Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN AKHIR

RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA TASIKMALAYA


TAHUN ANGGARAN 2018

2.1. DESKRIPSI EKOREGION DI KOTA TASIKMALAYA


2.1.1. Gambaran Umum Ekoregion di Kota Tasikmalaya
Ekoregion merupakan wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora dan
fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem
alam dan lingkungan hidup. Sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dinyatakan bahwa penetapan wilayah
ekoregion dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan:
a. Karakteristik bentang alam;
b. Daerah aliran sungai;
c. Iklim;
d. Flora dan fauna;
e. Sosial-budaya;
f. Ekonomi;
g. Kelembagaan masyarakat; dan
h. Hasil inventarisasi lingkungan hidup.
Ekoregion dipahami sebagai karakter lahan yang berperan sebagai penciri sifat dan faktor
pembatas (constraints) potensi lahan yang sesuai dengan daya dukung dan daya tampungnya.
Dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, Indonesia telah menetapkan
ekoregion sebagai acuan dalam pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan hidup.
Penetapan ekoregion menjadi dasar dan memiliki peran yang sangat penting dalam melihat
keterkaitan, interaksi, interdependensi, dan dinamika pemanfaatan berbagai sumber daya alam
antar ekosistem dalam satu wilayah ekoregion. Suatu ekoregion dapat terletak di dalam
beberapa wilayah administrasi, sehingga salah satu tujuan pendekatan ekoregion adalah untuk
memperkuat dan memastikan terjadinya koordinasi antar wilayah administrasi yang saling
bergantung dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup yang mencakup persoalan
pemanfaatan, pencadangan sumber daya alam maupun permasalahan lingkungan hidup. Selain
itu, tujuan lainnya dari penetapan ekoregion adalah agar secara fungsional dapat menghasilkan
perencanaan perlindungan-pengelolaan lingkungan hidup, pemantauan, dan evaluasinya secara
bersama antar daerah yang saling bergantung, meskipun dalam kegiatan operasional
pembangunan tetap dijalankan masing-masing oleh dinas wilayah administrasi sesuai
kewenangannyamasing-masing.
Penentuan wilayah dan pemetaan ekoregion dimaksudkan untuk dapat digunakan dalam
berbagai tujuan, yaitu :
a. Sebagai unit analisis dalam penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

BAB II KARAKTERISTIK EKOREGION 2- 1|


LAPORAN AKHIR
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2018

b. Sebagai dasar dalam memberikan arahan untuk penetapan rencana perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup (RPPLH) dan untuk perencanaan pembangunan yang
disesuaikan dengan karakter wilayah.
c. Memperkuat kerjasama dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup yang
mengandung persoalan pemanfaatan, pencadangan sumber daya alam maupun persoalan
lingkungan hidup.
d. Sebagai acuan untuk pengendalian dan pelestarian jasa ekosistem/lingkungan yang
mempertimbangkan keterkaitan antar ekosistem yang satu dengan ekosistem yang lain
dalam satu ekoregion, sehingga dapat dicapai produktivitas optimal untuk mendukung
pembangunan yang berkelanjutan.
Penetapan ekoregion dilakukan dengan pendekatan konsep bentang lahan. Dengan konsep
tersebut, ekoregion dapat dipetakan berdasarkan kesamaan ciri morfologi dan morfogenesa
bentuk lahan yang ada pada sistem lahan. Aspek morfologi mencirikan bentuk permukaan lahan
yang dicerminkan oleh ketinggian relief lokal dan kelerengan. Sedangkan aspek morfogenesa
mencirikan proses asal usul terbentuknya bentuk lahan. Klasifikasi lahan dengan konsep sistem
lahan dilakukan berdasarkan prinsip ekologi yang mengasumsikan adanya hubungan erat yang
saling mempengaruhi antara agroklimat, tipe batuan, bentuk lahan, tanah, kondisi hidrologi, dan
organisme.
Morfologi bentuk lahan diklasifikasikan menjadi tiga kelas, yaitu:
1. Dataran;
2. Perbukitan; dan
3. Pegunungan.
Sedangkan morfogenesa bentuk lahan diklasifikasikan menjadi delapan kelas, yaitu:
1. Marin/pantai;
2. Fluvial yaitu bentuk lahan yang terbentuk dari proses sedimentasi karena aliran air sungai;
3. Fluviovulkanik;
4. Karst yaitu bentuk lahan yang terbentuk dari hasil pelarutan batu gamping;
5. Organik/koral;
6. Struktural yaitu bentuk lahan yang terbentuk dari proses tektonik;
7. Vulkanik yaitu bentuk lahan yang terbentuk dari hasil letusan gunung berapi;
8. Denudasional yaitu bentuk lahan yang terbentuk dari proses gradasi dan degradasi yang
umumnya pada lahan berbatuan sedimen.

2.1.2. Jenis Ekoregion di Kota Tasikmalaya


Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. ........... (diisi) Tahun
2017, Jenis ekoregion di Kota Tasikmalaya, antara lain ekoregion kompkeks pegunungan
vulkanik Gunung Halimun-Gunung Salak-Gunung Sawal dan ekoregion kompleks perbukitan kars
Tasikmalaya.Berikut penjelasan mengenai ekoregion yang terdapat di Kota Tasikmalaya.

- Peta Ekoregion Kota Tasikmalaya

2.1.2.1. Ekoregion Pegunungan Vulkanik

BAB II KARAKTERISTIK EKOREGION 2- 2|


LAPORAN AKHIR
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2018

Ekoregion pegunungan vulkanik G. Halimun - G. Salak - G. Sawal terdapat secara


membentang di bagian tengah Provinsi Jawa Barat. Salah satu daerah yang dilalui oleh
ekoregion ini yaitu Kota Tasikmalaya.
Pegunungan vulkanik merupakan daerah yang berupa kerucut vulkanik. Ekoregion ini
tersusun dari produk letusan gunung berapi berupa perselingan batuan beku ekstrusif dan
material piroklastik. Hasil letusan gunung berapi membentuk bentuk lahan bertopografi
bergunung, berlereng terjal, kemiringan lereng rata-rata 45% dan amplitudo relief > 300 m.
Ekoregion ini dapat ditemukan di bagian tengah dan selatan Jawa Barat.
Ekoregion ini umumnya beriklim tropika basah dengan suhu rata-rata 16-200C. Curah hujan
tahunan berkisar antara 3.000-4.500 mm. Ekoregion ini memiliki sumber daya air
permukaan dan air tanah yang melimpah sepanjang tahun, sehingga pegunungan vulkanik
berperan sebagai sumber cadangan air yang sangat besar. Aliran sungai dengan pola radial
atau semiradial mengalir sepanjang tahun. Pada tekuk lereng bawah atau lereng kaki banyak
dijumpai mata air artesis dan air terjun. Jenis tanah yang dominan adalah andosol, latosol,
dan litosol. Jenis tanah andosol dan latosol tergolong subur.
Sebagian besar kawasan ekoregion ini masih berhutan lebat. Meskipun begitu, karena
kondisi tanah yang tergolong subur, sebagian kecil wilayah pada beberapa daerah
dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Kondisi iklim yang sejuk dan tanah yang subur
menjadikan pemanfaatan lahan di ekoregion ini berupa pertanian yang didominasi tanaman
sayuran dan buah-buahan. Selain itu, kondisi ekoregion ini yang sejuk, berhutan lebat, dan
memiliki banyak kawah vulkanik dapat dimanfaatkan sebagai daerah wisata.
Ekoregion ini berasosiasi dengan jajaran pegunungan vulkanik di Jawa Barat. Sebagian besar
kawasan ekoregion ini masih berhutan lebat dan memiliki keanekaragaman hayati yang
tinggi karena sebagian besar wilayah ekoregion ini berstatus sebagai kawasan konservasi,
yaitu Cagar Alam (CA), Taman Wisata Alam (TWA), Suaka Margasatwa (SM), dan Taman
Nasional (TN). Ekoregion ini dapat ditemukan di wilayah CA/TWA Telaga Bodas di Kabupaten
Garut dan Tasikamalaya(BPLHD Jawa Barat, 2008). Jasa ekosistem maksimal pada
ekoregion Pegunungan Vulkanik Gunung Ciremai adalah jasa pengendalian hama dan
penyakit, sementara jasa ekosistem maksimal di Pegunungan Vulkanik G.Halimun-G. Salak-G.
Sawal adalah produksi primer.
Sebagian besar ekosistem alami pada dua kelompok ekoregion pegunungan vulkanik Jawa
Barat adalah hutan hujan dataran rendah. Ekosistem tersebut dapat dikelompokkan
berdasarkan ketinggian tempatnya, mulai dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi
secara berurutan adalah hutan hujan dataran rendah (kurang dari 1.000 m), hutan
subpegunungan (1.000-1.500 m), hutan pegunungan (1.500-2.400 m), dan hutan subalpin
(lebih dari 2400 m).
Kondisi ekosistem hutan tersebut memiliki pola yang menarik seiring dengan bertambahnya
ketinggian. Dari segi struktur hutannya, secara umum tinggi pepohonan yang menyusun
hutan akan semakin pendek seiring dengan bertambahnya ketinggian, sementara jumlah
individu pohon atau kerapatan hutan akan meningkat seiring dengan bertambahnya
ketinggian. Ukuran diameter batang pohon cenderung semakin kecil seiring dengan
bertambahnya ketinggian tempat. Sementara itu, dari segi keanekaragaman jenis vegetasi,
jumlah jenis/spesies tumbuhan akan semakin sedikit seiring dengan bertambahnya
ketinggian tempat dan seiring dengan bertambahnya ketinggian terjadi perubahan komposisi
jenis tumbuhan (van Steenis, 2006).
Jenis dan jumlah fauna yang dapat ditemukan di ekosistem hutan hujan dataranrendah
menuju hutan pegunungan juga semakin sedikit seiring denganbertambahnya ketinggian. Hal
ini disebabkan oleh penurunan suhu yang terjadi seiring dengan bertambahnya ketinggian
sehingga kehadiran fauna ditentukan oleh kemampuan adaptasi terhadap suhu. Fauna dari
kelompok herpetofauna (amfibi, reptil, dan ular) yang merupakan hewan berdarah dingin
banyak ditemukan pada hutan dataran rendah, namun jarang ditemukan pada lokasi yang
tinggi karena tidak dapat beradaptasi terhadap suhu dingin. Berbagai jenis serangga, burung,

