Anda di halaman 1dari 14

HUBUNGAN KEMANDIRIAN, INTERAKSI SOSIAL DAN FUNGSI

KELUARGA DENGAN KUALITAS HIDUP LANSIA DI PANTI


TRESNA WERDHA MINAULA KENDARI
La Ode Alifariki1*, …………
Program Studi Keperawatan Fakultas Kedokteran Fakultas Kedokteran UHO
Kampus Bumi Tridharma Anduonuhu Kendari
*E-mail: ners_riki@yahoo.co.id

Abstrak
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di Panti Sosial
Tresna Wredha Minaula Kendari, didapatkan bahwa dari 10 Lansia yang
diobservasi, 3 kurang bersosialisasi (mengurung diri di kamar), 1 Lansia sedang
sakit dan 3 Lansia mengatakan keluarganya jarang berkunjung, dan 2 Lansia
sedang disuapi petugas dan 1 Lansia sedang dimandikan oleh petugas. Selain itu
beberapa Lansia sering mengalami perasaan cemas, gangguan tidur dan kurang
bisa melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan kemandirian, interaksi sosial dan fungsi keluarga dengan
kualitas hidup lansia di Panti Tresna Werdha Minaula Kendari.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik observasional
dengan pendekatan cross sectional. Populasi adalah seluruh Lansia di Panti Tresna
Werdha Minaula Kendari sebanyak 93 orang. Sampel sebanyak 48 responden.
Dilaksanakan tanggal 5 Mei – 15 Mei 2018. Uji statistic yang digunakan adalah Chi
Square (X2).
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara kemandirian (p value =
0,008), interaksi sosial (p value = 0,001), fungsi keluarga (p value = 0,004) dengan
kualitas hidup Lansia.
Kesimpulan penelitian bahwa faktor yang berhubungan dengan kualitas
hidup Lansia adalah ada hubungan antara kemandirian, interaksi sosial fungsi
keluarga.
Kata Kunci: Kualitas Hidup Lansia, Kemandirian, Interaksi Sosial
Fungsi Keluarga

Abstract
Age and physiological decline occur in the elderly due to degenerative processes.
Non-communicable diseases such as hypertension are often suffered by the elderly.
Gardening therapy is one means that can be used as an alternative to normalize blood.
The research design used Quasi experimental pre-post test with a control group with
a total sample of 15 respondents selected by purposive sampling. The independent variable
in this study is the influence and variables used with sphygnomanometer and stethoscope.
Data were analyzed using paired t test and independent t test (α = 0.05).
The results of bivariate analysis on four meetings showed that there was a positive
and strong influence, the first, for pressure and emotion, for diastolic which was described
by the following p value, p1 = 0.005, p3 = 0.015, p4 = 0.017 and p3 = 0.018 and p4 =
0.025. Analysis of differences in the four meetings showed that there were differences
between groups and groups in Kendari Tresna Werdha Minaula Social Institution
represented by the following p value, p3 TDS = 0.045.
Here are some ways to be effective to normalize the blood of elderly people with
hypertension, so it is necessary to do therapy as an alternative non-pharmacological
therapy that can be done independently or together. without causing side effects.
Key Words: Gardening therapy, elderly blood pressure.

