Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PRODUKSI HASIL HUTAN

PINUS SEBAGAI HASIL HUTAN SUMATERA UTARA

DOSEN PEMBIMBING : Rita Andini

Nama Kelompok

Abdullah Ahmad Nst 1705110010022


Baringin Meilidya Br Limbong 1705110010002
Jihandi Rianda 1705110010021
Sri Ningrum 1705110010004

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

DARUSSALAM BANDA ACEH

2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dengan semakin berkurangnya kemampuan hutan alam untuk memenuhi
kebutuhan kayu, pembangunan hutan tanaman menjadi ujung tombak substitusi
kayu dari hutan alam. Salah satu jenis yang diprioritaskan untuk hutan tanaman
adalah tusam (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese ). Jenis yang juga dikenal
sebagai Pinus Sumatra (Sumatran pine) ini dapat digunakan sebagai bahan baku
pulp-kertas, kayu bangunan dan hasil bukan kayu berupa getah/gondorukem
(Suhardi et al., 1994).
Tusam merupakan satu-satunya jenis pinus yang tumbuh alami di Indonesia
bahkan di seluruh bumi bagian selatan (southern hemisphere). Sebaran alaminya
di Sumatera adalah Aceh, Tapanuli dan Kerinci (Cooling dan Gaussen, 1970).
Jenis ini dapat tumbuh baik mulai dari beberapa meter di atas permukaan laut
sampai pegunungan, tetapi memiliki pertumbuhan yang lebih baik pada
ketinggian 800 m sampai dengan 2000 m dari permukaan laut (Darsidi, 1984;
Suhardi et al., 1994).
Relatif tingginya nilai ekonomi kayu tusam strain Tapanuli (batang relatif
lebih lurus, percabangan ramping, kulit batang lebih tipis dan getah lebih sedikit)
mengakibatkan populasi ini banyak diburu oleh penebang liar. Pengamatan
sepintas di Pos Kehutanan di Simarjarunjung Kabupaten Simalungun, setiap hari
rata-rata 10 truk tronton dengan kapasitas 20-25 m3 kayu tusam lewat. Truk-truk
angkutan tersebut membawa kayu tusam dari Tapanuli Utara dan sekitarnya
dengan tujuan industri pengolahan kayu di Pematangsiantar, Tebingtinggi dan
Medan.
1.2 Rumusan Masalah
Banyaknya illegal logging (eksploitasi berlebihan, perambahan)
mengakibatkan tusam strain Tapanuli dan Kerinci tumbuh dalam luasan-luasan
kecil dan terkelompok sehingga memiliki resiko kepunahan yang cukup tinggi
apabila tidak ada upaya penyelamatan dan konservasi. Bersama dengan 12 (dua
belas) jenis lainnya, tusam termasuk dalam daftar IUCN Red List Categories
tahun 1994.
Kegiatan konservasi tusam telah mulai dilakukan melalui pengumpulan materi
genetic dari sebaran alam dan pembangunan tegakan benih, uji provenans, uji
keturunan, kebun konservasi (konsevasi eks-situ) serta perlindungan pada
sebaran alaminya seperti pada kawasan Taman Nasional dan Cagar Alam
(konservasi in-situ). Akan tetapi konservasi eks-situ tersebut belum berhasil
dilakukan karena rendahnya tingkat perkecambahan benih (Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan Tanaman, 2005).
Permudaan alam tusam strain Tapanuli dan Kerinci sulit didapat pada tegakan
yang tertutup. Akan tetapi permudaan akan banyak ditemui pada daerah yang
terbuka seperti bekas tanah longsor (Yafid et al, 2005), perambahan dan
penebangan. Kondisi ini tentu memerlukan strategi konservasi in-situ yang relatif
berbeda untuk jenis ini terutama untuk mendorong pertumbuhan permudaan.
Dipihak lain sangat disayangkan adanya penanaman reboisasi dan penghijauan
yang menggunakan tusam Aceh yang ditanam berdekatan dengan sebaran alami
tusam Tapanuli dan Kerinci. Hal ini diduga akan menurunkan kemurnian kedua
strain tersebut di masa yang akan datang.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sumatera Utara Sebagai Tempat Tumbuh Pinus


