b. Sebagai dasar dalam memberikan arahan untuk penetapan rencana perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH) dan untuk perencanaan pembangunan yang
disesuaikan dengan karakter wilayah.
c. Memperkuat kerjasama dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup yang
mengandung persoalan pemanfaatan, pencadangan sumber daya alam maupun persoalan
lingkungan hidup.
d. Sebagai acuan untuk pengendalian dan pelestarian jasa ekosistem/lingkungan yang
mempertimbangkan keterkaitan antar ekosistem yang satu dengan ekosistem yang lain
dalam satu ekoregion, sehingga dapat dicapai produktivitas optimal untuk mendukung
pembangunan yang berkelanjutan.
Penetapan ekoregion dilakukan dengan pendekatan konsep bentang lahan. Dengan konsep
tersebut, ekoregion dapat dipetakan berdasarkan kesamaan ciri morfologi dan morfogenesa
bentuk lahan yang ada pada sistem lahan. Aspek morfologi mencirikan bentuk permukaan lahan
yang dicerminkan oleh ketinggian relief lokal dan kelerengan. Sedangkan aspek morfogenesa
mencirikan proses asal usul terbentuknya bentuk lahan. Klasifikasi lahan dengan konsep sistem
lahan dilakukan berdasarkan prinsip ekologi yang mengasumsikan adanya hubungan erat yang
saling mempengaruhi antara agroklimat, tipe batuan, bentuk lahan, tanah, kondisi hidrologi, dan
organisme.
Morfologi bentuk lahan diklasifikasikan menjadi tiga kelas, yaitu:
1. Dataran;
2. Perbukitan; dan
3. Pegunungan.
Sedangkan morfogenesa bentuk lahan diklasifikasikan menjadi delapan kelas, yaitu:
1. Marin/pantai;
2. Fluvial yaitu bentuk lahan yang terbentuk dari proses sedimentasi karena aliran air sungai;
3. Fluviovulkanik;
4. Karst yaitu bentuk lahan yang terbentuk dari hasil pelarutan batu gamping;
5. Organik/koral;
6. Struktural yaitu bentuk lahan yang terbentuk dari proses tektonik;
7. Vulkanik yaitu bentuk lahan yang terbentuk dari hasil letusan gunung berapi;
8. Denudasional yaitu bentuk lahan yang terbentuk dari proses gradasi dan degradasi yang
umumnya pada lahan berbatuan sedimen.
dan mamalia dapat ditemukan pada ekosistem hutan pegunungan. Jenis mamalia arboreal
seperti lutung jawa dan owa jawa serta karnivora langka seperti macan tutul (Panthera
pardus melas) serta spesies babi hutan hanya dapat ditemukan hingga hutan
subpegunungan, namun beberapa jenis tikus dapat ditemukan hingga hutan subalpin
(Whitten, Soeriaatmadja, & Afiff, 1996).
Hutan sub-pegunungan terdapat pada ketinggian 1.000-1.500 m, memiliki kondisi vegetasi
pepohonan yang tinggi dan terdiri atas beberapa lapisan tajuk, banyak dijumpai jenis
anggrek, liana/tumbuhan perambat, dan paku-pakuan yang menempel pada batang
pepophonan. Zona hutan subpegunungan biasanya didominasi oleh berbagai jenis tumbuhan
dari famili Fagaceae (Quercus, Lithocarpus, Castanopsis) Lauraceae, serta jenis Puspa
(Schima wallichii), Ki Hujan (Engelhardia spicata), dan Rasemala (Altingia excelsa). Selain itu
dapat ditemukan pula spesies-spesies lainnya seperti berbagai jenis dari famili Myrtaceae
(BPLHD Jawa Barat, 2008).
