Anda di halaman 1dari 7

EVALUASI ERGONOMIS DALAM PROSES PERANCANGAN PRODUK

Oleh :

Sritomo Wignjosoebroto
Laboratorium Ergonomi & Perancangan Sistem Kerja
Jurusan Teknik Industri FTI-ITS
Kampus ITS – Sukolilo, Surabaya 60111
Telp/Fax. (031)–5939361, 5939362, e-mail : wsritomo@ie.its-sby.edu dan/atau msritomo@rad.net.id

ABSTRAKSI

Produk adalah sebuah “artefak” yang digagaskan, dibuat, dipertukarkan (melalui transaksi jual-beli) dan
digunakan oleh manusia karena adanya sifat dan fungsi yang diperoleh melalui sebuah proses
transformasi produksi yang memberikan nilai tambah. Untuk bisa menghasilkan produk yang memiliki
nilai komersial tinggi, maka diperlukan serangkaian kegiatan berupa perencanaan, perancangan, maupun
pengembangan produk yaitu mulai dari tahap menggali ide atau gagasan tentang fungsi produk
dilanjutkan dengan tahapan-tahapan pengembangan konsep, perancangan produk (engineering &
industrial design), evaluasi & pengujian, dan berakhir dengan tahapan pendistribusiannya.

Perancangan produk merupakan sebuah langkah strategis untuk bisa menghasilkan produk-produk
industri yang secara komersial harus mampu dicapai guna menghasilkan laju pengembalian modal (rate of
return on investment). Disini diperlukan penyusunan konsep produk --- baik produk baru mapun produk
lama yang akan dimodifikasi menjadi sebuah produk “baru” --- dalam bentuk rancangan teknik
(engineering design) dan juga rancangan industrial (industrial design) untuk memenuhi kebutuhan pasar
(demand pull) atau dilatar-belakangi oleh adanya dorongan memanfaatkan inovasi teknologi (market
push). Rancangan teknik (engineering design) dari sebuah produk akan terkait dengan semua analisis
perhitungan yang menyangkut pemilihan dan perhitungan kekuatan material, dimensi geometris, toleransi
dan standard kualitas yang harus dicapai, dan sebagainya; yang kesemuanya akan sangat menentukan
derajat kualitas dan reliabilitas produk untuk memenuhi tuntutan fungsi-fungsi serta spesifikasi teknis yang
diharapkan. Disisi lain rancangan industrial (industrial design) akan sangat berpengaruh signifikan
terutama didalam memberikan “sense of attractiveness”, estetika keindahan dan nilai komersial dari
sebuah rancangan produk. Disisi lain rancangan industrial juga akan memberikan sentuhan-sentuhan
kenyamanan dan kelaikan operasional (derajat kualitas ke-ergonomis-an) dari sebuah produk.

Seberapa jauh sebuah rancangan produk telah memenuhi aspek teknis-fungsional maupun aspek estetika
dan ke-ergonomis-an pada saat, maka dalam hal ini diperlukan berbagai macam evaluasi dan pengujian
dengan menggunakan tolok ukur tertentu. Evaluasi ergonomis dalam hal ini merupakan salah satu
langkah pengujian agar sebuah rancangan produk pada saat dioperasikan tidak saja mampu memberikan
fungsi-fungsi yang telah direncanakan, akan tetapi juga mampu memberikan keselamatan, kesehatan dan
juga kenyamanan pada saat dioperasikan. Akhirnya, rancangan produk yang ergonomis itu jelas akan
mampu pula meningkatkan nilai komersial dan daya saing produk.

Keyword : Perancangan Produk, Engineering & Industrial Design, Evaluasi Ergonomis, dan Daya Saing
Produk.

