Anda di halaman 1dari 92

ANALISIS KEMISKINAN SPASIAL DAN KAITANNYA DENGAN

SERTIFIKASI TANAH DAN PENGGUNAAN LAHAN PERTANIAN DI


KABUPATEN MAMUJU

RINGKASAN
Permasalahan kemiskinan masih merupakan isu strategis di Kabupaten Mamuju Provinsi
Sulawesi Barat. Tingkat kemiskinan pada tahun 2015 sebesar 6.7%, tetapi laju penurunannya
setiap tahun masih sangat lambat. Meskipun merupakan ibukota provinsi, sebagian besar
wilayah Kabupaten Mamuju merupakan wilayah perdesaan, bahkan memiliki luasan kawasan
hutan mencapai 76%. Sektor basis perekonomian adalah pertanian dengan kontribusinya dalam
struktur PDRB tahun 2015 sebesar 36.4% dan persentase angkatan kerja di sektor pertanian
sebesar 59.1%.
Salah satu karakteristik kemiskinan di Indonesia adalah di daerah perdesaan dimana
sebagian besar penduduknya adalah petani. Memahami hubungan antara kemiskinan dengan
faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah penting untuk menentukan kebijakan yang tepat.
Penelitian ini bertujuan menganalisis pola spasial kemiskinan dan kaitannya dengan faktor-
faktor yang mempengaruhinya secara spasial dan spesifik lokasi.
Penelitian ini menggunakan data cross section tahun 2015 dari 97 desa/kelurahan. Data
yang digunakan adalah data tingkat kemiskinan, sertifikasi tanah, penggunaan lahan pertanian,
tenaga kerja di sektor industri, jarak ke ibukota dan dana desa . Analisis spasial kemiskinan
dilakukan dengan pendekatan Indeks Moran untuk mengetahui pola spasial kemiskinan.
Analisis keterkaitan antara tingkat kemiskinan setiap desa/kelurahan dengan faktor yang
diduga mempengaruhinya menggunakan pendekatan Geographically Weighted Regression
(GWR).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase penggunaan lahan pertanian pada tahun
2015 adalah lahan kebun/perkebunan (15.57%), sawah (2.11%), tegalan/ladang (3.30%) dan
tambak (0.82%). Hasil analisis sertifikasi tanah menunjukkan bahwa persentase luas lahan
yang telah bersertifikat di setiap desa/kelurahan cukup bervariasi, tetapi sebagian besar masih
di bawah 10%. Hasil analisis spasial kemiskinan menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan
desa/kelurahan di Kabupaten Mamuju bervariasi dan polanya bersifat mengelompok
(clustered). Hasil analisis GWR menunjukkan bahwa faktor jumlah sertifikat tanah, persentase
luas penggunaan lahan perkebunan, lahan sawah, persentase luas lahan tambak, persentase luas
lahan tegalan/ladang, persentase tenaga kerja di sektor industri mikro dan kecil, jarak ke
ibukota dan dana desa terbukti berpengaruh signifikan secara bervariasi terhadap tingkat
kemiskinan desa/kelurahan.
Implikasi kebijakan yang dapat mengurangi kemiskinan adalah penerapan kebijakan
yang bersifat spesifik lokasi desa/kelurahan melalui peningkatan jumlah sertifikasi tanah,
peningkatan luas lahan perkebunan/kebun, lahan tambak, lahan tegalan, peningkatan tenaga
kerja di sektor industri mikro kecil, peningkatan dana desa, perbaikan dan pembangunan
insfrastruktur jalan.

Kata kunci: GWR, kemiskinan, penggunaan lahan, sertifikasi tanah.


1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Permasalahan kemiskinan masih merupakan isu strategis di Kabupaten Mamuju Provinsi
Sulawesi Barat. Angka kemiskinan Kabupaten Mamuju pada Tahun 2015 tercatat sebesar
6.7%, tetapi laju penurunan angka kemiskinan masih sangat lambat. Persentase penduduk
miskin dari tahun 2011 hingga tahun 2015 secara berturut-turut 7.59%, 7.11%, 6.81%, 6.72%
dan 6.7% (BPS Kab Mamuju 2017b).. Angka gini rasio juga menunjukkan laju penurunan yang
tidak konsisten, dimana pada tahun 2015 justru mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya.
Angka gini rasio Kabupaten Mamuju secara berturut-turut dari tahun 2011 hingga tahun 2015
adalah 0.42, 0.36, 0.35, 0.33 dan 0.36 (BPS Kab Mamuju 2017b).
Seperti halnya kemiskinan di daerah lain bahwa konsentrasi penduduk miskin terdapat
pada daerah dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) rendah. Pendapatan perkapita
penduduk Kabupaten Mamuju hanya sebesar 30.93 juta, masih jauh di bawah rata-rata
pendapatan perkapita penduduk Indonesia yang mencapai 45.2 juta (BPS Prov.Sulbar 2016a).
Rendahnya pendapatan perkapita penduduk tersebut merupakan indikasi masih rendahnya
tingkat kesejahteraan penduduk Kabupaten Mamuju.
Sektor utama penggerak pertumbuhan perekonomian di Kabupaten Mamuju adalah
sektor pertanian, kehutanan dan perikanan. Hal ini nampak pada kinerja kategori ini di
sepanjang tahun 2015 yang sangat dominan dibandingkan sektor lainnya. Pada tahun 2015,
kategori pertanian, kehutanan dan perikanan memberikan kontribusi sebesar 36.40% dalam
perekonomian Provinsi Sulawesi Barat (BPS Kab.Mamuju 2016b).
Kemiskinan di Kabupaten Mamuju terus diupayakan untuk ditanggulangi dan merupakan
salah satu prioritas perhatian pemerintah. Berbagai program penanggulangan kemiskinan telah
dilaksanakan pemerintah melalui program di berbagai kementerian dan lembaga, tetapi
permasalahan kemiskinan ini masih sulit teratasi. Upaya penanggulangan kemiskinan
sepertinya tidak cukup hanya dengan kebijakan-kebijakan yang bersifat umum dan melalui
pendekatan sektoral yang selama ini dilaksanakan. Pendekatan spasial dan lokalitas diperlukan
untuk mengetahui sampai ke akar permasalahan sehingga solusi dan program kerja
penanggulangan kemiskinan dapat disesuaikan dengan karakteristik daerah tersebut. Penelitian
yang dilakukan oleh Nashwari (2016) dalam menganalisis kemiskinan petani tanaman pangan
di Provinsi Jambi dan Jawa Barat menyimpulkan bahwa unit analisis yang lebih kecil
(kecamatan) terbukti lebih sensitif dan mampu menangkap keragaman lebih spesifik daripada
unit yang lebih besar (kabupaten). Dengan pendekatan yang sama, upaya mengatasi kemiskinan
di Kabupaten Mamuju akan dianalisis dengan memilih wilayah yang lebih kecil yaitu
Kabupaten dengan unit analisisnya desa dan kelurahan.
Kabupaten Mamuju dipilih sebagai lokasi penelitian karena memiliki karakteristik yang
unik. Meskipun merupakan ibukota provinsi, sebagian besar wilayah Kabupaten Mamuju
terdiri dari wilayah perdesaan dan sebagian besar merupakan kawasan hutan. Besarnya
kontribusi sektor pertanian (dalam arti luas
termasuk kehutanan dan perikanan) menegaskan bahwa sektor pertanian merupakan sektor
penting dalam perekonomian. Sektor industri di Kabupaten Mamuju hanya berkontribusi
sebesar 3.32% dalam struktur PDRB. Jika dilihat dari angkatan kerja yang dapat terserap di
pasar kerja, angkatan kerja terserap pada semua kategori ekonomi dengan persebaran yang
cukup bervariasi, tetapi sektor pertanian merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja
terbesar di Kabupaten Mamuju yaitu mencapai 59.10% (BPS Kab.Mamuju 2016b).
Secara geografis Kabupaten Mamuju merupakan wilayah dengan topografi yang
berbukit-bukit dan hanya sebagian kecil wilayah dengan topografi datar. Sebagian besar
wilayahnya juga masih merupakan kawasan hutan. Menurut data dari Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi Sulawesi Barat (Kanwil BPN Sulbar), Kawasan Hutan dan
konservasi mencakup sekitar 76% wilayah Kabupaten Mamuju (Kanwil BPN Prov Sulawesi
Barat 2016). Akses antar wilayah juga terbatas pada satu jalur penghubung utama tanpa adanya
jalan lain sebagai alternatif. Secara umum keadaan wilayah geografis dan akses jalan dapat
diindikasikan sebagai faktor penghambat perkembangan perekonomian dan berpengaruh
terhadap kemiskinan.
Program pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan diharapkan sejalan dengan visi
Pemerintah yang tertuang dalam salah satu dari sembilan agenda prioritas (NAWACITA),
yaitu “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa
dalam rangka negara kesatuan”. Upaya penanganan kemiskinan oleh pemerintah saat ini
diharapkan dimulai dari daerah- daerah pinggiran dan pedesaan dengan memperkuat basis-
basis perekonomian masyarakat pedesaan. Program pemerintah yang sudah dan sedang
berjalan melalui kementerian-kementerian untuk mendukung visi Pemerintah saat ini di
antaranya Program Percepatan Legalisasi Aset Tanah dan Program Dana Desa.
Program Percepatan Legalisasi Aset, yaitu program percepatan pensertifikatan tanah
dengan strategi dari daerah pinggiran, dilaksanakan melalui Proyek Nasional Agraria (Prona),
Redistribusi Tanah serta Sertifikasi Tanah Lintas Sektor. Kantor Pertanahan Kabupaten
Mamuju tercatat dari tahun 2010 hingga tahun 2016 telah melaksanakan Program Percepatan
Legalisasi Aset sebanyak 38,069 sertifikat. Sertifikasi tanah merupakan salah satu upaya
pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat golongan ekonomi lemah
sampai dengan menengah. Hal ini sebagai wujud pelaksanaan tugas pemerintahan di bidang
pertanahan dalam mendorong tumbuhnya sumber– sumber ekonomi masyarakat. Tanah milik
yang telah bersertifikat selanjutnya diharapkan dimanfaatkan sebagai penguatan modal usaha,
sehingga dapat berkontribusi nyata dalam peningkatan kesejahteraan.
Program Dana Desa dilakukan dalam mempercepat pembangunan desa dengan
memperkuat sisi anggarannya. Pengalokasian Dana Desa dilakukan dengan menggunakan
alokasi yang dibagi secara merata dan alokasi yang dibagi berdasarkan jumlah penduduk, luas
wilayah, angka kemiskinan, dan tingkat kesulitan geografis. Dana Desa digulirkan oleh
Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia
serta penanggulangan kemiskinan, pemanfaatan potensi lokal desa dan juga pelayanan publik
untuk masyarakat desa. Tahun 2015, Kabupaten Mamuju mendapat kucuran Dana Desa sebesar
24.9 milyar rupiah yang telah dibagikan kepada 88 desa, dengan rata-rata sebesar 257 juta
rupiah untuk setiap desa.
Rumusan Masalah

Pendekatan dalam penanggulangan kemiskinan masih dilakukan secara umum untuk


seluruh wilayah, termasuk di Kabupaten Mamuju. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kemiskinan sudah banyak dilakukan oleh penelitian- penelitian sebelumnya. Namun
keragaman pengaruh faktor-faktor tersebut secara spasial dan lokasional belum cukup
diketahui. Memahami hubungan antara kemiskinan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
secara spesifik lokasi adalah penting untuk menentukan kebijakan yang tepat dan bermanfaat.
Upaya pemerintah mengatasi kemiskinan melalui program-program dari seluruh
kementerian untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, memerlukan data sasaran yang
tepat dan rinci serta program yang sesuai dan tepat sasaran. Kebijakan yang tepat terhadap
sektor pertanian merupakan salah satu yang terpenting karena sektor pertanian merupakan
sektor basis perekonomian Kabupaten Mamuju dan sebagian besar masyarakat bekerja di
sektor pertanian. Kebijakan yang bersentuhan dengan sektor pertanian diantaranya adalah
kebijakan Redistribusi Tanah. Redistribusi Tanah merupakan pembagian lahan beserta
sertifikatnya kepada penduduk di wilayah tersebut yang bertujuan untuk terbukanya akses bagi
masyarakat untuk memiliki dan mengusahakan tanah guna meningkatkan kesejahteraan hidup.
Pelaksanaan di lapangan, penulis menemukan bahwa program Redistribusi Tanah oleh Kantor
Pertanahan Kabupaten Mamuju tidak memiliki acuan prioritas lokasi pelaksanaan setiap tahun.
Program sertifikasi tanah di Kabupaten Mamuju telah dilaksanakan setiap tahun. Jumlah
realisasi setiap tahunnya berbeda-beda untuk setiap daerah. Pelaksanaan Program Percepatan
Legalisasi Aset di Kabupaten Mamuju, jika dilihat dari persentase persebaran realisasi
sertifikat per kecamatan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Persentase realisasi program sertipikasi tanah Tahun 2010-2016 per kecamatan di
Kabupaten Mamuju
Sumber: Kantor Pertanahan Kabupaten Mamuju (diolah 2017)
Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa pelaksanaan program Legalisasi Aset belum merata
untuk wilayah Kabupaten Mamuju. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap upaya pemerintah
dalam mengatasi kemiskinan. Untuk itu diperlukan adanya penelitian untuk melihat kondisi
secara spasial persentase daerah yang telah bersertifikat dan lokasi yang memiliki pengaruh
sertifikat terbesar terhadap kemiskinan sehingga dapat digunakan sebagai sumber acuan bagi
Kantor Pertanahan dalam penentuan lokasi yang paling tepat untuk pelaksanaan program
sertifikasi di tahun berikutnya.
Selain dari faktor penggunaan lahan pertanian dan sertifikasi tanah, faktor lainnya seperti
faktor geografis yang diwakili oleh akses jarak ke ibukota kabupaten, pengaruh sektor industri
rumah tangga/industri kecil, serta program dana desa yang baru berjalan di Tahun 2015 juga
akan dilihat pengaruhnya terhadap kemiskinan di desa/kelurahan. Setelah semua faktor
dianalisis dan diketahui pengaruhnya terhadap kemiskinan, informasi yang dihasilkan
diharapkan dapat menjadi acuan kebijakan dalam upaya pengentasan kemiskinan.
Maka dari beberapa masalah di atas, dapat disusun dan diidentifikasi masalah penelitian
sebagai berikut :
1. Bagaimana penggunaan lahan pertanian dan sertifikasi tanah di Kabupaten Mamuju
Tahun 2015?
2. Bagaimana pola spasial kemiskinan di Kabupaten Mamuju tahun 2015?
3. Bagaimana kaitan sertifikasi tanah, penggunaan lahan pertanian dan faktor lain yang
diindikasikan berpengaruh terhadap kemiskinan secara spesifik lokasi desa/kelurahan?
4. Kebijakan apa yang tepat dalam upaya mengurangi kemiskinan di Kabupaten Mamuju?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk
menjawab masalah penelitian tersebut di atas, yaitu:
1. Menganalisis penggunaan lahan pertanian dan sertifikasi tanah Tahun 2015.
2. Menganalisis pola spasial kemiskinan di Kabupaten Mamuju Tahun 2015.
3. Menganalisis kaitan sertifikasi tanah, penggunaan lahan pertanian dan faktor lain yang
diindikasikan berpengaruh terhadap kemiskinan secara spesifik lokasi desa/kelurahan
4. Menyusun alternatif kebijakan untuk pengurangan kemiskinan di Kabupaten Mamuju
dan dikaitkan dengan usulan perencanaan dan program pembangunan daerah

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini berfokus pada melihat keterkaitan sertifikasi tanah, penggunaan lahan
pertanian dan faktor lainnya yang diindikasikan berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan
desa/kelurahan. Data tingkat kemiskinan desa/kelurahan merupakan data tingkat kesejahteraan
dari TNP2K yang disesuaikan dengan data publikasi BPS.
2 TINJAUAN PUSTAKA

Kemiskinan

Sajogyo (1987) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu tingkat kehidupan yang


berada di bawah standar kebutuhan hidup minimum. Standar kebutuhan hidup minimum
tersebut ditetapkan berdasarkan atas kebutuhan pokok pangan yang membuat orang
cukup bekerja dan hidup sehat didasarkan pada kebutuhan beras dan kebutuhan gizi.
Rustiadi et al.(2009) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu keadaan dimana tingkat
pendapatan seseorang menyebabkan dirinya tidak dapat mengikuti tata nilaidan norma-
norma yang berlaku di masyarakat. Yustika (2003) mendefenisikan kemiskinan dengan
memahaminya sebagai akibat dari kebijakan yang timpang terhadap (1) kepemilikan
modal, (2) kepemilikan tanah dan akses, serta (3) ketidakserasian aktivitas yang dikerjakan.
Ravallion (1998) menjelaskan tingkat kemiskinan dapat diukur dengan tiga tahapan: (1)
mendefenisikan suatu indikator kesejahteraan (welfare indicator), misalnya pegeluaran per
kapita (2) menentukan standar minimum indikator tersebut untuk mengidentifikasi penduduk
miskin, misalnya garis kemiskinan, dan
(3) menghitung ukuran statistik yang merangkum informasi distribusi indikator kesejahteraan
tersebut dan posisinya relative terhadap standar minimum, contohnya headcount index yang
akurat.
Beberapa model pengukuran kemiskinan yang digunakan selama ini adalah:
1. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN 1992) mengukur kemiskinan
berdasarkan kriteria pemenuhan Indikator Ekonomi dan Indikator Non Ekonomi: (a)
Keluarga Pra Sejahtera (Pra KS) (Sangat Miskin), (b) Keluarga Sejahtera I (KS I)
(Miskin), (c) Keluarga Sejahtera II (KS II), dan (d) Keluarga Sejahtera III (KS III).
2. BPS (2016a) menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need
approach) dan menghasilkan data kemiskinan makro dan data kemiskinan mikro.
Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur
dari sisi pengeluaran. Data kemiskinan makro bersumber dari Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas), juga digunakan Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD)
sebagai informasi tambahan yang dipakai untuk memperkirakan proporsi pengeluaran
masing- masing komoditi pokok non makanan. Indikator kemiskinan yang dihasilkan
diantaranya adalah persentase penduduk miskin, yaitu persentase penduduk yang
pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan (Po/Head Count Index), Indeks
Kedalaman Kemiskinan (P1/Poverty Gap Index), dan Indeks Keparahan Kemiskinan
(P2/Poverty Severity Index). Pendekatan kebutuhan dasar ditentukan melalui Garis
Kemiskinan sebagai batas standar minimum pengeluaran per kapita dengan menghitung
biaya yang dikeluarkan untuk konsumsi makanan yang memenuhi syarat nutrisi yang
cukup yaitu 2100 kalori per orang per hari dan biaya kebutuhan penting lainnya seperti
pakaian, kesehatan, dan tempat tinggal.
3. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang merupakan
Lembaga yang dibentuk sebagai wadah koordinasi lintas sektor dan lintas pemangku
kepentingan di tingkat pusat yang diketuai Wakil Presiden Republik Indonesia, bertujuan
untuk menyelaraskan berbagai kegiatan percepatan penanggulangan kemiskinan. Basis
Data Terpadu (BDT) diperoleh dari hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial
(PPLS) yang dilaksanakan oleh BPS pada Tahun 2011, kemudian diolah lebih lanjut oleh
TNP2K untuk diurutkan menurut peringkat kesejahteraan dan status sosial ekonominya.
PPLS didasarkan pada pendekatan karakteristik rumah tangga, bukan dengan pendekatan nilai
konsumsi pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum seperti pada data kemiskinan
makro. Indikator-indikator yang digunakan ada sebanyak 14 variabel, yaitu: (1) luas lantai rumah;
(2) jenis lantai rumah; (3) jenis dinding rumah; (4) fasilitas tempat buang air besar; (5) sumber air
minum;
(6) penerangan yang digunakan; (7) bahan bakar yang digunakan; (8) frekuensi makan dalam
sehari; (9) kebiasaan membeli daging/ayam/susu; (10) kemampuan membeli pakaian; (11)
kemampuan berobat ke puskesmas/poliklinik; (12) lapangan pekerjaan kepala rumah tangga; (13)
pendidikan kepala rumah tangga; dan (14) kepemilikan aset. Metode yang digunakan adalah sistem
skoring, yaitu setiap variabel diberi skor yang diberi bobot dan bobotnya didasarkan pada besarnya
pengaruh dari setiap variabel terhadap kemiskinan. Jumlah variabel dan besarnya bobot berbeda di
setiap kabupaten. Dari bobot masing-masing variabel terpilih untuk setiap kabupaten/kota
selanjutnya dihitung indeks skor rumah tangga. Selanjutnya indeks diurutkan dari terbesar sampai
terkecil, semakin tinggi nilainya, maka semakin miskin rumah tangga tersebut (BPS, 2011).
TNP2K menggunakan BDT yaitu sistem data elektronik yang berisi data demografi yang
mencakup nama, alamat, NIK (Nomor Induk Kependudukan) dan keterangan dasar sosial
ekonomi rumah tangga dan individu dari sekitar 25 juta rumah tangga atau 96 juta individu
dengan status kesejahteraan terendah di Indonesia. Pada tahun 2015 telah dilakukan
pemutakhiran data BDT dalam bentuk Data Terpadu untuk Program Penanganan Fakir Miskin
(Data Terpadu PPFM), dan telah menjadi acuan utama penetapan sasaran program
perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan dalam skala nasional maupun daerah.
Data Terpadu PPFM adalah sistem data elektronik yang memuat informasi sosial,
ekonomi, dan demografi dari sekitar 40% rumah tangga dengan status kesejahteraan terendah
di Indonesia. Basis Data ini dikelola oleh Kelompok Kerja Pengelola Data Terpadu Program
Penanganan Fakir Miskin yaitu Kementerian Sosial (Kemsos), Kementerian Koordinator
Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), BPS, Kependudukan dan
Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Dukcapil Kemendagri), dan Sekretariat Tim
Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), yang dapat diakses secara gratis
oleh berbagai kementerian/lembaga baik di pusat maupun daerah. Data Terpadu Program PFM
berisi sekitar 92.994.742 jiwa.
Dengan menggunakan data dari BDT, jumlah dan sasaran penerima manfaat program
dapat dianalisis sejak awal perencanaan program. Hal ini akan membantu mengurangi
kesalahan dalam penetapan sasaran program perlindungan sosial. Kementerian, Pemerintah
Daerah dan Lembaga lain yang menjalankan program penanggulangan kemiskinan dan
perlindungan sosial dapat menggunakan data dari BDT dengan memperolehnya dari (TNP2K).
4. World Bank (2007) mengukur garis kemiskinan berdasarkan pada pendapatan seseorang
kurang dari US$ 1 per hari untuk kemiskinan absolut dan kemiskinan menengah untuk
pendapatan di bawah US$2 per hari.
Todaro dan Smith (2006), menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan
adanya kemiskinan (1) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha,
(2) terbatasnya akses terhadap faktor produksi, dan (3) rendahnya kepemilikan asset. Papilaya
(2013) menjelaskan akar penyebab kemiskinan pedesaan dan perkotaan, dimana penyebab
untuk perkotaan yaitu; (a) kerangka kerja pemerintah dan hukum yang tidak memadai; (b)
urbanisasi, buta huruf, kawasan kumuh; c) ketidakmampuan mendapatkan kerja; (d)
pengangguran; dan (e) tidak memiliki akses terhadap sumber daya tanah air dan negeri.
Sedangkan penyebab utama kemiskinan di pedesaan adalah ketidakmampuan masyarakat
menghadapi kondisi- kondisi yang berubah, karena (a) kondisi kesehatan dan fisik yang lemah
karena kekurangan gizi dan penyakit; (b) pengalaman yang menjadi sumber pengetahuan tidak
relevan dengan perubahan zaman; (c) ketiadaan akses terhadap teknologi;
(d) sumber pendapatan tidak terjamin; (e) kondisi pemerintahan, hukum, dan politik tidak
berpihak pada kaumm miskin; dan (f) bias perkotaan dan terbatasnya infrastruktur pedesaan.
Hudojo dalam Yudhoyono (2004) menerangkan penyebab terjadi kemiskinan bahwa
mereka yang miskin disebabkan karena di dalam proses produksi mereka hanya menerima
“nilai lebih ekonomi” awal yang kecil sekali. Mereka tidak mampu ikut dalam jenjang-jenjang
prodses produksi lebih lanjut, karena tidak mempunyai modal. Sedangkan pihak lain yaitu
pihak yang bermodal, merekalah yang melakukan tugas produksi lebih lanjut. Sebagai contoh,
petani- petani kecil tidak mampu atau tidak berkesempatan untuk memproses hasil produksi
pertanian mereka lebih lanjut. Mereka tidak mampu atau tidak berkesempatan untuk
memproduksi dan menjual hasil-hasil pertaniannya.
Ketidakmerataan pembangunan antar wilayah dapat dilihat dari perbedaan tingkat
kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antar wilayah. Ketimpangan pelayanan sosial dasar
yang tersedia, seperti pendidikan, kesehatan dan air bersih juga terjadi antarwilayah.
Ketimpangan pembangunan antar wilayah juga ditandai dengan rendahnya aksesibilitas
pelayanan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial terutama masyarakat di perdesaan, wilayah
terpencil, perbatasan serta wilayah tertinggal. Ketimpangan antara kawasan perkotaan dan
perdesaan ditunjukkan oleh rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat desa, tertinggalnya
pembangunan kawasan perdesaan dibanding dengan perkotaan, dan tingginya ketergantungan
kawasan perdesaan terhadap kawasan perkotaan. Hal ini disebabkan oleh minimnya akses pada
permodalan, lapangan kerja, informasi, teknologi pendukung, dan pemasaran hasil-hasil
produksi di perdesaan. Ketimpangan desa-kota juga disebabkan oleh urbanisasi dan proses
aglomerasi yang berlangsung sangat cepat (Bappenas 2007).
Akibat hubungan dan keterkaitan yang tidak berimbang dan tidak berkualitas antara pusat
kegiatan (perkotaan) dengan daerah-daerah hinterland- nya (perdesaan) menciptakan struktur
hubungan antar wilayah yang membentuk suatu interaksi yang saling memperlemah.
Wilayah/kawasan hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan
(backwash), yang mengakibatkan aliran bersih dan akumulasi nilai tambah tertuju ke pusat-
pusat pembangunan secara masif dan berlebihan. Selanjutnya kemiskinan di wilayah
belakang/perdesaan akhirnya mendorong terjadinya migrasi penduduk ke perkotaan, sehingga
kota dan pusat-pusat pertumbuhan pada akhirnya menjadi melemah dan inefsien karena
timbulnya berbagai penyakit urbanisasi yang luar biasa (Rustiadi et al. 2009).

Kaitan Penggunaan Lahan Pertanian dengan Kemiskinan Konsep dan

Defenisi Lahan Pertanian


Konsep dan defenisi lahan pertanian yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan
pengertian dari BPS (BPS Kab. Mamuju 2016a). Lahan pertanian terdiri dari lahan sawah dan
lahan bukan sawah. Lahan sawah mencakup sawah irigasi teknis, sawah irigasi setengah teknis,
sawah irigasi sederhana, sawah irigasi desa/non PU, sawah tadah hujan, sawah pasang surut
dan lebak. Sedangkan lahan pertanian bukan sawah mencakup perkebunan, kebun, tegalan,
ladang/huma/ lahan yang ditanami pohon/hutan rakyat, tambak, kolam/empang/tebat dan
padang penggembalaan. Dalam penelitian ini, lahan pertanian yang akan digunakan sebagai
sumber data sekunder penelitian adalah lahan sawah, perkebunan/kebun, tegalan dan ladang
serta lahan tambak. Pengertian masing-masing penggunaan lahan pertanian adalah sebagai
berikut (BPS Kab. Mamuju 2016a):
1. Lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang
(galengan), saluran untuk menahan/menyalurkan air, yang biasanya ditanami padi sawah
tanpa memandang dari mana diperoleh atau status lahan tersebut. Lahan yang dimaksud
termasuk lahan yang terdaftar di Pajak Bumi Bangunan, Iuran Pembangunan Daerah,
lahan bengkok, lahan serobotan, lahan rawa yang ditanami padi dan lahan bekas tanaman
tahunan yang telah dijadikan sawah, baik yang ditanami padi, palawija atau tanaman
semusim lainnya.
2. Perkebunan adalah lahan yang ditanami tanaman perkebunan/industri seperti: karet,
kelapa, kopi, teh dan sebagainya, baik yang diusahakan oleh rakyat/rumah tangga
ataupun perusahaan yang berada dalam wilayah kecamatan. Kebun adalah lahan
pertanian bukan sawah (lahan kering) yang ditanami tanaman semusim atau tahunan dan
terpisah dengan halaman sekitar rumah serta penggunaannya tidak berpindah pindah.
3. Tegalan/Ladang/Huma adalah lahan pertanian bukan sawah (lahan kering) yang biasanya
ditanami tanaman semusim dan penggunaannya hanya semusim atau dua musim,
kemudian akan ditinggalkan bila sudah tidak subur lagi (berpindah-pindah).
Kemungkinan lahan ini beberapa tahun kemudian akan dikerjakankembali jika sudah
subur.
4. Tambak adalah lahan pertanian yang berpetakpetak dan dibatasi oleh
pematang(galengan/saluran) yang digunakan untuk memelihara ikan, udang atau
binatang air lainnya. Letak tambak ini tidak jauh dari laut dan airnya asin atau payau.

Kaitan Penggunaan Lahan dengan Kemiskinan


Penggunaan lahan merupakan upaya terus menerus yang dilakukan manusia terhadap
sumberdaya lahan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga sifatnya dinamis
sejalan dengan perkembangan kehidupan dan budaya manusia. Penggunaan lahan
dikelompokkan dalam dua kelompok besar, yaitu penggunaan lahan pertanian dan non
pertanian (Sitorus, 2014). Penggunaan lahan adalah cerminan bentuk fisik atau cerminan
aktifitas manusia yang terkait dengan fungsi suatu lahan, yang ditentukan kondisi fisik dan non
fisik, dan menggambarkan sistem pengelolaannya (Rustiadi et al. 2009). Penggunaan lahan
eksisting merupakan hasil dari berbagai faktor yang berhubungan dengan sumber daya lahan
yang tersedia dan juga karena adanya kondisi sosial, ekonomi, dan budaya dari masyarakat
lampau hingga perkembangannya sampai saat ini (Sitorus 2015).
Penggunaan lahan diartikan sebagai wujud atau bentuk usaha kegiatan, pemanfaatan
suatu bidang tanah pada suatu waktu (Jayadinata 1992). Menurut Chapin et al. (1995) lahan
dalam artian alamiah dan perkotaan mengandung dua makna yakni sebagai input dan hasil
proses perencanaan. Lahan dari segi ekonomi merupakan sumberdaya alam yang mempunyai
peranan penting dalam proses produksi. Penggunaan lahan adalah suatu proses yang
berkelanjutan dalam pemanfaatan lahan bagi maksud-maksud pembangunan. Musahara et al.
(2014) menyimpulkan berdasarkan hasil penelitiannya bahwa penatagunaan lahan di Rwuanda
telah berhasil meningkatkan hasil panen pertanian yang menjadi aspek dalam ketahanan
pangan. Meskipun ketahanan pangan merupakan aspek penting dalam pengurangan
kemiskinan, namun dengan ketersediaan pangan yang melimpah tidak berarti seluruh masalah
keamanan pangan dan kemiskinan terselesaikan.
Penggunaan lahan adalah sebagai wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan
bentukan alami maupun buatan manusia (Pemerintah RI 2004). Kondisi penggunaan dan
pemanfaatan lahan di suatu wilayah dapat menggambarkan tingkat perkembangan sosial
ekonomi masyarakat. Semakin intensif penggunaan dan pemanfaatan tanah disuatu wilayah
mengindikasikan bahwa tingkat sosial dan perekonomiannya semakin tinggi demikian juga
sebaliknya. Demikian juga dari kondisi penggunaan dan pemanfaatan tanah suatu wilayah juga
dapat menggambarkan tingkat pertumbuhan aktivitas masyarakat, artinya semakin luas tanah
yang digunakan untuk kegiatan non pertanian, maka wilayah tersebut dapat diindikasikan
bahwa masyarakatnya banyak bergerak dibidang jasa sebaliknya apabila penggunaan tanahnya
dominan di bidang pertanian, maka masyarakat disekitarnya diindikasikan lebih banyak
bergerak dibidang pertanian.
Beberapa penelitian mengenai penggunaan lahan pertanian menunjukkan adanya
hubungan positif antara lahan sawah dengan kemiskinan (Artino 2017), sementara yang lain
menunjukkan hubungan negatif (Nashwari 2016). Permatasari et al. (2016) menghasilkan
kesimpulan studi bahwa share pertanian terhadap kemiskinan adalah negatif, memperkuat
keyakinan perlunya mendorong lebih kuat lagi pembangunan pertanian untuk mengurangi
angka kemiskinan.