BAB II KARAKTERISTIK EKOREGION 2- 3|


LAPORAN AKHIR
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2018

dan mamalia dapat ditemukan pada ekosistem hutan pegunungan. Jenis mamalia arboreal
seperti lutung jawa dan owa jawa serta karnivora langka seperti macan tutul (Panthera
pardus melas) serta spesies babi hutan hanya dapat ditemukan hingga hutan
subpegunungan, namun beberapa jenis tikus dapat ditemukan hingga hutan subalpin
(Whitten, Soeriaatmadja, & Afiff, 1996).
Hutan sub-pegunungan terdapat pada ketinggian 1.000-1.500 m, memiliki kondisi vegetasi
pepohonan yang tinggi dan terdiri atas beberapa lapisan tajuk, banyak dijumpai jenis
anggrek, liana/tumbuhan perambat, dan paku-pakuan yang menempel pada batang
pepophonan. Zona hutan subpegunungan biasanya didominasi oleh berbagai jenis tumbuhan
dari famili Fagaceae (Quercus, Lithocarpus, Castanopsis) Lauraceae, serta jenis Puspa
(Schima wallichii), Ki Hujan (Engelhardia spicata), dan Rasemala (Altingia excelsa). Selain itu
dapat ditemukan pula spesies-spesies lainnya seperti berbagai jenis dari famili Myrtaceae
(BPLHD Jawa Barat, 2008).
Hutan pegunungan terdapat pada ketinggian 1.500-2.400 m, memliki kondisi vegetasi
pepohonan yang tinggi dan terdiri atas beberapa lapisan tajuk namun lebih pendek
dibandingkan pepohonan di hutan sub-pegunungan. Pada zona ini struktur hutan lebih rapat
dengan jumlah individu pepohonan lebih banyak dibandingkan hutan subpegunungan,
namun batang pohon secara umum lebih kecil dan mulai ditutupi oleh lumut. Jumlah total
jenis tumbuhan yang ditemukan lebih sedikit jika dibandingkan dengan hutan sub-
pegunungan. Sedangkan tumbuhan dominan yang ditemukan di zona ini diantaranya adalah
Jamuju (Dacrycarpus imbricatus) dan beberapa jenis dari famili Myrtaceae. Selain itu pada
zona ini juga dapat mulai ditemui jenis-jenis tumbuhan yang mengisi zona sub-alpin seperti
Eurya obovata, Rhododendron retusum, Segel (Myrsine affinis) (BPLHD Jawa Barat, 2008)
sehingga zona ini dapat dikatakan zona peralihan komposisi jenis vegetasi (van Steenis,
2006).
Formasi hutan yang terdapat pada zona paling tinggi adalah hutan sub-alpin (>2.400 m).
Hutan sub-alpin tersusun atas pepohonan dengan ukuran batang yang kecil, pendek, dan
ditutupi oleh lumut yang tebal, serta hanya terdiri dari satu lapisan tajuk. Keanekaragaman
jenis pada zona ini paling rendah dibandingkan dua zona hutan di bawahnya. Jenis yang
mendominasi hutan sub-alpin diantaranya Cantigi (Vaccinium spp), Segel (Myrsine affinis),
dan Jirak (Symplocos). Sedangkan jenis tumbuhan lain yang dapat ditemukan di hutan sub-
alpin hanya sedikit, diantaranya Leptospermum flavescens, Myrica javanica, dan Eurya
obovata. Tumbuhan-tumbuhan tersebut biasanya teradaptasi untuk dapat bertahan hidup
dengan cekaman berupa gas sulfur yang berasal dari kawah. Selain itu pada zona sub-alpin
di beberapa gunung biasanya ditemukan padang rumput yang berasosiasi tumbuhan perdu
Edelweis Jawa (Anaphalis javanica) yang terkenal sebagai bunga abadi (BPLHD Jawa Barat,
2008).

2.1.2.2. Perbukitan Kars


Satuan ekoregion perbukitan karst di Jawa Barat bernama perbukitan karst Tasikmalaya.
Ekoregion ini terdapat di Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Pangandaran. Ekoregion
perbukitan karst biasanya beriklim basah dengan curah hujan tahunan tergolong tinggi
sebagai media utama proses pelarutan batuan (solusional) serta memiliki perbedaan yang
tegas antara musim kemarau dan musim penghujan.
Material dominan pada ekoregion perbukitan karst adalah batuan sedimen organik atau non
klastik berupa batu gamping terumbu (limestone, CaCO3), batu gamping napal atau batu
gamping dolomit, yang pada beberapa tempat telah mengalami metamorfosis menjadi kalsit.
Batuan ini terbentuk sebagai hasil metamorfosis terumbu yang tumbuh pada lingkungan laut
dangkal yang mengalami pengangkatan oleh aktivitas tektonik dan gunung berapi purba.
Berstruktur banyak retakan yang disebut diaklast dan bersifat mudah larut.
Morfologi ekoregion ini berbukit-bukit dengan pola membentuk jajaran kerucut karst dengan
lembah-lembah yang unik (doline atau uvala) yang didukung oleh relief pada permukaan

BAB II KARAKTERISTIK EKOREGION 2- 4|


LAPORAN AKHIR
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2018

batuan yang unik (karren), dan potensi gua-gua karst dengan berbagai fenomena alam unik
yang dimilikinya (ornament gua dan sungai bawahtanah). Keunikan fenomena alam ini
terbentuk oleh proses pelarutan material sedimen organik berupa batu gamping terumbu.
Kemiringan lereng ekoregion inibervariasi sesuai ukuran kerucut karst, yang bervariasi antara
berbukit rendah dengan lereng miring (15-30%) hingga berbukit tinggi dengan lereng curam
(30-40%).
Variasi topografi berupa kerucut dan lembah-lembah karst yang unik dengan struktur batuan
berupa laur-alur retakan (diaklast) dan zona pelarutan yang rumit, menyebabkan hampir
tidak dijumpai aliran permukaan berupa sungai. Pola aliran sungai pada umumnya
membentuk pola basinal yaitu pola aliran berupa alur-alur sungai pendek yang menghilang
atau masuk pada suatu lubang pelarutan berupa ponor di dasar lembah karst atau masuk ke
dalam lubang (sinkhole) sebagai bagian dari sistem sungai bawah tanah. Hidrologi yang
berkembang pada ekoregion ini adalah hidrologi permukaan berupa telaga-telaga karst
(logva) dan sungai bawah dengan potensi aliran yang besar. Munculnya mata air
dimungkinkan berupa mata air topografik atau basinal pada lembah-lembah karst, atau mata
air struktur akibat retakan atau patahan lokal.
Material batu gamping dengan proses pelarutan dan pelapukan intensif menyebabkan
pembentukan tanah yang spesifik berupa tanah merah (terrarosa atau mediteran). Tanah ini
relatif bersifat marginal, bertekstur lempungan, kurang subur, pH tinggi (basa), dan
kandungan hara rendah (kecuali kandungan Ca dan Mg yang tinggi), yang menempati pada
lembah-lembah karst dengan pemanfaatan untuk pertanian lahan kering (ladang), dengan
tanaman berupa padi gogo (beras merah), kacang tanah, jagung, tebu, dan tanaman hutan
rakyat berupa jati, mahoni, akasia, dan sengon. Sementara pada bukit-bukit karst sebagian
besar didominasi oleh batuan induk yang keras sehingga pembentukan tanah sangat lambat
dan mempunyai solum tipis yang disebut tanah litosol. Pemanfaatan lahan pada lereng-
lereng bukit karst secara umum berupa ladang tadah hujan dengan teras-teras miring dan
kebun campuran dengan tanaman dominan berupa jati dan mahoni yang dapat tumbuh
dengan baik pada ekoregion ini karena mampu beradaptasi pada tanah marginal dengan pH
tinggi dan perbedaan musim kemarau dan penghujan yang sangat tegas. Fauna yang sering
dijumpai di wilayah karst adalah berbagai jenis kelelawar yang memanfaatkan gua-gua
sebagai tempat tinggalnya (BPLHD Jawa Barat, 2008). Jasa ekosistem maksimal pada
ekoregion ini adalah jasa perlindungan dan pencegahan dari bencana.
Ekosistem alami pada perbukitan karst di Jawa Barat adalah hutan hujan dataran rendah dan
hutan dataran rendah batu gamping. Penjelasan mengenai ekosistemhutan hujan dataran
rendah terdapat pada deskripsi ekoregion dataran vulkanik. Penjelasan mengenai hutan
dataran rendah batu gamping terdapat pada deskripsi ekoregion perbukitan struktural.

2.1.3. Jasa Ekosistem Maksimum


Dalam setiap ekoregion yang terdiri dari beberapa tipe ekosistem, terdapat satu atau lebih jasa
ekosistem yang dihasilkan. Jasa ekosistem merupakan produk yang dihasilkan oleh ekosistem
untuk dapat dimanfaatkan oleh manusia. Terdapat empat kelompok jasa ekosistem yaitu : jasa
ekosistem penyedia, pengaturan, pendukung, dan kultural; yang kemudian dibagi menjadi
beberapa sub-jenis/kelompok. Sedangkan jasa ekosistem maksimum merupakan jasa ekosistem
yang dominan yang dihasilkan oleh setiap unit ekoregion.

