RINGKASAN
Permasalahan kemiskinan masih merupakan isu strategis di Kabupaten Mamuju Provinsi
Sulawesi Barat. Tingkat kemiskinan pada tahun 2015 sebesar 6.7%, tetapi laju penurunannya
setiap tahun masih sangat lambat. Meskipun merupakan ibukota provinsi, sebagian besar
wilayah Kabupaten Mamuju merupakan wilayah perdesaan, bahkan memiliki luasan kawasan
hutan mencapai 76%. Sektor basis perekonomian adalah pertanian dengan kontribusinya dalam
struktur PDRB tahun 2015 sebesar 36.4% dan persentase angkatan kerja di sektor pertanian
sebesar 59.1%.
Salah satu karakteristik kemiskinan di Indonesia adalah di daerah perdesaan dimana
sebagian besar penduduknya adalah petani. Memahami hubungan antara kemiskinan dengan
faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah penting untuk menentukan kebijakan yang tepat.
Penelitian ini bertujuan menganalisis pola spasial kemiskinan dan kaitannya dengan faktor-
faktor yang mempengaruhinya secara spasial dan spesifik lokasi.
Penelitian ini menggunakan data cross section tahun 2015 dari 97 desa/kelurahan. Data
yang digunakan adalah data tingkat kemiskinan, sertifikasi tanah, penggunaan lahan pertanian,
tenaga kerja di sektor industri, jarak ke ibukota dan dana desa . Analisis spasial kemiskinan
dilakukan dengan pendekatan Indeks Moran untuk mengetahui pola spasial kemiskinan.
Analisis keterkaitan antara tingkat kemiskinan setiap desa/kelurahan dengan faktor yang
diduga mempengaruhinya menggunakan pendekatan Geographically Weighted Regression
(GWR).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase penggunaan lahan pertanian pada tahun
2015 adalah lahan kebun/perkebunan (15.57%), sawah (2.11%), tegalan/ladang (3.30%) dan
tambak (0.82%). Hasil analisis sertifikasi tanah menunjukkan bahwa persentase luas lahan
yang telah bersertifikat di setiap desa/kelurahan cukup bervariasi, tetapi sebagian besar masih
di bawah 10%. Hasil analisis spasial kemiskinan menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan
desa/kelurahan di Kabupaten Mamuju bervariasi dan polanya bersifat mengelompok
(clustered). Hasil analisis GWR menunjukkan bahwa faktor jumlah sertifikat tanah, persentase
luas penggunaan lahan perkebunan, lahan sawah, persentase luas lahan tambak, persentase luas
lahan tegalan/ladang, persentase tenaga kerja di sektor industri mikro dan kecil, jarak ke
ibukota dan dana desa terbukti berpengaruh signifikan secara bervariasi terhadap tingkat
kemiskinan desa/kelurahan.
Implikasi kebijakan yang dapat mengurangi kemiskinan adalah penerapan kebijakan
yang bersifat spesifik lokasi desa/kelurahan melalui peningkatan jumlah sertifikasi tanah,
peningkatan luas lahan perkebunan/kebun, lahan tambak, lahan tegalan, peningkatan tenaga
kerja di sektor industri mikro kecil, peningkatan dana desa, perbaikan dan pembangunan
insfrastruktur jalan.
Latar Belakang
Permasalahan kemiskinan masih merupakan isu strategis di Kabupaten Mamuju Provinsi
Sulawesi Barat. Angka kemiskinan Kabupaten Mamuju pada Tahun 2015 tercatat sebesar
6.7%, tetapi laju penurunan angka kemiskinan masih sangat lambat. Persentase penduduk
miskin dari tahun 2011 hingga tahun 2015 secara berturut-turut 7.59%, 7.11%, 6.81%, 6.72%
dan 6.7% (BPS Kab Mamuju 2017b).. Angka gini rasio juga menunjukkan laju penurunan yang
tidak konsisten, dimana pada tahun 2015 justru mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya.
Angka gini rasio Kabupaten Mamuju secara berturut-turut dari tahun 2011 hingga tahun 2015
adalah 0.42, 0.36, 0.35, 0.33 dan 0.36 (BPS Kab Mamuju 2017b).
Seperti halnya kemiskinan di daerah lain bahwa konsentrasi penduduk miskin terdapat
pada daerah dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) rendah. Pendapatan perkapita
penduduk Kabupaten Mamuju hanya sebesar 30.93 juta, masih jauh di bawah rata-rata
pendapatan perkapita penduduk Indonesia yang mencapai 45.2 juta (BPS Prov.Sulbar 2016a).
Rendahnya pendapatan perkapita penduduk tersebut merupakan indikasi masih rendahnya
tingkat kesejahteraan penduduk Kabupaten Mamuju.
Sektor utama penggerak pertumbuhan perekonomian di Kabupaten Mamuju adalah
sektor pertanian, kehutanan dan perikanan. Hal ini nampak pada kinerja kategori ini di
sepanjang tahun 2015 yang sangat dominan dibandingkan sektor lainnya. Pada tahun 2015,
kategori pertanian, kehutanan dan perikanan memberikan kontribusi sebesar 36.40% dalam
perekonomian Provinsi Sulawesi Barat (BPS Kab.Mamuju 2016b).
Kemiskinan di Kabupaten Mamuju terus diupayakan untuk ditanggulangi dan merupakan
salah satu prioritas perhatian pemerintah. Berbagai program penanggulangan kemiskinan telah
dilaksanakan pemerintah melalui program di berbagai kementerian dan lembaga, tetapi
permasalahan kemiskinan ini masih sulit teratasi. Upaya penanggulangan kemiskinan
sepertinya tidak cukup hanya dengan kebijakan-kebijakan yang bersifat umum dan melalui
pendekatan sektoral yang selama ini dilaksanakan. Pendekatan spasial dan lokalitas diperlukan
untuk mengetahui sampai ke akar permasalahan sehingga solusi dan program kerja
penanggulangan kemiskinan dapat disesuaikan dengan karakteristik daerah tersebut. Penelitian
yang dilakukan oleh Nashwari (2016) dalam menganalisis kemiskinan petani tanaman pangan
di Provinsi Jambi dan Jawa Barat menyimpulkan bahwa unit analisis yang lebih kecil
(kecamatan) terbukti lebih sensitif dan mampu menangkap keragaman lebih spesifik daripada
unit yang lebih besar (kabupaten). Dengan pendekatan yang sama, upaya mengatasi kemiskinan
di Kabupaten Mamuju akan dianalisis dengan memilih wilayah yang lebih kecil yaitu
Kabupaten dengan unit analisisnya desa dan kelurahan.
Kabupaten Mamuju dipilih sebagai lokasi penelitian karena memiliki karakteristik yang
unik. Meskipun merupakan ibukota provinsi, sebagian besar wilayah Kabupaten Mamuju
terdiri dari wilayah perdesaan dan sebagian besar merupakan kawasan hutan. Besarnya
kontribusi sektor pertanian (dalam arti luas
termasuk kehutanan dan perikanan) menegaskan bahwa sektor pertanian merupakan sektor
penting dalam perekonomian. Sektor industri di Kabupaten Mamuju hanya berkontribusi
sebesar 3.32% dalam struktur PDRB. Jika dilihat dari angkatan kerja yang dapat terserap di
pasar kerja, angkatan kerja terserap pada semua kategori ekonomi dengan persebaran yang
cukup bervariasi, tetapi sektor pertanian merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja
terbesar di Kabupaten Mamuju yaitu mencapai 59.10% (BPS Kab.Mamuju 2016b).
Secara geografis Kabupaten Mamuju merupakan wilayah dengan topografi yang
berbukit-bukit dan hanya sebagian kecil wilayah dengan topografi datar. Sebagian besar
wilayahnya juga masih merupakan kawasan hutan. Menurut data dari Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi Sulawesi Barat (Kanwil BPN Sulbar), Kawasan Hutan dan
konservasi mencakup sekitar 76% wilayah Kabupaten Mamuju (Kanwil BPN Prov Sulawesi
Barat 2016). Akses antar wilayah juga terbatas pada satu jalur penghubung utama tanpa adanya
jalan lain sebagai alternatif. Secara umum keadaan wilayah geografis dan akses jalan dapat
diindikasikan sebagai faktor penghambat perkembangan perekonomian dan berpengaruh
terhadap kemiskinan.
Program pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan diharapkan sejalan dengan visi
Pemerintah yang tertuang dalam salah satu dari sembilan agenda prioritas (NAWACITA),
yaitu “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa
dalam rangka negara kesatuan”. Upaya penanganan kemiskinan oleh pemerintah saat ini
diharapkan dimulai dari daerah- daerah pinggiran dan pedesaan dengan memperkuat basis-
basis perekonomian masyarakat pedesaan. Program pemerintah yang sudah dan sedang
berjalan melalui kementerian-kementerian untuk mendukung visi Pemerintah saat ini di
antaranya Program Percepatan Legalisasi Aset Tanah dan Program Dana Desa.