Kaitan antara Pertanian dan Kemiskinan


Pembangunan di bidang pertanian sangat penting bagi perekonomian dan kehidupan
sosial bagian terbesar dalam masyarakat, karena potensi wilayah Indonesia pada dasarnya
berbasis sumber daya pertanian yang dijadikan sebagai mata pencahariannya. Menurut Arifin
(2005), pembangunan pertanian bukan semata proses peletakan pondasi dan pembenahan
struktur sektor pertanian dalam peta perekonomian, namun upaya serius dan sistematis untuk
menterjemahkan paradigma keberpihakan ke dalam langkah nyata yang dapat dimengerti dan
dilaksanakan masyarakat banyak. Oleh karena itu diperlukan beberapa langkah mendasar
dalam pembangunan pertanian untuk menanggulangi kemiskinan nasional. Menurut Munajat
(2009), untuk menanggulangi kemiskinan di sektor pertanian dilakukan dengan melalui
koorporate farming, peningkatan produktivitas pertanian dan petani, pengembangan industri
pengolahan di pedesaan, intervensi pemerintah pada subsistem hulu dan subsistem hilir dan
peningkatan sumberdaya manusia pertanian.
Simatupang et al. (2000) menjelaskan bahwa sektor pertanian telah membuktikan
sebagai sektor yang sangat esensial dalam konteks pembangunan ekonomi yang handal,
dimana ada empat karakteristik utama:
1. Sektor pertanian merupakan penyedia lapangan pekerjaan terbesar dan penghasil pangan yang
merupakan kebutuhan dan penduduk sehingga sangat berperan dalam upaya peningkatan
kesejahteraan sebagian besar penduduk dan pengentasan kemiskinan yang merupakan tujuan
pembangunan. Oleh karena itu pemacuan pembangunan pertanian merupakan strategi yang
efektif untuk mencapai tujuan utama pembangunan sehingga mestinya dijadikan prioritas.
2. Usaha pertanian berbasis pada sumberdaya domestik, dan permintaan terhadap produknya
tidak elastis terhadap pendapatan maupun harga, sehingga tangguh menghadapi gejolak
ekonomi. Oleh karena itu, sektor pertanian merupakan andalan yang tepat dalam rangka
kemandirian dan ketahanan ekonomi yang esensial agar pembangunan dapat berkelanjutan
dalam era globalisasi.
3. Penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sangat fleksibel, sehingga sektor pertanian dapat
berfungsi sebagai jaring pengaman dalam keadaan darurat.
4. Produksi relatif stabil, memiliki keterkaitan antar sektoral yang luas dan sangat penting untuk
pemantapan ketahanan pangan, pengendalian inflasi dan peningkatan penerimaan devisa,
sehingga pemacuan pembangunan pertanian merupakan kunci bagi pemulihan stabilitas dan
pertumbuhan ekonomi.
Realita menunjukkan bahwa sektor pertanian berkaitan erat dengan masyarakat miskin.
Sektor pertanian merupakan sektor ekonomi yang sangat penting dan strategis karena
masyarakat penduduk miskin berada di sektor pertanian dan dapat menyediakan lapangan kerja
bagi angkatan kerja di daerah tersebut. Kebijakan yang tepat terhadap sektor pertanian
diharapkan dapat meningkatkan taraf kehidupan masyarakat petani sehingga pada akhirnya
akan menurunkan tingkat kemiskinan.

Kinerja Sektor Pertanian Kabupaten Mamuju Tahun 2015


Kategori Pertanian (pertanian, kehutanan dan perikanan) merupakan lapangan usaha
yang paling dominan baik dari sisi kontribusi terhadap total perekonomian maupun dari
penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Mamuju. Pada tahun 2015 kategori pertanian, kehutanan
dan perikanan Kabupaten Mamuju menciptakan nilai tambah sebesar 2,993.41 miliar rupiah
(ADHB) dan 2,202.85 miliar rupiah (ADHK), atau setara dengan 36.41 persen terhadap total
PDRB ADHB dan 34.02 persen terhadap total PDRB ADHK dalam struktur ekonomi
Kabupaten Mamuju (BPS Kab.Mamuju 2016c).
Selama kurun waktu tahun 2011 hingga tahun 2015, kinerja pertumbuhan kategori sektor
pertanian ini menunjukkan pergerakan yang berfluktuatif. Pada tahun 2015 pertumbuhannya
mencapai 6.85% sedikit melambat dari kinerja 2014 yang sebesar 7.24%. Pertumbuhan
tertinggi kategori ini terjadi pada tahun 2011 yang melejit hingga 10.86%. Jika dibandingkan
kategori sektor pertanian Kabupaten Mamuju dengan capaian kategori yang sama pada level
Provinsi Sulawesi Barat, maka capaian pertumbuhan Kabupaten Mamuju cenderung sedikit
lebih tinggi. Capaian pertumbuhan di tahun 2015 Sulawesi Barat sebesar 6.04% sedangkan
Kabupaten Mamuju lebih tinggi 0.81 poin (6.85%) (BPS Kab.Mamuju 2016c).
Lahan sawah di Mamuju pada tahun 2015 seluas 15,395 hektar. Menurut jenis pengairan,
luas lahan sawah terdiri atas lahan irigasi 4,288 hektar (27.85%) dan lahan non irigasi 11,107
hektar (72.15%). Luas lahan sawah irigasi terluas terdapat di Kecamatan Kalukku yaitu 1,828
hektare. Produksi padi sawah pada tahun 2015 sebesar 80,107 ton. Dibandingkan dengan
produksi tahun 2014, terjadi penurunan sebesar 28,966 ton (26.5%). Penurunan produksi terkait
dengan penurunan luas panen padi sawah menjadi 14,893 hektar. Produksi padi ladang pada
tahun 2015 sebesar 3,165 ton. Dibandingkan dengan produksi tahun 2014, terjadi penurunan
sebanyak 608 ton (16.11%). Penurunan produksi terkait dengan penurunan luas panen padi
ladang (BPS Kab.Mamuju 2016a).
Tanaman perkebunan yang banyak diusahakan di Kabupaten Mamuju antara lain
cengkeh, kelapa, kelapa sawit, kopi, kemiri, dan kakao. Hasil perkebunan terbanyak pada tahun
2015 adalah kelapa sawit dengan produksi mencapai 30,675.00 ton, selanjutnya kakao
sebanyak 19,376.8 ton, kelapa 3,422.3 ton, kemiri 493.4 ton, kopi 241.3 ton dan cengkeh 134.2
ton (BPS Kab.Mamuju 2016a). Sektor perikanan Kabupaten Mamuju terdiri dari perikanan
tangkap dan perikanan budidaya. Produksi perikanan di Kabupaten Mamuju pada tahun 2015
adalah 43,243.72 ton. Produksi tersebut terdiri dari hasil perikanan laut 33,975.00 ton dan
perikanan darat sebesar 9,268.72 ton (BPS Kab.Mamuju 2016a).

Kaitan Sertifikasi Tanah dengan Kemiskinan Sertifikasi Tanah


Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2)
huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah
susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang
bersangkutan (Kemen ATR/BPN 2015). Program sertifikasi tanah dilakukan oleh Kementerian
ATR/BPN melalui Program Legalisasi Aset. Legalisasi aset adalah proses administrasi
pertanahan yang meliputi adjudikasi (pengumpulan data fisik, data yuridis, pengumuman serta
penetapan dan/atau penerbitan surat keputusan pemberian hak atas tanah), pendaftaran hak atas
tanah serta penerbitan sertifikat hak atas tanah. Kegiatan ini dilaksanakan untuk melegalisasi
(mensertifikasi) aset berupa tanah belum bersertifikat milik (yang telah dimiliki/dikuasai) oleh
perorangan anggota masyarakat atau perorangan anggota kelompok masyarakat tertentu.
Peningkatan kepemilikan bukti penguasaan tanah (sertifikat) di pedesaan sebagai hasil
dari program legalisasi aset akan memberikan kepastian kepemilikan tanah, mengurangi
kemungkinan timbulnya sengketa dan dapat meningkatkan nilai ekonomi dari tanah itu sendiri.
Sertifikasi tanah mendorong pemerataan penguasaan tanah dan peningkatan kesejahteraan
warga desa yang pada umumnya bermata pencaharian sebagai petani dalam arti yang luas,
dengan cara penguatan ekonomi masyarakat secara mandiri. Lipton (2009) menjelaskan bahwa
tujuan reformasi lahan adalah untuk mendukung pengurangan ketidakadilan penguasaan lahan
perdesaan dan untuk mengurangi kemiskinan.
Tanah milik yang telah bersertifikat selanjutnya akan dapat dimanfaatkan sebagai
sumber-sumber ekonomi masyarakat terutama dalam rangka penguatan modal usaha, sehingga
berkontribusi nyata dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Penelitian yang
dilakukan oleh Mardiana et al. (2016) menunjukkan bahwa legalitas tanah melalui sertifikat
tanah secara potensial meningkatkan nilai tanah, memberikan rasa aman masyarakat terhadap
aset tanahnya, dan meningkatkan terhadap akses masyarakat pada lembaga-lembaga keuangan.
Hal ini berarti sertifikasi tanah meningkatkan kondisi sosial ekonomi serta kesejahteraan
masyarakat pemilik tanah. Tanah memiliki nilai ekonomi (rent economi) sehingga tanah tidak
dapat dipisahkan dari kegiatan ekonomi. Salah satu penilaian ekonomi terhadap tanah adalah
adanya variasi dari sistim penguasaan tanah (property right), sehingga pada prinsipnya seorang
yang memiliki/menguasai tanah memiliki tingkat ekonomi yang lebih tinggi jika dibandingkan
dengan yang menyewa atau tidak memiliki tanah.
Sertifikat tanah dapat digunakan sebagai jaminan dalam mendapatkan modal usaha untuk
meningkatkan skala usaha pertanian dan akan berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan
petani dan secara bertahap akan mengurangi angka kemiskinan. Dari sisi ekonomi nasional,
peningkatan kesejahteraan tersebut akan menimbulkan konsekuensi peningkatan ekonomi
masyarakat dan daya beli warga desa. Hal ini akan menjadi pasar potensial bagi produk-produk
industri nasional, yang, pada akhirnya, dapat membantu proses industrialisasi nasional sebagai
fondasi bagi kemandirian ekonomi bangsa. Penelitian Siswandari et al. (2013) menunjukkan
bahwa pemanfaatan sertifikasi tanah UKM di Desa Rajabasa Lama 1 dapat meningkatkan
pendapatan penduduk yang digunakan untuk modal usaha penggemukan sapi, modal usaha
pertanian dan modal usaha dagang.

Program Sertifikasi Tanah di Kabupaten Mamuju


Salah satu kebijakan dari pelaksanaan legalisasi aset adalah dengan Program Nasional
Agraria (PRONA), Program Sertifikasi Tanah Lintas Sektor dan Program Redistribusi Tanah.
PRONA adalah salah satu bentuk kegiatan legalisasi aset dan pada hakekatnya merupakan
proses administrasi pertanahan yang meliputi; adjudikasi, pendaftaran tanah sampai dengan
penerbitan sertifikat/tanda bukti hak atas tanah dan diselenggarakan secara massal. Prona
bertujuan memberikan pelayanan pendaftaran tanah pertama kali dengan proses yang
sederhana, mudah, cepat dan murah dalam rangka percepatan pendaftaran tanah di seluruh
Indonesia untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah (Kemen ATR/BPN 2015).
Program Sertifikasi Tanah Lintas Sektor adalah Kegiatan Sertifikasi Hak Atas Tanah
yang dilaksanakan Kementerian ATR/BPN dengan lintas sektor terdapat beberapa program,
yaitu kerjasama dengan Kementerian Pertanian dengan Program Pemberdayaan Petani untuk
Mendukung Pembangunan Pertanian, kerjasama dengan Kementerian Pekerjaan Umum
melalui Program Pemberdayaan Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) untuk
membangun rumaah secara swadaya melalui sertifikat hak atas tanah, kerjasama dengan
Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Program Pemberdayaan Nelayan serta kerjasama
dengan Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah melalui Program
Sertifikasi Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (UMK).

Kaitan Dana Desa, Akses dan Jarak serta Sektor Industri Mikro dan Kecil dengan
Kemiskinan

Kaitan Dana Desa dengan Kemiskinan


Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan
bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah, oleh pemerintah (pusat)
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Fritzen dalam Qomariah (2016) menjelaskan
bahwa desentralisasi fiskal merupakan pemberian wewenang kepada pemerintah daerah untuk
meningkatkan share pengeluaran pemerintah daerah terhadap total pengeluaran pemerintah.
Dimana pemerintah daerah memiliki keleluasan untuk menentukan pengeluaran dan
penerimaan secara agregat dan detail.
Pada era desentralisasi fiskal pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan untuk
mengurangi ketimpangan yang ada antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yaitu
dengan menyalurkan dana transfer ke daerah dari APBN. Dana transfer daerah adalah dana
yang dialokasikan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan antara pusat dan daerah,
mengurangi kesenjangan pendanaan urusan pemerintahan antar daerah, mengurangi
kesenjangan layanan publik antar daerah, mendanai pelaksanaan otonomi khusus dan
keistimewaan daerah. Ada empat jenis dana transfer daerah yaitu:
1. Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Ada tiga bentuk
dana perimbangan yaitu dana alokasi umum, dana bagi hasil, dan dana alokasi khusus.
2. Dana otonomi khusus yaitu dana yang diberikan bagi daerah yang menjalani kebijakan otonomi
khusus seperti provinsi Papua, Provinsi Aceh dan Provinsi Papua Barat.
3. Dana daerah keistimewaan Yogjakarta yang diberikan untuk menjalankan urusan pemerintahan
di Yogjakarta.
4. Dana transfer lainnya yang diberikan kepada setiap daerah untuk menjalankan kebijakan
tertentu sesuai dengan undang–undang misalnya dana bantuan operasional sekolah (BOS),
dana insentif daerah dan dan profesi atau tunjangan guru.
Sejalan dengan visi Pemerintah untuk “Membangun Indonesia dari Pinggiran dalam
Kerangka NKRI”, dialokasikan dana yang lebih besar pada untuk memperkuat pembangunan
desa. Pengalokasian Dana Desa dilakukan dengan menggunakan alokasi yang dibagi secara
merata dan alokasi yang dibagi berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah, angka kemiskinan,
dan tingkat kesulitan geografis.
Pengalokasian Dana Desa diharapkan dapat meningkatkan pemerataan pembangunan
kesejahteraan desa melalui peningkatan pelayanan publik di desa, memajukan perekonomian
desa, mengatasi kesenjangan pembangunan antar desa serta memperkuat masyarakat desa
sebagai subjek dari pembangunan. Menurut Undang–Undang No. 6 tahun 2014, Dana Desa
merupakan dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukan bagi desa yang ditransfer
melalui APBD kabupaten atau kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan pembinaan
kemasyarakatan. Dengan adanya kebijakan transfer dana desa untuk setiap desa di Indonesia
diharapkan bisa menumbuhan perekonomian desa dan mensejahterakan masyarakat yang ada
di desa sehingga dengan kata lain bisa mengurangi pengangguran dan kemiskinan serta
ketimpangan antara desa dan kota.
Dana Desa dapat menjadi sumber keuangan desa dalam membiayai semua kegatan atau
program desa. Dalam pengalokasian keuangan desa untuk pembangunan desa yang bertujuan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan
kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa,
pengembangan potensi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara
berkelanjutan.
Sari et al. (2015) menerangkan bahwa alokasi dana desa (ADD) merupakan satu aspek
terpenting dari sebuah desa untuk menjalankan program–program dari pemerintahan, termasuk
program mensejahterakan masyarakat di wilayahnya. Terdapat beberapa tahapan dalam
pengelolaan alokasi dana desa (ADD) yakni, tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap
pengawasan, dan tahap pertanggungjawaban atau pelaporan. Dalam pelaksanaanya terdapat
beberapa faktor pendukung, yaitu dukungan kebijakan pemerintah sekitar dan kualitas sumber
daya manusia.
Penelitian yang dilakukan Setianingsih (2016) menunjukkan bahwa dana desa untuk
pembangunan desa berpengaruh signifikan dengan arah positif terhadap angka kemiskinan. Hal
ini dikarenakan keterlambatan pemerintah daerah dalam mensosialisasikan tentang
penggunaan dana desa, sehingga kepala desa dalam menggunakannya tidak tepat sasaran
sedangkan dana desa untuk pembinaan kemasyarakatan desa dan dana desa untuk
pemberdayaan masyarakat desa tidak berpengaruh signifikan dengan arah negatif. Hal ini
dikarenakan kepala desa dalam menggunakan dana desa lebih diprioritaskan kepada
pembangunan desa.

Kaitan Akses dan Jarak dengan Kemiskinan


Muta’ali (2014) menjelaskan tentang kontribusi faktor geografis terhadap ketertinggalan
kawasan perbatasan. Jarak geografis terhadap pusat konsentrasi ekonomi atau pusat
pertumbuhan, menyebabkan perbedaan kesempatan ekonomi antar tempat, kepadatan, dan
pembedaan fungsi ruang kegiatan ekonomi. Dengan skala dan spesialisasi tertentu, jarak
geografis dapat menentukan pola persebaran penduduk, ketersediaan tenaga kerja, kemampuan
produksi, dan akses pasar yang berbeda antar daerah. Hal tersebut menyebabkan adanya
perbedaan tingkat kesejahteraan yang tinggi di suatu tempat dan tingkat kesejahteraan
masyarakat yang rendah di tempat lain.
Jarak geografis kecamatan di Kabupaten Mamuju terhadap ibukota Kabupaten yang juga
merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Barat diduga berpengaruh terhadap kemiskinan dan
kesenjangan antar daerah. Hal ini karena kondisi geografis beberapa wilayah kecamatan yang
memiliki karakteristik daerah perbukitan sehingga wilayahnya sulit dijangkau dan infrastruktur
yang kurang memadai. Suatu daerah yang semakin jauh dari pusat pertumbuhan ekonomi
ekonomi cenderung semakin rendah keterkaitan ekonominya dan semakin terisolasi, sehingga
semakin berpotensi menjadi wilayah yang tertinggal dan masyarakatnya relatif miskin.

Kaitan Sektor Industri Mikro dan Kecil dengan Kemiskinan


Kontribusi sektor perindustrian masih kecil dalam perekonomian Kabupaten Mamuju.
Sebagai gambaran, pada tahun 2015 peran sektor industri pengolahan dalam pembentukan
PDRB hanya mencapai 3.32% (BPS Kab. Mamuju 2016a). Sakti dan Berachim (2016) telah
melaksanakan penelitian untuk menganalisis dan menguji pengaruh output sektor pertanian,
industri pengolahan, perdagangan hotel dan restoran terhadap jumlah penduduk miskin di
Provinsi Jawa Timur. Hasil dari model menunjukan peningkatan output sektor industri sebesar
Rp. 1 milyar akan menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 169 orang, cetirus paribus.
Industrialisasi yang berkembang di era sekarang ini menyedot begitu banyak tenaga kerja. Hal
ini telah merubah alur pendistribusian tenaga kerja dari sektor non industri menuju sektor
industri. Hal ini juga berdampak pada pendapatan yang diperoleh oleh tenaga kerja tersebut.
Dengan kata lain secara tidak langsung industrialisasi telah mempengaruhi tingkat kemiskinan.

Analisis Spasial

Data spasial adalah sebuah data berorientasi geografis dan memiliki sistem koordinat
tertentu sebagai dasar referensinya (Nuarsa 2005). Analisis spasial adalah analisis yang
berhubungan dengan pengaruh aspek lokasi atau keregionalan. Adanya aspek spasial dalam
penelitian akan memberikan informasi bahwa pengaruh kemiskinan di masing-masing wilayah
bisa saja berbeda-beda karena adanya pengaruh faktor lokasi dan hubungan ketetanggaan
wilayah. Kemiskinan yang terjadi sebagian besar terkonsentrasi secara spasial dan seringkali
ditemukan di daerah yang terpencil, jauh dari pusat kota sulit dijangkau, dengan kondisi
geografis yang tidak menguntungkan (Minot et al. 2006).
Anselin (1988) menyatakan bahwa spatial econometric berhubungan dengan kasus
keregionalan dan ekonomi perdesaan yang didasarkan pada fenomena biologi dan geologi,
serta kasus regional science. Metode spatial econometric tersebut diaplikasikan untuk
mendapatkan spesifikasi model, estimasi, uji hipotesis dan prediksi untuk pemodelan di
regional space. Metode ini digunakan ketika ditemukan adanya efek spasial, yaitu dependensi
dan heterogenitas spasial. Kedua efek spasial ini ditemukan pada data yang berupa unit spasial,
yaitu berupa lokasi-lokasi. Dependensi spasial merujuk pada adanya hubungan
(ketergantungan) pada suatu karakteristik yang terjadi antara lokasi satu dengan lainnya.
Juanda (2009) menyatakan bahwa autokorelasi dapat juga terjadi dalam data Cross Section.
Untuk data cross section dengan objek pengamatan kecamatan misalnya, biasanya kita sebut
autokorelasi spasial (spatial autocorrelation). Seringkali antar kecamatan yang berdekatan
mempunyai karakteristik atau indikator yang mirip. Jadi terjadi korelasi dalam ruang atau
tempat, bukan korelasi antara data suatu waktu ke waktu lainnya.
Untuk pengukuran autokorelasi spasial dapat dihitung menggunakan Indeks Moran
dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan :
I = Indeks Moran
N = Banyak lokasi kejadian (jumlah desa/kelurahan)
xi = Nilai pada lokasi desa i (persentase kemiskinan desa/kelurahan ke-i)
xj = Nilai pada lokasi desa j (persentase kemiskinan desa/kelurahan ke-j)
= Nilai rata–rata dari persentase kemiskinan desa/kelurahan dari n lokasi
wij = Elemen pada pembobot terstandarisasi antara desa/kelurahan i dan j
Dalam autokorelasi spasial terdapat 3 pengelompokan (Arlinghaus 1996),
yaitu:
1. Autokorelasi spasial positif, yaitu apabila diindikasikan terdapat kesamaan nilai dalam
suatu wilayah yang mengelompok atau mempunyai hubungan spasial yang sama.
2. Autokorelasi spasial negatif, yaitu jika di dalam kelompok yang berdekatan atau
berhubungan secara spasial memiliki nilai yang berbeda.
3. Tidak ada autokorelasi spasial, jika pola dari nilai menyebar secara acak.
Pada kasus kemiskinan, dependensi memiliki arti bahwa kemiskinan pada satu lokasi
akan mempengaruhi kemiskinan pada lokasi lain, khususnya pada lokasi yang saling
berdekatan. Sedangkan heterogenitas spasial muncul karena adanya perbedaan antara satu
lokasi dengan lokasi yang lainnya yang berimplikasi pada munculnya parameter pemodelan
yang berbeda di setiap lokasi. Pada kasus kemiskinan, heterogenitas spasial memiliki arti
bahwa karakteristik kemiskinan dan keragaman faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah
berbeda antar lokasi.
Menurut Rustiadi et al. (2009) analisis spasial berkembang seiring dengan perkembangan
geografi kuantitatif dan ilmu wilayah (regional science) pada awal tahun 1960-an. Analisis
spasial secara kuantitatif tidak hanya mencakup statistika spasial. Terdapat dua kajian studi
yang bisa dibedakan, yaitu: (1) analisis statistik data spasial: kajian-kajian untuk menemukan
metode-metode dan kerangka analisis guna memodelkan efek spasial dan proses spasial; dan
(2) pemodelan spasial: pemodelan deterministic atau stokastik untuk memodelkan kebijakan
lingkungan, lokasi-lokasi, interaksi spasial, pilihan spasial dan ekonomi regional.
Pemodelan spasial digunakan untuk tiga tujuan (Fischer et al. 1996), yakni:
(1) peramalan dan penyusunan skenario; (2) analisis dampak terhadap kebijakan; dan (3)
penyusunan kebijakan dan desain. Berdasarkan tipe data, pemodelan spasial dapat dibedakan
menjadi pemodelan dengan pendekatan titik dan area. Jenis pendekatan titik diantaranya
Geographically Weighted Regression (GWR), Geographically Weighted Poisson Regression
(GWPR), Space-Time Autoregressive (STAR), dan Generalized Space TimeAuotregressive
(GSTAR).
Model GWR adalah suatu model regresi global yang diubah menjadi model regresi yang
terboboti. Setiap nilai parameter model dihitung pada setiap titik lokasi geografis sehingga
setiap titik lokasi geografis mempunyai nilai parameter regresi yang berbeda-beda. Dengan
demikian hubungan antar variabel di setiap lokasi dapat diidentifikasi. Fotheringham et al.
(2002) menyatakan bahwa kelebihan metode ini juga dapat dilihat dari bentuk eksplorasinya,
yaitu dapat menginterpretasikan hubungan melalui pemetaan. GWR juga menghasilkan variasi
parameter model yang lebih informatif. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nadya et al
(2017), Agustina (2015), serta Simamora dan Ratnasari (2014) menunjukkan bahwa model
GWR lebih baik daripada model regresi linear berganda untuk mengatasi data yang memiliki
keragaman wilayah/heterogenitas spasial.
Analisis spasial mengarah pada berbagai operasi dan konsep termasuk perhitungan
sederhana, klasifikasi, penataan, tumpang susun geometris dan permodelan kartografis.
Analisis spasial terdiri dari tiga kelompok yaitu visualisasi dimana lebih menginformasikan
hasil analisis spasial, eksplorasi lebih menunjukkan pengolahan data spasial dengan statistika,
sedangkan permodelan adalah sumber data spasial dan data non spasial untuk memprediksi
pola spasial.

Penelitian Terdahulu

Analisis kemiskinan, penggunaan lahan dan sertifikasi tanah telah menjadi topik kajian
penelitian menggunakan berbagai analisis dan metode dengan wilayah penelitian yang
berbeda-beda. Beberapa kajian penelitian terkait kemiskinan, penggunaan lahan, sertifikasi
tanah dan penelitian terkait analisis spasial disajikan pada Tabel 1.
Hasil penelitian Susila (2011) menunjukkan bahwa dari hasil analisis visual spasial
deskriptif dan autokorelasi spasial (dengan Indeks Geary dan Moran) terlihat bahwa sebaran
spasial persentase penduduk miskin dan kepadatan penduduk miskin cenderung membentuk
pola mengelompok (kantong kemiskinan). Hasil analisis menyimpulkan bahwa program
pengentasan kemiskinan yang diambil oleh pemerintah belum menekankan pada strategi
penanganan yang bersifat kewilayahan, dimana ditemukan desa-desa yang seharusnya menjadi
prioritas kebijakan berdasarkan kelas klasifikasi prioritas, belum menjadi prioritas kebijakan.
Sudaryanto et al. (2009) melakukan studi mengenai kemiskinan petani. Hasil studi
menunjukkan bahwa meningkatnya jumlah petani kecil dengan kepemilikan lahan kurang dari
0,5 hektar dan konversi lahan ke penggunaan non pertanian telah terjadi di Pulau Jawa
Indonesia sejak 1993 hingga 2003, yang disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya tekanan
penduduk yang tinggi, terbatasnya lapangan kerja nonpertanian dan praktik tradisional warisan
tanah. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kebijakan yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan pendapatan rumah tangga di daerah perdesaan adalah dengan meningkatkan
akses terhadap sumber daya lahan serta dengan menggiatkan kegiatan off-farm dan pekerjaan
non pertanian lain.
Adetayo (2014) melakukan penelitian di Nigeria tentang status kemiskinan rumah tangga
petani. Hasil penelitian menemukan bahwa faktor yang mempengaruhi kemiskinan petani
adalah pendidikan kepala rumah tangga dan akses kredit. Kemiskinan diperburuk lagi oleh pola
pembangunan yang lebih dilakukan di sektor-sektor modern perkotaan sehingga merugikan
sektor perdesaan tradisional.
Tabel 1 Topik penelitian terkait kemiskinan, penggunaan lahan, sertifikasi dan analisis pasial
No Peneliti Judul Penelitian
1 Susila (2011) Analisis Sebaran Kemiskinan dan Faktor Penyebab
Kemiskinan di Kabupaten Lebak
2 Sudaryanto Increasing Number of Small Farms In Indonesia: Causes and
(2009) Consequences.
3 Adetayo (2014) Analysis of Farm Households Poverty Status in Ogun States,
Nigeria
4 Permatasari et al. Perencanaan Pembangunan Ekonomi Wilayah Berbasis
(2016) Pertanian dalam Rangka Pengurangan Kemiskinan di
Kalimantan Barat
5 Heryanti (2014) Interaksi Spasial Perekonomian dan Ketenagakerjaan antar
Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi
6 Pasaribu (2015) Dampak Spillover dan Multipolaritas Pengembangan
Wilayah Pusat-Pusat.
7 Nashwari (2016) Analisis Kemiskinan Petani Tanaman Pangan di Provinsi jambi
dan Jawa Barat menggunakan Geographically
Weighted Regression
8 Miranti et al. Modeling of Malaria Prevalence in Indonesia with
(2015) Geographically Weighted Regression
9 Dziauddin dan Use of Geographically Weighted Regression (GWR) Method to
Idris (2017) Estimate the Effect of Location Attributes on the
Residential Property Values
10 Octaviana et Pemodelan Data Kemiskinan di Provinsi Bengkulu dengan
al.(2016) Metode Geographically Weighted Regression dan Ordinary
Least Square.Jurnal Statistika Industri dan Komputasi
11 Mahpud (2016) Faktor-Faktor yang mempengaruhi kesediaan nelayan untuk
mengagunkan sertifikat hak atas tanah dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan
12 Mesman (2008) Analisis Pengaruh Sertipikat Hak Atas Tanah Terhadap
Kinerja Ekonomi Pengusaha Mikro dan Kecil di Kabupaten
Konawe Selatan
13 Risnarto (2006) Dampak Sertifikasi Tanah Terhadap Pasar Tanah dan
Kepemilikan Tanah Skala Kecil
14 Kurnianti (2015) Proyeksi Penggunaan Lahan untuk Konsistensi Tata Ruang di
Kawasan Jabodetabek
15 Sari (2012) Pengaruh Kepemilikan Aset, Pendidikan, Pekerjaan Dan Jumlah
Tanggungan Terhadap Kemiskinan Rumah Tangga
Di Kecamatan Bonang Kabupaten Demak