Tabel II.1 Klasifikasi Jasa Ekosistem


No Klasifikasi Jasa Ekosistem Definisi
A Fungsi Penyediaan
1 Pangan Hasil laut, pangan dari hutan (tanaman dan hewan), hasil
pertanian dan perkebunan untuk pangan, hasil peternakan
2 Air Bersih Penyediaan air dari tanah (temasuk kapasitas
penyimpanannya), penyediaan air dari sumber permukaan

BAB II KARAKTERISTIK EKOREGION 2- 5|


LAPORAN AKHIR
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2018

No Klasifikasi Jasa Ekosistem Definisi


3 Serat Hasil hutan, hasil laut, hasil pertanian dan perkebunan untuk
material
4 Bahan Bakar Penyediaan kayu bakar dan bahan bakar yang berasal dari fosil
B Fungsi Pengaturan
1 Iklim Pengaturan suhu, kelembaban dan hujan, pengendalian gas
rumah kaca dan karbon
2 Tata aliran air dan banjir Siklus hidrologi, serta infrastruktur alam untuk penyimpanan
air, pengendalian banjir, dan pemeliharaan air
3 Pencegahan dan perlindungan Infrastruktur alam pencegahan dan perlindungan dari
dari bencana kebakaran lahan, erosi, abrasi, longsor, badai dan tsunami
4 Pemurnian air Kapasitas badan air dalam mengencerkan, mengurai dan
menyerap pencemar
5 Pengolahan dan penguraian Kapasitas lokasi dalam menetralisir, mengurai dan menyerap
limbah limbah dan sampah
6 Pemeliharaan kualitas udara Kapasitas mengatur sistem kimia udara
7 Penyerbukan alami (pollination) Distribusi habitat spesies pembantu proses penyerbukan alami
8 Pengendalian hama dan Distribusi habitat spesies trigger dan pengendali hama dan
penyakit penyakit
C Fungsi Budaya
1 Spiritual dan warisan leluhur Ruang dan tempat suci, peninggalan sejarah dan leluhur
2 Tempat tinggal dan ruang hidup Ruang untuk tinggal dan hidup sejahtera, jangkar “kampung
(sense of place) halaman” yang memiliki nilai sentimental
3 Rekreasi dan ekoturisme Fitur lansekap, keunikan alam, atau nilai tertentu yang menjadi
daya tarik wisata
4 Estetika Keindahan alam yang memiliki nilai jual
5 Pendidikan dan pengetahuan Memiliki potensi untuk pengembangan pendidikan dan
pengetahuan
D Fungsi Pendukung
1 Pembentukan lapisan tanah dan Kesuburan tanah
pemeliharaan kesuburan
2 Siklus hara (nutrient) Kesuburan tanah, tingkat produksi pertanian
3 Produksi primer Produksi oksigen, penyediaan habitat spesies
Sumber: Millenium Ecosystem Assessment, 2005; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2011

Berikut merupakan jasa ekosistem dominan di Kota Tasikmalaya yang dapat dilihat pada tabel
berikut
Tabel II.2 Jasa Ekosistem Dominan di Ekoregion Kota Tasikmalaya
No Nama Ekoregion Wilayah Jasa Ekosistem Dominan
1 Pegunungan Vulkanik G.Halimun Kota Tasikmalaya 1. Produksi Primer
G.Salak G. Sawal 2. Kualitas Udara
3. Bencana
4. Air Bersih
5. Limbah
2 Perbukitan Struktural Ciamis Kota Tasikmalaya 1. Bencana
2. Produksi Primer
3. Genetik
4. Serat
5. Limbah
3 Perbukitan Karst Tasikmalaya Kota Tasikmalaya 1. Bencana
2. Produksi Primer
3. Genetik
4. Hama Penyakit
5. Bencana
Sumber: Dokumen RPPLH Jawa Barat, 2018

BAB II KARAKTERISTIK EKOREGION 2- 6|


LAPORAN AKHIR
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2018

BAB II KARAKTERISTIK EKOREGION 2- 7|


LAPORAN AKHIR
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2018

2.2. POTENSI, SEBARAN DAN PEMANFAATAN SDA PRIORITAS DI EKOREGION


KOTA TASIKMALAYA
2.2.1. Sumber Daya Geologi
Sumber daya geologi berupa sumber daya mineral yang terkandung dan berada di Kota
Tasikmalaya cukup beragam, dimana sumber daya alam ini berpotensi sebagai penunjang
pertumbuhan ekonomi wilayah dan pengembangan wilayah. Jenis-jenis sumber daya mineral
yang terdapat di Kota Tasikmalaya cukup beragam dan terdiri dari 17 jenis sumber daya mineral.
Beberapa diantaranya yang memiliki potensi produksi dalam jangka panjang adalah jenis mineral
batu kapur/gamping, marmer dan andesit. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel potensi
sumber daya mineral berikut:

Tabel II.3 Potensi Sumber Daya Mineral Di Kota Tasikmalaya


No Jenis Komoditas Tambang Potensi (Ton)
1 Andesit 127.240.313
2 Batu Kapur/Gamping 1.436.543.103
3 Bentonite 12.525.193
4 Feldspar 9.268.314
5 Fospat 7.840
6 Kaolin 2.413.216
7 Marmer 134.656.250
8 Pasir dan tanah urug 18.152.280
9 Sirtu 120.161.549
10 Tanah liat 6.986.823
11 Zeolite 12.908.000
12 Pasir besi 7.456.507
13 Emas 350.000
14 Mangan 300.000
15 Gypsum 1.449.115
16 Tembaga 210
17 Bijih besi 41.346.000
Sumber: Badan Geologi, 2012

Kawasan peruntukan pertambangan di Kota Tasikmalaya adalah bagi pertambangan golongan


bahan galianC. Kawasan tersebut meliputi daerah yang saat ini sedang ditambang beserta
dengan cadangan dimanatambang berada. Kawasan peruntukan tambang di Kota Tasikmalaya
terdapat di Kecamatan Bungursari, Kecamatan Indihang dan Kecamatan Mangkubumi dengan
jenis bahan galian berupa pasir dan batu andesit.

2.2.2. Sumber Daya Kehutanan


Sumber daya kehutanan di Kota Tasikmalaya memiliki beberapa kawasan hutan, diantaranya
kawasan hutan produksi, kawasan hutan rakyat, dan kawasan pertanian.

2.1.2.1. Kawasan Hutan Produksi


Kawasan hutan produksi di Kota Tasikmalaya tersebar di Kecamatan Kawalu, Kecamatan
Purbaratu, Kecamatan Tamansari dengan luas kurang lebih 373,04 Ha.Kawasan hutan
produksi komoditas unggulan tedapat di Kecamatan Kawalu dan Tamansari dengan komoditas
unggulan kayu mahoni, bambu, sengon, jati dan manglid dimanfaatkan untuk hutan produksi.
Di samping produksi kayu, hutan produksi menghasilkan produksi non kayu seperti jamur,
lebah madu dan sarang burung walet. Kawasan peruntukan hutan produksi ini berfungsi juga
sebagai hutan kota. Kategori hutan produksi tersebut adalah hutan produksi tetap.

BAB II KARAKTERISTIK EKOREGION 2- 8|


LAPORAN AKHIR
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2018

2.1.2.2. Kawasan Peruntukan Hutan Rakyat


Hutan rakyat adalah hutan-hutan yang dibangun dan dikelola oleh rakyat, kebanyakan berada
di atas tanah milik atau tanah adat.Secara teknik, hutan-hutan rakyat ini pada umumnya
berbentuk wanatani; yakni campuran antara pohonpohonan dengan jenis-jenis tanaman bukan
pohon. Baik berupa wanatani sederhana, ataupun wanatani kompleks (agroforest) yang sangat
mirip strukturnya dengan hutan alam.
Kota Tasikmalaya memiliki hutan Rakyat di beberapa daerah. Kecamatan Kawalu, Kecamatan
Purbaratu, Kecamatan Tamansari dengan luas kurang lebih 858,87 Ha.
Ada beberapa macam hutan rakyat menurut status tanahnya. Di antaranya:
1. Hutan milik, yakni hutan rakyat yang dibangun di atas tanah-tanah milik.
2. Hutan adat, atau dalam bentuk lain: hutan desa, adalah hutan-hutan rakyat yang dibangun
di atastanah komunal; biasanya juga dikelola untuk tujuan-tujuan bersama atau untuk
kepentingankomunitas setempat.
3. Hutan kemasyarakatan (HKm), adalah hutan rakyat yang dibangun di atas lahan-lahan milik
negara,khususnya di atas kawasan hutan negara. Dalam hal ini, hak pengelolaan atas
bidang kawasanhutan itu diberikan kepada sekelompok warga masyarakat; biasanya
berbentuk kelompok tanihutan atau koperasi. Model HKm jarang disebut sebagai hutan
rakyat, dan umumnya dianggapterpisah.
Hutan rakyat menghasilkan aneka komoditas perdagangan dengan nilai yang beraneka ragam.
Terutama hasil-hasil hutan non-kayu (HHNK). Bermacam-macam jenis getah dan resin, buah-
buahan, kulit kayu dan lain-lain. Beberapa produk hutan rakyat kota Tasikmalaya, di antaranya
kapol, kopi, coklat, mending, kelapa, cengkih, lada perdu/pajat dan melinjo.

2.1.2.3. Kawasan Pertanian


Kawasan peruntukan pertanian yang terdapat di Kota Tasikmalaya memiliki luas kawasan
2.422 Ha. Kawasan pertanian di Kota Tasikmalaya dikategorikan berdasarkan kawasan
peruntukan pertanian, diantaranya:
1. Kawasan sayuran : Kecamatan Cibeureum, Purbaratu, Indihiang komoditas cabe, kacang
panjang,timun, buncis
2. Kawasan buah-buahan : Kecamatan Tamansari, Kawalu, Cibeureum komoditas pontas,
rambutan,durian;
3. Kawasan Perkebunan sebaiknya di kecamatan Cibeureum dan Purbaratu (mendong), serta
Kec.Tamansari (kelapa, kakao);
4. Kawasan Perikanan : kecamatan Purbaratu, Indihiang, Bungursari (mas, gurame, nila, lele);
5. Kawasan Peternakan adalah kecamatan Tamansari, Kawalu, Indihiang, Mangkubumi,
Bungursari (sapi,kambing, domba, ayam ras);
6. Kawasan Kehutanan : daerah Kecamatan Tamansari dan Kawalu(kayu-kayuan), dan
Purbaratu,Bungursari serta Cipedes untuk komoditas Jamur kayu dan Lebah Madu.

