat seperti halnya pidana karena objek dalam
permasalahan perdata adalah pembuktian tentang siapa yang berhak dan kesalahan itu
apakah sudah jatuh temponya, dengan kemahiran penasehat hukum dalam persidangan
bisa saja menjadi abu-abu pihak mana yang menang dan pihak mana yang kalah dalam
persidangan pailit. Pembuktian diminta sederhana, tapi objek dari pembuktiannya
adalah objek yang rumit dan kompleks dalam pendataannya.
Putusan tentang tidak berlakunya rezim Ne Bis In Idem ini menjadi dasar kekuatan
bagi masyarakat untuk meminta keadilan terhadap haknya yang belum terpenuhi,
apalagi pihak yang dirugikan lebih lemah dari pihak yang merugikan, bisa saja pihak
yang kuat dengan argument hukumnya bisa mengalahkan pihak yang lebih lemah
dalam persidangan, kemudian jika berlaku juga asas ini dapat menjadikan hukum
menjadi aturan yang abu-abu karena sulit membedakan mana pihak yang salah dan
pihak yang benar. Lagi-lagi karena permasalahan dalam hukum kepailitan bukan
masalah yang sederhana walaupun pembuktiannya diminta dengan sesederhana
mungkin.
Dengan berlakunya putusan ini menjadikan pembahruan hukum yang nyata dalam
hukum acara kepailitan di Indonesia, karena dapat memberikan rasa keadilan yang
lebih dalam hukum kepailitan di Indonesia, pihak-pihak yang nyata-nyata dirugikan
tapi karena tidak dapat membuktikan dengan pembuktian yang sederhana bisa saja jika
dalam suatu keadaan bisa membuktikan pailit tersebut dengan lebih sederhana untuk
mengajukan permohonan kembali ke pengadilan niaga.
BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, terdapat 4 syarat-
syarat dapat di ajukannya pailit, yaitu adanya dua kreditor atau lebih, harus ada
utang, cukup satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dan adanya
pemohon pailit. Jika terpenuhi semua dari persyaratan tersebut dapat dilakuan
permohonan pailit baik oleh kreditur maupun debitur.
2. Asas Ne Bis In Idem mengatakan terhadap perkara yang sama tidak dapat
diperkara dua kali. Berdasarkan penjabaran dari Pasal 1917 KUHPer dapat kita
jabarkan unsur-unsur dari Ne Bis In Idem dalam perkara perdata meliputi objek
dari perkara harus sama, pihak yang menajukan harus sama, dan dengan dalil
dalam gugatan yang sama. Setiap unsur adalah satu kesatuan sehingga tidak
dapat dilihat sepotong. Asas ini berlaku delam semua kegiatan hukum acara
perdata karena terdapat dalam ketentuan KUHPer
3. Terhadap ketentuan Ne Bis In Idem ini terdapat pengecualian dalam
permohonan pailit didasarkan atas Putusan MA No. 480 K/Pds.Sus-Pailit/2014,
jika suatu saat pembuktian yang sederhana bisa menjadi sederhana sehingga
permohonan bisa dilakukan lagi, dan karena pada dasarnya permasalahan pailit
diajukan dalam bentuk permohonan bukan gugatan, sehingga dapat diajukan
berkali-kali.
4. Dengan berlakunya putusan ini menjadikan pembahruan hukum yang nyata
dalam hukum acara kepailitan di Indonesia, karena dapat memberikan rasa
keadilan yang lebih dalam hukum kepailitan di Indonesia, pihak-pihak yang
nyata-nyata dirugikan tapi karena tidak dapat membuktikan dengan pembuktian
yang sederhana bisa saja jika dalam suatu keadaan bisa membuktikan pailit
tersebut dengan lebih sederhana untuk mengajukan permohonan kembali ke
pengadilan niaga.

III.2 Saran

Adapun saran yang penulis berikan adalah supaya hakim dalam penegakan hukum
khususnya dalam hukum kepailitan dapat dilaksanakan dengan melihat nilai-nilai lain
yang ada selain yang terdapat dalam hukum positif yang berhubungan dengan
pengaturan mengenai kepailitan, perlu diimbangi dengan pemikiran yang progresif
yang membuat hakim dapat menilai permasalahan secara kompleks dan menyeluruh
melalui pembuktian yang diharapkan, dan dapat diputus berdasarkan keadilan untuk
semua pihak dalam permohonan.
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

H.M.N. Purwosutjipto, 2007, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia,


Djambatan, Jakarta

Johannes Ibrahim, 2006, Hukum Organisasi Perusahaan-Pola Kemitraan dan Badan


Hukum, Refika Aditama, Bandung

Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S. dan Sularto, S.H., CN., M.Hum, 2017, Hukum
Kepailitan Dan Keadilan Pancasila, Andi, Yogyakarta

WJS Poerwadarminta, 1999, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta

John M. Echols dan Hasan Shadily, 1979, Kamus INggris Indonesia, Gramedia,
Jakarta

Prof. Dr. Sri Redjeki Hartono, 2007, Hukum Kepailitan, UMM press, Malang, hlm. 4

Peraturan Perundang-Undangan:
UUD NRI Tahun 1945

KUHPer (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang

Putusan Mahkamah Agung Nomor 480 K/Pds.Sus-Pailit/2014

Internet:
Hukumonline.com, 2016,
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol14311/garuda-indonesia-lolos-dari-
ancaman-pailit, diakses pada tanggal 28 Oktober 2018 pukul 16.24 WIB

Anda mungkin juga menyukai