Permatasari et al. (2016) menghasilkan kesimpulan bahwa data panel menunjukkan


pengaruh positif antara anggaran pertanian dengan PDRB pertanian. Hubungan antara share
pertanian terhadap kemiskinan adalah negatif. Hasil studi memperkuat keyakinan perlunya
mendorong pembangunan pertanian untuk mengurangi kemiskinan.
Heryanti et al. (2014) menganalisis pengaruh riil interaksi spasial perkembangan
perekonomian daerah dalam hal PDRB dan tenaga kerja pada kabupaten dan kota di Provinsi
Jambi. Indeks Morans yang digunakan untuk menggambarkan hubungan antara daerah
menunjukkan bahwa kabupaten atau kotamadya tidak bisa mandiri dalam membangun
ekonomi, tetapi dipengaruhi oleh aktivitas ekonomi di daerah sekitarnya
Pasaribu (2015) melakukan studi pendekatan spasial dengan model pendekatan area
untuk menganalisis hal-hal yang mempengaruhi pertumbuhan investasi, pertumbuhan output
dan pertumbuhan tenaga kerja di Kabupaten/Kota di Pulau Kalimantan. Beberapa metode yang
digunakan adalah model pooled OLS, model persamaan simultan pada data panel, model
spasial panel fixed effect SLM, SEM, dan SARMA, serta model spasial temporal.
Nashwari IP (2016) menghasilkan kesimpulan bahwa aspek spasial memberikan
pengaruh terhadap penyebaran kemiskinan petani tanaman pangan. Pengaruh keragaman
wilayah ditemukan dalam faktor-faktor penyebab kemiskinan petani tanaman pangan. Hasil
perbandingan antara model kecamatan dengan model kabupaten, diperoleh bahwa dengan unit
analisis kecamatan lebih banyak variabel yang signifikan di wilayah.
Miranti et al. (2015) menganalisis penyebaran malaria menggunakan analisis GWR
dimana menggunakan pembobot kernel bisquare memberikan hasil yang lebih baik dari
pembobot kernel guassian berdasarkan nilai R2 terbesar dan AIC terkecil. Dziauddin dan Idris
(2017) menggunakan analisis GWR dalam memperkirakan pengaruh atribut lokasi terhadap
nilai properti residensial di Kuala Lumpur, Malaysia.
Berbeda dengan hasil penelitian GWR lainnya, Octaviana et al.(2016) menghasilkan
kesimpulan penelitian bahwa tidak terdapat pengaruh secara spasial maupun letak geografis
suatu wilayah yang mempengaruhi jumlah kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Bengkulu.
Dalam penelitian ini model OLS memberikan hasil yang lebih baik daripada model GWR.
Mahpud (2016) juga melakukan penelitian yang terkait dengan sertifikat tanah yaitu
faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan nelayan untuk mengagunkan sertifikat hak atas
tanah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan. Hasil penelitian memiliki kesimpulan nahwa
pendidikan, status nelayan, luas tanah, kepemilikan aset lain dan usaha sampingan berpengaruh
terhadap minat nelayan untuk menjaminkan sertifikat. Terdapat korelasi satu sama lain antara
variable-variabel yang berpengaruh secara signifikan, dimana nelayan pemilik biasanya
memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, luas tanah yang lebih besar, kepemilikan aset
lain yang banyak dan memiliki usaha sampingan, dan sebaliknya.
Mesman (2008) menghasilkan kesimpulan adanya peningkatan nilai agunan setelah
mengikuti program sertifikasi tanah. Berdasarkan hasil analisis deskriptif menunjukkan adanya
peningkatan jenis usaha, kategori usaha, kondisi tempat usaha dan peningkatan pendapatan
yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kinerja ekonomi. Responden menyatakan bahwa
dengan sertifikasi tanah dapat memperoleh kemudahan dalam mengakses kredit perbankan dan
memberi rasa aman dalam aset yang dimiliki.
Risnarto (2006) menganalisis dampak sertifikasi tanah terhadap pasar tanah dan
kepemilikan tanah skala kecil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat indikasi
masyarakat Desa Salam lebih intensif mengusahakan tanah yang sudah bersertifikat dengan
harapan produksi meningkat dan terdapat indikasi peningkatan pinjaman ke bank.
Sari (2012) melakukan penelitian mengenai pengaruh kepemilikan aset, pendidikan,
pekerjaan dan jumlah tanggungan terhadap kemiskinan rumah tangga di Kecamatan Bonang
Kabupaten Demak. Hasil dari penelitian ini menunjukan nilai McFadden R-squared sebesar
0.365464 dan nilai LR stat sebesar 49.27725. Variabel kepemilikan aset, pekerjaan dan jumlah
tanggungan berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan rumah tangga di Kecamatan Bonang.
Sehingga kepemilikan aset rumah tangga, jenis pekerjaan kepala rumah tangga dan jumlah
tanggungan dalam rumah tangga patut menjadi bahan pertimbangan untuk mengatasi masalah
kemiskinan di Kecamatan Bonang.
Kurnianti (2015) melakukan penelitian berjudul Proyeksi Penggunaan Lahan untuk
Konsistensi Tata Ruang di Kawasan Jabodetabek. Penelitian menunjukkan bahwa
pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan tingkat
kesesuaian penggunaan lahan terhadap rencana pola ruang. Hal tersebut dapat terjadi apabila
terdapat kontrol kebijakan dalam penggunaan lahan.
Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan tinjauan literatur yang telah dilakukan, dapat disusun
hipotesis penelitian sebagai berikut :
1. Penyebaran kemiskinan di Kabupaten Mamuju dipengaruhi oleh faktor
geografis/lokasional dan penggunaan lahan pertanian.
2. Pertanian sebagai sektor yang berkontribusi terbesar terhadap perekonomian Kabupaten
Mamuju, akan mempengaruhi tingkat kemiskinan wilayah melalui penggunaan lahan
pertanian, yaitu: (a) Semakin luas lahan pertanian sawah maka kemiskinan akan semakin
rendah; (b) Semakin luas penggunaan lahan untuk kebun/perkebunan, maka diduga
kemiskinan akan semakin rendah; (c) Semakin luas penggunaan lahan untuk
tegalan/ladang, maka diduga kemiskinan akan semakin rendah; dan (d) Semakin luas
penggunaan lahan untuk tambak, diduga kemiskinan akan semakin rendah.
3. Program strategis pemerintah di Kabupaten Mamuju, yaitu (a) Program Sertifikasi
Tanah; (b) Dana Desa; akan berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Peningkatan
program sertifikasi tanah dan dana desa, diduga kemiskinan akan semakin berkurang.
4. Faktor geografis wilayah yang diwakili oleh lokasi desa (jarak desa/kelurahan ke ibukota
kabupaten), berpengaruh pada tingkat kemiskinan desa/kelurahan. Semakin jauh lokasi
desa/kelurahan dari ibukota kabupaten, diduga tingkat kemiskinan akan semakin tinggi.
5. Faktor lainnya, yaitu sektor industri mikro dan kecil juga diperkirakan berpengaruh
terhadap tingkat kemiskinan di desa/kelurahan. Desa yang memiliki persentase tenaga
kerja di sektor industri mikro dan kecil yang tinggi di suatu desa/kelurahan, diduga
tingkat kemiskinannya akan semakin kecil.
3 METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Permasalahan kemiskinan masih menjadi perhatian utama pemerintah. Berbagai program


penanggulangan kemiskinan telah dilaksanakan dan diharapkan sejalan dengan visi Pemerintah
yang tertuang dalam salah satu dari sembilan agenda prioritas (NAWACITA), yaitu
“Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam
rangka negara kesatuan”.
Penelitian ini dilakukan melalui analisis spasial terhadap tingkat kemiskinan dan melihat
faktor yang mempengaruhinya melalui pendekatan struktur basis perekonomian wilayah,
kondisi geografis dan kebijakan pemerintah penanggulangan kemiskinan. Kabupaten Mamuju
merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Barat dengan tingkat kemiskinan sebesar 6.7%, tetapi
laju penurunan kemiskinan setiap tahunnya sangat lambat. Analisis spasial kemiskinan akan
memberikan informasi apakah tingkat kemiskinan yang cukup rendah di Kabupaten Mamuju
tersebut merata di semua wilayah atau terdapat kantong kemiskinan. Pendekatan dengan
memperhatikan keragaman kemiskinan melalui sebaran dan pola kemiskinan menjadi sangat
penting karena berkaitan dengan penerapan kebijakan yang sesuai untuk penanggulangan
kemiskinan.
Aspek perekonomian merupakan salah satu pertimbangan utama dalam menganalisis
kemiskinan. Pendekatan penelitian dilakukan dengan menganalisis sektor basis dalam struktur
perekonomian Kabupaten Mamuju karena merupakan gambaran utama perekonomian
penduduk. Jika dilihat pada struktur ekonomi penyusun PDRB Kabupaten Mamuju, Sektor
Pertanian, Kehutanan dan Perikanan merupakan sektor basis karena memberikan kontribusi
terbesar yaitu 36.41%. Analisis terhadap sektor pertanian akan dianalisis melalui pendekatan
penggunaan lahan pertanian.
Aspek efektifitas program pemerintah difokuskan pada program strategis pemerintah
untuk penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan di Kabupaten Mamuju, di antaranya
Program Percepatan Sertifikasi tanah dan Program Dana Desa. Hasil dari program diharapkan
dapat berkontribusi secara signifikan dalam pengurangan kemiskinan di setiap wilayah.
Permasalahan terjadi ketika program yang dilaksanakan tidak tepat sasaran karena tidak
memperhatikan kesesuaian program dengan lokasi pelaksanaan. Analisis pengaruh program
terhadap setiap lokasi sangat diperlukan dan kemudian hasil penelitian diharapkan dapat
diimplementasikan sebagai acuan bagi pelaksaan program di lokasi yang sesuai.
Aspek geografis wilayah berpengaruh terhadap kemiskinan karena kondisi geografis
Kabupaten Mamuju yang cukup ekstrim demgam kondisi wilayah yang berbukit, akses jalan
antar wilayah yang sangat terbatas dan terbatasnya potensi sumberdaya alam yang dapat
dimanfaatkan karena sekitar 76% wilayah desa merupakan kawasan hutan.
Kemiskinan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya kemudian di analisis
keterkaitannya dengan pemodelan spasial Geographical Weight Regression (GWR).
Pemodelan GWR merupakan pengembangan dari analisis regresi linier berganda yang dapat
mengatasi keragaman wilayah/heterogenitas spasial sehingga menghasilkan model dan
pendugaan parameter berbeda untuk setiap wilayah amatan. Penggunaan pendekatan spasial
dibutuhkan untuk memberikan informasi mengenai variasi kemiskinan karena adanya
keragaman karakteristik lokasi serta keragaman respon lokasi terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi kemiskinan.
Hasil dari analisis GWR akan berimplikasi pada kebijakan penanggulangan kemiskinan
yang spesifik dan sesuai dengan kebutuhan masing-masing wilayah, sehingga kebijakan
penanganan kemiskinan tepat sasaran, fokus dan terarah. Kebijakan selama ini dilakukan

 Mengetahui Sebaran
Kemiskinan
melalui pendekatan sektoral dan bersifat umum tanpa mempertimbangkan aspek kebutuhan
secara spesifik masing-masing wilayah sehingga hasilnya kurang optimal.
UPAYA MEREDUKSI KEMISKINAN
Kemiskinan dan Pola

 Tinjauan dari: Perekonomian Wilayah, Geografis


Wilayah dan Program Pemerintah Penanggulangan
Kemiskinan

ASPEK PEREKONOMIAN WILAYAH PROGRAM ASPEK GEOGRAFIS


(Konsentrasi PEMERINTAH WILAYAH
penduduk (Sertifikasi Tanah dan  Kondisi geografis
miskin Dana Desa): Kabupaten Mamuju
terdapat  Realisasi program belum
pada daerah merata secara wilayah
dengan  Strategi dalam
PDRB penentuan lokasi yang
rendah) mereduksi kemiskinan
 Kemiskinan
Kabupaten yang ekstrem
Mamuju 6.7%, (berbukit),
tetapi laju  Keterbatasan
penurunan antar wilayah
kemiskinan
berjalan lambat.
 Kontribusi
Sektor Pertanian akses
36.41% dalam
PDRB Mamuju
 Angkatan kerja sektor pertanian (59%)
 Kontribusi sektor industri yang kecil

 Sebagai basis perekonomian, bagaimana


pola penggunaan lahan pertanian? Apakah program sertifikasi tanah dan dana
 Apakah sektor pertanian berkontribusi desa sudah tepat sasaran, merata dan
mengurangi kemiskinan? Bagaimana
mampu mengurangi kemiskinan? Pola Spasial
 Apakah sektor IMK berkontribusi
mengurangi kemiskinan? Kemiskinan?

Perlu dianalisis pola Bagaimana implikasi Analisis sertifikat


penggunaan lahan kebijakan dalam tanah dan Menganalisis
pertanian dan pengaruhnya upaya mereduksi pengaruhnya Pola Spasial
terhadap kemiskinan kemiskinan terhadap kemiskinan Kemiskinan

Sektor Luas Luas Luas Luas Jumlah Dana Jarak ke


industri lahan lahan lahan lahan Sertifikat Desa Ibukota
(mikro, kebun tambak tegalan/ sawah Kabupaten
kecil) ladang

Pemodelan Keterkaitan Variabel terhadap Kemiskinan

Implikasi Kebijakan dalam Penanganan Kemiskinan di Kabupaten


Mamuju berbasis Sertifikasi Tanah dan Penggunaan Lahan Pertanian
Gambar 2 Kerangka pemikiran penelitian
23

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan April 2017 sampai dengan Desember 2017.
Lokasi penelitian yaitu di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat (Gambar 3).
Kabupaten Mamuju terdiri dari 11 kecamatan dan 99 desa/kelurahan, tetapi dalam
penelitian ini analisis hanya dilakukan terhadap 97 desa/kelurahan, terdiri dari 85
desa dan 11 kelurahan. Dua desa tidak termasuk dalam penelitian ini karena belum
tersedianya peta administratif wilayah dari pemerintah daerah. Dua desa tersebut
adalah Desa Balabalakang dan Desa Balabalakang Timur yang berada di
Kecamatan Balabalakang yang merupakan wilayah kepulauan. Secara geografis
Kabupaten Mamuju terletak pada 1038’110”–2054’552” Lintang Selatan dan
118045’17”–119051’87” Bujur Timur.

Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder tahun 2015
meliputi: data kemiskinan, peta administrasi wilayah, peta penggunaan lahan, data
gambaran umum wilayah dan potensi desa, data sertifikat tanah dan data dana desa
yang diperoleh dari berbagai instansi sebagaimana yang terinci pada Tabel 2.
Penelitian ini juga didukung oleh data literatur dari berbagai sumber seperti
perpustakaan dan internet. Jenis dan sumber data sekunder yang digunakan dalam
penelitian disajikan pada Tabel 2.
24

Tabel 2 Jenis dan sumber data sekunder penelitian


No. Data Sekunder Penelitian Sumber Data
1 Basis Data Terpadu untuk Program Penanganan Tim Nasional Percepatan
Fakir Miskin (BDT PPFM) untuk wilayah Penanggulangan
Kabupaten Mamuju Kemiskinan (TNP2K),
2 Data tingkat kemiskinan tahun 2015 BPS Kabupaten Mamuju
3 Data gambaran umum wilayah kabupaten, jumlah
penduduk, jumlah rumah tangga, jarak antar
desa/kelurahan dan jumlah tenaga kerja di sektor
industri di wilayah Kabupaten Mamuju
4 Peta Batas Administrasi Desa Kabupaten Mamuju Kantor Pertanahan
5 Peta Kawasan Hutan Kabupaten Mamuju Kabupaten Mamuju
6 Data jumlah sertifikat terdaftar di Kabupaten
Mamuju
7 Data luas sertifikat terdaftar di Kabupaten Mamuju
8 Data Program Legalisasi Aset Tahun 2010-2015
Kabupaten Mamuju
9 Peta Batas Administrasi Wilayah Provinsi Sulawesi Kantor Wilayah BPN
Barat Prov.Sulbar
10 Peta Penggunaan Tanah Tahun 2015
11 Data Dana Desa Tahun 2015 untuk Kabupaten Badan Pemberdayaan
Mamuju Masyarakat Desa
Kabupaten Mamuju
(BPMD Kab.Mamuju)
12 Literatur (Jurnal, Disertasi, Tesis) yang relevan Perpustakaan IPB dan
Internet

Metode Analisis Data

Analisis data yang dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian adalah:


(1)Analisis penggunaan lahan untuk mendapatkan data luas penggunaan lahan
setiap desa/kelurahan; (2)Analisis deskriptif berdasarkan pemetaan tematik luas
lahan bersertifikat untuk menganalisis kepemilikan sertifikat di setiap
desa/kelurahan; (3)Analisis moran global dan moran lokal Anselin untuk
menganalisis pola spasial kemiskinan; (4)Analisis regresi spasial terboboti (GWR)
untuk menganalisis pengaruh variabel yang diindikasikan mempengaruhi
kemiskinan; dan (5)Analisis deskriptif untuk menganalisis implikasi kebijakan
dalam upaya mereduksi kemiskinan.
Metode analisis data penelitian secara rinci disajikan pada Gambar 4. Kaitan
antara tujuan, jenis data, teknik analisis dan output yang dihasilkan dari pelaksanaan
penelitian disajikan pada Tabel 3. Penginputan data menggunakan software
Microsoft Excel, pengolahan data dan analisis serta pemetaan menggunakan
software ArcGis 10.2.
25

Tabel 3 Matriks tujuan, jenis data, teknik analisis dan output penelitian

Teknik
No. Tujuan Jenis Data Output
Analisis
1 Menganalisis pola  Peta Batas  Analisis a) Luas penggunaan
penggunaan lahan Administrasi tumpang susun lahan setiap
pertanian di Desa/Kelurahan (overlay) desa/kelurahan
wilayah Kab. Kab. Mamuju
Mamuju Tahun  Peta Penggunaan  Analisis
2015 Tanah Tahun deskriptif b) Peta persentase luas
2015 berdasarkan lahan bersertifikat
Menganalisis  Data jumlah dan pemetaan terhadap luas desa
kepemilikan luas sertifikat tematik luas non hutan
sertifikat tanah di terdaftar lahan
Kab. Mamuju  Peta Kawasan bersertifikat
Hutan
2 Menganalisis pola  Data persentase  Indeks Moran a) Identifikasi adanya
spasial kemiskinan kemiskinan dari Global autokorelasi
di Kabupaten BDT PPFM yang kemiskinan
Mamuju Tahun diproksi dari data  Indeks Moran b) Peta
2015 tingkat Lokal Anselin pengelompokan
kemiskinan BPS wilayah desa yang
memiliki kemiripan
tingkat kemiskinan
 Analisis c) Peta sebaran
Deskriptif tingkat kemiskinan
berbasis desa/kelurahan
Pemetaan
Kemiskinan
3 Menganalisis kaitan  Data persentase  Regresi a) Koefisien regresi
sertifikasi tanah, kemiskinan tiap Terboboti pengaruh variabel
penggunaan lahan desa/kelurahan Spasial (GWR) terhadap
pertanian dan faktor  Data variabel kemiskinan secara
lainnya yang yang spesifik
diindikasikan diindikasikan desa/kelurahan
berpengaruh berpengaruh  Uji b) Variabel signifikan
terhadap  Output 3a Signifikansi yang berpengaruh
kemiskinan secara pada taraf terhadap
spesifik lokasi di nyata 0.05 kemiskinan
Kab.Mamuju c) Pemetaan variabel
signifikan
4 Menyusun alternatif Output 2b, 2c, 3a Analisis Kebijakan mereduksi
kebijakan untuk 3b dan 3c deskriptif kemiskinan
pengurangan
kemiskinan di
Kabupaten Mamuju
dan dikaitkan
dengan perencanaan
dan program
pembangunan
daerah
26

Peta Data Data Dana


Data Tingkat Peta Peta Kawasan Jumlah dan Desa dan
Kemiskinan Penggunaan Administrasi Hutan Sertifikat Potensi Desa/
Desa/ Lahan Wilayah Tanah kelurahan
Kelurahan Tahun 2015 Desa/kelurahan

Analisis Tumpang Analisis Tumpang Peta Peta sebaran


Susun (Overlay) Susun (Overlay) persentase jumlah
luas lahan sertifikat setiap
bersertifikat desa/ kelurahan

Data Luas
Data penggunaan Kawasan Data Dana Desa,
lahan pertanian Hutan setiap Data jumlah jumlah penduduk,
Analisis Deskriptif RT, tenaga kerja
setiap desa/ desa/ kelurahan berdasarkan sertifikat
kelurahan setiap desa/ sektor industri,
Pemetaan Tematik jarak ke ibukota
Sertifikasi Tanah kelurahan

Analisis Autokorelasi
Spasial Analisis spasial GWR dengan
Indeks Moran Global (tool
pembobot fixed Kernel
Spatial Autocorrelation dari
yi = β0 (ui,vi) + ∑ βk (ui,vi)xik + εi,
software ArcGis 10.2.1
k=1

Analisis Pola Pengelompokan


Kemiskinan Nilai koefisien determinasi (R2) Global dan
Indeks Moran Lokal tool Cluster and Lokal
Outlier Analysis (Anselin Local Moran
Index) dari software ArcGis 10.2.1

Pemetaan variabel yang Uji Signifikansi terhadap variabel


berpengaruh terhadap kemiskinan di setiap desa/kelurahan
Uji thit =βk (ui,vi)- βk (ui,vi)
dan Interpretasi Model GWR
Se(βk (ui,vi))

Implikasi Kebijakan dalam Penanganan Kemiskinan di


Kabupaten Mamuju berbasis Sertifikasi Tanah
dan Penggunaan Lahan Pertanian

Gambar 4 Metode analisis data penelitian


Analisis Penggunaan Lahan Pertanian dan Sertifikasi Tanah Tahun 2015
Analisis jenis penggunaan lahan dan sertifikasi tanah di Kabupaten Mamuju Tahun 2015
menggunakan teknik analisis tumpang susun (overlay) dan Analisis deskriptif berdasarkan
pemetaan tematik.

(1) Analisis Tumpang Susun (Overlay) untuk Analisis Penggunaan Lahan


Penggunaan lahan di Kabupaten Mamuju diperoleh dengan melakukan analisis spasial
menggunakan software ArcGis 10.2.. Peta Penggunaan Tanah Tahun 2015 ditumpang susun
(overlay) dengan peta batas desa/kelurahan untuk mendapatkan luas penggunaan lahan sesuai
klasifikasi yang ditentukan. Klasifikasi penggunaan lahan yang digunakan adalah hutan,
sawah, kebun/perkebunan, pemukiman, lahan tegalan/ladang, lahan tambak, lahan non
produktif (alang-alang, padang rumput, tanah kosong, dan lainnya).
Hasil analisis tumpang susun didapatkan informasi penggunaan lahan di setiap
desa/kelurahan yang merupakan unit pengamatan. Penggunaan lahan yang digunakan sebagai
variabel-variabel dalam penelitian ini adalah penggunaan lahan yang berkaitan dengan
pertanian dalam arti luas, yaitu luas lahan sawah, luas lahan perkebunan, luas lahan
tegalan/ladang dan luas lahan tambak di setiap desa/kelurahan.

(2) Analisis Deskriptif berdasarkan Pemetaan Tematik Sertifikasi Tanah untuk


Analisis Sertifikasi Tanah
Analisis kepemilikan sertifikat tanah dilakukan dengan melakukan analisis deskriptif
terhadap peta tematik luas tanah bersertifikat terhadap luas wilayah desa non hutan, yaitu untuk
mengetahui persentase luas tanah yang sudah terdaftar sebagai sertifikat di BPN Kabupaten
Mamuju terhadap luasan kawasan hutan sehingga didapatkan informasi sejauh mana kemajuan
pelaksanaan pensertifikatan tanah di Kabupaten Mamuju. Data akan digunakan sebagai
informasi wilayah yang dapat dijadikan prioritas pelaksanaan pensertifikatan tanah oleh BPN
Kabupaten Mamuju.

Analisis Pola Spasial Kemiskinan di Kabupaten Mamuju Tahun 2015


Analisis kemiskinan spasial di Kabupaten Mamuju menggunakan data tingkat
kemiskinan 97 desa/kelurahan. Data diperoleh dari BDT TNP2K, kemudian diolah untuk
menyetarakan dengan jumlah penduduk miskin tahun 2015 yang dipublikasikan oleh BPS.
Hasil penyetaraan ini ditentukan secara proporsional dari desil 1 dan desil 2 BDT di masing-
masing desa/kelurahan. Analisis spasial kemiskinan dalam penelitian ini dilakukan dengan tiga
teknik analisis:

(1) Analisis Indeks Moran Global


Analisis Indeks Moran Global digunakan mengidentifikasi dan mengetahui adanya
autokorelasi spasial variabel tingkat kemiskinan (Y) antar unit amatan (desa/kelurahan).
Autokorelasi spasial adalah taksiran antar nilai amatan yang berkaitan dengan lokasi spasial
pada variabel yang sama. Autokorelasi positif menunjukkan adanya kemiripan nilai dari lokasi
yang berdekatan dan cenderung berkelompok. Sedangkan autokorelasi spasial negatif
menunjukkan bahwa lokasi– lokasi yang berdekatan mempunyai nilai yang berbeda dan
cenderung menyebar.
Uji autokorelasi dalam penelitian ini menggunakan tool Spatial Autocorrelation (Indeks
Moran) dari software ArcGis 10.2.1. Tool akan menghitung autokorelasi spasial berdasarkan
nilai atribut dan lokasi dari masing- masing desa/kelurahan. Dari nilai atribut dan lokasi
tersebut, tool akan menyajikan output nilai Indeks Moran dan pola yang terbentuk apakah
bersifat berkelompok/bergerombol (clustered), acak (random), atau menyebar (dispersed).
Dari hasil output ini dapat disimpulkan apakah terjadi autokorelasi pada tingkat kemiskinan
desa/kelurahan di Kabupaten Mamuju. Jika terjadi autokorelasi spasial, maka pemodelan yang
terbaik digunakan adalah pemodelan regresi spasial secara lokal, yaitu GWR.
Autokorelasi spasial juga bisa dilihat dari koefisien Indeks Moran. Menurut Lee dan
Wong dalam Syafitri et al. (2008) menyatakan bahwa koefisien Indeks Moran digunakan untuk
uji dependensi spasial atau autokorelasi antar lokasi.
28

Analisis ini disebut dengan analisis keterkaitan atau pola spasial (Analyzing Pattern) dengan
menggunakan Indeks Moran yang menunjukkan keterkaitan wilayah dengan wilayah lain
sekitarnya. Nilai yang dihasilkan dalam perhitungan Indeks Moran berkisar antara -1 dan 1.
Nilai ini biasanya dinyatakan dengan:
 I0 = -1/(n – 1) mendekati nol berarti tidak ada autokorelasi spasial. Nilai variabel terdistribusi
secara random.
 I > I0 berarti terdapat autokorelasi spasial positif dengan membentuk suatu pola data yang
mengelompok (cluster).
 I < I0 berarti terdapat autokorelasi spasial negatif yang menunjukkan pola data menyebar
(dispered).

(2) Analisis Moran Lokal Anselin


Analisis Moran Lokal Anselin digunakan untuk mengidentifikasi dan mengelompokkan
wilayah desa yang memiliki kemiripan yang nyata untuk tingkat kemiskinan (Pola Spasial
Kemiskinan). Analisis pola spasial kemiskinan akan menggunakan tool Cluster and Outlier
Analysis (Anselin Local Moran Index) dari software ArcGis 10.2.1.
Tool akan menunjukkan wilayah-wilayah yang memiliki autokorelasi dan menyajikan
wilayah desa/kelurahan yang memiliki kemiripan yang nyata untuk tingkat kemiskinannya,
yaitu: (a) high-high cluster, mengelompokkan desa/kelurahan yang memiliki tingkat
kemiskinan yang tinggi dan dikelilingi oleh desa/kelurahan dengan kemiskinan yang tinggi;
(b) low-low cluster, mengelompokkan desa/kelurahan yang memiliki tingkat kemiskinan yang
rendah dan dikelilingi oleh desa/kelurahan dengan kemiskinan yang rendah; (c) high-low
outliers, dimana desa/kelurahan dengan kemiskinan tinggi tetapi dikelilingi oleh
desa/kelurahan dengan kemiskinan rendah; (d) low-high outlier, dimana desa/kelurahan
dengan kemiskinan rendah tetapi dikelilingi oleh desa/kelurahan dengan kemiskinan yang
tinggi juga tidak ditemukan di Kabupaten Mamuju.

(3) Analisis Deskriptif berbasis Pemetaan Tematik Tingkat Kemiskinan


Analisis ini dimaksudkan untuk melihat pola sebaran kemiskinan yang ada di Kabupaten
Mamuju, untuk memperkuat hasil dari analisis Indeks Moran Global dan Indeks Moran Lokal.
Pemetaan tematik tingkat kemiskinan berdasarkan klasifikasi: (a) tingkat kemiskinan
desa/kelurahan yang berada di bawah tingkat kemiskinan level Kabupaten Mamuju (<6.7%);
(b) tingkat kemiskinan desa/kelurahan yang berada antara tingkat kemiskinan level kabupaten
dan level Provinsi Sulawesi Barat (6.7%-12.4%); dan (c) tingkat kemiskinan desa/kelurahan
yang berada di atas tingkat kemiskinan provinsi (>12.4%).
Pengklasifikasian ini digunakan untuk mengetahui dan memudahkan dalam melihat
secara visual tingkat kemiskinan setiap desa/kelurahan. Apakah semua desa/kelurahan di
Kabupaten mamuju memiliki tingkat kemiskinan yang cukup rendah (berkisar 6.7%) atau
kemungkinan terdapat desa/kelurahan yang memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi sehingga
adanya kemungkinan ketimpangan tingkat kemiskinan di Kabupaten Mamuju.
Berdasarkan analisis kemiskinan spasial dengan metode Indeks Moran Global, Indeks
Moran Lokal Anselin dan analisis deskriptif berbasis peta tematik tingkat kemiskinan maka
akan ditarik suatu kesimpulan apakah terdapat autokorelasi spasial pada tingkat kemiskinan
desa/kelurahan.
29

Analisis Kaitan Sertifikasi Tanah, Penggunaan Lahan Pertanian dan Faktor lain yang
diindikasikan berpengaruh terhadap Kemiskinan
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Kabupaten Mamuju
menggunakan model GWR Kemudian untuk setiap variabel X yang digunakan dalam GWR
dilakukan uji signifikansi pada taraf nyata 0.05 untuk melihat adanya pengaruh dari masing-
masing variabel tersebut terhadap kemiskinan di tingkat lokal desa/kelurahan.

