OLEH :
KELOMPOK III
KELAS A3-C
ANGGOTA KELOMPOK
PENBAHULUAN
1. PENGERTIAN
2. EPIDEMIOLOGI
Data mengenai insidensi kejang agak sulit diketahui. Diperkirakan bahwa 10%
orang akan mengalami paling sedikit satu kali kejang selama hidup mereka dan sekitar
0,3 % sampai 0,5 % akan didiagnosis mengidap epilepsy (didasarkan pada criteria dua
atau lebih kejang spontan / kejang pemicu).
3. ETIOLOGI / PENYEBAB
4. PATOFISIOLOGI
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah focus
kejang atau dari jaringan normal yang terganggua akibat suatu keadaan patologik.
Aktivitas kejang sebagian tergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan
tersebut. Lesi ditengah otak, thalamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar
bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak
memicu kejang.
Ditingkat membrane sel, focus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut yaitu instabilitas membrane sel saraf, sehingga sel
lebih mudah mengalami pengaktifan. Neuron – neuron hipersensitif dengan ambang
untuk melepaskan muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara
berlebihan. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetikolin atau defisiensi asam
gama-aminobutirat (GABA). Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan
asam basah atau elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuro sehingga
terjadi kelainan pada depolarisasi neuron.Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter
inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolic yang terjadi selama dan segera setelah kejang
sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energy akibat hiperaktivitas neuron.
Selama kejang, kebutuhan metabolic secara drastic meningkat, lepas muatan listrik sel-
sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000/detik aliran darah otak meningkat
demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul dicairan
serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamate mungkin mengalami
deplesi selama aktivitas kejang. Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada
autopsy. Bukti histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat
neurokimiawi bukan structural. Belum ada factor patologik yang secara konsisten
ditemukan. Kelainan vocal pada metabolism kalium dan asetil kolin dijumpai diantara
kejang. Focus kejang tampaknya sangat peka asetil kolin, suatu neurotransmitter
fasilitatorik, focus-fokus tersebut lambat meningkat dan menyingkirkan asetil kolin.
5. PATHWAY
6. MANIFESTASI KLINIS
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya berkembang
bila suhu tubuh mencapai 39 º C atau lebih. Kejang khas menyeluruh , tonik-klonik
lama beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode mengantuk singkat pasca
kejang. Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15 menit menunjukkan penyebab
organic seperti proses infeksi atau toksik dan memerlukan pengamatan menyeluruh.
Sering ada kehilangan memori selama kejang dan selama waktu singkat
setelahnya. Kerusakan otak dapat terjadi bila kejang berlangsung lama dan berat. Pasien
beresiko mengalami hipoksia, muntah dan aspirasi pulmonal atau adanya abnormalitas
menetap.
7. PEMERIKSAAN FISIK
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pemeriksaan laboratorium
Fungsi lumbal
b. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya
kejang, atau memprediksi berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan
kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karena itu tidak
direkomendasikan
c. Pencitraan
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti CT-scan atai MRI jarang sekali
dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti:
1) Kelainan neurologic fokal yang menetap (hemiparesis)
2) Paresis nervus VI
3) Papiledema
9. PENATALAKSANAAN
a. Beri Diazepam iv pelan-pelan dengan dosis 0,3-0,5 mg/menit dengan kecepatan
1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20mg. Obat
yang praktis diberikan yaitu diazepam rektal dengan dosis 0,5-0,75 mg/kg.
Atau:
b. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulangi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2
kali pemberian diazepam rektal masih kejang, dianjurkan ke RS, agar dapat
diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.
c. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara iv dengan dosis awal
10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1mg/kg/menit atau kurang dari 50mg/menit.
Bila kejang berhenti, dosis selanjutnya adalah 4-8mg/kg/hari,dimulai 12 jam
setelah dosis awal.
d. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang
rawat intensif.
e. Antipiretik
Kejang demam terjadi akibat demam, maka tujuan utama pengobatan adalah
mencegah demam meningkat. Berikan asetaminofen 10–15 mg/kg/hari setiap 4–
6 jam atau ibuprofen 5–10 mg/kg/hari tiap 4–6 jam.
f. Anti kejang
Berikan diazepam oral 0,3 mg/kg/hari tiap 8 jam saat demam atau diazepam
rektal 0,5 mg/kg/kali setiap 12 jam bila demam di atas 38°C.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Aktivitas/Istirahat
1) Gejala : Keletihan, Kelemahan umum
Keterbatasan dalam beraktivitas/bekerja yang ditimbulkan oleh diri
sendiri/orang terdekat/pemberi asuhan keperawatan atau orang laen.
2) Tanda : Perubahan tonus/kekuatan otot
Gerakan involunter/kontraksi otot ataupun sekelompok otot.
b. Sirkulasi
1) Gejala : hipertensi, peningkatan nadi, sianosis depresi
c. Integritas ego
1) Gejala : stresos eksternal atau internal yang berhubungan dengan keadaan dan
atau penanganan, peka rangsangan; perasaan tidak ada harapan atau tidak
berdaya, perubahan dalam berhubungan.