1. Pendahuluan.

Manusia dalam kehidupan sehari-harinya akan banyak menggunakan berbagai macam produk, mesin
maupun peralatan kerja untuk memenuhi kebutuhannya. Manusia akan mengendarai mobil, menggunakan
peralatan elektronik, mengoperasikan mesin perkakas, memanfaatkan kecanggihan mesin komputer, dan
sebagainya. Untuk semua aktivitas yang harus dilakukan tersebut, manusia harus melibatkan semua

Disampaikan sebagai keynote address dalam Seminar Nasional Ergonomi 2000 yang diselenggarakan oleh Laboratorium Ergonomi & Perancangan
Sistem Kerja Jurusan Teknik Industri FTI-ITS dan Perhimpunan Ergonomi Indonesia (PEI) pada tanggal 20 Agustus 2000 di Hotel Sahid – Surabaya
“sensor” (berupa panca indera), mekanisme pengambilan keputusan melalui memori otak, dan kemampuan
sistem otot-otot tangan maupun kaki yang diperlukan untuk melakukan gerakan-gerakan kerja. Dalam hal
ini mobil akan bergerak sepanjang jalan lintasan sesuai dengan kehendak manusia yang mengemudikannya.
Demikian juga mesin komputer akan melakukan analisa dan memproses data manakala ada manusia yang
mengoperasikannya. Kesimpulan yang bisa ditarik, manusia merupakan komponen yang penting untuk
setiap sistem operasional (sistem manusia – mesin) yang berfungsi untuk menghasilkan sebuah aktivitas
kerja.

Agar sistem tersebut bisa berfungsi baik, maka sub-sistem (komponen-komponen) pendukungnya
haruslah dirancang “compatible” satu dengan yang lain. Hal ini tidak saja menyangkut komponen
(elemen) yang berada didalam sub-sistem mesin, tetapi juga menyangkut manusia yang akan berinteraksi
dengan sub-sistem mesin tersebut untuk membentuk sebuah sistem manusia-mesin (man-machine system).
Oleh karena itu sangat mendasar sekali kalau seorang perancang mesin (produk) akan selalu
mempertimbangkan manusia sebagai sub-sistem yang perlu diselaraskan dengan sub-sistem mesin
(produk) agar bisa layak dioperasikan nantinya. Berkaitan dengan hal tersebut sudah semestinya seorang
perancang mesin (produk) akan memperhatikan segala kelebihan maupun keterbatasan manusia dalam hal
kepekaan inderawi (sensory), kecepatan dan ketepatan didalam proses pengambilan keputusan, kemampuan
penggunaan sistem gerakan otot, dimensi ukuran tubuh (anthropometri), dan sebagainya; untuk kemudian
menggunakan semua informasi mengenai faktor manusia (human factors) ini sebagai acuan didalam
menghasilkan sebuah rancangan mesin atau produk yang serasi, selaras dan seimbang dengan manusia
yang akan mengoperasikannya nanti. Seorang perancang produk haruslah bisa mengintegrasikan semua
aspek manusiawi tersebut dalam karya-karya rancangannya dalam sebuah konsep “Human Integrated
Design” ( Pulat, 1992: hal. 5-6 dan Gupta, 1980: hal. 160-163). Analisis mengenai faktor manusia dalam
proses perancangan produk ini meliputi evaluasi yang berkaitan dengan karakteristik data fisiologik dan
psikologik manusia yang nantinya akan menjadi segmen utama yang akan memakai ataupun
mengoperasikannya. Dengan memasukkan unsur-unsur yang berkaitan dengan faktor manusia tersebut ---
baik kelebihan, keterbatasan, maupun kekurangannya --- pada saat proses perancangan sedang berlangsung;
hasil yang diperoleh nantinya akan berupa “resultant design” dari sebuah sistem manusia-mesin yang
optimal (Wignjosoebroto, 1997 : hal. 3). Optimalisasi rancangan produk bisa diperoleh karena disini
variabel-variabel operasional dan interaksi faktor manusia dengan sistem mesin yang akan dioperasikannya
sudah terintegrasi dalam teknologi produk --- bisa berupa perangkat keras (hardware) maupun perangkat
lunak (software) --- yang dirancang.