Propinsi Sumatera Utara merupakan wilayah daratan dengan topografi
beragam, yaitu dataran rendah, bergelombang, berbukit, pegunungan, serta
wilayah kepulauan, yang berada pada ketinggian antara 0.2.150 meter di atas
permukaan laut. Wilayah ini memiliki perairan umum yang berupa danau dan
sungai. Iklim daerah Sumatera Utara termasuk tropis basah, dengan curah hujan
yang beragam antara 1.430-5.050 milimeter setiap tahun. Suhu udara beragam
antara 12,2° Celsius - 33° Celsius.
Ini sesuai dengan pendapat Heyne. Menurut Heyne (1987), pinus mempunyai
syarat pertumbuhan yaitu tumbuh pada ketinggian 900 - 1800 m dpl, curah hujan
lebih dari atau sama dengan 2.000 mm/tahun, kelerengan antara 0 - 40%, tekstur
tanah ringan-sedang, dan sebagainya. Sebagian besar daerah Di Sumatera seperti
Kabupaten Humbahas mempunyai kondisi iklim dan topografi yang sesuai
dengan syarat pertumbuhan pinus tersebut sehingga tumbuhan ini banyak
dijumpai di daerah ini baik karena sengaja ditanam ataupun tumbuh secara alami
(Sanudin, 2009).
2.2 Pemanfaatan Pinus Sebagai Produksi Hasil Hutan
1. Sebagai Bahan Dasar Furnitur
Kayu dari pohon pinus memiliki serat yang halus yang membuatnya
mudah diolah dan diproses. Hal ini menjadikan kayu pinus sangat populer
digunakan sebagai bahan pembuatan berbagai furnitur seperti lemari, kursi,
meja, dan lain sebagainya. Diantara sekian banyak jenis pinus, jenis merkusii
dan radiata merupakan yang paling populer digunakan sebagai bahan dasar
furnitur karena dikenal memiliki kualitas yang baik.
Gambar 2.2.1. Pembuatan Furnitur dengan Bahan Dasar Kayu dari Pinus

2. Sebagai Bahan Kerajinan


Dengan seratnya yang halus menjadikan kayu pinus mudah diolah sehingga
juga dapat dimanfaatkan untuk membuat berbagai barang kerajinan seperti
mainan, miniatur, tempat lilin, aksesoris penghias meja, aksesoris dapur, dan
lain sebagainya. Buah pinus juga sering di olah menjadi buah tangan.

Gambar 2.2.2. Gantungan kunci sebagai salah satu kerajinan dari buah
pinus

3. Sebagai Bahan Dasar Pembuatan Kertas


Manfaat lain dari kayu pinus adalah untuk pembuatan kertas. Selain kayu
mulberry dan papyrus, kayu pinus termasuk yang banyak dimanfaatkan untuk
industri pembuatan kertas karena sifat serat kayunya yang halus serta tingkat
kerapatan dan kepadatannya yang rendah sehingga lebih mudah dihancurkan
untuk kemudian diproses menjadi kertas.
4. Sebagai Kayu Laminasi
Kayu pinus juga dapat diolah menjadi kayu laminasi sehingga dapat
digunakan untuk konstruksi bangunan. Kayu laminasi sendiri merupakan
penyatuan beberapa lembar kayu yang diberi tekanan pada kedua sisinya
sehingga menyatu dengan kuat.