Program Percepatan Legalisasi Aset, yaitu program percepatan pensertifikatan tanah
dengan strategi dari daerah pinggiran, dilaksanakan melalui Proyek Nasional Agraria (Prona),
Redistribusi Tanah serta Sertifikasi Tanah Lintas Sektor. Kantor Pertanahan Kabupaten
Mamuju tercatat dari tahun 2010 hingga tahun 2016 telah melaksanakan Program Percepatan
Legalisasi Aset sebanyak 38,069 sertifikat. Sertifikasi tanah merupakan salah satu upaya
pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat golongan ekonomi lemah
sampai dengan menengah. Hal ini sebagai wujud pelaksanaan tugas pemerintahan di bidang
pertanahan dalam mendorong tumbuhnya sumber– sumber ekonomi masyarakat. Tanah milik
yang telah bersertifikat selanjutnya diharapkan dimanfaatkan sebagai penguatan modal usaha,
sehingga dapat berkontribusi nyata dalam peningkatan kesejahteraan.
Program Dana Desa dilakukan dalam mempercepat pembangunan desa dengan
memperkuat sisi anggarannya. Pengalokasian Dana Desa dilakukan dengan menggunakan
alokasi yang dibagi secara merata dan alokasi yang dibagi berdasarkan jumlah penduduk, luas
wilayah, angka kemiskinan, dan tingkat kesulitan geografis. Dana Desa digulirkan oleh
Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia
serta penanggulangan kemiskinan, pemanfaatan potensi lokal desa dan juga pelayanan publik
untuk masyarakat desa. Tahun 2015, Kabupaten Mamuju mendapat kucuran Dana Desa sebesar
24.9 milyar rupiah yang telah dibagikan kepada 88 desa, dengan rata-rata sebesar 257 juta
rupiah untuk setiap desa.
Rumusan Masalah
Gambar 1 Persentase realisasi program sertipikasi tanah Tahun 2010-2016 per kecamatan di
Kabupaten Mamuju
Sumber: Kantor Pertanahan Kabupaten Mamuju (diolah 2017)
Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa pelaksanaan program Legalisasi Aset belum merata
untuk wilayah Kabupaten Mamuju. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap upaya pemerintah
dalam mengatasi kemiskinan. Untuk itu diperlukan adanya penelitian untuk melihat kondisi
secara spasial persentase daerah yang telah bersertifikat dan lokasi yang memiliki pengaruh
sertifikat terbesar terhadap kemiskinan sehingga dapat digunakan sebagai sumber acuan bagi
Kantor Pertanahan dalam penentuan lokasi yang paling tepat untuk pelaksanaan program
sertifikasi di tahun berikutnya.
Selain dari faktor penggunaan lahan pertanian dan sertifikasi tanah, faktor lainnya seperti
faktor geografis yang diwakili oleh akses jarak ke ibukota kabupaten, pengaruh sektor industri
rumah tangga/industri kecil, serta program dana desa yang baru berjalan di Tahun 2015 juga
akan dilihat pengaruhnya terhadap kemiskinan di desa/kelurahan. Setelah semua faktor
dianalisis dan diketahui pengaruhnya terhadap kemiskinan, informasi yang dihasilkan
diharapkan dapat menjadi acuan kebijakan dalam upaya pengentasan kemiskinan.
Maka dari beberapa masalah di atas, dapat disusun dan diidentifikasi masalah penelitian
sebagai berikut :
1. Bagaimana penggunaan lahan pertanian dan sertifikasi tanah di Kabupaten Mamuju
Tahun 2015?
2. Bagaimana pola spasial kemiskinan di Kabupaten Mamuju tahun 2015?
3. Bagaimana kaitan sertifikasi tanah, penggunaan lahan pertanian dan faktor lain yang
diindikasikan berpengaruh terhadap kemiskinan secara spesifik lokasi desa/kelurahan?
4. Kebijakan apa yang tepat dalam upaya mengurangi kemiskinan di Kabupaten Mamuju?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk
menjawab masalah penelitian tersebut di atas, yaitu:
1. Menganalisis penggunaan lahan pertanian dan sertifikasi tanah Tahun 2015.
2. Menganalisis pola spasial kemiskinan di Kabupaten Mamuju Tahun 2015.
3. Menganalisis kaitan sertifikasi tanah, penggunaan lahan pertanian dan faktor lain yang
diindikasikan berpengaruh terhadap kemiskinan secara spesifik lokasi desa/kelurahan
4. Menyusun alternatif kebijakan untuk pengurangan kemiskinan di Kabupaten Mamuju
dan dikaitkan dengan usulan perencanaan dan program pembangunan daerah
Penelitian ini berfokus pada melihat keterkaitan sertifikasi tanah, penggunaan lahan
pertanian dan faktor lainnya yang diindikasikan berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan
desa/kelurahan. Data tingkat kemiskinan desa/kelurahan merupakan data tingkat kesejahteraan
dari TNP2K yang disesuaikan dengan data publikasi BPS.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Kemiskinan
Kaitan Dana Desa, Akses dan Jarak serta Sektor Industri Mikro dan Kecil dengan
Kemiskinan
Analisis Spasial
Data spasial adalah sebuah data berorientasi geografis dan memiliki sistem koordinat
tertentu sebagai dasar referensinya (Nuarsa 2005). Analisis spasial adalah analisis yang
berhubungan dengan pengaruh aspek lokasi atau keregionalan. Adanya aspek spasial dalam
penelitian akan memberikan informasi bahwa pengaruh kemiskinan di masing-masing wilayah
bisa saja berbeda-beda karena adanya pengaruh faktor lokasi dan hubungan ketetanggaan
wilayah. Kemiskinan yang terjadi sebagian besar terkonsentrasi secara spasial dan seringkali
ditemukan di daerah yang terpencil, jauh dari pusat kota sulit dijangkau, dengan kondisi
geografis yang tidak menguntungkan (Minot et al. 2006).
Anselin (1988) menyatakan bahwa spatial econometric berhubungan dengan kasus
keregionalan dan ekonomi perdesaan yang didasarkan pada fenomena biologi dan geologi,
serta kasus regional science. Metode spatial econometric tersebut diaplikasikan untuk
mendapatkan spesifikasi model, estimasi, uji hipotesis dan prediksi untuk pemodelan di
regional space. Metode ini digunakan ketika ditemukan adanya efek spasial, yaitu dependensi
dan heterogenitas spasial. Kedua efek spasial ini ditemukan pada data yang berupa unit spasial,
yaitu berupa lokasi-lokasi. Dependensi spasial merujuk pada adanya hubungan
(ketergantungan) pada suatu karakteristik yang terjadi antara lokasi satu dengan lainnya.
Juanda (2009) menyatakan bahwa autokorelasi dapat juga terjadi dalam data Cross Section.
Untuk data cross section dengan objek pengamatan kecamatan misalnya, biasanya kita sebut
autokorelasi spasial (spatial autocorrelation). Seringkali antar kecamatan yang berdekatan
mempunyai karakteristik atau indikator yang mirip. Jadi terjadi korelasi dalam ruang atau
tempat, bukan korelasi antara data suatu waktu ke waktu lainnya.
Untuk pengukuran autokorelasi spasial dapat dihitung menggunakan Indeks Moran
dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan :
I = Indeks Moran
N = Banyak lokasi kejadian (jumlah desa/kelurahan)
xi = Nilai pada lokasi desa i (persentase kemiskinan desa/kelurahan ke-i)
xj = Nilai pada lokasi desa j (persentase kemiskinan desa/kelurahan ke-j)
= Nilai rata–rata dari persentase kemiskinan desa/kelurahan dari n lokasi
wij = Elemen pada pembobot terstandarisasi antara desa/kelurahan i dan j
Dalam autokorelasi spasial terdapat 3 pengelompokan (Arlinghaus 1996),
yaitu:
1. Autokorelasi spasial positif, yaitu apabila diindikasikan terdapat kesamaan nilai dalam
suatu wilayah yang mengelompok atau mempunyai hubungan spasial yang sama.
2. Autokorelasi spasial negatif, yaitu jika di dalam kelompok yang berdekatan atau
berhubungan secara spasial memiliki nilai yang berbeda.
3. Tidak ada autokorelasi spasial, jika pola dari nilai menyebar secara acak.
Pada kasus kemiskinan, dependensi memiliki arti bahwa kemiskinan pada satu lokasi
akan mempengaruhi kemiskinan pada lokasi lain, khususnya pada lokasi yang saling
berdekatan. Sedangkan heterogenitas spasial muncul karena adanya perbedaan antara satu
lokasi dengan lokasi yang lainnya yang berimplikasi pada munculnya parameter pemodelan
yang berbeda di setiap lokasi. Pada kasus kemiskinan, heterogenitas spasial memiliki arti
bahwa karakteristik kemiskinan dan keragaman faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah
berbeda antar lokasi.
Menurut Rustiadi et al. (2009) analisis spasial berkembang seiring dengan perkembangan
geografi kuantitatif dan ilmu wilayah (regional science) pada awal tahun 1960-an. Analisis
spasial secara kuantitatif tidak hanya mencakup statistika spasial. Terdapat dua kajian studi
yang bisa dibedakan, yaitu: (1) analisis statistik data spasial: kajian-kajian untuk menemukan
metode-metode dan kerangka analisis guna memodelkan efek spasial dan proses spasial; dan
(2) pemodelan spasial: pemodelan deterministic atau stokastik untuk memodelkan kebijakan
lingkungan, lokasi-lokasi, interaksi spasial, pilihan spasial dan ekonomi regional.