(1) Pemodelan Regresi Terboboti Spasial (GWR)


Model GWR adalah suatu model regresi yang diubah menjadi model regresi yang
terboboti (Fotheringham et al. 2002). Variabel Y ditaksir dengan variabel prediktor yang
masing–masing koefisien regresinya tergantung pada lokasi dimana data tersebut diamati.
Variabel dependent dan independent dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Variabel pemodelan GWR
Variabel Defenisi Operasional Satuan Sumber Data
Y Kemiskinan Persentase kemiskinan Persen TNP2K dan
desa/kelurahan setiap desa/kelurahan BPS
X1 Jumlah sertifikat Rasio kepemilikan sertifikatSertifikat/rumah
Kantor
per rumah tangga di setiaptangga Pertanahan
desa/kelurahan Mamuju dan
BPS
X2 Luas lahan sawah Rasio luas lahan sawah per Ha/rumah tangga Kantor wilayah
rumah tangga di setiap BPN
desa/kelurahan Prov.Sulbar
X3 Luas lahan Persentase luas lahan kebunPersen Kantor wilayah
perkebunan dan perkebunan terhadap luas BPN
desa/kelurahan di Prov.Sulbar
setiap desa/kelurahan
X4 Luas lahan ladangPersentase luas lahan Persen Kantor wilayah
dan tegalan ladang dan tegalan terhadap BPN
luas desa/kelurahan di Prov.Sulbar
setiap desa/kelurahan
X5 Luas lahan tambak Persentase luas lahan Persen Kantor wilayah
tambak terhadap luas BPN
desa/kelurahan di setiap Prov.Sulbar
desa/kelurahan
X6 Tingkat angkatan Persentase jumlah tenaga Persen BPS
kerja di sektor kerja di sektor industri Kab.Mamuju
industri mikro dan mikro dan kecil per jumlah
kecil penduduk
X7 Jarak ke ibukota Jarak lokasi pusat Km BPS
kabupaten desa/kelurahan ke ibukota Kab.Mamuju
kabupaten
X8 Dana Desa Rasio Dana Desa terhadap Rp/orang BPMPD,
individu miskin di setiap Kemenkeu,dll

desa/kelurahan
Model GWR merupakan metode statistika yang umumnya digunakan untuk analisis
heterogenitas spasial, dimana maksudnya apabila satu variabel bebas yang sama memberikan
respon yang tidak sama pada lokasi yang berbeda dalam satu wilayah yang akan diteliti.
Hasilnya yaitu suatu penaksir parameter model yang bersifat lokal untuk setiap titik atau lokasi
dimana data tersebut diamati. Berikut ini model GWR secara umum yaitu:
yi = β0 (ui,vi) + ∑ βk (ui,vi)xik + εi,
k=1
Dengan:
yi :Variabel dependent pada lokasi ke-i (i=1,2,…,n)
xik :nilai observasi variabel prediktor ke- k pada lokasi
pengamatan ke-i
β0 :konstanta/intercept
(ui, vi) :koordinat letak geografis (longitude, latitude) dari lokasi
pengamatan ke- i
βk :nilai observasi variabel prediktor ke- k pada lokasi
pengamatan ke-i
εi :error pengamatan ke-i yang diasumsikan identik,
independent dan berdistribusi normal dengan mean nol dan
varian konstan α2

Secara khusus berdasarkan variabel independent yang ada seperti jumlah sertifikat, luas
lahan sawah, luas perkebunan, luas ladang/tegalan, luas tambak, jarak ke ibukota kabupaten,
serta tingkat angkatan kerja di sektor industri mikro dan kecil dan dana desa, dan varibel
dependentnya yaitu kemiskinan desa/kelurahan, maka dapat dibuat sebuah model geographical
weighted regression (GWR) yaitu:

Kemiskinan = β0 (ui,vi) + β1i (ui,vi) Jumlah Sertifikat + β2i (ui,vi) Luas Sawah
+ β3i (ui,vi) Luas Perkebunan + β4i (ui,vi) Luas Ladang/Tegalan + β5i (ui,vi) Luas Tambak
+ β6i (ui,vi) Jarak ke Ibukota Kabupaten + β7i (ui,vi) Angkatan Kerja IMK + β8i (ui,vi)
Dana Desa + εi
Keterangan:
β0 = intercept
β1i.... β8i = koefisien peubah di desa/kelurahan i
(ui,vi) = koordinat lintang, bujur dari lokasi pengamatan ke- i
Analisis model GWR dilaksanakan menggunakan software ArcGis 10.2.1.
Berikut langkah-langkah pelaksanaan analisis GWR:
a) Jenis pembobot yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kernel Gauss (Fotheringham
et al. 2002). Fungsi pembobot menggunakan metode Fixed Kernel.
b) Kebaikan dan kesesuaian model berdasarkan nilai koefisien determinasi (R2). Menurut
Gujarati (1993), besaran koefisien determinasi (R2) merupakan besaran yang paling
lazim digunakan untuk mengukur kecocokan model (goodness of fit) garis regresi.
Juanda (2009) menjelaskan bahwa koefisien determinasi (R2) sering secara informal
digunakan sebagai statistik untuk
31

kebaikan dari kesesuaian model dan untuk membandingkan validitas hasil


analisis model regresi. Model terbaik ditentukan berdasarkan nilai R2 terbesar.

(2) Uji Signifikansi Variabel Secara Spesifik Lokasi dan Kaitannya dengan
Kemiskinan
Untuk setiap variabel X yang digunakan dalam GWR, dilakukan uji
signifikansi untuk melihat adanya pengaruh dari masing-masing variabel tersebut
terhadap kemiskinan di Kabupaten Mamuju secara spesifik lokasi. Uji signifikansi
dilakukan terhadap masing-masing variabel di setiap desa/kelurahan dengan taraf
nyata α=5%=0.05. Uji signifikansi dapat dilakukan dengan hipotesis sebagai
berikut:
H0 : βk (ui,vi)=0
H1 : βk (ui,vi)≠0 atau (βk>0 atau βk <0) ; k = 1,2,…,p
Statistik uji:
thit = βk (ui,vi)- βk (ui,vi)
Se(βk (ui,vi))
Keterangan: βk (ui,vi) : nilai observasi variabel prediktor ke- k pada lokasi
pengamatan ke-i
Se(βk (ui,vi)):standard error variabel prediktor ke- k pada lokasi
pengamatan ke-i
Dengan menggunakan taraf nyata 0.05 maka kriteria ujinya:
o jumlah unit penelitian 97 desa/kelurahan, maka tα/2,db=n-k-2 dapat
ditentukan nilainya: t 0.05/2, 97-8-2 = t 0.025,87 = 1.98761.
o Jika nilai thit > 1.98761 , maka terima H1.
o Jika thit ≤ 1.98761 , maka terima H0.
Hasil dari uji signifikansi masing-masing variabel untuk masing-masing desa
memberi informasi pengaruh dari variabel-variabel tersebut dalam dua arah
terhadap kemiskinan, dimana pengaruhnya bisa saja bersifat mengurangi
kemiskinan atau meningkatkan kemiskinan, tergantung pada angka koefisien yang
didapatkan oleh masing-masing variabel. Angka koefisien yang bernilai negatif
dapat diartikan bahwa variabel tersebut berpengaruh dalam menurunkan
kemiskinan di desa tersebut. Sedangkan jika nilai koefisiennya positif berarti
sebaliknya bahwa variabel tersebut akan meningkatkan kemiskinan di desa tersebut.
(3) Pemetaan Desa/Kelurahan berbasis Variabel Signifikan yang
Berpengaruh terhadap Kemiskinan
Variabel-variabel independent dapat dikelompokkan berdasarkan kesamaan
variabel yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan di setiap
desa/kelurahan

Alternatif Kebijakan untuk Pengurangan Kemiskinan di Kabupaten Mamuju


dan dikaitkan dengan Usulan Perencanaan dan Program Pembangunan
Daerah
Analisis yang digunakan untuk implementasi kebijakan yang dapat diterapkan
untuk mereduksi kemiskinan adalah analisis deskriptif dari hasil analisis pola
spasial kemiskinan Kabupaten Mamuju dan variabel pemodelan GWR yang dapat
mereduksi kemiskinan. Hasil analisis juga disinkronkan dengan proposal
perencanaan dan program wilayah Kabupaten Mamuju Tahun 2018.
32

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Gambaran Wilayah dan Kependudukan

Kabupaten Mamuju merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Barat, terletak


pada posisi 1038’110”–2054’552” Lintang Selatan (LS) dan 118045’17”–
119051’87” Bujur Timur (BT). Kabupaten Mamuju memiliki batas wilayah
administratif sebagai berikut:
Sebelah Utara : Kabupaten Mamuju Tengah
Sebelah Timur : Provinsi Sulawesi Selatan
Sebelah Selatan : Kabupaten Majene, Kabupaten Mamasa dan Provinsi
Sulawesi Selatan
Sebelah Barat : Selat Makassar

Karakteristik Wilayah
Kabupaten Mamuju memiliki luas wilayah 5,064.19 km2, yang terdiri dari 11
Kecamatan. Kecamatan Kalumpang merupakan kecamatan terluas dengan luas
wilayah 1,731.99 Km2 atau 34.20 persen dari seluruh luas wilayah Kabupaten
Mamuju, sedangkan kecamatan dengan luas wilayah terkecil adalah Kecamatan
Balabalakang dengan luas wilayah 21.86 km2 atau 0.43 persen dari luas wilayah
Kabupaten Mamuju (BPS Kab.Mamuju, 2016a). Kecamatan Balabalakang tidak
tersaji dalam peta karena batas administratif dan petanya belum tersaji pada peta
administrasi pemerintah Kabupaten Mamuju. Peta administrasi kecamatan dan
persentase luas kecamatan di Kabupaten Mamuju dapat dilihat pada Gambar 5,
sedangan luas masing-masing kecamatan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 5.

Gambar 5 Peta administrasi kecamatan dan persentase luas kecamatan


33

Berdasarkan jarak terhadap ibukota kabupaten maka Kecamatan


Balabalakang memiliki jarak terjauh sekitar 202 Km, sedangkan yang terdekat
adalah Kecamatan Mamuju yang juga merupakan ibukota kabupaten. Kecamatan
Balabalakang merupakan satu–satunya kecamatan di Kabupaten Mamuju yang
tidak dapat diakses menggunakan angkutan darat, karena berbentuk kepulauan.
Akses jalan antar ibukota kecamatan cukup baik, karena sebagian besar merupakan
jalan antar provinsi, kecuali jalan menuju Kecamatan Bonehau, Kecamatan
Kalumpang dan Kecamatan Tapalang Barat. Jarak antara masing- masing ibukota
kecamatan ke ibukota kabupaten dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Jumlah penduduk dan luas kecamatan di Kabupaten Mamuju

Jumlah Penduduk Kepadatan Jarak dari


(Jiwa) Luas
No Kecamatan Penduduk Ibukota
(km2)
Jiwa % Jiwa (jiwa/km2) Kabupaten
1 Tapalang 19 986 7.52 283.31 71 33
2 Tapalang barat 10 025 3.77 131.72 76 37
3 Mamuju 65 954 24.81 206.64 319 0
4 Simboro 27 405 10.31 111.94 245 6
5 Balabalakang 2 611 0.98 21.86 119 202
6 Kalukku 57 005 21.45 470.26 121 32
7 Papalang 23 584 8.87 197.60 119 59
8 Sampaga 15 420 5.80 119.40 129 70
9 Tommo 22 588 8.50 827.35 27 106
10 Kalumpang 11 731 4.41 1 731.99 7 121
11 Bonehau 9 491 3.57 962.12 10 97
TOTAL 265 800 100.00 5064.19 52
Sumber: BPS Kab.Mamuju, 2016a.

Pada tahun 2015 sebagaimana yang tersaji pada Tabel 5, jumlah penduduk di
Kabupaten Mamuju sebanyak 265 800 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki dan
perempuan masing-masing sebanyak 135 294 jiwa dan 130 506 jiwa. Kondisi ini
menunjukan perbandingan penduduk laki-laki dan perempuan (sex ratio)
Kabupaten Mamuju sebesar 104, yaitu setiap 100 penduduk perempuan terdapat
104 penduduk laki-laki. Pada periode yang sama diperkirakan terdapat sekitar 58
865 rumah tangga dengan rata-rata banyaknya anggota rumah tangga sekitar 4.5
orang. Data secara rinci mengenai jumlah rumah tangga dapat dilihat pada
Lampiran 1.
Kepadatan penduduk tertinggi ditemukan di Kecamatan Mamuju, yang
merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Mamuju dengan tingkat kepadatan 319
jiwa/km2, kemudian disusul oleh Kecamatan Simboro, yang merupakan pusat
pemerintahan Provinsi Sulawesi Barat dengan tingkat kepadatan 245 jiwa/km2.
Tingkat kepadatan dua kecamatan tersebut sangat jauh jika dibandingkan dengan
Kecamatan Kalumpang yang merupakan wilayah dengan kepadatan terendah, yaitu
hanya 7 jiwa/km2.
34

Jumlah, Luas Desa/Kelurahan dan Jarak ke Ibukota Kabupaten


Wilayah Kabupaten Mamuju memiliki sebanyak 99 wilayah desa/kelurahan
(88 berstatus desa dan 11 berstatus kelurahan). Daftar desa-desa dapat dilihat pada
Lampiran 1, sedangkan batas administratif desa dapat dilihat pada Gambar 7. Dua
desa terdapat di Kecamatan Balabalakang, yang tidak dimasukkan dalam analisis
penelitian ini, sehingga penelitian ini hanya mencakup 97 desa, yang terdiri dari 86
desa dan 11 kelurahan.
Desa/kelurahan yang memiliki wilayah dengan luas terbesar yaitu Desa
Kinantang di Kecamatan Bonehau dengan luas wilayah 248.16 km2. Secara umum,
desa-desa yang terletak di wilayah Kecamatan Bonehau, Kecamatan Kalumpang
memiliki luas wilayah yang besar dibandingkan dengan desa-desa di Kecamatan
lainnya, tetapi memiliki topografi daerah yang berbukit, dan sebagian besar
wilayahnya merupakan Kawasan Hutan. Sedangkan desa dengan luas terkecil
adalah Desa Tapandullu di Kecamatan Simboro dengan luas wilayah 1.89 km2.
Luas masing-masing desa dapat dilihat pada Lampiran 1.
Desa/kelurahan yang memiliki jarak terjauh dari ibukota kabupaten yaitu
Desa Lasa’ di Kecamatan Kalumpang yaitu dengan jarak 172 km, sedangkan
desa/kelurahan yang terdekat yaitu Kelurahan Rimuku dan Karema yang berada di
pusat ibukota Kabupaten Mamuju. Desa-desa yang berada di luar Kecamatan
Mamuju, akses antar desa sangat terbatas, rata-rata hanya ada satu akses jalan
penghubung antar desa, dan kondisi jalan tidak begitu baik, karena selain ukurannya
yang kecil juga sebagian belum beraspal. Sebagian masih berupa jalan berbatu dan
pasir. Jarak setiap desa/kelurahan ke ibukota kabupaten yang juga akan digunakan
sebagai data dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1. Sedangkan peta
desa/kelurahan beserta akses jalan dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Peta wilayah administrasi desa dan akses jalan


35

Jumlah Penduduk dan Kepadatan setiap Desa/Kelurahan


Jumlah penduduk di Kabupaten Mamuju sebanyak 265 800 jiwa. Jumlah
penduduk terbanyak terdapat di Kelurahan Binanga dengan jumlah 22 780 jiwa dan
dengan tingkat kepadatan 669 jiwa/km2. Jumlah penduduk paling sedikit terdapat
di Desa Tamalea, Kecamatan Bonehau dengan jumlah penduduk 410 orang dengan
tingkat kepadatan 17 jiwa/km2. Penduduk terpadat terdapat di Kelurahan Rimuku
dengan tingkat kepadatan sebesar 1168 jiwa/km2 dengan total jumlah penduduk
sebanyak 12 420 jiwa. Sedangkan kepadatan penduduk terendah terdapat di Desa
Lasa’ Kecamatan Kalumpang dengan tingkat kepadatan hanya 3 jiwa/km 2. Jumlah
penduduk untuk setiap desa/kelurahan serta kepadatan penduduknya dapat dilihat
secara rinci pada Lampiran 1.
Jika dilihat dari sebaran kepadatan penduduk sebagaimana terlihat di Gambar
7, dapat terlihat bahwa lebih dari 70 persen wilayah Kabupaten Mamuju memiliki
tingkat kepadatan yang rendah, yaitu berkisar antara 3-50 jiwa/km2. Hanya terdapat
6 desa/kelurahan yang memiliki tingkat kepadatan di atas 500 jiwa/km 2, yaitu
Kelurahan Rimuku, Kelurahan Simboro, Kelurahan Binanga, Kelurahan Kalukku,
Desa Ahu dan Desa Karampuang.
Berdasarkan wilayah, rata-rata kepadatan penduduk yang tinggi terdapat di
wilayah Kecamatan Mamuju, Kecamatan Kalukku, Kecamatan Papalang dan
Kecamatan Sampaga. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepadatan
penduduk di Kabupaten Mamuju di antaranya adalah jarak dengan ibukota
kabupaten sekaligus ibukota provinsi, jalur yang dilalui oleh jalan poros (jalan lintas
provinsi) serta ukuran luas desa/kelurahan.

Gambar 7 Kepadatan penduduk desa/kelurahan


36

Gambaran Penguasaan Lahan dan Sertifikasi Tanah

Data dan informasi penguasaan tanah diperoleh dari Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi Sulawesi Barat dan Kantor Pertanahan Kabupaten
Mamuju. Penguasaan tanah di Kabupaten Mamuju terdiri dari Kawasan Hutan
(Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Produksi Konversi, Hutan Produksi
Terbatas) dan Kawasan Konservasi, Perusahaan Perkebunan, Tanah Hak sesuai
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) atau lahan sudah bersertifikat dan Tanah
Negara Lainnya. Kawasan Hutan tersebar di seluruh kecamatan, HGU Perkebunan
hanya dijumpai di Kecamatan Tommo. Lahan bersertifikat terdiri dari Hak Milik,
Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Lahan yang sudah bersertifikat tersebar di
seluruh wilayah kecamatan dan hampir di seluruh wilayah desa. Penguasaan tanah
Kabupaten Mamuju dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Penguasaan tanah di Kabupaten Mamuju

Persentase
No Penguasaan Tanah Luas (ha)
Luas Wilayah
1 Hutan Lindung 131 158.21 27.23
2 Hutan Produksi 41 981.88 8.72
3 Hutan Produksi Konversi 12 099.71 2.51
4 Hutan Produksi Terbatas 85 185.85 17.69
5 Kawasan Konservasi 94 357.75 19.59
6 Perusahaan Perkebunan 1 667.21 0.35
Tanah Hak sesuai UUPA dan Tanah
7 115 147.28
Negara 23.91
TOTAL 481 597.90 100.00
Sumber: BPN Prov. Sulawesi Barat, 2015

Sebagian besar penguasaan tanah di wilayah Kabupaten Mamuju adalah


Kawasan Hutan Lindung sebanyak 27.23%, diikuti dengan Kawasan Konservasi
19.59% dan Hutan Produksi Terbatas sebesar 17.69%. Lahan sebesar 1 667.21 ha
merupakan tanah Hak Guna Usaha yang dikuasai dan dimanfaatkan oleh
perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di
Kecamatan Tommo. Sedangkan sisanya adalah lahan seluas 115147.28 ha atau
sekitar 23.91% merupakan lahan yang bisa disertifikatkan.
Secara umum terlihat bahwa Kawasan Hutan dan Konservasi sangat
mendominasi wilayah Kabupaten Mamuju, dengan luas total sebesar 364783.4 ha,
atau meliputi hampir 76% dari luas wilayah Kabupaten Mamuju. Perbandingan
luasan wilayah hutan dan wilayah non hutan, baik yang sudah terdaftar sebagai
sertifikat maupun tanah yang masih berstatus tanah negara, dapat dilihat pada
Gambar 8.
37

Gambar 8 Peta kawasan hutan Kabupaten Mamuju

Kantor Pertanahan Kabupaten Mamuju telah melaksanakan Program


Legalisasi Aset dari Tahun 2010 hingga Tahun 2015 sebanyak 35719 sertifikat
(termasuk sertifikat untuk wilayah Kabupaten Mamuju Tengah sebelum
pemekaran), yang terdiri dari 15818 sertifikat untuk wilayah Kabupaten Mamuju
dan sebanyak 19901 sertifikat di wilayah Kabupaten Mamuju Tengah. Tabel 7
menyajikan jumlah dan persentase sertifikat yang diterbitkan oleh Kantor
Pertanahan Kabupaten Mamuju yang merupakan hasil dari Program Legalisasi Aset
dari Tahun 2010 hingga 2015 untuk setiap kecamatan.

Tabel 7 Jumlah dan persentase sertifikat hasil Program Legalisasi Aset Tahun
2010-2015

No. Kecamatan Jumlah Persentase


1 Bonehau 724 4.58%
2 Kalukku 3 830 24.21%
3 Kalumpang 0 0.00%
4 Mamuju 2 003 12.66%
5 Papalang 872 5.51%
6 Sampaga 1 258 7.95%
7 Simboro 1 802 11.39%
8 Tapalang 1 243 7.86%
9 Tapalang Barat 416 2.63%
10 Tommo 3 670 23.20%
Total 15 818
38

Kecamatan yang mendapatkan alokasi terbesar dari pelaksanaan program


Legalisasi Aset adalah Kecamatan Kalukku, yaitu sebanyak 3830 sertifikat atau
sebesar 24.21% dari total target pelaksanaan. Selanjutnya adalah Kecamatan
Tommo yang mendapat alokasi sebesar 3670 (23.20%). Kecamatan Kalumpang
adalah satu-satunya wilayah kecamatan yang tidak mendapatkan alokasi
pelaksanaan kegiatan legalisasi aset dari Tahun 2010 sampai 2015. Belum jelasnya
batas antara kawasan hutan dan bukan kawasan hutan merupakan penyebab utama
tidak dilaksanakannya program sertifikasi di kecamatan tersebut dan juga kendala
jarak yang jauh dari ibukota kabupaten. Belum adanya prioritas lokasi sebagai
target pelaksanaan program sertifikasi yang dapat mendukung upaya pemerintah
menanggulangi kemiskinan juga menyebabkan beberapa wilayah belum
mendapatkan program percepatan sertifikasi tanah.

Gambaran Penggunaan Tanah

Klasifikasi jenis penggunaan lahan dibagi menjadi 8 (delapan) jenis


penggunaan lahan, yaitu sawah, permukiman, perkebunan, hutan, tambak, tegalan
dan ladang, lahan non produktif (semak, belukar, alang-alang dan tanah kosong)
dan tubuh air lainnya (danau, situ, sungai). Data luas dan persentase penggunaan
tanah di Kabupaten Mamuju Tahun 2015 secara rinci dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Luas penggunaan tanah Kabupaten Mamuju Tahun 2015

Luas
No. Penggunaan Lahan
Ha Persentase
1 Sawah 10 603.55 2.11%
2 Pemukiman 3 223.97 0.64%
3 Perkebunan 78 288.30 15.57%
4 Hutan 360 715.33 71.74%
5 Tambak 4 141.10 0.82%
6 Tegalan dan ladang 16 570.27 3.30%
Lahan non produktif (tanah kosong, semak,
7 26 222.50 5.22%
belukar, alang-alang)
8 Tubuh air (danau, situ,sungai) 3 056.48 0.61%
Jumlah 502 821.50 100.00%
Sumber: data diolah (2017)

Penggunaan tanah di Kabupaten Mamuju didominasi oleh Hutan sebesar


360715.33 ha atau sebesar 71.74% dari total luas wilayah Kabupaten Mamuju.
Kawasan hutan ini sebagian besar berada di bagian timur wilayah Kabupaten
Mamuju yang memiliki topografi wilayah berbukit-bukit. Sebagian besar dari
kawasan hutan ini merupakan kawan hutan lindung. Penggunaan lahan untuk
pemukiman di kabupaten ini hanya sebesar 3223.97 ha atau hanya sekitar 0.64%.
Lahan pemukiman yang cukup luas dan bersifat mengelompok, terdapat di
Kecamatan Mamuju yang merupakan pusat kabupaten/provinsi dan Kecamatan
Kalukku dimana terdapat Bandar Udara Tampa Padang. Sedangkan lahan
39

pemukiman di desa-desa lainnya persentasenya sangat kecil karena jumlah


penduduk yang sedikit menyebabkan penggunakan lahan pemukiman yang juga
sangat sedikit.
Penggunaan tanah untuk perkebunan sebesar 78288.30 ha, atau sebesar
15.57%. Penggunaan untuk lahan perkebunan ini terdiri dari lahan yang dikelola
perusahaan perkebunan sebagai kebun sawit, perkebunan rakyat, kebun tanaman
sejenis dan kebun campuran milik masyarakat. Penggunan lahan pertanian untuk
sawah hanya sebesar 10603.55 ha atau hanya sebesar 2.11%. Wilayah yang
memiliki luas sawah cukup besar berada di Kecamatan Kalukku, Palapang dan
Sampaga. Penggunaan lahan untuk tegalan/ladang adalah seluas 16570.27 ha atau
sebesar 3.30%, dimana sebagian besar berada di Kecamatan Kalumpang.
Sedangkan penggunaan lahan untuk tambak hanya sebesar 4141.10 ha atau 0.82%.
Dari dominansi penggunaan tanah, dapat disimpulkan bahwa masyarakat bergerak
di bidang pertanian, terutama kebun/perkebunan, karena sebarannya hampir di
seluruh desa/kelurahan. Lahan tegalan dan sayuran, lahan sawah dan tambak hanya
ada di beberapa desa dan sifatnya mengelompok. Peta Penggunaan Tanah Tahun
2015 sebagaimana terlihat pada Gambar 9 dapat dilihat sebaran masing-masing
penggunaan tanah.

Gambar 9 Peta penggunaan tanah Kabupaten Mamuju Tahun 2015


40

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Penggunaan Lahan Pertanian dan Sertifikasi Tanah Tahun 2015

Penggunaan Lahan Pertanian Kabupaten Mamuju


Data luas penggunaan lahan setiap desa/kelurahan di Kabupaten Mamuju
tahun 2015 diperoleh dari hasil analisis tumpang susun Peta Penggunaan Tanah
Kabupaten Mamuju tahun 2015 dengan peta administrasi wilayah desa/kelurahan.
Sesuai dengan tujuan penelitian, data penggunaan lahan yang akan diolah dan
digunakan dalam penelitian ini hanya menggunakan 4 (empat) jenis penggunaan
lahan, yaitu yang berkaitan dengan penggunaan lahan pertanian. Jenis penggunaan
lahan pertanian tersebut adalah lahan sawah, lahan perkebunan, tegalan/ladang dan
lahan tambak.
Hasil dari analisis tumpang susun telah didapatkan data luas penggunaan
lahan pertanian setiap desa dan kelurahan. Data luas dan persentase penggunaan
lahan pertanian di setiap desa dan kelurahan dapat dilihat secara rinci pada
Lampiran 2. Sedangkan Tabel 9 merupakan luas penggunaan lahan pertanian setiap
kecamatan dan jumlah desa/kelurahan yang memiliki lahan pertanian di wilayah
kecamatan tersebut.

Tabel 9 Luas penggunaan lahan pertanian setiap kecamatan dan jumlah


desa/kelurahan lokasi terdapatnya lahan pertanian

Sawah Kebun Tegalan dan Ladang Tambak


Kecamatan Luas Jumlah Luas Jumlah Luas Jumlah Luas Jumlah
(Ha) Desa/Kel (Ha) Desa/Kel (Ha) Desa/Kel (Ha) Desa/Kel
Bonehau 208.43 5 5,999.58 9 1,527.27 1 0.00 0
Kalukku 2,669.33 10 9,436.95 13 0.00 0 1,301.97 5
Kalumpang 556.04 8 3,112.50 8 13,667.81 10 0.00 0
Mamuju 154.15 5 4,815.22 8 225.09 1 445.22 6
Papalang 2,297.76 7 5,950.29 9 30.17 2 1,391.09 2
Sampaga 1,359.26 7 6,089.67 7 97.24 2 784.29 1
Simboro 379.19 5 4,994.72 8 119.35 1 160.52 3
Tapalang 862.48 8 6,636.10 9 502.65 5 0.00 0
Tapalang
Barat 153.43 2 2,728.58 7 400.70 4 58.01 1
Tommo 1,963.49 6 28,524.70 14 0.00 0 0.00 0
Total 10,603.55 63 78,288.30 92 16,570.27 26 4,141.10 18

(1) Lahan Sawah


Berdasarkan analisis tumpang susun, didapatkan data bahwa lahan sawah
tersebar di 63 desa/kelurahan di wilayah Kabupaten Mamuju dengan total luas lahan
sawah sebesar 10,603 Ha. Desa/kelurahan yang memiliki luas lahan sawah terbesar
adalah Desa Toabo dengan luas lahan sawah sebesar 821.22 Ha, dimana luas lahan
sawah meliputi 50.2% dari luas Desa Toabo. Sedangkan secara persentase
proporsional terhadap luas desa/kelurahan, Desa Beru-Beru di
41

Kecamatan Kalukku memiliki persentase sawah terbesar, yaitu 51.86% dari luas
desa dengan luasan sebesar 728.69 ha. Di sisi lain, lahan sawah tidak terdapat di 34
desa/kelurahan di wilayah Kabupaten Mamuju.
Berdasarkan peta sebaran lahan pertanian sawah, dapat diketahui bahwa
pusat pertanian padi di wilayah Kabupaten Mamuju adalah di desa-desa di
Kecamatan Kalukku, Papalang, Sampaga dan Tommo sebagaimana dapat dilihat
pada Gambar 10. Sedangkan di wilayah lainnya, lahan sawah tersebar dengan
luasan yang kecil yang disebabkan karena kondisi geografis wilayah berupa
perbukitan sehingga tidak sesuai untuk dijadikan sebagai lahan sawah. Selain itu
karena sebagian besar desa-desa tersebut sebagian wilayahnya merupakan kawasan
hutan. Daftar luas lahan sawah untuk masing-masing desa/kelurahan dapat dilihat
pada Lampiran 2.

Gambar 10 Sebaran lahan sawah di Kabupaten Mamuju

(2) Lahan Perkebunan


Lahan kebun/perkebunan terdapat di 92 desa/kelurahan dengan total luas
78288.30 Ha atau sebesar 15.57% dari luas Kabupaten Mamuju. Desa/kelurahan
yang memiliki luas lahan perkebunan/kebun terbesar adalah Desa Leling Barat di
Kecamatan Tommo dengan luas lahan sebesar 6277.43 Ha, dimana meliputi 47%
dari total luas Desa Leling Barat. Sedangkan secara persentase proporsional
terhadap luas desa/kelurahan, Desa Tamejarra di Kecamatan Tommo memiliki
persentase perkebunan terbesar terhadap luas desa, yaitu 99% dari luas desa dengan
luasan sebesar 709.07 ha. Lahan kebun dan perkebunan tidak terdapat hanya di
sejumlah 5 (lima) desa/kelurahan di wilayah Kabupaten Mamuju.
Dilihat dari persebarannya yang terdapat hampir di seluruh desa/kelurahan,
semakin menggambarkan bahwa perkebunan merupakan salah satu sumber
penghasilan utama penduduk Kabupaten Mamuju. Lahan perkebunan berupa
perkebunan besar, perkebunan rakyat, kebun sejenis atau kebun campuran.
42

Perkebunan besar hanya terdapat di wilayah bagian utara Kabupaten Mamuju, yaitu
di Kecamatan Tommo. Sebagian besar wilayah desa di Kecamatan Tommo
merupakan bagian dari perusahaan perkebunan dengan tanaman utamanya adalah
tanaman sawit. Perkebunan rakyat terdapat di sekitar perkebunan besar yang juga
ditanami sawit oleh penduduk. Sedangkan di wilayah lainnya hampir di seluruh
desa terdapat kebun-kebun rakyat yang ditanami tanaman sejenis atau campuran.
Sebaran lahan kebun dan perkebunan di wilayah Kabupaten Mamuju dapat di lihat
pada Gambar 11.

Gambar 11 Sebaran lahan kebun/perkebunan di Kabupaten Mamuju

(3) Lahan Tegalan dan Ladang


Lahan tegalan dan ladang terdapat di 26 desa/kelurahan dengan total luas
16570.27 Ha atau sebesar 3.30% dari luas Kabupaten Mamuju. Desa/kelurahan
yang memiliki luas lahan tegalan/ladang terbesar adalah Desa Kalumpang di
Kecamatan Kalumpang dengan luas lahan sebesar 4392.91 Ha, dimana meliputi
25.6% dari total luas Desa Kalumpang. Sedangkan secara persentase proporsional
terhadap luas desa/kelurahan, Desa Sandapang di Kecamatan Kalumpang memiliki
persentase tegalan/ladang terbesar terhadap luas desa, yaitu 29.9% dari luas desa
dengan luasan sebesar 3107.1 Ha. Lahan tegalan/ladang tidak terdapat di sejumlah
71 (tujuh puluh satu) desa/kelurahan di wilayah Kabupaten Mamuju.
Lahan tegalan dan ladang sebagian besar terdapat di daerah bagian barat
Kabupaten Mamuju, yaitu Kecamatan Kalumpang. Wilayah Kecamatan
Kalumpang merupakan wilayah perbukitan dan sebagian besar wilayahnya
merupakan kawasan hutan. Masyarakat memanfaatkan wilayah di pinggiran
kawasan hutan sebagai tegalan dan ladang berpindah. Sebaran lahan tegalan dan
ladang dapat dilihat pada Gambar 12.
43

Gambar 12 Sebaran lahan tegalan/ladang di Kabupaten Mamuju

(4) Luas Lahan Tambak


Lahan tambak terdapat di 18 desa/kelurahan dengan total luas 4141.10 Ha
atau sebesar 0.82% dari luas Kabupaten Mamuju. Desa/kelurahan yang memiliki
luas lahan tambak terbesar adalah Desa Bonda di Kecamatan Papalang dengan luas
lahan sebesar 1320 Ha, dimana meliputi 62.3% dari total luas Desa Bonda.
Sedangkan secara persentase proporsional terhadap luas desa/kelurahan, Desa
Sandapang juga merupakan desa dengan persentase luas tambak terbesar. Lahan
tegalan/ladang tidak terdapat di sejumlah 79 (tujuh puluh sembilan) desa/kelurahan
di wilayah Kabupaten Mamuju.

