Abstrak
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di Panti Sosial
Tresna Wredha Minaula Kendari, didapatkan bahwa dari 10 Lansia yang
diobservasi, 3 kurang bersosialisasi (mengurung diri di kamar), 1 Lansia sedang
sakit dan 3 Lansia mengatakan keluarganya jarang berkunjung, dan 2 Lansia
sedang disuapi petugas dan 1 Lansia sedang dimandikan oleh petugas. Selain itu
beberapa Lansia sering mengalami perasaan cemas, gangguan tidur dan kurang
bisa melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan kemandirian, interaksi sosial dan fungsi keluarga dengan
kualitas hidup lansia di Panti Tresna Werdha Minaula Kendari.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik observasional
dengan pendekatan cross sectional. Populasi adalah seluruh Lansia di Panti Tresna
Werdha Minaula Kendari sebanyak 93 orang. Sampel sebanyak 48 responden.
Dilaksanakan tanggal 5 Mei – 15 Mei 2018. Uji statistic yang digunakan adalah Chi
Square (X2).
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara kemandirian (p value =
0,008), interaksi sosial (p value = 0,001), fungsi keluarga (p value = 0,004) dengan
kualitas hidup Lansia.
Kesimpulan penelitian bahwa faktor yang berhubungan dengan kualitas
hidup Lansia adalah ada hubungan antara kemandirian, interaksi sosial fungsi
keluarga.
Kata Kunci: Kualitas Hidup Lansia, Kemandirian, Interaksi Sosial
Fungsi Keluarga
Abstract
Age and physiological decline occur in the elderly due to degenerative processes.
Non-communicable diseases such as hypertension are often suffered by the elderly.
Gardening therapy is one means that can be used as an alternative to normalize blood.
The research design used Quasi experimental pre-post test with a control group with
a total sample of 15 respondents selected by purposive sampling. The independent variable
in this study is the influence and variables used with sphygnomanometer and stethoscope.
Data were analyzed using paired t test and independent t test (α = 0.05).
The results of bivariate analysis on four meetings showed that there was a positive
and strong influence, the first, for pressure and emotion, for diastolic which was described
by the following p value, p1 = 0.005, p3 = 0.015, p4 = 0.017 and p3 = 0.018 and p4 =
0.025. Analysis of differences in the four meetings showed that there were differences
between groups and groups in Kendari Tresna Werdha Minaula Social Institution
represented by the following p value, p3 TDS = 0.045.
Here are some ways to be effective to normalize the blood of elderly people with
hypertension, so it is necessary to do therapy as an alternative non-pharmacological
therapy that can be done independently or together. without causing side effects.
Key Words: Gardening therapy, elderly blood pressure.
2
PENDAHULUAN perhatian khusus pada lansia yang
Menurut WHO lanjut usia mengalami suatu proses menua.
(lansia) adalah kelompok penduduk Permasalahan – permasalahan yang
yang berumur 60 tahun atau lebih. perlu perhatian khusus untuk lansia
Makin baiknya pelayanan kesehatan, berkaitan dengan berlangsunnya
maka ada kecenderungan proses menjadi tua, yang berakibat
meningkatnya umur harapan hidup timbulnya perubahan fisik, kognitif,
sehingga berdampak pada semakin perasaan, sosial, dan seksual (Agustina,
meningkatnya populasi Lansia dari 2014).
tahun ke tahun. Pertambahan usia dan
Data World Population Prospects penurunan fisiologis terjadi pada lansia
the 2015 Revision, jumlah lansia di akibat proses degeneratif (penuaan)
dunia pada tahun 2015 dan 2030 sehingga penyakit tidak menular
jumlah orang berusia 60 tahun lebih banyak muncul pada usia lanjut.
diproyeksikan akan tumbuhsekitar 56% Penyakit tidak menular pada lansia di
dari 901 juta menjadi 1,4 milyar dan antaranya hipertensi, stroke, diabetes
pada tahun 2050 populasi lansia melitus dan radang sendi atau rematik.
diproyeksikan lebih dari 2 kali lipat di Hipertensi merupakan “silent killer”
tahun 2015, yaitu mencapai 2,1 milyar. sehingga menyebabkan fenomena
Selama 15 tahun kedepan, jumlah gunung es. Prevalensi hipertensi
lansia diperkirakan akan meningkat. meningkat dengan bertambahnya usia.