Hutan pegunungan terdapat pada ketinggian 1.500-2.400 m, memliki kondisi vegetasi
pepohonan yang tinggi dan terdiri atas beberapa lapisan tajuk namun lebih pendek
dibandingkan pepohonan di hutan sub-pegunungan. Pada zona ini struktur hutan lebih rapat
dengan jumlah individu pepohonan lebih banyak dibandingkan hutan subpegunungan,
namun batang pohon secara umum lebih kecil dan mulai ditutupi oleh lumut. Jumlah total
jenis tumbuhan yang ditemukan lebih sedikit jika dibandingkan dengan hutan sub-
pegunungan. Sedangkan tumbuhan dominan yang ditemukan di zona ini diantaranya adalah
Jamuju (Dacrycarpus imbricatus) dan beberapa jenis dari famili Myrtaceae. Selain itu pada
zona ini juga dapat mulai ditemui jenis-jenis tumbuhan yang mengisi zona sub-alpin seperti
Eurya obovata, Rhododendron retusum, Segel (Myrsine affinis) (BPLHD Jawa Barat, 2008)
sehingga zona ini dapat dikatakan zona peralihan komposisi jenis vegetasi (van Steenis,
2006).
Formasi hutan yang terdapat pada zona paling tinggi adalah hutan sub-alpin (>2.400 m).
Hutan sub-alpin tersusun atas pepohonan dengan ukuran batang yang kecil, pendek, dan
ditutupi oleh lumut yang tebal, serta hanya terdiri dari satu lapisan tajuk. Keanekaragaman
jenis pada zona ini paling rendah dibandingkan dua zona hutan di bawahnya. Jenis yang
mendominasi hutan sub-alpin diantaranya Cantigi (Vaccinium spp), Segel (Myrsine affinis),
dan Jirak (Symplocos). Sedangkan jenis tumbuhan lain yang dapat ditemukan di hutan sub-
alpin hanya sedikit, diantaranya Leptospermum flavescens, Myrica javanica, dan Eurya
obovata. Tumbuhan-tumbuhan tersebut biasanya teradaptasi untuk dapat bertahan hidup
dengan cekaman berupa gas sulfur yang berasal dari kawah. Selain itu pada zona sub-alpin
di beberapa gunung biasanya ditemukan padang rumput yang berasosiasi tumbuhan perdu
Edelweis Jawa (Anaphalis javanica) yang terkenal sebagai bunga abadi (BPLHD Jawa Barat,
2008).
batuan yang unik (karren), dan potensi gua-gua karst dengan berbagai fenomena alam unik
yang dimilikinya (ornament gua dan sungai bawahtanah). Keunikan fenomena alam ini
terbentuk oleh proses pelarutan material sedimen organik berupa batu gamping terumbu.
Kemiringan lereng ekoregion inibervariasi sesuai ukuran kerucut karst, yang bervariasi antara
berbukit rendah dengan lereng miring (15-30%) hingga berbukit tinggi dengan lereng curam
(30-40%).
Variasi topografi berupa kerucut dan lembah-lembah karst yang unik dengan struktur batuan
berupa laur-alur retakan (diaklast) dan zona pelarutan yang rumit, menyebabkan hampir
tidak dijumpai aliran permukaan berupa sungai. Pola aliran sungai pada umumnya
membentuk pola basinal yaitu pola aliran berupa alur-alur sungai pendek yang menghilang
atau masuk pada suatu lubang pelarutan berupa ponor di dasar lembah karst atau masuk ke
dalam lubang (sinkhole) sebagai bagian dari sistem sungai bawah tanah. Hidrologi yang
berkembang pada ekoregion ini adalah hidrologi permukaan berupa telaga-telaga karst
(logva) dan sungai bawah dengan potensi aliran yang besar. Munculnya mata air
dimungkinkan berupa mata air topografik atau basinal pada lembah-lembah karst, atau mata
air struktur akibat retakan atau patahan lokal.