Gambar 2.2.3. Kayu Laminasi berbahan dasar kayu pohon pinus

5. Sebagai Penghasil Terpentin


Batang pohon pinus memiliki kandungan getah yang dapat diekstrak
sehingga menghasilkan gondorukem dan terpentin. Terpentin sendiri dapat
dimanfaatkan sebagai bahan dasar pengencer cat.
Dalam proses pengolahan Getah Pinus di Pabrik Gondorukem & Terpentin
(PGT) Perum Perhutani, bahan baku industri berupa Getah Pinus (Pinus
Merkusii) diproses melalui beberapa tahapan :
1) Penerimaan & Pengujian Bahan Baku
2) Pengenceran
3) Pencucian & Penyaringan
4) Pemanasan/pemasakan
5) Pengujian & Pengemasan
Gondorukem dan Terpentin merupakan hasil distilasi/penyulingan dari
getah Pinus. Gondorukem berupa padatan berwarna kuning jernih sampai
kuning tua. Sedangkan Terpentin berbentuk cair berwarna jernih serta
merupakan pelarut yang kuat. Proses pengolahan getah menjadi gondorukem
pada umumnya meliputi 2 tahapan :
1) Pemurnian getah dari kotoran-kotoran.
2) Pemisahan terpentin dari gondorukem dengan cara distilasi/penguapan.
Proses pemurnian getah terbagi atas :
1) Pengenceran getah dengan terpentin
2) pengambilan/penyaringan kotoran kasar
3) pencucian & pemisahan kotoran halus dengan penyaringan maupun
pengendapan.

Gambar 2.2.4. Terpentin hasil dari olahan getah pinus

2.2 Kelebihan Pinus Strain Tapanuli


Sifat dasar kayu dan perlakuan pengawetan tusam Tapanuli dan Kerinci belum
banyak diketahui. Umum diketahui bahwa asal kayu tusam alam dari Tapanuli
lebih disukai di Sumatera Utara karena lebih mudah dikerjakan dan lebih mahal
harganya dibandingkan dengan asal Aceh perlu dibuktikan secara ilmiah.
Penduduk di sekitar hutan alam tusam biasanya memakainya sebagai bahan
bangunan untuk rumah demikian pula dengan pemakaian teras kayu untuk
penyulut kayu bakar banyak digunakan terutama di daerah pegunungan yang
berhawa sejuk/dingin.
Hasil perhitungan beberapa sifat dasar kayu terutama penyusutan
menunjukkan bahwa kayu tusam Tapanuli memiliki persentase penyusutan yang
lebih kecil. Beberapa nilai sifat dasar kayu tusam Tapanuli adalah kadar air : 115-
186%, berat jenis 0,41-0,52 (Aceh : 0,55), penyusutan volume : 5,1-8,0%,
penyusutan longitudinal (panjang) : 0,2-8,0%, penyusutan tangensial : 3,0-4,8%
(Aceh : 8,3%), dan penyusutan radial : 3,0-4,8% (Aceh 8,3%) (Pasaribu, in
press).