A. Kawasan pertanian tanaman pangan


Secara eksisting Kota Tasikmalaya memiliki luas sawah 6.172 Ha. Yang terdiri dari 2.694
Ha irigasi teknis, 1.074 Ha irigasi semi teknis, irigasi sederhana 474 Ha, irigasi Desa 851
Ha, dan tanpa Irigasi 1.079 Ha. Dengan produktivitas 6 ton/hari untuk irigasi teknis, 4
ton/hari untuk irigasi semi teknis, dan 2 ton/hari untuk irigasi sederhana.

BAB II KARAKTERISTIK EKOREGION 2- 9|


LAPORAN AKHIR
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2018

Luas kawasan pertanian tanaman pangan di Kota Tasikmalaya direncanakan seluas


kurang lebih 2.316,98 hektar. Adapun Kawasan Pertanian Tanaman Pangan Berkelanjutan
(KP2B) di Kota Tasikmalaya yang ditetapkan adalah seluas kurang lebih 1.003,11 hektar,
dengan memanfaatkan lahan kering dan lahan basah di Kota Tasikmalaya.

B. Perikanan
Untuk wilayah kawasan perikanan, berdasarkan potensi yang ada di wilayah Kota
Tasikmalaya, sub sektor perikanan bertumpu pada perikanan budidaya. Kota Tasikmalaya
merupakan salah satu kota di Jawa Barat yang mempunyai potensi sektor perikanan yang
cukup luas.
Dilihat dari aspek potensi lahan perikanan, dari 10 (sepuluh) kecamatan yang berada di
wilayah Kota Tasikmalaya, terdapat 7 (tujuh) kecamatan yang memiliki potensi perikanan
yang cukup besar diantarannya Kecamatan Cibeureum, Purbaratu, Indihiang, Bungursari,
Cipedes, Kawalu, dan Kecamatan Mangkubumi, dengan komoditas unggulan ikan mas,
gurame, nila dan lele.

C. Peternakan
Kawasan peternakan di Kota Tasikmalaya merupakan sentra produksi peternakan yang
tersebar di Kecamatan Kawalu dengan komoditas unggulan domba, kambing, kerbau, sapi
potong dan introduksi sapi perah serta perunggasan.

2.2.3. Sumber Daya Pertanian


Lahan pertanian merupakan bagian dari sumber daya alam nonhayati yang sangat penting dalam
kegiatan pertanian, termasuk pertanian tanaman pangan maupun perkebunan. Ketahanan
pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi Negara sampai dengan perseorangan, yang
tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam,
bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2012 Bab I pasal 1 point 4).
Kota Tasikmalaya memiliki luas lahan sawah 5.826 Ha. Luas Lahan non pertanian seluas 4.961
Ha, dimana luas lahan kering 4.794 Ha dan luas lahan hutan rakyat 1.575 Ha. Untuk peruntukan
pertanian ditetapkan seluas kurang lebih 692 Ha di Kecamatan Purbaratu dan Kecamatan
Cibeureum.
Dari data BPS Kota Tasikmalaya Tahun 2017, data tanaman pangan terakhir tahun 2015. Luas
lahan sawah tahun 2015 sebesar 5.990 hektaryang didominasi oleh sawah irigasi teknis seluas
3.430 hektar. Produksi padi sawah 79.083 ton dengan luas panen mencapai 12.689 ha.
Produksi palawija dengan produksi terbesar adalah ubi kayu yang pada tahun 2015 produksinya
mencapai 5.412 ton dengan luas panen 366 ha.
Produksi buah primadona Kota Tasikmalaya tahun 2015, yaitu salak yang pada tahun 2015
produksinya mencapai 9.832 kuintal. Komoditi perkebunan yang paling banyak di Kota
tasikmalaya adalah kelapa. Luas tanaman komoditi ini pada tahun 2015 adalah 1.240,88 hektar
dengan produksi sebanyak 1.316,86 kg.
Populasi unggas di Kota Tasikmalaya pada tahun 2016 menunjukkan bahwa ayam pedaging
merupakan unggas yang paling banyak dipelihara oleh masyarakat Kota Tasikmalaya, yaitu
sebanyak 1.059.143 ekor, berikutnya adalah ayam kampung 716.940 ekor.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut terkait dengan luas panen dan produksi padi
palawija Kota Tasikmalaya pada Tahun 2015, antara lain:

BAB II KARAKTERISTIK EKOREGION 2- 10 |


LAPORAN AKHIR
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2018

Tabel II.4 Luas Panen dan Produksi Padi Palawija Kota Tasikmalaya Tahun 2015
No Jenis Komoditas Luas Panen (ha) Produksi (Ton)

1 Padi Sawah 12.689 79.083


2 Padi Ladang 5 27
3 Jagung 12 54
4 Kedelai 387 447
5 Kacang Tanah 22 56
6 Ubi Kayu 366 5.412
7 Ubi Jalar 16 161
Sumber: Kota Tasikmalaya Dalam Angka, 2017

2.2.4. Sumber Daya Air


Sumber daya air di Kota Tasikmalaya terdiri atas sumber air permukaan (air hujan, air sungai dan
air waduk) dan sumber air tanah. Sumber daya air permukaan akan digunakan untuk kebutuhan
rumah tangga yang tidak terlayani oleh PDAM dan untuk kebutuhan irigasi pertanian. Sumber
daya air tanah akan digunakan untuk kebutuhan rumah tangga yang tidak terlayani PDAM,
sumber air PDAM dan untuk kebutuhan industri. Agar tidak terjadi defisit sumber daya air, maka
masukan air ke dalam tanah harus diperbesar dan atau limpasan diperkecil dengan cara
menutup lahan terbuka dengan tanaman penutup tanah atau reboisasi hutan sepanjang wilayah
tangkapan air sungai/waduk. Di samping itu harus dilakukan penghijauan di kawasan sumber
mata air Kota Tasikmalaya yaitu mata air Cibunigeulis Kecamatan Bungursari, Cibangbay
Kecamatan Kawalu, Cikunten II Kecamatan Mangkubumi. Sumber air Cikunten II yang masih
dimiliki masyarakat diupayakan dapat dikelola Pemerintah Kota Tasikmalaya.
Sumber daya air di Kota Tasikmalaya dapat terdiri dari air permukaan, sebagai aliran air yang
mengaliri permukaan Kota Tasikmalaya maupun dalam bentuk genangan yang cukup luas,
bentuknya meliputi sungai dan air dalam cekungan (danau/situ).
1. Sungai
Kota Tasikmalaya termasuk ke dalam 2 (dua) Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu DAS Citanduy
yangmerupakan Wilayah Sungai (WS) Citanduy dan DAS Ciwulan yang termasuk WS Ciwulan
Cilaki. Menurut Buku Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat Tahun 2017, panjang sungai dan
luas DAS Citanduy dan DAS Ciwulan adalah sebagai berikut

Tabel II.5 DAS dan Sub DAS di Kota Tasikmalaya


Panjang
Luas DAS
No Nama DAS Sub DAS yang Melintasi Sungai
(km2)
(km)
1 Citanduy Cipedes, Ciloseh, Cikalang, Cibadodon, Cimulu, 339,20 2.693
Cikunten II, Leuwimunding, Cihideung, Ciromban
2 Ciwulan Cikunir, Cilumajang 177,4 1.147
Sumber : Buku Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat Tahun 2017 dan Masterplan Drainase, diolah Tahun 2017

Sungai-sungai yang mengaliri Kota Tasikmalaya adalah Citanduy, Ciloseh, Ciwulan serta
Cibanjaran. Sedangkan anak sungainya yaitu beberapa anak sungai dari Sungai Cibanjaran
yang meliputi Sungai Cihideung/Dalem Suba, Cipedes, Ciromban, Cidukuh, Cicacaban,
Cibadodon, Cikalang, Tonggong Londok, Cibeureum dan Cimulu. Sungai-sungai tersebut
mengalir sepanjang tahun dan bermuara di Sungai Citanduy, kecuali Sungai Ciwulan.
Selain sungai, berdasarkan Buku Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat Tahun 2017 terdapat
6 lokasi situ yang teraliri oleh WS Ciwulan-Cilaki di Kota Tasikmalaya dengan luas 70,90

BAB II KARAKTERISTIK EKOREGION 2- 11 |


LAPORAN AKHIR
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2018

hektar. Situ-situ tersebut adalah Situ Gede di Kecamatan Mangkubumi, Situ Cibeureum, Situ
Cibanjaran, Situ Malingping, Situ Bojong dan Situ Cicangri di Kecamatan Tamansari. Lain
halnya dengan luasan dengan hasil digitasi peta citra tahun 2016, diketahui bahwa luasan
perairan situ di Kota Tasikmalaya seluas 69,70 hektar, atau selisih sekitar 1,7 hektar.