Material batu gamping dengan proses pelarutan dan pelapukan intensif menyebabkan
pembentukan tanah yang spesifik berupa tanah merah (terrarosa atau mediteran). Tanah ini
relatif bersifat marginal, bertekstur lempungan, kurang subur, pH tinggi (basa), dan
kandungan hara rendah (kecuali kandungan Ca dan Mg yang tinggi), yang menempati pada
lembah-lembah karst dengan pemanfaatan untuk pertanian lahan kering (ladang), dengan
tanaman berupa padi gogo (beras merah), kacang tanah, jagung, tebu, dan tanaman hutan
rakyat berupa jati, mahoni, akasia, dan sengon. Sementara pada bukit-bukit karst sebagian
besar didominasi oleh batuan induk yang keras sehingga pembentukan tanah sangat lambat
dan mempunyai solum tipis yang disebut tanah litosol. Pemanfaatan lahan pada lereng-
lereng bukit karst secara umum berupa ladang tadah hujan dengan teras-teras miring dan
kebun campuran dengan tanaman dominan berupa jati dan mahoni yang dapat tumbuh
dengan baik pada ekoregion ini karena mampu beradaptasi pada tanah marginal dengan pH
tinggi dan perbedaan musim kemarau dan penghujan yang sangat tegas. Fauna yang sering
dijumpai di wilayah karst adalah berbagai jenis kelelawar yang memanfaatkan gua-gua
sebagai tempat tinggalnya (BPLHD Jawa Barat, 2008). Jasa ekosistem maksimal pada
ekoregion ini adalah jasa perlindungan dan pencegahan dari bencana.
Ekosistem alami pada perbukitan karst di Jawa Barat adalah hutan hujan dataran rendah dan
hutan dataran rendah batu gamping. Penjelasan mengenai ekosistemhutan hujan dataran
rendah terdapat pada deskripsi ekoregion dataran vulkanik. Penjelasan mengenai hutan
dataran rendah batu gamping terdapat pada deskripsi ekoregion perbukitan struktural.
Berikut merupakan jasa ekosistem dominan di Kota Tasikmalaya yang dapat dilihat pada tabel
berikut
Tabel II.2 Jasa Ekosistem Dominan di Ekoregion Kota Tasikmalaya
No Nama Ekoregion Wilayah Jasa Ekosistem Dominan
1 Pegunungan Vulkanik G.Halimun Kota Tasikmalaya 1. Produksi Primer
G.Salak G. Sawal 2. Kualitas Udara
3. Bencana
4. Air Bersih
5. Limbah
2 Perbukitan Struktural Ciamis Kota Tasikmalaya 1. Bencana
2. Produksi Primer
3. Genetik
4. Serat
5. Limbah
3 Perbukitan Karst Tasikmalaya Kota Tasikmalaya 1. Bencana
2. Produksi Primer
3. Genetik
4. Hama Penyakit
5. Bencana
Sumber: Dokumen RPPLH Jawa Barat, 2018
B. Perikanan
Untuk wilayah kawasan perikanan, berdasarkan potensi yang ada di wilayah Kota
Tasikmalaya, sub sektor perikanan bertumpu pada perikanan budidaya. Kota Tasikmalaya
merupakan salah satu kota di Jawa Barat yang mempunyai potensi sektor perikanan yang
cukup luas.
Dilihat dari aspek potensi lahan perikanan, dari 10 (sepuluh) kecamatan yang berada di
wilayah Kota Tasikmalaya, terdapat 7 (tujuh) kecamatan yang memiliki potensi perikanan
yang cukup besar diantarannya Kecamatan Cibeureum, Purbaratu, Indihiang, Bungursari,
Cipedes, Kawalu, dan Kecamatan Mangkubumi, dengan komoditas unggulan ikan mas,
gurame, nila dan lele.
C. Peternakan
Kawasan peternakan di Kota Tasikmalaya merupakan sentra produksi peternakan yang
tersebar di Kecamatan Kawalu dengan komoditas unggulan domba, kambing, kerbau, sapi
potong dan introduksi sapi perah serta perunggasan.