Secara umum aplikasi konsep Human Integrated Design (HID) dapat dijelaskan berdasarkan 2 (dua)
prinsip yaitu : pertama, seorang perancang produk harus menyadari benar bahwa faktor manusia akan
menjadi kunci penentu sukses didalam operasionalisasi sistem manusia-mesin (produk); tidak peduli
apakah sistem tersebut bersifat manual, mekanis (semi-automatics) ataukah otomatis penuh. Kedua ,
seorang perancang produk harus juga menyadari bahwa setiap produk akan memerlukan informasi-
informasi detail dari semua faktor yang terkait dalam setiap proses perancangan. Seorang perancang
produk harus mengetahui sistem operasional seperti apa yang dapat dikerjakan lebih baik oleh manusia
(didasarkan oleh faktor kelebihan yang dimiliki manusia dibandingkan dengan mesin/alat); dan disisi lain
dengan menyadari segala kekurangan serta kelemahan manusia, maka keterbatasan-keterbatasan ini
kemudian bisa dialokasikan untuk kemudian dikerjakan oleh sub-sistem mesin (produk) yang dirancang.
Data yang berkaitan dengan kelebihan, kekurangan maupun keterbatasan --- baik yang bersifat fisiologik
maupun psikologik --- bisa dikembangkan melalui riset ergonomis yang merujuk manusia sebagai obyek
dan sekaligus subyek pengamatan. Esensi dasar dari evaluasi ergonomis dalam proses perancangan produk
adalah sedini mungkin mencoba memikirkan kepentingan manusia agar bisa terakomodasikan dalam setiap
kreativitas dan inovasi sebuah“man-made object”.

Fokus perhatian dari sebuah kajian ergonomis akan mengarah ke upaya pencapaian sebuah rancangan
produk yang memenuhi persyaratan “fitting the task to the man” (Granjean, 1982). Hal ini berarti setiap
rancangan sistem manusia-mesin (produk) yang akan dibuat haruslah selalu dipikirkan untuk kepentingan
(dalam arti keselamatan, keamanan, maupun kenyamanan) manusia. Sebuah kajian ergonomis jelas akan
merujuk pada kepentingan manusia, tidak semata-mata mengarah pada aspek teknis-fungsional dari produk,
mesin ataupun fasilitas kerja yang dirancang. Bilamana tidak ada unsur manusia yang terlibat dalam
interaksi sistem manusia-mesin --- seperti halnya dalam sistem mesin yang bekerja secara otomatis penuh
(full-automatics) --- maka secara tegas dapat disimpulkan kajian ergonomis tidak lagi terlalu signifikan
untuk dilakukan. Perancangan sebuah produk dengan memusatkan perhatian pada aspek-aspek
keunggulan teknologi memang juga penting, terutama untuk meningkatkan kemampuan teknis-fungsional
dari produk tersebut. Akan tetapi performans produk baru akan bisa maksimal dicapai bilamana terjadi
“synergy process” pada saat terjadi interaksi timbal-balik yang serasi dan selaras dengan manusia-operator
yang akan melayani, mengoperasikan, dan mengendalikannya. Berdasarkan prinsip-prinsip dasar
perancangan produk seperti yang telah diuraikan, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa jelas akan lebih
mudah untuk memodifikasi karakteristik rancangan produk yang disesuaikan dengan kelebihan,
keterbatasan maupun kekurangan manusia-operatornya (fitting the task to the man); dibandingkan dengan
keharusan kita untuk melakukan “modifikasi” --- melalui proses seleksi maupun pelatihan (training) ---
kemampuan operator guna diakomodasikan dengan karakteristik rancangan produk yang terlanjur
dirancang dan harus dioperasikan apa adanya (fitting the man to the task).