2.3 Morfologi dan Ekologi Pinus Strain Tapanuli, Kerinci, Aceh


Bagaimana kita membedakan tusam asli Tapanuli, Kerinci dengan tusam
Aceh? Apabila dicermati terlihat perbedaan pada warna daun, kulit batang,
produktivitas getah, penampakan tekstur kayu, dan percabangan pohon. Tusam
Tapanuli mempunyai batang yang relatif lebih lurus, percabangan dan tajuk yang
lebih ramping, kulit batang tipis dan tidak beralur, dan warna daun lebih muda.
Kulit batang Tusam Kerinci relatif lebih halus dan tidak beralur dibandingkan
tusam Tapanuli.
Harahap (2000a) mencatat perbedaan kondisi ekologi penyebaran tusam
Tapanuli di Dolok Tusam dan tusam Kerinci di Pungut Mudik. Curah hujan di
kedua populasi relatif sama yaitu tipe B menurut klasifikasi Schmidt dan
Ferguson dengan curah hujan rata-rata 2088 mm di Siborongborong Tapanuli dan
1985 mm di Sungai Penuh.
Tanah di kedua sebaran populasi sangat berbeda di mana di Kerinci tergolong
pada Podsolik Merah Kuning sedangkan di Tapanuli merupakan kompleks
Podsolik Merah Kuning, Latosol dan Litosol dengan pH tanah 4,75 – 5,90 di
Dolok Tusam dan 4,56 - 5,0 di Pungut Mudik.
Kadar monoterpene kedua populasi berbeda terutama pada delta–3 carene
yang lebih rendah pada tusam Tapanuli serta kadar limonene, alpha dan beta
pinene lebih tinggi di Tapanuli daripada di Kerinci (Harahap 1989). Mengingat
komposisi monoterpene merupakan sifat yang menurun maka hal ini penting
dalam rangka budidaya untuk tujuan khusus.
Menurut Yafid et al (2005), permudaan alam tusam Kerinci sangat sulit
didapati di bawah tegakan pinus maupun tegakan non pinus, tetapi banyak
ditemukan di tempat terbuka seperti bekas tanah longsor. Jenis suku Fagaceae
dan Lauraceae banyak didapati pada tegakan non pinus di Bukit Tapan. Menurut
Kaliman dan Suryamin dalam Kalima et al (2005) di Kerinci tusam berasosiasi
dengan Altingia excelsa, Castanopsis acuminatissima A.DC, Agathis borneensis
Warb, Quercus gemillifora Bl. Kneme conferta Warb. Di hutan alam Dolok
Tusam di bawah tegakan pinus ditanami dengan kemenyan dan bercampur
dengan Corchorus sp.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pohon Pinus adalah pohon yang rindang dan mempunyai banyak manfaat buat
Manusia sebagai.Pohon ini banyak dijumpai didaerah yang berbukit dan
pegunungan serta sekarang sudah di tanam sebagai pohon Industri.
Dari Pohon pinus sebenarnya yang di ambil adalah getahnya, mempunyai
nilai ekonomis tinggi di banding bagian pohon lainnya. Pohon Pinus di anggap
produktif kalau sudah berumur sekitar 10 sampe 15 tahun namun itu masih
belum maksimal tapi sudah bisa di hasilkan getah yang bagus walaupun hasilnya
tidak begitu banyak.

3.2 Saran
Upaya-upaya pemerintah dalam mengembangkan hutan rakyat pinus di perlu
diarahkan pula pada peningkatan kesadaran/motivasi masyarakat dalam
mengembangkan hutan rakyat baik untuk kepentingan ekonomi maupun ekologi
dan perlu ada kebijakan/aturan khususnya dalam pemasaran kayu pinus yang
berpihak kepada petani sehingga posisi tawar petani tinggi.
DAFTAR PUSTAKA

Alam, dkk. 2009. Ekonomi Sumber Daya Hutan. Universitas Hasanuddin.


Tamanlanrea
Astana, S. 1999. Pengembangan Pengusahaan Pinus Hutan Rakyat di Sumatera Utara:
Masalah, Tantangan, dan Peluang Keberhasilan. Makalah Utama dalam
Ekspose Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Pematang Siantar di
Medan, 30 Maret 1999. Pematang Siantar.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Humbang Hasundutan. 2009. Humbang Hasundutan
dalam Angka 2008. Dolok sanggul: BPS Kab. Humbang Hasundutan.
Departemen Kehutanan. 2007. Instrumen Kehutanan Global. Dephut. Jakarta
Dinas Kehutanan Kabupaten Tapanuli Utara. 1992. Rencana Pembinaan Sumberdaya
Hutan Rakyat di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 1993/1994. Tarutung.
Marbyanto, E. 1996. Pengembangan Kelembagaan Hutan Rakyat (Suatu Upaya
Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Hutan Rakyat
Melalui Pendekatan Kelompok). Makalah dipresentasikan dalam acara
”Diskusi Panel Pemanfaatan Kayu Rakyat) yang diselenggarakan oleh
Departemen Kehutanan, Jakarta, 16-17 Januari 1996.

Anda mungkin juga menyukai