2
PENDAHULUAN perhatian khusus pada lansia yang
Menurut WHO lanjut usia mengalami suatu proses menua.
(lansia) adalah kelompok penduduk Permasalahan – permasalahan yang
yang berumur 60 tahun atau lebih. perlu perhatian khusus untuk lansia
Makin baiknya pelayanan kesehatan, berkaitan dengan berlangsunnya
maka ada kecenderungan proses menjadi tua, yang berakibat
meningkatnya umur harapan hidup timbulnya perubahan fisik, kognitif,
sehingga berdampak pada semakin perasaan, sosial, dan seksual (Agustina,
meningkatnya populasi Lansia dari 2014).
tahun ke tahun. Pertambahan usia dan
Data World Population Prospects penurunan fisiologis terjadi pada lansia
the 2015 Revision, jumlah lansia di akibat proses degeneratif (penuaan)
dunia pada tahun 2015 dan 2030 sehingga penyakit tidak menular
jumlah orang berusia 60 tahun lebih banyak muncul pada usia lanjut.
diproyeksikan akan tumbuhsekitar 56% Penyakit tidak menular pada lansia di
dari 901 juta menjadi 1,4 milyar dan antaranya hipertensi, stroke, diabetes
pada tahun 2050 populasi lansia melitus dan radang sendi atau rematik.
diproyeksikan lebih dari 2 kali lipat di Hipertensi merupakan “silent killer”
tahun 2015, yaitu mencapai 2,1 milyar. sehingga menyebabkan fenomena
Selama 15 tahun kedepan, jumlah gunung es. Prevalensi hipertensi
lansia diperkirakan akan meningkat. meningkat dengan bertambahnya usia.
Amerika latin dan Karibia dengan Kondisi patologis ini jika tidak
proyeksi peningkatan 71%, penduduk mendapatkan penanganan secara cepat
usia 60 tahun atau lebih diikuti oleh dan secara dini maka akan
Asia 66%, Afrika 64%, Ocemia 47%, memperberat risiko (Wahyuningsih
Amerika Utara 41% danEropa 23% dan Astuti E., 2013).
(Nations, 2015). Menurut data WHO, di seluruh
Jumlah lansia di indonesia pada dunia, sekitar 972 juta orang atau
tahun 2000 meningkat menjadi 14,4 juta 26,4% penghuni bumi mengidap
jiwa (7,18%) dari jumlah penduduk di hipertensi, angka ini kemungkinan
Indonesia dengan usia harapan hidup akan meningkat menjadi 29,2% di
66,2 tahun. Pada tahun 2006 angka tahun 2025, dari 972 juta pengidap
meningkat hingga dua kali lipat hipertensi 333 juta berada di negara
menjadi 19 juta jiwa (8,9%) dari jumlah berkembang, termasuk Indonesia
penduduk di Indonesia dengan usia (Yonata & Pratama, 2016).
harapan hidup 66,2 dan diperkirakan Hipertensi adalah penyakit yang
tahun 2020 mencapai 28,8 juta jiwa perlu diberikan penanganan ekstra
(11,34%) dari jumlah penduduk di karena jika tidak dapat berdampak
Indonesia dengan usia harapan hidup pada kesehatan khususnya kesehatan
71,1 tahun (Agustina, 2014). lansia. Hipertensi merupakan faktor
Peningkatan jumlah lansia di risiko utama terjadinya penyakit
Indonesia ini memberikan suatu jantung, gagal jantung kongestif,
stroke, gangguan penglihatan dan sama, yang merupakan bentuk ekspresi
penyakit ginjal. Komplikasi yang diri yang dapat memungkinkan
terjadi pada hipertensi ringan dan penyaluran bagi emosi sehingga
sedang yaitu pada mata, ginjal, jantung menimbulkan rasa nyaman. Perasaan
dan otak. Komplikasi pada mata nyaman, tenang dan bahagia akan
berupa perdarahan retina, gangguan mengaktifkan HPA axis. HPA axis akan
penglihatan sampai dengan kebutaan merangsang hipotalamus sehingga
(H & Nisa, 2017). menurunkan sekresi CRH
Cara pengendalian tekanan darah (Corticotropin Releasing Hormone)
selain dari obat antihipertensi juga menyebabkan ACTH
diimbangi dengan merubah gaya hidup (Adrenocorticotropic Hormone) menurun
lebih sehat, melakukan aktivitas fisik, dan merangsang POMC(Pro-
dan manajemen stress dengan opimelanocortin) yang juga menurunkan
melakukan hal yang menyenangankan produksi ACTH dan kortisol sehingga
atau hobi. Berkebun merupakan menstimulasi produksi endorphin.
metode yang dapat dijadikan sebagai Endorphin menimbulkan dilatasi
alternatif rekreasi yang cocok dengan vascular Penurunan kortisol dan ACTH
aktivitas gaya hidup sehat. Melakukan serta peningkatan endorphin membuat
sesuatu yang didasari oleh hobi akan pembuluh darah rileks sehingga akan
lebih mudah dilakukan karena tidak menurunkan tahanan perifer dan
dijadikan sebagai beban, atau tuntutan cardiac output sehingga mempengaruhi
yang malah memberatkan lansia. Salah tekanan darah (Sari et al., n.d.2014).
satu hobi yang biasa dijadikan sebagai
alternatif terapi adalah berkebun (Sari METODE PENELITIAN
A.P. dkk. 2014). Penelitian ini menggunakan
Penelitian yang dilakukan oleh desain Quasi experimental pre-post test
Ayu permata sari di Magetan, Rerata dengan kelompok kontrol. Tekanan
tekanan darah sistolik pre tes adalah darah diobservasi sebelum dan setelah
161 mmHg dan post tes 149 mmHg, diberikan perlakuan sebanyak 4 kali
diuji dengan paired t test menunjukkan pertemuan selama 2 minggu. Penelitian
p=0,013 dan rerata tekanan darah ini dilaksanakan di Panti Sosial Tresna
diastolik pre tes adalah 83 mmHg dan Werdha Minaula Kendari pada tanggal
post tes 79 mmHg, uji paired t test 25 Januari-7 Februari 2018. Populasi
menunjukkan p=0,037 sehingga pada penelitian ini berjumlah 22 orang
menunjukkan terapi berkebun yaitu lansia dengan hipertensi di Panti
efektifterhadap perubahan tekanan Sosial Tresna. Pengambilan sampel
darah pada lansia dengan hipertensi menggunakan tehnik non probability
(Sari et al., n.d.2014). sampling dengan menggunakan metode
Terapi berkebun memberi purposive sampling. Sampel dari
kepuasan emosional saat panen, rasa penelitian ini diambil dari populasi
memiliki, mendorong adanya yang sudah memenuhi kriteria inklusi
komunikasi karena dilakukan bersama- sebanyak 15 orang. Kriteria inklusi