2. Tahapan Proses dalam Perancangan Produk.

Produk adalah sebuah “artefak” --- sesuatu yang merupakan kreativitas budi-daya manusia (man-made
object) yang dapat dilihat, didengar, dirasakan serta diwujudkan untuk memenuhi kebutuhan fungsional
tertentu --- yang dihasilkan melalui sebuah proses panjang. Produk ini bisa berupa benda fisik maupun
non-fisik (jasa), bisa dalam bentuk yang kompleks seperti mesin maupun fasilitas kerja yang lain, dan bisa
pula merupakan barang-barang konsumtif sederhana untuk keperluan sehari-hari. Untuk bisa
menghasilkan produk --- khususnya produk industri --- yang memiliki nilai komersial tinggi, maka
diperlukan serangkaian kegiatan berupa perencanaan, perancangan dan pengembangan produk yaitu mulai
dari tahap menggali ide atau gagasan tentang fungsi-fungsi yang dibutuhkan; dilanjutkan dengan tahapan
pengembangan konsep, perancangan sistem dan detail, pembuatan prototipe, evaluasi dan pengujian (baik
uji kelayakan teknis maupun kelayakan komersial), dan berakhir dengan tahap pendistribusiannya (Ulrich,
2000: hal. 2–18). Didalam proses perancangan maupun pengembangannya, pengertian tentang produk
tidaklah bisa dipandang hanya dari karakteristik fisik, attributes ataupun ingredients semata (yang akan
menghasilkan fungsi kerja produk); melainkan harus juga dilihat, dipikirkan dan dirancang-kembangkan
komponen-komponen yang lain --- berupa packagings dan support services component --- yang akan
membentuk sebuah rancangan produk yang lengkap dan terintegrasi (Hisrich, 1991: hal. 5-6 dan
Wignjosoebroto, 1997: hal. 2-11). Sebuah produk yang dirancang untuk memberikan aspek teknis-
fungsional yang memiliki nilai tambah tinggi, bisa jadi akan kedodoran pada saat sampai ke tahap
komersialisasi karena tidak dikemas (packaging) secara baik dan dipikirkan langkah-langkah purna jual-
nya.

Perancangan produk pada dasarnya merupakan sebuah langkah strategis untuk bisa menghasilkan
produk-produk industri yang secara komersial harus mampu dicapai guna menghasilkan laju pengembalian
modal (rate of investment). Hal ini perlu disadari benar, karena permasalahan yang dihadapi oleh industri
bukan sekedar mengembangkan ide, kreativitas maupun inovasi produk tetapi juga harus mampu menjaga
aliran uang (cash flow) dari apa-apa yang dihasilkan melalui proses nilai tambah dalam aktivitas
produksinya. Ukuran sukses sebuah rancangan produk tidak hanya dilihat dari aspek teknis semata,
melainkan juga harus memenuhi kriteria sukses dalam hal nilai tambah ekonomis-nya. Analisa dan
evaluasi yang didasarkan pada metode pendekatan tekno-ekonomis tentu saja sangat diperlukan untuk
memberikan semacam jaminan agar sebuah rancangan produk mampu memenuhi harapan konsumen dan
sekaligus juga produsen. Analisa dan evaluasi teknis diarahkan terutama dalam hal meningkatkan derajat
kualitas dan reliabilitas performans dari produk guna menghasilkan fungsi-fungsi (spesifikasi teknis) yang
diharapkan; sedangkan analisa dan evaluasi ekonomis --- melalui langkah value analysis/engineering,
sebagai misal --- akan menghasilkan langkah-langkah efisiensi biaya (costs reduction program) guna
menghasilkan produk yang bernilai komersial dan berdaya-saing kuat.

Aktivitas perancangan produk secara umum (generic) akan diawali dengan tahapan identifikasi dan
formulasi (mission statement) tentang segala potensi teknologi, baik berupa teknologi produk maupun
teknologi proses, yang dimiliki serta target pasar yang ingin dipuaskan (Ulrich, 2000: hal. 14-23).
Selanjutnya diperlukan penyusunan sebuah konsep produk --- bisa berupa produk baru maupun produk
lama yang akan dimodifikasikan menjadi sebuah produk “baru” --- yang mencoba mewujudkan ide
ataupun gagasan yang masih bersifat abstraktif menjadi sebuah rancangan (system & detail design) yang
mampu memberikan gambaran lebih jelas mengenai bentuk maupun penampilan yang diinginkan untuk
memenuhi kebutuhan pasar (demand pull) atau dilatar-belakangi oleh dorongan inovasi teknologi (market
push). Dalam hal ini ada dua macam (sifat) rancangan yang harus dikerjakan secara terintegrasi didalam ,
yaitu berupa rancangan teknik/rekayasa (engineering design) dan rancangan industrial (industrial design).
Rancangan teknik/rekayasa (engineering design) dari sebuah produk akan terkait dengan semua analisis
dan evaluasi yang terutama menyangkut teknologi produk seperti pemilihan serta perhitungan kekuatan
material, bentuk, dimensi geometris, toleransi, dan standard kualitas yang harus dicapai. Semua analisa
perhitungan yang dilakukan tersebut akan sangat menentukan derajat kualitas dan reliabilitas produk guna
memenuhi tuntutan fungsi dan spesifikasi teknis (core component) yang diharapkan. Disisi lain rancangan
industrial (industrial design) akan sangat berpengaruh secara signifikan didalam memberikan “sense of
attractiveness”, estetika keindahan, serta berbagai macam pertimbangan yang terkait dengan teknologi
proses guna menghasilkan efisiensi ongkos produksi yang berdaya saing tinggi. Rancangan industrial dari
sebuah produk terutama sekali akan difokuskan pada komponen kemasan (packaging component) seperti
kualitas & reliabilitas, model/style, harga produk, pembungkus/kemasan (packaging), merk dagang (brand
name); dan komponen pelayanan penunjang (supporting services component) seperti pelayanan purna jual
(after sales services), warranty, ketersediaan suku cadang, perbaikan & perawatan, dan sebagainya. Disisi
lain rancangan industrial juga akan memberikan sentuhan-sentuhan ergonomis yang berkaitan dengan
keselamatan, keamanan, kenyamanan dan kelaikan operasional dari sebuah produk.