Tabel II.4 Luas Panen dan Produksi Padi Palawija Kota Tasikmalaya Tahun 2015
No Jenis Komoditas Luas Panen (ha) Produksi (Ton)
Sungai-sungai yang mengaliri Kota Tasikmalaya adalah Citanduy, Ciloseh, Ciwulan serta
Cibanjaran. Sedangkan anak sungainya yaitu beberapa anak sungai dari Sungai Cibanjaran
yang meliputi Sungai Cihideung/Dalem Suba, Cipedes, Ciromban, Cidukuh, Cicacaban,
Cibadodon, Cikalang, Tonggong Londok, Cibeureum dan Cimulu. Sungai-sungai tersebut
mengalir sepanjang tahun dan bermuara di Sungai Citanduy, kecuali Sungai Ciwulan.
Selain sungai, berdasarkan Buku Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat Tahun 2017 terdapat
6 lokasi situ yang teraliri oleh WS Ciwulan-Cilaki di Kota Tasikmalaya dengan luas 70,90
hektar. Situ-situ tersebut adalah Situ Gede di Kecamatan Mangkubumi, Situ Cibeureum, Situ
Cibanjaran, Situ Malingping, Situ Bojong dan Situ Cicangri di Kecamatan Tamansari. Lain
halnya dengan luasan dengan hasil digitasi peta citra tahun 2016, diketahui bahwa luasan
perairan situ di Kota Tasikmalaya seluas 69,70 hektar, atau selisih sekitar 1,7 hektar.
2. Air Tanah
Selain potensi air permukaan, Kota Tasikmalaya memiliki potensi kandungan air tanah yang
relative dangkal, karena air tanah dapat diperoleh dari sumur dengan kedalaman antara
3,00 - 10,00 m.Kedalaman sumur gali untuk bisa keluar air cukup dangkal, antara 1,50 -
7,00 m. Salah satu sumber air tanah dalam bentuk mata air yang terdapat di Kecamatan
Indihiang – mata air Cibunigeulis – memiliki kapasitas produksi / debit sebesar 15,00 liter
perdetik sampai 60,00 liter per detik saat ini dimanfaatkan oleh PDAM sebagai sumber air
baku.
3. Air hujan
Air permukaan jenis air hujan yang dapat dimanfaatkan untuk sumber daya air setempat
cukup besar.Jika melihat keadaan iklim curah hujan pada tahun 2016 dengan rata-rata
384,68 mm, berpotensi sebagai sumber air yang dapat ditampung baik melalui Sumur
Resapan, Lubang Biopori, Situ dan Sungai yang berada di dalam Kota Tasikmalaya.
2.3.2. Ambang Batas dan Status Daya Dukung Penyedia Air Bersih
Perhitungan dan analisis terhadap daya dukung lingkungan dan ambang batas jasa ekosistem
penyedia air, didahului dengan menghitung ketersediaan dan kebutuhan jasa ekosistem
penyedia air. Perhitungan dan analisis DDLH air bersih dilakukan melalui selisih antara
ketersediaan dengan kebutuhan, selisih ketersediaan air bernilai negative menunjukkan bahwa
kebutuhan air bersih suatu wilayah lebih besar dibandingkan ketersediaannya sehingga
lingkungan hidup wilayah tersebut tidak mampu lagi mendukung kebutuhan air bersih penduduk
di atasnya.