4
dalam penelitian ini antara lain: 1) dianalisis menggunkan uji
Memiliki riwayat hipertensi (TDS ≥140 statistikPaired t-test dan independent t
mmHg) dan pada saat pengukuran test (α=0,05).
termasuk dalam kategori hipertensi
stage 1, 2) Mandiri dalam beraktivitas HASIL PENELITIAN
sehari-hari dan kooperatif, 3) Tidak Hasil penelitian disajikan dan
mengalami kelemahan fisik. dianalisis dalam bentuk tabel dan
Variabel independen dalam dianalisis secara univariat dan bivariat.
penelitian ini adalah Terapi Berkebun. Hasil Penelitian menunjukan
Variabel dependen dalam penelitian ini karakteristik responden penelitian
adalah tekanan darah lansia. berdasarkan usia dan jenis kelamin
Pengukuran variabel dependen pada yang ditampilkan pada tabel berikut:
penelitian ini menggunakan
sphygnomanometer dan stetoskop. Hasil
dari tekanan darah dicatat dalam
lembar observasi. Pemberian terapi
berkebunmengacu pada Penelitian dan Tabel 1 Karakteristik Responden
Berdasarkan Jenis Kelamin di
Pengembangan Hortikultura tahun
Panti Sosial Tresna Werdha
2015. Alat dan bahan yang Minaula Kendari
dipergunakan meliputi polybag, media Karakteristik n %
tanam, pupuk NPK, sekop mini, bibit Jenis kelamin
tanaman kangkung dan air untuk Laki-laki 5 33,3
menyiram tanaman. Penentuan jumlah Perempuan 10 66,7
Usia (tahun)
responden berdasarkan kriteria inklusi
70-74 9 60
dilakukan secara langsung saat 75-90 5 33,3
pengukuran tekanan darah pada > 90 1 6,7
pengambilan data awal. Terapi
berkebun dilakukan sebanyak 4 kali Berdasarkan tabel 1 di atas pada
pertemuan selama 2 minggu dengan karakteristik jenis kelamin,
menunjukan bahwa responden yang
tahapan yaitu menyiapkan media
berjenis kelamin laki-laki sebanyak 5
tanam, persiapan bibit dan penanaman, orang (33,3%) dan perempuan
pemeliharaan tanaman dan sebanyak 10 orang (66,7%). Hal
pemanenan. Total waktu setiap tersebut menyimpulkan bahwa
pertemuan adalah 75 menit, dengan responden yang berjenis kelamin
pembagian 30 menit untuk perempuan lebih banyak dibandingkan
dengan responden yang berjenis
pemeriksaan tekanan darah dan 45
kelamin laki-laki. Pada yang berjenis
menit untuk pelaksanaan terapi
kelamin laki-laki. Pada karakteristik
berkebun. Pengukuran tekanan darah usia menunjukan bahwa responden
diukur sebelum dan sesudah terapi yang berusia 60-74 tahun sebanyak 9
berkebun pada kelompok kontrol dan orang (60%), responden yang berusia
intervensi sampai pertemuan keempat. 75-90 tahun adalah sebanyak 5 orang
Data yang diperoleh kemudian (33,3%) dan responden yang berusia

5
>90 tahun sebanyak 1 orang (6,7%).
Hal tersebut menyimpulkan bahwa
responden penelitian ini terbanyak
berusia 60-74 tahun.