Amerika latin dan Karibia dengan Kondisi patologis ini jika tidak
proyeksi peningkatan 71%, penduduk mendapatkan penanganan secara cepat
usia 60 tahun atau lebih diikuti oleh dan secara dini maka akan
Asia 66%, Afrika 64%, Ocemia 47%, memperberat risiko (Wahyuningsih
Amerika Utara 41% danEropa 23% dan Astuti E., 2013).
(Nations, 2015). Menurut data WHO, di seluruh
Jumlah lansia di indonesia pada dunia, sekitar 972 juta orang atau
tahun 2000 meningkat menjadi 14,4 juta 26,4% penghuni bumi mengidap
jiwa (7,18%) dari jumlah penduduk di hipertensi, angka ini kemungkinan
Indonesia dengan usia harapan hidup akan meningkat menjadi 29,2% di
66,2 tahun. Pada tahun 2006 angka tahun 2025, dari 972 juta pengidap
meningkat hingga dua kali lipat hipertensi 333 juta berada di negara
menjadi 19 juta jiwa (8,9%) dari jumlah berkembang, termasuk Indonesia
penduduk di Indonesia dengan usia (Yonata & Pratama, 2016).
harapan hidup 66,2 dan diperkirakan Hipertensi adalah penyakit yang
tahun 2020 mencapai 28,8 juta jiwa perlu diberikan penanganan ekstra
(11,34%) dari jumlah penduduk di karena jika tidak dapat berdampak
Indonesia dengan usia harapan hidup pada kesehatan khususnya kesehatan
71,1 tahun (Agustina, 2014). lansia. Hipertensi merupakan faktor
Peningkatan jumlah lansia di risiko utama terjadinya penyakit
Indonesia ini memberikan suatu jantung, gagal jantung kongestif,
stroke, gangguan penglihatan dan sama, yang merupakan bentuk ekspresi
penyakit ginjal. Komplikasi yang diri yang dapat memungkinkan
terjadi pada hipertensi ringan dan penyaluran bagi emosi sehingga
sedang yaitu pada mata, ginjal, jantung menimbulkan rasa nyaman. Perasaan
dan otak. Komplikasi pada mata nyaman, tenang dan bahagia akan
berupa perdarahan retina, gangguan mengaktifkan HPA axis. HPA axis akan
penglihatan sampai dengan kebutaan merangsang hipotalamus sehingga
(H & Nisa, 2017). menurunkan sekresi CRH
Cara pengendalian tekanan darah (Corticotropin Releasing Hormone)
selain dari obat antihipertensi juga menyebabkan ACTH
diimbangi dengan merubah gaya hidup (Adrenocorticotropic Hormone) menurun
lebih sehat, melakukan aktivitas fisik, dan merangsang POMC(Pro-
dan manajemen stress dengan opimelanocortin) yang juga menurunkan
melakukan hal yang menyenangankan produksi ACTH dan kortisol sehingga
atau hobi. Berkebun merupakan menstimulasi produksi endorphin.
metode yang dapat dijadikan sebagai Endorphin menimbulkan dilatasi
alternatif rekreasi yang cocok dengan vascular Penurunan kortisol dan ACTH
aktivitas gaya hidup sehat. Melakukan serta peningkatan endorphin membuat
sesuatu yang didasari oleh hobi akan pembuluh darah rileks sehingga akan
lebih mudah dilakukan karena tidak menurunkan tahanan perifer dan
dijadikan sebagai beban, atau tuntutan cardiac output sehingga mempengaruhi
yang malah memberatkan lansia. Salah tekanan darah (Sari et al., n.d.2014).