Gambar 13 Sebaran lahan tambak di Kabupaten Mamuju


44

Lahan yang digunakan sebagai tambak jumlah dan luasannya masih sangat
kecil dan hanya terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Mamuju. Tambak
merupakan salah satu sumber pendapatan bagi penduduk, khususnya untuk
masyarakat di wilayah pesisir barat Kabupaten Mamuju, yaitu di Kecamatan
Tapalang, Tapalang Barat, Kecamatan Simboro, Kecamatan Mamuju, Kecamatan
Kalukku, Kecamatan Papalang dan Kecamatan Sampaga. Sebaran penggunaan
lahan untuk tambak di setiap desa/kelurahan dapat di lihat pada Gambar 13.

Analisis Kepemilikan Sertifikat Tanah


Kabupaten Mamuju memiliki luas lahan yang dapat disertifikatkan sebesar
24% dari total luas Kabupaten Mamuju. Luas lahan yang tidak dapat disertifikatkan
karena merupakan kawasan hutan meliputi 76% dari luas Kabupaten Mamuju. Hal
ini berarti hanya seluas 116814.49 Ha lahan yang dapat didaftarkan sebagai
sertifikat ke Kantor Pertanahan Kabupaten Mamuju.
Jenis hak kepemilikan lainnya yang telah terdaftar di Kabupaten Mamuju
adalah adalah Hak Milik (HM), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP), Hak
Guna Usaha (HGU) dan Wakaf. Di wilayah Kabupaten Mamuju hanya terdapat satu
HGU seluas 1 667.21 Ha yang meliputi beberapa desa di wilayah Kecamatan
Tommo. Secara rinci jumlah sertifikat terdaftar di BPN untuk setiap desa/kelurahan
dapat dilihat pada Lampiran 3. Sedangkan Tabel 10 menyajikan ringkasan luasan
masing-masing jenis hak kepemilikan atas tanah per kecamatan.
Tanah yang sudah bersertifikat relatif sedikit, yakni sebesar 20467 ha, atau
sekitar 17.5% dari total lahan yang bisa disertifikatkan. Hal ini menginformasikan
bahwa persentase tanah terdaftar sebagai sertifikat relatif masih rendah dimana
masih terdapat tanah seluas 96347.49 ha atau sekitar 82.5% dari wilayah non hutan
yang belum disertifikatkan oleh masyarakat. Dari bidang lahan yang disertifikatkan,
Sertifikat Hak Milik (SHM) merupakan sertifikat terbanyak yang terdaftar di
Kantor Pertanahan Kabupaten Mamuju, yaitu sebanyak 49639 sertifikat dengan
total luasan sebesar 19882.67 ha atau sekitar 97% dari tanah yang telah terdaftar
dan bersertifikat.
Tabel 10 Jumlah dan luas (ha) Hak Kepemilikan di Kabupaten Mamuju
Total
Luas Luas Luas Luas Total
No Kecamatan HM HGB HP HW Luas
HM HGB HP HW Hak
Hak
1 Bonehau 4851 3104.41 0 0.00 8 2.03 0 0.00 4859 3106.44
2 Kalukku 7049 1498.53 14 36.49 79 135.93 4 0.18 7146 1671.14
3 Kalumpang 294 63.93 0 0.00 3 5.54 0 0.00 297 69.47
4 Mamuju 7638 723.29 529 59.96 62 50.47 2 0.04 8231 833.76
5 Papalang 2863 1206.70 5 1.77 14 21.71 1 0.00 2883 1230.18
6 Sampaga 3181 1862.09 5 0.09 15 11.25 0 0.00 3201 1873.44
7 Simboro 7232 1468.96 1563 131.11 67 108.27 4 0.00 8866 1708.34
8 Tapalang 4122 948.12 0 0.00 11 16.01 0 0.00 4133 964.13
Tapalang
9 Barat 1733 412.37 0 0.00 2 1.90 1 0.00 1736 414.26
10 Tommo 10676 8594.27 1 0.99 3 0.58 0 0.00 10680 8595.84
Total 49639 19882.67 2117 230.42 264 353.70 12 0.22 52032 20467.00
Keterangan: HM= Hak Milik, HGB= Hak Guna Bangunan, HP= Hak Pakai, HW= Hak Wakaf
45

Kecamatan Tommo merupakan kecamatan yang memiliki sertifikat Hak


Milik terbanyak, yaitu sejumlah 10676 sertifikat dengan total luas 8594.27 ha,
sedangkan sertifikat paling sedikit terdapat di Kecamatan Kalumpang dengan hanya
memiliki 294 sertifikat dengan total luas 63.93 ha. Kecamatan Mamuju sebagai
ibukota kabupaten sekaligus kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak
memiliki jumlah sertifikat sebanyak 7638 ha, dengan luas tanah bersertifikat 723.29
ha, masih lebih sedikit daripada Kecamatan Tommo.
Informasi mengenai persentase lahan yang telah bersertifikat sebagai mana
disajikan pada Gambar 14, yaitu luas lahan bersertifikat di setiap desa/kelurahan
terhadap luasan kawasan non hutan di desa/kelurahan tersebut digunakan sebagai
informasi untuk mengetahui seberapa besar persentase lahan yang telah terdaftar
sebagai sertifikat. Selanjutnya informasi juga sebagai acuan untuk mengetahui
suatu desa/kelurahan masih dapat dijadikan target pelaksanaan program percepatan
sertifikasi tanah.

Gambar 14 Persentase luas lahan bersertifikat terhadap luas wilayah


desa/kelurahan non hutan
Berdasarkan informasi persentase luas lahan bersertifikat dapat dilihat bahwa
sekitar 20% dari total desa/kelurahan sudah memiliki luas lahan bersertifikat lebih
dari 25%, bahkan sebagiannya telah bersertifikat lebih dari 50% dari lahan yang
bisa disertifikatkan. Sebagian besar desa/kelurahan persentase luas lahan yang
bersertifikat masih berada di bawah 10%. Bahkan masih terdapat 16 desa/kelurahan
yang belum terdapat lahan bersertifikat. Hal ini memberikan gambaran bahwa lahan
yang belum bersertifikat masih sangat luas di seluruh wilayah Kabupaten Mamuju
dan setiap desa/kelurahan masih dapat dijadikan sebagai lokasi target program
percepatan sertifikasi.
46

Analisis Pola Spasial Kemiskinan Kabupaten Mamuju Tahun 2015

Analisis kemiskinan spasial di Kabupaten Mamuju menggunakan data cross


section tingkat kemiskinan 97 desa/kelurahan.
Analisis Indeks Moran Global
Analisis Indeks Moran Global digunakan untuk menganalisis adanya
autokorelasi spasial kemiskinan di Kabupaten Mamuju. Berdasarkan hasil output
tool Spatial Autocorrelation (Indeks Moran) dari software ArcGis 10.2 (Gambar
15), terlihat bahwa pola spasial sebaran kemiskinan bersifat menggerombol
(clustered). Nilai Indeks Moran yang dihasilkan bernilai positif yaitu 0.189
sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat autokorelasi spasial kemiskinan antar
desa/kelurahan dan secara spasial pola sebarannya bersifat menggerombol
(clustered). Pengelompokkan kemiskinan terjadi dimana terdapat desa/kelurahan
yang memiliki nilai amatan yang hampir sama dengan desa/kelurahan yang
letaknya saling berdekatan atau bertetangga.

Gambar 15 Hasil Indeks Moran data tingkat kemiskinan desa/kelurahan

Analisis Moran Lokal Anselin


Tool Cluster and Outlier Analysis (Anselin Local Moran Index) akan
menunjukkan sebaran wilayah-wilayah yang memiliki autokorelasi. Pada Gambar
16 dapat dilihat bahwa terdapat empat pengelompokan berdasarkan tingkat
kemiskinan, dimana terdiri dari dua kelompok high-high cluster dan dua kelompok
low-low cluster. Sedangkan kategori high-low outliers dan low-high outliers tidak
ditemukan di wilayah penelitian.
47

Gambar 16 Pola spasial persentase kemiskinan berbasis desa/kelurahan

Dua kelompok high-high cluster dimana desa dengan persentase kemiskinan


yang tinggi, dikelilingi oleh desa-desa dengan persentase kemiskinan yang tinggi,
yaitu kelompok: (1) Desa Tumonga, Desa Makkaliki dan Desa Polio; dan (2) Desa
Lasa’. Beberapa kemungkinan penyebab tingginya tingkat kemiskinan di wilayah
Kecamatan Kalumpang adalah:
 Jauh dari ibukota kabupaten. Letaknya yang jauh dari pusat kegiatan
perekonomian menyebabkan terhambatnya interaksi penduduk dalam
memasarkan hasil pertanian dan kegiatan perekonomian lainnya.
 Memiliki akses jalan yang sangat terbatas dan kualitas jalan yang rendah. Akses
antar desa hanya memiliki satu jalur utama tanpa adanya jalur alternatif dan
kualitas jalan yang sangat rendah menyebabkan sulitnya masyarakat melakukan
interaksi ekonomi dengan masyarakat di wilayah lainnya.
 Memiliki topografi wilayah berbukit-bukit (Gambar 17d) dan sebagian besar
wilayahnya masih merupakan kawasan hutan (Gambar 17c). Sebagian besar
wilayah desa merupakan areal kawasan hutan dan topografi wilayah berbukit-
bukit, sehingga terbatasnya sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat untuk menunjang kehidupan dan perekonomiannya.
Dua kelompok low-low cluster, dimana desa dengan persentase kemiskinan
sangat rendah yang dikelilingi oleh desa dengan persentase kemiskinan yang rendah
juga, yaitu kelompok (1) Desa Malino, Desa Buana Sakti dan Desa Tommo; dan
(2) Desa Kalonding, Desa Tanambua, Desa Sukadamai, Desa Bunde, Desa Tarailu
dan Desa Toabo. Beberapa penyebab rendahnya tingkat kemiskinan di wilayah
Kabupaten Mamuju bagian Utara ini adalah:
 Akses jalan yang sangat baik, karena wilayah desa-desa ini dilalui oleh jalur
lintas provinsi (Gambar 17c) sehingga dapat mendukung kegiatan perekonomian
 Posisi Kecamatan Tommo dan Kecamatan Sampaga terletak jauh dari ibukota
Kabupaten Mamuju, tetapi berada sangat dekat dengan ibukota Kabupaten
Mamuju Tengah (Gambar 17a). Hal ini menyebabkan interaksi penduduk ke
pusat kegiatan perekonomian menjadi mudah.
48

 Topografi wilayah desa di Kecamatan Sampaga dan Kecamatan Tommo yang


cenderung datar (Gambar 17d), sehingga sesuai untuk kegiatan pertanian,
perkebunan dan menunjang kegiatan perekenomian lainnya.
 Sebagian besar wilayah desa bukan merupakan kawasan hutan (Gambar 17c),
sehingga terbukanya akses dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang
terdapat di desa-desa tersebut.
 Sebagian wilayah Kecamatan Tommo merupakan daerah perkebunan dan
terdapat HGU perkebunan sawit, yang diindikasikan dapat menunjang
perekonomian masyarakat desa.

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 17 Peta output moran lokal anselin (a); peta tingkat kemiskinan (b); peta
kawasan hutan dan akses jalan (c); dan peta topografi (d)

Analisis Deskriptif berbasis Pemetaan Tematik Tingkat Kemiskinan


Analisis ini dimaksudkan untuk melihat pola sebaran kemiskinan yang ada di
Kabupaten Mamuju, untuk memperkuat hasil dari analisis Indeks Moran Global
dan Indeks Moran Lokal. Jumlah individu miskin secara total di Kabupaten
Mamuju adalah sebanyak 17,512 orang. Secara rinci data jumlah penduduk miskin
untuk setiap desa/kelurahan di Kabupaten Mamuju dapat dilihat pada Lampiran 1.
Untuk dapat menganalis kemiskinan secara proporsional di setiap desa/kelurahan,
variabel yang digunakan adalah tingkat kemiskinan. Tingkat kemiskinan
merupakan rasio antara jumlah penduduk miskin terhadap jumlah penduduk di
setiap desa/kelurahan.
49

Gambar 18 Peta sebaran tingkat kemiskinan desa/kelurahan


Berdasarkan Gambar 18, didapatkan informasi bahwa berdasarkan
klasifikasi tingkat kemiskinan antar desa/kelurahan, ternyata hanya di sebagian
wilayah Kabupaten Mamuju yang memiliki tingkat kemiskinan yang cukup rendah
(<6.7%) yaitu sebanyak 38 desa/kelurahan. Sebanyak 30 desa/kelurahan berada
dalam selang 6.7%-12.4%, sedangkan sebanyak 29 desa/kelurahan memiliki tingkat
kemiskinan di atas 12.4%. Terlihat juga pada Gambar 18 bahwa terjadi
pengelompokan desa/kelurahan yang memiliki kemiripan tingkat kemiskinan. Data
persentase penduduk miskin secara rinci untuk setiap desa/kelurahan di Kabupaten
Mamuju dapat dilihat pada Lampiran 1.
Desa yang memiliki persentase kemiskinan terkecil adalah Desa Kalumpang
dengan persentase penduduk miskin hanya sebesar 0.4%, justru berada di wilayah
yang rata-rata memiliki persentase kemiskinan yang tinggi. Desa Kalumpang
merupakan ibukota dan pusat perekonomian di Kecamatan Kalumpang.
Berdasarkan data dari TNP2K, jumlah individu miskin di desa ini hanya berjumlah
3 orang dari 778 orang penduduk. Desa kedua dengan persentase penduduk miskin
terkecil yaitu Desa Buana Sakti dengan jumlah penduduk miskin hanya 13 orang
dari 1717 orang penduduk atau persentasenya hanya sebesar 0.7 persen. Sementara
persentase kemiskinan tertinggi adalah Desa Bela di Kecamatan Tapalang yang
memiliki jumlah penduduk miskin 224 orang dari total penduduk 430 jiwa, dengan
persentase 52.2%. Sedangkan desa kedua termiskin adalah Desa Makkalikki di
Kecamatan Kalumpang, dengan penduduk miskin sebanyak 214 jiwa dari 512
orang penduduk (41.8%).
Gambar 18 juga menginformasikan bahwa wilayah yang memiliki persentase
kemiskinan yang kecil terkonsentrasi di tiga lokasi wilayah, yaitu wilayah bagian
utara Kabupaten Mamuju dan wilayah bagian pantai barat bagian tengah Kabupaten
Mamuju dan wilayah sekitar ibukota kabupaten. Persentase
50

kemiskinan penduduk di beberapa desa di wilayah tersebut berada di bawah 2.5%.


Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nurwati (2008), ada lima faktor yang
diketahui berkorelasi dengan kemiskinan di Indonesia, salah satunya yaitu lokasi
geografis. Lokasi geografis berpengaruh terhadap kemiskinan di Kabupaten
Mamuju karena desa/kelurahan yang terletak jauh dari ibukota kabupaten memiliki
persentase kemiskinan yang sangat tinggi, berkisar antara 15% sampai 52%.
Wilayah tersebut memiliki akses jalan yang belum baik dan sangat terbatas serta
memiliki kondisi geografis yang berbukit. Kemiskinan yang tinggi ini
terkonsentrasi di wilayah bagian timur Kabupaten Mamuju.

Autokorelasi Spasial pada Data Tingkat Kemiskinan


Berdasarkan analisis kemiskinan spasial dengan metode Indeks Moran
Global, Indeks Moran Lokal Anselin dan analisis deskriptif berbasis peta tematik
tingkat kemiskinan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut:
 Analisis Indeks Moran Global didapatkan hasil output Indeks Moran (Gambar
16) menunjukkan sifat menggerombol (clustered). Indeks Moran bernilai
positif yaitu 0.188973, sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadi
pengelompokkan (clustered) kemiskinan dimana terdapat suatu desa/kelurahan
yang memiliki nilai amatan yang hampir sama dengan desa/kelurahan yang
letaknya saling berdekatan atau bertetangga (Autokorelasi Spasial)
 Analisis Moran Lokal Anselin menunjukkan empat pengelompokan
berdasarkan tingkat kemiskinan, dimana terdiri dari dua kelompok high-high
cluster dan dua kelompok low-low cluster. Dari hasil ini dapat disimpulkan
bahwa terbukti terdapat adanya Autokorelasi Spasial pada data tingkat
kemiskinan.
 Analisis Deskriptif terhadap Pemetaan Tematik Tingkat Kemiskinan
menunjukkan bahwa terjadi pengelompokkan desa dengan variasi tingkat
kemiskinan.
Analisis kemiskinan spasial melalui tiga metode analisis menunjukkan hasil
yang sama yaitu terdapat autokorelasi spasial pada tingkat kemiskinan
desa/kelurahan dimana pola spasial kemiskinan bersifat mengelompok.

Analisis Keterkaitan Sertifikasi Tanah, Penggunaan Lahan Pertanian dan


Faktor Lain yang diindikasikan Berpengaruh terhadap Kemiskinan secara
Spesifik Lokasi Desa/Kelurahan

Analisis keterkaitan sertifikasi tanah, penggunaan lahan pertanian, sektor


industri mikro kecil, jarak dan dana desa terhadap kemiskinan dilakukan dengan
menggunakan analisis GWR. Analisis pemodelan GWR dapat memberikan
informasi secara spesifik desa/kelurahan, pengaruh dari masing-masing variabel
independent tersebut terhadap kemiskinan. Kemudian untuk setiap variabel
independent di setiap desa/kelurahan dilakukan uji signifikansi dengan uji t pada
taraf nyata 0.05, sehingga masing-masing desa/kelurahan memiliki variasi variabel
independent yang berpengaruh. Implikasi kebijakan terhadap masing- masing
desa/kelurahan dalam menanggulangi kemiskinan tentunya akan berbeda
berdasarkan hasil interpretasi terhadap koefisien variabel dan variabel signifikan
yang mempengaruhi kemiskinan di desa/kelurahan tersebut.
51

Pemodelan Regresi Terboboti Spasial (GWR)


Model GWR menghasilkan 97 persamaan regresi sesuai dengan jumlah
desa/kelurahan yang dicakup dalam penelitian (Lampiran 5). Hasil estimasi GWR
menunjukkan bahwa koefisien determinasi (R2) sebesar 0.6497. Nilai R2 ini
menjelaskan bahwa variasi nilai variabel Y dapat dijelaskan oleh model sebesar
64.97%. Dalam penelitian ini berarti variasi kemiskinan di Kabupaten Mamuju
dapat dijelaskan oleh faktor sertifikasi tanah, penggunaan lahan pertanian,
persentase tenaga kerja di sektor industri, jarak desa/kelurahan ke ibukota
kabupaten dan dana desa sebesar 64.97%, sedangkan selebihnya (35.03%)
ditentukan oleh faktor lain yang belum dimasukkan dalam model penelitian ini.

(1) Variasi Koefisien Determinasi (R2) secara Lokal


Pemodelan GWR menghasilkan persamaan regresi yang bersifat lokal dan
bervariasi di setiap unit wilayah. Secara lokal masing-masing desa/kelurahan
memiliki koefisien determinasi (R2) yang berbeda karena setiap desa/kelurahan
memiliki koefisien variabel yang berbeda-beda. Sebaran Nilai R2 untuk setiap
desa/kelurahan dapat dilihat pada Gambar 19. Informasi R2 lokal dengan nilai yang
berbeda-beda menggambarkan adanya variasi kemampuan model dalam
menjelaskan kemiskinan di setiap desa/kelurahan berbeda-beda.

Gambar 19 Sebaran Nilai R2 untuk setiap desa/kelurahan


Dari Gambar 19 dapat dilihat bahwa variasi kemiskinan dapat dijelaskan oleh
model dengan baik untuk desa/kelurahan di bagian selatan dan utara Kabupaten
Mamuju, yaitu berkisar antara 48% hingga 66%. Sedangkan untuk desa/kelurahan
di bagian tengah dan barat Kabupaten Mamuju, model hanya mampu menjelaskan
variasi kemiskinan sebesar 28% hingga 48%.
Secara lokal nilai R2 tertinggi ada pada lokasi Desa Bela yakni 0.6648239 atau
kemampuan model menjelaskan variasi persentase kemiskinan di Desa Bela
52

mencapai 66.48%. Nilai R2 terendah yaitu Desa Kalukku Barat sebesar 0.2821469
artinya di Desa Kalukku Barat parameter model hanya mampu menjelaskan variasi
persentase kemiskinan sebesar 28.21%, sedangkan sisanya ditentukan oleh variabel
lain diluar model. Nilai R2 secara rinci untuk setiap desa/kelurahan serta koefisien
parameter hasil pemodelan GWR untuk setiap desa/kelurahan dapat dilihat pada
Lampiran 5.

(2) Variasi Koefisien Parameter Model GWR


Hasil estimasi GWR memiliki variasi koefisien parameter di setiap
desa/kelurahan. Variasi koefisien parameter model GWR mengindikasikan adanya
variasi pengaruh setiap variabel independent untuk setiap desa/kelurahan. Pengaruh
yang diberikan dapat dianalisis berdasarkan nilai koefisien, dimana jika koefisien
bernilai negatif, maka variabel tersebut berpengaruh dalam menurunkan tingkat
kemiskinan di desa/kelurahan tersebut. Sebaliknya jika koefisien bernilai positif,
maka variabel tersebut berpengaruh dalam meningkatkan kemiskinan di
desa/kelurahan tersebut. Tabel 11 menyajikan nilai minimum dan nilai maksimum
dari masing-masing koefisien parameter dari hasil estimasi GWR. Sebaran nilai
koefisien hasil GWR secara rinci setiap desa/kelurahan dapat dilihat pada Lampiran
5, sedangkan peta sebaran nilai koefisien hasil GWR dapat dilihat pada Lampiran 6.

Uji Signifikansi Variabel secara Spesifik Lokasi dan Kaitannya dengan


Kemiskinan
Uji signifikansi dilakukan dengan menggunakan uji T terhadap seluruh
variabel independent di 97 desa/kelurahan pada taraf kepercayaan 95%. Nilai
koefisien minimum dan maksimum dari masing-masing parameter dari hasil
estimasi GWR dengan uji T pada taraf nyata 0.05 dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 11 Variasi koefisien parameter hasil estimasi GWR


Koefisien Jumlah
Koefisien
Parameter GWR Desa/Kelurahan
Parameter Parameter GWR
(dengan uji nyata 0.05) Signifikan pada
Minimum Maksimum Minimum Maksimum taraf 0.05
Intersep 0.05108 0.12425 0.05108 0.12425 97
Jumlah sertifikat -0.02576 -0.00642 -0.02576* -0.01156* 56
Luas Sawah -0.02874 0.16816 0.04869 0.16816 39
Luas Kebun -0.13770 -0.00541 -0.13770* -0.07006* 65
Luas Tegalan/Ladang -0.40058 0.14581 -0.40058* -0.29739* 7
Luas Tambak -0.28409 0.04481 -0.28409* -0.17040* 25
Persentase TK Industri -2.64694 2.99804 -2.64694* 2.99804 42
Jarak ke Ibukota 0.00019 0.00076 0.00046* 0.00076* 37
Dana Desa -0.00247 0.00425 -0.00247* -0.00143* 68
Keterangan : * = sesuai hipotesis penelitian

Setelah dilakukan uji signifikansi terhadap parameter GWR dengan taraf


nyata 0.05, terlihat bahwa hampir keseluruhan nilai koefisien variabel independent
sesuai dengan hipotesis penelitian, kecuali variabel luas lahan sawah dan variabel
sektor industri mikro dan kecil. Secara umum model sudah terlihat baik jika dilihat
dari angka koefisien variabel yang dihasilkan yang hampir seluruhnya
53

sesuai hipotesis. Variabel luas lahan sawah tidak sesuai dengan hipotesis karena
semua koefisien yang signifikan pada tarat nyata 0.05 bernilai positif. Sedangkan
variabel sektor industri mikro dan kecil, sebagian nilai koefisien variabel bernilai
negatif dan sebagian lainnya bernilai positif. Hasil estimasi model GWR
menunjukkan respon variabel independent bervariasi di setiap desa/kelurahan.
Hasil tersebut menguatkan argumen bahwa aspek spasial tidak dapat diabaikan
dalam menentukan kebijakan penanggulangan kemiskinan di setiap daerah. Oleh
karena itu, kebijakan kemiskinan perlu memperhatikan keragaman wilayah
(Wahyuni dan Damayanti 2014).
Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa terdapat variasi jumlah
desa/kelurahan yang dipengaruhi secara signifikan oleh setiap variabel. Tabel 11
memberikan informasi bahwa variabel sertifikasi tanah memberikan pengaruh
terhadap kemiskinan di 56 desa/kelurahan. Sedangkan di antara lahan pertanian
lainnya, kebun memberikan pengaruh terbesar terhadap kemiskinan yaitu sebanyak
65 desa/kelurahan.
Untuk mendapatkan hasil analisis yang lebih rinci untuk menjawab
pertanyaan penelitian mengenai pengaruh dari variabel-variabel secara spasial
terhadap kemiskinan, maka dilakukan pemetaan sebaran nilai koefisien variabel
yang signifikan mempengaruhi kemiskinan. Hasil analisis dapat kemudian
digunakan sebagai bahan untuk menyusun implementasi kebijakan dalam upaya
untuk mengatasi kemiskinan di Kabupaten Mamuju.

(1) Pengaruh Sertifikasi Tanah terhadap Kemiskinan


a. Lokasi Signifikan berdasarkan uji nyata 0.05
Hasil uji signifikansi pengaruh sertifikasi tanah terhadap kemiskinan di setiap
desa/kelurahan pada taraf kepercayaan 95% dapat dilihat pada Gambar 20a. Pada
taraf nyata 0.05 didapatkan hasil bahwa sertifikasi tanah berpengaruh terhadap
kemiskinan di 56 desa/kelurahan dan tidak berpengaruh di 41 desa/kelurahan.
Wilayah yang signifikan meliputi Desa/kelurahan Keang, Uhaimate,
Pammulukang, Sinyonyoi, Bebanga, Buttu Ada, Sondoang, Makkaliki, Batu Panu,
Tadui, Bambu, Batu Makkada, Siraun, Polio, Karama, Tumonga, Salumakki,
Pati`Di, Tapandullu, Salletto, Kopeang, Rantedoda, Sumare, Karampuang, Rangas,
Tampalang, Botteng, Mamunyu, Karema, Simboro, Binanga, Rimuku, Leling,
Sandapang, Limbong, Kondo Bulo, Mappu, Karataun, Kalukku, Kalumpang, Bela,
Pangasaan, Tanete Pao, Botteng Utara, Takandeang, Lebani, Taan, Galung,
Kasambang, Orobatu, Lasa', Leling Utara, Labuang Rano, Ahu, Dungkait, Pasa'bu.
Sedangkan wilayah yang tidak signifikan yaitu di wilayah bagian tengah, barat dan
sebagian utara wilayah Kabupaten.
Gambar 20 menyajikan bahwa di sejumlah desa/kelurahan di bagian utara
Kabupaten Mamuju, sertifikat tanah tidak signifikan berpengaruh terhadap
kemiskinan. Kemungkinan penyebab sertifikasi tanah tidak berpengaruh terhadap
kemiskinan di wilayah tersebut adalah (a) beberapa desa di sebelah utara sebagian
besar tanahnya merupakan tanah Hak Guna Usaha (HGU); (b) faktor jarak lokasi
ke ibukota kabupaten sehingga berdampak pada:
1. Harga tanah.
Faktor lokasi merupakan salah satu penyebab tidak signifikannya pengaruh
sertifikasi tanah terhadap kemiskinan karena berkaitan dengan harga tanah dan
nilai agunan. Semakin jauh lokasi tanah dari ibukota kabupaten memiliki
54

kecenderungan memiliki harga tanah yang lebih murah. Harga tanah yang murah
menyebabkan berkurangnya minat atau keinginan dari pemiliknya untuk
dimanfaatkan sebagai agunan guna untuk menambah modal untuk peningkatan
skala usaha.
2. Faktor adanya alternatif usaha lainnya
Penduduk yang tinggal lebih dekat dengan ibukota kabupaten sebagai pusat
perekonomian memiliki kecenderungan lebih memiliki alternatif usaha lainnya
selain dari usaha pertanian. Adanya alternatif usaha lainnya ini mendorong
masyarakat untuk mencari sumber modal yang salah satunya bisa memanfaatkan
sertifikat tanah. Sedangkan penduduk yang tinggal di wilayah perdesaan dan
jauh dari pusat perekonomian cenderung untuk tidak memiliki usaha lainnya
selain pekerjaan utama sebagai petani.
3. Akses ke Perbankan
Keterkaitan antara lokasi geografis wilayah dan lokasi akses ke perbankan
merupakan salah satu yang menyebabkan sertifikasi tanah memberikan pengaruh
yang berbeda dalam mengurangi kemiskinan. Dari hasil GWR terbukti bahwa
wilayah desa/kelurahan yang berada dekat dengan ibukota kabupaten, faktor
sertifikasi tanah memberikan pengaruh yang paling kuat terhadap kemiskinan.
Hal tersebut karena masyarakat di wilayah ini memiliki akses yang lebih baik
dari wilayah yang terletak jauh dari ibukota kabupaten, baik akses informasi,
akses kemudahan menuju perbankan dan harga tanah yang lebih tinggi dari
wilayah yang jauh dari ibukota. Untuk mengetahui lebih jauh dan secara pasti
mengenai pengaruh sertifikat dalam peningkatan perekonomian masyarakat
melalui akses kredit perbankan, perlu adanya penelitian terpisah dan lebih
mendalam.

b. Pengaruh variabel terhadap kemiskinan


Pada Gambar 20 dapat dilihat bahwa angka koefisien variabel sertifikasi
tanah bernilai negatif untuk semua desa/kelurahan yang signifikan pada uji taraf
nyata 0.05. Hal ini berarti secara umum sertifikat tanah dapat memberikan pengaruh
bagi penurunan kemiskinan di 56 desa/kelurahan. Nilai koefisien variabel jumlah
sertifikat adalah bernilai minimum -0.012 dan maksimum -0.026. Angka koefisien
menunjukkan bahwa setiap penambahan 1 sertifikat/rumah tangga di suatu
desa/kelurahan akan menurunkan tingkat kemiskinan di desa/kelurahan tersebut
dalam selang nilai 0.012% hingga 0.026%, ceteris paribus. Unit amatan dengan
persentase penurunan kemiskinan tertinggi jika ada peningkatan sertifikasi tanah
adalah Desa Dungkait dan yang terendah Desa Mappu. Hasil ini menunjukkan
bahwa jika dilakukan peningkatan sertifikasi tanah, maka hasilnya sesuai dengan
hipotesis penelitian, dimana peningkatan sertifikasi tanah dapat mengurangi
kemiskinan.
Transmisinya dalam menurunkan tingkat kemiskinan adalah sertifikasi tanah
akan mendorong naiknya harga tanah, sehingga mendorong masyarakat untuk
mengagunkan sertifikat di perbankan untuk mendapatkan modal usaha. Modal
usaha dapat digunakan untuk meningkatkan skala usaha yang sudah ada, atau
digunakan untuk alternatif usaha lain sehingga dapat meningkatkan pendapatan
rumah tangga. Hasil akhirnya adalah peningkatan pendapatan masyarakat sehingga
diharapkan dapat mendorong berkurangnya angka kemiskinan di desa/kelurahan
tersebut. Program sertifikasi tanah bukan hanya
55

terbatas pada kegiatan pensertifikatkan tanah milik masyarakat, tetapi juga terdapat
program Redistribusi Tanah, yaitu memberikan tanah obyek landreform beserta
sertifikatnya kepada masyarakat di desa tersebut, sehingga masyarakat memperoleh
tanah yang dapat diusahakan sebagai lahan pertanian sekaligus dapat dimanfaatkan
sebagai agunan untuk mendapatkan modal.