6
Tabel 2 Analisis pengaruh terapi berkebun terhadap perubahan tekanan darah
lansia sebelum dan sesudah terapi berkebun pada kelompok intervensi
di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari

Pertemuan I II III IV
Pre test TDS 145,7 mmHg 130 mmHg 138,5 mmHg 147,1 mmHg
TDD 74,2 mmHg 74,2 mmHg 80 mmHg 82,8 mmHg
Post test TDS 130 mmHg 125,7 mmHg 127,1 mmHg 138,5 mmHg
TDD 68,5 mmHg 72,8 mmHg 70 mmHg 75,7 mmHg
P Value TDS 0,005 0,180 0,015 0,017
TDD 0,231 0,655 0,018 0,025
Uji paired t test dan Uji wilcoxon
Pada tabel 2 menjelaskan bahwa mmHg dan sesudah terapi berkebun
berdasarkan uji paired t test pada yaitu 72,85 mmHg.
tekanan darah sistolik lansia sebelum Pada pertemuan ketiga setelah
dan sesudah terapi berkebun di dilakukan uji paired t test pada tekanan
pertemuan pertama diperoleh nilai darah sistolik lansia sebelum dan
dengan nilai rata-rata tekanan darah sesudah terapi berkebun diperoleh nilai
sistolik sebelum terapi berkebun yaitu p = 0,015 dengan nilai rata-rata
130 mmHg dan setelah terapi berkebun tekanan darah sistolik sebelum terapi
yaitu 125,7 mmHg. Sedangkan untuk berkebun yaitu 138,5 mmHg dan
uji p = 0,005 dengan nilai rata-rata setelah terapi berkebun yaitu 127,1
tekanan Darah sistolik sebelum mmHg. Sedangkan untuk uji paired t
diberikan terapi berkebun yaitu 145,7 test pada tekanan darah diastolik
danSesudah terapi berkebun yaitu 130 lansia sebelum dan sesudah terapi
mmHg. Sedangkan untuk uji paired t berkebun di pertemuan ketiga
test pada tekanan darah diastolik lansia diperoleh nilai p = 0,018 dengan nilai
sebelum dan sesudah terapi berkebun rata-rata tekanan darah diastolik
di pertemuan pertama diperoleh nilai p sebelum terapi berkebun yaitu 80
= 0,231 dengan nilai rata-rata tekanan mmHg dan setelah terapi berkebun
darah diastolic sebelum terapi yaitu 70 mmHg.
berkebun yaitu 74,2 mmHg dan Pada pertemuan keempat setelah
sesudah terapi berkebun yaitu 68,5 dilakukan uji paired t test pada tekanan
mmHg. Pada pertemuan kedua darah sistolik lansia sebelum dan
diperoleh informasi nilai p = 0,180 sesudah terapi berkebun diperoleh nilai
dengan nilai rata-rata tekanan darah p = 0,017 dengan nilai rata-rata tekanan
sistolik sebelum terapi berkebun yaitu darah sistolik sebelum terapi berkebun
130 mmHg dan setelah terapi berkebun yaitu 147,14 mmHg dan setelah terapi
yaitu 125,7 mmHg. Sedangakan untuk berkebun yaitu 138,57 mmHg.
uji wilcoxon pada tekanan darah Sedangkan untuk uji Wilcoxon Pada
diastolik lansia sebelum dan sesudah tekanan darah diastolik lansia sebelum
terapi berkebun di pertemuan kedua dan sesudah terapi berkebun diperoleh
diperoleh informasi nilai p = 0,655 nilai p = 0,025 rata-rata tekanan darah
dengan nilai rata-rata tekanan darah diastolik sebelum terapi berkebun yaitu
diastolik sebelum terapi yaitu 74,28 82,8 mmHg dan setelah terapi
berkebun yaitu 75,7 mmHg.
Tabel 3 Analisis uji perbedaan tekanan darah sistolik dan diastolik antara kelompok
intervensi dan kontrol di Panti Sosial Tresna Werdha Minaula Kendari
Pertemuan I II III IV
Selisih Kelompok intervensi 9,9 8,2 10,3 8,5
TDS Kelompok kontrol 6,3 7,7 5,9 8,7
Selisih Kelompok intervensi 5,7 1,4 9 8,6
TDD Kelompok kontrol -8,3 1,2 7 7,4
P Value TDS 0,107 0,813 0,045 0,237
TDD 0,184 0,875 0,351 0,564
Uji independent t test dan mann-whitney

