Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN ANAK

KEJANG DEMAM
DI RUANG MAWAR RS.PUSRI PALEMBANG

Oleh:

Nama : Ega Zinnia Palar


NIM : 231000414901032

CI Akademik
Hidayati,S.Kep.,Ners.,M.kep

CI Klinik:
Rima Mutiara Darwita, S.Kep.,Ners

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS PRIMA NUSANTARA BUKITINGGI

2023
A. DEFINISI

Kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi
antara umur 3 bulan dan 5 tahun berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah
terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu (Arif Mansjoer,
2000).
Menurut IDAI (dalam buku rekomendasi penatalaksanaan kejang demam,

2016) kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rectal diatas 38oC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium.

B. ETIOLOGI
Hingga kini belum diketahui dengan pasti penyebab kejang demam. Demam
sering disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, pneumonia,
gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu timbul pada suhu
tinggi. Kadang-kadang demam yang tidak begitu tinggi dapat mentebabkan kejang.
Kurang lebih 3% dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah mengalami
kejang demam. Jarang terjadi pada anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih
dari 5 tahun. Insiden tertinggi didapatkan pada umur 2 tahun dan menurun setelah
berumur 4 tahun. Hal ini mungkin disebabkan adanya kenaikan dari ambang kejang
sesuai dengan bertambahnya umur. Serangan pertama biasanya terjadi dalam 2
tahun pertama dan kemudian menurun dengan bertambahnya umur.

C. PATOFISIOLOGI
Peningkatan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel
neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion kalium dan natrium melalui
membran tersebut dengan akibat terjadinya terlepasnya muatan listrik. Lepasnya
muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel
maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmiter dan terjadi kejang. Kejang demam yang terjadi singkat pada
umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang
yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat yang disebabkan oleh
metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak
teratur dan suhu tubuh makin meningkat yang disebabkan oleh makin
meningkatnya aktivitas otot, dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak
meningkat. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang
mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan
timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan
pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang
berlangsung lama dapat menjadi matang di kemudian hari sehingga terjadi
serangan epilepsi spontan bahkan kelainan anatomi di otak.

Pathway Kejang Demam

Infeksi bakteri, virus jamur,


parasit reaksi inflamasi

Akumulasi monosit, makrofag, sel T


helper dan fibroblast

Pelepasan pirogen endogen (Sitokin)


Pembentukan prostaglandin otak
Merangsang hipotalamus meningkatkan
titik patokan suhu (set point)

Hipertermi

Peningkatan metabolisme basal

Perubahan permeabilitas sel otak

Depolarisasi (peningkatan ion


natrium masuk ke sel)
Pelepasan muatan listrik berlebihan

Muatan listrik meluas ke sel


lain melalui neurotransmiter

KEJANG DEMAM
D. PENATALAKSANAAN
Dalam penatalaksanaan kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan yaitu :

a. Pengobatan fase akut.

Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien


dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan napas harus
bebas agar oksigennisasi terjamin. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran,
tekanan darah, suhu, pernapasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang
tinggi diturunkan dengan kompres air dan pemberian antipiretik.
Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan
intravena atau intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan
kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg.
Bila kejang berhenti sebelum diazepam habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar, dan
bila tidak timbul kejang lagi jarum dicabut. Bila diazepam intravena tidak tersedia atau
pemberiannya sulit, gunakan diazepam intrarektal 5 mg (BB<10) atau 10 mg (BB>10kg).
Bila kejang tidak berhenti dapat diulang selang 5 menit kemudian. Bila tidak berhenti
juga, berikan fenitoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan
1 mg/KgBB/menit.
Setelah pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan Nacl fisiologis
karena fenitoin bersifat basa dan menyebabkan iritasi vena.Bila kejang berhenti dengan
diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital diberikan langsung setelah kejang berhenti.
Dosis awal untuk bayi 1 bulan -1 tahun 50 mg dan umur 1 tahun ke atas 75 mg secara
intramuscular. Empat jama kemudian diberikan fenobarbital dosis rumat. Untuk 2 hari
pertama dengan dosis 8-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis, untuk hari-hari berikutnya
dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Selama keadaan belum membaik, obat
diberikan secarasuntikan dan setelah membaik per oral. Perhatikan bahwa dosis total tidak
melebihi 200mg/hari. Efek sampingnya adalah hipotensi, penurunan kesadaran dan depresi
pernapasan. Bila kejang berhenti dengan fenitoin, lanjutkan fenitoin dengan dosis 4-8
mg/KgBB/hari, 12-24 jam setelah dosis awal.

b. Mencari dan mengobati penyebab


Pemeriksaan cairan serebro spinalis dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.
Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada
kasus yang dicurigai sebagai meningitis, misalnya bila ada gejala meningitis atau
kejang demam berlangsung lama.
c. Pengobatan profilaksis