Pemodelan spasial digunakan untuk tiga tujuan (Fischer et al. 1996), yakni:
(1) peramalan dan penyusunan skenario; (2) analisis dampak terhadap kebijakan; dan (3)
penyusunan kebijakan dan desain. Berdasarkan tipe data, pemodelan spasial dapat dibedakan
menjadi pemodelan dengan pendekatan titik dan area. Jenis pendekatan titik diantaranya
Geographically Weighted Regression (GWR), Geographically Weighted Poisson Regression
(GWPR), Space-Time Autoregressive (STAR), dan Generalized Space TimeAuotregressive
(GSTAR).
Model GWR adalah suatu model regresi global yang diubah menjadi model regresi yang
terboboti. Setiap nilai parameter model dihitung pada setiap titik lokasi geografis sehingga
setiap titik lokasi geografis mempunyai nilai parameter regresi yang berbeda-beda. Dengan
demikian hubungan antar variabel di setiap lokasi dapat diidentifikasi. Fotheringham et al.
(2002) menyatakan bahwa kelebihan metode ini juga dapat dilihat dari bentuk eksplorasinya,
yaitu dapat menginterpretasikan hubungan melalui pemetaan. GWR juga menghasilkan variasi
parameter model yang lebih informatif. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Nadya et al
(2017), Agustina (2015), serta Simamora dan Ratnasari (2014) menunjukkan bahwa model
GWR lebih baik daripada model regresi linear berganda untuk mengatasi data yang memiliki
keragaman wilayah/heterogenitas spasial.
Analisis spasial mengarah pada berbagai operasi dan konsep termasuk perhitungan
sederhana, klasifikasi, penataan, tumpang susun geometris dan permodelan kartografis.
Analisis spasial terdiri dari tiga kelompok yaitu visualisasi dimana lebih menginformasikan
hasil analisis spasial, eksplorasi lebih menunjukkan pengolahan data spasial dengan statistika,
sedangkan permodelan adalah sumber data spasial dan data non spasial untuk memprediksi
pola spasial.
Penelitian Terdahulu
Analisis kemiskinan, penggunaan lahan dan sertifikasi tanah telah menjadi topik kajian
penelitian menggunakan berbagai analisis dan metode dengan wilayah penelitian yang
berbeda-beda. Beberapa kajian penelitian terkait kemiskinan, penggunaan lahan, sertifikasi
tanah dan penelitian terkait analisis spasial disajikan pada Tabel 1.
Hasil penelitian Susila (2011) menunjukkan bahwa dari hasil analisis visual spasial
deskriptif dan autokorelasi spasial (dengan Indeks Geary dan Moran) terlihat bahwa sebaran
spasial persentase penduduk miskin dan kepadatan penduduk miskin cenderung membentuk
pola mengelompok (kantong kemiskinan). Hasil analisis menyimpulkan bahwa program
pengentasan kemiskinan yang diambil oleh pemerintah belum menekankan pada strategi
penanganan yang bersifat kewilayahan, dimana ditemukan desa-desa yang seharusnya menjadi
prioritas kebijakan berdasarkan kelas klasifikasi prioritas, belum menjadi prioritas kebijakan.
Sudaryanto et al. (2009) melakukan studi mengenai kemiskinan petani. Hasil studi
menunjukkan bahwa meningkatnya jumlah petani kecil dengan kepemilikan lahan kurang dari
0,5 hektar dan konversi lahan ke penggunaan non pertanian telah terjadi di Pulau Jawa
Indonesia sejak 1993 hingga 2003, yang disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya tekanan
penduduk yang tinggi, terbatasnya lapangan kerja nonpertanian dan praktik tradisional warisan
tanah. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kebijakan yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan pendapatan rumah tangga di daerah perdesaan adalah dengan meningkatkan
akses terhadap sumber daya lahan serta dengan menggiatkan kegiatan off-farm dan pekerjaan
non pertanian lain.
Adetayo (2014) melakukan penelitian di Nigeria tentang status kemiskinan rumah tangga
petani. Hasil penelitian menemukan bahwa faktor yang mempengaruhi kemiskinan petani
adalah pendidikan kepala rumah tangga dan akses kredit. Kemiskinan diperburuk lagi oleh pola
pembangunan yang lebih dilakukan di sektor-sektor modern perkotaan sehingga merugikan
sektor perdesaan tradisional.
Tabel 1 Topik penelitian terkait kemiskinan, penggunaan lahan, sertifikasi dan analisis pasial
No Peneliti Judul Penelitian
1 Susila (2011) Analisis Sebaran Kemiskinan dan Faktor Penyebab
Kemiskinan di Kabupaten Lebak
2 Sudaryanto Increasing Number of Small Farms In Indonesia: Causes and
(2009) Consequences.
3 Adetayo (2014) Analysis of Farm Households Poverty Status in Ogun States,
Nigeria
4 Permatasari et al. Perencanaan Pembangunan Ekonomi Wilayah Berbasis
(2016) Pertanian dalam Rangka Pengurangan Kemiskinan di
Kalimantan Barat
5 Heryanti (2014) Interaksi Spasial Perekonomian dan Ketenagakerjaan antar
Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi
6 Pasaribu (2015) Dampak Spillover dan Multipolaritas Pengembangan
Wilayah Pusat-Pusat.
7 Nashwari (2016) Analisis Kemiskinan Petani Tanaman Pangan di Provinsi jambi
dan Jawa Barat menggunakan Geographically
Weighted Regression
8 Miranti et al. Modeling of Malaria Prevalence in Indonesia with
(2015) Geographically Weighted Regression
9 Dziauddin dan Use of Geographically Weighted Regression (GWR) Method to
Idris (2017) Estimate the Effect of Location Attributes on the
Residential Property Values
10 Octaviana et Pemodelan Data Kemiskinan di Provinsi Bengkulu dengan
al.(2016) Metode Geographically Weighted Regression dan Ordinary
Least Square.Jurnal Statistika Industri dan Komputasi
11 Mahpud (2016) Faktor-Faktor yang mempengaruhi kesediaan nelayan untuk
mengagunkan sertifikat hak atas tanah dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan
12 Mesman (2008) Analisis Pengaruh Sertipikat Hak Atas Tanah Terhadap
Kinerja Ekonomi Pengusaha Mikro dan Kecil di Kabupaten
Konawe Selatan
13 Risnarto (2006) Dampak Sertifikasi Tanah Terhadap Pasar Tanah dan
Kepemilikan Tanah Skala Kecil
14 Kurnianti (2015) Proyeksi Penggunaan Lahan untuk Konsistensi Tata Ruang di
Kawasan Jabodetabek
15 Sari (2012) Pengaruh Kepemilikan Aset, Pendidikan, Pekerjaan Dan Jumlah
Tanggungan Terhadap Kemiskinan Rumah Tangga
Di Kecamatan Bonang Kabupaten Demak
Berdasarkan latar belakang dan tinjauan literatur yang telah dilakukan, dapat disusun
hipotesis penelitian sebagai berikut :
1. Penyebaran kemiskinan di Kabupaten Mamuju dipengaruhi oleh faktor
geografis/lokasional dan penggunaan lahan pertanian.
2. Pertanian sebagai sektor yang berkontribusi terbesar terhadap perekonomian Kabupaten
Mamuju, akan mempengaruhi tingkat kemiskinan wilayah melalui penggunaan lahan
pertanian, yaitu: (a) Semakin luas lahan pertanian sawah maka kemiskinan akan semakin
rendah; (b) Semakin luas penggunaan lahan untuk kebun/perkebunan, maka diduga
kemiskinan akan semakin rendah; (c) Semakin luas penggunaan lahan untuk
tegalan/ladang, maka diduga kemiskinan akan semakin rendah; dan (d) Semakin luas
penggunaan lahan untuk tambak, diduga kemiskinan akan semakin rendah.
3. Program strategis pemerintah di Kabupaten Mamuju, yaitu (a) Program Sertifikasi
Tanah; (b) Dana Desa; akan berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Peningkatan
program sertifikasi tanah dan dana desa, diduga kemiskinan akan semakin berkurang.
4. Faktor geografis wilayah yang diwakili oleh lokasi desa (jarak desa/kelurahan ke ibukota
kabupaten), berpengaruh pada tingkat kemiskinan desa/kelurahan. Semakin jauh lokasi
desa/kelurahan dari ibukota kabupaten, diduga tingkat kemiskinan akan semakin tinggi.
5. Faktor lainnya, yaitu sektor industri mikro dan kecil juga diperkirakan berpengaruh
terhadap tingkat kemiskinan di desa/kelurahan. Desa yang memiliki persentase tenaga
kerja di sektor industri mikro dan kecil yang tinggi di suatu desa/kelurahan, diduga
tingkat kemiskinannya akan semakin kecil.
3 METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Mengetahui Sebaran
Kemiskinan
melalui pendekatan sektoral dan bersifat umum tanpa mempertimbangkan aspek kebutuhan
secara spesifik masing-masing wilayah sehingga hasilnya kurang optimal.
UPAYA MEREDUKSI KEMISKINAN
Kemiskinan dan Pola
Penelitian dilakukan mulai bulan April 2017 sampai dengan Desember 2017.
Lokasi penelitian yaitu di Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat (Gambar 3).