Pada tabel 3 menjelaskan bahwa intevensi adalah 10,3. Sedangkan nilai


nilai selisih tekanan darah sistolik pada selisih tekanan darah sistolik pada
kelompok intervensi di pertemuan kelompok control di pertemuan ketiga
pertama adalah 9,9 sedangkan pada adalah 5,9 dengan hasil uji statistik
kelompok kontrol adalah 6,3 dengan menggunakan uji mann-whitney
hasil uji statistik menggunakan uji diperoleh nilai p = 0,045. Adapun nilai
mann-whitney diperoleh nilai p = 0,107. selisih tekanan darah diastolik pada
Adapun nilai selisih tekanan darah kelompok intervensi di pertemuan
diastolicpada kelompok intervensi di ketiga adalah 9. Sedangkan nilai selisih
pertemuan pertama adalah 5,7 tekanan darah sistolik pada kelompok
sedangkan pada kelompok kontrol kontrol adalah 7 dengan hasil uji
adalah -8,3 dengan hasil uji statistik statistik menggunakan uji mann-
menggunakan independent t test whitney diperoleh nilai p = 0,351.
diperoleh nilai p = 0,184. Pada Pada pertemuan keempat nilai
pertemuan kedua nilai selisih tekanan selisih tekanan darah sistolik kelompok
darah sistolik pada kelompok intervensi adalah 8,5 dan pada
intervensi adalah 8,2. Sedangkan nilai kelompok kontrol adalah 8,7 dengan
selisih tekanan darah sistolik pada hasil uji statistik menggunakan uji
kelompok kontrol di pertemuan kedua independent t test diperoleh nilai p =
adalah 7,7 dengan hasil uji statistik 0,237. Adapun nilai selisih tekanan
menggunakan uji mann-whitney darah diastolik pada kelompok
diperoleh nilai p = 0,813. Adapun nilai intervensi di pertemuan keempat
selisih tekanan darah diastolik pada adalah 8,6 dan pada kelompok kontrol
kelompok intervensi di pertemuan adalah 7,4 dengan hasil uji statistik
kedua adalah 1,4. Sedangkan nilai menggunakan uji mann-whitney
selisih tekanan darah diastolik pada diperoleh nilai p = 0,564.
kelompok kontrol adalah 1,2 dengan
hasil uji statistik menggunakan uji
independent t test diperoleh nilai p =
0,875. PEMBAHASAN
Pada pertemuan ketiga nilai selisih Penelitian ini dilakukan untuk
tekanan darah sistolik pada kelompok untuk mengetahui pengaruh terapi
berkebun terhadapperubahan tekanan bersamaan dengan keringat sehingga
darah pada lansia dengan hipertensi dapat mempengaruhi tekanan darah
dan mengetahui perbedaan tekanan responden (Dalimartha, 2008).
darah antara kelompok kontrol dan Kurangnya aktivitas fisik
kelompok intervensi di Panti Sosial meningkatkan risiko menderita
Tresna Werdha Minaula Kendari. tekanan darah tinggi (hipertensi)
Pada hasil penelitian ini karena meningkatkan risiko kelebihan
didapatkan responden yang berat badan. Orang yang tidak aktif
mengalami perubahan tekanan darah juga cenderung mempunyai frekuensi
sistolik di pertemuan pertama denyut jantung yang lebih tinggi
sebanyak 6 reponden dan responden sehingga otot jantungnya harus bekerja
yang nilai tekanan darah sistoliknya lebih keras pada setiap kontraksi.
tetap setelah terapi berkebun sebanyak Makin keras dan sering otot jantung
1 responden saja, sehingga berdasarkan harus memompa, makin besar tekanan
uji statistik paired t test untuk tekanan yang dibebankan pada arteri. Teori
darah sistolik diperoleh nilai p = 0,005 tersebut menunjukkan bahwa aktivitas
yang menunjukan bahwa terdapat fisik dapat berpengaruh terhadap
pengaruh terapi berkebun terhadap perubahan tekanan darah (Phillips,
penurunan tekanan darah sistolik pada 2009).
pertemuan pertama. Hal ini sejalan Mengolah media tanam merupakan
dengan penelitian yang dilakukan oleh aktivitas fisik ringan, sehingga selama
Sari A.P dkk (2014), dimana terdapat kegiatan tersebut didapatkan tekanan
pengaruh terapi berkebun terhadap darah responden mengalami
penurunan tekanan darah sistolik perubahan, meskipun pada tekanan
lansia dengan nilai p = 0,013. darah diastolik hanya ada 2 responden
Sedangkan hasil uji statistik paired t yang tekanan darahnya menurun
test untuk tekanan darah setelah melakukan terapi berkebun di
diastolikdiperoleh nilai p = 0,231, pertemuan pertama.