Tabel II.6 Luasan Situ Di Kota Tasikmalaya


Lokasi
No Nama Situ Luas (Ha)
Kelurahan Kecamatan
1 Situ Gede 45,56 Mangkubumi Mangkubumi
2 Situ Cicangri 0,63 Tamanjaya Tamansari
3 Situ Cibeureum 18,08 Tamanjaya Tamansari
4 Situ Cipajaran 3,09 Tamanjaya Tamansari
5 Situ Malingping 1,50 Tamanjaya Tamansari
6 Situ Bojong 0,33 Tamanjaya Tamansari
Luas Keseluruhan 69,70
Sumber : Digitasi Penggunaan Lahan Kota Tasikmalaya, 2016

2. Air Tanah
Selain potensi air permukaan, Kota Tasikmalaya memiliki potensi kandungan air tanah yang
relative dangkal, karena air tanah dapat diperoleh dari sumur dengan kedalaman antara
3,00 - 10,00 m.Kedalaman sumur gali untuk bisa keluar air cukup dangkal, antara 1,50 -
7,00 m. Salah satu sumber air tanah dalam bentuk mata air yang terdapat di Kecamatan
Indihiang – mata air Cibunigeulis – memiliki kapasitas produksi / debit sebesar 15,00 liter
perdetik sampai 60,00 liter per detik saat ini dimanfaatkan oleh PDAM sebagai sumber air
baku.
3. Air hujan
Air permukaan jenis air hujan yang dapat dimanfaatkan untuk sumber daya air setempat
cukup besar.Jika melihat keadaan iklim curah hujan pada tahun 2016 dengan rata-rata
384,68 mm, berpotensi sebagai sumber air yang dapat ditampung baik melalui Sumur
Resapan, Lubang Biopori, Situ dan Sungai yang berada di dalam Kota Tasikmalaya.

BAB II KARAKTERISTIK EKOREGION 2- 12 |


LAPORAN AKHIR
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2018
Gambar 2.1 Peta DAS dan Sub DAS Kota Tasikmalaya

BAB II KARAKTERISTIK EKOREGION 2- 13 |


LAPORAN AKHIR
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2018

2.3. INDIKASI DAYA DUKUNG DAN DAYA TAMPUNG DI WILAYAH EKOREGION


KOTA TASIKMALAYA
2.3.1. Ambang Batas dan Status Daya Dukung Penyedia Bahan Pangan
Daya dukung lingkungan hidup (DDLH) digambarkan melalui perbandingan jumlah sumberdaya
yang dapat dikelola terhadap jumlah konsumsi penduduk (Cloud, (dalam Soerjani, dkk., 1987)).
Perbandingan ini menunjukkan bahwa daya dukung lingkungan berbanding lurus terhadap
jumlah sumber daya lingkungan dan berbanding terbalik dengan jumlah konsumsi penduduk.
Status DDLH diperoleh dari pendekatan kuantitatif melalui perhitungan selisih dan perbandingan
antara ketersediaan dan kebutuhan untuk masing-masing jasa ekosistem (Norvyani, 2016).
Kebutuhan lahan adalah kebutuhan hidup minimum. Tekanan penduduk terhadap daya dukung
lahan dapat ditentukan berdasarkan nilai perbandingan antara jumlah penduduk dan persentase
petani dengan luas lahan minimal untuk hidup layak (Soermarwoto, 2000).
Dari hasil perhitungan ambang batas dan status daya daya dukung penyediaan bahan pangan,
Kota Tasikmalaya memiliki nilai produksi penyediaan bahan pangan mencapai Rp.
408.449.000.000,-. Dengan jumlah produksi aktualnya mencapai 85.240.000 kg/tahun.
Sehingga ketesediaan pangan dalam 10 tahun kedepan dengan peningkatan penduduk, maka
kebutuhan lahan untuk kehidupan hidup layak di Kota Tasikmalaya adalah 0,417Ha/orang.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel ketersediaan bahan pangan di Kota Tasikmalaya
berikut:

Tabel II.7 Hasil Perhitungan Nilai Produksi Pangan


Harga Satuan
Produksi Aktual
No Jenis Komoditas Komuditas Nilai Produksi
(kg)
(Rp/kg)
1 Padi Sawah 79,083,000 5,000 395,415,000,000
2 Padi Ladang 27,000 5,000 135,000,000
3 Jagung 54,000 3,000 162,000,000
4 Kedelai 447,000 8,000 3,576,000,000
5 Kacang Tanah 56,000 10,000 560,000,000
6 Ubi Kayu 5,412,000 1,500 8,118,000,000
7 Ubi Jalar 161,000 3,000 483,000,000
Jumlah 85,240,000 408,449,000,000
Sumber: Hasil Analisa, 2018

2.3.2. Ambang Batas dan Status Daya Dukung Penyedia Air Bersih
Perhitungan dan analisis terhadap daya dukung lingkungan dan ambang batas jasa ekosistem
penyedia air, didahului dengan menghitung ketersediaan dan kebutuhan jasa ekosistem
penyedia air. Perhitungan dan analisis DDLH air bersih dilakukan melalui selisih antara
ketersediaan dengan kebutuhan, selisih ketersediaan air bernilai negative menunjukkan bahwa
kebutuhan air bersih suatu wilayah lebih besar dibandingkan ketersediaannya sehingga
lingkungan hidup wilayah tersebut tidak mampu lagi mendukung kebutuhan air bersih penduduk
di atasnya.
Berdasarkan hasil analisa dan secara visual, selisih antara ketersediaan dengan kebutuhan air
bersih di Kota Tasikmalaya mengalami defisit. Hasl ini sejalan dengan pertumbuhan jumlah
penduduk pada 10 tahun mendatang dan kebutuhan air bersih yang harus dipenuhi. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.

BAB II KARAKTERISTIK EKOREGION 2- 14 |


LAPORAN AKHIR
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2018

Tabel II.8 Perhitungan Kebutuhan Dan Ketersediaan Air Bersih Di Kota Tasikmalaya Tahun
2017-2027
No Tahun Kebutuhan Rata-rata (l/dtk) Ketersediaan (l/dtk) Kekurangan (l/dtk)
1 2017 864.1 224.2 639.9
2 2018 873.9 224.2 649.7
3 2019 883.7 224.2 659.5
4 2020 1,042.7 224.2 818.5
5 2021 1,581.7 224.2 1357.5
6 2022 1,599.6 224.2 1375.4
7 2023 1,617.7 224.2 1393.5
8 2024 1,649.6 224.2 1425.4
9 2025 1,682.0 224.2 1457.8
10 2026 2,090.6 224.2 1866.4
11 2027 2,131.4 224.2 1907.2
Sumber: Masterplan Air Minum Kota Tasikmalaya

Tabel II.9 Daya Dukung Ketersediaan Air Bersih di Kota Tasikmalaya

No Tahun SA (m3/Tahun) DA (m3/Tahun) Sumber Daya Air


1 2017 1,217,130,624 1,324,665,381 Defisit
2 2018 1,217,130,624 1,390,388,365 Defisit
3 2019 1,217,130,624 1,459,372,180 Defisit
4 2020 1,217,130,624 1,531,778,612 Defisit
5 2021 1,217,130,624 1,607,777,473 Defisit
6 2022 1,217,130,624 1,687,547,001 Defisit
7 2023 1,217,130,624 1,771,274,277 Defisit
8 2024 1,217,130,624 1,859,155,663 Defisit
9 2025 1,217,130,624 1,951,397,265 Defisit
10 2026 1,217,130,624 2,048,215,414 Defisit
11 2027 1,217,130,624 2,149,837,174 Defisit
Sumber: Hasil Analisa, 2018
Keterangan :
SA : Ketersediaan Air
DA : Kebutuhan Air

Penentuan status daya dukung lingkungan terhadap pengelolaan serta penggunaan sumberdaya
air dilakukan dengan membandingkan total ketersediaan air dan total kebutuhan air. Dari hasil
perhitungan daya dukung dengan menggunakan konsep perhitungan sesuai Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup No. 17 Tahun 2009, kebutuhan air pada Kota Tasikmalaya pada tahun 2017
adalah sebesar 1,324,665,381 m3/tahun. Berdasarkan perhitungan proyeksi selama 10 tahun
kedepan *(2018 – 2027) merupakan prediksi yang diketahui kebutuhan airnya terus meningkat.
Jika diperkirakan ketersediaan air (SA) tetap dan tidak bertambah yaitu sebesar 1,217,130,624

BAB II KARAKTERISTIK EKOREGION 2- 15 |


LAPORAN AKHIR
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2018

m3/tahun dikarenakan dalam penggunaan lahan untuk tahun kedepannya (2018 – 2027) tidak
diketahui, jadi ketersediaan air pada tahun 2017 dijadikan acuan untuk memprediksi tahun
(2018 – 2027). Apabila ketersediaan air diasumsikan akan tetap dan tidak bertambah maka
dapat dilihat status daya dukung air defisit (tidak mencukupi kebutuhan air) baik dari segi
kebutuhan domestik maupun kebutuhan pangan dan lainnya.
Oleh karena itu, untuk menjamin ketersediaan air di Kota Tasikmalaya tetap mencukupi untuk
kebutuhan hidup layak penduduk maka masyarakat setempat agar mampu mempertahankan
fungsi lahan menurut aspek konservasi dan mencegah degradasi maka langkah yang dilakukan
oleh manajemen pertanian dan perkebunan adalah dengan mempertahankan wilayah konservasi
sebagai penampung alami. Hal ini sesuai dengan penelitian Rusmayadi (2011) bahwa dengan
tetap mempertahankan wilayah konservasi sebagai penampungan alami. Guna memenuhi
kebutuhan air, fungsi lingkungan yang terkait dengan sistem tata air harus dilestarikan dengan
tetap mempertimbangkan kelestarian lingkungan sekitar. Oleh karena itu, potensi sumber daya
air yang tersedia perlu direncanakan dengan baik pemanfaatan dan konservasinya. Selain itu,
apabila permasalahan ketersediaan air tidak disikapi dengan pemanfaatan air yang lebih
proporsional, maka dikhawatirkan akan terjadinya krisis air kedepannya.