Berdasarkan hasil analisa dan secara visual, selisih antara ketersediaan dengan kebutuhan air
bersih di Kota Tasikmalaya mengalami defisit. Hasl ini sejalan dengan pertumbuhan jumlah
penduduk pada 10 tahun mendatang dan kebutuhan air bersih yang harus dipenuhi. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel II.8 Perhitungan Kebutuhan Dan Ketersediaan Air Bersih Di Kota Tasikmalaya Tahun
2017-2027
No Tahun Kebutuhan Rata-rata (l/dtk) Ketersediaan (l/dtk) Kekurangan (l/dtk)
1 2017 864.1 224.2 639.9
2 2018 873.9 224.2 649.7
3 2019 883.7 224.2 659.5
4 2020 1,042.7 224.2 818.5
5 2021 1,581.7 224.2 1357.5
6 2022 1,599.6 224.2 1375.4
7 2023 1,617.7 224.2 1393.5
8 2024 1,649.6 224.2 1425.4
9 2025 1,682.0 224.2 1457.8
10 2026 2,090.6 224.2 1866.4
11 2027 2,131.4 224.2 1907.2
Sumber: Masterplan Air Minum Kota Tasikmalaya
Penentuan status daya dukung lingkungan terhadap pengelolaan serta penggunaan sumberdaya
air dilakukan dengan membandingkan total ketersediaan air dan total kebutuhan air. Dari hasil
perhitungan daya dukung dengan menggunakan konsep perhitungan sesuai Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup No. 17 Tahun 2009, kebutuhan air pada Kota Tasikmalaya pada tahun 2017
adalah sebesar 1,324,665,381 m3/tahun. Berdasarkan perhitungan proyeksi selama 10 tahun
kedepan *(2018 – 2027) merupakan prediksi yang diketahui kebutuhan airnya terus meningkat.
Jika diperkirakan ketersediaan air (SA) tetap dan tidak bertambah yaitu sebesar 1,217,130,624
m3/tahun dikarenakan dalam penggunaan lahan untuk tahun kedepannya (2018 – 2027) tidak
diketahui, jadi ketersediaan air pada tahun 2017 dijadikan acuan untuk memprediksi tahun
(2018 – 2027). Apabila ketersediaan air diasumsikan akan tetap dan tidak bertambah maka
dapat dilihat status daya dukung air defisit (tidak mencukupi kebutuhan air) baik dari segi
kebutuhan domestik maupun kebutuhan pangan dan lainnya.
Oleh karena itu, untuk menjamin ketersediaan air di Kota Tasikmalaya tetap mencukupi untuk
kebutuhan hidup layak penduduk maka masyarakat setempat agar mampu mempertahankan
fungsi lahan menurut aspek konservasi dan mencegah degradasi maka langkah yang dilakukan
oleh manajemen pertanian dan perkebunan adalah dengan mempertahankan wilayah konservasi
sebagai penampung alami. Hal ini sesuai dengan penelitian Rusmayadi (2011) bahwa dengan
tetap mempertahankan wilayah konservasi sebagai penampungan alami. Guna memenuhi
kebutuhan air, fungsi lingkungan yang terkait dengan sistem tata air harus dilestarikan dengan
tetap mempertimbangkan kelestarian lingkungan sekitar. Oleh karena itu, potensi sumber daya
air yang tersedia perlu direncanakan dengan baik pemanfaatan dan konservasinya. Selain itu,
apabila permasalahan ketersediaan air tidak disikapi dengan pemanfaatan air yang lebih
proporsional, maka dikhawatirkan akan terjadinya krisis air kedepannya.
Tabel II.10 Hasil dan Status Mutu Air Sungai Kota Tasikmalaya
Frekuensi Status Mutu Air
No Sungai Yang Dipantau Lokasi Sampling
Pemantauan Periode I Periode II
1 Sungai Ciwulan Jl. Leuwi Budah Kp. Tanjung 2 Kali 2,75 2,24
Loka (Sasak Gantung) RT
03/03 Kec. Kawalu
Jl. KH. Syeh Abdul Muhyi 2 Kali 2,27 1,93
Jembatan Sukaraja
(Perbatasan Kota Tasik
dengan Kabupaten Tasik)
Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan di beberapa titik lokasi pemantauan selama dua
periode pemantauan dengan asumsi musim hujan dan musim kemarau tampak bahwa sungai
yang dipantau tidak memenuhi baku mutu sebagai badan air kelas II dengan status yang
bervariasi dimulai dari Cemar Ringan hingga Cemar Sedang. Parameter yang tidak memenuhi
baku mutu antara lain adalah TSS, BOD, COD, nitrit, logam Cr6+, logam Zn, khlorida bebas, Total
Posfat, Minyak & Lemak,E. Coli dan Total Coliform.