(a) (b)

(c)

Gambar 20 Peta lokasi signifikansi koefisien pengaruh sertifikasi tanah terhadap


tingkat kemiskinan (a), jumlah kepemilikan sertifikat per rumah
tangga (b), dan tingkat kemiskinan desa/kelurahan (c)

c. Kaitan Sertifikasi Tanah dan Lokasi Signifikan terhadap Tingkat


Kemiskinan
Gambar 20b dan 20c menyajikan informasi bahwa pada wilayah dengan
kepemilikan sertifikat tanah yang tinggi di desa bagian utara kabupaten terdapat
kecenderungan tingkat kemiskinan rendah. Sedangkan desa yang tidak memiliki
sertifikat tanah cenderung tingkat kemiskinannya tinggi. Jika dilihat dari Gambar
20a, variabel lahan sawah ternyata tidak signifikan mempengaruhi kemiskinan desa
di wilayah bagian utara. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa rendahnya tingkat
kemiskinan desa di wilayah bagian utara kabupaten bukan disebabkan oleh faktor
sertifikasi tanah, tetapi dipengaruhi oleh faktor lainnya.
56

Sedangkan untuk wilayah dimana terjadi pengelompokan desa dengan tingkat


kemiskinan yang tinggi (wilayah bagian timur), berdasarkan hasil GWR sertifikat
tanah dapat memberikan pengaruh terhadap upaya mengurangi kemiskinanan
sehingga pengalokasian program sertifikasi tanah di wilayah tersebut merupakan
salah satu kebijakan yang sesuai dan sangat tepat.
Banyaknya jumlah sertifikat dan tingginya rasio kepemilikan sertifikat di
wilayah bagian Utara Kabupaten Mamuju, belum memberikan pengaruh yang nyata
dalam mengurangi kemiskinan. Banyaknya tanah terdaftar di suatu desa/kelurahan
belum tentu karena kesadaran dari masyarakat itu sendiri dalam mendaftarkan tanah
yang dimiliki, tetapi dari hasil program percepatan sertifikasi tanah. Program
percepatan sertifikasi tanah tanpa diikuti dengan program pemberdayaan terhadap
masyarakat, tidak akan memberikan dampak yang signifikan untuk memperbaiki
perekonomian masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Dengan kata lain, tujuan
program sertifikasi tanah di wilayah ini tidak tercapai sepenuhnya, karena hanya
tujuan dari sisi pendaftaran tanah yang tercapai, sedangkan tujuan akhir untuk
peningkatan perekonomian masyarakat dan mengurangi angka kemiskinan tidak
tercapai. Penelitian dengan hasil serupa juga didapatkan oleh Istikomah (2013) yang
mendapatkan hasil bahwa program sertifikasi tanah untuk Usaha Mikro dan Kecil
di Kabupaten Kulon Progo belum memberikan dampak yang berarti terhadap akses
permodalan bagi usaha mikro dan kecil.
Sertifikasi tanah dapat saja menjadi berpengaruh mengurangi kemiskinan jika
adanya upaya untuk mengatasi permasalahan jarak yang merupakan salah satu
masalah utama. Sesuai dengan tujuan program sertifikasi yang diharapkan oleh
pemerintah, sertifikat seharusnya dapat berkontribusi secara nyata dalam
penanggulangan kemiskinan yaitu melalui penyediaan akses terhadap sumberdaya
lahan melalui kegiatan redistribusi tanah dan penguatan modal usaha masyarakat
secara mandiri melalui agunan sertifikat ke perbankan. Tanah yang telah
bersertifikasi akan memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari sebelum disertifikat.
Studi yang dilakukan oleh Sudaryanto et al. (2009) menunjukkan bahwa kebijakan
strategis yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga di
daerah perdesaan adalah dengan meningkatkan akses terhadap sumberdaya lahan
serta dengan menggiatkan kegiatan off-farm dan pekerjaan non pertanian lainnya.
Studi yang membahas mengenai pengaruh akses kredit terhadap kemiskinan
telah dilakukan oleh Adetayo (2014) di Nigeria, dimana penelitian ini menemukan
faktor yang mempengaruhi kemiskinan petani adalah pendidikan kepala rumah
tangga dan akses kredit. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Baiyegunhi dan
Fraser (2014), juga menemukan bahwa faktor kepemilikan tanah, ketersediaan
kredit, modal merupakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi status
kemiskinan petani.
Untuk desa/kelurahan dimana rasio kepemilikan sertifikat per rumah tangga
sudah cukup tinggi, program legalisasi asset belum merupakan prioritas utama
untuk dilaksanakan, tetapi program pemberdayaan masyarakat yang perlu untuk
dioptimalkan. BPN Kabupaten Mamuju melalui kegiatan Pemberdayaan
Masyarakat Pasca Legalisasi Aset dapat menjadi leading sector, sehingga
masyarakat dapat diarahkan kepada instansi pemerintah daerah terkait dan juga
dengan pihak perbankan.
57

Berdasarkan hasil GWR, dapat memberikan arahan bahwa program


percepatan sertifikasi tanah yang akan dilaksanakan lebih efektif jika diprioritaskan
pada wilayah atau desa/kelurahan yang memiliki angka koefisen negatif dan
berpengaruh paling besar untuk mengurangi kemiskinan. Wilayah yang diarahkan
untuk pelaksanaan Program Legalisasi Aset berdasarkan urutan prioritas adalah
Kecamatan Tapalang Barat, Kecamatan Tapalang, Kecamatan Mamuju, Kecamatan
Kalukku dan Kecamatan Kalumpang.

(2) Pengaruh Lahan Sawah terhadap Kemiskinan


a. Lokasi Signifikan berdasarkan uji nyata 0.05
Hasil uji signifikansi pengaruh lahan sawah terhadap kemiskinan di setiap
desa/kelurahan pada taraf kepercayaan 95% dapat dilihat pada Gambar 21a. Pada
taraf nyata 0.05 didapatkan hasil bahwa lahan sawah berpengaruh terhadap
kemiskinan di 39 desa/kelurahan dan tidak berpengaruh di 58 desa/kelurahan.
Wilayah yang signifikan meliputi Desa Keang, Uhaimate, Pammulukang,
Sinyonyoi, Bebanga, Buttu Ada, Sondoang, Batu Panu, Tadui, Bambu, Pati`Di,
Tapandullu, Salletto, Kopeang, Rantedoda, Sumare, Karampuang, Rangas,
Tampalang, Botteng, Mamunyu, Karema, Simboro, Binanga, Rimuku, Bela,
Pangasaan, Tanete Pao, Botteng Utara, Takandeang, Lebani, Taan, Galung,
Kasambang, Orobatu, Labuang Rano, Ahu, Dungkait, dan Pasa'bu. Lahan sawah
yang terdapat di desa/kelurahan bagian tengah dan utara Kabupaten Mamuju
ternyata tidak signifikan mempengaruhi kemiskinan, termasuk wilayah pusat
pertanian padi, yaitu di wilayah bagian utara.
b. Pengaruh variabel terhadap kemiskinan
Angka koefisien untuk seluruh desa/kelurahan signifikan ternyata bernilai
positif, yaitu nilai minimal 0.049 dan nilai maksimal 0.168. Hal ini menjelaskan
apabila lahan sawah per rumah tangga meningkat satu satuan, maka tingkat
kemiskinan akan bertambah maksimum 0.168 dan minimum 0.049. Unit amatan
dengan persentase peningkatan kemiskinan tertinggi jika ada peningkatan lahan
sawah adalah Desa Bela dan yang terendah Desa Sondoang. Hasil ini menunjukkan
bahwa jika dilakukan usaha peningkatan lahan sawah, maka hasilnya tidak sesuai
dengan hipotesis penelitian, dimana keberadaan lahan sawah ternyata tidak
berpengaruh dalam mengurangi kemiskinan, dan bahkan ada kecenderungan bahwa
penggunaan ke lahan pertanian lainnya memungkinkan untuk mendapatkan hasil
yang lebih baik dalam mengurangi kemiskinan.
Semua desa/kelurahan yang memiliki koefisien positif ini terletak di sekitar
wilayah ibukota kabupaten atau ibukota provinsi. Penggunaan lahan sawah di
wilayah ini memang sangat kecil, dimana rata-rata kepemilikan sawah per rumah
tangga kurang dari setengah hektar. Bahkan beberapa desa/kelurahan di wilayah ini
sudah tidak memiliki lahan pertanian padi/sawah. Transmisinya dalam
meningkatkan kemiskinan adalah jika dilakukan peningkatan lahan sawah di
wilayah ini, maka akan mereduksi penggunaan lahan kebun, tegalan dan lahan
tambak di wilayah pertanian, dan mereduksi lahan pemukiman, lahan perkantoran,
dan lahan jasa di wilayah pusat kota. Jika hal tersebut dilakukan, maka akan
menimbulkan kerugian dalam perhitungan ekonomi, karena penggunaan lahan
kebun dan lahan tambak di beberapa desa di wilayah ini terbukti dapat mereduksi
kemiskinan berdasarkan hasil analisis GWR.
58

(a) (b)

(c)

Gambar 21 Peta lokasi signifikansi koefisien pengaruh lahan sawah terhadap


tingkat kemiskinan (a), luas lahan sawah per rumah tangga (b), dan
tingkat kemiskinan desa/kelurahan (c)

c. Kaitan Penggunaan Lahan Sawah dan Lokasi Signifikan terhadap Tingkat


Kemiskinan
Gambar 21b dan 21c menyajikan informasi bahwa pada wilayah dengan
penggunaan lahan sawah yang tinggi di desa bagian utara kabupaten terdapat
kecenderungan tingkat kemiskinan rendah. Sedangkan wilayah dengan penggunaan
lahan sawah yang rendah cenderung tingkat kemiskinannya tinggi. Jika dilihat dari
Gambar 21a, variabel lahan sawah ternyata tidak signifikan mempengaruhi
kemiskinan desa di wilayah bagian utara dan timur kabupaten. Hal ini memberikan
kesimpulan bahwa rendahnya tingkat kemiskinan desa di wilayah bagian utara
kabupaten bukan disebabkan oleh penggunaan lahan sawah, tetapi dipengaruhi oleh
faktor lainnya.
Hasil GWR untuk daerah pusat pertanian padi didapatkan angka koefisien
bernilai negatif (Lampiran 6), tetapi hasil uji signifikansi variabel di wilayah
tersebut ternyata hasilnya tidak signifikan. Hal ini berarti walaupun daerah tersebut
merupakan pusat produksi padi, tapi belum cukup untuk menyatakan
59

bahwa pertanian padi dapat berkontribusi mengurangi kemiskinan di daerah


tersebut khususnya dan Kabupaten Mamuju secara umumnya. Penyebab pertanian
padi sawah belum dapat mengurangi angka kemiskinan kemungkinan karena masih
rendahnya produktivitas hasil sawah, sehingga hasil yang didapatkan belum optimal
jika dibandingkan dengan modal pertanian yang dikeluarkan. Kemungkian lainnya
karena masih kecilnya luasan garapan sawah para petani. Lahan sawah garapan
petani rata-rata masih di bawah 2 ha untuk setiap rumah tangga. Jika luas garapan
petani masih di bawah 2 ha kemungkinan belum mampu memberikan kesejahteraan
bagi para petani. Upaya untuk dapat menurunkan kemiskinan bagi para petani
sawah disarankan oleh Amri et al. (2016) dalam penelitiannya, yaitu untuk
meningkatkan kesejahteraan kehidupan petani dalam upaya pengentasan
kemiskinan adalah peningkatan hasil panen melalui pengairan yang memadai,
pembibitan, pupuk dan pemeliharaan yang sesuai. Dalam hal ini, upaya melalui
peningkatan hasil panen melalui perbaikan irigasi, kesesuain bibit, pupuk dan cara
pemeliharaan merupakan alternatif solusi yang tepat dibandingkan memperluas
lahan pertanian sawah.
Jika ditinjau dari sebaran lahan sawah di Kabupaten Mamuju, telah diketahui
bahwa 34 desa/kelurahan tidak memiliki lahan pertanian sawah. Persentase luas
lahan sawah di Kabupaten Mamuju juga hanya sebesar 2.11% dari luas Kabupaten
Mamuju. Dari beberapa informasi tersebut, ternyata pertanian padi sawah bukan
merupakan mata pencaharian utama bagi masyarakat di Kabupaten Mamuju,
terbukti dari kecilnya luasan sawah yang digarap oleh masyarakat di Kabupaten
Mamuju dan sebarannya yang tidak merata di seluruh desa/kelurahan. Analisis
GWR terhadap variabel luas lahan sawah juga memberikan informasi bahwa
peningkatan pertanian sawah tidak memberikan pengaruh yang signifikan dalam
mereduksi angka kemiskinan.

(3) Pengaruh Lahan Kebun terhadap Kemiskinan


a. Lokasi Signifikan berdasarkan uji nyata 0.05
Berdasarkan hasil uji signifikansi pengaruh lahan perkebunan terhadap
kemiskinan di Kabupaten Mamuju, didapatkan hasil bahwa perkebunan
berpengaruh secara signifikan di sebagian besar wilayah Kabupaten Mamuju,
kecuali di wilayah bagian selatan Kabupaten Mamuju (Gambar 22a). Sebanyak 65
desa/kelurahan terbukti tingkat kemiskinannya dipengaruhi secara signifikan oleh
lahan kebun dan perkebunan. Desa/kelurahan yang signifikan meliputi Desa Keang,
Uhaimate, Pammulukang, Sinyonyoi, Bebanga, Buttu Ada, Sondoang, Makkaliki,
Batu Makkada, Siraun, Polio, Karama, Tumonga, Salumakki, Leling, Sandapang,
Limbong, Kondo Bulo, Mappu, Karataun, Kalukku, Kalumpang, Lasa', Leling
Utara, Tamalea, Lumika, Pokkang, Guliling, Banuada, Salutiwo, Bonehau, Hinua,
Bonda, Batu Ampa, Kinantang, Topore, Tapalang, Belang- Belang, Salokayu I,
Boda-Boda, Beru-Beru, Kalukku Barat, Kabuloang, Sisango, Kalonding,
Sukadamai, Salubarana, Toabo, Saludengen, Losso, Kalepu, Sampaga,
Tammejarra, Campaloga, Tamemongga, Tanambua, Sandana, Kakullasan, Malino,
Rante Mario, Leling Barat, Bunde, Tommo, Tarailu, dan Buana Sakti.
Wilayah yang tidak signifikan terdiri dari sebagian wilayah Kecamatan
Mamuju dan wilayah Kecamatan Tapalang dan Tapalang Barat, seperti yang
terlihat pada Gambar 22a. Untuk wilayah tersebut, walaupun angka koefisien
variabelnya juga bernilai negatif tetapi belum cukup bukti untuk menyimpulkan
60

bahwa perkebunan berkontribusi dalam mengurangi kemiskinan di wilayah


tersebut.

b. Pengaruh variabel terhadap kemiskinan


Angka koefisien untuk seluruh desa/kelurahan signifikan ternyata bernilai
positif, yaitu nilai minimal -0.070 dan nilai maksimal -0.138. Hal ini menjelaskan
apabila luas lahan kebun meningkat 1%, maka tingkat kemiskinan akan berkurang
maksimum 0.138 dan minimum 0.070. Unit amatan dengan persentase penurunan
kemiskinan tertinggi jika ada peningkatan luas lahan kebun sebesar 1% adalah Desa
Batu Makkada dan yang terendah adalah Desa Malino. Hasil ini memberikan
kesimpulan bahwa jika dilakukan usaha peningkatan luas lahan kebun, maka
hasilnya sesuai dengan hipotesis penelitian, dimana keberadaan lahan kebun
berpengaruh dalam mengurangi kemiskinan.

(a) (b)

(c)

Gambar 22 Peta lokasi signifikansi koefisien pengaruh luas lahan kebun terhadap
tingkat kemiskinan (a), persentase luas kebun per luas desa (b), dan
tingkat kemiskinan desa/kelurahan (c)
Transmisinya dalam menurunkan tingkat kemiskinan adalah jika dilakukan
peningkatan luas lahan kebun di wilayah ini, maka penduduk akan memiliki akses
lahan kebun yang lebih besar untuk diusahakan, sehingga akan mendorong
61

meningkatnya pendapatan penduduk. Meningkatnya pendapatan penduduk akan


secara langsung akan meningkatkan tingkat kesejahteraan penduduk sehingga
tingkat kemiskinan desa akan berkurang.
Wilayah yang memiliki pengaruh perkebunan yang sangat tinggi dalam
mengurangi kemiskinan adalah desa-desa di bagian tengah Kabupaten Mamuju
yang terdiri dari Kecamatan Bonehau dan Kecamatan Kalukku. Sedangkan wilayah
bagian utara, yaitu Kecamatan Tommo dan Sampaga, walaupun terdapat
perkebunan sawit skala besar, tetapi pengaruhnya dalam mengurangi angka
kemiskinan tidak sebesar pengaruh perkebunan rakyat di wilayah tengah Kabupaten
Mamuju.

c. Kaitan Penggunaan Lahan Kebun dan Lokasi Signifikan terhadap Tingkat


Kemiskinan
Gambar 22b dan 22c menyajikan informasi bahwa desa dengan penggunaan
lahan kebun yang tinggi di desa bagian utara kabupaten terdapat kecenderungan
tingkat kemiskinan rendah. Sedangkan wilayah dengan penggunaan lahan kebun
yang rendah cenderung tingkat kemiskinannya tinggi. Jika dilihat dari Gambar 22a,
variabel luas lahan kebun ternyata signifikan mempengaruhi kemiskinan desa di
wilayah bagian utara dan timur kabupaten. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa
rendahnya tingkat kemiskinan desa di wilayah bagian utara kabupaten salah satunya
disebabkan oleh penggunaan lahan lahan kebun dan perkebunan.
Jika dilihat dari persentase luas perkebunan terhadap luas desa, desa di bagian
utara ini merupakan wilayah yang didominasi oleh lahan kebun dan perkebunan,
dimana persentase luasnya mencapai 60% hingga 98% dari luas desa. Wilayah ini
juga wilayah dengan dominasi luas hutan terkecil, bahkan sebagian besar desa di
wilayah ini tidak terdapat kawasan hutan di dalamnya. Hal ini menyebabkan lahan-
lahan yang tersedia dapat dioptimalkan oleh masyarakat sebagai lahan
kebun/perkebunan, diantaranya perkebunan sawit, kelapa dan kakao. Kesesuaian
faktor luas lahan kebun dengan lokasi yang memiliki tingkat kemiskinan yang
cukup rendah, wilayahnya bukan merupakan kawasan hutan, dan hasil uji
signifikansi terhadap hasil GWR juga menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
penggunaan lahan perkebunan terhadap kemiskinan memberikan kesimpulan
bahwa rendahnya kemiskinan di wilayah bagian utara Kabupaten Mamuju
disebabkan oleh faktor penggunaan lahan kebun dan perkebunan oleh masyarakat
di desa tersebut.
Jika ditinjau dari lahan kebun yang mencakup 92 desa/kelurahan dan meliputi
15.57% dari luas Kabupaten Mamuju, perkebunan merupakan salah satu sumber
utama perekonomian penduduk. Kesimpulan ini sejalan dengan hasil GWR yang
menyimpulkan bahwa perkebunan memberikan pengaruh terhadap kemiskinan
penduduk di setiap desa/kelurahan. Penelitian yang dilakukan oleh Nashwari (2016)
juga menemukan bahwa semakin luas tanam perkebunan maka kemiskinan petani
tanaman pangan akan semakin rendah, karena keberadaan perkebunan berhasil
meningkatkan pembangunan dan memberikan dampak positif bagi penurunan
kemiskinan tanaman pangan.
62

(4) Pengaruh Tegalan dan Ladang terhadap Kemiskinan


a. Lokasi Signifikan berdasarkan uji nyata 0.05
Berdasarkan Hasil uji signifikansi pengaruh lahan tegalan/ladang terhadap
kemiskinan di setiap desa/kelurahan pada taraf kepercayaan 95% dapat dilihat pada
Gambar 23a. Pada taraf nyata 0.05 didapatkan hasil bahwa lahan ladang dan tegalan
berpengaruh terhadap kemiskinan di 7 desa dan tidak berpengaruh di 90
desa/kelurahan. Wilayah yang signifikan meliputi Desa Makkaliki, Batu Makkada,
Siraun, Polio, Karama, Tumonga dan Salumakki. Sedangkan desa/kelurahan di
bagian wilayah lainnya ternyata lahan tegalan dan ladang tidak signifikan
mengurangi kemiskinan.

(a) (b)

(c)

Gambar 23 Peta lokasi signifikansi koefisien pengaruh luas lahan tegalan terhadap
tingkat kemiskinan (a), persentase luas tegalan per luas desa (b), dan
tingkat kemiskinan desa/kelurahan (c)

b. Pengaruh variabel terhadap kemiskinan


Angka koefisien menunjukkan bahwa di daerah yang signifikan
mempengaruhi kemiskinan memiliki nilai koefisien negatif. Hal ini berarti di
seluruh desa yang signifikan, tegalan dan ladang berpengaruh dalam mengurangi
kemiskinan. Di wilayah yang berada di luar daerah signifikan mengurangi
63

kemiskinan, terdapat beberapa desa lain yang memiliki angka koefisien negatif,
dimana desa-desa ini berpotensi dalam penggunaan lahan tegalan dan ladang, tetapi
saat ini belum terbukti dapat mengurangi angka kemiskinan.
Koefisen luas tegalan/ladang bernilai minimum -0.401 dan maksimum -
0.297, menunjukkan bahwa setiap penambahan luas tegalan/ladang sebesar 1% di
suatu desa/kelurahan akan menurunkan tingkat kemiskinan di desa/kelurahan
tersebut antara 0.297% hingga 0.401%, ceteris paribus. Unit amatan dengan
persentase penurunan kemiskinan tertinggi jika ada peningkatan luas lahan
tegalan/ladang sebesar 1% adalah Desa Batu Makkada dan yang terendah adalah
Desa Makkaliki. Hasil ini memberikan kesimpulan bahwa jika dilakukan usaha
peningkatan luas lahan tegalan/ladang, maka hasilnya sesuai dengan hipotesis
penelitian, dimana keberadaan lahan tegalan/ladang berpengaruh dalam
mengurangi kemiskinan.
Transmisinya dalam menurunkan tingkat kemiskinan adalah jika dilakukan
peningkatan luas lahan tegalan/ladang di wilayah ini, maka penduduk akan
memiliki akses lahan yang lebih besar untuk diusahakan, sehingga akan mendorong
meningkatnya pendapatan rumah tangga. Meningkatnya pendapatan penduduk
akan secara langsung akan meningkatkan tingkat kesejahteraan penduduk sehingga
tingkat kemiskinan desa akan berkurang.

c. Kaitan Penggunaan Lahan Kebun dan Lokasi Signifikan terhadap Tingkat


Kemiskinan
Gambar 23b dan 23c menyajikan informasi bahwa desa dengan penggunaan
lahan tegalan/ladang yang tinggi di desa bagian timur kabupaten terdapat
kecenderungan tingkat kemiskinannya masih tinggi. Jika dilihat dari Gambar 23a,
variabel luas lahan tegalan ternyata signifikan mengurangi kemiskinan desa hanya
di 7 desa di bagian timur. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa rendahnya tingkat
kemiskinan desa di wilayah bagian utara kabupaten bukan disebabkan oleh
penggunaan lahan lahan tegalan.
Lahan tegalan dan ladang terdapat di 26 desa/kelurahan dengan total luasan
16,570.27 ha atau sekitar 3.30% dari luas Kabupaten Mamuju. Tegalan/ladang
berpindah merupakan salah satu sumber perekonomian bagi masyarakat di beberapa
desa di wilayah Kecamatan Kalumpang, karena keadaan alam dan kondisi topografi
yang ekstrim, tidak memungkinkan masyarakat untuk membuka pertanian padi
sawah dan perkebunan sejenis lainnya. Penyebab lainnya adalah karena
permasalahan perbatasan dengan kawasan hutan, menyebabkan masyarakat petani
kurang memiliki ruang gerak untuk mengembangkan sektor pertanian dan
perkebunan. Selain itu sebagian besar dari luasan desa, bahkan hampir 90% dari
luas desa merupakan kawasan hutan. Kondisi topografi wilayah, permasalahan
batas kawasan hutan serta sedikitnya luasan wilayah non hutan adalah faktor-faktor
utama yang menyebabkan sektor pertanian dan perkebunan belum dapat
berkembang dengan baik.
Wilayah bagian utara dimana sebagian besar desa-desa memiliki tingkat
kemiskinan yang cukup rendah, lahan tegalan dan ladang tidak menunjukkan hasil
yang signifikan mengurangi kemiskinan di wilayah tersebut. Hal ini memberi
kesimpulan bahwa tingkat kemiskinan yang cukup rendah di wilayah ini
kemungkinan bukan disebabkan oleh penggunaan lahan tegalan/ladang, tetapi
dipengaruhi oleh faktor lainnya.
64

(5) Pengaruh Lahan Tambak terhadap Kemiskinan


a. Lokasi Signifikan berdasarkan uji nyata 0.05
Berdasarkan hasil uji signifikansi pengaruh lahan tambak terhadap
kemiskinan di setiap desa/kelurahan pada taraf kepercayaan 95% dapat dilihat pada
Gambar 24a. Pada taraf nyata 0.05 didapatkan hasil bahwa lahan tambak
berpengaruh terhadap kemiskinan di 25 desa/kelurahan dan tidak berpengaruh di
72 desa/kelurahan. Wilayah yang signifikan yaitu Desa Keang, Uhaimate,
Pammulukang, Sinyonyoi, Bebanga, Buttu Ada, Sondoang, Batu Panu, Tadui,
Bambu, Pati`di, Tapandullu, Salletto, Kopeang, Rantedoda, Sumare, Karampuang,
Rangas, Tampalang, Botteng, Mamunyu, Karema, Simboro, Binanga,dan Rimuku.
Sedangkan desa/kelurahan di bagian wilayah lainnya ternyata tidak signifikan
mempengaruhi kemiskinan, yaitu wilayah bagian tengah, timur dan utara serta
sebagian wilayah bagian selatan Kabupaten Mamuju.
Lahan tambak tidak signifikan mengurangi kemiskinan di sejumlah 72
desa/kelurahan karena faktor:
a. Lokasi desa/kelurahan yang tidak berada di daerah pesisir
b. Keadaan geografis wilayah desa/kelurahan yang berbukit, sehingga tipe
lahan tidak ada yang sesuai untuk lahan tambak.
c. Lokasi yang jauh dari ibukota kabupaten sebagai pusat perekonomian
serta lokasi yang jauh dari pelabuhan laut, sehingga menyulitkan dalam
proses distribusi hasil tambak

b. Pengaruh variabel terhadap kemiskinan


Hasil analisis GWR, untuk wilayah yang signifikan mempengaruhi
kemiskinan, mendapatkan angka koefisien bernilai negatif. Koefisen luas tambak
bernilai minimum -0.284 dan maksimum -0.170, menunjukkan bahwa setiap
penambahan luas tambak sebesar 1% di suatu desa/kelurahan akan menurunkan
tingkat kemiskinan di desa/kelurahan tersebut sebesar 0.170% hingga 0.284%,
ceteris paribus.
Penggunaan lahan untuk tambak secara signifikan dapat mengurangi
kemiskinan secara gradatif menurun dari wilayah pusat ibukota kabupaten.
Penurunan daya reduktif penggunaan lahan tambak sejalan dengan jarak yang
semakin jauh dari pusat ibukota kabupaten.
Transmisinya dalam menurunkan tingkat kemiskinan adalah jika dilakukan
peningkatan luas lahan tambak di desa yang signifikan, maka penduduk akan
memiliki modal lahan yang lebih besar untuk diusahakan, sehingga akan
mendorong meningkatnya pendapatan penduduk. Meningkatnya pendapatan
penduduk akan secara langsung akan meningkatkan tingkat kesejahteraan
penduduk sehingga tingkat kemiskinan desa akan berkurang.

c. Kaitan Penggunaan Lahan Tambak dan Lokasi Signifikan terhadap


Tingkat Kemiskinan
Gambar 24b dan 24c menyajikan informasi bahwa lahan tambak mayoritas
terdapat di wilayah pantai barat kabupaten. Terdapat kecenderungan di
desa/kelurahan yang memiliki sebaran lahan tambak memiliki tingkat kemiskinan
rendah. Jika dilihat dari Gambar 22a, variabel luas lahan tambak ternyata juga
signifikan mempengaruhi kemiskinan desa di wilayah tersebut, terutama di sekitar
ibukota kabupaten. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa rendahnya tingkat
65

kemiskinan desa di wilayah ibukota kabupaten salah satunya disebabkan oleh


penggunaan lahan lahan tambak.

(a) (b)

(c)

Gambar 24 Peta lokasi signifikansi koefisien pengaruh luas lahan tambak terhadap
tingkat kemiskinan (a), persentase luas tambak per luas desa (b), dan
tingkat kemiskinan desa/kelurahan (c)
Angka koefisien yang didapatkan, untuk wilayah pantai barat lainnya yang
tidak signifikan penggunaan lahan untuk tambak juga berpotensi untuk dalam
mengurangi kemiskinan. Lahan tambak dapat dikembangkan di beberapa desa yang
berada di wilayah pantai barat bagian utara yaitu desa-desa yang berada di
Kecamatan Papalang dan Sampaga, karena desa-desa di dua kecamatan ini masih
memiliki topografi yang cukup datar, dan masih terdapat lahan-lahan kosong dan
masih terlantar.

(6) Pengaruh Industri Mikro dan Kecil terhadap Kemiskinan


a. Lokasi Signifikan berdasarkan uji nyata 0.05
Berdasarkan hasil dari uji signikansi untuk mengetahui ada atau tidaknya
pengaruh industri rumah tangga terhadap kemiskinan di Kabupaten Mamuju,
didapatkan hasil bahwa sebanyak 42 desa dan kelurahan di wilayah bagian timur,
utara serta selatan Kabupaten Mamuju menunjukkan hasil yang signifikan
66

(Gambar 25a). Desa/kelurahan yang signifikan meliputi Keang, Uhaimate,


Pammulukang, Sinyonyoi, Bebanga, Makkaliki, Batu Panu, Tadui, Bambu, Batu
Makkada, Siraun, Polio, Karama, Tumonga, Salumakki, Pati`di, Tapandullu,
Salletto, Kopeang, Rantedoda, Sumare, Karampuang, Rangas, Tampalang, Botteng,
Mamunyu, Karema, Simboro, Binanga, Rimuku, Leling, Sandapang, Bela,
Pangasaan, Tanete Pao, Botteng Utara, Takandeang, Lebani, Taan, Galung,
Kasambang, dan Orobatu.
Sektor industri mikro dan kecil ternyata tidak signifikan di 55 desa/kelurahan
yang terletak di wilayah tengah, barat dan utara kabupaten. Faktor lokasi yang jauh
dari ibukota sebagai pusat perekonomian diduga merupakan salah satu penyebab
sektor industri mikro dan kecil tidak berpengaruh dalam mengurangi kemiskinan.
Tenaga kerja yang bekerja di sektor industri mikro dan kecil juga memiliki
persentase yang sangat kecil di wilayah ini. Mata pencaharian utama masyarakat di
wilayah ini adalah di sektor pertanian, terutama perkebunan dan kebun sehingga
kemungkina industri mikro dan kecil tidak terlalu berkembang di wilayah ini,
terbukti dari rendahnya jumlah tenaga kerja di sektor industri mikro dan kecil.