3. Evaluasi Ergonomis dalam Proses Perancangan Produk.

Proses perancangan produk akan memerlukan pendekatan dari berbagai macam disiplin. Ilmu-ilmu
keteknikan dan rekayasa (engineering) akan diperlukan dalam perancangan sebuah produk terutama
berkaitan dengan aspek mekanikal dan elektrikal-nya; sedangkan psikologi dianggap penting untuk
menelaah perilaku dan hal-hal yang dipikirkan oleh manusia yang akan menggunakan rancangan produk
tersebut. Selanjutnya studi tentang ergonomi (human factors) akan mencoba mengkaitkan rancangan
produk untuk bisa diselaras-serasikan dengan manusia, didasarkan pada kapasitas maupun keterbatasan dari
sudut tinjauan kemampuan fisiologik maupun psikologik-nya (Stanton, 1998:, hal. 1-5; Hubel, 1984: hal
72-75) dengan tujuan untuk meningkatkan perfomans kerja dari sistem manusia-produk (mesin).
Hubungan antara manusia dengan lingkungan fisik kerjanya juga merupakan fokus studi ergonomi.
Lingkungan fisik kerja yang dimaksudkan dalam hal ini meliputi setiap faktor (kondisi suhu udara,
pencahayaan, kebisingan dan sebagainya) yang bisa memberikan pengaruh signifikan terhadap efisiensi,
keselamatan, kesehatan kenyamanan, maupun ketenangan orang bekerja sehingga menghindarkan diri dari
segala macam bentuk kesalahan manusiawi (human errors) yang berakibat kecelakaan kerja (Hawkes,
1997: hal. 111-112). Hal yang senada oleh Sanders dan McCormick (Sanders, 1992: hal. 4) dikatakannya
dengan“it is easier to bend metal than twist arms” yang bisa diartikan merancang produk ataupun alat
untuk mencegah terjadinya kesalahan (human error) akan jauh lebih mudah bila dibandingkan
mengharapkan orang (operator) jangan sampai melakukan kesalahan pada saat mengoperasikan produk
(mesin) atau alat kerja.