Kabupaten Mamuju terdiri dari 11 kecamatan dan 99 desa/kelurahan, tetapi dalam
penelitian ini analisis hanya dilakukan terhadap 97 desa/kelurahan, terdiri dari 85
desa dan 11 kelurahan. Dua desa tidak termasuk dalam penelitian ini karena belum
tersedianya peta administratif wilayah dari pemerintah daerah. Dua desa tersebut
adalah Desa Balabalakang dan Desa Balabalakang Timur yang berada di
Kecamatan Balabalakang yang merupakan wilayah kepulauan. Secara geografis
Kabupaten Mamuju terletak pada 1038’110”–2054’552” Lintang Selatan dan
118045’17”–119051’87” Bujur Timur.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder tahun 2015
meliputi: data kemiskinan, peta administrasi wilayah, peta penggunaan lahan, data
gambaran umum wilayah dan potensi desa, data sertifikat tanah dan data dana desa
yang diperoleh dari berbagai instansi sebagaimana yang terinci pada Tabel 2.
Penelitian ini juga didukung oleh data literatur dari berbagai sumber seperti
perpustakaan dan internet. Jenis dan sumber data sekunder yang digunakan dalam
penelitian disajikan pada Tabel 2.
24
Tabel 3 Matriks tujuan, jenis data, teknik analisis dan output penelitian
Teknik
No. Tujuan Jenis Data Output
Analisis
1 Menganalisis pola Peta Batas Analisis a) Luas penggunaan
penggunaan lahan Administrasi tumpang susun lahan setiap
pertanian di Desa/Kelurahan (overlay) desa/kelurahan
wilayah Kab. Kab. Mamuju
Mamuju Tahun Peta Penggunaan Analisis
2015 Tanah Tahun deskriptif b) Peta persentase luas
2015 berdasarkan lahan bersertifikat
Menganalisis Data jumlah dan pemetaan terhadap luas desa
kepemilikan luas sertifikat tematik luas non hutan
sertifikat tanah di terdaftar lahan
Kab. Mamuju Peta Kawasan bersertifikat
Hutan
2 Menganalisis pola Data persentase Indeks Moran a) Identifikasi adanya
spasial kemiskinan kemiskinan dari Global autokorelasi
di Kabupaten BDT PPFM yang kemiskinan
Mamuju Tahun diproksi dari data Indeks Moran b) Peta
2015 tingkat Lokal Anselin pengelompokan
kemiskinan BPS wilayah desa yang
memiliki kemiripan
tingkat kemiskinan
Analisis c) Peta sebaran
Deskriptif tingkat kemiskinan
berbasis desa/kelurahan
Pemetaan
Kemiskinan
3 Menganalisis kaitan Data persentase Regresi a) Koefisien regresi
sertifikasi tanah, kemiskinan tiap Terboboti pengaruh variabel
penggunaan lahan desa/kelurahan Spasial (GWR) terhadap
pertanian dan faktor Data variabel kemiskinan secara
lainnya yang yang spesifik
diindikasikan diindikasikan desa/kelurahan
berpengaruh berpengaruh Uji b) Variabel signifikan
terhadap Output 3a Signifikansi yang berpengaruh
kemiskinan secara pada taraf terhadap
spesifik lokasi di nyata 0.05 kemiskinan
Kab.Mamuju c) Pemetaan variabel
signifikan
4 Menyusun alternatif Output 2b, 2c, 3a Analisis Kebijakan mereduksi
kebijakan untuk 3b dan 3c deskriptif kemiskinan
pengurangan
kemiskinan di
Kabupaten Mamuju
dan dikaitkan
dengan perencanaan
dan program
pembangunan
daerah
26
Data Luas
Data penggunaan Kawasan Data Dana Desa,
lahan pertanian Hutan setiap Data jumlah jumlah penduduk,
Analisis Deskriptif RT, tenaga kerja
setiap desa/ desa/ kelurahan berdasarkan sertifikat
kelurahan setiap desa/ sektor industri,
Pemetaan Tematik jarak ke ibukota
Sertifikasi Tanah kelurahan
Analisis Autokorelasi
Spasial Analisis spasial GWR dengan
Indeks Moran Global (tool
pembobot fixed Kernel
Spatial Autocorrelation dari
yi = β0 (ui,vi) + ∑ βk (ui,vi)xik + εi,
software ArcGis 10.2.1
k=1
Analisis ini disebut dengan analisis keterkaitan atau pola spasial (Analyzing Pattern) dengan
menggunakan Indeks Moran yang menunjukkan keterkaitan wilayah dengan wilayah lain
sekitarnya. Nilai yang dihasilkan dalam perhitungan Indeks Moran berkisar antara -1 dan 1.
Nilai ini biasanya dinyatakan dengan:
I0 = -1/(n – 1) mendekati nol berarti tidak ada autokorelasi spasial. Nilai variabel terdistribusi
secara random.
I > I0 berarti terdapat autokorelasi spasial positif dengan membentuk suatu pola data yang
mengelompok (cluster).
I < I0 berarti terdapat autokorelasi spasial negatif yang menunjukkan pola data menyebar
(dispered).
Analisis Kaitan Sertifikasi Tanah, Penggunaan Lahan Pertanian dan Faktor lain yang
diindikasikan berpengaruh terhadap Kemiskinan
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Kabupaten Mamuju
menggunakan model GWR Kemudian untuk setiap variabel X yang digunakan dalam GWR
dilakukan uji signifikansi pada taraf nyata 0.05 untuk melihat adanya pengaruh dari masing-
masing variabel tersebut terhadap kemiskinan di tingkat lokal desa/kelurahan.
desa/kelurahan
Model GWR merupakan metode statistika yang umumnya digunakan untuk analisis
heterogenitas spasial, dimana maksudnya apabila satu variabel bebas yang sama memberikan
respon yang tidak sama pada lokasi yang berbeda dalam satu wilayah yang akan diteliti.
Hasilnya yaitu suatu penaksir parameter model yang bersifat lokal untuk setiap titik atau lokasi
dimana data tersebut diamati. Berikut ini model GWR secara umum yaitu:
yi = β0 (ui,vi) + ∑ βk (ui,vi)xik + εi,
k=1
Dengan:
yi :Variabel dependent pada lokasi ke-i (i=1,2,…,n)
xik :nilai observasi variabel prediktor ke- k pada lokasi
pengamatan ke-i
β0 :konstanta/intercept
(ui, vi) :koordinat letak geografis (longitude, latitude) dari lokasi
pengamatan ke- i
βk :nilai observasi variabel prediktor ke- k pada lokasi
pengamatan ke-i
εi :error pengamatan ke-i yang diasumsikan identik,
independent dan berdistribusi normal dengan mean nol dan
varian konstan α2
Secara khusus berdasarkan variabel independent yang ada seperti jumlah sertifikat, luas
lahan sawah, luas perkebunan, luas ladang/tegalan, luas tambak, jarak ke ibukota kabupaten,
serta tingkat angkatan kerja di sektor industri mikro dan kecil dan dana desa, dan varibel
dependentnya yaitu kemiskinan desa/kelurahan, maka dapat dibuat sebuah model geographical
weighted regression (GWR) yaitu:
Kemiskinan = β0 (ui,vi) + β1i (ui,vi) Jumlah Sertifikat + β2i (ui,vi) Luas Sawah
+ β3i (ui,vi) Luas Perkebunan + β4i (ui,vi) Luas Ladang/Tegalan + β5i (ui,vi) Luas Tambak
+ β6i (ui,vi) Jarak ke Ibukota Kabupaten + β7i (ui,vi) Angkatan Kerja IMK + β8i (ui,vi)
Dana Desa + εi
Keterangan:
β0 = intercept
β1i.... β8i = koefisien peubah di desa/kelurahan i
(ui,vi) = koordinat lintang, bujur dari lokasi pengamatan ke- i
Analisis model GWR dilaksanakan menggunakan software ArcGis 10.2.1.
Berikut langkah-langkah pelaksanaan analisis GWR:
a) Jenis pembobot yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kernel Gauss (Fotheringham
et al. 2002). Fungsi pembobot menggunakan metode Fixed Kernel.
b) Kebaikan dan kesesuaian model berdasarkan nilai koefisien determinasi (R2). Menurut
Gujarati (1993), besaran koefisien determinasi (R2) merupakan besaran yang paling
lazim digunakan untuk mengukur kecocokan model (goodness of fit) garis regresi.
Juanda (2009) menjelaskan bahwa koefisien determinasi (R2) sering secara informal
digunakan sebagai statistik untuk
31
(2) Uji Signifikansi Variabel Secara Spesifik Lokasi dan Kaitannya dengan
Kemiskinan
Untuk setiap variabel X yang digunakan dalam GWR, dilakukan uji
signifikansi untuk melihat adanya pengaruh dari masing-masing variabel tersebut
terhadap kemiskinan di Kabupaten Mamuju secara spesifik lokasi. Uji signifikansi
dilakukan terhadap masing-masing variabel di setiap desa/kelurahan dengan taraf
nyata α=5%=0.05. Uji signifikansi dapat dilakukan dengan hipotesis sebagai
berikut:
H0 : βk (ui,vi)=0
H1 : βk (ui,vi)≠0 atau (βk>0 atau βk <0) ; k = 1,2,…,p
Statistik uji:
thit = βk (ui,vi)- βk (ui,vi)
Se(βk (ui,vi))
Keterangan: βk (ui,vi) : nilai observasi variabel prediktor ke- k pada lokasi
pengamatan ke-i
Se(βk (ui,vi)):standard error variabel prediktor ke- k pada lokasi
pengamatan ke-i
Dengan menggunakan taraf nyata 0.05 maka kriteria ujinya:
o jumlah unit penelitian 97 desa/kelurahan, maka tα/2,db=n-k-2 dapat
ditentukan nilainya: t 0.05/2, 97-8-2 = t 0.025,87 = 1.98761.
o Jika nilai thit > 1.98761 , maka terima H1.
o Jika thit ≤ 1.98761 , maka terima H0.