2.3.3. Kualitas Air Sungai


Berdasarkan definisinya, pencemaran air diindikasikan dengan turunnya kualitas air sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Yang
dimaksud dengan tingkat tertentu tersebut di atas adalah baku mutu air yang ditetapkan dan
berfungsi sebagai tolok ukur untuk menentukan telah terjadinya pencemaran air, juga
merupakan arahan tentang tingkat kualitas air yang akan dicapai atau dipertahankan oleh setiap
program kerja pengendalian pencemaran air (PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air).
Sungai-sungai yang mengaliri Kota Tasikmalaya diantaranya adalah Sungai Citanduy, Sungai
Ciloseh, Sungai Ciwulan serta Sungai Cibanjaran. Sedangkan anak-anak sungainya yaitu
beberapa anak sungai dari Sungai Cibanjaran yang meliputi Sungai Cihideung/Dalem Suba,
Sungai Cipedes, Sungai Ciromban, Sungai Cidukuh, Sungai Cicacaban, Sungai Cibadodon, Sungai
Cikalang, Sungai Tonggong Londok, Sungai Cibeureum dan Sungai Cimulu. Sungai-sungai
tersebut mengalir sepanjang tahun dan bermuara di Sungai Citanduy, kecuali Sungai Ciwulan.
Dikaitkan dengan system Wilayah Aliran Sungai (WAS), Kota Tasikmalaya termasuk ke dalam 2
(dua) Wilayah Aliran Sungai yaitu: WAS Citanduy dan WAS Ciwulan. WAS Citanduy memiliki
limpasan air sungai rata-rata bulanan sebesar 17 m3/detik atau rata-rata harian sekitar 5,5
m3/detik, sedangkan WAS Ciwulan memiliki limpasan air sungai rata-rata harian sebesar 13,7
m3/detik.
Berdasarkan hasil pemantauan sungai yang berada di Kota Tasikmalaya hanya satu titik yang
tidak melebihi baku mutu air Kelas II, sisanya 23 titik dari 24 titik melebihi baku mutu air kelas II
dengan status yang bervariasi, dari 12 (dua belas) sungai di Kota Tasikmalaya dengan titik
pemantauan disepanjang aliran sungai diperoleh status air sungai sebagai berikut :

Tabel II.10 Hasil dan Status Mutu Air Sungai Kota Tasikmalaya
Frekuensi Status Mutu Air
No Sungai Yang Dipantau Lokasi Sampling
Pemantauan Periode I Periode II
1 Sungai Ciwulan Jl. Leuwi Budah Kp. Tanjung 2 Kali 2,75 2,24
Loka (Sasak Gantung) RT
03/03 Kec. Kawalu
Jl. KH. Syeh Abdul Muhyi 2 Kali 2,27 1,93
Jembatan Sukaraja
(Perbatasan Kota Tasik
dengan Kabupaten Tasik)

BAB II KARAKTERISTIK EKOREGION 2- 16 |


LAPORAN AKHIR
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2018

Frekuensi Status Mutu Air


No Sungai Yang Dipantau Lokasi Sampling
Pemantauan Periode I Periode II
Kel. Urug Kec. Kawalu
2 Sungai Cibangbay Kp. Peundeuy Kel. Urug Kec. 2 Kali 0,46 1,99
Kawalu
Kel. Leuwiliang-Kawalu 2 Kali 2,07 1,99
3 Sungai Cimulu Kel. Linggajaya Kec. 2 Kali 3,94 3,69
Mangkubumi
Jl. Anyar RT 02/03 Nyangga 2 Kali 7,15 6,46
Hurip Kel. Marga Bakti, Kec.
Cibeureum
4 Sungai Cikalang Bantarsari- Bungursari 2 Kali 3,86 3,20
Kp. Tarikolot 06/02 Kel. 2 Kali 3,78 3,20
Margabakti Kec. Cibeureum
5 Sungai Cihideung Jl. Bebedilan (Depan Cuci 2 Kali 8,22 7,25
Mobil Pusaka Jaya Motor)
Jembatan Singkup, Purbaratu 2 Kali 4,15 3,39
6 Sungai Citanduy Jl. Letjen Ibrahim Adjie 2 Kali 1,51 1,18
(Belakang Balai Latihan
Kerja) Kec. Indihiang
Kp. Gobang Kel. Singkup Kec. 2 Kali 1,54 0,91
Purbaratu
7 Sungai CIloseh Bendung Bengkok Kp. 2 Kali 3,91 3,57
Bengkok Bungursari
Kp. Ganoang Sukaasih 2 Kali 4,0 3,42
(Sukamenak) Kec. Purbaratu
8 Sungai Cilamanjang Bendung Cilamajang Kp. Gn. 2 Kali 3,04 3,02
Lingga-Kel. Cibeuti Kec.
Kawalu
Kp. Tanjung Loka Kec. 2 Kali 3,98 3,60
Salawu
9 Sungai Ciromban Kp. Cibeureum Kel. 2 Kali 3,49 3,08
Sukalaksana Kec. Purbaratu
Jl. Bebedahan I No. 108 – 2 Kali 4,30 4,07
Purbaratu
10 Sungai Cibadodon Jl. Paseh - Kel. Tuguraja Kec. 2 Kali 8,34 7,54
Cihideung
Leuwi Munding (Belakang 2 Kali 7,67 6,95
Perum Grand Laswi
Residence)
11 Sungai Cidukuh Jl. Galunggung (Gg. Mesjid 2 Kali 4,84 3,87
Baitul Mulya)
Jl. Golempang Kel. Sukaasih 2 Kali 4,53 4,22
Kec.Purbaratu
12 Sungai Cinuntut Jl. Lukmanul Hakim (depan 2 Kali 3,27 6,52
ruko A9) Kel. Tugu Jaya Kec.
Cihideung
Jl. Taman Harapan (Jembatan 2 Kali 2,93 6,35
Cibadodon)
Sumber: Laporan Pemantauan Kualitas Air, Dinas Lingkungan Hidup Kota Tasikmalaya, 2017

Tabel II.11 Hasil Perhitungan Nilai Indeks Pencemaran (IP) Sungai


Pemantauan Periode I Pemantauan Periode II
No Nama Sungai
Nilai IP Kategori Nilai IP Kategori
1 Ciwulan Hulu 2,75 Cemar ringan 2,24 Cemar ringan
2 Ciwulan Hilir 2,27 Cemar ringan 1,93 Cemar ringan
3 Cibangbay Hulu 0,46 Baik 0,45 Baik

BAB II KARAKTERISTIK EKOREGION 2- 17 |


LAPORAN AKHIR
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2018

Pemantauan Periode I Pemantauan Periode II


No Nama Sungai
Nilai IP Kategori Nilai IP Kategori
4 Cibangbay Hilir 2,07 Cemar ringan 1,99 Cemar ringan
5 Cimulu Hulu 3,94 Cemar ringan 3,69 Cemar ringan
6 Cimulu Hilir 7,15 Cemar Sedang 6,46 Cemar Sedang
7 Cikalang Hulu 3,86 Cemar ringan 3,46 Cemar ringan
8 Cikalang Hilir 3,78 Cemar ringan 3,20 Cemar ringan
9 Cihideung Hulu 8,22 Cemar Sedang 7,25 Cemar Sedang
10 Cihideung Hilir 4,15 Cemar ringan 3,39 Cemar ringan
11 Citanduy Hulu 1,51 Cemar ringan 1,18 Cemar ringan
12 Citanduy Hilir 1,54 Cemar ringan 0,91 Baik
13 Ciloseh Hulu 3,91 Cemar ringan 3,57 Cemar ringan
14 Ciloseh Hilir 4,0 Cemar ringan 3,42 Cemar ringan
15 Cilamajang Hulu 3,04 Cemar ringan 3,02 Cemar ringan
16 Cilamajang Hilir 3,98 Cemar ringan 3,60 Cemar ringan
17 Ciromban Hulu 3,49 Cemar ringan 3,08 Cemar ringan
18 Ciromban Hilir 4,30 Cemar ringan 4,07 Cemar ringan
19 Cibadodon Hulu 8,34 Cemar Sedang 7,54 Cemar Sedang
20 Cibadodon Hilir 7,67 Cemar Sedang 6,95 Cemar Sedang
21 Cidukuh Hulu 4,84 Cemar ringan 3,87 Cemar ringan
22 Cidukuh Hilir 4,53 Cemar ringan 4,22 Cemar ringan
23 Cinutut Hulu 3,27 Cemar ringan 6,52 Cemar sedang
24 Cinutut Hilir 2,93 Cemar ringan 6,35 Cemar sedang
Sumber: Laporan Pemantauan Kualitas Air, Dinas Lingkungan Hidup Kota Tasikmalaya, 2017

Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan di beberapa titik lokasi pemantauan selama dua
periode pemantauan dengan asumsi musim hujan dan musim kemarau tampak bahwa sungai
yang dipantau tidak memenuhi baku mutu sebagai badan air kelas II dengan status yang
bervariasi dimulai dari Cemar Ringan hingga Cemar Sedang. Parameter yang tidak memenuhi
baku mutu antara lain adalah TSS, BOD, COD, nitrit, logam Cr6+, logam Zn, khlorida bebas, Total
Posfat, Minyak & Lemak,E. Coli dan Total Coliform.
Berdasarkan sumbernya, pencemaran dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu pencemaran
yang bersumber dari rumah tangga (domestik), limbah industri dari perusahaan, dan limbah
pertanian/perkebunan. Berbagai macam sumber pencemar menunjukkan bahwa konsentrasi
senyawa pencemar sangat bervariasi, hal ini disebabkan karena sumber air limbah juga
bervariasi sehingga faktor waktu dan metode pengambilan sampling sangat mempengaruhi
besarnya konsentrasi.
Berdasarkan hasil pemantauan terhadap kualitas air sungai di Kota Tasikmalaya tampak bahwa
sungai dalam keadaan Tercemar Ringan dan TercemarSedang. Dilihat dari parameter yang
melampaui baku mutu, tampak bahwa bahan pencemar merupakan bahan organik. Hal ini
ditandai dengan tingginya nilai BOD dan rendahnya kadar oksigen yang terlarut dalam air
(parameter DO). Kemungkinan bahan organik tersebut berasal dari kegiatan domestik dan home
industri yang bergerak diberbagai bidang Industri.