Tergantung maksud dan tujuannya, sebuah rancangan produk sebelum diproduksi dan diluncurkan agar
bisa dikonsumsi oleh pasar perlu terlebih dahulu dilakukan berbagai macam kajian, evaluasi serta
pengujian (test). Proses kajian, evaluasi ataupun pengujian ini meliputi banyak aspek baik yang
menyangkut aspek teknis-fungsional maupun kelayakan ekonomis (pasar) seperti analisa nilai (value
analysis/engineering), reliabilitas (keandalan), analisa/evaluasi ergonomis, market analysis & test, dan
sebagainya. Dalam kaitannya dengan kelayakan ergonomis dari sebuah rancangan produk, maka seperti
telah diuraikan panjang lebar sebelumnya, yang dimaksudkan dengan evaluasi ergonomis disini adalah “ a
method for syetematic study of the physiological and psychological requirements for a product and its
manufacturing processes from a human point of view” (Holt, 1983). Untuk melaksanakan kajian dan
evaluasi bahwa sebuah (rancangan) produk telah memenuhi persyaratan ergonomis bisa dilihat dari
variabel-variabel data yang berkaitan dengan karakteristik manusia pengguna produk tersebut apakah
sudah dimasukkan sebagai bahan pertimbangan. Dalam hal ini ada 4 (empat) aturan dasar perancangan
yang pertimbangan ergonomis yang perlu diikuti (Khalil, 1972: hal. 32-35) yaitu:
(a) Pahami terlebih dahulu bahwa manusia merupakan fokus utama dari perancangan produk. Hal-hal
yang berhubungan dengan struktur anatomi (fisiologik) tubuh manusia harus diperhatikan, demikian
juga dengan dimensi ukuran tubuh (anthropometri) harus dikumpulkan dan digunakan sebagai dasar
untuk menentukan bentuk maupun ukuran geometris dari produk ataupun fasilitas kerja yang
dirancang.
(b) Gunakan prinsip-prinsip “kinesiology” (study mengenai gerakan tubuh manusia dilihat dari aspek ilmu
fisika atau kadang dikenali dengan istilah lain “biomechanics”) dalam rancangan produk yang dibuat
untuk menghindarkan manusia melakukan gerakan-gerakan kerja yang tidak sesuai, tidak beraturan,
kaku (patah-patah), dan tidak memenuhi persyaratan efektivitas-efisiensi gerakan (Wells, 1976: hal. 3).

(c) Masukan kedalam pertimbangan mengenai segala kelebihan maupun kekurangan (keterbatasan) yang
berkaitan dengan kemampuan fisik yang dimiliki oleh manusia didalam memberikan respons sebagai
kriteria-kriteria yang perlu diperhatikan pengaruhnya dalam proses perancangan produk.

(d) Aplikasikan semua pemahaman yang terkait dengan aspek psikologik manusia sebagai prinsip-prinsip
yang mampu memperbaiki motivasi, attitude, moral, kepuasan dan etos kerja.

Pertimbangan ergonomis dalam proses perancangan produk yang paling tampak nyata aplikasinya adalah
melalui pemanfaatan data anthropometri (ukuran tubuh) guna menetapkan dimensi ukuran geometris dari
produk dan juga bentuk-bentuk tertentu dari produk yang disesuaikan dengan ukuran maupun bentuk
(feature) tubuh manusia pemakainya. Data anthropometri yang menyajikan informasi mengenai ukuran
maupun bentuk dari berbagai anggota tubuh manusia --- yang dibedakan berdasarkan usia, jenis kelamin,
suku-bangsa (etnis), posisi tubuh pada saat bekerja, dan sebagainya --- serta diklasifikasikan dalam segmen
populasi pemakai (presentile) perlu diakomodasikan dalam penetapan dimensi ukuran produk yang akan
dirancang guna menghasilkan kualitas rancangan yang “tailor made” dan memenuhi persyaratan “fittnes
for use” (Sanders, 1992: hal. 420-23).

4. Kesimpulan

Sebagai konklusi dari uraian yang telah disampaikan, selanjutnya dapat ditunjukkan beberapa realitas
konkrit yang berkaitan dengan evaluasi ergonomis dalam proses perancangan produk untuk dijadikan
referensi dasar sebagai berikut (Duncan, 1991 : hal. 253-54; Wignjosoebroto, 1997 : 8-10) :

(a) Manusia pada dasarnya akan memiliki bentuk tubuh, dimensi ukuran (anthropometri) dan/atau karakter
fisik yang berbeda-beda. Berangkat dari realitas ini, maka evaluasi ergonomis yang mendasari dalam
penentuan geometris ukuran produk yang akan dirancang sedapat mungkin mampu memberikan
kelonggaran (fleksibilitas) untuk digunakan ataupun dioperasikan oleh mayoritas populasi yang secara
leluasa bebas mengatur dan beradaptasi dengan ukuran anggota tubuh masing-masing.