(a) (b)

(c)

Gambar 25 Peta lokasi signifikansi koefisien pengaruh sektor industri kecil dan
mikro terhadap tingkat kemiskinan (a), persentase tenaga kerja
industri mikro kecil per rumah tangga (b), dan tingkat kemiskinan
desa/kelurahan (c)
67

b. Pengaruh variabel terhadap kemiskinan


Angka koefisien tenaga kerja sektor industi bernilai minimum -2.647 dan
maksimum 2.998, menunjukkan bahwa jika setiap rumah tangga menambah 1
tenaga kerja di sektor industri mikro dan kecil di suatu desa/kelurahan, maka akan
dapat menurunkan tingkat kemiskinan di desa/kelurahan tersebut hingga -2.64%
atau di bagian wilayah lainnya dapat juga menambah kemiskinan di suatu
desa/kelurahan hingga 2.998%, ceteris paribus. Berdasarkan angka koefisien yang
dihasilkan dari analisis GWR, hanya desa-desa wilayah bagian selatan Kabupaten
Mamuju yang industri rumah tangganya berpengaruh dalam mengurangi angka
kemiskinan. Desa-desa tersebut meliputi Desa Keang, Sinyonyoi, Uhaimate,
Pammulukang, Bebanga, Tadui, Karampuang, Bambu, Batu Panu, Mamunyu,
Sumare, Tapandullu, Binanga, Rangas, Simboro, Rimuku, Kopeang, Lebani,
Pati`di, Bela, Karema, Salletto, Pangasaan, Rantedoda, Botteng Utara, Botteng,
Tanete Pao, Tampalang, Galung, Kasambang, Takandeang, Taan, dan Orobatu.
Transmisinya dalam menurunkan tingkat kemiskinan adalah dengan
meningkatkan dan membuka industri mikro dan kecil bagi masyarakat. Adanya
lapangan usaha di industri mikro kecil menyebabkan meningkatnya jumlah tenaga
kerja di sektor ini sehingga dapat meningkatkan penghasilan bagi masyarakat
miskin. Upaya meningkatkan industri mikro dan kecil dapat dilakukan melalui
kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui program dari berbagai kementerian,
seperti pemberdayaan masyarakat dari dana desa, dan dari Dana Alokasi Khusus
(DAK). Pengaruh sektor industri mikro dan kecil secara gradasi menurun dari
wilayah ibukota kabupaten ke arah utara kabupaten. Salah satu faktor yang
menyebabkan adalah karena faktor kedekatan desa-desa tersebut ke ibukota
kabupaten yang juga merupakan ibukota provinsi yang sekaligus merupakan pusat
perekonomian dan pasar komoditas industri rumah tangga.

c. Kaitan Sektor Industri Mikro Kecil dan Lokasi Signifikan terhadap


Tingkat Kemiskinan
Gambar 25b menyajikan informasi bahwa secara proporsional terhadap
jumlah rumah tangga, persentase tenaga kerja di sektor industri mikro dan kecil
adalah tertinggi di desa-desa di wilayah bagian timur kabupaten. Jika dibandingkan
Gambar 25c, wilayah ini merupakan pengelompokan desa dengan tingkat
kemiskinan yang sangat tinggi. Jika dilihat dari Gambar 25a, variabel ini ternyata
signifikan mempengaruhi kemiskinan, tetapi memiliki angka koefisien positif.
Sektor industri mikro dan kecil tidak berpengaruh dalam mengurangi
kemiskinan, hal ini kemungkinan karena faktor akses yang jauh dari pusat
perekonomian sehingga output dari industri rumah tangga tidak bisa terserap
dengan optimal di pasar. Salah satu solusinya adala perbaikan danpembangunan
infrastruktur jalan agar dapat memperlancar arus distribusi barang hasil industri
mikro dan kecil ke pusat perekonomian. Jika tidak ada upaya perbaikan untuk
membantu mengatasi permasalahan yang dialami oleh industri mikro dan kecil di
wilayah ini, maka sektor ini tidak akan dapat berkontribusi dalam mengurangi
kemiskinan. Jika hal ini terjadi, maka peningkatan jumlah industri mikro dan kecil
di wilayah ini bukan merupakan kebijakan yang tepat untuk diterapkan. Berbeda
dengan wilayah bagian timur, sektor industri mikro dan kecil di bagian selatan
kabupaten, terutama di sekitar ibukota mampu berkontribusi dalam menurunkan
68

tingkat kemiskinan desa/kelurahan. Penelitian yang dilakukan oleh Deller (2010)


juga menggunakan GWR menemukan bahwa peran usaha mikro dalam
pertumbuhan ekonomi bervariasi di setiap lokasi serta terkonsentrasinya
perusahaan-perusahaan manufaktur di suatu tempat yang mempengaruhi
kemiskinan.
Secara umum, Kabupaten Mamuju tidak memiliki industri yang berskala
besar ataupun menengah, hanya terdapat beberapa industri rumah tangga berskala
mikro dan industri-industri kecil yang tersebar di seluruh desa/kelurahan. Menurut
klasifikasi dari BPS, industri rumah tangga berskala mikro merupakan industri
dengan cakupan tenaga kerja antara 1 sampai 4 orang, sedangkan industri kecil
merupakan industri dengan cakupan tenaga kerja antara 5 sampai 10 orang . Jumlah
industri mikro dan kecil di Kabupaten Mamuju terbilang sangat sedikit, tetapi
dikarenakan jumlah penduduk di setiap desa juga jumlahnya sedikit, ada
kemungkinan bahwa keberadaan industri rumah tangga tersebut dapat berkontribusi
secara signifikan dalam mengurangi kemiskinan bagi setiap daerah di Kabupaten
Mamuju.

(7) Pengaruh Jarak ke Ibukota Kabupaten terhadap Kemiskinan


a. Lokasi Signifikan berdasarkan uji nyata 0.05
Desa-desa di wilayah Kabupaten Mamuju tersebar cukup jauh antara satu
dengan desa lainnya dan dengan akses yang sangat terbatas. Penghubung antar desa
dan antar kecamatan hampir semuanya hanya memiliki satu jalur tanpa adanya
jalur-jalur alternatif. Dari hasil uji signifikansi didapatkan hasil bahwa jarak ke
ibukota kabupaten berpengaruh secara signifikan terhadap penyebaran angka
kemiskinan di wilayah bagian tengah dan barat Kabupaten Mamuju. Jumlah
desa/kelurahan yang mana tingkat kemiskinannya dipengaruhi oleh faktor jarak
adalah 37 desa/kelurahan. Sedangkan wilayah lainnya tidak signifikan terhadap
kemiskinan dengan uji pada taraf nyata 0.5. Pengaruh jarak tidak signifikan
terhadap kemiskinan di wilayah bagian utara Kabupaten Mamuju, kemungkinan
karena faktor jarak wilayah tersebut lebih dekat dengan ibukota Kabupaten Mamuju
Tengah yang terletak tidak jauh dari wilayah tersebut. Kemungkinan aktivitas
perekonomian wilayah tersebut cenderung lebih mengarah ke pusat perekonomian
Kabupaten Mamuju Tengah.
b. Pengaruh variabel terhadap kemiskinan
Hasil analisis terhadap koefisien hasil GWR menunjukkan bahwa semakin
jauh jarak ke ibukota kabupaten, kemiskinan akan semakin tinggi. Koefisen jarak
ke ibukota bernilai minimum 0.0004 dan maksimum 0.0008, menunjukkan bahwa
setiap penambahan 1 km jarak suatu desa/kelurahan ke ibukota kabupaten akan
meningkatkan tingkat kemiskinan di suatu desa/kelurahan dalam selang nilai
0.0002% hingga 0.0008%, ceteris paribus. Transmisinya dalam menurunkan
tingkat kemiskinan adalah jika dilakukan perbaikan jalan atau pembangunan jalan
yang baru di wilayah ini, menyebabkan waktu tempuh semakin berkurang, sehingga
dapat mendorong bergeraknya perekonomian.

c. Kaitan Penggunaan Lahan Kebun dan Lokasi Signifikan terhadap Tingkat


Kemiskinan
Gambar 26b dan 26c menyajikan informasi bahwa semakin jauh posisi desa
dari ibukota ada kecenderungan tingkat kemiskinannya tinggi. Hal ini terutama
69

terlihat di wilayah bagian tengah dan timur kabupaten. Jika dilihat dari Gambar 26a,
variabel jarak ternyata hanya signifikan mempengaruhi kemiskinan desa di wilayah
bagian tengah dan barat kabupaten. Terdapat pengecualian terhadap beberapa desa
yang berada di bagian utara, dimana desa-desa tersebut terletak lebih jauh dari desa-
desa yang berada di wilayah bagian tengah dan timur, tetapi pengaruhnya jarak
tidak signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Faktor kedekatan desa-desa tersebut
dengan ibukota Kabupaten Mamuju Tengah yang hanya berada berapa kilometer di
sebelah utaranya menjadi salah satu penyebab tidak berpengaruhnya jarak ke
ibukota kabupaten terhadap kemiskinan di wilayah tersebut. Hal ini memungkinkan
desa-desa tersebut melakukan kegiatan perekonomian ke ibukota Kabupaten
Mamuju Tengah, yaitu Kecamatan Topoyo, yang secara jarak posisinya jauh lebih
dekat daripada ke ibukota Kabupaten Mamuju serta akses jalannya juga sangat baik.

(a) (b)

(c)

Gambar 26 Peta lokasi signifikansi koefisien pengaruh jarak ke ibukota terhadap


tingkat kemiskinan (a), jarak ke ibukota (b), dan tingkat kemiskinan
desa/kelurahan (c)
Desa/kelurahan di sekitar ibukota kabupaten juga menunjukkan nilai yang
tidak signifikan untuk pengaruh jarak terhadap kemiskinan. Wilayah kecamatan
Tapalang dan Tapalang Barat juga tidak menunjukkan hasil yang signifikan,
mempengaruhi tingkat kemiskinan di wilayah kecamatan tersebut. Jika dianalisis
secara topografi wilayah, Kecamatan Tapalang dan Tapalang Barat lebih memiliki
70

akses jalan yang lebih mudah ke Kabupaten Majene di sebelah selatan Kabupaten
Mamuju. Akses jalan dari kecamatan tersebut ke ibukota Kabupaten Mamuju malah
sedikit lebih sulit, karena harus melalui jalan dengan topografi berbukit- bukit.

(8) Pengaruh Dana Desa terhadap Kemiskinan


a. Lokasi Signifikan berdasarkan uji nyata 0.05
Hasil uji signifikansi pada taraf nyata 0.05 didapatkan hasil bahwa dana desa
berpengaruh terhadap kemiskinan di di 68 desa sebagaimana terlihat pada Gambar
27. Dana desa tidak signifikan mempengaruhi kemiskinan di 29 desa/kelurahan
yang terletak di bagian selatan Kabupaten Mamuju dan di daerah ibukota
kabupaten.

(a) (b)

(c)

Gambar 27 Peta lokasi signifikansi koefisien pengaruh dana desa terhadap tingkat
kemiskinan (a), dana desa per penduduk miskin (b), dan tingkat
kemiskinan desa/kelurahan (c)
b. Pengaruh variabel terhadap kemiskinan
Angka koefisien variabel dana desa menunjukkan nilai negatif. Koefisen dana
desa bernilai minimum -0.0025 dan maksimum -0.001, menunjukkan bahwa setiap
penambahan dana desa sebesar 1 juta untuk penduduk miskin di suatu
desa/kelurahan akan menurunkan tingkat kemiskinan di desa/kelurahan tersebut
0.001% hingga 0.0025%, ceteris paribus. Pengaruh paling besar dari diterimanya
71

dana desa adalah desa yang terletak di sebelah utara ibukota kabupaten. Pengaruh
paling kecil dari dana desa untuk mengurangi kemiskinan adalah desa-desa di
wilayah bagian timur Kabupaten Mamuju.

c. Kaitan Penggunaan Lahan Kebun dan Lokasi Signifikan terhadap Tingkat


Kemiskinan
,Tahun 2015, kucuran Dana Desa dari pemerintah pusat berkisar antara 273
juta hingga 329 juta rupiah untuk setiap desa. Dana desa diharapkan dapat menjadi
pemicu meningkatnya perekonomian masyarakat desa, karena adanya perbaikan
infrastruktur di wilayah pedesaan, baik berupa jalan, sarana kesehatan dan
pembangunan infrastruktur desa lainnya, juga untuk pengembangan sumberdaya
manusia pedesaan dan pemberdayaan ekonomi masyarakatnya. Dana desa yang
berpengaruh besar adalah desa yang berada di utara ibukota kabupaten, yaitu
wilayah bagian tengah dan utara Kabupaten Mamuju. Pemanfaatan dana desa untuk
pembangunan dan perbaikan infrastruktur kemungkinan lebih efektif dirasakan di
wilayah tersebut.
Pengaruh dana desa tidak signifikan di dalam wilayah ibukota kabupaten,
karena semua lokasi tersebut merupakan wilayah kelurahan yang tidak menerima
dana desa. Sedangkan wilayah bagian selatan ibukota kabupaten dimana hasilnya
juga tidak signifikan, merupakan wilayah desa dengan topografi wilayah yang
sangat ekstrem dengan kondisi berbukit dan hanya sedikit wilayahnya yang
memiliki topografi datar. Dampak dana desa tidak signifikan kemungkinan karena
infrastruktur jalan yang dibangun belum cukup untuk dapat mendorong arus
perekonomian dari wilayah ini ke ibukota kabupaten. Kemungkinan lainnya adalah
kualitas sarana dan prasarana yang dibangun pada Tahun 2015 ini masih kurang
baik karena masih minimnya kemampuan teknis pengelola, baik dari sisi
perencanaan dan pengelolaannya, sebagaimana hasil yang sama dari penelitian
yang dilakukan oleh Sari (2017). Pandawa (2017) dalam penelitiannya
menyarankan agar pelaksanaan dana desa dalam membangun desa lebih efektif,
hendaknya pemerintah daerah daerah dan pemerintah desa lebih memperhatikan
pemberdayaan masyarakat dimulai dari proses perencanaan.
Pemanfaatan dana desa di wilayah bagian selatan juga dapat di arahkan
untuk kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat, karena posisi geografisnya
yang dekat dari ibukota kabupaten sehingga sangat cocok untuk mengembangkan
sektor industri kreatif berskala mikro dan kecil. Hal ini sejalan dengan hasil analisis
pengaruh industri mikro dan kecil terhadap kemiskinan dalam penelitian ini, dimana
wilayah bagian selatan ibukota kabupaten merupakan wilayah dengan pengaruh
terbesar untuk industri mikro dan kecil. Penelitian Mangkuwinata (2017) juga
menegaskan bahwa alokasi dana desa berdampak terhadap pemberdayaan
masyarakat, sebagai pemberi dorongan, peluang, kesempatan, dan perlindungan
untuk mengembangkan potensi daerahnya melalui berbagai aktivitas
perekonomian.
72

Pemetaan Desa/Kelurahan berbasis Variabel Signifikan yang Berpengaruh


terhadap Kemiskinan
Variabel-variabel independent dapat dikelompokkan berdasarkan kesamaan
variabel yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan di setiap
desa/kelurahan. Pengelompokan tersebut menghasilkan 14 kelompok wilayah
dengan kesamaan variabel yang berpengaruh terhadap kemiskinan (Tabel 12).

Tabel 12 Pengelompokan variabel independent yang berpengaruh signifikan


Model Variabel Signifikan Desa/Kelurahan
Sertifikasi Tanah (X1)
Lahan Sawah (X2) -Keang
Lahan Kebun (X3)
-Uhaimate
1 Lahan Tambak (X5)
TK Industri Mikro Kecil (X6) -Pammulukang
Jarak (X7) -Sinyonyoi
Dana Desa (X8)
Sertifikasi Tanah (X1)
Lahan Sawah (X2)
2 Lahan Kebun (X3)
Lahan Tambak (X5) -Bebanga
TK Industri Mikro Kecil (X6)
Dana Desa (X8)
Sertifikasi Tanah (X1)
Lahan Sawah (X2)
Lahan Kebun (X3)
-Buttu Ada
3 Lahan Tambak (X5)
Jarak (X7) -Sondoang
Dana Desa (X8)
Sertifikasi Tanah (X1)
Lahan Kebun (X3)
4 Lahan Tegalan/Ladang (X4)
TK Industri Mikro Kecil (X6)
Jarak (X7) -Makkaliki
Dana Desa (X8)
Sertifikasi Tanah (X1)
Lahan Sawah (X2) -Batu Panu
5 Lahan Tambak (X5) -Tadui
TK Industri Mikro Kecil (X6)
-Bambu
Dana Desa (X8)

Sertifikasi Tanah (X1) -Batu


Lahan Kebun (X3) -Karama
6 Lahan Tegalan/Ladang (X4) -Siraun -Tumonga
TK Industri Mikro Kecil (X6)
Dana Desa (X8) -Polio -Salumakki
-Pati`Di -Tampalang
-Tapandullu -Botteng
Sertifikasi Tanah (X1) -Salletto -Mamunyu
7 Lahan Sawah (X2) -Kopeang -Karema
Lahan Tambak (X5) -Rantedoda -Simboro
TK Industri Mikro Kecil (X6)
-Sumare -Binanga
-Karampuang -Rimuku
-Rangas
73

Model Variabel Signifikan Desa/Kelurahan


Sertifikasi Tanah (X1)
Lahan Kebun (X3) -Leling
8
TK Industri Mikro Kecil (X6) -Sandapang
Dana Desa (X8)
Sertifikasi Tanah (X1)
Lahan Kebun (X3) -Limbong -Karataun
9 Jarak (X7) -Kondo Bulo -Kalukku
Dana Desa (X8) -Kalumpang
-Mappu
-Bela -Lebani
Sertifikasi Tanah (X1) -Pangasaan -Taan
Lahan Sawah (X2)
10 TK Industri Mikro Kecil (X6) -Tanete Pao -Galung
-Botteng
Utara -Kasambang
-Takandeang -Orobatu
Sertifikasi Tanah (X1)
11 Lahan Kebun (X3) -Lasa'
Dana Desa (X8) -Leling Utara
-Tamalea -Papalang
-Lumika -Belang-Belang
-Pokkang -Salokayu I
-Guliling -Boda-Boda
Lahan Kebun (X3) -Banuada -Beru-Beru
Jarak (X7) -Salutiwo -Kalukku Barat
12 Dana Desa (X8)
-Bonehau -Kabuloang
-Hinua -Sisango
-Bonda -Kalonding
-Batu Ampa -Sukadamai
-Kinantang -Salubarana
-Topore -T O A B O
Sertifikasi Tanah (X1) -Labuang
13 Lahan Sawah (X2) Rano -Dungkait
-Ahu -Pasa'bu
-Saludengen -Kakullasan
-Losso -Malino
-Kalepu -Rante Mario
Lahan Kebun (X3) -Sampaga -Leling Barat
14 Dana Desa (X8) -Tammejarra -Bunde
-Campaloga -Tommo
-Tamemongga -Tarailu
-Tanambua -Buana Sakti
-Sandana
74

Tabel 12 menjelaskan variabel yang signifikan mempengaruhi tingkat


kemiskinan di setiap desa/kelurahan di Kabupaten Mamuju. Model GWR Desa
Keang adalah sebagai berikut:

Ŷ = 0.1180 – 0.0137X1 + 0.0727X2 - 0.1023X3 - 0.2122X5 - 1.6445X6 +


0.0006X7 - 0.0024X8

Dari pemodelan GWR untuk Desa Keang dapat diketahui bahwa tingkat
kemiskinan di Desa Keang dipengaruhi oleh faktor sertifikasi tanah, lahan sawah,
lahan kebun, lahan tambak, sektor industri mikro/kecil, jarak serta dana desa. Setiap
desa/kelurahan memiliki koefisien dan variabel signifikan yang berbeda- beda.
Model GWR untuk Desa Saludengen adalah sebagai berikut:

Ŷ = 0.0830 – 0.0839X3 - 0.0018X8

Hasil pemodelan GWR Desa Saludengen dapat diketahui bahwa tingkat


kemiskinan Desa Saludengen dipengaruhi oleh faktor lahan kebun dan dana desa.
Pemodelan GWR berbeda di setiap desa/kelurahan, tetapi desa/kelurahan
yang memiliki kesamaan signifikansi variabel terhadap model dapat
dikelompokkan. Pengelompokan dapat dilihat pada Gambar 30. Gambar 30
menunjukkan beberapa wilayah yang berdekatan memiliki kesamaan variabel yang
signifikan yang menjelaskan adanya pengaruh spasial dalam pemodelan tingkat
kemiskinan di Kabupaten Mamuju 2015. Peta sebaran desa/kelurahan dengan
variabel yang sama dapat dijadikan kerangka acuan kebijakan dalam
penanggulangan kemiskinan berbasis kebutuhan spesifik wilayah di Kabupaten
Mamuju.

Gambar 28 Sebaran desa/kelurahan yang memiliki kesamaan variabel signifikan


75

Alternatif Kebijakan untuk Pengurangan Kemiskinan di Kabupaten


Mamuju dan dikaitkan dengan Usulan Perencanaan dan Program
Pembangunan Daerah

Alternatif Kebijakan berbasis Spesifik Lokasi Desa/Kelurahan


Kebijakan untuk mengurangi angka kemiskinan berbasis spesifik lokasi dapat
disusun berdasarkan 14 kelompok desa/ dengan kesamaan variabel yang
berpengaruh signifikan:
1. Desa Keang, Uhaimate, Pammulukang dan Kelurahan Sinyonyoi.
Pengurangan kemiskinan di kelompok desa/kelurahan ini dapat dilakukan
melalui kebijakan peningkatan sertifikasi tanah, optimalisasi produksi padi
dengan lahan yang tersedia, peningkatan luas lahan kebun, peningkatan luas
lahan tambak, peningkatan usaha mikro dan kecil, serta optimalisasi dana desa
untuk pembangunan infrastruktur jalan.
2. Desa Bebanga
Pengurangan kemiskinan di kelompok desa/kelurahan ini dapat dilakukan
melalui kebijakan peningkatan sertifikasi tanah, optimalisasi produksi padi
dengan lahan yang tersedia, peningkatan luas lahan kebun, peningkatan lahan
tambak, peningkatan usaha mikro dan kecil, serta optimalisasi dana desa untuk
kegiatan pemberdayaan masyarakat seperti untuk usaha mikro dan kecil.
3. Desa Buttu Ada dan Sondoang
Pengurangan kemiskinan di kelompok desa/kelurahan ini dapat dilakukan
melalui kebijakan peningkatan sertifikasi tanah, optimalisasi produksi padi
dengan lahan yang tersedia, peningkatan luas lahan kebun, peningkatan lahan
tambak, serta optimalisasi dana desa untuk pembangunan infrastruktur jalan.
4. Desa Makkaliki
Pengurangan kemiskinan di kelompok desa/kelurahan ini dapat dilakukan
melalui kebijakan peningkatan sertifikasi tanah, peningkatan luas lahan kebun,
peningkatan luas lahan tegalan, peningkatan usaha mikro dan kecil, serta
optimalisasi dana desa untuk pembangunan infrastruktur jalan.
5. Desa Batu Panu, Tadui, dan Bambu
Pengurangan kemiskinan di kelompok desa/kelurahan ini dapat dilakukan
melalui kebijakan peningkatan sertifikasi tanah, optimalisasi produksi padi
dengan lahan yang tersedia, peningkatan luas lahan tambak, peningkatan usaha
mikro dan kecil, serta optimalisasi dana desa untuk kegiatan pemberdayaan
masyarakat seperti untuk pengembangan usaha mikro dan kecil.
6. Desa Batu Makkada, Karama, Siraun, Tumonga, Polio dan Salumakki
Pengurangan kemiskinan di kelompok desa/kelurahan ini dapat dilakukan
melalui kebijakan peningkatan sertifikasi tanah, peningkatan luas lahan kebun,
peningkatan luas lahan tegalan, peningkatan usaha mikro dan kecil, serta
optimalisasi dana desa untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat seperti untuk
pengembangan usaha mikro dan kecil.
7. Desa Pati`Di, Tampalang, Tapandullu, Botteng, Salletto, Mamunyu, Kopeang,
Karema, Rantedoda, Simboro, Sumare, Binanga, Karampuang, Rimuku dan
Rangas
76

Pengurangan kemiskinan di kelompok desa/kelurahan ini dapat dilakukan


melalui kebijakan peningkatan sertifikasi tanah, optimalisasi produksi padi
dengan lahan yang tersedia, peningkatan luas lahan tambak, peningkatan usaha
mikro dan kecil serta peningkatan efektivitas penggunaan dana desa.
8. Desa Leling dan Sandapang
Pengurangan kemiskinan di kelompok desa/kelurahan ini dapat dilakukan
melalui kebijakan peningkatan sertifikasi tanah, peningkatan luas lahan kebun,
peningkatan usaha mikro dan kecil, serta optimalisasi dana desa untuk kegiatan
pemberdayaan masyarakat seperti untuk pengembangan usaha mikro dan kecil.
9. Desa Limbong, Karataun, Kondo Bulo, Kalukku, Mappu dan Kalumpang
Pengurangan kemiskinan di kelompok desa/kelurahan ini dapat dilakukan
melalui kebijakan peningkatan sertifikasi tanah, peningkatan luas lahan
kebun, serta optimalisasi dana desa untuk pembangunan infrastruktur jalan.
10. Desa Bela, Lebani, Pangasaan, Taan, Tanete Pao, Galung, Botteng Utara,
Kasambang, Takandeang dan Orobatu
Pengurangan kemiskinan di kelompok desa/kelurahan ini dapat dilakukan
melalui kebijakan peningkatan sertifikasi tanah, optimalisasi produksi padi
dengan lahan yang tersedia, peningkatan usaha mikro dan kecil serta
peningkatan efektivitas penggunaan dana desa.
11. Desa Lasa’ dan Leling Utara
Pengurangan kemiskinan di kelompok desa/kelurahan ini dapat dilakukan
melalui kebijakan peningkatan sertifikasi tanah, peningkatan luas lahan kebun,
serta optimalisasi penggunaan dana desa untuk pembangunan infrastruktur
jalan.
12. Desa Tamalea, Papalang, Lumika, Belang-Belang, Pokkang, Salokayu I,
Guliling, Boda-Boda, Banuada, Beru-Beru, Salutiwo, Kalukku Barat,
Bonehau, Kabuloang, Hinua, Sisango, Bonda, Kalonding, Batu Ampa,
Sukadamai, Kinantang, Salubarana, Topore, Toabo
Pengurangan kemiskinan di kelompok desa/kelurahan ini dapat dilakukan
melalui peningkatan luas lahan kebun, serta optimalisasi dana desa untuk
pembangunan infrastruktur jalan.
13. Desa Labuang Rano, Ahu, Dungkait dan Pasa’bu.
Pengurangan kemiskinan di kelompok desa/kelurahan ini dapat dilakukan
melalui kebijakan peningkatan sertifikasi tanah, optimalisasi produksi padi
dengan lahan yang tersedia.
14. Desa Saludengen, Kakullasan, Malino, Kalepu, Rante Mario, Sampaga, Leling
Barat, Tammejarra, Bunde, Campaloga, Tommo, Tamemongga, Tarailu,
Tanambua, Buana Sakti dan Sandana
Pengurangan kemiskinan di kelompok desa/kelurahan ini dapat dilakukan
melalui kebijakan peningkatan luas lahan kebun, serta optimalisasi
penggunaan dana desa untuk pembangunan infrastruktur jalan.

Alternatif Kebijakan Berbasis Kemiskinan Spasial


Melakukan analisis kemiskinan secara spasial terhadap suatu wilayah akan
dapat memberikan gambaran yang lebih rinci dan lebih akurat terhadap objek yang
ingin dikaji. Dalam penelitian ini dengan unit penelitiannya Desa, dapat dilihat pola
kemiskinan antar desa/kelurahan dalam lingkup Kabupaten Mamuju,
77

sehingga diketahui pusat-pusat kemiskinan dan pola sebaran kemiskinan dalam


wilayah kabupaten. Dengan adanya informasi tersebut, maka akan mempermudah
pengambil kebijakan untuk melaksanakan program-program kebijakan yang akan
diterapkan dalam upaya untuk menurunkan angka kemiskinan. Program yang
dilaksanakan dengan sasaran yang tepat akan memberikan hasil yang efektif.

Gambar 29 Alternatif kebijakan berbasis kemiskinan spasial


Analisis keterkaitan antara pola spasial kemiskinan dengan faktor yang
berpengaruh secara signifikan (Gambar 29) dapat memberikan beberapa alternatif
kebijakan yang dapat dipertimbangkan dalam rangka upaya mengurangi angka
kemiskinan di Kabupaten Mamuju adalah:
1. Berdasarkan hasil analisis deskriptif berbasis pemetaan tingkat kemiskinan
desa/kelurahan, diketahui bahwa tingkat kemiskinan di Kabupaten Mamuju
tidak merata dan bersifat berkelompok. Desa/kelurahan dengan tingkat
kemiskinan yang tinggi (>12.4%) disarankan untuk dijadikan desa/kelurahan
prioritas utama untuk berbagai program dan kebijakan penanggulangan
kemiskinan di Kabupaten Mamuju yang disesuaikan dengan faktor yang dapat
mengurangi kemiskinan secara spesifik di desa/kelurahan tersebut.
2. Untuk wilayah desa dengan pengelompokan kemiskinan yang tinggi (wilayah
bagian timur), strategi kebijakan yang sesuai adalah:
a. Pengalokasian program sertifikasi tanah sebagai lokasi prioritas pelaksanaan
Program Percepatan Legalisasi Aset.
b. Peningkatan luas lahan kebun/perkebunan dan tegalan, dapat dilakukan
dengan pengalokasian dan penunjukan desa dalam wilayah tersebut sebagai
lokasi program Redistribusi Tanah oleh Kantor Pertanahanan Kabupaten
Mamuju.
c. Peningkatan dan efektifitas penggunaan dana desa. Dana desa sebaiknya lebih
dioptimalkan untuk pembangunan dan perbaikan infrastruktur jalan, karena berdasarkan
hasil analisis GWR di wilayah ini menunjukkan bahwa faktor jarak sangat mempengaruhi
tingkat kemiskinan. Perbaikan dan pembangunan jalan merupakan solusi untuk
mengatasi permasalahan jarak, karena akan mengurangi waktu tempuh perjalanan. Hasil
ini sejalan dengan studi Yudha (2017) bahwa pembangunan infrastruktur jalan dapat
mendorong perkembangan desa dan menurunkan kemiskinan.
d. Pengembangan industri mikro dan kecil saat ini belum merupakan solusi penanganan
kemiskinan di wilayah ini karena adanya kendala jarak ke pusat perekonomian
sebagaimana dari hasil analisis GWR. Setelah kendala jarak teratasi melalui
pembangunan dan perbaikan infrastruktur jalan, maka solusi penanganan kemiskinan
melalui pengembangan industri mikro dan kecil dapat selanjutnya untuk
dipertimbangkan.
3. Untuk wilayah desa dengan pengelompokan kemiskinan yang rendah (wilayah bagian
utara), strategi kebijakan yang sesuai adalah:
a. Peningkatan dan efektivitas pengusahaan lahan kebun/perkebunan untuk mendapatkan
hasil yang lebih optimal, mengingat kepemilikan lahan kebun dan perkebunan sudah
cukup tinggi di wilayah ini.
b. Peningkatan dan efektifitas penggunaan dana desa untuk pemberdayaan perekonomian.
Dana desa sebaiknya lebih dioptimalkan untuk pemberdayaan perekonomian
masyarakat, karena wilayah bagian utara Kabupaten Mamuju dari hasil analisis GWR
tidak menunjukkan bahwa faktor jarak mempengaruhi tingkat kemiskinan wilayah,
karena selain di wilayah ini infrastruktur jalan cukup baik, lokasinya juga cukup dekat
ke pusat perekonomian Kabupaten Mamuju Tengah. Dana desa lebih baik di arahkan
untuk pembinaan masyarakat dalam peningkatan usaha perkebunan dan untuk
membangun sarana dan prasarana yang dapat mendukung perkebunan masyarakat.
4. Untuk wilayah desa dengan pengelompokan kemiskinan yang bersifat acak (wilayah
bagian tengah dan selatan mencakup ibukota dan sekitarnya), strategi kebijakan yang
sesuai adalah:
a. Pengalokasian program sertifikasi tanah sebagai lokasi pelaksanaan Program Percepatan
Legalisasi Aset.
b. Upaya peningkatan luas lahan kebun/perkebunan di wilayah bagian utara ibukota, dapat
dilakukan dengan pengalokasian dan penunjukan desa-desa tersebut sebagai lokasi
program Redistribusi Tanah.
c. Peningkatan dan efektifitas penggunaan dana desa untuk wilayah bagian utara ibukota
untuk pemberdayaan perekonomian. Dana desa sebaiknya lebih dioptimalkan untuk
pemberdayaan perekonomian masyarakat, karena wilayah bagian utara Kabupaten
Mamuju dari hasil analisis GWR tidak menunjukkan bahwa faktor jarak mempengaruhi
tingkat kemiskinan wilayah, karena selain di wilayah ini infrastruktur jalan cukup baik,
lokasinya juga cukup dekat ke ibukota sebagai pusat perekonomian. Dana desa lebih baik
di arahkan untuk pembinaan masyarakat dalam peningkatan usaha perkebunan, tambak,
dan industri mikro dan kecil
d. Pengembangan sektor industri mikro dan kecil sesuai hampir untuk semua wilayah ini,
yang didukung oleh faktor jarak yang dekat dengan pusat perekonomian.
e. Peningkatan jumlah luasan penggunaan lahan tambak merupakan alternatif kebijakan
yang tepat karena wilayah ini dekat dengan ibukota dan pelabuhan laut.