Ada 2 cara profilaksis, yaitu (1) profilaksis intermiten saat demam


atau (2) profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan setiap hari.
Untuk profilaksis intermiten diberikan diazepam secara oral dengan
dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis saat pasien demam. Diazepam
dapat pula diberikan secara intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5mg (BB<10)
dan 10 mg (BB>10kg) setiap pasien menunjukkan suhu lebihdari 38,50C. Efek
samping diazepam adalah ataksia, mengantuk dan hipotonia.
Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang
demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi tidak dapat
mencegah terjadinya epilepsi dikemudian hari. Profilaksis terus menerus setiap
hari dengan fenobarbital 4-5 mg/KgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang
dapat digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/KgBB/hari.
Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah
kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan.

Profilaksis terus menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria (termasuk


poin 1 atau 2) yaitu :
1) Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologist
atau perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal)
2) Kejang demam lebih dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan
neurologist sementara dan menetap.
3) Ada riwayat kejang tanpa demam pada orang tua atau saudara kandung.

4) Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau
terjadi kejang multiple dalam satu episode demam.
Bila hanya mmenuhi satu kriteria saja dan ingin memberikan obat jangka
panjang maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada waktu anak demam
dengan diazepam oral atau rectal tiap 8 jam disamping antipiretik.
E. KOMPLIKASI

Komplikasi kejang demam menurut (Waskitho, 2013 dalam Wulandari & Erawati,
2016) yaitu :
1) Kerusakan neurotransmitter lepasnya muatan listrik ini demikian besarnya sehingga
dapat meluas ke seluruh sel ataupun membrane sel yang menyebabkan kerusakan pada
neuron.
2) Epilepsi Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan
kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang di kemudian hari sehingga terjadi
serangan epilepsi yang spontan.
3) Kelainan anatomis di otak Serangan kejang yang berlangsung lama yang dapat
menyebabkan kelainan di otak yang lebih banyak terjadi pada anak baru berumur 4
bulan - 5 tahun.
4) Mengalami kecacatan atau kelainan neurologis karena disertai demam.
5) Kemungkinan mengalami kematian.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. EEG : Untuk membuktikan jenis kejang fokal / gangguan difusi otak akibat
lesi organik, melalui pengukuran EEG ini dilakukan 1 minggu atau kurang
setelah kejang.
b. CT SCAN : Untuk mengidentifikasi lesi serebral, mis : infark, hematoma,
edema serebral, dan abses.
c. Pungsi Lumbal : Pungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal
(cairan yang ada di otak dan kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan
meningitis.
d. Laboratorium : Darah tepi, lengkap ( Hb, Ht, Leukosit, Trombosit )
mengetahui sejak dini apabila ada komplikasi dan penyakit kejang demam.
(Arif Mansyoer,2000)
G. PENGKAJIAN

a. Data subyektif :

Biodata/ Identitas : Biodata anak mencakup nama, umur, jenis kelamin. Biodata orang
tuameliputi nama, umur, agama, suku/bangsa, pendidikan,pekerjaan, alamat.
Riwayat Keperawatan : Riwayat keperawatan sekarang ditanyakan keluhan
utama saat ini. Riwayat keperawatan sebelumnya perlu ditanyakan penyakit yang
pernah diderita seperti demam, batuk/pilek, kejang, mimisan dan lainnya, riwayat
operasi, riwayat alergi dan riwayat imunisasi.
Riwayat penyakit keluarga : Tanyakan penyakit yang pernah diderita oleh anggota
keluarga.
Riwayat nutrisi : Tanyakan terkait nafsu makan, pola makan, minum
dan pantangan bila ada.
Riwayat tumbuh kembang : Tanyakan berat badan sebelum sakit, berat badan lahir
/ atopometri, tahap perkembangan sosial
Genogram : silisah keluarga pasien

b. Pemeriksaan fisik :

Sistem pernafasan : bentuk dada, pola napas, irama, bunyi napas, retraksi
otot bantu napas, adanya batuk.
Sistem kardiovaskuler : nyeri dada, irama jantung, pulsasi, bunyi jantung,
CRT, cyanosis, clubingfinger.
Sistem persyarafan : kesadaran, GCS, reflek hisap, menoleh,
menggenggam, babinsky, moro, patella, kejang, kaku kuduk, brudsky 1, nteri kepala,
pola istirahat, nervus cranialis.
Gentourinaria : bentuk, uretra, kebersihan, frekuensi berkemih, jumlah
urine. Sistem pencernaan : mulut mukosa, bibir, lidah, kebersihan, sakit
menelan,nyeri perut, eleminasi.
Sistem muskulusskeletal dan integumen : kemampuan ROM, kekuatan otot,adanya
fraktur, dislokasi, akral, turgor, kelembaban, oedema.
Sistem penginderaan : mata, konjungtiva anemis, reflek cahaya, mukosa
hidung, pendengaran, perasa, peraba.
Sistem endokrin : cek adanya pembesaran kelenjar tiroid, pembesaran
kelenjar parotis.
Aspek psikososial : observasi ekspresi efek dan emosi, hubungan dengan
keluarga, dampak hospitalisasi.
Hasil penunjang : pemeriksaan lab darah, EEG, CT
Scan.Obat yang dikonsumsi : penggunaan obat anti kejang.