satu hobi yang biasa dijadikan sebagai
alternatif terapi adalah berkebun (Sari METODE PENELITIAN
A.P. dkk. 2014). Penelitian ini menggunakan
Penelitian yang dilakukan oleh desain Quasi experimental pre-post test
Ayu permata sari di Magetan, Rerata dengan kelompok kontrol. Tekanan
tekanan darah sistolik pre tes adalah darah diobservasi sebelum dan setelah
161 mmHg dan post tes 149 mmHg, diberikan perlakuan sebanyak 4 kali
diuji dengan paired t test menunjukkan pertemuan selama 2 minggu. Penelitian
p=0,013 dan rerata tekanan darah ini dilaksanakan di Panti Sosial Tresna
diastolik pre tes adalah 83 mmHg dan Werdha Minaula Kendari pada tanggal
post tes 79 mmHg, uji paired t test 25 Januari-7 Februari 2018. Populasi
menunjukkan p=0,037 sehingga pada penelitian ini berjumlah 22 orang
menunjukkan terapi berkebun yaitu lansia dengan hipertensi di Panti
efektifterhadap perubahan tekanan Sosial Tresna. Pengambilan sampel
darah pada lansia dengan hipertensi menggunakan tehnik non probability
(Sari et al., n.d.2014). sampling dengan menggunakan metode
Terapi berkebun memberi purposive sampling. Sampel dari
kepuasan emosional saat panen, rasa penelitian ini diambil dari populasi
memiliki, mendorong adanya yang sudah memenuhi kriteria inklusi
komunikasi karena dilakukan bersama- sebanyak 15 orang. Kriteria inklusi
4
dalam penelitian ini antara lain: 1) dianalisis menggunkan uji
Memiliki riwayat hipertensi (TDS ≥140 statistikPaired t-test dan independent t
mmHg) dan pada saat pengukuran test (α=0,05).
termasuk dalam kategori hipertensi
stage 1, 2) Mandiri dalam beraktivitas HASIL PENELITIAN
sehari-hari dan kooperatif, 3) Tidak Hasil penelitian disajikan dan
mengalami kelemahan fisik. dianalisis dalam bentuk tabel dan
Variabel independen dalam dianalisis secara univariat dan bivariat.
penelitian ini adalah Terapi Berkebun. Hasil Penelitian menunjukan
Variabel dependen dalam penelitian ini karakteristik responden penelitian
adalah tekanan darah lansia. berdasarkan usia dan jenis kelamin
Pengukuran variabel dependen pada yang ditampilkan pada tabel berikut:
penelitian ini menggunakan
sphygnomanometer dan stetoskop. Hasil
dari tekanan darah dicatat dalam
lembar observasi. Pemberian terapi
berkebunmengacu pada Penelitian dan Tabel 1 Karakteristik Responden
Berdasarkan Jenis Kelamin di
Pengembangan Hortikultura tahun
Panti Sosial Tresna Werdha
2015. Alat dan bahan yang Minaula Kendari
dipergunakan meliputi polybag, media Karakteristik n %
tanam, pupuk NPK, sekop mini, bibit Jenis kelamin
tanaman kangkung dan air untuk Laki-laki 5 33,3
menyiram tanaman. Penentuan jumlah Perempuan 10 66,7
Usia (tahun)
responden berdasarkan kriteria inklusi
70-74 9 60
dilakukan secara langsung saat 75-90 5 33,3
pengukuran tekanan darah pada > 90 1 6,7
pengambilan data awal. Terapi
berkebun dilakukan sebanyak 4 kali Berdasarkan tabel 1 di atas pada
pertemuan selama 2 minggu dengan karakteristik jenis kelamin,
menunjukan bahwa responden yang
tahapan yaitu menyiapkan media
berjenis kelamin laki-laki sebanyak 5
tanam, persiapan bibit dan penanaman, orang (33,3%) dan perempuan
pemeliharaan tanaman dan sebanyak 10 orang (66,7%). Hal
pemanenan. Total waktu setiap tersebut menyimpulkan bahwa
pertemuan adalah 75 menit, dengan responden yang berjenis kelamin
pembagian 30 menit untuk perempuan lebih banyak dibandingkan
dengan responden yang berjenis
pemeriksaan tekanan darah dan 45
kelamin laki-laki. Pada yang berjenis
menit untuk pelaksanaan terapi
kelamin laki-laki. Pada karakteristik
berkebun. Pengukuran tekanan darah usia menunjukan bahwa responden
diukur sebelum dan sesudah terapi yang berusia 60-74 tahun sebanyak 9
berkebun pada kelompok kontrol dan orang (60%), responden yang berusia
intervensi sampai pertemuan keempat. 75-90 tahun adalah sebanyak 5 orang
Data yang diperoleh kemudian (33,3%) dan responden yang berusia
5
>90 tahun sebanyak 1 orang (6,7%).
Hal tersebut menyimpulkan bahwa
responden penelitian ini terbanyak
berusia 60-74 tahun.