sehingga dapat disimpulkan bahwa Pada pertemuan kedua di minggu
tidak ada pengaruh terapi berkebun pertama dilakukan terapi berkebun
terhadap perubahan tekanan darah yaitu tahapan persiapan bibit dan
diastolik lansia pada pertemuan penanaman. Berdasarkan hasil uji
pertama. Hasil penelitian ini bertolak statistik menggunkan uji wilcoxon
belakang dengan penelitian yang didapatkan nilai p = 0,180 dimana nilai
dilakukan oleh Sari A.P (2014) yang signifikan p > 0,05, maka dapat
menunjukan bahwa terdapat pengaruh disimpulkan bahwa terapi berkebun
terapi berkebun terhadap penurunan pada tahapan persiapan bibit dan
tekanan darah diastolik dengan nilai p penanaman di pertemuan kedua tidak
= 0,037. Aktivitas fisik dapat memiliki pengaruh Hal yang sama juga
memperlancar peredaran darah dan terjadi pada hasil tekanan darah
mengurangi asupan garam dalam diastolik lansia pada pertemuan
tubuh, garam akan keluar dari tubuh kedua, dimana diperoleh nilai p = 0,180
dimana nilai signifikan p > 0,05. Hasil pengaruh terapi berkebun terhadap
penelitian ini bertolak belakang dengan perubahan tekanan darah diastolik
penelitian yang dilakukan oleh Yusuf, lansia pada pertemuan ketiga.
R.A. (2013) yang dilakukan di Malang Pertemuan berikutnya adalah
pada 9 orang lansia, dari penelitian pertemuan keempat yaitu tahap
yang dilakukan diperoleh hasil uji pemanenan dimana berdasarkan hasil
statistik paired t test dimana nilai p = uji statistik paired t test diperolah nilai p
0,000 (Raal, Asuh, Dan, & Lawang, = 0,017 dimana nilai signifikan p > 0,05
2013) maka dapat disimpulkan bahwa ada
Pelaksanaan terapi berkebun pada pengaruh terapi berkebun terhadap
pertemuan kedua didapatkan hasil perubahan tekanan darah sistolik pada
yang bertolak belakang dengan lansia di pertemuan keempat. Hal yang
penelitian sebelumnya. Hal ini sama juga terjadi pada hasil
dikarenakan pada tahapan ini yaitu pengukuran tekanan darah diastolik
tahapan persiapan bibit dan lansia sebelum dan sesudah melakukan
penanaman, responden tidak terapi berkebun di pertemuan keempat
bersemangat dan kurang aktif. Pada dimana berdasarkan hasil uji statistik
tahapan persiapan bibit dan dengan menggunakan uji wilcoxon
penanaman memang sangatlah diperoleh nilai p = 0,025 dimana nilai
sederhana karena peneliti signifikan p > 0,05 maka dapat
menggunakan bibit yang masih dalam disimpulkan bahwa ada pengaruh
bentuk biji sehingga responden terlihat terapi berkebun terhadap perubahan
tidak terlalu tertarik pada saat tekanan darah diastolic lansia pada
pelaksanaan terapi berkebun di pertemuan keempat. Pada tahapan
pertemuan kedua. ketiga dan keempat yaitu tahapan
Pertemuan ketiga di minggu kedua pemeliharaan, tanaman dan
yaitu pada tahapan pemeliharaan pemanenan, pemeliharaan tanaman
tanaman yaitu proses pemupukan selain dilakukan penyiraman setiap
tanaman dimana berdasarkan hasil uji dua kali sehari, juga dilakukan
statistik dengan menggunakan uji pemupukan dengan menggunakan
paired t test diperolah nilai p = 0,015 pupuk NPK, pada tahapan ini
dimana nilai signifikan p > 0,05 maka responden terlihat sangat aktif dan
dapat disimpulkan bahwa ada bersemangat pada saat pemupukan,
pengaruh terapi berkebun terhadap dikarenakan tanaman kangkung
perubahan tekanan darah sistolik lansia tumbuh subur dan semua tanaman
pada pertemuan ketiga. Hal yang sama tumbuh dengan baik, warnanya yang
juga terjadi pada hasil tekanan darah hijau membuat lansia merasa tenang
diastolik lansia, dimanaberdasarkan dan nyaman. Hal yang sama juga
hasil uji statistik dengan menggunkan terjadi pada pelaksanaan terapi
paired t test diperoleh nilai p = 0,018 berkebun dipertemuan keempat pada
dimana nilai signifikan p > 0,05, maka saat panen, responden merasa puas
dapat disimpulkan bahwa ada dan terlihat bahagia karena tanaman
kangkung yang mereka tanam sendiri diperoleh nilai p = 0,351 dimana nilai p
dapat tumbuh dengan dengan baik > 0,05.
sampai saat panen tiba. Rasa tenang, Sedangkan pada pertemuan
nyaman dan bahagia inilah yang pertama, kedua, dan keempat juga