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN

SDKI SLKI SIKI

Pola napas tidak efektif Setelah dilakukan asuhan Manajemen jalan nafas :
berhubungan dengan gangguan keperawatan selama 3 x 24
Observasi
neurologis (kejang) jam pola napas membaik
di buktikan dengan penggunaan • Monitor pola napas (frekuensi,
dengan kriteriahasil :
otot bantu napas kedalaman,usaha napas)
1. Penggunaan otot bantu
• Monitor bunyi napas tambahan
napas menurun
(gurgling,mengi, wheezing, ronkhi
2. Frekuensi napas
kering)
membaik
Terapeutik

• Pertahankan kepatenan jalan


napas denganhead-tilt dan chin-lift
• Posisikan semi-
fowler Berikan
minum hangat
Berikan oksigen
bila perlu
Edukasi
Ajarkan teknik batuk efektif
Hipertemia berhubungan Setelah dilakukan asuhan
Manajemen Hipertemia :
dengan proses infeksi. Di keperawatan selama 3 x 24
Observasi
buktikan dengan suhu tubuh jam termoregulasi membaik
38,7oC, kejang, kulit terasa dengankriteria hasil : • Identifikasi penyebab
hangat. 1. Takipnea menurun hipertermia.
2. Suhu tubuh membaik
• Monitor suhu tubuh
3. Kejang menurun
• Monitor kadar elektrolit
• Monitor haluaran urine

• Monitor komplikasi akibat


hipertermia

Terapeutik

• Sediakan lingkungan
yang dingin Longgarkan
atau lepaskan pakaian
Basahi dan kipasi
permukaan tubuhBerikan
cairan oral
• Ganti linen setiap hari atau lebih
seringjika hiperhidrosis (keringat
berlebih) Lakukan pendinginan
eksternal
• Hindari pemberian antipiretik
atau asipirinBerikan oksigen,
jika perlu
Edukasi

Anjurkan tirah baring


Kolaborasi : Kolaborasi pemberian cairan
dan elektrolitintravena, jika perlu.
Resiko cedera Setelah dilakukan Manajemen Kejang :
keperawatan selama 3 x 24
Observasi
jam tingkat cedera menurun
• Monitor terjadinya kejang berulang
dengan kriteria hasil:
1. Kejadian cedera • Monitor karakteristik kejang (mis,
menurun aktivitasmotorik, dan progresi
2. Tekanan darah membaik kejang)
• Monitor status neurologis

• Monitor tanda-tanda vital


Terapeutik

• Baringkan pasien agar tidak


terjatuh

• Berikan alas empuk dibawah


kepala, jikamemungkinkan

• Pertahankan kepatenan jalan napas

• Longgarkan pakaian, terutama


dibagianleher

• Dampingi selama periode kejang

• Jauhkan benda-benda
berbahaya terutama benda tajam

• Pasang akses IV, jika perlu

• Berikan oksigen, jika perlu

Edukasi

Anjurkan kepada keluarga


menghindari memasukkan apapun ke
dalam mulut pasien saat periode
kejang
DAFTAR PUSTAKA

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016. Panduan Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta : Penerbit IDAI.
Depkes. Jumlah kasus kejang demam pada balita [on line]. 2013. Available from:
http://www.depkes.go.id/index.php. Diakses 29 November 2021.
Fuadi F, Bahtera T, Wijayahadi N. Faktor risiko bangkitan kejang demam pada anak.

Sari Pediatr. 2016;12(3):142

Lee CY, Lee NM, Yi DY, Yun SW, Lim IS, Chae SA. Iron
deficiencyanemia: the possible risk factor of complex febrile
seizure and recurrenceof febrile seizure. Child Neurol.
2018;26(4):210–4
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2.
Jakarta : EGC.
MCance, Kathryn L & Sue E. Huether. 2019. Buku Ajar Patofisiologi,
Edisi IndonesiaKeenam, Volume 2. Indonesia : Elsevier.
PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Edisi 1. Jakarta :
DPP PPNI.PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
: Definisi
dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.

PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan


Kriteria HasilKeperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI.
Sanusi, W dkk. 2021. SEIR Mathematical Model of Seizure fever in Infants
Under 5Years Old in Makassar City. Journal of physics:

Anda mungkin juga menyukai