Alternatif Kebijakan Berbasis Sertifikasi Tanah


Program sertifikasi tanah dilaksanakan setiap tahunnya oleh Kementerian Agraria dan
Tata Ruang/BPN RI. Untuk wilayah Kabupaten Mamuju, program sertifikasi tanah di bawah
tanggung jawab Kantor Pertanahan Kabupaten Mamuju. Hasil analisis GWR dapat menjadi
acuan bagi kantor pertanahan untuk menentukan prioritas utama dalam pelaksanaan tugas
pensertifikatan tanah masal terhadap seluruh wilayah Kabupaten Mamuju. Penentuan urutan
prioritas desa yang tepat dapat membantu pemerintah dalam percepatan pengentasan
kemiskinan, karena desa prioritas utama akan memberikan pengaruh yang lebih besar dari desa
lainnya dalam percepatan penurunan angka kemiskinan di wilayah Kabupaten Mamuju. Kantor
pertanahan dapat menentukan lokasi program sertifikasi tanah dimulai dari urutan prioritas
yang memberikan pengaruh mengatasi kemiskinan yang paling tinggi. Dengan adanya urutan
desa prioritas, kantor pertanahan tidak lagi mengalami keragu-raguan dalam menentukan target
lokasi pensertifikatan tanah setiap tahunnya.
Berdasarkan analisis kemiskinan dan hasil GWR, maka prioritas pelaksanaan program
sertifikasi tanah dapat dilaksanakan berdasarkan dua acuan, yaitu:
a. Berdasarkan prioritas desa/kelurahan termiskin sebagaimana lampiran 4. Metode ini diterapkan
dengan pertimbangan bahwa upaya penanggulangan kemiskinan melalui program sertifikasi
tanah dapat segera mengurangi angka kemiskinan bagi desa/kelurahan termiskin sehingga
ketimpangan tingkat kemiskinan wilayah dapat segera diperkecil.
b. Berdasarkan pada nilai koefisien variabel sertifikasi tanah yang memberikan pengaruh terbesar
dalam mengurangi kemiskinan sebagaimana hasil analisis GWR.
Metode ini diterapkan dengan pertimbangan efektivitas bahwa upaya penanggulangan
kemiskinan melalui program sertifikasi tanah dapat segera mengurangi kemiskinan pada lokasi
yang memiliki pengaruh sertifikat terbesar terhadap tingkat kemiskinan. Diharapkan dengan
kebijakan ini maka terjadi percepatan pengurangan angka kemiskinan di Kabupaten Mamuju.

Alternatif Kebijakan Berbasis Penggunaan Lahan Pertanian


1. Lahan pertanian sawah berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, belum memberikan
pengaruh dalam mengurangi kemiskinan. Dari hasil analisis GWR, pertanian padi sawah hanya
bisa dikembangkan dan diharapkan akan menjadi sektor yang dapat mengurangi kemiskinan di
wilayah bagian utara mamuju (Lampiran 6), tetapi perlu didukung dengan kebijakan yang dapat
meningkatkan produktivitas hasil pertanian padi atau melalui perluasan kepemilikan lahan
sawah bagi tiap petani jika masih menungkinkan. Upaya yang dapat dilakukan pemerintah yaitu
pembinaan dan pemberdayaan masyarakat petani serta kontrol terhadap lahan sawah yang telah
ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) di wilayah ini agar tidak terjadi alih
fungsi lahan sawah ke penggunaan lainnya. Jika upaya penambahan lahan sawah tidak dapat dilakukan,
sementara upaya peningkatan produktivitas hasil pertanian padi juga tidak dilakukan, maka
perekonomian para petani akan berjalan di tempat, karena kemungkinan hasil dari pertanian padi
dengan lahan yang tersedia saat ini tidak memungkinkan adanya saving.
2. Lahan kebun merupakan lahan pertanian yang memberikan pengaruh yang paling merata dalam
mengurangi kemiskinan di Kabupaten Mamuju. Tanaman perkebunan yang mendominasi di
Kabupaten Mamuju yaitu Kelapa Sawit, Kakao, Kelapa, Kemiri, Kopi dan Cengkeh. Dari hasil
GWR dapat dibuktikan bahwa pengaruh perkebunan terhadap kemiskinan terjadi di 65
desa/kelurahan. Perlu adanya kebijakan yang dapat memperluas lahan kebun dan mendukung
produktivitas hasil kebun dan perkebunan sehingga masyarakat dapat lebih sejahtera dengan
hasil kebun/perkebunan yang lebih optimal.
Peningkatan luasan lahan kebun dapat diupayakan melalui kegiatan Redistribusi Tanah
terhadap tanah obyek landreform yang dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan. Sedangkan upaya
mendukung produktivitas dapat dilakukan melalui program pemberdayaan dari beberapa
instansi, termasuk juga oleh Kantor Pertanahan. Kantor Pertanahan melaksanakan program
pemberdayaan melalui fasilitasi petani terhadap akses perbankan melalui agunan sertifikat.
3. Penggunaan lahan tegalan/ladang dan tambak secara parsial di beberapa wilayah Kabupaten
Mamuju dapat mengurangi kemiskinan desa/kelurahan. Tegalan/ladang yang banyak
dimanfaatkan oleh masyarakat di Kecamatan Kalumpang terbukti dari hasil GWR dapat
membantu mengurangi kemiskinan. Akan tetapi dibutuhkan upaya lebih lanjut dari pemerintah
untuk mengontrol dan mengawasi penggunaan lahan tegalan/ladang. Kegiatan ladang
berpindah dapat memberikan efek negatif terhadap daya dukung lingkungan, bahkan dapat
membahayakan lingkungan karena ancaman kebakaran hutan dan berkurangnya kesuburan
tanah. Pemerintah perlu memberikan penanganan berupa pembinaan terhadap masyarakat desa
di Kecamatan Kalumpang, sehingga lahan yang dimanfaatkan dapat diusahakan secara
konsisten dan berkelanjutan.
4. Perlu juga penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah masih terdapat ketersediaan lahan
untuk kebun dan perkebunan yang belum dimanfaatkan, tetapi berada di luar kawasan hutan.
Lahan ini kemudian dapat diusulkan dalam Program Redistribusi Tanah yang merupakan
bagian dari program percepatan sertifikasi tanah yang dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Mamuju. Lahan yang telah di redistribusi kepada masyarakat selanjutnya dapat
dimanfaatkan secara optimal sebagai lahan perkebunan.
81

Sinkronisasi Proposal Dana Alokasi Khusus (DAK) Tahun 2018 dengan Kebijakan
Pengurangan Tingkat Kemiskinan

Pemerintah Kabupaten Mamuju mengajukan DAK tahun 2018 untuk membiayai


pembangunan sarana dan prasarana pelayanan dasar. Tujuannya untuk mendorong percepatan
pembangunan daerah sehingga tercapainya sasaran prioritas pembangunan nasional. Melalui
adanya DAK berbasis proposal ini juga diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan di
daerah yang berhubungan dengan pertanian, kelautan dan perikanan, pengembangan industri
kecil dan menengah, kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup dan kehutanan, pariwisata dan
kebutuhan lainnya. Proposal DAK tahun 2018 yang diusulkan Pemerintah Kabupaten Mamuju
sebagaimana pada Gambar 30.

Gambar 30 Peta sebaran Dana Alokasi Khusus (DAK) Kabupten Mamuju tahun 2018

Berdasarkan Gambar 32 diperoleh informasi proposal DAK yang berkaitan dengan


penelitian sebagai berikut:
1. DAK Bidang Pertanian
Usulan DAK terlihat difokuskan untuk wilayah bagian utara kabupaten. Usulan DAK ini
sesuai dengan wilayah tersebut yang merupakan sentra pertanian padi. Hasil pemodelan GWR
menunjukkan bahwa wilayah ini lahan sawah memiliki koefisien negatif, tetapi belum terbukti
berkontribusi menurunkan kemiskinan. DAK yang diusulkan berupa “pembangunan jalan
pertanian (jalan usaha tani dan jalan produksi)”, “pembangunan sumber air irigasi air tanah”
dan “pembangunan balai mekanisasi pertanian” diharapkan
82

dapat mendorong peningkatan produktivitas hasil pertanian padi, sehingga mampu


memberikan pengaruh pada peningkatan pendapatan petani.
2. DAK Bidang Irigasi
Usulan DAK terlihat difokuskan di Kecamatan Kalukku, Papalang, Tapalang, Bonehau dan
Kalumpang. Usulan DAK berupa kegiatan “Peningkatan Jaringan Irigasi” dan “Pembangunan
Jaringan Irigasi Baru” terlihat sesuai dengan lokasi desa-desa yang memiliki lahan sawah.
Realisasi usulan DAK ini diharapkan dapat menjadikan pertanian padi di wilayah ini semakin
meningkat sehingga tercapainya ketahanan pangan.
3. DAK Bidang Kelautan dan Perikanan
Usulan DAK terlihat difokuskan pada wilayah bagian pantai barat Kabupaten Mamuju.
Usulan DAK ini sesuai karena sejalan dengan hasil GWR dimana di wilayah sekitar ibukota
kabupaten, lahan tambak terlihat signifikan menurunkan kemiskinan. Proposal DAK untuk
kegiatan “Pengadaan Sarana dan Prasarana Pemberdayaan Usaha Skala Kecil Masyarakat
Kelautan dan Perikanan (Nelayan dan Pembudidaya Ikan)” diharapkan mampu mendukung
usaha tambak masyarakat sehingga meningkatnya skala usaha dan pendapatan masyarakat
petani tambak. Proposal pembangunan dan rehabilitasi “Sarana dan Prasarana Tempat
Pelelangan Ikan (TPI) milik Kabupaten/Kota (UPTD Kab/Kota) yang berada di Luar Pelabuhan
Perikanan” juga dapat mendukung usaha perikanan dan tambak di sekitar ibukota kabupaten.
4. DAK Bidang Industri Kecil dan Menengah.
Usulan DAK berupa “Pembangunan Sentra IKM” di wilayah Kecamatan Kalukku sejalan
dengan hasil GWR yang menunjukkan bahwa industri mikro dan kecil berkontribusi
mengurangi kemiskinan. Realisasi sentra IKM diharapkan akan dapat mendorong munculnya
industri kecil menengah lainnya, sehingga dapat menyediakan lapangan kerja baru. DAK IKM
sebaiknya juga diusulkan untuk wilayah bagian timur kabupaten, karena keberadaan industri
mikro kecil di wilayah ini terbukti belum dapat mengurangi kemiskinan, karena kendala jarak
yang jauh dari pusat pasar industri mikro dan kecil.
5. DAK Bidang Pasar
Usulan DAK Pasar berupa pembangunan “Pasar Rakyat” di Desa Pati’di, Saletto, Sumare
dan Kelurahan Karema diharapkan dapat mendorong peningkatan perekonomian
desa/kelurahan di sekitar ibukota kabupaten. Terealisasikannya pembangunan pasar rakyat
juga memberikan manfaat kepada pelaku industri mikro dan kecil di wilayah ini. Usulan DAK
pembangunan pasar rakyat di Desa Leling Utara dan Desa Tamalea juga dapat mendorong
berkembangnya industri mikro dan kecil di wilayah ini. Mengingat besarnya potensi industri
mikro dan kecil di wilayah bagian timur Kabupaten Mamuju diharapkan usulan DAK Pasar
untuk tahun selanjutnya lebih difokuskan untuk wilayah ini.
6 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Persentase tanah terdaftar sebagai sertifikat relatif masih rendah dimana masih terdapat tanah
seluas 96,347.49 ha atau sekitar 82.5% yang belum bersertifikat. Hal ini memberikan
kesimpulan bahwa lahan yang belum bersertifikat masih sangat luas di seluruh wilayah
Kabupaten Mamuju dan setiap desa/kelurahan masih dapat dijadikan sebagai lokasi target
program percepatan sertifikasi.
Penggunaan lahan pertanian secara berturut-turut dari yang terluas adalah lahan kebun
(15.57%), lahan tegalan/ladang (3.30%), lahan sawah (2.23%) dan lahan tambak (0.82%).
Dilihat dari luas dan persebaran lahan kebun yang terdapat hampir di seluruh desa/kelurahan,
menggambarkan bahwa perkebunan merupakan salah satu sumber perekonomian utama
penduduk.
2. Berdasarkan hasil analisis spasial kemiskinan, terdapat autokorelasi spasial kemiskinan antar
desa/kelurahan dan secara spasial pola sebarannya bersifat menggerombol (clustered). Tingkat
kemiskinan di Kabupaten Mamuju tidak merata dan bersifat berkelompok, terbukti walaupun
tingkat kemiskinan Kabupaten Mamuju cukup rendah, yaitu 6.7%, tetapi terdapat hampir 30%
desa/kelurahan memiliki tingkat kemiskinan >12.4% hingga mencapai 56%.
3. Sertifikasi tanah terbukti dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan desa/kelurahan di 56
desa/kelurahan. Lahan pertanian terbukti cenderung berpengaruh dalam mengurangi
kemiskinan. Penggunaan lahan kebun memberikan pengaruh terbesar terhadap kemiskinan,
kemudian disusul penggunaan lahan tambak dan lahan tegalan/ladang. Sedangkan penggunaan
lahan sawah belum terbukti di semua wilayah sebagai faktor yang dapat menurunkan
kemiskinan. Peningkatan luasan lahan kebun, tambak dan tegalan di desa/kelurahan yang
sesuai dengan lokasi signifikan mempengaruhi kemiskinan merupalan kebijakan yang tepat
dalam usaha mengurangi angka kemiskinan.
4. Kebijakan yang berbeda-beda perlu diterapkan terhadap masing-masing desa/kelurahan untuk
program sertifikasi tanah, Redistribusi Tanah, kebijakan meningkatkan luas lahan pertanian,
kebijakan pemberdayaan indusri mikro dan kecil serta alokasi pemanfaatan dana desa. Proposal
DAK tahun 2018 secara umum terlihat sejalan dengan kebutuhan desa/kelurahan untuk
mengurangi kemiskinan.

Saran

1. Pengambilan kebijakan penanganan kemiskinan perlu mempertimbangkan aspek lokasi sampai


ke unit yang kecil agar mampu memberikan gambaran secara akurat mengenai variasi
kemiskinan dan kesesuaian program
2. Kebijakan penanganan kemiskinan agar lebih difokuskan pada wilayah dengan tingkat
kemiskinan yang tinggi dengan memperhatikan kesesuaian antara target dan program yang
tepat dan sesuai dengan masing-masing lokasi. Pelaksanaan program sertifikasi, terutama
Redistribusi Tanah perlu diarahkan ke desa di bagian timur kabupaten yang merupakan daerah
kantong kemiskinan.
DAFTAR PUSTAKA

Adetayo AO. 2014. Analysis of Farm Households Poverty Status in Ogun States, Nigeria.
Asian Economic and Financial Review. 4(3):325-340.
Agustina MF. 2015. Pemodelan Geographically Weighted Regression (GWR) pada Tingkat
Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Statistika. 3(2):67-74.
Amri S, Ikhbar S, Muzakkir. 2016. Strategi Pengentasan Kemiskinan melalui Produksi
Usahatani Padi Sawah untuk Peningkatan Pembangunan Perekonomian Masyarakat
Kabupaten Aceh Besar. Serambi Saintia. 4(2):19-25.
Anselin L. 1988. Spatial Econometrics: Methods and Models. Netherlands Kluwer Academic
Publ. ISBN-10: 9024737354
Arifin B. 2005. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Jakarta (ID): Kompas.
Arlinghaus. 1996. Practical Handbook of Spatial Statistics. United States: CRC
Press.Inc
Artino A. 2017. Keterkaitan Dana Desa terhadap Kemiskinan di Kabupaten Lombok Utara
[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Baiyegunhi LJS, Fraser GCG. 2014. Poverty Incidence among Smallholder Farmers in the
Amathole District Municipality, Eastern Cape Province, South Africa. J Hum Ecol.
46(3): 261-273 (2014)
[BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2007. Analisis Implementasi
Kebijakan Pengembangan Wilayah Strategis Cepat Tumbuh dalam Rangka Mendorong
Pengembangan Wilayah Tertinggal. Jakarta: Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah
Tertinggal Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
[BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1992. Undang- Undang Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016a. Kemiskinan [diacu 2017 April 27]. Tersedia di
https://www.bps.go.id/Subjek/view/id/23#subjekViewTab1
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016b. Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota 2015.
Jakarta (ID): BPS.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016c. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi- Provinsi di
Indonesia Menurut Lapangan Usaha 2011-2015. Jakarta (ID): BPS
[BPS Kab.Mamuju] Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamuju. 2017a. Persentas Penduduk
Miskin (Persen) Kabupaten Mamuju, 2010-2016 [diacu 2017 November 15]. Tersedia di
https://mamujukab.bps.go.id/dynamictable
/2016/11/17/32/persentase-penduduk-miskin-persen-kabupaten-mamuju- 2010-
2016.html
[BPS Kab.Mamuju] Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamuju. 2017b. Gini Rasio Kabupaten
Mamuju, 2011-2015 [diacu 2017 November 15]. Tersedia di
https://mamujukab.bps.go.id/dynamictable/2016/12/13/93/gini-rasio- kabupaten-
mamuju-2011-2015.html
[BPS Kab.Mamuju] Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamuju. 2016a. Kabupaten Mamuju
dalam Angka 2016. Mamuju (ID): BPS Kab Mamuju
[BPS Kab.Mamuju] Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamuju. 2016b. Statistik Daerah
Kabupaten Mamuju 2016. Mamuju (ID): BPS Kab Mamuju.
[BPS Kab.Mamuju] Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamuju. 2016c. Produk Domestik
Regional Bruto Kabupaten Mamuju Menurut Lapangan Usaha 2015. Mamuju (ID): BPS
Kab Mamuju.
[BPS Prov.Sulbar] Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Barat. 2016a. Indikator Strategis
Sulawesi Barat 2011-2015. Mamuju (ID): BPS Prov Sulbar.
[BPS Prov.Sulbar] Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Barat. 2016b. Tinjauan Kinerja
Perekonomian Sulawesi Barat Triwulan II 2016. Mamuju (ID): BPS Prov Sulbar.
Chapin SF Jr. dan Edwar JK. 1995. Urban Land Use Planning. Chicago: University of Illinois
Press.
Deller S. 2010. Rural Poverty, Tourism and Spatial Heterogeneity. Annals of Tourism
Research. 37(1): 180-205.
Dziauddin MF, Idris Z. 2017. Use of Geographically Weighted Regression (GWR) Method to
Estimate the Effect of Location Attributes on the Residential Property Values. Indonesia
Journal of Geography.49(1):97-110.
Fischer M, Scolten HJ, David. 1996. Spatial Analysis Perpectives on GIS. GISDATA 4.
London: Taylor & Francis.
Fotheringham AS., Brunsdon C, Charlton M. 2002. Geographically Weighted Regression: The
Analysis of Spatially Varying Relationships. New York: John Wiley & Sones, Ltd.
Gujarati D. 1993. Ekonometrika Dasar. Jakarta (ID):Erlangga.
Heryanti Y, Junaidi, Yulmardi. 2014. Interaksi Spasial Perekonomian dan Ketenagakerjaan
antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi. Jurnal Perspektif Pembiayaan dan
Pembangunan Daerah. 2(2):99-106.
Istikomah. 2013. Pengaruh Program Sertifikasi Tanah terhadap Akses Permodalan bagi Usaha
Mikro dan Kecil (Studi Kasus Program Sertifikasi Tahun 2008 di Kabupaten Kulon
Progo). Kawistara. 3(1):24-38.
Jayadinata JT. 1992. Tata Guna Tanah dalam Perencanan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah.
Bandung (ID): ITB Bandung.
Juanda B. 2009. Ekonometrika, Pemodelan dan Pendugaan. Bogor (ID): IPB Pr.
[Kanwil BPN Prov Sulawesi Barat]. Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Provinsi Sulawesi Barat. 2016. Neraca Penatagunaan Tanah Kabupaten Mamuju Tahun
2015. Mamuju (ID): BPN Provinsi Sulawesi Barat.
[Kemen ATR/BPN] Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia. 2015. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Program Nasional Agraria
(PRONA). Jakarta (ID): Kemen ATR/BPN.
Kurnianti DN. 2015. Proyeksi Penggunaan Lahan untuk Konsistensi Tata Ruang di Kawasan
Jabodetabek [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Lipton M. 2009. Land Reform in Developing Countries: Property Rights and Property Wrongs.
London: Routledge.
Mangkuwinata SMI. 2017. Dampak Alokasi Dana Desa terhadap Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat Desa Matanglumpangdua Meunasah Dayah Kecamatan Peusangan
Kabupaten Bireun. Jurnal Kebangsaan. 6(12):13-21.
Mahpud. 2016. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesediaan Nelayan untuk Mengagunkan
Sertipikat Hak Atas Tanah dalam Rangka Meningkatkan Kesejahteraan [tesis]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Mardiana YS, Siregar H, Juanda B. 2016. Pengaruh Sertifikasi Tanah terhadap Nilai Tanah dan
Kondisi Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Sukoharjo. Jurnal Aplikasi Bisnis dan
Manajemen. 2(3):304-311.
Mesman A. 2008. Analisis Pengaruh Sertipikat Hak Atas Tanah Terhadap Kinerja Ekonomi
Pengusaha Mikro dan Kecil di Kabupaten Konawe Selatan [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Minot N, Baulch B, Epperecht M. 2006. Poverty and inequality in Vietnam: Spatial patterns
and geographic determinants. Washington: Research Report International Food Policy
Research Institute.
Miranti I, Djuraidah A, Indahwati. 2015. Modeling of Malaria Prevalence in Indonesia with
Geographically Weighted Regression. KesMas:Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat.
9(2):109-118.
Munajat. 2009. Membernaskan Pembangunan Pertanian sebagai Solusi Mengakar dalam
Mengatasi Kemiskinan. Agronobis. 1(1):12-18.
Musahara H, Akorli F, Rukamba S. 2014. Capacity Building Interventions, Entrepreneurship
and Performance of SMEs in Rwanda. Working Paper. Kigali: University of Rwanda,
College of Business and Economics.
Muta’ali L. 2014. Perencanaan Pengembangan Wilayah Berbasis Pengurangan Resiko
Bencana. Yogyakarta (ID): Badan Penerbit Fakultas Geografi (BPFG) Universitas
Gadjah Mada.
Nadya M, Rahayu W, Santi VM. 2017. Analisis Geographically Weighted Regression (GWR)
pada Kasus Pneumonia Balita di Provinsi Jawa Barat. Jurnal Statistika dan Aplikasinya.
1(1):23-32.
Nashwari IP. 2016. Analisis Kemiskinan Petani Tanaman Pangan di Provinsi Jambi dan Jawa
Barat menggunakan Geographically Weighted Regression [disertasi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Nuarsa IW. 2005. Menganalisis Data Spasial dengan Arcview GIS 3.3 untuk Pemula. Jakarta
(ID): Gramedia.
Nurwati N. 2008. Kemiskinan: Model Pengukuran, Permasalahan dan Alternatif Kebijakan.
Jurnal Kependudukan Padjajaran. 10(1):1-11.
Octaviana D, Saunoah AM, Maubanu E, Choirunisa RL, Sitorus RB, Bekti RD. 2016.
Pemodelan Data Kemiskinan di Provinsi Bengkulu dengan Metode Geographically
Weighted Regression dan Ordinary Least Square.Jurnal Statistika Industri dan
Komputasi. 1(1):21-30.
Pandawa H. Efektivitas Pelaksanaan Gerakan Desa Membangun dan Dana Desa dalam
Membangun Desa di Kecamatan Malinau Utara Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan
Utara. Jurnal Renaissance. 2(2):224-241.
Papilaya EC. 2013. 7 Kiat Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pemiskin Bangsa. IPB
Press. Bogor.
Pasaribu E. 2015. Dampak Spillover dan Multipolaritas Pengembangan Wilayah Pusat-Pusat
Pertumbuhan di Kalimantan [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[Pemerintah RI] Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Jakarta (ID): Pemerintah
RI.
Permatasari N, Priyarsono DS, Rifin A. 2016. Perencanaan Pembangunan Ekonomi Wilayah
Berbasis Pertanian dalam Rangka Pengurangan Kemiskinan di Kalimantan Barat. Jurnal
Agribisnis Indonesia. 4(1):27-42.
Qomariyah N. 2016. Dampak Transfer Fiskal terhadap Belanja Modal dan Pembangunan
Ekonomi di Indonesia: Analisis Data Provinsi [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Ravallion M. 1998. Poverty Lines in Theory and Practice: Living Standards Measurement
Study. Working Paper, No.133. Washingkton DC (USA): The World Bank.
Risnarto. 2006. Dampak Sertifikasi Tanah Terhadap Pasar Tanah dan Kepemilikan Tanah
Skala Kecil [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah.
Jakarta: Crestpen Pres dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Sajogyo. 1987. Ekologi Pedesaan, Sebuah Bunga Rampai. Jakarta (ID): Rajawali Pres.
Sakti DC, Berachim B. 2016. Pengaruh Output Sektor Pertanian, Industri Pengolahan dan
Perdagangan Terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Propinsi Jawa Timur (Tahun 2005–
2013). Jurnal Ekonomi dan Bisnis. 26(2): 113-124.
Sari ACDM. 2012. Pengaruh Kepemilikan Aset, Pendidikan, Pekerjaan Dan Jumlah
Tanggungan Terhadap Kemiskinan Rumah Tangga Di Kecamatan Bonang Kabupaten
Demak [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.
Sari IM, Abdullah MF. 2017. Analisis Ekonomi Kebijakan Dana Desa terhadap Kemiskinan
Desa di Kabupaten Tulungagung. Jurnal Ekonomi Pembangunan. 15(1):34-49.
Sari RN, Ribawanto H, Said M. 2015. Pengelolaan Alokasi Dana Desa dalam Perspektif
Pemberdayaan Masyarakat (Studi pada Kantor Pemerintahan Desa Ngasem, Kecamatan
Ngasem, Kabupaten Kediri). Jurnal Administrasi Publik (JAP). 3(11):1880-1885.
Setianingsih I. 2016. Kontribusi Dana Desa dalam Menurunkan Angka Kemiskinan di
Kabupaten Melawi. Jurnal Ekonomi Daerah (JEDA). 1(3): 1-7.
Simamora PA, Ratnasari V. 2014. Pemodelan Persentase Kriminalitas dan Faktor- Faktor yang
Mempengaruhi di Jawa Timur dengan Pendekatan Geographically Weighted Regression
(GWR). Jurnal Sains dan Seni Pomits. 3(1):D18-D23.
Simatupang P, Syafaat N, Noekman KM, Syam A, Dermoredjo SK, Santoso B. 2000.
Kelayakan Pertanian sebagai Sektor Andalan Pembangunan Ekonomi Nasional. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Siswandarin GA, Ismono H, Santoso H. 2013. Pengaruh Sertifikasi Tanah UKM terhadap
Pendapatan Rumah Tangga Peternak Penggemukan Sapi di Desa Rajabasa Lama 1
Kecamatan Labuhan Ratu Kabupaten Lampung Timur. Jurnal Ilmu-Ilmu Agribisnis.
1(4): 319-325.
Sitorus SRP. 2015. Evaluasi Lahan dan Perencanaan Penggunaan Lahan, Landasan Ilmiah
Penataan Ruang dan Penggunaan Lahan Wilayah. Orasi
Ilmiah Guru Besar IPB; 2015 Agust 29; Kampus IPB Dramaga, Bogor. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Sitorus SRP. 2014. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Bogor (ID):
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Sudaryanto T, Susilowati SH, Sumaryanto S. 2009. Increasing Number of Small Farms In
Indonesia: Causes and Consequences. 111th EAAE Seminar 2009 Jun 26-27.
Canterbury,UK.
Susila AR. 2011. Analisis Sebaran Kemiskinan dan Faktor Penyebab Kemiskinan di Kabupaten
Lebak [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Syafitri UD, Bagus S, Salamatuttanzil. 2008. Pengujian Autokorelasi terhadap Sisaan Model
Spatial Logistic. Makalah Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika di
Universitas Negeri Yogyakarta.
[TNP2K] Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Data Indikator Basis
Data Terpadu [Internet]. Tersedia
pada: http://www.tnp2k.go.id/id/data-indikator/basis-data-
terpadu-1.
Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Edisi Kesembilan. Jakarta: Erlangga.
[WB] World Bank. 2007. Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia.
Indopov. The World Bank. Jakarta.
[UU] Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. [UU]
Undang–Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Dana Desa..
Wahyuni RNT, Damayanti A. 2014. Faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan di Provinsi
Papua: analisis spasial heterogenity. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia.
14(2):128-144.
Wuryandari T, Hoyyi A, Kusumawardani DS, Rahmawati D. 2014. Identifikasi Autokorelasi
Spasial pada Jumlah Pengangguran di Jawa Tengah menggunakan Indeks Moran. Jurnal
Medstat. 7(10):1-10.
Yudha EP. 2017. Implementasi Pengelolaan Keuangan Desa dan Pengaruhnya terhadap
Kinerja Pembangunan Perdesaan: Studi Kasus Kabupaten Pandeglang-Banten
[disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Yudhoyono, SB. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan sebagai Upaya Mengatasi
Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi-Politik Kebijakan Fiskal [disertasi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Yustika AE. 2003. Negara Vs Kaum Miskin. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar.
105

Lampiran 6 Koefisien variabel hasil GWR

Anda mungkin juga menyukai