memicu tubuh untuk mengaktifkan tidak ditemukan perbedaan yang
HPA axis. HPA axis akan merangsang signifikan tekanan darah sistolik dan
hipotalamus sehingga menurunkan diastolik antara kelompok kontrol dan
sekresi CRH (Corticotropin Releasing intervensi. Hal ini dibuktikan dengan
Hormone) menyebabkan ACTH nilai p berikut ini secara berurut p1 TDS
(Adrenocorticotropic Hormone) menurun = 0,107, p1 TDD = 0,184, p2 TDS = 0,831,
dan merangsang POMC (Pro- p2 TDD = 0,875, p4 TDS = 0,237 dan p4
opimelanocortin) yang juga menurunkan TDD = 0,564. Sehingga dapat
produksi ACTH dan kortisol sehingga disimpulkan bahwa secara statistik
menstimulasi produksi endorphin. tidak ada perbedaan yangbermakna
Endorphin menimbulkan dilatasi tekanan darah sistolik dan diastolik
vascular penurunan kortisol dan ACTH anatara kelompok kontrol dan
serta peningkatan endorphin membuat kelompok intervensi pada pertemuan
pembuluh darah rileks sehingga akan pertama, kedua dan keempat. Hal ini
menurunkan tahanan perifer dan dikarenakan waktu pelaksanaan terapi
cardiac output sehingga mempengaruhi berkebun hanya berlangsung selama
tekanan darah (Sari et al., n.d. 2014). dua minggu dimana waktu ini dirasa
Berdasarkan hasil analisis uji kurang cukup oleh peneliti untuk
perbedaan tekanan darah sistolik melihat perbedaan tekanan darah
antara kelompok kontrol dan kelompok sistolik dan diastolik antara kelompok
intervensi di Panti Sosial Tresna intervensi dan kelompok kontrol
Werdha Minaula Kendari ditemukan sesudah terapi berkebun. Variasi
perbedaan yang signifikan tekanan perubahan tekanan darah responden
sistolik antara kelompok kontrol dan dapat disebabkan karena adanya
intervensi pada pertemuan ketiga, hal perbedaan gaya hidup seperti
ini dibuktikan dengan hasil uji statistic konsumsi kafein, kurang olah raga dan
menggunakan uji mann-whitney stres juga konsumsi obat anti
diperoleh nilai p = 0,045 dimana nilai hipertensi, hal tersebut merupakan
p > 0,05. Sedangkan untuk hasil analisis variabel perancu yang tidak dapat
uji perbedaan tekanan darah diastolik dikontrol sepenuhnya oleh peneliti.
antara kelompok kontrol danintervensi Tekanan darah responden baik itu
pada pertemuan ketiga tidak kelompok kontrol dan intervensi
ditemukan perbedaan yang signifikan selama penelitian selalu naik turun dan
tekanan darah diastolik antara selalu berbeda pada setiap
kelompok kontrol dan intervensi. Hal pertemuan,hal ini disebabkan karena
ini dibuktikan dengan hasil uji statistik banyak faktor yang mempengaruhi
menggunakan uji mann-whitney tekanan darah lansia, diantaranya
karena faktor makanan dimana ke 15
responden mengatakan bahwa mempengaruhi tekanan darah pada
makanan yang disediakan oleh panti lansia selama penelitian ini adalah
memiliki kadar garam yang tinggi, hal kebiasaan merokok. Nikotin bisa
ini dikarenakan makanan antara lansia mengakibatkan gangguan pada
yang mengalami hipertensi dan yang jantung, mempercepat aliran darah,
tidak mengalami hipertensi tidak membuat irama jantung menjadi tidak
dibedakan oleh pihak panti. Lansia teratur, membuat kerusakan pada
dengan hipertensi dianjurkan untuk pembuluh darah dan mengakibatkan
mengurangi konsumsi garam. penggumpalan darah melalui
Dalimartha dan Setiawan (2008) mekanisme arterosklerosis, gangguan
menyatakan bahwa garam bersifat metabolisme lemak, gangguan sistem
menahan air. Konsumsi garam yang hemostatik, dan penurunan
berlebihan dengan sendirinya akan kemampuan untuk oksigenasi. Hal ini
menaikkan tekanan darah. Natrium dipengaruhi jumlah rokok yang
berhubungan dengan kejadian tekanan dihisap dan lamanya kebiasaan
darah tinggi karena konsumsi natrium merokok. Kebiasaan merokok
dalam jumlah yang tinggi dapat meningkatkan resiko hipertensi
mengecilkan diameter dari arteri, sebanyak 2 sampai 3 kali (Stefhany,
sehingga jantung harus memompa 2017). Penjelasan tersebut adalah
lebih keras untuk mendorong volume sebagian kecil dari sekian banyaknya
darah yang meningkat melalui ruang faktor perancu yang dapat