(b) Manusia akan berbeda persepsinya didalam mendefinisikan kondisi dan suasana nyaman menurut
persepsi masing-masing. Kenyataan seperti ini akan memotivasi orang untuk memberikan kemampuan
penyesuaian (adjustability) terhadap rancangan produk maupun lingkungan fisik kerja agar mampu
mengakomodasikan perbedaan-perbedaan tersebut.

(c) Manusia pada dasarnya memiliki perbedaan kemampuan (kelebihan, kekurangan maupun
keterbatasan) dalam hal kecepatan bereaksi, kekuatan fisik, kepekaan inderawi, dan sebagainya.
Dengan demikian akan bisa dikembangkan rancangan produk (sistem manusia-mesin) yang
memberikan alternatif pilihan apakah akan lebih mengandalkan pada kelebihan-kelebihan masing-
masing sub-sistem (manusia atau mesin) yang ada.

(d) Manusia memiliki memiliki perbedaan dalam kemampuan mental dan kognitifnya untuk menyimpan
dan mengolah informasi yang diterima untuk kemudian mengambil keputusan secara cepat dan tepat.
Laju kecepatan sub-sistem manusia didalam menyerap informasi, kemampuan memahami dan
menyimpan informasi tersebut dalam memori ingatan yang dimiliki, serta kemampuan untuk menjaga
atau mempertahankan semua informasi yang dikuasainya tersebut akan berbeda-beda antara satu
dengan yang lainnya.
(e) Manusia memiliki perbedaan signifikan dalam hal pengalaman, memperoleh pelatihan, motivasi kerja,
latar belakang sosio-kultural, persepsi terhadap resiko keselamatan kerja, dan berbagai karakteristik
non-fisik lainnya. Meskipun orangnya sama, perbedaan tetap akan muncul dari satu periode ke periode
waktu berikutnya.

(f) Manusia pada prinsipnya “goal oriented” bila menggunakan produk ataupun mengoperasikan
mesin/fasilitas kerja lainnya. Kemungkinan untuk melakukan tindakan kesalahan (human error) sangat
mungkin terjadi manakala ada ketidak-serasian dan ketidak-selarasan didalam perancangan sistem
manusia-mesin tersebut. Walaupun demikian manusia akan mau menerima kesalahan tersebut sebagai
pengalaman dan mencoba memperbaiki kinerja sistem dengan mensinergikan kembali performans
masing-masing sub-sistem (manusia dan/atau mesin).

Dari berbagai hal yang menyangkut permasalahan manusia dalam berinteraksi dengan dengan produk,
mesin ataupun fasilitas kerja lain yang dioperasikannya; manusia seringkali dipandang sebagai sumber
penyebab segala kesalahan, ketidak-beresan maupun kecelakaan kerja (human errors). Manusia adalah
“agent of errors”. Meskipun dari awalnya sudah disadari bahwa “human error” tampak akan lebih
dominan dalam sebuah sistem manusia-mesin yang dirancang dengan mengabaikan signifikansi pendekatan
ergonomis; manusia seringkali justru memperbesar kemungkinan terjadinya kesalahan dan kecelakaan
kerja melalui berbagai tindakan dan perilakunya yang jauh dari unsur aman dan nyaman. Menyadari
bahwa faktor manusia merupakan elemen penting yang harus diperhatikan; maka sudah menjadi keharusan
untuk terlebih dahulu dilakukan semacam analisa tugas (task analysis) yang kemudian diintegrasikan
dalam rancangan produk yang akan dibuat (Huncingson, 1981: hal. 23). Dengan demikian manusia
(operator) selanjutnya tidak lagi harus menyesuaikan dengan rancangan produk (man fits to the design)
justru sebaliknya produk tersebut akan dirancang dengan terlebih dahulu memperhatikan segala faktor yang
terkait dengan manusia yang akan mengoperasikannya (design fits to the man). Melalui analisa tugas yang
diidentifikasikan dengan cermat, segala kemungkinan yang memiliki potensi terjadinya kesalahan
manusiawi akan dapat diklarifikasikan dan manusia (operator) yang akan melaksanakan tugas itu-pun akan
dapat direkrut, diseleksi dan dipilih sesuai dengan persyaratan. Analisa tugas ini akan memberikan
masukan berupa saran-saran konkrit yang memungkinkan produk bisa dirancang sesuai dengan segala
kekurangan, keterbatasan maupun kelebihan manusia. Demikian juga saran-saran tersebut akan bisa
dijadikan masukan didalam pelaksanaan pelatihan (training) untuk meningkatkan ketrampilan maupun
pemahaman operator tentang fasilitas kerja yang akan dioperasikan guna mencegah dan mengurangi tingkat
resiko kesalahan yang kemungkinan bisa terjadi. Disisi lain rancangan sistem manusia-mesin akan bisa
bekerja secara lebih toleran terhadap kemungkinan terjadinya kesalahan.