6
Tabel 2 Analisis pengaruh terapi berkebun terhadap perubahan tekanan darah
lansia sebelum dan sesudah terapi berkebun pada kelompok intervensi
di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari
Pertemuan I II III IV
Pre test TDS 145,7 mmHg 130 mmHg 138,5 mmHg 147,1 mmHg
TDD 74,2 mmHg 74,2 mmHg 80 mmHg 82,8 mmHg
Post test TDS 130 mmHg 125,7 mmHg 127,1 mmHg 138,5 mmHg
TDD 68,5 mmHg 72,8 mmHg 70 mmHg 75,7 mmHg
P Value TDS 0,005 0,180 0,015 0,017
TDD 0,231 0,655 0,018 0,025
Uji paired t test dan Uji wilcoxon
Pada tabel 2 menjelaskan bahwa mmHg dan sesudah terapi berkebun
berdasarkan uji paired t test pada yaitu 72,85 mmHg.
tekanan darah sistolik lansia sebelum Pada pertemuan ketiga setelah
dan sesudah terapi berkebun di dilakukan uji paired t test pada tekanan
pertemuan pertama diperoleh nilai darah sistolik lansia sebelum dan
dengan nilai rata-rata tekanan darah sesudah terapi berkebun diperoleh nilai
sistolik sebelum terapi berkebun yaitu p = 0,015 dengan nilai rata-rata
130 mmHg dan setelah terapi berkebun tekanan darah sistolik sebelum terapi
yaitu 125,7 mmHg. Sedangkan untuk berkebun yaitu 138,5 mmHg dan
uji p = 0,005 dengan nilai rata-rata setelah terapi berkebun yaitu 127,1
tekanan Darah sistolik sebelum mmHg. Sedangkan untuk uji paired t
diberikan terapi berkebun yaitu 145,7 test pada tekanan darah diastolik
danSesudah terapi berkebun yaitu 130 lansia sebelum dan sesudah terapi
mmHg. Sedangkan untuk uji paired t berkebun di pertemuan ketiga
test pada tekanan darah diastolik lansia diperoleh nilai p = 0,018 dengan nilai
sebelum dan sesudah terapi berkebun rata-rata tekanan darah diastolik
di pertemuan pertama diperoleh nilai p sebelum terapi berkebun yaitu 80
= 0,231 dengan nilai rata-rata tekanan mmHg dan setelah terapi berkebun
darah diastolic sebelum terapi yaitu 70 mmHg.
berkebun yaitu 74,2 mmHg dan Pada pertemuan keempat setelah
sesudah terapi berkebun yaitu 68,5 dilakukan uji paired t test pada tekanan
mmHg. Pada pertemuan kedua darah sistolik lansia sebelum dan
diperoleh informasi nilai p = 0,180 sesudah terapi berkebun diperoleh nilai
dengan nilai rata-rata tekanan darah p = 0,017 dengan nilai rata-rata tekanan
sistolik sebelum terapi berkebun yaitu darah sistolik sebelum terapi berkebun
130 mmHg dan setelah terapi berkebun yaitu 147,14 mmHg dan setelah terapi
yaitu 125,7 mmHg. Sedangakan untuk berkebun yaitu 138,57 mmHg.
uji wilcoxon pada tekanan darah Sedangkan untuk uji Wilcoxon Pada
diastolik lansia sebelum dan sesudah tekanan darah diastolik lansia sebelum
terapi berkebun di pertemuan kedua dan sesudah terapi berkebun diperoleh
diperoleh informasi nilai p = 0,655 nilai p = 0,025 rata-rata tekanan darah
dengan nilai rata-rata tekanan darah diastolik sebelum terapi berkebun yaitu
diastolik sebelum terapi yaitu 74,28 82,8 mmHg dan setelah terapi
berkebun yaitu 75,7 mmHg.
Tabel 3 Analisis uji perbedaan tekanan darah sistolik dan diastolik antara kelompok
intervensi dan kontrol di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari
Pertemuan I II III IV
Selisih Kelompok intervensi 9,9 8,2 10,3 8,5
TDS Kelompok kontrol 6,3 7,7 5,9 8,7
Selisih Kelompok intervensi 5,7 1,4 9 8,6
TDD Kelompok kontrol -8,3 1,2 7 7,4
P Value TDS 0,107 0,813 0,045 0,237
TDD 0,184 0,875 0,351 0,564
Uji independent t test dan mann-whitney