Hasil dari uji signifikansi masing-masing variabel untuk masing-masing desa
memberi informasi pengaruh dari variabel-variabel tersebut dalam dua arah
terhadap kemiskinan, dimana pengaruhnya bisa saja bersifat mengurangi
kemiskinan atau meningkatkan kemiskinan, tergantung pada angka koefisien yang
didapatkan oleh masing-masing variabel. Angka koefisien yang bernilai negatif
dapat diartikan bahwa variabel tersebut berpengaruh dalam menurunkan
kemiskinan di desa tersebut. Sedangkan jika nilai koefisiennya positif berarti
sebaliknya bahwa variabel tersebut akan meningkatkan kemiskinan di desa tersebut.
(3) Pemetaan Desa/Kelurahan berbasis Variabel Signifikan yang
Berpengaruh terhadap Kemiskinan
Variabel-variabel independent dapat dikelompokkan berdasarkan kesamaan
variabel yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan di setiap
desa/kelurahan
Karakteristik Wilayah
Kabupaten Mamuju memiliki luas wilayah 5,064.19 km2, yang terdiri dari 11
Kecamatan. Kecamatan Kalumpang merupakan kecamatan terluas dengan luas
wilayah 1,731.99 Km2 atau 34.20 persen dari seluruh luas wilayah Kabupaten
Mamuju, sedangkan kecamatan dengan luas wilayah terkecil adalah Kecamatan
Balabalakang dengan luas wilayah 21.86 km2 atau 0.43 persen dari luas wilayah
Kabupaten Mamuju (BPS Kab.Mamuju, 2016a). Kecamatan Balabalakang tidak
tersaji dalam peta karena batas administratif dan petanya belum tersaji pada peta
administrasi pemerintah Kabupaten Mamuju. Peta administrasi kecamatan dan
persentase luas kecamatan di Kabupaten Mamuju dapat dilihat pada Gambar 5,
sedangan luas masing-masing kecamatan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 5.
Pada tahun 2015 sebagaimana yang tersaji pada Tabel 5, jumlah penduduk di
Kabupaten Mamuju sebanyak 265 800 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki dan
perempuan masing-masing sebanyak 135 294 jiwa dan 130 506 jiwa. Kondisi ini
menunjukan perbandingan penduduk laki-laki dan perempuan (sex ratio)
Kabupaten Mamuju sebesar 104, yaitu setiap 100 penduduk perempuan terdapat
104 penduduk laki-laki. Pada periode yang sama diperkirakan terdapat sekitar 58
865 rumah tangga dengan rata-rata banyaknya anggota rumah tangga sekitar 4.5
orang. Data secara rinci mengenai jumlah rumah tangga dapat dilihat pada
Lampiran 1.
Kepadatan penduduk tertinggi ditemukan di Kecamatan Mamuju, yang
merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Mamuju dengan tingkat kepadatan 319
jiwa/km2, kemudian disusul oleh Kecamatan Simboro, yang merupakan pusat
pemerintahan Provinsi Sulawesi Barat dengan tingkat kepadatan 245 jiwa/km2.
Tingkat kepadatan dua kecamatan tersebut sangat jauh jika dibandingkan dengan
Kecamatan Kalumpang yang merupakan wilayah dengan kepadatan terendah, yaitu
hanya 7 jiwa/km2.
34
Data dan informasi penguasaan tanah diperoleh dari Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Provinsi Sulawesi Barat dan Kantor Pertanahan Kabupaten
Mamuju. Penguasaan tanah di Kabupaten Mamuju terdiri dari Kawasan Hutan
(Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Produksi Konversi, Hutan Produksi
Terbatas) dan Kawasan Konservasi, Perusahaan Perkebunan, Tanah Hak sesuai
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) atau lahan sudah bersertifikat dan Tanah
Negara Lainnya. Kawasan Hutan tersebar di seluruh kecamatan, HGU Perkebunan
hanya dijumpai di Kecamatan Tommo. Lahan bersertifikat terdiri dari Hak Milik,
Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Lahan yang sudah bersertifikat tersebar di
seluruh wilayah kecamatan dan hampir di seluruh wilayah desa. Penguasaan tanah
Kabupaten Mamuju dapat dilihat pada Tabel 6.
Persentase
No Penguasaan Tanah Luas (ha)
Luas Wilayah
1 Hutan Lindung 131 158.21 27.23
2 Hutan Produksi 41 981.88 8.72
3 Hutan Produksi Konversi 12 099.71 2.51
4 Hutan Produksi Terbatas 85 185.85 17.69
5 Kawasan Konservasi 94 357.75 19.59
6 Perusahaan Perkebunan 1 667.21 0.35
Tanah Hak sesuai UUPA dan Tanah
7 115 147.28
Negara 23.91
TOTAL 481 597.90 100.00
Sumber: BPN Prov. Sulawesi Barat, 2015
Tabel 7 Jumlah dan persentase sertifikat hasil Program Legalisasi Aset Tahun
2010-2015
Luas
No. Penggunaan Lahan
Ha Persentase
1 Sawah 10 603.55 2.11%
2 Pemukiman 3 223.97 0.64%
3 Perkebunan 78 288.30 15.57%
4 Hutan 360 715.33 71.74%
5 Tambak 4 141.10 0.82%
6 Tegalan dan ladang 16 570.27 3.30%
Lahan non produktif (tanah kosong, semak,
7 26 222.50 5.22%
belukar, alang-alang)
8 Tubuh air (danau, situ,sungai) 3 056.48 0.61%
Jumlah 502 821.50 100.00%
Sumber: data diolah (2017)
Kecamatan Kalukku memiliki persentase sawah terbesar, yaitu 51.86% dari luas
desa dengan luasan sebesar 728.69 ha. Di sisi lain, lahan sawah tidak terdapat di 34
desa/kelurahan di wilayah Kabupaten Mamuju.
Berdasarkan peta sebaran lahan pertanian sawah, dapat diketahui bahwa
pusat pertanian padi di wilayah Kabupaten Mamuju adalah di desa-desa di
Kecamatan Kalukku, Papalang, Sampaga dan Tommo sebagaimana dapat dilihat
pada Gambar 10. Sedangkan di wilayah lainnya, lahan sawah tersebar dengan
luasan yang kecil yang disebabkan karena kondisi geografis wilayah berupa
perbukitan sehingga tidak sesuai untuk dijadikan sebagai lahan sawah. Selain itu
karena sebagian besar desa-desa tersebut sebagian wilayahnya merupakan kawasan
hutan. Daftar luas lahan sawah untuk masing-masing desa/kelurahan dapat dilihat
pada Lampiran 2.
Perkebunan besar hanya terdapat di wilayah bagian utara Kabupaten Mamuju, yaitu
di Kecamatan Tommo. Sebagian besar wilayah desa di Kecamatan Tommo
merupakan bagian dari perusahaan perkebunan dengan tanaman utamanya adalah
tanaman sawit. Perkebunan rakyat terdapat di sekitar perkebunan besar yang juga
ditanami sawit oleh penduduk. Sedangkan di wilayah lainnya hampir di seluruh
desa terdapat kebun-kebun rakyat yang ditanami tanaman sejenis atau campuran.
Sebaran lahan kebun dan perkebunan di wilayah Kabupaten Mamuju dapat di lihat
pada Gambar 11.
Lahan yang digunakan sebagai tambak jumlah dan luasannya masih sangat
kecil dan hanya terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Mamuju. Tambak
merupakan salah satu sumber pendapatan bagi penduduk, khususnya untuk
masyarakat di wilayah pesisir barat Kabupaten Mamuju, yaitu di Kecamatan
Tapalang, Tapalang Barat, Kecamatan Simboro, Kecamatan Mamuju, Kecamatan
Kalukku, Kecamatan Papalang dan Kecamatan Sampaga. Sebaran penggunaan
lahan untuk tambak di setiap desa/kelurahan dapat di lihat pada Gambar 13.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 17 Peta output moran lokal anselin (a); peta tingkat kemiskinan (b); peta
kawasan hutan dan akses jalan (c); dan peta topografi (d)
mencapai 66.48%. Nilai R2 terendah yaitu Desa Kalukku Barat sebesar 0.2821469
artinya di Desa Kalukku Barat parameter model hanya mampu menjelaskan variasi
persentase kemiskinan sebesar 28.21%, sedangkan sisanya ditentukan oleh variabel
lain diluar model. Nilai R2 secara rinci untuk setiap desa/kelurahan serta koefisien
parameter hasil pemodelan GWR untuk setiap desa/kelurahan dapat dilihat pada
Lampiran 5.
sesuai hipotesis. Variabel luas lahan sawah tidak sesuai dengan hipotesis karena
semua koefisien yang signifikan pada tarat nyata 0.05 bernilai positif. Sedangkan
variabel sektor industri mikro dan kecil, sebagian nilai koefisien variabel bernilai
negatif dan sebagian lainnya bernilai positif. Hasil estimasi model GWR
menunjukkan respon variabel independent bervariasi di setiap desa/kelurahan.
Hasil tersebut menguatkan argumen bahwa aspek spasial tidak dapat diabaikan
dalam menentukan kebijakan penanggulangan kemiskinan di setiap daerah. Oleh
karena itu, kebijakan kemiskinan perlu memperhatikan keragaman wilayah
(Wahyuni dan Damayanti 2014).