yang semakin sempit dan akan mempengaruhi tekanan darah.
menyebabkan tekanan darah
meningkat. Faktor yang mempengaruhi
tekanan darah lansia pada penelitian SIMPULAN
ini, selain dari konsumsi garam yang Kesimpulan pada penlitian ini
tinggi responden juga memiliki adalah Terdapat pengaruh terapi
kebiasaan mengonsumsi minuman berkebun terhadap perubahan tekanan
berkafein yaitu berupa kopi, dalam darah lansia dengan hipertensi di
sehari responden mengonsumsi kopi pertemuan pertama, ketiga, keempat
sebanyak tiga gelas bahkan lebih untuk tekanan darah sistolik dan
(Dalimartha, 2008). pertemuan ketiga, keempat untuk
Menurut Mannan H. dkk (2012), tekanan darah diastolik dan tidak
menjelasakan bahwa salah satu faktor terdapat pengaruh terapi berkebun
risiko terjadinya hipertensi yang dapat terhadap perubahan tekanan darah
diubah adalah kebiasaan minum kopi. lansia dengan hipertensi di pertemuan
Kopi mengandung senyawa kafein pertama untuk tekanan darah diastolik
yang bisa menyebabkan tekanan darah dan pertemuan kedua untuk tekanan
meningkat tajam (Mannan, darah sistolik dan diastolik di Panti
Wahiduddin, 2012). Faktor lain yang Sosial Tresna Werdha Minaula
mempengaruhi tekanan darah Kendari.
meningkat tajam. Faktor lain yang
Terdapat perbedaan tekanan jurnal.htp.ac.id/index.php/kesko
darah pada kelompok kontrol dan m/article/download/70/57/
intervensi di pertemuan ketiga untuk Dalimartha, S. (2008). Care your Self
tekanan darah sistolik dan untuk Hipertensi (edisi 1). Jakarta:
tekanan darah sistolik dan tidak ada di Penebar Plus Positif.
pertemuan ketiga untuk tekanan darah
H, A. M., & Nisa, K. (2017). Pengaruh
sistolik dan tidak ada perbedaan
Musik Klasik Terhadap Penurunan
tekanan darah pada kelompok kontrol Tekanan Darah pada Lansia
dan intervensi pada pertemuan Penderita Hipertensi Effect of
pertama, kedua, keempatuntuk Classical Music to Decrease of
tekanan darah sistolik dan pertemuan Blood Pressure in Elderly Patients
pertama, kedua, ketiga, dan keempat with Hypertension, 4.
untuk tekanan darah diastolik di Panti Hasrin Mannan, Wahiduddin, R.
Sosial Tresna Werdha Minaula (2012). Faktor Risiko Kejadian
Kendari. Hipertensi di Wilayah Kerja
Puskesmas Bangkala Kabupaten
SARAN Jeneponto Tahun 2012, 2(11), 19–
21.
Perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut tentang pengaruh terapi Nations, U. (2015). World Population
berkebun terhadap perubahan tekanan Ageing 2015.
darah pada lansia dengan hipertensi
Phillips, K. (2009). Bad Money -
dengan melakukan pengawasan Reckless Finance, Failed Politics,
terhadap faktor yang mempengaruhi and the Global Crisis of American
tekanan darah seperti mengontrol Capitalism, 5(1), 256.
konsumsi garam, kafein, kebiasaan https://doi.org/10.1002/97814443
merokok, dan stressor bagi penderita 24808.ch36
hipertensi secara tepat. Penelitian Raal, D. I., Asuh, R., Dan, A., &
selanjutnya diharapkan dapat Lawang, G. A. (2013). DAN
mengamplikasikan terapi berkebun Sesudah Dilakukan Horticultural
tidak hanya pada lansia yang Therapy.
mengalami hipertensi tetapi juga dapat Sari, A. P., Wahyuni, E. D., Program,
dilakukan pada kelompok umur M., Pendidikan, S., Keperawatan,
lainnya yang mengalami hipertensi. F., Airlangga, U., … Airlangga, U.
(n.d.). Melalui Therapeutical
DAFTAR PUSTAKA Gardening Di Upt Pslu Magetan.
Agustina, S. (2014). Faktor-Faktor yang
Stefhany, E. (2017). Hubungan Pola
Berhubungan dengan Hipertensi
Makan, Gaya Hidup, Dan Indeks
Pada Lansia di Atas Umur 65
Massa Tubuh Dengan Hipertenesi
Tahun Factors Related with
Pada Pra Lansia Dan Lansia Di
Hypertension on The Elderly over
Posbindu Kelurahan Depok Jaya,
65 Years. Jurnal Kesehatan
1–15.
Komunitas, 2(01), 2–7. Retrieved
https://doi.org/10.1179/17547628
from
14Y.0000000078

Yonata, A., & Pratama, A. S. P. (2016).


Hipertensi sebagai Faktor Pencetus
Terjadinya Stroke. Jurnal Majority,
5(3), 17–21. Retrieved from
http://juke.kedokteran.unila.ac.id
/index.php/majority/article/view
/1030/824

Anda mungkin juga menyukai