Berdasarkan sumbernya, pencemaran dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu pencemaran
yang bersumber dari rumah tangga (domestik), limbah industri dari perusahaan, dan limbah
pertanian/perkebunan. Berbagai macam sumber pencemar menunjukkan bahwa konsentrasi
senyawa pencemar sangat bervariasi, hal ini disebabkan karena sumber air limbah juga
bervariasi sehingga faktor waktu dan metode pengambilan sampling sangat mempengaruhi
besarnya konsentrasi.
Berdasarkan hasil pemantauan terhadap kualitas air sungai di Kota Tasikmalaya tampak bahwa
sungai dalam keadaan Tercemar Ringan dan TercemarSedang. Dilihat dari parameter yang
melampaui baku mutu, tampak bahwa bahan pencemar merupakan bahan organik. Hal ini
ditandai dengan tingginya nilai BOD dan rendahnya kadar oksigen yang terlarut dalam air
(parameter DO). Kemungkinan bahan organik tersebut berasal dari kegiatan domestik dan home
industri yang bergerak diberbagai bidang Industri.
3. Peningkatan kinerja unit pengolah sampah kelompok masyarakat (3R) di Kota Tasikmalaya,
serta melibatkan pihak swasta dalam pengelolaan sampah sehingga dapat bernilai ekonomis
dan berkelanjutan.
4. Pengangkutan ke TPA direncanakan menggunakan Arm Roll dengan steel container.
Pertimbangan digunakan armada jenis Arm Roll bukan Compactor karena dari segi efisiensi
dan biaya operasional dan pemeliharaan. Arm Roll lebih efisiensi karena umumnya jarak
angkut dari TPS ke TPA Ciangir tidak terlalu jauh dengan demikian tidak perlu ada proses
pemadatan dalam pengangkutan sampah. Dalam hal biaya pemeliharaan, Compactor
memerlukan biaya tinggi, mengingat dengan adanya proses pemadatan yang menyebabkan
sampah dengan kandungan organik tinggi akan mengeluarkan lindi, hal tersebut rawan
terjadi pengkaratan apabila tidak dilakukan pemeliharaan secara cermat.
5. Pengomposan sampah dilakukan dilakukan oleh pihak DLHPK bermitra dengan swasta atau
pihak lainnya. Diarahkan untuk menerapakan pengomposan skala kawasan. Proses
pengomposan dilakukan sebagai usaha minimasi limbah tertimbun di TPA, bukan untuk
mencari keuntungan ekonomis semata. Karena itu, produksi kompos akan dikembalikan
kepada masyarakat yang berminat untuk memanfaatkannya dan juga akan dilakukan kerja
sama dengan pihak atau instansi atau dinas lainnya yang terkait dengan penggunaan produk
kompos sebagai pengganti pupuk kimia, misalnya Dinas Pertamanan Kota atau Dinas
Pertanian.
6. Pembuangan akhir menerapkan sistem controlled landfill yang mengarah pada perbaikan
operasi menuju sistem lahan urug terkendali (sanitary landfill).
7. TPA Ciangir tetap dipertahankan dan dicari peluang kerja sama dengan pijak luar. Untuk
menambah masa layan TPA, direkomendasikan untuk dilakukan ‘mining TPA’.
8. Insinerator sebagai pemusnah sampah, tidak direkomendasikan untuk dipergunakan di Kota
Tasikmalaya, selain teknologi ini merupakan teknologi biaya besar, perlu ada kajian
kelayakan mendalam untuk pemanfaatannya, mengingat komposisi sampah layak bakar di
Kota Tasikmalaya masih terlalu kecil.