2) Tanda : -pelebaran rentang respon emosional
d. Eleminasi
1) Gejala : inkontinensia episodic
2) Tanda : peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter, otot
relaksasi yang mengakibatkan inkontinensia.
e. Makanan/cairan
1) Gejala : sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah yang berhubungan
dengan aktivitas kerja.
2) Tanda : kerusakan jaringan lunak/gigi (cedera selama kejang), hiperlasia
gingival (efek samping pemakaian dilantin jangka panjang)
f. Neurologi
1) Gejala : Riwayat sakit kepala, aktivitas kejang berulang, pingsan, pusing.
Riwayat trauma kepala, anoreksia dan infeksi serebral.
Adanya aura (rangsangan visual, auditorius, area halusinogenik).
Posital: kelemahan, nyeri otot, area parestese atau paralisis.
2) Tanda : Karakteristik kejang:
a) Fase prodormal: adanya perubahan pada reaksi emosi dan respon
afektif yang tidak menetu yang mengarah pada fase aura dalam
beberapa kasus dan berakhir beberapa menit sampai beberapa jam.
b) Kejang umum:
Toni-klonik ( grand mal): kekakuan dan postur menjejak,
mengerang, penurunan kesadaran,pupil dilatasi, inkontinesia
urine/fekal, pernapasan stridor (ngorok).
c) Kejang partsial (kompleks):
Lobus psikomotor atau temporal: pasien umumnya tetap sadar,
dengan reaksi seperti bermimpi, melamun, berjalan-jalan, peka
rangsangan, halusinasi, bermusuhan, atau takut.
d) Kejang parsial (sederhana):
Jacksonian/motorik vocal: sering didahului oleh aura, berakhir 2-15
menit. Tidak ada penurunan kesadaran ( unilateral) atau penurunan
kesadaran ( bilateral).
e) Status epileptikus:
Aktivitas kejang yang terjadi terus-menerus dengan spontan atau
berhubungan gejala putus antikonvulsan tiba-tiba dan fenomena
metabolic lain.
g. Nyeri/Kenyamanan
1) Gejala : sakit kepala, nyeri otot atau punggung pada periode posiktal.
2) Tanda : sikap atau tingkah laku yang berhati-hati.
Perubahan pada tonus otot.
Tingkah laku distraksi atau gelisah.
h. PERNAPASAN
1) Gejala : fase iktal: gigi mengatup, sianosis, pernapasan menurun atau cepat;
peningkatan sekresi mucus.
Fase posital; apnea.
i. KEAMANAN
1) Gejala : riwayat terjatuh atau trauma, fraktur
Adanya alergi.
2) Tanda : trauma pada jaringan lunak atau ekimosis.
Penurunan kekuatan tonus otot secara menyeluruh.
j. Interaksi Sosial
1) Gejala : masalah dalam hubungan interpersonal dalam keluarga atau
lingkungan sosialnya.
Pembatasan atau penghindaran terhadap kontak sosial.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
3.Untuk mengganti
cairan tubuh yang hilang
akibat evaporasi.
4. Memberikan rasa
nyaman dan pakaian
yang tipis mudah
menyerap keringat dan
tidak merangsang
peningkatan suhu tubuh.
Kolaborasi :
1.merupakan sumber
yang efektif untuk
mengidentifikasi
kebutuhan kalori atau
nutrisi tergantung pada
usia, berat badan, ukuran
tubuh.
8. menghindari patahnya
Setelah kejang: gigi dan trauma pada
1. Pertahankan klien bibir.
miring pada satu sisi. 9. Memudahkan
2. Orientasikan klien pengeluaran saliva dan
dengan lingkungan mucus .
Setelah Kejang :
1. Menghindari aspirasi
saliva dan mucus serta
berupaya untuk
mematenkan jalan napas.
2. Klien sering tidak
menyadari apa yang
telah terjadi
4. Pandangan yang
negative dari orang
terdekat dapat
berpengaruh terhadap
perasaan kemampuan
atau harga diri pasien dan
mengurangi dukungan
yang diterima dari orang
terdekat tersebut.
5.Meningkatkan perasaan
control terhadap diri dan
meningkatkan
kemandirian.
6.Memperhatikan
kebutuhan privasi pasien,
memberika peningkatan
akan harga diri pasien
dan melindungi pasien
dari rasa malu.
3. IMPLEMENTASI
Sesuai dengan intervensi
5. EVALUASI
mengungkapkan persepsi realitas dan penerimaan diri dalam perubahan peran atau gaya
hidup
DAFTAR PUSTAKA
Carpeniro-Monyet, Linda Juall. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Muttagin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Nelson, Waldo E. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. 2000. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.