Berdasarkan Tabel 11 dapat dilihat bahwa terdapat variasi jumlah
desa/kelurahan yang dipengaruhi secara signifikan oleh setiap variabel. Tabel 11
memberikan informasi bahwa variabel sertifikasi tanah memberikan pengaruh
terhadap kemiskinan di 56 desa/kelurahan. Sedangkan di antara lahan pertanian
lainnya, kebun memberikan pengaruh terbesar terhadap kemiskinan yaitu sebanyak
65 desa/kelurahan.
Untuk mendapatkan hasil analisis yang lebih rinci untuk menjawab
pertanyaan penelitian mengenai pengaruh dari variabel-variabel secara spasial
terhadap kemiskinan, maka dilakukan pemetaan sebaran nilai koefisien variabel
yang signifikan mempengaruhi kemiskinan. Hasil analisis dapat kemudian
digunakan sebagai bahan untuk menyusun implementasi kebijakan dalam upaya
untuk mengatasi kemiskinan di Kabupaten Mamuju.
kecenderungan memiliki harga tanah yang lebih murah. Harga tanah yang murah
menyebabkan berkurangnya minat atau keinginan dari pemiliknya untuk
dimanfaatkan sebagai agunan guna untuk menambah modal untuk peningkatan
skala usaha.
2. Faktor adanya alternatif usaha lainnya
Penduduk yang tinggal lebih dekat dengan ibukota kabupaten sebagai pusat
perekonomian memiliki kecenderungan lebih memiliki alternatif usaha lainnya
selain dari usaha pertanian. Adanya alternatif usaha lainnya ini mendorong
masyarakat untuk mencari sumber modal yang salah satunya bisa memanfaatkan
sertifikat tanah. Sedangkan penduduk yang tinggal di wilayah perdesaan dan
jauh dari pusat perekonomian cenderung untuk tidak memiliki usaha lainnya
selain pekerjaan utama sebagai petani.
3. Akses ke Perbankan
Keterkaitan antara lokasi geografis wilayah dan lokasi akses ke perbankan
merupakan salah satu yang menyebabkan sertifikasi tanah memberikan pengaruh
yang berbeda dalam mengurangi kemiskinan. Dari hasil GWR terbukti bahwa
wilayah desa/kelurahan yang berada dekat dengan ibukota kabupaten, faktor
sertifikasi tanah memberikan pengaruh yang paling kuat terhadap kemiskinan.
Hal tersebut karena masyarakat di wilayah ini memiliki akses yang lebih baik
dari wilayah yang terletak jauh dari ibukota kabupaten, baik akses informasi,
akses kemudahan menuju perbankan dan harga tanah yang lebih tinggi dari
wilayah yang jauh dari ibukota. Untuk mengetahui lebih jauh dan secara pasti
mengenai pengaruh sertifikat dalam peningkatan perekonomian masyarakat
melalui akses kredit perbankan, perlu adanya penelitian terpisah dan lebih
mendalam.
terbatas pada kegiatan pensertifikatkan tanah milik masyarakat, tetapi juga terdapat
program Redistribusi Tanah, yaitu memberikan tanah obyek landreform beserta
sertifikatnya kepada masyarakat di desa tersebut, sehingga masyarakat memperoleh
tanah yang dapat diusahakan sebagai lahan pertanian sekaligus dapat dimanfaatkan
sebagai agunan untuk mendapatkan modal.
(a) (b)
(c)
(a) (b)
(c)
(a) (b)
(c)
Gambar 22 Peta lokasi signifikansi koefisien pengaruh luas lahan kebun terhadap
tingkat kemiskinan (a), persentase luas kebun per luas desa (b), dan
tingkat kemiskinan desa/kelurahan (c)
Transmisinya dalam menurunkan tingkat kemiskinan adalah jika dilakukan
peningkatan luas lahan kebun di wilayah ini, maka penduduk akan memiliki akses
lahan kebun yang lebih besar untuk diusahakan, sehingga akan mendorong
61
(a) (b)
(c)
Gambar 23 Peta lokasi signifikansi koefisien pengaruh luas lahan tegalan terhadap
tingkat kemiskinan (a), persentase luas tegalan per luas desa (b), dan
tingkat kemiskinan desa/kelurahan (c)
kemiskinan, terdapat beberapa desa lain yang memiliki angka koefisien negatif,
dimana desa-desa ini berpotensi dalam penggunaan lahan tegalan dan ladang, tetapi
saat ini belum terbukti dapat mengurangi angka kemiskinan.
Koefisen luas tegalan/ladang bernilai minimum -0.401 dan maksimum -
0.297, menunjukkan bahwa setiap penambahan luas tegalan/ladang sebesar 1% di
suatu desa/kelurahan akan menurunkan tingkat kemiskinan di desa/kelurahan
tersebut antara 0.297% hingga 0.401%, ceteris paribus. Unit amatan dengan
persentase penurunan kemiskinan tertinggi jika ada peningkatan luas lahan
tegalan/ladang sebesar 1% adalah Desa Batu Makkada dan yang terendah adalah
Desa Makkaliki. Hasil ini memberikan kesimpulan bahwa jika dilakukan usaha
peningkatan luas lahan tegalan/ladang, maka hasilnya sesuai dengan hipotesis
penelitian, dimana keberadaan lahan tegalan/ladang berpengaruh dalam
mengurangi kemiskinan.
Transmisinya dalam menurunkan tingkat kemiskinan adalah jika dilakukan
peningkatan luas lahan tegalan/ladang di wilayah ini, maka penduduk akan
memiliki akses lahan yang lebih besar untuk diusahakan, sehingga akan mendorong
meningkatnya pendapatan rumah tangga. Meningkatnya pendapatan penduduk
akan secara langsung akan meningkatkan tingkat kesejahteraan penduduk sehingga
tingkat kemiskinan desa akan berkurang.
(a) (b)
(c)
Gambar 24 Peta lokasi signifikansi koefisien pengaruh luas lahan tambak terhadap
tingkat kemiskinan (a), persentase luas tambak per luas desa (b), dan
tingkat kemiskinan desa/kelurahan (c)
Angka koefisien yang didapatkan, untuk wilayah pantai barat lainnya yang
tidak signifikan penggunaan lahan untuk tambak juga berpotensi untuk dalam
mengurangi kemiskinan. Lahan tambak dapat dikembangkan di beberapa desa yang
berada di wilayah pantai barat bagian utara yaitu desa-desa yang berada di
Kecamatan Papalang dan Sampaga, karena desa-desa di dua kecamatan ini masih
memiliki topografi yang cukup datar, dan masih terdapat lahan-lahan kosong dan
masih terlantar.
(a) (b)
(c)
Gambar 25 Peta lokasi signifikansi koefisien pengaruh sektor industri kecil dan
mikro terhadap tingkat kemiskinan (a), persentase tenaga kerja
industri mikro kecil per rumah tangga (b), dan tingkat kemiskinan
desa/kelurahan (c)
67
terlihat di wilayah bagian tengah dan timur kabupaten. Jika dilihat dari Gambar 26a,
variabel jarak ternyata hanya signifikan mempengaruhi kemiskinan desa di wilayah
bagian tengah dan barat kabupaten. Terdapat pengecualian terhadap beberapa desa
yang berada di bagian utara, dimana desa-desa tersebut terletak lebih jauh dari desa-
desa yang berada di wilayah bagian tengah dan timur, tetapi pengaruhnya jarak
tidak signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Faktor kedekatan desa-desa tersebut
dengan ibukota Kabupaten Mamuju Tengah yang hanya berada berapa kilometer di
sebelah utaranya menjadi salah satu penyebab tidak berpengaruhnya jarak ke
ibukota kabupaten terhadap kemiskinan di wilayah tersebut. Hal ini memungkinkan
desa-desa tersebut melakukan kegiatan perekonomian ke ibukota Kabupaten
Mamuju Tengah, yaitu Kecamatan Topoyo, yang secara jarak posisinya jauh lebih
dekat daripada ke ibukota Kabupaten Mamuju serta akses jalannya juga sangat baik.
(a) (b)
(c)
akses jalan yang lebih mudah ke Kabupaten Majene di sebelah selatan Kabupaten
Mamuju. Akses jalan dari kecamatan tersebut ke ibukota Kabupaten Mamuju malah
sedikit lebih sulit, karena harus melalui jalan dengan topografi berbukit- bukit.
(a) (b)
(c)
Gambar 27 Peta lokasi signifikansi koefisien pengaruh dana desa terhadap tingkat
kemiskinan (a), dana desa per penduduk miskin (b), dan tingkat
kemiskinan desa/kelurahan (c)
b. Pengaruh variabel terhadap kemiskinan
Angka koefisien variabel dana desa menunjukkan nilai negatif. Koefisen dana
desa bernilai minimum -0.0025 dan maksimum -0.001, menunjukkan bahwa setiap
penambahan dana desa sebesar 1 juta untuk penduduk miskin di suatu
desa/kelurahan akan menurunkan tingkat kemiskinan di desa/kelurahan tersebut
0.001% hingga 0.0025%, ceteris paribus. Pengaruh paling besar dari diterimanya
71
dana desa adalah desa yang terletak di sebelah utara ibukota kabupaten. Pengaruh
paling kecil dari dana desa untuk mengurangi kemiskinan adalah desa-desa di
wilayah bagian timur Kabupaten Mamuju.