BAB II KARAKTERISTIK EKOREGION 2- 18 |


LAPORAN AKHIR
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2018
Gambar 2.2 Peta Aliran Sungai di Kota Tasikmalaya

BAB II KARAKTERISTIK EKOREGION 2- 19 |


LAPORAN AKHIR
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2018

2.3.4. Analisis Daya Tampung Sampah


Pengelolaan Sampah Kota Tasikmalaya dikelola oleh DInas Lingkungan Hidup pada bidang
Kebersihan. Jumlah timbulan sampah di Kota Tasikmalaya 290.226,64 kg/hari, sedangkan
jumlah sampah terkelola 170.699,68 kg/hari sehingga Tingkat pelayanan pengelolaan sampah
kota Tasikmalaya saat ini58,81%.
A. Pelayanan Sampah Kota Tasikmalaya
Jumlah penduduk Kota Tasikmalaya (menurut BPS) : 659.606 orang
Hasil kajian Timbulan Sampah 2017
- Volume produksi perorang : 3,63 lt (0.44) kg/org/hari
- Volume produksi sampah Kota Tasikmalaya : 290.226,64 kg/hari
Berdasarkan alat ukur timbangan di TPAS Ciangir
- Volume sampah yang terangkut ke TPAS Ciangir : 163.249,68 kg/hari
- Prosentase pelayanan pengangkutan sampah rata-rata : 163.249,68 kg/harix 100
290.226,64 kg/hari
: 56,24 %
Pengangkutan sampah ke TPAS Ciangir Tahun 2017 sebesar 56,24 %

B. Pengurangan Sampah Kota Tasikmalaya


Jumlah penduduk Kota Tasikmalaya (menurut BPS) : 659.606 orang
Hasil kajian Timbulan Sampah 2017
- Volume produksi perorang : 3,63 lt (0.44) kg/org/hari
- Volume produksi sampah Kota Tasikmalaya : 290.226,64 kg/hari
Berdasarkan alat ukur timbangan di Sumber Pemilahan
Sampah
- Volume sampah yang tertangani : 7.450 kg/hari
- Prosentase pengurangansampah/tertangani rata-rata : 7.450 kg/harix 100
290.226,64 kg/hari
: 2,56 %
Penanganan sampah di wilayah Kota Tasikmalaya Tahun 2017 sebesar 2,56 %

C. Penanganan Sampah Kota Tasikmalaya


Berikut merupakan rekapitulasi penanganan sampah di Kota Tasikmalaya pada Tahun 2017
yang telah dilaksanakan dan telah mencapai 58,81% dalam penanganan sampah.

- Volume produksi sampah Kota Tasikmalaya : 290.226,64 kg/hari


- Volume sampah yang terangkut ke TPAS Ciangir : 163.249,68 kg/hari
- Volume Pengurangan sampah : 7.450 kg/hari
- Prosentase penanganan sampah : (163.249,68 + 7.450 kg/hari)x 100
290.226,64 kg/hari

BAB II KARAKTERISTIK EKOREGION 2- 20 |


LAPORAN AKHIR
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2018

: (170.699,68 kg/hari)x 100


290.226,64 kg/hari
: 58,81%

Penanganan sampah di wilayah Kota Tasikmalaya Tahun 2017 sebesar 58,81 %

Rencana pelayanan pengelolaan sampah di Kota Tasikmalaya dapat dikembangkan 3 (tiga)


skenario pelayanan. Skenario menegaskan beban pelayanan bagi pelaku pengelolaan secara
proporsional. Adapun pihak pelaku pengelolaan dimaksud adalah pengelola formal yaitu
Pemerintah Kota, pengelola swasta, pelaku pemulungan yang diistilahkan sebagai SIDUS (Sistem
Informasi Daur Ulang Sampah), pengeloaan mandiri oleh masyarakat.
Oleh karena itu diusulkan 3 (tiga) skenario penanganan sampah, yaitu :
1. Skenario A (skenario business-as-usual (seperti biasa)
- Tidak terdapat kegiatan 3R di sumber atau di kawasan dimana sampah berasal.
- Sampah yang terlayani, dari TPS diangkut seluruhnya ke TPA.
- Seluruh sampah yang diangkut ke TPA seluruhnya diurug/ditimbun.
2. Skenario B (Skenario moderat)
- Tidak terdapat kegiatan 3R di sumber atau di kawasan dimana sampah berasal.
- Sampah yang terlayani, dari TPS diangkut seluruhnya ke TPA.
- Sebagian sampah yang diangkut ke TPA kemudian diolah menjadi kompos dan kegiatan
3R lainnya, sebagian sampah bersama residu pengomposan dibawa ke area pengurugan
untuk diurug/ditimbun. Persen sampah yang diangkut ke TPA, dan kemudian diolah
menjadi kompos diasumsi pada tahun 2018 sebesar 5%, dan meningkat menjadi 25%
pada tahun 2028.
3. Skenario C (Skenario ideal)
- Kegiatan 3R dimulai di sumber sampah atau di TPS atau di kawasan di daerah
pelayanan. Asumsi pada tahun 2018 sebanyak sampah yang terlayani, mengalami proses
3R sebesar 5%, dan pada tahun 2028 menjadi 25%.
- Sampah yang lain serta residu kegiatan 3R, diangkut dari TPS Ke lokasi TPA.
- Sebagian sampah yang diangkut ke TPA kemudian diolah menjadi kompos dan kegiatan
3R lainnya, sebagian sampah bersama residu pengomposan dibawa ke area pengurukan
untuk diurug/ditimbun. Persen sampah yang diangkut ke TPA, dan kemudian diolah
menjadi kompos. Diasumsi pada tahun 2018 sebanyak sampah yang terlayani,
mengalami proses 3R sebesar 5%, dan pada tahun 2028 menjadi 25%.

Sistem operasional pengelolaan yang dapat diterapkanantara lain :


1. Pewadahan, pengumpulan dan pengangkutan di sumber diarahkan menuju sistem terpilah.
Sampah dipilah menjadi 2 (dua) jenis, yaitu: sampah organik, dan anorganik. Proses
pemilahan selamalima tahun pertama baru diperkenalkan, sehingga diorientasikan sistem
pemilahan baru akan terbentuk pada tahun-tahun terakhir perencanaan.
2. Perolehan kembali (recovery) sampah anorganik yang berpotensi didaurulang dilakukan oleh
SIDUS di TPS dan TPA. DLHPK melalui Dinas LIngkungan Hidup Bidang Kebersihan
menyediakan sarana agar mekanisme berjalan lebih optimal.

BAB II KARAKTERISTIK EKOREGION 2- 21 |


LAPORAN AKHIR
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2018

3. Peningkatan kinerja unit pengolah sampah kelompok masyarakat (3R) di Kota Tasikmalaya,
serta melibatkan pihak swasta dalam pengelolaan sampah sehingga dapat bernilai ekonomis
dan berkelanjutan.
4. Pengangkutan ke TPA direncanakan menggunakan Arm Roll dengan steel container.
Pertimbangan digunakan armada jenis Arm Roll bukan Compactor karena dari segi efisiensi
dan biaya operasional dan pemeliharaan. Arm Roll lebih efisiensi karena umumnya jarak
angkut dari TPS ke TPA Ciangir tidak terlalu jauh dengan demikian tidak perlu ada proses
pemadatan dalam pengangkutan sampah. Dalam hal biaya pemeliharaan, Compactor
memerlukan biaya tinggi, mengingat dengan adanya proses pemadatan yang menyebabkan
sampah dengan kandungan organik tinggi akan mengeluarkan lindi, hal tersebut rawan
terjadi pengkaratan apabila tidak dilakukan pemeliharaan secara cermat.
5. Pengomposan sampah dilakukan dilakukan oleh pihak DLHPK bermitra dengan swasta atau
pihak lainnya. Diarahkan untuk menerapakan pengomposan skala kawasan. Proses
pengomposan dilakukan sebagai usaha minimasi limbah tertimbun di TPA, bukan untuk
mencari keuntungan ekonomis semata. Karena itu, produksi kompos akan dikembalikan
kepada masyarakat yang berminat untuk memanfaatkannya dan juga akan dilakukan kerja
sama dengan pihak atau instansi atau dinas lainnya yang terkait dengan penggunaan produk
kompos sebagai pengganti pupuk kimia, misalnya Dinas Pertamanan Kota atau Dinas
Pertanian.
6. Pembuangan akhir menerapkan sistem controlled landfill yang mengarah pada perbaikan
operasi menuju sistem lahan urug terkendali (sanitary landfill).
7. TPA Ciangir tetap dipertahankan dan dicari peluang kerja sama dengan pijak luar. Untuk
menambah masa layan TPA, direkomendasikan untuk dilakukan ‘mining TPA’.
8. Insinerator sebagai pemusnah sampah, tidak direkomendasikan untuk dipergunakan di Kota
Tasikmalaya, selain teknologi ini merupakan teknologi biaya besar, perlu ada kajian
kelayakan mendalam untuk pemanfaatannya, mengingat komposisi sampah layak bakar di
Kota Tasikmalaya masih terlalu kecil.
9. Namun demikian insinerator diwajibkan dalam penanganan sampah medis rumah sakit.
Diharapkan setiap rumah sakit di Kota Tasikmalaya dapat memiliki pengelolaan sampah
medis yang memadai dengan adanya insinerator bersama antar beberapa rumah sakit.
10. Rencana pengelolaan sampah dilandasi oleh target seminimal mungkin sampai diangkut dan
dibuang ke TPA. Daur ulang sampah anorganik dilaksanakan dengan pemberdayaan SIDUS,
sedangkan minimasi sampah organik dilakukan dengan menjalankan pengomposan.
11. Selama 10 tahun, sistem pengelolaan sampah Kota Tasikmalaya diarahkan untuk
menangani sampah domestik, yaitu sampah yang bersumber dari aktifitas kehidupan
manusia, dan bukan sampah dari suatu proses produksi atau sampah hasil kegiatan medis.
12. Limbah industri, atau sampah hasil proses produksi, adalah tanggung jawab setiap lembaga
atau individu dan atau badan yang menghasilkannya dan tidak menjadi tanggung jawab
DLHPK. Hal tersebut telah diatur oleh undang-undang tentang pengelolaan B3 dari industri
untuk dikelola oleh pihak yang telah ditunjuk pemeritah.
13. Pengelolaan sampah B3 rumah tangga, misalnya kaleng kemasan Insektisida, batu baterai
bekas dan lain sebagainya secara bertahap harus menjadi tanggung jawab Pemerintah. Akan
tetapi dalam pengelolaannya harus diterapkan konsep ‘back to produsen’. Hal ini
dimaksudkan Pemerintah bertanggung jawab dalam proses perolehan kembali limbah
tersebut dari dalam timbulan sampah kota, selanjutnya pengelolaan hingga pemusnahannya
harus melibatkan para produsen. Disebabkan panjangnya mata rantai sistem pengelolaan
sampah B3 Rumah Tangga yang harus dipersiapkan, maka dalam 10 tahun mendatang
sistem pengelolaan sampah Kota Tasikmalaya belum diorientasikan untuk mengelolanya.