9. Namun demikian insinerator diwajibkan dalam penanganan sampah medis rumah sakit.
Diharapkan setiap rumah sakit di Kota Tasikmalaya dapat memiliki pengelolaan sampah
medis yang memadai dengan adanya insinerator bersama antar beberapa rumah sakit.
10. Rencana pengelolaan sampah dilandasi oleh target seminimal mungkin sampai diangkut dan
dibuang ke TPA. Daur ulang sampah anorganik dilaksanakan dengan pemberdayaan SIDUS,
sedangkan minimasi sampah organik dilakukan dengan menjalankan pengomposan.
11. Selama 10 tahun, sistem pengelolaan sampah Kota Tasikmalaya diarahkan untuk
menangani sampah domestik, yaitu sampah yang bersumber dari aktifitas kehidupan
manusia, dan bukan sampah dari suatu proses produksi atau sampah hasil kegiatan medis.
12. Limbah industri, atau sampah hasil proses produksi, adalah tanggung jawab setiap lembaga
atau individu dan atau badan yang menghasilkannya dan tidak menjadi tanggung jawab
DLHPK. Hal tersebut telah diatur oleh undang-undang tentang pengelolaan B3 dari industri
untuk dikelola oleh pihak yang telah ditunjuk pemeritah.
13. Pengelolaan sampah B3 rumah tangga, misalnya kaleng kemasan Insektisida, batu baterai
bekas dan lain sebagainya secara bertahap harus menjadi tanggung jawab Pemerintah. Akan
tetapi dalam pengelolaannya harus diterapkan konsep ‘back to produsen’. Hal ini
dimaksudkan Pemerintah bertanggung jawab dalam proses perolehan kembali limbah
tersebut dari dalam timbulan sampah kota, selanjutnya pengelolaan hingga pemusnahannya
harus melibatkan para produsen. Disebabkan panjangnya mata rantai sistem pengelolaan
sampah B3 Rumah Tangga yang harus dipersiapkan, maka dalam 10 tahun mendatang
sistem pengelolaan sampah Kota Tasikmalaya belum diorientasikan untuk mengelolanya.
Berdasarkan data hasil pengujian kualitas udara di 10 (sepuluh) titik pemantauan, frekuensi
pengukuran sebanyak 1 (satu) periode, terdapat parameter yang melebihi ambang batas yaitu
kebisingan. Sumber-sumber pencemar yang berpotensi meningkatkan parameter kebisingan
antara lain :
1. Sumber bergerak
Suara knalpot Kendaraan bermotor roda 2 maupun 4.
2. Sumber tidak bergerak
- Aktifitas industri kecil maupun besar,
- Aktifitas masyarakat sehari-hari (Pasar, rumah tangga).
Untuk mengurangi potensi kebisingan dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Penerapan aturan yang ketat dan konsisten terhadap emisi suara dari sumber kendaraan
bermotor roda 2 maupun 4.
2. Lokalisasi terhadap sumber pencemar yang tidak bergerak yaitu industri maupun
pemukiman.
Berdasarkan data hasil pemantauan kualitas emisi sumber tidak bergerak dari 13 (tiga belas)
titik cerobong emisi sumber tidak bergerak berdasarkan jenis cerobong dan bahan bakarnya
semuanya masih di bawah bakumutu yang telah ditentukan. Hal ini harus terus dipertahankan
dengan terus melakukan pemantauan kualitas emisi sumber tidak bergerak agar kualitas
emisinya terjaga sehingga tidak mencemari lingkungan.
Zona rawan bencana gerakan tanah (longsor) adalah kawasan lindung ataukawasan budi
daya yang meliputi zona-zona berpotensi longsor. Kawasan rawanbencana gerakan tanah di
Kota Tasikmalaya berdasarkan aspek fisik alami dan aspek aktifitas manusia merupakan
gerakan tanah Tipe C dengan tingkat kerawanan rendah dan tingkat resiko rendah.