Dari pemodelan GWR untuk Desa Keang dapat diketahui bahwa tingkat
kemiskinan di Desa Keang dipengaruhi oleh faktor sertifikasi tanah, lahan sawah,
lahan kebun, lahan tambak, sektor industri mikro/kecil, jarak serta dana desa. Setiap
desa/kelurahan memiliki koefisien dan variabel signifikan yang berbeda- beda.
Model GWR untuk Desa Saludengen adalah sebagai berikut:
Sinkronisasi Proposal Dana Alokasi Khusus (DAK) Tahun 2018 dengan Kebijakan
Pengurangan Tingkat Kemiskinan
Gambar 30 Peta sebaran Dana Alokasi Khusus (DAK) Kabupten Mamuju tahun 2018
Simpulan
1. Persentase tanah terdaftar sebagai sertifikat relatif masih rendah dimana masih terdapat tanah
seluas 96,347.49 ha atau sekitar 82.5% yang belum bersertifikat. Hal ini memberikan
kesimpulan bahwa lahan yang belum bersertifikat masih sangat luas di seluruh wilayah
Kabupaten Mamuju dan setiap desa/kelurahan masih dapat dijadikan sebagai lokasi target
program percepatan sertifikasi.
Penggunaan lahan pertanian secara berturut-turut dari yang terluas adalah lahan kebun
(15.57%), lahan tegalan/ladang (3.30%), lahan sawah (2.23%) dan lahan tambak (0.82%).
Dilihat dari luas dan persebaran lahan kebun yang terdapat hampir di seluruh desa/kelurahan,
menggambarkan bahwa perkebunan merupakan salah satu sumber perekonomian utama
penduduk.
2. Berdasarkan hasil analisis spasial kemiskinan, terdapat autokorelasi spasial kemiskinan antar
desa/kelurahan dan secara spasial pola sebarannya bersifat menggerombol (clustered). Tingkat
kemiskinan di Kabupaten Mamuju tidak merata dan bersifat berkelompok, terbukti walaupun
tingkat kemiskinan Kabupaten Mamuju cukup rendah, yaitu 6.7%, tetapi terdapat hampir 30%
desa/kelurahan memiliki tingkat kemiskinan >12.4% hingga mencapai 56%.
3. Sertifikasi tanah terbukti dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan desa/kelurahan di 56
desa/kelurahan. Lahan pertanian terbukti cenderung berpengaruh dalam mengurangi
kemiskinan. Penggunaan lahan kebun memberikan pengaruh terbesar terhadap kemiskinan,
kemudian disusul penggunaan lahan tambak dan lahan tegalan/ladang. Sedangkan penggunaan
lahan sawah belum terbukti di semua wilayah sebagai faktor yang dapat menurunkan
kemiskinan. Peningkatan luasan lahan kebun, tambak dan tegalan di desa/kelurahan yang
sesuai dengan lokasi signifikan mempengaruhi kemiskinan merupalan kebijakan yang tepat
dalam usaha mengurangi angka kemiskinan.
4. Kebijakan yang berbeda-beda perlu diterapkan terhadap masing-masing desa/kelurahan untuk
program sertifikasi tanah, Redistribusi Tanah, kebijakan meningkatkan luas lahan pertanian,
kebijakan pemberdayaan indusri mikro dan kecil serta alokasi pemanfaatan dana desa. Proposal
DAK tahun 2018 secara umum terlihat sejalan dengan kebutuhan desa/kelurahan untuk
mengurangi kemiskinan.
Saran
Adetayo AO. 2014. Analysis of Farm Households Poverty Status in Ogun States, Nigeria.
Asian Economic and Financial Review. 4(3):325-340.
Agustina MF. 2015. Pemodelan Geographically Weighted Regression (GWR) pada Tingkat
Kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Statistika. 3(2):67-74.
Amri S, Ikhbar S, Muzakkir. 2016. Strategi Pengentasan Kemiskinan melalui Produksi
Usahatani Padi Sawah untuk Peningkatan Pembangunan Perekonomian Masyarakat
Kabupaten Aceh Besar. Serambi Saintia. 4(2):19-25.
Anselin L. 1988. Spatial Econometrics: Methods and Models. Netherlands Kluwer Academic
Publ. ISBN-10: 9024737354
Arifin B. 2005. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Jakarta (ID): Kompas.
Arlinghaus. 1996. Practical Handbook of Spatial Statistics. United States: CRC
Press.Inc
Artino A. 2017. Keterkaitan Dana Desa terhadap Kemiskinan di Kabupaten Lombok Utara
[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Baiyegunhi LJS, Fraser GCG. 2014. Poverty Incidence among Smallholder Farmers in the
Amathole District Municipality, Eastern Cape Province, South Africa. J Hum Ecol.
46(3): 261-273 (2014)
[BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2007. Analisis Implementasi
Kebijakan Pengembangan Wilayah Strategis Cepat Tumbuh dalam Rangka Mendorong
Pengembangan Wilayah Tertinggal. Jakarta: Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah
Tertinggal Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
[BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1992. Undang- Undang Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan Keluarga Sejahtera.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016a. Kemiskinan [diacu 2017 April 27]. Tersedia di
https://www.bps.go.id/Subjek/view/id/23#subjekViewTab1
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016b. Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota 2015.
Jakarta (ID): BPS.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016c. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi- Provinsi di
Indonesia Menurut Lapangan Usaha 2011-2015. Jakarta (ID): BPS
[BPS Kab.Mamuju] Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamuju. 2017a. Persentas Penduduk
Miskin (Persen) Kabupaten Mamuju, 2010-2016 [diacu 2017 November 15]. Tersedia di
https://mamujukab.bps.go.id/dynamictable
/2016/11/17/32/persentase-penduduk-miskin-persen-kabupaten-mamuju- 2010-
2016.html
[BPS Kab.Mamuju] Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamuju. 2017b. Gini Rasio Kabupaten
Mamuju, 2011-2015 [diacu 2017 November 15]. Tersedia di
https://mamujukab.bps.go.id/dynamictable/2016/12/13/93/gini-rasio- kabupaten-
mamuju-2011-2015.html
[BPS Kab.Mamuju] Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamuju. 2016a. Kabupaten Mamuju
dalam Angka 2016. Mamuju (ID): BPS Kab Mamuju
[BPS Kab.Mamuju] Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamuju. 2016b. Statistik Daerah
Kabupaten Mamuju 2016. Mamuju (ID): BPS Kab Mamuju.
[BPS Kab.Mamuju] Badan Pusat Statistik Kabupaten Mamuju. 2016c. Produk Domestik
Regional Bruto Kabupaten Mamuju Menurut Lapangan Usaha 2015. Mamuju (ID): BPS
Kab Mamuju.
[BPS Prov.Sulbar] Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Barat. 2016a. Indikator Strategis
Sulawesi Barat 2011-2015. Mamuju (ID): BPS Prov Sulbar.
[BPS Prov.Sulbar] Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Barat. 2016b. Tinjauan Kinerja
Perekonomian Sulawesi Barat Triwulan II 2016. Mamuju (ID): BPS Prov Sulbar.
Chapin SF Jr. dan Edwar JK. 1995. Urban Land Use Planning. Chicago: University of Illinois
Press.
Deller S. 2010. Rural Poverty, Tourism and Spatial Heterogeneity. Annals of Tourism
Research. 37(1): 180-205.
Dziauddin MF, Idris Z. 2017. Use of Geographically Weighted Regression (GWR) Method to
Estimate the Effect of Location Attributes on the Residential Property Values. Indonesia
Journal of Geography.49(1):97-110.
Fischer M, Scolten HJ, David. 1996. Spatial Analysis Perpectives on GIS. GISDATA 4.
London: Taylor & Francis.
Fotheringham AS., Brunsdon C, Charlton M. 2002. Geographically Weighted Regression: The
Analysis of Spatially Varying Relationships. New York: John Wiley & Sones, Ltd.
Gujarati D. 1993. Ekonometrika Dasar. Jakarta (ID):Erlangga.
Heryanti Y, Junaidi, Yulmardi. 2014. Interaksi Spasial Perekonomian dan Ketenagakerjaan
antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi. Jurnal Perspektif Pembiayaan dan
Pembangunan Daerah. 2(2):99-106.
Istikomah. 2013. Pengaruh Program Sertifikasi Tanah terhadap Akses Permodalan bagi Usaha
Mikro dan Kecil (Studi Kasus Program Sertifikasi Tahun 2008 di Kabupaten Kulon
Progo). Kawistara. 3(1):24-38.
Jayadinata JT. 1992. Tata Guna Tanah dalam Perencanan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah.
Bandung (ID): ITB Bandung.
Juanda B. 2009. Ekonometrika, Pemodelan dan Pendugaan. Bogor (ID): IPB Pr.
[Kanwil BPN Prov Sulawesi Barat]. Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Provinsi Sulawesi Barat. 2016. Neraca Penatagunaan Tanah Kabupaten Mamuju Tahun
2015. Mamuju (ID): BPN Provinsi Sulawesi Barat.
[Kemen ATR/BPN] Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia. 2015. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Program Nasional Agraria
(PRONA). Jakarta (ID): Kemen ATR/BPN.
Kurnianti DN. 2015. Proyeksi Penggunaan Lahan untuk Konsistensi Tata Ruang di Kawasan
Jabodetabek [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Lipton M. 2009. Land Reform in Developing Countries: Property Rights and Property Wrongs.