BAB II KARAKTERISTIK EKOREGION 2- 22 |


LAPORAN AKHIR
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2018

2.3.5. Analisis Emisi Udara


Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi dan/atau komponen lain
ke dalam udara ambient oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke
tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. Pencemaran
udara dewasa ini semakin memprihatinkan, seiring dengan semakin meningkatnya kegiatan
transportasi, industri, perkantoran, dan perumahan yang memberikan kontribusi cukup besar
terhadap pencemaran udara. Udara yang tercemar dapat menyebabkan gangguan kesehatan,
terutama gangguan pada organ paru-paru, pembuluh darah, dan iritasi mata dan kulit.
Pencemaran udara karena partikel debu dapat menyebabkan penyakit pernapasan kronis seperti
bronchitis, emfiesma paru, asma bronchial dan bahkan kanker paru. Pencemar udara yang
berupa gas dapat langsung masuk ke dalam tubuh sampai paru-paru dan diserap oleh sistem
peredaran darah. Untuk mencegah terjadinya pencemaran udara serta terjaganya mutu udara,
maka pemerintah menetapkan Baku Mutu Udara Ambien Nasional yang terlampir dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999.
Untuk melakukan pemantauan terhadap kualitas udara, maka dilakukan pemantauan dengan
titik lokasi tersebar di Kota Tasikmalaya. Terdapat 10 (sepuluh) titik pemantauan yang dilakukan
untuk mengetahui kualitas udara terutama kebisingan yang ditimbulkan dari kegiatan yang
berlangsung di Kota Tasikmalaya. Berikut merupakan lokasi pemantauan kualitas udara di Kota
Tasikmalaya, antara lain:

Tabel II.12 Lokasi Pemantauan Kualitas Udara (Kebisingan)


No Lokasi Titik Sampling Koordinat
S. 07° 19’ 49,9”
1 Jl. HZ. Mustofa Depan Bank BNI Jl. HZ. Mustofa Tasikmalaya
E. 108° 13’ 10,5”
S. 07° 19’ 33,5”
2 Terminal Pancasila Peron Terminal Pancasila
E. 108° 13’ 43,7”
S. 07° 19’ 04,4”
3 Pertigaan Rancabango Taman Pos Polisi Jl. Ir. H. Juanda Tasikmalaya
E. 108° 11’ 55,6”
S. 07° 19’ 07,6”
4 Perumahan BRP Halaman Mesjid Perum BRP Tasikmalaya
E. 108° 12’ 24,8”
Jl. Brigjen Wasita Kusumah, Kec. Indihiang Kota S. 07° 17’ 29,7”
5 Terminal Indihiang
Tasikmalaya E. 108° 11’ 28,2”
Perumahan sekitar Jl. Letjen Ibrahim Adji depan Klinik Al-Gani, Kec. Indihiang S. 07° 16’ 25,2”
6
BKL Kota Tasikmalaya E. 108° 11’ 35,5”
S. 07° 20’ 54,4”
7 Bunderan Padayungan Jl. HZ Mustofa
E. 108° 13’ 03,7”
S. 07° 22’ 55,3”
8 Perempatan Cicariang Jl. Perintis Kemerdekaan Kawalu
E. 108° 12’ 29,9”
Depan Gerbang Perum S. 07° 20’ 46,8”
9 Jl. AH. Nasution Mangkubumi
Andalusia Mangkubumi E. 108° 11’ 15,4”
Depan Gerbang Lanud S. 07° 20’ 19,6”
10 Jl. Letjen Mashud Cibeureum
Wiriadinata E. 108° 14’ 26,8”
Sumber: Laporan Pemantauan Kualitas Udara, Dinas Lingkungan Hidup Kota Tasikmalaya, 2017

Tabel II.13 Hasil Pemantauan Kualitas Udara (Kebisingan)


Hasil Pengujian Baku
No Lokasi Pemantauan Metode Acuan
Periode I Periode II Mutu
1 Jl. HZ. Mustofa 72,3^ 73,4^ 70 Kep-48/MENLH/11/1996
2 Terminal Pancasila 65,0 66,2 70 Kep-48/MENLH/11/1996
3 Pertigaan Rancabango 73,0^ 72,0^ 70 Kep-48/MENLH/11/1996
4 Perumahan BRP 64,1 60 70 Kep-48/MENLH/11/1996
5 Terminal Indihiang 73,4^ 66,2 70 Kep-48/MENLH/11/1996

BAB II KARAKTERISTIK EKOREGION 2- 23 |


LAPORAN AKHIR
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2018

No Lokasi Pemantauan Hasil Pengujian Baku Metode Acuan


Mutu
6 Perumahan sekitar BKL 73,4^ 70,4^ 70 Kep-48/MENLH/11/1996
7 Bunderan Padayungan 73,7^ 74,0^ 70 Kep-48/MENLH/11/1996
8 Perempatan Cicariang 75,2^ 74,0^ 70 Kep-48/MENLH/11/1996
9 Depan Gerbang Perum Andalusia 70 Kep-48/MENLH/11/1996
Mangkubumi 72,5^ 68,0
10 Depan Gerbang Lanud Wiriadinata 70,4^ 68,4 70 Kep-48/MENLH/11/1996
Sumber: Laporan Pemantauan Kualitas Udara, Dinas Lingkungan Hidup Kota Tasikmalaya, 2017
Keterangan : ^ Nilai hasil uji melebihi nilai baku mutu yang dipersyaratkan

Berdasarkan data hasil pengujian kualitas udara di 10 (sepuluh) titik pemantauan, frekuensi
pengukuran sebanyak 1 (satu) periode, terdapat parameter yang melebihi ambang batas yaitu
kebisingan. Sumber-sumber pencemar yang berpotensi meningkatkan parameter kebisingan
antara lain :
1. Sumber bergerak
Suara knalpot Kendaraan bermotor roda 2 maupun 4.
2. Sumber tidak bergerak
- Aktifitas industri kecil maupun besar,
- Aktifitas masyarakat sehari-hari (Pasar, rumah tangga).
Untuk mengurangi potensi kebisingan dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Penerapan aturan yang ketat dan konsisten terhadap emisi suara dari sumber kendaraan
bermotor roda 2 maupun 4.
2. Lokalisasi terhadap sumber pencemar yang tidak bergerak yaitu industri maupun
pemukiman.

Berdasarkan data hasil pemantauan kualitas emisi sumber tidak bergerak dari 13 (tiga belas)
titik cerobong emisi sumber tidak bergerak berdasarkan jenis cerobong dan bahan bakarnya
semuanya masih di bawah bakumutu yang telah ditentukan. Hal ini harus terus dipertahankan
dengan terus melakukan pemantauan kualitas emisi sumber tidak bergerak agar kualitas
emisinya terjaga sehingga tidak mencemari lingkungan.

2.3.6. Kerentanan Terhadap Bahaya Yang Terkait Dengan Perubahan Iklim


1. Bahaya Banjir
Berdasarkan tingkat kerawanan terhadap bahaya banjir, Kota Tasikmalaya termasuk wilayah
dengan bahaya banjir kategori sedang. Berbagai penyebab tingginya bahaya banjir antara
lain adalah tingginya curah hujan dan minimnya luas kawasan resapan air.

2. Bahaya Letusan Gunung Api (Aliran Lahar)


Zona rawan “aliran lahar“ Zona Rawan Bencana yang merupakan bagian dari kawasan
lindung yang memiliki ciri khas sering atau berpotensi tinggi mengalami aliran alahar akibat
letusan gunung berapi. Dimana Sub Zona Rawan Bencana Alam Aliran Lahar di Kota
Tasikmalaya merupakan Tipologi-A yaitu kawasan yang memiliki tingkat risiko rendah
(berjarak cukup jauh dari sumber letusan, melanda kawasan sepanjang aliran sungai yang
dilaluinya, pada saat terjadi bencana letusan, masih memungkinkan manusia
untukmenyelamatkan diri, sehingga risiko terlanda bencana masih dapat dihindari).
3. Gerakan Tanah dan Longsor

BAB II KARAKTERISTIK EKOREGION 2- 24 |


LAPORAN AKHIR
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2018

Zona rawan bencana gerakan tanah (longsor) adalah kawasan lindung ataukawasan budi
daya yang meliputi zona-zona berpotensi longsor. Kawasan rawanbencana gerakan tanah di
Kota Tasikmalaya berdasarkan aspek fisik alami dan aspek aktifitas manusia merupakan
gerakan tanah Tipe C dengan tingkat kerawanan rendah dan tingkat resiko rendah.

BAB II KARAKTERISTIK EKOREGION 2- 25 |


LAPORAN AKHIR
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2018
Gambar 2.3 Peta Rawan Bencana di Kota Tasikmalaya

BAB II KARAKTERISTIK EKOREGION 2- 26 |


LAPORAN AKHIR
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP KOTA TASIKMALAYA
TAHUN ANGGARAN 2018

BAB II KARAKTERISTIK EKOREGION 2- 27 |

Anda mungkin juga menyukai