5. Referensi.

[ 1] Duncan, Jerry R.; Pulat, Babur Mustafa, Et.al. Industrial Ergonomics: Case Studies (Human Factors
in Product Design). Norcross, Georgia: Industrial Engineering and Management Press – Institute of
Industrial Engineers, 1991.

[ 2] Granjean, Etienne. Fitting the Task to the Man: An Ergonomic Approach. London: Taylor &
Francis Limited, 1982.

[ 3] Gupta, Vijay and Murthy, PN. An Introduction to Engineering Method. New Delhi; Tata McGraw-
Hill Publishing Company Limited, 1980.

[ 4] Hawkes, Barry and Abinnet, Ray. The Engineering Design Processes. Eidenburgh Gate, Harlow :
Addison Wesley Longman, 1997.

[ 5] Hisrich, Robert D. and Peters, Michael P. Marketing Decisions for New and Mature Products. New
York: McMillan Publishing Co., 1991.

[ 6] Holt, Knut. Product Innovation Management. London: Butterworths, 1983.


[ 7] Hubel, Vello and Lussow, Diedra B. Focus on Designing. Toronto:McGraw-Hill Ryerson Limited,
1984.

[ 8] Huchingson, Dale R. New Horizons for Human Factors in Design. New York: McGraw- Hill Book
Company, 1981.

[ 9] Khalil, T.M. Design Tools and Machines to fit the Man. Industrial Engineering : Institute of
Industrial Engineers, 1972.

[ 10] Pulat, Mustafa B. Fundamentals of Industrial Ergonomics. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall,
1992.

[11] Sanders, M.S. and McCormick, Ernest J. Human Factors in Engineering and Design. New
York:McGraw-Hill Book Co., 1992.

[12] Stanton, Neville. Human Factors in Consumer Products. London: Taylor & Francis Ltd., 1998.

[13] Ulrich, Karl T. and Eppinger, Steven D. Product Design and Development. Boston: Irwin McGraw-
Hill Co., 2000.

[14] Wells, Katharine F. and Luttgens, Kathryn. Kinesiology : Scientific Basis of Human Motion.
Philadelphia: W.B. Saunders Company, 1976.

[15] Wignjosoebroto, Sritomo. Analisis Ergonomi dalam Proses Perancangan Produk : Studi Kasus di
Sektor Industri Tradisional. Proceeding Seminar Nasional Ergonomi 1997, 6-7 Januari 1997 –
Laboratorium Perancangan Sistem Kerja & Ergonomi, Jurusan Teknik Industri - ITB, Bandung.

[16] Wignjosoebroto, Sritomo dan Dyah Santi Dewi. Perancangan dan Pengembangan Produk: Suatu
Upaya untuk Mempertahankan Eksistensi Perusahaan. Proceeding Seminar & Lokakarya tentang
“Rancang Bangun Produk Industri” – tanggal 27-28 Februari 1997, Laboratorium Sistem Produksi,
Jurusan Teknik Industri ITB – Bandung.

[17] Wignjosoebroto, Sritomo. Ergonomic Analysis for Improving the Design of Spining Process
Facility in Textile Traditional Industry. Proceedings Asean Ergonomics 97: Human Factors Vision – Care
for the Future (Editor: Halimahtun M. Khalid), 6-8 Nopember 1997. Kuala Lumpur: International
Ergonomics Association (IEA) Press, 1997.

Anda mungkin juga menyukai