London: Routledge.
Mangkuwinata SMI. 2017. Dampak Alokasi Dana Desa terhadap Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat Desa Matanglumpangdua Meunasah Dayah Kecamatan Peusangan
Kabupaten Bireun. Jurnal Kebangsaan. 6(12):13-21.
Mahpud. 2016. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesediaan Nelayan untuk Mengagunkan
Sertipikat Hak Atas Tanah dalam Rangka Meningkatkan Kesejahteraan [tesis]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Mardiana YS, Siregar H, Juanda B. 2016. Pengaruh Sertifikasi Tanah terhadap Nilai Tanah dan
Kondisi Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Sukoharjo. Jurnal Aplikasi Bisnis dan
Manajemen. 2(3):304-311.
Mesman A. 2008. Analisis Pengaruh Sertipikat Hak Atas Tanah Terhadap Kinerja Ekonomi
Pengusaha Mikro dan Kecil di Kabupaten Konawe Selatan [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Minot N, Baulch B, Epperecht M. 2006. Poverty and inequality in Vietnam: Spatial patterns
and geographic determinants. Washington: Research Report International Food Policy
Research Institute.
Miranti I, Djuraidah A, Indahwati. 2015. Modeling of Malaria Prevalence in Indonesia with
Geographically Weighted Regression. KesMas:Jurnal Fakultas Kesehatan Masyarakat.
9(2):109-118.
Munajat. 2009. Membernaskan Pembangunan Pertanian sebagai Solusi Mengakar dalam
Mengatasi Kemiskinan. Agronobis. 1(1):12-18.
Musahara H, Akorli F, Rukamba S. 2014. Capacity Building Interventions, Entrepreneurship
and Performance of SMEs in Rwanda. Working Paper. Kigali: University of Rwanda,
College of Business and Economics.
Muta’ali L. 2014. Perencanaan Pengembangan Wilayah Berbasis Pengurangan Resiko
Bencana. Yogyakarta (ID): Badan Penerbit Fakultas Geografi (BPFG) Universitas
Gadjah Mada.
Nadya M, Rahayu W, Santi VM. 2017. Analisis Geographically Weighted Regression (GWR)
pada Kasus Pneumonia Balita di Provinsi Jawa Barat. Jurnal Statistika dan Aplikasinya.
1(1):23-32.
Nashwari IP. 2016. Analisis Kemiskinan Petani Tanaman Pangan di Provinsi Jambi dan Jawa
Barat menggunakan Geographically Weighted Regression [disertasi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Nuarsa IW. 2005. Menganalisis Data Spasial dengan Arcview GIS 3.3 untuk Pemula. Jakarta
(ID): Gramedia.
Nurwati N. 2008. Kemiskinan: Model Pengukuran, Permasalahan dan Alternatif Kebijakan.
Jurnal Kependudukan Padjajaran. 10(1):1-11.
Octaviana D, Saunoah AM, Maubanu E, Choirunisa RL, Sitorus RB, Bekti RD. 2016.
Pemodelan Data Kemiskinan di Provinsi Bengkulu dengan Metode Geographically
Weighted Regression dan Ordinary Least Square.Jurnal Statistika Industri dan
Komputasi. 1(1):21-30.
Pandawa H. Efektivitas Pelaksanaan Gerakan Desa Membangun dan Dana Desa dalam
Membangun Desa di Kecamatan Malinau Utara Kabupaten Malinau Provinsi Kalimantan
Utara. Jurnal Renaissance. 2(2):224-241.
Papilaya EC. 2013. 7 Kiat Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pemiskin Bangsa. IPB
Press. Bogor.
Pasaribu E. 2015. Dampak Spillover dan Multipolaritas Pengembangan Wilayah Pusat-Pusat
Pertumbuhan di Kalimantan [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[Pemerintah RI] Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Jakarta (ID): Pemerintah
RI.
Permatasari N, Priyarsono DS, Rifin A. 2016. Perencanaan Pembangunan Ekonomi Wilayah
Berbasis Pertanian dalam Rangka Pengurangan Kemiskinan di Kalimantan Barat. Jurnal
Agribisnis Indonesia. 4(1):27-42.
Qomariyah N. 2016. Dampak Transfer Fiskal terhadap Belanja Modal dan Pembangunan
Ekonomi di Indonesia: Analisis Data Provinsi [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Ravallion M. 1998. Poverty Lines in Theory and Practice: Living Standards Measurement
Study. Working Paper, No.133. Washingkton DC (USA): The World Bank.
Risnarto. 2006. Dampak Sertifikasi Tanah Terhadap Pasar Tanah dan Kepemilikan Tanah
Skala Kecil [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah.
Jakarta: Crestpen Pres dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Sajogyo. 1987. Ekologi Pedesaan, Sebuah Bunga Rampai. Jakarta (ID): Rajawali Pres.
Sakti DC, Berachim B. 2016. Pengaruh Output Sektor Pertanian, Industri Pengolahan dan
Perdagangan Terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Propinsi Jawa Timur (Tahun 2005–
2013). Jurnal Ekonomi dan Bisnis. 26(2): 113-124.
Sari ACDM. 2012. Pengaruh Kepemilikan Aset, Pendidikan, Pekerjaan Dan Jumlah
Tanggungan Terhadap Kemiskinan Rumah Tangga Di Kecamatan Bonang Kabupaten
Demak [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.
Sari IM, Abdullah MF. 2017. Analisis Ekonomi Kebijakan Dana Desa terhadap Kemiskinan
Desa di Kabupaten Tulungagung. Jurnal Ekonomi Pembangunan. 15(1):34-49.
Sari RN, Ribawanto H, Said M. 2015. Pengelolaan Alokasi Dana Desa dalam Perspektif
Pemberdayaan Masyarakat (Studi pada Kantor Pemerintahan Desa Ngasem, Kecamatan
Ngasem, Kabupaten Kediri). Jurnal Administrasi Publik (JAP). 3(11):1880-1885.
Setianingsih I. 2016. Kontribusi Dana Desa dalam Menurunkan Angka Kemiskinan di
Kabupaten Melawi. Jurnal Ekonomi Daerah (JEDA). 1(3): 1-7.
Simamora PA, Ratnasari V. 2014. Pemodelan Persentase Kriminalitas dan Faktor- Faktor yang
Mempengaruhi di Jawa Timur dengan Pendekatan Geographically Weighted Regression
(GWR). Jurnal Sains dan Seni Pomits. 3(1):D18-D23.
Simatupang P, Syafaat N, Noekman KM, Syam A, Dermoredjo SK, Santoso B. 2000.
Kelayakan Pertanian sebagai Sektor Andalan Pembangunan Ekonomi Nasional. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Siswandarin GA, Ismono H, Santoso H. 2013. Pengaruh Sertifikasi Tanah UKM terhadap
Pendapatan Rumah Tangga Peternak Penggemukan Sapi di Desa Rajabasa Lama 1
Kecamatan Labuhan Ratu Kabupaten Lampung Timur. Jurnal Ilmu-Ilmu Agribisnis.
1(4): 319-325.
Sitorus SRP. 2015. Evaluasi Lahan dan Perencanaan Penggunaan Lahan, Landasan Ilmiah
Penataan Ruang dan Penggunaan Lahan Wilayah. Orasi
Ilmiah Guru Besar IPB; 2015 Agust 29; Kampus IPB Dramaga, Bogor. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Sitorus SRP. 2014. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Bogor (ID):
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Sudaryanto T, Susilowati SH, Sumaryanto S. 2009. Increasing Number of Small Farms In
Indonesia: Causes and Consequences. 111th EAAE Seminar 2009 Jun 26-27.
Canterbury,UK.
Susila AR. 2011. Analisis Sebaran Kemiskinan dan Faktor Penyebab Kemiskinan di Kabupaten
Lebak [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Syafitri UD, Bagus S, Salamatuttanzil. 2008. Pengujian Autokorelasi terhadap Sisaan Model
Spatial Logistic. Makalah Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika di
Universitas Negeri Yogyakarta.
[TNP2K] Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Data Indikator Basis
Data Terpadu [Internet]. Tersedia
pada: http://www.tnp2k.go.id/id/data-indikator/basis-data-
terpadu-1.
Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Edisi Kesembilan. Jakarta: Erlangga.
[WB] World Bank. 2007. Era Baru dalam Pengentasan Kemiskinan di Indonesia.
Indopov. The World Bank. Jakarta.
[UU] Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. [UU]
Undang–Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Dana Desa..
Wahyuni RNT, Damayanti A. 2014. Faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan di Provinsi
Papua: analisis spasial heterogenity. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia.
14(2):128-144.
Wuryandari T, Hoyyi A, Kusumawardani DS, Rahmawati D. 2014. Identifikasi Autokorelasi
Spasial pada Jumlah Pengangguran di Jawa Tengah menggunakan Indeks Moran. Jurnal
Medstat. 7(10):1-10.
Yudha EP. 2017. Implementasi Pengelolaan Keuangan Desa dan Pengaruhnya terhadap
Kinerja Pembangunan Perdesaan: Studi Kasus Kabupaten Pandeglang-Banten
[disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Yudhoyono, SB. 2004. Pembangunan Pertanian dan Perdesaan sebagai Upaya Mengatasi
Kemiskinan dan Pengangguran: Analisis Ekonomi-Politik Kebijakan Fiskal [disertasi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Yustika AE. 2003. Negara Vs Kaum Miskin. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar.
105